Download Full - STKIP Siliwangi Bandung

16 downloads 409 Views 3MB Size Report
Dengan senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, Jurnal Infinity, ..... pemahaman konsep matematika siswa, karena tingkat pemahaman siswa akan.
JURNAL INFINITY ISSN 2089-6867 Volume 1, Nomor 1, Februari 2012, hlm. 1-125

DAFTAR ISI Membangun Kemampuan Komunikasi Matematis dalam Pembelajaran Matematika Wahid Umar

1-9

Menumbuhkan Daya Nalar ( Power Of Reason ) Siswa Melalui Pembelajaran Analogi Matematika Rahayu Kariadinata

10-18

Hubungan Antara Self-Concept Terhadap Matematika dengan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa Risqi Rahman

19-30

Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget pada Konsep Kekekalan Panjang Idrus Alhaddad

31-44

Pembelajaran Matematika Berbasis-Masalah yang Menghadirkan Kecerdasan Emosional Ibrahim

45-61

Membangun Keaktifan Mahasiswa pada Proses Pembelajaran Mata Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Konstrutivisme dalam Kegiatan Lesson Study Farida Nurhasanah

62-78

Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1 Melalui Pembelajaran MEAs yang Dimodifikasi Bambang Avip Priatna Martadiputra Didi Suryadi

79-89

Pembelajaran Matematika Humanis dengan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa Heris Hendriana Penerapan Metode Besaran Pivot dalam Penurunan Rumus Taksiran Interval dari Koefisien Regresi Linear Sederhana Nar Herrhyanto

90-103

104-125

Pengantar Dewan Redaksi Dengan senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, Jurnal Infinity, Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung dapat hadir kehadapan pembaca. Untuk itu Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya untuk dimuat pada Volume 1 ini. Dalam Jurnal Infinity Volume 1 No. 1 Tahun 2012 ini disajikan sembilan artikel yang terdiri dari lima artikel tentang hasil kajian penelitian bidang pendidikan Matematika,

dan empat artikel tentang kajian teoritik

pembelajaran bidang Pendidikan matematika. Mudah-mudahan artikel yang dimuat dalam jurnal ini menjadi masukan dan inspirasi bagi para peneliti dalam bidang pendidikan sejenis ataupun bagi para peneliti lain. Disamping itu mudah-mudahan artikel yang dimuat dapat memberikan sumbangan pada pengembangan pembelajaran matematika.

Akhir kata Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan jurnal ini.

Bandung, Februari 2012 Dewan Penyunting

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

MEMBANGUN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Disusun oleh :

Wahid Umar Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Khairun Ternate Abstrak: Sampai saat ini peran guru dalam membangun kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya dalam pembelajaran matematika masih sangat terbatas. Kemampuan komunikasi merupakan aspek yang sangat penting yang perlu dimiliki oleh siswa yang ingin berhasil dalam studinya. Senada dengan itu, menurut Kist (Clark, 2005) kemampuan komunikasi yang efektif merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa untuk semua mata pelajaran. Kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) dalam pembelajaran matematika sangat perlu untuk dikembangkan. Hal ini karena melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Di samping itu, siswa juga dapat memberikan respon yang tepat antar siswa dan media dalam proses pembelajaran. Bahkan dalam pergaulan bermasyarakat, seseorang yang mempunyai kemampuan komunikasi yang baik akan cenderung lebih mudah beradaptasi dengan siapa pun dimana dia berada dalam suatu komunitas, yang pada gilirannya akan menjadi seorang yang berhasil dalam hidupnya. Dalam tulisan ini, penulis menyajikan tentang pengertian kemampuan komunikasi matematis, dengan cakupan dua hal yakni kemampuan siswa menggunakan matematika sebagai alat komunikasi (bahasa matematika), dan kemampuan siswa mengkomunikasikan matematika yang dipelajari sebagai isi pesan yang harus disampaikan. Bagaimana dan mengapa komunikasi penting untuk membangun suatu komunitas matematis melalui jalur komunikasi terbuka di dalam kelas. Kata kunci : komunikasi matematis, matematika sebagai bahasa, aktivitas sosial

Dalam upaya mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, pembelajaran matematika di kelas perlu direformasi, (Tandaliling, 2011). Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai pemberi informasi (transfer of knowledge), tetapi sebagai pendorong siswa belajar (stimulation of learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktivitas termasuk aspek berkomunikasi. Menurut Silver dan Smith (1996: 20) mengutarakan bahwa tugas guru adalah: (1) melibatkan siswa dalam setiap tugas matematika; (2) mengatur aktivitas intelektual siswa dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi; (3) membantu siswa memahami ide matematika dan memonitor pemahaman mereka.

1

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Pandangan kedua ahli Silver dan Smith ternyata kemampuan komunikasi matematis memang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Hal ini diperkuat oleh Baroody (1993: 107), bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek komunikasi yaitu representing, listening, reading, discussing dan writing. Selanjutnya disebutkan sedikitnya ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir ( a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga "an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succinctly. Kedua, mathematics learning as social activity: artinya, sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, sebagai wahana interaksi antar siswa, serta sebagai alat komunikasi antara guru dan siswa. Di sisi lain, Greenes dan Schulman (1996: 168) yang mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan: (I) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematik, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain. Dengan demikian, kemampuan komunikasi matematis sebagai salah satu aktivitas sosial (talking) maupun sebagai alat bantu berpikir (writing) yang direkomendasi para pakar agar terus ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Komunikasi memainkan peranan sentral dalam “Professional Teaching Standards” NCTM, karena “mengajar adalah mengkomunikasikan.” (Jacob, 2003:2). Gagasan dokumen itu merupakan contoh bagaimana kita mengkomunikasikan apa yang kita ketahui tentang belajar siswa dengan berbagai audiens. Ini merupakan hubungan antara tujuan assessmen dengan apa dan bagaimana kita berkomunikasi. Komunikasi merupakan esensi dari mengajar, assessing, dan belajar matematika. Apabila mengajar, kita membutuhkan aktivitas-aktivitas, a.l. misalnya, kita perlu untuk mendengarkan. Kita perlu mendengarkan untuk apa siswa mengerti, untuk apa mereka mengetahui, dan untuk apa mereka berpikir tentang matematika dan belajar matematika. Ada dua alasan penting mengapa pembelajaran matematika terfokus pada pengkomunikasian. Pertama, matematika pada dasarnya adalah suatu bahasa -- bahasa kedua. Kedua, matematika dan belajar matematis dalam bathinnya merupakan aktivitas sosial.

2

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Komunikasi Matematika: Aspek Penting Yang Perlu Perhatian

Berbagai sumber juga menyebutkan tentang peran penting komunikasi dalam pembelajaran matematika (NCTM, 1996, 2000b; Cai, 1996; Baroody, 1993; Miriam, dkk, 2000; Karen, dkk, 2000; Sandra, 1999, David, 2000, Pugalee, 2001, Knuth, 2001) Pengungkapan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika, dapat ditemukan pula dalam berbagai buku pelajaran matematika di Amerika Serikat. Misalnya, dalam buku Connected Mathematics dituliskan bahwa The Overarching Goal of Connected Mathematics adalah “All students should be able to reason and communicate proficiently in mathematics” (Lappan, 2002). Sedangkan dalam buku Mathematics: Applications and Connections disebutkan salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluasluasnya kepada para siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking, drawing, serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari (Collins, dkk, 1995). Kurikulum “Nasional 2006” yang berbasiskan sesuai tingkat satuan pendidikan baik untuk tingkat SD, SMP maupun SMA juga mengedepankan kemampuan komunikasi matematika sebagai salah satu kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa. Menurut Baroody (1993), pada pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional, komunikasi (lisan) siswa masih sangat terbatas hanya pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Bahkan menurut Cai (1996) ‘it is so rare for students to provide explanation in mathematics class, so strage to talk about mathematics, and so surprising to justify answer.’ Komunikasi matematika perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika, sebab melalui komunikasi, siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya (NCTM, 2000a), dan siswa dapat meng’explore’ ide-ide matematika (NCTM, 2000b). Selain itu menurut Atkins (1999) komunikasi matematika secara verbal (mathematical conversation) merupakan “a tool for measuring growth in understanding, allow participants to learn about the mathematical constructions from others, and give participants opportunities to reflect on their own mathematical understandings.” Kesadaran tentang pentingnya memperhatikan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan menggunakan matematika yang dipelajari di sekolah perlu ditumbuhkan, sebab salah satu fungsi pelajaran matematika adalah sebagai cara mengkomunikasikan gagasan secara praktis, sistematis, dan efisien. Atau dalam istilah Baroody (1993): “an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succintly.”

3

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Menurut Baroody (1993) sedikitnya ada 2 alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu menjadi fokus perhatian yaitu (1) mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah namun matematika juga “an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succintly,” dan (2) mathematics learning as social activity; sebagai aktivitas sosial, dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, seperti juga komunikasi gurusiswa merupakan bagian penting untuk “nurturing children’s mathematical potential”. Bahkan menurut Cai (1996) “communication is considered as the means by which teachers and students can share the process of learning, understanding, dan doing mathematics.” Peran Guru Dalam Meningkatkan Komunikasi Matematika di Kelas

Menurut Cobb dalam (Sandra, 1999), dengan mengkomunikasikan pengetahuan yang dimiliki siswa, dapat terjadi renegosiasi respon antar siswa, guru hanya berperan sebagai “filter”. Cai dan Patricia (2000) berpendapat bahwa guru dapat mempercepat peningkatan komunikasi matematika dan penalaran siswa dengan cara memberikan tugas matematika dalam berbagai variasi. Menurut Susan (1996) komunikasi matematika akan berperan efektif manakala guru juga mengkondisikan siswa agar ‘mendengarkan secara aktiflisten actively’ sebaik mereka mempercakapkannya. Peran guru untuk menciptakan komunitas matematika di kelas juga sangat strategis, dalam arti bahwa porsi peran guru sebagai “pengajar” harus proporsional dengan peran lain sebagai fasilitator, partisipan atau bahkan sebagai seorang sahabat di kelas. Dalam Prinsip dan Standar Matematika Sekolah (NCTM, 2000a) ditegaskan bahwa untuk mensupport pembelajaran agar efektif, guru harus membangun komunitas di kelas sehingga para siswa merasa bebas untuk mengekspresikan pemikirannya. Upaya menciptakan komunitas matematika yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan matematika, dapat dilakukan dengan berbagai jenis aktivitas, antara lain: (i) pemberian tugas yang bersifat open – ended task, yang memungkinkan siswa menunjukkan proses dan menjelaskan alasan pengerjaannya (Cai,1996), (ii) melalui cooperative learning (Nodding dalam Baroody, 1993; Artzt, 1996), (iii) penggunaan metode proyek (Wanda, 1997), (iv) pengajuan masalah oleh siswa (Riedesel, 1990), (v) dengan menerapkan strategi pembelajaran “think-talkwrite” (Huinker, 1996), dan (vi) dengan menerapkan strategi “explain-build-go beyond” (Sherin, 2000b).

4

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Komunikasi Matematika, Pemahaman Matematika dan Pemecahan Masalah

Dikemukakan dalam NCTM (2000a) bahwa pemahaman matematika secara konseptual dapat dibangun melalui pemecahan masalah, penalaran dan argumentasi. Pemaknaan argumentasi dalam hal ini tentu melibatkan kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Dengan menggunakan istilah multiple eksplanasi, untuk menyebut berbagai cara berkomunikasi, Whitin (2000b) mengemukakan bahwa dengan mendorong siswa untuk dapat menjelaskan dengan berbagai cara, seorang guru tidak hanya memvalidasi “the invidual voices” siswa tetapi membangun “a rich fabric” dari pemahaman matematika siswa. Penegasan Within di atas memberikan pengertian bahwa komunikasi baik lisan, tertulis, demonstrasi maupun representasi dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Secara lebih luas dapat pula disimak satu pertanyaan yang diungkapkan dalam NCTM (1989) yakni “The ability to read, listen, think creatively, and communicate about problem situations, mathematical representations, and the validation of solution will help students to develop and deepen their understanding of mathematics ” Komunikasi matematika tidak hanya dapat dikaitkan dengan pemahaman matematika, namun juga sangat terkait dengan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini dapat dicermati antara lain dari pendapat Riedesel (1990) yang mengemukakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah ada beberapa cara pengungkapan masalah yang dapat dilakukan seperti: masalah dengan jawaban terbuka, masalah dinyatakan dengan menggunakan oral, masalah nonverbal, menggunakan diagram, grafik dan gambar, mengangkat masalah yang tidak menggunakan bilangan, menggunakan analogi, dan menggunakan perumusan masalah siswa. Variasi dalam pengungkapan masalah, yang implementasinya nampak dalam berbagai tugas yang disiapkan siswa sejalan dengan tujuan aktivitas pemecahan masalah sebagaimana pendapat Annete (1999) yaitu bahwa guru dapat menggunakan aktivitas pemecahan masalah untuk tujuan ganda seperti mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan pengorganisasian data, dan keterampilan komunikasi. Komunikasi dan Komunitas Matematika Dalam Pembelajaran

Sebagaimana pengalaman penulis mencermati karakteristik setiap peserta didik dilapangan, terlihat bahwa perhatian terhadap komunikasi matematika siswa sebenarnya sudah “built in,” dalam arti bahwa sintak atau langkahlangkah pembelajaran sebenarnya sudah mendukung upaya pengembangan

5

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

kemampuan siswa dalam berkomunikasi. Bagaimana siswa mengkomunikasikan ide-idenya dalam upaya menjawab masalah kontekstual yang diberikan guru, bagaimana siswa berpartisipasi aktif dalam diskusi, negosiasi serta bagaimana siswa “mempertanggung-jawabkan” perolehan jawaban mereka atas pertanyaan terbuka maupun tugas-tugas yang diberikan guru, jelas memerlukan kemampuan untuk mengkomunikasikannya. Komunitas matematika yang dalam tulisan ini dimaknai sebagai suatu komunitas (dalam kelas) yang menggunakan matematika sebagai “bahan/isi percakapan” – mathematical discourse communties atau disebut pula sebagai discourse communities in mathematics classroom, menurut Silver dan Smith (1996) merupakan tantangan khusus yang menarik bagi para guru. Banyak diungkapkan (antara lain oleh Heaton, 1994; Wood, Cobb dan Yackel, 1991 dalam Sherin, 1996) bahwa percakapan siswa tentang matematika yang dipelajari di kelas akan membawa pengaruh pula pada cara mengajar guru dan memberi kesempatan guru untuk “rethink” terhadap pemahaman matematika yang mereka miliki. Sejalan dengan hal tersebut, Sherin (2000) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas belajar siswa serta untuk membantu guru membuat berbagai perubahan dalam mengajarnya, pengembangan komunitas matematika menjadi sangat penting. Di pihak lain, Baroody (1993) mengemukakan bahwa untuk membangun komunitas matematika di dalam kelas, perlu upaya (i) mengembangkan bahasa komunal – development of communal language, (ii) menerapkan pembelajaran kooperatif, (iii) menggalakkan penjustifikasian matematika – mathematical justifications. Untuk mengenalkan dan menggunakan matematika sebagai bahasa komunikasi pada siswa di sekolah, perlu dilakukan secara hati-hati dan bertahap (sesuai tingkat intelektual peserta didik). Ada 4 saran yang diberikan Baroody dalam kaitannya dengan hal tersebut, yakni (i) gunakan language-experience approach, yakni pendekatan yang didasarkan pada realitas yang meliputi aktivitas: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis; dalam aktivitas tersebut siswa dipandu untuk mengekspresikan reaksi, ide, dan perasaan berkenaan dengan situasi yang ada di kelas, (ii) definisi dan notasi formal harus dibangun melalui situasi informal, (iii) kaitkan istilah-istilah matematika dengan ekspresi yang dijumpai sehari-hari, (iv) penting bagi siswa untuk dapat membandingkan dan membedakan bahasa matematika dengan bahasa seharihari. Hal ini diperkuat oleh Artzt (1996) menunjukkan bahwa melalui pembelajaran kooperatif yang dilakukan secara efektif dan melakukan penilaian yang cermat terhadap setiap komunikasi yang terjadi pada setiap aktivitas siswa baik individu maupun kelompok, dapat mengembangkan kemampuan komunikasi

6

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Sedangkan upaya menggalakkan justifikasi matematika berkaitan dengan perlunya guru secara rutin menanyakan pada siswa untuk menjustifikasi jawaban dan dugaan yang diperoleh. Hal ini akan membawa siswa pada suatu kebiasaan agar dapat mengkomunikasikan setiap hasil pemikirannya. Upaya untuk membangun komunitas matematika di kelas juga dilakukan oleh Sherin (2000) dengan menawarkan sebuah model yang disebut sebagai strategi “explain-build-go beyond” yakni suatu strategi yang didesain untuk membantu siswa lebih dari hanya sekedar berbicara tentang matematika tapi percakapan yang produktif tentang matematika. Esensi dari strategi tersebut adalah bagaimana siswa mengkomunikasikan perolehan jawaban terhadap problem yang diberikan guru, kemudian diikuti bagaimana siswa membangun pemahaman berdasarkan berbagai masukan dari siswa lain, dan akhirnya bagaimana siswa dapat mengembangkan jawaban untuk permasalahan yang lebih komplek di seputar masalah tersebut. Selain itu, strategi yang diberikan oleh Huinker (1996) yaitu “think – talk - write” juga menekankan perlunya siswa untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran matematikanya. Kalau dicermati pendapat Sherin dan Huinker tersebut adalah dalam rangkah mengembangkan kemampuan komunikasi merupakan sebuah model sebagai strategi “explain-build-go beyond” yang perlu ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran matematika. Dalam setiap upaya untuk menjawab permasalahan kontekstual yang diberikan guru, setiap siswa tentu akan memulai dengan memikirkan (to think) cara selesaian dengan strategi-strategi informal mereka sendiri. Strategi informal ini merupakan bahan kajian penting karena itu pengarsipan secara tertulis (to write) harus dilakukan sebelum dipercakapkan/ dijelaskan (to explain/ to talk) di kelas. Untuk membangun (to build) pemahaman lebih lanjut, hasil pemikiran siswa tersebut perlu dikonfrontasikan dengan hasil dari siswa lain melalui diskusi, negosiasi, dan sebagainya. Hasil pertukaran pemikiran ini juga perlu diarsipkan secara tertulis. Hal ini dapat digunakan untuk melihat perkembangan pemikiran siswa setelah melalui “uji pertukaran gagasan”. Demikian pula dalam menghadapi masalah kontekstual yang lebih luas dan kompleks (go beyond), siswa harus menuliskan hasil pemikirannya sebelum dikomunikasikan dan didiskusikan lebih lanjut. Bila hal ini dilaksanakan dengan baik, akan terlihat bahwa penciptaan komunitas matematika di kelas sangat akan terakomodasi. Hal ini aktivitas siswa perlu dikondisikan agar mereka dapat berinteraksi sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi tersebut, siswa mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi dengan menggunakan matematika. Menurut Lauren (1999)

7

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

proses komunikasi yang terjadi akan membantu siswa untuk mulai berfikir secara matematis, membangun secara benar keterkaitan matematis, dan “go beyond memorizing rules that have little or no meaning for them”. Berkomunikasi secara cermat, tepat, sistematis dan efisien yang “dilatih” melalui pelajaran matematika, diharapkan dapat menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki siswa dalam kehidupan keseharian mereka. Hal inilah sebenarnya salah satu sumbangan penting komunikasi matematika. Karena itu, berdasarkan uraian di atas, diharapkan para pendidik untuk menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi matematika siswa, bukan hanya terjadi di dalam kelas, namun memungkinkan dapat terjadi di luar kelas. Penutup

Uraian di atas, penulis memberikan gambaran bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu jantung dalam pembelajaran, sehingga perlu menumbuhkembangkan dalam aktivitas pembelajaran matematika. Hal ini di perkuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) menyebutkan kemampuan dasar SD sampai dengan SMA, bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu diupayakan peningkatannya sebagaimana kemampuan dasar lainnya, seperti kemampuan bernalar, kemampuan pemahaman matematis, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis dan koneksi, serta kemampuan representasi matematis. Dengan demikian, makna membangun kemampuan komunikasi bagi guru adalah sebagai “teaching how to learn mathematics”, sedangkan bagi siswa bermakna sebagai “learning how to learn mathematics” (Jacob, 2003 : 4). Daftar Rujukan Artzt, A.F. (1996).«Developing Problem Solving Behaviors by Assessing Communication In Cooperative Learning". In P.C Elliott, and M.J. Kenney (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in lvlathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM. Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York: Macmillan Publishing. Cai, Jinfa. 1996. Assesing Students’ Mathematical Communication. Official Journal of the Science and Mathematics Volume 96 No 5 Mei 1996. Hal: 238-246. Cai Jinfa & Patricia. 2000. Fostering Mathematical Thinking through Multiple Solutions. Mathematics Teaching in the Middle School Vol 5 No 8 April Clark, K. K., et.al. (2005). Strategies for Building Mathematical Communication in the Middle School Classroom: Modeled in Professional Development, Implemented in the Classroom. CIME (Current Issues in Middle Level Education) (2005)11(2), 1-12

8

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Greenes, C. & Schulman, L. (1996). "Communication Processes in Mathematical Explorations and Investigations". In P. C. Elliott and M. J. Kenney (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Be.vond. USA: NCTM. Huggins, B., & Maiste, T.(1999). Communication in Mathematics. Master’s Action Research Project, St. Xavier University & IRI/Skylight. Jacob, C. (2003). Matematika Sebagai komunikasi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional. FPMIPA UPI Bandung. Tidak dipublikasikan Kramarski, B. (2000). "The effects of different instructional methods on the ability to communicate mathematical reasoning". Proceedings of the 24th conference of the international group for the psychology of mathematics education. Japan. Lauren & Hunting. 1999. Relating fraction and Decimals: Listening to Students Talk. Mathematics Teaching in The Middle School. Vol 4 No 5 Februari 1999. Hal: 318321 Marson, J. (2000). Researching Your Own Practice,. The Discipline of Noticing.: Noticing and Professional Development: Hal: 139-148. London and New York National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics. 2000a. Principles and Standards for School Mathematics. NCTM: Reston VA. National Council of Teachers of Mathematics. 2000b. learning Mathematics for A New Century. 2000 Yearbook NCTM: Reston VA. National Science Foundation (NSF). 1998. Mathematics in Context: Teachers Resource and Implementation Guide. Chicago: Encyclopedia Britanica Ed. NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virginia. Patricia. C. Alcaro, dkk. 2000. Fractions Attack! Children Thinking and Talking Mathematically. Teaching Children Mathematics Vol 6 No 9 Mei 2000. Hal: 562567 Pugalee, K David. 2001. Using Communication to Develop Students’ Mathematical Literacy. Mathematics Teaching in The Middle School Vol 6 No 5 Januari. Hal: 296299 Sandra L Atkins. 1999. Listening to Students. Teaching Children Mathematics. Vol 5 No 5 Januari. Hal: 289-295 Silver, E.A. & Smith, M.S. (1996). "Building Discourse Communities in Mathematics Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey". In P.c. Elliott, dan M.J. Kenney. (Eds.). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics. K-12 and Beyond. Reston, V A: NCTM Tandaliling, (2011),. Peningkatan Pemahaman dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMA Melalui Strategi PQ4R dan Bacaan Refutation Text. Disertasi SPs.UPI Tidak diterbitkan

9

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

MENUMBUHKAN DAYA NALAR ( POWER OF REASON ) SISWA MELALUI PEMBELAJARAN ANALOGI MATEMATIKA Oleh :

Rahayu Kariadinata Pengajar pada Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) - Bandung E-mail : [email protected], Abstrak Pembelajaran analogi matematika merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat diterapkan dalam rangka menumbuhkan daya nalar (power of reason) siswa. Melalui analogi matematika siswa dituntut untuk dapat mencari keserupaan atau keterkaitan sifat dari dua konsep yang sama atau berbeda melalui perbandingan, selanjutnya menarik suatu kesimpulan dari keserupaan tersebut. Dengan demikian analogi dapat digunakan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebelum memulai pembelajaran analogi matematika, sebaiknya guru memeriksa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, karena tingkat pemahaman siswa akan berpengaruh kepada daya nalarnya. Tugas (soal-soal) analogi matematika termasuk soal non rutin, oleh karenanya diperlukan kesiapan guru dalam membuatnya. Pada setiap soal analogi matematika termuat konsep yang sama atau berbeda, sehingga dibutuhkan materi yang cukup banyak. Langkah-langkah membuat soal analogi matematika, adalah : a) susunlah semua konsep dalam matematika yang telah dipelajari siswa ; b) susun pula sifat-sifat / hubungan yang terdapat dalam setiap konsep, dan c) pilih materi-materi yang mempunyai sifat / hubungan yang dapat dianalogikan. Dalam tulisan ini diberikan dua bentuk soal analogi matematika yaitu analogi matematika model 1 dan analogi matematika model 2. Pembelajaran analogi matematika sebaiknya dilaksanakan setelah sejumlah konsep dipelajari. Ada baiknya diberikan di kelas-kelas akhir karena banyak konsep yang telah dipelajari oleh siswa. Daya nalar (power of reason) siswa menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran untuk mengantarkan mereka menuju masa depannya sebagai warga negara yang cerdas, yang akan dipimpin oleh daya nalar (otak) dan bukan dengan kekuatan (otot) saja. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan Presiden AS Thomas Jefferson (dalam Copi,1978:vii) yang menyatakan : ”In a republican nation, whose citizens are to be led by reason and persuasion and not by force, the art of reasoning becomes of first importance” Kata kunci : Daya nalar, analogi matematika A. Pendahuluan

Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat saat ini, diperlukan sumber daya manusia yang handal dan mampu berkompetisi secara global. Kompetisi akan menjadi prinsip hidup dalam suatu masyarakat, karena keadaan dunia yang terbuka dan bersaing untuk mengejar kualitas dan keunggulan. Kesemuanya ini menuntut setiap insan memerlukan

10

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

kemampuan berpikir. Kemampuan manusia beradaptasi dilandasi oleh kemampuan berpikirnya yang melahirkan teknologi dan bentuk kehidupan sosial budayanya (Rustaman, 1990:1). Dengan demikian pengembangan SDM saat ini harus di titik beratkan pada kemampuan berpikir, yang melibatkan pemikiran krirtis, sistematis, logis, dan kreatif. Dalam suatu proses kegiatan berpikir memerlukan pemahaman terhadap masalah yang berhubungan dengan materi yang sedang dipikirkan, kemampuan dalam bernalar (reason), kemampuan intelektual , imajinasi, dan keluwesan (fleksibilitas) dari pikiran yang merentang kedalam hasil pemikiran (Gosev dan Safuanov, dalam Dahlan , 2004: 2) Penalaran (reasoning) merupakan salah satu aspek dari kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi dalam kurikulum terbaru, yang dikategorikan sebagai kompetensi dasar yang harus dikuasai para siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, aktivitas matematika merupakan sarana bagi siswa untuk dapat memecahkan suatu permasalahan melalui logika nalar mereka. Melalui aktivitas bernalar siswa dilatih untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa fakta. Sehingga pada saat belajar matematika, para siswa akan selalu berhadapan dengan proses penalaran. Daya nalar dan logika merupakan salah satu kemampuan penting dan keterampilan yang perlu dimiliki dan merupakan fitrah dari manusia. dengan logika ini, manusia berpikir dan membedakan mana yang benar dan salah. Dengan daya nalar manusia mampu berpikir untuk terus mempertahankan kelangsungan hidupnya dan keturunannya. Dengan daya nalar ini manusia dapat berkreasi dan menciptakan teknologi yang dapat mempermudah kehidupannya. Dengan daya nalar ini manusia terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis dan berubah secara kontinu. Berdasarkan uraian di atas, muncul suatu pertanyaan : ”Bagaimana menumbuhkan daya nalar (power of reason) siswa” ? Berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya dengan digelarnya berbagai kompetisi matematika yang bertujuan untuk menguji kemampuan dan daya nalar siswa. Daya nalar merupakan modal utama dalam mempersiapkan mereka menghadapi persaingan yang sangat ketat di masa datang. Semakin tajam daya nalar seseorang maka ia akan semakin mampu menghadapi tantangan hidup. Daya nalar siswa juga terkait dengan tujuan formal, yaitu penataan nalar siswa untuk diterapkan dalam kehidupannya (Depdiknas, 2001: 8) Seni bernalar memang sangat dibutuhkan dalam setiap segi dan setiap sisi kehidupan, agar setiap warga negara dapat menunjukkan dan menganalisis setiap masalah, dapat memecahkan masalah dengan tepat, dapat menilai

11

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

sesuatu secara kritis dan objektif, serta dapat mengemukakan pendapat maupun ideanya secara runtut dan logis (Shadiq,2007). Daya nalar (power of reason) siswa menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran untuk mengantarkan mereka menuju masa depannya sebagai warga negara yang cerdas, yang akan dipimpin oleh daya nalar (otak) dan bukan dengan kekuatan (otot) saja. Dengan demikian tak dapat dipungkiri lagi bahwa pentingnya penalaran bagi setiap warga negara, baik bagi pemimpin, ilmuwan, birokrat, sampai ke rakyat biasa. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan Presiden AS Thomam s Jefferson (dalam Copi,1978:vii) yang menyatakan : ”In a republican nation, whose citizens are to be led by reason and persuasion and not by force, the art of reasoning becomes of first importance” Pelajaran matematika diyakini mampu meningkatkan daya nalar. Dengan mempelajari matematika siswa akan terbiasa berpikir secara sistematis dan terstruktur karena siswa akan selalu dihadapkan pada pemecahan masalah, hubungan sebab akibat, pertanyaan dan jawaban yang logis, ilmiah, dan masuk akal. Pemecahan masalah dalam matematika biasa dilakukan secara terpola dan sistematis dengan mengikuti satu pola tertentu. Pentingnya daya nalar bagi siswa tertuang pula dalam Permendiknas 2006 yang menyebutkan bahwa siswa belajar matematika agar memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola dan sifat. Namun kenyataannya banyak siswa yang kurang menggunakan penalaran dalam mempelajari pola dan sifat yang terdapat pada materi matematika, Salah satu upaya menumbuhkan daya nalar (power of reason) siswa, dengan memberikan suatu bentuk pembelajaran yang lebih menekankan pada analogi matematika. Analogi merupakan salah satu bagian dari penalaran induktif. Melalui analogi, siswa dituntut untuk dapat mencari keserupaan atau keterkaitan sifat dari suatu konsep tertentu ke konsep lain melalui perbandingan. Studi yang berkaitan dengan pembelajaran analogi matematika untuk mengembangkan kemampuan nalar siswa, diantaranya dilakukan oleh Alamsyah (2000) terhadap siswa MAN kelas 2 di Lampung, dengan menggunakan tes analogi, melaporkan bahwa kemampuan penalaran analogi matematika siswa meningkat secara signifikan setelah mendapat suatu pembelajaran yang menekankan pada penanaman konsep-konsep dan mengaitkan antar konsep. Selanjutnya, Kariadinata (2001) melalui penelitiannya terhadap siswa SMA kelas 1 di Bandung, melaporkan bahwa kemampuan analogi siswa mengalami peningkatan setelah mendapatkan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan analogi, dan terdapat assosiasi yang cukup kuat antara pemahaman konsep matematika dan kemampuan analogi matematika siswa.

