6 respons pondok pesantren perkotaan terhadap ... - WordPress.com

20 downloads 467 Views 270KB Size Report
1 Alumni Pascasarjana STAIN Jember ... pendidikan Islam di Kabupaten Jember. ...... “Saya mendirikan STAIQOD untuk memberikan pendidikan yang murah ...
Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

RESPONS PONDOK PESANTREN PERKOTAAN TERHADAP GLOBALISASI DI KABUPATEN JEMBER Oleh: Hindanah1

Abstrak

Globalization has widely hit nearly every corner of countries in the world with no exception for Indonesia. Globalization is a certainty and inevitable. We moves forward, be inactive or even go back, globalization will still ambush us. None space is unaffected by globalization including the educational space especially the pesantren education. Like or dislike, Islamic boarding schools (pesantren) must respond to the globalization quickly, appropriately and wisely. As an independent institution, a pesantren is free to determine its attitudes towards globalization. On the basis of this reasoning, many pesantrens have decided to maintain the salafyness by focusing on religious studies, but not few have tried to combine salaf with modern education. The responses of pesantrens to globalization are indeed dependent on the individuality of the kiai as the founder, owner and director of the pesantren. If in the previous years, most schools had only madrasas, now Islamic boarding schools also have public schools that are science-technology and skills development oriented. However, pesantrens still consider that Tafaqquh fiddin is the main purpose of a student boarding in a pesantren. Meanwhile, to counter the negative impacts of globalization, pesantrens prohibit students to carry mobiles and perform extra tight supervision on the use of Internet, fashion, drugs, and premarital sex. Key Words: Globalization, Pesantren, Tafaqquh Fiddin

Pendahuluan Istilah globalisasi memiliki sejarah menarik. Sekitar dua dekade silam, kata itu hampir tidak pernah digunakan dalam dunia akademis maupun pers.2 Kini, globalisasi menjadi wacana publik yang menarik perhatian sejumlah pihak. Wacana seputar globalisasi dapat dijumpai dalam bentuk buku, artikel, seminar, simposium, dan wahana-wahana ilmiah lainnya. Substruktur suatu bangsa yang sekarang mencakup MNCs mempunyai “kekuatan” yang luar biasa untuk memaksa pemerintah negara “berdaulat” untuk melaksanakan kehendaknya. Ironisnya, proses yang disebut sebagai penjajahan kulit putih oleh Prof. T. Jacob, terjadi dengan dukungan lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia dan bahkan PBB yang pada era globalisasi ini cenderung lebih membela kepentingan negara superpower daripada negara berkembang yang dikucilkan.3 Kini telepon genggam (HP) bagi sebagian besar masyarakat merupakan bagian integral organ tubuh dan kinerja pikirannya. Orang kian tak memiliki suasana kesendirian. Tak ada ruang dan waktu tanpa kehadiran orang lain meski virtual, diwakili oleh gambar, 1

Alumni Pascasarjana STAIN Jember Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan. dan Yustina Koen S., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 32-33 3 Effendi, 2003, h. 3 2

95

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

kalimat dan suara melalui telepon genggam. Sampai-sampai secara ekstrim masyarakat kota masih bisa merasa hidup nyaman tanpa agama, tetapi akan merasa sengrasa tanpa dukungan iptek. Mereka bisa meninggalkan sembahyang dan melupakan Tuhan, tetapi tak bisa lepas dari kartu kredit, telepon dan kendaraan bermotor.4 Dari sisi budaya, globalisasi bisa mempercepat transplantasi atau akulturasi budaya antara bangsa yang satu dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahkan pada titik klimaksnya, barangkali tidak ada lagi kekhasan budaya sebuah bangsa tertentu di planet ini, sebab semua budaya sudah lebur menjadi satu dalam sebuah komunitas global. Dalam konteks ini, kita perlu mengoreksi Giddens yang menyatakan: “Globalisasi dan pencerahan yang berkeinginan untuk menghancurkan mitos tradisi, hanya sebagian (kecil saja) yang berhasil. Tradisi masih tetap, hampir seluruh Eropa dan bahkan jauh lebih berurat akar dihampir seluruh bagian di dunia lain. Masih tetap bertahannnya tradisi, terutama di negeri industri, menunjukkan bahwa perubahan institusional yang ditandai oleh modernitas sangat terbatas pada lembaga publik, terutama pemerintahan dan ekonomi.”5 Dinamika zaman ini merupakan tantangan kepada pesantren. Apakah pesantren dapat memainkan peran penting atau tidak di era globalisasi sepenuhnya berpulang kepada respons pesantren itu sendiri. Nurcholish Madjid menilai pesantren selama ini lambat dalam mengikuti dan menguasai dinamika zaman. Ini diakibatkan oleh lemahnya visi dan misi yang dibawa pendidikan pesantren. Relatif sedikit pesantren yang secara sadar merumuskan tujuan pendidikan dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Kondisi ini, lanjut Nurcholish, lebih disebabkan oleh adanya kecenderungan visi dan misi pesantren diserahkan kepada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau bersama-sama para pembantunya.6 Tesis Nurcholish tentu masih bisa dikoreksi. Hasil studi yang dilakukan Ridlwan Nasir justru menunjukkan bahwa pesantren mampu mempertahankan keberadaannya dari zaman ke zaman; pesantren mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki daya elastis tinggi dan menunjukkan pandangan terbuka dengan sistem luar dirinya. Akan tetapi, dari segi yang lain, pesantren merupakan sistem tertutup apabila menyentuh soal yang mendasar yakni soal-soal yang berkaitan dengan akidah-syari’ah.7 Sebagai institusi pendidikan Islam yang independen, pesantren bebas menentukan sikapnya terhadap globalisasi. Makanya banyak pesantren yang tetap mempertahankan kesalafannya dengan menfokuskan diri pada kajian-kajian keagamaan, namun tidak sedikit yang mencoba mengombinasikan antara pendidikan salaf dan pendidikan modern. Seperti apa respons pesantren terhadap globalisasi tentu saja sangat tergantung kepada pribadi kiai sebagai pendiri, pemilik dan penentu arah pesantren. Metode Penelitian Pesantren yang menjadi obyek penelitian ini adalah Pondok Pesantren Darus Sholah Kaliwates dan Pondok Pesantren Al-Qodiri Patrang. Kedua pesantren itu ada di wilayah Kota Jember. Berbeda dengan pesantren-pesantren yang ada di desa, pesantren yang ada di kota lebih banyak merasakan perubahan-perubahan zaman di era globalisasi berikut implikasinya dalam pendidikan, sosial dan moral. Inilah salah satu alasan mengapa kedua pesantren tersebut dijadikan obyek penelitian.

4

Qomaruddin Hidayat, “Jebakan Keragaman Agama,” KOMPAS, 29 September 2010. Giddens, Runaway World..., h. 39 6 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 6 7 M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal (Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 330 5

96

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk memahami dinamika fisik dan nonfisik pondok pesantren di era globalisasi. Wawancara dilakukan secara mendalam kepada individu-individu yang berkaitan dengan respons pesantren terhadap globalisasi, antara lain: pengasuh, pengurus, ustadz, dan pakar pendidikan Islam di Kabupaten Jember. Data-data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara itu lalu dianalisis dengan tiga tahapan, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Jadi, data tentang respons pesantren di era globalisasi yang dikumpulkan di lapangan dikelompokkelompokkan terlebih dahulu menjadi data yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Data itu kemudian disajikan dan disusun secara sistematis sehingga mudah dipahami dan dianalisis. Langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan. Mula-mula kesimpulan itu masih bersifat sementara, yang masih membutuhkan verifikasi. Jika verifikasinya sudah dilakukan dan dianggap meyakinkan, itulah kesimpulan akhir dari penelitian ini. Pengertian Pesantren Secara bahasa pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran -an yang berarti tempat tinggal para santri. Kata santri sendiri, tutur C.C Berg, berakar dari bahasa India, shastri, yaitu orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Sementara itu, A.H. John menyebutkan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Nurcholish Madjid juga memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, kata santri berasal dari bahasa Sansekerta, sastri, yang bermakna melek huruf.8 Prasodjo tampaknya memiliki cakupan lebih lengkap dibanding definisi-definisi lainnya. Kendati demikian, definisi Pradodjo tersebut tentunya tidak terlepas dari konteks saat iru, di mana pesantren ”hanya mengajarkan” ilmu-ilmu agama Islam dari kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning). Keadaan saat ini sudah berubah. Banyak pesantren tidak hanya bergelut dengan kitab-kitab abad pertengahan tetapi juga membuka ruang yang cukup luas terhadap berkembangnya wacana-wacana kontemporer. Adagium al-muhāfadzatu ala al-qadīmi al-shālih wa al-akhdu bi al-jadīdi al-ashlah tampaknya benar-benar menjadi cirikhas pesantren. SEJARAH DAN DINAMIKA PESANTREN Sejumlah pakar memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indigenous Indonesia. Pendidikan model ini, kata Said Aqil Husein Al-Munawar, telah hidup dan berada dalam budaya bangsa Indonesia sejak zaman pra-sejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan diteruskan hingga masa kejayaan Islam. Adapun madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.9 Pandangan Al-Munawar sedikit berbeda dengan tesis Karl A. Steenbrink. Berpijak dari bentuk dan sistem pesantren, ia menyimpulkan bahwa pesantren berasal dari India. Sistem pesantren sudah digunakan secara umum sebagai wadah pengajaran agama Hindu Jawa. Setelah Islam tersebar di Jawa, sistem itu kemudian diambil alih oleh Islam.10 Artinya, pesantren di Jawa dan di Indonesia pada umumnya tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya agama Hindu, bukan mendahui keberadaan agama Hindu sebagaimana diungkapkan Al-Munawar.

