kekerasan orang tua terhadap anak dalam cerita rakyat tolire gam ...

12 downloads 3680 Views 187KB Size Report
Kasus pelecehan seks terhadap anak oleh keluarga dekat dapat dilihat pada ..... Semacam minuman keras, kalau diceritakan kepada anak SD bahwa minuman ...
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM CERITA RAKYAT TOLIRE GAM JAHA DI TERNATE Kekerasan menjadi suatu hal yang biasa dan lumrah yang terjadi dalam kehidupan. Akan tetapi, kadang-kadang masyarakat belum menyadari luasnya pengaruh kekerasan terhadap anak. Kekerasan tidak harus dalam bentuk fisik. Kekerasan bisa menghancurkan kehidupan seseorang dengan sasaran psikologi seseorang, bisa cara berpikirnya, ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat. Dengan demikian, kadang-kadang dalam tiap-tiap kasuskasus kekerasan terutama kekerasan orang tua terhadap anak menjadi fenomena dan sulit diungkap ke permukaan. Fenomena kekerasan tentu tidak menjadi ciri khas bangsa Indonesia walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan bukanlah kejadian yang tak pernah hadir dalam masyarakat kita. Magnis dan Suseno menyatakan bahwa secara tradisi, manusia Indonesia umumnya memandang kekerasan bukanlah watak yang terpuji (Sumjati, 2001:12). Masyarakat Indonesia lebih cenderung memilih keselarasan hidup bermasyarakat dalam tata tertib dan ketenteraman daripada terlibat dalam sebuah kasus kekerasan, yang tentu saja berbeda dengan landasan adat sopan santun menurut norma dan tata moral yang berlaku. Dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha ada unsur kekerasan yang menyalahi norma dan tata moral yang berlaku sehingga mempunyai dampak terhadap tokoh cerita dan orang-orang yang berhubungan dengan cerita tersebut. Namun, ada pula melahirkan makna-makna yang tersirat di dalamnya sebagai pembelajaran bagi

102

103

masyarakat yang notabene selalu berusaha memahami dan mengaitkan aspek itu dalam seluruh konteks kehidupannya.

7.1

Dampak Negatif Kekerasan Orang Tua terhadap Anak dalam Cerita Rakyat Tolire Gam Jaha di Ternate Sebuah kejadian yang dianggap melanggar norma-norma agama tentu saja

mempunyai dampak yang sangat besar. Dampak yang timbul bukan hanya terhadap pelaku kekerasan, melainkan juga pada lingkungan sekitar. Kadangkadang juga jangka waktu dampak kekerasan berkepanjangan dalam kurun waktu tertentu. Beban yang ditimbulkan tidak hanya dipikul oleh pelaku kekerasan itu, tetapi juga dirasakan orang-orang yang berada dalam ruang lingkupnya. Sehubungan dengan penelitian ini, diuraikan dibawah ini.

7.1. 1. Dampak Penyimpangan Seksual Berupa Insest Dalam kehidupan masyarakat dapat ditemukan perilaku-perilaku, baik individu maupun kelompok, yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat, baik secara sadar maupun tidak, pasti pernah melakukan perilaku menyimpang/penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial yang ada akan mengganggu keseimbangan hidup bermasyarakat. Penyimpangan sosial merupakan pola perilaku yang selalu menimbulkan dampak-dampak negatif. Salah satu contoh terdapat pada perilaku penyimpangan seksual. Pada umumnya dampak dari perilaku penyimpangan seksual adalah negatif. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seorang individu akan

104

memberikan dampak bagi si pelaku. Penyimpangan seksual juga membawa dampak bagi orang lain atau kehidupan masyarakat pada umumnya. Dampak umum yang terjadi pada zaman sekarang dan sering diketahui dari tindakan penyimpangan seksual seperti secara fisik semisal mendapat tindakan pemukulan. Sebaliknya, secara psikis ia menanggung malu, putus asa, stres, menyesal, dan ada ancaman-ancaman yang dilakukan dari pelaku kepada korban. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut yang menggambarkan konteks masyarakat Ternate yang mengalami hal serupa. Kasus pelecehan seks terhadap anak oleh keluarga dekat dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 146. Dalam dekade yang disebutkan di atas, kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di Ternate, justru anak yang menjadi sasarannya. Aktornya adalah orang yang masih ada relasi dekat dengan anak. Relasi keluarga anak dan pelaku yang dikenal adalah aktor utama dalam kekerasan seksual anak. Atau orang yang masih bersaudara kerabat dengan anak. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa anak perempuan pada situasi sekarang ini, sangatlah rentan terhadap kekerasan seksual. Para pelaku sebelum dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan dan atau ancaman kekerasan. Dalam cerita Tolire Gam Jaha tak ada kekerasan, baik fisik maupun psikis, yang didapatkan dalam teks dan cerita yang dituturkan oleh beberapa penutur lisan. Hubungan seksual yang dilakukan oleh ayah dan anak dalam cerita ini terjadi tanpa ada paksaan, tanpa ada penolakan, dan ancaman yang biasa terjadi pada zaman sekarang.

