prinsip-prinsip pendidikan menurut al-qur'an - Institutional ...

65 downloads 245 Views 500KB Size Report
untuk mengetahui prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat dalam al-qur'an ..... dalam pendidikan Islam perlu dihapuskan, sebab dengan menerima prinsip ini,.
PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT AL-QUR’AN (SEBUAH KAJIAN TAFSIR TEMATIK) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh: MI’ROJI NIM: 107034000342

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT AL-QUR’AN (SEBUAH KAJIAN TAFSIR TEMATIK)

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh: MI’ROJI NIM: 107034000342

Pembimbing

Dr. M. Suryadinata, M.A

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ALQUR’AN (SEBUAH KAJIAN TAFSIR TEMATIK) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 29 September 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua

Sekretaris

Dr. M. Suryadinata, M.A NIP: 19600908 198903 1 005

Muslim, S.Th.I

Anggota,

Dr. Mafri Amir, M.A NIP: 19580301 199203 1 001

Dr. Bustamin, M.Si NIP: 19630701 199803 1 003

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 13 September 2011

Mi’roji

PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan Tidak dilambangkan

‫ا‬ ‫ب‬

b

Be

‫ت‬

t

Be

‫ث‬

ts

te dan es

‫ج‬

j

Je

‫ح‬

h

h dengan garis bawah

‫خ‬

kh

ka dan ha

‫د‬

d

da

‫ذ‬

dz

de dan zet

‫ر‬

r

Er

‫ز‬

z

Zet

‫س‬

s

Es

‫ش‬

sy

es dan ye

‫ص‬

s

es dengan garis bawah

‫ض‬

d

de dengan garis bawah

‫ط‬

t

te dengan garis bawah

‫ظ‬

z

zet dengan garis bawah

‫ع‬



koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

‫غ‬

gh

ge dan ha

1

Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

i

‫ف‬

f

ef

‫ق‬

q

Ki

‫ك‬

k

Ka

‫ل‬

l

el

‫م‬

m

Em

‫ن‬

n

En

‫و‬

w

We

‫ھـ‬

h

Ha

‫ء‬



Apostrof

‫ي‬

y

Ye

Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

___َ___

A

Fathah

___ِ___

I

Kasrah

___ُ___

U

Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

‫__َ__ي‬

ai

a dan i

ii

‫__َ__ و‬

au

a dan u

Vokal Panjang (Madd) Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

‫ــَﺎ‬

Â

a dengan topi di atas

‫ــﻲ‬

Î

i dengan topi di atas

‫ـــﻮ‬

Û

u dengan topi di atas

Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.

iii

Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: no

Kata Arab

Alih aksara

1

‫ﻃﺮﯾﻘﺔ‬

tarîqah

2

‫اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ‬

al-jâmî ah al-islâmiyyah

3

‫وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد‬

wahdat al-wujûd

Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

iv

ABSTRAK

Mi’roji Prinsip-Prinsip Pendidikan Menurut Al-Qur’an (Sebuah Kajian Tafsir Tematik)

Masalah pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan manusia seutuhnya, karena kemampuan, kecerdasan dan kepribadian suatu bangsa yang akan datang banyak ditentukan oleh pendidikan yang ada sekarang ini. Bahkan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa banyak ditentukan oleh pendidikannya. Seiring berjalannya waktu, terjadi problem-problem yang mengiringi proses pendidikan. Salah satu problem dalam dunia pendidikan adalah dichotomy dalam ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Akibat dari dichotomy ilmu tersebut memunculkan pandangan yang tidak seimbang antara keduanya, ada yang lebih mengutamakan ilmu agama dan terdapat pula yang lebih mementingkan ilmu umum, hasilnya lahir kepribadian-kepribadian yang kurang utuh pada hakikatnya. Al-qur’an sebagai kitab petunjuk telah memberikan arahan-arahannya kepada manusia dalam segala aspek dalam kehidupan ini, tidak terkecuali petunjuknya dalam hal dunia pendidikan. Oleh karenanya, Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat dalam al-qur’an dengan menggunakan pendekatan metode tafsir maudhu’i yang di jelaskan secara deskriptif analitis dan didukung oleh data-data baik yang bersifat primer maupun sekunder. Setelah mengadakan penelitian, penulis menemukan prinsip-prinsip yang ditawarkan al-qur’an dalam pendidikan, yaitu : Tauhid, Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa setiap anak lahir diatas fitrah aqidah tauhid dan condong terfitrah mengenal penciptanya yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi wujud, tidak menyekutukanNya dan tidak menyembah kepada selainNya. Maka pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai tauhid pada peserta didiknya. Tauhid sebgagai prinsip pendidikan berilmplikasi pada: 1. Tauhid Membentuk Kepribadian Utuh. 2. Tauhid Membentuk Kepribadian Terbuka. 3. Tauhid Membentuk Kepribadian Berani. 4. Tauhid Membentuk Kepribadian Bebas. 5. Tauhid Membentuk Kepribadian Optimis

v

KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah SWT., yang dengan pertolongan-Nya penelitian berjudul “PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ALQUR’AN (SEBUAH KAJIAN TAFSIR TEMATIK)” ini dapat selesai, demikian juga salawat serta salam semoga tercurahkan untuk Rasulullah SAW. Sebagai sebuah karya tulis, penulis menyadari masih terdapat kekurangan atau mungkin kesalahan dalam penulisan skripsi ini. atas semua kekurangan dan kesalahan, penulis menganggap hal tersebut sebagai proses yang harus dilalui untuk menjadi lebih baik. Oleh karenanya, penulis haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak dengan berlipat ganda. Atas segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada: 1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis). 2. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan

waktunya

di

tengah-tengah

kesibukan

beliau

untuk

membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini. 3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan.

vi

4. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Ushuluddin dan Perpustakaan Tarbiyah yang telah memberikan pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. 6. Kakang, teteh dan adik penulis yang selalu setia memberi semangat penulis dalam menyelesaikan studi. 7. Teman-teman penulis di manapun berada yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Terakhir, untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung atau tidak dalam penulisan skripsi.

Ciputat, 13 September 2011

Penulis,

vii

DAFTAR ISI PEDOMAN TRANSLITERASI……………......………......……………………i ABSTRAK..............................................................................................................v KATA PENGANTAR...........................................................................................vi DAFTAR ISI.......................................................................................................viii BAB I

BAB II

PENDAHULUAN A.

Latar Belakang…………………………..………..……….1

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah....................…...……6

C.

Tujuan Penelitian …………………………………………7

D.

Tinjauan Pustaka …………………………………...……..7

E.

Metodologi Penelitian………….………………….....……9

F.

Sistematika Penulisan…………………………………….10

KERANGKA TEORI A. Pengertian Pendidikan..............................................................12 B. Visi dan Misi Pendidikan.........................................................18 C. Tujuan Pendidikan...................................................................20 D. Prinsip Pendidikan menurut tokoh pendidikan........................23

BAB III

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN A. Tauhid Sebagai Prinsip Pendidikan.........................................26 B. Pengertian Tauhid....................................................................26 C. Tauhid dalam al-Qur’an...........................................................27

viii

D. Implikasi Tauhid dalam Pembentukan Kepribadian Muslim...36 BAB IV

PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................................49 B. Saran-Saran..............................................................................50

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51

ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan

manusia

seutuhnya,

karena

kemampuan,

kecerdasan

dan

kepribadian suatu bangsa yang akan datang banyak ditentukan oleh pendidikan yang ada sekarang ini. Bahkan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa banyak ditentukan oleh pendidikannya. Dengan demikian, maka problema pendidikan bagi setiap bangsa dan negara akan senantiasa up to date sepanjang masa selama masih terdapat manusia di dalamnya. Itulah sebabnya, maka pendidikan selain kunci kemajuan, juga merupakan suatu tantangan bagi setiap bangsa. Pendidikan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap negara, khususnya negara yang baru berkembang dan negara terbelakang. Termasuk Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan negara-negara Islam masih sangat penting menghadapi masalah pendidikan. Khursid Ahmad mengemukakan bahwa : “Diantara persoalan-persoalan yang dihadapi Dunia Islam pada masa kini, persoalan pendidikan adalah tantangan yang paling berat. Masa depan Dunia Islam akan tergantung kepada bagaimana Dunia Islam itu menanggapi tantangan ini”.1 Lebih lanjut, ada suatu ungkapan Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa : “Kini sudah tiba saatnya umat Islam melakukan penataan kembali terhadap usaha-usaha pendidikan yang dilakukannya sejalan dengan tuntutan era global dengan berbasiskan pada al-Qur’an. Rumusan konsep pendidikan yang 1

Salihun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 17

1

2

berdasarkan perspektif al-Qur’an sudah waktunya untuk disusun. Tugas dan tanggung jawab pendidik dalam melahirkan manusia yang cerdas, berakhlak mulia, unggul dalam ilmu, cakap dalam keterampilan, dan ramah dalam pergaulan sudah waktunya untuk dilakukan. Karena manusia-manusia yang demikian itulah yang diperlukan di era global saat ini, dan manusia itu pula yang dikehendaki oleh al-Qur’an”.2 Masalah pedidikan merupakan urgensi pertama bagi perkembangan masyarakat. Dengan ungkapan yang lebih gagah, pendidikan adalah penentu hari depan bangsa dan negara. Makato Aso dan Iku Amono menjelaskan bahwa pembaharuan yang menyeluruh di Jepang adalah karena investasi pendidikan. John Vaizey juga menjelaskan bahwa kemajuan Jerman setelah Perang Dunia II adalah berkat investasi sistem pendidikan. Demikian juga di negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Rusia.3 Oleh karena itu, Pendidikan memiliki peranan amat penting bagi ikhtiar pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas, yang ditandai oleh adanya peningkatan kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan. Karena itu pendidikan menjadi sangat strategis bagi upaya-upaya meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Secara teoritis maupun secara empiris terbukti bahwa melalui pendidikan bisa dicapai perbaikan derajat kesejahteraan dan pengurangan angka kemiskinan. Pendidikan juga berakibat pada terbukanya berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri di masa depan. Dengan demikian, secara umum pendidikan mempunyai peranan amat sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk mencapai kemajuan pada semua aspek kehidupan.4

2

Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. viii 3 Salihun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, h. 18 4 Mutammam, Mengembangkan Tingkat Kualitas Pendidikan Dasar: Sebuah Analisis Pnedidikan Sebagai Investasi (Yogyakarta: Gama Media, 2007), h. 189.

