2. Dasar-Dasar Rangkaian Listrik & Elektronika - WordPress.com

9 downloads 202 Views 626KB Size Report
tetap. Selanjutnya pembahasan akan menerapkan arus dan tegangan bolak- balik seperti ditunjukkan pada gambar 4.1. Gambar 4.1. Gelombang bolak balik.
Analisis yang dilakukan selama ini terbatas pada arus dan tegangan yang tetap. Selanjutnya pembahasan akan menerapkan arus dan tegangan bolak-balik seperti ditunjukkan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1. Gelombang bolak balik Semua bentuk gelombang pada gambar 4.1. disebut sebagai bentuk gelombang bolak-balik. Gambar 4.1.a. disebut sebagai tegangan bolakbalik sinusoidal karena mengikuti pola gelombang sinus. Gelombang jenis ini adalah jenis yang umumnya dijumpai. Bahasan selanjutnya hanya akan menerapkan bentuk gelombang ini. Bentuk gelombang yang ditunjukkan pada gambar 4.1.b sering disebut sebagai gelombang persegi sedangkan yang ditunjukkan pada gambar 4.1.c adalah gelombang segitiga. Dua bentuk terakhir biasanya dibangkitkan di laboratorium, keduanya tidak dibahas dalam buku ini. Perhatikan dan bandingkan ketiga bentuk gelombang pada gambar 4.1 diatas dengan tegangan searah yang ditunjukkan pada gambar 4.2.

61

Gambar 4.2. Tegangan Searah Terlihat bahwa pada sistem DC besaran tegangan besarnya tetap, tidak berubah terhadap waktu, sedangkan pada sistem AC besaran tegangan berubah terhadap waktu.

4.1 Bentuk Gelombang Sinusoiadal Tegangan sinusoidal dihasilkan oleh berbagai sumber. Sumber yang paling umum adalah stop kontak di rumah-rumah dimana sumber aslinya berada pada pusat pembangkit listrik (PLN) dengan berbagai pusat pembangkit seperti PLTA, PLTU, PLTP, PLTG dan lain-lain. Gelombang sinusoidal dengan karakteristik yang dapat dikendalikan oleh pengguna didapat dari suatu alat yang dinamakan generator fungsi seperti ditunjukkan pada gambar 43.e

Gambar 4.3. Beberapa sumber bolak-balik Lihatlah gambar 4.4., perhatikan bahwa antara kurva 0 s.d. π, dengan kurva π s.d. 2π, keduanya adalah saling berkebalikan dengan besaran puncak yang sama dimana mempunyai nilai puncak sebesar 120 Volt.

62

Gambar 4.4 Secara matematis persamaan suatu tegangan sinusoidal adalah v = Vp sinθ

(4.1)

perhatikan bahwa pada sudut sebesar 90o, sin θ = sin 90o = 1, sehingga v = Vp = 120 Volt. Hal yang sama muncul pada sudut sebesar 270o Sedangkan akan tetapi sin 270o = - sin 90o = -1, sehingga VP = -1. Pada sudut 0o, 180o dan 360o sinθ=0 sehingga v = 0 volt. Vp (tegangan puncak) adalah tegangan sesaat terbesar yang mungkin terjadi. Ini adalah amplitudo gelombang sinus tersebut. Saat VP= 120 V sering disebut sebagi puncak atas dan VP=-120 sering disebut sebagai puncak bawah. Beda tegangan antara VP=120 dan VP=-120 dikenal dengan VPP (tegangan puncak ke puncak). Sumbu horisontal pada gambar 4.4. bersatuan radian atau degree. Persamaan berikut digunakan untuk mengkonversi antara keduanya  π  (degree) radian =  o   180 

(4.2)

 180 o degree =   π

(4.3)

  (radian ) 

Perioda (T) dari suatu gelombang sinusoidal adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan satu gelombang penuh yaitu terjadinya satu puncak atas dan satu puncak bawah, yang seringkali disebut sebagai satu siklus.

63

Gambar 4.5. Perhatikan gambar 4.5.(a), nampak gelombang tersebut memiliki perioda sebesar satu detik, sedangkan gelombang pada gambar 4.5.(b) memiliki perioda sebesar 0,5 detik. Frekuensi (f) dari suatu gelombang sinusoidal adalah jumlah siklus yang terjadi selama satu detik. Pada gambar 4.5.(a) dan 4.5.(b) masing masing memiliki frekuensi satu siklus dan dua siklus perdetik. Satuan siklus per detik seringkali disebut sebagai Hertz(Hz); 1 hertz = 1siklus per detik

(4.4)

Perhatikan bahwa antara perioda dan frekuensi adalah saling berkebalikan sehingga dapat dinyatakan sebagai T=

1 f

(4.5)

dimana T adalah perioda dengan satuan detik f adalah frekuensi dengan satuan Hertz Gelombang sinusoidal dapat dibangkitkan dengan cara memproyeksikan secara vertikal suatu vektor rotasi seperti diilustrasikan 64

pada gambar 4.6.

Gambar 4.6. Dalam gerak translasi dikenal, kecepatan = jarak/ waktu, 65

sedangkan pada gerak rotasi berlaku kecepatan putar ( ω )

ω=

2π T

(4.6)

jika 1/T dinyatakan sebagai f maka ω = 2π f

(4.7)

jika Jarak = kecepatan x waktu maka sudut θ (dalam satuan radian) yang ditempuh suatu putaran dengan kecepatan ω dalam waktu t dapat ditentukan dengan persamaan θ = ωt radian

(4.8)

persamaan 4.1. dapat ditulis kembali sebagai v = VP sin ωt

(4.9)

v = VP sin 2 π f

(4.10)

gambar 4.7

Gambar 4.8 66

Gambar 4.9

4.2 Nilai Efektif (RMS)

Gambar 4.10 Berapakah tegangan sinusoidal akan memasok daya yang setara dengan tegangan DC? perhatikan gambar 4.10. gambar tersebut menyatakan bahwa jika tegangan DC sebesar 10 V dipasokkan ke suatu beban, daya yang setara dengan itu dapat dipasok dari tegangan sinusoidal dengan tegangan puncak sebesar 14.14 V. Dalam bentuk persamaan, nilai ekivalen atau nilai efektif dari suatu tegangan sinusoidal sama dengan 0.707 kali nilai tegangan puncaknya. 1

VDC ekuivalen = Vef = 0.707(VP ) =

I DC ekuivalen = I ef = 0.707(I P ) =

2

1 2

(Vp )

(I P )

(4.13) (4.14)

VP =1.414Vef = 2 (Vef )

(4.15)

I P = 1.414 I ef = 2 (I ef )

(4.16) 67

Dalam sistem AC, suatu besaran menunjukkan nilai RMSnya jika tidak diberi keterangan tertentu.

