intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat ...

48 downloads 2575 Views 4MB Size Report
dengan cara merancang alat katrol dan tempat duduk, pengaturan suplesi gizi kerja, pengaturan waktu istirahat, memperhatikan kondisi informasi, kondisi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Masalah Daerah pantai Utara Amurang Kabupaten Minahasa Selatan memiliki luas

perairan laut 314.981 km2. Areal usaha yang telah dijadikan daerah penangkapan ikan sekitar 247.000 km, termasuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Potensi ekonomi sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya adalah 125.922 ton/tahun terdiri dari jenis ikan demersal dan pelagis. Posisi geografis berada di Jasirah Utara Pulau Sulawesi pada 0º 25'–1º 58' Lintang Utara dan 124° 20' – 125° 20' Bujur Timur (Pemerintah Daerah Kabupaten Minsel, 2005). Kehidupan masyarakat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan dan budidaya perikanan laut, karena Amurang Kabupaten Minahasa Selatan adalah basis perikanan di Sulawesi Utara. Pemerintah menaruh harapan besar pada sektor ini sebagai salah satu alternatif usaha untuk menambah penghasilan keluarga dan memberikan kontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketika menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan (Sulut Dalam Angka, 2005). Dari hasil survei di lokasi penelitian ditemukan bahwa jenis-jenis ikan pelagis yang berpeluang ekspor yaitu: (1) cakalang yang berukuran berat 3 kg perekor melalui proses pembekuan; (2) malalugis harga pasaran ekspor komoditi yang didasarkan pada ukuran beratnya (kg) dengan klasifikasi sebagai berikut : (a) 44-60 ekor/10 kg dikategorikan sebagai ikan kelas I, harganya Rp.160.000,00 atau Rp.16.000/kg; (b) bila jumlah ikan 61-80 ekor/10 kg dikategorikan sebagai kelas II, harganya Rp.140.000,00 atau Rp.14.000,00/kg; dan (c) yang berukuran

1

2

81-100 ekor/10 kg dikategorikan sebagai ikan kelas III harganya Rp.120.000,00 atau Rp.12.000,00/kg (Dinas Perikanan dan Kelautan Minsel, 2005). Dalam upaya mengurangi pengangguran dan memberikan kesempatan kerja bagi generasi muda maka sektor perikanan ini telah membuka lapangan kerja baru dan menyerap tenaga kerja sebesar 20%, sekaligus telah menurunkan angka kemiskinan 12% dari jumlah penduduk ± 19.000 jiwa (Pemerintah Daerah Kabupaten Minsel, 2005). Di Amurang Kabupaten Minahasa Selatan terdapat beberapa macam alat penangkapan ikan antara lain: payang, pukat pantai, pukat cincin, pukat insang hanyut/tetap, bagan perahu, serok, funai atau huhate pancing tonda atau noru, dan bubu. Dari deskripsi macam alat tangkap yang ada, maka pukat cincin atau purse seine ini yang oleh nelayan di Sulawesi Utara lebih dikenal dengan istilah soma pajeko sebagai salah satu alat penangkapan ikan-ikan sejenis pelagis. Pukat cincin adalah termasuk jenis jaring lingkar dimana jaring ditebarkan mengelilingi segerombalan ikan sehingga membentuk dinding penghalang untuk mencegah agar ikan yang tertangkap tidak keluar. Ikan-ikan yang ditangkap seperti: lajang, selar, kembung dan cakalang yang hidupnya membentuk kawanan besar dengan kepadatan yang tinggi. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari sampai subuh dini hari dengan menggunakan alat bantu lampu laguna dan rumpon. Rumpon berfungsi sebagai tempat hidup habitat plankton-plankton kecil untuk dijadikan umpan makanan bagi ikan-ikan sejenis pelagis, sedangkan lampu dimanfaatkan untuk merangsang plankton-plankton berkumpul di suatu tempat dengan demikian ikan

3

akan bergerombol dengan kepadatan tinggi di tempat tersebut sehingga mudah dilakukan penangkapan (Nomura dan Yamazaki, 2003). Dari hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan ditemukan bahwa proses penangkapan ikan di laut dilakukan dengan cara penawuran atau pelemparan jaring sampai pada penarikan tali pukat cincin. Pada waktu nelayan menarik pukat cincin dengan kedua tangan dalam waktu lama, duduk di lantai perahu, sikap kerja membungkuk ke depan, tungkai terjulur dan telapak kaki sebagai bantalan penahan tarikan berisiko memunculkan rasa lelah dan rasa sakit pada otot skeletal. Hasil pengamatan membuktikan bahwa selama proses penangkapan ikan berlangsung sikap kerja yang menyertai nelayan pada waktu penarikan pukat cincin didominasi oleh aktivitas fisik yang berat sehingga cepat menimbulkan kelelahan dan keluhan muskuloskeletal bahkan terjadi kecelakaan kerja sampai jari kelingking tangan kanan putus pada waktu penawuran jaring dan sakit akibat kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kinerja nelayan dan pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan kerja nelayan. Sikap kerja yang tidak fisiologis ini akan cepat menimbulkan kelelahan dan berbagai gangguan pada sistem otot skeletal serta memerlukan energi yang lebih besar dalam usaha yang sama seperti pada proses penangkapan ikan sehingga kelelahan lebih cepat muncul (Manuaba, 1990; Nala, 1990; Adiputra, 1998). Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Sutjana, 2003). Waktu kerja selama proses penangkapan ikan berlangsung 6 jam yaitu dari pukul 23.00-05.00. Selama penangkapan nelayan dalam posisi duduk lama

4

sambil menarik tali pukat cicin secara berulang-ulang dengan tempo penarikan lamban karena dilakukan secara manual dengan sikap kerja yang tidak fisiologis. Kondisi kerja seperti ini dapat meningkatkan risiko kecelakaan dan munculnya berbagai gangguan kumulatif pada otot-otot (Grandjean, 1993; Manuaba, 2003b). Penggunaan otot berlebihan terjadi pada saat nelayan menarik tali pukat cincin yang terkumpul di bagian tengah. Pemanfaatan otot yang cukup besar terjadi pula ketika mengangkut dan mengangkat hasil tangkapan dari dalam air dan dimasukkan ke dalam perahu atau ke kotak-kotak penampung ikan yang sudah disiapkan. Berdasarkan jawaban nelayan dari kuesioner Nordic Body Map pada penelitian pendahuluan yang dilaksanakan di K.M.Tiberias Amurang ditemukan bahwa nelayan: a) mengeluh rasa sakit pada tangan kanan dan kiri (100%); b) sakit pada lengan bawah kanan dan kiri (100%); c) sakit pada punggung (80%); d) sakit pada pinggang (100%); e) sakit pada pantat (80%); f) sakit pada betis kanan dan kiri (60%); dan g) rasa sakit pada kaki kiri dan kanan (60 %). Artinya nelayan yang bekerja mengalami keluhan-keluhan otot sebagai akibat stasiun kerja yang belum ergonomis dan berpotensi terjadinya risiko kecelakaan kerja. Denyut nadi dihitung sebelum dan sesudah nelayan melakukan pekerjaan penangkapan ikan dengan menggunakan metode 10 denyut dengan teknik palpasi pada nadi radialis tangan kiri. Rerata denyut nadi kerja yang diperoleh adalah 126,00 ± 1,87 denyut permenit. Temuan ini menunjukkan bahwa nelayan pada saat bekerja menarik pukat cincin berdasarkan hasil perhitungan termasuk kategori beban kerja sangat berat (125-150dpm). Untuk mengatasi kondisi kerja

5

yang tidak ergonomis ini perlu dilakukan perbaikan dengan merancang alat kerja guna mengatasi sikap kerja yang tidak alamiah. Rerata skor kelelahan yang didata dengan 30 items of rating scale dengan skala Likert adalah: a) skor item 1 – 10, nilainya 43 ± 2,97; b) skor item 11 – 20, nilainya 44 ± 3,29; c) skor item 21 – 30, nilainya 45 ± 1,82; dan total skor item 1 – 30, nilainya 132 ± 5,94. Ini berarti bahwa nelayan dalam keadaan lelah sehingga dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan kerja menurunkan kinerjanya. Dalam kondisi kerja yang tidak ergonomis ini kalau dibiarkan dan tidak ditangani secepatnya, maka akan menimbulkan masalah terhadap kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan kerja (Manuaba, 1998). Berdasarkan pada aspek-aspek ergonomi bahwa tuntutan tugas dan kondisi lingkungan organisasi kerja yang belum mengikuti kaidah-kaidah ergonomi pada perancangan alat kerja dapat menimbulkan gangguan kesehatan, kelelahan, peningkatan kecelakaan kerja yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan efisiensi dan produktivitas kerja (Manuaba, 2000; Grandjean, 1993; Pulat, 1992; Sanders dan McCormick, 1987; Suma’mur, 1982). Dari hasil identifikasi masalah dan data penelitian pendahuluan yang telah dilaksanakan dapat dijadikan acuan untuk menyatakan bahwa perlu dilakukan perbaikan melalui intervensi ergonomi dengan pendekatan ergonomi total (Manuaba, 2004a). Pendekatan ergonomi yang terdiri dari pendekataan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori) dan Teknologi Tepat Guna (Manuaba, 2005a). Intervensi ergonomi dilakukan untuk memperbaiki sikap kerja melalui perancangan alat kerja yang mengacu pada teknologi tepat guna yang dikaji

6

secara komprehensif melalui enam kriteria yaitu: a) secara teknis bahwa sistem kerja dapat dikerjakan oleh pekerja nelayan; b) secara ekonomis harga pembuatan katrol dapat dijangkau dengan mudah dan biaya murah; c) secara ergonomis dapat menciptakan kondisi kerja dan lingkungan kerja sehat, aman dan nyaman; d) secara sosial budaya sistem kerja dapat diterima oleh pekerja dan pemilik bahkan masyarakat di sekitar; e) hemat dalam pemakaian energi karena dapat mengurangi beban kerja nelayan; dan f) penggunaan teknologi tersebut ramah terhadap lingkungan atau tidak merusak lingkungan karena tidak menggunakan bahan beracun atau bahan peledak. Perbaikan organisasi kerja meliputi pemanfaatan tenaga otot secara efisien dengan cara merancang alat katrol dan tempat duduk, pengaturan suplesi gizi kerja, pengaturan waktu istirahat, memperhatikan kondisi informasi, kondisi sosial budaya yang tetap mengikuti kaidah-kaidah ergonomi. Di samping itu berusaha untuk membudayakan ergonomi di lingkungan masyarakat nelayan, sehingga diharapkan nelayan berada dalam kondisi lebih sehat, aman, nyaman, efektif, dan efisien serta tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Penilaian kinerja dilakukan dengan mengacu pada sistem kerja yang terkait dengan pekerjaan nelayan sebagai penangkap ikan di Laut. Kinerja yang dinilai yaitu dari indikator: beban kerja, kelelahan, dan keluhan muskuloskeletal. Melalui intervensi ergonomi diharapkan terjadi penurunan, sehingga hasil yang dicapai lebih manusiawi, kompetitif, dan lestari (Manuaba, 2004a; 2004b). Peningkataan kesejahteraan mengacu pada indikator pengukuran terhadap pendapatan nelayan melalui analisis keuntungan ekonomi perusahaan yaitu: Return of Investment (ROI), titik impas atau Break Event point (BEP), biaya dan

7

manfaat atau Benefit Cost Ratio (BCR) dalam proses penangkapan ikan melalui sistem bagi hasil, sehingga tingkat kepuasan kerja yang dirasakan seseorang dapat tercapai. 1.2

Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut. 1) Apakah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kinerja nelayan yang dinilai dari penurunan beban kerja nelayan ? 2) Apakah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kinerja yang dinilai dari penurunan kelelahan nelayan ? 3) Apakah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kinerja yang dinilai dari Penurunan Keluhan Muskuloskeletal nelayan ? 4) Apakah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dapat meningkatkan kesejahteraan yang dinilai dari kepuasan kerja nelayan ? 5) Apakah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dapat meningkatkan kesejahteraan yang dinilai dari produktivitas nelayan ? 6) Apakah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dapat meningkatkan kesejahteraan yang dinilai dari keuntungan nelayan ?

8

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin terhadap

kinerja

dengan

indikator:

beban

kerja,

kelelahan,

keluhan

muskuloskeletal dan kesejahteraan nelayan di Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui besar penurunan beban kerja nelayan setelah melakukan intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin. 2. Mengetahui besar penurunan kelelahan nelayan setelah melakukan intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin. 3. Mengetahui besar penurunan keluhan muskuloskeletal nelayan setelah melakukan intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin. 4. Mengetahui besar peningkatan kesejahteraan nelayan melalui indikator kepuasan kerja pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin. 5. Mengetahui besar peningkatan kesejahteraan nelayan

melalui indikator

produktivitas pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin. 6. Mengetahui besar peningkatan kesejahteraan nelayan melalui indikator pendapatan ekonomi.

9

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik Manfaat akademik yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Dapat digunakan sebagai acuan bagi kaum akademisi dalam menerapkan ilmu ergonomi-fisiologi kerja di Perguruan Tinggi masing-masing. 2) Sebagai sarana untuk menambah wawasan serta meningkatkan kemampuan memecahkan masalah-masalah di lapangan yang berkaitan dengan ergonomi total khususnya kesehatan dan keselamatan kerja. 3) Dapat dijadikan sebagai pedoman untuk merancang alat bantu kerja ergonomi dengan mudah dan murah didapat serta sangat besar manfaatnya. 4) Dapat dijadikan sarana informasi untuk penelitian dan pengembangan ilmu ergonomi lebih lanjut. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Dengan mengetahui permasalahan yang diteliti terkait dengan peningkatan kinerja yaitu beban kerja, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal nelayan dalam proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dapat diatasi melalui penerapan prinsip-prinsip ergonomi. 2) Intervensi ergonomi melalui pedekatan ergonomi total terbukti dapat memecahkan masalah-masalah pembangunana berkelanjutan secara umum dan mampu memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kehidupan sosial,

10

ekonomi, kesehatan dan keselamatan kerja untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat quality of life. 3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar acuan untuk menyusun rencana perbaikan sistem kerja secara bertahap dan berkesinambungan sebagai upaya untuk menyediakan sarana dan fasilitas kerja yang layak dalam mensosialisasi budaya kerja yang sehat, aman, nyaman, efektif, efisien dan produktif. 4) Hasil penelitian ini dapat dijadikan proyek percontohan atau pilot project bagi stakeholder, investor, pengusaha dan masyarakat untuk peningkatan kontribusi pendapatan ekonomi nelayan khususnya di Bidang usaha penangkapan ikan menggunakan pukat cincin.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1

Pengertian Ergonomi Secara etimologi istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri

dari dua kata, yaitu ergon berarti kerja dan nomos berarti aturan atau hukum. Secara morfologi ergonomi adalah aturan, norma atau hukum yang berlaku dalam suatu pekerjaan yang berhubungan dengan manusia. Jadi secara ringkas ergonomi adalah aturan atau norma dalam sistem kerja. Di Indonesia menggunakan istilah ergonomi, tetapi di Beberapa negara seperti di Scandinavia menggunakan istilah Biotecnology, sedang di Amerika menggunakan istilah human engineering atau human factors engineering. Namun demikian kesemuanya membahas hal yang sama yaitu tentang optimalisasi fungsi manusia terhadap aktivitas kerja yang dilakukan. Beberapa ahli menampilkan definisi tentang ergonomi dari sudut pandang yang berbeda, tetapi secara umum definisi-definisi tersebut membicarakan hal yang sama, yaitu masalah hubungan antara manusia pekerja dengan tugas-tugas dan pekerjaannya serta desain dari objek yang digunakannya. Pada dasarnya kita boleh mengambil definisi ergonomi dari sudut pandang mana saja, tetapi perlu disesuaikan dengan apa yang sedang kita kaji secara mendalam. Berikut ini dikutip beberapa definisi ergonomi yang berhubungan dengan penulisan disertasi ini, yaitu : 1. Ergonomi adalah ilmu pengetahuan tentang permasalahan yang dihadapi oleh manusia terkait dengan desain kerja (Phesant, 1988). 11

12

2. Ergonomi adalah studi tentang kemampuan dan karakteristik manusia yang memberikan efek terhadap desain peralatan sistem dan pekerjaan (Corlett and Clark, 1995). 3. Ergonomi adalah kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan tentang karakter, kapasitas, dan keterbatasan manusia dalam merancang tuntutan tugas (task), sistem mesin, lingkungan, dan ruang gerak sehingga manusia dapat hidup, bekerja, dan bermain dengan aman, nyaman, dan efisien (Annis and McConville, 1996). 4. Ergonomi adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berupaya untuk menyerasikan alat, metode, dan lingkungan kerja terhadap kapasitas, kemampuan dan keterbatasan manusia sehingga tercipta kondisi dan lingkungan kerja yang aman, sehat, nyaman, dan efisien sehingga dapat dicapai produktivitas yang setinggih-tinggihnya (Manuaba, 1988). Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, apabila dicermati lebih mendalam, maka ruang lingkup ergonomi sangat luas dan mencakup beberapa aspek yang dapat diterapkan pada sistuasi dan kondisi apa saja, kapan, dan dimana saja. Apabila definisi-definisi tersebut disatukan dalam satu persepsi tentang ergonomi, maka akan diperoleh definisi yang utuh yaitu : Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni dalam penerapannya untuk menyerasikan dan menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup manusia secara keseluruhan menjadi lebih baik. Kualitas

13

hidup yang dimaksud adalah yang ditetapkan oleh organisasi buruh internasional (ILO) secara umum yaitu sebagai berikut (Manuaba, 1994) : 1. Pekerjaan harus mengutamakan aspek kehidupan dan kesehatan pekerja, 2. Pekerjaan harus memberi kesempatan bagi pekerja untuk beristirahat dan bersantai, 3. Pekerjaan harus memberikan peluang bagi pekerja untuk bersosialisasi dan memenuhi kebutuhannya melalui pengembangan kapasitas diri. Dari definisi di atas, maka pencapaian kualitas hidup secara optimal baik di tempat kerja, dilingkungan sosial masyarakat, maupun dalam lingkungan keluarga, menjadi tujuan utama dari penerapan ergonomi.

2.2 Tujuan dan Manfaat Ergonomi Tujuan dan manfaat ergonomi adalah untuk meningkatkan produktivitas kerja manusia untuk mencapai efisiensi dan kesejahteraan, seperti pada uraian berkut ini, (Manuaba, 2003) : 1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja serta menurunkan beban kerja fisik dan mental, serta mengupayakan promosi dan kepuasan kerja. 2. Mampu memperbaiki pendayagunaan sumber daya manusia serta meminimalkan kerusakan peralatan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) (Suma’mur, 1992., Wignyosoebroto, 2003). 3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu: teknis, ekonomis, biologis, dan budaya serta setiap sistem kerja yang dilakukan

14

sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi. Untuk mencapai tujuan dan manfaat tersebut, maka prinsip ergonomi fitting the task to the man yaitu setiap pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia sehingga hasil yang dicapai meningkat (Grandjean, 1993). Dan inilah yang menjadi peranan ergonomi adalah untuk melindungi tenaga kerja dari pengaruh negatif akibat pemakaian peralatan atau mesin yang tidak serasi dengan gerakan kerja manusia, dalam hal ini peralatan kerja yang dipakai oleh manusia harus sesuai, supaya tidak terjadi sikap kerja yang alamiah akibat dari kondisi yang tidak ergonomis sehingga menyebabkan perusahaan mengalami banyak kerugian produksi yang tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh (Atmosoehardjo, 1994). Dari sudut pandang ergonomi antara manusia dan peralatan kerja harus sesuai dan seimbang sehingga tercapai kinerja yang tinggi dan tuntutan pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload), karena keduanya akan menurunkan kinerja yang terekspresikan melalui indikator kualitas kerja seperti : kelelahan, ketidaknyamanan, cidera, strees kerja, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja. Seperti pada gambar 2.1 (Manuaba, 2000).

15

Karakteristik Karakteristik material stasiun kerja

Karakteristik pribadi

Peralatan kerja/mesin Karakteristik Karakteristik lingkungan organisasi

Kualitas Kinerj Kelelahan Ketidaknyamanan Cidera

Kapasitas fisiologik

Manusia Kapasitas psikologis

Kapasitas biomekanik

Stress Kecelakaan Penyakit Produktivitas

Gambar 2.1 Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi (Sumber : Manuaba, 2000) Penerapan keseimbangan dalam ergonomi secara umum akan mampu memberikan manfaat terhadap peningkatan produktivitas dalam suatu proses produksi yang bermuara pada peningkatan kinerja yang berlangsung secara sehat, aman, nyaman, efektif, efisien dan produktif (Manuaba, 1999a, Manuaba,1999b). Bagi pekerja selain kondisi kerja yang aman dan nyaman juga terpeliharanya kondisi fisik yang sehat dan bugar dan kelelahan dapat diminimalisasikan. Dalam perkembangannya, sasaran ergonomi yang ingin dicapai adalah seluruh tenaga kerja baik pada sektor modern maupun pada sektor tradisional dan informal. Pada sektor modern penerapan ergonomi dalam bentuk pengaturan sikap, tata cara kerja dan perencanaan kerja yang tepat adalah efisiensi dan produktivitas yang tinggi. (Chaffin and Park, 1993). Menyatakan hasil penelitiannya dalam berbagai macam pekerjaan baik formal maupun nonformal telah terbukti dapat menyebabkan kenaikan produktivitas kerja mencapai 5 % 10 % dan tenaga kerja berada dalam kondisi nyaman dalam bekerja, namun yang

16

perlu dikendalikan adalah lingkungan fisik yang mempengaruhi aktivitas kerja manusia. Kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia masih dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor yang datang dari luar ialah kondisi lingkungan kerja di sekitar tempat kerja seperti : temparatur, sirkulasi udara, cahaya, kebisingan, dan kelembaban yang kesemuanya berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia dan kondisi pekerjaan agar senantiasa memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehataan kerja (ILO, 1998). Dengan terciptanya keadaan fisik dan psikis yang sehat, dan adanya jaminan sosial, maka produktivitas kerja akan dapat dicapai. Secara khusus ergonomi akan memberi beberapa manfaat antara lain (Manuaba, 2000b) : a) pemakaian otot dan energi lebih efisien, b) pemakaian waktu lebih efisien, c) kelelahan berkurang, d) kecelakaan kerja berkurang, e) penyakit akibat kerja berkurang, f) kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, g) efisiensi kerja meningkat, h) mutu produk dan produktivitas kerja meningkat, i) kesalahan kerja berkurang dan kerusakan dapat diminimalkan, dan j) pengeluaran atau biaya untuk mengatasi akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi dan konsekuensinya biaya operasional dapat ditekan. Sutjana, (2000) menyatakan bahwa upaya pencapaian hasil kerja dapat dilakukan dengan proses efisiensi penggunaan alat, energi yang dikeluarkan dan beban kerja yang dialami oleh masing-masing pekerja, sehingga kinerja dapat dihitung dengan rerata jumlah produksi yang dihasilkan selama bekerja dengan peningkatan denyut nadi diatas nadi istirahat. Aktivitas rancang bangun (design)

