Implementasi Manajemen Pendidikan Pada Dinas ... - Jurnal Falasifa

41 downloads 298 Views 268KB Size Report
M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan. Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. 1. Implementasi Manajemen ...
M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

Implementasi Manajemen Pendidikan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah Oleh: M. Nafiur Rofiq1 Abstrak Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan tentang kejelasan tujuan (clair voyance) input manajemen, implementasi manajemen SDM, implementasi manajemen sarana dan prasarana, implementasi manajemen program kerja, kemandirian (otonomi) manajemen, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas) manajemen pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di era otonomi daerah. Kesimpulan hasil tulisan ini: (1) secara umum menajemen pendidikan di era otonomi daerah telah mempunyai kejelasan tujuan (Clair Voyance) input manajemen yang mencakup visi dan misi, tujuan dan sasaran, potensi SDM, dana/anggaran, serta sarana dan prasarana.; (2) implementasi manajemen dilakukan melalui tiga aktivitas yaitu manajemen keorganisasian dan kepegawaian, peningkatan keterampilan dan kecakapan pegawai, dan hubungan sosial antara sesama pegawai dan masyarakat.; (3) kegiatan manajemen sarana dan prasarana telah berjalan dengan baik. (4) kegiatan manajemen program kerja telah dinilai oleh responden internal dan eksternal; (5) otonomi manajemen telah dilakukan dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan pernyataan responden internal dan eksternal (6) akuntabilitas manajemen telah dinilai oleh responden internal dan eksternal. Key Word : Manajemen, Pendidikan, Otonomi Daerah A. Pendahuluan Salah satu faktor penting yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya suatu praktik pendidikan adalah faktor manajemen, karena manajemen di dalamnya merupakan suatu proses untuk mengintegrasikan sumber daya (orang, alat, media, bahan-bahan, uang, dan sarana) yang tidak berhubungan menjadi suatu sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan. 2 Hal penting lainnya adalah faktor konteks atau keadaan suatu negara dan masyarakat tempat di mana pendidikan itu berlangsung. Sekalipun 1

Adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember. 2 Johnson, R.A., Kast, F.E., & Rosenzweig, James E. (1973). The theory and management of systems. Washington: McGraw-Hill Kogakusha, LTD, hlm. 15. 1

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

manajemennya berkualitas, akan tetapi jika intervensi negara (pemerintah) sangat kuat dan berlebihan, ditambah lagi dengan sikap masyarakat yang apatis, maka fungsi manajemen tersebut dalam pendidikan menjadi kehilangan ruh/makna substansinya. Seperti implementasi pendidikan Indonesia yang selama ini banyak diwarnai dengan pendekatan sarwa negara, di masa yang akan datang sudah harus berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting costumer first).3 Sebab jika tidak, maka praktik pendidikan seperti itu sama halnya dengan membatasi peran dan potensi daerah serta kurang memperhatikan makna pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengembangkan ide-ide kreatif tentang pendidikan. Karena pada kenyataannya upaya untuk mengembangkan pendidikan di daerah selama ini masih sering terhambat oleh urusan birokrasi yang terlalu panjang. Sehingga perkembangan pendidikan di Indonesia selama ini menjadi stagnan (berjalan di tempat), sehingga tertinggal dengan negara-negara ASEAN lain yang sebelumnya justru banyak belajar di Indonesia tentang penyelenggaraan pendidikan. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan implementasi manajemen pendidikan nasional di Indonesia selama ini, yaitu: pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilaksanakan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur (mata rantai) yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Ketiga, terbatasnya peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Pola lama manajemen pendidikan tersebut sudah saatnya diubah menjadi pola baru manajemen pendidikan yang lebih sesuai dengan semangat kebijakan otonomi daerah. Hal-hal berikut ini merupakan cermin dari perubahan pola lama menjadi pola baru dalam pendidikan, yaitu: Subordinasi menjadi otonomi, pengambilan keputusan terpusat menjadi pengambilan keputusan partisipatif, ruang gerak kaku menjadi ruang gerak luwes, pendekatan birokratik menjadi pendekatan profesional, sentralistik menjadi desentralistik, diatur menjadi motivasi diri, overregulasi menjadi deregulasi, mengontrol menjadi mempengaruhi, mengarahkan menjadi memfasilitasi, menghindari resiko menjadi mengelola resiko, gunakan uang 3

Miftah Thoha. (1999) Desentralisasi pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 017, 1-7, hal. 4. 2