8

Zamachsyari Dlofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 18; Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 20 9 Said Aqil Husein Al-Munawar, Said Agil Husein Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 205 10 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 20

97

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

Jika melihat jauh ke belakang lagi, “lembaga” pendidikan semacam pesantren sejatinya bisa dijumpai di zaman Nabi. Saat itu terdapat suatu tempat belajar yang bernama suffah. Tempat ini juga dirancang sebagai pondok bagi para pendatang baru dan penduduk setempat yang tidak memiliki rumah sendiri. Suffah memberikan pendidikan tidak hanya bagi para pemondok tetapi juga bagi pengunjung yang diselenggarakan dalam jumlah besar. Jumlah pemondok di suffah berubah dari waktu ke waktu. Dalam catatan Ibn Hanbal, pada suatu saat terdapat 70 orang yang tinggal di suffah dengan bekerja pada waktu-waktu luang mereka.11 Ini mengindikasikan bahwa tradisi belajar ala pesantren sudah ada sejak zaman Nabi — sekalipun di zaman Nabi belum bernama pesantren — dan terus berkembang hingga sekarang. Sedikitnya ada enam faktor utama yang menguntungkan pertumbuhan pondok pesantren dan membuat lembaga ini tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat Indonesia.12 Pertama, agama Islam telah tersebar luas di seluruh pelosok tanah air dan sarana yang paling populer untuk pembinaan kader Islam dan mencetak calon ulama adalah mesjid dan pondok pesantren. Kedua, kedudukan para ulama dan Kyai di lingkungan Kerajaan dan Keraton berada dalam posisi kunci. Selain raja dan Sultan-sultan sendiri ahli agama, para penasehatnya adalah para Kyai dan ulama. Oleh karena itu pembinaan pondok pesantren sangat mendapat perhatian para Sultan dan raja-raja Islam. Bahkan pendirian beberapa pondok pesantren, disponsori oleh Sultan dan raja-raja Islam, misalnya pondok pesantren Tegal Sari di dekat pondok Gontor. didirikan atas anjuran Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1942. Ketiga, usaha Belanda yang menjalankan politik "belah bambu" di antara raja-raja Islam atau antara raja-raja dan ulama Islam semakin mempertinggi semangat jihad umat Islam untuk melawan Belanda. Sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan yang dipelopori oleh raja-raja dan ulama Indonesia seperti Tengku Cik Di Tiro, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan lain-lain. Keempat, kebutuhan rakyat dan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas ke Islaman, sementara sekolah-sekolah Belanda yang hanya dapat dimasuki anak-anak dari kelas tertentu, tetap menambah pesatnya pertumbuhan pondok pesantren, lebih-lebih lagi setelah diperkenalkan sistem madrasah. Kelima, faktor lain yang mendorong bertambah pesatnya pertumbuhan pondok pesantren ialah adanya girah agama yang tinggi dan panggilan Jiwa dari para ulama dan Kyai untuk melakukan da'wah dan menanamkan nilai-nilai Islam kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat Islam yang masih belum sepenuhnya menjalankan ajaran agama Islam. Keenam, faktor lain yang juga berperan dalam mendorong tumbuhnya pondok pesantren di Indonesia ialah semakin lancarnya hubungan antara Indonesia dan Mekkah. Para pemuda Islam banyak yang mukim di Mekkah dan di sana mereka memperdalam pengetahuan agama pada seorang ulama di Masjidil Haram. Dan ada pula yang belajar pada madrasah Sahulatiyah atau madrasah Darul Ulum Makkah. Setelah kembali ke tanah air dengan ilmunya yang luas itu, mereka mendirikan pondok pesantren di tempat asalnya dengan menerapkan cara-cara belajar seperti yang dialaminya di Mekkah. Pesantren memiliki peran penting dalam perjalanan bangsa ini. Di era prakemerdekaan, peran pesantren sangat menonjol. Para alumni pesantren seperti HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam, KH. Mas Mansur, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Kahar Muzakkir, dan lain-lain merupakan guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat.

11 12

Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 189 Marwan Saridjo et.al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h. 35-36

98

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

Sesudah kemerdekaan, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Moh. Rasyidi, alumni pondok Jamsaren, adalah Menteri Agama RI pertama; Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, pernah menjadi Perdana Menteri; KH. Wahid Hasyim, KH. Kahar Muzakkir dan lain-lain merupakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia; KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi, alumni Jamsaren menjadi, adalah anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid pernah menjabat Wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kyai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa. Di era Orde Baru yang ditandai dengan maraknya pembangunan fisik yang disertai dengan proses marginalisasi peran politik umat Islam, kyai dan pesantren tetap memiliki peran dalam membangun bangsa. Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat dari konsep character building adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Akibatnya pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar, tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi seperti inilah pesantren muncul menjadi sebagai alternatif. Dengan spirit ukhuwwah Islamiyah-nya, “tawauran” tidak pernah terjad pesantreni; dan karena jiwa kemandiriannya, tidak sedikit santri yang DO justru sukses sebagai pengusaha. Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Mastuhu, kebanyakan pesantren tidak mencantumkan secara eksplisit apa tujuan pendidikan di pesantrennya. Namun demikian, setelah melakukan penelitian di sejumlah pesantren di Jawa Timur, Mastuhu menyimpulkan bahwa secara umum tujuan pendidikan dan pembelajaran di pesantren adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi abdi masyarakat sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad saw, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia, yaitu kepribadian yang muhsin, bukan sekedar Muslim.13 Adapun materi yang dipelajari di pesantren hampir semuanya berasal dari kitab-kitab kuning yang, antara lain, membahas tentang: tauhid, tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, bahasa Arab (nahwu, sharaf, balangah, matiq, dll) dan lain sebagainya, meskipun masingmasing pesantren memiliki spesialisasi kajian yang berbeda-beda; ada yang spesialis dibidang fiqh, ilmu tafsir-hadits, ilmu alat, dan lain-lain. Kitab-kitab kuning dipelajari dengan beberapa metode. Pertama, metode hafalan. Dalam metode ini, santri diwajibkan menghafalkan kitab-kitab atau teks-teks berbahasa Arab secara individual, sementara kyai atau ustadz menjelaskan arti kata demi kata. Kitab-kitab yang dihapalkan biasanya berupa nadzam (sajak), seperti: Aqidat al-`Awām, Hidāyat alShibyān, `Awāmil, `Imrithī, Alfiyah ibn Malik, dan sebagainya. Kedua, metode wetonan-bandongan. Di dalam metode ini, kyailah yang menentukan adanya pengajian dan kitab yang akan dikaji, di mana pengajian itu diberikan secara berkelompok. Para santri biasanya membentuk sepertiga lingkaran di sekeliling kyai sambil membawa kitab yang telah ditentukan. Prosesnya, kyai membaca, mengartikan dan menjelaskan isi kitab, sedangkan para santri mendengarkan, menyimak dan mencatat keterangan kyai di dalam kitab itu.

