Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

13 downloads 228 Views 527KB Size Report
4 H.A.R.Tilaar,Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan , ... 7 Eko Indrajit dan Djokopranoto, Manajemen. Perguruan. Tinggi. Modern,.
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kunci pembangunan bagi masa mendatang bangsa Indonesia ialah pendidikan. Lewat perolehan pendidikan diharapkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas keberadaannya, dan mampu berpartisipasi dalam gerak pembangunan. Pendidikan merupakan alat untuk memperbaiki keadaan sekarang, juga juga untuk mempersiapkan dunia esok yang lebih baik serta lebih sejahtera. Disamping itu pendidikan merupakan masalah yang amat kompleks dan teramat penting karena menyangkut macam-macam sektor kehidupan, bagi pemerintah dan rakyat. 1 Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia

Tahun

1945

mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, hal ini tercantum dalam Pasal 31 menyebutkan bahwa; “Ayat (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan ayat (2) menegaskan bahwa, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. 2

1

Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional,(Bandung : Mandar Maju, 1990), hal.v 2 Pasal 31 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, (Bandung:Fokus media, 2004), hal.33.

Universitas Sumatera Utara

Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 3 Pendidikan bertugas untuk

mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakatnya dan negara tetapi juga terhadap manusia. 4 Pendidikan kini antara lain juga berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki perilaku, nilai, dan norma sesuai sistem yang berlaku, sehingga mewujudkan totalitas manusia yang utuh dan mandiri sesuai tata cara hidup bangsa. 5 Ketentuan lain mengenai Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam konsep peraturan yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan

3

Pasal 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,(Jakarta: Sinar Grafika, 2003) 4 H.A.R.Tilaar,Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,1992), hal.4 5 Conny R.Semiawan, Pendidikan Tinggi, Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin, (Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan :1999), hal.36.

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi (PT). Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi (PPPT). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005 Tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (selanjutnya disingkat BANPT). Kepmendiknas RI. No.178/U/2001 Tentang Gelar dan lulusan Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan formal tertinggi yang melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 6 Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, selanjutnya perguruan tinggi dibagi menjadi beberapa jenis yaitu akademi, politeknik, pendidikan tinggi, institut dan universitas. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi mengatur bahwa penyelenggara perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan status badan hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi 7sebagai satuan pendidikan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Seseorang yang ingin memperoleh sertifikat berupa ijazah haruslah melalui suatu proses yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Kenyataannya pada masa sekarang ini, masih banyak pihak-pihak yang ingin memperoleh ijazah melalui tanpa proses yang sebenarnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan hukum. Faktor inilah yang menyebabkan semakin maraknya pengguna ijazah yang tidak memenuhi

6

Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Tinggi,(Bogor:1994), hal.3 7 Eko Indrajit dan Djokopranoto, Manajemen Perguruan (Yogyakarta:Andi,2005),hal.6.

Pengelolaan Tinggi

Perguruan Modern,

Universitas Sumatera Utara

syarat. Ijazah seharusnya diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi 8, tetapi bisa didapatkan dan digunakan oleh para pihak yang memiliki tujuan dan kepentingan tertentu. Pelanggaran yang terjadi di dunia pendidikan sangat heterogen sifatnya dan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, secara fulgar maupun terselubung. Pelanggaran yang terjadi di dunia pendidikan dilakukan secara kelembagaan maupun secara personal yang semuanya mencoreng citra dunia pendidikan. Misalnya, seperti dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No.629/Pid.B/2007/PN.MDN tanggal 27 Juni 2007, dalam perkara ini menyatakan bahwa terdakwa (HM) telah melakukan tindak pidana menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, yang diperolehnya dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan berupa gelar kehormatan DR (H.C) dan gelar akademis (S.Sos). Permasalahan di negara Indonesia sebetulnya bukanlah dalam hal sumber daya manusia (SDM), tetapi sesungguhnya dari kualitas sumber daya manusianya. Terdapatnya ketidak mampuan bersaing, bertindak dengan cepat, berpikir dengan logis dan untuk kepentingan rakyat, mewarnai hampir sebagian besar pemimpin dan aparat negara ini. Ironis, dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya berupaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia, melalui berbagai program pembangunan, salah satunya melalui program pendidikan mengalami hambatan. Terhambatnya 8

Pasal 61ayat (2), UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: Sinar Grafika,2008)