Penerimaan dari kedua belah pihak dalam

melakukan perbuatan terlarang yang dianggap sangat tabu oleh masyarakat

105

Ternate. Walaupun ditelusuri faktor penyebab terjadi perbuatan terlarang atau asusila itu disebabkan oleh konsumsi minuman keras yang menyebabkan ayah dan anak gadisnya hilang kesadaran sehingga terjadi hubungan seksual yang terlarang. Penyimpangan seksual berupa perbuatan inses ini merupakan perbuatan yang tercela dan dilakukan di luar batas norma-norma, baik adat maupun agama, yang berkembang di masyarakat Ternate, khususnya tempat kejadian asal cerita ini, yaitu Kelurahan Takome. Dampaknya adalah beban aib yang harus ditanggung oleh anak cucu dan keturunannya. Beban aib yang ditanggung menyebabkan pemberian cap atau stigma dari masyarakat di luar tempat kejadian itu berlangsung sehingga sering kali mengubah perilaku masyarakat terhadap seseorang yang menyimpang. Dengan demikian, bila hanya seseorang atau dua orang melakukan penyimpangan, maka yang timbul adalah beban aib yang ditanggung orang-orang terdekat si pelaku penyimpangan atau masyarakat sekitarnya. Ada sebuah pemahaman yang dianut oleh masyarakat Desa Takome, desa tempat lahirnya cerita rakyat Tolire Gam Jaha ini. Sebuah bahasa yang diwarisi turun temurun dari para penutur adalah

“foso” dan “boboso”. Konsep ini

semacam sebuah pamali atau larangan yang tumbuh kuat di Desa Takome terutama yang menyangkut dengan cerita Tolire Gam Jaha. Tujuan konsep ini adalah untuk menutupi aib yang dilakukan oleh para pendahulu mereka. Para tetua adat dan agama setempat memegang sangat kuat konsep pamali ini. Konsep foso dan boboso diartikan sebagai suatu konsep yang berfungsi sebagai larangan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan dasar aturan, yang jika dilanggar,

106

dipercaya akan mendatangkan bencana, baik yang menimpa diri sendiri maupun masyarakat banyak. Dalam Kamus Ternate-Indonesia-Inggris dinyatakan bahwa foso adalah pamali, tabu, dan dirahasiakan, sedangkan boboso adalah pantangan, misalnya makan sesuatu yang jadi pantangan akan mengalami sakit tertentu (Ahmad, 2012: 19&54:). Ada juga pengertian yang dijelaskan oleh Adam Marus bahwa foso adalah larangan bersifat praktis dan teruntuk individu seperti pada bulan Ramadhan dilarang bagi seseorang untuk tidak berpuasa jika tidak ada suatu pengecualian untuk orang tersebut dalam pelaksanaannya. Sebaliknya boboso adalah larangan bersifat kelompok/keluarga/marga atau masyarakat terhadap sesuatu yang telah disepakati bersama dan secara turun temurun. Misalnya ada kelompok masyarakat tertentu di Ternate, yang dilarang untuk makan ikan hiu dengan alasan-alasan yang telah disepakati oleh kelompok masyarakat tersebut (Wawancara 28 April 2013). Melihat di lapangan, konsep pamali yang diwarisi ini cukup efektif membuat para penutur mematuhinya, sehingga peneliti mengalami kesulitan untuk mendapatkan keaslian tentang alur cerita rakyat Tolire Gam Jaha. mengalami kesulitan. Hal itu menyebabkan dibutuhkan waktu dan pendekatan kepada penutur asli yang berada di desa Takome. Sekedar informasi bahwa keaslian cerita tak berhasil peneliti dapatkan dari para penuturnya. Alasan yang melatarbelakanginya adalah konsep foso dan boboso yang dipegang sangat kuat oleh para penuturnya. Salah satu contoh bahasa foso dan boboso yang didapatkan dari seorang informan yang berasal dari Desa Takome, yaitu

Piara Bacici,

107

menuturkan secara halus sebagai bentuk penolakan untuk tidak menceritakan cerita rakyat Tolire Gam Jaha. Berikut petikan wawancaranya. “Momoi ne sema boboso, afa ua ngone fo carita si todero ena ma susah se ena ma panyake. Afa una ena dadi ua, afa ua ngone si fo carita si moi ua, ena tasalah toma ena ma carita. Berarti ena ma untung toma manusia tapi ena ma rugi se fangare. Carita si ena tasalah karena ena sema boboso. Foso se boboso, boboso aku pake, bicara aku bicara, aku oho aku pake..sema sou Foso rorio malo.ma sou malo” Artinya : Semuanya ada obatnya, kalau diceritakan nanti, saya yang akan dapat kesusahannya atau penyakitnya. Kalau tidak diceritakan, semua alur ceritanya dan tidak benar ceritanya, maka akan mendapat keuntungan bagi manusia yang mendengarkan tapi ruginya untuk saya. Kalau ceritanya “salah” diceritakan (alurnya), akan mendapat akibat dari foso dan boboso. Boboso bisa diceritakan dan ada obatnya, tapi foso kalau diceritakan tidak ada obatnya (Wawancara dengan Piara Bacici 7 Februari 2013).

Menurut informan bahwa bencana sakit yang datang pada manusia ada obatnya, tetapi kesalahan dalam mengungkap alur kebenaran cerita Tolire Gam Jaha akan mendapat penyakit yang tidak akan ada obatnya. Keuntungan akan didapatkan oleh orang yang mendengarkan cerita Tolire Gam Jaha, tetapi kerugian informan ini akan mendapatkan penyakit yang tidak ada obat untuk kesembuhannya. Menurut beliau, boboso adalah suatu konsep larangan yang masih bisa ditolerir oleh kelompok masyarakat atau dengan kata lain bisa diceritakan. Akan tetapi, jika mendapat kerugian berupa penyakit, maka akan ada obatnya. Sebaliknya, foso suatu konsep larangan untuk diri sendiri yang tidak bisa ditolerir dan tidak bisa dilanggar. Akibat dari pelanggaran terhadap konsep foso ini juga menurut beliau sungguh mendapat kerugian yang teramat besar, seumpama jika dalam penyakit, tidak akan ada obatnya.