17

ataupun rancang ulang (redesign) dimana aspek manusia tidak lagi harus menyesuaikan dirinya dengan mesin yang dioperasikan (the man fits to the design), melainkan sebaliknya yaitu mesin dirancang dengan terlebih dahulu mmperhatikan dimensi tubuh manusia (anthropometri) kelebihan dan keterbatasan manusia yang mengoperasikannya (the design fits to the man) hal ini meliputi perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras misalnya perkakas kerja, bangku kerja, kursi dan perangkat lunak misalnya desain pekerjaan dalam suatu organisasi seperti penentuan jumlah jam istirahat, pembagian waktu kerja dan variasi pekerjaan. Sedangkan dalam dunia kerja tidak hanya terbatas pada bidang tertentu, melainkan mencakup bidang-bidang yang sangat luas, antara lain : a) dalam perancangan alat kerja, b) evaluasi proses dan produk kerja, c) perancangan bangunan/arsitektur, dan d) dipergunakan oleh ahli anatomi, fisika, fisioterapi, psikologi dan kaum profesional lainnya. Hasil penelitian ( Chavalitsakulchai and Shanavaz, 1991) melaporkan bahwa hampir seluruh tenaga kerja yang bekerja dengan sikap kerja yang tidak fisiologis atau alamiah mengalami gangguan otot skeletal dan kelelahan otot berlebihan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh (Adiputra, et.al., 2001) bahwa perkembangan industri yang cukup pesat yang tidak diikuti oleh perhatian terhadap lingkungan kerja dan peralatan kerja dipastikan akan menimbulkan gangguan muskuloskeletal. Gangguan muskuloskeletal merupakan fenomena fisiologis yang secara objektif dapat didata dengan kuesioner Nordic Body Map

18

(NBM) yaitu suatu kuesioner berbentuk gambar tubuh manusia berdasarkan 28 item pertanyaan kelelahan sistem otot dalam tubuh. Dengan ergonomi, dampak negatif dapat ditekan, karena berbagai penyakit akibat kerja, kecelakaan, pencemaran, keracunan, ketidak puasan kerja, kesalahan unsur manusia bisa dihindari. Dengan kata lain untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal dengan produktivitas yang tinggi maka setiap aktivitas kerja harus berpedoman pada kaidah ergonomi. Penerapan ergonomi dalam suatu sistem kerja dapat menghindari keluhan muskuloskeletal

yang

bersifat

sementara

maupun

menetap

dapat

diminimalisasikan, beban kerja dan kelelahan sebagai suatu keadaan yang tercermin dari gejala perubahan psikologis akibat aktivitas kerja yang berlebihan yang dalam jangka panjang terjadi tumpang tindih dan mengakibatkan inefisiensi atau ketidak mampuan fisik pekerja, sesuai tingkatan pekerjaan baik ringan sampai yang berat, baik dengan tenaga manual maupun mesin, hal ini terjadi karena perbaikan kondisi kerja bersifat sektoral dan belum dilakukan sinergitas antara sektor yang satu dengan sektor yang lain dalam satu kesatuan sistem. Atas dasar kesadaran akan kegagalan tersebut, maka pada era globalisasi yang sedang bergulir ini, mulailah dikembangkan dengan apa yang dinamakan dengan konsep pendekatan ergonomi total. 2.3

Pendekatan Ergonomi Total Pendekatan ergonomi total adalah penerapan prinsip ergonomi melalui

pendekatan Systemic, Holistic, Interdisiplinary & Participatory (SHIP Approach) yang dipadukan dengan penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) (Manuaba,

19

2003e; 2005a; 2006). Pendekatan ergonomi total adalah suatu pendekatan konseptual yang muncul dalam usaha pemecahan berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan kerja atau aktivitas yang dilakukan manusia kapan dan dimana saja. Pendekatan ergonomi total muncul sebagai reaksi dari dampak pembangunan yang terjadi di tiga sektor di Propinsi Bali yaitu pariwisata, pertanian, dan industri kecil. Sebagai dampak dari pembangunan tersebut, maka muncul berbagai keluhan rasa sakit pada saat melakukan pekerjaan, keracunan, kecelakaan kerja, polusi udara, air, tanah, kerusakan lingkungan, adanya rasa tidak aman, nyaman masyarakat akibat proyek, penyakit akibat kerja. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dilakukan pendekatan komprehensif yang lebih menekankan pada kajian dari berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai unsur terkait yang dalam pelaksanaannya membentuk satu kerja tim (team work) melalui sistem yang demokratis, mengedepankan kolaborasi potensi, membangun keterbukaan, kejujuran serta berpandangan jauh kedepan (Manuaba, 2003b). Pendekatan SHIP yang dimanfaatkan secara intensif oleh Bali oleh BaliHuman Ecology Study Group (Bali-HESG) yang memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Bali, sehingga makin banyak institusi pemerintah maupun swasta meminta untuk melaksanakan lokakarya berkaitan dengan pembangunan yang berkelanjutan. Pendekatan SHIP yang diawali dengan pendekatan : 1)

Sistemik Pendekatan sistemik diartikan bahwa kondisi kesehatan, kenyamanan dan keselamatan kerja yang dilihat dari aspek beban kerja, kelelahan dan gangguan muskuloskeletal serta produktivitas pekerja dalam melaksanakan

20

aktivitas kerja beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dipandang sebagai suatu sistem yang terkait satu dengan yang lain. Melalui pendekatan sistem dimana semua faktor yang berada di dalam satu sistem dan

diperkirakan

dapat

menimbulkan

masalah

harus ikut

diperhitungkan sehingga tidak ada lagi masalah yang tertinggal atau munculnya masalah baru sebagai akibat dari keterkaitan sistem. 2)

Holistik Pendekatan holistik diartikan bahwa semua sistem yang terkait harus diperhitungkan. Subsistem yang terkait dengan masalah yang ada haruslah dipecahkan secara proaktif, profesional, dan menyeluruh. Secara holistik bahwa pemecahan masalah lebih menekankan pada faktor yang terkait dengan masalah kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan kerja.

3)

Interdisipliner Pendekatan interdisipliner diartikan semua disiplin ilmu yang terkait haruslah dimanfaatkan secara maksimal, karena makin tinggi kompleksitas masalah, maka makin dibutuhkan lintas disiplin ilmu yang terkait untuk dipecahkan. Karena masalah tidak akan terpecahkan secara maksimal, jika hanya satu disiplin ilmu saja yang ada di dalamnya.

4)

Partisipatori Pendekatan partisipatori adalah semua yang terlibat dalam pemecahan masalah tersebut harus dilibatkan seperti :

Stakeholder, pimpinan

perusahaan, karyawan, peneliti sejak awal dilibatkan agar dapat di

21

wujudnyatakan suatu mekanisme kerja yang kondusif dan diperoleh produk yang berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Pendekatan SHIP memfokuskan pada semua masalah yang ada dalam sistem kerja harus dipecahkan melalui pendekatan sistem, dikaji secara holistik dan memanfaatkan lintas disiplin ilmu dengan maksud agar semua komponen dalam suatu sistem dapat terlibat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi agar supaya mereka semua mengetahui suatu keberhasilan dan kegagalan dan secara bersama-sama mencari solusi pemecahannya. Dan sistem kerja akan memberikan hasil yang lebih baik, jika setiap pemecahan masalah dimanfaatkan secara baik sehingga tidak ada lagi masalah yang tertinggal atau muncul masalah baru dikemudian hari (Manuaba, 2004c). Apabila dalam pelaksanaan perbaikan diperlukan teknologi, maka harus didahului dengan analisis teknologi tepat guna (TTG) yang dapat diterapkan dalam setiap perbaikan ergonomi (Manuaba, 2003,2004, 2005a) meliputi kajian dari aspek : a) teknis, b) ekonomi, c) ergonomi, d) sosial-budaya, e) hemat enerji, dan f) ramah lingkungan. Dalam setiap aktivitas kerja untuk dapat bersaing, maka dengan menggunakan pendekatan ergonomi total harus mampu mengubah tempat kerja, tenaga kerja, pasar kerja dan manajemen kerja lebih efektif dan efisien sehingga mendapatkan hasil yang positif dan berkelanjutan. Melalui pendekatan ergonomi total yang diawali dengan mengindentifikasi 8 aspek masalah (Manuaba, 2006) yang terdiri dari : 1)

Nutrisi.

22

Status kesehatan dan nutrisi atau keadaan gizi berhubungan erat dan berpengaruh terhadap efisiensi dan produktivitas kerja. Agar nutrisi dapat diserap dan didistribusikan ke seluruh tubuh, maka diperlukan tubuh yang sehat. Keadaan gizi sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara energi yang masuk dan keluar. Untuk menjaga keseimbangan tersebut, maka perlu pengaturan komposisi dan pola makan yang disesuaikan dengan karakteristik dan beban kerja. Untuk pekerjaan fisik seperti pemasangan dinding batu yang dilakukan di tempat panas, maka kebutuhan karbohidrat dan mineral lebih dominan (Grandjean, 1993; Dekker, dkk., 1996). Pemberian tambahan nutrisi pada saat istirahat sangat dianjurkan untuk mengembalikan kalori dan memulihkan tenaga yang terpakai. 2)

Penggunaan Tenaga Otot Proses kerja secara manual lebih memerlukan penggunaan tenaga otot. Kekuatan otot ditentukan oleh sifat dari sel otot itu sendiri. Kontraksi otot memerlukan energi dan menghasilkan zat sisa metabolisme (Cummings, 2003). Ketersediaan energi tergantung pada ketersediaan oksigen dan zat makanan yang dihantarkan oleh sirkulasi intramuskular. Kontraksi kontinyu dan monoton akan menyebabkan oklusi intramuskular sehingga mengurangi produksi ATP menjadi dua mol dan terbentuk asam laktat akibat metabolisme dan anaerobik (Grandjean & Kroemer, 2000). Penurunan energi dan akumulasi asam laktat akan mempercepat timbulnya kelelahan dan keluhan otot yang apabila terakumulasi akan menimbulkan nyeri otot

23

(Guyton & Hall, 2000). Oleh karena itu di dalam merancang kondisi kerja, perlu diperhatikan batas-batas kemampuan baik gerakan maupun kekuatan otot. Untuk setiap metode dan peralatan kerja harus dirancang sedemikian rupa sehingga gerakan otot tidak bertentangan dengan gerakan fisiologis atau gerakan alamiah dari otot bersangkutan. 3)

Sikap Kerja Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba, 1998). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang, mengangkat dan mengangkut, duduk atau berdiri terlalu lama dan lain sebagainya (Adnyana, 2001; Chung, dkk., 2003; Dempsey, 2003; Ferreira, 2005; Ferguson, dkk., 2005). Sikap tidak alamiah ini terjadi karena interaksi antara pekerja dan alat kerja yang kurang berimbang atau alat kerja yang digunakan kurang sesuai dengan antropometri pekerja.

4)

Lingkungan Kerja Kondisi lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung (Rodahl, 1989; Manuaba, 2000). Kondisi mikroklimat, kebisingan, getaran, dan kualitas udara yang melebihi nilai ambang batas atau standar yang telah direkomendasikan, dapat memperlemah fungsi tubuh, menurunkan kinerja dan pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja. Dalam proses pemasangan dinding bata yang lebih banyak dilakukan di tempat terbuka,

24

kondisi lingkungan yang perlu dicermati adalah paparan panas matahari, kebisingan, dan kadar debu yang tinggi. 5)

Waktu Kerja Sudah menjadi kesepakatan internasional bahwa waktu kerja optimal adalah 7 jam perhari atau 40 jam perminggu untuk enam hari kerja (Spurgeon, 2003). Dalam beberapa kasus, perpanjangan waktu kerja justru menurunkan hasil kerja dan mempunyai kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, gangguan/penyakit dan kecelakaan. Waktu kerja maksimal di mana seseorang dapat bekerja dengan baik dengan kondisi lingkungan kerja yang normal adalah 8 jam per hari termasuk jam istirahat (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993; Decker dkk, 1996). Tentu saja untuk kondisi lingkungan yang tidak memenuhi standar/nilai yang disyaratkan, perlu dilakukan penyesuaian sehingga pekerja tidak terpapar oleh kondisi ekstrim dalam waktu yang lama.

6)

Sistem Informasi. Informasi bagi karyawan merupakan suatu hal yang penting dalam proses produksi. Penyampaian rincian tugas untuk masing-masing karyawan secara jelas dan terperinci dapat menekan timbulnya kesalahan. Dalam penyampaian informasi, ada beberapa sistem yang dapat digunakan, antara lain dengan komunikasi lisan, informasi tertulis baik yang disampaikan langsung kepada karyawan atau dipasang di papan pengumuman dan dapat pula berupa slogan-slogan kerja yang dipasang di tempat-tempat strategis

25

yang dapat dilihat oleh karyawan setiap saat. (Grandjean & Kroemer, 2003; Manuaba, 1999). 7)

Kondisi Sosial Budaya Rasa nyaman di tempat kerja dipengaruhi pula oleh kondisi sosial budaya di lingkungan kerja, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat (Nala, 2002). Pekerja akan merasa nyaman bila keadaan keluarga, hubungan antar keluarga, antar pekerja dan antara atasan dan bawahan berlangsung harmonis. Harmonisasi lingkungan kerja akan menyebabkan pekerja akan lebih berkonsentrasi pada tugasnya masingmasing sehingga efisiensi tercapai dan akhirnya pencapaian produktivitas bisa optimal.

8)

Interaksi Manusia – mesin Budaya kerja yang ada hingga saat ini lebih mengkondisikan pekerja sebagai bagian dari mesin, sehingga manusialah yang diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan cara kerja mesin. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar ergonomi. Dalam konsep ergonomi, maka prioritas utama adalah menyesuaikan desain dan system kerja mesin dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia (Fitting the job to the man) (Grandjean & Kroemr, 2000; Manuaba, 2005b). Oleh karena itu setiap interaksi alat dengan mesin harus dirancang sedemikian rupa sehingga

terjadi

keharmonisan

antara

daya

kerja

mesin

dengan

kemampuan, kebolehan dan keterbatasan pekerja. Desain alat dan perlengkapan kerja hendaknya benar-benar disesuaikan dengan ukuran

26

tubuh pekerja sehingga pekerja dapat melakukan tugasnya dengan sikap yang alamiah. 2.4

Penerapan Ergonomi Total Pada Proses Penangkapan Ikan Penerapan konsep ergonomi total pada proses penangkapan ikan dengan

pukat cincin yang pertama di Indonesia ini, pada dasarnya berdasarkan pada 8 aspek ergonomi, dan 6 kriteria dari teknologi tepat guna yang dimulai dari : 1. Gizi dan Nutrisi Gizi dan nutrisi sangat mempengaruhi kondisi kerja nelayan pada waktu penangkapan ikan di Malam hari. Untuk menjaga keseimbangan antara energi yang masuk dan keluar. Energi yang masuk selalu terdapat zat dan mineral yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel tubuh melalui pengaturan pola makan dan minum serta istirahat, dan energi yang keluar akibat adanya aktivitas kerja menangkap ikan. Berkaitan dengan gizi dan nutrisi yang adi kuat sebagai sumber energi, maka pola pengaturan makan, minum dan istirahat berlangsung sebagai berikut : 1) snack dan minum pagi, pukul 07.00-08.00, 2) istirahat, pukul 09.00-13.00, 3) makan siang, pukul 13.00-14.00, 4) istirahat, pukul 14.00-18.00, 5) makan malam, pukul 18.00-19.00. Aktivitas penangkapan ikan mulai persiapan sampai pelaksanaan berlangsung dari pukul 20.00 sampai dengan pukul 06.00 pagi dan untuk rehat disediakan teh manis dan air putih. Kondisi kerja seperti ini terasa cukup dan berlangsung selama melakukan aktivitas penangkapan ikan.

27

2) Penggunaan Tenaga Otot. Dalam proses penangkapann ikan dengan pukat cincin, maka penggunaan tenaga otot sangat berlebihan pada saat penawuran jaring sampai pada penarikan pukat cincin. Penurunan energi dan akumulasi asam laktat akan mempercepat timbulnya kelelahan fisik dan keluhan otot apabila terakumulasi, maka akan menimbulkan nyeri otot. Untuk itu, setiap metode dan peralatan kerja harus dirancang dengan berpedoman pada kaidah ergonomi sehingga gerakan otot tidak bertentantangan dengan gerakan fisiologis atau gerakan alamiah dari otot tersebut. 3) Sikap Kerja. Sikap kerja nelayan pada waktu menarik pukat cincin, nampak jelas dilakukan nelayan dengan kedua tangan dalam waktu lama, badan membungkuk kedepan, dan kedua kaki terjulur menahan beban tarikan sehingga menimbulkan sikap kerja paksa. Sikap kerja seperti ini kurang nyaman, beban kerja sangat berat dan sering ada keluhan muskuloskeletal, apabila hal ini dilakukan berulangulang, maka akan menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk menghindari sikap kerja paksa ini, maka perlu dirancang alat bantu kerja berupa katrol untuk menarik pukat cincin dengan cepat dan mengurangi beban kerja, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal sehingga kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat diminimalisasikan. 4) Kondisi Lingkungan. Kondisi lingkungan iklim mikro seperti kecepatan angin, suhu udara dan kelembaban sangat mempengaruhi kondisi lingkungan tempat bekerja. Di

28

Perairan laut daerah penangkapan ikan (fishing ground) nelayan dalam melakukan aktivitas sangat sangat membutuhkan cuaca yang tenang dan pengaturan tata letak perahu lampu agar tidak menyilaukan nelayan pada waktu penarikan pukat cincin. 5) Kondisi Waktu Nelayan dalam tugas kerja menangkap ikan di laut pada malam hari memerlukan aktivitas fisik yang lebih berat karena banyak mengeluarkan energi. Untuk itu,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat menjadi prioritas utama

dan bilamana terjadi perbaikan dengan adanya intervensi ergonomi dengan pola kebiasaan lama, hendaknya itu sesuai dengan prinsip-prinsip ergonomi sehingga aspek kesehatan, kenyamanan dan keselamatan kerja menjadi prioritas utama sehingga kesejahteraan nelayan meningkat. 6) Kondisi Informasi dan Komunikasi Kondisi informasi dalam proses penangkapan ikan di laut sangat menentukan, sebab pemberian informasi dari pimpinan (tonaas) kepada nelayan harus jelas dan terperinci baik tertulis maupun secara lisan, agar supaya masingmasing nelayan mengetahui tugas dan tanggung jawab yang diberikan seperti : 1) siapa yang bertugas menarik tali pelampung, 2) yang bertugas menarik isi perut jaring, 3) yang bertugas menarik tali cincin, dan 4) yang bertugas penawuran jaring. Peranan komunikasi sangat menentukan terhadap peningkatan produksi penangkapan serta dapat menekan timbulnaya kesalahan pada waktu aktivitas penangkapan berlangsung.

29

Menciptakan komunikasi dua arah yang harmonis antara nelayan pemilik dan nelayan penangkap sangat didambahkan terutama dalam sistim bagi hasil dari usaha penangkapan ikan. Komunikasi yang terjalin penuh kemesraan, akan memberikan motivasi dan semangat etos kerja yang tinggi serta membangkitkan rasa percaya diri dan rasa memiliki terhadap keberlangsungan usaha, sebab nelayan penangkap ikan bukan salah satu faktor produksi perusahaan, tetapi sebagai bagian dari investasi perusahaan dalam meningkatkan produksi hasil penangkapan. 7) Kondisi Sosial Budaya Kondisi sosial budaya bagi masyarakat nelayan, baik nelayan pemilik maupun nelayan penangkap bagaikan bapak-pengikut (patron-client). (Scott, 1988) menyatakan bahwa pada satu pihak seorang individu nelayan pemilik dengan status sosial yang lebih tinggi disebut (patron), menggunakan pengaruhnya

dengan

sumber-sumber

yang

dimiliki

untuk

memberikan

perlindungan bagi seorang yang status ekonominya lebih rendah yaitu nelayan penangkap (client), dan sebaliknya client membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan pelayanan termasuk motivasi dan etos kerja yang tinggi. Hubungan sosial budaya yang terbentuk pada masyarakat nelayan terjadi pada saat pembagian hasil tangkapan atau yang biasa disebut sistim bagi hasil. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi sistim bagi hasil yang disepakati bersama, maka akan menimbulkan konflik internal antara nelayan pemilik dan nelayan penangkap dan mengakibatkan nelayan tidak melaut, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari.

30

8) Interaksi Manusia – Mesin Interaksi manusia mesin (man-machine interface) dapat berfungsi lebih efektif dan efisien, apabila manusia dan mesin terpadu dan disiplin dalam melakukan fungsi produksi. Manusia yang menggunakan peralatan kerja mampu beradaptasi, berinteraksi dengan mesin atau alat yang dirancang secara ergonomi dan hasil rancangan kerja harus memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia (Manuaba, 2004, 2005a, 2005b). Interaksi manusia mesin pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dilakukan secara serasi untuk menjamin bahwa proses kerja dapat mencapai hasil yang optimal. Dengan intervensi ergonomi yang diterapkan di lingkungan kerja nelayan adalah merupakan aktivitas rancang bangun yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi, maka diperlukan pemahaman tentang antropometri melalaui data ukuran tubuh setiap nelayan dan dalam penerapannya selalu menghendaki adanya perbaikan pada setiap lingkungan kerja secara terpadu dan integrasi, sehingga dapat membangun suatu kondisi kerja yang kondusif, sehat, aman, nyaman, efektif, efisien dan produktif. Dalam penerapan konsep ergonomi total pada penangkapan ikan dengan pukat cincin, memiliki beberapa tahapan yang dimulai dari : a) indentifikasi masalah, b) penentuan prioritas terhadap masalah-masalah yang diindentifikasi termasuk kekuatan dan kelemahannya dengan menggunakan (SWOT analysis), c) disusun suatu rencana kerja aksi (action plan) yang bersumber pada teknologi tepat guna (TTG) dengan 6 kriteria utama (Adiputra, 2000 dan Manuaba, 2005a) yaitu :

31

1) Secara teknik, pembuatan alat kerja katrol oleh nelayan sangat mudah dikerjakan dan tidak sulit dirawat, menggunakan bahan dan material sangat sederhana, aman, kuat dan memiliki daya tahan lama serta kualitas hasil lebih baik dan sangat praktis untuk dioperasikan. 2) Secara ekonomi, lebih efisien dan harganya murah dan mudah untuk didapati serta dapat dijangkau oleh nelayan, sehingga memberikan keuntungan bagi setiap keluarga nelayan dan tidak menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi nelayan, tetapi sebaliknya menciptakan lapangan kerja baru dan memberikan kesempatan kerja bagi generasi muda yang putus kuliah. 3) Secara ergonomi, alat tersebut tidak menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, tetapi sebaliknya menciptakan kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman, efektif, efisien dan produktif. 4) Hemat energi, alat kerja katrol yang dalam penggunaannya pada aktivitas penangkapan ikan dengan pukat cincin dapat menghemat dan mengurangi energi. 5) Sosial budaya, alat kerja katrol dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat nelayan baik nelayan pemilik maupun nelayan penangkap dengan mengikuti tatanan, aturan, norma serta tradisi budaya masyarakat setempat baik tertulis maupun lisan, sehingga dapat merubah pola pikir masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern (Nala, 2002). 6) Ramah lingkungan, alat kerja katrol tidak merusak lingkungan, tetapi menciptakan keseimbangan ekosistem antara keragaman dan keseragaman biota laut, bahkan ikan-ikan yang tertangkap sejenis pelagis pilihan berukuran

32

besar sesuai dengan mata jaring pukat cincin.

2.5 Masyarakat Nelayan di Pesisir Pantai Kehidupan masyarakat nelayan yang mendiami daerah pesisir pantai dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan penangkap ikan yang hidupnya tergantung langsung pada hasil laut baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya ikan. Dan dalam kelangsungan hidupnya sangat tergantung pada cuaca alam, apabila situasi alam terganggu laut bergelombang dan disertai angin kencang, maka nelayan tidak melaut, sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga nelayan. Dalam banyak hal masyarakat nelayan di Pesisir pantai mereka telah membentuk sebuah lingkungan permukiman sendiri dan memiliki sosio-budaya yang khas yaitu berburu dan menangkap ikan (hunting and fishing) dan memiliki daerah jelajah yang berpindah-pindah tempat sebagai proses adaptasi terhadap habitat yang dekat pantai dan sekaligus telah menyatu dengan laut, dalam kehidupannya mereka membentuk tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Proses adaptasi di kalangan masyarakat nelayan mereka memiliki ciriciri utama yaitu : a) kedua pihak menguasai sumber daya yang tidak seimbang,

b) saling menguntungkan dan tidak ada unsur paksaan di antara

kedua belah pihak, c) adanya hubungan mesra di antara kedua belah pihak (Imron, 2003).