3

Dewasa ini, adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat, serta adanya tuntutan kebutuhan hidup yang relatif tinggi telah membawa impact pada dinamika perubahan yang sangat drastis terhadap seluruh aspek dan sendi kehidupan manusia. Akibatnya terjadi lompatan-lompatan yang signifikan dan menunjukkan pada eskalasi yang tinggi akan perkembangan peradaban manusia di muka bumi ini. Impact yang menyertai kemajuan IPTEK dan kebutuhan tiap manusia tersebut di satu sisi telah membawa manusia pada kondisi dan situasi yang diuntungkan, namun ternyata di fihak lain telah membawa negative impact terhadap mindset dan life style manusia itu sendiri, sehingga tidak hanya bersinggungan dengan permasalahan dataran pribadi tiap individu, melainkan merambah pada sebuah problematika bangsa yang cukup serius dalam berbagai aspek kehidupan. Berbagai masalah yang dapat diugkapkan di sini misalnya masih merajalelanya kenakalan remaja atau peserta didik, ilegal loging, maraknya kejahatan, aborsi, narkoba, amoral oleh pendidik ataupun pejabat, anarkhisme, radikalisme, bahkan “budaya” korupsi yang sampai sekarang belum bisa diminimalisir secara baik.5 Berbagai problem bangsa tersebut tentunya tidak begitu saja bisa hilang secara sendirinya, atau hanya merupakan tanggung jawab aparat pemerintah dan elemen tertentu, namun harus dipikul secara bersama oleh seluruh elemen bangsa ini tak terkecuali Islam. Untuk mengatasai permaslahan-permasalahan tersebut diperlukan pendekatan yang benar-benar efektif dan efsien agar memperoleh hasil dan solusi yang tepat. Islam bisa memberikan sumbangsihnya yang konstruktif 5

Imam Maksum, Pendidikan Islam dan Globalisasi (Reaktualisasi Tujuan Pendidikan Islam Sebagai Upaya Meminimalisir Problematika Bangsa) (Tulung Agung: Sumenang Kediri, 2009), h. 199.

4

melalui perspektif pendidikannya. Pendidikan inilah yang dirasa cukup “ampuh” dalam memberikan “jurus” sebagai sebuah solusi oleh semua elemen masyaakat. Pendidikan dengan seluruh sistem yang mendukungnya akan memberikan andil besar dalam membangun karakter dan kepribadian individu, masyarakat, bahkan bangsa yang lebih mencerahkan manusia dan peradaban yang gemilang.6

Salah satu di antara problem-probem yang mewarnai dunia pendidikan Islam adalah terjadi dichotomy dalam beberapa aspek yaitu; antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal serta antara Wahyu dengan Alam. Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.

Munculnya masalah dikhotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini sudah mulai tampak pada masamasa pertengahan. Pada periode pertengahan, lembaga pendidikan Islam (terutama Madrasah sebagai pendidikan tinggi) tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada fiqh, tafsir dan hadist. Sementara ilmu-ilmu non agama (keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal perkembangan Madrasah dan al-Jami’ah sudah berada dalam posisi marginal. 6

Imam Maksum, Pendidikan Islam dan Globalisasi (Reaktualisasi Tujuan Pendidikan Islam Sebagai Upaya Meminimalisir Problematika Bangsa), h. 200.

5

Islam tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Untuk itu dikhotomi dalam pendidikan Islam perlu dihapuskan, sebab dengan menerima prinsip ini, maka pendidikan Islam hanya akan melahirkan manusia-manusia Muslim yang terpecah kepribadiannya, di masjid atau di langgar mereka bersikap alim, sementara di pasar, di pabrik dan di masyarakat luas mereka tampil sebagai orang asing yang tidak punya orientasi moral, kepedulian social, kasih sayang, kejujuran dan tanggung jawab.

Manusia hidup di bumi berfungsi sebagai khalîfah dan âbid, hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, melainkan harus dicapai secara simultan. Oleh karena itu, pendidikan harus berusaha menyeimbangkan dan menyelaraskan kehidupan baik material maupun spiritual, individu maupun sosial, pengetahuan dan moral yang terintegrasi dalam kerangka yang utuh, sehingga tercapai keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat. Allah berfirman:

                                 77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)

6

bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashas : 77)

Oleh karena, itu ajaran Islam tidak mengenal antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam arti, tidak ada pandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Kedua ilmu tersebut harus dimiliki secara integral, agar fungsi khalîfah dan âbid, tadi terlaksana dengan maksimal.7 Dari berbagai penjelasan di atas, mengenai arti pentingnya suatu pendidikan dan problematika yang mewarnainya, maka penelitian mengenai Prinsip-Prisip Pendidikan Menurut Al-Qur’an sangatlah relevan untuk diteliti lebih dalam lagi. berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi dengan mengangkat judul “Prinsip-Prinsip Pendidikan Menurut AlQur’an (Sebuah Kajian Tafsir Tematik)”. B.

Pembatasan Dan Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penelitian akan

diarahkan kepada masalah prinsip pendidikan menurut al-qur’an. Oleh karena itu, masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana prinsip pendidikan menurut alqur’an. Agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru dalam memahami judul ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu maksud dari prinsip dalam judul ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "prinsip" mempunyai pengertian dasar, asas yang menjadi pokok atau landasan berpikir. 8 Masalah pokok yang telah dirumuskan, akan membatasi permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dengan demikian, penelitian terutama yang

7 8

M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu, h. 46 Tim redaksi, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1984), h. 2772

7

berkaitan dengan pencarian data yang diperlukan, akan lebih terarah, sehingga ada relevansi antara data dengan permasalahan penelitian yang dilakukan. Secara lebih spesifik, perumusan masalah ini adalah : “Bagaimanakah Prinsip-Prinsip Pendidikan Menurut Al-Qur’an ?.” C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian skripsi ini yaitu : 1. Mengungkapkan

pendapat

tokoh

pendidikan,

kemudian

mendeskripsikan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung prinsipprinsip pendidikan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menigkatkan wawasan dan Khazanah keilmuan, khususnya dalam memahami prinsip-prinsip pendidikan menurut al-Qur’an. 3. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada program S1 Fakultas Ushuluddin program studi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) D.

Tinjauan Pustaka Dari hasil penelusuran Penulis mengenai Prinsip-Prinsip Pendidikan

Menurut Al-Qur’an: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, penulis menemukan skripsi dan buku yang berjudul sebagai berikut:

8

1. Prinsip-Prinsip Pendidikan di balik proses pengangkatan Adam ‘Alaihissalam sebagai khalîfah : kajian surat al-Baqarah ayat: 30-33.9 Titik fokus skripsi ini adalah mengkaji isi kandungan QS. AlBaqarah ayat 30-33 tentang Prinsip-Prinsip Pendidikan yang terkandung di balik proses pengangkatan Adam ‘Alaihissalam sebagai khalîfah. 2. Dasar-Dasar Pendidikan akhlak dalam al-Qur’an: Kajian Tafsir Surat al-A’raf ayat 199-202.10 Skripsi ini menjelaskan kandungan QS. Al-A’raf ayat 199-202 tentang dasar-dasar pendidikan akhlak. 3. Prinsip dan Metode Pendidikan Islam.11 Buku ini menjelaskan tentang prinsip dan metode pendidikan dalam Islam yang ditujukan untuk mencoba menggali paradigma baru pendidikan yang memanusiakan manusia, yang direfleksikan oleh ajaran Islam melalui renugan sejumlah ilmuan muslim terkemuka dan juga sejumlah filosof eksistensialis barat. 4. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam.12 Buku ini menjelaskan tentanng posisi Islam mengenai ilmu, pendidikan dan pengajaran beradasrkan al-Qur’an dan Hadis, dan 9

Samsul Bahri, Prinsip-Prinsip Pendidikan di balik proses pengangkatan Adam ‘Alaihissalam sebagai khalîfah : kajian surat al-Baqarah ayat: 30-33. (Skripsi S 1 Fakultas Tarbiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003) 10 Asep Tali Rohimat, Dasar-Dasar Pendidikan akhlak dalam al-Qur’an: Kajian Tafsir Surat al-A’raf ayat 199-202(Skripsi S 1 Fakultas Tarbiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004) 11 Bayraktar Bayrakli, Prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2005) 12 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Titipan Ilahi Press, 1996.)

