bab 1.pdf - Universitas Islam Indonesia

35 downloads 164 Views 88KB Size Report
laundry. Usaha ini banyak terdapat dikota-kota besar terutama dikota yang ... Dalam menjalankan bisnisnya, sering kali para pelaku usaha laundry menerapkan ...
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak terdapat dikota-kota besar terutama dikota yang banyak terdapat mahasiswa. Kehadiran usaha jasa laundry memberikan dampak positif bagi mahasiswa, salah satunya dapat meringankan beban pekerjaan rumah mahasiswa yang semula memcuci pakaian dikerjakan sendiri menjadi tidak dengan adanya jasa laundry, selain itu juga lebih efisien waktu dan tenaga. Dalam menjalankan bisnisnya, sering kali para pelaku usaha laundry menerapkan perjanjian baku secara sepihak. Perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang distandarisasikan atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran.1 Ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut:2 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat dari debitur; 2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;

1

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, Hlm 6 2 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hlm 50

1

2

3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut; 4. Bentuknya tertulis; 5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual. Ciri-ciri tersebut mencerminkan

prinsip ekonomi dan kepastian

hukum yang berlaku di Negara-negara yang bersangkutan. Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian baku dilihat dari kepentingan pengusaha bukan dari kepentingan konsumen. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, maka kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pengusaha. Perjanjian baku itu sendiri biasanya dibuat secara tertulis oleh pelaku usaha laundry pada nota pembayaran yang isinya antara lain: 1. Order laundry tidak diambil dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal selesai, diluar tanggungjawab kami; 2. Kerusakan/luntur pakaian dalam proses pencucian adalah resiko konsumen; 3. Pengaduan dapat diterima maksimal 24 jam sejak cucian diserahkan ke konsumen; 4. Bila terjadi kehilangan setelah meninggalkan outlet bukan tanggungjawab kami. Selain menerapkan perjanjian baku pada usahanya, pelaku usaha laundry juga menerapkan klausula eksonerasi yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pelaku usaha dari tanggungjawab terhadap akibat yang

3

merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Dalam perjanjian jasa laundry dapat dirumuskan klausula eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian, yaitu kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggungjawab pelaku usaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian kerugian dibebankan

kepada

konsumen,

dan

pengusaha

dibebaskan

dari

tanggungjawab.3 Salah satu contoh penerapan klausula eksonerasi dalam penyelenggaraan

jasa

laundry

biasanya

mencantumkan

kalimat

“Kerusakan/luntur pakaian dalam proses pencucian adalah resiko konsumen”. Klausula eksonerasi ini dapat terjadi atas kehendak salah satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara masal atau secara individual. Terhadap perjanjian yang bersifat masal, lazimnya telah dipersiapkan terlebih dahulu formatnya dan diperbanyak serta dituangkan dalam bentuk formulir yang dinamakan perjanjian baku. Klausula eksonerasi selalu menguntungkan pengusaha. Jika pengusaha dibebaskan dari tanggungjawab, maka ia dianggap tidak mempunyai kewajiban. Permasalahannya adalah bahwa di dalam praktek sebagian besar perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha jasa laundry adalah merupakan perjanjian baku yang syarat-syaratnya telah dibakukan terlebih dahulu oleh pengusaha dan konsumen hanya diberi pilihan menerima atau menolak. Klausula baku dalam perjanjian antara pelaku usaha laundry dengan