12

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

B. Kajian Pustaka 1. Daya Nalar (Power of Reason)

Nalar atau penalaran (reasoning) adalah suatu proses berpikir pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan ( Shurter dan Pierce dalam Utari,1987:31). Penalaran dapat juga diartikan sebagai proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis. Selanjutnya, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Sebagaimana dikemukakan oleh Copi (1978:5), “ Reasoning is a special kind of thinking in which inference take place, in which conclusions are drawn from premises” Daya nalar (power of reason) merupakan kekuatan memahami dan menarik suatu kesimpulan. Daya nalar juga merupakan pembentuk (cara berpikir) bukan sebagai bentukan (hasil pemikiran) , sehingga dominasinya terletak pada kekuatan pengetahuan , teori dan sejumlah pengetahuan lain 2. Pengertian Analogi

Analogi dalam bahasa Indonesia ialah “kias” (dalam bahasa Arab, qasa = mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi menurut Soekadijo (1997:139) adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan , yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan. Dalam mengadakan perbandingan kita mencari persamaan dan perbedaan antara keduanya. Jika dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya maka timbullah analogi persamaan (keserupaan) diantara dua hal yang berbeda, dan selanjutnya akan ditarik suatu kesimpulan atas dasar keserupaan tadi. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Dalam istilah peribahasa, kita sering menemukan kalimat ”rambutnya indah bagaikan bunga mayang”. Disini kita membandingkan dua hal yang berlainan yaitu rambut dan bunga mayang selanjutnya menganalogikan (membuat keserupaan) antara rambut yang indah dengan bunga mayang. Contoh lain, misalnya ” wajah kedua anak kembar itu bagaikan pinang di belah dua”. Dalam hal inipun kita membandingkan dua hal yang berlainan yaitu wajah dua anak kembar dan pinang selanjutnya menganalogikan (membuat keserupaan) antara wajah anak kembar dengan permukaan pinang yang dibelah dua. Kedua

13

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

contoh ini dinamakan analogi non argumentatif,yaitu analogi yang tidak memerlukan alasan. Analogi sering digunakan dalam tes potensi akademik, psikotes dan sejenisnya. Berikut contoh soal analogi Hubungan antara Nani dengan Islam

Analog dengan

Hubungan antara Budi dengan ..................... A. Pria B. Jawa C. Mahasiswa D. Hindu

Alasan : .........................................................................................

Disini kita membandingkan dua pernyataan (sebelah kiri dan kanan), kemudian mencari keserupaannya. Melalui suatu proses berpikir/pengamatan pada pernyataan sebelah kiri, didapat bahwa hubungan antara Nani dengan Islam merupakan hubungan antara manusia dengan keyakinannya (agama), hal ini analog (serupa) dengan hubungan antara Budi dengan Hindu (jawaban D). Sebagai alasan memilih jawaban D, karena analogi yang terjadi adalah analogi hubungan keyakinan (agama). Contoh ini dinamakan analogi argumentatif, yaitu analogi yang memerlukan alasan Sedangkan dalam matematika, kita dapat membuat soal-soal analogi matematika, yang memuat konsep-konsep matematika yang memiliki keterkaitan sifat. Berikut contoh soal analogi matematika (dimodifikasi dari tes dalam Utari,1987) Hubungan antara bilangan -2 dengan barisan 8, 6, 4, 2 , ...........

Analog dengan

Hubungan antara p dengan barisan ..... A. p+1, p+2, p+3, p+4, ..... B. p, p2, p3, p4, .................. C. p, 2p, 3p, 4p, ............... D. p-1, p-2, p-3, p-4, ......

Alasan : ................................................................................... Melalui suatu proses berpikir pada pernyataan sebelah kiri, diperoleh bahwa hubungan antara -2 dengan barisan 8,6,4,2,........adalah hubungan sifat beda pada barisan aritmatika, analog (serupa dengan) hubungan antara p dengan barisan p,2p,3p,4p,.............(jawaban C), alasannya karena analogi yang terjadi adalah analogi sifat beda pada barisan aritmatika. Analogi matematika, dapat membantu siswa untuk memahami suatu materi lain dengan mencari keserupaan sifat diantara materi yang dibandingkan.

14

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Untuk dapat menyelesaikan soal analogi matematika diperlukan pemahaman konsep yang baik. 3. Pembelajaran Analogi Matematika

Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat diterapkan dalam upaya mengembangkan daya nalar (power of reason) siswa adalah pembelajaran analogi matematika. Pembelajaran ini lebih menekankan pada teknik analogi dalam matematika. Dengan bimbingan guru siswa dilatih daya nalarnya melalui proses berpikir untuk menemukan hubungan sifat suatu konsep dan mencari analoginya berdasarkan sifat tersebut. Sebelum memulai pembelajaran analogi, sebaiknya guru memeriksa kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, dan dilaksanakan setelah sejumlah konsep dipelajari. Ada baiknya diberikan di kelas-kelas akhir karena banyak konsep yang telah dipelajari oleh siswa. Berikut gambaran pembelajaran analogi matematika Pertama-tama guru memberikan contoh soal analogi matematika, selanjutnya melalui dialog, siswa dibimbing untuk mengembangkan daya nalarnya. Analogi Matematika Model 1

Hubungan antara bilangan 1/3 dengan barisan 243, 81,27, 9,...............

Analog dengan

Hubungan antara p dengan barisan......... A. p+1, p+3, p+9, p+27, ..... B. p, p2, p3, p4, .................... C. 3p, 9p, 27p, 81p, ......... D. p-3, p-9, p-27, p-81, ....

Alasan : ............................................................................................. Guru

: Coba kalian perhatikan pernyataan sebelah kiri, dinamakan apakah barisan tersebut ? Siswa : Barisan geometri Guru : Baik, nah sekarang coba kalian cari rasionya ! Siswa : Saya bu, rasionya adalah 81/243 = 27/81 = 9/27 = .......... = 1/3 Guru : Baik, sekarang bagaimana kaitan (hubungan) antara 1/3 dengan barisan 243, 81, 27, 9, ................... Siswa : Kaitan (hubungan) antara 1/3 dengan barisan 243, 81, 27, 9, ........ adalah hubungan rasio Guru : Baik, jadi hubungan yang terjadi pada pernyataan sebelah kiri adalah

15

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

hubungan rasio, dengan demikian analog dengan hubungan antara p dengan barisan p, p2, p3, p4, ........ (jawaban B) yang juga memiliki hubungan rasio. Analogi Matematika Model 2

Selain bentuk soal analogi matematika model 1, kita dapat pula membuat soal analogi yang berbeda yang lebih menuntut daya nalar yang tinggi, seperti bentuk analogi matematika berikut ini.

Hubungan antara bilangan 3 dengan barisan..................... 2, 6, 18, 54, ......... .... 1, 3, 9, 27, ................. 4, 12, 36, 108, ........... 7, 10, 13,16,...............

Analog dengan

Hubungan antara 1/p dengan barisan...........

Pilihan jawaban

1/p, 2/p, 3/p, 4/p,..... p, p+3, p+6, p+9,...... p4, p3, p2, p, ............ p, p-3, p-6, p-9, ....

A B C D

Pembelajaran dapat dilakukan melalui dialog sebagai berikut : Guru

: Perhatikan barisan-barisan bilangan pada pernyataan sebelah kiri, sebutkan masing-masing jenis barisan tersebut ! Siswa : Pada pernyataan sebelah kiri A, B, dan C merupakan barisan geometri, dan D barisan aritmatika Guru : Baik, selanjutnya carilah jenis barisan yang sama antara pernyataan sebelah kiri dan pernyataan kanan Siswa : Saya bu !, C merupakan barisan geometri pada pernyataan sebelah kiri dan kanan serta D merupakan barisan aritmatika pada pernyataan sebelah kiri dan kanan Guru : Baik, nah sekarang tentukan analogi yang terjadi antara pernyataan sebelah kiri dan kanan dengan mencari hubungan antara bilangan 3 dan 1/p dengan barisan di C dan D Siswa : C. Bilangan 3 sebagai rasio pada barisan 4, 12, 36, 108, ........... dan 1/p juga sebagai rasio pada barisan p4, p3, p2, p, .......... D. Bilangan 3 sebagai beda pada barisan 7, 10, 13, 16, ...... dan 1/p bukan merupakan beda pada barisan p, p-3, p-6, p-9,.... sehingga pilihan jawaban yang benar adalah C, karena analogi yang terjadi adalah analogi sifat rasio pada barisan geometri

16

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Aspek kognitif yang diukur dalam pembelajaran analogi matematika adalah kemampuan mencari sifat-sifat hubungan yang terjadi pada suatu konsep dan selanjutnya mencari keserupaan (analogi) diantara dua konsep yang sama atau berbeda. Duit et.al. (1989) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran analogi siswa memperoleh beberapa keuntungan, diantaranya, valuable (bernilai) dalam mempelajari konsep, siswa termotivasi karena menarik perhatian mereka, dan mendorong guru untuk mengetahui pengetahuan prasyarat siswa sehingga miskonsepsi pada siswa dapat terungkap. 4. Cara /Teknik Membuat Soal Analogi Matematika

Dalam membuat soal-soal analogi matematika diperlukan kesiapan guru, karena berbeda dengan membuat soal matematika yang rutin. Pada setiap soal analogi matematika termuat konsep yang sama atau berbeda, sehingga dibutuhkan materi yang cukup banyak. Berikut langkah-langkah dalam membuat soal-soal analogi matematika a. Susunlah semua konsep dalam matematika yang telah dipelajari siswa b. Susun pula sifat-sifat/hubungan yang terdapat dalam setiap konsep c. Pilih materi-materi yang mempunyai sifat/hubungan yang dapat dianalogikan. C. Penutup Penerapan pembelajaran analogi matematika dalam rangka menumbuhkan daya nalar (power of reason)) siswa, memerlukan kesiapan baik dari guru maupun siswa. Bagi guru, sebelumnya perlu mengetahui tingkat kemampuan pemahaman siswa, karena tanpa pemahaman konsep yang baik akan sulit bagi siswa menyelesaikan soal analogi matematika. Bentuk-bentuk soal analogi matematika sesuai dengan cara pembuatannya, haruslah memenuhi kriteria bahwa sifat-sifat (hubungan) dalam satu konsep yang dapat dianalogikan dengan konsep yang sama atau berbeda. Melalui analogi matematika siswa dilatih untuk menggunakan kemampuan kognitifnya sehingga tumbuh daya nalar yang baik.

17

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Daftar Pustaka

Alamsyah (2000). Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Analogi Matematika. Tesis UPI Bandung : Tidak dipublikasikan Copi, I.M. (1978). Introduction to Logic. New York : Macmillan Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi UPI Bandung : Tidak dipublikasikan. Depdiknas (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika, Sekolah Menengah Umum. Jakarta : Depdiknas Duit. et.al. (1989). Teacher Use of Analogies in Their Reguler Teaching Routnes . Research in Science Education 19. 291-299 Kariadinata, R.(2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis UPI Bandung : Tidak dipublikasikan Rustaman, N. (1990). Kemampuan Klasifikasi Logis Anak (Studi Tentang Kemampuan Abstraksi dan Inferensi Anak Usia Sekolah Dasar pada Kelompok Bahasa Sunda). Disertasi PPS IKIP Bandung : Tidak dipublikasikan Shadiq, F. (2007) Penalaran (Reasoning) : Perlu dipelajari Para Siswa di Sekolah. Mengutamakan Daya Nalar dalam Pendidikan. Yogyakarta : Bagi Prabu Soekadijo, R.G. (1997). Logika Dasar. Jakarta : Gramedia Utari,S. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logic Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi FPS IKIP Bandung : Tidak dipublikasikan.

18

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

HUBUNGAN ANTARA SELF-CONCEPT TERHADAP MATEMATIKA DENGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA Oleh :

Risqi Rahman Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan hubungan berpikir kreatif dengan self-concept Desain penelitian ini adalah survey. Untuk mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir kreatif dan skala selfconcept siswa. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 13 Jakarta dengan sampel penelitian siswa kelas VII sebanyak dua kelas yang dipilih secara cluster random sampling. Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap data kemampuan berpikir kreatif dan data self-concept. Instrumen yang digunakan sebanyak 12 soal tes kemampuan berpikir kreatif dan 31 pernyataan mengenai self-concept. Dalam perhitungan ujicoba intrumen menggunakan program Anates dan perhitungan statistik menggunakan SPSS 18. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-concept mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa. Kata kunci: Kemampuan Berpikir kreatif dan Self-concept A. Latar Belakang

Menurut Harris (Mina, 2005) banyak pemikiran yang dilakukan dalam pendidikan matematika formal hanya menekankan pada keterampilan analisis mengajarkan bagaimana siswa memaham iklaim-klaim, mengikuti atau menciptakan suatu argument logis, menggambarkan jawaban, mengeliminasi jalur yang tak benar dan focus pada jalur yang benar. Sedangkan jenis berpikir lain yaitu berpikir kreatif yang fokus pada penggalian ide-ide, memunculkan kemungkinan-kemungkinan, mencari banyak jawaban benar dari pada satu jawaban kurang diperhatikan. Tingkat kreativitas anak-anak Indonesia dibandingkan negara-negara lain berada pada peringkat yang rendah. Informasi ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Utah, Amerika Serikat dan Klaus Urban dari Universitas Hannover, Jerman(Supriadi, 1994:85).dari 8 negara yang diteliti, kreativitas anak-anak Indonesia adalah yang terendah. Berikut berturut-turut dari yang tertinggi sampai yang terendah rata-rata skor tesnya adalah: Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan terakhir Indonesia. Apabila hasil penelitian tersebut benar menggambarkan keadaan yang sesungguhnya mengenai kreativitas anak-anak Indonesia, menurut beberapa dugaan, penyebab rendahnya kreativitas anak-

19

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

anak Indonesia adalah lingkungan yang kurang menunjang anak-anak tersebut mengekspresikan kreativitasnya, khususnya lingkungan keluarga dan sekolah. Rendahnya kemampuan berpikir kreatif juga dapat berimplikasi pada rendahnya prestasi siswa. Menurut Wahyudin (2000: 223) di antara penyebab rendahnya pencapaian siswa dalam pelajaran matematika adalah proses pembelajaran yang belum optimal. Dalam proses pembelajaran umumnya guru sibuk sendiri menjelaskan apa-apa yang telah dipersiapkannya. Demikian juga siswa sibuk sendiri menjadi penerima informasi yang baik. Akibatnya siswa hanya mencontoh apa yang dikerjakan guru, tanpa makna dan pengertian sehingga dalam menyelesaikan soal siswa beranggapan cukup dikerjakan seperti apa yang dicontohkan. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan alternatif lain dapat disebabkan karena siswa kurang memiliki kemampuan fleksibilitas yang merupakan komponen utama kemampuan berpikir kreatif.Fakta menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kemampuan berpikir kreatif dalam matematika beserta implikasinya, dengan demikian adalah perlu untuk memberikan perhatian lebih pada kemampuan ini dalam pembelajaran matematika saat ini. Pentingnya pengembangan kreativitas bagi siswa sekolah telah tertulis dalam tujuan pendidikan nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor. 22 tahun 2006 tentang standar isi khususnya untuk pembelajaran matematika. Akan tetapi pada praktek di lapangan pengembangan kreativitas masih terabaikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Munandar (1996) bahwa pada beberapa kasus sekolah cenderung menghambat kreativitas, antara lain dengan mengembangkan kekakuan imajinasi. Kasus tersebut sampai saat ini masih terjadi dalam sistem belajar di Indonesia dikarenakan kurangnya perhatian terhadap masalah kreativitas dan penggaliannya khususnya dalam matematika. Selain kemampuan berpikir kreatif, terdapat aspek psikologi yang turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-concept. Ritandiyono dan Retnaningsih (Leonard, 2008) menyatakan Self-concept bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalamberhubungan dengan orang lain. Oleh karena pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya.Sudah menjadi suatu kondisi yang alami bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi karena manusia memiliki kemampuan merefleksi dirinya sendiri yang disebut “self-concept” (R. B. Burns, 1993). Oleh Karena itu penulis mengajukan sebuah studi dengan judul : “Hubungan Antara Self-Concept siswa dan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa”.

20

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

B. Tujuan penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidaknya hubungan antara self-concept siswa dan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa? C. Definisi operasional

Kemampuan berpikir kreatif matematik adalah kemampuan dalam matematika yang meliputi empat kemampuan yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian dan elaborasi. Kelancaran adalah kemampuan menjawab masalah matematika secara tepat. Keluwesan adalah kemampuan menjawab masalah matematika, melalui cara yang tidak baku. Keaslian adalah kemampuan menjawab masalah matematika dengan menggunakan bahasa, cara, atau idenya sendiri. Elaborasi adalah kemampuan memperluas jawaban masalah, memunculkan masalah baru atau gagasan baru Dalam penelitian ini “self-concept” memiliki 4 dimensi yang hendak diukur, yaitu: Pengetahuan, Harapan, dan Penilaian. Dimensi pengetahuan mengenai apa yang siswa ketahui tentang matematika, indikatornya yaitu pandangan siswa terhadap matematika dan pandangan siswa terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya. Dimensi harapan mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran matematika yang ideal, indikatornya yaitu manfaat dari matematika dan pandangan siswa terhadap pembelajaran matematika. Dimensi penilaian mengenai seberapa besar siswa menyukai matematika, indikatornya yaitu ketertarikan siswa terhadap matematika dan ketertarikan siswa terhadap soal-soal berpikir kreatif. D. Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian untuk diajukan dalam penelitian ini dengan rumusan hipotesis yaitu: Self-concept siswa tentang matematika mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa. E. Kajian Pustaka 1. Self-concept a. Pengertian Self-Concept

Batasan-batasan tentang self-concept telah banyak diberikan oleh para ahli, meskipun isi pengertiannya hampir sama atau memiliki berbagai kesamaan. Namun, dengan adanya berbagai macam batasan itu justru dapat saling melengkapi. Pada setiap batasan mengenai pengertian self-concept itu selalu terdapat elemen persamaan yang menunjukkan bahwa pada self-concept itu ada pandangan individu terhadap dirinya sendiri.

21

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Menurut Hurlock (1978:6), self-concept merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang meliputi fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi yang telah dicapainya. Segi fisik meliputi penampilan fisik, daya tarik dan kelayakan.Sedang segi psikologis meliputi pikiran, perasaan, penyesuaian keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan serta aspirasi. Welsh dan Blosch (1978:104), seperti yang dikutip oleh Hall, berpendapat bahwa: “The self concept is defined as the set of perceptions and feelings that and individual holds about himself. It also includes self esteem with all of its parts considered as a whole”. Titik berat pada definisi ini adalah pada serangkaian persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan tentang dirinya. Persepsi-persepsi ini mencakup pengetahuan, pengertian, interpretasi dan penilaian. Namun, masih ditegaskan lagi dalam evaluasi diri terhadap bagian-bagian, tingkatan yang dipertimbangkan sebagai suatu keseluruhan. Pada dasarnya, manusia mempunyai banyak self, yaitu “real self”, “ideal self” dan “social self” (Hurlock, 1978:8)”. Real self adalah sesuatu yang diyakini seseorang sebagai dirinya. “Social self” merupakan apa yang dianggap orang ada pada dirinya, sedangkan “ideal self” adalah harapan seseorang terhadap dirinya. Jadi, self-concept sebagai inti kepribadian merupakan aspek yang paling penting terhadap mudah tidaknya individu mengembangkan kepribadian.Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa self-concept merupakan perasaan seseorang mengenai diri sendiri.Self-concept ini menjadi fokus pembentukan kepribadian dan sekaligus menjadi inti kepribadian yang selanjutnya akan menentukan pengembangan kepribadiannya. Pendapat ahli lain yaitu Shavelson, seperti yang dikutip Cronbach, mengemukakan bahwa pengertian self-concept bukan hanya persepsi individu tentang dirinya, tetapi juga persepsi individu tentang persepsi orang lain mengenai individu tersebut. Menurutnya, bahwa terbentuknya self-concept itu melalui pengalaman, interpretasi terhadap lingkungan, dan diperkuat oleh penilaian orang lain terutama orang yang berarti bagi diri individu tersebut bahwa self-concept itu bersegi banyak (multi facet) (Lee J. Cronbach. 1964:45). Bahwa self-concept itu merupakan suatu sistem, yaitu terdiri dari facet-facet yang terstruktur, terorganisir, berhubungan satu sama lain. Bahwa self-concept itu bersifat hirarkhis yaitu tersusun dari bagian yang umum abstrak menuju semakin khusus kongkrit.Demikian pula stabilitasnya turut bertingkat, yang umum bersifat stabil, semakin khusus semakin labil.Bahwa self-concept itu semakin multifacet, seirama dengan perkembangan anak menuju khusus kongrit secara hirarkhis, maka self-concept dapat di deskripsikan dan dapat dinilai.

22

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Batasan yang diberikan oleh Carl R. Rogers pada buku Burns (1979:39) antara lain dinyatakan sebagai berikut : “Self-concept may be thought of as an organized configuration of perceptions of the self . It is composed of such elements as the perceptions of one’s characteristics and abilities; the percepts and concepts of self in relation to others and to the environment; the value qualities which are perceived as associated with experiences and objects and goals and ideals which are perceived as having positive or negative valence”. Burns berpendapat, self-concept merupakan suatu bentuk atau susunan yang teratur tentang persepsi-persepsi diri.Self-concept atau self-concept mengandung unsur-unsur seperti persepsi seorang individu mengenai karakteristik-karakteristik serta kemampuannya; persepsi dan pengertian individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan orang lain dan lingkungannya; persepsi individu tentang kualitas nilai yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dirinya dan obyek yang dihadapi; dan tujuan-tujuan serta cita-cita yang dipersepsi sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif atau negatif. Self-concept itu meliputi suatu kognisi seseorang mengenai tanggapan penilaian yang dilakukannya tentang persepsi aspek-aspek dirinya, suatu pemahaman tentang gambaran orang lain mengenai dirinya, dan kesadaran penilaian dirinya yaitu gagasannya tentang bagaimana seharusnya dirinya dan bagaimana cara seharusnya yang dilakukannya. b. Dimensi Self-concept

Konsep diri adalah pandangan individu tentang dirinya sendiri. Adapun dimensi-dimensi konsep diri ialah: i. Pengetahuan Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri. Dalam benak kita ada satu daftar julukan yang menggambarkan diri kita yaitu usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, dan lain sebagainya. Dalam memberikan dan menambah daftar julukan tentang diri kita dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan dan membandingkannya diri sendiri dengan kelompok sosial lain dan hal itu merupakan perwujudan seberapa besar kualitas diri kita dibandingkan dengan orang lain. Kualitas yang ada pada diri kita hanyalah bersifat sementara, sehingga perilaku individusuatu saat bisa berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi padakelompok sosial dalam lingkungannya.

23

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

ii. Harapan Pada saat individu mempunyai pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai seperangkat pandangan yang lain yaitutentang kemungkinan individu akan menjadi apa di masa yang akan datang dan pengharapan ini merupakan gambaran diri yang ideal dari individu tersebut. iii. Penilaian Dalam hal penilaian terhadap diri sendiri, individu berkedudukansebagai penilai tentang dirinya dalam hal pencapaian pengharapan,pertentangan dalam dirinya, standar kehidupan yang sesuai dengandirinya yang pada akhirnya menentukan dalam pencapaian hargadirinya yang pada dasarnya berarti seberapa besar individu dalammenyukai dirinya sendiri, (James F. Calhoun dan Joan Acocella,1995). 2. Kemampuan Berpikir kreatif Matematik

Secara singkat berpikir kreatif dapat dikatakan sebagai pola berpikir yang didasarkan pada suatu cara yang mendorong kita untuk menghasilkan produk yang kreatif. Masih banyak definisi yang berkaitan dengan kreativitas, namun pada intinya ada persamaan antara definisi-definisi tersebut, yaitu kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Sesuatu yang baru disini tidak harus berupa hasil/ciptaan yang benarbenar baru walaupun hasil akhirnya mungkin akan tampak sebagai sesuatu yang baru, tetapi dapat berupa hasil penggabungan dua atau lebih konsep-konsep yang sudah ada. Berbagai definisi terkandung dalam pengertian yang berakaitan dengan istilah kreativitas atau cara berpikir kreatif. Istilah kreativitas terkadang tidak dibedakan dengan istilah berpikir kreatif. Menurut Munandar (2004:37) menyatakan bahwa berpikir kreatif disebut juga berpikir divergen atau kebalikan dari berpikir konvergen. Berpikir divergen yaitu berpikir untuk memberikan macam-macam kemungkinan jawaban benar ataupun cara terhadap suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada jumlah dan kesesuaian. Sedangkan, berpikir konvergen yaitu berpikir untuk memberikan satu jawaban terhadap suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan. Hasil yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya merupakan suatu hal baru bagi siswa yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang berbeda dari yang biasa ia lakukan. Untuk mencapai hal ini seseorang harus melakukan sesuatu terhadap permasalahan yang dihadapi, dan tidak tinggal

24

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

diam saja menunggu. Evans (1991:98) mengemukakan bahwa berpikir kreatif terdeteksi dalam empat unsur yaitu: Kepakaan (Sensitivity), Kelancaran (Fluency), Keluwesan (Flexibility), dan Keaslian (Originality). Berkaitan dengan kepekaan, kelancaran, keluwesan, dan keaslian dalam proses berpikir yang melahirkan gagasan (kreatif) dipandang perlu adanya suatu tindakan lanjut untuk membenahi serta menata dengan baik, teratur, dan rinci apa yang telah dihasikan. Hal ini perlu dilaksanakan agar siswa tidak kehilangan kesempatan dalam suasana belajar, terutama sebelum siswa sempat lupa akan ide-ide yang baik. Penataan yang teratur dan rinci ini membuka kesempatan padanya untuk sewaktu-waktu dapat mengulangi atau membaca serta menkaji kembali apa yang siswa pelajaran dan hasilkan. Guilford menemukan sifat-sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration) dan perumusan kembali (redefinition). (Supriadi,1997: 7). Menurut Utami Munandar redefinisi memerlukan kemampuan untuk menghentikan interpretasi lama dari obyek-obyek yang telah dikenal dalam rangka menggunakannya atau bagian-bagiannya dalam beberapa cara baru. Sementara itu, menurut Williams bahwa kemampuan yang berkaitan dengan berpikir kreatif ini ada delapan kemampuan, empat dari ranah kognitif dan empat dari ranah afektif. Berikut ini empat kemampuan dari ranah kognitif disebutkan secara lengkap oleh Williams yaitu sebagai berikut yaitu Berpikir lancar, Berpikir luwes, Orisinal, dan Terperinci Masih terdapat beberapa ciri kemampuan berpikir kreatif yang dikemukakan oleh para ahli di bidang tersebut. Namun, dari beberapa ciri-ciri yang dikemukakan pada intinya lebih banyak perasamaan. Dari beberapa ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif yang telah diungkapkan menurut Williams tampak jelas dan terperinci. Oleh karena itu, penulis menggunakan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif yang dikemukakan oleh Williams sebagai ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif yang dikembangakan dalam penelitian ini. F. Metode Penelitian 1. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan teknik korelasi yaitu mencari hubungan antara self-concept dengan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 13 Jakarta.

25

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

2. Subjek Punelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 13 Jakarta semester genap tahun pelajaran 2009/2010. Dipilih dua kelas secara acak dari populasi sebanyak 68 siswa untuk dijadikan sampel penelitian. 3. Instrumen Penelitian

Pengembangan instrumen variabel self-concept siswa tentang matematika diawali dengan penyusunan 31 butir pernyataan yang dilengkapi dengan 4 pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju), Setiap pilihan jawaban yang diajukan memiliki skor antara 1 sampai 4. Skor variabel dapat diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh skor butir. Proses kalibrasi instrumen dilaksanakan dengan melakukan ujicoba kepada 60 responden. Pada tahap ujicoba instrumen dilakukan pengujian validitas butir soal dan perhitungan koefisien reliabilitas. Pada penelitian ini, pengujian validitas skala self-concept juga dilakukan oleh dosen pembimbing dan pakar self-concept di UHAMKA. Berorientasi pada validitas konstruk dan validitas isi, berupa dimensi dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan. Data self-concept yang awalnya merupakan data ordinal di konversi menjadi data interval Menurut Al-Rasyid (1994), menaikkan data dari skala ordinal menjadi skala interval dinamakan transformasi data. Transformasi data ini, dilakukan diantaranya adalah dengan menggunakan Metode Sucsesive Interval. Pada umumnya jawaban responden yang diukur dengan menggunakan skala likert (Lykert scale) diadakan scoring yakni pemberian nilai numerikal 1, 2, 3, dan 4, setiap skor yang diperoleh akan memiliki tingkat pengukuran ordinal. Nilai numerikal tersebutdianggap sebagai objek dan selanjutnya melalui proses transformasiditempatkan ke dalam interval. Tes Matematika yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kreatif. Agar kemampuan berpikir kratif matematik siswa dapat terlihat dengan jelas maka tes dibuat dalam bentuk uraian. Untuk memperoleh soal tes yang baik maka soal tes tersebut harus dinilai validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda. Untuk mendapatkan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda maka soal tersebut terlebih dahulu diuji cobakan pada kelas lain disekolah pada tingkat yang sama. untuk menghitung validitas butir soal reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda menggunakan program Anatesv4 yang dikembangkan oleh To dan wibisono.