9

menjelaskan pula fungsi masjid, institut, perpustakaan, seminar-seminar, dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam sejak dari zaman keemasannya sampai kezaman kita sekarang ini. 5. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an.13 Buku ini berisi kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu menjeaskan tentang visi, misi, tujuan, guru, murid, proses belajar mengajar, biaya, sarana prasarana, lingkungan, manajemen, dan lain sebagainya yang dijelaskan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan oleh ayat lainnya, al-Hadis dan pendapat para ulama. Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis, penulis tidak menemukan kajian yang serupa dengan judul penelitian ini. Maka panelitian ini patut untuk dilakukan untuk menambah wawasan dan Khazanah keilmuan, khususnya dalam memahami prinsip-prinsip pendidikan menurut al-Qur’an E. Metodologi Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data Agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu dengan mengkaji literatur-literatur yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an, Hadits Nabi dan karya-karya yang ditulis oleh para pakar pendidikan yang dapat mendukung pembahasan ini. 13

2005)

Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta: UIN Jakarta Press,

10

2. Teknik Analisis Data Setelah

penulis

memperoleh

data

dari

berbagai

sumber

sebagaimana yang tersebut di atas, maka penulis melakukan pengolahan data secara deskriptif-analitik dengan mengumpulkan data yang signifikan dengan pokok permasalahan yang diteliti dengan menggunakan metode tafsir maudlu’i tentang istilah yang berkaitan dengan prinsip pendidikan. Analisis yang dilakukan adalah pendapat para tokoh pendidikan tentang prinsip pendidikan yang dihubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Desertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan Skripsi ini penulis membaginya dalam empat bab, dimana setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik tertentu, yaitu : Bab pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah yang menjadi pokok dalam skripsi ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi peneltian dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan pembahasan mengenai kerangka teori yang meliputi pengertian, Visi Misi, tujuan pendidikan dan pendapat tokoh mengenai prinsip prndidikan. Bab ketiga menjelaskan Prinsip-Prinsip Pendidikan menurut Al-Qur’an serta tafsir dan analisisnya.

11

Bab keempat merupakan penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Pendidikan Untuk menunjukan istilah pendidikan, manusia mempergunakan terma istilah tertentu. Daam bahasa inggris, penunjukan tersebut dengan menggunakan istilah education.14 Dalam bahasa Arab, pengertian kata pendidikan, sering digunakan pada beberapa istilah, antara lain, al-ta’lîm ‫اﻟﺘﻌﻠﯿﻢ‬, al-tarbiyah ‫اﻟﺘﺮﺑﯿﺔ‬, dan al-ta’dîb ‫اﻟﺘﺄدﯾﺐ‬. Namun demikian, ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjukan pada pengertian pendidikan. a.

Kata al-ta’lîm ‫ اﻟﺘﻌﻠﯿﻢ‬merupakan masdar dari kata ‘allama ‫ ﻋﻠﻢ‬yang berarti

pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. al-ta’lîm (transformasi ilmu pengetahuan) bukanlah interaksi antara pendidik dan anak didik yang formal dan kaku. al-ta’lîm juga tidak terfokus pada mengejar target materi pelajaran yang berorientasi kualitas simbolik. alta’lîm mementingkan keseimbangan dua sisi; dunia-akhirat, lahir-batin, rasional-

irasional, substansi-formalitas, dan seterusnya.15 Firman Allah SWT.

                31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah: 31)

14

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: PT. Gramedia, 2003), h. 144 15 Attabik Ali dan Muh. Zuhdi Muhdlar, Kamus al-‘Ashry, (Yogjakarta: Muassasah Ali Maksum, 1996) h. 250.

12

13

Rasyid Ridha mendefinisikan al-ta’lîm sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan.16 Muhammad Naquib al-Attas mengartikan al-ta’lîm dengan pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar.17 b.

Kata al-tarbiyah ‫اﻟﺘﺮﺑﯿﺔ‬, merupakan masdar dari kata rabba (‫ )رب‬yang

berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara. Dalam leksikologi al-Qur’an, penunjukan kata al-tarbiyah yang merujuk pada pengertian pendidikan, secara eksplisit tidak ditemukan.18 Muhaimin dan Abdul Majid berpendapat bahwa altarbiyah merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dari tingkat dasar menuju tingkat berikutnya. Secara aplikatif, proses tarbiyah bermula dari pengalaman, hafalan dan ingatan sebelum menjangkau pada tahap penalaran dan pemahaman.19 Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, mengartikan tarbiyah sebagai “Proses penyampaian sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilaksanakan secara gradual.”20 Sedangkan Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasy mendefinisikan tarbiyah dengan upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik

16

Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 129. 17 Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1984), h. 66 18 Said Aqil Siradz, Reposisi Kependidikan Islam: Telaah Implementasi UU Sisidiknas Tahun 2003. Makalah disampaikan dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh STAI NU, di Jakarta, 10 September 2003. 19 Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 130 20 Muhammad Jamaluddin al-Qâsimi, Tafsir Mahâsin al-Ta’wîl, (Kairo: Dar Ihya’ alTurats), juz I, h. 8.

14

dalam berfikir, tajam perasaan, kesungguhan berkereasi, toleransi, kompetensi dalam bahasa dan terampil.21 c.

Kata al-ta’dîb ‫اﻟﺘﺄدﯾﺐ‬, merupakan masdar dari addaba ‫أدب‬, yang berarti

pendidikan, perbaikan, dan pendisiplinan.22 al-ta’dîb didefinisikan dengan “proses pendidikan yang berorientasi pembentukan pribadi anak didik yang beradab, taat hukum, menjunjung tinggi etika atau sopan santun.” Proses al-ta’dîb harus didasarkan pada komitmen kuat untuk membangun moralitas manusia dan dimulai dari diri sendiri. Dalam al-ta’dîb, seorang pendidik harus selalu sadar bahwa proses al-ta’dîb tidak pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut campur dengan mengarahkan langkah pendidik.23 Menurut Muhammad al-Naquib al-Attas, penggunaan terma al-ta’dîb lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan Islam, dibanding penggunaan terma al-ta’lîm maupun al-tarbiyah. Hal ini disebabkan, karena pengertian term al-ta’lîm

hanya ditujukan pada proses pentransferan ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkan terma altarbiyah penunjukan makna pendidikannya masih bersifat umum. Terma ini berlaku bukan saja kepada proses pendidikan pada manusia, akan tetapi juga ditunjukan pada proses pendidikan kepada selain manusia. Padahal diskursus pendidikan Islam hanya

ditujukan kepada proses-proses pendidikan yang

dilakukan manusia dalam upaya memiliki kepribadian muslim yang utuh, sekaligus membedakannya dengan mahluk Allah lainnya. Dalam konteks ini, 21

Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasy, Ruh al-Tarbiyah wa al-ta’lîm, (Saudi Arabia: Dar al-Ihya’), h. 7 22 Attabik Ali dan Muh. Zuhdi Muhdlar, Kamus al-‘Ashry, (Yogjakarta: Muassasah Ali Maksum, 1996) h. 445. 23 Said Aqil Siradz, Reposisi Kependidikan Islam: Telaah Implementasi UU Sisidiknas Tahun 2003. Makalah disampaikan dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh STAI NU, di Jakarta, 10 September 2003, h. 6

15

lebih lanjut menurut al-Attas, penggunaan terma al-ta’dîb lebih dapat digunakan bagi pendidikan Islam. Pengertian yang dikandungnya mencakup semua wawasan ilmu pengetahuan, baik teoritis maupun praktis yang terformulasi dengan nilainilai tanggungjawab dan semangat Ilahiah sebagai bentuk pengabdian manusia kepada Khaliqnya. Terma ini merupakan bentuk esensial dari pendidikan Islam dan sekaligus mencerminkan tujuan hakiki pendidikan Islam.24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah: "Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan".25 Ki Hajar Dewantara menyatakan: "Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anakanak selaras dengan alam dan masyarakatnya".26 Muhammad Natsir dalam tulisannya Ideology Islam, menulis: "Yang dinamakan pendididikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya".27 Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut: "Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama".28 Pendidikan menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Touny al-Syaebani, diartikan sebagai “usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan 24

Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 85 25 Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 42 26 Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan: Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967) h. 42 27 M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung: Gravenhage, 1954), h. 87 28 A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Alma'arif, 1980), cet ke-4, h. 19

16

pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan. Hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960,

memberikan pengertian pendidikan:

“Sebagai

bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.29 Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandangan masyarakat, dan kedua dari segi pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berlanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Nilainilai ini bermacam-macam. Ada yang bersifat intelektual, seni, politik, ekonomi dan lain-lain lagi. Dalam berbagai hal nilai-nilai budaya ini berpadu dalam suatu karya seperti pada binaan rumah. Dalam bangunan rumah, nampak jelas warisan intelektual, seni, ekonomi, politik, agama dan lain-lain dari bangsa dan masyarakat yang menciptakannya. Inilah yang disebut kepribadian atau identitas. Itu sebab bentuk rumah dan ukirannya berbeda-beda menurut budaya bangsa yang menciptakannya. Bentuk rumah orang Eksimo berbeda dengan rumah orang Afrika yang berbeda dengan rumah orang jepang dan selanjutnya berbeda dengan rumah orang indonesia. Setiap masyarakat berusaha mewariskan keahlian dan keterampilan yang dipunyainya itu kepada generasi mudanya agar masyarakat tersebut tetap memelihara kepribadiannya yang berarti memlihara kelanjutan 29

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 15

17

hidup masyarakat tersebut. Inilah dia pendidikan ditinjau dari segi kacamata masyarakat.30 Dilihat dengan kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Individu itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak. Ia masih berada di dasar laut. Ia perlu dipancing dan digali supaya dapat menjadi makanan dan perhiasan bagi manusia. Manusia mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai kita mempergunakannya bisa berubah menjadi emas dan intan, bisa menjadi kekayaan yang berlimpah-limpah. Kemampuan intelektual saja beraneka ragam. Kemampuan bahasa, menghitung, mengingat, berfikir, dayacipta dan lain-lain. Malah menurut Guilford (1956) kemampuan intelektual ini terdiri dari 120 macam. Sudah tentu sampai sekarang kemampuankemampuan itu belum dapat dipergunakan semuanya. Tetapi hasilnya, manusia sudah sampai ke bulan dan menciptakan teknologi yang tinggi. Artinya biarpun dengan kemampuan akal yang terbatas manusia sudah dapat menjelajah angkasa raya. Jadi pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar ia dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat.31 Pendidikan dan pengajaran K.H. Dewantara berpendapat bahwa pengajaran itu adalah sebagian dari pendidikan. Ia menyatakan sebagai berikut: “Pengajaran itu tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu bagian dari prndidikan. Jelasnya, pengajaran tidak lain 30

