JURNAL BIOLOGI SUMATERA

39 downloads 7436 Views 158KB Size Report
Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 1 – 2. Vol. ... 2Fakultas Biologi, Universitas Medan Area, Jalan Kolam No. .... Permukaan kulit manusia tidak steril.
Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 1 – 2 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 11

IDENTIFIKASI JENIS DAN JUMLAH BAKTERI PADA PASIEN MIKOSIS KULIT 1

Kiki Nurtjahja1), Dwi Suryanto1), dan Lavarina Winda2) Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155 2 Fakultas Biologi, Universitas Medan Area, Jalan Kolam No. 1, Medan 20223

Abstract The occurrence of bacteria on superficial mycosis (tinea) has been studied. The aim of the study is to observe the presence of bacterial species as secondary infection on superficial primary mycosis. Thirty samples of patients mycosis were investigated by scrapping method at head skin (tinea capitis), body (tinea corporis), feet (tinea pedis), nail (tinea manus), and upper tight (tinea cruris). By adding potassium hydroxide (KOH) 10%, each sample was tested microscopically to examine the presence of parasitic fungi. The positive samples were diluted to 10-2 in sterile distilled water. The samples were cultured in solidified nutrient agar (NA) media for 37oC, 24 h. The number of bacteria colonies were calculated, the colonies were determined by Gram stainning. Most patients were infected by tinea tinea corporis, tinea pedis, tinea cruris, tinea manus, and tinea capitis, respectively. Five species bacteria were found, the highest number of bacteria was Staphylococcus aureus, which was found in all tinea. The second number was Streptococcus faecalis, Enterobacter aerogenes, Escherichia coli, and Proteus vulgaris, respectively. Keywords: tinea, scrapping, mycosis

PENDAHULUAN Infeksi jamur pada kulit atau mikosis banyak diderita penduduk khususnya yang tinggal di daerah tropis. Iklim panas dan lembab merupakan salah satu penyebab tingginya insiden tersebut. Selain itu mikosis pada kulit dipredisposisi oleh higiene yang kurang sehat, adanya sumber penularan, pemakaian antibiotika, dan penyakit kronis (Adiguna 2001). Mikosis kulit atau disebut juga dengan “ring worm” atau dalam istilah klinis disebut dengan tinea disebabkan oleh 3 genus jamur yaitu Microsporum, Tricophyton dan Epidermophyton (Rippon 1988; Chung & Bennett 1992 dan Morello et al 1994). Jamur-jamur ini menyerang permukaan tubuh yang terkeratinisasi seperti kulit pada tubuh, kulit yang berambut seperti pada kepala, dan kuku. Namun jamur ini tidak menginfeksi ke jaringan kulit yang lebih dalam. Tergantung pada bagian tubuh yang diserang, dikenal tinea pada kulit kepala (tinea kapitis), permukaan badan (tinea korporis), lipat paha (tinea kruris), dagu dan leher (tinea barbae), jarijari tangan (tinea manus), kaki (tinea pedis) dan pada kuku (tinea ungium). Infeksi sekunder oleh bakteri pada saat serangan jamur terjadi karena kekebalan tubuh

menurun akibat infeksi yang sedang terjadi. Bakteri ini berasal dari flora normal tubuh atau berasal dari lingkungan. Pada tinea pedis menunjukkan bahwa pemeriksaan lebih lanjut ditemukan peningkatan jumlah bakteri Gram negatif yaitu Staphylococcus aureus dan S. epidermidis (Rippon 1988; Mainiadi 2002). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis dan jumlah bakteri yang terdapat pada pasienpasien mikosis kulit. BAHAN DAN METODE Pemeriksaan Mikroskopis. Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit/rambut dari 30 pasien yang sebelumnya diduga terinfeksi jamur. Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur. Kultur Bakteri. Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa atau konidia pada hasil scrapping) dilanjutkan dengan kultur bakteri.

