IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ...

101 downloads 1113 Views 2MB Size Report
bahasa Indonesia, dan (3) alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi ...... Pengetahuan pragmatik dalam arti praktis (komunikatif) saat.
perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh: PUJI RAHAYU K1207028

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user i

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh:

PUJI RAHAYU K1207028 Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

commit to user ii

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

commit to user iii

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

commit to user iv

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

ABSTRAK

Puji Rahayu. K1207028. IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai (1) wujud tutur bentuk implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, (2) fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan (3) alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan strategi tunggal terpancang. Sumber data dalam penelitian ini adalah peristiwa pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo terfokus pada bahasa dan konteks tuturan. Selain dokumen, sumber data yang lain adalah informan, yaitu wali kelas V dan beberapa siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan observasi, teknik simak catat, perekaman, dan wawancara secara mendalam. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi teori, trianggulasi sumber, triangulasi metode, dan review informan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa banyak ditemukan implikatur percakapan dalam menerapkan prinsip sopan santun antara lain pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, hubungan, cara, maksim gabungan kuantitas dan kualitas, serta maksim gabungan hubungan dan cara. Fungsi dan tujuan penggunaan implikatur percakapan terdiri atas fungsi kompetitif dan tujuan direktif; fungsi menyenangkan dan tujuan ekspresif; dan fungsi menyenangkan dan tujuan komisif. Alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 antara lain: (1) unsur konteks tutur yang berkaitan dengan pengetahuan mitra tutur, (2) penutur dan mitra tutur yang berkaitan dengan mental mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan yang berkaitan dengan tujuan dan keefektifan. Penggunaan implikatur percakapan yang disertai bahasa Jawa mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini terlihat dengan jumlah peserta didik yang dapat menggunakan implikatur percakapan dan bahasa campuran (bahasa Indonesia dan Jawa) saat diwawancarai lebih banyak yaitu empat peserta didik dibandingkan jumlah peserta didik yang mematuhi prinsip kerjasama dan bahasa Indonesia, yaitu sebanyak dua peserta didik.

commit to user v

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

MOTTO

...dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya (QS An Nisa’: 63)

-Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya -Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina -Orang yang menyintai akhirat, dunia pasti menyertainya -Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga (Sayidina Umar bin Khattab)

commit to user vi

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk: 1. Keluargaku tersayang (Bapak, Ibu, Mas Andi, Mbak Jenny, dan Eyang Kakung), terima kasih atas doa dan semangat yang kalian berikan kepadaku. 2. Sahabat ”Kejora” (Ifah, Rini, Lilik dan Rizqi) terimakasih atas setiap warna yang kalian berikan untukku. 3. Dosen

dan

terimakasih

Rekan-rekan kalian

telah

Bastind’07, memberikan

pengalaman yang luar biasa. 4. Guru dan peserta didik SD Negeri Pondok 1 yang penuh pengertian dan senantiasa sabar untuk

menjadi

informan

penelitian. 5. Terima kasih untuk semua 6. Almamater

commit to user vii

dan

sampel

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis. Hanya kepada-Nya kembali segala sanjungan, penulis memohon pertolongan dan ampunan, dan atas ridho-Nya pula sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak pihak yang telah memberikan

bantuan.

Maka

atas

terselesaikannya

skripsi

ini,

penulis

meyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini. 2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini. 3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. selaku pembimbing skripsi I yang senantiasa sabar membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini. 5. Kundharu Saddhono, S.S, M. Hum selaku pembimbing skripsi II yang selalu sabar memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Ibu Munasyiroh selaku Kepala Sekolah SD Negeri Pondok 1 dan para guru serta karyawan SD Negeri Pondok 1 yang senantiasa memberikan informasi dan semangat kepada penulis 7. Peserta didik SD kelas V SD Negeri Pondok 1 yang memberikan pengetahuan baru yang menarik yang dapat membantu penulis dalam mengumpulkan data-data penelitian.

commit to user viii

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

8. Dosen dan rekan mahasiswa Prodi Pendidikan PBS FKIP UNS atas dukungan memberikan informasi yang dapat membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa Indonesia.

Surakarta,

April 2011

Penulis

commit to user ix

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

DAFTAR ISI

JUDUL ......................................................................................................... i PENGAJUAN............................................................................................... ii PERSETUJUAN ........................................................................................... iii PENGESAHAN............................................................................................ iv ABSTRAK ................................................................................................... v MOTTO........................................................................................................ vi PERSEMBAHAN......................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................ x DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv KETERANGAN TANDA............................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian............................................................................ 9 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ............................................................................... 11 1. Hakikat Implikatur Percakapan ................................................. 11 a. Pengertian Implikatur.......................................................... 11 b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan ........................ 14 c. Hakikat Ilokusi ................................................................... 32 d. Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan ................... 36 2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD ...... 50 a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD ....................... 50 b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD ......................................................................... 54

commit to user x

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

B. Penelitian yang Relevan ................................................................. 62 C. Kerangka Berpikir .......................................................................... 65 BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 68 B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................ 68 C. Sumber Data................................................................................... 69 D. Teknik Sampling ............................................................................ 70 E. Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 72 F. Uji Validitas Data ........................................................................... 73 G. Teknik Analisis Data ...................................................................... 74 H. Prosedur Penelitian ......................................................................... 75 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Latar Penelitian............................................................... 76 B. Hasil Penelitian .............................................................................. 77 1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan ......................................... 77 2. Fungsi dan Tujuan Penggunaan Implikatur Percakapan............. 118 3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan .............................. 137 C. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................... 143 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ........................................................................................ 156 B. Implikasi ........................................................................................ 157 C. Saran .............................................................................................. 160 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 162

commit to user xi

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Pembagian Waktu Penelitian ................................................................... 68 2. Daftar Peserta Didik yang Dipilih sebagai Informan ................................ 70 3. Pelanggaran Maksim Kerja Sama dalam Menerapkan Maksim Sopan-santun ............................................................................. 117

commit to user xii

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Analisis Cara-tujuan ........................................................................... 44 2. Alur Analisis Heuristik....................................................................... 45 3. Kerangka Berpikir Penelitian Implikatur Percakapan.......................... 67 4. Model Analisis Interaktif.................................................................... 75

commit to user xiii

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Transkrip Percakapan Pembelajaran 1 .................................. 166 Lampiran 2. Transkrip Percakapan Pembelajaran 2 .................................. 191 Lampiran 3. Transkrip Percakapan Pembelajaran 3 .................................. 219 Lampiran 4. Daftar Informan ................................................................... 244 Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Informan Guru ............................. 245 Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Informan Peserta Didik ................ 251 Lampiran 7. Dokumentasi Wawancara ..................................................... 256 Lampiran 8. Data Peserta Didik Kelas V SDN Pondok 1 .......................... 258 Lampiran 9. Jadwal Mata Pelajaran Kelas V SDN Pondok 1 .................... 259

commit to user xiv

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

KETERANGAN TANDA

MKN

: Maksim Kuantitas

MKL

: Maksim Kualitas

MKH

: Maksim Hubungan

MKC

: Maksim Cara

MK1

: Maksim Kuantitas dan Kualitas

MK2

: Maksim Hubungan dan Cara

MSA

: Maksim Kearifan

MSD

: Maksim Kedermawanan

MSP

: Maksim Pujian

MSK

: Maksim Kerendahan Hati

MSS

: Maksim Kesepakatan

MS1

: Maksim Kearifan dan Pujian

MS2

: Maksim Kearifan dan Kesepakatan

MS3

: Maksim Kedermawanan dan Kerendahan Hati

MS4

: Maksim Kedermawanan dan Kesepakatan

TA

: Tujuan Asertif

TD

: Tujuan Direktif

TK

: Tujuan Komisif

TE

: Tujuan Ekspresif

FK

: Fungsi Kompetitif

FM

: Fungsi Menyenangkan

FB

: Fungsi Bekerjasama

FT

: Fungsi Bertentangan

....

: Tuturan Diperlambat

... ...

: Tuturan Tidak Jelas

( ) Sebelah kanan

: Keadaan atau Nama Penutur

( ) Sebelah Kiri

: Nomor Tuturan

< > Sebelah Kanan

: Kode Maksim, Tujuan dan Fungsi

commit to user xv

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki beragam ciri dan fungsi yang disesuaikan dengan penggunaannya dalam masyarakat. Soeparno (2002: 1) memaparkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda ujaran arbitrer (manasuka) yang konvensional dan bersifat sistemik (terdiri dari subsistem-subsistem) sekaligus sistematik (memiliki kaidah yang teratur). Empat dimensi sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain jarak sosial, status sosial, tingkat keresmian dan fungsinya (Holmes dalam Sarwiji Suwandi, 2008: 98). Sehingga dapat diketahui bahwa pemakaian bahasa sangat dipengaruhi faktor sosial penutur dan mitra tutur saat berkomunikasi. Kajian tentang bahasa sendiri takkan lengkap tanpa mengkaji percakapan yang merupakan bentuk penggunaan bahasa paling umum sekaligus begitu integral dalam pemahamannya. Hal ini membuat penutur secara tidak langsung melakukan kesepakatan dengan mitra tutur dalam memilih ujaran yang akan digunakan atau menyamakan praanggapan terlebih dahulu sehingga komunikasi menjadi lebih efektif meskipun tuturan yang digunakan tidak sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Dengan demikian konsep tuturan dalam suatu komunikasi merupakan tataran yang sederhana, tetapi pembelajaran keterampilan berbahasa sangat dibutuhkan karena menjadi rumit saat dikaitkan dengan masalah pragmatik (cara pemakaian bahasa). Belajar

bahasa

diawali

dengan

memahami

bahasa,

mencoba

menggunakannya, dan mempelajari bahasa saat bahasa tersebut digunakan (Ahmad Rofi’uddin dan Darmayati, 2001: 143). Konsep belajar ini lebih menitikberatkan pelaziman perilaku berbahasa dalam proses belajar mengajar bagi peserta didik sejak tingkat dasar. Dengan kata lain pembelajaran berbahasa lebih mengarahkan agar peserta didik tidak hanya memahami tentang bahasa tetapi juga mampu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sesuai tata krama berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Namun yang lebih menjadi perhatian

commit to user 1

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

2

guru dalam pembelajaran berbahasa adalah seberapa paham peserta didik dengan maksud yang ingin disampaikan guru melalui bahasa pengantar baik dengan bahasa pertama (dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa) maupun bahasa Indonesia. Untuk itu, jika peserta didik tidak dapat memahami maksud penjelasan guru karena materi pelajaran yang baru atau asing bagi peserta didik, maka interaksi pembelajaran hanya akan berjalan searah yaitu dari guru ke peserta didik. Hal ini disebabkan kemampuan siswa untuk menyerap penjelasan guru berbeda-beda. Ada peserta didik yang cepat memahami penjelasan guru, tetapi ada juga yang lambat. Untuk itu, guru memerlukan strategi mengajar yang lebih sesuai karakteristik peserta didik agar interaksi pembelajaran berjalan optimal dan peserta didik benar-benar paham maksud guru. Selain itu, adanya kesempatan yang diberikan guru terhadap peserta didik untuk menyampaikan pemikiran juga menjadi hal penting dalam pembelajaran berbahasa. Sehingga, guru tidak terlalu memegang kontrol serta “power” atas peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dapat diidentifikasikan dari seberapa dominasinya

penyampaian pemikiran

yang berasal dari guru

dibandingkan penyampaian pemikiran-pemikiran dari peserta didik saat pembelajaran sedang berlangsung. Meski tak dapat dipungkiri, peserta didik sekolah dasar masih membutuhkan lebih banyak kontrol serta pengawasan dalam bentuk perintah dari gurunya. Hanya saja adakalanya guru memerlukan kontrol yang lebih halus terhadap perilaku maupun cara berbahasa peserta didik sehingga peserta didik tidak hanya mampu menyampaikan maksud sesuai pertanyaan atau stimulus yang diberikan guru, tetapi juga lebih mampu berkreasi dalam berbahasa untuk bertanya dan mengutarakan hal-hal yang ada dibenaknya tentang topik pembicaraan. Guru merupakan sosok yang menjadi panutan di masyarakat, terutama di sekolah. Segala sesuatu yang dilakukan dan dituturkan guru saat menyampaikan sesuatu hal akan ditiru oleh peserta didik. Peserta didik mempelajari bahasa orang lain dengan meniru cara pengungkapan pemikiran yang didengarnya, terutama apa yang didengar dari gurunya di sekolah. Jalaluddin Rakhmat (2001: 25) mengungkapkan bahwa belajar adalah peniruan (imitation) dan kemampuan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

3

meniru respon orang yang sering dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukannya merupakan penyebab utama belajar. Konsep belajar ini juga menggolongkan ganjaran dan hukuman yang diberikan guru bukanlah faktor penting dalam belajar, melainkan justru merupakan faktor penting dalam melakukan tindakan (performance) berbahasa bagi peserta didik. Sehingga guru dituntut untuk lebih menghargai dengan respon positif terhadap keberanian peserta didik dalam mengungkapkan perasaan dan mengarahkan tanpa mencela peserta didik. Jika terjadi penyimpangan interpretasi maksud guru, hal tersebut merupakan hal yang wajar karena percakapan dalam pembelajaran di kelas melibatkan banyak mitra tutur dengan berbagai latar pengetahuan. Di saat itulah peran guru dalam respon hal tersebut dengan bijak untuk menjelaskan tujuan pembicaraan yang ingin disampaikan justru sangat penting dibanding sekedar menyampaikan materi. Hal ini

karena

suasana

kelas

yang

memberikan

kebebasan peserta

didik

mengungkapkan pikiran/ perasaannya secara terus menerus merupakan hal dasar dalam memaksimalkan kemahiran berbahasa peserta didik. Meskipun bahasa Indonesia secara baku belum memiliki kaidah kesantunan secara pasti, tetapi setidaknya rambu-rambu untuk berkomunikasi secara santun sudah dapat diidentifikasi dengan memperhatikan prinsip kerjasama dan sopan santun. Secara singkat, kompetensi inilah yang seharusnya telah dimiliki guru dan dapat dipraktikkan saat proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dalam masyarakat pedesaan masih dianggap sebagai bahasa kedua setelah bahasa Jawa. Salah satunya dengan menjelaskan materi dengan bahasa Indonesia yang informatif, jujur, relevan dan tidak ambigu. Namun pada kenyataan dalam berkomunikasi guru maupun peserta didik tak jarang sengaja melanggar prinsip percakapan untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur secara implisit atau yang sering disebut implikatur percakapan. Kedua pendapat di atas juga sesuai dengan hasil wawancara dengan kepala SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo (Munasyiroh, S. Pd.). Dikemukakannya bahwa kelas V termasuk kelas tinggi sehingga telah menggunakan bahasa Indonesia yang baik, baku dan mengandung unsur sopan santun. Setiap guru terutama guru yang mengajar di kelas V juga harus

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

4

menggunakan unsur kesopanan dalam berbahasa sebagai contoh konkret/ teladan bagi peserta didik dalam pengaplikasian berbahasa Indonesia yang baik dan benar sekaligus sopan. Salah satu cara berbahasa yang digunakan guru dalam pembelajaran kelas V dapat berupa penyampaian maksud secara langsung atau tidak langsung sesuai kondisi dan tujuan tuturan. Contohnya saat guru ingin menasehati peserta didik cukup diungkapkan dengan menyindir peserta didik agar peserta didik tidak merasa tertekan dan juga dapat belajar menjaga perasaan orang lain yang diajak berbicara. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah sebagai tempat pengajaran bahasa itu berlangsung merupakan wilayah sosial pemakaian bahasa (societal domain) yang mempunyai corak tersendiri. Sekolah merupakan masyarakat tutur (speech community) yang berbeda dengan masyarakat tutur yang lain, lengkap dengan perbedaan penutur (speaker) dan perbendaharaan tuturnya (speech reportoire). Corak khas ini sangat terlihat di sekolah pedesaan, khususnya sekolah di kecamatan Nguter yang pada umumnya merupakan masyarakat bilingual dengan menggunakan lebih dari satu bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia). Efek yang timbul dalam praktik bilingual ini adalah terjadinya peristiwa sentuh atau kontak antarbahasa atau antarvariasi bahasa saat menyampaikan maksud kepada mitra tutur. Dalam peristiwa tersebut sering terjadi adanya saling pengaruh dan pencampuran antara bahasa tutur yang satu dengan bahasa tutur yang lainnya. Akibatnya, dimungkinkan penyimpangan interpretasi maksud yang disampaikan karena perubahan bahasa (resultante) dan membuat bahasa mitra tutur bersifat purposif, yaitu respon yang menggunakan bahasa yang dikuasai dan bahasa lingkungan sekaligus saat mengungkapkan gagasan atau pikirannya secara langsung. Di samping itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar di sekolah dasar merupakan ragam bahasa lisan yang mempunyai maksud tergantung konteks tuturan sehingga dapat melahirkan persepsi yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan komunikasi di kelas, peserta didik harus mampu menangkap maksud dari guru atau sebaliknya, sehingga tidak terjadi “salah persepsi”. Hal ini berarti yang terpenting dalam komunikasi tidak hanya

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

5

bentuk-bentuk bahasa (lokusi), tetapi juga apa yang “terselubung” dalam satu tindak bahasa yaitu apa yang ingin disampaikan oleh seorang penutur kepada mitra tuturnya. Pengetahuan pragmatik dalam arti praktis (komunikatif) saat pembelajaran menjadi hal yang penting dalam pembelajaran berbahasa bahkan sejak tingkat sekolah dasar. Sehingga pengetahuan praktis ini patut diterapkan oleh guru untuk membekali peserta didik dengan keterampilan berbahasa menurut situasi tertentu disamping teori bahasa sebagai landasan. Selain itu, penginterpretasian pesan tambahan dari tindak bahasa (berimplikatur percakapan) tersebut tentu saja memerlukan beberapa prinsip kerjasama dan sopan santun yang harus dipahami penutur dan mitra tutur. Hanya saja penerapan prinsip-prinsip percakapan ini menjadi lebih sulit jika bahasa yang digunakan merupakan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia yang pada dasarnya juga masih dipelajari penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Sifat pembelajaran bahasa kedua (bahasa Indonesia) tentunya akan berbeda dengan sifat pembelajaran bahasa pertama karena sangat dipengaruhi lingkungan dan fungsi pemakaian bahasa tersebut bagi masyarakat tempat peserta didik bertempat tinggal (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 279). Dalam proses belajar mengajar di sekolah dasar, bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar yang seharusnya digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi, tugas atau memberi reaksi terhadap kontribusi yang dilakukan oleh siswa, meskipun bahasa sehari-hari yang digunakan oleh siswa dan guru adalah bahasa Jawa. Tindakan yang dilakukan guru tersebut sebenarnya memiliki tujuan untuk membiasakan peserta didik menggunakan bahasa Indonesia saat berada di dalam lingkup sekolah. Selain itu, tindakan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kelancaran belajar peserta didik di tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi. Namun pada kenyataannya, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi guru dengan peserta didik untuk mempelajari suatu materi ajar justru dapat menjadi momok tuturan yang dianggap menyakiti salah satu pihak tutur karena perbedaan latar belakang pengetahuan. Hal ini juga dapat terjadi pada proses belajar mengajar mata

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

6

pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang tidak terlepas dari penggunaan bahasa pertama (dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa) sebagai bahasa pengantar. Oleh karena itu, tidak jarang guru menggunakan implikatur percakapan yang berwujud bahasa pertama (bahasa Jawa) saat peserta didik dinilai belum dapat memahami kosakata tertentu dalam bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia. Apalagi jika seorang guru lebih menekankan prinsip kesopanan dalam setiap tuturan yang diucapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yaitu berbahasa yang baik dan benar sekaligus sopan. Dengan kata lain, penggunaan bahasa pengantar dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan menimbulkan keragaman wujud tutur, fungsi dan tujuan serta alasan pemakaian tuturan berimplikatur percakapan tersebut. Secara konkret hal ini dapat terlihat percakapan pada kelas V SD Negeri Pondok 1 tepatnya terletak di Dukuh Bodeyan Desa Pondok Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di kehidupan sehari-hari. Namun berdasar hasil survey awal (prapenelitian), peneliti menemukan ujaran yang berimplikatur percakapan bahasa Indonesia saat pembelajaran berbahasa Indonesia di kelas V yaitu saat guru menyampaikan maksud untuk menegur peserta didik yang dianggap bekerja sama dengan peserta didik lain saat mengerjakan tugas individu yang diberikan guru dengan tuturan “Kamu sudah selesai?”. Tuturan tersebut jika diutarakan secara lugas yaitu “Kalau kamu sudah selesai, jangan mengganggu teman

yang

sedang

mengerjakan!”.

Tetapi

guru

tidak

menggunakan

menyampaikan maksud tersebut secara eksplisit karena dianggap terlalu keras dan membuat kondisi kelas menjadi kurang kondusif karena peserta didik merasa takut saat guru sedang marah. Jika peserta didik tersebut tidak mengerti maksud ujaran guru maka tidak akan tercipta kerjasama yang terlihat dari respons peserta didik terhadap ujaran tersebut, tetapi karena dia mengetahui maksud ujaran guru maka dia langsung merespons dengan respons nonverbal yaitu dengan memperbaiki sikap duduk. Pengungkapan maksud secara implisit ini dilakukan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

7

guru karena mengingat situasi saat itu memerlukan konsentrasi yang tinggi maka peserta didik tidak boleh merasa tersinggung dan takut dengan teguran guru tetapi tetap mengerti bahwa yang dilakukannya dapat mengganggu konsentrasi teman lain. Dengan demikian, tuturan dengan bahasa sopan menjadi pilihan guru dalam proses pembelajaran melalui penyampaian tuturan dengan wujud lain, tetapi tidak mengubah maksud yang ingin disampaikan. Alasan lain peneliti memilih pembelajaran di SD Pondok I Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai objek penelitan karena SD ini terletak jauh dari pusat kota dengan masyarakat sekitar sekolah yang lebih mementingkan undha usuk dalam bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan bahasa pengantar pembelajaran dalam SD ini juga menggunakan bahasa campuran yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai penyesuaian penggunaan bahasa guru dengan peserta didik yang masih

menggunakan

bahasa

Jawa

dalam

interaksi

sehari-hari.

Materi

pembelajaran akan mudah dimengerti jika disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti peserta didik. Selain itu, hal ini dilakukan agar komunikasi dalam pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun di sisi lain, penggunaan kedua bahasa tersebut saat menyampaikan maksud secara tersembunyi juga akan mempengaruhi kebiasaan berbahasa yang diterapkan antara guru dan peserta didik karena cara berbahasa guru merupakan contoh bagi peserta didik. Kebiasaan tersebut akan terlihat pada wujud implikatur percakapan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu. Kelas V SD termasuk kelas tinggi yang memungkinkan interaksi pembelajaran dengan respons yang lebih beragam dari setiap peserta didik saat mengungkapkan pendapat terhadap stimulus berimplikatur percakapan yang diberikan guru baik dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak langsung juga akan menimbulkan pola tuturan yang lebih beragam dibanding kelas dibawahnya (kelas I sampai kelas IV) yang dimungkinkan terjadi pelanggaran maksim baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dan berdampak pada cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan kata lain,

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

8

jika alasan penggunaan berbeda maka akan berbeda pula wujud tuturan berimplikatur. Wujud, fungsi, tujuan, dan alasan penggunaan implikatur percakapan dapat menjadi masalah bertutur yang cenderung menimbulkan salah maksud bagi mitra tutur, dan bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi konflik antara penutur dengan mitra tutur. Padahal suatu bahasa pengantar pembelajaran seharusnya dapat memudahkan peserta didik memahami maksud guru maupun antarpeserta didik, tetapi dalam hal ini justru dapat menjadi hambatan belajar bagi peserta didik jika implikatur percakapan yang digunakan (metode pembelajaran guru) justru tidak dimengerti peserta didik. Jika ketidakmengertian ini berlangsung terus menerus akan membuat prestasi belajar menurun dan mempengaruhi cara berbicara peserta didik menjadi sulit dipahami orang lain hanya untuk memenuhi maksim tertentu yang dianggap dapat menunjang sopan santun dalam berkomunikasi. Berdasarkan pada pemaparan tersebut, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian yang berkaitan penggunaan implikatur percakapan guru dan peserta didik dengan judul “Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo”.

B. Rumusan Masalah Masalah yang muncul berkaitan dengan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah wujud tutur implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo? 2. Bagaimanakah fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo? 3. Bagaimanakah alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo?

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

9

C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan wujud tutur bentuk implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. 2. Mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. 3. Mendeskripsikan dan menjelaskan alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfat yang hendak dicapai penulis adalah: 1. Manfaat teoretis: Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian dalam kajian pragmatik, khususnya penelitian tentang penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran berbahasa Indonesia. 2. Manfaat praktis: a. Bagi Sekolah Hasil

penelitian

ini

memberikan

masukan

untuk

meningkatkan

keterampilan mengajar guru bahasa Indonesia yang tentunya berpengaruh terhadap kualitas keprofesionalan guru dan peserta didik dalam pembelajaran. b. Bagi guru Masukan cara menyampaikan materi dan stimulus terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia agar lebih bijak dalam melibatkan pemakaian bahasa yang baik, benar, dan sopan bagi peserta didik.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

10

c. Bagi peserta didik Petunjuk dalam memahami ujaran berimplikatur percakapan yang terjadi dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik mengerti dan juga dapat memberikan respons dengan bahasa yang baik, benar, dan sopan. d. Bagi peneliti yang lain Hasil penelitian ini memberikan pertimbangan objek penelitian yang masih perlu dikembangkan terutama dalam hal wujud, fungsi, tujuan, dan alasan penggunaan implikatur percakapan pada situasi konkret lain agar lebih bermanfaat bagi pengguna bahasa.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

11

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Implikatur Percakapan Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat penyampaian maksud baik berupa tuturan yang bersifat performatif maupun konstantif. Bentuk bahasa (B) adalah hasil dari pertimbangan dan penghubung situasi (S), konteks (K) , dan maksud (M) atau sering dirumuskan dengan M+S/K=B saat berkomunikasi (P. W. J. Nababan, 1987: 8). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui pada dasarnya semua tuturan bersifat performatif yang berarti dua hal terjadi secara bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action), dan kedua berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu; ilokusi adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai perintah, ujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya; serta yang terakhir perlokusi adalah hasil atau efek dari ujaran itu terhadap pendengar (mitra tutur), baik yang nyata maupun yang diharapkan. Secara singkat ilokusi yang tidak dikatakan penutur kepada mitra tutur dan mempunyai kemungkinan lebih dari satu penafsiran disebut implikatur. Dengan kata lain, partisipan yang terlibat langsung dalam peristiwa tutur terkadang sengaja tidak memiliki kerja sama yang baik saat menyampaikan beberapa maksud tersembunyi. Meskipun demikian, implikatur merupakan sebuah proposisi yang sudah diarahkan dari tuturan yang sebenarnya telah dituturkan penutur. Untuk itu, perlu pemahaman tentang konsep implikatur, implikatur percakapan, ilokusi, penafsiran dan kendala pemakaian implikatur percakapan sebelum membahas penelitian. a. Pengertian Implikatur Orientasi pengkajian pragmatik terfokus pada suatu komunikasi praktis yang dipengaruhi berbagai faktor diluar bahasa. Faktor inilah yang turut memberi

11

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

12

makna dalam proses komunikasi. Cruse dalam Louise Cummings (2007: 2) menjelaskan: Pragmatik adalah suatu kajian yang berurusan dengan aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (sesuai penekanan ditambahkan). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh George Yule (2006: 3-4) tentang empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Pragmatik juga digunakan untuk mengkaji cara suatu hal yang disampaikan lebih banyak dimengerti mitra tutur dibandingkan hal yang dituturkan penutur sekaligus mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Batasan tersebut sering disebut faktor-faktor penentu tindak komunikatif yang penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dalam kemampuan menggunakan bahasa saat berkomunikasi. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa. Dengan kata lain pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat tersebut Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa implikasi pragmatik dalam tuturan merupakan satuan pragmatik yang tersirat atau terimplikasi bentuk lingual oleh penutur dalam situasi tutur. Jika dalam suatu komunikasi, salah satu tidak paham dengan arah pembicaraan (komunikasi) tersebut, maka seringkali ditanyakan, “Sebenarnya, apa implikasi ucapan Anda tadi?”. Bahkan terkadang

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

13

kebenaran atau keruntutan sintaksis bukanlah hal terpenting dalam tuturan karena sering dijumpai suatu komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis atau semantik. Suatu analisis percakapan atau tuturan lebih mementingkan dimensi sosial sehingga penjelasan makna yang tidak alamiah dalam berkomunikasi tidak cukup hanya bermaksud menyebabkan efek tertentu pada mitra tuturnya, melainkan efek ini hanya dapat dicapai jika mitra tutur tersebut mengetahui maksud untuk menghasilkan efek ini sesuai konteks penutur dan mitra tutur (Geoffrey Leech, 1993: 5). Suatu dialog yang mengandung implikatur akan suatu melibatkan penafsinaran yang tidak langsung. Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para penutur dan tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Dengan berbagai alasan, implikatur justru sering disembunyikan agar hal yang diimplikasikan tidak nampak terlalu mencolok. Secara singkat paparan di atas ingin menanggulangi persoalan makna yang belum bisa terpecahkan dengan teori semantik biasa yaitu “apa yang diucapkan” terkadang berbeda dengan “apa yang diimplikasikan”. Meskipun demikian, pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik masih mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini sering disebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; atau sebaliknya dengan sebutan pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Oleh karena itu, pragmatik sering disebut bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction) dan dibedakan menjadi dua hal yaitu: 1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa; 2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Berpijak pada beberapa hal di atas, pragmatik pada hakikatnya lebih mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai

dengan

faktor-faktor

penentu

dalam

commit to user

tindak

komunikatif

dan

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

14

memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat. Penafsiran bahasa tuturan melalui pragmatik juga akan menjadi lebih mendalam untuk mengetahui maksud, asumsi dan tujuan pembicaraan dengan berdasar hal-hal yang penutur perlihatkan (konteks) saat tuturan tersebut diujarkan. Untuk itulah, terkadang semua konsep tuturan tersebut cenderung tidak konsisten dan objektif saat dianalisis karena berbeda konteks maka dimungkinkan berbeda pula maksud ujaran meskipun tuturan yang diujarkan sama. Teori ini pulalah yang kemudian melahirkan implikatur dalam subkajian pragmatik sebagai penganalisis makna terselubung dari suatu tuturan yang disampaikan penutur baik secara lisan maupun tulisan. Dan penginterpretasian dalam suatu percakapan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi (2009: 37) mengungkapkan bahwa implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan antar preposisi tersebut bukan merupakan konsekuensi mutlak. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati penutur yang tersembunyi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan bagian dari pragmatik yang menelaah maksud penutur yang lebih banyak dari pada apa yang dituturkan oleh penutur (implicature) dan memahami manipulasi bahasa untuk kesopanan (politeness). b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan Grice dalam Muhammad Rohmadi (2004: 55) membedakan implikatur menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan nonkonvensional. Implikatur konvensional yaitu makna ujaran yang secara umum diterima oleh masyarakat dan biasanya disebut juga dengan prinsip kerja sama yang dalam praktiknya berpegang pada empat maksim. Makna tuturan berimplikatur konvensional dapat dimengerti dengan jelas karena makna tuturan sama persis dengan makna unsurunsur tuturan tersebut karena pemahaman suatu tuturan hanya berdasarkan unsurunsur yang membentuk tuturan itu sendiri. Contohnya tampak pada “Muhammad Ali adalah petarung yang indah”. Kata “petarung” pada kalimat ini berarti ‘atlit

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

15

tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar karena secara umum (konvensional), orang yang sudah mengetahui bahwa Mohammad Ali adalah atlit tinju yang legendaris. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami “petarung” dengan pengertian yang lain. Implikatur konvensional adalah implikatur yang bersifat umum dan konvensional sehingga semua orang sudah mengetahui maksud atau pengertian mengenai suatu hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Selain itu, implikatur konvesional bersifat nontemporer yaitu makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum seperti kata hubung “tetapi”, dan “bahkan” yang cara penginterpretasiannya pastilah sesuatu yang tidak sesuai harapan penutur. Sehingga, jenis implikatur ini tidak banyak dikaji dan dikembangkan oleh para peneliti wacana, karena dianggap kurang menarik. Implikatur nonkonvensional (implikatur percakapan) lebih menekankan pada ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya. Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act). Oleh karena itu, implikatur percakapan tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan nonkonvesional (sesuatu yang di implikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan). Dengan kata lain, ketika seseorang berbicara, sesuatu yang dikatakan atau yang dituliskan tidak selalu sama dengan yang dimaksudkan karena disesuaikan konteks. Bahkan dapat dimungkinkan sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur karena semua penafsiran implikatur tergantung pada konteks saat tuturan tersebut diujarkan. Selain itu, implikatur percakapan bukan merupakan bagian dari tuturan karena lebih mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur dan mitra tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Kunjana Rahardi (2008: 17) menyatakan bahwa konteks pada hakikatnya adalah latar belakang pengetahuan yang dapat dipahami penutur dan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

16

mitra tutur sehingga hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, maksud keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu, melainkan berdasarkan kebiasaan atau pengetahuan yang sudah saling dipahami antar kedua belah pihak. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan dibawah ini. Guru : Santi, papan tulis ini penuh coretan. Santi : Sebentar Bu, penghapusnya dimana? Percakapan antara guru dengan Santi pada contoh tersebut mengandung implikatur percakapan yang bermaksud perintah menghapus coretan di papan tulis. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa papan tulis ini penuh coretan. Namun karena Santi dapat memahami implikatur percakapan yang disampaikan guru, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah guru tersebut meskipun dia justru kebingungan mencari penghapus untuk menghapus papan tulis. Hal ini dapat diketahui dari respon Santi dengan ujaran ”Sebentar Bu, penghapusnya dimana?”. Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis maksud yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan. Dalam implikatur maupun implikatur percakapan dapat saja bermuatan implikasi pragmatik atau implikasi sosiokultural artinya bahwa dalam satu tuturan dalam percakapan bisa saja memiliki kedua implikasi pragmatik dan implikasi sosiokultural. Seperti dalam pengungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultural pemakaian bahasa itu sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa implikatur konversasional (percakapan) merupakan salah satu gagasan terpenting dalam pragmatik. Paul Ohoiwutun (2007: 91) menyimpulkan bahwa sesingkat apapun suatu percakapan, jika terdapat satu mekanisme pemahaman yang lain di luar makna harafiah maka maksud penutur dalam implikatur tersebut dapat dimengerti. Hal ini karena wujud implikatur percakapan adalah sejumlah wujud tuturan yang realisasinya berdasarkan makna diluar bentuk linguistik atau situasi tutur baik berupa penutur, mitra tutur, konteks, waktu maupun tempat ujaran atau yang sering disebut konteks.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

17

Kegunaan konsep implikatur percakapan antara lain: 1) memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural 2) memberi penjelasan yang tegas dan eksplisif tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud 3) dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama 4) dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan (Stephen C. Levinson, 1983: 97-100). Berdasarkan kegunaan implikatur percakapan di atas, dapat diketahui adanya kerja sama yang konstributif antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan. Kerjasama yang dimaksud adalah bahwa antara penutur dan mitra tutur mengharapkan sumbangan (respon) sesuai yang diperlukan dan tingkat penerimaan yang sesuai dengan makna yang dapat diterima dan disepakati sehingga sejumlah implikasi makna tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal ini dapat dilihat saat guru akan memulai pembelajaran di jam pertama. Guru : Ketua kelas, silahkan. Peserta didik : Siap gerak! Berdoa dimulai! Dengan memperhatikan kebiasaan guru yang selalu bertutur ”Ketua kelas, silakan” sebelum memulai pembelajaran jam pertama, salah satu peserta didik selaku ketua kelas langsung dapat memahami makna tuturan tersebut yaitu sebagai perintah agar dia memimpin berdoa sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Sehingga implikatur percakapan akan dengan mudah dipahami oleh penutur dan mitra tutur jika keduanya telah berbagi pengalaman dan pengetahuannya atau mengetahui kebiasaan mitra bicara. Implikatur percakapan mempunyai sifat dapat diperhitungkan, ditangguhkan, dibatalkan dan ditegaskan kembali (George Yule, 2006: 78). Selain itu, Louise

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

18

Cummings (2007: 20-24) juga memperjelas bahwa ada lima ciri implikatur konversasional (percakapan) yaitu: 1) daya batal (cancellable) dalam keadaan tertentu implikatur percakapan dapat dibatalkan oleh perubahan konteks, baik dengan cara eksplisit atau pun dengan cara kontekstual. A: Apakah kamu dapat belajar kelompok di rumahku malam ini? B: Kedua orang tuaku akan pergi ke rumah nenek malam ini. Tetapi aku akan kabari nanti. (ujaran yang membatalkan ujaran diatas) 2) ketidakterpisahan (nondetachable) dengan cara mengatakan sesuatu itu sehingga orang memakai tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk menyampaikannya sehingga sulit dipisahkan hanya dengan mengubah bentuk linguistik ujaran tersebut. Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka berbuat gaduh di kelas A: Betapa pendiam anak ini! (sebenarnya ujaran menyindir) 3) implikatur percakapan mempersyaratkan penegtahuan makna konvensional dari kalimat yang dipakai terlebih dahulu, sehinggas isi implikatur percakapan tidak masuk dalam makna konvensional tuturan tersebut (nonconventional). A: Pukul berapa sekarang? B: Upacara pengibaran Bendera Merah Putih akan segera selesai. (Upacara pengibaran Bendera Merah Putih biasanya selesai pukul 07.30, jadi saat itu masih pukul 07.30 kurang) 4) kebenaran isi implikatur percakapan tidak tergantung pada apa yang dikatakan (calculable/ daya nalar atau hitung). Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka mengganggu temannya A: ”Betapa menyenangkannya anak ini! Sehingga dia mempunyai banyak teman.” (sebenarnya sedikit yang mau berteman dengannya) 5) implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya (indeterminate). Sehingga dengan keberadaan ini implikatur percakapan dalam suatu percakapan secara fungsional dapat diterangkan melalui keterbatasan pemahaman bahasa secara struktural.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

19

A: Di mana kamu berasal? B: Di suatu tempat di Sulawesi Tengah. (si B berusaha menyembunyikan identitasnya karena sesuatu hal yang tidak pasti) Dengan demikian, setiap penjelasan tentang makna suatu tuturan harus sesuai fakta yang diamati dan sesederhana atau serampat mungkin sehingga tidak menimbulkan salah tafsir. Implikatur percakapan dapat memberikan penjelasan secara fungsional mengenai sejumlah fakta kebahasaan yang berkaitan dengan konteks tuturan yang mengikatnya, ditambah prinsip-prinsip bertutur seperti Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS). Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik. Bahkan implikatur percakapan mampu menghadirkan sejumlah makna tuturan selain yang terungkap secara lingual (berwujud tanda/lambang) atau secara struktural. Untuk itu, meskipun membahas ujaran menggunakan pendekatan pragmatik, tetapi memerlukan sudut pandang semantik sebagai penyelaras dengan tetap menggunakan dua prinsip pragmatik sebagai berikut. 1) Prinsip Kerjasama (PK) Dalam komunikasi, penutur dan petutur biasanya berusaha untuk saling bekerja sama, dengan maksud agar tujuan atau pesan ujaran yang mereka tuturkan dapat dipahami oleh partisipan komunikasi. Grice dalam Sarwiji Suwandi (2008:7) menyatakan bahwa dalam memahami kaidah percakapan diperlukan dua pokok kaidah percakapan yaitu prinsip kooperatif (kerjasama) dan maksim percakapan. Prinsip kerjasama lebih menekankan pada penggunaan segala ujaran yang sesuai dengan tujuan percakapan yang telah disepakati atau sesuai arah percakapan yang diiikuti. Prinsip kerja sama seringkali diartikan sebagai panduan umum yang melingkupi interaksi percakapan. Prinsip kerja sama membuat kontribusi peserta tutur menjadi tepat dalam sebuah percakapan. Sedangkan maksim percakapan sebagai realisasi PK terdiri dari 4 maksim antara lain:

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

20

a) Maksim Kuantitas (1) Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan. (2) Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan. b) Maksim Kualitas (1) Jangan mengatakan apa yang Anda yakini tidak benar (2) Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak/ kurang mempunyai buktinya. c) Maksim Hubungan (1) Bicaralah yang relevan atau berguna d) Maksim Cara (1) Hindarilah ungkapan yang membingungkan. (2) Hindarilah ambiguitas. (3) Bicaralah secara singkat. (4) Bicaralah secara khusus. (Diadaptasi dari Grice dalam Geoffrey Leech, 1993: 11) Secara singkat, seorang penutur harus menyampaikan informasi kepada orang lain dengan didukung oleh data (prinsip kualitas), sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang (prinsip kuantitas), berkaitan dengan yang sedang dibicarakan dengan mitra tutur (prinsip relevansi). Dan, yang terakhir adalah prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah yang dibicarakan bagus dan menarik, tetapi jika cara menyampaikan justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan terasa kasar, atau cenderung melecehkan,tujuan komunikasi dapat tidak tercapai. Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah mitra tutur menganggap penutur menaati dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda ada maksim dilanggar, maka mitra tutur harus memutuskan bahwa ada sesuatu dibalik yang dikatakan penutur. Maka penuturlah yang menyampaikan maksud

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

21

lewat implikatur percakapan dengan melanggar satu atau lebih maksim PK, dan mitra tuturlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu. Keunggulan prinsip ini terletak pada kemampuan maksim-maksim dalam menunjukkkan pembagian kerja antara arti suatu ujaran dengan daya sekaligus pembeda antara semantik dengan pragmatik. Meskipun demikian, prinsip ini juga memiliki kelemahan seperti yang diungkapkan Louise Cummings (2007: 366) bahwa selain penggunaan PK dapat membuat proses komunikasi berjalan dengan lancar, tetapi pengunaan maksimmaksim tersebut terkadang justru menjadi kendala penggunaan pragmatik sehingga secara sadar penutur memilih melanggar maksim. Selain itu, juga terdapat beberapa kelemahan dalam prinsip ini yakni belum bisa menjelaskan alasan penutur tidak mengungkapkan secara langsung maksud ujaran (melanggar beberapa maksim) atau hubungan antara arti dengan maksud dalam kalimat yang bukan pernyataan. Senada dengan pendapat diatas, Geoffrey Leech (1993: 12) juga merinci kendala-kendala penggunaan prinsip kerja sama dalam pragmtik antara lain: a) Maksim berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda. b) Maksim berlaku dalam tingkatan yang berbeda sehingga tidak ada maksim yang berlaku secara mutlak ataupun tidak berlaku samasekali c) Maksim dapat bermitraan satu dengan yang lain d) Maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan tindakan yang dikendalikannya 2) Prinsip Sopan Santun (PS) Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan mengatasi kelemahan PK dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan aspek sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan mitra tutur karena lebih bersifat sosial, estetis dan moral dalam melakukan suatu percakapan. Selain keempat maksim dalam PK, juga masih diperlukan prinsip sopan santun (PS) yang terjabar dalam enam maksim, antara lain:

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

22

a) Maksim Kearifan (tact maxim) (1) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. (2) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin b) Maksim Kedermawanan (generosity maxim) (1) Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin. (2) Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin. c) Maksim Pujian (approbation maxim) (1) Kecamlah orang lain sedikit mungkin. (2) Pujilah orang lain sebanyak mungkin. d) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim) (1) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. (2) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. e) Maksim Kesepakatan (agreement maxim) (1) Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit mungkin. (2) Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin f) Maksim Simpati (sympathy maxim) (1) Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin (2) Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin (Geoffrey Leech, 1993: 206). Inti dari prinsip sopan santun ini adalah maksim kebijaksanaan (memberikan

keuntungan

bagi

mitra

tutur),

maksim

kedermawanan

(memaksimalkan kerugian pada diri sendiri), maksim pujian (memaksimalkan pujian kepada mitra tutur), maksim kerendahan hati (meminimalkan pujian kepada diri sendiri), maksim kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur), dan maksim simpati (memaksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur. Rumusan prinsip kesantunan tersebut dapat dibagi menjadi tiga butir pokok yaitu berikan pilihan, buat perasaan mitra tutur tetap baik dan jangan memaksa mitra tutur (Abdul Rani, 2006: 37). Oleh karena itu, demi kesantunan, penutur harus dapat memperlakukan mitra tutur sebagai berikut:

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

23

a)

jangan perlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur. Jangan sampai mitra tutur mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dsb) atau agar kebebasannya menjadi terbatas;

b) jangan mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur; c)

jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur;

d) jangan menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya; e)

jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri. Prinsip sopan santun dianggap sebagai “piranti” untuk menjelaskan alasan

penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya. Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar lebih santun. Tetapi perlu diketahui bahwa kesopansantunan ujaran sangat bergantung kepada penafsiran mitra tutur, artinya ujaran yang dianggap santun oleh penutur belum tentu santun pula bagi mitra tutur. Paul Ohoiwutun (2007: 93) menjelaskan sifat prinsip kesopanan ada dua yaitu absolut (umum) dan realatif. Prinsip kesopanan absolut mengacu pada norma kesopanan yang secara umum diterima masyarakat sehingga cenderung tidak dipealajari secara khusus. Prinsip kesopanan relatif dalam berbahasa memberikan pengertian bahwa norma yang berlaku di suatu tempat tidak menutup kemungkinan berbeda dengan tempat lain karena dipengaruhi oleh faktor penentu bahasa. Hanya saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan memilih metode komunikasi yang tepat serta mempertimbangkan skala pragmatik maka secara tidak langsung membantu dalam pemilihan ujaran yang dianggap sopan mitra tutur. Misalnya norma bahasa Jawa yang memiliki undha usuk berbahasa dalam penerapan prinsip kesopanan. Penilaian derajat kesopanan suatu ujaran memerlukan lima skala pertimbangan yang disebut “skala pragmatik” (Geoffrey Leech, 1993: 194-199). Kelima skala pragmatik itu adalah skala biaya-keuntungan (cost and benefit),

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

24

skala pilihan (optionality), skala ketaklangsungan (indirectness), skala otoritas (authority), dan skala jarak sosial (social distance) Penerapan skala pragmatik dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derajat kesopansantunan ujaran dapat diamati pada contoh berikut. Skala pertama, skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi digunakan untuk menghitung biaya yang diperlukan dan keuntungan yang diperoleh mitra tutur untuk melakukan tindakan sebagai akibat dari daya ilokusi tuturan direktif yang diperintahkan oleh penutur (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 43). Agar lebih jelas berikut contoh ujaran-ujaran direktif. Makin ke bawah ujaran ini dinilai makin santun sebab makin sedikit biaya yang diperlukan untuk melakukan tindakan tersebut dan makin banyak keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur. a) Pergi! b) Buatkan secangkir kopi untukku! c) Makanlah sayur itu! Biaya bagi mitra tutur

Santun kurang

Keuntungan Bagi mitra tutur

Santun lebih

Dari ketiga tuturan di atas tampak bahwa untuk pergi dan membuatkan secangkir kopi (tuturan a dan b) diperlukan biaya/ tenaga lebih banyak bagi mitra tutur dalam melakukan tindakan tersebut, dan sebaliknya sangat sedikit keuntungan yang diperolehnya sehingga tuturan itu bernilai kurang santun. Sementara itu, untuk makan sayur (tuturan c) mitra tutur hanya memerlukan biaya sangat sedikit dengan keuntungan yang sangat besar, sehingga tuturan (c) dinilai oleh mitra tutur lebih santun daripada tuturan (a dan b).

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

25

Skala kedua, skala keopsionalan digunakan untuk menghitung berapa banyak pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk melaksanakan tindakan (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 20). Berikut contoh ujaran yang makin banyak jumlah pilihan, makin santun tindak ujaran tersebut. a) Nak, tutup pintu itu! b) Lis, silahkan tutup pintu itu! c) Bu, kalau berkenan silahkan tutup pintu itu! Lebih sedikit pilihan

Kurang santun

Lebih banyak pilihan

Lebih santun

Berdasarkan banyak sedikitnya pilihan, mitra tutur dapat menilai suatu tuturan kurang santun atau lebih santun. Dengan demikian tuturan (b) dinilai lebih santun daripada tuturan (a), dan tuturan (c) lebih santun daripada tuturan (b). Tuturan (a) dinilai paling tidak santun dari semua tuturan yang ada sebab penutur tidak memberikan pilihan apa pun kepada mitra tutur, kecuali hanya ‘menyuruh agar mitra tutur menutup pintu itu’. Sebaliknya, tuturan (c) dinilai paling santun sebab penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk ‘menutup pintu itu’, yaitu bila mitra tutur berkenan (tidak keberatan). Jadi, dalam hal ini derajat kesopansantunan tuturan direktif tersebut ditentukan oleh skala pragmatik keopsionalannya. Skala ketiga, yaitu skala ketaklangsungan tuturan, yakni seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ujaran itu untuk sampai pada tujuan ujaran (Kunjana Rahardi, 2008: 122). Dalam hal ini, semakin langsung tuturan itu maka

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

26

dipandang semakin kurang santun, dan sebaliknya, semakin tidak langsung tuturan itu semakin santun. Inilah contoh-contoh ujaran tersebut. a) Bersihkan dulu meja itu! b) Ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan, bersihkan dulu meja itu!

Lebih langsung

Kurang santun

Lebih tak langsung

Lebih santun

Di sini, tuturan (a) adalah tuturan yang bermodus paling langsung dan, karena itu, dianggap paling kurang santun menurut mitra tutur. Sebaliknya, tuturan-tuturan yang lain, (b) lebih tidak langsung akan terasa lebih santun. Skala yang keempat yaitu skala otoritas yang menunjuk hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dapat percakapan (P. W. J. Nababan, 1987: 14). Sehingga semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, tuturan kesantunan yang digunakan cenderung akan berkurang. a) Nggak ngerti b) Aku tak mengerti maksudmu c) Maaf, saya tidak mengerti maksud Bapak Lebih rendah

Kurang santun

Lebih tinggi

Lebih santun

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

27

Di sini, tuturan (a) adalah tuturan seorang kakaj kepada adiknya, tuturan (b) adalah tuturan seorang bapak kepada adik iparnya, dan tuturan (c) adalah tuturan mahasiswa kepada dosennya. Perbedaan jarak peringkat sosial ini membuat tuturan yang digunakan juga berbeda tingkatan kesantunannya. Tuturan (a) cenderung kurang santun karena mitra tutur memiliki peringkat sosial yang lebih rendah dari penutur. Sebaliknya, tuturan lain (b dan c) lebih santun karena mitra tutur dianggap sama atau lebih tinggi dibanding penutur. Dan skala yang terakhir yaitu skala jarak sosial yang menunjuk pada tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur (Kunjana Rahardi, 2008: 128). Sehingga semakin akrab antara keduanya, tuturan yang digunakan semakin kurang santun. Sebaliknya, semakin jauh tingkat keakraban antara penutur dengan mitra tutur maka semakin santunlah tuturan yang digunakan. a) Silahkan dimakan! b) Mari makan! c) Yuk, makan! Kurang akrab

Lebih santun

Lebih akrab

Kurang santun

Dilihat dari ketiga tuturan di atas, dapat diketahui bahwa tuturan (a) meskipun penutur mempunyai tingkat sosial yang lebih tinggi, tetapi karena kurang akrab maka tuturan yang digunakan cenderung lebih sopan. Tuturan (b dan c) cenderung kurang santun karena penutur dan mitra utur memiliki tingkat keakraban tinggi meskipun peringkat sosial penutur lebih rendah. Sedangkan pada tuturan (d) lebih kurang sopan karena selain tingkat sosial antara penutur dan mitra tutur sama, tingkat kedekatan keduanya juga sangat akrab.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

28

Sedikit berbeda dengan paparan di atas, George Yule (2006: 104) menyebutkan bahwa dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa yang memiliki batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan wajah orang lain. Istilah kesantunan sering disebut “wajah”, dalam hubungan sebagai citra diri seseorang dalam masyarakat. Aspek wajah terdiri atas wajah positif dan wajah negatif. Wajah positif mengacu kepada kebutuhan seseorang untuk dapat diterima dan disukai oleh orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan wajah negatif merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang lain. Dalam hubungan ini, apabila penutur kurang memperhatikan hal yang menjadi keinginan wajah mitra bicara, misalnya, dengan mengatakan sesuatu berupa paksaan ataupun ancaman, penutur dipandang telah melakukan suatu tindakan mengancam wajah (face threatening act). George Yule (2006: 106) menguraikan bahwa tuturan yang disampaikan mungkin saja oleh orang lain ditafsirkan sebagai sesuatu ancaman atau paksaan terhadap wajahnya; dan apabila penutur mengantisipasi dan melakukan suatu upaya untuk mengurangi yang mungkin dianggap bersifat ancaman itu, upaya demikian disebut tindakan menjaga wajah (face saving action). Peristiwa inilah yang sering disebut kesenjangan ketika berinteraksi, yakni tidak semua prinsip dan norma kesantunan itu terlaksana. Yang perlu diperhatikan dalam menerapkan prinsip sopan santun untuk menyelamatkan wajah adalah hal yang menjadi keinginan wajah negatif atau yang merupakan keinginan wajah positif. Orang yang berwajah negatif tidak mau terikat dan dibebani; dia cenderung memilih bebas untuk berbuat dan tidak ingin mendapat tekanan atau paksaan dari orang lain. Orang yang berwajah positif menginginkan dirinya dapat diterima sebagai bagian integral dari kelompoknya serta keinginan-keinginannya diperhatikan orang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa wajah negatif itu ialah keinginan pribadi untuk independen. Wajah positif sebagai keinginan seseorang untuk diterima sebagai anggota kelompok masyarakat. Dengan demikian, tindak penyelamatan wajah yang

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

29

orientasinya kepada orang berwajah negatif cenderung dengan penyertaan tanda hormat, menghargai waktu dan urusannya, dan terkadang malah harus disertai lebih dahulu dengan pernyataan minta maaf apabila hendak memerintahkan atau mengganggunya. Tingkat keakraban sosial dalam masyarakat dipengaruhi dua faktor untuk menentukan pemunculan tipe kesantunan yaitu pertama kesantunan bertutur yang dialamatkan kepada petutur dalam rangka menjaga keinginan wajah. Kedua, kesantunan yang baru akan sangat terasa jika penutur dan mitra tutur dalam berinteraksi terkendala oleh hubungan sosialnya yang belum cukup serasi dalam masyarakat (Namsyah Hot Hasibuan, 2005: 92). Dalam hubungan interaksi sosial, partisipan yang merasa berhadapan dengan kondisi seperti itu biasanya menghendaki agar citra dirinya dalam masyarakat yang justru menjadi keinginan wajahnya terjaga dan dihormati. Hal ini karena setiap jenis wajah, di antara yang positif dan yang negatif, memiliki keinginan yang berbeda untuk disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masing-masing lazim disebut sebagai kesantunan positif dan kesantunan negatif. Orientasi kesantunan positif adalah menjaga atau menyelamatkan wajah positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang yang dimaksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa solidaritas dengan pendengarnya. Hal demikian biasanya ditandai dengan adanya penggunaan tuturan informal; misalnya dengan memunculkan ucapan yang berciri dialek ataupun bahasa slang, nama panggilan, dan meminta dengan cara tidak langsung. Selanjutnya, kesantunan negatif merujuk kepada tuturan yang orientasinya menjaga atau menyelamatkan wajah negatif orang lain. Hal semacam ini biasa terjadi pada partisipan yang belum mencapai keakraban dalam interaksi sosial di lingkungan masyarakat. Artinya, masih terdapat jarak sosial antara penutur dan petutur. Pada kesantunan negatif, orang menggunakan siasat bertutur yang menekankan adanya hormat dan menghargai petutur atau pendengarnya. Nama panggilan, bahasa slang, dan tuturan informal yang biasa digunakan dalam siasat kesantunan positif, tidak digunakan pada siasat kesantunan negatif.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

30

Contoh batasan ini terlihat dari perbedaan pemakaian bentuk tolong dan coba bukanlah kendala resmi takresmi atau kendala sintaksis, melainkan karena kendala makna (pragmatik). Kalimat imperatif dengan bentuk tolong, penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur. Kalimat imperatif dengan bentuk coba menempatkan penutur lebih tinggi daripada mitra tutur. Pada kalimat imperatif dengan silakan, penutur menempatkan dirinya sejajar dengan mitra tutur. a) Tolong tunggu di sini. b) Coba tunggu di sini. c) Silakan tunggu di sini. Pada contoh tuturan (a) tampak penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur; contoh (b) penutur lebih tinggi daripada mitra tutur, dan pada contoh (c) penutur sejajar dengan mitra tutur. Pemakaian silakan, dipandang lebih arif dan sangat sopan daripada pemakaian bentuk tolong dan coba karena penutur dan mitra tutur berada pada tingkat yang sama, masingmasing tidak ada yang memandang tinggi atau pun rendah. Berdasar penjelasan di atas dapat disimpulkan suatu tuturan memiliki tingkat kesantunan berbeda-beda berdasarkan batasan tertentu. Semua itu pada hakikatnya dilakukan melalui sikap sadar yang ditunjukkan dalam menjaga wajah orang lain. Tujuan sikap ini penting bagi mitra tutur yang memiliki jarak sosial dengan penutur sebagai tindakan menghargai atau hormat pada petutur atau orang lain; sedangkan sikap yang sama terhadap orang yang dirasa akrab biasanya dipandang sebagai solidaritas atau sikap bersahabat. Disinilah prinsip sopan santun penutur yang terlibat dalam interaksi perlu menyadari adanya prinsip dan norma semacam itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Prinsip sopan santun sebagaimana dinyatakan oleh Geoffrey Leech (1993:123) secara umum dapat dirumuskan seperti berikut: a. Dalam Bentuk Negatif Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak sopan atau gunakanlah sesedikit mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak sopan menjadi sesopan mungkin.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

31

b.

Dalam Bentuk Posiitif Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan. Pendapat senada juga diungkapkan Yeni Mulyani Supriatin (2007:57)

yang mencontohkan hal tersebut berdasarkan tuturan imperatif. Penggunaan tuturan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan lain kecuali menaati perintah sehingga dipandang merugikan petutur. Sedangkan bentuk kalimat imperatif yang tidak diawali dengan pemarkah kesantunan apabila satu sama lain dibandingkan akan menunjukkan kadar kesantunan berbahasa. Hal itu tergambarkan melalui skala “untung-rugi”, yaitu nilai-nilai yang dianggap menguntungkan atau merugikan mitra tutur. Perintah yang menguntungkan mitra tutur dipandang lebih sopan, sedangkan perintah-perintah yang merugikan mitra tutur dipandang kurang sopan. Penutur merasa yakin bahwa mitra tutur akan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik dalam bentuk positif maupun negatif tuturan-tuturan yang sopan selalu berusaha menguntungkan mitra tutur, sedangkan pendapat atau tuturan yang tidak sopan selalu merugikan mitra tutur atau pihak ketiga. Pada hakikatnya pelanggaran prinsip kerjasama dan penggunaan prinsip sopan-santun berbahasa lebih terpusat agar mitra tutur mengerti maksud tersembunyi penutur. Contohnya, pemakaian bentuk interogatif dalam tuturan berimplikatur bertujuan perintah merupakan ilokusi tak langsung yang melanggar prinsip kerja sama dianggap lebih sopan karena tidak mengandung kata perintah. Dalam prinsip sopan-santun tujuan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan sopan, artinya tidak mengandung kata perintah. Namun perlu diketahui tidak semua pelanggaran prinsip kerja sama akan terkesan lebih sopan. Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidak sopan dalam tuturan biasanya dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan kesantunan berbahasa.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

32

c. Hakikat Ilokusi Tuturan konversasional (implikatur percakapan) merupakan tuturan tersirat yang makna tuturannya hanya dapat dipahami melalui konteks dan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tuturan yang dituturkan. Kekuatan inilah yang sering disebut ilokusi. Tuturan yang mengandung ilokusi tidak langsung lebih dianggap penting dan terkadang justru disengaja oleh penutur untuk menyatakan maksudnya. Hal ini sesuai pendapat Mary Kate McGowan, Shan Shan Tam dan Margaret Hall (2009: 496) yang mengungkapkan, “There is a sense in which the indirect speech act is more important than the direct one. After all, in this dining context, the speaker’s primary reason for speaking at all is to perform the indirect request”. Berdasarkan pendapat tersebut juga dapat diketahui bahwa ujaran tidak langsung menjadi suatu hal yang penting dibandingkan ujaran langsung karena berkaitan dengan tindak ilokusi untuk pencapaian tujuan tuturan. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan penutur terhadap mitra tutur berkaitan dengan pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur terutama berkenaan dengan tujuan direktif, yaitu berkaitan dengan perintah kepada mitra tutur melakukan sesuatu. Sehingga tujuan personal lazimnya dicapai melalui tujuantujuan sosial dengan tuturan lebih halus. Ilokusi ini berperan menegosiasikan suatu proposisi (pengacuan. prediksi) di antara penutur dan mitra tutur dalam komunikasi. Pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilokutionary act) dan tindak perlokusi (perlokutionary act) (Searle dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 30). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sehingga tidak memperhitungkan konteks tuturannya dan tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan sesuatu sekaligus melakukan sesuatu sehingga mempertimbangkan penutur dan mitra tutur (konteks tuturan). Sedangkan perlokusi adalah tindak tutur yang mengutarakan maksud untuk mempengaruhi/ memberikan efek pada mitra tutur.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

33

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui makna tuturan tindak ilokusi dilakukan melalui pemahaman konteks yang dipahami berbeda oleh mitra tutur, sehingga ilokusi sangat terkait dengan tindakan atau reaksi yang dilakukan mitra tutur dari tindak mengatakan sesuatu yang dituturkan oleh penutur. Tindak ilokusi dapat digolongkan ke dalam tindak menyatakan sesuatu (of saying) yang berbeda dengan tindak mengatakan sesuatu (in saying). Hal ini karena, ilokusi merupakan suatu tindak ujar melahirkan sejumlah makna tuturan yang erat kaitannya dengan konteks yang mengikat tuturan dalam bertutur (percakapan) dan makna tuturan dalam percakapan yang sangat ditentukan oleh konteks itu disebut implikatur percakapan. Selain itu, terdapat pengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan kaidah konstitutif (suatu kaidah yang berisi bahwa setiap orang yang menyatakan tindak tutur merupakan suatu fakta) atau tujuan yang ingin dicapai saat mengekspresikan maksim-maksim berdasarkan pandangan penutur menjadi 5 jenis, yaitu: 1) ilokusi asertif (assertive), yaitu tuturan yang mengikat penutur pada klaim kebenaran proposisi (pengacuan/ prediksi) yang diungkapkan. Ilokusi asertif juga sering disebut representatif. Contoh ilokusi ini misalnya: menyatakan, mengusulkan,

mengeluh,

mengemukakan

pendapat,

melaporkan,

dan

membual. Umumnya ilokusi jenis ini termasuk kategori bekerja sama sehingga bersifat netral, kecuali membual yang biasanya dianggap tidak santun. Ilokusi asertif bersifat proporsional, yaitu maknanya berada dalam proposisi makna tekstual. 2) ilokusi direktif (directive), yaitu tuturan yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dikeluarkan oleh mitra tutur. Meskipun ilokusi direktif menghasilkan efek menggiring mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan, namun tidak semua direktif bermakna kompetitif. Ada sebagian direktif yang secara intrinsik cukup santun, misalnya mengundang, tetapi ada pula sebagian direktif yang secara intrinsik kurang santun, misalnya memerintah. Ilokusi direktif yang mempunyai potensi mengancam wajah atau yang sering disebut impositif yaitu wujud ilokusi kompetitif yang termasuk dalam kategori direktif berupa tindakan ilokusi yang dilakukan mitta tutur

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

34

yang bertujuan menghasilkan suatu efek. Contoh jenis ilokusi ini, misalnya: memesan, memerintah, mengkritik, memohon, menuntut, dan menasihati. Ilokusi jenis ini bersifat kompetitif karena itu membutuhkan kesantunan negatif. 3) ilokusi komisif (commisives), yaitu tuturan yang mengikat penutur dengan suatu tindakan masa depan. Contoh ilokusi ini misalnya menjanjikan dan menawarkan. Tingkatan ilokusi ini bervariasi mulai dari tingkatan terlemah yaitu berniat, berjanji, menjamin hingga bersumpah melakukan sesuatu. Ilokusi ini cenderung bersifat menyenangkan daripada bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan mitra tutur. 4) ilokusi ekspresif (expressives), yaitu tuturan yang berisi ungkapan sikap psikologis penutur terhadap situasi yang tersirat dalam ilokusi. Contoh ilokusi ini, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, menuduh, dan mengucapkan bela sungkawa. Sama halnya

dengan

komisif,

ilokusi

ekspresif

juga

cenderung

bersifat

menyenangkan. Berdasarkan sifatnya tersebut, secara intrinsik ilokusi ini umumnya termasuk santun, kecuali mengecam dan menuduh. 5) ilokusi deklaratif (declarations), yaitu tuturan yang memberi akibat tertentu secara langsung pada mitra tutur berdasarkan kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas. Termasuk ilokusi ini misalnya pernyataan memecat, memberi nama,

membaptis,

mengundurkan

diri,

menjatuhkan

hukuman,

dan

mengangkat pegawai. Ilokusi ini biasanya dihubungkan dengan lembaga dan wewenang atau otoritas yang dimiliki penutur. Oleh karena tidak menyangkut individu-individu, ilokusi ini hampir sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesantunan (Searle dalam Louise Cummings, 2007: 11). Bertolak dari penjelasan pada setiap tujuan ilokusi, secara umum dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat utama sopan santun positif berada pada kategori ilokusi komisif dan kategori ekspresif, sedangkan kesantunan negatif terletak pada kategori direktif.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

35

Jika didasarkan pada proses interpretasi dan sopan santun dari sudut pandang petutur (mitra tutur) yang juga dihubungkan dengan fungsi ilokusi, maka Geoffrey Leech (1993: 161) juga mengungkapkan fungsi ilokusi sebagai berikut: 1) Kompetitif

(competitif)

adalah

penyampaian

tujuan

ilokusi

yang

bersaing dengan tujuan sosial, misalnya memerintah, meminta atau menuntut. 2) Menyenangkan

(convivial)

adalah

penyampaian tujuan ilokusi yang

sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan/ mengajak/ mengundang, mengucapkan terima kasih, atau mengucapkan selamat. 3) Bekerja sama (collaborative) adalah penyampaian tujuan ilokusi yang tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, mengumumkan, atau mengajarkan. 4) Bertentangan

(conflictive)

adalah

penyampaian

tujuan

ilokusi

yang

bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, atau memarahi Di antara keempat jenis ilokusi ini yang melibatkan sopan santun ialah jenis pertama (kompetitif) dan jenis kedua (menyenangkan). Pada ilokusi yang berfungsi kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi apa yang ingin dicapai oleh penutur dan apa yang yang dituntut oleh sopan santun. Tujuan dalam fungsi kompetitif biasanya berupa tujuan yang pada dasarnya tidak bertata krama (discourteous), misalnya meminta pinjaman uang dengan nada memaksa. Di sini, tata krama dibedakan dengan sopan santun. Tata krama mengacu kepada tujuan, sedangkan sopan santun mengacu kepada perilaku linguistik atau perilaku lainnya untuk mencapai tujuan itu. Oleh karena itu, prinsip sopan santun dibutuhkan untuk memperlembut sifat tidak sopan yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan itu. Sebaliknya, jenis fungsi ilokusi yang kedua, yaitu fungsi menyenangkan, pada dasarnya bertata krama. Pada posisi ini, sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan untuk mencari kesempatan beramah tamah. Jadi, dalam sopan santun yang positif, berarti menaati prinsip sopan santun, misalnya bahwa apabila ada kesempatan mengucapkan selamat ulang tahun, maka harus dituturkan. Jenis

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

36

fungsi yang ketiga, yaitu fungsi ilokusi bekerja sama, tidak melibatkan sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun kurang relevan. Sebagian besar wacana tulisan masuk dalam kategori ini. Dalam jenis fungsi ilokusi yang keempat, yaitu fungsi bertentangan, unsur sopan santun tidak ada sama sekali karena fungsi ini bertujuan untuk menimbulkan kemarahan. Mengecam atau menyumpahi orang misalnya, tidak mungkin dilakukan dengan sopan, kecuali penutur menggunakan eufemisme (penghalus) atau ironi sehingga penutur menggantikan komunikasi yang konfliktif dengan jenis komunikasi lain, khususnya dengan jenis kompetitif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam situasi yang normal, pengaruh linguistik yang konfliktif cenderung bersifat marginal dan tidak memegang peranan yang penting. d. Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan Bahasa sebagai sarana komunikasi digunakan dalam fungsi tertentu dan disajikan dalam konteks yang bermakna, tidak dalam bentuk kalimat lepas. Dengan kata lain, pengkajian bahasa yang didasarkan pada alasan penggunaan bahasa bukan hanya struktural semata. Untuk memudahkan hal tersebut, Dwi Purnanto (2003: 95) menyimpulkan bahwa orientasi penelitian bahasa yang menekankan pada tujuh butir yaitu: 1) Struktur atau sistem tutur (la parole) 2) Fungsi daripada struktur 3) Bahasa sebagai tatanan yang banyak mengandung fungsi dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda 4) Ketepatan unsur linguitik dengan pesan (yang hendak disampaikan) 5) Keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat komunikasi lainnya 6) Komunitas atau konteks sosial sebagai titik tolak penggunaan dan pemahaman 7) Fungsi itu sendiri dikuatkan dalam konteks dan biasanya tempat batas, tatanan bahasa serta alat komunikasi lain sebagai problematika. Berdasarkan orientasi penelitian bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa setiap peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

37

mengkhususkan dengan mengutamakan tuturan daripada kode, fungsi daripada struktur dan ketepatan daripada kemungkinan. Analisis wacana dalam penelitian bahasa perlu dilakukan untuk memperoleh pemecahan masalah makna pada tuturan yang bermuatan implikatur. Hal ini agar satuan pragmatis suatu implikatur percakapan dapat dideskripsikan melalui proses analisis atas masalah yang dihadapi antara penutur dan mitra tutur tatkala penutur mengucapkan tuturan sehingga pada gilirannya dapat ditarik implikasi pragmatis yang menjadi implikatur percakapan dari suatu tuturan. Wacana sendiri merupakan satuan bahasa terlengkap yang dapat berupa rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Hal ini sesuai pendapat Hasan Alwi dkk. (2003: 41) yang menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan atau sering disebut sebagai penyebab munculnya kalimat berikutnya sehingga memiliki koherensi dan kohesi tinggi baik dalam wacana lisan maupun wacana tulis. Sehubungan dengan hal tersebut, wacana juga disebut satuan bahasa terlengkap baik lisan maupun tertulis, yang jika dilihat dari struktur lahirnya (bentuk) bersifat kohesif, saling terkait, dan dari struktur batinnya (makna) bersifat koheren dan terpadu (Sumarlan dkk., 2005: 15). Wacana berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi dibagi menjadi wacana lisan dan tulisan dengan penjelasan sebagai berikut. a. Wacana Tulisan adalah sebuah teks yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang menggunakan sesuatu secara berururtan dan utuh, misalnya sebuah cerita, sepucuk surat dan lainnya b. Wacana lisan adalah sebuah percakapan atau yang lengkap dari awal sampai akhir seperti satu percakapan singkat dalam satu situasi; atau penggalan ikatan percakapan

dalam

rangkaian

percakapan

yang

lengkap

dan

telah

menggambarkan situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa. Wacana lisan juga dibagi menjadi wacana dialog dan monolog (Yoce Aliah Darma, 2009: 10). Hal ini sedikit berbeda dengan Junaiyah H.M. dan E. Zaenal Arifin (2010: 72) yang membagi wacana lisan berdasarkan keaktifan mitra tutur menjadi tiga bagian yaitu wacana monolog yang terjadi jika dalam suatu komunikasi hanya ada

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

38

satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari mitra tutur. Kedua wacana dialog yang terjadi jika dalam komunikasi terdapat dua pihak (penutur dan mitra tutur) dan terjadi pergantian peran. Ketiga wacana polilog yang jika dalam komunikasi lebih dari dua pihak dengan pergantian peran melalui pertukaran tiga jalur atau lebih dan biasa terjadi pada saat bermain drama atau ngobrol santai di pos kamling. Namun, beberapa ahli wacana lebih sering menyamakan dialog dan polilog berdasarkan kesamaan tujuan dan tugas pendengar dan pembicara. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya menggunakan istilah wacana lisan yang dibagi menjadi monolog dan dialog. Secara garis besar, penafsiran wacana lisan mempunyai keuntungan dibanding wacana tulis yaitu meskipun lebih rumit prosedurnya, data bersumber lisan dengan unsur paralingualnya lebih dapat dipertanggungjawabkan ketepatan penafsirannya jika rekontruksi bentuk lisannya dapat pula dipertangungjawabkan (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 130). Selain itu, dalam wacana lisan, penutur dapat diketahui membuat berbagai macam efek (ekspresi, isyarat atau sikap tubuh) untuk mengendalikan pengaruh tuturannya, dapat mengetahui keseragaman maksud yang diinginkan penutur dengan maksud yang dipahami mitra tutur, memantau kefektifan tuturan dan memperhatikan penerimaan mitra tutur sehingga penafsiran tuturan tersebut juga lebih sesuai konteks (Brown dan Yule dalam Sumarlan dkk, 2005: 248). Di samping itu, dalam buku yang sama, Labov dan Chave juga mengutarakan kekurangan wacana lisan adalah sintaksis bahasa lisan kurang terstruktur, tidak menggunakan penanda metalingual antar klausa, dimungkinkan menggunakan isyarat untuk merujuk referen, mengulangi bentuk sintaksis yang sama, dan sering menggunakan ungkapan ”pengisi” seperti ”em”, ”anu”, atau ”itu”. Berdasar paparan di atas

pengkajian alasan penggunaan implikatur

percakapan dapat tercermin pada koteks (lingkungan fisik tuturan) dan konteks (lingkungan sosial tuturan terutama latar belakang pengetahuan) serta tanggapan verbal maupun nonverbal mitra tutur saat tuturan diujarkan yang menandai prinsip kerjasama. Apalagi jika partisipan (baik guru maupun peserta didik) melakukan percakapan atau interaksi dengan bertatap muka dua pihak atau lebih sehingga

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

39

tujuan tuturan dimungkinkan lebih dari sekedar pertukaran informasi (Jack C. Richard, 1995: 3). Penelitian ini menggunakan analisis wacana lisan karena wacana tersebut disampaikan dengan bahasa lisan yang jika ingin memahami wacana tersebut, mitra tutur harus menyimak secara langsung. Jika dilihat dari sifat dan jenis pemakaiannya, analisis penelitian ini disebut wacana dialog atau percakapan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih (guru dan peserta didik) secara langsung dan bersifat dua arah. Sehingga masing-masing partisipan secara aktif ikut berperan dalam komunikasi tersebut (komunikasi interaktif). Secara singkat penelitian ini menggunakan analisis wacana lisan yang ditranskrip terlebih dahulu untuk menganalisis implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Peranan wacana sangat penting dalam menginterpretasikan makna dan maksud tuturan karena mitra tutur harus dapat memahami aspek-aspek proses komunikasi (seperti pengetahuan atau perhatian) berhubungan secara tidak langsung dan bertentangan terhadap bahasa itu sendiri (Deborah Schiffrin, 2007: 582). Pendapat yang sama juga diutarakan George Yule (2006: 143) bahwa saat menerapkan analisis wacana pada masalah tentang pokok linguistik, maka analisis tersebut akan memfokuskan pada catatan proses (lisan atau tertulis) dengan memperhatikan konteks untuk menyatakan keinginan. Sedangkan analisis wacana merupakan ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa, mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan/ teks tertulis. Hal ini seperti pendapat Michael Stubb dalam Eriyanto (2001: 23) mendefinisikan analisis wacana sebagai suatu usaha untuk mengkaji organisasi bahasa diatas kalimat/ klausa. Dengan kata lain, analisis wacana merupakan studi yang lebih luas daripada unit-unit linguistik, yakni kajian pertukaran percakapan dan kajian teks-teks tertulis sehingga mampu meneliti bahasa lebih dari sekedar menggambarkannya dan dapat pula membantu memahami aturan berbahasa yang menjadi bagian dari pengetahun pengguna bahasa yang tercermin dalam komunikasi sehari-harinya. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana adalah ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa untuk

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

40

mengetahui pesan komunikasi baik dalam bentuk gambar, kata, tulisan atau lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Konteks mempunyai kedudukan yang penting dalam penafsiran makna tuturan yang disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit oleh penutur. Dalam hal ini, wacana yang berkaitan dengan proses komunikasilah yang akan dikaji lebih jauh ke dalam keterampilan berkomunikasi praktis pada segala situasi yang mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat. Kemampuan analisis wacana ini tergantung pada kemampuan mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan situasi ujar yang melingkupnya untuk mengetahui alasan tuturan. Unsur-unsur situasi ujar dibagi atas lima bagian yaitu: (1) penutur dan mitra tutur; (2) konteks tutur; (3) tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan; (4) tujuan tuturan; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal (Geoffrey Leech, 1993: 19-21). Unsur-unsur tersebut antara lain: 1) Penutur dan Mitra tutur Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pentuturan. Di dalam peristiwa tutur peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, yang semula berperan penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan komponen penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. 2) Konteks Tuturan Dalam tata bahasa konteks tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut koteks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

41

3) Tujuan Tuturan Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadikan hal yang melatarbelakangi tuturan. Karena semua tuturan memiliki suatu tujuan. 4) Tindak Tutur sebagai bentuk Tindakan atau Aktivitas Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas adalah bahwa tindak tutur itu merupakan tindakan juga. Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan mencubit tanganlah yang berperan, pada tindakan menendang kakilah yang berperan, sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. 5) Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia itu dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau bertutur itu adalah tindakan verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Tindakan verbal adalah tindak mengekpresikan kata-kata atau bahasa. Unsur-unsur di atas dapat dimungkinkan menjadi kendala penggunaan maksim percakapan jika tidak saling dimengerti peserta tutur. Secara rinci konteks yang juga perlu diketahui dalam setiap komunikasi bahasa sekaligus sebagai alasan kepatutan (appropriateness) penutur dalam bertutur yaitu setting atau scene (latar), participants (peserta tutur), ends (hasil), act sequences (urutan tindak), key (cara), Instrumentalities (sarana), norms (norma), dan genre (jenis) atau sering dirangkum menjadi jembatan kedelai “SPEAKING” (Hymes dalam Asim Gunarwan, 2007: 103). Konteks yang pertama adalah setting atau scene (latar). Latar yang dimaksud di sini berhubungan dengan tempat dan waktu. Konteks participants (peserta tutur) yaitu atribut penutur dan mitra tutur (status sosial mereka, hubungan mereka secara pribadi maupun secara dinas dan lainnya). Konteks topik yaitu dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi dapat berjalan dengan lancar. Konteks saluran yang dipergunakan, misalnya: tulisan, lisan, isyarat, kentongan, peluit, dan sebagainya. Interaksi dengan menggunakan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