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

semuanya menjadi gunakan uang seefisien mungkin, individual yang cerdas menjadi teamwork yang cerdas, informasi terpribadi menjadi informasi terbagi, pendelegasian menjadi pemberdayaan, organisasi herarkhis menjadi organisasi datar.4 Berawal dari ditetapkannya dua paket undang-undang otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999) yang kemudian disusul dengan ditetapkannya dua paket lagi undang-undang otonomi baru sebagai penggantinya (UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004) sebagai landasan hukum pelaksanaan otonomi daerah, maka sektor pendidikan di Indonesia tampaknya telah mendapat angin segar, sebab sektor penyelenggaraan pendidikan di daerah ternyata menjadi salah satu dari enam belas bidang pemerintahan yang wajib dikelola (secara otonom) dan telah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota (Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 32 tahun 2004), sehingga implementasi manajemen pendidikan pada era otonomi saat ini diharapkan lebih memiliki nuansa demkokratis serta kemandirian yang memberi peluang seluas-luasnya bagi peran serta dan partisipasi masyarakat. Manajemen pendidikan di era otonomi saat ini diharapkan tidak lagi menggunakan paradigma manajemen sentralistik, akan tetapi sebaliknya menerapkan paradigma manajemen desentralistik sesuai undang-undang otonomi daerah. B. Pengertian dan Fungsi Manajemen Manajemen berasal dari kata dalam bahasa inggris, yaitu : to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Kemudian menjadi istilah management yang artinya : ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan. Dalam bukunya “Principles of Management”, George R. Terry (1977) mendefinisikan : Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human beings and other resources.5 Hal senada dikemukakan oleh Ritha F. Dalimunthe menyatakan bahwa manajemen merupakan kerjasama dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuantujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengoranisasian (organizing), pengarahan (actuating) dan

4

Slamet. PH. (2000). Manajemen berbasis sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pelaksanaan dan Implikasi Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan, di FKIP-UKSW Salatiga, hal. 7. 5 Terry, George R. (1977). Principles of management. Ontario: Richard D. Irwin, Inc, hal. 4. 3

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

pengawasan (controlling). 6 Pandangan yang lebih bersifat umum tentang pengertian manajemen adalah ―management is the process whereby this unrelated resources are integrated into a total system for objective accomplishment”.7 Sedangkan Davis and Filley membedakan manajemen sebagai peranan dan manajemen sebagai tugas. Manajemen sebagai tugas ialah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dan salah satu manajemen sebagai peranan yaitu peranan administrasi eksekutif. Peranan eksekutif ialah mengerjakan atau melaksanakan keputusan pada tingkat tertinggi.8 fungsi manajemen adalah ― 1) Planning, 2) organizing, 3) staffing, 4) direction, 5) control, 6) innovation, dan 7) representation”. 9 Bateman, Thomas S. juga menambahkan tentang fungsi manajemen adalah 1) planning, 2) Organizing and staffing, 3) leading, and 4) controlling.10 C. Desentralisasi Pendidikan Dalam konteks otonomi daerah, maka daerah otonom kabupaten/kota telah ditetapkan sebagai basis pengelolaan pendidikan. Sehingga dibentuklah satu unit organisasi pelaksana yang disebut dengan Dinas Pendidikan kabupaten/kota yang memiliki kewenangan untuk mengelola seluruh pelaksanaan pendidikan tingkat dasar dan menengah di daerah dengan dibantu oleh beberapa sub-unit yang jumlahnya tergantung pada banyaknya beban rentang kontrol yang harus ditangani oleh unit organisasi Dinas Pendidikan kabupaten/kota tersebut. Istilah desentralisasi mengandung makna “this process of delegating power from higher to lower levels within organizations”.11 Melalui desentralisasi, segala keputusan yang dibuat di dalam tubuh organisasi didelegasikan kepada bawahan. 12 Sementara itu Jose Endriga (Verania Andriga & Yulia Indrawati Sari) memberi makna desentralisasi sebagai 6

