Berbicara dengan Pena - KabarIndonesia

9 downloads 547 Views 62KB Size Report
mengapa adikku diberikan banyak kesempurnaan sementara aku hidup dalam ... tentang seorang penulis puisi yang hanya terkungkung di dalam rumah besar.
Berbicara dengan Pena Oleh: Heni Kurniawati

Ditakdirkan menjadi seorang yang menyandang ketidaksempurnaan fisik membuatku merasa iri pada keindahan yang dianugerahkan Allah pada orang-orang lain di sekitarku, terutama pada adikku. Jiwaku seringkali berontak mempertanyakan mengapa adikku diberikan banyak kesempurnaan sementara aku hidup dalam keterbatasan.

Adikku yang cantik, cerdas, rajin, dan supel membuatnya disayang banyak orang, disukai, dan bahkan diidolakan teman-temannya. Ia adalah bintang di keluarga kami, bintang kebanggaan ayah dan bundaku. Dan dengan kecerdasan dan ketangkasannya, ia juga menjadi bintang yang dijagokan teman-teman sekolahnya.

Sementara aku takkan pernah bisa menyainginya. Fisikku yang kurang sempurna tidak memungkinkan aku berkiprah di dunia olah raga kecintaan keluargaku. Kakiku yang sedikit pincang, jari-jari tangan dan kaki kiriku yang selalu mengepal dan tidak bisa dimekarkan membatasiku dari segala hal yang ingin kulakukan. Aku takkan mungkin membawa pulang piala kejuaraan bola voli, tak mungkin aku membanggakan prestasi Tapak Suci pada orang tuaku. Aku juga takkan bisa menjadi seorang ballerina seperti adikku. Untuk sekedar ikut dalam pentas fashion show pun, aku tak bisa.

Kata bunda aku jatuh saat berusia tujuh bulan. Kepalaku terlebih dulu membentur lantai. Keceriaan dan kelincahanku seketika hilang. Tubuhku bergantian ditusuk jarum infus, di tangan, kaki, juga kepalaku. Ayah dan bunda keluar masuk ruangan dokter spesialis syaraf. Pengobatan dan terapi alternatif masih harus kujalani hingga kini. Tapi

1

tangan dan kaki kiriku tak kunjung normal. Bahkan bila ingin memakai sepatu kets, aku harus dibantu bunda.

Seringkali aku harus berjuang memerangi rasa iri yang mencuat tak terkendali. Suatu ketika adikku berlari masuk rumah dengan menenteng pialanya. Ia baru saja memenangkan Lomba Kreasi Jilbab Tingkat Remaja se-kecamatan. Dengan bangga ia memamerkan piala itu pada bunda, lalu memajangnya di ruang tamu, di antara pialapiala lain miliknya. Piala-piala itu berderet panjang, hampir memenuhi buffet hias bunda. Semuanya milik adikku, tak satu pun milikku.

Aku berlari ke kamar setelah mengucapkan, ”Selamat ya dik. Kakak bangga padamu,” seperti yang biasa kulakukan. Kutumpahkan tangis sepuas-puasnya di kamar. Kutuliskan semua yang kurasakan dalam buku harian. Air mata membasahi kertas, hingga tak semua tulisan bisa terbaca. Hanya ini yang bisa kulakukan, menangisi kemalangan diri. Aku bukan orang yang mudah berkeluh kesah pada orang lain, termasuk pada bunda. Aku lebih suka memendam dan merasakan kekecewaan ini sendiri karena berkeluh kesah pada orang lain takkan bisa menyembuhkan cacat fisikku. Aku juga tahu ayah dan bunda telah berusaha bersikap adil pada kami berdua. Setiap kali bunda memuji adikku, ia juga memuji kecantikanku, keindahan rambutku, atau enaknya mie rebus buatanku. Ya, ayah dan bunda telah berusaha memberikan hak, kesempatan, pembelaan, dan kasih sayang yang sama padaku dan adikku. Dan aku tak ingin membuatnya sedih dengan menceritakan penderitaan yang kurasakan akibat ketidaksempurnaan fisikku.

Yang membuatku merasa tak berdaya adalah karena ayah dan bunda tak mampu melindungiku dari tatapan sebelah mata orang-orang yang melihatku, dari pandangan kasihan teman-teman karena aku hanya bisa menjadi penonton pertandingan voli di

2

sekolahku, dari keinginan kuat dalam diriku untuk menjadi seperti adikku. Sungguh, aku ingin menjadi kebanggaan orang tuaku.

Entah berapa lama aku tertidur karena tanpa sadar bunda sudah ada di tepi ranjangku, sedang mengelus rambutku. Ketika dilihatnya aku membuka mata, ia segera memelukku. Aku terkejut karena matanya telah basah. Rupanya ia telah membaca buku harianku. Ia juga telah membereskan kertas-kertas robek yang tadi basah oleh air mataku. Akhirnya tangisku pecah di pelukan bunda, meledakkan segala rasa sedih, kecewa, dan tak berdaya yang selama ini menggumpal di antara sekat-sekat rongga dadaku.

