HAITUL UMAM-FDK.pdf - Institutional Repository UIN Syarif ...

329 downloads 2064 Views 1MB Size Report
Cerita”. Film “Perempuan Punya Cerita” merupakan film yang bergenre drama, dengan ...... Pacific, dan Multi Film diambil alih oleh Jepang, ketika pemerintah Belanda ...... berasumsi bahwa pendidikan seks (sex education) di Indonesia tidak ...
ANALISIS WACANA TEUN A. VAN DIJK TERHADAP SKENARIO FILM “PEREMPUAN PUNYA CERITA”

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I.)

Oleh Haiatul Umam NIM: 105051102009 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M

ABSTRAK

Haiatul Umam Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film “Perempuan Punya Cerita” Film “Perempuan Punya Cerita” merupakan film yang bergenre drama, dengan tema perempuan. Film ini menarik untuk diteliti, karena telah mengangkat realitas permasalahan kehidupan perempuan Indonesia, yang tentu saja di dalamnya terdapat masukan ideologi dan konstruksi yang dibuat oleh penulis skenario film tersebut. Film ini juga memiliki empat cerita berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan latar belakang budaya, kelas sosial dan karakter tokoh yang beragam. Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat lebih terarah, maka rumusan masalahnya adalah, bagaimana pesan teks, kognisi sosial serta konteks sosial yang terdapat dalam skenario/naskah film “Perempuan Punya Cerita” jika dilihat dari analisis wacana model Teun A. Van Dijk? Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk. Analisis wacana model Teun A. Van Dijk memiliki tiga dimensi yang menjadi objek penelitiannya, yaitu dimensi teks, kognisi sosial dan juga konteks sosial. Dimensi teks merupakan susunan struktur teks yang terdapat dalam teks. Kognisi sosial merupakan pandangan, pemahaman serta kesadaran mental pembuat teks yang membentuk teks. Sedangkan konteks sosial merupakan pengetahuan mengenai situasi yang berkembang di masyarakat yang berkenaan atas suatu wacana. Jika dianalisa, secara umum pembuat film dalam film “Perempuan Punya Cerita” menyampaikan pesannya mengenai permasalahan yang menimpa sebagian perempuan di Indonesia. Diantaranya permasalahan tentang hak-hak perempuan, kesehatan reproduksi perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Namun demikian, walaupun perempuan dihimpit oleh permsalahan tersebut, perempuan dalam film ini, memiliki ketegaran dan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Melalui strategi wacana model Teun A. Van Dijk, penulis menemukan bahwa, informasi dalam setiap kalimat yang terdapat dalam skenario film “Perempuan Punya Cerita” berhubungan dengan informasi dalam kalimat lainnya, serta memiliki unsur-unsur koherensi di dalamnya, sehingga terbentuklah struktur wacana berupa bentuk dan makna. Penyampaian informasi dalam skenario film “Perempuan Punya Cerita” dikemas dengan gaya bahasa yang ekspresif dan sangat sederhana. Penokohannya juga terlihat memiliki karakter yang kuat. Analisis wacana Teun A. Van Dijk juga menangkap informasi bahwa, film “Perempuan Punya Cerita” merupakan salah satu representasi dari keadaan perempuan di Indonesia yang mengalami berbagai macam persoalan.

i

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmatNya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam

tak lupa selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, beserta

keluarga, para sahabat, dan umatnya. Tiada kata yang dapat mewakili luapan hati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya berkat usaha dan doa, skripsi yang berjudul ANALISIS WACANA TEUN A. VAN DIJK TERHADAP SKENARIO FILM “PEREMPUAN PUNYA CERITA” ini dapat rampung. Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan serta bimbingan semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Murodi, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Arif Subhan, MA, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Drs. H. Mahmud Jalal, MA, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Drs. Studi Rizal L.K, MA, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Suhaimi, M. Si, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Rubiyanah, MA, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu siap membantu dalam masalah akademik. Terima kasih atas segala bimbingannya.

ii

3. Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan waktunya kepada penulis. Terima kasih atas bimbingan, ilmu dan dorongan yang telah Ibu berikan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini. 4. Dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan dedikasi yang diberikan kepada penulis. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis. Amin. 5. Segenap staff dan karyawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. 6. Rumah Produksi Kalyana Shira Films, Mbak Sri dan Mas Jamal, yang telah memperkenankan saya melakukan penelitian atas film “Perempuan Punya Cerita”. Terima kasih atas bantuan yang diberikan. 7. Orang tua tercinta, Ayah dan Umi (H. Hamim dan Hj. Nuriah Dasuki) yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan motivasi kepada penulis. Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kalian. Amin. Serta adik-adikku Zia Ulhaq, Ainun Najib, Riri Rizkia, dan Sahria Fadillah, yang telah banyak membantu dan menghibur diri ini di kala penat. 8. Teman-teman seperjuanganku di Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2005. Terima kasih atas kerja sama yang solid selama ini, kalian sungguh luar biasa. 9. Sahabat-sahabatku terkasih, Feby, Nia, Fika, Emy, Irma, Yefhy, Ican, Angga, Tedi, Alfan, Arifin, Aris, Maya, Indah dan Ummu. Terima kasih

iii

atas canda, tawa, tangis, bantuan dan dorongan yang membuatku menjadi lebih berarti. Love you guys! 10. Teman-teman SI-A angkatan 2004. Senang telah mengenal kalian. Especially for The Chairman Aden Sihabuddin yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasinya kepada penulis. 11. Guru-guru dan teman-temanku di Pondok Pesantren Modern An- Najah. Terima kasih atas ilmu, bimbingan, inspirasi dan pelajaran hidup yang telah kalian berikan. Dan kepada semua pihak yang telah langsung atau tidak langsung membantu penulis dalam menyelasaikan skripsi ini, Semoga Allah membalas budi baik yang telah kalian berikan. Amin.

Jakarta, Juni 2009

Penulis.

i v

DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………………………………………………………........i KATA PENGANTAR…………………………………………………….........ii DAFTAR ISI.………………………………………………………………..….v DAFTAR TABEL…………………………………………………………….viii DAFTAR GAMBAR……...……………………………………………….…..ix

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………...………….......1 B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………….......…4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………....5 D. Metodologi Penelitian….………………………………….…........6 E. Tinjauan Pustaka………………………………………………….11 F. Sistematika Penulisan…………………………………………….13

BAB II

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Tentang Film 1. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Film Indonesia...........15 2. Unsur-Unsur Film..................................................................... 22 3. Pengertian Skenario Film..........................................................24 4. Struktur Film.............................................................................26 5. Jenis-Jenis Film.........................................................................27

v

B. Tinjauan Tentang Perempuan 1. Perempuan Secara Umum.........................................................29 2. Perempuan dalam Islam............................................................29 3. Perempuan dalam Film Indonesia.............................................32 C. Film Sebagai Suatu Realitas............................................................37 D. Konsep Wacana 1. Teori Wacana.............................................................................39 2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk..........................43

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA” A. Profil Rumah Produksi Kalyana Shira Films...................................57 B. Latar Belakang Pembuatan Film ”Perempuan Punya Cerita”.........57 C. Sinopsis Film ”Perempuan Punya Cerita”.......................................60 D. Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Film ” Perempuan Punya Cerita”..............................................................................................62 E. Tentang Sutradara dan Penulis Skenario Film ” Perempuan Punya Cerita”..............................................................................................64

BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN DATA SKENARIO FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA” A. Teks Film ”Perempuan Punya Cerita” 1. Struktur Makro/Tematik……………………………………….68 2. Superstruktur/Skematik..............................................................72

vi

3. Struktur Mikro............................................................................78 B. Kognisi Sosial Film ”Perempuan Punya Cerita”............................107 C. Konteks Sosial Sosial Film ”Perempuan Punya Cerita”................112 BAB V PENUTUP A.

Kesimpulan.................................................................................117

B.

Saran dan Rekomendasi..............................................................120

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................121 LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................122

vii DAFTAR TABEL

1. 2. 3. 4.

Tabel 1. 1 Model Analisis Van Dijk............................................................8 Tabel 2. 1 Skema Penelitian Teun A. Van Dijk Van Dijk….……….…...44 Tabel 2. 2 Elemen Wacana Teun A. Van Dijk...........................................45 Tabel 3. 1 Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Film ”Perempuan Punya Cerita..........................................................................................................62 5. Tabel 4. 1 Opening Shot.............................................................................72 6. Tabel 4. 2 Conflict Scene…..…………………………………………………..73 7. Tabel 4. 3 Anti Klimaks.............................................................................75 8. Tabel 4. 4 Ending.......................................................................................77 9. Tabel 4. 5 Latar..........................................................................................79 10. Tabel 4. 6 Detil..........................................................................................82 11. Tabel 4. 7 Maksud.....................................................................................84 12. Tabel 4. 8 Koherensi…...…………………………………………….......86 13. Tabel 4. 9 Kata Ganti.................................................................................88 14. Tabel 4. 10 Bentuk Kalimat.......................................................................91 15. Tabel 4. 11 Gaya Bahasa...........................................................................93 16. Tabel 4. 12 Grafis......................................................................................96 17. Tabel 4. 13 Metafora ................................................................................98 18. Tabel 4. 14 Ekspresi..................................................................................99

viii

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan secara serentak. Salah satu penyampaiannya bisa melalui film. 1 Film merupakan media massa yang dinilai cukup efektif dalam menyampaikan pesan, ketimbang media komunikasi massa lainnya.2 Film memiliki kesanggupan untuk menangani berbagai subyek yang tidak terbatas ragamnya. Oleh karena itulah, film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang banyak diminati masyarakat, karena dapat mengamati secara seksama apa yang memungkinkan ditawarkan sebuah film melalui sebuah peristiwa yang ada di balik ceritanya. Yang tak kalah pentingnya, film juga merupakan ekspresi atau pernyataan dari sebuah kebudayaan, film juga mencerminkan sisi-sisi yang kurang jelas diperhatikan di masyarakat. Jika menonton sebuah film, kita tidak akan lepas dengan unsur sinematik dan narasi. Aspek cerita dan tema sebuah film terdapat di dalam narasi. Cerita diikemas ke dalam bentuk skenario, yang akan mengarahkan jalan cerita film. Di dalam skenario kita dapat melihat unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu serta lainnya. Seluruh unsur-unsur tersebut membentuk sebuah jalinan peristiwa terikat oleh sebuah aturan yakni hukum kausalitas.3

1

Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), h. 35. 2 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2003), h. 206. 3

Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008), h. 2.

2

Berawal dari kesuksesan perfilman Indonesia 10 tahun terakhir ini, mendorong penulis untuk menelaah hasil karya sebuah film, berupa skenario film, yang juga menentukan keberhasilannya sebuah film. Dalam hal ini, film yang menjadi perhatian penulis yaitu film yang bertemakan perempuan. Pada masa 80-an sineas belum mampu untuk mengangkat realitas perempuan yang sebenarnya secara utuh, hanya sebagian saja yang digambarkan, sedangkan pada masa sekarang, perempuan dalam film Indonesia, sudah mampu menggambarkan realita perempuan, bahkan mampu mengangkat hal-hal tentang perempuan yang bagi sebagian orang dianggap tidak begitu penting. 4 Film yang bertemakan perempuan diantaranya: Film “Pasir Berbisik” karya Nan T. Achnas, film ”Eliana-eliana” karya Riri Riza, film ”Ca Bau Kan” dan ”Berbagi Suami”

karya Nia Dinata. Juga film”Marsinah” karya Slamet

Rahardjo. Dari beberapa film yang bertemakan perempuan, Film ”Perempuan Punya Cerita” yang diproduseri oleh Nia Dinata, menarik perhatian penulis untuk menganalisanya secara mendalam, karena kisahnya yang sangat mengedepankan realita perempuan, secara narasi film ini juga memiliki alur cerita yang menarik untuk ditonton karena terdiri dari empat kisah yang berbeda, tetapi masih dalam satu premis yang sama, yaitu tentang perempuan. Film ”Perempuan Punya Cerita” adalah film yang ditulis dengan pesan yang jelas tentang kondisi perempuan yang tidak banyak diangkat oleh media massa kebanyakan, karena mungkin ironisnya, hal-hal tentang perempuan yang dianggap penting oleh media massa kebanyakan adalah sebatas urusan rambut, 4

Sita Aripurnami, ed., Perempuan Yang Menuntun: Sosok Perempuan dalam Film Indonesia (Jakarta: Ashoka Indonesia, 2000), h. 103.

3

memutihkan kulit, atau menurunkan berat badan. Padahal persoalan perempuan masih sangat banyak dan kompleks yang justru sebenarnya harus diketahui, dan dicari solusinya bersama. Dalam film “Perempuan Punya Cerita”, tampak bahwa potret perempuan digambarkan dengan sosoknya yang lemah dan tertindas. Persoalan perempuan dalam film “Perempuan Punya Cerita” memaparkan secara selintas tentang gambaran masalah perempuan yang terjadi di masyarakat, seperti masalah kesehatan reproduksi perempuan, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap perempuan, serta masalah hak-hak perempuan. Sosok perempuan Indonesia itu berada dalam stereotipe masyarakat, salah satu stereotipe masyarakat bahwa, perempuan yang diterima adalah perempuan yang menikah dan bernaung di bawah laki-laki, sedangkan perempuan yang mencoba untuk mandiri dan bebas adalah terkutuk dan merupakan contoh dari kekalahan hidup. Dalam memandang persoalan perempuan, tentunya tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek, oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan memaparkan tinjauan tentang perempuan yang dilihat dari berbagai macam aspek, guna memberikan pengetahuan tentang perempuan. Diantaranya tinjauan perempuan secara umum, perempuan dalam islam serta perempuan dalam film Indonesia. Berangkat dari latar belakang di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan melalui skenario yang ditulis, dengan pendekatan kacamata wacana Teun A. Van Dijk, serta untuk memberikan apresiasi terhadap karya seorang pekerja media yang tentunya juga memiliki ideologi tertentu dalam

4

memandang realitas kehidupan, yang kemudian dijadikan sebagai isu untuk ditonjolkan kepada masyarakat. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis memilih judul Analisis Wacana Teun A. Van Dijk terhadap Skenario Film “Perempuan Punya Cerita".

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti agar pembahasan ini nantinya lebih terarah, spesifik dan sistematis. Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka dalam penelitian ini dibuat suatu batasan. Ruang lingkupnya dibatasi pada analisis tekstual (skenario) film ”Perempuan Punya Cerita” dan bagaimana suatu teks tersebut diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Semua itu hanya dengan menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pesan teks skenario film ”Perempuan Punya Cerita” menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk? b. Bagaimana kognisi sosial skenario film ”Perempuan Punya Cerita” menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk? c. Bagaimana konteks sosial skenario film ”Perempuan Punya Cerita” menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk?

5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan batasan dan rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki tujuan, yaitu untuk mengetahui idealisme pembuat film dalam memproduksi film (termasuk membuat skenario) dan menampilkan realita tentang perempuan di film ”Perempuan Punya Cerita”. Melalui analisis wacana model Teun A. Van Dijk, kita akan tahu bukan hanya bagaimana isi teks di dalam skenario, tetapi bagaimana dan mengapa pesan teks dalam skenario itu dihadirkan dan diproduksi ke dalam sebuah film.

2. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat penelitian ini yaitu: a. Manfaat Akademis Penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan

kontribusi

dalam

perkembangan kajian media, terutama kajian yang berhubungan dengan media dan komunikasi massa. Selain itu kajian ini diharapkan memberikan pandangan baru dalam kajian komunikasi khususnya media film, terutama jika dilihat dari analisis wacana. b. Manfaat Praktis Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan juga dapat memberikan masukan akademis bagi para penggiat film dalam melakukan telaah film yang dilihat dari analisis wacana model Teun Van A. Dijk.

6

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Obyek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejalagejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu. 5 Analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan ”apa” (what), analisis wacana lebih melihat kepada ”bagaimana” (how) dari suatu pesan atau teks komunikasi. 6 Maka dengan metode ini tidak hanya diketahui pesan apa saja yang terdapat pada film ”Perempuan Punya Cerita”, tetapi juga bagaimana pesan itu dikemas dan diatur sedemikian rupa sampai menjadi sebuah film yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Wacana

merupakan praktik sosial (mengkonstruksi

realitas) yang

menyebabkan sebuah hubungan dialektis antara peristiwa yang diwacanakan dengan konteks sosial, budaya, ideologi tertentu. Disini bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana 7, dalam hal ini tentu saja pembuat film ”Perempuan Punya Cerita”.

5

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007). h, 23. Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 68. 7 Ibid., h. 258. 6

7

Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan. Dasar Analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpreatasi dan penafsiran peneliti.

8

Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti mengenai wacana perempuan yang menjalani hidupnya dalam berbagai konflik dengan menggunakan analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan: teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial, dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dan pembuat berita. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat akan suatu masalah, dalam penelitian ini tentu saja berkenaan dengan masalah perempuan yang hidupnya tersudutkan. Analisis Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian melulu kepada teks ke arah analisis yang komperhensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu, pembuat film maupun dari masyarakat. Model Analisis Van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut: 9

8

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 337. Ibid., h. 225.

9

8

Tabel 1.1 Model Analisis Van Dijk

Teks

Kognisi Sosial Konteks

Van Dijk juga

melihat wacana terdiri atas tiga struktur, antara lain:

struktur makro, superstruktur dan

struktur mikro. 10 Dan elemen-elemen yang

terdapat dalam struktur tersebut antara lain: Tematik, Skematik, Semantik, Sintaksis, Stilistik dan Retoris. Sebetulnya banyak model analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Eriyanto dalam buku analisis wacananya, menyajikan model-model analisis wacana, diantaranya: wacana model Fairclough, Theo Van Leewen dan Sara Mills. Menurut

Michel

Fairclough,

wacana

tidaklah

dipahami

sebagai

serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi mengikuti Fairclough adalah sesuatu sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak sesuatu. 11 Analisis wacana Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks

10

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 162. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 65.

11

9

masyarakat yang makro. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.12 Menurut Theo Van Leewen, analisis wacana diperuntukkan mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana. 13 Sedangkan Sara Mills, memberikan titik perhatian pada wacana mengenai feminisme, yaitu bagaimana wanita ditampilkan dalam teks. Menurutnya, wanita cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah.

14

Dari sekian banyak model analisis wacana, penulis menggunakan analisis wacana model Teun A Van Dijk, karena model ini adalah model yang paling banyak digunakan. Hal ini dikarenakan Van Dijk mengelaborasi elemen- elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dapat dipakai secara praktis.

2. Jenis Penelitian Jenis penelitian berdasarkan tujuannya ini menggunakan jenis penelitian dekriptif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan objek tertentu. Peneliti sudah mempunyai konsep (biasanya satu konsep) dan kerangka konseptual. Melalui kerangka konseptual (landasan teori), peneliti melakukan operasioanalisasi konsep yang

akan

12

menghasilkan

Ibid., h, 285. Ibid., h.171. 14 Ibid., h.199.

13

variabel

beserta

indikatornya.

Penelitian

ini

10

menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel. 15

3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek yang akan diteliti adalah film “Perempuan Punya Cerita”, sedangkan objek penelitiannya adalah pesan tekstual dalam script atau skenario film “Perempuan Punya Cerita”.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi merupakan

sebuah kegiatan

yang berhubungan

dengan

pengawasan, peninjauan, penyelidikan dan penelitian. Metode pengumpulan data dalam sebuah observasi, dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala atau fenomena obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini, yang dilakukan adalah obeservasi mengenai teks dalam skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, kemudian diadakan pengamatan dan analisis terhadap isi makna pesan yang terkandung di dalam film ”Perempuan Punya Cerita”. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi langsung dan tak langsung. 1. Observasi langsung, yaitu melalui pengamatan langsung untuk memperoleh data yang diperlukan. 16 Jenis sumber data yang dipakai untuk meneliti masalah ini

15

Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, Pengantar Burhan Bungin (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 69. 16 Winarto Surahmad, Dasar-Dasar Teknik Penelitian (Bandung: CV . Tarsita, 1989), h. 162.

11

adalah dengan menggunakan data primer. Data primer yang digunakan adalah script atau skenario film ”Perempuan Punya Cerita”. 2. Observasi tidak langsung, yaitu dengan mengamati film ”Perempuan Punya Cerita” melalui VCD. Sebagai metode ilmiah observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis tentang fenomena-fenomena yang diselidiki. b. Wawancara Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab. Penulis menggunakan teknik wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dipersiapkan, kemudian dijawab oleh nara sumber. Penulis mengumpulkan data dengan cara bertanya kepada penulis skenario dan sutradara dari film ”Perempuan Punya Cerita”. c. Dokumentasi Dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak pengelola film ”Perempuan Punya Cerita” yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini sumber data berupa skenario yang diperoleh dari Rumah Produksi film ”Perempuan Punya Cerita” yaitu Kalyana Shira Films. Selain itu, sumber data juga diperoleh dari media cetak, elektronik, internet dan buku-buku pustaka yang dijadikan sebagai sumber bacaan untuk penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini merujuk pada penelitian terdahulu yang membahas tentang isi pesan dalam sebuah film. Seperti skripsi Analisis Wacana Dakwah dalam Film Ayat-Ayat Cinta oleh Saudara Zaid Maftuh tahun 2008 dan skripsi ”Analisis

12

Wacana Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani” oleh saudari Sukasih Nur tahun 2008. Kedua penelitian tersebut mengangkat tema film yang berbeda, tetapi masih dalam metode yang sama yaitu dengan menggunakan analisis wacana Teun. A Van Dijk. Skripsi Analisis Wacana Dakwah dalam Film Ayat-Ayat Cinta oleh Zaid Maftuh mengusung tema religi sedangkan skripsi ”Analisis Wacana Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sani” oleh Sukasih Nur mengusung tema moral, dan penulis sendiri mengusung tema perempuan dalam penelitian ini, juga dengan menggunakan metode penelitian analisis wacana Teun A. Van Dijk. Pada penelitian ini, penulis mencoba mengemukakan tentang pesan dari film yang bertemakan tentang permasalahan perempuan yaitu film ”Perempuan Punya Cerita” yang diproduksi pada tahun 2007. Untuk melihat pesan tersebut, penulis

mencoba

menganalisa

unsur

dari

film

tersebut,

yaitu

narasi

(skenario/naskah) film yang penulis dapatkan dari Kalyana Shira Films Production (rumah produksi film ”Perempuan Punya Cerita”). Yaitu dengan menganalisa teks dari skenario film ”Perempuan Punya Cerita”. Melalui teks tersebut akan diketahui pesan yang terkandung dalam film tersebut. Dalam penelitian ini penulis juga berpedoman pada buku Eriyanto (2001) yang berjudul ”Analisis Wacana (pengantar analisis teks media)”. Dalam buku ini disajikan secara lengkap penjelasan wacana menurut Teori Teun A. Van Dijk, mulai dari segi teks (tema, skema, bentuk kalimat sampai pada konteks sosial), sehingga memepermdah penulis dalam melakukan penelitian. Penelitian yang penulis lakukan diharapkan memberi tambahan/pelengkap dari penelitian yang dilakukan sebelumnya.

