29 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI ...

39 downloads 188 Views 431KB Size Report
Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk- produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA.

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.23 Peristiwa berikutnya yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.24 1. Perlindungan

konsumen

dari

bahaya

terhadap

kesehatan

dan

keamanannya. 2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen. 3. Tersedianya

informasi

yang

mencukupi

sehingga

memungkinkan

dilakukannya pilihan sesuai kehendak. 4. Pendidikan konsumen. 5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

23 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan (Bandung : Alumni, 1981) hal. 47. 24 Az. Nasution “Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986. hal. 57.

29

Universitas Sumatera Utara

6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan 9 materi rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :25 1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar; 2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak; 3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan; 4. Peraturan tentang perilaku/tindakan penjual, yang meliputi petunjuk, arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan; 5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk; 6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi); 7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan; 8. Peraturan tentang harga; 9. Pembetulan; Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers Unions

25

Ibid, hal. 11.

30

Universitas Sumatera Utara

(IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari Hak Konsumen sedunia.26 Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produkproduk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan perUndang-Undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut :27 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaiakan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya. 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri. 4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-Cara Analisis dan Syarat-Syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri. 26

Imelda Martinelli, “Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen”, Era Hukum No. 11/Th 3/1997, hal.66. 27 Sutedi, op cit, hal. 4-5.

31

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara teoritis , pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan citacita itu. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik Indonesia masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Setelah itu , sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang perlindungan konsumen (UUPK) dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya

32

Universitas Sumatera Utara

karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen disahkan secara resmi menjadi UndangUndang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Untuk hadirnya suatu Undang-Undnag tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri atas 15 bab dan 65 Pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang Undang-Undang ini dikumandangkan(tahun 1975 sampai dengan tahun 2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari Undang-Undang

ini (selanjutnya

merupakan

tugas Badan Perlindungan

Konsumen Nasional (BPKN). Sekalipun demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keternukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang

33

Universitas Sumatera Utara

lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non”28.29 Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Dalam aktivitas kegiatan usaha, kepentingan-kepentingan konsumen itu lahir karena adanya peranan konsumen yang telah memberikan sumbangan besar kepada pengusaha sebagai penyedia dan produk. Konsumen juga telah memberikan sumbangan besar kepada pelaku usaha dari barang –barang dan jasa yang dibelinya, yang merupakan pihak yang menentukan dalam pemupukan modal yang diperlukan oleh pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dan pada

akhirnya

konsumen menjadi penentu

dalam

menggerakkan

roda

perekonomian. Hukum perlindungan konsumen sangat berpengaruh dalam era globalisasi yang kehidupan masyarakatnya semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dalam setiap kemajuan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang beraneka ragam dan kompleks. Mengingat sedemikian

28

“Setiap fakta atau peristiwa merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan tanpa meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta termaksud, kerugian tidak akan terjadi”, sumber Hukum Asuransi & Perusahaan Asuransi, Sri Rejeki Hartono, Sinar Grafika, Jakarta, 1997,http://kamushukum.com., diakses pada tanggal 16 Januari 2011. 29 Ibid, hal. 6.

34

Universitas Sumatera Utara

kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di dalam masyarakat maka dilakukanlah berbagai upaya hukum guna memberikan solusi dalam setiap permasalahan tersebut,o!eh karena itu dibuatlah hukum perlindungan konsumen. Pelanggan merupakan konsumen dari jasa pelayanan telekomunikasi, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia komunikasi, pihak pelanggan merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia komunikasi bersandar pada kepercayaan dari pihak masyarakat atau pelanggan.30 Kegiatan penyediaan produk oleh pengusaha dan penggunaan produk oleh konsumen, dalam berbagai kemungkinan bentuk hukumnya , dijalankan oleh subjek hukum pengusaha, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan subjek hukum konsumen. Hubungan hukum tersebut tentu saja harus diatur oleh peraturan perUndang-Undangan agar konsumen dapat dilindungi hak-hak dan kepentingannya. Untuk menarik minat konsumen dalam membeli produknya, para penyedia layanan (provider) telekomunikasi membuat berbagai cara dan strategi demi terpenuhinya target produksi dari perusahaan, yang juga memberikan keuntungan yang signifikan agar dapat menguasai pasar. Dengan berdasar hal tersebut, para provider telekomunikasi menjadi lebih profit oriented dalam menjalankan bisnisnya dan mulai menerobos etika maupun koridor-koridor periklanan. Iklan sudah berkembang dari aktifitas bisnis kecil-kecilan hingga didominasi bisnis raksasa, ketika pendapatan iklan telah mencapai 100 milyar dolar, atau 2 30

