Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

31 downloads 1111565 Views 285KB Size Report
Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa ... Kata 'etika' dalam arti yang sebenarnya berarti 'filsafat mengenai bidang.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

Di dalam Bab II ini diuraikan tentang (i) kajian pustaka, (ii) konsep, (iii) landasan teori dan (iv) model penelitian. Berikut adalah uraiannya.

2.1

Kajian Pustaka Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian

sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku. Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1.

Rahmanto, tahun 1994 pernah menulis tentang novel Para Priyayi dalam tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam: Analisis Semiotik. Ia menyimpulkan bahwa lewat tokohtokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan Lantip ditampilkan masalah penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Penghambaan yang mirip dengan pola penghambaan

Sumantri

tampak

pada

penghambaan

Atmokasan,

Sastrodarsono, dan Lantip ketika masih muda. Penghambaan Kumbakarna tampak pada Noegroho, Harjono, Hardoyo, dan Lantip setelah dewasa, sedang penghambaan Karna terlihat pada pengabdian Lantip setelah dewasa. Sikap

Universitas Sumatera Utara

penghambaan Lantip yang tulus, tanpa pamrih, tahu membalas budi, dan rendah hati, serta menekankan usaha menumbuhkembangkan pengabdian kepada masyarakat (rakyat kecil) tanpa pamrih merupakan gabungan dari ketiga sifat penghambaan ketiga tokoh wayang tersebut. 2.

Rahmanto juga menulis buku yang berjudul Umar Kayam: Karya dan Dunianya pada tahun 2004. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa (1967), Sybil (1967), Secangkir Kopi dan Sepotong Donat (1986), Chief Sitting Bull (1986), There Goes Tatum (1986), Kimono Biru buat Istri (1986), Para Priyayi (1992), Jalan Menikung (1999), serta kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet…(2002). Dari buku tersebut diperoleh pengakuan Kayam bahwa penulisan novel Para Priyayi berawal dari kekecewaannya terhadap penafsiran yang keliru mengenai dunia priyayi Jawa oleh orangorang non-Jawa dan para pakar asing. Dengan novel itulah Kayam ingin memahami dunia priyayi dari dalam dan ingin juga menggambarkan bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang ingin menjadi priyayi. Kayam juga menjelaskan pilihan novel itu didasari keyakinan terhadap efektivitas novel sebagai sarana memahami kehidupan.

3.

Selanjutnya, Najid tahun 2000 menulis tentang novel Para Priyayi dalam tesisnya yang berjudul Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam. Penelitian ini menggunakan kerangka teori new

Universitas Sumatera Utara

historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenbalt yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Kebaruan pemikiran yang ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran permaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami konsep priyayi yang ditawarkan oleh Umar Kayam. 4.

Tanggapan terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui artikel, dimulai dari Damono di Majalah Tempo pada tanggal 20 Juni 1992 lewat “Album Kehormatan Orang Jawa”. Menurut Damono, novel Para Priyayi menggambarkan proses menjadi priyayi yang dialami oleh sebuah keluarga besar dari generasi pertama priyayi. Priyayi yang digambarkan dalam novel tersebut adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Dalam hal ini Umar Kayam telah menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priyayi. Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian, terungkaplah berbagai segi kehidupan priyayi di bidang agama, seks, politik, kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan lainnya.

5.

Mohamad juga memberikan komentarnya di Majalah Tempo pada tanggal 29 Agustus 1992 lewat “Priyayi”. Menurutnya novel Para Priyayi justru

Universitas Sumatera Utara

‘membongkar’ mitos yang menjerat masyarakat Jawa selama ini. Novel tersebut menunjukkan bahwa kelas yang disebut ndoro itu, pada dasarnya punya sesuatu yang sama seperti orang dusun -- atau siapa pun yang hidup di Jawa yang dirundung kekacauan sejak abad ke-17 ini: semuanya punya rasa cemas untuk mengambil risiko, ekspresi dari ‘the moral economy of the peasant’. Tak aneh para priyayi, kecil atau besar, punya genesis yang sama dari orang ‘kebanyakan’. Ternyata di halaman-halaman yang menyimpan kenangan yang umumnya datar dan biasa-biasa saja itu ada sebuah cerita besar, meskipun tak mengejutkan: tidakkah ini kisah sebuah masyarakat yang terus menerus berpose, mengharapkan kelanggengan, tapi seharusnya bersyukur dengan perubahan. 6.

