Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

17 downloads 85 Views 37KB Size Report
pengendalian hama terpadu dengan menggunakan berbagai komponen ... bahwa pengendalian hama tikus secara kimiawi merupakan alternatif yang paling.
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi memiliki arti khusus bagi indonesia. Areal persawahan yang saat ini ada sekitar jutaan hektar per tahun harus menghidupi kurang lebih 180 juta jiwa rakyat indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi persatuan luas. Berbagai disiplin ilmu telah menyumbangkan pikirannya dalam usaha swasembada beras, diantaranya bidang hama telah menghasilkan teknik pengendalian

hama

terpadu

dengan

menggunakan

berbagai

komponen

pengendalian hama (Baehaki, 1993). Berbagai faktor menyebabkan produksi padi tidak meningkat secepat laju yang diharapkan. Dilihat dari bidang perlindungan tanaman, ketidak berhasilan Indonesia dalam mempertahankan swasembada beras setelah tahun 1984 disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, terjadinya ledakan OPT (Organisme Penggangu Tanaman) padi seperti tikus dan wereng batang cokelat dan jenis hama penggangu lainnya, sedangkan faktor kedua adalah gangguan fenomena iklim terutama kekeringan dan banjir (Untung, 2005). Kegagalan saat panen sering dialami petani akibat merebaknya hama padi, salah satunya tikus sawah (Rattus rattus argentiventer : Robinson & Kloss). Tikus sawah mampu merusak tanaman padi pada berbagai stadium tanaman. Setiap tahunnya, sekitar 17 persen tanaman pertanian mengalami kerusakan. Ini setara dengan ukuran kemampuan untuk konsumsi makanan lebih dari 20 juta orang setiap tahunnya. Tingkat kerusakan sangat tergantung dari jumlah populasi tikus sawah di daerah tersebut dan nilai kandungan nutrisi dari masing-masing stadium

tanaman. Semakin sedikit jumlah predator alami tikus sawah seperti burung hantu, elang dan ular, menyebabkan populasi tikus sawah semakin meningkat (Anita, 2003). Dalam usaha untuk mengatasi kendala yang diakibatkan oleh keberadaan tikus tersebut berbagai alternatif pengendalian telah dilakukan, baik secara kultur teknis, fisik, mekanik, maupun secara kimia. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa pengendalian hama tikus secara kimiawi merupakan alternatif yang paling umum ditempuh dibandingkan dengan cara pengendalian lainnya. Hal tersebut dapat dimengerti karena dengan penggunaan bahan kimia yang beracun, hasilnya dapat segera terlihat dan dapat diaplikasikan secara mudah untuk areal yang luas (Sunarjo, 1992). Namun

penggunaan

bahan

kimia

secara

terus

menerus

untuk

mengendalikan berbagai hama dan penyakit telah menimbulkan berbagai masalah baru, terutama bagi lingkungan. Penggunaan racun tikus di tempat-tempat penyimpanan atau di rumah-rumah memiliki resiko yang lebih besar, karena substansi racunnya memiliki kemungkinan yang lebih besar terjadinya kontak dengan manusia, hewan peliharaan dan ternak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dilaporkan juga bahwa penggunaan rodentisida sintetik telah menyebabkan tikus menjadi resisten (Meehan, 1984). Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimiawi untuk mengendalikan tikus, maka perlu dicari alternatif-alternatif pengendalian yang lainnya. Penggunaan bahan-bahan yang dapat menolak kehadiran tikus atau yang dikenal dengan istilah repellent merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang relatif lebih aman, karena secara umum bahan tersebut tidak meracuni,

tetapi bekerja dengan cara mempengaruhi indera penciuman tikus yang berkembang sangat baik (Anonim, 2002). Beberapa komponen teknologi pengendalian tikus yang dilakukan oleh petani ternyata belum berhasil menuntaskan masalah. Hal ini karena pengendalian yang dilakukan petani kurang tepat atau tidak memperhatikan kapan seharusnya dilakukan pengendalian (Suhana dkk., 2006). Saat ini telah diketahui bahwa parasit Sarcocystis singaporensis dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam mengendalikan tikus di Asia Tenggara. Di Sumatera utara dilaporkan bahwa keberadaan inang dari parasit ini yaitu ular piton dan tikus yang cukup berlimpah. Selanjutnya pengujian parasit dalam feses ular piton menunjukkkan bahwa protozoa ini terdapat di Sumatera Utara dan memiliki keefektifan dalam mengendalikan tikus. Rodentisida biologis ini selain dapat mengendalikan tikus tetapi tidak berbahaya bagi organisme bukan sasaran dan tidak memiliki sifat jera umpan. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penggunaan protozoa Sarcocystys untuk mengendalikan tikus sawah Rattus rattus argentiventer.

Tujuan Penelitian

-

Untuk mengetahui dosis S. singaporensis yang paling efektif untuk mengendalikan Rattus rattus argentiventer.

Hipotesa Penelitian

-

Pemberian Sarcocystis singaporensis pada berbagai tingkatan dosis dan media berpengaruh terhadap mortalitas tikus sawah.

-

Dosis Sarcocystis singaporensis yang diberikan 2 tablet pada tikus merupakan perlakuan yang paling efektif dibandingkan dengan dosis yang lain.

Kegunaan Penelitian

-

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

-

Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.