42

saluran tulisan dengan lisan tentunya berbeda, terutama dari segi kalimat yang digunakan. Pada saluran tulis, kalimat yang digunakan lebih teratur dan resmi, sesuai dengan kaidah ketatabahasaan, sedangkan dalam bahasa lisan lebih santai. Konteks kode yang digunakan dalam mengungkapkan isi hati, biasanya pengungkapan dalam bahasa daerah kepada orang lain akan merasa lebih bebas, akrab, dan mudah berkembang ke arah hubungan pribadi jika dibanding dengan bahasa Indonesia, kecuali dalam situasi resmi. Konteks bentuk pesan melalui parikan, khotbah, puisi, drama, dan sebagainya. Suatu pengajian misalnya, dapat berisi ajaran-ajaran yang diselingi dengan anekdot-anekdot. Konteks selanjutnya adalah ends (hasil atau tujuan) yang selalu memuat tujuan yang hendak dicapai oleh penutur. Tujuan dapat berupa tujuan personal, seperti yang dicerminkan oleh proposisi (pengacuan/ prediksi) pada tuturan dan dapat berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik yang berupa PK dan PS. Konteks berikutnya adalah nada pembicaraan atau dalam hal ini genre, yang dapat dilakukan dengan serius, sinis, sarkastik, rayuan, dan sebagainya. Berdasarkan berbagai unsur komunikasi di atas terutama pada unsur konteks memberikan patokan bahwa dalam meneliti bahasa atau tuturan harus mengambil konteks suatu komunitas. Konteks menjadi sangat penting karena sebagai pengetahuan latar belakang tuturan yang sama-sama dimiliki baik oleh penutur maupun oleh mitra tutur dan yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan tuturan penutur. Untuk memahami pemakaian bahasa dapat dilakukan dengan analisis wacana dan mempertimbangkan konteks baik yang mengacu pada tuturan sebelum dan sesudah tuturan yang dimaksud, mengacu kepada keadaan sekitar yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat, dan budaya masyarakat (Brown dan Yuke dalam Abdul Rani dkk., 2006: 167). Konteks pun dapat mengacu pada kondisi fisik, mental, serta pengetahuan yang ada di benak penutur maupun mitra tutur. Unsur waktu dan tempat terkait erat dengan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, konteks sangat besar andilnya memuat tujuan yang hendak dicapai oleh penutur. Tujuan dapat berupa tujuan personal yang dicerminkan oleh proposisi pada tuturan atau berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

43

yang berupa PK dan prinsip sopan santun (PS). Setelah diketahui konteksnya, kemudian dilanjutkan dengan meneliti kegiatan komunikasi secara menyeluruh bahkan tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi adalah bagian komunitas tersebut. Sehingga tata cara bertutur akan mengacu pada kemampuan dan peran penutur, konteks, institusi, kepercayaan, nilai, dan sikap. Analisis wacana juga merupakan pendekatan yang mengkaji relasi antara bahasa dengan konteks yang melatarbelakanginya Salah satu kesulitan dalam analisis wacana adalah bahwa ujaran melakukan tindakan pada tingkatan pada tingkatan penafsiran yang berbeda-beda yang bisa diurutkan secara hierarkis melalui pendekatan pragmatik. Meskipun begitu, Abdul Rani dkk. (2006: V) menegaskan bahwa dalam melakukan studi wacana tidak mengabaikan pemanfaatan pendekatan linguistik karena komponen yang membangun suatu wacana adalah bunyi, kata, kalimat dan makna. Oleh karena itu, tahap pemahaman implikatur percakapan dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Pemahaman proposisi (pengacuan/ prediksi) eksplikatur 2) Mencocokkan dengan konteks (jika proposisi pada eksplikatur tidak cocok atau tidak memuaskan dilanjutkan tahap selanjutnya) 3) Mengubah pemahaman proposisi sesuai dengan konteks (terutama respon yang dikehendaki penutur) dengan cara mencari: a) Makna ujaran kelanjutannya b) Makna asosiasinya c) Makna ironinya dan d) Makna yang hilang Dengan demikian, pemahaman mengenai implikatur percakapan tetap didasar pada kompetensi gramatikal (eksplikatur) dan kompetensi sosial tentang hal yang diketahui dengan hal yang dilakukan oleh mitra tutur terhadap ujaran penutur. Hal in karena, setiap individu yang melakukan percakapan selalu memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu dengan berbagai cara ujaran. Sedikit berbeda dengan Geoffrey Leech (1993:55) yang menyatakan bahwa prosedur pemahaman implikatur percakapan membutuhkan inteligensi manusia yang dapat mencari dan menemukan pilihan-pilihan kemungkinan bardasarkan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

44

bukti kontekstual. Prosedur pemahaman implikatur percakapan dapat dipandang dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang penutur dan dari sudut pandang mitra tutur. Dari sudut pandang penutur, dapat digunakan analisis cara-tujuan yang menggambarkan keadaan awal sebagai masalah, keadaan tengahan, dan keadaan akhir sebagai tujuan penutur untuk mengatasi masalah melalui cara yang terletak di dalam rangkaian antara masalah dan tujuan. Analisis cara-tujuan itu dapat diperjelas dengan Gambar 1. Contoh dengan mengujarkan tuturan “Udaranya panas” yang berilokusi menginformasikan fakta yang meminta atau menyuruh mitra tutur untuk menyalakan alat pendingin. Untuk menyuruh mitra tutur menyalakan alat pendingin, penutur tidak secara terusterang langsung menyuruh mitra tutur, tetapi berputar dulu dengan mengujarkan tuturan “Udaranya panas” sebagai tuturan tidak langsung untuk sampai pada keadaan akhir yang menjadi tujuan penutur mengujarkan tuturan.

Gambar 1. Analisis Cara-tujuan (Geoffrey Leech, 1993:58) Dengan keterangan: 1 = keadaan awal (penutur merasa panas) 2 = keadaan tengahan pertama (mitra tutur mengerti bahwa penutur merasa panas) 3= keadaan tengahan kedua (mitra tutur mengerti bahwa penutur ingin alat pendingin dinyalakan) 4= keadaan akhir (penutur merasa dingin) TU = tujuan utama percakapan untuk mencapai keadaan 4 TPK = tujuan untuk menaati PK TPS = tujuan untuk menaati PS

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

45

TL = tujuan lain a= tindakan penutur berupa tuturan “Udaranya panas” b= tindakan penutur berupa ilokusi meminta/menyuruh mitra tutur untuk menyalakan alat pendingin c= tindakan mitra tutur menyalakan alat pendingin Dari sudut pandang mitra tutur, Geoffrey Leech (1993:40) menawarkan pemakaian analisis heuristik (bagian dari teknik analisis pragmatik) untuk menginterpretasi sebuah tuturan berimplikatur percakapan. Dengan analisis heuristik, dapat diidentifikasi daya pragmatis sebuah tuturan. Dalam analisis heuristik, bertolak dari problema, dilengkapi proposisi, informasi latar belakang konteks, dan asumsi dasar bahwa penutur menaati prinsip-prinsip pragmatis, mitra tutur lalu merumuskan hipotesis tujuan tuturan. Berdasarkan data yang tersedia hipotesis diuji kebenarannya. Bila hipotesis sesuai dengan bukti kontekstual, berarti pengujian berhasil dan hipotesis diterima kebenarannya. Keberhasilan pengujian hipotesis pertama menghasilkan interpretasi baku (default interpretation) yang menunjukkan bahwa tuturan memuat satuan pragmatis. Jika pengujian gagal karena hipotesis tidak sesuai dengan bukti yang ada, mitra tutur perlu membuat hipotesis baru untuk selanjutnya. diuji dengan data yang tersedia sampai diperoleh hipotesis yang berterima. Hasil pengujian lanjutan akan memberikan interpretasi implikasi pragmatis suatu tuturan dan itu berarti bahwa tuturan bermuatan implikatur percakapan. Alur analisis heuristik itu dapat digambarkan dengan Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Alur Analisis Heuristik (Geoffrey Leech, 1993:62)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

46

Hipotesis pada Gambar 2 dapat diformulasikan secara sederhana dengan memakai P sebagai lambang makna tuturan. Hipotesis tuturan dapat dituliskan dengan formulasi: 1) penutur mengatakan kepada mitra tutur (bahwa P) Hipotesis mengenai daya P yang menjadi tujuan pemecahan masalah dirampat; 2) tujuan penutur ialah agar mitra tutur mengetahui (bahwa P) Bertolak dari prinsip-prinsip pragmatik yang relevan, hipotesis itu diuji apakah taat asas dan sesuai dengan bukti kontekstual yang ada dengan konsekuensikonsekuensi seperti: a) penutur yakin (bahwa P) (Maksim Kualitas) b) Penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui (bahwa P) (Maksim Kuantitas) c) penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa P) (Maksim Hubungan) Jika konsekuensi (a), (b), dan (c) selaras dengan bukti konteks, hipotesis dapat diterima; tetapi jika satu konsekuensi saja bertentangan, hipotesis harus ditolak. Lalu disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan bukti yang sudah diamati dan diuji lagi. Dalam analisis heuristik, jika hipotesis pertama dapat diterima, kebenaran hipotesis itu akan menghasilkan interpretasi baku atas tuturan bahwa tuturan termasuk tindak tutur langsung. Jika hipotesis pertama ditolak karena tidak selaras dengan bukti kontekstual, misalnya ada pelanggaran maksim, hipotesis lain akan diterima untuk menghasilkan implikasi pragmatis dari tuturan dan tuturan tersebut termasuk tindak tutur tak langsung yang tidak berhubungan semantik atau berimplikatur percakapan (Stephen C. Levinson, 1983: 115). Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih konkret, berikut ini disajikan sebuah contoh analisis heuristik. Analisis ini dilakukan terhadap implikatur percakapan X yang diciptakan oleh Ani pada data berikut ini. Situasi : Hari minggu, pukul 06.00 biasanya Ani sudah bangun dan shalat subuh. Sambil menanti ayahnya siap untuk lari pagi bersama, Ani sering mendengarkan radio

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

47

sambil bersepatu. Selesai bersepatu, ia ke kamar mendekati ayahnya yang masih belum bangun dari tempat tidur, meskipun matanya telah terbuka dan tadi shalat subuh. Ani memiliki kebiasaan setelah bersepatu, ia selalu mencium ayahnya. Pagi ini setelah bersepatu, ia pun melakukan hal itu, dan sebaliknya. Percakapan: Ani : Pa, cium, Pa! Papa: Heem… Ani :(mencium pipi kanan, kiri, dan dahi ayahnya dan begitu pula sebaliknya si ayah.) Sudah siang, Pa. (X) Papa : Ya. Ani : Papa belum bersepatu (Y) Implikasi: Ani menyuruh ayahnya bangun. Ani menyuruh ayahnya bersepatu. Hipotesis tuturan berbunyi: 1) penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa (P) Penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa (hari sudah siang) 2) Hipotesis daya P : Tujuan penutur agar mitra tutur mengetahui (bahwa P) Tujuan penutur ialah agar mitra tutur mengetahui (bahwa hari sudah siang) Hipotesis daya P itu menyatakan bahwa tuturan penutur yang menginformasikan fakta kepada mitra tutur. Kemudian dilakukan pengkajian hipotesis berdasarkan PK apakah sesuai atau tidak dengan bukti kontekstual yang ada dengan mencocokkannya pada konsekuensi (a), (b), dan (c) berikut (Kunjana Rahardi, 2008: 16). a) penutur yakin (bahwa P) = penutur yakin (bahwa hari sudah siang) (Maksim Kualitas) b) penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui (bahwa P) = penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui (bahwa hari sudah siang) (Maksim Kuantitas)

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

48

c) penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa P) = penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa hari sudah siang) (Maksim Hubungan) Ternyata konsekuensi (a) didukung bukti yang ada dalam data bahwa memang benar hari sudah siang: pukul 06.00. Tetapi, konsekuensi (b) tidak demikian, karena data yang ada menunjukkan bahwa si ayah telah mengetahui bahwa hari sudah siang, ia sudah sembahyang, tidak tidur lagi, sudah bangun, dan sudah mencium Ani. Ani mengetahui semua itu sehingga penutur tidak yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui bahwa hari sudah siang. Dengan demikian penutur melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi baru bagi mitra tutur. Akibat dari itu, penutur pun melanggar maksim hubungan karena konsekuensi (c) pun tidak terdukung bukti, penutur tidak yakin bahwa ayahnya sebaiknya diberi tahu bahwa hari sudah siang karena Ani mengetahui bahwa ayahnya sudah tahu. Pemberitahuan itu tidak relevan dengan tujuan yang ada pada rumusan (2). Karena konsekuensi (b) dan (c) tidak sesuai dengan bukti kontekstual, maka hipotesis (2) ditolak. Selanjutnya, disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan kontekstual atau fakta besar peluangnya untuk dapat diterima (Louise Cummings, 2007: 121). 1) penutur mengatakan kepada mitra tutur (bangun) 2) Tujuan penutur ialah menyuruh agar mitra tutur (bangun) a) penutur yakin (bahwa perlu menyuruh mitra tutur bangun) b) penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui maksud (bahwa penutur menyuruh mitra tutur bangun) c) penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa penutur menyuruh mitra tutur bangun). Hipotesis B diuji dengan membandingkan konsekuensi (a), (b), dan (c) dengan data yang ada. Setelah diuji, ternyata bahwa (a) didukung oleh data: Ani yang sudah bersepatu bertujuan menyuruh ayahnya segera bangun untuk bersepatu kemudian lari pagi bersama sebagaimana yang biasa mereka lakukan setiap pagi. Ani memakai satuan pragmatis menginformasikan fakta karena ia menaati prinsip

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

49

sopan santun. Sebagai anak ia telah memahami bahwa tidak sopan untuk memerintah ayahnya secara langsung sehingga ia tidak mau memakai satuan pragmatis menyuruh. Konsekuensi (b) pun didukung data. Ani yakin bahwa ayahnya yang berada di kamar tidak mengetahui bahwa Ani sudah bersepatu sehingga menghendaki ayahnya bangun. Oleh karena. itu, cukup relevan jika, Ani menyuruh ayahnya untuk bangun sehingga, konsekuensi (c) pun sesuai dengan data kontekstual. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa konsekuensi (a), (b), dan (c) sesuai dengan data kontekstual. Dengan demikian, hipotesis (2) dapat diterima. Interpretasi hipotesis (2) adalah bahwa tuturan Ani, “Sudah siang, Pa”, yang diproduksi oleh Ani termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan. Tuturan itu mempunyai implikasi pragmatis menyuruh yaitu Ani menyuruh ayahnya untuk bangun. Hasil interpretasi implikatur percakapan seperti yang telah dilakukan dengan analisis heuristik itu sifatnya tidak terlalu pasti. Begitu pula tidak semua mitra tutur (guru atau peserta didik) dapat menginterpretasikan implikatur percakapan yang dujarkan penutur dengan tepat. Hal ini tak lain karena kekuatan ilokusi dalam ujaran yang juga dipengaruhi alasan dan kebiasaan penutur. Sifat representasi implikatur percakapan tidak jelas (Thomas Holtgraves, 2008: 366). Di satu sisi, teori tindak tutur menunjukkan kekuatan ilokusi memainkan peran penting dalam pemahaman komentar percakapan. Tetapi sisi lain, relevansi teori menunjukkan bahwa pengenalan suara spesifik tindakan tidak diperlukan untuk pemahaman percakapan. Geoffrey Leech (1993:30) juga menyatakan bahwa penjelasan terhadap implikatur percakapan mengandung sifat probabilitas. Hal yang dimaksudkan oleh penutur dengan tuturan-nya tidak pernah dapat diketahui secara pasti. Faktor kondisi yang diamati, tuturan, dan konteksnya mengarahkan penutur untuk menyimpulkan interpretasi dari peluang-peluang yang paling mungkin. Menafsirkan daya proposisi sebuah tuturan sama dengan pekerjaan tebak-menebak atau dalam istilah ilmiah disebut menciptakan hipotesis-hipotesis. Seorang penafsir yang baik sekalipun tidak selalu sanggup membuat kesimpulan yang pasti mengenai maksud penutur karena sering kali terjadi suatu

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

50

tuturan sengaja dikaburkan oleh penuturnya. Agaknya demikian juga, penafsiran implikatur percakapan anak usia SD yang masih berada dalam proses usaha menguasai bahasa Indonesia. Satu tuturan yang berupa bilingual (bahasa Indonesia atau bahasa daerah) untuk mengekspresikan suatu satuan pragmatis dimungkinkan dapat menyiratkan satu atau lebih satuan pragmatis lain sebagai implikasi pragmatis yang mewujudkan implikatur percakapan pada mitra tutur. Dengan demikian, kegiatan pemecahan implikatur percakapan dengan pragmatik yang mencakup penafsiran dari sudut pandang penutur maupun mitra tutur adalah kondisi ideal karena pada kenyataannya beberapa kondisi sudah terjalin saling pengertian sebelum hipotesis dibuat karena adanya pengenalan latar dan kebiasaan pelaku tuturan sehingga mudah mengetahui maksud penutur dan lebih konsisten jika dilakukan dengan tahap pemahaman ilokusi yang benar. Jika hal ini dapat dikuasai oleh guru dalam pembelajaran di kelas, maka guru akan dengan mudah mengarahkan arah interaksi di kelas sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selain itu, peserta didik juga dapat belajar memahami ujaran implikatur percakapan melalui kebiasaan yang diterapkan guru saat kegiatan belajar mengajar di kelas. 2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD Ilmu pendidikan merupakan upaya penerapan akal budi, nilai-nilai, norma, etika, dam moral dengan cara yang paling bernalar yang bertujuan membentuk watak dan karakter individu, bukan sekedar pengembangan aspek kognitif melainkan juga mencakup ketajaman olah rasa dan keterampilan (Agus Salim, 2007: 77). Hal ini terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang dipandang sebagai suatu proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar (bahasa Indonesia) dalam suatu lingkungan belajar. Apabila sumber belajar dipilih berdasarkan pertimbangan prinsip pengembangan (standar kompetensi dan kompetensi dasar), maka pembelajaran bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai pengembang potensi peserta didik dan bahasa Indonesia. Pendekatan pembelajaran terpadu menjadi salah satu alternatif yang dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tingkat sekolah dasar

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

51

yang lebih menekankan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (Toho Motahir dkk., 2001: 7). Hanya saja terdapat perbedaan cara pengembangan sumber belajar berdasarkan kompetensi yang terdapat pada masing-masing jenjang kelas di SD. Pertama, pengembangan sumber belajar untuk peserta didik kelas rendah (kelas I, II, dan III) yang masih memandang segala sesuatu sebagai satu keutuhan (fisik, mental, sosial dan emosional) melalui pembelajaran tematik misalnya tema lingkungan menjadi sumber belajar peserta didik kelas I untuk mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, IPS dan IPA. Kedua, sumber belajar untuk peserta didik sekolah dasar kelas tinggi (kelas IV, V, dan VI) berdasarkan tuntutan kompetensi dan pengalaman belajar yang dilaksanakan dengan merumuskan kompetensi dasar, indikator dan pengalaman belajar kemudian sumber belajar. Sehingga sumber belajar dikembangkan untuk memberikan pengalaman belajar yang memiliki beberapa indikator kompetensi dasar, misalnya peserta didik dapat menggunakan kata ‘transportasi’ dalam kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan baik secara lisan (berbicara) maupun tertulis (menulis). Karakteristik pembelajaran bahasa adalah sarana komunikasi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan (Markhamah, 2004: 58). Artinya, pembelajaran bahasa menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi sekaligus menjadi pendekatan yang menekankan aspek kemahiran dan fungsi bahasa. Sehingga tak heran jika sejak sekolah dasar, peserta didik telah diajari keterampilan suatu bahasa baik bahasa pertama (daerah) maupun bahasa kedua (bahasa Indonesia), hanya saja tak jarang terjadi ”kesalahan berbahasa” dengan mencampur, bahkan menyederhanakan ragam baku akibat pengaruh bahasa nonbaku sehari-hari (Sumarsono, 2009: 148). Untuk itu, pragmatik diperlukan dalam pembelajaran berbahasa kelas V seharusnya mencakup empat macam kompetensi yaitu kompetensi gramatikal (grammatical competence), kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) sebagai pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) sebagai kemampuan menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategi (strategi competence) sebagai kemampuan pengungkapan gagasan sesuai aturan bahasa. Sehingga “kesalahan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

52

ragam baku” tersebut dapat hilang setelah peserta didik mengetahui cara menyampaikan maksud dengan bahasa yang baik dan benar sekaligus sopan. Paparan di atas juga sesuai dengan pendapat Jack C. Richard (1995:103) yang menyatakan bahwa perkembangan

dari

kompetensi

gramatikal menjadi

komunikatif dalam pembelajaran bahasa formal adalah pengaturan belajar mengajar dengan menciptakan konteks sebagai perwujudan dan penafsiran tuturan. Sehingga, pembelajaran bahasa seharusnya mengakomodasi kebutuhan berbahasa secara praktis sesuai dengan kondisi yang nyata (lingkungan fisik maupun kultural). Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik, proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh peserta didik secara otomatis akan mengacu pada suatu kondisi praktis tindak komunikasi yang tetap menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Untuk itu, orientasi pembelajaran yang seperti ini juga

akan

menuntut

penyesuaian

pada

berbagai

aspek

pembelajaran,

dari kurikulum sampai tataran praktis pembelajaran. Sekaligus semua warga sekolah dikondisikan dan didisiplinkan untuk berbahasa dengan sopan. Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran bahasa adalah peserta didik memiliki keterampilan berbahasa. Prestasi belajar berbahasa peserta didik merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses kegiatan yang merupakan interaksi sejumlah komponen belajar-mengajar dengan diri peserta didik. Kemudian dihubungkan dengan norma tertentu yang distandarisasi serta terukur sesuai tujuan pembelajaran berbahasa. Secara singkat, seseorang dikatakan terampil berbahasa apabila ia terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Terkhusus untuk keterampilan berbicara, St. Y. Slamet (2008: 35) menjelaskan bahwa keterampilan ini merupakan tingkah laku yang harus dipelajari terlebih dahulu, kemudian baru bisa dikuasai. Untuk menguasai keterampilan ini, peserta didik dituntut penguasaan kosakata yang cukup memadai, pengetahuan dan penguasaan ucapan dan ejaan bahasa yang baku, dan pengetahuan tentang penggunaan kalimat, klausa, dan frasa yang tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia sejak sekolah dasar. Senada dengan pendapat di atas Deborah Schiffrin (2007: 567) menegaskan bahwa pengetahuan penutur dan mitra tutur (dalam hal ini adalah guru dan peserta

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

53

didik) sangat penting dalam komunikasi karena saling terkait dengan situasi ujaran atau dapat juga disebut konteks. Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas V sekolah dasar tidak menjamin kontribusi dan korelasi maksimal untuk menumbuhkan kesadaran penggunaan bahasa secara sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari jika pembelajaran tersebut masih bersifat kurang komunikatif dan kognitif yang berakibat perilaku berbahasa menjadi tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi monoton sehingga membuat peserta didik merasakan gejala kejenuhan saat belajar bahasa Indonesia. Padahal, suatu pembelajaran bahasa dapat dikatakan telah berorientasi pada penggunaan bahasa pada tataran praktik jika dari program, materi (bahan), ragam bahasa, dan penciptaan situasi atau konteks serta target akhir dari pembelajaran bahasa adalah “peserta didik mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis” (BSNP, 2006: 376-377). Hal yang sama juga diutarakan E. Mulyasa (2003: 149) bahwa pembelajaran efektif yang ditandai pemberdayaan peserta didik secara aktif dan melatih sekaligus menanamkan sikap demokratis bagi peserta didik. Sebagaimana yang telah dipaparkan, membuktikan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar terutama kelas V yang telah memperhatikan kesantunan berbahasa seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik baik lisan maupun tulisan dalam berbagai fungsi dan konteks yang bermakna atau tidak dalam bentuk kalimat-kalimat lepas. Di sinilah guru menjadi komponen pembelajaran yang penting untuk contoh konkret berbahasa peserta didik kelas V yang tercermin dalam delapan keterampilan mengajar yaitu keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan

variasi,

menjelaskan,

membuka

dan

menutup

pelajaran,

membimbing diskusi kecil, mengelola kelas, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan. Aspek nonlinguistik yang harus diperhatikan guru saat bertutur dalam

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

54

pembelajaran bahasa yaitu sosial (jenis kelamin, umur dan status sosial), ideologi (agama dan kepercayaan), latar belakang kultural (kebiasaan dan adat istiadat), partisipan dan pendidikan (Markhamah, 2004: 61). Guru seharusnya dapat mengarahkan peserta didik untuk menyadari adanya faktor-faktor penentu tersebut saat tindak berbahasa. Dalam hal ini, Jack C. Richard (1995: 31) menegaskan jika terjadi kesalahan penggunaan kemampuan gramatikal, ilokusioner dan sosial dalam komunikasi maka akan menimbulkan kesalahpahaman atau konflik komunikasi. James M. Heslin (2006: 44) juga mengungkapkan bahwa ketidaktahuan tentang faktor penentu bahasa akan mengakibatkan penutur tidak berhasil mencapai kesederhanaan komunikasi sekaligus beresiko menyinggung perasaan mitra tutur. Untuk itu, kemampuan mengkaji hal-hal di luar bahasa akan sangat membantu peserta didik kelas V dalam mengaplikasikan kompetensi berbahasa yang dimiliki secara praktis dalam kondisi senyatanya. Komunikasi kelas yang terjadi saat di sekolah dasar perlu diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis yaitu pengguna (dalam hal ini guru dan peserta didik) dapat menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, diharapkan peserta didik akan lebih dapat mengaktualisasikan kemampuan berbahasa yang sopan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD Kepentingan komunikasi, bukanlah sekedar penguasaan ketatabahasaan dan teori-teori semata sehingga mencapai suatu kemampuan berkomunikasi secara “baik”, tidaklah mungkin dapat tercapai hanya dengan mempelajari bahasa secara struktural saja. Hal tersebut dikarenakan adanya banyak faktor di luar bahasa yang mempengaruhi proses berkomunikasi. Cara penyampaian materi pembelajaran disertai penerimaan dan merespon masukan dari peserta didik juga mempengaruhi kesempatan berbahasa pada peserta didik untuk menerapkan hal-hal yang dipelajari saat berkomunikasi dengan memperhatikan kesantunan (Made Wena, 2009: 9). Dalam hal ini, pendekatan pragmatik (komunikatif) cukup membantu dalam pembelajaran bahasa kelas V yang berorientasi pada tindak komunikasi secara praktis. Bambang Kaswanti Purwo (1990: 4) menjelaskan bahwa salah

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

55

satu ciri yang menonjol pada pendekatan tersebut ialah beralihnya perhatian dalam pembelajaran bahasa dari guru ke peserta didik sebagai titik pusat. Penyebab seseorang mau sopan santun berbahasa, salah satunya adalah terdorong sikap hormat kepada mitra tutur atau sering disebut efek honorifik (Paul Ohoiwutun, 2007: 88). Inilah pentingnya salah satu tugas guru yaitu sebagai penasehat untuk mengarahkan hingga menasehati peserta didik karena kecenderungan guru yang dianggap sebagai orang kepercayaan bagi peserta didik (E. Mulyasa, 2006: 43). Untuk itu, jika guru mampu memanfaatkan pola-pola hubungan interaksional dengan peserta didik melalui percakapan dalam pembelajaran, maka tidak mustahil wibawa guru akan terbentuk. Kewibawaan ini muncul karena peserta didik mengalami sendiri peran bimbingan guru. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan pendapat diatas, kewibawaan dalam proses belajar-mengajar adalah sesuatu yang diperlukan bagi seorang guru untuk membelajarkan atau mempengaruhi peserta didik tanpa adanya paksaan. Percakapan yang terjadi dapat membangun kedekatan jarak yang akan membuahkan tingkat pemahaman antara pelaku sosial (dalam hal ini guru dan peserta didik). Salah satu fungsi komunikasi (percakapan) adalah mempengaruhi mitra tutur (Hoveland dalam Anwar Arifin, 2003: 24). Dengan kata lain, akibat muncul pemahaman antara guru dengan peserta didik, secara tidak langsung akan membangun suatu kesamaan praanggapan yang membuat seseorang mampu merasakan yang orang lain rasakan dalam tataran tingkat tinggi dari proses sosial melalui interaksi sosial. Pemahaman ini hanya akan terwujud jika terjadi kontak sosial yang terus menerus dan komunikasi yang terus menerus seperti dalam percakapan antara guru dengan peserta didik. Dalam hal ini Agus Salim (2007: 70) juga berpendapat bahwa peserta didik perlu selalu dibimbing untuk menciptakan kesadaran sehingga dapat menangkap makna dibalik yang terlihat secara fisik, dari mulai paling kecil sampai makna paling besar dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini akan menghasilkan kebebasan dalam berpendapat melalui tuturan yang bertanggung jawab dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta sopan.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

56

Adapun hal lain yang diperhatikan guru dalam perkembangan bahasa peserta didik adalah lingkungan belajar. Conny R. Semiawan (2008: 50) yang menyatakan bahwa perkembangan bahasa terutama pembicaraan peserta didik sangat pengaruhi oleh kehidupan emosinya. Situasi percakapan (serius, santai, wajar, atau tertekan) merupakan hal yang esensial dan mempengaruhi keadaan dan kelancaran berbicara peserta didik (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 400). Sehingga aktivitas yang dilakukan pada saat mengajarkan materi harus diarahkan pada komunikasi yang sebenarnya. Materi juga harus dikaitkan dengan makna yang mencerminkan suatu ide, konsep yang disesuaikan dengan latar belakang dan tingkat kemampuan peserta didik. Salah satu asumsi dalam bahasa adalah lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa (Chomsky dalam Abdul Chaer, 2002: 222). Ketidakcukupan kosa kata ini akan terasa pada saat anak mulai memasuki dunia sekolah dasar yang mengharuskannya berinteraksi dengan orang dewasa, terutama di kelas V yang telah dituntut untuk berkomunikasi dengan memperhatikan kesantunan berbahasa. Padahal, keaktifan peserta didik belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami dan dikembangkan guru saat proses pembelajaran (Aunurrahman: 2010:119). Untuk itu, guru perlu menyesuaikan pemberian stimulus yang baik dari lingkungan kepada peserta didik agar dapat direspon dengan berbicara yang baik pula. Selain itu, adanya rasa tenang dan bebas dari tekanan (overloading) akan membuat peserta didik lebih konsentrasi menyusun ujaran sesuai maksud yang ingin disampaikan. Bahkan kepatuhan peserta didik terhadap guru bukan kepatuhan karena takut, akan tetapi kepatuhan karena keprofesionalan guru. Hubungan sosial yang bebas dari tekanan demikian sangat diperlukan pada dunia pendidikan terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini karena pembelajaran bahasa Indonesia yang penuh muatan interaksi sosial, menjadi sangat positif apabila ada keseimbangan dalam pola hubungan. Pola keseimbangan yang dimaksud adalah pola percakapan yang berlaku dua arah, dalam arti pada posisi tertentu peserta didik dapat bermitra dengan gurunya.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

57

Kemitraan guru dan peserta didik ini dalam pendidikan diwadahi dalam kegiatan pembelajaran yang interaktif. Hanya saja terkadang ungkapan lisan/ kata-kata yang ditujukan untuk peserta didik didominasi perintah yang membuat anak menanggapinya secara fisik sebelum melakukan tanggapan verbal. Selain itu, tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru saat proses KBM yaitu mengambil

jalan

pintas,

menunggu

peserta

didik

berperilaku

negatif,

menggunakan destrctive discipliner, mengabaikan perbedaan negatif, merasa paling pandai, tidak adil, dan memaksa hak peserta didik (Soediro Satoto, 2006: 88). Hal ini sangat terlihat dari setiap tuturan praktik berbahasa Indonesia keseharian baik lisan maupun tulisan pada dasarnya mengandung tuturan imperatif (perintah) langsung maupun tidak langsung (Kunjana Rahardi, 2008: 11). Kesalahan dan tuturan imperatif ini jika dilakukan guru bahasa dan sastra Indonesia secara berlebihan akan membuat pembelajaran menjadi tidak komunikatif dan cenderung membosankan karena komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran hanyalah tuntutan guru pada peserta didik. Padahal hakikat dari pembelajaran berbahasa adalah kompetensi komunikatif. Untuk mengatasi hal tersebut, guru dapat menggunakan pendekatan yang menekankan pada komunikatif dan pemahaman (Comprehension) perkembangan kemampuan peserta didik sebelum pelajaran diajarkan. Hal ini sesuai dengan asumsi

pengajaran

berkomunikasi

Asher

dalam

Fitrah

(2009)

yang

mengungkapkan bahwa: a. pengajaran berbicara harus ditunda sampai kemampuan memahami terbentuk; b. kemampuan memahami meningkatkan kemampuan produktifitas dalam mempelajari suatu bahasa; c. kemampuan didapat melalui transfer mendengar ke kemampuan yang lain; d. pengajaran harus menekankan arti daripada bentuk; e. pengajaran harus meminimalis stres pada pelajar. Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa suatu pembelajaran seharusnya memberikan lahan tindakan bagi guru atau peserta didik. Topik percakapan yang disampaikan juga memungkinkan partisipan (guru dan peserta didik) untuk melatih keterampilan interpersonal dalam mencapai tujuan interaksi.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

58

Proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi seperti kerjasama dan akomodasi. Kerjasama dalam dunia pendidikan merupakan salah satu proses untuk membangun hubungan antara guru dengan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan

pendidikan.

Sedangkan

istilah

akomodasi

di

dunia

pendidikan

dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan (keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku dan nilai sosial) dan menunjukan pada suatu proses (usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan suatu pertentangan). Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses yang dapat terjembatani oleh karena adanya keterampilan interpersonal antara guru dengan peserta didik saat percakapan dalam pembelajaran berlangsung. Ada delapan keterampilan mengajar yang sangat berperan meningkatkan kualitas proses pembelajaran yaitu keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kecil, mengelola kelas, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan (Turney dalam E. Mulyasa, 2006: 69). Selain itu, guru perlu memperhatikan beberapa hal untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan membuat peserta didik nyaman dalam belajar berbahasa antara lain: a. Guru memegang teguh pameo, “peserta didik tidak peduli seberapa banyak yang guru ketahui sampai mereka tahu seberapa jauh guru peduli”. b. Guru dapat menyampaikan harapan atau tujuan pembelajaran dengan jelas. c. Guru mempunyai waktu untuk mendengarkan peserta didik. d. Mengakui, mendorong dan membantu capaian dan perilaku peserta didik. e. Jangan menggunakan sarkasme atau mengejek saat berbicara kepada peserta didik (Rolanld Partin, 2009:13-17). Bertolak dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa seorang guru hanya akan mendapat rasa hormat, jika ia menunjukkan rasa hormat; akan dapat mengembangkan kelas dengan cara memusatkan diri pada peserta didik daripada memusatkan pada mata pelajaran. Tujuan pembelajaran yang jelas membuat peserta didik tidak bingung dalam mengikuti pembelajaran sekaligus peserta didik

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

59

dan guru secara tidak langsung akan berusaha menyamakan persepsi mengenai hal yang akan dipelajari dengan hal yang telah dipelajari sebelumnya. Dan setiap peserta didik juga ingin dihargai saat mengutarakan pendapat maupun kesulitan belajar yang mengganggu konsentrasi belajar. Jika hal tersebut tidak diselesaikan maka percakapan dalam pembelajaran akan didominasi oleh guru. Selain itu, memperhatikan tuturan saat bercakap dengan peserta didik merupakan hal yang terpenting dalam membangun kondisi emosi peserta didik dalam menguasai keterampilan berbahasa. Percakapan yang terjadi di kelas baik antara guru dengan peserta didik maupun antar peserta didik secara tidak langsung juga sangat mempengaruhi perkembangan berbahasa peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Jack C. Richard (1995: 2) yang menyimpulkan bahwa percakapan adalah suatu aktivitas yang diatur dengan kaidah, norma, dan konvensi yang dipelajari sabagai bagian dari proses pemerolehan kompetensi berbahasa. Dengan kata lain, percakapan merupakan salah satu peristiwa tutur yang tidak sekedar pertukaran informasi antara penutur dan mitra tutur, melainkan lebih pada saling berbagi prinsip-prinsip umum agar dapat saling menginterpretasi ujaran yang dihasilkan. Dwi Purnanto (2003: 95) juga menambahkan bahwa setiap tuturan akan selalu mengandung ide, sedangkan setiap peristiwa komunikasi dalam komunitas senantiasa mengandung pola kegiatan tutor yang mencerminkan kompetensi komunikatif penutur. Hal ini juga terjadi dalam pembelajaran di kelas yang tidak hanya sekedar aktivitas dasar atau meniru dialog, tetapi memfokuskan pada pemahaman dan pertalian percakapan pembelajaran. Peserta didik sebenarnya memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan serta teman untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya. Sehingga perlu adanya arahan dari guru secara nyata tanpa menghilangkan

kesempatan

peserta

didik

untuk

melatih

kemampuan

komunikasinya. Secara tidak langsung, guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangka memilah,lingkungan tuturan yang harus diciptakan agar menjadikan proses pendidikan berlangsung. Proses penciptaan lingkungan tuturan sendiri sudah

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

60

harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali. Mengelola keduanya untuk dapat dikaitkan dengan peserta didik sehingga terjadi proses sosialisasi nilai berkomunikasi. St. Y. Slamet (2008: 35) menyebutkan bahwa peserta didik adalah produk lingkungan, jika sering diajak berbicara dan mampu menjawab sekaligus diberi kesempatan belajar dan melatih keterampilan berbicaranya maka peserta didik tersebut akan terampil berbicara. Oleh sebab itu, pembelajaran berbahasa yang mengaktifkan pelaku komunitas kelas (baik guru maupun peserta didik) sangat menunjang dalam menjadikan hal-hal yang disampaikan dapat diterima oleh peserta didik. Wujud pengorganisiran lingkungan dalam kelas akan menjadi bermakna secara sosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambil oleh peserta didik untuk mencapai kedewasaan berkomunikasi yang mandiri. Hasil penelitian Baldie dalam Abdul Chaer (2002: 238) yang menyimpulkan bahwa baru sekitar 80% dari anak usia tujuh setengah sampai delapan tahun dapat menggunakan kalimat pasif dan kesulitan dalam mengontruksi kalimat imperatif, tetapi sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks dengan memperhatikan kesopanan. Hal ini hampir sama dengan pendapat Muhibbin Syah (2008: 67) yang mengungkapkan bahwa tahap ketiga setelah tahap sensory-motor dan preoperational adalah tahap operasional konkret pada anak usia tujuh hingga sebelas tahun yang mulai membentuk representasi simbolik benda-benda di sekitarnya seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar dan lainlain. Ghazali (2004: 213) berdasarkan penelitiannya juga menyimpulkan bahwa pengembangan inti leksikal dan inti fungsional tuturan menuju proyeksi maksimal dalam bahasa Indonesia (bahasa kedua) siswa SD ternyata terjadi secara bertahap, sebagaimana dapat diikuti dari perkembangan kerumitan kalimat siswa SD kelas IV, V, dan VI. Oleh karena itu, ujaran yang diterima merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode untuk direspon, sedangkan pemahaman pesan merupakan rekognisi sebagai hasil analisis terhadap kode yang diterima sehingga terbentuklah representasi makna. Dengan penjabaran di atas, membuktikan bahwa pada periode usia sekolah perkembangan bahasa yang paling jelas tampak adalah perkembangan semantik

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

61

dan pragmatik, di samping mempelajari bentuk-bentuk baru, peserta didik belajar menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih efektif. Ada dua jenis penambahan makna kata secara horizontal yaitu peserta didik semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat. Selain itu, terjadi pula perkembangan kemampuan menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara tertulis. Penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi pun meningkat. Kegiatan proses belajar mengajar merupakan proses menanamkan norma dalam jiwa peserta didik melalui peranan guru dalam pembelajaran sehingga terjalin interaksi edukatif. Syaiful Bahri Djamarah (2005:11) mengungkapkan bahwa proses interaktif edukatif menggambarkan percakapan dua arah antara guru dan peserta didik yang mengandung norma pengantar tingkah laku yang sesuai pengetahuan peserta didik. Oleh karena itu, percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas V seharusnya telah mengarah pada kesantunan berbahasa sehingga tuturan guru pada peserta didik memperhatikan pencapaian interaksi edukatif dengan penggunaan bahasa yang lebih mementingkan aspek kesopanan sesuai SK dan KD. Sopan santun dapat ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk tindakan, tetapi juga dalam bentuk tuturan. Membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih sopan daripada membanting pintu di hadapan seseorang. Demikian juga dalam tuturan “Silakan masuk” lebih sopan daripada tuturan “Masuk!”. Sopan santun dalam bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan semata-mata motivasi utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan merupakan faktor pengatur yang menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar, menyenangkan, dan tidak sia-sia. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Geoffrey Leech (1993:38) bahwa manusia pada umumnya lebih senang mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak sopan. Untuk itulah, penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran berbahasa merupakan metode yang baik untuk mengarahkan interaksi kelas sesuai

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

62

tujuan pembelajaran. Meskipun juga rawan ketidakpahaman tuturan antara penutur dengan mitra tutur jika tidak diimbangi dengan praanggapan yang sama atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemahaman tuturan. Apalagi jika bahasa yang digunakan penutur dan mitra tutur merupakan bahasa kedua (bahasa Indonesia) dan masih dalam tingkatan belajar. Peran guru dan penanaman kebiasaan dalam pembelajaran berbahasa sangat penting guna mendukung kelancaran komunikasi antara guru dengan peserta didik yang masih menggunakan dua bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal ini ditambah dengan SD Negeri I Pondok yang dampak globalisasi belum terlalu mengikis nilai kesopanan, membuat peserta didik sekolah ini masih menganggap guru sebagai sosok yang disegani.