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988),

cet. 2, h. 3 31

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, h. 4

18

adalah pendidikan dengan cara memberikan ilmu atau pengetahuan serta kecakapan.”32 B. Visi dan Misi Pendidikan Kata visi berasal dari bahasa inggris, vision yang dapat berarti penglihatan, daya lihat, pandangan, impian atau bayangan.33 Dalam bahasa Arab, kata visi dapat diwakili oleh kata nadzr, jamaknya indzâr, yang berarti pandangan, pemikiran, peninjauan, pertimbangan, ugkapan pemikiran, perenungan yang bersifat mendalam dan filosofis.34 Secara terminologi, visi yaitu tujuan jangka panjang, cita-cita masa depan, keinginan besar yang hendak diwujudkan, angan-angan, khayalan, dan impian ideal tentang sesuatu yang hendak diwujudkan. Visi adalah jawaban dari pertanyaan: what are will becoming (kita ingin menjadi apa?). seorang anak sekolah TK misalnya ditanya oleh orang tuanya: “kamu jika sudah besar ingin jadi apa?” anak TK tersebut ada yang menjawab: ingin jadi presiden, pilot, insinyur, dan sebagainya. Berbagai keinginan anak tersebut meruapakan visi bagi mereka, karena berisikan cita-cita dan keinginan yang ingin diwujudkan di masa depan.35 Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu membangun sebuah

32

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1996), h. 7. 33

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2003) h. 631 34 Hans Wehr, Mu’jâm al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’ashara, (Beirut: Librarie Du Liban, 1974), h. 611 35 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 42

19

kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah, serta membawa rahmat bagi seluruh alam. Firman Allah SWT:

      Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya’ (21): 107)

Dengan demikian, visi pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “Menjadikan pendidikan Islam sebagai pranata yang kuat, berwibawa, efektif dan kredibel dalam mewujudkan cita-cita ajaran Islam.36 Sebagaimana kata visi, kata misi pun berasal dari bahasa inggris, yaitu mission yang berarti tugas, perutusan, dan misi.37 Misi lebih lanjut dapat dikatakan sebagai langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan yang bersifat strategis dan efektif dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, Abudin Nata berpendapat bahwa misi pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mendorong Timbulnya Kesadaran Umat Manusia Agar Mau Melakukan Kegiatan Belajar dan Mengajar 2. Melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sepanjang Hayat 3. Melaksanakan Program Wajib Belajar 4. Melaksanakan Program Pendidikan Anak Usia Dini

36 37

Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 44 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 383.

20

5. Mengeluarkan Manusia dari Kehidupan Dulumat (Kegelapan) kepada Kehidupan yang Terang Benderang 6. Memberantas Sikap Jahiliyah 7. Menyelamatkan Manusia dari Tepi Jurang Kehancuran yang Disebabkan karena Pertikaian 8. Melakukan Pencerahan Batin kepada Manusia agar Sehat Rohani dan Jasmaninya 9. Menyadarkan

Manusia

agar

Tidak

Melakukan

Perbuatan

yang

Menimbulkan Bencana di Muka Bumi, Seperti Permusuhan dan Peperangan 10. Mengangkat Harkat dan Martabat Manusia sebagai Makhluk yang Paling Sempurna di Muka Bumi38 C. Tujuan Pendidikan Yang dimaksud tujuan pedidikan adalah target yang ingin dicapai suatu proses pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan dapat

mempengaruhi

performance manusia. Tujuan pendidikan mencakup tiga aspek, yaitu aspek kognitif, yang meliputi pembinaan nalar, seperti kecerdasan, kepandaian dan daya pikir; aspek afektif, yang meliputi pembinaan hati, sepeti pengembangan rasa, kalbu dan rohani; dan aspek psikomotorik, yaitu pembinaan jasmani, seperti kesehatan badan dan keterampilan.

38

Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 16

21

Al-Ghazali secara eksplisit menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan, pertama, mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT.39 Kedua, mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan dunia akhirat merupakan seuatu yang paling esensi bagi manusia. Kebahagiaan dunia dan akhirat memiliki nilai universal, abadi dan lebih hakiki. Sehingga pada akhirnya orientasi kedua akan sinergis bahkan menyatu dengan orientasi yang pertama.40 Menurut Ibn Khaldûn, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Di antara tujuan pendidikan tersebut adalah: a. Tujuan peningkatan pemikiran Ibn Khaldûn memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Tujuan pendidikan

Ibn

Khaldûn

adalah

peningkatan

kecerdasan

manusia

dan

kemampuannya berfikir.41 Tujuan pendidikan akal bermaksud mengembangkan intelegensi yang mengarahkan seorang manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan penemuan pesan ayat-ayatNya membawa iman kepada Sang Pencipta segala sesuatu yang ada ini. Pendidikan yang dapat membantu tercapainya tujuan akal 39

Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1975), h. 238 40 Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam: Mengurai Relevansi Konsep AlGhazali dalam Konteks Kekinian, ( Jakarta: ELSAS Jakarta, 2006), h. 78 41 Umar Muhammad al-Toumi al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Tripoli Libia: al-Syarikah al-Ammah li al-Nasyr al-Tauzi wa al-I’kan, 1975) h. 1018

22

atau tujuan pengembangan intelektual ini dengan kesediaan para pencari ilmu pengetahuan, seharusnya dengan bukti-bukti yang memadai dan relevan berkenaan dengan apa yang mereka pelajari. Tingkatan fakta-fakta, yang salah satunya mempunyai sasaran terhadap obyek biasanya memberi pemahaman yang lebih baik.42 b. Tujuan peningkatan kemasyarakatan Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibn Khaldûn berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia. Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut.43 Untuk itu, manusia seyogyanya senantiasa berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Jadi, eksistensi pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan. c. Tujuan penigkatan rohani Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah dengan meningkatkan kerohanian manusia dengan menjalankan praktek ibadat, zikir, khalwat

42

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta, Rineka Cipta, 1994), h. 137 43 Abd. Al-Rahman Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Tahqîq Ali Abd al-Wahîd Wafi, (Cairo: Dar al-Nahdhah), h. 1024.

23

(menyendiri) dan menasingkan diri dari dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.44 Tujuan pendidikan menurut al-Tahtawi adalah untuk pembentukan kepribadian, tidak hanya untuk kecerdasan. Lebih dari pada itu, tujuan pendidikan juga berupaya menanamkan rasa patriotisme. Patriotisme merupakan dasar utama yang membawa seseorang untuk membangun masyarakat maju.45 Sedangkan menurut Mahmud Yunus, tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak-anak agar di waktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan di dunia dan di akhirat.46 Tujuan pendidikan Islam menuurut Quraish Syihab adalah membina manusia agar mampu menjalankan fungsinya sebagai abd Allah dan khalifahnya, manusia yang memiliki unsur-unsur jasmani, akal dan jiwa. Pembinaan akalnya akan menghasilkan ilmu, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan dan pembinaan jiwa menghsailkan akhlak (moral) yang dilakukan secara integral. Dengan demikian, terciptalah makhluk dwi-dimensi dalam satu keseimbangan ilmu, amal dan iman.47 D. Prinsip Pendidikan menurut Hamka Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik karim Amrullah Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1908 M bertetpatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H. Lahir dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung, sebuah keluarga 44

Abd. Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, (Cairo: Dar al-Nahdhah), h. 1097. 45 Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, (London : Oxford University Press, 1962) h. 81 46 Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung, 1920), h. 15 47 Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2002), h. 173

24

yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan pembawa pahampaham pembaruan Islam di Minagkabau. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73 tahun.48 Bagi Hamka tauhid berarti mengakui bahwa Tuhan hanya satu. Keesaan Allah merupakan satu-satunya zat yang dipertuhankan oleh manusia dan menjadi titik tolak seorang muslim dalam memandang hidupnya. Apabila orang telah memiliki tauhid, niscaya kepercayaannya akan mendorong dirinya agar senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela oleh Tuhan dan niscaya di dalam hidupnya senantiasa menempuh jalan lurus. Manusia harus memiliki jiwa tauhid sehingga ia menjadi manusia yang beriman dengan sebenarnya iman. Salah satu usaha untuk menanamkan dan menguatkan jiwa tauhid adalah melalui pendidikan. Namun, pendidikan itu pun harus memiliki prinsip tauhid. Pendidikan dengan tauhid sebagai prinsip utama akan memberi nila tambah bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orag yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan maka ia seakan kehilangan tempat berpijak. Keimanan akan menjadikan si pemiliknya mampu untuk mengendalikan hawa nafsu, dan menempatkan pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul, tempat memulangkan segala persoalan yang diperselisihkan.49 Pendidikan bermula dari prinsip Tauhid. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip Tauhid mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauhid mengajarkan kita untuk 48 49

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta, Amzah, 2009), h. 100 Ibid., h. 110

25

menghimpun pandangan yang holistik, terpadu, dan komprehensif terhadap pendidikan. Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial, sehingga siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar umur 13-17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang mereka pikirkan hanya mendapatkan kerja. Lebih dari itu, prinsip Tauhid menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep Tauhid harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk (1) apa yang diajarkan (isi), (2) bagaimana kita mengorganisir dan apa yang harus diajarkan, (3) bagaimana kita mengajarkannya. Akhirnya, Tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi, dan praktik pendidikan kita.50

50

109

M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.

BAB III WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN

TAUHID SEBAGAI PRINSIP PENDIDIKAN 1.