13

Mastuhu, Dinamika..., h. 55-56

99

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

Ketiga, metode sorogan, yaitu metode individual di mana seorang santri menghadap kyai untuk mengkaji suatu kitab. Pengajian jenis ini biasanya diberikan kepada para santri tingkat atas (`ulya). Akan tetapi, metode ini juga bisa ditempuh santri pemula yang ingin memperolah kematangan untuk mengikuti pengajian wetonan-bandongan. Berbeda dengan metode sebelumnya, di dalam metode ini santrilah yang aktif di dalam pengajian, sedangkan kyai mengoreksi atau memberi penjelasan tambahan. Keempat, metode mudzakarah/musyawarah. Sedikitnya ada dua model mudzakarah yang banyak dijumpai di pesantren-pesantren. Pertama, mudzakarah yang diinisiasi dan dilakukan oleh sejumlah santri sendiri. Biasanya, mudzakarah itu dilakukan dengan mengangkat suatu permasalahan tertentu untuk kemudian dipecahkan dengan merujuk kepada kitab-kitab kuning. Kedua, mudzakarah yang langsung dipimpin oleh kyai. Materi mudzakarah itu berasal dari hasil mudzakarah yang diinisiasi oleh santri, namun masih belum diperoleh jawaban yang jelas. Kitab-kitab kuning yang dipelajari dengan metode-metode di atas pada mulanya tidak dieveluasi sebagaimana evaluasi yang dilakukan di dalam lembaga pendidikan umum. Evaluasi terhadap tingkat keberhasilan santri dinilai langsung oleh kyai, biasanya berupa pengakuan kyai atas kitab yang dipelajari santri atau izin beliau untuk mengajarkan kitab tersebut kepada santri lain atau masyarakat pada umumnya. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, saat ini banyak pesantren menerapkan sistem eveluasi yang mirip dengan pendidikan umum, yaitu dengan mengadakan ujian kenaikan kelas untuk menentukan batas kemampuan santri untuk mengkaji kitab-kitab yang lebih tinggi. Peta Paradigma Kaum Muslim tentang Globalisasi Globalisasi adalah sebuah kenyataan. Kita menerima atau menolak, setuju atai tidak, globalisasi tetap bergulir sebagai sebuah fase dinamika kehidupan negara-negara di muka bumi. Lalu, apa respons umat muslim Indonesia terhadap globalisasi? Menjawab pertanyaan ini, Mansour Fakih mengklasifikasikan empat paradigma umat Islam dalam merespons globalisasi.14 Pertama, paradigma tradisionalis. Kaum tradisionalis percaya bahwa permasalahan ketertinggalan umat Islam pada hakikatnya adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa arti apa arti dan hikmah di balik ketentuan tersebut. Makhluk, termasuk umat Islam tentang gambaran skenario Tuhan akan perjalanan panjang manusia. Bagi kalangan tradisonalis masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak jelas hubungannya dengan globalisasi dan neoliberalisme. Kemiskinan dan marginalisasi seringkali justru merupakan “ujian” atas keimanan, dan kita tidak tahu manfaat dan mudaratnya., atau malapetaka di balik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat manusia dan lingkungan kelak. Kedua, paradigma modernis. Kaum modernis sesungguhnya memiliki pendekatan dan analisis yang sama dengan penganut paham modernisasi sekuler yang menjadi mainstream dalam ilmu sosial dan yang dianut oleh aparatur developmentalisme. Bagi mereka ketertinggalan yang terjadi pada bangsa Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu mereka cenderung melihat nilai-nilai, sikap, mental, kreativitas, budaya, dan paham teologi sebagai pokok permasalahan, dan tidak melihat struktur kelas, gender, dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat. Ketiga, paradigma fundamentalis. Kaum fundamentalis memandang bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini dikarenakan umat Islam lebih suka menggunakan “ideologi” dan “isme-isme” yang berasal dari Barat, bukan merujuk kepada al-Qur’an. Padahal, menurut golongan ini al-Qur’an adalah sumber rujukan umat Islam yang 14

Fakih, Jalan Lain..., h. 248-60

100

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

komplit, jelas, sempurna, baik dalam aktivitas sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Keempat, paradigma transformatif. Ini merupakan pikiran alternatif terhadap ketiga paradigma sebelumnya. Mereka percaya bahwa keterbelakangan rakyat dan umat Islam khususnya disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental masih baru dan relatif lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Ini adalah proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi, kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Tantangan Pesantren di Era Globalisasi Mengelaborasi pemikiran Abd. Rahman Assegaf, setidak-tidaknya ada empat persoalan yang dihadapi pesantren saat ini. Pertama, minimnya upaya pembaharuan, dan kalaupun toh ada, masih kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, dan kemajuan IPTEK. Kedua, ilmu-ilmu yang di pelajari dalam institusi pendidikan Islam adalah ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tak tersentuh sama sekali. Ketiga, model pembelajarannya masih menerapkan banking education, di mana guru mendepositokan berbagai masam pengetahuan kepada anak didik. Keempat, orientasi pesantren cenderung mengutamakan pembentukan ‘abd daripada keseimbangan antara ‘abd dan khalifatullah fi

al-ardl.15 Sebagai lembaga pendidikan agama Islam tertua, pesantren sarat nilai-nilai dan tradisi luhur yang menjadi karakteristiknya selama seluruh perjalanan sejarahnya. Hal itu merupakan dasar pijakan dalam kerangka menyikapi globalisasi dan persoalan-persoalan lain yang menghadang pesantren dan masyarakat pada umumnya. Misalnya, kemandirian, keikhlasan dan kesederhanaan: ketiganya merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan masyarakat dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk ketergantungan dan pola hidup konsumerisme yang lambat laun tapi pasti menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Matuhu menceritakan bahwa di saat pesantren menjadi idola masyarakat, para orang tua dari keluarga muslim merasa bangga jika dapat mengirimkan anak mereka ke pesantren. Tetapi pada tiga dekade terakhir ini, popularitas pesantren tampak menurun di mata bangsa, keluarga dan anak muda. Pasalnya, pesantren dianggap kurang mampu memenuhi harapan dan kebutuhan mereka. Lebih jauh lagi, pesantren dianggap tidak mampu memenuhi tantangan zaman.16 Pada bulan Mei 2005, Harian Jawa Pos memuat hasil poling tentang pernahtidaknya remaja tinggal serumah dengan pacarnya. Poling dilakukan pada 482 siswa SMA/SMK dan mahasiswa di Surabaya. Disebutkan bahwa 11,2 persen dari mereka pernah atau sedang tinggal serumah dengan pacarnya, yang mana 37,1 persennya mengaku melakukan hubungan layaknya suami isteri. Temuan yang lebih “menggemparkan” juga pernah diungkap Iip Wijayanto melalui buku Sex in The Kost. Dari penelitiannya tentang virginitas mahasiswi Yogyakarta ditemukan bahwa 97,05 persen di antaranya tidak perawan. Meski hasil penelitian itu memicu pro dan kontra karena Yogyakarta dianggap kota pendidikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, budaya dan agama, Wijayanto telah mengingatkan kita akan fenomena seks bebas di kalangan muda-mudi.

15

Abd. Rachman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi,” dalam Imam Mahalli dan Musthofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004), h. 8-9 16 Mastuhu, Dinamika..., h. 23