B. Penelitian yang Relevan Hasil Penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini adalah (1) Chusni Hadiati dalam tesis yang berjudul “Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-Laki dalam Film The Sound Of Music tahun 2007”, (2) Anina Syaifatul dalam skripsi yang

berjudul “Implikatur Percakapan dalam Wacana Humor Berbahasa

Indonesia tahun 2005”, (3) Eriza Muraqin dalam skripsi yang berjudul “Implikatur Percakapan Pada Bahasa Iklan Produk (Studi Kasus Di Radio Gsm Fm) tahun 2009”, dan (4) Sudirman dalam laporan penelitian yang berjudul “Implikatur dalam Percakapan Bahasa Inggris Siswa SMA: Studi Pragmatik tahun 2005”. Chusni Hadiati dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tindak tutur dan implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama dan kesantunan pada wacana percakapan film The Sound of Music adalah sebagai berikut: (1) implikatur representatif (2) implikatur direktif; (3) implikatur komisif; (4) implikatur ekspresif. Alasan perbedaan tuturan tokoh wanita dan tokoh lakilaki itu disebabkan adanya kecenderungan kaum subordinat (wanita) untuk berperilaku sopan termasuk dalam penggunaan bahasa dan bentuk bahasa yang sopan dalam merefleksikan asal kelas sosial penutur.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

63

Penekanan dalam penelitian tersebut terletak pada pelanggaran prinsip percakapan (kerjasama dan kesantunan) dan alasan perbedaan tuturan tokoh pria dan wanita dalam menggunakan implikatur percakapan. Yang secara tidak langsung telah membuktikan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi cara berbahasa seseorang terutama dalam menjaga “wajah” baik penutur mapun mitra tutur. Salah satu faktor penentu tindak bahasa tersebut adalah perbedaan sosial terutama masalah genre. Dalam hal ini, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti wujud implikatur percakapan guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik lain yang mempunyai latar belakang sosial yang berbeda. Apalagi di sekolah SD Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo ini masih menganggap seorang guru mempunyai kedudukan setara bahkan lebih disegani oleh peserta didik dibanding orang tua peserta didik itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anina Syaifatul menyimpulkan wujud lingual implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia dapat berupa (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat imperatif, dan (3) kalimat interogatif, (4) gabungan antara kalimat interogatif dengan deklaratif, (5) gabungan antara kalimat interogatif dengan kalimat imperatif, (6) gabungan antara kalimat deklaratif dengan kalimat imperatif, dan (7) gabungan antara kalimat deklaratif, interogatif, dan kalimat imperatif. Implikasi pragmatis implikatur percakapan meliputi implikasi pragmatis yang menyatakan (1) penutur kurang memahami tuturan yang disampaikan oleh mitra tutur, (2) penutur meminta pengertian mitra tutur akan tuturan yang disampaikannya, (3) penutur mengelabuhi mitra tutur, (4) penutur merasa senang, (5) penutur harus atau pasti melakukan pekerjaan yang dimaksudkan oleh penutur, dan (6) apa yang disampaikan penutur sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Sedangkan fungsi implikasi implikatur percakapan yang digunakan dalam wacana tersebut meliputi (1) menyindir, (2) menghibur, (3) memerintah, dan (4) mengejek. Selain itu, Anina Syaifatul juga menyarankan agar humor sebagai sarana yang ampuh dalam masyarakat hendaknya dapat ditingkatkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini dengan maksud agar dapat memberikan hiburan dan memberikan kelegaan hati agar tidak selalu tegang dan serius.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

64

Bertolak dari penelitian tersebut, peneliti berpendapat bahwa setiap tuturan baik lisan maupun tulisan memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda-beda meskipun wujud yang digunakan hampir sama. Bahkan wacana humor yang dianggap hanya sebagai hiburan ternyata memiliki beragam fungsi selain untuk menghibur. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui fungsi dan tujuan implikatur percakapan yang digunakan guru dan peserta didik dalam pembelajaran yang notabene tidak hanya sekedar penyampaian materi, tetapi juga dalam hal mendidik individu sesuai tujuan pembelajaran. Penelitian yang dilakukan Eriza Muraqin yang menunjukkan tuturan yang mengandung implikatur percakapan dalam iklan produk di radio GSM FM terdiri dari dua bentuk tuturan yaitu tuturan yang berbentuk direktif dan tuturan berbentuk deklaratif. Implikatur yang terjadi pada bahasa iklan produk di radio GSM FM pada umumnya ditimbulkan oleh rasa ingin tahu pendengar dan keinginan untuk mencoba terhadap produk yang ditawarkan oleh pemasang iklan. Faktor yang menyebabkan adanya pemakaian implikatur dalam iklan produk di radio GSM FM diantaranya faktor ekonomi, faktor kebutuhan masyarakat, dan faktor efektivitas produk. Hasil penelitian Eriza Muraqin ini mendorong peneliti untuk mengkaji implikatur percakapan dalam percakapan lain yaitu pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak hanya mementingkan aspek komunikatif tetapi juga aspek kesantunan berbahasa secara langsung (tatap muka). Wujud dan alasan implikatur percakapan yang telah disebutkan dalam penelitiannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam memperoleh keterangan atau informasi lainnya. Secara umum hasil penelitian yang dilakukan Sudirman menguraikan bahwa bentuk lingual implikatur percakapan bahasa Inggris siswa SMA Bandar Lampung bervariasi terdiri dari kata, frase, klausa hingga kalimat yang mengarah pada kesepahaman dan keterusterangan antara pembicara dan pendengar. Tetapi, implikasi implikatur ditandai dengan penggunaan maksim gramatikal yang ketat untuk mempertahankan hubungan formal-fungsional baik sebagai guru, peserta didik maupun antar peserta didik. Sudirman juga menyarankan agar peserta didik maupun guru perlu diharapkan menggunakan maksim komunikatif yang lebih fleksibel dan sesuai pilihan penutur bukan semata-mata karena belajar berbahasa.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

65

Dari hasil penelitian Sudirman mengenai implikatur dalam pembelajaran bahasa Inggris, peneliti berpendapat bahwa alasan penggunaan atau pelanggaran maksim saat percakapan sangat dipengaruhi pemahaman dan kebiasaan menggunakan bahasa. Secara tidak langsung ketidakpengertian alasan guru maupun peserta didik menggunakan implikatur percakapan bahasa Inggris dalam pembelajaran di Bandar Lampung berakibat pembelajaran justru semakin kaku. Hal ini mendorong peneliti untuk mengkaji implikatur percakapan untuk pembelajaran bahasa Indonesia kelas V di daerah pedesaan yaitu SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten yang justru menganggap penggunaan implikatur percakapan sebagai salah satu metode pembelajaran kesantunan yang rileks untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti terdorong mengkaji alasaan penggunaan implikatur percakapan lebih mendalam yang tidak sekedar mempertahankan hubungan formal-fungsional tetapi juga alasan lain seperti situasi pembelajaran hingga faktor pribadi penutur dan mitra tutur.

C. Kerangka Berpikir Setiap pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas selalu terjadi proses komunikasi atau peristiwa tutur antara guru dan peserta didik yang saling menyampaikan gagasan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tuturan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu; ilokusi adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai perintah, ujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya; serta yang terakhir perlokusi adalah hasil atau efek dari ujaran itu terhadap pendengar (mitra tutur), baik yang nyata maupun yang diharapkan. Bahasa digunakan penutur untuk menyampaikan maksudnya dengan wujud tuturan yang tidak terbatas. Tetapi, agar komunikasi lancar, penutur dan mitra tutur seharusnya menaati prinsip-prinsip percakapan (prinsip kerja sama). Hanya saja, di dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru atau peserta didik tidak jarang sengaja melanggar prinsip percakapan saat menyampaikan maksud tertentu (terutama untuk memenuhi prinsip kesantunan) kepada mitra tutur secara implisit yang disebut implikatur percakapan. Untuk itulah, kehadiran konteks sangat

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

66

penting dalam memahami maksud pelanggaran prinsip kerja sama dan kesantunan penutur. Dalam penafsirannya, bahasa memerlukan analisis wacana sebagai penginterpretasi maksud. Salah satunya adalah wacana lisan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang unsur paralingualnya lebih dapat dipertanggungjawabkan ketepatan penafsirannya dengan memperhatikan rekontruksi bentuk lisan yang dapat dipertangungjawabkan. Secara pragmatik, kajian tentang bentuk implikatur percakapan dalam interaksi guru dan peserta didik mengutamakan fungsi dan maksud tuturan. Untuk itu, pemanfaatan model teoritik pragmatik dan implikatur percakapan ini didasarkan kepada makna tuturan guru dan peserta didik ketika dialog secara fungsional sehingga dapat diketahui wujud, fungsi dan tujuan sekaligus alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Dalam penelitian ini, peneliti merekaman konversasi pembelajaran bahasa Indonesia yang diujarkan oleh guru atau peserta didik. Kemudian peneliti menganalisis data tersebut untuk diketahui wujud implikatur percakapan yang terdapat pada konversasi tersebut dan dihubungkan dengan hasil observasi peneliti untuk mengetahui alasan yang menyebabkan implikatur percakapan tersebut dituturkan. Hasil data ini juga didukung dengan hasil wawancara kepada guru dan peserta didik yang bersangkutan sehingga juga diketahui fungsi dan tujuan implikatur percakapan yang dituturkan. Hasil akhir transkrip, observasi dan wawancara kemudian disimpulkan untuk mengetahui pola implikatur percakapan yang digunakan dalam konversasi di kelas V SD Pondik I Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Kerangka berpikir penelitian implikatur percakapan dalam pembelajaran berbahasa Indonesia pada kelas V SD Negeri Pondok 1 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada Gambar 3.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

67

Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian Implikatur Percakapan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

68

BAB III METODELOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo, tepatnya kelas V saat pembelajaran bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai tempat pengambilan data berupa rekaman pembelajaran untuk mendukung penelitian. Waktu yang diperlukan dalam penelitian dari menyusun proposal sampai laporan skripsi dilakukan selama 8 bulan, yaitu bulan September 2010 sampai dengan April 2011. Adapun rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Pembagian Waktu Penelitian No

Nama Kegiatan

Bulan Sept

1

Okt

Nov

Des

Jan

Peb

Mar

Apr

Pengajuan dan Revisi Proposal

2

Perizinan Penelitian

3

Pengumpulan data dan Analisis data

4

Penyusunan Laporan

5

Ujian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan realita yang ada.

commit68to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

69

Sudarwan Danin (2002 : 51) mengungkapkan data yang dikumpulkan dalam penelitian yang bersifat deskripsi berupa kata-kata atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah karena angka hanyalah sebagai penunjang. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunggal terpancang. Menurut Yin (dalam Sutopo, 2002: 41) strategi tunggal terpancang adalah strategi penelitian deskriptif kualitatif yang fokus penelitiannya telah ditentukan berdasarkan tujuan dan minat peneliti sebelum terjun ke lapangan studinya. Dalam penelitian ini, masalah telah difokuskan pada satu situasi yaitu mengenai implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.

C. Sumber Data Data yang dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Menurut Sutopo (2002: 49-51), jenis-jenis sumber data dalam penelitian kualitatif adalah narumber/informan, peristiwa/aktivitas, tempat/ lokasi, dan dokumen/ arsip. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Data yang dikaji dalam penelitian ini berupa data verbal kualitatif. Sehubungan dengan penelitian ini, sumber data yang digunakan sebagai berikut. 1. Peristiwa/ aktivitas Peristiwa/ aktivitas pembelajaran bahasa Indonesia SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo terfokus pada bahasa dan konteks tuturan yang diperoleh melalui pengamatan dan pencatatan lapangan secara langsung. Konteks tuturan diperoleh peneliti dengan mengadakan pencatatan lapangan setiap mengadakan perekaman dan dimasukkan dalam sumber data karena konteks tuturan berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah tuturan. Sekaligus transkip hasil wawancara terhadap narasumber, baik guru dan kepala sekolah maupun peserta didik yang berupa catatan lapangan. 2. Informan Informan pertama yang dipilih adalah Kepala Sekolah SD Pondok 1, yaitu Munasiroh, S. Pd. selaku kepala sekolah SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sekaligus sebagai pengampu pembelajaran

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

70

bahasa Jawa. Informan selanjutnya, Ibu Sri Suwarni, S. Pd. selaku wali kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang sekaligus mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia. Informan lain yang digunakan untuk memperoleh kelengkapan data adalah peserta didik yang bertindak sebagai mitra tutur guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia sekaligus konteks penting dalam penafsiran tuturan guru maupun peserta didik lain. Dari 15 peserta didik di kelas V SD ini dipilih 6 peserta didik yang diwawancarai yaitu siswa yang aktif, tidak terlalu aktif tuturan dan acuh merespon tuturan berimplikatur percakapan guru maupun peserta didik lain. Pengkategorian ini juga diperkuat dengan penjelasan guru dan informasi mengenai latar belakang sosial dan karakteristik peserta didik saat pembelajaran bahasa Indonesia yang mempengaruhi keaktifan peserta didik dalam merespon dan memahami tuturan. Berdasarkan ketentuan di atas, peserta didik yang terlibat sebagai informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 2. Daftar Peserta Didik yang Dipilih sebagai Informan Identitas Peserta didik No. NISN

1.

2826

2.

2822

3.

2825

4.

2824

5.

2816

6.

2818

Nama

Luluk Riska Pratiwi Canggih Wicaksono Fauzan Ibnu Hasan Dyah Nurulita Abdul Azis Anggraeni Nilam Saputri

Tempat

Kategori

Rangking

Aktif

1

Sukoharjo

Bodehan

Aktif

9

Sukoharjo

Bodehan

Sedang

3

Sukoharjo

Bodehan

Sedang

2

Purbalingga

Bodehan

Pasif

12

Sukoharjo

Jimbun

Pasif

15

Salatiga

Gayam

Lahir

Alamat

D. Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling karena sampel diambil berdasarkan pertimbangan dan tujuan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

71

tertentu. Hal ini sesuai pendapat Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti (2006: 89) yang menyatakan bahwa sampling pada penelitian kualitatif merupakan pilihan peneliti tanpa harus representatif terhadap populasi, tetapi representatif terhadap informasi yang holistik. Pada penelitian ini diwujudkan dalam pemilihan percakapan pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang mengandung implikatur percakapan sebagai sampel. Data dalam penelitian ini bersumber pada pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Data tersebut diambil dari tuturan berimplikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mencerminkan prinsip sopan santun dalam berbahasa di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo dalam tuturan guru maupun peserta didik pada beberapa pembelajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan hari Senin jam pertama sampai kedua dan Selasa jam kelima sampai ketujuh terutama pada bulan Januari sebagai awal pembelajaran semester II sehingga antara guru dan peserta didik telah saling mengetahui kebiasaan dan karakteristik mitra tutur dan penutur yang mempengaruhi penggunaan implikatur percakapan. Peneliti tepatnya menganalisis pembelajaran hari Senin tanggal 3 Januari 2011, Selasa tanggal 11 Januari 2011, dan Senin tanggal 17 Januari 2011 dengan jumlah data

yang

mencapai

2016

tuturan

karena

telah

mewakili

informasi

(mengonfirmasi) untuk menentukan pola penggunaan implikatur percakapan yang digunakan. Data implikatur percakapan ini dipahami secara pragmatis, sedangkan tuturan guru dan peserta didik yang maknanya bersifat literal dipahami secara semantik. Selanjutnya diselidiki lebih dalam dengan wawancara pada guru dan peserta didik yang berimplikatur percakapan untuk memperoleh pola penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan memungkinkan untuk dikelompokkan melalui penerapan teori yang ada. Sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini tidak sebagai yang mewakili populasinya tetapi lebih cenderung mewakili informasinya.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

72

E. Teknik Pengumpulan Data Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti (2006: 94) menjelaskan bahwa terdapat beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif agar sesuatu data yang ingin diperoleh peneliti seperti wawancara, observasi, dokumentasi, serta teknik dan model analisis data. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan: 1) Observasi Observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung peristiwa percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. 2) Simak dan Catat Peneliti menggunakan teknik ini untuk 2 tujuan. Pertama, peneliti menyimak dan mencatat hal-hal yang tidak bisa direkam dengan alat perekam seperti konteks yang terjadi saat dialog berlangsung. Dan kedua, peneliti menggunakan teknik ini untuk menyajikan hasil rekaman dalam bentuk transkrip rekaman dialog. 3) Wawancara mendalam Wawancara mendalam dilakukan peneliti dengan mewawancarai kepala sekolah sekaligus pengampu pembelajaran bahasa Jawa kelas I sampai kelas VI sehingga wawancara peneliti fokuskan untuk mengetahui alasan perbedaan penggunaan implikatur percakapan di kelas V dibanding kelas rendah secara umum. Peneliti juga mewawancarai wali kelas serta enam peserta didik kelas V sebagai penutur maupun mitra tutur dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo untuk mengetahui tujuan dan fungsi serta alasan yang mendorong penggunaan tuturan berimplikatur percakapan saat pembelajaran bahasa Indonesia. 4) Perekaman Peneliti menggunakan teknik ini untuk merekam dialog yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Rekaman ini kemudian ditranskripkan agar

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

73

dapat membantu dalam menangkap informasi dan menginterpretasikan makna yang terkandung dalam tuturan.

F. Uji Validitas Data Cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif adalah teknik trianggulasi. Lexi J. Moleong (2002: 178) menyatakan bahwa trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data. Dalam penelitian ini digunakan trianggulasi metode, trianggulasi teori dan trianggulasi sumber serta review informan. Trianggulasi metode yaitu menekankan pada teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan hasil data yang sejenis. Peneliti menggunakan trianggulasi metode karena data yang dihasilkan didapat dari teknik pengumpulan data yang berbeda yaitu dari teknik observasi yang didukung oleh rekaman dan simak catat kemudian dikonfirmasikan dengan informan. Triangulasi teori yaitu menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda untuk membahasa permasalahan yang dikaji agar dapat menyimpulkan lebih tepat dan diterima kebenarannya. Peneliti menggunakan teknik triangulasi teori karena menyesuaikan karakteristik data yang perlu dikaji dengan beberapa teori disiplin ilmu yang berbeda atau teori berbeda tetapi masih dalam satu disiplin ilmu. Data dari suatu sumber tidak secara langsung dapat dianggap mewakili populasi namun harus dibandingkan dengan sumber yang lain terlebih dahulu untuk pemeriksaan keabsahan data yang diambil. Dengan demikian, maka peneliti telah melakukan trianggulasi sumber yaitu informasi dari guru dan peserta didik yang melakukan implikatur untuk menjawab keabsahan data yang diambil. Selain itu, peneliti juga melakukan review informan untuk meneliti ulang data yang

diperoleh dari infoman sehingga meminimalisasi kesalahan atau

ketertinggalan informasi dari wawancara sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti memperbaiki kebenaran data dengan memperlihatkan deskripsi hasil wawancara dan transkrip percakapan dalam pembelajaran kepada informan.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

74

G. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini pada dasarnya dilakukan secara bersamaan dengan proses pelaksanaan pengumpulan data. Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis), artinya bahwa ketiga komponen analisis tersebut aktivitasnya dapat dilakukan dengan interaksi baik antar komponennya maupun dengan proses pengumpulan data dalam bentuk proses yang berbentuk siklus (Sutopo, 2002: 94). Adapun keempat komponen itu antara lain: 1. Pengumpulan data Dalam penelitian ini peneliti secara periodik mengumpulkan data dari berbagai sumber antara lain dari teknik rekam dan simak catat. 2. Reduksi data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan ini berlangsung terus menerus selama penelitian. Dalam penelitian ini, setelah transkrip data tentang tuturan guru dan peserta didik selesai dilakukan, kemudian data tersebut disederhanakan dan diseleksi yang kiranya dapat mewakili analisis pola penggunaan implikatur percakapan. Lalu diberi kode/ identitas data sesuai dengan wujud, fungsi dan tujuan serta alasan penggunaan implikatur percakapan, misalnya MKN, MKL, MKH, MSP, MSS dan lain-lain. 3. Penyajian data Setelah reduksi data selesai dilakukan, kemudian disajikan dalam bentuk laporan berbentuk deskripsi naratif yang sistematis meliputi identitas informan dan transkrip pembelajaran disertai identitas data sehingga diharapkan dapat memudahkan adanya penarikan kesimpulan. 4. Penarikan kesimpulan/Verifikasi Kesimpulan merupakan jawaban dari permasalahan yang muncul dalam penelitian. Penarikan kesimpulan ini berpedoman pada penafsiran alasan pelanggaran prinsip kerjasama yang dilakukan penutur untuk mencapai

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

75

kesantunan berbahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Tahap inilah dapat diketahui ketercapaian tujuan penelitian atau tidak, sekaligus untuk memperkuat dan mempertanggungjawabkan temuan penelitian. Penarikan kesimpulan didasarkan pengorganisasian informasi yang diperoleh dalam analisis data. Pengumpulan Data

Reduksi Data

Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan Gambar 4. Model Analisis Interaktif (Miles dan Hiberman dalam Sutopo, 2002: 96)

H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah rangkaian tahap kegiatan penelitian dari awal hingga akhir. Tahap-tahap penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Tahap Persiapan a. Melakukan prapenelitian untuk mendapatkan gambaran tentang objek penelitian dan perijinan penelitian b. Mengajukan judul dan membuat proposal c. Mengumpulkan data sesuai dengan teknik pengumpulan data yang telah direncanakan 2. Tahap Analisis Data a. Mengelompokan data yang terkumpul sesuai dengan tujuan peneliti b. Menganalisis transkrip rekaman pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. 3. Tahap Akhirs a. Menulis kesimpulan akhir dari seluruh analisis yang telah dilakukan b. Menyusun laporan penelitian

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

76

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Deskripsi Latar Penelitian SD Negeri Pondok 1 yang terletak di Dukuh Bodehan Desa Pondok Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo merupakan sekolah dasar di lingkungan pedesaan yang hanya mempunyai empat guru berstatus pegawai negeri yaitu kepala sekolah, wali kelas IV, V dan VI. Hal ini bukan karena sekolah ini kurang kualitas, melainkan justru karena beberapa guru yang berprestasi di sekolah ini diangkat dan dipindah ke sekolah lain, contohnya wali kelas V tahun pelajaran 2006/2007 yang menjadi diangkat menjadi kepala sekolah di SD lain. Dan untuk wali kelas V empat tahun ini yaitu Ibu Sri Suwarni, S. Pd. yang sebelumnya mengampu kelas V di SD Negeri Serut 1 sejak tahun 1993 hingga 2008, masih dalam proses pengajuan menjadi kepala sekolah. Selain itu, peserta didik sekolah ini cukup membanggakan dalam akademik maupun non akademik terutama untuk lomba yang diwakili guru maupun peserta didik kelas V. Lingkungan sekitar sekolah yang masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari merupakan alasan kebijakan sekolah ini untuk menjadikan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran yang penting seperti halnya bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sehingga pembelajaran bahasa di sekolah ini terdiri dari tiga mata pelajaran yaitu mata pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa. Meski secara tertulis, pengampu mata pelajaran bahasa Jawa adalah Ibu Munasyiroh, S. Pd. selaku kepala sekolah, tetapi pada kenyataannya justru wali kelaslah yang lebih banyak berperan dalam mata pelajaran ini, termasuk wali kelas V menjadi pengampu delapan mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan Jawa. Sedangkan untuk mata pelajaran bahasa Inggris diampu oleh guru tersendiri sehingga tidak menjadi wewenang wali kelas. Pengambilan data penelitian ini dilakukan saat pembelajaran bahasa Indonesia yang mencerminkan intraksi dua arah dengan mematuhi prinsip sopan santun berbahasa di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Lebih tepatnya, pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran

commit to user 76

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

77

pada bulan Januari sebagai awal pembelajaran semester II sehingga antara guru dan peserta didik telah saling mengetahui kebiasaan dan karakteristik mitra tutur dan penutur yang mempengaruhi penggunaan implikatur percakapan. Dari beberapa pembelajaran yang direkam, peneliti menganalisis 7 x 35 menit (tiga pertemuan) yang telah mewakili informasi (mengonfirmasi) untuk menentukan pola penggunaan implikatur percakapan di kelas V tepatnya hari Senin tanggal 3 Januari 2011, Selasa tanggal 11 Januari 2011, dan Senin 17 Januari 2011. Dalam ketiga pembelajaran tersebut, peneliti membahas sejumlah data mengenai wujud implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang meliputi pelanggaran maksim kerjasama sekaligus penerapan maksim sopan santun. Peneliti juga membahas mengenai fungsi dan tujuan serta alasan penggunaan implikatur percakapan yang diujarkan guru maupun peserta didik dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Derskripsi data dari wujud, fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran transkrip percakapan.

F. Hasil Penelitian 1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan Implikatur percakapan merupakan implikasi pragmatis yang terdapat pada percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Wujud implikatur percakapan dalam penelitian ini tercermin dalam pelanggaran prinsip kerjasama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Prinsip kerjasama yang lebih menekankan pada penggunaan segala ujaran sesuai dengan tujuan percakapan yang telah disepakati atau sesuai arah percakapan yang diiikuti sering dilanggar untuk mematuhi prinsip sopan-santun. Prinsip sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan mitra tutur karena lebih bersifat sosial, estetis, dan moral dalam melakukan suatu percakapan.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

78

Penelitian ini hanya menganalisis wujud implikatur percakapan yang melanggar prinsip kerjasama, tetapi menaati prinsip sopan santun dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas V. Hal ini sesuai kompetensi dasar yang harus dimiliki peserta didik kelas V agar mementingkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar dan santun dalam menerapkan keterampilan berbahasa. Untuk lebih memudahkan penjelasan tentang wujud implikatur percakapan pada penelitian ini, peneliti hanya menyajikan beberapa jenis pelanggaran prinsip kerjasama dalam penerapan prinsip sopan santun sebagai contoh data. Penyajian contoh wujud tutur implikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia hasil penelitian ini diurutkan sesuai pengelompokan pada Bab II. Penjelasan

mengenai

wujud

implikatur

percakapan

dilakukan

dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) penomoran paling atas dan bercetak tebal menyatakan urutan contoh data, (2) penomoran sebelah kiri dialog menyatakan urutan tuturan dalam seluruh data sebagai tanda terjalin kerjasama tuturan sekaligus konteks, (3) keterangan bercetak tebal dalam tanda kurung lancip menyatakan pelanggaran maksim, penerapan maksim, tujuan, dan fungsi implikatur, dan (4) keterangan dalam tanda kurung pojok kanan setelah contoh data menyatakan urutan pembelajaran. Pendeskripsian hasil penelitian sampel korpus wujud tuturan implikatur percakapan untuk menerapkan prinsip sopansantun dapat dijabarkan sebagai berikut. e)

Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kearifan

Gagasan dasar kearifan atau sering juga disebut maksim kebijaksanaan adalah berprinsip mengurangi kerugian dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Pemaksimalkan keuntungan mitra tutur ini biasanya dilakukan dengan tuturan yang ”diada-adakan” agar mitra tutur tidak sungkan dan penutur terhindar dari anggapan sikap marah, iri dan kurang sopan saat menginginkan mitra tutur melakukan sesuatu. Dalam kenyataannya, untuk menerapkan maksim ini penutur dengan sengaja melanggar prinsip percakapan. Berikut penjelasan beberapa contoh pelanggaran maksim percakapan dalam penerapan maksim kearifan.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

79

1) Maksim Kualitas Maksim kualitas menuntut kesesuaian antara tuturan dan fakta sebenarnya yang didukung bukti-bukti saat tuturan tersebut diujarkan. Contoh tuturan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar maksim kualitas seperti pada data berikut. [1] (100) G: Dah nggih. Jadi, ada tiga macam. Selain hal-hal di atas, perlu kamu perhatikan tekanan atau ritme. Ritme tekanan itu opo to cah…tekanan dalam membaca puisi. Tekanan dalam membaca puisi ada? Berapa itu? Ada berapa? (101) S: Tiga…(peserta didik deretan paling timur membaca) (102) G: (Melihat peserta didik deretan paling timur) Ada tiga, yaitu dinamik, yang kedua nada, dan yang ketiga…. (103) S: Tempo (Canggih diikuti peserta didik lain) (104) G: Tempo nggih. Tekanan dinamik itu apa…Tekanan dinamik opo to cah? Diwoco, coba Nurul (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [1] dalam penelitian ini terjadi setelah adanya peserta didik kelas lain masuk untuk mengembalikan sapu saat penjelasan materi. Saat guru memberi pertanyaan tentang materi, ternyata tidak semua peserta didik dapat merespon pertanyaan guru yang diulang hingga 3x pada tuturan (100) termasuk Canggih peserta didik yang aktif menjawab, tetapi tidak mengikuti jam tambahan saat libur semester 1. Hal ini tentu saja membuat guru kecewa karena penjelasan yang disampaikan belum dipahami dengan baik sehingga harus diulang. Padahal karakteristik sebagian besar peserta didik kelas V tidak menyukai dan mudah bosan jika materi yang telah disampaikan harus djelaskan kembali. Untuk itu, guru mengambil alternatif tuturan (102) yang berupa seolah-olah semua peserta didik menjawab pertanyaan sehingga guru cukup memperjelas tuturan peserta didik dengan kalimat tidak lengkap untuk kembali direspon peserta didik sesuai dengan pengetahuan yang diketahui, dibanding dengan menggunakan tuturan, ”Benar, tetapi ada teman kalian yang belum tahu. Kita ulang lagi materi ini” yang akan membuat peserta didik lain yang sudah paham merasa dirugikan karena tidak mendapat pengetahuan baru. Sehingga maksud dibalik tuuran (102) lebih untuk menjelaskan kembali

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

80

materi sekaligus mengecek kedalaman pemahaman materi peserta didik. Maksud guru tersebut dipahami peserta didik dengan tuturan (103). Sehingga tuturan (102) diidentifikasi mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas agar peserta didik tidak merasa dirugikan dengan pengulangan materi. Seperti halnya data [1], dalam pembelajaran kedua pelanggaran maksim kualitas juga digunakan untuk menuntun peserta didik yang tidak bisa menjawab pertanyaan guru, seperti dalam contoh data sebagai berikut. [2] (295) G: He eh, Tina. (melihat Aqib bertopang dagu) Siapa yang mengantarkan Tina ke kantor pos Qib, Aqib? (296) S: Pak guru (297) G: Pak guru. (melihat Nurul bertopang dagu) Sebutkan fungsi kantor pos, opo waé Nurul? (298) S: (kaget dan memperbaiki posisi duduk) (299) G: Satu untuk…. (300) S: Pengiriman (Nurul) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [2] terjadi saat peserta didik bertopang dagu sehingga terkesan tidak memperhatikan penjelasan guru dan ternyata saat dicek guru dengan tuturan (297), peserta didik tersebut tidak dapat menjawab seperti terlihat pada tuturan (298). Hal ini tentu saja membuat guru kecewa, guru mengetahui karakteristik peserta didik tersebut sebenarnya pintar sehingga guru cukup menganggap peserta didik seolah-olah menjawab sesuatu sebagai stimulus singkat yang bermaksud mengulangi pertanyaan dan menuntun peserta didik menjawabnya. Selain itu dengan tuturan (299), guru juga menghindari peserta didik nenjadi minder yang justru akan membuatnya semakin tidak konsentrasi dalam menjawab pertanyaan, seperti jika dengan berujar, ”Kamu tidak memperhatikan penjelasan Bu Guru ya? Ayo jawab pertanyaan Ibu tadi!”. Maksud tersembunyi pada tuturan (299) ini dipahami peserta didik seperti yang terlihat pada tuturan (300) sebagai jawaban yang benar atas pertanyaan guru. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

81

(299) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas untuk mengurangi kerugian mitra tutur dalam penerapan maksim kearifan. 2) Maksim Hubungan Maksim ini digunakan agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur dengan memberikan kontribusi tuturan yang relevan. Beberapa pelanggaran maksim ini antara lain pada contoh data sebagai berikut. [3] (474) G: He eh, engko dhak kecewa, gelo. Dimasaké ngoyo-ngoyo ora di… (475) S: Maem (476) G: Nah...ibu merasa senang kalau sudah dimasakkan sesuatu, kamu harus segera memakannya bersama kelu…. (477) S: Arga (478) G: Keluarga, maemé kudu bareng-bareng, jatahé piro to? Bapak ibu adik kakak kabeh mlumpuk bareng-bareng di…Dimana? (479) S: Meja makan (Nurul) (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [3] dalam penelitian ini mencerminkan pembelajaran terpadu untuk kelas tinggi sehingga guru dituntut untuk dapat menghubungkan bidang ilmu satu dengan bidang ilmu lain yang sesuai dengan lingkungan peserta didik. Dalam tuturan (476), guru berusaha menghubungkan jawaban peserta didik untuk contoh pengorbanan Ibu dengan suatu hal yang dapat menyenangkan Ibu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tuturan ini sebenarnya mengandung maksud perintah peserta didik secara halus untuk mengubah kebiasaan makan peserta didik yang suka memilih makanan dan jarang makan bersama keluarga dibandingkan dengan berujar, ”Benar, kalian yang suka pilih-pilih makanan, dan makan tidak bersama keluarga berarti membuat Ibu sedih” yang terkesan menyalahkan peserta didik. Maksud tuturan (476) dapat dipahami peserta didik dengan melihat respon tuturan (477) dan tuturan diskusi selanjutnya yang semakin mengarahkan peserta didik untuk lebih mengerti tentang kondisi keluarganya masing-masing dengan keadaan ekonomi yang semakin sulit. Tuturan (476) yang diujarkan guru dengan tidak mengiyakan atau menolak respon peserta didik pada tuturan sebelumnya mencerminkan implikatur percakapan dengan cara guru sengaja

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

82

melanggar maksim hubungan karena meskipun secara sepintas tuturan guru dan peserta didik tidak berhubungan, tetapi maksud tuturan guru tersebut justru menegaskan dan menasihati peserta didik secara halus untuk mempraktikkan materi yang didiskusikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi data [3] mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim hubungan saat menerapkan maksim kearifan. Penelitian ini juga ditemukan tuturan guru yang dapat diterapkan dengan melanggar maksim hubungan agar peserta didik merasa dihargai pendapatnya meskipun tetap harus menaati perintah guru, salah satu contohnya sebagai berikut. [4] (523) (524) (525) (526) (527)

G: S: S: G: S:

Kelompok dua, anggotanya Luluk, Viva dan Nilam (Luluk mencatat anggota kelompoknya) Kelompok tiga sini Bu (Canggih) Kelompok tiga Bella yo, ketuané Bella Yah….yo wis (Canggih) (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [4] terjadi saat guru sedang membimbing peserta didik membentuk suatu kelompok diskusi. Tiba-tiba salah satu peserta didik mengutarakan keinginannya untuk menjadi kelompok urutan ketiga. Tetapi hal tersebut sebenarnya menyalahi aturan pembentukan kelompok yang didasarkan pada letak tempat duduk. Untuk itulah guru menggunakan tuturan (526) yang seolah-olah tidak merespon peserta didik tersebut, tetapi justru berbicara dengan peserta didik lain. Maksud tuturan (526) sebenarnya ingin menjelaskan bahwa pemilihan urutan kelompok berdasarkan tempat duduk bukan karena keinginan Ibu guru, sekaligus penekanan perintah berpindah tempat duduk pada kata yo ’iya’ jika peserta didik ingin menjadi kelompok tertentu. Tuturan tersebut lebih sopan dibanding ”Kamu pilih kelompok tiga jadi kamu pindah ke tempat duduk kelompok Bella” yang terkesan memerintah peserta didik berpindah tempat duduk tanpa ada pilihan lain. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik melalui tuturan (527) yang memilih tetap di tempat duduk semula. Secara singkat tuturan (526)

