anomali pendidikan tinggi akuntansi dan pendidikan profesi ...

8 downloads 120 Views 32KB Size Report
yang berkepentingan dengan pendidikan akuntansi seperti KAP kecil, KAP besar .... Kita miskin jurnal-jurnal ilmiah yang bermutu untuk disiplin akuntansi,.
ANOMALI PENDIDIKAN TINGGI AKUNTANSI DAN PENDIDIKAN PROFESI BERKELANJUTAN Oleh : Drs. M. Jusuf Wibisana, MEc. Ak. 1. PENDAHULUAN 2. BANYAK YANG DIAJARKAN, SEDIKIT YANG DIKUASAI 3. PENDIDIKAN MORAL BANYAK, ETIKA BISNIS RENDAH 4. TINGKAT PEMAHAMAN RENDAH, TINGKAT KELULUSAN TINGGI 5. PROFESIONALISME DAN SERBUAN TENAGA ASING 6. PENDIDIKAN PROFESI BERKELANJUTAN (PPL)

PENDAHULUAN Berbeda dengan negara-negara di Anglo-American, akuntan beregister (certified / chartered accountants) di Indonesia sampai dengan saat ini bisa dihasilkan secara langsung oleh perguruan tinggi yang diakui. Organisasi profesi tidak banyak terlibat. Karena itu, karakteristik akuntan beregister di Indonesia juga mencerminkan pola pendidikan di perguruan tinggi (PT). Kurikulum dibuat seragam dengan sedikit sekali peluang untuk mengakomodasi muatan lokal. Kurikulum jarang direvisi, dan kalaulah direvisi, link and match dengan kebutuhan dunia bisnis dan profesi tidak optimal. Hal ini terjadi karena, salah satunya, kurikulum disusun oleh para akademis murni, tanpa banyak melibatkan kalangan bisnis dan profesi akuntansi. Di Amerika pengembangan kurikulum akuntansi di PT justru diprakarsai oleh the American Accounting Association (AAA) yang berkerjasama dengan kantor-kantor akuntan terbesar yang kemudian dikenal sebagai the big six. Mereka pada 1989 mendirikan the accounting education change commision (AECC) yang beranggotakan 18 orang. Para anggota mewakili berbagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan akuntansi seperti KAP kecil, KAP besar, kalangan bisnis dan industri, regulator (the national association of state boards of accountancy), para dekan PT bisnis serta para pimpinan PT dan pakar pendidikan, dan akuntan pendidikan (Williams, 1993) Masalah dari akuntan beregister cetakan PT secara langsung adalah ketidakseragaman mutu akuntan yang cukup material, mengingat mutu PT secara langsung PT di negara kita, seperti juga di mana saja, tidak seragam. Ketidak-seragaman mutu akuntan cetakan PT ini berpangkal pada anomalianomali yang ada pada pendidikan akuntansi di perguruan tinggi kita. Sementara jurusan akuntansi ada di hampir seluruh PT yang memiliki fakultas ekonomi, kita jarang sekali membicarakan secara serius upaya-upaya untuk memajukan pendidikan akuntansi. anomali-anomali di PT berikut ini mungkin harus dipecahkan terlebih dahulu.