13

Selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan berbagai referensi dan sumber-sumber yang terkait dengan penelitian, yang akan mendukung penelitian ini.

5. Teknik Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan Penelitian yang akan dibahas terdiri dari lima Bab dan masing-masing bab terdiri dari Sub Bab, yakni: BAB I

PENDAHULUAN Membahas tentang latar belakang masalah, perumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II

LANDASAN TEORI Membahas tinjauan tentang film, diantaranya pengertian film, sejarah film, perkembangan film Indonesia, unsurunsur film, pengertian tentang skenario film, struktur pembentukan film dan jenis-jenis film. Kemudian dalam bab ini membahas tinjauan tentang perempuan yang dilihat dari beberapa aspek (membahas tentang perempuan secara umum, perempuan dalam islam dan perempuan dalam film

14

Indonesia) serta membahas tentang film sebagai suatu realitas dan membahas tentang konsep wacana. BAB III

GAMBARAN UMUM FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA” Pada Bab ini berisikan pembahasan untuk mengenal sasaran objek yang diteliti. Yang terdiri dari profil rumah produksi Kalyana Shira Films, latar belakang pembuatan film ”Perempuan Punya Cerita”, sinopsis film ”Perempuan Punya Cerita”, tim produksi dan pemeran tokoh film ”Perempuan

Punya

Cerita”,

serta

mengenal

tentang

sutradara dan penulis skenario film ”Perempuan Punya Cerita”. BAB IV

ANALISIS DAN TEMUAN DATA SKENARIO FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA” Membahas tentang konsepsi struktur teks analisis wacana Teun A. Van Dijk (Struktur Makro, Superstruktur, Struktur Mikro) terhadap skemario film ”Perempuan Punya Cerita”, serta membahas tentang kognisi sosial dan konteks sosial dalam film ”Perempuan Punya Cerita” .

BAB V

PENUTUP Penulis menutup skripsi ini dengan penyampaian beberapa kesimpulan sekaligus berfungsi sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan dalam bab pendahuluan, berikut dengan disertai saran dan rekomendasi penulis.

15

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Film 1. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Film Indonesia a. Pengertian Film Film menurut kamus bahasa Indonesia

adalah gambar hidup. Secara

etimologi film adalah susunan gambar yang berada dalam selluloid kemudian diputar dan bisa ditafsirkan dengan berbagai makna.1 Secara fisik film berarti selaput tipis yang dibuat selluloid untuk tempat gambar yang negatif (yang akan dipotret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Selaput tipis tersebut terdiri dari beberapa lapisan, pertama disebut Jelatin sebagai bahan pelindung, lapisan kedua disebut emulsi sebagai bahan kimia yang peka terhadap cahaya dan lapisan ketiga disebut landasan, sebagai dasar yang sifatnya tipis, lentur dan transparan.2 Film juga merupakan fenomena sosial, psikologi dan estetika yang komplek. Dalam pengertian lain, film adalah dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan musik.3 Film hadir ke tengah kehidupan masyarakat sebagai suatu hasil produksi yang melibatkan banyak tenaga, modal dan peralatan.4

1

Eko Endarmoko, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 180. Gatot Prakoso, Film Pinggiran Antologi Film Pendek, Eksperimental dan Dokumenter (Jakarta: Fatwa Press, 1997), h. 22. 3 Sean Mc Bride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa depan: Aneka Suara dan satu dimensi. (Jakarta: PN Balai Pustaka, UNESCO, 1983), h. 120. 4 Zainuddin Ishak, dkk., Penelitian Apresiasi Masyarakat Terhadap Film Nasional (Jakarta: Dep. Penerangan R.I., 1986), h. 1. 2

16

Dalam perkembangan teori film belakangan ini, mulai adanya upaya dari dari beberapa teoritisi untuk mencari perspektif yang lebih mampu menangkap subtansi film. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni (film as art) semata, tetapi lebih sebagai ”komunikasi massa”. Terjadinya pergeseran perspektif ini, paling tidak telah mengurangi bias normatif dari teoritisi film yang cenderung membuat lokalisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara obyektif.5 Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat tabung televisi maupun layar perak, film mampu menampilkan realitas kedua dari kehidupan manusia. Kisah-kisah yang ditayangkan lebih bagus dari kondisi nyata sehari-hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk. 6 b. Sejarah Film Seorang yang bernama Titus Lucrectius Corus pada tahun 65 SM. Sudah menulis tentang ‘ide’ gambar bergerak dalam suatu tulisan dengan judul ‘De Return Nature’ yang artinya sebagai berikut: ”Janganlah pikirkan dan herankan bahwa gambar-gambar seolah-olah bergerak dan muncul menurut suatu susunan dan waktu, kakinya dan tangan-tangannya digunakan untuk menghilang dan berbagai penggantinya muncullah yang lain tersusun dengan cara yang lain pula. Dan sekarang setiap gerakan seolah-olah berubah, karena anda harus mengerti bahwa hal itu berlaku dengan kecepatan yang luar biasa.7 Dua nama penting dalam rintisan penemuan film adalah Thomas Alva Edison dan Lumiere besaudara. Pada tahun 1887 Thomas Alva Edison berhasil

5

Budi Irwanto, Film, Ideologi, Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Yogyakarta: Aksara, 2005), h. 11. 6 William, dkk., Media Massa dan Masyarakat Modern, h.199. 7 Soetarto, Sejarah Perfilman Nasional (Jakarta: LKBN, Antara, 1976), h. 21.

17

menciptakan mekanisme film dengan merancang alat untuk merekam dan memproduksi gambar. Ciptaan Edison tersebut disebut kinetoskop

yang

menyerupai kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan hingga tahun 1894 di New York diadakan pertunjukan kinetoskop untuk umum. 8 Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena sematamata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota. Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. Tahun 1900-an film yang masih berwarna hitam putih mulai dipoles dengan warna disana sini. Kemudian pada tahun 1905 orang mulai mengenal suatu teknik warna yang sudah agak maju. Film sebagai alat komunikasi massa baru dimulai pada tahun 1901, ketika Ferdinan Zecca membuat film The Story of a Crime di Prancis dan Edward S Porter membuat film The Life of an America Fireman tahun 1902. Tahun 1905 bioskop dengan sebutan “Nickelodeon” mulai menyebar di Amerika dengan film awal yang berdurasi pendek sekitar sepuluh menit. 9 Dan Film bicara baru diperkenalkan kepada umum pada tahun 1927 di Amerika Serikat. Meskipun film sebagai penemuan teknologi baru telah muncul pada akhir abad kesembilan belas, film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan

8

“Analisis Wacana Petra.” Artikel diakses pada 20 Desember 2008 http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007/ 9 ”Forum Dudung” Artikel diakses pada 5 Desember 2008 http://www.forumdudung.net/index.php/2008/1205/2191.0-wome.html

dari dari

18

cerita peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. 10 c. Perkembangan Film Indonesia Perfilman Indonesia di mulai pada bulan September tahun 1926. Harian De Lecomotif

menulis, "Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam

industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian." Film yang dimaksud oleh De Locomotif itu adalah "Loetoeng Kasaroeng". Sebuah film lokal Indonesia yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926. Pemain-pemain yang dipilih untuk film tersebut adalah orang-orang pribumi terpilih dari golongan priayi yang berpendidikan, pengambilan film ini dilakukan di Padalarang, dan pada tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 untuk pertama kalinya "Loetoeng Kasaroeng", film lokal pertama yang menjadi tonggak industri sinema di Indonesia itu, diputar di Bioskop Majestic, Jalan Braga Bandung. Kalau pada tahap pertama pembuat film masih bersifat meraba-raba dan hasilnya pun kurang memuaskan. Maka tahap kedua mulailah keadaan produksi meningkat. Sebagai film pertama, yang cukup laris adalah “Terang Bulan” buah karya Albert Balink dan Wong Bersaudara, yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar, diproduksi oleh perusahaan ANIF pada tahun 1936-1937. Di penghujung tahun 1941 Perang Asia Timur Raya pecah. Dunia film pun berubah wajah. Perusahaan-perusahaan film, seperti wong Brothers, South

10

13.

Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Jakarta: Erlangga, 1987), h.

19

Pacific, dan Multi Film diambil alih oleh Jepang, ketika pemerintah Belanda sebagai penguasa di Indonesia menyerah kalah kepada balatentara Jepang. 11 Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Maka dunia perfilman pun ikut berubah. Nippon Elga Sha diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada pemerintah Republik Indonesia yang dalam serah terimanya dilakukan oleh Ishimoto dari pihak pemerintah militer Jepang kepada R.M Soetanto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Dengan menginjak dekade tahun 50-an, dunia film Indonesia memasuki alam yang cerah. Tampaklah kegiatan yang dilakukan para sineas film nasional dalam bentuk perusahaan-perusahaan film.12 Garis grafik yang menaik untuk mencapai puncaknya yaitu pada tahun 1955 dengan adanya 59 judul film. Pada tahun itulah diadakan Festival Film Indonesia (FFI) pertama. Garis grafik menurun terus menerus untuk mencapai titik terendah tahun 1959 dengan hanya adanya 17 judul film.13 Banyak faktor-faktor yang menyebabkan turunnya produksi film. Pertama adalah pergolakan politik, seperti pemberontakkan PRRI/PARMESTA, yang dengan sendirinya mempengaruhi bidang ekonomi. Kedua, yaitu saingan dari film-film luar negeri seperti India, Filipina, Melayu dan Amerika yang muncul dengan film-film berwarnanya. Dunia perfilman makin suram, ketika terjadi gerakan komunis PKI, yang memanfaatkan politik sebagai panglima. Organisasi kebudayaan LEKRA, yang berasal dari PKI ini, memperlihatkan kegiatan di berbagai bidang, termasuk pada

11

Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2003), h. 217. 12 Ibid., h. 218. 13 Gatot Siagian, Menilai Film (Jakarta; Dewan Kesenian Jakarta, 2006), h. 88.

20

bidang film. Organisasi ini dengan para simpatisannya memproduseri film dan mengatur pemboikotan film-film non komunis produksi dalam negeri maupun luar negeri. Hingga akhirya kegiatan mereka terhenti karena terjadinya peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada tahun 1967, produksi film nasional mulai kembali membaik dan muncullah berbagai jenis dan tema film, seperti suksesnya film “Bernafas dalam Lumpur”, sehingga memacu banyak produksi film untuk memperoduksi film, yang menyebabkan perfilman Indonesia meningkat. 14 Tahun 1970, film masih menunjukan udara segarnya dengan dibantu oleh kebijaksanaan pemerintah Orde Baru. Pada tahun itu pulalah berdiri Akademi Sinematografi dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, LPKJ yang kini dikenal dengan nama IKJ, sebagai satu-satunya akademi di bidang film, di Indonesia.15 Tahun 1974, gunting sensor dipertajam lagi dalam perfilman Indonesia, maka terjadilah penurunan produksi. Setelah itu mulai ada perhatian pada cerita dan penyajian yang baik dalam film Indonesia. Saat itu, film diramaikan dengan pengangkatan cerita film dari novel popular,

karena terbukti suksesnya film

“Karmila” yang diangkat dari novel, yang beredar pada tahun 1976.16 Hingga tahun 80-an, film Indonesia semakin berkembang pesat. Sedangkan Ajang Festival Film Indonesia untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tanggal 20 Maret sampai 5 April 1955, “Lewat Djam Malam” menjadi film terbaik FFI saat itu.

14 Tony Ryanto, Film Indonesia Sudah Tumbuh (Jakarta: Pintar Press, Persatuan Perusahaan Film Indonesia), h. 38. 15 Gatot Siagian, Menilai Film, h. 89. 16 Chaidir, Festival Film Indonesia (Jakarta: FFI, 1983), h. 87.

21

Karena ketidakjelasan skema investasi film di Indonesia Usmar Ismail mendirikan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Film “Darah dan Doa” diproduksi, pengambilan gambar pertama dilakukan pada tanggal 30 Maret, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional dan baru diakui pemerintah, pada masa pasca reformasi di tahun 1999. Perkembangan Film Indonesia Pasca Reformasi semuanya ini dimulai pada tahun 1998, saat film “Kuldesak”, proyek omnibus Riri Riza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana dan Nan T. Achnas selesai pembuatannya dan memperoleh sambutan yang hangat dari generasi muda yang haus akan tontonan lokal di berbagai jaringan bioskop tanah air, jelang akhir tahun 1999.17 Di awal tahun 2000, pencerahan pun mulai terjadi pada dunia perfilman di Indonesia, dengan jumlah penonton yang merangkak naik tajam untuk film-film, seperti: “Petualangan Sherina”, “Jelangkung”, dan “Ada Apa Dengan Cinta”. Lalu, mulailah produksi film-film Indonesia, bergulir dari karya insan-insan sineas Indonesia. Melihat perkembangan yang semakin pesat tersebut, maka di tahun 2004, FFI kembali digelar dengan sebuah misi besar. Namun, pelaksanaannya masih banyak kekurangan di sana-sini. Pada bulan Desember 2006, penyelenggaraan FFI dan kriteria pemilihan filmnya, justru semakin tidak jelas dan memburuk. Puncaknya, pada tanggal 3 Januari 2007, para sineas yang aktif membuat film di era pasca Orde Reformasi

17

”Ada Apa Dengan Film Indonesia” Artikel diakses pada 12 Februari 2009 http://www.kabar indonesia.com/index.php/2009/1155/2091.0-wome.html

dari

22

mengembalikan piala-piala Citra yang pernah diperoleh sejak tahun 2004 dan menuntut pemerintah untuk segera membenahi kebijakan perfilman nasional. Para sineas film ini, lantas bergabung dalam sebuah organisasi yang mereka bentuk, Masyarakat Film Indonesia (MFI), sebagai wadah dan forum untuk

menyuarakan

aspirasi

mereka

kepada

pemerintah,

agar

lebih

memperhatikan nasib perfilman nasional yang cukup memprihatinkan. Untuk mengenal lebih lanjut keberadaan organisasi MFI dan visi-misinya. Walaupun demikian, perfilman Indonesia saat ini, telah mengalami banyak perubahan dan kemajuan, dan telah mampu bersaing dengan film-film luar negeri, terbukti dengan banyak diperolehnya penghargaan oleh sineas Indonesia di ajang festival internasional.

2. Unsur-Unsur Pembentukan Film Film akan bersinggungan dengan unsur-unsur pembentukan film, sehingga untuk memahami sebuah film tidak lepas dari unsur-unsur pembentukkan film. Unsur-unsur tersebut antara lain: a. Unsur Naratif Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk yakni, unsur naratif dan unsur sinematik. Dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing-masing unsur tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya berdiri sendiri. Bisa kita katakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah. Dalam film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya. Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap film cerita tidak mungkin

23

lepas dari unsur naratif. Setiap cerita pasti memiliki unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu serta lainnya. Seluruh elemen tersebut membentuk sebuah jalinan peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan yakni hokum kausalitas (logika sebab-akibat). Aspek kausalitas bersama unsur ruang dan waktu adalah elemen-elemen pokok pembentuk naratif. 18 b. Unsur Sinematik Unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolah film. Dalam film cerita unsur sinematik atau juga sering diistilahklan gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentukan film. Unsur sinematik terbagi menjadi empat elemen pokok, yakni, mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Masingmasing elemen sinematik tersebut juga saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk gaya sinematik secara utuh. Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Mise-en-scene adalah segaa hal yang berada di depan kamera. mise-en-scene adalah segala hal yang berada didepan kamera. Mise-en-scene memiliki empat elemen pokok yakni, setting atau lattar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta akting dan pergerakan pemain. Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. Sedangkan suara adalah segala hal dalam film yang mampu ditangkap melalui indera pendengaran. Seluruh unsur

sinematik

tersebut saling

terkait,

mengisi,

serta

saling

berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk unsur sinematik secara keseluruhan.

18

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008), h. 2.

24

Gambar 2. 1 Skema Unsur Pembentukan Film

FILM

Unsur Naratif

Unsur Sinematik -

Sebuah film yang memiliki cerita atau tema

Mise en scene Sinematografi Editing Suara kuat bisa menjadi tidak

berarti tanpa pencapaian naratif yang memadai. Sineas dapat memilih alternatif bentuk teknik apapun sejauh sesuai dengan konteks naratifnya. Untuk mengukur memadai atau tidaknya sebuah pilihan tergantung para penontonnya. Keberhasilan seseorang dalam memahami film secara utuh sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tersebut terhadap aspek naratif serta aspek sinematik sebuah film. Kedua unsur tersebut apapun bentuknya pasti memiliki norma serta batasan yang bisa diukur. Jika sebuah film kita anggap buruk (kurang memadai) bisa jadi bukan karena film tersebut buruk namun Karena kita sendiri yang belum memahaminya secara utuh.19

3. Pengertian Skenario Film Skenario Film adalah blue print atau rangkaian penuturan sinematik dari sebuah cerita. Dari sebuah skenario dimulailah aktifitas sebuah produksi film.20 Seorang guru penulisan skenario, Lewis Herman, menyatakan, "Skenario film 19 20

Ibid., h. 3. Ibid.

25

adalah komposisi tertulis yang dirancang sebagai semacam diagram kerja bagi sutradara film. Skenariolah yang menjadi dasar pemotretan sekuen-sekuen gambar. Ketika disambung-sambung, sekuen-sekuen ini akan menjadi sebuah film yang selesai, setelah efek suara dan latar musik yang cocok dibubuhkan."21 Dalam suatu skenario, terdapat tiga formula yaitu: 1. Introduksi. Introduksi didapat melalui: a. Memunculkan premis b. Mengejar kemauan atau menyadari kebutuhan. c. Perkenalan karakter bisa dilakukan melalui character bibling yaitu penjelasan detail mengenai tokoh, bagaimana sudut pandang pengarang terhadap plot, cerita, dan dialog. d. Stereotype

adalah

pandangan

suatu kelompok

terhadap

kelompok lain yang biasanya berupa prasangka. e. Archetype adalah emosi universal yang bersifat turun temurun. 2. Konflik Faktor terpenting dan harus ada dalam sebuah cerita atau skenario film adalah konflik. Apalah artinya sebuah cerita atau skenario film jika tidak ada konflik 3. Solusi Solusi/Plot point adalah kejadian/emosi yang bergerak maju. Dalam sebuah cerita atau skenario film pasti memiliki pergerakan cerita. Pergerakan cerita bisa ditimbulkan dari dua hal: 21

“Skenario Tiga Babak” Artikel diakses pada 18 Mei 2009 dari http:// indiesof.org /jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009/

26

a. Cerita dikendalikan oleh karakter yaitu tokoh mengendalikan cerita. b. Cerita dikendalikan oleh situasi. Cerita dikendalikan oleh tokoh lainnya sebagai situasi disekelilingnya. 22

4. Struktur Film Seperti halnya sebuah karya literature yang dapat dipecah menjadi bab (chapter), alinea, dan kalimat, jenis film apapun, panjang atau pendek, juga memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi unsurunsur, yakni shot, adegan, dan sekuen. Pemahaman tentang shot, adegan, dan sekuen nantinya banyak berguna untuk membagi urutan-urutan (segmentasi) plot sebuah film ke dalam sistematik. Segmentasi plot akan banyak membantu kita melihat perkembangan plot sebuah film secara menyeluruh dari awal hingga akhir. 1. Shot Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga sering diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film telah jadi (pasca produksi) memiliki arti satu rangkaian gambar utuh yang tidak terintrupsi oleh potongan gambar (editing). Shot merupakan unsur terkecil dari film, sekumpulan beberapa shot biasanya dapat dikelompokan menjadi sebuah adegan.

22

“Mari Membuat Film” http://dibaliklayarworkshoppenulisan.html

Artikel

diakses

pada

18

Mei

2009

dari

27

2. Adegan (Scene) Adegan atau scene adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan. Biasanya film cerita terdiri dari tiga sampai lima puluh buah adegan. Adegan adalah yang paling mudah dikenali sewaktu menonton film. 3. Sekuen (Sequence) Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Sekuen bisa diibaratkan seperti sebuah bab atau sekumpulan bab. Dalam pertunjukan teater, sekuen bisa disamakan dengan satu babak. Satu sekuen biasanya dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang. Biasanya film cerita terdiri dari delapan sampai lima belas sekuen. Dalam beberapa kasus film, sekuen dapat dibagi berdasarkan usia karakter utama yakni masa balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, serta lanjut usia. Dalam film-film petualangan yang umumnya mengambil banyak tempat, sekuen biasanya dibagi berdasarkan lokasi cerita.23

5. Jenis-Jenis Film Genre atau jenis film ada bermacam ragam. Sebenarnya tidak ada maksud tersendiri dengan pemisahan tersebut, namun secara tidak langsung dengan

23

Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29.

28

hadirnya film-film dengan karakter tertentu, memunculkan pengelompokan tersebut. Terdapat beberapa jenis film yaitu: a. Film Roman/Drama adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat, mengandung konflik, pergolakan, benturan antara dua orang atau lebih. b. Film misteri/horor, yaitu film yang mengupas terjadinya fenomena mistis yang menimbulkan rasa heran, takjub dan takut. c. Film Dokumenter, yaitu film yang berisi tentang dokumentasi dari kisah kehidupan nyata, atau juga berisi tentang dokumentasi dari kehidupan di luar itu. d. Film Realisme, yaitu film yang mengandung relavansi dengan kehidupan sehari-hari. e. Film sejarah, yaitu film yang melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan peristiwanya. f. Film perang, yaitu film yang menggambarkan peperangan atau situasi di dalamnya atau setelahnya g. Film “Futuristik”, yaitu film yang menggambarkan masa depan secara khayali. h. Film anak, yaitu film yang mengupas tentang dunia anak. i. Film kartun, yaitu film cerita bergambar yang diawali dari media cetak, yang diolah sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai story board melainkan gambar yang sanggup bergerak dengan teknik animation. j. Film “Adventure”, yaitu film pertarungan dan tergolong film klasik. 24 24

Sean Mc Bride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa depan, Aneka Suara dan satu dimensi (Jakarta: PN Balai Pustaka, UNESCO, 1983), h. 120.

29

Meskipun sekarang ini terdapat berbagai macam jenis film akan tetapi semuanya dapat dipastikan

mempunyai satu sasaran yaitu untuk menarik

perhatian publik terhadap kandungan masalah yang diangkat, serta untuk melayani keperluan publik.

