Fulltext PDF - Jurnal UPI - Universitas Pendidikan Indonesia

47 downloads 143 Views 665KB Size Report
Teks wacana yang selayaknya dibaca oleh anak-anak adalah yang terukur tingkat keterbacaannya. Terukurnya tingkat keterbacaan sangat penting dalam ...
Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

PENGUKURAN TINGKAT KETERBACAAN WACANA DALAM LKS MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS 4–6 SD DAN KETERPAHAMIANNYA Oleh: Nurlaili ABSTRAK Teks wacana yang selayaknya dibaca oleh anak-anak adalah yang terukur tingkat keterbacaannya. Terukurnya tingkat keterbacaan sangat penting dalam upaya memahamkan siswa akan isi teks wacana. Untuk itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur dan mengujicobakan teks-teks wacana pada siswa sebelum teks wacana tersebut dimuat dalam LKS. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif penelitian diperoleh dari LKS yang diambil sebagai sampel dan data kuantitatif diperoleh dari hasil tes klos dan pemahaman pada siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keterbacaan sebelas teks wacana yang terdapat dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD berdasarkan formula Fry belum ada teks yang sesuai dengan masing-masing kelas. Hasil uji tes klos memperlihatkan hasil bahwa empat teks wacana berada pada kategori sedang dan tujuh teks wacana berada pada kategori sukar. Selanjutnya, hasil tes pemahaman siswa menunjukkan hasil rata-rata skor 60 untuk kelas 4, 61,33 untuk kelas 5, dan 61,33 untuk kelas 6. Berdasarkan hasil tersebut dilakukanlah perbaikan terhadap teks wacana dan hasilnya menunjukkan bahwa adanya peningkatan keterbacaan teks wacana. Hasil uji formula Fry menunjukkan bahwa semua teks wacana telah sesuai untuk masing-masing kelas. Hasil uji tes klos memperlihatkan hasil bahwa satu teks wacana berada pada kategori mudah dan sepuluh teks wacana lainnya berada pada kategori sedang. Hasil tes pemahaman juga memperlihatkan hasil bahwa untuk masing-masing kelas mengalami peningkatan rata-rata skor, yaitu 67,33 untuk kelas 4, untuk kelas 5 rata-rata skornya 74,67, dan 82,00 untuk kelas 6. Rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini adalah sangat perlu memperhatikan tingkat keterbacaan wacana sebagai salah satu isi dalam LKS sehingga wacana-wacana yang terdapat dalam LKS sesuai untuk masing-masing tingkat pembaca. Untuk itu, upaya melihat/mengukur tingkat keterbacaan wacana selayaknya dilakukan, baik oleh penulis maupun pengguna LKS. Kata kunci: wacana keterbacaan

PENDAHULUAN Pemerintah telah mengatur hal yang berkaitan dengan penggunaan buku teks dan buku penunjang atau pengayaan. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11/2005, Pasal 2 Ayat (2) yang di dalamnya dikatakan bahwa ”Selain buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), guru menggunakan buku panduan pendidik dan dapat menggunakan buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran”. Hal itu berarti bahwa guru dapat memilih buku-buku pengayaan dan referensi untuk menunjang kegiatan pembelajarannya, termasuk penggunaan LKS dari penerbit. LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia di dalamnya termuat materi kebahasaan dan materi kesastraan yang disajikan secara terpadu. Kedua materi tersebut masing-masing diuraikan oleh penulis LKS melalui beberapa teks wacana. Uraian materi melalui teks wacana dilakukan untuk memudahkan pemahaman siswa terhadap konsep materi yang akan diajarkan. Untuk itu, 167

