Etika Ekonomi dan Bisnis - Globethics.net

2 downloads 0 Views 1MB Size Report
Etika Bisnis menurut Islam (Suatu Telaah Material-Immaterial. Oriented). 13 ... program studi agama-agama dalam tradisi yang berbeda, yakni UIN Sunan. Kalijaga ..... kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian ..... yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan.
Globethics.net

Focus

16

Etika Ekonomi dan Bisnis

Editors Yahya Wijaya ? Nina Mariani Noor

Articles in this book offer another form of relationship between religion and business. The basic perspective adopted is a business ethics perspective. In the perspective of business ethics, religion and business do not need to be separated moreover considered to be contrary, but it does not mean that they necessarily be paired without consequence. Eleven authors in this book highlight the various aspects and factors in the relationship between business and religion in the context of Indonesia.

Perspektif Agama-Agama di Indonesia

Tulisan-tulisan dalam buku ini menawarkan bentuk hubungan yang lain antara agama dan bisnis. Perspektif dasar yang dianut adalah perspektif etika bisnis. Dalam perspektif etika bisnis, agama dan bisnis tidak perlu ditempatkan terpisah apalagi dianggap bertentangan, namun tidak berarti keduanya serta merta dapat dipasangkan tanpa konsekuensi. Sebelas penulis dalam buku ini menyoroti berbagai aspek dan faktor dalam hubungan antara bisnis dan agama dalam konteks Indonesia.

Etika Ekonomi dan Bisnis Perspektif Agama-Agama di Indonesia Editors Yahya Wijaya ? Nina Mariani Noor

Focus 16

Etika Ekonomi dan Bisnis Perspektif Agama-Agama di Indonesia

Etika Ekonomi dan Bisnis Perspektif Agama-Agama di Indonesia Editors: Yahya Wijaya/Nina Mariani Noor

Globethics.net Focus No. 16

Globethics.net Focus Series editor: Christoph Stückelberger. Founder and Executive Director of Globethics.net and Professor of Ethics, University of Basel

Globethics.net Focus 16 Yahya Wijaya/Nina Mariani Noor (eds.): Etika Ekonomi dan Bisnis. Perspektif Agama-Agama di Indonesia Economic and Business Ethics. Religious Perspectives in Indonesia Geneva: Globethics.net, 2014 ISBN 978-2-940428-66-3 (online version) ISBN 978-2-940428-67-0 (print version) © 2014 Globethics.net Managing Editor: Ignace Haaz Globethics.net International Secretariat 150 route de Ferney 1211 Geneva 2, Switzerland Website: www.globethics.net Email: [email protected] All web links in this text have been verified as of October 2014. This book can be downloaded for free from the Globethics.net Library, the leading global online library on ethics: www.globethics.net. © The Copyright is the Creative Commons Copyright 2.5. This means: Globethics. net grants the right to download and print the electronic version, to distribute and to transmit the work for free, under three conditions: 1) Attribution: The user must attribute the bibliographical data as mentioned above and must make clear the license terms of this work; 2) Non-commercial. The user may not use this work for commercial purposes or sell it; 3) No change of text. The user may not alter, transform, or build upon this work. Nothing in this license impairs or restricts the author’s moral rights. Globethics.net can give permission to waive these conditions, especially for reprint and sale in other continents and languages.

Table of Contents Kata Sambutan Siti Syamsiyatun

7

Bisnis dan Agama Yahya Wijaya

7

1. Etika Bisnis menurut Islam (Suatu Telaah Material-Immaterial Oriented) Hamam Burhanuddin 2. Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam Zakiyudin Baidhawi

13 35

3. Analisa Biblika Perjanjian Baru Terhadap Etika Bisnis Berdasarkan Injil Matius 5:3-12 Hengki Wijaya

69

4. Sharing, a Religious End of Economic Practice. The Ammatoans of Sulawesi, Indonesia Samsul Ma’arif

93

5. Etika Ekonomi Kontekstual. Berbasis Kemiskinan Masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat Sampe Waruwu

117

6. Bertanggung Jawab untuk Berbagi Roti Bersama dalam Satu Tubuh (Suatu Dialektika Makna antara Perusahaan dan Gereja) Natanael Setiadi

161

7. Green Consumption: Searching for Religious Ethics of Consumption Mohammad Hasan Basri

191

8. Kebangkitan Spiritualitas Bisnis dalam Tanggungjawab Sosial Perusahaan bagi Masyarakat Woro Indyas A.D Tobing

201

9. Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah (Sharia Compliance) di Bank Syariah (Studi Eksplorasi) Sepky Mardian, SEI, MM

223

10. Perspektif Gereja Katolik Tentang Iklan yang Etis dalam Bisnis 241 Yeremias Yena 11. Dekonstruksi Strategi Branding Iklan Fiesta: Perspektif Etika Islam terhadap Industri Budaya Endang Mirasari

265

Tentang Penulis dan Editor

295

Kata Sambutan Siti Syamsiyatun Dengan penuh kesyukuran, ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) (www.icrs.ugm.ac.id) menyambut dengan suka cita penerbitan buku yang berjudul “Etika Ekonomi dan Bisnis: Perspektif Agama-agama di Indonesia”. Buku ini merupakan penerbitan ketiga hasil kerjasama antara ICRS dengan Globethics.net (www.globethics.net). ICRS merupakan konsorsium tiga universitas terbaik di Yogyakarta yang memiliki kekuatan program studi agama-agama dalam tradisi yang berbeda, yakni UIN Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Kristen Duta Wacana. Globethics.net merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang penyebaran pengetahuan tentang etika terapan melalui jaringan internet yang dapat diakses secara gratis oleh siapa saja yang sudah terdaftar sebagai partisipannya. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis oleh para sarjana yang memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan etika dalam berbisnis. Agama-agama yang dianut oleh mayoritas warga Negara Indonesia memiliki nilai-nilai etis yang dapat menjadi acuan bagi para pemeluknya dalam melakukan kegiatan perekonomian dan bisnis dengan tetap menjunjung tinggi etika. Buku yang merupakan hasil kerjasama antara ICRS dengan Globethics. net International yang berkantor di Geneva, Swiss ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang bermanfaat tidak hanya dalam upaya memperkaya wawasan dan wacana etika dalam berbisnis, namun lebih penting lagi memberikan panduan etika praktis bagi para pelaku ekonomi dan bisnis. Penerbitan buku ini sejalan dengan semangat pemerintah

Republik Indonesia untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda Indonesia. Jiwa kewirausahaan yang beretika ini ternyata mendapatkan legitimasi teologis dari agama-agama di Indonesia, sebagaimana diungkap oleh sarjana yang memberikan kontribusi pada buku ini. Selain diikat oleh keprihatinan bersama soal pentingnya menanamkan dan menegakkan etika dalam pergaulan antar sesama makhluk Tuhan, kemitraan antara ICRS dengan Globethics.net Geneva juga dibangun adanya keprihatinan bersama berkenaan dengan lebarnya jarak akses pengetahuan antara mereka yang tinggal di kawasan ekonomi mapan yang sering disebut dengan Global North, dibandingkan dengan mereka yang lebih kekurangan di Global South. Konversi dan migrasi sumber pengetahuan ke bentuk elektronik digital, selain membawa kemudahan, kecepatan transfer dan ringkas papan, ternyata memperlebar jurang akses itu tersebut, karena mahalnya teknologi yang digunakan. Hilangnya pengetahuan etika dan tergerusnya etika dalam kehidupan ini tentunya akan merusak naluri kemanusian dan spiritualitas manusia. Kehadiran buku ini diharapkan menjadi sumbangsih yang bermakna khususnya bagi masyarakat Indonesia kontemporer yang saat ini menghadapi banyak dilemma etis berkenaan dengan semakin meningkatnya persaingan bisnis yang berorientasi pada pencapaian profit yang sebanyak-banyaknya. Kita memimpikan terwujudnya peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan ekonomi dan bisnis yang tetap memegang teguh nilai-nilai etika, sehingga bertambahnya kuantitas materi dapat memberikan peningkatan kualitas hidup bagi setiap insan dan seluruh masyarakat. Dalam ungkapan tradisi Islam: bisnis yang beretika membawa rezeki yang barokah!

Bisnis dan Agama Yahya Wijaya Menghubungkan antara bisnis dan agama seringkali dianggap tabu baik oleh kalangan bisnis sendiri maupun kalangan pegiat agama.Bagi sebagian kalangan pegiat agama, bisnis dinilai sebagai ranah yang penuh dosa, sedangkan agama adalah ranah yang suci. Mencampurkan keduanya dianggap mempertaruhkan kesucian agama. Bagi sebagian kalangan bisnis, agama adalah utopia: prinsipnya baik dan benar tetapi tidak realistik paling tidak untuk situasi konkret saat ini. Anggapan semacam itu sama sekali tidak menolong para pebisnis yang juga penghayat agama. Seringkali mereka harus hidup dalam dua dunia yang terasa bertentangan. Ketika menjalankan bisnis mereka harus meninggalkan atau mengesampingkan keyakinan agama, dan ketika menjalankan ibadah mereka harus melupakan atau menyesalkan bisnis mereka tanpa pernah bisa meninggalkannya. Pandangan dualistik seperti tersebut di atas memang bukan satu-satunya yang mengemuka dalam hal hubungan bisnis dan agama. Belakangan juga cukup populer pandangan yang justru sebaliknya. Bisnis dan agama dianggap bisa dipasangkan secara kompatibel dan menguntungkan bagi keduanya. Lembaga dan acara keagamaan menjadi lebih menarik dan lebih berkembang ketika dikelola secara bisnis. Lihat saja sekolah-sekolah dan rumah sakit- rumah sakit berbasis keagamaan yang sekarang cenderung menjadi seperti korporasi dengan sistem manajemen dan harga produk yang mengikuti prinsip pasar. Sebaliknya, bisnis juga menjadi lebih bervariasi ketika simbol-simbol dan bahasa keagamaan digunakan, khususnya untuk menyasar segmen pasar komunitas religius tertentu. Pandangan semacam

10 Bisnis dan Agama ini mengandung resiko serius. Salah satunya adalah menganggap agama sekadar sebagai komoditas yang dapat dijualbelikan sama seperti produk manufaktur dan jasa. Selain itu, bisnis dianggap sekadar sebagai teknik yang bebas nilai. Tulisan-tulisan dalam buku ini menawarkan bentuk hubungan yang lain. Perspektif dasar yang dianut adalah perspektif etika bisnis. Dalam perspektif etika bisnis, agama dan bisnis tidak perlu ditempatkan terpisah apalagi dianggap pada dirinya bertentangan. Namun tidak berarti keduanya serta merta dapat dipasangkan tanpa konsekuensi. Etika bisnis beranggapan bahwa bisnis, sama seperti ranah kehidupan yang lain, mengandung dimensi moral yang harus dikaji dan dinilai demi kebaikan bersama. Etika bisnis religius meyakini bahwa agama menyediakan sumber-sumber yang berharga untuk kajian dan penilaian moral terhadap bisnis. Maka agama memiliki tugas mengawal bisnis untuk menjadi bisnis yang bermoral.Etika bisnis religius meyakini bahwa bisnis yang bermoral tidak bertentangan dengan prinsip ekonomi. Sebaliknya, etika bisnis mengandung sikap optimistik bahwa bisnis yang bermoral sebenarnya lebih menguntungkan, setidaknya untuk jangka panjang, ketimbang bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moral. Di sisi lain, bisnis adalah konteks yang kongkret di mana agama-agama dapat membangun refleksi yang membumi dan menghubungkan sumber-sumber historisnya dengan realita kehidupan masa kini. Para penulis dalam buku ini menyoroti berbagai aspek dan faktor dalam hubungan antara bisnis dan agama. Haman Burhanudin menunjukkan bagaimana etika bisnis Islam terungkap dalam hukum dan aturan yang mengatur kegiatan bisnis secara konkret. Dalam berbagai aturan itu tampak bahwa Islam memandang bisnis bukan sekadar sebagai kegiatan material tetapi juga immaterial, bukan sekadar kegiatan horisontal tetapi juga vertikal. Zakiyudin Baidhawi menegaskan perlunya prinsip keadilan distributif ditegakkan dalam upaya mengurangi kemiskinan dan pemiskinan.

Etika Ekonomi dan Bisnis 11 Diperlihatkan bahwa Islam menyediakan sumber-sumber yang penting untuk membangun prinsip keadilan distributif yang aktual. Hengki Wijaya menafsirkan perkataan Yesus dalam Matius 5:3-12, yang dikenal sebagai “Ucapan Bahagia.” Ia melihat relevansi dari perikop itu bagi etika bisnis. Samsul Ma’arif meneliti peran religi kelompok etnis Ammatoa di Sulawesi Selatan. Ia melihat peran agama suku itu signifikan dalam mengurangi individualisme yang cenderung melekat pada sistem kapitalisme saat ini. Melalui prinsip berbagi yang berakar pada keyakinan agama suku, orang Ammatoa menyiasati pasar menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat. Sampe Waruwu menyoroti kemiskinan yang parah yang dialami oleh kelompok etnis Akit di Pulau Rupat. Ia menantang Gereja yang melayani masyarakat di sana untuk mengembangkan etika ekonomi yang relevan yang sebenarnya sumber-sumbernya tersedia dalam teologi Kristen. Natanael Setiabudi menolak dualisme bisnis-agama dengan melihat hakikat perusahaan yang tersirat dalam istilah “company” yang sebenarnya sangat mirip dengan hakikat gereja, yaitu sebagai konteks orang berbagi kehidupan. Mohamad Hasan Basri meneliti potensi agama-agama dalam menyediakan pijakan bersama bagi pembangunan konsep “konsumsi hijau” yang merupakan bagian dari kepedulian terhadap lingkungan hidup. Woro Indyas Tobing menyoroti bangkitnya kesadaran akan spiritualitas bisnis dan mengaitkannya dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan yang akhir-akhir ini menarik perhatian banyak kalangan. Sepky Mardian mengakhiri rangkaian tulisan dalam buku ini dengan studi komparatifnya tentang “shari’a compliance” pada bank-bank Islam dan bank-bank konvensional. Yeremias Yena melihat kecenderungan dalam dunia periklanan yang bergeser dari penyediaan informasi ke manipulasi kebutuhan konsumen. Ia menggarisbawahi peran Gereja Katolik dalam mengedukasi masyarakat

12 Bisnis dan Agama untuk bersikap kritis dan menjadi konsumen yang bertanggungjawab secara moral. Endang Mirasari menyoroti aspek “branding” dalam iklan kondom Fiesta dan mengusulkan perspektif etika Islam sebagai pijakan kritis atasnya. Dengan menyajikan pandangan-pandangan dari berbagai segi, aspek dan faktor di atas, buku ini diharapkan menjadi sebuah pemicu bagi kajian etika bisnis religius yang lebih mendalam dan lebih luas, khususnya dalam merespon konteks bisnis Indonesia yang sedang berkembang pesat. Kajian etika bisnis religius tidak boleh mandeg agar layak diperhitungkan oleh dunia bisnis yang serba dinamis. Yogyakarta, Mei 2013

1 Etika Bisnis menurut Islam (Suatu Telaah Material-Immaterial Oriented) Hamam Burhanuddin

Abstract Islam places business ethics and good business practices under Islamic law. Business ethics will allow each side in a business relationship to feel comfortable and calm, trusting the other. Business ethics in Islam is presented in the framework of Islamic business law, which normally is referred to as muamalah. Economic activity aims at satisfying the requirementsof life for human kind. It has certain rules relating to trade (baiy), borrowing (ariyah), debt, investment (mudharabah), business cooperation (partnership), the use of guarantees (rahn), the transfer of debt (hiwalah) and many other kinds of transaction. Business in an Islamic perspective must be compatible with Syariah values and be carried out professionally. The purposes of business are not only material but also spiritual or immaterial. Business has two dimensions: vertical and horizontal. The Qur’an therefore offers businessmen the concept of business without loss (tijaratan lan taburra): even when they make a loss financially, they may still make a profit in the form of religious rewards. Business can only be conducted in this fashion by observing carefully the vertical and horizontal dimensions of business in Islam. Keywords:Business, Islam, material, immaterial

14 Bisnis dan Agama Pendahuluan Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme. Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations.1 Di samping itu, iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara maksimal.2 Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagaimana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat. 1 Adiwarman Karim, Ekonomi Islam. Suatu Kajian Ekonomi Makro (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 3-7. 2 Maxime Rodinson, Islam dan Kapitalisme, terj. Asephikmat (Bandung: Iqra’, 1982).

Etika Ekonomi Menurut Islam 15 Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problemproblem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi baik kapitalisme maupun sosialisme, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang niscaya untuk dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, tulisan ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil, dimana pelaku bisnis tidak hanya berorientasi pada hal material tetapi juga immaterial. Konsep Etika Bisnis Menurut Islam Pengertian Etika Bisnis Menurut Franz Magnis-Suseno (1999) etika3 merupakan salah satu 3 Dataran etika normatif (teoritis). Disini ada beberapa kelompok pemikiran.(1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu.Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta, Gramedia,1996),1087).Termasuk dalam kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan sipelaku pada kebahagiaan tertinggi. (Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogya, Kanisius, 1997), 30). Tokoh utamanya adalah Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan pribadi sipelaku. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 180). Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang lain. Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). (2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan melainkan padaperbuatan itu sendiri,dengan merujuk pada aturan perilaku formal, dimana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau apriori.(Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung, Rosda Karya, 1995), 102). Misalnya, berbohong adalah jelek, karena perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). (3)Relativisme, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu, sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda. Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrho, Westermack, Joseph Fletcher dan kaum skeptis.(4) Nihilisme, suatu paham yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satupun yang bisa digunakan sebagai patokanetis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900), Schopenhauer dan Giorgias.(5)Universalisme, bahwa apa yang dianggap baik oleh seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi yang sama. Misalnya,

16 Bisnis dan Agama disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia. Tim Penulis Rasda Karya (1995) mendefinisikan etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani  ethikos  mempunyai beragam arti:  pertama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lainlain.  Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral.4 jika A tidak boleh mencuri dalam situasi tertentu, maka B, C, D dan seterusnya juga tidak boleh mencuri dalam situasi yang serupa. Kedua, etika dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat (sosial).Ini lebih bersifat praktis dan langsung menjawab persoalan yang timbul, terbagi dalam tiga pemikiran. (1) Dalam kaitannya dengan hukum sosial, etika membahas persoalan seperti, euthanasia, aborsi, pengawasan senjata, kebebasan berbicara,tentang hak kepemilikan dan perlindungan satwa. (2) Dalam hubungannya dengan perannegara, etika berbicara tentang kebebasan, hak azazi manusia (HAM), demokrasi dan keadilan. (3) Dalam kaitannya antara hak dan kewajiban, etika membahas persoalan keadilan dan hak-hak pribadi. Ketiga, etika dalam hubungannya dengan hukum (law). Dalam hal ini muncul berbagai teori. Antara lain, (1) Teori hukuman (punishment), bahwa yang berbuat salah mesti dihukum, bisa berupa pemberian ganti rugi (retribution), memberi balas jasa (restitution), atau memberi manfaat pada yang dizalimi (utilitarian). (2) Teori tanggung jawab (responsibility), bahwa siapa yang berbuat harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Di sini berkaitan dengan, apakah tindakan tersebut dilakukan karena tidak-tahu, adanya paksaan atau tekanan, atau karena kesalahan semata. (3) Teori kesengajaan berbuat (intentionalacts) dan ketidak sengajaan bertindak (unintentionalacts), bahwa berkaitan dengan hukum, perlu dilihat apakah tindakan tersebut disengaja (direncanakan) atau tidak direncanakan. (John Hospers, An Introduction to Philosophical Analysis, 383-398). 4 Dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusan moral. Ada tiga kelompok pemikiran dalam masalah ini. (1) Antara ekspresi dan tuntutan (assertion). Menurut kelompok ini, sebuah tindakan adalah wujud dari ekspresi langsung dari pelaku atau sikap yang tanpa harus dipikir lebih dulu. Artinya, sumber keputusan moral adalah reaksi langsung, insting dan gharizah tanpa berkaitan dengan kondisi lingkungan (lokus dan tempus). Sebaliknya, menurut yang lain, sumber tindakan moral adalah adanya tuntutan dari lingkungan, misalnya, sikap ketika menghadap raja berbeda dengan ketika menghadapi bawahan. (2) Antara pernyataan dari rasa pelaku (personaltaste) dan pilihan-pilihan yang dihadapi pelaku (personalpreference). Menurut kelompok ini, sumber tindakan moral bukan gharizah atau kondisi tertentu melainkan pada perasaan yang bersangkutan. Sebaliknya, lawan kelompok ini menyatakan sebuah tindakan dilakukan setelah seseorang mempertimbangkan berbagai alternatif. Artinya, sumber keputusan moral adalah rasio setelah mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada. (3) Antara subjektif dan objektif. Menurut kelompok ini, moralitas lebih merupakan penilaian subjektif pelaku. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk, itu adalah subjektif. Sebaliknya, menurut yang lain, moralitas adalah objektif, sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, ketika seseorang menyatakan meja itu hijau, adalah karena kondisi riil meja adalah hijau lihat John Horpers, an Introduction to Philosophical Analysis (London, Reuledge, 1996),338-341.lihat juga Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung, Rosda Karya, 1995), 102.

Etika Ekonomi Menurut Islam 17 Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga;  Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik.  Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk Dari beberapa definisi di atas dapat penulis tarik pemahaman dan memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Sedangkan secara umum bisnis5 diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.6 Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”. Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barangbarang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.7 Dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas 5 Bisnis dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya.Pada masa awal sebelum uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual. Dan aktivitas perdagangan ini merupakan kegiatan utama dalam sistem ekonomi yang diterjemahkan sebagai sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa (Wikipidia/bisnis.com). 6 Muslich, Etika Bisnis Islami. Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004),46. 7 Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press,2002),15.

18 Bisnis dan Agama bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).8 Pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah Swt melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki Nya...”9 8 Dalam pandangan Islam bisnis merupakan aspek kehidupan yang dikelompokkan kedalam masalah muamalah, yakni masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan manusia.Meskipun demikian, sektor ini mendapatkan penekanan khusus dalam ekonomi Islam, karena keterkaitannya secara langsung dengan sektorriil.Sistim ekonomi Islam memang lebih mengutamakan sektorriil dibandingkan dengan sektor moneter, dan transaksi jual beli memastikan keterkaitan kedua sektor yang dimaksud. Keutamaan sistem ekonomi yang mengutamakan sektor riil seperti ini, pertumbuhan bukanlah merupakan ukuran utama dalam melihat perkembangan ekonomi yang terjadi,tetapi pada aspek pemerataan, dan ini memang lebih dimungkinkan dengan pengembangan ekonomi sektor riil. Dalam Islam kegiatan perdagangan itu haruslah mengikuti kaidah-kaidah dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.Aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuanketentuan yang digariskan oleh agama mempunyai nilai ibadah. Dengan demikian,selain mendapatkan keuntungan-keuntungan materiil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, seseorang tersebut sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Usaha perdagangan yang di dalamnya terkandung tujuan-tujuan yang eskatologis seperti ini dengan sendirinya mempunyai watak-watak khusus yang bersumber dari tata nilai samawi. Watak-watak yang khusus itulah merupakan ciri-ciri dari perdagangan yang Islami sifatnya, dan ini tentu saja merupakan pembeda dengan pola-pola perdagangan lainnya yang tidak Islami. Watak ini menjadi karakteristik dasar yang menjadi titik utama pembeda antara kegiatan perdagangan Islam dengan perdagangan lainnya, yaitu perdagangan yang dilakukan atas dasar prinsip kejujuran, yang didasarkan pada system nilai yang bersumber dari agama Islam, dan karenanya di dalamnya tidak dikenal apa yang disebut zero sumgame, dalam pengertian keuntungan seseorang diperoleh atas kerugian orang lain. Dengan kejujuran dan aspekspiritualyang senantiasa melekat pada praktek-praktek pelaksanaannya, usaha perdagangan yang terjadi akan mendatangkan keuntungan kepada semua pihak yang terlibat. Perdagangan yang dilakukan dengan cara yang tidak jujur, mengandung unsur penipuan (gharar), yang karena itu ada pihak yang dirugikan,dan praktek-praktek lain sejenis jelas merupakan hal-hal yang dilarang dalam Islam. Ibid.,18. 9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:1990), QS. Al-Mulk (67):15

Etika Ekonomi Menurut Islam 19 “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber-sumber) penghidupan...”10 Etika Bisnis Menurut Islam Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970-an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980-an dan menjadi fenomena global di tahun 1990-an jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang membicarakan masalahmasalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya. Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: “Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggung jawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.11 10 QS. Al-A’raf (7):10, Diantara sumber-sumber daya yang diserahkan kepada manusia antaralain adalah; hewan (an-Nahl: 5, 66, 68-69), tumbuh-tumbuhan (an-Nahl:67), kekayaan laut (an-Nahl:14), kekayaan bahan tambang (al-Hadid: 25, al-Kahfi: 96-97). 11 M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), 262.

20 Bisnis dan Agama Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, di mana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya “Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji”, “pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada” (Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal” Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits). Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: AlMaidah;1), “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta

Etika Ekonomi Menurut Islam 21 pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah “Tanda-tanda munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat” (Hadits). Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, sehingga seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan ketidakadilan dilarang, yaitu: Talaqqirukban  dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari daerah pinggiran atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini (entry barrier), akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif. 2. Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang, karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit. 3. Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk. 1.

4.

5.

6.

Transaksi  Najasy  dilarang, karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik. Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Ghaban Fahisy dilarang, karena menjual di atas harga pasar.12

Landasan Normatif Etika Bisnis Menurut Islam Pertama, tauhid (kesatuan). Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada 12 Anas Zarqa, “Qawaid al-Mubadalat fi al-Fiqh al-Islami”, Reviewof Islamic Economics 1.2 (Leicester: International Association for Islamic Economics, 1991).

22 Bisnis dan Agama Allah semata. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus terpadu dengan alam luas.13 Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal:14 (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama.15 (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai.16 (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.17 Kedua, keseimbangan (Keadilan). Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan.18 Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis.19 Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu

13 Syed Nawab Naqvi, Ethics and Economics. An Islamic Synthesis, telah diterjemahkan oleh Husin Anis, Etika dan Ilmu Ekonomi. Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 1993), 50-51. 14 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997), 20-23. 15 QS. Al-Hujurat (49): 13. 16 QS. Al-An’am (6): 163. 17 QS.Al-Kahfi(18):46. 18 Muslich,op.cit.,37. 19 Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 13.

Etika Ekonomi Menurut Islam 23 yang dapat membinasakan diri.20 Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar.21 Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.22 Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.23 Ketiga, Kehendak Bebas. Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada.24 Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai 20 21 22 23 24

QS. Al-Baqarah (2):195. QS. Al-Isra (17):35. QS. Al-Furqan (25):67-68,72-73. Syed Nawab Naqvi, op. cit.,99. Rafik Issa Beekun, op. cit.,24.

24 Bisnis dan Agama bentuk risiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa.25 Keempat, Pertanggungjawaban. Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an” Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.26 Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya mesti memiliki batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor hukum, norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi, riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan.27 Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economicreturn bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan dengan istilah gharar (penipuan).28 25 26 27 28

Muslich, op. cit.,h. 42, Lihat QS. An-Nisa (4):85, QS.Al-Kahfi (18):29. QS. Al Mudassir (74): 38. Muslich, op.cit., 43. Syed Nawab Naqvi, op.cit., 103.

Etika Ekonomi Menurut Islam 25 Telaah Etika Bisnis Islam Material – Immaterial Oriented Agama pada dasarnya dapat menjadi dinamisator bagi masyarakat dalam menjalankan berbagai aktivitas baik secara individu maupun kelompok. Dengan demikian orang yang beragama akan mempunyai sikap mental tertentu dan beragam sesuai dengan ajaran yang didalaminya dan tingkat pemahaman yang dimiliki terhadap ajaran tersebut. Ada beberapa contoh perilaku masyarakat yang kurang produktif akibat dari pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran agama. Seperti adanya suatu kecenderungan di sebagian umat Islam yang bersikap pasrah atau menyerah kepada nasib. Hal ini barangkali ada hubungannya dengan suatu aliran teologi jabariah yang percaya bahwa semua tindakan dan perilaku manusia sudah ditentukan oleh Tuhan.29 Begitu juga pemahaman zuhud yang menimbulkan satu sikap hidup yang kurang menghargai sesuatu yang bersifat material dan cenderung orientasinya hanya ke akhirat saja dan tidak peduli kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan kemajuan-kemajuan ekonomi.30 Padahal jika ajaran-ajaran tersebut dipahami dengan benar akan menghasilkan sikap yang positif. Seperti paham pasrah misalnya, dalam Islam ada ajaran tawakkal. Ajaran ini ketika dipahami dengan benar maka akan melahirkan sikap mental yang luar biasa, bukan sikap pasif yang tidak produktif. Percaya kepada takdir ternyata banyak melahirkan entrepreneur Muslim yang handal, berani menanggung resiko hidup. Sedang banyak orang yang katanya modern justru bermental priyayi yang tidak mempunyai ketahanan pribadi dan ketahanan jiwa. Sikap zuhud juga sangat penting bagi para pengusaha, karena pola hidup orang-orang sukses yang berkembang dari pedagang kecil menjadi orang kaya, dan hidupnya tetap sederhana, ternyata kesederhanaan itu merupakan kunci dari kesuksesannya. Hidup sederhana bagi pengusaha tradisional telah menimbulkan sikap hemat, tidak boros, sehingga bisa mempunyai tabungan dan 29 A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna1, 1987), 63. 30 M. Dawam Raharjo, op cit., 262.

26 Bisnis dan Agama kemudian diinvestasikan lagi. Di samping tidak ingin berfoya-foya, ia juga ingin bersikap jujur. Sikap jujur itu juga menimbulkan etos untuk mempertahankan kualitas dan tidak menipu kualitas dalam produk yang dibuat.31 Sedang kepercayaan kepada akhirat dapat menimbulkan sikap tertentu, yaitu sikap bertanggungjawab. Orang yang tidak percaya kepada akhirat maka tidak percaya juga dengan pahala dan dosa, lalu tidak ada motivasi untuk berbuat baik, karena berbuat benar atau salah sama saja.32 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa jika terjadi hubungan sinergi antara aspek keagamaan dengan ekonomi akan menghasilkan perilaku positif yang dapat mendorong produktifitas. Bukan sebaliknya seperti apa yang dipahami sebagian orang bahwa Islam menghambat kemajuan-kemajuan ekonomi. Sejarah membuktikan bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad telah mampu mengubah keadaan masyarakat. Perubahan yang dilakukan juga tetap menjaga kearifan lokal di mana nilai-nilai yang positif atau netral yang sudah ada pada zaman sebelum Islam tidak dihancurkan, bahkan “dihidupkan” dengan warna baru dalam konteks budaya Islami. Konsep mudharabah misalnya, ia telah ada sejak sebelum Islam, tetapi setelah Islam datang mudharabah masih diperbolehkan dengan batasanbatasan yang sesuai dengan kaidah Islam.33 Begitu juga dengan budaya komersial yang ada di kota Mekah. Menurut telaah Keneth Cragg dalam bukunya “The event of the Qur’an”, kitab suci kaum muslimin itu banyak mempergunakan istilah-istilah perdagangan untuk menjelaskan istilah-istilah keagamaan.34 Bahkan al-Qur’an juga memberi petunjuk langsung mengenai perdagangan, misalnya dalam menganjurkan dipakainya sistem pembukuan yang jelas dan jujur dalam perjanjian hutang piutang.35 Demikian juga perintah untuk mempergunakan takaran atau standar dalam perdagangan.36 31 Yusuf Al-Qardhawi, Karakteristik Islam. Kajian Analitik (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), 12 32 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 236. 33 Taqyuddin An-Nabhani Membangun Sistem Ekonomi Alternatif dalam Perspektif Islam, terj. Maghfur Wachid (Surabaya: Risalah gusti, 1996), 161. 34 M. Dawam Rahardjo, op.cit., 311. 35 QS.Albaqarah(2):282. 36 QS.Al-Isra(17):35.

Etika Ekonomi Menurut Islam 27 Ketika Islam datang, budaya komersial sudah berkembang dengan pesat di kota Mekah, sehingga Mekah pun layak disebut sebagai kota dagang. Namun perdagangan yang terjadi pada saat itu banyak yang mengandung unsur-unsur penipuan dan kecurangan, seperti praktek riba dan modelmodel jual beli yang dilarang di dalam Islam.37 Islam datang bukan untuk menghancurkan budaya komersial itu, tetapi untuk menertibkannya. Bahkan Muhammad juga berusaha membawa masyarakat Badui yang masih primitif kepada taraf kebudayaan yang lebih tinggi dengan melakukan penertiban melalui penanaman etika baru, dan sistem distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.38 Revolusi Industri juga tidak terjadi begitu saja dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt, melainkan didahului oleh berbagai peristiwa. Heilbroner mengatakan bahwa orang-orang Eropa banyak belajar perdagangan dari kaum muslimin melalui perang salib. Ahli sejarah Belanda, Jan Romein juga mengatakan bahwa orang Eropa banyak belajar dari kaum muslimin tentang barang-barang industri. Komoditi industri dalam perdagangan dunia saat itu dinyatakan dalam kata-kata Arab. Dunia Islam pada abad pertengahan merupakan bagian dunia yang maju, berbeda dengan keadaan Eropa yang mandeg. Salah satu bentuk kemajuan itu, selain dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, juga dalam bidang ekonomi.39 Ada beberapa terma dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep bisnis dalam Islam. Diantaranya adalah kata :al Tijarah, al-bai’u,tadayantum, dan isytara. Terma tijarah, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajranwa tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. At-tijaratunwalmutjar; perdagangan atau perniagaan, attijariyyu wal mutjariyyu; yang berarti mengenai perdagangan atau perniagaan.40

37 38 39 40

Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 99. Dawam Raharjo, op. cit.,312. Ibid., 314. Kamusal-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), 139.

28 Bisnis dan Agama Dalam al-Qur’an terma tijarah ditemui sebanyak delapan kali dan tijaratuhum sebanyak satu kali. Bentuk tijarah terdapat dalam surat alBaqarah (2): 282, an-Nisa (4): 29, at-Taubah (9): 24, an-Nur (24): 37, Fatir (35): 29, as-Shaff (61): 10, pada surat al-Jum’ah (62): 11 (disebut dua kali). Adapun Tijaratuhum pada surat al-Baqarah (2): 16.41 Dalam penggunaan kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. Hal ini menarik dalam pengertian-pengertian ini, dihubungkan dengan konteksnya masing-masing adalah pengertian perniagaan tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat material atau kuantitas, tetapi perniagaan juga ditujukan kepada hal yang bersifat immaterial kualitatif. Al-Qur’an menjelaskan: Katakanlah jika Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istriistri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan Allah maka tungguhlah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.42 Wahai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.43 Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang petunjuk transaksi yang menguntung­kan dan perniagaan yang bermanfaat, sehingga pelakunya akan 41 Fu’adAbdulBaqi,Mu’jamal-Mufahrasy(Kairo:DarulFikr,1981),152 42 Departemen Agama RI, op. cit.,QS. At-Taubah (9):24. 43 Ibid., QS. As-Shaff (61): 10-11

Etika Ekonomi Menurut Islam 29 mendapatkan keuntungan besar dan keberhasilan yang kekal. Perniagaan dimaksud adalah tetap dalam keimanan, keikhlasan amal kepada Allah dan berjihad dengan jiwa dan harta dengan menyebarkan agama dan meninggikan kalimat-Nya.44 Dari pemahaman di atas dapat diambil pemaknaan bahwa prilaku bisnis bukan semata-mata perbuatan dalam hubungan kemanusiaan semata tetapi mempunyai sifat Ilahiyah. Adanya sikap kerelaan diantara yang berkepentingan, dan dilakukan dengan keterbukaan merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat keharusan dalam bisnis. Jika ciri-ciri dan sifat-sifat di atas tidak ada, maka bisnis yang dilakukan tidak akan mendapat keuntungan dan manfaat. Ayat-ayat di atas jelas memperlihatkan hakikat bisnis yang bukan semata-mata material, tetapi juga immaterial. Adapun terma bai’ dari kata ba’a, terdapat dalam al-Qur’an dalam berbagai variasinya. Baya’tum, yubayi’naka, yubayi’una, yubayi’unaka, fabayi’hunna, tabaya’tum, bai/, bibai’ikum, biya’un. Dari kata-kata tersebut yang paling banyak digunakan adalah kata bai’, yaitu sebanyak enam kali dan yubayi’unaka sebanyak dua kali. Adapun kata-kata lainnya masing-masing disebutkan satu kali.45 Al-bai’u berarti menjual, lawan dari isytara46 atau memberikan sesuatu yang berharga dan mengambil dari padanya suatu harga dan keuntungannya. Terma bai’un dalam al-Qur’an digunakan dalam dua pengertian: Pertama, jual beli dalam konteks tidak ada jual beli pada hari qiamat, karena itu al-Qur’an menyeru agar membelanjakan, mendayagunakan dan mengembangkan harta benda berada dalam proses yang tidak bertentangan dengan keimanan dan bertujuan untuk mencari keuntungan yang dapat menjadi bekal pada hari kiamat.47 Kedua, al-bai’u dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau mengembangkan harta benda dengan jalan riba.48 44 30 45 46 47 48

Musthafaal-Maraghi, Tafsiral-Maraghi, terjemahan Bahrun Abu Bakardkk., jilid 28, 29, (Semarang: PT Toha Putra, 1993), 145-146. Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Mufahrasy, Op. cit, 141. Kamusal-Munawwir, op.cit.,134. Lihat QS. Al-Baqarah (2):254 Lihat QS. Al-Baqarah (2):275

30 Bisnis dan Agama Kemudian al-Qur’an menggunakan terma Isytara. Kata isytara dengan berbagai ragamnya sebanyak dua puluh lima kali. Dalam bentuk isytara disebut satu kali, isytaru tujuh kali, yasytarun lima kali, tasytaru dua kali, dan syarau, syarauhu, yasyruna, yasyri, yasytari, yasytaru masing-masing satu kali.49 Secara umum kata isytara dan berbagai ragamnya lebih banyak mengandung makna transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi sesama manusia yang dilakukan karena dan untuk Allah, atau juga transaksi dengan tujuan keuntungan manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat Allah.50 Selain itu al-Qur’an juga menggunakan terma tadayantum yang disebutkan satu kali yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Ayat ini digunakan dalam pengertian muamalah yakni jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya yang jika dilakukan tidak secara tunai hendaknya pencatatan dengan benar.51 Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa terma bisnis dalam al-Qur’an baik yang terambil dari terma tijarah, al-bai, isytara, tadayantum, pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material, tetapi juga immaterial. Untuk itu pelaku bisnis harus sealu menjaga profesionalisme terhadap sesama dan menjaga ketaatan terhadap Allah Swt. Dalam konteks inilah al-Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bursa yang tidak pernah mengenal kerugian, yaitu tijarahlan tabura.52 Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan imbalannya mereka memperoleh surga.....Siapakah 49 Fu’ad Abdul Baqi, op.cit.,381 50 Seperti beberapa ayat berikut: QS. at-Taubah (2): 111 digunakan dalam pengertian membeli dalam konteks Allah membeli diri dan harta orang-orang mukmin, QS. AlBaqarah (2): 16; membeli kehidupan duniadengankehidupan akhirat, QS. Al-Baqarah (2): 86; menjual diri dengan kekafiran, QS. Al-Baqarah (2): 90; membeli kesesataan dengan petunjuk, QS. Al-baqarah (2): 175; menukar iman dengan kekafiran, QS. AliImran (3): 177, 187; menukar ayat Allah dengan harga yang sedikit. 51 QS. Al-Baqarah (2): 282 52 Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an 3/ VII/97,5.

Etika Ekonomi Menurut Islam 31 yang lebih menepati janjinya (selain) Allah, maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu, itulah kemenangan yang besar.53 Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama: (1) target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan.54 Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya. Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimahmadiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimahinsaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimahruhiyah. Dengan qimahinsaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimahkhuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.55 Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai 53 QS. At-Taubah (9):111. 54 Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, op.cit.,18. 55 Ibid.,19.

32 Bisnis dan Agama dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat exis dalam kurun waktu yang lama. Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan bernilai ibadah.56 Penutup Konsep bisnis dalam Islam banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dengan menggunakan beberapa terma, seperti; tijarah, al-bai, isytara dan tadayantum. Dari kesemua term tersebut menunjukkan bahwa bisnis dalam perspektif Islam pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material yang tujuannya hanya semata-mata mencari keuntungan duniawi, tetapi juga bersifat immaterial yang tujuannya mencari keuntungan dan kebahagiaan ukhrawi. Untuk itu bisnis dalam Islam disamping harus dilakukan dengan cara profesional yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses manajemen dan administrasi agar terhindar dari kerugian, ia juga harus terbebas dari unsur-unsur penipuan (gharar), kebohongan, riba dan praktek-praktek lain yang dilarang oleh syariah. Karena pada dasarnya aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan antar sesame manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah. Dalam konteks inilah al-Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bisnis yang tidak pernah mengenal kerugian yang oleh al-Qur’an diistilahkan dengan “tijaratan lan tabura”. Karena walaupun seandainya secara material pelaku bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung karena mendapatkan pahala atas komitmenya dalam menjalankan bisnis yang sesuai dengan syariah.

56 Ibid.,20.

Etika Ekonomi Menurut Islam 33 Daftar Pustaka Al-Maraghi, Musthafa, Tafsir al-Maraghi, terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk., jilid 28, 29, 30, (Semarang: PT Toha Putra, 1993). Al-Qardhawi, Yusuf, Karakteristik Islam: Kajian Analitik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994). An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif dalam Perspektif Islam, terj. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah gusti, 1996). Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996). Baqi, Fu’ad Abdul, Mu’jam al-Mufahrasy, (Kairo: Darul Fikr, 1981). Beekun, Rafiq Issa, Islamic Business Ethict, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997). Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: 1990). Fauroni, Muhammad dan Lukman, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002). http//www:Wikipidia/bisnis.com Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984). Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002). Muslich, Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif, (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004). Naqvi, Syed Nawab, Ethict and Economics: An Islamic Syntesis, telah diterjemahkan oleh Husin Anis: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 50-51. Raharjo, Dawam, Islam danTransformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999). Rodinson, Maxime,  Islam dan Kapitalisme,  terj. Asep hikmat, (Bandung: Iqra’, 1982). Shihab, Quraish, Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an, Jurnal Ulumul Qur’an, No 3/VII/97. Suseno, Franz Magnis 13 Tokoh Etika, (Yogya, Kanisius, 1997). Syafe’i, Rachmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia,2000). Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung, Rosda Karya, 1995). Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002). Zarqa, Anas, “Qawaid al-Mubadalat fi al-Fiqh al-Islami”Review of Islamic Economics.  Vol. 1 no. 2. (Leicester: International Association for Islamic Enonomics, 1991).

2 Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam Zakiyudin Baidhawi

Abstract: Poverty and impoverishment in the world continue to increase as a result of defective systems of distributive justice. The principles underlying contemporary economics did not succeed in allocating and distributing resources justly. This study aims to describe the Islamic response to the problem of distributive injustice and how the state necessarily plays a role in upholding distributive justice. Using a thematicinduction method and synthetic analysis, the study reaches the following findings. Firstly, Islam formulates three principles of distributive justice: the distribution of natural and the environmental resources in the framework of participation; the redistribution of income and wealth as a joint responsibility in achieving social security and increasing the capacity and powerof the disadvantaged; and the role of the state as complementary to the ethical market in order to guarantee a sense of justice and the achievement of public welfare. Secondly, according to Islam, the redistribution of income and wealth aims to create social security by fulfilling the basic needs for the poor; strives to increase their capacity through education and training in skills; and improves their bargaining position through their participation in making and implementing decisions that are linked with their interests. Thirdly, the purpose of establishing justice is to achieve both individual and public welfare and happiness (al-falah). Keywords: Economic justice; Islam; contemporary economy; sense of happiness

36 Bisnis dan Agama Pendahuluan Ketidakadilan ekonomi merupakan problem universal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistemsistem semacam itu biasanya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif. Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Dengan tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan, pendapatan tidak didistribusikan secara merata, sebab ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan berkaitan dengan akses yang tidak adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok berpendapatan tinggi memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara inikonfigurasi barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem pasar tidak selaras dengan keinginan mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai wajar dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi dengan argumen bahwa seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan situasi ini merupakan “kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat” (Soule, 1952: 53). Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 37 ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas (Furniss dan Tilton, 1977: 42). Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian, negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari sarana-sarana produksi masih tetap, karena pusat kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran Marx sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni ketika pekerjaan terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan pekerja terasing dari pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain (Marx, 1961: 67-83). Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri, masih hidup. Sistem keadilan Negara Sejahtera merupakan langkah maju dari Kapitalisme.Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme.Sistem ini cukup menarik semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan

38 Bisnis dan Agama individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui full employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi dan full employment –subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin (Bruce, 1968). Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalisation mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme. Sejak 1970an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebasdari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan. Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggaris bawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 39 deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual (Fakih, 2003: 54-58). Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera,dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasisecara langsung dan menangani sumber masalahnya bukan hanya dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya. Keterbatasan teori-teori keadilan kontemporer Sistem-sistem ekonomi yang telah disebut di muka – Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme – pada hakikatnya bersandar kepada paham tertentu mengenai keadilan. Perdebatan tentang keadilan itutelah melahirkan sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya memiliki cita-cita dan pandangan yang samatentang keinginan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang tepat tentang keadilan. Teori-teori keadilan yang menjadi landasan pijak sistem-sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertarian. Lihat prinsip-prinsip dari teori-teori keadilan di atas dan perbandingannya pada tabel 1. Memerhatikan prinsip-prinsip dari enam teori keadilan di atas terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang memuaskan untuk menjawab persoalan-persoalan ketidakadilan secara komprehensif.

40 Bisnis dan Agama Beberapa keterbatasan dapat disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam masalah sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan bukan merupakan problem penting keadilan. Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu aspek semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung,dan tidak adasubsidi bagi mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat? Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas perbedaan antar orang per orang dan atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan kompetisi,pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung?

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 41 Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana ketidak samaan diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaantidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir,hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari perhatian. Prinsip-prinsip alternatif dalam kepemilikan Isu pertama dalam prinsip-prinsip keadilan kontemporer menyangkut kepemilikan. Bersama-sama dengan asumsi-asumsi kebebasan dan kompetisi, Adam Smith sebagai penggagas Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self-interest) sebagai basis kepemilikan. Asumsi ini oleh Libertarianisme dijadikan prinsip pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Berbeda dari Liberalisme Klasik dan Libertarianisme, Prinsip Egalitarianisme Radikal mengedepankan kepemilikan bersama, dan konsekuensinya mengabaikan kepemilikan pribadi dan mengekang kebebasan individu. Dua prinsip keadilan tersebut menemukan jalan buntu dalam memecahkan tarik ulur antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif atau sosial. Kepemilikan merupakan subjek penting dalam kerangka keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak kepemilikan adalah prasyarat untuk berhubungan dengan dan melakukan transaksi atas kekayaan. Postulat alQur’an tentang kepemilikan menyatakan: Allah Maha Memiliki segalanya, langit, bumi dan beserta isinya (Saba’ 34:22); Allah adalah pemilik manfaat dan mudharat, kehidupan, kematian dan kebangkitan (al-Furqa>n 25:3);

42 Bisnis dan Agama Allah juga yang memiliki rezeki untuk semua makhluk (al-`Ankabut 29:17). Postulat di atas menegaskan “posisi awal” bahwa seluruh sumber daya adalah hak mutlak Allah. Proposisi ini merupakan antitesis dari dua prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Prinsip Libertarianisme. Prinsip keadilan pertama menyatakan setiap orang memiliki dirinya sendiri. Manusia adalah pemilik dirinya sendiri, karena itu ia memiliki kebebasan mutlak untuk mengupayakan dan memenuhi kepentingan-kepentingannya sendiri tanpa harus peduli pada kepentingan-kepentingan orang lain. Secara hakiki, proposisi ini mengandung problem ontologis dari perspektif al-Qur’an. Yakni, proposisi ini tidak menjawab masalah krusial tentang asal dan tujuan (sangkan-paran) dari segala ciptaan yang ada di alam semesta. Proposisi ini juga mencerminkan bias antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari semesta raya. Karena ketidakjelasan asal, maka proposisi ini juga tidak memberikan arah yang tegas tentang dimensi teleologis dari semua ciptaan, termasuk tujuan manusia sendiri. Bias antroposentris mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan akhir. Prinsip keadilan kedua menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki siapa pun. Proposisi ini jelas merupakan kebalikan dari postulat keadilan dalam al-Qur’an tentang kepemilikan primordial atas segala sesuatu. Dengan menyadari posisi awal dari kepemilikan sesungguhnya atas sumber daya, bahkan manusia sendiri, al-Qur’an meletakkan kepemilikan manusia dalam proporsi temporal. Postulat ini bermaksud agar manusia sebagai homo socius and economicus menyadari peran dan fungsinya berhadapan dengan Kuasa dan Pemilik Mutlak atas segala sesuatu. Postulat al-Qur’an tentang kepemilikan di atas merupakan titik pijak untuk melahirkan rumus turunan yang disebut sebagai prinsip-prinsip fundamental kepemilikan antara lain: sumber daya adalah hak Allah (al-Hadid 57:2); sumber daya adalah amanat (al-Hadi>d 57:7); cara

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 43 memperoleh yang benar (al-Baqarah 2:215). Secara umum, pernyataanpernyataan al-Qur’an menjelaskan pengakuan dua tingkat kepemilikan, yakni kepemilikan nyata dan mutlak, dan kepemilikan terbatas dan merupakan mandat dari Pemilik Mutlak. Allah adalah pemilik sejati dan mutlak atas seluruh kekayaan (al-Nu>r 24: 42). Teori

Prinsip

Implikasi

Libertarianisme

Pada awalnya dunia ini tidak ada yang memiliki Absolutisme selfinterest Kepemilikan individu mutlak

Kepentingan diri berada di atas segalanya tidak mengenal fungsi sosial kekayaan; pajak dan retribusi sosial semacamnya merupakan perampasan atas kepemilikan pribadi; enggan menerima hak kepemilikan publik dan cenderung meminimalkan barang-barang publikuntuk kesejahteraan sosial privatisasi atas sumber daya publik dan HaKI

Egalitarianisme Radikal

Kebebasan individu dibatasi Absolutisme kepemilikan kolektif

Kepentingan kolektif sebagai panglima; negara cenderung totaliter karena akumulasi kekuasaan politik dan ekonomi; elite penguasa sebagai personifikasi negara

Etika al-Qur’an

Kepemilikan individu terbatas Kepemilikan kolektif dijamin Sumber daya bukan kepemilikan eksklusif

Ada fungsi sosial dalam kepemilikan pribadi baik melalui sarana wajib maupun sukarela; kepemilikan kolektif untuk kesejahteraan bersama; sumber daya menjadi hak bersama semua spesies makhluk hidup yang perlu dijaga kelestariannya; menolak privatisasi atas sumber daya milik publik dan HaKI atas kekayaan milik bersama masyarakat

Tabel 1 Perbandingan teori kepemilikan dan implikasinya

44 Bisnis dan Agama Sejalan dengan postulat dan prinsip-prinsip kepemilikan, al-Qur’an memperkenalkan keunikan konsep tentang kepemilikan pribadi. Ini terletak pada fakta bahwa legitimasi “kepemilikan tergantung pada usaha/kerja yang melekat padanya” (al-Nisa>’ 4:32). Al-Qur’an hadir dengan mempertahankan moderasi, keseimbangan antara dua hal, yaitu mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan untuk mengamankan distribusi kesejahteraan yang sangat luas dan menguntungkan melalui institusi-institusi yang dibangunnya. Pangkal kepemilikan publik berpijak pada ayat: “Dia Allah yang telah menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu” (al-Baqarah 2:29). Ada sumber daya alam bebas yang diciptakan Allah untuk seluruh manusia, seperti air, ruang angkasa, dan sumber daya laut. Sumber daya lain seperti mata air, hutan dan bumi, kehidupan liar, dan sumber daya bumiseperti bahan tambang, mineral, minyak bumi fosil, adalah milik kolektivitas penduduk yang tinggal di wilayah yang mengandung sumber daya tersebut, seperti dinyatakan hadis berikut: “Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslim itu beryarikat dalam tiga hal, yakni (kepemilikan) air, rerumputan (hutan) dan api (sumber energi), dan menjualnya adalah haram.Abu Said berkata, yaitu air yang mengalir” (Majah, tth., vol. 2: 826). Prinsip-prinsip alternatif dalam produksi Persoalan utama dalam perekonomian adalah bagaimana menjawab problem kelangkaan sebagai akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi yang tersedia (sumber daya, modal, tenaga kerja dan manajemen). Kebutuhan dasar manusia terbentang dari kebutuhan yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua bentuk kebutuhan tersebut merupakan sarana kehidupan yang tak terelakkan. Untuk memastikan keseimbangan dua kebutuhan tersebut, penggunaan dan penguasaan serta faktor-faktor produksi, serta proses produksi harus berada dalam kerangka keadilan.

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 45 Sumber daya alam adalah sarana utama dalam produksi guna memenuhi kebutuhan dasar manusia yang sifatnya universal (QS. Ibrahim 14: 32-33). Al-Qur’an secara meyakinkan percaya bahwa sumber daya itu tersedia dalam kadar yang “cukup” untuk memenuhi kebutuhan manusia dan seluruh makhluk non-manusia. Namun sumber dayaitu tidak dapat mencukupi keinginan-keinginan manusia yang rakus dan tanpa batas. Pandangan al-Qur’an tentang sumber daya berbeda dengan keyakinan dari Prinsip Libertarian dan Rawlsian. Kaum Libertarian percaya bahwa sumber daya alam itu tidak terbatas dan karenanya tidak penting untuk dipertimbangkan dalam faktor pembangunan dan pendapatan nasional. Dua faktor yang menentukan pembangunan dan pendapatan nasional adalah sumber daya manusia atau tenaga kerja dan modal. Sementara itu, Prinsip Rawls yang menjadi dasar bagi welfare state meyakini sumber daya itu barang langka, namun tetap tidak diperhitungkan dalam faktor-faktor pembangunan dan pendapatan nasional. Dengan demikian, dua prinsip di atas pada hakikatnya sama-sama tidak menaruh kepedulian atas faktor sumber daya sebagai bagian penting dalam menentukan kelanjutan pembangunan dan pendapatan nasional. Al-Qur’an juga mengenalkonsep tentang modal, yaknisegala sesuatu yang melibatkan campur tangan manusia (kerja, man made) dan penggunaan sumber daya alam dalam proses produksi. Secara kategoris bahwa kekayaan hasil tangan manusia sebagai modal dapat dibedakan secara bertingkat menjadi tiga tingkatan: al-Rizq:kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang masih mungkin di dalamnya terdapat unsur atau cara memperoleh yang halal dan atau haram; al-Fad}l:kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang diusahakan melalui cara-cara yang halal, inilah yang disebut sebagai “modal bebas korup”; dan al-T}ayyibah: kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang memiliki 3 indikator: dari segi substansinyaia tidak bercampur antara yang halal dan haram, tidak membahayakan jiwa dan akal, dan banyak manfaatnya.Dari segi cara memperolehnya halal. Dari segi dampaknya, ia peduli padakelestarian lingkungan, menjamin kelangsungan keanekaragaman hayati,swasembada pangan, bebas polusi

46 Bisnis dan Agama udara dan air,dan sanitasi lingkungan. Inilah yang disebut sebagai “modal bebas korup dan ramah lingkungan”. Tiga hierarki modal di muka, memperkuat prinsip al-Qur’an tentang pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak dikenal dalam prinsip keadilan manapun. Campur tangan manusia atas sumber daya sebagai faktor produksi perlu memperhitungkan secara cermat ketersediaannya secara lestari. Karena itu, modal sebagai intervensi manusia yang juga merupakan faktor produksi mesti memasukkan pertimbangan cara-cara intervensi yang benar dan memiliki dampak positif bagi lingkungan. Ketersediaan sumber daya alam tidak ada manfaatnya bila manusia sendiri tidak produktif. Sumber daya alam akan memberikan kegunaandengan daya dukung aktivitas produksi. Islam mengandaikan berbagai macam aktivitas ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dan pekerjaan dalam berbagai profesi.Secara eksplisit al-Qur’an menyebutkan istilah kerja dengan kasb (QS. al-Nisa>’ 4:32). Pekerja akan produktif jika ia memiliki etos kerja yang tercermin dalam ikhtiar (QS. al-Ra`d 13:11), yakni kebebasan manusia untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Al-Qur’an, kemudian, menegaskan bahwa manusia hidup untuk bekerja sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai pemakmur dunia. Oleh karena itu, tiada jalan yang lebih baik untuk memenuhi fungsi kekhalifahan ini melainkan berbuat ihsan, mengisi waktu dengan kerja profesional dan aktivitas produktif (QS. al-`As}r 103:1-3). Profesionalisme dan produktivitas kerja manusia juga dipengaruhi oleh motivasi intrinsik. Untuk mencapai suatu kehidupan sosial-ekonomi yang berkeadilan diperlukan motivasi individu yang benar sebagai suatu mekanisme filter yang baik. Dalam Prinsip Libertarianisme, kepentingan pribadi adalah motivasi utama bagi individu untuk memaksimalkan efisiensi sementara persaingan akan berperan sebagai pembatas kepentingan pribadi dan membantu menjaga kepentingan sosial. Libertarianisme hanya percaya bahwa keadilan dan efisiensi dapat dicapai jika dan hanya jika secara otomatis dengan mengejar

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 47 kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. Karena dua kepentingan ini tidak selalu selaras, memungkinkan orang-orang kaya untuk menyelewengkan sumber daya yang langka guna memenuhi keinginan-keinginan mereka yang tidak penting bahkan mengorbankan pemenuhan barang-barang untuk kepentingan mereka yang kurang beruntung. Prinsip Egalitarianisme Radikal mengasumsikanbahwa mengejar kepentingan pribadi mesti akan merugikan kepentingan sosial; jalan keluarnya diusulkan agar kepentingan pribadi dihapuskan dan dikontrol oleh negara untuk mengawal kepentingan sosial. Egalitarianisme mencegah individu mengejar kepentingan pribadi, ia mencerabut dirinya dari mekanisme agar individu bekerja secara efisien. Prinsip al-Qur’an secara tegas mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi tidak selalu merupakan motivasi yang buruk. Kepentingan pribadi akan berbahaya bagi masyarakat jika melampaui batas-batas kemanusiaan dan tidak diarahkan untuk menciptakan suatu masyarakat yang menjadikan persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi sebagai tujuan utamanya. Ada mekanisme yang efektif di sini dan perlu diciptakan untuk mendorong individu agar bekerja demi kepentingan masyarakat, sembari mengakui bahwa kepentingan pribadi adalah suatu keniscayaan. Keseimbangan antara dua kepentingan ini digariskan oleh al-Qur’an melalui prinsip tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (ta`a>wun `ala> al-birr wa al-taqwa>) (QS. al-Ma>’idah 5:3). Sebagai akibat perbedaan etos kerja, bakat bawaan dan ketrampilan yang diajarkan, “perbedaan” pada prinsipnya merupakan keniscayaan dan hakikat dari kehidupan alamiah yang tak bisa ditolak. Perbedaan merupakan pijakan nyata untuk menciptakan keseimbangan ekonomi. Kaya dan miskin, majikan dan buruh, pemilik dan penggarap tanah, atasan dan bawahan, adalah dua status dan fungsi dalam relasi ekonomi “kemitraan”. Yaknisuatu relasi kerjasama dan partisipasi, saling memanfaatkan untuk keuntungan bersama, (QS. al-Zukhruf 43:32) bukan hubungan atas-bawah yang berbingkai eksploitasi dan opresif. Hubungan antara tenaga kerja atau buruh dan modal selalu mewarnai kegiatan ekonomi. Hubungan keduanya sering menimbulkan konflik dan

48 Bisnis dan Agama ini sudah lama terjadi dalam dunia perekonomian. Konflik semacam ini menghasilkan dampak buruk yang rumit. Hingga kini konflik industribelum pernah diatasi secara substansial oleh Prinsip Libertarian. Sementara itu,Prinsip Egalitarianisme Radikal terlalu mengedepankanprotes dalam hubungan antara tenaga kerja dan modal. Karl Marx mengembangkan teori nilaidan surplus nilai. Menurut teori nilai, nilai komoditas apa pun merupakan hasil kaum pekerja dan karenanya produk-produknya harus dibagi secara sosial.Modal adalah sekumpulan jasa tenaga kerja pada masalalu dan menjadi hak pekerja (Marx & Engel, 1952: 85-95). Kapitalis menjual komoditas di pasar dengan harga yang sama dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam produksi. Pada saat yang sama,pekerja tetap hidup subsistens. Akibatnya, surplus nilai hanya dinikmati kaum Kapitalis. Ini tentu saja melahirkan eksploitasi tenaga kerja oleh modal (Mannan, 1980: 129-131). Persoalan ini bersumber dari kenyataan bahwa kepemilikan dan penguasaan modal hanya menjadi hak bagi kapitalis. Sementara tenaga kerja tidak berpatisipasi dalam proses penguasaan faktor-faktor produksi. Tenaga kerja sebagai bagian dari faktor produksi tidak dihitung sebagai penyertaan modal oleh kaum Kapitalis. Karenanya eksploitasi tidak dapat terelakkan. Al-Qur’an mencoba memberikan solusi atas konflik industri berbasis relasi tenaga kerja dan modal melalui prinsip kemitraan yang termanifestasi dalam dua bentuk kerjasama, yakni musharakah dan mudarabah. Dua bentuk kerjasama ini pada dasarnya merupakan cerminan dan manifestasi dari prinsip keadilan (`adl), altruisme (ihsan) dan meritokrasi (nasib) (QS. al-Nahl 16:90). Keadilan juga harus menjadi kerangka proses produksi. Oleh karena kebutuhan harus terus tersedia sepanjang masa, proses produksi perlu mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi, utamanya kelestarian sumber daya alam yang dapat menjamin kesinambungan spesies manusia dan nonmanusia. Ekologi, dengan demikian, perlu berada di dalam kalkulasiaktivitas produksi, dan aktivitas ekonomi pada umumnya. Rasionalitas ini menyadarkan bahwa efisiensi dalam aktivitas produksi adalah terbatas dan bergantung kepada kondisi-kondisiyang berada di luar ekonomi itu sendiri.

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 49 Karena itu, al-Qur’an menegaskan relasi yang seimbang (tawazun) antara manusia dan alam. Alam bukanlah proyek promothean (seperti prinsip Libertarian), yangmenjadi “objek” bagi manusia (QS. al-An`am 6:38); Bumi ini diciptakan menjadi hak bagi semua komunitas makhluk yang ada di dalamnya (QS. al-Rah}ma>n 55:10). Mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan serta hak-hak ekologis dari spesies di luar manusia, proses produksi yang melibatkan teknologi perlu memperhatikan kelestarian dan mempertahankan keseimbangan ekologis yang dibutuhkan untuk kehidupan dan memihak kepada perkembangan dan otonomi dari individu-individu dan komunitas-komunitas yang bersifat ramah lingkungan. Al-Qur’an menyebutnya dengan ungkapan “bersyukur”, agar negeri yang damai dan sejahtera, baldah tayyibah (QS. Saba’ 34:15), dapat menjadi kenyataan. Teori Berbasis Balasan Egalitarianisme Radikal

Libertarianisme

Prinsip Setiap orang harus diberi balasan/upah berdasarkan: kontribusi aktual dan usahanya Kepentingan sosial sebagai motif utama; setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa Sumber daya alam itu tidak terbatas; kepentingan pribadi sebagai motif utama dalam berusaha

Implikasi Meritokrasi murni minus ih}sa>n Sama rata sama rasa mengabaikan sunnatullah tentang perbedaan Sumber daya alam tidak penting sebagai faktor pembangunan dan pendapatan nasional; eksploitasi tanpa batas merusak sumber daya alam dan lingkungan

Prinsip Perbedaan

Kekayaan/pendapatan yang lebih banyak untuk mereka yang lebih produktif

Meritokrasi murni minus ih}sa>n

Rawlsianisme

Sumber daya alam itu barang langka; ketidak samaan untuk saling menguntungkan secara fair

(Inkonsisten) sumber daya alam bukan faktor pembangunan dan pendapatan nasional

50 Bisnis dan Agama Teori Etika al-Qur’an

Prinsip

Implikasi

Sumber daya alam cukup untuk memenuhi kebutuhan,bukan keinginan tanpa batas; keseimbangan kepentingan pribadi dan sosial; ikhtiar menentukan nasib individu; individu menerima apa yang menjadi haknya berdasarkan usaha, tanpa sepenuhnya memandang kontribusi aktualnya; perbedaan untuk saling mengambil manfaat, kompetisi, kerjasama, dan ih}sa>n;

Sumber daya alam penting dalam produksi, penentu kelanjutan pembangunan; satu variable dalam pendapatan nasional; usaha adalah kewajiban individu dan hasilnya merupakan hak; ketidaksamaan adalah untuk prestasi dan kebajikan bersama.