Ritha F. Dalimunthe. (2005). Sejarah perkembangan manajemen. Diambil pada tanggal 20 Maret 2005 dari http://library.usu.ac.id/download/fe/manajemen_ritha4/pdf, hal. 2. 7 Johnson, R.A., Kast, F.E., & Rosenzweig, James E. (1973). The theory and management of systems. Washington: McGraw-Hill Kogakusha, LTD, hal. 15. 8 Davis, Ralp Currier, & Filley Alan C. (1976). Principles of management. New York: Alexander Hamilton Institut, hal. 2. 9 Dale, Ernest. (1978). Management: theory and practice. Pennsilvania: McGraw-Hill, Inc, hal. 4-8. 10 Bateman, Thomas S. (1990). Management: function and strategy. USA: Richard D. Irwin, Inc, hal. 18-21. 11 Greenberg, J. & baron, R.A (1995). Behavior in organizations understanding and managing the human side of work . London: Prentice-Hall, hal. 585. 12 Daniel, T. D., & Spiker, B. K. (1994). Perspectives on organizational communication. Madison, Wisconsin: Brown & Benchmark, hal. 65. 4

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

“systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi-sectoral decision making as close as possible to problem area”. 13 Adapun berkaitan dengan pelaksanaan manajemen pendidikan, otonomi daerah dibidang pendidikan itu menganut tiga asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind). 14 Sedangkan Tujuan desentralisasi pendidikan adalah “the goal is to make schools more responsive to the needs of students”. 15 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ayat 2 pasal 11 menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan dan kebudayaan diserahkan kepada pemerintah daerah, dan ayat 1 pasal 8 menyatakan bahwa penyerahan kewenangan tersebut harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Kewenangan tersebut jika diterjemahkan dalam bentuk kegiatan manajemen pada tingkat institusi Dinas Pendidikan yang ada di daerah otonom kabupaten/kota, maka akan menjadi tiga aspek manajemen yang saling berkaitan, yaitu; manajemen pembiayaan, sarana prasarana, dan sumber daya manusia yang berlangsung dalam suatu proses penyelenggaraan pendidikan di daerah kabupaten/kota. D. Gambaran Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah 1. Clair Voyance (Kejelasan Tujuan) Manajemen Berdasarkan data hasil angket, wawancara, observasi dan dokumentasi terhadap subjek penelitian, baik subjek internal maupun subjek eksternal, telah diketahui sejauh mana kejelasan tujuan (clair voyance) input manajemen organisasi dalam usaha menjalankan tugas penyelenggaraan pendidikan dalam rangka otonomi daerah. Clair voyance sebagai input manajemen organisasi –untuk sekedar menjadi contoh—Dinas Pendidikan kota Surabaya ini dapat dilihat dalam bentuk rumusan konseptual dan berbagai perangkat non-konseptual yang keberadaannya sangat mendukung terwujudnya rumusan konseptual tersebut dalam realisasi rencana kegiatan dan rencana kerja di lapangan. a.

Kejelasan Visi dan Misi Berdasarkan hasil angket dari subjek internal, secara umum Manajemen pendidikan di Surabaya telah mempunyai

13

Verania Andriga & Yulia Indrawati Sari. (2000). Lampu kuning desentralisasi. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA, 1, iii-vi. 14 Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adicita Karyanusa. Edisi pertama. Cet 1, hal. 304. 15 Dornseif, Allan. (1996). Pocket guide to school based management. Virginia: ASCD, hal. 9. 5

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

visi dan misi yang jelas. Hal ini ditunjukkan dengan 81,1% responden merespon baik terhadap kejelasan visi dan 85,56% responden merespon baik terhadap kejelasan misi. Namun demikian, dalam indikator kejelasan visi terdapat 2 aspek yang perlu mendapatkan perhatian yaitu keterlibatan unsur masyarakat dalam merumuskan visi manajemen pendidikan di Surabaya. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan hasil angket hanya 73,3% responden memberikan respon positif terhadap aspek tersebut dan pemahaman warga dinas pendidikan dan masyarakat terhadap visi dinas pendidikan sebanyak 73,3% responden merespon positif. Dua skor tersebut merupakan persentase terendah diantara rata-rata persentase indikator secara umum. Sementara itu berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal, secara umum skor yang didapat untuk aspek kejelasan visi dan misi Dinas Pendidikan masing-masing adalah 70% dan 76,67%. Secara keseluruhan jika dipadukan antara perolehan skor visi dan misi pada subjek internal dengan perolehan skor visi dan misi pada subjek eksternal, maka akan didapat skor rata-rata untuk visi 75,55% dan untuk misi 81,11%. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kejelasan visi dan misi Manajemen Pendidikan di Surabaya dapat dikategorikan baik. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa pada aspek misi dari subjek eksternal terdapat satu indikator yang skornya sangat rendah, yaitu keterlibatan unsur masyarakat dalam merumuskan misi Manajemen Pendidikan hanya direspon 40% oleh responden. Hal ini mengindikasikan bahwa Manajemen Pendidikan dalam implementasi manajemen pendidikan masih belum melibatkan masyarakat secara optimal sebagaimana prinsip-prinsip otonomi. b.

