JURNAL KEPENDIDIKAN - Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

14 downloads 6706 Views 298KB Size Report
dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis di Kelas ... JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel ..... Evaluasi berkesinambungan.
ISSN No. : 1412 – 2952 Tahun 2 Nomor 2 Juni 2006

JURNAL KEPENDIDIKAN

Joko Saryono

: Rintisan Sekolah Menengah Terpadu (Integrating Academic and Vocational Education)

Mohammad Harijanto

: Konstruksi Tes sebagai Alat Ukur Hasil Belajar di Sekolah Dasar

Sri Indriati Hasanah

: Pembelajaran Matematika Realistik untuk Materi Pokok Aritmetika Sosial di Kelas VII MTSN Pademawu Pamekasan

Sulistiyono

: Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis di Kelas Rendah Sekolah Dasar/MI

Rahmad

: Tes Kemampuan Berbahasa sebagai Alat Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Muh. Tauhed Supratman

: Perkembangan Sastra Madura Modern Memprihatinkan

1

SUSUNAN PENYUNTING JURNAL INTERAKSI Penanggung Jawab Dra. Sri harini (Dekan FKIP)

Ketua Penyunting Drs. Moh. Harijanto, M.Pd.

Wakil Ketua Penyunting Rahmad, S.Pd.

Penyunting Pelaksana Dra. Yanti Linarsih Moh. Romly, M.Pd. Dra. Sri Widjajanti Halifaturrahman, S.Pd. Drs. Zainal Arifin

Penyunting Ahli Drs. H. kutwa, M.Pd. Drs. Abd. Roziq

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Pamekasan, Telp. (0324) 322231, 325786. Fax. (0324) 32418, E-mail:[email protected]

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman.

Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan 2

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI

Tahun 2 Nomor 2 Juni 2006

Rintisan Sekolah Menengah Terpadu (Integrating Academic and Vocational Education) Oleh: Dr. Joko Saryono, M.Pd.

4

Konstruksi Tes sebagai Alat Ukur Hasil Belajar di Sekolah Dasar Oleh: Drs. Mohammad Harijanto, M.Pd.

17

Pembelajaran Matematika Realistik untuk Materi Pokok Aritmetika Sosial di Kelas VII MTSN Pademawu Pamekasan Oleh: Sri Indriati Hasanah

23

Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis di Kelas Rendah Sekolah Dasar/MI Oleh:Drs. H. Sulistiyono, M.Pd

35

Tes Kemampuan Berbahasa sebagai Alat Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Oleh : Rahmad, S.Pd.

45

Perkembangan Sastra Madura Modern Memprihatinkan Oleh: Muhammad Tauhed Supratman

52

JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman. 3

RINTISAN SEKOLAH MENENGAH TERPADU (Integrating Academic and Vocational Education) Oleh: Dr. Joko Saryono, M.Pd. *)

Abstrak

Ide Sekolah Menengah Terpadu muncul dilatarbelakangi adanya (1) kesenjangan layanan pendidikan, (2) tuntutan abad baru, (3) tuntutan adanya perubahan, dan (4) kecenderungan evolusi pengetahuan. Secara teoritis ide tersebut dilandasi oleh paradigma konstruktivisme, experience learning, generative learning, dan activity learning. Paradigma dan perspektif SM Terpadu jelas memperluas konsepsi, fungsi, dan peranan pendidikan sekolah dari reproduksi ilmu menjadi lembaga pendidikan kecakapan hidup. Inti konsep terpadu adalah memadukan kurikulum dan praktik pembelajaran dari pendidikan akademik dan vokasional ke dalam satu program dengan tujuan (1) teratasinya kesenjangan layanan pendidikan, (2) terbetuknya sistem dan model SM Terpadu yang potensial meningkatkan keterwacaan (“literacy”) akademik dan teknologi bagi lulusan sekolah menengah, dan (3) teraktualisasikan dan tertransformasikannya potensi dan keterampilan yang dimiliki oleh sumberdaya manusia di daerah yang berusia produktif menjadi kecakapan hidup (life skills) yang relevan dan cocok dengan dinamika pekerjaan, perubahan struktur ketenagakerjaan, dan perubahan sosial ekonomis serta kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor sosial ekonomis yang sedang berkembang. Kata Kunci: Sekolah Menengah Terpadu, pendidikan, dan kecakapan hidup

I. LATAR BELAKANG 1. Kesenjangan Layanan Pendidikan Program sekolah menengah umum dan vokasional selama ini tumbuh dengan jalur yang terpisah. UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga masih mengatur keterpisahan program layanan pendidikan menengah ini ke dalam format kelembagaan pendidikan umum, kejuruan, vokasi, dan profesi. Dalam hal ini, pendidikan kejuruan dan vokasi serta profesi seringkali disebut juga dengan satu istilah: pendidikan vokasional, sedangkan pendidikan umum seringkali disebut dengan pendidikan akademik. Pendidikan guru

untuk pendidikan kejuruan dan pendidikan umum juga dilakukan dalam jalur yang terpisah pula. Dengan dua jalur pendidikan persekolahan ini kebutuhan masyarakat akan pendidikan dipenuhi. Masyarakat yang menginginkan segera memasuki dunia kerja selepas lulus sekolah disediakan jalur pendidikan kejuruan (atau vokasional), sedangkan masyarakat yang menginginkan masuk ke universitas disediakan jalur pendidikan umum (akademik). Oleh karena itu, idealnya di setiap daerah terdapat dua jenis layanan pendidikan tersebut. Akan tetapi, karena kondisi geografis Indonesia yang luas dan berpulau-pulau, di beberapa daerah terjadi kesenjangan layanan pendidikan. 4

Sekolah menengah kejuruan (SMK) tidak selalu terdapat di setiap kabupaten/kota, demikian juga sekolah menengah umum tingkat atas yang kemudian disebut sekolah menengah atas (SMA) tidak selalu ada di setiap kabupaten/kota atau satuan wilayah tertentu. Di banyak kabupaten hanya terdapat SMA, dan di banyak kabupaten yang lain hanya terdapat SMK. Masyarakat harus pergi jauh dari tempat tinggalnya untuk mendapatkan sekolah yang diinginkan. Untuk mengatasi kesenjangan layanan pendidikan di daerah-daerah seperti ini diperlukan pengembangan model layanan pendidikan alternatif dengan bertumpu pada kemampuan daya dukung sumber dan lingkungan yang ada. Pengembangan sekolah menengah terpadu pada SMK atau SMA, untuk memberikan layanan pendidikan kejuruan maupun akademik secara terpadu adalah alternatif yang potensial untuk mengatasi kesenjangan ini. Selain faktor geografis, pendidikan di Indonesia juga memendam masalah arus lulusan sekolah. Data Balitbang Diknas tahun 2001/2002 menunjukkan bahwa 22% dari 2,3 juta lulusan SLTP (SMP) tidak melanjutkan, dan sebanyak 51% dari 1,5 juta lulusan SLTA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka ini harus menjejakkan kaki ke dunia kerja. Tamatan SMA, selain disiapkan untuk melajutkan ke perguruan tinggi, diharapkan juga memiliki kecakapan vokasional sebagai bekal memasuki dunia kerja/berwirausaha. Tamatan SMK, selain disiapkan untuk memasuki dunia kerja, diharapkan juga memiliki peluang memasuki jenjang pendidikan tinggi. SM Terpadu merupakan alternatif layanan pendidikan yang fleksibel untuk dua peluang itu sekaligus. 2. Tuntutan Abad Baru Lebih penting dari sekedar karena kesenjangan layanan pendidikan,

belakangan di beberapa negara, pemisahan jalur pendidikan yang terlalu strict ini menuai kritik dengan beberapa alasan. Salah satu alasan yang mengemuka adalah tumbuhnya kesadaran bahwa jenis-jenis pekerjaan yang tumbuh di masa akan datang memerlukan keterampilan baru dan berbeda karakteristiknya. Lapangan kerja tidak hanya menuntut keterampilan khusus job tertentu, tetapi juga keterampilan transfer, dan keterampilan generik yang akan membantu tenaga kerja mendapatkan pendidikan lanjutan dan pelatihan di sepanjang karier mereka. Kita sedang memasuki abad baru. Selain berbagai masalah kekinian, sekolah-sekolah kita sedang dihadapkan pada tuntutan hidup dan kehidupan masa depan yang makin kompleks. Dalam abad pengetahuan segala sesuatu lebih bertumpu atau berbasis pengetahuan, tanpa tumpuan atau basis pengetahuan sesuatu akan tergeser, terpinggirkan, bahkan tergusur. Dengan jelas dapat disaksikan beberapa gejalanya: perekonomian bertumpu pengetahuan (knowledge-based economy), teknologi bertumpu pengetahuan, pekerjaan bertumpu pengetahuan (termasuk pekerja berpengetahuan), dan kegiatan-kegiatan lain juga bertumpu pengetahuan (baca juga Dellors, dkk, 1999). Sekecil apapun satuan tugas atau pekerjaan, sekarang membutuhkan pengetahuan dan kemampuan berpikir. Di abad pengetahuan kita tak dapat hanya bertumpu pada kecakapan spesifik semata, akan tetapi juga keterampilan generik (generic/soft skills). Integrasi pendidikan umum dan kejuruan atau akademik dan vokasional dalam satu institusi yang disebut SM Terpadu dapat dipandang sebagai bentuk responsi terhadap tuntutan abad baru, yakni Abad Pengetahuan. Model SM Terpadu seperti ini tidak hanya perlu dikembangkan di daerah-daerah yang mengalami kesenjangan layana

5

n pendidikan, akan tetapi juga perlu dikembangkan di daerah-daerah lain sebagai alternatif layanan pendidikan baru selain jalur-jalur pendidikan yang sudah ada. 3. Perspektif Perubahan Sosial Dalam perspektif ilmu sosial, eksistensi sebuah kelembagaan dibentuk dan dikukuhkan oleh tiga hal utama, yaitu formasi, struktur, dan konstruksi kelembagaan itu. Ketika kelembagaan itu berada dalam gejolak dan terpaan derasnya arus perubahan, dan mulai goyah kedudukannya, maka yang muncul kemudian adalah proses deformasi, destrukturisasi, dan dekonstruksi—suatu proses menuju ketidakberdayaan. Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan adalah upaya-upaya reformasi, restrukturisasi, dan rekonstruksi kelembagaan sosial itu. Sebagai institusi sosial, sekolah kita sedang mengalami deformasi, destrukturisasi, dan dekonstruksi. Di tengah derasnya arus perubahan, sekolah kita dikenal sebagai lembaga yang paling konservatif dan resisten terhadap perubahan itu sendiri, sehingga lembaga pendidikan tak lagi memimpin perubahan tetapi justru diperdaya oleh perubahan. SMK mengalami problem relevansi, demikian juga SMA tak optimal memenuhi hajatnya sebagai sekolah yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan high-based education. Oleh karena itu, sekarang saatnya dibutuhkan upaya-upaya reformasi, restrukturisasi dan rekonstruksi kelembagaan sekolah [baru]. Sekolah Menengah Terpadu (SM Terpadu) adalah merupakan salah satu bentuk responsi terhadap tuntutan reformasi, restruktrisasi, dan rekonstruksi institusional persekolahan kita. Berkaitan dengan gejolak perubahan di berbagai sektor kehidupan sekarang dan masa akan datang, maka pengembangan SM Terpadu selayaknya tidak hanya bertujuan

“memadamkan kebakaran” (berbagai masalah bangsa yang bersifat sementara, sporadik dan lokal), seperti kesenjangan layanan pendidikan atau banyaknya siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi, akan tetapi SM Terpadu merupakan bentuk respon dunia persekolahan terhadap kecenderungan perubahan global yang makin menuntut anak didik memiliki kecakapan hidup, tidak saja kecakapan spesifik tetapi juga generik seperti keterampilan transfer, keterampilan berpikir, kemampuan pemecahan masalah, dan keterampilan emploiabiliti. 4. Kecenderungan Evolusi Pengetahuan Karena adanya perubahan tuntutan kecakapan berbagai jenis pekerjaan baru, kini ada kecenderungan baru dalam evolusi pengetahuan yang makin konvergen. Berbagai jenis pekerjaan baru menuntut kecakapan multidisipliner, dan nyaris tidak ada lagi pekerjaan yang membutuhkan kecakapan spesifik semata-mata. Kecenderungan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang makin konvergen, berbagai cabang dan bidang ilmu berinteraksi dan berintegrasi dan melahirkan konvergensi-konvergensi pengetahuan dan teknologi baru. Ini artinya, rekonstruksi kurikulum dan pembelajaran yang terintegrasi menjadi tuntutan yang amat mendesak dan tak dapat ditolak lagi. Perspektif terintegrasi ini juga relevan atau sejalan dengan konsepsi tentang pendidikan kecakapan hidup. Jika kecakapan hidup dikonsepsikan sebagai kesatuan, kepaduan, kesenyawaan dari kecakapan akademik, kecakapan vokasional dan kecakapan generik, maka kurikulum dan pembelajarannya harus terintegrasi. Oleh karena itu, SM Terpadu merupakan wujud sekolah sebagai lembaga pendidikan kecakapan hidup yang paling aktual dan ideal. Dalam bentuk ungkapan singkat, sosok SM Terpadu bisa 6

diungkapkan demikian: “Tujuan akhir pendidikannya adalah mencetak pekerja cerdas dan cakap hidup, kurikulumnya berbasis kecakapan hidup, model pembelajarannya terpadu dan kontekstual, dan institusi pendidikannya SM Terpadu.” SM Terpadu merupakan institusi yang ideal dan realistis dalam merespon kecenderungan evolusi pengetahuan itu. 5. Landasan Teori Jika SM Terpadu dikonsepsikan sebagai integrasi pendidikan akademik dan voksional untuk mengembangkan segala aspek potensi diri siswa, maka teori-teori belajar moderen, seperti konstruktivisme, experience learning, generative learning, dan activity learning memberikan landasan yang kokoh SM Terpadu. Menurut banyak literatur, konstruktivisme adalah teori belajar yang bersandar pada ide bahwa siswa mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks pengalaman mereka sendiri (Murphy, 1997; Brook & Brook, 1993, 1999). Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kegiatan aktif siswa dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”), ketimbang pasif “menerima” pengetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar bukanlah murni fenomena stimulusrespon sebagaimana dikonsepsikan para behavioris, akan tetapi belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri sendiri (self-regulation) dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi (von Glaserfeld, dalam Murphy, 1997). Kegiatan nyata yang dilakukan dalam kerja proyek vokasional memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan mendekatkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam (Barron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998).

Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran akademik dan vokasional secara terpadu yang mendasarkan pada aktivitas dunia nyata, berpotensi memperluas dan memperdalam pengetahuan konseptual dan prosedural (Gagne, 1985), yang pada khasanah lain disebut juga knowing that dan knowing how (Wilson, 1995). “Knowing ‘that’ and ‘how’ is not sufficient without the disposition to ‘do’ “ demikian kata Kerka (1997). Perluasan dan pendalaman pemahaman pengetahuan tersebut dapat diamati dengan mengukur peningkatan kecakapan akademiknya. Pembelajaran terpadu juga merupakan pendekatan menciptakan lingkungan belajar yang realistik, dan berfokus pada belajar memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia nyata. Seperti dikatakan William James bahwa belajar yang paling baik adalah melalui aktivitas diri sendiri, pengalaman sensoris adalah dasar untuk belajar, dan belajar yang efektif adalah holistik, dan interdisipliner (dalam Moore, 1999). Ditegaskan oleh John Dewey bahwa pengalaman adalah elemen kunci dalam proses pembelajaran (Moore, 1999; Knoll, 2002). Dewey memandang belajar sebagai “process of making determinate the indeterminate experience”. Makna dari berbagai pengalaman adalah sebuah hubungan yang saling tergantung antara apa yang dibawa oleh pebelajar dalam situasi belajar dan apa yang terjadi di dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari pengalaman sebelumnya, pada pengalaman baru orang membangun pengetahuan baru (Billet, 1996). Bentuk-bentuk tugas kurikuler terpadu berupa kerja proyek yang mengintegrasikan aspek-aspek ketarampilan akademik dan vokasional dapat dipandang sebagai proses belajar memantapkan pengalaman yang belum mantap, memperluas pengetahuan yang belum luas, dan memperhalus pengetahuan

7

yang belum halus, sebagaimana juga dikatakan oleh Marzano (1992) bahwa belajar melalui pengalaman nyata (misalnya, investigasi dan pemecahan masalah-masalah nyata) dapat memperluas dan memperhalus pengetahuan. Oleh karena itu, sebagai upaya reformasi, restrukturisasi, dan rekonstruksi kelembagaan sekolah alternatif atau baru, posisinya jelas di antara sekolah-sekolah menengah yang sudah ada. Kehadirannya bisa menambah variasi layanan pendidikan kepada masyarakat.

dunia kerja, dan kehidupan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan SM Terpadu tak bisa hanya dilakukan dengan setengah hati. Pengembangan SM Terpadu menuntut komitmen dan kesetiaan para insan pendidikan, pakar pendidikan, tenaga kependidikan, birokrat pendidikan, dan semua stakeholder pendidikan untuk berpikir dan bekerja sama secermat dan setepat mungkin.

SM Terpadu jelas posisinya sebagai institusi baru. Paradigma dan perspektif SM Terpadu jelas memperluas konsepsi, fungsi, dan peranan pendidikan sekolah dari reproduksi ilmu menjadi lembaga pendidikan kecakapan hidup guna meningkatkan kebermaknaan dan kegunaan pendidikan bagi masyarakat, dunia kerja, dan kehidupan sehari-hari, selain guna menjawab dan mengantisipasi tuntutan, tantangan, dan kebutuhan masyarakat,

Inti konsep terpadu adalah memadukan kurikulum dan praktik pembelajaran dari pendidikan akademik dan vokasional ke dalam satu program. Konsep keterpaduan ini dapat direntang dari yang paling sederhana hingga yang benar-benar terpadu, dari yang hanya menempel (plug-in) hingga yang melebur. Konsep ini diilustrasikan pada gambar 1 berikut ini.

II. KONSEP TERPADU DAN SM TERPADU

Kontinum

Plug-In SMK + Paket Akademik SMA + Paket Vokasional

Komplementasi

Integrasi

SMK + Paket Akademik SMA + Paket Vokasional

SM Terpadu

Gambar 1. Konsep Terpadu dalam SM Terpadu Kurikulum SMK/SMA Kurikulum SMK atau SMA

Kurikulum terintegrasi

Paket

Gambar 2a. Plug-In

Gambar 2b. Komplementasi

Gambar 2c. Integrasi

8

Plug-In. Paket kurikulum dan pembelajaran akademik ditambahkan ke dalam kurikulum kejuruan pada SMK, atau paket kurikulum dan pembelajaran kejuruan ditambahkan ke dalam kurikulum akademik pada SMA. Paket-paket ini dikelola sebagai pelajaran tambahan. Konsep Plug-In ini diilustrasikan dalam Gambar 2a.

matematika, sains, bahasa, dan jenis vokasional tertentu (misalnya otomotif, komputer, agrikultur) membuat perpaduan kurikulum dan pembelajarannya. SM Terpadu adalah bentuk layanan pendidikan yang memadukan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu manajemen institusional dan manajemen instruksional (pembelajaran). Terdapat empat tema yang menjadi ciri utama SM Terpadu, yakni:

Komplementasi. Kurikulum dan pembelajaran akademik terapan diintegrasikan ke dalam matapelajaran kejuruan pada kurikulum SMK, atau kurikulum dan pembelajaran kejuruan diintegrasikan ke dalam matapelajaran akademik pada kurikulum SMA. Misalnya, penggunaan bahan-bahan bacaan yang memuat pesan-pesan tentang individu-individu di tempat kerja, atau bacaan (literatur) tentang dunia kerja pada pelajaran akademik; penggunaan contoh-contoh yang berhubungan dengan pekerjaan perkayuan, permesinan, elektronika, dan bidang-bidang pekerjaan yang lain ke dalam matematika atau fisika; telaah implikasi biologi untuk para pekerja bidang kesehatan, implikasi elektrisitas pada bidang pekerjaan elektronika dan komputer, implikasi fisika untuk desain permesinan; dll. Ilustrasi konsep komplementasi ini ditunjukkan dalam Gambar 2b. Integrasi. Kurikulum akademik dan kejuruan dilebur menjadi satu kurikulum. Misalnya, satu tim guru yang terdiri atas guru

(1) kurikulum yang lebih kaya dan tersusun lebih baik yang memperluas keterampilan akademik, kejuruan, keterampilan generik yang dibutuhkan oleh semua siswa baik yang sebagai calon pekerja maupun calon siswa di jenjang pendidikan berikutnya; (2) pembelajaran yang lebih bersifat fasilitatif (daripada didaktik) yang memotivasi siswa untuk belajar dan memberi mereka dengan kegiatan praktik dan pemahaman dunia aplikatif (terapan); (3) kolaborasi dan koordinasi antara guru kejuruan dan akademik dalam menciptakan pengalaman pembelajaran (persekolahan) yang lebih menyatu; dan (4) perhatian yang lebih pada pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk melakukan transisi dari sekolah ke dunia kerja atau pendidikan lanjutan. III.

TUJUAN DAN TERPADU

FOKUS

SM

9

1. Tujuan (1) Dalam jangka pendek, teratasinya kesenjangan layanan pendidikan akibat dari ketidakmerataan sebaran sekolah menengah umum (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di berbagai daerah. (2)

Dalam jangka panjang, terbetuknya sistem dan model SM Terpadu yang potensial meningkatkan keterwacaan (“literacy”) akademik dan teknologi bagi lulusan sekolah menengah. Di abad XXI, siswa yang memilih jalur pendidikan vokasional maupun akademik dituntut giat mengikuti program yang mengintegrasikan studi vokasional dan akademik. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, SM Terpadu diharapkan akan menjadi model pendidikan alternatif di samping jalur-jalur pendidikan yang ada sekarang.

(3)

Teraktualisasikan dan tertransformasikannya (atau dapat diaktualisasikan dan dapat ditransformasikannya) potensi dan keterampilan yang selama ini dimiliki oleh sumberdaya manusia di daerah yang berusia produktif menjadi kecakapan hidup (life skills) yang relevan dan cocok dengan dinamika pekerjaan, perubahan struktur ketenagakerjaan, dan perubahan sosial ekonomis serta kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor sosial ekonomis yang sedang berkembang.

2. Fokus Fokus SM Terpadu adalah pengembangan kualitas dan kompetensi

lulusan SMA atau SMK di daerah-daerah yang mengalami kesenjangan layanan pendidikan, sehingga lulusan mereka memiliki akses dan peluang untuk memasuki dunia kerja maupun mengikuti pendidikan tinggi atau pendidikan karier lanjutan. Orientasi utamanya adalah kegiatan pendidikan kecakapan hidup [life skills] yang dirancang dengan pendekatan terpadu, baik kurikulum, pembelajaran, maupun struktur organisasinya, agar para lulusan SM Terpadu mampu memasuki, berkiprah, dan berperanan dalam kehidupan nyata sehari-hari – kehidupan sosial, budaya, keagamaan, dan terutama kehidupan ekonomis atau dunia kerja. Dengan pendidikan dan pelatihan kecakapan hidup yang baik, meraka diharapkan memiliki kecakapan hidup yang berkualitas, relevan, dan fungsional bagi kelangsungan, kelayakan, dan kebermartabatan hidup mereka di tengah dinamika dan perubahan sosial-ekonomis—politis--kultural yang terjadi dan akan terjadi dalam konteks nasional, regional, dan lokal. IV. MODEL INTEGRASI (PADUAN) Sesuai dengan tiga konsep integrasi yang diajukan dalam program pengembangan ini, model-model integrasi yang diajukan di sini juga dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni model plug-in, komplementasi, dan integrasi sempurna. Model-model ini diadaptasi dari berragam model yang ditawarkan oleh Grubb, Davis, Lum, Phihal, dan Morgaine (1991). 1. Model Plug-In Plug-In 1: Menambahkan paketpaket pelajaran akademik pada kurikulum vokasional (di SMK), atau sebaliknya menambahkan paket-paket pelajaran vokasional pada kurikulum akademik (di 10

SMA). Bagi siswa SMK, guru akademik mungkin mengajar secara individual dalam kelas vokasional atau melayani inhouse tutor (secara informal) bagi siswa-siswa yang memerlukan tambahan pelajaran akademik. Sedangkan, bagi siswa SMA guru vokasional mungkin mengajar secara individual dalam kelas akademik atau melayani inhouse tutor (secara informal) bagi siswa-siswa yang memerlukan tambahan pelajaran vokasional. Paket-paket yang dikembangkan bersifat penambahan, penguatan, atau pengayaan. Plug-In 2: Guru-guru vokasional dan akademik bekerja dalam tim mengembangkan kelas akademik di SMK, dan atau mengembangkan kelas vokasional di SMA. Kelas-kelas baru yang “dicangkokkan” di SMK atau SMA ini menyerupai apa yang disebut dengan model “sekolah dalam sekolah”. 2. Model Komplementasi Komplementasi1: Mengembangkan kurikulum akademik (atau sebagian kurikulum akademik) menjadi lebih relevan secara vokasional, dengan cara menggabungkan aplikasi vokasional dalam matapelajaran akademik (di SMA); dan medesain pembelajaran akademik terapan yang lebih relevan pada pembelajaran siswa vokasional (di SMK). Misalnya, memasukkan latihan-latihan menulis yang berhubungan dengan pekerjaan tertentu, seperti menulis resume atau membuat

surat bisnis, dalam kelas bahasa Inggris; atau memasukkan kegiatan pembelajaran melakukan investigasi jenis dan komposisi pekerjaan di berbagai jenis usaha atau industri, dalam pembelajaran ilmu sosial. Komplementasi2: Mengkombinasikan kurikulum vokasional dan kurikulum akademik menjadi saling kompatibel satu dengan yang lainnya. Modifikasi kurikulum ini dapat dilakukan dengan cara pensejajaran horizontal maupun vertikal antara kurikulum akademik dan vokasional tersebut. Penjajaran horizontal dilakukan dengan menjajarkan matapelajaran akademik dan vokasional sedemikian sehingga siswa dapat belajar subjek yang mirip di kedua matapelajaran tersebut pada waktu yang sama. Misalnya, guru kejuruan dan guru matematika menjajarkan pembelajaran mereka, sehingga topik-topik matematika yang diperlukan di dalam berbagai bentuk penghitungan—luas, volume, aljabar yang berkaitan dengan perpindahan panas, dan trigonometri sederhana— diajarkan pada waktu yang sama. Sedangkan penjajaran vertikal dilakukan dengan membuat sikuensi pembelajaran akademik dan vokasional yang saling memberi penguatan satu sama lain. Koordinasi ini berlangsung sepajang waktu. Misalnya, selama dua tahun terakhir siswa menyisihkan separo harinya untuk belajar di pusat vokasional, dan pada separo hari yang lain mereka belajar tentang matapelajaran akademik terapan.

11

3. Model Integrasi Integrasi 1: Integrasi pembelajaran akademik dan vokasional dilakukan dalam kerja proyek yang memperlihatkan penguasaan beberapa kompetensi. Proyek didesain dengan melibatkan kegiatankegiatan representasi fisik yang memerlukan kecakapan vokasional, menulis laporan, dan presentasi. Proyek biasanya diselesaikan dalam tahun terakhir, dan dipertimbangkan sebagai puncak prestasi. Dalam kerja proyek, siswa belajar berbagai keterampilan akademik, mengalami kerja nyata dalam berbagai kegiatan vokasional, melakukan riset, pemecahan masalah, dan presentasi temuan atau produk kerja proyek. Integrasi 2: Integrasi dilakukan dalam bentuk “sekolah di dalam sekolah”. Sekolah didorong untuk memiliki fokus vokasional tertentu, seperti otomotif, komputer, agrikultur, kesehatan, elektronik, bisnis, boga, busana, dll. Secara khusus, tim guru dari matematika, bahasa Inggris, sains, dan vokasional tertentu mengkombinasikan pembelajaran mereka, dan mereka mendampingi kelompok siswa ini selama beberapa tahun. Ukuran kelas biasanya kecil. Integrasi 3: Mengembangakn kurikulum dan pembelajaran akademik dan vokasional secara paralelel di sepanjang waktu belajar. Kurikulum dan pembelajaran dimodifikasi dan dikoordinasi secara lintas isi satu matapelajaran dengan matapelajaran yang lain. Guru

akademik dan vokasional bekerjasama, mulai dari jumlah 2 orang hingga semuanya. V. DESAIN STRATEGIS TRANSFORMASI MENUJU SM TERPADU Tiga tahap pengembangan secara berkesinambungan. Untuk menuju SM Terpadu yang sempurna diperlukan tahap rintisan sekurang-kurangnya ditempuh dalam rentang waktu selama 5 tahun untuk mentransformasi sekolah menengah konvensional menuju SM Terpadu. 1. Tahap Rintisan Awal (Implementasi Model Plug-In) Tahap ini dilakukan selama tahun pertama (tahun 2003/2004— 2004/2005) dengan konsep integrasi menempelkan program pembelajaran vokasional ke SMA atau program pembelajaran akademik di SMK berupa program paket dan kelas pembelajaran vokasional di SMA dan kelas pembelajaran akademik di SMK. 2. Tahap Rintisan Lanjutan (Implementasi Model Komplementasi) Tahap ini dilakukan selama tiga tahun (tahun 2005/2006 s.d. 2007/2008) dengan menggeser konsep integrasi dari plug-in ke komplementasi. Guru akademik didorong bekerjasama dengan guru vokasional untuk mendesain dan mengembangkan kurikulum dan pembelajaran dengan cara mengkombinasikan isi pembelajaran sehingga terjadi saling isi, atau mendesain kurikulum dan pembelajaran akademik dan vokasional dengan

12

cara menjajarkan pembelajaran akademik dan vokasional sehingga kedua matapelajaran hadir dan dipelajari dalam waktu yang sama. Penjajaran ini berlangsung baik secara horizontal maupun vertikal. Namun demikian, pada tahap ini masih dimungkinkan adanya program perluasan model Plug-In pada sekolah-sekolah tertentu untuk memberikan keragaman pilihan jenis vokasional. 3. Tahap Integrasi Penuh Tahap ini dilakukan pada tahuntahun berikutnya (tahun 2008/2009 dan seterusnya).