B. Tinjauan Tentang Perempuan 1. Perempuan Secara Umum Secara fisik, perempuan berdasarkan konsep

jenis kelamin, adalah

manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan menyusui. Sedangkan menurut konsep gender adalah manusia yang lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan.25 Perempuan merupakan mitra

kaum

pria yang diciptakan

dengan

kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum pria, dalam detail yang sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang sama seperti yang dimiliki oleh pria. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh ruang tertinggi dalam ruang aktivitas yang ia lakukan, sebagaimana kaum pria dengan ruang aktivitasnya.26

2. Perempuan dalam Islam Dalam wacana Islam sendiri, pembicaraan tentang perempuan merupakan hal yang cukup banyak menyita perhatian, terutama dalam perkembangan akhir25

“Analisis Wacana Petra.” Artikel diakses pada http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007/ 26 Ibid.

20

Desember

2008

dari

30

akhir ini. Hal ini paling tidak, bisa dilihat dari banyaknya buku yang ditulis secara khusus menyoroti perempuan dalam islam. Buku-buku itu tidak hanya tersebar di negara-negara Islam, tetapi hampir tersebar di seluruh dunia. Penulisnya pun tidak hanya dari kalangan Islam, tetapi juga dari kalangan intelektual non Islam yang berniat mengkaji perempuan Islam. Terlepas dari apakah bermanfaat bagi upaya pemberdayaan perempuan atau justru kontraproduktif, yang jelas gejala ini merupakan

perkembangan

yang baik bagi pengembangan

studi tentang

perempuan dalam Islam. 27 Setiap pembicaraan tentang kedudukan perempuan dalam Islam, tidak bisa tidak memaksa kita untuk merujuk kepada Al-Quran. Hal ini disebabkan karena al-Quran memuat persoalan mengenai hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban perempuan serta memuat pelbagai persoalan yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, baik sebagai manusia maupun sebagai suami isteri dalam suatu kehidupan rumah tangga atau dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik. Di dalam al-Quran disimpulkan bahwa Islam menghormati perempuan dengan penghormatan yang sangat luhur, mengangkat martabatnya sendiri dari sumber keburukan dan kehinaan serta dari penguburan hidup-hidup dan perlakuan buruk

kedudukan yang terhormat dan mulia. Sebab perempuan itu selaku ibu, di

bawah kakinya terletak surga, perempuan itu selaku isteri yang harus diperlakukan dengan kelembutan dan kehalusan. Perempuan itu selaku anak perempuan, dimana orang yang mengayomi seorang anak perempuan, dua anak perempuan atau tiga anak perempuan akan 27

Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuan dalam Islam (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), h. 18.

31

bersama Rasulullah saw di surga seperti jari telunjuk dan jari tengah (berdampingan). Demikian yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw yang menunjukan kedekatan. Seorang wanita mukminah yang teguh dalam ketaatannya, Allah telah menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Dalam hal ini firman Allah menyatakan:

 





 



     ”Barang siapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97) Al-Ustadz Al-Aqqad mengatakan dalam bukunya Al-Qayyim Al-Mar’ah fi Al-Qur’an: ”Konsep hak, dasarnya sama, bahwa laki-laki dan perempuan sama dalam segala sesuatu. Perempuan mempunyai kewajiban seperti kewajiban laki-laki. Kemudian, bahwa laki-laki dilebihkan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan serupa dalam kewajiban, demikianlah persamaan yang bijaksana.” 28

28

Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Pertimbangan Islam: Kodrat Wanita, Emansipasi dan Pelecehan Seksual (Jakarta: Pustaka Azam, 1994), h. 18.

32

Di dalam islam, konsep nasab (keturunan) dasarnya ada di dalam al-Quran yang mulia, yaitu menghormati para ibu, melindungi anak-anak perempuan dari perlakuan jahat terhadap kehidupan mereka dan menjauhkan diri dari kebencian akan kelahiran dan pendidikan mereka. Demikian juga bagi sang isteri dalam perkawinan, yaitu memberikan status dan tempat di dalam rumah, sehingga tidak boleh menempatkan isteri di luar tempat mereka (suaminya), dan tidak boleh lakilaki atau suami menyuruh atau memaksa isterinya melakukan sesuatu dengan lakilaki lain. 29 Jika dahulu pada zaman sebelum islam, kaum wanita selalu berada di bawah kezaliman kaum laki-laki. Perempuan tidak memperoleh hak-hak menurut undang-undang dan tidak dapat kedudukan dalam masyarakat sebagaimana yang sewajarnya diberikan kepada mereka. Perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, perempuan harus tinggal di rumah saja dan tidak mempunyai andil dalam kehidupan masyarakat.30 Maka setelah islam datang, hal ikhwal kaum perempuan menjadi lebih baik dan menggembirakan. Islam mengangkat martabat kaum perempuan, memberikan perlindungan kepada perempuan dan memberikan hak-hak kepada perempuan. 31 Walaupun sampai pada saat ini, perempuan belum mendapat haknya secara utuh, karena saat ini banyak manusia

yang sudah meninggalkan ajaran

islam, padahal islam sangat mengormati perempuan. 32

3. Perempuan dalam Film Indonesia 29

Ibid., h, 19. Nursyahbani Katjasungkana, Membincangkan Feminisme: Tinjauan Hukum Atas Masalah Kekeorasan Terhadap Perempuan (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), h. 81. 31 Ibid. 32 Ibid. 30

33

Film sebagai salah satu media menarik banyak perhatian dari berbagai pihak dan sudut pandang. Misalnya kritik analisis terhadap citra perempuan dalam film di masa lalu dan kini, atau kalangan sejarawan yang menampilkan peran atau kontribusi perempuan yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan. Film berspektif perempuan pertama kali diproduksi dengan anggaran yang sangat kecil, independent, dan berupa dokumentasi. Adapun model dominannya bersifat realisme, dan memiliki ambisi yang kuat untuk menampilkan kebenaran dari kehidupan perempuan dengan menawarkan berbagai citra perempuan yang lebih bervariasi, positif dan apa adanya. 33 Film dokumentasi tersebut mengungkapkan isu-isu perempuan seperti misalnya soal penindasan terhadap perempuan, tetapi pada saat bersamaan juga ditampilkan bagaimana perempuan memiliki kemampuan untuk melawan kembali penindasan tersebut. 34 Pada film tersebut ditampilkan film-film Autobiografi atau biografi yang ternyata sangat diminati banyak orang pada awal 70-an, sebut saja misalnya film Women Talking dari Midge Mackenzie (1970), atau film Three Lives oleh Kate Miller (1971). Di Indonesia sendiri, pada akhir tahun 1980-an, film-film Indonesia sudah menampilkan sosok perempuan yang lebih mandiri, tetapi masih terdapat ketakutan akan kemandirian perempuan yang penuh. Ruang gerak yang tepat bagi perempuan masih selalu digambarkan sebatas lingkungan domestiknya. Selain itu, kehidupan perempuan yang digambarkan hanya kehidupan dari kelas menengah

33

Jurnal Perempuan, Perempuan dan Media (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003),

34

Ibid.

h. 201.

34

yang persoalan-persoalannya berkisar sekitar cinta segitiga saja. 35 Diantaranya film Selamat tinggal Jeanette, Bayi Tabung, Suami, Arini II dam Pacar Ketinggalan Kereta. Dalam film Indonesia, perempuan yang diterima adalah perempuan yang menikah dan bernaung di bawah laki-laki, sedangkan perempuan yang mencoba untuk mandiri adalah adalah terkutuk dan contoh dari kekalahan hidup. Sementara itu pada tahun 1988, sudah mulai banyak dimunculkan gambaran perempuan yang bercitra diri lebih positif dan kuat. Di antara banyaknya corak/genre film Indonesia saat ini, corak cerita drama kehidupan merupakan corak cerita film yang paling baik untuk mengamati bagaimana perempuan digambarkan dalam film. Hal ini disebabkan, karena biasanya hampir semua film yang mengambil tokoh sentral perempuan, dibuat dalam film yang bercorak/bergenre drama. Film tentang perempuan bermaksud mengetengahklan kejadian yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tema film mengenai perempuan, biasanya digambarkan dengan persoalan perempuan yang menikah, perempuan yang tidak menikah dan otonomi perempuan. 36 Agaknya bagi perempuan menikah atau tidak menikah masih merupakan dasar penilaian dari prilaku, hal ini sedikit banyak berpengaruh pula pada otonominya (kebebasan), pada haknya untuk mengatur dirinya sendiri.

35

Sita Aripurnami, ed., Perempuan Yang Menuntun: Sosok Perempuan dalam Film Indonesia (Jakarta: Ashoka Indonesia, 2000), h. 104.

36

Ibid., h. 105.

35

Dalam film Indonesia, sosok perempuan mandiri yang sudah menikah, masih belum bisa diterima. Dalam film Indonesia, masih digambarkan, bahwa konsep pernikahan masih diartikan sebagai tempat yang mengharuskan laki-laki memegang kendali, dan mengharuskan perempuan tunduk pada keinginan lakilaki sebagai pemegang kendali. Lain halnya jika perempuan belum menikah yang digambarkan dalam film Indonesia, perempuan yang belum menikah biasanya juga banyak mendapati persoalan, seperti persoalan percintaan dan persoalan dalam kehidupannya di masyarakat. Jika perempuan yang belum menikah tersebut salah langkah atau melanggar norma yang ada di masyarakat, hal tersebut bisa menimbulkan fitnah pada perempuan tersebut. Misalnya jika perempuan tersebut, tidak bisa menjaga kehormatan dirinya, dia akan dijauhkan diri dari masyarakat, padahal belum tentu semua kesalahan bertumpu pada perempuan.37 Otonomi pada perempuan, yang ditampilkan dalam film yang bertemakan perempuan pada film Indonesia, pada tahun 80-an, masih jarang terlihat. Perempuan sebagai individu yang berkarakter kuat, yang mampu menentukan apa yang ingin dilakukan masih jarang terlihat di film Indonesia. Mungkin hanya film ”Cut Nyak Dien” yang menggambarkan sosok perempuan yang kuat dan berani saat itu. Tahun demi tahun berikutnya barulah film tentang perempuan yang berkarakter Diantaranya

kuat, bertambah jumlahnya, film

”Perempuan

Punya

walaupun tidak terlalu banyak. Cerita”,

film

”Berbagi

Suami”,

film”Marsinah” dan film yang pada tahun ini menjadi kontroversi, yaitu film ”Perempuan Berkalung Sorban”

37

Ibid., h. 106.

36

Film ”Perempuan Punya Cerita” tentu saja merupakan salah satu film bertema perempuan yang menjadi perhatian penulis untuk diteliti. Dalam film ini penonton diajak untuk melihat suatu sosok perempuan yang tegar dan berkarakter kuat. Gambaran perempuan dalam film Indonesia, banyak menggambarkan sosok perempuan yang bervariatif, tetapi seringkali terjebak pada stereotipestereotipe peran perempuan yang diharapkan oleh mayoritas masyarakat. Jika pada era 80-an, film Indonesia masih malu-malu dalam menampilkan sosok perempuan, maka pada akhir-akhir tahun ini, sejak hidupnya kembali perfilman Indonesia,

film

sebenarnya. 38

Indonesia

Contohnya

sudah film

menampilkan

sosok

”Perempuan Punya

perempuan

Cerita”,

yang

yang berani

menampilkan realitas. Gambaran perempuan dalam film Indonesia saat ini, tampaknya amatlah berkaitan dengan potret kesadaran masyarakat sendiri atas persoalan perempuan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan film sendiri memiliki kemampuan mengarahkan perhatian kita pada masalah-masalah tertentu serta mampu pula membentuk opini kita tentang masalah-masalah itu. Film juga sebetulnya merupakan media ekspresi yang amat strategis yang menyampaikan suatu pesan dan mampu mengarahkan perhatian serta membentuk opini masyarakat. Persoalan yang dihadapi perempuan di dalam masyarakat, kenyataan sehari-harinya amatlah banyak dan terkait dalam lingkup yang

luas. Yakni,

perjuangan perempuan untuk memperoleh persamaan ekonomi, sosial, dan hak.

38

Ibid.

37

Dan apabila ini diuraikan, akan terlihat antara lain menjadi usaha perempuan untuk memperoleh pekerjaan, rumah serta daerah perumahan yang sehat, bersih dan aman, perawatan kesehatan yang baik, serta usaha untuk memperoleh pendidikan. 39 Pada sekarang ini, film Indonesia banyak menampilkan kehidupan perempuan dari sisi lain, yaitu sosok perempuan yang digambarakan lebih realistis. Kemampuan film untuk membentuk opini masyarakat serta isi film yang tidak menggambarkan situasi nyata, ditakutkan akan dapat mengurangi upaya untuk memajukan peran perempuan dalam kehidupan. Oleh karena itu, film Indonesia saat ini, lebih berani menggambarkan sosok perempuan yang lebih realistis, bervariatif, bercitra diri positif, serta menampilkan sosok perempuan yang tegar dan nyata dalam memperlihatkan peranan perempuan, yang patut diperhitungkan.

C. Film Sebagai Suatu Realitas Ada batas kesanggupan manusia dan ada manusia yang tidak selalu siap menghadapi situasi baru, realitas baru atau sesuatu yang asing baginya. Reaksi dan sikap terhadap sesuatu yang baru atau asing tidak sama pada semua orang. Ada yang bersikap pasif dan menunggu, ada yang segera menolak, bahkan bermusuhan, dan ada juga bersikap ingin tahu dan menyelidikinya, kemudian baru menerima atau menolaknya. 40

39 40

Ibid., h. 118. Gayus Siagian, Menilai Film, h. 1.

38

Begitu pula terhadap media

massa, segala informasi yang yang

dilemparkan media massa ke khalayak belum tentu dapat diterima oleh khalayaknya, tetapi bisa saja khlayak malah terpengaruh atau bahkan merubah dirinya karena suatu realitas yang ditampilkan dalam film. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang telah diseleksi atau yang disebut second hand reality. 41 Karena media massa melaporkan kenyataan yang ada secara selektif, maka media sangat berpengaruh dalam pembentukkan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan tidak cermat. Bahkan, Media juga berperan sebagai motor perubahan. Tokoh utama dalam wacana ini adalah Everet Rogers. Dalam teorinya dia mengemukakan betapa pentingnya peran media dalam kampanye perubahan sosial yang dapat meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap realitas sosial di lingkungannya. Begitu pula media massa yang berbentuk film, film yang menampilkan realitas kehidupan, juga mampu meningkatkan kesadaran dan bahkan film dapat membuat perubahan bagi khalayaknya. Film sebagai suatu bentuk media massa lahir sebagai hasil reaksi dan persepsi pembuatnya terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan. Yang kemudian dari film tersebut akan lahir suatu kenyataan baru yang merupakan realitas. Misalnya saja Vivian Idris, yang merupakan penulis skenario film “Perempuan Punya Cerita”, ia melahirkan persepsinya terhadap perempuan, setelah mengamati suatu daerah di kepulauan Seribu, yang penduduknya sangat minim dalam memiliki peralatan medis. Sehingga menimbulkan reaksinya untuk

41

222.

Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985), h.

39

menulis cerita tentang pulau tersebut dan menampilkan realitas lingkungan di Pulau tersebut. 42 Dengan hadirnya realitas pada film, dapat membawa wacana baru pada khalayak tentang suatu realitas baru. Bahkan Film menjadi bukti sejarah, dimana masyarakat dapat mengidentifikasi diri mereka dengan mencatat segala yang mungkin dapat dikonversi dari kenyataan yang ada. Film juga merefleksikan perubahan-perubahan standard moral yang terdapat di dalam masyarakat.

D. Konsep Wacana 1. Teori Wacana Secara etimologi, istilah wacana seperti yang dikutip Dedy Mulyana berasal dari bahasa sansekerta wac/wak/vak. Yang memiliki arti ’berkata’ atau berucap’. Kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ’ana’ yang berada dibelakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Dalam kamus bahasa Jawa kuno Indonesia karangan Wojowasito terdapat kata waca berarti baca, wacaka berati mengucapkan dan kata wacana berarti perkataan.43 Analisis wacana atau discourse analysis adalah suatu cara atau metode untuk mengkaji wacana yang terdapat atau terkandung di dalam pesan-pesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual. Analisis wacana berkenaan

42

Wawancara Pribadi dengan Vivian Idris, Jakarta. 20 Februari 2009. Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3. 43

40

dengan isi pesan komunikasi, yang sebagian di antaranya berupa teks. 44 Di samping itu, analisis wacana juga dapat memungkinkan kita melacak variasi cara yang digunakan oleh komunikator (penulis, pembicara, sutradara) dalam upaya mencapai tujuan atau maksud-maksud tertentu melalui pesan-pesan berisi wacanawacana tertentu yang disampaikan. Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisiannya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana. 45 Meskipun pendefinisian

mengenai

wacana

kenyataannya

memang

berbeda-beda sesuai dengan perspektif teori yang digunakan, pada umumnya disepakati bahwa wacana sebenarnya adalah proses sosiokultural sekaligus juga proses linguistik. Seperti yang

banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi

pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada ”How the ideological significance of news is part and parcel of the methods used to process news” (bagaimana signifikasi ideologis merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media). Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Akan tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi disebut dan dipakai kadang

44 45

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 170. Ibid., h. 171.

41

bukan semakin jelas, tetapi semakin membingungkan dan rancu. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. 46 Menurut Collins English Dictionary, wacana adalah komunikasi verbal, ucapan dan percakapan. Sedangkan menurut J.S. Badudu wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangun teoritis yang abstrak (The abstract theoritical construct) dengan begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahasa. Adapun perwujudan wacana adalah teks. 47 Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Oleh karena itulah dinamakan analisis wacana. Sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada orang yang membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif

tertentu. Terlepas

dari apa pun motivasi atau kepentingan orang ini, kalimat yang dituturkannya tidaklah dapat dimanipulasi semau-maunya oleh yang bersangkutan. Kalimat itu hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah ”aturan” gramatika yang berada di luar kemauan, atau kendali si pembuat kalimat. Aturanaturan kebahasan

tidak

dibentuk secara

individual

oleh

penutur

yang

bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik.

46

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.1. 47 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4.

42

Istilah wacana sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari perkataan bahasa Inggris discouse. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari, yang bisa diartikan komunikasi dengan pikiran, dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan.48 Ismail Muhaimin mengartikan wacana sebagai ”kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya”, dan komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur”.49 Jika definisi dipakai sebagai pegangan, maka dengan sendirinya semua tulisan yang teratur, yang menurut urut-urutan yang semestinya, atau logis, adalah wacana. Karena itu, sebuah wacana harus punya dua unsur penting, yakni kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence). Sebuah tulisan adalah sebuah wacana. Tetapi, apa yang dinamakan wacana itu tidak perlu hanya sesuatu yang tertulis seperti diterangkan dalam kamus Websters; Sebuah pidato pun adalah wacana juga. Jadi, wacana dikenal lisan dan wacana tertulis. Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan , tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman terntentu yang tersebar luas.50 Diskursus atau analisis wacana merupakan sebuah tindakan sosial yang di dalamnya terdapat dialog (baik berupa tulisan maupun tertulis) yang bersifat sosial. Artinya pernyataan yang dibuat, kata-kata yang digunakan bergantung 48

Ibid., h. 9. Ibid., h.10. 50 Ibid. 49

43

dimana dan pada keadaan apa pernyataan tersebut dibuat, kata-kata yang digunakan bergantung bagaimana dan pada keadaan apa pernyataan tersebut dibuat. Dengan kata lain, analisis wacana dibentuk secara sosial dan secara historis, akibatnya akan terdapat diskursus yang berbeda-beda tergantung institusi dan praktek sosial yang membentuknya, dan dengan posisi siapa yang berbicara serta ditunjukkan kepada siapa. Dengan memperhatikan kenyataan bahwa diskursus tidak pernah netral, maka implikasi penelitian dengan analisis diskursus berguna untuk menyibak permasalahan

ketidakseimbangan

(ketidakseimbangan

yang

yang

mendasar

terjadi tentang

dalam kelas,

masyarakat memaksakan

ketidakseimbangan dalam hal, ras, gender dan religi). 51

2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Sebenarnya, banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli Eriyanto (2001) dalam buku analisis wacana-nya, misalnya, menyajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan oleh Theo Van Leeuwen (1986), Sara Milles (1992), Norman Faiclough (1998), dan Teun A. Van Dijk (1998). Dari sekian banyak model analisis wacana, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Mungkin karena Van Dijk memiliki elemen-elemen yang bisa diaplikasikan secara praktis. Model yang dipakai Teun A. Van Dijk kerap disebut sebagai ”kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama 51

M. Antonious, ed., Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2006), h. 65.

44

pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Dijk. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarakan pada analisis atau teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah bagian yang integral dalam kerangka Van Dijk. Kalau digambarkan, maka skema penelitian dan metode yang bisa dilakukan dalam kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut:52 Tabel 2.1 Skema Penelitian Teun A. Van Dijk STRUKTUR

METODE

Teks Critical linguistics Menganalisis bagaimana strategi wacana yang dipaka i untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarginalkan suatu kelompok, gagasan, atau peristiwa tertentu. Kognisi Sosial Wawancara Menganalisis bagaimana kognisi pembuat teks dala m mendalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang aka n ditulis Analisis Sosial Studi pustaka, Menganalisis bagaimana wacana yang berkemba ng penelusuran dalam masyarakat, proses produksi dan reproduks i sejarah. peristiwa seseorang atau digambarakan. Melalui berbagai karyanya, Van Dijk membuat analisis wacana yang dapat didayagunakan. Ia melihat bagian teks suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan: 52

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 275.

45

(1) Struktur Makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. (2) Superstruktur adalah kerangka suatu teks: Bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. (3) Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya. Struktur wacana yang dikemukakan Van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut:53 Tabel 2.2 ELEMEN WACANA TEUN A. VAN DIJK Struktur Wacana Struktur Makro

Hal yang diamati

Elemen

TEMATIK (Apa yang dikatakan?)

Topik

Superstruktur

SKEMATIK (Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?)

Skema

Struktur Mikro

SEMANTIK (Makna yang inginditekankan dalam teks berita)

Latar, maksud, detail, peranggapan, nominalisasi.

Struktur Mikro

SINTAKSIS (Bagaimana pendapat di sampaikan?)

Struktur Mikro

STILISTIK (Pilihan kata apa yang dipakai?)

Struktur Mikro

RETORIS

53

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti. Leksikon

Grafis,

Alex Sobur, Analisis Teks Madia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 74.

46

(Bagaimana dan dengancara apa penekanan dilakukan?)