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

penyusunan wacana perlu diperhatikan oleh penulis LKS supaya maksud yang ingin dicapai dapat terwujud. Teks wacana yang baik adalah teks wacana yang terbaca oleh pembaca. Keterbacaan sebuah wacana dapat dipengaruhi oleh susunan kalimat dan kata-kata sulit. Aji (2008) menyebutkan bahwa tingkat keterbacaan sebuah teks disebabkan oleh susunan kalimat, kepadatan kata dalam kalimat, dan kata-kata sulit yang terdapat dalam wacana tersebut. Jadi, aspek kebahasaan sangat menunjang keterbacaan sebuah wacana. Tingkat keterbacaan sebuah wacana akan memberi dampak pada tingkat kemampuan membaca dan pemahaman terhadap bacaan. Wainwrigh (2007:41) mengatakan bahwa kecepatan membaca jelas mengacu pada kecepatan memahami bacaan jika pemahaman agak membingungkan akan mengacu pada kualitas pemahaman bacaan secara keseluruhannya. Kebingungan memahami bacaan dapat disebabkan oleh susunan kalimat yang tidak tepat atau pun pemilihan diksi yang tidak tepat atau ketidaksesuaian tingkat keterbacaan dengan usia pembaca. Tampubolon (2008:213) menyebutkan bahwa readability ialah sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi kesulitan struktur bacaan dari bacaan. Tingkat keterbacaan wacana dapat diperoleh dari hasil uji berdasarkan formula keterbacaan dan dapat pula dapat diperoleh dari hasil tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (dalam Kusmana, 2008) sebagai ’enam faktor heuristik dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Sifat ketiga faktor terakhir itu tersembunyi (tersirat). Hasil studi keterbacaan yang dilakukan oleh tim pusat perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran (Kusmana, 2008). Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian terhadap wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD belum ada yang melakukan. Padahal, untuk tingkat SD tingkat keterbacaan tersebut sangat perlu dilihat/diukur. Peneliti memfokuskan penelitian pada tingkat keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD. Penelitian ini berusaha mendeskripsiksan dan menganalisis aspek kebahasaan, serta kekoherensian, dan kekohesian wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD. LANDASAN TEORETIS Landasan teoretis ini mengupas bagian teori yang menjadi fondasi dalam penelitian ini. Hal ini diperlukan supaya hasil penelitian benar-benar memiliki dasar pijakan.

168

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

1. Wacana sebagai Isi LKS dan Unsur-Unsurnya Setiap LKS di dalamnya tentu terdapat wacana-wacana yang mesti dibaca oleh siswa karena wacana-wacana tersebut mengandung informasi, baik perintah maupun pemberitahuan. Informasi itulah yang menuntun pembacanya untuk melakukan sesuatu atau mendapatkan sesuatu. Untuk itu, wacana sebagai isi LKS harus dipahami secara lebih mendalam. Istilah wacana digunakan tidak hanya untuk percakapan atau obrolan, tetapi juga untuk pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Wacana mencakup keempat tujuan penggunaan bahasa, yaitu (1) ekspresi diri sendiri; (2) eksposisi; (3) sastra; (4) Persuasi (Landsteen dalam Tarigan, 1993:23) Carlson (dalam Tarigan 1993:24) menyebutkan bahwa wacana tidak hanya terdiri atas untaian ujaran atau kalimat yang secara gramatikal yang teratur rapi, sedangkan Stubbs (dalam Tarigan, 1993:25) menyatakan bahwa wacana adalah organisasi bahasa di atas klausa; dengan kata lain suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari cara pengutaraan wacana itu. Selanjutnya, Kridalaksana (1984: 208) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang realisasinya dalam bentuk karangan utuh dapat berupa paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat lengkap. Bermacam definisi wacana dapat ditemukan dalam medan atau suasana tertentu. Namun, setiap pernyataan tentang wacana memiliki satu kesamaan yang berprinsip, yaitu suatu perihal yang disampaikan secara utuh. Upaya penyampaian secara utuh dapat melalui berbagai bentuk, di antaranya dapat melalui tulisan atau pun lisan yang dirangkai dalam bentuk kata, kalimat, atau pun paragraf. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa wacana adalah serangkaian kata atau kalimat yang membentuk suatu satuan bahasa yang utuh sehingga memuat informasi yang lengkap. Selanjutnya, untuk jenis wacana Tarigan (1993: 51) mengklasifikasikan wacana dengan berbagai cara, antara lain: (1) berdasarkan tertulis tidaknya wacana (wacana lisan dan tulisan); (2) berdasarkan langsung atau tidaknya pengungkapan wacana (wacana langsung dan tidak langsung); (3) berdasarkan cara penuturan wacana (wacana pembeberan dan penuturan); (4) berdasarkan bentuknya (wacana prosa, puisi, dan drama). Secara umum peneliti membedakan wacana atas dua macam, yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Ini sejalan dengan pendapat Djajasudarma dan Tarigan bahwa secara realita atau secara tertulis tidaknya wacana dibedakan atas dua jenis. Peneliti menyebut secara umum karena substansi dari jenis-jenis wacana yang lain juga terangkum dalam dua pernyataan umum tersebut, yaitu tertulis dan lisan. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan melalui tulisan, sedangkan wacana lisan adalah wacana yang disampaikan melalui lisan. Dalam pembahasan ini, peneliti menekankan pada wacana tulis karena kajian yang dikaji pada penelitian ini adalah wacana tulis. Sebagai pemberi informasi yang utuh sebuah wacana pastinya tersusun atas berbagai unsur yang dapat menjadikan wacana itu utuh dan mudah dipahami. Unsur terkecil dari sebuah wacana adalah adanya kata. Selain itu, unsur-unsur yang lain juga ada seperti kalimat, paragraf, kohesi dan koherensi. ISSN 1412-565X 169