Kurikulum akademik dan vokasional dimodifikasi dan ditata lintas isi matapelajaran untuk sepanjang waktu belajar. Urutan matapelajaran dibuat koheren antara keduanya. Guru lebih diperankan berada di balik kelompok-kelompok okupasi dan bekerja secara kolaboratif daripada bagian akademik dan vokasional yang terpisah secara departemental. Secara institusional, integrasi pembelajaran akademik dan vokasional juga didukung dengan perluasan bimbingan dan konseling karier, dan kegiatankegiatan kelompok yang lain.

Tahap-tahap transformasi ini divisualisasikan dalam Gambar 3 berikut ini.

2003/2004

2004/2005

2005/2006

2006/2007

2007/2008

2008

III II I

RINTISAN AWAL SM TERPADU “Plug-In” Plug-In RINTISAN LANJUTAN SM TERPADU Komplementasi

PERENCANAAN & PENGEMBANGAN SM TERPADU PENUH

Origin Plug/komplemen

Integrasi (terpadu penuh)

Gambar 3. Pro ses Transfo rmasi Sekolah

13

magang kognitif (cognitive apprenticeship model), integrasi adalah suatu strategi pembelajaran dan strategi kegiatan kurikuler yang efektif yang dapat mendorong siswa mengembangkan kecakapan kognitifnya melalui kegiatan menerapkan belajar akademik dalam situasi praktis.

VI. KEUNTUNGAN-KEUNTUNGAN SM TERPADU 1. Meningkatkan motivasi. Pendidikan terpadu adalah cara yang ideal untuk membantu sekolah mempertahankan siswa yang rendah motivasi belajarnya karena mereka tidak interes terhadap keuntungan dari pendidikan akademik per se, tetapi mengetahui keuntungan memasuki pasar kerja dengan kecakapan vokasional. 2. Menghubungkan dengan dunia kerja. Komponen-komponen program yang memberi kesempatan siswa bekerja nyata, mendapatkan pengalaman kerja di bidang yang dipilih, dan kontak dengan orang-orang di dunia usaha atau masyarakat, membantu mereka dalam mengambil jalur karier setelah lulus. 3. Memberikan layanan yang sama. Pendidikan terpadu juga menetralisir kesan stratifikasi dan diskriminasi layanan dan perlakuan di persekolahan dan di tempat kerja. Cara ini memberi kesempatan siswa mengidentifikasi diri akan kemampuan akademiknya, kemampuan berpikirnya, sehingga dapat mengambil jalur program yang tepat untuk peluang masadepan mereka. 4. Memberikan lingkungan belajar yang kaya. Integrasi pembelajaran akademik dan vokasional memberi peluang siswa belajar berbasis pada masalah riil. Mengikuti prinsip-prinsip model

5. Meningkatkan kualitas tenaga kerja. Dunia kerja membutuhkan orang-orang yang tidak hanya menguasai tugas-tugas diskret, sebagaimana banyak dididikkan oleh sekolah-sekolah vokasional tradisional, tetapi membutuhkan orang-orang yang memiliki kecakapan memecahkan masalah sehingga mereka lebih fleksibel ketika melakukan aspek-aspek pekerjaan mereka. Siswa yang lulus dari SM Terpadu akan lebih siap memenuhi tuntutan dunia kerja kini maupun masa depan. VII. ELEMEN KEBERHASILAN Model yang layak untuk suatu sekolah, wilayah atau daerah, harus ditetapkan setelah mempertimbangkan keberadaan program, pasar tenaga lokal, potensi aset lokal, dan kebutuhan siswa. Akan tetapi ada beberapa elemen yang harus dipersyaratkan untuk mendukung keberhasilan suatu program, yaitu: 

Visi dan komitmen dari semua level yang terlibat dalam pengembangan program.

14



Dukungan yang konsisten dari instansi-instansi terkait dan jajaran pemerintah daerah.



Sumber-sumber pendanaan



Pelatihan guru



Evaluasi berkesinambungan



Waktu yang implementasi

baru

memadai

untuk

untuk

BAHAN RUJUKAN Equitable Way to Prepare Middle Level Students for the Future. ERIC Digest, No. 83, EDO-92-6. Billett, S. 1996. Towards a Model of Workplace Learning: The Learning Curriculum. Studies in Continuing Education, 18(1), 43—58. Bodilly, S., Ramsey, K., Staz, C. , & Eden, R. 1993. Integrating Academic and Vocational Education: Lesson from Eight Early Innovators. R-4265NCRVE/UCB. Brook, J.G., & Brook, M.G. 1993. The Case for Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD. Brook, J.G., & Brook, M.G. 1999. The Contructivist Classroom. The Courage to Be Constructivist. Readyroom, 57(3) November 1999. http://www.ascd.org/readyroom/e dlead/9911/brooks.html Delors, J., et.al. 1999. Belajar: Harta karun di dalamnya. UNESCO. Terjemahan. Gagne,

E.D. 1985. The Cognitve Psychology of School Learning.

Barron, B.J., Schwartz, D.L., Vey, N.J., Moore, A., Petrosino, A., Zech, L., Bransford, J. D., & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt. 1998. Doing with Understanding: Lessons from Research on Problem- and Project-Based Learning. The Journal of the Learning Science, 7, 271—311. Berryman, S.E., Flaxman E, & Inger, M. 1992. Integrating Academic and Vocational Education: An Boston: Little, Company.

Brown,

and

Grubb, W.N., Davis, G., Lum, J., Plihal, J., & Morgaine, C. 1991. The Cunning Hand, The Cultured Mind: Model for Integrating Vocational and Academic Education. Berkeley, CA: National Center for Research in Vocational Education. Kerka

S. 1997. Constructivism, Workplace Learning, and Vocational Education. ERIC Digest No. 181. ERIC Clearinghouse on Adult Career and Vocational Education Columbus Ohio.

Lankard, B.A 1992. Integrating Academic and Vocational Education: Strategies for Implementation. ERIC Digest No. 120, ED346317. Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of Learning. Verginia: ASCD. Murphy, E. 1997. Constructivism: From Theory to Practice. http://www.stemnet.nf.ca/~elmurp hi/cle.html.

15

Wilson, B.G. 1995. Metaphors for Instruction: Why We Talk About Learning Environments. Educational Technology, September-Oktober, 25—30.

16

KONSTRUKSI TES SEBAGAI ALAT UKUR HASIL BELAJAR DI SEKOLAH DASAR Oleh: Mohammad Harijanto Abstrak : Tes merupakan salah satu jenis alat ukur hasil belajar yang paling banyak digunakan di Sekolah Dasar. Penyusunan tes sebagai alat ukur perlu mengindahkan aturan-aturan dan langkah-langkah yang telah ditentukan. Kelalaian dalam hal ini menyebabkan hasil tes sebagai alat ukur tidak tepat, bias, dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Kata Kunci: Alat Ukur, Tes Obyektif, Tes Lisan, Tes perbuatan, Tes Uraian, Hasil belajar.

Pendahuluan Kegiatan belajar mengajar merupakan tindak pembelajaran pendidik terhadap peserta didik. Prosedur umum pembelajaran dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: tahap awal, kegiatan inti, dan kegiatan awal (Winataputra, 2003) Menurut Fattah (2003) kualitas belajar mengajar dapat dicapai karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat. Secara mikro Wahyudin (2002) mengemukakan bahwa garapan pembelajaran dapat dilihat pada komponen tujuan, bahan, pendidik, peserta di dik, proses, hasil, dan balikan. Sasaran utama dalam kegiatan evaluasi adalah evaluasi terhadap produk, dan evaluasi terhadap proses. Menurut Suciati (2002) evaluasi produk menilai sampai sejauh mana keberhasilan pebelajar dalam mencapai tujuan., dan evaluasi proses menilai apakah proses itu berjalan secara optimal sehingga memungkinkan tercapainya tujuan. Tes, pengukuran, dan penilaian merupakan tiga aspek yang saling berhubungan dalam pembelajaran. Tes merupakan alat ukur, pengukuran merupakan proses pemberian angka yang bersifat kuantitatif, dan penilaian merupakan proses pengambilan keputusan yang bersifat kualitatif berdasarkan hasil pengukuran.

Misalnya, Si A mengukur tinggi badan dengan menggunakan alat ukur meteran. Diketahui tinggi badan = 167 cm. Hasil pengukuran tersebut, baru mempunyai arti apabila dibandingkan dengan suatu patokan atau kriteria tertentu. Untuk mencari berat badan ideal perlu dihitung dengan menggunakan rumus Berat Badan Ideal = (Tinggi – 100) – 10%. Dengan menggunakan patoikan atau kriteria tersebut maka berat badan ideal sebagaimana dimaksud di atas adalah 60,03 Kg. Jika si A memiliki berat badan di atasnya atau di bawahnya maka si A perlu menambah atau mengurangi berat badan yang dimaksud.

Demikian juga dalam pembelajaran, antara pengukuran dan penilaian terdapat perbedaan. Wand dan Brown memberikan pengertian tentang pengukuran dan penilaian sebagai berikut: Pengukuran adalah tindakan atau proses untuk menentukan kuantitas sesuatu. Sedangkan penilaian adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu. Dari kedua pengertian tersebut maka pengukuran berbeda dengan penilaian. Alat yang digunakan untuk mengukur atau menilai dinamakan alat ukur, yang dalam hal ini lebih difokuskan pada alat ukur tes. 17

Sementara ini menunjukkan bahwa secara umum cara pelaksanaannya tes dalam pembelajaran ada yang menggunakan: (1) Tes verbal yakni tes yang meminta jawaban eksamini dengan menggunakan kata-kata. Jika eksamini diminta untuk memberikan jawaban secara tertulis maka tes semacam itu dinamakan tes tertulis. Demikian pula tes yang meminta jawaban eksamini secara lisan dinamakan tes lisan. Tes yang meminta jawaban secara tertulis dan meminta jawaban secara lisan, pada intinya menuntut eksamini memberikan penjelasan dengan kata-kata, semuanya itu disebut tes kata-kata atau tes verbal, dan (2) ada pula yang menggunakan tes Perbuatan yakni apabila jawaban menuntut tindakan orang yang diuji (eksamini) sebagai jawabannya. Jadi dalam tes perbuatan menuntut tindakan eksamini sebagai jawabannya. Menurut Wardani (2001) bahwa guru yang baik perlu punya otonomi dalam melakukan penilaian. Jika diperhatikan memang terlihat bahwa pada setiap akhir kegiatan pembelajaran, tes akhir telah terlaksana, namun instrumen tes yang digunakan kadangkala kurang relevan dengan ketentuan penyusunan tes uraian, tes objektif, tes lisan yang dan tes perbuatan. Misalnya, dalam pelaksanaan tes lisan, pembelajar langsung menyampaikan pertanyaan secara lisan dan meminta jawaban secara lisan, tanpa dirancang terlebih dahulu instrumen tes yang akan digunakan, dan kualitas hasil tergantung pada pembelajar dan bukan didasari kualitas jawaban eksamini. Menurut Suprayekti (2003) prosedur penilaian meliputi tes awal, dan tes akhir, tetapi dalam pembelajaran adakalanya tes awal disampaikan secara lisan, dan tes akhir disampaikan secara tertulis. Di sisi lain, kadangkala nampak bahwa tes perbuatan, tidak memperlihatkan aspek-aspek yang dinilai sehingga nilai yang diberikan terhadap eksamini kadangkala tidak relevan dengan mutu dan tindakan sebagai jawabannya. Jika hal ini dibiarkan

begitu saja maka kualitas pembelajaran cenderung menurun. Dari harapan dan kenyataan sebagaimana disebutkan di atas, maka dirasa perlu untuk membahas beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan alat ukur tes baik tes uraian, tes objektif, tes lisan dan tes perbuatan. Kajian Pustaka dan Pembahasan Tes Uraian (Essay) Tes uraian adalah butir tes yang mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan tes harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran eksamini secara naratif (Nurkancana, 1988). Menurut Zainol (2003) ciri khas tes uraian adalah jawaban terhadap soal tersebut tidak disediakan oleh orang yang mengkonstruksi butir soal, tetapi dipasok oleh peserta tes. Ada beberapa petunjuk dalam menyusun tes uraian, yaitu: a. Buatlah petunjuk umum pengerjaan tes b. Buatlah petunjuk khusus pengerjaan butir tes pada setiap akhir kalimat c. Setiap butir tes hendaknya dirumuskan secara jelas dan tegas batas-batasnya d. Jawaban untuk butir tes uraian tidak ada yang mutlak. Karena itu perlu dilengkapi dengan pola-pola kunci jawaban, terutama tes yang memakan waktu lama dan memadukan semua pengetahuan, serta dibuat serempak pada saat menyusun butir tes e. Dalam menyusun butir tes uraian sama sekali tidak sama dengan menyalin kalimat-kalimat dalam buku pelajaran tertentu menjadi butir tes. Karena itu perlu diolah dan dipadukan yang siap dituangkan menjadi butir tes. f. Tes uraian menuntut derajat kemampuan berpikir tingkat tinggi. Oleh sebab itu, butir tes uraian jangan menuntut pebelajar hanya sekedar mengisi, memilih, atau memberikan jawaban singkat, tetapi harus menuntut pebelajar untuk 18

merumuskan jawaban dengan kata-kata dan pemikiran sendiri. Selanjutnya Zainol (2003:1.13) mengemukakan bahwa mengapa tes uraian digunakan: (1) jika jumlah peserta tes terbatas, (2) waktu yang dipunyai guru untuk mempersiapkan soal sangat terbatas, (3) tujuan instruksional yang ingin dicapai adalah kemampuan mengekspresikan pikiran dalam bentuk tertulis, menguji kemampuan menulis dengan baik, atau kemampuan penggunaan bahasa secara tertib, (4) Guru ingin memperoleh informasi yang tidak tertulis secaralangsung di dalam soal ujian tetapi dapat disimpulkan sari tulisan peserta tes, dan (5) Guru ingin memperoleh hasil pengalaman belajar siswanya. Beberapa keuntungan dari bentuk tes uraian adalah: 1.Jawaban tidak mudah ditebak 2.Menuntut pebelajar untuk memadukan semua pengetahuan (berpikir komprehensif) 3.Dapat disusun dengan cepat dan mudah 4.Sulit untuk saling mencontoh 5.Menuntut pebelajar menyusun buah pikirannya secara baik dengan tulisan serta kalimat yang baik pula. Sedangkan kelemahankelemahan bentuk tes uraian adalah: 1. Memeriksanya sukar dan sering sangat subjektif 2. Untuk memeriksa memerlukan waktu lama 3. Kalau terjadi perbedaan pendapat, biasanya pendapat pebelajar yang dikalahkan 4. Tidak dapat mencakup bahan yang luas 5. Ada kecenderungan pebelajar untuk menjawab berkepanjangan, karena itu baik buruknya bahasa dan tulisan sangat mempengaruhi pemberian angka