Dalam pandangan Van Dijk segala

teks bisa

Metafora, Ekspresi.

dianalisis

dengan

menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri dari beberapa elemen. Semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan, dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh gambaran ihwal elemen-elemen struktur wacana tersebut, berikut adalah sekedar penjelasan singkat mengenai elemen-elemen tersebut: 1. Struktur Makro (Tematik) Secara harfiah tema berarti ”sesuatu yang telah diuraikan”, atau ”sesuatu yang telah ditempatkan”. Kata ini berasal dari kata Yunani tithenai yang berarti ’meletakkan’. Dilihat dari sudut sebuah tulisan yang telah selesai. tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisan. Sebuah tema bukan merupakan hasil dari seperangkat

elemen yang

spesifik, melainkan wujud-wujud kesatuan yang dapat kita lihat di dalam teks atau bagi cara-cara yang kita lalui agar beraneka kode dapat terkumpul dan koheren. Tematisasi merupakan proses pengaturan tekstual yang diharapakan pembaca sedemikian sehingga dia dapat memberikan perhatian pada bagianbagian terpenting dari isi teks, yaitu tema. Tema sebuah wacana akan tampak dalam pengembangan wacana. Tema pun akan memandu alur pengembangan sebuah wacana lisan maupun tulisan. 54

54

ID Parera, Teori Semantik Erlangga (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 233.

47

Kata tema kerap disandingkan dengan topik. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik secara teoritis dapat digambarkan sebagai dalili (preposisi), sebagai bagian dari informasi penting dari suatu wacana dan memainkan peranan penting sebagai pembentuk kesadaran sosial. Tematik juga sering disebut sebagai tema atau topik.55 Teun A. Van Dijk mendefinisikan topik sebagai struktur makro dari suatu wacana. Dari topik, kita bisa mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh komunikator dalam mengatasi suatu masalah. Tindakan, keputusan, atau pendapat dapat diamati pada struktur makro suatu wacana. Topik ini jika kita menggunakan kerangka Van Dijk, dalam teks akan didukung oleh beberapa subopik. Masing-masing subtopik ini mendukung, memperkuat, bahkan membentuk topik utama. 56

2. Superstruktur (Skematik) Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Skematik merupakan strategi penulis dalam mengemas pesannya dengan memberikan tekanan bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang diakhirkan. Struktur Skematik atau Superstruktur menggambarkan bentuk umum dari suatu teks. Bentuk wacana umum itu disusun dengan sejumlah kategori atau pembagian umum seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan masalah, penutup dan sebagainya. Skematik mungkin merupakan strategi dari komunikator 55 56

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 229. Alex Sobur, Analisis Teks Madia, h. 76.

48

untuk mendukung makna umum dengan memberikan sejumlah alasan pendukung. Apakah informasi penting disampaikan di awal, atau pada kesimpulan bergantung kepada makna yang didistribusikan dalam wacana. Dengan kata lain, struktur skematik memberikan tekanan: bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan bagian penting di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol. Menurut Van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung tema/topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian tertentu dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. 57 Yang penting dalam analisis wacana adalah makna yang ditunjukkan oleh struktur teks. Dalam studi linguistik konvensional, makna kata dihubungkan dengan arti yang terdapat dalam kamus, sedangkan dalam analisis wacana, makna kata adalah praktik yang ingin dikomunikasikan sebagai suatu strategi.

3. Struktur Mikro a) Semantik Semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu, sema dari kata benda, yang berarti tanda atau lambang. 58 Dalam pengertian umum semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal, maupun makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna unit semantik yang terkecil yang 57 58

3.

Ibid., h. 78. Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h.

49

disebut leksem, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang berbentuk dari penggabungan satuan-satuan kebahasaan. Semantik dalam skema Van Dijk

dikategorikan sebagai makna lokal

(local meaning) yakni makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, hubungan antar proposal yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Analisis wacana banyak memusatkan perhatian pada dimensi teks seperti makna yang eksplisit ataupun implisit, makna yang sengaja disembunyikan dan bagaimana orang menulis atau berbicara mengenai hal itu. Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa.59 Semantik digunakan untuk menggambarkan diri sendiri/kelompok sendiri secara positif, sebaliknya menggambarkan pihak lain secara negatif. Berikut ini, elemen-elemen yang berpengaruh dalam semantik: 1. Latar Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi

semantik (arti)

yang ingin ditampilkan. Latar merupakan elemen wacana yang dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar merupakan bagian dari berita atau pun skenario film yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Seorang penulis skenario ketika menulis skenario (script) biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukkan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar teks merupakan elemen yang berguna karena dapat

59

Ibid.

50

membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh pembuat teks. Kadang maksud atau isi utama tidak dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat latar apa yang ditampilkan dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita bisa menganalisis apa maksud tersembunyi yang ingin dikemukakan oleh pembuat teks sesungguhnya. 60 2. Detil Detil merupakan strategi bagaimana pembuat teks mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh penulis skenario tidak selalu disampaikan secara terbuka, tapi dari pihak mana yang dikembangkan dan diceritakan dengan detil yang besar. Pada elemen detil akan diketahui efek

apa dari penguraian detail terhadap pemahaman dan

pemakanaan khalayak Elemen wacana detil berhubungan dengan ditampilkan seseorang.

Komunikator/pembuat

kontrol informasi yang

berita/penulis

skenario

akan

menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik.

Informasi

yang menguntungkan

komunikator,

bukan

hanya

ditampilkan secara berlebih tetapi juga dengan detil yang lengkap, kalau perlu dengan data-data, dan panjang lebar, yang merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. 61 Detil yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. 3. Maksud

60 61

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 237. Ibid., h. 238.

51

Elemen maksud melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit ataukah tidak, apakah fakta disajikan secara telanjang ataukah tidak. Umumnya, informasi yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi, tujuan akhirnya adalah kepada publik, hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator. Informasi yang menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata yang tegas, dan menunjuk langsung pada fakta. Sementara itu, informasi yang merugikan disajikan dengan kata tersamar dan berbelit-belit. Dengan semantik tertentu, seorang komunikator dapat menyampaikan secara implisit informasi atau fakta yang merugikan dirinya, sebaiknya secara eksplisit akan menguraikan informasi yang menguntungkan dirinya.

b) Sintaksis Sintaksis adalah telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk untuk menggabungkan kata menjadi kalimat. Sintaksis juga merupakan bagian dari tata bahasa yang membicarakan sruktur frase dan kalimat.62 Secara etimologis, kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun ’dengan’ + tattein= ’menempatkan’). Jadi, kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Ramlan mengatakan, ”Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase”. 63

62 63

Hery Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis (Bandung: Angkasa, 1984), h. 51. Alex Sobur, Analisis Teks Madia, h. 80.

52

Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, dapat dilakukan dengan menggunakan sintaksis (kalimat) pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kategori sintaksis yang spesifik, pemakaian kalimat aktif atau

pasif, peletakkan anak kalimat, pemakaian kalimat yang

kompleks dan sebagainya. Salah satu strategi pada level semantik ini diantaranya dengan pemakaian:

1. Koherensi Koherensi adalah pengaturan secara rapih kenyataan dan gagasan, fakta dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya. Koherensi digunakan untuk menghubungkan informasi antar kalimat dalam wacana.64 Dalam analisis wacana, koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, preposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan memakai koherensi, sehingga fakta yang tidak

berhubungan

sekalipun

dapat menjadi

berhubungan

ketika

komunikator menghubungkannya.65 Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau malah sebab akibat. Pilihan-pilihan mana yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kapan kepentingan komunikator terhadap peristiwa tersebut.

64 65

Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian (Malang: Batu Media, 2004), h. 3. Alex Sobur, Analisis Teks Madia, h. 81.

53

Koherensi dapat ditampilkan melalui hubungan sebab akibat, bisa juga disebut penjelas. Koherensi ini secara mudah dapat diamati, diantaranya dari kata hubungan yang dipakai untuk menghubungkan fakta/preposisi. Kata hubung yang dipakai (dan, akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun) menyebabkan makna yang berlainan ketika hendak menghubungkan preposisi.

2. Kata Ganti Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan di mana posisi seseorang dalam wacana. 66 Kata ganti adalah suatu gejala universal bahwa dalam berbahasa sebuah kata yang mengacu kepada manusia, benda, atau hal, tidak akan dipergunakan berulang kali dalam sebuah konteks yang sama. Pengulangan kata yang sama tanpa

suatu tujuan yang jelas akan menimbulkan rasa yang kurang enak.

Pengulangan hanya diperkenankan kalau kata itu dipentingkan atau mendapat penekanan. 67 3. Bentuk Kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas.68 Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seorang menjadi subjek dari tanggapannya, sebaliknya 66

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253. Alex Sobur, Analisis Teks Madia, h. 82. 68 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 251. 67

54

kalimat pasif menempatkan seseorang sebagai objek. Seseorang juga dapat ditampilkan di akhir, tetapi bisa juga ditempatkan di awal.69 Struktur kalimat bisa dibuat aktif, bisa juga dibuat pasif, tetapi umumnya pokok yang dipandang penting selalu ditempatkan di awal kalimat. Semua struktur kalimat tersebut adalah benar, tetapi semua variasi menunjukan pada tingkatan mana ynag ditonjolkan, mana yang difokuskan, bagian mana yang difokuskan dengan katakata khusus, frase, atau anak kalimat yang secara langsung mempengaruhi makna kata secara keseluruhan. Bentuk lain adalah bagaimana proposisi-preposisi diatur dalam suatu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat, dan mana yang di akhir kalimat. Penempatan itu dapat mempengaruhi makna yang timbul karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak. 70

c) Stalistik Pusat perhatian stalistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Apa yang disebut gaya bahasa itu sesungguhnya terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisan dan ragam tulis, ragam sastra dan ragam non sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks secara tertulis.71

69

Ibid., h. 252. Alex Sobur, Analisis Teks Madia, h. 81. 71 Ibid., h. 82.

70

55

d) Retoris Strategi dalam level retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Pemakaian retoris diantaranya dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak. Bentuk gaya retoris lain adalah ejekan (ironi). Tujuan retoris adalah melebihkan sesuatu yang positif mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak lawan. Strategis retoris juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana pembicara menempatkan/memposisikan dirinya di antara khalayak. Van Dijk membagi elemen ini ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Grafis Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam wacana skenario, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingakan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran besar. Bagian-bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang ditulis atau dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting

56

oleh komunikator, di mana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut. 72

2. Metafora Metafora yang dimaksudkan disini adalah sebagai oranamen atau bumbu dari suatu berita atau script film. Akan tetapi pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai

oleh pembuat teks secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan

pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Pembuat teks menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan seharihari, peribahasa, pepatah, petuah, leluhur, kata-kata kuno, yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan utama.73 3. Ekspresi Dimaksudkan untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan. Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam bentuk grafis, gambar atau foto, sedangkan dalam film, ekspresi biasanya muncul dari wajah pemain atau biasanya kalimat yang dilontarkan yang berasal dari teks skenario.

72 73

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 258. Ibid., h. 259.

57 57

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA”

A. Profil Rumah Produksi Kalyana Shira Films Kalyana Shira Films adalah sebuah perusahaan produksi film yang didirikan pada tahun 2000.

Berlokasi di Jakarta

Selatan. Kalyana

Shira

Films dikelola oleh Nia Dinata dan Constantin Papadimitriou. Dengan bantuan para crew dan staff yang berpengalaman dan mencintai industri film. Kalyana Shira Films

berusaha untuk selalu memproduksi film layar lebar yang

berkualitas. Mereka percaya bahwa masyarakat Indonesia masih haus akan filmfilm yang berkualitas, yang memberi masukan bagi kehidupan mereka, dan tak kalah penting, dapat terhibur dengan menonton film-film dari Kalyana Shira Films. 1 Kalyana Shira Films juga telah memproduksi film layar lebar dengan beberapa perusahaan produksi film internasional. Selain film layar lebar, Kalyana Shira Films juga memproduksi acara TV, iklan dan iklan layanan masyarakat.

B. Latar Belakang Pembuatan Film ”Perempuan Punya Cerita” Film

”Perempuan

Punya Cerita” diproduksi

oleh Kalyana

Shira

Foundation dengan dukungan dari Ford Foundation. Kalyana Shira Foundation sendiri adalah sebuah organisasi non profit naungan Kalyana Shira Films yang dibentuk atas kepedulian para pendiri dan anggotanya pada permasalahan yang 1

”Perempuan Punya Cerita.” Artikel diakses pada 5 Desember 2008 http://www.kalyanashirafilms.com/2008/1205/p02s3-wome.html

dari

58

melingkupi perempuan, gender, anak-anak, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya di Indonesia, untuk membawa ke permukaan gambaran jujur mengenai kehidupan mereka agar terbentuk pemahaman publik yang benar tentang kondisi mereka, dan demi terciptanya kualitas hidup yang baik. Pendiri organisasi adalah para pelaku aktif perfilman Indonesia yang mulai berproduksi setelah era reformasi, dan turut serta membangkitkan kembali industri film lokal dan apresiasi penonton terhadap film Indonesia. Film dan format audiovisual lainnya menjadi pilihan, karena mereka menyadari dan meyakini kekuatan medium ini sebagai alat yang efektif untuk berkomunikasi, kegiatan edukasi, penyampaian pesan maupun kampanye. Film ”Perempuan Punya Cerita” merupakan sebuah produksi yang unik, karena ini adalah sebuah film antologi yang terinspirasi dari berbagai masalah yang menyelimuti kehidupan perempuan Indonesia. Film ”Perempuan Punya Cerita” ini, terdiri dari empat film pendek yang berbeda, diikat bersama oleh satu premis, yaitu permasalahan perempuan. Empat sutradara perempuan yang menyutradarai film ini adalah: Nia Dinata, Upi, Lasja Fauzia Susatyo dan Fatimah Tobing Rony. Film berdurasi 107 menit ini, melakukan shooting dari tanggal 4 Juli hingga 5 Agustus 2007, dengan masing-masing cerita dengan shooting selama 4-5 hari. Masing-masing cerita dilakukan di lokasi yang berbeda: Kawasan Kota, Jakarta, Yogyakarta, Cibinong, dan di Kepulauan Seribu. 2 Film ”Perempuan Punya Cerita” berawal

dengan mengambil filosofi

hidup bunga teratai sebagai dasar untuk tema film. Sebagai bunga, teratai tumbuh 2

“Perempuan Punya Cerita” Artikel diakses pada Rabu, 28 Mei 2009 dari http://www.kalyanashira.com/2009/php. htm

59

dengan keanggunan dan harga diri di tengah-tengah lingkungan yang kotor dan penuh lumpur. Ini seperti gambaran dari para perempuan di dalam tiap film pendek, mereka harus mempertahankan harga diri mereka bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun. Kisah-kisah dalam film ”Perempuan Punya Cerita” ini memang tidak berakhir bahagia, tetapi sosok perempuan dalam film ini selalu berusaha positif dalam hidup, sehingga juga ada harapan. Artinya, dalam kondisi yang buruk pun masih tetap ada harapan, tetap ada karakter-karakter dalam film ini yang punya alasan-alasan positif dalam hidup Film ”Perempuan Punya Cerita” adalah respon yang tajam dan serius atas keadaan banyak perempuan di Indonesia. Keempat cerita tersebut mengangkat tema-tema perempuan mulai dari kesehatan (kanker, HIV/AIDS), perdagangan anak, hingga aborsi dan seksualitas (kesadaran akan tubuh dan kesehatan reproduksi). Film ini dibuat memang dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran akan isu-isu perempuan. Sebenarnya berbagai isu itu bukan hal yang baru dalam masyarakat, tetapi medium film mempunyai kekuatan tersendiri untuk menggugah penonton akan permasalahan yang lebih nyata dan menggugah emosi. Hal yang sama juga yang harapkan oleh film tersebut, bisa terjadi pada para penonton film ”Perempuan Punya Cerita”. Setelah selesai menonton, berharap penonton tergugah kesadarannya dan tidak hanya berhenti sampai di situ, tapi berusaha membuat perubahan sekecil apapun, dalam kapasitas pribadinya, bagi perbaikan kondisi, terutama kondisi perempuan Indonesia.

60

Lewat empat kisah ini, para sutradara dan tim penulis naskah (Vivian Idris dan Melissa Karim) menunjukkan bahwa permasalahan perempuan lebih rumit dari sekadar melodrama yang biasanya banyak dibuat untuk televisi. Selain pemahaman mendalam mengenai kehidupan penuh masalah yang dialami para perempuan ini, keempat sutradara juga menunjukkan sentuhan pribadi mereka.3 Dalam perjalanannya, film ”Perempuan Punya Cerita” telah meraih beberapa penghargaan. Diantaranya Official Selection Pusan IFF South Korea 2008, Closing Film JIFFEST 2007, Oficial Selection VC Online Los Angeles 2008, dan Official Selection Exprecion En Corto IFF Mexico.

C. Sinopsis Film ”Perempuan Punya Cerita” Perempuan Punya Cerita adalah antologi dari empat film pendek mengisahkan kehidupan perempuan-perempuan biasa dengan pengalaman yang luar biasa. Dengan misi memberikan kesempatan lebih luas bagi perempuan untuk berkiprah dalam dunia perfilman di Indonesia, produksi ini telah melibatkan empat sutradara perempuan, dua penulis skenario perempuan, dan dua produser perempuan. Film dibuka oleh ”Cerita Pulau” yang ditulis oleh Vivian Idris dan disutradarai oleh Fatimah T. Rony. ”Cerita Pulau” menceritakan seorang bidan Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) yang mendedikasikan hidupnya untuk kesehatan Ibu dan anak di sebuah pulau berpenduduk padat tak jauh dari Jakarta. Terbatasnya akses transportasi dan komunikasi ke luar pulau membuat posisi Sumantri sebagai satu-satunya bidan menjadi tak tergantikan, ia kerap kali

3

Ibid.

61

menyampingkan kepentingan pribadi termasuk kesehatannya demi mendahulukan pasiennya. Saat dokter memvonisnya dengan kanker dan harus menjalani perawatan di Jakarta, Wulan (Rachel Maryam) salah seorang pasien yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri, diperkosa dan hamil. Kondisi psikis Wulan yang istimewa membuatnya tak mungkin merawat dan membesarkan seorang anak, dan Sumantri yang protektif berniat mengaborsi kandungan Wulan namun menghadapi dilema berat karena keyakinan masyarakat setempat yang menentang keras aborsi. Film kedua adalah ”Cerita Yogyakarta” yang ditulis Vivian Idris dan disutradarai Upi. Cerita Yogyakarta bercerita tentang Safina (Kirana Larasati) dan kelompoknya yang masih duduk di bangku SMA di Yogyakarta, kota turis yang juga kota pelajar. Warnet yang menjamur di pelosok kota tidak hanya memenuhi kebutuhan para mahasiswa akan teknologi, namun juga Safina, siswa SMA dan teman seumurnya, para remaja yang baru saja akil baliq dan sedang giras mengeksplorasi banyak hal utamanya yang berkaitan dengan seks. Akses luas internet membuai sekelompok anak remaja ini untuk bereksperimen dengan seks tanpa bekal pengetahuan yang lengkap. Ketika Jay Anwar (Fauzi Baadila) seorang jurnalis dari Jakarta tiba di Yogya untuk riset tulisannya, Safina jatuh hati padanya. Dua sejoli ini saling memanfaatkan untuk kepentingan pribadi, dan Safina yang naif mempertaruhkan masa depannya untuk pria ini. Film ketiga adalah ”Cerita Cibinong”

yang ditulis Melissa Karim dan

disutradarai Nia Dinata. Film ini bercerita mengenai Esi (Shanty) seorang cleaning service di klab dangdut ”Merem Melek” yang bekerja keras untuk biaya hidup dan pendidikan Maesaroh (Ken Nala Amrytha) putri semata wayangnya. Ia

62

nyaris putus asa ketika mendapatkan Narto kekasihnya melecehkan Maesaroh. Beruntunglah Esi karena Cicih (Sarah Sechan), primadona klab ”Merem Melek” memberikan perlindungan dan tempat tinggal. Saat akan membangun kembali mimpinya, Esi dihadapi pada kenyataan pahit karena Cicih dan Maesaroh terjerat sindikat perdagangan perempuan. Film ditutup oleh kisah dari ibu kota, ”Cerita Jakarta”

yang ditulis

Melissa Karim dan disutradarai Lasja F. Susatyo. ”Cerita Jakarta”

berkisah

tentang Laksmi Susan Bachtiar), wanita keturunan Tionghoa, seorang janda beranak satu yang kehilangan suaminya karena HIV/AIDS. Masih dalam suasana berduka ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tertular virus mematikan itu, dan keluarga suaminya yang orang Jawa, berkeras mengambil alih hak asuh Belinda (Ranti Maria), anak perempuannya. Naluri seorang ibu membuatnya bertahan untuk tetap mengasuh Belinda meskipun ia harus kehilangan semua hartanya, dan bersusah payah membawa Belinda berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun niatnya terbentur kenyataan, membesarkan anak dengan kondisi yang makin lemah tanpa penghasilan memaksa Laksmi mengambil keputusan besar, demi memberikan yang terbaik bagi Belinda dan dirinya.

D. Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Film ”Perempuan Punya Cerita” Tabel 3. 1

Produser Director Script Writer

Nia Dinata Nia Dinata, Fatimah Tobing Rony, UPI, Lasja Fauzia. Vivian Idris, Melissa Karim Rieke Diah Pitaloka, Rachel Maryam, Kirana

Main Cast

Larasati,

Fauzi

Baadila,

Shanty,

Sarah

63

Sechan, Susan Bachtiar, Ranti Maria, Tarzan, Ratna Riantiarno, Winky Wiryawan Director of photography

TeoH Gay HN, Ical Tanjung

Art Director

Eros Eflin, Weng Glaug

Costume Designer

Isabelle Patrice

Editor

Wawan I Wibowo

Music Director

Aghi Narottama, Bembi Gusti, Ramondo gascaro

Sound designed By

Satrio Budiono

Line Producer

Hery Ardian

First Ass. Director

Cinzia Puspita Rini, Gadis Fajriani

Second Ass. Director

Melissa Karim dan Ade Kusumaningrum

Unit Producer Manager

Nina Desilina

Production Assistants

Awaludin Syafaat, Saputra Dilaga

Script Continuity/VTR Playback

Reza Sutedjo, Doddy

Ass. Art Director

Reggie Maramis, Oscar

Art Graphic

Ridan

Art Crew

Bima, Rizki, Ochio, Ablo, Franky, Ferry, Dona, Eca, Bino, Rawit, Ghoib, Rita, Anette.

Ass.

Camera

and

Camera

Arvian

Report Ass. Camera

Rudolph Angelo Ratulangi

Ass. Wadrobe

Ayu Rika

Ass. Make Up

Bintang

Chief Lighting

Yudi, Anton,Gunaldi.

Lightingman

Jaya, Tino, Harsono, Solechan.

Generator Operator

Edi Chaniago

Equipment Crew

Hari Handoko, Rangga Aditya, Danil Nurul Malah.