108

Ada aturan adat dalam foso dan boboso dan aturan dalam Islam yang mengatur konsep pemikiran masyarakat di Desa Takome untuk menjaga aib kampung Tolire terhadap peristiwa yang terlarang, yaitu inses. Alasan yang melatarbelakanginya karena sudah menjadi aib dan itu merupakan dampak dari perbuatan terlarang yang dianggap sebagai penyimpangan perilaku yang tentu tidak bisa diterima oleh kelompok masyarakat di mana pun. Menurut James W. Van Der Zanden, perilaku menyimpang, yaitu perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi (Internet dalam Sosiologi, 2012). Latar belakang masyarakat Takome sebagai pemeluk Islam pun menjadi kuat tumbuhnya konsep penjagaan rahasia aib nenek moyang mereka. Senada dengan konsep foso dan boboso dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa “tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya (Internet dalam Mahmud Muhamad Al Kandzar, 2009). Makna yang terkandung dalam hadis ini adalah tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan menutup cela saudaramu, Allah akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Konsep foso dan boboso ini merupakan warisan dan sebagai tanda untuk penjagaan sebuah aib keluarga atau aib kampung Tolire. Menurut Ridwan Dero (yang bukan anggota masyarakat Desa Takome), para pendahulu mereka menggunakan kata foso dan boboso sebagai konsep pamali dengan tujuan agar nanti tidak mencemarkan nama baik. Kalau cerita Tolire ini diceritakan kepada

109

seluruh orang, maka akan menjadi aib pada kampung tersebut. Lebih ditegaskan oleh beliau jika diceritakan, maka akan membuka aib sendiri. Oleh karena itu, pendahulu yang ada di Takome memberikan semacam pesan untuk tidak diceritakan dengan sebuah konsekuensi jika dilanggar, akan mendapatkan bala penyakit. Akhirnya kata foso dan boboso mengakar kuat dalam pikiran masyarakat di Desa Takome untuk tidak menceritakan penyimpangan seksual yang dilakukan oleh ayah dan anak gadisnya yang dianggap sebagai aib kampung Tolire.

7.1. 2 Dampak Kekerasan Simbolis Kekerasan simbolik merupakan pemaksaan sistem simbolisme atau makna atas kelompok tertentu seakan-akan hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah dan benar. Minuman keras dan pesta yang biasa dilakukan oleh masyarakat Ternate merupakan kekerasan simbolik yang pada ruang dan tempatnya bisa dilegalkan. Sebagai contoh, pada perayaan-perayaan pesta tertentu kedua hal tersebut harus hadir bersamaan. Walaupun dampaknya sudah terjadi berulang-ulang dan masyarakat Ternate yang menjadi pelaku sekaligus korban seakan-akan tidak pernah jera dan menganggap normal saja dan menerimanya. Ketika Thompson (1984:99) hendak mengutip patahan-patahan ide Bourdieu, ia mereduksi bahwa kekerasan simbolis adalah dominasi yang diujikan melalui komunikasi yang tersembunyi. Lemah lembut karena diterima, tidak tampak karena tidak kelihatan untuk apa kekerasan simbol dikarakterisasikan satu pengakuan yang berbeda (recoannaisance) dan tidak adanya pengakuan

110

(meconaissance) melalui inilah kekerasan simbol menjadi medium efektif perkembangan sosial (Internet dalam Fajlurrahman Jurdi, 2009). Dampak kekerasan simbolik yang ada dalam cerita Tolire Gam Jaha adalah penyimpangan seksual dan bencana alam. Penyimpangan seksual berupa perbuatan inses terjadi antara ayah dan anak gadisnya. Penyebab asalnya adalah karena konsumsi minuman keras dan melaksanakan pesta secara berlebihan dan melampaui batas. Dampaknya kemudian berkesinambungan akibat hubungan sedarah itu dipercayai oleh masyarakat Ternate menimbulkan bencana alam yang diberikan oleh Allah dengan menenggelamkan Desa Tolire. Dalam konteksnya juga kedua objek ini hidup dan masih bertahan sampai sekarang. Walaupun dampaknya bukan bencana alam yang sama hal terjadi dipercayai terjadi di Desa Tolire. Objek kekerasan simbolik, yaitu minuman keras paling banyak didapati kasusnya yang pernah terjadi di Ternate dan dampaknya berujung pada perkelahian dan tawuran. Berikut beberapa data yang peneliti didapatkan dari media lokal, yaitu Malut Pos yang memuat berita yang berhubungan, sbb. “(Malut Post (30 MAret 2013).Lagi, bentrok Antar Pemuda Pecah di Kampung Makasar////jdl. TERNATE - Bentrok antarpemuda di Kampung Makasar kembali terjadi, Kamis (28/3) dini hari pukul 03.30. Dua kelompok pemuda terlibat saling lempar batu di jalan raya samping kiri Bank Mega. Tidak ada korban jiwa pada bentrok tersebut, tapi akibatnya jalan raya dipenuhi dengan batu dan benda tumpul lainya. Saling lempar berlangsung sekitar 15 menit. Bahkan, satu rumah di lingkungan Lelong, nyaris dibakar salah satu kelompok pemuda. Beruntung aparat kepolisian dari Polres Ternate bergerak cepat tiba ke lokasi kejadian dan membubarkan paksa dua kelompok yang bentrok. Informasi yang dihimpun koran ini di lapangan menyebutkan, bentrok berawal dari pesta di depan Masjid Sultan Ternate. Dua kelompok pemuda yang ikut meramaikan pesta itu, terlibat adu mulut di area pesta. Mereka yang sudah dipengaruhi “minuman keras (miras)”, kemudian terlibat saling tinju

