BAB II LANDASAN TEORI A. Nilai Karakter dalam Pendidikan Islam ...

15 downloads 122 Views 183KB Size Report
LANDASAN TEORI. A. Nilai Karakter dalam Pendidikan Islam. Pendidikan merupakan sebuah fenomena antropologis yang telah ada sejak manusia itu ada.
BAB II LANDASAN TEORI

A. Nilai Karakter dalam Pendidikan Islam Pendidikan merupakan sebuah fenomena antropologis yang telah ada sejak manusia itu ada. Pendidikan merupakan proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus. Hal ini terjadi secara kodrati dan terus mengalir dengan sendirinya. Secara etimologi kata educare merupakan gabungan dari preposisi ex (yang artinya keluar dari) dan kata kerja ducare (memimpin). Oleh karena itu, educare bisa berarti suatu kegiatan untuk menarik keluar tau membawa keluar. Dalam arti ini, pendidikan bisa berarti sebuah proses pembimbingan dimana terdapat dua relasi yang sifatnya vertikal, antara mereka yang memimpin dan mereka yang dipimpin. Relasi keuduanya terarah

pada

satu

tujuan

tertentu

(http://www.

pendidikan.com/artikel/pengertian/pendidikan). Menurut Koesoema

partisipan kata

educare

dalam bahsa latin memiliki konotasi melatih atau menjinakkan (seperti dalam konteks manusia melatih hewan-hewan yang liar menjadi semakin jinak sehingga bisa diternakkan), menyuburkan (membuat tanah itu lebih menghasilkan banyak buah berlimpah karena tanahnya telah digarap dan diolah). Secara historis kata pendidikan banyak dipakai untuk mengacu pada berbagai macam pengertian, misalnya pembangunan(development),

pertumbuhan

/perkembangan,

formasio,

sosialisasi,

inkulturasi, pengajaran, pelatihan, pembauran. Kata pendidikan juga melibatkan interaksi dengan berbagai macam lingkungan lembaga khususs, seperti keluarga,

sekolah, kelompok, asosiasi, yayasan, gerakan, namun juga serentak menurut adanya tanggung jawab sosial dalam kerangka kompleksitas relasional yang ia miliki (Koesoema, 2010:53). Jadi, pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain. Sedangkan menurut Ezra, karakter adalah kekuatan untuk bertahan di masa sulit. Tentu saja yang dimaksud adalah karakter yang baik, solid, dan sudah teruji. Karakter yang baik diketahui melalui ’respon’ yang benar ketika mengalami tekanan, terancam, tantangan dan kesulitan. Karakter yang berkualitas adalah sebuah respon yang telah teruji berkali-kali dan telah berbuahkan kemenangan. Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak di uji terlebih dahulu(http://www.andriewongso.com/awartikel -124artikel-tetap-kekuatan-karakter). Koesoema (2010:90) berpendapat bahwa istilah karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Namun, sementara itu,

memahami secara umum, kita sering

menasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter yang bisa dipahami dari sudut pandang behaviorial yang merupakan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Di

sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri” atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir. Dari pengertian dasar tersebut, karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh interverensi manusiawi, seperti ganasnya laut degan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Mereka memahami karakter seperti lautan, tidak terselami, tak dapat diinterverensi. Oleh karena itu, berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia tidak dapat ikut campur tangan atasnya. Manusia tidak dapat memberikan bentuk atasnya. Sama seperti bumi, manusia tidak dapat menentukan sebab bumi memiliki karakter berupa sesuatu yang mrucut. Namun sekaligus, bumi itu sendirilah yang memberikan karakter pada realitas lain. Akan tetapi struktur antropologis kodrati kita mengatakan bahwa kita bisa mengubahnya. Jika tidak, konsep kebebasan yang kita miliki tidak bermakna dan halusinatif. Karakter sesungguhnya bersifat dinamis, oleh karena itu, selalu bisa berubah (Koesoema, 2010:90). Selain pengertian diatas, pendidikan karakter menurut Khan (2010:2), ialah pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.