Sound Recondist

Suhadi

Ass. Sound

Sumedi

64

Finance and Accounting

Moses Yose Rizal

Production Cashier

Evi Juniati

Production Secretary

Jamus, Sri Rahayu, Putri Ningrum.

Location Manager

Mohammad Faishal

Storyboard Artist

Sheila Roswitha

Casting Coordinator

Khalid

Casting and Talent Coordinator

Bobby Ardian

Ass.

Casting

and

Talent

Rapika, Iwan.

Coordinator First Ass. Editor

Robby Barus

Second Ass. Editor

Arifin

Post Sound Engineer

Satrio Budiono

ADR Editor

Armanda Ahmad

Ass. Sound Editor

Sutarjo

Re- Recoding Mixer

Satrio Budiono

Sound Effect

Rahmatulloh

Graphic Editor

Frederick Tjokro

English Subtitle

Jajang C. Noer

E. Tentang Sutradara dan Penulis Skenario Film ”Perempuan Punya Cerita” 1. NIA DINATA (Sutradara Cerita Cibinong) Nia Dinata adalah seorang sutradara, produser, dan penulis skenario film dari generasi yang membangkitkan kembali Industri perfilman Indonesia pada periode paska reformasi. Dua produksi Nia Dinata sebelumnya ‘Arisan’ dan ‘Berbagi Suami’ menghadirkan topik yang kontroversial dan menjadi bahan diskusi yang hangat tentang homoseksualitas dan poligami di Indonesia. Nia Dinata adalah juga pendiri Kalyana Shira Foundation yang merangkap produser film Perempuan Punya Cerita.

65

Film yang pernah digarap oleh Nia Dinata diantaranya: Ca Bau Kan (2003, sutradara), Arisan (2004, sutradara), Janji Joni (2005, produser), Berbagi Suami (2006, sutradara), Long Road to Heaven (2006, produser), Quickie Express (2007, Produser).

2. UPI (Sutradara Cerita Yogyakarta) Upi dikenal oleh penikmat film Indonesia sebagai penulis skenario filmfilm laris Indonesia. Ia memulai debutnya dengan meluncurkan film ”Tiga puluh Hari Mencari Cinta” pada tahun 2004, dan menyusul karyanya di tahun 2006 ”Realita, Cinta, dan Rock N Roll” yang di ulas secara luas untuk penggambaran karakter transeksual dengan lugas dan simpatik. Keterlibatannya pada film Perempuan Punya Cerita adalah realisasi dari kepeduliannya akan masalahmasalah yang melingkupi perempuan-perempuan Indonesia. Hasil karya film Upi diantaranya: film ”30 Hari Mencari Cinta” (2004 Sutradara), film ”Realita Cinta and Rock n Roll” (2006, Sutradara), film ”Coklat Stroberi” (2007, Produser).

3. LASJA F. SUSATYO (Sutradara Cerita Jakarta) Lasja memulai karirnya di dunia film sebagai asisten sutradara kawakan Indonesia dan dikenal dengan karya-karya video klipnya yang mengusung imej musisi-musisi terdepan dalam negeri. Debut film panjangnya adalah ”Lovely Luna” yang ditayangkan tahun 2005. Tahun 2007 ini Lasja produktif dengan penayangan dua film arahannya ”Dunia Mereka” dan ”Bukan Bintang Biasa”.

66

Film hasil karyanya antara lain: film ”Lovely Luna” (2005) , film ”Bukan Kesempatan yang Terlewat” (short, 2006), film ”Dunia Mereka” (2006), dan film ”Bukan Bintang Biasa” (2007).

4. FATIMAH TOBING RONY (Sutradara Cerita Pulau) Fatimah perempuan Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat, ia merealisasikan obsesinya membuat film disela kesibukannya mengajar di UC Irvine, LA, USA. Film Perempuan Punya Cerita adalah pengalaman pertamanya membuat film dengan tim kerja yang lengkap dan bekerjasama dengan pekerja film dengan setting Indonesia. Fatimah akan memproduksi film panjang pertamanya dengan setting Samosir, Sumatera Utara. Film yang pernah digarapnya antara lain: Film “On Cannibalism” (Editor, 1994), film “Concrete River” (Writer, Producer, Editor, 1997), film “Demon Lover” (Producer, writer, editor 1998), film “Everything in Between” (Producer, writer, editor, 2000), film “Finding Fire Under My Grandma's Fingernails” (CoProducer 2001), film “Jarocho Elegua” (Producer, co-director, writer, 2002), film “Perfect Girl” (Producer, 2003), film “Treasure” (Producer Writer, 2003.

5. MELISSA KARIM (Penulis Skenario) Pendengar setia Hardrock FM pasti hafal dengan suara Melissa Karim. Ia juga sering mengisi voice over di sejumlah iklan radio dan televisi.

Proyek

terakhirnya adalah salah satu penulis “Perempuan Punya Cerita”. Awal keterlibatannya dalam produksi film “Perempuan Punya Cerita”, karena memang ia sudah pernah bekerja sama dengan Nia Dinata

untuk film pendek yang

67

disponsori Lux The Matchmaker. Ia juga menulis untuk serial TV berjudul “Arisan”.

Lalu, ketika Ford Foundation (FF) menghubungi Kalyana untuk

membuat film tentang isu perempuan, ia diajak untuk brainstorming. Selain itu ia juga bermain dalam film “Arisan”, “Berbagi Suami”, dan “Quickie Express”.

6. VIVIAN IDRIS (Penulis Skenario) Vivian Idris lahir di Jakarta dengan nama Vivian Felicia, pada 14 Juli 1972. Mengarungi rumah tangga bersama Hidayat Jati, membuahkan Kiara Mohamad (8) dan Taj Isaiah Mohamad (4). Alumnus SMA 8 ini sempat singgah di Oak Grove High School, Pulaski County, Little Rock di Arkansas, Amerika Serikat. Ilmu manajemen pemasaran diperolehnya dari STIE IBII Jakarta. Vivian pernah menjabat sebagai Direktur Pemasaran toko buku Aksara di kawasan Kemang, Ia juga seorang penyair, sejumlah puisinya sejak 2005 telah terhimpun dalam antologi bersama dengan ketiga sahabatnya: Lulu, Olin Monteiro, Opie Andaresta. Di Kalyana Shira Ia menjabat sebagai Direktur Program. Debutnya luar biasa, karena ia menulis skenario untuk film ”Perempuan Punya Cerita”, khusus pada bab ”Cerita Pulau” dan ”Cerita Yogyakarta”. Ia terjun langsung dalam pembuatannya, walaupun ia demikian konsentrasinya terhadap ’nasib’ perempuan, belum mau disebut sebagai aktivis. Ia lebih suka menyebut diri sebagai concerned citizen. 4

4

“Vivian Idris dari Buku ke Film”. Artikel diakses pada 12 Maret 2009 dari http://www. kurniaeffendiblogspot.com 2008/p0-wome.html

68

BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN DATA SKENARIO FILM ”PEREMPUAN PUNYA CERITA”

A. Teks Film ”Perempuan Punya Cerita” Sesuai dengan skema Teun A. Van Dijk, dalam analisis teks ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro, yang 1 semuanya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lainnya.

1. Struktur Makro/Tematik Tema atau topik menggambarkan apa gagasan inti atau pesan inti, yang menunjukkan informasi penting, yang ingin dikedepankan atau diungkapkan oleh penulis sekenario dalam film ”Perempuan Punya Cerita”. Dalam film ”Perempuan Punya Cerita” topik utama atau tema umum yang diambil oleh penulis yaitu tentang kisah realitas perempuan yang berisi mengenai persoalan: a) Tentang Hak-Hak Perempuan Dalam skenario ini, isi cerita yang diangkat dalam film “Perempuan Punya Cerita” yaitu tentang hak-hak perempuan. Pemikiran mengenai hak-hak perempuan merupakan perkembangan dan konsep hak-hak asasi manusia, konsep itu sendiri dapat dibagi dalam dua ide dasar: (1) Bahwa manusia lahir dengan hakhak individu yang terus melekat dengannya. Dan (2) Bahwa hak-hak tiap manusia hanya dapat dijamin dengan ditekannya kewajiban masyarakat dan negara untuk

1

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.226.

69

memastikan kebebasan dan kesempatan dari anggota-anggotanya (manusia) untuk memperoleh dan melaksanakan kebebasan hak asasinya tersebut. 2 Mengenai hak-hak perempuan dalam film “Perempuan Punya Cerita”, terlihat pada “Cerita Pulau” (cerita pertama). Tema tentang hak-hak perempuan yang terdapat dalam “Cerita Pulau” digambarkan oleh Wulan (Rachel Maryam) yang haknya sebagai perempuan terabaikan, yang saat itu ia menjadi korban pemerkosaan, tetapi pelakunya bebas dari tanggung jawab dan jeratan hukum. Selain “Cerita Pulau”, persoalan mengenai hak-hak perempuan juga terlihat dalam “Cerita Cibinong” (cerita kedua). Digambarkan bahwa, Saroh (anak Esi), haknya terampas akibat perdagangan perempuan yang dilakukan oleh Mansyur (pelaku perdagangan perempuan). Mansur menjual Mesaroh ke luar negeri, dan dipaksa menikah dengan laki-laki tua, yang lebih pantas menjadi Ayahnya. Pada “Cerita Jakarta” (cerita keempat), persoalan mengenai hak-hak perempuan juga terlihat, Ketika Ibu Sumadiprojo (mertua Laksmi) berbicara dengan suaminya bahwa ia ingin mengambil cucu mereka dari tangan Laksmi. Naluri seorang Ibu membuat Laksmi (Susan Bachtiar) bertahan untuk mengasuh anaknya, Belinda. Walaupun ia harus membawa Belinda dan melarikan diri dari rumah, karena Laksmi merasa memiliki kewajiban dan hak untuk merawat anaknya. Namun Ibu mertua Laksmi melarang Laksmi untuk merawat cucunya, dan mertua Laksmi berusaha keras untuk merebut cucu mereka dari tangan Laksmi.

2

Tapi Omas Irhomi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita (Bandung, IKAPI, 2002), h. 306.

70

b) Kesehatan Reproduksi Wanita Penjabaran definisi kesehatan reproduksi dari konfrensi internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 bahwa, kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. 3 Mengenai kesehatan reproduksi perempuan terlihat dalam skenario film “Perempuan Punya Cerita”, pada “Cerita Yogyakarta” (cerita kedua). Topik mengenai persoalan kesehatan reproduksi perempuan dalam cerita ini disebabkan karena tingkat pengetahuan yang kurang tentang seksualitas, terbatasnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan ketidakterjangkauan remaja terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi, sehingga membuat Safina dan temantemannya terjerumus dalam pergaulan bebas, hingga terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnance) Safina dan temannya (Rahma). Dan hal yang paling dirugikan dalam hal ini tentu saja perempuan, karena harus menanggung malu akan kehamilannya. Mengenai kesehatan reproduksi perempuan, selain terlihat pada “Cerita Yogyakarta”, pada “Cerita Pulau” hal mengenai kesehatan reproduksi perempuan juga ditampilkan dalam cerita ini. Ketika bidan Sumantri melakukan aborsi terhadap Wulan yang hamil akibat diperkosa.

3

Ibid., h. 305.

71

c) Kekerasan Terhadap Perempuan Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah tindak kekerasan terhadap perempuan, baik yang berbentuk kekerasan fisik maupun psikis. Kekerasan karena anggapan bahwa laki-laki pemegang supermasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu: 1. Pemerkosaan 2. Pemukulan, penganiayaan dan pembunuhan 3. Prostitusi sebagai bentuk eksploitasi perempuan 4. Pornografi sebagai bentuk pelecehan 5. Pemaksaan sterilisasi 6. Pelecehan seksual dengan sentuhan maupun ungkapan yang merendahkan martabat perempuan.

4

Kekerasan terhadap perempuan tersebut dapat melahirkan berbagai ketidakharmonisan sosial yang menghambat perkembangan psikis perempuan, sehingga

menjadi

tidak

berdaya.

Kekerasan

terhadap

perempuan

juga

menimbulkan rasa malu dan mengintimidasi perempuan, ketakutan akan kekerasan menghalangi banyak perempuan mengambil inisiatif dan mengatur hidup yang akan dipilihnya. 5 Kekerasan terhadap perempuan terlihat pada film ”Perempuan Punya Cerita”, ”Cerita Pulau”, yaitu perkosaan yang menimpa Wulan dan prostitusi yang dialami oleh Saroh dan Cicih yang terdapat dalam ”Cerita Cibinong”. 4

Asriati Jamil dan Amani Lubis, dkk., Pengantar Kajian Gender: Seks dan Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan McGill-ICIHEP, 2003), h. 78. 5 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 2003), h. 76.

72

2. Superstruktur/Skematik Pada film ”Perempuan Punya Cerita”, sutradara dan penulis skenario mengemas pesannya dalam lima tahap. a) Opening Bill Board (OBB) dan Sound Effect Menampilkan potongan-potongan dari gambar-gambar yang ada dalam film

”Perempuan Punya Cerita” disertai visual effect, instrumen musik juga

dikombinasikan sebagai sound effect.

b) Opening Shot Tabel 4. 1 Opening Shot ”Cerita Pulau” (cerita pertama)

Menampilkan

bidan

Sumantri

yang

diperiksa

penyakit kankernya dengan alat kedokteran.

Gambar 4.1: Opening Shot

(”Cerita Pulau”, scene 01)

”Cerita

Menampilkan

gemerlapnya

keadaan

kota

Yogyakarta”

Yogyakarta pada malam hari dengan maraknya tempat-

(cerita kedua)

tempat hiburan.

Gambar 4.2: Opening Shot

(”Cerita Yogyakarta”, scene 01)

”Cerita Cibinong” (cerita ketiga)

Menampilkan suasana pasar pagi hari, terlihat Esi (Shanty) sedang berbelanja sayuran dan ikan di pasar

73

tersebut. Gambar 4.3: Opening Shot

(”Cerita Cibinong”, scene 01)

”Cerita Jakarta” (cerita keempat)

Menampilkan Reno (Winky Wiryawan) atau suami Laksmi (Susan Bachtiar) terkapar tidak berdaya karena sakaw di sebuah toilet diskotek dan seorang wanita lari ketakutan meninggalkan toilet setelah menyuntik lengan Reno yang terikat.

Gambar 4.4: Opening Shot

(”Cerita Jakarta”, scene 01)

c) Conflict Scene (Klimaks) Pada bagian ketiga ini, barulah masuk kedalam bagian-bagian scene (adegan). Pada bagian ini sudah terlihat klimaks, yakni benturan kepentingan para tokoh yang berujung pada konflik. Tabel 4.2 Conflict Scene ”Cerita Pulau”

Pada cerita ini, conflict scene terlihat pada scene 16,

(cerita pertama)

dimana Sumantri mengetahui Wulan, bahwa Wulan tela h diperkosa oleh sekelompok pemuda kaya. SUMANTRI: Ya ampun Mas... (Sumantri lari ke luar, melihat Wulan di tongka ng, sambil menangis, rupanya kusut, sambil membawa celana dalamnya, lalu Sumantri memeluknya)

74

Gambar 4.5: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 16)

”Cerita

Pada cerita ini conflict scene terlihat pada scene 28,

Yogyakarta”

saat Jay ke Jakarta meninggalkan Safina untuk pergi ke

(cerita kedua)

Jakarta. JAY ANWAR: Fin, ini hari terakhirku disini. Aku harus balik nanti malam.. (Safina terdiam) Makasih atas bantuan kamu selama ini.. Gambar 4.6: Potongan Adegan

(”Cerita Yogyakarta” scene 28)

”Cerita Cibinong” (cerita ketiga)

Pada cerita ini conflict scene terlihat pada scene 28, saat Esi mengetahui Saroh meninggalkannya, dan pergi bersama Cicih ke Jakarta. ESI:Sarooooooooooooooohhhh.......Maesarooo oooooooh! (Tiba-tiba Esi berlari keluar rumah sambil memanggil-manggil Maesaroh) Gambar 4.7: Potongan Adegan

(Cerita Cibinong”, scene 28) ”Cerita Jakarta” (cerita keempat)

Pada cerita ini conflict scene terlihat pada scene 35, saat rumah kos-kosan Laksmi terbakar, dan terdapat Belinda di dalamnya. Laksmi merasa tidak bisa merawat Belinda dengan baik, karena telah meninggalkan anaknya sendirian di rumah kos-kosannya. LAKSMI: Bebe.. i’m sorry.... i’m Sorry.... i’m Sorry.. (Laksmi terus meminta maaf seperti tidak

75

memperdulikan lingkungan sekitarnya) Gambar 4.8: Potongan Adegan

(”Cerita Jakarta”, scene 35)

d) Anti Klimaks (Solusi) Setelah conflict scene, scene beralih pada solusi dari permasalahan yang ada. Tabel 4.3 Anti Klimaks Anti klimaks terdapat pada scene 40, saat pemuda

”Cerita Pulau” (cerita pertama)

yang

memperkosa

Wulan,

meminta

damai

dengan

memberikan sejumlah uang kepada neneknya Wulan (Mbok Iroh). Sumantri berusaha keras menolaknya, tetapi apa daya, usahanya yang keras itu pun sia-sia, Mbok Iroh akhirnya menerima uang itu, dan pemuda itu pun bebas dari jeratan hukum. AJUDAN: Mbok ini ambil aja uangnya, biar masalahnya cepet selesai SUMANTRI: Jangan diterima Mbok AHMAD ROKIM: Sudah lah Tri.. biar si Mbok yang memilih MBOK IROH: Maafin saya Bu.. (Akhirnya Mbok Iroh menerima uang tersebut) Gambar 4.9: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 40)

76

”Cerita

Anti klimaks terdapat pada scene 29, saat Safina

Yogyakarta”

mengetahui, bahwa ia hanya dimanfaatkan oleh Jay untuk

(cerita kedua)

kepentingan pekerjaannya sebagai wartawan, Padahal ia sudah menyerahkan keperawanannya kepada Jay. (Safina sedang mengecek e-mail dari Jay, tapi tak pernah ada. Dia mengirim e-mail lagi untuk Jay). Safina menulis: Mas Jay kenapa e-mailku nggak pernah dibalas? Gambar 4.10: Potongan Adegan

(”Cerita Yogyakarta”, scene 29)

”Cerita Cibinong” (cerita ketiga)

Anti klimaks pada scene 32 , saat Esi menemukan Cicih dan menanyakan keberadaan Saroh pada Cicih, Esi berharap Saroh masih bersama Cicih. ESI: Ciiiciiiiiiiiiiihhh....maneh kamana keun budak urang. Balik keun, balik keun si Saroh! (Cicih, lu kemanain anak gue, balikin si Saroh!) Gambar 4.11: Potongan Adegan

(”Cerita Cibinong”, scene 32)

”Cerita Jakarta” (cerita ketiga)

Anti klimaks terdapat pada scene 37, saat Laksmi meninggalkan anaknya (Belinda) di sekolah, agar Belinda dapat dijemput mertuanya, lalu tinggal di rumah mereka. Kondisi

Laksmi

sebagai

penderita

AIDS

tidak

memungkinkan untuk mengasuh anak, sehingga Laksmi menyerahkan Belinda.

77

LAKSMI: Jangan lupa kasih surat mami ke ibu guru ya Bebe. BELINDA: (senyum) Thank you Mami, aku sudah boleh sekolah lagi. I love you! Gambar 4.12: Potongan Adegan

(”Cerita Jakarta”, scene 37)

e) Ending (penutup) Tabel 4.4 Ending (penutup) ”Cerita Pulau”

Cerita ini berakhir ketika Sumantri dengan berat hati

(cerita pertama)

pergi ke Jakarta meninggalkan Pulau. Wulan sangat sedih, ia menangis ketika Sumantri meninggalkannya. Gambar 4.13: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 46)

”Cerita Yogyakarta” (cerita kedua)

Cerita ini berakhir ketika Safina mengetahui dirinya hamil karena Jay. Gambar 4.14: Potongan Adegan

(”Cerita Yogyakarta”, scene 30)

”Cerita Cibinong” (cerita ketiga)

Cerita ini berakhir menyedihkan, Esi memeluk foto anaknya (Saroh) sambil menangis, karena mengetahui Saroh telah menjadi korban perdagangan perempuan.

78

Gambar 4. 15: Potongan Adegan

(”Cerita Cibinong”, scene 33)

Cerita ini berakhir menyedihkan, dengan berat hati

”Cerita Jakarta” (cerita keempat)

Laksmi pergi dan berjalan untuk melanjutkan hidupnya sendirian. Ia pergi dengan menaiki bus umum, sambil menangis. Gambar 4. 16: Potongan Adegan

(”Cerita Yogyakarta”, scene 39)

F) Theme song Lagu tema film ”Perempuan Punya Cerita” , dilanjutkan dengan credite title yang menayangkan nama para pemain dan kru film ”Perempuan Punya Cerita”.

3. Struktur Mikro a. Semantik Makna yang ingin ditekankan, dalam skema Van Dijk, disebut hubungan antar kalimat, hubungan antar preposisi yang membangun makna tertentu dalam struktur wacana. 6 Beberapa strategi semantik, diantaranya.

6

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 232.

79

1) Latar Latar peristiwa yang dipilih akan menentukan ke arah mana pandangan 7

khalayak akan dibawa. Dalam film ”Perempuan Punya Cerita”, penulis membagi latar film ini menjadi empat bagian, karena film ini terdiri dari empat cerita, yaitu ”Cerita Pulau”, ”Cerita Yogyakarta”, ”Cerita Cibinong” dan ”Cerita Jakarta”. Tabel 4. 5 LATAR ”Cerita Pulau”

Latar dalam ”Cerita Pulau” (cerita ke-1), penulis

(Cerita pertama)

skenario Vivian Idris mengarahkan penonton pada sos ok perempuan yang hidupnya benar-benar tersudut, ba hkan sejak kalimat pertama dalam cerita ini. Ketika Sumantri diperiksa oleh dokter mengenai penyakit kankernya. DOKTER: Kelihatannya sakit payudara ibu sudah lama. Kenapa baru datang sekarang untuk dicek? SUMANTRI: Saya tidak sempat dokter, karena sibuk bekerja. DOKTER: Saya takut kalau kankernya sudah menyebar. Hasil tes baru bisa selesai hari senin. Jadi ibu harus kembali lagi minggu depan. Sosok perempuan yang tersudutkan terlihat pada scene 01, ketika dokter yang memeriksa Sumantri, tanpa perasaan dan etika, memberitahu Sumantri bahwa ia menderita kanker yang sudah gawat. Padahal pemeriksaan belum lagi tuntas. Dalam posisi domestik, Sumantri juga tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Ia tahu posisinya yang penting di pulau itu sebagai tumpuan hidup banya k perempuan. Masih dalam Cerita Pulau, sosok Wula n merupakan gambaran perempuan yang tersudutkan, Wula n diperkosa, tetapi hukum tidak memberikan ganjaran atas

7

Ibid., h. 235.