101

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

Beberapa faktor penyebab dekadensi moral remaja bisa dikemukakan di sini. Pertama, keluarga yang tidak harmonis. Kedua, pengaruh budaya asing. Ketiga, lemahnya kontrol sosial. Masyarakat, terutama di perkotaan, cenderung individualistik. Tradisi yang dimiliki pesantren telah memberikan lembaga ini peluang menyelesaikan beragam persoalan kemanusian, termasuk moralitas remaja. Tradisi pesantren seperti keikhlasan, kesederhanan, keteladanan, kemandirian, dan lainnya adalah aset moral yang dapat dijadikan dasar dalam pendidikan untuk menghentikan proses penghancuran remaja yang pada mulanya berawal dari kemandulan lembaga pendidikan dewasa ini.17 Pondok Pesantren Al-Qodiri Sejarah dan Dinamika Pondok Pesantren Al-Qodiri Pada tahun 1973, setelah uzlah di Gua Payudan Madura, KH. Achmad Muzakki Syah kembali ke keluarganya di Gebang Poreng, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember. Selama hampir dua bulan dia mengamati situasi dan kondisi sosial keagamaan masyarakat sekitarnya. Kondisi waktu itu masih sama dengan dua tahun sebelumnya, banyak pencurian, perampokan, judi dan berbagai bentuk tindakan asosial lainnya. Waktu itu, hanya ada sebuah surau kecil di pojok dusun yang mengajarkan agama sejati (agama eling) di bawah bimbingan Bapak Astumi. Realitas masyarakat yang memprihatinkan itu mendorong KH. Achmad Muzakki Syah mendirikan sebuah surau sederhana yang terbuat dari gedhek (bambu yang dianyam). Sejak itu dia mulai istiqamah memimpin shalat lima waktu berjamaah dengan keluarga dan tetangga dekatnya. Setiap selesai shalat maghrib dia juga mengajar anak-anak membaca AlQur’an, yang disambung dengan berdzirik manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani setiap selesai shalat isya’. Kemudian, sehabis shubuh diisi dengan kajian tafsir surat Yasin. Semakin lama, masyarakat yang shalat berjamaah di surau tersebut semakin banyak. Bahkan ada dua santri yang menentap di surau itu sebagai muadzzin yang kemudian dibuatkan pondok untuk tempat menginap mereka. Menurut KH. Achmad Muzakki Syah, esensi surau atau masjid bukan bangunan fisikanya, melainkan efektivitas fungsinya sebagai pusat peribadatan dan dakwah Islam, pusat kegiatan keagamaan, pusat pembinaan umat, pusat pengokoh ukhuwah Islamiyah, sarana perjuangan, pusat syiar, ta’lim, pusat pertemuan dan pusat kegiatan sosial. Menurut Kiai Ridlwan, sejak berdirinya surau itu nuansa sosial keagamaan di Gebang Poreng seidikit demi sedikit mengalamai kamajuan, gema adzan dan dzikir puji-pujian mulai terdengar di setiap menjelang shalat lima waktu. Sekitar tahun 1976, KH. Achmad Muzakki Syah bertemu dengan Abdul Jailani, sahabat karibnya semasa di Pondok Pesantren AlFatah. Sejak pertemuannya dengan Abdul Jailani itu, keinginan KH. Achmad Muzakki Syah untuk mendirikan pondok pesantren semakin mantap. Abdul Jailani diajak tinggal bersamanya di Gebang Poreng untuk bersama-sama membangun dan membesarkan pesantren yang hendak di bangunnya. Beberapa hari setelah Abdul Jailani ajakan KH. Achmad Muzakki Syah pada tanggal 19 Rabiuts Tsani 1397 H. / 16 Mei 1976 M. berdirilah sebuah bangunan Pondok Pesantren di atas sebidang tanah seluas 5.000 meter persegi yang diberi nama Pondok Pesantren Al-Qodiri. Pemberian nama Al-Qodiri menurut Abdul Jailani berdasarkan pada beberapa hal. Pertama, nama itu disandarkan kepada nama Allah, Al-Qadir, yang berarti Dzat yang Maha Kuasa di atas segala-galanya. Penggunaan nama Al-Qadir dimaksudkan agar Allah melimpahkan segala kuasanya pada pesantren ini. Kedua, nama itu disandarkan kepada nama Syekh Abdul Qadir Jailani agar lembaga yang dibangun mendapat barakah Syekh 17

Abd. A’la, Pembaruan Pesantren, h. 38-39

102

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

Abdul Qadir Jailani. Ketika KH. Achmad Muzakki Syah masih dalam kandungan sang ibu, ayahnya (KH. Syaha) selalu berdzikir manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani. Dan sejak duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar, KH. Achmad Muzakki Syah sudah mengamalkan dzikir manaqib Syekh Abdul Qadir jailani. Ketiga, nama Al-Qodiri didasarkan pada petunjuk yang diterima setelah melakukan shalat istikharah. Menurut cerita H. Nurul Yakin, pada tahun 1974, setelah shalat ashar, KH. Achmad Muzakki Syah memanggil Pusakah yang ikut berjamaah di suraunya. Dia meminta Pusakah untuk memijatnya. Dia mengatakan kepadanya, “Perhatikan ya saya nanti akan mendirikan pondok pesantren dengan ribuan santri putra dan putri dari berbagai tempat. Pondok Pesantren tersebut akan saya beri nama Al-Qodiri.” Sebagai orang yang memiliki kemampuan dalam memprediski masa trend masa depan, KH. Achmad Muzakki Syah memilih pesantren sebagai titik tolak perjuangannya. Keputusan ini merupakan langkah taktis dan strategis, karen pesantren dalam sejarahnya terbukti telah mampu memberikan andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. KH. Achmad Muzakki Syah meyakini bahwa dunia pesantren merupakan dunia yang mewarisi nilai tradisi Islam yang banyak dikembangkan pada ulama terdahulu sampai akhirnya bekembang dari masa ke masa. Oleh karena itu, tidak sulit bagi pesantren untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Di awal berdirinya, Pondok Pesantren Al-Qodiri menampung santri sembilan orang yang berasal dari Desa Paleran, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. Namun beberapa tahun kemudian, seiring dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin tertanam kuat terhadap performa Pondok Pesantren Al-Qodiri, akhirnya jumlah santri terus betambah. Berdasarkan keterangan KH. Makruf, Pondok Pesantren Al-Qodiri mengalami perkembangan pesat pada tahun 1984, dengan jumlah santri yang begitu banyak, ditambah lagi semakin besarnya jumlah jamaah dzikir manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani, serta semakin meningkarnya kepercayaan masyarakat kepada KH. Achmad Muzakki Syah. Kepercayaan masyarakat ini kemudian terealisasi dalam bentuk undangan pengajian akbar dengan menghadirkan KH. Achmad Muzakki Syah sebagai penceramah agama. Hal itu berlaku hampir di berbagai daerah di Jawa Timur dan luar Jawa Timur. Perkembangan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 1985 jumlah santri putra dan putri mencapai 900 orang. Seiring dengan meningkatnya jumlah santri, sarana yang tersedia tidak mampu lagi menampung para santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Maka, sejak tahun 1986, Pondok Pesantren Al-Qodiri pindah ke lokasi yang lebih luas yang memungkinkan untuk pengembangan pesantren. Kepercayaan masyarakat terhadap Pondok Pesantren Al-Qodiri dikarenakan beberapa faktor, selain karena kemasyhuran KH. Achmad Muzakki Syah. Pertama, keberadaan Pondok Pesantren Al-Qodiri memberikan manfaat besara bagi masyarakat sekitarnya. Masyarakat menggambarkan Pondok Pesantren Al-Qodiri laksana pokoh yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang ke langit. Pohon itu selalu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah swt. Kedua, Pondok Pesantren Al-Qodiri memiliki Pancajiwa (asas al-khamsah) yang terdiri dari : 1) keikhlasan, 2) kesederhanaan, 3) kemandirian, 4) ukhuwah Islamiyah, dan 5) kebebasan. Semua ini benar-benar diterapkan secara paten oleh para santri, sehingga menjadikan pesantren ini terus menjadi oase dalam setiap perubahan. Ketiga, adanya relasi lintas sektoral antara kiai dan santri. Artinya, relasi itu tidak bersifat lahiriyah melainkan juga bersifat batiniyah. Bagi santri, eksistensi KH. Achmad Muzakki Syah bukan saja sebagai guru ta’lim tetapi juga guru ta’dib dan guru tarbiyah yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam serta sekaligus menyalakan jiwa keislaman dalam setiap jiwa santri, dan bahkan mendampingi santri dalam mendekatankan diri kepada Allah

(taqarrub ilallah).

