Bab II

37 downloads 431 Views 174KB Size Report
KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999. TENTANG ... UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen,.
31

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

2.1 Pengertian Konsumen Dan Sengketa Konsumen 2.1.1 Pengertian Konsumen Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).34 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas: 1) Konsumen dalam arti umum yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2) Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha. 34

E.H. Hondius, 1976, Konsumentenrecht, dalam Shidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, hal 2

32

3) Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam UU dan penelitian ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) UUPK disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Ternyata pengertian konsumen dalam UUPK tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga (bystander) yang dirugikan atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa. Dalam pengertian konsumen ini adalah “syarat untuk tidak diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end consumer), dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (intermediate consumer). 2.1.2 Pengertian Sengketa Konsumen UUPK tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, namun bukan berarti tidak ada penjelasan. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa bagian UUPK, yaitu:

33

1. Pasal 1 butir (11) UUPK jo. BAB XI UUPK, penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi Negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Batasan BPSK pada pasal 1 butir (11) UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen” yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. 2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada BAB X penyelesaian sengketa. Pada BAB ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (8) Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), baik melalui BPSK atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. Yang menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen adalah BPSK dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

34

2.2 Pengertian BPSK Dan Relevansi Keberadaan BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen. 2.2.1 Pengertian BPSK UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pasal 1 butir (11) UUPK menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.35 Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPK disebutkan BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri dengan melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Peran BPSK disini semata-mata hanya bersifat sebagai fasilitator yang bersifat netral. BPSK sebagai mediator dan konsiliator adalah pihak ketiga yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa konsumen oleh para pihak. Sehingga pada hakikatnya hasil putusan mediasi dan konsiliasi dalam sengketa konsumen adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh BPSK.36 BPSK dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (Pasal 1 butir 8 Kepmen No. 350/2001). 35

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 74 Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 33 36

35

2.2.2

Relevansi Keberadaan BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa

Konsumen. Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha/produsen, biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.37 Pembentukan

BPSK

sendiri

didasarkan

pada

adanya

kecendrungan

masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.38 Dengan terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara sesuai ketentuan Pasal 54 ayat (3) dan Pasal 55 UUPK. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. 39 Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. 37

Indah Sukmaningsih, 2000, Harapan Segar Dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Dalam Kumpulan Kliping Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, hal 1 38 Sularsi, 2001, Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, hal 86-87 39 Yusuf Shofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta, hal 17

36

Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban penumpukan perkara di pengadilan. 2.3 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen. Di samping UUPK, hukum perlindungan konsumen juga di ketemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang juga memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Menurut Man Suparman Sastrawidjaja, sekalipun peraturan perundang-undangan tersebut tidak khusus diterbitkan untuk konsumen, setidak-tidaknya dapat dijadikan dasar bagi perlindungan konsumen.40 a. Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR UUD 1945, dalam pembukaan alinea ke 4 yang berbunyi “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tap MPR 1993 berbunyi meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen. b. Peraturan perundang-undangan lainnya Peraturan

perundang-undangan

yang

memuat

berbagai kaidah

yang

menyangkut konsumen, juga terdapat dalam hukum perdata, hukum dagang, serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya, baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata yang tidak tertulis, misalnya:

40

Man Suparman Sastrawidjaja, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Makalah Tidak Bertanggal, hal 3

37

1) KUHPerdata, terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat yang memuat berbagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen yaitu Pasal 1457 KUHPerdata dan Pasal 1548 KUHPerdata. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang/KUHD: buku kesatu dan kedua mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari jasa perasuransian dan pelayaran yaitu Pasal 510 KUHD yang menyebutkan bahwa setiap pemegang kanosemen berhak untuk menuntut penyerahan barang yang tersebut didalamnya dimana kapal tersebut berada. 3) Kaidah-kaidah yang menyangkut perlindungan konsumen juga terdapat diluar KUHPerdata, KUHD, maupun KUHPidana misalnya:41 a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)

