Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

10 downloads 1259 Views 529KB Size Report
BAB I. PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH. Sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya mencatat bahwa ...
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya mencatat bahwa perempuan memang dipandang terlambat terlibat di dunia politik. Keterlibatan perempuan dalam politik termasuk rendah, banyak perempuan yang tidak berkeinginan untuk terjun ke dunia politik dan lebih memilih pekerjaan profesional, seperti di bidang kedokteran, bisnis, dan PNS (Usman, 2009). Keterlibatan perempuan dalam politik seperti dalam kegiatan pemilihan, pencalonan kursi legislatif dapat dikatakan tidak sebanding dengan pria. Hal ini dapat dilihat pada pemilu 2004, hanya 65 orang perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR, dari 550 kursi yang tersedia. Dengan demikian, hanya berkisar 11,8 persen keberadaan perempuan mendapat porsi dalam wilayah politik yang lebih luas (Suseno, 2009). Angka itu masih terlalu kecil jika kita bandingkan jumlah perempuan Indonesia sebanyak 101.628.816 orang atau sekitar 51 persen dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2005). Pada pemilu 2009, perempuan diberikan kesempatan yang lebih luas untuk aktif berpolitik. Dalam Undang Undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat 1 dari UU tersebut menyebutkan bahwa setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnnya 30%.

Universitas Sumatera Utara

Namun, kuota 30% tersebut sulit dicapai akibat sebagian besar perempuan masih enggan untuk terjun dalam bidang politik (Suseno, 2009). Beberapa alasan yang dapat menjelaskan rendahnya partisipasi politik perempuan antara lain persepsi yang kurang baik terhadap politik, sebagian perempuan masih memandang politik sebagai sesuatu yang kotor dan kasar sehingga tidak cocok bagi perempuan. Rendahnya pemahaman terhadap politik dan aktivitas politik praktis membutuhkan alokasi waktu yang banyak, kekuatan fisik, intelektualitas, bahkan kekuatan finansial yang besar (Suseno, 2009). Salah satu karakteristik psikologis yang dapat memprediksi partisipasi politik adalah political efficacy (Seligson 1980; Cohen et.al 2001, Fox &Lawless 2005). Political efficacy sendiri terkait dengan konsep umum yang dikemukakan oleh Bandura (1986) tentang Self efficacy. Self efficacy dapat di definisikan sebagai penilaian mengenai seberapa baik seseorang dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mengatasi situasi atau tugas tertentu. Penilaian ini berpengaruh kuat terhadap pilihan-pilihan individu, usaha, ketekunan serta emosi yang dikaitkan dengan tugas. Konsep self efficacy merupakan elemen penting dari teori sosial kognitif tentang proses belajar, dimana pembelajar mengarahkan langsung proses belajar mereka. Political efficacy memiliki hubungan timbal balik dengan partisipasi politik (Finkel,1995). Political efficacy merupakan pendorong individu untuk melakukan partisipasi politik. Individu yang melakukan partisipasi politik

Universitas Sumatera Utara

didorong oleh adanya suatu keyakinan atau kepercayaan bahwa ia mampu melakukan perubahan secara politik. Campbell, Gurin dan Miller (1954) mendefinisikan political efficacy sebagai perasaan bahwa perubahan sosial dan politik dapat dilakukan melalui keterlibatan individu secara langsung untuk mendapatkan perubahan tersebut. Political efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki individu bahwa dirinya dapat mendatangkan suatu perubahan. Selanjutnya Catt (2005) menjelaskan political efficacy sebagai kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk memahami politik, untuk didengar dan untuk membuat perubahan politik. Political efficacy merupakan persepsi individual apakah seseorang itu dapat mempengaruhi proses kebijakan (Sellingson 1980; Cohen et.al 2001; Fox & Lawless 2005). Political efficacy adalah perasaan individu mengenai kemampuan yang ia miliki untuk mengerti politik dan keberhasilan yang mereka dapatkan ketika terlibat dalam proses politik (Miller et. al dalam Dimitrova et. al, 2009). Political efficacy mencakup dua komponen terpenting (Converse, 1972), yaitu internal efficacy dan external efficacy. Internal efficacy mengacu pada keyakinan tentang kompetensi seseorang untuk memahami dan berpartisipasi secara efektif dalam politik, sedangkan external efficacy mengacu pada keyakinan tentang kemampuan merespon dari kekuasaan pemerintah dan institusi terhadap aspirasi masyarakat. Kedua komponen tersebut digunakan untuk mengukur tingkat political efficacy. Orang dengan political efficacy tinggi melihat dirinya mampu untuk mempengaruhi proses politik (Barner & Rosenwein, 1985).