103

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

Mendirikan Lembaga Pendidikan Formal dan Public Services Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa tiap tahun Pondok Pesantren AlQodiri terus mendapat tambahan santri dari berbagai daerah, dan saat ini Pondok Pesantren Al-Qoridi menempati tanah seluas 28 hektar dengan jumlah santri putra putri sekitar 4.000 orang lebih. Ketika perkembangan pendidikan menuntut penyesuaian dengan kebutuhan riil masyarakat, KH. Achmad Muzakki Syah mengantisipasinya secara akurat, misalnya dia melihat kecenderungan betapa banyak masyarakat yang selain membutuhkan materi substansial ilmu pengetahuan, juga membutuhkan ijazah sebagai legitimasi legal formal. Melihat kecenderungan ini, juga menimbang potensi yang sudah tersedia, seperti jumlah santri yang besar di Pondok Pesantren Al-Qodiri, KH. Achmad Muzakki Syah memandang perlu mendirikan lembaga pendidikan formal, setelah sebelumnya hanya membuka madrasah diniyah. Untuk itu, diawali tahun 1986 Pondok Pesantren Al-Qodiri mendirikan lembaga pendidikan formal yang meliputi: a. Pendidikan Bocah b. Tahfidz al-Qur’an c. Taman Kanak-kanak (TK) d. Sekolah Dasar (SD) Plus e. Madrasah Tsanawiyah (MTs) f. Madrasah Aliyah (MA) Karena memang potensi awal yang tersedia di Pondok Pesantren Al-Qodiri bisa dikatakan lebih dari cukup ditambah lagi dengan tanaga pengelola yang tersedia, maka dalam waktu singkat lembaga-lembaga tersebut terus berkembang pesat dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan negeri dan swasta lainnya yang ada di Kabupaten Jember dan sekitarnya. Tidak hanya sampai di situ, melihat respek masyarakat yang demikian apresiatif terhadap sekolah umum yang terdapat di Pondok Pesantren Al-Qodiri, maka pada tahun 2001 dibuka Program S1 Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qodiri (STAIQOD). Visi STAIQOD adalah terwujudnya Perguruan Tinggi Agama Islam yang kompeten dalam melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat madani. Misinya adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka ikut serta membentuk masyarakat Indonesia yang memiliki kukuatan dan keutuhan iman, taqwa, ilmu, dan profesi, serta syakhshiyah (pola pikir dan perilaku) islamiyah. Hingga sekarang, STAIQOD memiliki dua Program Studi (Prodi), yaitu: Prodi PAI dan Prodi Muamalah (Perbankan Islam). Selain itu, sebagai lembaga yang terus mengalami perkembangan signifikan, Pondok Pesantren Al-Qodiri meningkatkan peran sosialnya dengan mendirikan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), Koperasi Pesantren, Lembaga Bantuan Hukum (LBH AlQodiri), Pusat Terapi Masyarakat (PTM) dan Balai Pengobatan Karomah (BPK). PONDOK PESANTREN DARUS SHOLAH Sejarah dan Dinamika Pondok Pesantren Darus Sholah Sepulang dari menimba ilmu Madinah, KH. Yusuf Muhammad, LML. sibuk membina pengajian di kampung-kampung. Salah satunya mengasuh pengajian di Gang Paneli Talangsari Jember. Di tengah kesibukan mengasuh beberapa pengajian, dia mempersiapkan embrio pesantrennya, Darus Sholah, sejak tahun 1984. Baru pada 27 Rajab tahun 1987, Gus Yus meresmikan kelahiran pesantrennya. Pesantren ini didirikan di JI. Moh. Yamin 25, Tegal Besar Jember di atas tanah seluas 8 hektare. Saat itu, keadaan di lokasi pesantren masih sunyi, tidak seramai sekarang. Listrik juga masih menggunakan

104

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

diesel. Hanya ada beberapa gelintir santri yang menimba ilmu di pondok kiai muda yang akrab dipanggil Gus Yus tersebut. Adalah KH. As'ad Syamsul Arifin, seorang kiai kharismatik asal Situbondo, yang meletakkan batu pertama Pesantren Darus Sholah. Pada waktu itu, kiai As'ad sudah menjadi orang yang demikian dituakan di Jam'iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai As'ad bersama sejumlah kiai senior seperti KH. Achmad Shiddiq dan KH. Ali Maksum, pada tahun 1984, menjadi tokoh kunci yang sangat menentukan derap langkah Nahdlatul Ulama. Saat itu, Nahdlatul Ulama berada dalam ambang kehancuran karena badai konflik internal. Untungnya, kiai As'ad dan beberapa kiai kharismatik yang lain berhasil menyelesaikan konflik ini. Makanya, sangat tepat kiranya jika kiai yang juga abah KH. Fawa'id Situbondo ini yang didaulat Gus Yus untuk meresmikan pesantrennya. Apalagi, ternyata KH. Muhammad, abah Gus Yus, adalah senior Kiai As'ad. Sebaliknya, ketika Kiai As'ad bermaksud mendirikan Ma'had Aly pada tahun 1990, Gus Yus dan KH, Nadzir Muhammad, MA. (Gus Nadzir), kakak kandung Gus Yus, dimintai bantuannya untuk turut serta merumuskan pendirian program pendidikan pasca pesantren tersebut. Bersama sejumlah kiai senior, beliau didapuk untuk turut menyumbangkan pikiran bagi pendirian dan pengembangan Ma'had Aly ke depan. Ma'had Aly sendiri diangankan oleh para pendirinya, untuk mampu mencetak kader kader ulama yang, menurut Kiai As'ad, kian langka. Tidak hanya itu. Pasca pendirian Ma'had Aly, Gus Yus juga diminta untuk menjadi salah satu staf pengajar di sana. Hanya karena beliau belakangan sibuk di dunia politik, kiai politisi ini hanya dimintai mengajar satu bulan sekali sebagai dosen tamu. Sedikit demi sedikit, Gus Yus pun membangun "pondasi" pondoknya. Santri santrinya pun dari tahun ke tahun, kian banyak. Tidak hanya dari Jember, tapi juga dari luar kota suwar suwir tersebut. Karena maksud memodernisasi pondok, Gus Yus akhimya juga mendirikan sekolah umurn seperti TK, SD, SMP Plus, SMA Unggulan, MA /MAK dan lain lain. Kendati demikian, aura salaf pondok pesantren Darus Sholah tetap dipertahankan. Nampaknya, Gus Yus hendak menerapkan kaidah: "al-muhafadlah ala al-qadi mi al-shalih wal akhdzu bi al-jadidi aslah" (meneruskan tradisi salaf yang baik, tapi juga mengambil nilai modem yang lebih baik). Selain itu, kiai yang juga politisi ini membangun masjid megah yang rencananya dijadikan Islamic Centre. Kiai As'ad pernah mengatakan di depan Gus Yus, Gus Nadzir dan KH Hasan Bashri pada 10 Ramadlan 1990: "Raje pondukke sampean (M. akan besar pondok Anda)," sambil menepuk dada Gus Yus yang berada di sebelahnya. Tampaknya, ramalan kiai sepuh ini benar-benar menjadi kenyataan. Setapak demi setapak, Darus Sholah semakin ditata dengan baik. Santri santrinya juga semakin banyak. Informasi terakhir, jumlah santrinya putra dan putri sudah mencapai 750 orang. Sementara, yang di luar pondok sekitar 500 orang. Sungguh, prestasi yang luar biasa. Dalam usia yang belia, pesantren baru ini cukup dikatakan maju dan besar. Hingga kini, usia Darus Sholah sudah lebih dua puluh tahun, usia yang dikatakan Gus Yus di acara Haul yang ke 17 ini sebagai "cukup dewasa". Gus Yus, yang juga mantan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI periode 1999-2004, berharap, pesantrennya akan menjadi mandiri. Mandiri dalam arti kata segala sesuatu yang berjalan di pesantren lebih karena sistem yang berjalan. Memang, banyak orang cukup risau, siapa yang nanti menggantikan Gus Yus, jika sewaktu-waktu beliau tidak ada. Karena, pengaruh kiai muda ini sangatlah menentukan. Tapi, kerisauan ini sendiri sudah dijawab. Setelah ditinggalkan Gus Yus pada tahun 2004, kegiatan Darus Sholah tidak terganggu dan tidak terbengkalai,hal ini dikarenakan Gus Yus telah meletakkan dasar-dasar manajemen pondok yang profesional. Segalanya berjalan apa adanya sesuai dengan sistem yang berlaku, dan bahkan Darus Sholah tambah menjelma menjadi pondok yang sangat diminati oleh masyarakat, hal ini dibuktikan dengan semakin bertambah banyak santri yang mondok dipesantren ini, bahkan Darus Sholah kekurangan gedung (ruang sekolah dan

105

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

asrama) untuk menampung santri yang semakin banyak. Hingga sekarang tercatat lebih dari 2.000 santri yang belajar di Darus Sholah. 400 350 300 250 200