Tes Objektif (Objective Test) Benar-Salah (True-False) Bentuk tes benar salah adalah butir tes yang terdiri dari pernyataan yang alternatif jawabannya merupakan pernyataan benar atau salah. Ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes benar-salah, adalah: 1. Buatlah petunjuk cara menjawab butir tes yang jelas, dan jelaskan pula di mana peserta tes harus menuliskan jawaban, apakah pada tes itu, atau pada lembar jawaban tersendiri/ terpisah. 2. Setiap tes hendaknya jangan mengandung kata-kata yang meragukan, misalnya: kadangkala, selalu, pasti, barangkali, dan sebagainya. 3. Hindari kalimat menyangkal apalagi menyangkal ganda 4. Gunakan kalimat tunggal dang singkat, tapi jelas 5. Jangan membuat tes yang masih dapat dipersoalkan. Jadi butir tes harus mutlak benar atau mutlak salah Pilihan Ganda (Multiple Choice) Pilihan ganda adalah suatu butir tes yang alternatif jawabannya lebih dari dua option. Ketentuanketentuan yang perlu diperhatikan dalam menysusun tes multiple choice, adalah: 1. Inti permasalahan harus dicantumkan pada pokok soal (stem). 2. Hindari pengulangan kata-kata yang sama dalam stem dengan yang terdapat dalam option terutama kata-kata yang menjadi konsep pokok pada soal tersebut. Menurut Zainol (2003:1.20) penggunaan kata yang sama itu akan menjadi petunjuk jawaban, atau yang paling sederhana adalah terjadi penggunaan kalimat yang tidak efektif. 3. Hindari penggunaan kata yang berlebihan. 19

4. Kalau pokok soal merupakan pertanyaan yang belum lengkap maka kata atau katakata yang melengkapi harus diletakkan pada ujun pernyataan, bukan ditengahtengah kalimat. 5. Susunan alternatif jawaban dibuat teratur dan sederhana. 6. Semua pilihan jawaban harus homogen dan dimungkinkan sebagai jawaban yang benar. 7. Pada setiap butir tes hendaknya ada satu pilihan jawaban yang benar. Pilihan jawaban yang salah disebut distraktor atau pengecoh 8. Perumusan masalah hendaknya merupakan kalimat yang tidak lengkap, yang dapat dilengkapi oleh satu pilihan jawaban. 9. Option pada setiap butir tes hendaknya seragam, baik isi maupun panjang pendeknya kalimat sehingga seolaholah, setiap option itu cocok digunakan untuk dijadikan jawaban 10. Hindari keadaan di mana jawaban yang benar selalu ditulis lebih panjang dari jawaban yang salah. 11. Hindari adanya petunjuk/indikator pada jawaban yang benar 12. Pokok soal sedapat mungkin dalam pernyataan atau pertanyaan yang positif. Jika terpaksa menggunakan pernyataan negatif maka kata negatif tersebut digaris bawahi dan ditulis tebal atau huruf italic (cetak miring) 13. Jumlah option dari seperangkat butir tes hendaknya sama, misalnya empat option, atau lima option 14. Option hendaknya disusun meninggi (vertikal), dan disusun di bawah stem 15. Hendaknya disusun sesuai dengan variasi (model) tertentu yakni model pernyataan biasa, model pertanyaan, dan model perkecualiaan 16. Buatlah petunjuk pengerjaan tes dengan jelas

Menjodohkan (Matching) Menjodohkan adalah bentuk tes yang mensyaratkan adanya premis dan respon secara terpisah. Ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes menjodohkan, adalah: 1. Jumlah tes maksimal 10% dari seluruh butir tes 2. Posisinya antara premis dan respon hendaknya jelas 3. Jumlah jodoh hendaknya lebih besar dari terjodoh, maksudnya agar pebelajar tidak hanya sekedar menjodohkan saja, tetapi juga berpikir 4. Hendaknya dapat mengasosiasasikan antara tanggal dengan peristiwa, namanama ilmuwan dengan karyanya, dan asosiasi lain yang sejenis Isian Singkat (Fill in) Bentuk tes isian singkat adalah tes yang menghendaki peserta tes mengisi titik-titik kosong. Ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes isian singkat adalah sebagai berikut: 1. Bagian kalimat yang dihilangkan diganti dengan titik-titik kosong yang harus diisi oleh peserta tes hendaknya merupakan bagian yang penting 2. Gunakan kalimat sederhana, jelas, dan mudah dipahami 3. Kalimat yang harus diisikan sebagai jawaban hendaknya jangan terlalu panjang, cukup dua atau tiga kata 4. Panjang pendeknya titik kosong hendaknya sebanding dengan panjang pendeknya sisian singkat yang dikehendaki 5. Bagian kalimat yang dihilangkan hendaknya di bagaian tengah atau di bagian akhir kalimat Jawaban Singkat (Short Answer) Bentuk tes jawaban singkat adalah tes yang mengehendaki jawaban singkat. Ketentuan yang perlu diikuti adalah:

20

1. Jawaban yang dikehendaki oleh setiap butir tes hendaknya tidak memerlukan uraian panjang lebar, cukup singkatsingkat saja 2. Setiap tes hendaknya dapat dijawab secara mutlak, artinya tidak dapat diperdebat lagi 3. Susunlah kalimat tes itu secara sederhana dan jelas

Dalam pelaksanaan tes lisan perlu disusun kisi-kisi dan lembar penilaian tes lisan seperti berikut ini (Haryanto, 2002). KISI-KISI TES LISAN No

1. Dapat dikoreksi secara tepat 2. Dapat dijawab secara cepat sehingga dapat disajikan jumlah tes yang relatif banyak

No

3. Saling mencontoh dan spekulatif

1. Derajat kesukaran, muatan ilmu, jumlah waktu yang disediakan dan angka maksimum yang mungkin dapat dicapai oleh setiap peserta tes hendaknya diperkirakan sama 2. Jika peserta tes tetap tidak dapat memberikan jawaban hingga waktu yang disediakan habis hendaknya pindah ke nomor tes berikutnya 3. Dalam membacakan tes penguji boleh menggunakan kata-kata penguji sendiri asal intinya sama 4. Penguji dilarang memberondong ataupun memerosokkan dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang ternyata tidak tertulis dalam lembaran tes 5. Berilah angka semata-mata hanya berdasarkan mutu jawaban peserta tes

Wkt

Nama Peserta : ………………………….. No. : …………………………..

1. Menyusunnya sukar dan lama

Ketentuan yang perlu diikuti, adalah sebagai berikut:

Angka Maks.

LEMBAR PENILAIAN TES LISAN

Sedangkan kelemahannya adalah sebagai berikut:

Tes Lisan (Oral Test)

Pokokpokok Jwban

1 2 3 4 5

Keuntungan bentuk tes objektif adalah:

2. Sukar digunakan untuk mengukur kecakapan pebelajar berpikir tinggi

Btir Tes

Pokok- Waktu pokok Jwaban

Angka yang dicapai

1 2 3 JUMLAH Catatan khusus

…..…………20.. Penilai, ………………

Tes Perbuatan (Performance Test) Ketentuan yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tes perbuatan adalah sebagai berikut (Natawidjaja, 1989): 1. Pengamatan hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga sifatnya tidak seperti mengawasi 2. Pencatatan hendaknya dilakukan dengan segera setelah suatu tindakan selesai dilakukan peserta tes 3. Penguji hendaknya jangan melarang ataupun memberi saran kepada peserta tes yang membuat kesalahan

21

4. Berilah angka semata-mata hanya berdasarkan mutu dan proses tindakan peserta tes LEMBAR PENILAIAN TES PERBUATAN No. Peserta:………………….. Mata Ujian:………………….. No

Tindk. yg dinilai

Rentang Angka 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Daftar Rujukan Fattah, N, 2003. Managemen Berbasis Sekolah: Strategi Pemberdayaan sekolah dalam Rangka Peningkatan Mutu dan Kemandirian Sekolah. Bandung:Andira. Haryanto, N. 2002. Statistik Dasar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka. Natawidjaja, R. 1989. Teknik Penilaian Pendidikan. Jakarta:Depdikbud. Nurkancana, W. 1988. Evaluasi Pendidikan. Surabaya :Usaha Nasional

Catatan khusus:

………………, 20.. Penguji,

Jlh. angka: ………….. Simpulan dan Saran Dari disimpulkan:

uraian

sebelumnya

1. Untuk mengetahui kemajuan siswa pada setiap kegiatan akhir pembelajaran perlu dilakukan tes 2. Tes merupakan alat ukur yang digunakan dapat berupa tes lisan, tes tertulis, dan tes perbuatan, tergantung pada kompetensi siswa atau karakteristik materi yang disajikan. Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan: 1. Penyusunan tes sebagai alat ukur perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan penyusunan tes, baik tes bentuk uraian, ketentuan penyususnan tes bentuk objektif. 2. Guru perlu memperhatikan efektivitas dari masing-masing bentuk tes yang digunakan. 3. Sebelum melaksanakan tes lisan dan tes perbuatan, hendaknya terlebih dahulu dirancang instrumennya, sehingga hasil yang diperoleh objektif.

Wardani. I.G.A.K. 2001. Perencanaan Pembelajaran Penjaskes. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas Terbuka. Suciati, dkk. 2002. Belajar dan Pembelajaran 2. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka. Suprayekti. 2003. Managemen Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta: Universitas Terbuka. Winataputra, U.S. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas Terbuka. Wahyudin, D. 2002. Pengantar Pendidikan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta: Universitas Terbuka. Zainol, A. 2003. Tes dan Asesmen di Sekolah Dasar. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.

22

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MATERI POKOK ARITMETIKA SOSIAL DI KELAS VII MTsN PADEMAWU PAMEKASAN Oleh: Sri Indriati Hasanah Abstrak Pembelajaran matematika yang dilakukan selama ini umumnya berpusat pada guru, sementara tuntutan Kurikulum 2004 yang berjiwa konstruktivis adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2004 adalah pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Perangkat pembelajaran yang digunakan adalah model 4-D Thiagarajan, Semmel, dan Semmel yang telah dimodifikasi. Hasilnya berupa: (1) rencana pembelajaran, (2) buku petunjuk guru, (3) lembar kegiatan siswa, dan (4) tes hasil belajar. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pembelajaran materi pokok aritmetika sosial di kelas VII MTsN Pademawu Pamekasan dengan menggunakan Pendekatan PMR ternyata efektif, dalam arti (1) ketuntasan belajar secara klasikal tercapai yakni 82,5%, (2) kemampuan guru mengelola pembelajaran baik, (3) aktivitas siswa dalam pembelajaran efektif, dan (4) respon siswa terhadap pembelajaran positif. Selain itu berdasarkan analisis statistik inferensial ANAKOVA, diperoleh kesimpulan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa dengan pendekatan konvensional. Kata kunci: Pembelajaran matematika realistik, efektif. PENDAHULUAN Matematika sebagai ilmu dasar memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan sains dan teknologi, karena matematika merupakan sarana berpikir untuk menumbuh kembangkan daya nalar, cara berpikir logis, sistematis dan kritis. Peranan matematika ini tidak hanya terasa dalam bidang matematika tetapi aplikasinya juga pada bidang lain. Pendidikan dalam arti luas meliputi penyelenggaraan sistem pendidikan yang melembaga melalui sistem persekolahan. Dalam sistem pendidikan nasional, ada penjenjangan

pendidikan jalur sekolah, yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kenyataan menunjukkan bahwa pelajaran matematika diberikan di semua sekolah. Matematika yang diberikan di sekolah disebut matematika sekolah (school mathematics). Menurut Soedjadi (1999:12),matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasar dan diorientasikan kepada: (1) Makna kependidikan, yaitu untuk mengembangkan

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

23

kemampuan dan kepribadian peserta didik. (2) Tuntutan perkembangan yang nyata dari lingkungan hidup yang senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Dengan demikian, matematika sekolah merupakan salah satu unsur masukan

instrumental yang diharapkan dapat membentuk pribadi siswa dan berorientasi kepada perkembangan IPTEK. Sementara itu berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan.

Rata-rata Nilai Ujian Murni UAN Matematika SMP di Jawa Timur Tahun Rata-rata UAN

1998/1999 5,72

1999/2000 5,74

Penelitian Blazely tahun pada 1997 (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2002) melaporkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Keabstrakan objek matematika dan pendekatan pembelajaran yang kurang tepat, menjadi faktor penyebab sulitnya matematika bagi para siswa terutama bagi siswa Madrasah.. Mata pelajaran matematika dianggap hal yang tidak esensial di lembaga madrasah. Padahal kalau dipandang lebih mendalam, di dalam Al-qur’an, banyak sekali peranan matematika dalam syariat Islam diantaranya masalah sholat, zakat, haji, puasa, warisan dsb. Seandainya hal ini disosialisasikan sejak dini oleh guru sebagai fasilitator niscaya siswa akan tertanam rasa senang, tidak takut, berani menghadapi kesulitan hidup dengan ilmu matematika yang didasari pada nilai-nilai keislaman.

