JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN - Ekonomi Pembangunan ...

112 downloads 6589 Views 1MB Size Report
Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model ... menghabiskan waktu serta energi, maka Jurnal Ekonomi dan Kebijakan  ...
ISSN 1979–715X

JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNNES Volume 1, Nomor 1, September, 2008

DAFTAR ISI ƒ

ƒ

ƒ

ƒ

ƒ

ƒ

ƒ

ƒ

ƒ

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pati Tahun 2002–2005 Bambang Prishardoyo ...................................................................................................................

1–8

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang terhadap Kemacetan Lalulintas di Wilayah Pinggiran dan Kebijakan yang Ditempuhnya Etty Soesilowati ..............................................................................................................................

9–17

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas P. Eko Prasetyo ..............................................................................................................................

18–31

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah Hadi Sasana .....................................................................................................................................

32–40

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: Studi Kasus Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru di Indonesia Andryan Setyadharma .....................................................................................................................

41–49

Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model Logit Shanty Oktavilia ...............................................................................................................................

50–62

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal sebagai Political Process dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Lesta Karolina Sebayang ....................................................................... ........................................

63–69

Peningkatan Produksi Kerajinan sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan Siti Maisaroh .....................................................................................................................................

70–82

INDEK ................................................................................................................................................

83

Pengantar Redaksi

Salam hormat dan kasih, Puji syukur redaksi pajatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahNya yang diberikan kepada kita semua. Hanya dengan kekuasaanNya-lah, dan setelah melalui proses yang cukup menghabiskan waktu serta energi, maka Jurnal Ekonomi dan Kebijakan (JEJAK) Volome 1, Nomor 1, September 2008, yang dikelola oleh Tim Redaksi di Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES dapat terbit perdana untuk mengunjungi Anda semua. Redaksi mengucapkan terimakasih atas dapat terbitnya perdana jurnal JEJAK ini kepada semua pihak terutama kepada seluruh pengirim artikel dan penyunting Ahli. Sungguh menjadi kebanggaan redaksi tersendiri karena semua artikel yang terbit pada edisi perdana ini tanpa disadari ternyata saling keterkaitan yang teridentifikasi dari masalah pertumbuhan ekonomi, kebijakan, investasi, model teori dan aplikasi serta upaya cara mengatasinya yang tercermin dalam masalah upaya pengentasan kemiskinan baik dari kajian teori maupun aplikasinya. Pada terbitan perdana ini, disajikan delapan artikel yang 87,5% atau tujuh artikel merupakan hasil riset dan 12,5% atau satu artikel merupakan hasil kajian teoritis. Semua artikel ini merupakan kajian kusus dalam ruang lingkup bidang ilmu ekonomi pembangunan dan kebijakan. Artikel pertama ditulis oleh Bambang Prishardoyo menganalisis tentang tingkat pertumbuhan ekonomi dan potensi ekonomi terhadap PDRB di Kabupaten Pati periode 2000-2005. Selanjutnya Etty Soesilowati menganalisis tentang dampak pertumbuhan ekonomi Kota Semarang terhadap kemacetan lalulintas di wilayah pinggiran dan kebijakan yang ditempuhnya. Untuk menjembatani masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan masalahnya, baik ditingkat regional maupun nasional, P. Eko Prasetyo mengkaji masalah kualitas pertumbuhan ekonomi melalui; peran faktor teknologi dan investasi human capital sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Masih terkait tetang kajian investasi, Hadi Sasana mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta di Jawa Tengah. Selanjutnya, kajian dari segi model teori ekonomi dan aplikasinya diawali dari artikel hasil karya Andryan Setyadharma yang mengkaji penentuan bentuk fungsi model empirik; studi kasud permintaan kendaraan roda empat di Indonesia. Sedangkan, Shanty Oktavilia, telah mengidentifikasikan variabel makro dengan model logit untuk mengkaji masalah diteksi dini krisis perbankan Indonesia. Kajian model selanjutnya tentang keterkaitan desentralisasi fiskal sebagai political proces dengan tingkat kemiskinan di Indonesia adalah merupakan artikel hasil karya dari Lesta Karolina Sebayang. Kemudian sebagai penutup dalam edisi perdana ini, masih terkait dengan artikel masalah kemiskinan, Siti Maisaroh telah mengkaji masalah peningkatan produksi kerajinan sebagai upaya mendukung program pengentasan kemiskinan. Akhir kata, berbagai upaya telah tim redaksi upayakan agar jurnal ini berkualitas. Namun, karena jurnal ini baru terbit pertama kali dan belum banyak pengalaman sudah barang tentu masih banyak kekurangan. Karena itu, jika ada kritik dan saran yang membangun demi lebih sempurnanya jurnal ini dapat redaksi terima dengan senang hati. Harapan redaksi semoga terbitnya jurnal JEJAK ini akan banyak manfaatnya bagi para pembaca semua. Amin.

Semarang, September 2008 Pimpinan Redaksi

ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN EKONOMI DAN POTENSI EKONOMI TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2005 Bambang Prishardoyo Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:[email protected]

ABSTRACT Developing the economy in a region is a process in which a regional government and its society manage and exploit their resources by having a partnership between the regional government and private businessmen, so that it stimulate the economy activities or increase the economy growth and there will be a new wide range of work fields. The problems of the present study are stated as follow: (1)what sectors are the basis for Kabupaten Pati from 2000 to 2005? (2)what are the roles of kabupaten Pati and the others areas in supporting the economy growth. The aims of the study are: (1) for knowing which economy sectors that become the basis for kabupaten Pati, (2) the roles of Kabupaten Pati and the others area in supporting the economy growth. This study uses quantitative qualitative approach and the data analyzed are taken from Kabupaten Pati. Furthermore, in analyzing the data, economy based model which uses location quotient(LQ) analysis, shift share analysis, gravity analysis was chosen. Finally, the LQ analysis showed that the basis sectors that could be developed were agricultural sector (average: 1,66); electricity, gas and water sector (average: 1,27); construction sector (average: 1,14); finance, rent and company services sector (average: 1,71) and the gravity analysis showed that the interaction between Kabupaten Pati and Kudus was the best and the strongest. Keywords: economic growth, economic base. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perjalanan pembangunan ekonomi telah menimbulkan berbagai macam perubahan terutama pada struktur perekonomian. Perubahan struktur ekonomi merupakan salah satu karakteristik yang terjadi dalam pertumbuhan ekonomi pada hampir setiap negara maju. Berdasarkan catatan sejarah tingkat pertumbuhan sektoral ini termasuk pergeseran secara perlahan dan kegiatan-kegiatan pertanian menuju ke kegiatan non pertanian dan akhir-akhir ini dari sektor industri ke sektor jasa (Arsyad, 1995:75). Pembangunan daerah sebagai integral dari pembangunan nasional merupakan suatu proses perubahan yang terencana dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang di dalamnya melibatkan seluruh kegiatan yang ada melalui dukungan masyarakat di berbagai sektor. Pembangunan daerah harus sesuai dengan kondisi potensi serta aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang. Apabila pelaksanaan prioritas pemba-

ngunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka pemanfaatan sumber daya yang ada menjadi kurang optimal. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Proses lajunya pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertambahan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), sehingga tingkat perkembangan PDRB per kapita yang dicapai masyarakat seringkali sebagai ukuran kesuksessan suatu daerah dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi. (Sukirno, 1981:23).Secara makro pertumbuhan dan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun merupakan indikator dari keberhasilan pembangunan daerah yang dapat dikategorikan dalam berbagai sektor ekonomi yaitu: Pertanian, Pertambangan dan penggalian, Industri pengolahan, Listrik, gas dan air bersih, Bangunan, Perdagangan, perhotelan dan restoran, Pengangkutan dan komunikasi, Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, Sektor jasa lainnya.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

1

Semakin besar sumbangan yang diberikan oleh masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB suatu daerah maka akan dapat melaksanakan pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di lihat dari PDRB merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi melalui indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang berarti pula akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah peran pemerintah sangat diperlukan yaitu dalam pembuatan strategi dan perencanaan pembangunan daerah, dengan memperhatikan pergeseran sektor ekonomi dari tahun ke tahun. Perumusan Masalah

perubahan dan modernisasi dalam struktur ekonomi yang umumnya tradisional, sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan itu lebih besar dalam GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau apakah terjadi perubahan struktur atau tidak (Sukirno,1981:13-14). Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu: 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs). 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia. 3. Meningkatnya kemauan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.

2. Sejauh manakah keterkaitan Kabupaten Pati dengan daerah-daerah sekitarnya sehingga saling menunjang pertumbuhan ekonominya?

Dari definisi tersebut jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai empat sifat penting pembangunan ekonomi merupakan: Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus, usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita, kenaikan pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang, perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya).

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Pertumbuhan Ekonomi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sektor-sektor ekonomi mana yang paling strategis untuk dikembangkan dan menganalisis keterkaitan-keterkaitan Kabupaten Pati dengan daerah di sekitarnya sehingga saling menunjang pertumbuhan ekonominya. Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dan bahan kajian tentang perkembangan perekonomian daerah.

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. (Arsyad,1997:13). Jika ingin mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi kita harus membandingkan pendapatan nasional dari tahun ke tahun. Dalam membandingkannya harus disadari bahwa perubahan nilai pendapatan yang nasional yang terjadi dari tahun ke tahun disebabkan oleh dua faktor yaitu perubahan tingkat kegiatan ekonomi dan perubahan harga-harga. Adanya pengaruh dari faktor yang kedua tersebut disebabkan oleh penilaian pendapatan nasional menurut harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai lebih tinggi dari waktu sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Sektor-sektor ekonomi mana yang menjadi basis untuk dikembangkan sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati?

LANDASAN TEORI Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi diartikan sebagai peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yaitu tingkat pertambahan Gross Domestic Product (GDP) pada satu tahun tertentu melebihi tingkat pertambahan penduduk. Perkembangan GDP yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dibarengi oleh

2

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Sukirno 1994:425): a. Tanah dan kekayaan alam lain Kekayaan alam akan mempermudah usaha untuk membangun perekonomian suatu negara, terutama pada masa-masa permulaan dari proses pertumbuhan ekonomi. b. Jumlah dan mutu penduduk dan tenaga kerja Penduduk yang bertambah akan mendorong maupun menghambat pertumbuhan ekonomi. Akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada pertumbuhan ekonomi dapat terjadi ketika jumlah penduduk tidak sebanding dengan faktor-faktor produksi yang tersedia. c. Barang-barang modal dan tingkat teknologi Barang-barang modal penting artinya dalam mempertinggi efisiensi pertumbuhan ekonomi, barang-barang modal yang sangat bertambah jumlahnya dan teknologi yang telah menjadi bertambah modern memegang peranan yang penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi yang tinggi. d. Sistem sosial dan sikap masyarakat Sikap masyarakat akan menentukan sampai dimana pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. e. Luas pasar sebagai sumber pertumbuhan Adam Smith telah menunjukkan bahwa spesialisasi dibatasi oleh luasnya pasar, dan spesialisasi yang terbatas membatasi pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator ekonomi makro yang dapat memberikan gambaran tentang keadaan perekonomian suatu wilayah. Di dalam menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang di timbulkan dari suatu region, ada 3 pendekatan yang digunakan yaitu: 1. PDRB menurut pendekatan produksi Merupakan jumlah nilai barang atau jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi yang berada di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.

2. PDRB menurut pendekatan pendapatan Merupakan balas jasa yang digunakan oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam waktu tertentu. 3. PDRB menurut pendekatan pengeluaran Merupakan semua komponen pengeluaran akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok dan ekspor neto dalam jangka waktu tertentu. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson (1973) yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Dalam teori basis ekonomi (economic base) bahwa semua wilayah merupakan sebuah sistem sosio ekonomi yang terpadu. Teori inilah yang mendasari pemikiran teknik location quotient, yaitu teknik yang membantu dalam menentukan kapasitas ekspor perekonomian daerah dan derajat keswasembada (Self-sufficiency) suatu sektor. Menurut Glasson (1990:63-64), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor yaitu: a. Sektor-sektor basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. b. Sektor-sektor bukan basis adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan. METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah PDRB sektoral Kabupaten Pati dan Jawa Tengah yang dihitung berdasar harga konstan. Adapun sampel penelitian ini adalah PDRB atas dasar harga konstan dari tahun 2000-2005.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

3

Variabel Penelitian

(P+D)j : Yjt- (Yt/Yo) Yjo

Variabel dalam penelitian ini meliputi: pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Sektor-sektor ekonomi, Komponen Differential shift, Komponen Proportional Shift, Jarak.

Pj

: ∑i [(Yit/Yio)- (Yt/Yo)] Yijo

Dj

: ∑t [Yijt- (Yit/Yio) Yijo]

Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: wawancara merupakan alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan pertanyaan lisan dengan narasumber untuk menggali data yang diperlukan, dokumentasi merupakan suatu cara memperoleh data dengan melihat kembali laporanlaporan tertulis, baik berupa angka maupun keterangan, observasi merupakan cara pengumpulan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung. Metode Analisis Data 1. Analisis Location Quatient (LQ) Merupakan teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis sektor potensial atau basis dalam perekonomian suatu daerah. Rumus untuk menghitung LQ adalah sebagai berikut:

LQ =

yi / yt Yi / Yt

Dimana: yi = Pendapatan sektor ekonomi di Kabupaten Pati yt = Pendapatan total Kabupaten Pati (PDRB) Yi = Pendapatan sektor ekonomi di Propinsi Jawa Tengah Yt = Pendapatan total ekonomi di Propinsi Jawa Tengah 2. Analisis Shift Share Adalah suatu teknik untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Rumus analisis shift share (John Glosson 1990: 95-96) sebagai berikut:

4

Gj

: Yjt – Yjo

Nj

: Yjo(Yt/Yo)- Yjo

Keterangan: Gj : Pertumbuhan PDRB Total Nj : Komponen Share Pj : Proportional Shift Dj : Diferential Shift Y : PDRB total Propinsi Jawa Tengah o,t : Periode Awal dan Periode Akhir 3. Analisis Gravitasi (keterkaitan wilayah) Adalah analisis untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan (inter linkage) antara Kabupaten Pati dengan Kabupaten lain disekitar. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tij =

Pi Pj d 2 ij

Dimana : T ij = Daya tarik-menarik antar daerah i dengan j P i = Jumlah penduduk di daerah i P j = Jumlah penduduk di daerah j d ij = Jarak antara i dan j HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Analisis location quotient (LQ)

Berdasarkan tabel 1, maka dapat teridentifikasi yang merupakan sektor basis maupun non basis. Kabupaten Pati mempunyai 4 sektor basis, sektor tersebut yaitu sektor pertanian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor bangunan, Sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan 2. Analisis Shift Share

Berdasarkan tabel pertumbuhan komponen proporsional Kabupaten Pati selama periode 2000-2005 (lihat tabel 2), diketahui bahwa nilai proporsional shift (Pj) Kabupaten Pati dari tahun 2000-2005 nilainya ada yang positif dan negatif, hal ini bila Pj > 0, maka Kabupaten Pati akan berspesialisasi pada sektor

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

yang di tingkat propinsi tumbuh lebih cepat. Sebaliknya jika Pj < 0, maka Kabupaten Pati akan berspe-

sialisasi pada sektor yang tingkat propinsi tumbuh lebih lambat.

Tabel 1. Hasil Analisis LQ Kabupaten Pati Tahun 2000-2005 No

Lapangan Usaha

2002

2003

2004

2005

Rata-rata

1.68 1.70 1.63 (b) (b) (b) 2 Pertambangan 0.87 0.79 0.78 (nb) (nb) (nb) 3 Industri Pengolahan 0.56 0.58 0.62 (nb) (nb) (nb) 4 Listrik, Gas 1.13 1.26 1.23 (b) (b) (b) 5 Bangunan 1.15 1.19 1.16 (b) (b) (b) 6 Perdagangan 0.86 0.89 092 (nb) (nb) (nb) 7 Pengangkutan 0.97 0.92 0.89 (nb) (nb) (nb) 8 Keuangan,sewa 1.5 1.57 1.65 (b) (b) (b) 0.73 0.07 9 Jasa-jasa 0.68 (nb) (nb) (nb) Sumber : Data sekunder yang diolah Keterangan : (b) : sektor basis ; (nb) : sektor non basis

1.68 (b) 0.78 (nb) 0.61 (nb) 1.28 (b) 1.11 (b) 0.92 (nb) 0.85 (nb) 1.77 (b) 0.74 (nb)

1.65 (b) 0.78 (nb) 0.61 (nb) 1.40 (b) 1.09 (b) 0.94 (nb) 0.85 (nb) 1.86 (b) 0.74 (nb)

1.64 (b) 0.76 (nb) 0.62 (nb6) 1.33 (b) 1.12 (b) 0.92 (nb) 0.85 (nb) 1.89 (b) 0.75 (nb)

1,66 (b) 0,79 (nb) 0,6 (nb) 1,27 (b) 1,14 (b) 0,91 (nb) 0,89 (nb) 1,71 (b) 0,62 (nb)

1

2000

2001

Pertanian

Tabel 2. Komponen Pertumbuhan Proportional (Pj) Kabupaten Pati Tahun 2000-2005 SEKTOR

2000 - 2001

2001 - 2002

-28828,773 16690,748 (tlp) (tcp) 1162,3224 -105,3423 Pertambangan (tcp) (tlp) 3036,9362 11015,728 Industri (tcp) (tcp) -788,3063 2424,928 Listrik & Air Bersih (tlp) (tcp) 2467,049 12310,259 Bangunan (tcp) (tcp) -27024,162 -10418,520 Perdagangan (tlp) (tlp) 5355,749 2352,358 Pengangkutan (tcp) (tcp) -3069,867 -2235,557 Keuangan (tlp) (tlp) 28778,638 -21962,008 Jasa-jasa (tcp) (tlp) -18910,4 10072,59 Jumlah (tlp) (tcp) Sumber: Data sekunder yang diolah Keterangan (tcp): sektor tumbuh cepat di tingkat propinsi Pertanian

2002 - 2003

2003 - 2004

2004-2005

Rata-rata

-83698,962 (tlp) 135,8892 (tcp) 3159,975 (tcp) -1431,933 (tlp) 14806,030 (tcp) 1641,699 (tcp) 1268,164 (tcp) -4307,021 (tlp) 266655,567 (tcp) 198229,4 (tcp)

2422,073 (tcp) -622,633 (tlp) 8266,676 (tcp) 1142,741 (tcp) 5373,107 (tcp) -17569,732 (tlp) -637,016 (tlp) -2865,855 (tlp) 1114,488 (tcp) -3376,15 (tlp)

-8921,270 (tlp) 1049,375 (tcp) -3784,631 (tlp) 2009,783 (tcp) 3212,856 (tcp) 4734,111 (tcp) 2845,321 (tcp) -796,517 (tlp) -1347,376 (tlp) -998,348 (tlp)

-20467,237 (tlp) 323,92226 (tcp) 4338,9368 (tcp) 671,44254 (tcp) 7633,8602 (tcp) -9727,3208 (tlp) 2236,9152 (tcp) -2654,9634 (tlp) 54647,862 (tcp) 37003,41 (tcp)

; (tlp): sektor tumbuh lambat di tingkat propinsi

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

5

Tabel 3. Komponen Pertumbuhan Diferensial (Dj) Kabupaten Pati SEKTOR

2000 - 2001

2001 - 2002

2002 - 2003

2003 - 2004

2004-2005

Rata-rata

12762,709 -63398,25 6826,395 (tlcbp) (tllbp) (tlcbp) -2378,96517 -334,36382 -830,28257 Pertambangan (tllbp) (tllbp) (tllbp) 1830,2082 5220,8323 -1387,2178 Industri (tlcbp) (tlcbp) (tllbp) 3203,0862 -1070,15497 649,69086 Listrik & Air Bersih (tlcbp) (tllbp) (tlcbp) 7189,0674 -7697,7161 -12348,3434 Bangunan (tlcbp) (tllbp) (tllbp) 22364,7021 19260,6147 -19056,7144 Perdagangan (tlcbp) (tlcbp) (tllbp) -7985,4512 -5020,1101 -5293,0049 Pengangkutan (tllbp) (tllbp) (tllbp) 6643,0954 8016,7445 9201,1495 Keuangan (tlcbp) (tlcbp) (tlcbp) -15072,3952 17466,5643 -22971,7273 Jasa-jasa (tllbp) (tlcbp) (tllbp) Sumber:Data sekunder yang diolah Keterangan: (tlcbp): sektor tumbuh lebih cepat dibanding propinsi (tllbp): sektor tumbuh lebih lambat dibanding propinsi

-28382,518 (tllbp) -14,17334 (tllbp) -2125,5172 (tllbp) 1783,39201 (tlcbp) -3622,538 (tllbp) 5741,6819 (tlcbp) -3253,7639 (tllbp) 6009,4648 (tlcbp) -2087,963 (tllbp)

-28936,974 (tllbp) -1609,63037 (tllbp) 3410,6169 (tlcbp) -1757,18742 (tllbp) 2307,2126 (tlcbp) -17963,0086 (tllbp) -5149,9404 (tllbp) 1528,053 (tlcbp) 358,6539 (tlcbp)

-20225,728 (tllbp) -1033,4831 (tllbp) 1389,7845 (tlcbp) 561,76534 (tlcbp) -2834,4635 (tllbp) 2069,4551 (tlcbp) -5340,4541 (tllbp) 6279,7015 (tlcbp) -4461,3735 (tllbp)

Pertanian

Berdasarkan tabel diatas, sektor-sektor yang memiliki rata-rata positif yaitu sektor industri pengolahan dengan Dj rata-rata sebesar 1389,7845; sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 561,76534; sektor perdagangan sebesar 2069,4551; sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan sebesar 6279,7015. Sedangkan nilai negatif menunjukkan sektor tersebut tumbuh lambat dibanding dengan pertumbuhan sektor yang sama di tingkat Jawa Tengah. Sektor-sektor yang memiliki rata-rata negatif yaitu sektor pertanian dengan Dj rata-rata sebesar 20225,728; sektor pertambangan dan penggalian sebesar -1033,4831; sektor bangunan sebesar 2834,4635; sektor pengangkutan dan komunikasi

sebesar -5340,4541; sektor jasa-jasa sebesar 4461,3735. 3. Analisis Keterkaitan Wilayah (Gravitasi)

Berdasarkan perhitungan analisis gravitasi maka dapat diketahui hasil analisis gravitasi berikut pada tabel 4. Pada tabel analisis gravitasi diatas, tercermin bahwa periode penelitian penulis yang paling kuat dengan Kabupaten Pati adalah Kabupaten Kudus, kedua adalah Kabupaten Rembang, ketiga adalah Kabupaten Grobogan, keempat adalah Kabupaten Blora, Kabupaten Jepara.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Gravitasi Kabupaten Pati Tahun 2000-2005 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata

Kab. Kudus

Kab. Rembang

Kab. Grobogan

Kab. Blora

Kab. Jepara

1,393,695,814 1,422,898,580 1,461,177,242 1,522,516,811 1,551,073,788 1,599,817,751 1,491,863,31

489,762,165.9 498,435,694.7 512,012,179.1 528,224,802.8 538,028,668.2 550,943,522. 519,567,838.8

293,771,701.9 299,582,526.3 308,475,270.9 314,889,794.3 321,289,425.2 330,507,952.7 311,419,445.2

178,453,187.7 181,210,005.7 185,710,743.6 189,396,088.6 192,415,555.9 196,829,190. 185,335,795.3

127,397,013.4 130,873,780.3 135,432,685.7 142,094,449.4 145,852,852.3 151,211,392.7 138,810,362.3

Sumber : Data sekunder yang diolah 6

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

e. Sektor Bangunan

Pembahasan

Sektor bangunan merupakan sektor basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 7633,8602, yang menunjukkan bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Komponen Dj negatif sebesar 2834,4635 menunjukkan daya saing sektor ini menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibanding pertumbuhan di propinsi.

a. Sektor Pertanian Dari hasil analisis location quotient, sektor pertanian merupakan sektor basis. Analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata Pj sebesar 20467,237 sektor ini termasuk kedalam sektor yang memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Sedangkan komponen Dj sebesar 20225,728, sektor ini pertumbuhannya lebih lambat dibanding propinsi karena daya saingnya menurun.

f.

Potensi sektor perdagangan, hotel dan restoran jika dilihat dari kriteria LQ merupakan sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) sebesar -9727,3208, sektor ini memiliki pertumbuhan lebih lambat di tingkat propinsi. Nilai komponen Dj sebesar 2069,4551 menunjukkan sektor ini pertumbuhannya lebih cepat dibanding pertumbuhan di propinsi.

b. Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) sebesar 323,92226, yang berarti sektor ini merupakan sektor yang tumbuh cepat di propinsi Jawa Tengah. Komponen diferensial (Dj) sebesar -1033,4831 yang berarti sektor ini mempunyai daya saing menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat.

g. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Berdasarkan hasil analisis LQ sektor ini merupakan sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 2236,9152, yang menunjukkan bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Nilai rata-rata komponen Dj sebesar 5340,4541 menunjukkan daya saing sektor ini menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibanding pertumbuhan di propinsi.

c. Sektor Industri Pengolahan Berdasarkan hasil analisis LQ, sektor industri pengolahan termasuk sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 4338,9368. Nilai rata-rata komponen Dj adalah sebesar 1389,7845 menunjukkan daya saing sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari propinsi. d. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Hasil analisis location quotient, sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor basis dengan nilai rata-rata1,27. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 671,44254, yang menunjukkan bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Komponen Dj sebesar 561,76534 menunjukkan daya saing sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari propinsi.

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

h. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan Dari hasil analisis location quotient sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) negatif sebesar 2654,9634 yang berarti bahwa sektor ini merupakan sektor yang tumbuh lambat di propinsi Jawa Tengah. Nilai rata-rata komponen Dj sebesar 6279,7015 menunjukkan daya saing sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari propinsi. i.

Sektor Jasa-jasa Sektor jasa-jasa berdasarkan hasil analisis LQ termasuk dalam sektor non basis. Hasil analisis

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

7

shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 441425,8553 berarti bahwa sektor ini merupakan sektor yang tumbuh cepat di propinsi Jawa Tengah. Nilai komponen Dj sebesar 4533,71247 menunjukkan daya saing sektor ini menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibanding pertumbuhan di propinsi.

2. Memantapkan program keterkaitan antar sektor ekonomi baik antara sektor basis maupun non basis sehingga pertumbuhan semua sektor dapat tumbuh dan berkembang minimal setara dengan sektor-sektor sejenis secara nasional. DAFTAR PUSTAKA

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis location quotient sektor-sektor potensial yang dapat diandalkan selama tahun analisis 2000-2005 adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan. 2. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan wilayah (Gravitasi) selama tahun analisis 2000-2005 menunjukkan bahwa Kabupaten yang paling kuat interaksinya dengan Kabupaten Pati adalah Kabupaten Kudus dengan nilai interaksi rata-rata sebesar 1,491,863,31. Sedangkan yang paling sedikit interaksinya adalah Kabupaten Jepara dengan nilai interaksi rata-rata sebesar 138,810,362.3. Saran

Dari hasil kesimpulan maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Pati selaku penggerak pembangunan daerah dapat memberi perhatian pada sektor pertanian; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor bangunan; dan sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan

8

sebagai sektor-sektor basis agar berkembang lebih cepat.

Arikunto, Suharsimi,1998, Prosedur Yogyakarta: Rineka cipta.

Penelitian,

Arsyad, Lincolin,1995, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta: BPFE Badan Pusat Statistik, 2006, Kabupaten Pati Dalam Angka Djojohadikusumo, Sumitro, 1995, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembanguna, Jakarta: LP3ES. Glasson, John, 1990, Pengantar Perencanaan Regional, terjemahan Paul Sitohang, Jakarta: LPFE UI Prasetyo, Supomo, 1993, Analisis Shift- Share: Perkembangan dan Penerapan, Yogyakarta: JEBI Soeratna dan Lincolin Arsyad,1988, Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi Dan Bisnis, Yogyakarta: BPFE Suryana, 2000, Model Gravitasi sebagai Alat Pengukur Hiterland dari Central Placa: Satu Kajian Teoritik, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Yogyakarta:UGM Warpani, Suwardjoko, 1984, Analisis Kota dan Daerah, Bandung: Penerbit ITB.

Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8)

DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SEMARANG TERHADAP KEMACETAN LALULINTAS DI WILAYAH PINGGIRAN DAN KEBIJAKAN YANG DITEMPUHNYA Etty Soesilowati Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:[email protected]

ABSTRACT

The aim of this research is to know how much is the impact of Semarang economics growth to the intensity of traffic jam on Semarang – Mranggen road, and, what is the strategy to solve it. This research used descriptive percentase and SWOT analysis. The economics growth which is measured is Gross Domestic Product per capita (PDRB) during 1996 – 2005, and it had become a free variable. Meanwhile, the level of the annual average traffic jam during 1996 – 2005 had become a bounded variable. To know the policy strategy, it was done by interviewing some stake holders that has an authority in the field of transportation. The result of this research showed that the economics growth of Semarang city had impact on individual role to the traffic jam as sum of 80,9%. The rest, 44,6% was influenced by some other things such as the activity of micro trader (PKL), parking man, public transportation and also people who crossed the road. Based on SWOT analysis, the most appropriate strategy to solve the traffic jam is by integrated horizontal strategy. It means, all institutions that subordinated by Local Government (Pemda) such as Bapeda, Dinas Perhubungan dan Satpol PP, should work together to overcome the traffic jam based on each authority. Nevertheless, the role of the police of Demak County as a vertical institution is not less important. In the long run, it is important to develop a modern public transportation system which is integrated, comfortable and also efficient, geometry road system that will be able to avoid the traffic intersection, and also to educate people how to do a good manner in traffic Keywords: Economic Growth, Traffic Jam, Policy Strategic. PENDAHULUAN

Kota merupakan pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman atau daerah modal. Sedangkan daerah di luar pusat konsentrasi tersebut dinamakan dengan berbagai istilah, seperti daerah pedalamn, wilayah belakang atau pinggiran (hinterland). Daerah perkotaan seperti Semarang yang sarat akan berbagai fasilitas, prasarana dan sarana secara logis tentu memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat jika dibanding dengan wilayah yang berada di luarnya. Di satu sisi pertumbuhan ini menyebabkan semakin terbukanya kesempatan kerja baru, di sisi lain pertumbuhan ini berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan Kota semarang, antara lain Kecamatan Mranggen di Kabupaten Demak, Kecamatan Ungaran di Kabupaten Semarang, dan Kecamatan Kaliwungu di Kabupaten Kendal.

Berdasarkan data dalam buku Kecamatan Dalam Angka, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kecamatan Mranggen, Ungaran, dan Kaliwungu secara berturut-turut adalah sebesar 123.721 jiwa, 110.546 jiwa, dam 88.156 jiwa. Namun dalam kurun waktu lima tahun jumlah penduduk Kecamatan Mranggen meningkat menjadi 127.131 jiwa, Kecamatan Ungaran 124.872 jiwa, dan Kecamatan Kaliwungu 91.515 jiwa. Jika dilihat dari tingkata kepadatan penduduk, maka tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Mranggen yaitu sebesar 1,740 jiwa/km 2. Perkembangan daerah-daerah pinggiran Kota Semarang tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas pergerakan manusia yang tercermin dari peningkatan arus lalulintas pada jam-jam teretntu di pintu-pintu masuk kota. Hal itu paling terlihat di Kecamatan Mranggen, dimana pagi dan sore hari terjadi kemacetan lalulintas akibat penumpukan kendaraan pribadi, sepeda maupun angkutan umum yang membawa penduduk Mranggen ke Kota

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

9

Semarang. Jika dilihat dari mata pencahariannya, sebagian besar penduduk Mranggen banyak yang bekerja di sektor pertanian. Namun pertumbuhan penduduk di sektor ini semakin berkurang dikarenakan semakin menyempitnya lahan pertanian di satu sisi, sedangkan di sisi lain pertumbuhan industri di kota semakin cepat sehingga banyak penduduk yang beralih profesi menjadi buruh industri dan bekerja di sector informal (buruh bangunan, pedagang, dan lain-lain) Kecamatan Mranggen sebagai salah satu jalur pintu masuk ke Kota Semarang dari arah Timur ini dilalui jaringan jalan propinsi dengan fungsi kolektor primer (penghubung antar kota kecamatan maupun antar ibukota kabupaten) yaitu jalan Raya Mranggen. Di sepanjang Jalan Raya Mranggen ini terdapat beberapa persimpangan yang merupakan pangkal dari beberapa ruas jalan protokol (jalan yang menghubungkan antar bagian wilayah kecamatan atau antar pusat kegiatan) yang ada di Kecamatan Mranggen. Tingkat kepadatan lalulintas tersebut dapat disajikan pada tabel 1 dibawah. Tabel 1. menunjukan tingkat kepadatan lalulintas pada jam sibuk (pukul 06.00 – 08.00 dan 16.00 – 18.00) di berbagai ruas jalan lokal di Kecamatan Mranggen. Jalan Raya Mranggen selain merupakan pangkal dari beberapa ruas jalan lokal, jalan ini juga dilalui oleh mobilitas penduduk Kabupaten Grobokan maupun Kabupaten Blora yang menuju Kota Semarang. Untuk mewujudkan system transportasi yang tertib, lancar, nyaman serta terintegrasi diperlukan penelitian untuk menyusun alternative kebijakan yang dapat memecahkan masalah sekaligus mendukung pertumbuhan

ekonomi wilayah sekitarnya. LANDASAN TEORI

Menurut Permendagri No.2 Tahun 1987 Pasal 1 menyebutkan bahwa Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan administrasi yang diatur dalam perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan cirri kehidupan perkotaan. Kota memiliki ciri-ciri: (1) secara administratif adalah wilayah keruangan yang dibatasi oleh batas administrasi atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) secara fungsional sebagai pusat berbagai kegiatan fungsional yang didominasi oleh fungsi jasa, distribusi, dan produksi kegiatan-kegiatan pertanian; (3) secara sosial ekonomi merupakan konsentrasi penduduk yang memiliki kegiatan usaha dengan dominasi sektor non pertanian, seperti industri, perdagangan, transportasi, perkantoran, dan jasa yangsifatnya heterogen; (4) secara sosial budaya merupakan pusat perubahan budaya yang dapat mempengaruhi pola nilai budaya yang ada; (5) secara fisik merupakan suatu lingkungan terbangun (built up area) yang didominasi oleh struktur fisik binaan; (6) secara geografis merupakan suatu pemusatan penduduk dan kegiatan usahayang secara geografir akan mengambil lokasi yang memiliki nilai strategis secara ekonomi, sosial, maupun fisiografis; (7) secara demografis diartikan sebagai tempat dimana terdapat konsentrasi penduduk yang besarnya ditentukan berdasarkan batasan statistik tertentu. Secara

teoritik

Charles

C.Colby

dalam

Tabel 1. Panjang Ruas Jalan dan Tingkat Kepadatan Lalulintas di Kecamatan Mranggen No.

Nama Ruas

Panjang Ruas Jalan (m)

Volume (V)

Kapasitas Jalan (C)

V/C

Kecepatan Rata-rata (km/jam)

1.

