Download - Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia ...

89 downloads 338 Views 50KB Size Report
anak sulung sebesar 118,40, anak tengah sebesar 117,86, dan anak ..... berdasarkan urutan kelahiran pada remaja, anak tengah lebih matang dibandingkan.
NASKAH PUBLIKASI

PERBEDAAN KEMATANGAN EMOSI BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN (BIRTH ORDER) PADA REMAJA

Telah Disetujui Pada Tanggal

________________________

Dosen pembimbing utama

(Dr. Sukarti)

PERBEDAAN KEMATANGAN EMOSI BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN (BIRTH ORDER) PADa REMAJA Citra Widi Hapsari Dr. Sukarti INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya keterkaitan antara kematangan emosi terhadap urutan kelahiran. Asumsi awal yang diajukan adalah ada keterkaitan antara kematangan emosi terhadap urutan kelahiran dimana anak tengah lebih matang dibandingkan anak sulung dan bungsu, dan anak sulung lebih matang dibandingkan anak bungsu. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA kelas satu dan dua di Semarang yang berusia 14-18 tahun, memiliki saudara kandung maksimal empat bersaudara, laki-laki dan perempuan. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik Random berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan. Data diungkap dengan menggunakan self report berbentuk skala, yaitu skala kematangan emosi yang disusun berdasarkan teori dari Scheneiders (1964), terdiri dari 38 aitem dengan koefisien validitas skala ini bergerak antara 0,263-0,756 serta koefisien Alpha sebesar 0,906. Uji asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a). uji normalitas, teknik yang digunakan adalah uji z dari kolmogorov-smirnov, dengan nilai KS-Z sebesar 0,729 dan nilai p sebesar 0,662 > 0,05 untuk skala kematangan emosi, maka variabel kematangan emosi memiliki sebaran normal, b). uji homogenitas, nilai F pada Levene Statistic adalah 0,625 dan nilai p sebesar 0,430 > 0,05, maka variabel kematangan emosi memiliki sebaran yang homogen. Metode analisis data yang digunakan adalah teknik analisis varians satu jalur (one-way anava). Perhitungannya dilakukan dengan program SPSS 12.0 for windows. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan antara kematangan emosi responden dengan urutan kelahiran. Koefisien perbedaan kematangan emosi berdasarkan urutan kelahiran, diperoleh bahwa nilai F = 0,47 dengan tingkat signifikansi = 0, 954 (p > 0,05). Mean yang diperoleh pada masing-masing urutan yaitu anak sulung sebesar 118,40, anak tengah sebesar 117,86, dan anak bungsu sebesar 118,44. jadi hipotesis dalam penelitian ini ditolak.

Kata kunci : kematangan emosi, urutan kelahiran.

PERBEDAAN KEMATANGAN EMOSI BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN (BIRTH ORDER) PADA REMAJA Pengantar

Setiap individu tentunya akan melewati setiap tahap perkembangan dalam kehidupannya. Perkembangan pada setiap individu bersifat bertahap atau melalui fase yang berbeda. Sedangkan masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa. Pada masa peralihan tersebut, remaja mengalami pergolakan hidup yang diakibatkan oleh berbagai macam perubahan, baik perubahan yang berasal dari dalam dirinya sendiri yang mencakup fisik dan mental serta perubahanperubahan dan perlakuan yang berasal dari lingkungannya. Hal ini dapat menyebabkan pada masa remaja terjadi banyak kesenjangan dalam pribadi maupun dalam perilaku remaja itu sendiri, yang berhubungan dengan lingkungan maupun dengan orangtua. Pada umumnya remaja memiliki kemampuan berpikir yang lebih dikuasai oleh emosi dan sering sekali tidak mengindahkan norma-norma dari orangtuanya (Santrock, 2003). Hurlock (1980) individu yang matang emosinya dapat dengan bebas merasakan sesuatu tanpa beban. Perasaannya tidak terbebani, tidak terhambat, dan tidak terkekang, tetapi bukan berarti ada ekspresi emosi yang berlebihan sebab adanya kontrol diri yang baik dalam dirinya sehingga ekspresi emosinya tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Selanjutnya kontrol diri tidak menyebabkan individu yang matang emosinya menjadi kaku, melainkan dapat berpikir dan bertindak