Universitas Sumatera Utara

segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akibat adanya pihak-pihak yang bersedia “memudahkan” bagi orang yang ingin memperoleh ijazah tanpa perlu mengikuti jenjang pendidikan yang legal. Tindakan ini jika dibiarkan terus-menerus maka nantinya jabatan-jabatan penting pemerintahan dapat diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten karena ijazahnya tersebut tidak memenuhi syarat atau ijazah palsu. 9 Tindak pidana pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan kejahatan terhadap sistem pendidikan nasional, serta dapat dimintai pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan seseorang yang dilarang dan diancam pidana. Perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Aturan hukum mengenai tindak pidana mempunyai struktur yang berbeda dengan aturan mengenai bagaimana reaksi terhadap mereka yang melanggarnya tersebut. Artinya penegakan terhadap kewajiban-kewajiban tersebut memerlukan suatu program aplikasi yang dinamakan sistem pertanggungjawaban pidana. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan standar perilaku yang wajib ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban tersebut. Kesalahan dalam hal ini merupakan faktor penentu bagi pertanggungjawaban pidana. Terdapat tidaknya kesalahan terutama penting bagi

9

Karya ilmiah Skripsi : Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Dalam UndangUndang Sisdiknas, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), hal.4.

Universitas Sumatera Utara

penegak hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya patut dipidana. 10 Melihat kasus dalam dunia pendidikan ini menunjukan bahwa pada hakekatnya bidang pendidikan sangat perlu adanya perlindungan hukum. Peraturan yang berkaitan dengan kejahatan pendidikan perlu dirumuskan secara terinci dan sejelas-jelasnya, sehingga dapat dijadikan sarana dalam menyelesaikan persoalan kejahatan pendidikan secara efektif dan efisien. Kedaulatan hukum jelas-jelas berkaitan erat dengan keadilan. Kita dapat melihatnya dengan melihat gagasan tentang sistem hukum dan hubungan dekatnya dengan prinsip definitif keadilan sebagai keteraturan. Sistem hukum adalah sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang rasional. Tujuannya mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja bagi kerja sama sosial, dan ketika aturan-aturan ini adil mereka menegakkan sebuah dasar bagi harapan-harapan yang sah. Mereka merupakan landasan tempat orang atau satu sama lain bersandar dan berhak berkeberatan ketika harapan-harapan mereka tidak terpenuhi. 11 Memandang bahwa tidak terdapatnya batasan yuridis, dalam praktik selalu diartikan, bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang”. Landasan ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine lege” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. Ketentuan secara teoritis dan 10

Chairul huda, Dari Tiada Pidana Tanp kesalahan Menuju Kepada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.19-20 11 John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), hal.298.

Tiada

Universitas Sumatera Utara

menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak pidana dan pemidanaan tanpa sifat melawan hukum (secara materil)”. 12 Upaya dalam mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengaturan pemidanaan berupa tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat mutlak perlu diformulasikan dalam peraturan hukum pidana positif. Pembahasan mengenai pemidanaan terhadap seseorang juga sering menjadi perdebatan yang panjang, karena ketika menjatuhkan pidana seseorang harus menjalani hukuman tertentu. 13 Peraturan pemidanaan tentang tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat telah diatur dalam hukum pidana positif. Di Indonesia hal ini telah diatur dengan baik didalam KUHP maupun dalam Undang-undang di luar KUHP. Tindak pidana ini di dalam KUHP digolongkan kedalam kejahatan pemalsuan surat (Buku II, Bab XII KUHP), sedangkan di luar KUHP ketentuan mengenai tindak pidana ini diatur dalam Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Berbicara mengenai pertanggungjawaban terhadap pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat telah diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa; “Setiap orang yang menggunakan ijazah, serfitikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).” 12

http://www.scribd.com/doc/75280037/ijajah, Diakses pada tanggal: 7 Januri 2012, Pukul :