Pengertian Tauhid Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari wahhada yang berarti

mengesakan. 51 Kata wahhada sendiri bentukan dari kata wahada atau wahuda dengan arti (infarada). Dengan demikian, kata tauhid bermakna mengesakan atau menyatukan. Kata tauhid telah menjadi kata yang baku dalam bahasa Indonesia yang berarti keesaan Allah; mentauhidkan berarti mangakui keesaan Allah atau mengesakannya. Tauhid ialah mengesakan Allah SWT dalam beribadah kepadaNya. Dan itulah agama semua para rasul yang diutus oleh Allah kepada seluruh hambaNya.52 Kata tauhid, yang dikehendaki di sini, tidak lain dari Tauhid Allah, yang berarti mengesakan Allah, atau dengan kata lain menyatakan bahwa Allah (Tuhan) itu esa, satu, atau tunggal. Menegakkan akidah tauhid adalah ajaran yang paling kuat mendapat tekanan dalam Islam. Ajaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, la ilaha illa Allah atau tidak ada yang patut ditaati dan disembah kecuali Allah adalah paling esensial dan sentral dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi.53 Pada dasarnya, inti pokok ajaran Al-Qur’an adalah tauhid. Nabi Muhammad saw diutus Allah kepada umat

51

Cyril Classe,The consice Encyclopaedia of Islam (London: Stacey International and Cyril Glasse, 1989), h. 400 52 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Tertemah: Begini Seharusnya Mendidik Anak: Panduan mendidik anak sejak masa kandungan hingga dewasa, (Jakarta: Daru Haq, 2004), h.136 53 Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 933.

26

27

manusia juga untuk mengajarkan ketauhidan tersebut. Karena itu, ajaran tauhid yang terdapat dalam al-Qur’an dipertegas dan diperjelas oleh Rasul sebagaimana tercermin dalam hadis-hadisnya. Term tauhid yang berarti mengesakan Allah swt itu sangat penting dalam Islam. Ilmu yang membahas akidah Islam terutama membahas keesaan Allah itu disebut dengan ilmu tauhid. Dalam khazanah teologi Islam, ilmu tauhid juga disebut ilmu kalam, karena pembahasannya berkisar masalah perbedaan para ulama pada abad pertama tentang apakah kalam Tuhan yang berupa al-Qur’an itu kadim atau baru. Selain dua nama tersebut, ilmu itu juga dinamai ilmu Ushuluddin, karena obyek pembahsannya terutama berkisar pada masalah dasardasar agama. Pembahsan ilmu tersebut berdasar al-Qur’an, hadis, dan penalaran atau pemikiran rasional.54 2.

Tauhid dalam Al-Qur’an Al-Qur’an tidak pernah menyebut istilah tauhid sedangkan yang terdapat

dalam al-Qur’an ialah kata ahad dan wâhid.55 Akan tetapi, kata tauhid sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran Kitab Suci itu. Bahkan, kata tauhid secara tepat menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul Tuhan, yang mereka diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi. Tauhid sudah ada sejak Nabi Adam a.s. sebagai seorang Nabi dan Rasul Adam telah membawa tauhid atau paham mengesakan Allah tersebut, suatu paham yang diberikan oleh Allah kepadanya. Karena itu, semua umat Islam

54

Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: LSIK, 1994), h.49 H.A.R Gibb and Kramers (eds), Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961), h. 586 55

28

percaya, Adam menganut paham monoteisme dan tidak mungkin menganut paham politeisme atau kemusyrikan. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar atau landasan paham tauhid seperti yang sedikit telah diuraikan di atas antara lain sebagai berikut: a. Penegasan bahwa Allah itu Esa.

  

    

  

       

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. al-Ikhlas (112): 1-4)56 Ayat di atas tegas sekali menyatakan bahwa Allah itu Esa. Kata ahad berarti Esa, tunggal, satu baik dalam zat, sifat maupun perbuatan-Nya. Kata tersebut juga menjadi sifat kemahaesaan dan penafian terhadap persyarikatan.57 Abdallah Yousuf Ali menterjemahkan kata ahad dalam ayat pertama surat alIkhlas tersebut dengan memberikan komentar bahwa pernyataan ahad (Maha Esa) itu berarti meniadakan gagasan tentang politeisme, suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan banyak. Sistem demikian ini berlawanan dengan konsepsi umat Islam yang benar dan paling dalam mengenai hidup, sebab kesatuan dalam rencana, kesatuan dalam fakta, kehidupan yang sangat mendasar, manyatakan adanya kesatuan Pencipta.58

56

Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h. 464 57 Wahbat al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, Juz 30 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 464. 58 A. Yusf Ali, The Holy Qur’an, Translation and Commentary (Jeddah: Dar Al-Qiblah, 1403 H), h. 1806

29

Pernyataan Allah itu Esa, sebagaimana isi surat pertama, merupakan penegasan bahwa Islam menganut paham monoteisme dan menentang politeisme. Tuhan Yang Esa, Tunggal, juga satu-satunya yang menciptakan alam dan sekaligus mengaturnya. Sekiranya ada dua Tuhan yang mengatur alam ini akan hancur.59 Dalam menolak paham politeisme ini, Allah berfirman sebagaimana tercantum dalam QS. al-Anbiya (21): 22 berikut:

               Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.60 22.

b. Semua Rasul Menerima Ajaran Tauhid.

                25. dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS. al-Anbiya (21): 25.)61 Berdasarkan ayat di atas, maka sesungguhnya tauhid atau paham ketuhanan Yang Maha Esa itu sudah diajarkan kepada rasul sebelum Nabi Muhammad dan telah disampaikan kepada umat mereka masing-masing.62 Selain ayat tersebut juga terdapat pada QS. al-Zuhruf (43): 45 dan an-Nahl (16): 36. Kedua ayat yang disebut itu juga menjelaskan bahwa para rasul sebelum Nabi Muhammad telah diajarkan kepada mereka tentang tauhid. Oleh karena itu, penganut agama Yahudi dan Nasrani tentu juga pada mulanya menerima ajaran 59

Wahbat al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, Juz 30 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 465. 6060 Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h. 498 61 Ibid 62 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tjabariy, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aiy al-Qur’an, Juz 17 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 15

30

Tauhid. Dalam hal yang terakhir ini, Allah berfirman dalam QS. ‘Ali ‘Imran (3): 64 sebagai berikut:

                                 64. Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".63 Tugas Nabi Muhammad dalam menyampaikan paham tauhid tiada hanya kepada umatnya saja, tetapi juga kepada ahl al-kitab, yakni segenap umat yang pernah memperoleh kitab suci melalui nabi atau rasul Tuhan. Dengan demikian, Nabi Muhammad mengingatkan kembali akan ajaran asli agama-agama samawi atau agama yang pernah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Dengan demikian menurut al-Qur’an bahwa risalah yang diterima dan diajarkan oleh setiap nabi atau rasul, dari yang pertama sampai yang terakhir adalah risalah tauhid, risalah untuk mengesakan Allah. Jadi secara umum sejak awal permulaan Islam datang, materi yang diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya adalah menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, baik materi yang menyangkut keperluan kehidupan pribadi maupun sosial. Yang mula-mula diajarkan Rasulullah di Makkah adalah materi yang menyangkut aspek keimanan (tauhid) dengan bahan dan sumber ajarannya

63

Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h. 460

31

adalah ayat-ayat al-Qur’an dan kepribadian Rasulullah, dengan bertempat di rumah-rumah para sahabat seperti di rumahnya al-Arqam.64 Rasuslullah telah memberikan dasar pendidikan kepada para sahabatnya dengan menanamkan nilai-nilai tauhid pada permulaan da’wahnya di Makkah. Di antara ajarannya ialah Firman Allah SWT berikut ini:

                                                                                                                                                                      12. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". 64

A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 121

32

13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". 14. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. 15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. 16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha Mengetahui. 17. Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. 19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. ( QS. Luqman: 13)65

Tafsir Allah SWT memperingatkan kepada Rasulullah saw nasihat Luqman yang pernah diberikan kepada putranya, waktu ia memberi pelajaran kepada putranya itu. Nasihat itu ialah : “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah kezaliman yang sangat besar.” Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman, karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu yang melimpahkan nikmat dan karunia dengan sesuatu yang tidak sanggup memberikan 65

Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h. 1018

33

nikmat dan karunia itu. Dalam hal ini menyamakan Allah SWT sebagai sumber nikmat dan karunia dengan patung-patung yang tidak dapat berbuat sesuatupun. Dikatakan bahwa perbuatan itu adalah kezaliman yang besar, karena yang disamakan itu ialah Allah Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang seharusnya semua makhluk mengabdi dan menghambakan diri kepadaNya66 Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di atas, maka dapat diketahui bahwa tauhid merupakan ajaran yang sangat esensial dalam al-Qur’an. Selain itu, tauhid adalah misi risalah terpenting yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad, karena tauhid atau mengesakan Tuhan juga ajaran universal yang menjadi ajaran semua agama samawi yang masih asli. Kisah Luqman yang memberikan nasihat kepada anaknya untuk tidak mempersekutukan Allah SWT dengan yang lain, merupakan prinsip tauhid dalam suatu pendidikan. Sehingga Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad akan kisah Luqman tersebut. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia ketika di lahirkan. Rasulullah SAW teah menjelaskan bahwa setiap anak lahir diatas fitrah aqidah tauhid dan condong terfitrah mengenal penciptanya yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi wujud, tidak menyekutukanNya dan tidak menyembah kepada selainNya. Akan tetapi lingkungan yang merubah anak dan menyelewengkan dari asli fitrahnya.67 Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

ُ‫ أَوْ ﯾُﻤَﺠﱢﺴَﺎﻧِﮫِ ﻛَﻤَﺎ ﺗُﻨْﺘَﺞُ اﻟْﺒَﮭِﯿﻤَﺔ‬، ِ‫ أَوْ ﯾُﻨَﺼﱢﺮَاﻧِﮫ‬، ِ‫ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻮْﻟُﻮدٍ إِﻻﱠ ﯾُﻮﻟَﺪُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻔِﻄْﺮَةِ ﻓَﺄَﺑَﻮَاهُ ﯾُﮭَﻮﱢدَاﻧِﮫ‬ ‫ﺑَﮭِﯿﻤَﺔً ﺟَﻤْﻌَﺎءَ ھَﻞْ ﺗُﺤِﺴﱡﻮنَ ﻓِﯿﮭَﺎ ﻣِﻦْ ﺟَﺪْﻋَﺎء‬ “Tidaklah seorang anak terlahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang merubah menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi; seperti