2000/2001 5,88

2001/2002 5,31

2002/2003 5,76

Pembelajaran yang selama ini mendominasi kelas-kelas matematika di Indonesia umumnya berbasis pada behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan latihan (Ratumanan, 2003: 2). Guru mendominasi kelas dan berfungsi sebagai sumber belajar utama. Guru menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyelesaikan soal-soal sejenis yang diberikan guru. Pembelajaran semacam ini kurang memperhatikan aktivitas aktif siswa, interaksi siswa, dan pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa, sehingga timbul kesan siswa terhadap matematika antara lain : matematika dianggap sulit, abstrak dan tak bermakna, pembejaran matematika membuat stress, bahan yang dipelajari terlau banyak, guru matematika pada umumnya galak-galak, serius dan kurang manusiawi. Aktivitas aktif siswa yang dimaksudkan di sini tidak hanya sekedar menyelesaikan soal-soal sesuai contoh yang diberikan guru, tetapi perlu pula melibatkan berbagai

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

24

aktivitas aktif yang dapat merangsang kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah yang merupakan tujuan pembelajaran matematika. Konteks pembelajaran matematika yang jauh dari realita seringkali membuat siswa tidak dapat menarik korelasinya dengan kehidupan sehari-hari terlalu abstrak membuat siswa sulit membuat visualisasinya. Integrasi matematika dengan ilmu lain yang lebih realistik menurut pandangan siswa sangatlah di perlukan untuk membangun image bahwa matematika itu di butuhkan, matematika itu mengasyikkan, terkait dengan agama, social, budaya dan termasuk materi keislaman yang secara realistik sangatlah di butuhkan dalam kehidupan beragama. Pendekatan dan strategi pembelajaran matematika hendaklah diawali dari konkrit ke abstrak, dari sederhana ke kompleks dan dari mudah ke sulit, dengan menggunakan berbagai sumber belajar. Hendaknya para siswa aktif dengan berbagai cara untuk mengkontruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Suatu rumus, konsep atau prinsip dalam matematika, seyogyanya ditemukan sendiri oleh siswa di bawah bimbingan guru (guided reinvention), sehingga membuat mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu (Depdiknas, 2003: 4). Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah Realistic Mathematics Education

(RME). Pendekatan ini pertama kali dikembangkan di Belanda sekitar 30 tahun yang lalu. Pendekatan ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human activities). Ide utama RME selanjutnya pada makalah ini RME diistilahkan dengan Pembelajara Matematika Reaistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan atau tanpa bimbingan orang dewasa (Gravemeijer dalam Suradi 2001:8). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan "realistik", yakni yang berkaitan dengan realitas atau situasi yang dapat dibayangkan siswa. Pembelajaran matematika realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal dalam proses pembelajaran. Siswa diminta mengorganisasikan dan mengidentifikasikan aspek-aspek matematika yang terdapat pada masalah tersebut. Kepada para siswa juga diberikan kebebasan penuh untuk mendeskripsikan, menyederhanakan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut menurut cara mereka sendiri baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman atau pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya konsep atau

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

25

pengertian-pengertian matematika yang meningkat abstrak (Soedjadi, 2001a: 3). Dengan PMR, diharapkan aktivitas pembelajaran tidak lagi terpusat kepada guru tetapi terpusat kepada siswa, bahkan terpusat pada pemecahan masalah kontekstual. Guru berfungsi sebagai pembimbing dalam menyeleksi dan mengarahkan berbagai konstribusi siswa melalui pemecahan masalah kontekstual yang diberikan di awal pembelajaan. Melalui PMR, akan lebih mengakrabkan matematika dengan lingkungan siswa. Melalui pengaitan konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari, dapat menyebabkan siswa tidak mudah lupa terhadap konsep-konsep/prinsipprinsip matematika yang ia pelajari. Bahkan ia juga akan lebih mudah mengaplikasikan konsep atau prinsip matematika tersebut, untuk menyelesaikan soal maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari. Sebagaimana Panhuizen (dalam Fauzi, 2002: 2), menyatakan bahwa bila siswa belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka siswa akan cepat lupa dan tidak akan dapat mengaplikasikan matematika. Sedangkan PMR bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, artinya mereka bebas mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu mereka membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik buat mereka.

Aritmetika sosial merupakan salah satu mata pelajaran matematika yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat biasa menerapkan dalam perdagangan dan perbankan. Namun kenyataan yang terjadi walaupun materi pokok tersebut sudah akrab dalam kehidupan siswa tetapi masih banyak siswa yang kurang memahami materi pokok tersebut. Sebagai contoh siswa sering sekali tidak bisa menentukan harga pembelian suatu barang jika harga penjualan dan pesentase keuntungan diketahui. Materi pokok Aritmetika sosial dipilih karena dua alasan. Pertama berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa guru SMP dan MTs di Pamekasan diperoleh informasi bahwa materi pokok Aritmetika sosial masih merupakan materi pokok yang agak sulit bagi siswa.terutama untuk materi pokok menentukan persentase untung dan rugi, kedua materi pokok ini sering dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi masyarakat Madura yang mayoritas bermata pencarian berdagang. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengembangan dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran matematika realistik yang baik untuk materi pokok Aritmetika sosial di MTs kelas VII? 2. Apakah pembelajaran matematika realistik efektif untuk mengajarkan materi pokok

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

26

Aritmetika sosial di MTs kelas VII? 3. Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi pokok Aritmetika sosial di MTs kelas VII? METODE PENELITIAN Jenis dan Prosedur Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen yang diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran berupa rencana pembelajaran (RP), lembar kerja siswa (LKS); dan pengembangan instrumen penelitian berupa tes hasil belajar (THB). Namun karena variabel lain yang mungkin ikut berpengaruh terhadap hasil eksperimen dalam penelitian ini tidak dikendalikan secara ketat, maka jenis penelitian dalam eksperimen ini termasuk dalam penelitian eksperimen semu. Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan penulisan laporan Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran Model pengembangan yang akan digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini adalah modifikasi dari model Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974: 5-9) yang dikenal dengan Four-D Models (Model 4-D). Model

4-D dipilih karena sistimatis dan cocok untuk mengembangkan perangkat pembelajaran, namun dalam penelitian ini peneliti melakukan modifikasi terhadap model 4-D. Hal ini dilakukan karena model 4-D ini dirancang untuk pembelajaran bagi siswa luar biasa (exceptional pupils) sedangkan subjek penelitian ini adalah siswa biasa/normal. Modifikasi yang dilakukan adalah sebagai berikut. a. Penyederhanaan model dari empat tahap menjadi tiga tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop). Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti. b. Analisis konsep dan analisis tugas yang semula paralel, diubah menjadi berurutan dari analisis konsep ke analisis tugas. Hal ini dilakukan karena dalam matematika materinya terstruktur, sehingga urutan tugas bergantung dari urutan materi/konsep. c. Istilah analisis konsep diganti menjadi analisis materi. Hal ini dilakukan karena yang akan dikembangkan adalah perangkat pembelajaran. Materi memiliki cakupan yang lebih luas dari pada konsep. Dalam satu materi dapat terdiri dari beberapa konsep. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi

Hasil Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Salah satu kriteria utama untuk menentukan dipakai tidaknya suatu perangkat pembelajaran adalah hasil validasi oleh ahli. Validasi ahli

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

27

dilakukan untuk melihat validitas isi dari draft 1. Secara umum hasil dari validasi para ahli terhadap rencana pembelajaran, lembar kerja siswa dan tes hasil belajar mempunyai kategori baik dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Hasil dari revisi ini disebut draft 2. Draft II yang dihasilkan selanjutnya diujicobakan di kelas VII MTsN Pademawu Pamekasan. Uji coba melibatkan seorang guru mitra dan dua orang pengamat yang mempunyai tugas berbeda. Seorang pengamat melakukan pengamatan terhadap kemampuan pengelolaan pembelajaran oleh guru Banyaknya kelompok yang diamati adalah dua kelompok, masing masing kelompok terdiri dari empat orang siswa yang diamati yakni yang berkemampuan tinggi, sedang dan kurang. Pengamatan ini dilakukan selama empat kali pembelajaran (empat RP). Berdasarkan hasil pengamatan selama empat kali pembelajaran disimpulkan kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, semua aspek aktivitas siswa pada RP-1 sampai RP-4 mencapai toleransi keefektifan karena berada dalam rentang waktu ideal yang telah ditetapkan Pada angket respon siswa, diperoleh hasil di atas 80 % siswa merespon positif untuk semua aspek yang ditanyakan. Hal ini menunjukkan siswa merespon positif terhadap pembelajaran matematika realistik Dari hasil uji coba tes hasil belajar dan berdasarkan rumus korelasi product moment diperoleh hasil butir tes 1b,2a, 2b, 3a, 3b, 4 mempunyai kriteria validitas cukup sedang butir tes 1a, 1c, 5 dan 6

validitasnya tinggi. Dengan demikian setiap butir tes dikategorikan valid. Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas tes diperoleh koefisien reliabilitas tes 0,75. Ini berarti butir tes memenuhi kriteria reliabel. Sedangkan sensitivitas butir tes semuanya peka. Dengan demikian semua butir tes layak digunakan dalam penelitian. Dengan demikian, berdasarkan pengembangan perangkat pembelajaran dengan menggunakan model 4-D yang telah dimodifikasi, dihasilkan perangkat pembelajaran matematika realistik yang “baik/valid” untuk materi pokok aritmetika sosial di kelas VII MTs Hasil Eksperimen Penelitian eksperimen berlangsung mulai tanggal 7 Desember 2005 sampai 20 Desember 2005. Sebagai kelas eksperimen dalam penelitian ini adalah kelas VII A sedangkan kelas kontrol adalah kelas VII D. Dalam penelitian ini peneliti melibatkan seorang guru mitra dan dua orang pengamat. Pembelajaran matematika realistik diberlakukan di kelas eksperimen sedangkan di kelas kontrol diberlakukan pembelajaran konvensional. Deskripsi hasil penelitian eksperimen Hasil penelitian yang dianalisis secara deskriptif adalah data mengenai kemampuan guru mengelola pembelajaran, aktivitas siswa dan respon siswa. Hasil analisis kemampuan guru menunjukkan bahwa kemapuan guru mengelola pembelajaran pada RP 1 sampai RP 4 “baik”, sehingga menurut kriteria yang telah

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

28

ditetapkan kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif. Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa persentase aktivitas siswa pada semua aspek di semua RP berada pada rentang ideal yang ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa efektif untuk semua RP. Untuk angket respon siswa diperoleh hasil di atas 80 % siswa merespon positif untuk semua aspek yang ditanyakan. Siswa dikatakan tuntas belajar jika skor yang diperoleh siswa lebih dari atau sama dengan 65% skor total. Selanjutnya, suatu kelompok dikatakan tuntas (ketuntasan klasikal) jika dalam kelompok tersebut terdapat lebih dari atau sama dengan 80 % siswa tuntas belajarnya. Jadi berdasarkan hasil di atas maka pembelajaran matematika realistikefektif untuk materi pokok aritmetika sosial di kelas VII MTs.

Hasil Analisis Statistik Analisis statistik inferensial ANAKOVA digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : “Hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika realistik lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk materi pokok aritmetika sosial di kelas VII MTs”. Dari hasil analisis statistik inferensial diperoleh hasil sebagai berikut : a. Model Regresi Model regresi kelas eksperimen adalah Y = 15,86 + 0,48 X Model regresi kelas kontrol adalah Y = 6,99 + 0,97 X b. Uji independensi Hasil analisis untuk uji independensi model regresi kelas eksperimen disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Anava untuk Uji Independensi Model Regresi Kelas Eksperimen Source of Varians Regression Residual Total

SS 93,74 463,23 554,98

Df 1 38 39

Untuk taraf signifikan  = 5% diperoleh F(0,95;1,38) = 4,10. Dengan demikian F* > F(0,95;1,38), sehingga Ho ditolak. Ini berarti kemampuan awal

MS 93,74 12,14

F* 7,72

signifikan terhadap hasil belajar siswa. Hasil analisis untuk uji independensi model regresi kelas kontrol disajikan pada Tabel 2.

siswa (X) pada kelas eksperimen mempunyai pengaruh yang

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

29

Tabel 2 Anava untuk Uji Independensi Model Regresi Kelas Kontrol SS Source of Varians Regression Residual Total

Df

237,18 1 212,899 30 653,875 31

Untuk taraf signifikan  = 5% diperoleh F(0,95;1,30) = 4,17. Dengan demikian F*  F(0,95;1,30), sehingga Ho ditolak. Ini berarti kemampuan awal

MS

F*

237,18 7,0966

29,77

siswa (X) pada kelas kontrol mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa.

c. Uji Linieritas Hasil analisis uji linieritas untuk model regresi kelas eksperimen disajikan pada Tabel 3 Tabel 3 Anava untuk Uji Linieritas Model Regresi Kelas Eksperimen Source of Varians SS Df MS F* Lack of Fit 117,81 11 10,71 0,84 Pure Error 343,42 27 12,72 Untuk taraf signifikan  = 5% diperoleh F(0.95,11,27) = 2,2. Dengan demikian F* < F(0.95,11,27) , sehingga Ho diterima. Ini berarti model regresi kelas eksperimen adalah linier. Jadi pada kelas eksperimen, kemampuan awal siswa dan hasil belajar siswa mempunyai hubungan yang linier. Hasil analisis uji linieritas model regresi kelas kontrol disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Anava untuk Uji Linieritas Model Regresi Kelas Kontrol Source of Varians SS Df MS F* Lack of Fit 83,99 8 10,50 1,44 Pure Error 218,73 30 7,29 Untuk taraf signifikan  = 5% diperoleh F(0.95,8,30) = 2,27. Dengan demikian F* < F(0.95,8,30) , sehingga Ho diterima. Ini berarti model regresi kelas kontrol adalah linier. Jadi pada kelas kontrol, kemampuan awal siswa dan hasil belajar siswa mempunyai hubungan yang linier. d. Uji kesamaan Hasil analisis uji kesamaan dua model regresi disajikan pada Tabel 5 Tabel 5 Uji Kesamaan Dua Model Regresi a b SSR(R) SSTO(R) SSE(R) SSE(F F* F(0,95,2, ) 76) 12,0 0,6 271,570 1694,38 1422,81 763,95 32,77 3,12 4 4 75 71

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

30

Dengan taraf signifikan  = 5% diperoleh F(0,95,1,76) = 3,97 , dengan demikian F* > F(0,95,2,64) maka Ho ditolak. Artinya model regresi kelas linier dan kelas kontrol tidak sama.

e. Uji kesejajaran Berdasarkan hasil pada poin d, maka pengujian dilanjutkan dengan menguji kesejajaran model regresi. Hasil uji kesejajaran dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Uji Kesejajaran Model Regresi A B F* F(0,95,1,76) 763,95

801,70

3,76

3,97

Dari tabel 6 terlihat bahwa F* = 3,76. Dengan taraf signifikan  = 5% diperoleh F(0,95,76) = 3,97. Dengan demikian F* < F(0,95,2,64) , maka Ho diterima, artinya model regresi kelas eksperimen dan kelas kontrol sejajar. Berdasarkan hasil uji kesamaan dan uji kesejajaran ternyata dua model regresi tidak sama namun sejajar, karena itu dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistikdengan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. Konstanta garis regresi kelas eksperimen adalah 15,86, konstanta ini lebih besar dari konstanta garis regresi kelas kontrol yaitu 6,99. Secara geometris garis regresi kelas eksperimen di atas garis regresi kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik untuk materi pokok aritmetika sosial di kelas VII MTs lebih baik dibanding hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perangkat pembelajaran matematika realistikuntuk materi pokok sistem aritmetika sosial dikembangkan dengan menggunakan model pengembangan 4D yang dimodifikasi. Pengembangan perangkat pembelajaran dengan model ini terdiri dari 3 tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop). Dengan menggunakan model ini, dihasilkan perangkat pembelajaran yang baik/valid. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan meliputi: (1) rencana pembelajaran (RP), (2), lembar kerja siswa, dan (3) tes hasil belajar. 2. Model pembelajaran matematika realistikefektif untuk mengajarkan materi pokok aritmetika sosial. Hal ini terlihat dari aktivitas siswa efektif, kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, ketrampilan kooperatif siswa efektif, respon

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

31

siswa terhadap pembelajaran positif serta ketuntasan belajar siswa secara klasikal mencapai 82,5 % 3. Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran matematika realistik untuk materi pokok aritmetika sosial lebih baik daripada hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Saran Pembelajaran matematika realistikyang diajarkan dalam pembelajaran penelitian ini memberikan beberapa masukkan untuk diperhatikan. Karena itu peneliti menyarankan : 1. Kepada guru matematika untuk menggunakan perangkat pembelajaran dengan mengguakan model 4-D yang telah dimodifikasi sehingga untuk meteri pokok aritmetika sosial yang telah dieksperimenkan ini. 2. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan masih perlu diujicobakan di sekolah-sekolah lain dengan berbagai kondisi agar diperoleh perangkat pembelajaran yang benar-benar berkualitas (sebagai tahapan penyebaran dalam model pengembangan 4-D) DAFTAR PUSTAKA Aiken, L. 1997. Psychological Testing and Assesment (9th Edition). Boston: Allyn and Bacon Alhaddad, S.F. 2002. “Pembelajaran

