10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga Sadar Gizi Kadarzi ...

117 downloads 359 Views 569KB Size Report
Kadarzi merupakan suatu gerakan yang terkait dengan program Kesehatan. Keluarga dan ... Disebut Kadarzi, jika sikap dan perilaku keluarga dapat secara.
10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keluarga Sadar Gizi Kadarzi merupakan suatu gerakan yang terkait dengan program Kesehatan Keluarga dan Gizi (KKG), yang merupakan bagian dari Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Disebut Kadarzi, jika sikap dan perilaku keluarga dapat secara mandiri mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin dari pada konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang. Dalam keluarga sadar gizi sedikitnya ada seorang anggota keluarga yang dengan sadar bersedia melakukan perubahan ke arah keluarga yang berperilaku gizi baik dan benar. Bisa seorang ayah, ibu, anak, atau siapapun yang terhimpun dalam keluarga itu (Depkes RI, 2007). 2.1.1. Program Keluarga Sadar Gizi Tahun 1998 telah dicanangkan gerakan keluarga sadar gizi (Kadarzi) yang dimotori oleh Departemen Kesehatan dengan tujuan agar pada tahun 2000 paling tidak setengah keluarga Indonesia telah menjadi keluarga sadar gizi. 2.1.2. Konseling Keluarga Sadar Gizi Konseling Kadarzi adalah dialog atau konsultasi antara kader dasawisma, Tenaga

Penggerak

Masyarakat

(TPM)

dengan

keluarga

untuk

membantu

memecahkan masalah perilaku gizi yang belum dapat dilakukan oleh keluarga.

10 Universitas Sumatera Utara

11

1. Tujuan Konseling Kadarzi Memantapkan kemauan dan kemampuan keluarga untuk melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki keluarga atau yang ada di lingkungannya. 2. Pelaksana Konseling Kadarzi Untuk pertama kali konseling dilakukan oleh Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) puskesmas bersama Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM) dan kader dasawisma. Untuk selanjutnya konseling Kadarzi dilakukan oleh kader dasawisma dan TPM. 3. Sasaran Konseling Kadarzi Konseling dilakukan pada keluarga yang belum menerapkan indikator sadar gizi. Konseling ditujukan kepada anggota keluarga yang sudah dewasa. 2.1.3. Pemetaan Keluarga Sadar Gizi Pemetaan Kadarzi dilakukan untuk mengetahui situasi Kadarzi di suatu wilayah kerja puskesmas yang dilakukan pertama kali oleh TPG, kemudian untuk berikutnya dilakukan oleh ketua kelompok posyandu. Pemetaan dilakukan setiap 6 bulan sekali yaitu pada bulan Februari dan Agustus. 1. Tujuan Pemetaan Kadarzi a. Mendapatkan informasi situasi Kadarzi dalam suatu wilayah atau dasawisma berdasarkan indikator yang ditentukan b. Mendapatkan gambaran masalah gizi dan perilaku gizi yang baik dan benar yang belum dapat dilaksanakan oleh keluarga c. Sebagai bahan acuan konseling dan intervensi gizi

Universitas Sumatera Utara

12

d. Sebagai bahan acuan pemantauan dan evaluasi situasi Kadarzi dari waktu ke waktu. 2. Sasaran Pemetaan Kadarzi Sasaran pemetaan Kadarzi adalah semua keluarga yang ada di wilayah kerja puskesmas (Depkes RI., 2007). 2.1.4. Indikator Keluarga Sadar Gizi Indikator Kadarzi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga. Menurut Depkes RI (2007), suatu keluarga disebut Kadarzi apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan: a. Menimbang berat badan secara teratur; b. Memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif); c. Makan beraneka ragam; d. Menggunakan garam beryodium; dan e. Minum suplemen gizi sesuai anjuran. Perilaku Kadarzi diukur minimal dengan lima indikator di atas yang penggunaannya disesuaikan dengan karakteristik keluarga, seperti berikut:

Universitas Sumatera Utara

13

Tabel 2.1. Indikator Kadarzi Berdasarkan Karakteristik Keluarga

No.

Karakteristik Keluarga

Indikator KADARZI yang berlaku *) 1 2 3 4 5

Keterangan

1.