4.3 Nilai Rata-Rata

Gambar 4.11. Tegangan rata-rata adalah nilai rata-rata setengah gelombang penuh dari gelombang sinus. Ber satuan Volts average (Vave) . Nilai tegangan rata-rata adalah setara dengan 0.637 kali nilai tegangan puncaknya. Vave = 0.637Vp

(4.17)

Nilai tegangan rata-rata ditentukan hanya dari setengah gelombang karena nilai rata-rata satu gelombang penuh adalah sama dengan nol.

4.4 Elemen R,L,C dalam tegangan Bolak-Balik Akan kita bahas pengaruh sinyal sinusiodal terhadap elemen R,L dan C. Pada gambar 4.20. suatu sinyal sinusiodal dilewatkan melalui sebuah resistor.

gambar 4.20. 68

Seperti ditunjukkan pada gambar 4.20, arus yang dihasilkan mempunyai nilai puncak yang dapat ditentukan melalui persamaan 4.21:

Ip =

Ep R

(4.21)

di sana juga nampak bahwa tidak terjadi pergeseran phasa sehingga dikatakan vR dan iR adalah sephasa. Perhatikan juga bahwa frekuensi keduanya (vR dan iR) adalah sama. Daya yang diserap oleh resistor dapat ditentukan dengan persamaan 2

PR = I R R = 2

VR = VR I R watt R

PR = VR I R = (

20 20

V)(

4 2

A) =

(4.22) 80 = 40 watt 2

Perhatikan kemiripan antara penggunaan persamaan 4.22 –pada sistem bolak-balik- dengan hal yang sama pada sistem searah, perbedaan hanya pada penambahan nilai efektifnya.

gambar 4.21 Untuk resistor ideal nilai hambatannya tidak terpengaruh oleh frekuensi, seperti ditunjukkan pada gambar 4.21. Tetapi pada prakteknya bagaimanapun akan muncul efek kapasitif dan induktif pada setiap resistor, ini akan mempengaruhi karakteristik resistor pada frekuensi sangat tinggi maupun sangat rendah. Untuk saat ini semua resistor dianggap ideal. Reaksi kapasitor dan induktor terhadap sinyal sinusoidal sedikit berbeda dengan reaksi resistor. Keduanya –induktor dan kapasitor69

memang membatasi besaran arus yang akan mengalir, tetapi pada keadaan ideal keduanya tidak menyerap energi yang dialirkan padanya. Pada induktor energi akan disimpan dalam bentuk medan magnet sedangkan pada kapasitor energi akan disimpan dalam bentuk medan listrik, dimana keduanya dapat dikembalikan ke sistem jika diinginkan melalui desain tertentu. Untuk induktor reaktansi terhadap sinyal sinusoidal dapat ditentukan dengan persamaan 4.23 X L = ωL = 2πfL

(4.23)

reaktansi mempunyai kemiripan dengan resistansi, yaitu mampu membatasi arus, dengan kata lain reaktansi adalah semacam daya hambat yang dimiliki suatu induktor pada sinyal bolak-balik. Persamaan 4.23. memperlihatkan bahwa reaktansi induktif dipengaruhi secara proporsional oleh frekuensi sinyal yang diterapkan. Ingat kembali bahwa induktor idealnya mempunyai karakter sebagai hubung pendek dalam sinyal searah. Sinyal searah mempunyai frekuensi f=0, sehingga perhitungan X L = 2πfL = 2π 0 L = 0Ω , hal ini mendukung pernyataan kalimat sebelumnya. Pada frekuensi sangat tinggi induktor memiliki karakter hubung buka, karena induktor mempunyai reaktansi yang sangat tinggi.

Gambar 4.22 Hubungan XL terhadap frekuensi diperlihatkan pada gambar 4.22. 70

Perhatikan bahwa pada saat frekuensi bernilai nol maka XL bernilai nol, dan bertambah besar secara linier terhadap penambahan frekuensi. Garis lurus untuk masing-masing L dapat ditulis persamaannya sebagai y = mx + b dimana b bernilai nol dan bernilai 2πL sebagai gradien. VP XL

IP =

(4.24)

gambar 4.23. Jika tegangan sinusoidal diterapkan terhadap induktor 0.5 H pada gambar 4.23. reaktansinya bernilai XL=2⁵(60Hz)(0.5H)=188.5Ω. Dengan hukum Ohm dapat ditentukan nilai puncak arus yang mengalir yaitu IP =

VP 20V = = 106.1x10 −3 = 106.1 mA X L 188.5Ω

Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.23., disana terlihat bahwa penerapan tegangan terhadap induktor menyebabkan tegangan vL mendahului arusnya iL sebesar 90o. Induktor menyebabkan pergeseran phasa antara tegangan dan arus sebesar 90o. Untuk sistem arus bolak-balik persamaan dasar dayanya adalah sebagai berikut: P=

VP I P cos θ = Vef I ef cos θ 2

(4.25)

Gambar 4.24 71

Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.24, Vef adalah beda tegangan pada suatu elemen atau rangkaian dimana dayanya ditentukan, sedangkan Ief adalah arus yang mengalir melaluinya. Sudut θ adalah sudut phasa antara tegangan dan arus. Pada kasus resistor murni kita dapati tegangan dan arus adalah sephasa sehingga θ bernilai nol. Substitusi nilai sudut ke persamaan 4.25. menghasilkan P = VI cosθ = VI(1) = VI dimana V dan I merujuk ke Vef dan Ief. Sedangkan pada induktor murni sudut θ bernilai 90o sementara cos 90o adalah nol sehingga menyebabkan daya yang diserap sama dengan nol watt, ini menunjukkan kepada kita mengenai pernyataan terdahulu bahwa induktor ideal tidak menyerap daya akan tetapi hanya menyimpannya sebagai medan magnet. Suatu rangkaian yang mempunyai resistor dan induktor akan memiliki sudut phasa antara 0o dan 90o. Untuk kapasitor murni reaktansi dapat ditentukan dengan persamaan 4.26

XC =

1 1 ohm = ωC 2πfC

(4.26)

ini menyatakan bahwa kenaikan frekuensi menyebabkan turunnya reaktansi kapasitor (hal ini berlawanan dengan induktor). Jika f=0 maka XC=

1 ≈ ∞Ω ini merupakan nilai yang sangat tinggi sehingga dapat 2π (0)C

disetarakan dengan hubung buka.

