Francis Capra - Afid Burhanuddin

23 downloads 367 Views 98KB Size Report
Relasi antara sains dan mistisisme yang digagas oleh Fritjof Capra ... paradigma sains yang bersifat positivistik, empiris, dan rasional menuju paradigma.
Francis Capra Oleh: Tri Hasmoyowati

Latar Belakang Pada masa sekarang ini, filsafat sudah menjadi baan ajar bagi setiap universitas, berbagai kajian mengenai hakikat keidudpan, bagaimana kehidupan ini? Dan untuk apa kehidupan ini? Manusiapun dapat membedakan antara yang baik maupun yang buruk. Orang lain yang mampu memberikan penilaian secara obyektif dan tuntas serta pihak yang melakukan penilaian dan memberikan arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Kebanyakan pakar dalam mengupas hubungan ilmu dan filsafat selalu menempatkan filsafat kedalam posisi yang prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat filsafat adalah roh dari semua ilmu. Kajian bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Setelah perkembangan filsafat mulai menyebar, para ahli filsafat pun bermunculan. Filosof pertama dari zaman Yunani kuno yang fenomenal adalah Plato, Aristoteles, dan Socrates. Mereka adlah para ahli filsafat pada masa Yunani kuno sekitar tahun 400 SM. Beberapa pernytaan dan pendapat terakit dengan filsafat yang mereka utarakan, telah menjadi acuan untuk kemajuan dan perkembangan filsafat di zaman modern. Pada zaman pertengahan, zaman modern dan post modern, banyak sekali ahli dan tokoh filsafat yang muncul dan mengutarakan teori, prinsip, dan pemikiran mereka masing-masing. Dan dari kesekian banyak tokoh filsafat tersebut memiliki karakteristik, walaupun begitu tujuan mereka agaknya sama, yaitu menuntun setiap ilmu pada dasar yang fundamental. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengenalkan dan memberikan pengetahuan lebih tentang bagaimana filsafta itu sendiri. Karena filsafat akan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu. Dari beberapa tokoh filsafat yang ada, ada beberapa diantaranya adalah filosof islam. Salah satunya adalah Francis Capra. Francis Capra adalah sarjana Islam yang berpengaruh dalam mempertemukan dunia islam dan dunia barat yang non muslim. Dia telah banyak mengarang buku dalam bahasa Perancis maupun Inggris mengenai Islam dan Arab. Francis Capra lahir 22 April 1983 sekarang berumur 29 tahun merupakan seorang aktor berkebangsaan Amerika Serikat. Dia menjadi terkenal saat bermain di film utamanya seperti A Brown Talee. Dilahirkan di Bronx, New York . Dia berkarir di dunia film sejak tahun 1993. Biografi Francis Capra Francis Capra lahir 22 April 1983 sekarang berumur 29 tahun merupakan seorang aktor berkebangsaan Amerika Serikat. Dia menjadi terkenal saat bermain di film utamanya seperti A Brown Talee. Dilahirkan di Bronx, New York . Dia berkarir di dunia film sejak tahun 1993. Relasi antara sains dan mistisisme yang digagas oleh Fritjof Capra menimbulkan pesona tersendiri bagi banyak kalangan. Keberaniannya untuk keluar dari kungkungan paradigma sains yang bersifat positivistik, empiris, dan rasional menuju paradigma spritual, metafisis, dan moral telah menempatkannya pada posisi strategis di antara sederetan ilmuwan kontemporer lainnya. Melalui sintesa akademis yang cukup briliant,

Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra 

 