Bila keluarga mempunyai ibu hamil, √ bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan









Indikator kelima yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A

2.

Bila keluarga mempunyai bayi 0-6 bulan, balita 6-59 bulan











-

3.

Bila keluarga mempunyai ibu hamil, √ balita 6-59 bulan

-







Indikator kelima yang digunakan adalah balita mendapat kapsul vitamin A

4.

Bila keluarga mempunyai ibu hamil

-

-







Indikator kelima yang digunakan adalah ibu hamil mendapat TTD 90 tablet

5.

Bila keluarga mempunyai bayi 0-6 bulan











Indikator kelima yang digunakan adalah ibu nifas mendapat suplemen gizi

6.

Bila keluarga mempunyai balita 6-59 √ bulan

-







-

7.

Bila keluarga tidak mempunyai bayi, balita, dan ibu hamil

-





-

-

*) 1. Menimbang berat badan secara teratur; 2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak

lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif); 3. Makan beraneka ragam; 4. Menggunakan garam beryodium; dan 5. Minum suplemen gizi (TTD, kapsul vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran.

1. Menimbang Berat Badan Secara Teratur Salah satu sarana yang disediakan untuk memantau pertumbuhan balita yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia adalah Posyandu. Sebagai salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM), Posyandu diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada

Universitas Sumatera Utara

14

masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes, RI. 2007). Pelayanan Posyandu yang berhubungan dengan pemantauan pertumbuhan balita meliputi penimbangan berat badan, penentuan status pertumbuhan, serta tindak lanjut hasil pemantauan pertumbuhan berupa konseling dan rujukan kasus. Menimbang berat badan secara teratur merupakan salah satu cara yang efektif dilakukan dalam upaya memantau pertumbuhan balita, karena berat badan tidak naik satu kali sudah merupakan indikator penting yang tidak boleh diabaikan, karena semakin sering berat badan tidak naik maka risiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan akan semakin besar. 2. ASI Eksklusif Kelebihan ASI eksklusif telah dibuktikan oleh berbagai penelitian, termasuk menurunkan risiko pneumonia, penyakit diare, otitis media, asma dan kondisi atopik lainnya, serta pencegahan obesitas dan penyakit kronis lainnya di masa kanak-kanak kemudian dan remaja (Arifeen et al., 2001; Harder et al., 2002). Manfaat lainnya, ibu yang menyusui bayinya juga mengalami penurunan risiko kanker payudara (Chang et al., 2000). Meskipun penelitian yang luas menunjukkan manfaatnya, dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah, pemberian ASI eksklusif masih belum umum dilakukan. Pada tahun 2006, data dari Survei Kesehatan dan Morbiditas Nasional, yang merupakan survei nasional yang dilakukan di Malaysia, menunjukkan bahwa 94,7% dari wanita yang pernah menyusui bayi mereka, tetapi hanya 14,5% dari

Universitas Sumatera Utara

15

mereka memberikan ASI ekslusif sampai usia enam bulan (Institute for Public Health, Ministry of Health Malaysia, 2008). Data Susenas maupun Riskesdas menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pemberian ASI ekslusif. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa cakupan ASI ekslusif rata-rata nasional baru sekitar 15.3%. Data DHS 2007 mencatat 32,4% ASI-Eksklusif 24 jam sebelum interview, ibu-ibu desa lebih banyak yang ASIEksklusif. Ibu-ibu yang berpendidikan SMA lebih sedikit (40,2%) yang ASIEksklusif dibanding yang tidak berpendidikan (56%). Data yang menarik dari DHS bahwa ibu-ibu yang melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan terlatih ASIEksklusif nya lebih sedikit (42,7%) dari pada ibu-ibu yang tidak ditolong tenaga kesehatan (54,7%) (USAID Indonesian Nutrition Assessment Report, 2010). Meskipun data-data di atas memerlukan validasi, yang jelas cakupan ASIEksklusif masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar 80%. Selain masih kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI, juga maraknya promosi susu formula yang diwaktu yang lalu, menurut UNICEF, "out of control", merupakan hambatan yang menyebabkan tidak efektifnya promosi ASI Eksklusif. Dengan dikeluarkannya PP No. 33 tahun 2012 tentang ASI sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diharapkan dapat dilakukan tindakan hukum yang lebih tegas bagi penghambat pelaksanaan ASI Ekslusif Bagi ibu, ASI memberikan manfaat yang besar yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya

Universitas Sumatera Utara

16

kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali keukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan. Memberikan ASI Eksklusif dijadikan sebagai salah satu indikator perilaku Kadarzi dengan harapan dapat meningkatkan status gizi balita yang berpengaruh pada kualitas hidupnya dimasa mendatang. 3. Makanlah Beraneka Ragam Pemenuhan gizi yang lengkap dan seimbang diperlukan makanan yang aneka ragam. Mengkonsumsi makanan hanya satu jenis makanan dalam jangka waktu relatif lama dapat mengakibatkan berbagai penyakit kekurangan gizi atau gangguan kesehatan. Keanekaragaman makanan dalam hidangan sehari-hari yang dikonsumsi, minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat tenaga, satu jenis makanan sumber zat pembangun dan satu jenis makanan sumber zat pengatur. Ini adalah penerapan prinsip penganekaragaman yang minimal. Makanan sumber zat tenaga antara lain beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari bahan makanan nabati adalah kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan seperti keju. Zat pembangun berperan peting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan seseorang. Makanan sumber zat pengatur adalah semua sayur-sayuran dan buah-

Universitas Sumatera Utara

17

buahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral yang berperan untuk melancarkan bekerjanya fungsi organ tubuh. 4. Menggunakan Garam Beriodium Garam beriodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai Keppres No. 69 tahun 1994, semua garam yang beredar di Indonesia harus mengandung iodium. Kebijaksanaan ini berkaitan erat dengan masih tingginya kejadian gangguan kesehatan akibat kekurangan iodium (GAKI) di Indonesia. GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) merupakan masalah gizi yang serius, karena dapat menyebabkan penyakit gondok dan kretin. Kekurangan unsur iodium dalam makanan sehari-hari, dapat pula menurunkan tingkat kecerdasan seseorang. Seperti halnya anemia gizi besi, anak sekolah yang menderita GAKI biasanya memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk menyelesaikan tingkat pendidikan formal tertentu. Bahkan mereka yang menderita GAKI tingkat berat (kretin, kretinoid) tidak mampu menyerap pelajaran pendidikan dasar. Dengan mengkonsumsi garam beriodium 6 gram sehari, kebutuhan iodium dapat terpenuhi, namun ambang batas penggunaan natrium tidak terlampaui. Dalam kondisi tertentu, misalnya keringat yang berlebihan, dianjurkan mengonsumsi garam sampai 10 gram atau dua sendok teh per orang perhari. Bagi seseorang yang harus mengurangi konsumsi garam, dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan dari laut yang kaya iodium. Demikian penting manfaat garam beriodium untuk mencegah dan menanggulangi GAKI, maka mutu garam beriodium yang beredar di pasar perlu dipantau. Cara untuk menilai mutu garam beriodium tidak sulit,

Universitas Sumatera Utara

18

yaitu dengan Test Kit Iodina yang tersedia di puskesmas dan apotik. Ambil garam, kemudian tetesi dengan cairan iodina. Warna yang timbul dibandingkan dengan petunjuk warna yang ada pada Kit. Garam yang bermutu baik akan menunjukkan warna biru keunguan. Semakin berwarna tua, semakin baik mutu garam. Selain itu, pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan singkong parut. Caranya sebagai berikut : singkong (ubi kayu) segar dikupas, diparut dan diperas tanpa diberi air. Tuang satu sendok perasan singkong parut ke dalam gelas bersih. Tambahkan 4-6 sendok teh munjung garam yang akan diperiksa. Tambahkan dua sendok teh cuka makan berkadar 25%. Aduk sampai rata, dan tunggu beberapa menit. Apabila timbul warna biru keunguan, berarti garam tersebut mengandung iodium. Semakin berwarna pekat, semakin baik mutu garam. Garam yang tak beriodium tidak akan mengalami perubahan warna setelah diperiksa dengan cairan iodina maupun cairan singkong parut. Garam beriodium sebaiknya disimpan dalam wadah terbuat dari beling (kaca) dan bertutup, seperti stoples atau botol selai. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (2010), persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam dengan kadar yodium yang memenuhi syarat hanya 62,3% jauh dibawah sasaran (90%). Sasaran tersebut hanya dicapai enam provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo dan Papua Barat. Apabila keadaan ini terus berlangsung akan mengancam keselamatan janin dan anak pada 1000 HPK. Kekurangan yodium pada kehamilan merusak pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak. Kendala utama rendahnya pencapaian konsumsi garam beryodium, karena kurangnya perhatian Pemerintah

