BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ibu Bekerja 2.1.1 Definisi Ibu ...

33 downloads 167 Views 505KB Size Report
2.1.1 Definisi Ibu Bekerja. Menurut Encyclopedia of Children's Health, ibu bekerja adalah seorang ibu yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan ...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Ibu Bekerja

2.1.1

Definisi Ibu Bekerja

Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang ibu yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan di samping membesarkan dan mengurus anak di rumah. Lerner (2001), ibu bekerja adalah ibu yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja. 2.1.2

Statistik Ibu Bekerja

Jumlah ibu bekerja di seluruh dunia mencapai 54,3 % pada tahun 2001 (OECD, 2001). Peran ganda ibu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah semakin dibutuhkan seiring dengan kemajuan teknologi. Menurut Bower (2001) dalam Reynolds et. al. (2003), selain faktor ekonomi, partisipasi para ibu di lapangan kerja juga dipengaruhi oleh faktor sosial, politik dan demografi. Pada tahun 2000, 35% dari ibu dengan anak balita bekerja selama 31 jam atau lebih (Reynolds et. al., 2003). 1. Ibu Bekerja di Negara Maju Di negara maju dan negara industri seperti Inggris dan Amerika Serikat dua pertiga dari jumlah ibu adalah seorang pekerja. Menurut data statistik Office for National Statistics (ONS, 2008), di Inggris terdapat 57% ibu yang memiliki anak dengan umur di bawah lima tahun. Menurut angka statistik tersebut, di Inggris terdapat 71% dari ibu yang memiliki anak paling muda berumur lima sampai sepuluh tahun merupakan seorang pekerja. Sedangkan di Amerika Serikat, 60% wanita (35% ibu dengan anak di bawah 18 tahun dan 45% ibu dengan anak balita) adalah seorang pekerja (AAP, 1984).

Universitas Sumatera Utara

Mereka yang bekerja memiliki alasan bahwa, bekerja merupakan suatu pilihan atau suatu kebutuhan. 2. Ibu Bekerja di Negara Berkembang Berbeda dengan negara maju, seorang ibu yang bekerja demi menambah hasil pendapatan keluarga merupakan suatu keharusan. Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia tingkat kemiskinan yang semakin meningkat dan merebaknya pengangguran menjadi salah satu alasan mengapa banyak ibu yang bekerja (Tjaja, 2000). Didapati 29% dari populasi Indonesia di bawah garis kemiskinan internasional pada tahun 1994-2008 (UNICEF, 2010). Menurut Data Statistik Indonesia (2005), lebih kurang 34 juta penduduk berumur di atas 15 tahun dan berjenis kelamin perempuan adalah seorang pekerja. Sedangkan di Sumatera Utara, menurut Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan (2010), terdapat 35,7% wanita yang berumur 20-34 tahun adalah seorang pekerja. 2.1.3

Dampak Ibu Bekerja Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Status ibu bekerja tentu saja memilki dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya anak balita. Dampak tersebut dibagi menjadi dua yaitu dampak positif dan dampak negatif. 1. Dampak Positif Ibu Bekerja Ibu yang bekerja akan memiliki penghasilan yang dapat menambah pendapatan rumah tangga. Mereka yang bekerja lebih memiliki akses dan kuasa terhadap pendapatan yang dihasilkan untuk digunakan untuk keperluan anak mereka (UNICEF, 2007). Para ibu akan lebih memilih membeli sesuatu seperti makanan bergizi berimbang yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan pangan anak mereka (Glick, 2002). Jika kebutuhan pangan anak terpenuhi, maka status gizi anak pun menjadi baik. Essortment (2002) dalam McIntosh dan Bauer (2006), juga mengatakan bahwa dengan pendapatan rumah tangga yang ganda (suami dan istri bekerja), banyak wanita lebih mampu menentukan banyak pilihan untuk keluarga