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

2. Keterbacaan dan Keterpahamian Wacana Sebuah wacana yang baik adalah yang terbaca dan terpahami oleh pembaca. Pembaca terbagi dalam berbagai level bergantung pada kemampuan membacanya. Pada hakikatnya membaca adalah proses berpikir. Thorndike (dalam Yunus, 2010) menyebutkan bahwa reading as thinking and reading as reasoning. Artinya, ketika seseorang sedang membaca pada hakikatnya ia sedang berpikir dan bernalar. Dalam proses membaca terdapat dua komponen utama yang bekerja secara dominan, yakni (a) kerja mata untuk melihat lambang-lambang grafis, dan (b) kerja otak untuk memahami dan memaknai lambang-lambang grafis tadi menjadi sebuah informasi yang utuh dan lengkap. Kemampuan fisik berupa kemampuan mata melihat lambang, yang disebut kemampuan visual, sedangkan kemampuan psikis yang melibatkan kemampuan berpikir dan bernalar, yang disebut kemampuan kognisi (Mulyati, 2003). Penentuan jenis teks wacana sesuai dengan pembacanya merupakan hal yang tidak mudah. Untuk itu, dibutuhkan adanya pengetahuan bagi penulis wacana untuk menyelaraskan kosakata ketika menyususn wacana sehingga sesuai dengan taraf perkembangan bahasa anak. Dengan demikian, unsur-unsur ketidaktepatan pemilihan kosakata dapat dihindari. Penggunaan kalimat yang terlalu panjang pun dapat terkurangi. Wacana yang diharapkan dalam setiap tulisan adalah wacana yang terbaca oleh pembaca. Keterbacaan wacana memberikan hasil yang baik bagi pembaca karena pembaca mendapatkan sebuah bacaan yang dapat dibaca dan dipahaminya. Rusyana (dalam Wahab, 2010) menjelaskan bahwa keterbacaan dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu menyangkut pemahaman, kecepatan membaca, dan minat. Faktor penyebab kepahaman, kemudahan, dan kemenarikan isi secara umum terdiri atas bahasa dan rupa. Perpaduan kedua faktor tersebut menentukan tingkat keterbacaan. Suryadi (2007) menyebutkan bahwa faktor bahasa menyangkut pilihan kata, bangun kalimat, susunan paragraf, dan unsur tata bahasa yang lain. Pada pembahasan ini, peneliti memilih formula Fry untuk mengukur keterbacaan wacana dalam LKS. Pemilihan formula Fry karena formula ini sering dan banyak digunakan. Penentuan tingkat keterbacaan wacana menurut formula ini adalah dengan pertimbangan panjang pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh banyaknya jumlah suku kata pembentuk kalimat. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Uteredowo (2007) bahwa jumlah kata untuk siswa kelas 1–6 SD seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.1 Jumlah Kosakata dalam Teks Wacana untuk Kelas 1–6 SD Kelas 1 2 3 4 5 6