6

Kejelasan Tujuan dan Sasaran Berdasarkan hasil angket, wawancara, dan observasi, secara umum Manajemen Pendidikan di Surabaya telah mempunyai tujuan dan sasaran yang cukup jelas. Hal ini dibuktikan dengan 80,01% responden dari subjek internal merespon baik terhadap kejelasan tujuan dan 79,34% responden dari subjek internal juga merespon baik terhadap kejelasan sasaran. Berdasarkan data angket dari subjek eksternal telah diperoleh skor 77,5% untuk kejelasan tujuan dan 74% untuk kejelasan sasaran. Jika dipadukan antara perolehan skor tujuan dan sasaran dari subjek internal dengan perolehan skor tujuan dan sasaran dari subjek eksternal, maka didapatkan skor rata-rata sebesar 78,75 untuk kejelasan tujuan dan 76,67% untuk kejelasan sasaran. Namun demikian, aspek keterlibatan masyarakat dalam merumuskan tujuan

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

Manajemen Pendidikan berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal masih perlu ditingkatkan, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya persentase responden yang memberikan respon pada indikator tersebut, yaitu hanya 60%. c.

Potensi SDM dan Anggaran Pendidikan Berdasarkan hasil angket, wawancara, dan observasi pada subjek internal, secara umum kejelasan potensi SDM dan Dana Dinas Pendidikan Kota Surabaya masih memerlukan pembenahan yang lebih baik. Kondisi ini ditunjukkan dengan 71,1% responden memberikan respon cukup baik terhadap kejelasan potensi SDM dan 71,2% responden telah memberikan respon cukup baik terhadap kejelasan Anggaran Pendidikan di Surabaya. Untuk dapat meningkatkan kejelasan kedua aspek tersebut, pemerintah perlu melakukan usahausaha meningkatkan karir, kualitas kerja, dan profesionalisme SDM (73,3% responden memberikan respon baik) serta melakukan optimalisasi dan efisiensi penggunaan dana dalam melaksanakan program kerja (66,7% responden memberikan respon baik). Berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal, diperoleh skor 73,33% responden yang memberikan jawaban terhadap aspek kejelasan potensi SDM, dan 75% responden telah memberikan jawaban terhadap aspek kejelasan anggaran Pendidikan di Surabaya. Jika perolehan skor pada subjek internal untuk aspek kejelasan potensi SDM dan kejelasan anggaran dipadukan dengan perolehan skor dari subjek eksternal untuk dua aspek yang sama, maka telah diperoleh rata-rata skor untuk kedua aspek tersebut masing-masing 72,21% untuk kejelasan potensi SDM, dan 73,33% untuk kejelasan anggaran Pendidikan di Surabaya. Perolehan ratarata skor tersebut termasuk dalam kategori cukup baik.

d.

Sarana dan Prasarana Berdasarkan hasil angket, wawancara, dan observasi baik kepada subjek internal maupun subjek eksternal, secara umum Manajemen Pendidikan di Surabaya telah mempunyai sarana dan prasarana yang cukup jelas. Hal ini ditunjukkan dengan 72,2% responden subjek internal telah merespon baik terhadap kejelasan sarana dan prasarana dan 70% responden subjek eksternal telah merespon cukup jelas. Namun demikian, dalam indikator kejelasan sarana dan prasarana terdapat satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian yaitu ketersediaan alat teknologi, sarana informasi dan alat komunikasi yang mendukung kelancaran pengelolaan program kerja. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan hasil angket baik dari subjek internal maupun subjek eksternal telah diperoleh hanya 60% 7

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

responden yang memberikan respon positif terhadap aspek tersebut. Kondisi ini merupakan tugas sekaligus tantangan bagi Manajemen Pendidikan dalam hal penyediaan teknologi informasi yang mengikuti perkembangan jaman. Secara keseluruhan, skor yang dicapai komponen clair voyance adalah 77,28% untuk hasil angket dari subjek internal dan 73,78% hasil angket dari subjek eksternal. Jika dipadukan antara keduanya, maka diperoleh skor rata-rata untuk keseluruhan komponen clair voyance sebesar 75,53%. Persentase ini termasuk dalam kategori baik, artinya Manajemen Pendidikan telah memiliki clair voyance input manajemen pendidikan yang jelas. 2.