BANYAK YANG DIAJARKAN, SEDIKIT YANG DIKUASAI Perguruan tinggi di Indonesia rata-rata mengajarkan lebih banyak matakuliah dengan beban SKS yang lebih banyak pula. Di luar negeri untuk menjadi sarjana S1, mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan sekitar 120 SKS, bahkan ada yang sekitar 80 SKS. Di Indonesia secara formal 144 SKS harus diselesaikan, tapi dalam praktek banyak yang 160 SKS atau lebih. Ini setara dengan beban untuk S2 di luar negeri. Terlalu banyak matakuliah dan kandungan SKSnya menyebabkan proses belajar mengajar tidak terfokus, kedalaman menjadi kurang. Dampak langsung bisa dilihat bagaimana mahasiswa seringkali belum memiliki pengetahuan yang utuh ketika maju ujian komprehensif (peradaban) di akhir masa studinya. Diukur dengan SKS yang lazim di sini, beban studi di banyak perguruan tinggidi luar negeri seperti sangat sedikit. Di Macquarie University, Australia, sebagai contoh, mahasiswa sudah bisa menyelesaikan program setara S1 dengan belajar selama enam semester atau tiga tahun. Tiap semester rata-rata ditempuh 3 sampai 5 mata kuliah dengan durasi tatap muka dengan dosen untuk satu mata kuliah setara dengan 3 SKS di Indonesia. Sementara di Indonesia setiap satu semester rata-rata ditempuh 6 sampai 8 mata kuliah. Durasi tatap muka dengan dosen dalam kelas utama di universitas tersebut dalam satu semester juga lebih sedikit, karena kuliah hanya berlangsung 11 kali tatap muka, sedang di Indonesia sekitar 16 kali. Kendati demikian, untuk setiap satu mata kuliah dalam satu semester, satu texbook tebal bisa dibahas dengan seksama. Soal-soal dan kasus-kasus yang ada di dalam texbook dibahas dalam kelas-kelas tutorial. Kelas-kelas tutorial ini diselenggarakan secara rutin, dan diperlakukan lebih penting dari kelas utama dengan dosen, karena di kelas ini presensi wajib ditandatangani. Satu kelas tutorial dibatasi hanya sekitar 20 siswa, sementara di kelas utama bisa sampai 150 orang. Biasanya untuk bisa menyerahkan tugas-tugas pada kelas tutorial, seorang mahasiswa harus bekerja keras, seringkali sepanjang hari di perpustakaan, termasuk hari libur akhir pekan. Di Indonesia materi dalam texbook yang sama akan diajarkan dalam dua semester, itu pun tanpa banyak mengerjakan soal-soal dan kasus yang ada. Kelas-kelas tutorial hampir-hampir tidak ada, dengan alasan keterbatasan ruang dan ketiadaan tutor. Yang jelas kelas-kelas tutorial semacam ini akan menambah biaya yang bisa memperkecil “laba” perguruan tinggi. Soal-soal dan kasus-kasus akhirnya jarang dibahas. Kalaulah ada satu-dua dosen yang memberikan tugas, tugas yang dikumpulkan mahasiswa jarang dikoreksi untuk dibagikan kepada mahasiswa. Alasannya adalah bahwa kesibukan mengoreksi tugas-tugas tidak sesuai dengan renumerasi yang diterima, atau mungkin juga masih banyak dosen yang juga belum tahu penyelesaian dari soal dan kasus yang ditugaskan.

Mahasiswa kita sudah faham dengan budaya ini, sehingga tugas yang hanya sedikit tersebut dikerjakan asal-asalan, atau bahkan banyak yang hanya mengopi disket teman dengan sedikit mengubah awal kalimat atau bentuk hurufnya. Kegiatan terstruktur dan mandiri yang diwajibkan sistem SKS jarang dilakukan. Dampak berikutnya adalah penguasaan materi kuliah menjadi dangkal. Kalau di PT yang sudah maju di luar negeri dosen hanya sebagai fasilisator, di negara kita dosen adalah pengajar “sejati”, karena merupakan ‘satu-satunya’ sumber ilmu pengetahuan. Angka-angka satuan kredit semester (SKS) formal, dengan demikian, tidak bisa menunjukkan seberapa banyak anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan di sekolah. Lebih banyak SKS tidak selalu menunjukan penguasaan materi yang lebih banyak pula.

PENDIDIKAN MORAL BANYAK, ETIKA BISNIS RENDAH Pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan moral, etika, humaniora, dan perilaku luhur diajarkan secara cukup, bahkan sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Tapi sampai dengan orde baru berusia 30 tahun, moral bangsa Indonesia belum sampai pada tingkat keluhuran seperti yang didambakan. Kegiatan profesi hukum, appraisal, seperti juga profesi akuntansi diwarnai pelanggaran kode etik yang saling melengkapi dan menunjang dengan kegiatan bisnis yang dilayani. Profesi akuntansi bahkan sampai mendapat gelar yang notorious seperti akuntan penjahit, akuntan perias, akuntan pesulap, dan sebagainya. Kalaupun benar apa yang ditulis di majalah Fortune tanggal 27 juli 1995 tentang Corrupt O Metr in Asia dan laporan bank dunia yang ditulis di majalah Newsweek edisi tutup tahun 1995, yang juga dikuatkan oleh laporan Transparancy International yang berkedudukan di Eropa, Indonesia ternyata masih mengantongi predikat salah satu negara yang paling korup di dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemapuan sistem pendidikan kita dalam mengubah perilaku anak didik. Atau, mungkinkah pendidikan formal tentang etika bangku sekolah yang relatif pendek bisa mengalahkan pendidikan formal dalam hidup bermasyarakat ?