Mranggen-Banyumeneng

10.170

473

1.920

0,25

23,24

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Mranggen- Bulusari Candisari- Karanggawang Kangkung-Tlogorejo Jalan SMU Mranggen Brambang- Waru Mranggen- Kebonbatur Banyumeneng- Kawengan

6.570 3.375 7.600 2.400 8.460 4.200 2.300

294 274 231 112 128 133 -

1.920 858 858 857 857 862 862

0,15 0,32 0,27 0,13 0,15 0,15 -

30,32 22,62 19,52 18,23 20,24 25,60 -

Sumber : Studi Manajemen Transportasi, 2006 10

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

Daldjoeni (1992: 171) menjelaskan adanya dua daya yang menyebabkan kota berekspansi atau memusat, yaitu daya sentripetal dan daya sentrifugal. Daya sentripetal adalah daya yang mendorong gerak ke dalam dari penduduk dan berbagai kegiatan usahanya, sedangkan daya sentrifugal adalah daya yang mendorong gerak ke luar dari penduduk dan berbagai usahanya dan menciptakan disperse kegiatan manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone kota. Adapun faktor-faktor yang mendorong gerak sentripetal adalah: (1) adanya berbagai pusat pelayanan, seperti pusat pendidikan, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan sebagainya; (2) mudahnya akses layanan transportasi seperti pelabuhan, stasiun kereta, terminal bus, serta jaringan jalan yang bagus; (3) tersedianya beragam lapangan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Sedangkan factorfaktor yang mendorong gerak sentrifugal adalah : (1) adanya gangguan yang berulang seperti macetnya lalulintas, polusi, dan gangguan bunyi-bunyian yang menimbulkan rasa tidak nyaman; (2) harga tanah, pajak maupun sewa di luar pusat kota yang lebih murah jika dibandingkan dengan pusat kota; (3) keinginan untuk bertempat tinggal di luar pusat kota yang terasa lebih alami (Daldjoeni, 1992 : 172) Selain daya sentifugal maupun sentripetal, pemekaran wilayah dapat juga terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang sengaja mengembangkan kota tersebut dengan cara membangun infrastruktur dan mendatangkan berbagai investor sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Wilayah pinggiran atau yang disebut sebagai suburbia secara ekologis merupakan kawasan dimana terjadi invasi (masuknya penduduk baru) dan adanya peraturan daerah yang lemah (lax zoning regulation) yang menginginkan tersebarnya bangunan-bangunan baru seperti pompa bensin, restoran, tempat hiburan dan lain sebagainya. Wilayah pinggiran biasanya dibangun tanpa rencana dimana tata guna lahan ditangani secara semrawut. Meski kawasan tersebut status resminya perdesaan (rural) tetapi dalam kenyataannya merupakan campuran rural-urban. Daerah pinggiran atau perbatasan memiliki karakteristik, dimana daerah pinggirannya berbasis sumberdaya alam (primer) dan daerah pusat merupakan penghasil barang dan jasa (sekunder/tersier). Dengan demikian apabila wilayah pusat (core)

berkembang, maka wilayah pinggiran (periphery) juga akan turut berkembang sehingga dalam jangka panjang core-periphery akan habis. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perluasan pasar, penemuan sumber baru, perbaikan sarana transportasi dan kebijakan daerah yang mendukung. Namun apabila core-periphery terlalu jauh, maka dampak dari perkembangan core terhadap periphery tidak terasa. Hilmann dalam Daldjoeni (1992:189) memprediksi terjadinya interaksi spasial tersebut disebabkan beberapa faktor: pertama, adanya wilayah yang berbeda kemampuan sumberdayanya (satu pihak berlebihan, sementara pihak yang lain kekurangan) sehingga terjadi aliran yang sangat besar dan membangkitkan interaksi spasial yang tinggi. Kedua, adanya fungsi jarak yang diukur dalam biaya dan waktu yang nyata, termasuk karakteristik khusus dari komoditas yang ditransfer. Komoditas yang dihasilkan tertentu dan dibutuhkan oleh daerah lain memiliki nilai transfer yang cukup tinggi. Intensitas interaksi akan berkurang bila jarak kedua daerah semakin jauh. Sementara arus yang terjadi dapat berwujud arus ekonomi, sosial, politik maupun arus informasi. Interaksi spasial terdiri dari: pertama, keterkaitan fisik yang berbentuk integrasi manusia melalui jaringan transportasi. Kedua, keterkaitan ekonomi yang berkaitan dengan pemasaran sehingga terjadi aliran komoditas berbagai jenis barang/ jasa serta modal, dan juga keterkaitan produksi ke depan (foward linkage) maupun kebelakang (backward linkage) diantara berbagai kegiatan ekonomi. Ketiga, keterkaitan atau pergerakan penduduk dengan pola migrasi, baik permanen maupun kontemporer. Keempat, keterkaitan teknologi terutama peralatan, cara dan metode produksi yang harus terintegrasi secara spasial dan fungsional. Kelima, keterkaitan sosial yang merupakan dampak dari keterkaitan ekonomi terhadap pola hubungan sosial penduduk. Keenam, keterkaitan pelayanan sosial seperti rumah sakit, sekolah dan sebagainya. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik dan kelembagaan misalnya struktur perbatasan administrasi maupun sistem anggaran. Carrothers dalam Tarigan (2004) telah menganalogikan formulasi interaksi dengan hukum gravitasi, yang dijabarkan sebagai berikut:

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

11

I ij =

f (Pi Pj) f (Dij)2

Keterangan: I ij = Interaksi antara tempay i dan tempat j P i = Penduduk i P j = Penduduk j D ij = Jarak antara tempat i dan tempat j Hukum gravitasi tersebut memberikan gambaran bahwa semakin besar I ij maka semakin erat hubungan kedua wilayah tersebut, dan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sementara pertumbuhan ekonomi menggambarkan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dimana persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk. (Budiono dalam Tarigan, 2004 : 44). Kondisi ini mensyaratkan bahwa berbagai perubahan dalam pertumbuhan penduduk perlu menjadi pertimbangan, karena jika suatu kenaikan pendapatan nyata yang dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka akan terjadi kemunduran ekonomi. Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnnya akan menyebabkan penduduk terdorong untuk melakukan migrasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah melalui otonomi daerah. Melalui otonomi daerah laju pertumbuhan diharapkan akan semakin seimbang dan serasi sehingga pelaksanaan pembangunan nasional semakin merata di seluruh pelosok tanah air. Adapun migrasi internal yang bersifat kedaerahan akan menyebabkan mobilitas penduduk ulangalik maupun sirkuler akan meningkat. Gejala ini dimungkinkan karena banyak penduduk yang bertempat tinggal jauh dari tempat kerja ataupun pusat pendidikan. Dengan berkembangnya pola mobilitas pinggiran-perkotaan, maka kebutuhan akan alat transportasi yang efisien dan efektif menjadi meningkat. Dalam masyrakat modern berbagai alat transportasi memegang dua fungsi penting: pertama, sebagai modal untuk mengangkut orang pergi ke tempat kerja atau memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Kedua, sebagai barang akhir untuk memenuhi berbagai keperluan sosial masyarakat seperti rekreasi dan sebagainya. 12

Untuk memenuhi alat pengangkutan yang efektif dan efisien sebagai sarana mobilitas, kendaraan pribadi menjadi pilihan dikarenakan sistem transportasi publik memiliki karakteristik layanan yang tidak konsisten, jadwal yang tidak pasti, serta meningkatnya tarif sehingga minat penggunaan transportasi kecil. Kebutuhan ruang yang berupa ruas jalan secara kuantitas menjadi semakin berkembang sementara pemerintah terkendala dengan anggaran yang terbatas. Kondisi ini menyebabkan kemacetan dimana-mana, khususnya kota besar. Kemacetan identik dengan kepadatan (density), yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang tertentu dari lajur atau jalan, dirata-rata terhadap waktu, biasanya dinyatakan dalam kendaraan per mil atau kendaraan perkilometer atau jalan. Namun karena setiap jenis kendaraan memiliki karakteristik pergerakan yang berbeda yang disebabkan perbedaan dimensi, kecepatan, percepatan maupun kemampuan manuver selain pengaruh geometrik jalan, maka digunakan Satuan Mobil Penumpang (SMP) untuk menyamakan satuan dari masing-masing jenis kendaraan. Besarnya SMP yang direkomendasikan oleh Direktorat Jendral Bina Marga Jalan Indonesia (MKJI) adalah sebagai berikut. Tabel 2. Faktor Satuan Mobil Penumpang No.

Jenis Kendaraan

Kelas

SMP

1.

Sedan Oplet Mikrobus Pick Up

LV

1,00

Bus Standar Truk Sedang Truk Besar

HV

1,30

3.

Sepeda Motor

MC

0,50

4.

Becak Sepeda Andong, dll

UM

1,00

2.

Sumber : Direktorat Jendral Bina Marga (2002) Keterangan : LV = Light Vehicle (Kendaraan Berat) HV = Heavy Vehicle (Kendaraan Ringan) MC = Motor Cycle (Sepeda Motor) UM = Unmotorrized (Kendaraan Tak Bermotor)

Secara ekonomis, masalah kemacetan lalulintas akan menciptakan biaya sosial, biaya operasional yang tinggi, hilangnya waktu, polusi uadara, tingginya

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

angka kecelakaan, bising, dan juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki. Sementara untuk mengelola sebuah pertumbuhan beserta implikasinya diperlukan kebijakan-kebijakan yang terintegrasi antar aktor-aktor yang terlibat. Kebijakan itu sendiri menurut Anderson merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapai (1986 : 58) Kelembagaan merupakan salah satu aspek penting dalam konteks analisis subsistem kebijakan karena aspek kelembagaan akan banyak berperan dalam setiap siklus kebijakan, mulai dari perencanaan sampai dengan timbulnya umpan balik. Bagaimana sebuah kebijakan dirancang, direncanakan, didesain, diimplementasikan dan dievaluasi akan membutuhkan partisipasi kelembagaan. Apabila aktor menunjuk pada orang perorangan, maka kelembagaan merupakan sebuah totalitas orang perorangan yang terikat pada norma dan tatanan organisasi. Dalam konteks kelembagaan, penyampaian kebijakan (delivery system) telah menjadi perhatian utama, khususnya dalam penyediaan layanan publik. Penyediaan pelayanan publik dilakukan melalui seperangkat institusi dan instrumen yang kompleks dan beragam disebut sebagai “campuran” (delivery mixes) Delivery mixed dalam konteks pelayanan publik melibatkan interaksi antara sektor privat, sukarela (voluntary) dan komunitas. Hubungan antara privat, komunitas dan sukarela oleh Colebatch dan Lamour dikatakan merupakan hubungan yang terus menerus mengalami perubahan. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan populasi penduduk Kecamatan Mranggen yang melakukan mobilitas ulang-alik ke Kota Semarang dan stakeholder dibidang kelalulintasan, meliputi: Satlantas Polres Demak dan Kepala Kantor Perhubunan Kabupaten Demak. Pengambilan sampel dilakukan

dengan teknik purposive random sampling dengan pertimbangan jumlah populasi yang tak tentu. Adapun variabel yang diteliti adalah pertumbuhan ekonomi Kota Semarang mulai tahun 2001 – 2005 yang diukur dari PDRB perkapitanya , variabel laju kenaikan tingkat kemacetan tahun 2001 – 2005 di Kecamatan Mranggen yang diukur dari tingkat kepadatan lalulintas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode dokumentasi dipergunakan untuk mencari data PDRB dan data arus lalulintas, metode wawancara untuk menjaring pendapat para menglaju, langkahlangkah yang ditempuh Pemda serta strategistrateginya. Sedangkan metode observasi digunakan untuk mendukung data-data kuantitatif seperti kondisi riil sistem transportasi, sebab-sebab kemacetan serta titik-titik kemacetan terjadi. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif persentase untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi Kota Semarang dan tingkat kemacetan di Kecamatan Mranggen, analisis gravitasi, serta metode analisis SWOT untuk merumuskan strategi yang tepat dalam mengatasi kemacetan tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN.

Untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan (inter linkage) antara pusat dengan pinggirannya digunakan model gravitasi yang meliputi keterkaitan antara Kota Semarang terhadap Kecamatan Mranggen, Kecamatan Kaliwungu, dan Kecamatan Ungaran. Semakin tinggi tingkat gravitasi maka bisa dikatakan indikator kegiatan sosial dan ekonomi kedua wilayah tersebut besar kaitannya. Hasil perhitungan tingkat gravitasi dapat penulis sajikan sebagai berikut pada tabel 3. Hasil perhitungan analisis gravitasi tersebut dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 5 tahun Kecamatan Mranggen merupakan wilayah yang paling kuat daya tariknya terhadap pusat kota Semarang.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

13

Tabel 3. Tingkat Gravitasi antara Kecamatan Mranggen, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Ungaran Tahun 2001-2005 Kecamatan

Jarak ke Pusat

Mranggen Kaliwungu Ungaran

12 km 21 km 24 km

2001 67.046.471 15.599.414 14.976.679

2002 72.986.218 16.990.713 16.813.153

Tingkat Gravitasi 2003 2004 73.830.892 74.965.512 17.207.330 17.384.424 17.005.955 18.451.092

2005 75.664.133 17.785.037 18.579.913

Sumber : Data diolah

Dari klasifikasi jalan menunjukan bahwa jalan raya Purwodadi-Semarang (Kec. Mranggen) berfungsi sebagai kolektor primer dan termasuk golongan kelas II, yang berarti konstruksi permukaannya aspal beton. Tataguna lahan disepanjang jalan berupa pasar, pertokoan dan beberapa perkantoran. Berkaitan dengan berbagai aktivitas yang terjadi di sekitar kawasan pasar, trotoar yang digunakan untuk berdagang, parkir, angkutan umum dan pejalan kaki memakan sebagian badan jalan dan mengurangi lebar efektif jalur lalulintas jalan tersebut. Adapun arus dan tingkat kepadatan lalulintas di jalan raya Mranggen dan perkembangannya dapat penulis sajikan sebagai berikut. Tabel 4. Jumlah Arus dan Tingkat Kepadatan Lalulintas di Jalan Raya Mranggen Tahun 2001 – 2005 serta Perkembangannya Arus lalulintas Tingkat Kepadatan PertumTahun Rata-rata Tahunan Lalulintas buhan (smp/jam) (smp/km) (%) 2001 12.970,80 324,27 2002 13.008,60 325,22 1,29 2003 13.188,60 329,72 1,60 2004 13.317,85 332,95 0,75 2005 13.387,95 334,70 0,54 Sumber: Data Diolah

Hasil perhitungan menunjukan bahwa setiap kenaikan nilai PDRB per kapita sebesar satu satuan, maka akan diikuti kenaikan kemacetan lalulintas di Kec. Mranggen sebesar 0,0000173. Atau jika PDRB per kapita naik sebesar Rp.100.000,- maka kemacetan naik sebesar 1,73 smp/jam. Besarnya kontribusi PDRB per kapita Kota Semarang terhadap kemacetan lalulintas di Kecamatan Mranggen adalah sebesar 65,4%, sedangkan sisanya 44,6% dipengaruhi oleh faktor lain seperti adanya aktivitas PKL, parkir, angkutan umum, serta

14

penyeberang jalan dan simpang tak bersinyal. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukirno (1976 :169) yang mengatakan bahwa jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki oleh warga masyarakat berkembang pesat sebagai akibat dari pertambahan pendapatan di perkotaan serta kemajuan teknologi kendaraan bermotor. Lebih jauh, fungsi kendaraan sebagai modal memiliki arti bahwa kendaraan sebagai input untuk menaikan produktivitas harus efisien. Contoh kasus apabila seorang penduduk harus mengeluarkan biaya perjalanan untuk berangkat dan pulang kerja dalam jarak tertentu difungsikan sebagai biaya tetap (FC), artinya jumlah biaya yang dikeluarkan tetap meskipun waktu tempuh perjalanan bisa lebih cepat atau lebih lambat. Jadi biaya totalnya sama dengan biaya tetap (TC = FC). Untuk mendukung produktivitasnya, dia mengeluarkan biaya untuk membeli sepeda motor yang disebut biaya marginal (MC). Setelah memiliki sepeda motor nilai FC akan turun dan menimbulkan biaya variabel (VC) yaitu berupa biaya pemeliharaan sepeda motor, sehingga TC = FC + VC. Namun dalam kenyataannya TC perjalanan dengan angkutan umum > TC perjalanan dengan sepeda motor. Sementara hasil wawancara juga menunjukan bahwa penyebab kemacetan juga diakibatkan oleh aktivitas pasar Ganefo yang terletak di sebelah Timur pasar Mranggen, banyaknya becak, dokar serta angkuta umum yang ngetem di pinggir jalan, dimana disepanjang jalan tersebut terdapat beberapa industri besar. Instansi perhubungan sendiri tidak mempunyai kebijakan yang riil untuk mengurangi masalah kemacetan lalulintas. Tapi sebagai instansi di bawah Pemda bersama-sama dengan Bappeda dan Satpol PP telah memiliki kebijakan untuk menertibkan PKL dan tempat parkir. Sebenarnya dipersimpangan

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

sebelah Barat pasar Mranggen sudah dipasang traffic light, tapi nampaknya tidak bisa efektif dioperasionalkan karena volume kendaraan yang tidak seimbang. Selain itu ada pihak-pihak tertentu yang tidak setuju kalau traffic light diaktifkan, yaitu para tukang parkir dan ojeg yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjual jasa penyeberangan (polisi capek). Sementara langkah-langkah yang telah dilakukan oleh instansi Polisi sebagai instansi vertikal: pertama, mengatur lalulintas secara langsung pada

jam-jam sibuk dengan menurunkan petugas di titiktitik kemacetan seperti persimpangan dan pasar. Kedua, Memasang pembatas jalan (traffickun) yang berfungsi melebarkan jalur ke Semarang kalau esok hari dan sebaliknya di sore hari. Ketiga, menindak tegas pengguna jalan yang tidak mematuhi aturan lalulintas. Di satu sisi langkah-langkah kebijakan tersebut efektif, namun di sisi lain masih ada kendala-kendala yang ke depannya perlu ditangani, antara lain: pertama, masih kurangnya kesadaran masyarakat

Tabel 5. Hasil Analisis SWOT 1. Identifikasi faktor-faktor strategis eksternal Faktor Strategis Eksternal Peluang: ƒ Pertumbuhan pelayanan angkutan umum ƒ Penempatan polisi lalulintas di simpang tak bersinyal pada jam sibuk ƒ Penambahan kapasitas jalan dengan memperlebar median jalan khusus pada jam sibuk ƒ Adanya pemasangan traffic light di persimpangan ƒ Penindakan tegas bagi pelanggar lalulintas Ancaman: ƒ Pertumbuhan penduduk ƒ Mobilitas penduduk yang tinggi ƒ Ketidaknyamanan dan inefisiensi angkutan umum ƒ Pertumbuhan permintaan kendaraan pribadi terutama sepeda motor ƒ Jenis kendaraan besar sampai ringan melintas jalan ini Total

Bobot

Peringkat

Skor

0,05 0,10 0,20

3 4 4

0,15 0,40 0,80

0,10 0,10

3 4

0,30 0,40

0,15 0,03 0,10 0,15 0,02 1

1 2 1 1 2

0,15 0,06 0,10 0,15 0.04 2,55

Bobot

Peringkat

Skor

0,05 0,15 0,10 0,05 0,10

3 4 4 3 4

0,30 0,60 0,40 0,15 0,40

0,15 0,20 0,02 0,15

2 1 2 1

0,30 0,20 0,04 0,15

0,03 1

2

0.06 2,60

2. Identifikasi faktor-faktor Strategis internal Faktor Strategis Internal Kekuatan: ƒ Kondisi jalan dalam keadaan baik ƒ Kapasitas efektif jalan yang memadai ƒ Dekat dengan kantor Polsek dan Pos Polisi ƒ Rambu lalulintas cukup jelas untuk dilihat ƒ Kesadaran pengguna jalan dalam berlalulintas Kelemahan: ƒ Arus lalulintas kendaraan meningkat pada jam sibuk ƒ Banyaknya kegiatan ekonomi penduduk yang memakai badan jalan ƒ Banyaknya penyeberang jalan ƒ Aktivitas angkutan umum yang menaikan /menurunkan penumpang serta berhenti di sembarang tempat ƒ Adanya simpang tak bersinyal Total Sumber : Data diolah

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

15

berlalulintas terutama para pengguna sepeda motor dan angkot. Kedua, belum berfungsinya traffic light di persimpangan. Ketiga, adanya becak dan andong yang parkir di sembarang tempat. Keempat, banyaknya mobil barang dan truk yang diparkir di bahu jalan. Untuk memperoleh formulasi strategi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah kemacetan dipergunakan analisis SWOT dengan tahapan seperti tersaji pada tabel 5. Dari total skor yang diperoleh, yaitu faktor strategis eksternal sebesar 2,55 dan faktor strategis internal sebesar 2,60 menunjukan titik koordinat terletak di daerah pertumbuhan V pada internaleksternal matrik, yang berarti strategi kebijakan

pemecahan masalah kemacetan harus melalui integrasi horisontal. Dari hasil analisis dengan menggunakan teknik SWOT, dapat diajukan beberapa strategi kebijakan yang dapat digunakan oleh Pemda Kab. Demak dan Satlantas Polres Demak, yaitu strategi kebijakan integrasi horisontal. Artinya instansi-instansi yang bersifat horisontal, yaitu Bappeda, Kantor Perhubungan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkoordinasi dalam satu bingkai kebijakan dan bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Sementara Polres Demak memiliki tanggungjawab untuk menciptakan ketertiban berlalulintas. Dengan adanya strategi kebijakan tersebut diharapkan akan tercipta sistem transportasi yang lancar dan terintegrasi, membentuk pola

Tabel 6. Matriks SWOT Faktor Internal

Kekuatan

ƒ Arus lalulintas kendaraan

ƒ Kapasitas efektif jalan yang

ƒ Banyaknya kegiatan ekonomi

baik

memadai

ƒ Dekat dengan kantor Polsek dan Pos Polisi

ƒ Rambu lalulintas cukup jelas untuk dilihat

ƒ Kesadaran pengguna jalan

Faktor Eksternal

Kelemahan :

ƒ Kondisi jalan dalam keadaan

dalam berlalulintas

Peluang : ƒ Pertumbuhan pelayanan angkutan umum ƒ Penempatan polisi lalulintas di simpang tak bersinyal pada jam sibuk ƒ Penambahan kapasitas jalan dengan memperlebar median jalan pada jam sibuk ƒ Adanya pemasangan traffic light di persimpangan ƒ Penindakan tegas bagi pelanggar lalulintas

Strategi SO ƒ Meningkatkan efisiensi kinerja persimpangan dengan mendirikan pos penjaga lalulintas dan memasang traffic light ƒ Menciptakan kawasan tertib lalulintas dengan memantau pengguna jalan, jika terjadi pelanggaran langsung ditindak

Ancaman : ƒ Pertumbuhan penduduk ƒ Mobilitas penduduk yang tinggi ƒ Ketidaknyamanan dan inefisiensi angkutan umum ƒ Pertumbuhan permintaan kendaraan pribadi terutama sepeda motor ƒ Jenis kendaraan besar sampai ringan melintas jalan ini

Strategi ST ƒ Lebih meningkatkan efektivitas sistem kinerja jalan dengan sebisa mungkin meminimalkan tingkat hambatan ƒ Membenahi menejemen angkutan umum agar tercipta sistem transportasi publik yang efektif dan efisien

meningkat pada jam sibuk

penduduk yang memakai badan jalan ƒ Banyaknya penyeberang jalan ƒ Aktivitas angkutan umum yang menaikan /menurunkan penumpang serta berhenti di sembarang tempat ƒ Adanya simpang tak bersinyal Strategi WO

ƒ Menertibkan PKL di setiap pasar dengan pengelolaan parkiran yang baik ƒ Meningkatkan pengawasan aktivitas angkutan umum karena berpotensi melanggar aturan lalulintas

Strategi WT

ƒ Segera membangun jalan lingkar sebagai jalur alternatif sesuai RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Kabupaten Demak ƒ Mendirikan tempat pemberhentian angkutan umum (halte)

Sumber: Data diolah 16

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17)

Butcher, H.A. Glen, P.Henderson and J.Smith, (eds) 1993, Community and Public Policy. London: Pluto Press.

mobilitas pinggiran-perkotaan yang tidak timpang, bahwa migrasi internal yang bersifat antar daerah dan perdesaan-perkotaan akan terus berlangsung sampai kesenjangan pendapatan, kesempatan kerja dan fasilitas sosial semakin berkurang.

Chambers, Robert 1983, Rural Development Putting the Last First, Published by Longman Inc.

KESIMPULAN DAN SARAN

Daldjoeni, N., 1992, Geografi Baru: Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Penerbit Alumni.

Dari hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, pengaruh laju pertumbuhan ekonomi Kota Semarang terhadap tingkat kemacetan di Kec. Mranggen sebesar 65,4%. Kedua, adanya faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap tingkat kemacetan, yaitu aktivitas PKL, parkir, angkutan umum, serta penyeberang jalan sebesar 34,6%. Adapun saran yang dapat diberikan adalah: pertama, untuk mencegah penduduk menggunakan mobil pribadi, dalam jangka panjang perlu diciptakan sistem transportasi publik yang modern, nyaman dan efisien semacam Busway dan KRL. Kedua, jika perlu dibangun sistem geometri jalan yang dapat menghindarkan traffic semacam Fly over sehingga kemacetan di persimpangan dapat dihindari. Ketiga, untuk kedepannya perlu perencanaan jalan lingkar serta pembinaaan SDM transportasi dalam disiplin berlalulintas serta penegakan hukum. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.E., 1986, Public Policy Making, New York: Holt, Praeger Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan. Yogjakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN

Dunn, W.N., 2000, Public Policy Analysis: An Introduction. Pengantar Kebijakan Publik. Muhadjir Darwin (Penyunting), Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Yogyakarta: Gajah Mada Univertity Press. Dye, T.R. 1978. Understanding Public Policy. Prentince- Hall. Inc. Englewood Cliff. New Jersey. Hauser, Philip M, 1982, Population and The Urban Future, Masri Maris (penterjemah). 1985, Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Heidenheimer, A.J., Heglo, H., and Adams, C.T., 1996, Comparative Public Policy, New York: ST. Martin’s Press. Laswell, HD., 1971, A Preview of Policy Sciences, New Yprk: American Elsevier. Parson, Wayne, 1995 Public Policy: An Introduction to The Theory and Practice of Policy Analysis, USA: Edward Elgar Publishing,Inc. Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis Swot: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Starling, O.G., 1998, Managing The Public Sector, Houston: Harcourt Brace College Publisher. Tarigan, Robinson, 2004, Ekonomi Regional Teori & Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

17

THE QUALITY OF GROWTH: PERAN TEKNOLOGI DAN INVESTASI HUMAN CAPITAL SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS P. Eko Prasetyo Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang e-mail:[email protected]

ABSTRACT

In the process of developing economy in a whole and continuously, the macro economy stability of a country is an essential prerequisite for producing a quality economic growth. For achieving the quality economic growth, there should be a continuous capital human investment and the use of continuous science and technology (IPTEK). The process of developing economy will be able to transform the society condition from vicious circle to virtuous circle condition if the growth of economy is qualified. Keywords: Quality of growth; human capital, technology and virtuous circle. PENDAHULUAN

Menurut Presiden SBY visi Indonesia kedepan yang hendak diwujudkan pada tahun 2030 adalah menjadi negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam secara berkelanjutan atau kualitas hidup modern yang merata, self growth. Salah satu sasaran utama untuk mewujudkan hal tersebut adalah bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata, tetapi growth with equity (pertumbuhan disertai pemerataan). Karena itu, untuk mewujudkan visi tersebut menurut presiden SBY (2008) perlu dirumuskan; growth must be inclusive, growth must be broad based, growth must be just. Karena itu, tujuan pelaksanaan pembangunan ekonomi dalam rencana kerja pememerintah (RKP) tahun 2008 adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara utuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa target; (1) percepatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) yang berkualitas dengan dukungan stabilitas ekonomi yang tetap terjaga; (2) megurangi pengangguran (pro-job); (3) mengurangi kemiskinan (pro-poor), (Indrawati, 2007). Menurut Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (2007), pengelolaan ekonomi yang pro growth dimaksudkan untuk mendorong pecepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan disertai pemerataan distribusi pendapatan (growth with equity). Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah

18

satu sasaran pokok yang menjadi indikator perbaikan kondisi perekonomian. Pokok persoalannya adalah bahwa sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja belumlah cukup menjadi jaminan bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat secara merata. Oleh karena itu, laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya harus diiringi dengan pmerataan distribusi pendapatan sebagai dua sasaran yang sama pentingnya yang harus dicapai agar hasil-hasil pertumbuhan tersebut dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, sasaran pembangunan tidak hanya berhenti sampai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja seperti yang selama ini dilakukan, melainkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan memperhitungkan pemerataan pendapatan serta pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Pengelolaan ekonomi yang pro job lebih ditekankan pada percepatan perluasan lapangan pekerjaan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas mampu mencerminkan adanya peningkatan aktivitas dunia usaha dan ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan peluang besar kepada angkatan kerja di pasar. Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas baru dapat dicapai jika disertai dengan peningkatan kesempatan kerja dan penurunan tingkat pengangguran di masyarakat. Peningkatan jumlah partisipasi angkatan kerja dan penurunan pengangguran merupakan diskripsi kemampuan masyarakat untuk

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

mengambil manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menikmati bagian dari peningkatan pendapatan. Dengan demikian, kondisi pengangguran di negara ini harus terus ditekan seminimal mungkin. Karena itu, kebijakan pemerintah harus mampu mendorong sektor riil yang banyak menyerap tenaga kerja. Selanjutnya, pengelolaan ekonomi yang pro poor diarahkan untuk mengurangi kemiskinan. Menurunnya jumlah penduduk miskin merupakan indikator keharusan yang secara loangsung dapat menunjukkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, berbagai kebijakan pemerintah dan program pemerintah secara langsung maupun tidak langsung harus mampu menyentuh masyarakat di lapisan bawah. Karena itu, sasaran pembangunan menjadi tidak hanya untuk peningkatan pendapatan, melainkan juga harus mampu untuk memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, air bersih dan sebagainya. Upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjalankan tujuan pembangunan millenium development goals (MDGs). Berdasrkan target-target tersebut diharapkan dapat terciptanya distribusi pendapatan yang lebih merata (growth with equality). Untuk mewujudkan berbagai hal tersebut di atas, maka kita mesti harus sadar bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekedar tinggi saja melainkan juga harus berkualitas. Persaoalanya adalah kita harus mampu mendayagunakan semua potensi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, baik itu modal alam atau fisik, modal manusia (human capital), dan juga modal sosial (social capital) serta kemampuan dan penguasaaan terhadap penggunaan teknologi. Perlu digaris bawai bahwa, modal sosial mempunyai potensi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi bangsa ini. Karena tanpa disinergikan dengan modal sosial, kita tidak akan pernah mampu memiliki equity social, maka tanpa peran modal sosial yang dasat pertumbuhan ekonomi yang merata (growth with equality) tidak pernah akan tercapai. Dalam kaitannya dengan semua hal tersebut di atas, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas baru dapat dicapai jika dipenuhi beberapa persyaratan, di mana stabilitas ekonomi makro adalah sebagai salah

satu prasyarat esensial yang umum harus dipenuhi. Karena itu, syarat perlu untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas diperlukan beberapa faktor pendorong utama seperti; investasi human capital yang cukup dan berkelanjutan serta penguasan penggunaan teknologi. Sedangkan, syarat cukupnya harus ada kesinergian antara peran dan potensi modal sosial yang dimiliki. Tujuan artikel ini baru ingin menjelaskan betapa pentingnya peran dan potensi investasi human capital dan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas yang selama ini pernah dicapai oleh beberapa negara maju. Secara teoritis dan empiris, peran keduanya telah terbukti mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. PEMBAHASAN The New Growth Theory: Beyond and Behind The Solow Model

Sebuah teori Klasik sebelum Robert M Solow (Behind the Solow model), mengatakan bahwa sebuah negara berkembang atau terbelakang hanya perlu meningkatkan akumulasi capital fisik (C), tenaga kerja (L) dan sumber daya manusia (H) dan efisiensi alokasi dalam penggunaannya. Dalam hal ini, peran teknologi belum dipandang sebagai pemacu dalam pertumbuhan ekonomi. Apabila ada kegagalan dalam pasar dalam proses pembangunan tesebut, maka hanya akan diselesaikan melalui mekanisme perencanaan efisiensi alokasi dan penarikan investasi penggunaan sumber daya tersebut. Selanjutnya, pandangan pemikiran baru dari teori Neo-Klasik setelah model Solow (Beyond the Solow model) mengatakan bahwa, pentingnya transformasi dalam proses pembangunan yang baik tidak hanya terbatas pada peningkatan efisiensi alokasi dan akumulasi faktor (C, L, dan H) saja. Dalam hal ini telah memandang bahwa pendidikan dan ketrampilan adalah penting, karena pendidikan tidak hanya mampu meningkatkan faktor H, tetapi juga mampu meningkatkan wawasan faktor H untuk menerima perubahan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, peran teknologi sudah mulai nampak walaupun baru secara implisit melalui parameter pendidikan dari faktor sumber daya manusia (H). Dalam model Solow tersebut variabel teknologi ini masih dianggap sebagai variabel

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

19

endogen. Selajutnya, setelah model Solow, variabel teknologi sudah mulai nampak sebagai variabel eksogen yang dapat menentukan kualitas pertumbuhan ekonomi. Artikel ini secara teoritis bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran variabel investasi human capital dan teknologi secara eksplisit (eksogen) dapat sebagai pemacu utama dalam pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diharapkan akan diperoleh hasil pembangunan ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraaan seluruh masyarakat. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berkulitas diharapkan ada transformasi dari masyarakat yang terbelenggu dalam keterbelakangan (vicious circle) akan mampu menuju masyarakat yang “lebih maju” (virtuous circle), (Stiglitz, 2000, 2001; Handoko, 2001; Prasetyo, 2008). Model teoritis peran human capital dan teknologi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas dapat ditelusuri mulai dari model Solow, (Romer, 1996). Pemikiran Robert M Solow sejak 1956 telah memasukan unsur human capital dan teknologi sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Sumbangan pemikiran Solow ini kemudian dikembangkan oleh Romer dan telah membawa revolusi besar dalam teori pertumbuhan ekonomi yang kini sering dikenal dengan “The New Growth Theory. David Romer, (1996) telah membuat model stok human capital dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai berikut. Asumsi pertama model ini mengikuti Mankiw dan David Romer sendiri di mana output mengikuti fungsi:

(1)

Asumsi kedua, adalah dinamika dari K dan L sebagai berikut.

.

.

L( t ) = nL( t ), 20

(2)

(4)

Dalam hal ini, akumulasi modal manusia dimodelkan sama dengan akumulasi modal fisik sebagai berikut.

.

H( t ) = SH Y(t),

(5)

Selanjutnya, secara ekonomi dinamik dan paralel dengan model Solow, dan mengikuti model modal fisik, maka k = K/AL, h = H/AL, dan y = Y/AL, sehingga: y( t ) = k( t ) α h( t ) β ,

(6)

Dengan melihat k lebih dahulu, definisi dari k dan persamaan yang melibatkan K, L, dan A mengandung makna sebagai berikut:

.

k( t ) = SK k(t) α h( t ) β - (n + g)k( t ), atau

(7)

k = [SK /(n + g)] 1/ (1-α ) hβ / (1−α )

Dengan demikian, k adalah sama dengan nol ketika α β SK k h = (n + g)k seperti ditunjukkan dalam Gambar-1 di bawah ini. Kenaikan k paralel dengan kenaikan h. Jika β < 1- α (ke kiri dari k=0), maka k akan negatif, dan jika ke kanan dari k=0, maka k akan positip. Kemudian, dengan memperhatikan persamaan (7), maka dinamika h dapat diketahui sebagai berikut. h( t ) = SKk( t ) α h( t ) β - (n + g) h( t ),

Di mana H adalah stok human capital, L jumlah tenaga kerja. Persamaan (1) ini menunjukkan bahwa output (Y) ditentukan oleh capital, labour, dan human capital per worker. Jadi K, H, dan L diasumsikan constan return to scale.