80

pemerkosanya, mereka malas menindaklanjuti perkara Wulan, karena Wulan memiliki keterbelakangan mental, malahan dalam cerita ini, Sumantri yang mau membantu Wulan, disudutkan. Latar pada “Cerita Yogyakarta” (cerita kedua), Upi

“Cerita Yogyakarta”

selaku sutradara mengarahkan penonton pada pandanga n

(Cerita kedua)

tentang pergaulan bebas yang dilakukan oleh sekelompok remaja SMA di Yogyakarta, yang terdapat dalam skenario pada scene 11.

Ketika Jay Anwar dengan Safina

membicarakan tentang pergaulan remaja di Yogyakarta JAY ANWAR: Ternyata pergaulan anak disini gila juga ya. Aku pikir Jakarta udah paling bebas. SAFINA: (tersenyum) Gak usah heran. Ini Jogja banget mas, kayak gini. Yang mas lihat sih belu m seberapa.

Dari awal cerita ini saja, pandangan penonton aka n mengarah pada parahnya pergaulan bebas yang dilakuka n remaja, di kota pendidikan seperti Yogyakarta. Safina dan kawan-kawannya seperti sudah terbiasa dengan pergaula n “Cerita Cibinong”

bebas, tanpa memperdulikan akibatnya. Latar pada “Cerita Cibinong” (cerita ketiga),

(Cerita ketiga)

mengarahkan pandangan penonton pada sosok perempua n bernama Esi (Shanty), yang memperjuangkan hidupnya, agar kondisi anaknya (Saroh) mendapatkan posisi ya ng lebih baik darinya, dapat bersekolah dan bekerja denga n baik,

tetapi

karena

situasi

lingkungan

yang

tidak

mendukung, Esi yang mati-matian bekerja demi anaknya sebagai cleaning service di sebuah bar, harus menerima dengan pasrah atas nasib buruk yang menimpa anaknya. Saroh ditipu seseorang yang berkedok ingin memberika n pekerjaan untuknya, tetapi Saroh malah dijual ke luar

81

negeri. Berikut teks skenario scene 23,

ketika Esi

menginginkan anaknya (Saroh) agar tetap sekolah. ESI: Pokokna mah kiye, Saroh kudu sakolah heula. “Cerita Jakarta” (cerita keempat)

Latar

pada

“Cerita

Jakarta”,

mengarahkan

pandangan penonton pada sosok perempuan berna ma Laksmi (Susan Bachtiar) yang menderita AIDS, karena tertular oleh suaminya (Winky Wiryawan). Sehingga ia harus menghadapi hidupnya yang berat sebagai pender ita AIDS. Latar pada cerita ini juga mengarahkan penont on tentang anti diskriminasi terhadap penderita AIDS dan dalam film ini, kita juga diajarkan bagaimana berempati terhadap penderita AIDS. Terlihat dalam scene 14, ketika Laksmi menginap di rumah sepupunya yang bernama A’i Lian, suami A’i Lian (Kuku) tidak senang pada Laksmi yang menginap di rumah mereka, karena ia tidak bisa menerima keadaan Laksmi yang menderita AIDS. Ia ta kut keluarganya tertular AIDS. KUKU: Mentang-mentang sodara lu, terus bisa seenaknya datang numpang di rumah gua gitu? A’I LIAN: Heh! Lu jangan kenceng-kenceng, kedengeran gak enak! Lu tau kan, sodaranya tinggal gua, masa lu paksa gua jadi tega gitu, ngusir si Amie? Sen cing ping! KUKU: Lu yang sen cing ping! Dia tuh AIDS...gak ada obatnya, nular, cari mati ya lu ! Nanti anaknya main sama anak kita, mati dah gua ! Cari penyakit aja lu!

2) Detil Dalam detil, hal yang menguntungkan pembuat teks akan diuraikan secara detil dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi

82

akan dikurangi. Di bawah ini merupakan elemen detil yang terdapat dalam ”Cerita Pulau”, ”Cerita Yogyakarta”, ”Cerita Cibinong” dan ”Cerita Jakarta”, yang tergabung dalam film ”Perempuan Punya Cerita”. Tabel 4. 6 DETIL Pada cerita ini, elemen detil terdapat pada scene

”Cerita Pulau” (cerita pertama)

22, ketika Ahmad Rokim (suami Sumantri) me minta informasi dari rumah sakit mengenai penyakit isterinya yang menderita kanker. AHMAD ROKIM : Suster saya ini suaminya. Kenapa susah sekali ya cari informasi tentang hasil tes isteri saya. Kok saya merasa dipersulit, orang lagi dalam keadaan susah, bukan dibantu, malah dioper-oper tidak jelas. Teks skenario di atas memperlihatkan dengan detil dan rinci, tentang kesulitan Rokim ketika me minta informasi mengenai istrinya di rumah sakit. Dengan pola penulisan seperti kalimat diatas, seakan suster (sebagai pelayan kesehatan), dicerminka n negatif, karena telah mempersulit informasi mengena i Sumatri.

Pada cerita ini, elemen detil terdapat pada scene

“Cerita Yogyakarta”

30, ketika Safina membeberkan perbuatan Jay terhadapnya di

(Cerita kedua)

televisi. SAFINA: Jay Anwar itu penipu besar! Wartawan yang ngaku mahasiswa. Oh ya, buat mas Jay Anwar, aku mau tanya, kok cerita tentang merawani aku nggak ada? Kelupaan ya? ( Jay memandangi TV dengan shock. Pacar Jay berjalan meninggalkan Jay dan menamparnya. Jay tak bisa berbuat apa-apa. Safina masih berbicara di Televisi.) Pada teks skenario di atas, Safina menguraikan detil tentang perbuatan yang dilakukan Jay terhadapnya,

83

selama Jay di Yogyakarta. Dengan teks seperti itu, posis i Jay menjadi tersudutkan, dan Jay menjadi pihak ya ng bersalah. Pada cerita ini elemen detil terdapat pada scene 04,

“Cerita Cibinong” (Cerita kedua)

ketika Cicih (teman Esi) mengkhawatirkan Esi dan Saroh, mengenai kekasih Esi (Narto), yang tinggal di rumah Esi. CICIH: Nya eta gue bingung sama elu, Si. Tiap malem anak perawan lu tinggal sama si Nart o, bapaknya bukan, sodara bukan, yakin si Maesaroh teh perawan keneh? Teks di atas, menguraikan detil tentang posisi Narto dalam kehidupan Esi. Pada teks di atas Cicih menanyakan dengan detil tentang Narto. Dengan teks seperti itu, hal yang ditonjolkan adalah bahwa Esi dalam cerita ini sebagai perempuan yang dirugikan oleh laki-laki (Narto).

“Cerita Jakarta”

Pada cerita ini, elemen detil terdapat pada scene

(Cerita keempat)

08, ketika Belinda (anak Laksmi) mengeluh mengantuk, karena ia bangun terlalu pagi. BELINDA: Mami, kita berangkatnya kok pagi banget, aku masih ngantuk.... LAKSMI: Sekarang kita gak punya mobil Be, takutnya macet di jalan, udah deh. (Belinda memakai tas ranselnya dibantu Mbak Ira da n Laksmi menggandengnya keluar) Pada teks skenario, menggambarkan dengan detil mengenai keadaan keuangan keluarga

Laksmi yang

sebelumnya memiliki kehidupan yang mewah, mejadi sulit sepeninggal Reno (suaminya). Dengan teks seperti di atas, terlihat bahwa Laksmi tersudutkan dengan keadaan, ia ingin menyenangkan anaknya, tetapi karena keadaan keuangannya yang sudah menipis, maka ia tidak dapat membahagiakan anaknya.

84

3) Maksud Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan, yang akan 8

diuraikan secara eksplisit, tegas dan jelas, serta menunjuk langsung pada fakta.

Dalam skenario yang penulis amati, elemen maksud dapat dilihat jelas pada keempat cerita dalam film ”Perempuan Punya Cerita”. Tabel 4. 7 MAKSUD ”Cerita Pulau”

Pada cerita ini, elemen maksud terdapat pada scene

(Cerita pertama)

32, ketika pasien-pasien Sumantri menolong Sumantri membereskan barang-barangnya. IBU 1: Aduh Bu, Suamiku itu tiap malam minta...terus, nanti kalau aku hamil lagi siapa yang bantu aku lahiran? SUMANTRI: Ya gak usah diturutin terus laah... IBU 1: Nanti kalau gak diturutin dia punya bini lagi. Elemen maksud di atas memperlihatkan informasi yang ingin disampaikan oleh pembuat teks. Pembuat teks (penulis skenario) pada ”Cerita Pulau”, memberika n informasi yang eksplisit mengenai keadaan perempua n tentang persoalan menolak permintaan suami dala m berhubungan.

“Cerita

Pada cerita ini, elemen maksud terdapat pada scene

Yogyakarta”

01, ketika Jay Anwar menanyakan informasi

(Cerita kedua)

penjaga warnet (Mahmud).

kepada

JAY ANWAR: Eh, Mas.. Emang warnet disini boleh buka situs porno?. MAHMUD: Lho emangnya ada apa nanya-nanya? Sampeyan intel? JAY ANWAR: Eh, maap Mas.. (mengajak bersalaman) Nama saya Jay, Jay Anwar. Mahasiswa 8

Ibid., h. 240.

85

dari Jakarta MAHMUD: Oooh Mahasiswa Jakartaaa.. Lha disini mah biasa mas tempat kayak gini. Bisnis mas, kalo ndak, mana laku warnet saya Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena penulis

skenario

bertujuan

menyampaikan informasi

dengan menuliskan secara eksplisit dan jelas, mengena i warnet yang memperbolehkan membuka situs porno. “Cerita Cibinong” (Cerita ketiga)

Pada cerita ini, elemen maksud terdapat pada scene 22, ketika Kang Mansyur memberikan pasport kepada Cicih untuk Maesaroh. CICIH: Ka Batam kunaon pake passport sih Kang? KANG MANSUR: Kan buat jaga-jaga aja, sap a tau dia mau jalan-jalan ke Singapura, kan deket. Teks di atas, merupakan elemen maksud, karena terdapat informasi yang jelas, mengenai tujuan Kang Mansyur membuatkan pasport untuk Maesaroh.

“Cerita Jakarta” (Cerita keempat)

Pada cerita ini, elemen maksud terdapat pada scene 11, ketika Ibu Sumadiprojo (mertua Laksmi) memeriksa laci lemari Laksmi dan menemukan hasil pemeriksaa n darah Laksmi yang positif mengidap AIDS. IBU SUMADIPROJO: Dasar perempuan sial, apa aku bilang Pap, pasti si Reno kena AIDS gara-gara dia, nih buktinya, dia juga positif. Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena penulis skenario menuliskan secara eksplisit dan jelas, informasi mengenai virus HIV yang diderita Laksmi.

b. Sintaksis 1) Koherensi Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat

86

dihubungklan sehingga tampak koheren. 9 Dalam skenario yang penulis amati, koherensi dapat dilihat pada keempat cerita dalam film ”Perempuan Punya Cerita”. Tabel 4. 8 KOHERENSI ”Cerita Pulau”

Pada cerita ini, kalimat yang menunjukkan koherensi

(Cerita pertama)

terlihat pada scene 01, ketika dokter selesai memeriksa penyakit Sumantri. SUMANTRI : Saya tidak sempat ke dokter karena sibuk bekerja. Koherensi pada teks di atas ditunjukkan pada kata ‘karena’. Kata ‘karena‘ tersebut menghubungkan kalimat Saya tidak sempat ke dokter dan kalimat saya sibuk. Dala m kalimat tersebut terdapat hubungan sebab akibat, yang menjadikan kalimat tersebut koheren.

“Cerita Yogyakarta”

Pada “Cerita Yogyakarta” tidak terdapat kalimat yang menunjukkan koherensi.

(Cerita kedua) “Cerita Cibinong” (Cerita kedua)

Pada cerita ini, kalimat yang menunjukkan koherensi terlihat pada scene 16, ketika Cicih bertemu dengan Kang Mansyur di pasar, dan menawarkan Cicih untuk bekerja sebagai penyanyi di Jakarta. KANG MANSUR: Eh kebetulan nih, Cicih masih pengen nyanyi di Jakarta? Akang kayanya ada kerjaan nih, tapi gak enak diomongin disini kali ya.. Koherensi pada teks di atas ditunjukkan pada kata ‘tapi’. Kata ‘tapi’ atau ‘tetapi’, menghubungkan kalimat Akang kayanya ada kerjaan nih dan kalimat gak enak diomongin disini kali ya.. Sehingga kalimat tersebut

9

Ibid., h. 235.

87

menjadi koheren. “Cerita Jakarta”

Pada cerita ini, kalimat yang menunjukkan koherensi

(Cerita keempat)

terlihat pada scene 30, ketika dokter yang memeriksa Laksmi di rumah sakit, menuliskan alamat di sebua h kertas. DOKTER AHMAD: Jangan lupa tiap bulan harus ambil obatnya di sini ya ibu, karena datanya sudah terdaftar disini. Koherensi pada teks di atas ditunjukkan pada kata ‘karena’ yang menghubungkan dua kalimat di atas, yaitu kalimat Jangan lupa tiap bulan harus ambil obatnya di sini ya ibu dan kalimat datanya sudah terdaftar disini.

2) Kata Ganti Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh penulis skenario untuk menunjukkan di mana seseorang ditempatkan dalam wacana. Berbagai kata ganti yang berlainan digunakan secara strategi sesuai dengan kondisi yang ada. 10 Dalam teks yang terdapat pada skenario film ini, kata ganti yang digunakan yaitu: Tabel 4. 9 KATA GANTI ”Cerita Pulau”

Pada ”Cerita Pulau”, penulis skenario menggunaka n

(Cerita pertama)

kata ganti ”Cah Ayu” pada tokoh Wulan. Sumantri memanggil Wulan dengan sebutan tersebut. Digambarkan dalam cerita tersebut bahwa Sumantri sangat menyayangi Wulan. Terlihat dalam scene 07, dan 10. SUMANTRI: Cah Ayu...mau sendirian saja, kita jalan ya.

SUMANTRI: Cah Ayu, ikut ibu yuk..

10

Ibid., h. 253.

88

“Cerita

Pada

”Cerita

Yogyakarta”,

penulis

skenario

Yogyakarta”

menggunakan kata ganti ”mas”, kepada tokoh Jay Anwar,

(Cerita kedua)

dan ’mbak’, pada tokoh Safina. Kedua kata ganti tersebut merupakan panggilan dari dari daerah Jawa termasu k Yogyakarta. Terlihat dalam scene 01, 06, 08, 10, 23, 25, dan 30. JAY ANWAR: Udah, Mas. Sama teh botol dua. Rokonya sebungkus. Berapa semua? JAY ANWAR: Eh, Mas.. Emang warnet disini boleh buka situs porno? JAY ANWAR: Eh, maaf Mas. MAHMUD: Oooh Mahasiswa Jakartaaa.. Lah, disini mah biasa mas tempat kayak gini. Bisnis mas, kalo ndak, mana laku warnet saya. SAFINA: Mas yang kemarin di warnet ya? SAFINA: Mas, udah keliling daerah sini? Mau tak anter? SAFINA: Ah, males aku! Mereka pasti lagi nyari vcd porno! Kalo mas mau beli disitu banyak! JAY ANWAR: Mas, ada Miyabi nggak? DADAN: Mas dari Jakarta ya? KOMAR: Wa ya ndak keitung mas, dari kita SMP! DADAN: Sialan, bohong mas! ANTO: Mbaaak.. Mbak Inaa.. Wahyu Jatoh! DADAN: Ayo mas Jay di foto dulu kita sama calon manten! SAFINA: Jay Anwar itu penipu besar! Wartawan yang ngaku mahasiswa. Oh ya, buat mas Jay Anwar, aku mau Tanya , kok cerita tentang merawani aku nggak ada? Kelupaan ya?

“Cerita Cibinong” (Cerita ketiga)

Pada menggunakan

”Cerita

Cibinong”,

penulis

skenario

kata ganti ’emak’ kepada Esi, ’ema k’

merupakan sebutan bagi seorang Ibu. Pada umumnya kata panggilan tersebut digunakan oleh masyarakat daerah, atau masyarakat yang masih kental dengan daerah asalnya.

89

Terlihat dalam scene 02, 09, 12, 14, 23 dan 33. ANAK SEKOLAH: Malu tuh emaknya lonte hahahahahahaha ANAK SEKOLAH: Emaknya lonte....anaknya Perek.... emaknya Lonte....anaknya Perek...ihiiiiy ! MAESAROH: Ken bae Mak (Biarin Mak), ...Saroh mah udah biasa kok... MAESAROH: Ken bae Mak (Biarin Mak), ...Saroh mah udah biasa kok... MAESAROH: Waregah (males)....ah mak...kunaon (kenapa) pulangnya makin telat aja sih mak? ESI: Kunaon kitu roh? Pan tos mak tinggalken cicis keur jajan (Kenapa gitu Roh, kan udah Mak tinggalin uang jajan) MAESAROH: Muhun atos...Saroh mah teu reraosan mun teu aya emak ( Memang udah, tapi Saroh gak enak kalo di rumah nggak ada Emak) MAESAROH: Mak, emak marah ya sama Saroh? ESI: Kunaon sih Roh...kuduna Saroh teh nyarita ka emak..(kenapa sih Roh, harusnya kamu cerita ke Emak) MAESAROH: Saroh bingung Mak... MAESAROH: Nggak kok Mak, Saroh gak pernah diapa-apain, Saroh cuma disuruh... CICIH: Iya, tapi jangan bilang-bilang emak nya. MAESAROH: Mak...tapi Kang Mansur orangnya baik Mak... ESI: (melemah) Ya Gusti Allah, Gusti Allah, hampura emak...Saroh.....Saroh.... “Cerita Jakarta” (cerita keempat)

Pada “Cerita Jakarta”, penulis skenario menggunakan kata ganti ‘mami’ kepada tokoh Laksmi (pemeran utama cerita ini). Kata Mami biasa digunaka n sebagai kata panggilan untuk seorang Ibu, tetapi pada umumnya kata ‘mami’ menjadi kata panggilan yang status sosialnya menengah ke atas. Laksmi pun pada awalnya berasal dari keluarga yang menengah ke atas. BELINDA: Mami, kita berangkatnya kok pagi banget, aku masih ngantuk.... (scene 08) BELINDA: Mami..mami...look....Bude sama Bude Danti (scene 12)

Rara

90

LAKSMI: Nggak pa pa Ra, Bebe seneng kok, jalan-jalan sama mami, ya kan Be? (scene 19) BELINDA: Mmm...mami punya uang? Kita satu berdua aja ya? (scene 20) BELINDA: Mamiiii, pukul mami, matiiin. (scene 22) BELINDA: Mami...aku mau pulang...kenapa kita nggak pulang aja sih Mami? (scene 22) BELINDA: Kenapa mami? (scene 22) LAKSMI: Yah Be, mami gak diterima kerja di tempat eksrimnya. (scene 28) BELINDA: Mmm...it’s ok Mami, eskrimnya juga gak enak kok. (scene 28) LAKSMI: Be, jangan lupa kalau laper makan ya, jangan keasikan gambar. Kamu jangan keluarkeluar ya, mami sebentar kok. (scene 29) BELINDA:Nah sekarang giliran Mami! (scene 29) BELINDA: Aku udah lama nggak liat Mami dandan, supaya nanti dapet kerjanya sekarang aku yang dandanin Mami yang cantik ya! (scene 29) LAKSMI: Jangan lupa kasih surat mami ke ibu guru ya Bebe. (scene 36) BELINDA: (senyum) Thank you Mami, aku sudah boleh sekolah lagi. I love you! (scene 36)

91

3) Bentuk Kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan prinsip kausalitas.

11

Dalam skenario yang penulis amati, bentuk kalimat dapat dilihat pada

keempat cerita dalam film ”Perempuan Punya Cerita”, di antaranya yaitu: Tabel 4. 10 BENTUK KALIMAT ”Cerita Pulau”

Pada cerita ini, bentuk kalimat terlihat pada scene

(Cerita pertama)

21, ketika Sumantri dan suaminya sedang berbincangbincang tentang kehamilan Wulan, akibat diperkosa. SUMANTRI: Aku yang cari tahu soal penyakit Wulan. Bertahun-tahun aku yang belajar soal autisme. Sekarang Mas suruh aku nyerah aja gitu?Nggak mungkin dong Mas. Pada teks di atas merupakan kalimat induktif yaitu, inti kalimat terdapat pada akhir kalimat. Bentuk Kalimat dalam

teks tersebut

diperlihatkan

bahwa,

Sumantri tidak mau berhenti memikirkan tentang nasib Wulan, karena beberapa usahanya yang sudah dilakukan terhadap Wulan, yang terdapat pada awal kalimat. “Cerita

Pada ”Cerita Yogyakarta”, bentuk kalimat terlihat

Yogyakarta”

pada scene 27, ketika Jay Anwar berpamitan kepada

(Cerita kedua)

Safina untuk kembali ke Jakarta. JAY ANWAR: Fin, ini hari terakhirku disini. Aku harus balik nanti malam. Makasih atas bantuan kamu selama ini.. Teks di atas merupakan bentuk kalimat induktif, karena inti kalimat terdapat pada akhir kalimat. Int i kalimat pada teks di atas yaitu kalimat Makasih atas bantuan kamu selama ini..

“Cerita Cibinong”

11

Ibid., h. 251.

Pada cerita ini, bentuk kalimat terlihat pada scene

92

(Cerita kedua)

22, ketika Kang Mansyur merayu Cicih untuk pindah ke Jakarta. KANG MANSUR: Pokoknya nanti lo berangkat bareng deh sama si Saroh, lo gue anter ke Jakarta, nyanyi di Klub Bella Rossa, dulu Pety Pera juga mulainya disitu, gue yang nganter Cih! Teks di atas merupakan bentuk kalimat deduktif, yaitu inti kalimat terdapat pada awal kalimat. Kalima t Pokoknya Nanti lo berangkat bareng deh sama si Saroh, merupakan inti kalimat yang diletakkan di awal kalimat.

“Cerita Jakarta”

Pada cerita ini, bentuk kalimat terlihat pada scene

(Cerita keempat)

28 ketika Laksmi mengangkat telepon genggamnya, dan mendapat kabar bahwa lamaran pekerjaannya ditolak. LAKSMI: Yah Be, mami gak diterima kerja di tempat eksrimnya. Pada teks di atas, bentuk kalimat terlihat pada kalimat mami gak diterima kerja, yang merupakan kalimat pasif. Dalam kalimat tersebut ‘mami’ sebagai objek dan ‘kerja di tempat eksrimnya’ sebagai subjek. Mami (Laksmi) ditempatkan di awal kalimat, karena sosok Laksmi yang penting dalam cerita tersebut.

b. Stalistik Stalistik atau style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.12 Di dalam stalistik, tentu saja yang menjadi pusat perhatian adalah gaya bahasa. Gaya bahasa digunakan oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Maka, gaya bahasa dalam film ”Perempuan Punya Cerita” yang digunakan oleh penulis skenario bertujuan untuk menyampaikan maksudnya.