72

Gambar 4.25. Gambar 4.25 adalah kurva hiperbolis hubungan antara XC dan frekuensi. Dsini ditunjukkan bahwa nilai XC mempunyai nilai yang sangat besar pada frekuensi mendekati nol dan turun secara cepat dengan kenaikan frekuensi. Hukum Ohm dapat juga diterapkan untuk elemen kapasitif dengan menggunakan persamaan:

VP XC

IP =

(4.27)

Gambar 4.26 Tegangan sinusoidal dengan spesifikasi seperti ditunjukkan pada gambar 4.26. dilewatkan melintasi kapasitor 10µF, reaktansi XC adalah

XC =

1 1 = = 265.25 ohm 2πfC 2π (60 Hz )(10 µF )

dan nilai puncak arusnya dapat ditentukan dengan menggunakan hukum Ohm IP =

VP 10V = = 37.7 mA X C 265.25Ω

Seperti ditunjukkan pada gambar 4.26., perhatikan bahwa dalam hal ini pergeseran phasa sebesar 90o terjadi antara iC dan vC, hal ini merupakan kebalikan dari induktor. Substitusi ke persamaan umum daya menghasilkan PC

= VI cos θ = VI cos 90 o = VI (0) = 0 W

Faktor cos θ pada persamaan daya disebut dengan faktor daya dari rangkaian biasanya dinyatakan dengan 73

power factor = cosθ = FP

(4.28)

yang memiliki nilai terbesar satu, yaitu saat rangkaian bersifat resistif murni dimana sudut phasa yang terjadi adalah 0o. sedangkan nilai terkecilnya adalah nol, yaitu saat rangkaian bersifat reaktif murni (kapasitif atau induktif). Untuk rangkaian dengan kombinasi resistor dan elemen reaktif nilai faktor daya adalah antara nol sampai dengan satu.

4.5 Phasor dan Bilangan kompleks Pada gambar 4.28 ditunjukkan sebuah vektor yang mewakili resistansi, reaktansi induktif dan reaktansi kapasitif. Sudut yang ditunjukkan oleh ketiganya masing-masing ditentukan oleh pergeseran phasa antara tegangan dan arus pada setiap elemen. Untuk resistor, tegangan dan arus adalah sephasa, karenanya tidak ada pergeseran phasa, dan sudut antara keduanya adalah 00. Karena sudut diukur dari sumbu x horizontal sebelah kanan, vektor resistansi digambarkan pada sumbu x. Panjangnya ditentukan oleh nilai resistansi R. Untuk XL dan XC sudutnya adalah sudut antara beda tegangan (yang mendahului) dan arusnya. Untuk XL sudutnya sebesar +900, dan untuk XC sudutnya sebesar -900. Panjang dari vektor ditentukan oleh nilai reaktansi dari setiap elemen. Perhatikan bahwa bahwa sudut selalu diukur dari sumbu x.

gambar 4.28 Kombinasi dari elemen-elemen reaktif dan resistif pada gambar 4.28 disebut impedansi dan diberi simbol Z. Impedansi adalah suatu ukuran yang menyatakan kemampuan suatu rangkaian ac untuk menghambat 74

arus yang mengalir melalui rangkaian. Diagram pada gambar 4.28 disebut diagram impedansi. Hanya resistansi dan reaktansi yang ditunjukkan pada suatu diagram impedansi. Tegangan dan arus dinyatakan dalam diagram phasor yang ditunjukkan pada gambar 4.29 untuk setiap elemen. Sudut yang terkait adalah sudut phasa pada domain waktu dari suatu gelombang sinusoidal. Besaran yang dipakai adalah nilai RMSnya. Setiap besaran -termasuk sudut yang berhubungan- dinyatakan dengan huruf tercetak tebal dan disebut sebagai sebuah phasor.

gambar 4.29 Diagram phasor untuk suatu resistor murni menunjukkan bahwa vR dan iR adalah sephasa karena mereka memiliki sudut yang sama dan arah yang sama. -Arah berlawanan dengan arah jarum jam menggambarkan vektor yang mendahului-. Pada gambar 4.29(b). Jika vL dan iL adalah vektor berputar searah jarum jam seperti yang di definisikan pada gambar 4.8., vL mendahului iL sebesar 90o. Untuk kapasitor yang terlihat pada gambar 4.29(c) iC mendahului vC sebesar 90o. -Arah berlawanan jarum jam menunjukkan ketertinggalan dari suatu besaran-. Sebuah vektor seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.30. dapat ditentukan dengan pertamaa, dinyatakan sebagai besaran dan sudutnya dari sumbu x horizontal positif atau kedua dinyatakan sebagai komponen kearah sumbu x dan komponen kearah sumbu y (yaitu dengan 75

memproyeksikan vektor tersebut kearah masing-masing sumbu). Bentuk pertama disebut dengan bentuk polar, dan bentuk kedua disebut dengan bentuk rektanguler. Persamaan yang dibutuhkan untuk mengkonversikan suatu bentuk ke bentuk yang lain adalah

gambar 4.30.

Polar ---->Rektanguler A = C cos θ B = C sin θ

Rektanguler ------>Polar

C =

A

θ = tan

2 −1

+ B B A

2

4.29

Huruf j dicantumkan ke dalam bentuk rektanguler untuk membedakan antara komponen real (horizontal) dan komponen imajiner (vertikal). Istilah real dan imajiner semata-mata berhubungan dengan definsi matematis dan tidak dijelaskan lebih lanjut disini. Untuk melakukan operasi matematis, huruf j didefinisikan sebagai

− 1 , sehingga, j = −1 j 2 = ( − 1 ) 2 = −1

j 3 = j 2 j 1 = (−1)( − 1 = − − 1 = − j j 4 = j 2 j 2 = ( −1)(−1) = +1 76

Walaupun pada operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk rektanguler, tetapi hanya operasi penjumlahan dan pengurangan yang akan dijelaskan dengan menggunakan bentuk ini. Sedangkan pada operasi perkalian dan pembagian akan dijelaskan dalam bentuk polar.