Universitas Sumatera Utara

19

Daerah yang antara lain ditengarai dengan lemahnya penegakan hukum Peraturan Daerah yang mengatur produksi dan peredaran garam beryodium. Misalnya keharusan pemasangan label garam beryodium di tiap kemasan banyak yang tidak dipatuhi 5. Minum Suplemen Gizi a. Balita Mendapat Kapsul Vitamin A Sesuai Anjuran Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan disimpan dalam hati dan tidak dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi melalui asupan dari luar. Manfaat penting vitamin A antara lain: a) Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi seperti campak dan diare. b) Membantu proses penglihatan dalam adaptasi dari tempat yang terang ke tempat yang gelap. c) Mencegah kelainan pada sel-sel epitel termasuk selaput lender mata. d) Mencegah terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel sehingga kelenjar tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata (xerosis konjungtiva). e) Mencegah terjadinya kerusakan mata berlanjut yang akan menjadi bercak bitot (bitot’s spot) bahkan kebutaan. f) Vitamin A essensial untuk membantu proses pertumbuhan. Anak dibawah umur tiga tahun (batita) membutuhkan vitamin A sebanyak 1320 SI per hari (AKG menurut WNPG VIII, 2004). Apabila dilihat kebutuhannya

Universitas Sumatera Utara

20

berdasarkan golongan umur menurut Institut of Medicine 2004, adalah sebagai berikut:  0-6 bulan : 400 μg/d  7-12 bulan : 500 μg/d  1-3 tahun : 300 μg/d  4-5 tahun : 400 μg/d Vitamin A dapat bersumber dari air susu ibu, bahan makanan hewani (hati, kuning telur, ikan, daging, ayam, bebek), buah-buahan berwarna kuning dan jingga (papaya, mangga masak, alpukat, jambu biji merah, pisang), sayuran yang berwarna hijau tua dan jingga (bayam, daun singkong, kangkung, daun katuk, daun mangkokan, daun kelor, daun bluntas, kecipir, labu kuning, daun ubi jalar, tomat, wortel), bahan makanan yang difortifikasi dengan vitamin A (margarine, susu, mie instant). Kurang Vitamin A (KVA) dapat terjadi pada saat simpanan vitamin A dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja, atau kurang dapat melihat pada malam hari. Gejala tersebut juga ditandai dengan menurunnya kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 ug/dl). Pada tahap selajutnya terjadi kelainan jaringan epitel dari organ tubuh sepeti paru-paru, usus, kulit, dan mata. Salah

satu

upaya

penanggulangan

masalah

KVA

adalah

dengan

mengupayakan rencana program penanggulangan jangka pendek melalui pemberian kapsul vitamin A. Kapsul vitamin A dengan sasaran bayi 6-11 bulan berwarna biru