Matematika Realistik Materi pokok Pecahan di SD Muhammadiyah 4 Surabaya.” Tesis Magister Pendidikan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. Arikunto, S. 1999. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. Bumi Aksara: Jakarta. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Depdiknas. de Lange, J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Ultrecht: OW&OC. Dick, W. dan L. Carey. 1990. The Systematic Design of Instruction. 3rd edition. Florida: Harper Collins Pub.ishers. Eggen, P.D & Kauchak, D.P. 1988. Strategies for teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Allyn and Bacon: Boston Fauzan, A., 2001. “Pengembangan Dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat Pembelajaran Geometri Untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan RME.” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari 2001. Ferguson. 1989. Statistical Analysis in Psychology and Education. New York: McGraw Hill Companies, Inc. Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht:

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

32

Freudenthal Institute. Gravemeijer, K. dan M Dorman. 1999. Context Problems in Realistic Mathematics Education: A Calculus Course as an Example. http://www.fi. uu.nl/pme25/psi/handouts_shee ts/michiel/CalculusArticle.pdf. Diakses: 17 Mei 2005. Gronlund, N.E. 1982. Constructing Achievement Test. Englewood Cliffs: Prentice-Hall. Hasratuddin, 2002. “Pembelajaran Matematika Unit Geometri dengan Pendekatan Realistik di SLTP 6 Medan.” Tesis Magister Pendidikan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. Herawati, D. 2003. “Pembelajaran Matematika Realistik Materi pokok Persamaan Linier Satu Peubah di SLTP 21 Surabaya.” Tesis Magister Pendidikan. Universitas Negeri Surabaya. Herlina, E. 2003. “Pembelajaran Matematika Realistik pada Materi Luas di Kelas IV MI.” Tesis Magister Pendidikan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. Hudojo, H., 1988. Pembelajaran Matematika. Dirjen Dikti: Jakarta ----------. 1998. Matematika. Depdikbud

Pembelajaran Jakarta :

Kemp, J.E., G.R. Morrison, dan S.M. Ross. 1994. Designing Effective Instruction. New York: Macmillan College Publishing Company.

La Siara. 2004. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik untuk Topik Kesebangunan di Kelas 3 SLTPN 22 Surabaya.” Tesis Magister Pendidikan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. Marpaung, Y. 2002. “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia: Perubahan Paradigma dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah.” Dalam Matematika: Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Edisi Khusus. Juli 2002. Mudhofir. 1987. Teknologi Instruksional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Norbury, A. 2004. Mathematics Education Teaching and Learning. http://s13a. math.aca.mmu.ac.uk/Student_ Writings/TS1/AngelaNorbur.ht ml. Diakses: 5 April 2005. Nur, M., dan P.R. Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Kontruktivis dalam Pengajaran. Pusat Studi MIPA Unesa. UNESA Surabaya. Orton, A. 1992. Learning Mathematics (Second Edition). London : Cassel. Ratumanan, T. G. 2003. “Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif dengan Setting Kooperatif (PISK) dan Pengaruhnya terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon.” Ringkasan Disertasi. Surabaya: PPs Unesa.

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

33

Sabardin. 2004. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik untuk Topik Persegipanjang dan Persegi di Kelas 1 SMP Negeri 5 Bau-bau Sulawesi Tenggara.” Tesis Magister Pendidikan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. Slavin, R. E, 1997. Educational Psychology Theory Into Practice. Edisi 6. Boston: Allyn & Bacon. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, (konstatasi keadaan masa kinimenuju harapan masa depan). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdiknas. -----------, 2001a. “Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari 2001. -----------, 2001b. “Pembelajaran Matematika Realistik: pengenalan awal dan praktis.” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA.

Suparno, P. 2001. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Suwarsono, S. 2001. Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Upaya Implementasi Pendekatan Matematika Realistik di Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Nasional tentang Pendekatan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma tanggal 14-15 November 2001. Thiagarajan, S. Semmel, DS. Semmel, M. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. A Sourse Book. Blomingtn: Central for Innovation on Teaching The Handicapped. Treffers. A. 1991. “Didactical Background of a Mathematics Programs for Primary Education” dalam L. Streefland (Ed): Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute– Utrecht University

Sukahar. 1992. Diagnosis Kemampuan Menguasai Konsep dan Melakukan Operasi Hitung Mahasiswa FPMIPA IKIP Surabaya Angkatan 1991/1992. Surabaya: FPMIPA IKIP Surabaya.

Sri Indriati Hasanah; Pembelajaran Matematika Realistik

34

IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN MENULIS DI KELAS RENDAH SEKOLAH DASAR/MI Drs. H. Sulistiyono, M.Pd *)

Abstrak: Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menganut pemikiran aliran konstruktivis yang mempertimbangkan prior knowledge siswa. Skemata siswa dimanfaatkan sebagai modal pembelajaran baik melalui asimilasi maupun akomodasi. Konsep scafolding menjadi ciri dalam strategi pembelajarannya. Implementasi KBK dalam pembelajaran keterampilan menulis di kelas rendah SD/MI juga merujuk pada pemikiran tersebut. Untuk itu, guru diharapkan dapat merancang pembelajarannya dengan mempertimbangkan dasar-dasar perkembangan tulisan siswa sebelumnya serta lingkungan dan suasana kelas yang menunjang proses penguasaan keterampilan menulisnya. Rancangan pembelajaran yang dikemas guru diharapkan dapat membuahkan proses pembelajaran yang bukan hanya menunjang penciptaan siswa belajar secara aktif dan dapat memotivasi belajar, tetapi juga implementasi pembelajaran yang menjadikan siswa mengalami langsung apa yang dipelajarinya bukan mengetahui dari guru. Pendekatan tematik sebagai pendekatan yang utama dalam pembelajaran menulis di kelas rendah akan lebih menjadikan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan menjadikan siswa memiliki tanggung jawab sendiri terhadap belajarnya. Kata Kunci: KBK, konstruktivis, skemata, scafolding, tematik. PENDAHULUAN Kurikulum berbasis kompeten-si mengisyaratkan implementasi pembelajaran hendaknya lebih bermakna. Implementasi pembela-jaran yang bukan hanya menunjang penciptaan siswa belajar secara aktif dan dapat memotivasi belajar, tetapi juga implementasi pembelajaran yang menjadikan siswa mengalami langsung materi yang dipelajarinya bukan mengetahui dari guru. Ini berarti bahwa sekolah termasuk guru sepenuhnya dapat mengelola waktu belajar siswa menjadi hari-hari siswa yang tumbuh kesenangan untuk belajar.

Siswa akan tumbuh kesenangan belajar jika lingkungan belajar diciptakan secara alamiah. Siswa dibawa ke dalam lingkungan yang nyata baik secara fisik (konteks lingkungan sosial - budaya) maupun secara psikis (tingkat perkembangan siswa) dan dikemas utuk diimplementasikan dalam kehidupan mereka di rumah. Sesuai dengan pernyataan bahwa “bawalah mereka dari dunia mereka ke dunia kita, kemudian antarkan mereka dari dunia kita ke dunia mereka kembali!” 35

Dengan begitu, siswa bukan hanya sekedar mengenal nilai LOGOS, tetapi harus mampu menghayati nilai-nilai tersebut (ETOS), dan yang terpenting adalah sampai kepada anak mampu mengaktualisasikan/mengamalkan nilai-nilai tersebut (PATOS)” (Direktorat SLTP, 2002:10) . Dipilihnya judul di atas mengingat keterampilan baca-tulihitung, khususnya keterampilan menulis harus dikuasai oleh para siswa di SD/MI. Karena keterampilan tersebut secara langsung berkaitan dengan seluruh proses belajar siswa di SD/MI. Keberhasilan belajar mereka dalam mengikuti proses kegiatan pembelajaran di sekolah selain ditentukan oleh penguasaan keterampilan membaca dan berhitung mereka, juga ditentukan oleh penguasaan keterampilan menulisnya. Pembelajaran keterampilan menulis di SD/MI menurut KBK dilaksanakan sesuai dengan pembedaan atas kelas rendah dan kelas tinggi. Pembelajaran menulis di kelas rendah biasanya disebut sebagai pembelajaran menulis permulaan, sedangkan di kelas tinggi disebut pembelajaran menulis lanjut. Pembelajaran menulis permulaan bertujuan agar siswa mengenal dan menguasai sistem tulisan Latin sehingga mereka dapat menulis dengan menggunakan sistem tulisan tersebut. Sedangkan menulis lanjut bertujuan agar siswa mampu menyampaikan berbagai informasi melalui tulisan. Hal yang perlu dipahami oleh para guru, terutama yang mengajar di kelas rendah dan orang tua siswa bahwa hakikat

menulis adalah berkomunikasi. Oleh karena itu, belajar menulis pada tingkat permulaan juga pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Berdasarkan pemikiran di atas, bagaimanakah seharusnya guru mengimplementasikan pembelajaran keterampilan menulis di kelas rendah lebih efektif dan bermakna? PEMBAHASAN Penciptaan Lingkungan Kelas yang Kaya Tulisan Apa yang diharapkan dan diinginkan guru dari muridnya diantaranya dapat tercermin dari bagaimana guru tersebut menata ruang kelasnya. Penataan kelas yang baik akan menunjang pembelajaran dan dapat berfungsi sebagai sumber belajar. Untuk itu, guru-guru SD/MI diharapkan dapat menciptakan kondisi lingkungan kelasnya kaya akan tulisan. Penciptaan ini memungkinkan siswa melihat, bersentuhan, dan bermain dengan berbagai macam buku atau bahan bacaan anak. Misalnya buku cerita bergambar, majalah anakanak, dan buku bergambar. Dengan kata lain, guru dan buku teks bukan satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar yang dimiliki siswa. Hal itu sesuai dengan konsep dalam KBK bahwa materi tidak hanya dibatasi pada materi buku pelajaran tetapi juga berupa realitas berujud objek, peristiwa, dongeng, gambar, contoh tulisan, dan lain-lain (Norton, 1994). Oleh sebab itulah materi pembelajaran menulis di kelas rendah sebagai material (bahan-bahan) dapat mengacu pada sesuatu yang secara potensial dapat dijadikan springboard dalam pencapaian pembelajaran. Sebab, tidak hanya kemampuan 36

intelektual siswa saja yang dapat berkembang dengan baik di kelas yang ditata sebagai sumber belajar, tetapi kepribadian dan konsep positif tentang belajar juga berkembang dengan baik. Di samping itu, diperlukan pengemasan pembelajaran agar siswa tumbuh kesenangan belajar dan membuahkan pengalaman belajar baik berupa kognitif, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu. Dengan demikian, guru juga berperan untuk menciptakan kelas dalam suasana menulis. Suasana kelas yang dimaksud bukan hanya suasana fisik, tetapi juga suasana intelektual (Temple, Ruth, dan Nancy. 1988:215). Suasana fisik dapat berupa pengadaan dan penataan kelas yang kaya akan tulisan, juga termasuk penataan tempat duduk, cahaya, dan ventilasi. Sedangkan suasana intelektual lebih merupakan penciptaan situasi pembelajaran yang memungkinkan kegiatan menulis diterima dengan penuh antusias. Dalam suasana tersebut, siswa merasa boleh berbuat salah tanpa merasa takut dan siswa merasa ditolong untuk mencapai tujuan. Bahkan idealnya, siswa harus menyadari bahwa mencoba dan mencoba merupakan bagian proses menulis yang terpenting. Sebagaimana yang dikatakan Tompkins (1991:8), ketidakberhasilan dalam pengalaman menulis siswa sering disebabkan oleh keyakinan guru bahwa siswa tidak mampu menulis dan tidak ada semangat guru membantu siswa dalam melakukan kegiatan menulisnya. Kondisi dan situasi yang demikian hendaknya dapat dipahami oleh para guru-guru SD/MI.

Dasar–Dasar Pembelajaran Menulis Keterampilan menulis tidak diperoleh secara alamiah, tetapi melalui proses belajar. Tetapi, bukan berarti bahwa pemahaman anak terhadap tulisan dan baru mulai menulis sejak di sekolah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Strickland (dalam Burns dkk., 1996:42), anak mulai membaca dan menulis dalam awal hidupnya tanpa pengajaran formal. Bahkan, sebelum dapat menulis anak telah memahami cerita dan dapat bercerita kepada orang lain. Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang sangat kompleks, yang bukan hanya melibatkan fisik tetapi juga kegiatan mental. Mulai memegang pensil, menggerakkan tangan dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah, menggerakkan tangan sambil memperhatikan yang harus dituliskan, menggambarkan bunyi dalam bentuk huruf dan merangkainya sampai menuangkan pikiran dan perasaan yang mengandung pesan. Pembicaraan tentang pembelajar-an menulis tidak terlepas dari pembicaraan tentang perkembangan tulisan anak-anak sebelumnya. Anak belajar mencoretcoret kertas, membuat garis dari kiri ke kanan yang bergoyang, dan membuat gambar lalu membacakannya, menunjukkan bahwa dalam diri anak telah muncul keberwacanaan (literacy) sejak awal sebelum masuk SD/MI. Sebagaimana dikemukakan oleh Smith dan Alan (1980: 14), tahap awal belajar menulis ketika anak menggerakkan sebuah batangan kayu, krayon atau pensil pada beberapa kertas yang berupa coretan. Mereka melakukan secara 37

berulang-ulang dengan perasaan senang. Akhirnya, mereka mencoba membuat catatan yang mewakili gambar suatu objek atau meniru tulisan. Pada usia 3 atau 4 tahun sebagian besar anak bukan hanya menggambar gambar-gambar, tetapi mereka juga menulis walaupun bentuknya seperti cakar ayam. Dengan demikian, untuk mengembangkan kemampuan menulis anak salah satunya dengan cara ajari anak belajar menulis melalui tulisan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Farris (1993:182), jika menginginkan anak terampil menulis maka dalam belajar menulis mereka harus aktif berpartisipasi dalam tugas-tugas menulis. Menurut Farris (1993:192) ketika anak meninggalkan dunia sosialisasinya di TK dan masuk kelas satu yang berorientasi akademik, mereka sering mempunyai perasaan saya dapat menulis dan saya adalah penulis. Pada usia 6 tahun atau kirakira anak kelas satu, anak selalu mempunyai sesuatu untuk dituliskan pada kertas, bahkan mereka menyadari bahwa tulisan mereka perlu diketahui atau dibahas orang lain. Dalam masa itu, anak kelas satu ingin menulis, menulis, dan menulis lebih banyak. Anak kelas satu belum dapat mengedit tulisannya dengan baik, mereka bahkan tidak mengetahui bahwa tulisan yang dihapus itu lebih mudah dibaca. Dalam hal ini, keinginannya yang kuat untuk memulai dan menyelesaikan tulisan dalam waktu yang singkat masih mendominasi. Oleh karena itu, menjadi suatu peristiwa penting bagi anak ketika mereka menghapus atau mencoret suatu baris teks.