Universitas Sumatera Utara

mereka di dalam hal nutrisi dan pendidikan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gennetian et al. (2009), bahwa ibu yang bekerja memiliki kemampuan untuk membeli makanan berkualitas tinggi, kebutuhan rumah tangga lainnya dan biaya kesehatan. Walaupun ibu bebas memilih untuk membeli makanan, hal ini tergantung pendidikan ibu tentang gizi. Ibu yang tidak tamat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) tentunya akan berbeda dalam hal memilih makanan dengan ibu yang tamat pendidikan SMA. Mereka yang memiliki pengetahuan cukup tentang gizi, akan memilih makanan yang memiliki nutrisi lebih baik, yaitu makanan yang mengandung makronutrien dan mikronutrien yang berguna bagi tubuh. Para ibu yang berpendidikan juga lebih mudah untuk mengakses layanan kesehatan yang lebih modern dan memahami pesan-pesan kesehatan yang disampaikan oleh lembagalembaga kesehatan (Moestue dan Huttly, 2008). Selain penampilan makanan yang dapat menambah selera makan anak, faktor gizi juga harus dipertimbangkan dalam memilih makanan (Sediaoetama, 2006). Maka dari itu, jika seorang ibu yang bekerja tidak dapat mempergunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan anak dengan baik dan bijaksana, akan timbul efek negatif (Glick, 2002). Menurut Sediaoetama (2008), pemenuhan kebutuhan gizi baiknya dimulai dari anak balita (bawah lima tahun), karena pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan anak menentukan tingkat kecerdasan otak pada saat anak tersebut dewasa. Ali Khomsan (2010) juga mengatakan bahwa, periode perkembangan otak anak yang rawan gizi dimulai dari saat dalam kandungan ibunya hingga berusia dua tahun. Jika pada saat mengandung gizi ibu terpenuhi, maka anak akan terhindar dari cacat bawaan. Mereka pun lebih aktif daripada anak dengan ibu gizi kurang saat kehamilan. Ibu yang kurang gizi saat kehamilan biasanya akan melahirkan anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Dampak positif ibu bekerja dapat juga dilihat dari efek yang didapat apabila anak mereka dititipkan di tempat penitipan anak. Mereka yang dititipkan di tempat penitipan anak yang memperkerjakan pengasuh terlatih, memiliki interaksi sosial

Universitas Sumatera Utara

yang baik, perkembangan kognitif yang pesat, dan lebih aktif jika dibandingkan dengan anak yang hanya berada di rumah bersama ibunya yang tidak bekerja (McIntosh dan Bauer, 2006). Gershaw (1998) dalam McIntosh dan Bauer (2006) mengatakan bahwa, anak dengan ibu yang bekerja memiliki tingkat intelejensi lebih tinggi. 2. Dampak Negatif Ibu Bekerja Seperti yang telah disebutkan di atas, jika seorang ibu yang bekerja tidak memiliki kuasa penuh atas penghasilannya, maka kebutuhan pangan anak kurang terpenuhi. Akibatnya anak mereka akan mengalami gizi kurang bahkan menjadi gizi buruk. Anak menjadi lebih pendek daripada anak lain seusianya dan lebih rentan terkena penyakit seperti infeksi (Glick, 2002). Status gizi kurang atau gizi buruk yang dialami balita juga dapat terjadi akibat memendeknya durasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) oleh ibu karena harus bekerja (Glick, 2002). Banyak dari mereka yang kembali bekerja saat anak mereka masih di bawah umur 12 bulan (Engle, 2000). Hogart et al. (2000) dalam Reynolds (2003) juga mengatakan bahwa sekitar satu pertiga dari ibu yang bekerja saat mengandung, kembali bekerja penuh waktu saat anak mereka berusia 11 bulan. Mereka kembali bekerja pada saat awal kehidupan bayi mereka, yaitu saat-saat kritis di mana perkembangan otak sedang berlangsung dan membutuhkan ASI sebagai nutrisi utama. Rekomendasi dari WHO, ASI eksklusif sebaiknya diberikan dalam enam bulan pertama kelahiran, diteruskan sampai umur 1-2 tahun (Ong et al., 2001). Sedangkan rekomendasi dari The American Academy of Pediatrics (AAP), diharapkan para ibu untuk memberikan ASI eksklusif enam bulan setelah kelahiran dan diteruskan sampai anak berumur satu tahun (Murtagh dan Anthony D, 2011). Ong et al. (2001), dalam penelitiannya mendapatkan bahwa faktor pendidikan ibu juga mempengaruhi lamanya durasi pemberian ASI oleh ibu-ibu yang bekerja. Akibat jam kerja, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan anak pun akan berkurang (Glick, 2002). Sehingga perkembangan mental dan kepribadian