12

Pada teks yang terdapat dalam film

Alex Sobur, Analisis Teks Madia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 81.

93

”Perempuan Punya Cerita”, gaya bahasa yang digunakan yaitu, bahasa daerah dan bahasa asing (bahasa inggris). Tabel 4. 11 GAYA BAHASA ”Cerita Pulau” (Cerita pertama) “Cerita

Pada ”Cerita Pulau” tidak terdapat gaya bahasa (style). Gaya bahasa atau style yang terdapat pada “Cerita

Yogyakarta”

Yogyakarta” yaitu dengan menggunakan gaya bahasa

(Cerita kedua)

daerah Jawa. Terdapat pada scene 04, 10 dan 27. RAHMA: Ndak mau juga dadi manten saiki. SUPRI: Asu kowe, Mad! SUPRI: Sopo jenenge sing cewek Mandarin..

“Cerita Cibinong” (Cerita ketiga)

Gaya bahasa atau style yang terdapat pada “Cerita Cibinong” yaitu dengan menggunakan gaya bahasa daerah sunda (Jawa Barat). Terdapat pada scene 02, 04, 13, 18, 23,31 dan 32. ESI: Gareloblok sia! Barudak jiga jurik ! Dicabok sia kuaing nyaho! (Sialan! Anak setan! Gua tampar lo, baru tau rasa) MAESAROH: Ken bae Mak (Biarin Mak), ... ESI Ntong kitu atuh Saroh, tong hicing wae, jiga budak tolol. (Jangan gitu dong Saroh, jangan diam aja, anak bodoh) MAESAROH: Waregah (males)....ah mak...kunaon (kenapa) pulangnya makin telat aja sih Mak? ESI: Kunaon kitu roh? Pan tos mak tinggalken cicis keur jajan (Kenapa gitu Roh, kan udah Mak tinggalin uang jajan) MAESAROH: Muhun atos...Saroh mah teu reraosan mun teu aya emak ( Memang udah, tapi Saroh gak enak kalo di rumah nggak ada Emak) ESI: Risi kunaon, tos ah sakolah nya, bisi telat (Risih kenapa, udah deh berangkat sekolah, nanti terlambat)

94

CICIH: Ih geuleeeeeh geuleh pisan nya, saweran saeutik, beraninya megangmegang...iiiiihhhh (ih jijik banget, udah ngasih duitnya sedikit) CICIH: Idih amit-amiiiiit! Bauna jiga kambing kitu (Baunya kaya kambing gitu) NINIEK: Nya mun inget kasa eta rasana hayang nyabok (kalo inget dulu rasanya pengen tabok) ESI: Meni tega nya? (kok tega ya) CiCIH: Nya eta gue bingung sama elu, Si. Tiap malem anak perawan lu tinggal sama si Narto, bapaknya bukan, sodara bukan, yakin si Maesaroh teh perawan keneh? NINIEK: Ye si esi mah teu nyaho sih...si kambing eta teh urut kumpul keboan urang, eh ade urang disosor juga (Ih si Esi gak tau sih, si kambing itu dulu pasangan kumpul kebo gue, eh adek gue disikat juga) ESI: Goblog sia dipaehken sia ku aing Narto! (Sialaaaaaaan, gue matiin loh Narto) ESI: Kunaon sih Roh...kuduna Saroh teh nyarita ka emak..(kenapa sih Roh, harusnya kamu cerita ke Emak) CICIH: Nya ngeus atuh (udah lah), tinggal didie wae nya Si...(tinggal di sini saja) CICIH: Ken bae Si (biar sama saya aja Si) ESI: Pokokna mah kiye, Saroh kudu sakolah heula, kalo abis itu mau kerja sok mangga (pokoknya begini, Saroh harus selesai sekolah dulu, kalo abis itu mau kerja silahkan) ESI: Muhun, akang saha nya? (Betul, akang siapa ya?) NINIEK: Aduh, geuleuh pisan, Si, tolong bersihin dulu atuh (Aduh jijik banget Si, bersihin dulu dong) ESI: wegah ah, tunduh urang (ogah ah, males saya) ESI: Tipayun nya Bang. (pulang ya Bang) BANG JAJA:Nuhun nya Si. (terima kasih ya Si)

95

“Cerita Jakarta”

Pada cerita ini, style atau gaya bahasa yang terlihat

(Cerita keempat)

pada scene 12, 28, 35, dan 36, dengan menggunakan beberapa bahasa inggris. BELINDA: Mami.. Mami.. lihat..)

mami..

look..

(Mami..

BELINDA: Mmm... it’s ok (Mmm.. baiklah) LAKSMI: Bebe.. i’m sorry.. i’m sorry.. i’m sorry.. (Bebe.. maafkan aku.. maafkan aku.. maafkan aku..) BELINDA: Thank you Mami. (Terimakasih mami) BELINDA: I love you! (Aku cinta kamu!)

d. Retoris Elemen yang terakhir diamati dalam teks adalah retoris, yang mempunyai 13 fungsi persuasif atau mempengaruhi. Dalam hal ini, Van Dijk membagi retoris

menjadi tiga elemen, yaitu: 1) Grafis Elemen pertama dalam retoris adalah grafis. Grafis menampilkan bagian yang menonjol dari sebuah film yang dilihat dari pengambilan gambar. Grafis yang terdapat dalam film ”Perempuan Punya Cerita”, diantaranya yaitu:

13

Ibid., h. 84.

96

Tabel 4. 12 GRAFIS ”Cerita Pulau” (Cerita pertama)

Pada ”Cerita Pulau”, elemen grafis terlihat pada scene 32,

ketika

Sumantri

membereskan

alat-alat

prakteknya di Klinik. Gambar 4. 17 Grafis pada ”Cerita Pulau”

Pada ”Cerita Pulau”, grafis yang terlihat, yaitu alat suntik yang digunakan oleh Bidan Sumantri ketika melakukan aborsi terhadap Wulan. Dalam sinematografi film ”Perempuan Punya Cerita”, pada ”Cerita Pulau”, gambar di atas diambil dengan menggunakan zoom in, yakni lensa kamera mendekati gambar. Sehingga gambar tersebut

mejadi

lebih

menonjol

dan

fokus

serta

memberikan kesan atau makna dari gambar tersebut. “Cerita

Pada ”Cerita Yogyakarta”, elemen grafis terlihat

Yogyakarta”

pada scene

(Cerita kedua)

memeriksakan dirinya dengan alat pemeriksa kehamilan.

30

(scene terakhir).

Ketika

Safina

Gambar 4. 18 Grafis pada ”Cerita Yogyakarta”

Grafis berupa gambar alat pemeriksa kehamilan di atas memperlihatkan kondisi Safina yang telah hamil, karena terdapat tanda dua garis merah pada alat tersebut. Grafis di atas merupakan gambar yang di zoom in, sehingga gambar terlihat fokus, karena lensa kamera mendekati gambar.

97

Pada ”Cerita Cibinong”, elemen grafis terlihat

“Cerita Cibinong” (Cerita ketiga)

pada scene 33 Gambar 4. 19 Grafis pada ”Cerita Cibinong”

Grafis yang ditunjukkan dengan gambar foto pada “Cerita Cibinong”,

dengan pengambilan gambar zoom

in, menunjukkan bahwa foto tersebut merupakan bagian grafis yang penting dari cerita tersebut. Pada scene ini, grafis

memperlihatkan Foto

Maesaroh berbaju pengantin putih dan make-up menor, difoto bersama seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya Saroh.

Foto pernikahan itu tanpa

ekspresi kebahagiaan sedikit pun, satu-satunya bukti bahwa

mungkin

Maesaroh

masih

hidup,

yang

memberikan sedikit harapan bagi Esi. “Cerita Jakarta”

Pada cerita ini, elemen grafis terlihat pada scene

(Cerita keempat)

03. Ketika Laksmi membuka dompetnya yang berisi foto keluarganya. Gambar 4. 20 Grafis pada ”Cerita Jakarta”

Pada scene ini, grafis terlihat pada foto suami dan anak Laksmi yang sedang tersenyum, menggambarkan bahwa sebelumnya Laksmi memiliki keluarga yang bahagia.

98

2) Metafora Metafora merupakan kiasan atau ungkapan yang dapat dijadikan sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atau pendapat kepada publik. Metafora yang terdapat pada film ”Perempuan Punya Cerita”, yaitu: Tabel 4. 13 METAFORA ”Cerita Pulau”

Pada cerita ini, metafora terdapat pada scene 40,

(Cerita pertama)

ketika Sumantri menolak pelaku pemerkosa Wulan dan ajudannya untuk memberikan uang kepada Mbok Iroh (neneknya Wulan). SUMANTRI: Pak, uang Tidak membersihkan kesalahan, sampai kapanpun.. Pada teks

bisa

di atas, terlihat kalimat tersebut

merupakan ungkapan yang mengandung arti atau makna mendalam. “Cerita Yogyakarta”

Tidak

terdapat

Metafora

dalam

“Cerita

Yogyakarta”.

(Cerita kedua) “Cerita Cibinong”

Tidak terdapat Metafora dalam ”Cerita Cibinong”.

(Cerita ketiga) “Cerita Jakarta” (Cerita keempat)

Pada cerita ini, metafora terdapat pada scene 33, ketika Laksmi

sedang mengobrol dengan seorang

relawan yang bernama Dian. RELAWAN DIAN:, Yang penting kita ikhlas menerima kenyataan dulu. Kalimat yang mengandung metafora seperti diatas, merupakan kalimat yang menguatkan Laksmi agar dia tetap bertahan dengan keadaan hidupnya yang sulit.

99

3) Ekspresi Elemen ekspresi merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang diamati dari teks.

14

Misalnya ekspresi wajah

marah, sedih, menangis, tersenyum, gembira, tertawa dan sinis. Tabel 4. 14 EKSPRESI ”Cerita Pulau” (Cerita pertama)

Berikut ini, elemen ekspresi yang terdapat pada skenario “Cerita Pulau”.

SUMANTRI: Ya ampun, Mas.. (Ekspresi panik melihat Wulan) Gambar 4. 21: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 16)

AHMAD ROKIM: Hahaha, boro-boro jadi bos, di Jakarta aja numpang di rumah saudara. (Tertawa saat berbicara dengan pengemudi perahu) Gambar 4. 22: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 33)

PENGEMUDI PERAHU: Busyet dah, barangnya berat banget. (Ekspresi pengemudi perahu yang sedikit kesal karena banyaknya barang-barang milik Ahmad Rokim)

14

Ibid.

100

Gambar 4. 23: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 33)

AHMAD ROKIM: Heh bangsat! Jadi kalian bajingannya, nggak tahu malu merkosa orang cacat. (Ahmad Rokim marah sambil melayangkan tonjokkan kearah laki-laki yang memperkosa Wulan) Gambar 4. 24: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 37)

NANDA: Pak! Tolong ke dermaga. Tommy dikeroyok! (Ekspresi panik melihat temannya dipukuli) Gambar 4. 25: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau” , scene 37)

SUMANTRI: Pak, gimana rasanya kalau anak bapak yang diperkosa? (Ekspresi kesal melihat Pak lurah membela pemerkosa Wulan) Gambar 4. 26: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 40)

SUMANTRI: Wulan… sampai ketemu lagi ya Cah Ayu… Wulan jangan nakal ya, Ibu pergi dulu…(Ekspresi sedih, karena meninggalkan Wulan)

101

Gambar 4. 27: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau” , scene 46)

“CeritaYogyakarta” (Cerita kedua)

Berikut ini, elemen ekspresi yang terdapat pada skenario “Cerita Yogyakarta”.

SAFINA: Dadan! Sini sampeyan! (Ekspresi marah) Gambar 4. 28: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 01)

TEJO: Beraninya ngegilir perempuan. Kebo aja ndak sudi digilir..! (Ekspresi kesal pada segerombolan pemuda) Gambar 4. 29: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 01)

SAFINA: Pulang yuk, aku ndak betah.(Safina tampak gelisah) Gambar 4. 30: Potongan Adegan

( ”Cerita Pulau”, scene 16)

RAHMA: Ndak Wies..Aku berani..(Ekspresi takut)

takut..Aku

ndak

102

Gambar 4. 31: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau” , scene 20)

JAY ANWAR: Makasih atas bantuan kamu selama ini.. (Ekspresi senang, karena telah ditolong Safina) Gambar 4. 32: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 27)

DESI: Koe liat Fin! siapa sing nulis artikel ini? (Ekspresi kesal) Gambar 4. 33: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 28)

SAFINA: Jay Anwar itu penipu besar! Wartawan yang ngaku mahasiswa. Oh ya, buat mas Jay Anwar, aku mau tanya, kok cerita tentang merawani aku nggak ada? Kelupaan ya? (Ekspresi kesal) Gambar 4. 34: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 29)

“Cerita Cibinong” (Cerita ketiga)

Berikut ini, elemen ekspresi yang terdapat pada skenario “Cerita Cibinong". ESI: Gareloblok sia! Barudak jiga jurik! Dicabok

103

sia kuaing nyaho! (Ekspresi kesal) Gambar 4. 35: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 02)

MAESAROH: Ken bae Mak (Biarin Mak), ...Saroh mah udah biasa kok... (Ekspresi Maesaroh yang pasrah) Gambar 4. 36: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 02)

ESI: Ntong kitu atuh Saroh, tong hicing wae, jiga budak tolol. (Ekspresi kesal) Gambar 4. 37: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 02)

ESI: Goblog sia dipaehken sia ku aing Narto! (Ekspresi marah) Gambar 4. 38: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 08)

NARTO: Diem lu....dieem! Lu juga Saroh, berani ngomong gue patahin kaki lu!(Ekspresi marah) Gambar 4. 39: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau” , scene 08)

104

MAESAROH: Nuhun ya Teh, ini lippen-nya boleh buat Saroh?(ekspresi senang) Gambar 4. 40: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 15)

BANG JAJA : Ciciiiiiiihhhh.....kurang ajar! Pasti si Mansur sialan nih biang keroknya! (Ekspresi kesal) Gambar 4. 41: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 28)

ESI:Sarooooooooooooooohhhh.......Maesaroooooo oooooh! (Ekpresi sedih) Gambar 4. 42: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 28)

ESI: Ciiiciiiiiiiiiiihhh....maneh kamana keun budak urang. Balik keun, balik keun si Saroh! (Cicih, lu kemanain anak gue, balikin si Saroh! Gambar 4.43: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 33)

ESI: (melemah) Ya Gusti Allah, Gusti Allah, emak...Saroh.....Saroh.... (ekspresi hampura menyesal)

105

Gambar 4. 44: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 33)

Cerita Jakarta” (Cerita keempat)

Berikut ini, elemen ekspresi yang terdapat pada skenario “Cerita Jakarta”. IBU SUMADIPROJO: Dasar perempuan sial, apa aku bilang Pap, pasti si Reno kena AIDS gara-gara dia, nih buktinya, dia juga positif, makanya gak ada deh....kita Harus ambil cucu kita! (Ekspresi kesal dan marah) Gambar 4. 45: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 11)

IBU SUMADIPROJO: Pasti surat rumah segala di dalam laci nih Pap, bongkar! Bongkar, Pap! Panggil th si Asep, suruh masuk bawa linggis.(Ekspresi kesal) Gambar 4. 46: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 11)

KUKU: Lu yang sen cing ping! Dia tuh AIDS...gak ada obatnya, nular, cari mati ya lu! Nanti anaknya main sama anak kita, mati dah gua! Cari penyakit aja lu!(Ekspresi kesal sambil berdebat dengan isterinya A’lian) Gambar 4. 47: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 15)

106

IBU SUMADIPROJO: Kamu beneran pulang kampung ya Ra, kalo sampe kamu sekongkolan nyembunyiin si Bebe, tak panggilin polisi kamu! (Ekspresi marah sambil mengancam Mbak Ira) Gambar 4. 48: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 16)

BELINDA: Mamiiii, pukul mami, matiiin. (Belinda teriak karena ketakutan melihat kecoa) Gambar 4. 49: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 22)

LAKSMI: Udah biarin aja deh Bebe, cuma kecoak aja! Gak usah manja! Udah, tidur! (kesal) Gambar 4. 50: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 23)

LAKSMI: Bebe...i’m sorry....i’m Sorry....i’m Sorry.. (Ekspresi sedih) Gambar 4. 51: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau” scene 35)

BAPAK PENGGENDONG: Sampean ibunya?Gendeng sampean, anak kecil ditinggal sendiri di kamar kos sumpek! Otakmu di endasmu ya! (memarahi Laksmi, karena Laksmi meninggalkan anaknya sendirian di rumah

107

kontrakannya) Gambar 4. 52: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 35)

BELINDA: Thank you Mami, aku sudah boleh sekolah lagi. I love you! (Belinda tersenyum senang) Gambar 4. 53: Potongan Adegan

(”Cerita Pulau”, scene 36)

B. Kognisi Sosial Film ”Perempuan Punya Cerita” Dalam kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, perlu adanya penelitian mengenai kognisi sosial, yaitu kesadaran mental penulis skenario yang membentuk teks tersebut. 15 Dalam hal ini adalah analisis wacana film ”Perempuan Punya Cerita”. Selain analisis teks, yang terdapat dalam skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, perlu dilakukan penelitian atas kesadaran mental penulis skenario dalam memandang masalah perempuan. Bagaimana kepercayaan, pengetahuan dan prasangka penulis skenario terhadap masalah yang menimpa perempuan. Kognisi sosial ini penting dan menjadi kerangka yang tidak terpisahkan untuk memahami teks. Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan

15

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 260.

108

sejumlah makna, pendapat dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya oleh kesadaran mental pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi penulis skenario dalam memproduksi skenario. Karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka tertentu terhadap suatu peristiwa. 16 Dalam hal ini, penulis menemukan beberapa jawaban tentang pandangan penulis skenario film ”Perempuan Punya Cerita” dan sutradara terhadap masalah perempuan yang terjadi di Indonesia. Menurut Upi Avianto, salah satu sutradara film “Perempuan Punya Cerita” dalam “Cerita Yogyakarta”, film “Perempuan Punya Cerita” adalah antologi yang terinspirasi dari berbagai masalah yang menyelimuti kehidupan perempuan Indonesia.17 Menurutnya, antologi yang terdiri atas empat film pendek yang diikat bersama dalam satu premis, mengenai permasalahan perempuan, mengambil filosofi hidup bunga teratai sebagai dasar untuk tema film tersebut. Ibaratnya bunga teratai, mereka tumbuh dengan keanggunan dan harga diri di tengah-tengah lingkungan yang kotor dan penuh lumpur. Melihat fenomena itu, Upi ingin mengangkatnya dalam film “Perempuan Punya Cerita”, dengan harapan masyarakat dapat merenungkan dan peduli. Nia Dinata selaku produser dan sutradara film “Perempuan Punya Cerita” mengungkapkan “Perempuan Punya Cerita”, merupakan respon yang tajam dan 16

Ibid. “Blog UPI: Perempuan Punya Cerita” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kapanlagi.com/2009/p34s2. htm 17

109

serius atas keadaan banyak perempuan di Indonesia yang mengalami diskriminasi dan tersisihkan dari kehidupan sosialnya. “Film ini dibuat memang dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran akan isu-isu perempuan. Saya yakin medium film mempunyai kekuatan tersendiri untuk menggugah penonton terhadap permasalahan yang nyata dan menggugah emosi.”18 “Selesai menonton film ini, kami berharap penonton tergugah kesadarannya dan tidak hanya berhenti sampai di situ, tapi berusaha membuat perubahan sekecil apapun dalam kapasitas pribadinya bagi perbaikan kondisi perempuan Indonesia.”19 Pemahaman permasalahan mengenai film ini, Lasja Fauzia sutradara film “Perempuan Punya Cerita” mengungkapkan melalui film yang dibuatnya, yang terdapat dalam “Cerita Jakarta”. Yaitu hal mengenai hak perempuan. Memisahkan ibu dengan anaknya merupakan bentuk pelanggaran hak perempuan. Memisahakan anak dari ibunya adalah sebuah bentuk kejahatan, dan apabila sebuah society membiarkan atau malah mendorong terjadinya hal semacam itu, maka society itu pun telah bersalah atas sebuah kejahatan. 20 Sedangkan bagi Fatimah T. Rony, sutradara “Cerita Pulau”, ia bertujuan ingin memberikan kontribusinya terhadap film Indonesia melalui film yang bertemakan perempuan. Menurut Vivian Indris sebagai salah satu penulis skenario film ”Perempuan Punya Cerita”

dalam ”Cerita Pulau” dan ”Cerita Yogyakarta”, ia

mengungkapkan bahwa film pada dasarnya dibuat untuk menghibur orang. Namun, di balik unsur hiburan, film bisa menjadi sarana perjuangan, termasuk perjuangan persamaan hak perempuan. 21

18

“Wawancara Nia Dinata” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kapanlagi.com/2009/p34s2. htm 19 Ibid. 20 Wawancara pribadi dengan Lasja Fauzia, Rabu, 1 April 2009. 21 ”Kisah Perempuan Vivian Idris” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kompas.com/2009/1100/ htm

110

Saat ini, dalam film atau medium audiovisual (sinetron, iklan, film televisi),

perempuan secara mainstream masih dijadikan objek bukan subjek.

Ketika perempuan tampil sebagai subyek, sebagian besar masih digambarkan dengan sudut pandang partriarki dan tidak menampilkan sudut pandang perempuan atau kesadaran akan kesetaraan gender.22 Oleh karena itu, Vivian merasa memiliki kewajiban untuk memperjuangkan perempuan melalui film, dengan perempuan sebagai subjeknya. Secara personal Vivian Idris memilih ide untuk film ini, karena simpati pribadi terhadap persoalan-persoalan miris yang dialami perempuan, terutama persoalan perempuan yang hidup di pedalaman, yang tidak memiliki fasilitas memadai. Dalam riset yang dilakukan Vivian dalam film “Perempuan Punya Cerita”, pada “Cerita Pulau”, Ia melihat adanya kesenjangan ekonomi dan sosial di Pulau tersebut. “Secara personal saya memilih ide ini karena simpati pribadi. Dalam riset mencari cerita film, saya melakukan wawancara dengan mahasiswa-mahasiswa kebidanan dari Kepulauan Seribu. Dari mereka saya mendapatkan keterangan bahwa dari seluruh pulau berpenduduk, hanya Pulau Kelapa (yang penduduknya terpadat) dan Pulau Kelapa Dua (Pemerintahan daerah kepualauan Seribu) yang memiliki fasilitas pelayanan medis. Jika ada penduduk dari pulau lain yang sakit mereka harus mendatangi pulau Kelapa. Bayangkan jika ada seorang Ibu yang harus melahirkan tengah malam. Ia harus pergi ke pulau Kelapa sementara angkutan antar pulau tidak memiliki fasilitas penerangan yang memadai sehingga kapal-kapal kayu itu tidak bisa beroperasi malam hari. Lalu bagaimana nasib mereka? pasrah pada keadaan? Wilayah Kepulauan Seribu adalah bagian dari wilayah pemerintahan provinsi DKI Jakarta, tapi lihat kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada. Sebagai warga Jakarta saya merasa malu dengan kondisi ini, dan inilah yang menjadi motivasi saya untuk menulis Cerita Pulau.”23

22 23

Wawancara pribadi dengan Vivian Idris, Jumat, 19 Februari 2009. Ibid.