Jumlah kata 25 – 75 75 – 125 125 – 175 175 – 225 225 – 275 275 – 325

170

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

(1) Formula Fry (Grafik Fry) Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Edward Fry ini merupakan formula menentukan tingkat wacana yang mempertimbangkan panjang pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kalimat. Pengukuran dengan Fry mengikuti prosedur seperti yang disebutkan oleh Subyantoro (dalam Hidayati, 2005:24) yaitu dengan (a) menghitung jumlah kalimat dalam 100 kata dengan skor satu digit dibelakang koma, (b) menghitung jumlah suku kata dari 100 kata, (c) mengalikan hasil perhitungan suku kata dengan angka 0,6, (d) untuk teks pendek (jumlah katanya kurang dari seratus kata harus diperbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi, (e) mencocokkan rumus jumlah kalimat dan jumlah suku kata per seratus tersebut dalam grafik, (g) menetapkan tingkat keterbacaan teks. Tingkat keterbacaan berdasarkan grafik Fry bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi baik ke atas maupun ke bawah (-1 atau +1). Untuk membaca grafik dapat dilakukan dengan melihat kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.

Grafik Fry

Gambar 1: Grafik Fry (Akhmad dan Yeti dalam Sulistyorini, 2006: 28)

(2) Tes Klos Tes klos digunakan untuk mengukur kemampuan membaca. Teknik tes klos ialah prosedur peraturan yang dapat digunakan dalam peringkat pembahasan isi serta struktur yang dikemukakan dalam kalimat, makna, dan keterbacaan. Teknik ini dapat digunakan sebagai alat pengukur tingkat keterbacaan teks bacaan/wacana. Dengan sistem pengukuran itu kita dapat menyeleksi wacana-

171

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

wacana agar diperoleh wacana yang benar-benar sangkil (Damaianti, 1991). Tes ini juga dapat diigunakan sebagai sumber informasi mengenai kemampuan pemahaman bacaan seseorang. Strategi tes klos dilakukan dengan pelesapan/penghapusan kata pada sebuah teks wacana, yaitu dengan: 1) melihat dari jumlah kata ke-n (dipilih pada jarak yang tetap, variasi penghapusan, mulai dari tiap kata ke-5 s.d. kata ke-10 (Farr dan Rossser, 1979) 2) melihat dari pemilihan kata secara selektif atau secara random, John (1977) menghapus setiap kata sifat yang ke-10, Rhodes (1972) menghilangkan kata kerja yang ke-10. Penghapusan secara random dilakukan tanpa melihat hubungan kontekstual atau jenis kata tertentu (Jongsma, 1980). Setelah proses penerapan teknik klos dilakukan, proses selanjutnya adalah penilaian teknik klos. Penilaian teknik klos dilakukan dengan melihat hasil persentase. Rankin dan Culhane (dalam Damaianti, 1991) menetapkan bahwa sebuah teks wacana dikatakan mudah apabila persentase skor tes mencapai > 60%, teks wacana dikatakan sedang apabila persentase skor tes antara 41%– 60%, dan teks wacana dikatakan sukar apabila skor tesnya < 40%. 2.1 Keterpahamian Wacana Setiap informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan dituntut adanya pemahaman sehingga informasi tersebut bermanfaat. Kemampuan memahami wacana bukan hanya sekadar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan juga menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna pernyataan tersebut, mengimplisitkan tentang peran, skemata, dalam proses membaca, latar belakang pengetahuan, dan pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas pemahaman bacaan. Menurut Smit (dalam Wahab, 2010:37) pemahaman bacaan mengandung proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Pemahaman adalah suatu proses mental sebagai perwujudan dari aktivitas kognisi yang tidak bisa dilihat. Produk dari pemahaman adalah perilaku yang dihasilkan setelah proses pemahaman terjadi (Mulyati dalam Wahab, 2010: 38). Perlu diketahui bahwa pemahaman akan ada apabila pembaca memiliki sarana pemahaman, seperti mengenal bacaan/wacana, memahami kata-kata, kalimat, dan mampu menghubungkan ide-ide yang terdapat dalam bacaan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Moeliono & Dardjowidjojo (dalam Djajasudarma (2006: 27) menyebutkan bahwa wacana dibentuk oleh berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, serta peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran. Kepahaman terhadap teks wacana dapat diukur dari kemampuan ranah kognitif. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri atas enam aspek, yakni