Putra

150

Putri

100 50 0 2006

2007

2008

2009

2010

Diagram: Jumlah Santri PP Darus Sholah Hanya saja, banyak obsesi beliau yang belum selesai. Pertama, keinginan Gus Yus Yu mendirikan Perguruan Tinggi yang bersifat kejuruan di pesantren. Seperti Akademi Perawat, Fakultas Kedokteran dan lain lain. Kedua, membangun studio radio yang dapat menjadi media dakwah ke masyarakat. Ini mengingatkan kita tatkala beliau aktif menjadi penyiar p radio di masa remaja. Dan ketiga, meneruskan pembangunan masjid yang beliau cita-citakan bakal menjadi Islamic Centre, yang hingga kini baru 80 persen. Inilah tugas kolektif yang bakal dipikul, baik oleh Gus Nadzir, selaku penerus/ pengasuh Darus Sholah, Sh ataupun perangkat sistemik Darus Sholah yang lain seperti guru, ustadz dan lain sebagainya. Lembaga Pendidikan Darus Sholah Pondok pesantren memiliki sejumlah lembaga pendidikan, baik formal maupaun nonformal, mulai tingkat pra pendidikan dasar hingge ke tingkat menengah. Berikut ini lembaga pendidikan formal dan nonformal di Darus Sholeh: 1. Taman Pendidikan Al-Quran Quran (TPQ) (TP Darus Sholah 2. Taman Kanak-kanak kanak (TK) Darus Sholah 3. Sekolah Dasar Islam (SDI) (SD Darus Sholah 4. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Plus Darus Sholah 5. Madrasah Aliyah (MA) Darus Sholah 6. Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggulan BPPT Darus Sholah Pesantren Menjawab Kebutuhan Masyarakat Pimpinan pesantren menyadari bahwa wali santri memondokkan anaknya di pesantren bukan semata-mata mata untuk mendalami ilmu agama, tetapi juga untuk belajar sainssains teknologi yang diberikan melalui satuan pendidikan formal. Ilmu agama dibutuhkan untuk membentuk karakter dan religiusitas, sedangkan sains-teknologi sains teknologi dan skill tertentu diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan dinamika zaman yang supercepat. Pesantren merespons kecenderungan ini dengan mendirikan madrasah, sekolah, atau bahkan perguruan tinggi. tinggi. Model yang diambil oleh pesantren adalah kombinasi salafiyah dan khalafiyah. Sebagai penyedia penyedia jasa pendidikan untuk masyarakat, masya pesantren sadar betul bahwa saat ini model salafiyah kurang relevan dengan dinamika dan kebutuhan

106

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

masyarakat. Jika pesantren tetap mempertahankan diri dengan model salafiyah-nya, masyarakat akan meninggalkannya. KH. Umar Saifuddin tidak menampik fenomena tersebut. Menurut Sekretaris Yayasan dan Biro Kependidikan Al-Qodiri ini, ragam lembaga pendidikan formal yang didirikan pesantren merupakan salah satu ikhtiar untuk mengembangkan pesantren. Keberadaan dan jenis lembaga pendidikan formal yang ada di pesantren turut menentukan seberapa besar animo masyarakat untuk memondokkan anaknya di situ. Lembaga pendidikan formal memang bukan satu-satunya faktor pendorong banyak atau sedikitnya santri di suatu pesantren, tapi untuk zaman sekarang ia merupakan salah satu faktor yang dominan. Untuk itu, lanjut Kiai Umar, saat ini pesantren perlu berubah dari salafiyah ke semi-khalafiyah agar bisa mempertahankan eksistensi dirinya. “Kalau pesantren tidak memiliki lembaga pendidikan formal untuk masa sekarang sulit berkembang. Iya, memang sulit berkembang kalau hanya mengandalkan pesantren salaf saja.”18 Kendati pesantren telah mengalami perubahan dari model salaf ke khalaf atau semikahalaf, peninggalan-peninggalan tradisi lama tidak dibuang, seperti asas al-khamsah (panca jiwa) pesantren: ikhas, sederhana, mandiri, kebebasan, dan kebersamaan. Jadi, dalam merespons globalisasi, pesantren Al-Qodiri tidak latah. Produk-produk dari globalisasi itu tidak semuanya ditelan mentah-mentah namun difilter, diambil yang baik sesuai kaidah: almuhâfadatu ‘ala al-qadîmi al-shâlih wa al-ahdu bi al-jadîd al-ashlah (mempertahankan tradisi lama yang masih dipandang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).19 Mengembangkan Lembaga Formal Sejak terbitnya SKB tiga Menteri pada tahun 1975, banyak pondok pesantren yang mendirikan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal dengan porsi kurikulum 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama. Beberapa tahun terakhir, pondok pesantren juga mendirikan sekolah, kebanyakan seperti SMP, SMP dan SMA/K. Jika dalam madrasah, porsi mata pelajaran agama sebanyak 30 persen, maka dalam sekolah, porsi pelajaran agama jauh lebih sedikit: satu minggu hanya ada satu pelajaran agama bernama Pendidikan Agama Islam (PAI). Itupun hanya dua jam pelajaran, atau sekitar 90 menit. Maka tidak heran bila pesantren menambah sejumlah pelajaran agama Islam sebagai muatan lokalnya. Fenomena di atas menjadi salah satu pendorong bagi Pondok Pesantren Al-Qodiri untuk mendirikan SMK, di samping madrasah yang sudah berdiri sejak lama. Kiai Umar menuturkan, pihaknya melihat SMK-SMK di luaran (di luar pesantren) hampir tidak memperhatikan masalah agama. Ada kesan di masyarakat bahwa siswa-siswa SMK itu nakal, urakan dan tidak tahu sopan-santun. Padahal, mereka adalah generasi masa depan umat Islam. “Apa jadinya umat Islam jika generasinya jauh dari ajaran dan nilai-nilai keislaman? Oleh karenanya, kami berikhtiar untuk mendirikan SMK yang tidak hanya mengembangkan skill tetapi juga membina keagamaan dan akhlak mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam,” kata Kiai Umar. Selain itu, Al-Qodiri juga mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qodiri (STAIQOD) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Al-Qodiri. Adanya STAIQOD dan STIKES Al-Qodiri membuat lembaga pendidikan formal di Al-Qodiri semakin lengkap, mulai dari tinggal pra sekolah hingga perguruan tinggi. “Harapan kami adalah untuk memberikan layanan pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Selain itu, agar santri bisa kuliah di

18

Wawancara dengan KH. Umar Saifuddin, MM., tanggal 27 Oktober 2011. Wawancara dengan Hefni Zain, MM., Penulis Buku Biografi KH. Achmad Muzakki Syah, tanggal 12 Nopember 2011.

19

107

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

sini (Pondok Pesantren Al-Qodiri) tidak perlu keluar. Kami juga memandang bahwa di zaman sekarang minimal pendidikan seseorang adalah sarjana (S1),” lanjut Kiai Umar.20 Sebagaimana Kiai Umar, Walid Mudri mengatakan bahwa Pendiri dan Pengasuh AlQodiri, KH. Achmad Muzakki Syah, mempunyai tekad untuk mendirikan perguruan tinggi yang bisa menampung lulusan-lulusan MA/ SMA/SMK yang ingin kuliah namun tidak memiliki dana yang cukup. Walid kemudian mengutip perktakan Kiai Muzakki berikut: “Saya mendirikan STAIQOD untuk memberikan pendidikan yang murah untuk masyarakat ekonomi lemah agar bisa kuliah. Dan jika ada yang tidak mampu kuliah, silakan minta keterangan dari desa setempat agar dia bebas biaya kuliah, tidak usah bayar biaya kuliah di Al-Qodiri.”21 Untuk STIKES, Kiai Umar memandang bahwa perawat sekarang banyak dibutuhkan di rumah sakit, tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri seperti pengalamannya ketika di Arab Saudi. Alasan lain dari pendirian STIKES ini, lanjut Kiai Umar, adalah untuk membekali para perawat dengan ilmu-ilmu agama seperti fiqih. Diharapkan, tenaga kesehatan dari STIKES Al-Qodiri benar-benar mengerti hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pekerjaan mereka di dunia medis, misalnya macam-macam najis dan cara mensucikannya. Ini sangat penting bagi para perawat yang setiap saat merawat para pasien di rumah sakit.22 Sementara itu, Pondok Pesantren Darus Sholah memiliki SMA Unggulan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (SMA Unggulan BPPT),23 yaitu sekolah yang dibangun pemerintah bekerja sama dengan pondok pesantren-pondok pesantren di sejumlah kabupaten. SMA Unggulan BPPT Dasus Sholah merupakan satu-satunya SMA Unggulan BPPT di Kabupaten Jember. Visi yang dipancangkan oleh SMA Unggulan BPPT Darus Sholah adalah “berguna bagi nusa dan bangsa serta bahagia dunia akhirat,” sedangkan misinya adalah “religius, intelektual, integritas, dan berprestasi.” Terbukti animo untuk masuk ke SMA Unggulan BPPT Darus Sholah sangat tinggi. Rata-rata 100 siswa yang diterima SMA Unggulan BPPT Darus Sholah di setiap tahun pelajaran baru. Itupun setelah melalui proses seleksi yang ketat. Menurut M. Hadi Purnomo, Kepala SMA Unggulan BPPT Darus Sholah, ada enam keunggulan yang dicapai oleh SMA yang dipimpinya: 1) unggul dalam aktivitas keagamaan; 2) unggul dalam tingkah laku/ akhlaq; 3) unggul dalam akademik dan karya ilmiah; 4) unggul dalam kedisiplinan; 5) unggul dalam persaingan masuk PTN favorit; dan 6) unggul dalam berbahasa Arab, Mandarin, Jepang dan Inggris.24 Mengenai banyaknya siswa yang di setiap tahun ajaran baru, kepala SMA Darus Sholah, Purnomo menjelaskan: “Alhamdulillah, berkat rahmat Allah dan dengan kerja keras segenap civitas akademika SMA Unggulan BPPT Darus Sholah Jember, maka kepercayaan masyarakat terhadap SMA Unggulan BPPT Darus Sholah Jember semakin 20