Indah Suri Oliviarni “Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap pelanggan Sambungan Telekomunikasi di PT. Telkom Riau Daratan.” http://www.researchgate.net, di akses pada tanggal 10 Mei 2011.

35

Universitas Sumatera Utara

persen dari produk nasional bruto AS, eksekutif periklanan yang terdahulu, melihat kembali pada praktik-praktik mereka dan mengakui bahwa satu-satunya nilai riil dari profesi adalah menimbun uang.31 Di Indonesia, dalam kuartal pertama tahun 2009, pembelanjaan iklan telah mencapai ratusan milyar. Sector industri telekomunikasi, tercatat menghabiskan uang sebanyak Rp.253 miliar untuk belanja iklan di media televisi pada kuartal tahun 2009. Hal tersebut mencerminkan bahwa, iklan merupakan sebuah pengeluaran yang sangat besar bagi para perusahaan demi mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Keluhan terhadap layanan telekomunikasi menduduki peringkat tertinggi untuk tahun 2010, disusul disusul industri perbankan, perumahan, listrik dan transportasi. Ini harus menjadi perhatian karena per tahun, peringkat keluhan terhadap jasa layanan telekomunikasi terus meningkat yaitu, keenam di 2008, keempat di 2009 dan pertama di 2010. Menkominfo sendiri pernah memberikan langkah-langkah untuk menjadi “Konsumen Telkom Yang Cerdas”, jika terjadi gangguan layanan telekomunikasi adalah: 1. Menghubungi layanan konsumen operator yang digunakan dengan berbagai saluran yang disediakan. 2. Jika keluhan belum terlayani, pengguna bisa menghubungi lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lainnya, untuk mengadvokasi keluhan tersebut. 31

Val E. Limburg, Electronic Media Etics- Etika Media Elektronik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal. 217.

36

Universitas Sumatera Utara

3. Jika masih belum puas, tidak ada larangan untuk menuliskannya ke media massa, sosial media, atau media lainnya sebagai pengingat. 4. Hubungi layanan pengaduan yang dimiliki oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), baik melalui situs resmi mereka, SMS melalui

nomor

telepon

08158930000,

atau

melalui

email

ke

[email protected]. Sejatinya di negara ini, konsumen telekomunikasi belum mendapatkan perlindungan yang optimal atas penggunaan jasa layanan telekomunikasi. Beberapa regulasi yang ada tidak serta merta menguatkan implementasi di lapangan tentang penegakan hukum yang berlaku. Konsumen atau pelanggan selama ini masih dijadikan obyek bukan subyek.

B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.32

32

Bandingkan konsideran huruf d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

37

Universitas Sumatera Utara

Apabila diperhatikan dalam penjelasan Bab sebelumnya, dapat di perhatikan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangktu bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya menghadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha. Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menetukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen. Di samping itu juga ada kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/ kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada Undang-Undang ini ,”konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar”.33 Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan :

33

UN General Assembly Resolution 39/248 tanggal 9 April 1985, “...recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels and bargaining power”.

38

Universitas Sumatera Utara

1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/ jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha. 3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen

tersebut.

Selanjutnya,

apabila

digunakan istilah konsumen dalam Undang-Undang, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Undang-Undang ini mendefenisikan konsumen (Pasal 1 angka 2) sebagai berikut : ”setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.” Sedangkan pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat UndangUndang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut :34

34

Ibid, hal. 11.

39

Universitas Sumatera Utara

1. kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/ badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuat pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 3. Distibutor,

yaitu

pelaku

usaha

yang

mendistribusikan

atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut udara), kantor pengacara dan sebagainya.