33

Dilihat dari kesejahteraan hidupnya nelayan di pesisir pantai tergolong masyarakat yang mempunyai pandapatan rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena alat tangkap yang digunakan nelayan bersifat tradisional, mulai dari armada penangkapan perahu, alat tangkap, dan teknik menangkap ikan sampai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masih rendah. Proses penangkapan ikan terjadi apabila adanya kesempatan melaut, musim ikan, dan keadaan laut angin yang tenang bertiup tidak merubah arah, arus yang teduh. Hasil tangkapan sangat tergantung pada faktor-faktor produksi seperti : a) adanya rumpon, b) biaya tetap sebagai modal investasi, c) biaya bahan-bahan seperti biaya perawatan, d) bahan bakar dan konsumsi nelayan selama di laut serta, e) jenis alat tangkap yang digunakan. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di lokasi penangkapan ikan laut Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara didapati bahwa nelayan pada waktu proses penangkapan berlangsung mereka masih menggunakan sistem kerja lama menarik pukat cincin dengan kedua tangan dalam waktu lama dan fasilitas kerja yang ada masih tergolong tradisional. Sistem bagi hasil dikalangan masyarakat nelayan antara nelayan pemilik dan nelayan penangkap (buruh) masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan sebagian besar masih menggunakan hukum adat tidak tertulis (konvensi), dimana hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dari masa ke masa.

34

Dilihat dari segi individu nelayan dalam keberadaannya tidak dapat mempengaruhi harga ikan di pasar, sedangkan target produksi penangkapan harus mencapai 8000 kg perbulan. Dan untuk mencapai target penangkapan ini, maka disinilah terjadi gangguan kesehatan dan keselamatan kerja nelayan sehingga mengakibatkan terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

2.6 Peralatan Tangkap Pukat Cincin Pukat cincin atau purse seine yang oleh masyarakat nelayan di Sulawesi Utara lebih dikenal dengan nama soma pajeko adalah termasuk salah satu jenis jaring lingkar yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan-ikan sejenis pelagis yang membentuk gerombolan dengan kepadatan yang tinggi dimana jaring ditebarkan mengelilingi kelompok ikan sehingga akan menjadi dinding penghalang yang berfungsi untuk mencegah agar ikan yang tertangkap tidak keluar (Kanagaya, 2005). Jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya, maka alat tangkap pukat cincin ini dapat menangkap ikan hingga kedalaman 150 meter atau lebih tergantung ukuran dan konstruksi jaring. Pukat cincin terdiri dari beberapa bagian antara lain : bagian kantong, perut, bahu dan sayap (Nomura dan Yamazaki, 2003). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2

35

Keterangan dan Ukurannya : Kantong = 45 m Perut = 30 m cm Bahu = 20 m Sayap = 10 m

1. Tali pelampung = 310 m 2. Tali ris atas = 310 m

6. Timah pemberat = 0,55 kg 7. Tali ikatan cincin = 30

3. Pelampung = 310 m 4. Tali ris bawah = 310 m 5. Tali pemberat = 310 m

8. Tali cincin = 290 m 9. Cincin timah = 0.10 kg

Gambar 2.2 Model Pukat Cincin

36

Dari hasil survei pada masing-masing bagian di atas, dapatlah dijelaskan bahwa: a) bagian kantong adalah tempat mengumpulkan ikan dari hasil tangkapan. Dalam proses penangkapan maka bagian kantong akan menjadi huruf “U” setelah penarikan tali cincin, b) perut jaring berfungsi mempercepat tarikan tali pukat cincin, c) bahu jaring adalah tempat menahan beban cincin, d) sayap jaring adalah tempat memagari dan mengurung ikan untuk tidak keluar dari tangkapan. Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan fungsi dari masing-masing bagian pukat cincin yaitu: 1) tali pelampung berfungsi sebagai pengikat pelampung, 2) tali ris atas berfungsi untuk menggantungkan jaring yang berpasangan dengan tali pelampung, 3) pelampung adalah tempat menahan jaring dan timah pemberat gaya apung yang berbentuk bola terbuat dari plastik di pasang pada bagian kantong dan bagian ujung tali tarik, 4) tali ris bawah berfungsi sebagai penahan jaring bagian bawah yang berpasangan dengan tali pemberat yang digunakan sebagai penghubung cincin dengan jaring, 5) tali pemberat berfungsi untuk mengikat pemberat timah yang bersama-sama dengan tali ris bawah dirangkai pada jaring bagian bawah, 6) timah adalah pemberat yang digunakan dari bahan timah hitam (Pb) berbentuk lonjong dengan berat di udara 200 gr, 7) tali ikatan cincin dirangkai bersama dengan jaring bagian bawah berfungsi sebagai tempat menahan pemberat, 8) tali cincin dipasang pada cincin dan berfungsi untuk menarik agar cincin berkumpul sehingga jaring membentuk kantong, dan 9) cincin yang digunakan pada pukat adalah menggunakan bahan kuningan (Br) dengan masa jenis 7,82 kg/m3 berbentuk bulat dengan ukuran dan jumlahnya sesuai kebutuhan.

37

Berdasarkan uraian di atas, maka konstruksi pembuatan pukat cincin yang terdiri dari dari beberapa bagian yaitu : jaring, tali-temali, pelampung, pemberat (timah), dan cincin yang di pasang pada bagian bawah dan pada sisi jaring. Maka pukat cincin dapat memberikan hasil yang sangat besar pada proses penangkapan ikan, karena panjang pukat cincin sesuai dengan panjang tali pelampung dan lebar pukat cincin sesuai dengan kedalaman jaring yang terentang sempurna didalam air dan penawuran jaring harus dilakukan dengan cepat sesuai dengan kecakapan dan keahlian pemimpin tonaas (Katiandagho, 2006). Operasi penangkapan ikan dengan pukat cincin dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan alat bantu rumpon (rakit) dan perahu lampu. Perahu lampu seperti tipe perahu pelang yang digunakan untuk meletakkan lampu laguna yang menyerupai lampu petromax berfungsi untuk memikat ikan supaya berkumpul dalam satu area penangkapan. Tipe perahu dapat diuraikan berikut ini. 2.6.1 Perahu dan Lampu Laguna Hasil penelitian peandahuluan membuktikan bahwa proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dilakukan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu perahu dan lampu laguna yaitu : Perahu lampu tipe pelang ini mempunyai ukuran panjang (L) 8 m, Lebar (B) 1 m, di samping kiri dan kanan terdapat sema-sema dari bambu, sedangkan di depan dan belakang perahu terlihat 2 balok melintang yang terbuat dari batang kelapa sebagai tempat meletakkan lampu laguna dan sekaligus untuk menjaga keseimbangan perahu agar tidak goyah dan tengelam bila diterpa gelombang laut.

38

Bentuk perahu

type pelang Panjang 8 meter Lebar 0,8 meter yang

digunakan untuk meletakkan lampu laguna seperti tampak pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Perahu lampu tipe pelang

1 2 3

Keterangan gambar : 1 = Kepala lampu 2 = Kap lampu 3 = Kaos lampu 4 = Tiang lampu

4 5

Gambar 2.4 Lampu Laguna Lampu laguna adalah lampu yang menyerupai petromax, dimana lampu laguna dilengkapi dengan sebuah kap, kepala lampu, kaca, tiang besi dan kaos lampu serta tengki sebagai tempat penampung bahan bakar dari minyak tanah dan lampu laguna memiliki daya tahan 15 jam. 2.6.2 Rumpon dan Rakit Rumpon adalah alat bantu untuk melakukan penangkapan ikan dengan pukat cincin yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu area penangkapan fishing ground. Posisi rumpon berada pada kedalaman 1200 meter dan konstruksi pelampung dari bambu, aktraktor atau gara-gara dari daun

39

kelapa atau daun lontar, tali-temalinya menggunakan tali nilon (sintetic fibres) dan pemberat menggunakan drum yang sudah dilakukan pengecoran beton, seperti pada Gambar 2.5.

Keterangan : a. Rakit (8 m x 2 m) terbuat dari bambu b. Tali Anak (diameter 8 mm) c. Tali jangkar (diameter 20 mm) d. Gara-gara (daun lontar / daun kelapa) e. Jangkar/ pemberat (drum) = 200 – 300 kg Gambar 2.5 Posisi Rakit di Laut Disekitar rakit dan rumpon terdapat tempat berkumpulnya banyak plankton-plankton dan spesis ikan-ikan kecil lainnya sehingga menarik ikan yang lebih besar untuk memakannya. Bentuk rumpon seperti tampak pada Gambar 2.6. A

B

drum cor

C

kumpulan

kumpulan

Gambar 2.6 Posisi Rumpon A, B dan C di Permukaan Laut

40

Dapat pula dijelaskan bahwa pada gambar A bentuk rumpon dengan tiga buah sahu yang menahan tali induk dan dilengkapi dengan gara-gara daun kelapa, segi tiga di atas rakit memberikan tanda atau kode bagi kapal-kapal penumpang yang melewati supaya tidak ditabrak. Pada gambar B bentuk rumpon lengkap dengan gara-gara dan penahan tali induk terdiri dari sekumpulan batu-batu besar yang diikat menjadi satu. Sedangkan bentuk rumpon pada gambar C dimana posisi rumpon akan melepas dari ikatan tali induk sebab akan dilakukan penangkapan dengan pukat cincin. Tampak pada foto 2.1 ini sebuah rakit di atas permukaan laut.

Foto 2.1 Rakit di atas permukaan laut

Berdasarkan

hasil

pengamatan

langsung

di

Lokasi

penelitian

membuktikkann bahwa operasi penangkapan yang dilakukan dengan pukat cincin menggunakan alat bantu rakit dilakukan pada malam hari.

41

Untuk melakukan operasi penangkapan di malam hari, rakit dan lampu menjadi satu untuk mengumpulkan dan menaikkan ikan ke permukaan. Jika ikan masih menyebar, maka posisi rakit bergerak perlahan untuk memisahkan dengan pelampung yang diikat dan gara-gara yang ada dibawah rakit dinaikkan dan nelayan perahu lampu menutup sebagian cahaya sehingga ruang gerak ikan dibatasi, setelah ikan bergerombol dengan kepadatan yang tinggi maka nelayan yang ada di perahu lampu memberikan isyarat pada kapal induk untuk bersiap melakukan penangkapan sehingga ikan dapat dijinakkan. Pada proses penangkapan melalui penawuran jaring dengan cepat, melingkari secara horizontal, memagari secara vertikal dari permukaan laut hingga suatu kedalaman tertentu, mengurung dengan menutup bagian bawah jaring dan penarikan tali cincin maka muncul masalah ergonomi. Pada penarikan pukat cincin nelayan menggunakan kedua tangan dalam waktu lama dan panjang, sikap kerja duduk menarik, postur tubuh membungkuk, tungkai terjulur dan telapak kaki sebagai bantalan penahan tarikan, dan sering memanfaatkan jangkauan tangan ke depan dari batas maksimal dan pada akhir penarikan muncul rasa lelah dan nelayan mengeluh rasa sakit. Selama proses penangkapan berlangsung nelayan menunjukkan sikap kerja paksa menyebabkan timbulnya kelelahan, beban kerja berat dan adanya keluhan muskuloskeletal sehingga akan mengakibatkan penyakit dan cidera akibat kerja. Posisi jaring, rumpon dan perahu lampu terentang sempurna seperti tampak pada Gambar 2.7.

42

. Gambar 2.7 Operasi penangkapan menggunakan rumpon dan lampu Pada gambar di atas tampak jelas bahwa proses penangkapan dengan pukat cincin sedang melakukan operasi penangkapan di malam hari terlihat pukat masih melebar berbentuk bulat disaat penarikan tali cincin dan perahu lampu masih berada dalam jaring. Apabila pukat sudah mengecil, maka akan terlihat sejumlah ikan yang tertangkap, seperti pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pukat cincin berbentuk kantong Dengan penarikan tali cincin dan pelampung dari permukaan hingga suatu kedalaman, maka pukat cincin menjadi mengecil berbentuk kantong sehingga ikan yang tertangkap tidak dapat keluar.

43

2.6.3 Tali Penarikan Pukat Cincin Jenis tali pemberat sebagai tempat pemasangan cincin disebut brid berukuran polyethylene (PE) ∅ 18-22 mm yang dipasang dengan cara dimasukkan kedalam cincin dan berfungsi untuk menarik cincin agar cincin terkumpul sehingga jaring membentuk kantong. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di atas kapal KM. Tiberias didapatkan bahwa ada jenis tali-temali lainnya yang dipasang tersambung dengan tali ris atas pelampung dan tali ris bawah pemberat dan berfungsi untuk menggantungkan jaring, panjang kedua tali ini sesuai dengan panjang jaring soma pajeko dan tergantung sesuai dengan ukuran dan konstruksi pukat cincin (Nomura dan Yamazaki, 2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada foto 2.2.

Foto : 2.2 Tali pukat cincin

Semakin dalam tenggelamnya jaring maka semakin besar tali cincin yang dibutuhkan, hal ini berarti ikan yang tertangkap tidak ada yang keluar sehingga

44

tempo penarikan semakin lama dan panjang dan waktu yang dibutuhkan akan cenderung bertambah. Dalam proses ini jaring harus tengelam mencapai kedalaman maksimum, sehingga ikan tidak dapat berenang lebih dalam lagi, oleh karenanya dibutuhkan kelajuan dari tali pemberat untuk mengimbangi kecepatan renang ikan (Kanagaya, 2005) menyatakan bahwa tegangan pada tali cincin mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan terutama kedalaman tenggelam tali pemberat dan perubahan kedalaman selama penarikan tali cincin. Jika selama penawuran jaring, tali cincin mendapat tegangan yang besar, maka jaring tidak dapat terbuka dengan kedalaman penuh oleh karena keberhasilan pengambilan hasil tangkapan tergantung pada beberapa faktor antara lain : penarikan tali cincin, penarikan jaring, kecepatan kapal, keadaan perairan, pendidikan dan keterampilan anak buah kapal, pengalaman menangkap ikan dan perlengkapan yang digunakan di atas kapal (Katiandagho and Fridman, 2006). 2.6.4 Kapal Penangkapan Ikan Armada

penangkapan

yang

mengoperasikan

pukat

cincin

untuk

penangkapan sejenis ikan pelagis adalah kapal yang mempunyai tipe lambut dengan bobot 40 – 80 GT sebagai kapal induk. Tenaga penggerak yang digunakan pada kapal induk berupa motor tempel merk Yamaha tipe enduro dengan kekuataan dorong 40 HP sebanyak 4-5 buah untuk setiap unit perahu penangkap dan ada sebagian aramada penangkap menggunakan mesin dalam. Untuk jelasnya dapat dilihat pada foto 2.3

45

Foto 2.3 Tipe kapal penangkap ikan

(a) Tampak Samping

(b) Tampak Atas

Gambar 2.9 Kapal Tipe Lambut Pukat Cincin

46

Tabel 2.1 Keterangan kapal tipe Lambut Penangkap Ikan Nama Perahu / Tipe A. KM. Tiberias

Ukuran Utama Kapal Panjang (L) Lebar (B) Dalam (D) (m) (m) (m) 21,5 5,15 2,25

“Lambut” B. KM. Masmur

Tenaga Penggerak (HP) Mesin tempel 40PK (5 buah)

21,5

5,15

“Lambut”

2,25

Mesin tempel 40PK (5 buah)

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dapat dijelaskan bahwa nelayan pukat cincin adalah pekerja yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu rumpon dan lampu berdasarkan musim dan bagi sebagian besar anak buah kapal adalah lakilaki, sedangkan wanitanya dibatasi pada kegiatan-kegiatan di tepi pantai saja termasuk usaha pendistribusian dan pemasaran hasil tangkapan dan dibantu oleh anak-anak.

2.7

Penangkapan Ikan Jenis Pelagis Alat penangkapan ikan sangat menetukan jumlah ikan yang diperoleh,

sebab operasi penangkapan harus dilakukan dengan cepat, kelajuan melingkar, kecepatan perahu dan kecakapan tonaas (pemimpin) mengelilingi besarnya kelompok ikan yang terkumpul. Begitu pula perahu yang digunakan pada umumnya menggunakan kapal motor dalam dan atau motor tempel sebanyak 5 motor 40 pk. Kebutuhan perahu disesuaikan dengan alat penangkap yang dipakai.

47

Intensitas penangkapan ikan-ikan sejenis pelagis yang dilakukan oleh nelayan adalah angka yang menunjukkan seringnya penangkapan dilakukan pada malam hari. Intensitas tersebut dihitung dalam jumlah kali penangkapan yang untuk selanjutnya disebut trip dalam jangka waktu tertentu. Jenis ikan-ikan pelagis yang tertangkap di perairan laut Amurang Kabupaten Minahasa Selatan yang dikenal sebagai basis ikan pelagis seperti tampak pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Sejenis Ikan Pelagis (Malalugis) Untuk menangkap ikan pelagis ini yang hidup sampai kedalaman 150 meter (Katiandagho, 2006) kelajuan tali pemberat sangat menentukan untuk mencegah agar ikan tidak cepat keluar melalui bagian bawah jaring setelah penawuran sampai pada penarikan tali cincin.

2.8

Kerja Malam Menangkap Ikan Apabila manusia bekerja pada malam hari dan tidur siang, maka irama

fisiologi kerja akan terganggu, karena fungsi fisiologis tenaga kerja tidak dapat disesuaikan dengan irama kerja tersebut. Suhu badan, deyut nadi, tekanan darah yang bekerja pada malam hari sangat berbeda dengan yang bekerja pada pagi, siang dan sore (Grandjean, 1988). Oleh karena metabolisme tidak dapat sepenuhnya atau tidak dapat sama sekali diadaptasikan dengan kerja malam dan tidur siang.

48

Keseimbangan elektrolit sebagai akibat albumin dan klorida di darah dapat beradaptasi dengan keperluan kerja malam dan tidur siang, tetapi pertukaran zat-zat seperti : kalium, sulfur, fosformangan terikat pada sel-sel sehingga dengan pergantian waktu kerja siang menjadi malam tidak dapat dipengaruhinya. Metabolisme zat-zat terakhir tidak dapat diserasikan dengan kebutuhan kerja pada malam hari, sehingga untuk kerja malam kelelahan relatif sangat besar disebabkan oleh faktor faal dan metabolisme yang tidak dapat diserasikan serta sangat kuatnya kerja syaraf para simpatis dibanding simpatis pada malam hari (Suma’mur, 1991), sedangkan semestinya adalah simpatis harus melebihi kekuatan para simpatis. Banyaknya dan lamanya waktu tidur pada siang hari relatif lebih sedikit dibandingkan dengan tidur malam. Hal ini disebabkan oleh suasana lingkungan pada siang hari seperti : suhu, kebisingan, aktivitas manusia, binatang dan juga karena kebutuhan, misalnya terbangun karena lapar, buang air kecil atau besar dan sebagainya dan pada malam hari alat pecernaan tidak berfungsi secara normal, sebab jumlah makanan yang diambil lebih sedikit, sedangkan pencernaan kurang bekerja sebagaimana mestinya sehingga berakibat pada menurunnya berat badan. Selain masalah biologis dan faal, maka kerja malam disertai reaksi psikologis sebagai suatu mekanisme defensif terhadap gangguan tubuh akibat ketidak serasian badani terhadap pekerjaan malam. Dengan demikian keluhankeluhan relatif lebih banyak ditemukan pada kerja malam. Untuk itu perlu dipertimbangkan pemberian gizi dan makanan eksra dan aspek-aspek yang perlu

49

juga diperhatikan pada kerja malam adalah : aspek kesehatan, sosial, budaya, biologi, dan ekonomi (Manuaba, 1998). Jadi makin panjang waktu kerja malam, maka makin besar pula efeknya terhadap kesehatan. Bagaimanapun juga kerja malam lebih banyak mempunyai dampak kurang baik bila dibandingkan dengan kerja siang. Sebaiknya kerja malam dilakukan pada pekerjaan-pekerjaan yang memang benar-benar urgensi atau tidak boleh tidak dan harus dilakukan. Terkait dengan penjelasan di atas, maka nelayan dalam usaha penangkapan ikan dangan pukat cincin pada malam hari mempunyai dampak negatif yang kurang menguntungkan bagi kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan keamanan kerja, dimana mereka melakukan penangkapan ikan di perairan laut tanpa dibekali dengan pengetahuan tentang prinsip dan kaidah ergonomi yang bermanfaat bagi kualitas hidup manusia tentang budaya sehat, aman, nyaman, dan efisien sehingga produktivitas meningkat. Tetapi untuk mengubah budaya kerja malam dengan berbagai risiko menjadi waktu kerja siang sangat dibutuhkan intervensi ergonomi dengan pendekatan ergonomi total sehingga diharapkan adanya peningkatan produktivitas, kinerja dan kesejahteraan bagi keluarga nelayan.

50

2.9

Mengindentifikasi Masalah Ergonomi Total pada Penangkapan Ikan dengan Pukat Cincin Sikap kerja adalah sikap tubuh saat melakukan aktivitas kerja dan

berinteraksi dengan alat kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak menimbulkan sikap kerja paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba, 1998). Sikap kerja yang tidak fisiologis dapat menimbulkan gangguan pada sistem muskuloskeletal dan dapat menyebabkan hilangnya stabilitas, mudah tergelincir dan rawan terhadap kecelakaan (Manuaba, 1998b dan Sariputra, 2003). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat mengangkat, mengangkut, memegang, menarik, duduk, berdiri terlalu lama (Ferguson, 2001 et.al. Adnyana, 2005). Sikap kerja yang dijumpai pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin yang oleh nelayan adalah sikap paksa. Sikap kerja paksa dimulai dari penawuran jaring, dimana jaring ditebarkan mengelilingi sekelompok ikan sejenis pelagis, melingkari secara horisontal, memagari secara vertikal dari permukaan laut hingga suatu kedalaman, mengurung dengan menutup bagian bawah jaring sampai pada penarikan tali pukat cincin. Pada penarikan pukat cincin, muncul permasalahan dimana mereka menarik dengan kedua tangan dalam waktu lama dan panjang serta dialksanakan berulang-ulang, sikap kerja duduk di lantai papan perahu dan berdiri menarik pukar postur tubuh membungkuk dan tungkai terjulur, telapak kaki sebagai bantalan penahan tarikan dan sering memanfaatkan jangkauan tangan kedepan dan pada akhir penarikan muncul rasa lelah dan nelayan mengeluh rasa sakit.