Wawancara dengan KH. Umar Saifuddin, MM., tanggal 27 Oktober 2011. Wawancara dengan Drs. M. Walid Mudri, MM., Penulis Buku Napak Tilas Kepemimpinan KH. Achmad Muzakki Syah, tanggal 13 Nopember 2011. 22 Wawancara dengan KH. Umar Saifuddin, MM., tanggal 27 Oktober 2011. 23 SMU Unggulan BPPT merupakan merupakan bagian dari proyek BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dalam Program Penyetaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Science and Teknology Equity Program - STEP) bagi sekolah-sekolah di lingkungan pesantren. Sebelumnya, sejak tahun 2000/2001 SMU Insan Cendekia dilimpahkan pengelolaannya dari BPPT kepada Kementerian Agama sehingga menjadi MAN Insan Cendekia Gorontalo dan Serpong. Namun, yutuk mempertahankan ciri khas penguasaan iptek dan imtak dalam pengelolaan dan pembinaanya, Kementerian Agama tetap bekerjasama dengan BPPT. 24 Wawancara dengan Dr. H. Kepala SMA Unggulan BPPT Darus Sholah, Dr. M. Hadi Purnomo, M.Pd., tanggal 8 Agustus 2011 21

108

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

bertambah. Hal ini sudah selayaknya menjadi cambuk segenap civitas akademika SMA Unggulan BPPT Darus Sholah Jember agar semakin meningkatkan kinerja demi mencetak lulusan yang bermutu dengan dilandasi IMTAQ dan siap bersaing di kancah perebutan kursi di perguruan tinggi bergengsi di seluruh Indonesia.”25 Sekolah-sekolah “umum” dan perguruan tinggi yang didirikan oleh Pondok Pesantren Al-Qodiri dan Darus Sholah mengindikasikan bahwa pesantren tidak ingin kehilangan eksistensinya di tengah supercepatnya perubahan di masyarakat. Pesantren terlihat terus berpacu dengan waktu agar dirinya tidak (terlalu) ketinggalan dalam merespons globalisasi berikut implikasinya terhadap dimensi sosial dan pendidikan. Pakaian Santri: Modis Tapi Islami Islam mensyariatkan bahwa pakaian seseorang harus menutup auratnya. Yang termasuk aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut, sedangkan untuk perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Mengenai model pakaian sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam. Demikian konsepsi umum rentang aurat, setidak-tidaknya itulah yang dijelaskan di dalam kitab-kitab fiqih. Pondok Pesantren Al-Qodiri tidak menghalangi santri mengikuti mode pakaian yang sedang trend senyampang tidak menabrak rambu-rambu agama. Mode tidak boleh mengalahkan syariat. Justru mode harus menyesuaikan diri dengan syariat. “Berpakaian modis itu boleh, asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam,” tutur Kiai Umar. Demikian halnya dengan Pondok Pesantren Darus Sholah. Pengasuh dan pengurus tidak melarang mengikuti model pakaian terbaru, yang panting tidak mengumbar aura. Agar tidak multitafsir, menurut Abd. Aziz, Darus Sholah menentukan standar pakaian santri, terutama bagi santri putri. “Standar pakaian santri di sini adalah baju harus menutupi bokong atau di atas lutut dan tidak boleh memakai celana yang ketat, kalau ada yang masih memakai pakaian ketat maka akan digunting oleh pengurus.”26 Kontrol Ketat Penggunaan Internet Pondok Pesantren Al-Qodiri dan Darus Sholah menyediakan layanan internet. Semua santri diperbolehkan untuk menggunakannya. Santri bisa memuaskan rasa ingin tahunya dengan berselancar di dunia virtual. Pengguna internet bisa mengakses apa saja yang diinginkannya. Oleh karena itu, Al-Qodiri dan Darus Sholah mengawasi dengan superketat penggunaan internet di pesantrennya untuk mencegah santri mengakses hal-hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan lebih-lebih dilarang oleh agama. “Di Darus Sholah terdapat layanan hotspot. Semua santri boleh mengaksesnya. Untuk mengatasi agar tidak mengakses hal-hal yang negatif, maka dilakukan pengawasan secara ketat oleh pengurus. Selain itu area hotspotnya hanya bisa diakses di area luar kamar atau di tempat terbuka atau di halaman. Kalau di sekolah formal memang ada internetnya, dan telah diproteks sehingga untuk layanan-layanan akses yang berbau porno itu tidak bisa dibuka.27

25

Wawancara dengan Dr. H. Kepala SMA Unggulan BPPT Darus Sholah, Dr. M. Hadi Purnomo, M.Pd., tanggal 8 Agustus 2011 26 Wawancara dengan Ust. Abd. Aziz, S.Pd.I., Ketua Pengurus Pesantren Al-Qodiri tanggal 1 Nopember 2011 di Kantor Pengurus. 27 Wawancara dengan Zainul Hakim M.Pd.I, Pengurus Senior dan Pendidik di Pondok Pesantren Darus Sholah, tangga 11 Nopember 2011

109

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

Ada operator khusus yang memantau setiap komputer yang dipakai berinternet. Apapun yang dibuka oleh santri bisa terlihat oleh operator, sehingga bisa mencegah santri untuk mengakes hal-hal terlarang. Bukan itu saja, menurut Samsudini, pihaknya meningkatkan sistem penguncian (proteksi), terutama untuk situs-situs yang berkonten porno. “Sistem penguncian itu berlapis-lapis, dari empat kunci sekarang ditingkatkan menjadi delapan kunci. Dengan demikian, situs-situs itu tidak bisa diakses. Ada yang pernah mencoba menjebolnya, namun tidak bisa.”28 Sistem kontrol dan proteksi yang dilakukan oleh pengurus memang berjalan dengan baik. Ini, antara lain, diakui oleh santri Al-Qodiri bahwa sejauh ini belum pernah ditemukan santri membuka situs porno, karena takut dihukum dan ketahuan oleh pengurus.29 Al-Qodiri dan Darus Sholah sama-sama membuat aturan ketat dengan sanksi yang berat, mulai dari dipanggil pengurus sampai dengan dikembalikan ke orang tuanya. “Kami memiliki aturan, kalau santri kedapatan membuka situs-situs porno maka kami sanksi. Kalau satu kali, kita panggil. Kalau masih membuka (kedua kalinya) kita tindak secara fisik: dicukur atau diberdirikan. kalau buka lagi (ketiga kali) orang tuanya kita panggil. Kalau masih buka lagi maka kita pasrahkan ke orang tuanya, daripada dia membahayakan kepada teman-teman yang lain.”30 Dilarang Membawa HP! Seiring dengan perkembangan ICT, kini HP tidak hanya menyediakan fitur untuk mengirim pesan singkat (SMS) atau telepon, namun juga dilengkapi dengan fitur-fitur lain seperti: recorder, kamera, radio, televisi, musik, film dan masih banyak lagi. Pemanfaatan fitur-fitur itu tergantung kepada masing-masing pemilik HP. Fitur-fitur itu bisa digunakan untuk sesuatu yang postif, dan sebaliknya bisa dipakai untuk hal-hal yang negatif. Apalagi, kontrol terhadap penggunaan HP praktis sangat terbatas. Pesantren tentu tidak mau mengambil risiko dalam penggunaan HP. Oleh karena itu, semua santri di larang membawa HP ke pesantren. Hanya pengurus saja yang diperkenankan untuk membawanya. Demikian kebijakan yang diambil baik oleh Pondok Pesantren Al-Qodiri maupun Darus Sholah. Pesantren tidak melarang santri untuk berkomunikasi dengan keluarga dan orang lain yang sifatnya penting. Pesantren hanya membatasi penggunaan HP guna menghindari hal-hal negatif dari HP itu sendiri, misalnya: untuk berpacaran, mengakses atau berbagi barang porno, dan perbuatan negatif lainnya. Solusinya, pesantren menyediakan fasilitas telepon yang sewaktu-waktu bisa dipakai oleh santri bila dibutuhkan. “Semua santri dilarang membawa HP, kecuali pengurus. Pesantren sudah menyediakan fasilitas telfon untuk para santri apabila mau telepon ke rumah atau oran tua. kalau ada yang bawa HP kami rampas, kalau ada yang berpacaran maka sanksinya seperti sanksi santri yang membuka situs porno.”31 Di Darus Sholah, larangan membawa HP ke pesantren disampaikan kepada orang tua santri di awal tahun penerimaan santri. Wali santri telah menandatangani surat perjanjian bahwa mereka tidak boleh memfasilitasi anaknya dengan HP mengingat pesantren sudah menyediakan telepon sebagai alat komunikasi bila dibutuhkan. Jika ada santri yang tetap membawa HP, maka akan dirampas dan dilakukan pemanggilan kepada

28 Wawancara dengan Samsuddini, M.Ag., Pengurus Senior Yayasan dan adik ipar dari Pengasuh PP. Darus Sholah, tanggal 8 Nopember 2011 29 Wawancara dengan Alwi, santri dan siswa MA kelas III, tanggal 30 Oktober 2011. 30 Wawancara dengan KH. Umar Saifuddin, MM., tanggal 27 Oktober 2011. 31 Wawancara dengan KH. Umar Saifuddin, MM., tanggal 27 Oktober 2011.