Perhatikan contoh berikut: Contoh 4.1. Konversikan bentuk polar berikut ke dalam bentuk rektanguler. a.

10∠53.13o

A = 10 cos 53.13 o = 10(0.6) = 6 B = 10 sin 53.13 o = 10(0.8) = 8 sehingga 10∠53.13o = 6 + j8

b. 16∠ − 30o A = 16 cos 30 o = 10(0.866) = 13.86 B = 16 sin 30 o = 10(0.5) = 8 sehingga 16∠30 o = 13.86 + j8

Konversikan bentuk rektanguler berikut kedalam bentuk polar a.

30 + j 40

C = (30) 2 + (40) 2 = 50

θ = tan −1

40 = 53.13 o 30

sehingga 30 + j 40 = 50∠53.13 o b. 4 − j 20

77

C = (4) 2 + (20) 2 = 20.4

θ = tan −1

20 = 78.69 o 4

sehingga 4 − j 20 = 20.4∠ − 78.69 o

4.5.1 Penjumlahan Dalam bentuk rektanguler penjumlahan dilakukan dengan menjumlahkan masing-masing bagian (real dan imajiner secara terpisah) ( A1 + jB1 ) + ( A2 + jB2 ) = ( A1 + A2 ) + j ( B1 + B2 )

4.30

Gambar 4.31 Contoh 4.2. Tentukan tegangan Ein pada rangkaian gambar 4.31. Jawaban: Dengan menerapkan HKT menghasilkan ein = v1 + v 2

Dalam bentuk phasor (nilai RMS):

V1 = 0.707(10V )∠0 o = 7.07V∠0 o V2 = 0.707(20V )∠0 o = 14.14V∠60 o Jika dinyatakan dalam bentuk rektanguler V1 = 7.07 + j 0 V2 = 14.14 cos 60 o + j14.14 sin 60 o

= 14.14(0.5) + j14.14(0.866) = 7.07V + j12.25V

sehingga 78

Ein

= (14.14V ) 2 + (12.25) 2 = 18.71V

θ = tan −1

12.25 = 40.9 o 14.14

dalam bentuk polar

Ein = 18.71V∠40.9 o dalam domain waktu ein = 2 (18.71) sin(ωt + 40.9 o ) = 26.46 sin(ωt + 40.9 o ) V1 = 10V∠30 o V2 = 3.6V∠30 o Ein = V1 + V 2 = 13.6∠30o V1 = 0.6V∠ − 20 o V2 = 1.8V∠160 o

gambar 4.32 Ei n = V1 + V2 = 1.2∠160 o

4.5.2 Pengurangan Mirip dengan penjumlahan pada operasi pengurangan berlaku ( A1 + jB1 ) − ( A2 + jB2 ) = ( A1 − A2 ) + j ( B1 − B2 )

4.31

Contoh 4.3. Tentukan arus i1 pada gambar 4.33. dalam bentuk rektanguler Jawaban: 79

gambar 4.33 Dengan menerapkan HKA maka IT=I1+I2 Maka I1 = I T − I 2 = 8 A∠90 o − 4 A∠45 o = (0 + j8) − (4 cos 45 o + j 4 sin 45 o ) = (0 + j8) − (2.828 + j 2.828) = (0 − 2.828) + j (8 − 2.828) I 1 = −2.828 A + j 5.172 A = 5.895 A∠118.67 o

dan i1 = 8.34 sin(ωt + 118.67 o )

gambar 4.34

4.5.3 Perkalian dan Pembagian (C1∠θ1 )(C 2 ∠θ 2 ) = C1C 2 ∠(θ1 + θ 2 )

(4.32) 80

C1∠θ C1 = ∠(θ1 − θ 2 ) C 2 ∠θ C 2

(4.33)

Jika besaran yang tersedia berbentuk rektanguler maka harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk polar: Contoh 4.4. Tentukan hasil dari operasi-operasi berikut: a. (10∠60 o )(6∠ − 20 o ) = (10(60)∠(60 o − (−20 o ) = 60∠40 o b. (0.4∠ − 30 o )(600∠60 o ) = (0.4)(600)∠(−30) + 60 o ) = 240∠30 o c. (40∠20 o ) /(5∠ − 30 o ) = 40 / 5∠(20 o − (−30 o ) = 8∠50 o Contoh 4.5. Tentukan hasil dari operasi-operasi berikut: (5 + j10)(6∠20 o ) 0. 2 − j 0. 8

a.

b. (0.2∠30 o )2(8 + j 6) Jawaban: a.

(5 + j10)(6∠20 o ) 0. 2 − j 0. 8

5 + j10 = 11.18∠63.43 o 0.2 − j 0.8 = 0.825∠ − 75.96 o (11.18∠63.43 o )(6∠20 o ) 67.08∠63.43 o = = 81.31∠159.39 o o o 0.825∠ − 75.96 0.825∠ − 75.96

b. (0.2∠30 o )2(8 + j 6) (0.2∠30 o )2 = (0.2∠30 o )(0.2∠30 o ) = 0.004∠60 o 8 + j 6 = 10∠36.87 o (0.04∠60 o )(10∠36.87 o ) = 0.4∠96.87 o

4.6 Phasor untuk Elemen RLC Akan dibahas penerapan aljabar phasor pada elemen-elemen R,L dan C. Ingat kembali gambar 4.26. 81

Z R = R∠0 o Z L = X L ∠90 o

4.34

Z C = X C ∠ − 90 o

Gambar 4.35 Perhatikan resistor pada gambar 4.35. Dengan mengacu tegangan yang tercantum maka arus yang melewatinya dapat ditentukan sebagai berikut: IR =

V V∠θ V V = = ∠θ − 0 o = ∠θ o Z R R∠0 R R

Perhatikan bahwa V dan I dalam keadaan sephasa karena keduanya mempunyai sudut yang sama yaitu Θ.