Capra mencoba mempertemukan dua kutub dunia (baca: Barat dan Timur) yang selama ini selalu dipertentangkan. Bercermin pada biografi intelektualnya, Capra sebenarnya adalah seorang saintis murni yang memulai karier akademiknya dengan mendalami ilmu fisika teoritis. Tetapi belakangan, Capra memperluas cakrawala intelektualnya dengan mempelajari wawasan mistisisme Timur. Melalui salah satu karyanya, The Tao of Physics (1975), ia kemudian memperkenalkan interpretasi baru terhadap teori fisika kuantum dan teori relativitas dengan menggunakan mistik Timur yang direinterpretasi secara holistik. Interpretasi terhadap fisika kuatum itu kemudian diperdalam secara sistematis dengan membangun paradigma ekosistemik dalam karya berikutnya, The Turning Point (1982). Paradigma ekosistemik ini kemudian disempurnakannya menjadi paradigma yang lebih umum dengan memperkenalkan sistem kompleks dalam karyanya The Web of Life (1996). Di samping ketiga karya tersebut, Capra juga menulis karya-karya lain seperti Uncommon Wisdom (1988) dan The Hidden Connections (2002) yang turut memperkuat gagasangagasannya tentang kearifan Timur dalam sains modern Secara sepintas, unifikasi antara sains modern dengan mistisisme Timur rasanya tidak mungkin dilakukan mengingat domain kedua bidang tersebut berbeda secara diametral. Dari sudut pandang ontologis, sains memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Sementara itu, mistisisme memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, intuitif, dan spekulatif. Mempertemukan kedua sudut pandang ini dalam satu bidang kajian ilmiah berarti sekaligus memposisikan realitas konkrit dan abstrak pada satu wilayah yang sama. Kita harus mengakui kebesaran seorang Fritjof Capra yang mampu memperkenalkan visi baru dalam melihat realitas (new vision of reality). Visi baru yang ditawarkannya ternyata mampu menembus dinding pemisah antara sains modern di satu pihak dan mistisisme di pihak yang lain. Di samping itu, ia juga berhasil mengatasi krisis persepsi yang membelenggu alam pikiran manusia sejak beberapa abad yang lalu. Dan yang lebih penting, ia juga berhasil menawarkan sebuah paradigma alternatif yang dapat dipergunakan sebagai modal dalam membangun masa depan peradaban umat manusia. Menggugat Paradigma Cartesian-Newtonian Ketertarikan Capra terhadap dunia mistisisme Timur semakin meningkat sejalan dengan kegelisahannya terhadap krisis global yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Krisis ekologis, kesenjangan sosial, ekonomi, teknologi, politik, intelektual, moral, dan spritual merupakan sebagian dari contoh-contoh krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Krisis-krisis itu seakan-akan mengancam ras manusia yang hidup di atas planet ini. Menurut Capra, munculnya berbagai krisis global tersebut berawal dari kesalahan cara pandang dunia manusia modern. Pandangan dunia (world-view) yang dipakai selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linear Cartesian dan Newtonian. Di satu sisi, cara pandang ini telah berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan hidup manusia itu sendiri. Pandangan mekanistik terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, dan tanah yang tentu saja mengancam kehidupan manusia. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah eksprimental dan rasional analitis telah menimbulkan sikap anti ekologis. Paradigma Cartesian-Newtonian menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi dan menganggap jagad raya sebagai suatu kumpulan objek-objek yang terpisah dan dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Paradigma ini lebih lanjut dijadikan sebagai metode ilmiah yang harus diikuti para Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra 

 



ilmuwan modern. Mereka yang mempergunakan paradigma Cartesian-Newtonian akhirnya jatuh kepada sikap konsumerisme-materialistik. Selain itu, paradigma Cartesian-Newtonian juga merumuskan tiga asumsi dasar yang diterima secara luas oleh para saintis. Ketiga asumsi dasar itu adalah deterministik, reduksionistik, dan realistik. Asumsi deterministik menganggap bahwa masa depan suatu sistem dapat diprediksi dari pengetahuan akurat tentang kondisi sistem itu sekarang. Sementara asumsi reduksionistik meyakini bahwa perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh perilaku bagian-bagian terkecilnya. Sedangkan asumsi realistik merupakan sebuah teori ilmiah yang dapat menggambarkan dunia sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi oleh pengaman. Keberpihakan yang berlebihan terhadap paradigma ini menyebabkan munculnya krisis persepsi di tengah-tengah masyarakat ilmiah. Indikasi munculnya krisis persepsi itu terlihat dari ketidakmampuan paradigama Cartesian-Newtonian dalam memahami realitas yang semakin terkait antara satu sama lain di antara fenomena-fenomena biologi, fisik, sosial, spritual, dan lingkungan. Munculnya fisika modern telah mengguncang kekuatan mekanika klasik Newtonian dan paradigma positivisme yang dianut selama oleh manusia modern kurang lebih selama tiga abad. Keguncangan paradigma sains itu terjadi karena pandangan dunia CartesianNewtonian yang dianut kebanyakan manusia modern tidak sanggup lagi mencerna dan memahami fenomena-fenomena perkembangan sains mutakhir. Penemuan-penemuan dalam bidang sains modern telah menyadarkan para saintis tentang masih banyaknya misteri tak terungkap di balik personifikasi alam semesta ini. Misteri-misteri itulah kemudian yang menyebabkan para ilmuwan, dalam hal ini termasuk Capra, menggugat paradigma Cartesian-Newtonian yang dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah.