TINGKAT PEMAHAMAN RENDAH, TINGKAT KELULUSAN TINGGI Tingkat pemahaman akan mata kuliah di perguruan tinggi relatif rendah, tapi tingkat kelulusan mahasiswa sangat tinggi. Sebuah kasus tentang kasus ujian negara akuntansi (UNA) dengan ujian negara cicilan (UNC) untuk disiplin akuntansi juga mungkkin bisa menjelaskan anomali ini. UNA adalah ujian untuk mendapatkan sertifikat akuntan bagi mahasiswa dan alumni jurusan akuntansi di Indonesia secara nasional. Sedang UNC adalah ujian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah koordinasi perguruan tinggi swasta (Kopertis). Dalam pelaksanaannya Kopertis akan menunjuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang dipandang mampu sebagai penguji, ditambah penguji yang

ditunjuk oleh kopertis berdasarkan usulan PTS yang bersangkutan. Sistem penilaian dan soal-soal untuk UNA adalah sama untuk seluruh Indonesia, sedang untuk UNC sangat tergantung dari penyelenggara. Karena soal dan sistem penilaian seragam untuk seluruh perguruan tinggi (PT), UNA selayaknya bisa dipakai sebagai tolak ukur mutu atau tingkat pemahaman mata kuliah pendidikan akuntansi di PT yang lebih baik ketimbang indeks prestasi (IP) atau tingkat kelulusan UNC. IP dan hasil UNC lebih bersifat lokal karena sangat tergantung dari penyelenggara yang jumlahnya sangat banyak dan belum memiliki kesepakatan ‘material’ tentang dan sistem UNC. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kelulusan UNA kurang dari 10 %, sedang tingkat kelulusan UNC untuk bidang akuntansi berkisar 80 %. Konfliknya tingkat kelulusan ini merupakan keganjilan yang membingungkan, karena baik UNA maupun UNC tersebut didasarkan pada kurikulum akuntansi yang sama. Ataukah yang ikut UNA adalah para lulusan akuntansi yang tergolong kurang mampu ? Tampaknya tidak, karena IP rata-rata peserta UNA relatif tinggi. Indikator lain untuk melihat tingkat pemahaman mahasiswa adalah dengan melihat hasil tes masuk lapangan kerja. Banyak konsultan yang mengeluh bahwa pelamar kerja yang mereka tes ternyata memiliki tingkat pemahaman yang relatif dangkal. Begitu banyak perguruan tinggi, begitu sedikit ilmuwan atau kaum pakar mungkin sulit untuk percaya bahwa jumlah PT di tiga kota pendidikan di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Malang dan Bandung, lebih banyak dari jumlah PT diseluruh Malaysia. Begitu banyak PT dimiliki Indonesia, tapi begitu sedikit kaum intelektual, ulung, inovator, ataupun teknologi unggulan yang lahir dari PT kita. Dengan jumlah PT yang sampai sekitar 1200 buah, kita ternyata lebih banyak mencetak pengangguran ‘intelektual’, ketimabang tenaga terdidik yang siap pakai. Kita miskin jurnal-jurnal ilmiah yang bermutu untuk disiplin akuntansi, sementara kaum intelektual kita jarang menampilkan publikasi ilmiah di jurnaljurnal akuntansi bergengsi di dunia. Dari segi institusi kita juga tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Filipina, Singapura, dan Thailand. Dengan jumlah PT yang lebih sedikit dari pada yang ada di Indonesia mereka mampu memiliki PT yang bermutu ‘internasional’ dan cukup disegani di kawasan Asia Pasifik.

PROFESIONALISME DAN SERBUAN TENAGA ASING Anomali-anomali di atas yang mungkin mendorong dunia bisnis untuk merekrut karyawan yang terkadang tidak memiliki latar belakang disiplin ilmu yang sesuai dengan posisinya. Akuntan menjadi sales execitive di bank, sarjana pertanian menjadi pemopram software, sarjana hukum menjadi bendaharawan, insinyur mesin menjadi tenaga pemasaran produk-produk toiletries, dan sebagainya. Para pengusaha mungkin sadar bahwa mereka tidak bisa medapatkan tenaga terampil yang siap pakai dari perguruan tinggi, karena itu