111

hingga saling lempar batu dari jarak jauh. Warga yang tinggal di lokasi tersebut mengaku kesal dengan ulah para pemuda itu. Mereka berharap aparat kepolisian bisa mengusut siapa aktor di balik bentrok tersebut. Pasalnya, bukan hanya sekali terjadi, namun sudah sering terjadi. Lagilagi, bentrok itu pecah karena sejumlah pemuda sudah dalam kondisi mabuk. Setelah membubarkan dua kelompok yang bentrok, aparat kepolisian terus berjaga-jaga di lokasi kejadian”(lex/one) “(Malut Pos (8/12/ 12). Miras dan Tawuran Pemuda, Sulit Diatasi/jdl:TERNATE – Bentrokan pemuda antarkampung di Kota Ternate, tak henti-hentinya terjadi. Ironisnya, penyebab bentrok tersebut karena kedua kelompok pemuda “sudah dipengaruhi minuman keras (miras)”. Artinya, upaya pemberantasan miras oleh pihak berwajib tidak efektif. seperti bentrok yang melibatkan dua kelompok pemuda di Kelurahan Kampung Makasar, Ternate Tengah, Kamis (6/12) dini hari kemarin. Mereka, saling lempar batu dan benda tumpulnya. Meskipun aksi saling lempar berlangsung singkat, tapi lagi-lagi fasilitas umum menjadi sasaran. Aparat kepolisian terlambat tiba di lokasi pertikaian. Lambannya reaksi kepolisian, membuat fasilitas umum maupun fasilitas milik warga setempat jadi korban (lex/one)” . “(Malut Pos (17/9/12) Warga Ubo-ubo dan Kayu Merah Bentrok, jdl. Sejumlah Fasilitas Umum Dirusak//sub.TERNATE – Bentrok warga antar kampung di Ternate kembali terjadi. Kali ini antara warga Kelurahan Uboubo dan kelurahan Kayu Merah, Minggu (16/9) dini hari sekitar pukul 03.30 WIT. Bentrok kali ini melibatkan warga Kelurahan Ubo-ubo dan Kayu Merah. Kedua kelompok terlibat saling lempar batu dan benda tumpul lainnya di depan Panti Jompo Himo-himo, Kelurahan Ubo-ubo. Akibat, bentrokan tersebut sekitar empat warga dari kedua kelurahan mengalami luka di bagian kaki, terkena batu. Bahkan sejumlah fasilitas umum berupa lampu jalan ikut dirusak warga. Rumah warga di perbatasan kedua kelurahan juga menjadi sasaran lemparan batu. Saling lemparan batu kedua kelompok berlangsung sekiyar 20 menit. Ironisnya, polisi yang bermaksud membubarkan warga yang bentrok, justru tiba setelah bentrok usai. Bentrokan tersebut bermula dari saling ejek pemuda dari kedua kelurahan. Seperti biasa, saling ejek terjadi karena para pemuda telah terpengaruh minuman keras (miras).(wm10/one)” Kecanduan khamar (minuman keras) mempunyai dampak negatif bagi perkembangan otak manusia sehingga menyebabkan lemahnya ingatan. Selain itu, pecandu khamar tidak akan mampu lagi menguasai gangguan-gangguan yang meyerang jiwanya. Dengan demikian, otak akan bekerja secara lambat dan tak

112

mampu berpikir teratur. Begitu pula khamar akan menimbulkan berbagai penyakit jiwa. Khamar juga akan membahayakan keselamatan umum (Internet dalam Bahaya dan Efek Minuman Keras Bagi Masyarakat, 2009). Dari data di atas diketahui terdapat beberapa tawuran/perkelahian yang diakibatkan karena konsumsi minuman keras. Hal yang tidak bisa dimungkiri bahwa hal tersebut merupakan ciri khas kebudayaan modern seperti sekarang ini. Minuman keras mempunyai pengaruh luar biasa terhadap syaraf-syaraf, terutama syaraf otak. Pengaruh tersebut dapat mematikan otak yang mengakibatkan seseorang tak mampu mengendalikan diri. Di samping itu, ia tidak mampu menguasai tingkah lakunya sehingga tak mempunyai rasa malu. Hal inilah yang menyebabkan

orang

yang

mengonmsumsi

minuman

keras

kehilangan

keseimbangan dirinya dan berubah menjadi jauh dari norma-norma akhlak dan timbul keberanian melakukan tindakan negatif.

7. 2

Dampak Positif Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak dalam Cerita Rakyat Tolire Gam Jaha di Ternate.

7.2.1

Terjaganya Adab Manusia adalah makhluk sosial yang dalam menjalani kehidupannya

membutuhkan bantuan manusia lain. Namun, dalam prosesnya ada aturan-aturan yang mengatur. Islam sebagai latar belakang identitas masyarakat Ternate menjadikan aturan-aturan itu pun hidup dalam kehidupan kesehariannya. Aturan yang dalam Islam disebut adab yang kadang-kadang tidak boleh melanggar adabadab yang telah disepakati.

113

Adab adalah satu istilah bahasa Arab yang berarti adat kebiasaan. Kata ini menunjuk pada suatu kebiasaan, etiket, pola tingkah laku yang dianggap sebagai model. Selama dua abad pertama setelah kemunculan Islam, istilah adab membawa implikasi makna etika dan sosial. Kata dasar Ad mempunyai arti sesuatu yang menakjubkan, atau persiapan atau pesta. Adab dalam pengertian ini sama dengan kata Latin urbanitas, kesopanan, keramahan, kehalusan budi pekerti masyarakat kota. Dengan demikian adab, sesuatu berarti sikap yang baik dari sesuatu tersebut. Bentuk jamaknya adalah adab al-Islam, dengan begitu, berarti pola perilaku yang baik yang ditetapkan oleh Islam berdasarkan ajaran-ajarannya. Dalam pengertian seperti inilah kata adab (Internet dalam Agussyafii, 2009). Selain dampak negatif yang telah digambarkan ada pula dampak positifnya. Adanya penyimpangan seksual berupa perbuatan abnormal antara ayah dan anak gadisnya dalam cerita rakyar Tolire Gam Jaha melahirkan aturan-aturan dalam adat dan agama pada masyarakat Ternate mengenai aturan yang berlaku pada tiap anggota keluarga masyarakat Ternate. Aturannya, antara lain pada kutipan wawancara sebagai berikut. “Ada larangan bagi laki-aki yang sudah dewasa atau orang tua kita tidak boleh melewati pintu kamar anak gadisnya, kalau sudah akil balik. Orang tua laki-laki tidak bisa masuk dalam kamar anak gadisnya.” “Hukum agama juga mendukung. Dalam tata tertib adab, dalam bertamu. Sepanjang tidak ada suami di dalam rumah maka tidak bisa masuk dalam rumah orang”( Wawancara dengan Taher Drakel tanggal 18 Maret 203). Pernyataan di atas mengandung arti bahwa adanya larangan bagi laki-laki yang sudah dewasa memasuki kamar anaknya atau saudara perempuannya yang sudah akil balik atau menanjak dewasa. Kemudian disebutkan bahwa pada masyarakat Ternate adalah hal yang tabu jika orang tua laki-lakinya memasuki