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

83

mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim hubungan untuk mematuhi maksim kearifan. 3) Maksim Cara Maksim cara atau pelaksanaan ini mengharuskan penutur menggunakan tuturan secara jelas dan tidak mengaburkan. Contoh pelanggaran maksim ini untuk merapkan maksim kearifan terdapat pada data-data berikut ini. [5] (140) G: Aziz, Bayu, karo… (141) S: Canggih (Nurul) (142) G: Canggih. O iyo masih ada 4 anak yang belum membuat. Puisi yang anakanak buat (menunjukkan karton berisi tugas peserta didik). Saya harap dihafalkan dan dibaca dengan aturan yang benar. Kemarin anak-anak sudah membuat puisi yang diambil dari beberapa ma… (143) G: Jalah (144) S: Boleh dari majalah, boleh dari koran, atau dari buku-buku yang lain. Yang anak-anak buat nanti saya harap dibuat isi karangan isi puisi ini nanti kamu buat sebuah prosa atau karangan yang terdiri dari beberapa macam ali…. (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [5] terjadi saat guru menjelaskan kembali tugas minggu lalu berupa menyalin puisi dari beberapa sumber pada buku tugas. Les tersebut diharuskan kepada peserta didik untuk mengikuti menyicil materi semester 2. Meskipun tugas mingu lalu, tetapi ada beberapa peserta didik yang tidak mengikuti les sehingga tidak mengerjakan. Adanya rasa kecewa dan tuntutan alokasi waktu pembelajaran membuat guru hanya menjelaskan secara singkat tugas tersebut kepada peserta didik. Kata “diambil” pada tuturan (142) bermakna ambigu berupa disalin, dipotong atau dikembangkan dari sumber yang diperbolehkan guru. Kesamaan pengetahuan membuat peserta didik mengerti maksud guru seperti yang terlihat pada tuturan (143) yang tidak menyoalkan pilihan kata guru yang ambigu dengan menjawab pertanyaan guru secara sermpak. Dengan demikian, tuturan (142)

pada data [5]

mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim cara guna menerapkan maksim kearifan yang membuat peserta didik yang tidak masuk di pembelajaran sebelumnya juga tahu dan mengerjakan tugas.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

84

Pelanggaran maksim cara juga dilakukan untuk menerapkan maksim kearifan saat menjelaskan hal-hal yang dianggap kontradiktif bagi peserta didik, seperti pada contoh data berikut. [6] (263) G: Mampu nggih, yang kurang mampu itu bisa mengajukan surat seperti itu atas nama RT, RW, kelurahan, kemudian ditujukan ke sekolahan, sekolahan diajukan ke atasan nggih, ke provinsi dan ke Jakarta. Nanti turun Bantuan Khusus Murid, tidak lewat sekolahan tapi lewatnya kantor pos, bayarnya lewat kantor pos. Kamu langsung ke sana, tinggal mengambil ke sana, masih utuh, ora kélong berapa rupiah pun, ko kono séket éwu yo utuh séket éwu, ko kono sak yuto, tetep satu juta diberikan oleh kantor pos tanpa dipotong sepeser pun, pénak to? (264) S: Pénak (saling bercakap-cakap) (265) G: Pénak, nék pingin monggo…apabila orang tua kamu tidak mampu, itu diajuakan RT, RW, kelurahan, kemudian ke sekolahan, sekolahan mengajukan ke atasan berjalan terus, Insya Alloh kamu dapat menerima Bantuan Khusus Murid nanti bisa diterima di kantor pos, tidak usah dipo…. (266) G: Tong (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [6] tercipta saat guru menerangkan tentang kesempatan dan cara mendapat beasiswa dari pemerintah pusat melalui kantor pos. Dalam penjelasan tersebut terselip penjelasan bahwa biasanya beasiswa yang diterima peserta didik tidak 100% atau ada potongan seperti terlihat pada tuturan (263). Tentu saja tuturan tersebut membuat peserta didik menjadi ragu meskipun menjawab penak ‘enak’. Untuk mengajak peserta didik serius jika beasiswa tersebut tidak seperti beasiswa pada umumnya karena disalurkan melalui kantor pos, dalam tuturan (265) guru menjelaskan secara singkat dengan istilah lain yaitu “dipotong”, tetapi hanya diujarkan sebagian seperti pada tuturan (266) guna meminta peserta didik merespon tuturan guru sebagai tanda peserta didik mengerti maksud guru, dibandingkan dengan tuturan, “Percayalah, Bantuan Khusus Murid diterima secara utuh”. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dilihat dari tuturan (266) yang diujarkan peserta didik secara serempak. Sehingga tuturan (265) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim cara untuk menumbuhkan kepercayaan peserta didik.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

85

4) Maksim Gabungan Pelanggaran maksim gabungan dalam menerapkan maksim kearifan hanya sedikit dan khusus terjadi untuk maksim hubungan dan cara, seperti dalam contoh dara berikut. [7] (581) S:

Itulah strategi dagang, dengan memberikan diskon yang besar (mulai tidak serempak) (582) G: Mereka…. (583) G: Bermaksud menarik pelanggan sebanyak-banyaknya (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [7] tercipta saat guru menginginkan perserta didik yang berperan menjadi ayah dapat membaca teks percakapan ayah secara bersama-sama. Awalnya, peserta didik dapat membaca nyarig secara serempak, tetapi di tengah pembacaan ada beberapa peserta didik yang keliru dan membuat pembacaan menjadi tidak serempak. Mendengar hal tersebut, guru tidak menghentikan pembacaan, tetapi justru membaca sepenggal kalimat lanjutan pada tuturan (582) yang seolah-olah tidak berhubungan dengan masalah yang dihadapi peserta didik. Tutun tersebut digunakan guru sebagai perintah peserta didik untuk menyesuaikan dengan tuturan guru sehingga pembecaan dapat kembali serempak. Selain itu, tuturan (582) digunakan karena guru mengetahui bahwa peserta didik tersebut mempunyai teks percakapan yang sama sehingga tidak perlu dijelaskan seperti dengan tuturan, “Ikuti ucapan Ibu, Mereka bermaksud menarik pelanggan sebanyakbanyaknya”. Maksud tuturan (582) dimengerti peserta didik dengan langsung melanjutkan teks percakapan ayah sesuai aba-aba guru. Jadi tuturan (582) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim gabungan untuk menerapkan maksim kearifan. Selain itu, pelanggaran maksim ini juga digunakan untuk beralih pada penugasan setelah kesimpulan dijabarkan guru, seperti dalam contoh data beribut. [8] (125) G: Sepak takraw, satu regu terdiri dari…. (126) S: Tiga

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

86

(127) G: Tiga orang, ngono waé ora sah nggladrah tekan ngendi-ngendi, ra sah dicritakké soko ngomah anték tekan sekolahan, salin klambi nganti olahraga, kesuwén. Nggladrah tekan ngendi-ngendi. Nah (membaca) sekarang dengarkan cerita yang dibacakan oleh gurumu. Sekarang saya bacakan ya (membaca) Mendapatkan wesel pos (128) S: Koyo Dalil (Canggih) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [8] tercipta setelah guru selesai menjelaskan materi dan ingin peserta didik untuk mengerjakan evaluasi materi yang telah disampaikan. Tetapi, guru menggunakan tuturan yang langsung membaca evaluasi pada LKS agar peserta didik tidak merasa disuruh mengerjakan evaluasi materi tersebut, seperti dengan tuturan, ”Sekarang kamu kerjakan evaluasi yang ada di LKS”. Hal ini terlihat ditengah tuturan (127) sehingga terkesan tidak ada hubungan dengan tuturan sebelumnya. Maksud guru ini dimengerti peserta didik dengan tuturan (128) yang ingin menanggapi evaluasi yang dibacakan guru meskipun terkesan terlalu cepat dan belum tepat karena dihubungkan dengan pengalaman peserta didik. Oleh karena itu, tuturan (127) termasuk mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim gabungan agar peserta didik tidak merasa diperintah. Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti menemukan banyak pelanggaran maksim yang digunakan untuk mematuhi maksim kearifan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V, terutama maksim cara. Penerapan maksim kearifan tersebut dapat dilihat pada lampiran transkrip data dengan kode , , , dan dalam kurung lancip di sebelah kanan tuturan. f)

Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kedermawanan Maksim ini mengharapkan penutur dapat menghormati orang lain dengan

mengurangi keuntungan dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Penerapan maksim ini digunakan untuk mengarahkan mitra tutur yang melakukan hal yang tidak disukai penutur dengan menambah beban pada penutur. Dalam penelitian ini, maksim kedermawanan dituturkan dengan melanggar maksim percakapan sehingga mengandung implikatur percakapan, seperti contoh data berikut ini.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

87

1) Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menentukan informasi yang diberikan tidak boleh kurang atau melebihi yang diinginkan mitra tutur. Contoh tuturan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar maksim kuantitas seperti pada data berikut. [9] (242) S: Dekat (243) G: Terdekat, nggih, di kantor pos terdekat. Selain itu, kantor pos menjual berbagai benda pos. (Melihat Nurul bertopang dagu) Misalnya apa saja Nurul? (244) S: (Nurul memperbaiki sikap duduk) Amplop surat (245) G: Amplop surat, apalagi? (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [9] terjadi saat guru mengoordinasi diskusi kelas dalam menjawab pertanyaan di lembar kerja siswa kemudian guru melihat salah satu peserta didik bertopang dagu yang mencerminkan kurang berpartisipasi dalam diskusi kelas. Pada penggalan tuturan (243) terlihat guru tidak mengulangi kunci pokok pertanyaan yang diujarkan kepada mitra tutur karena guru telah mengenal karakteristik peserta didik tersebut yang termasuk 3 peringkat kelas sehingga kecil untuk tidak memperhatikan materi pelajaran. Sehingga maksud yang sebenarnya ingin disampaikan guru lebih terfokus pada sikap belajar yang baik yaitu tidak bertopang dagu. Hal ini dapat dilihat dari respon peserta didik yang juga telah mengenal karakteristik guru kurang menyukai peserta didik bertopang dagu yaitu dengan tidak hanya menjawab pertanyaan guru, tetapi juga memperbaiki sikap duduk. Pada tuturan (244) terbukti ada maksud tersembunyi yang ingin disampaikan guru tanpa membuat peserta didik merasa terancam muka dengan tidak menggunakan tuturan,”Daripada Nurul bertopang dagu, sekarang sebutkan benda pos yang dijual di kantor pos!” atau “Ibu tidak suka melihat peserta didik bertopang dagu, sekarang Nurul sebutkan benda pos yang dijual di kantor pos!”. Secara singkat, data [9] mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim kuantitas yang kurang informatif dalam memberikan pertanyaan.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

88

[10] (83) (84)

(85) (86)

G: Diulang bersama-sama S: (Peserta didik perempuan dan laki-laki) Apakah pelanggan tidak tertipu dengan barang yang dibeli? Mungkinkah dinaikkan dulu dari harga semestinya baru didiskon Bu? G: Apakah pelanggan tidak tertipu dengan barang yang dibeli, itu yang bertanya siapa ya? S: Dimas (beberapa peserta didik tertawa) (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [10] tercipta karena adanya kesalahpahaman peserta didik terhadap perintah guru sebelumnya yaitu peserta didik laki-laki diminta mengulang membaca nyaring. Tetapi justru dibaca seluruh peserta didik baik perempuan maupun laki-laki. Meskipun sebenarnya hal tersebut tidak menggangu jalannya pembelajaran, guru tetap menginginkan agar peserta didik lebih fokus pada tugasnya masing-masing. Untuk itulah, guru menggunakan tuturan (85) yang terkesan pertanyaan humor, tetapi dimengerti peserta didik dengan mengulang kembali teks yang dibaca peserta didik. Sehingga peserta didik tidak merasa terpaksa untuk tidak saling membantu saat mengerjakan tugas individu. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dengan tuturan (86) yang dijawab dengan tertawa karena merasa salah, tetapi tidak minder. Dengan kata lain, tuturan (85) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kuantitas. 2) Maksim Kualitas Pelanggaran maksim kualitas yaitu tuturan yang diungkap tidak sesuai kenyataan juga diterapkan untuk mematuhi maksim kedermawanan, seperti contoh data berikut. [11] (1) (2)

(3) (4)

G: Sing pikét sopo, blabakké dibusak S: (Peserta didik masih gaduh) Guru melihat meja guru masih belum dirapikan dengan buku dan kertas berserakan di meja G: Piketé wis piket kabéh? S: (Aziz maju menghapus papan tulis dan guru merapikan kertas dimeja dan lemari guru) (Pembelajaran1)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

89

Konteks situasi dalam data [11] merupakan awal pembelajaran bahasa Indonesia setelah upacara dan masuk pertama semester 2. Saat masuk kelas, guru melihat meja dan papan tulis masih kotor padahal pembagian piket kelas masih seperti semester 1 sehingga tidak ada alasan peserta didik untuk lupa dan tidak piket. Awal masuk kelas, guru telah menggunakan tuturan (1) berupa kalimat perintah, tetapi peserta didik justru tidak mau menuruti maksud guru. Sehingga karena situasi masih awal pembelajaran, guru tidak ingin merusak konsentrasi peserta didik dengan memarahi hanya karena beberapa peserta didik yang tidak piket. Hal ini terlihat pada tuturan (3) yang guru menganggap semua peserta didik telah melakukan tugas piket dengan baik, padahal maksud guru adalah menyarankan peserta didik untuk piket sebelum pembelajaran dimulai dibanding memaksa dengan tuturan, ”Petugas piket kelas, cepat bersihkan papan tulis ini!”. Pengungkapan maksud yang tidak sesuai kenyataan ini membuktikan bahwa guru sengaja melanggar maksim kualitas untuk menghormati peserta didik yang ternyata justru dipatuhi peserta didik seperti terlihat pada tuturan (4). Dengan demikian tuturan guru tersebut teridentifikasi mengandung implikatur percakapan. Pelanggaran maksim kualitas juga dilakukan oleh peserta didik saat bercakap-cakap dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini dengan contoh data sebagai berikut. [12] (352) G: Paket nggih. (Melihat Dalil diam saja) Sebutkan benda pos yang dijual di kantor pos, opo waé mau Lil, Dalil? (353) S: Am…(Canggih terhenti) (354) S: Kowé opo Dalil? (Nurul) (355) S: (Canggih diam) (356) G: Sudah (357) S: Amplop, prangko, materai (Dalil) (358) G: He eh, satu… (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [12] terjadi saat salah satu peserta didik tidak terima jika peserta didik lain menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak ditujukan pada peserta didik tersebut. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik peserta

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

90

didik yang menganggap dapat menjawab pertanyaan guru mempunyai kebanggaan tersendiri bagi peserta didik yaitu merasa diperhatikan guru. Meskipun peserta didik yang maksud adalah Dalil, tetapi Nurul merasa tidak terima jika Canggih selalu ”menyerobot” pertanyaan yang diajukan untuk peserta didik lain dan menyarankan agar dia diam. Saran ini terlihat pada tuturan (354) yang menanyakan kepastian identitas Canggih, padahal Nurul mengetahui mitra tutur tersebut adalah Canggih bukan Dalil. Meskipun begitu Nurul tidak ingin bermusuhan dengan mitra tutur seperti jika menyatakan ketidakterimaannya

secara

langsung dengan tuturan, ”Kamu

jangan

menjawab, Bu guru bertanya pada Dalil, bukan kamu”. Tuturan (354) ini mempunyai maksud tersembunyi agar peserta didik yang bernama Canggih untuk diam dan tidak menjawab pertanyaan yang tidak ditujukan kepadanya. Maksud tersembunyi ini dimengerti mitra tutur seperti yang terlihat pada reaksi Canggih pada tuturan (355). Dengan kata lain data [12] berimplikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas karena tuturan peserta didik mengetahui hal yang dituturkan kepada mitra tutur salah. Variasi saat pembelajaran sangat diperlukan untuk meminimalisasi timbulnya rasa bosan dan jenuh, salah satu cara yang digunakan guru dalam penelitian ini dengan melanggar maksim kualitas, seperti data sebagai berikut. [13] (86) (87) (88) (89) (90)

S: Jelas (Nurul) G: Jelas, bén ngerti critané, bar kon nyritakké kok salah tompo nggih? Wong pemainé takraw, kok papat? S: (tertawa) G: Salah tompo to berarti? S: Nggih (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [13] saat guru menjelaskan seberapa penting mendengarkan dengan sungguh-sungguh sebelum memberi tanggapan sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Pada tuturan (87) terlihat guru menggunakan cara yang berbeda dengan memberi contoh yang salah yaitu jika peserta didik tidak memperhatikan tuturan dengan sungguh-sungguh. Cara

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

91

bertutur tersebut menciptakan kelucuan bagi peserta didik dalam menjelaskan materi tersebut yang terlihat dengan respon tuturan (88), dibanding dengan berujar memaksa, ”Kalian harus memeperhatikan dengan sungguh-sungguh kalau kalian tidak ingin dipermalukan karena salah dengar”. Sehingga secara tidak langsung guru telah menyampaikan maksud tersembunyi berupa saran kepada peserta didik untuk berkonsentrasi saat menyimak tuturan. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya respon yang terlihat pada tuturan (88) dan diperkuat dengan tuturan (90) sebagai tanda kesepakatan. Dengan demikian data [13] pada tuturan (87) guru tersebut teridentifikasi mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas. 3) Maksim Hubungan Dalam penelitian ini ditemukan beberapa pelanggaran maksim ini antara lain pada contoh data sebagai berikut. [14] (169) (170) (171) (172)

Cukuruyuk opo Kukurukuk cah? Cukuruyuk (Nurul) Podowaé (Canggih) He eh, podo wae. Sekarang coba saya kembalikan ini punya sapa...yang berjudul orang tua (Pembelajaran1)

G: S: D: G:

Situasi

konteks

data

[14]

terjadi

dalam

diskusi

kelas

yang

mempertanyakan cara pengungkapan maksud dalam puisi salah satu peserta didik yang berhubungan dengan suara kokok ayam jantan. Tetapi diskusi tentang materi ini ternyata tidak menemui jalan keluar sehingga membuat peserta

didik bosan dan menganggap

materi tersebut

tidak perlu

diperdebatkan. Seperti terlihat pada tuturan (171) bahasa Jawa pocowaé ‘sama saja’, bermaksud untuk menghentikan perdebatan tersebut karena pertanyaan guru pada tuturan (170) tidak ada bedanya. Tetapi peserta didik tidak ingin guru dan peserta didik lain merasa disalahkan dengan cara tidak menjawab pertanyaan guru pada tuturan (169) atau menolak pernyataan peserta didik pada tuturan (170) agar diskusi tersebut dihentikan, seperti dengan berujar,

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

92

”Bunyi kokok ayam itu cukuruyuk atau kukurukuk sama saja jadi tidak perlu ditanyakan”. Keinginan pserta didik tersebut dimengerti guru seperti yang terlihat pada tuturan (172) yang mengiyakan bahwa materi tersebut memang tidak perlu diperdebatkan. Dengan kata lain tuturan (171) pada data [14] mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim hubungan. Contoh pelanggaran maksim hubungan dalam penerapan maksim kedermawanan juga terlihat pada contoh data sebagai berikut. [15] (656) G: Ayah, Ibu dan Dimas, itu dari masing-masing percakapan coba kamu hafalkan untuk PR di rumah. Percakapan satu dan percakapan dua, percakapan satu hanya dua orang, silahkan mencari teman untuk bercakap-cakap dua orang untuk percakapan yang pertama dulu. Untuk percakapan yang kedua hanya persiapan dulu, dadi sing dinggo PR sing diapalké percakapan yang pertama. Silahkan anak-anak nanti mencari salah satu teman untuk diajak bercakap-cakap mengenai diskon (657) S: (Peserta didik saling memberi memberi isyarat untuk menjadi pasangan mengerjakan tugas ini) (658) G: Diskon ki opo to? (659) S: Potongan harga (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [15] tercipta karena peserta didik terlalu antusias untuk mengerjakan tugas yang sebenarnya untuk pembelajaran selanjutnya, sehingga guru ingin peserta didik fokus terlebih dahulu pada pembelajaran saat ini. Untuk itu, guru menggunakan tuturan (658) yang secara sepintas tidak berhubungan dengan tuturan (657) karena guru mengerti bahwa peserta didik menganggap materi hari ini sudah dimengerti, maka guru memilih memberi pertanyaan berkaitan tugas pembelajaran selanjutnya yang lebih menarik perhatian peserta didik, dibanding dengan berujar, ”Tugas itu masih untuk pembelajaran bahasa Indonesia selanjutnya, jadi kita membahas materi untuk hari ini dulu, ada pertanyaan untuk materi hari ini?”. Maksud tersembunyi ini dimengerti peserta didik seperti yang terlihat pada tuturan (659). Dengan kata lain, tuturan (658) mengandung impliktur percakapan untuk menerapkan maksim kedermawanan.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

93

4) Maksim Cara Maksim cara melarang penutur menimbulkan kekaburan maksud sehingga sulit diketahui mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini untuk menerapkan maksim kedermawanan terdapat pada data-data berikut ini. [16] (347) G: Ojo, wis kelas limo kok nangis. Bu, bijiku élék banget bahasa Inggris, lha angel kok Le, lha saiki nderékko les. Dadi Ibnu yo ngono, nderék lés, gén bijimu yo apik, gén iso éntuk rangking. Seperti Ibnu, karena nilainya sudah bagus, jatuh dibahasa Inggris, nilainya hanya tiga puluh tujuh. Jatuh. Lainnya sudah bagus delapan lebih. Tapi karena nilai bahasa Inggris jatuh tiga puluh tujuh, hanya tiga puluh tujuh menjadikan nilai yang lain fatal, karna apa… karena dijumlah terus dirata-rata jadi hancur. Berakibat mau rangking satu jadi rangking tiga. Untuk yang juara satu Nurul, saya harap mempertahankan, ojo nganti kalah karo Ibnu. Lulu juara dua harus ber opo? (Menatap Nurul yang bertopang dagu) (348) S: (Nurul memperbaiki sikap duduk) (349) G: Berkembang lagi untuk mendapatkan rangking satu, yang satu harus bertahan, jo nganti kalah karo Ibnu, karo… (350) S: Lulu (Nurul) (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [16] terjadi saat pesera didik tidak dapat menjawab pertanyaan karena tidak memperhatikan penjelasan guru sehingga guru menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkan pada tuturan (347). Tetapi pada tuturan (349) tersebut guru memberikan istilah bahasa Jawa yaitu ”bertahan” yang mempunyai makna umum dan memberikan kesempatan peserta didik berpendapat sesuai pengetahuannya seperti yang terlihat diakhir tuturan tersebut. Hal ini dilakukan guru agar tidak dianggap membuat persaingan antar peserta didik, tetapi lebih pada keinginan agar peserta didik meningkatkan prestasi. Maksud tuturan (349) dipahami peserta didik seperti yang terlihat dari tuturan (350) meskipun secara singkat. Jadi tuturan (350) dapat diidentifikasikan mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim cara untuk mematuhi maksim kedermawanan. Contoh lain pelanggaran maksim cara untuk menerapkan maksim kedermwanan juga terlihat saat guru menjelaskan tugas, seperti pada data berikut.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

94

[17] (35) (36) (37) (38)

G: Nanti kamu hafalkan tiga orang-tiga orang membentuk kelompok yang anggotanya tiga orang S: (Peserta didik mulai saling berbisik mencari kelompok) G: Tiga orang-tiga orang yang berperan satu jadi Dimas, satu jadi ayah, dan satu lagi jadi…. S: Ibu (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [17] terjadi saat peserta didik terlalu merespon perintah guru untuk membuat kelompok bahkan sebelum dijelaskan aturan pembuatan kelompok tersebut. Hal ini membuat guru sedikit marah dan menginginkan peserta didik untuk mendengarkan terlebih dahulu karena guru juga akan memberikan kesempatan tersendiri peserta didik membentuk kelompok. Untuk itulah guru lebih memilih menggunakan tuturan (37) yang langsung pada aturan secara umum dibandingkan harus memaksa peserta didik memperhatikan guru terlebih dahulu dan baru dilanjutkan dengan penjelasan aturan secara khusus justru tidak efisien waktu, seperti dengan tuturan, “Kalian tenang dulu, Ibu jelaskan aturan pembentukan kelompok setelah itu kalian boleh mencari pasangan kelompok.....”. Maksud tuturan (37) dimengerti peserta didik dengan adanya tuturan (38) yang berisi salah satu peran yang akan dibacakan peserta didik sebagai tanda peserta didik memperhatikan tuturan guru, meskipun dalam keadaan gaduh. Hal ini membuktikan bahwa tuturan (37) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim cara. Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim kedermawanan sehingga mengandung

implikatur

percakapan.

Penerapan

seperti

ini

didominsai

pelanggaran maksim kualitas, tetapi tidak ditemukan pelanggaran maksim gabungan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode , , , dan .

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

95

g)

Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Pujian

Maksim ini bertujuan agar para partisipan tidak saling mengejek atau merendahkan orang lain sehingga sangat cocok untuk mitra tutur yang berkarakteristik yang ngenyelan tetapi sangat peka perasaannya. Dalam penerapannya, maksim ini berusaha memberikan penghargaan bagi mitra tutur. Penelitian ini menemukan tuturan mengandung implikatur percakapan untuk menerapkan maksim ini. Berikut penjelasan beberapa contoh pelanggaran maksim percakapan dalam penerapan maksim pujian. 1) Maksim Kualitas Maksim kualitas mewajibkan setiap penutur menyatakan hal yang diyakini benar. Contoh tuturan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar maksim kualitas seperti pada data berikut. [18] (573) G: Seneng. Dadiné kowé yo mélu seneng iso ngerti carané mbedol pohong. Kuwi dinggo cah lanang. Carané macul piyé, diwarahi bapak karo mbah kakung. Dijak ning sawah, Yo lé ning sawah lé, gowo pacul lé. Ojo blas malah dolanan. Ampun nggih? Kono lé, latian gawé pinihan. Pinihan ki opo to? (574) S: Winih (Canggih) (575) G: He eh, Papan panggonan sing arep dingo nyebar…Nyebar bibit pari . Diarani pinihan. Nék wis dipacul alus kaé ya, trus diroto lemahé, disebari winih. Nék wis disebari winih tekan 3 minggu, bibit padi itu tadi sudah tumbuh siap ditanam. O…tibakké carané gawé pesemaian ki ngénéki, cobo aku engké dolan, dimarahi ibu, ora iso ngerti carané gawé pi… (576) S: Nihan (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [18] saat guru menjelaskan materi bahasa Indonesia yang dihubungkan dengan mata pelajaran lain yaiu pertanian (pelajaran mulok). Tetapi ternyata tuturan (574) berisi konsep yang dimiliki peserta didik berbeda dengan jawaban yang diinginkan guru. Untuk merespon tuturan tersebut, guru melanggar maksim kualitas dengan mengiyakan terlebih dahulu jawaban peserta didik dengan kata he eh ’iya’ sebagai pujian atas keaktifan yang dilanjutkan dengan penjelasan konsep yang diinginkan guru. Cara ini digunakan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan ini yang dapat membuat

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

96

peserta didik tidak berani menjawab karena takut salah jika guru langsung menyalahkan bahkan menghina tuturan peserta didik, seperti dengan tuturan, ”Kamu salah, pinihan itu membuat tempat untuk menyebar benih padi”. Dan pada tuturan (576) mencerminkan bahwa tidak hanya peserta didik yang menjawab tadi yang mengerti maksud guru, tetapi juga peserta didik lain. Dengan demikian tuturan (575) pada data (18) mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim kualitas yang dengan sengaja membenarkan suatu hal yang sebenarnya salah. Pelanggaran lain maksim ini untuk memenuhi maksim pujian yang digunakan sebagai penjelas maksud penutur, seperti dalam contoh berikut. [19] (411) G: Nggih, awake déwé, sing ngenggo ora bu Warni ya? Taknggo opo?nék pinteré kowe yo dinggo kowé dewé. Pinterku taknggo déwé, ngono? nggih mboten? (412) S: Nggih (413) G: Pinterku take kowé kok. Taknggo déwé nggo opo aku. Tak wénehké kowé saben di…. (414) S: Noné (Pembelajaran3)

Konteks

situasi

[19]

terjadi

saat

guru

menghubungkan

materi

pembelajaran dengan kegunaan materi tersebut bagi peserta didik dengan ”perumpamaan terbalik” yaitu menjelaskan yang salah untuk diambil yang benar. Tetapi guru merasa ada ketimpangan konsep yang dimaksud guru dengan peserta didik. Untuk itulah guru menggunakan tuturan (413) yang seolah-olah peserta didik merespon dengan benar sesuai yang dimaksud guru, padahal sebenarnya mempertanyakan kembali respon tersebut agar dikoreksi peserta didik. Tuturan ini dipilih guru dengan mempertimbangkan karakter peserta didik yang selalu mempercayai tuturan guru sehingga kesalahpahaman tersebut bukan sepenuhnya kesalahan peserta didik. Hal ini dimengerti peserta didik dengan tuturan (414) yang menandai pemahaman peserta didik telah berubah. Dengan demikian terbukti bahwa tuturan (413) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

97

2) Maksim Hubungan Maksim hubungan mengharuskan setiap penutur memberikan kontribusi yang relevan, tetapi dalam penelitian ini ditemukan pelanggaran maksim hubungan untuk mematuhi maksim pujian antara lain pada contoh data sebagai berikut. [20] (602) G: Tidak ya? kalau tidak, lain kali puisi yang kalian buat tadi termasuk empat anak yang belum membuat tadi nggih. Dari puisi tersebut tolong dibuatkan sebuah…. (603) S: Karangan (Canggih) (604) G: Prosa yaitu karangan tentang judul puisi yang anak-anak peroleh tadi . Judulnya...Nah (melihat Ibnu) petani, jadi petaniné itu kamu buat sebuah…. (605) S: Karangan (Ibnu) (606) G: Karangan atau prosa, bercerita dalam bentuk karangan. Lha komané koyo ngénéki mau, tanda miring, wo kénéki engko tak kéi koma, wo ono garis miring dua, engko tak kéi titik. Itu kamu perhatikan dalam membuat prosa dari puisi yang anak-anak buat tadi (607) S: Ngéteniki Bu? (Lulu menunjukkan prosa) (608) G: Lha itu Lulu dah bisa membuat sebuah, apa tadi anak-anak? (609) S: Prosa (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [20] terjadi saat peserta didik sangat sulit menggunakan istilah prosa dibanding karangan, padahal guru telah mengarahkan peserta didik untuk dapat menggunakan istilah tersebut, seperti yang terlihat pada tuturan (603). Untuk itu, guru memilih menggunakan tuturan yang langsung menjelaskan istilah prosa agar peserta didik mengerti dengan sendirinya perbedaan penggunaan istilah prosa dan karangan, seperti yang terlihat pada tuturan (604) dibanding menggunakan tuturan menyalahkan seperti, ”Ibu kan dari tadi bilang agar kamu menggunakan istilah prosa untuk menyebut karangan puisi bukan dengan istilah karangan”. Maksud tersembunyi tersebut dimengerti peserta didik yang terlihat pada tuturan (609) berisi respon penggunaan istilah prosa. Sehingga tuturan (604) mengandung implikatur percakapan saat mematuhi maksim pujian.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

98

Contoh pelanggaran maksim hubungan untuk menerapkan maksim pujian dalam menghadapi keaktifan peserta didik yang berlebihan dapat dilihat dari data berikut. [21] (117) G: Nggih, mangkat sekolah jam enem, tekan sekolah salén klambi, trus ganti opo? Pakaian olahraga, bar pakaian olahraga diénékké…senam…senam opo? (118) S: SKJ (Canggih) (119) G: Senam pemanasan , bar senam pemanasan ngopo? Bar senam pemanasan opo? (120) S: Lari (Canggih) (121) G: Latihan inti , latiané inti opo mau, bermain sépak takraw, ngono kuwi nggladrah opo ra? (122) S: Nggladrah (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [21] adalah saat guru menjelaskan contoh cara menceritakan kembali yang tidak efektif. Saat menjelaskan tersebut, guru berusaha menggunakan contoh nyata kejadian yang telah dialami peserta didik yaitu pada pembelajaran olahraga. Tetapi karena perbedaan pengetahuan maka respon peserta didik tidak sesuai dengan yang diinginkan guru, seperti yang terlihat pada tuturan (118) dan (120). Karakteristik peserta didik yang sangat suka merespon tuturan guru tanpa memikirkan jawaban tersebut benar atau salah membuat guru harus menghindari pernyataan yang terkesan tidak suka sikap tersebut. Sehingga peserta didik tidak kehilangan kepercayaan diri dalam menjawab pertanyaan guru, tetapi juga tahu bahwa jawaban yang dituturkan adalah salah. Hal ini membuat guru menggunakan tuuran yang bukan membenarkan maupun menyalahkan tuturan tersebut melainkan langsung menuturkan jawaban yang benar seperti pada tuturan (119) dan (121), dibanding menggunakan tuturan, ”Kamu salah, kalau kamu tidak tahu lebih baik diam saja”. Maksud dibalik tuturan guru tersebut dimengerti peserta didik seperti yang terlihat pada tuturan (120) dan (122) yang menandakan ketidakterimaan dan kesepakatan pemahaman contoh yang diberikan guru. Secara singkat tuturan (119) dan (121) mengandung implikatur percakapan guna menerapkan maksim pujian dengan melanggar maksim hubungan.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

99

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti juga menemukan penerapan maksim pujian yang mengandung implikatur percakapan didominasi pelanggaran kualitatif dan tanpa pelanggaran maksim kuantitatif, cara maupun gabungan. Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran dengan kode dan . h)

Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kerendahan Hati Maksim ini bertujuan agar penutur dapat bersikap rendah hati dengan

mengurangi pujian untuk diri sendiri. Dalam penelitian ini penerapan maksim kerendahan hati sering dilakukan dengan melanggar prinsip percakapan karena pemahaman kebiasaan penutur dan mitra tutur. Untuk memperjelas, contoh penerapan maksim ini. 1) Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menentukan informasi yang diberikan tidak boleh kurang atau melebihi yang diinginkan mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini dalam penerapan maksim kerendahan hati saat pembelajaran dapat dilihat dari data berikut. [22] (136) G: Lama itu dalam membaca puisi. Nah seperti yang anak-anak lakukan tugas yang kemarin, wingi tak paringi tugas ternyata masih ada 5 anak yang belum membuat. Nah hari ini tinggal 3 anak yang belum membuat, Aqib (137) S: Empat Bu (138) G: O masih 4? Aqib (139) S: Aziz (140) G: Aziz, Bayu, karo (141) S: Canggih (Nurul) (Pembelajaran1)

Konteks situasi ujaran ini adalah guru menyadari kesalahan dalam menjelaskan jumlah peserta didik yang belum mengumpulkan tugas dan direspon peserta didik hanya dengan menyebutkan nama peserta didik lain yang belum mengumpulkan. Meskipun demikian guru tetap mengerti yang dimaksud peserta didik dengan mengulang nama yang disebutkan peserta didik tersebut dan menambah nama sesuai daya ingat guru. Tuturan (139)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

100

pada data [22] terlalu singkat untuk merespon tuturan guru yang tidak hanya membutuhkan respon nama peserta didik yang belum mengumpulkan tugas, melainkan respon benar atau salahkah pengetahuan guru. Sehingga tuturan peserta didik seharusnya, ”Iya Bu, tadi Ibu salah karena masih ada empat yang belum mengumpulkan yaitu Aqib, Aziz, Bayu dan Canggih”. Tetapi hal ini tidak diujarkan peserta didik, melainkan justru diujarkan secara singkat sebagai tanda peserta didik tidak sombong guru, meskipun peserta didik tersebutlah yang benar. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa data [22] pada tuturan (139) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kuantitatif karena peserta didik sengaja merespon tuturan guru secara singkat atau memenggal informasi yang diperlukan guru. Pelanggaran maksim kuantitatif juga digunakan peserta didik saat mengajukan pertanyaan atas materi yang belum dimengerti, seperti dalam data berikut ini. [23] (498) G: Ngantuk. Aduh nék maem mau kakéan kok Bu, kulo ten sekolahan dadiné ngantuk, lha ngopo yanh méné ngantuk Le? Hem..biasané ngantuk kuwi ciriné amandel. Cah cilik kuwi nék kulino ngantuk mungkin duwé amandel (499) S: Amandel? (Nurul) (500) G: Amandelnya membesar, akibat kebanyakan makan, pola makannya berlebihan, dadiné ngan…. (501) S: Tuk (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [23] ini berupa munculnya pertanyaan dari peserta didik karena kurang pemahaman dengan penjelasan dari guru mengenai contoh hubungan antara materi dengan bidang ilmu lain yaitu kesesehatan. Hal ini karena kata amandel bagi sebagian besar masyarakat di lingkungan peserta didik disamakan dengan anak tekak, padahal setiap orang mempunyai anak tekak. Hal ini membuat peserta didik bingung mengenai pernyataan guru pada tuturan (498) yang menjelaskan salah satu penyebab anak kecil suka mengantuk adalah amandel. Namun adanya rasa perkewuh ’sungkan’ untuk meminta guru menjelaskan kembali materi tersebut membuat peserta didik hanya mengulang kata pernyataan dari guru dengan nada bertanya pada

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

101

tuturan (499), dibandingkan berujar, ”Bagaimana amandel dapat membuat mengantuk? Saya belum mengerti”. Maksud terembunyi ini dapat dipahami oleh guru berdasarkan tuturan (500) sebagai respon guru atas tuturan peserta didik dengan menjelaskan lebih khusus mengenai penyebab seorang anak suka mengantuk yaitu akibat amandel yang membesar dan penyebab lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa tuturan (499) yang disampaikan peserta didik pada data [23] mengandung implikatur percakapan dengan mengurangi informasi yang diinginkan yaitu, ”Apa maksud Ibu amandel dapat menyebabkan anak suka mengantuk?” sehingga melanggar maksim kuantitas. 2) Maksim Hubungan Maksim ini digunakan agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur dengan memberikan kontribusi tuturan yang relevan. Penelitian ini menemukan pelanggaran maksim ini dilakukan guru untuk menciptakan variasi humor dalam suatu pembelajaran pada contoh data berikut. [24] (480) G: (Membaca) Kemudian temukan persoalan yang benar-benar terjadi, hem…benar-benar terjadi kamu menemukan masalah apa tadi pagi, benar-benar terjadi. Wah aku mau tumbas saté keong nggoné mbak marsini telung ngéwu (481) S: (tertawa) (482) G: Persoalané ngopo kok nganték tuku telung ngéwu? Lha kulo luwé Bu, kulo nggé lawuh tumbas sego karo saténé nggih. Itu persoalan yang benar-benar terjadi yang dialami kamu, dadi kamu tadi tuku saté séwu. Wo aku mau tuku sate séwué wis éntuk limo las, murah nggih? (483) S: Nggih (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [24] saat guru memberikan penguatan berupa contoh nyata cara penentuan masalah saat akan menanggapi suatu masalah. Untuk menciptakan suasana yang lebih ”segar” dan tidak memojokkan peserta didik sebagai bahan tertawaan dengan menyebut nama peserta didik Guru menggunakan tuturan (480) yang menjadikan diri sendiri menjadi contoh yang lucu karena persamaan anggapan guru dan peserta didik bahwa beli sate keong sebanyak tiga ribu sangat berlebihan. Maksud guru ini dimengerti peserta

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

102

didik dengan respon (483) sehingga guru dapat dengan mudah menerangkan karena antusias peserta didik muncul kembali. Dengan kata lain tuturan (480) mengandung implikatur percakapan yang menaati maksim kerendahan hati. Pelanggaran maksim hubungan yang lain juga digunakan untuk mengetahui pendapat peserta didik tentang sesuatu . Berikut penjelasan contoh data pelanggara maksim hubungan oleh guru dalam penelitian ini. [25] (131) G: Jual, maka ada juga yang kotor. Itu namanya diskon cuci gudang. Ndelalah kowé seneng ning kok reget, tidak apa-apa, nanti dirumah di…. (132) S: Cuci (133) G: Cuci nggih, aku seneng iki nanging kok reget yo? Cuci gudang memang gitu, kalo memang tidak menginginkan cuci gudang dengan harga yang lebih tinggi, terawat dengan baik milio sing…. (134) S: Ora diskon (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [25] terjadi saat guru menjelaskan alasan mengenai barang-barang diskon biasanya kotor. Meskipun guru telah menjelaskan alasan tersebut, tetapi guru juga mengetahui keadaan ekonomi peserta didik yang beragam. Untuk itu guru menggunakan tuturan (133) yang secara umum dan mencontohkan diri sendiri sehingga tidak menjatuhkan atau memihak seseorang yang membeli barang diskon dibanding tuturan, ”Jika tidak ingin barang yang kotor dan mempunyai uang lebih, lebih baik beli yang tidak diskon”. Maksud guru ini dimengerti peserta didik dengan respon (134) sehingga guru dapat mengetahui pendapat peserta didik tentang barang diskon. Dengan kata lain tuturan (133) mengandung implikatur percakapan yang menaati maksim kerendahan hati. 3) Maksim Cara Maksim cara melarang penutur menimbulkan kekaburan maksud sehingga sulit diketahui mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini untuk menerapkan maksim kerendahan hati terdapat pada data berikut ini. [26] (39) (40)

G: Cerita itu nanti, yang anak-anak buat seperti ini (memperlihatkan karton berisi tugas puisi peserta didik). Gék ingi lhak wis sido digawé to? S: Mpun

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

103

(41) (42) (43) (44)

G: Hanya lima anak itu tadi yang belum. Sekarang sudah ditambah Fifa sama.... S: Ibnu (Aziz) G: Ibnu (menatap Ibnu) S: (Mengangguk) (Ibnu) (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [26] terjadi saat mengingatkan kembali tugas pembelajaran sebelumnya yang harus dikumpulkan, tetapi terdapat beberapa peserta didik yang belum mengumpulkan atau telat mengumpulkan. Dan untuk memastikannya tanpa membuat membuat peserta didik beranggapan tidak menghargai peserta didik yang sudah mengumpulkan meski telat, guru menggunakan kata ”ditambah” sebagai ungkapan penerimaan yang bersifat ambigu pada tuturan (41). Hal ini karena meskipun sudah mengumpulkan tetapi ada ketentuan penelaian yang berbeda dengan peserta didik tepat waktu, seperti dengan tuturan, ”Meski kalian mengumpulkan sekarang, tetapi nilai kalian tidak sama dengan peserta didik yang tepat waktu mengumpulkan tugas”. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dengan respon (45) yang menanyakan keberterimaan keterlambatan pengumpulan tugas peserta didik. Sehingga tuturan (41) pada data [26] mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim cara untuk menaati maksim kerendahan hati. Pelanggran maksim cara juga dilakukan peserta didik untuk merespon tuturan guru, seperti yang lihat dari contoh data [27] sebagai berikut. [27] (629) (630) (631) (632)

S: G: S: G:

(633) S:

Rumah toko Ruko dan tempat sampah disediakan agar sampah-sampah opo? Tidak kemana-mana (Aziz) Tidak berantakan atau berserakan kesana kemari yang membuat pemandangan tidak enak, ora kepénak ditonton. Ngendi-ngendi akeh uwuh sing ora nggenah. Sebaiknya ditempatkan pada tempat sampah, sehingga sampah itu di… Buang (Aziz) (Pembelajaran2)

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

104

Konteks situasi data [27] tercipta saat tuturan (630) yang diucapkan guru ingin direspon peserta didik, tetapi peserta didik tersebut tidak ingin mencolok diantara peserta didik lain sekaligus kurang dapat mengungkapkan pendapatnya dengan kata-kata lebih khusus sehingga tuturan (631) justru bermakna ambigu jika guru tidak mengetahui topik yang dibicarakan sebelumnya. Meskipun demikian, guru tetap mengetahui maksud guru seperti yang terlihat pada tuturan (632) berupa prediksi hal yang ingin diungkapkan peserta didik dan penjelasan untuk menyamakan persepsi guru dan peserta didik tentang topik tersebut seperti dalam tuturan (633) sebagai tanda kesepakatan. Sehingga tuturan (631) diidentifikasi mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim cara dengan mengungkapkan suatu hal ambigu atau kekaburan maksud tuturan peserta didik. Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim pujian sehingga mengandung

implikatur

percakapan.