172

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

pengetahuan/ingatan, pemahaman (kognitif tingkat rendah), aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (termasuk kognitif tingkat tinggi). METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian ini adalah metode dekriptif kualitatif dan kuantitatif. Data yang didapat dari dokumen akan dianalisis dan dideskripsikan secara kualitatif. Penelitian tingkat keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD dilakukan melalui 3 sudut pandang yang berbeda. Pertama, analisis aspek kebahasaan yang meliputi (pilihan kata, kebakuan kata, keefektifan kalimat, dan penerapan EYD). Kedua, analisis wacana dari aspek kekoherensian dan kekohesiannya. Ketiga, penggolongan wacana dan penggolongan siswa yang diperoleh melalui tes klos dan pilihan ganda. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang didapat adalah mencakup hasil pengujian data awal dan hasil pengujian data kedua. Melalui hasil uji data awal dan kedua tersebut didapati jawaban untuk setiap rumusan masalah yang telah ditetapkan, yaitu (1) profil wacana berdasarkana aspek kebahasaan, (2) profil wacana berdasarkan aspek koherensi dan kohesi, (3) tingkat kesesuaian keterbacaan teks wacana, (4) tingkat kepahaman siswa terhadap teks wacana, (5) hasil perbaikan teks wacana, (6) perbandingan tingkat keterbacaan setelah perbaikan, dan (7) perbandingan tingkat kepahaman siswa setelah teks diperbaiki. Data awal ini diuji keterbacaannya dengan menggunakan formula Fry dan tes klos, sedangkan pengujian tingkat keterpahamiannya menggunakan tes pilihan berganda. Hasil uji pertama menunjukkan bahwa profil wacana berdasarkan aspek kebahasaan termasuk kategori baik. Tingkat kesesuaian teks menunjukkan bahwa belum ada satu teks pun yang cocok untuk masing-masing kelas. Tingkat kepahaman siswa termasuk kategori cukup. Hasil perbaikan memperlihatkan adanya perbedaan hasil. Perbandingan tingkat keterbacaan dan kepahaman setelah teks diperbaiki dapat dilihat dari hasil uji kedua pada table di bawah ini. Tabel Perbandingan HTPG TWAK4–TWAK6 dan HTPG TWHPK4–TWHPK6 No.

Kelas

Wacana Koperasi Sekolah

1.

2.

IV

Halilintar dan Petir

Air Juga Hidup 3.

UF1 6 kalimat, 171 suku kata (5/6)

11,75 Kalimat, 147,6 suku kata (1/2) 10,85 kalimat, 130,8 suku kata

UF2 7,7 kalimat, 162,6 suku kata (3/4) 7,58 kalimat, 151,8 suku kata (3/4) 7,8 kalimat, 156,6 suku kata

173

UTK1

UTK2

38,33%

45,33%

(Sukar)

(sedang)

44,44%

52,8%

(sedang)

(sedang)

41,33%

45,6%

(sedang)

(sedang)

RUPG1

RUPG2

60

67,33

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011 No.