Berikut Pabottingi memberikan ulasan terhadap novel Para Priyayi Umar Kayam di Majalah Tempo 3 Oktober 1992 dalam “Pertandingan Priyayi”. Novel Umar Kayam ini telah memberi gambaran yang hidup tentang alam priyayi. Di sini priyayi memang tetap ditampilkan menjarak dari ortodoksi Islam, bertahan pada praktek olah-batin leluhur, mencintai kehalusan dan pewayangan, tapi tetap tegas menolak disebut bukan muslim. Tapi, berbeda dengan alam priayi pada karya Clifford Geertz, alam priyayi pada Kayam lebih merupakan sasaran mobilitas sosial dan lebih peka pada kepentingan wong cilik. ‘Priyayi’ Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter. Ia tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, melainkan dengan kemanusiaan.

Universitas Sumatera Utara

7.

Selanjutnya, Anshoriy pernah menulis tentang budaya Jawa dalam bukunya yang berjudul Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, terbit tahun 2008. Buku ini layak dijadikan referensi karena berisikan butirbutir kearifan lokal warisan nenek moyang mengenai etika kekuasaan yang dikaji dan digali dengan pendekatan ilmiah.

8.

Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) menguraikan konsep kekuasaan Jawa yang bertentangan dengan B.R.O’G Anderson dalam “The Idea of Power in Javanese Culture” (1972). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa serupa dengan pemimpin dalam semua masyarakat di dunia, seorang pemimpin dalam

suatu

masyarakat

yang

berkebudayaan

Jawa

juga

perlu

memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang pemimpin secara universal. Ia juga perlu memiliki semua sifat yang diperlukan sebagai syarat pemimpin yang bermutu. Hal itu dapat kita pelajari dengan membaca secara seksama buku-buku tradisional Jawa mengenai syarat-syarat kepemimpinan. Konsep inilah yang menjadi rujukan bagi penulis untuk menganalisis konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi bacaan pendukung bagi penulis terkait dengan objek penelitian. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menganalisis etika kekuasaan

Universitas Sumatera Utara

Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan teori hubungan kesusastraan dengan pemikiran. Konsep kekuasaan Jawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan

empat komponen kekuasaan yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus.

2.2

Konsep

2.2.1

Definisi Etika

2.2.1.1 Etika Jawa Etika merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008:6). Tinggi rendahnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing warganya bertindak sesuai dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh karena produktifitas dan kreatifitas masyarakatnya akan terus berlanjut, tanpa ada hambatan yang berarti. Dengan mentaati norma dan etika, maka tingkah laku serta hubungan antar manusia akan berjalan secara wajar, yang memungkinkan untuk melakukan aktifitas secara efektif dan efisien. Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap, cara berfikir, watak kesesuaian atau adat (Bertens, 1993:4). Ethos identik dengan moral, yang dalam Bahasa Indonesia berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.

Universitas Sumatera Utara

Kata ‘etika’ dalam arti yang sebenarnya berarti ‘filsafat mengenai bidang moral’ (Bertens, 1993:6). Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Suseno (1996:6) mempergunakan istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai ‘keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya’; jadi di mana mereka menemukan jawaban pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil. Suseno membedakan antara pengertian ajaran moral dengan etika. 7 Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumbernya bisa guru, orang tua, pemuka agama atau orang bijak seperti pujangga Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Manoguna, Empu Prapanca, Empu Tantular, Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana IV, Sri Mangkunegara IV, Kyai Sindusastra, Kyai Kusumadilaga, Ki Padmasusastra, Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Nartasabda. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan                                                             7

Lihat Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. 30 

Universitas Sumatera Utara

pandangan moral (Suseno, 1992:42). Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika dan ajaran moral tidak setingkat. Yang mengatakan bagaimana seseorang harus hidup adalah ajaran moral, bukan etika. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1997 : 14). Tanggung jawab moral sangat penting dalam kehidupan kolektif. Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 1984:6).

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup Bagi masyarakat Jawa etika itu kerap disebut dengan istilah pepali, unggahungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa. Para pemimpin Jawa terutama raja dan punggawanya sejak dulu kala memahami benar tentang arti penting etika. Kehidupan berbangsa dan bernegara memang perlu diatur berdasarkan hukum yang memadai. Berhubung dengan itu, maka pujangga Jawa diberi tugas khusus untuk menyusun tata tertib sosial yang