3

Abdulkadir Muhammad, op.cit, Hlm 20-22

4

konsumen pengguna jasa laundry terdapat dalam ketentuan layanan seperti apabila pakaian yang tidak diambil dalam waktu lebih dari tiga puluh hari, pelaku usaha jasa laundry tidak bertanggungjawab atas pakaian tersebut. Padahal dalam kenyataannya konsumen bisa saja lupa untuk mengambil pakaian yang telah dicuci dikarenakan karena kesibukannya atau aktifitas yang begitu banyak. Selain itu juga apabila terjadi kerusakan seperti robek atau luntur pada pakaian pelaku usaha hanya memberikan ganti rugi dua kali dari harga laundry atau cuci gratis selama sepuluh kali, padahal biasa saja harga pakaian yang dicucikan tersebut tidak sebanding dengan jumlah ganti ruginya. Pembebasan tanggungjawab yang merupakan klausula baku tersebut secara jelas-jelas tidak diperkenankan. Bahkan setiap klausula baku yang diterapkan oleh pengusaha pada dokumen yang bersangkutan yang isinya menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha dinyatakan batal demi hukum. Undang-undang melarang penerapan perjanjian baku, sehingga dalam hal hubungan pelaku usaha dengan konsumen, maka pencantuman klausula baku harus memperhatikan ketentuan pasal 18 undang-undang perlindungan konsumen yang berbunyi sebagai berikut: 4 1. Pelaku usaha dalam manawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

4

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No.42 tahun 1999 Ps 18

5

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayar atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun secara tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Member hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

6

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti; 3. Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum; 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Dari ketentuan pasal tersebut perjanjian baku sangat penting diatur dalam sebuah undang-undang karena dalam transaksi perdagangan baik barang maupun jasa perjanjian baku harus memenuhi prinsip kesetaraan para pihak untuk mengeliminir dominasi salah satu pihak dalam menentukan isi perjanjian baku, sehingga jika timbul kerugian yang diakibatkan karena kelalaian atau ketidak hati-hatian para pihak harus dimintakan pertanggungjawabannya kepada pihak yang salah dengan menerapkan sanksi yang adil menurut hukum. 5 Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Akibat Hukum dari Penggunaan Klausul Baku Dalam Usaha Jasa laundry (Studi Pada Usaha Jasa Laundry Beach Laundry Yogyakarta)”, dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai tanggung jawab pelaku

5

David M. L. Tobing, Parkir dan Perlindungan Hukum Konsumen, Jakarta: PT Timpani Agung, 2007, Hlm.47.

7

usaha laundry terhadap

konsumen sebagai pemanfaat jasa laundry serta

permasalahan yang ada dalam hubungan hukum diantara mereka adalah hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian ini. B. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah akibat hukum penggunaan klausul baku dalam usaha jasa laundry? 2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha laundry terhadap konsumen pengguna jasa laundry?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dibagi menjadi dua: 1. Untuk mengetahui akibat hukum penggunaan klausul baku dalam usaha jasa laundry; 2. Untuk mengetahui tanggungjawab pelaku usaha laundry terhadap konsumen pengguna jasa laundry.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan Buku III KUHPerdata Bab II Pasal 1313, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pengertian perjanjian menurut KUHPerdata tersebut masih terlalu luas, untuk itu kita akan melihat pendapat dari beberapa ahli hukum perdata mengenai pegertian perjanjian itu sendiri.

8

Berbeda dengan pendapat dari R.Setiawan tentang perjanjian. Perbuatan oleh satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, bukan suatu perbuatan biasa tetapi merupakan suatu perbuatan hukum. 6 Definisi lebih lengkap dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo yang memandang suatu perjanjian itu dapat menimbulkan akibat hukum, yaitu Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 7 Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapat berbeda, yaitu perjanjian merupakan suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, di mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu, 8 jadi dalam pendapat Wirjono Prodjodikoro telah disebutkan mengenai pemenuhan prestasi. Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian diatas, maka ada persamaan pendapat diantara para sarjana atas unsur-unsur yang ada dalam perjanjian yaitu: 1. Adanya dua pihak atau lebih 2. Adanya kata sepakat diantara para pihak 3. Adanya akibat hukum yang timbul dari perjanjian yang berupa hak dan kewajiban.