114

kamar anak gadisnya. Begitu pun untuk aturan agama yang mengatur adab bertamu, yang tidak mengizinkan bertemu wanita yang bukan mahramnya. Hal ini juga merupakan sebuah larangan yang hidup dalam masyarakat Ternate yang diyakini untuk menghindar hal-hal yang sama yang terjadi dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha. Barthes menyatakan bahwa hal ini merupakan penanda dan sebagai ideologi bagi yang memercayainya berdasarkan sejarah masa lampau yang dipercaya kebenarannya secara universal (Sunardi, 2002: 100). Perilaku masyarakat Ternate yang masih mematuhi aturan agama dan adat ini merupakan suatu penanda bahwa masyarakat Ternate memercayai adanya dampak negatif yang akan terjadi jika aturan-aturan yang telah hidup dalam masyarakat kemudian dikesampingkan.

7.2.2 Terjaganya Tali Persaudaraan Adanya pesta rakyat ataupun baronggeng bagi masyarakat Ternate tidak selamanya berdampak negatif.

Baronggeng pesta dijadikan sebagai sarana

berkumpulnya masyarakat untuk merayakan suatu hajatan pernikahan, pesta demokrasi, atau hajatan lainnya. Biasanya para keluarga, kerabat, atau pun teman yang melaksanakan hajatan baronggeng pesta ini hadir untuk memeriahkan suasana. Sarana berkumpul masyarakat dalam baronggeng pesta bagi masyarakat Ternate merupakan suatu kesempatan untuk berkumpul satu dengan yang lain yang pada aktivitas kesehariannya jarang bertemu. Mereka bersama-sama merayakan dan bekerja sama saling membantu untuk sebuah hajatan atau bergotong royong untuk kelancaraan pelaksanaan acara. Hal itu bisa dilihat pada kutipan wawancara berikut.

115

“Dalam pesta tersebut masyarakat di kampung tersebut biasanya menyediakan makanan dan melaksanakan pesta bersama-sama. Berbagai ronggeng pun dipentaskan seperti ronggeng Gala dan Tide (Wawancara dengan Ridwan Dero 4 Februari 2013). “Pada saat acara tersebut dilaksanakan penduduk Tolire semuanya berkumpul di rumah Fanyira untuk memasak dan mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan acara tersebut (Wawancara dengan Muhamad Naser 7 Februari 2013).” Dapat dilihat dari pernyataan di atas bahwa sarana baronggeng pesta ini sebagai tanda untuk menjaga atau mempererat tali persaudaraan. Walaupun kadang-kadang dalam acara ini kerugian yang ditimbulkan seperti perkelahian sering terjadi. Jadi, kadang ini disebutkan telah melampaui batas. Piliang (2003: 54) menyatakan bahwa sebuah tanda yang telah menampui realitas, yang berperan dalam membentuk hiperealitas. Dunia hiperealitas, dalam hal ini, adalah dunia yang melampui, yang tercipta akibat penggunaan hyper-sign dan sistem penandaan yang melampaui dalam penggambaran realitas. Jadi, baronggeng pesta di sini sebagai realitas untuk berkumpul dan sarana menjaga dan mempererat tali persaudaraan sebagai sesuatu yang direpresntasikan. Meskipun tidak bisa disamakan dengan realitas yang terjadi, di mana selalu saja terjadi perkelahian pada acara tersebut.

7.3

Makna Kekerasan Orang Tua terhadap Anak dalam Cerita Rakyat Tolire Gam Jaha di Ternate Manusia diciptakan dalam keadaan yang sempurna karena memiliki akal

dan budi, yang berada di dalam jantung manusia. Di samping itu, manusia juga memiliki otak yang ada di kepala. Harusnya mmanusia bisa membaca dan memaknai tiap cerita rakyat yang banyak terdapat di Nusantara ini. Ada banyak

116

semiotika di dalam tiap cerita tersebut, hanya cukup dengan memerhatikan peristiwa yang termuat dalam cerita rakyat. Cerita itu pasti mempunyai maksud dan tujuan untuk memberitahukan kepada kita. Ada tiga makna yang bisa diambil, yaitu makna agama, makna edukatif dan makna pelestarian dari cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang dipaparkan sebagai berikut.

7.3.1 Makna Religius sebagai Peringatan dari Tuhan Islam sebagai agama mayoritas di Kota Ternate menyebabkan aturan dan norma yang hidup tidak jauh dari nilai-nilai Islam. Kisah yang termuat dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha dianggap sebagai tanda peringatan dari pemilik alam kepada manusia yang menyalahi aturan-aturan agama yang sudah menjadi ketetapan. Ada tiga hal yang termuat dalam cerita ini yang dianggap telah menjadi asal muasal tenggelamnya Desa Tolire. Ketiga hal tersebut adalah minuman keras, pesta rakyat yang berlebihan atau berlarut, dan penyimpangan seksual yang dianggap sebagai perbuatan zina. Dalam cerita Tolire Gam Jaha dikisahkan ada seekor ayam yang berkokok dan berbicara seperti layaknya manusia memberitahukan bahwa Desa Tolire akan tenggelam. Kemudian, didengar oleh seorang wanita Papua dan wanita tersebut memberitahukan kepada penduduk Desa Tolire, tetapi penduduk tidak memercayai dan mengindahkan seruan wanita tersebut. Ayam berkokok sebagai tanda alam yang dibaca oleh binatang. Binatang memiliki semacam kecerdasan semiotik, yang mampu mengidentifikasi dan mengenal, mengingat tanda-tanda