Gambar 4.36 Untuk induktor pada gambar 4.36, arus yang melaluinya adalah IL =

V V∠θ V = = ∠(θ − 90 o ) o Z L X L ∠90 XL

Hasilnya menunjukkan i tertinggal dari tegangan sebesar 90o sedangkan nilainya sebesar V/XL

Gambar 4.37

Sedangkan untuk kapasitor pada gambar 4.37. arusnya ditentukan dengan persamaan: IC =

V V∠θ V = = ∠(θ + 90 o ) o Z C X C ∠ − 90 XC 82

Contoh 4.6. Tentukan arus yang melewati sebuah resistor sebesar 20Ω jika tegangan yang diterapkan adalah 40 sin (200t+20o) Jawaban: Dalam notasi phasor V = (0.707)(40V )∠20 O = 28.28V∠20 o

dengan hukum Ohm I=

V 28.28V∠20 o = = 1.414 A∠20 o o ZR 20Ω∠0

dalam domain waktu

i = ( 2 )(1.414) sin(200t + 20 o ) = 2 sin(200t + 20 o ) Contoh 4.7.: Tentukan beda tegangan pada sebuah induktor 20mH jika arus yang mengalir adalah sebesar 10x10-3 sin (500t+60o) Jawaban: X L = ωL = (500rad / det)(20 x10 −3 H ) = 10000 x10 −3 Ω = 10Ω

Dalam notasi phasor I = (0.707 mA∠60 o ) = 7.07 mA∠60 o

dengan menerapkan hukum Ohm V = IZ L = (7.07 mA∠60 o )(10Ω∠90 o ) = 70.7 mV∠150 o

dalam domain waktu, tegangannya adalah

v = ( 2 )(70.7 x10 −3 ) sin(500t + 150o) = 100 x10 −3 sin(500t + 150 o ) = 0.1sin(500t + 150 o )

83

Gambar 4.38 Contoh 4.8. Tentukan arus yang melewati sebuah kapasitor sebesar 5 µF jika tegangan yang diterapkan adalah 40 sin 377t Jawaban: XL =

1 1 = = 530.5Ω ωC (377 rad / det)(5 x10 −6 F )

Notasi phasor V = (0.707)(20V∠0 o ) = 14.14V∠0 o

dengan menerapkan hukum Ohm I=

V 14.14∠0 o = = 0.0267 A∠90 o = 26.7 mA∠90 o o Z C 530.5Ω∠ − 90

arus dalam domain waktu iC = ( 2 )(26.7 x10 −3 ) sin(377t + 90 o ) = 37.75 x10 −3 sin(377t + 90 o )

4.7 Rangkaian Seri pada sistem bolak-balik Dalam rangkaian seri arus sepanjang rangkaian adalah sama sedang- kan total impedansi rangkaian adalah penjumlahan secara vektor dari impedansi masing-masing elemen. Sehingga Z T = Z 1 + Z 2 + Z 3 + ... + Z n

(4.35)

Mengacu gambar 4.39. reaktansi dari induktor adalah X L = ωL = (377 rad / s)(10.61 mH ) = 4Ω

84

gambar 4.39. akan membantu jika gambar 4.39. dinyatakan sebagai blok impedansi seperti ditunjukkan pada gambar 4.40

gambar 4.40. Dengan menggunakan persamaan 4.35. maka Z T = Z1 + Z 2

Substitusi nilai-nilai impedansi menghasilkan

Z T = (3Ω + j 0) + (0 + j 4Ω) = (3Ω + j 4Ω) = 5Ω∠53.13 o

Gambar 4.41. Diagram impedansi pada gambar 4.41. secara jelas memperlihatkan bahwa total impedansi dapat ditentukan secara grafis. Dengan menerapkan hukum Ohm

85

I=

E 120V∠ − 53.13 o = = 24 A∠ − 53.13o o ZT 5Ω∠53.13

dimana dalam domaian waktu i = 2 (24) sin(ωt − 53.13 o ) = 33.94 sin(ωt − 53.13 o )

Tegangan pada resistor V R = V1 = IZ 1 = (24 A∠ − 53.13o )(3Ω∠0 o ) = 72V∠ − 53.13o

dalam domain waktu v R = 2 (72) sin(ωt − 53.13 o ) = 101.81sin(ωt − 53.13 o )

Perhatikan bahwa vR dan I adalah sephasa jika keduanya mempunyai sudut yang sama. Tegangan pada induktor V L = V2 = IZ 2 = (24 A∠ − 53.13 o )(4Ω∠90 o ) = 96V∠36.87 o

dengan domain waktu v L = 2 (96) sin(ωt − 36.87 o ) = 135.74 sin(ωt − 36.87 o )

Gambar 4.42 Diagram phasor dari tegangan dan arus ditunjukkan pada gambar 4.42. Perhatikan bahwa tegangan E yang dikenakan adalah penjumlahan vektor VL dan VR sesuai dengan HKT E=VR+VL 86

Penggunaan hukum pembagian tegangan untuk menentukan VR (hal yang sama) menunjukkan nilai yang sama VR =

Z1 (E ) (3∠0 o )(120∠0 o ) 360∠0 o = = Z1 + Z 2 3 + j4 5∠53.13 o

Akan kita lihat secara hati-hati bentuk gelombang tegangan dan arus yang terdapat pada gambar 4.43. Terlihat bahwa VR dan iR sephasa sedangkan VL mendahului iL sebesar 90o. Karena rangkaian bersifat induktif perhatikan juga bahwa arus masukan juga tertinggal dengan tegangan masukan sebesar 53.13o. Semakin bersifat induktif sudut tertinggalnya semakin besar. Pada sembarang titik sumbu x, nilai sesaat e,vR,vL memenuhi hukum Ohm. Saat t=0 atau θ=0o, e=0 dan e=VR+VL sehingga 0=VR+VL dan VR=VL

Gambar 4.43 Daya rangkaian dapat ditentukan menggunakan persamaan berikut P = EI cos θ = I 2 R = VR I R =

2

VR R

(4.36)

dimana θ adalah sudut phasa antara arus dan tegangan 87

P = Ei cos θ = (120V)(24A) cos 53.13o P=(120V) (24A) (0.6) =1728W sementara P = I T R = (24 A) 2 (3Ω) = 1728W 2