Membangun Paradigma Baru Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa runtuhnya kekuatan paradigma CartesianNewtonian merupakan konsekuensi logis dari penemuan-penemuan baru dalam bidang sains. Menurut Capra, teori relativitas (theory of relativity) Albert Einstein merupakan salah satu pendobrak utama keruntuhan paradigma tersebut. Melalui teori relativitas, manusia dipaksa untuk menerima ruang-waktu sebagai konsep yang relatif. Dalam kosmologi Einstein, waktu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang absolut, tetapi derajatnya sama seperti ruang yang relatif. Ini berarti besaran waktu tergantung pada kerangka acuan konteks Selain relativitas Einstein, teori kuantum juga memberikan andil cukup besar dalam proyek kaji ulang paradigma Cartesian-Newtonian. Menurut Heisenberg, teori kuantum tidak saja mengubah pemahaman kita terhadap realitas, tetapi juga menuntut cara berpikir baru dalam memahami ruang-waktu, materi, partikel, energi, hukum sebabakibat, kesadaran, dan lain-lain. Di samping itu, teori kuantum menimbulkan ketidakpastian dalam berbagai hal yang disebabkan oleh tiga faktor yaitu keterbatasan manusia, keterbatasan percobaan atau konseptual, dan ketidakberaturan alam semesta. Penemuan-penemuan sains lain yang turut menggugat paradigma Cartesian-Newtonian antara lain adalah teori Boostrop, biologi molekular, teori evolusi, dan sebagainya. Untuk menjawab gugatan tersebut, diperlukan paradigma baru yang dapat membebaskan manusia dari reifikasi (proses pembendaan) yang ditawarkan sains modern. Paradigma yang diajukan oleh Capra adalah paradigma holistik yang memandang keseluruhan lebih besar dari jumlah bagianbagiannya. Karakteristik paradigma ini adalah bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra 

 



dinamis, non-mekanistik, dan non-linear. Landasan epistemologis paradigma holistik Capra didasarkan pada integrasi sistematis atas fisika kontemporer dan mistisisme Timur. Dalam rangka memperkokoh gagasannya tentang integrasi tersebut, Capra mengemukakan argumentasi antara lain: 1. Terdapat kesejajaran epistemologis antara fisika kontemporer dan mistisisme Timur. Menurut Capra, fisika dan agama-agama Asia mengakui adanya keterbatasan bahasa dan pikiran manusia. Nuansa paradoks dalam fisika, seperti dualitas partikel/gelombang, sejajar dengan polaritas yin/yang dalam Taoisme Cina yang menampakkan kesatuan dari hal-hal yang tampaknya berlawanan. 2. Fisika kontemporer dan mistisisme Timur melakukan klaim metafisis tentang keutuhan realitas (unbroken wholeness). Fisika kuantum, misalnya, menunjukkan adanya kesatuan dan kesalingberkaitan antara semua peristiwa. Partikel-partikel merupakan gangguan-gangguan lokal (local disturbances) dalam medan-medan yang saling mempengaruhi. Sementara dalam teori relativitas, ruang dan waktu membentuk keseluruhan yang terpadu dimana materi dan energi diidentifikasi sebagai kelengkungan ruang. Mistisisme Timur juga menerima kesatuan segala sesuatu dan berbicara tentang kesatuan tak terpisahkan yang ditemukan dalam meditasi. Ada satu realitas tertinggi merujuk ke Brahmana di India dan Tao di Cina, yang dengannya individu dapat meleburkan diri. Fisika kontemporer mengatakan bahwa pengamat dan yang diamati merupakan dua hal yang tak terpisahkan, sementara pada saat yang sama tradisi mistik Timur menyatakan adanya kesatuan antara subjek dan objek. 3. Baik fisika kontemporer maupun mistisisme Timur sama-sama memandang dunia sebagai sebuah sistem dinamis dan selalu berubah. Partikel-partikel merupakan polapola getaran yang secara terus-menerus diciptakan dan dihancurkan, materi tampak sebagai energi, dan juga sebaliknya. Sementara Hinduisme dan Buddhisme memandang bahwa hidup adalah sementara; semua eksistensi fana dan bergerak tanpa henti. 4. Semua realitas pada dasarnya tunggal sehingga tidak mungkin ada satupun yang bisa dan mungkin dipertentangkan. Fenomena dualisme, seperti pagi dan petang, hidup dan mati, dan lain sebagainya harus dilihat sebagai dua sisi dari satu realitas tunggal. Paradigma Sains tentang kekosongan dan kepenuhan bukan dua hal yang dianggap bertentangan, tetapi lebih merupakan satu realitas tunggal. Konsepsi seperti ini ditemukan juga di dalam panteisme mistisisme Asia. Menurut Capra, kesejajaran dan keparalelan antara fisika kontemporer dan mistisisme Timur merupakan basis fundamental dalam membentuk paradigma holistiknya. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa upaya untuk menjembatani pemikiran rasional-analitis dengan pengalaman meditatif-mistis memang sulit untuk dilakukan. Namun interaksi saintis modern dengan mistisisme Timur merupakan suatu solusi alternatif yang dapat ditawarkan dalam menyelesaikan berbagai krisis global yang menimpa umat manusia belakangan ini. Paradigma holistik yang diperkenalkan Capra ini mendapat apresiasi yang cukup positif dari berbagai kalangan. Ia mampu mengisi kekosongan dan kehampaan spritual saintis modern. Mereka yang selama ini “menuhankan” metode ilmiah positivistikmaterialis, secara perlahan mulai melirik dan mendalami pemikiran Capra. Begitu juga dengan mereka yang tidak percaya pada agama, tetap saja dapat mengarungi kedalaman nuansa spritualitas tanpa harus menceburkan diri ke dalam suatu agama tertentu. Paradigma sains baru ini segera mendapat tempat di hati para peminatnya. Rusaknya ekosistem, meluasnya polusi, dan munculnya berbagai dampak negatif perkembangan teknologi modern, menjadikan manusia dengan senang hati berpindah ke Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra 