Tabel 2 Perbandingan teori produksi dan implikasinya

Prinsip-prinsip alternatif dalam Konsumsi Produksi dan konsumsi adalah dua aspek ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand), sedangkan produksi adalah penawaran (supply).Konsumsi adalah tahapan terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan. Konsumsi merupakan tujuan dari semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi. Kekayaan yang diproduksi sekarang akan dikonsumsi besok. Konsep tentang konsumsi dalam al-Qur’an tersurat dalam ungkapan infaq. Kata ini dalam berbagai bentuknya tersebut sebanyak 71 kali dalam al-Qur’an. Infaq adalah suatu tindakan membelanjakan harta untuk kepentingan diri sendiri, untuk keperluan orang lain dan untuk kebutuhan sosial suatu komunitas dalam rangkameraih keridhoan Allah. Secara fundamental prinsip keadilan ekonomi dalam al-Qur’an mengambil posisi berbeda dalam hal konsumsi dengan pendekatan ekonomi Libertarian. Perbedaannya terletak pada cara atau pendekatan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia.Keadilan ekonomi dalam al-Qur’an tidak menghendaki dan mengakuipola konsumsi yang murni materialistik. Semakintinggi manusia

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 51 menaiki tangga peradaban, konsumsi lebih dibayang-bayangi oleh keinginankeinginan psikologis. Selera artistik, gaya hidup snobbish (bergelimang kemewahan), dorongan untuk pamer-- semua faktor psikologis ini memainkan peran yang sangat dominandalam menentukan bentuk-bentuk lahiriah konkret dari keinginan-keinginan psikologis tersebut (Mannan, 1980: 79). Peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan; peradaban materialistik mewarnai kesenangan yang terus membuat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat bervariasi dan banyak dan kesejahteraan ekonomi hampir hanya diukurdari berbagai karakter keinginannya itu yang diupayakan untuk dicapai melalui sarana-saranatertentu. Cara pandang tentang kehidupan dan kemajuanini berseberangan dengan konsepsi al-Qur’an.Etika keadilan al-Qur’an berusaha mereduksi kebutuhan material manusia yang eksesif dengan maksud untuk menekankan energi spiritual manusia dalam pencarian duniawi. Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini. Kemajuan tidak semata diukur dari standar hidup yang tinggi yang berimplikasi pada perluasan keinginan secara tanpa batas, sehingga meningkatkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dicapai. Kepuasan bukan semata tingkat konsumsi tertinggi sebagaimana diyakini oleh Teori Pertumbuhan Ekonomi yang secara prinsip mengadopsi keadilan Libertarian. Sejak awal al-Qur’an memberikan kebebasan memilih (freedom of choice) pada semua orang untuk mengonsumsi segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial tradisional dan perbedaan temperamental mereka.Al-Qur’an hanya memberikan rambu proporsionalitas berupa perilaku tengah-tengah dalam konsumsi (QS. al-Furqan 25:67) – antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia di satu sisi, dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; tidak melampaui batas maksimal (berlebihan, boros, dan mewah) atau batas minimal (kikir dan bakhil); keterbatasan sumber daya ekonomi (untuk memenuhi keinginan) merupakan pertimbangan utama bagi efisiensi dan

52 Bisnis dan Agama prioritas (awlawiyah) dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan preferensi druriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat (al-Shatibi, tth.). Membelanjakan kekayaan untuk kebutuhan dan keinginan pribadi bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itutidak akan membahayakan kelangsungan (sustainability) hidup dirinya dan masyarakat umumnya. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan pribadi harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsiatas sumber daya tidak melanggar “rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan” dan menjamin keberlangsungan masa depan. Konsumsitidak semata berorientasi keduniaan dan berjangka pendek, namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dengan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan konsumsi yang tidak penting meskipun ia memiliki kekayaan yang cukup untuk mendapatkannya. Perilaku konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu (QS. al-H}ashr 59:18). Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan (QS. al-Nisa’ 4:9), kemakmuran bumi (`isti`mar fi al-ard})dan, sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan (fasad fi al-ard}, `ayth fi al-ard}) (QS. al-Ma>’idah 5:32). Inilah yang dimaksud sebagai prinsip solidaritas kemanusiaan dan lingkungan (hifz} al-bi’ah). Bermewah-mewahan (taraf/bat}ar) Al-infa>q: konsumsi bersahaja

Berlebih-lebihan (isra>f) Pemborosan (tabdhi>r) Batas Atas/maksimal d}aru>riyya>t preferensi h}a>jiyya>t tah}si>niyya>t Batas Bawah/minimal Kikir (qatr), Bakhil (bukhl)

Gambar 1 Teori batas-batas konsumsi

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 53 Perilaku konsumsi dalam konteks al-Qur’an mempunyai hubungan erat dengan komitmen rasional dan moral. Al-Qur’an menggaris bawahi cara memanfaatkan dan mengeluarkan kekayaan dibangun atas fondasi nilai keadilan. Ada perbedaan mendasar antara Prinsip Libertarianisme yang menjadi falsafah Kapitalisme, dan anak kandungnya Sosialisme yang mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal, dengan prinsip al-Qur’an. Perilaku konsumen menurut Kapitalisme bersumber dari “rasionalisme ekonomi” dan Prinsip Utilitarianisme (Prinsip Berbasis Kesejahteraan). Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia berdasarkan pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif sebagai menciptakan uang dari manusia. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk uang maupun komoditas, merupakan tujuan utama kehidupan. Sementara Prinsip Utilitarianisme berfungsi sebagai sumber nilai-nilai dan sikap moralnya. “Kejujuran hanya bermanfaat bila dapat memastikan kredit atau keuntungan, sehingga bersifat tetap dan industrial” (Kahf dalam Ahmad (ed.), 1980:21-22). Dualitas yang memunculkan perilaku konsumen ini menitikberatkan pada maksimalisasi utilitas sebagai tujuan utama konsumsi. Utilitas harus dimaksimalkan sebagai bagian dari manifestasi homo-economicus yang tujuannya adalah mencapai tingkat tertinggi perolehan ekonomi dan stimulusnya adalah sense of money. Teori Libertarianisme

Prinsip

Implikasi

Motif: murni materialistik, memuaskan keinginan tanpa batas Tujuan: pertumbuhan ekonomi Kebebasan: manusia bebas mempergunakan kekayaannya tanpa seorang pun berhak intervensi kecuali atas seijin pemiliknya

Tingkat konsumsi tertinggi memola dan mendorong gaya hidup snobish, hedonistik; mindless consumerism (pemilikan atas hubungan/ relasi sosial); eksploitasi tanpa batas atas sumber dayaalam dan lingkungan

54 Bisnis dan Agama Teori

Prinsip

Implikasi

Prinsip Berbasis Sumber Daya

Setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan akibat lingkungannya; setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih besar tidak dikehendaki untuk menyubsidi atau membantu mereka yang kurang pendapatannya

Menunjukkan sikap asosial terhadap kenyataan yang terjadi di lingkungan sekitar

Etika al-Qur’an

Motif: energi spiritual dalam pencarian duniawi, memenuhi kebutuhan dan keinginan rasional Tujuan: Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini Hierarki dan Prioritas:cara bagaimana sumber daya dapat dikonsumsi secara proporsional dan menurut tingka keutamaannya H}ifz} al-bi>’ah: Solidaritas sosial dan lingkungan

Proporsionalitas: sikap tengah-tengah antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; menumbuhkan empati terhadap yang kurang beruntung; antisipatif dan responsif atas terjadinya ancaman kelangkaan sumber daya alam dan kemerosotan lingkungan

Tabel 3 Perbandingan teori konsumsi dan implikasinya

Al-Qur’an menawarkan satu bentuk rasionalitas lain yang bertumpu pada tiga hal pokok. Pertama, berbasis pada tauhid dan keyakinan akan hari keadilan – interrelasi erat kehidupan dunia dan akhirat – mempunyai dua akibat: (1) hasil dari pilihan tindakan manusia berakibat langsung di dunia (ajr al-dunya>) dandi akhirat (ajr al-a>khirah) (QS. al-Baqarah 2: 261), karena itu utilitas yang berasal dari pilihan tindakan tersebut merupakan totalitas nilai dari dua akibat di atas;(2) sejumlah alternatif penggunaan pendapatan ditingkatkan dengan memasukkan semua keuntungan yang hanya didapat pada hari akhir (ajr al-a>khirah) (QS. Maryam 19: 31-33). Alternatif

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 55 penggunaan itu antara lain untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma orang miskin dan membutuhkan, memelihara binatang, menabung untuk kesejahteraan generasi mendatang dan memperbaiki kehidupan komunitas yang balasannya tidak bersifat langsung bagi individu. Kedua, keberhasilan dalam al-Qur’an dimaknai sebagai “perkenan Allah” dan bukan akumulasi kekayaan. Penggunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia bukan hanya keistimewaan, namun juga kewajiban dan tugas khalifah yang dipersembahkan pada Allah (QS. al-Mulk 67: 15). Oleh karena itu, kemajuan dan kesempurnaan material berada dalam nilai-nilai moral. Ketiga, harta apakah dipandang sebagai kekayaan atau pendapatan, adalah karunia Allah (QS. al-Baqarah 2: 265). Prinsip-prinsip alternatif dalam Distribusi Persoalan distribusi berhubungan erat dengan pertanyaan: untuk siapa kita melakukan kegiatan produksi? Bagaimana produksi nasional akan didistribusikan di antara faktor-faktor produksi yang berbedabeda? Bagaimana mengatasi problem ketidaksamaan sebagai akibat dari distribusi? Ini merupakan tiga pertanyaan utama yang dihadapi oleh setiap masyarakat dengan sistem ekonomi apa pun yang menjadi anutannya. Distribusi sebagaimana dirujuk oleh istilah du>lah (QS. al-H}ashr 59:7) dalam al-Qur’an merupakan landasan pentingnya peradaran harta, kekayaan dan pendapatan agar tidak terkonsentrasi di tangan orangorang tertentu yang sudah kaya atau berkecukupan secara ekonomi. Di samping pernyataan langsung tentang perlunya pendapatan dan kekayaan didistribusikan sehingga tidak terjadi konsentrasi, al-Qur’an juga menyebutkan tiga macam tindakan yang mencegah terjadinya proses distribusi yang adil, yakni larangan menimbun harta (al-iktina>z), bermegah-megahan yang melalaikan (al-taka>thur), dan celaan atas penumpukan harta dan terlalu “perhitungan” (jama`a ma>l wa `addadah). Untuk menjalankan proses distribusi dibutuhkan basis legitimasi. Yang dimaksud basis adalah kriteria atau prinsip apa pun yang menentukan dan

56 Bisnis dan Agama berlaku bagi siapa saja yang memiliki hubungan nyata dengan kekayaan dan pendapatan.Kriteria distribusi yang memungkinkan cukup banyak dan inilah yang menyebabkan perbedaan natural atau perbedaan perolehan antara individu-individu. Kriteria itu meliputi: pertukaran, kebutuhan, kekuasaan, dan sistem sosial atau nilai etis (QS. al-Baqarah 2:275; Hu>d 11:3 dan 6). Sintesis dari kriteria pertukaran dan kebutuhan di muka berbeda dengan Prinsip Berbasis Balasan yang memandang kriteria “usaha” dan “kontribusi aktual” sebagai basis distribusi. Kriteria usaha diterima oleh al-Qur’an karena “setiap orang tidak akan menerima kecuali apa yang ia usahakan”. Namun, kriteria kontribusi aktual tidak sepenuhnya diterima karena beberapa alasan: bahwa dalam harta dan kekayaan seseorang ada hak bagi mereka yang kurang beruntung; mereka yang memiliki tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dengan sendirinya memperoleh tunjangan lebih daripada mereka yang bujangan; dan dengan ketulusan dan kesukarelaan seseorang diperbolehkan berkorban untuk orang lain sehingga bagiannya ia distribusikan kepada mereka yang membutuhkan. Skema distribusi perlu didefinisikan melalui sejumlah ukuran dan kebijakan distribusi yang dipandu oleh aturan-aturan syariah dengan seluruh implikasi ekonominya. Skema distribusi itu sendiri meliputi dua macam: Pertama, distribusi pra produksi atas sumber daya atau kekayaan alam, antara lain: 1) kemitraan untuk mengatasi kesenjangan antarindividu yang diakibatkan oleh perbedaan kuantitas aset produktif, baik berupa kepentingan publik dan beberapa jenis sumber daya alam;2) larangan membatasi akses ekonomi karena bertentangan dengan prinsip kemitraan atas manfaat kekayaan alam dari tanah yang tidak bertuan; 3) merampas tanah yang tidak produktif untuk tujuan produktif melalui mekanisme iqt} a>`;4)regulasi barang tambang untuk kesejahteraan publik; 5) efisiensi sumber daya air dan sumber daya alam terbarukan. Kedua, regulasi distribusi output produksi (kekayaan dan pendapatan) antara lain: 1) berbagi surplus pemanfaatan modal produksi;2) warisan untuk pemerataan kekayaan; 3) zakat sebagai wujud solidaritas sosial;

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 57 4) wakaf sebagai filantropi sosial; 5) hadiah tanpa pamrih; 6) al-fay’, alghani>mah dan rika>z untuk kesejahteraan bersama. Memberikan surplus pemanfaatan modal berupa aset-aset tetap memperkuat penolakan al-Qur’an terhadap Prinsip Berbasis Balasan yang mengharuskan adanya kompensasi terhadap apa pun dalam aktivitas produksi, termasuk di dalamnya surplus modal harus diganti dengan biaya bagi mereka yang ingin mempergunakannya. Sistem warisan kekayaan memberikan argumen atas penolakan al-Qur’an terhadap pernyataan Prinsip Berbasis Balasan bahwa setiap orang harus menerima balasan sesuai dengan kontribusi aktualnya. Warisan mendistribusikan dan mentransfer kekayaan dari orang meninggal kepada anggota keluarganya yang berhak tanpa memandang apakah anggota keluarga itu memberi kontribusi atau tidak atas kekayaan orang meninggal. Distribusi zakat merupakan bantahan atas Prinsip Libertarian Nozick yang menyatakan bahwa pajak apa pun atas pendapatan dan kekayaan (dan pungutan semisalnya termasuk zakat) oleh negara merupakan pelanggaran atas hak-hak kepemilikan eksklusif (selfinterest) karena membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain; pajak dapat dikatakan sama dengan kerja paksa; tidak adil seseorang bekerja untuk kepentingan orang lain. Di sisi lain,tampak jelas bahwa praktek zakat merupakan bantahan atas Prinsip Berbasis Balasan tentang “kontribusi aktual”. Pengeluaran zakat darikepemilikan pribadi adalah sah dan penerima zakat juga sah memperoleh sekaligus memiliki bagian itu tanpa memandang kontribusi aktualnya. Berbeda dengan Prinsip Berbasis Kesejahteraan atau Utilitarianisme yang berupaya memaksimalkan kesejahteraanmasyarakat dengan mengorbankan sekelompok kecil lainnya,institusi wakaf bekerja dengan logika kepentingan publik (almas}lah}ah al-`a>mmah). Artinya, demi kepentingan publik, individu diperkenankan mewakafkan harta/kekayaannya dengan pengorbanan tulus. Dengan kata lain, individu berkorban demi kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya atas nama kesejahteraan masyarakat kepentingan individu atau kelompok kecil dikorbankan.

58 Bisnis dan Agama Sedangkan skema distribusi pendukung meliputi: larangan atas riba sebagai eksploitasi terhadap mereka yang lemah (QS.Ali `Imran 3:130); larangan atas penimbunan harta; dan larangan atas monopoli. Meski tiga skema distribusi di atassudah dijalankan, masih ada kemungkinan kemiskinan dan ketertindasan. Problem ini juga menjadi perhatian beberapa prinsip keadilan kontemporer seperti Prinsip Perbedaan dan PrinsipRawls. Prinsip Libertarian Nozick sebenarnya juga menyediakan bagaimana meralat (rectification) ketidakadilan masa lalu, namun ia tidak membuat upaya sistematis dari prinsip ralat tersebut, bahkan pada akhirnya ia menyerahkan tugas ralat ketidakadilan ini kepada Prinsip Perbedaan. Secara jelas al-Qur’an menunjukkan keberpihakan terhadap orangorang miskin dan tertindas. Populasi kaum mustad}`afi>n baru yang merupakan produk dari kecenderungan politik dan ekonomi struktural selama tiga dekade terakhir, akan terus tumbuh dan meningkat lebihlebih setelah periode krisis ekonomi yang meluas. Keadaan semacam ini membuat populasi mereka akan menjadi subkultur yang menyebar mulai dari krisis perumahan dan pekerjaan, penyusutan besar dalam belanja sosial, perubahan-perubahan pada level makro ekonomi, strategi pembangunan kembali potensi lokal, dan sejumlah sebab-sebab lain. Oleh karena itu, problem kemiskinan dan ketertindasan saat ini lebih mencerminkan kemiskinan, pemiskinan dan penindasan “struktural”. Maka, diperlukan proses redistribusi secara sistemik untuk dapat mengangkat derajat mereka yang kurang beruntung dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan. Merujuk kepadaal-Qur’an surat al-Anfa>l 8: 26, upaya-upaya keberpihakan terhadap eksistensi mereka dapat meliputi dua hal – layanan sosial-karitatif dan pemberdayaan sosial. Yang pertama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka agar tetap survival; yang kedua bermaksud untuk mengangkat “kapasitas” dan “otoritas” mustad`afin agar sustainable. “Peningkatan kapasitas” berupa membuka akses atau peluang bagi mereka untukmemperoleh pendidikan, pelayanan kesehatandan ketrampilan

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 59 (life skill) sehingga tidak lagi menjadi orang yang lemah fisik maupun mental. Pendidikan yang murah, peningkatan ketrampilan dan akses pelayanan kesehatan yang mudah mendorong terjadinya peningkatan kualitas hidup, potensi mereka dapat dikembangkan dan ketrampilan hidupnya (life skills) meningkat signifikan. Dengan cara ini, kaum mustad}`afi>>n memiliki posisi tawar yang lebih baik dan diharapkan dapat meningkatkan derajat kelayakan hidup secara memadai. Akses lain yang dibutuhkan kaum mustad}`afi>n adalah kemudahan memperoleh sumber daya air bersih. Air bersih sangat penting tidak semata untuk bertahan namun juga mengatrol mutu hidup mereka. Karena itu, segala tindakan ekonomi yang membatasi akses mereka kepada air bersih atau membuat mereka tidak mampu memperolehnya secara gratis, merupakan pelanggaran serius terhadap hak kepemilikan publikterhadap air sebagaimana rezim Neoliberalisme memaksakan proses privatisasi sumber daya air. Teori

Prinsip

Implikasi

Libertarianisme

Hak-hak kepemilikan eksklusif (selfinterest); hak-hak absolut atas distribusi dunia secara tidak proporsional.

Pajak pendapatan dan kekayaan dan pungutan semisalnya oleh negara merupakan pelanggaran hak milik karena membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain; pajak sama dengan kerja paksa; kebebasan membolehkan ketidakadilan distributif tidak ada konsep tentang tanggung jawab sosial untuk mengatasi kelangkaan, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian mereka yang kurang beruntung

Berbasis Balasan

Kompensasi terhadap apa pun dalam aktivitas ekonomi

Semua pemanfaatan modal berupa aset-aset tetap harus ditukar dengan biaya yang setimpal

Berbasis Kesejahteraan

Memaksimalkan kesejahteraanuntuk sejumlah besar masyarakat

Atas nama kesejahteraan bagi masyarakat banyak, kepentingan sekelompok kecil dikorbankan

60 Bisnis dan Agama Teori

Prinsip

Implikasi

Berbasis Sumber Daya

Tidak ada kewajiban atas individu maupun kolektif untuk menyubsidi mereka yang kurang beruntung.

Setiap orang dibuat hanya untuk bekerja dan memikirkan pendapatan bagi dirinya sendiri; setiap orang tidak perlu menanggung akibat dari lingkungannya.

John Rawls

Ketidaksamaan sosial-ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan itu dapat diharapkan saling menguntungkan bagi setiap orang

Upaya agar mereka yang kurang beruntung menjadi lebih baik dilakukan dengan cara mengurangi kesejahteraan mereka yang beruntung; diperlukan biaya besar untuk mencapai keadilan sosialekonomi

Etika al-Qur’an

Distribusi sumber daya alam dan lingkungan berada dalam kerangka partisipasi; redistribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggung jawab bersama untuk memastikan jaminan sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas bagi mereka yang kurang beruntung.

Menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia; kemitraan dalam kepemilikan kekayaan alam tertentu dapat mereduksi disparitas atau kesenjangan dalam pendapatan dan kekayaan;harmoni antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial, dan antara kesejahteraan individu dan kesejahteraan sosial; meningkatkan aktivitas perekonomian

Tabel 4 Perbandingan teori distribusi dan implikasinya

“Peningkatan otoritas” kaum mustad}`afi>n dalam proses pengambilan keputusan. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), terbukanya akses dan peluang pendidikan dan ketrampilan,serta pelayanan kesehatan yang murah dan mudah memang penting. Bagaimanapun keberpihakan itu pada akhirnya mesti memasuki wilayah politik.Alangkah makin mantap jika pemberdayaan sosial juga mencakup pelibatan kaum tertindas dan miskin itu sebagai bagian dari

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 61 warga negara dalam posisi menentukan kebutuhan dan kepentingan mereka, memutuskan kebijakan secara bersama-sama dengan kelompok sosial lainnya. Sesudah partisipasi dapat diraih, usaha berikutnya adalah memosisikan kaum mustad}`afi>n sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakanatau keputusan penting bagi mereka. Partisipasi dalam pengambilan keputusan saja belum cukup. Melakukan kontrol (controling) atas bagaimana implementasi kebijakan itu berjalan memungkinkan mereka dapat menjaga dan memelihara kepentingan-kepentingan sosial-ekonomi mereka. Partisipasi dan kontrol membuat mereka memiliki otoritas dan kekuatan di hadapan kelompok-kelompok sosial lainnya. Dari sini bisa dilihat bahwa prinsip al-Qur’an berbeda dari Prinsip Rawls yang percaya bahwa atas dasar prospek yang sama, pendidikan dan ketrampilan perlu diberikan kepada mereka yang kurang beruntung agar dapat meningkatkan kondisi mereka. Dalam perspektif al-Qur’an, tawaran Rawls hanya menekankan pada upaya “peningkatan kapasitas” dan mengabaikan dua upaya lain yang sama pentingnya. Yakni pemenuhan kebutuhan fisiologis yang bersifat mendesak dan peningkatan “otoritas” mereka yang kurang beruntung, yang meliputi partisipasi dan kontrol dalam proses (politik) pengambilan kebijakan dan implementasinya. Prinsip-prinsip alternatif tentang peran pasar dan negara Persoalan penting tentang peran negara tidak dapat dilepaskan dalam perbincangan ekonomi kontemporer. Masalah ini terkait dengan bagaimana negara mengambil posisi dalam menjamin, memelihara dan mengatur berbagai kepemilikan. Ini merupakan salah satu isu yang menentukan dalam berbagai sistem ekonomi kontemporer dan menjadi unsur pembeda antara satu sistem dengan sistem lainnya. Kapitalisme yang berbasis Prinsip Libertarian cenderung mementingkan hak-hak dan kepemilikan individu, sementara sistem Sosialisme/Komunisme mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal dengan kepemilikan kolektif dan mengekang kebebasan individu. Kini, hampir dapat dikatakan bahwa sistem ekonomi

62 Bisnis dan Agama Neoliberal yang hidup mempersempit wilayah otoritas negara atas individu. Tujuannya adalah untuk mencapaikesejahteraan ekonomi dengan memberi kebebasan penuh kepada individu.Intervensidan meningkatnya otoritas negaradikhawatirkan dapatmenekan kebebasan individu. Kebutuhan akanperan negara atau otoritas pusattak terelakkan karena kesejahteraan umat manusia tidak mungkin kecuali berada dalam sebuah sistem sosial dan dengan kerjasama. Aktivitas ekonomi perlu dijamin melalui suatu sistem pemerintahan yang mengemban batasan-batasan moral agar diberlakukan, dan ia bertanggung jawab atas semua peran yang diamanahkan tersebut. Peran negara ini tidak lain dalam rangka untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berkeadilan (QS. al-H}adi>d 57:25). Dari sudut pandang legitimasi, prinsip al-Qur’an secara tegas mengundang peran negara dalam menata dan menegakkan keadilan sosialekonomi. Prinsip ini bersebrangan dengan Prinsip Libertarian Nozick yang enggan memberi legitimasi kepada campur tangan negara dalam bidang ekonomi kecuali dengan porsi yang sangat kecil. Teori entitlement yang dikemukakan oleh Nozick dalam rangka mempertahankan the minimal state. The minimal state dalam sistem Neoliberalisme dilucuti sedemikian rupa melalui rejim privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Sementara itu, Prinsip Rawls yang banyak diadopsi untuk mempertahankan welfare state kiranya bermain pada posisi tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, meskipun Rawls sendiri tidak pernah secara eksplisit mengundang intervensi negara. Tiga peran penting negara dalam melakukan intervensi aktivitas ekonomi secara relatif terbatas, yakni menyangkut negara sebagai pemilik dan produsen, redistributor kekayaan dan pendapatan, serta regulator kehidupan perekonomian. Peran pertama mengandaikan bahwa semua yang berkaitan dengan kebutuhan hidup semua penduduk dan warga negara harus berada di bawah kendali negara baik kepemilikan maupun pengelolaan produksinya atas nama mandat kepemilikan publik. Demikian pula perusahaan-perusahaan

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 63 yang mengelola produksi sumber daya alam dan lingkungan milik bersama itu harus dikuasai oleh negara demi kesejahteraan (al-fala>h}) sebesarbesarnya bagi semua penduduk. Prinsip ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh Prinsip Libertarian dan Liberalisme Klasik. Libertarianisme dan Liberalisme Klasik bersandar pada kepentingan diri (self-interest). Karenanya dua prinsip ini menghendaki privatisasi terhadap seluruh sumber daya tanpa kecuali atas nama efisiensi dan distribusi yang adil. Peran pemerintah yang ekstensif dalam kepemilikan dapat berarti pelanggaran atas hak-hak dan kepemilikan individu. Peran kedua memastikan agardalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya. Sumber daya termasuk tanah, pekerja dan modal samasama berharga. Karenanya pemilik tanah, pekerja dan pemilik modal harus berbagi bersama dalam hasil-hasil produksi. Di samping itu, al-Qur’an juga secara tegas menghendaki agar sebagian dari hasil produksi itu diberikan kepadamereka yang tidak dapat memberikan kontribusi dalam produksikarena alasan-alasan seperti cacat sosial, fisik dan ekonomi. Ini sekali lagi menguatkan prinsip al-Qur’an bahwa seseorang dapat memperoleh balasan tanpa sepenuhnya memandang kontribusi aktualnya. Peran ketiga berbentuk regulasi, baik regulasi terhadap perilaku konsumsi warga negara maupun regulasi pasar. Peran ini dalam satu sisi merupakan antitesis terhadap Prinsip Libertarian, yang karena alasan hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional, maka kepemilikan pribadi sangat layak dan pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki. Pasar bebas adalah mekanisme bagi alokasi dan distribusi yang adil. Untuk itu, campur tangan negara sebisa mungkin dilucuti. Pada praktiknya, Prinsip Libertarian ini diterapkan oleh Neoliberalisme yang mencoba menghapuskan subsidi umum bagi rakyat banyak dengan dalih pemborosan, sementara pada saat yang sama korporasi multinasional (MNCs) dan transnasional (TNCs) meminta fasilitas tax holidays. Karena itu, Neoliberalisme mesti menuntut proses deregulasi yang

64 Bisnis dan Agama menghalangi terjadinya pasar bebas yang menguntungkan secara ekonomi bagi sekelompok kecil konglomerat. Suatu paradoks yang bertentangan dengan rasa keadilan (al-`adl) sekaligus mengancam kesejahteraan umum (al-fala>h}). Di sisi lain, prinsip al-Qur’an menawarkan suatu alternatif bagi etisasi pasar untuk menghindarkan dari praktek-praktek spekulatif dan judi (gharar). Teori

Prinsip

Libertarianisme

Pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki

Egalitarianisme Radikal

Campur tangan negara bersifat absolut

Etika al-Qur’an

Intervensi negara adalah keniscayaan bagi penciptaan pasar etis

Implikasi Minimal State; negara dilucuti kekuasaannya melalui deregulasi dan privatisasi dan liberalisasi Negara totalitarian Peran negara sebagai pemilik dan produsen, regulator, redistributor adalah komplementer bagi pasar etis

Tabel 5 Perbandingan Teori Peran Negara dan Implikasinya

Perbandingan Teori Peran Negara dan Implikasinya Peran dan campur tangan negara dalam kehidupan dan tatanan ekonomipenduduknya, dengan demikian, tentu saja diakui. Al-Qur’an mendukung kebebasan dan tidak menghendaki batasan-batasan yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, peran negara dalam kaitan ini harus bersifat komplementer atas peran pasar untuk menjamin alokasi dan distribusi sumber daya yang adil melalui persaingan sempurna dan etis. Karena itu batasan peran negara yang melengkapi itu adalah untuk menjaga rasa keadilan (al-`adl) dan kesejahteraan umum utamanya (al-fala>h}). Penutup Problem ketidakadilan dan kegagalan sistem-sistem ekonomi dan teoriteori keadilan kontemporer menjawabnya, mendorong upaya pemikiran

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 65 terhadap teori dan praktik ekonomi berkeadilan tetap relevan dalam mana ketidakpastian, kelangkaan, dan ketidakberdayaan sebagian penduduk bumi terus mengalami peningkatan di tengah-tengah sekelompok kecil orang yang bergelimang kekayaan dan limpahan materi. Keadilan sebagai dasar pijak aktivitas dan kebijakan ekonomi semakin memperoleh tempat dalam diskusi-diskusi tentang sistem ekonomi kontemporer. Tak terkecuali Islam – sebagai agama sekaligus pandangan dunia dan way of life – berupaya urun rembug memberikan kontribusi tentang apa, bagaimana, dan ke mana keadilan akan diarahkan dalam aktivitas perekonomian. Merespon tantangan ketidakadilan dan peluang untuk menawarkan nilai-nilai keadilan yang orisinal dalam ruang dialektis di mana berbagai sistem ekonomi saling berkompetisi, berhimpit, dan berebut pengaruh, bahasan-bahasan terdahulu telah memberikan alternatif jawaban atas problem ketidakadilan, implementasi, dan dimensi teleologisnya dalam hubungannya dengan persoalan utama yang menyangkut aktivitas kepemilikan, produksi, konsumsi, distribusi, dan peran negara. Etika Islam menetapkan prinsip-prinsip moral untuk ditubuhkan dan diinternalisasikan dalam institusi-institusi ekonomi. Institusi-institusi ini menentukan bagaimana setiap orang berjuang untuk hidup, memasuki kontrak dan transaksi, pertukaran barang dan jasa dengan pihak lain, dan memproduksi fondasi material secara independen atas kelangsungan ekonominya. Melalui prinsip-prinsip ini pula keadilan ekonomi tidak semata membebaskan setiap orang untuk terlibat secara kreatif dalam kerja berorientasi ekonomi, namun juga melampauinya, yakni menjadi jiwa dan spirit bagi mereka. Tujuan penerapan prinsip-prinsip keadilan tersebut dalam aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan baik pada tingkat individu maupun kolektif. Upaya menjaga “rasa keadilan” (sense of justice) dan menerapkan prinsip-prinsip etis dalam rangka menuju kesejahteraan (sense of happiness) melahirkan sejumlah implikasi dalam proses pelembagaannya melalui: penubuhan nilai-nilai keadilan sebagai motif

66 Bisnis dan Agama bertindak (motive of action) dalam aktivitas ekonomi; perwujudan kebaikan dan kewajiban-kewajiban agama (religious obligations and virtues) dalam aktivitas ekonomi; penegakkan suatu sistem manajemen sosial-ekonomi (socio-economic management) yang berkeadilan, manusiawi, dan ramah lingkungan; dan implementasi peran pemerintah (role of state) dalam menjalankan sistem politik dan kebijakan yang adil dan menyejahterakan untuk semua. Daftar pustaka Adnan, M. Akhyar. Akuntansi Syariah: Arah, Prospek dan Tantangannya. Yogyakarta: UII Press, 2005. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Quran: English Translation of the Meaning and Commentary. Makkah: The Presidency of Islamic Researches, IFTA, Call and Guidance, 1413 H. Asfahani, al-Raghib. Al-Mu`jam al-Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Asqalani, Ibn Hajar. Fath} al-Ba>ri> Sharh S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r al-Mu`arrafah, t.th. Bruce, Maurice. The Coming of the Welfare State. London: Batsford, 1968. Bukhari. S}ah}i>h}.Indonesia: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-`Arabiyah, 1981. Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Herndon: IIIT, 1992. Daud, Abu. Sunan. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Dworkin, Ronald,”What is Equality? Part 1: Equality of Resources”, Philosophy and Public Affairs, 10, 1981: 185-246. _______,”What is Equality? Part 2: Equality of Welfare”, Philosophy and Public Affairs, 10, 1981: 283-345. Fakih, Mansour. Bebas dari Neo-liberalisme. Yogyakarta: Insist Press, 2003. Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York: Avon Books, 1992. Furniss, Norman and Tilton, Timothy. The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality. Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977. Goodin, Robert E. Utilitarianism as a Public Philosophy. New York: Cambridge University Press, 1995. Hanbal, Ahmad ibn.Al-Musnad. T.p.: al-Maktabah al-Isla>mi>, t.th. Majah, Ibn. Sunan. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Manzur, Ibn.Lisa>n al-`Arab. Beirut; Da>r al-S}adr, 1990. Miller, David. Social Justice. Oxford: Clarendon Press, 1976. _______. Market, State and Community. Oxford: Clarendon Press, 1989. Muslim. S}ah}i>h}. Beirut: Da>r al-Fikr, 1991. Nielsen, Kai,”Radical Egalitarian Justice: Justice as Equality” Social Theory and

Tatanan Ekonomi Perspektif Etika Islam 67 Practice, 1979: 209-226. Nozick, Robert. Anarchy, State and Utopia. New York: Basic Books, 1974. Rawls, John. A Theory of Justice, 22nd printed. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1997. Riley, Jonathan,”Justice Under Capitalism,” in John W. Chapman (Ed.). Market and Justice. New York: New York University Press, 1989: 122-162. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. Turmudhi.Sunan.Beirut: Da>r al-Fikr, 1994

3 Analisa Biblika Perjanjian Baru Terhadap Etika Bisnis Berdasarkan Injil Matius 5:3-12 Hengki Wijaya

Abstract The purpose of this article is to study the view of business ethics in the New Testament and specifically in Matthew 5:3-12 (the beatitudes) and through this biblical evaluation to reach a right understanding of Christian business ethics within the ethics of the kingdom of God. The research method combines a library search for relevant material in the Bible and Christian books and commentaries with an online search for internet material related to the theme. The beatitudes in the Sermon on the Mount give the whole portrait of a disciple of Jesus. Christian businessmen trust God in building their business, confess their sins, and turn their back on wrongdoing. This makes them meek in all their relationships and honest and since in their business dealings. They hunger and thirst after righteousness and desire to grow up to the fullness of Christ. They are merciful to those who are broken by sin and evil. They have a pure heart that is shownto all people and in all their behaviour. They want to be peacemakers and give forgiveness. But people do not thank them for their efforts. They are insulted, slandered and persecuted because of their righteousness that trusts in God. Keywords: biblical, New Testament, business ethics, gospel, Matthew 5:3-12

70 Bisnis dan Agama Pendahuluan Menurut kata orang, bukan hanya politik, tetapi juga ekonomi dan bisnis bukanlah untuk orang-orang jujur, saleh dan bermoral. Pada hakekatnya, begitu kata mereka, ekonomi dan bisnis itu kotor. Sebab itu, tinggalkanlah moralitas Anda di rumah, bila Anda ingin menjadi pedagang atau usahawan yang berhasil! Simpanlah agama Anda untuk hari Minggu, sebab untuk hari-hari Senin sampai Sabtu, ajaran agama tidak berlaku!1 Seorang teman berkata bahwa bisnis itu buta etika, buta segala-galanya kecuali uang. Dengan kata lain dia mengatakan bahwa bisnis adalah sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma kecuali peraturan yang berlaku saat itu, di tempat itu. Apa yang dilarang oleh peraturan, boleh jadi menjadi legal di waktu mendatang sehingga etika tidak lebih dari seperangkat peraturan yang dapat berubah tergantung situasi.2 Selain itu, untuk pertumbuhan bisnis yang pesat seperti tender proyek-proyek yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak hanya melanda bangsa Indonesia bahkan juga dunia secara universal. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi dengan etika bisnis sebagai standar untuk pengambilan keputusan etis dan bagaimana peranan agama sebagai keyakinan yang mengajarkan takut akan Tuhan? Ataukah mungkin penduduk dunia sudah kehilangan Tuhan dan menjadi tidak memiliki etika dan moral demi memuaskan hawa nafsu dan egoisme semata dan sudah dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini (harta, kuasa dan mencintai diri sendiri). Seperti yang dikatakan Firman Tuhan, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telahmenyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka (I Timotius 6:10). Masalah-masalah di atas menjadi dilema etis yang bisa diartikan sebagai pilhan yang tidak diinginkan ataupun tidak menyenangkan sehubungan 1 Eka Darmaputera. Etika Sederhana untuk Semua. Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, cet. ke-6 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 19. 2 James Widodo. Etika Bisnis Kristen.jameswidodo-heart.blogspot.com/2009/10/etikabisnis-kristen.html. Diakses 02 Maret 2012.

Matius 5:13-12 71 dengan prinsip atau praktik moral. Kelihatannya di satu sisi etika bisnis itu baik, namun kenyataan sangat bertolak belakang dengan penerapan dalam dunia bisnis itu sendiri. Oleh karena itu, praktik bisnis harus dikembalikan berdasarkan ajaran agama, moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Saat ini penulis berusaha menganalisa Alkitab Perjanjian Baru tentang etika bisnis Kristiani melalui pengajaran Yesus Kristus dan surat-surat Rasul Paulus. Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang dikaji adalah: Pertama, defenisi etika dan etika bisnis berdasarkan beberapa pandangan dan tinjauan biblika itu sendiri. Kedua, menemukan prinsip etika bisnis yang terdapat dalam Perjanjian Baru melalui pengajaran Yesus Kristus dan pandangan Paulus. Adapun tujuan penulisan ini adalah: Pertama, untuk mengetahui tentang pandangan etika bisnis berdasarkan studi biblika Perjanjian Baru terhadap etika bisnis berdasarkan Injil Matius 5:3-12.Kedua, melalui tinjauan biblika akan memberikan pemahaman yang benar tentang etika bisnis Kristiani yang berdasarkan etika Kerajaan Allah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (Library Search) yakni pengumpulan data dari Alkitab, buku-buku Kristiani dan tafsiran dan bahan internet yang berhubungan dengan judul penulisan. Kajian Teoritis Etika Bisnis Definisi Etika dan Etika Bisnis Istilah “etika” berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang artinya pemukiman, perilaku, kebiasaan. Sedangkan ēthos berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan batin. Demikian juga dengan ēthikos berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.3 Franz Magnis-Suseno mendefenisikan etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Etika adalah

3

J. Jerkily, Etika Kristen Bagian Umum, cet. Ke-3 (Jakarta: BPK, 1964), 7.

72 Bisnis dan Agama pemikiran sistematis tentang moralitas.4 Singkatnya, etika adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar. Beberapa pengertian etika bisnis adalah sebagai berikut:5 ••

••

••

••

••

Etika bisnis berperan penting dalam memberikan kepercayaan terhadap kelompok atau individu yang berkepentingan dengan jalannya perusahaan. Etika bisnis adalah keseluruhan dari aturan-aturan etika, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hak-hak dan kewajiban produsen dan konsumen serta etika yang harus dipraktekkan dalam bisnis. Etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nila-nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan bisnis. Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, vinstitusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.

Bisnis itu kotor? Pernahkah anda mendengar tentang sebuah perusahaan susu raksasa yang tega-teganya melempar susu busuk ke pasaran di Dunia Ketiga? Atau tentang orang-orang di negara-negara miskin yang dijadikan kelinci percobaan untuk obat-obatan yang belum diteliti benar dampak sampingnya? Atau tentang pabrik-pabrik berpolusi berat yang dipindahkan 4 Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, cet. Ke-3 (Yogyakarta: Kanisius, 1989) 17. 5 Etika dan Bisnis, diakses pada 02 Maret 2012.Tersedia di entrepreneur.gunadarma. ac.id/elearning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf.

Matius 5:13-12 73 ke negeri orang, sebab di negeri sendiri sudah dilarang, maupun sedang gencarnya negeri lain itu mengundang investasi modal-modal asing? Atau tentang perusahaan-perusahaan multi-nasional yang diperbolehkan memasukkan “dana suap” ke dalam anggaran biaya produksi, asal saja itu tidak dipraktekkan di negeri sendiri?. Dalam bisnis janganlah bicara soal moral. Sebab pada akhirnya, begitu kata orang , kita harus takluk pada kenyataan. Di dalam kenyataan, ekonomi dan bisnis tidak mengenal moral.6 Adam Smith, filsuf moral Inggris yang terkenal, yang secara “ilmiah” member penalaran dan pembenaran terhadap kenyataan-kenyataan yang tersebut di atas. Di dalam bukunya yang terhitung klasik, ia antara lain menulis begini:7 Setiap orang senantiasa berupaya untuk memperoleh keuntung­an yang sebesar-besarnya dari apapun yang dimilikinya. Sesungguh­ nya, keuntungannya sendirilah, dan bukan keuntungan masyarakat, yang ia pertimbangkan. Namun memperhitungkan keuntungan pribadi, dengan sendirinyaatau malah tidak dapat tidak – akan membuat ia memilih apa yang paling menguntungkan bagi masyarakat luas … Dalam hal ini, seperti dalam hal-hal lain juga, ia dipimpin oleh suatu tangan yang tidak kelihatan, yang membuat ia mengusahakan suatu tujuan, yang sebenarnya semula tidak dimaksudkannya. Apakah sebenarnya yang ingin dikatakan oleh Adam Smith? Pertama, ia ingin mengatakan bahwa kecenderungan setiap orang untuk mencari keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya, tidak hanya merupakan kebenaran empiris belaka Lebih dari itu, ia adalah naluri yang menyatu dalam kodrat manusia. Kedua, sepintas lalu apa yang dikatakan oleh Adam Smith itu mirip dengan apa yang dikatakan oleh filsuf Inggris, Thomas 6 Darmaputera,20. 7 Ibid., 20; Adam Smith, An Inquiryin to the Natureand Causes of the Wealth of Nations, Book V, Chapter II.

74 Bisnis dan Agama Hobbes dalam bukunya yaitu Leviathan. Di sini, Hobbes juga berbicara tentang naluri ketamakan dan keserakahan yang tertanam pada setiap orang. Menurut Hobbes, skenario tersebut hanya dapat dihindari apabila manusia menahan diri dan menekan nalurinya. Manusia harus merelakan kebebasannya dibatasi dan nalurinya dikendalikan oleh suatu kuasa di luar dirinya. Yang dimaksudkannya disini adalah kekuasaan yang diberikan kepada masyarakat dan atau Negara. Fungsi masyarakat dan Negara, begitu Hobbes, adalah itu: membatasi kebebasan dan kecenderungan naluriah manusia. Adam Smith berpandangan lain. Manusia, menurut pendapatnya, tidak perlu membatasi diri, toh manusia akan terhindar dari malapetaka, oleh karena ada “tangan yang tidak kelihatan” (invisible hand). Apakah yang ia maksudkan di sini adalah kuasa dan campur tangan ilahi, yang di dalam teologi Kristen disebut “kuasa pemeliharaan Allah” (providential dei)? Mungkin yang dimaksudkannya hanyalah suatu mekanisme di dalam hukum alam yang biasa. Ketiga, Adam Smith mau mengatakan, bahwa ekonomi mempunyai moralnya sendiri. Ia merupakan wilayah kehidupan manusia yang otonom yang berjalan menurut hukum-hukumnya sendiri. Ia tidak tidak diatur oleh moralitas yang lain, kecuali moralitasnya sendiri.8 Apa yang Terjadi pada Etika Bisnis? Sebuah kasus atau contoh yang terjadi dalam bisnis terjadi pada tanggal 8 November 2001, masyarakat dikejutkan ketika salah satu perusahaan paling maju dari dasawarsa 1990-an yang gegap gempita, Enron, mengakui bahwa telah menggunakan praktik-praktik akuntansi yang telah memperbesar jumlah pendapatan mereka hingga US$586 juta dalam periode waktu 4 tahun.9 Kurang dari satu bulan kemudian, Enron mengajukan Pasal 11 Kebangkrutan (Chapter 11 bankruptcy), dan pada awal tahun 2002, Departemen Kehakiman melakukan investigasi kriminal terhadap praktik-praktik perusahaan itu. Para penyidik ingin menetapkan seberapa banyak hal yang diketahuipara eksekutiftentang status perusahaan, karena mereka memberitahu para karyawan untuk 8 Ibid., 21-22. 9 John C. Maxwell .There’s No Such Thing As “Business Ethics”, Kaidah emas untuk para Profesional (Jakarta: Libri,2011),1.

Matius 5:13-12 75 mempertahankan bagian saham Enron mereka, tetapi menjual lebih dari $1 miliar saham milik mereka sendiri. Perusahaan itu menjadi bangkrut, simpanan pension para karyawan semuanya lenyap tak berbekas, dan jutaan investor kehilangan lebih dari US$60 miliar.10 Majalah Time peristiwa itu sebagai “Summer of Mistrust” (Musim Panas Penuh ketidakpercayaan) dan melaporkan, “Kebanyakan orang Amerika, 72% dalam jajak pendapat Time/CNN khawatir bahwa yang mereka lihat bukan sekedar beberapa kasus tersembunyi, tetapi suatu pola penipuan oleh sejumlah besar perusahaan. Ketika pembuat jajak pendapat George Burna bertanya pada orang-orang, apakah mereka memiliki “kepercayaan penuh” bahwa para pemimpin dari berbagai profesi akan “secara konsisten membuat keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan dengan tepat secara moral,” hasilnya sangat buruk. Jajak pendapat itu menunjukkan bahwa eksekutif perusahaan besar, pejabat pemerintah yang terpilih, dan produser, sutradara dan penulis Film dan TV hanya mendapatkan masing-masing kepercayaan 3% yang menduduki rating terendah. Rating tertinggi pertama dan kedua diduduki oleh guru dan kaum rohaniawan masing-masing 14% dan 11%. Sungguh membuka mata bahwa bahkan untuk para pemimpin (guru) yang paling dipercaya, enam dari tujuh orang tidak bersedia memberikan kepercayaan penuh kepada mereka.11 Orang ingin tahu: Mengapa etika berada dalam situasi yang sangat buruk? Meskipun ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu, saya yakin saat orang membuat pilihan-pilihan tidak etis, mereka melakukannya untuk salah satu dari ketiga alasan ini:12 Kita Melakukan Hal yang Paling Tepat Dilema etis bisa diartikan sebagai pilihan yang tidak diinginkan ataupun tidak menyenangkan sehubungan dengan prisnsip atau praktik moral. Sebagai seorang manusia, kita kelihatannya punya kecenderungan untuk gagal dalam tes etika pribadi. Mengapa kita melakukan sesuatu, bahkan 10 Ibid.,2. 11 Ibid.,5-6. 12 Ibid.,6-10.

76 Bisnis dan Agama kita tahu hal itu salah? Kita Melakukan Hal yang harus Kita lakukan untuk Menang John C. Maxwell berpendapat bahwa kebanyakan orang sama dengan dirinya: dia benci kalah! Para pelaku bisnis, khususnya, berkeinginan untuk menang melalui prestasi dan keberhasilan. Namun, banyak yang berpikir mereka harus memilih antara bersikap etis dan menang. Kita Merasionalkan semua Pilihan Kita dengan Relativisme Banyak orang memilih menghadapi situasi kekecewaan dengan memutuskan kekecewaan dengan memutuskan tindakan yang tepat pada saat itu, menurut situasi mereka. Itulah ide yang mendapatkan pengesahan pada awal tahun 1960-an ketika Dr. Joseph Fletcher menerbitkan sebuah buku berjudul Situation Ethics.13 Dalam buku itu, ia berkata bahwa kasih adalah satu-satunya standar yang bisa diterapkan untuk menentukan mana yang salah dan benar. Executive leadership Foundation menyatakan, Menurut Fletcher, hal yang benar ditentukan oleh situasi, dan kasih bisa membenarkan segalanya – berbohong, menipu, mencuri …bahkan membunuh. Filosofi ini menyebar dengan cepat di seluruh dunia teologi dan pendidikan… Sejak tahun 1960-an, etika situasional telah menjadi norma perilaku sosial. Setelah menyebar dengan cepat melalui dunia pendidikan, agama dan pemerintah, hal itu telah memasuki bidang yang baru-dunia bisnis. Hasilnya adalah situasi etis kita di masa kini.14 Etika Bisnis Kristiani Selayang Pandang Pertama-tama mesti diakui, bahwa untuk kurun waktu yang amat lama, kekristenan tidaklah bersikap terlampau ramah terhadap dunia dagang dan bisnis, dan oleh karena itu terhadap orang-orang yang berkecimpung di 13 Joseph Fletcher, Situation Ethics. The New Morality (Philadelphia: Westminster, 1966). 14 Executive Leadership Foundation, Absolute Ethics. A Proven System of True Profitability (Tucker, GA, 1987), 22-23.

Matius 5:13-12 77 dalamnya. Masalahnya, orang-orang Kristen pada zaman Perjanjian Baru memang sama sekali tidak menaruh kepeduliaan yang serius terhadap baik dunia bisnis maupun dunia politik. Mereka menghayati diri mereka terutama sebagai orang-orang dari aeon dan era baru. Mereka memahami diri mereka sebagai “ciptaan baru” dari “dunia baru” yang sedang dan akan didatangkan oleh Allah sendiri. Sekarang memang belum datang, tetapi zaman baru itu pasti dan akan segera datang.15 Pada awal sejarah gereja, yang disebut zaman patristik, sikap yang sama tetap dipertahankan, bahkan kadang-kadang dalam bentuk yang jauh lebih ekstrem. Pada umumnya, uang dan materi ditolak, hak milik pribadi dianggap dosa, dan hidup miskin dianjurkan. Hidup yang ideal adalah hidup biara. Kita dapat menduga, etika bisnis macam apa yang dapat dilahirkan dari sikap seperti itu (bdg. Igino Giordani, The Social Message of the early Church Fathers). Baru pada masa Abad Pertengahan, keadaan berubah agak fundamental. Situasi pada masa itu dapat dikatakan relatif stabil, atau lebih tepat “statis”. Inilah yang memungkinkan serta mendorong orang untuk menata kehidupan bermasyarakat secara lebih rinci dan rapi. Etika Kristen pada masa itu mempunyai bentuk kasuistri yang ingin mengatur segala sesuatu sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.16 Di pihak lain, pandangan gereja terhadap bisnis dapat berbedabeda. Sejarah mencatat dunia Yunani tidak mempunyai konsep tentang “panggilan” (vocation) dan menganggap bekerja adalah sebagai kutukan. Pola pikir ini sangat mempengaruhi pandangan gereja mula-mula sehingga sebagian besar bapa-bapa gereja mula-mula (kecuali Clement dari Alexandria) menerapkan pendekatan “atas dan bawah” dalam kehidupan. Berada dalam urutan tertinggi adalah rohaniawan yang tidak melakukan pekerjaan biasa di dunia. Secara universal, bidang bisnis biasanya menempati urutan kedua atau bahkan ketiga. Pada abad ke-15, hanya para rohaniawan yang dianggap menerima panggilan sedangkan orang percaya lainnya dianggap tidak mempunyai panggilan. Pandangan ini mulai 15 Darmaputera,1-2. 16 Ibid.,2-3.

78 Bisnis dan Agama berubah ketika Martin Luther dan diikuti John Calvin dan kaum Puritan mengungkapkan bahwa “kita tidak memilih, kita dipanggil, dan kita semua dipanggil”.17 Pandangan para reformator benar-benar menjadi dasar bagi bisnis yang dilakukan oleh orang percaya dan membongkar pandangan umum yang selama ini salah kaprah karena “panggilan telah disekulerkan di dunia dan disakralkan di gereja”. Pada abad ke-18 dan 19, pemikiran yang paling banyak diterima umum adalah: bahwa segala sesuatu akan beres, apabila masing-masing dibiarkan bebas sepenuh-penuhnya sesuai dengan “kodrat”nya, tanpa campur tangan manusia. Jadi apabila “kodrat” bisnis adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sebaiknya itu tidak perlu dicela atau dicegah.18 Apabila kita telusuri tokoh-tokoh etika Kristen sejak zaman Yunani sampai abad ke 19, maka nampak sekali mereka berada dalam dua mainstream (aliran) besar yakni yang disebut deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan bahwa kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu, tetapi apakah tindakan itu betul atau salah dalam arti moral religi (Kristen) tanpa melihat pada akibatnya, misal bohong itu salah, entah akibatnya baik atau buruk. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri netral; tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik dan atau salah apabila akibatnya buruk 19 Mulanya Gereja Roma Katolik berpandangan bahwa miskin secara sukarela merupakan pahala hidup. Itulah sebabnya muncul sikap tentang hidup kerahiban. Hak milik perorangan dihubungkan dengan hukum kodrat. Tentang upah, dihubungkan dengan kodrat sehingga upah harus adil. Kepemilikan sendiri merupakan barang pinjaman. Itulah sebabnya kepemilikan harus dipelihara dengan baik dan dipertanggungjawabkan 17 Paul Stevens, God’s Business. Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: BPK,2008), 55-64. 18 Darmaputera, 5. 19 Aris Munandar. Etika Bisnis Dalam Perspektif Katolik. Diakses pada 02 Maret 2012. Tersedia di uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2595: etika-bisnis-dalam-perspektif-katolik&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210; bdg.Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius,1997).

Matius 5:13-12 79 di hadapan Tuhan Sang Pemberi harta milik.20 Dalam pengertian Gereja Katolik, iman kristiani tidak memuat ketentuan apapun tentang bagaimana harus menjalankan bisnis, apa yang boleh dan tidak boleh. Jadi, pada hakekatnya tidak ada norma-norma khas Katolik (Kristen) bagi etika bisnis. Namun demikian, etika bisnis dari perspektif Katolik dapat ditinjau dari iman seoranga pelaku bisnis yang Katolik dalam menjalankan usahanya. Ini berarti ajaran sosial dan etika hidup kristiani yang mengacu pada contoh hidup & ajaran Yesus Kristus menjadi landasan seorang Katolik dalam menjalankan usaha bisnisnya.21 Gereja Katolik sejak seratus tahun yang lalu menyadari tanggung jawabnya terhadap keadilan sosial. Sebagai dampak terjadinya revolusi industri dimana ideologi kapitalisme berkembang pesat, memaksa Gereja Katolik mengadakan refleksi teologis yang baru. Refleksi ini melahirkan ajaran sosial Gereja Katolik (dari pimpinan Gereja; Paus dan Konsili Vatikan) yang menekankan masalah ketidakadilan sebagai ekses penerapan sistem kapitalisme tersebut. Ajaran sosial Gereja tersebut di atas bersifat normatif seperti tentang upah yang adil, hak membentuk serikat buruh, hak memperjuangkan hakhak buruh, penolakan terhadap liberalisme ekonomis dengan penegasan negara wajib campur tangan demi keadilan sosial serta beberapa kepentingan lainnya yang mengarah pada tatanan sosial yang adil. Pandangan diatas diterjemahkan setidaknya kedalam 3 prinsip dasar penataan masyarakat yang relevan dengan martabat manusia yaitu (1) kesejahteraan umum (2) keadilan sosial (3) solidaritas.22 Setidaknya terdapat 5 pokok etika bisnis yang diharapkan dijalankan oleh pelaku bisnis beragama Katolik yaitu: (1) Jujur; (2) Bertanggung jawab dengan perhatian khusus pada hak dan kemajuan para karyawan dan buruhnya; (3) Sadar akan kewajibannya dalam mewujudkan kesejahteraan 20 R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi, cet. Ke-4 (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010), 106. 21 Munandar; Franz Magnis-Suseno, Etika Bisnis dalam Perspektif Katolik. 22 Ibid.

80 Bisnis dan Agama umum; (4) Adil; (5) Memiliki komitmen tinggi dan terikat oleh tuntutan untuk ikut merealisasikan keadilan sosial dengan perhatian khusus terhadap solidaritas nyata bagi mereka yang miskin, lemah dalama masyarakat.23 Dari pihak Protestan dimulai dari pandangan para reformator. Martin Luther mengkritik cita-cita para rahib untuk hidup miskin secara sukarela karena mereka masih membutuhkan barang-barang duniawi. Dalam hal harta milik, jika dihubungkan dengan perdagangan, harta milik harus dibatas. Demikian cara hidup yang mengemis harus diberantas. Oleh sebab itu harus dibuka pasar atau kesempatan kerja. Johanes Calvin memandang bahwa harta milik merupakan barang pinjaman. Segala macam kemewahan dan kelimpahan dapat saja membahayakan orang. Itu sebabnya harus ada penghematan. 24 Menurut Ulrich Zwingli menghubungkan harta milik dengan penatalayanan (Inggris: stewardship). Secara teologis stewards dalam bahasa Inggris berarti juru kunci. Hal itu berarti secara individual, pemilik harus mengelola dengan betul atas harta miliknya dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Harta milik itu sendiri merupakan karunia sehingga harus dinikmati sebagai penghiburan. Dari beberapa pandangan tersebut di atas dapat direflesikan a) Tuhan adalah satu-satunya Pemilik Agung yang mutlak; b) barang-barang merupakan pinjaman yang diberikan Tuhan kepada manusia; c) kita harus bertanggungjawab atas penggunaan harta milik tersebut agar sesuai dengan kehendak Tuhan Sang Pemberi Agung; d) harta milik mewajibkan seseorang untuk bekerja karena kerja menimbulkan kepemilikan; e) negara wajib melindungi hak milik; f) gereja dipanggil untuk menyatakan bahwa Tuhan yang telah menyatakan diri di dalam Tuhan Yesus Kristus adalah Tuhan atas barang dan uang, adalah milik Tuhan sepenuhnya.25

23 Ibid. 24 Brotosudarmo,106 25 Ibid.,107.

Matius 5:13-12 81 Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab sosial adalah kesadaran di pihak perusahaan untuk di dalam proses pengambilan keputusannya selalu secara sadar dinilai serta diperhitungkan dampak dari keputusan yang akan diambil itu bagi masyarakat luas, dengan tujuan agar disamping keputusan tersebut akan menghasilkan keuntungan ekonomis bagi perusahaan, ia juga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.26 Saya mendefenisikan tanggung jawab sosial itu adalah suatu pengakuan dari perusahaan bahwa keputusan bisnis dapat mempengaruhi masyarakat (komunitas dan lingkungannya) dan secara luas meliputi tanggung jawab perusahaan terhadap pelanggan, karyawan dan Kreditur. Beberapa argumentasi yang mendukung tanggung jawab sosial itu, sekalipun hukum misalnya tidak mengharuskannya: a) kepentingan jangka panjang. Bila perusahaan bisnis peka terhadap kebutuhan masyarakat, dan berupaya untuk memenuhinya, dalam jangka panjang ia akan menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih menguntungkan bagi usaha-usaha bisnis;b) citra sosial. Perusahaan dengan tanggung jawab sosial yang tinggi juga akan mempunyai citra yang tinggi dipandang; c) kelangsungan hidup. Sebuah perusahaan yang mempunyai citra yang baik di mata masyarakat akan dihargai oleh masyarakat. Penghargaan ini amat besar pengaruhnya bagi kelangsungan hidup perusahaan; d) menghindari regulasi. Apabila telah memenuhi tanggung jawab sosialnya, maka pemerintah tidak akan perlu memaksakan peraturan apa-apa mengenai ini. Itu berarti perusahaanperusahaan bisnis akan dapat mempertahankan kebebasan dan otonomi di dalam mengambil keputusan.27 Kontra tanggung jawab sosial itu adalah: a) maksimalisasi laba. Tujuan satu-satunya yang sah bagi bisnis adalah maksimalisasi laba. Sering bertolak belakang dengan tanggung jawab sosial karena mengurangi laba perusahaan; b) biaya. Beban biaya bagi pemenuhan tanggung jawab sosial yang tidak dapat diperoleh kembali secara ekonomi berarti 26 Darmaputera,130. 27 Ibid.,131-132.

82 Bisnis dan Agama menciutkan produktivitas perusahaan, yang dalam jangka panjang justru akan merugikan masyarakat; c) keterampilan. Penanggulangan masalahmasalah sosial membutuhkan keterampilan sosial tertentu. Orang-orang bisnis terkadang tidak mempunyai ini; d) masalah-masalah sosial tetap akan ada; e) merugikan daya saing28. Dalam perdagangan internasional, perusahaan-perusahaan yang dengan konsekuen melaksanakan tanggung jawab sosialnya dalam jangka panjang kalah dalam persaingan. Pengambilan Keputusan Etis Kristiani Untuk mengambil keputusan etis dalam bisnis diperlukan beberapa pedoman. Brownlee menyajikan lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, yaitu: iman, tabiat, lingkungan sosial, norma-norma, dan situasi. Iman Iman mempengaruhi perbuatan. Dalam Injil Lukas 18:18-27 dikatakan, bahwa ada orang kaya bertanya kepada Tuhan Yesus tentang apa yang harus dilakukan agar memperoleh kehidupan yang kekal. Jawab Tuhan Yesus, orang tersebut harus menjual semua harta miliknya, kemudian dibagikan kepada semua orang miskin. Orang kaya tersebut tidak mau melaksanakan saran-Nya. Demikian juga Petrus menyangkali Tuhan Yesus (Mat. 26:6975). Hal itu menunjukkan bahwa kesetiaan Petrus sangat lemah jika dibandingkan dengan keamanan pribadinya. Jadi, kelakuan etis kristiani adalah perbuatan yang berdasarkan iman kepada Tuhan yang sudah menyatakan diri di dalam Tuhan Yesus Kristus.29 Tabiat Tabiat dapat didefenisikan sebagai susunan batin seseorang yang memberi arah dan ketertiban kepada keinginan, kesukaan dan perbuatan orang itu. Susunan itu dibentuk oleh interaksi antara diri orang dengan 28 Ibid.,133-134. 29 Brotosudarmo, 78; Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan etis dan faktor-faktor di dalamnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 70-100.

Matius 5:13-12 83 lingkungan sosialnya dan Allah. Tabiat tidak sama dengan watak. Watak biasanya dianggap sebagai bentuk diri kita yang kita dapat secra alamiah waktu kita lahir. Watak itu bersifat tetap. Tetapi tabiat kita berkembang dan berubah sepanjang hidup kita. Tabiat mempunyai kontinuitas tetapi tidak mempunyai ketetapan. Sifat-sifat tabiat bertahan tetapi tabiat tidak pernah dalam keadaan sudah jadi. Tabiat memberi keselarasan kepada perbuatanperbuatan kita tetapi juga dapat dibina dan diubah.30 Ciri-ciri tabiat Kristen yaitu integritas, pengertian tentang kehendak Allah dan kepekaan kepada apa yang baik, kebajikan-kebajikan dan serupa dengan Kristus.31 Dalam Perjanjian Baru ada beberapa daftar kebajikan-kebajikan orang Kristen. Dalam ucapan bahagia (Matius 5:1-12), Yesus menyebut tujuh kebajikan: kerendahan hati (miskin di hadapan Allah), kepekaan kepada kejahatan (berdukacita karena kejahatan), kelemah lembutan, kelaparan dan kehausan akan kebenaran, kemurahan hati, kemurnian hati dan kedamaian. Dalam 2 Ptr. 1:5-7 iman, kebaikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, dan kasih disebut sebagai sifat-sifat kehidupan orang Kristen. Rasul Paulus menulis beberapa daftar kebajikan Kristen misalnya iman, pengharapan dan kasih (1 Kor. 13:13; 1 Tes. 1:3;5:8); kebenaran, keadilan, kerelaan untuk memberitakan Injil Kristus, damai sejahtera dan iman (Ef. 6:14-16); kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran dan kemurahan hati, kasih, kejujuran dan keadilan (2 Kor. 6:6-7). Kebajikan-kebajikan ini selalu dipandang sebgai hasil pekerjaan Roh Kudus.32 Lingkungan Sosial Pengambilan keputusan etis dipengaruhi oleh lingkungan, yakni keluarga, teman-teman, pandangan umum (public opinion) dalam masyarakat, komunikasi massa dan gereja. Pengaruh lingkungan sosial ini terjadi karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk monodualis (sifat individu sekaligus sosial), makhluk yang hidup jasmani dan rohani. Sistem 30 Brownlee,op. cit.,113. 31 Ibid.,131-140. 32 Ibid.,138.

84 Bisnis dan Agama nilai budaya juga mempengaruhi pengambilan keputusan etis yang kita ambil dan lakukan itu mempunyai dimensi sosial. Dalam masyarakat terdapat pranata-pranata sosial, budaya dan adat. Adat sendiri berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan yang memberi arah perbuatan manusia yang menjadi anggota suatu masyarakat itu. Pranata sosial sebagai pengontrolnya. Kita juga harus ingat bahwa ada unsur dosa dalam lingkungan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Hubungan kita dengan sesama dapat membentuk kepribadian kita. Namun sebaliknya kita dapat juga mempengaruhi lingkungan. Dalam masyarakat modern, kita memerlukan tabiat yang teguh, sebab patokanpatokan etis, norma-norma etis lebih longgar atau bebas. Kebebasan dan kesempatan lebih besar daripada orang tradisional.33 Norma-norma Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsip yang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber yang paling berotoritas yaitu norma bagi orang Kristen adalah Alkitab.34 Situasi Pengertian mengenai situasi penting karena: a) Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut; b) agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut; c) agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian.35 Cara-cara Pengambilan Keputusan Etis Dalam mengambil keputusan etis, ada beberapa sumber bantuan yang menolong kita agar pengambilan keputusan etis itu baik, benar dan tepat. Beberapa sumber bantuan tersebut antara lain:36 33 34 35 36

Ibid.,145-181. Ibid.,182-200. Ibid.,200-214. Brotosudarmo,80-81;Brownlee,op. cit.,241-246.

Matius 5:13-12 85 Doa, Ibadah dan Roh Kudus Doa tidak boleh dipandang sebagai permohonan bimbingan untuk mengambil keputusan etis, tetapi sebagai cara untuk mengakrabkan diri kita dengan Tuhan, sehingga doa meningkatkan kemampuan kita untuk mengambil keputusan. Doa adalah dialog kita dengan Tuhan karena sendirilah yang mengarahkan kita. Hubungan yang erat antara kita dengan Tuhan melalui doa dan ibadah akan memampukan kita untuk mengetahui kehendak-Nya dalam masalah-masalah yang sulit yang kita hadapi. Firman Tuhan berkata, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang” (I Timotius 4:8). Jadi, latihlah dirimu beribadah. Yang terutama adalah Roh Kudus membimbing orang yang betul-betul mencari kehendak Tuhan. Roh Kudus sebagai “motor penggerak” dalam mengambil keputusan. Roh Kudus dapat mengubah kehendak kita dan meningkatkan kemampuan kita. Oleh karena itu, hal penting dalam pengambilan keputusan adalah kita mau membuka hati kita agar Roh Kudus berkarya dalam hidup kita. Gereja dan Persekutuan Orang Kristen dalam mengambil keputusan etis ternyata tidak sendirian. Gereja dan persekutuan orang percaya mendukung berdasarkan kasih setia karena setia karena semua orang adalah satu tubuh di dalam Kristus. Hal ini berarti warga gereja akan menolong dalam pengambilan keputusan etis dengan cara memberikan nasihat, penerimaan, dukungan dan doa. Alkitab Alkitab sebagai Firman Tuhan sangat berpengaruh dan sangat penting bagi orang Kristen untuk mengambil keputusan etis. Pengaruh Alkitab dalam membimbing untuk menghadapi masalah-masalah moral, membentuk tabiat dan iman kita serta perangai kita.Alkitab menunujukkan kepada kita bagaimana seharusnya hidup menurut atau taat kepada Tuhan Allah. Contoh orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37). Contoh itu

86 Bisnis dan Agama mengajar kita bahwa kasih itu mengatasi dan menembusi batas-batas etnis dan ideologis. Contoh itu juga mengajar kita dalam kita menghadapi suatu kasus. Semakin kita rajin membaca dan menelaah Alkitab, maka kita akan tahu bagaimana kita mengambil keputusan etis yang baik dan mempertajam wawasan kita. Analisa Biblika Perjanjian Baru tentang Etika Bisnis berdasarkan Injil Matius 5:3-12 Secara tertulis sangat sulit menemukan kata etika dalam ajaran Yesus dan juga ajaran tentang etika bisnis. Namun, kita dapat menemukan delapan ciri watak dan tabiat Kristiani dalam khotbah di Bukit khususnya hubungan dengan Allah dan sesama manusia, dan berkat-berkat Allah yang dicurahkan atas diri mereka yang memperlihatkan ciri-ciri itu. Khotbah itu melukiskan perilaku yang dituntut Yesus dari setiap pengikut-Nya yang sekaligus warga Kerjaan Allah.37 Secara sederhana etika Kerajaan Allah adalah ajaran tentang watak Kristiani yang harus dimiliki sebagai warga Kerajaan Allah. Dengan kata lain Khotbah di Bukit adalah ajaran Yesus tentang etika Kerajaan Allah yang sangat sesuai dengan perilaku orang Kristen dalam bisnis. Saya akan membahas secara biblika tentang Khotbah Yesus di Bukit berdasarkan Matius 5:3-12. Pertama, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (ayat 3). Pada waktu Yesus menyebut “orang miskin” bukan saja mempunyai arti orang yang tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga orang yang miskin di bidang religius.38 Maka untuk menjadi “orang miskin di hadapan Allah”, kita harus mengakui kemiskinan spiritual kita, bahkan kebangkrutan kita di hadapan Allah. Seperti ditulis Calvin, “Hanya dia yang menganggap dirinya tak berarti sama sekali di mata Tuhan, lalu semata-mata bergantung pada anugerah Tuhan, hanya orang seperti itulah yang miskin di hadapan 37 John R.W.Stott, Khotbah di Bukit, cet. ke-4 (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 28. 38 J.L.h. Abineno. Khotbah di Bukit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 14.

Matius 5:13-12 87 Tuhan!”.39 Karakter yang harus dimiliki oleh seorang pelaku bisnis adalah memiliki hubungan atau persekutuan dengan Allah dalam kehidupan kristianinya untuk mengetahui kehendak Allah dalam hidupnya dan benar dalam pengambilan keputusan dalam usahanya. Jadi dikatakan pula oleh Yesus, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6: 24). Hal ini mengingatkan kita untuk tidak mencintai uang dan menjadikannya berhala melainkan digunakan untuk memuliakan Tuhan. Kedua, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (ayat 4). Kesedihan yang dimaksudkan oleh Yesus disini adalah dukacita manusia akan keberdosaannya; suatu penyesalan karena dirinya terbukti telah mengecewakan Allah. Perasaan takut akan Allah yang timbul dari persaan miskin secara rohani itulah yang membuatnya berduka cita.40 Orang-orang yang berdukacita seperti itu, yang menangisi dosadosa dan kejahatan, akan dihibur dengan hiburan satu-satunya yang dapat melepaskan mereka dari sengsaranya, yaitu pengampunan Allah yang tidak menuntut imbalan, yang boleh diterima dengan cuma-cuma.41 Ketiga, Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (ayat 5). Kata sifat Yunani praus berarti lemah lembut, rendah hati, baik budi, sopan dan dalamnya terkandung pengertian penguasaan diri, karena tanpa itu kualitas-kualitas itu mustahil ada.42 Contoh nyata adalah Yesus sendiri (Mat. 11:29). Secara menarik Dr. Lloyd Jones meringkasnya sebagai berikut, “Akar kelemah lembutan ialah pendapat yang jujur dan ikhlas dari seseorang mengenai dirinya sendiri…. Orang yang benar-benar lemah lembut ialah orang yang sungguh malu sekaligus 39 40 41 42

Stott, 51-52. Sinclair B. Ferguson. Khotbah di Bukit, cet. ke-4 (Surabaya: Momentum, 2009), 21. Stott, 55. Ibid., 56.

88 Bisnis dan Agama terpesona oleh kebaikan, tanggapan dan perlakuan Allah dan manusia terhadap dia, padahal dia tahu bahwa dia tidak layak menerimanya. Inilah yang membuat dia lemah lembut, rendah hati, peka, sabar dalam segala hubungan dengan sesama manusia”.43 Keempat, Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (ayat 6). Orang yang lapar dan haus yang dikenyangkan Allah ialah mereka “ yang lapar dan haus akan kehendak Allah”. Kelaparan dan kehausan spiritual seperti itulah yang merupakan ciri khas semua anak Allah, yang ambisi utamanya adalah spiritual dan bukan materi. Orang Kristen bukan seperti orang yang tidak mengenal Allah, yang tergila-gila kepada harta kekayaan materi; itikad bulat mereka ialah “mencari dahulu”, mendahulukan Kerajaan Allah dan kehendak-Nya (Mat. 6:33).44 Ungkapan “lapar dan haus akan kebenaran” memiliki beberapa pengertian. Yang terutama berarti rindu akan suatu hubungan baik dengan Allah, dan itu juga berarti rindu untuk dapat hidup dengan benar dihadapan-Nya. Kelima,”Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (ayat 7). Kemurahan hati bermuara dalam dua sikap yang saling berbeda yaitu dalam mengasihi dan mengampuni. Kita mengasihi orang yang kita lihat kesakitan, menderita sengsara atau berdukacita tapi kita juga mengampuni orang-orang yang berbuat salah kepada kita yang menjahati kita.45 Contoh nyata adalah perumpamaan orang Samaria (Luk. 10:30-37). Dalam perannya sebagai contoh dalam hal kemurahan hati, ada dua hal yang patut dicatat:1) kemurahan hati yang menyembuhkan akibat dosa dalam hidup sesama manusia; dan2) kemurahan hati tidak tersembunyi di belakang larangan-larangan Alkitab untuk melindungi diri sendiri dari pelayanan yang menuntut pengorbanan.46 Keenam, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (ayat 8). Makna “orang yang suci hatinya” alah orang yang 43 44 45 46

Ibid.,57. Ibid.,58-59. Ibid.,62. Ferguson, 35-36.