fleksibel. Keadaan ini dapat terjadi karena individu dengan kematangan emosi memiliki kapasitas untuk bereaksi sesuai dengan tuntutan yang ada dalam situasi tersebut. Respon yang tidak sesuai dengan tuntutan yang dihadapi akan dihilangkan. Selain itu individu dengan kematangan emosi akan berusaha untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang dan menghindari sudut pandang yang mengarahkan dirinya pada reaksi emosional. Hal ini berarti individu dengan kematangan emosi akan lebih mampu beradaptasi karena individu dapat menerima beragam orang dan situasi dan memberikan reaksi yang tepat sesuai tuntutan yang dihadapi. Scheneiders (1964) mengemukakan bahwa individu yang matang emosinya jika potensi yang dikembangkannya dapat ditempatkan dalam suatu kondisi pertumbuhan, dimana yang nyata dari kehidupan orang dapat dihadapi dengan cara yang efektif dan sehat. Individu dengan kematangan emosi mampu menerima tanggung jawab akan perubahan – perubahan dalam hidupnya sebagai tantangan daripada menganggapnya sebagai beban dan sebagai rasa percaya diri dalam mencari cara untuk memecahkan masalahnya dengan cara-cara yang aman untuk diri sendiri dan lingkungannya serta dapat diterima secara sosial. Dalam proses pencapaian kematangan emosi, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian kematangan emosi antara lain: faktor fisik, usia, jenis kelamin, kontrol emosi, pola asuh orangtua, intelegensi dan besar atau kecilnya keluarga (ukuran keluarga) (Overstreet dalam Prasetya, 2005).

Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap saudara laki-laki dan perempuan. Misalnya saja kakak perempuan lebih cerewet dan suka mengatur terhadap adik perempuannya daripada terhadap adik laki-lakinya. Begitu juga dengan sikap anak laki-laki lebih banyak berkelahi dengan saudara laki-lakinya daripada dengan saudara perempuannya. Perbedaan usia antara anak yang satu dengan anak yang lainnya juga dapat mempengaruhi cara mereka bereaksi terhadap suatu hal dan cara orangtua memperlakukan mereka. Jika jarak usia mereka berbeda jauh maka akan terjalin hubungan yang lebih ramah, kooperatif, dan saling mengasihi dibandingkan bila usia mereka berdekatan (Hurlock, 1993). Scheneiders (1964) berpendapat bahwa kematangan emosi seseorang dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain: adekuasi emosi, jarak dan kedalaman emosi dan kontrol emosi. Kematangan emosi mendasari kemampuan individu dalam mengatasi masalah secara kreatif. Hal ini disebabkan karena individu dengan kematangan emosi memiliki keterampilan, sikap, respon yang dibutuhkan yang sesuai dengan tuntutan yang dihadapi dalam menghadapi masalah kehidupan. Sebuah wawancara yang dilakukan pada tanggal 10 Januari 2008 dengan salah satu dari orangtua yang memiliki tiga orang anak, orangtua tersebut menjelaskan bahwa ada perbedaan pada tiap diri dua anaknya yaitu anak sulung dengan anak tengahnya. Anak sulung memiliki sifat pemarah, sombong, sedangkan adiknya memiliki sifat supel atau mudah bergaul dengan orang lain. Secara emosi anak sulungnya belum dapat mengontrol emosi dengan baik, anak sulung yang sering marah atau menolak ketika diminta tolong oleh orangtuanya. Perbedaan ini terletak