K ( t ) = SK Y( t ),

.

A ( t ) = gA( t ),

.

Y( t ) = K ( t ) α H( t ) β [A ( t )L( t )] 1−α −β, , α > 0, β > 0, dan α + β < 1

adalah akumulasi kapital fisik, dan diasumsikan tidak ada depresiasi. Selanjutnya, pertumbuhan teknologi adalah konstan dan eksogeneous. SK

(8)

.

di mana h adalah akan sama dengan nol ketika α β SK k h = (n + g)h atau dapat ditulis sebagai k = [(n + g) / SH ]1/α h (1−β ) / α . Hal ini dapat dilihat pada Gambar-1 di bawah ini, jika 1 – β > α, maka h akan positip di atas h=0, dan negatif jika di bawah h=0. Selanjutnya, dinamika dari k dan h yang menuju kepada keseimbangan di titik E. Titik E secara global adalah stabil, darimanapun memulainya perekonomian, maka dia akan menuju ke titik E, dan sekali titik E dicapai, maka tidak akan berubah.

(3)

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

k

.

h 0

.

E

( k 0)

.

k 0

.

( k 0)

.

( h 0)

.

( h 0)

0

h

Gambar 1. Dinamika human capital per unit tenaga kerja efektif

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas diperlukan saving dan teknologi. Sementara saving dan teknologi tersebut dapat dihasilkan oleh karena adanya investasi human caital yang cukup berkualitas. Dengan adanya saving dan penguasaan terhadap penggunaan teknologi tersebut akan diperoleh jalan emas (golden rule) dari berbagai alternatif pilihan teori yang terbaik (trunpike theorema). Model Solow telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam pendapatan per pekerja harus berasal dari kemajuan teknologi. Model Solow yang ini telah menjelaskan variabel teknologi sebagai variabel eksogeneous, namun determinan teknologi belum dijelaskan secara lebih detail. Kemudian, perkembangan pemikiran pertumbuhan ekonomi setelah model Solow telah berupaya menjadikan variabel teknologi sebagai variabel endogeneous. Untuk lebih jelasnya keterangan ini dapat dilihat pada Gambar-2 di bawah ini. Selanjutnya, para peneliti dan ahli ekonomi pertumbuhan ekonomi yang baru seperti; Robert Barro, David Romer, Paul Romer, Gregory Mankiw, Xavier Sala-I-Martin adalah tokoh-tokoh baru teori pertumbuhan ekonomi yang lebih banyak mengangkat isyu bahwa perspektif jangka panjang dalam ekonomi makro tidak kalah pentingnya dengan model-model stabilitas ekonomi, (Handoko, 2001). Studi-studi mereka hingga kini telah banyak dimuat

dalam berbagai literatur termasuk bank dunia, baik yang menyangkut ekonomi makro maupun pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hasil studi mereka menemukenali berbagai faktor yang menentukan perjalanan perekonomian suatu negara yang tadinya tertinggal cukup jauh dengan negaranegara Eropa Barat dan Amerika Utara, kini telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sedemikian cepat dan berkualitas, sehingga Pendapatan Nasional per kapita mereka telah mampu melampaui negara-negara maju. Jepang, Singapura dan Swiss adalah contoh negara-negara kecil yang kini sangat maju. Jepang dan Singapura adalah contoh negara kecil yang sangat sempurna dalam membangun ekonomi makro melalui pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dipacu oleh peran sumber daya manusia yang berkualitas dalam mendorong kemajuan bangsanya. Jika dulu kiblat manajemen industri dan bisnis hanya di negara barat, kini sudah ada kiblat alternatif di Asia yakni Jepang dan Singapura. Selain itu, salah satu fenomena pertumbuhan ekonomi yang pernah sangat menonjol di Asia pada awal tahun 1970 hingga pertengahan tahun 1990-an adalah apa yang dikenal dengan “East Asian Miracle”. Tujuh negara yang pada waktu itu oleh Bank Dunia dapat disebut sebagai “keajaiban Asia Timur” adalah negara-negara; Korea Selatan, Thailand, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Indonesia.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

21

Output per orang

i olog Tekn T

ng a bu

an

si esta v n I

g yan

ka tuh u b di

n

Jalur E ke F atau dari E ke F = golden rule ko dan k* = turnpike teorema

Modal per orang

Gambar 2. Peran Teknologi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Persoalanya adalah mengapa tujuh negara “keajaiban Asia Timur” tersebut khususnya Indonesia, kini justru makin terpuruk dan menuju ke negara yang dapat dikatakan “negara gagal”. Tesis Paul Krugman sebenarnya telah menyangkal bahwa prediksi negara-negara Asia Timur tersebut akan mengambil alih perkembangan ekonomi dari negaranegra industri maju karena kemampuan mereka untuk menerapkan teknologi maju menuju ke tingkat produktivitas yang tinggi. Menurut hasil penelitian Krugman, negara-negara Asia Timur berhasil mencapai pertumbuhan tinggi karena berhasil dalam mengakumulasi kapital dan tenaga kerja yang sangat tinggi, dan bukan karena kemampuan dalam penggunaan teknologi yang maju, sehingga mereka kemudian akan mengalami law of diminishing return. Artinya, mereka tidak akan pernah mampu melampui negara-negara maju yang tingkat produktivitasnya telah tinggi. Selanjutnya, Alwyn Young dan Lawrence Lau melanjutkan penelitian seperti yang dilakukan oleh Krugman dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP) di negara-negara Asia Timur itu. Ia menjelaskan bahwa memang negara-negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen hingga 7 persen per tahun selama 25 tahun, tetapi nilai TFP-nya hanya tumbuh 3-4 persen saja, dan tidak berbeda jauh dengan negara-negara OECD. Artinya, bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur ini memang tinggi tetapi, karena tidak ditompang oleh nilai produktivitas yang tinggi pula, maka pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi tidak berkualitas. Selanjutnya, adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas tersebut menyebabkan stabilitas ekonomi makro 22

negara yang bersangkutan menjadi lebih rentan terhadap ganguan krisis ekonomi. Ketika, pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi di Asia dan krisis energi di dunia pada saat ini, adalah bukti nyata bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia timur terutama Indonesia adalah belum kokoh karena memang tidak berkualitas. Akibatnya stabilitas ekonomi makro negara tersebut (Indonesia) menjadi mudah terkena ganguan krisis tersebut. Reformasi Investasi Human Capital dan Teknologi: dari Vicious Circle ke Virtuous Circle

Stiglitz, (2000, 2001) telah mengamati beberapa faktor penyebab keterbelakangan, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak berkualitas yaitu; dimulai dari kurangnya kapital fisik (K), kemudian kurangnya kapital sumber daya manusia (H), dan kurang berfungsinya peran intervensi pemerintah (ekonomi kelembagaan). Dengan model fungsi produksi agregatif dapat dituliskan sebagai Q = f (A, K, L, R, H). Di mana Q adalah output produksi, L adalah tenaga kerja, R adalah sumber daya alam (natural capital), serta faktor A adalah terdiri dari; informasi, ilmu pengetahuan (knowledge) dan teknologi, termasuk proses produksi serta faktor modal sosial (social capital). Selanjutnya, tanpa mengupas lebih mendalam variabel A tersebut, ia menegaskan bahwa intensitas variabel A akan menentukan apakah proses pembangunan merupakan vicious circle ataukah virtuous circle. Jika sebuah proses pembangunan dipandang sebagai sebuah transformasi dari sebuah tataran masyarakat yang satu ke tataran yang lain tanpa pendidikan, maka sebuah masyarakat tersebut

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

akan terjebak pada tataran keterbelakangan (vicious circle) karena ketidakmampuannya untuk meramu variabel (K, L, R, dan H) yang tersedia untuk menuju ke sebuah dinamika tataran yang “lebih maju” (virtuous circle) yang juga memiliki daya saing tinggi (lihat Gambar-3 di bawah). Pada umumnya negara-negara berkembang sering terjebak dalam keterbelakangan ini. Karena, negara-negara berkembang pada prinsipnya hanya perlu meningkatkan akumulasi K, L, dan H serta efisiensi alokasi penggunaannya, kurang memikirkan kuantitas dan kualitas variabel A secara konsisten dan berkesinambungan melalui pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vinod Thomas (2000) dalam “The Quality of Growth”, ia mengatakan bahwa pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memperluas peluang untuk menentukan nasibnya sendiri secara merdeka. Dalam era millineum ketiga ini dan ke depan yakni setelah ilmu ekonomi dianggap mati oleh Paul Omerod, maka paradigma dan arah pembangunan ekonomi baru (new economy) pada saat ini dan mendatang adalah pembangunan ekonomi yang padat investasi sumber daya manusia (human capital) yang berkualitas khususnya melalui pendidikan dan latihan. Dengan kata lain perlu dikembangkan perpaduan antara faktor H dan faktor A untuk mengelola faktor L, dan K, sehingga dapat dihasilkan produksi (Q) yang berkualitas seperti yang diharapkan. Karena dalam new economy faktor pendidikan,

informasi, dan teknologi merupakan pendorong utama dalam kegiatan ekonomi di suatu negara, (Prasetyo, 2008). Dengan demikian, reformasi investasi human capital dan teknologi melalui pendidikan yang lebih berkualitas di segala bidang di Indonesia sudah mutlak harus segera dilakukan secara besar-besaran agar terhindar dari keterbelakangan (vicious circle) tetapi, mampu menuju ke sebuah negara yang lebih maju (virtuous cirlce). Pembangunan yang hanya mengandalkan sumber daya fisik dan kekayaan alam saja, kini sudah dapat dikatakan telah gagal. Pengalaman menunjukkan bahwa sumber daya alam Indonesia kaya-raya tetapi, mengapa masih banyak rakyat Indonesia tetap miskin dan menganggur, serta masih “terbelakang” hampir dalam segala bidang? Kerangka kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas serta memiliki daya saing yang baik di Indonesia masih kurang didukung oleh peran teknologi dan human capital (melalui pendidikan yang berkualitas), maka dampaknya tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas tetapi daya saing ekonomi Indonesia juga tetap rendah. (lihat Gambar-3 di bawah ini). Rendahnya daya saing ekonomi Indonesia karena produktivitasnya yang rendah dan rendahnya produktivitas karena rendahnya teknologi dan faktor pendidikan, maka dampaknya kualitas tenaga kerja juga tetap rendah dan menghasilkan produk yang rendah kualitasnya.

Framework for improving competitiveness

Gambar 3. Kerangka Kerja Ekonomi Yang Berdaya Saing Tinggi JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

23

Kebijakan pemerintah dan para universitas harus berorientasi jauh ke depan dan mengangkat semangat kompetisi yang sehat sangat diperlukan. Orientasi kebijakan ke depan yang sehat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang baik. Artinya, dengan tingkat investasi human capital yang memadahi, akan mampu mereformasi bangsa Indonesia dari keterbelakangan (vicious circle) menuju ke masyarakat yang lebih maju secara elegan (virtuous circle). Karena, perbedaan produktivitas pada suatu investasi dapat membuat perbedaan satu hingga dua persen terhadap tingkat pertumbuhan GNP per kapita. Jika hal tersebut dilakukan, diyakini akan mampu membantu merubah stagnasi ekonomi Indonesia ke dalam semangat untuk meningkatkan kemampuannya di segala bidang dengan sadar. Namun, jika mau bercerimin pada negara lain di Asia dalam human capital invesment, bercerminlah kepada negara-negara seperti; Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Negara-negara ini telah melakukan pembangunan ekonominya dengan berbasis pada human capital invesment dan berhasil. Studi Empiris: Ekonomi Makro dan Pertumbuhan Ekonomi

Teknologi berbasis inovasi yang ditopang oleh kualitas sumber daya manusia potensial merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi di negaranegara maju dan berkembang. Studi empiris telah banyak yang menjelaskan bahwa kebijakan publik ekonomi makro dirancang untuk mendorong kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi harus disebarkan dalam pertumbuhan ekonomi seperti pada kasus pertengaan tahun 1990-an (Mankiw, 2007). Menurut model Solow, kemajuan teknologi menyebabkan nilai berbagai variabel meningkat secara bersamaan dengan mantap (balanced of growth) dalam jangka panjang, maka perekonomian suatu negara akan baik. Namun, model dasar pertumbuhan Solow masih menganggap teknologi berkembang pada tingkat eksogeneus konstan, maka pengalaman empiris pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dari empat macan asia timur menjadi sulit untuk dijelaskan. Akhirnya mereka memisahkan antara masalah ekonomi makro dengan masalah pertumbuhan ekonomi.

24

Studi tentang ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi suatu negara dalam perspektif jangka panjang sebaiknya tidak perlu dipisahkan secara tajam. Walaupun pada jaman Keynes, perhatian tentang pertumbuhan ekonomi pernah kurang menarik di banding masalah ekonomi makro. Namun, pada kenyataanya hingga saat ini kestabilan ekonomi makro yang baik tetap dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan tangguh. Artinya, masalah pertumbuhan ekonomi dan ekonomi makro adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan secara tajam. Karena, salah satu indikator ekonomi makro yang baik adalah harus adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkualitas. Karena, pertumbuhan ekonomi berkualitas mampu menstabilkan perekonomian makro melalui pengurangan. Formulasi model-model pertumbuhan ekonomi baru sebenarnya sudah muncul setelah akhir perang dunia ke II, terutama dengan meluasnya teori Harrod-Domar, Solow, Ramsey, Kuznet, Samulson dan Leontief yang sampai sekarang masih terus dikembangkan (Romer, 1996; Handoko, 2001). Pada mulanya para ahli ekonomi tersebut masih banyak yang menggunakan model-model standar, seperti model Solow yang sering dikenal dengan the new growth theory (Romer, 1996; Tapscott, 1997; Mankiw, 2007; Dornbusch, 2008). Pada saat ini peran variabel teknologi yang telah diperoleh dari pengembangan ilmu pengetahuan melalui research and development serta investasi human capital sudah banyak dibahas walaupun masih banyak yang baru secara implisit. Hasilnya dapat membedakan tentang pendapatan nasional antar negara, di mana negara-negara industri maju terlebih dahulu mampu mencapai tataran kemajauan yang lebih tinggi. Teknologi yang sebenarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan (knowledge) telah diyakini oleh Tapscott (1997) dalam Wahyoedi, (2000) sebagai salah satu bentuk dari ekonomi baru (The New Economy). Salah satu ciri ekonomi baru adalah ekonomi dengan mengandalkan knowledge. Menurut Tapscott orang akan lebih banyak bekerja dengan menggunakan otaknya daripada menggunakan tangan. Di negara-negara maju saat ini seperti; Amerika Serikat, Jepang dan Singapura hampir lebih 70 persen para pekerjanya berkecimpung dalam pekerjaan yang menggunakan knowledge. Selanjutnya, studi tahunan Bank Dunia hingga kini juga telah

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

banyak mengangkat knowledge sebagai topik kajian. Dari kajian Bank Dunia tersebut, ternyata terdapat korelasi yang kuat dan positip antara pertumbuhan knowledge dengan pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel-1 dan Gambar 4 serta Gambar 5 di bawah ini. Peringkat kualitas pembangunan manusia Indonesia 2007-2008 masih stagnan di bawah Vietnam yakni dengan skor 0,728 dan pada posisi 107 dari 177 negara yang di survai. Pada tahun 1975 kondisi pembangunan ekonomi dilihat dari sumbangan nilai Human Development Index (HDI)

Indonesia termasuk kategori rendah, tetapi sejak tahun 1980- 2003 tergolong menengah. Walaupun, dibandingkan dengan negara lain, pada tahun 2003, nilai HDI Indonesia lebih tinggi daripada Laos (0.545) serta Kamboja (0.571). Namun, kondisi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia tergolong masih rendah jika dibandingkan dengan negaranegara lain seperti; Malaysia, Korea Selatan dan Singapura. Di mana kategori nilai HDI lebih besar daripada 0.8 dikategorikan tinggi; nilai HDI antara 0.5 hingga 0.8 dikategorikan sedang, dan nilai HDI kurang dari 0.5 dikategorikan rendah.

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Dunia 2005

2006

4,9 2,5 3,1 1,5 1,9 6,6

5,5 2,9 2,9 2,8 2,2 7,9

WEO-Apr’07 2007 2008 5,2 5,2 2,7 2,5 2,8 2,0 2,5 2,6 2,0 2,6 5,7 5,5

7,5 10,4 9

8,1 11,1 9,7

8,0 11,2 9,0

7,6 10,5 8,4

8,1 11,5 8,9

7,4 10,0 8,4

5,5 5,4 5,1 ASEAN-4 4,5 5,0 4,5 Thailand 5,5 5,9 5,2 Malaysia 5,8 5,4 4,9 Philipina 6,0 5,5 5,7 Indonesia Sumber: World Economic Outlook April dan Oktober 2007, IMF

5,8 4,8 5,8 5,8 6,3

5,6 4,0 5,8 6,3 6,2

5,6 4,5 5,6 5,9 6,1

Dunia Negara Maju AS Euro Jepang Singapura Negara Berkembang Cina India

WEO-Okt’08 2007 2008 4,8 5,2 2,2 2,5 1,9 1,9 2,1 2,5 1,7 2,0 5,8 7,5

Sumber: Human Development Report, 2006

Gambar 4. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

25

6.0

Singapura

Korea Selatan

Malaysia

Thailand

Filipina

China

Viet Nam

Indonesia

Sumber: World Bank, 2007 Gambar 5. Daya Serap Teknologi di tingkat Perusahaan Tahun 2006

Selain itu, daya serap teknologi di perusahaanperusahaan (industri) di Indonesia dalam skala 1-7 mencapai angka 4,5 yang berarti paling rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, seperti; Malaysia yang mencapai 5,9 dan Thailand mencapai 5,3 termasuk Vietnam yang mencapai 5,2. Sedangkan, industri-industri di Singapura adalah yang paling besar menyerap teknologi, yakni mencapai nilai 6,0. Kondisi ini dapat sebagai salah satu indikator bahwa tingkat inovasi dan penggunaan teknologi di Indonesia tergolong masih rendah. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang di capai oleh Indonesia sekalipun tinggi tetap belum dapat dikatakan berkualitas. Fenomena ini lebih nampak ketika ada gangguan krisis ekonomi dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling mudah terkena dampaknya dibandingkan negara tentangganya. Karena, pertumbuhan PDB (pertumbuhan ekonomi) di Indonesia lebih banyak dipacu oleh laju pertumbuhan konsumsi, sedangkan pertumbuhan ekonomi negara tetangga lebih banyak didorong oleh laju investasi human capital dan teknologi. Akibatnya, kondisi ekonomi makro Indonesia sekalipun dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi masih tetap rentan terhadap gejolak krisis. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa masalah stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang saling berkaitan erat.

26

Ketika awal tahun 2000-an hingga pertengahan tahun 2008 sekarang ini produksi minyak dibatasi oleh OPEC, maka produktivitas negara-negara yang tidak berbasis pada human capital dan teknologi terus menurun lebih cepat. Penurunan produktivitas ini sebenarnya telah dimulai tahun 1973, (Mankiw, 2003). Ketika, pertumbuhan produktivitas minyak menurun hampir bersaman dengan naiknya harga minyak yang kini terus naik dan pada Juli 2008 telah mencapai harga US$145 per barel. Sebagai ekonom, berpendapat bahwa penurunan produktivitas ini mungkin saja disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam angkatan kerja di Indonesia yang belum berkualitas. Sedangkan, masih rendahnya kualitas angkatan kerja di Indonesia karena human invesment juga rendah, akibatnya penguasaan teknologi dalam segala bidang di Indonesia juga masih rendah. Dengan masih tetap rendahnya penguasaan teknologi dalam segala bidang ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi tidak berkualitas. Selanjutnya, dengan masih rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka akan semakin sulit tujuan growth with equality yang dapat mensejahterakan rakyat akan tercapai. Argumentasi lain yang dapat untuk memperkuat bahwa sasaran utama pembangunan ekonomi makro di Indonesia yang ingin dicapai pemerintah SBY-JK melalui growth with equality masih sulit di capai adalah, karena rantai nilai (value chain) yang dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan riil

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

masyarakat juga rendah. Pada Gambar-6, nampak bahwa rantai nilai makro pada industri di Indonesia sebesar (3,1) pada skala 1-7, adalah masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, kecuali Vietnam (2,9). Rantai nilai makro ini sangat berhubungan dengan pendeknya rantai produksi dalam suatu perusahaan industri yang bersangkutan secara mikro. Selanjutnya, kondisi ini berpengaruh pada rendahnya nilai tambah yang dihasilkan perusahaan industri tersebut bagi kehidupan masyarakat.

barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan industri di Indonesia. Pada Gambar-7 dan Tabel-2, nampak bahwa nilai GDP dan nilai ekspor Indonesia masih lebih rendah dibanding negara Asean lainnya. Data dari Bank Dunia pada Tabel-3, menunjukkan persentase nilai ekspor industri manufaktur berteknologi tinggi di Indonesia hanya mencapai 16,30 persen dari total ekspor manufaktur. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan negaranegara tetangga, kecuali Vietnam.

Dampak selanjutnya, nilai ekspor barang dan jasa juga akan tetap rendah, khususnya hasil ekspor

Singapura

Korea Selatan

Malaysia

Thailand

Filipina

China

Viet Nam

Indonesia

Sumber: World Bank, 2007 Gambar 6. Rantai Nilai (Value Chain) Perusahaan Industri, 2006

Malaysia

Thailand

Viet Nam

Indonesia

Laos

Sumber: World Bank, 2006 Gambar 7. Nilai Perdagangan Sebagai Persentase dari GDP, 2005

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

27

Tabel 2. Ekspor Manufaktur Menurut Kelompok Teknologi Persentase Total Ekspor Manufaktur 16,30 26,60 54,70 71,00 5,60 56,60 32,30

Negara Indonesia Thailand Malaysia Filipina Vietnam Singapura Korea Selatan Sumber: World Bank, 2006

Pertumbuhan Ekonomi Penyerapan Tenaga Kerja

Tinggi

dan

Mitos

Secara teori ekonomi, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi akan mampu menyerap tenaga kerja baru sebesar 250-400 ribu orang. Namun, pertumbuhan ekonomi tinggi di Indonesia baru sekedar mitos dalam penyerapan tenaga kerja baru. Karena, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya mampu menyerap tenaga kerja kurang dari 100 ribu orang per tahun. Tahun 2008 merupakan tahun yang telah dijanjikan akan ada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, yang menjadi persoalanya adalah, apakah kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut bertambah naik? Apakah pertumbuhan tersebut mampu “memihak kaum miskin dan yang menganggur” seperti yang diharapkan dalam RKP? Di atas telah dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi, tetapi tidak

berkualitas. Pertumbuhan ekonomi yang tidak banyak menyerap tenaga kerja, pada akhirnya akan membuat jurang kemiskinan yang semakin melebar. Inilah kondisi paradok pertumbuhan ekonomi (paradox of economics growth) yang kini terjadi di Indonbesia. Karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang tinggi lebih banyak ditompang oleh laju pertumbuhan tingkat konsumsi daripada investasi. Dampak selajutnya, karena masih rendahnya tingkat investasi, khususnya investasi human capital dan teknologi, maka nilai tambah dari produktivitas menjadi tetap rendah dan pertumbuhan ekonomi juga menjadi tidak berkualitas. Di bawah ini ada beberapa fakta bahwa rendahnya investasi human capital yang tercermin dalam rendahnya tingkat pendidikan berdampak pada kualitas pertumbuhan ekonomi yang rendah. Persoalan berikutnya adalah mengapa dan bagaimana kondisi investasi human capital di Indonesia masih tetap rendah? Berdasarkan Tabel-3 di atas, siswa yang melanjutkan ke tingkat pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia nampak terus meningkat. Namun secara umum, peningkatan tersebut jika dibandingkan dengan negara Asean yang lain terutama; Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, masih lebih rendah. Jika Tabel-3 dan Tabel-1 di atas dianalisis lebih lanjut, maka dapat diperoleh nilai tambah dan azas manfaat yang berbeda antara yang diterima oleh rakyat Indonesia dengan rakyat negara Asean tersebut. Karena, nilai belanja untuk pendidikan dari negara Indonesia cenderung lebih rendah, maka tingkat pendidikan siswa di Indonesia

Tabel 3. Indek Tingkat Pendidikan Negara-Negara Asean Nama Negara Singapura Korea Selatan Brunei Darussalam Malaysia Thailand Filipina China Vietnam Indonesia Myanmar Kamboja Laos

1990 68,1 89,8 68,7 56,3 30,8 70,7 48,7 106,9 45,5 22,4 28,9 24,4

Pendidikan Menengah 1995 2000 2005 73,4 100,9 97,6 92,9 80,2 85,5 95,6 58,7 69,3 76,4 54,1 61,8 70,3 77,5 77,1 85,2 65,8 62,9 74,3 114,1 106,6 94,5 51,5 54,9 63,1 32,6 37,6 40,3 26,5 17,0 29,4 26,8 35,6 46,7

1990 18,0 39,1 5,7 7,4 18,8 27,8 2,9 2,0 9,5 -

Pendidikan Tinggi 1995 2000 33,7 .. 52,0 72,6 7,2 12,6 11,7 26,3 20,1 34,2 29,0 30,5 5,3 7,6 4,1 9,5 11,3 14,4 -

Sumber: World Bank, 2006 28

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

2005 .. 89,9 15,0 32,0 43,0 28,1 20,3 16,0 17,1 -

juga tetap masih rendah, maka dampak selanjutnya adalah tingkat produktivitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi yang diperoleh oleh rakyat Indonesia juga tetap rendah. Pada Tabel-4 ini, tingkat belanja negara Indonesia untuk pendidkan pada tahun 2005 nampak belum mencapai 1 persen dari GDP, dan jika dilihat dari APBN pada tahun 2008 juga baru sebesar 11 pesen, yang berarti masih belum terpenuhinya batasan minim 20 persen dari APBN. Rencananya pada RKP tahun 2009 rencana batas minimal 20 persen anggaran pendidikan ini baru akan dipenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah terhadap pendidikan yang berkualitasw di Indonesia masih rendah dan kini justru nampak ada kencenderungan yang makin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi semakin jauh dari harapan.

Rendahnya komitmen pemerintah yang ditunjukan oleh rendahnya belanja negara terhadap pendidikan ini diperparah lagi dengan adanya laju migrasi intelektual (brain drain) yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Semakin tinggi brain drain dari negara tersebut, maka negara tersebut sebenarnya semakin dirugikan, kecuali mereka memperoleh return devisa yang lebih besar bagi negaranya. Pada Gambar-8, nampak bahwa brain drain di Indonesia cukup tinggi, dan lebih tinggi daripada di negara; Korea Selatan, Filipina, Vietnam bahkan Cina. Fenomena semakin tingginya brain drain tersebut artinya, orang-orang yang berpendidikan semakin tinggi (intelektual) di Indonesia justru menjadi tidak suka untuk bekerja di negara Indonesia sendiri. Hal ini dimungkinkan karena mereka hanya memperoleh income yang lebih kecil jika mereka bekerja di luar negeri. Inilah fakta bahwa pendidikan di Indonesia kurang diperhatikan, maka fenomena ini

Tabel 4. Persentase Belanja Negara untuk Pendidikan dari GDP, tahun 2005

Nama Negara

Persentase Belanja Persentase Tingkat Pendidikan Pendidikan Terhadap GDP Menengah Wanita

Indonesia Thailand Malaysia Filipina Vietnam Singapura Korea Selatan

Persentase Tingkat Pendidikan Tinggi Wanita

63,80 74,20 80,90 90,30 74,80 93,10

0,90 4,20 8,00 3,20 3,70 4,60

14,70 45,40 38,00 32,40 13,20 -

Sumber: World Bank, 2006

Singapura

Korea Selatan

Malaysia

Thailand

Filipina

China

Viet Nam

Indonesia

Sumber: World Bank, 2007

Gambar 8. Migrasi Intelektual (Brain Drain) tahun 2006 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

29

berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi semakin tidak berkualitas. Struktur upah dan gaji di Indonesia yang kurang membedakan dari segi skill dan tingkat pendidikan, tetapi lebih melihat “kedekatan atau tempat” dan lamanya ia bekerja, serta tidak ada perbedaan yang signifikan antara gaji seorang profesor dengan seorang lulusan sekolah menengah, mungkin inilah sebagai salah satu fenomena brain drain di Indonesia yang tinggi dan meningkat. Jika upah atau gaji di Indonesia mencerminkan produktivitas, maka akan semakin banyak orang yang mempunyai kesadaran untuk memiliki pendidikan tinggi, dan jika dengan semakin tinggi tingkat produktivitas serta hasil ekonominya, maka masalah brain drain tidak akan terjadi. Permasalah brain drain memang telah dialami oleh banyak negara lain, karena masalah ini merupakan dampak dari globalisasi neoliberalisme yang sedang melanda dunia ini. Namun, masalah brain drain di Indonesia justru lebih diperparah karena kondisi struktur upah/gaji di Indonesian sangat tidak mencerminkan tingkat produktivitas. Padahal, rendahnya tingkat produktivitas berdampak pada rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi. Masalah kemerosotan pertumbuhan ekonomi nasional dan brain drain yang terjadi di Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1997 sebenarnya bukan semata-mata karena faktor eksternal global, melainkan lebih karena faktor internal. Faktor internal dimaksud secara eksplisit dapat dirangkum dalam tiga faktor kunci yakni; lemahnya daya saing, inovasi, dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dampak selanjutnya, ketika orang yang tidak mampu melakukan brain drain karena daya saingnya rendah, maka produktivitasnya juga akan menurun dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi tetap tidak akan berkualitas. Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia dapat dikatakan “anti realitas”, serta kurang kreatif dan inovatif, pada gilirannya tidak mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Salah satu penyebabnya adalah karena pengakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan di Indonesia lebih dikarenakan selembar ijazahnya serta “keakuannya” dan bukan karena kehebatan intelektual serta perilakunya, sehingga seseorang yang tadinya produktivitasnya tinggipun menjadi “ikut malas” dan apatis.

30

PENUTUP

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama ini cukup tinggi, tetapi belum berkualitas, karena secara riil pertumbuhan ekonomi tersebut belum mampu mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan seperti yang diharapkan. Harapan besar pemerintah bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat mensejahterakan rakyat melalui (growth with equality), seharusnya berawal dari kesiapan pra-kondisi yang menuntut kemampuan atau kinerja stabilitas ekonomi makro yang kondusif sebagai prasyaratnya. Hasilnya harus dapat berimplikasi yang positip pada tumbuh dan berkembangnya aktivitas riil di semua sektor ekonomi terutama UMKM. Karena, aktivitas di sektor UMKM pada dasarnya lebih mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sebagai salah satu indikator keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tersebut. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas hendaknya lebih diletakkan pada kemampuan dari pengeluaran sektor investasi yang sangat fundamental, khususnya investasi di bidang human capital, capital social, infrastruktur dan teknologi khususnya teknologi informasi. Penguatan investasi pada semua sektor melalui bidang tersebut sangat jelas lebih mampu menciptakan efek ganda (multiplier effect) yang lebih tinggi dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu bangsa (Indonesia). Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan akan berdampak positip pada semakin maju dan sejahteranya rakyat suatu negara yang bersangkutan, atau dengan daya kreativitas dan inovatifnya akan lebih mampu merubah dirinya dari kondisi keterbelakangan (vicious circle) menuju ke dalam kondisi masyarakat yang lebih maju dan mandiri (virtuous circle). Semoga bangsa Indonesia ke depan dapat berbuat lebih banyak, paling tidak “aksi mimal hasil maksimal” jangan “aksi maksimal hasil minimal”. Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang selama ini sebagian besar masih bertumpu pada kegiatan konsumtif harus segera direformasi dengan pola pertumbuhan ekonomi yang secara dominan digerakkan oleh sektor riil produktif serta dikerjakan oleh dan

The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31)

untuk kesejahteraan mayoritas rakyat. Penyaluran kredit dikatakan berkualitas, jika memiliki multiplier effect baik bagi pelaku usaha, pekerja, dan terhadap pemerintah kabupaten/kota, di mana pelaku usaha tersebut tinggal, misal dengan meningkatnya lapangan kerja. Dalam upaya ini, dibutuhkan instrumeninstrumen untuk mendorong penyaluran kredit yang berkualitas agar sektor riil mampu bergerak dan mendominasi penyaluran kredit di sektor produktif. Tetapi, tetap dalam upaya untuk mendorong sektor riil tumbuh, karena perbankan tidak dapat bekerja sendiri, maka harus didukung oleh pemerintahan setempat. Dengan demikian, untuk mempercepat laju pertumbuhan yang berkualitas, kebijakan penurunan BI rate saat ini tidak akan kondusif jika tidak dibarengi dengan perbaikan iklim bisnis dan investasi, seperti; investasi human capital, social capital, teknologi informasi, perbaikan infrastruktur serta penegakan hukum dan debirokratisasi investasi (karena pada saat ini, meski telah ada paket investasi, tapi dalam implementasi belum jalan sebagaimana mestinya). DAFTAR PUSTAKA

Boediono, 1999, “Teori Pertumbuhan Ekonomi”, Yogyakarta: BPFE Dornbusch, Rudiger, at.al, 2008, “Macroeconomics”, 9th, New York: McGraw-Hill Inc. Foucault, Michel, 2002, “Power or Knowledge”, Yogyakarta: Bentang. Handoko, Budiono Sri, 2001, “Pemikiran Pendekatan Pembangunan Di Awal Millenium: Penekanan

Pada Kualitas Pertumbuhan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 6. No. 2, Yogyakarta: FE UII Indrawati, Sri Mulyani, 2007, “Prospek Pembangunan Ekonomi 2008”, Jurnal Negarawan, No. 06, Vol. 2, November 2007. Mankiw, N.G., 2007, “Macroeconomics”, 6th, New York: Worth Publishers Meier, G.M., 1995, “Leading Issues in Economic Development”, 6th, Oxford University Press Prasetyo, P. Eko, 2008, “Peran Investasi Human Capital Melalui Pendidikan Dalam Memacu Pertumbuhan Ekonomi”, Jurnal Dinamika Pendidikan Ekonomi, Vol. 3, No. 1, 2008, Semarang: FE UNNES Romer, David, 1996, “Advanced Macroeconomics”, International Edition, Singapore: McGraw-Hill inc. Sampurno, 2007, “Knowledge-Base Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Stiglitz, J.E., 2000, “Development Thinking at the Millennium”, Annual World Bank Conference on Development Economics, April, 2000, The World Bank. Stiglitz, J.E., and S. Yusuf, (2001), “Rethinking the East Asian Miracle”, Oxford: World Bank-Oxford University Press. Thomas V., et.al, 2001, “The Quality of Growth”, Oxford University Press. Wahyoedi, Soegeng, 2000, “The New Growth Theory: Peran Ilmu Pengetahuan dan Investasi Modal Sumber Daya Manusia Sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi”, Jakarta: Ukrida Press. World Development Report, 2006/2007

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

31

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI SWASTA DI JAWA TENGAH Hadi Sasana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro email:[email protected]

ABSTRACT

Investment very significant influence economic growth, this research aim to identify and analyse factors influencing private invesment in Central Java Province. Analyse use multiple regression model with Ordinary Least Square method (OLS). Result of analyse indicate that, rate of interest negative influence and significant to private invesment in Central Java coefficient –1017.464. Government expenditure and inflation have positive influence and significant to private invesment in Central Java coefficient 243.715 and 0.19. Keywords: private invesment, rate of interest, government expenditure and inflation PENDAHULUAN

Pembangunan daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu, pembangunan harus dilaksanakan di seluruh tanah air dan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas sejak tahun 2001 perlu disikapi dengan cepat oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Kewenangan yang lebih luas dalam desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menyangkut aspekaspek administrasi, kelembagaan dan pengelolaan sumber-sumber keuangan harus segera direalisasikan termasuk pengelolaan sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. Dalam Rencana Strategis Daerah (Renstrada) Jawa Tengah 2003–2008, disebutkan bahwa untuk menjadikan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan, menjadi pilar pembangunan nasional yang dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, disusun pentahapan pelaksanaan pembangunan Propinsi Jawa Tengah tahun 2004 – 2008, sebagai berikut: 1. Tahap Penguatan Kemandirian (2004 – 2005). 2. Tahap Peningkatan Daya Saing (2006 – 2007).