Manajemen SDM Berdasarkan hasil angket, wawancara, dan observasi, kegiatan manajemen SDM Dinas Pendidikan dilakukan dalam tiga hal yaitu manajemen keorganisasian kepegawaian Dinas Pendidikan, manajemen peningkatan keterampilan dan kecakapan pegawai, manajemen hubungan sosial antara sesama pegawai dan antara pegawai dengan masyarakat. a. Manajemen peningkatan keterampilan dan kecakapan pegawai Kota Surabaya dilakukan melalui keikutsertaan pegawai dalam kegiatan seminar, pelatihan, atau workshop. Berdasarkan data angket dari sumber internal diketahui 73,3% responden memberikan respon baik pada indikator tersebut. Pengarahan dari atasan tentang tugas kerja yang diberikan pada pegawai mendapat skor 86,7%, kegiatan diskusi antar pegawai dalam rangka sharing pengetahuan tentang tugas kerja (73,3%) dan keterlibatan pegawai secara langsung dalam masyarakat dalam upaya peningkatan keterampilan kerja sesuai kebutuhan masyarakat (66,7%).. Data hasil angket dari subjek eksternal menunjukkan bahwa upaya Dinas Pendidikan kota Surabaya dalam upaya meningkatkan keterampilan dan kecakapan pegawai dalam kondisi cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan 70% responden memberikan respon positif terhadap keseluruhan aspek tersebut, sedangkan data angket dari subjek internal telah diperoleh skor 75% terhadap keseluruhan aspek tersebut. Jika dipadukan antara skor hasil angket internal dengan hasil angket eksternal, maka diperoleh skor rata-rata 72,5%. Akumulasi dari total skor ini berada pada kriteria cukup baik untuk upaya peningkatan keterampilan dan kecakapan pegawai Dinas Pendidikan kota Surabaya. b. Manajemen hubungan sosial antara sesama pegawai dan pegawai dengan masyarakat Kota Surabaya dilakukan melalui pengagendaan acara Dinas yang melibatkan semua pegawai (80% responden memberikan respon baik), pengadendaan liburan bersama yang diikuti semua karyawan (86,7% 8

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

responden memberikan respon baik), keberadaan pertemuanpertemuan rutin yang diikuti seluruh pegawai untuk membahas permasalahan terkait hubungan kerja antar pegawai (73,3% responden memberikan respon baik), dan keterlibatan seluruh pegawai dalam kegiatan yang melibatkan masyarakat (73,3% responden memberikan respon baik). Besarnya persentase responden yang memberikan respon baik terhadap setiap aspek dalam manajemen hubungan sosial antara sesama pegawai dan masyarakat ini mengindikasikan bahwa Dinas Pendidikan Kota Surabaya menempatkan hubungan sosial sebagai bagian terpenting untuk menciptakan etos kerja yang baik. Secara keseluruhan aspek manajemen hubungan sosial antara sesama pegawai dan masyarakat secara keseluruhan subjek internal memberikan respon 78,33%, sedangkan hasil angket dari subjek eksternal secara keseluruhan adalah 75%. Selanjutnya jika perolehan skor keduanya dipadukan, maka telah didapatkan skor rata-rata untuk keseluruhan aspek tersebut sebesar 76,66%. Akumulasi total skor tersebut berada dalam kategori baik untuk manajemen hubungan sosial antara sesama pegawai dan antara pegawai dengan masyarakat. 3.

Manajemen Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui angket, wawancara, dan observasi dari subjek internal, manajemen sarana dan prasarana di kota Surabaya sudah baik. Hal tersebut, ditunjukkan dengan 85,72% responden yang memberikan respon baik terhadap manajemen tersebut. Namun demikian, ada dua hal yang masih perlu dibenahi yaitu perawatan sarana dan prasarana secara berkala (73,3% responden memberikan respon baik terhadap aspek tersebut) dan melaksanakan penyingkiran sarana dan prasarana yang sudah tidak terpakai dengan cara lelang/menghibahkan kepada orang lain/membakar/penyingkiran disaksikan oleh atasan (80% responden memberikan respon baik terhadap aspek tersebut). Lebih rendahnya persentase respon positif kedua aspek ini jika dibandingan dengan rata-rata respon positif secara keseluruhan dikarenakan ada beberapa responden yang tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan pengadaan dan pemeliharaan atau perawatan sarana dan prasarana tersebut, jadi mereka kurang mengetahui secara pasti kedua hal tersebut. Adapun hasil angket dari subjek eksternal menunjukkan bahwa skor keseluruhan untuk aspek manajemen sarana dan prasarana Dinas Pendidikan adalah 77,14%. Setelah perolehan skor dari subjek internal dipadukan dengan perolehan skor dari subjek eksternal, maka diperoleh skor rata-rata untuk komponen manajemen sarana dan prasarana Pendidikan kota Surabaya sebesar 81,43%.