pada pola asuh orangtua yang diberikan, orangtuanya terlalu memanjakan anakanaknya, terutama terhadap si sulung, apa pun yang diminta biasanya selalu dipenuhin oleh ayahnya. Berbeda dengan adiknya walaupun ia juga dimanjakan tetapi ia tidak terlalu menuntut macam-macam terhadap orangtuanya. Wawancara lain juga dilakukan pada tanggal 11 Januari 2008 dilakukan dengan orangtua yang memiliki dua orang anak, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan karakteristik pada anak sulungnya dengan anak bungsunya. Anak sulung memiliki sifat cuek, tidak peduli dengan keadaan sekitar rumah dan keluarga, sering marah. Berbeda dengan adiknya yang pendiam. Dalam kehidupan sosial pun menurut orangtuanya anak bungsunya lebih dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan secara emosi lebih matang daripada kakaknya. Penyebab perbedaan karakter antara anak sulung dan anak bungsunya terletak pada perilaku orangtuanya. Pada anak sulung lebih terfokus dan menirukan perilaku ayahnya yang terkadang sering marahmarah, berteriak. Dari beberapa wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan kematangan emosi antara anak yang satu dengan anak lainnya dalam suatu keluarga, disebabkan karena pola asuh yang diberikan dalam keluarga tersebut. Anak selalu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang tuanya. Namun, setiap anak memiliki karakteristik sendiri, dan terkadang posisi anak dalam keluarga sulung, penengah, dan bungsu membuat mereka berbeda perilaku satu sama lain. Perbedaan ini bisa saja muncul akibat pola asuh orang tua. Menurut Alva Handayani S.Psi. dosen Fak. Psikologi Unisba, pimpinan Openmind, organisasi yang bergerak dalam

pendidikan dan pengembangan anak, setiap anak dalam keluarga punya posisinya sendiri-sendiri. Setiap kedudukan menyebabkan tanggung jawab dan konsekuensi yang berbeda. Hal ini bisa disebabkan oleh kebudayaan maupun sikap orang tua yang berbeda (Hikmah, 2003). Kemasakan emosi anak tergantung pada keadaan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini adalah keluarga, dimana keluarga merupakan tempat kehidupan bagi anak selama tahun-tahun pembentukan awal hidupnya hingga ia dewasa. Unsur-unsur dalam keluarga yang terkait yakni hubungan antar anggota keluarga, yaitu ayah-ibu, orangtua, anak, antar saudara kandung, pola asuh orangtua, dan pola kebiasaan yang ada di keluarga serta rangsangan dari keluarga (Crow dalam Anggrainy, 2003). Gerungan (Suryantina, 2002) berpendapat bahwa dalam suatu keluarga terdapat pula peranan-peranan tertentu yang dapat mempengaruhi perkembangan seseorang sebagai makhluk sosial. Salah satu diantaranya adalah peranan seseorang sesuai dengan urutan kelahiran dalam suatu keluarga. Urutan kelahiran merupakan salah satu pembentuk kepribadian pada diri seseorang yang bersumber dari lingkungan keluarga. Posisi urutan kelahiran dalam suatu keluarga juga merupakan faktor dalam perkembangan sosial, emosi dan intelegensi anak (Benner, 1985). Aspek urutan kelahiran atau posisi remaja dalam suatu keluarga merupakan salah satu aspek yang dapat menentukan dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan diri remaja termasuk perkembangan sosial, dan perkembangan emosi termasuk kematangan emosi pada diri remaja tersebut.

Perbedaan perlakuan yang diberikan oleh orangtua pada anak-anak yang berbeda urutan kelahiran antara lain disebabkan oleh tuntutan atau adanya harapan orangtua pada masing-masing anak berbeda, serta adanya persaingan diantara anak dalam usaha untuk mencari perhatian dari orangtuanya (Bigner dalam Suryantina, 2002). Anak sulung adalah anak yang paling tua atau anak pertama yang lahir dari suatu keluarga. Alasannya, karena anak tersebut adalah anak pertama berarti pengalaman merawat dan mendidik anak belum dimiliki oleh kedua orangtuanya. Oleh karena itu anak sulung ini dikenal sebagai experimental child (Gunarsa, 1986). Anak pertama atau sulung memiliki karakteristik seperti merasa tidak pasti, tidak mudah percaya, tidak merasa aman, bergantung, bertanggung jawab, berkuasa, iri hati, mudah dipengaruhi, mudah merasa senang, sensitif, murung, introvert, sangat terdorong berprestasi, membutuhkan afiliasi, pemarah, manja, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku (Hurlock, 1997). Pada anak sulung, orangtua lebih menaruh harapan-harapan yang tinggi dan memberikan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang lahir setelahnya. Orangtua yang bersikap terlalu melindungi, maka dalam perkembangan anak akan mengalami gangguan yang negatif. Akan tetapi bila orangtua dapat bertindak bijaksana dalam membimbing anak sulung maka anak tidak akan mengalami gangguan perilaku. Anak tengah adalah atau "middle-child syndrome" adalah ia lahir ketika orang tuanya telah siap menjadi orang tua. Kini orang tua sudah tidak sekhawatir ketika melahirkan anak pertama. Orang tua lebih "gampang" dalam merawat anak (Gunarsa,