Dan hari itu aku sungguh-sungguh merasakan kasih sayang bunda yang begitu besar untukku. Dengan bijak ia mendengarkanku, memelukku, dan membangkitkan semangat hidupku. Dia bercerita tentang novel-novel yang dibacanya, tentang pengarang-pengarang Amerika yang begitu hebat melukiskan sejarah dalam ceritanya, tentang seorang penulis puisi yang hanya terkungkung di dalam rumah besar keluarganya, namun berhasil menuliskan puisi-puisi mendunia. Dia juga mengisahkan seorang penulis fiksi ternama yang cacat kaki dan tangannya, tetapi berhasil melahirkan karya-karya nyata, tentang John Steinback yang mengguncang dunia dengan cerita tentang penderitaan orang-orang Oklahoma yang terpaksa bermigrasi ke California karena tekanan ekonomi akibat Revolusi Industri, tentang Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Asma Nadia, Pipiet Senja, Budi Dharma, cerpen-cerpen Irwin Shaw, dan romantisme drama-drama Shakespeare. Bunda juga menekankan bahwa aku dan adik mempunyai dunia sendiri-sendiri, dan di dunia itulah kami harus menunjukkan eksistensi masing-masing. Dan sekali lagi bunda menegaskan bahwa Allah menciptakan umatnya dengan kelebihannya masing-masing.

3

Hari itulah duniaku dimulai. Aku merasa ada secercah sinar yang menerangi dunia gelapku. Ayah membelikanku sebuah komputer bekas. Dengan komputer itu aku belajar. Bunda mengajariku bagaimana membuat cerita yang menarik, bagaimana menulis kalimat yang benar, bagaimana menciptakan konflik dalam cerita, dan bagaimana mencari data yang akurat untuk tulisan-tulisan opiniku. Bunda juga mendaftarkan aku dalam sebuah kursus menulis online. Dan aku pun bergabung dengan milis-milis penulisan, forum-forum diskusi dan aktif memperbarui isi blogku. Dari sini aku punya banyak teman, dan dari merekalah aku mendapatkan banyak komentar untuk perbaikan tulisanku. Aku semakin bersemangat untuk belajar menulis. Tak pernah sehari pun kulewatkan tanpa menulis sebuah cerita atau artikel. Jari-jari tangan kananku semakin lincah memainkan tuts-tuts keyboard, sementara jari tangan kiriku hanya bertugas memencet spasi. Bunda menjadi pembaca pertamaku. Meskipun dia sangat kritis karena terbiasa membaca karya penulis-penulis hebat, namun

kritiknya selalu membuat

tulisanku lebih baik.

Lalu kuberanikan diri mengirim tulisanku ke media. Mula-mula sebuah koran online di internet, lalu tabloid lokal, majalah anak, dan majalah remaja berbahasa Inggris. Tak kuduga, satu per satu tulisanku dimuat. Meskipun honor yang kudapatkan tidak banyak, namun percaya diriku terangkat naik. Motivasiku semakin kuat. Ayah, bunda, dan adikku mulai bangga padaku. Dengan semangat bunda menunjukkan namaku yang tertulis kecil di bawah tulisan kolom sebuah surat kabar pada temanteman arisannya. Bunda juga mendorongku untuk mengikuti lomba-lomba penulisan. Dan ketika aku menjadi juara, bunda meminta piagamnya dipasang di kamarnya. Ini sungguh membuatku terharu.

Setelah memenangkan lomba itu, aku semakin terpacu untuk melahirkan karyakarya tulisan. Sebuah koran online di internet menawariku untuk menjadi juri pada

4

sebuah lomba penulisan surat. Dengan senang hati aku menerimanya meskipun itu pengalaman pertama bagiku karena kupikir inilah saatnya belajar lebih banyak lagi. Yang lebih membuatku bahagia adalah aku ditawari pekerjaan oleh tetanggaku, seorang pengusaha produk minuman susu kedelai karena usahanya semakin maju setelah profilnya kutulis dan dimuat oleh sebuah tabloid keluarga.

Aku bersyukur dengan apa yang kualami ini, dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah pada setiap usahaku. Benar kata bunda, setiap makhluk dilahirkan dengan kelebihannya masing-masing, dengan dunianya sendiri-sendiri. Ternyata ketidaksempurnaan fisik tidak selamanya membatasi langkahku, selama aku berusaha tentunya. Diam-diam aku menyesal karena telah larut dalam kesedihan dan ketidakberdayaan tak berarti.

Kini bunda telah tiada. Akupun hampir menyelesaikan kuliahku. Jauh di sana, di alam yang lain dengan alamku, aku ingin bunda melihatku menjadi seseorang. Aku ingin bunda bangga pada anak tertuanya ini. Aku ingin membicarakan banyak hal pada bunda, tentang mimpi-mimpiku, idealismeku, cita-citaku, harapan-harapan untuk bangsa dan negriku, tentang rasa sayangku pada adikku, tentang kemajuan usaha tetanggaku, dan banyak lagi. Tapi aku tidak hanya ingin membicarakannya pada bunda, aku ingin membicarakannya pada semua orang di dunia. Aku ingin berbicara dengan pena.(*)

5