mereka mengutamakan kapasitas intelektual dan integritas moral secara umum. Ketrampilan kerja yang sesuai dengan bidang yang mereka butuhkan akan diajarkan sendiri melalui program-program pelatihannya. Kalau benar seperti ini, lantas dimanakah profesionalisme dunia pendidikan tinggi kita ? Yang lebih memprihatinkan adalah kalau anomali-anomali tersebut yang menyebabkan para konglomerat dan perusahaan multinasional lebih suka merekrut tenaga asing (expartriat). Dan ini yang tampak sedang menjadi kecenderungan, paling tidak di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Industri tekstil dan baja banyak memperkerjakan orang India. Bisnis jasa konsultasi banyak menggunakan tenaga dari Filipina dan Amerika. Perusahaanperusahan multinasional dari the interlinked economy (ILE) banyak mengambil manajer-manajer dari negara asalnya. Sebuah kantor akuntan publik (KAP) besar yang berkantor pusat di Jakarta semakin banyak memperkerjakan akuntan-akuntan dari Filipina, bahkan juga ada yang dari Australia dan India. Tenaga-tenaga asing tersebut direkrut karena memiliki keunggulan dalam hal penguasaan teknologi akuntansi disamping kepiwaian dalam berkomunikasi yang didukung oleh kemahiran berbahasa Inggris. Yang terakhir KAP tersebut bahkan sampai mempromosikan beberapa tenaga asing sebagai partner atau peseronya, yang otomatis berhak atas pembagian laba dan pembuatan keputusan-keputusan strategis. Sampai saat ini partner asing sudah mencapai 15 %, dan bukan mustahil jumlah ini akan terus meningkat, terutama menjelang era perdagangan bebas di tahun 2003 nanti. Perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan sistem pendidikan tinggi adalah salah satu cara terpenting untuk bisa menguatkan daya saing kita.

PENDIDIKAN PROFESI BERKELANJUTAN (PPL) Pendidikan profesi berkelanjutan (PPL) adalah bagian penting dari setiap organisasi profesi untuk menjaga dan meningkatkan mutu anggotanya secara terus menerus. Di Indonesia PPL memiliki posisi yang sangat strategis, terutama mengingat sistem pendidikan akuntansi di PT yang mengikuti kebijakan pendidikan nasional yang serba sentralistik dan relatif kaku. PPL berada di tangan profesi akuntansi sendiri. Karena itu, sepanjang profesi memilikki wawasan dan upaya yang cukup, PPL bisa dipakai sebagai alat yang paling baik untuk memperbaiki dan meluruskan anomali-anomali yang ada di pendidikan akuntansi di PT, disamping untuk merespon secara cepat perubahan – perubahan kebutuhan di dunia praktek. Dengan PPL, kurangnya link and match yang terkadang ditemukan di PT bisa diperbaiki.

Materi PPL PPL di berbagai negara maju didominasi oleh pengajaran isu-isu terkini (current issues), karena isu-isu ini yang tidak mereka dapatkan di PT, disamping tujuan utama PPL adalah untuk merespon perkembangan di dunia bisnis dan profesi. Di Indonesia, paling tidak sampai saat ini, current issues juga masih mendominasi. Hal ini sangat beralasan, karena pengajaran di PT selalu tertinggal dari perkembangan di dunia bisnis dan perkembangan profesi akuntansi. komite standar akuntansi keuangan (KSAK) dan komite norma pemeriksaan akuntan (KNPA) selalu mengundangkan atau merevisi standar baru. Globalisasi bisnis menyebabkan perubahan pola bisnis yang secara langsung berdampak pada kurikulum akuntansi dan keuangan. Keterlambatan PT dalam mengakomodasikan perubahan-perubahan ini dalam kurikulumnya harus ditutup oleh PPL. Untuk Indonesia, bagaimanapun juga, mengajarkan isuisu terkini saja tidak akan memecahkan masalah peningkatan mutu anggota profesi secara penuh. PPL juga harus menjawab anomali-anomali dalam pendidikan akuntansi di PT, disamping harus didesain sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan profesionalisme akuntan secara terus menerus. Profesi akuntansi harus mendefinisikan apa kepentingan para anggotanya dalam lingkungan bisnis yang berubah cepat. Apabila organisasi profesi (IAI) menginginkan anggota-anggotanya mendapat tempat terhormat dalam dunia bisnis, IAI harus berusaha untuk melengkapi anggota-anggotanya dengan materi-materi PPL yang mampu mengubah pola pikir dan pola kerja akuntan dari sekedar pekerja teknik menjadi pengusaha dengan daya kreasi dan inovasi yang tinggi, serta memiliki kemampuan komunikasi dan kepemimpinan yang andal. Isu-isu terkini (current issues) Pengajaran isu-isu terkini dalam PPL hendaknya meliputi isu-isu berkaitan dengan standar akuntansi keuangan (SAK) dan standar profesional akuntan publik (SPAP), baik standar-standar yang baru diundangkan maupun standarstandar lama yang penting dan kontroversial. Pembahasan-pembahasan standar ini tidak boleh hanya berkisar masalah-masalah teknik, tetapi juga harus meliputi pula pembahasan tentang dampak ekonomi dari standar-standar tersebut. Di samping isu-isu terkini tentang profesi, isu-isu terkini dalam bidang akuntansi manajemen dan sistem informasi juga harus diberikan porsi yang cukup. Globalisasi bisnis juga menyebabkan perubahan yang besar pada manajemen keuangan perusahaan modern. Institusi keuangan, termasuk pasar modal, bergerak ‘bebas’ melewati batas-batas geografis negara. Negara-negara telah dan akan segera menjadi borderless world. Untuk ini, pengajaran corporate finance yang modern, international finance, dan internasional accounting menjadi keharusan (lihat Ohmae, 1990).