Matius 5:13-12 89 suci secara batiniah, yaitu kualitas orang yang telah disucikan hatinya dari kotoran-kotoran moral, selaku kebalikan dari kesucian secara ritual. Itulah sebabnya Raja Daud sadar, bahwa Tuhan berkenan akan “kebenaran dalam batin”, yang berdoa “jadikanlah hatiku tahir, ya Allah” (Mazmur 51:8,12;bdg. Mazmur 73:1;Kis. 15:9; I Timotius 1:5). Jadi orang yang suci hatinya itu adalah orang yang “amat bersungguh-sungguh”. Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan sesama manusia. Hati mereka termasuk pikiran dan motivasi mereka adalah murni, tidak tercampur dengan sesuatu yang cemar jelek, atau tersembunyi. Kemunafikan dan tipu daya tabu bagi mereka , tidak ada akal bulus pada mereka.47 Ketujuh, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (ayat 9). Menurut Ucapan Bahagia ini, orang Kristen dimaksudkan menjadi pembawa damai, baik dalam masyarakat maupun dalam gereja. Secara jelas pasti dalam seluruh ajaran Yesus dan para rasul-Nya, bahwa kita sendiri sekali-kali tidak boleh mencari garagara atau biang keladi suatu konflik. Sebaliknya, kita terpanggil untuk hidup dalam damai (I Kor. 7:15), kita harus giat mencari “kedamaian” (I Ptr. 3:11), kita harus “berusaha hidup damai dengan semua orang” (Ibr. 12:14), kita harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm. 12:18).48 Kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (ayat 10-12). Mereka yang rindu akan kebenaran akan menderita bagi kebenaran yang mereka rindukan. Kita tidak usah heran kalau kebencian kepada orang Kristen meningkat, kita malahan harus heran bila itu tidak terjadi. 47 Stott, 64-66 48 Ibid., 66-67.

90 Bisnis dan Agama Dalam khotbah di bukit, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa kedatanganNya bukan untuk merombak Taurat melainkan menggenapinya (Mat. 5:17). Ia miskin karena kita (II Korintus 8:9). Dari penjelasan itu, kita diangkat sebagai ahli waris Kerajaan Allah (Matius 5:1-12). Sementara itu orangorang yang lapar akan dikenyangkan (Lukas 1:52-53). Kekayaan bukan sebagai ukuran untuk mencapai keselamatan (Matius 19:16-26). Tentang uang, dikatakan bahwa statusnya harus diturunkan dari “takhtanya” untuk melayani (Yohanes 12:1-12;Kis. 9:36; Lukas 9), artinya kita tidak bisa menyembah uang atau mencintai uang, tetapi menggunakan uang untuk pelayanan-Nya dan mewujudkan Kerajaan Allah di bumi.49 Kewajiban religius dan etis yang terpenting dari seorang pengusaha bukanlah memberikan persembahan uang yang sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan dari mana dan dengan cara bagaimana uang itu diperolehnya. Persembahan sebesar apapun sama sekali tidak mengurangi apalagi menghilangkan tuntutan etis yang paling prinsipal: keadilan, kemurahan hati dan kesetiaan. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”.50 “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” .51 JohnC. Maxwell menyebutnya sebagai ayat “Kaidah Emas” atau “Kaidah Kencana” yang berlaku secara universal yang diakui oleh semua agama lain karena agama-agama lain juga memilikinya, meskipun sifatnya selalu negatif, artinya menggunakan kata “tidak’ atau “melarang”. Dalam ayat itu, Yesus mengajarkan bahwa tanpa kasih karunia Allah, kita tentu mustahil mempraktikkan, dan bila kita toh mampu 49 Brotosudarmo, 106;Matius 23:23. 50 Darmaputera, 62-63. 51 InjilMatius7:12. Ayat ini juga terdapat dalam ajaran Kong Hu Cu, Buddha, Hindu dan Islam, namun menggunakan kalimat yang “negatif”, artinya bersifat larangan.

Matius 5:13-12 91 melakukannya, maka yang bekerja dalam diri kita adalah kasih-Nya. Dan kasih-Nya inilah salah satu pemberian-Nya “yang baik”, yang melalui Roh Kudus dkaruniakan-Nya kepada kita sebagai jawaban atas doa kita (Luk. 11:13).52 Baru-baru ini, saya mendapat kesempatan berjumpa dengan Mark Richt, dan saya berkesimpulan bahwa ia seorang yang berkarakter kuat. Ia mengatakan bahwa hidupnya berubah total saat berhenti memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ia menghasilkan keunggulan terhadap segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi pusat perhatiannya adalah untuk menolong orang. Hanya orang berkarakter yang dapat memberikan dampak kepada orang lain sebagaimana tindakan Richt. Karakter adalah kunci untuk menjalani suatu kehidupan yang berintegritas dan unggul secara etis. Di bawah ini adalah keunggulan dari karakter:53 •• Karakter lebih besar daripada bicara. Banyak orang berbicara tentang melakukan hal yang tepat, tetapi tindakan adalah ukuran yang sebenarnya dari karakter. •• Bakat adalah Anugerah, tetapi karakter adalah pilihan. Ada beberapa hal yang penting yang bisa dipilih setiap orang. Kita memilih keyakinan, sikap dan karakter kita. •• Karakter membawa kesuksesan terus-menerus pada orang lain. Kepercayaan itu penting ketika bekerja pada orang lain. Karakter menghasilkan kepercayaan. •• Orang tidak bisa melaju melewati keterbatasan karakter mereka. Memiliki karakter merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan kesuksesan. Kesimpulan Tidak ada yang namanya etika bisnis, yang ada hanyalah etika. Orang berusaha menggunakan serangkaian etika untuk kehidupan professional mereka, etika yang lain untuk kehidupan spiritual mereka, dan etika lain 52 Stott,278. 53 Maxwell,71-72.

92 Bisnis dan Agama lagi untuk kehidupan keluarga mereka. Untuk melakukan etika apapun dalam hal ini bisnis harus bersumber dari kebenaran Firman Tuhan, Alkitab sebagai dasar etika yang dikenal dengan etika Kerajaan Allah yaitu suatu karakter Kristus yang didasari oleh kasih Allah dalam hubungan persekutuan yang mendalam dimana manusia mengasihi Tuhan dan mengasihi sesamanya (Mat. 5:3-12). Ucapan Bahagia Yesus itu melukiskan potret seutuhnya dari seorang murid Yesus. Karakter Kristus yang harus dimiliki seorang pelaku bisnis adalah mengandalkan Tuhan dalam membangun bisnisnya, mengakui dosa dan kejahatan serta meninggalkannya. Ini membuat ia lemah lembut dalam semua hubungannya dengan pihak lain, sebab kejujuran dan keikhlasan dalam berbisnis, ia haus dan lapar akan kebenaran serta rindu untuk bertumbuh dalam kepenuhan Kristus. Dalam hubungannya dengan sesama, ia memiliki kemurahan hati kepada mereka yang remuk oleh kejahatan dan dosa. Kesungguhan hatinya terbaca bagi semua orang dalam segala perilakunya dan ia suka berdamai dan mengampuni. Namun orang tidak berterima kasih atas usaha-usahanya, malahan memusuhi, memfitnah, menghina dia karena kebenaran yang dibelanya dalam Kristus. Ia seorang yang tidak cinta uang tetapi memakai uang untuk memuliakan Tuhan, taat kepada Tuhan dan taat kepada pemerintah (peraturan pemerintah dan hukum), dan menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik (bayar pajak dan turut mensejahterakan karyawan serta turut melestarikan lingkungannya) dan tanggung jawab sosial terhadap sesama.

4 SHARING, A RELIGIOUS END OF ECONOMIC PRACTICE. THE AMMATOANS OF SULAWESI, INDONESIA Samsul Ma’arif

Abstrak Makalah ini membahas tentang praktik ekonomi religi orang Ammatoa, salah satu komunitas lokal di Sulawesi Selatan, Indonesia. Penulis berpendapat dalam makalah ini bahwa aktifitas ekonomi orang Ammatoa berkaitan erat dengan agama mereka. Agama dan ekonomi bahkan tidak terpisahkan, bagi orang Ammatoa. Dalam paper ini, aktifitas ekonomi dilihat sebagai salah satu dimensi praktik agama. Paper ini menunjukkan manifestasi agama dalam ekonomi dengan membahas aktifitas ekonomi orang Ammatoa. Sekalipun telah melibatkan sistem pasar atau ekonomi modern yang kapitalis, orang Ammatoa tetap melakoni aktifitas ekonominya sebagai praktik keagamaan. Mereka melakukan proses “agamanisasi” terhadap sistem ekonomi modern dengan selalu menyandarkan aktifitas ekonominya pada nilai-nilai agama lokalnya sebagaimana tertuang dalam tradisi oral yang mereka sebut Pasang ri Kajang. Inti dari aktifitas ekonomi religi orang Ammatoa adalah sharing (berbagi). Sharing bagi mereka adalah praktik relasi yang memberi kontribusi terhadap semua pihak yang terlibat. Demikian pulalah orang Ammatoa memahami esensi agama. Beragama berarti berbagi. Orang Ammatoa memiliki beragam profesi, sekalipun profesi utamanya adalah petani. Mereka bekerja dan melakukan bisnis untuk mendapatkan uang. Tujuan utama dari perolehan uang adalah berbagi (sharing) melalui praktik “hadiah” (gift) yang dilaksanakan dalam ritual. Dalam konteks itulah orang Ammatoa memahami praktik ekonomi, tradisional atau modern, sebagai dimensi praktik agama.

94 Bisnis dan Agama Introduction This paper examines the economic practices of the Ammatoans of Sulawesi. It demonstrates that the Ammatoans’ economic activities are tightly tied to their religion. The diverse Ammatoan economic activities are all oriented to or perceived to be parts of religious practice. Economy is thus elaborated as a dimension of religious practice. Economic activities are valued religiously, in that any economic system is ethically proper as long as it is suitable to religion. Religion in the perspective of the Ammatoans is understood as an act of relationship: relationship to human beings – the living and the dead – and non-human beings that include God, animals, forest, rivers, and so forth. Relationship in this sense requires reciprocal exchanges of mutually benefit. Being religious is to relate with others in contributive ways: to contribute to the well-being of the selves and others. Someone is irreligious if she or he harms his or her fellows. Any religious practice is then a practice of contextualising a mutually beneficial relationship. The Ammatoans perceive their economic activities as acts of relationship and reciprocal exchange. They exchange their goods and services for their mutual benefit. The practice of economic exchange is thus religious. It is to benefit others in addition to the self.Religion and economy, from the Ammatoan point of view, are interconnected and even inseparable. Economic activities are for religious purposes, and religion is exercised in everyday activities, including economic ones. This paper contributes to the scholarship on the relationship between religion and economy. The scholar who first observed the existence of relationship between religion and economy in modern times was Max Weber (1905). According to Weber, in The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, certain religious teachings are closely related to economic activity or behaviour. He observed that countries where people adhered to Protestantism had the highest rate of economic growth. Religious ideas for Weber shape economic activities and structures (Goldman 1990). Weber

Sharing among the Ammatoans 95 contended that certain elements of Protestant theology were significant factors in the emergence of business activities (Miller & Timothy 2010, 50). Weber’s seminal insight remains influential in current scholarship. Scholars have applied Weber’s theory to other religious phenomena. Michael Novak (1990; 1996), for example, observed a similar case in Catholicism.E. Woodburn (1985) argued that Japanese Buddhists who migrated to the US before 1924 had a similar “spirit of capitalism” to that of Protestant Christians. Similarly, G. Redding (1995) found that Confucian religious values have an impact on economic behaviour in China. Finally, David W. Miller and Ewest Timothy(2010), echoing Weber and others, argue that religious values continue to have impact on economic behaviour and activities. For Miller and Timothy, the question is now not “Does religion have an impact on the economy?” but rather, “How to measure the impacts of religion on the economy?”Aclose relationship between religion and economy is no longer open to question. People who adhere to a certain religion are personally involved in both their economic and religious activities. D. Miller (2007) even argues that people around the globe increasingly desire to live in holistic ways where their religious and economic attitudes and behaviour are integrated. Along these lines, Covey (1989), Senge (1990), Block (1996),Porter and Kramer (2006), and Ashforth and Pratt (2010) all suggest that to sustain business organisations and the loyalty of workers, the well-being of employees, which is their whole self, should be guaranteed, and that includes their religious faith. This paper joins in such scholarly arguments. It supports Weber’s theory of the existence of a relationship between religion and economy. Itdoe not argue, however, that religion necessarily stimulates economic growth, as suggested by Weber. Its emphasis is not on how the Ammatoan religion has impacts on Ammatoan economic attitudes and behaviour, but on how economic activities become the means of religious practice and so are practised for religious ends.

96 Bisnis dan Agama The Ammatoans: A religious minority group of Indonesia The Ammatoans are an indigenous community living in Tanah Toa village, a sub-district of Kajang, in the district of Bulukumba and the province of South Sulawesi. As an indigenous community of Sulawesi, the Ammatoans have encountered the forces of modernisation and Islamisation and have transformed their religio-cultural tradition partly as consequences of such encounters. Their indigenous strategies for religio-cultural survival enable them to transform their tradition: modernisation and Islamisation have offered them new sources to enrich their tradition. They profess to be Muslim and have incorporated the modern economic system in their economic activities. One of the Ammatoans’ indigenous strategies in transforming their tradition is their two territorial divisions: the inner and the outer territories. The outer territory is where the Ammatoans welcome outsiders, place and examine their programmes, and interact with them dialectically. The state programmes, including a modern economic system, and Muslim propaganda are all exercised in this area. As with mosques, a market has been installed in their village, and the people have adjusted their economic activities to a market system. In the inner territory, those outside sources are minimised, if not forbidden. They strive to keep the territory untainted. Through their territorial divisions, the Ammatoans have successfully presented themselves to outsiders as welcoming, but restrictive to their indigenous tradition, including their indigenous religion and economic system. This paper analyses Ammatoan economic activities in this context, in which the Ammatoan traditional economic system and values interact with the modern economic system. The analysis focuses on the dialectical encounters and interactions with outsiders. Intrusion of modernity should not be expected to alter the Ammatoan tradition as the basis of their economic system and values. Religious economy in practice As said, a small market has been installed in Tanah Toa. Its presence may suggest that the economic life of Ammatoans is capitalistic, understanding that

Sharing among the Ammatoans 97 capitalist transactions are represented as a generalised commodity exchange through a market (Carnegie, 2008, 364). The economic life of Ammatoans cannot, however, be theorised by lookingonly at the existence of the market, for their economic practices and enterprises are diverse. They include communal, private, and non-market transactions, and all should be incorporated in an economic analysis (Carnegie, 2008,357). This analysis incorporating all kinds of transactions enables us to cover both market/capitalist and non-market practices as contributing to the livelihoods of Ammatoans. The small market of Tanah Toa lies in the outer territory but close to a gate entering the inner territory. The market is visited by Ammatoans from both the inner and the outer territories, as well as by non-Ammatoans living nearby. Ammatoans also go to the markets of other places. The market operates three times a week: Tuesday, Thursday, and Saturday, from 6 to 8 a.m. Those who need to sell their goods go to the market around 5 a.m. It begins to get crowded at 6 a.m. and continues until 8 a.m. In the last week of Ramadan, the market usually remains open and in operation until around 10 a.m. This is because people prepare feasts for idul fithr (the Islamic festival at the end of Ramadan). It is, at this moment, always so crowded that people can hardly move around. Sellers and buyers in this market are mostly Ammatoans, but some are non-Ammatoans from other places. People mostly buy and sell household necessities. As in other Indonesian markets, one can find basic necessities such as rice, fish, vegetables, fruit, chicken, soap, detergent, shampoo, as well as modern clothes, backpacks, clocks, shoes, sandals, and so forth. These goods and services are governed by formal market transactions.1 A question may already arise: How can this economic system, as practised,be called religious? It seems to have nothing to do with religion. When it is seen how the system is practised by the Ammatoans, however, it may be discovered that the system is “religionised”, in that the Ammatoans observe the system with a religious orientation. 1 Compare with the case of Oelua (Carnegie, 2008, 364).

98 Bisnis dan Agama The term religionisation has been used for a responseto secularisation or modernisation as a global trend of modern times (Shimazono, 2008a; 2008b). Susumu Shimazono (2008b, 615) uses the term as a synonym for resacralisation, to show the trend of individual spirituality and religious restoration groups that emerge in postmodern times. References of his observation are to countries where Muslims, Jews, Hindus, and Christians are involved in public arenas through their religious groups (616). Shimazono presents a specific account of a Japanese figure whose attitude is modern, but whosebehaviour is based on Shinto tradition/religion (617). Shimazono defines individual religionisation as “the orientation of an individual to place oneself in relation to the transcendental being, or putting oneself along a specific kind of commonality, and to hope to demonstrate one’s distinctive identity as an individual person in a context where diverse beliefs and information are intermingled” (617). Shimazono further elucidates that the religionisation of individuals contains an orientation to bring religious elements into public arenas. Examples include debates on organ transplants and political disputes where many people involved have deployed arguments based on religious texts and discourses (617). Shimazono argues that the idea of an individualisation of religion that leads to the withdrawal of religions from public space (Luckmann, 1967) is one-sided. The other side, in contrast, helps spread religion and spirituality in public arenas (618) Shimazono’s insight inspires the argument on religionisation of the (secular) economic market system made in this paper. What follows provides observations on how religionisation of the market system occurs in Ammatoan economic activities. The market is dominated by women. When asked why, an informant explained, “That is our tradition here. It’s called pitu.”Pitu is a body of rules regulating gender relations. It implies that men and women have their own domains with assigned duties. Duties are not, however, strictly imposed. They always depend on the situation; they are contextually situated. Men,

Sharing among the Ammatoans 99 for example, are to go to their wet rice fields and gardens, but women often accompany them. Men and women go out of the village together to harvest rice for wages. They become labourers. Women are supposed to do domestic work like cooking and providing meals, but men can and occasionally do cook too. In the Ammatoan perspective, the domination of the market by women is thus religio-culturally significant. The market becomes not only a place of exchanges of goods and services, but also a practice of balancing gender relations that is religiously sanctioned in the community. The people observe pitu in the market. In addition to the market, there are a few home-based kiosks in Tanah Toa, but all in the outer area. The owners of kiosks have understood that to be successful in economic life is to have lots of capital: money. Some kiosk owners work to collect money and use it to enlarge their kiosks. They also borrow from others for the purpose. They understand that the more capital they have the more profit, potentially, they can gain. The biggest kiosk in Tanah Toa provides almost all everyday necessities, including pulsa (credit minutes for cell phones). This kiosk also sells cooked food all day long. During my fieldwork in 2009-10, this kiosk was the most visited place, especially at night. It was a place for gathering. People came, not necessarily to spend their money or buy things, but to spend their evenings in gathering with their fellows. A kiosk is an instrument of economic activity. In addition, as a place where people gather, it is a means of religious practice. A gathering for Ammatoans is an implementation of religious tenets. Some Ammatoans explained that their religion commends them to communion (Maarif, 2012,259). It is declared in their oral tradition, called Pasang ri Kajang (Messages in Kajang). One of religious values stated in Pasang ri Kajang, asreferred to by an informant, says, “Akbulo sipappa; aklemo sibatu; tallang sipahua; manyu siparampe; linguk sipakaingak; mate siparokok; bunting sipabasa” (translation: As the bamboo [many nodes, but] one fruit; drowning, we lift one another up; swept away, we pull one another

100 Bisnis dan Agama back; confused, we remind one another; dead, we enshroud one another; marrying, we bring one another gifts) (Mckanzie, 1994,84; Usop, 1978,63; Katu, 2000,93; Maarif, 2012,259). For the informant, gathering is where Ammatoans exercise their religious values. Although gatherings in a kiosk may appear to be secular, the people religionise by perceiving them as acts of communion. In several gatherings observed in the kiosk, people discussed many things, including religious issues. The kiosk is then a place to teach and learn, question and challenge religious ideas. The owner of the biggest kiosk under discussion was self-employed, but he had two wage employees. The employees were paidmonthly in cash. This wage-labour and cash-payment arrangement is popular among Ammatoans. Many Ammatoans, mostly adult, go to cities like Makassar for wage labouror cashpayment. This includes waitressing, construction (for males), and housekeeping (for females). Among the wage labourers in Tanah Toa are state employees such as teachers, medics, government officers, and police officers. State employment is the most desired among Ammatoans, as with most other Indonesians, for it is commonly understood that although the state does not pay a lot, it offers a permanent position with the security of a pension after retirement.In contrast, private enterprises can terminate employment anytime and the terminated employees have no recourse. Another kind of wage labour in the community is driving taxis. Taxi drivers rent cars from a private company on a daily, weekly, or monthly basis. For instance, a driver pays Rp. 100,000 to the company for a taxi for a day, and he operates it from early morning until evening. Drivers take their wages from the profit they make after paying the company and buying gasoline.Drivers make a good income, but on occasion they have to pay the Rp. 100,000 from their own pockets. Multi-level marketing (MLM) has been also introduced to Ammatoans. Agents of MLM organisations came to the community and initially attracted many Ammatoans. What attracted them was that by recruiting

Sharing among the Ammatoans 101 other members down the line, they would collect points. With a certain amount of points, members would reach a “save” position where they would regularly receive cash, from Rp. 100,000 to Rp.1,000,000 or even more, depending on the “save” position they achieved. In addition, they would gain bonuses from selling materials marketed by their companies. Finding it hard to recruit enough members to reach the “save” position, only a very few keep the work. Many are no longer interested in any kind of MLM and even discourage anyone from being a member. They say, “All MLMs are just the same. You get profit only if you are the first person of the membership and succeed in deceiving others to be members. If you find no individual to recruit, you actually just donate to the company because being a member in MLM requires a registration fee.” Many regret becoming members of MLM companies, for they paid registration fees but received nothing in return except an identification card with their membership. The economist Michelle Carnegie (2008) observes that to secure income and to support their families, the villagers of Oelua in Nusa Tenggara Timur work full-time or seasonally for one or more enterprises (360). Most Ammatoan workers work for more than one enterprise too. Some of the state-employed – teachers, police officers, and government officers –own kiosks or are also farmers. Teachers teach at schools during the work days and work in their rice fields or gardens during the weekends or when they are off school. Some rent their land to labourers and receive half of the production. Taxi drivers and MLM workers do likewise, or they earn wages from agriculture and harvesting. Taxi drivers who have the chance to earn wages from harvesting pause their driving to do so. Ammatoans are mostly farmers; most work in the agricultural sector as their main source of income, and those whose main income comes from other sectors,such as teaching, offices and business, work in agriculture too. Many also keep livestock, such as cattle, buffalo, horses, chickens, and goats. Many Ammatoans do both agriculture and animal farming. They bring their animals (except chickens) with them to their fields. They work

102 Bisnis dan Agama and let their animals graze in the field. For this kind of work, Ammatoans are mostly self-employed. As in Oelua, wage labour in the Ammatoan community exists, but is not the only system. As Carnegie (2008,363) observes in Oelua, so too harvest labourers in the Ammatoan community may be waged in three different ways. First, they may be paid in cash at a set rate. This kind of wage includes the kinds of labour mentioned above but is rare for harvesting. Most labourers prefer this way, but they cannot request it if the wage offered is otherwise. After receiving a call from his son, who was working as a harvest labourer, an informant told me that his son was asking for money. He needed money to live on as a harvest labourer because he worked not for money but for unhusked rice that he would bring home. He and other harvest labourers did not (and would not) sell their unhusked rice while working. They collected the rice at home first and sold if they needed to. This was the second kind of wage payment and among Ammatoans much more popular than the first. Ammatoan harvest labourers with this kind of wage work not only in Tanah Toa, but also outside the district of Bulukumba, in such districts as Bantaeng, Bone, Wajo, and Sidrap. Ammatoans usually do this work in groups. 2Some groups are family members, both male and female. Some school children are also involved, but they are under the care of at least one adult. The third kind of wage is unpaid labour as part of a reciprocal exchange. The labourers receive the same quality of labour in return at an appropriate time with no money involved (Polanyi, 1957, 253). This arrangement tended to take place only if both parties were Ammatoans. While harvest labourers could choose between accepting and not accepting the first two types of wage arrangements, they had toagree to labour of the third kind whenever it was proposed to them. This kind is a social or communal requirement. Because harvest time is busy, they might receive several 2 I tell this story not to show my ethnographic authority. Nor was I going native. The story presents how my presence and participation produced such responses of the natives. My case was not unique. It could also apply to anyone.

Sharing among the Ammatoans 103 offers with different kinds of wage labour arrangements. The best way to deal with this was to distribute the labouramong their family members. In any case, they prioritised the third kind. Againas in Oelua, as Carnegie (2008,362) observes, the range of unpaid or reciprocal-exchange labour includes housework and family care, family work, religious care and voluntary gifting of labour between households or for community benefit. If someone sponsors a ritual, relatives, neighbors, and friends come and work for the sponsor without cash payment. It is common to ask neighbors for babysitting, which is not a wage labour in the community. Treatment by a doctor or a nurse requires a cash transaction, but treatment by sanro (traditional specialist) although not totally free, is perceived to be volunteer or unpaid labour. Situruk-turuk (working together) for community benefit is also common. Ammatoans for instance choose to work in situruk-turuk, which is unpaid labour, to clean up a soccer field, rather than paying labourers. For community benefit, Ammatoans value situruk-turuk or do it by themselves. Reciprocal-exchange labour is also practised for agricultural work from weeding to harvesting. Ammatoans cultivate dry-field crops of rice, irrigated rice, maize, peanuts, legumes, and other spices, as well as many different fruits such as banana, rambutan, jackfruit, langsat, mango, and so on. These agricultural products are for their own consumption as well as for sale. Again, these kinds of agricultural work from weeding to harvesting may involve reciprocal-exchange labour. Ammatoans are thus engaged in two different economic systems: modern capitalistic and traditional systems. In practice, these are not mutually exclusive. The modern capitalistic system is practised for the sake of the traditional one and the traditional system is enhanced through the modern capitalistic one. The way Ammatoans engage in two different economic systems is comparable with the early North Americans, as observed by Cathy Matson (2010). Matson explains that early Americans never considered their secular market behaviour as sinful. They used their

104 Bisnis dan Agama economic successes to sustain their community, founded for religious purposes (478). Any time the Ammatoans find and succeed in their job, they celebrate it through the ritual of shukuran: a kind of slametan in Javanese tradition (Hefner, 1985; Woodward 2011; Maarif, 2012,366). They share their success and happiness with their fellows. They reciprocate to the community, because they perceive that their success is always because of the community. The market and the use of money orcapital are also understood as the means for enhancing reciprocity. Market for the Ammatoans means reciprocity. People bring their goods to the market for others, and others give them money in return. Barter of goods, without money, is also often practised. The practice of barter in addition to the use of money in the market shows that the important component of market practice is reciprocity, and money is a means for that. As a means, money becomes significant, because “Once you have money, it is much easier for you to reciprocate,” an informant explained. It could be said that reciprocal exchange is the main idea and practice of economy (Polanyi 1957,250): both for the modern capitalistic and the traditional ones. For Ammatoans, it is also the core of their religious tenets. Religious practice, as Ammatoans perceive it, is an act of mutually beneficial relationship. It is a reciprocal exchange that benefits any parties involved. Ammtoans often teach their fellows about how to be an employee. An informant said, “If you do your job well, your employer will pay you well. Your employer reciprocates what you do for him/her. It is just like a social relation: if you help others, they will help you, too. It is even like a religious practice: The more you serve God, the more you gain blessing from Him.”The practice of economy is religious. Religion and economy have the same end: sharing. The practice of gift This section elaborates the idea and practice of sharing as the end of economic and religious practices. Sharing is usually observed through the

Sharing among the Ammatoans 105 practice of gift, which is the core value of Ammatoan religious economic practice. As the core, Ammatoans observe the act of sharing in many different ways and occasions. Here this paper focuses only on the gift of rice and on money as gift trade (Polanyi 157,262). Gift of rice (erang berasa) The gift of rice is locally called erang berasa,which means bringing uncooked rice to a ritual sponsor. The gift of rice is then a ritualistic practice. All Ammatoan rituals involving animal sacrifice and feasting include the gift of rice. These kinds of ritual are locally called akdaga. To explain this practice, I employ Marcel Mauss’ (1967) insight on gift giving. The gift of rice in the Ammatoan ritualmay be theorised with what Mauss calls the means for contracts of exchange. Echoing Mauss (1967,1), I argue that the gift of rice in akdaga is in theory voluntary but in practice obligatory. Ammatoans perceive it to be voluntary because one may or may not give rice away. The amount of rice to be given is also not strictly determined, although there is a sort of rate (Polanyi, 1957,266). Social sanctions, however, can be imposed onAmmatoans if they do not participate in giftgiving, rice-gift in this case. They become the object of public gossip. So they are in fact under obligation to give and repay the gift of rice in akdaga. Seen that way, the gift of rice resembles the two elements of potlatch as explained by Mauss. These are honour and prestige, and the obligation to reciprocate as the means to preserve honour (Mauss, 1967,6). Avoiding public gossip that would disparage one’s social status is a way to exercise and preserve one’s honour. The practice of erang berasa begins soon after notification of an akdaga and lasts until the last day before the ritual culminates at night. Those who do not receive information about an akdaga being sponsored can become aware by seeing women carrying rice on their heads. The practice of erang berasa exclusively belongs to women.They carry basins of uncooked rice covered with sarongs. They bring uncooked rice in groups of four, six, or eight people. The standard amount of rice is ten kg. A few might bring 100

106 Bisnis dan Agama kg and even more. One informant explained that erang berasa is gift-giving as well as an act of reciprocity. What women bring is either to reciprocate what they have previously received from the sponsor or to receive from the sponsor when they in turn sponsor a ritualin the future. Sponsors have to keep track of who brings what amount of uncooked rice because they need to reciprocate and pay them back at least with the same amount or more. Those who return more plan to sponsor another akdaga. The extra amount they repayis not interest but an investment that they would be paid back when sponsoring another ritual. Given such rules, it is unacceptable to bring a lesser amount, or nothing. To analyse and explain more about the gift of rice, I investigated the practices inside a house where an akdaga took place. It was the last day of theakdaga.I observed different groups of women working on different things throughout the day.Among them were a group of women cooking (rice, fish, and vegetables); two different groups making two different cookies: dumpi (round rice-flour and brown sugar deep fried cookies) and uhuk-uhuk (triangle rice-flour coconut sweet) – these cookies, together with kampalo (wrapped glutinous rice cooked in coconut fronds with coconut milk) are always part of akdaga and other kinds of rituals;a female sanro at the corner of the house quietly made prayer-chants (in front of her were ingredients of cookies such as oil, coconut milk, and water); one group was washing dishes; and three or four women were in charge of writing down who brought what amount of rice. It was really a busy day. In the house, which happened to be in the outer territory, they also set up a television with a DVD player playing different music (Indonesian traditional music dangdut, Buginese-Makassarese, and popular music – they had no recorded Konjo music) and films. In front of the television, in addition to children, a group of women extracted a broken sack for ties. These were the materials used to make kampalo. Women carrying rice came and went. Some stayed and joined in the work. They mostly came in groups of four, six or eight people. Bringing

Sharing among the Ammatoans 107 rice from home, they put it into a basin, covered the basin with a sarong, and carried it on their heads. A few carried it in a sack, especially those riding motorbikes or using cars because they lived far from the house or came from different villages. These people stopped by at their relatives or people they knew, borrowed basins and sarongs, walked from their relatives’ houses to the sponsor’s, and carried them on their heads. They chose not to offer the rice to the sponsor in a sack. It was not the norm. When they arrived, the three women in charge (they happened to be teenagers) took the rice and wrote the names of rice-givers and the amount of the rice. They made prayer-chants before putting it in big sacks. Each sack consisted of around 500 kg. Those big sacks were placed at the middle of the house and so visible to everyone. If the sacks provided were not enough to accommodate all, rice could be placed into baskets and put aside, but still on view. Displaying the gift of rice is not unintentional. It reveals messages and for Mauss is another remarkable form of exchange (1967,27). From those sacks, one informant explained, people can tell how generous and merciful a sponsor of akdaga is. If the sponsor has small sacks orsacks not fully filled up, it means he rarely gives his possessions away. The more the sacks are filled, the better the sponsor is perceived. Another informant elaborated, “When you see a sponsor receiving a lot of rice, it means that he is a good person. The family is great. People like him. Only those who like you would bring you rice.” Another informant added, “If you do good things to people, they will do the same to you. If you plant corn, you will not harvest rice.” The other said, “It is a pride to receive lots of rice. Sponsors harvest what they have already planted. Everyone wants to be like that, but the only way you receive lots of rice is if you give your rice to others. Kindness is paid with kindness. Giving rice to a ritual sponsor is a must because everyone wants to be good.” After offering their rice, the rice givers were seated and offered meals and cookies by the sponsor. When the rice givers were about to leave, the sponsor returned the basins and sarongs to them. Here those different

108 Bisnis dan Agama practices in the house come to connect to each other. Each practice has multiple objectives. The cooking is for all who work on different things, including rice givers. Cookies are made for the ritual, offered to adat holders (community leaders), and served to rice givers. The rice givers who pay back what they have received in the past or invest for the future are offered food and cookies. They exist for others. These practices as a whole are ritual exchanges or sharing. They are at the same time economic practices and religio-cultural practices. Mauss is correct that gift-giving is present not only in marriage but also in some other practices (1967, 6). Things exchanged are not only material goods but also courtesies, entertainment, feasting, and so forth (1967, 3). As elaborated above, what the people were engaged in could clearly be accounted for as practices of sharing or gift-giving. The people engaged in such practices of sharing seem to be spontaneous and disinterested. The practices have become a part of their everyday life. It is the tradition that they have lived with from time immemorial. But looking at each practice as integral to the others, we find that each one is full of intentional purposes. They are factually obligatory and interested, as Mauss argues for prestations (total services) (1967, p. 1). The form of sharing is ostensibly offered in generous ways, but the behaviourwas formal. The guests should come and bring rice with them; the sponsor represented by cooks and cookie makers ought to offer them meals and cookies. All involved function accordingly, and if not, it would be seen as a kind of social deception. A guest coming without rice and a sponsor not offering a guest meals and cookies are, in theory, religio-culturally unacceptable. Given the fact that rituals of akdaga are frequently sponsored, erang berasa is a part of everyday practice because it is not only about bringing rice to a sponsor but also about preparing it. People prepare for rice exchanges almost every day. Preparation includes drying up pare (riceplant) that would take time dependent on weather and bringing it to a rice mill. To dry up pare, people use different open spaces. Some do it at the

Sharing among the Ammatoans 109 edges of roads, including asphalt roads, soccer courts, or any possible open spaces. Drying and eventually bringing rice to the factory were of course not only for rice exchange, but for other purposes such as their own meals and to sell for cash. The rice mill appeared to be in use every day. The use of it was actually new to the people. An informant stated, “We used to pound our rice before the factory was built here. We used to prepare akdaga from two months to one year. It depended on what kind of akdaga. The big ones could even take up to three years to collect enough rice. Now, things are easier.” Because erang berasa is a part of everyday practices, notions of sharing are inherent in the practice. It is one of daily issues that concern the people the most. Erang berasa (gift of rice) is then both an economic and religious practice. As elaborated, the practice of erang berasa is the arena where religious economy is observed. It also demonstrates the idea and practice of sharing as the end of both economy and religion. The following section explores another practice of sharing or gift, which is the gift of money. If erang berasa is exclusively observed by women, the gift of money, locally called solok, is exclusively performed by men. Gift of money (solok) As witherang berasa, solok (the gift of money) is always performed in every akdaga (rituals that involve animal sacrifices and feasts). Unlike erang berasa,which is observed soon after the notification of akdaga until the last day before the ritual peak at night, solok is performed after the ritual peak. It is performed before guests leave for homes. Before leaving, guests, including adat holders, shake hands with and give solok to an akdaga sponsor. The receiver (sponsor) should look at the money given to make sure he knows who gives what amount of money, because he should do the same to them, just like the rice-gift. After observing that everyone seemed to be giving money to the sponsor, I started to do the same (giving solok). Some realised what I wanted to do, and then a woman told me, “Hey… you do not need to give solok.” After looking at her with smiles, I shook

110 Bisnis dan Agama hands and gave money to the sponsor. The sponsor in response hugged and whispered me, “You, the good person, all the best for you!”3“You, too,” I replied. I did not expect that what I did would become somewhat of a public rumor. It happened many times that when I appeared in gatherings people talked about me, “He gives solok, too.” Some of my friends also told me that people had known me as someone giving solok. One time in a gathering, someone whom I already knew came and told me, “If you go to an akdaga, don’t give your money away. Do not give solok!” When I asked why, she said in replay, “Because you do not receive solok. People do not give you solok back. You just waste your money.” I said back to her, “But I eat. They serve me meals.” She said, “You are a guest. Of course we feed you. We have no expectation of repayment from a guest.”“Even if I go to akdaga every night?” I insisted. Even so, a guest is not expected to give solok, the person implied. At that gathering, another person made a comment on the issue. He said: “It is true that solok should be repaid. That is the rule. When someone gives you solok, you should do the same to him/her. But the basic idea of giving solok is to help and being generous. Being generous is to give voluntarily and without expectation. Again, this is the basic idea as well as the essential purpose of it. In other words, the idea of giving is beyond any rules. They are grace and mercy.” He went on, “What this person [referring to me] is doing is acting with grace and mercy. He gives solok without expectation.” This kind of solok is what most Ammatoans do for akdaga. Unlike rice-gift (erang berasa), there are two kinds of solok: the first includes the obligation to give and repay, whereas the second is voluntary. For the former, which is mostly for relatives and close friends, a sponsor needs to note the amount because he must repay the exact amount or more. The latter needs no attention because it is collectively known roughly how much it should be. The former ranged from Rp. 50.000,00 to Rp. 1.000.000,00 or even Rp. 3 Some of the people compare the term barakkak with the Islamic concept of

barakah, which means blessing of God.

Sharing among the Ammatoans 111 5.000.000,00. The latter was commonly Rp. 20.000,00; people, however, may give more or less than that. The rule underlying this second kind of money-giving is that there is no expectation for repayment; but attending an akdaga is a religio-socio-cultural obligation, and it is a real shame to not offer solok (an obvious economic obligation), even the voluntary kind. In some akdaga, after guests left for homes, the sponsor made an announcement of the money-gift received to those who stayed. The moneygift announced was the first kind: obligatory for gift and repayment. They loudly mentioned names of those who gave what amount of money. The givers of higher amount received louder applauses. After names were mentioned, people congratulated, “May your work and life be full of barakkak.” It was such a source of pride for a person whose name was mentioned at that event. He could demonstrate his success in work to others, and everyone noticed and acknowledged it. It was an arena where people could reveal their success, which included such virtues as a strong work ethic and competitive characteristics. An informant told me about someone who used to be underestimated by many because he had not a permanent job. He mostly stayed at home, and occasionally went no one knew where or for what. People saw him as jobless. What appeared to people was that he liked to invite people for gatherings and discuss issues of adat, politics, and culture. People did not think he earned any money. But when his name was frequently mentioned as a money-giver of the higher amounts, people started thinking of him as extraordinary person. He mostly stayed at home and yet, it seemed, could make a lot of money. “What an easy life!” the informant said admiringly. For the sponsor, the money, like gifts of rice, received is either repayment of what he has given to givers before or a deposit givers invest through him. Whichever it is, the more the sponsor receives the more he attains honour from people. Wealth and honour come along together. People congratulate a sponsor who receives a lot and feel pity towards one who receives less. As explained before, the amount of a gift received tells

112 Bisnis dan Agama what kind of person the sponsor is: hard worker or not, respectful or not, social person or not, and so forth. For the giver, the money offered was also either a repayment of debt that he received before or his saving that he would gain back when sponsoring an akdaga in the future. Individuals who plan to sponsor a ritual (of akkalomba or wedding) for their children make efforts to give solok in akdaga that are sponsored by others. They invest and save money by offering solok in akdaga sponsored by others, and cash them by sponsoring akdaga. All money collected at akdaga goes to the sponsor. The money belongs to the sponsor, and he can use it as he pleases. He can buy whatever he wants with the money received. Those who live in the outer territory may buy televisions, motorcycles, cell phones, or anything else they desire. Those who live in the inner territory may buy land, or buffalos, cows, and horses to raise. Sponsors, however, have to make sure that they have money in hand if one of the givers sponsors an akdaga, unless the money they receive is repayment and they do not plan to sponsor another akdaga in near future. Otherwise, they have to find money,no matter how, to repay. If an individual has to repay but has no money in hand, he will go find a job of any kind to make money. In this context, Ammatoans perceive their jobs and diverse businesses as previously presented. They do business to make money partly for solok. Some of them had to go to cities to look for a job, temporary jobs, like coolies, porters, and labourers just for the repayment. Some perceive this situation to be unfortunate because the person could not manage his money when he had it. Some others perceive it as a way to cultivate a work ethic. Those who have debt work hard to pay off their debt. Or, they would borrow money from others such as relatives or friends. Friendship and relationship is also valued through the willingness to lend. Individuals who are engaged in borrowing/lending perceive themselves to be relatives, close relatives, whether or not they are biologically related. Through the engagement, they care for and trust each other. But, if someone is not trustworthy, he may

Sharing among the Ammatoans 113 even destroy familial ties.A hypocritical person who likes to borrow money and promises to return it at a certain date, but breaks his promise twice or three times is recognised as biologically a family member, but treated socially as a non-relative, and religiously considered a sinner (doraka). The kind of person who cannot pay his debt may be forced to give his other properties, like land and house. If he has no property or not enough to repay, he might become a suro-suro or ata (slave), working for his lender without proper payment. He remains a suro-suro until he pays his debt back. Akdaga can then turn a reckless person into a slave. Although this case is different from the practice of potlatch as theorised by Mauss, it is still theoretically comparable to that of potlatch in the sense that the failure to fulfil the obligation of repaying gift would result in enslavement (Mauss, 1967,41). Referring to practices of potlatch between clans, especially the cases of Kwakiutl, Haida, and Tsimshian, Mauss shows that a person who cannot repay a loan or potlatch loses his rank and even his status of a free man (1967,41), which is similar to the case of Ammatoans. If the normal practice of potlatch is to return with interest, this is not so for the gifts of rice and money in the Ammatoan community. Gifts must be repaid equivalently. Interest, however, might apply in borrowing/lending, like the case just presented above, because it is not considered to be gift, even though the money borrowed was to repay a gift. To conclude: in the Ammatoan indigenous community, religious identity manifests itself in economic activities. This is not unique to the Ammatoan community, nor even to indigenous communities. Miller and Timothy (2010) have found United States workplaces where people integrate their faith and work. They argue that increasingly men and women in the United States desire to live holistically, integrating and not compartmentalising their faith and work. People are reluctant to divorce their religious and spiritual identity from their workplaces (53). Echoing Miller and Timothy, I observe that economic activities are practised for religious ends.

114 Bisnis dan Agama References: Ashforth, B., & Pratt, M. (2010). “Institutionalized spirituality: An oxymoron?” InGiacalone, R. & Jurkiewicz, C. (Eds.), Handbook of Workplace Spirituality and Organizational Performance. Armonk, NY: M.E. Sharpe, Inc. Block, P. (1996). “From leadership to citizenship.” In L. Spears (Ed.), Insights on leadership: Service, stewardship, spirit, and servant-leadership (pp. 123-140). New York: Wiley Publishers. Carnegie, M. (2008). “Development prospects in eastern Indonesia: Learning from Oelua’s diverse economy.”Asia Pacific Viewpoint, 49, 354-369. Covey, S. (1989). First things first. New York: Simon & Schuster Ltd. Goldman, Harvey. (1990). “Review: Max Weber in German history and political thought.”The Journal of Modern History, 62(2), 346-352. Hefner, R. W. (1985). Hindu Javanese: Tengger tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press. Katu, S. (2000). Pasang ri Kajang: Kajian tentang akomodasi Islam dengan budaya lokal di Sulawesi. Makkassar: IAIN Alauddin Makassar. Luckmann, Thomas. (1967). The invisible religion: The problem of religion in modern society. New York: Macmillan. Maarif, Samsul. (2012). Dimensions of religious practice: The Ammatoans of Sulawesi, Indonesia. (Unpublished Ph.D thesis). Arizona State University, Tempe. Matson, Cathy. (2010). “Markets and Morality: Intersections of Economy, Ethics, and Religion in Early North America: Special Issue Introduction.”Early American Studies 8(3): 475-481 Mauss, M. (1967). The gift: forms and functions of exchange in archaic societies. (I. Cunnison, trans.). New York and London: W. W. Norton & Company. McKanzie, Catherine. (1994). Origins of resistance: The construction and continuity of identity in Tana Towa (Bulukumba, South Sulawesi, Indonesia). (Unpublished MA Thesis). Australian National University, Sydney. Miller, David. (2007). God at work: The history and promise of the faith at work movement. Oxford: Oxford University Press. Miller, David W. and Timothy, Ewest (2010). “Rethinking the impact of religion on business values: understanding its reemergence and measuring its manifestations.”Journal of International Business Ethics, 3 (2): 49-57 Novak, Michael. (1990). The spirit of democratic capitalism. Boulder: Madison Books. Novak, Michael. (1996). Business as a calling: Work and the examined life. New York: The Free Press. Polanyi, Karl. (1957). “The economy as the instituted process.” In Karl Polanyi & Harry W. Pearson (eds.). Trade and market in the early empires; economies in history and theory. Glencoe: Free Press. Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2006). “Strategy and society: The link between competitive advantage and corporate social responsibility.”Harvard Business Review, 84(12), 78-92.

Sharing among the Ammatoans 115 Redding, G. (1995). The spirit of Chinese capitalism (Degruyter Studies in Organization). New York: Walter de Gruyter Inc Publishers. Senge, P. (1990). The fifth discipline: The art and practice of a learning organization. New York: Currency Book. Shimazono, Susumu (2008a). “Contemporary religions and the public arena: centering on the situation in Japan.” In Eileen Barker and JamesRichardson (Eds.), The centrality of religion in social life. Hampshire: Ashgate Publishing Shimazono, Susumu (2008b). “Individualization of society and religionization of individuals: Resacralization in postmodernity (second modernity).”Pensamiento 64(242): 603-619. Usop, K. M. (1978). Pasang ri Kajang: Kajian sistem nilai di “benteng hitam” Amma Toa. Ujung Pandang, Indonesia: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, UNHAS. Weber, Max. (1905/2010). The protestant ethic and the spirit of capitalism. Penguin classics, New York, NY:Simon Shuster. Woodburn, E. (1985). “Religion and economics among Japanese Americans: A Weberian study.”Social Forces, 64(1), 191-204. Woodward, M. R. (2011). Java, Indonesia and Islam. New York: Springer.

5 Etika Ekonomi Kontekstual. Berbasis Kemiskinan Masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat Sampe Waruwu

Abstract In Rupat Island the chronic and extreme poverty of the indigenous people – the Akit ethnic people – contrasts sharply with the development of the island as an economic growth zone by the Indonesian goverment. Since 1969, the Christian Batak Protestant Church (HKBP) has done mission work in Rupat Island among the Akit ethnic people. But, in the face of accelerating change in Rupat Island, the church, as a community of the followers of Jesus Christ, did not pay much attention to the life struggles of the Akit ethnic people. Instead of serving the economic needs of the poor, the church lived out amission paradigm that the church serves only the human need for a spiritual life. But the chronic and extreme poverty and the heavy struggle for life of the Akit ethnic people challenges the church to live her faith more fully, building a new paradigm of economic ethics that is relevant and significant to the context of Rupat Island where the poor people are living. Kata-kata kunci: Suku Akit, kemiskinan yang kronis dan luar biasa, pertumbuhan ekonomi, etika ekonomi, gereja.

118 Bisnis dan Agama Pengantar Pada bulan September 2006 hingga Maret 2010 saya tinggal di Pulau Rupat untuk bekerja sebagai pendeta yang diutus oleh pimpinan gereja saya, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Di HKBP, Pulau Rupat dikenal sebagai daerah misi Pekabaran Injil (PI). Pelayanan misi PI HKBP tersebut telah dilakukan sejak bulan April tahun 1961 di tengah-tengah masyarakat Suku Akit, penduduk asli di Pulau Rupat.Itu berarti, pelayanan misi PI HKBP di tengah-tengah masyarakat Suku Akit hingga pada tahun 2006 telah berusia 35 tahun. Di satu sisi, HKBP melalui para penginjil atau misionaris yang diutus telah menghasilkan karya yang masih ada hingga kini, seperti 7 unit gereja, 2 unit Sekolah Dasar (SD), dan 2 unit Balai Pengobatan (BP). Tetapi, di sisi lainnya, tampak realitas hidup masyarakat Suku Akit yang sangat memprihatinkan, yakni kemiskinan yang kronis dan luar biasa. Selama hampir 4 tahun, saya melayani sebagai pendeta di tengahtengah masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat. Selama itu pula saya mengalami kegelisahan yang mendalam. Di satu sisi, sebagai pendeta yang baru ditahbiskan (pada Agustus 2006), saya mendapat pengalaman akan aktifitas kependetaan dari para pendeta yang lebih senior bahwa seluruh pikiran dan aktifitas seorang pendeta adalah berbasis kebutuhan rohani jemaat. Pendeta sebagai rohaniawan bekerja untuk mengurus pelayanan seremonial di lingkungan gereja dan pelayanan pastoral di rumah jemaat. Seluruhnya menjadi rutinitas. Inilah pemahaman lama yang dihidupi secara umum baik pendeta maupun jemaat. Di sisi yang lain, realitas kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat justru mempertanyakan relevansi dan signifikansi dari pemahaman lama tersebut. Pelayanan misi PI HKBP ini tidak berlangsung di tengah-tengah kondisi jemaat dan masyarakat yang mapan ekonomi, melainkan pada konteks kemiskinan yang kronis dan luar biasa. Oleh karena itu, gereja (pendeta dan jemaat) ditantang untuk mengupayakan pembebasan kaum miskin, yakni masyarakat Suku Akit dari kemiskinan yang kronis dan luar biasa itu, sebagai wujud dari Injil atau Kabar Baik.

Etika Ekonomi Kontekstual 119 Demikianlah latar belakang dari tulisan ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendalami alasan-alasan etis demi keterlibatan gereja terhadap misi yang mengarah pada pelayanan pembebasan masyarakat Suku Akit dari kemiskinan di Pulau Rupat. Oleh karena itu, perspektif Kristen dipakai untuk mendalami etika ekonomi yang kontekstual, relevan, dan signifikan di Pulau Rupat. Gambaran Umum Pulau Rupat merupakan pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, yang juga sebagai wilayah administratif dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Lihat peta berikut ini.

•• •• •• ••

Secara geografis, Pulau Rupat berbatasan dengan: Sebelah Utara : Selat Malaka Sebelah Selatan: Kota Dumai Sebelah Barat: Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai Sebelah Timur: Kecamatan Bengkalis

120 Bisnis dan Agama Pulau Rupat terbagi dalam 2 wilayah administratif kecamatan, yakni (a) Kecamatan Rupat dengan ibu kotanya Tanjung Medang. Luas Kecamatan Rupat adalah 894,35 km²; dan (b) Kecamatan Rupat Utara dengan ibu kotanya Batu Panjang. Luas Kecamatan Rupat Utara adalah 628,50 km².1 Data statistik mengenai jumlah penduduk di Pulau Rupat yang dapat ditemukan2 adalah3 sebagai4 berikut: Tahun 2002

2

2007

3

2010

4

Kecamatan

Penduduk Laki-laki (000)

Perempuan (000)

Jumlah (000)

Rupat

13,4

12,8

26,2

Rupat Utara

6,0

5,7

11,7

Rupat

15,4

15,0

30,4

Rupat Utara

5,7

5,9

11,6

Rupat

15,7

14,8

30,5

Rupat Utara

6,6

6,2

12,8

Pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bengkalis menerbitkan data statistik yang menerangkan jumlah penduduk di masingmasing Kecamatan Rupat dan Kecamatan Rupat Utara menurut desa / kelurahan adalah sebagai berikut:5 Penduduk Perempuan (000)

Desa / Kelurahan di Kec. Rupat Tanjung Kapal

1,6

1,5

3,1

124

Batu Panjang

2,0

1,9

3,9

32

Laki-laki (000)

Laki-laki + Perempuan

Luas (km²)

1 Bengkalis.go.id/statis-16-kecamatan-rupat.html;Bengkalis.go.id/statis-16-kecamatanrupatutara.html(diakses:4/4/2012). 2 Berdasarkan data statistik BPS Kabupaten Bengkalis 2002 yang dikutip oleh PT. Andalan Rereka Consultindo dalam Laporan Pendahuluan Paket Pekerjaan: Fasilitasi Pengembangan Kawasan Tertinggal Bengkalis. Lih. penataruang.net/ta/Lapdulu04/P4/ Bengkalis/Bab2.pdf (diakses: 13/4/2012) 3 Berdasarkan data statistik BPS Kabupaten Bengkalis 2007 yang dikutip oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Lih. depnakertrans.go.id/ microsite/KTM/ uploads/pulau%20rupat.pdf(diakses:13/4/2012) 4 Kabupaten Bengkalis dalam Angka 2010(Bengkalis: BPS Kabupaten Bengkalis, 2010), 279 5 Hasil Sensus Penduduk 2010. Kabupaten Bengkalis Angka Sementara (Bengkalis: BPS Kabupaten Bengkalis, 2010),10-11. Lih. sp2010.bps.go.id/files/ebook/1408.pdf (diakses: 13/4/2012)

Etika Ekonomi Kontekstual 121 Desa / Kelurahan di Kec. Rupat Terkul

Laki-laki (000) 1,8

Penduduk Perempuan (000) 1,7

Laki-laki + Perempuan 3,5

Luas (km²) 100

Pergam

1,0

0,9

1,9

30

Teluk Lecah

1,5

1,5

3,0

54

Sei Cingam

1,0

0,9

1,9

75

Pangkalan Nyirih

2,2

2,1

4,3

97

Hutan Panjang

1,5

1,5

3,0

73

Makeruh

0,7

0,7

1,4

151

Sukarjo Mesim

0,7

0,7

1,4

26

Parit Kebumen

0,7

0,6

1,3

32

Darul Aman

1,0

0,8

1,8

102

Total

15,7

14,8

30,5

894,35

Desa / Kelurahan di Kec. Rupat Utara Titi Akar

2,7

2,4

5,1

300,00

Tanjung Medang

1,2

1,2

2,4

75,00

Penduduk Perempuan (000)

Laki-laki (000)

Laki-laki + Perempuan

Luas (km²)

Teluk Rhu

0,9

0,9

1,8

72,50

Tanjung Punak

0,4

0,4

0,8

66,00

Kadur

1,4

1,3

2,7

115,00

Total

6,6

6,2

12,8

628,50

BPS Kabupaten Bengkalis juga memberikan data statistik yang menerangkan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Antar Sensus Penduduk (SP) 2000-2010, sebagai berikut:6 Kecamatan

Penduduk SP 2000

Penduduk SP 2010

LPP (%)

Rupat

26,5

30,5

1,42

Rupat Utara

10,1

12,8

2,40

6 Ibid.,22.

122 Bisnis dan Agama Berkaitan dengan data statistik di atas, saya dapat mengatakan bahwa data tersebut belum mengungkapkan kondisi riil di Pulau Rupat. Masih banyak penduduk di Pulau Rupat tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Penduduk yang demikian adalah warga yang baru pindah ke Pulau Rupat seperti warga etnis Nias dan Batak. Tetapi jumlah warga yang tidak mempunyai KTP adalah etnis Suku Akit. Beragam alasan mereka tidak memiliki KTP, misalnya tidak mempunyai uang untuk mengurus pembuatan KTP, mereka tidak sanggup mengikuti proses yang lama dan bertele-tele, dan alasan bahwa mereka hanya tinggal di Pulau Rupat sehingga KTP tidak begitu penting. Berdasarkan seluruh data di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk di Pulau Rupat dari tahun ke tahun terus menerus mengalami pertambahan secara kuantitatif. Bahkan, belakangan ini pertambahan penduduk cenderung lebih cepat. Pertambahan penduduk tersebut berkaitan erat dengan penguasaan lahan yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kompetisi untuk bertahan hidup pun pasti terjadi. Penduduk di Pulau Rupat dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yakni (a) Penduduk asli yaitu masyarakat Suku Akit. (b) Penduduk pendatang yaitu masyarakat non-Suku Akit seperti masyarakat Suku Melayu, Jawa, Cina, Minangkabau, Batak, dan Nias. Pertambahan penduduk tersebut menjadi ancaman terhadap hidup masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat. Dalam tulisan ini, saya hendak menyoroti bahwa di Pulau Rupat terjadi kompetisi yang tidak seimbang di antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, atau antara masyarakat Suku Akit dengan masyarakat non-Suku Akit. Berdasarkan pengamatan saya selama hampir 4 tahun, ada 2 fenomena kehidupan sehari-hari yang berlangsung di Pulau Rupat ini, yakni: (1) Kemiskinan yang kronis dan luar biasa yang dialami oleh masyarakat Suku Akit; dan (2) Pembangunan Pulau Rupat oleh pemerintah sebagai zona pertumbuhan ekonomi.

Etika Ekonomi Kontekstual 123 Fenomena Kemiskinan Masyarakat Suku Akit Dinamika Kehidupan Masyarakat Suku Akit Fenomena kemiskinan yang kronis dan luar biasa yang dialami oleh masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat tidak dapat dipisahkan dari sejarah keberadaan mereka di Pulau Rupat. Meskipun masyarakat Suku Akit dikenal sebagai penduduk asli, tetapi berdasarkan cerita lisan para tokoh adat istiadat mereka, ternyata para leluhur mereka dahulu adalah pendatang ke Pulau Rupat sebelum masa kedatangan masyarakat non-Suku Akit ke Pulau Rupat. Ada beberapa versi cerita mengenai sejarah keberadaan para leluhur Suku Akit di Pulau Rupat. Tetapi, semua cerita mempunyai kesamaan bahwa kawasan tempat tinggal para leluhur Suku Akit sebelum pindah ke Pulau Rupat adalah pesisir Sungai Siak (di Kabupaten Siak, Provinsi Riau). Bagaimana para leluhur Suku Akit bisa berada di pesisir Sungai Siak? Nenggih Susilowati7 dari Balai Arkeologi Medan menerangkan bahwa Suku Akit yang berada di pesisir Sungai Siak pada abad ke-18 M itu sebelumnya tinggal di daerah Pagaruyung (Minangkabau). Ketika terjadi peperangan melawan Belanda, mereka mengungsi ke dalam hutan lalu ke pesisir Sungai Mandau, cabang dari Sungai Siak, dengan memakai rakit, kemudian ke pesisir Sungai Siak. Ternyata di pesisir Sungai Siak mereka menghadapi ancaman dari binatang buas. Inilah alasan bagi para leluhur Suku Akit untuk pindah ke daerah baru yang aman dari ancaman binatang buas. Julianus P. Limbeng8, seorang etnomusikolog dan antropolog yang pernah melakukan ekspedisi ke perkampungan Suku Akit, mengutip tradisi lisan yang dipelihara oleh para tokoh adat istiadat Suku Akit. Batin (Kepala Suku) Gelimbing di Desa Hutan Panjang menerangkan bahwa para leluhur 7 Nenggih Susilowati memuat hasil penelitiannya dalam artikelnya berjudul “Dampak Perkembangan Jalur Transportasi Terhadap Kehidupan Masyarakat Akit di Desa Hutan Panjang, Pulau Rupat”. Lih. balarmedan.wordpress.com/2009/01/08/dampakperkembangan-jalur-transportasi-terhadap-kehidupan-masyarakat-akit-di-desa-hutanpanjang-pulau-rupat/ (diakses: 13/4/2012) 8 Julianus P. Limbeng memuat hasil penelitiannya dalam artikelnya berjudul “Suku Akit: Menjaga dan Mewarisi Tradisi Adat” di blog pribadinya. Artikel inilah yang dikutip oleh Badri, dkk, “Nasib Kami Seperti Sudut Dapur”, dalam RiauBisnis. Lih. riaubisnis.com/ index.php/expedition/71-rupat/348-nasib-kami-seperti-sudut-dapur (diakses: 13/4/2012)

124 Bisnis dan Agama Suku Akit adalah penduduk di Kerajaan Gasib pada abad ke-15 hingga ke17 M. Oleh karena adanya serangan dari Kerajaan Aceh, maka para leluhur Suku Akit menghindar ke pesisir Sungai Mandau dengan memakai rakit kemudian ke pesisir Sungai Siak. Di daerah ini mereka berjumpa dengan Suku Perawang. Mereka menjadi penduduk di Kerajaan Siak Sri Indrapura yang sedang berkuasa sejak tahun 1723 M. Ternyata, di pesisir Sungai Siak itu mereka tidak bisa tinggal lebih lama karena kawasan itu merupakan tanah ulayat dari Suku Perawang. Inilah alasan bagi para leluhur untuk pindah ke daerah baru yang aman bagi mereka. Berdasarkan hasil penelitian dua orang peneliti di atas, Nenggih Susilowati dan Julianus P. Limbeng, ada 2 penyebab perpindahan para leluhur Suku Akit pindah dari pesisir Sungai Siak, yakni (a) adanya ancaman binatang buas; dan (b) mereka tidak memiliki tanah ulayat. Lalu, bagaimana proses terjadinya perpindahan para leluhur Suku Akit ke Pulau Rupat? Tradisi lisan yang dipelihara hingga kini adalah bahwa para leluhur meminta ijin kepada sang raja dari Kerajaan Siak Sri Indrapura. Sang raja mengijinkan para leluhur Suku Akit mencari dan pindah ke daerah baru yang lebih aman dengan syarat mereka harus mencari dan mengumpulkan banyak kayu yang diperlukan untuk pelaksanaan pesta pernikahan putri sang raja.Agar pekerjaan dapat berlangsung dengan baik, para leluhur membentuk 3 kelompok dari Suku Akit, yakni: (a) kelompok penebang pohon / kayu di hutan. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Akit Hutan; (b) kelompok perakit kayu yang sudah ditebang oleh kelompok penebang pohon / kayu. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Akit Biasa; dan (c) kelompok peratas atau pembuat jalur laluan kayu yang sudah dirakit dari sungai hingga ke laut. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Akit Hatas. Mereka berhasil memenuhi syarat dari sang raja. Sang raja mempersilahkan para leluhur mencari daerah baru yang aman. Akhirnya para leluhur dari Akit Hatas dan Akit Biasa menemukan satu pulau. Ternyata

Etika Ekonomi Kontekstual 125 pulau itu dihuni oleh Orang Rempang. Para leluhur Suku Akit meminta kepada Orang Rempang agar diijinkan tinggal di pulau itu. Orang Rempang itu meminta para leluhur Suku Akit untuk menebus pulau itu dengan sekerat tampi sagu, sekerat mata beras, sebatang dayung emas dan sebatang mata kujur (semacam tombak). Oleh karena para leluhur Suku Akit tidak sanggup memenuhi permintaan Orang Rempang itu, maka mereka mengadu kepada pemimpin di kawasan pesisir Sungai Siak, bernama Datuk Laksamana Bukit Batu. Pengaduan para leluhur dilaporkan oleh Datuk Laksamana Bukit Batu kepada sang raja Kerajaan Siak Sri Indrapura. Sang raja bersedia memenuhi seluruh syarat yang ditentukan Orang Rempang itu. Akhirnya, terjadilah proses pertukaran tempat di pulau tersebut itu yang kemudian dinamai Pulau Rupat (pulau tukar tempat). Para leluhur Suku Akit menjadi penghuni Pulau Rupat, sedangkan Orang Rempang (di kemudian hari dikenal sebagai Suku Laut) pindah mencari daerah baru.9 Dengan demikian, para leluhur Suku Akit telah mendiami Pulau Rupat pada masa kejayaan Kerajaan Siak Sri Indrapura pada abad ke-18 M. Berdasarkan cerita lisan dari para warga Suku Akit yang sudah tua, saya memperoleh informasi bahwa rombongan para leluhur pindah secara massal dengan memakai rakit. Mereka memasuki Pulau Rupat melalui Selat Morong dari Barat ke Timur. Hanya ada 2 kelompok komunitas dari para leluhur Suku Akit yang pindah dari pesisir Sungai Siak, yakni (a) komunitas Akit Biasa. Mereka menetap di bagian Barat Selat Morong di sekitar Desa Hutan Panjang; dan (b) komunitas Akit Hatas. Mereka menetap di bagian Timur Selat Morong di sekitar Desa Titi Akar. Sedangkan komunitas Akit Hutan, yang di kemudian hari dikenal sebagai Suku Hutan, tinggal menetap di sekitar Pulau Bengkalis. Jadi, secara umum sebutan Suku Akit menunjuk pada penduduk asli Pulau Rupat, yakni Akit Biasa dan Akit Hatas. Bagaimana masyarakat Suku Akit hidup di Pulau Rupat? Sebutan “Akit” berkaitan erat dengan kata “rakit”. Kehidupan masyarakat Suku Akit berlangsung di atas dan sekitar rakit. Mereka tinggal di atas rakit 9 Lihat uraian Nenggih Susilowati dan Julianus P. Limbeng dalam Bakri, dkk, “Nasib Kami Seperti Sudut Dapur”…Ibid.

126 Bisnis dan Agama agar mudah mengadakan perpindahan. Mereka juga tinggal di sekitar pesisir pantai dan sungai.10 Jelas, dahulu terdapat banyak pemukiman masyarakat Suku Akit yang berada di sekitar pesisir Selat Morong. Pintu depan rumah menghadap ke sungai atau laut. Mereka menggunakan rakit atau sampan sebagai transportasi yang mendukung mobilisasi mereka dari satu tempat ke tempat lainnya. Kondisi demikian masih ada hingga kini. Tetapi, setelah pemerintah membuat jalan mulai dari jalan tanah (berdebu di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan) hingga jalan yang dibeton / diaspal, pemukiman masyarakat Suku Akit lambat laun semakin banyak terdapat di sekitar jalan umum. Akibatnya, pemukiman di sekitar sungai atau laut menjadi terisolasi karena jauh dari akses jalan umum. Pemukiman yang dahulu berada di sekitar jalur transportasi air kini menjadi kawasan pedalaman akibat pembangunan jalan umum. Warga yang tinggal di kawasan pedalaman ini jarang mengadakan interaksi sosial dengan masyarakat di sekitar jalan umum dan masyarakat non-Suku Akit. Pemukiman masyarakat Suku Akit sangat mudah diidentifikasi. Mereka masih memelihara hubungan kekerabatan secara ketat. Oleh karena itu, mereka sengaja membangun rumah tidak jauh dari orang tua. Hampir tidak ada warga Suku Akit yang tinggal jauh dari keluarganya atau yang tinggal di kawasan pemukiman yang dihuni mayoritas warga non-Suku Akit. Dengan demikian, pemukiman masyarakat Suku Akit bersifat homogen. Berdasarkan lokasi desa yang ada di Pulau Rupat, pemukiman masyarakat Suku Akit di Kecamatan Rupat ditemukan berada di Desa Hutan Panjang, Desa Pangkalan Nyirih, Desa Tanjung Kapal, dan Desa Darul Aman. Sedangkan di Kecamatan Rupat Utara pemukiman masyarakat Suku Akit berada di Desa Titi Akar, Desa Kadur, dan Desa Teluk Rhu. Mata pencaharian masyarakat Suku Akit mengalami perkembangan. Awalnya, mereka memenuhi kebutuhan hidup dengan menangkap ikan, 10 Bnd. Manon Osseweijer, “The Future Lies in the Sea; Fisheries Development Programmesin Island Riau” dalam Peter Boomgaard, David Henley, dan Manon Osseweijer, Muddied Waters. Historical and Contemporary Perspectiveson Management of Forest and Fisheries in Island Southeast Asia (Leiden: KITLV Press, 2005), 166.