32

3. Tahap Pengembangan Kemandirian, Daya Saing dan Eksistensi Adapun strategi kebijakan di bidang ekonomi yang ditempuh pada peningkatan kualitas potensi ekonomi wilayah dalam rangka memperbaiki struktur ekonomi daerah serta meningkatkan kemandirian dan daya saing dengan memprioritaskan pada sektor pertanian dalam arti luas, industri kecil menengah dan/atau usaha kecil menengah dan pariwisata. Strategi yang ditempuh adalah (Rencana Strategis Jawa Tengah 2003 – 2008): 1. Memperkuat agribisnis dan agro industri di pedesaan dengan memfasilitasi petani dan stakeholders untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, memperluas akses pasar, permodalan serta memperkuat kinerja kelembagaan. 2. Menurunkan tingkat kesenjangan antar wilayah dengan memperkuat jalur Selatan-Selatan dan kawasan tertinggal untuk meningkatkan mobilitas ekonomi di wilayah tersebut, serta pembangunan kawasan-kawasan sentra produksi dengan meningkatkan sinergi jejaring antar kawasan dengan outlet regional dan global, maupun antara kawasan sentra dengan hinterland-nya. 3. Memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan iklim yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha dan investasi. 4. Meningkatkan daya saing produk UKM di pasar global dengan menerapkan standar produk

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

internasional, memfasilitasi promosi yang sistematis di dalam dan luar negeri serta membantu pengembangan sistem penjaminan sesuai ketentuan perbankan dan pranata sosial ekonomi. 5. Meningkatkan kontribusi sektor pariwisata dalam struktur ekonomi melalui obyek-obyek wisata yang berbasis ekonomi kerakyatan dan kelestarian lingkungan. Secara umum kondisi perekonomian di Jawa Tengah sejak tahun 1999 menunjukkan adanya perkembangan yang positif, setelah dalam kurun waktu 1997–1998 dilanda krisis ekonomi yang serius. Berangsur-angsur perekonomian di kabupaten/kota mulai meningkat dan pada tahun 2002 pertumbuhan ekonomi di seluruh kabupaten/kota tumbuh positif. Untuk mencapai visi dan misi pembangunan seperti yang tertuang dalam Renstrada Jawa Tengah diperlukan investasi yang cukup besar terutama dari kalangan swasta. Kegiatan investasi diharapkan berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, kehadirannya mampu berperan sebagai motor penggerak dan sekaligus menjadi pendorong percepatan (akselerasi) pembangunan secara luas. Pengalaman negara-negara lain yang perekonomiannya tumbuh dengan pesat menunjukkan bahwa kegiatan invesatsi sangat signifikan mempengaruhi peningkatan ekspor, devisa negara, pendapatan negara maupun daerah, penyerapan tenaga kerja serta alih teknologi yang kesemuanya itu bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, walaupun terjadi akselerasi investasi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun terdapat berbagai kendala yang menyebabkan investasi (PMA maupun PMDN) dari tahun ke

tahun tidak stabil (berfluktuasi). Perkembangan investasi di Jawa Tengah selama 6 tahun terakhir adalah sebagai berikut tabel 1. Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa investasi PMA/PMDN di Jawa Tengah selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun dan nilainya cenderung mengalami penurunan. Penurunan nilai investasi PMA lebih tajam daripada nilai investasi PMDN. Pada tahun 1997 nilai investasi dari PMA adalah sebesar US$2.221.516.899.19 dan meningkat menjadi US$3.072.199.262.68 (tahun 1998), namun demikian akibat krisis multidemensional yang melanda di negara kita termasuk di Jawa Tengah, nilai investasi dari PMA menurun sangat drastis (US$80.018.358.00) pada tahun 2003. Demikian pula nilai investasi PMDN, pada tahun 1997 nilai PMDN di Jawa Tengah sebesar Rp7.406.630.814.479, akibat krisis multidemensional nilai investasi PMDN menurun menjadi sebesar Rp3.607.653.588.597 (tahun 2003). Hal ini sangat mengganggu kegiatan perekonomian di Jawa Tengah apabila tidak diketahui faktor-faktor penyebabnya. Dengan latar belakang tersebut di atas secara umum permasalahannya adalah adanya kecenderungan penurunan nilai investasi swasta (PMA dan PMDN) di Jawa Tengah. Untuk menganalisis permasalahan tersebut perlu diteliti mengenai faktor– faktor yang mempengaruhi penanaman modal swasta asing maupun penanaman modal dalam negeri di Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta (PMA dan PMDN) di Jawa Tengah. (2) Menganalisis pengaruh tingkat suku bunga, laju inflasi dan pengeluaran pemerintah daerah Jawa Tengah terhadap besarnya investasi di Jawa Tengah.

Tabel 1. Perkembangan Investasi Jawa Tengah Tahun 1998 – 2003 PMA Tahun

Nilai Investasi ( US $ ) 1998 46 3.072.199.262.68 1999 72 127.845.393.55 2000 56 72.072.435.43 2001 57 96.681.990.00 2002 44 91.765.000.00 2003 57 80.018.358.00 Sumber: BPM Propinsi Jawa Tengah, 2004 Jumlah Proyek

PMDN Jumlah Proyek 20 26 34 26 14 21

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Nilai Investasi ( Rp ) 2.482.396.427.000 1.308.709.116.573 2.451.203.432.171 2.912.197.970.000 1.541.259.610.000 3.607.653.588.597

33

LANDASAN TEORI 1. Investasi

Perkataan “investasi” merupakan salah satu istilah ekonomi yang selalu digunakan orang awam. Tetapi kerap kali pengertiannya berbeda dengan arti “investasi” dalam teori ekonomi. Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai: pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barangbarang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti danterutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa yang akan datang. Dengan perkataan lain, investasi berarti kegiatan perbelanjaan untuk meningkatkan kapasitas produksi sesuatu perekonomian (Sadono Sukirno, 2000). Secara statistik, investasi atau pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dann peralatan produksi, dibedakan menjadi 4 komponen, yaitu: investasi perusahaan-perusahaan swasta, pengeluaran untuk mendirikan tempat tingga, perubahan dalam inventaris (inventory) perusahaan dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Tujuan pengusaha untuk mewujudkan alat-alat produksi tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan produksi yang dilakukannya di masa depan. Hal ini berarti investasi yang dilakukan di masa kini sangat erat hubungannya dengan prospek memperoleh untung di masa depan. Semakin cerah prospek untuk memperoleh keuntungan yang lumayan di masa depan, semakin tinggi investasi yang dilakukannya pada masa kini (Gunawan,2001). Dari segi nilai dan proporsinya terhadap pendapatan nasional, investasi perusahaan tidaklah sebesar pengeluaran konsumsi rumah tangga. Namun demikian investasi perusahaan peranannya sangatlah penting dibanding konsumsi rumah tangga. Di berbagai negara, terutama di negaranegara industri yang perekonomiannya sudah sangat berkembang, investasi perusahaan adalah sangat “volatile” yaitu selalu mengalami kenaikan dan penurunan yang sangat besar, dan sebagai sumber penting dari berlakunya fluktuasi dalam kegiatan perekonomian. Disamping itu kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, mening34

katkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting kegiatan investasi dalam perekonomian. Pertama, investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran agregat, sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional. Kedua, pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambahakan kapasitas memproduksi di masa depan dan perkembangan ini akan menstimulir pertambahan produksi nasional serta kesempatan kerja. Ketiga, investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi, perkembangan ini akan memberi sumbangan penting terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan per kapita masyarakat. 2. Tingkat suku bunga

Permintaan efektif ditentukan oleh hasrat konsumsi dan dorongan untuk mengadakan investasi. Hasrat konsumsi tergantung dua faktor yaitu: besarnya pendapatan dan bagian yang dibelanjakan untuk barang-barang konsumsi. Investasi akan cenderung untuk naik apabila tingkat bunga mengalami penurunan maupun karena kanaikan marginal efisiensi kapital. Sehingga jumlah investasi atau permintaan efektif untuk investasi tergantung pada dua faktor yaitu: margimal efficiency of capital (MEC) dan rate of interest atau tingtat bunga (Nopirin, 1993). Margimal Efficiency of Capital (MEC) menggambarkan tingkat pendapatan (rate of return) dari investasi baru yang diharapkan akan dilakukan. Apabila MEC lebih besar daripada tingkat bunga pasar, maka pengusaha akan melakukan investasi, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian diperoleh hubungan antara tingkat bunga dengan pengeluaran investasi, bahwa semakin rendah tingkat bunga maka makin besar pengeluaran investasi.

Menurut Manulang (1993), hasrat konsumsi adalah relatif stabil, tidak demikian halnya dengan investasi. Dorongan untuk mengadakan investasi tergantung kepada keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut. Sudah barang tentu bahwa harapan keuntungan yang dapat di dasarkan atas penaksiran yang tidak pasti, karena itulah mengapa investasi mengalami fluktuasi. Apabila harapan untuk memperoleh keuntungan tidak ada,

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

investasipun akan berkurang. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa dorongan untuk mengadakan investasi ditentukan oleh keuntungan yang diharapkan darininvestasi baru dan besarnya tingkat bunga. Menurut Keynes, bunga adalah semata-mata gejala moneter, bunga adalah pembayaran untuk mrnggunakan uang. Berdasarkan atas pendapat yang demikian mengapa Keynes yakin bahwa akan pengaruh uang terhadap sistem ekonomi seluruhnya. Tingkat bunga memiliki fungsi alokatif dalam perekonomian, khususnya dalam penggunaan uang dan modal. Tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan uang. Tingkat bunga akan mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perubahan tingkat bunga selanjutnya akan mempengaruhi investasi (Mankiw, 2000). 3. Laju inflasi

Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam sesuatu perekonomian. Tingkat inflasi berbeda dari satu periode ke periode lainnya, dan berbeda pula dari satu negara ke negara lainnya. Masalah kenaikan harga-harga yang berlaku diakibatkan oleh banyak faktor, pada umumnya inflasi berasal dari salah satu atau gabungan dari dua masalah berikut: 1. Tingkat pengeluaran agregat yang melebihi kemampuan perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa. Keinginan untuk mendapatkan barang yang mereka butuhkan akan mendorong para konsumen meminta barang itu pada harga yang lebih tinggi. Sebaliknya para pengusaha akan mencoba menahan barangnya dan menjual kepada pembeli yang bersedia membayar pada harga yang lebih tinggi. Kedua-dua kecenderungan ini akan menyebabkan kenaikan harga-harga. 2. Para pekerja di berbagai kegiatan ekonomi yang menuntut kenaikan upah. Apabila pengusaha mulai menghadapi kesulitan dalam mencari tambahan pekerja untuk menambah produksinya, para pekerja akan terdorong untuk menuntut kenaikan upah. Apabila tuntutan kenaikan upah berlaku secara meluas, akan terjadi kenaikan biaya produksi dari berbagai produksi barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian.

Disamping itu inflasi dapat pula berlaku sebagai akibat dari: (1) kenaikan harga-harga barang yang diimpor, (2) penambahan penawaran uang yang berlebihan tanpa diikuti oleh penambahan produksi dan penawaran barang, dan (3) kekacauan politik dan ekonomi sebagai akibat pemerintahan yang kurang bertanggung jawab. Inflasi dapat mempengaruhi kegiatan investasi, hal ini dapat dilihat dari pengaruh inflasi terhadap pengangguran. AW. Phillips pada tahun 1958 dalam tulisannya yang berjudul “the relation between unemployment and the rate of change of money wage rates in United Kingdom” dari studi lapangan tentang hubungan antara kenikan upah dengan pengangguran di Inggris. Hasil kesimpulanya adalah terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dan tingkat kenaikan upah. Apabila tingkat pengangguran rendah maka tingkat kenaikan upah tinggi dan sebaliknya. (Sadono Sukirno, 2000). 4. Pengeluaran pemerintah

Pengeluaran pemerintah disini adalah meliputi semua pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi yang memiliki tujuan untuk mendukung kegiatan roda perekonomian agar berjalan lebih baik dan bersemangat. Peran pemerintah seperti dikemukakan oleh Keynes sering kali diperlukan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian. Untuk menjalankan sektor yang tidak dilakukan oleh sektor swasta seperti memproduksi barang publik. Memproduksi barang publik tentu memerlukan dana yang terwujud dalam pengeluaran pemerintah baik level nasional maupun daerah. Pengeluaran pemerintah disini tidak dibedakan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, meski pengeluaran pembangunan yang memiliki pengaruh terdekat dengan investasi. Namun secara umum pengeluaran pemerintah haruslah dilihat secara utuh sehingga pengaruh atau timbal balik pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian dapat terlihat. Keynes mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah diperlukan untuk mendorong meningkatnya pengeluaran agregat di saat daya beli masyarakat menurun dan lesu. Pengeluaran pemerintah dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat melakukan kegiatan ekonomi seperti biasanya (Kuncoro, 2000) .

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

35

Efek crowding out dari pengeluaran pemerintah dapat terjadi apabila sektor swasta dan pemerintah saling bersaing dan tumpang tindih dalam melakukan peranannya dalam perekonomian. Namum crowding out lebih terjadi pada pasar obligasi dan tidak terjadi pada sektor investasi riil yang manfaatnya lebih terasa dalam masyarakat. Oleh karena itu crowding out tidak begitu diperhitungkan dalam penelitian ini. Pengeluaran pemerintah lebih mendapatkan peran sebagai pendorong/stimulus bagi kegiatan perekonomian di suatu daerah dimana pengeluaran pemerintah memberi dukungan terhadap sektor swasta dalam meningkatkan perekonomian daerah terutama untuk meningkatkan invesatsi. METODE PENELITIAN

3. Alat analisis

Analisis menggunakan model regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS), untuk mengetahui besarnya perubahan variabel independen terhadap variabel dependen (Gujarati, 1997). Model yang digunakan untuk menduga parameter-parameter dari investasi diformulasikan sebagai berikut. IS = δ + δ SB + δ In + δ PP + U

(1)

Di mana: I S : Nilai Investasi SB : Tingkat Suku bunga In : Tingkat inflasi PP : Pengeluaran pemerintah U : Error terms

1. Data dan lingkup penelitian

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan para responden (investor, Pemda) maupun melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan aparat/pejabat terkait. Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen yang diperlukan, bersumber dari Badan Pusat Statistik, BKPM Jawa Tengah, Deperindag, Bank Indonesia maupun dinas/instansi terkait, serta didukung dengan bahan kepustakaan yang relevan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Secara substansi investasi swasta dalam penelitian ini meliputi PMA dan PMDN. Periode penelitian meliputi kurun waktu tahun 1986 sampai dengan tahun 2002. 2. Definisi operasional

a. Investasi swasta, diperoleh melalui penjumlahan (total) realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa Tengah dengan satuan rupiah b. Tingkat bunga, merupakan tingkat bunga riil dalam satuan persen c. Inflasi, kenaikan harga-harga barang secara umum, dalam satuan persen d. Pengeluaran pemerintah, pengeluaran pembangunan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah Propinsi Jawa Tengah dengan satuan rupiah. 36

HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan yang dihadapi hampir semua negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan adalah minimnya biaya yang tersedia untuk menunjang proses pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sosial ekonominya. Selama ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah negara sedang berkembang untuk mendanai pembangunannya antara lain melalui pemungutan pajak, menciptakan uang dalam negeri, tabungan pemerintah, melakukan pinjaman luar negeri serta mengundang investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam suatu perekonomian, penanaman modal atau investasi sangat diperlukan untuk menunjang baik pertumbuhan ekonomi maupun kesempatan kerja. Oleh karena itu upaya untuk menarik investor menanamkan modalnya di Indonesia khususnya di Jawa Tengah secara intensif selalu dilaksanakan oleh pemerintah. Pada tahun 1998 sampai dengan 2002 terlihat bahwa perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah mengalami penurunan yang sangat tajam setelah mencapai angka yang paling tinggi di tahun 1998 yaitu sebesar Rp27,14 triliun rupiah dan mengalami penurunan drastis menjadi sebesar Rp1,95 triliun pada tahun 1999. Pada tahun 2000 sampai dengan 2002 dimana perekonomian pada tahap recovery investasi mengalami kenaikkan setiap

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

tahunnya. Pada tahun 2000 kenaikan investasi swasta sebesar 61,4 persen (Rp3,142 triliun) dan tahun berikutnya yaitu pada tahun 2001 investasi naik menjadi Rp4,2 triliun. Pada tahun 2002 investasi mengalami penurunan kembali menjadi 2,4 triliun. Investasi yang terjadi di Jawa Tengah pada kurun waktu 1986 sampai dengan 2002 adalah sebagai berikut: Tabel 2. Perkembangan Investasi Jawa Tengah Tahun 1986 – 2002 (Juta Rupiah) Tahun

Realisasi Investasi di Jawa Tengah

Tahun

Realisasi

1986 321,48 1995 1987 640,03 1996 1988 917,46 1997 1989 3.989,96 1998 1990 5.925,25 1999 1991 3.894,66 2000 1992 1.594,84 2001 1993 2.873,73 2002 1994 9.793,34 Sumber: BPS Jawa Tengah , 1988-2003

7.176,45 11.168,13 15.974,21 27.136,80 1.946,89 3.142,74 4.216,71

bangan PMA di Jawa Tengah pada tahun 2000 mengalami penurunan lagi menjadi sebesar 72.072,43 ribu US$. Namun pada tahun 2001 dan 2002 nilai PMA mengalami peningkatan yaitu menjadi 96.681,99 ribu US$ dan 91.765,00 ribu US$. Perkembangan investasi dalam negeri (PMDN) di Jawa Tengah memiliki ketahanan yang lebih baik dari pada PMA dalam menghadapi krisis ekonomi nasional. Pada tahun 1999 terjadi penurunan nilai PMDN sebesar 58 persen, namun pada tahun 2000 dan 2001 nilai PMDN yang masuk Jawa Tengah mengalami peningkatan terutama pada tahun 2000 yaitu peningkatan sebesar 135 persen. Pada tahun 2002 nilai PMDN mengalami penurunan sebesar 52 persen menjadi sebesar Rp1,6 triliun. Perilaku PMDN dan PMA seperti di atas membuat nilai total investasi swasta di Jawa Tengah menjadi fluktuatif dan tidak stabil. Berikut ini disajikan perkembangan PMA dan PMDN di Jawa Tengah 1998-2002.

2.361,64

Nilai investasi di Jawa Tengah pada tahun 1998 sampai dengan 2002 memiliki gap yang sangat besar, terlebih bila dibandingkan angka tahun 1998 dan 1999. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1997 sebagai penyebab utama perbedaan angka yang sangat besar pada total investasi swasta di Jawa Tengah pada tahun 1998 dan 1999. Pada tahun 1998 jumlah penanaman modal asing yang masuk ke Jawa Tengah cukup besar jumlahnya yaitu sebesar 3.072.199,26 ribu US$, dan mulai tahun 1999 akibat krisis ekonomi nasional telah memberikan pengaruh terhadap jumlah penanaman modal asing yang masuk ke Jawa Tengah. Pada tahun 1999 jumlah PMA turun menjadi sebesar 127.915,63 ribu US$. Perkem-

Penurunan nilai investasi swasta di Jawa Tengah pada tahun 1998 yaitu dari Rp27,1 triliun menjadi Rp1,9 triliun pada tahun 1999 disebabkan oleh banyak hal, antara lain yaitu: a. Nilai PMA pada tahun 1999 mengalami penurunan sebesar 95,8 persen, sehingga total penerimaan investasi swasta yang merupakan penjumlahan PMA dan PMDN pada tahun 1999 menjadi berkurang. b. Nilai tukar dol1ar Amerika terhadap rupiah pada tahun 1998 ke 1999 juga mengalami penurunan dari Rp8.025,00 menjadi Rp7.100,00 sehingga nilai PMA dalam rupiah menjadi berkurang dibanding tahun 1998. c. Nilai PMDN pada tahun 1999 juga mengalami penurunan sebesar 58,1 persen sehingga total

Tabel 3. Perkembangan PMA dan PMDN di Jawa Tengah Tahun 1998 – 2002

1998

PMA (Ribu Rp) 24.654.399.061,50

PMDN (Ribu Rp) 2.482.396.430,00

Total investasi (Ribu Rp) 27.136.795.491,50

1999

908.200.973,00

1.038.689.120,00

1.946.890.093,00

2000

691.534.965,85

2.451.203.420,00

3.142.738.385,85

2001

1.005.492.696,00

3.211.218.970,00

4.216.711.666,00

2002

820.379.100,00

1.541.259.600,00

2.361.638.700,00

Tahun

Sumber: BPS Jawa Tengah, 2003 JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

37

penerimaan investasi swasta menjadi berkurang pula. Penurunan baik pada PMA dan PMDN pada tahun 1999 menyebabkan nilai investasi swasta pada tahun 1999 menjadi jauh lebih sedikit dibanding investasi swasta tahun 1998. d. Jumlah PMA yang masuk ke Jawa Tengah pada tahun 1998 cukup besar yaitu sebesar 3.072.199,26 ribu US$, sehingga nilai investasi swasta pada tahun 1998 cukup besar dan jumlah itu merupakan jumlah PMA tertinggi sepanjang tahun 1986 sampai dengan 2002 . Ha1-ha1 di atas menyebabkan ni1ai investasi swasta pada tahun 1999 sampai dengan 2002 memiliki nilai yang jauh lebih keci1 dibandingkan dengan nilai investasi tahun 1998. Kegiatan investasi sangat dipengaruhi oleh perkembangan/perubahan tingkat suku bunga. Karena tingkat suku bunga merupakan investment cost bagi para investor. Tingkat suku bunga pada bank-bank di Jawa Tengah pada kurun waktu 1995 2003 adalah sebagai berikut: T abel 4. Tingkat Suku Bunga di Jawa Tengah Tahun 1986 - 2002 (Persen) Tahun Tingkat suku bunga 1986 16,00 1987 19,00 1988 19,50 1989 18,00 1990 17,75 1991 21,18 1992 21,13 1993 16,25 1994 12,99 Sumber: BPS, diolah

Tahun Tingkat suku bunga 1995 15,04 1996 16,69 1997 16,28 1998 21,84 1999 27,60 2000 12,17 2001 13,16 2002

13,55

Selain tingkat suku bunga invstasi juga dipengaruhi oleh laju inflasi. Stabilitas harga akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai investasi di suatu wilayah. AW. Phillips pada tahun 1958 dalam tulisannya yang berjudul “the relation between unemployment and the rate of change of money wage rates in United Kingdom” menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dan tingkat kenaikan upah. Apabila tingkat pengangguran rendah maka tingkat kenaikan upah tinggi dan sebaliknya (Sadono Sukirno, 2000). Dalam studi selanjutnya diteliti bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat inflasi dengan 38

pengangguran. Perkembangan inflation rate di Jawa Tengah pada kurun waktu 1988 - 2002 adalah sebagai berikut: Tabel 5. Tingkat Inflasi di Jawa Tengah Tahun 1986 2002 Tahun Inflasi 1986 9,73 1987 9,59 1988 5,3 1989 4,83 1990 3,89 1991 3,97 1992 4,34 1993 9,37 1994 6,5 Sumber: BPS, Jawa Tengah

Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Inflasi 8,45 4,37 10,88 67,19 1,51 8,73 13,98

2002

13,56

Pengeluaran pemerintah diperlukan untuk mendorong meningkatnya pengeluaran agregat di saat daya beli masyarakat menurun dan lesu. Pengeluaran pemerintah dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat melakukan kegiatan ekonomi seperti biasanya (Kuncoro, 2000). Berikut ini adalah data mengenai pengeluaran pemerintah dari pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang berasal dari APBD. Tabel 6. Pengeluaran Pemerintah Jawa Tengah Tahun 1986-2002 (Juta Rupiah) Tahun Peng. Pemerintah Tahun Peng. Pemerintah 1986 13136,26 1995 48894,03 1987 15248,75 1996 54888,36 1988 18151,81 1997 64946,43 1989 20577,35 1998 92635,22 1990 23590,28 1999 108609,19 1991 27972,44 2000 127999,88 1992 32262,68 2001 168570,14 1993 36078,90 2002 202353,58 1994 41503,56 Sumber: BPS, Jawa Tengah DaIam Angka

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah

Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (OLS) dari analisis linier berganda, hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta di Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

Tabel 7. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi di Jawa Tengah

Model 1

(Constant) SB In PP

Unstandardized Coefficients B Std. Error 14491,144 4060,224 -1017,464 232,262 243,715 62,262 ,190 ,026

Standardized Coefficients Beta -,438 ,397 ,743

t 3,569 -4,381 3,914 7,178

Sig. ,003 ,001 ,002 ,000

Model Summary Model

R

R Square

,877 1 ,9363 a. Predictors: (Constant), PP, SB, IN b. Dependent Variable: IS

R square adjusted bernilai 0,849 yang artinya variabel independen dalam model persarnaan regresi setelah diadakan penyesuaian dapat menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 84,9% dan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hal ini dapat diartikan bahwa suku bunga, inflasi dan pengeluaran pemerintah dapat menjelaskan dengan kekuatan 84,9% terhadap investasi swasta yang ada di Jawa Tengah.

Uji t-statistik atau uji variabel secara individu juga menunjukkan bahwa suku bunga, inf1asi dan pengeluaran pemerintah secara berturut-turut memi1iki ni1ai signifikan di bawah α = 5%. Hal ini berarti setiap variabe1 secara individu memiliki tingkat signifikansi yang tinggi, sehingga model persamaan garis regresi tersebut dapat terbentuk sebagai berikut: IS = 14491,144 - 1017,464 SB + 243,715 In + 0,190 PP + u

(2)

Dari hasil estimasi didapatkan bahwa tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah. Tingkat suku bunga memiliki pengaruh negatif terhadap investasi swasta di Jawa Tengah sebesar -1017,464. Hal ini memiliki makna bahwa untuk mendukung perkembangan investasi di Jawa Tengah maka tingkat suku bunga yang stabil dan rendah sangat diperlukan dan harus diusahakan oleh pemerintah. Karena penurunan tingkat bunga sebesar satu persen akan

Adjusted R Sauare ,849

Std. Error of the Estimate 3564,57213

Durbin-W atson 1,576

meningkatkan investasi swasta sebesar 1017,464 satuan. Sementara itu tingkat inflasi memiliki hubungan positip dan berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta di Jawa Tengah. Hal ini bisa dimaknai bahwa perkembangan investasi swasta di daerah Jawa Tengah seiring dengan perkembangan inflasi di daerah ini. Para investor di Jawa Tengah merespon secara positif atas perkembangan harga dengan meningkatkan nilai investasinya. Peningkatan inflasi sebesar satu persen akan meningkatkan investasi swasta sebesar 243,715 satuan. Meskipun kadangkala inflasi nasional memiliki pengaruh yang negatif terhadap investasi swasta nasional, namun untuk investasi swasta suatu daerah hasil dapat saja berbeda karena perilaku investasi di daerah berbeda dengan investasi pada tingkat nasional. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah. Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh positif sebesar 0,19. Hal ini bermakna bahwa pengeluaran pemerintah sebesar satu satuan akan meningkatkan investasi swasta sebesar 0,19 satuan. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan terus meIakukan kontribusinya melalui pengeluaran pemerintah, khususnya pengeluaran pembangunan agar pembangunan di daerah dapat meningkat ke taraf yang lebih maju dan modern sehingga dapat menarik minat investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dalam perkembangannya, investasi swasta di Jawa Tengah pada tahun 1986 sampai dengan 2002 banyak faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan, yaitu tingkat bunga, laju inflasi dan pengeluaran pemerintah. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan, tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah. Tingkat inflasi memiliki hubungan positip dan berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta di Jawa Tengah. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di Jawa Tengah. Saran

Melalui kebijakan fiskal pemerintah daerah Jawa Tengah seharusnya mengalokasikan pengeluaran pembangunan untuk proyek-proyek yang mempunyai dampak positif terhadap perkembangan investasi. Alokasi anggaran di bidang infrastruktur, khususnya di bidang transportasi dan sarana publik lainnya perlu ditingkatkan sehingga dapat menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkann modalnya di Jawa Tengah. Pembangunan jalan tol

40

Semarang-Solo adalah kebijakan yang sangat menunjang perekonomian Jawa Tengah pada umumnya dan hal ini adalah langkah yang sangat baik bagi pemerintah untuk mendorong laju perekonomian daerah. Melalui kebijakan moneter pemerintah diharapkan bisa menjaga stabilitas harga dan tingkat bunga pada tingkat yang rendah serta stabil, sehingga bisa menjadi insentif bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Jawa Tengah DAFTAR PUSTAKA

Gunawan Sumodiningrat, 2001, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi, Jakarta: Perpod. Gujarati, Damodar, 1997, Ekonometrika Dasar, Jakarta: Erlangga Mudrajat Kuncoro, 2000, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, Yogyakarta: AMP YKPN. Mankiw, N., Geegory, 2000, Macroeconomics, Fourth Edition, New York: Worth Publishers, Inc. Manulang, 1993, Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE Universitas Gadjah Mada Nopirin, 1993, Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE Universitas Gadjah Mada Sadono Sukirno, 2000, Makro Ekonomi Modern., Jakarta: Rajawali Pers.

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah (Sasana: 32 - 40)

PENENTUAN BENTUK FUNGSI MODEL EMPIRIK: STUDI KASUS PERMINTAAN KENDARAAN RODA EMPAT BARU DI INDONESIA Andryan Setyadharma Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email: [email protected]

ABSTRACT

In many cases, the determination of form of the regression function of the empirical model between the linear model and the log-linear model is neglected when someone starts research. Someone concludes the best model only by comparing the R2 value from respective function form and determines the best form of the function model only based on the highest R2 value. This is clearly wrong. This study attempted to find the best regression function model by using two kinds of tests: MacKinnon, White and Davidson Test (MWD Test) and Bera and McAleer Test (B-M Test). This Study showed that the two forms of the empirical function models-both the linear and log-linear functions- could be used to estimate the demand of the new four wheels vehicle in Indonesia. Furthermore, checking by using classical assumption, we found that the log-linear function model is the best model to estimate the demand of the new four wheels vehicle in Indonesia. Keywords: empirical model, linear model, log-linear model PENDAHULUAN

Apakah suatu model empirik menggunakan fungsi linier atau fungsi log-linier tidak banyak mendapatkan perhatian khusus ketika seorang memulai penelitian. Sesungguhnya dalam melakukan suatu penelitian, menentukan bentuk fungsi model empirik merupakan langkah awal penelitian sebelum mulai menganalisis hasil suatu persamaan regresi. Penentuan bentuk fungsi model empirik menjadi sangat penting karena karena teori ekonomi tidak secara spesifik menunjukkan ataupun mengatakan apakah sebaiknya bentuk fungsi suatu model empirik dinyatakan dalam bentuk linier ataukah log-linier atau bentuk fungsi lainnya (Godfrey, et. al, 1988: 492; Gujarati, 1992: 223; Thomas, 1997: 344-345 serta Insukindro dan Aliman, 1998). Tanpa memilih bentuk fungsi empirik yang sesuai akan menyebabkan banyaknya persoalan-persoalan seperti (1) kesalahan spesifikasi, (2) estimasi-estimasi koefisien akan bias, (3) parameter estimasi tidak akan konsisten (Insukindro dan Aliman, 1998). Studi ini bertujuan untuk menentukan bentuk fungsi yang tepat untuk studi kasus permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia. Dalam studi ini akan digunakan tiga macam uji yang banyak dijadikan referensi pengujian model linier ataukah model log-

linier, yaitu Uji MacKinnon, White dan Davidson (MWD Test) serta Uji Bera dan McAleer (B-M). Sindrum R2

Dalam banyak kasus, penentuan bentuk fungsi model empirik antara model linier ataukah model loglinier banyak yang hanya dengan membandingkan nilai R2 dari masing-masing bentuk fungsi dan menentukan bentuk fungsi model yang terbaik hanya berdasarkan nilai R2 yang paling tinggi. Ini jelas salah besar. Pembahasan mengenai koefisien determinasi (R2) dalam ekonometrika, khususnya analisis regresi linier, bukanlah hal yang baru karena koefisien ini merupakan salah satu besaran yang selalu diperhatikan terutama oleh mereka yang masih “pemula” menggunakan pendekatan ekonometrika (Insukindro, 1998). Bahkan koefisien ini sering dipandang sebagai besaran yang sangat penting dalam estimasi dengan regresi linier dan tidak jarang mereka terlena oleh besaran itu atau mereka mengalami apa yang disebut dengan “sindrum R2“ (Maddala, 1992: 235 dalam Insukindro, 1998). Sindrum R2 ditujukan bagi para peneliti yang menganggap bahwa semakin tinggi nilai R2 (mendekati 0,99) maka penelitian yang mereka

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

41

lakukan menghasilkan model yang baik sementara itu bila peneliti menemukan R2 yang rendah akan mengganggap model yang mereka gunakan tidak baik dan cenderung untuk memodifikasi model bahkan memodifikasi data untuk mendapatkan nilai R2 yang tinggi. Padahal dalam analisis regresi linier klasik (classical linier regression = CR) tidak diharuskan bahwa koefisien R2 tinggi, bahkan seperti yang diungkapkan oleh Goldberger tahun 1991 bahwa “a high R2 is not evidence in favor of the model and a low R2 is not evidence against if” (Gujarati, 1995: 211 dalam Insukindro, 1998). R2

Perlu diperhatikan bahwa koefisien hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya kriteria memilih model yang baik (Insukindro, 1998). Terlebih dalam kasus memilih bentuk fungsi antara model linier ataukah model log-linier koefisien R2 tidak dapat dijadikan kriteria yang utama karena yang dibandingkan adalah dua hal yang berbeda (it’s not apple to apple) 1 . Untuk memperkuat penjelasan ini maka akan digunakan contoh permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia seperti berikut ini.