1986). Anak kedua memiliki karakteristik seperti mandiri, agresif, ekstrovert, suka melucu, suka berteman, suka bertualang, dapat dipercaya, mudah menyesuaikan diri. agresif, mudah dialihkan perhatiannya, sangat membutuhkan pernyataan kasih sayang, iri hati, terganggu oleh perasaan ditolak orangtua, rendah diri merasa tidak mampu, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku (Hurlock, 1997). Sikap orangtua yang lebih santai terhadap anak tengah dapat mendukung mereka menjadi anak yang suka berinteraksi, berteman dengan orang lain umumnya teman sebaya (Baskett dalam Suryantina, 2002). Jika anak sulung dan bungsu termasuk ramai dan cerewet, anak kedua biasanya kalem. Bila anak sulung dan bungsu memiliki karakter kalem, anak kedua cenderung bandel. Anak tengah atau kedua ini menurut Verauli (2005), kondisi ini terbentuk karena pola asuh dari orangtua. Anak tengah umumnya diperlakukan dalam dua tipe: anak tengah yang terabaikan dan pola pengasuhannya disamakan dengan anak sebelumnya (www.kompas.com). Anak bungsu memiliki karakteristik seperti aman, percaya diri, spontan, bersifat baik, murah hati, manja, tidak matang, ekstrovert, memiliki kemampuan berempati, merasa tidak mampu dan rendah diri, memusuhi saudaranya yang lebih tua, iri hati, tidak bertanggung jawab dan bahagia (Hurlock, 1997). Anak bungsu yang selalu merasa dibayangi oleh keberhasilan kakak-kakaknya dan selalu diremehkan akan membuat pribadi dari anak bungsu menjadi iri hati, atau terkadang memusuhi saudaranya yang lebih tua. Urutan kelahiran pada suatu keluarga memegang posisi kekuasaan yang berbeda. Pola emosi antara anak yang satu dengan yang lainnya tentunya berbeda pula.

Keadaan lingkungan dimana seseorang tersebut tinggal juga dapat memberikan perbedaan pada kepribadian mereka. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini diharapkan dapat mengungkap seberapa eratkah perbedaan kematangan emosi berdasarkan urutan kelahiran seseorang.

Metode Penelitian Subjek Penelitian Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa SMU Islam Sultan Agung 3 Semarang, siswa kelas satu dan dua, berusia 14-18 tahun, peneliti mengambil sampel berjumlah 150 siswa yang terdiri dari 50 anak sulung, 50 anak tengah, 50 anak bungsu, memiliki saudara kandung maksimal empat bersaudara, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, teknik pengambilan subjek menggunakan teknik random.

Metode Pengumpulan Data Penelitian ini akan dilakukan secara kuantitatif. Pengumpulan data dalam bentuk skala. Skala ini akan mengungkapkan kematangan emosi seseorang. Skala ini terdiri dari satu bagian yaitu skala kematangan emosi. Alat Ukur Penelitian ini diukur menggunakan skala kematangan emosi yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek-aspek variabel kematangan emosi.

Metode Analisis Data Metode analisis data menggunakan analisis kovarians (anakova), dengan menggunakan bantuan program SPSS 12.0 for Windows.

Hasil Penelitian Gambaran subjek secara umum dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Deskripsi subjek penelitian No Faktor 1 Urutan kelahiran

2

Jenis Kelamin

3

Usia

Kategori a. Anak sulung b. Anak tengah c. Anak bungsu a. Perempuan b. Laki-laki a. 14-15 tahun b. 16-18 tahun

n 50 50 50 75 75 30 120

Berdasarkan sebaran skor hipotetik dari skala kematangan emosi dapat diuraikan hasil kategorisasi untuk mengetahui posisi subjek penelitian dalam tingkat kategori. Kriteria kategori untuk skala kematangan emosi dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 2 Kriteria kategorisasi skala kematangan emosi Skor Kategori Jumlah X < 60,8 Sangat rendah 0 60,8 = X < 83,6 Rendah 0 83,6 = X < 106,4 Sedang 20 106,4 = X = 129,2 Tinggi 112 X > 129,2 Sangat tinggi 18