Selain menurut Koesoema, Ezra, dan Khan di atas istilah karakter juga terdapat dalam KBBI. Pengertian karakter menurut Moeliono (2005), karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang bersifat sesungguhnya atau berasal dari alam dan menjadi identitas bagi diri tersebut namun secara kodrati dapat diubah dengan sentuhan dan dimensi-dimensi tertentu. Sedangkan pendidikan karakter itu sediri merupakan suatu proses pendidikan yang berawal dari penanaman ideologi yang baik pada satu pribadi. Apabila seseorang telah mendapatkan ideologi yang tepat maka pribadi tersebut akan membawanya dalam membentuk masyarakat. Dewasa ini kualitas masyarakat semakin menurun dikarenakan turunnya ideologi pada masyarakat. Kebanyakan masyarakat melupakan hal terpenting dalam menjalani kehidupan yaitu ideologi. Hanya memiliki ideologi saja juga tidak cukup, ideologi tersebut juga harus didasari dengan pendidikan agama agar pembentukan karakter dalam masyarakat lebih baik. A. Nilai Pendidikan Karakter Islam Pendidikan karakter memiliki banyak komposisi di dalamnya. Persoalan pokok yang muncul berkaitan dengan penanaman penilaian dalam pendidikan karakter, terutama dengan pilihan nilai. Jika dilihat dari tujuan utamanya, terlebih dari sisi sosiologis nilai pendidikan karakter sangatlah penting. Oleh karena itu, ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter. Menurut Koesoema nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang paling utama adalah:

1.

Nilai Keutamaan Manusia memiliki keutamaan jika ia menghayati dan melaksanakan tindakan yang ada. Dalam konteks Yunani kuno, misalnya nilai keutamaan ini tampil dalam fisik dan moral. Kekuatan fisik di sini merupakan ekselensi, kekutan, keuletan, dan kemurahan hati. Sementara, kekuatan moral berarti berani mengambil risiko atas pilihan hidup, konsisten, dan setia. Keutamaan disini menitik beratkan pada akhlak dari orang itu sendiri.

2.

Nilai Kerja Jika ingin berbuat adil, manusia harus bekerja. Inilah keutamaan prinsip dasar keutamaan hesiodian. Penghargaan atas nilai kerja inilah yang menentukan kualitas diri seorang individu. Menjadi manusis utama adalah menjadi manusia yng bekerja. Untuk itu butuh kesabaran, usaha, dan jerih payah.

3.

Nilai Cinta Tanah Air (Patriotisme) Pemahaman dan penghayatan nilai ini banyak bersumber dari gagasan keutamaan yang diungkapakn olen Triteo. “Ideal kepahlawanan homerian tentang arte telah berubah menjadi cita-cita tanah air, dan sang penyair menyerambahi semangat di dalam diri semua warga negara.

4.

Nilai Demokrasi Nilai demokrasi ini mewarisi pendidikan karakter ala atenan. Di kota Atena di masa lalu sudah terbiasa

terlihat pandangan serdadu berkeliaran dengan

menenteng senjata. Kebiasaan ini pelaan-pelan hilang dan tidak terlihat lagi. Tatanan sosial tidak didomonasi oleh kehadiran militer, melainkan peran serta

masyarakat dalam kehidupan polis diatur melalui sebuah tata sosial politik yang lebih mengutamakan dialog dan membangun kebersamaan sebagai warga polis yang merdeka. Nilai demokrasi termasuk di dalamnya, kesediaan untuk berdialog, bersepakat, dan mengatasi permasalahan dan konflik dengan cara berdamai, bukan dengan kekerasan, melainkan melalui sebuah dialog bagi pembentukan masyarakat yang lebih baik. 5.

Nilai Kesatuan Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, nilai kesatuan menjadi dasar pendirian negara ini. Apa yang tertulis dalam sila ke-3 pancasila, yaitu dalam masyarakat persatuan negara tidak dapat dipertahankan jika setiap individu yang menjadi warga negara Indonesia tidak dapat menghormati perbedaan dan pluralitas yang ada dalam masyarakat.

6.