Penerapan

seperti

ini

didominsai

pelanggaran maksim hubungan, tetapi tidak ditemukan pelanggaran maksim kualitas dan gabungan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode , , dan . i)

Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kesepakatan

Inti dari maksim ini adalah menggariskan setiap penutur dan mitra tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Penerapan maksim ini dilakukan dengan menghindari tuturan yang membantah atau memenggal tuturan mitra tutur. Penelitian ini menemukan tuturan mengandung implikatur percakapan untuk menerapkan maksim ini. Berikut penjelasan beberapa contoh pelanggaran maksim-maksim percakapan dalam penerapan maksim kesepakatan.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

105

1) Maksim Kuantitas Contoh tuturan penerapan maksim kesepakatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar maksim kuantitas seperti pada data berikut. [28] (113) G: Tempo kuwi opo to... Tempo kuwi nggih, tempo adalah cepat atau lambatnya pengucapan dalam pu… (114) S: Isi (115) G: Puisi. Cepat atau lambatnya pengucapan pada… (116) S: Puisi (117) G: Itu namanya… (118) S: Tempo (119) G: Tempo. Jadi dalam membaca puisi yang anak-anak perhatikan itu, satu tanda koma, dua tanda baca titik. Diikuti garis miring satu untuk koma, garis miring dua untuk tanda baca ti… (120) S: Tik (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [28] terjadi setelah guru selesai menjelaskan materi tentang pengertian tempo dan tanda-tanda yang terdapat dalam pembacaan pusi. Untuk memastikan peserta didik memahami penjelasan guru, maka tuturan (115), (117), dan (119) dituturkan secara singkat sebagai review dan meminta peserta didik ikut menyimpulkan materi yang telah dibahas pada pembelajaran tersebut. Tuturan tersebut lebih menawarkan kesempatan dibandingkan tuturan guru yang mereview ulang tanpa melibatkan peserta didik seperti dengan tuturan, ”Benar, tempo adalah cepat lambatnya pengucapan pada pembacaan puisi. Selain itu, di dalam membaca puisi kalian juga harus memperhatikan tanda garis miring satu sebagai pengganti tanda koma dan garis miring dua sebagai pengganti tanda titik”. Maksud ketiga tuturan tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya respon (116), (118), dan (120) yang juga dilakukan secara singkat pula. Dengan demikian tuturan (115), (117), dan (119) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kuantitas guna mematuhi maksim kesepakatan. Contoh lain pelanggaran maksim ini dalam penerapan maksim kesepakatan dapat dilihat pada contoh data berikut ini.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

106

[29] (7) (8) (9) (10)

G: Tiwa. Kita baca dulu, opo to sing diarani mendengarkan cerita…mendengarkan cerita adalah, opo cah? S: Menyimak tutur … suatu hal …peristiwa (saling bersahutan) G: Menyimak tutur , tutur ki opo to cah? S: Berbicara (Canggih menjawab keras) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [29] terjadi saat guru memulai pembelajaran dengan materi baru sesuai petunjuk LKS. Guru memulai diskusi kelas dengan memastikan peserta didik telah siap mengikuti pembelajaran melalui pertanyaan (7). Tuturan ini ternyata direspon baik oleh peserta didik meskipun tuturan (8) yang disampaikan peserta didik tidak jelas karena peserta didik menjawab tidak serempak. Tetapi guru mengetahui bahwa peserta didik membaca LKS sehingga guru menganggap tuturan peserta didik sama karena materi sudah ada di LKS. Untuk itulah, guru cukup bertutur (9) yang singkat tanpa harus menyatakan kata kesepakatan secara langsung atau mengulang keseluruhan jawaban peserta didik, melainkan langsung diikuti pertanyaan materi selanjutnya. Hal ini dianggap lebih efisien waktu dibanding harus bertutur, ”Kalian benar, mendengarkan cerita adalah menyimak tutur orang lain tentang suatu hal atau peristiwa”. Maksud tersembunyi ini dimengerti peserta didik melalui tuturan (10) yang mengikuti ke materi selanjutnya. Sehingga tuturan (9) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kuantitas gunamenerapkan maksim kesepakatan. 2) Maksim Hubungan Dalam penelitian ini ditemukan beberapa pelanggaran maksim ini antara lain pada contoh data sebagai berikut. [30] (1) (2) (3)

(4)

G: Yo bahasa nggih. Yo kursiné dijikok siji S: Mboten Bu (Canggih) G: O...nggih pun. Ya...melanjutkan materi berikutnya bahasa kemarin (mengambil buku dan LKS Bahasa Indonesia di lemari kelas). Kita ambil LKS mengenai tema perdagangan S: (Mengeluarkan dan membuka LKS, tetapi Canggih belum menemukan halaman LKS dengan tema perdagangan karena kemarin tidak masuk sekolah) Halaman pinten Bu? (Canggih) (Pembelajaran2)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

107

Konteks situasi data [30] lebih mengarah pada kebiasaan yang diterapkan peserta didik dan guru saat pembelajaran yaitu kebiasaan peserta didik yang belum siap untuk memulai pembelajaran salah satunya ditandai dengan masih terdapat dua peserta didik semeja. Tuturan (1) yang berisi sindiran halus bagi pserta didik direspon dengan tuturan (2) yang jika dilihat secara sepintas tidak ada hubungan dengan tuturan sebelumnya.

Tuturan (2) sebenarnya

mempunyai maksud peserta didik mengerti kalau pembelajaran akan dimulai dan akan segera kembali pada tempat duduknya tanpa perlu mengambil kursi peserta didik lain. Cara pengungkapan tuturan (2) dipandang lebih sopan dan efektif waktu untuk membela diri tanpa menentang tuturan guru yang akan membuat suasana pembelajran menjadi tidak nyaman, dibanding dengan tuturan, ”Saya mengerti pembelajaran akan dimulai, tetapi tidak mengambil kursi karena saya sudah punya kursi sendiri dan akan duduk di tempat duduk saya”. Maksud tuturan peserta didik dimengerti guru yang terlihat dari tuturan (3) yang memaklumi perilaku peserta didik sehingga tidak marah dan segera memulai pembelajaran. Dengan demikian tuturan (2) pada data [30] tersebut teridentifikasi mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim hubungan. Pelanggaran ini juga digunakan guru untuk menjelaskan materi yang kurang dimengerti salah satu peserta didik, tetapi dilakukan dengan menjelaskan ke semua peserta didik. Berikut salah satu contoh data pelanggaran maksim ini. [31] (248) S: Lha lungguhé piyé (Canggih) (249) G: Kursiné ceméntel klambi, lha pripun to Bu? Tenguk-tenguk diceménteli klambi. Kursiné lak dingo tenguk-tenguk to? (250) S: Nggih (251) G: Klambiné kowé séléhke nggon kursi. Bu, lha menggke kulo ngge meleh kok. Ngono yo? Dadi engko dinggo meléh, dadi diceméntel nggon…. (252) S: Kursi (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [31] merupakan lanjutan dari sindiran guru terhadap kebisaan yang kurang baik dari peserta didik. Tetapi ada salah satu peserta

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

108

didik yang tidak mengerti tentang hal tersebut dan justru salah paham. Untuk itulah, guru merasa perlu menjelaskan lebih rinci baik kepada peserta didik tersebut maupun peserta didik lain. Akibatnya, tuturan (251) yang digunakan guru terkesan tidak berhubungan salah satu peserta didik , tetapi maksud guru tersebut dimengerti peserta didik yang ditandai dengan tuturan (252) oleh semua peserta didik. Tuturan (251) digunakan guru agar tidak terlalu memojokkan peserta didik yang lambat dalam menangkap maksud guru dibanding tuturan, ”Itu cuma sindiran Canggih, jadi kamu jangan menggantungkan baju di kursi, meskipun baju itu akan kamu pakai lagi”. Sehingga tuturan (251) terbukti mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim hubungan. 3) Maksim Cara Maksim cara melarang penutur menimbulkan kekaburan maksud sehingga sulit diketahui mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini untuk menerapkan maksim kedermawanan terdapat pada data-data berikut ini. [32] (624) S: Puisi (625) G: Dari he eh, (melihat peserta didik deretan kanan) dari puisi yang telah anak-anak buat lewat majalah, koran, atau buku-buku yang lain diperpus… (626) S: Takaan (Canggih dan Aziz mengangguk) (627) G: Takaan. Lain kali dilanjutkan. Sudah nggih, sekarang istirahat. Wassalamualaikum warohmatulloh wabarokatu. (628) S: Walaikumsalam warohmatullohi wabarokatu. (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [32] terjadi saat penutupan pembelajaran yang dilakukan dengan mereview materi pembelajaran yang telah dipelajari dan sebagai tuturan penegas tugas yang harus dikerjakan peserta didik yang tidak masuk saat les liburan semester 1. Tuturan (625) sebenarnya ditujukan pada peserta didik yang belum mengerjakan tugas minggu lalu karena tidak masuk sekolah, tetapi guru lebih memilih menggunakan tuturan tersebut yang lebih umum untuk menghindari peserta didik tersebut terikat seperti jika berujar, “Ingat, bagi peserta didik yang belum mengumpulkan tugas hari ini, selain mengerjakan tugas untuk besok, juga harus mengerjakan tugas minggu

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

109

kemarin yang menyalin puisi dari majalah atau buku di buku tugas”. Sehingga respon yang tercipta berupa tuturan (626) sebagai tanda kemengertian semua peserta didik atas tugasnya masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa tuturan (625) pada data [32] mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim cara dengan mengungkapkan suatu hal secara umum. [33] (426) G: Loro, panas, he eh, kamongko jané bi…. (427) S: Duren (428) G: Duren nggih. Jadi harus nyata, betul-betul nyata sing diomongké, sing dihaturké. Bu, Canggih mboten mlébet awit biduren, mripate mriki bekep-bekep, tapi mboten saget ningali, isin metu trus ora mlebu sekolah, mboten saget mlebet sekolah. Boleh, tetapi itu kalau benarbenar nyata ora pareng nga…. (429) S: Pusi (430) G: Pusi, ning ojo thik-thik ora mlebu, Canggih panunen ngono ra mlebu kok, ampun nggih? (431) S: (Canggih mengangguk) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [33] merupakan lanjutan tuturan sindiran yang ditujukan kepada salah satu peserta didik karena sering tidak mesuk sekolah dengan alasan yang bermacam-macam, seperti pada tuturan (426). Oleh karena itu, guru menggunakan ungkapan secara umum pada tuturan (428) agar dapat menghubungkan materi pembelajaran dengan kesepakatan peserta didik untuk tidak menggunakan alasan yang tidak benar jika tidak masuk sekolah. Hal ini dilakukan agar efisien waktu dibandingkan guru harus menasihati kebiasaan peserta didik tersebut yang sulit diubah disecara pribadi. Maksud ini direspon positif oleh peserta didik dengan tuturan (431) yang menandakan kesepakatan peserta didik. Sehingga tuturan [33] mengandung implikatur percakapan guna memenuhi maksim kesepakatan. Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim kesepakatan sehingga mengandung

implikatur

percakapan.

Penerapan

seperti

ini

didominsai

pelanggaran maksim kuantitas, tetapi tidak ditemukan pelanggaran maksim kualitas dan gabungan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

110

dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode , , dan . j)

Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Gabungan

Dalam penelitian ini juga ditemukan penerapan maksim sopan santun gabungan yang mengandung implikatur percakapan. Untuk memperjelas, contoh penerapan maksim ini. 1) Maksim Kearifan dan Pujian Penerapan maksim ini memaksimalkan keuntungan mitra tutur dengan menghargai mitra tutur saat penutur menginginkan sesuatu. Contoh tuturan penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mengandung implikatur percakapan seperti pada data berikut. [34] (33)

(34) (35) (36)

G: Bahasa, keindahan bahasa. Kamu juga dapat belajar bagaimana mengungkapkan perasaan sesuai dengan makna yang dikandung dalam pui...puisi. Untuk puisi itu nanti, anak-anak dalam membuat puisi itu, saya harap membuat lagi, puisi tersebut dijadikan sebuah apalagi? S: Karangan (Nurul) G: Karangan pro.... S: Sa (Pembelajaran1)

Konteks situasi tuturan guru [34] diarahkan berdasarkan tuturan peserta didik yang kurang lengkap dalam merespon tuturan guru (33) yang mempertanyaan tugas pembelajaran sebelumnya. Tetapi guru membenarkan tuturan tersebut dan mengakhirinya dengan kalimat yang tidak lengkap agar peserta didik merespon tuturan tersebut sebagai cermin peserta didik mengerti jawaban yang diinginkan guru. Hal ini terlihat dari tuturan (35) yang mengulang tuturan peserta meski salah dibandingkan respon yang seharusnya dituturkan guru seperti, “Jawaban kamu kurang lengkap, seharusnya karangan prosa”. Maksud tuturan tersebut dimengerti peserta didik yang merespon tuturan guru

dengan tuturan (36). Sehingga tuturan (35) mengandung

implikatur percakapan guna menerapkan maksim pujian dan kearifan. [35] (73)

G: Tidak. Jadi di dalam membuat puisi, anak-anak tidak membuat atau

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

111

(74) (75) (76)

menuliskan tanda koma atau tanda titik, tetapi kalau sudah dibentuk dalam bentuk opo mau? Karangan atau prosa harus diberi tanda baca opo tadi? S: Tanya (Nurul) G: Tanya boleh, koma dan ti.... S: Titik (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [35] terjadi saat terjadi perbedaan jawaban peserta didik

yang

diinginkan

guru,

tetapi kesalahpahaman

tersebut

tidak

menyimpang dari tujuan pembelajaran sehingga masih dapat dimaklumi. Dalam pembelajaran ini, guru tidak ingin langsung menyalahkan peserta didik yang akan membuat peserta didik takut menjawab, melainkan mebenarkan kemudian mengarahkan peserta didik pada matreri yang sebenarnya ingin dicapai. Sehingga guru menggunakan tuturan yang membenarkan sesuatu hal yang salah dan singkat dibandingkan harus berujar, “Kamu salah, tadi kan kita membahas tanda koma dan titik jadi jawaban pertanyaan Ibu tadi adalah tada koma dan titik”. Maksud inilah yang tersembunyi dibalik tuturan (75) yang membenarkan jawaban peserta didik dan diakhiri pertanyaan sebagai arahan peserta didik untuk mencari jawaban yang sebenarnya. Tuturan (76) merupakan bukti bahwa peserta didik mengerti maksud tuturan (75) yang diujarkan guru. Jika dilihat dari tuturan (75) dapat diidentifikasi mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kualitas dan kuantitas secara bersamaan. Penerapan maksim gabungan ini juga digunakan guru untuk menuntut secara halus peserta didik mengerti penjelasan yang dianggap sulit dalam pembelajaran. Berikut contoh data penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian. [36] (622) G: Tidak, kowé gur arep tuku sepatu ning kaki lima, antri ngono kaé, milih sak senengé déwé. Nék nggon rumah toko utowo nggin swalayan lain atau tidak? (623) S: Lain (624) G: Lain, ora kemruyuk, lak ora kemruyuk to? (625) S: Mboten (626) G: Mboten se…. (627) S: Mrawut

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

112

(628) G: Semrawut to? Jadi para pedagang kaki lima, tanggapan kamu bagaimana…sebaikya dibuatkan…. (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [36] terjadi saat guru ingin menberikan contoh nyata yang lebih dimengerti peserta didik yang akan dihubungkan dengan istilah dalam materi pembelajaran yang dianggap membingungkan seperti pada tuturan (622). Guru kemudian menggunakan tuturan pertanyaan untuk memastikan peserta didik mengerti hal yang dimaksud guru dengan tuturan (624). Respon yang sesuai keinginan guru memberikan peluang untuk menghubungkan contoh dengan materi meskipun dengan tuturan yang singkat dan terkesan tidak sesuai dengan ujaran sebelumnya. Hal ini karena guru mengerti karakteristik peserta didik yang cepat bosan jika materi yang dijelaskan terus menerus seperti dengan ujaran, ”Kalian benar, jika membeli barang di toko, kalian tidak perlu berdesak-desakan saat memilih barang sehingga tidak semrawut seperti jika kalian membeli barang di kaki lima”. Maksud guru ini tersembunyi dibalik tuturan (626) dan telah dimengerti peserta didik jika dilihat dari tuturan (627) yang diujarkan secara serempak. Dengan kata lain tuturan (626) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kuantitas untuk memperjelas materi. 2) Maksim Kearifan dan Kesepakatan Penerapan maksim ini memaksimalkan keuntungan mitra tutur dengan tidak membantah mitra tutur saat penutur menginginkan sesuatu. Contoh tuturan penerapan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mengandung implikatur percakapan seperti pada data berikut. [37] (472) G: O péh énten gantiné nggih, péh énten gantiné Gih, Canggih? (473) S: La biduren kok Bu Bu (Canggih) (474) G: Ampun, mulo silahkan masuk terus ojo thik-thik ora…. (475) S: Mlebu (Canggih) (Pembelajaran2)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

113

Konteks situasi yang terjadi saat data [37] adalah lanjutan sindiran yang ditujukan pada salah satu peserta didik. Guru menggunakan tuturan yang seolah-olah peserta didik menjawab sesuai keinginan guru dengan kata ampun ’jangan’ yang lebih bermakna pengiyaan ’tidak’ dan dilanjutkan kalimat yang tidak lengkap agar peserta didik tersebut sepakat tidak mengulangi izin karena alasan sepele ’tidak penting’. Maksud tuturan (474) tersebut adalah menjamin bahwa sekolah itu penting dan meminta peserta didik juga mengerti, meskipun peserta didik tidak berbohong seperti pada tuturan (473). Maksud tuturan guru tersebut dimengerti peserta didik dengan respon (475) sebagai tanda kesepakatan. Jadi dapat diketahui bahwa tuturan (474) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kuantitas dan kualitas. [38] (630) (631) (632) (633) (634)

S: S: S: G: S:

Diskon itu artinya potongan harga (Ibnu) Mengapa disebut perang? Seperti tentara saja (Canggih) Itu….(Ibnu terlihat bingung) Itu karena berlomba atau…. Itu karena berlomba atau bersaing (Ibnu) (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [38] terjadi saat peserta didik melaksanakan tugas berbicara di depan sesuai teks percakapan yang dihafalkan secara berkelompok. Tetapi ada peserta didik yang lupa dengan bagian teks yang harus dihafalkan. Untuk itulah, guru menggunakan tuturan (633) yang seolaholah mendengar peserta didik tersebut berbicara dan disuarakan kembali tetapi tidak secara lengkap agar peserta didik tersebut dapat melanjutkan dialog tanpa grogi. Maksud tuturan (633) tersebut dimengerti peserta didik dengan langsung melanjutkan dialog tanpa menunggu guru selesai berbicara. Tuturan (633) lebih dianggap membantu peserta didik dalam menyelesaikan tugas dibandingkan tuturan guru yang hanya menyindir tanpa diberi kata kunci jawaban yang benar. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tuturan (474) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kuantitas dan kualitas. 3) Maksim Kedermawanan dan Kerendahan Hati

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

114

Penerapan maksim ini menambah beban penutur dengan mengurangi pujian terhadap diri penutur. Contoh tuturan penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mengandung implikatur percakapan seperti pada data berikut. [39] (301) G: Dolane suwé, wayah nyambut gawé urung mantuk. Wayah nyambut gawé membantu orang tua kamu belum pulang, berakibat orang tua atau ibumu marah-marah nggih mboten? (302) S: Nggih (303) G: Marah orang tua itu kalau anaknya sampai melalaikan tugasnya. O..yah méné aku wayahé macul ngéwangi bapak, kok aku ijik bal-balan karo dolan. Ibu pasti bagaimana? (304) S: Marah (305) G: Marah, ibu pasti marah, berakibat orang tua marah memarahi kamu. (membaca puisi) Namun itu, dibalik bunda memarahiku ada rasa…. (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [39] terjadi saat guru menjelaskan hal-hal yang dapat membuat Ibu marah pada anaknya sekaligus memberi nasihat agar peserta didik menghindari perbuatan tersebut. Awalnya guru menggunakan contoh peserta didik seperti pada tuturan (302). Namun saat guru menggunakan tuturan penguatan, guru memilih menggunakan tuturan (303) yang meminta kesanggupan peserta didik dengan mencontohkan diri sendiri agar peserta didik tidak merasa terlalu dipojokkan. Meskipun secara sepintas tuturan (303) tidak menguatkan tuturan sebelumnya dan terlalu umum pertanyaan yang disampaikan, tetapi peserta didik mengerti maksud seperti yang terlihat pada tuturan (304) sesuai keinginan guru. Dengan kata lain, tuturan (303) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksin hubungan dan cara untuk memenuhi maksim kedermawanan dan kerendahan hati. [40] (472) G: (melihat Nilam menyeret kursi dan menimbulkan suara berisik) Sebab tidak memperhatikan dengan sungguh-…. (473) S: Sungguh (474) G: (membaca) Sekarang hal-hal yang diperhatikan ketika anak-anak memberi tanggapan kepada sesuatu hal. Mau lak ngrungokké to…bar ngrungokké lak iso nyritakké to…nyritakké ojo nganti salah. Nék wis nyritakké bener berarti ora diguyu kancamu. Lhawong mau critané jané pemain takraw mau telu kok sing jawab papat, diguyu kancamu to?

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

115

(475) S: Nggih (476) G: Nah, mergané ora ngru…. (477) S: Ngokké (Pembelajaran2)

Konteks situasi pada data [40] terjadi saat guru mengalihkan materi satu ke materi lainnya sesuai petujuk LKS. Tetapi, tanpa kesimpulan materi di akhir tuturan, guru langsung membaca LKS dan baru di tengah tuturan guru menghubungkan antar materi dengan mencontohkan dirinya sendiri, jika dibanding dengan tuturan, “Benar, kita lanjutkan dengan materi selanjutnya dan baca di LKS tentang hal-hal yang diperhatikan saat memberi tanggapan kepada sesuatu hal” yang terlalu panjang sehingga tidak efisien waktu. Meski begitu, peserta didik tetap mengerti maksud guru jika dilihat dari respon (475) dan (481) yang menandakan peserta didik dapat mengikuti materi yang disampaikan guru. Jika dilihat penjelasan pada tuturan di atas, maka dapat diketahui bahwa tuturan (478) mengandung implikatur percakapan yang melanggar dua maksim sekaligus. 4) Maksim Kedermawanan dan Kesepakatan Contoh tuturan penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mengandung implikatur percakapan seperti pada data berikut. [41] (472) G: Ibumu menéh, kowé ra njalok bapak cah? (473) S: Mboten (Ibnu) (474) G: Mboten, bapak yo pernah? Pernah, tetapi setiap hari biasanya minta pada (475) S: Ibu (476) G: Ibu. (Membaca) Jadi bunda yang selalu berjasa bagiku dan keluargaku. Jadi keluargamu semuanya mengharap jasa seorang ibu. Esok-esok pagipagi ibu sudah bangun pagi jam empat kadang jam tiga untuk persiapan makan pagi ya, kamu sebagai anak ya harus membantu orang tua terutama sapa? (477) S: Ibu (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [41] terjadi saat guru berusaha meluruskan jawaban peserta didik sesuai keadaan pada umumnya. Di samping itu, guru juga tidak

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

116

ingin terkesan tidak setuju atas jawaban peserta didik karena semua pendapat tentang pertanyaan guru ini tergantung dari pengalaman masing-masing orang. Untuk itulah guru menggunakan tuturan (484) yang menyetujui tuturan peserta didik, tetapi juga mempertanyakannya kembali dan menjawabnya sendiri sehingga mendapat suatu jawaban yang logis dan diterima peserta didik. Maksud tuturan (484) dimengerti peserta didik dengan respon (485) sebagai tanda kesepakatan atas alasan guru. Dengan demikian, tuturan (484) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kuantitas dan kualitas. Penerapan maksim kedermawanan dan kesepakatan juga dilakukan dengan melanggar maksim hubungan dan cara seperti pada contoh data berikut. [42] (436) G: Ora iso, koncone iso, dadi ra iso mergoné pas diterangké ora mlebu. Lha akibaté kuwi, kancané iso dadi ora iso, mula pingin…kepingin mlebuo terus, ojo nganggo préi, mlebu terus waé sok-sok ora i…iso, angel, opo menéh ora mlebu, nék ora mlebu dadiné bingung, nggih mboten? (437) S: Nggih (438) G: Konconé mlayu tekan Solo, kowé isih uplak-uplek énéng pondok, konconé wis tekan Jakarta, kowé agék tekan Semarang, kesuwén to? Ketinggalan mboten? (439) S: Ketinggalan (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [42] merupakan lanjutan sindiran guru terhadap peserta didik yang sering tidak masuk sekolah. Pada tuturan (438) guru bermaksud menjelaskan akibat yang akan diterima peserta didik jika sering tidak masuk sekolah. Maksud tersebut disampaikan dengan tuturan perumpamaan, sehingga terkesan tidak berhubungan dengan tuturan sebelumnya dan dapat membuat peserta didik bingung. Karena kesamaan pengetahuan, tuturan tesebut dimengerti peserta didik dengan ditandai tuturan (439) sebagai tanda kesepakatan. Sehingga tuturan (438) dapat diketahui mengandung implikatur percakapan yang melanggar mksim hubungan dan cara untuk memenuhi maksim kedermawanan dan kesepakatan.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

117

Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim gabungan baik maksim gabungan kearifan dan pujian, kearifan dan kesepakatan, kedermawanan dan kerendahan hati, maupun kedermawanan dan kesepakatan sehingga mengandung implikatur percakapan. Penerapan seperti ini didominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas dalam penerapan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode , , , , dan . Dan untuk memudahkan penghitungan jumlah pelanggaran maksim percakapan, peneliti juga mencantumkan tabel pada setiap pelanggaran prinsip kerjasama dalam penerapan prinsip sopan santun dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD. Tabel 3. Pelanggaran Maksim Kerja Sama dalam Menerapkan Maksim Sopan-santun

Tabel di atas menunjukkan bahwa implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD didominasi oleh pelanggaran

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

118

maksim kuantitas yaitu 176 tuturan saat menerapkan maksim sopan santun, terutama dalam menerapkan maksim kesepakatan yaitu 23 tuturan pada pembelajaran pertama, 28 tuturan pada pembelajaran kedua, dan 40 tuturan pada pembelajaran ketiga. Sedangkan penerapan maksim sopan santun yang mengandung implikatur percakapan didominasi maksim kesepakatan yaitu 45 tuturan pada pembelajaran pertama, 36 tuturan pada pembelajaran kedua, dan 55 pada pembelajaran ketiga. Semua penerapan dan pelanggaran di atas tidak terlepas dari tujuan dan fungsi yang ingin dicapai penutur kepada mitra tutur.

2. Tujuan dan Fungsi Penggunaan Implikatur Percakapan Ilokusi yang tidak dikatakan penutur kepada mitra tutur dan mempunyai kemungkinan lebih dari satu penafsiran dapat disebut implikatur. Tetapi perlu diketahui tidak semua pelanggaran prinsip kerja sama akan terkesan lebih sopan. Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidak sopan dalam tuturan, biasanya dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini hanya menganalisis fungsi ilokusi sesuai dengan tujuan ilokusi tuturan berimplikatur percakapan penutur yang mementingkan pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur saat pembelajaran bahasa Indonesia kelas V. Untuk itu, analisis sangat terkait dengan reaksi atau respon yang dilakukan mitra tutur dari implikatur percakapan yang dituturkan oleh penutur. Tujuan dan fungsi tersebut dijabarkan dengan beberapa contoh data sebagai berikut. a. Implikatur Percakapan yang Berfungsi Kompetitif dan Bertujuan Direktif Penelitian ini menemukan implikatur percakapan yang berfungsi kompetitif untuk mencapai tujuan direktif dengan kesantunan negatif. Sehingga tuturan yang dihasilkan

terkesan

lebih

memberikan

keuntungan

dan

mengurangi

ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi (bersaing) saat penutur ingin menimbulkan suatu efek atau tindakan yang dikeluarkan oleh mitra tutur. Secara singkat implikatur percakapan yang berfungsi kompetitif dan tujuan direktif

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

119

tercakup saat penerapan maksim kearifan, kedermawanan dan maksim gabungan pujian dan kearifan. Contoh ujaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Implikatur percakapan kompetitif direktif mengajak Implikatur percakapan dapat digunakan penghalus tuturan yang meminta mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan. Sehingga tuturan ini digunakan untuk memperhalus perintah kepada mitra tutur, seperti terlihat pada data berikut. [43] (590) (591) (592) (593) (594)

G: S: G: S: G:

(595) S:

Puisi. Yang kedua tanda apa? Nada Nada itu apa? Tekanan tinggi rendah Tekanan tinggi rendah atau sedang dalam pembacaan puisi tersebut. Ketiga yaitu… Tempo (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [43] terjadi saat guru mengulas kembali materi yang telah dibahas dan menginginkan peserta didik ikut aktif dalam pembelajaran tersebut. Guru juga mengetahui karakteristik peserta didik kelas V yang tidak suka jika diperintah, tetapi sangat suka menjawab pertanyaan. Untuk itu, guru memilih tuturan yang tidak diujarkan secara lengkap yang mempunyai maksud mengajak peserta didik ikut berpartisipasi merumuskan kesimpulan pembelajaran hari itu, seperti yang terlihat pada tuturan (594). Tuturan (594) dipilih guru karena dianggap tidak membuat peserta didik diharuskan menjawab tuturan melainkan lebih pada kesadaran diri untuk aktif dalam pembelajaran, selain itu guru juga dapat mengecek pemahaman peserta didik terhadap materi yang disampaikan guru, dibanding dengan tuturan, ”Sekarang kalian jawab pertanyaan berikut, apa faktor ketiga yang harus diperhatikan dalam pembacaan puisi?”. Tuturan ini dimengerti peserta didik dengan adanya respon tuturan (595) yang merupakan lanjutan tuturan yang diinginkan guru.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

120

Maksim kearifan juga dapat diterapkan agar peserta didik tidak merasa dipojokkan atau grogi dengan perintah guru, salah satu contohnya sebagai berikut. [44] (223) G: Nggih. (Membaca dan melihat Aziz menguap) Kantor pos juga menerima layanan tabungan dari masyarakat, nggih nopo mboten Ziz? (224) S: Nggih (Aziz pelan) (225) G: Kowé nabung rono iso ra? (226) S: Saget (Aziz) (227) G: Saget, lewat kantor pos juga dilayani bahkan sekarang pajak listrik pun juga bisa dilayani disana. Kowé duwé utang pit montor kredit lewat sana juga bisa diproses, ra sah ning kantoré pit montor, lewat kantor pos juga bisa dilayani. Sopo sing wis tahu ning kantor pos? (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [44] terjadi saat peserta didik menggunakan tuturan nggih ’bisa’, tetapi kurang yakin dalam merespon sindiran tuturan (223) sebelumnya karena tidak memperhatikan penjelasan guru. Karakteristik peserta didik tersebut yang ”cengeng” membuat guru perlu menyampaikan teguran kepada peserta didik dengan cara lebih halus dan tetap memberikan stimulus agar peserta didik mengerti tentang materi tersebut. Tuturan (225) terlihat tidak marah, mengiyakan maupun menolak respon peserta didik, tetapi justru menanyakan hal lain mengenai penerapan materi tersebut. Maksud tuturan (225) lebih untuk meredam kemarahan guru dalam menjelaskan kembali materi yang tidak diperhatikan peserta didik yang mengantuk dengan pengandaian peserta didik dapat menerapkan materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan kesan memberi keleluasaan peserta didik untuk berpikir dibanding dengan tuturan, ”Itu akibat kamu tidak memperhatikan penjelasan Ibu. Ibu tadi kan sudah menjelaskan kantor pos bisa untuk menabung”. Sehingga peserta didik tidak merasa terpojokkan dan memperbaiki sikap yang terlihat dari tuturan (226) yang dapat menjawab pertanyaan guru dengan yakin. [45] (211) S:

(agak keras tanpa membaca teks) Ketika ayam jantan mulai menyanyi (terlihat kebingungan) (212) G: Diwoco (213) S: (membaca) Dan mentari bangun pagi, petani pun mulai bersiap diri,

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

121

memangkul cangkul, tunaikan tugas suci, panas matahari kau abaikan, peluh bertetesan bagaikan lautan, cangkulmu tetap kau ayunkan, itu semua untuk persediaan pangan, sungguh besar pengorbananmu, aku kagum kepadamu, ada satu tujuan yang mulia, menyediakan pangan untuk semua (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [45] tercipta saat salah satu peserta didik diminta membacakan tugas puisi yang telah dikerjakan di depan kelas. Awalnya peserta didik mendeklamasikan puisi atau tanpa membaca teks yang dia bawa seperti yang terlihat pada tuturan (211). Tetapi di tengah membaca puisi, peserta didik lupa dan hal ini dimengerti oleh guru seperti dengan tuturan (212). Tuturan tersebut diujarkan secara singkat sehingga terkesan tidak berhubungan dengan tuturan sebelumnya, seperti jika menggunakan tuturan, “Kamu lupa ya? Kalau begitu teks puisinya dibaca saja”. Hal ini dilakukan guru untuk menghindari peserta didik menjadi grogi karena ketahuan tidak hafal puisi yang dibawanya, padahal peserta didik tersebut ingin menunjukkan kepada guru bahwa dia telah hafal. Maksud dibalik tuturan (212) dimengerti oleh peserta didik dengan reaksi langsung membaca teks puisi yang dibawanya, seperti terlihat pada tuturan (213). Secara singkat tuturan (594), (225), dan (212) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim kerja sama untuk mematuhi maksim kearifan yang kompetitif dalam mencapai tujuan direktif . Pola tuturan seperti ini juga dapat ditemukan pada tuturan berkode MSA meskipun dengan pelanggaran maksim-maksim kerjasama yang berbeda. 2) Implikatur percakapan kompetitif direktif menyarankan Dalam penelitian ini, penutur tidak mengungkapkan keinginan untuk memaksa mitra tutur untuk membenahi suatu hal secara lugas, melainkan dengan tuturan kesantunan negatif melalui implikatur percakapan. Implikatur percakapan ini membuat tuturan lebih terkesan sebagai saran yang perlu dilaksanakan mitra tutur. Secara konkret hal ini terlihat saat penutur menerapkan maksim kedermawanan seperti data berikut.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

122

[46] (29)

(30) (31) (32)

G: Tepat. Penjedaan. Karena apa…karena dalam membaca puisi itu tadi, anak-anak sudah dapat membaca bahwa...e...bahkan beberapa kali di dalam membaca S: (Ibnu menggoda peserta didik lain) G: Saat membaca puisi, kamu harus menikmati keindahan. Keindahan apa? (Memandang Ibnu) S: (Ibnu mencatat kembali) (Pembelajaran1)