9

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

4.

Manajemen Program Kerja Berdasarkan hasil angket dari subjek internal, secara keseluruhan responden telah memberikan respon positif 80,64% pada komponen manajemen program kerja Pendidikan kota Surabaya. Adapun hasil angket dari subjek eksternal telah diperoleh respon positif 74,08% untuk komponen tersebut. Akumulasi total skor hasil angket dari kedua subjek tersebut adalah 77,36%. Dengan demikian, secara umum manajemen program kerja Dinas Pendidikan kota Surabaya telah baik. Adapun hasil persentase untuk masing-masing aspek dalam komponen manajemen program kerja Pendidikan kota Surabaya dapat ditelaah pada paparan berikut. a.

10

Rancangan Program Kerja Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, Manajemen Pendidikan di era otonomi daerah mempunyai rencana 86 kegiatan, yang terangkum dalam 2 kebijakan yaitu Peningkatan Pelayanan Pendidikan Sekolah dan luar sekolah yang ditunjang dengan Program Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Program Peningkatan Akses Pemerataan serta Kebijakan Peningkatan Sarana dan Prasarana Pendidikan. Sejumlah program kerja tersebut dipandang telah mengakomodir keperluan masyarakat luas yang terlibat dalam proses pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa Manajemen Pendidikan telah mempunyai perencanaan yang matang terkait dengan perencanaan program kerja. Kesimpulan ini diperkuat pula oleh hasil angket yang mengungkapkan bahwa 84% responden dari subjek internal telah memberikan respon positif terhadap setiap indikator dalam aspek tersebut. Namun demikian, persentase respon positif untuk dua indikator keterlibatan DPD/masyarakat dalam menyusun program kerja dinas pendidikan hanya direspon sebesar 73,3% dan aspek ini masih harus ditingkatkan lagi. Lebih rendahnya persentase ini bila dibandingkan dengan rata-rata respon positif secara keseluruhan disinyalir karena ada beberapa responden yang tidak mengetahui keterlibatan DPD/Masyarakat dalam penyusunan program kerja. Di samping itu, tidak semua program kerja dalam Manajemen Pendidikan di Surabaya perlu melibatkan masyarakat luas, misalnya program-program yang berhubungan dengan keperluan internal Manajemen. Berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal diketahui bahwa aspek rancangan program kerja dalam komponen manajemen program kerja ini mendapat secara keseluruhan mendapat skor 76%.

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

b.

c.

Kualitas dan Kuantitas Isi Program Kerja Dinas Pendidikan Berdasarkan hasil angket dari subjek internal secara umum kualitas dan kuantitas isi program kerja Pendidikan Kota Surabaya baik. Hal ini ditunjukkan dengan 81,67% responden yang memberikan respon baik terhadap indikator yang ada dalam aspek tersebut. Tingginya persentase ini merupakan akibat dari perencanaan program kerja yang telah memperhatikan berbagai pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pendidikan. Adapun munculnya persentase respon positif 80% untuk dua indikator tingkat kemudahan dan keterukuran isi program kerja dinas pendidikan dan jumlah program kerja sesuai dengan tingkat kemampuan realisasinya berhubungan erat dengan kondisi psikologis berupa rasa kurang percaya diri dan isi program kerja memuat pembagian tugas dan wewenang yang jelas. Namun, persentase 80% ini sesungguhnya merupakan persentase yang cukup untuk memberikan kesimpulan bahwa kualitas dan kuantitas isi program kerja Manajemen Pendidikan di era otonomi daerah sudah baik. Berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal secara umum kualitas dan kuantitas isi program kerja Manajemen Pendidikan di era otonomi daerah –dalam hal ini Surabaya— dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan 75% responden memberikan respon positif pada aspek tersebut. Jika perolehan skor pada subjel internal pada aspek ini dipadukan dengan perolehan skor dari subjek eksternal, maka diperoleh skor rata-rata sebesar 77,5%. Skor ini menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas isi program kerja Manajemen Pendidikan di era otonomi daerah telah tersusun dan terencana dengan baik. Pelaksanaan Program Kerja Dinas Pendidikan Berdasarkan hasil angket dari subjek internal dapat dilihat bahwa program pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme warga, Dinas Pendidikan hanya direspon 66,7%. Persentase ini berada di bawah rata-rata respon positif secara keseluruhan untuk aspek pelaksanaan program kerja yaitu 81,34%. Lebih rendahnya persentase respon positif pada indikator program pelatihan dikarenakan program pelatihan yang diselenggarakan oleh Manajemen Pendidikan kota Surabaya ini dilakukan secara bergantian, sehingga disinyalir pegawai yang belum mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan memberikan jawaban negatif, hingga menyebabkan persentase respon positif untuk indikator ini berada di bawah rata-rata respon positif aspek pelaksanaan program kerja tersebut secara umum.