6

R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1997, Hlm 98 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986, Hlm 98 8 Wirjono Prodjodikoro , Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT Bale, Bandung, 1989,

7

Hlm 9

9

Hukum perjanjian atau hukum perikatan dalam KUHPerdata menganut sistem terbuka (asas kebebasan berkontrak). Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih atau melakukan perjanjian menurut pilihannya asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian. 3. Terdapat sesuatu hal tertentu. 4. Terdapat sesuatu sebab yang halal. Bentuk, jenis, maupun sifat perjanjian itu berbeda-beda, sehingga harus dipahami berdasarkan maksud dan tujuan pihak-pihak

yang

bersangkutan dari isi perjanjian yang akan dilaksanakannya. Dari sekian bentuk, jenis, maupun sifat perjanjian, dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, sangat dikenal adanya perjanjian baku atau klausula baku. Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) memberi definisi Klasula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.9

Pengaturan mengenai pencantuman

kalusa baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk 9

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No.42 tahun 1999 Ps 1 angka 10

10

menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu juga ada para ahli hukum yang mendefinisikan pengertian perjanjian baku seperti: Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.10 Abdulkadir

Muhammad

menjelaskan

perjanjian

baku

adalah

perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang distandarisasi atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran.11 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo menjelaskan perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari Pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggungjawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 UUPK. 12

10

Mariam Darus badrulzaman, Anaka Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1994, Hlm 47 11

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, Hlm 6 12 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm 118

11

Munir Fuadi menjelaskan yang dimaksud dengan kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan datadata informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. 13 Dari definisi para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian baku adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausulaklausula yang sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dan dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, yang antara lain sebagai berikut : 14 1.

Bentuk Perjanjian Tertulis Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata

13

Munir Fuadi, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hlm 76 14 Abdulkadir Muhammad op.cit. Hlm 6-9

12

atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. 2.

Format Perjanjian Dibakukan Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan oleh model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku.

3.

Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya lebih menguntungkan pihak pengusaha ketimbang konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen.

4.

Konsumen Hanya Menerima Atau Menolak Jika

konsumen

menerima

syarat-syarat

perjanjian

yang

ditawarkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen tersebut bersedia memikul beban tanggung jawab. Jika konsumen tidak

13

setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan negosiasi syarat-syarat yang sudah distandarisasikan tersebut. 5.

Perjanjian Baku Selalu Menguntungkan Pengusaha Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian akan selalu menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal-hal sebagai berikut : a. Efisiensi biaya, waktu dan tenaga; b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c. Penyelasaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang ditawarkan kepadanya; d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak; e. Pembebanan tanggung jawab. Jika dikaitkan dengan klausul baku, dapat diketahui bahwa antara

pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasanya dan konsumen yang menggunakan, memakai, atau memanfaatkan barang dan/atau jasanya terdapat suatu hubungan hukum perjanjian, yang demi hukum terjadi pada saat transaksi ”jual-beli” barang dan/atau jasa tersebut dilaksanakan. Hal ini berarti setiap pelangaran yag dilakukan oleh pelaku usaha yang menerbitkan kerugian kepada konsumen merupakan pelanggaran atas prestasi pelaku usaha yang telah diperjanjikan sebelumnya kepada konsumen.dalam hal ini konsumen berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian (tergantung pada jenis transaksi

14

perdagangan barang dan/atau jasa yang dilaksanakan), meminta penggantian segala macam biaya berikut kerugian aktual yang diderita oleh konsumen. Dalam hal demikian, konsumen berkewajiban untuk menyampaikan secara langung ”kerugian” yang dideritanya kepada pelaku usaha dengan meminta pertanggung jawaban kepada pelaku usaha. 15 Masalah tanggung jawab dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian. Dalam rumusan tersebut terdapat tanggung jawab yang menjadi beban konsumen dan yang menjadi beban pengusaha. Apabila ditelaah secara cermat, beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada baban tanggung jawab pengusaha. Bahkan terlintas kesan bahwa pengusaha berusaha supaya bebas dari tanggung jawab. Keadaan tersebut dirumuskan sedemikian rupa dalam syarat-syarat perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat kurang dapat dipahami oleh konsumen ketika membuat perjanjian dengan pengusaha. Syarat yang berisi pembebanan tanggung

jawab ini disebut klausula

eksonerasi.16 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Itikad baik dalam hukum kontrak romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataanya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berprilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun perjanjian tersebut tidak secara 15

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia, Jakarta, 2000, Hlm. 63-64. 16 Abdulkadir Muhammad, op.cit. Hlm.18.