C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Asas perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 2 dimana berbunyi “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.Dimana yang dimaksud dengan asas-asas diatas adalah :35 1. Asas manfaat 35

Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,http://www. Tunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen./. diakses pada tanggal 12 Januari 2011.

40

Universitas Sumatera Utara

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. 2. Asas keadilan Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. 3. Asas keseimbangan Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Kelima asas yang disebutkan yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

41

Universitas Sumatera Utara

1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. asas kepastian hukum. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,36 yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.37 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perUndang-Undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu 36

Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta, Chandra Pratama, 1996), hal. 95. 37 Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997, hal. 28.

42

Universitas Sumatera Utara

dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya. 38 Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan :39 “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.” Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya :40 “Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak,

yaitu konsumen, pelaku usaha, dan

pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik 38

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hal. 95-96. Ibid., hal. 96. 40 Ibid. 39

43

Universitas Sumatera Utara

yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetap melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan. Keseimbangan perlindungan antara pelaku

usaha dan

konsumen

menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingankepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana control social.41 Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban social. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang 41

Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, Harvard Universitas, Cambridge, 1962, hal. 11., dikutip dari; Peter Mahmud Marzuki, Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hal. 3.

44

Universitas Sumatera Utara

merupakan modus survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama.42 Dalam hubungan inilah

kepentingan

pemerintah

sebagaimana

dimaksudkan

dalam

asas

keseimbangan di atas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi. Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perUndang-Undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi pembukaan dan Pasal 33 UUD1945, serta dalam GBHN dan dalam pelaksanaanya, termasuk UndangUndang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Menyangkut

asas

keamanan

dan

keselamatan

konsumen

yang

dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan 42

J. H. P. Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetwenschap in Nederland, Dekker & Van de Vegt, Utrecht-Nederland, 1952, hal. 13, dikutip dari; Peter Mahmud Marzuki, Eksistensi Hukum Ekonomi, Makalah, Universitas Airlangga Surabaya, tanpa tahun, hal. 3-4.

45

Universitas Sumatera Utara

konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Memperhatikan uraian tentang asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen tersebut, demikian pula hubungannya dengan substansi Pasal 1 angka 1 dalam bab sebelumnya, maka tidak dapat diragukan bidang hukum ini berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud. Di dalamnya mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/ atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu dimana harus menhormati “hak dan kepentingan pihak lain”.43 Oleh karena hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan-kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini, 43

Sri Redjeki Hartono, menyongsong Sistem Hukum Ekonomi yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hal. 7172.

46

Universitas Sumatera Utara

maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas “maksimalisasi” dan “efisiensi”. Melalui asas ini suatu aturan yang hendak diambil/ diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak, demikian pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi waktu, biaya, dan tenaga. Asas-asas hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 kelompok diatas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.” 44 Hukum Perlindungan konsumen memiliki tujuan yang diantaranya adalah :45 1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri 2. mengangkat

harkat

dan

martabat

konsumen

dengan

cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 44

Himawan, Ch., Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan. No. 5. tahun XXI, Oktober 1991, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 435. 45 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Ed. 1-4, (Jakarta. PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 33-34.

47

Universitas Sumatera Utara

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum

dan keterbukaan informasi serta

akses untuk

mendapatkan informasi; 5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Achmad Ali mengatakan

masing-masing Undang-Undang memiliki

tujuan khusus.46 Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

46

Ibid, hal. 34.

48

Universitas Sumatera Utara

sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapata kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menetukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.47

D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia melingkupi dua hal yaitu perlindungan konsumen yang muncul dari perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan oleh negara

47

Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum, (Jakarta: Yarsif Watampon, 1998), hal.191.

49

Universitas Sumatera Utara

melalui ketentuan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen. Ada pun penjelasan hal tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bentuk perlindungan konsumen dalam perjanjian. Yang dimaksud dengan perjanjian pada umumnya adalah berdasarkan defenisi dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih. Pengikatan ini, seperti telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUHPerdata dirumuskan dalam bentuk : a. kesepakatan yang bebas; b. dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak; c. untuk melakukan suatu prestasi tertentu; d. prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (atau biasa disebut dengan klausula yang halal).48 Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai di antara mereka, selama dan sepanjang para pihak tidak melanggar ketentua mengenai klausa yang halal. Artinya, ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan

48

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 51-52.