UU. RI. No. 7 Tahun 1976 Tentang Farmasi UU. RI. No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian UU. RI. No. 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan UU. RI. No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun UU. RI. No. 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian UU. RI. No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan UU. RI. No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan UU. RI. No. 7 Tahun 1996 Tentang Undang-Undang Pangan UU. RI. No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU. RI. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat k) UU. RI. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 2.4 Beban Pembuktian Terbalik Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

41

AZ. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, hal 39

38

Beban pembuktian (bewijstlast/burden of proof) merupakan salah satu bagian penting dalam penyelesaian sengketa perdata konvensional. Untuk menghindari kesalahan pembebanan pembuktian yang tidak proporsional, sehingga merugikan kepentingan pihak lainnya, maka dalam menerapkan beban pembuktian harus dilihat kasus per kasus, menurut keadaan konkrit, dan perlu dipahami prinsip dan praktik yang berkenaan dengan penerapannya.42 Apabila dalam ketentuan undang-undang hukum materiil menentukan sendiri kepada pihak mana diwajibkan memberikan beban pembuktian, maka pedoman pembagian beban pembuktian tidak lagi merujuk kepada pasal 1865 KUHPerdata maupun Pasal 163 HIR, tetapi sepenuhnya mengacu kepada pasal undang-undang yang menentukan sendiri wajib bukti yang harus diterapkan dalam kasus tertentu.43 Setelah berlakunya UUPK yang mengatur kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil yang menerapkan beban pembuktian terbalik maupun didukung oleh aspek hukum formil dengan membentuk lembaga penyelesaian sengketa konsumen, disamping pengakuan gugatan dengan cara gugatan perwakilan kelompok/class action dan legal standing seperti yang diatur dalam Pasal 46 UUPK. Sistem pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 UUPK, yaitu sistem pembuktian terbalik (Pasal 28 UUPK jo. Pasal 22 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001).

42 43

M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal 519 Teguh Samudra, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, hal 24

39

Pembuktian ada atau tidak adanya kesalahan, dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 22 UUPK merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha (pihak yang digugat). Konsekuensinya, jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, dan cukup memiliki alasan yang

sah menurut hukum,

maka

gugatan ganti kerugian

yang

dituntut

penggugat/konsumen akan dikabulkan. Beban pembuktian terbalik ini penting untuk diterapkan dalam UUPK, tidak adil kiranya jika konsumen harus membuktikan keempat unsur tersebut dengan dasar pertimbangan: a. Secara sosial ekonomi kedudukan konsumen lemah dibandingkan dengan kedudukan pengusaha/perusahaan. b. Dalam menghadapi gugatan konsumen, pengusaha lebih mudah mendapatkan pengacara untuk membela kepentingan-kepentingannya, termasuk dalam membuktikan dalil-dalilnya lewat keahlian para ahli dari berbagai bidang sesuai dengan produk yang dihasilkannya. c. Bagi konsumen sulit membuktikan unsur ada tidaknya kesalahan/kelalaian pengusaha/produsen dalam proses produksi, pendistribusian, dan penjualan barang atau jasa yang telah dikonsumsi konsumen. Dalam sistem pembuktian terbalik, pelaku usaha harus membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, sedangkan konsumen tetap dibebani pembuktian, adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi, yang menjadi beban dan tanggungjawab

40

pelaku usaha adalah membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, bukan tidak adanya unsur kerugian pada konsumen. Ketentuan beban pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui perkara pidana Pasal 22 UUPK yang berbunyi “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 UUPK merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”. Berdasarkan bunyi Pasal 22 UUPK tersebut, tampaknya pembuktian terbalik juga diterapkan dalam sengketa pidana yang berkaitan dengan kerugian konsumen. Penulis berpendapat bahwa pembuktian terbalik sebaiknya hanya dilakukan dalam pembuktian perkara perdata saja, karena pembuktian terbalik dalam perkara pidana yang dilakukan untuk menghukum terdakwa, akan bertentangan dengan asas hukum pidana, yaitu asas praduga tak bersalah yang diatur dalam Pasal 8 UU. RI. No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU. RI. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Kedua beban pembuktian terbalik sebagaimana diuraikan diatas, (untuk perkara perdata dan perkara pidana) yang dianut dalam UUPK tersebut merupakan salah satu bentuk pemberdayaan konsumen, karena konsumen pada umumnya tidak mengerti dari apa saja barang itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya maupun pemasarannya. Pelaku usaha atau produsen dari produk bersangkutan sendiri yang mengerti sepenuhnya tentang produk konsumen dan pemasarannya. 2.5 Penafsiran Mengajukan “Keberatan” Terhadap Putusan BPSK.

