Apa sih SURABAYA PUNYA CERITA itu? - Nulisbuku.com

12 downloads 2354 Views 88KB Size Report
dan keadaan kota ini di masa lalu (tentu saja berdasarkan ... (berbagi) cerita tentang nostalgia-nostalgia masa lalu, sejarah .... Namanya juga anak kecil, pasti .
Apa sih SURABAYA PUNYA CERITA itu? Tak ada yang istimewa sebenarnya. Semuanya berawal dari kebiasaan saya yang selalu diceritani ibu saya yang asli Surabaya, tentang masa muda dan keadaan kota ini di masa lalu (tentu saja berdasarkan yang beliau ingat). Tak hanya itu, saya pun juga memiliki kebiasaan “menularkan” (berbagi) cerita tentang nostalgia-nostalgia masa lalu, sejarah ataupun info-info lain tentang Surabaya yang acapkali terlupakan (baik yang bersumber dari ibu maupun orang lain dan/atau hasil dari membaca beberapa informasi dari literatur, website, dan lain-lain), kepada sejumlah teman dan orang lain. Uniknya, hal ini cukup menarik dan saya mendapatkan relasi baru sebagai konsekuensinya. Sejurus kemudian, pertemuan dengan salah seorang sahabat saya pada 21 Oktober 2012 lalu, ditemani dengan teh tarik dan kopi hitam di Warung Medan, Semolowaru, Surabaya, membuat saya optimis dapat mengembangkan potensi tersebut. Akhirnya setelah saling berbagi wawasan, lahirlah konsep “Surabaya Punya Cerita”. Akhirnya, pada 28 Oktober 2012 (Alhamdulillah, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda), konsep tersebut direalisasikan dengan melahirkan sebuah blog dengan format wordpress.com, dengan tulisan perdana yang berjudul “SAK ECE (1 ECE) DAN ANGSUL-ANGSUL”. Tulisan ini saya dapatkan langsung dari tutur kata ibu saya ketika saya menemaninya melakukan general check up.

Hanyalah tulisan sederhana tentang memorabilia seorang ibu dengan salah satu kisah di masa mudanya. Dari tulisan tersebut, akhirnya terumuskan bahwa Surabaya Punya Cerita ini berkeinginan mengajak setiap orang (siapa saja dan dari mana saja) untuk memiliki semangat berbagi cerita, dari apa yang mereka tahu, lihat, pernah alami dan/atau rasakan tentang Surabaya. Dengan demikian akan timbul rasa bangga dan memilikinya. Surabaya di sini pun pada akhirnya bukan hanya dimaknai sebagai sebuah kota, namun juga sebagai sebuah simbol kemajemukan atau pluralitas. Kenapa harus cerita? Saya yakin, tak ada seorang pun yang tak suka diceritani ataupun bercerita. Cerita ini bisa berwujud sejarah, nostalgia, pengalaman, kekinian bahkan bisa saja impian di masa depan, yang terekam secara dinamis melalui gaya hidup, dinamika masyarakat, seni, budaya, dan lain-lain, yang biasa disebut sisik melik. Akhirnya, muncullah tagline dari Surabaya Punya Cerita, yakni: Sudut Berbagi Cerita dan Sisik Melik Surabaya. Syukur Alhamdulillah hingga di penghujung tahun 2012, keberadaan Surabaya Punya Cerita mulai direspon dengan baik oleh beberapa kalangan. Hingga pada akhirnya, per 4 Januari 2013, Surabaya Punya Cerita memutuskan untuk menggunakan domain (dot) com

(http://ceritasby.com) sebagai weblog hingga sekarang.

operasionalisasi

Insya Allah, Surabaya Punya Cerita akan terus berkembang dan berinovasi, sehingga diharapkan bisa menjadi sebuah direktori untuk dapat saling berbagi dan memberikan referensi serta menginspirasi. Namun, tak menutup kemungkinan, dapat pula dilakukan kolaborasi antarlini untuk bersama-sama berkarya dalam mencerahkan Surabaya dan Indonesia. Surabaya Punya Cerita (http://ceritasby.com) bisa kawan-kawan temui di Surabaya Punya Cerita @ceritasby Nah buat kawan-kawan yang punya cerita dari ibunya, ayahnya, budenya, mbahnya atau dari siapa saja, tuangkan saja dalam tulisan dan bisa mengirimkannya via email ke [email protected] Salam hormat, Surabaya Punya Cerita

Syukur Alhamdulillah, … Saya tidak tahu dari mana saya memulai semua ini. Pertama-tama saya haturkan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Allah SWT atas pancaran rahmat dan kasih sayangNya, terwujud juga buku “Surabaya Punya Cerita” ini. Sebenarnya tak ada niatan dari saya untuk membukukan weblog “Surabaya Punya Cerita”. Saya berpikir, kenapa harus dibukukan? Wong jaman sekarang teknologi sudah semakin maju dan internet juga sudah dapat diterima dan diakses di berbagai kalangan. Jadi untuk apa lagi dibukukan? Selain itu saya juga agak keder, karena tak ada yang istimewa dari “Surabaya Punya Cerita” ini, yang tak lebih dari comotan cerita sana-sini. Padahal saya sempat bercerita kepada salah seorang kawan sekaligus mentor saya, bapak Dukut Imam Widodo, bahwa saya ingin sekali membuat buku tentang Surabaya seperti beliau sejak awal 2011 lalu, namun baru terealisasi di tahun 2013 ini. Saya jujur mengakui, saya ini termasuk orang yang minder, tidak pede dengan potensi yang sebenarnya saya miliki. Jangankan buku, membuat weblog “Surabaya Punya Cerita” itu hingga kini masih diselimuti ketidakpedean. Ketidakpedean saya dalam menggagas “Surabaya Punya Cerita” ini cukup beralasan karena takut gagal, yakni takut tidak dapat diterima dan mendapatkan respon dari masyarakat, karena hanya comot sana sini tadi.