Etika Profesi dan Etika Bisnis Di atas telah disinggung keraguan penulis tentang kemampuan sistem pendidikan formal kita untuk merubah perilaku para individual untuk menjadi lebih beretika. Ditambah dengan fakta bahwa diskusi atau pengajaran kasuskasus berkenaan dengan kode etik profesi dan etika bisnis yang sangat sedikit, PPL harus memasukkan dalam agenda utamanya pengajaran kode etik profesi dan etika bisnis. Di Amerika, Jeffrey (1993) meneliti dan sampai pada simpulan bahwa mahasiswa akuntansi tingkat akhir ternyata memiliki ethical development yang lebih tinggi ketimbang mahasiswa akuntansi tingkat awal. Pendidikan formal tentang etika dan moral profesi dan bisnis ternyata mampu membangun etika dan moral para mahasiswa tersebut. Temuan lain juga tak kurang menariknya. Mahasiswa akuntansi ternyata memiliki ethical development yang lebih tinggi ketimbang mahasiswa bisnis jurusan lain dan mahasiswa ilmu sosial lain. Temuan-temuan ini penting bagi IAI, karena pendidikan formal ternyata bisa merubah perilaku akuntan. PPL yang direncanakan dengan baik, dengan materi yang tersusun baik memiliki kasus-kasus aktual, dengan jam yang cukup, diharapkan mampu membangun etika profesi para akuntan secara lebih efektif dari pada pendidikan formal di PT. Kreatifitas dan inovasi Akuntansi adalah disiplin yang selalu berkembang selaras dengan perkembangan dunia bisnis yang dilayani. Akuntan, baik akuntan publik, akuntan pendidik, maupun akuntan intern, akan selalu menghadapi hal-hal yang baru dan hal-hal yang kontroversial yang mungkin belum ada penuntunnya. Daya krasi dan inovasi dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah seperti itu. Malangnya, sebuah survey yang dilakukan majalah Asian Business (Vol. 31 No. 9, september 1995) menunjukkan bahwa sementara kreaktifitas dan inovasi dianggap sebagai keahlian yang paling penting bagi manajer, tapi kreatifitas dan inovasi termasuk keahlian yang paling langka dimiliki (Syrett, 1995). Ini mungkin sebagian disebabkan oleh pola pengajaran di PT yang relatif dogmatik. PPL memiliki peluang untuk mengakomodasi materi ini, sehingga para anggotanya diharapkan mampu bersaing dengan profesi lain di kancah bisnis yang semakin terbuka ini. Individual skills in communication, leadership, and enterpreneurship Salah satu ciri yang membanggakan dari profesi akuntansi di Amerika Serikat adalah bahwa profesi ini mampu mengubah akuntan menjadi pengusaha yanng memiliki wawasan luas dan kemampuan manajerian yang andal. Tidak mengherankan kalau banyak posisi strategis dalam perusahaan-perusahaan besar di AS, seperti CEO, diduduki oleh akuntan. Hal ini terjadi pada profesi akuntansi di Jepang atau di Jerman. Apabila IAI menginginkan anggotanya

menduduki posisi strategis dan terhormat semacam ini, PPL harus diisi dengan materi-materi yang mendukung ke arah sana. Kepiwaian dalam komunikasi, kepemimpinan, dan kewirausahaan adalah materi-materi yang harus diajarkan, karena Syrett (1995) menemukan bahwa tiga skills ini paling dibutuhkan oleh seorang pengusaha.