41

UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya keberatan terhadap putusan BPSK tersebut. Memperhatikan praktek peradilan saat ini, implementasi instrumen hukum keberatan ini sangat membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi, dan interpretasi, terutama bagi para hakim dan lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan maksud suatu undang-undang. Hal ini disebabkan terminologi keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum acara yang ada. Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan, perlawanan, atau permohonan dan perlu atau tidaknya BPSK turut digugat agar dapat secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan menimbulkan permasalahan tersendiri, karena pengajuan keberatan ini akan didaftarkan pada register apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus keberatan. Keberatan atas putusan BPSK yang diajukan ke Pengadilan Negeri adalah termasuk Jurisdictio Contentiosa, karena ada hal-hal yang disengketakan antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, yang dimohonkan suatu putusan yang bersifat condemnatoir yang berisi penghukuman (pemberian ganti kerugian).44 Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mengikat, tetapi penulis berpendapat bahwa keberatan yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK dapat dimaklumi karena ketentuan hukum yang melindungi kepentingan hukum konsumen di Indonesia belum memadai, maka pembentuk undang-undang dalam upaya melindungi konsumen perlu melakukan terobosan baru, bahwa putusan arbitrase BPSK masih dapat diajukan

44

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 264

42

keberatan ke Pengadilan Negeri, dengan cara menafsirkan pengertian keberatan terhadap putusan BPSK ini diartikan sebagai keberatan penerapan hukum secara luas, sebagaimana dimaksudkan dalam perkara banding atas suatu putusan pengadilan tingkat pertama. Upaya hukum banding adalah upaya yang diberikan undang-undang untuk mengajukan perkaranya kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan atas putusan pengadilan tingkat pertama.45 Meskipun penggunaan istilah keberatan tidak lazim dalam hukum acara yang berlaku, jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa Pengadilan Negeri yang menerima pengajuan keberatan wajib memberikan putusannya dalam waktu paling lama 21 hari, sehingga tidaklah mungkin keberatan ini dianalogkan sebagai upaya gugatan baru atau perlawanan, karena proses perkara gugatan baru atau perlawanan sangatlah formal dan memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian, upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan BPSK tiada lain ditafsirkan sebagai upaya hukum banding. 2.6 Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 2.6.1. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK UUPK membuka peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Penjelasan Pasal 45 ayat (2) UUPK memberikan pengertian penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang

45

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 148

43

dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau BPSK dan tidak bertentangan dengan UUPK. Penyelesaian secara damai dapat berarti penyelesaian secara musyawarah yang sudah lama dikenal dalam konsep Hukum Adat Indonesia. Dikenalnya nilainilai kompromi untuk penyelesaian sengketa dapat muncul pada setiap bentuk masyarakat adat Indonesia, khususnya pada masyarakat dalam lingkungan yang kecil, di mana hubungan tatap muka antar pihak sangat dominan.