110

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

wali santri sekaligus menyerahkan kembali HP itu kepada orang tuana. Dan jika santri yang bersangkutan tetap melanggar lagi, maka HP itu akan dirampas dan dimusnahkan.32 Tidak Ada Maaf untuk Narkoba dan Seks Pranikah Mengenai seks pranikah tidak pernah terjadi di Al-Qodiri maupun Darus Sholah. Meski begitu, pesantren tetap mengontrol santri dan siswa sehingga tidak berpacaran. Kalau ada yang berpacaran, maka akan dipanggil oleh pengurus dan disanksi. Kalau ketahuan berpacaran kedua kalinya, yang bersangkutan digundul dan diberdirikan di halaman rumah kiai. Kalau sampai tiga kali, maka orang tuanya dipanggil ke pesantren. Kalau masih tetap berpacaran, maka dia dikembalikan kepada orang tuanya. Namun selama ini tidak pernah pengurus sampai mengeluarkan. Biasanya kadang pindah sekolah atau berhenti mondok di sini.33 Untuk menanggulangi seks pra nikah dan narkoba, sistem controlling terhadap santri dan siswa Darus Sholah dilakukan secara bersama-sama. Santri dikontrol langsung oleh pengurus, sedangkan siswa yang dari rumah dikontrol secara bersama-sama oleh Komite Sekolah dengan orang tua siswa. Jika ketahuan ada yang melakukan hal di atas, maka Darus Sholah mengeluarkan santri atau siswa tersebut, karena itu dianggap pelanggaran berat.34 Penutup Pondok pesantren perkotaan memandang globalisasi sebagai dinamika zaman yang tidak bisa dihindari. Globalisasi dengan segala akibatnya tidak perlu ditakuti, namun harus disikapi secara serius. Apapun sikap masyarakat atau komunitas, termasuk pesantren, globalisasi tetap bergulir memasuki relung-relung kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pesantren memilih bersikap aktif dengan tetap mempertahankan identitas dan cirikhas pesantren. Dinamika ICT yang menjadi “ruh” globalisasi disikapi pesantren dengan melengkapi fasilitas ICT di pesantren dan sekolah formalnya. Santri dikenalkan dan diajari teknologi informasi dan komunikasi. Bahasa Inggris yang menjadi alat komunikasi internasional juga dikembangkan di pesantren. Santri dilatih agar bisa berbahasa Inggris dengan baik, terutama pada aspek speking-nya. Pesantren sama sekali tidak memandang “buruk” terhadap bahasa Inggris karena berasal dari Barat (dunia non-Muslim). Bagi pesantren, bahasa itu bersifat netral, tidak berkaitan dengan agama atau etnis manapun. Dengan demikian, jebolan pesantren tidak hanya menguasi satu bahasa Arab saja, tapi juga bahasa Inggris yang sangat diperlukan di era globalisasi. Pesantren masih memegang prinsip bahwa orientasi mondok di pesantren tidak lain untuk tafaqquh fi aldin (mencari ilmu agama) dan menghilangkan kebodohhan (izalat al-jahli). Pesantren meluruskan orientasi sejumlah wali santri atau santri yang mondok untuk mencari pekerjaan. Pesantren sama sekali tidak menolak bahwa pekerjaan itu penting, namun pekerjaan janganlah dijadikan sebagai orientasi di dalam menuntut ilmu. Bagi pimpinan pesantren, jika seseorang sudah memiliki ilmu, Allah pasti akan mencukupi kebutuhannya. Ini sudah janji Allah dalam Al-Qur’an: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu” (QS. al-Mujadalah: 11). Setiap era pasti mengandung plus dan minus. Tak terkecuali era globalisasi. Oleh karena itu, pesantren mencoba mengambil hal-hal positif dan membuang sesuatu yang 32

Wawancara dengan Zainul Hakim M.Pd.I, Pengurus Senior dan Pendidik di Pondok Pesantren Darus Sholah, tangga 11 Nopember 2011 33 Wawancara dengan Ust. Abd. Aziz, S.Pd.I., Ketua Pengurus Pesantren Al-Qodiri tanggal 1 Nopember 2011 di Kantor Pengurus. 34 Wawancara dengan Samsuddini, M.Ag., Pengurus Senior Yayasan dan adik ipar dari Pengasuh PP. Darus Sholah, tanggal 8 Nopember 2011

111

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

negatif dari globalisasi. Dalam hal pakaian, pesantren mewajiban santri mengenakan pakaian sesuai dengan syariat, bukan hanya ketika di pesantren, namun juga ketika di rumah masing-masing. Santri boleh mengikuti model pakaian yang sedang trend di masyarakat asalkan tidak menyalahi syariat. Pesantren berpendirian bahwa syariat jangan sampai dikalahkan oleh trend. Dalam teknologi informasi, pesantren melarang santri membawa HP ke pesantren. Kemudian, dalam penggunaan internet, pesantren melakukan pengawasan dan pengamanan secara ketat sehingga santri tidak mengakses hal-hal porno. Pengawasan ketat juga dilakukan terhadap Miras, narkoba dan seks pranikah. Tidak ada toleransi sedikit pun terhadap ketiganya. Sanksi terhadap ketiganya adalah santri yang bersangkutan dikembalikan kepada orang tuanya.

112

Hindanah, Respon Pondok Pesantren Perkotaan Terhadap Globalisasi di Kabupaten Jember

DAFTAR PUSTAKA

A. Qodri Azizi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2006 Abd. Rachman Assegaf, “Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi,” dalam Imam Mahalli dan Musthofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004 Abdul Halim Soebahar, Pendidikan Islam dan Trend Masa Depan, Jember: Pena Salsabilam 2009 Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren,” dalam Ismail SM, et.al., Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar 2002 ______, Dari Haramain Ke Nusantara: Jejak Intelektual Pesantren, Jakarta: Prenada Media, 2006 ______, Intelektual Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004 ______, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media, 2003 Abdurrahman Wahid, “Principles of Pesantren Education, dalam Manfred Oepen and Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, Jakarta: P3M, 1988 Akbar S. Ahmed dan Hanstings Donnan, Islam, Globalization and Postmodernity, London: Routledge, 1994 Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan dan Yustina Koen S., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001 AS. Hornby, Oxford English Advanced Learner’s Dictionary, Fifth Edition, Oxford: Oxford University Press, 1995 Asma Hasan Fanani, Filsafat Kependidikan Islam, Terj. Ibrahim Husein, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium, Ciputat: Kalimah, 2001 Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKiS, 2005 Francis Wahono, Teologi Pembebesan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000 Hans Fink, Filsafat Sosial dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, terj. Sigit Djatmiko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1983

113

Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012

M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1993 Mansor Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002 Marwan Saridjo et.al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bakti, 1979 Mastuhu dan Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru dalam Penelitian Agama, Bandung: Nuansa, 1998 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994 Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi: Resistensi Tradisional Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Mujamil Qomar, Dari Transformasi Metodologi ke Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005. Mukti Ali, “Agama, Globalisasi dan Pembangunan,” dalam Menanggapi Tantangan Masa

Depan Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhannas, Jakarta: Sinar Harapan, 1995 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 2007 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Qomaruddin Hidayat, “Jebakan Keragaman Agama,” KOMPAS, 29 September 2010. Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, Yogyakarta: Gama Media, 2004 Ronald L. Johnstone, Religion in Society: A Sociologi of Religion, New Jersey: PrenticeHall, 1975 Said Aqil Husein Al-Munawar, Said Agil Husein Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005 Sudarwan Danim, 2003, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Sudjoko Prasodjo, Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Zamachsyari Dlofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1984

114