Menurut Farris (1993:196), mulai kelas dua tulisan anak-anak sudah dapat dibedakan. Pada anakanak tertentu kegiatan menulis dilakukan dengan rasa antusias. Sedangkan bagi anak-anak lain, menulis merupakan kegiatan yang tidak menarik. Satu kata yang salah ejaannya dapat menyebabkan siswa tersebut melemparkan pekerjaannya. Bahkan, tanda salah yang sekecilpun dapat menyebabkan anak membuang kertas dan memulainya lagi dengan kertas yang baru. Ketika anak meninggalkan dunia egosentris pada tahap operasional kongkrit, mereka mulai mengetahui bahwa beberapa tulisan dapat diterima sedangkan yang lain tidak. Anak kelas satu jarang menghawatirkan tulisan mereka, sebab mereka memberikan semua perhatian untuk menikamati kegiatan menulis dan bukanlah mencari reaksi pembaca atau orang lain. Akan tetapi, akan menjadi sebaliknya untuk anak-anak kelas dua. Pengesahan dan penerimaan sangatlah penting. Suatu contoh, jika guru memuji cerita si Ali tentang “kucingnya”, maka siswa yang lain juga akan memilih cerita yang mirip, dengan harapan guru juga akan memujinya. Karena itu, dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran menulis guru harus mempertimbangkan hal-hal penting yang berhubungan dengan perkembangan tulisan anak. Hal-hal yang dimaksud sebagai berikut: (1) anak dapat mengarang sebelum mereka dapat menulis, (2) anak memasukkan dalam penggalanpenggalan karangan mereka apa yang mereka dengar dan baca di dalam pekerjaan yang lain, (3) anak 38

diperkenalkan tentang kesukaannya, pembaca, topik, dan tujuan menulis, dan (4) karangan mengikuti pola-pola bentuk yang sudah diketahui (Temple dkk., 1988:118-126). Dengan demikian, penciptaan lingkungan yang kaya tulisan dan dasar-dasar pembelajaran menulis dapat dijadikan pemikiran guru dalam pengimplementasian KBK pada pembelajaran menulis permulaan. Pembelajaran Menulis Di Kelas Rendah SD/MI Pendekatan Pembelajaran Menulis Di Kelas Rendah SD/MI Terdapat sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis. Beberapa pendekatan tersebut adalah pendekatan terpadu, pendekatan proses, pendekatan kontekstual, dan pendekatan tematik. Ditinjau dari isi dan substansinya, pendekatan terpadu dapat digunakan dalam pembelajaran menulis. Hal ini mengacu pada konsepsi Robin (1995), bahwa pembelajaran menulis harus menunjukkan (1) keterpaduan antara tingkat pengalaman, minat, motivasi, dan prior knowledge siswa dengan bentuk dan isi pembelajaran, (2) keterpaduan antara komponenkomponen yang diajarkan sehingga membentuk pengalaman belajar dan pemahaman yang utuh, dan (3) keterpaduan antara sesuatu yang dipelajari dan pengalaman belajar yang diperoleh dengan realitas penggunaan keterampilan menulis secara kongkret. Bahkan, menurut Depdiknas (2002:22) keterpaduan pembelajaran dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar. Konsep

ini merujuk pada pandangan teori Gestal yang melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik). Perkembangan fisik siswa tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosionalnya. Jika demikian halnya, kegiatan pembelajaran hendaknya merupakan keterpaduan dari berbagai komponen terkait. Hal ini seiring dengan perkembangan siswa yang bersifat holistik. Ditinjau dari aktivitas pembelajarannya, pembelajaran menulis dapat menggunakan pendekatan proses dan pendekatan kontekstual. Pendekatan pembelajaran menulis menurut pandangan modern adalah pendekatan yang tidak hanya mementingkan produk, tetapi juga prosesnya (Cleary dkk., 1993:346; Tompkins, 1994:7). Dengan pendekatan proses, siswa dikondisikan belajar bagaimana menulis dan siswa tidak hanya bergantung pada umpan balik guru, baik positif maupun negatif, tetapi lebih dari itu siswa bertanggung jawab terhadap tulisan mereka sendiri. Inipun menunjukkan pergeseran peran guru dalam pembelajaran menulis dari sekedar memberi tugas dan menilai hasil ke arah bekerja bersama siswa selama proses menulis. Untuk itu, dalam kegiatan proses menulis guru hendaknya menciptakan situasi belajar yang memungkinkan diterima dengan penuh antusias dan respek. Percy (1981:22) mengemukakan beberapa cara kunci untuk membantu mendorong siswa dalam menulis, yakni: (1) menciptakan lingkungan yang kondusif dan aman, (2) memberi kesempatan siswa sebagai motivator dan penentu kerja menulisnya, (3) membantu siswa mengembangkan 39

pengetahuan dan pengertiannya tentang lingkungan dan kosakata, (4) mengembangkan eksperimen dengan kata-kata dan menghargai keunikan ekspresi siswa, (5) membantu siswa menulis dengan tujuan tertentu, (6) memodelkan aktivitas menulis, (7) memanfaatkan minat dan kemampuan siswa, dan (8) memberi kesempatan siswa untuk membaca tulisan temannya. Adapun tahapan pendekatan proses menurut Faris (1993:202) terdiri atas pramenulis, menulis, dan menulis kembali. Pada tahap pramenulis siswa banyak menggunakan pengulangan, dan pada tahap menulis siswa lebih menekankan pada draf sebuah tulisan, sedangkan pada tahap menulis kembali siswa sudah dapat memperbaiki tulisan dan menata kembali gagasan-gagasan yang lebih kreatif. Pembelajaran menulis dengan menggunakan pendekatan kontekstual memiliki acuan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dalam menghubungkan mata pelajaran (konten) dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa dalam menghubungkan pengetahuan dan menerapkan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kontekstual diterapkan dalam pembelajaran menulis di kelas rendah agar pembelajaran menulis tersebut berciri kontekstual. Pembelajaran yang demikian itu memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan pengalaman yang nyata dan memanfaatkan pengalamannya dalam memperoleh pengalaman baru dalam pembelajaran menulis. Hal ini mengingat siswa sebelum memasuki pendidikan

formal telah mengalami masa perkembangan menulis. Dengan pendekatan kontekstual, pembelajaran menulis dirancang dan dilaksanakan dengan penekanan bahwa pembelajaran itu dikontekskan dengan dan ke dalam situasi nyata sehingga diperoleh hasil belajar yang nyata pula. Dilihat dari segi penyusunan dan penyampaiannya dalam program pembelajaran terdapat pendekatan tematik. Pendekatan ini menurut KBK hanya digunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran untuk kelas rendah, termasuk pembelajaran menulis permulaan. Pendekatan tematik memuat konsepsi bahwa pembelajaran dapat diuntai dan memuat tema dalam area isi tertentu sejalan dengan topik-topik yang akan digarap. Tema yang dipilih dalam setiap unit pembelajaran merupakan konteks yang berlaku dalam unit tersebut. Hal tersebut berarti bahwa sub-sub unit pelajaran seharusnya terkait pada tema yang telah ditetapkan. Keterikatan tema tidak terbatas pada isi teks saja, tetapi juga pada satuan-satuan bahan pembelajaran yang lebih kecil. Misalnya, keterkaitan keterampilan membaca permulaan dengan menulis permulaan termasuk satuan terkecil dari area isi tulisan yang disampaikan dalam pembelajaran tersebut. Bahan Ajar Pembelajaran Menulis Di Kelas Rendah Sekolah Dasar/MI Ragam tulisan dilihat dari segi bentuk pengungkapannya terdiri atas narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan ekspresi (Temple dkk., 1988:142). Semua bentuk tulisan di atas dapat diajarkan di SD. Salah satu ragam tulisan di atas yang sering 40

digunakan di SD mulai kelas 1 sampai kelas 6 adalah tulisan narasi. Sebagaimana yang dinyatakan dari hasil studi Flood dan Lapp bahwa tulisan narasi sering digunakan di SD mulai kelas 1 sampai kelas 6 (Heller, 1991:106). Berdasarkan konsep tersebut dan konsep pendekatan kontekstual maka pembelajaran menulis permulaan hendaknya memanfaatkan narasi yang ada di daerah siswa untuk diangkat sebagai tema. Dalam arti, penyajian pembelajaran diletakkan dalam konteks tema yang jelas. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan utuh. Siswa lebih merasakan manfaat dan makna belajar. Siswa lebih bergairah belajar karena mereka bisa langsung bersentuhan dengan situasi yang nyata. Sesuai dengan tujuan pembelajaran menulis permulaan yang mengharapkan siswa mengenal, menguasai, dan terampil menggunakan sistem tulisan Latin, maka dapat dikatakan pembelajaran keterampilan menulis di kelas rendah lebih mnekankan pada penguasaan aspek mekaniknya. Siswa diharapkan dapat mengubah konsep-konsep ke dalam lambang-lambang bermakna. Adapun bentuk-bentuk tulisan yang dapat dikemas dalam pembelajaran menulis di kelas rendah khususnya kelas satu dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu (1) kategori coretan, huruf, dan ejaan; (2) kategori huruf mencakup unit menyerupai huruf, huruf-huruf acak, pola-pola huruf, dan unsurunsur nama huruf; dan (3) kategori ejaan mencakup ejaan penuh dan ejaan konvensional (Faris, 1993).

Prosedur Pembelajaran Menulis Di Kelas Rendah Sekolah Dasar/MI Dalam pembelajaran menulis permulaan, prosedur pembelajaran lebih merupakan kegiatan kelas yang dirancang guru dan berisi skenario tahap demi tahap tentang pembelajaran menulis permulaan. Pada prosedur pembelajaran hendaknya tercermin tujuan pembelajarn, media, bahan pembelajaran, pendekatan, metode, dan authentic assessment-nya. Oleh sebab itu, guru diharapkan dapat merancang prosedur pembelajarannya lebih bermakna dan menarik. Dalam arti, guru dalam memilih bahan, pendekatan, metode hendaknya menarik dan bermakna bagi siswa. Di samping itu, siswa di dalam belajar menulis permulaan diberi scafolding. Untuk itu, guru harus memahami bagaimana cara memberi penyangga dan bagaimana melepaskan penyangganya. Dengan kata lain, guru hendaknya dapat mengarahkan siswa menemukan sendiri konsep belajarnya, dalam arti lebih menekankan pada prosedurnya daripada hasil belajarnya. Konsep scaffolding adalah guru memberikan penyangga pada siswa dengan cara pada tahap awal guru memberikan tanggung jawab atau bimbingan penuh tetapi sedikit demi sedikit dilepaskan sehingga siswa dapat menemukan sendiri hal pokok yang disampaikan. Konsep ini bersesuaian dengan pemikiran konstruktivis yang pada saat ini dianut oleh Kurikulum Berbasis Kompetensi. Untuk itu, diharapkan bagaimana guru dapat merancang pembelajaran menulis permulaan dengan menggunakan metode pembelajaran bahasa baik metode Bunyi, Kata Lembaga maupun metode SAS dapat mewujudkan prosedur pembelajaran 41

sebagai berikut (1) mengkondisikan pembelajaran yang lebih bermakna dengan cara membuat siswa bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri tentang pengetahuan dan keterampilan mekanik menulisnya, (2) mengkondisi-kan aktivitas ingkuiri dalam setiap kegiatan pembelajarannya, (3) mengkondisikan kelas dengan kegiatan yang menghidupkan aktivitas bertanya, dan (4) lakukan penilaian otentik dalam berbagai bentuk yang bukan hanya untuk diketahui guru tetapi juga siswa dapat menyadari perkembangan keterampilan mekanik menulisnya. Asesmen Otentik Dalam Pembelajaran Menulis Di Kelas Rendah SD/MI Asesmen otentik tidaklah sama dengan evaluasi atau penilaian. Asesmen otentik merupakan bagian integral dari kegiatan pembelajaran dan tidak dapat dipisahkan. Asesmen otentik dapat digunakan untuk merencanakan program pembelajaran, melihat pelaksanaan program pembelajaran, dan memperbaiki program pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Herman dkk. (1992:1) bahwa asesmen harus sama dengan tujuan pembelajaran dan melibatkan pemeriksaan proses pembelajaran serta hasil belajarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa asesmen merupakan pengumpulan data atau informasi tentang kegiatan pembelajaran baik yang menyangkut kesulitan yang dihadapi siswa maupun tentang kemajuan belajar siswa secara berkelanjutan sebagai suatu bentuk perekeman tentang perkembangan belajar siswa.

Asesmen sebagai bagian integral dari kegiatan pembelajaran bukanlah merupakan tujuan akhir. Asesmen selain memberikan informasi untuk pengambilan keputusan tentang apa yang telah dipelajari siswa, nilai berapa yang sepatutnya diterima siswa, apakah siswa bisa naik kelas, kelompok mana siswa seharusnya, juga dapat digunakan untuk memberikan bantuan tentang kesulitan belajarnya dan metode mana yang harus diperbaiki. Bahkan asesmen yang baik akan memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan untuk meningkatkan hasil pendidikan. Asesmen otentik yang dapat digunkan dalam pembelajaran menulis di kelas rendah SD/MI (menulis permulaan) meliputi teknik catatan sekolah, teknik cuplikan kerja, teknik portofolio, teknik observasi, dan teknik dokumentasi. Adapun uraian dari masing-masing teknik tersebut adalah sebagai berikut. 1) Teknik Catatan Sekolah Catatan Sekolah merupakan teknik asesmen yang berbentuk laporan kemajuan belajar siswa. Teknik ini berupa deskripsi tentang segala aspek yang dialami siswa berkenaan dengan kemajuan atau permasalahan tentang belajar mekanik menulisnya. Catatan Sekolah ini juga berisi saran guru tentang strategi yang harus dilakukan siswa untuk kepentingan pengem-bangan dan informasi tentang motivasi siswa, sikap terhadap pembelajaran, minat khusus, kemampuan bersosialisasi, dan irama emosional siswa. Kelebihan teknik ini adalah bahwa catatan sekolah sangat efektif untuk mengungkapkan seluruh aspek belajar siswa. Sedangkan kelemahannya 42