117

alam untuk memutuskan tindakan. Tubuh binatang mengingat sesuatu yang pernah dilakukannya sebagai informasi tindakan mendatang. Pernyataan ayat dari Alquran yang menyatakan bencana yang didatangkan dari Tuhan jika penduduk yang durhaka atau dianggap masyarakatnya telah berbuat sesuatu yang dilarang, berikut petikan terjemahannya. “Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).”(Alquran surat ke 17 (surat Al-Isra) ayat 58) (Internet dalam Ayat-ayat Alquran, 2009). “Gempa tektonik atau bencana alam, tersebut terjadi karena perbuatan asusila. Mungkin pada saat gempa terjadi bersamaan telah terjadi perbuatan asusila itu (cerita Tolire). Khusus Kota Ternate, dalam sejarah pulau yang disakralkan, di Ternate di keliling makam/jere yang dipercaya adalah makam para aulia dan para anbiyah dan nisan bertumbuh sendiri, yang dikatakan dengan karamat, (orang-orang pilihan Allah..negeri yang tidak boleh dikotori dengan hal-hal yang di larang oleh Allah). (Wawancara dengan Ridwan Dero, 4 Februari dan 13 Maret 2013). Ternate disucikan karena terdapat

banyak

makam

yang sangat

dikeramatkan/disucikan. Menurut Ridwan Dero, jika diketahui terjadi ada perbuatan asusila di dalamnya, maka hukum alam atau hukum Tuhan akan menimpa. Bagi beliau setidaknya karena ada makam-makam dari orang suci tersebut, kalau bisa daerah Ternate dijaga dari hal-hal yang kotor, dalam hal ini hal-hal yang bertentangan dalam Islam terutama dalam hal berzina. Namun, apa diungkapkan tidak senada dengan masyarakat Ternate yang sudah lebih berpikir modern dan tak pandai membaca tanda-tanda alam ini, Selain itu, tidak diperhatikan sebagai “hikmah” tiap kejadian yang sudah mengakar dalam adat dan agama setempat.

118

Masyarakat Ternate mengganggap peringatan bencana alam sebagai semiotika dari Tuhan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, terkadang tanda-tanda ini tidak mampu dibaca oleh manusia itu sendiri seperti dikatakan oleh Piliang bahwa bencana alam, seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, semburan lumpur, atau angin puting beliung adalah fenomena alam yang bukannya tanpa tanda-tanda alam. Seperti setiap penyakit mesti ada obatnya, setiap fenomena alam mesti ada tandatanda kehadirannya. Alam sebenarnya ”berbicara” kepada manusia, hanya manusia tak mampu membacanya karena keterbatasan kognitif, afektif, dan pengindraan yang dimilikinya (Internet dalam Kompas, 2010). Hal itu sebenarnya merupakan petunjuk dari Tuhan, agar hati manusia bisa memerhatikan atau membaca fenomena tersebut. Apabila hati bisa membaca, maka akan ditemukan suatu semiotika atau sebuah tanda-tanda/ayat-ayat Tuhan yang sebenarnya. Akan tetapi, tanda-tanda tersebut masih belum bisa menggelitik hati manusia untuk membacanya. Terbukti, semakin lama tanda-tanda itu makin sering terjadi, bahkan makin hari makin hebat. Jika hal ini belum disadari, maka tanda-tanda dari Tuhan itu akan semakin dahsyat, yang akhirnya akan menghancurkan diri manusia apabila sudah diberikan semiotika, namun tetap tidak bergeming untuk mempelajari.

7.3.2 Makna Edukatif Kekerasan dalam cerita Tolire Gam Jaha adalah tindakan penyimpangan seksual dan kekerasan simbolik. Tentu saja telah terjadi penyimpangan sosial. Dari kacamata hak asasi manusia, fenomena ini merupakan pelanggaran, sebuah

119

kejahatan terhadap kemanusiaan. Rendahnya status dan kedudukan orang-orang yang melakukan jenis kekerasan tersebut. Perilaku itu dianggap suatu perilaku yang diekspresikan telah menyimpang dari norma-norma yang berlaku yang telah diterima oleh sebagian besar masyarakat Ternate dan beberapa tempat lainnya. Dalam kenyataan sehari-hari tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Penyimpangan terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mematuhi norma atau patokan dan nilai yang sudah baku di masyarakat. Dalam cerita Tolire Gam Jaha dan konteks masayarakat sekarang ada unsur kekerasan di dalamnya yang dianggap merupakan penyimpangan yang dibuat oleh orang-orang atau anggota masyarakat yang kadang-kadang lupa norma-norma yang telah baku, atau secara sadar melakukannya karena dipengaruhi oleh faktor luar yang ada di dalam dirinya. Cerita rakyat Tolire Gam Jaha memiliki makna juga untuk generasi sekarang ini atau generasi muda di kota Ternate ke depannya. Dalam istilah agama ada hikmah yang bisa diambil sebagai bahan pembelajaran atau ada makna edukatif di dalamnya, seperti yang dituturkan oleh salah seorang informan di bawah ini. “Cerita Tolire Gam Jaha ini harus dipelihara demi kepentingan pendidikan moral. Bisa menjadi pembelajaran pendidikan karakter melalui sastra. Semacam minuman keras, kalau diceritakan kepada anak SD bahwa minuman keras itu yang ditekankan bukan kepada kasus insesnya. Karena masih SD, nanti kalau sudah SMA atau mahasiswa bisa diperluas ke insesnya.”( Wawancara Zainuddin Muhammad, 7 Februari 2013). Bagi Zainudin Muhammad, bahwa cerita rakyat Tolire Gam Jaha ini perlu dilestarikan atau tetap dijadikan cerita lisan untuk generasi penerus, sebagai