SBIRIILt INFLASIt et

: Tingkat Suku Bunga 1 Bulan Sertifikat Bank Indonesia Riil : Tingkat inflasi year on year (yoy) : Variabel gangguan atau residual

Dalam studi ini digunakan data bulanan runtut waktu (time series) dari Januari 2001 hingga Maret 2007. Sementara bentuk model Log-linier sebagai berikut: L MOBILDt = μ1 + μ2LIHMt + μ3LYCAPt + μ4LPREMIUMRIILt + μ5LPERTAMAXRIILt + μ6LSOLARRIILt + μ7SBIRIILt + μ8INFLASIt + e2t

(2)

Sebagai variabel terikat digunakan data penjualan kendaraan roda empat berdasarkan registrasi polisi. Data berasal dari Toyota Astra Motor. Ada pun alasan pemilihan variabel penjelas adalah sebagai berikut: a. Indeks harga mobil

MODEL PENELITIAN

Model yang digunakan dalam permintaan akan kendaraan roda empat baru adalah sebagai berikut: MOBILDt = β1 + β2IHMt + β3YCAPt + β4PREMIUMRIILt + β5PERTAMAXRIILt + β6SOLARRIILt + β7SBIRIILt + β8INFLASIt + e1t

(1)

Di mana: MOBILDt

: Permintaan kendaraan roda em-

pat baru nasional : Indeks harga kendaraan roda empat baru YCAP : Pendapatan per kapita Harga Konstan 2000 PREMIUMRIILt : Harga premium riil PERTAMAXRIILt : Harga pertamax riil : Harga solar riil SOLARRIILt IHMt

Secara umum, permintaan akan suatu barang terutama dipengaruhi oleh harga barang tersebut. Bila harga suatu komoditas meningkat maka jumlah barang yang diminta akan berkurang, ceteris paribus, dan begitu juga sebaliknya. Dalam penelitian sebelumnya, harga kendaraan roda empat menjadi salah satu variabel utama yang diamati, baik dalam penelitian mikro maupun penelitian makro. Dykman (1966) menyebutkan bahwa terjadi suatu masalah dalam memformulasikan indeks harga. Dengan adanya berbagai macam jenis dan merek dengan spesifikasi yang berbeda-beda menjadikan harga kendaraan roda empat berbeda satu sama lain sehingga dalam penelitian makro perlu dibuat suatu indeks yang dapat mencerminkan harga kendaraan roda empat. Tidak adanya keseragaman penggunaan data yang digunakan sebagai proxy dari harga pada penelitian sebelumnya. Data berasal dari Toyota Astra Motor. b. Harga premium, solar dan pertamax

1

42

Untuk pembahasan lebih detil mengenai sindrum R2 lihat Insukindro (1998), “Sindrum R2 Dalam Analisis Regresi Linier Runtut Waktu”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 13 No. 4, hal 1 – 11.

Biaya operasional menjadi salah satu pertimbangan ekonomis dalam menentukan pembelian

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

kendaraan roda empat. Pemakaian bahan bakar merupakan salah satu biaya operasional yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pembelian jenis kendaraan roda empat, khususnya kendaraan non komersial. Banyak penelitian sebelumnya yang tidak memasukkan unsur biaya opersional sebagai salah satu variabel dalam penelitiannya. Tishler (1982) menunjukkan bahwa tidak dimasukannya variabel biaya operasional, dalam hal ini biaya bahan bakar, membuat estimasi parameter-parameter dalam fungsi permintaan agregat kendaraan roda empat menjadi bias. Carlson (1978) menggunakan metoda Seemingly Unrelated Regresi membangun suatu model dengan membagi kendaraan ke dalam masing-masing jenisnya: subcompact, compact, intermediate, full-size dan luxury. Hasil penelitian Carlson (1978) menunjukkan bahwa harga bahan bakar minyak secara signifikan mempengaruhi penjualan kendaraan pada 5 jenis kendaraan roda empat. Hanya saja tanda variabel BBM berbeda pada jenis subcompact dan compact (+). Carlson dan Umble (1980) meneruskan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carlson (1978) dengan menambah data dan mengganti beberapa variabel. Hasil pengembangannya menunjukkan bahwa harga BBM berpengaruh positif dan signifikan pada jenis kendaraan roda empat subcompact dan compact. Sementara BBM berpengaruh negatif dan signifikan pada jenis kendaraan roda empat standard, dan tidak signifikan pada jenis kendaraan roda empat luxury. Tishler (1982) menginvestigasi efek dari biaya operasional dalam pembelian kendaraan roda empat, dalam hal ini harga bahan bakar. Tishler membangun suatu 2 model sederhana. Hasil penelitian Tishler (1982) menunjukkan bahwa harga bensin memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap permintaan mobil, baik permintaan mobil secara keseluruhan maupun permintaan mobil baru. McCarthy (1996) menggunakan metoda logit dengan data cross section pada tahun 1989 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa biaya operasional per mil (menunjukkan harga rata-rata bahan bakar dibagi dengan jarak tempuh kendaraan) berpengaruh negatif terhadap permintaan kendaraan. Data berasal dari Pertamina.

c. Pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita menjadi indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan bertambahnya pendapatan seseorang maka kemampuannya dalam membeli barang akan meningkat dan memungkinkan konsumen untuk menukar konsumsi mereka dari barang yang kurang baik mutunya ke barang-barang yang lebih baik (Sugiarto, et al., 2002). Dimungkinkan pula dengan meningkatnya pendapatan seseorang maka ia akan membeli barang-barang yang lebih mewah dibandingkan sebelumnya. Sebagai contoh, bila sebelumnya seseorang menggunakan motor sebagai alat transportasinya namun dengan membaiknya tingkat pendapatannya maka ia mengganti motornya dengan kendaraan roda empat. Dengan mengasumsikan bahwa kendaraan roda empat adalah barang normal, maka pendapatan berhubungan posistif dengan jumlah penjualan kendaraan roda empat. Data PDB Indonesia berasal dari Bank Indonesia dan data jumlah penduduk berasal dari IMF. d. SBI riil

Menurut Nopirin (1996) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Secara umum, penurunan suku bunga akan diikuti oleh kenaikan permintaan. Walaupun tidak ada data yang pasti, sekitar 70 persen penjualan kendaraan roda empat dilakukan melalui sistem kredit (Sargo, 2004). Apalagi saat ini lembaga pembiayaan kendaraan maupun perbankan berlomba-lomba untuk memberikan kemudahan persyaratan dan proses yang cepat dalam memberikan kredit kendaraan bermotor. SBI Riil digunakan sebagai proxy dari kredit kendaraan bermotor. Data berasal dari Bank Indonesia. e. Inflasi

Definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus (Boediono, 2001). Sementara

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

43

Mankiw (2004) menyatakan inflasi sebagai kenaikan tingkat harga-harga secara keseluruhan dalam perekonomian. Inflasi terkait dengan efek substitusi. Dengan tingginya inflasi menyebabkan konsumsi barang-barang yang tahan lama (durable goods) termasuk kendaraan bermotor- ditunda untuk memenuhi barang-barang kebutuhan pokok. Selain itu dengan adanya ekspektasi kenaikan harga-harga di masa depan juga ikut menunda pembelian barangbarang tahan lama. Namun demikian, menurut De Gregorio, et al. (1998) adanya penurunan awal tingkat inflasi menyebabkan adanya wealth effect yang mendorong konsumen mengambil keputusan untuk membeli lebih awal/lebih cepat barang-barang tahan lama. Data berasal dari Bank Indonesia. Persamaan (1) dan (2) tersebut masing-masing diestimasi dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) dan hasil regresi keduanya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Berdasarkan hasil regresi dari dua model fungsi yang berbeda di atas, dapat dilihat bahwa dari tujuh

variabel penjelas yang digunakan, masing-masing model memiliki lima variabel yang signifikan secara statistik, dengan tingkat signifikansi yang berbedabeda. Dilihat dari nilai R2 dapat dilihat bahwa model dengan fungsi linier mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan model dengan fungsi log-linier. Akan menjadi kesalahan yang fatal jika hanya berdasarkan nilai R2 diambil kesimpulan bahwa model linier adalah yang terbaik. Dengan menggunakan dua macam uji - Uji MacKinnon, White dan Davidson (MWD Test) dan Uji Bera dan McAleer (B-M Test)akan dicoba dibuktikan apakah nilai R2 yang paling besar merupakan model yang terbaik. Pengujian Bentuk Fungsi Model Empirik

Langkah-langkah yang dikemukakan di sini dikutip dari Insukindro dan Aliman (1998) dan kemudian disempurnakan oleh penulis untuk memudahkan pemahaman.

Tabel 1. Hasil Regresi OLS Periode Januari 2001 – Maret 2007 Independen C IHM YCAP PREMIUMRIIL PERTAMAXRIIL SOLARRIIL SBIRIIL INFLASI F-Stat Adjusted R2

Fungsi Linier -8871,56 (-0,28) 89,73 (0,21) 80,42 (1,78)*** -6,76 (-1,40) 5,81 (3,50)* -7,13 (-1,68)*** -1635,87 (-4,69)* -846,55 (-3,10)* 29,261* 0,728

Independen C Log IHM Log YCAP Log PREMIUMRIIL Log PERTAMAXRIIL Log SOLARRIIL SBIRIIL INFLASI F-Stat Adjusted R2

Keterangan: Nilai dalam kurung ( ) adalah nilai t statistik * Signifikan pada level 1% ** Signifikan pada level 5% *** Siginifikan pada level 10% 44

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

Fungsi Log-Linier 1,64 (0,30) -0,26 (-0,19) 2,01 (1,79)*** -0,75 (-3,57)* 0,50 (3,33)* -0,14 (-1,10) -0,05 (-3,73)* -0,03 (-2,85)* 26,987* 0,710

1. Uji MacKinnon, White dan Davidson (MWD Test)

β6SOLARRIILt + β7SBIRIILt + β8INFLASIt +

Untuk dapat menerapkan uji MWD, pertamatama anggaplah bahwa model empirik permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia adalah seperti pada persamaan (1) dan (2) di atas. Untuk dapat menerapkan uji MWD, ada beberapa langkah berikut ini perlu dilakukan:

β9Z1t + δ1t

a. Estimasi persamaan (1) dan (2), kemudian nyatakan F1 dan F2 sebagai nilai prediksi atau fitted value dari persamaan (1) dan (2). b. Nyatakan nilai Z1 sebagai log F1 dikurangi F2 (Z1 = log F1 – F2) dan Z2 sebagai antilog F2 dikurangi F1 (Z2 = antilog F2 – F1) c. Estimasi persamaan (3) dan (4) dengan OLS dengan memasukkan Z1 dan Z2 sebagai variabel penjelas:

(3)

L MOBILDt = μ1 + μ2 LIHMt + μ3LYCAPt + μ4LPREMIUMRIILt + μ5LPERTAMAXRIILt + μ6 LSOLARRIILt + μ7SBIRIILt + μ8INFLASIt + μ9Z2t + δ2t

(4)

d. Dari langkah (c) di atas, bila Z1 pada model linier signifikan secara statistik, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa model yang benar adalah bentuk linier ditolak dan demikian pula untuk model log-linier, bila Z2 signifikan secara statistik, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa model yang benar adalah log-linier ditolak.

MOBILDt = β1 + β2IHMt + β3YCAPt + β4PREMIUMRIILt + β5PERTAMAXRIILt +

Tabel 2. Hasil Uji MWD Permintaan Kendaraan Roda Empat di Indonesia: Januari 2001 – Maret 2007 Independen C IHM YCAP PREMIUMRIIL PERTAMAXRIIL SOLARRIIL SBIRIIL INFLASI Z1

Fungsi Linier -12617.45 (-0.40) 219.51 (0.50) 68.92 (1.49) -2.12 (-0.33) 5.20 (2.98)* -11.44 (-1.99)** -1950.19 (-4.35)* -1011.92(-3.26)* -22969.28 (-1.11)

Independen C Log IHM Log YCAP Log PREMIUMRIIL Log PERTAMAXRIIL Log SOLARRIIL SBIRIIL INFLASI Z2

Fungsi Log-Linier 0.98 (0.21) -0.30 (-0.20) 2.15 (2.31)** -0.89 (-3.68)* 0.54 (3.39)* -0.05 (-0.33) -0.04 (-2.97)* -0.02 (-2.37)** 0.00 (-1.33)

Keterangan: Nilai dalam kurung ( ) adalah nilai t statistik * Signifikan pada level 1% ** Signifikan pada level 5% *** Siginifikan pada level 10% JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

45

Berdasarkan persamaan (3) di atas maka dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini: H0 : β9 = 0

F1 MOBILDt = μ1 + μ2 LIHMt + μ3LYCAPt + μ4LPREMIUMRIILt + μ5LPERTAMAXRIILt +

HA : β9 ≠ 0

μ6LSOLARRIILt + μ7SBIRIILt +

Bila β9 berbeda dengan nol secara statistik, maka hipotesis yang menyatakan bentuk model linier adalah yang terbaik ditolak dan begitu pula sebaliknya. Hasil regresi pada tabel 2 berikut ini menunjukkan bahwa koefisien Z1 tidak signifikan secara statistik. Dengan demikian, bentuk model linier adalah yang terbaik. Lebih lanjut lagi, berdasarkan persamaan (4) di atas maka dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini:

μ8INFLASIt + Ut (5)

F2L MOBILDt = β1 + β2IHMt + β3YCAPt + β4PREMIUMRIILt + β5PERTAMAXRIILt + β6SOLARRIILt + β7SBIRIILt + β8INFLASIt + Vt (6)

di mana F1 MOBILDt = log (F1) dan F2L MOBILDt = antilog (F2). Ut serta Vt adalah residual dari persamaan (5) dan (6).

H0 : μ9 = 0

c. Nilai Ut serta Vt disimpan sebagai variabel.

HA : μ9 ≠ 0

d. Lakukan regresi dengan memasukkan nilai residual hasil regresi persamaan (5) dan (6) sebagai variabel pembantu dalam persamaan berikut:

Bila μ9 berbeda dengan nol secara statistik, maka maka hipotesis yang menyatakan bentuk model log-linier adalah yang terbaik ditolak dan begitu pula sebaliknya. Masih dari tabel 2, hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien Z2 tidak signifikan secara statistik. Dengan demikian, bentuk model log-linier adalah yang terbaik. Kesimpulan yang dapat diambil adalah berdasarkan uji MWD, baik model linier maupun loglinier sama baiknya untuk digunakan dalam mengestimasi Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru di Indonesia. 2. Uji Bera dan McAleer (B-M Test) Uji ini dikembangkan oleh Bera dan McAleer tahun 1988 yang didasarkan pada dua regresi pembantu (two auxiliary regressions) dan uji ini bisa dikatakan merupakan pengembangan dari uji MWD sebagaimana yang dibahas di atas. Seperti halnya dalam uji MWD, untuk dapat menerapkan uji B-M, perlu dilakukan langkahlangkah berikut ini: a. Estimasi persamaan (1) dan (2) kemudian nyatakan nilai prediksi MOBILDt dan L MOBILDt masingmasing sebagai F1 dan F2.

46

b. Estimasi persamaan (5) dan (6):

MOBILDt = β1 + β2IHMt + β3YCAPt + β4PREMIUMRIILt + β5PERTAMAXRIILt + β6SOLARRIILt + β7SBIRIILt + β8INFLASIt + β9Ut + e1t

(7)

L MOBILDt = μ1 + μ2 LIHMt + μ3LYCAPt + μ4LPREMIUMRIILt + μ5LPERTAMAXRIILt + μ6LSOLARRIILt + μ7SBIRIILt + μ8INFLASIt + μ9Vt + e2t

(8)

e. Uji hipotesis nol yang pertama adalah β9 = 0 dan hipotesis nol yang kedua adalah μ9 = 0. Jika β9 berbeda dengan nol secara statistik, maka bentuk model linier ditolak dan sebaliknya. Pada bagian lain, jika μ9 berbeda dengan nol secara statistik, maka hipotesis alternatif yang mengatakan bahwa bentuk fungsi log-linier yang benar ditolak. Berdasarkan persamaan (7) di atas maka dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini: H0 : β9 = 0 HA : β9 ≠ 0

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

Tabel 3. Hasil Uji B-M Permintaan Kendaraan Roda Empat di Indonesia: Januari 2001 – Maret 2007 Independen C IHM YCAP PREMIUMRIIL PERTAMAXRIIL SOLARRIIL SBIRIIL INFLASI Ut

Fungsi Linier -14931.41 (-0.46) 149.50 (0.35) 81.80 (1.80)*** -6.26 (-1.28) 5.61 (3.33)* -7.94 (-1.81)*** -1666.42 (-4.74)* -840.59 (-3.07)* -15111.10 (-0.79)

Independen C Log IHM Log YCAP Log PREMIUMRIIL Log PERTAMAXRIIL Log SOLARRIIL SBIRIIL INFLASI Vt

Fungsi Log-Linier 0.68 (0.14) -0.02 (-0.01) 2.03 (2.19)** -0.75 (-3.43)* 0.48 (3.09)* -0.17 (-1.10) -0.05 (-3.91)* -0.03 (-2.96)* 0.00 (-1.06)

Keterangan: Nilai dalam kurung ( ) adalah nilai t statistik * Signifikan pada level 1% ** Signifikan pada level 5% *** Siginifikan pada level 10%

Bila β9 tidak berbeda dengan nol secara statistik, maka hipotesis yang menyatakan bentuk model linier adalah yang terbaik harus diterima dan begitu pula sebaliknya. Hasil regresi pada tabel 3 berikut ini menunjukkan bahwa koefisien Ut tidak signifikan secara statistik. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bentuk model linier adalah yang terbaik diterima.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah berdasarkan uji B-M, baik model linier maupun log-linier sama baiknya untuk digunakan dalam mengestimasi Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru di Indonesia.

Berdasarkan persamaan (8) di atas maka dibangun suatu hipotesis seperti berikut ini untuk menguji model log-linier:

Tabel 4 berikut ini merangkum hasil dari Uji MWD dan Uji B-M dan hasil pengujian menunjukkan bahwa kedua model tersebut layak untuk digunakan untuk mengestimasi permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah model mana yang akan digunakan?. Ketika kedua model layak digunakan maka langkah selanjutnya adalah menguji kedua model dengan asumsi klasik seperti terlihat pada tabel 5.

H0 : μ9 = 0 HA : μ9 ≠ 0 Bila μ9 berbeda dengan nol secara statistik, maka maka hipotesis yang menyatakan bentuk model log-linier adalah yang terbaik ditolak dan begitu pula sebaliknya. Masih dari tabel 3, hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien Vt tidak signifikan secara statistik. Dengan demikian, bentuk model log-linier adalah yang terbaik.

HASIL PENGUJIAN

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

47

Tabel-4. Rangkuman Pengujian Uji MWDdan Uji B-M Uji

Fungsi Terbaik

Uji MWD

Linier dan Log-linier Sama Baik

Uji B-M

Linier dan Log-linier Sama Baik

Menurut Teorema Gauss-Markov, setiap pemerkira/estimator dari OLS harus memenuhi kriteria BLUE (Gujarati, 1995: 72-73). Dalam uji asumsi klasik yang dirangkum pada tabel 5, pada model fungsi linier terjadi masalah linieritas sehingga melanggar kriteria BLUE, khususnya kriteria “L” dari BLUE, yaitu suatu model harus memiliki model estimasi yang linier (berpangkat satu), sehingga model fungsi linier tidak dapat digunakan karena tidak loloa uji asumsi klasik. Dari hasil ini disimpulkan bahwa model yang terbaik yang digunakan untuk mengestimasi permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia adalah model log-linier. Tabel 5. Uji Asumsi Klasik Asumsi Klasik

Fungsi Linier

Fungsi Log-linier

Normalitasa)

NORMAL NORMAL Linieritasb) TIDAK LINIER LINIER Autokorelasi c) TIDAK TIDAK d) Heteroskedastisitas TIDAK TIDAK Keterangan: a) Jarque-Bera Test b) Ramsey RESET Test c) Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test d) White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

KESIMPULAN

Koefisien determinasi (R2) memang merupakan salah satu kriteria pemilihan model, tetapi ia bukan satu-satunya kriteria. Pengujian hanya dengan menggunakan kriteria goodness of fit (uji t, uji F dan R2) terbukti tidak menjamin suatu model menjadi model yang terbaik. Studi ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan Uji MWD dan Uji B-M, kedua bentuk fungsi model empirik -baik fungsi linier maupun log-linier- dapat digunakan untuk mengestimasi permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia. Namun ditelusuri lebih lanjut lagi dengaan menggunakan asumsi klasik, dapat dipastikan bahwa model log-linier merupakan model yang terbaik untuk mengestimasi permintaan kendaraan roda empat baru di Indonesia. 48

DAFTAR PUSTAKA

Boediono (2001), Ekonomi Makro: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 2, Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi. Carlson, Rodney L. (1978), “Seemingly Unrelated Regression and the Demand for Automobiles of Different Sizes, 1965-75: A Disaggregate Approach”, Journal of Business, Vol 51 No. 2, pp. 243-262. Carlson, Rodney L and M. Michael Umble (1980), “Statistical Demand Functions and for Automobiles and Their Use in Forecasting in an Energy Crisis”, Journal of Business, Vol 53 No. 2, pp. 193-204. De Gregorio, Jose, Pablo E. Guidotti and Carlos A. Vegh (1998), “Inflation Stabilisation and The Consumption of Durable Goods”, Economic Journal, 108 (January), pp. 105-131. Godfrey, L. G., Michael McAleer and C. R. McKenzie (1988), “Variable Addition and Lagrange Multiplier Test for Linear and Logarithmic Regression Models”, Review of Economic and Statistics, Vol. 70: pp. 492-503. Gujarati, D.N. (1992), Essentials of Econometrics, 1st Edition, McGraw-Hill International Edition. Gujarati, D.N. (1995), Basic Econometrics, 3rd Edition, McGraw-Hill, Inc. Insukindro (1998), “Sindrum R2 Dalam Analisis Regresi Linier Runtun Waktu”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 13 No. 4, hal 1 – 11. Insukindro dan Aliman (1999), “Pemilihan dan Bentuk Fungsi Model Empiris: Studi Kasus Permintaan Uang Kartal Riil di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 13 No. 4:49-61. Mankiw, N. Gregory (2004), Principles of Economics, 3rd Edition, International Student Edition, Thompson South-Western. McCharthy, Patrick R. (1996), “Market Price and Income Elasticities of new Vehicle Demand”, The Review of Economics and Statistics, Vol 78, No. 3 (Aug.) pp. 543-547. Nopirin (1996), Ekonomi Moneter, Yogyakarta : Badan Penerbit Fakultas Ekonomi. Sargo, Soehari (2004), Industri Otomotif Dalam Krisis Ekonomi: Benteng Pasir Dihempas Gelombang, Jakarta: Penerbit PT. Bina Rena Pariwara. Sugiarto, Tedy Herlambang, Brastoro, Rachmat Sudjana dan Said Kelana (2002), Ekonomi

Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: . . . (Setyadharma: 41 - 49)

Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Thomas, R. L. (1997), Modern Econometrics: An Introduction, Addison-Wesley Longman.

Tishler, Asher (1982), “The Demand for Cars and the Price of Gasoline: The User Cost Approach”, The Review of Economics and Statistics, Vol 64, No. 2 (May) pp. 184-190.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

49

DETEKSI DINI KRISIS PERBANKAN INDONESIA: IDENTIFIKASI VARIABEL MAKRO DENGAN MODEL LOGIT Shanty Oktavilia Fakutas Ekonomi Universitas Negeri Semarang [email protected]

ABSRACT

Indonesia suffered from banking crisis for several times. It was the effect of the worst crisis occurred in 1997. Actually, Bath Thailand which plunged into 27,8% at the third quarter of the year 1997 was the beginning problem that caused Asia currency crisis. This study analyzes the influence of macro indicator as an early warning system by using logit econometrics model for predicting the possibilities of banking crisis that may occur in Indonesia. Kewords: Banking Crisis, macro economic indicator, EWS-logit model PENDAHULUAN

Krisis perbankan yang terjadi di setiap negara membawa dampak yang merugikan terhadap perekonomian secara umum dan sistem keuangan secara khusus. Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia tidak dapat lepas dari krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997. Krisis ekonomi di Indonesia diawali dengan krisis mata uang Asia yaitu jatuhnya nilai tukar mata uang Bath Thailand sebesar 27,8 persen pada triwulan tiga tahun 1997 dan diikuti dengan melemahnya nilai tukar mata uang Won, Ringgit, dan Rupiah. Disamping itu krisis juga dipengaruhi oleh faktor internal yaitu tidak dihedgingnya utang swasta, lemahnya sistem pengawasan dan pengaturan perbankan dan hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Kondisi stagflasi dan instabilitas mewarnai ekonomi Indonesia, khususnya selama tahun 1998. Hal ini ditunjukkan dengan kinerja perekonomian yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi sampai kuartal ketiga tahun 1998 menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar -17,01 persen (year of year - y.o.y). Pada saat yang bersamaan, laju inflasi (y.o.y) yang tercatat 11,6 persen pada akhir 1997 meningkat tajam menjadi 82,4 persen pada kuartal ketiga 1998 telah mengakibatkan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat serta memperluas kantong-kantong kemiskinan (BI, 1998). Secara umum kondisi perbankan Indonesia pada tahun 1997 berkembang dengan kecepatan tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan

50

Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mengalami peningkatan yang pesat sebesar 26,94 persen pada tahun 1997 atau meningkat dari Rp.281.718 Milyar pada tahun 1996 menjadi Rp.357.613 Milyar. Perkembangan DPK sektor perbankan tersebut menunjukkan mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat. Sementara itu perkembangan ekspansi kredit di sektor perbankan juga tetap kuat, terutama ke sektor properti. Di sisi lain permasalahan pada perbankan nasional mulai muncul pada saat sektor perbankan berkembang pesat, yaitu terjadinya peningkatan kredit non lancar yang pada tahun 1996 sebesar Rp27.597 Milyar meningkat menjadi Rp30.802 Milyar. Selain itu efisiensi usaha sektor perbankan juga semakin memburuk. Memburuknya efisiensi usaha ini ditunjukkan dengan rasio biaya operasional dan pendapatan operasional yang semakin meningkat sampai kuartal pertama 1998. Kondisi ini menandakan bahwa biaya operasional semakin besar sementara itu pendapatan operasional tetap atau bahkan semakin berkurang. Perkembangan beberapa indikator perbankan menunjukkan tingginya kerentanan perbankan nasional terhadap guncangan-guncangan yang terjadi di dalam perekonomian. Dengan kondisi perbankan nasional yang rentan tersebut, gejolak nilai tukar rupiah telah menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas (mismatch) yang sangat besar. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan kewajiban dalam valuta asing naik tajam sehingga mempersulit kondisi likuiditas perbankan. Hal ini diperburuk dengan kondisi debitur

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

Tabel 1. Beberapa Indikator Perbankan Pada Awal Krisis Ekonomi (Miliar Rupiah) Indikator

1995

1996

1997

Dana Pihak Ketiga 214.764 281.718 357.613 Kredit 234.611 292.921 378.134 Properti 42.793 58.797 68.318 Konsumsi 25.310 35.579 39.769 Kredit Non Lancar 24.400 27.957 30.802 BOPO* 0,92 0,92 0,95 Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia, 1997/1998. Keterangan : *) BOPO : Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional

yang juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban valuta asing kepada perbankan. Besarnya kesulitan likuiditas pada akhirnya telah memicu terjadinya krisis pada perbankan nasional. Batasan apakah suatu negara sedang mengalami krisis perbankan atau tidak, sampai sejauh ini belum ada standar atau pun patokan yang bersifat baku. Studi empiris yang dilakukan oleh DemirgucKunt dan Detragiache (1998), tentang determinan krisis perbankan, menggariskan bahwa suatu periode keterpurukan perbankan dapat dikategorikan sebagai krisis apabila memenuhi minimal satu dari empat kondisi sebagai berikut: 1. Rasio non performing asset terhadap total asset dalam sistem perbankan telah melampaui 10 persen. 2. Biaya penyelamatan perbankan paling tidak mencapai 2 persen dari PDB. 3. Masalah perbankan telah menyebabkan terjadinya nasionalisasi bank-bank. 4. Terjadi penarikan dana besar-besaran (bank rush) atau pembekuan dana nasabah (deposit freezes) atau penjaminan simpanan masyarakat secara merata yang diberlakukan oleh pemerintah. Dari ciri-ciri tersebut, apabila dikaitkan dengan kondisi perbabkan di Indonesia maka dapat dikatakan perbankan Indonesia sudah dalam kategori krisis. Hal ini tercermin dari kondisi-kondisi sebagai berikut (Indira dan Mulyawan, 1998): Pertama, pada bulan Mei 1998, rasio aktiva produktif yang non performing terhadap total asset mencapai 23,8 persen (dengan proporsi pada setiap bank: 22,5 persen bank devisa, 21,4 persen bank persero, 14,2 persen bank asing, 21 persen bank campuran, 9,5

1997/1998 452.937 476.841 70.112 39.061 109.780 1,01

persen BPD, 11,4 persen bank non devisa). Kedua, estimasi biaya penyelamatan bank diperkirakan mencapai kurang lebih Rp320 Triliun, yang berarti lebih kurang 51 persen dari total PDB pada tahun 1999. Ketiga, pada bulan Agustus 1998, pemerintah mengumumkan beberapa bank dinasionalisasikan, dan keempat masyarakat rentan terhadap isu, sehingga terjadi trust dana masyarakat secara besarbesaran, terutama selelah Kebijakan penutupan 16 Bank November 1997. Penjelasan mengenai kondisi krisis perbankan di Indonesia tersebut di atas, menunjukkan bahwa terjadinya krisis perbankan didahului oleh terjadinya fluktuasi dan ketidakstabilan makro ekonomi yang menyebabkan terdepresiasinya mata uang domestik secara signifikan dan menyulut tingginya tingkat bunga dan inflasi, yang berujung pada terjadinya krisis LANDASAN TEORI a. Definisi Krisis Keuangan dan Perbankan

Pada intinya stabilitas keuangan adalah terhindarnya dari krisis sistem keuangan (avoidance of financial crises) (Farlane, 1999 dan Sinclair, 2001). Secara spesifik stabilitas sistem keuangan adalah stabilitas lembaga-lembaga dan pasar keuangan yang membentuk suatu sistem keuangan (Crockett, 1997). Industri perbankan oleh beberapa ahli ekonomi dianggap sebagai industri yang memerlukan perhatian khusus karena dianggap mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal perbankan dan merupakan bagian integral dari sistem pembayaran (Kaufman, 1997). Sifat perbankan yang merupakan bagian dari sistem pembayaran tersebut mengakibatkan timbulnya pandangan bahwa permasa-

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

51

Buruknya kondisi neraca perbankan

Peningkatan tingkat suku bunga

Buruknya kondisi pasar modal

Meningkatnya ketidakpastian

Spekulasi dan masalah moral hazart memperburuk keadaan Penurunan aktivitas ekonomi: krisis nilai tukar Spekulasi dan masalah moral hazard memperburuk keadaan Kepanikan di sektor perbankan: banking crisis

Spekulasi dan masalah moral hazard memperburuk keadaan Penurunan dan kemunduran kegiatan perekonomian suatu negara

Sumber: Frederic S Mishkin, 2001:203 dan 206 Gambar 1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Krisis Keuangan dan Perbankan

lahan di industri perbankan dapat menyebabkan efek negatif terhadap perekonomian yang dampaknya jauh lebih besar daripada efek negatif karena kejatuhan suatu perusahaan biasa. Dalam hal ini, kekhawatiran yang timbul adalah efek bola salju dari kejatuhan suatu bank yang menyebabkan jatuhnya bank dan perusahaan-perusahaan lain yang memiliki hubungan bisnis dengan bank tersebut. Beberapa analis mengutarakan alasan-alasan yang mendukung pernyataan bahwa industri perbankan sebagai industri memerlukan perhatian khusus. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah bahwa industri perbankan memiliki: 1. Rasio kas terhadap aset yang rendah; 2. Rasio modal terhadap aset yang rendah; dan 3. Rasio dana jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi. Dengan memperhatikan kondisi di atas, penarikan dana dalam skala besar yang terjadi dalam 52

waktu singkat akan menyebabkan timbulnya permasalahan likuiditas pada industri perbankan yang kemudian akan mendorong bank-bank untuk menggunakan segala cara yang mungkin dilakukan guna memenuhi penarikan dana oleh masyarakat, termasuk didalamnya upaya untuk menjual aset yang ada dengan harga murah. Kondisi ini menimbulkan distress pada sistem perbankan dan membawa dampak lanjutan pada penurunan rentabilitas yang pada akhirnya menuju pada kondisi insolvent. Kegagalan perbankan secara individual sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam perekonomian secara keseluruhan. Namun apabila kegagalan terjadi pada sektor perbankan secara keseluruhan, yaitu terganggunya hubungan antar bank sebagai dampak kondisi fundamental ekonomi yang tidak stabil, dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi perekonomian secara keseluruhan. Terdapat tiga alasan utama mengapa stabilitas sistem keuangan dan perbankan mendapat perhatian penting (BI,

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

2003). Pertama, sistem keuangan dan perbankan yang stabil akan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi nasabah penyimpan dan investor untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan, termasuk menjamin kepentingan masyarakat terutama nasabah kecil. Kedua, sistem keuangan dan perbankan yang stabil akan mendorong intermediasi keuangan yang efisien sehingga pada akhirnya dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kestabilan sistem keuangan akan mendorong beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya dalam perekonomian. Sebaliknya instabilitas sistem keuangan dan perbankan dapat menimbulkan konsekwensi yang membahayakan yaitu tingginya biaya fiskal yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan lembaga keuangan dan perbankan yang bermasalah dan penurunan PDB akibat krisis perbankan. b. Penyebab Terjadinya Krisis Keuangan dan Perbankan

Krisis keuangan dan perbankan dapat dipicu oleh berbagai risiko yang bersumber dari elemenelemen yang terkait dengan sistem keuangan. Adapun elemen-elemen tersebut saling terkait satu sama lain, antara lain: (1) lingkungan makro ekonomi yang stabil; (2) lembaga finansial yang dikelola dengan baik; (3) pasar keuangan yang efisien; (4) kerangka pengawasan prudensial yang sehat; dan (5) sistem pembayaran yang aman dan handal. (Farlane, 1999) Menurut Fisher (1997), krisis keuangan dan perbankan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal yang terdapat dalam sistem keuangan suatu negara. Terdapat tiga hal mendasar yang dapat menjelaskan latar belakang terjadinya krisis: Pertama, meskipun tidak ada kaitan antara deregulasi dan krisis keuangan, sistem perbankan di beberapa negara banyak menghadapi problema setelah pemerintah melancarkan kebijakan deregulasi, khususnya jika kerangka ketentuan (regulatory framework) dan perangkat sistem pengawasan (prudential supervision) tidak mampu mengakomodasi tuntutan deregulasi. Kedua, belum adanya pemahaman substansi produk-produk keuangan oleh otoritas pengawasan bank, padahal perkembangan financial market yang produk-produknya bercirikan inherent risk sangat tinggi. Atau dapat dikatakan

bahwa perkembangan industri keuangan khususnya perbankan bergerak dalam deret ukur sementara kemampuan otoritas pengawasan bergerak seperti deret hitung. Ketiga, pemerintah melakukan liberalisasi di sektor keuangan tanpa memastikan apakah sistem keuangan domestik dalam kondisi sehat dan stabil, serta kebijakan makro ekonomi berjalan secara efektif. Argumentasi lain mengenai terjadinya krisis keuangan dan perbankan dikemukakan oleh Krugman (1998). Menurut Krugman krisis keuangan dan perbankan di kawasan Asia disebabkan oleh terjadinya peningkatan harga aset yang tidak terkendali (aset price bubles) yang kemudian hari mengalami kemerosotan nilai (kolaps). Krugman menyatakan bahwa problem krisis berawal dari moral hazard yang terjadi pada financial intermediation. Pemerintah melakukan penjaminan utang terhadap dana masyarakat tetapi tidak ada pengaturan yang jelas terhadapnya. Hal ini menyebabkan timbulnya pinjaman yang berisiko sehingga pada gilirannya memacu inflasi atas asset price. Penentuan harga aset yang berlebih di mana perkembangan pinjaman berisiko meningkatkan harga aset, membuat kondisi lembaga perantara menjadi lebih terlihat daripada sebelumnya. Apabila hal tersebut berjalan terus menerus akan berakibat terjadinya vicious circle. Anjloknya harga aset membuat insolvensi lembaga perantara terlihat jelas dan memaksa untuk memperbaiki likuiditas / menghentikan operasi. c. Krisis Perbankan di Indonesia

Secara spesifik kondisi krisis perbankan di Indonesia diawali dengan krisis nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika pada pertengahan 1997. Kenaikan nilai tukar tersebut menyebabkan inflasi yang berdampak pada peningkatan suku bunga yang akhirnya berpengaruh pada sektor perbankan, dunia usaha dan sektor perekonomian secara keseluruhan. Lingkaran permasalahan ekonomi di Indonesia secara rinci dapat di gambarkan dalam gambar 2. berikut. Dari gambaran tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu signal yang dapat mengidentifikasi terjadinya krisis lebih awal, dengan memperhatikan indikator-indikator yang mempengaruhi krisis. Secara garis besar kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut gambar 3.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

53

KONDISI MONETER NILAI TUKAR

INFLASI MENINGKAT

MELEMAH

TAJAM

SUKU BUNGA MENINGKAT

PERBANKAN TERPURUK

KEPERCAYAAN MENURUN

MASALAH SOSIAL MENINGKAT DUNIA USAHA SURAM

PENGANGGURAN MENINGKAT

EKONOMI TERKONTRAKSI

Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998 Gambar 2. Lingkaran Permasalahan Ekonomi Indonesia Pada Masa Krisis

merupakan model ekonometrika yang digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, di mana variabel dependen merupakan variabel diskrit (dummy variable) yang bernilai 1 dan 0. Sedangkan variabel independennya bersifat non diskrit. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian / studi ini adalah data sekunder, yaitu data yang diambil dari berbagai terbitan dan publikasi yang telah tersedia. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data kwartalan yang berada pada periode 1983 sampai dengan 2003. Data diawali tahun 1983 karena pada tahun tersebut merupakan awal deregulasi sektor perbankan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menganalisis perkembangan data sampai tahun 2003 yang dimaksudkan untuk melihat apakah potensi. Teknik Analisis dengan Model Logit

Untuk mengetahui pengaruh dan tingkat signifikansi masing-masing indikator fundamental ekonomi terhadap krisis perbankan yang terjadi di Indonesia digunakan Model Logit. Model Logit

54

Dalam penelitian ini Dependent Variabel adalah krisis di Indonesia Periode 1983.1 – 2003.4. Krisis merupakan variabel dummy di mana terjadi dua karakteristik probabilitas yang ditunjukkan dengan angka satu (yang berarti krisis sedang terjadi) dan nol (yang berarti tidak terjadi krisis). Secara umum model logit dapat dinyatakan sebagai berikut:

Li = Log

Pi = bo + 1 − Pi

k

∑ b j X ij

(1)

j=1

Li : Variabel dependen (= 1 bila terjadi krisis dan = 0 bila tidak terjadi krisis) Pi : Probabilitas Xij : Variabel independen Dari model umum tersebut dperoleh model logit untuk krisis di Indonesia sebagai berikut: Li = log

Pi = bo + b 1 X 1 + b 2 X 2 + 1 − Pi

b 3 X 3 + ........ + b 12 X 12 + u i Di mana : X1 : Nilai tukar rupiah X2 : Suku bunga deposito riil

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

(2)

X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12

: Inflasi : Rasio M2 dan cadangan devisa : M2 Multiplier : Kredit domestik : Rasio Cadangan likuid dan asset perbankan (cash bank ratio) : Keseimbangan kelebihan uang beredar (excess money balance) : Rasio suku bunga kredit dan suku bunga deposito : Simpanan Dana Pihak Ketiga : Rasio kredit sektor swasta dan GDP : Pertumbuhan Ekonomi

full blanket guarantee (dana penjaminan simpanan pihak ketiga oleh bank sentral) terhadap total simpanan pihak ketiga pada bank.