66

Bustami A. Gani dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf UII, 1990), h. 634. 67 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, h. 102

34

hewan yang sehat dan tidak cacat melahirkan yang sehat, apakah kalian mendapatkannya (melahirkan keturunan) yang cacat.”(HR. Aswad bin Sari’)

Al-Ghazali mengatakan bahwa, akidah tauhid sehaursnya diajarkan sedini mungkin kepada anak-anak pada pertumbuhannya. Supaya dihafalkan dengan baik, kemudiann berangsur-angsur memahami pengertian apa yang di hafalnya itu. Setelah dipahami dan dimengerti, akidah tauhid tersebut diyakini dan dipercayai.68 Pembinaan ini keimanan ini merupakan hal yang mendasar dan fundamental dalam pendidikan Islam, karena dari keimanan inilah berpangkalnya segala peribadatan. Makin tebal iman seseorang makin baik ibadahnya, karena peribadatan merupakan manifesatsi dari keimanan. Ibadat yang menjadi manifestasi iman seseorang itu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, agar dengan demikian roh manusia selalu diingatkan pada hal-hal yang bersih lagi suci, sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang menjadi kuat dan tajam. Roh suci membawa kepada akhlak yang baik.69 Masalah pendidikan tauhid atau keimanan ini telah diprioritaskan dalam pendidikan Islam untuk upaya pembentukan kepribadian muslim, sebagaimana diilustrasikan berturut-turut dalam QS.Luqman (31): 13, 14, 17, 18 dan 19. Dalam ayat tersebut terkandung tiga ajaran pokok Islam, yaitu masalah keimanan atau ketauhidan, masalah akhlak dan masalah peribadatan. Manusia harus memiliki jiwa tauhid sehingga ia menjadi manusia yang beriman dengan sebenarnya iman. Salah satu usaha untuk menanamkan dan menguatkan jiwa tauhid adalah melalui pendidikan. Namun, pendidikan itu pun harus memiliki prinsip tauhid. Pendidikan 68

Abu Hamid muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid I (Semarang: Toha Putra,

t.th), h. 93

69

Harun Nasution, Manusia menurut Konsep Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 71

35

dengan tauhid sebagai prinsip utama akan memberi nila tambah bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orag yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan maka ia seakan kehilangan tempat berpijak. Keimanan akan menjadikan si pemiliknya mampu untuk mengendalikan hawa nafsu, dan menempatkan pada ketentuanketentuan Allah dan Rasul, tempat memulangkan segala persoalan yang diperselisihkan.70 Pendidikan bermula dari prinsip Tauhid. Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip Tauhid mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauhid mengajarkan kita untuk menghimpun pandangan yang holistik, terpadu, dan komprehensif terhadap pendidikan. Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial, sehingga siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar umur 13-17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang mereka pikirkan hanya mendapatkan kerja. Lebih dari itu, prinsip Tauhid menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep Tauhid harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk (1) apa yang diajarkan (isi), (2)

70

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 110

36

bagaimana kita mengorganisir dan apa yang harus diajarkan, (3) bagaimana kita mengajarkannya. Akhirnya, Tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi, dan praktik pendidikan kita.71 3.

Implikasi Tauhid dalam Pembentukan Kepribadian Muslim Islam dalam berusaha mengubah dan merombak kepribadian seseorang

diawali dengan mengubah dan merombak kecenderungan dan pikiran seseorang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah merubah akidahnya. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah, pada seruan pertama Islam, pada dasarnya bertujuan untuk mengukuhkan akidah tauhid.72 Penanaman akidah tauhid kepada seorang individu sangat menentukan terwujudnya kepribadian muslim tersebut. Pertama, tauhid merupakan fondasi bangunan-bangunan kehidupan manusia, termasuk kepribadiannya. Kedua, tauhid merupakan aspek batin yang memberikan motivasi dan arah kepribadian manusia.73 Keimanan seseorang terhadap akidah tauhid, keimanannya terhadap kebangkitan kembali dan perhitungan, menjadi sifat-sifat utama dan dominan dalam kepribadiannya. Sifat-sifat itu juga mempengaruhi dan mengarahkan semua sifat-sifat yang lain.74 Iman adalah sumber yang memancarkan akhlak. Kemudian, akhlak itu mempunyai peranan sangat penting dalam mengendalikan dan mengarahkan manusia untuk mengetahui hakikat dan kebenaran.75 Oleh karena itu, keimanan yang berdasar pada akidah tauhid itu dapat mengarahkan manusia

71

M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.

109 72

M. Utsman Najati, Al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs (Kairo: Dar al-Syuruq, 1402 H), h.302 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: LSIK, 1994), h.48 74 M. Utsman Najati, Al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs, h. 260 75 Muhamma Fadhil al-Jamali, Falsafah al-Tarbiyat fi al-Qur’an (Mesir: Dar al-Kitab alJadid, 1976), h. 49 73

37

untuk mempunyai akhlak yang baik yang kemudian dicerminkan dalam kepribadianya. Dengan demikian, tauhid mempunyai peranan yang penting dalam proses pembentukan kepribadian muslim. Tauhid mempunyai beberapa implikasi dalam pembentukan kepribadian muslim, antara lain: 1. Tauhid Membentuk Kepribadian Utuh Pengaruh tauhid dalam kepribadian seseorang adalah terhindarnya dari keterbelahan kepribadian. Bagi orang yang bertauhid, orientasi jiwa dan raganya hanya diperuntukan bagi Allah semata, tidak mendua, sehingga kepribadiannya utuh.76 Keutuhan jiwa itulah yang menjadikan seorang yang bertauhid menjadi tenang dalam menghadapi kehidupan ini. Namun, kepribadian orang yang syirik, yang menjadikan Allah mempunyai serikat, mengalami keterbelahan, Allah berfirman dalam QS. al-Zumar (39): 29 yang berbunyi sebagai berikut:

                      29. Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.77 Tuhan membuat perumpamaan bagi orang musyrik dan orang yang bertauhid. Orang musyrik itu diumpamakan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa manusia yang berserikat yang dalam perselisihan. Budak tersebut

76

Murtadha Muthahhari, Allah fi Hayat al-Insan. Diterjemahkan oleh Agus Efendi dengan judul Allah dalam Kehidupan Manusia (Bandung: Mizan, 1992), h. 37 77 Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h. 750

38

pastilah pengabdiannya akan terpecah kepada beberapa tuannya itu sehingga kepribadiannya akan terbelah. Sama halnya seorang yang musyrik, yang menyembah beberapa Tuhan, pastilah kepribadiannya menjadi menjadi pecah. Dalam pada itu, seorang yang bertauhid diumpamakan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang saja, tidak dimiliki oleh banyak orang. Budak tersebut dapat mengabdikan dirinya sepenuh hati kepada tuannya itu.78 Murtadha

Muthahhari

menyatakan

bahwa,

seakan-akan

Pencipta

mengatakan kepada manusia. Jika dalam jiwamu ada beberapa Tuhan dan kamu jadikan sesembahan, maka sesungguhnya kamu akan rusak sebagaimana alampun akan rusak apabila didalamnya terdapat lebih dari satu Tuhan. Apabila kamu muusyrik di dalam pikiranmu, maka sesungguhnya jiwamu itu akan terpecahpecah menjadi beberapa bagian dan ketika itu rusaklah kepribadianmu. Dengan demikian, pengaruh tauhid dalam hidup manusia adalah pengaruh pesikologis, moral, dan keselamatan jiwa. Menurut kitab suci al-Qur’an, keselamatan psikologis itu adalah dalam wujud kesatuan, keutuhan, dan keharmonisan jiwa. Keastuan, keutuhan dan keharmonisan jiwa itu merupakan implikasi tauhid.79 Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa, QS. al-Zumar (39): 29 menjelaskan perbedaan antara ajaran syirik dengan ajaran tauhid yang dikiaskan dengan dua orag budak. Yang seorang menjadi milik beberapa orang; para pemilik itu saling berbeda pendapat. Oleh karena itu, budak tersebut menderita karena pertengkaran para tuannya itu. Yang seorang lagi hanya menjadi milik seorang saja. Dia mengabdikannya kepada tuannya saja, sehiangga dia dapat

78

Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 17 (Beirut: Mansyurat Muassasat al-‘Alamy li al-Mathbu’at, t.th), h. 258 79 Murtadha Muthahhari, Allah fi Hayat al-Insan. Diterjemahkan oleh Agus Efendi dengan judul Allah dalam Kehidupan Manusia (Bandung: Mizan, 1992), h. 22

39

mencurahkan segala perhatiannya kepada tuannya itu.80 Dengan demikian yang wajar adalah seorang budak yang dimiliki oleh seorang saja. Jiwa dan perhatian seorang yang bertauhid juga seperti seorang budak yang dimiliki oleh seorang itu, jiwanya tenang dan penuh perhatian hanya kepada satu Tuhan saja. William James, seorang filosof dan tokoh psikologi eksperimen terkemuka di dunia, mengomentari perasaan iman di dalam kesehatan jiwa yang kesimpulannya sama dengan apa yang terkandung dalam 29 surat al-Zumar tersebut.81 Selain tokoh tersebut, Sigmunf Fredu seorang psikolog materialis dan ateis dan G. Jung menerima data statistik yang menunjukkan bahwa secara psikologis masyarakat yang beriman kepada Allah paling terselamatkan kepribadiannya ketimbang yang lain. Hal ini disebabkan adanya keutuhan dan kesatuan kepribadiannya.82 Melihat berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas dan apa yang diperoleh dari al-Qur’an, maka jelaslah bahwa tauhid yang terutama berkaitan dengan keimanan kepada Allah swt. Itu menjadikan seorang terhindar dari keterbelahan kepribadian. Dengan demikian tauhid dapat membentuk kepribadian seorang menjadi utuh, tidak terpecah, karena tidak terjadi konflik dalam jiwa seorang individu yang punya keimanan terhadap Tuhan Yang Satu. Kenyataan pengaruh iman terhadap keutuhan kepribadian seseorang ini juga diakui oleh pakar psikologi, seperti James. C. G. Jung dan Sigmund Freud. 2. Tauhid Membentuk Kepribadian Terbuka