26

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

G. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Untuk melihat seberapa kuat hubungan antara self-concept dan kemampuan berpikir kreatif, maka dilakukan uji korelasi Pearson denganα = 0,05 dan hipotesisnya adalah 𝐻0 ∶ 𝜌 = 0 keterangan 𝜌 : korelasi antara self-concept dengan kemampuan berpikir kreatif Tabel 1. Hasil Uji Korelasi self-concept dan kemampuan berpikir kreatif

Self-concept 1

Self-concept Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Kreatif Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

68 0,619 0,000 68

Postes 0,619 0,000 68 1 68

Dari Tabel 1, diperoleh hasil korelasi antara self-concept dan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah 0,619 dan nilai signifikansi (sig) sebesar 0,000. Harga korelasi (𝑟) yang diperoleh adalah 0,619 yang artinya tingkat hubungannya tergolong kuat. Karena nilai signifikansi0,000 lebih kecil dari α = 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara self-concept dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Harga koefisien determinannya dihitung dengan rumus KD = r2 × 100% (Riduwan, 2004), dan diperoleh harganya sebesar 38,32% yang artinya bahwa 38,32% variasi di dalam berpikir kreatif dapat dijelaskan oleh variasi dalam self-concept. Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara self-concept dengan kemampuan berpikir kreatif maka dilakukan pengujian koefisien regresi dengan menggunakan analisis regresi linier. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh langsung dari self-concept siswa terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Hipotesis yang diuji adalah: Hipotesis penelitian untuk melihat self-concept siswa tentang matematika yaitu “Self-concept siswa tentang matematika mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa”.

27

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Rumusan hipotesis uji perbedaan rerata Self-Concept adalah H0 : Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra tidak mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa H1 : Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Self-Concept dengan Kemampuan Berpikir Kreatif

Unstandardized Coefficients B Std. Error 1 (Constant) -1,875 4,689 Self-concept 0,313 0,049 a. Dependent Variable: POSTES Model

Standardized Coefficients Beta 0,619

t

Sig.

-0,400 6,410

0,690 0,000

Dari tabel diatas dapat diketahui persamaan regresinya adalah 𝑌 = −1,875 + 0,313𝑥 yang artinya, semakin besar nilai self-concept siswa maka semakin besar kemampuan berpikir kreatif siswa, begitu juga sebaliknya. Karena nilai signifikansi 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak artinya secara signifikan Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa. H. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data untuk pengujian hipotesisnya, kesimpulan dari temuan yang diperoleh adalah Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran berbantuan Geogebra secara umum mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif siswa. I. Saran

Self-concept yang ditelaah pada penelitian ini merupakan Self-concept yang terkait dengan kemampuan berpikir kreatif. Peneliti selanjutnya dapat meneliti Self-concept siswa yang terkait dengan kemampuan matematik lainnya. Peneliti selanjutnya dapat menelaah bagaimana kemampuan matematik yang dimiliki siswa jika ditinjau dari Self-concept yang dimilikinya. 28

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

J. Daftar Pustaka

Burns, R. B. 1979. The Self Concept in Theory Measurement, Development and Behavior. London. Longman Group UK Ltd. . 1993. Konsep Diri, Teori, pengukuran dan perilaku, Alih Bahasa : Eddy. Jakarta: Arcan. Cronbach, L. J. 1964. Educational Psychology. New York: Harcourt, Brace & Company. Calhoun J. F danAcocella, J. R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (EdisiTerjemahan): Semarang: IKIP Semarang Press. Crow, L. D. and Crow,A. 1984.Psikologi Pendidikan. Terjemahan Kasjan. Surabaya: PT. Bina Ilmu. Dennis K.F. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: PT. Prestasi pustaka raya Dewanto, S. P. 2007. Meningkatkan Kemampuan Representasi Multiple Matematis Melalui Belajar Berbasis-Masalah. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan Evans, J.R. 1991. Creative Thinking in the Decision and Management Sciences.USA: South-Western Publishing Co. Hall, C.S. and Lindzey,G.. 1978. Theories of Personality.Third Edition. New York: John Willey and Sons, Inc. Hays, W. L, 1976.Quantification in Psychology.Prentice Hall.New Delhi. Hurlock, E. B. 1978. Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata McGraw Hill. Nasution, A. H. 1978. LandasanMatematika. Jakarta: Bharata. Nasution, S. 2000. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Mina,E. 2005. Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan OpenEnded terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa SMA Bandung.Bandung: Tesis SPS UPI: Tidak diterbitkan.

29

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Munandar, U. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Pudjijogyanti.1988. Konsep Diri dan Pendidikan. Jakarta : Arcan. Roestiyah. 1999. Masalah-masalah Ilmu Keguruan.Jakarta: PT. Bina Aksara. Sarwono, S.W. 1974. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. Silvernail, David. 1985. Developing Positive Student Self-Concept. 2nd Ed. Washington DC: National Education Associatess. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung : CV Alfabeta Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta. Suriasumantri, J. S. 1982. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Supriadi, D. 1997. Kreatifitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. To, Karno (1996).MengenalAnalisisTes (Pengantarke Program Komputer ANATES). Bandung: FIP IKIP Bandung Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematik, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Bandung: Disertasi PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Winkel. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.

30

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN MENTAL PIAGET PADA KONSEP KEKEKALAN PANJANG Oleh :

Idrus Alhaddad Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Khairun Ternate e-mail: [email protected] Abstrak Menurut teori perkembangan mental dari Piaget, ada 4 tahapan perkembangan kognitif pada anak, yaitu: 1) Tahap sensori motor, yaitu dari lahir sampai usia sekitar 2 tahun; 2) Tahap pre operasi, yaitu dari usia sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun; 3) Tahap operasi konkrit, yaitu dari usia sekitar 7 tahun sampai sekitar 11-12 tahun; dan 4) Tahap operasi formal, yaitu dari usia dari sekitar 11 tahun sampai dewasa. Setiap tahapan perkembangan mental mempunyai sifat atau ciri khas masing-masing. Salah satu ciri yang dimunculkan pada tahap operasi kongkrit diantaranya yaitu bahwa pada tahap ini anak sudah mulai memahami konsep kekekalan. Diantaranya konsep kekekalan panjang (7 – 8 tahun). Tentu saja hal itu ditujukan untuk anak-anak luar negeri dimana Jean Piaget melakukan penelitian, yaitu di Negara Swiss. Pertanyaannya adalah apakah tahapan perkembangan anak berlaku juga pada anak di negara kita. Hasil penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa, ada anak yang sesuai dengan usianya berada pada tahapan operasi kongkrit ternyata belum memahami konsep kekekalan panjang. Kata kunci : Teori perkembangan mental, Konsep kekekalan Panjang

Pendahuluan

Dalam proses pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bekerja dengan ide-ide.Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan pada siswa. Siswa harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Ini sesuai dengan esensi dari teori konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Salah satu tokoh pencetus kontruktivisme adalah Jean Piaget. Dari hasil penelitianya itu timbullah teori belajar yang biasa disebut teori perkembangan mental atau teori kognitif. Teori ini menetapkan ragam dari tahap-tahap

31

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

perkembangan intelektual manusia dari lahir sampai dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu. Menurut teori perkembangan mental Piaget, ada 4 tahapan perkembangan kognitif pada anak, yaitu: 1) Tahap sensori motor (sensori-motor stage), yaitu dari lahir sampai usia sekitar 2 tahun; 2) Tahap pre operasi (pre operational stage), yaitu dari usia sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun; 3) Tahap operasi konkrit (concrete operational stage), yaitu dari usia sekitar 7 tahun sampai sekitar 11-12 tahun; dan 4) Tahap operasi formal (formal operational stage), yaitu dari usia dari sekitar 11 tahun sampai dewasa. Setiap tahapan perkembangan mental mempunyai sifat atau ciri khas masingmasing yang dimunculkan anak yang berbeda-beda. Salah satu ciri yang dimunculkan pada tahap operasi kongkrit (concrete operational stage) diantaranya yaitu pada tahap ini anak sudah mulai memahami konsep kekekalan. Sebagaimana yang diungkapkan Ruseffendi (2006:147) pada tahap operasi kongkrit anak mulai memahami konsep kekekalan bilangan (6 – 7 tahun), konsep kekekalan materi atau zat (7 – 8 tahun), konsep kekekalan panjang (7 – 8 tahun), konsep kekekalan luas (8 – 9 tahun), konsep kekekalan berat (9 – 10 tahun), bahkan pada akhir tahap ini, anak sudah dapat memahami konsep kekekalan isi (14 – 15 tahun). Tentu saja hal itu ditujukan untuk anakanak luar negeri dimana Jean Piaget melakukan penelitian, yaitu di Negara Swiss. Pertanyaannya adalah bagaimana teori tahapan perkembangan anak yang disusun oleh Piaget itu berlaku juga pada anak yang ada di negara kita, terutama di lingkungan tempat tinggal kita. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian. Penelitian ini memfokuskan pada pemahaman konsep kekekalan panjang yang dimiliki anak-anak yang ada di sekitar kita khususnya, dan anak-anak Indonesia pada umumnya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana kondisi perkembangan mental anak terkait pemahaman konsep kekekalan panjang, apakah anak-anak pada usia 7 – 8 tahun sudah memahami konsep kekekalan panjang?” Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kondisi perkembangan mental anak terkait pemahaman konsep kekekalan panjang, apakah anak-anak Indonesia pada usia 7 – 8 tahun sudah memahami konsep kekekalan panjang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai studi pendahuluan dan bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut, referensi bagi para guru di

32

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

sekolah dasar, dan para orang tua dalam menerapkan pola pendidikan yang efektif untuk anak-anak sesuai dengan kondisi perkembangan mentalnya. A. Hakekat Matematika

Apakah matematika itu? sampai saat ini belum ada definisi yang menjadi kesepakatan dari para matematikawan tentang satu-satunya definisi matematika. Para matematikawan saling berbeda dalam mendefinisikan matematika, Herman Hudojo (1988: 3) menyatakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide/ konsep-konsep yang abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Sejalan dengan pandangan tersebut, Sujono (1988: 5) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Diantaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam mengiterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Ruseffendi (2006: 261) menyatakan, Matematika terdiri dari 4 wawasan yang luas ialah aritmatika, aljabar, geometri dan analisis. Dimana dalam aritmatika mencakup antara lain: teori bilangan dan statistika. Selain itu matematika adalah ratunya ilmu (Mathematics is the Queen of the sciences), maksudnya antara lain matematika tidak bergantung kepada bidang studi lain; bahasa, dan agar dapat dipahami orang dengan tepat kita harus menggunakan simbol dan istilah yang cermat yang disepakati secara bersama; ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan kepada observasi (induktif) tetapi generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif; ilmu tentang pola keteraturan; ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil, dan matematika adalah pelayan ilmu Meskipun terdapat beraneka ragam definisi matematika, namun jika diperhatikan secara seksama, dapat terlihat adanya ciri-ciri khusus yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum. Soedjadi (2000: 13) mengemukakan beberapa ciri khusus dari matematika adalah :

1. 2. 3. 4.

memiliki objek kajian abstrak, bertumpu pada kesepakatan, berpola berpikir deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti,

33

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

5. memperhatikan semesta pembicaraan, 6. konsisten dalam sistemnya. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa hakekat matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, struktur-struktur dan hubungannya diatur menurut aturan logis dan berdasarkan pada pola pikir deduktif. B. Jean Piaget dengan Teori Perkembangan Mentalnya

Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Ini merupakan suatu pandangan konstruktivisme. Pada Pandangan konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi, maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi, maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru. Menurut Piaget dalam Ruseffendi (2006 : 133) ada tiga dalil pokok dalam perkembangan mental manusia, yaitu : 1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. 2. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi mental yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual. 3. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkapkan oleh adanya keseimbangan (ekuilibration) proses pengembangan yang menguraikan tentang in interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi). Disamping itu ada empat konsep dasar Piaget yang dapat diaplikasikan pada pendidikan matematika, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan

34

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

pendidikan, isi kurikulum dan urut-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep dasar tersebut adalah: (1) Skemata, (2) asimilasi, (3) akomodasi, dan (4) ekuilibrium (Senduk, 1985: 10-16). Menurut Piaget tahap perkembangan intelektual anak secara kronologis terjadi 4 tahap. Urutan tahap-tahap ini tetap bagi setiap orang, akan tetapi usia kronologis memasuki setiap tahap bervariasi pada setiap anak. Keempat tahap dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Tahap sensori motor,dari lahir sampai usia sekitar 2 tahun; 2) Tahap pre operasi, dari usia sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun; 3) Tahap operasi konkrit, dari usia sekitar 7 tahun sampai sekitar 11 – 12 tahun; dan 4) Tahap operasi formal, dari usia sekitar 11 tahun sampai dewasa. Sebaran umur setiap tahap itu adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain dan antara anak yang satu dengan anak yang lain dalam suatu masyarakat. Ada kemungkinan memang teori itu hanya berlaku untuk anakanak barat, dimana Piaget melakukan penelitian. Adapun penjelasan selengkapnya mengenai tahapan-tahapan perkembangan mental Piaget dalam Ruseffendi (2006) adalah sebagai berikut: 1. Tahap sensori motorik (sensori motor stage)

Tahap ini merupakan tahap perkembangan yang dialami semenjak lahir hingga usia sekitar 2 tahun. Untuk anak pada tahap ini, yang utama adalah berpengalaman melalui berbuat dan sensori. Sedangkan berpikirnya melalui perbuatan (tindakan), gerak, dan reaksi yang spontan. Pada tahap ini, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan terhadap lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamak, mendengar, membau dan lain-lain. Mekanisme perkembangan sensorimotor ini menggunakan proses asimilasi dan akomodasi. Tahap-tahap perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman dan situasi yang baru. Adapun ciri-ciri tahap sensori motor adalah sebagai berikut: a. Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan jasmaninya dengan perbuatan mentalnya menjadi tindakan-tindakan atau perbuatan yang teratur dan pasti. Ia belajar mengkoordinasikan akal dan geraknya. kegiatan penyelarasan perbuatan gerak fisik dan perbuatan mentalnya itu disebut “schemata”. b. Anak berpikir melalui perbuatan dan gerak. c. Perkembangan yang terjadi pada tahap ini adalah dari gerak refleks ngemot dan gerak mata sampai pada kemampuan untuk makan, melihat, memegang, berjalan, dan berbicara.

35

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

d. Pada akhir tahap ini, anak belajar mengaitkan simbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih kesulitan. Misalnya, ia mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan. Pada akhir tahap ini. Anak belajar bahwa benda yang disembunyikan dari penglihatan itu tidak menghilang terus, sebagaimana yang sebelumnya ia kira. e. Pada akhir tahap ini pula, anak mulai melakukan percobaan coba-coba berkenalan dengan benda-benda konkret (dengan menyusunnya, mengutakatik, dan lain-lain). 2. Tahap pre operasi (pre operational stage)

Tahap kedua dari teori perkembangan mental manusia dari Piaget adalah tahap pre operasi. Istilah “operasi” di sini adalah suatu proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas sensorimotor. Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi pikiran dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak bernyawa mempunyai sifat bernyawa. Tahap ini adalah tahap dimana anak mulai melakukan persiapan dalam pengorganisasian operasi konkret. Tahap perkembangan ini dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, tahap berpikir pre konseptual (sekitar usia 2 – 4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan. Kedua, tahap berpikir intuitif (sekitar usia 4 – 7 tahun), dimana pada tahap ini representasi suatu objek didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada penalaran. Adapun ciri-ciri tahap perkembangan pre operasi adalah sebagai berikut: a. Sebaran umur sekitar 2 – 7 tahun; tahap berpikir pre konseptual sekitar 2 – 4 tahun dan tahap berpikir intuitif sekitar 4 – 7 tahun. b. Bila dibandingkan, pada tahap ini, anak berpikir internal (penghayatan ke dalam) sedangkan pada tahap sensori motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap pre konseptual memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan permainan khayalan. Penilaian dan pertimbangan anak pada tahap berpikir intuitif didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, belum pada penalaran. c. Anak mengaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak mengira bahwa cara berpikirnya dan pengalamannya dimiliki pula oleh orang lain. Misalnya, jika ia melihat sebuah gambar terbalik dari arah sisi meja yang satu, akan mengira temannya yang berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu, akan melihat gambar tersebut secara terbalik pula. Oleh karena itu, kita menemukan bahwa anakanak pada tahap ini sangat egois, tidak membenarkan barang mainannya, makanannya, dan lain-lainnya, dijamah oleh anak lain.

36

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

d. Anak mengira bahwa benda-benda tiruan itu memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya. Contoh untuk ini misalnya perlakuan anak terhadap bonekanya, seperti perlakuannya terhadap anak yang sebenarnya (mengajak bicara, mengasih makan dan minum, menyuruh tidur, dan lain-lain). e. Pada tahap ini, anak tidak dapat membedakan antara kejadian-kejadian yang sebenarnya (fakta) dengan khayalannya (fantasi). Oleh karena itu, jika dia berdusta “berdustanya” itu bukan karena moralnya jelek, tetapi karena kelemahannya. Ia tidak dapat membedakan mana fakta dan mana fantasi. f. Anak berpendapat bahwa benda-benda akan berbeda jika kelihatannya berbeda. g. Anak pada tahap ini memiliki kesukaran membalikkan dan mengulang pemikiran (perbuatan). Anak tidak dapat atau sukar memahami apa yang akan terjadi jika air yang ada dalam bejana sebelah kanan ditumpahkan ke dalam bejana sebelah kiri. Anak pada tahap ini belum dapat melakukan operasi invers. h. Anak masih kesulitan untuk memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak. Misalnya ia akan kesulitan jika ia diminta untuk mengumpulkan kelereng besar dan berwarna hijau misalnya. Demikian pula ia akan kesulitan jika harus memahami bahwa himpunan laki-laki dan himpunan orang dewasa itu ada irisannya. i. Anak belum berpikir induktif maupun deduktif, melainkan transitif (dari khusus ke khusus). j. Anak mampu memanipulasi benda-benda konkret. k. Anak mulai dapat membilang dengan menggunakan benda konkret, misalkan jari tangannya. l. Pada akhir tahap ini, anak dapat memberikan alasan atas keyakinannya, dapat mengelompokkan benda-benda berdasarkan satu sifat khusus yang sederhana, dan mulai dapat memperoleh konsep yang sebenarnya. m. Anak belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami banyaknya (kesamaan dan ketidaksamaan). Anak mengalami kesulitan untuk memahami bahwa bilangan kardinal dari himpunan bilangan asli adalah sama banyak dengan bilangan kardinal dari himpunan bilangan asli genap. n. Anak sulit memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak terbatas dari sebuah ruas garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil panjangnya. 3. Tahap operasi kongkrit (concrete operational stage)

Tahap ini merupakan tahap anak-anak sekolah dasar pada umumnya. Pada tahap ini, anak dapat memahami operasi (logis) dengan bantuan benda-benda kongkrit. Yang dimaksud operasi dengan bantuan benda-benda kongkrit disini adalah tindakan atau perbuatan mental mengenai kenyataan dalam kehidupan nyata. Anak tidak perlu selalu dengan bantuan benda-benda kongkrit ketika

37

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

melakukan operasi. Akan tetapi ada kemungkinan, anak-anak masih kesulitan membuat generalisasi verbal dari contoh-contoh yang serupa. Oleh karena itu, anak-anak pada tahap ini dapat dikelompokkan ke dalam taraf berpikir kongkrit yaitu selalu memerlukan bantuan benda-benda kongkrit, atau taraf berpikir semi kongkrit, artinya dapat mengerti jika dibantu dengan gambar benda kongkrit. Dapat pula dikatakan taraf berpikir semi abstrak, yaitu dapat mengerti dengan bantuan diagram, torus, atau sejenisnya. Serta dapat pula dikatakan berada pada taraf berpikir abstrak, yaitu dapat mengerti tanpa bantuan benda-benda real, gambar ataupun diagramnya. Adapun ciri-ciri anak tahap operasi kongkrit adalah sebagai berikut: a. Sebaran umur dari sekitar 7 – 11 atau 12 tahun, kadang-kadang lebih. b. Pada permulaan tahap ini, egoismenya mulai berkurang. Anak mulai bersedia bermain dengan teman-temannya, tukar-menukar mainan, dan lain-lainnya. c. Dapat mengelompokkan benda-benda yang mempunyai beberapa karakteristik ke dalam himpunan dan himpunan bagian dengan karakteristik khusus dan dapat melihat beberapa karakteristik suatu benda secara serentak. d. Mampu berkecimpung dalam hubungan kompleks antara kelompokkelompok, dapat membalikkan operasi dan prosedur, serta dapat melihat ‘langkah (keadaan) antara’ dari suatu perubahan. Misalnya, keadaan antara ayahnya pergi dan pulang kantor, langkah antara matahari terbit dan terbenam, dan lain-lain. e. Jika pada tahap pre operasional anak belum memahami konsep kekekalan, tetapi pada tahap ini sudah anak sudah memahami konsep kekekalan. Konsep kekekalan bilangan (6 – 7 tahun); kekekalan materi (7 – 8 tahun); kekekalan panjang (7 – 8 tahun); kekekalan luas (8 – 9 tahun); dan konsep kekekalan berat (9 – 10 tahun). Bahkan pada akhir tahap ini, anak sudah dapat memahami konsep kekekalan isi (14 – 15 tahun kadang-kadang mulai pada usia 11 tahun). f. Mampu melihat sudut pandangan orang lain. Pada tahap ini, anak belajar membedakan antara perbuatan salah yang disengaja dengan kesalahan yang tidak disengaja. Bagi anak pada tahap ini kucing itu dinamai (disebut) kucing karena binatang itu adalah kucing, bukan karena pemberian nama oleh manusia. g. Dapat menyelesaikan soal seperti + 3 = 9 h. Dapat menggunakan tambang panjang 3, 4, dan 5 m dan bilangan Pythagoras lainnya untuk membuat segi tiga siku-siku. i. Anak-anak pada tahap ini senang membuat benda bentukan, memanipulasi benda, dan membuat alat mekanis.

38

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

j. Pada akhir tahap ini, anak dapat memberikan alasan deduktif dan induktif, tetapi masih banyak memandang contoh berurutan dari suatu prinsip umum sebagai hal-hal yang tidak berhubungan, misalnya dalam langkah-langkah terurut pada pembuktian induksi matematika. k. Berpikirnya lebih dinamis, berpikir ke depan – ke belakang dalam suatu struktur atau konteks. l. Masih mengalami kesulitan untuk menjelaskan peribahasa dan tidak mampu melihat arti yang tersembunyi. Tetapi ia mulai dapat memahami orang yang membadut (berjenaka). m. Anak jarang dapat membuat definisi deskriptif yang tepat, meskipun demikian ia dapat mengingat-ingat definisi buatan orang lain dan mengatakan kembali apa yang dihapalkannya. n. Masih kesulitan memahami abstraksi verbal. Anak mampu melakukan operasi kompleks seperti kebalikan, substitusi, gabungan dan irisan, dan pengurutan dari benda-benda kongkrit, tetapi mungkin tidak mampu menyelesaikan operasi-operasi ini dengan simbol-simbol verbal. Kekuatan penilaian (judgement) dan memberi alasan secara logis belum berkembang dengan baik dan anak jarang dapat menyelesaikan soal cerita yang berhubungan dengan hukum transitif. o. Tahap ini disebut tahap operasi kongkrit sebab anak-anak usia antara 7 – 12 tahun mengalami kesulitan dalam menerapkan proses intelektual formal ke simbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak. Meskipun demikian anak pada usia 12 tahun sangat mahir menggunakan kepandaiannya untuk memanipulasi benda-benda kongkrit. 4. Tahap operasi formal (formal operational stage)

Tahap operasi formal merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu, dan cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti. Adapun ciri-ciri tahap operasi formal adalah sebagai berikut: a. Berusia sekitar 11 – 12 tahun ke atas (disebut juga anak dewasa). b. Tidak memerlukan perantara operasi konkret lagi untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal. c. Dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus dan dapat memandang perbuatannya secara objektif dan merefleksikan proses berpikirnya. d. Mulai belajar merumuskan hipotesis (perkiraan) sebelum ia berbuat. Misalnya ia dapat memperkirakan apa yang akan terjadi pada waktu menggoreng bila ia memasukkan daging ayam berair ke dalam katel

39

Infinity e. f. g.

h.

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

berminyak yang sangat panas. Percobaan dilakukan untuk membuktikan hipotesisnya. Dapat merumuskan dalil/teori, menggeneralisasikan hipotesis, dan mengetes bermacam hipotesis. Dapat menghayati derajat kebaikan dan kesalahan dan dapat memandang definisi, aturan, dan dalil dalam konteks yang benar dan objektif. Dapat berpikir deduktif dan induktif, dapat memberikan alasan-alasan dari kombinasi pernyataan dengan menggunakan konjungsi, disjungsi, negasi, dan implikasi, serta memahami induksi matematika. Anak dapat memahami dan menggunakan konteks kompleks seperti permutasi, kombinasi, perbandingan (proposisi), korelasi dan probabilitas, dan dapat menggambarkan besar tak hingga dan kecil tak hingga

Operasi formal pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya benda-benda kongkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berpikir. Apakah situasinya disertai oleh benda-benda kongkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. C. Konsep Kekekalan Panjang

Menurut Piaget konsep kekekalan panjang belum dimiliki oleh anak-anak pada tahap pre operasi, akan tetapi sudah dimiliki oleh anak-anak pada tahap operasi kongkrit (Ruseffendi, 2006). Misalnya, percobaan pada dua utas tali yang pada mulanya sama panjang. Kemudian diubah bentuknya menjadi berbeda. Seperti terlihat pada gambar berikut:

Diubah menjadi

Diubah menjadi

Gambar 1. Keadaan tali sebelum dan sesudah diubah

Anak pada tahap ini juga berpendapat bahwa tali yang ada disebelah kiri itu masing-masing tidak sama panjang dengan satu tali disebelah kanannya meskipun ia menyaksikan diubahnya. Hal ini dikarenakan ia belum memahami konsep kekekalan panjang.

40

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 1 Desember 2011di RT 2 / RW 3, Kelurahan Geger Kalong, Kecamatan Sukasari Kota Bandung Propinsi Jawa Barat. Yang menjadi Subjek dalam penelitian hanya dua orang anak, Anak Pertama (A), Umur 8 tahun 6 bulan, Kelas III SD Sukarasa 34 Bandung. Anak Kedua (B), Umur 9 tahun 7 bulan, Kelas V SD Sukarasa 34 Bandung. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seutas tali, mistar dan sebuah gunting. Percobaan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Anak diperlihatkan pada seutas tali yang panjang. Kemudian tali tersebut dipotong dihadapan anak dengan ukuran yang sama. 2. Kemudian peneliti menanyakan pertanyaan pertama yaitu: Perhatikan kedua tali ini, apakah panjangnya sama atau berbeda?’. 3. Selanjutnya dari kedua tali tersebut, salah satunya dikencangkan (ditarik) sehingga menjadi lurus sedangkan yang lainnya dibiarkan saja. Hal ini dilakukan di depan anak. 4. Setelah tali yang satu dikencangkan, kemudian peneliti kembali menanyakan pertanyaan kedua yaitu: ‘Sekarang perhatikan kedua tali ini, apakah panjang kedua tali tersebut masih sama panjang atau sudah berbeda? Yang Mana?, Mengapa? Percobaan yang dilakukan terhadap kedua anak tersebut, dilaksanakan secara terpisah. Hal ini dimaksudkan agar jawaban yang diberikan tidak saling mempengaruhi. Metode yang digunakan adalah eksperimen dan dilanjutkan dengan wawancara kepada kedua anak tersebut. Untuk memperoleh data tambahan, kedua orang tua anak tersebut juga diwawancarai. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian

Hasil yang diperoleh dari percobaan yang telah dilakukan terhadap kedua anak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

41

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Anak Pertama (A)

Pada anak pertama (A) untuk pertanyaan pertama: “Apakah panjangnya sama atau berbeda?”, dia menjawab “Sama panjang”. Hal ini karena dia melihat waktu peneliti memotong kedua tali tersebut. Namun pada pertanyaan kedua “Sekarang perhatikan kedua tali ini, apakah kedua tali tersebut masih sama panjang?”,dia menjawab: “Tidak sama” sambil menunjuk mana yang lebih panjang. Anak Kedua (B)

Pada anak kedua (B) dilakukan prosedur yang sama namun pada waktu yang berbeda. Agar jawaban dari tiap anak tidak saling mempengaruhi. Untuk pertanyaan pertama: “Apakah panjangnya sama atau berbeda?”, dia menjawab “Sama panjang”. Pada pertanyaan kedua “Sekarang perhatikan kedua tali ini, apakah kedua tali tersebut masih sama panjang?”,dia menjawab: “Sama panjang” untuk menelusuri jawaban tersebut, peneliti melanjutkan dengan pertanyaan berikut: “Mengapa masih sama panjang?”Dia menjawab:“Karena waktu digunting sama panjang” Peneliti masih mengejar dengan pertanyaan lanjutan:“Tapi tali yang ini sudah dikencangkan, sedangkan yang satunya tidak”. Anak (B) menjawab: “Karena tidak digunting lagi maka panjangnya tetap sama” B. Pembahasan

Dalam menguraikan pembahasan ini, peneliti mengklasifikasi berdasarkan pertanyaan kemudian subjek penelitian B.1. Pertanyaan pertama: Apakah panjangnya sama atau berbeda?

