Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

56 downloads 120 Views 284KB Size Report
1 Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I ( 1900-. 1950), Jakarta: Perum Percetakan Negara RI. 1993. hlm. 295. 13.
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Sebelum tahun 1970 sarana hiburan rakyat yang bersifat visual masih sangat terbatas atau sederhana. Karena tempat pelaksanaan hiburan tersebut belum difokuskan pada satu tempat bangunan yang khusus. Artinya pelaksanaan hiburan ini masih dilaksanakan di tempat terbuka seperti di lapangan ataupun di tempat-tempat yang lebih luas. Hiburan ini pada masa itu disebut “layar tancep” (bioskop keliling). Layar tancep ini ini bersifat gratis yang memang ditujukan sebagai sarana bagi masyarakat kecil di sebuah daerah. Layar tancep ini telah ada sejak lama tepatnya sebelum zaman kemerdekaan seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang menggelar layar tancep ini di dalam perkebunan-perkebunan mereka saja, layar tancep ini lebih ditujukan bagi para pekerja perkebunan-perkebunan sehingga lebih bersifat tertutup bagi masyarakat umum, kegiatan ini biasanya dilaksanakan tepat pada acara pasar malam. Tidak hanya pada zaman Belanda saja layar tancep ditayangkan, sejak Jepang masuk ke Indonesia mereka juga menggunakan Layar tancep untuk keperluan propagandanya. Jepang menyelenggarakan pemutaran film yang seperti layar tancep (bioskop keliling). Untuk keperluan ini sengaja didatangkan ahlinya dari Jepang sebanyak enam orang. Pada Desember 1943 terdapat lima markas operasi “layar tancep” di berbagai kota : Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang. 1 Walaupun pemutaran layar tancep itu tidak sampai ke Medan tapi setidaknya kita tahu

1

Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (19001950), Jakarta: Perum Percetakan Negara RI. 1993. hlm. 295

13

Universitas Sumatera Utara

bahwa layar tancep tidak hanya dipopulerkan oleh Belanda saja. Jenis-jenis film yang ditayangkan merupakan produk luar atau film-film asing. Berbicara mengenai film sebagai salah satu unsur komunikasi massa rupanya telah dimanfaatkan oleh salah seorang tokoh pergerakan bernama Dokter Adnan Kapau Gani (A.K. Gani) yang memulai untuk terjun langsung ke dalam dunia film dan beliau sekaligus bermain sebagai aktor. 2 Setelah A.K. Gani terjun di bidang film maka para pembuat film di Kota Medan pada sekitar tahun 1940-an mulai membuat film tapi film-film tersebut hanya ditayangkan di bioskop-bioskop saja. Itulah awal pertama Kota Medan mulai memproduksi film. Film bukanlah cerita sandiwara yang dipotret. Antara sandiwara dan film mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsip, yaitu pada dialog, sendi cerita dan bahan-bahan visual. 3 Dari pengertian diatas saya jadi dapat mengetahui bahwa film dan sandiwara memang berbeda, sandiwara seperti teater yang penayangan secara lansung tanpa editan sama sekali, jadi sebuah film dan sandiwara sangat berbeda karena dari segi penonton film dan sandiwara lebih banyak yang menonton film dari pada menonton sandiwara. Bisa kita lihat di Kota Medan sendiri tempat pagelaran sandiwara hanya ada di Taman Budaya, masa tahun 1970-an para pemain sandiwara banyak memakai bioskop sebagai tempat pagelaran sandiwara. Setelah kemerdekaan jenis film yang ditayangkan kebanyakan masih dominan Film Asing, namun beberapa juga ditayangkan film-film Indonesia walaupun jumlahnya masih bisa dihitung. Tahun 1960-an barulah film-film Indonesia mulai berkembang yang ditandai dengan aktifnya dunia perfilman nasional. Semarak dunia Film Nasional mulai dirasakan tahun 1970-an, di tahun ini tidak hanya film-film nasional saja yang sudah banyak tetapi juga telah mencetak aktor dan aktris medan 2

Muhammad TWH, Sejarah Teater Dan Film Di Sumatera Utara, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan R.I, 1992, hlm. 147 3 Ibid., hlm. 9