Universitas Sumatera Utara

21

dengan dosis 100.000 SI dan diberikan pada bulan Februari atau Agustus. Sedangkan untuk balita 12-59 bulan berwarna merah dengan dosis 200.000 SI, diberikan setiap bulan Februari dan Agustus. Kapsul vitamin A mudah didapatkan karena ibu cukup membawa balita ke Posyandu tanpa perlu mengeluarkan biaya. Kapsul vitamin A juga diberikan pada balita yang sakit campak, diare, gizi buruk atau xeroftalmia dengan dosis sesuai umurnya. b. Ibu Hamil Mendapat TTD 90 Tablet Perlindungan tersebut diatas bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi masalah-masalah anemi gizi besi dan ibu hamil kurus karena kurang energi dan protein kronis. Anemia besi merupakan faktor penting (13,8%) penyebab kematian ibu (Ross, 2003). Disamping itu terdapat 23 persen ibu yang kurus. Selain kekurangan gizi ternyata ibu hamil di Indonesia juga ada yang menderita kegemukan sebesar 29 persen yang berdampak negatif pada pertumbuhan janin (USAID Nutrition Report 2010). Sejak tahun 1970-an pemerintah melaksanakan pemberian suplemen tablet besi-folat. Masalahnya kegiatan ini cakupannya sangat rendah. Diharapkan ibu hamil minum minimal 90 tablet besi-folat selama kunjungan antenatal pertama (K1), terutama pada semester ke-1, sampai kunjungan ke-4 (K4) kehamilan. Namun data Riskesdas tahun 2010 kunjungan antenal empat kali hanya 61,4 persen, dan yang mengomsumsi 90 tablet besi hanya 18 persen, keduanya jauh dari sasaran MDGs masing-masing 95 persen dan 85 persen.

Universitas Sumatera Utara

22

Menurut berbagai laporan, rendahnya cakupan tablet besi-folat terutama karena kurangnya perencanaan pengadaan dan distribusi tablet besi-folat, serta pendidikan atau KIE gizi dan kesehatan yang efektif. Khusus untuk penanggulangan energi dan protein kronis pada ibu hamil belum ada program yang teratur dan berkesinambungan, kecuali pemberian makanan tambahan dan pada waktu keadaan darurat. Belum ada program untuk upaya pencegahan kegemukan pada ibu hamil. Dibeberapa daerah telah dicoba suplementasi untuk ibu hamil dengan biskuit yang difortifikasi. Masalahnya berbagai kelemahan dari kegiatan ini belum pernah dianalisa, demikian juga efektivitasnya.

2.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktek Keluarga Sadar Gizi Keluarga sadar gizi adalah keluarga yang berperilaku gizi baik, mampu mengenali dan mengatasi masalah gizi anggota keluarganya. Kadarzi merupakan bentuk penerapan perilaku gizi dalam keluarga. Suatu keluarga disebut keluarga sadar gizi (kadarzi) apabila keluarga tersebut telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan lima indikator sebagaimana telah disebutkan di atas yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberi ASI saja kepada bayi hingga usia enam bulan, makan beraneka ragam, memberikan suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007). Menurut Sediaoetama (2008) perilaku gizi ditingkat keluarga merupakan salah satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi dikeluarga adalah pendapatan,

Universitas Sumatera Utara

23

pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi. Struktur keluarga adalah individu-individu dalam keluarga sesuai dengan perannya masing-masing yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam struktur keluarga, ibu mempunyai peran dominan dalam penerapan perilaku gizi keluarga karena pada umumnya di Indonesia ibu bertanggung jawab penuh dalam penyediaan makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam konsumsi makanan dan pengasuhan anak. Ningsih (2008), menyatakan bahwa peranan wanita dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting karena berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan keluarga. Perilaku ibu yang kurang sadar akan gizi baik pada saat kehamilan maupun saat merawat anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental anaknya. Selain itu, menurut Hardinsyah dan Martianto (2007), konsumsi pangan beraneka ragam keluarga dipengaruhi oleh umur ibu, pendidikan ibu dan paparan media massa, pendapatan, status dan jenis pekerjaan ibu, besar dan komposisi rumah tangga. Sedangkan menurut Depkes RI (2007) perilaku keluarga sadar gizi dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap ibu, kepercayaan, tradisi dalam keluarga dan peran tokoh masyarakat serta keterpaparan informasi kadarzi.

Universitas Sumatera Utara

24

2.2.1 Karakteristik Keluarga 1. Umur Ibu Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sedioetama, 2008). Umur orang tua terutama ibu yang relatif muda, cenderung untuk mendahulukan kepentingan sendiri. Sebagian besar ibu yang masih muda memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak (Budiyanto, 2002). Dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur lebih tua dan pola pembelian makanan cenderung lebih berpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh pada tipe pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Hardinsyah & Martianto, 2007). Ibu yang relatif muda cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. umumnya mengasuh anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya dahulu. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999). Umur akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang seiring dengan perkembangan fisik dan mental orang tersebut sehingga perilakunya akan semakin matang dengan bertambahnya umur (Gunarsa, 2000).