Dalam menjawab pertanyaan ini, keduanya menjawab sama panjang. Hal ini karena mereka melihat waktu tali diukur dan dopotong. Tidak ada perbedaan jawaban diantara kedua anak tersebut. Hal ini sesuai dengan kenyataan sebenarnya, bahwa kedua tali sama panjang. B.2. Pertanyaan kedua: Apakah panjang kedua tali tersebut masih sama panjang?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, diperoleh jawaban yang berbeda dari kedua anak tersebut. Selanjutnya dalam menelusuri jawaban dari kedua anak tersebut, peneliti mengklasifikasi berdasarkan subjek penelitian. Anak Pertama (A) menjawab tidak sama panjang. Setelah ditanyakan kembali: Mengapa? Diperoleh jawaban bahwa anak ini hanya melihat letak dari ujung tali. Karena tali yang satu dikencangkan maka ujungnya lebih jauh dari tali yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa anak ini hanya melihat dari apa yang nampak, tanpa mengingat kondisi awal tali tersebut.

42

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Dari jawaban tersebut, dapat dikatakan bahwa anak belum memahami konsep kekekalan panjang. Padahal dilihat dari usianya 8 tahun 6 bulan, seharusnya sudah masuk dalam tahapan operasi kongkrit. Dimana pada tahap operasi kongkrit, anak seharusnya sudah memahami konsep kekekalan panjang. Hal ini berarti bahwa ternyata ada anak yang belum memahami konsep kekekalan panjang, meskipun dilihat dari usia, seharusnya sudah berada pada tahap operasi kongkrit. Anak Kedua (B) menjawab sama panjang. Setelah ditanyakan kembali: Mengapa? Diperoleh jawaban bahwa waktu digunting sama panjang. Jawaban yang diberikan menunjukkan bahwa dia melihat kodisi tali pada awalnya. Pertanyaan lanjutan hanya untuk melihat pemahan anak. Dari jawaban tersebut, diketahui anak sudah memahami konsep kekekalan panjang. Kalau dilihat usia dari Didis yaitu 9 tahun 7 bulan, maka dia sudah berada pada tahapan berpikir operasi kongkrit berarti dia sudah dapat memahami konsep kekekalan panjang. Hal ini berarti bahwa ternyata ada anak yang sudah memahami konsep kekekalan panjang sesuai dengan tingkatan usianya yang berada pada tahapan berpikir kongkrit. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kedua anak tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan kedua orang tuanya. Hasil wawancara dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1: Kondisi kedua subjek penelitian

Kondisi Anak Kondisi Kesehatan Sifat Menyelesaikan PR Peringkat di kelas

Subjek Pertama Sering sakit Pendiam Sering dibantu 22 dari 34

Subjek kedua Jarang sakit Terbuka Kerjakan sendiri 7 dari 32

Kesimpulan dan Saran A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, diketahui bahwa dari kedua anak tersebut yang merupakan subjek penelitian, hanya satu anak yang sudah memahami konsep kekekalan panjang. Jika dilihat usia kedua anak tersebut yaitu 8 tahun 6 bulan dan 9 tahun 7 bulan, seharusnya berdasarkan tahapan perkembangan piaget bahwa anak mulai memahami konsep kekekalan panjang pada usia 7 – 8 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada anak yang sesuai dengan usianya berada pada tahapan operasi kongkrit ternyata belum memahami konsep kekekalan panjang.

43

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Disisi yang lain, berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua kedua anak tersebut, diperoleh data bahwa kedua anak tersebut memiliki perbedaan pada kondiri kesehatan, kebiasaan belajar, sifat, maupun peringkat dalam kelas. Pertanyaannya adalah apakah faktor-faktor ini berpengaruh? Hal ini dibutuhkan penelitian lanjutan. B. Saran

Untuk guru, agar dalam mengajar dapat menyesuaikan dengan tahapan perkembangan anak, sehingga kemampuan siswa kita tidak kalah dengan kemampuan siswa diluar negeri. Untuk orang tua, agar selalu mengtrontrol belajar anak di rumah. Karena pendidikan juga merupakan tanggung jawab dari orang tua.Untuk peneliti, penelitian ini dapat ditingkatkan pada tingkat lebih besar lagi. Baik tingkat sekolah, kabupaten, propinsi, bahkan secara nasional. Daftar Pustaka DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; dan Nourie, Sarah Singer. (2000). Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa. Holil, Anwar. (2007) Model Pembelajaran Kooperatif. Tersedia: http://www.blogger.com /feeds/posts [16 Nopember 2011] Hudojo Herman. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidakan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan LPTK. Joko Sulianto Joko, (2010) Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika. Tersedia: http://www.infodiknas.com. (22 Nopember 2011) Ruseffendi, E.T. (1990). Pengajaran Matematika Modern dan masa Kini untuk Guru dan PGSD D2 (Seri kedua). Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Senduk, A.G. (1985). Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget. Bandung: FPS IKIP Bandung. Soejadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktoran Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Sujono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Suparno, P. (2003). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. Wenger, W. (2004). Beyond Teaching & Learning Memadukan Quantum Teaching & Learning. Bandung: Nuansa.

44

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS-MASALAH YANG MENGHADIRKAN KECERDASAN EMOSIONAL Oleh:

Ibrahim Dosen Prodi. Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga [email protected] Abstrak Pembelajaran berbasis-masalah dalam konteks pembelajaran matematika adalah suatu strategi pembelajaran matematika di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah matematis sedemikian hingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan matematis oleh dirinya sendiri. Berkaitan dengan usaha mencapai tujuan pembelajaran matematika melalui pembelajaran berbasis-masalah, tentunya menuntut siswa untuk menggunakan potensinya secara optimal. Sementara itu, untuk menciptakan proses pembelajaran matematika dengan penggunaan potensi siswa secara optimal, maka kecerdasan emosional yang dimiliki siswa perlu menjadi perhatian. Pertimbangan emosional dalam pembelajaran matematika secara istimewa mungkin akan sedikit banyak membantu dalam menerima pelajaran matematika, di tengah anggapan yang masih diyakini oleh sebagian besar siswa, yaitu matematika merupakan mata pelajaran yang sulit. Dengan demikian, kehadiran kecerdasan emosional dapat dipandang sebagai aspek yang perlu dipertimbangkan, bahkan dapat dijadikan dasar untuk mengikuti proses pembelajaran berbasis-masalah dengan baik sedemikian hingga tercapainya hasil pembelajaran matematika secara utuh. Kata kunci : pembelajaran berbasis-masalah dan kecerdasan emosional A. Pendahuluan

Pernyataan yang dinyatakan oleh Mettes dalam salah satu tulisannya di tahun 1979, yaitu bahwa dalam belajar matematika siswa hanya mencontoh dan mencatat cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh gurunya, ternyata masih dapat dikatakan relevan dengan cara belajar matematika di kelas-kelas sekolah saat ini. Jika para siswa diberi soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka kebingungan untuk menyelesaikannya. Hal ini, karena siswa tidak tahu harus memulai dari mana mereka bekerja untuk menyelesaikan soal. Demikian juga pernyataan Crockcroft dalam salah satu tulisannya di tahun 1981, yaitu matematika merupakan pelajaran yang sulit untuk diajarkan dan dipelajari, ternyata masih dapat dikatakan relevan dengan keadaan saat ini. Kesulitan ini terjadi karena matematika diajarkan lebih ditekankan pada anggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang bersifat abstrak, deduktif, dan pengetahuan yang sudah jadi. Keadaan ini bertambah buruk dengan tidak sedikit praktik-praktik pembelajaran matematika di dalam kelas yang kurang komunikatif, monoton dan mengabaikan emosional siswa, serta terkesan hanya menggunakan bahasa-bahasa angka dan simbol semata. Dengan demikian,

45

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

sesungguhnya permasalahan-permasalahan yang muncul selama lebih dari dua dekade tidak jauh berbeda. Fakta-fakta yang diutarakan di atas tentu saja kurang mendukung terhadap upaya pencapaian tujuan matematika diajarakan di sekolah untuk saat ini dan masa yang akan datang. Terlebih, apabila fakta ini dikaitkan dengan pencapaian visi pendidikan matematika yang mempunyai dua arah pengembangan, yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang (Sumarmo, 2005). Visi pertama untuk kebutuhan masa kini, yaitu pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematis dan ilmu pengetahuan lainnya. Visi kedua untuk kebutuhan masa yang akan datang atau mengarah ke masa depan, yaitu pembelajaran matematika mengarah pada kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta diperlukan untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah. Fakta-fakta yang ada saat ini memberikan petunjuk untuk segera memperbaiki kelemahan-kelamahan dari proses pembelajaran matematika di kelas. Karena, apabila kelemahan semacam ini tidak diantisipasi dan tidak diperbaiki maka akan selalu terjadi dan akan menghambat pada pencapaian tujuan pembelajaran matematika yang lebih jauh. Untuk itu, diperlukan alternatif pembelajaran matematika yang berkualitas, yaitu pembelajaran matematika yang memberikan peluang lebih banyak pada siswa untuk mengembangkan potensinya sebagai bekal di kehidupan saat ini dan kehidupan yang akan datang. Salah satu alternatif pembelajaran yang memberikan peluang tercapainya tujuan pembelajaran matematika adalah pembelajaran berbasis-masalah (selanjutnya disingkat PBM). Pembelajaran berbasis-masalah (Problem-Based Learning) adalah suatu pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah (Savery dan Duffy, 1995, h. 8; Tan, 2004, h. 7; Weissinger, 2004, h. 46). Dalam konteks pembelajaran matematika Shoenfeld dan Boaler (Roh, 2003, h. 1) menyatakan bahwa PBM adalah suatu strategi pembelajaran matematika di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah serta memberikan peluang lebih banyak pada siswa untuk berpikir kritis, kreatif, bernalar, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dalam PBM siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru dengan berbekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimiliki siswa. Sebagaimana dinyatakan di bagian depan bahwa matematika adalah suatu mata pelajaran yang ada di sekolah, serta sampai saat ini tidak jarang dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit bagi pada umumnya siswa. Kesulitan siswa

46

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

dalam mempelajari matematika mungkin saja membuat siswa menjadi tidak senang terhadap matematika, sebagaimana yang dinyatakan Ruseffendi (1988, h. 15) bahwa matematika bagi siswa pada umumnya merupakan mata pelajaran yang dibenci atau tidak disenangi. Kebencian atau ketidaksenangan ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian Martin tahun 2003 pada siswa-siswa SLTP di Indonesia yang ber-IQ tinggi, yaitu di atas 120, mengungkapkan bahwa sebagian besar kegagalan siswa dalam mata pelajaran matematika di sekolah bukan disebabkan pada IQ mereka tetapi pada pengendalian emosionalnya (Martin, 2003). Berkaitan dengan usaha mencapai tujuan-tujuan pembelajaran matematika melalui pembelajaran berbasis-masalah, tentunya menuntut siswa untuk menggunakan potensinya secara optimal. Sementara itu, untuk menciptakan proses pembelajaran dengan penggunaan potensi siswa secara optimal, Shapiro (2003) menyatakan bahwa kecerdasan emosional yang dimiliki siswa perlu menjadi perhatian. Pertimbangan emosional dalam pembelajaran matematika secara istimewa mungkin akan sedikit banyak membantu dalam menerima pelajaran matematika. Dengan demikian, kehadiran kecerdasan emosional dapat dipandang sebagai aspek yang perlu dipertimbangkan, bahkan dapat dijadikan dasar untuk mengikuti proses pembelajaran berbasis-masalah dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi atau kajian yang berfokus pada pembelajaran berbasis-masalah yang menghadirkan kecerdasan emosional, dipandang sangat urgen dan utama untuk dilakukan. Dalam hubungan ini, maka penulis mencoba untuk mengkaji yang berkaitan dengan PBM dan kecerdasan emosional. B. Pembelajaran Berbasis-Masalah

Selama hampir dua dekade sejak penerbitan dokumen asli Standar NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) pada tahun 1989, bukti-bukti yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan sarana yang diduga kuat dan efektif untuk belajar, terus menumpuk. NCTM (2000) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semua proses belajar matematika, sehingga seharusnya tidak dijadikan sebagai bagian yang terpisah dari program pengajaran matematika. Jadi, para siswa memecahkan masalah bukan untuk menerapkan matematika, tetapi untuk belajar matematika yang baru. Saat siswa melibatkan diri dalam tugas-tugas berbasis-masalah yang dipilih dengan baik dan memfokuskan pada metode-metode penyelesaiannya, maka

47

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

yang menjadi hasilnya adalah pemahaman baru tentang matematika yang disisipkan di dalam masalah tersebut. Ketika siswa sedang aktif mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan metode yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, atau menilai dan mengkritisi pemikiran temannya, maka mereka secara optimal sedang melibatkan diri dalam berpikir reflektif tentang ide-ide yang terkait. Pembelajaran berbasis-masalah (Problem-Based Learning) adalah suatu pembelajaran yang di awali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah (Savery dan Duffy, 1995, h. 8; Tan, 2004, h. 7; Weissinger, 2004, h. 46). PBM lebih menekankan pada pemecahan masalah autentik seperti masalah yang tejadi dalam kehidupan sehari-hari (Tan, 2004). Dalam konteks pembelajaran matematika Shoenfeld dan Boaler (Roh, 2003, h. 1) menyatakan bahwa PBM adalah suatu strategi pembelajaran matematika di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah serta memberikan peluang lebih banyak pada siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan bekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, dalam PBM siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru. Melalui PBM ini siswa diharapkan akan berfokus pada kegiatan memecahkan masalah. Dalam kegiatan memecahkan masalah tersebut siswa memiliki kesempatan yang luas untuk dapat bertukar ide atau pendapat dengan siswa lainnya sehingga memperoleh pemahaman baru tentang matematika yang disisipkan dalam masalah tersebut. Kemudian dalam kegiatan memecahkan masalah tersebut siswa memiliki kesempatan yang luas untuk dapat mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan metode mana yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, menilai dan mengkritisi pemikiran temannya dan menciptakan pemikiran berbeda sehingga secara optimal mereka melibatkan diri dalam proses pembelajaran matematika. Dengan demikian, jelas bahwa melalui PBM siswa dikondisikan atau memiliki peluang besar beraktivitas untuk: (1) membangun pengetahuan matematis baru; (2) mencari, menemukan, dan mengaplikasikan dalam kaitannya dengan materi lain di dalam matematika maupun dalam bidang lain; (3) mencari dan menemukan berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi serta menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah; (4) mengamati, mengkritisi, dan mengembangkan proses penyelesaian masalah; (5) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (6) menunjukkan kemampuan dalam membuat, menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah; dan (7) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun

48

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Apabila siswa melakukan aktivitas-aktivitas tersebut maka diduga mereka akan memiliki nilai-nilai yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika, antara lain: berpikir logis, kritis, dan kreatif, teliti, tekun, kerja keras, rasa ingin tahu, pantang menyerah, menghargai proses, terbuka, dan disiplin. C. Masalah Matematis dalam Pembelajaran Berbasis-Masalah

Dalam melaksanakan PBM, guru harus dapat mengelola kelas serta mengembangkan berbagai permasalahan-permasalahan yang mengarah pada suatu konsep matematika yang akan disampaikan. Permasalahan itu bisa datang dari siswa secara individual atau klasikal, namun demikian belum tentu siswa dapat mengajukan masalah yang baik apalagi yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Jadi, di sini guru harus menyiapkan sejumlah permasalahan yang tepat. Menurut Ibrahim (20011, h. 331) masalah yang digunakan dalam PBM sebaiknya: (1) disesuaikan dengan kondisi siswa, artinya masalah harus didasarkan pada pemahaman terakhir yang dimiliki siswa; (2) dikaitkan dengan matematika yang akan dipelajari siswa, artinya dalam memecahkan masalah atau melaksanakan kegiatan, siswa harus diarahkan untuk memahami matematika yang terkait; (3) memiliki jawaban/penyelesain yang memerlukan penjelasan, artinya penyelasain itu menuntut siswa memberikan alasan secukupnya untuk pembenaran atas jawabannya; (4) menggairahkan dan menantang, artinya masalah dapat diselesaikan dengan bantuan guru di awal penyelesaian dan berangsur-angsur dihentikan bantuannya; (5) tidak terlalu sulit, artinya hindari pemberian masalah yang tidak dapat diselesaikan siswa sekalipun diberikan bantuan yang memadai; dan (6) tidak membosankan, artinya hindari pemberian masalah yang dapat diselesaikan tanpa bantuan sama sekali. Ciri-ciri masalah yang digunakan dalam PBM menurut Ibrahim yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa masalah tersebut dikembangkan agar siswa dapat terlibat berpikir serta mengembangkan matematika yang perlu mereka pelajari dan kuasai. D. Fase-fase dalam Pembelajaran Berbasis-Masalah

Guru-guru di sekolah pada umumnya menggunakan sebagian kecil waktunya untuk menjelaskan atau meninjau ulang ide-ide dan kemudian melanjutkan ke tahap bekerja dan terjebak ditahapan ini, yaitu para siswa mengerjakan latihan soal. Pembelajaran yang diatur dengan pola ini membuat siswa memfokuskan diri pada cara-cara untuk menyelesaikan latihan soal. Guru berkeliling menemui setiap anak untuk menjelaskan kembali yang diperlukan. Hal ini

49

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

sangat berbeda dengan pembelajaran yang didasarkan pada sebuah masalah yang merupakan ciri dari PBM yang terpusat pada siswa. Menurut Tsuruda (Walle, 2005) bahwa ada tiga fase dalam PBM, yaitu sebagai berikut. 1. Fase sebelum pembelajaran. Ada tiga agenda yang terkait dengan fase sebelum pembelajaran, yaitu: 1) memastikan bahwa para siswa memahami masalah sehingga guru tidak perlu menjelaskan lagi ke setiap siswa; 2) menjelaskan hal-hal yang diharapkan dari siswa sebelum mereka menyelesaikan masalah; dan 3) menyiapkan mental para siswa untuk menyelesaikan masalah dan pikirkan pengetahuan yang telah siswa miliki yang akan berguna untuk membantu memecahakan masalah. 2. Fase selama pembelajaran. Meskipun pada fase ini siswa bekerja sendiri atau dengan pasangannya, terdapat agenda yang jelas yang dapat guru lakukan, yaitu: 1) memberikan siswa kesempatan untuk bekerja tanpa petunjuk dari guru atau hindari bantuan di awal kerja siswa; 2) menggunakan waktu ini untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan siswa berpikir, ide-ide apa yang mereka gunakan untuk memecahkan masalah; 3) memberikan bantuan pada saat-saat tertentu yang sesuai, tetapi hanya didasarkan pada ide siswa dan cara siswa berpikir, namun dengan tidak memberitahukan metode pemecahannya; dan 4) memberikan kegiatan yang bermanfaat bagi siswa yang dapat memecahkan masalah lebih awal. 3. Fase sesudah pembelajaran. Dalam fase sesudah pembelajaran, siswa-siswa akan bekerja sebagai komunitas belajar, berdiskusi, menguji, dan menghadapi berbagai macam penyelesaian yang diperoleh siswa. Di sinilah kebanyakan siswa mengungkapkan dan memikirkan secara individual dan secara bersama-sama ide-ide yang dengannya mereka telah bekerja. Kesalahan yang mudah terjadi adalah gagalnya merencanakan waktu yang cukup untuk diskusi atau menggunakan fase selama pembelajaran yang terlalu panjang. Agenda untuk fase setelah pembelajaran dapat dengan mudah untuk dikatakan tetapi sulit untuk dicapai. Agenda tersebut, yaitu: 1) melibatkan siswa dalam diskusi yang produktif dengan mengusahakan mereka bekerja sama sebagai sebuah komunitas belajar; 2) menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui cara siswa berpikir dan cara mereka mendekati permasalahan; dan 3) membuat ringkasan ide-ide pokok dan mengidentifikasi masalah-masalah untuk kegiatan selanjutnya. E. Kecerdasan Emosional

Secara umum bahwa proses pembelajaran di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Tidak sedikit orang yang berpendapat, untuk memperkirakan berhasil atau gagal dalam belajar di sekolah menengah atau di perguruan tinggi bagi seseorang, menggunakan Intelligence Quotient

50

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

(IQ) sebagai peramalnya. Alasannya, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Kenyataannya, dalam proses pembelajaran di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satusatunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2005, h. 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Intellegence (EI). Secara umum kecerdasan emosinal mempunyai peran besar dalam proses pembelajaran bagi siswa (Shapiro, 2003, h. 5). Demikian juga dalam pencapaian kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa yang menggunakan PBM, kecerdasan emosional memiliki peran yang tidak sedikit, terlebih dalam rangka meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hakikatnya, kecerdasan emosional menjadi pendukung kecerdasan intelektual dalam mencapai keberhasilan belajar. Kesadaran pentingnya kecerdasan emosional dalam pembelajaran bermula sejak awal abad ke-20. Carl Rogers, 1951; Abraham Maslow, Eysenck, dan Jung, 1923; Perkin, 1974; McGaugh, 1998; MacLean, 1990; dan Goleman, 1996 (Suharnan, 2005) adalah pakar-pakar dalam bidang psikologi pendidikan yang banyak menyumbang dalam perkembangan kecerdasan emosional. Mereka menuliskan peran penting dari emosi dalam pembelajaran dengan menggunakan istilah dan pendekatan yang berlainan. Penelitian demi penelitian pun telah dilakukan sehingga beberapa peneliti semakin meyakini tentang peranannya dalam pembelajaran. Dengan demikian, kecerdasan emosional dalam pembelajaran bukan perkara yang baru dalam konteks pembelajaran serta diyakini berdampak besar pada hasil pembelajaran (Yusof, 2004, h. 218). Sementara itu, istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John D. Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Santrock, 2007, h. 146). Kemudian, emotional intelligence (selanjutnya disingkat EI) ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman melalui bukunya yang best seller berjudul Emotional Intelligence.

51

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Sebenarnya, kecerdasan emosional ini bukan konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Salovey, Mayer, dan Goleman, ada sejumlah nama seperti: (1) E. L. Thorndike di tahun 1920 yang mengungkap tentang social intelligence; (2) L. L. Thurston di tahun 1928 menelaah tentang multiple intelligences khususnya mengenai the nature of intelligence; (3) Robert Leeper di tahun 1948 yang menelaah tentang emosi sebagai sumber informasi; (4) Reuven Bar-On di tahun 1983 menulis disertasinya mengenai emotional intelligence; dan (5) Howard Gardner di tahun 1984 mempublikasikan hasil studinya tentang multiple intelligences. Uniknya, kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak dan remaja sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional (Goleman, 1996). Kecerdasan emosional bukanlah lawan kecerdasan intelektual atau kemampuan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun praktis. Selain itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 2003, h. 10). Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 1996, h. 180). Sementara itu, Salovey dan Mayer di tahun 1990 (Salovey, 2005, h. 3) menyatakan : Maybe the idea of emotional intelligence is not a paradox, but rather, a sensible idea. In an early paper we published, we defined it as the ability to monitor your own and other people's feelings, to discriminate among them that is to tell the difference among them, and to use this information to guide thinking, and guide behavior.

Gardner (Goleman, 1996, h. 50 – 53, Santrock, 2007, h. 146) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Dua varietas utama dari kecerdasan ini oleh Gardner dinamakan kecerdasan pribadi, yang oleh Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional. Selanjutnya, Gardner (Goleman, 1996, h. 50–53; Santrock, 2007, 146–147) menyebutkan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari: (1) kecerdasan antar pribadi (interpersonal) yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, hal yang memotivasi mereka, cara mereka bekerja, cara bekerja bahu membahu dengan kecerdasan, dan (2) kecerdasan intra pribadi (intrapersonal) adalah

52

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri, kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 1996, h. 53). Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 1996, h.57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Menurut Goleman (1996, h. 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam studi literatur ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Goleman mengutip Salovey (1996, h. 58 – 59) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu: a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2000, h. 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu

53

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan diri (Goleman, 1996, h. 77 – 78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (1996, h. 57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non-verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beragul, dan lebih peka (Goleman, 1996, h. 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 1996, h. 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan membaca perasaan orang lain. e. Membina Hubungan

54

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 1996, h. 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu yang kurang bisa membina hubungan dengan orang lain, sulit untuk mendapatkan yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2000, h. 59). Ramah tamah, baik hati, hormat, dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif untuk mengidentifikasi siswa yang mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. F. Kehadiran Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran Matematika BerbasisMasalah

Pembelajaran yang holistik, yaitu pembelajaran yang tidak hanya memperhatikan aspek kognitif, namun juga memperhatikan aspek lainnya seperti kecerdasan emosional. Berkaitan dengan hal ini, dalam usaha pencapaian harapan-harapan mengenai hasil pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM pun, aspek kecerdasan emosional perlu diperhatikan. Hal ini, karena aspek kecerdasan emosional dipandang sebagai aspek yang dapat dijadikan dasar untuk mengikuti proses pembelajaran berbasis-masalah berjalan secara baik. Pada PBM siswa diberikan peluang lebih banyak untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan bekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, siswa di dalam PBM dituntut untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru. Namun demikian, kegiatan memecahkan masalah tersebut tidak mudah begitu saja berjalan secara lancar, jika guru maupun siswa tidak memperhatikan dan mempertimbangkan aspek kecerdasan emosional. Guru yang mengesampingkan aspek kecerdasan emosional, seperti: mudah melontarkan kalimat yang menyinggung siswa; terlalu menekan siswa; menunjukkan sikap yang kesal; dan tidak peduli terhadap kesulitan siswa; akan menghambat siswa menjadi pemecah masalah yang handal (Shapiro, 2003, h. 143). Menurut Shapiro (2003, h. 148 – 149) perilaku guru yang mengesampingkan aspek kecerdasan emosional itu dapat membuat suasana yang tidak mendukung

55

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

kegiatan memecahkan masalah dan tidak membantu perkembangan kecerdasan emosional siswa. Dengan demikian kecerdasan emosional perlu diperhatikan, baik pada diri guru maupun siswa. Setiap guru yang menggunakan PBM sepantasnya menyadari bahwa pada setiap fase pembelajaran perlu memperhatikan aspek kecerdasan emosional dalam setiap kegiatannya. Pada saat memberikan masalah matematis di fase pertama pembelajaran, guru harus selalu yakin bahwa setiap siswa memahami masalah sebelum menyelesaikannya. Yang harus disadari oleh guru bahwa pandangan siswa terhadap masalah mungkin berbeda dengan pandangan guru. Menyelami emosi siswa dalam memahami masalah yang diberikan merupakan hal perlu dilakukan guru, sehingga dapat mengarahkan atau menyadarkan siswa untuk mengenali emosinya dalam mengahadapi masalah tersebut. Kemampuan siswa untuk mengenali emosinya merupakan hal yang penting, karena dengan itu siswa dapat mengendalikan emosinya secara baik sehingga dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik (Sunandar, 2008, h. 718; Shapiro, 2003, h. 167). Dalam kaiatan ini, siswa akan dapat berkonsentrasi dalam berpikir dengan lebih baik untuk memahami masalah yang diberikan, sehingga dapat menyatakan kembali masalah dengan bahasanya sendiri tanpa merasa terpaksa (Goleman, 1996, h. 271). Selanjutnya, guru yang menggunakan PBM sepantasnya memandu para siswa untuk dapat merencanakan kegiatan yang harus mereka lakukan, serta mempersiapkan untuk diskusi pada fase pembelajaran ketiga. Guru memandu siswa untuk menuliskan penjelasan secukupnya dari jawaban yang mereka ajukan sehingga mereka siap untuk berdiskusi pada saatnya nanti. Namun, tidak menuntup kemungkinan ketika siswa sudah memahami masalah yang diberikan, kemudian mereka tidak segera merencanakan dan mempersiapkan untuk kegiatan selanjutnya. Memotivasi siswa untuk memunculkan motivasi dalam dirinya menjadi bagian yang penting pada saat siswa bekerja. Karena, motivasi diri yang dimiliki oleh para siswa mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan stabilitas emosi yang dimiliki oleh siswa tersebut (Sunandar, 2008, h. 718, Martin, 2005, h. 55; ). Dalam kaitan ini, memberikan arahan sebagai kegiatan memotivasi siswa, yaitu arahan agar siswa dapat memandang penjelasan yang cukup merupakan hal yang penting serta bagian yang tak dapat dipisahkan dari setiap penyelesaian. Dengan demikian siswa dapat membuat rencana kegiatan selanjutnya serta persiapan untuk diskusi pada fase pembelajaran ketiga secara optimal. PBM merupakan suatu pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah. Dalam hal ini, sangat mungkin ada siswa yang tidak siap menghadapi masalah yang diberikan guru, sehingga tidak heran apabila kemudian siswa tersebut menjadi cemas, bersikap terlalu tegang untuk