 



paradigma Capra. Pikiran Mistisisme Timur dianggap dapat membuat manusia lebih mencintai alam dan memperhatikan lingkungan. Berbagai slogan, seperti “back to nature” mengajak masyarakat modern memandang alam sebagai kesatuan dengan dirinya sendiri, sehingga manusia bisa lebih memelihara kelestarian lingkungannya. Menata Peradaban Baru Menurut Capra, tatanan peradaban dunia saat ini mengalami krisis dikarenakan adanya benturan-benturan dalam berbagai dimensi kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, sains dan teknologi, militer, dan lain-lain. Ancaman perang nuklir merupakan bahasa terbesar yang dihadapi oleh umat manusia saat ini. Semua orang menyadari bahwa kekuatan nuklir itu tidak aman, tidak bersih, dan tidak murah, tetapi mereka tetap saja berlomba-lomba untuk membangun reaktor nulir di mana-mana. Fenomena itu tentu saja menjadi ancaman utama bagi eksistensi manusia di planet ini. Dalam konteks memahami krisis budaya multidimensional tersebut, Fritjof Capra menawarkan paradigma holistiknya dalam melihat evolusi budaya manusia. Menurutnya, paradigma holistik mengharuskan kita untuk mengubah perspektif akhir abad ke-20 ke suatu rentang waktu yang mencakup ribuan tahun, dari pengertian struktur sosial statis menuju persepsi pola-pola perubahan dinamis. Di titik ini, pandangan dunia orang-orang Cina bisa dipergunakan untuk membangkitkan kesadaran kita terhadap hubungan antara krisis dan perubahan. Istilah yang mereka gunakan adalah wei-ji yang berarti “bahaya” dan “kesempatan”. Berdasarkan pandangan dunia orang-orang Cina tadi, peradaban diyakini akan terus berkembang dengan cara memberikan tanggapan terhadap tantangan awal. Keberhasilan itu akan membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi equilibrium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (overbalance) yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola tantangan dan tanggapan terus terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, di mana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu disequilibrium yang menuntut penyelesaian-penyelesaian kreatif baru. Usaha lain yang perlu dilakukan selama fase kelahiran kembali kebudayaan ini adalah memperkecil kekerasan, kekacauan, dan gangguan yang mau tak mau pasti terlibat di dalam masa-masa perubahan sosial yang besar, dan sedapat mungkin fase transisi itu berlalu tanpa menimbulkan rasa sakit. Keberhasilan melewati masa awal transisi itu akan menghantarkan kita pada transisi budaya yang berlangsung secara harmonis dan damai sebagaimana yang digambarkan di dalam salah satu buku kearifan tertua, I Ching, “gerak adalah sesuatu yang alami, yang muncul secara spontan. Karena alasan inilah transformasi generasi tua menjadi mudah. Yang lama ditinggalkan dan yang baru diperkenalkan. Keduanya sesuai dengan perjalanan waktu; oleh karena itu tidak ada gangguan yang timbul. Menurut saya, gagasan Capra tersebut perlu ditambahi dengan wacana dialog antar peradaban. Dialog antar peradaban dapat dilakukan dengan pertukaran intelektual, sosial, dan budaya yang melintasi batas-batas wilayah geografis dan kultural. Semua pertukaran yang terjadi dalam proses ini semestinya dapat menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, berbagai prasangka, mispersepsi dan citra distortif antara satu kelompok budaya dengan kelompok budaya lainnya. Kritik Terhadap Capra Paradigma holistik Capra yang dibangun atas sintesis terhadap fisika kontemporer dan mistisisme Timur tidak luput dari berbagai kritikan. Keasyikannya untuk melihat Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra 