Δr

: Perubahan tingkat suku bunga riil jangka pendek, pada pasar uang. Data suku bunga pada pasar uang diproksi dengan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB).

σ

: Standar deviasi perubahan masing-masing komponen.

Berdasarkan definisi yang dikeluarkan IMF (1998), Krisis perbankan mengacu pada situsi di mana jumlah bank yang mengalami kegagalan meluas dan mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi dalam skala besar. Krisis perbankan didefinisikan sebagai keadaan di mana terjadi tekanan ekstrem dalam sektor perbankan, antara lain: (Demirgüc-Kunt and Detragiache, 1998)

Krisis terjadi saat indeks tersebut mengalami kenaikan di atas nilai ekstrimnya atau pada saat indeks mmpt > kσmmp +μmmp dan tidak terjadi krisis jika di bawah nilai ekstrimnya. Di mana k adalah ambang batas dengan nilai 1; 1,25; 1,5; 2; 2,5 dan 3; σmmp adalah standar deviasi mmp dan μemp adalah rata-rata mmp. Pada beberapa penelitian tentang early warning system batas kontrol yang digunakan berkisar antara 1,5 sampai 3 kali standar deviasi. Tidak ada aturan atau pun alasan yang jelas mengenai angka pengali batas kontrol yang digunakan, sebagai contoh pada model KLR menggunakan 3 kali standar deviasi sedangkan model Bank Dunia menngunakan 1,5 kali standar deviasi.

1. Rasio nonperforming asset terhadap total asset lebih dari 10 persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan nilai 1 dan 0 sebagai variabel krisis dengan menggunakan penentuan periode krisis dengan indeks MMP. Penentuan Periode Krisis

2. Biaya operasi penyelamatan minimal 2 persen dari GDP. 3. Permasalahan sektor perbankan berakibat pada nasionalisasi perbankan dalam skala besar. 4. Indikator-indikator perbankan berada pada ukuran yang membahayakan sehingga menyebabkan reaksi pemerintah. Indeks dihitung sebagai rata-rata bobot dari persentase perubahan suku bunga riil jangka pendek atau dengan formula (Demirgüc-Kunt, Detragiache, and Gupta, 2000 dan Hagen von Jürgen and Ho Taikuang, 2003) sebagai berikut: mmp = Δγ / σ (Δγ) + Δr / σ (Δr)

(3)

mmp : Indeks tekanan pasar uang. Δγ

: Perubahan dana bank sentral terhadap simpanan sektor perbankan, yang didefinisikan sebagai rasio dari bantuan kredit dari otoritas moneter. Variabel ini diproksi dengan rasio

Regresi terhadap model penelitian masingmasing series dilakukan tiga kali yaitu dengan variabel krisis yang menggunakan ambang batas 1,5 kali standar deviasi (mendasarkan pada model early warning IMF). Adapun variabel independen yang digunakan terangkum dalam tabel 2 dan tabel 3 sebagai berikut: Estimasi model regresi model logit dengan menggunakan series bulanan diperoleh hasil sebagai berikut: KRISIS = 1–@LOGIT (–(–189.92 CBR – 0.638 INFLASI (–1,9248) (–1,5740) – 0.989 PBD – 0.603 PDK + 0.256 PKURS (–2,2414) (–2,0980) (1,9902) + 6.214 SBK_SBD + 0.075 SBD (0,8403) (0,5422) –70737.50 EMBB – 2.71 M2_CD (–0,9534) (–1,7921)

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

55

+ 4.29 M2M – 22.706)) (2,4622) (–1,3978)

Keterangan: Angka di dalam kurung adalah z-statistik LR statistic (10 df) : 39.88455 Probability (LR stat) : 0.0000178 McFadden R-squared (R2McF) : 0.623459 Dari hasil tersebut di atas, maka estimasi dengan model regresi logit dapat diinterpretasikan sebagai berikut: (Gujarati, 2003): 1. Untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel independen dan variabel dependen secara parsial digunakan z-statistik. Hal ini dimungkinkan karena dalam sampel yang jumlahnya besar z-statistik digunakan untuk menggantikan t-statistik. Jika nilai z-hitung lebih besar dari z- tabel, maka hipotesis nol diterima dan dinyatakan bahwa koefisien estimasi variabel signifikan, dan apabila z-hitung lebih keci dari z-

56

tabel maka hipotesa nol ditolak dan dinyatakan tidak signifikan. Hubungan parsial dapat pula dilihat dari nilai probabilitas z-hitung, di mana probabilitas z-hitung dengan derajat kepercayaan 95% (α=5%). Jika probabilitas z-statistik (α - ztabel) lebih kecil dari α maka dinyatakan hipotesis nol diterima dan dinyatakan bahwa koefisien estimasi signifikan berpengaruh. Apabila probabilitas z-statistik (α - z-tabel) lebih besar dari α maka hipotesis nol ditolak dan dinyatakan koefisien estimasi tidak signifikan berpengaruh. Hubungan parsial masing-masing variabel dengan menggunakan z-statistik terangkum dalam tabel 4 sebagai berikut.

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

Tabel 2. Variabel Bebas yang Digunakan dalam Model Logit dengan Series Bulanan No.

Nama Variabel

Hubungan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pertumbuhan Kurs Suku bunga deposito Tingkat inflasi Rasio m2 dan cadangan devisa Cash bank ratio Rasio suku bunga kredit dan suku bunga deposito Excess money balance M2 Multiplier Pertumbuhan Simpanan dana pihak ke tiga Pertumbuhan Kredit domestik

Positif Positif atau Negatif Positif Negatif Positif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif

Tabel 3. Variabel Bebas yang Digunakan dalam Model Logit dengan Series Kuartal No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Nama Variabel Pertumbuhan Kurs Tingkat inflasi Rasio m2 dan cadangan devisa Cash bank ratio Rasio suku bunga kredit dan suku bunga deposito Excess money balance M2 Multiplier Pertumbuhan Simpanan Pertumbuhan Kredit domestik Rasio kredit domestik dan PDB Pertumbuhan PDB

Tabel 4. Probabilitas z-Statistik Model Logit dengan Series Bulanan Variabel Bebas

Hubungan

Probabilitas z-statistik

Keterangan

CBR 0.0542 * INFLASI 0.1155 *** PBD 0.0250 * PDK 0.0359 * PKURS 0.0466 * SBK_SBD 0.4007 *** SBD 0.5876 *** EMB 0.3404 *** M2_CD 0.0731 ** M2M 0.0138 * C 0.1622 *** Sumber: Hasil Estimasi Keterangan: *) Signifikan pada α=5% **) signifikan pada α=10% ***) Tidak Signifikan

Positif Positif Negatif Positif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif Positif atau negatif Negatif

2. Dari tabel 4 tersebut nampak bahwa hanya variabel cash bank ratio, variabel pertumbuhan simpanan, variabel pertumbuhan domestik kredit, pertumbuhan kurs, dan variabel multiplier M2 signifikan mempengaruhi probabilitas terjadinya krisis pada α 5%. Pada variabel rasio m2 dan cadangan devisa signifikan pada α 10% 3. Serupa dengan R2, untuk melihat kemampuan model di dalam menerangkan variasi perubahan variabel berikutnya dalam model logit digunakan Pseudo R2. Seperti halnya dengan R2 nilai pseudo R2 adalah 0 ≤ Pseudo R2 ≤1. Di mana semakin tinggi Pseudo R2 kemampuan model dalam menerangkan variasi perubahan model terikatnya. Bila nilai Pseudo R2 adalah satu berarti pencocokan sempurna, sedangkan bila nilai Pseudo R2 nol berarti tidak ada hubungan variabel tak bebas dengan variabel bebas. Dalam

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

57

penelitian ini Pseudo R2 digunakan McFadden R2. Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi adalah 0,6234, hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model empiris mampu menerangkan perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 62,34 persen dan selebihnya atau 37,66 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model empiris. 4. Untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama (simultan) mempunyai pengaruh terhadap variabel tak bebas digunakan Likekihood Ratio (LR) Statistik. Hipotesa dari analisa ini adalah jika nilai LR statistik lebih besar dari χ2, maka hipotesis nol diterima dan dinyatakan bahwa secara bersama-sama variabel bebas signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebas, dan apabila nilai LR statistik lebih kecil dari χ2 maka hipotesa nol ditolak dan dinyatakan tidak signifikan. Dari hasil estimasi diperoleh nilai LR statistik adalah 39,88 (df = 10) dan nilai χ2 pada df = 10 adalah 25,1882. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama variabel bebas pada model empiris berpengaruh signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis perbankan. 5. Selanjutnya dari hasil estimasi model logit, hubungan antara variabel bebas yang signifikan pada α 5% berpengaruh terhadap variabel tak bebas diinterpretasikan sebagai berikut: a. Rasio cadangan likuiditas bank dan total asset (cash bank ratio-CBR) dalam hasil estimasi mempunyai koefisien –189,92. Hal ini berarti apabila variabel-variabel lain dianggap konstan maka penurunan rasio cadangan likuiditas bank dan total asset sebesar 1 akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas terjadinya krisis perbankan sebesar 189,92. Interpretasi selanjutnya adalah melihat ukuran probabilitas (term of odds) dari variabel CBR dengan meng-antilog-kan koefisien terlebih dulu. Antilog dari koefisien CBR diperoleh nilai 8,317E+189. Hal ini berarti Variabel rasio cadangan likuiditas bank dan total asset dapat menyebabkan kemungkinan terjadi krisis sebanyak 8,317E+189 kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis.

58

b. Variabel pertumbuhan simpanan (PBD) dalam hasil estimasi dengan regresi logit mempunyai koefisien –0,6384. Hal ini berarti apabila variabel-variabel lain dianggap konstan maka penurunan pertumbuhan simpanan sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas terjadinya krisis perbankan sebesar 0,63. Ukuran probabilitas (term of odds) dari variabel PBD diketahui dari antilog koefisien PBD sebesar 4,35. Hal ini berarti variabel pertumbuhan simpanan dapat menyebabkan kemungkinan terjadi krisis sebanyak 4,35 kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis. c. Variabel pertumbuhan kredit domestik (PDK) dalam hasil estimasi dengan regresi logit mempunyai koefisien –0,6038. Hal ini berarti apabila variabel-variabel lain dianggap konstan maka penurunan pertumbuhan kredit domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas terjadinya krisis perbankan sebesar 0,603. Ukuran probabilitas (term of odds) dari variabel PDK diketahui dari antilog koefisien PDK sebesar 4,02. Hal ini berarti variabel pertumbuhan kredit domestik dapat menyebabkan kemungkinan terjadi krisis sebanyak 4,02 kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis. d. Variabel pertumbuhan nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar (PKurs) dalam hasil estimasi dengan regresi logit mempunyai koefisien 0,256. Hal ini berarti apabila variabel-variabel lain dianggap konstan maka kenaikan pertumbuhan nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas terjadinya krisis perbankan sebesar 0,25. Ukuran probabilitas (term of odds) dari variabel PBD diketahui dari antilog koefisien PBD sebesar 1,804. Hal ini berarti variabel pertumbuhan nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar dapat menyebabkan kemungkinan terjadi krisis sebanyak 1,804 kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis. e. Variabel multiplier M2 dalam hasil estimasi dengan regresi logit mempunyai koefisien

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

4,29. Hal ini berarti apabila variabel-variabel lain dianggap konstan maka peningkatan multiplier M2 sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada estimasi logit probabilitas terjadinya krisis perbankan sebesar 0,63. Ukuran probabilitas (term of odds) dari variabel multiplier M2 diketahui dari antilog koefisien PBD sebesar 19542,67. Hal ini berarti variabel multiplier M2 dapat menyebabkan kemungkinan terjadi krisis sebanyak 19542,67 kali dari pada kemungkinan tidak terjadi krisis. Dalam model empiris dengan menggunakan series bulanan, variabel pertumbuhan ekonomi dan rasio kredit domestik dan PDB tidak dapat diakomodasi karena ketidaktersediaan data PDB dalam series bulanan. Sehingga dalam penelitian ini untuk melihat bagaimana pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi dan variabel rasio domestik kredit terhadap PDB terhadap probabilitas terjadinya krisis perbankan digunakan estimasi dengan series kuartalan. Dari hasil estimasi dengan series kuartalan diperoleh hasil sebagai berikut: KRISIS = 1–@LOGIT (–(–50.462 CBR + 73129.851 EMB (–1,0334) (1,0578) – 0.881 INFLASI – 0.944 M2_CD + 6.239 M2M (–1,5255) (–1,13977) (1,4941) – 0.358 PBD + 0.028 PKURS + 0.607 PDK (–1,1039) (0,2448) (1,3163) + 0.713 PGDP – 3.643 SBK_SBD (0,3653) (–0,5048) +3.99 DK_GDP – 48.039)) (1,3138) (–1,253)

Keterangan: Angka di dalam kurung adalah z-statistik LR statistic (11 df) : 22.36254 Probability(LR stat) : 0.021710 2 McFadden R-squared (R McF) : 0.589884 Dari hasil estimasi dengan data kuartalan dengan model regresi logit tersebut, maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut (Gujarati, 2003): 1. Hubungan parsial masing-masing variabel dengan menggunakan z-statistik terangkum dalam tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Probabilitas z-Statistik Model Logit dengan Series Kuartalan Variabel Bebas

Probabilitas z-statistik

Keterangan

CBR 0.3014 *** INFLASI 0.2901 *** PBD 0.1271 *** PDK 0.2544 *** PKURS 0.1351 *** SBK_SBD 0.2696 *** SBD 0.8066 *** EMB 0.1881 *** M2_CD 0.7148 *** M2M 0.6136 *** C 0.1889 *** Sumber: Hasil Estimasi, Keterangan: *) Signifikan pada α=5% **) signifikan pada α=10% ***) Tidak Signifikan

Pada tabel 5 tersebut nampak bahwa seluruh variabel tidak signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis perbankan baik pada α 5%. Atau pun pada pada α 10% 2. Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi adalah 0,5898, hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model empiris mampu menerangkan perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 58,98 persen dan selebihnya atau 40,02 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model empiris. 3. Nilai LR statistik adalah 39,88 (df = 11) dan nilai χ2 pada df = 11 adalah 26,7569. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama variabel bebas pada model empiris berpengaruh signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis perbankan. 4. Dikarenakan secara parsial tidak terdapat variabel bebas yang signifikan berpengaruh maka, nilai koefisien estimasi tidak dapat diinterpretasikan lebih lanjut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dengan menggunakan model ekonometrika logit dengan series data bulanan diperoleh hasil terdapat 5 variabel bebas yang signifikan

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

59

mempengaruhi probabilitas terjadinya krisis perbankan di Indonesia pada α 5%, yaitu: cash bank ratio, pertumbuhan simpanan, pertumbuhan kredit domestik, pertumbuhan kurs dan multiplier M2. Terdapat satu variabel yang signifikan berpengaruh pada α 10% yaitu variabel rasio M2 dan cadangan devisa. Dalam estimasi logit dengan series bulanan tersebut McFadden R2 adalah 0,6234, hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model empiris mampu menerangkan perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 62,34 persen dan selebihnya atau 37,66 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model empiris. Untuk mengakomodasi variabel pertumbuhan ekonomi dan rasio kredit domestik dan PDB digunakan estimasi logit dengan series kuartalan. Dari hasil estimasi diperoleh Nilai McFadden R2 sebesar 0,5898, hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model empiris mampu menerangkan perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 58,98 persen dan selebihnya atau 40,02 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model empiris. Namun demikian secara parsial tidak ada variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Saran

Dalam penyusunan sistem deteksi dini krisis perbankan sangat diperlukan pendekatanpendekatan lainnya sebagai alat cek silang (cross check) sehingga antisipasi terhadap krisis benarbenar dapat dilakukan dengan lebih komprehensif. Selain itu, berbagai indikator utama (leading indicators) siklus bisnis (business cycle) juga perlu dikembangkan untuk melihat tren perkembangan ekonomi ke depan. Perlu disusun suatu early warning system terhadap kondisi ekonomi makro Indonesia dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi internal dan eksternal untuk menghindari krisis perekonoian yang lebih luas. Selain itu peningkatan transparancy, akurasi serta timely data ekonomi makro dan keuangan di Indonesia dapat ditingkatkan.

60

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia, beberapa edisi, Laporan Tahunan, Jakarta. _____, beberapa edisi, Indonesia, Jakarta.

Direktori

Perbankan

_____, beberapa edisi, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Jakarta. _____, beberapa edisi, Statistik Ekonomi Moneter Indonesia, Jakarta. _____, beberapa edisi, Booklet Perbankan Indonesia, Jakarta. _____, 2003, Kajian Stabilitas Keuangan No. 2 Desember 2003, Jakarta. Bussiere Matthieu and Fratzscher Marcel, 2002, ” Toward A New Early Warning System of Financial Crises”, European Central Bank Working Paper Series No. 145 May 2002. Carson S. Carol and Ingves Stefan, 2001, “Financial Soundness Indicators: Policy Paper”, IMF Working Paper Juni 2001. Demirguc-Kunt, Asli., dan Enrica, Detragachie., 1998, ”The Determinant of Banking Crises in Developing and Developed Countries”, IMF Staff paper Vol 45, No. 1 Maret 1998. Diebold, X Francis and Rudebusch, D Glenn, 1989, “Scoring the Leading Indicators”, Journal of Bussiness Vol 62, No. 3. Edison H., 2000, “Do Indicator of Financial Crises Work? An Evaluating of Early Warning System”, International Finance Discussion Paper No 675, Board of Governrs of the Federal Reserve system, July 2000. Endy Dwi Tjahyono, 1998, “Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Volume 1 Nomor 2 September 1998. Enoch, Charles, Baldwin, Barbara, and Frecaut, Oliver, 2001, “Indonesia: Anatomy of Banking Crisis Two Years of Living Dangerously, 199799”, IMF Working Paper May 2001. Enoch, Charles, Marrie. G Anne and Hardy Daniel, 2002, “Banking Crises and Bank Resolution: Experiences in Some Transition Economies”, IMF Working Paper March 2002.

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

Fischer, Stanley, 1997, “Central Banking: The Challenges Ahead Financial System Soundness”, Financial & Development Journal March 1997. Flood Robert P. And Marion Nancy, 2001, ”A Model of The Joint Distribution of Banking and Exchange-Rate Crises”, IMF Working Paper, Desember 2001. Frydl Edward.J and Quintyn Marc, 2000, “The Benefits and Costs of Intervening in Banking Crises”, IMF Working Paper August 2000. Gerbach Hans and Wenzelburger Jan, 2003, ”The Workout of Banking Crises: A Macroeconomic Prespective”, Working Paper, University of Heidelberg. George F. Kaufman, “Preventing Banking Crises in the Future: Lessons from past mistakes”, The Independent Review, v.II, n.1. Summer 1997, p.55. Gujarati D, 2003, Basic Econometric, Mc Graw Hill International Edition Hagen von Jürgen and Ho Tai-kuang, 2003, “Money Market Pressure and the Determinants of Banking Crises”, Center for European Integration Studies Journal April 2003, University of Bonn Hair, Jr., Joseph F, Rolph E. Anderson, Ronald L. Tatman, and William C. Black, 1995, Multivariate Data Analysis with Reading, Fifth Edition, New York: Mac millan Publishing Company, 1995 Hardy. C. Daniel and Pazarbasioglu Ceyla, 1998, “Leading Indicators of Banking Crises: Was Asia Different?”, IMF Working Paper June 1998 Hawkins, John and Klau Marc, 2002, “Early Warning Indicators for Emerging Economies”, Paper Prepared for Irving Fisher Committee conference on “challenges to central bank statistical Activities”, 20-22 august 2002, Basel. Insukindro, 1993, Ekonomi Uang dan Bank: Teori dan Pengalaman di Indonesia, BPFE Yogyakarta. Jovanovska, Natasha, 2002, “Basic Principles of Early Warning System”, Bulletin / Ministry of Finance 1/2002. Kamins S, Babson O, 1999, “The Contribution of Domestic and external to Latin American Devaluation Crises: An Early Warning System Approach”, International Finance Discussion

Papers No 645, Board of Governrs of the Federal Reserve system, September 1999. Kaminsky G., Lizondo S., Reinhart C., 1998, "Leading Indicators of Currency Crises", IMF Staff Papers, Vol. 45, No1, March 1998. Kaminsky G., 1998, "Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress", International Finance Discussion Papers, No. 629, October 1998. Kaminsky G, Reinhart C, 1999, “ The Twin Crises: The Cuses of Banking and Balance of Payment Problems”, The American Economic Review Vol 89 No 3, June 1999. Komulainen, Toumas, 1999, ”Currency Crises Theories – Some Explanations for the Russian Case”, BOFIT Discussion Papers 1/1999. Krugman, Paul, 1979, “A Model of Balance-ofPayments Crises”, Journal of Money, Credit, and Banking Vol. 11, No. 3 August. Krugman, Paul, 1996, “Are Currency Crises Self Fulfilling?”, NBER Macroeconomics Annual 1996. Krugman, Paul and Obstfeld, M, 1997, International economics: Theory and Policy, Addison – Wesley. Kwik Kian Gie, 1998, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia-Badai belum Akan Segera Berlalu. PT.Gramedia Jakarta, 1998 Lukman Dendawijaya, 2004, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional 1998-2003, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mankiw, N, Gregory, 2003, Macroeconomics, Worth Publisher, New York. Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso, dan Bambang Arianto, 2003, “Indikator Awal Krisis Perbankan”, Kajian Stabilitas Keuangan No. 2 Desember 2003, Bank Indonesia, Jakarta. Muliaman D Hadad ,Wimboh Santoso dan Ita Rulina, 2003, “Indikator Kepailitan di Indonesia: An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan”, Kajian Stabilitas Keuangan No. 2 Desember 2003, Bank Indonesia, Jakarta. Obstfeld, M, 1998, “The Global Capital Market: Benefactor or Menace?” NBER Working Paper 6559.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

61

Sundarajan, V. And Tomas J.T. Balino (Eds.), 1991, “Banking Crises: Cases and Isues”, IMF Working Paper, Washington.

Syahril Sabirin, 2003, Perjuangan Keluar dari Krisis: Percikan Pemikiran Dr. Syahril Sabirin, BPFE, Yogyakarta.

Syahril Sabirin, 2000, Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter Perbankan Dan Independensi Bank Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional 5 Februari 2000: “Strategi Pemulihan Ekonomi Era Pemerintahan Baru”. Surabaya : KAGAMA Jatim dan Perkumpulan Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK).

Yap, Josef T, 1998, “Developping an Early Warning System for BOP and Finansial Crises: The Case of the Philipines”, Discussion Paper Series No. 98-40, Phillipines Institute for Development Studies, November 1998.

62

Diteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: . . . (Oktavilia: 50 - 62)

KETERKAITAN DESENTRALISASI FISKAL SEBAGAI POLITICAL PROSESS DENGAN TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA Lesta Karolina Sebayang Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semang Email:[email protected]

ABSTRACT

This research aims to calculate fiscal capacity and estimate fiscal capacity, and poverty. Variable used in this research are fiscal capacities, Gross Regional Domestic Product (GRDP), and poverty variable. Data used in this research is secondary sources from 25 Provinces in Indonesia with year time period 1999 - 2003. This research limits its research object only 25 Provinces in Indonesia. In general, this paper concludes that Gross Regional Domestic Product (GRDP) and fiscal capacity have an effect on significant statistically to poverty, its meaning that fiscal capacity in 25 the provinces can express ability to improve economic growth. Government policy in APBD as political process influence fiscal capacities, economic growth, and poverty in Indonesia. Recomendation from this research are local goverment must concern about fiscal capacity end Regional Domestic Product (GRDP) end goverment try to increase responsibility so all of country can improve their wealth. Keywords: Fiscal capacity, Gross Regional Domestic Product (GRDP), poverty, fiscal policy PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Sejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana Otonomi Daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali lima bidang; Politik Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter, dan Fiskal. Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia yang dijamin oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memberi nuansa baru pada perekonomian daerah. Banyak daerah di Indonesia mengeluhkan kurangnya kemampuan fiskal guna membiayai kebutuhan fiskal daerah. Kebutuhan fiskal yang dimiliki oleh daerah juga berhubungan dengan pembangunan sosial di masing-masing daerah. Pembangunan sosial merupakan aspek yang penting setidaknya karena tiga alasan. Pertama, aspek sosial adalah ukuran yang jelas sebagai hasil pembangunan ekonomi. Peningkatan dalam indikator-indikator ekonomi tidak banyak artinya jika tidak ada peningkatan indikatorindikator sosial. Kedua, ada keterkaitan (nexus) antara dua rangkaian ini. Pendapatan yang tinggi

menghasilkan kapasitas untuk tingkay kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya standar kesejahteraan yang lebih besar akan menghasilkan produktivitas dan efisien yang lebih tinggi. Ketiga, kemajuan sosial berperan dalam kohesi dan kerukunan masyarakat. Upaya pertumbuhan ekonomi regional akan memunculkan sisi lain yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah. Sisi tersebut adalaha permasalahan-permasalahan lain akan muncul. Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat adanya ketimpangan pendapatan antara daerah-daerah yang dapat menimbulkan ketimpangan sosial antara daerah-daerah di Indonesia salh satunya adalah kemiskinan. Perlu digarisbawahi desentralisasi fiskal bahwa undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai pembagian tugas penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan proses politik melalui kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kedua periode ini akan akan mempengaruhi utilitas maksimum yang diperoleh masyarakat melalui sektor publik.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

63

2. Perumusan Masalah

LANDASAN TEORI

Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat.

1. Desentralisasi Fiskal

Namun kecenderungan kearah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi peningkatan efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk di tingkat daerah serta kesejahteraan masyarakatnya. Bagi sebagian besar propinsi, masalah diatas merupakan agenda pokok yang perlu segera ditangani, salah satunya adalah jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan selama krisis ekonomi. 3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kapasitas fiskal daerah dengan adanya desentralisasi fiskal sebagai political process. 2. Mengukur hubungan antara kapasitas fiskal yang dimilik daerah dengan tingkat kemiskinan. METODE PENELITIAN

a. Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi. Atau: Kapasitas Fiskal =

PAD Belanja Rutin

b. Analisis Model Regresi Mengukur hubungan kapasitas fiskal sebagai variabel dependen dengan variabel-variabel independennya. Dengan menggunakan data panel.

64

Istilah desentralisasi fiskal memberikan pengertian adanya pemisahan yang semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin pada kedua sisi anggaran; penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan, daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam tax policy. Menurut Undang-Undang no.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam konteks kegiatan ini, pengertian kewenangan daerah propinsi dan kabupaten/kota mengacu pada UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: (a)Perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (c) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (d) Penyediaan sarana dan prasarana umum; (e) Penanganan bidang kesehatan; (f) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (g) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (h)Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (i)Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (j) Pengendalian lingkungan hidup; (k) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; (n) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (o) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . (Sebayang: 63 - 69)

kabupaten/kota; (p) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

barang dan jasa-jasa sebagai cara untuk mencegah pasar persaingan dari pencapaian efisiensi

Faktor yang harus diperhatikan dalam desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut:

3. Distribusi pendapatan, skema keuangan alternatif yang mempengaruhi distribusi pendapatan melalui penurunan pendapatan yang dikeluarkan seseorang untuk mengkonsumsi barang dan jasa swasta dengan mempengaruhi harga dan jumlah barang-barang dan jasa-jasa di pasar. Kenyataannya, banyak warga negara mengajurkan penggunaan metode khusus keuangan pemerintah yang tepat untuk tujuan re-distribusi pendapatan.

1. Kapasitas Fiskal (PAD, PDRB) 2. Kebutuhan Fiskal (Pengeluaran Rutin/Pembangunan dan Penyediaan barang publik) 2. Kebijakan Fiskal dan Kapasitas Fiskal

Kebijakan disuatu daerah bisa mempunyai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Suatu kebijakan publik mestinya lebih banyak diarahkan pada upaya pencapaian utilitas tertinggi dari masyarakat. Pada pelaksanaannya banyak sekali yang menjadi hambatan antara lain anggaran yang terbatas. Penerimaan suatu daerah malah seringkali tidak dapat menutup pos pengeluaran sekalipun belanja rutin. Kegiatan pemerintah meliputi realokasi penggunaan sumber-sumber dari pihak swasta pada pemerintah. Metode keuangan yang digunakan mempengaruhi variabel ekonomi dan politik adalah sebagai berikut: 1. Keseimbangan politik, jumlah keseimbangan barang-barang dan jasa-jasa yang disediakan pemerintah tergantung pada distibusi pajak per unit dari barang-barang dan jasa-jasa, karena pembagian pajak warga negara mempengaruhi pilihan mereka. 2. Keseimbangan pasar keseluruhan dan efisiensi dimana sumber daya seperti tenaga kerja swasta. Metode ini dapat menganggu harga barang-

4. Kesulitan ini bertambah ketika pemerintah daerah berhadapan dengan perubahan kebijakan. Tidak dapat dipungkiri kemudian kekuatan kompromi politik kemudian menentukan arah kebijakan. Salah satu imbas yang dirasakan daerah adalah adanya perubahan perundang-undangan. Aschauer (2000), persoalan kebijakan fiskal pemerintah mencakup “how much you have”, “how you pay for it” dan “how you use it”. 3. Kemiskinan

Kemiskinan dapat menimbulkan tindakan kejahatan dan gangguan sosial lainnya. Adanya sistem baru memberikan harapan kerja dan mengurangi welfare trap. Sistem tersebut berupa dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah (Hyman; 239). Program pemerintah dalam memberikan bantuan pada orang miskin merupakan hal penting. Penerima bantuan dari pemerintah baik dalam bentuk bantuan tunai atau bentuk bantuan lainnya harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Jadi,

Cina, 1999 Indonesia, 2002 Filipina, 1999 Thailand, 2002 Negara-negara OECD, 1990-an Negara-negara Transisi, 1990-an Negara-negara berkembang, 1990-an 0

10

20

30

40

50

60

Porsi pengeluaran daerah dalam total pengeluaran Sumber: Depkeu dan IMF

Gambar 1. Indonesia yang Terdesentralisasi JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

65

sebelum mendapatkan bantuan penerima harus melalui tes. Tes tersebut mengenai status pendapatan dan tingkat aset yang dimiliki penerima bantuan. Program pemerintah untuk membantu kaum miskin dapat berupa transfer tunai secara langsung, perlengkapan berupa kebutuhan dasar seperti kesehatan, subsidi untuk tempat tinggal dan makan dan program-program lainnya. 4. Keseimbangan Lindahl

Lindahl mengemukakan analisis yang didasarkan dengan kurva indiferens dengan anggaran tetap yang terbatas (fixed budget constraints). Teori pengeluaran pemerintah yang dikemukakan oleh Lindahl adalah teori yang sangat berguna untuk membahas penyediaan barang publik yang optimum dan secara bersamaan juga membahas mengenai alokasi pembiayaan barang publik antar anggota masyarakat. Kelemahan teori Lindahl adalah karena teori ini hanya membahas mengenai barang publik tanpa membahas mengenai penyediaan barang swasta yang dihasilkan oleh sektor swasta. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kapasitas Fiskal

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memberi wacana baru bagi upaya daerah untuk mengembangkan wilayahnya. Salah satu variabel yang diharapkan untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah adalah dana alokasi umum. Pertimbangan atau alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah antara lain adalah untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal dan untuk mengatasi ketimpangan horisontal antar-daerah. Adanya perbedaan potensi (fiscal capacity) yang dimiliki antar-daerah di Indonesia, sudah bisa menjadi alasan untuk terjadinya kecemburuan dan ketimpangan pertumbuhan antar-daerah. Apalagi jika kebutuhan (fiscal needs) lebih besar daripada potensi yang dimiliki masing-masing daerah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Jika dideskripsikan lebih rinci, masalah in-equality penting karena menyebabkan

66

beberapa hal: Pertama, ketimpangan pendapatan menyebabkan in-efisiensi ekonomi. Kedua, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Ketiga, ketimpangan menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Keempat, tidak tercapainya standar penyediaan minimum antar-daerah. Tabel 1 menunjukkan kapasitas fiskal daerah yang beragam di 26 propinsi di Indonesia. Hanya ada 2 daerah yang relatif konsisten memiliki kapasitas fiskal lebih besar dari 100 yakni Jawa Timur dan Bali. Selama periode 1999-2002 rata-rata pencapaian kapasitas fiskal kedua daerah ini masing-masing 157,37 dan 132,93 persen. Artinya kedua daerah ini memiliki sumber “surplus” untuk mendanai belanja rutin. Dengan kata lain, Jawa Timur dan Bali sudah mampu membiayai belanja rutin dari PAD. Tabel 1. Kapasitas Fiskal Daerah di Indonesia, 19992002 Tahun 1999 2000 2001 2002 1 N. Aceh Darussalam 33.99 36.71 18.17 18.98 2 Sumatera Utara 92.76 116.17 67.34 71.48 3 Sumatera Barat 56.28 75.80 54.43 59.42 4 Riau 60.14 60.45 75.15 61.29 5 Jambi 54.58 69.05 50.21 38.69 6 Sumatera Selatan 60.52 51.93 53.51 47.07 7 Bengkulu 32.96 33.26 22.36 17.73 8 Lampung 56.11 67.28 63.17 46.81 9 DKI Jakarta 68.84 111.15 78.17 88.73 10 Jawa Barat 70.58 91.82 78.81 80.64 11 Jawa Tengah 59.33 87.34 73.90 69.24 12 DI Jogjakarta 55.65 78.19 51.74 47.17 13 Jawa Timur 129.80 203.13 188.67 107.88 14 Kalimantan Barat 56.20 55.21 44.71 43.14 15 Kalimantan Tengah 21.06 28.01 21.73 23.62 16 Kalimantan Selatan 38.76 49.06 46.33 47.31 17 Kalimantan Timur 23.20 35.12 24.71 30.33 18 Sulawesi Utara 30.73 51.49 33.12 29.23 19 Sulawesi Tengah 51.08 44.64 32.35 25.79 20 Sulawesi Selatan 56.70 79.97 61.44 57.12 21 Sulawesi Tenggara 27.45 26.27 22.17 25.93 22 Bali 156.85 181.10 107.33 86.43 23 Nusa Tenggara Barat 59.94 43.42 30.46 37.16 24 Nusa Tenggara Timur 33.00 32.59 27.40 18.90 25 Maluku 28.29 30.74 9.67 8.02 26 Papua 12.23 9.78 11.52 7.47 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Propinsi, 1999-2002, diolah No.