11

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

Berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal, diperoleh respon positif terhadap aspek tersebut di atas secara keseluruhan sebesar 72%, sedangkan untuk aspek program pelatihan untuk peningkatan kualitas dan profesionalitas warga mendapat skor lebih rendah dari skor yang diperoleh dari subjek internal, yaitu 60%. Namun demikian jika aspek ini dipadukan antara hasil angket dari subjek internal dengan hasil angket dari subjek eksternal, maka diperoleh skor rata-rata 76,67%. Angka ini berada dalam kategori baik. d.

5.

Strategi Pelaksanaan Program Kerja Berdasarkan hasil angket dari subek internal terlihat persentase respon positif untuk dua indikator yaitu strategi yang disusun sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai (73,3%) serta menyusun draft rencana strategis (renstra) atau rencana kerja (renja) (66,7%) berada di bawah rata-rata persentase respon positif secara keseluruhan yaitu 77,50%. Lebih rendahnya respon positif untuk kedua indikator tersebut disebabkan kurangnya pemahaman tentang strategi dan rencana strategis (renstra) dan rencana kerja (renja). Kurangnya pemahaman ini disinyalir sebagai akibat beberapa responden tidak mengikuti rapat kerja yang membahas kedua indikator tersebut. Berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal terlihat respon positif secara keseluruhan untuk aspek strategi pelaksanaan program kerja adalah 73,33%. Indikator yang mendapat respon terendah adalah terkait dengan strategi yang disusun sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai (60%). Indikator pada aspek strategi pelaksanaan program kerja ini menjadi catatan bagi Dinas Pendidikan kota Surabaya agar dalam menyusun strategi program kerja senantiasa memperhatikan kesesuaian antara tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Akumulasi perolehan hasil angket dari subjek internal dan perolehan hasil angket dari subjek eksternal setelah dipadukan, maka diperoleh skor rata-rata untuk strategi pelaksanaan program kerja secara keseluruhan adalah 75,4%. Persentase ini berada pada kategori baik.

Kemandirian (otonomi) Manajemen Bukan hal yang mudah untuk mengubah suatu kebiasaan dari lembaga yang tergantung kepada lembaga lain yang lebih berkuasa menjadi lembaga yang berdiri sendiri. Hal itulah yang tampak pada hasil angket respon positif untuk aspek kemandirian (otonomi) manajemen Pendidikan Kota Surabaya. Meskipun secara rata-rata persentase hasil angket dari subjek internal untuk aspek ini sebesar direspon 77,34%, persentase yang cukup besar bagi 12

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

pemula, namun tetap Manajemen Pendidikan mempunyai tugas yang cukup berat terutama untuk meningkatkan dua indikator yaitu otonomi untuk melakukan kerjasama dengan pihak manapun (73,3%) dan yang lebih penting lagi adalah meningkatkan unit produksi; seperti koperasi, percetakan, dan lain-lain untuk menambah masukan bagi Manjemen Pendidikan (66,7%). Bagi lembaga yang memulai sistem kerjanya menuju kemandirian, tentulah otonomi untuk melakukan kerjasama dengan pihak manapun tidak akan berjalan 100% seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil angket dari subjek eksternal, secara keseluruhan komponen kemandirian (otonomi) manajemen Pendidikan kota Surabaya telah diperoleh skor 76%. Persentase ini berada dalam kategori baik, namun demikian terdapat satu aspek dalam komponen ini yang mendapatkan skor sangat rendah, yaitu pada aspek apakah Dinas Pendidikan kota Surabaya telah mendapat tekanan (pressure) dari atas maupun dari bawah?, ternyata hanya direspon 40%. Hal ini menunjukkan bahwa di era otonomi ini sudah tidak ada lagi tekanan dari atas maupun dari bawah kepada Dinas Pendidikan kota Surabaya. 6.