Daniel S. Lev

berpendapat bahwa ciri khas seperti ini secara umum akan lebih nampak pada masyarakat di daerah Jawa dan Bali, apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, misalnya orang Batak di Sumatera Utara.46 Di Jawa dan Bali, setiap usaha dilakukan untuk menghindari konflik berasal keinginan individu-individu dalam masyarakat guna memelihara ketertiban dan memperkecil sikap yang bermaksud bermusuhan dalam setiap macam sengketa. Nilai moral ini didasarkan atas pandangan bahwa keseimbangan atau kestabilan emosi, sebagai nilai moral yang dijunjung tinggi.47 BPSK adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (Pasal 1 Nomor 8 Kepmen. Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Melihat pada Kepmen tersebut, maka BPSK didirikan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase. 46

Daniel S. Lev, 1990, Hukum dan Politik Di Indonesia, Jakarta, hal 157 Sartono Kartodijo, 1984, Modern Indonesia:Tradition and Transformation (A SocioHistorical Perspective), Yogyakarta, hal 187 47

44

Adapun tata cara penyelesaian sengketa konsumen dari ke tiga alternatif tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Konsiliasi (Consiliation) Pada Pasal 1 ayat (9) dari Kepmen No. 350/2001 dinyatakan bahwa Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Jadi, dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwenang memutus perkaranya. Pihak-pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. Pada Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini, berdasarkan Pasal 28 Kepmen No. 350/2001 majelis BPSK sebagai konsiliator memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, dan memanggil saksi-saksi dan saksi ahli, dan bila diperlukan, menyediakan forum konsiliasi bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dan menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan dibidang UUPK.

45

Menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antar konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut. 2) Mediasi (Mediation) Pada Pasal 1 ayat (10) dari Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Artinya Mediasi adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu dalam mencari penyelesaian. Pihak ketiga (mediator) tidak berwenang memaksakan suatu keputusan. Keputusan akhir tetap didasarkan pada kesepakatan pihak yang bersengketa. Hasil akhir dari mediasi ini adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Peran mediator tidak jarang dapat berarti membantu para pihak untuk meyakinkan bahwa masalah yang tengah dihadapi mereka akan menjadi pokok

46

pembicaraan dalam proses perundingan dan membantu para pihak untuk tunduk pada aturan yang dijadikan dasar bagi pertemuan dan perundingan. Agar dapat benar-benar membantu dalam penyelesaian sengketa, mediator biasanya harus menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai kepentingankepentingan pribadi terhadap hasil suatu perundingan, dan tidak memihak kepada satu pihak/golongan. Mediator pada umumnya memahami masalah-masalah teknis dan politis, yang ada pada kasus-kasus yang ditandatangani. Para pihak yang bersengketa tidak jarang terlibat berperan dalam memilih mediator yang pantas untuk menangani sengketa di antara mereka. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak. Keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. 3) Arbitrase (Arbitration). Pengertian Arbitrase pada Pasal 1 ayat (11) dari Kepmen tersebut diatas, dinyatakan bahwa Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah

47

seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK. Yang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada Majelis BPSK, sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK. Pada persidangan pertama ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Jika terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Kepmen No. 350/2001 maka majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Penulis lebih condong jika perdamaian tersebut dituangkan dalam bentuk putusan perdamaian, bukan penetapan, karena putusan yang telah dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri lebih mempunyai daya paksa daripada penetapan. Hal ini untuk menghindari kemungkinan ingkar janji setelah putusan diucapkan. Sebaliknya berdasarkan Pasal 34 Kepmen No 350/2001, jika tidak tercapai perdamaian maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen, dan surat jawaban dari pelaku usaha. Selama proses penyelesaian sengketa, alat-alat bukti barang atau jasa, surat dan dokumen keterangan para pihak, keterangan saksi dan atau saksi ahli, dan buktibukti lain yang mendukung dapat diajukan kepada majelis. Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK beban pembuktian ada pada pelaku usaha, namun pihak konsumen juga harus mengajukan bukti-bukti untuk mendukung gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak mengenai hal yang disengketakan dan mempertimbangkan hasil pembuktian serta permohonan yang diinginkan oleh para pihak, maka majelis BPSK memberikan putusan.