56

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

konsentrasi, tidak tenang, dan sebagainya (Goleman, 1996, h. 329 – 330). Pengelolaan emosi menjadi bagian yang penting pada bagian ini, karena dengan emosi yang terkelola secara baik, siswa tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam berinteraksi dengan masalah yang dihadapinya (Sunandar, 2008, h. 718; Willis, 2010, h. 83). Dalam kaiatan ini, guru memberikan stimulus untuk memanggil kembali pengetahuan awal siswa terkait dengan masalah yang dihadapinya, sehingga meraka merasa punya bekal untuk meyelesaikan masalah tersebut dan secara simultan emosi siswa pun terkelola dengan baik. Jadi, dalam hal ini guru bertindaklah seperti sistem pendukung, yaitu menyediakan bantuan seperlunya sedemikian hingga emosi siswa selalu stabil (Shapiro, 2003, h. 172). Pada fase kedua ini, apabila para siswa sudah siap untuk melakukan kegiatan memecahkan masalah maka tetaplah memotivasi mereka untuk memulai kegiatannya. Sebaiknya guru dalam hal ini dapat mengkondisikan agar siswa bekerja dengan pengetahuan awal dan keyakinan mereka sendiri. Dengan kata lain, hindari campur tangan guru yang terlalu banyak. Penilaian guru yang terlalu rendah terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dapat mengakibatkan mereka menjadi kurang percaya diri dalam memecahkan masalah (Shapiro, 2003). Guru harus dapat menahan diri untuk memberikan bantuan, sehingga mereka tetap berjuang menyelesaikan masalah yang diberikan. Ungkapan guru berkenaan dengan membolehkannya siswa untuk melakukan kesalahan, sangat penting. Karena hal ini akan membuat mereka terlepas dari cemas yang berlebihan (Shapiro, 2003, h. 166 – 169). Sementara itu, di sisi lain Boaler & Humphies (Walle, 2007, h. 46) menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat oleh siswa akan menguntungkan dan memperkaya dalam diskusi. Dengan kata lain, guru harus menerima siswa secara positif ketika ada siswa yang merespon masalah yang diberikan guru jauh dari yang seharusnya. Dan sebaiknya berawal dari respon siswa itulah, guru bisa mengarahkannya pada pengetahuan yang diharapkan dapat dibentuk siswa. Dalam fase kedua pada PBM, guru dituntut juga memiliki kecerdasan emosional yang memadai. Biasanya guru berkeliling memantau siswa yang sedang bekerja, kemudian sesekali guru menghampiri siswa. Di sini satu kesempatan guru untuk mendengarkan mereka dengan memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku siswa, dapat menempatkan diri dalam situasi siswa, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Selain itu, guru berusaha menciptakan keterbukaan (openness) dan kehangatan (warmness). Dalam suasana seperti ini, siswa akan merasa aman untuk mengingat dan menggunakan pelajaran/pengetahuan sebelumnya, serta dapat

57

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya (De Porter, 2000). Diskusi di antara siswa merupakan kegiatan yang ada pada fase kedua dalam PBM. Pada kegiatan ini bagi siswa maupun guru memerlukan kemampuan mengenali emosi siswa lain dan kemampuan membina hubungan dengan baik dan efektif dengan siswa lain. Menurut Sunandar (2008, h. 718) hubungan baik sesama teman dengan bisa memahami kondisi dan keberadaan teman secara apa adanya menjadikan modal yang besar untuk berkolaborasi dalam penyelesaian masalah matematis yang diberikan guru. Lebih lanjut Sunandar (2008, h. 718) menyatakan bahwa membina hubungan baik dan efektif dengan siapapun serta mengenali emosinya merupakan salah satu pintu kesuksesan belajar, karena kesulitan apapun yang dialami oleh seorang siswa bila hubungannya baik dengan semua orang, akan mudah mendapatkan jalan penyelesaian. Dalam hal ini guru memfasilitasi jalannya diskusi secara hati-hati sehingga tidak ada siswa yang merasa tertekan, dianggap bodoh, dan hal lain yang membuat siswa menjadi tidak empati pada siswa lain serta memperburuk hubungan antar siswa. Pada akhir fase pembelajaran dalam PBM, siswa bekerja dalam komunitas belajar. Pada fase inilah banyak hal yang dapat dipelajari siswa maupun guru. Para siswa dapat bertukar ide atau pendapat dengan siswa lainnya dalam proses menyelesaikan masalah, sehingga memperoleh pemahaman baru tentang matematika yang disisipkan pada masalah tersebut. Selain itu, para siswa mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan metode mana yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, menilai, mengkritisi pemikiran temannya, dan mengkreasi solusi dari masalah. Melalui aktivitas ini secara optimal mereka melibatkan diri dalam proses pembelajaran matematika. Perasaan nyaman untuk mengambil resiko, mengungkapkan ide, pendapat, dan alasan matematis, merupakan hal yang utama dalam fase ini. Namun demikian, dengan proses yang terus menerus seperti ini, kecerdasan emosional guru dan siswa dituntut terlibat secara intensif. Karena, tanpa kehadiran kecerdasan emosional guru maupun siswa, kegiatan atau situasi itu tidak secara lancar terbentuk bahkan mungkin akan menimbulkan stress berlebihan di dalam kelas. Sementara itu menurut Kato dan McEwen (Willis, 2010, h. 83) apabila stres terjadi di dalam kelas secara berlebihan akan menyebabkan gangguan pada memori jangka pendek dan jangka panjang serta menurunnya kualitas kinerja siswa. Lebih jauh, pada fase akhir dalam PBM, guru mengkondisikan suasana siswa tidak merasa terlalu dinilai oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap siswa dengan berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri (Ali dan Asrori, 2008, h. 56). Walaupun

58

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan siswa, melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap kompetitif secara sehat. Dengan demikian, pada saat siswa mengungkapkan dan memikirkan secara individual dan secara bersama-sama ide-ide yang telah mereka kerjakan, guru harus berhati-hati dalam merespon (menilai) ide atau solusi yang disampaikan siswa. Pada akhir diskusi dalam fase akhir PBM, dalam membuat ringkasan guru sebaiknya menggunakan istilah-istilah yang digunakan siswa kemudian secara hati-hati memperkenalkan istilah-istilah formal. Selain itu, hindari paksaan pada siswa untuk menggunakan suatu ide atau cara penyelesaian guna meyelesaikan permasalahan serupa di masa yang akan datang. Hal ini akan membuat siswa lebih nyaman dalam mengungkapkan ide atau cara penyelesaian di masa yang akan datang, sehingga keyakinan diri, keinginan melibatkan diri pada kegiatan berikutnya, keinginan untuk berhasil, akan bertambah baik (Goleman, 1996, h. 274). Menurut Goleman, 1996; Sunandar, 2008, dan Shapiro, 2003 apabila unsurunsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional ini dilibatkan dengan baik selama proses pembelajaran maka membantu siswa dalam mempersiapkan menghadapi masalah belajar serta meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, kehadiran kecerdasan emosional pada PBM diduga akan memacu sikap terbuka siswa dalam bertukar pikiran dan meningkatkan minat terhadap tantangan dari suatu masalah, serta diduga siswa tidak akan mudah putus asa dalam proses memecahakan masalah. Selain itu, pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kecerdasan emosional yang diperhatikan dan diberi penekanan yang cukup pada proses pembelajaran, sesunggunya telah membina kecerdasan emosional atau bahkan mengembangkan kecerdasan emosional dari siswa itu sendiri (De Porter, 2000; Wilkinson, 2002; Shapiro, 2003; Goleman, 1996; Ali dan Asrori, 2008; Jensen, 2008). Pada akhir bagian ini, yang perlu diperhatikan dan tidak terbantahkan bahwa guru merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap proses dan hasil pembelajaran siswa di kelas. Demikian juga pada pembelajaran matematika berbasis-masalah, guru dituntut memiliki kemampuan-kemampuan yang akomodatif. Hal ini untuk mendukung atau memandu kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa mulai dari fase pertama pembelajaran hingga fase akhir pembelajaran. Keperluan untuk memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dari seorang guru menjadi hal yang utama. Hal ini berdasarkan pada penelitian-penelitian para ahli kecerdasan emosional, yang menyatakan bahwa untuk

59

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

mengembangkan atau melibatkan kecerdasan emosional dalam pola asuh anak harus diawali dari keteladan kecerdasan emosional yang baik dari orang tuanya (Syah, 1999, h. 138; Shapiro, 2003, h. 208, Darwis, 2006, h. 13). G. Penutup

Dihadirkannya dimensi-dimensi dari kecerdasan emosional secara istimewa selama proses pembelajaran matematika berbasis-masalah dapat membantu siswa dalam mempersiapkan menghadapi masalah-masalah matematis yang diberikan. Kehadiran kecerdasan emosional pada pembelajaran matematika berbasis-masalah akan mendukung atau memandu kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa mulai dari fase pertama pembelajaran hingga fase akhir pembelajaran, sehingga diperolehnya hasil pembelajaran matematika secara utuh. Namun demikian, kecerdasan emosional yang tinggi dari seorang guru menjadi hal yang utama atau syarat perlu bagi berjalannya proses pembelajaran matematika berbasis-masalah yang menghadirkan kecerdasan emosional. H. Daftar Pustaka Ali, M. dan Asrori, M. (2008). Psikologi remaja. Jakarta: Bumi Aksara. Crockcroft, W. H. (1981). Mathematics count: report into the teaching of mathematics in school under the chairmanship of W. H. Crockcroft. London, UK: HMSO. Darwis, M. (2006). Model pembelajaran matematika dengan mempertimbangkan kecerdasan emosional. Disertasi pada PPS UNESA. Surabaya: Tidak diterbitkan. De Porter, B. (2000). Quantum teaching. Bandung: Kaifa. Dryden, G. dan Vos, J. (2000). The learning revolution (Revolusi cara belajar). Jakarta: PT. Kaifa. Goleman, D. (1996). Emotional intelligence. Jakarta: Gramedia. Goleman, D. (2000). Working with emotional intelligence. Jakarta: Gramedia. Ibrahim (2011). Peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional melalui pembelajaran berbasismasalah pada siswa SMA. Disertasi pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Jensen, E. (2008). Brain-base learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. LeDoux, J. (2010). The emotional brain. Yogyakarta: Pustaka Baca. Martin, D. A., (2003). Emotional quality management. Jakarta: Arga. Martin, D. A., (2005). Smart emotion. Jakarta: Gramedia. Mattes, C. T. W. (1979). Teaching and learning problem solving in science a general strategy. International Journal of Science Education, 57 (3), 882 - 885. National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standarts for school mathematics. Reston, VA: NCTM. Roh, K. H. (2003). Problem-based learning in mathematics. Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental Education. [Online]. Available: http://www.vtaide.com/png/ERIC/PBL-in-Math.htm [7 September 2010].

60

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Salovey, P. (2005). Emotional intelligence. Electonik Journal: [Online]. Available: http://kms.jpn.org/keynoteaddress6.pdf [31 Oktober 2009] Santrock, W. J. (2007). Educational psychology. Texas: McGraw-Hill Company. Savery, J. R. dan Duffy, T. M. (1995). Contructivist learning environments: case studies in instructional design. Dalam B.G. Wilson (ed). PBL: An instructional model and is constructivist framework. Englwood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. Segal, J., (1997). Raising your emotional intellegence (Melejitkan kecerdasan emosional). Bandung: Kaifa. Shapiro, E. L. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta: Gramedia. Stien, J., Steven, B. E., Howard., (2000). The EI edge: emotional intellegence and your success (Ledakan EI). Bandung: Kaifa Suharnan (2005). Psikologi kognitif. Surabaya: Srikandi. Sumarmo, U. (2005). Pembelajaran matematika untuk mendukung pelaksanaan kurikulum tahun 2002 sekolah menengah. Makalah Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di FPMIPA Universitas Negeri Gorontalo: Tidak diterbitkan. Sunandar (2008). Pengaruh penilaian portofolio dan keceedasan emosional terhadap hasil belajar matematika topik dimensi tiga siswa kelas X SMA Negeri 4 Kendari tahun 2006. Dalam Rusgianto, dkk. (ed.). Prosiding seminar nasional nasional matematika dan pendidikan matematika. Yogyakarta: UNY. Syah, M. (1999). Psikologi belajar. Jakarta: Logos. Tan, O. S. (2004). Cognition, Metacognition, and problem based learning. Dalam O. S. Tan (ed.). Enhancing thinking through problem based learning approaches. Australia: Thomson. Walle, V. A. J. (2005). Elementary and middle school mathematics. Singapore: Pearson Education. Weissinger, A. P. (2004). Psycological tools in problem based learning. Dalam O. S. Tan (ed.). Enhancing thinking through problem based learning approaches. Australia: Thomson. Willis, J. (2010). Strategi pembelajaran efektif berbasis riset otak. Yogyakarta: Mitra Media. Wilkinson, P. D. (2002). Restructuring developmental math courses to enhance emotional intelligence. [Online]. Available: http://www.utne.com [7 September 2010]. Yusof, M. S. (2004). Peranan EQ dalam bidang pendidikan. Dalam Hamid (ed.). Panduan meningkatkan kecerdasan emosi. Kuala Lumpur: Profesional.

61

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

MEMBANGUN KEAKTIFAN MAHASISWA PADA PROSES PEMBELAJARAN MATA KULIAH PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONSTRUTIVISME DALAM KEGIATAN LESSON STUDY Oleh :

Farida Nurhasanah Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami no 36 A Kentingan Surakarta [email protected]

Abstrak Mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pengajaran Matematika merupakan salah satu mata kuliah wajib yang dipelajari oleh mahasiswa calon guru matematika. walaupun mahasiswa memiliki nilai yang cukup baik pada mata kuliah ini, ternyata pada proses pembelajaran yang berlangsung hingga saat ini masih didominasi oleh pendekatan teacher centered. Mahasiswa cenderung pasif dan diam sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dosen mendominasi dengan metode ceramah. Hal ini menjadi ironi, karena pada saat ini mahasiswa calon guru dikenalkan pada pendekatan konstruktivisme, yaitu pendekatan yang berpusat pada siswa. Dengan pendekatan ini diharapkan pengetahuan tidak lagi dipindahkan melalui ceramah melainkan dibangun sendiri oleh individu yang belajar. Salah satu upaya peningakatan kualitas pembalajaran dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran melalui kegiatan lesson study maka perlu dikaji tentang bagaimana keaktifkan dan ketuntasan belajar mahasiswa dalam proses pembelajaran pada mata kuliah P4M yang menggunakan pendekatan konstrutivisme dengan latar kooperatif. Sesuai dengan objek yang ingin dikaji maka penelitian ini meruapakan penelitian kualitatif, terdiri dari tiga siklus dengan subyek penelitian mahasiswa yang mengambil mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pembelajaran Matematika pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 kelas A pada Prodi Pendidikan Matematika FKIP UNS. Berdasarkan hasil analisis data yang terdiri dari kegiatan (1) mereduksi data; (2) menyajikan data; (3) membuat temuan dan (5) melakukan triangulasi diperoleh kesimpulan bahwa bahwa keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran pada mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pengajaran Matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dan latar kooperatif terlihat dominan muncul pada kegiatan kelompok atau lebih cenderung terbangun oleh situasi sosiologis konstruktivisme. Ketuntasan belajar mahasiswa pada mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pengajaran Matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dan latar kooperatif diindikasikan mengalami peningkatan seiring peningkatan keaktifan mahasiswa pada proses pembelajaran yang berlangsung. Kata kunci: konstruktivisme, kooperatif, aktivitas, ketuntasan.

62

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

PENDAHULUAN Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah suatu institusi yang mencetak calon-calon guru. Mahasiswa yang masuk ke LPTK, khususnya program pendidikan matematika, secara khusus akan disiapkan untuk menjadi guru matematika. Seiring dengan perkembangan zaman yang linear dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka dunia pendidikan pun mengalami banyak perubahan. Terkait dengan hal tersebut pemerintah Indonesia merespon dengan mengeluarkan Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang kompetensi seorang guru. Guru diharuskan memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi, kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, proses pembelajaran para calon guru sudah sepantasnya diarahkan pada ranah-ranah kompetensi tersebut seperti yang diungkapkan oleh Ketut Sarna (2007) bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mempunyai tugas utama menghasilkan tenaga guru profesional yang mampu berperan sebagai agen pembelajaran yang tercermin dalam kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial yang padu. Sebagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut, terpenuhinya seluruh kompetensi yang diharapkan tertanam pada mahasiswa, maka pada LPTK, mahasiswa dibekali mata kuliah-mata kuliah yang relevan. Pada Prodi Pendidikan Matematika UNS, kompetensi pedagogik dibangun melalui kelompok mata kuliah Keilmuan dan Ketrampilan. Sedangkan kompetensi personal dan sosial dibangun melalui kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian. Untuk mengembangkan kompetensi profesionalisme mahasiswa calon guru matematika selain harus memahami konsep-konsep matematika juga perlu dibekali pengetahuan dan ketrampilan untuk mengembangkan proses pembelajaran yang baik. Pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan kompetensi profesinal calon mendidik diajarkan melalui beberapa mata kuliah yang tergabung dalam kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKKB) pada rumpun Mata Kuliah Pendidikan Matematika bersama dengan mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika, Telaah Kurikulum Matematika Sekolah Menengah, Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika, Workshop dan Media Pembelajaran Matematika, serta Pengajaran Mikro. Selama ini, proses pembelajaran pada rumpun pendidikan matematika dilihat dari ketuntasan belajar dan hasil belajar mahasiswa, tidak terdapat indikasi masalah yang berarti seperti pada mata kuliah-mata kuliah di rumpun analisis dan geometri.Namun demikian, pada proses pembelajaran yang berlangsung di kelas hingga saat ini, masih berpusat pada dosen atau sering disebut juga teacher centered atau dikenal dengan pendekatan tradisional (Utami, et all :

63

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

2011). Dalam pembelajaran tersebut, dosen sebagai individu yang lebih aktif dalam mengajar dan mahasiswa berperan sebagai objek yang menerima pengetahuan dengan pasif. Meskipun beberapa metode sudah coba diterapkan seperti metode diskusi, namun mahasiswa masih belum merespon dengan baik. Mereka masih pasif dalam mengemukakan pendapat, diskusi lebih banyak didominasi oleh guru. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan, mahasiswa akan membawa pengalaman belajarnya ketika di bangku kuliah sampai ke lapangan yaitu kelas-kelas mereka kelak pada saat menjadi guru matematika. Di satu sisi saat ini banyak praktisi pendidikan yang menyadari perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, tak terkecuali untuk pendidikan matematika. Dengan kata lain, para mahasiswa calon guru juga perlu dipersiapkan untuk menjadi guru yang dapat mengembangkan program pembelajaran yang berpusat pada siswa. Jika demikian, maka kemampuan dan ketrampilan untuk mengembangkan program pembelajaran yang berpusat pada siswa jangan hanya disampaikan sebagai suatu pengetahuan, melainkan perlu juga untuk dibangun sebagai suatu kemampuan melalui suatu pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa di kelas-kelas para mahasiswa tersebut. Terkait dengan hal tersebut, perlu dipikirkan suatu upaya untuk mulai merubah paradigma pembelajaran yang berlangsung pada kelas Perencanaan dan Pengembangan Program Pembelajaran Matematika (P4M). Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: Mengkaji bagaimana keaktifkan dan ketuntasan belajar mahasiswa dalam proses pembelajaran pada mata kuliah P4M yang menggunakan pendekatan konstrutivisme dengan latar kooperatif. Pada mata kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu mengembangkan silabus dan RPP untuk pembelajaran matematika. Adapun standar kompetensi mata kuliahnya sebagai berikut; memahami standar isi, memahami standar kompetensi lulusan, standar proses, dan standar evaluasi, mampu mengembangakan silabus, memahami prinsip-prinsip penyusunan RPP, mampu merancang pelaksanaan pembelajaran, mampu merancang penilaian hasil belajar, memahami kriteria ketuntasan belajar, kenaikan kelas, dan kelulusan, memahami gaya belajar peserta didik, dan mampu mengembangkan RPP. Menilik karakteristik mata kuliah P4M di atas, sepertinya terlepas dari konsepkonsep matematika, padahal sesungguhnnya tidak demikian. Setidaknya dibutuhkan beberapa mata kuliah prasyarat yang harus ditempuh mahasiswa sebelum memasuki kelas P4M. Mata kuliah prasyarat tersebut antara lain, beberapa mata kuliah dasar matematika, seperti Pengantar Dasar Matematika,

64

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Kalkulus, Aljabar, Statistik Dasar dan Geometri. Sedangkan untuk mata kuliah pendidikan matematika diperlukan prasyarat mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika dan Evaluasi Pembelajaran Matematika. Sehingga pada dasarnya di kelas P4M, mahasiswa dituntut untuk dapat meramu pengetahuan dan ketrampilan yang sudah dimilikinya untuk dituangkan dalam suatu perangkat perencanaan pembelajaran matematika dalam bentuk silabus dan RPP. Melihat kondisi seperti ini selayaknya sangat mungkin memanfaatkan paradigma pembelajaran konstruktivisme dalam kelas P4M. Dalam pandangan konstruktivisme, proses pembelajaran bertujuan untuk membangun pemahaman bukan sekadar mengoleksi sebanyak-banyaknya pengetahuan tanpa memahaminya. Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara aktif “membangun” pengetahuan dan ketrampilannya (Bruner, 1990 dalam Baharudin dan Wahyuni, 2007). Terkait dua pandangan tentang bagaimana individu mengkontruksi pengetahuan, yaitu secara psikologis dan sosiologis seperti diungkapkan oleh Matthew (Suparno, 1997) dalam Sunardi (2006) bahwa pengetahuan dibangun pengetahuan berdasarkan pada perkembangan psikologis, dilain pihak pandangan konstrutivisme sosiologis mengatakan bahwa pengetahuan dibangun men-dasarkan pada hubungan sosial. Berdasarkan hal tersebut menurut Sunardi (2005) jika kedua pandangan tersebut dipadukan maka proses kontruksi pengetahuan dapat berlangsung lebih cepat. Artinya ketika individu mengonstruk pengetahuan, mereka difasilitasi dengan kondisi sehingga keaktifan dan kesiapan individu secara psikologis dipenuhi. Di samping itu dalam proses belajar mengonstruk pengetahuan, didukung lingkungan sosial sehingga tercipta interaksi sosial individu dengan teman belajar. Untuk menciptakan lingkungan sosial perlu suatu pengkondisian agar interaksi social dapat tercipta, salah satu caranya adalah dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Selain itu, Kanselaar (2002) mengungkapkan beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan pandangan konstruktivisme sosiologis diantaranya, menciptakan komunitas belajar untuk mendukung aktivitas belajar guna mencapai tujuan yang diiginkan, selain itu lingkungan belajar berbasiskan multimedia komputer juga dapat digunakan. Senada dengan hal tersebut, Asnawati(2006) mengungkapkan bahwa adanya komunitas belajar akan merancang siswa untuk berdiskusi dengan kawannya, yang tentu saja akan meningkatkan aktivitas siswa, biasanya orang ingin dihargai pada komunitasnya, sehingga ia akan berusaha untuk mendapatkan penghargaan.

65

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Aktivitas pembelajan dapat dikategorikan menjadi aktivitas fisik dan aktivitas mental. Leikin & Zaslavsky (1997) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang aktif dalam latar kooperatif meliputi kegiatan berikut: (a) menyelesaikan masalah secara mandiri, (b) membuat catatan, (c) memberikan penjelasan, (d) mengajukan pertanyaan atau meminta bantuan. Sebaliknya kegiatan membaca (mencari informasi dari buku atau yang lain) dan mendengarkan informasi atau penjelasan masih digolongkan sebagai aktivitas pasif. Sedangkan keterlibatan atau perhatian siswa pad suatu tugas dapat diklasifikasikan menjadi on-task dan off-task. Semua aktivitas aktif dan pasif masuk ke dalam kategori on-task, namun melamun, berbicara tentang hal lain, atau mengerjakan hal-hal yang tidak berhubungan, dan tidur dapat dikategorikan sebagai off-task (Sunardi: 2005). Paul B. Diedrich dalam Sadirman (1992) mengemukakan beberapa penggolongan tentang kegiatan yang termasuk ke dalam aktivitas belajar yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7. 8.

Visual Activities, yang termasuk didalamnya adalah membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain. Oral Activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi. Listening Activities, sebagai contoh mendengarkan; uraian percakapan, musik, pidato. Writing Activities, seperti menulis; cerita, kerangka laporan, angket, menyalin. Drawing Activities, seperti menggambar, membuat grafik, membuat peta, membuat diagram. Motor Activities, yang termasuk didalamnya antara lain : melakukan percobaan, membuat konstruksi, membuat model, mereparasi, bermain, berkebun, beternak. Mental Activities, seperti menganggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan. Emotional Activities, seperti menarik minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Berdasarkan hasil paparan di atas tentang aktivitas dalam proses pembelajaran, berikut adalah adalah indicator aktivitas mahasiswa yang akan dikaji dalam penelitian ini.

66

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Tabel 1. Indikator Aktivitas Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran P4M No 1 2 3

4 5

6 7 8

9 10

Indikator Keterangan Keaktifan Individu Secara Klasikal Mahasiswa bertanya pada dosen mengenai Aktivitas oral-psikologis hal-hal yang belum jelas konstruktivisme Mahasiswa menjawab pertanyaan dosen Aktivitas oral-psikologis konstruktivisme Mahasiswa memcahkan masalah yang Aktivitas mentaldiajukan dosen dengan berpikir secara psikologis individu dan memanfaatkan berbagai konstruktivisme literature/sumber Mahasiswa memberikan tanggapan atas Aktivitas oral-psikologis penjelasan dosen konstruktivisme Mahasiswa menyimak presentasi yang Aktivitas oral-sosiologis diajukan dosen atau kawannya konstruktivisme Keaktifan Mahasiswa dalam Kelompok Mahasiswa aktif mengemukakan pendapat Aktivitas oral-sosiologis saat berdiskusi konstruktivisme Mahasiswa aktif menanggapi pendapat teman Aktivitas oral-psikologis satu kelompok saat berdiskusi konstruktivisme Mahasiswa menulis hasil pemecahan masalah Aktivitas menulissetelah diskusi sosiologis konstruktivisme Mahasiswa memberikan tanggapan atas Aktivitas oral-sosiologis presentasi yang dilakukan kawannya konstruktivisme Mahasiswa aktif berdiskusi dengan teman Aktivitas oral-sosilogis satu kelompok untuk memecahkan masalah konstruktivisme

Mengkaji tabel 1. tentang indikator aktivitas mahasiswa pada proses pembelajaran mat akuliah P4M, terlihat bahwa untuk memunculkan indikatorindikator tersebut perlu mengkondisikan mahasiswa untuk dapat secara mandiri membangun pengetahuannya dan sekaligus secara bersama berbagi dan membangun pemahaman yang sesuai dengan atau melalui suatu diskusi bersama teman-temannya di kelas pada proses pembelajaran. Hutagulung, J.B. (2009) mengemukakan bahwa: “Pembelajaran kooperatif mengkondisikan siswa belajar dalam kelompok melakukan diskusi, dan bekerjasama. Kondisi ini menciptakan suasana yang mendorong siswa terlibat aktif dalam belajar. Dalam model kooperatif, siswa berinteraksi satu dengan yang lain baik dalam kelompok maupun antar kelompok untuk menemukan solusi, atau menarik kesimpulan dari

67

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

suatu permasalahan yang dipelajari. Pembelajaran kooperatif menumbuhkan kemampuan untuk bekerjasama satu dengan yang lain”.

dapat

Menurut Slavin (1995: 2) pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pengajaran yang siswanya bekerja bersama dalam kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam belajar. Belajar belum dapat dinyatakan selesai apabila salah satu dari anggota kelompok tersebut belum menguasai bahan pelajaran yang diberikan. Menurut Ibrahim (2000: 6) pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur dasar sebagai berikut: (1) siswa dalam kelompoknya harus beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”, (2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti miliknya sendiri, (3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama, (4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara kelompoknya, (5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok, (6) siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, (7) siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, terdapat beberapa model pembelajaran kooperatif, menurut Slavin (1995: 5) dalam Ulya, N (2007) terdapat lima jenis metode dalam Student Team Learning yang telah dikembangkan dan diteliti secara ekstensif. Tiga macam metode pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan untuk bermacam-macam materi dan tingkatan kelas yaitu Student Teams-Achievement Divisions (STAD), Teams-Games-Tournaments (TGT), dan Jigsaw II. Sedangkan dua yang lainnya diperuntukkan bagi materi dan kelaskelas yang khusus, yaitu Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) untuk pelajaran membaca dan menulis yang diperuntukkan bagi siswa kelas dua sampai kelas delapan, dan Team Accelerated Instruction (TAI) untuk pelajaran matematika kelas tiga sampai kelas enam. Lesson Study (LS) atau Kaji Pembelajaran adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang (Santyasa, W: 2009). Lesson Study merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada proses pembelajaran di Jepang. Perbaikan-perbaikan pembelajaran tersebut dilakukan melalui proses-proses kolaborasi antar para guru. Lewis (2002) mendeskripsikan proses-proses tersebut sebagai langkah-langkah kolaborasi dengan guru-guru untuk merencanakan (plan), mengamati (observe), dan melakukan refleksi (reflect) terhadap pembelajaran (lessons). Lebih lanjut, dia menyatakan, bahwa Lesson study adalah suatu proses yang kompleks, didukung oleh penataan tujuan

68

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

secara kolaboratif, percermatan dalam pengumpulan data tentang belajar siswa, dan kesepakatan yang memberi peluang diskusi yang produktif tentang isu-isu yang sulit. LS pada hakikatnya merupakan aktivitas siklikal berkesinambungan yang memiliki implikasi praktis dalam pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Utami, B. et al (2011) peningkatan kualitas proses dan hasil belajar mahasiswa dapat ditingkatkan melalui kegiatan Lesson Study. Demikian pula diungkapkan oleh, Nurhasanah et al (2011) melalui kegiatan Lesson Study dapat ditingkatkan kemandirian belajar mahasiswa pendidikan matematika pada mata kuliah kalkulus I. Melalui kegiatan lesson study ini akan dilihat keaktifan mahasiswa selam proses pembelajaran berlangsung dalam kelas yang memanfaatkan pendekatan konstruktivisme dan latar kooperatif. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pembelajaran Matematika pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 kelas A pada Program Studi Pendidikan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terkait dengan pertanyaan dan tujuan penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber data pada penelitian ini berasal dari: (1) Nara sumber, yaitu dosen pengamat dan mahasiswa, (2) hasil observasi peneliti dalam bentuk hasil rekaman audio visual selama proses pembelajaran berlangsung dan (3) hasil tes siklus. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi, lembar penilaian proses, dan hasil belajar mahasiswa. Data dianalisis melalui sekarangkaian proses yang terdiri dari : (1) mereduksi data; (2) menyajikan data; (3) membuat temuan atau menarik kesimpulan; (5) melakukan verifikasi atau menguji validitas temuan dengan melakukan triangulasi (Alwasilah, C: 2003). Pendekatan penelitian yang digunakan meruapakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas. Sedangkan desainnya mengacu pada model Kemmis & McRaggart (1988) yang terdiri dari: (1) perencanaan; (2) tindakan; (3) observasi; dan (4) refleksi.