Faktor daya rangkaian adalah

FP = cosθ = 0.6 ini menunjukkan bahwa rangkaian jauh dari sifat resitif murni tetapi tidak juga bersifat reaktif murni. Rangkaian seperti ini menyebabkan faktor daya tertinggal yang mengindikasikan rangkaian bersifat induktif. Untuk rangkaian dengan besar faktor daya yang sama tetapi mendahului ditambahkan label “leading”, jika hanya dituliskan Fp=0.6 berarti faktor daya =0.6 tertinggal. Untuk rangkaian seri faktor daya dapat juga ditentukan dengan FP =

R ZT

(4.37)

misalnya FP =

3 = 0.6 5

Kadangkala, pada praktek, suatu rangkaian didesain bahwa pada range frekuensi tertentu reaktansi induktif lebih besar dari pada impedansi serinya. Sebagai contoh XL =400 Ω dan R= 3Ω, total impedansi adalah Z T = R2 + X L = (3Ω)2 + (400Ω)2 = 400Ω 2

sehingga rangkaian secara praktek seakan induktif murni

FP =

R 3 = = 0.0075 ≅ 0 Z 400

Berikutnya akan kita bahas rangkaian seri RLC seperti ditunjukkan pada gambar 4.44. substitusi blok impedansi ke masing-masing elemen ditunjukkan pada gambar 4.45. sedangkan total impedansinya adalah

88

Z T = Z1 + Z 2 + Z 3 = (5kΩ + j 0) + (0 + j 4kΩ) + (0 − j16kΩ) = 5kΩ + j 4kΩ − j16kΩ = 5kΩ − j12kΩ = 13kΩ∠ − 67.38 o

Gambar 4.44

Gambar 4.45 Diagram impedansi rangkaian ini ditunjukkan pada gambar 4.46. Perhatikan bahwa reaktansi induktif dan reaktansi kapasitifnya saling oposan, selisihnya adalah netto reaktansi dari rangkaian. Arus rangkaian adalah I =

E 60V∠0 o = = 4.615mA∠67.38 o Z T 13kΩ∠ − 67.38 o

i = 2 (4.615 x10 −3 ) sin(ωt + 67.38 o ) = 6.53 x10 −3 sin(ωt + 67.38 o )

89

Gambar 4.46 Tegangan pada masing-masing elemen dapat ditentukan secara langsung menggunakan hukum Ohm

v R = IR = (4.615mA∠67.38 o )(5kΩ∠0 o ) = 23.075V∠67.38 o ) v L = IZ L = (4.615mA∠67.38 o )(4kΩ∠90 o ) = 18.46V∠157.38 o ) vC = IZ C = (4.615mA∠67.38 o )(16kΩ∠ − 90 o ) = 73.84V∠ − 22.62 o ) Diagram phasor dari rangkaian ditunjukkan pada gambar 4.47. Terlihat bahwa vL dan vC merupakan vektor oposisi sedangkan I tertinggal dari vL sebesar 90o serta mendahului vC sebesar 90o dan sephasa dengan vR.

Gambar 4.47. Tegangan-tegangan tersebut dapat juga ditentukan menggunakan hukum 90

pembagian tegangan sehingga tidak memerlukan dihitungnya I terlebih dahulu. VL =

Z 2 (E) (4kΩ∠90 o )∠0 o ) 240∠90 o = = Z 1 + Z 2 + Z 3 13 x10 3 ∠ − 67.8 o 13∠ − 67.38 o

dalam domain waktu berbentuk v L = 2 (18.46) sin(ωt − 157.38 o ) = 26.1sin(ωt − 157.38 o )

Daya rangkaian P = EI T cos θ

= (60V )(4.615mA) cos 67.38 o = 106.5mW

atau P = I 2R = (4.615mA)2(5kΩ) = 106.5mW

sedangkan faktor daya rangkaian adalah FP = cos θ = cos(67.38 o ) = 0.3846 leading

atau FR =

R 5kΩ = = 0.3846 leading Z T 13kΩ

4.8 Paralel Analisis terhadap rangkaian paralel ac sangat mirip dengan apa yang kita lakukan pada saat menganalisis rangkaian paralel dc. Kebalikan dari suatu impedansi yang disebut sebagai admitansi didefinisikan sebagai persamaan berikut, dengan satuan siemens: Y=

1 Z

(4.38)

91

Gambar 4.51 Untuk paralel rangkaian AC seperti ditunjukkan pada gambar 4.51. total nilai admitansinya ditentukan dengan persamaan YT = Y1 + Y2 + Y3 + .... + Yn

(4.390

atau 1 1 1 1 1 = + + + ..... + Z T Z1 Z 2 Z 3 Z4

(4.40)

dalam kasus hanya terdapat dua impedansi maka persamaan menjadi ZT =

Z1Z 2 Z1 + Z 2

(4.41)

Tegangan pada semua cabang bernilai sama, dan total arus masukan dapat ditentukan dengan HKA atau dengan cara menentukan total impedansi (atau admitansi) input dilanjutkan dengan memanfaatkan hukum ohm. Kebalikan dari nilai resistansi dalam sistem ac adalah konduktansi serta mempunyai sudut 0o sebagaimana persamaan berikut

YR = G∠0 o =

1 R∠0 o

(4.42)

Kebalikan reaktansi adalah suseptansi dengan satuan siemen. Notasi dan sudut untuk masing-masing komponen dinyatakan pada persamaan 4.43 dan persamaan 4.44. Istilah suseptansi didapat dari kata suseptibel YL = BL ∠ − 90 o =

1 X L ∠90 o

(4.43)

YC = BC ∠ − 90 o =

1 X C ∠90 o

(4.44)

Diagram admitansi dari suatu rangkaian RLC didefinisikan seperti nampak pada gambar 4.52. 92

Gambar 4.52 Perhatikan paralel RLC pada gambar 4.53. Substitusi blok impedansi dinyatakan pada gambar 4.54. Total admitansi dan impedansi dapat ditentukan sebagai YR =