Universitas Sumatera Utara

anak akan terganggu, mereka lebih sering mengalami cemas akan perpisahan atau separation anxiety (Mehrota, 2011), merasa dibuang dan cenderung mencari perhatian di luar rumah (Mehrota, 2011), serta kenakalan remaja (Tjaja, 2008). Hal ini dikarenakan akibat jadwal kerja yang terlalu sibuk, mengakibatkan para ibu tidak dapat mengawasi dan ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan anak (Fertig et al., 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Soekirman (1985) dalam Glick (2002), ibu yang bekerja selama lebih dari 40 jam perminggunya memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Selain kualitas, kuantitas interaksi antara ibu dan anak juga akan berkurang (AAP, 1984). Menurunnya frekuensi waktu kebersamaan ibu dan anak juga disebabkan oleh tipe kerja ibu. Ibu yang memiliki pekerjaan yang dikategorikan berat dapat mengalami kelelahan fisik. Akibatnya sesampainya ibu di rumah terdapat kecenderungan mereka lebih memilih untuk berisitirahat daripada mengurus anaknya terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fertig et al. (2009), ibu yang bekerja tidak dapat mengatur pola makan anak, membiarkan anak-anak mereka makan makanan yang tidak sehat, selalu menghabiskan waktu di depan televisi, dan kurang beraktivitas di luar rumah. Hal ini berakibat status gizi anak menjadi lebih atau obesitas (Fertig et al., 2009). Jarak rumah dengan tempat kerja juga menjadi faktor pengganggu. Mereka yang bekerja di luar negeri tentunya frekuensi berjumpa dengan anak dan suami mereka lebih sedikit daripada para ibu yang bekerja di tanah air. Keharmonisan di dalam keluarga pun akan berkurang (Tjaja, 2008). Menurut Joekes (1989) dalam Glick (2002), ibu bekerja di negara berkembang lebih memilih untuk mencari pengasuh pengganti untuk anak balita mereka. Anak mereka biasanya dijaga oleh anak yang lebih tua atau oleh kerabat dikarenakan keterbatasan finansial. Keterlibatan anak yang lebih tua sebagai pengasuh pengganti, dapat menyebabkan anak tersebut putus sekolah (Glick, 2002). Glick (2002) juga mengatakan bahwa, kebanyakan dari mereka yang menjadi pengasuh pengganti adalah anak perempuan yang lebih tua. Jika anak

Universitas Sumatera Utara

perempuan dalam suatu keluarga harus putus sekolah demi menjaga adiknya yang berumur di bawah lima tahun, maka rantai gizi buruk pun akan terulang kembali. Mereka yang tidak berpendidikan, tidak memiliki pengetahuan cukup tentang gizi yang berakibat fatal bagi status gizi anak apabila mereka menjadi ibu kelak. Lapangan pekerjaan bagi mereka yang tidak berpendidikan hanya sebatas di sektor informal seperti pembantu rumah tangga yang gajinya tentu tidak lebih tinggi dari sektor formal seperti pegawai kantoran. Selain anak perempuan yang lebih tua, para kerabat ibu juga sering menjadi pengasuh pengganti. Diantaranya adalah ibu mereka sendiri atau sang nenek yang sudah memiliki pengalaman dalam hal mengurus anak. Status gizi anak dapat menjadi baik apabila pengasuh pengganti memiliki pengalaman dan pendidikan tentang mengasuh anak dan pengelolaan gizi anak (Glick, 2002). Pengalaman pengasuh pengganti dapat menjadi faktor perancu. Sedangkan di negara maju, di mana sudah tersedia jasa tempat penitipan anak atau daycare centre, para ibu lebih memilih menitipkan anak mereka di sana saat mereka harus bekerja. 2.2