69

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dalam satu semester dilaksanakan tiga kali open lesson yang masing-masing diawali oleh kegiatan plan, dilanjutkan dengan kegiatan do dan diakhiri dengan kegiatan see pada setiap siklusnya. Berikut adalah uraian hasil setiap siklus. 1. Siklus I Plan Pada tahap ini terdapat beberapa kegiatan, antara lain: (1) Terdapat empat dosen yang berperan sebagai pengamat (observer) yang hadir; (2) Dosen model membuka diskusi dan menyerahkan fotocopy perangkat pembelajaran, yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan lembar pengamatan pada para dosen pengamat (observer); (3) Dosen model berdiskusi tentang permasalahan yang terjadi pada kelas P4M dan dihasilkan keputusan bahwa keaktifan menjadi masalah yang perlu segera diselesaikan; (4) Para observer dan dosen model berdiskusi tentang rencana penyelesaiannya; (4) Dosen model dan observer bediskusi mengenai strategi pembelajaran yang akan diterapkan di kelas, berdasarkan hasil diskusi ditetapkan bahwa pendekatan pembelajaran yang akan digunakan yaitu dengan pendekatan konstruktivisme dengan latar kooperatif ; (5) Dosen model dan observer berdiskusi menetukan indikator yang akan diukur terkait dengan keaktifan mahasiswa seperti tertera pada Tabel 1. Do (Open Lesson) Pada tahap Do terdapat beberapa kegiatan antara lain: (1) dosen model memberikan RPP dan lembar observasi yang telah direvisi pada para observer; (2) dosen model melaksanakan proses pembelajaran diawali dengan apersepsi berupa sebuah cerita, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat materi menggunakan slide powerpoint; (3) dosen model memberikan pertanyaanpertanyaan untuk memicu terjadinya proses diskusi; (4) mahasiswa menyelesaikan suatu masalah mengenai pembuatan indikator pembelajaran matematika dengan memanfaatkan metode diskusi dan tanya jawab; (5) mahasiswa melaksanakan pembelajaran dengan serius dan tertib; (6) dosen observer melakukan pengamantan dengan mengisi lembar observasi; (7) mahasiswa diberi tugas untuk mempelajari topik tentang persamaan linear satu variabel suatu perencanaan proses pembelajaran matematika pada topik. See (Refleksi) Pada tahap refleksi terdapat beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut; (1)dosen model dan dosen pengamat membahas hasil observasi terkait keaktifan mahasiswa; (2) dosen model menemukan permasalahan bahwa mahasiswa banyak yang kesulitan pada saat mencoba membuat indikator pembelajaran 70

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

dikarenakan konsep-konsep dasar materi matematikanya banyak yang tidak menguasai selain itu dosen pengamat membahas indikator ke-10 yang belum pada siklus pertama, dosen model diharapkan dapat menkondisikan agar mahasiswa dapat memberikan tanggapan atau pandangan yang berbeda; (3) hasil diskusi dosen model dan observer memutuskan perlunya memberikan penguatan individu dan kelompok dalam bentuk bintang yang dapat diakumulasikan selama satu semester; (4) dosen model dan observer berdiskusi untuk menyusun RPP untuk siklus selanjutnya. Berdasarkan hasil analisis pada siklus I dengan strategi pembelajaran konstruktivisme diperoleh temuan bahwa dari sepuluh indikator yang telah ditetapkan, satu indikator tidak muncul sama sekali, yaitu indikator “mahasiswa memberikan tanggapan atas penjelasan dosen”. Sedangakan kesembilan indikator yang lain, prosentase kemunculannya masih di bawah 5%, dan masih didominasi oleh mahasiswa yang sama. Aktivitas mahasiswa dalam kelompok terlihat dominan dibandingkan dengan aktivitas individual mahasiswa secara umum. Proses membangun pengetahuan belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh seluruh mahasiswa, hal ini terhambat dengan kurangnya pengetahuan mereka akan konsep-konsep dasar matematika dan kemampuan bahasa (khususnya dalam membuat kalimat yang baku dan perbendaharaan kata kerja operasional) yang menghambat mahasiswa dalam membuat indikator pembelajaran dan tujuan pembelajaran. Adapun hasil ujian kompetensi mahasiswa pada akhir siklus pertama dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00%

70,37%

22,22%

% Mahasiswa

7,40% 0%

0%

A (>80) B(70-79) C(60-69) D(50-59) E (< 50)

Gambar 1. Prosentase Ketuntasan Mahasiswa Pada Kompetensi Dasar I

71

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Dari grafik tersebut terlihat bahwa tingkat ketuntasannya pada siklus pertama sudah 80% namun, didominasi oleh mahasiswa yang memperoleh nilai C dengan prosentasi keaktifan mahasiswa dibawah 5% yang didominasi oleh keaktifan kelompok. 2. Siklus II Plan Pada tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: (1) Terdapat dua dosen yang berperan sebagai pengamat (observer) yang hadir; (2) Dosen model menyerahkan fotocopy perangkat pembelajaran, yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran II (RPP) dan lembar pengamatan pada para dosen pengamat (observer); (3) Dosen model (dalam hal ini peneliti) menjelaskan tentang perubahan indikator no 3 tidak dilaksanakan pada pertemuan ini; (4) Para observer dan dosen model berdiskusi tentang RPP II; (4) Dosen model dan observer bediskusi mengenai strategi pembelajaran yang akan diterapkan di kelas, berdasarkan hasil diskusi ditetapkan bahwa metode yang digunakan masih sama, hanya saja pada pembentukan kelompok dilakukan perubahan dengan membuat satu kelompok terdiri dari 4 mahasiswa; (5) dosen model menjelaskan bahwa pada pertemuan ke dua indikator pembelajaran yang ingin dicapai adalah merancang pelaksanan program pembelajaran matematika sesuai dengan model, metode, atau strategi yang digunakan. Do (Open Lesson) Pada tahap Do terdapat beberapa kegiatan antara lain: (1) pembelajaran dimulai dengan mengkaji tugas yang diberikan pada pertemuan sebelumnya, disaat dosen model memberikan kesempatan bertanya atau mengemukakan pendapat tidak terdapat satu mahasiswa pun yang bertanya; (2) dosen model menyampaikan materi mengenai bagaimana merancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan model atau metode yang digunakan (3); mahasiswa diminta untuk mengingat kembali teori tentang model-model pembelajaran; (4) dosen model memberikan masalah untuk membuat suatu kegiatan pembelajaran (bagian dari RPP) secara berkelompok; (5) dosen model memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mempresentasikan hasil jawabannya di depan kelas; (7) diskusi kelas berlangsung sangat aktif dan kondusif; (8) dosen observer melakukan pengamatan dengan mengisi lembar observasi; (9) diakhir siklus kedua mahasiswa diberi tugas untuk menyusun silabus matematika secara berkelompok. See (Refleksi) Pada tahap refleksi terdapat beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut; (1)dosen model dan dosen pengamat membahas hasil observasi; (2) dosen pengamat

72

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

membahas indikator pertama tentang aktifitas bertanya mahasiswa kepada dosen yang tidak muncul selama proses pembelajaran di segmen pembukaan/apersepsi; (3) dosen pengamat menemukan bahwa selain indikator pertama seluruh indikator lain muncul dengan kemajuan yang signifikan terlihat dari frekuensi kemunculan dan cacah mahasiswa yang aktif; (4) dosen model menemukan fenomena bahwa pemberian penguatan berupa bintang yang dapat dikonversikan menjadi poin yang dapat dimasukkan dalam sistem penilaian memicu mahasiswa untuk aktif menjawab pertanyaan dan mengajukan pendapatnya pada saat diskusi; (5) dosen model dan pengamat masih menemukan beberapa mahasiswa yang belum pernah menjawab pertanyaan secara lisan ataupun mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan; (6) dosen model mengusulkan untuk mulai membentuk komunitas belajar pada mata kuliah P4M. Hasil analisa yang diperoleh setelah siklus kedua memperlihatkan peningkatan prosentase kemunculan indikator keaktifan mahasiswa selama mengikuti proses perkuliahan. Pada siklus kedua diperoleh prosentase keaktifan mahasiswa secara individu sebesar 37% hal ini juga dapat dilihat dari perolehan jumlah bintang secara individual yang meningkat. Keaktifan individual banyak muncul pada indikator “menjawab pertanyaan dosen secara individual”, ini berarti selama proses pembelajaran dosen mengajukan banyak pertanyaan sebagai trigger untuk memicu mahasiswa membangun pengetahuannya. Dosen model banyak mengajukan pertanyaan terkait materi tentang model-model atau metode-metode pembelajaran yang terkait dalam proses pembelajaran matematika. Materi ini sudah diterima oleh mahasiswa pada saat mengambil mata kuliah strategi pembelajaran matematika. Keaktifan individu dalam kelompok juga mengalami peningkatan, hal ini dapat terlihat dari prosentasenya 55% mahasiswa yang terlihat aktif dalam kelompoknya khususnya pada saat diskusi hasil presentasi. Mengingat pada siklus kedua, indikator pemecahan masalah secara individu tidak dilakukan, melainkan permasalahan diselesaikan dalam kelompok, hal ini sebagai antisipasi kurangnya waktu untuk presentasi dan diskusi. Temuan lain, adalah kelompok yang paling aktif didominasi oleh kelompok yang secara individual juga aktif. Namun terdapat pula kelompok aktif dengan anggota yang secara individual tidak aktif, dengan kata lain terdapat mahasiswa yang menjadi aktif ketika berada dalam suatu kelompok. Data hasil ketuntasan belajar juga terlihat mengalami peningkatan, dari Gambar 2, dapat diketahui bahwa jumlah mahasiswa yang mendapatkan nilai A dan B meningkat signifikan.

73

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

50,00% 45,00% 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00%

44,44% 33,33%

11,11%

Prosentase

11,11% 0%

A (>80)

B(70-79)

C(60-69)

D(50-59)

E (< 50)

Gambar 2. Prosentase Ketuntasan Mahasiswa Pada Kompetensi Dasar II Berdasarkan hasil dari siklus kedua, dan terkait dengan pendekatan konstruktivisme yang digunakan, pada siklus ketiga diajukan suatu strategi baru dengan membuat suatu komunitas belajar secara virtual dengan memanfaatkan alat peraga maya. Selain untuk mengakomodir mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan gagasan secara di lisan di dalam kelas, diharapkan pula akan menumbuhkan keaktifan mahasiswa di luar kelas. 3. Siklus III Plan Pada tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: (1) Terdapat empat dosen yang berperan sebagai pengamat (observer) yang hadir; (2) Dosen model menyerahkan fotocopy perangkat pembelajaran, yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran III (RPP) dan lembar pengamatan pada para dosen pengamat (observer); (3) Dosen model (dalam hal ini peneliti) menyampaikan bahwa ruang kelas yang akan digunakan dipindah ke ruang kelas sementara; (4) Dosen model dan observer bediskusi mengenai strategi pembelajaran yang akan diterapkan di kelas, berdasarkan hasil diskusi ditetapkan bahwa model yang akan digunakan disiklus III adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share pada pertemuan yang pertama dan model kooperatif STAD; (5) Dosen model mengajukan ide untuk membentuk komunitas belajar berbasis multimedia dengan memanfaatkan alat peraga maya melalui situs jejaring social facebook; (6) dosen model menjelaskan bahwa pada pertemuan siklus ke-tiga materinya mengenai Kriteria Ketuntasan Minimal dan belajar siswa yang akan disampaikan dalam dua pertemuan.

74

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Do (Open Lesson) Pada tahap Do terdapat beberapa kegiatan antara lain: (1) pelaksanaan proses pembelajaran P4M dimulai dengan penjelasan dari dosen model tentang materi mentukan KKM mata pelajaran matematika di sekolah, yang disampaikan dengan bantuan slide powerpoint; (2) mahasiswa dibentuk ke dalam 6 kelompok, setiap 2 kelompok menetapkan KKM untuk satu KD dengan satu format ; (3) tiga kelompok tercepat dengan format pengerjaan yang berbeda mempresentasikan hasil kerja mereka; (4) tiga kelompok yang menyimak diberi kesempatan untuk menyanggah, bertanya, atau menyampaikan pendapatnya; (5) terjadi perebutan bintang dan poin oleh kelompok 3 dan kelompok 6 yang menentukan format KKM menggunakan format “penilaian professional”; (6) perkuliahan ditutup dengan pemberitahuan pembentukan komunitas kelas P4M melalui grup di facebook untuk mengkaji materi tentang gaya belajar; (7) diskusi dilanjutkan secara online pada laman :www.facebook.com/kelasP4M; (8) mahasiswa dan dosen model berdiskusi tentang definisi gaya belajar dan jenis-jenis gaya belajar secara online; (9) siklus ketiga ditutup dengan pemberian tugas individu kepada mahasiswa untuk menyusun satu RPP lengkap. See (Refleksi) Pada tahap refleksi terdapat beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut; (1) dosen model dan dosen pengamat membahas hasil observasi dari siklus ke-tiga secara simultan; (2) dosen model dan pengamat melihat hasil rekaman dari do dan print out laman facebook pada grup P4M; (3) dosen model dan dosen pengamat berdiskusi tentang indikator-indikator keaktifan yang muncul pada siklus ke-tiga mengalami penurunan frekuensi kemunculannya; (4) dosen pengamat dan dosen model menemukan beberapa mahasiswa yang belum aktif pada siklus pertama dan kedua; (5) dosen model juga mengemukakan temuan mahasiswa yang pasif di kelas dapat lebih aktif berdiskusi melalui media komunitas belajar P4M di facebook; (6) dosen model dan dosen pengamat berdiskusi tentang keaktifan mahasiswa secara keseluruhan sejak siklus pertama hingga siklus ketiga; (7) dosen model mengemukakan hasil belajar mahasiswa sejak siklus pertama hingga siklus ketiga. Hasil pengamatan terhadap aktifitas mahasiswa pada proses pembelajaran menunjukkan penurunan, hal ini terlihat dari prosentase keaktifan mahasiswa secara individu dan kelompok. Prosentase keaktifan mahasiswa secara individu sebesar 29% dan keaktifan mahasiswa dalam kelompok sebesar 44%. Namun yang perlu dicermati adalah munculnya mahasiswa-mahasiswa yang awalnya belum terlihat aktif pada siklus pertama dan kedua, mulai aktif pada siklus ketiga. Berdasarkan analisis hasil observasi, diskusi dengan dosen pengamat

75

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

dan wawancara dengan beberapa mahasiswa diketahui beberapa hal yang mungkin memberi kontribusi pada penurunan keaktifan mahasiswa selama proses pembelajaran berlangsung. Yang pertama adalah karakteristik dari materi yang disampaikan cukup kompleks dan merupakan materi baru, yaitu mengenai penentuan KKM, yang kedua latar kelas yang tidak biasa digunakan dan terlalu besar dapat memecah fokus perhatian mahasiswa pada saat diskusi berlangsung. Sedangkan diskusi yang berlangsung secara online menghasilkan temuan berupa keaktifan mahasiswa dalam mencari sumber literatur yang dibutuhkan dalam mengkaji materi tentang gaya belajar siswa. Melalui sumber yang beragam, mahasiswa memiliki konsep yang lebih kaya tentang pengertian gaya belajar, jenis-jenisnya dan pemanfaatannya terkait perancangan kegiatan pembelajarn matematika. selain itu, melalui media ini beberapa mahasiswa terlihat aktif menanggapi pertanyaan-pertanyaan kawan-kawannya secara individual dengan memberikan rujukan langsung literature yang berkaitan. Bila dilihat dari prosentase ketuntasan belajar mahasiswa pada kompetensi dasar ke tiga, secara umum, ketuntasan belajar meningkat, walaupun prosentase mahasiswa yang mendapat nilai A menurun, namun prosentase mahasiswa yang mendapat nilai B juga meningkat signifikan, sedangkan prosentase mahasiswa yang mendapat nilai C relatif stabil. Berikut adalah grafik ketuntasan mahasiswa pada kompetensi dasar ketiga: 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00%

Prosentase

15,00% 10,00% 5,00% 0,00% A (>80)

B(70-79)

C(60-69)

D(50-59)

E (< 50)

Gambar 3. Prosentase Ketuntasan Mahasiswa Pada Kompetensi Dasar III

76

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Secara umum hasil analisis mengenai keaktifan mahasiswa selama proses pembelajaran mata kuliah P4M terlihat dominan pada siklus kedua ketika proses pembelajaran lebih ditekankan pada sosilogis konstruktivisme melalui pendekatan kooperatif pada materi yang sebagian sudah pernah dipelajari pada semester sebelumnya. Sedangkan ketuntasan belajar mahasiswa terlihat meningkat signifikan ketika pendekatan konstruktivisme diterapkan dengan latar kooperatif seperti terlihat pada siklus kedua dan ketiga. Dari siklus pertama juga dapat diketahui bahwa pengetahuan prasyarat yang dibuhkan mahasiswa memberikan kontribusi pada keaktifan dan ketuntasan belajar mahasiswa. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dalam penelitian ini diketahui bahwa keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran pada mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pengajaran Matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dan latar kooperatif terlihat dominan muncul pada kegiatan kelompok atau lebih cenderung terbangun oleh situasi sosiologis konstruktivisme. Ketuntasan belajar mahasiswa pada mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program Pengajaran Matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dan latar kooperatif diindikasikan mengalami peningkatan seiring peningkatan keaktifan mahasiswa pada proses pembelajaran yang berlangsung. Terkait dengan temuan dan kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini, saran yang perlu dilakukan adalah mengkaji lebih lanjut tentang pengaruh penggunaan model-model pembelajaran kooperatif yang berbeda-beda untuk meningkatkan keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Selain itu perlu pula dikaji lebih dalam mengenai pengaruh dari penguasaan materimateri prasyarat yang dibutuhkan dengan keaktifan mahasiswa pada prose pembelajaran. Saran lain, terkait dengan pemanfaatan teknologi dalam bentuk multimedia interaktif online perlu dikaji keefektifannya dalam membentuk komunitas pembelajaran guna meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar mahasiswa. DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, C. (2003). Pokoknya Kualitatif. Bandung: PT Kiblat Buku Utama Asnawati, R. 2006. Meningkatkan Aktivitas, Motivasi, dan Hasil Belajar Melalui Pendekatan Kontekstual dengan Model Kooperatif Tipe STAD (Studi di Kelas IV B SDN 2 Labuhanratu Bandar Lampung. Prosiding BKS PTN Wilayah Barat Bidang Pendidikan. p 83

77

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Baharudin & Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogjakarta: ArRuzz Media. Budi Koesworo. 2007. Meningkatkan Aktivitas dan Penguasaan Matematika Melalui Pendekatan Konstruktivisme. Jurnal Didaktika Volume 8 Nomor 2 p 114-125. Hutagulung, J.B. 2009. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia. Kanselaar, G. 2002. Constructivism and Socio-construtivism. Lewis, C. 2002. Lesson study: A handbook of teacher-led instructional change. Research for Better Schools: Philadelphia. Santyasa, W. 2009. Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran. Makalah dalam Seminar Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran bagi GuruGuru TK, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Nusa Penida Bali. dapat di akses di http://www.freewebs.com/santyasa/pdf2/IMPLEMENTASI_ LESSON _STUDY.pdf diakses tanggal 20 Januari 2012. Sardiman, A. M. 1992. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Sarna, Ketut. 2007. Pendidikan Guru Profesional Melalui Pembelajaran Bertahap, Terpadu dan Holistik. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha. P 440451. Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning Theory, Research, and Practice. Second Edition. America: Allyn and Bacon Sunardi. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Geometri Berbasis Teori Van Hiele. Disertasi. Universitas Negeri Surabaya. P 23 Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Penerbit Kanisius: Yogyakarya. Ulya, N. 2007. Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematik Siswa SMP/MTs Melalui Pembelajaran Kooperatif. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung. Utami, B et al. 2011. Penerapan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dalam Kegiatan Lesson Study untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Strategi Belajar-Mengajar. Jurnal Inovasi Pendidikan Jilid 12 Nomor 1 p 1 -18.

78

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1 Melalui Pembelajaran MEAs yang Dimodifikasi Oleh:

Bambang Avip Priatna Martadiputra(1) Didi Suryadi(2) Email: [email protected]

ABSTRAK Makalah ini berisi hasil penelitian tentang peningkatan kemampuan berpikir statisis mahasiswa S1 melalui pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) yang dimodifikasi dari MEAs yang telah dikembangkan oleh Garfield, delMas dan Zieffler (2010) dengan memasukan Didactical Design Research (DDR) pada saat pembuatan bahan ajar. Dalam penelitian ini dilakukan metode kuasi eksperimen dengan disain pretes-postes. Penelitian dilakukan terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika sebuah PTN di Bandung yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Pada kelas kontrol (mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi pembelajaran konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan 2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi. Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis (TKAS). Data tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir statistis (TKBS), sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan menggunakan skala disposisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Ada perbedaan peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Kata kunci: DDR, Kemampuan berpikir statistis, MEAs yang dimodifikasi.

79

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Pendahuluan Berpikir statistis adalah kemampuan untuk mengerti dan memahami proses statistis secara keseluruhan, serta mengaplikasikan pemahaman pada masalah nyata dengan memberikan kritik, evaluasi, dan membuat generalisasi berkaitan dengan mendeskripsikan data; 2) mengorganisasikan data; 3) merepresentasikan data; dan 4) menganalisis dan menginterpretasikan data. Berdasarkan tahapan berpikir kognitif pada model SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome) dari Biggs dan Collis (1991), Jones, et.al (2000) membagi level berpikir statistis menjadi empat yaitu: 1) Idiosyncratic; 2) Transitional; 3) Quantitative; dan 4) Analytical. Dari hasil penelitian Martadiputra (2010) terhadap guru-guru matematika SMP/SMA yang mengikut kegiatan PPM Dosen Jurdikamat UPI di Kabupaten Subang dan sebagian peserta PLPG sertifikasi guru matematika SMP di BMI Lembang diperoleh informasi bahwa rata-rata kemampuan berpikir statistis (statistical thinking) guru SMP/SMA baru mencapai 32,15 %, sehingga dapat dikatagorikan rendah. Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra (2010.a) diperoleh informasi bahwa: 1) Secara umum, kemampuan berpikir statistis mahasiswa program studi pendidikan maupun program studi non kependidikan matematika, mahasiswa yang sudah lulus S1 maupun mahasiswa yang belum lulus S1 masih rendah karena baru mencapai level transitional dan quantitative; 2) Nilai rata-rata kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang telah lulus S1 relatif lebih tinggi daripada mahasiswa yang belum lulus S1; dan 3) Mata kuliah Statistika Dasar mempunyai hubungan signifikan dengan kemampuan berpikir statistis mahasiswa, sedangkan mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika, dan Pengolahan data tidak berhubungan signifikan. Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra dan Tapilouw (2011) diperoleh informasi bahwa kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar masih belum optimal karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Hanya sebagaian kecil mahasiswa yang kemampuan berpikir statistisnya sampai pada level analytical. Khusus untuk kemampuan berpikir statistis berkaitan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data ternyata tidak ada mahasiswa yang sampai pada level analytical. Hasil-hasil penelitian Martadiputra (2010, 2010.a, dan 2011) tersebut sejalan dengan AEC (1994) dan SCAA & CAAW (1996) (dalam Jones, et.al, 2000) bahwa dalam merespons pentingnya data dan informasi dalam masyarakat di era globalisasi ini dibutuhkan adanya reformasi pendidikan statistika secara

80

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

internasional di semua tingkatan pendidikan. Alasan lain perlunya reformasi pendidikan statistika dikemukakan oleh Ben-Zvi & Friedlander (2010) bahwa pembelajaran statistika tradisional belum bisa mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis siswa karena biasanya hanya menekankan perhitungan dan mengabaikan pengembangan pandangan terpadu yang lebih luas dari pemecahan masalah statistika. Siswa diwajibkan untuk menghafal fakta dan prosedur. Konsep statistika jarang berasal dari masalah nyata, lingkungan belajar yang kaku, dan secara umum hanya ada satu jawaban yang benar untuk setiap masalah yang diberikan. Ketika diberikan masalah yang nyata, dalam pembelajaran statistika tradisional kegiatan cenderung menjadi tidak nyata dan relatif dangkal. Selain itu, biasanya siswa mendapatkan statistika dari kurikulum berbentuk sekumpulan materi yang terpisah-pisah, teknik pembelajaran tidak bermakna dan tidak relevan, membosankan, dan bersifat rutin. Pada tahun 2010 proyek CATALST (Change Agents for Teaching and Learning Statistics) disponsori oleh the National Science Foundation yang dimotori oleh Joan Garfield, Robert delMas and Andrew Zieffler mencoba memfokuskan penggunaan Model-Eliciting Activities (MEAs) pada beberapa ide statistik dengan menggunakan data realistis dan fokus pada model matematika yang mendasarinya. MEAs dengan sifat ini akan membantu siswa mempersiapkan diri untuk mempelajari statistika yang mengarah pada pemahaman konseptual, pemecahan masalah, retensi, dan transfer pengetahuan yang lebih baik. MEAs juga harus dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan untuk bekerja sama dalam memecahkan masalah. Pada penelitian ini, penulis memodifikasi MEAs yang telah dikembangkan oleh Garfield, delMas & Zieffler (2010) yang semula hanya untuk siswa sekolah menengah menjadi untuk mahasiswa serta memasukan Didactical Design Research (DDR) pada saat pendesainan MEAs yang selanjutnya penulis sebut MEAs yang dimodifikasi. DDR adalah sebuah metodologi penelitian baru yang dikembangkan oleh Suryadi sejak tahun 2005 yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) Analisis situasi didaktis; 2) Analisis metapedadidaktik; dan 3) Analisis retrosfektif. MEAs yang dimodifikasi adalah suatu pembelajaran untuk melihat masalah otentik, dunia nyata yang mengharuskan mahasiswa untuk bekerja dalam suatu tim yang terdiri dari tiga sampai empat orang untuk menghasilkan solusi masalah melalui deskripsi tertulis, penjelasan dan konstruksi dengan cara mengungkapkan pengujian berulang kali, dan memperluas cara-cara berpikir mereka. Ada enam prinsip dari MEAs, yaitu: (1) Prinsip konstruksi; (2) Prinsip realitas; (3) Prinsip self-assessment; (4) Prinsip dokumentasi; (5) Prinsip reusability dan berbagi-kemampuan; dan (6) Prinsip prototipe yang efektif.

81

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Disamping keenam prinsip tesebut, MEAs juga mempunyai tiga sifat tambahan, yaitu: (1) Mencerminkan masalah yang nyata; (2) Memiliki konteks saat ini dan menarik; dan (3) Menggunakan data nyata. Dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi ini¸pendekatan pembelajarannya berpusat pada mahasiswa, dosen hanya sebagai fasilitator. Strategi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi bersifat individu, kelompok, maupun kelas. Strategi pembelajaran individual dilakukan pada saat awal pembelajaran. Pada saat itu, dosen menanyakan kesiapan masing-masing mahasiswa berkaitan dengan materi yang akan disajikan. Strategi pembelajaran kelompok/tim dilakukan pada saat mahasiswa menyelesaikan masalah dan mempresentasikan hasil pekerjaannya. Sedangkan strategi pembelajaran kelas dilakukan pada akhir pembelajaran, yaitu pada saat diskusi berkaitan dengan materi pembelajaran. Selanjutnya teknik dan taktik dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi adalah sebagai berikut: dosen memberikan masalah kontektual yang bersifat open-ended. Masalah dipahami terlebih dahulu oleh setiap mahasiswa secara individual. Selanjutnya dosen mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dipecahkan oleh tim yang terdiri dari 3 - 4 orang mahasiswa. Mahasiswa mengumpulkan pekerjaannya kepada dosen. Dosen memeriksa pekerjaan mahasiswa sepintas. Dosen meminta beberapa tim yang jawabannya bereda untuk mempresentasikan jawabannya di depan kelas. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk membahas permasalahan yang diberikan. Pada akhir pembelajaran, mahasiswa dengan dipandu dosen membuat kesimpulan dan rangkuman. Selanjutnya dengan diperkenalkannya MEAs yang dimodifikasi ini khususnya untuk pembelajaran statistika dasar diharapkan akan melengkapi teori-teori pembelajaran statistika yang telah ada serta diperoleh suatu informasi bahwa pemilihan suatu model pembelajaran dan penyusunan bahan ajar statistika yang tepat dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir mahasiswa atau kemampuan berpikir statistis siswa. Selain itu, dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam tentang bagaimana cara mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa atau kemampuan berpikir statistis siswa. Pembahasan Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan selama setengah semester terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika di sebuah PTN di Bandung yang sedang mengikuti perkuliahan

82

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Dalam penelitian ini digunakan metode kuasi eksperimen dengan desain pretespostes. Pada kelas kontrol (mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi pembelajaran konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan 2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi. Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis (TKAS). Data tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir statistis (TKBS), sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan menggunakan skala disposisi. 1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis Peningkatan kemampuan berpikir statistis ditentukan berdasarkan gain ternormalisasi antara skor pretes dengan skor postes yang diperoleh dengan menggunakan instrumen TKBS yang sama. Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji homogenitas variansi dengan menggunakan Levene’s Test diketahui bahwa keseluruhan data kemampuan berpikir statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi α = 0,05. 1) Ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang sifnifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Perlakuan yang diberikan (pembelajaran MEAs yang dimodifikasi) berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa sebesar 32,2 %. Selanjutnya dari hasil posthoc test diketahui: a. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut adalah sebesar 0,2392. b. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (mengulang) yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut adalah sebesar 0,2772.