Kelas

4. V 5. 6.

9.

Jadwal Penerbangan dari Bandara Ahmad Yani Semarang Kanker Paru Anak

Akibat Penebangan Pohon, 2.100 Mata Air Mengering 75 Persen Asap Rokok Ditampung Perokok Pasif

7.

8.

Wacana

VI

Masyarakat 3Badui Menitipkan Hutan Mari, Hijaukan Lingkungan!

10.

Flu Babi Perlu Diwaspadai

11.

Tragedi Bom: MU juga Kecewa Batal ke Jakarta

UF1 (2/3) 4,8 kalimat, 133,2 suku kata (6/7) 6,3 kalimat, 138 suku kata (5/6) 7,83 kalimat, 140,4 suku kata (3/4) 4,5 kalimat, 139,5 suku kata (7/8) 5,2 kalimat, 153,6 suku kata (6/7) 4,55 kalimat, 155,4 suku kata (7/8) 8,48 kalimat, 138,6 suku kata (2/3) 5,75 kalimat, 134,5 suku kata (6/7)

UF2 (3/4) 6,2 kalimat, 139 suku kata (5/6) 6,3 kalimat, 159 suku kata (5/6) 6,5 kalimat, 136,8 suku kata 95/6) 6,18 kalimat, 147,6 suku kata (5/6) 6 kalimat, 144 suku kata (5/6) 6,37 kalimat, 153 suku kata (5/6) 6,2 kalimat, 129,6 suku kata (5/6) 5,28 kalimat, 129,6 suku kata (6/7)

UTK1

UTK2

36,11%

64%

(sukar)

(mudah)

41,96%

44%

(sedang)

(sedang)

22,25%

45,86%

(sukar)

(sedang)

40%

41,6%

(sukar)

(sedang)

48,33%

55,46%

(sedang)

(sedang)

40%

53,33%

(sukar)

(sedang)

37,64% (sukar)

51,2% (sedang)

26,66%

50,14%

(sukar)

(sedang)

RUPG1

RUPG2

61,33

74,67

61,33

82,00

Keterangan UF1 = Uji Fry Pertama UF2 = Uji Fry Kedua UTK1 = Uji Tes Klos Pertama UTK2 = Uji Tes Klos Kedua RUPG1 = Rata-rata Uji Pilihan Ganda Pertama RUPG2 = Rata-rata Uji Pilihan Ganda Kedua

Temuan Hasil penelitian dan hasil analisis data bahwa ada satu teks wacana yang menunjukkan tidak adanya perbedaan rerata hasil uji setelah teks wacana diperbaiki. Teks wacana tersebut adalah teks wacana untuk kelas 4 yang judulnya “Koperasi Sekolah”. Sepuluh teks lainnya menunjukkan adanya perbedaan rerata hasil uji setelah teks wacana diperbaiki. Tidak terdapatnya perbedaan