Etika Ekonomi Kontekstual 127 berburu binatang di hutan, dan meramu sagu. Seiring dengan adanya pemukiman yang semakin permanen, mereka membuat sistem perladangan untuk menanam padi ladang. Sistem perladangan dilakukan dengan cara merambah, menebang pohon dan membakar hutan. Lahan ladang ditaburi dengan benih padi kemudian ditinggalkan tanpa perawatan terhadap tanaman padi. Jika diperkirakan umur padi sudah cukup untuk panen, maka mereka membawa karung tempat biji-biji padi yang tumbuh diantara semak belukar. Proses perladangan diadakan sekali setahun. Perladangan berikutnya akan diadakan pada tahun depan di kawasan hutan baru, bukan bekas pada perladangan yang sudah dipanen hasilnya. Demikianlah, masyarakat Suku Akit melakukan perladangan secara berpindah-pindah. Kegiatan ekonomi masyarakat Suku Akit pernah lebih baik daripada kegiatan ekonomi di masa belakang ini. Sebelum masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak tahun 2004, kegiatan pembalakan liar (illegal logging)sangat marak di Pulau Rupat. Di dalam kegiatan bisnis kayu ini, masyarakat Suku Akit berperan sebagai pembalak kayu di hutan. Pekerjaan demikian memang sesuai dengan pekerjaan para leluhur mereka. Hasil pembalakan kayu dijual kepada para toke (pemilik modal). Para toke inilah yang menampung atau membeli dan menjual kembali kayu ke Malaysia dan Singapura. Kaum laki-laki yang sanggup bekerja di hutan, mereka bekerja berkelompok dan mandah (tinggal sementara) di hutan selama 2-3 minggu. Dalam waktu yang relatif cepat para pembalak hutan di Pulau Rupat ini mampu memperoleh penghasilan yang relatif besar. Maraknya pembalakan kayu menjadi kesempatan bagi masyarakat Suku Akit untuk membangun atau merenovasi rumah mereka yang sebelumnya banyak memakai kulit kayu. Penghasilan mereka yang relatif besar itu dipakai sebagai modal untuk membiayai pembangunan rumah menjadi rumah berbahan kayu atau rumah yang permanen. Rumah-rumah yang dibangun pada masa kemarakan pembalakan kayu inilah masih ada pada masa kini. Masyarakat Suku Akit sangat senang dengan adanya bisnis kayu tersebut. Para orang tua pun melihat pekerjaan pembalakan kayu sangat menjanjikan

128 Bisnis dan Agama masa depan yang baik. Meskipun mereka memiliki penghasilan yang relatif besar, tapi mereka tidak antusias mendukung pendidikan anak-anak mereka. Mereka memahami bahwa pendidikan tidak menjanjikan masa depan yang baik bagi mereka di Pulau Rupat. Pemahaman ini mereka buktikan bahwa lulusan dari pendidikan formal yang pernah disekolahkan oleh Gereja HKBP di luar Pulau Rupat ternyata ikut juga membalak kayu. Pemahaman ini menyebabkan banyak kaum pemuda/i mereka di masa kini tidak mempunyai status kelulusan dari sekolah formal sebagaimana para orang tua mereka. Kemudahan memperoleh penghasilan yang relatif besar dengan mengandalkan kemampuan otot saja, menjadi kesempatan bagi kaum lakilaki hidup berfoya-foya seperti minum minuman keras dan main judi. Ketika uang sudah habis, mereka kembali ke dalam hutan untuk membalak kayu. Tetapi, masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi ancaman terhadap kegiatan ekonomi masyarakat Suku Akit. Pemerintah melarang kegiatan pembalakan kayu. Pelaku kegiatan tersebut disebut sebagai pelaku pembalakan liar yang harus ditangkap dan diproses secara hukum. Meskipun demikian, masyarakat Suku Akit masih mencoba melakukan pembalakan kayu. Ternyata banyak dari mereka yang ditangkap oleh aparat hukum (polisi dan tentara). Ketegasan pemerintah tersebut telah menyebabkan kemunduran ekonomi mereka. Selain tidak bisa lagi melakukan bisnis kayu, ketegasan pemerintah itu juga membuat mereka tidak bisa lagi melakukan sistem perladangan berpindah-pindah dan kayu sebagai bahan pembangunan rumah pun terbatas. Hal yang sangat ironis adalah sejumlah pemilik modal besar ternyata leluasa melakukan bisnis kayu. Para pemilik modal ini mendapat ijin dari aparat pemerintah (kepala desa, camat, bupati, dan gubernur) untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Seluruh kayu yang ada di kawasan hutan yang akan dikonversi itu dijual ke Malaysia dan Singapura. Tetapi, setelah kayu di hutan habis para pemilik modal meninggalkan Pulau Rupat. Terhadap perubahan drastis akibat ketegasan pemerintah itu, masyarakat Suku Akit yang berada dalam kondisi krisis ekonomi mencoba untuk

Etika Ekonomi Kontekstual 129 beradaptasi. Mereka meninggalkan era perladangan berpindah-pindah. Mereka melakukan beberapa pekerjaan untuk bertahan hidup seperti berkebun karet atau kelapa sawit, nelayan, buruh di perkebunan kelapa sawit atau karet swasta, buruh di pabrik penghasil arang, dan kuli bangunan. Harus diakui bahwa larangan pembalakan kayu telah memaksa masyarakat Suku Akit belajar untuk mengolah tanah mereka yang sebelumnya sebagai “lahan tidur” atau tidak produktif. Lambat laun peruntukan lahan mengalami konversi, dari lahan untuk perladangan padi menjadi lahan perkebunan tanaman karet atau kelapa sawit. Mereka mencoba meniru penduduk pendatang (seperti etnis Jawa, Melayu, Cina, Batak, Nias) yang memiliki perkebunan tanaman karet dan kelapa sawit. Memang, penduduk pendatang lebih mapan kehidupan mereka secara ekonomi. Berikut ini mata pencaharian menurut desa yang di dalamnya ada pemukiman masyarakat Suku Akit: Kecamatan Rupat

Rupat Utara

Desa Hutan Panjang (di desa ini lebih banyak jumlah warga Suku Akit di Kec. Rupat)

Mata pencaharian masyarakat Suku Akit Mayoritas petani/ buruh perkebunan tanaman karet; ± 10 KK petani kelapa sawit, buruh di pabrik pembuatan batu bata, arang, perkebunan kelapa sawit swasta.

Pangkalan Nyirih

Petani tanaman karet

Darul Aman

Petani tanaman karet

Tanjung kapal

Nelayan

Titi Akar (di desa ini lebih banyak jumlah warga Suku Akit di Kec. Rupat Utara)

Mayoritas petani/ buruh perkebunan tanaman karet; ± 25 KK petani kelapa sawit, nelayan, buruh di perkebunan kelapa sawit swasta, buruh di pabrik pembuatan arang dan batu bata.

Kadur

Petani tanaman karet

Teluk Rhu

Nelayan

Tanjung Punak

Petani tanaman karet

130 Bisnis dan Agama Harus diakui bahwa dalam kegiatan ekonomi di Pulau Rupat, masyarakat Suku merupakan kelompok masyarakat yang sangat lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki pilihan. Mereka tidak memiliki posisi tawar (position bargaining) yang kuat dalam relasi yang berbasis ekonomi. Dalam relasi mereka dengan para toke (yaitu warga pendatang sebagai pemilik modal) – seperti pemilik perkebunan tanaman karet atau kelapa sawit dimana mereka bekerja sebagai buruh, dan juga dengan pemilik kedai yang memiutangi (memberikan utang) mereka – mereka tunduk pada ketentuan pengupahan (kawasan perkebunan swasta di Pulau Rupat jauh dari pengaturan pemerintah tentang upah minimum) dan penghitungan harga jual hasil panen mereka. Para buruh di perkebunan tanaman karet dan kelapa sawit swasta, buruh di pabrik pembuatan arang dan batu batu, upah mereka ditentukan secara sepihak oleh toke. Upah mereka sangat rendah. Misalnya, upah bagi buruh di pabrik pembuatan arang hanya menerima Rp.3.000,- untuk 100 Kg arang yang dipilih dan dimasukkan ke dalam karung. Buruh perkebunan tanaman karet menerima bagian 1/3 dari total hasil penjualan getah yang sudah dipanen. Bagi para nelayan, selain tergantung pada kondisi alam (memungkinkan melaut atau tidak), penghasilan mereka juga sangat bergantung ketentuan penghitungan harga beli dari toke. Disamping mendapatkan utang atas kebutuhan sandang dan pangan, mereka juga telah mendapatkan pinjaman dari toke untuk membeli perlengkapan menangkap ikan seperti kapal, mesin, jala, dan batu es. Oleh karena itu, seluruh ikan hasil tangkapan mereka harus dijual kepada toke. Harga beli ditentukan oleh toke secara sepihak. Uang yang ada digunakan untuk mencicil pembayaran utang. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk melunasi utang karena semua kebutuhan keluarga pun kembali diperoleh dengan berutang. Bahkan, mereka berutang kepada beberapa orang toke. Baik petani tanaman karet dan petani kelapa sawit mempunyai pengalaman yang hampir sama. Perkebunan tanaman karet dan kelapa sawit yang mereka miliki ternyata belum bisa mengangkat mereka keluar

Etika Ekonomi Kontekstual 131 dari krisis ekonomi.Mengapa demikian? Ada beberapa faktor penyebabnya, yakni: (a) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan di bidang perkebunan. Mereka memahami bahwa bibit tanaman karet dan kelapa sawit akan bertumbuh secara alamiah dan memberikan hasil ketika tiba masa panen. Tidak ada usaha perawatan atau pemeliharaan tanaman seperti pembersihan tanaman dari semak belukar dan pemupukan. Setelah beberapa tahun, ada tanaman yang mati atau gagal bertumbuh dan ada yang tumbuh di antara semak belukar. Tanaman karet tidak dapat diambil getahnya ketika batang pohohnya basah akibat air hujan. Ketika hujan lebat, baik warga pendatang maupun masyarakat Suku Akit memang tidak pergi ke kebun mengambil getah dari pohon karet. Tetapi ketika hujan hanya gerimis, masyarakat Suku Akit tetap tidak pergi ke kebun karet karena mereka tahu bahwa pohon karet mereka basah sehingga tidak bisa mengambil getah. Hal ini disebabkan pohon karet mereka dikelilingi semak belukar yang menghalangi sinar matahari untuk mengeringkan batang pohon karet yang telah basah. Tetapi, warga pendatang tetap pergi ke kebun untuk mengambil getah karena mereka tahu kebun tanaman karet mereka yang selalu dibersihkan dari semak belukar akan cepat dikeringkan oleh sinar matahari. Produksi tanaman karet dan kelapa sawit yang dimiliki warga pendatang lebih banyak karena ada pembersihan kebun dan pemupukan yang dilakukan secara rutin. Harus diakui bahwa warga pendatang memang mampu membeli pupuk penyubur tanaman. Berbeda sekali dengan masyarakat Suku Akit yang memperlakukan kebun mereka tanpa pembersihan dan pemupukan. Berdasarkan cara memperlakukan perkebunan ini, jelaslah bahwa penghasilan warga pendatang yang berprofesi sebagai petani jauh lebih banyak daripada penghasilan masyarakat Suku Akit yang berprofesi sama. (b) Luas lahan perkebunan semakin berkurang. Masyarakat Suku Akit selalu menjual lahan perkebunan untuk kepada warga pendatang karena

132 Bisnis dan Agama hanya warga pendatang itulah yang mampu membeli tanah masyarakat Suku Akit. Pada tahun 2008, harga tanah milik masyarakat Suku Akit seluas 2 hektar hanya Rp. 6 juta hingga Rp. 8 juta. Uang tersebut dipakai untuk membayar utang atau membeli kendaraan roda dua yang diimpor secara illegal dari Malaka-Malaysia. Dahulu biasa terjadi transaksi dimana tanah seluas 2 hektar ditukar dengan 1 unit kendaraan roda dua illegal. Tetapi, selain keperluan yang disebut di atas, ada 2 kondisi yang menyebabkan lahan mereka semakin berkurang, yakni (i) kewajiban memenuhi tuntutan adat istiadat; dan (ii) pemberian tanah bagi anakanak yang sudah berkeluarga baik untuk lahan tempat tinggal maupun untuk perkebunan yang menjadi sumber penghasilan bagi keluarga. Jika tidak ada lahan yang bisa dibagikan orang tua, maka anak mereka yang telah berkeluarga akan tinggal bersama dengan orang tua di dalam satu rumah. Hal ini menjadi permasalahan berat bagi mereka secara ekonomi. Secara khusus, hal yang berkaitan dengan adat istiadat. Ada 3 ritual adat yang wajib dilakukan, yakni (a) ritual penyembuhan orang sakit yang dipimpin oleh bomo (dukun yang diakui berkemampuan menyembuhkan); (b) adat pernikahan yang dipimpin oleh bathin (kepala suku yang diakui karismanya pemberian roh-roh para leluhur. Jabatan bathin ini dapat diwariskan kepada keturunan sang bathin atau dialihkan kepada saudara sang bathin) yang dibantu oleh beberapa orang bomo; dan (c) adat penguburan orang tua yang meninggal dunia yang dipimpin oleh bathin dibantu beberapa orang bomo. Ketiga kegiatan adat itu selalu dihadiri banyak tamu (sesama Suku Akit). Bahkan para tamu tinggal di rumah tuan rumah selama 1-2 hari. Itu berarti para tamu tidak bekerja demi penghasilan keluarga selama kegiatan adat berlangsung. Solidaritas dan hubungan kekerabatan mereka memang sangat kuat. Tuan rumah pun wajib menyediakan makanan dan minuman yang cukup selama kegiatan adat berlangsung. Itu sebabnya, mereka sangat membutuhkan dana yang relatif besar. Seringkali tuan rumah menjual tanah demi memenuhi tuntutan adat. Jika adat tidak dilaksanakan,

Etika Ekonomi Kontekstual 133 maka, sebagaimana kepercayaan mereka, roh-roh para leluhur termasuk orang tua yang sudah meninggal dunia tidak akan memberkati mereka. Selain itu, tuan rumah bisa tidak diperhitungkan dalam kegiatan adat oleh masyarakat Suku Akit. Jadi, jika tidak ada kemapanan ekonomi maka masyarakat Suku Akit akhirnya tidak memiliki tanah sama sekali di Pulau Rupat, baik untuk tempat tinggal maupun untuk kegiatan ekonomi mereka. (c) Infrastruktur yang sangat parah. Berdasarkan pengamatan saya selama hampir 4 tahun, harus diakui bahwa masyarakat Suku Akit telah menjadi korban diskriminasi atau ketidakadilan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara jalan di pemukiman warga pendatang telah lama disemen atau diaspal, tetapi masyarakat Suku Akit menggunakan jalan yang masih tanah. Pada musim kemarau, dari jalan itu debu bertebaran yang akhirnya menyebabkan penyakit pernapasan dan mata. Pada musim hujan, sekitar 165 hari dalam setahun, jalan sangat sulit dilalui baik jalan kaki maupun kenderaan roda dua karena jalan penuh lumpur. Itu sebabnya, disamping banyak terjadi kecelakaan bagi pengguna jalan, jalan berlumpur juga telah menyebabkan hasil panen tanaman khususnya kelapa sawit sulit diangkut. Biaya membayar jasa pengangkutan dan bahan bakar menjadi banyak. Seringkali, biaya pengakutan lebih besar daripada hasil penjualan. Oleh karena itu, banyak juga yang tidak panen buah kelapa sawit di musim hujan karena mereka justru rugi. Padahal buah kelapa sawit yang sudah matang tapi tidak dipanen akan merusak atau bahkan membuat tanaman gagal berproduksi. Berdasarkan ketersediaan jalan umum ini pun menyebabkan adanya jurang kesenjangan ekonomi yang lebar. Kegiatan ekonomi dan penghasilan warga pendatang lebih lancar dan mapan karena didukung infrastuktur jalan yang baik. Kondisi demikian tidak dialami oleh masyarakat Suku Akit. Kegiatan ekonomi mereka tidak berlangsung dengan lancer dan penghasilan mereka pun sangat rendah.

134 Bisnis dan Agama (d) Harga dikendalikan oleh toke (pemilik modal). Toke ini ada 2 jenis, yakni (i) toke di Pulau Rupat yang memiliki toko atau kedai. Para toke jenis inilah yang memiutangi masyarakat Suku Akit. Di antara kedua pihak telah ada perjanjian bahwa utang akan dibayar ketika panen tiba. Umumnya, utang dibayar secara langsung dengan getah yang dipanen. Memang, jumlah petani karet lebih banyak daripada petani kelapa sawit. Panen karet dapat dilakukan setiap hari jika tidak musim hujan dan penjualannya dapat dilakukan minimal 3 kali seminggu. Karet pun bisa disimpan oleh toke di gudang dalam waktu yang relatif lama menunggu tiba waktunya dijual kepada pembeli karet yang datang dari Kota Dumai. Sementara, buah kelapa sawit hanya 2 kali dalam sebulan. Setelah dipanen, buah kelapa sawit harus segera dijual supaya tidak busuk. Jadi, pemilik kebun sawit biasanya langsung menjual hasil panennya kepada pembeli, baik yang tinggal di Pulau Rupat maupun yang datang dari Kota Dumai. (ii) toke yang datang dari Kota Dumai. Para toke jenis ini membeli karet yang sudah ditampung oleh para toke di Pulau Rupat. Para toke dari Kota Dumai ini mengendalikan harga karet dan para toke di Pulau Rupat hanya mengikuti ketentuan harga. Mereka sendiri tidak memiliki pilihan lain karena para toke dari Kota Dumai inilah yang menguasai transportasi berupa kapal besar untuk pengangkutan karet ke Kota Dumai. Itu sebabnya, para toke di Pulau Rupat berusaha tidak rugi sehingga harga beli mereka terhadap karet masyarakat di Pulau Rupat jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar di Kota Dumai. Hasil penjualan karet masyarakat Suku Akit ini pun tidak banyak. Mereka tunduk pada penghitungan para toke yang sudah memiutangi mereka. Mereka juga tidak peduli jika toke itu pun menipu mereka. Hal yang penting bagi mereka adalah bahwa hasil panen mereka dapat membayar cicilan utang mereka dan toke masih bersedia memiutangi mereka ketika mereka membutuhkan kebutuhan pangan dan sandang. Petani kelapa sawit pun tunduk pada ketentuan harga yang dibuat

Etika Ekonomi Kontekstual 135 oleh toke yang menguasai kapal pengangkutan kelapa sawit ke Kota Dumai. Mereka tidak peduli jika ditipu karena tidak ada pilihan lain bagi mereka. Hasil penjualan buah kelapa sawit digunakan untuk membayar utang kepada toke yang telah memiutangi mereka. Jadi, relasi antara toke dengan masyarakat Suku Akit yang berbasis ekonomi justru menempatkan masyarakat Suku Akit sebagai korban ketidakadilan dari para toke. Kecil kemungkinan bagi mereka keluar dari perangkap utang. Kondisi lebih parah lagi, bahwa masyarakat Suku Akit memiliki utang pada beberapa toke atau pemilik kedai. Dengan demikian, kehidupan ekonomi mereka tidak semakin lebih baik, melainkan semakin miskin. Berdasarkan uraian di atas, bahwa masyarakat Suku Akit telah menjadi korban dari diskriminasi dan ketidakadilan baik oleh pemerintah, para toke (warga pendatang yang sekaligus sebagai pemilik modal), dan warga pendatang secara umum. Pemerintah melarang pembalakan kayu di hutan oleh masyarakat Suku Akit, tetapi justru memberi ijin kepada para pemilik modal besar untuk melakukan pembalakan kayu dan mengorvensi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman karet. Para aparat pemerintah dan hukum seperti bupati, camat, kepala desa, polisi, dan tentara telah memakai jabatan dan kekuasaan mereka untuk menguasai puluhan bahkan ratusan hektar. Minimal ada 10 perusahaan yang memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit, tanaman karet dan pohon akasia (bahan baku pembuatan kertas). Setiap pengusaha menguasai lahan puluhan ribu hektar. Para toke, baik yang memberi upah dan yang memberikan utang, juga telah berlaku diskriminatif terhadap masyarakat Suku Akit yang sangat bergantung kepada mereka. Masyarakat Suku Akit ini rentan terperangkap utang dalam waktu yang lama. Warga pendatang umumnya juga memanfaatkan kondisi masyarakat Suku Akit yang tidak berdaya dan tidak memiliki pilihan. Harga tanah yang dijual oleh warga Suku Akit dalam keadaan yang terdesak, dibeli oleh warga pendatang dengan harga yang relatif murah. Warga pendatang pun

136 Bisnis dan Agama memandang masyarakat Suku Akit sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang. Relasi di antara kedua pihak kurang baik. Masyarakat Suku Akit menjadi masyarakat yang terisolasi di antara penduduk di Pulau Rupat. Lambat laun, warga pendatang semakin banyak menguasai tanah yang dulu telah dibeli mereka dari masyarakat Suku Akit. Tanah milik masyarakat Suku Akit lambat laun semakin berkurang. Bahkan, mereka rentan tidak menjadi pemilik tanah lagi di Pulau Rupat. Kondisi ini sudah mulai terjadi. Sejumlah keluarga yang dahulu tinggal di Desa Titi Akar pindah ke daerah yang diyakini belum dikuasai manusia. Kondisi ini terjadi karena mereka telah menjual seluruh tanah yang dimiliki kepada warga pendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan memperhatikan keseluruhan kondisi yang dialami oleh masyarakat Suku Akit, dapat dikatakan bahwa seluruh kondisi di atas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun pada akhirnya telah mengondisikan masyarakat Suku Akit hidup dalam kemiskinan. Mereka terperangkap di dalam kemiskinan itu. Dan di dalam kemiskinan itu, tidak ada pihak yang sungguh-sungguh peduli dan berpihak kepada mereka. Konteks Kemiskinan yang Kronis dan Luas Biasa Menurut David Hulme, kemiskinan yang kronis berkaitan dengan durasi atau lamanya waktu dari orang yang terjebak di dalam kemiskinan. Setidaknya, ada 4 kriteria dari kemiskinan kronis tersebut, yakni:11 (a) ketika seseorang mengalami kemiskinan seumur hidupnya (b) ketika seseorang mengalami kemiskinan lebih dari 5 tahun (c) ketika kemiskinan itu diturunalihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, di mana orang tua menciptakan bagi seorang anak aset dasar yang telah mengarahkan anak tersebut menjadi miskin di kemudian hari dalam hidup. 11 David Hul memenguti partikel D.Hulme dan A.Shepherd, “Conceptualising Chronic Poverty”,WorldDevelopment31 (2003a),403-423;D.Hulme,K.Moore dan A. Shepherd, “Chronic Poverty: Meanings and Analytical Framework”, CPRC Working Paper 2, Chronic Povery Reasearch Centre, Institute for Development Policy and Management, 2001. Lih., David Hulme, “Chronic Poverty” dalam David Alexander Clark, The Elgar Companionto Development Studies (Cheltenham/Northampton, MA: Edward Elgar, 2006), 25.

Etika Ekonomi Kontekstual 137 (d) ketika seseorang meninggal dunia dalam kematian yang dapat dicegah akibat kemiskinannya. Dengan merujuk pada 4 kriteria yang disebutkan oleh David Hulme di atas, maka berdasarkan pengamatan empiris terhadap kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat, dapat dikatakan, bahwa mereka telah terperangkap di dalam kemiskinan yang kronis. Baik di tingkat individu, keluarga maupun masyarakat, kemiskinan yang mereka alami berlangsung lebih dari 5 tahun. Bahkan, kemiskinan yang demikian menjadi warisan yang diterima oleh anak dari orang tua yang dahulu juga hidup dalam kemiskinan. Dengan meminjam definisi yang diberikan oleh Pieris12, kemiskinan yang luar biasa itu menunjuk pada kenyataan banyaknya orang miskin sebagai akibat dari “kemiskinan yang dipaksakan”. Di dalam uraian Pieris tersebut, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, yakni (a) kenyataan banyaknya orang miskin; (b) kemiskinan yang dipaksakan, yang berarti bahwa ada penyebab besar di luar diri orang miskin itu sendiri yang memaksa mereka menjadi miskin, yaitu struktur politik, ekonomi dan sosial yang tidak adil. Kenyataan Banyaknya Orang Miskin Berapa banyak jumlah penduduk Suku Akit di Pulau Rupat? Berapa banyak dari antara mereka yang miskin? Pada bagian “Gambaran Umum” saya telah menyajikan data statistik penduduk di Pulau Rupat. Kelemahan dari data statistik tersebut adalah (a) Tidak dapat diketahui secara spesifik data mengenai jumlah penduduk di Pulau Rupat yang dikategorikan sebagai orang miskin termasuk masyarakat Suku Akit yang dikategorikan miskin; dan (b) Tidak dapat diketahui secara spesifik data mengenai jumlah penduduk etnis Suku Akit. Berkaitan dengan data statistik mengenai kemiskinan di Pulau Rupat, barangkali dapat dilakukan dengan mempertimbangkan data yang disajikan oleh BPS Provinsi Riau yaitu data mengenai kemiskinan penduduk yang tinggal di desa dan di kota dalam wilayah Provinsi Riau, sebagaimana 12 Aloysius Pieris, Berteologi Dalam Konteks Asia (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 47-49.

138 Bisnis dan Agama disampaikan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, Abdul Manaf, sebagai berikut:13 Tahun

Orang Miskin di desa

Orang Miskin di kota

Jumlah

Persentase

2006

338.600

226.300

564.900

11,85

2007

328.100

246.400

574.500

11,20

2008

321.600

245.100

566.670

10,63

2009

301.900

225.600

527.490

9,48

2010

291.340

208.920

500.260

8,65

Berkaitan dengan data di atas, tanggapan saya adalah sebagai berikut: 1) Data-data tersebut kurang akurat dan tidak mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya. Terlihat bahwa ada pengurangan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun. Padahal jika dibandingkan apa yang dialami oleh masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat, yang mana mereka telah hidup dalam kemiskinan bahkan semakin miskin. Penyajian data tersebut sarat dengan politik pencitraan pemerintah. Ada upaya politisasi data statistik mengenai kemiskinan. 2) Data statistik mengenai kemiskinan itu berkaitan erat dengan kepemilikan KTP oleh masyarakat. Warga yang tidak memiliki KTP tentu tidak diperhitungkan dalam pendataan.Masih banyak warga Suku Akityang tidak memiliki KTP. Itu berarti, selama tidak memiliki KTP, sesungguhnya mereka tidak dihitung sebagai warga Indonesia dan kemiskinan mereka pun diabaikan.Hal ini terungkap pada saat pembagian Beras Miskin (raskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sebenarnya merupakan hak warga miskin. Tetapi, banyak dari masyarakat Suku Akityang miskin tidak mendapatkan hak mereka karena tidak memiliki KTP. 3) Tentu saja masyarakat miskin yang belum memiliki KTP ini ingin sekali memiliki KTP. Memang pemerintah mengatakan bahwa KTP itu gratis, tetapi tidak demikian di Pulau Rupat. Pembuatan KTP hanya dapat diproses oleh aparat pemerintah di tingkat desa, kecamatan dan 13 semenanjung.com/news/(diunduh: 14/12/2011).

Etika Ekonomi Kontekstual 139 kabupaten jika setiap keluarga sudah memiliki Kartu Keluarga (KK). Proses pembuatan KK dan KTP di pulau ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Sementara KK setiap tahun selalu berganti warna dan modelnya. Nampaknya, pembuatan KK dan KTP ini telah menjadi “mesin penghasil uang” bagi aparat pemerintah. Setidaknya, biaya yang harus dikeluarkan setiap orang yang ingin memiliki KTP adalah Rp.200.000,-. Di samping penggunaan KTP ini hanya sekitar Pulau Rupat saja, masyarakat Suku Akit yang miskin ini tidak bersedia mengurus KK dan KTP disebabkan biaya yang sangat mahal dan birokrasi yang bertele-tele. 4) Data statistik mengenai kependudukan dan kemiskinan itu tidak akurat karena banyak dari warga Suku Akit yang tinggal terisolasi atau jauh dari ruang-ruang publik (jalan umum, rumah sakit, sekolah, pasar, kantor desa). Mayoritas mereka tidak didata sebagai penduduk resmi. Pada tahun 2009, Dinas Sosial Kabupaten Bengkalis menyajikan data statistik, sebagaimana dimuat dalam Kabupaten Bengkalis Dalam Angka 2010, bahwa dinas tersebut telah membina 1,796 kepala keluarga (KK) atau 5,108 jiwa. Jumlah warga yang belum dibina adalah 966 KK.14 Seandainya 1 KK terdapat anggota keluarga sebanyak 6 orang, maka jumlah keluarga yang belum dibina oleh Dinas Sosial Kabupaten Bengkalis hingga pada tahun 2009 adalah 5.796 jiwa. Itu berarti, dapat diperkirakan, bahwa hingga tahun 2009, terdapat jumlah penduduk masyarakat Suku Akit kurang lebih 10.904 jiwa. Tidak tertutup kemungkinan bahwa jumlah mereka hingga pada tahun 2010 terus bertambah. Istilah yang dipakai oleh Dinas Sosial itu, “yang dibina” dan “yang belum dibina” menunjukkan pada masyarakat Suku Akit merupakan kelompok masyarakat di Pulau Rupat yang sangat lemah, tidak berdaya, dan miskin. Saya sendiri tidak begitu yakin bahwa program pembinaan itu terlaksana dengan baik. Berdasarkan pengamatan saya, pembinaan 14 BPS Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Bengkalis dalam Angka 2010, 140.

140 Bisnis dan Agama dari Dinas Sosial tersebut adalah seperti pembangunan rumah yang sangat sederhana bagi keluarga yang rumahnya sudah tidak layak huni. Tetapi kondisi ekonomi mereka tidak berubah. Seorang bapak bernama Mat Jaman, warga Suku Akit yang tinggal di Desa Teluk Rhu, berkata: “Kalau mau membantu masyarakat harus sepenuh hati, bukan setengah-setengah. Contohnya, pemerintah beberapa waktu yang lalu telah memberikan bantuan kepada kami yang bekerja sebagai nelayan. Tetapi, bantuan itu hanya beberapa bagian sehingga sia-sia, malah menambah susah masyarakat di sini. Kami diberi pompong (kapal) tetapi tidak ada mesin, diberi bahan rumah tetapi tidak ada semen. Masyarakat di sini miskin. Jadi, bantuan seperti itu malah membuat kepala kami pening. Kami jadi tambah susah. Sebab untuk membuat rumah hingga jadi, kami tidak mampu. Kami tetap berharap pemerintah betul-betul memperhatikan pembangunan di daerah kami ini”.15 Pernyataan Bapak Mat Jaman tersebut mengungkapkan bahwa masyarakat Suku Akit memang hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, program pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum mampu mengubah kondisi hidup mereka yang sedang berada dalam kemiskinan. Secara kuantitatif, terbukti bahwa masyarakat Suku Akit benar-benar hidup di dalam kemiskinan. Sementara itu, pada kesempatan ini, saya ingin mendeskripsikan hasil pengamatan saya selama hampir 4 tahun yang secara kualitatif mengungkapkan kondisi kemiskinan yang kronik dan luar biasa yang dialami oleh masyarakat Suku Akit. Untuk mendeskripsikannya, saya memakai teori Robert Chambers, “Rural Development: Putting the Last First” (1983), yang telah dikutip dan dikembangkan oleh Myers. Robert Chambers menegaskan, bahwa kaum miskin hidup sebagai kelompok yang tidak beruntung. Lalu, Robert Chambers membuat dan menyebutkan 5 elemen “poverty trap”(perangkap kemiskinan) yang dialami rumah tangga (lihat poin 1-5).Selanjutnya, Myers menambahkan satu elemen lain yakni spiritual poverty.16 15 Lih. Badri, dkk, “Nasib Kami Seperti Sudut Dapur”, dalam Riau Bisnis. riaubisnis.com/ index.php/expedition/71-rupat/348-nasib-kami-seperti-sudut-dapur (diakses:13/4/2012). 16 Lih. Bryant L. Myers, Walking With The Poor. Principlesand Practices of

Etika Ekonomi Kontekstual 141 Myers menambahkan, bahwa setiap elemen di dalam sistem “poverty trap” di atas saling berhubungan dan memperkuat satu sama lain. Jika satu elemen bermasalah maka elemen-elemen lainnya juga bermasalah yang menghasilkan kemiskinan.17 Lack of assets

Sistem “poverty trap” Lack of strength Too many dependents

Material Proverty

Physical Weakness

Vulnerability

Isolation Lack of assets Lack of education Excluded from system

Lack of reserves Lack of choices Easy to coerce

Powerlessness

Spiritual Proverty

Lack of influence Lack of social power Exploited by powers

Broken relationships With neighbour and God

Fenomena kemiskinan yang parah masyarakat Suku Akit adalah sebagai berikut: (a) Material poverty: Mereka rentan tersingkir karena tidak mampu bertahan hidup terhadap desakan pembangunan Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi. Mereka menjual tanah untuk mengatasi kemiskinan mereka, misalnya supaya ada biaya untuk mengobati keluarga yang sakit, menikahkan anak, atau mengadakan adat istiadat penguburan Transformational Development (Maryknoll, NY: Orbis, 1999), 66-67. 17 Ibid.,68.

142 Bisnis dan Agama orang tua yang meninggal dunia. Tetapi, pilihan itu justru semakin me­ miskinkan mereka. Kemiskinan telah menyebabkan sejumlah warga dari komunitas Akit Hatas memutuskan untuk meninggalkan tanah warisan leluhur dan pindah ke daerah yang belum dimiliki manusia. Keputusan untuk pindah di daerah baru belakangan ini tidak lagi memungkinkan bagi masyarakat miskin yang sudah tidak memiliki tanah, karena hampir seluruh tanah daratan telah dimiliki oleh manusia di Pulau Rupat. Rumah mereka umumnya adalah rumah kayu yang berukuran rata-rata 6 M x 6 M, atap daun rumbia dan dihuni banyak orang (sekitar 6-8 orang). Mereka mengonsumsi air hujan yang ditampung. Sedangkan di musim kemarau, mereka mengonsumsi air sumur yang sebenarnya tidak layak diminum. Sanitasi rumah tangga buruk. Hampir setiap keluarga memiliki utang di 2 atau 3 kedai / toko untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Selain tidak cukup melunasi utang, penghasilan dari jerih payah mereka bekerja ternyata juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap hari, membiayai kesehatan, membiayai pendidikan putra-putri mereka, dan juga membiayai pelaksanaan adat istiadat mereka. (b) Physical weakness: Mereka rentan menderita penyakit yang parah, karena tenaga mereka yang terkuras saat bekerja tidak diimbangi dengan asupan gizi yang cukup. Anggota keluarga yang sakit tidak dibawa berobat, karena mereka tidak mempunyai uang yang cukup. Dalam mengupayakan kesembuhan, biasanya mereka selalu mendahulukan ritual penyembuhan yang dipimpin oleh bomo (dukun). Tuan rumah harus menyediakan dana yang relatif banyak untuk membayar jasa sang bomo dan menyediakan makanan-minuman bagi semua tamu yang hadir dan tinggal di rumah tuan rumah selama beberapa hari. Jika sang bomo gagal, maka orang yang sakit itu dibawa berobat kepada perawat / dokter. Tentu saja kondisi orang yang sakit semakin parah, bahkan tidak jarang sejumlah orang sakit akhirnya meninggal dunia. Umumnya, orang tua yang sudah berusia 50 tahun sudah sakit-sakitan dan menjadi tanggungan anggota keluarga yang masih mampu bekerja.

Etika Ekonomi Kontekstual 143 (c) Isolation: Umumnya, pemukiman mereka jauh dari jalan umum, mereka tinggal dekat pada atau dalam hutan, tempat tinggal mereka jauh dari akses terhadap pasar, sekolah, kantor kepala desa, rumah sakit atau balai pengobatan. Tidak banyak dari mereka memakai listrik, karena jauh dari lokasi pembangkit listrik. Umumnya, mereka memakai lampu dinding, karena tidak mampu membiayai pemakaian ginset. Keluarga yang mempunyai ginset pun hanya memakainya selama 3-4 jam di malam hari. Infrastruktur jalan umum di pemukiman mereka belum diaspal sehingga selama musim hujan jalan penuh dengan lumpur dan di musim kemarau penuh dengan debu. Kondisi jalan rusak menyebabkan beberapa keluarga yang mempunyai lahan kelapa sawit atau karet, terpaksa mengeluarkan biaya pengangkutan yang besar sehingga penghasilan mereka tetap tidak cukup membayar utang di kedai / toko. (d) Vulnerability: Mereka tidak memiliki tabungan, karena hasil kerja mereka dipergunakan untuk mencicil pembayaran utang. Mereka rentan sekali untuk menjadi miskin, karena keadaan yang memaksa mereka harus mengeluarkan uang yang banyak. Adat istiadat dan upacara keagamaan sangat berarti bagi mereka. Untuk melaksanakan keduanya, mereka terpaksa menjual tanah, bahkan juga berutang. Tuan rumah yang mengadakan adat istiadat dan upacara keagamaan, misalnya penguburan orang tua yang meninggal dunia, harus menyediakan dana yang cukup banyak, karena banyak tamu yang harus diberi makan dan minum. Para tamu yang datang pun tinggal bersama dengan tuan rumah selama 2 hari 2 malam. Itu berarti, para tamu itu pun tidak bekerja untuk menghasilkan uang. Kondisi tersebut menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai pendidikan anakanak mereka minimal sekolah dasar. Akibatnya, banyak anak-anak dan pemuda/i mereka tidak memiliki pendidikan yang memenuhi syarat sebagai pegawai negeri maupun pekerja di perusahaan-perusahaan yang akan berdiri di pulau ini.

144 Bisnis dan Agama (e) Powerlessness: Mereka tidak berdaya untuk menolak undangundang yang melarang pembalakan kayu. Kegiatan pembalakan kayu merupakan sumber nafkah yang banyak dilakukan kaum lakilaki dewasa dari masyarakat Suku Akit. Pemerintah memberlakukan undang-undang tanpa mencari solusi yang baik bagi masyarakat Suku Akit yang menjadi korban. Sementara, mereka sendiri menyaksikan beberapa pemilik modal besar dibiarkan oleh aparat pemerintah dan kepolisian melakukan pembalakan kayu. Mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan dan diabaikan oleh pemerintah. Misalnya, pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, dll, di atas tanah mereka tidak pernah diberikan ganti rugi. Mereka tidak berdaya untuk menolak hadirnya PT. RAPP, yakni perusahaan pembuat kertas yang menguasai puluhan ribu hektar lahan untuk penanaman pohon bahan baku kertas di dekat kawasan pemukiman mereka. Penguasaan lahan yang direstui pemerintah itu telah membatasi perluasan lahan pemukiman dan perkebunan warga Suku Akit. Mereka rentan tertipu oleh beberapa pemilik modal yang menjanjikan akan memberikan hasil pengolahan lahan-lahan yang dipinjamkan mereka kepada pemilik modal. Hasil yang dijanjikan tidak pernah diberikan. Malahan lahan-lahan mereka dirampas oleh pemilik modal yang didukung oleh pemerintah mulai dari desa hingga kabupaten.Masyarakat Suku Akit tidak berdaya untuk menuntut para pemilik modal yang curang itu. Aspirasi mereka dalam rapat pertemuan di tingkat desa kurang ditanggapi. Aparat pemerintah desa hingga kabupaten yang mayoritas warga pendatang lebih memprioritaskan kemajuan etnis mereka masing-masing. (f) Spiritual poverty: Meskipun mereka telah menjadi warga dari agama Kristen atau Budha, mereka tetap melakukan upacara keagamaan tradisional mereka. Di dalam setiap pelaksanaan adat istiadat pun tetap diadakan ritual penyembahan kepada roh-roh para leluhur. Ketaatan melakukan adat istiadat dan upacara keagamaan merupakan ekspresi relasi mereka dengan para leluhur. Mereka berharap roh-roh para

Etika Ekonomi Kontekstual 145 leluhur dan juga roh dari orang tua yang meninggal dunia menjaga dan memberkahi mereka dengan banyak rejeki. Sehubungan dengan itu pula, fenomena kerasukan dipahami sebagai kedekatan roh-roh leluhur pada seseorang. Orang yang dirasuki itu telah dipilih roh-roh para leluhur menjadi bomo (dukun) yang membantu penyembuhan orang sakit. Kemiskinan yang mereka alami menyebabkan mereka merasa minder, kecil, lemah, tidak berharga. Interaksi dengan etnis lain pun terbatas. Mereka cenderung curiga dan menjaga jarak terhadap etnis lain, apalagi pendatang baru. Kemiskinan yang Dipaksakan Mengapa warga Suku Akit miskin? Menurut saya, ada dua faktor penyebab kemiskinan mereka: (i) Faktor internal, yakni dari diri mereka sendiri. Jika ditelurusi pada sejarah keberadaan mereka di Pulau Rupat, dapat dikatakan, bahwa masyarakat Suku Akit itu adalah penduduk yang pindah dari pesisir Sungai Siak. Mereka hidup secara komunal yang dipimpin oleh seorang Bathin. Kegiatan kerja didasarkan pada petunjuk sang Bathin dan bomo (dukun). Sebelum mereka beralih ke pertanian (mengalihfungsikan tanah jadi lahan perkebunan karet dan kelapa sawit), penghasilan utama mereka adalah membalak kayu di dalam hutan. Kaum lakilaki yang dipandang mampu bekerja umumnya melakukan pekerjaan ini. Setelah mereka membalak di dalam hutan selama 2 minggu dan kayu-kayu yang mereka hasilkan dijual kepada toke (pemilik modal yang selanjutnya menjual kayu-kayu itu ke Malaysia dan Singapura), mereka kembali ke kampung untuk beristrahat. Dalam waktu yang relatif singkat, penghasilan dari kegiatan pembalakan ini cukup membayar utang di kedai, membeli kebutuhan hidup setiap hari, dan berfoya-fota seperti minum minuman keras. Ketika penghasilan sudah habis, maka mereka kembali ke dalam hutan untuk membalak. Jadi, hidup mereka sangat santai dan tidak berorientasi ke masa depan. Mereka tidak menabung dan tidak berminat mendukung pendidikan

146 Bisnis dan Agama anak-anak mereka. Menurut mereka, pendidikan tidak menjamin mereka beroleh penghasilan besar seperti pekerjaan membalak di dalam hutan. Itu sebabnya, UU anti pembalakan liar (illegal logging) merupakan ancaman bagi mereka. Meskipun demikian, mereka tidak langsung menaati UU tersebut. Beberapa orang dari mereka melakukan pembalakan dan mereka ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi. Secara terpaksa, mereka mencoba mengolah tanah-tanah warisan leluhur yang sudah lama menjadi lahan “tidur”. Mereka membuat ladang padi, perkebunan karet dan kelapa sawit. Tetapi, semua lahan tersebut kurang dikelola dan dipelihara dengan baik sehingga penghasilan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Di samping itu, adat istiadat dan upacara keagamaan menuntut mereka harus mengeluarkan banyak uang. Dan, para tamu yang datang pada pesta pernikahan, ritual penyembuhan dan upacara pemberangkatan orang yang meninggal dunia, pun tidak bekerja di ladang mereka. Kebiasaan-kebiasaan demikian turut memiskinkan mereka. (ii) Faktor eksternal, yakni struktur-struktur politik, ekonomi dan sosial di luar diri warga Suku Akit sendiri. Struktur-struktur tersebut berpotensi membuat mereka ketergantungan dan tidak berdaya. Berkaitan dengan kondisi ini, Banawiratma dan Muller menyatakan:18 “…paling berat dalam semua kemiskinan yaitu pengalaman ketidakberdayaan dan ketergantungan. Orang miskin hidup bagaikan penjara dengan tembok tinggi yang tak bisa dilampaui, bahkan melihat ke luar pun tidak mungkin. Mereka hidup dalam keadaan terbelenggu hampir tanpa harapan. Mereka tak ada pengalaman selain kemiskinan. Mereka tak punya pendidikan yang bisa membuka mata, mereka tak punya kuasa dan koneksi, mereka tak punya modal. Dan kalau mereka berusaha maju, maka hampir pasti akan terkena macam-macam halangan dan rintangan”. 18 J. B. Banawiratma dan J. Müller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta :Kanisius, 1993), 128-129.

Etika Ekonomi Kontekstual 147 Struktur politik, misalnya, di mana pemerintah memberlakukan UU anti pembalakan liar telah menghancurkan kehidupan ekonomi masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat. Pemerintah yang notabene bermaksud mencegah kerusakan hutan, tidak peduli bahwa keputusannya mengorbankan masyarakat Suku Akit. Ironisnya, sejumlah pemilik modal melakukan pembalakan hutan ternyata didukung oleh aparat pemerintah, aparat kepolisian dan militer. Dapat dikatakan, bahwa UU tersebut hanya berlaku kepada masyarakat lemah, tetapi tidak bagi para pemilik modal. Struktur ekonomi, bahwa meskipun Suku Akit adalah masyarakat pribumi di Pulau Rupat, tetapi seluruh kegiatan perdagangan dikuasai oleh warga pendatang (seperti China, Jawa, Melayu, Nias). Merekalah yang menentukan harga. Mereka tidak peduli apakah masyarakat Suku Akit memiliki kemampuan daya beli atau tidak. Nyatanya, hampir semua keluarga Suku Akit memiliki utang di beberapa kedai/toko. Mereka membayar utang dengan hasil perkebunan mereka seperti karet dan kelapa sawit. Harga pun ditentukan oleh pemilik kedai/toko dengan sewenang-wenang. Akibatnya, mereka tetap berada dalam perangkap utang. Struktur sosial, ada jurang kesenjangan yang lebar antara masyarakat Suku Akit dengan warga pendatang. Secara ekonomi warga pendatang lebih mapan daripada masyarakat Suku Akit. Mayoritas aparat pemerintah desa pun adalah warga pendatang. Dengan demikian, pergumulan hidup masyarakat Suku Akit seringkali diabaikan karena aparat pemerintahan desa lebih memprioritaskan pembangunan di daerah pemukiman mereka. Itu sebabnya, dusun-dusun yang dihuni warga pendatang jauh lebih maju dibandingkan dusun-dusun yang dihuni mayoritas masyarakat Suku Akit.Terlebih lagi, pembangunan percepatan Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi semakin memperlihatkan kesenjangan ekonomi dan sosial antara warga pendatang dan

148 Bisnis dan Agama masyarakat Suku Akit.Masyarakat Suku Akit yang lemah justru semakin lemah dan rentan terpinggirkan, sementara para warga pendatang lebih siap menghadapi perubahan di Pulau Rupat. Fenomena Pembangunan Pulau Rupat sebagai Zona Pertumbuhan Ekonomi Rencana pemerintah untuk membangun Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi, sebenarnya telah lama dibuat. Sejak tahun 1994 telah ada program pemerintah menjadi Pulau Rupat sebagai daerah transmigrasi untuk mendukung pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM). Tetapi, realisasi dari program tersebut semakin nyata dalam 10 tahun belakangan ini. Minimal ada 2 keputusan politik mengenai pemekaran wilayah administratif di tingkat provinsi dan kabupaten yang menandai adanya pengerucutan perhatian pemerintah untuk membangun Pulau Rupat: (1) Pada tanggal 25 Oktober 2002, sejumlah wilayah administratif Provinsi Riau dimekarkan menjadi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kini, wilayah administratif Provinsi Riau terdiri dari 2 kota (Pekan Baru dan Dumai), 10 kabupaten (Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Bengkalis (dimana Pulau Rupat berada), Siak, Kuantan Singingi, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan Meranti).19 (2) Pada tanggal 16 Januari 2009, sejumlah wilayah administratif Kabupaten Bengkalis dimekarkan menjadi Kabupaten Kepulauan Meranti. Kini, wilayah administratif Kabupaten Bengkalis hanya 8 kecamatan (Bantan, Bengkalis, Bukit Batu, Mandau, Rupat, Rupat Utara, Pinggir dan Siak Kecil).20 Ada beberapa alasan pembangunan Pulau Rupat: (a) Pulau Rupat merupakan pulau terluar Indonesia yang berhadapan dengan Selat Malaka. Pulau terluar ini perlu dibangun dalam rangka pertahanan Indonesia. 19 riauprov.go.id (diakses:02/04/2012). 20 rohilkab.go.id (diakses:02/04/2012).

Etika Ekonomi Kontekstual 149 (b) Pulau Rupat berada di persilangan antara Malaysia dengan Singapura. Posisi strategis ini sangat potensial menjadikan Pulau Rupat sebagai daerah pertumbuhan ekonomi. (c) Pulau Rupat menjadi satu-satunya pulau yang dapat dikembangkan sebagai daerah pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau, seperti Pulau Batam (bagian dari Provinsi Kepulauan Riau). (d) Pulau Rupat mempunyai pantai putih sepanjang 17 KM yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka, jalur lalu lintas perdagangan internasional. Oleh karena itu, Pulau Rupat sangat potensi menjadi daerah pariwisata. Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah (tingkat pusat dan daerah) untuk membangun Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi, adalah: (a) Pemerintah memberlakukan UU anti-pembalakan liar. Undang-undang ini ternyata hanya berlaku bagi masyarakat lemah seperti masyarakat Suku Akit agar tidak melakukan pembalakan di hutan. Nyatanya, banyak hutan yang dahulu adalah lahan “tidur” telah dikuasai oleh para investor atau pemilik modal besar. Jadi, undang-undang ini, nampaknya, hendak memperuntukkan hutan untuk kepentingan para investor saja. (b) Program transmigrasi. Pada tanggal 25 Juni 2009, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Eman Suparno, telah mencanangkan Program transmigrasi Kota Terpadu Mandiri (KTM). Program ini diperuntukkan bagi keluarga-keluarga miskin yang ada di Bengkalis dan Riau secara umum serta keluarga yang didatangkan dari Pulau Jawa. KTM tersebut meliputi 5 desa di Pulau Rupat yang secara umum dihuni oleh masyarakat Suku Akit. Itu berarti lahan-lahan “tidur” di kawasan masyarakat Suku Akit akan dikelola oleh keluarga peserta program transmigrasi.Program transmigrasi KTM juga akan dikuti dengan pembangunan pabrik gula lengkap dengan perkebunan tebunya. Lahan yang disediakan untuk program transmigrasi itu adalah seluas 2.300 hektar.21 21 riauterkini.com/hukum.php?arr=24575(diakses:14/12/2011).

150 Bisnis dan Agama (c) Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan membangun jembatan yang menghubungkan Malaka-Pulau Rupat-Dumai. Jembatan ini dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Korelasi di Antara Kedua Fenomena Ada 2 fenomena yang sangat penting untuk diperhatikan. Pertama, fenomena kemiskinan yang kronis dan luar biasa sebagai pergumulan hidup masyarakat Suku Akit di Pulau Rupat. Kemiskinan tersebut harus direduksi dan diatasi. Kedua, fenomena percepatan pembangunan Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi. Sejatinya, pembangunan tersebut merupakan solusi yang tepat untuk mereduksi atau mengatasi kemiskinan masyarakat Suku Akit. Oleh karena itu, patut dipertanyakan: apakah pemerintah sungguh-sungguh memiliki niat memaksudkan pembangunan tersebut untuk pembebasan atau pemerdekaan masyarakat Suku Akit dari perangkap kemiskinan? Nyatanya, secara historis, pemerintah tidak sungguh-sungguh berpihak kepada masyarakat Suku Akit yang lemah dan miskin ini. Pemerintah mulai dari tingkat desa hingga ke tingkat pusat lebih berpihak kepada kelompok masyarakat yang lebih siap ikut serta di dalam perubahan di Pulau Rupat, yakni warga pendatang dan para investor. Selain memperlihatkan kemiskinan yang parah dari masyarakat Suku Akit, percepatan pembangunan tersebut juga semakin memperlihatkan kesenjangan ekonomi dan sosial antara warga pendatang dan masyarakat Suku Akit. Saya sendiri mendengarkan keluhan dari warga Suku Akit, betapa mereka sangat apatis dan pesimis memandang masa depan mereka sebagai invidu, keluarga dan komunitas di Pulau Rupat. Siapa yang diuntungkan dari pembangunan tersebut? Saya mengamati, bahwa masyarakat pendatang dan para investor sangat menikmati percepatan pembangunan itu. Mereka memiliki sejumlah kesiapan untuk berkompetisi pada perubahan situasi menuju Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi. Mereka memiliki modal yang cukup untuk membeli tanah-tanah masyarakat Suku Akit. Di samping itu, mereka juga telah

Etika Ekonomi Kontekstual 151 memiliki penghasilan, kegiatan bisnis dan keterampilan. Malah, semakin banyak orang dari luar Pulau Rupat berusaha untuk berinvestasi di Pulau Rupat ini. Tetapi, masyarakat Suku Akit justru melihat pembangunan itu sebagai ancaman bagi mereka.Setiap keluarga Suku Akit sudah kehilangan aset tanah. Adapun tanah yang masih ada, mereka pakaisebagai tempat tinggal putra-putri mereka yang berkeluarga. Mereka tidak mempunyai penghasilan, kegiatan bisnis dan keterampilan yang mapan. Jadi, pembangunan yang dibuat oleh pemerintah sangat ramah terhadap pemilik modal, tetapi sangat sangar terhadap masyarakat Suku Akit yang miskin. Etika Ekonomi Kontekstual Berbasis Kemiskinan Harus diakui, bahwa HKBP sebagai gereja yang melakukan pelayanan misi di tengah-tengah masyarakat Suku Akit belum mempunyai paradigma mengenai etika ekonomi kontekstual yang berbasis kemiskinan. Prioritas pelayanan hanya lebih besar kepada aspek rohani dan kurang menyentuh kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Suku Akit, baik jemaat maupun bukan jemaat. Prioritas demikian merupakan wujud dari paradigma lama dalam pelayanan misi yang diwarisi dari era Zending Barat, yakni berfokus pada pertambahan secara numerik jumlah jemaat yang ditandai dengan pembaptisan. Isu-isu mengenai kehidupan di surga lebih banyak dikumandangkan daripada mengupayakan pembebasan masyarakat Suku Akit keluar dari perangkap kemiskinan.Seluruh rutinitas pelayanan misi seperti (a) pelayanan gerejawi; (b) pelayanan di bidang pendidikan sekolah dasar; dan (c) pelayanan kesehatan, belum mampu menolong masyarakat Suku Akit keluar dari kemiskinan yang kronis dan luar biasa itu. Eka Darmaputera, melalui makalahnya yang berjudul “Gereja Mencari Jalan Baru Kehadirannya: Melawan Konflik Diri, Menghadapi Tekanan Eksternal”, pada Seminar Agama-agama Balitbang PGI di Magelang, September 1998, mengatakan: Bila kesekitaran kita telah begitu berubah, akan tetapi gerejagereja kita tidak berubah, alias tidak terpengaruh oleh perubahan-

152 Bisnis dan Agama perubahan tersebut, ini artinya adalah selama ini tidak terjadi interaksi yang signifikan antara gereja dan lingkungan kesekitarannya. Ketiadaan interaksi yang signifikan ini hanya bisa diartikan satu saja: gereja-gereja kita sedang menuju kepada irrelevansi total! Padahal sesuatu yang tidak relevan, tidak mungkin berfungsi. Dan sesuatu yang tidak berfungsi? Mati!22 Oleh karena itu, menurut Eka Darmaputera, gereja harus mencari paradigma baru yang memungkinkan gereja menghadirkan diri secara “pas” baik dalam menjawab tuntutan internal maupun eksternalnya, agar kehadirannya kembali menjadi signifikan, relevan, dan fungsional.23 Dengan demikian, ketika gereja lebih memfokuskan pelayanannya hanya pada pelayanan spiritual, pemenangan jiwa, pembaptisan, dan penambahan jumlah jemaat, sementara jemaatnya sendiri dan masyarakat sekitarnya mengalami pergumulan hidup yang memprihatinkan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka gereja demikian benar-benar tidak relevan, signifikan dan fungsional. Gereja demikian sudah mati. Sejatinya, pelayanan gereja di Pulau Rupat harus mentransformasi hidup masyarakat Suku Akit secara holistik. Berkenaan dengan hal itu, saya mengajukan etika ekonomi yang kontekstual di Pulau Rupat sebagai berikut: Mengusahakan kesejahteraan masyarakat Hal ini sangat sesuai dengan Firman Allah. Ketika umat Israel hidup di pembuangan Babelonia, Allah berfirman kepada mereka melalui Nabi Yeremia: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (29:7). Israel sangat kaget karena: (a) Mereka harus “mengusahakan”shalom di negeri Babelonia, tempat mereka tinggal, karena 22 Lih. Eka Darmaputera, “Jalan Baru Kehadiran Gereja”, dalam Martin L. Sinaga, dkk(peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera (Jakarta: BPK-GM, Cet. 2. 2005), 470. 23 Martin L. Sinaga, dkk (peny.), Pergulatan, 472.

Etika Ekonomi Kontekstual 153 shalom di kota itu pasti menjadi shalom mereka sendiri. Sebelum firman itu disampaikan Yeremia, mereka tidak berpikir tinggal lama di Babelonia, melainkan segera kembali ke Yerusalem. (b) Mereka harus “mendoakan” Negeri Babelonia. Padahal sebelumnya, lazim bagi Israel hanya mendoakan shalom atas Yerusalem dan Israel (lih. Mzm. 122:8; 125:5; 128:6). Sedangkan terhadap umat di luar Israel, mereka akan berdoa dengan isak tangis supaya TUHAN membalaskan dendam mereka kepada musuh-musuh yang mengancam negeri mereka termasuk orang-orang Babelonia (Mzm. 137:7-8).24 Berdoa dan mengusahakan kesejahteraan, itulah penekanan perintah Allah bagi umat Isreal. Perintah demikian berlaku bagi HKBP di Pulau Rupat. Umat yang berdoa adalah juga umat yang pro aktif mengusahakan kesejahteraan jemaat dan masyarakat sekitarnya. Gereja harus memperlihatkan keberadaannya sebagai perwujudan dari Allah yang maha hadir dan yang menghendaki pembebasan manusia dari penderitaan. Dengan memperhatikan pergumulan hidup jemaat dan masyarakat sekitarnya, yakni Suku Akit, gereja dapat melakukan beberapa hal berikut: (a) Membangun komunitas basis yang mengorganisir potensi masyarakat Suku Akit. Selama ini gereja memposisikan masyarakat Suku Akit sebagai objek yang lemah dan miskin yang membutuhkan pelayanan. Mereka tidak dianggap sebagai subjek yang memiliki potensi. Komunitas basis ini tidak hanya mencakup jemaat, melainkan semua masyarakat Suku Akit. Komunitas ini dibangun melalui proses penyadaran agar mereka dengan gereja sama-sama berjuang. Tidak ada jaminan bahwa komunitas ini akan berhasil dalam waktu singkat. Oleh karena itu, gereja harus mampu bersabar dan tetap setia untuk mendampingi komunitas ini. Komunitas ini dapat dibuat sesuai dengan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan potensi wilayah. Misalnya, komunitas basis petani, nelayan, dan buruh. (b) Memperjuangkan adanya KK dan KTP gratis bagi masyarakat Suku Akit. Pemerintah sendiri menyatakan, KK dan KTP itu gratis. Tetapi 24 Bnd. Robert Davidson, Jeremiah Volume 2 and Lamentations (Kentucky: Westminster John Knox, 1985), 63-65

154 Bisnis dan Agama aparat pemerintah di Pulau RUpat telah menjadikan proses pembuatan KK dan KTP ini sebagai “mesin penghasil uang”. Untuk memangkas jalur korupsi demikian, masyarakat miskin dapat diorganisir untuk mengurus pembuatan KK dan KTP itu. Beban pembuatan KK dan KTP tidak diminta dari setiap orang, melainkan ditanggung bersama berupa biaya transportasi aparat desa bersama perwakilan masyarakat (boleh dari gereja) ke tingkat kecamatan. KTP ini sangat penting agar masyarakat Suku Akit yang miskin ini diakui sebagai warga negara dan kemiskinan mereka patut mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah hanya memperhitungkan jumlah orang miskin data statistik yakni orang miskin yang memiliki KTP. (c) Adanya kerjasama lintas gereja dan agama. Di tengah-tengah masyarakat Suku Akit, ada Gereja HKBP, GPdI, Katolik, Karismatik, agama Budha, dan Islam. Kerjasama ini sangat penting dalam mereduksi kemiskinan. Para pemimpin gereja dan agama pun harus dibangun kesadarannya masing-masing, betapa mendesaknya untuk membela masyarakat Suku Akit yang lemah dan miskin ini di hadapan pemerintah yang lebih berpiahk kepada para investor. (d) Memperjuangkan keluarga-keluarga miskin agar benar-benar di­ prioritas­kan oleh pemerintah dalam program transmigrasi di Pulau Rupat. Program tersebut dipastikan tidak menjadi proyek yang marak dengan praktek korupsi dan suap. (e) Melakukan pelatihan-pelatihan kerja yang sesuai dengan area pemukiman dan keinginan masyarakat Suku Akit. Semua ini dimaksudkan agar masyarakat miskin menjadi berdaya, memiliki kemampuan, kreatif, inovatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terus berubah. Masyarakat miskin harus memiliki lapangan pekerjaan agar mereka mempunyai penghasil untuk melanjutkan kehidupan mereka. Paradigma Baru dalam Aktifitas Bisnis Dewasa ini, para pelaku ekonomi telah menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi suatu saat akan berhenti jika aktifitas ekonomi mengabaikan isu-

Etika Ekonomi Kontekstual 155 isu sosial dan lingkungan. Oleh karena, itu seluruh kegiatan ekonomi di Pulau Rupat harus didasarkan pada paradigma baru, yakni 3 P (Planet, People, dan Profit). Peter Fisk25 memberikan gambaran mengenai bagaimana perkembangan isu-isu sosial dan lingkungan telah menjadi perhatian utama para pelaku ekonomi. 1950s-60s Awaking

1970s-80s Regulating

1990s-00s Contributing

2010+ Transforming

Industrial growth delivers wealth and expectation

Economic growth with increased consumerism and internatio­ nal trade

Multinational brands serve more diverse, informed and conscious customers

Global markets, with instant connectivity, global trends and rising ‘base of the pyramid’

Western markets thrive whilst the East recovers more slowly

Product innovation supported by low-cost automated production

Digital innovation creates virtual businesses, faster and more connected

Sustainable innovation puts social and environment issues at core of business

Migration to cities accelerated by travel and employment

Improved lifestyle, human and equal rights lead to new practices

Corporate governance improves the ethical and social behaviour of business

Collaborative organisations and networked communities for new business models

Flower-power hippies raise social and environment priorities

Government regulation on pollution and waste through taxation

Recycling, sustainable sourcing and disposal adopted as standard

Sustainable markets are most profitable, as ‘doing good’ becomes the best way to grow

Menurut Peter Fisk, bahwa pelaku ekonomi perlu memberikan perhatian terhadap tantangan-tantangan ekonomi, sosial dan lingkungan secara holistik. Semua itu dapat dikombinasikan sebagai kekuatan-kekuatan yang 25 Peter Fisk, People, Planet, Profit. How to embrace sustainability for innovation and business growth (London, Philadelphia and New Delhi: Kogan Page, 2010),5.

156 Bisnis dan Agama berpotensi menciptakan sebuah dunia yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu dicatat, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terus berkelanjutan jika aktifitas-aktifitas ekonomi terintegrasi dengan prioritas sosial dan lingkungan.26 Sehubungan dengan paradigma baru dalam kegiatan ekonomi demikian, para pemimpin gereja dan agama dengan pro aktif menyuarakan agar pemerintah dan para pemilik modal memperhatikan paradigma baru tersebut. Percepatan pembangunan Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengabaikan masalah-masalah sosial dan lingkungan. Justru, dengan adanya integrasi ekonomi dan bisnis dengan prioritas sosial dan lingkungan, semua pihak akan sama-sama diuntungkan. Masyarakat Sebagai Pelaku Aktif Dalam Kegiatan Ekonomi Selama ini, pembangunan dilakukan dengan pola government driven. Artinya, pembangunan hanya dijalankan oleh pemerintah. Rakyat dikondisikan “tidak berdaya” yang pada akhirnyarakyat menjadi manja, menang sendiri, dan tidak mau diajak bertanggung jawab. Hari ini pun kita sudah melihatnya. Desakan untuk mempunyai the strong leader,atau konsep “Ratu Adil” adalah konsep rakyat yang “tidak berdaya”, dan sekaligus memberitahu kita sebuah fenomena “rakyat yang tidak dewasa”. Oleh karena itu, pemerintah harus melibatkan seluruh rakyat di dalam pembangunan, termasuk juga masyarakat Suku Akit. Dengan demikian, pemerintah harus menjadikan pemberdayaan sebagai nilai dan pilihan kebijakan, sekaligus sebagai pembelajaran sosial, dalam arti kita selalu belajar bagaimana melakukan pemberdayaan yang semakin hari semakin baik. Karena, seperti kata cendekiawan Soedjatmoko, pembangunan tidak lain adalah belajar untuk hidup lebih baik daripada hari kemarin. Dan, pembelajaran adalah bagian inti dari pembangunan pada zaman kini, dan, mungkin, sampai kurun waktu yang panjang di masa depan.27

26 Ibid.,7-8 27 Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, Manajemen Pemberdayaan (Jakarta: Elex Media Kamputindo, 2007), 10-11

Etika Ekonomi Kontekstual 157 Pertumbuhan Ekonomi yang Memberdayakan Masyarakat Miskin Pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan aspek-aspek kualitatif dari pembangunan itu sendiri, yaknikemiskinan, kesenjangan, dan human resources development.28 Selama ini pemerintah memakai konsep trickle down effect yang sudah tidak relevan lagi. Konsep itu harus diganti dengan konsep baru, yakni konsep growth with distribution. Dalam konsep trickle down effect, pendapatan dicapai semata-mata dengan instrumen fiskal (pajak) dan pemberian santunan, tanpa terlalu mementingkan peran serta dan keterlibatan rakyat banyak sebagai pelaku ekonomi. Dalam kerangka konsep ini jumlah dan keberdayaan pelaku ekonomi dalam pasar tidak menjadi perhatian utama. Sementara dalam konsep growth with distribution, distribusi pendapatan dicapai selain dengan “mengendalikan” yang besar lewat kebijakan fiskal, juga “mengangkat” kelompok kecil dan kecil – seperti masyaarakat Suku Akit yang saat ini hidup dalam kemiskinan yang kronis dan luar biasa – dengan memberikan bekal dan ruang lebih besar kepada masyarakat luas untuk berperan serta dalam aktifitas ekonomi sehingga dapat menikmati pendapatannya secara langsung.29 Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi tidak dimaksudkan untuk menyediakan dana yang cukup untuk memberi santunan kepada masyarakat miskin. Tetapi, pertumbuhan ekonomi di Pulau Rupat menjadi modal pemberdayaan masyarakat miskin seperti masyarakat Suku Akit. Keberdayaan mereka memungkinkan mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi demi kelanjutan hidup mereka. Dengan adanya pendapatan mereka yang semakin baik, maka hal itu juga akan meningkatkan kesejahteraan hidup dan kemampuan daya beli mereka terhadap produk yang ditawarkan di pasar. Kesimpulan dan Rekomendasi Saya telah mencoba memperhadapkan suatu fenomena yang kontras, yakni fenomena kemiskinan masyarakat Suku Akit dan percepatan pembangunan Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi. Sejatinya, 28 Ibid.,47 29 Ibid.

158 Bisnis dan Agama pembangunan tersebut berdampak baik pada kehidupan masyarakat Suku Akit. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan, bahwa pemerintah masih memperlakukan masyarakat miskin sebagai pelaku yang pasif dan tidak berdaya. Pemerintah lebih memprioritaskan para pemilik modal dengan memfasilitasi semua kepentingan mereka. Sedangkan, usaha pembedaan masyarakat miskin belum berlangsung. Menyadari kenyataan itu, gereja (HKBP) seharusnya melihat kondisikondisi yang tidak ideal tersebut sebagai panggilan bagi gereja supaya bertindak secara konkrit di Pulau Rupat dalam rangka mereduksi hingga mengatasi kemiskinan bersama dengan semua komunitas yang memiliki tujuan yang sama. Masyarakat yang miskin patut diberi perhatian dan gereja harus berpihak kepada kaum yang miskin ini. Hal ini sesuai dengan khotbah perdana Yesus di sinagoge (Luk. 4:16-21), bahwa Yesus hadir dengan misi untuk mewujudkan pembebasan bagi orang-orang miskin. Sehubungan dengan itu, etika ekonomi kontekstual ini masih harus dikembangkan dalam planning action sehingga teori benar-benar menjadi nyata di dalam aksinya. Saya sendiri memahami, bahwa percepatan pembangunan Pulau Rupat sebagai zona pertumbuhan ekonomi, merupakan sesuatu yang baik. Tetapi, hal yang sangat mendesak adalah mengupayakan pemberdayaan masyakarat Suku Akit yang sedang terperangkap dalam kemiskinan yang kronis dan luar biasa, agar mereka dapat ikut serta sebagai pelaku ekonomi yang aktif, mandiri dan kreatif di Pulau Rupat. Dalam kondisi yang demikian, gereja hadir sebagai komunitas yang berkomitmen mengikut Yesus Kristus, yang di dalam komunitas itu sendiri terdapat orang-orang miskin, juga hadir sebagai sahabat yang solider, berpihak dan aktif mendampingi kaum miskin, baik anggotanya maupun masyarakat miskin yang lebih luas. Daftar Pustaka A. Buku

Banawiratma, J. B. dan Müller, J. (1993), Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, (Yogyakarta: Kanisius)

Etika Ekonomi Kontekstual 159 Davidson, Robert (1985), Jeremiah Volume 2 and Lamentations, (Kentucky: Westminster John Knox Press) Fisk, Peter (2010), People, Planet, Profit: How to embrace sustainability for innovation and business growth, (Great Britain & USA: Kogan Page Limited) Kabupaten Bengkalis, BPS (2010), Kabupaten Bengkalis Dalam Angka 2010, (Bengkalis: BPS Kabupaten Bengkalis) Myers, Bryant L.(1999),Walking With The Poor: Principles and Practices of Transformational Development, (Maryknoll, New York: Orbis Books) Pieris, Aloysius (1996), Berteologi Dalam Konteks Asia, (Yogyakarta: Kanisius) Wrihatnolo, Randy R. dan Dwidjowijoto, Riant Nugroho (2007), Manajemen Pemberdayaan, (Jakarta: Elex Media Kamputindo)

B. Artikel

Darmaputera, Eka, (2005) “Jalan Baru Kehadiran Gereja”, dalam Martin L. Sinaga, dkk (peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera, (Jakarta:BPK-GM,Cet. 2) Hulme, David (2006), “Chronic Poverty” dalam David Alexander Clarck, The Elgar Companion to Development Studies, (UK / USA: Edward Elgar Publishing Limited / Edward Elgar Publishing, Inc.) Osseweijer, Manon (2005), “The Future Lies in the Sea; Fisheries Development Programmes in Island Riau” dalam Peter Boomgaard, David Henley, dan Manon Osseweijer, Muddied Waters: Historical and Contemporary Perspectives on Management of Forest and Fisheries in Island Southeast Asia, (Leiden: KITLV Press)

C. Internet

balarmedan.wordpress.com/…/dampak-perkembangan-jalur-transportasi… (diakses: 13/4/2012) Bengkalis.go.id/statis-16-kecamatan-rupat.html (diakses:4/4/2012) Bengkalis.go.id/statis-16-kecamatan-rupatutara.html (diakses:4/4/2012). penataruang.net/ta/Lapdulu04/P4/Bengkalis/Bab2.pdf (diakses: 13/4/2012) depnakertrans.go.id/microsite/KTM.../Pulau%20Rupat.pdf (diakses:13/4/2012) riauprov.go.id (diakses: 02/04/2012) rohilkab.go.id (diakses: 02/04/2012) riauterkini.com/hukum.php?arr=24575 (diakses:02/04/2012) sp2010.bps.go.id/files/ebook/1408.pdf (diakses: 13/4/2012) riaubisnis.com/index.php/…/71…/348-nasib-kami-seperti-sudut-dapur (diakses: 13/4/2012)

6 BERTANGGUNG JAWAB UNTUK BERBAGI ROTI BERSAMA DALAM SATU TUBUH (Suatu Dialektika Makna antara Perusahaan dan Gereja) Natanael Setiadi

Abstract Church and business, theology and economics, relate to each other in many ways. Some of these relations are marked by suspicion. The business world may be seen as a dirty thing, full of corruption, labour exploitation, etc., while the church see it self as a spiritual institution that cannot interfere in business affairs. This needs to be looked at as a context for doing a living theology. There is a real correlation between church and business – atleast in the semantic level, between church and perusahaan (company, corporation, or enterprise). In this article, I explore the etymological meaning of this term and find that itis closely related to some issues in Christian theology. This gives theology something to talk about and to do in economic matters. The church must act more concretely in the business world, because God can do something good there.This article is an initial effort in theology to revise the correlation between church and perusahaan by taking a critical attitude to both.