Prosentase 0% 0% 13,33% 74,67% 12%

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa subjek dalam penelitian ini mempunyai tingkat kematangan emosi dalam taraf sedang sebanyak 20 orang atau

13,33%, taraf tinggi sebanyak 112 orang atau 74,67% dan taraf sangat tinggi sebanyak 18 orang atau 12%. Sedangkan pada taraf rendah dan sangat rendah mempunyai presentasi 0% atau tidak ada subjek yang memiliki skor dibawah 60 sampai 83. Hasil perhitungan uji normalitas variabel penelitian adalah nilai KS-Z sebesar 0,729 dan nilai P sebesar 0,662 > 0,05 untuk skala kematangan emosi. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka dapat dikatakan bahwa variabel kematangan emosi memiliki sebaran normal, sedangkan hasil perhitungan uji homogenitas variabel penelitian adalah nilai F pada Levene Statistic adalah 0,625 dan nilai P sebesar 0,430 > 0,05. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka dapat dikatakan homogen. Berdasarkan hasil one-way anava diperoleh nilai F= 0,47 dengan tingkat signifikansi = 0, 954 (p > 0,05) maka tidak terdapat perbedaan antara kematangan emosi berdasarkan urutan kelahiran. Mean yang diperoleh berdasarkan masingmasing urutan kelahiran adalah anak sulung memiliki mean sebesar 118,40, anak tengah memiliki mean sebesar 117,86 dan anak bungsu memiliki mean sebesar 118,44. Sehingga hipotesis yang berbunyi “ada perbedaan kematangan emosi berdasarkan urutan kelahiran pada remaja, anak tengah lebih matang dibandingkan dengan anak sulung, dan anak bungsu, dan anak sulung lebih matang dibandingkan dengan anak bungsu adalah ditolak”.

Pembahasan

Hasil analisis dari data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini tidak terbukti, dengan nilai p 0,954 > 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak adanya keterkaitan kematangan emosi antara anak sulung, tengah, dan bungsu. Hurlock (1993) mengatakan bahwa ukuran keluarga sendiri dibedakan menjadi empat kategori : keluarga dengan satu anak, keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Ukuran keluarga dapat menghasilkan beragam suasana di rumah, dan berbagai macam hubungan keluarga. Jumlah anak dalam suatu keluarga dapat membawa dampak pada hubungan dalam keluarga. Semakin besarnya jumlah anak maka semakin banyak perasaan iri hati dan ricuh dalam suatu keluarga, terkecuali jika dalam keluarga tersebut menekankan pola asuh otoriter dalam keluarganya. Karakteristik antara anak yang memiliki dua saudara, tiga saudara, bahkan empat bersaudara tentunya berbeda. Perbedaan ini biasanya terletak pada pola asuh yang diberikan dalam suatu keluarga. Hubungan keluarga dengan satu anak biasanya membuat hubungan orangtua dengan anaknya erat, karena dalam keluarga tersebut hanya memiliki satu anak sehingga hal tersebut dapat membawa dampak bagi kematangan anak yang dapat membawa pengaruh baik hubungan dengan teman sebayanya. Perlindungan yang diberikan secara berlebihan dapat terjadi pada ukuran keluarga ini, karena orangtua hanya memiliki satu anak dan anak tidak harus berbagi kasih sayang dengan