Nilai-Nilai Kemanusiaan Apa yang membuat manusia sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan banyak orang. Menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandaikan setiap kaburukan terhadap keterbudayaan lain, termasuk di sini kultur agama dan keyakinan yang berbeda. Yang menjadi nilai bukanlah kepentingan kelompok sendiri, melainkan kepentingan yang kepentingan setiap orang, seperti keadilan, persamaan di depan hukum, kebebasan dan sebagainya (Koesoema, 2010:205). Nilai-nilai di atas merupakan bagian integral yang bisa dikembangkan dalam penguatan nilai karakter pada diri. Penjabaran di atas tidak berepresentasi

merangkum semua nilai yang fundamental bagi nilai karakter. Akan tetapi, ke lima nilai tersebut dapat dipertimbangkan dalam penanaman nilai karakter. a. Struktur Naratif Dialogis Karya Sastra Menurut Bakhtin Menurut Bakhtin (dalam Faruk, 2010:214), semua produk-produk ideologis merupakan benda-benda material, bagian dari relitas praktis manusia. Memeng benar, bahwa produk itu mempunyai sifat yanh khusus, mempunyai arti, nilai-dalam. Akan tetapi, makna-makna dan nilai –nilai itu diwujudkan dalam benda-benda dan tindakan material. Produk itu tidak dapat direlasikan/disadari di luar material yang dikembangkan. Lewat materi itulah produk tersebut menjadi bagian yang mengintari manusia. Bakhtin (dalam Faruk, 2005:127), prinsip pertama yang darinya studi sosiologis terhadap fenomena ideologis bekerja adalah prinsip kodrat material dan sepenuhnya objektif dari kreasi ideologis secara keseluruhan. Akan tetapi, keberbedaan materi material dari fenomena ideologis bukanlah kehadiran yang sepenuhnya fisik dan alamiah dan individu biologis dan fisiologis tidak dapat ditempatkan di hadapannya. Fenomena ideologis itu adalah materi yang mengandung makna dan makna itu bersifat sosial, membangun suatu hubungan antar individu dari suatu lingkungan sosial yang kurang lebih luas. Interaksi sosial merupakan yang di dalamnya fenomena-fenomena ideologis pertama-tama mendapatkan eksistensinya yang spesifik, makna ideologisnya, kodrat semiotiknya. Bakhtin (dalam Suwondo, 2001:192) menyatakan bahwa gagasan tidak hanya berkaitan dengan realitas dirisendiri, tetapi juga berkaitan dengan gagasan dari suara zaman, suara yang lebih besar. Dikataka demikian karena realitas pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang dikenal saja, tetapi juga berkaitan dengan relitas

yang lebih besar dari dunia masa lampau, masa kini, dan masa depan. Di samping itu, gagasan juga tidak pernah tercipta dari sesuatu yang tidak ada, tetapi selalu tercipta dari sesuatu yang telah ada. Hal tersebut sesuai dengan prisip bahwa tidak ada tuturan tanpa hubungan dengan tuturan lain. Oleh karena itu, sebuah karya verbal, sebagai wujud formal sebuah tuturan, karya sastra juga selalu berhubungan dengan karya sastra lain. Atau, jika diungkapkan dengan istilah yang lebih modern, karya sastra selalu berada di dalam hubungan intertekstual. Hal demikian dikatakan sebagai tidak ada karya sastra yang lahir dalam kekeosongan budaya (Teeuw dalam suwondo, 2001:193) karena, menurut Kristeva (Culler, dalam Suwondo 2001:193), setiap teks (sastra) pada dasarnya merupakan pengungkapan dan transformasi teks-teks (sastra) lain. Akan tetapi, karya sastra sendiri tidaklah pasif. Karya sastra merupakan bagian dari lingkungan kesusastraan dan menyerap lingkungan ideologis general dengan caranya sendiri. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karya sastra sebagai fenomena ideologis harus bermula dari struktur karya sastra, bergerak ke arah lingkungan kesusastraan, kemudian lebih luas lagi ke lingkungan ideologis dan berakhir pada lingkungan sosioekonomik. Pada dasranya naratif merupakan salah satu cabang dari strukturalisme. Strukturalisme merupakan istilah yang dapat dimengerti sebagai kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh peneliti berdasarkan observasinya. Hubungan-hubungan yang ada di dalamnya bersifat tetap, artinya tergantung pada sebuah karya tertentu. Menurut Hendy, naratologi merupakan cabang dari strukturalisme yang mempelajari struktur naratif dan bagaimana struktur