Syukur Alhamdulillah pelan-pelan ternyata Surabaya Punya Cerita ini mendapatkan atensi dari beberapa kalangan terutama anak mudanya. Hal yang membuat saya optimis bahwa ini bisa berkembang, ketika tulisan tentang nostalgia Srimulat Surabaya dalam weblog itu direspon dengan baik oleh berbagai kalangan seiring beredarnya film Finding Srimulat tanggal 11 April 2013 lalu. Seiring itu pula, Surabaya Punya Cerita pun dirasakan eksistensinya sebagai sebuah weblog yang berupaya menyajikan potensi lokal dengan citarasa nasional Dan, tiba-tiba pada bulan Mei 2013 lalu, seorang kawan saya tiba-tiba mengusulkan jika “Surabaya Punya Cerita” layak dibukukan. Tentu saja usulan itu tidak serta merta saya terima. Walaupun alasannya masuk di akal. “Dengan dibukukannya “Surabaya Punya Cerita”, akan memberikan nilai plus bagi dirimu, karena setidaknya karya mas Ipung ada dan benar-benar nyata. Terlebih “Surabaya Punya Cerita” sudah menginspirasi kita semua untuk mengenal lebih dekat Surabaya secara sederhana namun bermakna”, kata seorang kawan saya yang bekerja di salah satu media di Surabaya. Ditambahkan pula oleh salah seorang sesepuh Surabaya, bapak Suparto Brata, yang mengatakan bahwa dengan dituliskannya atau didokumentasikannya sebuah kisah ke dalam sebuah karya (buku) maka menjadikan perjalanan

kehidupan dunia ini tidak akan sia-sia begitu saja, karena akan menjadi abadi. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Seolah menemukan jalannya, pada awal bulan Juli 2013, saya pun mengenal nulisbuku.com, yang ternyata juga memberi spirit dan keyakinan bahwa “Surabaya Punya Cerita” ini layak dibukukan sebagai “artefak” dan salah satu saksi perjalanan kehidupan saya. Oleh karena banyaknya cerita yang ada, maka saya hadirkan buku “Surabaya Punya Cerita” ini ke dalam beberapa volume buku. Syukur Alhamdulillah, buku “Surabaya Punya Cerita” volume 1 ini jadi sudah dan saya persembahkan mengenang 100 hari kepergian almarhum ayah saya, Bapak Masini Atmadji yang telah pergi untuk selama-lamanya pada hari Jumat, 21 Juni 2013 lalu dan mengenang wafatnya GH Von Faber (jurnalis dan penulis buku “Oud Soerabaia”) yang sedikit banyak menginspirasi lahirnya buku ini., yang meninggal pada 30 September 1955. Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula buku ini, yang sejatinya masih jauh dari harapan dan kesempurnaan. Last but not least, semoga hadirnya buku ini dapat diterima dengan baik dan dapat memberikan khasanah dan wawasan kepada kita semua untuk dapat saling bersinergi dalam mencerahkan Surabaya dan Indonesia.

Mohon doanya semoga dapat hadir volumevolume yang selanjutnya dari buku “Surabaya Punya Cerita” ini. Amin…

Surabaya, September 2013 Dhahana Adi

SAK ECE (1 ECE) dan ANGSUL-ANGSUL Sore itu saya mendapat cerita kenangan masa kecil dari ibu saya. Dalam cerita beliau terselip dua kata "asing" tersebut, dan ternyata kata-kata tersebut begini penjelasannya. Ece adalah salah satu satuan hitung mata uang jaman dulu (jaman biyen), ya sama lah dengan gobang, sen ataupun eteng, namun berbeda-beda nilai dan periodisasinya. Menurut ibu saya, satuan mata uang ece ini lebih modern masanya (pada saat itu). Ibu saya bercerita bahwa dulu uang sebesar sak ece (1 ece) bisa digunakan untuk membeli kecap manis secangkir kecil (kurang lebih 75-100 ml). Namanya juga anak kecil, pasti iseng dan usil.. Setiap disuruh beli kecap, ibu saya selalu nduliti (menjilati menggunakan jari telunjuk tangan) kecap itu sampai tak terasa kecap itu tersisa tinggal hampir separuh cangkir yang dibawakan oleh budhe saya. Selain ece, ibu saya juga bercerita tentang angsulangsul. Nah kalau satu ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Surabaya kala itu. Angsul-angsul ini berupa oleh-oleh yang diberikan pada para tamu undangan pernikahan, kalau jaman sekarang semacam suvenir, tapi angsul-angsul ini berupa makanan (ancen bener yo Suroboyo iki kutho badhogan, hehe..) yang berupa semacam wajik putih namun kering. Bentuk jajanannya seperti wajik klethik begitulah kata ibu saya, tapi

dibungkus plastik dan ditaruh dalam tas kecil yang terbuat dari kertas klobot (kulit jagung) warna warni. Wah menarik yaa sepertinya..