174

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

rerata hasil uji untuk teks wacana “Koperasi Sekolah” setelah diperbaiki adalah karena keterbatasan peneliti dalam memperbaiki teks. Untuk itu, sangat diperlukan kehati-hatian dan ketelitian dalam menulis sebuah teks wacana supaya dapat terbaca oleh anak-anak sesuai tingkatan kelas anak. Berdasarkan hasil yang didapat dari analisis terhadap sebelas teks wacana dengan satu teks yang tidak memiliki perbedaan rerata, sedangkan sepuluh teks wacana lainnya memiliki perbedaan rerata dapatlah disebutkan untuk teks wacana tersebut bahwa tes klos dapat sejalan dengan tes pemahaman. Artinya, ketika tes klos berhasil menunjukkan perbedaan tingkat keterbacaan, tes pemahaman (pilihan ganda) juga menunjukkan perbedaan rerata. Begitu pula sebaliknya, ketika tes klos tidak menunjukkan adanya perbedaan rerata, tes pemahaman (tes pilihan ganda) juga menunjukkan hal yang sama. Hasil uji Fry pada teks wacana awal memperlihatkan bahwa kesebelas teks wacana yang terdapat dalam LKS belum sesuai untuk masing-masing kelas. Hasil tes klos dan pilihan ganda juga masih pada kategori cukup. Namun, setelah teks wacana diperbaiki hasil uji Fry menunjukkan kesebelas teks wacana telah sesuai untuk masing-masing kelas. Hasil tes klos serta pilihan ganda pun menunjukkan adanya perbedaan. Uji Fry dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian teks wacana untuk masing-masing kelas. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari hasil penelitian dan analisis terhadap hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. (1) Profil keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia dilihat dari aspek pilihan kata, kata baku, keefektifan kalimat, dan penerapan EYD memperlihatkan bahwa profil teks wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia berada pada kategori baik dengan angka persentase sebesar 75,28%. (2) Profil keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia dilihat dari koherensi teks wacana tersebut koheren dan dari segi kohesi teks wacana tersebut telah tepat. (3) Tingkat kesesuaian keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD memperlihatkan hasil bahwa kesebelas teks wacana belum sesuai untuk masingmasing kelas. (4) Tingkat kepahaman siswa terhadap teks wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia memperlihatkan hasil bahwa siswa cukup paham, tetapi belum termasuk kategori tinggi. (5) Perbaikan yang dilakukan terhadap teks wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD memberikan hasil yang lebih baik. (6) Perbandingan tingkat keterbacaan setelah dilakukan perbaikan memperlihatkan hasil adanya peningkatan secara berturut-turut seperti berikut. teks wacana kelas empat sebelum perbaikan persentasenya (38,33%, 44,44%, dan 41,33%) setelah perbaikan (45,33%, 52,28%, dan 45,6%). Teks wacana kelas lima sebelum perbaikan (36,11%, 41,96%, 22,25%, dan 40%) setelah perbaikan (64%, 44%, 45,86%, dan 41,96%). Teks wacana kelas enam sebelum

175

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

perbaikan (48,33%, 40%, 37,64%, dan 26,66%) setelah perbaikan (55,46%, 53,33%, 51,2%, dan 50,14%. (7) Perbandingan tingkat pemahaman siswa setelah dilakukan perbaikan memperlihatkan adanya peningkatan rata-rata skor secara berturut-turut seperti berikut. Kelas empat 60,00 < 67,33, kelas lima 61,33 < 74,67, dan kelas enam 61,33 < 82,00. Berdasarkan tujuh pernyataan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kesebelas teks wacana tersebut dapat dipergunakan untuk siswa sesuai dengan penentuan kelas pada LKS setelah diperbaiki beberapa aspek. Penentuan kesesuaian teks dengan level keterbacaan pada masingmasing kelas dapat dilakukan melalui uji Fry. Rekomendasi Inilah beberapa rekomendasi yang diusulkan berdasarkan hasil penelitian. (1) LKS sebagai media belajar anak selayaknya dapat dimanfaatkan oleh guru dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak bersemangat dalam belajar. Salah satu upaya pemanfaatan dengan baik adalah dengan memilih LKS yang teks-teks wacana di dalamnya memiliki kesesuaian dengan jenjang tingkatan kelas anak. (2) Wacana yang di dalamnya mengandung informasi penting yang dapat diserap oleh anakanak melalui kegiatan membaca sangat perlu mendapat dukungan dari pendidik untuk melihat kesesuaian teks wacana pada jenjang tingkatan kelas anak. Upaya yang termasuk penting dilakukan oleh guru supaya anak-anak mendapatkan teks wacana yang bermanfaat bagi mereka adalah melakukan upaya uji coba teks-teks wacana dalam LKS pada anak sebelum LKS digunakan. (3)