tersebut mempelajari persepsi pembaca. Naratologi adalah usaha untuk mempelajari sifat ‘cerita’ (http://mediasastra.com/ glossary/ pendekatan_ sastra / naratologi). Menurut Luxemburg, kebanyakan penganut aliran strukturalis secara langsung pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh de saussure. Adapun dua pengertian kembar dari ilmu linguistik strukturalis adalah : signifian-signifie dan paradigma-stygma. Signifiant berarti : yang memberi arti, jadi aspek bentuk dalam tanda unsur pemberi arti dan unsur yang di artikan, dengan menggabungkan dua unsur itu kita dapat mengatakan sesuatu mengenai hal-hal yang terdapat di dalam kenyataan (Luxemburg, 1992:36). Selden mengatakan bahwa alur dalam Tristam Shandy bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua “sarana” dipergunakan untuk menyela dan menunda penceritaan. Digresi-digresi permainan tipografis, pemindahan bagianbagian buku itu (kata pengantar, persembahan, dan sebagainya), serta deskripsideskripsi yang diperluas, semuanya merupakan sarana yang ditunjukan untuk menarik perhatian kita terhadap novel tersebut. Dalam pengertian, “alur” disini secara nyata merupakan pemerkosaan susunan peristiwa-peristiwa formal yang diharapkan. Dengan menyimpangi susunan alur yang biasa, Strene menarik perhatian terhadap penciptaan alur sendiri sebagai sebuah objek kesusastraan. Di akhir sebuah “alur” model Aries toteles yang disusun secara berhati-hati akan memberikan kepada kita hakikat dan keberadaan-keberadaan kehidupan manusia yang kita kenal hal ini akan diterima dan tentu secara tidak terelakkan (Selden, 1995:9).

Sedangkan pada bukunya yang lain Selden mengatakan bahwa teori naratologi atau naratif

strukturalis berkembang dari analogi-analogi linguistik dasar tertentu.

Sintaksis (aturan konstruksi kalimat) adalah model dasar aturan naratif. Todorov dan yang lain berbicara tentang “sintaksis naratif”. Pembagian sintaksis yang paling dasar dalam satuan kalimat adalah subjek dan predikat: “Pahlawan (subjek) membunuh naga dengan pedangnya (predikat)”. Nyatalah kalimat ini dapat mengganti nama (Lancelot atau Gwain) untuk “pahlawan”atau “kapak” untuk “pedang”, kits mempertahankan struktur pokok yang sama (Selden, 1991:59). Fokkema juga berpendapat alasan-alasan yang disitir karena pertaliannya seperti yang ditunjukkan Levi-Straus bagi Propp –yaitu kemiripan materi riset, pilihan terhadap singkroni, pertimbangan atas unsur-unsur berdasarkan aspek posisi mereka dalam sistem – kini bisa dilengkapi dengan rujukan Propp terhadap penelusuran regularitas struktural. Dalam kata pengantar karyanya, ia mengamati bahwa “adalah mungkin melakukan pengujian atas bentuk-bentuk cerita secermat morfologi formasi organik” (Fokkema, 1998:79) . Sedangkan menurut Ratna (2009:140), story menunjuk pada peristiwa-peristiwa, yang diabstraksikan dari posisinya dalam teks dan di rekonstruksikan dalam orde kronologisnya, bersama-sama dengan partisipan dalam peristiswa tersebut. Apabila story merupakan urutan kejadian, text adalah wacana yang diucapkan atau ditulis, apa yang dibaca. Dalam hubungan ini jelas peristiwa tidak kronologis, dan seluruh narasi berada dalam prespektif vokalisasi. Narration adalah tindak atau proses produksi, yang mengaplikasikan seseorang, baik sebagai fakta maupun fiksi yang mengungkapkan atau menulis wacana. Dalam fiksi disebut narrator. Sama dengan Genette, studi yang

relevan adalah teks sebab teks didefinisikan oleh kedua unsur yang lain. Tanpa diucapkan, tanpa ditulis atau dinarasikan, tanpa ada isi dan tanpa diproduksi maka tidak ada teks, jadi cerita dan narasi dianggap sebagai metonomi teks. Sugihastuti