Universitas Sumatera Utara

mengikat semua penduduknya. Etika Jawa ini disusun berdasarkan nilai-nilai historis, sosiologis dan filosofis yang telah mengakar dalam masyarakat. Dalam etika Jawa terdapat aliran yang mengandung nilai eudaemonisme theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaemoni, artinya kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan (Mudhofir, 1988: 26). Selanjutnya aliran theologi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut bermoral jika tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan buruk yaitu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuntutan moral yang baik dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci dari masing-masing agama (Suseno, 1997: 83). Bagi orang Jawa pada umumnya memang ditekankan keselarasan antara makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Aliran eudaemonisme theologis ini terdapat dalam ungkapan Serat Wedhatama yaitu agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat. Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing pamrih berarti menerima tempatnya sendiri, dan memenuhi kewajiban berarti

Universitas Sumatera Utara

melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya dalam kosmos. Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia ‘mengerti’, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin bersatu ia dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.

2.2.3

Kekuasaan Jawa

2.2.3.1 Hakikat Kekuasaan Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya dan pandangan hidupnya. Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memulai analisis mengenai konsep kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa aspek dan sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa konsep yang sangat erat kaitan dengannya. Hal ini perlu, karena di antara konsep ilmu

Universitas Sumatera Utara

politik, yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini disebabkan karena konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik pada khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik (politics) diangggap tidak lain dari sebuah kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik. 8 Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh ‘sikap jiwa pribadi’ dari pembahas yang bersangkutan. Apalagi jika yang dibahas itu gejala yang sensitif, seperti halnya gejala yang menyangkut masalah kemanusiaan. 9 Perbedaan dalam menganalisa kekuasaan sebagai sesuatu gejala sosial sudah mulai nampak, kalau kita memperhatikan bagaimana kekuasaan itu diartikan. Ada satu kelompok pendapat yang mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi (dominance), dan ada yang pada hakekatnya bersifat ‘paksaan’ (coercion). Sebagai contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe, yang merumuskan kekuasaan sebagai ‘kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada orang lain’. Pendapat senada dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan: ‘Kekuasaaan itu adalah dominasi yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain

                                                             8

Lihat Miriam Budiardjo, ‘Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan’, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 9.  9 Lihat Soelaeman Soemardi, ‘Cara-Cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu Gejala Sosial’, dalam Ibid., hlm. 30. 

Universitas Sumatera Utara

menentang’. Demikian pula Harold D. Laswell menganggapnya, ‘tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat’ (Budiardjo, 1984:31). Suatu pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan karangan Talcott Parsons, Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok yang kedua ini, pengertian pokok dari kekuasaan adalah ‘pengawasan’ (control). Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus selalu merupakan paksaan. Untuk Parsons umpamanya, kekuasaan adalah ‘pemilikan fasilitas untuk mengawasi’. Akan tetapi keperluannya ialah untuk ‘pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat sebagai suatu sistem, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan ditentukan secara mengikat oleh umum’. Seiring dengan ini, Robert Lynd mengumumkan bahwa: ‘kekuasaan sebagai suatu sumber sosial (social resource) yang utama untuk mengadakan pengawasan dapat beralih wujud dari suatu paksaan sampai dengan suatu kerja sama secara sukarela, tergantung daripada perumusan ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan, diubah dan dipelihara dalam suatu masyarakat tertentu’. Akhirnya, Marlon Levy menjelaskan bahwa: ‘penggunaan kekuatan fisik hanyalah merupakan suatu bentuk ekstrem dari cara penggunaan diktator dan pengawasan atas tindakan-tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32). Dengan perkataan lain, persoalan pokok untuk kelompok paham terakhiri ini, ialah

‘legitimasi’

(legitimacy)

atau

‘pembenaran’

dari

‘dasar’

kekuasaan.

Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: ‘legitimasi dari pengawasan demikian itu mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam hubungannya

dengan

sistem

tujuan-tujuannya’.

Selanjutnya

Marlon

Levy

Universitas Sumatera Utara

menjelaskan, bahwa ‘kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti pertanggungan jawab dari individu-individu terhadap individuindividu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan tindakan- tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32). Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Budiardjo, 1984:9). Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Laswell, Kaplan, dan Parson. Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat dan timur (Indonesia-Jawa) memang dimungkinkan ada perbedaan.