Konteks situasi tuturan guru diarahkan pada salah satu peserta didik yang dianggap guru kurang memperhatikan penjelasan guru saat pembelajaran berlangsung. Data [46] jika dilihat dari penggalan tuturan (31) saja, hanya akan diketahui bahwa tuturan guru berfungsi sebagai penguat penjelasan yang telah disampaikan guru sebelumnya, sehingga dapat dipastikan bahwa pertanyaan guru

akan mudah dijawab

peserta

didik. Tetapi pada

kenyataannya, ada peserta didik yang tidak menjawab, melainkan merespon dengan mencatat tuturan guru. Peserta didik tersebut adalah peserta didik yang dipandang guru saat mengujarkan tuturan tersebut. Tuturan (31) bukan hanya sebagai pertanyaan penguat, tetapi memiliki maksud tersembunyi yaitu menyarankan peserta didik agar memperhatikan penjelasan guru dan maksud ini dimengerti peserta didik yang tercermin dari respon peserta didik yang mencatat. Sehingga tuturan guru seharusnya tuturan guru, “Ibnu jangan mengganggu teman lain, sekarang jelaskan keindahan yang Ibu maksud tadi?”. Ketidaksebutan mitra tutur pada data (46) digunakan agar guru tidak dianggap mengancam muka peserta didik tersebut dihadapan peserta didik lain, tetapi tetap mengerti bahwa yang dilakukannya merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan kata lain tuturan (31) berimplikatur percakapan yang melanggar maksim kuantitatif karena tuturan guru kurang informatif dengan tidak mencantumkan mitra tutur yang dituju melainkan hanya dengan isyarat memandang mitra tutur. [47] (193) G: He eh, ke Jakarta lewat kantor pos. Mungkin yang lain kalau kamu sudah besar mencari pekerjaan misalnya di luar Jawa. Adoh'o koyo ngopo saiki nék numpak pesawat sak jam tekan, setengah jam tekan, satu setengah jam nyampe. Untuk lebih cepatnya itu tadi, pengiriman barang berharga

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

123

misalnya ijazah. Kamu mélu pendaftaran CPNS ning Kalimantan Timur, pamané kétut ning kono, kamongko agék digowo fotokopiané, ijazah asli isih ono ning ngomah, lha carané piyé? Ijazah asli harus di (terhenti) (194) S: Fotokopi (Nurul) (195) G: Fotokopi atau diantar? (196) S: Diantar (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [47] terjadi saat guru memberikan pertanyaan tentang wacana yang sedang dibahas dalam pembelajaran tersebut. Tetapi respon yang diberikan salah satu peserta didik tidak sesuai dengan jawaban yang diinginkan guru, sehingga guru berusaha agar peserta didik tersebut meralat tuturannya dengan melanggar maksim kualitas yang menganggap jawaban peserta didik tersebut sesuai yang diinginkan, seperti yang terlihat pada tuturan (195). Hal ini dimaksudkan agar semua peserta didik tidak mengiyakan tuturan sebelumnya sekaligus membenahi konsep materi sesuai keinginan guru sehingga dapat merespon secara benar tanpa melalui kritikan pedas seperti dengan tuturan, ”Respon Nurul salah, ayo dipikirkan lagi, yang lain juga berpikir. Difotokopi atau diantar?”. Maksud tuturan (195) dimengerti peserta didik dengan respon tuturan (196) secara serempak. Hal ini membuktikan bahwa tuturan (195) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas agar kritik yang diujarkan lebih halus. Maksim kedermawanan juga dapat diterapkan dengan melanggar maksim cara untuk memperhalus tuturan guru yang memaksa peserta didik, seperti terlihat pada data berkut. [48] (584) (585) (586) (587)

G: S: G: S:

Naik, harga sembako menjadi mahal, lha tanggapanmu bagaimana? Sebaiknya (Lulu terhenti) Yang kedua, nanti kalian tulis sendiri-sendiri (Lulu tertawa dan mengangguk) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [48] tercipta saat guru memberi pertanyaan dan meminta peserta didik megerjakan sesuai perintah di LKS. Tetapi respon peserta didik pada tuturan (585) yang terlalu ”cepat” membuat guru hsrus memotong tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan perintah pengerjaan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

124

tugas pada tuturan (584). Untuk menghindari anggapan peserta didik untuk tidak boleh menjawab pertanyaan guru dan memaksa peserta didik diam, maka guru menggunakan tuturan yang yang ditujukan secara umum seperti pada tuturan (586), dibanding dengan menggunakan tuturan, ”Jangan dijawab dulu, nanti kamu tulis di buku tugas”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan (586) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim cara untuk menerapkan maksim kedermawanan. Tuturan lain yang seperti (31), (195), dan (586) juga dapat dilihat pada tuturan dalam lampiran berkode MSD meskipun dengan pelanggaran maksim kerjasama lainnya. 3) Implikatur percakapan kompetitif direktif menasihati Implikatur percakapan yang digunakan saat menerapkan masim gabungan kearifan dan pujian dapat memperhalus tuturan yang menuntut mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan, seperti terlihat pada data berikut. [49] (197) G: Yo coba sekarang nurul, apal to? (198) S: (Nurul maju membawa teks) (199) G: Yo, sekarang cobo tekanan kalimatnya tolong diperhatikan, tekanan nada, tinggi, rendah dan sedangnya diperhatikan . Yo (200) S: (Peserta didik mengangguk) (201) S: Adikku (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [49] terjadi saat guru meminta peserta didik membacakan hasil tugas puisi pembelajaran sebelumnya. Sebelum peserta didik mulai membacakan puisi tersebut, guru mengingatkan peserta didik tentang hal yang harus diperhatikan saat pembacaan puisi. Untuk menghindari peserta didik merasa terbebani dengan tuntunan dalam membaca puisi tersebut, guru menggunakan tuturan yang berusaha memaklumi kekurangan peserta didik, tetapi juga tetap memberi arahan cara membaca yang seharusnya dilakukan peserta didik, seperti pada tuturan (199). Tuturan tersebut lebih sesuai dengan tujuan pembelajaran yang membutuhkan konsentrasi dan kepercayaan diri peserta didik untuk membacakan hasil

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

125

tugasnya dibanding dengan tuturan, ”Tadi temanmu membaca masih belum memperhatikan tekanan kalimat. Sekarang kamu harus lebih baik dari dia”. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dengan reaksi dan tuturan (200) atau (201). Dengan demikian tuturan (199) mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim kuantitas dan kualitas yang berfungsi kompetitif untuk mencapai tujuan direktif. Tuturan berimplikatur percakapan juga digunakan guru menuntut beberapa mitra tutur sekaligus untuk melakukan suatu tindakan, seperti terlihat pada data berikut. [50] (131) G: Opo mau? uang opo mau? Imbalan dari penulisan teka-teki mendapatkan uang sebesar empat puluh ribu seratus rupiah. (melihat Dalil berbicara dengan Ibnu) Itu kemarin baru diambil kemarin ya Lil? (132) S: (Dalil Menggangguk) (133) G: Silahkan teman yang lain mencoba teka-teki banyak sekali di Koran, di majalah,. Silahkan diisi, dikirimkan ke kantor pos, Insya Alloh seperti Dalil nggih, jadi anak yang kre…. (134) S: Atif (Peserta didik memandang Dalil yang tertawa) (135) G: Kreatif, ya disini tadi mendengarkan wesel pos, wesel pos ya? (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [50] bermula dengan sindiran guru terhadap salah satu peserta didik yang telah mendapat hadiah dari pengisian teka teki silang di sebuah majalah pelajar, tetapi tidak memperhatikan penjelasan guru, seperti yang terlihat pada tuturan (131). Respon peserta didik yang sudah terlihat takut kena marah guru membuat guru justru memuji peserta didik yang sebenarnya bermaksud menasihati Dalil sebagai salah satu peserta didik yang berprestasi seharusnya memperhatikan pembelajaran dan bagi peserta didik lain

yang ingin berbicara tidak berhubungan dengan pembelajaran dapat

dilakukan saat istirahat. Maksud inilah yang terkandung dari tuturan (133), meskipun guru seolah-olah mengetahui perasaan peserta didik tetapi sebenarnya guru hanya berandai-andai jika menjadi peserta didik agar peserta didik tersebut mengerti dengan sendirinya, dibanding dengan tuturan, “Dalil, kamu itu seharusnya menjadi teladan teman-temanmu jadi jangan ramai di kelas”. Maksud ini dipahami peserta didik yang terlihat dari tuturan (134) dan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

126

membuat Dalil tertawa malu . Sehingga dapat diketahui bahwa tuturan (133) mengandung implikatur percapakan yang melanggar maksim kuantitas dan kualitas. Tuturan seperti ini dapat juga terlihat pada tuturan lain dalam lampiran transkrip berkode MS1 meskipun dengan pelanggaran maksim-maksim kerjasama yang berbeda. b. Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan Ekspresif Implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan ekspresif dengan kesantunan positif juga ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan ekspresi dalam hal ini adalah tuturan penutur yang dimaksudkan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu tetapi tetap memenuhi maksim sopan santun. Sehingga tuturan yang diujarkan lebih terkesan menguntungkan mitra tutur dibandingkan penutur. Secara singkat implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan tujuan ekspresif tercakup saat penerapan maksim pujian, kerendahan hati, dan kedermawanan dan kesepakatan. Contoh ujaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Implikatur percakapan menyenangkan ekspresif memuji Implikatur percakapan dapat digunakan untuk mengurangi kerugian mitra tutur atas maksud menyalahkan yang dirasakan penutur pada mitra tutur, seperti terlihat pada data berikut. [51] (170) (171) (172) (173) (174)

S: G: S: G: S:

(Marlin maju) Ini...Melihat solo (Nilam maju) Ini Ani bunda, boleh (Ani maju) (Pembelajaran1)

Konteks situasi yang terjadi pada data [51] adalah kelanjutan perintah guru untuk mengembalikan tugas peserta didik pembelajaran sebelum agar dapat dipelajari sebagai bahan materi pembelajaran saat itu seperti pada tuturan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

127

(171). Saat itulah guru menemukan judul puisi tugas peserta didik yang hampir sama dengan judul puisi peserta didik lain yaitu ”orang tua” karya Malin dan ”bunda” karya Ani. Hal ini tentu saja membuat guru curiga adanya kerjasama, tetapi guru berusaha untuk berpikir positif dan memahami bahkan memuji karya Ani yang semula terkesan dikecam dan berbeda dengan peserta didik yang lain karena guru menyebut nama Ani saat menyerahkan puisi tersebut, seperti terlihat pada tuturan (173). Maksud tuturan ini dimengerti peserta didik yang tidak takut maju mengambil puisinya pada tuturan (174). Tuturan (173) dipilih karena lebih menghargai perasaan peserta didik yang ingin terlihat sempurna dihadapan guru dibanding dengan tuturan yang terkesan dikecam seperti, ”Ani, ini puisi kamu. Oya, puisimu hampir sama dengan judul puisi milik Marlin, nanti Ibu akan bandingkan puisi kalian”. Untuk itu, tuturan (173) telah melanggar maksim hubungan karena seolah tidak berhubungan dengan tuturan sebelumnya yang memuji mitra tutur saat menilai puisi karya Ani. Implikatur yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresi juga dapat ditemukan saat guru mencoba menghormati pendapat peserta didik yang dirasakan kurang tepat, seperti pada data berikut ini. [52] (99) G: Bahasa yang sopan, bahasa yang san…. (100) S: Tun (101) G: Tun, ora pareng….ora pareng kasar nggih, ora pareng kasar, piyé to kasar ki? (102) S: Nyenéni (Canggih) (103) G: Nyeneni, bahasane kasar, getak-getak (104) S: Omongané élék (Canggih) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [52] terjadi saat guru ingin menjelaskan cara berbicara yang santun sesuai pengetahuan peserta didik. Tetapi respon yang dituturkan peserta didik pada tuturan (102) tidak sesuai dengan keinginan guru. Meskipun demikian, guru tidak ingin langsung menyalahkan peserta didik melainkan memuji keberaniannya menjawab pertanyaan guru baru kemudian menjelaskan jawaban yang diinginkan guru. Hal ini terlihat pada tuturan (103) yang mengulang tuturan peserta didik yang mencerminkan guru

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

128

memuji peserta didik dan dilanjutkan jawaban yang diinginkan, dibandingkan jika bertutur menyalahkan seperti, ”Kamu salah, yang Ibu maksud penggunaan bahasa saat berbicara sesorang bukan perilaku seseorang” yang akan membuat peserta didik tidak berani menjawab karena malu. Maksud guru ini dimengerti peserta didik dengan mengeluarkan pendapatnya pada tuturan (104). Sehingga dapat diketahui bahwa tuturan (103) mengandung implikatur percakapan guna menaati maksim pujian. [53] (417) G: Koyo Canggih dingénékké (sambil memperagakan), nyo…otakku pék én (418) S: (peserta didik lain ikut memperagakan) (419) G: Kamongko otakké kosong ra énék isiné. Héléh ra énék isiné kékké aku (420) S: Tak jikok ménéh (Canggih berbicara dengan peserta didik lain) (421) G: Nyo..aku emoh, otak ra énék isiné. Ra énék isiné kok dikékké. Dadi nék pinter kuwi sing ngenggo …. (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [53] merupakan lanjutan sindiran yang digunakan guru untuk menjelaskan kegunaan kepandaian seseorang terhadap orang lain. Hanya saja respon salah satu peserta didik yang membuat tuturan guru sebagai bahan lelucon membuat guru perlu menjelaskan kembali tanpa membuat peserta didik tersinggung. Untuk itu, guru memilih menggunakan tuturan (419) yang seolah-olah tidak berhubungan dengan maksud saat itu bahkan terkesan ikut nglucu ’humor’, tetapi tetap menjelaskan materi tersebut. Tuturan ini dimengerti peserta didik dengan tuturan (420), meskipun ditujukan kepada peserta didik lain. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa tuturan (419) mengandung implikatur percakapan guna menaati maksim pujian. Dengan demikian implikatur percakapan berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan ekspresif memuji seperti di atas juga dapat dilihat pada tuturan lain bekode MSP dalam lampiran transkrip penelitian ini.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

129

2) Implikatur percakapan menyenangkan ekspresif bertanya Implikatur percakapan dapat digunakan untuk mengurangi kesombongan penutur yang merugikan mitra tutur terutama jika peserta didik berperan sebagai penutur, seperti terlihat pada data berikut. [54] (518) G: Lha rawit merah larang kok, pilih rawit ijo kuwi mau seprapat mung pat belas éwu (519) S: Gunung merapi meletus (Lulu) (520) G: He eh (521) S: Petani tidak panen (Lulu) (522) G: He eh, akibat gunung merapi kemarin yang meletus petani lombok gagal panen. Dadiné, regan lombok melonjak. Nggih mboten? Melonjak tekan wolong puluh éwu. Lha ibu sedih apa tidak itu? (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [54] saat diskusi kelas yang membicarakan tentang cabai yang semakin mahal. Saat itulah, peserta didik ingin bertanya salah atau benarkah konsep penyebab harga cabai mahal yang diketahuinya tanpa menunggu pertanyaan guru. Peserta didik tersebut tidak ingin terlihat mencolok dihadapan peserta didik dan ingin gurulah yang menjelaskan penyebab harga cabai mahal. Untuk itulah, peserta didik menggunakan tuturan (519) dan (521) yang secara sepintas tidak berhubungan dengan tuturan sebelumnya, tetapi sebenarnya bertanya tentang kebenaran pengetahuan yang dimilikinya. Tuturan tersebut lebih sopan dibanding dengan tuturan, ”Hal itu karena gunung merapi meletus sehingga membuat para petani di sekitar gunung merapi gagal panen, iyakan Bu?”. Maksud peserta didik ini dimengerti oleh guru yang terlihat pada tuturan (520) dan (522) yang dimulai dengan he eh ’iya, kamu benar’. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan (519) dan (521) pada data (54) mengandung implikatur percakapan guna menerapkan maksim kerendahan hati yang menyenangkan dan ekspresi. Implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresi juga sengaja dilakukan guru untuk membuat peserta didik aktif dalam suatu pembelajaran, seperti terlihat pada data berikut. [55] (63) (64)

G: Tékong ki sing tengah opo sing pinggir? S: Tengah

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

130

(65) (66)

G: Tengah, Tékongnya satu tengah, capitnya dua, kanan dan…. S: Kiri (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [55] terjadi saat guru meriew materi yang telah dibahas tetapi guru merasakan semangat peserta didik untuk bercerita tentang pengalaman sepak takraw yang dialami pada pembelajaran sebelumnya. Hal ini dimengerti guru dengan tidak mereview materi secara keseluruhan tetapi justru dengan tuturan dipotong-potong dan lebih terkesan bertanya kepada peserta didik, agar peserta didik berkesempatan ikut mengutarakan pendapatnya, seperti pada tuturan (65). Tuturan ini sekaligus memberikan anggapan kepada peserta didik bahwa guru bukanlah sumber belajar serba tahu. Maksud tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya tuturan (66) yang berisi pendapat peserta didik atas pertanyaan guru. Dengan demikian dapat diketahui tuturan (65) melanggar maksim kuantitas untuk memenuhi maksim kerendahan hati sehingga berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresif. Contoh tuturan lain yang sesuai dengan fungsi dan tujuan ini dapat dilihat pada tuturan berkode MSK pada lampiran transkrip penelitian ini, meskipun tuturan tersebut tidak selamanya dituturkan guru, tetapi juga peserta didik. 3) Implikatur percakapan menyenangkan ekspresif menyindir Implikatur percakapan dapat digunakan untuk menyindir mitra tutur yang melakukan suatu tindakan menyimpang atau secara tidak langsung memperingatkan mitra tutur, seperti terlihat pada contoh data berikut. [56] (221) G: He eh, kantor pos. Jadi wesel itu pengiriman uang melalui kantor pos. Namanya wesel…. (222) S: Pos (223) G: Nggih. (Membaca dan melihat Aziz menguap) Kantor pos juga menerima layanan tabungan dari masyarakat, nggih nopo mboten Ziz? (224) S: Nggih (Aziz pelan) (225) G: Kowé nabung rono iso ra? (226) S: Saget (Aziz) (Pembelajaran2)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

131

Konteks situasi pada data [56] terjadi saat guru dan peserta didik telah mengambil kesimpulan dari diskusi kelas, tetapi guru melihat salah satu peserta didik mengantuk dan tidak ikut berpartisipasi. Guru yang mengetahui pembelajaran setelah olahraga membuat peserta didik tersebut ngantukan ‘mudah mengantuk’ berusaha menyindirnya dengan halus seperti yang terlihat pada tuturan (223). Dalam tuturan tersebut guru menginginkan peserta didik menyadari bahwa yang dilakukannya kurang tepat. Guru menyindir dengan pertanyaan peserta didik tersebut, tetapi guru juga memberi kata kunci jawaban yang diinginkan guru. Hal ini ini akan memudahkan peserta didik dalam mengikuti kembali diskusi tersebut. Maksud guru dalam tuturan (223) dimengerti peserta didik dengan adanya respon (224) meskipun pelan, sehingga guru perlu menggunakan tuturan stimulus lain seperti (225) agar peserta didik benar-benar sadar (tidak mengantuk). Dengan demikian tuturan (223) mengandung implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresif atau lebih khususnya menyindir. [57] (192) S: Mboten (193) G: Mboten, meskipun Nova itu hanya satu anak dalam keluarga tersebut. Nova, ayah, Ibu, ra duwé adék (194) S: Kon gawékké adék (Canggih) (195) G: Lho, jaré Canggih kon gawékké adék (196) G: (Canggih berbicara dengan peserta didik belakangnya) Meski begitu Nova tidak manja, meskipun suatu saat tidak dibelikan…. (197) S: Baju baru (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [57] terjadi saat guru berusaha menasihati peserta didik bahwa anak tunggal tidak boleh manja, tetapi salah satu peserta didik justru membuat peserta didik yang menjadi anak tunggal merasa terpojok karena seolah-olah jadikan pembicaraan dengan peserta didik lain. Untuk itu, guru menggunakan tuturan (196) yang seolah-olah pembelaaan peserta didik yang menjadi anak tunggal dan diakhiri dengan kalimat yang tidak utuh yang digunakan untuk “memancing” respon peserta didik. Maksud tuturan ini dimengerti peserta didik yang ditandai dengan tuturan (197), meskipun pada

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

132

awalnya tidak sepakat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan (196) mengandung implikatur percakapan guna menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan yang menyenangkan dan ekspresi Tuturan lain yang sepola dengan tuturan (223) dan (197) dapat diketahui pada tuturan berkode MS4 dalam lampiran transkrip penelitian ini, meskipun prinsip kerjasama yang dilanggar berbeda. c. Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan Komisif Penelitian

ini

menemukan

implikatur

percakapan

yang

berfungsi

menyenangkan untuk mencapai tujuan komisif dengan kesantunan positif. Sehingga tuturan yang dihasilkan secara tidak langsung mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tujuan komisif dan direktif sama-sama digunakan untuk melaksanakan tindakan, tetapi dalam tujuan komisif ini penuturlah yang diharuskan menaati tuturannya. Secara singkat implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan tujuan komisif tercakup saat penerapan maksim kesepakatan, maksim gabungan kearifan dan kesepakatan, serta maksim gabungan kerendahan hati dan kedermawanan. Contoh ujaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Implikatur percakapan menyenangkan komisif menawarkan Implikatur

percakapan

dapat

digunakan

secara

tidak

langsung

memaksudkan penutur menawarkan kepada mitra tutur mengenai suatu hal yang disetujui penutur. seperti pada contoh berikut. [58] (259) (260) (261) (262) (263) (264)

G: S: G: S: G: S:

Kowé mangkat sekolah ora duwé sangu (terhenti) Disangoni (Canggih) Disangoni, sing nyangoni sopo? Bué (Canggih) Ibumu menéh, kowé ra njalok bapak cah? Mboten (Ibnu) (Pembelajaran1)

Konteks situasi pada data [58] terjadi saat guru menjelaskan hal-hal yang dilakukan Ibu kepada peserta didik sesuai lingkungan sosial peserta didik. Hal

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

133

ini menyebabkan peserta didik langsung mampu merespon tuturan (259) tanpa memperhatikan tatanan kalimat yang diujarkan. Sehingga tuturan (260) yang reflek ini terlihat tidak berhubungan dengan tuturan guru sebelumnya, padahal maksud

yang

ingin

disampaikan peserta

didik adalah menyatakan

menawarkan kata yang lebih tepat sekaligus kesepakatannya atas tuturan guru, dibanding menggunakan tuturan, ”Ibulah yang memberi uang saku kalian setiap akan berangkat sekolah” yang terkesan menyombongkan diri. Maksud peserta didik ini dimengerti guru dengan tuturan (261) meskipun guru masih perlu memastikan kesepakatan tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan. Jadi, tuturan (260) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim hubungan saat menaati maksim kesepakatan. Fungsi dan tujuan ini juga digunakan guru untuk menawarkan kesempatan kepada peserta didik, tetapi juga memerlukan persetujuan peserta didik. Sehingga tuturan ini juga akan mengikat mitra tutur jika mitra tutur menyepakati tuturan penutur, seperti pada contoh data berikut. [59] (527) S: Laué durung mateng (528) G: Laué durung mateng, laué durung maténg ya Va ya? Trus tumbas sate ono sekolahan, boleh nggih boleh. Tanggapan yang disampaikan sesuai dengan masalah, laué wau déréng mateng kulo mangkat, kulo déréng sarapan, mulo pas ngaso tumbas sate dingo…. (529) S: Sarapan (530) G: (Melihat Viva diam) Tekan kelas semangat meléh, ora ngan…. (531) S: Tuk (Viva) (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [59] terjadi saat guru selesai memberi contoh konkret materi pembelajaran yang sedang dipelajari. Untuk mengetahui peserta didik paham atas contoh tersebut guru menggunakan tuturan yang melanggar kuantitas dengan memenggal tuturan agar direspon peserta didik seperti yang terlihat pada tuturan (528). Tuturan ini memaksudkan memberi tawaran perlu dijelaskan kembali atau tidakkah tentang contoh yang disampaikan guru, jika peserta didik merespon dengan salah maka guru perlu menjelaskan kembali dan sebaliknya jika peserta didik dapat merespon dengan benar maka guru akan melanjutkan materi pembelajaran. Maksud

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

134

tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya kesepakatan pada tuturan (529) oleh peserta didik dan tuturan (530) oleh guru yang melanjutkan materi. Dengan demikian tuturan (528) mengandung implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan komisif. [60] (111) G: Nah…pipis. Kecoa nggih pipis Bu? Nggih. Klambine dadi mambu ra nggennah, apek dan sebagainya itu tadi bisa dihindari dengan adanya opo? (112) S: Kapur barus (Ibnu) (113) G: Nggih kapur barus. Jadi dengan adanya kapur barus ora dipangan tikus, ora dipangan renget utowo kecoa mlebu rono wedi nék ono kapur barusé, mambuné kuwi wedi ora gelem nyedhak berakibat pakaianmu tidak ru…. (114) S: Sak (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [60] terjadi saat guru berusaha menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Tuntutan materi pembelajaran yang masih banyak membuat guru memilih menggunakan tuturan (113). Tuturan ini bermaksud meringkas alasan penggunaan kapur barus pada pakaian sehingga pembicaraan tentang hal tersebut dapat diselesaikan sekaligus memastikan pemahaman peserta didik. Tuturan (113) lebih terkesan menawarkan suatu kesepakatan kepada peserta didik dibanding dengan tuturan, ”Benar jadi bau kapur barus itu berguna untuk mengusir tikus, renget atau kecoa sehingga pakaian kalian terlindungi dengan baik” yang terkesan mengekang peserta didik untuk sepakat dengan pendapat guru. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa tuturan (113) mengandung implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan komisif. Tuturan seperti (260), (528), dan (113) juga dapat dilihat pada tuturan lain yang berkode MSS meskipun dengan pelanggaran prinsip yang berbeda dalam penelitian ini.

2) Implikatur percakapan menyenangkan komisif menjamin

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

135

Implikatur

percakapan

dapat

digunakan

secara

tidak

langsung

memaksudkan menjamin tuturan penutur sebagai reaksi tuturan mitra tutur, seperti terlihat pada contoh data berikut. [61] (601) S: Sebaiknya membeli sebelum hari raya (Lulu) (602) G: He eh, Sebaikmya kita kalau membeli jauh, lebih jauh sebelum hari raya ti…. (603) S: Ba (604) G: (melihat Ibnu berbicara dengan Nurul) Tanggapan yang kedua, masyarakat kita lebih suka berbelanja ke supermarket sebabé opo Nu Ibnu? Kok ora tuku ning pasar tradisional? (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [61] nerupakan kelanjutan dari reaksi yang diberikan peserta didik atas evaluasi guru terhadap materi pembelajaran. Reaksi yang peserta didik pada tuturan (601) dianggap sesuai dengan guru, tetapi guru masih perlu memastikan bahwa semua peserta didik mengerti bahwa jawaban peserta didik tersebut benar. Untuk itu guru menggunakan tuturan yang mengulang dan menjabarkan lebih detail sehingga mitra tutur lebih mengerti dan paham. Dengan kata lain, pada tuturan (602), guru secara tidak langsung memaksudkan menjamin tuturan peserta didik tersebut benar dengan he eh ‘iya’ dan untuk memastikan semua sepaham dengan guru maka diakhir tuturan seperti biasa guru memenggal kalimat untuk memancing respon peserta didik. Maksud guru ini dimengerti dengan peserta didik melalui tuturan (603) sehingga materi pembelajaran dapat dilanjutkan seperti pada tuturan (604). Hal ini membuktikan bahwa tuturan (602) mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim kuantitas dan kualitas sekaligus berfungsi menyenangkan dan bertujuan komisif menjamin saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan. Tuturan lain yang berpola seperti ini dapat juga dilihat pada tuturan berkode MS2 baik pelanggaran prinsip kerjasama berbeda atau sama dalam lampiran transkrip penelitian ini.

3) Implikatur percakapan menyenangkan komisif kesanggupan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

136

Implikatur

percakapan

dapat

digunakan

secara

tidak

langsung

memaksudkan kesanggupan penutur untuk melakukan suatu tindakan seperti terlihat pada contoh data berikut. [62] (330) S: Kerja (331) G: Kerja, berarti semua itu ada hikmahnya, ono hikmahé cah, nyambut gawé, O iyoyo aku latihan nyambut gawé, aku bersyukur iso masak. Aku mau didukani ibu mergo wayah masak ora masak, mergo dolanan békelan opo lompat tali nggih, atau yang lain. Ibu marah-marah. Tapi mbareng aku wis wayah mantuk, aku yo mantuk nyambut gawé, yo Alhamdulillah aku bisa berlatih be…. (332) S: Kerja (333) G: Kerja, itu berarti ada hikmahnya, ada hikmahnya. (Membaca) Bunda yang selalu menggendong disaat… (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [62] terjadi saat guru membimbing peserta didik untuk mengambil kesimpulan dari diskusi kelas yang telah dilakukan sesuai dengan pengalaman yang pernah dialami peserta didik. Guru juga bermaksud memberikan keyakinan/ kesanggupan melaksanakan hal yang dituturkan maka secara tidak langsung peserta didik juga akan berpikir bisa melakukannya. Hal ini tak lain karena dalam kelas ini, guru masih dianggap sebagai panutan tepercaya oleh peserta didik. Meskipun demikian, juga perlu memastikan maksud tersebut dimengerti peserta didik dengan menggunakan tuturan yang tidak selesai diakhir tuturan sehingga peserta didik dapat merespon seperti yang terlihat pada tuturan (331). Maksud guru pada tuturan (331) dimengerti peserta didik dengan adanya respon (332) secara serempak dan tuturan guru (333) yang melanjutkan materi selanjutnya. Dengan kata lain, tuturan (331) mengandung implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan komisif lebih khusunya kesanggupan. Tuturan lain yang berpola sama dengan tuturan (331) baik dengan pelanggaran prinsip kerjasama yang sama maupun berbeda dapat dilihat pada tuturan berkode MS3 pada lampiran penelitian ini.

3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

137

Penelitian ini juga mengkaji alasan penutur menggunakan implikatur percakapan saat menerapkan prinsip kesopanan. Hal ini berkaitan tentang strategi kesopanan berbahasa yang dipengaruhi kepatutan (appropriateness) penutur dalam bertutur. Unsur-unsur inilah yang dimungkinkan menjadi alasan penutur menggunakan implikatur percakapan sebagai kendala penggunaan maksim percakapan yang dibuktikan dengan tuturan sesudah dan sebelum yang dimaksud. Alasan penggunaan tersebut dijabarkan dengan beberapa contoh data sebagai berikut. a. Konteks Tutur 1) Pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran. Karena hal ini, tuturan penutur biasanya melanggar maksim gabungan hubungan dan cara. Contoh data pelanggaran maksim gabungan ini karena kebiasaan mitra tutur sebagai berikut. [63] (285) G: Masak, contohnya apa? mélu ngiris tahu, mélu nggoreng tempe, mélu ngopo menéh? (286) S: Nggawe bumbu (Canggih) (287) G: Nggawe bumbu. Senajan cah lanang yo kudu iso? MK2/ MS4/ FM/ TK> (288) S: Masak (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [63] terjadi saat guru menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Sehingga guru tidak perlu menjelaskan secara khusus bahkan terkesan tidak berhubungan dengan materi pembelajaran seperti pada tutran (287). Meskipun demikian, peserta didik paham maksud guru dan dapat merespon secara serentak atau ikut tuturan peserta didik lain yang dominan. [64] (501) G: Dai, pinter engko berarti cita-citamu ter…. (502) S: Wujud (503) G: Itu ya, sampai di situ ya tadi, percakapan mengenai tiga orang antara satu sebagai Dimas, yang satu sebagai Ayah, yang satu sebagai…. (504) S: Ibu (Pembelajaran3)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

138

Konteks situasi data [64] terjadi saat guru ingin memberikan evaluasi terhadap materi yang telah diterangkan sebelumnya. Selain itu, evaluasi yang akan diberikan juga pernah disinggung pada pembelajaran sebelumnya sebagai tugas rumah. Sehingga guru cukup mereview secara langsung pada evaluasi sehingga terkesan tidak berhubungan dengan tuturan sebelumnya dan ambigu jika tidak mempunyai kesamaan pengetahuan sebelumnya. 2) Pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran Penutur melanggar maksim kuantitas dan kualitas karena kebiasaan tersebut. Contoh data pelanggaran maksim tersebut sebagai berikut. [65] (613) S: Sebaiknya…..(saling bersahutan) (614) G: He eh, jadi pedagang kaki lima itu sebaiknya dibuatkan ruko. Ruko ki opo to? Rumah toko, lha nék dikéi ruko nggih niku jenengé mboten kaki lima Bu, nék kaki lima lak mesti gawé déwé dadak ngono kaé to? (615) S: Nggih (616) G: Nggih, sebaiknya e…diberikan ruko nggih, ruko ki rumah toko maksudnya berjualan di rumah toko bukan di…. (617) S: Trotoar (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [65] terjadi saat kondisi kelas tidak sesuai yang diharapkan guru karena tidak serempak dan cenderung kurang dimengerti guru. Meskipun demikian, respon guru tetap menganggap peserta menjawab dengan maksud yang sama dan benar seperti pada tuturan (614) dan (616). Sehingga tuturan tersebut melebihi dan tidak sesuai dengan informasi yang diterima. [66] (465) G: Nggih idola setiap orang (466) S: Ho oh…mosok (Peserta didik saling berbicara) (467) G: Pingin kabéh dadi guru. Mulakno saben ono pendaftaran guru sing mélu anték atusan éwu, sing ditompo sitik karena semua pingin dadi…. (468) S: Guru (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [66] terjadi saat guru menjelaskan tentang keistimewaan pekerjaan ”guru” yang saat ini dianggap sebagai pekerjaan yang diidolakan. Pendapat guru tersebut mengundang beragam reaksi dari peserta

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

139

didik sehingga kelas menjadi gaduh. Untuk itulah guru menggunakan tuturan (467) yang seolah-olah semua menyatakan sepakat dengan guru untuk menyakinkan peserta didik bahwa pendapat guru tersebut juga ada buktinya sekaligus untuk menarik perhatian peserta didik menjadi fokus pada pembelajaran. Guru menggunakan tuturan ini karena guru mengetahui tidak semua peserta didik sepaham dengan guru sehingga memerlukan penjelasan yang lebih rinci. b. Penutur dan Mitra Tutur 1) Penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur/ mental mitra tutur. Dalam penelitian menemukan alasan ini digunakan untuk melanggar maksim hubungan. Contoh data pelanggaran maksim tersebut sebagai berikut. [67] (450) G: Nggih, la mulo nék bué paké jagong ra sah ndérék, biasané ki anak sing agék siji kuwi mélu kintil, ngerti kintil?Nék ora dijak nangis (451) S: Anak kecil (Canggih) (452) G: Wis gedé nggih, he em ampun, termasuk sing ijik déwé nggih, wingi sopo kaé kéné sing ijik anak tunggal, sopo? (453) S: Nova (Pembelajaran2)

Konteks situasi data [67] terjadi saat peserta didik ingin mengutarakan pendapat yang menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman pribadi, tetapi takut menyinggung perasaan peserta didik lain. Sehingga peserta didik menggunakan tuturan (451) yang secara sepintas tidak berhubungan dengan tuturan guru. [68] (158) (159) (160) (161)

G: S: G: S:

Kukurukuk opo pethok-pethok? piye unine cah? Kukurukuk (Canggih) Ayam jantan itu berko.… Kok (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [68] terjadi saat guru bermaksud menyetujui sekaligus mengarahkan tanggapan peserta didik terhadap pertanyaan guru sesuai penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Guru yang menyadari bahwa ketidakbakuan tanggapan peserta didik tidak sepenuhnya kesalahan peserta

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

140

didik, membuat guru menggunakan tuturan (160) yang terkesan tidak merespon tuturan peserta didik. 2) Penutur merasa tidak percaya dengan hal yang dikatakan mitra tutur. Dalam penelitian ini biasanya digunakan sebagai alasan melanggar maksim kualitas seperti yang terlihat pada contoh berikut. Contoh data pelanggaran maksim tersebut sebagai berikut. [69] (484) S: Seperempat tiga belas ribu (Lulu) (485) G: Seperempat tiga belas ribu. Sekilonya delapan puluh ribu, kalau Sekilonya delapan puluh ribu, kalau seperempat berapa anak-anak? (486) S:

Dua puluh ribu (Lulu) (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [69] terjadi saat peserta didik kurang tepat dalam enjawab pertanyaan guru. Namun guru tidak menyalahkan jawaban tersebut secara langsung agar peserta didik tersebut tidak merasa kecewa dan takut menjawab lagi. Sehinga guru menggunakan tuturan (485) yang seolah-olah membenarkan jawaban tersebut, tetapi diakhir tuturan mengarahkan pada jawaban yang sebenarnya dengan tetap meminta peserta didik mengoreksi jawaban sebelumnya. [70] (185) G: Bisa. Mungkin yang lain, surat berharga untuk kamu apa? (186) S: Ijazah (Canggih) (187) G: Ijazah. Nah, betul ijazah ataupun rapot . Ibumu pingin ngerti rapotmu, Le rapotmu bijiné piro? (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [70] terjadi saat guru menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan peserta didik. Respon peserta didik yang dianggap kurang tepat, tetapi tidak terlalu menggangu pembelajaran membuat guru mengiyakan respon tersebut dengan tuturan (187). Pada tuturan selanjutnya guru langsung menggunakan respon yang sesuai maksud guru. Dengan kata lain tuturan (187) digunakan guru karena kurang percaya dengan respon peserta didik sehingga perlu diarahkan. c. Tujuan Tuturan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

141

1) Penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin dicapai. Alasan ini terbukti digunakan untuk melanggar maksim kuantitas, seperti yang terlihat pada contoh berikut. Contoh data pelanggaran maksim tersebut sebagai berikut. [71] (589) S: Semrawut (590) G: Nggih pedagang kaki lima itu semrawut karena tidak, e…terletak di toko-toko atau swalayan, letaknya hanya di emperan-emperan jalan termasuk trotoar itu yang sebenarnya untuk pejalan kaki, tetapi digunakan pedagang untuk berjualan, berakibat apa? (591) S: Trotoar kotor (Lulu) (592) G: He eh, trotoar menjadi kotor dan sem…. (593) S: Mrawut (Pembelajaran2)

Pada data [71] terjadi saat guru menjelaskan tentang salah satu materi kepada peserta didik. Tuturan (592) dituturkan guru setelah guru mendengar peserta didik dapat menjawab pertanyaan mengenai materi tersebut. Namun karena yang merespon hanya satu peserta didik, guru kembali memberi pertanyaan dengan jawaban yang sama agar peserta didik lain juga ikut merespon seperti terlihat pada tuturan (593). Dengan demikian dapat diketahui bahwa alasan guru melanggar maksim kuantitas adalah menuntut secara halus pemahaman peserta didik tentang suatu hal yang telah dipelajari. [72] (495) (496) (497) (498)

G: S: G: S:

He eh. Untuk apa? Pandai (Nurul) He eh, pandai untuk meraih…. Cita-cita (Nurul) (Pembelajaran3)

Konteks situasi yang terjadi pada data [72] adalah saat guru mengerti maksud tuturan peserta didik yang ingin merespon tuturan guru, tetapi bahasa yang digunakan kurang lengkap. Untuk itu, guru menggunakan tuturan (497) yang membenarkan tuturan peserta didik sebelumnya dengan he eh ’iya’ yang dilanjutkan dengan kelengkapan jawaban yang dimaksud guru. Sehingga dapat diketahui bahwa tuturan (497) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kuantitas karena merespon tuturan sebelumnya.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

142

2) Penutur memperhatikan keefektifan pembelajaran. Dalam penelitian ini, biasanya dilakukan dengan melanggar maksim cara. Pelannggaran maksim cara karena latar waktu sebagai berikut. [73] (141) G: Boleh dari majalah, boleh dari Koran, atau dari buku-buku yang lain. Yang anak-anak buat nanti saya harap dibuat isi karangan isi puisi ini nanti kamu buat sebuah prosa atau karangan yang terdiri dari beberapa macam ali…. (142) S: Nea (143) G: Nea, nah alinea atau disebut juga apa? (144) S: Paragraf (Nurul) (Pembelajaran1)

Konteks situasi data [73] terjadi saat guru menjelaskan kembali tugas yang diberikan pada pembelajaran sebelumnya. Tetapi guru tidak ingin terkesankan hal tersebut kepada peserta didik, melainkan kesadaran bahwa hal tersebut adalah kesepakatan bersama. Oleh karena itu, guru menggunakan tuturan yang ambigu seperti pada tuturan (142) untuk efisien waktu. [74] (505) G: Ibu. Sekarang tugas kamu, bentuklah kelompok masing-masing tiga orang (506) S: (peserta didik mulai berpindah tempat membuat kelompok, tetapi Ibnu diam) (507) G: Yo, saya beri waktu dua menit sing mbentuk kelompok (508) S: Hah (Ibnu dan beberapa peserta didik mulai duduk sesuai kelompok, tetapi ada Nurul dan Luluk yang berebut kelompok) (Pembelajaran3)

Konteks situasi data [74] terjadi saat perintah yang diberikan guru tidak dilaksanakan oleh beberapa peserta didik. Untuk itu, guru menggunakan tuturan (507) yang menjelaskan secara umum untuk menekankan perintah kepada peserta didik tersebut secara halus. Hal ini karena guru memperhatikan keefektifan pembelajaran jika guru harus mengulang perintah dari awal.

G. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan Pembelajaran berbahasa di kelas V lebih mengarahkan peserta didik memahami tentang bahasa sekaligus mampu menggunakan bahasa sebagai alat

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

143

komunikasi sesuai tata krama berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sesuai kompetensi yang ditetapkan BSNP (2006: 377) bahwa peserta didik kelas V harus mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. Namun bertolak dari hasil penelitian ini dan hasil wawancara dengan wali kelas V (lampiran 5), bahasa yang digunakan guru saat pembelajaran bahasa Indonesia justru didominasi bahasa Jawa dan tuturan berimplikatur percakapan yang cenderung tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia yang secara tidak langsung mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Jalaluddin Rakhmat (2001: 25) mengungkapkan bahwa peserta didik belajar melalui peniruan (imitation) respon orang lain saat melakukan kegiatan yang dilakukannya. Secara konkret hal tersebut dapat terlihat dari tabel pelanggaran maksim kerja sama di atas yang digunakan guru maupun peserta didik. Pelanggaran tersebut, yaitu dominasi pelanggaran maksim cara saat menerapkan maksim kearifan; dominasi pelanggaran maksim kualitas saat menerapkan maksim kedermawanan; dominasi pelanggaran maksim kualitas saat menerapkan maksim pujian; dominasi pelanggaran maksim hubungan saat menerapkan maksim kerendahan hati; dominasi pelanggaran maksim kuantitas saat menerapkan maksim kesepakatan; dominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas saat menerapkan maksim gabungan kearifan-pujian dan maksim gabungan kearifan-kesepakatan; dan dominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan-kerendahan hati dan maksim gabungan kedermawanan-kesepakatan. Berdasarkan data

tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa

tuturan

berimplikatur percakapan dalam pembelajaran ini digunakan untuk mematuhi prinsip sopan santun. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat Jawa yang selalu memperhatikan unda usuk basa sebagai tanda penghormatan terhadap mitra tutur. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam pembelajaran ini justru didominasi bahasa Jawa dengan tingkat kesantunan berbahasa yang telah dimengerti peserta didik dan guru. Koentjaraningrat dkk (2002: 329) menjelaskan bahwa pergaulan masyarakat berbahasa Jawa selalu memperhatikan dan membedakan keadaan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

144

orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan berdasarkan usia atau status sosial. Salah satunya dapat dilihat pada data [24] yang terjadi saat guru memberi contoh, guru menggunakan bahasa karma tumbas ‘beli’ yang lebih sopan dibanding kata tuku karena memposisikan diri sebagai peserta didik jika bercerita di depan kelas. Selain itu, beberapa maksim gabungan baik dalam pelanggaran prinsip kerja sama maupun penerapan prinsip sopan santun juga ditemukan dalam pembelajaran ini. Hal ini sesuai pendapat Louise Cummings (2007: 16) yang menyatakan bahwa salah satu tipe implikatur percakapan adalah tercipta karena dorongan aspek kesantunan sesuai konteks budaya wilayah setempat dan sengaja mengeksploitasi maksim lain dengan melanggar dan berbenturan antara maksim. Jika dilihat dari penerapannya dalam pembelajaran, guru lebih banyak menggunakan pelanggaran maksim kuantitas berbahasa Jawa dalam penerapan maksim kesepakatan sebagai indikator ketercapaian tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, tuturan tersebut harus dimengerti peserta didik agar dapat “memancing” dan mengarahkan peserta didik. Hal ini sesuai pendapat St. Y. Slamet (2008: 35) menyebutkan bahwa peserta didik adalah produk lingkungan yang akan terampil berbicara, jika sering diajak berbicara dan mampu menjawab sekaligus diberi kesempatan belajar dan melatih keterampilan berbicara. Kenyataan ini mencerminkan betapa pentingnya tuturan berimplikatur percakapan kuantitas bagi guru yang sengaja melibatkan peserta didik dalam pembelajaran melalui kalimat rumpang diakhir tuturan sehingga terkesan bertanya kepada peserta didik. Hal ini sesuai pendapat Pawley dalam Jack C. Richard (1995: 23) bahwa percakapan yang paling mendasar bukanlah kalimat lengkap, melainkan berupa klausa yang saling berkaitan dan berisi rangkaian keterangan sederhana yang biasanya ditandai jeda di atau didekat klausa akhir secara konsisten. Keterangan inilah yang menuntut kejujuran penutur untuk memberi informasi kepada mitra tutur meskipun jumlah yang kurang atau berlebihan. Senada dengan pendapat tersebut, E. Mulyasa (2006: 116) juga menjelaskan bahwa salah satu pertanyaan yang baik adalah adanya acuan atas hal yang ditanyakan sehingga pertanyaan tersebut merupakan kelanjutan ceramah guru.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

145

Secara garis besar pelanggar maksim kuantitas tersebut untuk mematuhi maksim kesepakatan. Kesimpulan tersebut sesuai dengan pendapat E. Mulyasa (2006: 116) yang menyatakan bahwa pertanyaan yang dituturkan guru perlu dipusatkan sesuai tujuan pembelajaran atau jawaban yang diinginkan. Hal ini dimengerti peserta didik baik dengan dijawab secara serempak maupun individu. Meskipun demikian, dalam penelitian juga ditemukan beberapa peserta didik yang paham maksud guru tetapi hanya mengikuti jawaban peserta didik yang dominan saat merespon tuturan guru. Hal ini terkait dengan kebiasaan masyarakat setempat yang kurang menyukai memikul tanggung jawab sendiri. Koentjaraningrat dkk (2002: 351) mengungkapkan bahwa mentalitet orang Jawa yang selalu nrimo dan cenderung menunggu perintah atau pimpinan sebagai perangsang. Contohnya pada data [18] terlihat guru menggunakan tuturan berimplikatur percakapan secara beruntun untuk mendorong peserta didik ikut menyimpulkan materi yang telah dibahas. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ahmad Rofi’uddin dan Darmayati Zuhdi (2001: 137) bahwa salah satu cara anak belajar bahasa adalah mendasarkan pengalaman dan relevansi yang akan digunakan untuk tujuan personal. Karena itulah tak heran jika ditemukan tuturan peserta didik yang sebenarnya tidak mengetahui jawaban yang diinginkan guru, tetapi hanya ingin diperhatikan guru. Atau karena kecapekan menjadi kurang aktif dalam pembelajaran bahasa Indonesia, meski paham dengan tuturan guru seperti pernyataan beberapa peserta didik pada lampiran 5. Berdasarkan uraian di atas, tak mengherankan jika tuturan guru sependek apapun direspon peserta didik baik berupa tuturan maupun perubahan sikap mitra tutur. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Burgoon dan Betinghaus dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 299) yang menyimpulkan salah satu pembuktian efek suatu maksud pada diri mitra tutur tergantung pada topik pesan (maksud) sehingga tidak selalu berupa ujaran. Dengan demikian, meskipun respon yang diujarkan sama tetapi pemahaman setiap mitra tutur terhadap tuturan berimplikatur percakapan tersebut berbeda, entah sebagai pertanyaan, penjelas, perintah, sindiran, marah atau hanya sebagai humor. Untuk itulah, percakapan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

146

dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini lebih termasuk wacana dialog dibanding polilog, meskipun mempunyai partisipan lebih dari dua orang. Dalam penelitian ini juga sering ditemui guru menggunakan tuturan berimpliktur percakapan yang beruntun dalam pembelajaran. Hal ini seperti hasil penelitian Cohen dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 298) yang menyimpulkan salah satu cara yang dapat dilakukan penutur jika mempunyai lawan tutur yang dapat sepaham dan tidak sepaham dengan penutur adalah dengan memberi jeda panjang diantara maksud pertama dan kedua, kemudian segera mengadakan pengujian setelah maksud kedua. Sependapat dengan Cohen, E. Mulyasa (2006: 116) juga mengungkapkan bahwa seorang guru dapat melacak pemahaman peserta didik atas materi yang disampaikan dengan cara mengujarkan beberapa pertanyaan kembali, meskipun jawaban pertama sudah benar. Berdasarkan beberapa wujud implikatur percakapan yang ditemukan dalam penelitian ini ada satu maksim sopan santun tidak ditemukan yaitu maksim simpati. Khusus maksim ini tidak ditemukan dalam pembelajaran karena maksim ini dihindari dalam pembelajaran agar guru lebih objektif dalam menilai dan memperlakukan peserta didik sesuai karakteristik masing-masing. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 208) yang menyatakan bahwa maksim simpati adalah maksim sopan santun yang memeringkat baik-tidaknya penilaian penutur terhadap mitra tutur yang terpusat pada diri penutur. Dengan kata lain, maksim simpati yang lebih memusatkan rasa setuju atau tidak setuju berdasarkan penilaian pribadi penutur dapat mengakibatkan penilaian guru menjadi tidak adil. 2. Tujuan dan Fungsi Implikatur Percakapan Wujud implikatur percakapan yang digunakan selalu mempunyai tujuan dan fungsi tertentu. Penelitian ini menemukan beberapa fungsi ilokusi yang sesuai tujuan ilokusi

tuturan berimplikatur

percakapan dengan

mementingkan

pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur saat pembelajaran bahasa Indonesia kelas V. Fungsi dan tujuan tersebut adalah (1) Implikatur Percakapan yang Berfungsi Kompetitif dan Bertujuan Direktif, (2) Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan Ekspresif, dan (3)

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

147

Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan Komisif. Hal ini sesuai tiga rumusan prinsip sopan santun yaitu berikan pilihan, buat perasaan mitra tutur tetap baik dan jangan memaksa mitra tutur (Abdul Rani, 2006: 37). Fungsi dan tujuan pertama lebih mengarah pada sopan santun negatif yang digunakan guru maupun peserta didik saat menginginkan mitra tutur melakukan sesuatu. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 164)

yang

menghubungkan fungsi kompetitif dengan tujuan direktif melalui istilah impositif yang menerapkan sopan santun negatif atau berusaha mengurangi kerugian mitra tutur saat melakukan keinginan penutur. Koentjaraningrat dkk (2002: 349) menjelaskan bahwa salah satu ciri khas masyarakat desa terutama Jawa sangat menghargai mitra tutur sehingga bahasa perintah yang digunakan tidak membebani mitra tutur, salah satunya dengan memaksimalkan beban diri sendiri atau istilah bahasa Jawa diénék-énékké ’diada-adakan’ meskipun sebenarnya tidak ada (hanya sekadar basa-basi). Hal ini terlihat pada data [43] saat guru membenarkan tuturan peserta didik yang kurang langkap dengan langsung menuturkan jawaban yang diinginkan guru, tetapi tetap diakhiri kalimat rumpang agar peserta didik dapat membenarkan jaawaban. Tuturan ini membuat mitra tutur menjadi tidak merasa terbebani melakukan sesuatu bahkan ada juga yang merasa hal tersebut lucu karena jawaban peserta didik terkesan benar. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan fungsi dan tujuan ini diterapkan saat guru

memberi

variasi,

membuka

diskusi,

dan

mengarahkan

interaksi

pembelajaran, maupun peserta didik dalam mengungkapkan perintah kepada peserta didik lain. Hal ini sesuai pendapat George Yule (2006: 95) yang menyatakan bahwa tuturan bertujuan direktif mempunyai sifat kunci penutur menginginkan situasi yang dilakukan oleh mitra tutur. Jika dihubungkan dengan penerapan maksim sopan santun, pelaksanaan fungsi kompetitif dan tujuan direktif ini terbagi menjadi tiga maksim, yaitu maksim kearifan saat penutur mengajak, maksim kedermawanan saat penutur menyarankan, dan maksim gabungan kearifan dan pujian saat menasihati mitra tutur. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Geoffrey Leech (1993: 196) yang juga menyebutkan bahwa

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

148

imposif menerapkan skala untung-rugi bagi mitra tutur. Sehingga dalam penerapannya, Ketiga maksim sopan santun tersebut lebih mementingkan keuntungan mitra tutur dengan sering melanggar maksim cara. Fungsi dan tujuan kedua mengarah pada sopan santun positif yang menggambarkan adanya rasa “pemakluman” dengan sikap maupun tuturan mitra tutur. Hal demikian sering ditandai dengan adanya penggunaan tuturan pujian atau sindiran saat penutur merasa tidak menyukai sikap mitra tutur, hingga menggunakan diri sendiri sebagai contoh. Kunjana Rahardi (2008: 63) menerangkan bahwa dalam pergaulan, penutur harus menghindari tuturan yang mengejek mitra tutur jika tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dalam penerapan maksim sopan santun di kelas V, fungsi dan tujuan ini sering digunakan untuk maksim pujian saat memuji, kerendahan hati saat bertanya, serta maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan saat menyindir mitra tutur. Hal ini terlihat pada data [51] saat guru kurang suka menemukan judul puisi karya peserta

didik

hampir

sama

dengan

peserta

didik

yang

lain,

tetapi

membenarkannya karena isi puisi tersebut berbeda. Geoffrey Leech (1993: 196) berpendapat tujuan ekspresif menyiratkan tuturan yang mengandung fungsi dan tujuan ini menyiratkan keuntungan mitra tutur saat memaklumi keinginan penutur. Fungsi dan tujuan ini sebagian besar diterapkan dengan melanggar maksim hubungan yang membuat peserta didik menjadi lebih peka dan mengerti kesalahannya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tujuan ini sering digunakan untuk memperhalus tuturan guru saat mengadakan evaluasi, mengasah keterampilan bertanya dan saat menjelaskan sebuah materi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rolanld Partin (2009:13-17) yang melarang penggunaan sarkasme atau mengejek saat berbicara kepada peserta didik karena akan berdampak buruk bagi kepercayaan diri peserta didik dalam pembelajaran. Fungsi dan tujuan ketiga mengungkapkan perasaan penutur yang mengerti mitra tutur ingin dapat diterima sebagai bagian integral dari diskusi. Fungsi dan tuturan ini sangat penting bagi guru maupun peserta didik untuk memberi penguatan atas tuturan mitra tutur. Kunjana Rahardi (2008: 64) mengungkapkan bahwa masyarakat Jawa sangat tidak memperbolehkan seseorang memenggal atau

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

149

membantah secara langsung hal yang dituturkan mitra tutur. Sehingga bagi guru, fungsi dan tujuan ini adalah penghargaan yang diberikan guru kepada peserta didik untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam berpendapat. Hal ini sesuai pendapat Aunurrahman (2010:119) yang berpendapat bahwa seorang guru harus memahami dan mampu mengembangkan keaktifan peserta didik belajar saat proses pembelajaran di kelas. Contohnya, data [60] yang terjadi saat guru membenarkan jawaban peserta didik dengan kata nggih ‘iya’, meskipun jawaban tersebut kurang tepat sehingga perlu dijelaskan kembali agar sesuai maksud guru. Dalam penelitian ini, fungsi menyenangkan dan tujuan komisif terbagi menjadi tiga, yaitu penutur menawarkan saat menerapkan maksim kesepakatan, menjamin saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan, serta kesanggupan saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 196) yang menyatakan bahwa tujuan komisif lebih memperhatikan keuntungan maupun kerugian bagi penutur sehingga bersifat sopan santun positif dan tidak bersifat kompetitif. Salah satunya dengan penggunaan bahasa Jawa dalam pembelajaran yang dianggap peserta didik (dapat dilihat pada lampiran 5) bahwa guru mengerti kebiasaan peserta didik yang lebih mudah menangkap materi jika dijelaskan dengan bahasa Jawa, padahal sebenarnya guru memaksudkan tujuan komisif dibalik tuturan tersebut. Penggunaan bahasa Jawa ini tidak dapat dipungkiri karena pendidikan sekolah dasar dijadikan tumpuan awal pengenalan bahasa Indonesia. P. W. J. Nababan (1987: 73) mengungkapkan bahwa fungsi utama pendidikan sekolah dasar ialah mengindonesiakan peserta didik yang sebagian besar lahir dan memulai kehidupan sebagai insan daerah (lebih fasih berbahasa daerah). Selain itu, guru sering melanggar maksim kuantitas melalui kalimat rumpang dalam menerapkan fungsi dan tujuan ini karena dianggap dapat ”memancing” interaksi guru dan peserta didik menjadi lebih aktif. Hal ini sesuai pendapat Muhibbin Syah (2008: 57) bahwa belajar yang baik adalah mampu “memfungsikan” peserta didik, membuat peserta didik mampu mengembangkan ranah cipta dan rasa mengenai suatu hal dengan sendirinya secara utuh. Dengan demikian, dapat disimpulkan

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

150

bahwa fungsi dan tujuan ini sering diujarkan dengan bahasa Jawa dan didominasi pelanggaran maksim kuantitas. Berdasar uraian fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa fungsi bekerja sama dan bertentangan tidak ditemukan karena kedua fungsi tersebut tidak mengandung unsur kesopanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Geoffrey Leech (1995: 163) yang mengungkapkan bahwa fungsi bekerja sama tidak relevan dengan sopan santun dan biasanya ditemukan dalam wacana tulis, sedangkan fungsi bertentangan tidak mengandung unsur kesopanan. Begitu pula dengan tujuan asertif dan deklarasi juga tidak ditemukan dalam penelitian ini karena tidak mengandung unsur kesopanan. Ketidaktemuan ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1995: 164-165) yang menjelaskan bahwa asertif lebih bersifat netral dan deklarasi hanya sekadar ujaran bersifat kelembagaan tanpa mementingkan unsur kesopanan. 3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan Secara garis besar dalam penelitian ini, prinsip sopan santun dianggap sebagai piranti ‘alat’ untuk menjelaskan alasan penutur sering menggunakan tuturan yang mengandung maksud tersembunyi agar lebih santun (dapat dilihat pada pernyataan wali kelas lampiran 5). Tetapi, hal tersebut masih terbagi sesuai kemampuan mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks yang melingkupnya

untuk

mengetahui

alasan

penutur

menggunakan

tuturan

berimplikatur. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 19-21) yang membagi unsur situasi ujar dibagi atas lima bagian yaitu: (1) penutur dan mitra tutur; (2) konteks tutur; (3) tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan; (4) tujuan tuturan; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tiga unsur konteks yang menjadi alasan penutur

melanggar

prinsip

kerjasama

yang

secara

keseluruhan

mementingkan prinsip sopan santun yaitu: (1) unsur konteks tutur, (2) penutur dan mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan. Ketiga alasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

151

a. Konteks tutur Konteks tutur ialah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Dengan kata lain, setiap implikatur percakapan yang digunakan guru maupun peserta didik secara tidak langsung memperhatikan latar pengetahuan atau budaya masyarakat masing-masing peserta tutur. Hal ini sesuai pendapat Syaiful Bahri Djamarah (2005:11) mengungkapkan bahwa proses interaktif edukatif dalam pembelajaran haruslah menggambarkan percakapan dua arah antara guru dan peserta didik yang mengandung norma pengantar tingkah laku yang sesuai pengetahuan peserta didik. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tuturan penutur yang melanggar maksim gabungan hubungan dan cara jika pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran, dan melanggar maksim kuantitas dan kualitas jika pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran. Kesamaan pengetahuan penutur dan mitra tutur sangat mempengaruhi penutur dalam mengarahkan mitra tutur untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satunya pada data [9] saat guru memperingatkan peserta didik untuk tidak songgo uwang ‘bertopang dagu’. Masyarakat jawa menganggap songgo uwang mencerminkan kesusahan menerima sesuatu atau sikap yang mengacuhkan mitra tutur sehingga dianggap tidak menghargai orang lain. Untuk itu, guru mengunakan tuturan yang tidak berhubungan dengan mitra tutur dan bersifat umum agar tidak terkesan memerintah, menyakinkan, dan memperingatkan mitra tutur. Uraian tersebut sesuai dengan penelitian Alan H. Monroe dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 298) bahwa cara pertama yang perlu dilakukan penutur untuk mempengaruhi mitra tutur adalah mengujarkan hal menarik perhatian mitra tutur dan diakhiri dengan usaha menyisipkan dorongan untuk melakukan tindakan. E. Mulyasa (2006: 115) juga mengungkapkan bahwa cara menarik perhatian peserta didik dengan memberi selingan sesuai kehidupan peserta didik bahkan sesekali dengan humor yang menunjang pembelajaran. Sedangkan saat penutur menghadapi konteks pengetahuan mitra tutur tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan tuturan yang seolah-olah

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

152

menyetujui dan dilanjutkan pengetahuan baru yang diakhiri jeda panjang untuk memastikan mitra tutur menyetujuinya. Secara singkat, guru menggunakan tuturan yang melanggar dua maksim sekaligus yaitu maksim kuantitas dan kualitas saat menghadapi konteks ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cohen dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 298) yang menyimpulkan urutan tuturan yang pro-kontra lebih efektif dalam memperhalus nasihat, jaminan dan sindiran pada mitra tutur dibanding kritik langsung. Untuk itulah guru biasanya bekerja sama dengan wali murid agar materi yang diajarkan di kelas mudah diterima karena juga diajarkan di lingkungan keluarga. Uraian tersebut sesuai pendapat Mulyasa (2005: 54) yang menyatakan bahwa salah satu peran guru dalam pembelajaran adalah “pemindah kemah” yang secara tidak langsung menuntut guru untuk mampu mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan, dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan, serta membantu menjauhinya untuk mandapatkan cara baru yang lebih sesuai tujuan pembelajaran. b. Penutur dan mitra tutur Hasil data penelitian yang didapat mengenai alasan penggunaan implikatur percakapan di kelas V sangat berkaitan dengan kondisi mental penutur dan mitra tutur. Hal ini terlihat saat guru menggunakan bahasa Jawa krama terutama dalam penggunaan kata kerja untuk menghormati pendapat peserta didik. Desi Ratnasari (2007: 3) menerangkan bahwa aturan tingkat tutur bentuk karma dalam kata kerja digunakan untuk menyebutkan tindakan orang yang posisinya lebih tinggi (dihormati) sehingga tidak boleh meninggikan diri sendiri. Markhamah (2004: 61) juga menguraikan bahwa penutur juga perlu memperhatikan aspek nonlinguistik yaitu sosial, ideologi, latar belakang kultural, partisipan dan pendidikan mitra tutur. Hal ini dapat terlihat pada data [67] saat peserta didik mencoba menuturkan pendapatnya dalam bahasa Indonesia “anak kecil” disbanding kata cah cilik.. Masyarakat Jawa mengganggap kata cah ‘anak’ hanya sopan jika diucapkan oleh orang yang lebih tua dari mitra tutur. Secara rinci, penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur dengan melanggar maksim hubungan, dan penutur merasa tidak percaya dengan mitra tutur dengan melanggar maksim kualitas.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

153

Peserta didik kelas V dianggap memiliki perasaan halus sehingga perlu dijaga “muka” agar tidak tersinggung. Hal ini sesuai pendapat Ronald L. Partin (2009: 19) yang memberikan salah satu cara mengajak peserta didik aktif dalam pembelajaran adalah mengurangi iklim kelas kompetitif yang destruktif dan mengkritik secara langsung di depan peserta didik lain. Oleh karena itu, satu cara yang sering ditemukan dalam penelitian ini adalah melanggar maksim hubungan yang berusaha mengaitkan tuturan yang dianggap orang lain (pihak ketiga) tidak berhubungan agar penutur terkesan memerintah, memaksa, menyalahkan, sombong atau mengekang mitra tutur. Karaktistik peserta didik kelas V ini juga sangat antusias dalam merespon tuturan guru sehingga membuat guru merasa tidak sopan untuk memerintah, memaksa, atau menyalahkan pendapat peserta didik. Karena itulah dalam penelitian ini, guru sering menggunakan tuturan yang melanggar maksim kualitas dengan menyamakan tuturan peserta didik yang “memancing" pembetulan pengetahuan yang dimiliki mitra tutur. Hal ini membuat mitra tutur lebih merasa dihargai meskipun sebenarmya penutur tidak mempercayai tuturan mitra tutur. Hasil penelitian Torane dalam Jack C. Richard (1995: 21) juga menyimpulkan salah satu cara yang digunakan untuk membetulkan konsep yang belum sesuai dengan penutur adalah menghindarkan topik melalui tuturan yang membuat mitra tutur menyadari konsep yang benar untuk memancing pembetulan dari mitra tutur. c. Tujuan Tuturan Ujaran berimplikatur percakapan menjadi suatu hal yang penting dibandingkan ujaran langsung dalam suatu pembelajaran. Hal ini karena berkaitan pencapaian tujuan tuturan terhadap mitra tutur dengan pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Dalam penelitian ini ditemukan alasan penutur menggunakan implikatur percakapan adalah penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin dicapai yang biasanya ditandai dengan melanggar maksim kuantitas. Yang kedua karena penutur memperhatikan keefektifan pembelajaran melalui pelanggaran maksim cara.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

154

Pelanggaran maksim kuantitas berdasarkan tuturan atau tujuan yang telah diketahui kedua belah pihak (penutur dan mitra tutur) sebagai keterangan maksud tuturan yang tersirat. Hal ini sesuai dengan hasil penyelidikan Pawley dalam Jack C. Richard (1995: 23) yang menemukan bahwa percakapan yang tidak bertata bahasa lengkap berisi klausa yang menunjukkan konsep atau fungsi percakapan yang dikenali melalui kebenaran kultural dan reaksi sebelumnya. Kaitannya dengan pembelajaran, E. Mulyasa (2006: 43) menyebutkan bahwa guru merupakan orang kepercayaan bagi peserta didik sehingga setiap tuturan guru dianggap sebagai suatu kebenaran oleh peserta didik. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat Jawa yang masih memegang “jarwa dhosok” guru iku digugu lan ditiru yang sangat mempercayai guru dan menganggap guru adalah teladan bagi peserta didik. Contohnya pada data [72], guru memberikan nasihat yang sebenarnya hanya memperjelas tuturan salah satu peserta didik sebelumnya, tetapi justru disepakati oleh seluruh peserta didik. Pelanggaran maksim tersebut sangat mementingkan kejujuran, meskipun informasi yang disampaikan kurang atau melebihi yang diinginkan mitra tutur sehingga tetap sopan. Dalam penelitian ini, keefektifan pembelajaran merupakan alasan yang digunakan penutur untuk melanggar maksim cara saat menjelaskan suatu hal agar tidak terkesan memerintah, memaksa, menyombongkan diri, dan mengekang mitra tutur. Pelanggaran maksim ini berhubungan dengan keefektifan waktu dan strategi pembelajaran yang didukung tuturan guru atau peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Grice dalam Geoffrey Leech (1993: 11) bahwa tujuan dapat tidak tercapai jika informasi yang diberikan terkesan menggurui atau cara bertutur kurang menarik. Sependapat dengan pendapat tersebut, Made Wena (2009: 12) menyatakan bahwa guru dituntut mampu merancang waktu dan strategi sesuai kondisi pembelajaran. Selain menggunakan implikatur percakapan, dalam pembelajaran ini juga ditemukan tuturan berbahasa Jawa untuk lebih memudahkan pemahaman mitra tutur terhadap tuturan mitra tutur. Hal ini sesuai hasil penelitian Siregar dalam Markhamah (2004: 62) yang menemukan perbedaan sikap seseorang yang

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

155

diajak berbicara dengan bahasa Jawa mengenai persoalan dinas yang seharusnya dibicarakan dengan bahasa Indonesia dan sebaliknya, persoalan yang seharusnya dibicarakan dengan bahasa Jawa, tetapi dibicarakan dengan bahasa Indonesia. Begitu halnya dengan peserta didik yang lebih mudah memahami materi pembelajaran dengan penjelasan bahasa Jawa terutama jika materi tersebut masih asing bagi peserta didik. Sri Suwarni selaku wali kelas V juga mengakui penggunaan bahasa Jawa sangat dominan dalam tuturan berimplikatur percakapan saat pembelajaran bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara guru dan peserta didik yang menggunakan tuturan berimplikatur percakapan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa alasan penggunaan tuturan tersebut dilakukan untuk menjaga perasaan mitra tutur berdasar kompetensi yang diingin dicapai. Hal ini terbukti setelah peneliti menggunakan wawancara dengan 6 peserta didik dan wali kelas V yang berperan sebagai penutur sekaligus mitra tutur secara keseluruhan memaklumi dan mengerti maksud tersembunyi tuturan berimplikatur percakapan hanya dengan mengaitkan tuturan berimplikatur percakapan tersebut dengan tuturan sebelumnya. Dari pernyataan enam peserta didik tersebut juga dapat diketahui bahwa implikatur percakapan yang digunakan guru membuat keenam peserta didik tersebut tidak merasa takut untuk mengungkapkan pendapatnya, meskipun pernah dimarahi atau disindir saat melakukan kesalahan. Dan jika ditemukan beberapa peserta didik sebagai mitra tutur tidak mengerti maksud tersembunyi tersebut lebih dikarenakan peserta didik tersebut yang tidak masuk sekolah, sehingga guru kesulitan untuk menyamakan stimulus yang akan diberikan kepada peserta didik. Untuk itulah jika seorang penutur belum mengetahui karakteristik dan kebiasaan mitra tutur sebaiknya penggunaan implikatur percakapan dihindari. Hal ini agar tidak terjalin kesalahpahaman yang justru membuat mitra tutur tersinggung. Selain penggunaan implikatur percakapan dan bahasa campuran (bahasa Jawa dan Indonesia) mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan peserta didik yang empat peserta didik dari enam peserta didik yang diwawancarai menjawab dengan bahasa campuran dan melanggar prinsip kerjasama seperti pelanggaran maksim kuantitas.

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

156

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan Peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data penelitian terhadap adanya implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo seperti yang dijelaskan pada bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Wujud implikatur percakapan yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagian besar dituturkan dalam bahasa Jawa dan terdiri atas enam pelanggaran prinsip kerja sama yang didominasi oleh pelanggaran maksim kuantitas berdasar respon mitra tutur baik berupa ujaran maupun tindakan. Keterkaitan penggunaan implikatur percakapan dengan penerapan maksim sopan santun dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) penerapan maksim kearifan didominasi pelanggaran maksim cara; (2) penerapan maksim kedermawanan didominasi pelanggaran maksim kualitas; (3) penerapan maksim pujian didominasi pelanggaran maksim kualitas; (4) penerapan maksim kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim hubungan; (5) penerapan maksim kesepakatan didominasi pelanggaran maksim kuantitas; (6) penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian didominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas; (7) penerapan

maksim

gabungan

kearifan

dan

kesepakatan

didominasi

pelanggaran gabungan kuantitas dan kualitas; (8) penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara; dan (9) penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan didominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara. 2. Pelanggaran prinsip kerja sama dalam penerapan prinsip sopan santun saat interaksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V memiliki beberapa fungsi dan tujuan antara lain: (1) implikatur percakapan yang berfungsi

commit to user 156

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

157

kompetitif dan bertujuan direktif untuk mengajak saat menerapkan maksim kearifan, menyarankan saat menerapkan maksim kedermawanan, dan menasihati mitra tutur saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan pujian; (2) implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresif untuk memuji saat menerapkan maksim pujian, bertanya saat menerapkan maksim kerendahan hati dan menyindir mitra tutur saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan; dan (3) implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan komisif untuk menawarkan saat menerapkan maksim kesepakatan, menjamin saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan, serta kesanggupan saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati. 3. Alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo pada umumnya adalah (1) unsur konteks tutur, (2) penutur dan mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan. Berdasarkan hasil wawancara yang dikaitkan dengan pelanggaran prinsip kerja sama dapat diketahui beberapa alasan yaitu (1) pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran sebagai alasan melanggar maksim gabungan hubungan dan cara; (2) jika pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran sebagai alasan melanggar maksim kuantitas dan kualitas; (3) penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur sebagai alasan melanggar maksim hubungan; (4) penutur merasa tidak percaya dengan hal yang dikatakan mitra tutur sebagai alasan melanggar maksim kualitas; (5) penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin dicapai sebagai alasan melanggar maksim kuantitas; dan (6) penutur memperhatikan keefektifan pembelajaran yang terlihat dengan pelanggaran maksim cara.

B. Implikasi Peneliti akan memaparkan implikasi yang berupa implikasi teoretis, pedagogis, dan praktis berdasarkan kajian teori serta mengacu pada hasil penelitian sebagai berikut.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

158

1. Implikasi teoretis dalam penelitian ini didasarkan pada keterkaitan hasil penelitian dengan teori-teori yang digunakan peneliti. Penelitian ini meyakinkan bahwa penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran di kelas akan mempengaruhi cara berbahasa peserta didik sebagai pihak pebelajar bahasa. Banyaknya implikatur percakapan terutama implikatur percakapan dengan bahasa Jawa yang dijumpai dalam interaksi pembelajaran di kelas V SDN Pondok 1 dilakukan dengan beberapa fungsi dan tujuan. Salah satunya adalah fungsi menyenangkan dan tujuan komisif sebagai penghargaan yang diberikan guru kepada peserta didik untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam berpendapat dengan mementingkan unsur kesopanan. Namun, pada kenyataannya realisasi fungsi dan tujuan dengan menggunakan implikatur pesercakapan justru mengesampingkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Penerapan fungsi dan tujuan tuturan tersebut akhirnya berimplikasi pada keberterimaan alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran di kelas sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang benar, baik dan sopan. 2. Implikasi pedagogis berupa keterkaitan hasil penelitian ini dengan pembelajaran. Pengaplikasian pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V telah sampai pada tingkat berbahasa yang baik, benar dan santun sehingga cara berbahasa guru baik sebagai bahasa pengantar maupun sebagai materi pembelajaran merupakan salah satu contoh pembentuk kecakapan secara intelektual dan emosional di masa depan. Penggunaan bahasa pengantar yang baik dapat membuat perta didik lebih aktif dan mudah memahami materi pelajaran. Secara tidak langsung, keaktifan peserta didik dalam keterampilan berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik, benar dan santun menjadi salah satu indikator tingkat keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai sarana belajar keterampilan berbahasa Indonesia yang bukan hanya sekedar belajar teori, melainkan juga diterapkan secara komunikatif dan wajar dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sarana belajar yang secara konsisten dicontohkan guru kepada peserta didik kelas V,

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

159

penggunaan tuturan berimplikatur percakapan bahkan dengan bahasa campuran yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku akan mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Dalam hal ini peran wali kelas sekaligus guru bahasa Indonesia sangat penting dalam pembinaan bahasa Indonesia bagi peserta didik. Wali kelas harus dapat menanamkan kebiasaan kepada siswa agar dapat menggunakan tuturan berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan sopan. Hal ini dikarenakan kelas V merupakan tingkat awal tuntutan ketercapaian kompetensi berbahasa Indonesia yang mementingkan unsur kesopanan selain baik dan benar. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia digunakan sebagai tumpuan yang baku, meskipun secara tidak sadar juga telah diterapkan di tingkatan kelas sebelumnya. Jika tuntutan ini dapat dicapai maka pembelajaran bahasa Indonesia akan lebih terarah pada fungsi utama bahasa yaitu komunikasi sekaligus mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik peserta didik. 3. Implikasi praktis dalam penelitian ini berupa keterkaitan hasil penelitian terhadap penggunan implikatur percakapan pada pembelajaran bahasa Indonesia selanjutnya. Pemaparan hasil penelitian terhadap wujud, fungsi dan tujuan, serta alasan yang mendasari penutur (guru atau peserta didik) dapat membantu guru dalam memilih strategi berbahasa Indonesia selanjutnya sehingga dapat memudahkan dan mengaktifkan peserta didik dengan tetap memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dapat juga digunakan sebagai contoh konkret bahwa pengetahuan tentang karakteristik mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks tutur merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipahami penutur saat menggunakan implikatur percakapan yang mementingkan kesopanan. Guru atau peserta didik selaku mitra tutur memiliki kebiasaan dan pengalaman yang beragam dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan berbahasa yang berbeda-beda pula. Hal ini menjadi tantangan besar bagi guru agar maksud tersembunyi yang ingin disampaikan dapat benar-benar dipahami oleh peserta didik, begitu pula peserta didik yang menggunakan tuturan berimplikatur percakapan. Untuk

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

160

mencapai tujuan tersebut, penutur perlu menghindari pelanggaran maksim kerja sama tanpa mengetahui karakteristik mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks tutur. Oleh karena itu, penutur (guru atau peserta didik) hendaknya lebih mengenal mitra tutur dan selektif dalam menggunakan tuturan berimplikatur dalam menjaga kesopanan dalam hubungan sosial antara guru dan peserta didik, tetapi tetap professional dalam melaksanakan pembelajaran.

C. Saran Penulis juga memberikan beberapa saran yang didasari oleh hasil penelitian dan implikasi penelitian di atas sebagai berikut. 1. Bagi sekolah SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai instansi terkait dalam penelitian ini diharapkan meningkatkan kualitas keprofesionalan guru dan peserta didik dalam pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya dengan mengadakan UKBI (Ujian Kemahiran Bahasa Indonesia) atau pelatihan keterampilan mengajar bagi guru secara periodik. 2. Bagi guru atau pengajar bahasa Indonesia Para guru atau pengajar bahasa Indonesia diharapkan membantu mengarahkan dan membekali peserta didik menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan sehingga peserta didik juga akan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan sesuai fungsi bahasa disamping teori bahasa sebagai landasan. 3. Bagi peserta didik Peserta didik diharapkan dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan memilah cara berbahasa yang dicontohkan guru karena tidak semua tuturan guru yang sopan, juga sopan jika dituturkan oleh peserta didik. 4. Bagi peneliti lain Peneliti lain diharapkan untuk menindaklanjuti penelitian implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini, tetapi dengan ruang lingkup yang lebih sempit. Sehingga kedalaman analisis masalah mendasar

commit to user

Generated by Foxit PDF Creatordigilib.uns.ac.id © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

perpustakaan.uns.ac.id

161

dapat diketahui. Selain itu, penelitian ini hanya terbatas pada percakapan yang terjadi saat pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V, sehingga penggunaan implikatur percakapan selalu dihubungkan dengan kompetensi dasar yang telah dibakukan.

Sehingga

diharapkan adanya

penelitian

implikatur

percakapan di luar kelas yang dapat menjamin kealamiahan dan fleksibilitas percakapan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kesantunan dialek bahasa daerah yang mempengaruhi tuturan.

commit to user