51

2.9.1 Sikap Kerja Nelayan Menarik Pukat Cincin Duduk di Lantai Perahu Bekerja dengan sikap kerja duduk terlalu lama dan dilakukan dengan posisi yang tidak tepat maka akan menyebabkan beberapa masalah

pada

beberapa bagian tubuh terutama pada tulang belakang dan bagian posterior bawah tulang pinggul. Sikap duduk yang tegang akibat posisi yang tidak tepat akan memberi tekanan pada lekukan tulang belakang. Dinamika posisi duduk yang tidak alamiah atau dipaksakan sebaiknya diimbangi dengan perbaikan beberapa faktor (Bridger, 1995; Henning, 1997; Schlumberger, 1998) antara lain : 1) karakteristik pengguna (subject), umur, antropometri, berat badan, kesegaran jasmani, pergerakan sendi, masalah muskuloskeletal, penglihatan, kegemukan dan ketangkasan tangan, 2) tuntutan jenis tugas pekerjaan (task deman), posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode istirahat, urut-urutan pekerjaan, 3) rancangan luasan kerja (workspace), ukuran kursi, ukuran bahan yang dikerjakan, rancangan kursi, ukuran luasan kerja ruang pergerakan kepala, lengan, kaki (privacy), dan 4) faktor lingkungan kerja (environment), kualitas intensitas penerangan, suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kelicinan lantai, kebisingan, debu, vibrasi. Diusahakan suatu perbaikan kearah sikap kerja duduk yang sesuai dengan kenyamanan duduk saat bekerja sangat penting terhadap pergerakan tubuh (Helander dan Zhang, 1997). Kebutuhan pergerakan tubuh dalam sikap kerja duduk dipengaruhi oleh posisi pekerjaan (single position and group position) dalam mengerjakan bagian-bagian dari pekerjaan dan juga tipe kerja yang

52

dilakukan seperti : kerja statis, kerja dinamis, kerja repetitif, gaya dan kekerapan kerja. Dari hasil penelitian pendahuluan didapati bahwa sikap kerja duduk terlalu lama menarik pukat cincin adalah lebih banyak melibatkan aktivitas fisik yang berpotensi menimbulkan beban kerja berat, kelelahan dan gangguan muskuloskeletal pada saat gerakan lengan tangan menarik tali cincin sehingga mengakibatkan keluhan-keluhan rasa sakit pada tangan kiri dan kanan, bagian punggung, pinggang, sakit pada pantat, sakit pada betis kiri dan kanan, kaki kanan dan kiri sebab dijadikan sebagai bantalan penahan untuk menarik pukat cincin hal ini berarti nelayan berada dalam sikap kerja paksa. Sikap kerja duduk terlalu lama seperti tampak pada foto 2.4

Foto 2.4 Sikap kerja nelayan menarik pukat cincin Sikap tubuh manusia ketika melakukan pekerjaan diakibatkan oleh hubungan antara dimensi pekerja dengan dimensi variasi dari tempat kerjanya disebut sikap kerja (Phesant, 1991). Sikap kerja nelayan pada waktu melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan menarik tali pukat cincin dilakukan dengan

53

sikap kerja paksa. Sikap kerja paksa dapat menyebabkan timbulnya berbagai gangguan pada sistem otot skeletal (Manuaba, 1990; Adiputra, 1998). Kondisi tersebut tentunya akan dapat menyebabkan keluhan atau kenyerian pada bagian otot-otot skeletal, khususnya pinggang dan punggung serta otot-otot bagian bawah seperti : paha, lutut, betis, pantat dan kaki; dan bagian atas seperti : pergelangan tangan kanan dan kiri, bahu, leher dan sebagainya. Nala, (1990) mengemukakan bahwa dibandingkan dengan kontraksi otot yang dinamis, maka kerja statis mempunyai kekurangan, yaitu kerja otot statis menghasilkan energi yang lebih besar dan cepat melelahkan. Pada gambar di atas sikap kerja duduk menarik tali pukat cincin dapat dijelaskan sebagai berikut : 1)

Cara kerja pada posisi duduk dalam waktu yang lama dan berulang-ulang akan menimbulkan kejenuhan dan kelelahan karena

dipengaruhi oleh

gravitasi bekerja pada garis lurus vertikal melalui pusat tubuh yang ditahan oleh tulang belakang, akibatnya terjadi momen gaya yang menyebabkan tubuh cenderung jatuh ke depan, jika posisi duduk yang salah mengakibatkan masalah pada tulang belakang bagian bawah dan kaki. Pada saat duduk tekanan tulang belakang bagian bawah lebih besar dibandingkan pada saat berdiri, sehingga dibutuhkan suatu tempat duduk yang ergonomis. 2)

Gerak badan atau tangan, kaki dan menarik beban yaitu memerlukan energi yang optimal apabila arah tarikan tersebut adalah 60 derajat maka benda yang diangkat atau ditarik harus sedekat mungkin ke badan dan masih dalam wilayah antara sendi lutut dan paha. Posisi badan harus diupayakan tetap tegak dan otot perut dan pantat harus dalam keadaan berkonsentrasi

54

kuat. Tetapi yang terjadi pada nelayan saat menarik pukat tali cincin tidak ergonomis sehingga mereka selesai bekerja mengeluh rasa sakit. 2.9.2 Sikap Kerja Nelayan Menarik Pukat Cincin Berdiri Terlalu Lama Sikap kerja berdiri, membungkuk dan menjongkok terlalu lama dan dilakukan secara berulang-ulang tidak teratur dan tidak alamiah dapat dijumpai pada nelayan pada saat menarik pukat cincin. Seperti yang terlihat pada foto 2.5

Foto 2.5 Penarikan pukat dengan sikap kerja berdiri Phesant, (1991) menyatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh selama bekerja antara lain adalah sebagai berikut. 1)

Hindari inklinasi ke depan dari kepala dan leher.

2)

Hindari inklinasi ke depan dari tubuh.

3)

Hindari penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat.

4)

Hindari pemutaran badan atau sikap asimetris (terpilin/twisty).

5)

Sendi hendaknya dalam rentang 1/3 dari gerakan maksimal.

55

6)

Sediakan sandaran punggung dan pinggang pada semua tempat duduk.

7)

Sikap menggunakan otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan kekuatan maksimal. Dalam melaksanakan tugasnya nelayan/pekerja melakukan sikap kerja

sebagai berikut (Phesant, 1991). a)

Inklinasi ke depan pada leher dan kepala, karena medan kerja terlalu rendah atau obyek terlalu kecil.

b)

Sikap kerja posisi badan berdiri dan membungkuk kedepan, karena medan kerja terlalu rendah dan obyek di luar jangkauan.

c)

Sikap asimetris yang mengakibatkan terjadinya perbedaan beban pada kedua sisi tulang belakang.

d)

Sikap kerja yang salah dapat menyebabkan postural deformitas pada tubuh antara lain : lordosis, khiposis, dan skoliosis. Prinsip kerja secara ergonomis, agar terhindar dari resiko cidera antara lain

adalah sbb. (Manuaba, (1990) ; Adiputra, (1998) ; Sutjana, (2000)). 1)

Gunakan tenaga seefisien mungkin, beban yang tidak perlu harus dikurangi atu dihilangkan, perhitungan gaya berat yang mengacu pada berat badan dan bila perlu gunakan pengungkit sebagai alat bantu.

2)

Sikap kerja duduk, berdiri dan jongkok hendaknya disesuaikan dengan prinsip-prinsip ergonomi.

3)

Panca indra dapat digunakan sebagai kontrol, bila payah harus istirahat (jangan dipaksa) dan bila lapar atau haus harus makan dan minum (jagan ditahan).

56

4)

Jantung digunakan sebagaai parameter yang diukur melalui denyut nadi permenit yaitu jangan lebih dari jumlah maksimum yang diperbolehkan. Dengan mengetahui kriteria sikap kerja yang ideal, maka prinsip dasar

untuk mengatasi sikap tubuh yang salah selama bekerja dapat diatasi. Kasus penangkapan ikan yang sering

terjadi pada nelayan pukat cincin berkaitan

dengan sikap kerja yang tidak ergonomis, dapat dijadikan bahan evaluasi untuk diambil langkah-langkah pencegahan yang lebih spesifik di dalam melakukan perbaikan. Dalam melakukan perbaikan dari hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, maka setiap karakteristik data diindentifikasi dengan menggunakan pendekatan ergonomi total.

2.10 Intervensi Ergonomi Intervensi ergonomi yang dilakukan dimulai dari indentifikasi setiap masalah yang berhubungan dengan proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dengan harapan dapat memberikan manfaat dalam upaya-upaya membangun budaya kerja yang sehat, aman, nyaman, efektif dan efisien sehingga terjadi peningkatan kinerja dan kesejahteraan nelayan seperti pada : 1) pemanfaatan tenaga otot, 2) sikap kerja, 3) kondisi kondisi waktu, 4) kondisi sosial budaya, 5) kondisi informasi dan komunikasi. Dari kelima permasalahan yang diindentifikasi, maka semua masalah yang ada pada nelayan pada waktu proses penangkapan ikan harus dipecahkan melalui pendekatan sistem, dikaji secara holistik dan melalui lintas disiplin ilmu dapat digunakan pendekatan partisipatori, dengan maksud agar semua

57

komponen dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dapat dipecahkan secara bersama-sama (Manuaba, 2005b). Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin mutlak diperlukan terutama pada saat melakukan penawuran jaring sampai pada penarikan tali pukat cincin sehingga akan dapat menurunkan kelelahan, beban kerja dan gangguan muskuloskeletal nelayan, sebab melalui intervensi ergonomi dapat memperbaiki kinerja nelayan dalam pencapaian hasil penangkapan ikan yang optimal dengan demikian kesejahteraan hidup keluarga nelayan dapat meningkat. Melalui intervensi ergonomi yang dilakukan terhadap kinerja nelayan pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin

diharapkan dapat

menurunkan beban kerja fisik terutama frekuensi denyut nadi kerja (Adiputra, 2002). Kelelahan sebagai suatu keadaan yang tercermin dari gejala perubahan psikologis berupa aktivitas motoris adanya perasaan rasa sakit dan pelemahan motivasi dapat dihindari (Grandjean, 1993) dan keluhan muskuloskeletal yang bersifat sementara maupun menetap dapat diminimalisasikan bahkan dihindari agar supaya pekerjaan bisa lebih cepat selesai dan risiko kecelakaan lebih kecil (Manuaba, 2003a). Model intervensi ergonomi melalui pendekatan ergonomi total pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin menurunkan beban kerja, kelelahan, dan gangguan muskuloskeletal serta meningkatkan kinerja dan kesejahteraan nelayan penangkap ikan, dapat dilihat pada Gambar 2.11

58

SHIP 1. Gizi atau nutrisi 2. Sikap kerja, 3. Penggunaan otot, 4. Kondisi lingkungan, 5. Kondisi waktu, 6. Kondisi TTG

Indikator

Indikator 5

masalah

ergonomi total

Kinerja dapat menurunkan

Intervensi Ergonomi

1. Gizi atau nutrisi 2. Sikap kerja, 3. Penggunaan

1.Teknis 2. Ekonomi 3. Ergonomi 4. Sosial Budya 5. Hemat Energi Tidak

1. Beban kerja 2. Kelelahan 3. Gangguan muskuloskel etal Meningkatka n kesejahteraan

Gambar 2.11 Model Intervensi dan Penerapan Ergonomi Total Pada Aktivitas Penangkapan ikan dengan Pukat Cincin

2.11 Pertimbangan Antropometri dalam Desain Alat Kerja Antropometri adalah cabang dari ilmu ergonomi yang berkaitan dengan pengukuran dan karakteristik dari tubuh manusia. Pengukuran tubuh manusia dilakukan baik dalam keadaan diam statis dan bergerak dinamis untuk menerima beban dari luar termasuk disini ukuran linier, berat volume, ruang gerak dan lainlain (Sanders dan McCormick, 1992., Bridger, 1995). Data antropometri sangat bermanfaat di dalam perencanaan dan perancangan peralatan kerja atau fasilitas-fasilitas kerja.. Persyaratan ergonomi menyarankan agar supaya peralatan kerja dan fasilitas kerja sesuai dengan orang

59

yang menggunakan khususnya menyangkut dimensi ukuran tubuh. Dalam menentukan ukuran maksimum dan minimum biasanya digunakan data antropometri antara persentil 5 dan 95 dari populasi, dan rancangan untuk ukuran rerata dengan menggunakan persentil –50 (Phullat, 1992; Phesant, 1998). Pedoman pengukuran antropometri telah dikeluarkan oleh IAIFI Komisariat Denpasar (Sutjana IDP dkk, 2000) mengemukakan bahwa beberapa tahun terakhir ini banyak peralatan kerja maupun mesin yang ukurannya belum sesuai dengan ukuran tubuh orang (tenaga kerja) Indonesia sehingga menyebabkan cepat lelah, kurang efisien, produktivitas kerja rendah bahkan sering menimbulkan kecelakaan kerja kondisi demikian disebabkan kurangnya data antropometri orang Indonesia yang dipakai sebagai acuan pedoman untuk keperluan perancangan peralatan kerja. Cara perhitungan antropometri dalam distribusi normal adalah seperti pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Macam persentil dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9

th

1 2.5 th 5 th 10 th 50 th 90 th 95 th 97.5th 99 th

Persentil

Perhitungan Rata-rata – 2.325 α Rata-rata – 1.96 α Rata-rata – 1.645 α Rata-rata – 1.28 α Rata-rata – X Rata-rata + 1.28 α Rata-rata + 1.645 α Rata-rata + 1.96 α Rata-rata + 2.325 α

Keterangan : α = Standar deviasi (Wignyosoebroto, 1995)

60

Penerapan antropometri dalam perancangan alat kerja yang berkaitan dengan penelitian ini khususnya pembuatan alat kerja katrol pada nelayan pukat cincin dalam proses penangkapan ikan yang penting dan harus diperhatikan dalam memperbaiki sikap kerja duduk menurut (Grandjean, 1993., Phesant, 1988., Sanders, and McCormick, 1987) adalah penerapan ukuran antropometri tubuh pemakai alat tersebut dan yang dibutuhkan sebagai berikut : 1)

Tinggi tubuh yaitu tinggi dari lantai sampai ke vertex. Sikap tubuh : berdiri tegak dengan sikap bersiap, pandangan lurus ke depan dengan tumit, pantat, punggung dan belakang kepala menyentuh tembok tanpa alas kaki;

2)

Jarak dari pantat ke popliteal adalah ukuran horisontal dari belakang pantat ke sudut popliteal dibelakang lutut yaitu pertemuan antara betis dengan sisi bawah paha diukur dalam posisi duduk;

3)

Jarak dari pantat ke lutut adalah ukuran horisontal dari belakang pantat ke puncak lutut diukur dalam posisi duduk;

4)

Tinggi popliteal adalah ukuran vertikal dari lantai ke sudut popliteal disisi bawah lutut, terletak pada betis femoris otot tendon di ujung dalam betis;

5)

Tinggi lutut adalah ukuran vertikal dari lantai ke atas luasan daerah lutut;

6)

Lebar pinggul adalah ukuran maksimum pinggul yang melintang horisontal dalam posisi duduk;

7)

Panjang jangkauan tangan lurus ke depan adalah ukuran dari akromion ke tengah objek sambil menggenggam alat, dalam posisi duduk dan lengan siku tangan lurus ke depan;

61

8)

Panjang jangkauan ke samping adalah ukuran dari akromion ke tengah objek tangan menggenggam alat dalam posisi duduk dan lengan siku tangan lurus ke samping;

9)

Antropometri tangan; bagian-bagian yang di ukur yaitu : a) 1, panjang tangan, b) 2, panjang telapak tangan, c) 3, lebar tangan sampai ibu jari, d) 4, lebar tangan sampai metakarpal, e) 5, ketebalan tangan pada metakarpal, f) 6, lingkar tangan sampai telunjuk, g) 7, lingkar tangan sampai ibu jari, h) 8, jarak pergelangan sampai ke ujung ibu jari.

10)

Antropometri kaki; bagian-bagian yang diukur : a) 9, panjang kaki, b) 10, lebar kaki, c) 11, jarak antara tumit dengan bagian telapak kaki, d) 12, lebar tumit, e) 13, lingkar telapak kaki (ukur yang paling lebar), f) 14, lingkar kaki membujur,g) 15, tinggi mata kaki bagian luar, h) 16, tinggi mata kaki bagian dalam, i) 17, lingkaran pergelangan kaki. Ukuran beberapa segmen dan dimensi tubuh yang diperlukan sebagai data

dasar untukl desain alat katrol diukur dengan alat antropometer. Dapat dilihat pada Gambar 2.12

62

Gambar 2.12 Pengukuran Antropometri

63

3 4

6

1

2

8

7

5

13 17

9 11 14

15

16

12 10

Gambar 2.13 Antropometri tangan dan kaki 2.12

Prinsip ergonomi dalam perancangan alat kerja Aspek ergonomi yang perlu mendapat perhatian dalam perancangan alat

kerja pada penelitian ini yaitu melakukan intervensi ergonomi dan penerapan ergonomi total.

Penerapan ergonomi total merupakan salah satu bentuk

intervensi ergonomi yang bertujuan untuk mendapatkan sistem kerja yang manusiawi, kompetitif dan lestari (Manuaba, 2004a). Dalam merancang alat kerja yang akan digunakan oleh manusia selalu berusaha menserasikan alat kerja/mesin, cara kerja dan lingkungan terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia dengan sasaran tercapainya kondisi

64

kerja dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien demi tercapainya produktivitas yang tinggih. Peningkatan produktivitas yang tinggih dapat tercapai, jika semua komponen dalam sistem kerja yaitu manusia, peralatan, material dan lingkungan kerja dirancang secara ergonomi (Manuaba, 1992). Desain merupakan suatu kegiatan daya inovatif atau rekayasa rancang bangun yang dimulai dari ide-ide inovasi, atau kemampuan untuk menghasilkan karya dan cipta yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan permintaan manusia karena adanya penelitian dan pengembangan teknologi secara terus menerus dengan tujuan sebagai berikut : 1)

Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, hal tersebut mencegah munculnya cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban fisik dan mental serta mempromosikan kepuasan kerja.

2)

Meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memperbaiki kualitas hidup dan kinerja serta mengorganisasikan sistem kerja sebaik-baiknya.

3)

Meningkatkan interaksi manusia/mesin antara aspek teknis, ekonomi, antropologi dan budaya dari suatu sistem kerja. Untuk mencapai tujuan yang ergonomis dari suatu desain, maka perlu

dijadikan suatu bahan pertimbangan dari beberapa problem ergonomi antara lain sebagai berikut : 1)

Aplikasi dari tenaga otot secara optimal dan efisien untuk menekan stres pekerjaan sampai batas minimum.

2)

Sikap tubuh yang diterapkan pada sikap kerja dengan memperhatikan situasi

65

pembebanan terhadap tubuh dan kesehatan dan jenis lingkup pekerjaan. 3)

Kondisi lingkungan kerja untuk mencegah beban kerja yang berlebihan terhadap fisik dan mental.

4)

Kondisi yang terkait dengan pola kerja, waktu kerja. Waktu istirahat dan hari-hari libur.

5)

Kondisi sosial untuk meningkatkan interaksi antara manusia, lingkungan kerja, teknologi dan seni dapat memeberikan penghargaan reward terhadap harga diri dan kepuasan kerja. Desain juga dapat diartikan sebagai salah satu aktifitas luas dari inovasi

yang berhubungan dengan pegembangan bentuk, pengembangan teknik, proses produksi dan peningkatan pasar. Ruang lingkup kegiatannya menyangkut masalah yang berhubungan dengan sarana kebutuhan manusia melalui proses industri. Untuk menilai suatu hasil akhir sebagai kategori nilai desain yang baik biasanya ada tiga unsur yang mendasarinya yaitu: fungsional, estetika, dan ekonomi yang disebut sebagai (fit-form-function). Salah satu unsur penilaian yang efektif dari sebuah desain adalah untuk meningkatkan daya cipta, karsa dan rasa dari hasil produk yang bernilai positif sesuai tujuannya yaitu dapat dipergunakan dengan tingkat kenyamanan yang tinggi, mempunyai nilai tambah dan dengan mudah pengoperasian dan pemeliharaan secara fleksibel sehingga mempunyai masa pakai yang cukup panjang (Prasetyowibowo, 2000). Kesesuaian, keselamatan, keamanan, dan kenyamanan manusia adalah merupakan prasyarat untuk menggunakan suatu hasil desain alat tersebut. Aktifitas atau kegiatan manusia berupa sikap dan

66

gerakan tubuh yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan suatu desain alat akan berakibat pada ketidaknyamanan, dan bahkan menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Disisi lain desain alat merupakan suatu langkah strategis untuk bisa menghasilkan produk-produk yang secara komersial harus mampu dicapai guna menghasilkan laju pengembalian modal (rate of return investment). Disini diperlukan penyusunan konsep desain baru maupun desain lama yang sudah dimodifikasi menjadi sebuah produk baru dalam bentuk rancangan teknik (engeenering design) dan juga rancangan industri (industrial design) untuk memenuhi kebutuhan pasar (demand pull), atau dilatar belakangi oleh adanya dorongan memanfaatkan inovasi teknologi. Desain dari sebuah alat akan terkait dengan semua analisis perhitungnan yang menyangkut pemilihan dan perhitungan kekuatan material, dimensi geometris, toleransi dan standar kualitas yang hendak dicapai yang kesemuanya akan sangat menentukan derajat kualitas dan reliabilitas untuk memenuhi tuntutan fungsi serta spesifikasi teknis yang diharapkan (Prihartono, 2000). Rancangan alat sangat berpengaruh signifikan terutama didalam memberikan estetika keindahan dan sentuhan kenyamanan sebagai kelayakan operasional yang dalam hal ini diperlukan berbagai macam evaluasi dan pengujian dengan menggunakan tolok ukur ergonomi sebagai salah satu langkah pengujian agar supaya pengujian alat pada saat dioperasikan tidak hanya memberikan fungsi yang direncanakan, tetapi juga mampu memberikan suatu keselamatan, kesehatan, kenyamanan pada saat dioperasikan (Wignjosoebroto, 2000).

67

Proses sebuah desain alat yang baik terutama bertujuan menganalisa, menilai dan menyusun

suatu sistem fisik/non fisik yang optimum diwaktu

mendatang dengan memanfaatkan informasi (Adiputra, 2003). Pertama-tama desainer menentukan produk yang akan dirancang need, yang dilanjutkan dengan pengembangan ide-ide untuk memenuhi kebutuhan tersebut idea, setelah diperoleh ide-ide, dilakukan penilaian dan pemilihan alternatif sehingga didapatkan suatu keputusan yang menghasilkan rencana desain yang optimal decision. Langkah terakhir adalah penanganan action yang dapat diklasifikasikan

menjadi dua kategori yaitu: 1) produk yang sama sekali baru, dan 2) produk yang dikembangkan dari produk lama yang sudah ada tetapi memiliki fungsi, penampilan dan karakteristik lain yang diharapkan dapat lebih menguntungkan konsumen. Proses pengembangan desain sebuah alat mempunyai urutan langkahlangkah atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan sebuah konsep desain suatu produk adalah sebagai berikut : 1)

Pengembangan konsep Mengindentifikasi kebutuhan target konsumen, mengevaluasi alternatif konsep dan menentukan konsep tunggal untuk pengembangan lebih lanjut.

2)

Desain tahapan sistem Membuat rancangan produk, geometri produk, pembagian produk menjadi subsistem dan komponen beserta spesifikasinya dan diagram alir proses perakitan produk.

68

3)

Desain detail Dokumentasi kontrol untuk produk file yang berisi ukuran setiap komponen, spesifikasi komponen-komponen yang dibeli, peralatan produksi, dan perencanaan untuk pabrikasi dan perakitan produk.

4)

Pengujian dan perbaikan Pembuatan prototype misalnya A yang merupakan prototype yang dibuat dengan menggunakan komponen-komponen dengan bentuk dan jenis material pada produksi sesungguhnya, namun tidak membutuhkan proses pabrikasi dengan proses yang sama dengan yang dilakukan pada produksi yang sesungguhnya; dan (prototype) misalnya B yang dibuat dengan komponen-komponen yang dibutuhkan pada produksi namun dirakit dengan menggunakan proses perakitan akhir seperti pada proses perakitan sesungguhnya. Kedua (prototype) tersebut diuji dengan ketat baik secara internal maupun diuji oleh konsumen dalam lingkungan pengguna.

5)

Produksi Ramp up Dalam tahap ini produk dibuat dengan sistem produksi yang sebenarnya, dengan tujuan untuk melatih tenaga kerja dan untuk menyelesaikan permasalahan yang masih terdapat dalam proses produksi. Dalam fase ini terdapat launch produc (Ulrich, Karl and Steven, 2001). Lebih jelas tahaptahap pengembangan desain alat kerja dapat ditunjukkan pada Gambar 2.14

69

Mission Statement

Identifikasi Kebutuhan Pemakai

Spesifikasi Target

Menurunkan Beberapa Konsep Produk

Memilih Konsep

Memperbaiki Spesifikasi

Analisa Produk Pesaing Analisa Ekonomi

PENGEMBANGAN KONSEP

Gambar 2.14 Tahap-tahap Pengembangan Desain (Sumber : Ulrich; Karl and Steven, 2001).