2.2.3.2 Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa Anderson 10 , Indonesianis dari Cornell University yang melakukan penelitian lapangan di Jawa, menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa

                                                             10

Dalam karyanya “The Idea of Power in Javanese Culture” (“Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”), Anderson membahas persistensi gagasan kekuasaan Jawa tradisional dan pengaruhnya terhadap kehidupan politik modern. Menurut Anderson, ada empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif kebudayaan Jawa. Keempat hal tersebut adalah: a. kekuasaan itu kongkret; b. kekuasaan itu homogen; c. jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap; d. kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Lihat Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ia juga sematamata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa, melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka. Kesalahan Anderson itu ‘dimanfaatkan’ oleh Koentjaraningrat, yang menyanggah gagasan Anderson bahwa kadigjayan sebagai satu-satunya komponen yang diperlukan untuk melaksanakan kekuasaan itu, ibarat kekuatan energi bersifat sakti serta keramat yang dengan sendirinya dapat digunakan. 11 Selanjutnya, Koentjaraningrat berpendapat bahwa, seperti halnya pemimpin lain dari semua masyarakat dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat berkebudayaan Jawa perlu juga memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin secara universal. Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).

                                                                                                                                                                           dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 51-52.  11 Lihat Koentjaraningrat ‘Kepimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo (Ed.), 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hlm. 128. 

Universitas Sumatera Utara

Dengan hasil pengontrasan semacam itu, Koentjaraningrat menilai bahwa Anderson telah kehilangan kemampuannya untuk melihat gejala-gejala yang ditelitinya (konsep kekuasaan masyarakat Jawa) secara proporsional. Lebih lanjut, Anderson dianggap berlebihan dalam memandang konsep kekuasaan masyarakat Jawa. Anderson tidak cukup memahami orang Jawa dengan menganggap cerita-cerita dan ujaran, upacaranya sebagai suatu realitas. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa sering mengekspresikan diri dalam perilaku yang simbolis, termasuk konsep kekuasaan yang keramat dan sakti itu juga sebagai bagian dari konsepsi yang simbolis. Menurut Koentjaraningrat, kesakten hanyalah salah satu syarat bagi pemimpin Jawa, tetapi bukan satu-satunya. Sebagai jalan keluarnya Prof. Koentjaraningrat menawarkan model kepemimpinan yang lebih universal dengan mengacu kepada data etnografi kebudayaan di Afrika, Asia dan daerah lautan Pasifik. Dalam menyusun kerangka teoritisnya, Koentjaraningrat mengkategorikan konsep kekuasaan dan kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat kecil dan masyarakat sedang, masyarakat negara-negara kuno, dan masyarakat negara kontemporer. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian: 12

                                                             12

Lihat Koentjaraningrat “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 128-143. 

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Sederhana

Masyarakat Tradisional

Masyarakat Masa Kini

Wibawa

Kharisma

Wibawa

Wewenang

Wewenang

Wewenang

Kharisma

Wibawa

Kharisma

Kemampuan khusus

Kemampuan khusus

Kemampuan khusus

Gambar 1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat (1984:128143)

Dalam masyarakat kecil atau sedang (disebut kerangka I) disimpulkan bahwa komponen-komponen yang menjadi landasan kekuasaan seorang pemimpin adalah kewibawaan, wewenang dan kekuasaan dalam arti khusus , serta sifat-sifat yang menjadi syarat bagi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin. Kewibawaan yang dimaksud dikarenakan: kepandaian (berburu, bertani, berkebun), keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi, sifat-sifatnya sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakatnya. Wewenang diperoleh karena kemampuannya untuk melakukan upacara intensifikasi. Sementara kharisma muncul karena dianggap memiliki kekuatan sakti. Selanjutnya, komponen kekuasaan yang harus ada dalam masyarakat negara kuno (kerangka II) antara lain kharisma, kewibawaan, wewenang atau kekuasaan dalam arti khusus serta syarat-syarat yang memungkinkan seseorang menjadi raja atau pemimpin kelompok masyarakat ini. Kharisma diperoleh dengan klaim memiliki wahyu Tuhan atau dewa-dewa. Wewenang dimiliki seseorang karena memiliki

Universitas Sumatera Utara

kekuatan sakti, mempunyai keturunan sah, mampu melaksanakan upacara intensifikasi dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Semenatar kewibawaan diperoleh karena memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat negara kontemporer (kerangkan III) komponen-komponen kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tetap sama seperti pada masyarakat sedang dan negara kuno, hanya saja tata urut pentingnya telah berubah. Hal itu dikerenakan sumber kekuasaannya adalah masyarakat itu sendiri, bukan dewa atau Tuhan. Kewibawaan diperoleh karena popularitas dan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah sosial ekonomi dan politik (kecendiakawanan), serta memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan kepercayaan masyarakat. Wewenang diperoleh melalui prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sementara kharisma diperoleh karena memiliki lambang-lambang kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Unsur-unsur kekuasaan tersebut juga bisa digunakan untuk membedakan antara pimpinan formal dan informal. Menurut Koentjaraningrat, pimpinan formal memiliki empat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan fisik. Sementara itu kekuasaan informal hanya memiliki tiga komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, kharisma dan kekuatan fisik. Penelitian tentang etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini bertolak dari pandangan Koentjaraningrat di atas tentang konsep kekuasaan Jawa yang meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus.