2 NURTJAHJA ET AL.

J. Biologi Sumatera

Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel, hasil kerokan diencerkan dengan akuades hingga 10-2. Hasil pengenceran dikultur pada media nutrient agar, diinkubasi 37oC, 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Jenis bakteri diidentifikasi dengan pewarnaan Gram. Bakteri teridentifikasi Gram + atau bentuk kokus dikultur kembali dengan media MSA (Mannitol Salt Agar) dan diuji dengan uji katalase. Bakteri Gram – dan bentuk batang dikultur dengan media reaksi biokimia seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur indole motility agar (SIM), dan simon citrate agar. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Mikroskopis. Seluruh sampel menunjukkan uji positif adanya hifa spora jamur. Sebagian besar sampel pasien menderita tinea korporis diikuti berturut-turut oleh tinea pedis, tinea kruris, tinea manus, dan tinea kapitis. Kultur Bakteri. Dari hasil kultur dijumpai 5 spesies bakteri. Spesies bakteri yang paling sering dijumpai pada setiap tinea adalah Staphylococcus aureus diikuti dengan Enterobacter aerogenes dan Staphylococcus faecalis. Bakteri Escherichia coli dan Proteus vulgaris hanya dijumpai pada tinea pedis. S. aureus paling banyak dijumpai pada tinea korporis, tinea pedis, tinea kruris. Hasil pengamatan pemeriksaan mikroskopis dan kultur 30 sampel penderita bakteri terhadap dermatofitosis (tinea) dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:

Permukaan kulit manusia tidak steril. Pada kulit banyak terakumulasi sisa-sisa metabolisme tubuh sehingga mikroorganisme dapat tumbuh pada permukaan kulit (Wiryadi, 2002). Mikroorganisme tersebut secara alami berada pada permukaan kulit dan dalam kondisi normal tidak menimbulkan penyakit, mikroorganisme demikian disebut sebagai flora normal tubuh manusia. Namun beberapa faktor predisposisi seperti higiene yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh, penyakit kronis atau terjadi luka pada kulit maka flora normal tersebut dapat menimbulkan infeksi. Di antara flora normal yang paling sering dijumpai pada permukaan kulit adalah bakteri dan jamur. Kedua jenis mikroorganisme ini dapat menyebabkan penyakit kulit. Pada keadaan kulit yang mengalami luka maka akan terjadi infeksi sekunder oleh jamur dan bakteri. Bakteri dapat menginfeksi epidermis atau jaringan yang lebih dalam, infeksinya dapat bervariasi sesuai dengan bakteri penyebabnya, bagian tubuh yang terinfeksi dan keadaan imunologik penderita. Di antara bakteri yang sering menyebabkan infeksi sekunder pada kulit adalah dari genus Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri Gram- (Rippon, 1988). Di antara bakteri tersebut. Staphylococcus aureus adalah sangat patogen pada kulit. DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, M.S. 2001. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia dalam Dermatomikosis Superfisial. Jakarta: FKUI. Tabel 1. Jumlah dan jenis bakteri yang dijumpai Kwon-Chung KJ, Bennet JE. 1992. Medical Mycology. Philadelphia: Lea & Febiger. pada 30 pasien dermatofitosis (tinea) Dermatofitosis Jumlah Jumlah Jenis Mainiadi. 2002. Infeksi Sekunder pada (tinea) sampel sel bakteri Dermatofitosis di Poliklinik Penyakit Kulit bakteri dan Kelamin. Medan: RSUP H. Adam Tinea kapitis 2 3.700 S. aureus Malik. Tinea korporis 39.100 S. aureus Rippon JW. 1988. Medical Mycology. 3rd 10 12.300 S .faecalis edition. Philadelphia: WB Saunders Co. 12.600 E. aerogenes Wiryadi BE. 2002. Mikrobiologi Kulit dalam Tinea kruris 28.000 S. aureus Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7 2.000 S. faecalis ke-3 Jakarta: FKUI. 8.100 E. aerogenes Tinea manus Tinea pedis

3 8

3.700 37.900 5.600 2.700 2.500

S. aureus S. aureus S. faecalis E. coli P. vulgaris

Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 3 – 7 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 31

PENGUJIAN DEGRADASI KLORPROMAZIN HCl DALAM PLASMA SECARA IN VITRO M.T. Simanjuntak Departemen Farmasi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Kampus USU Medan

Abstract The degradation test of chlorpromazin hydrochloride in condensation of buffer solution attempt animal plasma and by in vitro. The degradation test of chlorpromazin hydrochloride was conducted in condensation of buffer solution done at pH 4.0; 6.0; 7.0; 8.0; and 11.5, while in plasma was done with addition of enzyme inhibitor of NaF with different concentration. Test of degradation of chlorpromazin hydrochloride also done at temperature 30°C, 37°C and 50°C in condensation of buffer solution pH 7.0. The experimental data was analyzed by analysis of variance (ANOVA) and Least Significant Difference (LSD). Total chlorpromazin hydrochloride in plasma was measured by using spectrophotometer at 710 nm with addition of ferri chloride solution, potassium ferri cyanide solution and acetic acid with aquabidest as the solvent. The result of research indicated that the degradation of chlorpromazin hydrochloride was influenced by pH, temperature, and enzyme activity.