50

Universitas Sumatera Utara

dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat. Seperti telah diuraikan di atas, pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lain. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang “kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas kalusula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.

51

Universitas Sumatera Utara

Klausula baku umumnya dikenal sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku. Dimana klausula baku disiapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga isinya sudah tentu lebih menguntungkan pelaku usaha sedangkan konsumen hanya dihadapkan pada 2 pilihan yaitu : a. Apabila konsumen membutuhkan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka setujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang telah disiapkan pelaku usaha (take it) ; b. Apabila konsumen tidak menyetujui syarat-syarat baku yang ditawarkan tersebut maka jangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bersangkutan (leave it). Di seluruh dunia, dengan sistem kenegaraan yang berbeda baik sistem individualisme maupun sosialisme berusaha mengarahkan perjanjian baku agar tidak merugikan konsumen. Ada 2 alasan yang menyebabkan harus diaturnya perjanjian baku antara lain : a. Pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab di dalam hukum perjanjian. b. Mencegah agar

pelaku

usaha,

sebagai pihak

yang

kuat

tidak

mengeksploitasi konsumen sebagai pihak yang lemah. Ketentuan mengenai klausula baku tersebut diatas tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata. KUHPerdata hanya mengatur tentang perjanjian secara umum dan jenis-jenis perikatan lain yang dikenal sewaktu KUHPerdata

52

Universitas Sumatera Utara

dibuat seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, penanggungan dan pemberian kuasa. Tinjauan mengenai klausula baku dalam KUHPerdata sebatas berlakunya klausul yang memberatkan dalam perjanjian baku dengan aturan-aturan dasar mengenai perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Terhadap adanya klausula yang memberatkan dalam KUHPerdata haruslah ditinjau dari Pasal 1337, 1338, dan 1339. 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Secara keseluruhan perlindungan konsumen terdapat dalam UndangUndang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan agar hak-hak yang dimiliki konsumen tidak dirugikan. Dalam Undang-Undang no. 8 tahun 1999 diatur mengenai hak dan kewajiban baik konsumen ataupun pelaku usaha yang terdapat dalam bab III Pasal 4 sampai dengan 7, dengan tujuan agar pihak konsumen dan pelaku usaha dapat mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan haknya. Selain itu juga terdapat pengaturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan di aturnya mengenai perbuatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha bisa mengantisipasi pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Secara

53

Universitas Sumatera Utara

garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu :49 a. Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen; b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar atau tidak akurat yang menyesatkan konsumen. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dari ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 yang berhubungan dengan berbagai macam larangan dalam mempromosikan barang atau jasa tertentu, serta ketentuan Pasal 17 yang khusus diperuntukkan bagi perusahaan periklanan.50 Dalam Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai ketentuan pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Pasal 18, dimana apabila konsumen menerima perjanjian baku yang telah dibuat oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu Pasal, yaitu Pasal 18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur

49

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal. 39. 50 Ibid., hal. 40.

54

Universitas Sumatera Utara

larangan pencantuman klasula baku, dan Pasal 18 ayat (2) mengatur “bentuk” atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan : a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tundukanya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

55

Universitas Sumatera Utara

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klasula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau memiliki format sebagaimana dlarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan

56

Universitas Sumatera Utara

Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini. Apabila pelaku usaha melanggar hak dan kewajiban serta melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha terhadap konsumen. Maka konsumen dapat meminta tanggung jawab kepada pihak pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang no. 8 tahun 1999 melalui cara menggugat pelaku usaha yang diatur dalam bab X Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang no. 8 tahun 1999. Dimana konsumen dan pelaku usaha dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan yang diatur dalam Pasal 47 melalui badan Penyelesaian Sengketa yang diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 58 atau menyelesaikan sengketa melalui pengadilan yang terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tuntutan yang di peruntukkan bagi pelaku usaha tidak hanya tuntutan secara perdata akan tetapi apabila pelaku usaha terbukti melakukan tindak pidana maka pelaku usaha juga dapat dituntut secara pidana melalui jalur pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 61 sampai Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dimana pertanggungjawaban pidana tidak hanya dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaannya.

57

Universitas Sumatera Utara