Universitas Sumatera Utara

2.3

Landasan Teori Penelitian ini menggunakan hubungan teori sastra dan pemikiran (filsafat)

yang dikemukakan oleh Wellek & Austin Warren terjemahan Budianta (1989:134135).

‘Sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Meskipun sekarang ilmuwan sudah jenuh mengorek-ngorek hal-hal yang ilmiah dari karya sastra, sampai sekarang karya sastra masih sering dibahas sebagai karya filsafat…karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.’

Filsafat sebagai salah satu ilmu bantu sastra tentu relevan dalam pengkajian suatu karya sastra. Ilmu filsafat dapat digunakan sebagai optik untuk melihat anasiranasir dari suatu karya sastra yang menjadi titik temu antara sastra dan filsafat. Hubungan simbiosis antara sastra dengan filsafat bukanlah suatu hal yang asing dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu filsafat sendiri. Bahkan Ulrici, peneliti karyakarya Shakespeare dari Jerman, menyatakan hubungan sastra dengan filsafat secara gamblang (Wellek dan Austin Warren, 1989: 34). Ia mengatakan sastra dapat dilihat dalam bentuk filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang terbungkus. Pernyataan Ulrici di atas ada kebenarannya. Apabila kita mensejajarkan antara sejarah sastra dengan sejarah pemikiran atau filsafat akan terlihat jelas hubungannya. Ini dikarenakan secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, kadangkadang pengarang menyatakan bahwa ia penganut filsafat tertentu, mempunyai

Universitas Sumatera Utara

hubungan yang dominan pada zamannya, atau paling tidak mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut (Wellek dan Austin Warren, 1980: 38). Oleh karena adanya hubungan antara sastra dengan filsafat mendorong penulis untuk mengkaji suatu karya sastra dari sudut pandang filosofis. Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai moral itu sendiri (Bertens, 2007:6). Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berprilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak. Seorang akademisi dan rohaniwan Suseno (1992:42) mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut atau kita juga bisa mengatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana

kita

harus

hidup.

Sedangkan

etika

adalah

perwujudan

dan

pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung mengatakan kepada kita; inilah caranya anda harus melangkah. Sedangkan etika

Universitas Sumatera Utara

harus mempersoalkan; apakah saya harus melangkah dengan cara itu dan mengapa harus dengan cara itu? Etika dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan sering kali meliputi suatu sistem nilai dan norma sosial, dan etika selalu berlaku dalam suatu konteks budaya yang tertentu (Bertens, 2001:12). Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 2003:6). Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa, nilainilai yang hidup di masyarakat Jawa.

13

Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi

kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya para pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.

                                                             13

Lihat Nasruddin Anshoriy CH. 2008. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS. 

Universitas Sumatera Utara

2.4

Model Penelitian Berikut adalah bagan model penelitian:

INTRINSIK

SASTRA

-TOKOH UTAMA (SASTRODARSONO)

(Novel Para Priyayi karya Umar Kayam)

EKSTRINSIK -

PEMIKIRAN (FILSAFAT) 

ETIKA

ETIKA JAWA

1.

WIBAWA

2.

KHARISMA

3.

WEWENANG

4.

KEMAMPUAN

ETIKA KEKUASAAN JAWA

KHUSUS

Bagan 1 Model Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Keterangan: :

tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.

:

tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.

Penjelasan Model: Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dibahas menurut konsep pendekatan yang dipelopori oleh Wellek dan Austin Warren (1989), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, dalam hal ini tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono), sedangkan pada pendekatan instrinsik dikaji melalui hubungan sastra dan pemikiran (filsafat). Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya. Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa, nilainilai yang hidup di masyarakat Jawa. Etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini bersumber dari konsep kepemimpinan atau kekuasaan Jawa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” tahun 1984. Konsep kekuasaan Jawa tersebut meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang dan

Universitas Sumatera Utara

kemampuan khusus. Keempat komponen kekuasaan tersebut terdapat dalam tokoh utama novel Para Priyayi (2000) karya Umar Kayam yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono). Adapun etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, dan memberdayakan kemampuan.

Universitas Sumatera Utara