83

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

c. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (reguler) tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa (mengulang) yang juga menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,0380. Peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa mengulang lebih tinggi (tidak signifikan) dari mahasiswa kelas reguler. 2) Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang signifikan antara kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh pengelompokan (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 5,3 %. Selanjutnya dari hasil posthoc test diketahui: a. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok rendah tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa kelompok sedang. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,0387. Peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok sedang lebih tinggi (tidak signifikan) dari mahasiswa kelompok rendah. b. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok rendah tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa kelompok tinggi. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,0533. Peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok tinggi lebih tinggi (tidak signifikan) dari mahasiswa kelompok rendah. c. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok sedang tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa kelompok tinggi. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,0304. Peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok sedang lebih tinggi (tidak signifikan) dari mahasiswa kelompok tinggi. 3) Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang, rendah) tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa. Pengaruh dari interaksi antara kelas dan kelompok berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa hanya sebesar 1,5 %.

84

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Gambar 1 Dari gambar 1 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak mempengaruhi peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa. (1) Untuk kelas kontrol, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran konvensional tidak terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis masih tetap didominasi oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. (2) Untuk kelas eksperimen 1, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa kelompok sedang.

85

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

(3) Untuk kelas eksperimen 2, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs tidak terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis, peningkatan masih tetap didominasi oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. 2. Peningkatan Disposisi Statistis Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa diketahui bahwa data peningkatan disposisi statistis mahasiswa kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelompok sedang tidak berdistribusi normal sedangkan untuk kelas eksperimen 2, kelompok tinggi, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 0,05. Sehingga untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan peningkatan disposisi statistis mahasiswa digunakan uji Kruskal Wallis dan Uji Mann-Whitney. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis pada taraf signifikansi α = 0,05 diketahui bahwa: 1) Ada perbedaan peningkatan disposisi statistis mahasiswa antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Selanjutnya dari hasil uji Mann-Whitney diketahui: a. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaannya sebesar 0,3241. b. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa (mengulang) yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedannya sebesar 0,2382. c. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi berbeda secara signifikan dengan mahasiswa (mengulang) yang juga menggunakan pembelajaran MEAs. 2) Tidak ada perbedaan peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Selanjutnya dari hasil uji Mann-Whitney diketahui: a. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa kelompok rendah lebih rendah (tidak signifikan) dari mahasiswa kelompok sedang yaitu

86

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

sebesar 0,0213. b. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa kelompok rendah lebih tinggi (tidak signifikan) dari mahasiswa kelompok tinggi yaitu sebesar 0,0807. c. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa kelompok sedang lebih tinggi (tidak signifikan) dari mahasiswa kelompok tinggi yaitu sebesar 0,0594. 3) Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang, rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa.

Gambar 2 Dari gambar 2 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak mempengaruhi peningkatan disposisi statistis mahasiswa. 1) Untuk kelompok kontrol, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok sedang, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran konvensional terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan disposisi statistis didominasi oleh kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. 2) Untuk kelompok eksperimen 1, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Akan tetapi perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan disposisi statistis

87

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Jadi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi dapat lebih meningkatkan disposisi statistis mahasiswa kelompok rendah. 3) Untuk kelompok eksperimen 2, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok sedang. Akan tetapi perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Jadi pembelajaran MEAs yang dimodifikasi pada kelas eksperimen 2 dapat lebih meningkatkan disposisi statistis mahasiswa kelompok rendah dan kelompok sedang. Penutup Kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 dapat ditingkatkan lebih optimal dengan menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran MEAs yang dimodifikasi juga dapat lebih mengoptimalkan disposisi statistis mahasiswa. MEAs yang dimodifikasi ini merupakan suatu pembelajaran statistika dasar yang relatif baru di Indonesia bahkan di dunia. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam pada semua jenjang pendidikan. Peneliti selanjutnya dapat mengaplikasikan MEAs yang dimodifikasi ini pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hasil-hasil penelitian tersebut tentulah sangat diperlukan dalam mereformasi pendidikan statistika sehingga pembelajaran statistika menjadi lebih bermakna bagi siswa dan siswa dapat diaplikasikannya dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan nyata. Daftar Pustaka Ben-Zvi, D., & Friedlander, A. (1997). Statistical investigations with spreadsheets (in Hebrew). Rehovot, Israel: Weizmann Institute of Science. Biggs, J. B., & Collis, K. F. (1982). Evaluating the quality oflearning: The SOLO taxonomy (Structure of the Observed Learning Outcome). New York: Academic Garfield, delMas & Zieffler. (2010). Developing Tertiary-Level Students’ Statistical Thinking Through the Use of Model-Eleciting Activities. ICOTS8 (2010) Invited Paper

88

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Jones, Thornton, Langrall & Mooney. (2000). A Framework for Characterizing Children’s Statistical Thinking. Mathematical Thinking and Learning, 2(4), 269–307 Copyright © 2000, Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Martadiputra. (2010). Diklat Kemampuan Melek Statistis (Statistical literacy), Penalaran Statistis (Statistical Reasoning) dan Berpikir Statistis (Statistical Thinking) Guru SMP/SMA. Bandung: Jurnal Albamas tahun 10, No. 10, Oktober 2010, ISSN 1412-1891. Martadiputra. (2010.a). Hasil Uji Coba Instrumen Kemampuan Berpikir Statistis (Statistical Thinking). Bandung: PPs UPI, Tugas Mata Kuliah MT. 911 Studi Individual. Martadiputra dan Tapilouw.(2011). Kajian tentang Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1 Jurusan Pendidikann Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Laporan Penelitian. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta PendekatanGabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: SPS UPI. Suryadi, D. (2010). Didactical Design Researh (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika I. Bandung: Seminar Nasional Pembelajaran MIPA di UM Malang, 13 November 2010.

89

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

PEMBELAJARAN MATEMATIKA HUMANIS DENGAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA Oleh: Heris Hendriana Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak Penelitian ini menggunakan metoda eksperimen pre-test postest disign. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kepercayaan diri siswa dalam matematika pada pembelajaran matematika humanis dengan metaphorical thinking. Penelitian ini dilakukan di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar dan angket tentang kepercayaan diri siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Matematika humanis dengan metaphorical thinking (MT) lebih unggul dari pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa, baik ditinjau secara keseluruhan maupun berdasarkan level sekolah dan kemampuan awal matematika siswa. Terdapat asosiasi yang tinggi antara KAM dan kepercayaan diri pada kelas dengan pembelajaran metaphorical thinking, dan pada kelas konvensional asosiasi antara KAM dan kepercayaan diri tergolong cukup. Kepercayaan diri siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan metaphorical thinking (MT) lebih baik daripada yang menggunakan cara biasa (CB), kepercayaan diri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MT dan CB berada dalam kualifikasi sedang Kata kunci : metaphorical thinking, kepercayaan diri

Pendahuluan Sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia yang diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif, matematika yang diajarkan di sekolah diharapkan dapat menjadi sarana bagi siswa untuk mengasah kepercayaan diri dalam menghadapi berbagai situasi masalah. Walaupun demikian, sejumlah pendapat yang sering kita dengar tentang matematika adalah menakutkan, membosankan, membingungkan, menyebalkan dll, menjadikan anggapan sebagian orang bahwa matematika malah membuat siswa menjadi tidak percaya diri. Bahkan beberapa mahasiswa di perguruan tinggi yang mengambil

90

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

program studi di luar program studi matematika ketika dihadapkan dengan mata kuliah pengenalan statistik (sebagai mata kuliah wajib) merasa tersiksa dengan hitungan-hitungan yang diberikan. Pendapat di atas semakin dipertajam dengan model pembelajaran matematika di SD, SMP maupun SMA yang terjadi saat ini cenderung pada pencapaian target materi yang diamanatkan dalam kurikulum atau merujuk pada buku yang dipakai sebagai buku wajib dengan berorientasi pada soal-soal ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi pada tahun-tahun sebelumnya, bukan pada pemahaman (understanding) bahan materi yang dipelajari. Para siswa cenderung menghafalkan konsep-konsep matematika, seringkali dengan mengulang-ulang menyebutkan definisi yang diberikan guru atau yang tertulis dalam buku, tanpa berusaha untuk memahami maksud dan isinya. Selama ini (mudahan-mudahan segera berakhir), memang Hal yang demikian dapat kita amati ketika siswa belajar, kebanyakan belajar baru dilakukan sangat intens atau yang biasa dikenal dengan sebutan SKS (Sistem Kebut Semalam, Sejam, Setengah jam, Semenit, atau …) menjelang ulangan atau ujian. Anehnya, seorang guru mengatakan bahwa dalam tingkat SMA yang penting adalah bahwa siswa mampu menghafalkan konsep-konsep dan bisa mengerjakan soal-soal seperti soal-soal Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), hanya dengan satu tujuan, yakni agar mereka bisa lulus UN dan dapat diterima di perguruan tinggi negeri yang dicita-citakan. Sedangkan, terkait pemahaman materi itu nanti dapat dilaksanakan setelah mereka menempuh proses perkuliahan di perguruan tinggi. (Marpaung, 2003:240). Studi awal yang dilakukan oleh salah seorang guru matematika di SMAN 23 Bandung menunjukkan bahwa guru berperan dalam memberikan stimulus kepada siswa untuk menyenangi belajar matematika. Siswa cenderung memilih guru matematika yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengeksploitasi ketidakpahamannya terhadap substansi bidang studi matematika. Kesabaran dan kedekatan guru dengan siswa sangat mempengaruhi keberhasilan belajar matematika siswa. Menghadapi kondisi itu, pembelajaran matematika harus mengubah citra dari pembelajaran yang mekanistis menjadi humanistik yang menyenangkan. Pembelajaran yang dulunya memasung kreativitas siswa menjadi yang membuka kran kreativitas. Pembelajaran yang dulu berkutat pada aspek kognitif menjadi yang berkubang pada semua aspek termasuk kepribadian (Siswono, 2007)

91

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Pembelajaran matematika harus memperhatikan aspek kemampuan dasar siswa. Kemampuan dasar siswa ini dapat dilihat dari persepsi siswa tentang suatu objek matematika. Pada siswa-siswa tingkat dasar, biasanya persepsi siswa pada suatu objek matematika (pokok bahasan) merupakan modal awal pemahaman dia pada kemampuan matematika lanjutan. Hasil studi Carreira, S (2001:56) mengatakan bahwa penerapan masalah matematika dalam fenomena nyata memberikan kondisi tersendiri untuk menghasilkan makna dan pengertian dalam konsep matematika tersebut. Ruseffendi (1991:172) pemahaman konsep akan lebih baik jika dikaitkan dengan keadaan lain (domain lain). Selanjutnya, Carreira, S (2001: 262) memberikan gambaran bahwa menemukan hubungan antara matematika dan fenomena nyata adalah sebuah proses dan usaha memainkan model yang penting. Ini dikarenakan model matematika merupakan rangkuman sejumlah konsep matematika dan rangkuman sejumlah interpretasi yang memerlukan interpretasi yang akurat. Perlu proses yang integrative antara model dan aplikasi matematika dalam pembelajarannya di kelas. Seluruh aktivitas diharapkan mempunyai pengaruh positif pada belajar matematika sehingga belajar matematika menjadi bermakna. Membuat matematika yang humanis dalam pembelajarannya merupakan modal awal untuk memberikan stimulus sejak dini kepada siswa sehingga tanggapan negatif terhadap matematika berkurang. Dengan menyenangi matematika, belajar matematika menjadi sebuah kebanggaan bagi siswa sehingga diharapkan kebiasaan berpikir kreatif menjadi terlatih. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang diharapkan mendukung matematika yang huanis dan kreatifitas siswa diantaranya adalah Pendekatan Metaphorical Thinnking. Penulis mencoba meneliti tentang penerapan pendekatan metaphorical thinking ini pada peningkatan daya kreatifitas siswa. Selain variabel pembelajaran, berdasarkan salah satu karakteristik matematik sebagai ilmu yang sistimatik dan terstruktur maka diperkirakan bahwa variabel kluster sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa juga berperan dalam pencapaian kemampuan kreativitas matematik siswa. Analisis di atas mendorong dilakukannya studi untuk menjawab permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana kualitas kepercayaan diri siswa setelah pembelajaran ditinjau secara keseluruhan dan berdasarkan level sekolah dan tingkat kemampuan awal matematik siswa? 2. Adakah asosiasi di antara variabel-variabel kepercayaan diri siswa, dan kemampuan awal matematika?

92

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Landasan Teori 1.

Kepercayaan diri

Kepercayaan diri atau keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri (Rakhmat, 2000). Lauster (Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal – hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya. Kepercayaan diri akan memperkuat motivasi mencapai keberhasilan, karena semakin tinggi kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri, semakin kuat pula semangat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kemauannya untuk mencapai apa yang menjadi sasaran tugas juga akan lebih kuat. Berarti ia juga mempunyai komitmen kuat untuk bekerja dengan baik, supaya penyelesaian pekerjaannya berjalan dengan sempurna. Dibandingkan dengan orang lain, biasanya orang semacam ini juga akan lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya dan lebih mudah menerima pandangan yang berbeda dengan sudut pandang dirinya. Orang yang selalu curiga atau tidak dapat menerima pendapat yang berbeda dengan pendapatnya biasanya khawatir pendapatnya akan lebih jelek dari pendapat orang lain. Menurut Lauster (Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu, diantaranya: (a) Percaya kepada kemampuan sendiri, yaitu suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut, (b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara mandiri tanpa banyak melibatkan orang lain. Selain itu, mempunyai kemampuan untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut, (c) Memiliki konsep diri yang positif, yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri, (d). Berani mengungkapkan pendapat, yaitu adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat menghambat pengungkapan perasaan tersebut.

93

Infinity 2.

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Matematika Humanis

Pemahaman terhadap matematika yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itu sungguh bersifat pribadi dan mengakar dalam masing-masing individu siswa. Para siswa akan belajar untuk menghargai dan mencintai matematika karena mereka memiliki keyakinan tentang bagaimana caranya merumuskan dan menggunakan sarana matematika ketika diperlukan. Artinya, ketika proses pembelajaran matematika berlangsung, guru lebih berperan sebagai fasilitator dan moderator, bukan sebagai penceramah atau pengajar, dan para siswa sendirilah yang aktif mencari, menyelidiki, merumuskan, menguji, membuktikan, mengaplikasikan, menjelaskan, dan sebagainya. Sistem belajar siswa aktif memang berorientasi pada siswa dan bukan pada bahan pelajaran, pada proses dan bukan pada hasil pembelajaran. Sehingga, akhirnya para siswa akan menguasai bukan hanya pada materi atau bahan yang dipelajarinya, melainkan juga bagaimana mempelajari materi itu secara bermakna. Berikut, diberikan 2 contoh kasus proses pembelajaran matematika yang diakomodasi dari Fathani (2010) : Contoh 1 : Seorang guru SD menjelaskan kepada siswanya tentang macam-macam bilangan. Ketika menerangkan bilangan cacah, beliau memberikan definisi bahwa bilangan cacah adalah bilangan yang dimulai dari nol (0,1,2,3, …). Dari penjelasan tersebut siswa hanya akan menangkap pesan bahwa bilangan yang dimulai dari nol dinamakan bilangan cacah, dan tidak mengetahui untuk apa bilangan cacah itu dalam kehidupan, kecuali siswa yang berusaha untuk mencari jawabannya. Contoh 2 : Sorang guru bermaksud menjelasan tentang macam-macam bilangan dengan berusaha menjelaskan bagaimana bilangan-bilangan itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. “Bilangan cacah dijelaskan, bahwa bilangan cacah adalah bilangan yang dimulai dari nol yang jika kita amati dalam kehidupan, bilangan cacah ini digunakan untuk menyatakan jumlah objek atau barang”. Kata guru ketika menjelaskan. Lalu ada salah satu siswa yang bertanya, “Kalau begitu, berarti ada objek yang jumlahnya nol, bu?”. Kemudian guru tersebut mengajak para siswa untuk ke halaman sekolah. Guru tersebut bertanya: “Berapa banyak sepeda yang diparkir di halaman sekolah ini?”. Dengan serentak siswa menjawab: “ada sepuluh buah sepeda, bu”. Selanjutnya guru tersebut bertanya lagi, “Berapa jumlah mobil yang diparkir di halaman sekolah ini?”. “Tidak ada , Bu”. Jawab siswa serempak. Dari jawaban inilah, kemudian guru menjelsakan bahwa ada objek yang berjumlah nol, dalam hal ini jumlah

94

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

mobil yang di parkir di halam sekolah. Nol adalah bilangan cacah yang dapat digunakan untuk menyatakan jumlah obyek kosong atau tidak ada. Sriyanto, HJ. (Fathani, 2004) berpendapat, bahwa seorang guru yang mampu menghadirkan diri sebagai sosok teman yang akrab, familiar, mau terbuka untuk mendengarkan, dan membantu setiap kesulitan yang dihadapi siswa kiranya akan mudah diterima oleh siswa daripada guru yang menampilkan diri sebagai sosok yang galak, seram menakutkan, dan sering menghukum siswa. Kedekatan secara personal antara guru dan siswa akan membuat siswa lebih terbuka mengungkapkan kesulitan dan persoalan yang dihadapinya dalam pembelajaran matematika sehingga guru juga akan lebih mudah untuk membantu mencari solusi yang tepat. Ciri-ciri manusiawi matematika hanya dapat dialami dan diapresiasi oleh para siswa kalau mereka mempelajari matematika itu juga secara manusiawi, yaitu dengan membangun sendiri pemahaman mereka akan unsur-unsur matematika. Pemahaman tersebut dapat terbentuk bukan dengan menerima apa saja yang diajarkan dan mengahafalkan rumus-rumus dan langkah-langkah yang diberikan, melainkan dengan membangun makna dari apa yang dipelajari dengan mempergunakan informasi baru yang mereka peroleh untuk mengubah, melengkapi atau menyempurnakan pemahaman yang telah tertanam sebelumnya, dengan memanfaatkan keleluasaan yang tersedia untuk melakukan eksperimen, termasuk di dalamnya kemungkinan untuk berbuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut. 3. Metaphorical Thinking Berpikir metaforik adalah proses berpikir yang menggunakan metaforametafora untuk memahami suatu konsep. Menurut Holyoak & Thagard (1995), metafora berawal dari suatu konsep yang diketahui siswa menuju konsep lain yang belum diketahui atau sedang dipelajari siswa. Metafora tergantung kepada sejumlah sifat dari konsep dan benda yang dimetaforkan. Berpikir metaforik dalam matematika digunakan untuk memperjelas jalan pikiran seseorang yang dihubungkan dengan aktivitas matematiknya. Konsep-konsep abstrak yang diorganisasikan melalui berpikir metaforik, dinyatakan dalam hal-hal kongkrit berdasarkan struktur dan cara-cara bernalar yang didasarkan sistem sensori-motor yang disebut dengan konseptual metafor. Bentuk konseptual metafor meliputi: a. Grounding methapors merupakan dasar untuk memahami ide-ide matematika yang dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari. b. Linking methapors : membangun keterkaitan antara dua hal yaitu memilih, menegaskan, memberi kebebasan, dan mengorganisasikan karakteristik

95

Infinity c.

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

dari topik utama dengan didukung oleh topik tambahan dalam bentuk pernyataan-pernyataan metaforik. Redefinitional methapors: Mendefinisikan kembali metafor-metafor tersebut dan memilih yang paling cocok dengan topik yang akan diajarkan.

Berpikir metaforik dalam matematika dimulai dengan memodelkan suatu situasi secara matematis, kemudian model-model itu dimaknai dengan pendekatan dari sudut pandang semantik. Di dalam pembelajaran matematika penggunaan metafora oleh siswa merupakan suatu cara untuk menghubungkan konsep-konsep matematika dengan konsep-konsep yang telah dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari, dimana dia mengungkapkan konsep matematika dengan bahasanya sendiri yang menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut. Berdasarkan seluruh uraian di atas maka berpikir metaforik dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses berpikir untuk memahami dan mengkomunikasikan konsep-konsep abstrak dalam matematika menjadi hal yang lebih konkrit dengan membandingkan 2 hal yang berbeda makna. Berpikir metaforik matematik berbeda dengan berpikir metaforik biasa, perbedaannnya terletak pada pemahaman konsep dan aplikasi dalam menyelesaikan persoalan yang harus dihadapi. Sebagai ilustrasi berikut diberikan contoh perbedaan berpikir metaforik dalam matematika dan metaforik biasa: a.

Metaphora matematika Ruas garis AC panjangnya 20cm. Titik B terletak pada ruas garis AC. Bentuklah persegi ABGF dan BCDE, dengan mempertimbangkan keliling dari bangun yang dibentuk dari dua persegi tersebut (ABCDEGF). Jika posisi B berubah bagaimana dengan perubahan kelilingnya ?

Dalam menyelesaikan soal ini metaphorical thinking siswa dapat dilihat dalam merepresentasikan titik statis B yang bergerak pada segmen AC, dimana ia menggerakkan jari-jari tangannya dari kiri ke kanan atau sebaliknya untuk menunjukkan rangkaian pergeseran titik B pada segmen AC. Kemudian ia menyatakan simbol pergeseran tadi dalam sebuah variabel k sehingga pada akhirnya diperoleh suatu fungsi yang menyatakan hubungan antara perubahan nilai k dengan keliling bangun ABCDEGF. b.

Metaphora Biasa

Shakespeare dalam bukunya menulis bahwa Juliet itu seperti matahari bagi Romeo, karena Juliet itu begitu sentral dan amat penting dalam kehidupan Romeo. Metaphora yang dilakukan Shakespeare terhadap Juliet hanya sebatas

96

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

untuk menggambarkan sosok Juliet. Lain halnya dengan penggambaran siswa dalam menunjukkan rangkaian pergeseran titik B dengan jari tangannya adalah untuk mengaplikasikan konsep matematika dan mencari solusi dari masalah matematika yang diberikan. Metode dan Disain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu eksperimen pre test - post test yang menerapkan pendekatan metaphorical thinking untuk mengembangankan kemampuan pemahaman dan kreativitas matematik siswa SMP dengan disain sebagai berikut : O X O O O Keterangan : A : Pemilihan sampel tiga SMP secara acak masing-masing satu SMP dari tiap kelompok level sekolah (tinggi, menengah, dan rendah). Pada SMP terpilih ditetapkan dua kelas (kelas 7) secara acak dari kelas 7 yang ada. O : Tes awal dan tes akhir hasil belajar matmatika siswa. X : Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Metaphorical thinking Dengan demikian subyek penelitian ini adalah sebanyak 237 orang siswa yang tersebar padas enam (6) kelas 7 dari tiga (3) SMP yang terpilih. Sebelum pembelajaran, selain diberikan tes awal kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik, siswa pada tiap kelas juga di kelompokkan dalam tiga klasifikasi (tinggi, menengah, dan rendah) berdasarkan kemampuan awal matematika prasyarat dengan menggunakan aturan patokan. Kemampuan awal matematika prasyarat diestimasi melalui tes materi prasyarat dari materi yang akan diajarkan.

Temuan dan Pembahasan 1.

Kepercayaan Diri Siswa

Temuan tentang kepercayaan diri siswa secara keseluruhan dan berdasarkan pendekatan pembelajaran (MT dan konvensional), peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah), dan kemampuan awal matematika siswa (KAM) kelompok baik, sedang atau kurang tersaji pada Tabel 1.

97

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Tabel 1 Kepercayaan Diri Siswa berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Peringkat Sekolah, dan KAM Level Sekolah

Tinggi

Sedang

Rendah

Total

KAM Baik

Rerata 169,36

Pendekatan pembelajaran MT Konvensional SD N Rerata SD N 12,68 14 151,75 8,92 12

Total Rerata 161,23

SD 14

N 26

Sedang

147,38

4,7

13

130,86

5,56

14

138,82

9,82

27

Kurang

113,85

12,52

13

112

9,33

13

112,92

10,86

26

Sub total

144,18

25,49

40

131

17,90

39

137,67

22,88

79

Baik

176,12

10,33

8

159,14

13,23

7

168,2

14,33

15

Sedang

153,65

5,18

17

134,84

8,01

19

143,72

11,66

36

Kurang

126

13,37

13

110,64

11,5

14

118,04

14,17

27

Sub total

148,92

20,94

38

130,62

19,96

40

139,54

22,3

78

Baik

186

3,61

3

171,67

15,54

3

178,83

12,78

6

Sedang

154,48

10,34

21

140,7

9

20

147,76

11,86

41

Kurang

112,19

12,98

16

113,76

10,70

17

113

11,70

33

Sub total

139,92

26,71

40

131,58

20,09

40

135,75

23,85

80

Baik Sedang

173,52 152,39

12,29 8,10

25 51

156,82 112,25

12,76 10,42

22 44

165,70 144,04

14,97 11,74

47 104

Kurang

116,98

13,86

42

136

8,70

53

114,56

12,38

86

Total

144,26

24,60

118

131,07

19,20

119

137,64

22,98

237

Keterangan: Skor maksimum ideal 200 Berdasarkan Tabel 1, dapat dikemukakan deskripsi kepercayaan diri siswa sebagai berikut: 1) Secara keseluruhan rata-rata kepercayaan diri siswa adalah 137,64 (dari skor maksimum ideal 200). Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri siswa secara keseluruhan termasuk kategori sedang. 2)

Kepercayaaan diri siswa berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (MT dan CB) berturut-turut ditemukan sebesar 144,26 dan 131,07; dengan simpangan baku 24,60 dan 19,20; dan jumlah siswa 118 dan 119. Pada sekolah level tinggi tinggi berturut ditemukan sebesar 144,18 dan 131 dengan simpangan baku 25,49 dan 17,9; dan jumlah siswa 40 dan 39. Pada sekolah level sedang ditemukan berturutturut sebesar 148,92 dan 130,62; simpangan baku 20,94 dan 19,96; dan jumlah siswa 38 dan 40. Pada sekolah level rendah ditemukan 139,92 dan 131,58; simpangan baku 26,71 dan 20,09; dan jumlah siswa 40 dan 40. Temuan ini menunjukkan bahwa metaphorical thinking lebih unggul dari pada pembelajaran konvensional dalam mengembangkan kepercayaan diri siswa

3)

Kepercayaan diri siswa berdasarkan peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah) berturut-turut ditemukan sebesar 137,67 ; 139,54 dan 135,75 dengan simpangan baku 22,88 ; 22,3; 23,85; dan jumlah siswa 79, 78 dan 80. Temuan ini

98

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

menunjukkan bahwa pengklusteran level sekolah yang dibuat oleh dinas pendidikan setempat tdak merupakan prediktor bagi pencapaian kepercayaan diri siswa. 4)

Kepercayaan diri siswa berdasarkan KAM (baik, sedang dan kurang) berturut adalah sebesar 165,70 , 144,04 , dan 114,56; dengan simpangan baku 14.97, 11,74, dan 12,38; dan jumlah siswa 47,104, dan 86. Pada pembelajaran MT dan konvensional untuk siswa dengan KAM tinggi berturut-turut ditemukan 173,52 dan 156,82 dengan simpangan baku 12,29 dan 12,76 dan jumlah siswa 25 dan 22. Untuk siswa dengan KAM sedang ditemukan berturut-turut sebesar 152,39 dan 112,25 dengan simpangan baku 8,10 dan 10,42 dan jumlah siswa 51 dan 44. Sedang untuk siswa dengan KAM rendah ditemukan 116,98 dan 136 dengan simpangan baku 13,86 dan 8,70 dan jumlah siswa 42 dan 53. Dari temuan di atas, secara keseluruhan, pada KAM tinggi dan sedang kepercayaan diri siswa yang memperoleh pembelajaran MT lebih baik dari yang mendapat pembelajaran konvwensional. Namun pada siswa dengan KAM rendah kondisi tersebut tidak ditemukan. Temuan ini menunjukkan bahwa keunggulan metaphorical thinking dari pembelajaran biasa lebih sesuai untuk siswa dengan KAM tinggi dan sedang, dan untuk siswa dengan KAM rendah lebih baik dengan pembelajaran konvensional.

5)

Dengan demikian dari ketiga variabel yaitu level sekolah, KAM, dan pendekatan pembelajaran maka variabel pendekatan pembelajaran (Metaphorical thinking) yang paling berperan dalam pencapaian kepercayaan diri siswa.

2.

Asosiasi antara Kemampuan Awal Matematik (KAM) dan Kreativitas Matematik Siswa

Analisis asosiasi antara kemampuan awal matematik (KAM) dan kreativitas matematik siswa tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Banyaknya Siswa Berdasarkan Kualitas KAM dan Kreativitas matematik Siswa Komunikasi Matematik KAM

Jumlah Kurang

Sedang

Baik

Kurang

81

5

0

86

Sedang

9

93

3

105

Baik

0

10

36

46

JUMLAH

90

108

39

237

99

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Dari hasil perhitungan diperoleh  2 hit = 323,83 dengan

 =0,05 dan dk=(3-1)

(3-1)=4 didapat  tab =9,49, sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi yang signifikan antara KAM dan kemampuan kreativitas matematik siswa. Selanjutnya untuk mengetahui derajat asosiasi (ketergantungan) antara variabel yang satu dengan yang lainnya digunakan koefisien kontingensi C. Dari hasil perhitungan diperoleh C=0,76 dan C maks =0,816, sehingga diperoleh C= 2

0,93C maks yang termasuk ke dalam kriteria tinggi.