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang mempengaruhi political efficacy yaitu pendidikan, informasi politik dan gender ( Wu, 2003). Gender di definisikan sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan (Sahrah, 1996). Lakilaki digambarkan sebagai individu yang rasional dan memiliki kemampuan memimpin (Sahrah, 1996). Selanjutnya Raven dan Rubin (1983) menambahkan tentang sifat agresif, bebas, dominant, objektif, tidak emosional dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi merupakan ciri-ciri sifat yang dimiliki oleh laki-laki. Menurut Sahrah (1996) menggambarkan perempuan sebagai individu yang sensitif, berhati-hati dan suka menyenangkan orang lain. Terkait dengan keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam dunia politik, laki-laki dituntun untuk lebih berperan dan terlibat secara aktif daripada perempuan, hal ini disebabkan bahwa laki-laki dianggap lebih tinggi unsur maskulinnya. Di dalam masyarakat sendiri terdapat anggapan bahwa politik adalah permainan kaum laki-laki (Verba, Burns, & Scholzman, 1997). Adanya nilai-nilai pada masing-masing budaya yang menyatakan bahwa politik adalah permainan laki-laki membatasi peran perempuan untuk terlibat langsung dalam kegiatan partisipasi politik. Anggapan dimasyarakat bahwa politik terkait dengan karakteristik laki-laki dan maskulin, maka politik juga dapat kita kaitkan dengan peran gender individu. Peran gender merupakan harapan atau ekspektasi mengenai tingkah laku feminin atau maskulin seseorang yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Harapanharapan tersebut dibangun dan diabadikan oleh institusi dan nilai-nilai dari suatu masyarakat tertentu (Abbot, 1991). Suatu peran gender merupakan suatu set

Universitas Sumatera Utara

harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir, bertingkah laku dan berperasaan (Santrock, 2003). Bem (1981) menyatakan ada dua model orientasi peran gender dalam menjelaskan feminitas dan maskulinitas, yaitu model tradisional dan model non tradisional. Model tradisional memandang feminimitas dan maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Sedangkan model non-tradisional memandang feminitas dan maskulinitas

bukanlah

suatu

dikotomi,

sehingga

memungkinkan

untuk

pengelompokkan yang lain yang disebut androgini, dimana seorang perempuan atau laki-laki bisa memiliki ciri-ciri feminitas sekaligus ciri-ciri maskulinitas. Feldman (1990) mengemukakan beberapa karakteristik feminin yaitu emosional, subjektif, tidak logis, suka mengeluh dan merajuk, lemah, putus asa, mudah tersinggung, tergantung pada orang lain. Sedangkan maskulin digambarkan memiliki karakteristik agresif, mandiri, tidak emosional, objektif, tidak mudah dipengaruhi orang lain, dapat mengambil keputusan, percaya diri, logis, kompetitif dan ambisius (Broveman dalam Nauly 2003). Karakteristik peran gender androgini merupakan perpaduan dari karakteristik maskulin dan feminin. Menurut Bem (1981), secara teoritis orang yang memiliki karakteristik androgini dapat mengadaptasi perilaku-perilaku maskulin dan dapat memecahkan masalah dan mengadaptasi perilaku feminin. Wrightsman dan Deaux (dalam Nauly, 2003) menyebutkan bahwa seseorang yang androgini cenderung lebih kompeten, yakin pada diri sendiri dan memiliki harga diri yang tinggi. Selain itu dalam beberapa situasi cenderung fleksibel dan efektif dalam hubungan interpersonalnya. Pada