162 Bisnis dan Agama Pendahuluan Saya pernah mendengar keluhan dari seorang rekan pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) tentang penatua di gerejanya yang gaya kepemimpinannya, dalam menatalayani gereja, seperti mengelola perusahaan. Sebagai informasi, jemaat GKI yang dilayaninya, memiliki sejumlah anggota yang bekerja sebagai pengusaha, serta yang bekerja di sejumlah perusahaan nasional maupun internasional. Hal ini bisa dimaklumi karena latar belakang sejarah beberapa jemaat GKI awal memang berasal dari komunitas pengusaha Tionghoa.1 Nah, ketika proses pemilihan penatua berlangsung, beberapa anggota jemaat yang berasal dari dunia usaha itu turut terpilih menjadi penatua, dan bersama sang pendeta menjadi para pemimpin-pelayan dalam wadah majelis jemaat. Beberapa di antaranya menduduki jabatan ketua dan sekretaris bidang. Dalam pengalaman berorganisasi bersama para penatua (dari kalangan dunia usaha) itulah, sang pendeta mendapatkan kesan bahwa gereja yang dilayaninya dikelola seperti perusahaan. Pertanyaan menarik yang muncul dari cerita itu adalah, “Apakah keliru jika gereja dikelola (baca: ditatalayani) seperti seseorang mengelola perusahaan? Mengapa sampai ada pernyataan yang mengesankan bahwa gereja dan perusahaan adalah “dunia” yang berbeda, sehingga (minimal) gaya mengelola perusahaan tidak boleh dibawa ke dalam gaya menatalayani gereja? Apa makna gereja dan apa pula makna perusahaan kalau begitu? Jika memang gereja dan perusahaan berbeda makna, adakah titik temu di antara keduanya? Apakah dialektika makna antara gereja dan perusahaan dapat menjadi sumbangsih bagi perumusan teologi gereja mengenai dunia bisnis?” Berbagai pertanyaan di atas itulah yang menggugah saya untuk melihat secara kritis relasi antara gereja dan perusahaan. Dalam tulisan ini, saya akan coba menggunakan teori atau pendekatan korelasi yang diperbarui (revised correlational) yang dikembangkan teolog David Tracy dan Don 1 Sejarah singkat GKI dapat dilihat dalam gki.or.id/content/index.php?id=4 sebagaimana diakses pada 7 Desember 2010. Bnd. Yahya Wijaya, Business, Family and Religion (Oxford: Peter Lang, 2002), 145-148.

Berbagi Roti Bersama 163 Browning, di mana budaya dan tradisi keagamaan sama-sama memiliki pertanyaan dan juga jawaban yang dipercakapkan/dikorelasikan satu sama lain secara kritis.2 Memahami Perusahaan Makna etimologis Kata “perusahaan” berasal dari beberapa kata dalam bahasa Inggris, yakni: company, corporation dan enterprise. Sehubungan dengan itu, katakata tersebut perlu dimaknai berdasarkan asal-usulnya. Kata company berasal dari istilah militer Prancis kuno yaitu compaignie (artinya suatu “tubuh para prajurit”)3, yang pada gilirannya berakar lagi pada dua kata Latin yaitu: cum (artinya dengan atau bersama) dan panis (artinya roti).4 Kamus Oxford mendefinisikan asal kata harfiah ini sebagai one who breaks bread with another (orang yang memecahkan roti bersama orang lain).5Sementara menurut kamus Webster, company memiliki dua arti, yakni: (1) keadaan didampingi; tindakan mendampingi; persahabatan; masyarakat/perkumpulan; dan (2) sejumlah orang yang diikat oleh tujuan yang sama, baik dalam kerekanan pribadi maupun urusan bisnis.6 Dari penjelasan tersebut, nampak bahwa company menunjuk pada suatu keadaan bersama orang lain (companion; kawan atau rekan) di mana di dalamnya ada aktivitas berbagi roti – yang pada masa kini wujudnya bisa beragam – dan diikat oleh tujuan yang sama. Sementara kata corporation, menurut kamus Webster, berasal dari kata Latin corporatio, artinya the assumption of a body (pengambilalihan suatu tubuh), di mana kata corporatio itu berasal lagi dari kata kerja Latin 2 Gordon Lynch, Understanding Theology and Popula rCulture (Oxford/Malden, MA: Blackwell, 2005),103. 3 Lih. en.wikipedia.org/wiki/Company sebagaimana diakses 1 Desember 2010. 4 Webster’s New Universal Unabridged Dictionary, edisike-2 (New York: Simonand Schuster, 1983), 368. 5 Lih. BPMSWGKISW Jabar, “From Womb to Tomb, From Tomb to Womb” dalam Buku Bahan Persidangan Majelis Sinode Wilayah ke- 68 Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, 7-9 Oktober 2010, 8; bnd. en.wikipedia.org/wiki/Company sebagaimana diakses 1Desember 2010. 6 Webster’s New Universal Unabridged Dictionary, 368.

164 Bisnis dan Agama corporare, artinya to form into a body (menjadi satu tubuh). Tubuh sendiri dalam bahasa Latin disebut corpus.7 Dari asal yang demikian, corporation dapat diartikan sebagai setiap tubuh politik dan ekonomik yang membentuk suatu situasi korporasi, di mana masing-masing tubuh terdiri dari para majikan dan para pegawai dalam suatu ruang lingkup tertentu seperti pertanian, industri, keuangan dsb.8 Pada kenyataanya, korporasi menunjuk kepada perusahaan besar atau kelompok perusahaan yang bertindak atas nama satu entitas bersama. Jadi, tidak heran kalau sebuah perusahaan pengendali (holding company) dari suatu kelompok perusahaan, menamakan dirinya, incorporation, sebab seluruh anggotanya incorporated.9 Lalu mengenai kata enterprise, kamus Webster menjelaskan bahwa kata tersebut berasal dari kata Prancis entreprendre, yang dibangun dari kata entre (di dalam atau antara) dan prendre (mengambil, memegang), yang dapat diartikan sebagai to undertake10 (bertanggung jawab, menanggung, atau memikul). Lebih lanjut kamus Webster menjelaskan arti enterprise sebagai berikut: (1) suatu pengusahaan; sebuah proyek; (2) suatu pengusahaan yang berani, sukar, berbahaya, atau penting; (3) kerelaan untuk menanggung resiko atas suatu pengusahaan; kesiagaan untuk mengambil resiko atau mencoba sesuatu yang belum pernah dicoba; energi dan inisiatif; dan (4) pelaksanaan proyek-proyek; partisipasi dalam pengusahaan.11 Dari ketiga istilah di atas, saya mendapat beberapa ciri yang harus ada dari suatu perusahaan, yakni: (1) dalam kebersamaan antara orangorang yang dipimpin dan yang memimpin harus ada unsur saling berbagi; (2) keadaan bersama itu harus dimaknai sebagai keberadaan dalam satu tubuh; dan (3) ada kerelaan dan kesediaan untuk bertanggung jawab atau menanggung berbagai situasi yang muncul dalam pengusahaan sesuatu (yakni bisnis). 7 8 9 10 11

Lih. Webster’s New Universal Unabridged Dictionary, 409. Ibid. Lih. BPMSWGKISW Jabar, “From Womb to Tomb, From Tomb to Womb”,10. Webster’s New Universal Unabridged Dictionary, 606. Ibid., 606.

Berbagi Roti Bersama 165 Sementara kata perusahaan sendiri dalam bahasa Indonesia, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki dua makna, yaitu: (1) kegiatan (pekerjaan dsb) yang diselenggarakan dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan (dengan menghasilkan sesuatu, mengolah atau membuat barang-barang, berdagang, memberikan jasa, dsb); dan (2) organisasi berbadan hukum yang mengadakan transaksi atau usaha.12 Tujuan perusahaan serta sikap kritis terhadapnya Keberadaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari berbagai kebutuhan yang melekat dalam kehidupan manusia. Di sinilah nampak salah satu tujuan dari perusahaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan (needs)dan keinginan (wants)manusia. Karena itu, tidak mengherankan jika perusahaan memiliki tujuan lain, yakni memperoleh keuntungan dari usahanya, sehingga dapat melanjutkan kelangsungan usahanya tersebut.13 Max L. Stackhouse mengingatkan bahwa keuntungan di sini tidak dimaknai sebagai pengejaran hasil atau uang belaka. Hal ini dikarenakan keuntungan mencakup suatu perbedaan antara harta (assets) dan kewajiban-kewajiban (liabilities) sebagaimana ditunjukkan melalui suatu neraca keseimbangan (balance sheet figure). Keuntungan juga dicapai agar dapat dipakai sebagai modal bagi usaha-usaha baru untuk menghasilkan kemakmuran.14 Matsushita – sebagaimana dikutip oleh Jakob Oetama, memberikan perspektif menarik tentang keuntungan atau laba, yaitu bahwa laba bukanlah cermin dari kerakusan perusahaan. Laba ialah tanda kepercayaan masyarakat karena apa yang ditawarkan kepada masyarakat dihargai olehnya. Laba ialah pertanda efisiensi.15 Lebih lanjut, Peter F. Drucker menegaskan bahwa perusahaan – sebagai suatu usaha manusia – harus berfungsi sesuai dengan aturannya sendiri, yakni menghasilkan 12 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet. ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 1254. 13 Lih. Buchari Alma, Pengantar Bisnis (Bandung: Alfabeta: 1992), 3-4. 14 Max L. Stackhouse, “Spirituality and the Corporation” dalam Max L. Stackhouse, Dennis P. Mc Cann, Shirley J. Roels, dan Preston N. Williams (eds.), On Mora lBusiness (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 504. 15 Jakob Oetama, Dunia Usaha dan Etika Bisnis, cet. ke-2 (Jakarta: Kompas, 2002),14.

166 Bisnis dan Agama barang-barang dengan pengembalian ekonomik yang maksimal. Dengan kata lain, perusahaan merupakan organisasi untuk produksi.16 Namun pada kenyataannya, ada perusahaan yang menjadikan pencarian keuntungan sebagai tujuan yang terpenting, bahkan tujuan satu-satunya, sehingga mengakibatkan munculnya persoalan susulan seperti kerusakan lingkungan hidup – entah karena eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam ataupun pencemaran lingkungan akibat limbah perusahaan yang tidak dikelola dengan baik. David C. Korten menyatakan bahwa ada krisis kemanusiaan rangkap tiga ketika pertumbuhan (baca: pencarian keuntungan) dijadikan sebagai tujuan pembangunan dan memperlakukan orang hanya sebagai alat, yakni: kemiskinan yang semakin dalam, kerusakan lingkungan, dan disintegrasi sosial.17 Dari kenyataan tersebut, tidak heran jika ada yang memberi stigma bahwa dunia pasar (yang di dalamnya perusahaan berada) dicirikan dengan ketamakan, persaingan yang buas, ketidakseimbangan antara yang kaya dan yang miskin, eksploitasi, serta semacam pemberhalaan pada uang dan kerja yang dituntut dari beberapa pekerja.18 Bukan tidak mungkin, stigma seperti inilah yang sedikit-banyak mempengaruhi penilaian rekan pendeta dalam cerita pada bagian Pendahuluan di atas. Stigma di atas rasa-rasanya bukanlah sebuah apriori, melainkan didasarkan pada suatu pengamatan yang berdasar. Korten, yang mengamati perkembangan ekonomi global serta yang meneliti bacaan-bacaan di media keuangan dan ulasan-ulasan dari para arsitek globalisasi, menyatakan bahwa dunia ideal para pemimpin global dapat dicirikan sebagai dunia yang:19 16 Peter F. Drucker, Concept of the Corporation, edisi ke-2, cet. ke-7 (New Jersey: Transaction Publishers, 2008), 20-21. 17 David C. Korten, When Corporations Rulethe World (Bila Korporasi Menguasai Dunia), terj. Agus Maulana (Jakarta: Professional Books, 1997), 22. Tentu analisa Korten di sini perlu ditinjau kembali sebab persoalan yang muncul ketika buku ini ditulis (menjelang akhir abad ke-20) dengan konteks diawal abad ke-21 tentu sudah mengalami perkembangan. Namun, tujuan penulisan ini membuat saya membatasi diri untuk tidak membahas hal ini terlalu dalam. 18 Lih. Paul R. Stevens, God’s Business. Memaknai Bisnis Secara Kristiani, terj. Ronisari Sitanggang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 104. Bnd. Wayne Grudem, Business for the Glory of God. The Bible’s Teaching on the Moral Goodness of Business (Illinois: Crossway Books,2003),11. 19 Korten, When Corporations Ruleth eWorld, 201-202.

Berbagi Roti Bersama 167 •• •• ••

•• •• ••

di dalamnya uang, teknologi, dan pasar dikendalikan dan dikelola oleh korporasi-korporasi global raksasa; di dalamnya kultur konsumen yang menyatukan semua orang untuk memburu kekayaan materi; di dalamnya terjadi persaingan global sempurna di antara pekerja dan kawasan untuk menawarkan jasa mereka kepada investor dengan syarat-syarat yang paling menguntungkan; di dalamnya korporat bebas bertindak semata-mata atas dasar keuntungan tanpa mempertimbangkan akibat-akibat nasional dan lokalnya. di dalamnya tata hubungan, baik tata hubungan perseorangan maupun korporat, ditentukan sepenuhnya oleh pasar; dan di dalamnya tidak ada loyalitas terhadap tempat dan komunitas.

Terhadap kenyataan di atas, Michael Novak – berangkat dari pernyataan beberapa perusahaan di Inggris, memberi peringatan bahwa jika perusahaanperusahaan ingin berlangsung lebih lama dalam kompetisi, maka mereka harus lebih memperhatikan para pemangku kepentingan (stakeholders20), daripada hanya kepada para pemilik modal (shareholders).21 Syukurlah jika saat ini perhatian terhadap masalah etika bisnis sudah semakin meningkat. Ini yang setidaknya dicatat oleh Eka Darmaputera22, Robby Chandra23 dan Oetama24. Seiring dengan berkembangnya etika bisnis, maka tujuan perusahaan pun mengalami perkembangan. Thomas W. Ogletree, dalam tulisannya 20 Stakeholders dalam suatu organisasi adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian dari tujuan-tujuan organisasi. Lih. Kenneth E. Goodpaster, “Business Ethics and Stakeholder Analysis” dalam Scott B. Raedan Kenman L. Wong (eds.), Beyond Integrity. A Judeo-Christian Approach to Business Ethics, edisi kedua (Grand Rapids: Zondervan, 2009),136. 21 Michael Novak, The Futureof the Corporation (Washington: AEI Press, 1996), 3. Siapakah stakeholders disini perlu ditinjau sendiri oleh setiap perusahaan, sebab bisajadi perusahaan yang satu (misalnya: perusahaan pertambangan yang berada dekat dengan masyarakat adapt di Jayapura) memiliki stakeholders yang berbeda dengan perusahaan yang lain (misalnya :perusahaan otomotif di Jakarta). 22 Penjelasan lengkap dapat dilihat dalam Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua. Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 5-10. 23 Lih. Robby Chandra, Etika Dunia Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 17-18. 24 Penjelasan lengkap dapat dilihat dalam Oetama, Dunia Usaha dan Etika Bisnis, 11-26.

168 Bisnis dan Agama yang menyoroti kaitan antara corporate capitalism (kapitalisme korporat) dan common good (kebaikan bersama), menyatakan bahwa kapitalisme – sebagai suatu sistem yang di dalamnya perusahaan-perusahaan menggerakkan roda usahanya, dapat memberi kontribusi untuk menciptakan kebaikan bersama.25 Sehubungan dengan itu, tujuan perusahaan harus dilekatkan dalam upaya mewujudkan kebaikan bersama. Mirip dengan itu, Paul R. Stevens menyatakan bahwa tujuan perusahaan harus berawal dari Allah, dalam arti bahwa korporasi bisnis adalah bagian dari misi Allah.26 Lebih lanjut, Stevens menjelaskan bahwa Allah lah yang mengutus manusia untuk mengerjakan misi Allah, yakni mendirikan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah di sini dipahami sebagai kekuasaan (yang menyelamatkan) dari kedaulatan Allah yang dinamis dan tanggapan manusia terhadapnya. Kerajaan Allah, yang diyakini Stevens telah dan sedang dikerjakan oleh Yesus secara holistik, di sini menyangkut beberapa hal: (1) membawa pengampunan dosa (Mat. 3:1-8); (2) membawa kesembuhan dan pemulihan kehidupan yang utuh (Mat. 11:5; Luk. 7:22); (3) memperbaiki kembali komunitas dengan menyediakan meja terbuka untuk berbagi makanan dengan orang-orang berdosa, dengan yang miskin dan yang kaya (Mrk. 2:15); (4) kecaman terhadap dosa kolektif, institusional dan struktural (Mat. 23:4-25). Jadi, misi Kerajaan Allah mencakup penatalayanan kreasional, keadilan ekonomi, pengembangan masyarakat, pemulihan hubungan dengan Allah, komunitas yang dibarui, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam kehidupan perusahaan, keadaankeadaan tersebut biasa dibahasakan sebagai triple bottom line, yakni: keuntungan (profit), masyarakat (people), dan lingkungan (planet).27 25 Thomas W. Ogletree, “Corporate Capitalism and the Common Good” dalam Journalof Religious Ethics 30.1 (2002),79. Beberapa unsure dari kapitalisme yang dapat menghadirkan kebaikan bersama adalah efisiensi, pertumbuhan, dukungan bagi kebebasan manusia, dorongan bagi kerjasama diantara bangsa-bangsa yang secara natural mungkin bukan sekutu. Namun, Ogletree juga mengingatkan bahwa kapitalisme juga bias menghadirkan beberapa hasil yang buruk, seperti: eksploitasi buruh dan kerusakan lingkungan. Karena itu, kapitalisme harus dikawal dengan pengawasan oleh masyarakat. Lih. Ibid., 80. 26 Stevens, God’s Business,80. 27 Lih. Stevens, God’s Business,106-111.

Berbagi Roti Bersama 169 Dengan kata lain, tujuan perusahaan harus terkait erat dengan triple bottom line tersebut, yakni: mendapatkan keuntungan lewat proses yang benar serta membawa kebaikan bagi masyarakat dan alam. Perusahaan sebagai komunitas Dari makna etimologis kata “perusahaan” (bagian 2.1) nampak bahwa perusahaan merupakan sebuah komunitas. Novak – sebagaimana dikutip oleh Stevens, menyatakan bahwa bisnis (atau dunia usaha) adalah suatu komunitas yang layak dihargai.28 Dalam perusahaan, setiap orang yang ada di dalamnya bekerja dengan orang lain dan bekerja untuk orang lain. Karena itu, saya setuju dengan Novak, yang menyatakan bahwa binsis dalam segala sisi terkait erat dengan upaya membangun komunitas.29 Persoalan yang perlu diperjelas kemudian adalah siapakah yang dimaksud dengan komunitas dalam perusahaan? Menurut saya, perlu dicermati bahwa komunitas perusahaan dapat dilihat secara internal maupun eksternal. Secara internal, dalam pengamatan saya, komunitas perusahaan terdiri dari:30 •• Pendiri perusahaan •• Pemilik modal atau pemegang saham •• Komisaris – yang ditunjuk oleh pemegang saham untuk melakukan suatu tugas •• Direktur atau dewan direksi – sebagai pengambil kebijakan perusahaan •• Manajer – sebagai pelaksana kebijakan •• Pegawai (baik pegawai tetap maupun kontrak) Namun hal yang tidak boleh dilupakan atau diabaikan adalah bahwa masih ada komunitas lain di sekitar perusahaan. Cucu Rustandi31 dalam 28 Ibid., 81. 29 Michael Novak, Businessasa Calling. Work and the Examined Life (New York: Free Press, 1996), 126. Membangun komunitas itu merupakan salah satu dari tiga nilai pokok bisnis, selain kreativitas dan realisme praktis. 30 Daftar komunitas ini sangat bergantung pada jenis perusahaannya. Misalnya: dalam perusahaan keluarga yang berskala kecil, jabatan atau fungsi direktur dan manajer biasanya dirangkap oleh pemilik perusahaan. 31 Cucu Rustan dia dalah Wakil Sekretaris Umum GKI Sinode Wilayah Jawa Barat 2007-2011.

170 Bisnis dan Agama suatu kesempatan pernah berkata, “Jika seorang pengusaha merekrut 50 pegawai, sebenarnya dia bertanggung jawab bukan hanya atas 50 orang itu, melainkan juga 50 keluarga di belakang mereka.” Dengan perkataan lain, Cucu hendak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan komunitas perusahaan tidak terbatas kepada mereka yang hadir dalam pabrik, kantor atau perusahaan, melainkan kepada seluruh komunitas stakeholder perusahaan itu, yakni masyarakat dan bangsa.32 Jika unsur masyarakat ini dijabarkan lebih lanjut, maka kita mendapati bahwa yang termasuk stakeholders adalah juga lembaga pengamat lingkungan, lembaga perlindungan konsumen, konsumen, pemasok33, bahkan pesaing.34 Inilah dimensi eksternal dari perusahaan sebagai komunitas. Memahami Gereja dalam Dialektika dengan (Makna) Perusahaan Jika kembali menyinggung tentang makna etimologis perusahaan, maka istilah “berbagi roti”, “menjadi satu tubuh” dan “bertanggung jawab” merupakan istilah-istilah yang akrab bagi gereja, sebab istilah-istilah itu (sebagai konsep) juga dapat ditemui dalam Alkitab. Untuk melihat dialektika antara makna perusahaan dengan gereja, maka saya mengawalinya dengan uraian sepintas tentang sikap gereja terhadap dunia bisnis. Sepintas sikap Gereja terhadap dunia bisnis Eka Darmaputera (selanjutnya akan disingkat Eka) mengingatkan bahwa untuk kurun waktu yang amat lama, Kekristenan tidaklah bersikap terlampau ramah terhadap dunia bisnis, termasuk terhadap orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Memanfaatkan teori Clifford Geertz, bahwa jati diri dan kepribadian khas suatu agama amat ditentukan oleh sejarah awal ketika agama itu lahir, maka Eka menguraikan tentang keberadaan orang-orang Kristen pada zaman Perjanjian Baru (PB).35 Orang-orang Kristen pada zaman tersebut sama sekali tidak menaruh 32 BPMSWGKISW Jabar, “From Womb to Tomb, From Tomb to Womb”, 9. 33 Robby Chandra menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga jenis pemasok: pemasok bahan mentah, pemasok komponen dan pemasok tenaga kerja. Robby Chandra, Etika Dunia Bisnis, 19. 34 Bnd. Kenneth E. Goodpaster, “Business Ethics and Stakeholder Analysis”, 136. 35 Darmaputera, Etika Sederhan auntuk Semua, 1.

Berbagi Roti Bersama 171 kepedulian yang serius baik terhadap dunia bisnis maupun dunia politik. Hal itu disebabkan oleh karena mereka menghayati diri mereka sebagai “ciptaan baru” dari “dunia baru” yang sedang dan akan didatangkan oleh Allah sendiri. Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia yang kotor, bobrok dan korup. Itu sebabnya, dunia seperti ini akan segera berakhir dengan penghakiman dan penghukuman Allah. Dengan latar belakang seperti itu, maka mereka tidak mempunyai kepedulian yang serius terhadap dunia di mana mereka hidup, yang akan segera tamat itu. Mereka tak mempunyai sedikit pun keinginan untuk mengubah, merombak dan memperbaiki dunia ini. Dengan begitu, tidak ada konsep mengenai orde ekonomi dan orde politik Kristiani yang muncul.36 Selanjutnya, pada masa bapa gereja mula-mula atau zaman patristik, sikap yang sama tetap dipertahankan, bahkan kadang-kadang dalam bentuk yang jauh lebih ekstrem.37 Situasi ini oleh Stevens dijelaskan sebagai pengaruh yang kuat dari filsafat Yunani, terutama Plotinus, yang menggambarkan perbedaan besar antara spiritualitas dan materialisme, di mana segala bentuk kenikmatan tubuh yang tidak bermoral atau pemuasan badani (materialisme) dilarang atau ditolak.38 Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Benedict Ashley yang menyatakan bahwa ada suatu fase dari teologi Kristen yang sangat dipengaruhi oleh dualisme dari filsafat Plato, di mana Plato dan para pengikutnya memandang bahwa jiwa merupakan diri manusia yang sejati, sementara tubuh merupakan penjara bagi jiwa.39 Situasi yang seperti ini membuat adanya semacam klasifikasi pekerjaan, didasarkan pada perspektif spiritualitas dan materialisme, di mana strata yang tertinggi (atau yang “sangat spiritual”) adalah para biarawan, biarawati, imam dan pastor. Sementara pekerjaanpekerjaan lainnya dipandang lebih rendah, sebab lebih dekat dengan

36 Ibid., 1-2. 37 Ibid., 2. 38 Stevens, God’s Business,56. 39 Benedict Ashley, Theologies of the Body. Humanist and Christian, cet. ke-2 (Masachusetts: The Pope John Center, 1995), 103.

172 Bisnis dan Agama aspek materialisme.40 Tentu ada pengecualian di sini, sebagaimana yang dicatat oleh Stevens, yakni Clement dari Aleksandria (± 150-215 M), yang berpandangan positif tentang kewirausahaan dan modal.41 Sikap terhadap pekerjaan (dengan tubuh) mulai berubah pada masa Reformasi Protestan. Martin Luther, dalam upayanya menentang monastisisme (kehidupan biara dan membiara) Abad Pertengahan serta penolakan dunia oleh aliran Anabaptis, menyatakan bahwa setiap orang dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan pekerjaannya masing-masing. Berdasarkan tafsirannya atas 1 Kor. 7:17, Luther berpandangan bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk tetap berada pada posisinya sewaktu ia menerima panggilan Allah (baca: menjadi Kristen). Hanya bila suatu posisi atau pekerjaan mengandung bibit-bibit dosa, maka orang Kristen harus meninggalkannya. Jika pada zaman patristik sampai pada zamannya, profesi biarawan diagungkan, maka bagi Luther, menjadi seorang biarawan dipandang bukan sebagai panggilan.42 Namun, dalam kaitan dengan dunia bisnis, para ahli masih memperdebatkan bagaimana sikap Luther terhadapnya. Stevens berpandangan bahwa Luther – sejalan dengan para teolog Abad Pertengahan – melihat riba sebagai suatu perbuatan dosa. Luther juga menentang munculnya sistem perdagangan. Lebih lanjut, mengutip Lake Lambert, Stevens menguraikan bahwa Luther pun menghapus keterlibatan Kristen dalam perusahaan-perusahaan dagang.43 Reformator lainnya, Yohanes Calvin, memiliki pandangan yang mirip dengan Luther soal panggilan Allah terhadap semua orang untuk bekerja. Bedanya, Calvin mengaitkan panggilan dengan keterpilihan seseorang oleh Allah. Selain itu, terkait tujuan panggilan, Calvin memahaminya sebagai upaya mewujudkan tatanan dunia yang tepat, agar tidak terjadi kebingungan. Calvin pun bersikap lebih ramah terhadap dunia perdagangan yang berkembang sebagai suatu arena kegiatan yang sah bagi seorang 40 41 42 43

Bnd. Stevens, God’s Business, 56-57. Ibid., 56. Lih. Ibid.,58-59. Stevens, God’s Business,60.

Berbagi Roti Bersama 173 Kristen. Dalam tafsirannya terhadap Perumpamaan tentang Talenta (Mat. 25:14-30), Calvin memahami perumpamaan ini sebagai penatalayanan (stewardship) ekonomi. Pemberian pinjaman untuk menikmati bunga (riba) dianggap sebagai perbuatan jahat yang setara dengan membunuh, tapi pemberian pinjaman untuk produksi dan usaha dengan bunga rendah (sampai 5%) dapat diterima.44 Sekalipun ada perkembangan dan perubahan dalam sikap gereja terhadap dunia bisnis, namun warisan dualisme Plato masih sangat terasa dalam kehidupan gereja saat ini. Dalam pelayanan di gereja, saya beberapa kali mendapati pernyataan dari warga jemaat yang lebih mengagungkan kegiatan semacam Pemahaman Alkitab (PA) dan persekutuan doa ketimbangjalan pagi atau senam bersama. Alasan mereka adalah bahwa PA dan persekutuan doa itu bersifat rohani, karenanya pantas dilakukan di gereja, sementara jalan pagi atau senam itu bersifat jasmani, karenanya aneh jika dilakukan di gereja. Bukan tidak mungkin, keluhan rekan pendeta pada bagian Pendahuluan di atas, turut dipengaruhi oleh cara pandang dualistis seperti itu, yakni bahwa “dunia gereja” haruslah bersifat rohani, karenanya “dunia perusahaan” yang jasmani itu tidak boleh masuk ke dalam gereja. Lantas, apakah gereja tidak memiliki kemungkinan untuk melihat kembali sikapnya terhadap dunia bisnis, yang di dalamnya terdapat perusahaan? Pertanyaan inilah yang coba diuraikan pada bagian berikutnya. Pemaknaan terhadap Gereja Gereja seringkali dipahami sebagai persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang Allah yang ajaib (1 Ptr. 2:9). Artinya, gereja pun merupakan sebuah komunitas, yang percaya kepada Kristus, bersekutu dengan-Nya dan dengan sesama manusia. Gereja mula-mula di Yerusalem bahkan mempraktikkan apa yang menjadi makna etimologis company, yakni berbagi roti bersama (Kis. 2:41-47). Dalam perkembangan selanjutnya tindakan memecah dan berbagi roti itu dilembagakan dalam perayaan Perjamuan Kudus. 44 Ibid., 60-61.

174 Bisnis dan Agama Terkait dengan pemaknaan gereja sebagai komunitas, Stackhouse menjelaskan bahwa dalam kebanyakan masyarakat pada zaman PB, komunitas biasanya dibentuk oleh pertalian berdasarkan suku atau ikatan kekeluargaan atau oleh ikatan nasional-militer. Sementara gereja sebagai komunitas ternyata tidak dibentuk berdasarkan pertalian-pertalian seperti itu. Berdasarkan kenyataan itu, Stackhouse menyatakan bahwa gereja merupakan pranata yang unik, di satu sisi bukan oikos (rumah tangga) dan di sisi lain bukan polis (negara). Dengan kata lain, gereja menjadi “korporasi lintas etnis dan lintas bangsa pertama”.45 Pemaknaan gereja sebagai komunitas mau menunjukkan dimensi pertama dari gereja, yakni organisme. Sementara dimensi lain yang tidak boleh dilupakan adalah organisasi. Dalam perkembangannya gereja mengembangkan – apa yang oleh Stackhouse disebut – strukturstruktur korporasi dan disiplin-disiplinnya sendiri.46 Dalam PB, kita melihat bentuk dan struktur organisasi gereja yang sederhana, yaitu: (1) adanya pejabat-pejabat gerejawi yang dipilih dan diangkat (Kis. 6; 1 Tim. 3:1-13; Tit.1:5-16; 1 Ptr. 5:1); (2) pembagian tugas (Kis. 6:2-4); (3) pengaturan-pengaturanpersembahan (Kis. 4:34-35; 2 Kor. 8:1-15; 9:1-5); (4) persidangan-persidangan (Kis. 11; 15)); dan (5) keanggotaan (Kis. 2:41, 47). Sehubungan dengan dimensi organisasi dari gereja, Stackhouse menyatakan bahwa gereja menjadi prototipe bagi struktur-struktur berbagai jenis korporat selanjutnya, seperti rumah sakit, sekolah dan lainnya.47 Berdasarkan dimensi yang kedua ini, tidak mengherankan jika setiap gereja memiliki sistem penatalayanannya masing-masing, seperti yang pada masa kini dikenal dengan istilah episkopal, konggregasional, presbiterial, sinodal, atau kombinasi di antara beberapa sistem (presbiterial-sinodal, konggregasional-sinodal atau lainnya). Pada kenyataannya kini, praktik penatalayanan dari sistem-sistem yang ada telah memanfaatkan ilmu 45 Lih. Max L. Stackhouse, “What Then Shall We Do? On Using Scripturein Economic Ethics” dalam Stack house et al. (eds.), On Moral Business, 113. 46 Max L. Stackhouse, Public Theology and Political Economy. Christian Stewardship in Modern Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1987), 126. 47 Stackhouse, Public Theology and Politica lEconomy, 126.

Berbagi Roti Bersama 175 dari manajemen perusahaan, misalnya saja dalam hal perumusan visimisi atau rencana strategis (renstra). Lagipula, Yesus tidak mewariskan pola penatalayanan yang sistematis kepada murid-murid-Nya. Para rasul kemudian pun nampaknya tidak terpikir untuk membangun sebuah sistem penatalayanan yang baku, mengingat harapan akan parousia (kedatangan Yesus kembali) yang begitu kuat mewarnai kehidupan jemaat mula-mula (Lih. 1 Tes. 4:13-18; 2 Ptr. 3:1-16; bnd. 2 Tes. 3:1-15; dan lihat bagian 3.1). Kemunculan jabatan diakonos (diaken) dalam Kis. 6:1-7, merupakan sebuah respons atas kebutuhan kontekstual saat itu, yakni ketidakpuasan dari warga jemaat Yahudi yang berbahasa Yunani karena pengabaian orangorang Ibrani terhadap para janda mereka dalam pelayanan sehari-hari (Kis. 6:1). Fungsi diaken itu sendiri, yakni melayani meja, sudah dikenal dalam dunia Yahudi dan Yunani-Romawi (lih. Luk. 12:37; 22:27; Yoh. 12:2). Lalu mengenai jabatan presbyteros (penatua), Kis. 14:23 mencatat bahwa Paulus dan Barnabas menetapkan penatua-penatua di jemaat-jemaat yang dilayani mereka. Nampaknya, jabatan ini bukanlah jabatan baru yang sengaja dibuat oleh para rasul, melainkan warisan dari tradisi Yahudi tentang dewan tua-tua (bnd. Kel. 3:16; Yer. 29:1). Artinya lebih lanjut adalah bahwa pembentukan suatu sistem penatalayanan yang baku dalam gereja (terutama Protestan) dapat dilihat sebagai proses pergumulan kontekstual dari zaman ke zaman, yang pada praktiknya terbuka bagi adaptasi terhadap sistem yang sudah dikenal dalam masyarakat, termasuk dunia bisnis pada masa kini. Dalam pengertian ini, tidaklah keliru (dan juga tidaklah tabu) jika gereja ditatalayani menurut sistem yang diadaptasi dari dunia bisnis, sejauh tetap dapat menunjukkan kesetiaan pada Allah, firman-Nya, sejalan dengan kebijakan yang disepakati bersama, serta semakin menolong gereja untuk relevan bagi zamannya. Tentu ada perbedaan antara gereja dan perusahaan sebagai komunitas. Stackhouse menjelaskan bahwa dalam Kisah Para Rasul, komunitas gereja itu lebih bersifat konsumtif, bukan produktif.48 Hal ini nampak dalam 48 Stackhouse, Public Theology and Political Economy, 126.

176 Bisnis dan Agama keterangan: “dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis. 2:45). Sementara perusahaan sebagai komunitas lebih bersifat produktif, karena keberadaannya terkait dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat (lihat bagian 2.2). Pada bagian selanjutnya akan dibahas beberapa kunci teologis yang dapat menjadi sumbangan untuk memperkuat pemaknaan terhadap perusahaan. Beberapa kunci teologis Mengingat adanya kedekatan makna antara gereja dengan perusahaan, tentu ada banyak isu yang berkaitan dalam relasi di antara keduanya. Namun sehubungan dengan keterbatasan kesempatan, maka saya hanya akan memfokuskan diri pada kajian atas tiga kunci teologis, yakni: konsep penatalayanan, berbagi roti dan gereja sebagai tubuh Kristus. Kunci-kunci teologis tersebut tidak bisa dilepaskan dari kehidupan dan karya Yesus Kristus. Penatalayanan Dari Alkitab, gereja mengembangkan istilah penata layanan (steward ship). Hal ini didasarkan pada pemahaman akan kisah Penciptaan dalam Kej. 1:26-29 dan Kej. 2:15 (bnd. 1 Kor. 3:9), yakni bahwa manusia dilibatkan oleh Allah untuk turut menata dan melayani segenap ciptaan yang ada bersama-sama dengan diri-Nya. Inilah yang oleh Stevens diistilahkan dengan co-creativity (kreativitas-bersama)49, di mana manusia adalah co-creator (pencipta-bersama) dengan Allah. Mengingat manusia diangkat menjadi co-creator oleh Allah, maka kita bertanggung jawab atas pekerjaan kita sepenuhnya kepada Allah. Berdasarkan pemahaman yang demikian, saya setuju dengan pendapat Eka yang menyatakan bahwa kehidupan ekonomi dan bisnis bukanlah sesuatu yang memiliki otonomi mutlak, melainkan sesuatu yang harus kita 49 Stevens, God’s Business, 30.

Berbagi Roti Bersama 177 jalankan dan taklukkan di bawah dan dengan penuh pertanggungjawaban kepada Allah.50 Dengan kata lain, tindakan-tindakan ekonomi manusia harus dilaksanakan sebagai penatalayanan kehendak Allah atas dunia ciptaan-Nya. Di sini kita diingatkan bahwa kata “ekonomi” (dari oikos [rumah], dan nomos [hukum]) mempunyai hubungan yang dekat dengan kata “teonomi” (dari theos [Allah] dan nomos), artinya hukum Allah.51 Pemahaman seperti ini pula yang dikembangkan oleh Stevens, yakni ketika ia memaknai bisnis sebagai bagian dari misi Allah di dunia ini. Artinya lebih lanjut adalah, setiap tindakan manusia dalam seluruh keberadaannya, termasuk di perusahaan, harus dilihat sebagai partisipasi dalam misi Allah untuk mendirikan Kerajaan Allah di muka bumi, di mana cakupannya adalah penatalayanan kreasional, keadilan ekonomi, pengembangan masyarakat, pemulihan hubungan dengan Allah, komunitas yang dibarui, dan kepedulian terhadap sesama (lih. bagian 2.2). Dengan pemaknaan yang seperti ini, gereja dapat mendorong perusahaan, baik yang kecil maupun besar, baik yang nasional maupun internasional, untuk mengarahkan bisnisnya dalam kerangka penatalayanan kehendak Allah di dunia ini.52 Artinya lebih lanjut, jika saya kembali mengevaluasi keluhan rekan pendeta di atas, lewat uraian tentang penatalayanan ini, saya dicerahkan bahwa sejauh sang penatua itu menghayati, memahami dan mempraktikkan kepemimpinannya dalam kerangka penatalayanan sebagaimana dimaksud di sini, maka hal itu tidaklah tabu jika diterapkan dalam penatalayanannya 50 Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua,48. 51 Lih. Ibid. 52 Jika prinsip ini mau dioperasionalisasikan, maka saya mengambil riba sebagai contohnya. Dalam Alkitab, memang terdapat larangan untuk mengambil bunga uang atau riba (Im.25:36-37). Namun hal ini harus dilihat dalam konteksnya, yaitu bahwa larangan tersebut berlaku terhadap orang yang jatuh miskin (Im. 25: 35). Pemungutan riba terhadap orang (yang jatuh) miskin bertentangan dengan kasih Allah yang memerdekakan Israel dari perbudakan (Im. 25: 38), sebab tindakan itu akan membuat orang miskin itu semakin tidak berdaya, yang bukan tidak mungkin keadaannya sama atau bahkan lebih buruk daripada seorang budak. Dengan penafsiran yang demikian, maka orang Kristen tidak perlu bersikap anti terhadap rib adalam besarant ertentu yang jika dipertimbangkan secara nalar tidak akan membuat seseorang jatuh miskin (lih. Pertimbangan Calvin dalam bagian 3. 1).

178 Bisnis dan Agama terhadap gereja. Persoalannya, sejauh mana gereja telah memperkenalkan konsep penatalayanan ini kepada warga jemaatnya, termasuk kepada para pekerja, pengusaha dan calon penatua? Ini menjadi pertanyaan gugatan yang setidaknya menggugah saya untuk menindaklanjutinya sekembali saya ke jemaat. Berbagi roti Komunitas Yahudi sangat akrab dengan tindakan berbagi roti. Hal ini nampak dari pelayanan Yesus yang beberapa kali terlibat nyata dengan tindakan tersebut (Mat. 14:13-21 dan teks-teks paralelnya; Mrk. 8:1-10; Luk. 22:14-23; 24:13-35). Beberapa teks lainnya bahkan mengisahkan bagaimana Yesus terlibat dalam suatu perjamuan makan (Mat. 9:9-13; Luk. 7:36-50; 11:37-54; 14:1-6; 15:1-7; Yoh. 12:1-8). Khusus mengenai tindakan berbagi roti dalam perjamuan makan terakhir, Yesus malah memerintahkan para murid untuk terus melakukan hal sejenis sebagai peringatan akan diriNya (Luk. 22:19; bnd. 1 Kor. 11:24-25). Inilah yang kemudian dimaknai sebagai Perjamuan Kudus oleh gereja-gereja. Apa yang dipraktikkan Yesus di atas tidak terpisahkan dari hospitalitas (keramahtamahan) orang Yahudi serta masyarakat di sekitarnya dalam menjamu tamu – sesuatu yang juga terdapat dalam berbagai budaya di Indonesia. Dalam Kej. 18:1-15 misalnya, digambarkan hospitalitas Abraham dalam menjamu tiga orang yang muncul di dekatnya. Bukan hanya roti yang disediakan Abraham – sebagaimana yang ditawarkannya kepada mereka (ay. 5), melainkan juga dadih dan susu anak lembu yang terpilih (ay. 8). Ini mengingatkan saya akan istilah beyond the moral minimum yang menjadi salah satu judul tulisan dari buku James M. Childs, Ethics in Business Faith at Work.53 Maksudnya adalah bahwa tindakan Abraham tidak hanya berpatok pada apa yang sudah dijanjikannya, melainkan ia berbuat melebihi janjinya, sebagai wujud hospitalitasnya terhadap para tamu. Prinsip seperti ini juga dapat dijumpai dalam ajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit, yakni tentang 53 Lih. James M. Childs, Ethicsin Business Faithat Work (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 56-70.

Berbagi Roti Bersama 179 berjalan satu mil lebih jauh (Mat. 5:41).54 Pada waktu itu, pemerintah Romawi memungkinkan para prajuritnya untuk menyuruh rakyat sipil membawa barang ke tempat tertentu. Namun untuk menghindari pemberontakan rakyat, maka jarak maksimal yang bisa ditempuh adalah 1 mil. Ada patok-patok yang dipasang untuk menandakannya.55 Nah, ketika Yesus mengajar pendengarNya untuk berjalan satu mil lebih jauh, maka itu mau menyatakan bahwa pendengar-Nya harus mampu berbuat melampaui ketentuan minimal yang ditetapkan. Inilah etika Kristen! Hal ini mau menunjukkan perwujudan kasih yang tidak diikat atau dibatasi oleh apa yang ditetapkan agama atau Alkitab atau bahkan kasih yang ada maunya, melainkan kasih yang dinyatakan dengan tulus, utuh dan luas. Jika tindakan berbagi roti yang diwujudkan dalam semangat hospitalitas dan prinsip beyond the moral minimum ini dikaitkan dengan pengelolaan perusahaan, maka para pengusaha atau pemimpin perusahaan tengah diinspirasi dan digugah untuk melakukannya dalam perusahaan yang dipimpinnya. Saya yakin bahwa setiap perusahaan telah melakukan apa yang diistilahkan dengan “berbagi roti”, yakni dengan pembagian gaji terhadap karyawannya mengikuti ketentuan pemerintah. Bukan tidak mungkin ada juga yang membayar gaji karyawan di atas ketentuan yang berlaku. Namun persoalannya, apakah tindakan berbagi roti itu dilakukan atas dasar kewajiban atau sebagai tanggung jawab? Berdasarkan piramida Carroll56, ketika kita berbicara tentang kewajiban berarti kita menyinggung soal kepatuhan pada hukum. Sementara jika tindakan berbagi roti itu dipahami sebagai tanggung jawab, maka itu mau menunjuk pada pelaksanaan etika bisnis. Dalam konteks Indonesia, jika perusahaan “berbagi roti” atas dasar kewajiban semata (level hukum), maka hal itu tidak cukup membawa kesejahteraan bagi para pegawainya. Sebagai contoh, pemerintah baru 54 Bnd. Childs, Ethicsin Business Faithat Work, 59. 55 Walter Wink, “Jesus’ Third Way” dalam Robert Herr dan Judy Zimmerman-Herr (eds.), Transforming Violence (Scottdale/Waterloo: Herald Press, 1998), 39. 56 Konsepsi yang disampaikan oleh Yahya Wijaya dalam perkuliahan Bisnis, Ekonomi dan Teologi pada 1 Desember 2010.

180 Bisnis dan Agama menetapkan Upah Minimum Propinsi untuk DKI Jakarta tahun 2012 sebesar Rp. 1.529.150,-.57 Menurut saya, besaran upah yang demikian tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Malah, bukan tidak mungkin ada defisit, dalam arti gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan dasar karyawan. Dalam suatu pengukuran terhadap besaran biaya hidup di DKI Jakarta untuk tahun 2010, didapat angka Rp. 1.867.075,- yang merupakan hasil perkalian antara UMP DKI Jakarta 2010 dengan Indeks Konjungtur kota/100.58 Jika menggunakan rumus tersebut untuk menghitung besaran biaya hidup di DKI Jakarta yang dibutuhkan seseorang pada tahun 2011 saja, maka didapat angka Rp. 2.154.300,-. Terdapat defisit Rp. 625.150,-, sebuah selisih yang sangat besar, yang alih-alih mendatangkan sejahtera, malah memiskinkan! Karena itu, perlu adanya kesadaran lebih dari setiap perusahaan untuk “berbagi roti” sebagai bentuk tanggung jawab (level etika bisnis), bukan lagi sebagai kewajiban. Peringatan Cucu (pada bagian 2.3) juga penting untuk diperhatikan di sini, bahwa ketika perusahaan memberi gaji, maka ia harus memperhatikan juga keluarga yang ada di belakang sang pegawai. Karena itu, yang penting di sini adalah bukan pada apakah perusahaan sudah berbagi roti atau belum, melainkan sejauh mana “roti” yang dibagi itu telah membawa dampak signifikan bagi pegawai yang menerimanya atau belum (beyond the moral minimum). Kisah-kisah berbagi roti yang dilakukan oleh Yesus selalu menghadirkan dampak signifikan bagi orang-orang di sekitar-Nya.59 Tidak mudah memang untuk mendorong perusahaan berbuat hal yang seperti ini, sebab iklim perekonomian di 57 poskota.co.id/rp-1-529-150-upah-minimum-provinsi-dki-jakarta/2012, diakses pada 15 April 2012. 58 Lih. prikitiw-uye.blogspot.com/2010/12/perhitungan-gaji.html sebagaimana diakses pada 8 Desember 2010. Indeks Konjungtur DKI Jakarta adalah 167. 59 Dalam Mat. 14: 13-21 dan teks-teks paralelnya tentang Yesus memberi makan 5000 orang laki-laki serta Mrk. 8: 1-10 tentang Yesus memberi makan 4000 orang, ada makanan lebih yang dihasilkan [12 dan 7 bakul]; dan dalam Luk. 18: 13-35 tentang penampakan Yesus kepada dua murid dalam perjalanan ke Emaus telah menyadarkan kedua murid tentang kebangkitan diri Yesus. Satu teks lainnya, Luk. 22: 14-23 tentang perjamuan makan terakhir, bisa juga dimaknai sebagai upaya Yesus mendorong para murid-Nya untuk bersatu (dengan tubuh dan darah-Nya) dan menghayati karya pengorbanan-Nya di kayu salib; suatu tindakan yang berdampak signifikan bagi gereja-gereja masakini, sebagaimana dihayati dalam perjamuan kudus.

Berbagi Roti Bersama 181 Indonesia belum terlalu kondusif. Salah satunya berbentuk “pungli” (alias pungutan liar baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah maupun personalia organisasi massa [ormas] tertentu terhadap perusahaan-perusahaan), yang membebani keuangan perusahaan, yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk menambah kesejahteraan para pegawai. Namun kesadaran tentang “berbagi roti” ini perlu terus disosialisasikan, setidaknya oleh gereja kepada warga jemaatnya yang berkecimpung dalam dunia bisnis. Di sisi yang lain, konsepsi dan penghayatan tentang “berbagi roti” ini, seharusnya mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk berbuat sesuatu yang lebih nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kepedulian bagi sesama (lih. bagian 3.3.1), terlebih jika diperhadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan, terutama skala kecil, berhadapan dengan iklim perekonomian Indonesia yang tidak terlalu kondusif. Apa yang bisa dilakukan gereja kalau begitu? Apa yang dikemukakan Ogletree60 menjadi salah satu contoh yang perlu dipertimbangkan, yakni bagaimana gereja terlibat dalam upaya peningkatan keterampilan dari kelompok masyarakat yang saya bahasakan sebagai the last and the least advantage, misalnya: pemberian beasiswa pendidikan, pelatihan keterampilan (seperti: menyablon, menjahit, kursus bahasa Inggris dan kursus komputer), dan pelatihan wirausaha (enterpreneurship) – apalagi jika dalam gereja tersebut terdapat enterpreneurs – bagi anak-anak dari warga masyarakat yang tidak mampu. Terkait dengan kelompok pekerja yang mungkin mendapat gaji yang kurang memadai, sehingga membuat mereka hidup di tempat yang tidak layak atau tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai, maka gereja pun bisa berbuat sesuatu di sini, apakah itu dengan menyelenggarakan pengobatan murah (sebagaimana yang sudah dilakukan oleh sejumlah jemaat GKI di Jakarta) atau bentuk-bentuk pelayanan lainnya yang kontekstual dan relevan. Selain itu, perlu ada pemaknaan yang baru terhadap apa yang dimaksud dengan “roti” dalam dunia bisnis. Menurut saya, “roti” jangan 60 Lih. Ogletree, “Corporate Capitalism and the Common Good”, 100-102.

182 Bisnis dan Agama hanya dimaknai sebagai uang atau gaji semata. Sebab, suatu perusahaan yang baik, harus juga bisa saling berbagi dalam hal-hal lainnya, seperti: berbagi rasa saling memiliki (sense of belonging), berbagi suka dan duka perusahaan, berbagi kepedulian kepada warga masyarakat (lewat program corporate social responsibility [CSR] yang tulus), bahkan sampai berbagi saham (artinya dibuka kesempatan bagi pegawai untuk memiliki saham perusahaan yang pada gilirannya bisa meningkatkan sense of belonging dan juga mendorong kinerja perusahaan). Dengan kekayaan bentuk “berbagi roti” di sini, maka hal itu dapat memperkuat makna perusahaan sebagai komunitas (bagian 2.3) – yang pemaknaannya akan diperkuat dalam bagian berikut ini. Ekumene dan Gereja sebagai tubuh Kristus Pada bagian 3.3.1 telah dijelaskan tentang makna istilah ekonomi, yakni bahwa semua manusia adalah anggota-anggota satu rumah atau keluarga. Pemaknaan yang demikian sangat dekat dengan salah satu isi doa Yesus dalam Yoh. 17:21, yang darinya kita mengenal istilah ekumene (dari oikos dan monos [satu]), artinya dunia (yang satu) tempat kediaman manusia serta dengan pengajaran Paulus tentang gereja sebagai tubuh Kristus61 (Rm. 12:5; 1 Kor. 12:27). Eka menegaskan bahwa kegiatan ekonomi wajib diarahkan untuk menciptakan ekumene yang sejahtera. Lebih lanjut, Eka melihat bahwa faktor kelestarian dan keutuhan lingkungan hidup (integrasi seluruh ciptaan) menjadi fungsi ekonomi yang sangat penting untuk diperhatikan (oleh perusahaan-perusahaan – pen).62 Pernyataan Eka di sini menjadi penting untuk dicermati dengan lebih serius oleh perusahaan-perusahaan. Fakta 61 Dalam PB, frasa “tubuh Kristus” dapat dijumpai untuk menunjuk pada tiga kenyataan, yaitu: (1) tubuh fisik dari Kristus [Rm.7: 4; Flp. 3: 21]; (2) gereja [Rm. 12:5; 12: 13, 27]; dan tubuh eukaristik Yesus [1 Kor. 10: 16, 17; 11: 24, 27, 29]. Lih. Xavier Paul B.Viagulamuthu, Offering Our Bodies as a Living Sacrifice to God. A Studyin Pauline Spirituality Basedon Romans 12: 1 (Rome: Gregorian University Press, 2002), 39. Karena itu, sejalan dengan kepentingan penulisan ini, maka uraian selanjutnya akan berfokus pada makna tubuh Kristus dalam kaitan dengan gereja. 62 Lih. Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua, 49.

Berbagi Roti Bersama 183 kerusakan lingkungan dan krisis pemanasan global akhir-akhir ini, tidak terlepas dari egoisme dan egosentrisme manusia dalam menjalani kegiatan ekonominya. Alam dan ciptaan lainnya tidak dipahami sebagai sesama dalam atau bagian dari ekumene, sehingga terjadilah krisis seperti sekarang ini. Di pulau Bangka dan Belitung (lihat gambar di bawah yang diambil dari atas)63, ada banyak lubang-lubang bekas penambangan timah yang jika dibiarkan terus-menerus akan semakin membahayakan lingkungan yang pada gilirannya akan juga membahayakan manusia. Ini menjadi salah satu contoh pentingnya pemaknaan kegiatan ekonomi dari perspektif ekumene, yaitu bahwa kegiatan ekonomi itu harus memperhatikan dampaknya bagi ekumene juga. Syukurlah jika saat ini sudah ada konsep CSR dalam dunia bisnis – terlepas dari pelaksanaannya yang tulus atau tidak, yang dapat menjadi faktor pendorong bagi penghayatan perusahaan sebagai komunitas, yang bertanggung jawab juga kepada stakeholders-nya. Pemaknaan kegiatan ekonomi dari perspektif ekumene juga dapat dikaitkan dengan ajaran Paulus tentang gereja sebagai tubuh Kristus. Terkait frasa “tubuh Yesus” yang menandakan gereja, Paulus menyapa jemaat Korintus dengan pernyataan “kamu semua adalah tubuh Kristus” (1 Kor.12:27). Hal ini disampaikan Paulus terkait persoalan bahaya perpecahan yang muncul dalam jemaat terkait karunia-karunia roh yang beragam. Apa arti pernyataan tersebut? William Barclay menjelaskan bahwa Kristus tidak lagi berada di dunia ini dalam sebuah tubuh; oleh karena itu jika 63 google.co.id/images?um=1&hl=id&biw=1280&bih=494&tbs=isch%3A1&sa=1&q=lu bang+bekas+penambangan+timah+di+bangka+dan+belitung&btnG=Telusuri&aq=f&aqi =&aql=&oq=&gs_rfaisebagaimana diakses dan gambar diunduh pada 8 Desember 2010.

184 Bisnis dan Agama Dia menginginkan ada tugas yang dilaksanakan di dalam dunia ini, Dia harus menemukan seseorang untuk melaksanakannya, yakni segenap orang percaya.64 Frasa “tubuh Kristus” juga dipakai Paulus untuk menjelaskan soal kesatuan antara jemaat-jemaat dengan Kristus. Xavier Viagulamuthu berpendapat bahwa kesatuan orang Kristen dengan Kristus dan di antara sesama orang Kristen bukanlah seperti penyatuan substansi biologis, sebab hal ini merupakan bahasa kiasan.65 Michelle V. Lee menjelaskan bahwa jemaat Korintus merupakan tubuh Kristus karena eksistensi eskatologis mereka sebagai suatu kemanusiaan baru dan karena kesatuan mereka dalam Roh. Untuk lebih menjelaskan tentang komunitas baru tersebut, Paulus membandingkannya dengan tubuh manusia (1 Kor. 12:12-31). Jadi, menurut Lee, ketika Paulus menggunakan frasa “tubuh Kristus”, ia ingin menjelaskan tentang identitas baru yang dimiliki jemaat Korintus sebagai suatu komunitas yang didasarkan pada kesatuan tubuh.66 Jadi, konsep yang nampak dari frasa “tubuh Kristus” begitu penting bukan hanya menggarisbawahi kepemilikan orang Kristen oleh Tuhan, tetapi juga menunjukkan etika baru yang muncul dari kesatuan dengan Yesus. Paulus mengajarkan tentang perilaku etis di hadapan Tuhan, sebagaimana nampak dalam 1 Kor. 6:15-17; 10:14-16; 11:27; juga di antara sesama manusia (1 Kor. 11:18-34); serta ajaran untuk saling memperhatikan dalam tubuh Kristus dalam 1 Kor. 12:12-27.67 Dari pemaknaan gereja sebagai tubuh Kristus itu, Paulus hendak mengingatkan bahwa setiap individu dalam komunitas harus mengarahkan dampak dari tindakannya bagi pembangunan komunitas (baca: jemaat). Hal ini sengaja dilakukan Paulus, karena selain jemaat Korintus berhadapan dengan bahaya perpecahan, jemaat ini juga tengah dipengaruhi oleh slogan 64 William Barclay, Surat 1&2 Korintus, terj. Pipi Agus Dhali dan Yusak Tridarmanto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 204. 65 Viagulamuthu, Offering Our Bodies as a Living Sacrifice to God, 39. 66 Michelle V. Lee, Paul, The Stoics, and the Body of Christ (Cambridge: Cambridge University Press, 2006),101-102, 105. 67 Ibid.

Berbagi Roti Bersama 185 kebebasan orang Korintus, yakni: “segala sesuatu halal bagiku” (lih. 1 Kor. 6:12).68 Dengan kata lain, orang-orang Korintus merasa memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang disukai dan disenanginnya, terlepas dari tanggung jawabnya terhadap komunitas. Dalam nasehat etisnya yang terdapat pada 1 Kor. 10:23-24, “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain”, Paulus menghapus kata “bagiku” (bnd. 1 Kor. 6:12) dengan maksud menekankan bahwa kebebasan pribadi itu terkait erat dengan tanggung jawab persekutuan atau komunitas (lih. ay. 24). Lagipula, bagi Paulus kebebasan berarti bahwa kita sebagai orang Kristen tidak lagi diperbudak oleh dosa, suatu pemahaman tentang kebebasan yang disalahmengerti oleh jemaat Korintus, tetapi terarah kepada Allah dan kebenaran. Selain itu, Paulus menyatakan bahwa dirinya tidak akan dibiarkan diperhamba oleh suatu apapun (1 Kor. 6:12b), sebab dirinya sudah menjadi milik Kristus. Dari etika Paulus di atas, saya memahami bahwa kebebasan itu ada dalam keterbatasan dan Paulus memilih untuk membatasi kebebasan lewat dua kata kunci: berguna dan membangun. Artinya, orang Kristen harus menguji terlebih dahulu apa yang mau dilakukannya, apakah akan berguna atau mengarah pada kebaikan yang tertinggi? Namun, jika hanya menguji kegunaan suatu tindakan, seseorang bisa terjebak pada subjektivitas atau egoisme, misalnya: pencarian keuntungan oleh perusahaan. Karena itu, Paulus merangkai “batu uji” berguna dengan membangun. Artinya, orang Kristen harus menguji apa yang mau dilakukannya: apakah juga membangun? Membangun siapa? Menurut saya, ada 3 aspek di sini: (1) membangun hubungan pribadi dengan Tuhan, dalam arti semakin mendorong seseorang untuk memuliakan Allah dengan corpus-nya [bnd. 1 Kor. 6:20]; (2) membangun hubungan pribadi dengan sesama [lih. Rm. 68 Lih. Richard A. Horsley, 1 Corinthians. Abingdon New Testament Commentaries (Nashville: Abingdon Press, 1998), 90.

186 Bisnis dan Agama 14:19; 15:2] sebagai suatu korporasi; selain (3) membangun dirinya sendiri [bnd. 1 Kor. 14:4]. Dengan memahami etika Paulus di sini, perusahaan-perusahaan dapat didorong untuk melihat kembali dampak dari tindakan dan kebijakan yang diambilnya, apakah berguna dan membangun atau tidak. Lalu, apakah dengan metafora “gereja sebagai tubuh Kristus” – yang menyiratkan bahwa Kristus adalah kepalanya, mau menyatakan eksklusivisme Kristen? Dapatkah konsep ini diterima secara luas? Menurut saya bisa. Metafora sejenis dapat juga ditemui dalam Kol. 1:15-20. Memang surat Kolose diduga bukan ditulis oleh Paulus. Namun, konsep yang didapat darinya sungguh menarik. Dalam ay. 18, yaitu pada bagian yang membahas tentang Kristus sebagai kepala tubuh, yaitu jemaat, penulis Kolose menyatakan bahwa Yesus adalah lebih utama dalam segala sesuatu. Jadi muncul kesan kuat di sini bahwa Kristus tidak hanya menjadi Kepala gereja secara mikrokosmos, melainkan juga Kepala segala sesuatu secara makrokosmos. Dengan begitu, Alkitab dan gereja memiliki dasar pemaknaan yang kuat dan besar untuk mendukung pemaknaan perusahaan sebagai komunitas. Selain itu, konsepsi dan ajaran tentang gereja sebagai tubuh Kristus juga mensyaratkan adanya kesediaan saling mengenal. Apa yang Richard Higginson ceritakan dalam bukunya, Called to Account, menjadi relevan untuk terus mengingatkan gereja akan keberadaannya. Higginson bercerita tentang David, seorang pengusaha Kristen, yang mempunyai kebiasaan berkeliling pabrik miliknya secara rutin, untukmengenali nama seluruh pekerjanya dengan baik, sehingga dengan begitu ada hubungan yang lebih personal dengan mereka.69 Hal ini memang sudah dilakukan oleh gereja, yakni dengan melaksanakan perkunjungan pastoral kepada anggota atau warga jemaatnya. Persoalannya adalah, sejauh mana upaya untuk saling mengenal itu dihayati bukan saja sebagai panggilan bagi para pemimpinpelayan gereja (yakni pendeta dan penatua atau jabatan lainnya yang dikenal oleh gereja) untuk mengenal “domba-domba yang dititipkan kepadanya” 69 Richard Higginson, Called to Account (Guildford: Eagle, 1993), 50.

Berbagi Roti Bersama 187 (bnd. 1 Ptr. 5:1-3), melainkan juga menjadi panggilan dan kebutuhan dari setiap anggotanya? Penutup Dari uraian di atas, saya mendapati kenyataan bahwa selain adanya perbedaan antara perusahaan dan gereja (lih. bagian 3.2), ternyata terdapat juga sejumlah persamaan atau titik temu dalam dialektika makna di antara keduanya (lih. bagian 3.2 dan 3.3). Dalam pengkajian terhadap sejumlah titik temu tersebut ternyata didapat berbagai hal yang bisa saling menyuburkan pemaknaan satu sama lainnya. Dampaknya lebih lanjut adalah bahwa sudah saatnya bagi gereja untuk tidak merasa alergi terhadap apa-apa yang berbau dunia bisnis. Gerejapun tidak lagi boleh memaknai dirinya sebagai pranata yang super atau lebih hebat daripada pranata-pranata lainnya, sebab suatu pengakuan yang tak terbantahkan adalah bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28). Tentu gereja tidak dapat mengklaim bahwa Allah hanya bekerja dalam dirinya, tidak di luar pranata yang lain, atau hanya dirinyalah yang mengasihi Allah. Mereka yang berkecimpung dalam dunia bisnis yang bukan “gereja” – dalam pengertian organisme, pun bisa jadi adalah orangorang yang mengasihi Allah. Apalagi, Stevens telah mengingatkan bahwa dunia bisnis pun adalah bagian dari panggilan Allah kepada sebagian orang.70 Karena itu, bukan tidak mungkin Allah sedang mengerjakan kebaikan melalui dunia bisnis. Persoalannya, sudahkah gereja – yang lebih dulu mengenal konsepsi tersebut – menyadarkan dunia bisnis akan hal tersebut? Suatu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, melainkan tanggapan lewat aksi nyata. Semoga saya dan rekan-rekan lainnya bisa (mulai) melakukannya.

70 Lih. Stevens, God’s Business,29.

188 Bisnis dan Agama Daftar Pustaka Alkitab

Alkitab Terjemahan Baru 1974 Lembaga Alkitab Indonesia dalam Alkitab Elektronik versi 2.0.0.

Artikel

BPMSW GKI SW Jabar. “From Womb to Tomb, From Tomb to Womb” dalam Buku Bahan Persidangan Majelis Sinode Wilayah ke-68 Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, 7-9 Oktober 2010. Ogletree, Thomas W. “Corporate Capitalism and the Common Good” dalam Journal of Religious Ethics, vol. 30, no. 1, 2002.

Buku

Ashley, Benedict. Theologies of the Body: Humanist and Christian, cet. ke-2. Masachusetts: The Pope John Center, 1995. Barclay, William. Surat 1 & 2 Korintus, terj. Pipi Agus Dhali dan Yusak Tridarmanto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Buchari Alma. Pengantar Bisnis. Bandung: Alfabeta: 1992. Chandra, Robby. Etika Dunia Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Childs, James M. Ethics in Business Faith at Work. Minneapolis: Fortress Press, 1995. Darmaputera, Eka. Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan.Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990. Drucker, Peter F. Concept of the Corporation, edisi ke-2, cet. ke-7. New Jersey: Transaction Publishers, 2008. Grudem, Wayne. Business for the Glory of God: The Bible’s Teaching on the Moral Goodness of Business. Illinois: Crossway Books, 2003. Herr, Robert dan Zimmerman-Herr, Judy (eds.). Transforming Violence. Scottdale dan Waterloo: Herald Press, 1998. Higginson, Richard. Called to Account. Guildford: Eagle, 1993. Horsley, Richard A. 1 Corinthians. Abingdon New Testament Commentaries. Nashville: Abingdon Press, 1998. Korten, David C. When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia), terj. Agus Maulana. Jakarta: Professional Books, 1997. Lee, Michelle V. Paul, The Stoics, and the Body of Christ. Cambridge: Cambridge University Press, 2006. Lynch, Gordon. Understanding Theology and Popular Culture. Malden: Blackwell Publishing, 2005. Novak, Michael. Business as a Calling:Work and the Examined Life. New York: The Free Press, 1996. _____________. The Future of Corporation. Washington: The AEI Press, 1996. Oetama, Jakob. Dunia Usaha dan Etika Bisnis, cet. ke-2. Jakarta: Kompas, 2002.

Berbagi Roti Bersama 189 Rae, Scott B. dan Wong, Kenman L. (eds.). Beyond Integrity: A Judeo-Christian Approach to Business Ethics, edisi kedua.Grand Rapids: Zondervan, 2009. Stackhouse, Max L., McCann, Dennis P., Roels, Shirley J., dan Williams, Preston N. (eds.). On Moral Business. Grand Rapids: Eerdmans, 1995. Stackhouse, Max L. Public Theology and Political Economy: Christian Stewardship in Modern Society. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1987. Stevens, Paul. God’s Business: Memaknai Bisnis secara Kristiani. Terj. Ronisari Sitanggang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Viagulamuthu, Xavier Paul B. Offering Our Bodies as a Living Sacrifice to God: A Study in Pauline Spirituality Based on Romans 12:1. Roma: Gregorian University Press, 2002. Wijaya, Yahya. Business, Family and Religion.Oxford: Peter Lang, 2002.

Kamus

Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet. ke-1. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. ---------------. Webster’s New Universal Unabridged Dictionary, edisi ke-2. New York: Simon and Schuster, 1983.

Lain-lain

en.wikipedia.org/wiki/Companysebagaimana diakses 1 Desember 2010. google.co.id/images?um=1&hl=id&biw=1280&bih=494&tbs=isch%3A1&sa=1& q=lubang+bekas+penambangan+timah+di+bangka+dan+belitung&btnG=Telusuri &aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai sebagaimana diakses dan gambar diunduh pada 8 Desember 2010 gki.or.id/content/index.php?id=4 sebagaimana diakses 7 Desember 2010. prikitiw-uye.blogspot.com/2010/12/perhitungan-gaji.html sebagaimana diakses pada 8 Desember 2010. poskota.co.id/rp-1-529-150-upah-minimum-provinsi-dki-jakarta/2012 sebagaimana diakses pada 15 April 2012. Materi kuliah Bisnis, Ekonomi dan Teologi yang disampaikan Yahya Wijaya pada 1 Desember 2010.

7 GREEN CONSUMPTION:SEARCHING FOR RELIGIOUS ETHICS OF CONSUMPTION Mohammad Hasan Basri

The future of religion will be green (Bron Taylor: 2004) Abstract Di tengah persoalan krisis lingkungan dan ekologis, muncul masalah baru yang telah menjadi gaya hidup masyarakat modern yaitu apa yang disebut sebagai “affluenza” atau gaya hidup konsumtif yang tidak lagi mempertimbangkan asas kegunaan dan pertimbangan ekologis dalam mengkonsumsi makanan, pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Salah satu cara untuk mengatasi kecendurungan gaya hidup konsumtif ini adalah dengan etika konsumsi untuk memperkuat integritas individual dan masyarakat agar bisa menjalankan hidup yang lebih sederhana, tidak boros, dan lebih ramah lingkungan. Bertolak dari tesis bahwa “agama masa depan akan lebih hijau” yang dicetuskan oleh Bron Taylor (2004), tulisan ini menelusuri jejak pemikiran “green paradigm” dan menawarkan konsep “green consumption” sebagai sebuah landasan bersama (common ground) bagi agama-agama untuk mengatasi masalah “affluenza” dalam kehidupan masyarakat modern yang terus cenderung konsumtif. Di bagian akhir, penulis juga memberikan beberapa model etika terapan yang bisa

192 Bisnis dan Agama dijadikan contoh untuk menformulasikan dan mengaplikasikan konsep “green consumption”. Key words: green paradigm, green religion, green consumption, religious ethics, and consumerism.