Universitas Sumatera Utara

25

2. Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan termasuk pengetahuan gizi (Hardinsyah & Martianto, 2007). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Gabriel, 2008). Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya (Soetjiningsih, 2004). Madihah (2002), menyatakan bahwa makanan merupakan hasil proses pengambilan keputusan yang dikendalikan oleh ibu. Oleh karena itu, tingkat pendidikan ibu sangat berperan dalam penyusunan pola makan keluarga, mulai dari perencanaan belanja, pemilihan bahan pangan maupun dalam pengolahan dan penghidangan makanan bagi anggota keluarga (Ningsih, 2008). Hasil peneltian Sutrisno (2001) dan Munadhiroh (2009), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang akan memengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan informasi gizi yang dimiliki jadi lebih baik (Berg, 1987). Menurut Ningsih (2008), tingkat pendidikan formal orang tua terutama ibu sering memiliki hubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan terjadi perbaikan kebiasaan makan, serta

Universitas Sumatera Utara

26

perhatian kepada kesehatan dan makanan yang bergizi juga bertambah. Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak baik. Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan gizi dan praktek gizi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Gabriel (2008), ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah. 3 Pekerjaan Ibu Menurut Sediaoetama (2008), pekerjaan adalah mata pencaharian, apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lainlain. Peningkatan kedudukan wanita dan tersedianya peluang yang sama di bidang pendidikan, latihan dan pekerjaan yang akan memberi kontribusi yang berarti dalam perkembangan sosial ekonomi keluarganya. Padahal keluarga terutama ibu mempunyai tanggung jawab utama atas perawatan dan perlindungan anak sejak bayi

Universitas Sumatera Utara

27

hingga dewasa (Soetjiningsih, 2004). Menurut Gabriel (2008), seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam mengasuh serta merawat anak. Hasil penelitian Misbakhudin (2007), di Kota Bandung menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara aktifitas ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga yang hal ini akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya (Apriadji, 1996). Ibu yang bekerja tidak dapat memberikan perhatian kepada anak balitanya apalagi mengurusnya sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak menjadi berkurang (Sediaoetama, 2008). Seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan memengaruhi ketidakhadiran dalam pelaksanaan penimbangan balita posyandu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gabriel (2008) yang mengungkapkan bahwa faktor pekerjaan ibu balita merupakan salah satu faktor penghambat ibu balita memanfaatkan penimbangan balita di posyandu. Pada umumnya orang tua tidak mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua semakin sulit datang ke posyandu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ningsih (2008), yang menyatakan bahwa ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Padahal beberpa indikator perilaku sadar gizi sangat erat kaitannya denga kunjungan ibu balita ke posyandu.

Universitas Sumatera Utara

28

Menurut Hardinsyah dan Martianto (2007), peranan wanita dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak sangatlah penting karena wanita berperan sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh waktu mereka untuk pengelolaan pangan buat keluarga. Saat wanita dari keluarga menengah ke bawah lebih mengalokasikan untuk kegiatan bekerja di luar rumah, biasanya mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan di rumah tangga dengan cara mengurangi frekuensi memasak dan mengurangi jenis makanan yang dimasak yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas gizi pada menu makanan anggota keluarga tersebut (Hardinsyah & Martianto, 2007). 4. Pendapatan Keluarga Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Berg, 1986). Pengaruh pendapatan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi adalah sama jelasnya bahwa penghasilan meningkatkan daya beli (Farida, 2004). Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik (Sayogyo, 1995). Hasil peneltian Munadhiroh (2009) di Desa Subah menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status keluarga sadar gizi.