Merencanakan Kegiatan dan Pengembangan

Rencana Pengembangan

70

2.12.1 Prinsip ergonomi dalam perancangan alat kerja katrol Dalam melakukan perancangan alat kerja katrol pada penelitian ini maka sangatlah penting untuk memperhatikan faktor manusia sebagai faktor utama didalam perancangan kerja (Wignjosoebroto, 1989) menyatakan bahwa suatu sistem kerja dimana komponen kerja seperti manusia (operator), mesin dan atau fasilitas kerja lainnya, material serta lingkungan kerjafisik akan berinteraksi bersama-sama dalam memberikan hasil kerja. Komponen tersebut dianalisis guna memperoleh kerja yang sebaikbaiknya dengan mekanisme sebagai berikut : a)

Komponen manusia yang dianalisis adalah posisi orang pada saat melaksanakan kerja berlangsung agar mampu memberikan gerakan kerja yang efektif dan efisien (baik posisi duduk, berdiri, jongkok, membungkuk dan sebagainya).

b)

Komponen material yang dianalisis adalah cara penempatan material, tata letak dan pemilihan jenis material yang mudah diproses.

c)

Komponen mesin yang dianalisis adalah rancangan mesin dan atau peralatan kerja lainnya, apakah sudah sesuai dengan prinsip ergonomi.

d)

Komponen lingkungan kerja yang dianalaisis adalah kondisi kenyamanan dan keamanan lingkungan kerja fisik tempat operasi kerja tersebut dilaksanakan.

e)

Sosial-budaya yang dianalisis ialah sikap dan interaksi pekerja dalam menerima perubahan sistem kerja terutama dalam penggunaan teknologi baru (Purnomo, 2007). Dalam perancangan alat katrol peran ergonomi sangat penting untuk

mendapatkan sistem kerja yang ergonomis. Perancangan disebut ergonomis,

71

apabila alat tersebut secara antropometri, faal, biomekanika dan psikologi berkompatibel dengan manusia sebagai pemakainya. Untuk itu pengetahuan tentang anatomi manusia, fisiologi dan psikologi sangat dibutuhlan (Bridger, 1995). Selain itu perancangan harus berorientasi pada produksi, distribusi, instalasioperasi dan pemeliharaan yang mudah dan murah. Pukat cincin merupakan alat penangkapan ikan dengan sistem kerja yang sangat mengandalkan keberadaan dan kekuatan fisik manusia sebab pada saat menarik, cincin dan jaring bertumpuh pada tali sehingga beban tarikan menjadi semakin berat, cepat lelah dan adanya keluhan muskuloskeletal. Hal ini kalau dibiarkan maka akan menimbulkan kecelakaan dan cidera akibat kerja. Upaya pencegahan kecelakaan dan cidera pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin, maka perlu merancang alat bantu kerja yang ergonomis dengan tujuan terciptanya keadaan fisik dan psikis nelayan yang sehat dengan mengupayakan rancangan peralatan, fasilitas dan kondisi kerja yang dapat menjamin para nelayan terbebas dari kecelakaan yang mengakibatkan cidera dan penyakit akibat kerja. Perancangan alat yang ergonomis akan memberikan manfaat (Manuaba, 2000b; 2003a) antara lain : a) pemakaian otot dan energi lebih efisien, b) pemakaian waktu lebih efisien, c) kelelahan berkurang, d) kecelakaan kerja berkurang, e) penyakit akibat kerja berkurang, f) kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, g) efisiensi kerja meningkat, h) mutu produk dan produktivitas kerja meningkat,

i)

kesalahan

kerja

berkurang

dan

kerusakan

kerja

dapat

diminimalisasikan, dan j) pengeluaran biaya pengobatan untuk mengatasi kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi dan konsekwensi biaya operasional dapat ditekan.

72

Dalam penerapan ergonomi beberapa prinsip yang perlu diingat untuk merancang suatu alat kerja (Adiputra, 2000) mengemukakan sebagai berikut : a) memaksimalkan teknologi tepat guna, b) menerapkan asaz manajemen partisipasi; (c) bertahap namun tetap holistik, d) selalu berorientasi pada masalah, e) biaya murah dan mudah didapat, dan f) tetap menggunakan pendekatan ergonomi total. Dari kajian ilmiah ini diharapkan semaksimal mungkin sistem kerja yang dihasilkan akan mampu menjamin kesehatan, kenyamanan dan keselamatan kerja. (Adiputra, 2003). Menyatakan pertama-tama desainer menentukan produk alat yang akan dirancang (need), dilanjutkan dengan pengembangan ide (idea), setelah diperoleh ide dilakukan penilaian dan pemilihan alternatif, sehingga didapatkan keputusan yang menghasilkan rencana desain yang optimal (decision), langkah terakhir adalah penanganan (action). Tahapan pembuatan desain alat kerja katrol sebagai berikut : 1)

Pembuatan desain, termasuk juga komponen-komponen pendukungnya terdiri dari tahapan berikut. a)

Desain bentuk keseluruhan alat yang ergonomi

b)

Spesifikasi fungsionalnya dari alat katrol ini memiliki 3 bagian penting yaitu : penahan atau pengalas kaki, penggulungan penarikan, setting bagian rangka. Seperti tampak pada Gambar 2.15., 2.16., dan 2.17.

Gambar 2.15 Tampak samping kanan alat katrol pukat cincin

73

2)

Pengujian prototype, dilakukan untuk mengetahui apakah alat yang dirancang sesuai dengan antropometri nelayan pukat cincin yang akan menggunakan alat tersebut. Data pengukuran antropometri tubuh (cm) yang akan diukur dalam penelitian ini adalah tinggi badan, tinggi siku, jangkauan tangan, keliling lingkaran genggam tangan, tinggi bahu, lebar bahu dan jarak genggam tangan kedepan dalam posisi duduk. Data antropometri tersebut dihitung berdasarkan persentil 5, 50 dan 95. Sedangkan data pengukuran bentuk dan ukura alat katrol adalah sebagai berikut. a) Bentuk dan ukuran alat, apakah telah sesuai b) Pengujian alat ini, apakah dapat berfungsi seperti keinginan nelayan pemakai c) Pengukuran kecepatan waktu yang dibutuhkan pada saat penggunaan alat tersebut.

Gambar 2.16 Tampak belakang alat katrol pukat cincin

74

Gambar 2.17 Tampak depan alat katrol pukat cincin 3)

Kebutuhan bahan dan estimasi biaya Kebutuhan dan jenis bahan kayu dan perhitungan biaya yang diperlukan untuk pembuatan alat kerja katrol ini sebagai berikut :

Tabel 2.3 Kebutuhan Bahan dan Estimasi Biaya No. Jenis Bahan 01 Besi bulat berdiameter 80 02 Besi bulat berukuran 5,8 cm - Tinggi 48 cm - Lebar 45 cm - Tebal 50 cm - Panjang 60 cm 03 Mur (disesuaikan dengan ukuran baut) 04 Gigi engsel 05 Paku 10 cm, 5 cm, 3 cm 06 Cat besi berwarna 07 Tenaga kerja dll

Kuantitas 2 unit 8 saf/ujung

16 buah 50 buah 5 kg 5 kg 3 orang

Total

Harga Rp. 500.000,Rp. 400.000,-

Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.

120.000,100.000,80.000,100.000,500.000,-

Rp.1.800.000,-

2.12.2 Prinsip ergonomi dalam perancangan tempat duduk Posisi duduk membutuhkan energi yang lebih kecil bila dibandingkan dengan posisi berdiri, tetapi posisi duduk tidak fisiologis menyebabkan gangguan

75

pada (diskus intervertebralis). Pada posisi duduk tekanan pada (diskus intervertebralis) lebih besar dibandingkan dengan posisi berdiri. Posisi duduk

yang benar mempunyai keuntungan antara lain : mengurangi pengeluaran energi, melancarkan aliran darah, dan mengurangi tekanan antara ruas tulang punggung. Sikap duduk tang salah dapat menyebabkan keluhan pada kepala, leher, bahu, pinggang, panatat, lengan atas, paha, lutut dan kaki (Grandjean, 2000) Pada posisi duduk otot mengalami pembebanan secara statis. Beban otot statis terjadi ketika otot dalam keadaan tegang (tension) tanpa menghasilkan gerakan tangan atau kaki sekalipun. Tegangnya otot sebenarnya terjadi pada kondisi menahan beban tubuh. Pada sikap duduk yang tidak fisiologis otot-otot tertentu akan terus bekerja dalam upaya memberi reaksi pada gaya-gaya gravitasi. Jadi terdapat hubungan antara tingkat usaha (level effort) yang diberikan dengan lamanya usaha (effort duration) (Pulat, 1992). Sebuah konsep ergonomi adalah duduk yang lebih baik akan memberikan manfaat antara lain : sikap duduk tegak dengan sandaran belakang dan lengan bawah, sudut yang dibentuk oleh abdomen dan paha diperbesar sehingga tulang belakang menjadi tegak. Perancangan tempat duduk memerlukan beberapa data antropometri untuk menentukan dimensi bagian-bagian tempat duduk. Beberapa dimensi tempat duduk yang harus diperhatikan dalam proses perancangan yang ergonomis yaitu : (a) tinggi tempat duduk; (b) kedalaman/panjang tempat duduk; (c) lebar tempat duduk; (d) sudut alas duduk. Bila tempat duduk tidak dirancang secara ergonomis, maka akan menyebabkan pekerja membungkukkan badan sehingga tulang belakang akan menekuk ke depan yang akan berakibat terjadinya sakit pada otot, leher dan bahui serta pinggang atau punggung (Sanders & McCormic, 1987).

76

2.12.3 Prinsip ergonomi dalam kondisi sosial budaya Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir pantai dalam banyak hal, mereka telah membentuk sebuah lingkungan permukiman sendiri dan memeliki sosio-budaya yang khas yaitu berburu dan menangkap ikan (hunting and fisihing) sebagai proses adaptasi terhadap habitat dekat pantai dan sekaligus menyatu dengan laut dan dalam kehidupannya mereka membentuk tradisi yang diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Dari hasil pengamatan didapati bahwa kehidupan nelayan pukat cincin dalam sistem pembagian hasil tangkapan sering terjadi hubungan tidak harmonis oleh karena masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan menggunakan hukum adat tidak tertulis (konvensi) yaitu: (a) isteri dan anak tidak dilibatkan dalam proses penangkapan ikan; (b) hubungan antar keluarga sering terjadi mis komunikasi; (c) secara individu tidak dapat mempengaruhi harga ikan di pasar. Prinsip ergonomi dalam kehidupan sosial budaya di tempat kerja menambahkan terciptanya suasana damai, senang, tenang, rasa aman dan nyaman dalam bekerja. Rasa nyaman di lingkungan kerja, dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pekerja akan merasa nyaman bila lingkungan kerja, hubungan antar keluarga (suami, istri dan anak), hubungan antar pekerja, hubungan antar atasan dan bawahan berlangsung harmonis.

Harmonisasi

lingkungan

dapat

menyebabkan

pekerja

lebih

berkonsentrasi pada tugasnya masing-masing sehingga efisiensi tercapai dan akhirnya pencapaian produktivitas bisa optimal (Manuaba, 2006; Manuaba, 2003).

77

2.12.4 Prinsip ergonomi dalam manusia-mesin Keserasian antar manusia dan mesin sangat dibutuhkan untuk menjamin bahwa proses kerja dapat mencapai hasil yang optimal. Penerapan ergonomi dalam hal perancangan alat kerja yang merupakan aktivitas rancang bangun (desain) dan atau rancang ulang (redesain) yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi dengan tanpa melupakan unsur anatomi, psikologi, lingkungan dan kesehatan kerja (Adiputra, 2003). Untuk memudahkan proses perancangan atau perbaikan suatu produk atau alat bantu kerja, maka diperlukan pemahaman tentang antropometri, yaitu : Ilmu yang mempelajari proporsi ukuran dari setiap bagian tubuh manusia (Pulat, 1992). Data ukuran tubuh ini digunakan untuk menentukan dimensi atau ukuran alat dan perlengkapan kerja sehingga tercipta keserasian antar alat dengan pemakainya (Manuaba, 2003; Sutjana, 2005; Grandjean, 2003). Menurut Phesant (1988), ada 3 informasi penting yang diperlukan untuk dapat memilih ukuran terbaik yang menciptakan keserasian antara pekerja dengan mesin yaitu : 1) karakteristik ukuran tubuh dari populasi pengguna/pekerja, 2) bagaimana karakteristik ukuran tubuh tersebut memberikan rasa nyaman dalam bekerja, 3) kriteria tentang keserasian yang efektif antara hasil rancangan dengan pengguna.

Atas

dasar

teori

tersebut,

maka

interaksi

manusia

mesin

memperhatikan kesesuaian alat ataufasilitas kerja dengan pekerja, interaksi antar pekerja dengan fasilitas kerja yang digunakan untuk bekerja, agar pekerja lebih mudah dan aman untuk mengoperasikan alat-alat yang digunakan.

78

2.13 Tujuan dan Manfaat Kinerja Performance sering diartikan sebagai suatu kinerja, hasil kerja atau

prestasi kerja seseorang yang mempunyai hubungan dengan pencapaian tujuan organisasi dan kepuasan konsumen yang memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kerja. Kinerja berhubungan pula dengan apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Amstrong and Baron, 1998). Faktor yang berpengaruh terhadap kinerja adalah kualitas sumber daya manusia sebagai tuntutan yang digunakan

untuk mengukur dan menilai keberhasilan dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaan, prilaku pekerja dan hasil capaian kerja (Rivai, 2005). Pandangan ergonomi terhadap kinerja sumber daya manausia adalah tuntutan tugas, motivasi kerja dan kemampuan menghadapi (complexity, competition and chage – 3C) (Manuaba, 2004a) menyatakan bahwa hal yang

sangat mendasar yang harus dihadapi manusia adalah kopleksitas tugas pekerjaan, memenangkan kompetisi dan sikap manusia menerima perubahan, hasil dari perubahan dapat terjadi secara outomatisasi, informasi, transformasi dan substitusi sebagai salah satu jawaban keinginan untuk memperbaiki diri. Tujuan dan manfaat dari kinerja yaitu untuk melakukan penilaian terhadap capaian hasil kerja berdasarkan tuntutan tugas yang dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan task, lingkungan, (environment), dan organisasi (organization) dimana pekerjaan itu dilakukan sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman, efisien, efektif dan produktif yang pada akhirnya

79

bermuara pada peningkatan kualitas penampilan kinerja dan keuntungkan perusahaan (Manuaba, 2000., Grandjean 1993). 2.14 Indikator Penilaian Kinerja Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah diterapkan sebelumnya (Mulyadi, 2001) lebih lanjut pengukuran penilaian kinerja merupakan proses dan mengukur pencapaian dan pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapian misi (mission accoplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses. Pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara : 1) memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi, 2)

mengusahakan

standar

kinerja

untuk

menciptakan

perbandingan,

3) mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja, 4) menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang perlu prioritas perhatian, 5) menghindari konsekuensi dan rendahnya kualitas, 6) mempertimbangkan penggunaan sumber daya; dan (7) mengusahakan umpan balik untuk mendorong perbaikan. Indikator pengukuran kinerja adalah merupakan penilaian secara kualitatif maupun secara kuantitatif yang dapat memberikan gambaran-gambaran baikburuk apakah segala komponen organisasi telah berjalan sesuai dengan yang digariskan dan penilaian kinerja adalah untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga karyawan termotivasi dalam mematuhi standar prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya (berupa kebijakan manajemen/rencana formal yang

80

dituangkan dalam anggaran) agar membutuhkan tindakan dan hasil yang diinginkan (Setyawan, 2001). Ukuran kinerja merupakan alat ukur yang harus bersifat obyektif sehingga diperlukan adanya kriteria yang sama. Dengan kriteria yang sama diharapkan memberikan hasil yang dapat diperbandingkan secara obyektif dan adil. Kriteria suatu ukuran kinerja menurut (Amstrong dan Baron, 1998) seharusnya yaitu : a) dikaitkan dengan tujuan strategis dan mengukur apa yang secara organisasional penting dan mendorong kinerja bisnis, b) relevan dengan sasaran dan akuntabilitas tim dan individu yang berkepentingan,

c) memfokuskan pada

output yang terukur dan penyelesaian tugas dan bagaimana orang bertindak dan bagaimana tingkalaku mereka, d) mengindikasi data yang akurat dan terukur sebagai dasar pengukuran, e) dapat didiverifikasi, dengan mengusahakan informasi yang akan mengonfirmasi tingkat seberapa jauh harapan yangdapat dipenuhi. Indikator penilaian kinerja yaitu : 1) beban kerja, 2) kelelahan, dan 3) keluhan muskuloskeletal yang dapat diuraikan sebagai berikut.

2.15

Beban Kerja (Workload) Beban kerja pada operasi penangkapan ikan sangatlah berat oleh karena

aktivitas tubuh pada saat menarik pukat cincin semakin tinggi menyebabkan metabolisame tubuh semakin meningkat sehingga kebutuhan oksigen semakin besar dan frekuensi denyut nadi semakin besar pula (Adiputra, 2002). Dari pendekatan ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban kerja tersebut. Oleh karena

81

setiap orang kemampuan dan kebolehan kerja berbeda-beda satu dengan yang lain. Menurut (Suma’mur, 1982) kemampuan tenaga kerja seseorang berbeda dan sangat tergantung pada tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran postur tubuh dari pekerja yang bersangkutan. (Rodahl, 1989) mengemukakan bahwa hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik eksternal maupun internal. 1)

Beban kerja eksternal (external load) mencakup : a) tugas task, yang dilakukan baik yang bersifat fisik seperti : sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja maupun yang bersifat mental yaitu kopleksitas pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi kerja. b) organisasi sistem kerja meliputi : jam kerja, waktu istirahat, upah, kerja tim, jadwal kerja. c) lingkungan kerja meliputi: suhu, kebisingan, getaran, kelembaban, kecepatan udara, intensitas cahaya dan polusi.

2)

Beban kerja internal (Internal load) mencakup: a) faktor somatis meliputi: jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan, status gizi; serta b) faktor psikis motivasi, persepi, kepercayaan, keinginan, harapan, norma adat dan budaya, tabu, ketegangan akibat manajemen.

2.15.1 Penilaian Beban Kerja Rodahl,

(1989) mengemukakan penilaian beban kerja fisik dapat

dilakukan dengan dua metode yang secara obyektif yaitu metode penilaian langsung maupun metode penilaian tidak langsung. Metode penilaian langsung yaitu dengan mengukur energi ying dikeluarkan (energy expenditure) melalui

82

asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energy yang dikonsumsi. Meskipun metode dengan menggunakan asupan oksigen lebih akurat, namun hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan metode penilaian tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja. (Christensen, 1991 and Grandjean, 1993) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan suhu mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme, respirasi, temperatur dan denyut jantung

(Christensen, 1991).

Seperti pada

Tabel 2.4 Tabel 2.4 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Temperatur dan Denyut Jantung. Kategori beban kerja

Konsumsi Oksigen 1/min

Ventilasi paru 1/min

Suhu Rektal (°C)

Denyut jantung (Denyut/Min)

Sangat ringan

0,25 – 0,3

06 – 07

37,5

60 - 70

Ringan

0,50 – 1,0

11 – 20

37,5

75 - 100

Sedang

1,0 – 1,5

20 – 31

37,5 - 38,0

100 - 125

Berat

1,5 – 2,0

31 – 43

38,0 - 38,5

125 - 150

Sangat berat

2,0 – 2,5

43 – 56

38,5 - 39,0

150 - 175

Sangat berat sekali

2,5 – 4,0

60 - 100

> 39,0

> 175

83

2.15.2 Denyut Nadi sebagai Alat Ukur Beban Kerja Pengukuran denyut nadi selama nelayan melaksanakan kegiatan penangkapan ikan merupakan metode untuk menilai cardiovascular. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghitung denyut nadi dengan menggunakan metode 10 denyut meraba denyut nadi pada arteri radialis tangan kiri dan dicatat secara manual memakai stop watch (Kilbon, 1992). Pengunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai beberapa keuntungan. Selain mudah, cepat dan murah juga tidak diperlukan peralatan yang mahal, hasilnya cukup reliabel. Di samping itu tidak terlalu menganggu proses kerja dan tidak menyakiti orang yang diperiksa. Denyut nadi akan segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan mekanik, fisika maupun kimiawi (Grandjean, 1993) mengemukakan denyut nadi yang perlu dihitung untuk mengestimasi indek beban kerja fisik adalah sebagai berikut. 1)

Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai

2)

Denyut nadi kerja adalah rerata denyut nadi selama bekerja

3)

Nadi kerja adalah perbedaan antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja

4)

Total denyut nadi pemulihan adalah jumlah denyutan nadi dari pekerjaan dihentikan sampai denyutan kembali ke level istirahat.

5)

Total nadi kerja adalah jumlah denyutan nadi dari mulai kerja sampai istirahat. Selanjutnya, (Grandjean, 1998) menggolongkan beban kerja berdasarkan

denyut nadi seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.5

84

Tabel 2.5 Menggolongkan Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi No.

Kategori Beban Kerja

Rentangan denyut nadi/menit

1

Sangat rendah = istirahat

60 – 70

2

Ringan

75 – 100

3

Sedang

100 – 125

4

Berat

125 – 150

5

Sangat Berat

150 – 175

6

Luar Biasa Beratnya

> 175

2.15.3 Faktor Penilaian Beban Kerja Faktor penilaian untuk menurunkan beban kerja, ada dua kriteria yang dapat dipakai (Rodahl, 1989) antara lain adalah sebagai berikut. 1)

Kriteria objektif; yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihaklain yang meliputi: reaksi fisiologis, reaksi psikologis dan perubahan tindak tanduk

2)

Kriteria subjektif; yang dilakukan orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan. Penilaian beban kerja secara objektif yang paling mudah dan murah,

secara kuantitatif dapat dipercaya akurasinya adalah pengukuran frekuensi denyut nadi. Frekuensi denyut nadi dari keseluruhan jam kerja, selanjutnya dipakai dasar penilaian beban kerja fisik, karena perubahan rerata denyut nadi berhubungan liner dengan pengambilan oksigen. Hal ini merupakan refleksi dari proses reaksi (strain) terhadap (stressor) yang diberikan oleh tubuh, dimana biasanya besar (strain) berbanding lurus dengan (stress).

85

Penilaian beban kerja secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dimana dengan kuesioner tersebut akan terlihat tandatanda yang menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami orang akibat beban kerja yang membebaninya, oleh karena interaksi pekerja dengan jenis pekerjaan, tempat kerja, organisasi/cara kerja, peralatan kerja dan lingkungannya (Bridger, 1995). Penilaian beban kerja pada proses penangkapan ikan dapat dilihat pada beberapa variabel seperti pemakaian O2, penggunaan kalori dan denyut nadi. Salah satu cara dalam menentukan konsumsi kalori atau pengarahan tenaga kerja untuk amengetahui derajat beban kerja adalah perhitungan denyut nadi kerja, yaitu rerata denyut nadi selama bekerja. Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, denyut nadi dan tingkat beban kerja dibedakan untuk kondisi istirahat, beban kerja sangat ringan, ringan, agak berat, berat, sangat berat dan luar biasa berat (Sanders and McCormick, 1987). Cara lain untuk menentukan penilaian klasifikasi beban kerja fisik pada proses kerja penangkapan ikan adalah klasifikasi yaitu klasifikasi beban kerja fisik berdasarkan beban (cardiovascular) yang dihitung berdasarkan data denyut nadi istirahat, denyut nadi kerja dan nadi kerja maksimum 8 jam kerja (Intaranot and Vanwonterghem, 1993., Suyasning, 1998).