48

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa peran dari BPSK dalam ketiganya adalah berbeda. Sengketa yang diselesaikan dengan cara-cara tersebut diatas, wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima disekretariat BPSK (Pasal 7 ayat 1). Namun demikian, sekalipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat 3), akan tetapi keberatan atas putusan tersebut masih dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan BPSK disampaikan. Selanjutnya PN wajib memutusnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari (Pasal 58 ayat 1). Terhadap putusan PN dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan PN diterima. Selanjutnya MA wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat 3). 2.6.2. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri 1) Gugatan Perdata Biasa (Konvensional) Syarat utama bagi pihak yang ingin mengajukan gugatan adalah orang tersebut haruslah mempunyai kepentingan. Apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang dikenal dengan asas point d’interest, point d’action atau tiada gugatan tanpa kepentingan hukum. Selain itu, sesuai ketentuan dalam hukum acara perdata (HIR), dalam Pasal 123 yang menentukan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang bersangkutan, atau yang berkepentingan, dan bukan oleh orang lain. Seandainya gugatan diajukan oleh orang lain, maka harus ada surat kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri.

49

Menurut Indroharto menyebutkan bahwa suatu kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu harus ada kalau kepentingan itu jelas, artinya untuk dianggap sebagai orang yang berkepentingan sebagai penggugat, harus mempunyai kepentingan sendiri untuk mengajukan gugatan tersebut, ia tidak dapat berbuat atas namanya kalau sesungguhnya hal itu adalah mengenai kepentingan orang lain.48 Dalam hukum perdata, tuntutan hak dengan mengajukan gugatan dapat terjadi karena adanya perbuatan Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum atau adanya peristiwa lain sehingga merugikan pihak tertentu, oleh karenanya gugatan hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan bilamana ada hubungan hukum. HIR tidak mengatur dengan tegas syarat-syarat dan bentuk suatu gugatan, tetapi untuk tercapainya maksud dari suatu gugatan, di samping adanya alasan hukum yang kuat serta kebenaran, adanya tuntutan metode penyampaian serta susunan surat gugatan sangat penting untuk menentukan diterima atau ditolaknya gugatan. Secara umum beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan surat gugatan adalah: A. Posita Posita

adalah

uraian

penggugat

mengenai

peristiwa

konkrit

yang

menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar dan alasan diajukannya tuntutan hak. Posita harus memuat seluruh materi perkara berikut uraian dan alasan serta dasar-dasar diajukannya tuntutan ganti kerugian, permohonan provisi, sita

48 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 182

50

jaminan dan tuntutan-tuntutan Penggugat lainnya yang dimohonkan dalam petitum (tuntutan), baik mengenai tuntutan pokok maupun tuntutan tambahan. Pada dasarnya uraian bagian posita merupakan gambaran dari tuntutan yang akan diajukan oleh penggugat pada bagian petitum diakhir gugatan. Tuntutan atau petitum yang tidak diuraikan sebelumnya pada bagian posita menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara posita dengan petitum yang akan menyebabkan ditolak atau tidak diterimanya sebuah gugatan. Pentingnya keselarasan antara uraian posita dengan petitum adalah untuk mencegah suatu gugatan menjadi kabur atau tidak jelas. Uraian pada bagian posita ini meliputi: -

Hubungan hukum dan atau peristiwa konkret yang terjadi antara penggugat dengan tergugat berikut dasar-dasar hukumnya;

-

Akibat dari sengketa atau permasalahnya antara penggugat dan tergugat, seperti kerugian-kerugian yang dialami oleh Penggugat. Kerugian ini dapat terdiri dari kerugian materil dan kerugian inmaterial. Untuk diterimanya tuntutan ganti kerugian, maka ganti kerugian tersebut haruslah dijelaskan secara terperinci dan jelas disertai dengan bukti-bukti yang sah dan tidak dapat disangkal oleh tergugat secara hukum;

-

Kerugian inmaterial sangat sulit dinilai dengan uang dan juga sulit dibuktikan secara tertulis, oleh sebab itu pada bagian ini harus dijelaskan bentuk kerugian immaterial yang dialami, seperti tersitanya waktu, tenaga dan pikiran, hilangnya rasa aman;