14

Universitas Sumatera Utara

seperti Yoseano Waas, Joice Erna, Yohaini Zahri, Sisca, Ida Abdy, Arifin Kid, Iskaq dan artis nasional seperti El manik, Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Tuti Indra Malaon dll. Untuk Film Daerah yang diproduksi di Medan ada sekitar 30 judul film dari sekitar tahun 1953-1983 dan untuk film yang diproduksi diluar kota Medan ataupun film-film nasional sudah tidak terhitung jumlahnya karena mereka sudah mulai membuat film sekitar tahun 1930-an walaupun tidak semua dapat ditayangkan di Kota Medan. Kembali ke tahun 70-an dimana televisi (tv) sudah mulai ada tetapi belum semua masyarakat memilikinya disamping harganya yang mahal dan tergolong barang mewah pada masa itu. Bioskop pada masa itu sudah menjadi primadona bagi dunia hiburan masyarakat. Keberadaan televisi (tv) sebenarnya dapat dianggap saingan bagi bioskop pada masa itu. Kehadiran televisi (tv) menyebabkan masyarakat enggan untuk mencari hiburan yang berupa tontonan diluar rumah. Disinilah strategi bioskop sangat menentukan bagi pengusaha-pengusaha untuk merangsang masyarakat untuk menonton film di bioskop. Di tahun 70-an bioskop menjadi dunia pemasaran perfilman di Indonesia. Di Kota Medan bioskop berkembang pada masa tahun 70-an, seperti Bioskop Deli, Riix Bioskop, Bioskop Capitol, Bioskop Morning, Orion Bioskop, Riu Bioskop, Bioskop Medan, Caty Bioskop, Orange Deli Bioskop dan Olimpia Bioskop. 4 Daftardaftar nama bioskop di atas menjadi sebuah bukti bahwa di tahun 70-an merupakan eksis bagi dunia perbioskopan di Kota Medan. Dengan banyaknya jumlah bioskop di Kota Medan ini tentunya telah menyedot perhatian masyarakat pada masa itu masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama karena itulah mereka hanya menggunakan sepeda untuk datang ke bioskop, apalagi kondisi pelataran gedung 4

Wawancara dengan Muhammad TWH di Kediamannya Jl. Sei Alas no. 6 Medan tanggal 17 September 2007

15

Universitas Sumatera Utara

bioskop tidak begitu besar sehingga sepeda yang mereka gunakan dapat di parkir di pelataran bioskop. Di tahun 80-an kondisi bioskop sudah hampir sama kompleksnya dengan kondisi yang ada pada bioskop saat ini, yang membedakannya adalah keberadaan gedung bioskop yang saat ini dikombinasikan dengan keberadaan pusat perbelanjaan seperti mall, sementara bioskop di tahun 80-an berdiri di lahan sendiri dan tidak bergabung dengan bangunan lainnya. Pada tahun 80-an Bioskop-bioskop di Medan juga membuat iklan tentang penayangan jam tayang dan juga melakukan tayangan perdana bagi film-film baru, tetapi film-film baru mereka tayangkan pada tengah malam pada tahun 1990an kita lebih mengenalnya dengan kata midnight, harga tiketnya yang dijual juga berbeda karena film baru yang ditayangkan jadi harga tiket jadi lebih mahal. Dengan diadakannya iklan dan pemutaran perdana membuat masyarakat penasaran dan akhirnya mereka berbondong-bondong datang ke bioskop untuk menyaksikan filmfilm terbaru tersebut. 5 Kemudian ditinjau dari masalah keamanan, bioskop kini sudah lebih aman karena sudah adanya petugas keamanan yang bertugas mengamankan kondisi bioskop. Adapun persamaan antara bioskop tahun 80-an dan bioskop pada tahun 90an yaitu adanya black market atau sekarang lebih dikenal dengan nama calo. Pada masa yang sama juga sudah ada para pencopet di area bioskop jadi pada masa itu keamanan masih belum terasa aman seperti sekarang ini.