15

tegas diperjanjikan.17 Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Bagaimanapun juga, eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan jika terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan oleh pengusaha itu adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. 18 Secara yuridis tentang klausula eksonerasi dapat diselesaikan melalui Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan, perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Berlaku sebagai undang-undang artinya mempunyai kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, jadi ada kepastian hukum. Konsekuensinya pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menyatakan, pihak dalam perjanjian tidak dapat membatalkan secara sepihak (tanpa persetujuan pihak lawannya) perjanjian yang telah dibuat dengan

sah

itu.

Keterkaitan

pihak-pihak

dapat

dibuktikan

dengan

penandatanganan perjanjian, atau penerimaan dokumen perjanjian. Udang-undang

perlindungan

konsumen

(UUPK)

menentukan

beberapa hal tentang tanggung jawab (liability), yang diatur dalam Bab VI Tentang Tanggung jawab Pelaku Usaha, dimulai dari Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK. Ketentuan tentang liability yang terdapat dalam Bab Tanggung jawab Pengusaha atau Produsen merupakan permesan dari asas product liability. 17

Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, Hlm.132. 18 Abdulkadir Muhammad, op.cit. Hlm. 26.

16

Bahkan sebagian besar pakar memandang, eksistensi product liability sudah disyaratkan mulai dari Pasal 7 hingga Pasal 18 UUPK. Inti dari product liability dalam ketentuan ini adalah, pelaku usaha bertanggungjawab atas kerusakan, kecacatan, penjelasan, ketidaknyamanan, dan penderitaan yang dialami oleh konsumen karena pemakaian atau mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan.19 A.

Metode Penelitian

1. Objek Penelitian a. Perjanjian Baku; b. Keabsahan Perjanjian Baku; c. Tanggung jawab Pelaku Usaha . 2. Subjek Penelitian a. Pemilik jasa laundry Beach . 3. Sumber Data a. Sumber Data Primer; ialah berupa data yang diproleh secara langsung dari lapangan yang menjadi subyek penelitian pada usaha jasa laundry Beach Laundry. b. Sumber Data Sekunder, ialah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari : 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari: a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata 19

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, Hlm. 145.

17

b) Undang-undang

No.

8

tahun

1999

tentang

Perlindungan Konsumen 2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yakni buku-buku dan literatur yang terkait dengan penetitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data sebagai bahan yang digunakan dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara antara lain : a. Data Primer dilakukan dengan cara: 1) Wawancara Dalam hal ini penulis melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dengan masalah penelitian yang akan di angkat, dalam hal ini usaha jasa Beach Laundry. b. Data skunder dilakukan dengan cara: 1) Studi kepustakaan Studi kepustakaan yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca, mencatat, mempelajari dan menganalisa literatur perundang-undangan, artikel-artikel dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan tema dan permasalahan yang diangkat.

18

5. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam memahami dan mendekati objek penelitian adalah: a. Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku. b. Pendekatan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat. 6. Analisis Data Yaitu data-data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif dengan analisa kualitatif guna memperoleh informasi yang objektif dan konkret dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu metode yang dalam meneliti dan membahas obyek penelitian menitikberatkan pada aspek yuridis dan pendekatan yuridis sosiologis yaitu metode pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat. 7. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian menggunakan daftar pertanyaan terbuka yang digunakan untuk wawancara dan kemudian akan dijawab oleh responden.