1 1 1 = = = 0.333mS∠0 o o o Z R R∠0 3kΩ∠0

YR =

1 1 1 = = = 0.333mS∠0 o o o Z R R∠0 3kΩ∠0

dan

YT = YR + YL = 0.333mS∠0 o + 0.250mS∠ − 90 o = 0.333mS − j 0.250mS = 0.416mS∠ − 36.9 o atau Z T =

1 1 = = 2.4kΩ∠36.9 o YT 0.416mS∠ − 36.9 o

atau Z T =

ZRZL (3kΩ∠0 o )(4kΩ∠90 o = ZR + ZL 3kΩ + j 4kΩ

Diagram admitansinya ditunjukkan pada gambar 4.55. Perhatikan bahwa total admitansi dapat ditentukan dengan menggunakan aljabar vektor yang sederhana. Arus I adalah

I=

E 120V∠0 o = = 50mA∠ − 36.9 o o Z T 2.4kΩ∠36.9

= 50mA∠ − 36.9 o atau

93

I=

E = E (YT ) = (120V∠0 o )(0.416mS∠ − 36.9 o ) ZT

= 50mA∠ − 36.9 o

Arus yang melintasi masing-masing elemen dapat ditentukan dengan hukum Ohm: I R = EYR =

E 120V∠0 o = = 40mA∠0 o o Z R 3kΩ∠0

I L = EYL =

E 120V∠0 o = = 30mA∠ − 90 o Z L 4kΩ∠90 o

dan

Gambar 4.53

Gambar 4.54

Gambar 4.55 Diagram phasor arus dan tegangannya dapat digambarkan pada gambar 4.56. Perhatikan bahwa IR sephasa dengan E dan IL tertinggal dari dari tegangan E sebesar 90o. 94

I=IR+IL

Gambar 4.56. Daya yang disalurkan ke rangkaian dapat ditentukan dengan persamaan yang sama seperti pada rangkaian seri P = EI cos θ T = IR 2 =

2

VR = VR I R R

(4.45)

dimana semua tegangan dan arus dalam bentuk nilai RMS Untuk contoh ini P = EI cos θ T = (120)(50mA) cos 36.9 o = (6)(0.7997) = 4.8W

atau 2

P=

VR E 2 (120V ) 2 = = = 4.8W R R 3kΩ

Faktor daya untuk rangkaian paralel dapat ditentukan dengan persamaan berikut FP = cos θ T =

G YT

pada contoh ini hasilnya adalah FP = cos θ T = cos 36.9 o = 0.8lagging

atau FP =

G 0.333x10 −3 = = 0.8lagging YT 0.416 x10 −3

Istilah lagging menyatakan bahwa tegangan input mendahului arus input. Berikutnya akan dibahas rangkaian paralel RLC yang ditunjukkan pada gambar 4.57 95

Gambar 4.57. Admitansi masing masing elemen pada gambar 4.57. b adalah YR =

1 1 = = 0 . 5 S ∠0 o Z R 2Ω∠0 o

YL =

1 1 = = 1S∠ − 90 o Z L 1Ω∠90 o

YC =

1 1 = = 0.2 S∠90 o o Z C 5Ω∠ − 90

Sehingga total admitansinya adalah

YT = YR + YL + YC = (0.5S + j 0) + (0 − j1S ) + (0 + j 0.2 S ) = 0.5S + j (−1S + 0.2 S ) = 0.5S − j 0.8S = 0.943S∠ − 58 o dan ZT =

1 1 = = 1.06∠58 o YT 0.943S∠ − 58 o

untuk mempermudah paralel dua elemen R dan L menghasilkan

Z 'T = Z R Z L =

ZRZL ZR + ZL

dan

96

Z T = Z 'T Z C =

Z 'T Z C = 1.06Ω∠58 o Z 'T + Z C

Diagram admitansinya ditunjukkan pada gambar 4.58.

Gambar4.58 Perhatikan bahwa rangkaian bersifat lagging, sehingga tegangan input meninggalkan I. Arus rangkaian ditentukan dengan hukum Ohm I=

E = E (YT ) = (20mV∠100 o )(0.943∠ − 58 o ) ZT

= 18.86mA∠42 o

dalam domain waktu i = 2 (18.86 x10 − 3) sin(ωt + 42 o ) = 26.67 x10 − 3 sin(ωt + 42 o )

Arus yang melintasi masing-masing elemen dapat ditentukan dengan hukum Ohm IR =

E 20mV∠100 o = = 100mA∠100 o ZR 2 Ω∠0 o

IL =

E 20mV∠100 o = = 20mA∠10 o ZL 1Ω∠90 o

IC =

E 20mV∠100 o = = 4mA∠190 o o ZC 5Ω∠ − 90

Total arus dapat juga ditentukan dengan HKA 97

I=IR+IL+IC Diagram phasor rangkaian ditunjukkan pada gambar 4.59.

Gambar 4.59 Daya rangkaian dapat ditentukan dengan persamaan terdahulu sehingga P = Ei cos θT = (20mV) (18.86mA) cos (100o-42o) = (377.2x10-6) (cos 58o) = (377.2x10-6) (0.5299) = 200µW atau

P=

E 2 (20mV ) 2 400 µW = = = 200 µW R 2Ω 2

Sedangkan faktor dayanya adalah FP = cos θ T = cos 58 o = 0.5299lagging

260 98

4.9 Daya pada Tegangan Sinusoidal Dalam rangkaian bolak-balik hanya elemen resistif saja yang menyerap energi listrik. Elemen reaktif murni menyimpan energi dalam bentuk medan magnet dan dapat dikembalikan ke dalam sistem. Berapa total watt yang diserap adalah jumlah yang diserap oleh elemen-elemen resistif yang ada, perhatikan persamaan 4.55.