 



kesejajaran dan kesamaan antara kedua disiplin itu menyebabkan ia terlupa untuk melihat perbedaan-perbedaannnya. Dia sering menemukan kesamaan dengan membandingkan istilah atau konsep tertentu, yang diabstraksikan dari konteks lebih luas yang sangat berbeda. Sebagai contoh, mistisisme Asia berbicara tentang kesatuan yang tak terbeda-bedakan. Akan tetapi, keseluruhan dan kesatuan yang dinyatakan dalam fisika sangatlah terbedakan dan terstruktur, tergantung pada kendala tertentu, prinsip simetri, dan hukum kekekalan. Di satu sisi, ruang, waktu, materi, dan energi semuanya disatukan dalam teori relativitas, tetapi di sisi lain ada hukum-hukum transformasi yang eksak. Kesatuan dalam mistik tak terstruktur yang menafikan pembedaan, tentu sangat berbeda dengan konsep keseluruhan dan kesatuan yang terdapat dalam fisika kontemporer, terlebih lagi dalam biologi. Jika Capra mengeritik reduksionis dengan mengatakan mereka hanya melihat bagian per bagian, maka Capra justru sebaliknya hanya memberikan perhatian pada keseluruhan dengan mengabaikan bagian-bagian. Dari sudut pandang filsafat ilmu, paradigma Capra yang diwarnai Mistisisme Timur juga dianggap mengaburkan metodologi ilmu karena secara sengaja ia mencapuradukkan antara pengetahuan ilmiah dan non-ilmiah. Bagi Capra, objek penelitian sains modern tidak lagi terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik tetapi juga sudah merambat ke alam metafisika. Bahkan lebih jauh dari itu, Capra juga mencoba melakukan pengujian empiris dengan dugaan-dugaan metafisis (antara sains murni dengan pengetahuan semu). Gejala ini dengan sendirinya menimbulkan kerisauan ilmiah. Del Ratzsch mengatakan bahwa percampuran dua dunia ini (sains dan mistis) mengakibatkan pencampuran dari dua pendekatan dan dua kenyataan yang berbeda. Pendekatan terhadap dunia metafisika seharusnya berbeda dengan pendekatan terhadap dunia fisika. Dunia metafisika berada di luar wilayah ilmu pengetahuan fisika, sehingga harus diakui adanya keterbatasan di dalam wilayah ilmu pengetahuan fisika. Paradigma sains yang dualistik dan kontadiktif seperti ini akan merusak seluruh perkembangan ilmiah di masa yang akan datang. Ia akan menjadi faktor perusak-dirisendiri (self-defeating-factor) yang dapat meruntuhkan bangunan paradigma itu sendiri sebelum ia melewati masa falsifikasi dan pengujian keabsahan metodologis.

Penutup Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangannya, sudah sepantasnya kita mengacungkan jempol terhadap usaha serius Fritjof Capra yang berhasil melakukan sintesis filosofis dalam menata paradigma sains modern. Pemikiran Capra yang dikemukakan di atas paling tidak akan mengingatkan kita agar tidak terjerumus pada krisis persepsi dalam menghadapi kompetisi global yang semakin hari semakin gencar. Di samping itu, wacana yang dilontarkan Capra dapat pula membentengi kita agar selalu waspada terhadap krisis spritual yang banyak menimpa manusia modern di abad ini.

Daftar Pustaka http://noosphere.cc/capramenu.html 1. Internet Encyclopedia of Philosophy

Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra 

 



2. Russel, Bertrand 1945 . A History of Western Philosophy and Its conecction with Political and Social Circumitances from Earliest Times to the Prsent Day, Simon and Schuster : New York. 3. Standford Encyclopedia of Philosophy 4. Stokes, 2006. Philip, Philosophy 100 Essential Thinkers, Enchanted Lion Books: New York 5. Wikipedia 6. Yuwana, Kumara Ari, 2010 Greatest Philosophers, Yogyakarta, Pustaka ANDI *)

Penyusun Nama Mata Kuliah Dosen Prodi

: Tri Hasmoyowati : Filsafat Ilmu : Afid Burhanuddin, M.Pd. : Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Pacitan.

Tri Hasmoyowati | 2012| Filsafat Capra