Propinsi

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . (Sebayang: 63 - 69)

Pada tabel 1 di atas juga mengindikasikan adanya kesenjangan kapasitas fiskal yang cukup parah antar daerah. Di Sumatera misalnya, hanya Sumatera Utara yang memiliki kapasitas fiskal lebih dari 80 persen. Di lain pihak, kapasitas fiskal di Jawa relatif lebih merata (kecuali Jogjakarta). Bandingkan dengan pencapaian kapasitas fiskal di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Bahkan di daerah yang terkenal memiliki sumber daya alam melimpah (seperti; Riau dan Kalimantan Timur), pencapaian kapasitas fiskal tergolong rendah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah di Indonesia banyak bergantung pada “faktor pemberian alam”. Selain itu, eksplorasi sumber daya alam di daerah justru banyak menyumbang pada penerimaan pungutan pusat sehingga tidak memberi implikasi langsung pada PAD. Fiscal gap yang terjadi di daerah-daerah akan mempengaruhi kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan fasilitas daerah atau fasilitas publik. 2. Hubungan Kapasitas fiskal dan Kemiskinan

a. Regresi Data Panel Data Panel adalah merupakan kombinasi dari data runtut waktu dan silang tempat yaitu memiliki observasi dari analisis unit pada titik waktu tertentu. Keunggulan data panel antara lain; pertama, memunculkan heterogenitas secara eksplisit ke dalam perhitungan dengan memasukkan variabelvariabel spesifik. Kedua, menyajikan data yang informatif, bervariasi, kolinearitas antar variabel lebih rendah, menambah jumlah derajat kebebasan, dan lebih efisien. Ketiga, dengan masuknya observasi silang tempat, data panel dianjurkan untuk studi perubahan dinamis. Keempat, lebih mampu mendeteksi dan mengukur efek dibandingkan dengan data silang tempat dan silang waktu murni. Kelima, menghasilkan model perilaku yang lebih kompleks. Keenam, meminimumkan bias pada data ketika dilakukan agregasi. Regresi data panel berbeda dengan regresi runtut waktu (time series) dan regresi silang tempat (cross section). Model persamaannya ditunjukkan berikut:

poor = α 0 + α1kap _ fiskal1t + α 2PDRB2 t + ui

Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Kapasitas fiskal (kap_fiskal) diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi --- sebagai proyeksi kemampuan fiskal daerah 2. Kemiskinan (poor) – sebagai variabel independen yang menunjukkan kondisi sosial. 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)--- sebagai pangsa pasar daerah dan variabel kontrol kebijakan fiskal. Dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) dan model fixed effect maka diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

poor = −4,21kap _ fiskal1t − 0,000164PDRB2t + ui t-stat (-3,79) (-5,24) R2 = 0,96 dw-stat = 1,8 Interpretasi model 1. Pada model fixed effect, intersep terletak pada masing-masing provinsi. 2. Berdasarkan uji t-statistik kapasitas fiskal bertanda negatif dan secara statistik signifikan terhadap kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masingmasing daerah juga kan mempengaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga akan bervariasi. 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bertanda negatif dan secara signifikan terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan. 4. R2 menunjukkan variasi proporsi kontribusi variabel kapasitas fiskal dan PDRB terhadap kemiskinan sebesar 96,3%. b. Pengujian Asumsi Klasik 1. Multikolinearitas Multikolinearitas diartikan sebagai adanya hubungan yang pasti (exact) di antara beberapa atau semua variabel bebasnya dalam suatu model regresi. Pada kasus munculnya multikolinearitas, R2

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

67

sangat tinggi namun tidak ada koefisien regresi yang signifikan secara statistik. Dari model yang diestimasi dengan bobot menunjukkan R2 yang tinggi yakni 0,96 namun hanya satu koefisien yang tidak signifikan. Artinya, multikolinearitas dalam model ini bisa diabaikan 2. Heterokedastisitas Pada umumnya model OLS masih terdapat informasi yang tidak seimbang sehingga peluang munculnya masalah heteroskedastisitas lebih besar. Gujarati (2003:395) menyarankan estimasi dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS) yang mempunyai kapasitas secara eksplisit menghasilkan estimator yang BLUE. 3. Autokorelasi Istilah autokorelasi diartikan sebagai adanya “korelasi antar anggota series dari observasi baik pada time series maupun cross-section. Autokorelasi sebagai masalah klasik seringkali terjadi karena; masalah inersia dalam variabel ekonomi, bias spesifikasi, fenomena Cobweb (ada pola musiman), penggunaan time-lag, manipulasi data, transformasi data yang tidak tepat, dan non-stasionaritas. Salah satu teknik untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan memperhatikan nilai Durbin-Watson statistik (d-statistik) dan membandingkannya dengan nilai d- tabel. Berdasarkan nilai dw-statitik sebesar 1,86 (dL = 1,613; du = 1,736) menunjukkan bahwa model persamaan bebas autokorelasi positif dan negatif . Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 1. Kesimpulan

Berdasarkan bahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Kapasitas fiskal masing-masing daerah berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masing-masing daerah juga kan mempengaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga akan bervariasi.

68

b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan 2. Implikasi Kebijakan

Beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pemerintah daerah harus mampu meningkatkan kapasitas fiskal dan PDRB sebagai solusi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. b. Adanya pelimpahan kewenangkan ke daerah berarti pemerintah harus mampu meningkatkan tanggung jawab terhadap tingkat kesejahteraan di daerah. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Ehtisham, Bert Hofman (Maret 2000). “Decentralization-Opportunities and Risks”, IMF and World Bank Resident Mission. Bank Indonesia (2003) Laporan Perekonomian Indonesia 2003, ISSN 0522-2572. Bambang Brodjonegoro, “Otonomi Daerah dan Kondisi Fiskal Indonesia”, www. KPPOD.go.id. Frida, Asnita (2003), Penanaman Modal Asing Langsung dan Efisiensi Kebijakan Fiskal Daerah di Indonesia 1998-2005, Tesis, tidak untuk dipublikasikan. Gujarati, Damodar N. (2003) Basic Econometrics, Fourth Edition, Mc Graw Hill. Isdijoso, Brahmantio, Wibowo, Tri (2004) “Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah:Studi Kasus Sektor Pendidikan di Kota Surakarta”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Hyman, David N. (1996) Public Finance A Contemporary Apllication of Theory to Policy, Fifth Edition, The Dryden Press. Kuncoro, M., (1995) “Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan Ketergantungan”, Prisma 4: 3-17. Mckay, Andrew, (2002) Assesing The Impact of Fiscal Policy on Poverty, Discussion Paper, 2002/43, World Institute for Development Economics Research. Mardiasmo, (2002) Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi Yogyakarta. PSEK-UGM (2003) Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pemerintah, Laporan Akhir, Kota Surabaya.

Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . (Sebayang: 63 - 69)

Silver, C., Iwan J.A., and Larry S (2001) “Ïntergovermental Transfers and Decentralisation in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 37(3): 345-361. Subiyantoro, Heru (2004), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Badan Analisa Fiskal, Jakarta: Departemen Keuangan.

Zandvakili, S., and Jeffrey A. Mills (2001) “The Distributional Implications of Tax and Transfer Program in US”, The Quarterly Review of Economics and Finance 4: 167-181.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

69

PENGEMBANGAN PRODUKSI KERAJINAN SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN Siti Maisaroh Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Yogyakarta e-mail: [email protected]

ABSTRACT

The research is aimed at finding the dominan factors do develop the small-scale industry as an effort to the poor program to empower the society. By using the methodology participation action researh (PAR) involving the active participation of the society, Especially to the small craftsment to clarify the problems and how find the solution. The collecting is done by using the method of simple random sampling against 100 respondents sample of the small-scale industrial housholds. The result of the survey shows that skill factor and the marketing factor belong to the core variable. Which each of them has the higest elasticity against the product to the amount of 0.4147 or 41,47% and 0.2517 or 25,17%. Accordingly, the recomendation to develop the small-scale industry as reflected on the increasing product, it is hoped to give priority to the skill factor and marketing factor then to the capital factor or other factor. Keywords: skill, marketing and capital factor to develop the small craftsment solution.

masyarakat agar mampu ke luar dari lingkaran kemiskinan serta lebih berkembang secara mandiri.

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Tujuan akhir program pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang antara lain terefleksi pada peningkatan pendapatan masyarakat dan ketersediaan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tersebut, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran indikator ekonomi makro yang menjadi arah strategi pelaksanaan kebijakan dalam tahun 2008 sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008, yaitu: (i) percepatan pertumbuhan ekonomi; (ii) penciptaan lapangan pekerjaan; dan (iii) penanggulangan kemiskinan. Penetapan program pengentasan kemiskinan diupayakan sejalan dengan komitmen pemerintah untuk merealisasikan program millennium development goals (MDGs). Karena itu, pelaksanaan program tersebut dilakukan agar berbagai kebijakan dan program pemerintah yang lain secara langsung dapat menyentuh lapisan bawah. Artinya, pelaksanaan program tersebut tidak hanya diarahkan untuk meningkatkan pendapatan melalui berbagai kesempatan berusaha saja, melainkan juga untuk memberikan akses yang lebih luas bagi seluruh 70

Secara teoritis, semakin banyak program penanggulangan kemiskinan akan menjadikan jumlah orang miskin dapat ditekan seminimal mungkin. Sistem pemerintah desentralisasi dan otonomi daerah, semestinya juga memungkinkan pelayanan kepada masyarakat miskin semakin cepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tetapi sayangnya, dari sejumlah hasil penelitian tentang berbagai program pengentasan kemiskinan termasuk bantuan langsung tunai (BLT), ternyata hasilnya sama saja dengan kondisi sebelum digulirkannya program pengentasan kemiskinan. Padahal, dananya sudah habis untuk program tersebut, tetapi jumlah orang miskin masih tetap saja tinggi. Karena itu, upaya program pengentasan kemiskinan harus dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan, misalkan melalui salah satu model pendekatan gerakan pembangunan ekonomi rumah tangga. Industri kecil kerajinan pada hakekatnya adalah pembangunan suatu sistem yang mempunyai daya hidup dan mampu berkembang secara mandiri serta mengakar pada struktur ekonomi dan struktur masyarakat. Pada saat ini, berbagai upaya peningkatan produktivitas dan akses usaha mikro, kecil, dan

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

menengah (UMKM) termasuk industri kecil kerajinan (IKK) semakin penting peranannya dalam mendukung program pengentasan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Karena, harapan besar bahwa pertumbuhan yang pesat dari sektor industri modern akan dapat sebagai sumber pendapatan serta mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran secara tuntas ternyata masih berada pada rentang perjalanan yang panjang dan melelahkan. Pentingnya pengembangan IKK itu secara asasi tidak terlepas dari data empiris ataupun berbagai aspek nalariah yang melatarbelakanginya. Secara empiris, ketika terjadi krisis ekonomi sejak Juli 1997 hingga kini keberadaan ekonomi rakyat khususnya jenis UMKM dan IKK telah banyak membantu mengatasi masalah pengangguran termasuk yang terkena PHK. Dalam GBHN 1999-2004 dan RPJM 2005-2009 telah memberikan petunjuk bahwa ekonomi rakyat termasuk IKK rumah tangga dan koperasi serta usaha kecil lainnya, perlu lebih dibina menjadi usaha yang semakin efisien dan mampu berkembang mandiri untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka lapangan kerja dan berusaha, serta makin mampu meningkatkan peranannya dalam menyediakan barang dan jasa dalam berbagai komponen baik untuk keperluan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

“buffer” untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Sayangnya, berbagai penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa keberadaan usaha jenis ini selain fungsi dan perannya sangat penting, tetapi keberadaanya masih banyak menghadapi masalah dan hambatan baik secara internal maupun eksternal. Berbagai masalah dan hambatan tersebut berdampak pada hasil produksi menjadi tetap rendah. Padahal, rendahnya tingkat produksi berdampak pada rendahnya pendapatan dan keuntungan, yang pada akhirnya bermuara pada tetap rendahnya kesejahteraan masyarakat. Karena itu, upaya pengembangan terhadap usaha ini adalah semakin mutlak untuk dilakukan. Problematikanya adalah; masalah apa saja yang harus ditingkatkan untuk pengembangan produksi dalam usaha ini? Bagaimana model pengembangan produksi dan strategi yang harus dilakukan dalam usaha tersebut agar keberadaanya mampu mendukung program pengentasan kemiskinan? Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan pokok penelitian di atas, serta berdasarkan data potensi daerah dalam penelitian ini tulisan ini secara umum bertujuan untuk mengkaji dan sekaligus menganalisis tentang berbagai hal sebagai berikut. 1) Faktor yang paling dominan dapat meningkatan kapasitas produksi sebagai upaya pengentasan kemiskinan.

Pokok Masalah Penelitian

Program pengentasan kemiskinan akan dapat berhasil lebih baik jika dapat dilakukan melalui salah satu upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi rakyat yang sesuai dengan kondisi serta karakteristik daerah setempat. Dalam hal ini, tujuan program dan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh si miskin di daerah setempat harus sinkron. Artinya, keterlibatan mayarakat miskin setempat melalui kreativitas manajerial (perencanaan, pelaksanaan, pengembangan/pengendalian hingga evaluasi serta monitoring) merupakan keharusan. Salah satu bentuk program aktualisasi ekonomi rakyat yang sesuai untuk progam pengentasan kemiskinan adalah jenis UMKM termasuk IKK. Jenis usaha ini merupakan perwujudan konkret ekonomi rakyat yang mampu bertumpu pada kekuatan sendiri, terdesentralisasi, beragam, serta mampu menjadi

2) Model dan strategi yang mungkin dan harus dilakukan sebagai upaya untuk mendukung program kebijakan pengentasan kemiskinan. Artikel ini dihrapkan secara teoritis berorienasi untuk pengembangan model dasar dan strategi pengembangan usaha. Sedangkan, secara empiris praktis dapat sebagai informasi khsusnya bagi para perajin dan pemerintah dalam kaitanya melakukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sederhana melalui model pengembangan usaha produktif, sederhana dan dapat dilakukan oleh masyarakat.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

71

dan semakin melebarnya perbedaan antarpelaku ekonomi (pengusaha besar dengan usaha UMKM).

LANDASAN TEORI Penelitian Sebelumnya

Sebenarnya faktor apa yang menyebabkan kemiskinan di Indonensia masih tetap tinggi? Fadjri (2002:31) mengatakan bahwa kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas kemudian disusul dengan keguncangan krisis ekonomi yang sangat besar pada tahun 1997. Sedangkan, hasil penelitian Tarumingkeng dan Coto (dalam Yustika, 2005: 34) dengan menggunakan analisis model Rostow, ditekankan bahwa pada pergeseran aggregate supply yang disebabkan oleh meningkatnya produksi, khususnya produksi per efektif tenaga kerja (y). Di mana faktor y sangat tergantung kepada kapital per efektif tenaga kerja. Secara matematis, model tersebut dapat ditulis Y = ƒ (k), sedangkan k dipengruhi oleh investasi dan jumlah penduduk. Berbagai hasil penelitian (Sumodiningrat, 2003; Krisnamurti, 2003; Brata, 2003; Prasetyo, 2008) menjelaskan bahwa peran dan fungsi keberadaan ekonomi rakyat termasuk UMKM dan IKK sangat penting, karena mampu mengurangi masalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan serta arus urbanisasi berlebih. Dengan begitu, setiap upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayan ekonomi rakyat (tidak dapat tidak) harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu, hasil penelitian Ismail (2003:5) dalam Yustika (2005:46) menyebutkan bahwa proses pembangunan ekonomi di Indonesia sebenarnya berjalan seperti banyak negara berkembang lainnya, yakni meyikapi persoalan kemiskinan dengan ekonomi rakyat (UKM), dan melihat sebagai keadaan sementra yang secara otomatis menghilang melalui proses trickle down effect. Selanjutnya, model dasar ini disebut sebagai model pendekatan generasi pertama yang mampu meningkatkan berbagai indikator sosial secara signifikan. Namun, harus diakui pula bahwa pendekatan ini telah menimbulkan berbagai persoalan seperti; berkurangnya sikap kemandirian dan lemahnya modal sosial yang dimiliki masyarakat, serta tidak dapat diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan (ketimpangan distribusi pendapatan dan akses terhadap sumber daya ekonomi), 72

Belajar dari kelemahan pendekatan pada generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini yakni melalui; (1) diversifikasi pelaku utama pembangunan; (2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumbersumber keuangan dari masyarakat sendiri ; (3) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable). Selanjutnya, lembaga keuangan mikro ini menurut hasil penelitian Budiantoro, (2003:1) berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengembangan produksi pengusaha mikro untuk meningkatkan usahanya. Berdasarkan penelitian dasar sebelumnya, industri kecil kerajinan bambu (IKK) secara umum memiliki ciri-ciri sebagi berikut. 1) Berbentuk industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebagian besar kurang dari 10 orang, dan sebagian besar jumlah tenaga kerjanya merupakan tenaga kerja keluarga sendiri yang tidak dibayar. 2) Teknologi produksi yang digunakan masih bersifat tradisional dan sangat sederhana serta banyak menggunakan tangan. 3) Bahan baku dasar produksi umumnya hanya didapat dari daerah pedesaan sendiri dan sekitarnya. 4) Pemasaran hasil produksi masih banyak yang hanya berorientasi lokal saja, tanpa promosi dan sebagian besar juga berupa pesanan. 5) Pada awalnya IKK ini merupakan kerja sampingan, selain bertani dan berladang secara turun temurun. Dengan demikian, keberadaan IKK di daerah sampel ini lebih tepat dapat digolongkan ke dalam industri kecil rumah tangga (IKRT), karena selain batasan di atas, proses kerjanya dikerjakan secara rajin, teliti dan rutin serta banyak menggunakan tangan dan peralatan yang tradisional dan tenaga kerjanya sebagian besar hanya tenaga kerja keluarga (ayah, ibu,anak dan menantu) tanpa upah. Selain itu, tempat usahanya kebanyakan hanya dilakukan di dalam rumahnya sendiri. Namun begitu,

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

misi utamanya yang terus berkembang secara rutin adalah tetap diupayakan untuk dapat menambah produksi dan pendapatan keluarga. Dalam perkembangannya sampai sekarang, keberadaan usaha IKK ini telah banyak yang telah dijadikan sebagai mata pencaharian pokok mereka. Keberadaan UMKM termasuk IKK sebagai usaha yang produktif telah mendominasi lebih dari 99% dalam struktur perekonomian Indonesia, (Anoraga, 2002; Tambunan, 2002; Kuncoro, 2003; Prasetyo, 2008). Berbagai pihak telah mengakui pentingnya peranan dan fungsi UMKM ini dalam perekonomian nasional, terutama dalam aspekaspek seperti, peningkatan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi pedesaan dan peningkatan ekspor nonmigas serta termmasuk mampu mengurangi kemiskinan, (Anoraga, 2002; Tambunan, 2002; Prasetyo, 2008). Namun, di sisi lain, sektor UMKM ini dianggap masih banyak menghadapi masalah termasuk masalah produksi, permodalan, pemasaran dan manajemen administrasi, sehingga bank dan lembaga keuangan sendiri kurang tertarik untuk membiayai sektor ini. Berbagai permasalah pokok yang lebih mendasar tentu masih banyak jika kita masih mau dan mampu menggalihnya secara lebih teliti dan sabar. Permasalahan mendasar dalam bidang menajemen bagi pengusaha kecil pada berbagai sektor usaha secara umum adalah kekurangmampuan pengusaha menentukan pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan usaha (Anoraga, 2002). Hal ini penting, karena setiap periode tahap perkembangan usaha akan menuntut tingkat pengelolaan usaha yang berbeda. Pada awal perkembangan usaha dan skala usaha produksi masih relatif kecil, gaya manajemen keluarga yang sederhana juga masih mendominasi, sehingga mengarah kepemusatan pengelolaan hanya pada seseorang (one man show) sebagai kepala keluarga mungkin masih akan tetap relevan. Sejalan dengan perkembangan dan lingkungan usaha (baik intern maupun ekstern), maka gaya manajemen konvensional tidak dapat dipaksakan begitu saja, karena pemaksaan hal tersebut justru akan dapat menjadi pangkal munculnya berbagai masalah baru. Dengan demikian, pengusaha kecil dituntut harus selalu dinamis dalam menerapan manajemen sesuai dengan perkembangan usaha

(produksi). Tuntutan menggunakan manajemen konvensional baru dapat dilakukan jika para pelaku pengusaha kecil (perajin bambu) memiliki kemampuan dan ketrampilan (managerial skill) yang memadahi pula, (Prasetyo, 2002; 2008). Pada dasarnya UMKM termasuk IKK mempunyai banyak fungsi: misalkan fungsi sosial yakni; selain dapat mengurangi kemiskinan juga dapat memperluas lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha serta meningkatkan pendapatan. Fungsi ekonomi yakni; mampu memanfaatkan sumber daya alam dan meningkatkan pendapatan daerah atau negara serta menghemat devisa. Fungsi budaya; dapat meningkatkan ketrampilan masyarakat serta mencerdaskan rakyat dalam melestarikan budaya bangsa. Fungsi ketahanan nasional yakni dapat meningkatkan keuletan dan ketangguhan, memupuk kepribadian dan kemampuan serta menumbuhkan kepercayaan diri sendiri dan kepribadian. Anehnya selain banyak fungsi dan manfaatnya, keberadaan UMKM juga masih mengandung berbagai masalah mendasar yang perlu segera dikaji dan diatasi. Selain masalah mendasar di bidang manajemen, pengusaha kecil (termasuk IKK) juga menghadapi masalah; pemasaran, sumber daya manusia, permodalan, kemitraan serta masalahmasalah sosial, ekonomi, politik dan budaya lainnya, (Anoraga,2002; Tambunan, 2002; Kuncoro, 2003; Prasetyo, 2008). Masalah pemasaran oleh banyak pengusaha sering dianggap sebagai aspek yang paling penting. Menurut Prasetyo, (2008) bahwa kemampuan produksi tanpa diimbangi kemampuan pemasaran produk yang baik adalah suatu “kehancuran”. Dengan kata lain, adanya faktor pemasaran yang baik permasalahan yang lain seperti modal usaha dan tenaga kerja juga akan semakin baik. Dengan pemasaran yang baik modal usaha dapat bertambah dengan sendirinya, tanpa pinjam dari pihak lain. Oleh karena itu, masalah pemasaran hasil produksi sering dianggap sebagai masalah yang paling utama diantara masalah-masalah lainnya. Masalah permodalan pada dasarnya merupakan masalah utama tetapi pada usaha kecil sering dianggap bukan yang paling pertama, karena modal usaha kecil juga sedikit. Masalah sering dijumpai dan dirasakan kekurangan modal pada dasarnya

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

73

merupakan masalah derevatif dari akibat masih sempitnya jangkauan pemasaran serta masih lemahnya sumber daya manusia yang terampil dalam usaha itu. Sempitnya pemasaran berakibat pada perputaran modal juga menjadi seret, dan masih lemahnya SDM berakibat pada produk menjadi tidak efisien. Selain itu, adanya sumber daya manusia yang lemah dan tak mampu membuat administrasi yang baik berdampak kepada penambahan modal menjadi sulit dicari. Karena kelemahan SDM pada dasarnya juga merupakan kelemahan manajerial pengusaha. Lingkaran Kemiskinan (Vicious Circle)

Sejak terbentuknya badan koordinasi penanggulangan kemisinan (BKPK) pada tahun 2001 hingga saat ini, ada empat peran yang harus disangga oleh lembaga ini yakni; sebagai koordinator, katalisator, mediator dan fasilitator. Sebagai koordinator, badan ini bertugas mengoordinasi perumusan standarstandar dasar mengenai konsep kemiskinan yang digunakan oleh sebagian instansi di pusat dan daerah. Sebagai katalisator, badan ini berupaya memecahkan kendala utama dalam pelaksanaan kebijakan program pengentasan kemiskinan. Sebagai mediator, badan ini diharapkan menjadi wahana untuk menampung beragam aspirasi. Sebagai

fasilitator, badan ini mampu menjadi penghubung antara para donor dengan pelaku utama (SMERU, dalam Yustika, 2005: 29). Pendekatan kelembagaan tersebut secara teoritis dapat diartikan bagaimana semangat “solidaritas sosial” dapat ditumbuhkembangkan pada golongan masyarakat menengah ke atas agar mereka mau membantu golongan masyarakat bawah atau miskin. Tolak ukur dari perubahan kelembagaan ini diharapkan ada perubahan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Secara teori, masalah-masalah industri merupakan bagian dari suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, menggambarkan masalah kegiatan industri tidak boleh hanya ditinjau dari timbal baliknya yang penting saja, akan tetapi perlu diperhatikan hubunganhubungannya di luar batas-batas sistem itu. Chistian Lempelius (1979) dalam bukunya berjudul “Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat” menyebutkan bahwa masalah-masalah yang menyangkut IKK baik secara langsung maupun tidak langsung harus didekati dari segi manajemen karyawan dan lingkungan. Ia mengambarkan lingkaran tak berujung (Vicious Circle) dari keterbelakangan usaha IKK sebagai berikut.

Peralatan sederhana, pendidikan dan mutu bahan baku rendah

7

8

6

9 Tidak banyak investasi baru.

Cara berproduksi masih tradisional

5

1 Modal tak cukup dan tak ada jaminan

4

Hasil produksi sederhana/kecil Keuntungan yang diperoleh hanya sedikit atau pendapatannya rendah.

Gambar 1. Lingkaran Kemiskinan dari Usaha Industri Kecil dan Kerajinan

74

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

2 3

1. Pasaran sempit, daya beli rendah 2. Persaingan dari perusahaan padat modal/ modern 3. Ketergantungan pada pedagang besar setempat 4. Kemungkinan untuk mendapatkan kridit tidak memadai 5. Sedikitnya penawaran alat-alat produksi yang sesuai dengan situasi usahanya. 6. Tempat kedudukannya di daerah pedesaan 7. Kemungkinan pendidikan tidak mencukupi 8. Kurangnya usaha penyuluhan dan pembinaan yang berpedoman pada masalah 9. Situasi budaya setempat. Peran dan fungsi IKK seperti yang diungkapkan di atas sangat baik namun, untuk mendorong pengembangan IKK agar lebih maju secara mandiri dan tangguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi karakteristik seperti yang dijelaskan di atas sangat berbeda-beda. Adanya berbagai keterbatasan seperti; lemahnya manajerial, pemasaran yang masih banyak bersifat lokal (lokal market oriented), keterbatasan modal usaha, terbatasanya teknologi, rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja, merupakan kendala yang utama dalam pengembangan sektor IKK ini. Dalam era globalisasi dunia yang semakin maju, tantangan utama ke depan bagi pengembangan IKK tidak hanya sebatas untuk memenuhi pasar lokal. Namun, dapat dikembangkan lebih lanjut untuk memasarkan hasilnya ke pasar global (ekspor). Problem ini perlu dikaji dan digali lebih lanjut melalui berbagai penelitian dan pengembangan (research and development) secara lebih komperhensif, terpadu dan berkesinambungan. Dengan semangat demokrasi yang saat ini sedang berkembang, perencanaan pembangunan dari bawah (battom up) barangkali akan lebih utama dilakukan untuk mendorong pengembangan IKK ini. Rencana pembangunan dari tingkat dusun, kelurahan/desa, kecamatan dan selanjutnya ke tingkat kabupaten dan propinsi adalah lebih baik untuk diperioritaskan karena lebih menyangkut kepentingan rakyat banyak secara lebih riil, misalkan pembangunan infrastruktur pasar, listrik, jembatan, dan jalan sebagai saran dan prasarana transpotasi

ekonomi pedesaan-kota di daerah pedesaan yang masih sangat kurang adalah mutlak untuk segera dilakukan. Artinya, ide dasar model pemberdayaan ekonomi rakyat secara battom up nampak lebih mengenai sasaran dalam upaya pengentasan kemiskinan tanpa mengesampingkan peran dari pendekatan kelembagaan di atas. Apabila kendala dan kelemahan utama yang dihadapi oleh IKK tidak segera ditangani secara serius dan terpadu (kelembagaan dan battom up), dikuatirkan berbagai peran dan fungsi IKK yang sangat baik di atas tersebut tidak akan dapat tercapai seperti apa yang diharapkan bersama. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga terkait seperti; pendidikan termasuk para peneliti, perlu bekerja sama secara berkesinambungan dalam membangun keberadaan sektor IKK ini agar ke depan mampu tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengambil obyek kasus pada desa miskin yang memiliki usaha indutri kecil kerajinan bambu dan kayu di kecamatan Dlingo kabupaten Bantul. Obyek penelitian daerah yang dijadikan sebagai sampel di khususkan pada rumah tangga keluarga di daerah tertinggal yang khusus memiliki usaha kerajinan tersebut. Penarikan respendoen sebagai sampel dilakukan dengan metode simple random sapling, sehingga setiap keluarga perajin yang ada di wilayah daerah tersebut memiliki kesempatan yang sama sebagai responden. Jumlah responden sebagai sampel ditentukan dengan rumus toleransi σ% = Z. p.q/n (Sosrodiharjo, 1995; Sugiarto, 2001). Di mana σ% adalah standar deviasi populasi, Z adalah derajat kepercayaan, p adalah proporsi dari pemasaran lokal, dan q adalah proporsi dari pemasaran non lokal serta n adalah jumlah sampel. Mengingat penelitian ini di daerah pedesaan yang tradisional di mana sepenuhnya belum memasuki ekonomi uang dan pasar secara bebas, maka toleransi penyimpangan yang diinginkan ditetapkan sebesar 10%, interval keyakinan 90% dan pengambilan proporsi untuk sampel terbesar adalah “fiftyfifty. Dengan memanfaatkan rumus toleransi T2 akan diperoleh besarnya sampel penelitian sebagai berikut: T2 = Z.p.q./n. Dalam hal ini, nilai Z = 1,960 dibulatkan menjadi 2 berarti n = 22.p.q/T2 n =

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

75

4.50.50/100 n = 100. Dengan pengambilan sampel sebesar 100 rumah tangga perajin dianggap telah mewakili seluruh populasi perajin yang ada (respresentatif). Setelah dilakukan koding, editing dan tabulating serta verifikasi terhadap data, selanjutnya data akan diolah dan dianalisis serta dikaji lebih lanjut sebelum disajikan. Dalam upanyanya mencapai penyajian atau laporan yang baik, maka sejalan dengan permasalahan, tujuan dan hipotesis serta skala data yang diperoleh, data penelitian ini akan dianalisis baik secara verbal kualitatif maupun kuantitatif. Untuk menjawab persoalan penelitian yang secara kualitatif, akan digunakan teknik SWOTE Analysis maupun teknik tabulasi silang dan penjelasan verbal lainnya. Sesuai dengan skala data yang diperoleh, teknik analisis data yang bersifat kuantitatif akan digunakan model regresi-korelasi berganda (Gujarati, 2003). Adapun model dasar teknik analisis regresi berganda yang dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut. Q = α0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + ε1.