2.16

Kelelahan Kerja Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh

terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan pada kondisi yang berbeda-beda pada setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan

86

penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Grandjean, 1993). Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot merupakan remor pada otot atau perasaan nyerih pada otot. Sedangkan kelalahan umum biasanya ditandai dengan berkurangnya kemampuan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status, kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. (Pulat, 1992) menyatakan secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30% - 40% dari tenaga aerobik maksimal. 2.16.1 Faktor-faktor penyebab terjadinya kelelahan Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja bervariasi, untuk memelihara dan mempertahankan kesehatan dan efisiensi, maka proses penyegaran harus dilakukan diluar tekanan cancel out the stress (Grandjean, 1993). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja dapat memberikan penyegaran. Kelelahan yang disebabkan oleh karena kerja statis berbeda dengabn kerja dinamis. Pada kerja otot statis dengan pengarahan tenaga 50 % dari kekuatan maksimum otot hanya dapat bekerja selama satu menit, sedangkan pada penyegaran tenaga < 20% kerja fisik dapat berlangsung cukup lama, tetapi penyegaran otot statis sebesar 15 – 20 % akan menyebabkan kelelahan dan nyeri jika perbedaan langsung sepanjang hari. Astrand and Rodahl (1977)

87

mengemukakan bahwa kerja dapat dipertahankan beberapa jam perhari tanpa gejala kelelahan jika tenaga yang dikerahkan tidak melebihi 80 % dari maksimum tenaga otot. Lebih lanjut (Grandjean, 1993); juga menyatakan bahwa kerja otot statis merupakan kerja berat strenous, kemudian mereka membandingkan antara kerja otot statis dan dinamis. Pada kondisi yang hampir sama, kerja otot statis mempunyai konsumsi energi lebih tinggi, denyut nadi meningkat dan diperlukan waktu istirahat yang lebih lama. 2.16.2 Pengukuran Kelelahan Mengukur kelelahan menurut Grandjean (1993) dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut. 1)

Pengukuran kuantitas dan kualitas kerja.

2)

Keluhan subjektif.

3)

Electroensefalograph (EEG).

4)

Tremor detector; sebagai tes psikomotorik.

5)

Flicker fusion.

6)

Tes mental Salah satu cara untuk mengukur keluhan subjektif menurut Adiputra

(1998) dapat digunakan kuesioner 30 item (self rating test), skala empat yang dikeluarkan oleh (Japan Association Industrial Health) (JAIH) yang berisi daftar gejala-gejala yang berhubungan dengan kelelahan yang ditanyakan kepada subjek dan diisi secara subjektif sesuai dengan apa yang dirasakannya dan dilakakuan setelah selesai bekerja. Substansi dimensionalnya meliputi : a) adanya pelemahan aktivitas item 1-10, b) adanya pelemahan motivasi item 11-20, c) adanya

88

kelelahan fisik akibat kelelahan secara umum item 21-30. Dan disamping juga disebabkan oleh karena jenis pekerjaan, kelelahan juga terjadi karena keadaan lingkungan kerja yang tidak nyaman, aman dan sehat.

2.17

Gangguan Muskuloskeletal Keluhan kerja akibat gangguan sistem muskuloskeletal nelayan pada saat

proses penangkapan ikan adalah lebih banyak melibatkan bagian-bagian otot skeletal mulai dari penawuran jaring sampai pada penarikan tali pukat cincin. Keluhan yang sering dirasakan setelah selesai kerja khususnya sakit pada pergelangan tangan kanan dan kiri, sakit pada punggung, sakit pada pinggang, sakit pada pantat, lutut dan sakit pada kaki kiri dan kanan. Metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal adalah dengan menggunakan (Nordic Body Map) baik (rating) maupun (ranking). Prosedur menggunakan mapping untuk menilai keluhan otot skeletal tersebut dapat dilakukan pada interval selama keseluruhan jam akerja dan istirahat. Subjek ditanya pada bagian-bagian anggota tubuh yang mengalami sakit atau ketidak nyamanan melalui kuesioner pada 4 skala likert (Corlett, 1992). Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu keluhan sementara dan keluhan menetap. Keluhan otot sementara adalah keluhan yang terjadi pada saat otot menerima beban statis dan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan. Sedangkan keluhan otot menetap adalah keluhan yang bersifat lebih permanen dan rasa sakit pada otot tidak hilang meskipun pemberian beban dihentikan (Grandjean, 1993). Keluhan

89

subjektif akibat kerja berhubungan erat dengan reaksi perasaan individu terhadap pengalaman kerjanya (Adiputra, 1998b) Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan muskuloskeletal atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena , 1) memaksakan beban yang terlalu berat, 2) gerakan tertentu yang berulang, 3) sikap tubuh ketika duduk, berdiri dan melakukan aktivitas, 4) menggunakan teknik pengangkatan yang salah, dan 5) tekanan kerja (Cani-news, 2006; HSE, 2006). Beberapa alat ukur ergonomi yang sering digunakan antara lain adalah sebagai berikut: 1)

Model biomekanik adalah model yang menerapkan konsep mekanika teknik pada fungsi tubuh untuk mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan beban kerja (Chaffin and Andersons, 1991).

2)

Tabel psikofisik merupakan penilaian berdasarkan pada ilmu psikologi yang digunakan untuk mengevaluasi pemindahan material secara manual tentang berapa banyak kapasitas pekerja dalam mengangkat,

menurunkan,

mendorong, menarik dan membawa beban (Snook, 2005). 3)

Model flsik merupakan suatu metode untuk mengetahui sumber keluhan otot dapat dilakukan secara tidak langsung dengan mengukur tingkat beban kerja. Tingkat beban kerja dapat diketahui melalui indikator denyut nadi, konsumsi oksigen dan kapasitas paru. Melalui indikator tingkat beban kerja dapat

diketahui

tingkat

risiko

terjadinya

keluhan

muskuloskeletal

(Christensen, 1991). 4)

Pengukuran dengan (videotape) adalah analisis (videotape) yang dilakukan

90

dengan menggunakan (video camera). Melalui video camera dapat direkam setiap tahapan aktivitas kerja, selanjutnya hasil rekaman ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis terhadap sumber terjadinya keluhan otot (Rodgers, 2005). 5)

Pengukuran melalui monitor merupakan pengukuran berbagai aspek dari aktivitas fisik yang meliputi posisi, kecepatan dan percepatan gerakan. Sistem ini terdiri dari sensor mekanik yang dipasang pada bagian tubuh pekerja. Melalui monitor dapat dilihat secara langsung karakteristik dari perabahan gerak yang dapat digunakan untuk mengestimasi risiko keluhan otot yang akan terjadi sekaligus dapat dianalisis solusi ergonomi yang tepat untuk mencegah terjadinya keluhan tersebut (Waters and Putz-Anderson, 1996a).

6)

Metode analitik merupakan metode analitik yang direkomendasikan oleh NIOSH untuk pekerjaan mengangkat. (NIOSH) memberikan cara sederhana untuk mengestimasi kemungkinan terjadinya peregangan otot yang berlebihan (over exertiori) atas dasar karakteristik pekerjaan, yaitu dengan menghitung (Recommended Weight Limit. RWL) dan (Lifting Index. LI). RWL adalah berat beban yang masih aman untuk dikerjakan oleh pekerja dalam waktu tertentu tanpa meningkatkan risiko gangguan sakit pinggang (Waters and Putz-Anderson, 1996b).

7)

(Nordic Body Map) (NBM) adalah penilaian subjektif dengan menggunakan

peta tubuh untuk mengetahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa agak sakit sampai sakit. Dengan

91

melihat dan menganalisis peta tubuh maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot yang dirasakan oleh pekerja (Corlett, 1992). 8)

(Quick Exposure Checklist. QEC) adalah penilaian objektif terhadap risiko

cedera di tempat kerja terhadap keluhan muskuloskeletal. QEC didasarkan pada kebutuhan praktis dan riset terhadap faktor risiko. Prosedur dalam penggunaan QEC adalah : a) pengguna harus paham tentang kategori penilaian yang digunakan dalam checklist, b) penilaian peneliti berdasarkan pada checklist, c) penilaian pekerja yang didasarkan pada checklist, d) menghitung skor, e) mempertimbangkan tindakan (Li and Buckle, 2005). Keluhan otot skeletal dapat terjadi karena adanya sikap kerja yang tidak alamiah oleh karena ketidakserasian hubungan antara alat kerja dengan ukuran tubuh pemakainya (Phesant, 1988 and Manuaba, 2000). Keluhan muskuloskeletal berhubungan erat dengan pekerjaan tangan secara berulang-ulang dan merupakan penyebab utama terjadinya gangguan kesehatan dan ketidak mampuan kerja (worker impairment and disability) (Armstrong, 2003). Penilaian keluhan subjektif individu merupakan hal yang tidak dapat diabaikan untuk memahami beban kerja secara menyeluruh. Di samping itu pengetahuan tentang penilaian subjektif sangat berguna untuk mendeteksi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat kondisi kerja (Vanwonterghem, 1995). Dalam melakukan pekerjaan, otot memegang peranan utama diantara sekian banyak otot-otot skeletal yang paling banyak berperan dalam setiap pergerakan aktivitas. Keluhan Muskuloskeletal terjadi dalam tiga tahap yaitu : a) tahap pertama biasanya terasa sakit ringan atau terasa lelah, b) tahap kedua terasa

92

sakit agak berat khususnya pada malam hari, c) tahap ketiga terasa sakit yang cukup berat (Annim, 2006). Keluhan pada sistem muskuloskeletal dipengaruhi oleh adanya kerja otot yang bekerja tidak secara normal akibat dari sikap kerja yang tidak alamiah. Dampaknya dapat menimbulkan kenyerian otot dan rasa tidak nyaman (Chaffin, 2003). Sikap kerja membungkuk dan pembebanan yang tidak simetris dapat menyebabkan cidera dan kenyerian pada otot bagian belakang (Bridger, 1995). Menyatakan bahwa rasa tidak nyaman bisa terjadi karena adanya tekanan pada jaringan yang lembut yang dapat menyebabkan terhambatnya aliran darah ke jaringan, sehingga menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan menumpuknya karbon dioksida dan terjadinya penimbunan asam laktat. Beberapa

faktor

yang

dapat

menyebabkan

terjadinya

keluhan

muskuloskeletal antara lain (MacLeod, 1995; Tayyari and Smith, 1997) mengemukakan sebagai berikut : 1)

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat.

2)

Aktivitas berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, mengangkat dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan relaksasi.

93

3)

Sikap kerja tidak fisiologis atau alamiah Sikap kerja tidak fisiologis atau alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal.

4)

Faktor penyebab sekunder Faktor penyebab sekunder seperti adanya tekanan langsung pada jaringan otot lunak, getaran dengan frekuensi tinggi, mikroklimat baik dalam suhu yang dingin maupun panas. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa berat ringannya beban kerja

dan keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh pekerja selain dipengaruhi oleh faktor internal, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu task, organisasi kerja dan lingkungan kerja.

2.18

Peningkatan Kesejahteraan Pada masyarakat nelayan pola adaptasinya dengan ekosistem lingkungan

fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya adalah tergantung pada perubahanperubahan yang salah satunya adalah perubahan strategi mata pencaharian. Bagi masyarakat nelayan, lingkungan fisik laut sangatlah mengandung banyak bahaya dan dalam banyak hal mengandung risiko kecelakaan karena pekerjaan nelayan adalah memburuh dan menangkap ikan, hasilnya tidak dapat ditentukkan dan

94

penuh dengan ketidakpastian, semuanya hampir serba spekulatif karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi common property milik bersama. Pemahaman tingkat kesejahteraan bagi masyarakat nelayan bervariasi. Dilihat dari segi pendapatan usaha nelayan, bahwa kesejahteraan adalah besarnya hasil atau keuntungan yang diperoleh nelayan dari satu trip penangkapan. Bentuk dan jumlah pendapatan dalam usaha perikanan mempunyai fungsi yang sama yaitu terpenuhinya kebutuhan sehari-hari dan memberikan kepuasan bagi nelayan agar dapat melanjutkan kegiatannya (Mulyadi, 2005) menyatakan kesejahteraan merupakan adaptasi tingkalaku dalam upaya memaksimalkan kesempatan untuk bertahan hidup. Suatu usaha penangkapan dikatakan sukses kalau situasi pendapatannya memenuhi syarat sebagai berikut : 1) Cukup untuk membayar semua sarana produksi. 2) Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan. 3) Cukup untuk membayar upah tenaga kerja. Biaya dan pendapatan usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos berupa pengeluaran nyata dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran nyata. Dalam hal ini, pengeluaran-pengeluaran nyata ada yang kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah (1) bahan bakar dan oli; (2) bahan pengawet (es dan garam); (3) pengeluaran untuk makanan konsumsi awak; (4) pengeluaran untuk raparasi; (5) pengeluaran untuk retribusi dan pajak. Pendapatan nelayan sangat ditentukan oleh sistim bagi hasil dan jarang diterima upah tetap. Tujuan dilakukannya peningkatan kesejahteraan bagi nelayan

95

adalah untuk mengkaji beberapa faktor yang mempengaruhi keuntungan dan kerugian bagi perusahaan jika berinvestasi baik dalam jangka waktu panjang maupun pendek. Modal usaha pukat cincin terdiri dari alat-alat penangkapan jaring, motor, perahu, pengawetan di dalam kapal, makanan dan minuman dapat dilakukan penilain dengan melalui 3 cara yaitu: (1) penilaian didasarkan kepada nilai alat yang baru yaitu, berupa ongkos memperoleh alat tersebut menurut harga yang berlaku sekarang dan dapat dihitung dengan besarnya modal sekarang, (2) berdasarkan pada harga pembelian atau pembuatan alat tangkap, jadi berapa investasi awal yang telah dilaksanakan nelayan dan nelayan mengingat harga pembeliannya, (3) dengan menaksir nilai alat tangkap pada waktu sekarang yakni harga yang akan diperoleh apabila alat tersebut akan dijual. Oleh karenanya analisis ekonomi pendapatan nelayan adalah sebagai berikut. 2.18.1 Kepuasan Kerja Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang

setelah membandingkan

kinerja hasil yang dirasakannya dengan harapan yang diinginkan. Pengukuran tingkat kepuasan menggunakan pendekatan kualitas yang meliputi 5 dimensi yaitu: 1) hal-hal yang tampak konkrit (tangibles), meliputi infrastruktur, telekomunikasi, proses administrasi pendaftaran, penampilan situs, gedung, penampilan karyawan dan desain brosur yang ditampilkan, 2) dapat dipercaya (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan, penyelesaian penanganan pengaduan, dan konsisten pelayanan sebagaimana yang dinjanjikan, 3) daya tanggap responsiveness yaitu kesiaptanggapan dalam

96

melayani permintaan, kemauan untuk membantu dan sikap karyawan dalam menerima pengaduan, 4) jaminan (assurance) mencakup kemampuan karyawan dalam menanamkan kepercayaan, keterampilan dalam memberikan pelayanan dan prilaku karyawan dalam memberikan pelayanan, 5) empati (empathy) meliputi kemauan karyawan dalam membantu permasalahan pelanggan, kemampuan perusahaan dalam memahami dan memenuhi kebutuhan permintaan pelanggan dan kemampuan perusahaan dalam menjaga hubungan dengan pelanggan. Perasaan puas atau tidaknya seseorang tergantung dari tingkat harapan dan tingkat persepsi jasa yang diterima, kalau terjadinya gap negatif dalam arti tingkat persepsi lebih rendah dari tingkat harapan, maka pelanggan akan merasa kecewa Demikian pula sebaliknya, jika terjadi gap positif dalam arti tingkat persepsi lebih tinggi dari tingkat harapan, maka seseorang akan merasa puas. 2.18.2 Produktivitas Kerja Konsep umum dari produktivitas adalah suatu perbandingan antara luaran (output) dan masukan (input) per satuan waktu. Produktivitas dapat dikatakan meningkat apabila jumlah luaran meningkat dengan masukan yang sama (Chew, 1991., Pheasant, 1991). Menurut Manuaba (1992) peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk dalam memanfaatkan sumber daya manusia dan peningkatan luaran sebesar-besarnya. Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : (1) Produktivitas total, adalah perbandingan antara total luaran dengan total masukan per satuan waktu. Dalam perhitungan produktivitas total, semua faktor masukan terhadap total luaran diperhitungkan. (2) Produktivitas

97

parsial, adalah perbandingan dari luaran dengan satu jenis masukan seperti upah tenaga kerja, bahan daya, beban daya, skor keluhan subjektif dan lain-lain : Produktivitas tenaga kerja =

Luaran Masukan x Waktu

Luaran merupakan hasil kerja dalam proses penangkapan ikan dengan pukat cincin, maka luaran dapat diproyeksikan dengan berat tarikan pukat cincin yang ditarik nelayan. Sedangkan masukan dapat diproyeksikan sebagai rerata beban kerja, keluhan otot skeletal, kelelahan. Beberapa hasil penelitian telah berhasil menunjukkan bahwa pendekatn ergonomi dalam perbaikan kondisi kerja telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas kerja dan menekan biaya produksi. 2.18.3 Analisis Keuntungan Ekonomi Analisis

pendapatan

ekonomi

dalam

ergonomi

bertujuan

untuk

menganalisis berbagai unsur yang mempengaruhi produktivitas. Pendekatan holistik menempatkan analisis ekonomi secara sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi antara pemilik perusahaan dan karyawannya (Manuaba, 2001; 2003b; 2005). Analisis yang dilakukan hendaknya melihat secara keseluruhan semua unsur yang mempengaruhi produktivitas kerja. Produktivitas secara ekonomis berupaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas, sehingga biaya produksi perusahaan dapat ditekan dan penerimaan neraca keuangan perusahaan meningkat akibat adanya intervensi ergonomi (Hendricks, 2002) sebagai berikut : 1)

Peningkatan jumlah produk, dimana terjadi peningkatan secara kuantitas

98

maupun kualitas produk. 2)

Peningkatan nilai jual produk, yaitu terjadi peningkatan harga jual produk.

3)

Penurunan biaya kerja tiap unit, yaitu terjadi efisiensi tiap unit kerja.

4)

Penurunan biaya karyawan, akibat berkurangnya karyawan yang sakit atau cedera akibat kerja. Bila mengacu pada indeks produktivitas, maka secara ekonomis

peningkatan keuangan perusahaan dapat terjadi akibat efisiensi sumber daya maupun akibat peningkatan hasil produksi sebagai berikut. 1)

Efisiensi sumber daya–hasil produksi sama.

2)

Efisiensi sumber daya–hasil produksi meningkat.

3)

Sumber daya sama–hasil produksi meningkat.

4)

Sumber daya meningkat–hasil produksi meningkat. Dalam keadaan kondisi kerja tidak ergonomis maka akan mempengaruhi

kapasitas sumber daya yang ada sehingga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi. Artinya efisiensi sumber daya dalam proses produksi akan berubah menjadi in-efisiensi sehingga mempengaruhi produktivitas secara keseluruhan. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu asuransi kesehatan, yang diharapkan akan mampu mengefisienkan biaya pemeliharaan kesehatan karyawan (Cubed, 2000). Terdapat 3 kunci pokok analisis ekonomi dalam ergonomi menurut (Bridger, 2003) yaitu : 1) efikasi, apakah pelaksanaan pekerjaan berada di bawah kondisi yang ideal, 2) efektif, apakah pelaksanaan pekerjaan dilakukan dalam kondisi yang normal, 3) efisien, apakah pelaksanaan pekerjaan dapat menghemat biaya bahan baku dan dan biaya produksi.

99

Efisiensi peningkatan produktivitas menurut (The US Sub Committee on

Benefits and Cost, 1988) dapat diukur dengan menggunakan indikator ekonomi yaitu menentukkan tingkat keuntungan profitability dan efisiensi sistem untuk mengevaluasi kelayakan dari sebuah investasi yang diperoleh dari adanya biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang dihasilkan. 2.18.3.1 Break Event Point (BEP) BEP adalah adalah salah satu perhitungan ekonomi mikro untuk mengetahui suatu titik atau keadaan dimana perusahaan atau investor di dalam menginvestasikan modal usahanya tidak memperoleh keuntungan dan tidak menderita kerugian, dengan kata lain pulang pokok dimana pendapatan yang diperoleh perusahaan dalam melakukan kegiatan usaha dengan pengeluaran yang dibiayai pada dasarnya sama atau perusahaan mengalami titik impas dalam jangka waktu tertentu. Untuk menentukan BEP dapat dilihat melalui rumus bangun di bawah ini : BEP =

Biaya Tetap =......unit. Harga Jual perunit − Biaya Variabel

BEP =

Biaya Tetap = ......Rupiah I - Biaya variabel / Penjualan bersih

Asumsi yang digunakan dalam menghitung BEP adalah sebagai berikut. 1)

Biaya tetap harus konstan selama periode tertentu

2)

Biaya variabel dalam hubungannya dengan penjualan harus konstan; dan

3)

Harga jual perunit tidak berubah dalam periode waktu tertentu.

Berdasarkan batasan tertentu, maka BEP akan berubah apabila : 1)

Terdapat perubahan dalam biaya tetap;

100

2)

Terdapat perubahan dalam harga jual perunit; dan

3)

Terdapat perubahan pada ratio biaya variabel perunit.

2.18.3.2 Benefit Cost Ratio (BCR)

Dalam menginvestasi salah satu usaha di bidang penangkapan ikan, maka diperlukan suatu analisis terhadap biaya dan manfaat dari suatu usaha di bidangnya Sedangkan BCR dalam menginvestasi modal usaha mempunyai tiga kriteria penilaian yaitu : 1)

‘B-C’ = Manfaat kurang Biaya

2)

B-C/I = Manfaat kurang biaya / Investasi

3)

∆B/∆C = Perubahan manfaat dibagi perubahan biaya Dari kriteria di atas, yang paling baik dan handal adalah B/C; dimana

dalam kriteria ini rasio biaya dan manfaat merupakan ukuran bagi evaluasi suatu pembuatan alat, jika B/C = 1, maka alat tersebut bersifat marjinal, dan jika B/C>1, maka manfaat yang diperoleh lebih besar, dari pada biaya yang dikeluarkan, sehingga alat itu layak untuk dilaksanakan. Sedangkan B/C 1. Perhitungan analisis biaya dan manfaat antara lain adalah sebagai berikut. 1)

Dari segi waktu; horison waktu sangat penting untuk diperhatikan, sebab manfaat yang diperoleh di masa depan tidak sama dengan biaya dan hasil saat ini.

Oleh karenanya aturan penilaian

mengharuskan adanya

101

pendiskontoan manfaat yang dirasakan oleh seseorang setelah beroperasinya kegiatan tersebut dan kriteria ini disebut (net present value) (NPV) menurut Sartono, (1994). Kriteria keputusannya yaitu : 1) apabila jumlah dari keseluruhan proceed yang diharapkan lebih besar PV dari investasinya, maka usulan investasi tersebut dapat diterima, 2) apabila jumlah PV dari keseluruhan proceed yang diharapkan PV dari investasinya (PV negatif), maka usulan investasi ditolak. Kelebihan dari NPV adalah : 1) memperhitungkan nilai waktu dan uang, 2) memperhitungkan aliran kas selama 2)

Dari segi pendapatan; hasil yang diperoleh seseorang setelah megerjakan suatu pekerjaan disebut kriteria tingkat hasil (internal rate of return). IRR Kriteria ini mengacu pada tingkat penghasilan yang secara implisit terkandung didalam arus hasil dan biaya. IRR adalah tingkat hasil internal sebagai tingkat penghasilan berupa upah yang diperoleh pekerja, dikurangi biaya. Jadi dengan IRR dapat mengetahui apakah tingkat bunga yang menghasilkan benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto.

2.18.3.3 Return Of Investment (ROI)

Return of invesment merupakan nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha (pemilik pukat cincin) dari setiap jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu. Perusahaan perlu membuat perhitungan ROI karena manfaatnya sangat besar, yaitu perusahaan dapat mengukur tingkat kemampuan usaha dalam mengembalikan modal yang telah ditanamnya. Dengan demikian

102

analisis ROI dapat digunakan untuk mengkukur efisiensi penggunaan modal dalam perusahaan tersebut.