111

Sedangkan pada “Cerita Yogyakarta” yang ditulis Vivian Idris, ia berasumsi bahwa pendidikan seks (sex education) di Indonesia tidak memadai. “Pendidikan seks di kalangan remaja saat ini sangat tidak memadai. Dengan fasilitas dan kemajuan teknologi di mana berita atau tontonan dengan muatan seksualitas makin gampang didapatkan, harusnya pengetahuan seksual yang dimiliki remaja harus sesuai dengan kondisi sekarang. Apa yang digambarkan dalam film adalah akibat tidak adanya keseimbangan pengetahuan seksual dan kemajuan teknologi dan informasi. Kondisi ini bukan kondisi yang general dan terjadi dimanamana, namun berdasarkan riset kami di Yogyakarta, kondisi seperti dalam film memang terjadi. Sebagai seorang Ibu dari dua orang anak, saya merasa perlu mengabarkan kondisi ini kepada masyarakat yang lebih luas agar bisa memikirkan atau menemukan langkah efektif dalam menanggulangi kondisi ini.” 24 Poin di atas merupakan tujuan Vivian Idris selaku penulis skenario dalam membuat teks skenario. Menurut Melissa

Karim, yang juga penulis dalam “Cerita Cibinong” dan

“Cerita Jakarta”, skenario

Film “Perempuan Punya Cerita” dibuat untuk

mengangkat masalah-masalah perempuan ke permukaan. Sebenarnya, masalahmasalah perempuan adalah masalah-masalah klasik, hanya saja mereka ingin menggunakan media visual, yang menurutnya lebih powerful. 25 Melissa

Karim

sendiri, menulis skenario berdasarakan atas informasi yang didapatkannya dari kehidupan orang-orang di sekitarnya.26 Dalam “Cerita Cibinong” yang ditulisnya, Melissa Karim mengambil ide yang paling dekat dengan dirinya. Ia terinspirasi dari pembantu rumah tangga di rumahnya yang bernama Esi. “Saya banyak mengobrol dengan dia tentang kondisi kampungnya di satu daerah di Jawa Barat yang miskin dengan kondisi pendidikan yang rendah dan rentan terhadap tindak penipuan perdagangan manusia. Aksi penipuan dan perdagangan manusia ini ternyata juga banyak terjadi tidak hanya di daerah pelosok seperti Singkawang-Kalimantan yang jauh dari 24

Ibid.

25

”Melisa Karim: Siapa Bilang Kita Patrikal?” Artikel diakses pada 11, Februari, 2009

dari http://www.mediasatu.com/2008/php/htm 26 Wawancara pribadi dengan Melissa Karim, Jumat, 27 Februari 2009.

112

Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah yang seringkali dianggap sangat dekat dengan Jakarta dan seharusnya lebih mudah akses informasinya.”27 Film ini dipandang sebagai hasil dari representasi mental dari para penulis skenario dalam memandang masalah perempuan. Pandangan, kepercayaan, stereotipe, dan kepercayaan Melisa Karim dan Vivian Idris selaku penulis skenario, bahwa perempuan harusnya memiliki hak yang sama, keberadaan mereka juga patutnya diperhitungkan. Disinilah sutradara dan penulis skenario tidak dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang mempunyai bermacam nilai, pengalaman dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya. Dan pandangan inilah yang menentukan fakta apa yang dipilih untuk membuat film tersebut. Sentuhan ideologi, kesadaran serta pengetahuan masing-masing sutradara dan penulis terlihat dalam film “Perempuan Punya Cerita”. Lewat empat kisah ini para sutradara dan tim penulis naskah

menunjukkan bahwa permasalahan

perempuan lebih rumit dari sekedar melodrama biasa di televisi.

C. Konteks Sosial Sosial Film ”Perempuan Punya Cerita” Analisis sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas satu wacana. 28 Oleh karena itu, konteks sosial dalam hal ini adalah menjawab pernyataan bagaimana wacana yang berkembang di masyarakat mengenai perempuan.

27

“Perempuan Punya Cerita” Artikel diakses pada Rabu, 28 Mei 2009 dari http://www.kalyanashira.com/2009/php. htm 28 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 225.

113

Permasalahan mengenai ketidakadilan gender, didalamnya termasuk permasalahan

mengenai

perempuan.

Permasalahan

tersebut,

dalam

film

”Perempuan Punya Cerita”, meliputi masalah hak-hak perempuan, kesehatan reproduksi perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Masalah kesehatan reproduksi perempuan yang ditampilkan dalam film ”Perempuan Punya Cerita” terdapat dalam ”Cerita Yogyakarta”, yaitu masalah mengenai hubungan seks di luar nikah dan aborsi yang dilakukan oleh remaja putri di Yogyakarta. Safina dan teman-temannya menganggap hubungan seks di luar nikah merupakan hal yang lumrah bagi kalangan remaja di Yogyakarta, begitu juga dengan aborsi, hal tersebut menjadi hal biasa jika remaja tersebut hamil di luar nikah. Survei

terhadap sejumlah remaja Yogyakarta yang dilakukan dalam

rangka penggarapan film

“Perempuan Punya Cerita”,

telah mengungkap

pandangan dan perilaku seks remaja di Yogyakarta, yang telah jauh melewati batas. Banyak anak-anak muda di Yogyakarta, bukan hanya telah terbiasa melakukan seks bebas, mereka bahkan telah lihai dan mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan akibat sek bebas. Tanpa merasa bersalah, mereka akan melakukan aborsi, jika perbuatannya di kemudian hari berbuah kehamilan. Survei yang dilakukan oleh tim khusus film “Perempuan Punya Cerita” yang mewawancarai pelajar laki-laki dan perempuan secara terpisah di sejumlah SMA di Yogyakarta pada 2006 menanyakan pengetahuan dan sikap mereka seputar seks dan fenomena seks bebas di kalangan anak muda, dan faktanya

114

sangat mengerikan, mereka tidak berpikir panjang terhadap dampak dari seks bebas. 29 Permasalahan lainnya yang berkembang di masyarakat yaitu permasalahan mengenai kekerasan terhadap perempuan. Pada film “Perempuan Punya Cerita”, “Cerita Pulau”, kekerasan terhadap perempuan dialami oleh Wulan, yang menerima kekerasan seksual dari seorang pemuda. Wulan menjadi korban pemerkosaan pemuda tersebut. Sedangkan “Cerita Cibinong”, kekerasan terhadap perempuan terjadi pada Esi dan anaknya (Saroh), Esi diperlakukan kasar (dipukuli) oleh kekasihnya (Narto), ketika mengetahui Narto melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya (Saroh). Saroh pun menjadi korban perdagangan perempuan yang dijual ke Taiwan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian integral dari fenomena kekerasan secara umum. Hal ini berkaitan dengan posisi perempuan yang serba di nomor duakan dan yang penuh dengan tabu dan stereotip. Tabu dan stereotip membuat perempuan bungkam atas kekerasan yang dialaminya, sedangkan bias gender masyarakat membuat perempuan korban kekerasan, terkadang dituding bersalahan atas musibah yang menimpa dirinya sendiri.30 Jumlah tindak kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun (2001-2008). Tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah kekerasan lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (25.522 kasus). Peningkatannya mencapai 213 persen menjadi 54.425 kasus.

29 “Upi Avianto Kaget Melihat Hasil Survei Teks Remaja Jogja” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kapanlagi.com/2009/p34s2. htm 30 “Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” Artikel diakses pada Selasa, 28 April 2009 dari http://www.kolompakar.com/2009/p1.htm

115

Peningkatan jumlah kasus diperkirakan karena meningkatnya kemudahan akses ke data Pengadilan Agama sebagai implementasi dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan pengadilan. Kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual cenderung konsisten dari tahun ke tahun sejak tahun 2006-2008. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6.800 kasus (dari jumlah 46.884 kasus kekerasan terhadap istri). Sedangkan mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, yaitu sebanyak 1.870 kasus (dari 4.875 kasus). Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja hiburan, dan perempuan pembela hak asasi manusia. 31 Kekerasan yang diterima korban tidak hanya secara fisik, namun juga psikis, seksual, dan penelantaran. Dan kebanyakan di antara korban mengalami depresi ataupun efek psikologis yang membuat mereka sulit untuk bangkit dan menjalani kehidupan normal. 32 Peningkatan jumlah kasus tersebut disebabkan belum adanya komitmen dari penegak hukum untuk membebaskan perempuan dari kekerasan. Selain itu, tingginya kesadaran dari korban untuk melapor juga menjadi faktor lainnya. Namun, yang mengkhawatirkan, penegakan hukum di Indonesia masih belum berperspektif gender, sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Padahal Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk melindungi

31

“Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat Dua Kali Lipat” Artikel diakses pada Selasa, 28 April 2009 dari http://kesehatan.kompas.com/2009/htm 32 “Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat” Artikel ini diakses pada Selasa, 28 April 2009 dari http:// www.kompas.com/2009/htm.

116

perempuan dari kekerasan. Seperti, Undang-Undang (UU ) Nomor 7 Tahun 1984 tentang

Pengesahan

Konvensi

Mengenai

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kendati sudah terdapat UU yang melindungi, jika tidak diikuti implementasi oleh aparat kepolisian dan pemerintahan maka penegakan hukum tidak akan berjalan. Permasalahan perempuan memang tak kunjung selesai, seperti yang diungkapkan oleh Yanti Apriliani, salah satu aktivis perempuan yang juga menjabat sebagai ketua Korpri PMII, yaitu salah satu organisasi yang memiliki konsentrasi terhadap permasalahan perempuan. “Masalah perempuan memang tidak akan pernah ada habisnya, permasalahannya sangat kompleks dan banyak masyarakat yang belum mengetahui keadaan permasalahan perempuan”. “Sangat banyak permasalahan perempuan di Indonesia, misalnya women trafficking, jaringannya sangat dahsyat, sampai sulit terungkap para pelakunya. Selain itu kasus KDRT terhadap perempuan, kasusnya selalu ada di setiap harinya”. 33 Oleh karena itu, permasalahan perempuan yang terjadi di masyarakat bukanlah hanya sekedar permasalahan biasa, tetapi permsalahan yang sangat kompleks dan harus dicari jalan keluarnya bersama, agar terciptanya kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.

33

Wawancara pribadi dengan Yanti Apriliani, Jakarta 6 Juli 2009.

117

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap teks, konteks dan kognisi sosial yang terdapat dalam skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, maka hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari Segi Teks/ Naskah Skenario Dilihat dari segi teks penulis menyimpulkan bahwa: a. Struktur Makro Struktur makro merupakan tematik/tema dari skenario/naskah film ”Perempuan Punya Cerita”. Tema umum yang terdapat dalam film ”Perempuan Punya Cerita” adalah mengenai masalah yang menimpa perempuan, diantaranya masalah hak-hak perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan. b. Superstruktur Superstruktur merupakan skematik/skema atau alur. Skema dalam film ”Perempuan Punya Cerita” adalah membahas mengenai alur cerita dari pendahuluan sampai akhir. Di awali dari Opening Bill Board (OBB) dan Sound Efect lalu Opening Shot, barulah memasuki bagian-bagian scene, yang menggambarkan keadaan dari masing-masing keempat cerita dalam film ”Perempuan Punya Cerita”. Pada cerita pertama yaitu menggambarkan keadaan Sumantri

”Cerita Pulau”,

yang menderita kanker, mendedikasikan

118

hidupnya sebagai bidan di sebuah Pulau. Pada Cerita kedua yaitu ”Cerita Yogyakarta”, menggambarkan keadaan pergaulan bebas remaja Yogyakarta seperti Safina dan teman-temannya. Cerita ketiga yaitu ”Cerita Cibinong”, menggambarkan keadaan Esi sebagai cleaning service di sebuah klub, ia berharap agar anaknya dapat tetap sekolah. Kemudian cerita terakhir atau cerita keempat, yaitu ”Cerita Jakarta”, menggambarkan keadaan Laksmi yang menderita AIDS, yang terancam kehilangan anaknya. Setelah penggambaran oleh masing-masing cerita dalam film ”Perempuan Punya Cerita”, kemudian masuk pada klimaks film, lalu barulah masuk ke dalam ending atau akhir cerita, diikuti dengan Theme song film ”Perempuan Punya Cerita”, lalu dilanjutkan dengan credite title yang menayangkan nama-nama para pendukung film ”Perempuan Punya Cerita”. c. Struktur Mikro Struktur yang paling rendah tingkatannya yaitu struktur mikro. Struktur mikro di dalamnya terdiri dari sintaksis, stilistik dan retoristik. Pada struktur mikro akan dijumpai pemakaian kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa, film ”Perempuan Punya Cerita” merupakan film tentang perempuan, lebih tepatnya mengenai permasalahan yang dialami oleh perempuan. Dalam skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, antara bagian teks dilihat saling mendukung dan mengandung arti yang koheren satu sama lain. Makna global (tematik) dari teks skenario film ”Perempuan Punya Cerita” didukung oleh kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai oleh penulis skenario. Kata-kata yang dipakai, memiliki pemilihan kata yang menggambarkan bahwa perempuan dalam

119

film ”Perempuan Punya Cerita” tentang keadaan perempuan Indonesia yang tertindas. Melalui teks skenario, kita tidak hanya mengetahui isi dari suatu teks skenario tersebut. Melainkan kita dapat mengetahui bagaimana penulis skenario film ”Perempuan Punya Cerita” mengungkapkan peristiwa ke dalam bahasa atau retorika tertentu, serta mengetahui pesan apa yang hendak disampaikan oleh penulis.

2. Dari Segi Kognisi Sosial Selain analisis teks, yang terdapat dalam dialog film ”Perempuan Punya Cerita” , dilakukan penelitian atas kesadaran mental penulis skenario dalam memandang masalah perempuan. Bagaimana kepercayaan, pengetahuan dan prasangka penulis skenario terhadap masalah yang menimpa perempuan. Penulis skenario film ”Perempuan Punya Cerita” memandang bahwa perempuan di Indonesia ternyata memiliki masalah yang cukup kompleks dan masih banyak pihak yang belum memperhatikan atau peka terhadap masalah perempuan.

Misalnya seperti pelayanan kesehatan reproduksi perempuan,

pemerintah belum sepenuhnya bertanggung jawab mengenai persoalan tersebut, karena di pelosok daerah pelayanan kesehatan masih sangat minim dan terbatas. Begitu pun masalah kekerasan terhadap perempuan yang masih belum mendapat tindakan tegas terhadap pelakunya. Penulis skenario dan sutradara film ”Perempuan Punya Cerita” berharap ada perubahan setelah dibuatnya film ini.

120

3. Dari Segi Konteks Sosial Dalam konteks sosial, titik penting dari analisis ini adalah, bagaimana makna dihayati bersama. Sesuai dengan film ”Perempuan Punya Cerita”, yang mengetemakan kisah tentang permasalahan perempuan. Dalam konteks realitas yang berkembang di masyarakat, melalui survei, artikel dan pemberitaan yang terdapat di koran dan televisi, penulis menyimpulkan bahwa, realita sosial yang terjadi di masyarakat mengenai perempuan, yaitu banyaknya perempuan di Indonesia yang telah banyak menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, woman trafficking. Bahkan masalah ini selalu meningkat setiap tahunnya.

B. Saran dan Rekomendasi Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian penulis terhadap skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, penulis ingin memberikan saran serta rekomendasi. Di antaranya: 1. Semoga dengan adanya film ini, bisa memberikan pesan yang mendalam kepada kita tentang permasalahan perempuan di Indonesia. 2. Film ”Perempuan Punya Cerita’ merupakan film tentang realita perempuan, diharapkan agar lebih banyak lagi film yang mengangkat tema realitas sosial masyarakat, guna memperlihatkan kepada khalayak adanya sisi lain kehidupan. 3. Tayangan film “Perempuan Punya Cerita” ini merupakan salah satu karya

anak

negeri

yang

berkualitas,

dengan

dibuktikannya

penghargaan yang didapat dari film tersebut. Semoga film Indonesia, dapat terus memberikan film yang berkualitas yang tidak hanya

121

menghibur penontonnya, tetapi juga penontonnya, bahkan jika

memberikan edukasi bagi

perlu dapat memberikan

perubahan

penonton ke arah kehidupan yang lebih baik. 4. Film ”Perempuan Punya Cerita” merupakan film tentang perempuan, oleh karena itu, film ini bisa dijadikan bahan acuan diskusi tentang isuisu perempuan Indonesia. 5. Semoga ada penyelesaian untuk masalah ini. Karena penyelesaian masalah ini harus dipecahkan dengan sinergi dan integrasi dari semua komponen pemerintah dan masyarakat. Setiap orang, laki-laki dan perempuan

di

Indonesia

harus

melakukan

sesuatu

untuk

menyumbangkan pikiran dan karya pada penyelesaian masalah ini. Hanya dengan kesadaran dan usaha itu maka setahap demi setahap permasalahan itu bisa diselesaikan. 6. Semoga penelitian ini, dapat memberikan kontribusi dan dorongan untuk terus mengkaji dan menelaah pesan apa yang terkandung dalam sebuah film.

DAFTAR PUSTAKA

Albar, Muhammad. Wanita Karir dalam Pertimbangan Islam: Kodrat Wanita, Emansipasi dan Pelecehan Seksual. Jakarta: Pustaka Azam, 1994. Aripurnami,Sita, ed. Perempuan Yang Menuntun: Sosok Perempuan dalam Film Indonesia. Jakarta: Ashoka Indonesia, 2000. Ardianto, Elvinaro. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004. Birowo, M, Antonious, ed. Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi: Yogyakarta: Gitanyali, 2006. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007. Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1989. Chaidir. Festival Film Indonesia. Jakarta: FFI, 1983. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditia Bakti, 2003. Endarmoko, Eko. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2006. Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2008. Hasyim, Syafiq. Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuan dalam Islam. Bandung: Mizan Media Utama, 2001. Irwanto, Budi. Film, Ideologi, Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Aksara, 2005. Ishak, Zainuddin. dkk. Penelitian Apresiasi Masyarakat Terhadap Film Nasional. Jakarta: Dep. Penerangan R.I., 1986. Jamil, Asriati dan Lubis, Amani. dkk. Pengantar Kajian Gender: Seks dan Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan McGill-ICIHEP, 2003. Katjasungkana, Nursyahbani. Membincangkan Feminisme: Tinjauan Hukum Atas Masalah Kekeorasan Terhadap Perempuan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

117

Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Pengantar Burhan Bungin. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. McBride, Sean. Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa depan: Aneka Suara dan satu dimensi. Jakarta: PN Balai Pustaka, UNESCO, 1983. McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1987. Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 2003. Omas Irhomi, Tapi. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung, IKAPI, 2002. Parera, ID. Teori Semantik Erlangga. Jakarta: Erlangga, 2004. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif . Yogyakarta: LKiS, 2007. Prakoso, Gatot. Film Pinggiran Antologi Film Pendek, Eksperimental dan Dokumenter. Jakarta: Fatwa Press, 1997. Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008. Rakhmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985. Rani, Abdul. Analisis Wacana Sebuah Kajian. Malang: Bayu Media, 2004. Ryanto,Tony. Film Indonesia Sudah Tumbuh. Jakarta: Pintar Press, Persatuan Perusahaan Film Indonesia, 2007. Siagian, Gayus. Menilai Film. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2006. Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Soetarto. Sejarah Perfilman Nasional. Jakarta: LKBN Antara, 1976. Surahmad,Winarto. Dasar-Dasar Teknik Penelitian. Bandung: CV. Tarsita, 1989. Tarigan, Guntur Hery. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa, 1984. William. dkk. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jurnal Perempuan, Perempuan dan Media. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003.

118

”Ada Apa Dengan Film Indonesia.” Artikel diakses pada 12 Februari 2009 dari http://www.kabar indonesia.com/index.php/2009/1155/2091.0-wome.html “Analisis Wacana Petra.” Artikel diakses pada 20 Desember 2008 dari http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007/ “Blog UPI: Perempuan Punya Cerita.” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kapanlagi.com/2009/p34s2. htm ”Forum Dudung.” Artikel diakses pada 5 Desember 2008 dari http://www.forumdudung.net/index.php/2008/1205/2191.0-wome.html “Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat Dua Kali Lipat.” Artikel diakses pada Selasa, 28 April 2009 dari http:// www.kompas.com/2009/htm ”Kisah Perempuan Vivian Idris.” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kompas.com/2009/1100/ htm “Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.” Artikel diakses pada Selasa, 28 April 2009 dari http://www.kolompakar.com/2009/p1.htm “Mari

Membuat Film” Artikel diakses pada http://dibaliklayarworkshoppenulisan.html

18

Mei

2009

dari

”Melisa Karim: Siapa Bilang Kita Patrikal?” Artikel diakses pada 11, Februari, 2009 dari http://www.mediasatu.com/2008/php/htm ”Perempuan Punya Cerita.” Artikel diakses pada 5 Desember 2008 http://www.kalyanashirafilms.com/2008/1205/p02s3-wome.html

dari

“Skenario Tiga Babak” Artikel diakses pada 18 Mei 2009 dari http:// indiesof.org /jiunkpe/s1/ikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009/ “Upi Avianto Kaget Melihat Hasil Survei Teks Remaja Jogja.” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kapanlagi.com/2009/p34s2. htm “Vivian Idris dari Buku ke Film.” Artikel diakses pada 12 Maret 2009 dari http://www. KurniaEffendiblogspot.com 2008/p0-wome.html “Wawancara Nia Dinata.” Artikel diakses pada Rabu, 11 Maret 2009 dari http://www.kapanlagi.com/2009/p34s2. htm Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara

pribadi dengan Vivian Idris, Jakarta, 19 Februari 2009. pribadi dengan Lasja Fauzia, Jakarta 1 April 2009. pribadi dengan Melissa Karim, Jakarta, 27 Februari 2009. pribadi dengan Yanti Apri;iani, Jakarta 6 Juli 2009.

119

120