Setelah dilakukan terhadap uji asumsi klasik serta untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap asumsi kalsik, maka model regresi yang digunakan sebagai alat analisis selanjutnya tersebut di atas dirubah menjadi: Ln Q = α0 + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + β5 Ln X5 + ε2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada mulanya usaha industri kecil kerajinan (IKK) di daerah sampel ini sifatnya hanya usaha sambilan saja. Namun demikian, usaha ini lama kelamaan dapat dijadikan mata pencaharian pokok mereka selain bertani. Berdasarkan data potensi desa inti yang ada di kecamatan Dlingo (2002), Desa Muntuk adalah merupakan salah satu desa tertinggal (miskin) dari enam desa yang ada di kecamatan Dlingo yakni; Muntuk, Dlingo, Temuwuh, Mangunan, Jatimulyo dan Terong. Dari ketiga desa miskin yakni; Muntuk, Jatimulyo dan Temuwuh, hanya Desa Muntuk yang banyak memiliki usaha kerajinan 76

bambu. Sedangkan, dua desa lain yakni; Desa Mangunan dan Desa Terong memiliki usaha kerajinan kayu tetapi tidak tergolong desa tertinggal. Sementara untuk Desa Dlingo, Temuwuh dan Jatimulyo tidak memiliki usaha kerajinan, baik kayu maupun bambu. Usaha industri kecil kerajinan (IKK) di daerah sampel merupakan usaha yang secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Pada saat ini usaha IKK ini telah berkembang cukup baik dan telah dijadikan sebagai salah satu matapencaharian pokok warga selain bertani. Berdasarkan eksistensi dan dinamisasi perkembangan IKK tersebut, maka secara struktur usaha IKK di daerah ini dapat di kelompokan ke dalam industri lokal dan dan industri sentra. Jenis produk yang utama diproduksi pada IKK bambu adalah dapat digolongkan menjadi dua kelompok yakni; jenis produk hiasan dan produk kelengkapan dapur-rumah tangga. Jenis produk yang paling sering diproduksi adalah kemarang (bakul), gorong-gorong (tempat pakaian kotor) dan barangbarang souvenir lainnya yang mempunyai estetika. Selain itu, jenis produknya ada yang berupa: tempat pensil, tempat koran, tempat tisu, kap lampu, tenong, tampah, tambir, irig dan sebagainya. Sedangkan, pada IKK kayu yang paling banyak di produksi adalah; pintu, kusen, menja, kursi, dan lainnya. Diferensiasi produk ini merupakan hasil pembinaan dan perkembangan dari dinas perindustrian dan depnaker setempat. Secara universal, IKK bambu dan kayu ini tumbuh atas dorongan naluri ekonomi manusia untuk memiliki barang-barang dan jasa yang dibutuhkan. Keberadaan IKK ini semula hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini telah berkembang menjadi IKK dalam arti luas secara ekonomi. Argumentasi mendasar dapat digolongkannya ke dalam industri lokal pada sebagian dusun di wilayah daerah tersebut karena hasil produksi pada dusun tersebut pola pemasarannya masih menggantungkan diri kepada pasar lokal setempat seperti pasar Imogiri, pasar Bantul dan pasar Bringharjo. Selain itu, secara skala usaha produksi, kelompok industri lokal ini umumnya sangat kecil, dan masih berpola subsisten. Dalam pada itu, target pemasaran dari jenis produk ini masih sangat terbatas, sehingga alat transpotasinya masih sangat sederhana dan

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

tidak jarang mereka menggunakan alat pikul sendiri atau grobak untuk di bawa ke pasar. Pada kelompok industri sentra yang terpusat di Tangkil dan Karangasem, jenis produknya lebih beraneka ragam dan dinamis, serta daerah jangkauan pemasarannya lebih luas, dan peranan pedagang perantaran di sini mulai nampak. Dalam perkembangannya, ada beberapa produk yang dibuat untuk memenuhi permintaan pasar di luar daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Bali dan sebagainya. Perkembangan produknya lebih dinamis, sehingga kelompok ini cenderung lebih dapat beradaptasi dengan teknologi yang cukup canggih dalam berproduksinya. Dilihat dari segi penyerapan tenga kerjanya, kelompok industri sentra ini cenderung lebih banyak menyerap tenaga kerja dan mampu berkembang mandiri, produknya lebih fisibel, sehinga mereka sedikit lebih sejahtera dan lebih mampu bangkit dari kemiskinan. Mengapa masyarakat daerah penelitian ini lebih memilih usaha kerajinan bambu dan kayu sebagai mata pencaharianya?. Pada dasarnya ada banyak hal yang mendorongnya, namun sebagian besar atau 63% karena alasan tidak adanya pilihan kerja baik lainnya, selebihnya 21,67% karena sesuai dengan keahlian dan tingkat pendidikan yang mereka miliki, serta 15,33% karena sudah warisan dari nenek moyang. Semuanya ini saling mendorog dan bahu membahu di dalam kehidupan mereka untuk memilih usaha IKK sebagai alternatif yang terbaik. Jika dicermati lebih dalam lagi, nampaknya hasil produksi IKK ini telah mengalami peningkatan yang berarti, karena permintaan pasar terhadap produk tersebut juga meningkat. Peningkatan yang terbaik dan mencapai puncaknya ketika di tahun 1995, sedangkan pada saat ini (setelah terjadinya gempa bumi Yogja-Jateng 27 Mei 2006) nampaknya cenderung menurun. Kondisi penurunan ini karena dipengaruhi oleh krisis bahan baku yang kini semakin mahal sedangkan kenaikan dari hasil produksi lebih kecil dari kenaikan bahan baku. Padahal untuk menaikan harga produk dapat dikuatirkan justru produk menjad tidak laku dan dapat berdampak

kepada kematian usaha ini. Ketika kondisi daya beli masyarakat sedang menurun seperti sekarang ini, maka kondisi ini berdampak semakin menurunnya pendapatan dan keuntungan perajin. Selain itu, turunnya pendapatan riil perajin ini juga disebabkan karena produk kerajinan hanya sebagai barang sekunder (bukan produk primer), sehingga sedikit saja naiknya harga produk akan berakibat barang menjadi kurang diminati pembeli. Padahal, jika harganya tidak dinaikan, mereka dapat rugi karena naiknya harga bahan baku seperti bambu, kayu, tali, warna, paku dan transpotasi yang sudah naik lebih dahulu dan dengan kenaikan yang lebih tinggi. Akibat selanjutnya, secara riil dapat dilihat jika kondisi ekonomi itu berlangsung lama, maka lambat laun akan semakin memperburuk kondisi IKK di desa miskin yang saat ini masih sedang mengalami kesulitan. Sesuai dengan metode penelitian yang mengikutkan rakyat miskin (perajin kecil) terlibat dalam mengumpulkan data, maka upaya untuk memberdayakan masyarakat ini lebih mengacu kepada pendekatan model empowerment dari Schumacher. Versi Schumacher menekankan tidak perlu menghilangkan ketimpangan struktural yang ada di dalam masyarakat, karena yang paling tepat “memberikan kail daripada ikan”. Karena, jika struktur masyarakat desa miskin dirubah terlebih dahulu, justru akan menambah masalah baru yang lebih rumit dan dapat mempersulit upaya pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, lebih tepat memberikan kail dan kesempatan untuk mengail kepada perajin. Untuk melihat kemampuan dan potensi serta kelemahan dalam usaha IKK di desa miskin agar lebih mudah diberdayakan digunakan alat bantu SWOT (Strength Weaknesses Opportunities and Threats). Analisis penggunaan SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) ini dititikbertkan kepada seluruh kondisi dan potensi yang ada di desa miskin dan khususnya terhadap keberadaan IKK bambu dan kayu yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. Kemudian, agar mudah dibaca maka analisis selengkapnya dapat dilihat pada tabel1 di bawah ini.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

77

Tabel 1. Analisis Kekuatan dan Kelemahan Keberadaan IKK di Daerah Penelitian Faktor-2

Kekuatan

Kelemahan

1. Sumber Daya: a. Manusia

ƒ Motivasi tetap berusaha yang kuat paling tidak untuk tetap dapat mempertahankan usahanya di saat krisis ekonomi seperti saat ini merupakan modal utama.

b. Ekonomi

ƒ Sumplai tenaga kerja yang berlimpah ƒ Mengandalkan sumber-sumber keuangan informal yang mudah diperoleh.

ƒ Mengisi segmen pasar bawah yang tinggi permintaan karena segmen pasar atas telah dipegang/dikuasai pedagang. c. Informasi

ƒ Interaksi yang terjadi antar dan inter

ƒ Dana IDT dan pinjaman dari pihak informal yang masuk baru sedikit dapat membantu kelancaran usaha kerajinan

b. Pemasaran

usaha masih terbatas.

ƒ Proses belajar dari pengalaman (keberhasilan/ kegagalan) orang lain masih sangat minim.

ƒ nilai tambah yang diperoleh masih kecil karena hanya memegang segmentasi pasar bawah saja, “(residual demand)”.

ƒ Pengelolaan uang untuk konsumsi & produksi belum dipisahkan (one managemen)

ƒ Distribusi informasi kepada para perajin dan

kelompok-kelompok usaha yang ada (simpanpinjam, arisan, PKK, pokmas) merupakan ajang informasi yang efektif. 2. Program Intervens: a. Permodalan

ƒ Kemampuan melihat peluang pengembangan

ƒ Peluang membuka pasar masih besar dan dapat berkolaborasi

ƒ Pengelompokan (aglomerasi) di dalam batas-

usaha produktif lainya masih sangat terbatas pada kelompoknya masing-masing (baru secara kuantitatif)

ƒ Perbedaan kebutuhan modal menyebabkan upaya pengembangannya juga berbeda.

ƒ Kendala administrasi akuntansi uang ƒ Posisi tawar-menawar hasil kerajinan masih rendah dan cenderung menyudutkan perajin kecil sebagai produsen (terkoptasi), serta kuantitas produk masih dalam jumlah terbatas.

batas tertentu masih memberikan keuntungan melalui penekanan ongkos produksi, ƒ Meningkatnya persaingan hanya melalui meningkatkan akses sumberdaya berkelanjutan proses meniru model dan corak, sehingga akumulasi produk menjadi terbatas. c. Pelatihan

ƒ Dapat bermanfaat untuk meningkatkan jumlah ƒ Ketidakberlajutannya program, dan produksi para perajin bambu. pelatihan yang lama perlu persiapan besar & matang.

3. Kinerja: a. Padat karya

ƒ Mampu mengatasi masalah kesempatan kerja ƒ Cenderung eksploitatif terhadap tenaga kerja / penganguran dan kemiskinan

untuk mengejar pendapatannya.

b. Nilai Tambah ƒ Efisien menggunakan bahan baku, sehingga menekan ongkos c. Kelenturan dan Strategi usaha

ƒ Daya tahan hidupnya tetap tinggi terutama dalam situasi krisis ekonomi, serta dapat berkolaborsi bisnis untuk meningkatkan profit.

ƒ Proses akumulasi sulit terjadi karena nilai tambah yang diperoleh masih kecil

ƒ Spesialisasi dan akumulasi masih terbatas pada produksi untuk memenuhi pesanan pedang lokal, dan jumlah produk kurang fisibel.

Sumber: Data primer, 2006.

Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai sub faktor sisi kekuatan internal nampak lebih besar daripada nilai sub sisi faktor eksternal. Dalam faktor internal tersebut nampak bahwa nilai skor tertinggi yang menjadi kekuatan usaha IKK ini 78

adalah faktor marketing dan produksi yang masingmasing memiliki nilai sub skor 1.55 dan 0.80. Sedangkan, nilai faktor internal dari sub faktor sisi kelemahan adalah sub faktor financial dan marketing, yang memiliki skor 0.80 dan 0.75. Artinya, strategi

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

pemberdayaan dari faktor internal yang paling pertama dan utama harus diupayakan terlebih dahulu adalah meningkatkan dan mengembangkan kapasitas produksi dan marketing, baru diikuti faktor lainnya. Logika rasionalnya adalah, sekalipun faktor financial melalui modal usaha ditambah besar, sehingga proses produksi lancar dan produk melimpah tetapi, jika pemasarannya kurang baik dan produk tidak dapat terjual, akibatnya industri kecil tersebut akan bangkrut dan bisa jadi mati karena rugi terus-menerus. Dengan asumsi IKK tersebut tetap ramah lingkungan, dan jika dengan semakin baiknya

peluang pemasaran hasil produksi, maka industri tersebut akan terus tumbuh dan berkembang semakin maju dan mandiri di masa yang akan datang. Dengan semakin maju dan berkembangnya usaha IKK ini secara lebih mandiri dan tangguh, serta pelaksanaannya sederhana dan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat, maka diharapkan usaha IKK ini ke depan akan lebih mampu untuk ikut mengentaskan masalah kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Inilah harapan yang diinginkan dalam bentuk model dasar (proto-type) sebagai upaya untuk pengentasan kemiskinan dalam artikel ini.

Tabel 2. Hasil Analisis SWOT Kuantitatif Keterangan

Weighted

Ranting

Sub Score

Total Score

A. Faktor Eksternal: Opportunitie: a. Ekonomi b. Teknologi c. Sosial-budaya d. Politik Treaths: a. b. c. d.

Ekonomi Teknologi Sosial-budaya Politik

Total Eksternal

2.45 :

0.50 : 0.20

6

1.20

0.10

4

0.60

0.15

5

0.50

0.05

3

0.15

0.50 :

1.80 :

0.15

5

0.75

0.05

3

0.15

0.15

2

0.30

0.15

4

0.60

1.00

4.30

B. Faktor Internal: Strength: a. Marketing b. Financial c. SDM d. Produksi Weakness: a. Marketing b. Financial c. SDM d. Produksi

Total Faktor Internal

3.15 :

0.50 : 0.25

6

1.50

0.05

7

0.35

0.10

5

0.50

0.10

8

0.80

0.50 :

1.95 :

0.15

5

0.75

0.20

4

0.80

0.05

2

0.10

0.10

3

0.30

1.00

5.10

Sumber: Data primer (diolah) JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

79

Selanjutnya, jika kondisi di atas saling dikaitkan satu sama lain dalam pola hubungan sebab akibat, maka munculah wajah ketidakberdayaan dan kemiskinan yang terjadi di daerah penelitian. Ketidakberdayaan ini dapat berbentuk rendahnya pendapatan atau keuntungan perajin, sehingga tidak nampak adanya keterlibatan kelompok miskin dalam suatu proses penyelenggaraan sistem ekonomi daerah maupun nasional, atau rendahnya partisipasi dalam proses pembangunan berkelanjutan. Kondisi kausalitas ini, jika ditelusuri akar penyebabnya adalah karena masih sangat kecilnya distribusi Jumlah Uang Beredar (JUB) di dalam masyarakat pedesaan itu sendiri dibanding daerah lain yang lebih maju. Dengan demikian, salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan cara empowerment (memberikan kekuatan dan meningkatkan kemampuan SDM masyarakat para perajin dan petani miskin yang ada pada daerah itu sendiri agar dapat berswadaya mandiri). Tindakanya secara nyata dapat dilakukan dengan cara pemberian bantuan modal kerja, dan kerja sama atau kolaborasi produk dan pemasaran (aliansi strategis yang saling menguntungkan dengan industri kecil sejenis, menengah atau besar). Selain itu, bantuan teknologi yang disertai dengan bimbingan terhadap SDM masih sangat diperlukan, karena mengingat tingkat pendidikan sebagian besar perajin masih rendah. Persoalanya, bantuan faktor internal apa yang harus diberikan agar bantuan tersebut dapat bermanfaat? Secara kausalitas nampaknya adalah berbentuk penambahan distribusi JUB yang dapat berupa bantuan modal kerja dalam bentuk pinjaman modal uang (kredit) lunak dan peningkatan manajerial SDM perajin sebagai langkah awal pengembangan dalam usahanya.

Ln Q =

α0

+ β1 Ln X1 +

Berdasarkan analisis SWOT, faktor internal dalam IKK ini sangat urgen untuk lebih diperhatikan dan diberdayakan terlebih dahulu baru didukung strategi pemberdayaan dari faktor ekstenal seperti; kebijakan pemerintah, sosial, dan politik. Hasil penelitian menunjukkan faktor total internal dari kekuatan dan kelemhan (strength and weakness) lebih tinggi yakni sebesar skor 5.10 daripada pengaruh faktor eksternal yakni peluang dan ancaman (opportunity and treaths) yang hanya mencapai nilai skor sebesar 4.25. Artinya, strategi usaha dengan cara memupuk kekuatan usaha yang disertai dengan berupaya mengurangi kelemahan dan keterbatasanya adalah lebih urgen dan tepat daripada upaya strategi yang lain. Secara teori maupun empiris banyak faktor yang mempengaruhi produksi IKK. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, beberapa faktor yang dominan mempengaruhi pengembangan produksi IKKB adalah; besar kecilnya tenaga kerja (X1), tingkat keahlian pengusaha (X2), besarnya modal usaha yang digunakan (X3), tingkat manajemen usaha (X4) dan faktor pemasaran hasil produksi (X5). Berdasarkan model analisis terpilih yang digariskan dalam metode penelitian di depan yakni model regresi berganda double log linear dengan bentuk model persamaan: Ln Q = α0 + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + β5 Ln X5 + ε2. Dengan demikian beberapa faktor yang dianggap banyak mempengaruhi peningkatan produksi IKKB di daerah penelitian dapat diketahui sebagai berikut (lihat gambar 2). Hasil penelitian di bawah menunjukkan bahwa dengan asumsi ceteris paribus, besarnya pengaruh faktor yang paling dominan mempengaruhi pengembangan tingkat produksi kerajinan adalah

β2 Ln X2 +

β3 Ln X3 +

β4 Ln X4 + β5 Ln X5 + ε2.

LnQ = -5.1470 + 0.0465LnX1 + 0.4147LnX2 + 0.2292LnX3 + 0.1390LnX4 + 0.2517LnX5 Std. Error T-Statistik R Squared F-Statistik

= = = 0.9741 = 745.751

(0.0160) (0.0423) 2.911 9.799 2 R Adjusted = 0.9754 D.W., Test = 1.8511

(0.0547) (0.0295) 4.189 4.713 R Multiple = 0.9876 Responden = 100

Gambar 2. Hasil Penelitian

80

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

(0.0436) 5.772

disubangkan dari faktor tingkat keahlian (Skill) yakni secara signifikan menyumbang sebesar 41,47% dan urutan terbesar kedua disumbangkan dari faktor pemasaran yang secara signifikan sebesar 25,17%. Sumbangan terbesar besar ketiga baru diberikan dari faktor modal usaha yakni sebesar 22,92 persen. Artinya bahwa dalam usaha ini modal sekalipun bukan merupakan faktor dominan pertama masih tetap sebagai faktor penyumbang yang cukup dominan setelah sumbangan dari kedua faktor dasar utama yakni; faktor skill dan faktor pemasaran. Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan model SWOT di atas, bahwa faktor utama dan pertama yang harus dikembangkan terlebih dahulu agar tingkat produksi dapat meningkat adalah faktor pemasaran. Jika faktor pemasaran meningkat, maka keberadaan IKK di daerah miskin ini akan mampu berkembang mandiri seperti yang diharapkan. Artinya keberdaan usaha ini dapat sebagai salah satu strategi alternatif yang produktif, sederhana, dan mampu dilakukan sendiri oleh warga miskin untuk mengentaskan dirinya dari masalah kemiskinan dan pengangguran. Namun demikian, secara simultan tidaklah mudah untuk dapat meningkatkan masalah pemasaran dari hasil produksi ini, karena masih mendapatkan tantangan dari faktor-faktor lain. Hasil penelitian tingkat korelasi parsial antara tingkat produksi (Q) dengan faktor independen (X) yakni; masing-masing dengan faktor tenaga kerja (X1) sebesar 81,34 persen, faktor skill (X2) 95,53 persen, faktor modal usaha (X3) 90,96 persen, faktor manajemen usaha (X4) 89,60 persen, dan dengan faktor pemasaran (X5) sebesar 95,27 persen. Dengan demikian, besarnya tingkat hubungan antara faktor-faktor tersebut secara parsial dapat dikatakan sangat erat sekali, sehingga naik turunya tingkat produksi untuk pengentasan kemiskinan secara parsial maupun simultan sangat tergantung pada kondisi masing-masing faktor tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Alasan mendasar yang melatarbelakangi tetap dapat berlangsungnya usaha kerajinan di daerah sampel adalah selain sebagai usaha warisan nenek moyang mereka, juga secara ekonomi keberadaan usaha ini telah banyak memberikan keuntungan yang sangat berarti dalam peneningkatan pendapatan mereka selain bertani. Hasil penelitian menegaskan bahwa usaha ini telah lama menjadi matapencaharian pokok utama di desa penelitian ini selain bertani karena bagi mereka sudah tidak ada alternatif pekerjan yang lebih baik lainnya serta sesuai dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki. 2) Faktor-faktor yang dominan berpengaruh terhadap peningkatan produksi IKK adalah faktor tenaga kerja, tingkat keahlian (skill), modal usaha, manajemen usaha dan faktor pemasaran. Faktor yang paling dominan pertama terhadap peningkatan produksi kerajinan adalah faktor tingkat keahlian atau skill dan pemasaran. Faktor modal usaha dalam IKK ini sekalipun bukan sebagai faktor dominan yang pertama, tetapi faktor modal merupakan faktor dominan yang utama untuk dapat mempengaruhi perkembangan tingkat produksi kerajinan selain faktor keahlian (skiil) dan faktor pemsaran. 3) Keberadaan IKK di desa sampel penelitian ini sangat bermanfaat sekali bagi masayarakat, terutama dalam membantu program pengentasan kemiskinan di wilayah tersebut. Hasil penelitian menegaskan bahwa ada kenaikan tingkat kesejahteraan yang signifikan pada kelompok masyarakat setelah menekuni usaha IKK ini sebagai mata pencaharian pokok mereka selain bertani. Kenaikan tingkat kesejahteraan ini nampak lebih riil dan berarti lagi jika dilihat pada kelompok perajin yang semula dari sebagai pedagang dan petani buruh. 4) Hasil penelitian merekomendasikan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang sifatnya lebih luas dan lebih komprehensif, terutama terhadap beberapa hambatan pokok dan sekaligus peluang dalam upaya meningkatkan produksi, pendapatan dan keuntungan bagi para perajin ekonomi lemah atau miskin di pedesaan atau daerah lain, sehingga keberadaan UMKM termasuk IKK lainnya dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan masyarakat sekitarnya.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

81

Saran

Bantuan modal usaha untuk pengembangan produksi pada berbagai usaha IKK yang kecil ini masih perlu dan mutlak diberikan, tetapi bantuan cara memasarkan hasil produksi lebih mutlak diberikan. Bantuan dalam bidang pemasaran dapat diberikan melalui keikutsertaan mereka dalam berbagai iven pameran untuk mengenalkan produk kepada para buyer asing atau pembeli dari luar daerah secara langsung. Jika bantuan diberikan melalui bantuan modal usaha (kredit) yang diberikan, maka bantuan kredit sebaiknya yang lebih bersifat lunak dan tetap berprinsip “berikan kailnya daripada umpan”. DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, dan Djoko, 2002, “Koperasi, Kewirausahan dan Usaha Kecil”, Jakarta: Rineka Cipta. Beattie Bruce R., and Taylor C.R., 1996, “The Economics of Production”, Montana State University, John Wiley & Sons, Inc. Berg, Gerry C., 2003, “Markets, Competition, and Industrial Analysis; Modern Views in A New Economy”, Journal in download, http://www. aercafrica.org. Brata, GA, 2003, “Distribusi Spasial UKM di Masa Krisis Ekonomi”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II, No. 8. November Budiantoro, Setyo, 2003, “RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan dari Masyarakat”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II, No. 8, November. Fadjri, Papan Ahmad, 2002, “Pemikiran Dasar Pengentasan Kemiskinan dalam Era Otonomi Daerah,” Warta Demografi, No. 1

82

Gujarati, Darmodar, 2003, “Basic Econometric”, Fourth Edition, Mc Graw-Hill, Inc. Jaya, Wihana K., 2001, “Ekonomi Industri; Konsep Dasar, Strukur, Perilaku dan Kinerja Pasar, Edisi 2, Yogyakarta: BPFE Krisnamurti, Bayu, 2003, “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah: Ekonomi Rakyat dengan Cara Berekonomi Sendiri, Bogor: Pusat Studi Pembangunan, IPB. Kuncoro, M., 2003, “Usaha Kecil di Indonesia”, Jurnal Ekonomi & Kewirausahaan, Vol II, No. 1 Jan, Bandung: ISEI Pardede, F.R., 2000, “Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil” dalam Setiana, 2003, Free Download, http:www.paramartha.org. Prasetyo, P. Eko, 2008, “Peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Mendukung Program Penanggulangan Kemiskinan”, Jurnal Akmenika, FE-UPY, Vol. 1. Sosrodiharjo, Soedjito, 1995 “Penyusunan Disain Penelitian”, Makalah Penataran Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Kopertis V. Sumodiningrat, G., 2002, “Menanggulangi Kemiskinan Dengan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, Makalah Sarasehan, 5-6 Juli 2002, di UST, Yogyakarta. Sumodiningrat, Gunawan, 2003, “Peranan Lembaga Keuangan Mirko dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Otonomi Daerah”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II, No. 1, Maret. Tambunan, Tulus, 2002, “Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting”, Jakarta: Salemba Empat.

Pengembangan Produksi Kerajinan . . . (Maisaroh: 70 - 82)

INDEK

Banking crisis (krisis perbankan): 50, 51, 53, 55, 58, 59, 60

Log-linear model (model log-linier): 41, 42, 45, 46, 47, 48

Brain drain (migrasi intelektual): 29, 30 capital factor (faktor modal): 22, 70, 81

Macro economic indicator (indikator ekonomi makro): 3, 24, 50, 70

Economic base (basis ekonomi): 1, 3, 33

Marketing factor (faktor pemasaran): 70, 73, 81

Economic growth (Pertumbuhan ekonomi): 1, 2, 3, 9, 10, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 32, 33, 36, 50, 59, 60, 63, 72

Policy Strategic: 9

Empirical model (model empiris): 41, 48, 58, 59, 60

EWS-logit model: 50, 55, 56, 57, 58, 59

Private invesment (investasi swasta): 32, 33, 36, 37, 38, 39, 40

Fiscal capacity (kapasitas fiskal): 63, 64, 65, 66, 67, 68

Quality of growth (kualitas pertumbuhan): 18, 23, 31, 20, 26, 28, 29, 30, 31

Fiscal policy (kebijakan fiskal): 40, 63, 65, 67, 68, 69

Rate of interest (suku bunga): 32, 33, 34, 36, 38, 39, 40, 42, 43, 53, 55, 56

Government expenditure and inflation (inflasi dan pengeluaran pemerintah): 32, 33, 39, 40

Poverty (kemiskinan): 63, 64, 65, 67, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82

Skill (keahlian): 70, 73, 77, 80, 81

Gross Regional Domestic Product (GRDP) (Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)): 1, 2, 3, 4, 9, 13, 14, 63, 65, 67, 68

small craftsment (industri kecil kerajinan): 70, 72, 76

Human capital (modal manusia): 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 30, 31

Virtuous circle (proses menuju kebaikan/kemajuan): 18, 22, 23

Linear model (model linier): 41, 42, 44, 45, 46, 47

Vicious circle (lingkaran setan): 22, 23

Technology (teknologi): Traffic jam (kemacetan lalu lintas): 9, 12, 14

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

UCAPAT TERIMA KASIH Pada kesempatan nomer terbitan perdana ini, Redaksi Jejak Mengucapkan Terima Kasih kepada berbagai pihak terutama kepada para mitra bestari yang telah membantu mengoreksi naskah ini sebelum diterbitkan yakni: 1. Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro, M.Soc. (Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta) 2. Prof. Dr. Tulus Haryono, MS. (Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta) 3. Dr. R. Maryatmo, MA. (Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta) 4. Dr. Trenggonowati, MM. (Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Agung, Semarang) 5. Dr. Azwardi, M.Si. (Fakultas Ekonomi Universitas Palembang)

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

PEDOMAN RINGKAS PENULISAN ARTIKEL JEJAK JEP FE UNNES

A. Ketentuan Umum:

1. Artikel lebih diutamakan hasil penelitian, dan kajian empiris atau hasil pemikiran konseptual dan kajian teoritis dalam bidang ekonomi yang belum pernah dimuat dan tidak sedang dikirim ke terbitan/jurnal lain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku atau bahasa Inggris yang baik. Diketik 1 spasi untuk abstrak serta 1,5 spasi untuk isi dengan font Arial 11 dan menggunakan ukuran kertas UNESCO A4, 210 x 297 mm sebanyak 15-20 halaman. 3. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon. 4. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa: a. Diterima tanpa perbaikan b. Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi c. Diterima dengan perbaikan dari penulis d. Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat 5. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. B. Ketentuan Khusus: 1. Sistematika Artikel

a.

Sistematika penulisan di JEJAK harus lengkap dan bersistem baik yang mengikuti kaedah-kaedah selingkung dan ciri berkala ilmiah sebagai berikut: 1). Sistematika artikel hasil penelitian: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata berisi tujuan, metode dan hasil penelitian); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, pokok masalah serta tujuan penelitian; landasan teori yang berisi penelitian sebelumnya dan landasan teori yang digunakan; metode penelitian; hasil dan pembahasan; simpulan dan saran; serta daftar pustaka. 2). Sistematika artikel hasil pemikiran konseptual: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan berisi latar belakang dan ruang lingkup tulisan; pembahasan berisi bahasan utama yang dapat dibagi ke dalam sub-bagian; penutup; serta daftar pustaka.

b. Penulis artikel pada JEJAK JEP FE UNNES dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer yang dilengkapi seperti; gambar, foto, tabel, grafik, model dan sebagainya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya. c.

Gaya selingkung berkala sistem pengacuan pustaka harus baku dan ditulis secara konsisten diurutkan menurut alfabetis (nama, tahun, urut abjad) mengikuti sistem Harvard. 1) Untuk buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul Buku, Edisi, Kota penerbit: Nama penerbit. JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

2) Untuk jurnal/majalah/terbitan berkala ditulis dengan urutan: Nama penulis, Tahun, Judul tulisan, Nama jurnal/majalah, Vol., No., Hal., Kota penerbit: Nama penerbit. 3) Untuk tulisan/karangan yang merupakan bagian dari buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul tulisan/karangan, dalam (atau in) nama Editor (Ed), Judul buku, Hal. (pp.), Kota penerbit, Nama penerbit. 4) Untuk rujukan dari internet, tanggal akses atau tanggal down load harus dicantumkan. 5) Untuk rujukan dari koran ditulis dengan urutan: Nama penulis, (anonim, jika tidak ada pengarangnya), Tahun, bulan, tanggal, Judul tulisan, Nama koran, Nomor halaman, (kolom). 2. Isi dan Aspirasi Wawasan

a.

Aspirasi wawasan penulisan artikel di JEJAK minimal berwawasan nasional atau regional serta lebih diharapkan mampu berwawasan internasional, sehingga sumbangan berkala artikel dalam JEJAK untuk kemajuan IPTEK adalah sangat tinggi. Artinya, sekalipun kajian isi artikel sifatnya tetap sangat spesifik dari suatu disiplin ilmu JEJAK, tetapi jangkauan wawasan artikel yang ditulis dengan bahasa baku yang baik dan lebih bersifat keuniversalan akan lebih dipentingkan dibandingkan dengan kenasionalan apalagi kelokalan.

b.

Sumbangan berkala pada IPTEK yang dimaksud diukur dari derajat keorisinalan dan makna kontribusi ilmiah temuan/gagasan/hasil pemikiran dalam tulisan yang dimuatnya harus tetap sesuai dengan bidang disiplin Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan JEJAK.

c. Bobot isi kemutakhiran bahan yang diacu dan ketajaman analisis serta sinteksis yang dilakukan secara kritis serta peranannya dapat berfungsi sebagai pemacu kegiatan penelitian berikutnya sangat diutamakan. Karena itu, penarikan kesimpulan yang mampu mencetuskan teori baru atau metode/model ilmiah baru yang dituangkan secara mapan dan lebih bermakna ilmiah akan lebih diutamakan daripada kesimpulan dangkal dan saran bahwa penelitiannya perlu dilanjutkan. 3. Format Artikel JUDUL Judul artikel harus ditulis spesifik dan efektif, tidak boleh disingkat dan tidak lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, sehingga sekali dibaca dapat ditangkap maksudnya secara komprehnsif. Keefektifan judul harus bersifat baku dan lugas. Nama Penulis Nama penulis artikel ditulis baku dan lengkap tanpa gelar akademis, dan di bawah nama penulis disertai alamat lembaga dan alamat e-mail. ABSTRAK Abstrak ditulis secara gamblang, utuh dan lengkap mengambarkan esensi keseluruhan tulisan, dan abstrak bukan ringkasan. Isi abstrak maksimal 200 kata yang meliputi tujuan penelitian atau penulisan artikel, metode yang digunakan, hasil atau kesimpulan. Jika artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, jika artikel ditulis dalam bahasa inggris, maka abstrak tetap dalam bahasa inggris saja.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

Kata Kunci Di bawah abstrak disertai kata kunci. Kata kunci ini harus dipilih secara cermat, sehingga mencerminkan konsep yang dikandung artikel terkait, dan merupakan kelengkapan artikel ilmiah untuk membantu keteraksesan artikel yang bersangkutan. PENDAHULUAN Tidak hanya berisi latar belakang masalah pentingnya penelitian tersebut dilakukan, tetapi juga berisi pokok masalah, serta tujuan penelitian dan sintesa dari artikel yang ditulis oleh penulis. LANDASAN TEORI Berisi penelitian sebelumnya yang mendukung penguatan pentingnya penelitian atau artikel tersebut perlu dilakukan dan landasan teori yang benar-benar digunakan dalam artikel tersebut, serta hipotesis penelitian jika ada. METODE PENELITIAN Menguraikan desain riset atau tata cara penelitian secara rinci (metode, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan model analisis data serta cara penafsiran atau cara interprestasi hasil penelitian) HASIL DAN PEMBAHASAN Berisi hasil penelitian yang sewajarnya dan dianggap paling menonjol yang disusun secara sistematis, informatif dan kritis serta ditulis dalam bentuk bahasa yang baku (baik dan benar). Hasil pengolahan data yang disajikan harus selektif dan mampu menggunakan fasilitas penjelas secara informatif dan kritis sehingga tidak memberikan informasi yang berulang. Ingat semua penulis artikel Jejak dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer sementara; gambar, foto, tabel, grafik, model dan sebagainya bukanlah hasil pokok tetapi, hanya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya yang kritis dan argumentatif. Pembahasan hasil merupakan analisis atau argumentasi kritis mengenai relevansi hasil dengan teori dan fakta empiris, manfaat serta kemungkinan pengembangan yang lebih bermakna ilmiah dan univesal. Artinya, kepioniran isi artikel ditentukan oleh kemutakhiran state-of-the-art IPTEK yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan ketepatan pendekatan yang digunakan serta kebaruan temuan bagi pengembangan ilmu. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan harus dapat dirumuskan dengan tajam, tegas, cermat, singkat dan jelas serta berdasarkan fakta temuan empiris dalam penelitian atau hasil pemikiran kritis yang mampu memacu penelitian berikutnya. Saran atau rekomendasi jika ada harus tegas, dan jelas serta bersifat operasional dan tetap harus terkait dengan hasil penelitian ilmiah yang ditemukan. DAFTAR PUSTAKA Berisi daftar bacaan yang aktual dan hanya berisi sumber acuan yang digunakan saja serta harus mengikuti sistematika seperti yang telah dijelaskan di atas. Daftar rujukan bacaan diharapkan 85% dari referensi buku atau jurnal-jurnal ilmiah terbaru maksimal terbitan 10 tahun terakhir. Semakin tinggi pustaka primer yang diacu akan semakin baik dan makin bermutu artikel tersebut, tetapi semakin sering penulis mengacu pada diri sendiri (self citation) akan dapat mengurangi prioritas penilaian berkala dan penolakan dimuatnya artikel.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008

DESAIN SISTEM PENGELOLAAN ATIKEL JEJAK DI JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNNES ISSN 1979-715X PENULIS ARTIKEL

PENYUNTING PELAKSANA

PENYUNTING AHLI

PERCETAKAN/ DISTRIBUSI

Penyampaian Naskah

Naskah Diterima

Pemeriksaan Isi/Materi

Cetak Jurnal

Pemeriksaan Teknis

Naskah

Distribusi Jurnal Tidak

Laik

Ya Tidak

Editing/ Sunting

Laik Ya

Desain/Setting Pracetak

Master Jurnal

Ketentuan Umum:

6. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon. Pengiriman artikel juga dapat melalui email: [email protected] atau jejak_feunnes.yahoo.com 7. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa: a). Diterima tanpa perbaikan b). Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi c). Diterima dengan perbaikan dari penulis d). Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat 8. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis dan redaksi tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang ditolak.

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008