Universitas Sumatera Utara

29

Menurut Berg (1986), pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama dalam diet dan status gizi. Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan dan kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan sumber karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan produk sayuran (Soekirman, 2000). Menurut Madihah (2002) pada umumnya bila pendapatan keluarga meningkat maka kecukupan gizi keluarga akan meningkat. Namun, pendapatan tinggi tidak menjamin untuk mendapatkan gizi yang cukup, jadi kemampuan membeli makanan tidak menjamin untuk dapat memilih makanan yang baik. Menurut Suhardjo (2003) pada keluarga yang pendapatannya rendah, tentu rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan itu. Bila pendapatan menjadi semakin baik, maka jumlah uang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan itu juga meningkat, sampai suatu tingkat tertentu dimana uang tidak banyak berubah. Penurunan daya beli akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan gizi dan kesehatan (Gabriel, 2008). Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu

Universitas Sumatera Utara

30

keluarga akan memengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2004). 5. Besar Keluarga Keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan anggota keluarga secara proporsional (Suhardjo, 2003). Besar keluarga akan memengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga dan juga memengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga (Sukarni, 1994). Hasil penelitian Sutrisno (2001), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan perilaku keluarga sadar gizi. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang dekat akan menimbulkan banyak masalah. Kalau pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan di dalam keluarga kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah terpenuhi (Apriadji, 1996). Hasil penelitian Sutrisno (2001) dan Madihah (2002), menunjukkan hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan keluarga sadar gizi. Apabila besar keluarga semakin banyak, maka kebutuhan pangannya akan semakin banyak pula. Besar keluarga juga akan memengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Pada taraf ekonomi yang sama, pemenuhan kebutuhan makanan yang menjadi lebih mudah pada keluarga yang memiliki jumlah

Universitas Sumatera Utara

31

anggota yang lebih sedikit. Keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak dalam keluarga tersebut menderita kurang gizi umumya pada keluarga yang mempunyai besar keluarga 7-8 orang (Suhardjo, 2003). 6. Pengetahuan Gizi Ibu Secara umum di negara berkembang ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk konsumsi keluarganya sehingga pengetahuan gizi ibu akan memengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya (Hardinsyah, 2007). Menurut Munadhiroh (2009), pengetahuan gizi diartikan sebagai segala apa yang diketahui berkenaan dengan zat makanan. Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya (Suhardjo, 2003). Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003). Menurut Khomsan (2009), faktor yang tidak kalah penting penyebab timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat khususnya pada ibu yang sebagian besar pengasuh anak. Hasil penelitian Madihah (2002) dan Munadhiroh (2009), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan perilaku keluarga sadar gizi.

Universitas Sumatera Utara

32

Pengetahuan yang diperoleh ibu sangat bermanfaat bagi balita apabila ibu tersebut berhasil mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimiliki (Farida, 2004). Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan memengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007). Menurut Apriadji (1996), seseorang yang mempunyai pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). 7. Sikap Ibu Sikap ibu tentang kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di tingkat keluarga. Sikap tentang kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadapap hal-hal yang berkaitan dengan gizi sebagai upaya untuk memelihara kesehatannya (Sedioetama, 2006). Menurut Depkes RI (2007), pada umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namu demikian, sikap mereka terhadap perbaikan gizi keluarga masih rendah. Hal ini disebabkan karena sebagian ibu menganggap asupan makanannya selama ini cukup

Universitas Sumatera Utara

33

memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Selain itu, sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan keterampilan menyiapkannya. Menurut Kwick (1974), sikap adalah kecenderungan untuk mengadakan tindakan suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap belum merupakan suatu perbuatan, tetapi dari sikap dapat diramalkan perbutannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pranadji (1988) bahwa sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung. Notoatmodjo

(2007),

menyatakan

sikap

merupakan

kesiapan

atau

kesediaan/kemauan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu sehingga sikap merupakan predisposisi perilaku atau reaksi tertutup. Makin tinggi pendidikan ibu cenderung makin sadar gizi dan semakin positif pula sikap gizinya dan nantinya akan meningkatkan status gizi keluarga. Hasil penelitian Madihah (2002), menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis kemudian responden diminta bagaimana pendapatnya.

Universitas Sumatera Utara

34

2.2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan adalah membantu individu untuk memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya (Prijono & Pranaka, 1996). Menurut Notoatmodjo (2003), pemberdayaan merupakan proses pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice) Perlu diketahui bahwa dalam Kadarzi, pemberdayaan masyarakat merupakan ujung tombak, yang untuk keberhasilannya harus didukung oleh upaya bina suasana (opini publik) dan advokasi. Namun demikian, selama ini dirasakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat kurang mendapat perhatian dengan minimnya dana pelaksanaan. Kegiatan-kegiatan komponen pemberdayaan masyarakat meliputi serangkaian kegiatan yang diawali dengan membangun kesadaran kritis masyarakat, pengorganisasian masyarakat hingga perencanaan partisipatif.