saudaranya, karena orangtua hanya memiliki satu anak. Pola asuh yang diberikan orang tua biasanya bersifat permisif atau demokratis. Anak biasanya cenderung dituntut untuk memiliki prestasi yang tinggi, dan anak didorong untuk memegang peran atau tugas yang dipilihnya sendiri (Hurlock, 1993). Hurlock (1993) mengatakan bahwa ukuran keluarga kecil adalah keluarga yang terdiri dari dua atau tiga anak. Orangtua dalam keluarga ini mampu untuk mencurahkan perhatian dan waktu pada masing-masing anaknya, karena ukuran keluarga yang kecil umumnya orangtua menerapkan pola asuh demokratis pada masing-masing anaknya. Perselisihan dan perasaan iri hati yang terjadi pada keluarga kecil ini pun sering terjadi, karena umumnya orangtua biasanya membandingkan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Dalam ukuran keluarga kecil ini orangtua memegang peran penting dalam pemilihan dan menentukan tugas ataupun tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Ukuran keluarga sedang adalah dimana dalam suatu keluarga tersebut terdiri dari tiga, empat atau lima anak. Tuntutan dan harapan-harapan yang tinggi dari orangtua biasanya hanya terfokus pada anak pertama, sedangkan anak-anak lainnya biasanya tidak diberi tuntutan yang tinggi seperti anak pertamanya. Persaingan dan perasaan iri hati antar anak yang satu dengan yang lainnya umumnya sering terjadi, karena masing-masing anak biasanya berebut kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Orangtua dengan ukuran keluarga sedang ini umumnya menerapkan pola asuh otoriter terhadap anak-anaknya, karena kurangnya orangtua dalam memberikan

pengawasan pada masing-masing anak- anaknya karena meningkatnya ukuran keluarga (Hurlock, 1993). Ukuran keluarga besar adalah dimana suatu keluarga tersebut terdiri dari enam atau lebih anak. Cara perlakuan orangtua pada keluarga besar ini tidak berbeda dengan ukuran keluarga sedang. Tuntutan dan harapan yang tinggi hanya terpusat pada anak pertama saja, pola asuh yang diberikan pada ukuran keluarga ini adalah otoriter (Hurlock, 1993). Dalam semua keluarga anak diberi peran menurut urutan kelahirannya dan mereka diharapkan dapat memerankan peran berdasarkan urutan kelahirannya. Anak pertama cenderung lebih ditekankan pada harapan-harapan yang tinggi dari orangtuanya daripada anak yang lahir kemudian (Hurlock, 1993). Perbedaan usia antara saudara kandung mempengaruhi cara mereka beraksi satu terhadap yang lain dan cara orangtua memperlakukan mereka. Bila perbedaan antara usia antar saudara besar, baik berjenis kelamin sama ataupun berlawanan, hubungan yang lebih ramah, kooperatif, dan kasih mengasihi dapat terjalin dengan baik daripada bila usia mereka berdekatan (Hurlock, 1993). Kelemahan pada penelitian ini terletak pada tidak terkontrolnya antara anak yang memiliki dua bersaudara, tiga bersaudara, bahkan empat bersaudara, sehingga sulit untuk membandingkan karakteristik antara anak yang memiliki dua bersaudara, tiga bersaudara, dan empat bersaudara.

Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan adanya tidak ada perbedaan kematangan emosi antara anak sulung, tengah, dan bungsu. Hal ini berarti bahwa kematangan emosi seseorang tidak

hanya dipengaruhi oleh urutan kelahiran seseorang. Sehingga

hipotesis yang menyatakan ada perbedaan kematangan emosi berdasarkan urutan kelahiran pada remaja adalah ditolak.

Saran 1. Saran kepada subjek Pada urutan kelahiran berapa pun dilahirkan dalam suatu keluarga tidak mempengaruhi keadaan emosi seseorang. Kedewasaan dan matangnya emosi tidak dipengaruhi oleh urutan kelahiran kita, sehingga kita bisa menjadi individu yang baik. 2. Saran kepada orangtua Kepada orangtua perlu memberikan pengembangan pengetahuan dan kesadaran dalam mendidik anak. Diharapkan agar orangtua dapat mendidik anak secara adil antara anak yang satu dengan yang lain, dapat memberikan tanggung jawab yang adil antara anak-anaknya dan tidak terlalu memanjakan anak-anaknya. Memberikan kebebasan kepada anak untuk menentukan pilihan, membuat keputusan, memecahkan permasalahan dengan pantauan dari orangtua.

3. Saran kepada peneliti selanjutnya. a. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin mengangkat tema yang sama, harus dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain atau variabel-variabel lain yang lebih mempengaruhi urutan kelahiran dan kematangan emosi seseorang seperti pola asuh orangtua, peer group, dan lingkungan dimana subjek itu tinggal. b. Membandingkan karakteristik subjek yang memiliki dua bersaudara,

tiga

bersaudara, dan empat bersaudara. c. Disarankan agar menggunakan alat ukur yang memiliki reliabilitas lebih tinggi. Perbaikan alat ukur dalam penelitian selanjutnya juga merupakan hal yang penting agar dalam penelitian selanjutnya dapat diperoleh alat ukur yang memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi..