80

A. Yusf Ali, The Holy Qur’an, Translation and Commentary (Jeddah: Dar Al-Qiblah, 1403 H), h. 1246 81 Murtadha Muthahhari, Allah fi Hayat al-Insan. Diterjemahkan oleh Agus Efendi dengan judul Allah dalam Kehidupan Manusia (Bandung: Mizan, 1992), h. 39 82 Ibid, 37

40

Kepribadian yang terbuka adalah kepribadian yang memungkinkan menerima kebenaran dari orang lain. Kepribadian terbuka itu berarti kepribadian yang tidak hanya menerima kebenaran yang berasal dari dirinya. Huston mengatakan bahwa, keengganan manusia untuk menerima kebenaran ialah antara lain karena sikap menutup diri yang timbul dari keengganan untuk mengetahui kebenaran yang justru lebih tinggi nilainya. Halangan orang untuk menerima kebenaran ialah keangkuhannya sendiri da juga belenggu yang diciptakan untuk dirinya sendiri. Belenggu itu ialah hawa nafsu yang berarti keinginan diri sendiri.83 Hawa nafsu itulah yang menghalangi manusia menerima kebenaran dan menjadikan kepribadian manusia tertutup. Manusia yang memutlakkan diri, pandangan, dan pikirannya, menurut al-Qur’an disebut telah menuhankan hawa nafsunya. Allah berfirman dalam QS. al-Jatsiyat (45): 23 sebagai berikut:

                          23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?84 Orang yang menuhankan hawa nafsunya ituakan mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup dan fanatik, yang mudah bereaksi negatif pula terhadap sesuatu yang datang dari luar, tanpa sempat meneliti kemungkian kebenaran

83

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 81 84 Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h.818

41

dalam apa yang datang dari luar. Ketika orang mengikuti hawa nafsunya, maka perbuatannya menjadi bertentangan dengan logikanya, dengan akal sehat dan dengan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu, al-Qur’an menyebutkan faktor penting kesalahan manusia adalah dengan menuhankan hawa nafsunya itu. Manusia yang mengikuti atau manuhankan hawa nafsunya itu berarti manganggap hanya dirinya yang benar.85 Manusia yang bertauhid tidak menampilkan diri sebagai yang paling benar, sebab dia menyadari yang mutlak benar hanyalah Allah swt. Selain Dia adalah nisba yang berarti mengandung kemungkinan salah. Berdasar pandangan tersebut, maka manusia yang bertauhid mempunyai pandangan terbuka, menerima kemungkinan-kemungkinan kebenaran dari selain dirinya. Dengan demikian, manusia yang bertauhid adalah manusia yang mempunyai kepribadian yang terbuka. Mereka terhindar dari kepribadian yang berdasarkan anggapan-anggapan keliru karena berdasar hawa nafsu. Kepribadian terbuka yang didasarkan atas kepercayaan tauhid tersebut memungkinkan seseorang menjadi individu yang selalu mendengarkan pendapat orag lain, kemudian mencoba memahami dengan kritis. Berkaitan dengan sikap terbuka ini Allah berfirman dalam QS. al-Zumar (39): 17-18 yang berbunyi sebagai berikut:

                             

85

Murtadha Muthahhari, Allah fi Hayat al-Insan. Diterjemahkan oleh Agus Efendi dengan judul Allah dalam Kehidupan Manusia (Bandung: Mizan, 1992), h. 52

42

17. Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, 18. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.86 Orang yang memperoleh petunjuk Allah ialah orang yang mendengarkan perkataan kemudian memahami perkataan tersebut dan mengambil yang terabik di antaranya. Menurut al-Razi dan al-Thabari, kata “al-qaul” itu meliputi sabdasabda Nabi dan firman Tuhan, serta pendapat sesama manusia. Nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut adalah nilai-nilai keterbukaan. Dengan demikian sikap keterbukaan adalah bagian dari iman. Orang yang bertauhid yang hanya memutlakkan Allah saja tentulah manusia yang terbuka.87 3. Tauhid Membentuk Kepribadian Berani Muhammad Iqbal berpendapat bahwa, keberania dapat dipupuk dan dijadikan salah satu pertanda dari watak atau kepribadian dengan jalan menjadikan tauhid sebagai dasar kerja yang melandasi segala tingkah laku seseorang. Penerapan tauhid dalam segala kegiatan seseorang sehari-hari, menurut pandangan Iqbal, mengandung arti penolakan mentah-mentah segala bentuk dan macam kekuatan kecuali taat kepada Allah. Dengan tauhid seseorang mampu menghadapi segala tantangan dengan jantan kekuatan yang akan membelenggu kebebasan berkembang dan berfikir.88

86

Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h.748 87 Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Mneuju Tuhan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 10 88 K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy. Diterjemahkan oleh M.I. Soelaeman dengan judul Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan (Bandung: Diponegoro, 1986), h. 128

43

Muhammad Iqbal selanjutnya mengungkapkan bahwa tauhid yang diterapkan dan diparaktekan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari merupakan obat yang manjur untuk menyembuhkan rasa takut, sifat pengecut, dan putus asa. Muhammad Iqbal juga menandaskan bahwa inti tauhid sebagai idea praktis ialah kesamaan, kebersamaan dan kebebasan. Sedangkan jika tauhid itu dijadikan pola pengarah tingkah laku, ia mengubah watak atau kepribadian serta kehidupan individu dan memberikan kepadanya kesadaran baru akan keberanian serta harga dirinya.89 Sesungguhnya orang yang bertauhid itu selalu mempunyai keyakinan bahwa Allah swt. Selalu berada di dekatnya, sehingga dia tidak mempunyai rasa takut sedikitpun, sebagaiman firman Allah dalam QS. al-Taubat (9): 40. Selain itu, Allah juga menyatakan bahwa orang yang beriman kepada-Nya dan kemudian dia tetap dalam akidah tauhidnya itu, maka Allah menjamin orang itu tidak akan merasa takut dan tidak akan susah, sebagaimana firman-Nya pada QS. al-Ahqaf (46): 13 yang berbunyi sebagai berikut:

              13. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", Kemudian mereka tetap istiqamah, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.90 Pernyataan Allah tersebut menjamin orang-orang beriman tidak akan merasa takut dalam menghadapi kehidupan ini kalau saja mereka betul-betul bertauhid dan kemudian berusaha tetap berpegang teguh terhadap keyakinannya itu. Keyakinan yang berupa akidah tauhid itulah yang menjadikan seseorang tidak 89

K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy. Diterjemahkan oleh M.I. Soelaeman dengan judul Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, h. 129 90 Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h.824

44

lagi takut dalam menghadapi rintangan yang akan membelenggu dirinya untuk berjalan di atas kebenaran. Dengan demikian, keyakinan tauhid yang benar akan berpengaruh besar terhadap kepribadian seseorang.91 4. Tauhid Membentuk Kepribadian Bebas Tauhid, sebagaimana diketahui, berarti suatu keyakinan bahwa Allah Yang Maha Esa adalah mutlak, sedangkan selain-Nya adalah nisbi. Karena itu, hubungan manusia dengan Allah tidak setara dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk. Tauhid yang terumuskan dengan kalimat ”La Ilaha illa Allah” berarti menafikan otoritas dan petunjuk yang datang bukan dari Allah. Kalimat Thayyibat itu berarti kalimat pembebasan bagi manusia. Dengan tauhid, manusia tidak saja bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain manapun.92 Konsekwensi keyakinan tauhid sebagaimana dikemukakan di atas adalah keyakinan bahwa semua manusia itu sama di hadapan Allah. Hal yang membedakan satu dengan yang lainnya hanyalah tingkat takwanya kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hujurat (49): 13. Dengan demikian, maka seseorang yang merasa dirinya lebih superior atau inferior dibanding dengan orang lain manapun berarti ia sudah kehilangan kebebasannya dan berarti juga telah jatuh pada perbudakan mental.93 Manusia sejak lahir memperoleh kemerdekaannya tanpa seseorangpun mengikatnya. Satu-satunya perjanjian yang dibuat adalah untuk mengakui

91

Wahbat al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, Juz 25 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 27 92 M. Amin Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1989), h. 15 93 Osman Reliby, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 142

45

kebenaran mutlak tentang pengakuan bahwa Allah sajalah yang menjadi “Rabb” bagi dirinya, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-A’raf (7): 172 sebagai berikut:

                               172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orangorang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",94 Perjanjian dengan Tuhan itu dibuat untuk menyatakan behwa hanya Allah sajalah yang berhak untuk disembah sedangkan yang lain tidaklah berhak untuk itu. Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia lahir dalam keadaan merdeka, tidak menjadi budak siapapun dan mempunyai derajat yang sama dengan manusia yang lain. Dengan demikian, maka tauhid atau pengakuan keesaan Allah itu dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu kepercayaan bahwa dirinya itu merdeka atau bebas dari intervensi orang lain secara mental.95 5. Tauhid Membentuk Kepribadian Optimis Orang yang beriman kepada Allah adalah orang kuat. Ia memiliki kekuatan batin dan jiwanya, sehingga tidak pernah gentar menghadapi hidup dengan berbagai percobaannya. Kekuatan orang yang beriman diperoleh karena

94

Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h.250 95 Wahbat al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, Juz 9 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 157

46

harapan kepada Allah. Dia tidak mudah putus asa, karena dia yakin bahwa Allah selalu menyertainya.96 Seseorang akan merasa tenang setelah mengetahui bahwa Tuhan dekat, mengabulkan permohonan orang-orang yang bermohon kepadanNya, menerima taubat orang-orang yang bertaubat, menolong orang-orang yang teraniaya. Sesungguhnya rahmat Allah meliputi segala sesuatu.97 Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah akan memperkenankan permohonan manusia kepada-Nya, sebagaimana tercantum pada QS. al-Baqarah (2): 186 berikut:

                    186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.98 Allah swt. melarang orang yang beriman untuk berputus asa dari rahmatNya, sebagaimana tertera dalam QS. Yusuf (12): 87 berikut:

                       87. Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".99

96

Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Mneuju Tuhan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 14 97 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 171 98 Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h.362 99 Ibid, h. 362

47

Allah juga berfirman tentang larangan untuk berputus asa dari rahmatNya, sebagaimana terdapat pada QS. al-Zumar (39): 53 sebagai berikut:

                        53. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.100 Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka orang yang bertauhid tidak akan berputus asa terhadap rahmat Allah, sehingga kalau saja dia terlanjur berbuat salah segera memohon ampunan kepada Allah. Jadi, iman menghasilkan harapan. Ketiadaan harapan adalah indikasi tidak adanya keimanan dalam diri seseorang. Orang yang tidak berpengharapan adalah orang yang tidak menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Orang yang yang tidak bertauhid adalah orang yang tidak opitimis dalam menghadapi hidup ini. Zakiyah Daradjat mengatakan bahwa, kesukarang yang paling sering dihadapi orang adalah kekesewaan. Kekecewaan yang terlalu sering dihadapi dalam kehidupan ini akan membawa orang kepada perasaan rendah diri, pesimis dan apatis dalam hidupnya; kekecewaan-kekecewaan yang dialaminya itu akan menggelisahkan jiwanya. Akan tetapi, hal itu berbeda dengan apa yang dialami orang yang beriman. Orang-orang yang beriman dengan sungguh-sungguh kepada Allah swt. tidak mudah pesimis menghadapi kekecewaan-kekcewaan yang dialaminya. Mereka akan ingat kepada rahmat Tuhan yang telah diberikan.

100

Tim Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1977), h.753

48

Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan selalu optimis dalam menghadapi kehidupan ini.101 Sesungguhnya, sikap optimis dalam hidup itu bersumber pada sikap berbaik sangka kepada Allah. Oleh karena itu, seharusnya orang yang beriman itu selalu berbaik sangka kepada Allah, walaupun mungkin seseorang mengalami musibah yang terasa berat baginya. Dengan begitu, jelaslah bahwa tauhid itu berpengaruh terhadap pengharapan atau sikap optimis. Sikap optimis erat kaitannya dengan rasa aman. Keduanya berpangkal dari kayakinan bahwa Allah itu Maha Penyantun, Pelindung serta Pemberi Rasa Aman.102 Sikap optimis yang dimilki oleh seseorang sebagai implikasi dari keimanan seseorang kepada Tuhan akan menjadi tempat tumbuhnya sikap-sikap positif lainnya, seperti rasa aman, sikap toleran, bersahabat, damai, dan tidak mudah berburuk sangka. Sikap-sikap positif itu sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap optimis seseorng itu tumbuh, karena berpangkal dari keyakinan bahwa Allah itu Maha Pengampun, Pemberi rasa aman, Pelindung, dan sebaik-baik tempat bersandar dan seterusnya. Seseorang yang mempunyai ciri-ciri kepribadian seperti yang telah disebutkan di atas, adalah orang yang mempunyai kepribadian sempurna.

101

Zakiyah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Bumi Aksara,

1992), h. 59 102

1994), h. 16

Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Mneuju Tuhan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sebenarnya merupakan fitrah manusia, tetapi karena pengaruh lingkungan kadangkadang itu tertutupi. Oleh karena itu, pendidikan Islam antara lain menjaga fitrah manusia itu. Dengan demikian, tugas pendidikan Islam adalah mejaga manusia agar tidak keluar dari fitrahnya. 2. Tauhid sebagai prinsip pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab tauhid yang merupakan inti ajaran Islam itu juga menjadi dasar bagi pendidikan Islam. Tauhid sebagai prinsip pendidikan itu mempunyai kedudukan penting dalam usaha mencapai tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian muslim yang selalu beribadah kepada Allah, sebagai realisasi keyakinan tauhid pada diri seseorang. 3. Tauhid mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai tujuan pendidikan Islam. Tauhid dapat membentuk kepribadian yang utuh dan tidak terpecah, tauhid membentuk kepribadian terbuka dan terlepas dari kepribadian yang egois, tauhid dapat membentuk kepribadian berani mempertahankan yang benar,

tauhid membentuk

kepribadian bebas sehingga terhindar dari rasa superioritas atau inferioritas, dan tauhid dapat membentuk kepribadian yang optimis dalam menghadapi hidup ini karena percaya akan kemahakasihan Tuhan.

49

50

B. Saran-saran 1. Melihat kondisi bangsa kita sekarang ini yang masih jauh dari cita-cita pendiri bangsa yaitu mencerdaskan anak bangsa dan kenyataan yang ada masih banyak saudara kita yang terlantar karena faktor rendahnya pendidikan. Maka kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan, supaya memprioritaskan masalah pendidikan dengan berupaya sungguhsungguh berinvestasi dalam pendidikan demi kemajuan bangsa. 2. Penyelenggara pendidikan merupakan tolak ukur sukses tidaknya suatu pendidikan, maka diperlukan komitmen yang sungguh-sungguh bagi semua unsur penyelenggara pendidikan agar terhindar dari praktek-praktek yang menciderai keberhasilan pendidikan. 3. Semua komponen masyarkat harus terlibat aktif dalam pendidikan, karena pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Terutama lingkungan, baik keluarga maupun pergaulan dalam masyarakat, karena salah satu faktor pembentukan karakter seseorang adalah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta, Rineka Cipta, 1994. Ali, Attabik dan Muhdlar, Muh. Zuhdi. Kamus al-‘Ashry, Yogjakarta: Muassasah Ali Maksum, 1996 al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titipan Ilahi Press, 1996. ........., Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1975 ........., Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Saudi Arabia: Dar al-Ihya al-Attas, Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1984 A. Nasir, Salihun. Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja. Jakarta: Kalam Mulia, 2002. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010 ‘Abdullah Al-Mirgani, Al-Imam Muhammad ‘Usman. Taaju at-Tafaasiir (Mahkota Tafsir). Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009. al-Baghdadi, Abdurrahman. Terjemah: Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: Al-Izzah, 1996), h 81 Dewantara, Ki Hajar. Masalah Kebudayaan: Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa. Yogyakarta, 1967. Echols, Jhon M. dan Shadily, Hassan. Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: PT. Gramedia, 2003 Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002. Gani, Bustami A. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf UII, 1990. Ghazali, Imam. Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani, 1995 Hasan, Muhammad Tholhah. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press, 2005

51

52

Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000 Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age, London : Oxford University Press, 1962 Ibn Khaldun, Abd. Al-Rahman. Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd alWahid Wafi, Cairo: Dar al-Nahdhah Irfan, Mohammad dan Mastuki. Teologi Pendidikan, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Temati. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010. Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988. ........., Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003 Kamil al-Hur, Muhammad. Ibn Sina, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1991 Maghribi, Al-Maghribi bin as-Said. Terjemah: Begini Seharusnya Mendidik Anak: Panduan mendidik anak sejak masa kandungan hingga dewasa. Jakarta: Daru Haq, 2004. Mahalli-As-Suyuti, Imam Jalaluddin. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009. Majid, Abdul dan Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993 Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Al-Ma’arif, 1989. Maksum, Imam. Pendidikan Islam dan Globalisasi (Reaktualisasi Tujuan Pendidikan Islam Sebagai Upaya Meminimalisir Problematika Bangsa). Tulung Agung: Sumenang Kediri, 2009. Mubarak, Zaki. Al-Akhlaq ‘Inda al-Ghazali, Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1968 Mutammam. Mengembangkan Tingkat Kualitas Pendidikan Dasar: Sebuah Analisis Pnedidikan Sebagai Investas. Yogyakarta: Gama Media, 2007. Musa, Muhammad Yusuf. Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam wa Shliatuha bi alFalsafah al-Ighriqiyah, Kairo: Muassasah al-Khalkhi, 1963

53

Natsir, M. Capita Selecta. Bandung: Gravenhage, 1954. Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam. Bandung : CV. Diponegoro, 1992. Nata, Abudin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. ........., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010 Nizar, Samsul. Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. ........., dan Al-Rasidin, Filsafat Pendidikan Islam. Tangerang: PT. Ciputat Press, 2005. ........., dan Ramayulis. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005 Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir(kemudahan dari Allah: ringkasan tafsir ibnu katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 2008. al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Tafsir Mahasin al-Ta’wil, Kairo: Dar Ihya’ al-Turats Said, Usman dan Jalaludin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, t.th Sholeh, Asrorun Ni’am. Reorientasi Pendidikan Islam: Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. Jakarta: ELSAS Jakarta, 2006. Siradz, Said Aqil. Reposisi Kependidikan Islam: Telaah Implementasi UU Sisidiknas Tahun 2003. Makalah dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh STAI NU, di Jakarta, 10 September 2003. Shaleh. Asbabun Nuzul: Latar belakang Historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2007. ........., Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002 al-Syaibany, Umar Muhammad al-Toumi. Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Tripoli Libia: al-Syarikah al-Ammah li al-Nasyr al-Tauzi wa al-I’kan, 1975

54

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992. Thaha, Nashruddin. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1979 Tim redaksi. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1984. Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Walidin, Warul. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Chaldun: Perspektif Pendidikan Modern, Yogyakarta: Suluh Press, 2005 Wehr, Hans. Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’ashara, Beirut: Librarie Du Liban, 1974 Yasin, A. Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008 Yunus, Mahmud. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Hidakarya Agung, 1920 Zainudin, Muhammad. Paradigma Pendidikan Terpadu: menyiapkan generasi ulul albab. Malang: UIN Malang Press, 2008.