18.35 Wib. 13

Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hal.1

Universitas Sumatera Utara

Meninjau dari ketentuan pidana Undang-Undang Sisdiknas, subjek tindak pidana yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah tidak hanya perseorangan (sebagai pengguna) ijazah yang tidak memenuhi syarat tersebut, tetapi juga perseorangan, organisasi ataupun penyelenggara pendidikan sesuai (Pasal 67 ayat (1) UU Sisdiknas, dengan kata lain korporasi juga dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Berbicara tentang bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan padanya sama sekali tidak diatur secara tegas dalam ketentuan pidana yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut. Ketentuan dalam hukum pidana menyatakan bahwa korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana meskipun masih terbatas pada beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP. KUHP sebagai peraturan umum hukum pidana belum mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan yang harus bertanggung jawab. 14 Ketentuan ini sesuai dengan pasal 59 KUHP yang berbunyi : dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya. 15 Berarti dalam hal ini KUHP masih mengikuti sistem pertanggungjawaban yang pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus itu yang harus

14

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimonologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang :Averroes Press Pustaka Pelajar,2002), hal.23. 15 Pasal 59, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara

bertanggungjawab. Berarti pengembangan pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana saat ini, masih tergantung pada perkembangan peraturan-peraturan hukum pidana di luar KUHP. 16 Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

B. Perumusan Masalah Dari uraian pada bagian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang menjadi pokok pembahasan pada bab selanjutnya yaitu: 1. Bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat? 2. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat?

C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan yang hendak di peroleh dari penelitian yaitu : 1. Mengetahui kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat. 2. Mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

16

H.Setiyono, Op.Cit. hal.23.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian Selain tujuan yang dikemukakan diatas penulisan karya ilmiah ini juga bermanfaat antara lain untuk : 1. Manfaat Teoritis a. Menambah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan : a. Memberi kontribusi pemikiran kepada masyarakat tentang kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. b. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum, dalam hal menerapkan efektifitas hukum terhadap kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

Universitas Sumatera Utara

E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang : Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengguna Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat. Belum pernah dilakukan, namun ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa terdahulu yang membahas tentang ijazah palsu, diantaranya yaitu : 1. Tarima Saragih, Aspek Hukum Pidana Dalam Kasus Penggunaan Ijazah Palsu Pada Pencalonan Anggota Legislatif. 2. Khairu Rizki, Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN) 17 Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut yang juga membahas kejahatan tentang ijazah. Penelitian ini berfokus kepada pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. Topik dari pada penelitian ini sengaja dipilih dan ditulis, karena topik dari pada penelitian ini juga merupakan lanjutan dari tulisan penulis yang sebelumnya. Penulis

ingin memperluas kajian dari pada sistem pertanggungjawaban pidana

penyalahgunaan ijazah, dengan demikian keaslian penulisan penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

17

http://repository.usu.ac.id/browse?type=author&value=diakses pada tanggal 14 April 2012, pukul,22.30.wib.

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Dasar dari pada penjatuhan pidana terhadap suatu tindak pidana, harus dilandasai oleh suatu teori pendukung, dimana mengenai teori-teori ini (dalam bentuk literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana/strafrech-theorien) yang berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. 18 Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Berbicara tentang pertanggung jawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. 19 Ketentuan dalam hukum pidana menyatakan bahwa manusia itu terkait dengan suatu cara yang tidak hanya mendalam tetapi juga banyak segi. 20 Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana adalah perbuatan jahat sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai ”perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sampai yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan 18

Purnadi Purbacaraka dan .Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, (Jakarta: CV.Rajawali, 1987), hal.35. 19 Iswanto, dalam A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : UMM Press, 2004), hal.32 20 Roeslan Saleh, Dari Lembaran kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hal.114.

Universitas Sumatera Utara

tersebut. 21 Beliau memisahkan antara pengertian ”perbuatan pidana” (criminal act) dan

”pertanggungjawaban

pidana”

sebab

”perbuatan

pidana”

disini

tidak

dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. 22 Simons mengartikan bahwa tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan (handeling) kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 23 Kedua pendapat diatas mengenai pengertian tindak pidana memang memiliki pemikiran tersendiri namun sama-sama mengarah kepada satu hal yaitu ”perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”. Memperhatikan rumusan ”strafbaar feit” diatas jelas, bahwa disamping adanya perbuatan pidana (feit), juga harus ada sifat melawan hukum, kesalahan, dan kemampuan bertanggung jawab. Osman Simanjuntak, menyatakan bahwa agar tidak menimbulkan kesalah pahaman, maka sebaiknya istilah ”Strafbaar feit” dapat diterjemahkan istilah ”Perbuatan yang dapat dihukum”, dan untuk perbuatan pidana dipergunakan istilah ”Feit ”. Melihat realita yang ada, tidak semua feit (perbuatan pidana) menjadi ”strafbaar feit”, namun untuk adanya ”strafbaar feit”harus ada terlebih dahulu perbuatan pidana (feit), dan untuk adanya feit (perbuatan pidana), harus ada terlebih dahulu handeling (perbuatan), semua kejahatan ataupun 21

Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Djambatan,2003), hal.3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hal 62. 23 Chairul Huda, Op.Cit.., hal. 27. 22

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran harus didahului suatu perbuatan (handeling) : yaitu adanya kejadian yang ditimbulkan gerakan phisik (gedraging). 24 Perbuatan (handeling), bilamana melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka perbuatan itu, menjadi perbuatan pidana (feit). Perbuatan pidana jika terbukti ada sifat melawan hukum ; ada kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) ada juga kemampuan bertanggungjawab, maka dari feit, meningkatkan menjadi perbuatan yang dapat di hukum (Strafbaar feit) dengan demikian dalam setiap terjadinya suatu kejadian ada 3 (tiga) komponen yang harus dikuasai yaitu : 1. Perbuatan

pidana

(feit),

2.

Sifat

melawan

hukum

(wederrechtlijk),

3.

Pertanggungjawaban pidana. 25 Perbuatan pidana dalam hal menggunakan ijazah yang tidak sah merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, perbuatan yang dilarang merupakan (perbuatan manusia yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya sementara itu ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. 26 Perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang) dalam pelaku pengguna ijazah tidak sah jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 68 ayat (2) yang menyatakan :

setiap orang yang menggunakan ijazah,

serfitikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, adalah perbutaan yang dilarang oleh undang-undang dan tercela dimasyarakat. 24

Osman Simanjuntak, Teknik Perumusan Perbuatan Pidana Dan Azas-Azas Umum, (Jakarta,1997), hal.131. 25 Ibid. 26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2008). hal.71.

Universitas Sumatera Utara

Perbuatan pidana (feit) didalamnya terdapat perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer menyatakan “untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Melawan hukum disini memiliki dua pembagian yaitu melawan hukum formil dan melawan hukum materil. Melawan hukum formil adalah perbuatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan undang-undang, letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Melawan hukum materil adalah hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. 27 Sifat melawan hukum dalam tindak pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan perbuatan pidana (feit). Perbuatan telah sesuai dengan ketentuan undang-undang (hukum positif) berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas. Perbuatan disini telah sesuai sesuai dengan sifat melawan hukum formil. Didukung juga dengan melawan hukum materil karena perbuatan dari pada pelaku tidak sesuai dengan apa yang dianggap baik oleh kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat (perbuatan dianggap tercela). Terpenuhinya komponen perbuatan pidana dan dengan adanya sifat melawan hukum, maka perbuatan tersebut harus dapat di pertanggunggjawabkan.

27

Ibid., hal. 140-141.

Universitas Sumatera Utara

Asas pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana yang secara tegas menyatakan ; “Tiada dipidana tanpa ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa Belanda berbunyi ; “geen straf zonder schuld”. Asas tersebut dalam bahasa Latin dirumuskan dengan “Actus non tacit reum misi mens sit rea”. Berdasarkan pada asas tersebut diatas dapat disimpulkan suatu pendapat bahwa pertanggungjawaban pidana sangat erat berkaitan dengan kesalahan serta untuk menentukan apakah seseorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. 28 Simons “kesalahan adalah adanya keadaan physis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan ada hubungannya antara keadaan tersebut dengan perbuatan pidana yang dilakukan sedimikian rupa, hingga orang ini dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”. Pertanggungjawaban pidana terdiri atas 3 (tiga) hal yaitu: 29 1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvaatbaarheid) dari pelaku atau keadaan physis dari pelaku yaitu Keadaan batin yang normal ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana. 30 2. Kesalahan adalah hubungan sikap batin (physis) pembuat (pelaku) dengan perbuatannya, yaitu adanya faktor : 28

A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : UMM Press, 2004), hal.74. Osman Simanjuntak, Op.Cit.,.,hal.170. 30 A. Fuad Usfa dan Tongat, Op.Cit.,hal.92. 29

Universitas Sumatera Utara

a. Kesengajaan, adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum orang itu sungguh-sungguh berbuat. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan yaitu : 1. Kesengajaaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil). 2. Kesengajaan sebagai kemungkinan ialah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu. 3. Kesengajaan sebagai kepastian adalah kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya

suatu

perbuatan

tertentu.