DAFTAR PUSTAKA Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian . Malang : UMM. Anonim. Artikel Psikologi. Kematangan Emosi. http://www.pikirdong.org . 18/09/07. ______. 2003. Bedanya Si Sulung dan Si Bungsu. http://www.hikmah.com. 18/09/07. ______. 2005. Uniknya Karakter Anak Kedua. http://www.kompas.com. 18/09/07. ______. Urutan Kelahiran Tentukan Kesuksesan?. http://www.kompas.com. 06/06/07. ______. Urutan Kelahiran, Berpengaruh http://www.kompas.com. 06/06/07.

Pada

Pencarian

Identitas.

Arwindi, M. 2004. Hubungan Antara kematangan Emosi dengan Problem Focused Coping Pada Remaja Tengah. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Azwar, Saifuddin. 2008. Penyusunan Skala Psikologi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beck, E., Burnet, K.L., Vosper, J. Birth Order Effects on Facets of Extraversion. Personality and Individual Differences, 40, 953-959. http://www.elsevier.com . 23/11/07. Chaplin, J.P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT Raja Grafindo. Covey, S.R. 1994. Interview with Stephen R. Covey. http://www.Franklin covey.com. 23/11/07. Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : Ghalia Indonesia. Gunarsa, S.D. 1986. Psikologi perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : Gunung Mulia. http://www.bpkpenabur.or.id . 18/09/07. Hadibroto, I.,Alam, S., Suryaputra, E., Olivia, F. 2002. Misteri perilaku Anak Sulung, Tengah, Bungsu, dan Tunggal. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Herlena, B. 2007. Pengaruh Kemasakan Emosi Terhadap Perilaku Mencari Opini Pada Konsumen Telepon Seluler. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologika, 12, 31-42. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga. ___________. 1997. Perkembangan Anak jilid 1 6 ed. Jakarta : Erlangga.

___________. 1993. Perkembangan anak jilid 2 6 ed. Jakarta : Erlangga. Kantarevic, J., Mechoulan, S. 2001. Birth Order, Educational Attainment, and Earnings: An Investigation Using the PSID. http://www.chass.utoronto.ca/~mechoula/BirthOrder_January20.pdf . (18/09/2007). Maria, U. 2007. Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga Dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Pasca Sarjana Psikologi Universitas Gajah Mada. Monks,F.J,K & Haditono, S..R. 2004. Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pandu, D.W.R. 2006. Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Proactive Coping Pada Mahasiswa Berorganisasi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Prasetyo, R. 2005. Hubungan Kematangan Emosi dengan Keterampilan Negosiasi Pada Mahasiswa Decision Maker Organisasi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Safaria, T. Farni, E. 2006. Kematangan Emosi dan Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder Pasca Tsunami Pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 Mesjid Raya Aceh Besar. http://www.binaedupsikologi.blogspot.com . 18/09/07. Salvanes, K., Devereux, P., Black, S. 2005. The More the Merrier? The Effect of Family Size and Birth Order on Children’s Education. http://cee.lse.ac.uk/cee%20d ps/ceedp50.pdf. (23/01/2008) Santrock, J.W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja 6 ed. Jakarta : Erlangga. ___________. 1995. Life Span Development jilid 1. Jakarta : Erlangga. ___________. 1995. Life Span Development jilid 2. Jakarta : Erlangga. Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Edisi Enam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Schneiders, A.A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. United States of America. Sujanto, A., Halemlubis., Hadi, T. 1980. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara.

Suryantina, E.H. 2002. Kemandirian Ditinjau dari Kebutuhan Berafiliasi dan Urutan kelahiran Pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Trihendradi, C. 2005. SPSS 13. Analisis Data Statistik . Yogyakarta : Andi. Vandell, D.L., Wilson, K.S., Whalen, W.T. 1981. Birth Order and Social-Experience Differences in Infant-Peer Interaction. The American Psychological Association, 17, 438-445.