-

Alasan tentang permohonan provisi, jika penggugat menginginkan putusan provisi dari gugatan yang diajukan;

51

-

Alasan tentang sita jaminan serta uraian obyek yang akan disita dengan jelas dan terperinci, jika penggugat menginginkan adanya sita jaminan pada gugatan yang diajukan;

-

Uraian tentang apa-apa yang terjadi sehingga perlu diajukan perkara itu (gambaran yang jelas tentang duduk persoalan) dan tentang hukum yang menjadi dasar permohonannya (fundamental petendi). Contoh apakah gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) atau gugatan wanprestasi (Pasal 1238 KUHPerdata dan seterusnya). Uraian-uraian lainnya, seperti tentang putusan serta merta dan tuntutan-

tuntutan lain dari penggugat yang diharapkan akan dipenuhi pada putusan, tuntutan mana dapat tercermin pada petitum. B. Tuntutan (Petitum) Petitum merupakan kesimpulan gugatan berupa tuntutan-tuntutan yang dimohonkan oleh Penggugat. Petitum dapat terdiri dari Tuntutan Pokok dan Tuntutan Tambahan. Tuntutan pokok adalah tuntutan yang berkenaan dengan pokok perkara yang sesungguhnya, sedangkan tuntutan tambahan adalah tuntutan yang dimungkinkan oleh hukum berkenaan dengan gugatan penggugat, seperti tuntutan bunga, bunga moratoir, uang paksa (dwangsom) atau putusan serta merta. Dalam menyusun petitum perlu diingatkan lagi keharusan adanya keterkaitan antara petitum dengan posita gugatan, mengingat pengadilan tidak dapat mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut tetapi boleh mengabulkan apa yang

52

tidak dimohonkan dalam petitum (Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1973 No. 556 K/Sip/1971 dan 9 November 1976 No. 1246 K/Sip/1974). Beberapa hal penting dalam pembuatan petitum adalah: -

Permohonan diterima dan dikabulkannya gugatan;

-

Tentang pernyataan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan yang menjadi alasan gugatan, seperti menyatakan tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum atau Wanprestasi;

-

Penegasan ganti kerugian;

-

Permohonan agar sita jaminan dinyatakan sah dan berharga;

-

Permohonan tentang tuntutan tambahan.

Apabila peristiwa-peristiwa hukum yang diuraikan pada posita bertentangan dengan apa yang dimohon dalam petitum akan menyebabkan surat gugatan menjadi kabur dan tidak jelas sehingga gugatan tidak dapat diteirma oleh Pengadilan. 2) Gugatan Perdata Class Action (Perwakilan Kelompok) Sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK disebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Class Action merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) untuk bertindak sebagai penggugat dalam memperjuangkan kepentingan penggugat itu sendiri dan sekaligus mewakili kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu atau jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang (tunggal) atau orang-orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai penggugat

53

disebut wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilkan disebut class members.49 Class Action mendapatkan dasar atau legitimasi penggunaannya dalam keadaan gugatan yang melibatkan sejumlah orang banyak dan menderita kerugian (injured/affected) sehingga tidaklah efisien dan praktis apabila diajukan secara individual, terpisah-pisah atau diajukan secara gabungan dalam satu gugatan (joinder) berdasarkan hukum acara acara perdata konvensional.50 Dalam hal gugatan perdata yang melibatkan jumlah orang penderita kerugian yang bersifat massal, maka class action sangat bermanfaat untuk dikembangkan di Indonesia. Adapun manfaat dari class action, antara lain 51: 1. Membuat proses berperkara menjadi sangat ekononis (judicial economy). Dengan gugatan model class action dapat mencegah pengulangan gugatan-gugatan serupa secara individual. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan apabila harus melayani gugatan-gugatan sejenis secara individual (satu per satu). Manfaat ekonomis juga akan dirasakan oleh penggugat dan tergugat, sebab tergugat hanya akan mengeluarkan satu kali biaya untuk melayani gugatan, sedangkan bagi penggugat, biaya yang akan dikeluarkan untuk pengurusan perkara dapat lebih ekonomis karena ditanggung secara bersama-sama.