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

Setelah memperhatikan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka dapatlah disusun kerangka konsep sebagaimana berikut ini. 1)

Berdasarkan intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin terungkap bahwa kinerja yang dinilai dari indikator beban kerja, kelelahan, dan keluhan muskuloskeletal akan dapat diatasi sehingga terjadi peningkatan kinerja nelayan.

2)

Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin akan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dilihat dari ROI, BEP dan BCR.

3)

Penerapan ergonomi total dilakukan melalui intervensi ergonomi pada beberapa aspek yaitu: 1) suplesi gizi, 2) perbaikan sikap kerja, 3) penggunaan perlengkapan pelindung diri, 4) waktu istirahat, 5) motivasi dalam bekerja seperti: perbaikan komunikasi, perbaikan informasi dan penggunaan alat bantu kerja katrol.

4)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin adalah faktor internal dan faktor eksternal.

5)

Faktor internal yang turut mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin adalah: umur, jenis kelamin, berat badan, pengalaman kerja, pendidikan, dan status kesehatan.

103

104

Faktor eksternal yang turut mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan

6)

nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin adalah: musim, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, hasil tangkapan, arus, ombak dan tipe kapal. Untuk lebih jelas, secara skematis, kerangkan konsep dapat disajikan pada Gambar 3.1. MASUKAN Faktor Intervensi ergonomi 1) Suplesi gizi, 2) Perbaikan sikap kerja, 3) Penggunaan Perlengkapan pelindung diri, 4) Pemberian waktu istirahat, 5) Memberikan dorongan (motivasi), 6) Perbaikan komunikasi, 7) Perbaikan informasi, dan 8) Penggunaan katrol untuk menarik pukat cincin

Faktor internal 1) 2) 3) 4) 5) 6)

umur jenis kelamin berat badan pengalaman kerja pendidikan kondisi kesehatan

Faktor eksternal 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

musim suhu udara kelembaban kecepatan angin arus ombak tipe kapal ukuran kapal

PROSES Proses kerja penangkapan ikan dengan pukat cincin yang dirancang melalui pendekatan ergonomi total dengan perbaikan sbb: 1. perbaikan sikap kerja nelayan menarik pukat cincin dengan menggunakan katrol. 2. perbaikan alas duduk dan pemakaian sarung tangan pada saat menarik pukat cincin. 3. pemberian teh manis.

LUARAN Kinerja (Beban Kerja, Kelelahan, keluhan muskuloskeletal) dan Kesejahteraan nelayan (kepuasan kerja, produktivitas dan keuntungan ekonomi nelayan

Keterangan: Diintervensi Dikontrol Proses Kerja dan gejala yang diamati

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

105

3.2

Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka konsep penelitian yang telah dikemukakan dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. 1) lntervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kinerja yang dinilai dari penurunan beban kerja nelayan. 2) Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kinerja yang dinilai dari penurunan kelelahan nelayan. 3) Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan

kinerja

yang

dinilai

dari

penurunan

keluhan

muskuloskeletal nelayan. 4) Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kesejahteraan yang dinilai dari kepuasan kerja. 5) Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kesejahteraan yang nilai dari produktivitas. 6) Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin meningkatkan kesejahteraan yang dinilai dari keuntungan nelayan.

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perairan laut Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Propinsi Sulawesi Utara sepanjang 30 mil laut dan ditempuh dalam waktu 5 jam perjalanan. Waktu penelitian dilaksanakan selama 8 minggu yaitu dari bulan Agustus 2009 s/d bulan Oktober 2009 berdasarkan kalender yang disesuaikan dengan musim ikan. 4.2

Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan sama subjek (treatment by subject design) (Colton, 1985., Dimitrov & Rumrill., Hudock, 2005). Rancangan penelitian ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin mengetahui adanya peningkatan kinerja; serta peningkatan

kesejahteraan

nelayan

setelah

intervensi

ergonomi

dengan

pendekatan ergonomi total dilakukan terhadap proses penangkapan ikan dengan pukat cincin oleh nelayan penangkap ikan di Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Skema rancangan sama subjek (treatment by subject design) diberikan dalam Gambar 4.1.

106

107

R

P0

P

S

O1

P1 O2

WO

O3

O4

Keterangan : P : populasi untuk penelitian; : pengambilan secara acak; R S : sampel dipilih secara random dari populasi.; O1 : observasi awal tanpa intervensi ,O2 : observasi akhir tanpa intervensi; P0 : aktivitas penangkapan ikan sebelum intervensi; WO : washing out (waktu untuk menghilangkan efek aktivitas sebelum intervensi) selama 3 hari; P1 : aktivitas penangkapan ikan dengan intervensi; O3 : observasi awal dengan intervensi; O4 : observasi akhir dengan intervensi.

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian sama subyek 4.3

Populasi dan Sampel

4.3.1

Populasi

Populasi adalah 250 orang nelayan pukat cincin, sedangkan populasi terjangkau adalah 90 nelayan pukat cincin dan besar sampel yang benar-benar diteliti 18 orang nelayan pukat cincin di Amurang di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. 4.3.2 Kriteria Sampel

Sampel diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi, ekklusi dan (drop out).

108

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Nelayan pukat cincin berumur 40 – 60 tahun. 2) Berat badan berkisar antarar 57 – 70 kg 3) Berjenis kelamin laki-laki. 4) Pendidikan minimal tamat SD. 5) Pengalaman kerja sebagai nelayan pukat cincin minimal 1 tahun. 6) Sehat jasmani dan rohani dan tidak cacat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 7) Bersedia menjadi subjek penelitian sampai selesai dan dibuktikan dengan adanya (inform consent). b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi yang dipertimbangkan dalam pemilihan sampel adalah sebagai berikut. 1) Pekerjaan sebagai nelayan pukat cincin dalam operasi penangkapan ikan tidak dilakukan setiap malam. 2) Nelayan yang terlibat kegiatan sosial kemasyarakatan di Desa selama periode penelitian. 3) Memanfaatkan alat bantu yang terkait dengan proses penangkapan ikan sesuai dengan yang ditetapkan dalam penelitian. 4) Tidak kecanduan alkohol 5) Tidak kecanduan game 6) Sulit berkomunikasi (tuli)

109

c. Kriteria drop out (gugur) :

1) Karena alasan tertentu mengundurkan diri sebagai sampel pada waktu penelitian; 2) Tidak mengikuti kegiatan penelitian sampai selesai; 3) Menderita sakit pada waktu penelitian dilaksanakan. 4.3.3 Besar Sampel

Untuk menentukan ukuran sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (Josephus, 2006). Berdasarkan data pada Tabel 4.1 dengan harapan akan terjadi perubahan 15% pada beban kerja (denyut nadi), kelelahan, keluhan muskuloskeletal dan kesejahteraan, maka besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Colton (Colton, 1985) sebagai berikut : n=

σ 2 (z α − zβ ) 2 (µ1 − µ 2 ) 2

σ2 = x f(α ,β) (µ1 − µ 2 ) 2

di mana n

= besar sampel;



= 1,64;



= -2,33;

µ1

= rata-rata secara tersendiri hasil pengamatan dari kinerja dengan indikator:

beban

kerja

(denyut

nadi),

kelelahan;

keluhan

muskuloskeletal; serta kesejahteraan; µ2

= rata-rata secara tersendiri hasil pengamatan dari indikator:

beban

kerja

(denyut

nadi),

kinerja dengan

kelelahan;

keluhan

muskuloskeletal; serta kesejahteraan yang dianggap akan teramati bila intervensi dilakukan dan biasanya diasumsikan µ2 = µ1 ± 0,15 µ1; σ2

= varians; dan

110

f (α,β) = f (α, β) = 10,82 (dihitung dengan menggunakan fungsi = NORMSINV (peluang) dalam program Excel, 2003).

Tabel 4.1 Data yang Digunakan Sebagai Informasi untuk Pendugaan Ukuran Sampel Item Kelelahan Subyek

Denyut Nadi Keluhan

Kesejahteraan 1-10 11-20 21-30

Rata-rata

126,00

Standar Deviasi

1,8708

Variance Besar Sampel (n), Asumsi Perubahan 15%:

3,50

0,21

94,80

1-30

43

44

45

132

9

8,58 2,97

3,29

1,82

5,94

1,63

3,30 35,30

2,67

73,70 8,80 10,80

7,89 4,49

5,47

1,54

1,94

15,83

Berdasarkan hasil perhitungan maka diperoleh n terbesar adalah 15,83. Untuk mengantisipasi kemungkinan drop out dan berbagai variasi populasi maka jumlah sampel ditambah 10% menjadi 17,42 dan dibulatkan menjadi 18 orang. Dengan demikian besar sampel secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah 18 orang.

111

4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Variabel penelitian yang ada, diklasifikasikan menjadi : 1)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin.

2)

Variabel tergantung : kinerja (indikator: beban kerja, kelelahan, dan keluhan muskuloskeletal) dan kesejahteraan (indikator: usaha pengembalian investasi, titik impas dan pendapatan nelayan).

3)

Variabel kontrol yaitu : umur, jenis kelamin, berat badan, pengalaman kerja, pendidikan, dan status kesehatan, musim, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, tipe kapal, dan peran dari pemimpin (tonaas).

4)

Variabel rambang yaitu : arus laut dan gelombang

Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar 4.2

112

Variabel Bebas : Proses penangkapan ikan dengan intervensi melalui pendekatan ergonomi total

Variabel Tergantung

Variabel Kontrol a) Faktor internal: umur, jenis kelamin, berat badan, pengalaman kerja, nelayan, pendidikan, dan status kesehatan. b) Faktor eksternal; musim, kelembaban udara,kecepatan angin, tipe kapal, perlengkapan nelayan dan peran tonaas/pemimpin.

a) Kinerja (beban kerja, kelelahan, keluhan muskuloskeletal) b) Kesejahteraan nelayan : kepuasan kerja, produktivitas, dan pendapatan keuntungan nelayan.

Variabel Rambang - Arus Laut - Gelombang

Gambar 4.2 Diagram Hubungan Antar Variabel 4.4.2 Definisi Operasional Variabel Untuk menghindari adanya kesalahan dalam pengumpulan data, maka berdasarkan indentifikasi setiap variabel dibuat definisi operasional dari masingmasing variabel sebagai berikut.

4.4.2.1 Variabel bebas Intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin dilakukan berdasarkan pendekatan ergonomi total yaitu: 1)

Pemakaian katrol oleh nelayan waktu penarikan tali pukat cincin.

113

2)

Pemakaian sarung tangan oleh nelayan pada waktu penarikan tali, pelampung, penggalian isi perut jaring, dan penarikan tali pukat cincin.

3)

Pengaturan waktu jadwal kerja yang dimulai pukul 23.00 – 05.00 dan istirahat 5 menit untuk minum.

4)

Perbaikan tempat duduk berupa penambahan alas duduk (spon) nelayan pada waktu penarikan pukat cincin.

5)

Memberikan informasi tentang kesehatan dan keselamatan kerja pada nelayan dengan menggunakan alat pelindung diri berupa pemakaian jaket hujan, topi dan sarung tangan pada saat melakukan penangkapan ikan sehingga kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat diminimalisasikan.

6)

Proses penangkapan ikan yang dimaksud yaitu di mulai dari penawuran jaring atau melempar jaring dari dalam perahu ke permukaan laut sampai pada penarikan pukat cincin.

7)

Pukat cincin atau (purse seine) dikenal dengan nama (soma pajeko) adalah jenis jaring lingkar untuk menangkap sejenis ikan pelagis yang membentuk gerombolan dengan kepadatan yang tinggi.

8)

Nelayan diberikan kesempatan untuk minum teh manis sebanyak 250cc. Adapun kondisi kerja sebelum melakukan intervensi yaitu : a) melakukan pekerjaan menarik pukat cincin dengan kedua tangan tidak memakai sarung tangan dengan sikap paksa dalam waktu 6 jam; b) sikap kerja menarik tali cincin yaitu duduk di lantai kayu perahu terlalu lama tanpa alas duduk, sikap tubuh membungkuk ke depan, tungkai terjulur dan kedua telapak kaki sebagai bantalan penahan tarikan;

114

c) sikap kerja nelayan yang bertugas untuk menarik pelampung dilakukan dengan posisi berdiri tidak teratur; d) waktu kerja selama proses penangkapan berlangsung 6 jam yaitu: pukul 23.00 – 05.00 WITA tidak ada kesempatan minum; 9)

Sistem kerja pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin setelah dilakukan intervensi ergonomi, maka terjadi perbaikan sebagai berikut. a) Setelah selesai penawuran jaring, maka nelayan menggunakan katrol menarik pukat cincin, dimana katrol diletakkan disamping kanan perahu. b) untuk menghindari sikap paksa dalam melakukan pekerjaan dan gerakan otot tidak bertentangan dengan gerakan fisiologis, maka alat katrol dirancang sesuai data antropometri nelayan. c) katrol adalah sebuah alat yang berbentuk lingkaran sebagai tempat lilitan tali yang dapat berputar pada saat melakukan penarikan pukat cincin; d) katrol dapat berfungsi ganda yaitu pada satu pihak sebagai alat bantu untuk mengurangi berat penarikan, dan di pihak lain mengunci cincin lebih cepat sehingga ikan tidak sempat keluar dari tangkapan. Seperti tampak pada Gambar 4.3.

115

Tali Cincin Tali Cincin

Katrol untuk menggulung tali cincin

Sumbu pemutar katrol

Gambar 4.3 Katrol Pukat Cincin e) kedua tangan pada saat menarik pukat cincin menggunakan sarung tangan sejenis karet agar supaya tidak menimbulkan rasa sakit; f) menggunakan alas duduk disesuaikan dengan situasi dan kondisi kerja di atas perahu penangkap; g) waktu kerja selama proses penangkapan ikan berlangsung 6 jam yaitu: pukul 23.00-05.00 dengan istirahat pendek 5 menit. h) nelayan diberikan kesempatan untuk minum teh manis sebanyak 250cc. i) pada waktu istirahat diberikan musik pengiring musik rock. j) mengatur kondisi informasi dengan melakukan komunikasi dua arah. k) mengatur kondisi sosial ekonomi terutama sistem pembagian hasil tangkapan. l) mengawasi secara langsung melihat penggunaan alat katrol agar supaya interaksi penggunaan alat katrol dengan nelayan serasi.

4.4.2.2 Variabel Tergantung 1)

Kinerja adalah tampilan seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan penangkapan ikan dengan pukat cincin. Penilaian baik dan buruknya kinerja seseorang dapat dilihat dari capaian kerja yang dihasilkan. Kemampuan

116

nelayan didalam melaksanakan tugasnya akan dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan, kondisi lingkungan dan organisasi kerja. Tingkat kinerja nelayan diukur dengan menggunakan indikator yaitu: beban kerja, kelelahan, keluhan muskuloskeletal dan kesejahteraan. Indikator Pengukuran Kinerja nelayan pada penelitian ini yaitu : a. Beban kerja adalah beban yang diterima oleh tenaga kerja (nelayan) selama melakukan pekerjaan (beban kerja utama + beban kerja tambahan). Kategori berat ringannya beban kerja ditentukan berdasarkan perhitungan yaitu : Denyut Nadi Kerja (DNK), dikurangi Denyut Nadi Istirahat (DNI) sama dengan Nadi Kerja (NK) yang diukur setiap 30 menit selama jam kerja. Pengukuran dilakukan secara palpasi pada arteri radialis tangan kiri dengan metode 10 denyut dengan menggunakan stop. watch. b. Kelelahan merupakan suatu perasaan subyektif disertai adanya penurunan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motoris yang dirasakan oleh subjek selama melakukan pekerjaan. Kelelahan diukur sebelum dan sesudah bekerja dengan menggunakan 30 item of rating

scale dalam kuesioner yang terdiri dari 30 pertanyaan (lampiran 7a,b dan 8a,b) Untuk aktivitas melemah (item 1-10), penurunan motivasi (item11-20) dan (item 21-30) kelelahan fisik. c. Keluhan otot skeletal adalah keluhan otot yang dirasakan oleh subjek pada bagian-bagian tubuh mulai dari rasa tidak enak sapai sangat sakit. Keluhan otot skeletal didata sebelum dan sesudah bekerja dengan

117

menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM) yang dimodifikasi dengan 4 skala Likert (lampiran 8a dan 8b). 2)

Tingkat kesejahteraan dapat diukur dengan menggunakan kuesioner kesejahteraan dilihat dari aspek kepuasan kerja, produktivitas dan keuntungan pandapatan nelayan.

4.4.2.3 Variabel Kontrol Faktor Internal 1)

Umur adalah jangka waktu dalam tahun yang dihitung mulai subjek dilahirkan sampai dengan saat terpilih sebagai sampel penelitian dengan melihat KTP. Umur anggota sampel ditentukan dengan pembulatan ke bawah.

2)

Jenis kelamin adalah ciri fenotip subjek adalah laki-laki yang ditunjukkan oleh ciri kelamin sekunder dan didukung oleh keterangan yang ada pada kartu tanda penduduk KTP.

3)

Pendidikan adalah surat tanda tamat belajar (STTB) yang diperoleh melalui di lingkungan sekolah formal. Dalam penelitian ini subjek minimal berpendidikan tamat SD.

4)

Berat badan adalah bobot tubuh subjek yang diukur dengan timbangan badan merk (Camry).

5)

Kesehatan adalah kondisi kesehatan subjek yang ditunjukkan dengan surat keterangan dokter.

6)

Pengalaman kerja adalah lama waktu subjek melakukan pekerjaan penangkapan ikan dengan batas minimal 2 tahun yang ditunjukkan dengan sertifikat sebagai nelayan penangkap.

118

7)

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya.

Faktor Eksternal 1)

Musim yang dimaksud adalah periode waktu musiman. Dalam penelitian ini aktivitas penangkapan ikan disesuaikan dengan musim ikan menurut perhitungan kalender Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Minahasa Selatan, kalender Bali dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) selama bulan agustus sampai dengan desember 2009.

2)

Kelembaban udara dinilai dari jumlah relatif uap air yang ada di udara pada suatu suhu tertentu. Kelembaban diukur dengan menggunakan higrometer dan dikonversikan kedalam psikrometer chart dan dinyatakan dengan satuan %. Pengukuran kelembaban udara dilakukan sepanjang aktivitas penangkapan ikan setiap interval 5 atau 10 menit.

3)

Kecepatan angin adalah laju rata-rata hembusan angin pada lokasi penangkapan ikan. Variabel ini diukur dengan menggunakan anemometer dan dinyatakan dengan satuan menit/jam. Pengukuran dilakukan setiap interval waktu 5-10 menit.

4)

Tipe kapal (perahu) adalah tipe lambut dengan bobot 40-80 GT. Tenaga penggerak yang digunakan berupa motor tempel merk Yamaha tipe enduro dengan kekuatan dorong 40 HP.

5)

Perlengkapan nelayan adalah jas hujan, makanan, minuman dan bahan bakar minyak (BBM).

119

6)

Tonaas adalah pimpinan nelayan berfungsi memberikan komando dan petunjuk tentang cara dan teknik penangkapan.

4.4.2.4 Variabel Rambang 1)

Arus laut adalah pergerakan massa air laut dengan panas matahari kepermukaan bumi dan pemanasan ini tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan tekanan atmosfir dan perbedaan densitas air laut sehingga menyebabkan terjadinya arus. Faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya arus yaitu : angin, pasang surut dan gelombang.

2)

Gelombang laut terjadi akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa yang menimbulkan terjadinya air pasang-surut di laut.

4.5 Bahan Pengumpul Data Bahan pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sbb. 1) Bahan baku atau material yang digunakan dalam pembuatan katrol adalah besi siku, plat dan bulat, baut atau mur, paku, martil, gergaji, ring, gerigi engsel, meter dan besi plat. 2) Kuesioner Nordic Body Map untuk mendata keluhan muskuloskeletal. 3) 30 items of rating scale yang dimodifikasi dengan 4 skala likert untuk mendata kelelahan. 4) Kuesioner kesejahteraan dan didukung dengan data analaisis ekonomi (BEP, BCR dan ROI)

120

4.6 Alat Pengumpul Data 1)

Perahu/kapal penangkap ikan dan perangkat kelengkapannya.

2)

Pukat cincin atau soma pajeko dan perangkat kelengkapannya.

3)

Stopwatch digital merk Casio HS-3 digunakan untuk menentukan waktu kerja.

4)

Kamera digital merk Sony DSC-P41 digunakan untuk mengambil gambar dokumen penelitian.

5)

Timbangan barang merk super arjuna dengan ketelitian 0,05 kg untuk mengukur berat hasil tangkapan

6)

Timbangan badan merk Elephant buatan Jepang dengan ketelitian 0,2 kg untuk mengukur berat badan nelayan penangkap ikan.

7)

Ecosonder buatan Jepang untuk mengukur kecepatan arus dan ombak.

8)

Higrometer merk Luxtrom LM 800 buatan Jepang, digunakan untuk mengukur kelembaban udara.

9)

Meteran logam merk Helsen dengan ketelitian 1mm untuk mengukur alatalat kerja dan jarak antara alat dan tempat kerja.

10)

Anemometer merk Luxtron AM-4201 buatan Taiwan untuk mengukur kecepatan angin.

11)

Alimeter analog untuk mengukur tinggi rendahnya di atas permukaan laut.

4.7 Prosedur Penelitian Untuk menghindari adanya kesalahan-kesalahan dalam penelitian, maka dalam pengambilan data digunakan tata aturan sebagai berikut.

121

4.7.1 Tahap Persiapan Sebelum proses penangkapan ikan baik untuk periode tanpa intervensi (TI) maupun periode dengan intervensi (DI), maka dilakukan kegiatan persiapan seperti uraian berikut ini. 1)

Mempersiapkan kuesioner NBM sebelum intervensi dan kuesioner NBM dengan intervensi ergonomi dan kusesioner 30 items of rating scale dengan skala likert untuk pengukuran kelelahan secara umum sebelum dan sesudah intervensi.

2)

Kuesioner kesejahteraan yang diisi oleh nelayan dalam proses penangkapan ikan dengan pukat cincin.

3)

Data pengukuran denyut nadi dan alat tulis menulis.

4)

Menyusun jadwal pemberian perlakuan untuk masing-masing kelompok subjek. Secara keseluruhan, penelitian dilakukan selama 8 minggu. Data beban kerja, kelelahan, keluhan muskuloskeletal, ROI, BEP dan pendapatan nelayan dilakukan pada proses penangkapan ikan, yaitu pada setiap minggu setiap periode sesuai jadwal seperti dalam Tabel 4.2.

122

Tabel 4.2 Jadwal pengambilan data untuk masing-masing periode No. 1

Uraian

M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8

Periode TI (Po) 01 Observasi Awal →02 Observasi Akhir 01 Observasi Awal →02 Observasi Akhir 01 Observasi Awal →02 Observasi Akhir 01 Observasi Awal →02 Observasi Akhir WOP (washing out period)

2

Selama 3 hari untuk menghilangkan carry over effect

Periode DI (P1) 03 Observasi Awal →04 Observasi Akhir 03 Observasi Awal →04 Observasi Akhir 03 Observasi Awal →04 Observasi Akhir 03 Observasi Awal →04 Observasi Akhir

5)

Mempersiapkan petugas pengumpul data dan alat-alat yang akan digunakan.

6)

Memberikan pengarahan dan pemahaman tentang tujuan, jadwal kerja, dan prosedur pelaksanaan pengukuran dan penggunaan alat ukur kepada petugas pengumpul data.

7)

Memberikan pengarahan kepada subjek penelitian tentang tujuan, jadwal kerja, dan prosedur pelaksanaan pengukuran yang harus diikuti dan ditaati selama proses penelitian.

123

8)

Mempersiapkan area kerja sesuai dengan rancangan dan jadwal yang telah ditentukan.