Pertanggungjawaban (akuntabilitas) manajemen Jika memperhatikan hasil angket dari subjek internal nampak tidak adanya masalah yang berkaitan dengan pertanggungjawaban Dinas Pendidikan. Rata-rata respon positif untuk setiap indikator pada tabel di atas 91,10%. Tingginya persentase ini merupakan salah satu akibat adanya kesadaran pada pegawai untuk selalu melakukan pertanggungjawaban manajemen yang ditunjang dengan kesadaran yang muncul dari dalam diri pegawai. Hasil angket dari subjek eksternal mengenai komponen pertanggungjawaban telah mendapat skor 66,67%. Skor ini berada dalam kategori cukup bagi Dinas Pendidikan kota Surabaya dalam melaksanakan pertanggungjawaban (akuntabilitas) manajemen. Hal yang perlu diperbaiki dalam komponen ini adalah pada aspek forum penyampaian pertanggungjawaban program dan keuangan yang hanya direspon positif 60% oleh responden, disamping itu juga aspek pertanggungjawaban disampaikan melalui mekanisme rapat, upacara, atau melalui media lain hanya 60%. E. Kesimpulan 1. Secara umum manajemen pendidikan di era otonomi daerah telah mempunyai tujuan yang jelas. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata 77,28% responden dari subjek internal memberikan respon baik terhadap komponen tersebut dan rata-rata 73,78% responden dari subjek eksternal memberikan respon yang cukup.

13

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

2.

3. 4. 5.

6.

14

Implementasi manajemen SDM dilakukan melalui tiga aktivitas yaitu (a) manajemen keorganisasian kepegawaian, (b) manajemen peningkatan keterampilan dan kecakapan pegawai rata-rata persentase respon positif 70%, dan (c) manajemen hubungan sosial antara sesama pegawai dan masyarakat rata-rata persentase respon positif 75%. Kegiatan manajemen sarana dan prasarana Pendidikan telah berjalan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan 77,14 % responden memberikan respon positif. Kegiatan pengelolaan program kerja Pendidikan kota Surabaya telah baik, hal ini dibuktikan dengan 74,08% responden memberikan respon positif. Otonomi manajemen Pendidikan di era otonomi daerah— dalam hal ini—Surabaya telah dilakukan dengan cukup baik, hal ini dibuktikan dengan rata-rata 76% responden memberikan respon positif. Akuntabilitas manajemen Pendidikan di era otonomi daerah—dalam hal ini—Surabaya telah dilakukan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata 91,10% responden internal memberikan respon positif terhadap indikator dalam angket dan rata-rata 66,67% responden eksternal memberikan respon positif.

M. Nafiur Rofiq, Implementasi Manajemen Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Rangka Otonomi Daerah

Daftar Pustaka Bateman, Thomas S. (1990). Management: Function and Strategy. USA: Richard D. Irwin, Inc. Dale, Ernest. (1978). Management: Theory and Practice. Pennsilvania: McGraw-Hill, Inc. Daniel, T. D., & Spiker, B. K. (1994). Perspectives on organizational communication. Madison, Wisconsin: Brown & Benchmark. Davis, Ralp Currier, & Filley Alan C. (1976). Principles of management. New York: Alexander Hamilton Institut. Depdiknas. (2001). Dezentralization on education: Status Report. Jakarta: National Commission on Education. Dornseif, Allan. (1996). Pocket guide to school based management. Virginia: ASCD. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adicita Karyanusa. Edisi pertama. Cet 1. Greenberg, J. & baron, R.A (1995). Behavior in organizations understanding and managing the human side of work . London: Prentice-Hall. Johnson, R.A., Kast, F.E., & Rosenzweig, James E. (1973). The theory and management of systems. Washington: McGrawHill Kogakusha, LTD. Miftah Thoha. (1999) Desentralisasi pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 017, 1-7. Slamet. PH. (2000). Manajemen berbasis sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pelaksanaan dan Implikasi Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan, di FKIP-UKSW Salatiga. Terry, George R. (1977). Principles of management. Ontario: Richard D. Irwin, Inc. Undang-undang otonomi daerah: UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah., UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah., UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara bersih dan bebas darikorupsi, kolusi dan nepotisme. (2002).Yogyakarta: Bintang Cemerlang. Verania Andriga & Yulia Indrawati Sari. (2000). Lampu kuning desentralisasi. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA, 1, iii-vi.

15

JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010

16