120

pembelajaran moral. Namun, diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur atau tingkat pendidikan yang menerima dan mendengarkan cerita ini. Untuk kelompok umur SD dan SMP diusahakan tidak menyinggung inses tetapi ditekankan hanya kepada bahaya minuman keras, karena belum cukup umur untuk menerima cerita yang menyinggung tentang seks di dalamnya. Kemudian klasifikasi dan tingkat pendidikan dari SMA atau perguruan tinggi baru diharapkan dituturkan cerita ini secara lengkap. Kurikulum pendidikan muatan lokal di Kota Ternate, juga mempunyai sebuah buku pengajaran bahasa Ternate yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Daerah Ternate untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah kelas 2. Buku itu memuat cerita Tolire Gam Jaha (halaman 17). Cerita ditulis dalam bahasa daerah Ternate. Walau dikisahkan dalam alur cerita yang singkat, hal ini juga sebagai sarana edukatif untuk mengajarkan ajaran moral yang terkandung dalam cerita Tolire Gam Jaha. Cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang dituliskan dalam buku ini merupakan salah satu karya sastra dengan sasaran pembaca anak-anak SD. Walaupun sasaran utama buku ini adalah pemantapan dalam berbahasa daerah yang baik cerita rakyat ini diharapkan memberikan mendidik moral kepada anak-anak. Cerita rakyat ini disajikan dalam bahasa daerah Ternate dalam sebuah buku sebagai sarana edukatif untuk anak-anak di Kota Ternate. Dalam memilih buku alur ceritanya, para pendidik menuliskan dalam bahasa yang layak untuk dikonsumsi untuk anak-anak walaupun sedikit menyinggung tentang inses. Oleh karena itu, cerita rakyat Tolire Gam Jaha memiliki aspek kelayakan, seperti isi cerita yang

121

mendidik moral anak, penunjang buku tidak mengandung unsur pornografi, dan bahasa yang digunakan baik. Seperti pada gambar 7.1.

Gambar 7. 1. Buku Pengajaran Bahasa Ternate untuk SD/ MI Kelas 2 (Romdidi). Balai Bahasa Daerah Ternate. 2008. (Dokumentasi: Halida Nuria, 2013).

Pendidikan nilai moral/agama sangat penting bagi tegaknya satu bangsa. Tanpa pendidikan nilai moral (agama, budi pekerti, ahlak) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur, carut marut. Oleh karena itu, munculnya kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona dewasa ini mencerminkan kegusaran

122

bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan sosial yang carut marut (Supriadi, 2001:8-9). Pam Schiller & Tamera Bryant (2001:vii) mengemukakan “Inilah waktunya untuk menentukan apakah nilai-nilai moral penting bagi masa depan anak-anak kita dan keluarga kita dan kemudian mendukung dan mendorong mereka mempraktikkan nilai-nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengajarkan nilai-nilai moral ini pada anak-anak kita? Tanggung jawab itu dipikul oleh kita semua. Apakah kita menyadari atau tidak, kita selalu mengajarkan nilai moral, tetapi kita harus lebih berusaha keras untuk mengajarkannya. Nilai-nilai moral yang ditanamkan sekarang, sadar atau tidak sadar, akan mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masyarakat yang akan datang.

7.3.3 Makna Pelestarian Cerita Rakyat Pelestarian cerita rakyat merupakan salah satu usaha untuk menjaga keutuhan budaya bangsa di tengah arus modernisasi. Dengan mengenal budaya sendiri pasti akan menambah wawasan kita terhadap budaya dan tradisi yang menjadi aset sertaakan semakin memperkokoh identitas dan jati diri bangsa. Demikian juga halnya dengan pelestarian cerita rakyat yang ada di Kota Ternate. Instansi terkait sudah mempunyai kesungguhan mengemban tanggung jawab revitalisasi kebudayaan dengan terus menggali cerita-cerita rakyat dan mendongengkannya kembali ke anak-anak di Kota Ternate Maluku Utara pada saat ini.

123

Seperti yang sudah disebutkan pada subbab. Sebelumnya bahwa makna edukatif sebuah buku pengajaran bahasa Ternate yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Daerah Ternate untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah kelas 2 memuat cerita Tolire Gam Jaha (halaman 17). Makna itu ditanamkan dengan menggunakan wahana mendongeng untuk menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah Ternate pada generasi sekarang. Tentu saja hal ini mengandung makna pelestarian di mana buku ini ditulis dan dijadikan sarana utama dan sebagai sumber pertama untuk mengenalkan cerita rakyat Tolire Gam Jaha ini terhadap anak-anak SD di Kota Ternate. Seperti yang diungkapkan oleh Murti Bunanta bahwa ia mengakui menuliskan kembali cerita bersumber lisan menjadi bahan cerita tulisan yang menarik, bukanlah hal yang mudah. Banyak masalah timbul, belum lagi kalau pengarang tidak pandai menafsirkan hikmah cerita yang ada, ditambahkan pula bahwa tanpa meningkatkan dan memperbanyak buku dan penelitian tentang budaya yang dapat dimanfaatkan untuk anak-anak, maka budaya dan tradisi akan perlahan-lahan menghilang (Internet dalam Murti Bunanta, 2008). Upaya pelestarian ini melalui buku pengajaran adalah usaha agar cerita rakyat Tolire Gam Jaha tidak akan musnah. Hal itu penting karena diketahui bahwa semakin hari minat terhadap cerita rakyat semakin menipis di kalangan anak-anak. Menipisnya minat anak-anak tersebut karena dikalahkan oleh film ataupun sinema anak modern yang menjamur di televisi-televisi swasta. Walaupun tidak dilaksanakan secara lisan seperti pada zaman dahulu, para orang tua di Ternate menyampaikan dari mulutnya langsung ke telinga anak, diharapkan

124

menjadi sarana yang ampuh untuk mengenalkan cerita rakyat Tolire Gam Jaha ini.