Introduction Let me begin by sharing my experience of a course I took on “interrogating globalisation”ina one-semester student exchange programme in the Department of Religion, Temple University Philadelphia, USA.This was at the beginning of the crisis in the USA in 2008. The first meeting of the course started a “food crisis” discussion by watching Annie Leonard’s provocative internet video The Story of Stuff.1 She revealed to her U.S. viewers that with just 5 percent of the world’s population, we’re consuming 30 percent of the world’s resources and creating 30 percent of the world’s waste. If everyone consumed at U.S. rates, we would need three to five planets! How greedy we are! How much stuff we have consumed while many people live in scarcity of food! That was probably what struck my fellow students’ minds. “We have a problem with stuff” indeed, as Annie Leonard concludes in the film and her bookof the same name (2010). As many critics argue, the modern world faces a problem of “affluenza” (overconsumption) along with environmental and demographic crises.2 Why does affluenza so menacingly threaten our home-earth? Overcon­ sumption decreases the carrying capacity of the earth, exhausts resources and progressively lowers the level of environment and ecological health. 1 www.storyofstuff.org/movies-all/story-of-stuff.The film has been viewed over 10 million times by people around the world. Leonard tracks the life of the stuff we use every day – where our cotton T-shirts, laptop computers, and aluminum cans come from, how they are produced, distributed, and consumed, and where they go when we throw them out. See further, Annie Leonard, The Story of Stuff. How Our Obsession with Stuff is Trashing the Planet, Our Communities, and our Health – and a Vision for Change (New York: Free Press, 2010), 145. 2 The term “affluenza” is derived from “affluence” and “influenza” and used by critics of over consumption and consumerism. See Maguire, Daniel C. 2000. The Introduction to Visions of a New Earth. Religious Perspectives on Population, Consumption, and Ecology. New York: State University of New York Press, 2.

Green Consumption 193 The World Watch Institute reports that the ecological capacity of the world is not enough for the excessive wishes of China, India, Japan and America. The United States has less than 5% of the world population, but produces 25% of world CO2 and use 25% of the world resources. In spite of having only 3% of known oil resources, America spends 26% of the world energy and produces 30% of the world’s wastes. The effects of this country on the environment are 250 times more than the whole of sub-Saharan Africa. If China and India reach the American level in 2030, they will need the whole planet to satisfy their needs. A difference in consumption patterns can also be seen between the North and the South. The UNDP noted that 20% of the world’s people in the highest income countries account for 86% of total private consumption expenditures; the poorest 20% only account for 1.3%.3 To deal with affluenza, Gary Gardner hopes that religious groups can envision and take account on the problem, for religions have a strong interest in restraining consumption, although some of their reasons are probably very different from the concerns of environmentalists. Religious traditions broaden the discussion by stressing the corrosive effect of excessive consumption not only on the environment, but on the development of character, both individuals and of societies. Religions are in a position to weight in more strongly with the spiritual and moral case against excessive consumption. Beyond preaching, they could become more active in the community by sponsoring neighborhood groups that seek to promote simplicity and otherwise offering support to those who seek to live simply.4 This paper attempts to conceptualise“green consumption” as a common ground of religious ethics for religious communities to contribute to solving the problem of overconsumption in this age of consumerism. The 3 See Bijan Bidabad, 2010. Over consumption in Ethic Economics and Sustainable Development, New Delhi: Institute for Trade Studies and Researches, 7. 4 Gary Gardner, Invoking the Spirit. Religion and Spirituality in the Quest for a Sustainable World (Danvers: World Watch Institute, 2002), 49.

194 Bisnis dan Agama following discussion will trace the historical roots ofthe green paradigm, the definition of green consumption, and religious tenets as visionary bases for religious ethics of consumption. The genealogy of the green paradigm In the mid-1990s environmentalist movements popularised the idea of environmental space, combining the idea of consideration for future generations with the idea of a more equal distribution within the present generation. This idea also surfaced in some official publications. The idea of environmental space placed consumption and lifestyle on the agenda in a much more radical way than the dominant interpretation of sustainable consumption and production tended to do. Sustainable production emphasises the supply side, focusing on improving environmental performance in key economic sectors, such as agriculture, energy, industry, tourism and transport. Sustainable consumption addresses the demand side, looking at how to deliver the goods and services required to meet basic needs and improve the quality of life – such as food and health, shelter, clothing, leisure and mobility –in ways that reduce the burden on the Earth’s carrying capacity.5 Interestingly, the increasing political and administrative interest in sustainable consumption co-existed with a boom in global consumption during the 1990s, both in the North and in parts of the South. Inequalities increased in many countries, widening the gulf between extravagant consumption and poor conditions at different levels. In response, political interest in the consumption-environment nexus increased and was followed and supported by work programmes in different international organisations and national governments. In 1995, the UN Commission on Sustainable Development adopted an international work programme on changing consumption and production patterns. Since 5 Nick Robins and Sarah Roberts, Changing Consumption and Production Patterns: Unlocking Trade Opportunities (International Institute for Environment and Development and UN Department of Policy Coordination and Sustainable Development, 1997).

Green Consumption 195 then, many similar programmes have emergedglobally. Jonathan Porritt,6 a former leading member of the UK Green Party, calls this shifting political view the“green paradigm” –a move fromthe politics of industrialism to the politics of ecology. He contrasts the old and new paradigms in the following table: The politics of industrialism

The politics of ecology

A deterministic view of the future An ethos of aggressive individualism Materialism, pure and simple Divisive, reductionist analysis Anthropocentrism Rationality and packaged knowledge Outer-directed motivation Patriarchal values Institutionalised violence

Flexibility and an emphasis on personal autonomy A co-operatively based, communitarian society A move towards spiritual, nonmaterial values Holistic synthesis and integration Biocentrism Intuition and understanding Inner-directed motivation and personal growth Post-patriarchal, feminist values Non-violence Sustainability and quality of life Production for use Low income differentials Local production for local need Self-reliance Voluntary simplicity Work as an end in itself Labour-intensive production Discriminating use and development of science and Technology

Economic growth and GNP Production for exchange and profit High income differentials A ‘free-market’ economy Ever-expanding world trade Demand stimulation Employment as a means to an end Capital-intensive production Unquestioning acceptance of the technological fix Centralisation, economies of scale Hierarchical structure Dependence upon experts Representative democracy Emphasis on law and order Sovereignty of nation state Domination over nature

Decentralisation, human scale

6 This concept is review edhistorically by Derek Wall in his comprehensive

review of environmental literatures, Green history. Area der in environmental literature, philosophy and Politics, New York: Routledge,1994,9.

196 Bisnis dan Agama The politics of industrialism

The politics of ecology

Environmentalism Environment managed as a resource Nuclear power High energy, high consumption

Non-hierarchical structure Participative involvement Direct democracy Libertarianism Internationalism and global solidarity Harmony with nature Ecology Resources regarded as strictly finite Renewable sources of energy Low energy, low consumption

The green paradigm’s shift from the politics of industrialism to the politics of ecology is being recognised, adopted, and practised in global society. Derek Wall affirms that “green sensibilities are multiethnic and multi-cultural, with a wide appeal”. The new paradigm promises a more sustainable development and a better quality of life. Philosophically, it also inspires people from all aspects of life, including religious society, to rethink and to reevaluate their existing way of life. Modern developments that tend to degrade nature prompt religious groups to recognise and react against the era of environmental crises. Bron Taylor indicates to the religious community that it may be the only possible future for religion to be greener.7 Scholars see great potential for developing environmental ethics based on religious traditions. Every religion has environmental credentials, depending variously on its teaching, its practice, or its potential for “greening” itself. Constructing religious ethics of consumption I would like to propose green consumption as a common ground for religions in conceptualising religious ethics of consumption. It can be described in the following schema:

7 BronTaylor, “AGreenFutureforReligion?” inFutures36 (2004), 991-1008,1005.

Green Consumption 197

Green Vision of Religions

Green Consumption

Green Engagement This schema shows that the concept of “green consumption” can be rooted in religious teachings, rituals, and traditions to envision how to overcome the problem of overconsumption. In different world religions we can find elements of a green vision.8In Judaism,“Why do you spend your money for that which is not bread, and your labour for that which does not satisfy?” (Isaiah 55:2); in Christianity, “How does God’s love abide in anyone who has the world’s goods and sees a brother or sister in need and yet refuses to help?” (1 John 3:17); in Islam,“Eat and drink, but waste not by excess; verily He loves not the excessive” (Qur’an 7:31); in Taoism,“He who knows he has enough is rich” (Tao Te Ching, Chapter 33); in Hinduism,“On gaining the desired object, one should not feel elated. On not receiving the desired object, one should not feel dejected. In case of obtaining anything in excess, on should not hoard it. One should abstain from acquisitiveness” (Acarangasutra 2:114:19); in Confusianism,“Excess and deficiency are equally at fault” (Confucius, XI.15); and in Buddhism,“The deep sense of calm that nature provides…protects our heart and mind. The lesson nature teaches us lead to a new birth beyond suffering caused by our acquisitive self-preoccupation” (Buddhadasa Bhikku). 8 Gardner, op. cit.,13.

198 Bisnis dan Agama To actualise green consumption as applied ethics, religious groups may cooperate with governments, social organisations, NGOs, and other stakeholders as a form of “green engagement”. 9 They can promote green consumption, not just by enabling people to change their consumption practices based on their religious values, but also by facilitating more widespread public participation in providing sustainable products. Although it is not easy for religious communities to create the concrete initiatives to promote simple living, especially in a high-consumption culture like in the United State and Europe, a number of enlightening religious leaders and religious community have taken action to curb the culture of consumption. Here are three models of “green engagement” by religious and other public leaders and local communities. First, religious leaders and public figures promote ethical consumption and green life. Rowan Williams,as Archbishop of Canterbury from 2002 to 2012, advocateda religious ethic of moderate consumption. Pope John Paul II set as a strategic goal of his papacy to dampen the influence of consumerism in industrial cultures.Another figure campaigning for green politics and economics is Prince Charles. The Prince of Wales converted his farm at Highgrove to organic farming in 1986. It now produces a range of organic food products called Duchy Originals. Britain’s biggest supermarket chain, Tesco, carries products from the Duchy Originals range, largely traditional English food items, such as short bread biscuits and marmalade. The profits from sales of Duchy Originals go to the Prince of Wales’s Charitable Foundation. The company has already raised well over £1.3 million for charity.10 The second kindof engagement is village-based programmes that explicitly integrate material and spiritual development. An example is the Sarovadaya 9 Frans Coenen, The Role of Stakeholders in Changing Consumption and Production Patterns (Paris: OECD, 2002), 13. 10 Tanya Ha, Greeniology. How to Live Well, Be Green and Make a Difference (Crows Nest, NSW, Australia: A Sue Hines Book, Allen & Unwin, 2003), 20.

Green Consumption 199 Shramadan movement in Sri Lanka. The movement, whose name roughly means “awakening of all through sharing”, motivates villagers to undertake a broad range of development projects, from latrine building to establishment of preschool and cultural centers, all within a framework of Buddhist principles. The Sarvodayan ethic of consumption rejects the Western notion that regards consumption as a prime engine of economic growth. Instead, Sarvodayans see consumption as a tool; it provides the material platform needed to support the spiritual work of arriving at enlightenment.11 A third model of engagement is to conceptualise green economics based on Islamic teaching. One of the successful Islamic leaders to initiate more sustainable development and promote a moderate life is KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudz. Based on his famous concept of “social fiqh” (social concept of Islamic jurisprudence), he has been actively empowering peasant people in his society to live sustainably and in moderation. One of the inspiring stories that can be told is how KH. Sahal successfully developed pesantren (Islamic boarding schools) in Indonesia and innovatively empowered peasant people since he established microfinance in 1977. The neighbours surrounding the pesantren are usually planting cassava; the pesantren then help them to produce kerupuk singkong (cassava cracker) as a household industry by providing interestfree microcredit to support them in financial capital. Then they ran various green businesses, especially agribusiness such as fruit and peanut. Today, most of the peanut production by Garuda Food (one of Indonesia’s biggest food companies) is supplied from this pesantren’s group of farmers. These three models of green engagement, which can be modified depending on situational and social needs, can strengthen green sensibility. Conclusion Affluenza or overconsumption has exacerbated the environmental and ecological crises.One of the promising solutions is for religious groups to 11 Gardner, op.cit. 13.

200 Bisnis dan Agama envision the individual, group, and society in green ways and to engage in sustainable development. Every religion has the ethical bases and particular capacity to generate social capital to advance sustainability, including conceptualising “green consumption” as the common ground for religious group to solve the problem of affluenza. The future for the Earth must be green, and the world’s religions can make a significant contribution to this if, as Bron Taylor affirms in the quote at the beginning of this paper, the future of religion isalso green. Bibliography Annie Leonard, 2010. The Story of Stuff: How Our Obsession with Stuff is Trashing the Planet, Our Communities, and our Health – and a Vision for Change, New York: Free Press. Bidabad, Bijan. 2010. Overconsumption in Ethic Economics and Sustainable Development, New Delhi:the Institute for Trade Studies and Researches. Coenen, Frans. 2002. The Role of Stakeholders in Changing Consumption and Production Patterns, Paris: OECD. Coward, Harold G./ Daniel C. Maguire, 2000. Visions of a New Earth: Religious Perspectives on Population, Consumption, and Ecology.New York: State University of New York Press. Gary Gardner, 2002. Invoking the Spirit: Religion and Spirituality in the Quest for a Sustainable World, Danvers: Worldwatch Institute. Ha, Tanya. 2003, Greeniology: How to live well, be green and make a difference, NSW Australia: A Sue Hines Book, Allen & Unwin Pty Ltd. Maguire, Daniel C. 2000. Introduction,Visions of a New Earth: Religious Perspectives on Population, Consumption, and Ecology.New York: State University of New York Press, p.2. Mahfudz, KH Muhammad Achmad Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (4th Edition), Yogyakarta: LKiS. Robins, Nick and Sarah Roberts, 1997. Changing Consumption and Production Patterns: Unlocking Trade Opportunities. International Institute for Environment and Development and UN Department of Policy Coordination and Sustainable Development. Taylor, Bron. 2004. “A Green Future for Religion?” in Futures36: 991-1008. Wall, Derek, 1994, Green History: A Reader in Environmental Literature, Philosophy and Politics, New York: Routledge.

8 KEBANGKITAN SPIRITUALITAS BISNIS DALAM TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN BAGI MASYARAKAT Woro Indyas A.D Tobing

Abstrak: Dunia bisnis yang berkembang dalam sejarah perjalanannya seringkali dipandang tidak baik sepenuhnya bahkan mungkin ada yang memandangnya sebagai hal yang kotor. Namun seiring dalam sejarah perjalanan bisnis tidak selamanya demikian, ketika dunia bisnis tidak hanya berpikir demi kepentingan dirinya sendiri, melainkan dalam segala keuntungan dari berbisnis ada pemikiran yang jauh lebih dalam dan luas, yang disebut sebagai spiritualitas bisnis untuk sebuah perubahan hidup kemasyarakatan dalam arti yang sesungguhnya.

Latar Belakang Ada satu kutipan dari seorang pengusaha yang begitu terkesan dengan salah seorang pengusaha yang sudah lebih dahulu membesarkan perusahaan yang telah milikinya selama 30 tahun dan menjadi sangat terkenal namun tetap disertai dengan keteladanan hidup yang sudah teruji di sepanjang perjalanan hidupnya. Demikian isi kutipannya :1 1 Paulus Bambang WS, Builtto Bless. The 10 Commandments To Transform Your Visionary Company–BuilttoLast–to a Spiritual Legacy (Jakarta: Elex Media Komputindo, Cetakan kedua: Agustus 2007), dalam kata pengantar xiii.

202 Bisnis dan Agama “Hidup Om untuk orang lain, tidak memikirkan diri sendiri Selama Om hidup, Om akan menciptakan lapangan kerja yang baru Berterima kasih kepada Tuhan atas kesehatan yang diberikan kepada kita Orang kerja harus jujur dan rendah hati Perhatikanlah kesejahteraan karyawan dan keluarganya.” Kesan mendalam yang menempatkan dirinya sendiri sebagai seorang pengusaha juga dalam menjalani milik perusahaannya sendiri dengan membongkar tembok penyekat antara dunia bisnis dan spiritualitas. Menurutnya, banyak pebisnis yang sukses mencapai tingkatan tertinggi dalam persepsi orang bisnis, ternyata tidak bahagia. Bahkan mereka justru merasa kesepian, kehampaan, dan kesedihan. Rupanya selama ini hidup mereka dihabiskan untuk mengejar hal yang keliru. Pasalnya, mereka hanya berfokus pada dunia bisnis dan mengabaikan sisi spiritualitas. 2 Pernyataan senada seperti ini juga yang saya saksikan dalam acara di The Ernst & Young Entrepreneur of The Year Awards Program 2011 dalam perayaan ke-25 tahunnya yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Salah seorang pemenang dari penghargaan bisnis paling bergengsi di dunia ini menyatakan melalui sambutannya yang diterjemahan dalam bahasa Indonesia demikian : “ Penghargaan yang kita terima malam hari ini atas bisnis yang kita jalani, karena kita menjalani bisnis tidak dengan fokus yang salah. Bisnis yang telah kita jalani dan bangun selama ini, tidak semata-mata untuk kepentingan diri kita sendiri, ambisi, ego dan cita-cita kita saja, melainkan untuk sebuah cinta yang kita persembahkan bagi keluarga, sesama, bangsa kita Indonesia dan bagi dunia. Tuhan memberkati anda semua.” 2 Ibid., xxxix.

Kebangkitan Spiritual Bisnis 203 Kata sambutan yang memberikan sentuhan tersendiri bagi saya selaku seorang rohaniawan. Oleh karena sebagaimana yang menjadi kritikan Pak Yahya Wijaya selaku pengampu dalam Mata Kuliah Bisnis, Ekonomi dan Teologi dalam Program Pasca Sarjana di Universitas Kristen Duta Wacana, dalam salah satu kuliahnya di kelas, menyatakan bahwa seringkali banyak rohaniawan hanya berpikir dari sisi spiritualnya saja, misalnya dalam kotbah-kotbah atau pembinaan-pembinaan yang disampaikan, jarang atau bahkan tidak pernah mengkaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari, khususnya untuk dunia bisnis. Akibatnya, kotbah-khotbah atau pembinaanpembinaan yang disampaikan tidak memberikan sentuhan terhadap masalah-masalah yang seringkali dihadapi oleh para pebisnis dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga hal ini yang bisa juga menjadi salah satu faktor anggota jemaat yang berasal dari kalangan pebisnis, mencari gereja lain yang menurut mereka memberikan perhatianatau sentuhan terhadap masalah-masalah yang seringkali mereka hadapi dalam dunia bisnis melalui kotbah-kotbah atau pembinaan-pembinaan yang disampaikan. Upaya kalangan Kristen yang menonjol hanyalah yang dilakukan oleh kalangan awam dari kelompok Injili. Meskipun pendekatan yang mereka berikan lebih berakar pada Teori Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale. Sementara gereja-gereja “mainstream” cenderung memisahkan jauh-jauh antara spiritualitas dengan gagasan mengenai keuntungan dalam kehidupan bisnis. Bahkan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukakan oleh Nash, ada beberapa masalah dasar mengapa gereja/teolog Kristen gagal memahami penghayatan spiritualitas dalam bisnis. Beberapa masalah dasar tersebut adalah:3 Pertama, adanya kebiasaan menganggap remeh dan menghina masalah, lembaga dan aspek bisnis. Kebiasaan-kebiasaan yang dirasakan di antara para teolog yang mengajar teori etika sosial, tidak banyak yang merasakan perlu berdialog dengan pimpinan perusahaan yang beroperasi di negara miskin. Demikian juga sekolah-sekolah teologi yang 3 Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar. Kajian Teologis Terhadap Isu-isu Ekonomi dan Bisnis di Indonesia (Jakarta: Grafika Kreasindo, Tahun 2010), 97-99.

204 Bisnis dan Agama isi kurikulumnya masih memandang rendah terhadap bisnis dan sikap seperti ini telah ditanamkan sejak tahap awal pendidikan calon pendeta. Sehingga menyebabkan banyak pendeta menyepelekan aspek manajerial dan profesionalisme dari pekerjaan mereka. Kedua, adanya kebencian yang tidak jelas namun mendalam secara ideologis terhadap kapitalisme dan korporasi modern. Kebanyakan teolog sosial dan pemimpin gereja mainstream menggambarkan kehidupan spiritual lebih dekat dengan ciri masyarakat sosialis ketimbang kapitalis. Kritik para teolog terhadap kapitalisme cenderung membabi buta, sementara kritik mereka terhadap sosialisme dengan pemerintah-pemerintah sosia­ lisnya yang pernah dan telah terbukti gagal, hanya sekedar di mulut saja. Dalam hal ini, program-program pemberdayaan diri kalangan bisnis, yang memakai pendekatan personal, dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap masalah struktural yang menyebabkan ketidakberdayaan orang miskin. Ketiga, adanya tradisi historis yang mengaitkan spiritualitas dengan suasana di luar bisnis dan kegiatan korporasi. Dalam gereja, spiritualitas digambarkan lebih sering dengan bahasa kelemahan dan penderitaan. Seolah-olah manusia yang ideal adalah manusia yang tidak mempunyai ambisi untuk memenangi persaingan, tidak menyadari kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam dirinya, dan tidak suka menikmati hasil usahanya sendiri. Gambaran yang tampak berlawanan dengan bahasa pemberdayaan dalam spiritualitas bisnis. Sehingga upaya membangun teologi dan spiritualitas yang kontekstual tampaknya belum menyentuh konteks dunia bisnis. Berangkat dari paparan latar belakang masalah tersebut, maka melalui tulisan dalam makalah ini,penulis mencoba menggali konsep berpadunya spiritualitas yang berkembang dalam dunia bisnis secara teologis dan akan memuat juga contoh praktik bisnis dengan kesadarannya untuk melaksanakan tanggung jawab sosial terhadap kehidupan masyarakat, yang disebut sebagai Corporate Social Responsibility. Dalam penghayatan

Kebangkitan Spiritual Bisnis 205 yang demikian, ternyata bisnis berbasiskan spiritualitas bukan hanya sebuah wacana tapi sungguh-sungguh merupakan praktik nyata dengan segala upaya dan daya dari seorang pebisnis melalui perusahaan yang dijalaninya. Hal yang menarik dan luar biasa, bahkan mungkin bisa juga menjadi penggerak bagi perusahaan-perusahaan lainnya,bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tetap dapat menjalankan usahanya dengan baik, bahkan tetap bisa menjadi perusahaan yang berkembang dengan pesat dan sehat. Kebangkitan Spiritualitas dalam Bisnis Adanya kritik yang sangat keras dari pihak-pihak yang peduli pada etika dan spiritualitas terhadap dunia bisnis. Bisnis dianggap sebagai agen materialisme dan individualisme, bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari kehidupan seperti kemurahan hati, belas kasihan, solidaritas dan kesucian. Bisnis dituduh berada di balik kejahatan yang merusak kepribadian manusia, kehidupan masyarakat dan kelestarian alam. 4 Kritik yang sangat keras ini menyangkut berbagai permasalahan yang disebabkan oleh dunia bisnis terkait dengan kesejahteraan masyarakat sekitar dan kelestarian alam yang semakin rusak. Misalnya dengan kasus Newmont di Minahasa, Freeport di Papua, penebangan hutan di Kalimantan dan Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang bahkan belum selesai sampai saat ini. Daftar yang masih ditambah dengan buruknya pelaku-pelaku bisnis besar, seperti kasus Bank Century, BLBI dan masih banyak lagi kasus lainnya yang semakin memperburuk reputasi moral kalangan bisnis. 5 Dalam bagian lain disebutkan juga bahwa cita-cita kultural dunia industri di Barat yang terkait dengan masalah bisnis memang bertujuan menciptakan individu-invidu self-made, cukup diri otonom yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan siapapun yang lain (kecuali untuk urusan seks), dan tidak terikat oleh siapapun untuk urusan apapun. Namun dari tahun 1979 sampai 1984 sebenarnya sudah ada penelitian intensif oleh 4 Ibid., 91-92. 5 Ibid.

206 Bisnis dan Agama tim sosiolog yang dipimpin Robert Bellah, mengenai efek-efek psikologis individualisme yang menjadi cita-cita kultural dunia industri bisnis di Amerika Serikat. Hasil penelitian yang sangat mengejutkan karena efekefek psikologis individualisme itu meliputi keterasingan, kesepian, kekurangan cinta, ketidakbahagiaan, dan ketidakmampuan menjaga relasi.6 Pengaruh lainnya lagi dari bentuk baru kolonialisasi dan imperialisme yang sering disebut sebagai globalisasi. Sebuah kata yang sebenarnya secara harfiah berarti “menyebarkan sesuatu ke seluruh dunia”. Dari pengertian tersebut globalisasi dirasakan bukan merupakan sebuah persoalan, karena semuanya tergantung pada apa yang disebarkan atau diglobalisasikan. Ternyata globalisasi yang sangat diprotes oleh orang banyak sekarang ini adalah globalisasi sebagai sebuah sistem ekonomi partikular, kapitalisme neoliberal, sebuah cara pandang yang sepenuhnya materialistis yang didasarkan pada prinsip kemenangan mereka yang paling kuat. Budaya yang menghancurkan kebudayaan-kebudayaan yang lain, menghancurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan asli, menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin di seluruh dunia. 7 Namun seiring dengan proses berjalannya kehidupan termasuk kehidupan bisnis itu sendiri, ada hal yang kemudian menarik perhatian banyak orang. Dalam salah satu cerita sampul majalah Fortune tanggal 16 Juli 2001, ada judul tentang “Allah dan Bisnis: Penemuan yang Mengejutkan mengenai Pembaharuan Spiritual di Pasar Amerika” . Dalam artikel ini Marc Gunther berbicara mengenai “melanggar suatu tabu kuno”. Ia menggambarkan peningkatan yang sangat tinggi jumlah ekskutif yang “ ingin menjembatani pengelompokan secara tradisional antara spiritualitas dan pekerjaan “. Ini merupakan suatu gerakan yang menggembirakan dan sudah lama dinanti-nantikan.8 Munculnya fenomena adanya kebangkitan spiritualitas baru, sebagaimana halnya yang terjadi juga di Indonesia di 6 Albert Nolan, Jesus Today. Spiritualitas Kebebasan Radikal (Yogyakarta: Kanisius, Tahun 2009),39-41. 7 Ibid., 60. 8 Paul Stevens, God’s Business. Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia,Cet I 2008), 1-2.

Kebangkitan Spiritual Bisnis 207 abad ke-21 ini. Abad yang ditandai dengan adanya fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakatdi Indonesia, yaitu dengan munculnya minat yang lebih tinggi dari biasanya terhadap jalan spiritualitas. Sampai dikatakan bahwa abad ini merupakan abad spiritualitas. 9 Gambaran kehidupan yang memberikan pelajaran tersendiri bagi kalangan bisnis untuk mengkritisi diri dalam seluruh keberadaannya yangjustru menghantar pada kesadaran untuk berubah. Dengan demikian, bangkitnya spiritualitas dalam dunia bisnis sesungguhnya berdasar pada kesadaran untuk mendalami makna bisnis yang lebih dari sekadar soal mendatangkan profit atau keuntungan.10 Adanya perkembangan cara memandang orang terhadap bisnis. Pada awalnya bisnis hanya memperhatikan dimensi barangnya saja yang dianggap sebagai obyek. Cara pandang yang sebenarnya bukan esensi dari bisnis itu sendiri. Dalam perkembangan bisnis saat ini, cara pandang yang demikian termasuk cara pandang yang primitif. Oleh karena hanya sekedar memutar modal ekonomi dari barang. Cara pandang bahwa bisnis hanya memperhatikan barang saja sebagai obyek, bergerak perhatian kepada manusia sebagai Subjek. Namun demikian manusia pun pada tahap ini masih dilihat hanya dari manfaatnya secara ekonomi sebagai buyers. Manusia hanya dipandang sebagai alat untuk menghasilkan manfaat ekonomi. Pandangan yang kemudian sudah diperbaharui. Cara pandang yang dirasakan hanya mereduksi hubungan manusia dengan yang lain namun tidak menjadi bagian perusahaan tersebut, misalnya : dalam perusahaan- perusahaan outsourching yang saat ini sedang marak, namun marak juga mengundang demo karena dirasakan sebagai salah satu wujud ketidakadilan sosial terhadap para buruh yang tidak dilihat dari secara manusiawi, namun hanya dari sisi pemanfaatannya secara ekonomi saja. Dalam perkembangannya kemudian, pandangan ini pun dirasakan tidak cukup, karena hanya melihat manusia secara ekonomi saja. Oleh karena 9 Sumber: kompas.com. 10 Yahya Wijaya, 93.

208 Bisnis dan Agama itu, dari sini muncul kemudian, modal sosial. Pada tahap inilah dilihat dimensi hubungan sosial antara manusia yang satu dengan yang lain. Tahap yang dirasakan lebih manusiawi. Adanya upaya kesetaraan gender, diskriminasi etnis, macam-macam hal yang bersifat sosial. Ilmu bisnis yang mulai melibatkan ilmu sosial. Dalam hal ini kita perlu membedakan juga antara Business Studies dengan Ilmu Ekonomi. Dalam Business Studies di dalamnya tercakup Ilmu Sosial dan Filsafat, yang tidak terdapat di dalam Ilmu Ekonomi. Sampai pada perkembangan terlibatnya Ilmu Sosial dalam Ilmu Bisnis inilah , baru belakangan kemudian muncul juga kesadaran dimensi spiritual yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena dari sanalah orang memahami peranannya. Adanya konsep-konsep spiritual yang dilibatkan dalam bisnis sehingga bukan hanya modal ekonomi, modal sosial tapi modal spiritual. Bagaimana spiritualitas itu digali sampai saat ini baru dirasakan sampai pada sumber dari Psikologi Populer yang sebenarnya banyak mengambil dari issue teologis, salah satu tokohnya : Norman V. Peale yang menjadi sumber Teologi Kemakmuran. Teologi yang berpikir positif dan produktif. Mencintai diri sendiri juga orang lain. Dalam Psikologi populer sebenarnya banyak memakai bahasa spiritual tanpa bahasa agama. Sehingga lebih mudah diterima di kalangan bisnis yang pada umumnya memang bersifat lintas budaya dan lintas agama. 11 Spiritualitas yang dikembangkan dalam dunia bisnis adalah spiritualitas yang positif, yang seharusnya dibarengi juga dengan teologi yang berpikir positifsehingga memunculkan minat terhadap spiritualitas dalam bisnis. Kajian Teologis terhadap Spiritualitas dalam Bisnis Kenneth Kantzer berpendapat bahwa “Berkecimpung di dunia bisnis pada hakikatnya merupakan suatu panggilan Tuhan”. Pendapatnya ini berdasar pada Alkitab yang berbicara tentang menjalani dunia bisnis bukan dalam bentuk teks langsung, melainkan sebagai akibat dari amanat 11 Ibid., 98.

Kebangkitan Spiritual Bisnis 209 kultural, yang melihat kebaikan seluruh ciptaan, yang dirusak oleh dosa dan iblis, yang sebagian telah ditebus saat ini, dan yang di dalamnya, Allah memanggil umat-Nya untuk melayani. Ini berarti bahwa dunia bisnis adalah suatu bagian yang absah dalam melaksanakan penatalayanan ciptaan sebagai jejak manusia di bumi.12 Namun bisnis dapat dihayati sebagai sebuah panggilan Allah, ketika di dalamnya bisnis memenuhi maksud panggilan Allah tersebut dalam dirinya. Hal ini penting karena mengingat sejarah kelam dari dunia bisnis dengan berbagai kasus penyalahgunaan, kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya, bahkan yang masih berlangsung juga sampai saat ini; membuktikan kalau tidak semua orang yang terjun dalam dunia bisnis memahami bahwa bisnis yang dijalaninya itu merupakan perwujudan tugas panggilan dari Allah untuk kebaikan seluruh ciptaan yang sudah ditebus dari dosa demi pelaksanaan penatalayanan yang sudah Allah ciptakan. Untuk itu masih ada bagian penting lainnya yang perlu menegaskan kembali tentang bisnis sebagai sebuah panggilan dari Allah. Bagian yang mengingatkan kita pada gebrakan reformator abad XVI dengan pemahaman teologinya mengenai ‘panggilan’ yang tidak lagi dikaitkan hanya dengan para rohaniawan saja. Martin Luther mengajarkan bahwa Allah memanggil setiap orang ke dalam pekerjaannya masing-masing untuk mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan. Maka kerja adalah bentuk partisipasi dalam karya pemeliharaan Allah atas ciptaan-Nya. Sementara Calvin menggarisbawahi ajaran Luther itu dengan menganggap kerja sebagai cara yang luhur dan mulia untuk memuji Allah melalui ciptaanNya. Calvin menganggap keuntungan bisnis dari usaha yang dilakukan, sama terpujinya dengan upah pekerja, asalkan bisnis dijalankan dengan kejujuran dan ketekunan. Dengan demikian reformasi telah meletakkan fondasi bagi suatu spiritualitas yang akrab dengan dunia bisnis dan profesi. Namun tidak cukup hanya sampai pada bagian ini saja, karena Higginson mengingatkan bahwa dalam teologi Protestan,panggilan untuk 12 Paul Stevens, 29.

210 Bisnis dan Agama bekerja itu bersifat sekunder. Maka menghayati bisnis sebagai bagian dari panggilan Allah mengarahkan kita panggilan yang lebih utama lagi, yaitu panggilan untuk mengikut Yesus. Panggilan untuk bekerja harus dilihat dalam kerangka pemuridan: sebagai suatu cara untuk menjadi murid Yesus. 13 Itu berarti bagaimana Yesus sendiri menghidupi spiritualitasnya menjadi landasan penghayatan juga bagi bisnis dalam kehidupan bersama dengan seluruh ciptaan yang ada. Yesus datang untuk memperkenalkan spiritualitas yang baru. Spiritualitas yang di dalamnya mencakup paling sedikit dua dimensi. Dimensi yang pertama, adalah ketaatan yang total kepada Allah. Dimensi yang kedua, adalah kepedulian yang eksistensial kepada sesama. Kedua dimensi tersebut bukan merupakan dua hal yang terpisah satu sama lain. Kedua dimensi itu terkait amat erat satu kepada yang lain. Ketaatan Yesus yang total kepada Allah itulah yang membuat Ia secara eksistensial dan total pula menaruh kepedulian kepada umat manusia. Sebaliknya, kepedulian-Nya yang total terhadap umat manusia adalah bukti yang paling sah dan paling nyata dari ketaatan-Nya kepada Allah. Dengan demikian, kepedulian-Nya kepada sesama bukan hanya merupakan manifestasi dari suatu altruisme atau aktivisme yang filantropis, melainkan sebuah sikap iman yang lahir dari ketaatan-Nya kepada Allah. Di pihak lain, ketaatanNya kepada Allah, Ia wujudkan dalam sikap kasih serta kepedulian-Nya terhadap penderitaan sesama.14 Perwujudan kepedulian Yesus terhadap manusia dalam setiap bagian kehidupannya, berarti termasuk dalam hal bisnis yang dilakukan oleh manusia sebagai ladang kehidupan. Sebuah kepedulian yang dinyatakan Yesus melalui cara yang luar biasa, yaitu melalui inkarnasi-Nya. Berbicara inkarnasi, maka ituterkait dengan doktrin Trinitas. Doktrin yang merupakan kunci keberadaan Allah di mana melaluinya nyata bahwa Yesus Kristus sebagai Allah yang sungguh-sungguh dan sungguh-sungguh manusia. 13 Yahya Wijaya, 99-102. 14 Eka Darmaputera, Spiritualitas Baru dan Kepedulian Terhadap Sesama: Suatu Perspektif Kristen Dalam Spiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat (Yogyakarta: Interfidei, Cetakan II, Mei 2004), 73-75.

Kebangkitan Spiritual Bisnis 211 Semua pernyataan kemanusiaan tentang Allah dalam Yesus Kristus memiliki dampak-dampak praktis dalam kehidupan manusia. Bahkan untuk bagian kehidupan manusia yang mungkin dipandang tidak berguna atau yang merusak sekalipun, merupakan ruang di manakepedulian Allah dalam kemanusiaan Yesus Kristus tetap dinyatakan dengan kasih-Nya. Dalam arti bahwa, kualitas spiritualitas dapat teruji dengan memadai ketika ada teologi tentang Allah dibaliknya. Kepercayaan akan inkarnansi mengundang umat juga untuk mengadopsi sebuah keseimbangan pendekatan manusia yang alami, secara khusus dimensi materialnya.15 Inkarnasi menyatakan pentingnya kemanusiaan Yesus dan itu berarti Yesus telah menyatu juga dalam seluruh bagian kehidupan manusia yang senantiasa dipedulikan oleh kasih-Nya karena ketaatan-Nya pada Allah. James Childs dalam salah satu tulisannya menyatakan juga bahwa kasih, kemurahan hati terkait dengan masalah bisnis. Kasih sebagai hal yang harus diterima secara serius, yang juga merupakan fungsi radikal dalam sebuah kejatuhan dunia di mana kejahatan harus di lawan dan dibutuhkan untuk menjamin keadilan. Untuk waktu yang lama, telah dipelihara, baik oleh orang-orang Kristen dan yang non Kristen, bahwa etika akan kasih diperlukan bagi setiap orang yang mengejar kehidupan personal mereka; juga dalam kehidupan politik, pemerintahan dan bisnis, sebagai sebuah standard lain yang butuh untuk diaplikasikan.16 Dari pemikiran James Chils ini, kita sampai pada bagian akhir yang dapat disimpulkan bahwa kajian teologis dalam spiritual bisnis memang sebagai hal yang baik karena dapat mengarahkan kepada bisnis yang baik, namun berpendapat sampai pada kajian teologis saja tidak memadai untuk mengarahkan kepada bisnis yang baik; masih harus dengan mengetengahkan pentingnya pengembangan etika bisnis Kristen untuk membuat rambu-rambu dan pedoman dalam menjalankan bisnis yang baik dalam keutuhan hidup manusia dan

15 Philip Sheldrake, Spirituality and Theology (New York: Orbis Books, 1998), 16-18. 16 James M. Childs Jr. ,Ethics in Business, Faithat Work (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 60-61.

212 Bisnis dan Agama seluruh ciptaan.17 Berikut akan disajikan bisnis dalam praktik tanggung jawab sosialnya bagi kehidupan masyarakat sekitar yang penulis anggap merupakan muara dari spiritualitas yang menggerakan kehidupan bisnis dalam rangka menuju kehidupan bisnis yang bermoral dengan memenuhi panggilan Tuhan atas dirinya. Spiritualitas dalam Bisnis Melalui Tanggungjawab Sosial bagi Masyarakat Bangkitnya minat kalangan bisnis terhadap ‘tanggungjawab sosial korporat’ yang disingkat sebagai CSR, merupakan gagasan dimensi spiritual yangdiangkat oleh kalangan bisnis.18 Fenomena ini merupakan sesuatu yang membesarkan hati, walaupun Indonesia sebagai suatu kesatuan ekonomi yang masih amat terbelakang dibandingkan dengan negara-negara yang berkembang lainnya dalam hal ini, tetapi tentu saja “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”). Indonesia sebagai suatu kesatuan ekonomi masih harus bekerja lebih keras lagi untuk mendorong perusahaan-perusahaan memahami tanggung jawab sosialnya dan menerapkannya dalam strategi perusahaan, terutama bila ingin bersaing di pasar global, oleh karena globalisasi adalah gelombang yang tak terelakkan dan kita berperan untuk globalisasi akan hal yang baik melalui kesadaran akan CSR bagi perusahaan-perusahaan bersama dengan perusahaanperusahaan di seluruh dunia.19 Fokus CSR adalah bagaimana dunia usaha tetap dapat menciptakan keuntungan namun kegiatan operasionalnya selaras dengan lingkungan dan kehidupan komunitas di mana dunia usaha itu berada. CSRmemandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa hukum, perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Adapun tolok ukur keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip 17 Made Gunakarsa Mastra-ten Veen, Teologi Kewirausahaan. Konsep dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 190. 18 Yahya Wijaya, 92. 19 Chrysanti Hasibuan, CSR dan Tantangannya Bagi Pelaku Bisnis Kristen di Indonesia, Dalam Seri Kajian Etika Kontemporer, Etika Bisnis Kristen (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi (UPI) Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2006), hlm 63-64.

Kebangkitan Spiritual Bisnis 213 moral dan etis, yakni menggapai hasil yang terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. CSR didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dalam dengan istilah triple bottom lines, yaitu : 3P20 a) Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang. b) People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan CSR, seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan ekonomi lokal. c) Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program yang berpijak pada prinsip ini biasanya melakukan kegiatan berupa penghijauan lingkungan, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, dan pengembangan pariwisata (ekoturisme). Setiap usaha atau upaya dari setiap perusahaan yang telah memiliki kesadaran dengan mengambil bagian dalam tanggung jawab sosialnya melalui program CSR, senantiasa harus kita hargai. Berikut ini akan dipaparkan, contoh perusahaan dalam segala upayanya dengan pelaksanaan CSR yang berlangsung sampai saat ini.Pemaparan ini hanya sebagai contoh saja yang mau membuktikan bahwa dunia bisnis adalah dunia yang dinamis, selalu mau belajar pada hal yang bermakna dan positif di tengahtengah realitas kehidupan bermasyarakat yang ada. Penulis memberikan 2 contoh perusahaan yang memang diketahui melalui hasil percakapan dengan dua orang anggota jemaat yang bergerak secara langsung dalam program CSR bagi perusahaannya. Perusahaan Sampoerna Foudation dan PT Jaya Agra Wattie.

20 Masriany Sihite, Corporate Social Responsibility (CSR)(Implementasi CSR PT. Unilever Indonesia Pada Petani Kedelai Hitam di Desa Mulyodadi-Bantul di tinjau dari Perpektif Teologi-Sosial Ulrich Duchrow), Tesis Program Pasca Sarjana Teologi Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, 2009, 17.

214 Bisnis dan Agama Putera Sampoerna Foundation (Psf) Putera Sampoerna Foundation merupakan salah satu perusahaan Indonesia yang memahami Program CSR demikian :21 Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan secara umum dianggap sebagai bagian kecil dari strategi perusahan untuk menunjukkan tanggungjawab sosialnya kepada lingkungan. Pada umumnya program CSR diterapkan sebagai kegiatan tambahan, sehingga dampaknya tidak optimal. Program CSR tidak hanya meningkatkan image dari perusahaan, akan tetapi juga memberikan keuntungan yang berkelanjutan bagi individu yang dibantu, lingkungan dan perusahaan itu sendiri. Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan perlu dimaknai sebagai komitmen berkelanjutan dari sebuah korporasi untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya. Hal inilah yang mendasari PSF untuk bertransformasi dari organisasi filantropi menjadi Institusi Bisnis Sosial. PSF adalah institusi bisnis sosial yang pertama di Indonesia yang memiliki visi untuk mencetak calon-calon pemimpin masa depan dan wirausahawan Indonesia yang handal demi menghadapi tantangan global. Putera Sampoerna Foundation adalah afiliasi dari PT Sampoerna Strategis. Empat pilar utama kegiatan Putera Sampoerna Foundation adalah pendidikan yang berkualitas bagi siswa Indonesia berprestasi terutama dari keluarga prasejahtera, penciptaan lapangan pekerjaan melalui pengembangan kewirausahaan, pencerahan masyarakat umum melalui pemberdayaan perempuan, serta program penyaluran bantuan dan pertolongan rehabilitasi bencana. Mengacu pada strategi besar ‘Pathway to Leadership’(Jalan Menuju Kepemimpinan). PSF memiliki tujuan untuk menciptakan 1.000 pemimpin pertahun yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dan perubahan di komunitasnya. Dalam menjalankan kegiatannya, Putera Sampoerna Foundation didukung oleh 21 Hasil Percakapan dan pengamatan bersama dengan salah satu anggota jemaat GKI Kebayoran Baru yang bekerja di Putera Sampoena Foundation sebagai pengambil keputusan penting dalam program CSR (Ibu TK).

Kebangkitan Spiritual Bisnis 215 mitra strategis antara lain Sahabat Wanita, Siswa Bangsa, dan Bait AlKamil, serta melakukan inisiatif mendirikan badan usaha ACCESS untuk meningkatkan pertukaran pelajar dan kerjasama dengan universitas di luar negeri dan MEKAR yang merupakan sebuah portal lengkap dan pusat pengembangan bagi kewirausahaan di Indonesia. Disamping itu PSF memiliki suatu unit yaitu PSF-School Development Outreach (PSF-SDO) yang memfokuskan diri pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. PSF-SDO menyediakan suatu jasa layanan pengembangan pendidikan pendidik secara utuh, dari mutu pendidik, sistem pendidikan, dan tata kelola sekolah serta peningkatan mutu sarana dan sumber belajar. PSF-SDO adalah mitra bagi setiap korporasi maupun institusi dalam merencanakan serta menjalankan program CSR yang strategis dalam bidang peningkatan kualitas pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 2001, PSF telah menyalurkan lebih dari 34.600 beasiswa, menyelenggarakan pelatihan untuk lebih dari 19.000 orang guru dan kepala sekolah, mengadopsi 23 sekolah negeri dan 5 madrasah. Pada tahun 2009, PSF mendirikan sekolah berstandar Internasional berasrama yaitu Sampoerna Academy. Disamping itu juga didirikan Sampoerna School of Education, yaitu sekolah tinggi untuk mencetak generasi pendidik masa depan, yang sekaligus merupakan elemen pertama dari pendirian Universitas bertaraf dunia. Pada tahun 2010, PSF meluncurkan Sampoerna School of Business. PSF adalah organisasi non-profit pertama yang memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008 yakni sertifikasi sistem kualitas manajemen yang bertaraf internasional. Menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam segala aktifitasnya, PSF telah dipercaya oleh lebih dari 300 korporasi, organisasi maupun asosiasi untuk menjalankan program CSR. Secara berkala, PSF mengikuti audit yang dilakukan oleh pihak auditor Internasional independen dan laporannya diterbitkan di buku laporan tahunan Putera Sampoerna Foundation.

216 Bisnis dan Agama PT. Jaya Agra Wattie 22 Perusahaan PT. Jaya Agra Wattie sudah berdiri lebih dari 90 tahun dan bergerak di bidang perkebunan. Kebun-kebunnya ada di seluruh propinsi pulau Jawa dan Kalimantan Selatan. Perkebunannya adalah karet, sawit, kopi dan teh. Sampai saat ini perusahaan telah mempekerjakan lebih dari 12.000 orang. Kebun-kebun yang di Jawa, keberadaannya sudah lama, lebih kurang seumur perusahaannya, sehingga sebenarnya apa yang sekarang disebut CSR sudah dijalankan dari dulu, paling tidak sudah sekitar 30 tahunan. Dulu masih berupa pembagian beras, peminjaman lahan yang akan diremajakan sebagai kebun kepada petani sekitar selama 6 bulan untuk mereka tanami tanaman semusim seperti jagung dan hasilnya 100 % untuk petani. Namun sekitar 15 tahun terakhir perusahaan mulai melaksanakan CSR dengan cara yang lebih intensif lagi. Perkebunan kami berada ditengah tengah masyarakat luas, di kelilingi desa-desa dan perusahaan akan berada disitu untuk waktu yang lama, sehingga hubungan yang baik antara perusahaan dan masyarakat harus terus dibina supaya perusahaan dapat terus ada dan masyarakat merasakan dampak yang baik dari keberadaan perusahaan. Keberadaan yang dirasakan saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Keuntungan perusahaan harus ikut mereka rasakan. Untuk kebun-kebun yang sudah lama di pulau Jawa, pelaksanaan CSR mulai dengan memberikan bantuan berupa pembangunan rumah ibadah, mempekerjakan orang-orang di sekitar kebun, bila diperlukan perusahaan menyediakan sarana untuk sekolah TK dan SD. Kemudian pemberian bea siswa bagi anak-anak yang berprestasi. Pada kesempatan-kesempatan seperti hari ulang tahun perusahaan, anggota masyarakat sekitar diberikan pengobatan gratis, kadang bekerjasama dengan Rumah Sakit, contohnya untuk operasi bibir sumbing, khitanan dan lain-lain. Hal ini dirasakan sekali manfaatnya untuk jangka panjang dimana mereka secara otamatis akan membela perkebunan jika ada hal-hal dari pihak luar yang mengganggu kebun, seperti pencurian dan lain-lain. Mereka dengan sukarela menjaga kebun dengan sebaik-baiknya. 22 Hasil percakapan bersama dengan salah seorang anggota Jemaat GKI Kebayoran Baru sebagai pemilik dari perusahaan (Bp.ES).

Kebangkitan Spiritual Bisnis 217 Untuk kebun-kebun yang di Kalimantan Selatan yang relatif masih baru (antara 1-10 tahun) pihak perwakilan perusahaan berupaya melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum perusahaan mulai masuk. Menemui kepala-kepala desanya, bersama sama melakukansosialisasi. Jika mereka sudah dapat menerima pihak-pihak yang mewakili perusahaan maka hal yang pertama kami lakukan adalah mempekerjakan orang-orang sekitar kebun sebagai tenaga harian, satpam dan lain-lain. Perusahaan juga berusaha membeli keperluan-keperluan seperti air, makanan, dan lain-lain dari warung-warung sekitar yang ada sehingga mereka dapat merasakan kehadiran perusahaan yang membawa dampak positif. Sebagai contoh, ada 2 lokasi di Kalimantan Selatan yang tadinya desanya sepi sekarang menjadi ramai karena kehadiran perusahaan. Hal itu karena perusahaan mempekerjakan ratusan orang sehingga mereka bisa ada uang untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, transaksi jual dan beli meningkat cukup pesat, dan yang paling mengharukan adalah beberapa keluarga dapat kembali menyekolahkan anak-anak mereka kembali. Kurang lebih 4 tahun yang lalu perusahan kembali mengaktifkan apa yang dulu dikenal sebagai PKK, yaitu PKK Kusumawati Mandiri yang melibatkan istriistri staff dan karyawan kebun. Kegiatan mereka terdiri dari pengajian, masak memasak, tanam menanam sayur, membuka kios didalam dan dipinggir kebun sehingga mereka juga mempunyai pemasukan dana. Hal yang paling penting, mereka harus menjangkau masyarakat sekitar kebun dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan, pengajian-pengajian dan lainlain di sekitar kebun, sehingga semakin mendekatkan perusahaan dengan masyarakat sekitar. Dalam proses yang terus berjalan, beberapa waktu belakangan ini perusahaan yang mau terus belajar semakin menyadari bahwa ketika perusahaan melakukan CSR bukan semata mata untuk kepentingan perusahaan saja, tetapi melihat bahwa melalui CSR ini bangsa kita akan dapat lebih maju lagi, sehingga sekarang ada himbauan dari perusahaan untukseluruh perkebunan-perkebunan, agar memperhatikan pendidikan

218 Bisnis dan Agama dan kesehatan masyarakat. Mereka dihimbau untuk membuat perpustakaan sederhana, memperbaiki sarana pendidikan yang sudah rusak, bekerja sama dengan Departemen Pendidikan untuk dapat memperoleh guru dan lain-lain. Perusahaan juga sedang memimpikan untuk setiap perkebunanperkebunan memiliki rumah sakit mini. Perusahaanmelihat masih begitu banyak petani-petani di Indonesia yang miskin, mereka tidak pernah sempat mendapatkan pendidikan yang layak, oleh sebab itu melalui program-programyang perusahaan jalankan,ada harapan anak-anak mereka akan mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik. Sehingga bisa meningkatkann taraf hidup mereka selanjutnya. Demikian paparan dari kedua perusahaan yang terus berupaya melaksanakan program CSR. Terlepas dari pandangan apapun terhadap dunia bisnis, maraknya trend para pelaku bisnis melalui perusahaan bergerak dalam CSR, mari kita lihat sebagai wujud kerinduan dunia bisnis untuk semakin mengintegrasikan nilai-nilai etis, moral dan spiritual ke dalam lingkungan bisnisnya yang selama ini mungkin mereka rasakan cenderung sekuler, kering, dan materialistis yang tidak memberikan kebahagiaan sejati. Bahkan menjadi refleksi kritis juga bagi gereja, ketika perusahaan sebagai lembaga yang berada di luar gereja melakukan CSR, maka bagaimana dengan gereja yang dipahami sebagai stake holder juga? Hal ini mengingatkan gereja dengan bidang pelayanan diakonianya. CSR dapat disejajarkan dengan diakonia gereja sebagai salah satu lembaga keagamaan yang adauntuk dapat disebut juga sebagai “Church Social Responsibility”.Baik perusahaan maupun gereja dalam melaksanakan kesadarannya untuk melakukan CSR, seharusnya tidak dengan motivasi untuk “pencitraan” untuk tujuan supaya mengharumkan nama gereja atau perusahaan. Tanggapan Adanya materi bisnis dan spiritualitas dalam Mata Kuliah Bisnis, Ekonomi dan Teologi dalam lembaga-lembaga pendidikan sungguh

Kebangkitan Spiritual Bisnis 219 menempatkan kita pada proses pembelajaran yang sangat mencerahkan. Oleh karena melalui proses pembelajaran bisnis dan spiritualitas memberikan ruang keterbukaan bagi kita untuk mengenal, memahami dunia bisnis secara utuh. Dalam kenyataannya, tidak jarang masyarakat melihat dunia bisnis termasuk orang-orang yang bergerak dalam bisnis dengan sikap curiga dan mungkin memandang rendah. Kita sekarang menyadari bahwa tidak selamanya bisnis dalam pandangan yang selalu mencurigakan sehingga harus terus menerus diawasi dan dipandang rendah dengan dampak yang merusak, merugikan kehidupan masyarakat. Bisnis merupakan perwujudan panggilan Tuhan melalui tanggung jawab sosialnya bagi kehidupan masyarakat dan keutuhan ciptaan. Sehingga keuntungan bisnis sebagai sesuatu hal yang alami dan memang bisnis ada untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (seperti yang dimaksudkan oleh Adam Smith dalam Wealth of Nation)23 namun dalam pengertian yang seluas-luasnya agar masyarakat justru akan menarik manfaat yang sebesar-besarnya dari dunia bisnis. Bahkan mungkin jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh orang-orang bisnis yang dengan sengaja mau melaksanakan tanggung jawab sosialnya di samping berbisnis. Proses yang memang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut seiring dengan pelaku bisnis yang belum menyadari akan dimensi spiritual dalam bisnis yang dijalankan. Namun, di sinilah gereja dapat mengambil peranannya. Sebagai gereja yang juga mau belajar dari dunia bisnis ketika mendapat kritikan tajam dan pedas namun bisa juga membuktikan bahwa tidak seluruhnya benar. Sehingga gereja pun bisa menyadari melalui keterpanggilannya untuk lebih mau belajar memahami, mengenal dunia bisnis yang merupakan wujud panggilan Tuhan juga. Menjadi sebuah tantangan bagi gereja bersama dengan anggota jemaat yang memiliki perusahaan atau bersama dengan perusahaan-perusahaan yang ada semakin menyadari tanggung jawab sosial bagi kehidupan masyarakat 23 Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua. Bisnis, Ekonomi, dan Penatalayanan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan kelima, tahun 2002), 123. Bnd. Adam Smith, The Wealth of Nations, 423.

220 Bisnis dan Agama yang ada sebagai muara dari gerak spiritualitasnya. Secara khusus pula melalui kotbah-kotbah dan pembinaan-pembinaan dalam bentuk lainnya, wacana tentang bisnis dengan pergulatannya menjadi materi-materi yang disajikan. Juga ketika gereja mempunyai program “Bursa Kerja”, misalnya di Jemaat yang saya layani GKI Kebayoran Baru, pemahaman tentang spiritualitas bisnis harus menjadi penggerak bagi perusahaan-perusahaan dalam kesadarannya untuk melakukan CSR. Gereja-gereja pun dengan diakonianya (Church Social Responsibility) bisa bekerja sama sehingga transformasi kehidupan masyarakat bisa lebih dirasakan menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian Gereja sebagai lembaga keagamaan memang menyatu dalam gerak spiritualitas untuk bersamasama menghadirkan kehidupan dalam perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Bahkan tidak menutup kemungkingan gereja sebagai salah satu lembaga keagamaan bekerja sama dalam lingkup lintas agama bersamasama dengan perusahaan yang digerakkan dengan spiritualitas bisnisnya sehingga menghasilkan potret kehidupan dalam kesejahteraan dan kemakmuran dalam arti yang luas. Potret wajah keagamaan pun menjadi potret yang sangat hidup dan memberikan dampak yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat secara utuh. Daftar Pustaka Buku

Bambang WS,Paulus,Built to Bless : The 10 Commandments To Transform Your Visionary Compacy – Built to Last – to a Spiritual Legacy, ( Jakarta : Elex Media Komputindo, Cetakan kedua : Agustus 2007). Childs, James.M.Jr ., Ethics in Business, Faith at Work, (Minneapolis : Fortress Press, 1995). Darmaputera, Eka, Etika Sederhana Untuk Semua : Bisnis, Ekonomi, dan Penatalayanan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cetakan kelima, tahun 2002). Darmaputera, Eka, Spiritualitas Baru dan Kepedulian Terhadap Sesama : Suatu Perspektif Kristen Dalam Spiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta : Interfidei, Cetakan II, Mei 2004). Hasibuan, Crysanti, CSR dan Tantangannya Bagi Pelaku Bisnis Kristen di Indonesia, Dalam Seri Kajian Etika Kontemporer, Etika Bisnis Kristen (Jakarta : Unit Publikasi dan Informasi (UPI) Sekolah Tinggi Teologi Jakarta,2006).

Kebangkitan Spiritual Bisnis 221 Mastra-ten Veen, Made G, Teologi Kewirausahaan : Konsep dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali,(Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen/CBEP UKDW, 2009). Nolan, Albert,Jesus Today : Spiritualitas Kebebasan Radikal, (Yogyakarta : Kanisius, Tahun 2009). Sheldrake, Philip,Spirituality and Theologi, (New York : Orbis Books, 1998). Stevens, R. Paul, God’s Business : Memaknai Bisnis Secara Kristiani, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,Tahun 2008). Wijaya, Yahya, Kesalehan Pasar : Kajian Teologis Terhadap Isu-isu Ekonomi dan Bisnis di Indonesia, (Jakarta : Grafika Kreasindo, Tahun 2010).

Sumber Internet

Sumber:kompas.com

Tesis

Masriany Sihite, Corporate Social Responsibility (CSR)(Implementasi CSR PT. Unilever Indonesia Pada Petani Kedelai Hitam di Desa Mulyodadi-Bantul di tinjau dari Perpektif Teologi-Sosial Ulrich Duchrow), Tesis Program Pasca Sarjana Teologi Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, 2009.

9 PENGUNGKAPAN PENERAPAN PRINSIP SYARIAH (SHARIA COMPLIANCE) DI BANK SYARIAH (STUDI EKSPLORASI) Sepky Mardian, SEI, MM

Abstract Disclosures by Islamic banks in compliance with sharia overcome the asymmetric information among stakeholders and differentiate the implementation of good corporate governance (GCG) by Islamic banks fromthat of conventional banks. This thesis is explored with reference tothree banks in Indonesia. The content analysis employs two approaches: disclosure index (DI) and disclosure length (DL). The study shows the Islamic banks differ from each other in disclosure and GCG. It finds that several Islamic banks have taken on board the criticisms of previous studies related to the weak role of the Sharia Supervisory Board (SSB). The Liaison Officer or Internal Syariah Review (ISR) represents the SSB in the operation of the Islamic bank.

Pendahuluan Industri keuangan Islam mengalami perkembangan yang signifikan. Rata-rata pertumbuhan asset per tahun mencapai dua digit1 atau 15-20%2. 1 Patrick Imam and Kangni Kpodar, “Islamic Banking: How Hasit Diffused?” (V. Kramarenko ,Ed.) IMF Working Paper African Departmen t(Agustus 2010), 1-30, 3 2 Shayerah Ilias, “Islamic Finance: Overview and Policy Concern” CRS Report for US Congress: Congressional Research Service, 2010, 3

224 Bisnis dan Agama Sedangkan dalam beberapa bank mengalami pertumbuhan sampai 40% per tahun3. Seperti yang diklaim oleh Chapra dan Ahmed, perkembangan bank syariah telah terjadi sejak lebih 25 tahun yang lalu atau sejak 1970an4. Suleiman menyebutkan jumlah bank syariah di dunia mencapai 180 bank pada tahun 19995 dan 280 lembaga keuangan syariah pada tahun 20086 di lebih dari 40 negara7. Secara global, total asset keuangan syariah mencapai 1 triliun dolar per 20108. The International Organisation of Securities Commissions memprediksi pada tahun 2015, 1.2-1.6 milyar muslim di dunia memiliki simpanan di lembaga keuangan syariah9. Indonesia, per September 2011, telah memiliki 11 BUS, 23 UUS dan 154 BPRS dengan jumlah kantor sebanyak 2.011 kantor. Total asset dan DPK yang dimiliki mencapai masingmasing lebih dari 123 milyar rupiah dan 97 milyar rupiah10. Bank syariah harus melakukan operasional sesuai dengan prinsip syariah karena merupakan bagian dari institusi keuangan Islam11. Inilah yang dikenal dengan syariah compliance dalam bank syariah. Untuk memastikan bank syariah sesuai dengan prinsip syariah, bank syariah harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS)12. Sharia compliance adalah elemen tata kelola perusahaan (good corporate governance-GCG) yang sentral dalam institusi syariah13. Keberadaannya membedakan dengan struktur GCG di institusi konvensional. Peran ini 3 Brendan Nelson, Growth and Diversification in Islamic Finance. United Kingdom: KPMG, 2007, 1 4 Ilias, “Islamic”,4 5 Ade Wirman Syafei, “The Responsibility and Independence of Shariah Advisors and the Shariah Review Process in Indonesia Islamic Banks”.Master Degree Thesis. Malaysia: IIUM, 2005,1 6 Muhammad Hanif and Abdullah Muhammad Iqbal, “Islamic Financing and Business Frame work: A Survey”. European Journal of Social Sciences, Vol. 15, No. 4(2010), 476 7 Ilias, “Islamic”, 2 8 Ilias, “Islamic”, ii 9 Kpodar, “Islamic”, 3 10 BI. Statistik Perbankan Syariah per September 2011. Jakarta: Bank Indonesia, 2011,6 11 Abdul Rahim Abdul Rahman, “Shariah Audit for Islamic Financial Services: The Needs and Challenges” ISRA Islamic Finance Seminar (IIFS), 1; Syafei, “The Responsibility”,ii 12 Rahman, “Shariah”,1 13 Sigit Pramono, “Corporate Governance Mechanism and Internal Shariah Review (ISR) in Islamic Banks: Critical Issues and the Role Gapof Shariah Supervisory Board (SSB)”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 1 No. 1 (2007), 1-19,4

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 225 dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk memastikan bahwa operasional institusi [bank] syariah memenuhi prinsip syariah14. Sejak tahun 2002, dengan skandal akuntansi Enron dan Worldcom, GCG merupakan elemen yang menjadi keniscyaan dan harus ada dalam perusahaan. Banyak negara telah menyusun aturan pelaksanaan GCG. Menanggapi hal tersebut, Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institution (AAOIFI) telah menyusun Governance Standards for for Islamic Financial Institution (GSIFI)15. Setiap perusahaan diwajibkan untuk melaporkan penerapan GCG kepada publik sebagai transparansi penjagaan kepentingan publik. Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 11/33/PBI/200 tanggal 7 Desember 2009 dan Surat Edaran (SE) BI No.12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah terutama Pasal 62 dan Pasal 63 mengenai kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan pelaksanaan GCG kepada BI dan stakeholder lainnya. Good Corporate Governance Corporate governance (CG) merupakan elemen vital dalam operasional perusahaan dalam meningkatkan kepercayaan publik16. Isu CG menjadi keniscayaan sejak terjadinya tuntutan publik terhadap manajemen karena berbagai skandal bisnis yang terjadi seperti Enron dan Woldcom pada tahun 200217. Ini terjadi karena wujudnya asymmetric information antara principal dan agent, atau yang lebih dikenal dengan agency problem dalam agency theory18. Agency problem tersebut terjadi karena faktor adverse 14 Abdul Razzaq A.Alaro, “Sharia Supervision as a Challenge for Islamic Banking in Niberia”.Islamic Law and Jurisprudence (2009), 53-72, 12 15 Pramono, “Corporate”,14 16 OECD Principles of Corporate Governance. Paris: OECD, 2004, 46 17 M.Umer Chapra and Habib Ahmed, “Corporate Governance in Islamic Financial Institution”. Document Periodique No. 6 (2002), 40; Pramono, “Corporate”,4 18 Oliver Hart, “Corporate Governance: Some Theory and Implications”.JSTOR. The Economic Journal, 678-689 (2005), 678; Andrei Shleifer and Robert W. Vishny, A Survey of Corporate Governance. The Journal of Finance, Vol. LII (No.2), 737-783, 740; Ahmed, “Corporate”, 40

226 Bisnis dan Agama selection dan moral hazard. Hubungan principal-agent ini menjelaskan bahwa konsep CG yang dibentuk adalah dalam rangka memenuhi kepentingan pemegang saham, atau yang disebut shareholder based CG. Artinya, esensi CG ini merupakan mekanisme insentif bagi manajer untuk menjaga dan memaksimalkan kepentingan pemegang saham19. Dalam substansi yang lebih luas, CG merupakan serangkaian mekanisme untuk menjaga kepentingan pihak investor luar dari tindakan pihak internal20. Belakangan, mulai ada pergeseran mekanisme CG yang lebih komprehensif, tidak lagi menjadikan pemegang saham sebagai fokus utama. Keputusan bisnis manajer dan kinerja perusahaan tidak hanya memberikan manfaat kepada pemegang saham tetapi juga memberikan eksternalitas bagi stakeholder lainnya. Meskipun stakeholder tidak memiliki kontrak tertulis dengan perusahaan, tetapi ikut menanggung eksternalitas seperti polusi, berkurangnya manfaat lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu, stakeholder dianggap pihak yang harus menjadi focus dalam implementasi CG. Perhatian ini selanjutnya melahirkan konsep CG yang dikenal dengan stakeholder based CG. Ada peralihan dari shareholder based CG ke stakeholder based CG21. Hal ini kemudian diadopsi oleh OECD yang mendefenisikan CG sebagai kerangka hubungan dan interaksi antara manajemen, direksi, pemegang saham dan seluruh stakeholder dalam melakukan pencapaian dan monitoring terhadap tujuan perusahaan22. Pergeseran ini juga terlihat dari teori Barat tentang CG. Terdapat 2 (dua) model pengembangan CG di Barat yaitu Anglo-American model yang lebih menekankan perhatian CG terhadap pemegang saham, dan Franco-German model yang menekankan implementasi CG bukan hanya pada pemegang saham tetapi juga kepentingan stakeholder lainnya23.