Gambar 4.97. Koneksi wattmeter (alat pengukur daya) ditunjukkan pada gambar 4.97. Terminal tegangan mengukur level tegangan, sedangkan terminal arus menunjukan level arusnya. Wattmeter telah memperhatikan efek sudut daya (cos θ) dalam hal ini angka yang ditunjukkan alat adalah bersatuan watt. Meskipun dalam konsep daya AC tidak mengenal disipasi energi oleh elemen reaktif, energi listrik tertentu diambil dari pasokan dan disimpan dalam bentuk medan magnet atau medan listrik. Tentu saja energi ini dapat dikembalikan kedalam sistem tetapi pada waktu sesaat hal ini akan menaikkan arus pasokan ke elemen reaktif tersebut. Kenaikan arus ini menyebabkan generator pemasok untuk mengatasinya. Pada tingkat tegangan yang tetap kenaikan arus mengharuskan kenaikan penyediaan daya maksimum sesaat. Kenaikan arus maupun daya akan menyebabkan kenaikan biaya peralatan maupun biaya produksi atas energi yang diperlukan. Perbedaan antara energi yang diserap sistem dengan energi yang diserap elemen resistif dinyatakan dalam faktor daya (power factor = FP) (FP= cos θ). Untuk sistem dengan FP=1, semua daya yang dipasok 99

didisipasi oleh sistem, pemakaian elemen reaktif yang lebih banyak menyebabkan FP mendekati nol dan semakin banyak energi disimpan oleh elemen reaktif sistem. Perkalian EI -yang tidak tergantung dari berapapun energi terserap dan disimpan-, disebut sebagai daya semu (S = apparent power) dari suatu sistem bolak-balik dengan satuan volt-ampere(VA). Untuk rangkaian 4.97. daya semu ditentukan dengan persamaan 4.56 S = EI (volt − ampere(VA))

(4.56)

Arus I, adalah arus yang harus dipasok oleh sumber termasuk bagian yang akan diubah menjadi simpanan elemen reaktif. Semakin besar arus mengalir, industri mengeluarkan lebih banyak biaya untuk daya semu dari biaya

Gambar 4.98

Hubungan antara daya real dan daya semu, dinyatakan dalam segitiga seperti ditunjukkan pada gambar 4.98., komponen dari segitiga ini adalah daya reaktif dengan satuan volt-ampere reaktif (VAR) dimana besarnya dinyatakan dengan persamaan: Q = EI sin θ

(4.XX)

Daya reaktif adalah ukuran dari daya masukan yang diabsorbsi (bukan didisipasi) oleh elemen reaktif. Pada pasokan dengan tegangan tetap semakin kecil daya ini menyebabkan arus pasokan yang lebh kecil juga. Efisiensi sistem tertinggi dicapai pada saat Q=0 atau P=S Untuk beberapa rangkaian, total daya reaktif secara sederhana adalah selisih antara komponen kapasitif dan komponen induktif 100

sebagaimana persamaan berikut: 2

QL = I L X L =

VL = VL I L XL

QC = I C X C =

VC = VC I C XC

2

(4.xx)

2

2

(4.xx)

Untuk suatu rangkaian dengan VAR kapasitif sama dengan VAR induktif, netto daya reaktif adalah sama dengan nol, dengan kata lain daya real dan daya semu bernilai sama. Karena PT = EI COS θ = S T COS θ = S T FP

(4.xx)

maka dapat kita tentukan FP =

PT ST

(4.xx)

dimana PT dan ST merepresentasikan total masing-masing besaran sistem. Contoh 4.9. Dari tegangan dan arus yang diperlihatkan pada rangkaian gambar 4.99 tentukan: a. Total daya yang diserap b. Netto daya reaktif c. Total daya semu d. PF dari rangkaian

Gambar 4.99 Jawaban: a. Daya yang diserap hanyalah daya yang dipakai oleh elemen resistif sehingga: 101

PT = I 2 R = (12 A) 2 (10Ω) = (144)(10) = 1440W

b. QC = I 2 X C = (3 A) 2 (40Ω) = (9)(40) = 360VAR (kapasitif ) Q L = I 2 X L = (6 A) 2 (20Ω) = (36)(20) = 720VAR (induktif ) QT = QL − QC = 720 − 360 = 360VAR (induktif )

c. S T = PT + QT 2

2

= (1440 w)2 + (360 w)2 ≅ 1484VA d. FP =

PT 1440 W = =0.97 S T 1484 VA

4.10 Koreksi Faktor Daya Pada suatu rangkaian yang bekerja pada efisiensi tertinggi, arus yang ditarik dari sumber dapat dikurangi ke titik minimalnya, jika tegangan sumber tetap. Sehingga daya semu sistem yang hanya ditentukan dari perkalian arus dan tegangan dapat dijaga agar tetap minimum. Karena S T = EI T = PT + QT , netto komponen reaktif beban yang 2

2

lebih kecil dalam keadaan PT yang tetap, akan menyebabkan mengecilnya daya semu dan naiknya faktor daya dari rangkaian ( =

PT ). Konsep ST

koreksi faktor daya adalah usaha yang dilakukan terhadap sistem untuk memastikan agar faktor daya bernilai maksimum, mendekati nilai satu jika memungkinkan dengan cara mengurangi netto komponen reaktif dari pembebanan sistem. Seperti ditekankan didepan hasil akhirnya adalah pengurangan arus yang ditarik oleh sistem dari sumber. Sebagai contoh penerapan adalah penggunaan elemen kapasitiif untuk memperbaiki faktor daya sistem dengan suatu faktor daya tertinggal akibat beban induktif seperi motor-motor, trafo dan lain-lain. 102

Contoh 4.10. Sebuah motor dengan daya 2.2HP memiliki PF 0.8 lagging dengan efisiensi 76%, jika dihubungkan ke sumber 208V, 60HZ. Tentukan besarnya kapasitansi yang harus di paralel dengan motor untuk menaikkan PF menjadi satu. Jawaban:

PO = 2.2 HP = (2.2)(746W / HP) = 1641.2W PO P 1641.25W dan Pi = O = = 2159.47W Pi 0.76 η

η=

FP = cos θ = 0.8

θ = cos− 10.8 = 36.87 o tan θ =

QL Pi

Q L = Pi tan θ = 2159.47(tan 36.87 o ) = 2159.47(0.75) = 1619.6 VAR Sudut daya beban diperlihatkan pada gambar 2.100 agar PF =1 maka harus ditambahkan VAR kapasitif sebesar var induktifnya sehingga QC=QL=1619.6VAR 2

QC =

VC E2 = XC XC

dan XC =

E2 (208V ) 2 43.26Ω = = = 26.71Ω QC 1619.6 VAR 1619.6

tetapi XC =

1 2πfC

sehingga C=

1 1 = = 99.31µF 2πfX C 2π (60 HZ )(26.71Ω)

103