PENDAHULUAN Psikotropik ialah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan, atau pengalaman (World Health Organization, 1966). Klorpromazin hidroklorida (CPZ) merupakan derivat dari fenotiazin yang terdiri dari senyawa dimetilaminopropil. Klorpromazin HCl adalah turunan fenotiazin dengan pKa=9,3 (Foye, 1996). Pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 untuk digunakan sebagai pengobatan anestesi (Mayer, 1990). Klorpromazin HCl digunakan sebagai antiemetikum, sedativum, analgetikum. Efek samping yang ditimbulkan dari klorpromazin HCl berupa lesu, mengantuk, pusing, sakit kepala, konstipasi, jantung berdebar, mulut kering, dan tenggorokan (Shannon, 2000). Dalam perdagangan klorpromazin HCl terdapat dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Sediaan oral klorpromazin yang sering digunakan adalah tablet antara lain tablet Largactil®, Promagtil®. Klorpromazin HCl secara kimia merupakan senyawa yang kurang stabil. Bentuk garamnya di bawah pengaruh cahaya dan oksigen akan berwarna gelap, di mana perubahan oksidatif dipercepat dengan adanya ion logam (Mayer, 1990). Klorpromazin HCl dalam darah yang disimpan pada temperatur 4°C tidak mengalami peruraian, sedangkan penyimpanan pada

temperatur 37°C klorpromazin HCl dalam darah yang tidak diawetkan akan terurai sebesar 50% (Batziris, 1997). Menurut Simanjuntak dan Bangun (2004), kalsium dan vitamin B1 dapat mempengaruhi absorbsi klorpromazin HCl pada kelinci bila diberikan secara oral. Monitoring obat dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat dalam darah dengan maksud untuk memastikan bahwa obat berada dalam indeks terapetik. Salah satu kriteria obat yang harus dimonitor dalam tubuh adalah obatobat yang mempunyai indeks terapi yang sempit. Klorpromazin HCl mengalami metabolisme sangat luas dan indeks terapi yang sempit sehingga konsentrasi dan peruraian obat dalam plasma perlu dipantau (Wilson & Gisvold, 1982). Berbagai metode penetapan kadar fenotiazin dan turunannya dapat dilakukan secara spektrofotometri, spektrofluorometri, konduktometri, fluoroimmunoassay, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Kromatografi Cair-Gas, adsorpsi voltametri, dan titrasi. Metode spektrofotometri yang dilakukan adalah berdasarkan reaksi oksidasi klorpromazin HCl dengan Fe (III) dan membentuk khelat dengan ferisianida dalam asam asetat yang menghasilkan warna biru prusia dan absorbsi maksimum 700-720 nm (Nagaraja, 2000). Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian pengaruh pH dan temperatur terhadap laju peruraian klorpromazin