19 Asyraf Wajdi Dusuki, “Corporate Governance and Stakeholder Management: an Islamic Perspectives”. II CiBF (1-22). Kuala Lumpur: KEMNSIIUM, 2007,2 20 Ahmed, “Corporate” 13 21 Dusuki, “Corporate”,2 22 “OECD”,12 23 Ahmed, “Corporate”,14

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 227 Syariah Compliance: CG dalam Perspektif Islam Isu CG dalam Islam bukanlah hal yang asing. Nilai CG seperti tanggung jawab, transparansi,independensi, keadilan, disiplin, professional, kepedulian adalah nilai yang sudah terintegrasi dengan akhlak Islam dan seorang muslim dalam aktifitasnya24. Pemenuhan prinsip syariah merupakan elemen vital yang membedakan ekonomi Islam dengan konvensional. Dalam konteks CG dalam perspektif syariah, pemenuhan prinsip syariah menjadikan konsep CG yang lebih luas dari CG konvensional. Dalam Islam, kepentingan utama yang lebih utama adalah penjagaan Islam itu sendiri. Dengan kata lain, konsep CG dalam Islam lebih komprehensif dari Franco-German model. Beragamnya stakeholder menimbulkan banyak kepentingan. Dalam konteks CG, pemenuhan berbagai kepentingan ini akan menimbulkan trade-off antar kepentingan25. Fokus terhadap bottom-line bagi pemegang saham akan menimbulkan pengurangan terhadap kepentingan stakeholder lainnya seperti karyawan, lingkungan, masyarakat public, dan sebagainya. Untuk itu, dalam Islam dikenal prinsip maslahah. Imam Alghazali memperkenalkan prinsip maslahah atau yang dikenal dengan maqasid syariah, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. AlSyatibi memperkenalkan hirarki maslahah menjadi dharuriyyat, haajiyyat dan tahsiniyyat. Hirarki ini menunjukkan skala proritas pemenuhannya26. Dalam tataran teknis, Chapra melakukan mapping terhadap key player CG dalam lembaga keuangan syariah menjadi 4 kelompok yaitu (i) lingkungan yang meliputi sistem ekonomi, keuangan dan hukum secara keseluruhan, pemerintah (hukum dan regulasi untuk LKS, dan system akuntansi; (ii) institusi public yang meliputi pengawas dan asosiasi perbankan; (iii) perusahaan yang meliputi pemegang saham, dewan direksi, manajemen senior, audit internal, karyawan dan DPS; dan (iv) lainnya 24 Dusuki, “Corporate”,9 25 R. Edward Freeman and John Mc Vea, “A Stakeholder Approach to Strategic Management”. Darden Business School Working Paper No. 01-02 (2001), 11 26 Dusuki, “Corporate”,16

228 Bisnis dan Agama yang meliputi deposan, auditor eksternal dan auditor syariah27. Kerangka hubungan diantara para stakeholder atau pemain kunci dalam CG tersebut adalah sebagai berikut. Gambar 1 Hubungan Pemain Kunci dalam Corporate Governance di Lembaga Keuangan Syari’ah

Sumber: (Ahmed, 2002)

Algoud dan Lewis (1999; yang dikutip (Pramono S., 2007)28 meng­ usulkan model struktur CG di Bank Syariah yang terdiri dari external regulatory system dan internal regulatory system yang ditopang oleh internal control system. Banaga, dkk. (1994; yang dikutip (Pramono S., 27 Ahmed, “Corporate”,16 28 Pramono, “Corporate”,8

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 229 2007)29 mengajukan kerangka struktur CG dengan mengkombinasikan CG dengan corporate culture dan executive management. Kombinasi 3 elemen CG (external regulatory system dan internal regulatory system yang ditopang oleh internal control system) dengan 3 elemen budaya perusahaan (domination coalition, corporate culture in spirit of Islam dan external environment) akan membentuk kerangka sharia governance. Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah pihak yang memastikan dan mengawasi kesesuaian operasional dan produk bank terhadap prinsip syariah (Skully, 2011) yang termaktub dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) (PBI No. 6/24/PBI/2004). Calon anggota DPS diajukan oleh bank syariah untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan penetapan dari DSN. Bank syariah wajib memiliki DPS minimal 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Di Indonesia, setidaknya DPS memiliki 3 peran penting dalam pemenuhan prinsip syariah di bank, yaitu (i) sebagai konselor dan penasehat bagi dewan direksi dan manajemen terkait pemenuhan prinsip syariah; (ii) sebagai mediator antara manajemen dengan Dewan Syariah Nasional terkait fatwa terhadap produk dan jasa yang diusulkan oleh bank syariah; dan (iii) sebagai representative dari Dewan Syariah Nasional terkait implementasi fatwa-fatwa DSN30. Menurut Rifat Abdul Karim31, terdapat 3 (tiga) model keberadaan organisasi DPS di Lembaga Keuangan Syariah, yaitu (i) advisor model, DPS bertindak sebagai advisor dan bekerja secara part time dan dating ke bank jika dibutuhkan; (ii) supervisor model, DPS berfungsi sebagai pengawas yang melakukan diskusi rutin dengan manajemen terkait pemenuhan prinsip dalam produk, jasa dan operasional; dan (iii) sharia 29 Ibid. 30 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet, 2005 31 Noven Suprayogi, “The Internal Shari’a Supervision Activities in Islamic Bank: A Case Study at BPRS Bhakti Makmur Sidoarjo, Indonesia”. IIC BiF (1-11). Kuala Lumpur: CERT,2007,4

230 Bisnis dan Agama department model, organisasi DPS yang berbentuk departemen khusus yang bekerja secara full time dan dibantu oleh staf dalam melakukan pengawasan dibawah pengawasan seorang ahli. Bank Syariah di Indonesia Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan bank syariah pertama yang berdiri di Indonesia pada tahun 1991 dan beroperasi tahun 1992. Regulasi yang ada saat itu adalah UU No. 7 tahun 1992 yang memungkinkan Indonesia menjalankan system perbankan dengan dual banking system. Enam tahun kemudian lahir UU No. 10/1998. Regulasi terakhir yang mengatur bank syariah adalah UU No. 21/2008. Perkembangan bank syariah dalam 5 tahun terakhir mencapai rata-rata mencapai 46.32%. Menurut data Statistik Perbankan Syariah per September 2011, telah berdiri 11 BUS, 23 UUS dan 154 BPRS dengan jumlah jaringan kantor mencapai 2.011 kantor. Total asset dan DPK yang dimiliki mencapai masing-masing lebih dari 123 milyar rupiah dan 97 milyar rupiah32. Berdasarkan survei Index Islamic Finance, dari 36 negara yang disurvei dalam Islamic Finance Country, Indonesia berada di peringkat 4, di bawah Iran, Malaysia, dan Saudi Arabia. Bahkan, Indonesia di atas Bahrain dan Inggris33. Metodologi Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia. Data yang digunakan adalah faktor tugas dan tanggung jawab DPS dan Pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa yang merupakan bagian dari Laporan Publikasi GCG yang diterbitkan pada tahun 2010 dan tersedia di media web BUS bersangkutan. Sample BUS tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri 32 BI. Statistik,6 33 Hadi Suprapto dan Harwanto Bimo Pratomo, “Bisnis Syariah, Indonesia Peringkat 4 Dunia (16 November 2011). Retrieved November 28, 2011, from vivanews.com: us.bisnis. news.viva.co.id.

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 231 (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Pengambilan sampel ini didasarkan pada jumlah asset dan lama beroperasi yang relative sama34. Analisis yang digunakan dalam menggambarkan pengungkapan pelaksanaan prinsip syariah adalah analisis konten (content analysis) yang telah dikembangkan oleh (Hudaib, 2004)35 dengan mengkombinasikan analisis yang dikembangkan oleh Guthrie and Parker, 1989, 1990; Gray et al., 1995a; Haniffa, 1999) dan Baydoun and Willett (2000), Haniffa and Hudaib (2002) and Haniffa (2002). Instrumen penelitian yang digunakan adalah (i) faktor tugas dan tanggung jawab DPS dan (ii) Pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa yang merupakan bagian dari Laporan Publikasi GCG yang diwajibkan oleh Bank Indonesia berdasarkan PBI No.11/33/PBI/2009 dan Surat Edaran (SE) BI No.12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ceklist intrumen faktor pertama diolah dari ceklist pengungkapan yang dikembangkan oleh (Hudaib, 2004) dan aspek yang tercantum dalam PBI No.11/33/PBI/2009, Bagian Keempat tentang Dewan Pengawas Syariah,pasal 44 sampai 51. Sedangkan untuk faktor kedua diolah dari ceklist pengungkapan yang dikembangkan oleh (Hudaib, 2004) dan aspek yang tercantum dalam PBI No.11/33/PBI/2009, Bagian Kedelapan tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa,pasal 59. Pengukuran yang dilakukan terhadap ceklist instrumen adalah Disclosure Index (DI) dan Disclosure Length (DL). Skor pengukuran yang digunakan adalah 1 jika diungkapkan (di-disclose) dan 0 jika tidak diungkapkan. Untuk pengukuran DI menggunakan formula: 34 Berdasarkan data statistic Bank Indonesia per September 2011, terdapat 11 BUS .8 (delapan) BUS merupakan bank umum yang relatif baru beroperasi di banding 3 BUS yang dijadikan sampel. Jumlah sample yang digunakan adalah 27.3%. 35 Roszaini Haniffa and Mohammad Hudaib, “Disclosure Practices of Islamic Financial Institutions: An Exploratory Study”.Accounting, Commerce & Finance. The Islamic Perspective International Conference V (Brisbane, Australia, 2004), 1-30, 8.

232 Bisnis dan Agama

DIj =

n Σ i j Xij nj

Keterangan: DIj = disclosure index nj = jumlah item yang seharusnya di-disclose Xij = “1” jika diungkapkan dan “0” jika tidak diungkapkan 0 ≤ 1j ≤ 1

Sedangkan DL diukur dengan jumlah kumulatif kata yang ada dalam setiap kalimat pengungkapan tiap factor, selanjutnya nilai dihitung dengan menggunakan formula yang sama dengan DI. Selanjutnya setiap BUS akan dirangking berdasarkan gabungan perhitungan DI dan DL. Hasil dan Analisis Pengungkapan Tugas dan Tanggung Jawab DPS Merujuk PBI No.11/33/PBI/2009 dan Surat Edaran (SE) BI No.12/13/ DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan item pengungkapan yang dilakukan oleh (Hudaib, 2004), diringkaskan 16 item yang setidaknya harus diungkapan oleh BUS/UUS terkait Tugas dan Tanggung Jawab DPS, yaitu: 1. Nama struktur DPS 2. CV DPS 3. Foto struktur DPS 4. Jumlah, kriteria dan rangkap jabatan sesuai ketentuan BI 5. Usulan pengangkatan DPS oleh RUPS dan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi 6. Masa jabatan DPS 7. Tugas dan tanggung jawab DPS 8. Patuh terhadap periode penyampaian Laporan 9. Waktu penyampaian laporan 10. Penyediaan waktu untuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab 11. Jumlah rapat

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 233 12. 13. 14. 15. 16.

Risalah rapat Pengungkapan rangkap jabatan Patuh terhadap larangan pemanfaatan BUS untuk pribadi Pengungkapan nilai remunerasi, dan Patuh terhadap larangan sebagai konsultan dalam saat bersamaan

Berdasarkan perhitungan dengan formula DI untuk pengungkapan tugas dan tanggung jawab DPS, diperoleh data bahwa BSMI mengungkapkan dalam Laporan GCG sebanyak 14 item (88%),lebih banyak dan tinggi dari pengungkapan BMI sebanyak 10 item (63%) dan BSM sebanyak 9 item (56%). Item yang tidak diungkapkan adalah terkait (i) masa jabatan DPS; (ii) penyediaan waktu [khusus] untuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab; (iii) pengungkapan risalah rapat; (iv) larangan terhadap pemanfaatan BUS untuk kepentingan pribadi dan (vi) larangan terhadap rangkap sebagai konsultan. Ketiga BUS tidak mengungkapkan foto dari DPS. Hal ini bias dimaklumi karena sudah dimuat dalam Laporan Tahunan secara keseluruhan. Tidak diungkapnya tentang masa jabatan DPS lebih disebabkan karena belum ada aturan regulasi yang mengatur baik Surat Edaran, PBI dan UU. Realita ini mengisyaratkan wujudnya masalah keterbatasan SDM yang memadai. Dalam perspektif pengawasan, ini menjadi suatu kekurangan karena DPS dituntut untuk bersikap independen. Tidak terbatasnya masa jabatan akan mengurangi independensi dari DPS. Kondisi ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suprayogi, 2007) yang menyatakan bahwa DPS di Indonesia lebih memposisikan diri sebagai tempat manajemen melakukan konsultansi dan fungsi pengawasan belum berjalan dengan memadai. Idealnya, fungsi DPS bias dianalogikan dengan eksternal auditor yang mempunyai regulasi terkait masa audit yang dibatasi pada 3 tahun laporan keuangan untuk menjaga independensi. Penyediaan waktu khusus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS menjadi tantangan lain terhadap peran DPS. Belum ditemukan aturan atau kebijakan dari bank syariah yang mewajibkan DPS untuk menyediakan

234 Bisnis dan Agama waktu khusus secara regular. Pelaksanaan tugas ini menjadi semakin tidak maksimal karena banyak rangkap jabatan diantara DPS, meskipun regulasi membolehkan di 4 LKS secara bersamaan dengan ketentuan 2 bank syariah dan lainnya di institusi LKS non bank. Hanya BSMI yang menyebutkan secara tekstual bahwa DPS sudah menyediakan waktu yang cukup tetapi tidak disebutkan secara detil. Perlakuan pengungkapan yang sama terhadap larangan pemanfaatan BUS untuk kepentingan pribadi dan rangkap sebagai konsultan. Untuk perhitungan DL, pengungkapan yang dilakukan oleh BSM sebesar 38% (1.180 kata) lebih panjang dibanding BSMI dengan 35% (1.064 kata) dan BMI dengan 27% (838 kata). Pengungkapan paling banyak yang dilakukan BSM adalah terkait CV DPS dengan 244 kata; tugas dan tanggung jawab DPS dengan 488 kata, kepatuhan terhadap penyampaian laporan ke BI dengan 150 kata dan pengungkapan nilai remunerasi dengan 111 kata. Terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS, BSM menunjuk seorang sekretaris DPS untuk membantu kerja DPS dengan latar belakang keilmuan dan kapabilitas dan sejalan. Terdapat5 item yang hanya diungkap dengan tegas oleh BSMI yaitu (i) masa jabatan DPS; (ii) penyediaan waktu [khusus] untuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab; (iii) pengungkapan risalah rapat; (iv) larangan terhadap pemanfaatan BUS untuk kepentingan pribadi dan (vi) larangan terhadap rangkap sebagai konsultan. Pengungkapan ini terlihat dari kertas kerja assessment item DPS yang dilampirkan dalam Laporan GCG. Pengungkapan ini juga masih bersifat umum. Seperti dalam hal masa jabatan DPS, BSMI mengungkapan: “Masa jabatan anggota DPS belum diatur di dalam Anggaran Dasar Perusahaan, namun akan diatur dalam perubahan Anggaran Dasar Perusahaan tahun 2011 melalui persetujuan RUPS tahun 2011” (Laporan Pelaksanaan GCG 2010) Terkait risalah rapat DPS, BSMI juga mengungkapkan semua jenis rapat yang dilakukan oleh DPS dan kehadiran DPS dalam rapat-rapat tersebut.

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 235 Terkait pelaksanaan tugas DPS, BMI yang telah mengungkapkan dalam Laporan GCG tentang kebijakan adanya perpanjangantanganan pelaksanaan tugas DPS melalui divisi khusus yang disebut dengan Sharia Compliance Department (ShCDep) yang beranggota 4 (empat) orang dan memiliki kompetensi syariah serta dilengkapi job description yang jelas. ShCDep berada dibawah direktur kepatuhan dan manajemen resiko yang berfungsi sebagai Laison Officer antara DPS dan divisi/unit bisnis di BMI dengan menyampaikan laporan setiap 2 (dua) bulan sekali dan melakukan sharing information mengenai hasil opini DPS setiap semester. Selain itu juga ikut serta dalam rapat Komite Pembiayaan dan berkoordinasi dengan Internal Audit Department. Sedangkan BSM dan BSMI belum mengungkapkan kebijakan yang sama. Praktek ini sesuai dengan usulan penelitian dari (Pramono S. , 2007; Suprayogi, 2007)36 yang menegaskan kebutuhan terhadap Internal Syariah Review (ISR) atau penguatan staf Internal Audit untuk ikut menjalankan fungsi pengawasan syariah dan berkoordinasi dengan DPS. Selain itu, fungsi ini akan melengkapi fungsi ex-post audit selain ex-ante audit, yang belum dilakukan secara maksimal di bank-bank syariah37. Pengungkapan Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Dalam PBI PBI No.11/33/PBI/2009 dan Surat Edaran (SE) BI No.12/13/ DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disebutkan bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dan dan penyaluran dana serta pelayanan jasa merujuk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalamKegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa dan Surat Edaran (SE) BI No. No. 10/ 14 / DPbS 36 Pramono, “Corporate”, 8; Suprayogi, “TheInternal”, 10 37 Hudaib, “Disclosure”, 19

236 Bisnis dan Agama tanggal 17 Maret 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa. Berdasarkan perhitungan Disclosure Index (DI) terhadap item pengungkapan Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa, diketahui bahwa hanya BSM yang tidak mengungkapkan ini dalam Laporan GCG secara tegas dan tidak ditemukan poin-poin tertang hal tersebut. Sedangkan dalam Disclosure Length (DL), BSMI lebih banyak mengungkapkan dibanding dengan BMI dengan masing-masing sebanyak 623 kata (60%) dan 419 kata (40%). Pengungkapan yang dilakukan BSMI disertai dengan lampiran kertas kerja assessment terhadap poin ini. Berdasarkan self assessment tersebut dijelaskan bahwa peringkat yang diperoleh BSMI terkait pelaksanaan prinsip syariah ini adalah peringkat 2 dengan catatan sebagai berikut: “Secara umum produk-produk yang dimiliki telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI dan telah mendapat persetujuan dari DPS. Adapaun dalam pelaksanaan produk yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk hal: (i) teknik penyampaian secara syariah kepada nasabah; (ii) bukti-bukti terkait aspek syariah atas underlying transaction; (iii) pemeriksaan secara rutin terkait pelaksanaan syariah; dan (iv) mindset dan pemahamansyariah pelaksana masih harus ditingkatkan” (Laporan Pelaksanaan GCG 2010). Berdasarkan hasil penghitungan DI dan DL terhadap sampel BUS (BMI, BSM dan BSMI dapat diperoleh ranking pengungkapan pelaksanaan prinsip syariah sebagaimana dalam table berikut: No I

Item Pengungkapan Tugas dan Tanggung Jawab DPS

BMI DI DL (rank) (rank) 0.63 0.27 (2) (3)

BSM DI DL (rank) (rank) 0.56 0.38 (3) (1)

BSMI DI DL (rank) (rank) 0.88 0.35 (1) (2)

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 237

No II

Item Pengungkapan Pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan funding, financing dan services Total Ranking

BMI DI DL (rank) (rank) 1.00 0.40 (1) (2)

BSM DI DL (rank) (rank) 0.00 0.00 (3) (3)

BSMI DI DL (rank) (rank) 1.00 0.60 (1) (1)

0.65 (2)

0.53 (3)

0.88 (1)

0.30 (2)

0.29 (3)

0.41 (1)

Dari table diatas, dapat diketahui bahwa dalam item pengungkapan tugas dan tanggung jawab DPS, BSMI memperoleh disclosure index (DI) paling tinggi dengan 88% tetapi untuk panjangnya pengungkapan (disclosure length/DL) di diperoleh oleh BSM dengan 38%. Sedangkan dalam item pengungkapan Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa, untuk indeks pengungkapan (DI), BSMI dan BMI sama-sama mengungkapkannya dan BSM tidak mengungkapkan hal tersebut dalam Laporan Pelaksanaan GCG masing-masing bank untuk tahun 2010. Untuk panjangnya kata yang diungkapkan, BSMI mengungkapkan lebih panjang dengan 60% atau 623 kata dibanding BMI dengan 40% (419 kata). Untuk ranking secara keseluruhan untuk pengungkapan pelaksanaan prinsip syariah, BSMI menempati rangking pertama dengan 88% dan 41 %, berikutnya BMI dengan 65% dan 30%; dan BSM dengan 53% dan 29%. Kesimpulan Studi eksplorasi ini dilakukan terhadap 3 BUS yaitu BMI, BSM dan BSMI. Item pengungkapan yang diungkap adalah kombinasi item pelaksanaan prinsip syariah yang terdapat dalam PBI PBI No.11/33/ PBI/2009 dan Surat Edaran (SE) BI No.12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan item pengungkapan aspek syariah

238 Bisnis dan Agama yang dikembangkan oleh (Hudaib, 2004)38. Melalui analisis konten (content analysis) dengan disclosure index (DI) dan disclosure length (DL) diketahui bahwa BSMI telah mengungkapkan pelaksanaan prinsip syariah yang lebih luas dan panjang dalam Laporan Pelaksanaan GCG 2010. Studi ini menemukan bahwa masing-masing BUS memiliki model yang berbeda dalam pememuhan prinsip syariah. Diantara hal yang krusial adalah tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS. BMI telah membentuk semacam Laison Officer antara DPS dan divisi/unit bisnis di BMI. Fungsi ini merupakan diantara respon atas kritikan terhadap peran DPS yang masih menjalankan fungsi ex-ante auditing. Melalui ShCDept, BMI telah melakukan fungsi DPS terakit ex-post auditing. Selain itu, keberadaan divisi ini merupakan jawaban atas tidak maksimalnya peran DPS karena rangkap jabatan dan penyediaan waktu yang minim dalam memastikan kesesuaian produk dan operasional bank syariah dengan prinsip syariah dalam fatwa-fatwa DSN-MUI. Temuan lainnya adalah bahwa belum adanya aturan tentang masa jabatan DPS. Hal ini terkait dengan penjagaan sikap independensi DPS dalam melakukan pengawasan. Setidaknya masa jabatan ini bias dianalogikan dengan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang juga memiliki fungsi pengawasan. Daftar Pustaka Ahmed, M. U. (2002). Corporate Governance in Islamic Financial Institution. Document Periodique No. 6 , pp. 1-170. Alaro, A. R. (2009). Sharia Supervision as a Challenge for Islamic Banking in Niberia. Islamic Law and Jurisprudence , 53-72. Arifin, Z. (2005). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah.Jakarta: Alvabet. BI. (2011). Statistik Perbankan Syariah per September 2011.Jakarta: Bank Indonesia. Dusuki, A. W. (2007). Corporate Governance and Stakeholder Management: an Islamic Perspectives. IICiBF (pp. 1-22). Kuala Lumpur: KEMNS IIUM. Hadi Suprapto, H. B. (2011, November 16). Bisnis Syariah, Indonesia Peringkat 4 Dunia. Retrieved November 28, 2011, from vivanews.com: http://bisnis.vivanews. com 38 Hudaib, “Disclosure”, 8

Pengungkapan Penerapan Prinsip Syariah 239 Hart, O. (1995). Corporate Governance: Some Theory and Implications. JSTOR: The Economic Journal , 678-689. Hudaib, R. H. (2004). Disclosure Practices of Islamic Financial Institutions:An Exploratory Study. Accounting, Commerce & Finance: The Islamic Perspective International Conference V, (pp. 1-30). Brisbane, AUSTRALIA. Ilias, S. (2010). Islamic Finance:Overview and Policy Concern. US: Congressional Research Service. Iqbal, M. H. (2010). Islamic Financing and Business Framework: A Survey. European Journal of Social Sciences, 15 (4), 1-18. Khan, M. F. (2007). Setting standards for Shariah application in the Islamic financial industry. Thunderbird International Business Review, Volume 49 (Issue 3), 285-307. Kpodar, P. I. (2010, August). Islamic Banking: How Has it Diffused? (V. Kramarenko, Ed.) IMF Working Paper African Department , pp. 1-30. Malik, M. S., Malik, A., & Mustafa, W. (n.d.). Controversies that make Islamic banking controversial: An analysis of issues and challenges. American Journal of Social and Management Sciences . McVea, R. E. (2001). A Stakeholder Approach to Strategic Management. Darden Business School Working Paper No. 01-02 , pp. 1-32. Nelson, B. (2007). Growth and Diversification in Islamic Finance. United Kingdom: KPMG. OECD. (2004). OECD Principles of Corporate Governance. Paris: OECD. Pramono, F. A. (2007). Governance Committee and Governance Model in Islamic Banks: How will it Resolve the Problem of Information Asymmetry? IICiBF, (pp. 1-18). Kuala Lumpur. Pramono, S. (2007). Corporate Governance Mechanism and Internal Shariah Review (ISR) in Islamic Banks: Critical Issues and the Role Gap of Shariah Supervisory Board (SSB). Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 1 (1), 1-19. Rahman, A. R. (2008). Shariah Audit for Islamic Financial Services: The Needs and Challenges. ISRA Islamic Finance Seminar (IIFS) (pp. 1-14). Kuala Lumpur: ISRA. Rahman, S. (n.d.). Islamic Accounting Standards. Retrieved from www.jps-dir. com: http://www.jps-dir.com/Forum/forum_post.asp?TID=957 Rosly, S. A. (2011). Shariah parameters reconsidered. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Vol. 3 (Issue 2), 132-146. Suprayogi, N. (2007). The Internal Shari’a Supervision Activities in Islamic Bank: A Case Study at BPRS Bhakti Makmur Sidoarjo, Indonesia. IICBiF (pp. 1-11). Kuala Lumpur: CERT. Syafei, A. W. (2005, April). The Responsibility and Independence of Shariah Advisors and the Shariah Review Process ini Indonesia Islamic Banks. Master Degree Thesis . Malaysia: IIUM. Vishny, A. S. (1997, June). A Survey of Corporate Governance. The Journal of Finance, Vol. LII (No. 2), pp. 737-783 Willet, N. B. (2000). Islamic Corporate Reports. ABACUS, Vol. 36 (No. 1), 1.

10 PERSPEKTIF GEREJA KATOLIK TENTANG IKLAN YANG ETIS DALAM BISNIS Yeremias Yena

Abstract Advertisement used effectively as a medium of marketing goods and services. In contrast to the initial appearance where the ad was almost brought a single character, namely to inform the availability of necessary goods and services needed, advertising nowadays prefer to create new needs. Its finality was eventually reduced to advertising as a means of expanding the market through the creation of new needs to the point of infinity. Through the power of teaching, the Catholic Church reminds us to create ads that ethicaly responsible for educating the consumers to the rationality and freedom to buy the good and services. In these two aspects – designing ethical ads and the obligation to teach people to be rational – that stand the urgency of this paper. Key words: ethics, advertising, business, communications media, freedom, rationality, the Catholic Church.

Pendahuluan Sebagai sarana pemasaran, iklan nyaris menguasai media massa. Iklan adalah teknik dan sarana penting dalam memasarkan barang dan jasa. Kita * Yeremias Jena, M. Hum, M.Sc, Staf Departemen Etika, Fakultas Kedokteran, dan peneliti pada Pusat Pengembangan Etika (PPE), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Email: [email protected]

242 Bisnis dan Agama menyimak atau mendengar iklan di televisi dan radio, membacanya di reklame di jalan-jalan kota, di surat kabar dan majalah, di website, blog, dan berbagai media sosial. Produk yang diiklankan pun beragam, mulai dari minuman dingin, minuman hangat, hingga minuman penambah tenaga. Belum termasuk berbagai shampoo, deterjen, pewangi, aneka pakaian, body lotion, pemutih kulit, hingga rumah, apartemen, biro perjanalan, biro jodoh, obat-obatan, makanan, dan sebagainya. Benarlah apa yang dikatakan Mark Barhtolomew, bahwa iklan sedang menguasai hidup kita. Iklan sanggup mengeksplorasi dan memanfaatkan emosi kita untuk membeli suatu barang dan jasa. Keinginan akan hidup yang aman dimanfaatkan untuk menawarkan rumah yang aman. Keinginan untuk memiliki lebih banyak teman berubah menjadi pembelian mobil merek terkenal, gadget baru, dan sebagainya. Iklan sanggup menjual segala sesuatu dan mampu mengubah keinginan manusia menjadi kebutuhan. Lebih dahsyat lagi, iklan membentuk identitas sosial dengan sengaja melupakan pentingnya konstruksi identitas diri.1 Tanpa kita sadari, iklan ternyata sungguh-sungguh ditampilkan sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi sebagian besar hidup kita, terutama berhubungan dengan upaya mendapatkan barang dan jasa pemuas kebutuhan. Apalagi iklan-iklan tersebut disiarkan lewat media radio atau ditayangkan lewat layar televisi.2 Keadaan semacam ini yang membuat kita tidak hanya tidak sadar bahwa iklan sedang “menjajah” kita, tetapi juga tidak peka terhadap kenyataan bahwa iklan sedang menggerogoti nilai-nilai moral dan agama yang selama ini kita junjung tinggi. Celakanya, 1 Jika pembentukan identitas diri ditandai oleh otonomi moral dan kebebasan untuk menghendaki tindakan moral, identitas sosial yang dikonstruksi iklan menghasilkan budaya massa yang dikendalikan oleh kepentingan yang sama akan barang dan jasa yang ditawarkan serta identifikasi diri pada barang dan jasa tertentu yang ditawarkan sebagai semacam pseudonim. Mark Bartholomew, “Advertising and Social Identity”, Buffalo Law Review 58. 4 (August 18, 2009), 931-976. Available at SSRN: ssrn.com/abstract=1457236 atau dx.doi. org/10.2139/ssrn.1457236. 2 Pada kedua media elektronik (radio dan televisi)plus media-media onlinelah iklan sungguh-sungguh mempengaruhi secara mendalam emosi-emosi kita dan membangkitkan realitas bawah-sadar kita. Pada media radio, ini dilakukan dengan teknik suara yang membangkitkan imajinasi. Sementara pada media televisi, selain suara, juga lewat pesanpesan visual serta ditayangkan sesering mungkin. Steuart Henderson, “Advertising”,dalam Encyclopedia Americana, Vol. 1, 1994, 196, 201.

Perspektif Gereja Katolik 243 reaksi dan kritik terhadap iklan yang menggerogoti nilai dan norma sosial itu dilakukan secara sporadis sehingga tidak mengefek pada perumusan kebijakan publik mengenai iklan yang seharusnya dikendalikan oleh prinsip-prinsip moral. Sebagai agama dengan tradisi etika yang solid dan telah berumur dua ribu tahun, Gereja Katolik memiliki pemahaman yang lengkap dan komprehensif mengenai iklan. Protes Gereja Katolik terhadap iklan tertentu sering menimbulkan tanda tanya, mengapa gereja mau mencampuri urusan duniawi? Bukankah iklan adalah media pemasaran dalam bisnis yang keberhasilannya justru mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia? Sebagai media pemasaran, apakah iklan tidak bernilai positif sama sekali? Jika iklan dipandang sebagai negatif pada dirinya, bukankah itu berarti penolakan terhadap bisnis itu sendiri sebagai kegiatan manusia yang mendatangkan kebaikan?3 Dokumen yang dibahas dalam paper ini menunjukkan dengan jelas betapa Gereja Katolik memiliki pandangan yang sangat positif terhadap iklan. Gereja Katolik justru menaruh harapan besar pada iklan sebagai media penyebar informasi yang dapat mendatangkan kebaikan bagi manusia. Dan ini berangkat dari pandangan positif gereja Katolik tentang bisnis yang etis dan komunikasi bisnis yang menghormati nilai-nilai etika. Kritik yang diajukan gereja Katolik terhadap iklan sebagaimana dideskripsikan dalam paper ini sebenarnya lebih merupakan upaya gereja Katolik mengoreksi iklan dari segi-segi negatifnya sambil berharap bahwa iklan yang etis akan bermanfaat bagi pemajuan kehidupan yang semakin membahagiakan. Paper ini akan mendeskripsikan pandangan Gereja Katolik tentang iklan yang etis. Saya terutama mengacu ke dokumen Gereja Katolik mengenai iklan berjudul Ethics in Advertising yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Social Communications (Komisi Kepausan untuk Komunikasi Sosial) tahun 1997. Untuk itu akan dideskripsikan (1) pengertian iklan dan 3 Baca misalnya kritik Gereja Katolik Inggris dan Irlandia atas promosi aborsi di televisi. The Telegraph, 10 April 2009 dan reaksi pembaca edisi online atas kritik gereja tersebut. Lihat telegraph.co.uk/news/religion/5131341/New-Roman-Catholic-leader-condemns-abortionads-on-TV.html. Accessed 10 April 2012.

244 Bisnis dan Agama kedudukannya dalam komunikasi bisnis; (2) peran iklan dalam beberapa bidang di mana pandangan Gereja Katolik mengenai iklan yang etis dan tidak etis akan dikemukakan; (3) prinsip moral dalam iklan, dan (4) kekuatan rasionalitas dan pola hidup sederhana sebagai jalan keluar bagi konsumerisme. Tulisan ini akan diakhiri oleh sebuah penutup singkat.

Iklan dan Perannya dalam Komunikasi Bisnis Thomas M. Garret, SJ, seorang pastor Katolik dari Serikat Yesus berpendapat bahwa iklan adalah aktivitas komunikasi bisnis yang melaluinya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka agar membeli barang dan jasa yang diproduksi.4 Sebagai kekuatan utama pemasaran barang dan jasa, iklan justru menjadi sarana yang efektif di tangan produsen untuk menstabilkan atau terus meningkatkan penawaran barang dan jasa. Sementara konsumen dengan sendirinya juga membutuhkan iklan, terutama ketika mereka hidup dalam sebuah masyarakat yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, sebuah masyarakat konsumtif dengan tingkat permintaan akan barang dan jasa yang terus meningkat. Philip Kotler menegaskan hal yang kurang lebih sama. Bagi pakar pemasaran ini, iklan merupakan media berbayar yang berisi komunikasi non-personal mengenai produk barang dan jasa tertentu yang dihasilkan produsen. Media berbayar ini umumnya berupa televisi, surat kabar, majalah, poster, radio, film, dan sebagainya dengan sponsornya yang dinyatakan secara jelas identitasnya. Bagi Philip Kotler, pesan iklan dibuat sesederhana mungkin agar mudah ditangkap dan mengedukasi masyarakat, tetapi juga mempengaruhi (persuade) pengambilan keputusan dalam membeli barang dan jasa tertentu.5 4 Thomas M. Garrett, SJ, Some Ethical Problems of Modern Advertising, The Gregorian Univ. Press, Rome, 1961. 1. Bandingkan dengan difinisi yang dikemukakan oleh Henderson Britt berikut, “Advertising is any paid form of nonpersonal presentation and promotion of products, services, or ideas by ani dentifiable individual ororganization.” Steuart Henderson Britt, op. cit., 195. 5 Philip Kotler, Student Study Guide for Principles of Marketing, New Jersey, Pearson Education, 2005.590.

Perspektif Gereja Katolik 245 Berdasarkan peran yang dimainkan iklan dalam memperkenalkan produk barang dan jasa kepada publik, iklan dapat dikategorikan menjadi iklan informatif, iklan persuasif, dan iklan kompetitif. Ketiga peran iklan ini dapat diuraikan lebih lanjut. Pertama, iklan informatifbertujuan untuk menginformasikan secara objektif kepada konsumen kualitas dari barang tertentu yang diproduksi, nilai-lebih barang tersebut, fungsi-fungsinya, harga serta tingkat kelangkaannya. Kedua, iklan persuasif atau sugestif tidak sekadar menginformasikan secara objektif barang dan jasa yang tersedia, tetapi menciptakan kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa yang diiklankan. Jika yang hendak dicapai oleh iklan informatif adalah bagaimana masyarakat bisa memenuni kebutuhannya, maka pada iklan persuasif justru kebutuhan akan barang dan jasa itu sendiri yang hendak diciptakan. Demi mencapai tujuan ini, tidak jarang jenis iklan persuasif mengutamakan unsur-unsur perasaan dan bersifat irasional, karena pesanpesannya sungguh-sungguh menggerakkan perasaan, imajinasi, serta realitas bawah-sadar manusia. Ketiga, iklan kompetitif yang meskipun meliputi juga iklan informatif dan persuasif, lebih dimaksud untuk mempertahankan serta memproteksi secara kompetitif kedudukan produsen di hadapan pelaku produksi lainnya. Masyarakat kemudian diharapkan memiliki semacam tingkat “kesetiaan” yang relatif tinggi dan tetap selaku pemakai barang dan jasa yang dihasilkan oleh satu pelaku produksi tertentu saja.6 Debat seputar etis tidaknya iklan umumnya berkisar pada hilangnya dimensi informatif atau aspek pendidikan yang diemban iklan sebagaimana dimaksudkan Philip Kotler dan pereduksian iklan kepada semata-mata media persuasi dan sugesti. Sebagaimana dikatakan Christina Slade, iklan ditampilkan sebegitu rupa sehingga tersisa hanya satu tujuan akhir yang hendak dicapai, yakni keputusan masyarakat membeli barang dan jasa yang 6 Thomas M. Garrett, SJ., op. cit, 10. Bdk Steuart Henderson Britt, op. cit., 195. Lihat juga Mark Bartholomew, “Advertising and Social Identity”, Buffalo Law Review 58. 4 (August 18, 2009), 941-944. Available at SSRN: ssrn.com/abstract=1457236ordx.doi.org/10.2139/ ssrn.1457236.

246 Bisnis dan Agama ditawarkan. “The business of advertisers in turn is to sell their message. The implicit message of every advertisement is a call for action from those it is directed to. Usually it is a call to buy ... .”7 Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung pada setiap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan.8 Dokumen Gereja Katolik mengenai iklan yang kami acu dalam penulisan paper ini jelas memiliki pemahaman yang holistik mengenai iklan, dalam arti mengakomodasi ketiga peran iklan sebagaimana dikemukakan di atas. Kajian dokumen yang diberi judul Ethics in Advertising (EA) ini pun sangat berimbang, karena mengapresiasi terlebih dahulu peran positif iklan sebelum mengemukakan catatan kritis dan komentar pedas seputar pereduksian iklan semata-mata sebagai media pencipta kebutuhan manusia. Kalau kemudian iklan diapresiasi secara positif, itu karena menurut EA, iklan memainkan peran informasi yang dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi umat manusia. Iklan adalah media yang efektif dalam menyampaikan pesan dan kabar baik, sama seperti fungsi media massa pada umumnya. Dalam arti ini, Gereja Katolik memiliki pandangan yang sangat positif mengenai media massa sebagai “anugerah Allah” yang harus digunakan manusia untuk menyebarkan informasi demi mencapai kebaikan bersama. Demikianlah, iklan sebagai bagian dari media massa seharusnya digunakan sebagai sarana untuk menyebarluaskan informasi yang dibutuhkan demi pembangunan kemanusiaan yang lebih baik. Dalam arti ini kita bisa mengerti mengapa Gereja Katolik berkepentingan menyampaikan refleksinya mengenai iklan. Pertama, iklan memainkan peranan penting sebagai media penyampaian informasi demi kebaikan bersama. Dalam arti itu, iklan seharusnya dapat menjadi 7 Christina Slade, “Reasonto Buy: The Logic of Advertisement”, Argumentation 16, 2002, 157. 8 Steuart Henderson Britt, op. cit., 195.

Perspektif Gereja Katolik 247 alat untuk semakin mengenal Tuhan dan mengasihi manusia. Kedua, dengan mengemukakan nilai-nilai etika dalam iklan, Gereja Katolik hendak mengajarkan dan membangkitkan kesadaran publik, bahwa hanya iklan yang etislah yang sanggup menjadi sarana bagi pencapaian kebaikan bersama itu. Ketiga, karena Gereja Katolik tidak memiliki otoritas legislasi dalam artian merumuskan undang-undang atau peraturan mengenai iklan yang etis, maka ajaran-ajarannya diharapkan dapat menjadi sumber moral bagi politisi Katolik dan siapa saja yang berkehendak baik untuk memperjuangkan kebijakan publik mengenai iklan yang etis dan bermoral. Apa ajaran spesifik dari EA mengenai iklan? Uraian berikut akan menjawab pertanyaan ini. Uraian akan difokuskan pada empat bidang yang mendapat keuntungan langsung dari iklan, yakni bidang ekonomi, politis, kultural, serta moral dan agama. Peran Iklan Mengikuti dokumen yang dikeluarkan oleh komisi kepausan bidang komunikasi sosial mengenai etika dalam iklan (Ethics in Advertising/EA),9 paling kurang ada empat manfaat iklan, yakni manfaat di dalam bidang ekonomi, politik, kultural dan agama, serta moral. Penjelasan terhadap keempat manfaat iklan tersebut sekaligus menegaskan peran iklan dalam bisnis. Bidang ekonomi Dalam kerangka tindakan ekonomi secara luas, iklan merupakan sebuah jaringan kerja yang amat kompleks karena melibatkan produsen (pemasang iklan), pembuat iklan (advertiser), agen-agen, media iklan, para peneliti, pemerintah, dan masyarakat umum. Karena itu, manfaat iklan di bidang 9 Dokumen ini diterbitkan oleh Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial (Pontifical Council for Social Communications) tahun 1997. Dewan Kepausan yang menangani komunikasi sosial memandang perlunya mendidik publik agar memiliki kesadaran moral tentang pentingnya mempraktikkan komunikasi sosial yang etis, karena komunikasi sosial dapat menjadi media yang efektif tidak hanya untuk menciptakan kebaikan bersama, tetapi mendekatkan manusia kepada Tuhan Sang Pencipta. Edisi online dokumen: vatican.va/roman_ curia/ pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_22021997_ethics-in-ad_en.html.

248 Bisnis dan Agama ekonomi juga berpengaruh secara langsung terhadap para pelaku ekonomi itu sendiri. Menurut dokumen EA, iklan memampukan perusahaan-perusahaan untuk menjual lebih banyak dan efektif produk-produknya. Keuntungan maksimal lalu menjadi tujuan akhir yang hendak direalisir. Bagi konsumen, iklan menyediakan informasi mengenai bagaimana dan di mana kebutuhankebutuhan akan barang dan jasa itu dapat dipenuhi secara mudah dan efisien. Selain itu, iklan juga dapat mendidik masyarakat untuk semakin meningkatkan standar hidupnya.10 Hal ini ternyata turut menentukan kontinuitas proses produksi, karena semakin tinggi standar kehidupan masyarakat akan semakin tinggi pula tingkat permintaan akan barang dan jasa; dan ini dengan sendirinya meningkatkan produktivitas perusahaan-perusahaan. Dapat terjadi bahwa meningkatnya produktivitas juga menguntungkan para buruh. Semangat kerja masyarakat pun terus meningkat. Iklan juga memberikan sumbangan yang besar bagi media massa. Dengan pemuatan iklan-iklan maka biaya produksi, pajak, ataupun masalahmasalah keuangan lainnya yang harus ditanggung menjadi relatif lebih ringan. Dengan demikian, iklan sungguh-sungguh mengkomersialisasikan media massa. Juga disinyalir bahwa bahaya kontrol dari pihak luar terhadap media massa karena faktor finansial ternyata bisa dihindari. “Dukungan finansial yang diberikan iklan, “ demikian Garret, “ternyata telah membebaskan media-media masa dari penguasaan oleh kepentingan politik tertentu.”11 Semuanya ini menjadi sungguh-sungguh “sehat” secara moral kalau mengefek pada semakin membaiknya kehidupan umat manusia sebagaimana dicita-citakan Gereja Katolik dalam dokumen EA. Dalam arti itu seharusnya dihindari iklan-iklan yang menguntungkan secara ekonomi segelintir orang saja. Mengenai hal ini dokumen EA menegaskan: 10 Untuk kepentingan seperti inilah pelaku bisnis berani melibatkan diri dalam mega proyek pengadaan iklan, menganggap diri “pahlawan-pahlawan” yang membebaskan masyarakat dari tirani puritanisme dan asketisme material kepada kehidupan kelas menengah yang glamor. Lih. Thomas M. Garrett, SJ, op. cit., 114. 11 Thomas M. Garrett, SJ., op. cit,56.

Perspektif Gereja Katolik 249 “Iklan menginformasikan masyarakat tentang barang-barang serta jasa-jasa yang baru saja dihasilkan produsen, tingkat kelangkaannya, dan bagaimana, secara rasional, mendapatkannya. Iklan memberikan informasi tentang keputusan-keputusan konsumen, menciptakan efisiensi dalam tindakan ekonomi, dan mempermurah harga. Iklan merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi lewat perluasan bisnis dan perdagangan. Semuanya ini bisa menyumbang kepada semakin membaiknya kehidupan. Iklan membantu pembiayaan penerbitan-penerbitan, program-program serta produksi-produksi di bidang informasi. Iklan jug bisa menghibur dan membangkitkan aspirasi.”12 Meskipun demikian, lebih sering terjadi bahwa iklan ditampilkan bukan sebagai media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa pemuas kebutuhan, tetapi lebih sebagai media persuasi yang “mendikte” konsumen supaya membeli barang dan jasa tertentu. Tentang hal ini Walter Seiler memberi contoh bahwa kaum wanita di Amerika Serikat bisa membelanjakan 10–50 dollar untuk membeli sepotong sabun pemutih kulit, atau kosmetik tertentu supaya bisa menjadi lebih cantik. Seiler kemudian menambahkan bahwa kaum wanita itu sebenarnya membeli janji dan bukan barang pemuas kebutuhan itu sendiri. Dalam kerangka prioritas nilai kebutuhan mesti dikatakan bahwa kaum wanita itu tidak sedang memenuhi kebutuhan eksistensialnya.13 Contoh yang lebih baru dapat disimak dari hasil penelitian Mark Bartholomew, terutama pada bagaimana iklan mendefinisikan identitas diri seseorang. Iklan modern ternyata memiliki kemampuan membentuk siapa diri kita. Dia mencontohkan bagaimana remaja Amerika Serikat memahami siapa diri mereka jika menempel stiker “Porsche” di tas atau di kamar mereka. Stiker itu menjadi simbol untuk menunjukkan siapa diri mereka dan dari kelas sosial manakah mereka berasal. Atau imajinasi yang 12 Pontifical Council for Social Communication, Ethicsin Advertising, Nr.5. 13 Dalam Thomas M. Garrett, SJ., op.cit,85.

250 Bisnis dan Agama timbul ketika seseorang mengenakan sepatu Nike, yakni mengidentifikasi diri sebagai seorang yang bertubuh atletis dan keyakinan palsu bahwa keadaan itu benar-benar ada di depan mata – sesuai slogan dari iklan Nike: “in your face”.14 Demikianlah, tidak mengherankan jika kemudian muncul kesan bahwa iklan menampilkan citra bisnis sebagai “kegiatan menipu dan memperdaya konsumen untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.”15 Dan sebagaimana juga dikritik oleh Paus Yohanes Paulus II, iklan lebih sering ditampilkan sebagai media pembentuk masyarakat konsumeristis yang preokupasi utamanya adalah menumpuk barang dan jasa sebanyak mungkin (to have), dan bukan memanfaatkan barang dan jasa yang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk merealisir eksistensi dirinya (to be).16 Di sini kemudian digarisbawahi bahwa iklan memang bisa meningkatkan standar hidup konsumen. Yang tidak etis adalah mengkonsolidasikan konsumen untuk mengarahkan seluruh finalitas kehidupannya kepada kehidupan “ideal” yang ditampilkan iklan, padahal itu hanyalah realitas artificial yang dikonstruksi oleh iklan dan media massa itu sendiri. Bidang politis Tidak jarang media massa menayangkan iklan-iklan politik. Di Indonesia, misalnya, iklan politik salah satu partai yang pendiri atau pengurus partainya adalah pemilik stasiun televisi tertentu dapat menimbulkan persoalan sejauh mana iklan politik tersebut menguntungkan masyarakat. Dokumen EA sendiri menegaskan bahwa iklan politik 14 Mark Bartholomew, “Advertising and Social Identity”, Buffalo Law Review 58. 4 (August 18,2 009), 941. Available at SSRN: ssrn.com/abstract=1457236 atau dx.doi. org/10.2139/ssrn.1457236. 15 Lihat misalnya, A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 1991, 43. 16 Bagi Yohanes Paulus II, iklan sering direduksikan sebagai alat pembentuk “phenomenon of consumerism”. Bagi Yohanes Paulus II, hidup yang baik dan manusiawi itu tidak salah sama sekali. Jadi, iklan yang bertujuan memajukan kehidupan yang semakin baik justru mengemban misi yang mulia. Yang dipersoalkan sebagai salah adalah “...a style of life which is presumed to be better when it is directed toward “having” rather than “being”, and which wants to have more, not inorder to be more but in order to spend life in enjoy ment as an endinit self.” Dikutip dari Pontifical Councilfor Social Communication, Ethicsin Advertising, Nr.10.

Perspektif Gereja Katolik 251 seharusnya menguntungkan semua pihak dalam pengertian tidak dipakai semata-mata demi kepentingan tiranis pihak penguasa. Iklan politik pun harus merupakan ekspresi dari kehidupan politik yang demokratis sebuah masyarakat. Artinya, dengan iklan politik, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi perihal segala kebijakan yang sedang dan akan diambil pemerinth, tetapi juga – sebagai konsekuensi – semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, terutama dalam menentukan pilihan-pilihan politisnya.17 Menurut dokumen EA, pemerintah, melalui iklan-iklan politik, berkewajiban menginformasikan masyarakat tidak hanya mengenai tendensi-tendensi monopolistis dari bisnis dan pasar, tetapi juga bahaya serta langkah-langkah apa yang sedang diambil menghadapi tendensitendensi itu. Sementara calon-calon yang akan duduk dalam pemerintahan plus curriculum vitae mereka juga wajib diinformasikan kepada masyarakat lewat iklan politik tersebut. 18 Harapan Gereja Katolik tentang misi yang diemban iklan politik ini tampaknya masih jauh panggang dari api. Hal yang justru terjadi adalah rezim penguasa tertentu menjalankan politik kebudayaannya melalui iklan. Di sini masyarakat diindoktrinasi melalui slogan-slogan atau pernyataanpernyataan politik murahan tertentu, yang meskipun disadari sebagai politik pembohongan massa, tetapi tetap saja merasuk ke dalam kesadaran masyarakat karena iklan-iklan tersebut ditayangkan pada prime time di televise-televisi atau radio-radio, atau dipajang di jalan-jalan protokol. Lebih mengerikan lagi jika media-media massa dikontrol secara ketat dengan kewajiban mematuhi aturan-aturan tertentu yang secara jelas hanya menguntungkan rezim penguasa, atau juga kewajiban menayangkan secara serentak acara-acara atau iklan-iklan kenegaraan tertentu.19 Bisa jadi inilah alasannya mengapa Cristina Slade mengkritik secara tajam iklan 17 Bdk. Dr. Limas Susanto, “Media Massa: Kekuatan Otoritatif di Era Komunikasi”,dalam Buletin Komunikasi no. 44, Januari 1997, 36-37. 18 Pontifical Council for Social Communication, Ethics in Advertising, Nr.6. 19 Bdk. Niklos Tomko, “Eastern Europe: The Mediain Transition”, dalam Concillium, SCM Press, London, vol. 6, 1993, 47-49.

252 Bisnis dan Agama politik zaman ini ketika dia menulis, “By turning politics into advertising campaigns, we have turned voters into consumers. As consumers, voters are seen as irrational and dangerous; to be manipulated, not convinced.”20 Bidang kultural Menurut dokumen AE (Nr.7), iklan semestinya dikemas sebegitu rupa dengan mematuhi prinsip-prinsip etika iklan, tetapi juga memenuhi standar intelektual dan estetis. Selain itu, para pemasang iklan juga mesti mempertimbangkan kebudayaan dari masyarakat yang menjadi “sasaran” iklan. Prinsip umum yang dianut adalah bahwa masyarakat harus selalu diuntungkan secara kultural. Hal ini hanya bisa terwujud kalau isi iklan bukan merupakan cerminan dari kehidupan glamor kelompok kecil masyarakat kaya atau pun masyarakat dunia pertama yang wajib diimitasi secara niscaya oleh mayoritas masyarakat miskin atau pun masyarakat dunia ketiga, tetapi merupakan cerminan dan dinamisme kehidupan masyarakat miskin itu sendiri, karena iklan menginformasikan barang dan jasa yang sungguh-sungguh mereka butuhkan. Dengan kata lain, iklan harus sesuai dengan stadar hidup mereka. Prinsip etis yang harus dihormati adalah bahwa iklan tidak boleh pertama-tama menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, atau mengekspos pola kehidupan baru yang justru mengasingkan masyarakat dari kebudayaannya sendiri. Kenyataannya, iklan lebih sering menampilkan kebudayaan hidup masyarakat yang lebih suka menonjolkan kompetisi di segala bidang kehidupan dan mengabaikan rasa solidaritas antarsesama. Iklan juga sering meremehkan unsur-unsur edukatif, standar moral serta seni yang tinggi. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagaian besar iklan menampilkan warna dominasi kaum lelaki atas kaum perempuan, mengeksploitasi anakanak, menonjolkan daya tarik seksual, memperbesar dimensi irasionalitas manusia, dan semacamnya.21 Tentang hal terakhir ini dokumen EA menantang kita dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, “How 20 Christina Slade, “Reasonto Buy: The Logic of Advertisement”, Argumentation 16, 2002, 173. 21 Lihat misalnya Vipin M. Vashishtha, “Advertisement of Food Products for Children: A Tale of Legality, Ethics and In difference”, Indian Pediatrics 47 (October 17, 2010), 857-859.

Perspektif Gereja Katolik 253 often are women treated not as persons with an inviolable dignity but as objects whose purpose is to satisfy others’ appetite for pleasure or power? How often is the role of women in business life depicted as a masculine caricature, a denial or the specific gifts of feminine insight, compassion, and understanding, which so greatly contribute to the ‘civilisation of love’?”22 Bidang moral dan agama Dokumen EA (Nr. 8) menegaskan bahwa ajaran-ajaran moral dan agama seringkali disampaikan secara efektif melalui media iklan. Ajaranajaran moral dan agama seperti kepatuhan kepada kehendak Yang Ilahi, toleransi, belas kasihan, pelayanan dan cinta kasih kepada sesama yang lebih membutuhkan pertolongan, pesan-pesan mengenai kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya bertujuan untuk memotivasi masyarakat ke arah kehidupan yang baik dan membahagiakan. Masalah muncul ketika iklan bertentangan dengan ajaran-ajaran moral dan agama. Bagi kaum moralis maupun agamawan, hal yang secara jelas bertentangan dengan ajaran moral dan agama adalah pornografi dalam iklan. Mengapa demikian? Karena, menurut mereka, pornografi yang diekspos itu merupakan sisi gelap dari kodrat manusia – kaum agamawan menyebut sisi ini sebagai “gudang dosa” – dan pelecehan terhadap martabat manusia. Selain itu, iklan yang diwarnai oleh kekerasan juga bertentangan dengan ajaran moral serta agama, dengan alasan yang kurang lebih sama seperti pada pornografi.23 Sampai di sini, pandangan Gereja Katolik mengenai iklan sangatlah jelas. Iklan yang tujuan utamanya adalah memajukan kehidupan yang semakin baik dapat membawa kebaikan di bidang ekonomi, politik, budaya, bahwa moral dan agama. Hanya saja, sebagaimana juga nampak dalam berbagai kritik yang sudah dikemukakan di atas, iklan ideal yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral tampak masih sulit direalisasikan. Bukan merupakan 22 Pontifical Councilfor Social Communication, Ethics in Advertising 16. 23 Contoh penyelewengan iklan dari norma moral dan agama dapat dilihat dari reaksi Gereja Katolik di Inggris dan Irlandia atas kampanye aborsi melalui iklan televisi. Lihat catatan kaki no.3.

254 Bisnis dan Agama domain dokumen EA untuk menjawab pertanyaan mengapa iklan yang etis sulit direalisasikan. Dokumen ini sebenarnya merupakan magisterium atau ajaran Gereja Katolik mengenai prinsip-prinsip etika dalam iklan. Gereja Katolik mau menggunakan kuasanya mengajarnya untuk mengingatkan sekali lagi bahwa iklan harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Harapannya, ajaran Gereja Katolik mengenai nilai-nilai moral dalam etika ini dapat diimplementasikan dalam berbagai kebijakan publik oleh siapa saja yang berkehendak baik.24 Seperti apakah ajaran Gereja Katolik mengenai nilai-nilai moral dalam iklan? Pertanyaan ini akan dijawab dalam uraian di bawah ini. Prinsip Moral dalam Iklan Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan. Ketiga hal itu adalah (1) masalah kejujuran dalam iklan, (2) masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan (3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan. Ketiga prinsip moral yang juga digarisbawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepausan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen).25 Iklan harus jujur26 Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan. Akibatnya, iklan tidak menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh 24 Kata “magisterium” diturunkan dari kata Bahasa Latin “magister”, yang artinya “pengajaran, instruksi, nasihat.” Magisterium dalam Gereja Katolik dimengerti sebagai kuasa mengajar Gereja. Otoritas mengajar ini berada ditangan para uskup (aktif) yang berkarya dalam persatuan dengan Paus di Vatican. Kuasa mengajar Gereja dalam bidang iman dan moral inilah yang berwibawa menggerakkan umat beriman dan siapa saja yang berkehendak baik untuk menciptakan dunia yang semakin baik dan manusiawi. 25 Lih. Thomas M. Garrett, SJ., op. cit., 37-94. 26 Pontifical Council for Social Communication, Ethics in Advertising 15.

Perspektif Gereja Katolik 255 konsumen, tetapi justru mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Prinsip kejujuran dalam iklan hendak menegaskan bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga. Di Amerika Serikat, misalnya, dalam pembuatan iklan hal-hal berikut ini dilarang: (1) Pesan yang tidak jujur atau yang sifatnya menyesatkan karena melebih-lebihkan kenyataan apa adanya dari barang dan jasa yang diiklankan. (2) Menafsirkan secara salah isi (content) produksi sebuah barang dan jasa, entah itu dilakukan oleh produsen sendiri (the advertisers) atau oleh pihak editor maupun fotografer. (3) Pernyataan-pernyataan atau pesan-pesan yang bertentangan dengan tatakrama masyarakat. (4) Pernyataan-pernyataan yang bermaksud melecehkan perusahaan lain lewat propaganda bahwa barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan lain itu tidak bermutu. (5) Klaim-klaim harga yang menyesatkan. (6) Pernyataanpernyataan atau pesan-pesan yang mengaburkan arti yang sebenarnya dan juga tidak aplikabel, tetapi kemudian diklaim sebagai yang didukung oleh pendapat para ahli atau otoritas ilmiah tertentu. (7) Menegaskan kualitas barang dan jasa lewat kesaksian dari konsumen tertentu yang tidak kompeten sehingga pendapatnya tidak mencerminkan pilihan yang sejati dan bertanggung jawab mengenai pemakaian barang dan jasa tertentu. (8) Iklan-iklan yang lebih mementingkan unsur sugesti, dalam arti menonjolkan dimensi-dimensi emosional, dorongan-dorongan bawah-sadar dan seks, di mana lewat hal-hal ini dimensi rasionalitas manusia tidak mendapat tempat yang wajar.27 Dari deskripsi tampak bahwa iklan sesungguhnya adalah sebuah media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen, dengan catatan bahwa tanpa dipengaruhi oleh aneka iklan yang canggih pun konsumen tetap mencari dan mendapatkan barang dan 27 Nomor 1-7, lihat Thomas M. Garrett, SJ., op. cit., 38; nomor 8, lihat Thomas M. Garrett, SJ., op. cit., 46-51.

256 Bisnis dan Agama jasa yang ia butuhkan karena itu merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar. Masalahnya tentu saja akan menjadi lain jika peran iklan bergeser menjadi upaya penumpukan profit setinggi mungkin, sehingga yang tampak adalah iklan-iklan yang bersifat propaganda. Hal terakhir ini yang justru ditolak secara etis, karena bukan saja melecehkan kebebasan manusia dalam memilih barang dan jasa yang ia perlukan, tetapi juga mencoreng peran mulia dari iklan itu sendiri selaku penyaji informasi yang jujur. Bagi Gereja Katolik, iklan yang jujur tidak saja menghormati hak dasar manusia untuk mengakses informasi yang jujur, tetapi juga menghormati kemampuan nalar manusia yang menjunjung tinggi kebenaran. Iklan harus menghormati martabat manusia28 Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai sebuah kewajiban. Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Itu berarti berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.29 Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dikendalikan dan diarahkan untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan. Iklan melumpuhkan kemampuan nalar dan memasung kebebasan memilih sehingga manusia jatuh ke dalam keniscayaan memilih barang dan jasa yang ditawarkan. Ini mungkin saja terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dan sebagainya.30 Jika 28 Pontifical Council for Social Communication, Ethicsin Advertising 16. 29 Thomas M. Garrett, SJ., op. cit.,74-77. 30 Seluruh kritik Christina Slade sebenarnya merupakan upaya melucuti watak iklan yang

Perspektif Gereja Katolik 257 ini terjadi maka, menurut Thomas M. Garreth, SJ, iklan sesungguhnya melupakan satu hal yang dalam etika iklan sendiri telah diterima, yakni “kewajiban bertindak rasional” dan kewajiban “membantu orang lain untuk bertindak yang sama.”31 Tentang hal ini Garreth menulis: “Kita semua berkewajiban untuk bertindak berdasarkan refleksi dan pertimbangan-pertimbangan rasional. Tetapi sejauh sebagai manusia selalu saja terjadi bahwa kita bertindak secara irasional. Inilah keterbatasan ruang dan waktu kita yang membuat hanya sebagian kecil dari kita yang biasa bertindak rasional dan manusiawi. Demikianlah, dengan meminta kita bertindak secara rasional, para etikawan mengkualifikasi kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti kita penuhi. Dengan bertindak rasional terhadap kewajibankewajiban tersebut kita memperlihatkan pula tanggung jawab selaku pribadi. Pada titik ini pula kita dievaluasi secara moral.”32 Dalam konteks inilah kita mengerti mengapa Gereja Katolik mengkritik iklan yang semata-mata mementingkan unsur irasional dan sugestif sebagai yang melawan cinta kasih kepada sesama. Alasannya, iklan-iklan tipe ini melecehkan manusia sebagai animale rationale yang semestinya selalu bertindak rasional dalam setiap tindakannya, karena hanya dengan demikian ia bisa dengan bebas dan bertanggung jawab menentukan pilihanpilihannya. Lebih mengerikan lagi, iklan sering merugikan anak-anak yang tingkat kesadaran serta otonomi moralnya masih sangat terbatas, atau juga masyarakat miskin yang pada umumnya belum membebaskan diri dari preokupasi-preokupasi untuk memiliki semakin banyak barang dan jasa pemuas kebutuhan.33 menonjolkan dimensi bawah sadar manusia itu, bahwa semakin manusia menjadi dirinya sendiri, dia seharusnya sadar bahwa dirinya adalah tuan atas dirinya, bahwa dia bebas melakukan pilihan, termasuk mengatakan tidak pada berbagai tawarani klan. Christina Slade, “Reasonto Buy: The Logic of Advertisement”, Argumentation 16, 2002, 157-178. 31 Thomas M. Garrett, SJ., op.cit., 40-45. 32 Ibid,41. 33 Lih. Pontifical Councilfor Social Communication, Ethicsin Advertising 16. Bdk Thomas M. Garrett, SJ., ibid,45.

258 Bisnis dan Agama Iklan harus memiliki tanggung jawab sosial34 Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan tidak boleh menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena peranannya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya, iklan menyebabkan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarakat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan.35 Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dapat diakses oleh sebagai kecil masyarakat yang de facto hidup berkelimpahan tetapi terus memperluas batasan kebutuhan dasarnya,36 sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan. Dalam konteks pemikiran seperti inilah muncul tuntutan tanggung jawab sosial iklan. Masalahnya bisa dirumuskan demikian: “Bagaimana dapat menghindari surplus atau penumpukan barang dan jasa pemuas kebutuhan pada sebagian kecil masyarakat dan kemudian mengaturnya demi kemakmuran bersama?” Di sini tidak berlaku pertanyaan apakah surplus pada sebagian kecil masyarakat itu perlu dihindari, karena penegasan afirmatif-etis, bahwa surplus itu mau tidak mau harus dihindari. Para etikawan lalu setuju untuk menolak upaya merentang batasan kebutuhan dasar hingga tak terbatas sifatnya.37 Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan, dua hal berikut pantas dipraktekkan. 34 Pontifical Council for Social Communication, Ethicsin Advertising 16. 35 23“Surplus is described as that wealth which remains after a person has the thing snecessary for life and for fitting maintenance of hisposition.” Thomas M. Garrett, SJ., op. cit.,72. 36 Ide dasar yang dipegang di sini adalah pemahaman bahwa barang dan jasa dipergunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar atau tujuan eksistensialnya .Thomas M. Garrett, SJ., ibid, 65. Dengan iklan, kebutuhan dasar atau tujuan eksistensial ini direntang sampaitak-terbatas, sehingga semuanya seakan-akan merupakan kebutuhan dasar atau kebutuhan eksistensial. Dalam konteks seperti ini juga kita menyaksikan bagaimana manusia memperlakukan barang dan jasa pemuas kebutuhan sebagai yang memiliki tujuan pada dirinya sendiri. 37 ThomasM. Garret, SJ., op. cit., 72-74.

Perspektif Gereja Katolik 259 Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai sedekah kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan sebagainya). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan kultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menjalankan hidup secara seimbang antara pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual sambil ikut mempedulikan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Masalah keutuhan serta keselamatan lingkungan hidup juga menjadi tanggung jawab sosial iklan.38 Asumsinya, dengan menonjolkan peran sugestif dan persuasif, iklan kemudian “menciptakan” sebuah gaya hidup konsumtif. Gaya hidup ini, selain ditandai oleh surplus barang dan jasa yang tidak perlu, juga semakin meningkatkan permintaan (demand). Produksi barang dan jasa yang mengikuti irama permintaan pun cendrung meningkat. Akibatnya, permintaan akan bahan mentah yang dihasilkan dari alam untuk produksi juga meningkat. Untuk kepentingan logika produksi seperti inilah alam dikeruk secara besar-besaran. Padahal sebagian dari bahan-bahan mentah yang tersedia di alam bersifat tak-bisa-diperbarui. Selain itu, terjadi juga bahwa sisa-sisa barang dan jasa yang telah digunakan manusia turut merusak alam. Menanggapi hal ini, yang seharusnya dilakukan bukan meniadakan atau melarang iklan, tetapi meniadakan isi atau maksud iklan yang obsesi utamanya adalah mengkonstruksi sebuah masyarakat konsumtif dengan seluruh konsekuensi yang menyertainya. Kalau kita setuju dengan analisis Dr. Gregory Baum, bahwa media massa dan iklan cendrung mengkonstruksi realitas dan bahwa realitas tersebut umumnya bersifat 38 Kesadaran semacam ini boleh dikatakan relatif baru. Dalam karangan Thomas M. Garrett, SJ (1961) setebal 209 halaman itu belum disinggung kesadaran mengenai keutuhan dan keselamatan lingkungan. Ini baru muncul bersamaan dengan merebaknya diskusi mengenai etika lingkungan di era tahun1980-an. Bdk Pontifical Council for Social Communication, Ethicsin Advertising 16.

260 Bisnis dan Agama konsumtif-materialistis yang sungguh-sungguh mensugesti manusia untuk secara niscaya menanggapinya, maka bahaya pengrusakan lingkungan karena mentalitas hidup konsumtif sungguh-sungguh serius.39 Sama seperti yang ditegaskan dokumen EA, komitmen untuk mencegah upaya pengrusakan lingkungan ada pada mereka yang berkehendak baik, yang mau mengusahakan sebuah kehidupan bersama yang utuh dan integral, baik antara manusia maupun dengan lingkungan tempat kediamannya.40 Jadilah Rasional dan Hidup Sederhana Sebagaimana juga disinggung di atas, iklan memang tidak bisa dihapus sama sekali dari kehidupan manusia. Ini bukan saja karena pemahaman kita mengenai iklan dalam artinya yang luas sebagai segala kegiatan manusia dalam menginformasikan “kepentingan-kepentingan” tertentu kepada publik, tetapi juga bahwa iklan sejak semula tidak bersifat propagandis. Selain itu, watak iklan yang manipulatif relatif baru dalam dunia iklan, terutama ketika masyarakat mulai mengenal sistem ekonomi pasar bebas.41 Karena itu, usaha untuk “menghapus” citra iklan yang sugestif-propagandis bukan dengan menghapus atau melarang sama sekali iklan, tetapi dengan mengembalikan iklan kepada misinya yang sejati. Sama seperti yang dilakukan Gereja Katolik, salah satu tugas etikawan di bidang ini adalah mendidik masyarakat untuk selalu bersikap rasional. Kepemilikan atas sikap ini yang kemudian dapat diandalkan sebagai semacam senjata pamungkas berhadapan dengan iklan-iklan yang sematamata sugestif. Iklan pada akhirnya akan membunuh diri sendiri jika tetap beranggapan bahwa konsumen merupakan pihak yang selalu bisa dibohongi. Selain itu, berkat peran pengajaran para etikawan,masyarakat perlahan-lahan memupuk sikap rasional.42 39 Dr. Gregory Baum, “The Church and the Mass Media”, dalam Concilium 6 (1993), 66. 40 Pontifical Council for Social Communication, Ethics in Advertising17. 41 Sistem ekonomi pasar bebas disifati antara lain oleh kompetisi yang ketat antar perusahaan yang memperoduksi barang dan jasa sejenis, sehingga untuk merebut pasar sering dilakukan propaganda-propaganda yang tidak jujur lewat iklan. A. Sonny Keraf, op. cit., 143. 42 Tentang hal, ini peringatan David Ogilvy pantas disimak: “Kalau Anda mengatakan kebohongan tentang sebuah produk, Anda akan diketahui – entah oleh pemerintah yang

Perspektif Gereja Katolik 261 Upaya mendidik masyarakat untuk bertindak rasional ini bisa dilakukan lewat pendidikan melek media (media literacy),43 di mana masyarakat disadarkan untuk memahami bahwa realitas yang ditayangkan media massa dan iklan bukanlah ekstensifikasi dari realitas kehidupan nyata manusia, tetapi merupakan realitas ciptaan berdasarkan kepentingankepentingan tertentu. Dan bahwa media massa dan iklanlah yang mengkonstruksi dan bukan merepresentasikan realitas. Konsekuensinya, realitas rekaan yang ditampilkan itu telah ditafsirkan sedemikian rupa demi melayani kepentingan-kepentingan tertentu pula. Melalui pendidikan melek medialah masyarakat dibekali dengan nilai-nilai ideal tertentu (misalnya nilai-nilai yang diajarkan agama), yang pada gilirannya bisa memampukan masyarakat untuk menafsirkan realitas yang ditampilkan seturut kepentingan-kepentingannya yang ideal. Lewat pendidikan melek media ini pula masyarakat disadarkan bawa media massa dan iklan tidak bisa tidak memiliki kepentingan-kepentingan bisnis, ideologi dan politik, dan bahwa kepentingan-kepentingan ini dikemas sebegitu rupa sehingga hanya dengan sikap rasional hal-hal tersebut bisa dipilah-pilah satu sama lain. Selain pendidikan melek media, masyarakat juga bisa diajarkan untuk hidup sederhana.44 Ini sebenarnya berhubungan dengan salah satu prinsip yang menakutkan dari pasar bebas, yaitu bahwa barang dan jasa yang mewah akan segera menjadi kebutuhan primer pada saat barang dan jasa itu dipenuhi. Ini terjadi secara terus-menerus sampai manusia sendiri tidak akan mendakwa Anda, atau oleh konsumen yang akan menghukum Anda dengan tidak lagi membeli produk Anda. Produk yang baik dapat digunakan dengan menggunakan iklan yang jujur. Kalau menurut Anda produk itu tidak baik, jangan di iklankan. Kalau Anda mengatakan kebohongan atau hal yang menyesatkan, Anda merugikan klien Anda. Anda memperbesar perasaan bersalah dalam diri Anda, dan Anda mengobarkan perasaan dengki masyarakat terhadap seluruh kegiatan iklan Anda.” Sebagaimana dikutip dari A. Sonny Keraf, ibid, 145. 43 Pendidikan melek media ini sudah mulai dijalankan sebagai program resmi pendidikan disekolah sekolah di Australia, Inggris, Skotlandia, dan Kanada. Lih. Gregory Baum, op. cit., 66-68. 44 Setelah berhasil dalam membangun sebuah kehidupan yang sederhana, Elaine St. James kemudian menegaskan bahwa pandangan bahwa semakin banyak barang dan jasa yang dimiliki akan semakin membuat seseorang mencapai kebahagiaan hanyalah mitos belaka. Dan bahwa menumpuk barang dan jasa yang tidak bersifat primer, menurut pengalaman Elaine St. James ternyata bisa “merusak” kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Elaine St. James, Simplify Your Life, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, 103.