Universitas Sumatera Utara

akhirnya peran gender akan mengarahkan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan harapan yang dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Berbagai penelitian mengenai partisipasi politik terkait dengan

peran

gender salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Hansen (1997), menyimpulkan bahwa perempuan lebih rendah minatnya untuk berdiskusi tentang politik dibandingkan dengan laki-laki, hal ini disebabkan oleh perempuan merasa terpisah berdasarkan jenis kelamin ketika berdiskusi politik. Lebih jauh Hansen (1997) menambahkan perbedaan gender dalam persuasi dan pertimbangan politik bukan akibat dari pendidikan atau status sosioekonomi tetapi akibat adanya identitas gender. Penelitian lain menyatakan bahwa laki-laki lebih memiliki pertimbangan politik dibandingkan perempuan (Conway et, al 2005; Elder & Green, 2003; Huckfeldt & Sprague, 1995; Verba, Brandy & Scholzman, 1997), hal ini terkait dengan ciri-ciri maskulin yaitu logis dan percaya diri. Perempuan memiliki ketertarikan dan pendidikan politik lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (Delli-Carpini & Keeter, 1996; Burns, Scholzman, & Verba,2001), secara budaya sejak dahulu perempuan memiliki tanggung jawab untuk membesarkan dan merawat anak. Dalam penelitiannya Sapiro (1983) menyatakan menjadi ibu adalah salah satu hambatan dalam berpartisipasi dalam politik. Selanjutnya Sapiro mengatakan bahwa menjadi ibu memiliki keterkaitan yang erat dengan peran gender perempuan yang membentuk persepsi tentang kemampuan mereka dalam memahami politik. Dengan menjadi ibu perempuan beranggapan bahwa ia telah menjalankan peran gender yang sesuai, hal inilah yang mengakibatkan mereka membentuk persepsi tentang rendahnya keyakinan mereka

Universitas Sumatera Utara

akan kemampuannya untuk terlibat dalam memahami politik. Penelitianpenelitian di atas mencoba menggambarkan peran gender terkait dengan jenis kelamin individu. Penelitian-penelitian di atas memperlihatkan perbedaan peran gender dalam keterkaitannya dengan partisipasi politik. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melihat perbedaan political efficacy pada peran gender maskulin, feminin, androgini, dan undifferenciated pada diri individu.

B. PERUMUSAN PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang yang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini yaitu, apakah ada perbedaan political efficacy pada peran gender maskulin, feminin, androgini dan undifferentiated ?.

C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan political efficacy pada peran gender maskulin, feminin, androgini dan undifferentiated.

Universitas Sumatera Utara

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya temuan dalam bidang psikologi sosial mengenai political efficacy dan peran gender. b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan political efficacy yang terkait dengan peran gender. 2. Manfaat Praktis a. Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa ada perbedaan political efficacy ditinjau dari peran gender maskulin, feminin, androgini, dan undifferenciated dan dapat diketahui peran gender manakah yang lebih mempengaruhi political efficacy. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi keterlibatan politik khususnya anggota partai politik terkait dengan political efficacy dan peran gender.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I

: Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Universitas Sumatera Utara

Bab II

: Landasan Teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang definisi political efficacy, komponen political efficacy, faktor-faktor yang mempengaruhi political efficacy serta peran gender. Bab ini juga mengemukakan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian.

Bab III

: Metode Penelitian Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda aitem dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV

: Analisa Data dan Pembahasan Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum dan karakteristik dari subjek penelitian serta bagaimana analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa statistik. Kemudian pada bab ini juga dibahas mengenai interpretasi data yang ada serta data tambahan dengan menggunakan SPSS 15.0 For Windows yang kemudian data-data tersebut akan diuraikan kedalam pembahasan.

Bab V

: Kesimpulan dan Saran

Universitas Sumatera Utara

Bab ini membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian dilengkapi dengan saran-saran bagi pihak lain berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.

Universitas Sumatera Utara