4 SIMANJUNTAK

HCl dalam larutan air dan plasma hewan percobaan secara in vitro, dan mempergunakan kelinci sebagai model hewan percobaan. BAHAN DAN METODE Bahan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aqua bidestilata, aquadestilata, klorpromazin HCl, natrium hidroksida, kalium dihidrogen fosfat, ferri klorida, kalium ferri sianida, asam asetat glasial, NaF, garam dapur, es, etanol, asam fosfat. Alat. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas beaker, baskom plastik, termometer, pH meter, waterbath, alumunium foil, rak tabung, mikro pipet 100 μl, labu taker, maat pipet, bola karet, efendorf, kertas perkamen, stopwatch, centrifuge, touch mixer, termos es, batang pengaduk, neraca analitik, spektrofotometri visibel, pipet tetes. Subjek Uji. Kelinci Jantan berat 1,5 – 2 kg. Rancangan Percobaan Uji In Vitro. Pada percobaan in vitro yang digunakan dalam percobaan ini adalah larutan buffer dengan pH yang ditentukan dan plasma dari hewan percobaan yaitu kelinci dengan berat badan 2,0 kg. Rancangan percobaan ini dibagi menjadi 4 tahap rancangan uji. Pada tahap I, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer pH 4,0; 6,0; 7,0; 8,0; 11,5 pada temperatur 37°C dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Tahap II, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl larutan buffer pH 7,0 pada temperatur 30°C, 37°C, 50°C, dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Tahap III, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma kelinci dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Tahap IV, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma tanpa atau dengan penambahan enzim inhibitor NaF dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Penentuan Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Larutan Buffer. Untuk menentukan laju peruraian klorpromazin HCl sesuai dengan rancangan uji tahap I adalah dengan memakai variasi larutan buffer pada pH 4,0; pH 6,0; pH 7,0; pH 8,0; pH 11,5 dengan cara sebagai berikut: dipipet ke dalam tabung reaksi 15 ml 1 ml larutan buffer dan kemudian diinkubasi di dalam penangas air pada suhu 37°C selama 5 menit dipipet 100 μl larutan klorpromazin HCl ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas. Lalu reaksi dihentikan

J. Biologi Sumatera

pada waktu yang bervariasi dari 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam dengan mempergunakan “stop solution” berupa larutan buffer yang telah didinginkan dalam campuran es dan garam sebanyak 5 ml. Konsentrasi dari klorpromazin HCl ditentukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum. Untuk menentukan konsentrasi dari klorpromazin HCl dalam berbagai pH yang lainnya dilakukan dengan prosedur yang sama seperti di atas. Penentuan Laju Peruraian Larutan Klorpromazin HCl pH 7,0 pada Temperatur 30°C; 37°C; 50°C. Untuk menentukan laju peruraian larutan klorpromazin HCl pH 7,0 pada temperatur 30°C; 37°C; 50°C dilakukan dengan cara sebagai berikut: Ke dalam tabung reaksi 15 ml dipipet 1 ml larutan buffer pH 7,0 diinkubasi selama 5 menit pada temperatur yang diinginkan (30°C; 37°C; 50°C), kemudian dipipet 100 µl larutan klorpromazin HCl ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas. Pengujian Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Plasma Kelinci. Untuk menentukan laju peruraian larutan klorpromazin HCl dalam plasma kelinci dilakukan dengan cara sebagai berikut: ke dalam tabung reaksi 15 ml dipipet 1 ml larutan plasma, diinkubasi selama 5 menit pada temperatur 37°C. Kemudian dipipet 100 μl larutan klorpromazin HCl ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas. Lalu reaksi dihentikan pada waktu yang bervariasi dari 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam dengan mempergunakan 4 ml larutan etanol 96%, dicampur dengan bantuan pengaduk sentuh dan disentrifugas selama 10 menit, 3000 rpm, supernatant (bagian etanol) dipisah dan dimasukkan ke dalam tabung. Konsentrasi dari klorpromazin HCl ditentukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum. Pengujian Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Plasma Tanpa atau dengan Inhibitor NaF. Untuk menentukan laju peruraian larutan klorpromazin HCl dalam plasma kelinci ditambahkan enzim inhibitor NaF dengan konsentrasi total pencampuran: 50 mg/ml; 25 mg/ml; 12,5 mg/ml dilakukan dengan cara sebagai berikut: Ke dalam tabung reaksi 15 ml dipipet 1 ml larutan plasma, diinkubasi selama 5 menit. Kemudian dipipet 100 μl larutan klorpromazin HCl konsentrasi (550 mg/ml; 275 mg/ml; 137,5 mg/ml) ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas sehingga konsentrasi total klorpromazin (50

Vol. 1, 2006

mg/ml; 25 mg/ml; 12,5 mg/ml). Lalu reaksi dihentikan pada waktu yang bervariasi dari 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam dengan penambahan 4 ml larutan etanol 96%. Dicampur sampai homogen memakai bantuan pengaduk sentuh dan disentrifugasi selama 10 menit, 3000 rpm, pisahkan supernatan (bagian etanol) dan dimasukkan ke dalam tabung. Selanjutnya ditentukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pH terhadap Laju Peruraian Klorpromazin HCl. Dari Gambar 1 terlihat bahwa klorpromazin HCl mengikuti reaksi orde satu dan lebih stabil pada pH 7,0. Hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 1, di mana pada pH 7,0 harga Kobs paling kecil dan harga t ½ paling besar. Jadi, tingkatan laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer adalah pH=4,0>pH=11,5>pH=6,0>pH= 8,0>pH=7,0. Dari hasil uji statistik laju peruraian larutan klorpromazin HCl menggunakan Anova dan LSD dengan taraf kepercayaan (p=0,5) berdasarkan konsentrasi, diperoleh harga Fhitung=5,971 berarti lebih besar dari Ftabel=3,49 (Sudjana, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer menunjukkan perbedaan yang signifikan.