262 Bisnis dan Agama mampu menentukan dengan tegas prioritas kebutuhan-kebutuhannya. Di sini pula kiranya kita bisa memahami kritik Paus Yohanes Paulus II terhadap masyarakat konsumeristis yang diciptakan iklan sebagaimana disinggung di atas seraya menambahkan bahwa hidup sederhana bisa menjadi semacam counter culture terhadap kehidupan yang konsumeristis dewasa ini. Tanggung jawab untuk ini ada di tangan siapa saja yang ingin membangun sebuah masyarakat yang sungguh-sungguh manusiawi. Penutup Paper ini telah mendiskusikan secara jelas pandangan Gereja Katolik mengenai etika dalam iklan. Gereka Katolik memposisikan iklan sebagai media komunikasi yang dapat mendatangkan kebaikan bagi hidup manusia. Gereja Katolik kemudian menggunakan kuasa mengajarnya untuk mengingatkan kita, bahwa iklan seharusnya diproduksi secara etis demi mewujudkan tujuan utamanya tersebut. Ajaran moral tentang iklan yang etis ini tidak cukup diterima sebagai salah satu sumber pengetahuan moral, tetapi seharusnya menjadi imperatif moral dalam proses legislasi kebijakan di bidang bisnis atau pun komunikasi sosial secara umum. Urgensi merealisasikan prinsip-prinsip etika dalam iklan sangatlah mendesak. Berhadapan dengan meningkatnya konsumerisme, pendidikan melek media atau pun pemberdayaan konsumen agar semakin rasional, seharusnya dilihat sebagai mega proyek bersama yang wajib direalisasikan; apalagi jika taruhannya bukan hanya melebarnya jurang kaya–miskin, tetapi bahaya kehancuran bumi karena gaya hidup konsumeristis. Dengan jaringan dan struktur yang luas dan tertata rapi, Gereja Katolik seharusnya gencar mengkampanyekan pentingnya etika dalam iklan, entah melalui proses legislasi atau pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Sudah saatnya Gereja Katolik Indonesia berbicara lebih keras menentang iklan-iklan di media massa yang lebih menonjolkan kehidupan yang glamour yang cenderung mengkerdilkan solidaritas sosial dan menutup jalan bagi ibadah yang otentik dengan Tuhan semesta Alam.[]

Perspektif Gereja Katolik 263 Daftar Pustaka Bartholomew, Mark, “Advertising and Social Identity”, Buffalo Law Review, vol. 58 (4), 2009. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1457236 atau dx.doi. org/10.2139/ssrn.1457236. Baum, Gregory, “The Church and the Mass Media”, Concilium, vol. 6, 1993. Bowes, John C., “St. Vincent de Paul and Business Ethics”, Journal of Business Ethics, vol. 17, 1998, hlm. 1663-1667. Bragues, George, “Seek the Good Life, not Money: The Aristotelian Approach to Business Ethics”, Journal of Business Ethics, vol. 67, 2006, hlm. 341-357. Cavanagh, Geral F. Dan Mark R. Bansuch, “Virtues as a Benchmark for Spirituality in Business”, Journal of Business Ethics, vol. 38, 2002, hlm. 109-117. Coleman, John & Tomko, Miklos (Eds.), “Mas Media”, dalam majalah Concilium, SCM Press Ltd, London, 1993/6. Elaine, St. James, Simplify Your Life, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Henderson Britt, Steuart, “Advertising” dalam Encyclopedia Americana, Vol 1, Glorier Inc., USA. Garrett, Thomas M., SJ, Some Ethical Problems of Modern Advertising, The Gregoriana Univ. Press, Rome, 1961. Keraf, Sonny A., Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991. Pontifical Council for Social Communication, Ethics in Advertising, 1997. Slade, Christina, “Reasons to Buy: The Logic of Advertisements”, Argumentation, Vol. 16, 2002, hlm. 157-178. Sutanto, Limas, “Media Massa: Kekuatan Otoritatif di Era Informasi”, dalam Buletin Komunikasi, No. 44, 1997. Tomko, Niklos, “Eastern Europe: The Media in Transition”, Concillium, SCM Press, London, vol. 6, 1993. Vashishtha, Vipin M., “Advertisement of Food Products for Children: A Tale of Legality, Ethics and Indifference”, Indian Pediatrics, vol. 47 (Oktober 2010), hlm. 857-859. Young, William, dkk., “Sustainable Consumption: Green Consumer Behaviour when Purchasing Products”, Sustainable Development, vol. 18, 2010, hlm. 20-31.

11 DEKONSTRUKSI STRATEGI BRANDING IKLAN FIESTA: PERSPEKTIF ETIKA ISLAM TERHADAP INDUSTRI BUDAYA Endang Mirasari

Abstract In a competitive trade era, advertising becomes effective strategy to introduce products top otential customers and to maintain the existence of product market competition among others. Branding or it can simply be understood as political imagery is a part of the strategy developed by the agency to attract consumers and stimulate the purchasing. What’s interesting about this branding strategy is that it may become a constructing way tostimulate what is called pseudo-needs. In this case the industry has been collaborating with the media in the frame to make the commodities as an absorption in the unconscious needs. It will be very likely to occur, rat her than a purchase is made for the function but the function is raised after the purchase. One phenomenon that will be discussed in this paper is about advertising of condoms as a commodity. Problem at is action that will be my focus is the consumption of condoms as contraceptives are associated with sexual behaviour. With the branding strategy, condoms are advertised and sold freely on the market no longer be understood as a form of control over sexual behaviour. Consumption of condoms as a product would also related to the liberalisation of sexual behaviour. For the branding strategy through advertising, there is stimulation of desire that exceeds its own product functions. Critical review of branding advertising of condoms

266 Bisnis dan Agama is significant to understand beyond the exposure of branding and its relation to patterns of consumption. Comparative discourse for my propose disethics from an Islamic perspective, particularly with regard to issue of sexuality control. Keywords: branding as a strategy, consumption, deconstruction, Islamic ethics.

Saat Budaya Menjadi Industri Istilah industri budaya merupakan terjemahan bebas dari penulis untuk “culture industry” yang merupakan teori dari Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer. Namun dalam perkembangannya, teori ini lebih dikenal sebagai teori dari Adorno. Teori ini digagas pertama kali pada tahun 1947 dalam buku Dialectic of Enlightenment. Teori ini merupakan teori Adorno yang melihat efek kehadiran media massa sebagai bentuk baru dari industri budaya terhadap budaya dan masyarakat. Teori ini menggabungkan antara apa yang dikenal sebagai budaya tinggi dan budaya rendah menjadi satu dalam kuantitas dan kualitas yang baru. Penolongnya adalah industri. Dimana industri dapat melakukan massifikasi sekaligus multiplikasi termasuk pada seni. Sehingga seni menjadi bahan konsumsi. Ia akan ditawarkan secara komersial untuk mendatangkan keuntungan bagi industri baru yang bernama media massa. Maka kemudian media massa dalam konteks industri ini juga melakukan standarisasi, dan mekanisasi baik dalam proses maupun distribusi. Adorno melihat reproduksi dari industri budaya sebagai jalan masuk bagi kapitalisme pada materialisasi terhadap budaya dan kehidupan manusia. Budaya kemudian menjadi konsep yang rendah, buruk, menciptakan standarisasi dan control yang hadir dalam beragam wajah di dalam ideology kapitalisme. Persoalan lain dalam kajian mengenai industri budaya juga terdapat pada gagasan Adorno dalam salah satu esainya yang berjudul “Culture Industry as Mass Deception” yang di dalamnya mempertentangkan antara pencerahan (enlightenment) dan kepalsuan (deception). Adorno mengawali kritik dengan mempertanyakan tujuan era pencerahan dan capaian yang telah diperolehnya. Era pencerahan identik dengan modernitas, perkembangan rasional manusia untuk berubah dari

Dekonruksi Strategi Branding 267 masa kegelapan. Modernitas kemudian identik dengan perkembangan teknologi. Apa yang dimaksud dengan Industri Budaya adalah saat teknologiteknologi media memunculkan situasi baru dimana seni, norma, nilai yang semula menjadi karya adiluhung manusia tunduk dalam tekanan ekonomi. Logika ekonomi yang berawal dari rasionalitas untung-rugi lambat laun merasuki perkembangan teknologi media. Sehingga media kemudian menjadi agen yang menjadikan budaya sebagai industri. Budayapun menjadi komoditas baru. Saat budaya terjerumus dalam logika industri maka massifikasi produk budaya menjadi tak terhindarkan. Budaya tidak lagi dipahami sebagai bagian dari tata nilai manusia yang harusnya beragam. Budaya kemudian keluar dari pakeme stetikanya bahwa budaya tidak memiliki tujuan mendominasi, apalagi mendatangkan keuntungan material. Industri budaya ini menghasilkan produk-produk yang dianggap sebagai budaya secara sama dan dalam jumlah besar. Produk-produk ini bisa berbentuk apa saja: iklan, fashion, musik, film, apa saja yang disukai konsumen dan dibeli. Industri budaya kemudian menciptakan paradoks antara pencerahan dengan perkembangan teknologi dan pembodohan melalui ilusi dan kepalsuan pada masyarakat konsumen. Media akhirnya menjadi agen yang dikuasai oleh orang-orang dengan kepentingan tertentu, menjadikan media menurunkan nilai dan norma atas nama kepentingan ekonomi. Industri Iklan: Penanda Hasrat Konsumsi Kenneth A. Longman mendefinisikan iklan sebagai:“ Advertising... attemptsto informand persuade alarge number of people with a single line communication,” (Wilmshurstand Mackay, 2004: 23).Dari definisi tersebut tergambar dua proses kerja iklan: memberikan informasi sekaligus membujuk khalayak. Penekanan pada komunikasi satu arah yang digunakan senada pula dengan definisi ad-vere. Ketiadaan interaktivitas ini pulalah yang membedakan iklan dengan salesperson.

268 Bisnis dan Agama Definisi iklan yang diajukan Spriegel (dalam Liliweri, 1992: 18) yakni “setiap penyampaian informasi tentang barang ataupun gagasan yang menggunakan media nonpersonal yang dibayar.” Definisi ini memunculkan gagasan jenis media yang digunakan berupa media nonpersonal atau media massa. Sekaligus definisi ini menekankan pada cara penempatan iklan yang kemudian membedakannya dengan publisitas, yakni adanya harga yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan untuk beriklan. Ditinjau dari segi pemasaran, jelaslah iklan telah banyak membantu dalam mendongkrak penjualan. Iklan merupakan bagian dari bauran promosi (promotional mix), yang terdiri dari pemasaran langsung (direct selling), public relations, promosi penjualan (sales promotion), dan penjualan personal (personal selling) (Lwin dan Aitchison, 2005: 5). Bauran promosi ini sebenarnya juga merupakan bagian dari bauran pemasaran (marketing mix). Jika iklan digunakan pemasar untuk melakukan penetrasi produk terhadap konsumen, lalu apa yang dialami konsumen? Bagaimana konsumen dapat mengingat terpaan produk yang dihadapinya setiap saat? Brand atau branding adalah jawabannya. “A name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, intended to identify the goods or services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competitors” (De Chernatony and Riley 1997: 90) Branding sebagai kata dalam bahasa Inggris merupakan gerund dari kata “brand”. Dengan demikian branding adalah kata benda dari sebuah kata kerja, menjadi suatu objek dari asalnya sebagai kegiatan. Kita biasa menyebutnya secara substitutif dengan merk. Namun dalam konteks pemasaran, istilah “brand” lebih populer digunakan karena tidak sekedar merujuk pada pemahaman merk sebagai identitas produk. Secara konseptual, branding dapat dipahami sebagai sebuah pemaknaan terhadap identitas dari apapun yang butuh ditampilkan pada publik. Tujuannya tentu saja agar mudah diidentifikasi sehingga mudah bersaing. Pada titik

Dekonruksi Strategi Branding 269 ini pemahaman mengenai branding dapat dimaknai tidak sekedar memberi nama pada suatu produk agar dikenal, lebih dari itu branding telah menjadi tanda yang akan dimaknai. Apakah makna itu kemudian sebatas deskriptif mengenai fungsi benda atau lebih dari itu, maka problematisasi branding dapat mulai digagas sebagai sebuah pemikiran kritis terhadap relasi antara produksi dan konsumsi yang sedang menggejala di tengah masyarakat post-fordisme1 saat ini. Pemahaman mengenai branding dan produk secara sederhana sebagaimana yang dijelaskan oleh Mark Batey dalam bukunya “Brand Meaning” dibawah ini: “A product becomes a brand when the physical product is augmented by something else – images, symbols, perceptions, feelings – to produce an integral idea greater than the sum of its parts. A brand might be composed of a single product, or it might be made up of multiple products that span many categories. But at its core there remains a soul, a distinctive identity and image that resonates with its consumers and transcends its physical representation in terms of product format? (Mark Batey, 2008: 4) Konsep tersebut merupakan konsep yang selama ini dipahami dan diyakini mengenai relasi antara branding dan suatu produk. Relasi antara branding dan produk adalah relasi imajiner yang berada dalam pikiran konsumen. Ia adalah persepsi yang dimiliki oleh konsumen yang nantinya diharapkan oleh pemasarnya akan mempengaruhi hasrat pembelian 1 Istilah ‘post-fordisme’ merupakan perkembangan lebih lanjut dari fordisme. Fordisme sendiri diambil dari nama Henry Ford, produsen mobil terbesar di Amerika Serikat pada tahun 1950an. Secara reduktif, konsep ini menjelaskan mengenai perubahan pola produksi dan konsumsi yang terjadi pasca tahun 1960-an yang diinspirasi dari perubahan produksi pabrik mobil Ford. Dimana intinya adalah tidak ada produk yang dominan bahkan determinan dalam pola konsumsi masyarakat sebab produk berlimpah dan konsumsi lambat laun menjadi sebuah budaya. Konsep post-fordisme sebagai perkembangan baru masyarakat sering tercampur aduk dengan istilah-istilah lain semacam masyarakat informasi, masyarakat post-industri dan sejenisnya. Namun penggunaan post-fordisme disini karena penulis hendak menekankan pada perubahan pola konsumsi pada masyarakat.

270 Bisnis dan Agama terhadap suatu produk. Maka branding memang soal pemaknaan yang sejatinya otonom dalam diri konsumen. Namun demikian, pemaknaan tidaklah selalu bebas. Ia akan tetap mengacu pada suatu konteks. “Engrams are the transient or enduring changes in our brains that result from encoding an experience…. A typical incident in our everyday lives consists of numerous sights, sounds, actions, and words. Different areas of the brain analyse these varied aspects of an event. As a result, neurons in the different regions become more strongly connected to one another. The new pattern of connections constitutes the brain’s record of the event: the engram.” (Schachter , 1996: 59) Secara alamiah otak manusia akan memproses pengetahuan yang nantinya akan berkembang menjadi pemaknaan dari pengalamannya. Pengalaman tentu mengacu pada realitas yang terindera, apakah terlihat, terdengar, ataupun terasa, baik secara langsung maupun termediasi. Dalam kaitannya dengan branding, dapat dipahami bahwa sekalipun makna otonom ada pada pikiran konsumen, namun karena secara fisiologis otak manusia hanya akan memproses pengetahuan sesuai dengan acuan yang terindera, maka pemaknaan konsumen atas branding bisa direkayasa melalui penciptaan realitas yang akan dijadikan acuan oleh konsumen. Rekayasa disini jika kembali pada konsep mengenai branding dari Batey di atas, terkait dengan nilai tambah yang dilekatkan pada suatu produk sehingga memunculkan ketertarikan yang akan menjadi hasrat konsumsi. Apa sebenarnya nilai tambah itu? Penulis mengacu pada konsep JeanBaudrillard yang menyebut satu istilah yaitu “sign-value”. “In the age of mass media, exchange-value has in its turn morphed into the society-wide spread of sign-value. Heavily processed images have now become a defining social category. The mass media are no longer instruments of re- presentation, as mirrors of pre-existing

Dekonruksi Strategi Branding 271 socio-political conditions, but, as McLuhan argues, they can be described as total environments. The media annexes and transforms its social and cultural milieu, refashioning it in its ownimage. As such media come to dictate the structure and expression of everyday life, they permeate and determine all personal and collective relations, they construct and determine the wishes, desires and thoughts of the individual…” (Taylor & Harris, 2008: 108) Baudrillard melihat perkembangan media massa kemudian telah mengubah logika produk yang telah bergeser dari nilai guna menjadi nilai tanda. Media massa telah menampilkan produk-produk secara kompetitif sehingga audiens yang juga adalah konsumen tidak lagi melihat produk sebagai benda melainkan tanda yang bermakna. Sabun mandi bukan lagi alat pembersih kulit, melainkan tanda yang mendefinisikan kecantikan. Baju bukan lagi pelindung kulit, melainkan tanda status sosial. Konsep branding kemudian dapat dikaitkan dengan nilai tanda yang dibuat dan ditambahkan melebihi fungsi dan harga produk. Nilai tanda ini bisa berupa peningkatan status sosial, bagian dari gaya hidup populer, imajinasi atas idealitas, dan banyak lagi lainnya yang semuanya tidak lagi berkenaan dengan fungsi produk. Pada masyarakat post-fordisme, nilai tanda inilah yang kemudian mendominasi proses konsumsi yang dilakukan masyarakat. Konsumsi pada kehidupan masyarakat urban, sebagaimana yang digagas oleh Thorstein Veblen dengan istilah “conspicuous consumption” bukan lagi soal belanja untuk memenuhi kebutuhan hidup berdasarkan fungsi produk. Konsumsi telah bergeser menjadi apa yang ia sebut sebagai “…served to construct distinctive lifestyles and express status” bagi masyarakat yang memiliki daya beli dan waktu luang. Seseorang kini membeli produk demi gaya hidup sehingga bisa jadi akan mengikuti apapun yang dianjurkan oleh pemasar produk. Sekalipun dalam logika pemasaran dikenal banyak upaya yang dilakukanprodusen dan aparatnya untuk menarik perhatian konsumen,

272 Bisnis dan Agama penulis masih meyakini keampuhan iklan. Iklan dapat dianggap sebagai strategi pemasaran yang efisien, karena melalui iklan satu pesan bisa secara serentak tersampaikan kepada sekian banyak orang karena termediasi melalui media massa. Selain efisien secara media, iklan juga memiliki kemampuan persuasi. Dalam amatan penulis, iklan di media apapun selalu memiliki daya tarik. Sebab iklan memiliki kemampuan untuk menghadirkan hiper-realitas2 yang lebih lanjut berkembang menjadi konsep mengenai simulasi. Konsep ini merupakan bentuk analogi dari kecanggihan teknologi media visual yang telah mengacaukan pemahaman mengenai relasi petanda dan penanda. Gagasan linearitas dan naturalitas dalam relasi imajiner penanda dan petanda telah dikacaukan dengan konsep simulasi ini. “Simulation, on the contrary, stems from the Utopia of the principle of equivalence, from the radical negation of the sign as value, from the sign as the reversion and death sentence of every reference. Whereas representation attempts to absorb simulation by interpreting it as a false representation, simulation envelops the whole edifice of representation itself as a simulacrum. Such would be the successive phases of the image: it is the reflection of a profound reality; it masks and denatures a profound reality; it masks the absence of a profound reality; it has no relation to any reality whatsoever; it is its own pure simulacrum”. (Baudrillard, 1981: 6) Baudrillard memang secara spesifik menunjuk entitas media massa sebagai simulakrum yang menampilkan tidak hanya representasi realitas, melainkan juga reproduksi atas realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas empiris. Apa yang disebut kenyataan tidak lagi sederhana sekedar kepercayaan terhadap penginderaan. Gagasan ini bukanlah ilusi atau 2 Konsep hiper-realitas adalah konsep yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard. Secara reduktif, konsep ini penulis interpretasikan sebagai konsep yang menjelaskan bagaimana teknologi mampu menghasilkan imajinasi mengenai realitas tanpa harus berangkat dari acuan realitas yang sesungguhnya. Analoginya adalah peta yang tidak membutuhkan teritori.

Dekonruksi Strategi Branding 273 kebohongan. Ini adalah sebuah simulasi. Sebuah reproduksi ataskerja intelektualitas manusia saat berbenturan antara indera dan utopia.Iklan, adalah simulasi tentang hasrat. Iklan membuat simulasi untuk menstimulasi dorongan-dorongan kebutuhan dalam diri manusia. Iklan mempermainkan apa yang ada dalam diri manusia yaitu kekurangan (lackness). Menurut Jacques Lacan, hasrat terkait dengan persepsi mengenai kekurangan yang tidak akan pernah terpuaskan, apakah kekurangan menjadi (lackness of being) ataupun kurang atas sesuatu (lackness of something). Iklan, dalam hal ini melakukan rayuan terus-menerus melalui simulasi tanda untuk membuat audiens terus merasa kurang. Dengan begitu aktivitas konsumsi akan terus berlangsung seolah-olah menjadi suatu kebutuhan. Kondom dalam Iklan, Untuk (si)Apa? Dalam makalah ini penulis secara khusus akan membahas mengenai iklan kondom. Fenomena yang penulis pilih adalah iklan kondom merk Fiesta, dengan landasan fakta bahwa produk ini intensif ditayangkan di berbagai media dan produknya mudah dijumpai di pasaran, tidak khusus tersedia di apotek atau toko peralatan medis. Dari sini diasumsikan strategi branding yang dilakukan oleh pemasar berlangsung secara intensif. Iklan yang akan dibahas juga tidak merujuk pada satu jenis iklan tertentu melainkan iklan kondom merk Fiesta secara umum. Pada berbagai varian produk dan tampilan di berbagai media. Meskipun nanti akan dipilih beberapa contoh iklan Fiesta untuk memudahkan pembahasan. Dalam pembahasan lebih lanjut, fokus yang ingin penulis hadirkan bukan lagi efektivitas brand terhadap penjualan atau pemahaman konsumen terhadap kesadaranmerk. Fokus penulis adalah

274 Bisnis dan Agama bagaimana pencitraan dari iklan kondom akan memunculkan gaya hidup tertentu yang berimplikasi tidak hanya pada salah pikir mengenai makna citra produk namun juga pada konteks diluar produk yang berkaitan dengan moral sosial. Dalam hal ini adalah wacana mengenai regulasi dan kontrol atas perilaku seks bagi masyarakat Indonesia. Maka pada titik ini nantinya penulis bermaksud memproblematisasikan etika industri yang terkait dengan iklan kondom. Kondom adalah alat kontra­ sepsi. Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kon­ trasepsi adalah menghindar dan mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Cara kerja kontrasepsi bermacam-macam tetapi pada umumnya mempunyai fungsi mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan sperma, atau menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma. Sehingga secara fungsi dasarnya, kondom digunakan untuk mengontrol aktivitas seks agar tidak terjadi kehamilan. Program pengontrolan dan regulasi aktivitas seks oleh pemerintah Indonesia dijadikan salah satu kebijakan negara dan dikenal sebagai Keluarga Berencana (KB). Program ini mulai dicanangkan pada tahun 1970-an oleh presiden Soeharto. Sebagian masyarakat banyak menentang kebijakan pemerintah atau presiden di kala itu, karena di benak masyarakat masih ada mitos yang menyatakan bahwa banyak anak banyak rejeki. Namun dalam perkembangannya, program KeluargaBerencana ini banyak diadopsi masyarakat dan diakui keberhasilannya.Dalam UndangUndang No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan

Dekonruksi Strategi Branding 275 pembangunan keluarga sejahtera, disebutkan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Hasil program KB tidak seketika dapat dinikmati, tetapi sangat menentukan bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh di masa depan. Keluarga Berencana (KB) adalah suatu upaya manusia untuk mengatur secara sengaja kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum dan moral Pancasila untuk kesejahteraan keluarga. Menurut WHO (Expert Committee, 1970), KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kehamilan dalam hubungan dengan umur suami istri, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (bkkbn.go.id/2009). Jadi, KB (Family Planning, Planned Parenthood) adalah suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai alat kontrasepsi, untuk mewujudakan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Apa yang dapat dipahami dari program Keluarga Berencana sebagai kontrol dan rugulasi perilaku seks masyarakat oleh negara adalah pengurangan resiko negara terhadap konsekuensi dari perilaku seks, yaitu penambahan jumlah penduduk. Sehingga dapat dipahami bahwa aktivitas seksual bukan melulu masalah individu, melainkanmenjadi bagian dari masalah negara karena konsekuensinya tidak hanya berkait denganmasalah pribadi melainkan juga masalah sosial. Untuk itu di Indonesia, aktivitas seks menjadi aktivitas yang berada pada dua ranah: pribadi dan hukum. Implikasinya, masalah seks tidak bisa dilepaskan dari regulasi negara yang mengikat secara hukum. Maka di Indonesia pernikahan adalah legal dan pasangan diluar pernikahan akan dianggap melanggar hukum.

276 Bisnis dan Agama Dengan pola regulatif terhadap aktivitas seks masyarakat, maka dapat dipahami secara logis bahwa alat-alat kontrasepsi juga merupakan bagian dari regulasi negara khususnya dalam program Keluarga Berencana. Hal ini yang menggelitik nalar penulis untuk memproblematisasi wacana idealitas tersebut dengan fenomena iklan kondom di media yang sangat banal3. iklan memang dibuat untuk menarik perhatian audiens agar menjadi konsumen dan melakukan pembelian. Masalahnya adalah, apakah semua audiens yang diterpa iklan memang merupakan sasaran dari iklan kondom? Dengan kata lain, bagaimana jika audiens yang secara normatif tidak memiliki kepentingan untuk mengonsumsi kondom – karena belum menikah – menyaksikan iklan kondomsecara reguler lalu terstimulasi, apa yang akan terjadi?Mengapa pertanyaan ini menjadi signifikan, karena iklan dibuat pemasar untuk membujuk audiens agar membeli produk dengan asumsi adanya kebutuhan untuk menggunakan produk yang diiklankan. Tapi jika produknya adalah kondom, maka dapat dianalisis bahwa bujukan untuk membeli dan menggunakan tentu perlu memperhatikan aspek hukum dan norma sosial. Sebab sebagaimana telah dijelaskan di atas, masalah alat kontrasepsi yang berkaitan dengan aktivitas seks, diregulasi oleh negara. Tentu menjadi problematis manakala iklan yang notabene merupakan persuasi untuk membeli produk namun berpotensi bertabrakan dengan hukum dan norma sosial. “It’s not, then, its content, its modes of distribution or its manifest (economic and psychological) objectives which give advertising 3 Istilah ‘banality’ memiliki banyak arti secara literal (kamus). Padanan dalam bahasa inggrisnya antara lain adalah: triteness, predictability, ordinariness, dullness, triviality, facileness. Penulis sengaja tidak mengalihbahasakan dalam bahasa Indonesia karena khawatir tidak dapat menemukan padanan konsep yang sesuai. Namun dalam analisis media, konsep ini merupakan implikasi yang muncul dari industri budaya. Dalam tradisi pemikiran kritis, maka saat Theodor Adorno menganalisis media sebagai bagian dari industri budaya, maka analisis terhadap muatan ideologis terhadap isi media juga tidak bisa diabaikan. Logikanya, karena media menggunakan dalil industri dalam operasionalisasinya, maka pasti tujuan perolehan profit juga akan selalu menyertai setiap aktivitas yang dilakukan oleh media. Jika sudahbegitu, maka pesan yang disampaikan melalui media massa tidaklah pernah dapat dianggap netral. Pesan-pesan tersebut dapat dipastikan merupakan bentuk representasi atas kepentingan tertentu, yang dikemas secara halus sehingga hampir mustahil dikenali tanpa analisis mendalam.

Dekonruksi Strategi Branding 277 its mass communication; it is not its volume, or its real audience (through all these things are important and have a support function), but its very logic as an automized medium, i.e. as an object referring not to real object, not to real world or a referential dimension, but from one sign to the other, from one object to the other, from one consumer to the other…” (Baudrillard, 1998: 125) Iklan kemudian dalam pembahasan penulis tidak lagi melulu masalah pemasaran yang semata bertujuan memperbesar laba atau analisis pada tataran isi dan bentuk, lebih jauh, iklan kemudian menjadi bagian dari masalah sosial yang nanti implikasinya juga bukan semata persoalan individu yang terbujuk atau tidak, tetapi bagaimana individu sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki norma sosial. Mendekonstruksi Kesenangan Deconstruction is … on the one hand, a movement of overturning or reversal of the asymmetrical binary hierarchies of metaphysical thought (one/many, same/other… center/periphery…), in such a way as to register the constitutive dependence of the major on the minor term; on the other, a movement beyond the framework delimited by these terms … to an always provisional suspension of their force. This suspension operates by means of new, provisional concepts … (difference, pharmakon, hymen, archiécriture) and “which can no longer be included within philosophical (binary) opposition but which, without over constituting a third term, without ever leaving room for a solution in the form of speculative dialectics”. (Derrida, 1981: 43) Istilah dekonstruksi ini diadopsi dari Jacques Derrida, dimana dalam pembacaan penulis, dekonstruksi bukanlah suatu teori atau metode penelitian, melainkan suatu cara berpikir yang menyebutkan bahwa tidak ada kategori yang memiliki makna universal esensial kecuali konstruksi

278 Bisnis dan Agama sosial bahasa. Kata tidak mempunyai makna universal dan tidak mengacu kepada objek yang memiliki kualitas mendasar. Makna terdapat secara inheren di dalam teks dan bukan diluar teks. Tujuan dari dekonstruksi menurut Derrida adalah menawarkan suatu cara atau teknik untuk mengidentifikasi kontradiksi bahkan inkonsistensi di dalam teks agar memperoleh kesadaran yang lebih tinggi mengenai makna. Hal ini lebih lanjut akan membongkar apa yang selama ini dikenal sebagai logika binari. Jika selama ini kebenaran selalu dihasilkan melalui pembandingan yang menegasikan, maka dekonstruksi akan mengasingkan logika tersebut. Misalnya saja seorang perempuan merasa cantik karena melihat ada orang lain yang buruk rupa. Dengan dekonstruksi, gagasan mengenai cantik dan buruk rupa menjadi asing. Menjadi sesuatu yang tidak lagi diyakini, sebab yang terlihat hanyalah perempuan dengan dua wajah yang berbeda. Artinya, muncul makna baru dari sekedar cantik dan negasinya yaitu buruk rupa. Dekonstruksi menawarkan pemahaman yang baru dan bahkan berbeda dari yang selama ini dianggap biasa, diterima tanpa ragu. Kemudian juga dekonstruksi meningkatkan kemampuan berpikir kritis terhadap ideologi-ideologi halus yang tersembunyi di dalam teks. Menemukan dan membongkar makna-makna yang selama ini diabaikan, disumbat sehingga tidak muncul dalam wacana dominan. Dekonstruksi terhadap iklan kondom dapat dimulai dengan mengamati apa makna yang seolah-olah dipastikan melalui pesan dalam iklan. Istilah Derrida adalah menganalisis “undecidable”. Membongkar makna yang dianggap pasti. Dalam iklankondom Fiesta, ada banyak pesan yang dapat dianalisis dari yang disampaikan melaluiberagam iklannya. Salah satu pesan yang disampaikan tampak pada kalimat: Safety can be fun, sebagai salah satu jargon yang cukup populer saat orang mendengar brand Fiesta dalam iklannya. “Fun” sebagai kata yang berasal dari bahasa Inggris dapat diacu pada kamus dengan arti kesenangan. Namun “fun” tidak sama dengan “happy”

Dekonruksi Strategi Branding 279 (bahagia). Kata lain yang lebih dekat dengan “fun” adalah “pleasure”. Untuk memahami makna kesenangan akan digunakan konsep psikoanalisis dari Sigmund Freud yang juga membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Menurut Freud (Thwaites, 2007) “pleasure” atau kesenangan berasal dari fungsi biologis. Secara spesifik, Freud menyatakan bahwa kesenangan berasal dari stimulasi organ genital. Berangkat dari gagasannya bahwa insting dasar manusia adalah libido (untuk meneruskan kehidupan) dan agresi (untuk bertahan hidup), maka kesenangan berasal dari nalar libido tersebut. Sehingga kesenangan adalah bagian dari aktivitas seksual. Konsep ini kemudian sesuai manakala diterapkan dalam analisis terhadap iklan kondom. “Fun” dalam konteks iklan kondom kemudian memiliki dua makna kesenangan yang mengacu pada kegiatan seks dan keamanan dari aktivitas seks tersebut sebab dilindungi oleh kondom dengan bahan yang baik. Bahan ini dijelaskan tidak mudah bocor sehingga menghalangi sperma memasuki rahim dan terbuat dari bahan yang lebih lembut daripada lateks sehingga tidak menyebabkan iritasi pada vagina. Lalu apa yang dapat dipahami sebagai implikasi dari kesenangan yang disimulasi­ kan dalam iklan kondom ini? Iklan ini menjanjikan kesenangan untuk memenuhi kebutuhan seksual dari audiens. Tidak dalam rangka kontrol dan regulasi aktivitas seksual sebagaimana dalam wacana Keluarga Berencana yang dihasung oleh pemerintah Indonesia. Namun lebih kepada bagaimana hasrat yang disimulasikan dalam imajinasi mengenai kesenangan. Apalagi konsep mengenai kesenangan ini juga divisualisasikan dengan berbagai produk lain sebagai variasi dari produk kondom dengan brand Fiesta. Variasi produk kondom ini tidak

280 Bisnis dan Agama lagi sekedar menjalankan fungsi kontrasepsi, melainkan lebih cenderung memberi nilai tambah berupa kesenangan dalam aktivitas seksual. Hal ini dapat diamati dari berbagai varian produk yang tidak sekedar menjual produk kondom dengan bahan yang baik, tetapi juga telah menambah rasa (mint, pisang dan lain-lain) dan tambahan semacam aksesori berupa cincin vibrasi. Sehingga apa yang hendak “dijual” dalam brand kondom Fiesta ini tidak lagi soal keamanan dalam aktivitas seksual, melainkan lebih pada eksplorasi kesenangan dalam aktivitas seksual. Inilah yang kemudian menjadi simulasi dalam pesan iklan kondom Fiesta. Simulasi mengenai imajinasi aktivitas seksual yangmendatangkan kesenangan yang secara bebas dapat diinterpretasi oleh audiens. Gagasan mengenai “fun” kemudian dapat diamati akan memiliki makna kontradikitif bahkan janggal manakala dikonfrontasi dengan pesan lain yang dapat diamati dari iklan kondom adalah sisipan kalimat “hindarilah HIV AIDS” dalam iklan kondom Fiesta versi lainnya. Pesan ini sekilas akan terkesan bahwa dengan menggunakan kondom, terdapat jaminan akan terhindar dari virus HIV yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Kebenaran dalam kalimat ini adalah kebenaran normatif. Bahwa mencegah penyebaran virus HIV memang dapat dilakukan dengan perlindungan kondom. Namun bukankah yang lebih esensial adalah mengontrol perilaku seksual dengan tidak berganti- ganti pasangan? Dan bukankah esensi dari alat kontrasepsi sejatinya adalah mencegah bertemunya sperma dan sel telur? Perlindungan terhadap virus HIV adalah nilai tambah manakala sperma tidak bertemu dengan sel telur. Namun makna ini absen atau sengaja diabaikan dalam pesan iklan kondom Fiesta. Sebab jika pesan ini tersampaikan, maka bisa jadi kondom sebagai produk tidak akan laku terjual.

Dekonruksi Strategi Branding 281 Logika sederhananya, jika pesan yang disampaikan adalah mencegah bertemunya sperma dan sel telur dalam konteks perencanaan keluarga (KB) dan pencegahan virus HIV esensinya terletak pada gagasan tidak berganti-ganti pasangan, maka kondom hanya akan menjadi salah saltu alternatif dari alat kontrasepsi saja. Artinya, ia akan dipahami sebatas alat yang dapat dipilih atau bahkan diabaikan. Juga sasaran yang akan dibidik juga akan semakin terbatas. Ini tentu saja akan menghilangkan tujuan dari branding suatu produk, yaitu untuk menjual sebanyak mungkin komoditas. Mengaitkan antara gagasan mencegah bertemunya sperma dan sel telur dengan menggunakan kondom dan mencegah penyebaran virus HIV dalam istilah Derrida disebut sebagai diseminasi atau penyebaran makna. Kedua makna tersebut sejatinya bisa jadi tidak (harus) berkaitan, namun melalui iklan kondom, kedua makna tersebut dapat dikaitkan sehingga membentuk satu gagasan yang bernilai benar dan akhirnya dipercaya. Audiens bisa saja abai terhadap kepentingan komoditas kondom dalam iklannya, sehingga akan mudah percaya bahwa dengan menggunakan kondom, penyebaran virus HIV dapat dicegah sehingga penyakit AIDS pun dapat dihindari. Kelemahan dari gagasan ini sebagaimana telah disinggung di atas, diabaikan oleh pesan iklan. Sehingga audiens akan lupa bahwa esensi dari pencegahan penyebaran virus HIV adalah dengan tidak berganti-ganti pasangan seks. Mendekonstruksi Konsumsi Dekonstruksi yang digagas oleh Derrida hendak membongkar makna ideologis dari suatu teks dari tubuhnya sendiri. Maka demikian ketika

282 Bisnis dan Agama hendak melakukan analisis terhadap iklan kondom Fiesta, juga dilakukan dengan membedah anatominya sendiri. Anatomi lain dari teks ini terkandung pada makna konsumsi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari branding. Dalam logika “conspicuous consumption‘, konsumsi tidak bergerak dari kebutuhan menuju pembelian. Seringkali, yang terjadi adalah nilai tanda memunculkan stimulasi untuk membeli lalu menggunakan. Hal ini akan mudah dipahami pada logika fashion, dimana seringkali konsumen membeli produk fashion lebih banyak didominasi hasrat untuk membeli apa yang ditawarkan tanpa mengacu dari landasan kebutuhan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Karl Marx dalam esainya yang berjudul Grundrisse(diterjemahkan dalam Decoding Advertisement, J. Williamson): The process, then, is simply this; The product becomes a commodity, i.e. a mere moment of exchange. The commodity is transformed into exchange value. In order to eqquate it with itself as an exchange value, it is exchanged for a symbol which represents it as exchange value as such. As such symbolised exchange value, it can then in turn be exchanged in define relations for every other commodity. Because the product become a commodity, and the commodity become an exchange value, it obtains, at first only in the head, a double existence. This doubling in the idea proceeds (and must proceed) to the point where the commodity appears double in real exchange: as a natural product on one side, as exchange value on the other. Karl Marx, menyatakan bahwa produksi dalam waktu yang bersamaan adalah konsumsi dan sebaliknya. Tanpa produksi, tidak akan ada objek untuk dikonsumsi dan tanpa konsumsi, tidak akan ada subjek bagi produk. Suatu produk tidak akan disebut “produk” apabila belum dikonsumsi dan konsumsi “ada” untuk menciptakan “kebutuhan” akan produksi baru. Dalam ilmu ekonomi, hal tersebut dikenal dengan istilah supply dan demand. Sedangkan

Dekonruksi Strategi Branding 283 dalam konteks teori artikulasi, proses budaya produksi dan produksi budaya selalu “menyiratkan” istilah konsumen, baik sebagai pihak pasif (penerima makna) maupun sebagai pihak aktif (pemberi makna). Oleh karena itu, produksi tidak hanya memroduksi objek untuk dikonsumsi, akan tetapi juga memroduksi perilaku (manner) konsumsi dan sebaliknya, konsumsi menciptakan “motif” untuk produksi baru (reproduksi). Sebaliknya, konsumsi juga diartikulasikan oleh identitas. Relasi dialogis antara identitas dan konsumsi berhubungan dengan materi (nilai guna) dan symbol dari produk yang dikonsumsi. Ungkapan “We Become What We Consume” merupakan kritik bagi konsumerisme di mana konsumen dilihat sebagai pihak yang pasif dan mudah termanipulasi (Mackay, 1997: 3). Dalam kritik tersebut, konsumen “dianggap” termakankode-kode “rayuan” yang dikonstruksi oleh pihak produsen dimana konsumen mengonsumsi suatu produk berdasarkan nilai simbolik dan mengesampingkan nilai gunanya. Menurut perspektif postmodernist seperti Baudrillard, nilai-nilai simbolis dari suatu produklah yang menjadikan “kita” konsumen meskipun “sebenarnya” kita tidak pernah mengonsumsi produk tersebut (Mackay, 1997: 5). Konsumsi merupakan artikulasi dari kesadaran akan identitas. Dengan mengonsumsi suatu produk, para konsumen mengekspresikan selera satu sama lain yang mengindikasikan bahwa mereka adalah bagian (penyama) dan bukan bagian (pembeda) dari suatu kelompok. Dengan mengonsumsi, konsumen mengartikulasikan identitas mereka. Audiens akan dihadapkan pada situasi dimana ia akan diberi stimulasi bahwa produk yang sedang diiklankan butuh dibeli dan digunakan. Sebagai bagian dari gaya hidup, status sosial, gengsi, atau apapun asal bisa membuat konsumen membeli. Masalahnya kemudian, jika yang diiklankan adalah kondom, untuk fungsi apa audiens distimulasi mengonsumsi? Bukankah jawabannya tidak lain adalah bujukan agar menggunakan sebagai alat pengaman dalam berhubungan seks? Namun apakah dalam iklan memberi informasi bahwa regulasi di Indonesia, aktivitas seks yang legal adalah melalui pernikahan? Agaknya tidak!

284 Bisnis dan Agama Muatan pesan agar kondom dikonsumsi sebagai alat pengaman dalam hubungan seks juga diabsenkan dari operasi retorika dalam strategi branding kondom. Hal ini memang tidak mudah ditemukan tanpa analisis yang mendalam. Sebab dalam tampilannya, iklan kondom Fiesta memang telah menunjukkan upaya yang santun dengan tidak menggunakan tandatanda implisit mengenai seks. Tanda-tanda yang ditampilkan didominasi oleh visualisasi produk dengan tata warna dan teks yang menarik dan tidak mengarahkan pada simbol-simbol seks. Namun demikian makna dari suatu iklan tidak cukup hanya dengan mengamati apa yang tampak. Seringkali justru makna yang sebenarnya adalah makna yang tersembunyi dibalik rangkaian tanda. Analisis mendalam tentu dibutuhkan dalam upaya dekonstruksi makna iklan ini. “We have to beware of interpreting this gigantic enterprise of production of the artificial and the cosmetic, of pseudo-objects and pseudo-events, which is invading our daily existence, as a denaturing or falsifying of an „authentic? content. We can see from all that has just been said that the abduction of meaning, the depoliticisation of politics, the deculturing of culture and the desexualisation of the body in mass-media consumption occurs in a region far beyond the mere „tendentious? reinterpretation of content…” (Baudrillard, 1998: 126) Akumulasi produksi yang berlebihan dari industrialisasi dan berjalin kelindan dengan industri media massa telah menghasilkan suatu reproduksi realitas yang melebihi realitas yang bisa dijadikan acuan. Apa yang kemudian disebut Baudrillard dengan pseudo-objek dan pseudo-event adalah realitas benda dan realitas peristiwa yang dianggapnya semu. Kehilangan hakiki dari esensi entitasnya. Demikian yang coba penulis analisis terhadap iklan kondom yang marak di media massa. Audiens bisa saja lebih terfokus pada tampilan yang menarik dari visualisasi produk dan percaya bahwa iklan tersebut

Dekonruksi Strategi Branding 285 merupakan sebuah informasi mengenai alat kontrasepsi untuk laki-laki. Namun hal yang juga tak boleh diabaikan adalah bagaimana pemahaman mengenai alat kontrasepsi yang dikomodifikasi. Di dalamnya pasti mengandung bujukan dan rayuan agar audiens laki-laki meng­ gunakannya melalui aktivitas seksual. Mengimajinasikan audiens yang disasar adalah laki-laki juga menarik untuk dijadikan salah satu komponen analisis dari pembacaan terhadap iklan kondom Fiesta. Iklan alat kontrasepsi untuk laki-laki menarik dianalisis karena jika dibandingkan dengan alat-alat kontrasepsi lainnya, tidak banyak alat kontrasepsi untuk laki-laki. Kondom adalah alat kontrasepsi yang efisien, sebab ia murah dan mudah digunakan. Juga tidak berpengaruh terhadap hormon, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Setidaknya, ada dua makna lagi yang bisa dibaca dari iklan kondom ini terkait dengan bujukan konsumsi. Pertama, ia adalah alat kontrasepsi yang ditujukan untuk laki-laki. Alat kontrasepsi untuk laki-laki seolah-olah kemudian menjadi landasan yang rasional sehingga kondom diiklankan secara bebas. Jika dibandingkan dengan alat kontrasepsi untuk perempuan, selain tidak banyak diiklankan juga tidak semenarik iklan kondom. Iklan alat kontrasepsi untuk perempuan cenderung informatif dan edukatif4. Mengapa demikian? Dalam logika sederhana, akan mudah dipahami bahwa dalam suatu aktivitas seksual, laki-laki akan menerima resiko lebih kecil daripada perempuan karena tidak akan hamil. Dengan adanya iklan kondom yang mudah diakses, secara tidak langsung terdapat informasi bagi laki-laki agar bisa berhubungan seks secara aman. Dalam artian, terdapat jaminan 4 Iklan alat-alat kontrasepsi untuk perempuan tidak penulis hadirkan dalam makalah ini untuk alasan efisiensi. Namun iklan-iklan tersebut dapat dengan mudah diamati di berbagai media.

286 Bisnis dan Agama yang lebih besar bahwa ia tidak akan menghamili perempuan yang diajaknya berhubungan sehingga aktivitas seks akan menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi kedua pihak. Laki-laki sejak awal telah dididik oleh media agar menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dengan menggunakan kondom sehingga tidak perlu bertanggung jawab terhadap kehamilan yang diakibatkan oleh hubungan seks. Makna kedua, pembacaan iklan kondom dapat dilakukan terhadap visualisasi tampilan iklan kondom Fiesta yang sangat menarik dengan warna-warna karena produk kondomnya sendiri juga bervariasi dalam hal aksesori dan rasa. Apa yang dapat ditangkap dari fenomena ini? Konsumsi terhadap kondom tidak lagi sekedar pengaman dalam hubungan seks, namun juga eksplorasi terhadap aktivitas seksual itu sendiri. Produk kondom agaknya hanya sedikit berbeda dengan industri film porno yang juga mengeksplorasi aktivitas seksual. Dalam hal ini, wacana tentang seksualitas tentu telah bergeser jauh dari fungsi biologisnya. Wacana yang kemudian lebih mengemuka adalah seks dengan menggunakan kondom tidak hanya aman tetapi juga menyenangkan, sehingga regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia justru memudahkan proses aktivitas seks diluar regulasinya sendiri. “Bukan kesadaran yang menentukan keadaan manusia, akan tetapi keadaan (sosial) yang menentukan kesadaran manusia.” (Marx dalam Storey, 2001).Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana ideologi beroperasi; terciptanya distorsi realita atau kesadaran palsu. Ideologi berhubungan dengan tema-tema besar seperti worldview dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian keberlangsungan masyarakat (social order) tidaklah bebas nilai, melainkan dikompetisikan dan dinegosiasikan antara idelogi dominan dengan ideologi subordinat. Analisis mengenai branding seks dalam iklan kondom ini tidak hendak mengurai ideologi-ideologi dominan yang saling berhadapan. Analisis ini hanya menjadi wacana pembuka atas pemahaman mengenai iklan yang

Dekonruksi Strategi Branding 287 mudah diamati di berbagai media mengenai produk yang seharusnya dipahami sebagai alat kontrasepsi. Setidaknya, analisis ini hendak menjadi pengingat bahwa tidak semua iklan yang membujuk untuk membeli produk perlu dituruti. Tentu dengan alasan yang rasional. Problematisasi Etika: Menelaah ‘Ruang’ yang Tersisihkan Problematisasi iklan kondom juga menyisakan ruang yang cukup jarang disentuh, yaitu etika. Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha manusia dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang dipahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos (Taylor, 2000: 3). Pemahaman mengenai etika seharusnya menjadi refleksi atas fenomena yang kini tampak lazim. Jika menilik dari konsep dasarnya, sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Pemahaman ini melahirkan apa yang disebut paham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, menurut aliran ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kitauntuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam -pada batas tertentu-ialah aliran Mu‘tazilah (Hourani, 1990: 25). Adapun aliran kedua ialah subyektifisme, dimana aliran ini berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan

288 Bisnis dan Agama dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Paham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy‘ariyah. Menurut faham Asy‘ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy‘ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan “anak kecil” yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk. Jika etika adalah kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, lalu bagaimana kita menelaah fenomena iklan kondom dan dorongan terhadap konsumsi salah kaprah atasnya? Setidaknya wacana yang bisa penulis ajukan mulai dari etika mengenai iklan. Jika selama ini dalam kajian media problematisasi yang kerap dimunculkan terkait dengan etika ini berada pada tataran isi dan teknis, maka dalam telaah iklan kondom ini penulis hendak mengajukan wacana etika dari sisi yang agak berbeda, yaitu mengenai apa yang disebut sebagai batasan. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (terjemahan Al Qur‘an, Surah Al-Jatsiyah: 23) Jika analisis etika secara objektif telah penulis lakukan dengan pendekatandekonstruksi, maka analisis subjektif penulis lakukan dengan menukil salah satu ayatdalam Al-Qur‘an yang menjelaskan secara sederhana mengenai ilustrasi tentang bagaimana Islam melihat hasrat atau yang kerap dibahasakan sebagai hawa nafsu. Al- Qur‘an menegaskan bahwa batasan

Dekonruksi Strategi Branding 289 atas hasrat adalah manakala hasrat itu dijadikan tuhan, atau sesembahan. Dalam istilah yang lebih populer adalah sesuatu yang menjadi determinan. Inilah yang dicoba dilakukan para pemasar saat membujuk konsumen agar membeli produk yang belum tentu dibutuhkannya. Maka kalimat terakhir dari ayat tersebut adalah ajakan refleksi dalam kalimat “mengambil pelajaran‘, yang dapat dimaknai sebagai upaya untuk membatasi hasrat. “Tapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun”. (terjemahan Al-Qur‘an surat Ar Ruum: 30) Subjektivitisme Islam menempatkan etika untuk melihat bagaimana industri budaya yang mengarahkan pada hasrat konsumsi melebihi kebutuhan dengan klaim sebagai dzalim atau orang yang mencelakai dirinya sendiri. Sehingga jelas dalam konteks ini hasrat manusia yang diasumsikan tak terbatas itu harus dikendalikan sendiri oleh yang bersangkutan agar tidak mencelakakan dirinya. Apakah etika dalam aliran subjektif Islam ini tidak bertentangan dengan kebebasan? Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengasumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pulapertanggungjawaban moralnya. Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa suatu pandangan positif bahwa manusia memang pantas mendapatkan julukan “sebaik-baik makhluk” (terjemahan Al-Qur‘an Surah At Tiin: 4), puncak ciptaan Tuhan meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang

290 Bisnis dan Agama fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal. Industri kondom sebagai alat kontrasepsi bukanlah hal yang kemudian ditolak oleh etika dalam perspektif Islam. Terlepas dari perdebatan mengenai kebolehan melakukan tindakan perencanaan kehamilan dalam rumah tangga, penulis akan menyoroti fenomena iklan kondom secara khusus pada industrinya. Sebagaimana dalam terjemahan Al-Qur‘an Surah Al-Jum‘at ayat 9-10 dikatakan: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat di hari Jum‘at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yyang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sholat Jum‘at maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu mendapatkan kejayaan”. Prinsip keseimbangan adalah logika yang ditawarkan Al-Qur‘an mengenai bagaimana manusia melaksanakan kegiatan ekonominya. Keseimbangan ini dimaksudkan agar umat Islam dapat mengendalikan hasrat yang ada pada dirinya sehingga tidak terjerumus pada tindakan yang dapat mencelakakan dirinya sendiri.Keseimbangan ini dapat berarti luas. Baik antara kebendaan dengan ibadah ritual yangbersifat profan maupun keseimbangan dalam arti menyisihkan sebagian materi untuk kepentingan orang lain. Dalam Islam dikenal sebagai konsep tentang zakat, infaq, shodaqoh dan lain sebagainya yaitu pemberian uang dari hasil produksi (kerja) pada orang lain dalam satuan jumlah tertentu. “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa diantara mereka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya (diri dan jiwa), padahal tidak ada seorangpun

Dekonruksi Strategi Branding 291 memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya”.(terjemahan Al-Qur‘an Surah Al-Lail 17-20) Maka keseimbangan inilah yang dapat digunakan untuk bersikap bijaksanasesuai dengan etika Islam terhadap fenomena iklan kondom. Di satu sisi tidak bersikap negatif pada industri namun tetap terdapat batasan agar industri ini tidak memunculkan persoalan-persoalan yang lebih besar dan mengganggu kesejahteraan masyarakat. Etika tentang iklan yang menjadi alat pemasaran dalam industri seharusnya juga memperhatikan hak sebagian audiens yang tidak perlu mengkonsumsi produk yang dipasarkan. Dalam hal ini khusus mengenai produk kondom, ada sebagian audiens lakilaki yang karena alasan tertentu belum/tidak menikah, maka hak mereka juga perlu dijaga oleh pemasar. Meskipun mereka secara pribadi juga memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga hasratnya. Pada titik inilah keseimbangan akan terjadi sehingga persoalan masyarakat yang terkait dengan seksualitas dapat terkendali. “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat? (terjemahan Al-Qur‘an Surah An-Nuur: 30) Kesimpulan Adanya wacana mengenai branding dalam dunia pemasaran ternyata masih menyisakan kritik sebagai penyeimbang dalam konstelasi wacana yang berkembang di masyarakat. Kapitalisme lanjut memang tidak cukup dilawan dengan revolusi sebagaimana yang digagas oleh Karl Marx. Kapitalisme kini telah menemukan bentuk- bentuk baru yang lebih halus dan tidak mudah dikenali oleh banyak orang. Sebab di sisi lain, kapitalisme memang memanjakan konsumen dengan pencitraan-pencitraan yang

292 Bisnis dan Agama dihasung dalam media untuk memanipulasi realitas agat menjadi sesuai dengan kepentingan pemilik modal. Pada titik inilah metode dekonstruksi yang ditawarkan Derrida menemukan ruang ekspresi yang sesuai. Dalam iklan kondom yang diajukan penulis kali ini, dekonstruksi digunakan sebagai metode berpikir dalam membaca iklan kondom yang cukup marak ditampilkan melalui media massa dan internet. Pembacaan ini dilakukan untuk menemukan makna-makna diluar narasi utama yang disampaikan pemasar melalui iklannya. Dari pembacaan yang dilakukan penulis, penulis menemukan bahwa terdapat narasi tersembunyi dibalik brand Fiesta. Alat kontrasepsi yang menjadi fungsi dasar telah bergeser menjadi simulasi hasrat dari aktivitas seksual yang seharusnya diregulasi di masyarakat Indonesia. Namun regulasi ini tertutup oleh jargon dan visualisasi produk yang lebih menarik. Inilah yang kemudian memunculkan wacana baru mengenai aktivitas seksual yang tidak lagi sesuai dengan wacana regulasi yang dibuat olehpemerintah. Dalam perspektif Islam, etika terhadap iklan sebagai bagian dari industri tidak kemudian menyatakan pelarangan terhadap iklan semacam ini secara tegas. Etika hanya memberikan refleksi sebagai tinjauan moral terhadap potensi makna yang dimunculkan dari terpaan iklan Fiesta ini. Bahwa kemudian kondom memiliki fungsi sebagai alat kontrasepsi, dengan semua manfaat dan kemudahannya dapat digunakan secara bijaksana oleh konsumen. Tetapi sebagaimana hasrat yang memiliki batasan, maka agar makna yang muncul dari iklan kondom semacam ini tidak mengarahkan pada salah kaprah atau sesat pikir, maka pemasar juga perlu merefleksikan etika dalam tindakan pemasarannya. Sehingga informasi mengenai produk tidak menjadikan informasi tersebut kepalsuan yang dapat merusak moral kolektif masyarakat. Daftar Pustaka Arvidsson, Adam. (2006).Brands Meaning and ValueinMedia Culture.Routledge. Batey, Mark. (2008). Brand Meaning. Routledge.

Dekonruksi Strategi Branding 293 Baudrillard, Jean.(1981).Simulacreset simulation, Paris: Galilée. Fulltranslation, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser, Ann Arbor: University of Michigan Press. 1994. Baudrillard,Jean.(1970).Lasociété deconsummation, Paris: Denoël. Fulltranslation, The Consumer Society: Myths and Structure, trans. Sage Publication. 1998. Derrida, Jacques.(1981).Positions, Chicago: University of Chicago Press. Edgar, Andrew & Peter Sedgwick (1999).The Key Conceptsin Cultural Theory. Routledge. Hourani, George F. (1985).Reason and Tradition in Islamic Ethics.Cambridge: Cambridge University Press. Lane, Richard J.(2000).Jean Baudrillard. Routledge. 2000. Schachter, D.(1996). Searching for Memory. New York: Basic Books Taylor, Paula A. & Jan L l. Harris, (2008).Critical Theoris of Mass Media: Thenand Now. Open University Press– Mc Graw Hill. Taylor, Paul W. Problems of Moral Philosophy. California: Dickenson Publishing Company Inc. Williamson, Judith.(1982).“Advertising as ideology and myth” in: Journal of Communication Research Trends 3.3 Wilmshurst, John and Adrian Mackay. (2004). The Fundamentals of Advertising Burlington: Elsevier Butterworth-Heinemann

Tentang Penulis dan Editor

Endang Mirasari adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya & Media, SPS-UGM. Hamam Burhanudin adalah Dosen STITI Karya Pembangunan Ngawi, Jawa Timur. Hengki Wijaya adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Kristen Dutawacana. Mohammad Hasan Basri adalah alumni (Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas dan peneliti di Asroruna Institute Jakarta. Natanael Setiadi adalah seorang pendeta GKI dengan basis pelayanan di jemaat GKI Kayu Putih, Jakarta Timur. Menyelesaikan studi lanjut program Magister Theologiae (M.Th) pada 2011 di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Nina Mariani Noor adalah Program Executive Globethics.net Indonesia (GE ID) dan mahasiswa S3 di ICRS Universitas Gadjah Mada, angkatan 2009. Sampe Waruwu adalah seorang pendeta dan mahasiswa pascasarjana teologi di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, angkatan tahun 2010. Samsul Ma’arif adalah staf pengajar di CRCS UGM. Sepky Mardian adalah dosen Program Studi Akuntansi Syariah STEI SEBI, Depok. Siti Syamsiyatun adalah dosen di UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Eksekutif ICRS-UGM dan Globethics.net Indonesia.

Woro Indyas A.D Tobing adalah pendeta dan mahasiswa Pascasarjana Universitas Kristen Dutawacana. Yahya Wijaya adalah dosen di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta dan Tim Direktur Globethics.net Indonesia. Yeremias Yena adalah staf pengajar di Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Zakiyudin Baidhawi adalah dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

Globethics.net is a worldwide ethics network based in Geneva, with an international Board of Foundation of eminent persons, 100,000 participants from 200 countries and regional and national programmes. Globethics.net provides services especially for people in Africa, Asia and Latin-America in order to contribute to more equal access to knowledge resources in the field of applied ethics and to make the voices from the Global South more visible and audible in the global discourse. It provides an electronic platform for dialogue, reflection and action. Its central instrument is the internet site www.globethics.net.

Globethics.net has four objectives: Library: Free Access to Online Documents In order to ensure access to knowledge resources in applied ethics, Globethics.net offers its Globethics.net Library, the leading global digital library on ethics with over 1 million full text documents for free download. A second library on Theology and Ecumenism was added and a third library on African Law and Governance is in preparation and will be launched in 2013. Network: Global Online Community The registered participants form a global community of people interested in or specialists in ethics. It offers participants on its website the opportunity to contribute to forum, to upload articles and to join or form electronic working groups for purposes of networking or collaborative international research. Research: Online Workgroups Globethics.net registered participants can join or build online research groups on all topics of their interest whereas Globethics.net Head Office in Geneva concentrates on six research topics: Business/Economic Ethics, Interreligious Ethics, Responsible Leadership, Environmental Ethics, Health Ethics and Ethics of Science and Technology. The results produced through the working groups and research finds their way into online collections and publications in four series (see publications list) which can also be downloaded for free. Services: Conferences, Certification, Consultancy Globethics.net offers services such as the Global Ethics Forum, an international conference on business ethics, customized certification and educational projects, and consultancy on request in a multicultural and multilingual context.

www.globethics.net



Globethics.net Publications All volumes can be downloaded for free as pdfs from the Globethics.net library and at www.globethics.net/publications. Bulk print copies can be ordered from [email protected] at special rates from Global South. The Editor of the different Series of Globethics.net Publications is Prof. Dr. Christoph Stückelberger, Founder and Executive Director of Globethics.net in Geneva and Professor of Ethics at the University of Basel/Switzerland. Contact for manuscripts and suggestions: [email protected].

Global Series Christoph Stückelberger / Jesse N.K. Mugambi (eds.), Responsible Leadership. Global and Contextual Perspectives, 2007, 376pp. ISBN: 978-2-8254-1516-0 Heidi Hadsell/ Christoph Stückelberger (eds.), Overcoming Fundamentalism. Ethical Responses from Five Continents, 2009, 212pp. ISBN: 978-2-94042800-7 Christoph Stückelberger / Reinhold Bernhardt (eds.): Calvin Global. How Faith Influences Societies, 2009, 258pp. ISBN: 978-2-940428-05-2. Ariane Hentsch Cisneros/ Shanta Premawardhana (eds.), Sharing Values. A Hermeneutics for Global Ethics, 2010, 418pp. ISBN: 978-2-940428-25-0. Deon Rossouw/ Christoph Stückelberger (eds.), Global Survey of Business Ethics in Training, Teaching and Research, 2012, 404pp. ISBN: 978-2-94042839-7 Carol Cosgrove Sacks/ Paul H. Dembinski (eds.), Trust and Ethics in Finance. Innovative Ideas from the Robin Cosgrove Prize, 2012, 380pp. ISBN: 978-2940428-41-0 Jean-Claude Bastos de Morais / Christoph Stückelberger (eds.), Innovation Ethics. African and Global Perspectives, 2014, 233pp. ISBN: 978-2-88931003-6 Philip Lee / Dafne Sabanes Plou (eds.), More or Less Equal: How Digital Platforms Can Help Advance Communication Rights, 2014, 158pp. ISBN 978-288931-009-8 Nicolae Irina / Christoph Stückelberger (eds.), Mining Ethics and Sustainability. Papers from the World Mining Congress 2013, 2014, 195pp, ISBN 978-288931-020-3

Amélie Vallotton Preisig, Hermann Rösch and Christoph Stückelberger (eds.), Ethical Dilemmas in the Information Society. Codes of Ethics for Librarians and Archivists, 2014, 225pp. ISBN:978-2-88931-024-1

Focus Series Christoph Stückelberger, Das Menschenrecht auf Nahrung und Wasser. Eine ethische Priorität, 2009, 80pp. ISBN: 978-2-940428-06-9 Christoph Stückelberger, Corruption-Free Churches are Possible. Experiences, Values, Solutions, 2010, 278pp. Available in French. ISBN: 978-2-940428-07-6 Vincent Mbavu Muhindo, La République Démocratique du Congo en panne. Un bilan 50 ans après l’indépendance, 2011, 380pp. ISBN: 978-2-940428-29-8 The Value of Values in Business.Global Ethics Forum 2011 Report and Recommendations, 2011, 90pp. ISBN: 978-2-940428-27-4 Benoît Girardin, Ethics in Politics: Why it matters more than ever and how it can make a difference, 2012, 172pp. Available in French . ISBN: 978-2-94042821-2 Siti Syamsiyatun/ Ferry Muhammadsyah Siregar (eds.), Etika Islam dan Problematika Sosial di Indonesia / Islamic Ethics and Social Problems in Indonesia, 2012, 252pp. (articles on Islamic ethics from a paper competition, in Indonesian and English) ISBN: 978-2-940428-43-4 Siti Syamsiyatun / Nihayatul Wafiroh (eds.), Filsafat, Etika, dan Kearifan Local untuk Konstruksi Moral Kebangsaan / Philosophy, Ethics and Local Wisdom in the Moral Construction of the Nation, 2012, 224pp. (articles on Indonesian ethics from a paper competition, in Indonesian and English) ISBN: 978-2940428-45-8 Aidan Msafiri, Globalisation of Concern II. Essays on Education, Health, Climate Change, and Cyberspace, 2012, 140pp. ISBN: 978-2-940428-47-2 Willem A Landman, End-of-Life Decisions, Ethics and the Law, 2012, 136pp. ISBN: 978-2-940428-53-3 Corneille Ntamwenge, Éthique des affaires au Congo. Tisser une culture d’intégrité par le Code de Conduite des Affaires en RD Congo, 2013, 132pp. ISBN: 978-2-940428-57-1 Kitoka Moke Mutondo/ Bosco Muchukiwa, Montée de l’Islam au Sud-Kivu: opportunité ou menace à la paix sociale. Perspectives du dialogue islamochrétien en RD Congo, 2012, 48pp. ISBN: 978-2-940428-59-5 Elisabeth Nduku/ Christoph Stückelberger (eds.), African Contextual Ethics: Hunger, Leadership, Faith and Media, 2013, 148pp. ISBN: 978-2-940428-65-6

Dicky Sofjan (with Mega Hidayati), Religion and Television in Indonesia: Ethics Surrounding Dakwahtainment, 2013, 112pp. ISBN: 978-2-940428-81-6 Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity. Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia. 2014, 372pp. ISBN: 978-2-940428-69-4 Nina Mariani Noor/ Ferry Muhammadsyah Siregar (eds.), Etika Sosial dalam Interaksi Lintas Agama, 2014, 208pp. ISBN 978-2-940428-83-0 Jules Kamabu Vangi Si Vavi, De la violence à la réconciliation: Pour une éthique d’humanisation de la violence, 2014, 122pp. ISBN 978-2-940428-95-3 Elizabeth Nduku / John Tenamwenye (eds.), Corruption in Africa. A Threat to Justice and Sustainable Peace, 2014, 510pp. ISBN 978-2-88931-017-3 Yahya Wijaya/Nina Mariani Noor (eds.), Etika Ekonomi dan Bisnis. Perspektif Agama-Agama di Indonesia / Economic and Business Ethics. Religious Perspectives in Indonesia, 2014, 302pp. ISBN 978-2-940428-67-0

Theses Series Kitoka Moke Mutondo, Eglise, Protection des Droits de l’Homme et Refondation de l’Etat en République Démocratique du Congo: Essai d’une éthique politique engagée, 2012, 412pp. ISBN: 978-2-940428-31-1 Ange Sankieme Lusanga, Ethique de la migration. La valeur de la justice comme base pour une migration dans l'Union Européenne et la Suisse, 2012, 358pp. ISBN: 978-2-940428-49-6 Nyembo Imbanga, Parler en langues ou parler d’autres langues. Approche exégétique des Actes des Apôtres, 2012, 356pp. ISBN: 978-2-940428-51-9 Njojo Kahwa, Éthique de la non-violence, 2013, 596pp. ISBN: 978-2-94042861-8 Ibiladé Nicodème Alagbada, Le Prophète Michée face à la corruption des classes dirigeantes, 2013, 298pp. ISBN: 978-2-940428-89-2 Symphorien Ntibagirirwa, Philosophical Premises for African Economic Development: Sen's Capability Approach 2014, 384pp. ISBN: 978-2-88931001-2 Frédéric-Paul Piguet, Justice climatique et interdiction de nuire, 2014, 559pp. ISBN:978-2-88931-005-0 Jörg F. W. Bürgi, Improving Sustainable Performance of SMEs. The Dynamic Interplay of Morality and Management Systems, 2014, 537pp. ISBN 978-288931-015-9

Praxis Series Christoph Stückelberger, Way-Markers: 100 Reflections Exploring Ethics in Everyday Life, 2014, 100p. Available in German. ISBN 978-2-940428-74-0 Christoph Stückelberger, Responsible Leadership Handbook: For Staff and Boards, 2014, 117pp. ISBN: 978-2-88931-019-7

Texts Series Principles on Sharing Values across Cultures and Religions, 2012, 20pp. Available in English, French, Spanish, German and Chinese. ISBN: 978-2940428-09-0 Ethics in Politics. Why it matters more than ever and how it can make a difference. A Declaration, 8pp, 2012. Available in English and French. ISBN: 978-2-940428-35-9 Religions for Climate Justice: International Interfaith Statements 2008-2014, 2014, 45pp. Available in English. ISBN: 978-2-88931-006-7

African Law Series Ghislain Patrick Lessène, Code international de la détention en Afrique: Recueil de textes, 2013, 620pp. ISBN: 978-2-940428-71-7 D. Brian Dennison/ Pamela Tibihikirra-Kalyegira (eds.), Legal Ethics and Professionalism. A Handbook for Uganda, 2014, 400pp. ISBN 978-2-88931011-1

China Christian Series Yahya Wijaya/ Christoph Stückelberger/ Cui Wantian, Christian Faith and Values: An Introduction for Entrepreneurs in China, 2014, 76pp. Available in Chinese. ISBN: 978-2-940428-87-8

www.globethics.net/publications

Globethics.net

Focus

16

Etika Ekonomi dan Bisnis

Editors Yahya Wijaya ? Nina Mariani Noor

Articles in this book offer another form of relationship between religion and business. The basic perspective adopted is a business ethics perspective. In the perspective of business ethics, religion and business do not need to be separated moreover considered to be contrary, but it does not mean that they necessarily be paired without consequence. Eleven authors in this book highlight the various aspects and factors in the relationship between business and religion in the context of Indonesia.

Perspektif Agama-Agama di Indonesia

Tulisan-tulisan dalam buku ini menawarkan bentuk hubungan yang lain antara agama dan bisnis. Perspektif dasar yang dianut adalah perspektif etika bisnis. Dalam perspektif etika bisnis, agama dan bisnis tidak perlu ditempatkan terpisah apalagi dianggap bertentangan, namun tidak berarti keduanya serta merta dapat dipasangkan tanpa konsekuensi. Sebelas penulis dalam buku ini menyoroti berbagai aspek dan faktor dalam hubungan antara bisnis dan agama dalam konteks Indonesia.

Etika Ekonomi dan Bisnis Perspektif Agama-Agama di Indonesia Editors Yahya Wijaya ? Nina Mariani Noor

Focus 16