Di tahun 80-90-an bioskop-bioskop Kota Medan banyak memutar film asing seperti film Tamil atau film India, film Barat, Film Malaysia dan film-film ini juga disaingi oleh film-film nasional. Pada masa itu bioskop-bioskop memutar film pada 5

Wawancara dengan Muhammad TWH di Kediamannya Jl. Sei Alas no. 6 Medan tanggal 17 September 2007

16

Universitas Sumatera Utara

pagi hari yaitu mulai pukul 10.00 pagi sampai malam hari. Dan di salah satu bioskop Medan yaitu bioskop Orion pertama kali menayangkan film tiga dimensi dimana para penontonnya memakai kacamata tiga dimensi untuk menyaksikan film tersebut. 6 Jadi pada masa itu para pemilik bioskop membuat cara bagaimana agar para penonton tidak jenuh dengan film yang biasa, maka ditayangkanlah film tiga dimensi untuk menarik minat masyaraka untuk menonton di bioskop tersebut. Maju mundurnya dunia perbioskopan di Indonesia lebih disebabkan persaingan oleh perkembangan dunia televisi. Televisi mulai banyak digunakan masyarakat umum sehingga mengurangi intensitas masyarakat untuk datang nonton film ke bioskop, apalagi beberapa film sudah mulai sering diputar di televisi. Bagaimanapun juga bioskop telah memiliki paranan yang cukup penting bagi perkembangan dunia perfilman di Indonesia, karena bioskop merupakan salah satu wadah untuk memperkenalkan film-film Indonesia pada masyarakat umum.

1.2. Rumusan Masalah Alasan untuk menulis mengenai Paerkembangan Bioskop di Medan untuk memberikan informasi mengenai perkembangan bioskop dan dunia perfilman di Kota Medan dari tahun 1980-1990. Penulisan ini diharapkan juga memberikan inspirasi bagi usaha untuk menggalakan bioskop sebagai sarana promosi film terutama filmfilm nasional. Alasan penulis mengambil periodeisasi perkembangan bioskop dari tahun 1980-1990-an didasarkan pada perkembangan dunia kebioskopan di Kota Medan pada saat itu. Tercatat telah berdiri sekitar 55 bioskop di Kota Medan pada masa itu. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 6

Wawancara dengan Muhammad TWH di Kediamannya Jl. Sei Alas no. 6 Medan tanggal 17 September 2007

17

Universitas Sumatera Utara

-

Bagaimana Perkembangan Bioskop di era 70-an hingga 90-an?

-

Bagaimana Kondisi Bioskop di Kota Medan (1970-1990)?

-

Bagaimana Proses Distribusi Film pada Bioskop-bioskop di Kota Medan?

-

Bagaimana Populasi Film & Bioskop di Kota Medan?

-

Bagaimana Peranan Film & Bioskop Sebagai Penggerak Ekonomi?

-

Bagaimana Strategi Bioskop Dalam Menjaring Penonton Bioskop?

-

Bagaimanakah Populasi Penonton Bioskop di Kota Medan?

-

Bagaimana Kondisi Perfilman dan Bioskop/PHR Menjelang Tahun 1990-an di Kota Medan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk menjelaskan bagaimana perkembangan bioskop di Kota Medan dari tahun 1980-1990, seperti : - Kondisi Bioskop di Kota Medan (1970-1990). - Distribusi Film Pada Bioskop-bioskop di Kota Medan. - Populasi Film & Bioskop di Kota Medan. - Film & Bioskop Sebagai Penggerak Ekonomi. - Strategi Bioskop Dalam Menjaring Penonton Bioskop. - Penonton Bioskop di Kota Medan. - Kondisi Perfilman dan Bioskop/PHR Menjelang Tahun 1990-an di Kota Medan b. Manfaat Penelitian Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain:

18

Universitas Sumatera Utara

1.

Secara praktis penelitian diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan dalam bentuk data yang dapat digunakan untuk kajian-kajian atau penelitian yang berkaitan.

2.

Secara akademis penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam menambah khasanah penelitian sejarah khususnya dalam bidang kajian sejarah perfilman.