(2009:49)

mengatakan

bahwa

naratif

atau

naratologi

mengembangkan empat macam teori yang berbeda. Naratif atau naratologi mengambil masalah pembicaraan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan wacana naratif, bagaimana menyiasati peristiwa-peristiwa cerita ke dalam sebuah bentuk yang terorganisasi, yang bernama plot. Pertama, apakah stuktur penting sebuah narasi harus ditemukan dalam plot? Apabila para teorikus berpendapat dmikian, teori ini akan mirip dengan teori-teori yang telah dikemukakan para ahli. Kedua, apakah metode-metode narasi dapat dipahami secara baik dengan cara menyususn kembali catatan kronologis yang sudah terjadi?. Ketiga, para teoretikus yang berpendapat bahwa drama pada dasarnya mirip, berbeda hanya dalam metode penyajian nya, biasanya dimulai dengan membicarakan adegan, tokoh, dan latar, lalu mereka memakai sudut pandang dan wacana narasi sebagai teknik yang

dapat digunakan dalam penghiasan untuk

menyampaikan unsur-unsur itu kepada pembaca. Chatman dan Kennan menggunakan cara ini untuk menyatukan teori tradisional dengan formalism dan strukturalisme. Keempat, beberapa teoretikus hanya membicarakan elemen fiksi yang unik, sudut pandang, dan pidato narrator dalam hubungannya dengan pembaca dan lain-lain yang semacam. Culler (dalam Sugihastuti, 2009:50) menyatakan bahwa apabila pendekatan terhadap struktur narasi adalah untuk mendapatkan kecukupan, bahkan kecukupan yang belum sempurna, pendekatan ini harus memperhatikan proses membaca sehingga

pendekatan itu menyediakan beberpa penjelasan tentang cara membentuk plot dari adegan dan kejadian yang ditemui pembaca. Pembaca harus menyusun suatu plot dari suatu keadaan dan keadaan lainnya sebagai satu bagian, dan bagian atau gerakkan itu harus sedemikian rupa sehingga plot berlaku sebagai gambaran tema. Moeliono

(2002), naratif

bersifat narasi atau bersifat menguraikan

(menguraikan). Jadi yang dimaksudkan dengan naratif adalah pendekatan terhadap struktur narasi adalah untuk mendapat kecukupan yang belum sempurna, pendekatan ini harus memperhatikan proses membaca sehingga pendekatan itu menyediakan beberpa penjelasan tentang cara membentuk plot dari suatu keadaan ke keadaan yanga lainnya. Menurut Faruk (2005: 129), karena masih terlalu terikat pada tradisi Marxis, teori Bakhtin masih cenderung totaliter dan hirarkis menempatkan lingkungan sosioekonomik sebagai pusat yang menentukan dan menstrukturkan lingkunganlingkungan lain yang ada di bawahnya, yaitu lingkungan ideologis, lingkungan kesusastraan, dan akhirnya pada karya sastra itu sendiri. Meski di dalamnya terdapat pengakuan terhadap pentingnya struktur formal karya sastra, spesifikasi cara karya sastra dalam merefleksikan dan merefraksikan, berbagai lingkungan yang ada diatasnya, pengakuan itu tidak sampai pada penempatan karya sastra sebagai suatu yang tersubordinasi sehingga tidak mungkin dapat keluar dan berhadapan langsung terhadap lingkungan yang ada di atasnya itu. Hal tersebut berbeda dengan teorinya yang kemudian yaitu teori dialogisnya. Teori dialogis Bakhtin merupakan sebuah konseptual yang koheren, menentang dari filsafat antropologis, epistemologi humaniora, teori genre sastra, hingga karya sastra.

Dari pemaparan dialogis bakhtin dan naratif di atas dapat ditarik kesimpilan bahwa naratif dialogis bakhtin merupakan, suatu pendekatan yang mengupas tentang alur cerita yang diceritakan pengarang, dan mengungkap suara pengarang yang disuarakan melalui karya sastranya.