Ibu Tidak Bekerja

Ibu yang tidak bekerja, tentunya memiliki waktu yang lebih banyak yang dapat dihabiskan bersama anak mereka. Mereka dapat mengatur pola makan anak, sehingga anak-anak mereka makan makanan yang sehat dan bergizi. Mereka juga dapat melatih dan mendidik anak, sehingga perkembangan bahasa dan prestasi akademik anak lebih baik jika dibandingkan dengan anak ibu yang bekerja (McIntosh dan Bauer, 2006). Hubungan yang dekat antara ibu dan anak, membuat sang anak lebih mudah berkomunikasi dengan ibu mereka pada saat mereka berada di tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau SMA. Tetapi, walaupun mereka yang tetap di rumah memiliki waktu yang lebih banyak sehingga anak mereka lebih baik secara emosional dan secara akademis, waktu kebersamaan yang ada belum tentu selalu lebih baik daripada ibu yang bekerja. Hal ini dikarenakan kebanyakan waktu yang mereka miliki semata-mata untuk

Universitas Sumatera Utara

membersihkan dan mengurus rumah (McIntosh dan Bauer, 2006). Pada kasus keluarga miskin, ditambah dengan penghasilan yang ada hanya dari sang ayah, tanpa ada pemasukan dari si ibu, tentu saja kebutuhan pangan anak tidak dapat terpenuhi secara maksimal. Ibu tidak dapat membeli makanan yang bergizi dan berimbang yang memiliki harga sedikit lebih mahal untuk memenuhi kebutuhan pangan anak mereka. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan anak tergangggu. 2.3

Status Gizi

2.3.1

Definisi Status Gizi

Status gizi adalah suatu bentuk ekspresif atau perwujudan dari keadaan keseimbangan nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2001). 2.3.2

Penilaian Status Gizi

Status gizi dapat dinilai secara langsung dan secara tidak langsung (Supariasa et al., 2001). 1. Penilaian status gizi secara langsung a. Antropometri Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dan metros. Antropos artinya tubuh dan metros artinnya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Pengertian antropometri dari sudut pandang gizi adalah pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi seseorang (Supariasa

et

al.,

2001).

Antropometri

digunakan

untuk

melihat

ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Metode ini yang paling banyak digunakan dalam program pemantauan gizi populasi dalam suatu masyarakat. Di dalam antropometri, diukur beberapa parameter. Parameter tersebut antara lain: Umur (U), Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB), Lingkar Lengan Atas (LLA), lingkar kepala, lingkar dada dan jaringan lunak. Kombinasi antara dua parameter menjadi indeks antropometri yang sering digunakan adalah Berat

Universitas Sumatera Utara

Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Supariasa et al., 2001). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh U juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Supariasa et al., 2001). Menurut Supariasa et al. (2001) setiap indikator memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yaitu: •

Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Kelebihan indikator BB/U yaitu dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek, dan dapat mendeteksi kegemukan. Sedangkan kelemahan indikator BB/U yaitu interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat pembengkakan atau oedema, data umur yang akurat sering sulit diperoleh terutama di negaranegara yang sedang berkembang, kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas/dikoreksi dan anak yang bergerak terus, masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap sebagai barang dagangan (Supariasa et al., 2001). •

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Kelebihan indikator TB/U yaitu dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau dan dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk. Sedangkan kelemahan indikator TB/U yaitu kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok usia balita, tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini, memerlukan data umur yang sering sulit diperoleh di negara-negara berkembang, kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non professional (Supariasa et al., 2001).