1.4. Tinjauan Pustaka Dalam melakukan penelitian ini penulis membutuhkan buku-buku sebagai bahan telaah studi pustaka bagi penelitian yang dilakukan. Adapun buku-buku yang digunakan merupakan buku-buku yang berkaitan dengan bioskop dan perfilman yang diharapkan dapat mendukung penulisan terhadap penelitian ini. Buku pertama yang digunakan penulis adalah buku yang berjudul Film Indonesia Bag I (1900-1950) yang disusun oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan yang diterbitkan pada tahun 1993. Buku ini berisikan tentang sejarah perfilman di Indonesia yang dimulai dari pembahasan mengenai budayabudaya di tiap daerah. Selanjutnya buku ini menjelaskan bagaimana proses anak bangsa dalam melahirkan film nasional yang diikuti oleh perkembangan industri perfilman nasional yang pernah menjadi kebanggaan bagi dunia perfilman nasional. Buku ini memiliki informasi yang cukup lengkap dalam menggelar rentetan sejarah bagi dunia perfilman di Indonesia, sehingga buku ini dapat dijadikan pendukung utama bagi penelitian ini. Buku kedua yang digunakan oleh penulis adalah Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara

yang ditulis oleh Muhammad TWH terbitan tahun 1992 yang

19

Universitas Sumatera Utara

membeberkan tentang sejarah dunia perfilman dan teater di Sumut. Hampir sama dengan buku pertama, buku ini juga banyak mengungkapkan perkembangan film,hanya saja ruang lingkupnya dibatasi di Sumut. Buku ketiga yang digunakan penulis adalah buku yang berjudul Festival Film Indonesia 1984 Yogya: Kritik Film 1983-1984 yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dikeluarkan pada tahun 1984. Buku ini sebenarnya lebih bersifat kritik terhadap film-film yang dinominasikan pada tahun 1984 walaupun lebih difokuskan pada tahun 1984 tapi buku ini telah berusaha memberikan informasi terhadap jenis atau tema film yang paling sering ditayangkan pada tahun itu sehingga buku ini menjadikan referensi bahwa film-film jenis inilah yang paling banyak ditayangkan di biokop-bioskop Indonesia.

1.5. Metode Penelitian Metode sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan-aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah. 7 Penulisan sejarah memerlukan metode yang bertujuan menghasilkan tulisan yang baik dan benar. Ada beberapa tahap dalam metode sejarah yang harus dijalani dalam menuliskan sejarah. Yang pertama adalah pengumpulan data-data historis (heuristik) yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menemukan dan mengumpulkan informasi berhubungan langsung dengan masalah yang akan diteliti. Pengumpulan data biasanya dilakukan dengan menggunakan buku-buku ayng berkenaan degan masalah bioskop dan perfilman yang ada di Kota Medan, sementara itu studi lapangan dilakukan dengan melakukan observasi langsung ketempat lokasi penelitian, yaitu lokasi-lokasi bioskop yang ada di Kota Medan, selain itu dilakukan 7

Louis Gotschalk, Understanding History, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 143

20

Universitas Sumatera Utara

juga wawancara melalui berstruktur dan tidak berstruktur secara langsung kepada informan-informan yang bersangkutan terhadap penelitian . Tahap selanjutnya adalah tahap kritik sumber yang melalui 2 tahap yaitu kritik ekstern dan kritik intern, setelah melalui kedua tahap ini data yang telah didapat, dapat digolongkan kepada dua kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dapat dijadikan sebagai panduan utama dalam penulisan penelitian, sedangkan data sekunder dijaikan sebagai bahan refrensi yang disesuaikan dengan data primer tadi. Setelah itu data memasuki tahap inpretasi yaitu sebuah tahap dimana data yang telah didapat ditafsirkan apakah data-data tersebut bersifat realistis terhadap kondisi zaman yang sedang diteliti. Tahap terakhir adalah historiografi yaitu tahap dimana penulis melakukan rekonstruksi kembali terhadap data-data yang telah melalui tahap kritik sumber dan interpretasi sehingga data layak untuk ditulis sebagai sebuah tulisan sejarah.

21

Universitas Sumatera Utara