Universitas Sumatera Utara

35

a. Tujuan Pemberdayaan Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat

menjadi mandiri.

Kemandirian tersebut

meliputi

kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalahmasalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan

kognitif,

konatif,

psikomotorik,

afektif,

dengan

mengerahkan

sumberdaya yang di miliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (afektif, kognitif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhan tersebut (Ambar, 2004). Pemberdayaan

masyarakat

di

bidang

kesehatan

akan

menghasilkan

kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat merupakan proses, sedangkan kemandirian merupakan hasil, karenanya kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya. Peran serta masyarakat di dalam pembangunan kesehatan dapat diukur dengan makin

Universitas Sumatera Utara

36

banyaknya jumlah anggota masyarakat yang mau memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti, Puskesmas, Pustu, Polindes, mau hadir ketika ada kegiatan penyuluhan kesehatan, dan mau menjadi kader kesehatan (Depkes RI, 2007). Pemberdayaan keluarga sadar gizi maksudnya adalah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan keluarga agar terwujud keluarga yang sadar gizi. Upaya meningkatkan kemampuan keluarga itu dilakukan dengan penyuluhan, demo, diskusi, dan pelatihan. Melalui pemberdayaan Kadarzi, maka proses pemberian informasi Kadarzi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran di berbagai tatanan, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar gizi, dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku sadar gizi. Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah individu, keluarga dan kelompok masyarakat (Depkes RI, 2007). Tujuan pemberdayaan keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah: a) Menimbang balita ke posyandu secara berkala; b) Mampu mengenali tanda-tanda sederhana keadaan kelainan gizi (gizi kurang dan gizi lebih); c) Mampu menerapkan susunan hidangan yang baik dan benar, sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS); d) Mampu mencegah dan mengatasi kejadian, atau mencari rujukan, manakala terjadi kelainan gizi di dalam keluarga; dan e) Menghasilkan makanan melalui pekarangan. c. Tahap-Tahap Pemberdayaan Menurut Sumodingningrat (2004) pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas

Universitas Sumatera Utara

37

untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status, mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi. Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:  Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.  Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.  Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mehantarkan pada kemandirian (Ambar, 2004). c. Sasaran Pemberdayaan Sasaran utama pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya Kadarzi) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan

Universitas Sumatera Utara

38

masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apapun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan (Depkes RI, 2007). Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktekkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat atau pembangunan masyarakat. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan kemitraan. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik diantara mereka maupun anatara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna. Selain dengan pihak LMS, tokoh masyarakat dalam hal ini kepala desa juga dapat memberikan dukungan dalam pelaksanaan promosi Kadarzi. Peran kepala desa adalah sebagai motivator atau penyuluh kesehatan yang membantu para petugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya hidup sehat dan memotivasi mereka untuk melakukan perilaku Kadarzi. Sasaran pemberdayaan Kadarzi adalah semua keluarga di wilayah kerja puskesmas. Namun perhatian utama pemberdayaan ditujukan pada keluarga yang memiliki kelainan gizi, keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera tahap I (Depkes RI, 2007). Hasil studi Misbakhudin (2003); Depkes RI (2007), menyebutkan bhawa pemberdayaan masyarakat dari tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor yang

Universitas Sumatera Utara

39

memengaruhi pencapaian program Kadarzi. Sarjunani (2009), juga menyebutkan bawah salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu melalui program Kadarzi dengan cara pemberdayaan gizi masyarakat. Rumniati (2005), menyimpulkan bahwa adanya masyarakat yang belum mengerti tentang Kadarzi sehingga masih diperlukan pemberdayaan dari kader dan tenaga kesehatan. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dapat memotivasi keluarga untuk memperaktekkan indikator-indikator Kadarzi. 2.3. Dampak dari Praktek Keluarga Sadar Gizi Penelitian yang dilakukan oleh Zahraini (2009), di Provinsi di Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa perilaku Kadarzi mempunyai hubungan yang signifikan dengan status gizi balita pada indeks BB/U dan TB/U (p