J. Biologi Sumatera 5

HCl dalam larutan buffer pH=,0 (Tabel 2) menggunakan Anova dan LSD dengan taraf kepercayaan (p=0,5) diperoleh harga Fhitung=6,825 yang berarti lebih besar dari Ftabel=3,55 (Sudjana, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan berbagai temperatur yang diuji berbeda secara signifikan (Sudjana, 1993). Dengan rincian bahwa perbedaan signifikan terhadap laju peruraian klorpromazin HCl adalah antara temperatur 30°C dengan 50°C, temperatur 37°C dengan 50°C, sedangkan laju peruraian pada temperatur 30°C dengan 37°C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tabel 2. Harga kobs dan t½ klorpromazin HCl temperatur berbeda Kobs (menit-1) t ½ (menit) Temperatur (°C) 30 0,00022 3165,625 37 0,00024 2887,500 50 0,00049 1414,286 Keterangan: kobs=konstanta laju laju peruraian t ½ (menit)=waktu paruh obat

Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Plasma Kelinci dengan atau Tanpa Penambahan NaF. Dari Gambar 3 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa laju peruraian klorpromazin HCl mengikuti orde satu dan dipengaruhi oleh konsentrasi NaF (12,5 mg; 25 mg; 50 mg), semakin besar konsentrasi NaF yang ditambahkan laju peruraian klorpromazin HCl Tabel. Harga kobs dan t½ klorpromazin HCl semakin menurun, bila dibandingkan dengan dalam larutan dapar tanpa penambahan NaF. Dari hasil percobaan pH larutan dapar k obs (menit-1) t ½ (menit) diperoleh bahwa laju peruraian klorpromazin HCl 4,0 0,0147 47,14 dalam plasma dengan penambahan NaF dengan 6,0 0,0011 630 konsentrasi 50 mg/ml memiliki profil yang 7,0 0,0002 3465 hampir sama dengan laju peruraian pada larutan 8,0 0,0006 1155 buffer pH 7,0. 11,5 0,0025 277,20 Dengan uji statistik menggunakan Anova Keterangan: kobs=konstanta laju laju peruraian terlihat bahwa laju peruraian klorpromazin dalam t½ (menit)=waktu paruh obat plasma dibandingkan dengan laju peruraian Pengaruh Temperatur. Pada Gambar 2 dalam plasma dengan penambahan NaF dan terlihat bahwa laju peruraian klorpromazin HCl laju peruraian pada larutan buffer pH=7,0 mengikuti reaksi orde satu dan akan meningkat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang dengan semakin tinggi temperatur. Laju signifikan di mana Fhitung=5,575, lebih besar dari Sedangkan laju peruraian peruraian klorpromazin HCl juga dapat Ftabel=3,33. klorpromazin HCl dalam plasma dengan ditentukan dengan menghitung harga energi aktivasi. Energi aktivasi (Ea) adalah energi penambahan NaF tidak menunjukkan perbedaan minimum yang diperlukan agar suatu zat terurai. yang signifikan dengan laju peruraian pada Semakin tinggi harga Ea dari suatu zat maka laju larutan buffer pH 7,0. Hasil analisis menunjukkan peruraiannya akan semakin kecil. Dengan bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam peningkatan temperatur Energi aktivasi diperoleh plasma mungkin dipengaruhi oleh kerja suatu enzim. Hal ini disebabkan karena laju peruraian sebesar 4305,98 kkal/mol. Hasil uji statistik dari pengaruh klorpromazin HCl yang lebih besar dalam plasma terjadi Enzim akibat aktivitas enzim. temperatur terhadap laju peruraian klorpromazin

6 SIMANJUNTAK

J. Biologi Sumatera

meningkatkan reaksi spontan pada temperatur Total NaF 12,5 mg Total NaF 25 mg fisiologis.