2. Memperbesar akses pada keadilan.

49

Mas Ahmad Santosa, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, hal 306 Ibid. 51 Ibid. 50

54

Persoalan pembuktian, mahalnya pembiayaan dan rumitnya proses peradilan serta keanekaan pola hubungan para pihak dan aspek-aspek struktural lainnya, sering mengakibatkan penggugat (individual) menghadapi kendala. Kendala yang bersifat ekonomis tersebut dapat teratasi dengan cara orang-orang yang menderita kerugian menggabungkan diri bersama class members lainnya dalam satu gugatan class action. Pengakuan secara hukum bagi gugatan class action pertama kali diatur dalam Pasal 37 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), demikian pula dalam UU Kehutanan dan UUPK. Dengan diakuinya class action dalam UUPK sangat penting karena pada umumnya dalam sengketa konsumen korbannya bersifat massal. Apabila korbannya hanya beberapa orang saja, maka secara teknis masih memungkinkan untuk mengajukan gugatan perta dengan acara biasa melalui Pengadilan Negeri setempat. Sebagai pedoman bagi Pengadilan dalam menangani perkara-perkara class action, sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang mengatur acara peradilan, pada tanggal 26 April 2002, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 (selanjutnya disebut Perma No 1 Tahun 2002) Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 2002 menyebutkan tata cara diajukannya Gugatan Perwakilan Kelompok, antara lain apabila: a.

Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu gugatan;

55

b.

Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;

c.

Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;

d.

Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajbian membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Selanjutnya, selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil surat

gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok (class action) sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 1 Tahun 2002 haruslah memuat: a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok; b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walalupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu per satu; c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan; d. Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang terindentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;

56

e. Dalam 1 (satu) surat gugatan perwakilan, dapat dikelompokan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda; f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok sebagaimana tersebut diatas. Disamping itu Hakim dapat pula memberikan nasihat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan kelompok. Mengenai keabsahan suatu gugatan perwakilan kelompok dituangkan ke dalam suatu Penetapan Pengadilan, apabila Hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, maka segera setelah itu, Hakim memerintahkan Penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim. Akan tetapi sebaliknya sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Perma No 1 Tahun 2002 menyebutkan bahwa apabila Hakim memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu Putusan Hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Perma No 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud

57

melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangungnya pemeriksaan perkara. Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Perma No 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. Pada prakteknya tidaklah mudah untuk mengorganisasi gugatan perwakilan kelompok (class action), menurut Yusuf Shofie, terdapat 2 (dua) hal yang yang harus diperhatikan pada pekerjaan bantuan hukum, yakni sebagai berikut:52 1. Menempatkan korban sebagai subjek utama, dimana kepentingan para korban itulah yang harus menjadi agenda pokok dan penentu arah suatu kegiatan advokasi. Kepentingan dan ambisi-ambisi pribadi para pekerja bantuan hukum tidak boleh turut bermain dalam proses gugatan tersebut karena hal ini akan merugikan pihak korban yang sudah mengalami viktimisasi primer dan proses gugatan tersebut akan menjadi tidak murni lagi sehingga dikhawatirkan berpengaruh, baik terhadap proses gugatan (prosedural) dan materi gugatan (pokok perkara); 2. Hal-hal teknis persiapan gugatan perwakilan atau gugatan kelompok, seperti: a. Pengumpulan fakta hukum (investigasi); b. Pembuatan opini hukum; c. Pengorganisasian, termasuk pembentukan jaringan kerja; d. Penyadaran masyarakat korban serta kampanye publik melalui pertemuan pertemuan dengan masyarakat korban; e. Penentuan wakil kelas (class representative) dari para anggota kelas (class members) untuk ditindaklanjuti dalam dokumen hukum surat kuasa sebagai dasar hukum Penasihat Hukum untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau gugatan kelompok; f. Litigasi yang meliputi pembuatan surat gugatan, penguasaan materi dan lain sebagainya; 52