Universitas Sumatera Utara



Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Kelebihan indikator BB/TB yaitu independen terhadap umur dan ras dan dapat menilai status kurus dan gemuk dan keadaan marasmus atau KEP berat lain. Sedangkan kelamahan indikator BB/TB yaitu kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas/dikoreksi dan anak bergerak terus, masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan, kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok usia balita, kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non profesional, tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, normal atau tinggi (Supariasa et al., 2001). Walaupun setiap indikator memiliki kelebihan dan kelemahan, indikator status gizi BB/TB adalah indikator terbaik yang menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik (Supariasa et al., 2001). b. Klinis Metode pengukuran ini berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi sebagai gejala klinis akibat defisiensi zat gizi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada jaringan tubuh manusia, seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral. Metode ini digunakan untuk survei klinis secara cepat untuk mendeteksi tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi (Supariasa et al., 2001). c. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji di laboratorium yang dilakukan pada jaringan tubuh manusia. Jaringan-jaringan yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, hati dan otot. Pengukuran ini dilakukan untuk menentukan kekurangan gizi yang lebih spesifik (Supariasa et al., 2001).

Universitas Sumatera Utara

d. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya digunakan dalam situasi tertentu seperti buta senja epidemik (Supariasa et al., 2001). 2. Penilaian status gizi secara tidak langsung a. Survei Konsumsi Makanan Metode ini dilakukan dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Hal ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa et al., 2001). b. Statistik Vital Pengukuran statistik vital adalah dengan menganalisa beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Supariasa et al., 2001). c. Faktor Ekologi Digunakan untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat (Supariasa et al., 2001). 2.3.3

Ambang Batas Indeks Antropometri Gizi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, indeks antropometri yang sering digunakan sejak tahun 1972 untuk menilai status gizi adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Supariasa et al., 2001). Dari berbagai jenis indeks di atas, untuk mendapatkan status gizi seseorang dibutuhkan ambang batas. Terdapat tiga ambang batas yang digunakan para ahli gizi (Supariasa et al., 2001), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Persen terhadap median Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Nilai median dikatakan sama dengan 100% (untuk standar). Setelah itu, dihitung persentase terhadap nilai median untuk mendapatkan ambang batas. 2. Persentil Ambang batas selain persen terhadap median adalah persentil. Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah dari suatu populasi. National Centre for Health Statistics (NCHS) merekomendasikan persentil ke-5 sebagai batas gzi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik. 3. Standar Deviasi Standar deviasi atau Z-score, digunakan untuk meneliti dan memantau pertumbuhan. Z-Score digunakan di Indonesia sebagai ambang batas penentuan status gizi (Menteri Kesehatan RI, 2002). Cara menghitung nilai Z-Score : Z-Score = Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan 2.3.4

Baku Rujukan Status Gizi

Dalam menetukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut reference. Baku rujukan untuk penentuan status gizi dengan pengukuran antropometri yang digunakan di seluruh dunia adalah Harvard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada (Supariasa et al., 2001). 2.3.4.1 Baku Rujukan Klasifikasi Status Gizi di Indonesia Berdasarkan Kepmenkes Nomor: 920/Menkes/SK/VIII/2002, klasifikasi status gizi yang digunakan di Indonesia adalah berdasarkan baku rujukan WHO-NCHS 1983 (Menteri Kesehatan RI, 2002). Ambang batas yang digunakan adalah dengan

Universitas Sumatera Utara

menentukan Z-score atau standar deviasi (SD). Berikut adalah tabel klasifikasi status gizi berdasarkan WHO-NCHS 1983: Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Menurut WHO-NCHS 1983 Indeks

Status Gizi

Ambang Batas

BB/U

Gizi Lebih

> + 2SD

Gizi Baik

≥ -2 SD sampai +2SD

Gizi Kurang

< -2SD sampai ≥ -3SD

Gizi Buruk

< -3SD

Normal

≥ 2SD

Pendek

< -2SD

Gemuk

> +2SD

Normal

≥ -2SD sampai +2SD

Kurus (wasted)

< -2SD sampai ≥ -3SD

TB/U

BB/TB

Kurus Sekali

< -3SD

Universitas Sumatera Utara