Perbuatan tertentu

yang

disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian. 31 b. Kealpaan (kelalaian),sering juga disebut tidak sengaja merupakan lawan dari kesengajaan (opzettelijk atau dolus), dalam rumusan tindak pidana sering disebut dengan schuld dalam arti sempit. Pebedaannya adalah dolus 31

Adami Chazawi, Op.Cit.,hal.96-97.

Universitas Sumatera Utara

merupakan kesalahan yang berat, sedangkan culpa merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan. Dasar pembedanya dapat dilihat sebagai berikut: Dolus : perbuatan dilakukan dengan sengaja, perbuatan itu disebut “doleusa delicten”, diancam dengan pidana lebih berat dari pada delik culpa. Culpa : perbuatan dilakukan dengan kealpaan, perbuatan itu disebut “colpeuse delicten”, ancaman pidana lebih ringan dari pada delik sengaja/dolus. 3. Ada tidaknya alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana dari pelaku yang dapat dibedakan menjadi : a. Alasan pembenar ; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. b. Alasan pemaaf ; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. c. Alasan penghapus penuntutan ; disini sebenarnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Pertimbangan

Universitas Sumatera Utara

disini ialah kepentingan umum, kalau perkaranya tidak dituntut tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. 32 Konsepsi dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi mengenai satu perbuatan, mengenai satu manifestasi kehendak didalam dunia luar. 33 Jelas bahwa untuk dapat dimintainya suatu pertanggungjawaban pidana dari pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, harus terlebih dahulu terdapat kesalahan sehingga dengan adanya kesalahan tersebut maka dapat di mintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan undangundang (Undang-Undang Sisdiknas) berdasarkan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat jelas diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan Pasal 61 UU Sisdiknas, bahwa ijazah adalah salah satu bentuk serfitikat selain sertifikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik 34sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Pasal 53 UU Sisdiknas, disebutkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Kemudian dalam Bab XVII Pasal 62 UU Sisdiknas disebutkan mengenai syarat-syarat bagi setiap satuan pendidikan formal dan non formal untuk memperoleh 32

Moeljatno, Op.Cit.,hal.148. Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penerjemah: DRS.Mohamad Radjab, (Jakarta:Bhratara Karya Aksara, 1982), hal.87. 34 Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 angka 4 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas) 33

Universitas Sumatera Utara

izin pendirian satuan pendidikan sehingga berhak menyelenggarakan program pendidikan dan memberikan ijazah, gelar akademik, profesi atau vokasi yaitu antara lain meliputi; isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan. 35 Formulasi pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, telah diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintai kepada para pembuat (pelaku pidana) apabila unsur-unsur tindak pidana telah terpenuhi. Sikap mampu bertanggung jawab dan untuk dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana harus terdapat suatu kesalahan (perbuatan yang dilarang). Perbuatan pidana secara otomatis tidak hanya akan dapat dilakukan oleh seorang pelaku saja khususnya pada tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat. Perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Perbuatan ini sering dikatakan sebagai penyertaan atau deelneming 36 dan diatur dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penyertaan terdiri atas; orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut melakukan (medepleger), orang yang dengan pemberian,

35

Karya ilmiah (Skripsi : Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Dalam UndangUndang Sisdiknas), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hal.21. 36 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana : Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal.141.

Universitas Sumatera Utara

salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dikaitkan dengan unsur penyertaan (turut serta), karena seperti diketahui bahwa tidak mungkin seseorang dapat menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat apabila tidak ada yang memproses serta memberikan kepada pengguna ijazah yang tidak memenuhi syarat tersebut.