Yusuf Shofie, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 84

58

Secara operasional hal-hal ini dituangkan dalam suatu jadwal kerja sehingga agenda gugatan tersebut dapat dipersiapkan secara maksimal. 3) Gugatan Perdata Legal Standing Terminologi Legal Standing terkait dengan konsep locus standi atau prinsip persona standi in judicio (the concept of locus standi), yaitu: seseorang yang mengajukan gugatan harus memiliki hak dan kualitas sebagai penggugat. Kata seseorang disini diperluas pada badan hukum. Badan hukum (rechtpersoon; legal entities; corporation) sebagai subjek penggugat ataupun tergugat bukanlah hal yang sama sekali baru. Doktrin hukum ini telah lama dirujuk dan diikuti dalam berbagai Putusan Pengadilan di Indonesia dan tidak berlebihan apabila dikatakan sebagai yuriprudensi tetap. Namun demikian Pengadilan telah menunjukan sikap fleksibilitas yang begitu besar terhadap konsep tersebut dengan memperkenankan badan hukum (seperti yayasan) yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu untuk bertindak sebagai penggugat tanpa memiliki kepentingan langsung terhadap objek gugatan. Pasal 46 ayat (1) butir (c) UUPK yang berbunyi gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Gugatan tersebut menjadi kompetensi absolut peradilan umum, dalam hal ini Pengadilan Negeri.

59

Pada pokoknya gugatan perdata Legal Standing dan Class Action mempunyai perbedaan konseptual, yakni sebagai berikut:53 1). Class action, terdiri dari unsur class representatif (berjumlah satu orang atau lebih) dan class members (berjumlah besar), dimana kedua unsur tersebut menimbulkan pihak-pihak korban yang mengalami kerugian nyata (kongkrit riil). Sedangkan dalam konsep Legal Standing, LSM bukanlah merupakan pihak yang mengalami kerugian nyata (kongkrit atau riil). 2). Oleh karenanya dalam Legal Standing, tuntutan ganti kerugian (right to damages) pada umumnya tidak diperkenankan dan bukan merupakan ruang lingkup dari hak mereka. Sedangkan gugatan class action pada umumnya justru berjuang pada tuntutan ganti kerugian. Secara formal legalistik di bidang hukum perlindungan konsumen, pasal 44 ayat (1) UUPK telah mengakui eksistensi LPKSM yang memenuhi syarat. Adapun yang dimaksudkan “memenuhi syarat” yaitu antara lain dengan terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan kosumen. Kata “antara lain” pada UUPK tersebut dapat diartikan bahwa disamping ketentuan tersebut diatas, masih terdapat persyaratan-persyaratan lain yang diperlukan bagi Organisasi non-Pemerintah (Ornop) yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Terdapat atau tidaknya pengakuan Pemerintah terhadap Ornop perlindungan konsumen didasarkan pada kriteria dipenuhi tidaknya syarat-syarat yang ditentukan. Pasal 44 UUPK tidak mengatur syarat-syarat tersebut, akan tetapi pada pasal 44 ayat (4) UUPK ditegaskan bahwa tugas LPKSM akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, dimana dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang LPKSM yang di dalam pasal 2 ayat (1) menentukan 2 (dua) syarat untuk diakui sebagai LPKSM, yaitu: 1. Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten / Kota; 53

Mas Ahmad Santosa, Op.Cit., hal 309-310

60

2. Bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar LPKSM tersebut. Apabila kedua syarat tersebut diatas telah terpenuhi, maka LPKSM yang bersangkutan dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia dan oleh karenanya pula dapat mengajukan gugatan legal standing seperti yang diamanatkan di dalam UUPK. Walaupun LPKSM dikatakan sebagai lembaga non-Pemerintah, tetapi belum dapat dikatakan sebagai lembaga yang “independen”, mengingat LPKSM yang dimaksud dalam undang-undang ini harus didaftarkan dan mendapat pengakuan pemerintah, dengan tugas-tugas yang masih harus diatur dengan peraturan pemerintah.