Refleksi Status dan kondisi anak adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah ahli waris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, tetapi secara realitas diwarnai dengan gelapnya dan menyedihkan. Anak di negeri ini masih dan terus mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap anak sering kali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisikal dan seksual. Padahal, kekerasan bersifat psikis dan sosial juga membawa dampak buruk dan permanen pada anak. Dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha termuat kekerasan yang lebih tidak bersifat kasat mata. Tidak bisa dimungkiri bahwa sepanjang zaman kekerasan terhadap anak selalu hadir dalam kehidupan keseharian. Pada masa lampau kekerasan kerap terjadi, tetapi belum adanya teknologi media seperti zaman modern ini sehingga isu-isu kekerasan tidak banyak diketahui masyarakat. Masyarakat pun mempunyai cara tersendiri dalam menyampaikan berita-berita kekerasan hanya dengan lisan. Kemudian, turun-temurun dan menjadikan berita-berita kekerasan tersebut sebagai pelajaran untuk diketahui dan diambil hikmah yang baik dari berita-berita yang kemudian berkembang menjadi cerita rakyat. Cerita rakyat sangat bermanfaat jika yang diungkapkan adalah persoalan tingkah laku manusia karena persoalan tingkah laku menyangkut tentang prilaku

125

manusia. Salah satu dari perilaku manusia adalah

masalah kekerasan,

baik

kekerasan secara fisik maupun psikis. Adanya hukuman atau sanksi kekerasan yang ada pada tiap cerita rakyat, seperti halnya kutukan menjadi danau, sungai, batu, buaya, harimau, ataupun bencana alam menganggapnya masyarakat pemilik cerita rakyat takut dan menjadikan sebagai peringatan atau aturan hidup dalam kehidupan. Berbeda halnya dengan masyarakat modern yang lebih cenderung tidak memercayai hal-hal mistis tersebut. Undang-undang yang lahir dari kesepakatan bersama

menjadi

pijakan

untuk

mencegah

kekerasan.

Undang-undang

perlindungan anak untuk mencegah kekerasan terhadap anak ternyata tidak mempan untuk menjera tiap masyarakat yang menyalahinya. Kekerasan kerap terjadi, dan sulit dihindari, baik oleh pelaku maupun korban. Pelaku dan korban yang ada pada tokoh cerita rakyat Tolire Gam Jaha adalah contoh konkret kekerasan yang tidak tampak, hadir dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara. Kedua tokoh cerita yang berperan sebagai ayah dan anak yang melakukan penyimpangan seksual dalam bentuk inses. Pemicunya adalah minuman keras dan pelaksanaan pesta rakyat yang berlebihan sehingga menyebabkan perbuatan abnormal itu terjadi. Kaitan antara teks dan konteks mentalitas masyarakat pemilik cerita pun ditemukan, yaitu minuman keras dan pelaksanaan baronggeng pesta

yang berlebihan menjadi pemicu kasus-kasus

kekerasan berupa perkelahian ataupun tawuran antar kampung. Baik dalam teks cerita rakyat maupun konteks masyarakat Ternate bahwa minuman keras dan pelaksanaan pesta yang berlebihan telah menimbulkan

126

dampak kerugian ataupun kesalahan yang dipandang salah oleh aturan atau norma yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tentu saja mengandung kekerasan walaupun masyarakat Ternate tak menyadarinya kemudian tetap mengakui dan membiarkan dua objek ini tumbuh dalam masyarakat. Hal ini bisa dinamakan sebagai kekerasan yang bersifat struktural yang bersifat kekerasan sistemik yang tidak tampak, tetapi secara destruktif mengakibatkan penderitaan luar biasa, luas, dan berjangka panjang terhadap korbannya. Terkait dengan itu, sebagai refleksi untuk mengetahui resepsi masyarakat Ternate terhadap cerita rakyat Tolire Gam Jaha ternyata banyak hal yang terkandung di dalamnya, yakni berupa larangan yang lebih bersifat adat dan agamis. Mengingat Islam sebagai agama mayoritas di Ternate, maka larangan dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha lebih spesifik pada larangan berdasarkan Islam. Semisal larangan mengonsumsi minuman keras, larangan berzina, larangan inses, dan larangan melakukan sesuatu yang berlebihan. Larangan-larangan yang diintrepretasikan oleh masyarakat Ternate tentu saja mempunyai tujuan baik agar norma-norma yang telah disepakati bersama berjalan sesuai dengan aturan. Selain itu, makna yang terkandung di dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha mengandung makna religius dan wadah pembelajaran untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Ternate. Makna lainnya adalah pelestarian atau pemertahanan yang bisa disampaikan secara turun temurun untuk dijadikan pembelajaran bagi generasi penerus. Berkaitan dengan itu, maka cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang di dalamnya teksnya terkandung unsur kekerasan orang tua terhadap anak maka

127

perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak, seperti pemerintahan, para tokoh masyarakat agama dan adat, serta ilmuwan untuk lebih secara saksama mencermati pemicu kekerasan seperti pengadaan minuman keras pada tiap pesta yang kadang-kadang terjadi pada konteks masyarakat Ternate saat ini. Tujuannya agar lebih dikenal dan diketahui jenis kekerasan yang tidak tampak, tetapi namun kadang-kadang dibiarkan begitu saja. Hal ini tentu saja dimaksudkan dengan tujuan untuk menjaga kultural kehidupan masyarakat Ternate dalam menata kehidupan yang aman dan sejahtera.