(4)

Anak-anak dapat belajar dari berbagai media, termasuk media buatan guru sendiri sehingga guru tidak perlu merasa tidak nyaman ketika mengembangkan usaha pemanfaatan media buatan sendiri. Salah satu media buatan guru adalah menyusun LKS. LKS yang disusun oleh seorang guru akan lebih mudah dipahami oleh anak-anak karena guru isi LKS dapat disesuaikan dengan tingkatan kelas anak dan tingkat perkembangan bahasa anak. Guru dapat menyusun teks wacana dalam LKS buatannya dengan bahasa-bahasa sederhana dan tema-tema yang dikaitkan langsung dengan kehidupan anak. Setiap manusia tentu berharap kemampuan menulisnya dapat meningkat dan berkembang. Setiap penulis juga akan berusaha melihat setiap sisi kehidupan yang dapat diangkat menjadi tulisan dengan bahasa sederhana untuk berbagai karyanya. Salah satu karya yang sering digunakan di dunia pendidikan adalah LKS. Hasil LKS tersebut selayaknya benarbenar terukur tingkat keterbacaannya untuk itu LKS yang diterbitkan oleh penerbit dapat diujicobakan tingkat keterbacaan oleh penulis sebelum LKS diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA Aji, N. (2008). Jejak Manusia. [Online]. Tersedia: http://Kiftiya.Blogspot.Com/2008 /07/keterbacaanreadability.html [8 Oktober 2010]

176

ISSN 1412-565X

Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011

Damaianti, V. S. (1991). Teknik Klos sebagai Alat Ukur dalam Menentukan Kesangkilan Wacana Bahasa Indonesia. Skripsi pada FPBS IKIP Bandung: tidak diterbitkan. Djajasudarma, T. F. (2006). Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama. Farr, R. & Roser, N. (1979). Teaching A Child to Read. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Hidayati, N. (2005). Analisis Buku Biologi SMA Kelas X Semester I Berdasarkan Kurikulum 2004 yang Banyak Digunakan di SMA Negeri Kabupaten Banteng. Semarang: UNNES PRESS. Jongsma, E. A. (1980). Close Instruction Research: A Second Look. Delware: IRA. Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Kusmana, S. (2008). Keterbacaan Buku Teks Pelajaran. Jurnal. [Online]. Tersedia:http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/bahasa-indonesia-dalam-kajian.html [13 Desember 2010]. Mulyati, Y. (2003). Kecepatan Efektif Membaca: Apa, Mengapa, dan Bagaimana [Online]. Tersedia; http://file.upi.edu/Direktori/ FPBS/JURPEND. BHS. DAN SASTRA INDONESIA/196008091986012 YETI MULYATI/KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA MMAS 2003.pdf, [8 Oktober2010] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran, Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (1). Suryadi, A. (2007). “Tingkat Keterbacaan Wacana Sains dengan Teknik Klos”. Jurnal Sosioteknologi. 10, (6), 196-199. [Online]. Tersedia: http://www.fsrd.itb.ac.id/wpcontent/uploads/2007/11/PakAmas.pdf [16 Desember 2010]. Tampubolon. (2008). Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien. Bandung: Angkasa. Tarigan, H. G. (1993). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. Utorodewo, F. N. (2007). Tinjauan Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal [Online]. Tersedia: http://johnherf.wordpress.com/2007/02/06/tinjauan-buku-teks-pelajaran-bahasaindonesia/ [10 Oktober 2010] Wahab, J. (2010). Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Teks Bacaan Melalui Investigasi Kelompok (Group Investigation). Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan. Wainwright, G. (2007). Speed Reading Better Recalling. Jakarta: PT. Gramedia. Yusuf L. N. S. (2009). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya BIODATA SINGKAT Penulis adalah Mahasiswa S2 PROGRAM Studi Pendidikan Dasar Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

177

ISSN 1412-565X