0,0009 770,00 0,0007 990,00 Total NaF 50 mg 0,00016 4331,25 Keterangan: k =konstant a laju laju peruraian obs Tabel 3. Harga kobs dan t½ larutan klorpromazin t½ (menit)=waktu paruh obat HCl dalam plasma tanpa atau dengan

NaF pada temperatur 37°C Kobs (menit-1) 0,0032

Perlakuan Tanpa NaF

t ½ (menit) 216,50

5.000 4.500 4.000 Log C + 3

3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 0

100

200

300

400

500

600

700

800

Waktu (menit) pH 4,0

pH 6,0

pH 7,0

pH 8,0

pH 11,5

Gambar 1. Laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer dengan pH berbeda 3,700 3,650 3,600 3 +3,550 C g3,500 o L3,450 3,400 3,350 0

100

200

300

400 500 Waktu (menit)

Suhu kamar (30 C)

Suhu 37 C

600

700

800

Suhu 50 C

Gambar 2. Laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer pH 7,0 dengan temperatur yang berbeda

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 7

4.5 4

Log C + 3

3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0

200

400 Waktu (menit)

pH 7,0

Plasma

Plasma + NaF 25 mg

Plasma NaF 50 mg

600

800

Plasma + NaF 12,5 mg

Gambar 3. Profil laju peruraian larutan klorpromazin HCl dalam plasma tanpa atau dengan penambahan NaF dan larutan buffer pH 7,0 Nagaraja P. Dinesh ND, Gowda NMM, UCAPAN TERIMA KASIH Ranggappa KS. 2000. A Simple Spectrophotometric Determination of Disampaikan kepada: Some Phenothiazine Drugs in 1. Bapak Drs. Harry Agusnar, M.Sc. Phil. Pharmacetical samples. Analytical selaku Kepala Lembaga penelitian FMIPA Sciences. pp. 16, 1127-1130. USU atas bantuan fasilitas yang diberikan. Atkins PW. 1993. Kimia Fisika. Edisi keempat. 2. Prof. DR. Hakim Bangun, Apt. atas diskusi Jakarta: Penerbit Erlangga. yang diberikan. Roth S, Seeman P. 1972. Biochemistry 3. Saudara Ronald Sidabutar atas bantuan teknis Biophysiology. untuk penelitian ini. Shahib H. 1992. Pemahaman Seluk Beluk Biokimia dan Penerapan Enzim Bandung: DAFTAR PUSTAKA PT Citra Aditya Bakti. Shannon MT. 2000. Drug Guide. New Orleans: Aiache JM, Devissaquet J, Guyot-Herman AM. Division Nursing Our Lady of Holy Cross 1993. Farmasetika Biofarmasi. Surabaya: College. Universitas Airlangga Press. Sudjanah. 1993. Pengantar Statistik. Yogyakarta: Anief M. 1993. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Universitas Gadjah Mada Press. Takata Y. 1999. A Rabbit Model for Evaluation Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan of Klorpromazine Induced Orthostatic Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: Hypotension. Japan: Department of Universitas Indonesia Press. Pharmacology, Faculty of Pharmaceutical Basavaiah K. 2004. Indirect Spectrophotometric Science. Determination of some Biologically Tanu I. 1994. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi, Fakultas Important Phenothiazines using Potassium Kedokteran Universitas Indonesia. Dichromat, Iron (II) and 1, 10phenantroline. Indian Journal of Chemical Simanjuntak MT., Bangun H., Juniaton K. 2004. Pemeriksaan Absorbsi Intestinal Technology 11: 639-642. Klorpromazin HCl dengan Pemberian Batziris H. 1997. Postmortem Artefacts Peroral pada Kelinci Percobaan. Medan: Associated with Physychotropic Drugs. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Monash University. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Sumatera Utara. Indonesia. Edisi IV. Jakarta. Tokumura T, Horie T. 1997. Kinetics of Martin A., Swarbrick J., Cammarata A. 1990. Nikkomycin Z Degradation in Aqueous Farmasi Fisik. Penerjemah: Yoshita. Edisi Solution and in Plasma. Biol Pharm Bull ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia. 20:557-580. Mayer K. 1990. Senyawa Obat. Edisi kedua. Penerjemah: Wattimena, dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.