2. Kerangka Konsepsional Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. 37 Konsep yang di pergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional. 38 1. Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 39

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal.132. Fotokopi : Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hal.5. 39 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Jakarta: Kencana,2008), hal.78. 38

Universitas Sumatera Utara

2. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan diwujudkan dalam bentuk larangan (ancaman dengan pidana) atas perbuatan tersebut. Gambaran ini merupakan suatu sikap, bahwa masyarakat melalui Negara telah mencela perbuatan tersebut. Celaan tersebut ditujukan terhadap pembuat karena tindak pidana yang dilakukannya. “We blame people for what they have done; we blame them for their conduct”. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan terlarang. 40 3. Ijazah adalah salah satu bentuk serfitikat selain serfitikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau

penyelesaian

suatu

jenjang

pendidikan

setelah

ujian

yang

diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. 41 4. Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menjadi terminal terakhir bagi seseorang yang berpeluang belajar setinggi-tingginya melalui jalur pendidikan sekolah, 42 selain itu Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan

40

Chairul Huda, Op.Cit.,hal.70-71. Pasal 61, UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas 42 Hadari Nawawi dan H.Mimi Martini, Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1994), hal.365. 41

Universitas Sumatera Utara

formal tertinggi yang melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 43 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi, mengatur bahwa penyelenggara perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan status badan hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi 44sebagai satuan pendidikan yang memenuhi persayaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen. Menurut jenisnya, perguruan tinggi dibagi menjadi dua: a. Perguruan tinggi negeri adalah perguruan tinggi yang pengelolaan dan regulasinya dilakukan oleh negara. b. Perguruan tinggi swasta adalah perguruan tinggi yang pengelolaan dan regulasinya dilakukan oleh swasta. 45 5. Akreditasi adalah pengakuan terhadap perguruan tinggi atau program studi yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi atau program studi tersebut dalam melaksanakan program pendidikan dan mutu lulusan yang dihasilkannya, telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Penetapan akreditasi oleh BAN-PT dilakukan dengan menilai 43

Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, (Bogor:1994), hal.3 44 Eko Indrajit dan Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, (Yogyakarta:Andi,2005),hal.6. 45 http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi, Diakses pada tanggal 12 Januari 2012, Pukul 22.30 Wib.

Universitas Sumatera Utara

proses dan kinerja serta keterkaitan antara tujuan, masukan, proses dan keluaran suatu perguruan tinggi atau program studi, yang merupakan tanggung jawab perguruan tinggi atau program studi masing-masing. 46 Akreditasi dilakuan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 47 6. Kategori adalah bagian dari sistem klasifikasi misalnya seperti pengolongan, jenis, yang dibedakan atas bentuk, fungsi dan makna. 48 7. Konsep adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide yang umum dan abstrak. Konsep juga merupakan penyajian-penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, konsep harus diamati dari perilaku. 49 Soedjadi mendefinisikan konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangakaian kata. 50

46

Lihat;http://www.google.co.idakreditasi+adalah&pf=luk.staff.ugm.ac.id/.../ Buku_1Naskah_Akademik_Akreditasi_PS.doc, Diakses pada tanggal 12 Januari 2012, Pikul 22 32 Wib. 47 Pasal 61, UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, hal.38. 48 http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, Diakses pada tanggal 30 Mei 2012, Pukul 22.12 wib. 49 Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta; Erlanga, 1989), hal 79. 50 http://carapedia.com/pengertian_definisi_konsep_menurut_para_ahli_info402.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012, Pukul 22.10 wib.

Universitas Sumatera Utara

G. METODE PENELITIAN 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif. penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui pendekatan terhadap asas-asas 51 hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang mengatur dan berkaitan dengan penulisan tesis.

2. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dalam penelitian ini adalah menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu data atau informasi yang diperoleh dari hasil penelaahan tulisantulisan serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, dimana sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum lainnya, 52 yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi : 1. Bahan hukum primer antara lain : a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat berdasarkan ketentuan

51

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001),

52

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana,2008),hal.155

hal.14.

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikana Nasional, KUHP, dan KUHAP. 2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, sperti berbagai tulisan , jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. 3. Baham hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, 53 seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnar ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang sesuai dan dapat di pergunakan untuk melengkapi data yang di perlukan dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research), dimana dalam penggunaan teknik ini penulis tidak lain hanya melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan yakni buku-buku, putusan pengadilan, jurnal, dokumen-dokumen, serta sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini. Keseluruhan dari pada data tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tuliskan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi.

53

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif,(Jakarta : PT.Raja Grafindo, 2001), hal.13

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Bahan Hukum Bahan yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis secara kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 54 Bahan yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan, selanjutnya semua bahan diseleksi dan diolah kemudian disajikan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini.

54

Zainuddin Ali, Metode penelitian Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika,2009).hal.105.

Universitas Sumatera Utara