4.7.2 Protokol Penelitian Tahap persiapan dan perbaikan sistem kerja nelayan dengan mengikuti proses tahapan uraian seperti ini : 1) Mempersiapkan kelengkapan administrasi yang diperlukan meliputi pengurusan surat ijin tempat penelitian pada sahbandar Amurang, surat pemeberitahuan kepada Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Kabupaten Minahasa Selatan dan kwitansi pembayaran kapal motor penelitian khususnya pukat cincin. 2) Penetapan sampel peneltian sesuai random sampling rancangan sama subyek sebanyak 18 0rang nelayan pukat cincin berdasarkan inform

concent surat persetujuan dari subyek sebagai responden. 3) Mengukur antropometri (ukuran tubuh) subyek penelitian khususnya ukuran bagian-bagian tubuh seperti: tinggi tubuh, berat, jangkauan lengan, tinggi badan duduk, tinggi mata duduk, tinggi popliteal, panjang lengan atas, panjang lengan bawah dan tinggi siku dalam piosisi duduk khususnya pada saat menarik pukat cincin dengan intervensi ergonomi menggunakan alat kerja katrol. 4) Indentifikasi setiap permasalahan ergonomi dengan melakukan studi pendahuluan dengan fokus pada 8 aspek permasalahan ergonomi yang meliputi : (1) gizi/nutri kerja; (2) penggunaan tenaga otot; (3) sikap

124

kerja; (4) lingkungan kerja; (5) waktu kerja; (6) sistem informasi; (7) kondisi sosial budaya; (8) interaksi manusia mesin. 5) Mensosialisasikan hasil pengukuran kepada masing-masing subyek penelitian untuk diketahui guna memperkuat analisis data penelitian. 6) Menyusun anggaran dan belanja untuk pembelian bahan peralataan katrol meliputi : pipa besi berdiameter 80 dan panjang 40 cm sebanyak 2 unit; besi ukuran 5,8 cm sebanyak 2 saf; besi poros panjang 60 cm, mur, bout, gerigi, cat warna dan papan cempaka serta biaya pembayaran teknisi pengelasan untuk pembuatan alat kerja katrol. 7) Mengangkat dan meletakkan alat kerja katrol di atas perahu untuk digunakan pada waktu melakukan perbaikan kondisi kerja melalui intervensi ergonomi pada proses penangkapan ikan dengan pukat cincin 8) Pembelian alat pelindung diri nelayan seperti : jaket hujan , topi dan sarung tangan digunakan pada waktu melakukan perbaikan sistem kerja penangkapan ikan dengan pukat cincin dengan intervensi ergonomi. 9) Mempersiapkan makanan dan air minum (Aqua gelas) untuk digunakan pada saat melakukan penangkapan ikan dengan intervensi ergonomi. 10) Untuk mengubah sikap kerja berdiri menjadi sikap kerja duduk, maka diperlukan penambahan alas duduk papan khusus untuk penarikan tali pukat cincin berdasarkan hasil antropometri yang diukur.

125

11) Mempersiapkan alat tulis menulis dan peralatan kerja lainnya yang berhubungan

dengan

penelitian

di

Lokasi

penelitian

daerah

penangkapan ikan perairan laut Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara.

4.7.3

Tahap Pelaksanaan

4.7.3.1 Periode Sebelum Intervensi (selama 4 hari) 1)

Peneliti dan 2 orang asisten peneliti berada dalam persiapan 1 jam sebelum pergi melaut berkumpul bersama-sama di tepi pantai dan mengadakan pengecekan satu persatu.

2)

Peneliti dan 2 orang asisten peneliti, dan bersama subjek 18 orang nelayan naik ke perahu menuju lokasi penelitian di areal penangkapan ikan dengan menempuh jarak 20 mil laut (36 Km) atau 5 jam perjalanan mulai pukul 11.00-16.00 WITA.

3)

Setibanya di lokasi penelitian pukul 17.00 WITA diberikan penyampaian arahan tentang cara-cara yang akan dilakukan subyek selama proses penangkapan ikan.

4)

Pimpinan yang disebut tonaas mengadakan pengecekan pada masingmasing anggota yaitu: (1) nelayan yang bertugas menarik tali cincin 8 orang (2) yang bertugas menarik pelampung 4 orang dan (3) nelayan yang bertugas menarik isi perut jaring 6 orang.

5)

Sebelum

melakukan

aktivitas

penangkapan

ikan,

maka

dilakukan

pengukuran denyut nadi istirahat sebagai data awal: subyek dalam posisi duduk santai, tangan kanan/kiri diletakkan di atas paha dan peneliti mulai

126

bertugas mengambil data (a) denyut nadi istirahat secara palpasi pada masing-masing nelayan pada arteri radialis kiri selama 15 detik; (b) mengisi kuesioner Nordic Body Map (NBM) sebelum intervensi: subyek melihat peta tubuh dan menandai kolom yang telah disediakan sesuai dengan tingkat keluhan yang dirasakan pada setiap bagian otot tubuh: (c) mengisi kuesioner kelelahan 30 items of Rating Scales dengan skala likert sebelum intervensi: (d) mengisi kuesioner kesejahteraan yang dipersiapkan peneliti sebelum intervensi. 6)

Tepat pukul 23.00 Wita yang ditandai dengan bunyi suling, maka operasi penangkapan dimulai dan masing-masing subjek melakukan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan yang disebut tonaas.

7)

Penawuran atau melepas jaring 6 orang dan pelampung 4 orang serta tali cincin 8 orang.

8)

Penawuran jaring 10 menit, melingkar secara horisontal 10 menit, memagari jaring secara vertikal dari permukaan sampai suatu kedalaman 10 menit, mengurung dengan menutup bagian bawah jaring 10 menit. Sehingga total waktu penawuran jaring 40 menit.

9)

Selama melakukan aktivitas kerja penangkapan ikan menarik pukat cincin, maka pengambilan data denyut nadi kerja, dilakukan setiap 30 menit selama kerja dengan menggunakan metode 10 denyut, subyek dalam posisi berdiri, dan dilakukan tanpa menghentikan aktivitas kerja

10)

Proses penangkapan ikan sebelum intervensi dari nomor 1 sampai 9 diatas diulang selama 4 kali selama proses penangkapan.

127

Washing Out Period (WOP) 3 hari (istirahat) tidak boleh melaut dan melaksanakan pekerjaan yang lain seperti membuat ikan garam.

4.7.3.2 Periode Dengan Intervensi (selama 4 hari) 1)

Peneliti dan 2 orang asisten peneliti berada dalam persiapan 1 jam sebelum pergi melaut berkumpul bersama-sama di tepi pantai dan mengadakan pengecekan satu persatu.

2)

Peneliti dan 2 orang asisten peneliti, dan bersama subjek 18 orang nelayan naik ke perahu menuju lokasi penelitian di areal penangkapan ikan dengan menempuh jarak 20 mil laut (36 Km) atau 5 jam perjalanan mulai pukul 11.00-16.00 WITA.

3)

Setibanya di lokasi penelitian pukul 17.00 WITA diberikan penyampaian arahan tentang cara-cara yang akan dilakukan subyek selama proses penangkapan ikan.

4)

Pimpinan yang disebut tonaas mengadakan pengecekan pada masingmasing anggota yaitu: (1) nelayan yang bertugas menarik tali cincin 8 orang (2) yang bertugas menarik pelampung 4 orang dan (3) nelayan yang bertugas menarik isi perut jaring 6 orang.

5)

Sebelum melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan intervensi, maka dilakukan pengukuran denyut nadi istirahat sebagai data awal: subyek dalam posisi duduk santai, tangan kanan/kiri diletakkan di atas paha dan peneliti mulai bertugas mengambil data (a) denyut nadi istirahat secara palpasi pada masing-masing nelayan pada arteri radialis kiri selama 15 detik; (b) mengisi kuesioner Nordic Body Map (NBM): subyek melihat peta tubuh dan

128

menandai kolom yang telah disediakan sesuai dengan tingkat keluhan yang dirasakan pada setiap bagian otot tubuh: (c) mengisi kuesioner kelelahan 30

items of Rating Scales dengan skala likert: (d) mengisi kuesioner kesejahteraan yang dipersiapkan peneliti. 6)

Tepat pukul 23.00 Wita yang ditandai dengan bunyi suling, maka operasi penangkapan dimulai dan masing-masing subjek melakukan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan oleh pimpinan yang disebut tonaas.

7)

Penawuran atau melepas jaring 6 orang dan pelampung 4 orang serta tali cincin 8 orang.

8)

Penawuran jaring 10 menit, melingkar secara horisontal 10 menit, memagari jaring secara vertikal dari permukaan sampai suatu kedalaman 10 menit, mengurung dengan menutup bagian bawah jaring 10 menit. Sehingga total waktu penawuran 40 menit.

9)

Pengambilan data denyut nadi kepada masing-masing dilakukan pada saat penarikan pukat cincin setiap 30 menit. Mulai pukul 23.00 sampai pukul 04.30 wita, waktu penarikan tali cincin lebih cepat 30 menit karena menggunakan alat katrol, subjek dalam posisi duduk dan mengambil waktu istirahat 5 menit untuk minum teh setelah jaring terkunci.

10)

Proses penangkapan ikan dengan intervensi dari nomor 1 sampai 9 diatas diulang subjek selama 4 x selama proses penangkapan.

Washing Out Period (WOP) 3 hari (istirahat) tidak boleh melaut dan melaksanakan pekerjaan yang lain seperti membuat ikan garam.

129

4.8 Teknik Analisis Data Data yang akan diperoleh dan teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut. 1)

Data kondisi subjek dianalisis dengan cara (a) umur, tinggi badan, dan berat badan dicari rata-rata dan simpangan bakunya dan (b) antropometrik nelayan dicari persentil 5, 50 dan 95.

2)

Pengaruh variabel bebas yaitu proses melakukan penangkapan ikan dengan pukat cincin melalui pendekatan ergonomi total terhadap variabel tergantung yaitu kinerja (indikator: beban kerja, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal) dan kesejahteraan (indikator: pengembalian investasi, titik impas dan pendapatan nelayan) diuji dengan menggunakan uji t paired pada taraf signifikansi 5%, bila data berdistribusi normal, dan akan menggunakan

uji wilcoxon bila data tidak berdistribusi normal. Untuk pengujian normalitas data akan digunakan uji Shapiro-Wilk. Analisis akan dilakukan dengan SPSS release 13.0. Hipotesis statistik yang akan diuji adalah sebagai berikut. 1.1 Ho: µ1 = µ2 (rerata frekuensi denyut nadi kerja nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin pada periode TI sama dengan rerata frekuensi denyut nadi pada periode DI). Ha: µ1

>

µ2 (rerata frekuensi denyut nadi nelayan penangkap ikan

dengan pukat cincin pada periode TI lebih tinggi daripada rerata frekuensi denyut nadi pada periode DI). Aturan keputusan: Tolak Ho (terima Ha) bila p-value dari statistik uji < 0,05 (taraf signifikansi), dan terima Ho bila p-value dari statistik uji > 0,05.

130

1.2 Ho: µ1 = µ2 (rerata skor kelelahan nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin pada periode TI sama dengan rerata skor kelelahan pada periode DI). Ha: µ1 > µ2 (rerata skor kelelahan nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin pada periode TI lebih tinggi dari pada rerata skor kelelahan pada periode DI). Aturan keputusan: Tolak Ho (terima Ha) bila p-value dari statistik uji < 0,05 (taraf signifikansi), dan terima Ho bila p-value dari statistik uji > 0,05. 1.3 Ho: µ1 = µ2 (rerata skor keluhan muskuloskeletal nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin pada periode TI sama dengan rerata skor keluhan muskuloskeletal pada periode DI). Ha: µ1 > µ2 (rerata skor keluhan muskuloskeletal nelayan pada periode TI lebih tinggi dibandingkan dengan rerata skor keluhan muskuloskeletal pada periode DI). Aturan keputusan: Tolak Ho (terima Ha) bila p-value dari statistik uji < 0,05 (taraf signifikansi), dan terima Ho bila p-value dari statistik uji > 0,05. 1.4 Ho: µ1 = µ2 (rerata skor kesejahteraan nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin pada periode TI sama dengan rerata skor kesejahteraan periode DI). Ha: µ1 > µ2 (rerata skor kesejahteraan nelayan penangkap ikan dengan pukat cincin pada periode TI sama lebih tinggi dengan rerata skor kesejahteraan periode DI).

131

3)

Data iklim mikro yang terdiri dari kecepatan angin, suhu udara, dan kelembaban udara angin yang diambil rata-rata setiap interval 10 menit dijadikan data pendukung. Analisis untuk komparabilitas iklim mikro pada kedua periode menggunakan uji t independen pada taraf signifikansi 5%. Terlebih dahulu diadakan uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk test. Bila data tidak normal akan digunakan uji Mann-Whitney pada taraf signifikan 5 %.

4.9 Antropometri Subjek Pengukuran antropometri dalam penelitian ini adalah antropometri duduk, dimana data antropometri pada saat diukur subyek dalam posisi duduk tegak di atas buritan kapal/perahu penangkap ikan dalam posisi menarik tali pukat cincin pada waktu proses penangkapan ikan.

Tabel 4.3 Nilai Persentil, Simpang Baku dan Rentangan Antropometri Subjek Nelayan Pukat Cincin Antropometri Tubuh (cm) Jangkauan lengan

Persentil 5 (5th) 65,61

Persentil 95 (95th) 73,43

2,64

Rentangan (cm) 65 – 76

Tinggi badan duduk

113,53

123,97

3,36

115 – 126

Tinggi mata duduk

102,80

115,07

3,74

103 – 117

Tinggi popliteal

37,58

48,17

2,63

37 – 49

Panjang lengan atas

27,03

31,87

1,73

26 – 35

Panjang lengan bawah

22,37

27,98

1,41

22 – 30

Tinggi siku dalam posisi duduk

53,93

64,04

3,04

53 – 65

SB

132

4.10 Tahap-tahap Pengembangan Desain Katrol Proses pengembangan desain sebuah alat mempunyai urutan langkahlangkah atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan sebuah konsep desain dan mengkomersilkan suatu produk adalah sebagai berikut. 1.

Pengembangan konsep Mengidentifikasi kebutuhan target konsumen, mengevaluasi alternatif konsep dan menentukan konsep tunggal untuk pengembangan lebih lanjut.

2.

Desain tahapan sistem Membuat rancangan produk, geometri produk, pembagian produk menjadi subsistem dan komponen beserta spesifikasinya dan diagram alir proses perakitan produk.

3.

Desain detail Dokumentasi kontrol untuk produk file yang berisi ukuran setiap komponen, spesifikasi komponen-komponen yang dibeli, peralatan produksi, dan perencanaan untuk pabrikasi dan perakitan produk.

4.

Pengujian dan perbaikan Pembuatan prototype misalnya A yang merupakan prototype yang dibuat dengan menggunakan komponen-komponen dengan bentuk dan jenis material pada produksi sesungguhnya, namun tidak membutuhkan proses pabrikasi dengan proses yang sama dengan yang dilakukan pada produksi yang sesungguhnya; dan prototype misalnya B yang dibuat dengan komponen-komponen yang dibutuhkan pada produksi namun dirakit dengan menggunakan proses perakitan akhir seperti pada proses

133

perakitan sesungguhnya. kedua prototype tersebut diuji dengan ketat baik secara internal maupun diuji oleh konsumen dalam lingkungan pengguna. 5.

Produksi Ramp up dalam tahap ini produk dibuat dengan sistem produksi yang sebenarnya, dengan tujuan untuk melatih tenaga kerja dan untuk menyelesaikan permasalahan yang masih terdapat dalam proses produksi. dalam fase ini terdapat launch produc. Lebih jelas tahap-tahap pengembangan desain alat kerja dapat ditunjukkan di bawah ini :

4.10.1 Spesifikasi Alat Katrol untuk Pukat Cincin

Gambar 4.4. Alat Katrol Pukat Cincin

134

Tabel 4.4 Spesifikasi Alat Katrol Penarik Pukat Cincin Jenis Peralatan Perahu pukat cincin Tempat duduk

Tempat bahan baku Alat katrol

Alat ukur katrol

Ukuran Panjang : 21,5 m Lebar : 5,15 m Dalam : 2,25 m Panjang : 36 cm Lebar : 25 cm Tinggi dari lantai : 20 – 40 cm Panjang : 60 cm Lebar : 60 cm Tinggi dari lantai : 20 – 40 cm Panjang : 135 cm Lebar : 120 cm Tinggi dari lantai : 120 cm Ukuran disesuaikan dengan ukuran produk.

Bahan Kayu dan besi Kayu papan, spon gabus dan karet

Keterangan Menggunakan mesin tempel 40PK (5 buah) Ketinggian dapat disesuaikan

Besi, papan, mur, baut, bendrat dan karet. Balok papan, mur, baut, bendrat.

Ketinggian dapat disesuaikan

Besi dan cat

Sudah standar

Sistem kerja ditarik generator.

Data pembuatan alat katrol sebagai ditunjukkan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Alat Katrol Pukat Cincin

135

4.10.2 Penggunaan Alat Kerja Katrol Berdasarkan data hasil pengukuran antropometri para nelayan pukat cincin,

maka dalam pembuatan desain alat kerja katrol yang ergonomi

menggunakan pendekatan ergonomi total yang terdiri dari pendekatan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner, Partisipatori) dan Penerapan Teknologi Tepat Guna (Manuaba, 2003e;2005a). Pendekatan ergonomi total merupakan salah satu bentuk intervensi ergonomi yang bertujuan untuk mendapatkan sistem kerja yang manusiawi, kompetititf dan lestari. Sikap kerja dengan menggunakan alat kerja katrol yang ergonomis seperti tampak pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Sikap kerja nelayan menggunakan alat kerja katrol

Sikap tubuh manusia ketika melakukan pekerjaan diakibatkan oleh hubungan antara dimensi pekerja dengan dimensi variasi dari tempat kerjanya disebut sikap kerja (Phesant, 1991). Sikap kerja nelayan pada waktu melakukan

136

aktivitas penangkapan ikan dengan menarik tali pukat cincin dilakukan dengan sikap kerja paksa. Sikap kerja paksa dapat menyebabkan timbulnya berbagai gangguan pada sistem otot skeletal (Manuaba, 1990; Adiputra, 1998). Kondisi tersebut tentunya akan dapat menyebabkan keluhan atau kenyerian pada bagian otot-otot

skeletal,

khususnya

pinggang

dan

punggung

serta

otot-otot

bagianbawah seperti : paha, lutut, betis, pantat dan kaki; dan bagian atas seperti : pergelangan tangan kanan dan kiri, bahu, leher dan sebagainya.

137

4.11 Alur Penelitian SAMPEL 18 orang Periode TI

Tahap Persiapan Penetapan tempat penelitian Meminta persetujuan (subjek) Data antropometri Membuat desain Mempersiapan alat dan petugas Tray out tempat dan uji coba Tahap Pelaksanaan Aktivitas penangkapan Tanpa Intervensi Pengukuran / Pengambilan Data Kinerja: 1) beban kerja, 2) kelelahan, 3) keluhan muskuloskeletal 4) kesejahteraan

Washing Out 3 hari

Treatment by subject Analisisnya uji t-paired

Periode DI

Tahap Persiapan Penetapan tempat penelitian Meminta persetujuan (subjek) Data antropometri Membuat desain Mempersiapan alat dan petugas Tray out tempat dan uji coba Tahap Pelaksanaan Aktivitas penangkapan dengan Intervensi Pengukuran / Pengambilan Data Kinerja: 1) beban kerja, 2) kelelahan, 3) keluhan muskuloskeletal 4) kesejahteraan

Gambar 4.7. Alur Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1

Subjek Penelitian Data karakteristik subjek nelayan pukat cincin meliputi : umur, berat

badan, tinggi badan, dan indeks masa tubuh (IMT), disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Data Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Subjek

Rerata

SD

Rentangan

Berat badan (kg)

63,06

3,15

57 – 70

Umur (thn)

51,28

3,34

45 – 57

160,94

4,09

153 – 168

Tinggi badan (cm) Indeks masa tubuh (IMT, kg/m2)

24,35

0,97 22,04 – 25,48

Dari Tabel 5.1 terlihat bahwa berat badan subjek berkisar dari 57 kg sampai 70 kg dengan rerata 63,06 ± 3,15 kg. Umur subjek berkisat dari 45 tahun sampai 57 tahun dengan rerata 51,28 ± 3,34 tahun. Tinggi badan subjek berkisar dari 153 cm sampai 168 cm dengan rerata 160,94 ± 4,09 cm. Berdasarkan data berat badan dan tinggi badan maka diperoleh IMT subjek berkisar dari 22,04 sampai 25,48 kg/m2. Indeks Massa Tubuh (IMT) dan umur subjek menjadi unsur karakteristik utama dalam menentukan sampel yang terlibat dalam penelitian, terutama berkaitan dengan kriteria inklusi sebagaimana dinyatakan dalam Bab III.

138

139

5.2

Antropometri Subjek Data Pengukuran antropometri subjek dalam penelitian ini adalah

Antropometri duduk, dimana pada saat dukur subjek dalam posisi duduk tegak di atas buritan perahu pada proses penangkapan ikan di saat menarik pukat cincin. Penerapan data antropometri memerlukan nilai rerata dan simpang baku dari data pengamatan yang berdistribusi normal dan nilai persentil, sebagaimana tabel 5.2 di bawah ini.

Tabel 5.2 Nilai Persentil, Simpang Baku dan Rentangan Antropometri Subjek Nelayan Pukat Cincin Antropometri Tubuh (cm) Jangkauan Lengan Tinggi Badan Duduk Tinggi Mata Duduk Tinggi Popliteal Panjang Lengan Atas Panjang Lengan Bawah Tinggi Siku dalam Posisi Duduk

Persentil 5 (5th) 65,61 113,53 102,80 37,58 27,03 22,37 53,93

Persentil 95 (95th) 73,43 123,97 115,07 48,17 31,87 27,98 64,04

Simpang Baku (SB) 2,64 3,36 3,74 2,63 1,73 1,41 3,04

Rentangan (cm) 65 –76 115 – 12 103 – 117 37 – 49 26 – 35 22 – 30 53 - 65

5.3 Kondisi Lingkungan Kerja Kondisi lingkungan kerja yang dimaksud adalah mengenai kondisi iklim mikro tempat kerja nelayan pukat cincin melakukan proses penangkapan ikan di perairan laut Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Dalam penelitian ini iklim mikro yang didata meliputi kecepatan angin, suhu udara, dan kelembaban relatif (relative humidity). Data hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 8. Hasil uji normalitas data iklim mikro disajikan pada Lampiran

140

12. Hasil pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa data iklim mikro pada periode I sampai periode IV tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal dengan p0,05), berarti tidak ada perubahan yang bermakna antara periode tanpa intervensi dan periode dengan intervensi.

5.4 Beban Kerja Beban kerja dinilai dari perubahan denyut nadi nelayan pada saat melakukan penarikan pukat cincin, yang dihitung dengan metode sepuluh denyut (ten pulse method) pada nadi radialis tangan kiri dalam posisi berdiri sebelum intervensi dan dalam posisi duduk setelah melakukan intervensi. Denyut nadi yang dihitung adalah : a) denyut nadi istirahat (rest pulse rate) yang dihitung adalah sebelum nelayan melakukan penangkapan ikan, b) denyut nadi kerja (work

pulse rate) yang dihitung adalah setiap kali melakukan penangkapan pada saat menarik tali pukat cincin dan diukur dengan cepat sehingga nelayan belum sempat istirahat, dan c) nadi kerja (working pulse rate), yang dihitung adalah denyut nadi kerja (DNK) dikurangi denyut nadi istirahat (DNI) sama dengan nadi kerja (NK) sesudah nelayan selesai menarik pukat cincin. Hasil pengamatan beban kerja yang diukur dari denyut nadi kerja sesuai prosedur metodologis yang telah ditetapkan, disajikan pada Lampiran 11. Hasil uji normalitas data untuk rata-rata denyut nadi istirahat, denyut nadi kerja dan nadi kerja disajikan pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil tersebut maka terlihat bahwa data denyut nadi istirahat tampa intervensi dan dengan intervensi hanya dua

142

semua berasal dari populasi yang berdistribusi normal dengan p > 0,05, yang lainnya tidak dengan p