3.

Asosiasi antara KAM dan Kepercayaan Diri

Analsis asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dan kreativitas matematik siswa tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Banyaknya Siswa Berdasarkan KAM dan Kepercayaan Diri pada Kelas Eksperimen KAM

Kepercayaan Diri

Jumlah

Kurang

Sedang

Baik

Kurang

16

26

0

42

Sedang

0

40

11

51

Baik

0

3

22

25

JUMLAH

16

69

33

118

Dari hasil perhitungan diperoleh  2 hit = 86,46 dengan

 =0,05

dan dk=(3-

1)(3-1)=4 didapat  tab =9,49, sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi yang signifikan antara KAM dan kepercayaan diri siswa. Selanjutnya untuk mengetahui derajat asosiasi (ketergantungan) antara variabel yang satu dengan yang lainnya digunakan koefisien kontingensi C. Dari hasil perhitungan diperoleh C=0,65 dan C maks =0,816, sehingga diperoleh C= 0,80 C maks yang termasuk ke dalam kriteria tinggi. 2

Untuk melihat ada tidaknya hubungan antara kepercayaan diri siswa dan KAM untuk kelas kontrol, hasil penggolongannya disajikan dalam Tabel 4.

100

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Tabel 4 Banyaknya Siswa Berdasarkan KAM dan Kepercayaan Diri Pada Kelas Konvensional Kepercayaan Diri KAM

Jumlah

Kurang

Sedang

Baik

Kurang

16

28

0

44

Sedang

0

53

0

53

Baik

0

16

6

22

JUMLAH

16

97

6

119

Dari hasil perhitungan diperoleh  2 hit = 57,88 dengan

 =0,05

dan dk=(3-

1)(3-1)=4 didapat  tab =9,49, sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi yang signifikan antara KAM dan kepercayaan diri siswa. Selanjutnya untuk mengetahui derajat asosiasi (ketergantungan) antara variabel yang satu dengan yang lainnya digunakan koefisien kontingensi C. Dari hasil perhitungan diperoleh C=0,33 dan C maks =0,816, sehingga diperoleh C= 0,33C maks yang termasuk ke dalam kriteria cukup. 2

Pembahasan Dari hasil analisis data terhadap kepercayaan diri siswa diperoleh kesimpulan bahwa tingkat kepercayaan diri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MT lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan cara biasa. Hasil ini sejalan dengan pandangan konstrukstivisme yang mengatakan bahwa pengetahuan dalam diri seseorang terbentuk ketika seseorang mengalami tempaan kognitif. Melalui pendekatan MT belajar dapat dipahami sebagai proses kognitif yang bergulir dengan sendirinya dalam diri seseorang ketika yang bersangkutan memperoleh pengalaman kongkrit, wacana kolaboratif, dan kegiatan melakukan refleksi. Selain itu dalam pendekatan ini konsep baru yang akan dipelajari siswa dibandingkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa, sehingga terjadi belajar bermakna. Dalam pendekatan ini pula siswa diberi kesempatan bereksplorasi dengan berbagai metafora untuk mengungkapkan pemahamannya terhadap suatu konsep dan diberi kebebasan yang seluasluasnya untuk berani mengemukakan pendapatnya. Karena siswa terus dilatih

101

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

bereksplorasi dan berani mengemukakan pendapat serta dia merasa belajarnya bermakna maka siswa akan lebih percaya diri dalam belajar matematika. Kesempatan untuk bereksplorasi dan berani mengemukakan pendapat juga membuat siswa dengan KAM kurang menjadi lebih percaya diri dalam belajar matematika. Hal ini terbukti dari hasil analisis data bahwa terdapat asosiasi yang tinggi antara KAM dan kepercayaan diri siswa, dimana siswa KAM baik, kepercayaan dirinya cenderung baik, siswa KAM sedang kepercayaan dirinya scenderung sedang, tetapi yang menarik siswa KAM kurang kepercayaan dirinya cenderung sedang. Fenomena pada siswa KAM kurang ini Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kepercayaan diri siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan metaphorical thinking (MT) lebih baik daripada yang menggunakan cara biasa (CB), kepercayaan diri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MT dan CB berada dalam kualifikasi sedang. 2.

Terdapat asosiasi yang tinggi antara KAM dan kepercayaan diri pada kelas dengan pembelajaran metaphorical thinking, dan pada kelas konvensional asosiasi antara KAM dan kepercayaan diri tergolong cukup.

DAFTAR PUSTAKA Carreira, S. (2001). Where There’s a Model, There’s a Metaphor: Metaphorical Thinking in Students’ Understanding of a Mathematical Model. An International Journal Mathematical Thinking and Learning. 3(4), 261-287 Fathani, A.H. (2010). Pembelajaran Matematika yang Humanis. [Online]. Tersedia: http://yppti.org/index.php?option=com_content&view=article&id=3 65:pembelajaran-matematika-yanghumanis&catid=5:artikel&Itemid=4. Fasikhah, S.S. 1994. Peranan Kompetensi Sosial Pada T.L Koping Remaja Akhir. Tesis. Yogyakarta. Program P.S UGM Yogyakarta. Holyoak, KJ, & Thagard, P. (1995). Mental leaps: Analogy in creative thought . Cambridge, MA: MIT Press. Marpaung, Y. 2003, PMRI, Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Buletin PMRI: halaman 4, Edisi Perdana. Rakhmat, J. (2000). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

102

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Ruseffendi,E.T.(1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Siswono, Tatag Y. E. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Disertasi Doktoral Program Pasca Sarjana UNESA Surabaya. Tidak dipublikasikan. Sriyanto (2004). Momok Itu Bernama matematika. Basis (Juli-Agustus 2004)

103

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

PENERAPAN METODE BESARAN PIVOT DALAM PENURUNAN RUMUS TAKSIRAN INTERVAL DARI KOEFISIEN REGRESI LINEAR SEDERHANA Oleh :

Nar Herrhyanto Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, UPI

Abstrak Regresi merupakan bentuk hubungan antara variabel bebas X dan variabel respon Y yang dinyatakan dalam sebuah persamaan matematik. Persamaan matematik tsb selanjutnya akan merupakan sebuah persamaan regresi. Persamaan regresi linear yang sebenarnya berbentuk Y = α + βX + ε. Dari koefisien regresi α dan β, maka β merupakan koefisien regresi yang berpengaruh terhadap perubahan variabel respon Y. Karena nilai β ini biasanya tidak diketahui, maka nilainya akan ditaksir berdasarkan data sampel. Dalam hal ini, penaksiran β yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah penaksiran interval. Dengan kata lain, bagaimana bentuk rumus taksiran interval dari β ini. Sehingga dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana penurunan rumus taksiran interval dari β. Dalam statistika matematik ada sebuah metode yang digunakan dalam penaksiran interval ini, yaitu metode besaran pivot. Kata Kunci : Regresi Linear Sederhana, Taksiran Interval Koefisien Regresi, Besaran Pivot

Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari banyak data yang diperoleh atau dikumpulkan dengan melibatkan variabel. Apabila ada dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel respon, maka dapat diketahui hubungan antara kedua variabel tsb. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya sudah diketahui dan biasanya dinyatakan dengan X. Variabel respon adalah variabel yang nilainya ditentukan berdasarkan variabel bebas, dan biasanya dinyatakan dengan Y. Dari kedua variabel tsb, dapat diketahui bentuk hubungan antara keduanya yang dinyatakan dengan sebuah persamaan matematik. Bentuk hubungan tsb sering disebut sebagai regresi.

104

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Regresi ada dua macam, yaitu regresi linear dan regresi non linear. Penentuan regresi linear atau non linear ini bisa diketahui melalui metode tangan bebas. Dalam metode tangan bebas ini didasarkan pada diagram pencar, yaitu diagram yang dibentuk berdasarkan data berpasangan (x,y) dan berupa sekumpulan titik-titk yang terpencar dimana-mana. Apabila letak sekumpulan titik-titik itu sekitar garis lurus, maka regresi yang diperoleh berbentuk linear. Apabila letak sekumpulan titik-titik itu membentuk sebuah kurva, maka regresi yang diperoleh berbentuk non linear. Dalam hal ini akan dibahas regresi yang berbentuk linear saja. Regresi linearnya juga merupakan regresi linear sederhana, yaitu regresi yang melibatkan satu variabel bebas X dan satu variabel respon Y. Persamaan regresi yang sebenarnya berbentuk Y = α + βX + ε. Dari koefisien regresi α dan β, maka β merupakan koefisien regresi yang berpengaruh terhadap perubahan variabel respon Y. Artinya β merupakan koefisien yang menyatakan perubahan variabel respon Y, apabila variabel bebas X berubah sebesar satu satuan. Karena nilai β ini biasanya tidak diketahui, maka nilainya akan ditaksir berdasarkan data sampel. Dalam statistika dibahas penyelesaian suatu masalah, mulai dari pengumpulan data sampai penarikan kesimpulan. Salah satu cara yang digunakan untuk menarik kesimpulan adalah berhubungan dengan penaksiran parameter. Penaksiran parameter adalah penentuan sebuah nilai atau nilai-nilai yang dihitung dari sampel acak sebagai pengganti dari sebuah parameter yang nilainya tidak diketahui. Penentuan nilai dari sampel acak ini disesuaikan dengan parameternya. Penaksiran interval merupakan cara untuk menentukan nilai-nilai yang berbentuk interval berdasarkan data sampel, dimana nilai-nilai tsb sebagai pengganti dari nilai parameter yang tidak diketahui. Dalam penentuan taksiran interval tsb harus dicari dahulu taksiran titik dari parameter yang bersesuaiannya. Dalam statistika yang membahas rumusrumusnya secara teoritis (disebut statistika matematik) ada sebuah metode yang digunakan untuk menentukan taksiran interval dari sebuah parameter, yaitu metode besaran pivot. Permasalahan Dalam statistika ada dua cara untuk mempelajarinya, yaitu menggunakan rumus-rumusnya dan menurunkan rumus-rumusnya. Orang yang mempelajari statistika, selain menggunakan rumus yang ada sebaiknya harus dipelajari juga bagaimana rumus-rumus itu diturunkan. Untuk menurunkan rumus dalam statistika diperlukan materi prasyarat, sehingga masalah ini merupakan masalah teoritis. Sehubungan dengan masalah teoritis ini, maka penulis

105

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

berusaha untuk menurunkan rumus-rumus yang terdapat dalam statistika khususnya dalam regresi. Salah satu masalah yang terdapat dalam regresi adalah taksiran interval dari koefisien regresi dalam regresi linear sederhana. Sehingga permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana penurunan rumus taksiran interval untuk koefisien regresi linear sederhana dengan menggunakan metode besaran pivot? Pembahasan Menurut Herrhyanto (2003:156) dan (2010:52), langkah-langkah yang diperlukan untuk menentukan taksiran interval sebuah parameter dari sebuah distribusi dengan menggunakan metode besaran pivot sbb: 1. Tentukan taksiran titik dari parameter itu. Dalam hal ini, tentunya dicari penaksir tak bias bagi parameter itu. 2. Tentukan distribusi dari penaksir tak bias itu (kalau diperlukan). 3. Tentukan besaran pivot, yaitu besaran yang mengandung penaksir dan parameter sedemikian hingga distribusinya tidak bergantung pada parameternya. 4. Tentukan distribusi dari besaran pivot. 5. Besaran pivot itu disubstitusikan kedalam bentuk umum dari taksiran interval dengan derajat keyakinan sebesar (1 – α), yaitu : P(a < besaran pivot < b) = 1 – α 6. Ubah bentuk dalam langkah kelima kedalam bentuk: P(c < parameter < d) = 1 - α Berikut ini akan dijelaskan langkah-langkah di atas. 1.

Penaksir Titik Parameter yang Tak Bias

Persamaan regresi linear sederhana mempunyai bentuk Y = α + βX + ε dan 





persamaan regresi taksirannya berbentuk Y     X . Karena Y berdistribusi N(α + βx ; σ2), maka fungsi kepadatan peluang dari Y berbentuk:

f ( y) 

 1 2 exp  2  y    x   ;    y    2  2 . 2 1

Dalam hal ini akan ditentukan penaksir dari α dan β dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum. Fungsi kemungkinan dari Y1,Y2,…,Yn adalah:

106

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

 1 2 exp  2  y1    x1    2  2 . 1  1 2 x exp  2  y 2    x2   2  2  2 . 1  1 2 x…x exp  2  y n    xn   2  2  2 .

L(α,β,σ2;y1,y2,…,yn) =

1

2

n

  1 1 n  exp  2   yi    xi 2  =     2  2 i 1  2 .    1 1 n 2   ln L(α,β,σ2;y1,y2,…,yn) = n. ln  y i     xi   2   2  2 .  2 i 1 n  1 ln L ,  ,  2 ; y1 , y 2 ,..., y n    .2.  yi    xi (1) 2 i 1  2 n 1  2   y i     xi   i 1 n  1 ln L  ,  ,  2 ; y1 , y 2 ,..., y n   2 .2.  yi    xi ( xi ) i 1  2 n 1  2   yi    xi ( xi )  i 1



Syarat : a.



 ln L  ,  ,  2 ; y1 , y 2 ,..., y n  0    1 n  y     xi   0 2  i  i 1     n     y i     xi   0 i 1   n













n

 yi  n.   . xi  0

i 1 n

i 1 n

 yi  n.   . xi

i 1

i 1

107

Infinity b.

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

 ln L  ,  ,  2 ; y1 , y 2 ,..., y n  0    1 n  y     xi ( xi )  0   i  2 i 1     n     yi     xi ( xi )  0 i 1  







n



n

n

2  xi yi   . xi   . xi  0

i 1

i 1



n

i 1



n

n

2  xi yi   . xi   . xi

i 1

i 1

i 1

Jadi diperoleh dua persamaan normal, yaitu:  

n





n

 yi  n.   . xi

i 1 n

i 1



n



n

2  xi yi   . xi   . xi

i 1

i 1

i 1

Dengan menggunakan Aturan Cramer diperoleh : n   n 2   n  n   y i   xi     xi   xi yi  i 1 i 1 i 1 i 1          2 n n n. xi2    xi  i 1  i 1  n n n   x y     x   n . y i       i i i  i 1 i 1 i 1        2 n n n. xi2    xi  i 1  i 1  

Jadi penaksir kemungkinan maksimum bagi α dan β adalah: n   n 2   n  n   Yi   X i     X i   X i Yi  i 1 i 1 i 1 i 1          2 n n n. X i2    X i  i 1  i 1  n n n n.  X i Yi     X i   Yi     i 1  i 1     i 1 2 n n n. X i2    X i  i 1  i 1  

108

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Atau bisa juga diperoleh: n









n

 yi  n.   . xi

i 1

i 1

1 1 n  y i     .  xi n i 1 n i 1 n





y     .x 



  y   .x 



Jadi penaksir bagi α berbentuk:   Y   . X 

Dan penaksir  nya bisa ditulis sbb: n n n n.  X i Yi     X i   Yi    i 1  i 1     i 1 2 n n n. X i2    X i  i 1  i 1  

n





 X i Yi  n. X .Y

i 1 n

2  X i  n. X

2

i 1



Kemudian akan diperiksa bahwa  harus merupakan penaksir tak bias bagi β. 

Dari penaksir  akan diuraikan bentuk pada pembilang maupun penyebutnya satu persatu. 

n

n

n

i 1

i 1

 X i Yi  n. X .Y   X i Yi  X . Yi

i 1

 =  X n

=  X i Yi  X .Yi i 1 n

i 1

i





 X .Yi

109

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

n

n

2

2

2 2  X i  n. X   X i  2.n. X  n. X



i 1

2

i 1

n

n

i 1

i 1

=  X i2  2. X . X i  n. X n



=  X i2  2. X . X i  X i 1

n



=  Xi  X i 1

2

2





2

Sehingga:

    X  X  X  X Y  X  X Y   X  X   X  X  n



 X i  X .Yi

i 1 n

2

i

i 1



1

1 2

n

i 1

2

2 2

n

i

i

i 1

 ... 

X  X Y  X  X  n

n 2

n

i 1

i



  c1Y1  c2Y2  ...  cnYn

X  X   X  X  X  X  (ii) c   X  X  X  X  (iii) c   X  X 

Dengan : (i)

c1 

1

n

2

i

i 1

2

2

n

i 1

2

i

n

n

n

i 1

2

i

Karena Y1,Y2,…,Yn adalah sampel acak berukuran n yang berasal dari populasi berdistribusi N(α + βXi ; σ2), maka:

 E     E (c1Y1  c2Y2  ...  cnYn )    E(c1Y1 )  E (c2Y2 )  ...  E (cnYn )

 c1 .E(Y1 )  c2 .E(Y2 )  ...  cn .E (Yn )

110

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

 c1 (  X 1 )  c2 (  X 2 )  ...  cn (  X n )   (c1  c2  ...  cn )   (c1 X 1  c2 X 2  ...  cn X n ) Dengan : 

X  X   X  X   X  X   X  X  1

c 1 + c2 + … + c n =

n

2

i

i 1 n

=

=

n



2

  X

X

i 1

2

i

+…+

X  X

n

n

i 1

  X

X

2

i

2

i

0

 Xi  X

i 1

X  X n

i

i 1 n

i 1

+



2

c 1 + c2 + … + c n = 0 

X  X X + X  X X  X  X   X  X   X  X X =  X  X  1

c1X1 + c2X2 + … + cnXn =

1 2

n

2

i

i 1

2 2

n

i 1

i

n

i 1 n

i 1

i

i

2

i

n





n

2  X i  X . X i

i 1

i 1

n

n

2  X i  2. X . X i  n. X

i 1 n

2  X i  n. X

2

i 1

i 1 n

2  X i  n. X

2

i 1

c1X1 + c2X2 + … + cnXn = 1

  

Jadi : E      (0)   (1)  0     

Sehingga  merupakan penaksir tak bias bagi β.

111

2

+…+

X  X X  X  X  n

n 2

n

i 1

i

Infinity 2.

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Distribusi dari Penaksir Tak Bias 

Dalam hal ini, penentuan distribusi dari penaksir  digunakan teknik fungsi pembangkit momen. Dari uraian sebelumnya diperoleh : 

  c1Y1  c2Y2  ...  cnYn

X  X   X  X 

Dengan : ci 

; i  1,2,3,..., n

i

n

2

i

i 1

Karena Y1,Y2,…,Yn adalah sampel acak berukuran n yang berasal dari populasi berdistribusi N(α + βXi ; σ2), maka fungsi pembangkit momen dari Yi adalah : MYi(t) = exp[(α + βXi)t + ½ σ2t2] ; t   

Fungsi pembangkit momen dari  adalah: 

M  (t )  E[exp(t  )] 

= E[exp{t(c1Y1 + c2Y2 + … + cnYn)}] = E[exp(tc1Y1) . exp(tc2Y2) . … . exp(tcnYn)] = E[exp(tc1Y1)] . E[exp(tc2Y2)] . … . E[exp(tcnYn)] = MY1(c1t). MY2(c2t). … . MYn(cnt). = {exp[(α + βX1)t + ½ σ2(c1t)2] }. {exp[(α + βX2)t + ½ σ2(c2t)2] } . … . {exp[(α + βXn)t + ½ σ2(cnt)2] } = exp    X i (ci t )  (1 / 2) 2 t 2 . ci2  n

n

i 1

i 1



Akan diuraikan bentuk yang ada pada pangkatnya. 

   X i (ci t )    .ci t    .t.ci X i n

n

i 1

n

i 1

i 1

n

n

i 1

i 1

  .t  ci   .t. ci X i n

Karena dari uraian sebelumnya sudah diperoleh hasil bahwa  ci  0 dan i 1

n

 ci X i  1 , maka:

i 1

   X i (ci t )   .t (0)   .t (1)  0   .t   .t n

i 1

112

Infinity 

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

n

2 2 2 2  ci  c1  c2  ...  cn

i 1













n

 Xi  X

=

i 1

2

 X  X 2  i 1 i  n 1 2  ci  n 2 i 1  Xi  X n

i 1

2

  1   Jadi : M  (t )  exp   .t  (1 / 2). 2 t 2 . n  2   Xi  X   i 1     2  2 = exp   .t  (1 / 2). n t  2  Xi  X   i 1  









Ternyata bentuk di atas merupakan fungsi pembangkit momen dari distribusi normal dengan mean = β dan varians =

n

2



 Xi  X

i 1

  2 Sehingga  berdistrib usi N   ; n   Xi  X i 1  



3.



2

  .  

Besaran Pivot

Misalkan besaran pivotnya adalah: 

 

T n



S e2

 Xi  X

i 1

113



2



2

.

Infinity 4.

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Distribusi dari Besaran Pivot

Besaran pivot di atas bisa dituliskan kembali sbb: 

 

T n

S e2



 Xi  X

i 1



2



 

T n

2



 Xi  X

i 1

(n  2).S e2  2 .(n  2)

. 2





  n

2



 Xi  X

i 1

T

(n  2).S e2



2

.



2

1 n2

W

T

V n2

Berikut ini akan diuraikan bentuk W dan V. 

 

 W  n



2

 Xi  X

i 1



2

Penentuan distribusi dari W akan digunakan teknik fungsi pembangkit momen.

  2 Karena  berdistrib usi N   ; n   Xi  X i 1  



momennya berbentuk:

114



2

   , maka fungsi pembangkit  

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

 2  M  (t )  exp   .t  (1 / 2). n   Xi  X  i 1 





2

  t    2

Fungsi pembangkit momen dari W adalah: MW(t) = E[exp(tW)]

           = E exp t  2     n Xi  X    i 1 



       t.    = E exp  2     n X X i   i 1



      .t = exp  2   n   Xi  X  i 1



      .t = exp  2   n   Xi  X  i 1





2



2



2

                 

t.





2

n



2

 Xi  X

i 1



2

        

              .t  . E exp  2       n     Xi  X    i 1



       t   . M   2     n X  X  i  i 1 



115



2



2

        

        

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

   =    .t exp  2   n   Xi  X  i 1





2

        .t  . exp   2   n     X X   i 1 i 



 (1 / 2).



n

 Xi  X

i 1

2



2



2

t2

. n



2

 Xi  X

i 1



2

       

MW(t) = exp (½ t2) Ternyata bentuk di atas merupakan fungsi pembangkit momen dari distribusi normal baku. Sehingga W berdistribusi N(0;1).

(n  2).S e2

 V 

2

S e2  

 1 n    Yi  Y i  i  1 n2  

2

  1 n    Yi     . X i  i  1 n2  

2





Dari uraian sebelumnya diperoleh   Y   . X sehingga :    1 n S    Yi  Y   . X   . X i  n  2 i 1  

2

2 e





 n   (n  2).S e2   Yi  Y   X i  X  i 1  

2

         Yi  (   . X i )  (   . X i )  Y   ( X i  X )  (   . X )  (   . X ) i 1   n





    Yi  (   . X i )  Y  (   . X )   ( X i  X )   ( X i  X )  = i 1  n





    Yi  (   . X i )  Y  (   . X )  (    )( X i  X )  = i 1  n

116

2

2

2

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

n

=









2  Yi  (   . X i )  n. Y  (   . X )  (    ) . X i  X 2

i 1

2

i 1



 2. Yi  (   . X i ) Y  (   . X ) n

i 1

n



2



n     2. Yi  (   . X i ) (    )( X i  X ) i 1    n    2. Y  (   . X ) (    )( X i  X ) i 1  





Dengan : (i)



 Yi  (   . X i ) Y  (   . X ) n

i 1



n







n

  Yi . Y  (   . X )   (   . X i ) Y  (   . X ) i 1





i 1





n  n.Y . Y  (   . X )   n.   . X i  Y  (   . X ) i 1  



n

n

i 1

i 1

2

 n.Y  n. .Y  n. . X .Y  n. .Y   .Y . X i  n. 2   . . X i n

 n. . . X   . X . X i 2

i 1

2

 n.Y  n. .Y  n. . X .Y  n. .Y   .Y .n. X  n. 2   . .n. X  n. . . X   2 . X .n. X 2

 n.Y  2.n. .Y  2.n. . X .Y  n. 2  2. . .n. X  n. 2 . X 2

2

2

 n.(Y  2. .Y  2. . X .Y   2  2. . . X   2 . X )



2

 n. Y  2.Y (   . X )  (   . X ) 2



 n. Y  (   . X )





2

 



 

(ii)  Yi  (   . X i ) (    )( X i  X ) n

i 1





 (    ). Yi  (   . X i ) X i  X n

i 1



 n n n n n  (    ). X i Yi  X . Yi   . ( X i  X )   . X i2   . X . X i  i 1  i 1 i 1 i 1 i 1

117

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

 n n 2  (    ). X i Yi  X .n.Y   (0)   . X i2   .n. X  i 1  i 1  n 2  n  (    ). X i Yi  n. X .Y   .  X i2  n. X   i 1  i 1 n



Karena  

 X i Yi  n. X .Y

i 1 n

 X  n. X

i 1

, maka diperoleh :

2

2 i

 n 2 2   n  (    ).   X i2  n. X      X i2  n. X    i 1    i 1   n 2    (    ).(   )   X i2  n. X    i 1 

n



 (    ) 2 . X i  X i 1

n



 



2

 



(iii)  Y  (   . X ) (    )( X i  X ) i 1

   Y  (   . X )(    ).(0) 

n

 Y  (   . X ) (    ). ( X i  X ) i 1



=0 Sehingga:









(n  2).S e2   Yi  (   . X i )  n. Y  (   . X )  (    ) 2 . X i  X n

2

i 1







2

n

2



 2.n. Y  (   . X )  2.(    ) 2 . X i  X i 1









2

i 1

2

2

118

i 1

0



  Yi  (   . X i )  n. Y  (   . X )  (    ) 2 . X i  X n

n

n

i 1



2



2

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Kedua ruas dibagi σ2, sehingga diperoleh:

 Yi  (   . X i ) n

(n  2).S



2

2 e



2

i 1



2





n. Y  (   . X )



2

  2  n  Y  (   . X )  Y  (   . X  i     i    i 1        n

2





2



n

i 1

2

          n   Xi  X  i 1



A=B–C–D B=A+C+D Fungsi pembangkit momen dari B adalah: MB(t) = E[exp(tB)] = E[exp{t(A + C + D)}] = E[exp(tA + tC + tD)] = E[exp(tA).exp(tC).exp(tD)] = E[exp(tA)].E[exp(tC)].E[exp(tD)] = MA(t).MC(t).MD(t)

M A (t ) 

M B (t ) M C (t ).M D (t )

Karena : a. Y berdistribusi N(α + β.X ; σ2)

Y  (   . X )

berdistribusi N(0;1)

 2  Y  (   . X )    berdistribusi χ2(1)    2 n n  Y  (   . X )  2 i i B   Bi     berdistribusi χ2(n) i 1 i 1    MB(t) = (1 – 2t)(-1/2)(n) ; t < 1/2

119



(    ) 2 . X i  X



2

       

2



2

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

2 



 b. Y berdistrib usi N     . X ; n  

Y  (   . X )



berdistribusi N(0;1)

n 2

    Y  (   . X )   berdistribusi χ2(1) C      n   MC(t) = (1 – 2t)-1/2 ; t < 1/2

  2  berdistrib usi N   ; n   Xi  X i 1  

c.





2

    



   n

berdistribusi N(0;1)



 Xi  X

i 1



2

       D   n   X X  i  i 1



2



2

    2  berdistribusi χ (1)    

MD(t) = (1 – 2t)-1/2 ; t < 1/2

Sehingga: M A (t ) 

(1  2t ) ( 1 / 2). n  (1  2t ) ( 1 / 2)( n2) 1 / 2 1 / 2 (1  2t ) .(1  2t )

Ternyata bentuk di atas merupakan fungsi pembangkit momen dari distribusi Chi-Kuadrat dengan derajat kebebasan = n – 2.

120

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Sehingga bisa ditulis : A 

(n  2).S e2

2

berdistribusi  2 (n  2).

Selanjutnya akan ditentukan distribusi dari T dengan menggunakan teknik transformasi peubah acak. Misalkan W adalah peubah acak berdistribusi normal baku dan V adalah peubah acak berdistribusi Chi-Kuadrat dengan derajat kebebasan dk = r = n - 2. Kedua peubah acak W dan V saling bebas.

W

Jika peubah acak T 

V /r

, maka akan ditentukan fungsi kepadatan peluang

dari T. Fungsi kepadatan peluang dari W adalah:

f ( w) 

1 2

2 e w / 2 ;    w  

Fungsi kepadatan peluang dari V adalah:

1

g(v) =

2

r/2

.(r / 2)

=

v (r / 2) 1.e  v / 2 ; 0  v   0

; v lainnya.

Karena W dan V saling bebas, maka fungsi kepadatan peluang gabungannya adalah: h(w,v) = f(w).g(v) =

1 2

2 e w / 2 .

1 2

r/2

.(r / 2)

v (r / 2) 1.e  v / 2

;   w , 0 v  

= 0 ; w,v lainnya. Karena transformasi peubah acak yang diketahui berbentuk T  akan dimisalkan transformasi peubah acak keduanya adalah U = V. Jadi transformasi peubah acaknya adalah T 

121

W V /r

dan U = V.

W V /r

, maka

Infinity

Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012

Hubungan antara nilai w dari W dan nilai v dari V dengan nilai t dari T dan nilai u dari U diberikan dengan:

t

Invers: w 

t u

w v/r

dan u = v

dan v = u

r

w Jacobiannya: J = t v t J 

w u  v u

u/ r 0

t /( 2 ru ) u  1 r

u r

Fungsi kepadatan peluang gabungan dari T dan U adalah:

t u    r ,u  . J  

k(t,u) = h

  u  t 2  u 1   . u (e / 2) 1. exp  ; -∞ < t < ∞ , r/2   r 2 r  2 .2 . (r / 2)   1

k(t,u) =

0