adalah memerlukan kerja yang cukup banyak dan membutuhkan waktu yang sangat lama. 2) Teknik Cuplikan Kerja Cuplikan Kerja merupakan contoh dari hasil pekerjaan pebelajar yang menggambarkan kemajuan kognitif pebelajar. Cuplikan kerja diambil sesuai dengan tujuan apa yang ingin dicapai guru. Jika guru ingin melihat kemajuan pebelajar dalam menulis permulaan, maka guru akan mengambil cuplikan kerja yang paling akhir dibuat oleh pebelajar. Jika guru ingin melihat perkembangan menulis permulaan, maka guru mengambil cuplikan pada awal, tengah, dan akhir pekerjaan pebelajar. Asesmen dengan teknik ini dapat meningkatkan kreativitas dan produktivitas siswa. 3) Teknik Portofolio Portofolio adalah suatu kumpulan pekerjaan pebelajar yang dapat digunakan untuk mendokumentasikan kemajuan belajarnya. Sebagai suatu teknik, portofolio memfokuskan pekerjaan produktif pebelajar dan apa yang dapat dikerjakan oleh pebelajar. Faktor yang dilihat dapat berupa: karya pekerjaan siswa, kemajuan siswa, kognitif, dan hasil terbaik menurut siswa. Dengan demikian dapat dikatakan portofolio dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan pengases. 3) Teknik Observasi Teknik observasi didasarkan pada perilaku seseorang (Sechrest dalam Griffin dan Feter, 1991:59). Perilaku siswa tersebut dapat berupa keterlibatan siswa dalam melakukan pekerjaan baik secara individu maupun kelompok, bagaimana siswa

menggunakan strategi belajar, bagaimana siswa berinteraksi, dan bagaimana siswa berbagi informasi. Penggunaan teknik ini dalam pembelajaran menulis permulaan difokuskan pada bagaimana keterampilan siswa memegang pensil dan menulis huruf-huruf dengan benar dan bermakna. 4) Teknik Dokumentasi Teknik ini merekam semua biodata siswa, kemampuan akedemik, dan perkembangan keterampilan mekanik menulisnya, dan hasil belajar menulisnya. Teknik ini dilakukan melalui pencatatan,, rekaman audio, rekaman audio visual, dan foto. SIMPULAN Pembelajaran keterampilan menulis di SD/MI berdasarkan KBK dibedakan menjadi pembelajaran menulis di kelas rendah dan pembelajaran menulis di kelas tinggi. Pembelajaran menulis di kelas rendah disebut juga pembelajaran menulis permulaan, sedangkan di kelas tinggi disebut pembelajaran menulis lanjut. Tujuan pembelajaran menulis permulaan adalah siswa menguasai dan terampil tentang mekanik menulisnya. Implementasi KBK pada pembelajaran keterampilan menulis permulaan tercermin dengan digunakan-nya pendekatan tematik pada pembelajaran di kelas rendah. Dasar pemikiran ini adalah teori konstruktivis dan teori Gestalt. Untuk itu, guru diharapkan dapat merancang pem-belajaran dengan mempertimbangkan pengetahuan siswa sebelumnya dalam siswa membangun pengetahuan baru. Rancangan pembelajaran tersebut 43

diharapkan dapat menjadikan proses pembelajaran yang bukan hanya menunjang penciptaan siswa belajar aktif dan memotivasi belajar, tetapi juga menjadikan siswa mengalami langsung apa yang dipelajarinya bukan mengetahui dari guru. Dengan kata lain, pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa dan menjadikan siswa memiliki tanggung jawab sendiri terhadap belajarnya. DAFTAR RUJUKAN Burns, P. C., Betty D. D., dan Elinor P. R. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary School. New York: Boston Toronto. Cleary, L. M. dan Michael D. L. 1993. Linguistics for Teacher’s. New York: McGraw-Hill, Inc. Depdiknas. 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbbasis Sekolah, Buku 5, Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas. Farris, P. J. 1993. Language Arts a Process Approach. Madison, Wisconsin: Brown & Benchmark. Fogarity, Robin. 1991. How to Integrate the Curricula. Platine: IRI/Skyligh Publishing, Inc.

Griffin, P. dan Peter N. 1991. Educational Assessment and Reporting: A New Approach. Australia Cataloguing-in Publication Data. Herman, J.L. dkk. 1992. A Practical Guide to Alternative Assessment. ASCD: Alexandria, VA. Percy, Bernard. 1981. The Power of Creative Writing. Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc. Smith, N. B. dan Alan R. 1980. Reading Instruction for Today’s Children. Englewood Cliffs: Prentice-Hall Inc. Temple, C., Ruth N. dan Nancy B. 1988. The Beginning of Writing. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product.New York: Macmillan College Publishing Company. Tompkins, G. E. & Hoskisson K. 1991. Language Arts Content and Teaching Strategies. New York: Macmillan Publishing Company.

44

TES KEMAMPUAN BERBAHASA SEBAGAI ALAT PENILAIAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh : Rahmad, S.Pd. Abstrak Tujuan belajar bahasa pada hakikatnya agar pembelajar mampu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Ini berarti pembelajar harus mampu berkomunikasi. Seiring dengan tujuan belajar tersebut alat penilaian yang tepat untuk mengukur kemampuan berkomunikasi adalah tes kemampuan berbahasa atau tes kemampuan berkomunikasi dengan bahasa. Dalam komunikasi bahasa digunakan dalam kegiatan berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Oleh karena itu alat penilaian yang tepat untuk mengukur kemampuan berkomunikasi tersebut adalah tes berbicara, tes menyimak, tes membaca, dan menulis. Keempat tes tersebut menuntut kreativitas sebab merupakan keterampilan berbahasa. Kata Kunci: tes, keterampilan berbahasa, dan komunikasi.

1. Pengantar Belajar bahasa dapat dikatagorikan pada 2 jenis, yaitu belajar tentang bahasa dan belajar berbahasa. Pada jenis pertama hasil belajar bahasa berbentuk pengetahuan tentang bahasa sedangkan pada jenis kedua hasil belajar bahasa berbentuk keterampilan berbahasa. Jika kita lihat kurikulum yang sedang berlaku, tampaknya pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan pada jenis belajar bahasa yang kedua, yaitu belajar berbahasa. Hal ini tampak jelas dalam rumusan tujuan mata pelajaran tersebut seperti kutipan berikut.

“Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsinya serta mampu menggunakannya dengan tepat/kreatif untuk bermacam-macam tujuan/keperluan dan keadaan.” (Muslich, 1994:28) Aspek kemampuan berbahasa yang tampak dalam rumusan tersebut adalah siswa memahami dan menggunakan bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan. Aspek kemampuan tersebut identik dengan kemampuan berkomunikasi. Jadi, hasil belajar yang diharapkan adalah siswa mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

45

Kemampuan berkomunikasi pada hakikatnya adalah kemampuan memahami (reseptif) dan menyampaikan (produktif) pesan baik dengan bahasa lisan maupun tulis. Dengan demikian untuk mengukur berhasil tidaknya siswa dalam belajar bahasa Indonesia, alat yang digunakan adalah tes kemampuan berkomunikasi, yang selanjutnya disebut tes kemampuan berbahasa. Sejalan dengan konsep tersebut, tes kemampuan berbahasa meliputi (1) tes kemampuan reseptif lisan (menyimak), (2) tes kemampuan reseptif tulis (membaca), (3) tes kemampuan produktif lisan (berbicara), dan (4) tes kemampuan produktif tulis (menulis). 2. Tes Kemampuan Reseptif Lisan (Menyimak) Tes ini pada dasarnya berisi sejumlah tugas yang harus dikerjakan siswa untuk memahami pesan yang terdapat dalam wacana/tuturan lisan. Siswa berperan sebagai penyimak sementara guru sebagai tester berperan sebagai penyampai tuturan lisan ataupun sebagai fasilitator tuturan lisan. Dalam hubungan ini tes kemampuan menyimak diberikan kepada siswa dengan prosedur umum (1) persiapan wacana, (2) penyampaian aturan menyimak, (3) penyampaian wacana, (4) pemberian pertanyaan/butir tes, dan (5) koreksi dan pemberian skor/nilai. Wacana yang dipersiapkan oleh guru hendaknya wacana yang sesuai dengan tema (dari lingkungan siswa/sekolah), tingkat kematangan siswa, realistis, edukatif, dan kreatif.

Bentuk wacana yang digunakan bisa berbentuk ceramah, dialog, berita, cerita, dll. Setelah wacana ditentukan bentuknya, penting sekali bagi guru untuk menentukan aturan main menyimak agar tes yang diberikan benar-benar valid. Aturan main menyimak ini misalnya berapa kali wacana dibaca atau diputar (jika berbentuk kaset), boleh mencatat atau tidak ketika menyimak berlangsung, boleh buka kamus atau tidak, berapa kali pertanyaan dibacakan, jawaban disampaikan secara lisan (langsung) atau tulisan (tidak langsung), dll. Setelah wacana dan aturan main menyimak siap, langkah berikutnya adalah penyampaian wacana oleh guru, baik secara langsung (dengan dibacakan) ataupun secara tidak langsung melalaui alat audio/audio visual. Dalam kegiatan ini hendaknya suasana kelas bersifat kondusif, diusahakan semua hal yang mengganggu konsentrasi siswa disingkirkan. Penyampaian pertanyaan atau butir-butir tes bisa tertulis atau lisan. Namun yang penting dalan hal ini tes yang akan diberikan hendaknya sesuai dengan tingkat kemampuan menyimak yang telah ditentukan. Soedjiatno (1982:22-23) membagi aspek kemampun menyimak menjadi (1) kemampuan membedakan dan memahami unsurunsur kebahasaan, (2) kemampuan mengingat-ingat pesan, dan (3) kemampuan mengadakan komprehensi pesan. Kemampuan membedakan dan memahami unsur-unsur kebahasaan dapat berwujud (1) kemampuan

46

mengidentifikasi gejala-gejala fonetik, seperti nada, tekanan, persendian, dan intonasi; (2) kemampuan mengenal dan membedakan kata-kata; dan (3) kemampuan mengenal struktur tata bahasa. Kemampuan mengingat-ingat pesan dapat berwujud (1) kemampuan mengingat tanpa retensi, (2) kemampuan mengingat dengan retensi jangka pendek, dan (3) kemampuan mengingat dengan retensi jangka panjang. Kemampuan mengadakan komprehensi pesan merupakan kemampuan menyimak yang sesungguhnya, sebab siswa benarbenar dituntut untuk memahami wacana lisan secara utuh. Kemampuan ini dapat berwujud (1) kemampuan mengenal dan membedakan gagasan pokok, (2) kemampuan meramalkan hal yang tersirat, (3) kemampuan menyimak dengan mengabaikan gangguangangguan kecil, (4) kemampuan menyimak dan mengintegrasikannya ke dalam pengalaman pribadi, dan (5) kemampuan mengadakan evaluasi. Di samping beracuan pada aspek-aspek kemampuan di atas, penentuan tingkat kemampuan yang akan diteskan bisa pula beracuan pada taxonomi Bloom khususnya pada ranah kognitif, yaitu ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Dengan beracuan kepada aspek-aspek kemampuan di atas tes kemampuan menyimak dapat disusun dengan model-model tertentu. Beberapa contoh model tes dapat dilihat pada lampiran 1.

Terhadap tes yang diberikan guru, jawaban siswa bisa langsung (lisan) ataupun tidak langsung (tulisan) bahkan jawaban siswa berentuk tindakan (jika tes yang digunakan adalah tes perbuatan). Selanjutnya koreksi terhadap jawaban itu dilakukan bergantung pada bentuk jawaban siswa, jika lisan dan perbuatan koreksinya bersifat langsung, dan jika tulisan koreksinya tentu tidak langsung. Pemberian skor amat bergantung pada bobot soal. Dalam hal ini pembobotan soal ditentukan oleh pembuat tes. Sebagai bahan pertimbangan dalam pembobotan tes antara lain, (1) aspek kemampuan, (2) waktu untuk menjawab, (3) kuantitas jawaban, dan (4) bentuk tes. (Sampai saat ini belum ada standard pembobotan, mungkin hal ini bahan diskusi dalam pertemuan ini). 3. Tes Kemampuan Reseptif Tulis (Membaca) Tes kemampuan membaca ini pada hakikatnya berisi sejumlah tugas yang harus dilakukan siswa untuk memahami pesan yang terdapat dalam bacaan. Jika dalam kegiatan menyimak diperlukan pengetahuan tentang sistem bunyi bahasa, maka dalam kegiatan membaca diperlukan pengetahuan tentang sistem penulisan. Seperti halnya prosedur tes menyimak, tes membaca diberikan kepada siswa dapat ditempuh dengan prosedur (1) persiapan wacana, (2) penyampaian aturan membaca, (3) pemberian bacaan, (4) pemberian tes , dan (5) koreksi dan pemberian skor/nilai.

47

Dalam hal pemahaman pesan (resepsi pesan) tes membaca ini dijumpai banyak persamaan dengan tes menyimak, yaitu tes yang samasama mengukur kemampuan memahami (komprehensi) pesan. Namun dalam hal teknik penyusunan tes khususnya pada aspek kemampuan membaca, tes kemampuan ini berbeda dengan menyimak. Bahan tes kemampuan membaca bersumber dari bacaan. Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan wacana yang akan dijadikan bahan tes antara lain (1) tingkat kesulitan wacana, (2) isi wacana, (3) panjang pendek wacana, dan (4) bentuk wacana. Tingkat kesulitan wacana biasanya ditentukan oleh kekompleksan kosa kata dan struktur. Jumlah dan atau tingkat kesulitan kosa kata umumnya dipergunakan untuk menentukan tingkat kesulitan wacana, misalnya wacana dengan tingkat kesulitan 250, 400, 700, atau 1.400 kata (Nurgiantoro, 1995:248). Di samping dengan cara itu tingkat kesulitan wacana juga ditentukan dengan cara cloze test. Jika rata-rata siswa mampu menjawab 75% lebih, wacana tersebut dinyatakan mudah dan jika kurang 20%, bacaan tersebut dinyatakan sulit. Isi wacana yang baik secara pedagogis adalah sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa, minat, kebutuhan atau menarik pehatian siswa. Di samping itu isinya juga harus mengembangkan sikap dan nilai-nilai pada diri siswa. Bacaanbacaan yang kotroversial misalnya kita seleksi agar tidak menimbulkan problem pada diri anak.

Dilihat dari panjang pendeknya, wacana yang dijadikan bahan tes membaca hendaknya jangan terlalu panjang. Wacana pendek yang dimaksudkan kira-kira terdiri dari atau dua alinea, atau kira-kira 50 sampai dengan 100 kata. Bentuk wacana yang dipergunakan sebagai bahan tes membaca bisa berupa prosa, dialog, atau pun puisi. Umumnya bentuk prosalah yang banyak digunakan sebagai bahan bacaan. Setelah wacana kita tentukan, selanjutnya hal yang penting adalah bagaimana kita menyusun pertanyaan sebagai perwujudan tes membaca. Untuk menyusun tes ini hendaknya kita bersandar pada hakikat membaca yaitu kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan ini merupakan aktivitas kognitif sehingga cukup beralasan jika pada umumnya penyusun tes membaca ini beracuan pada taxonomi Bloom pada ranah kognitif. Dengan demikian jenjang kemampuan pada tes membaca terdiri dari ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Selanjutnya contoh tes tersebut dapat dilihat pada lampiran 2. 4. Tes Kemampuan Produktif Lisan (Berbicara) Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua setelah menyimak. Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pebicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosa kata. Di samping itu, diperlukan juga penguasaan materi dan atau gagasan yang akan disampaikan.

48

Jika berbicara dilakukan dalam bentuk berkelompok dua arah, maka terkait dengan kemampuan berbicara ini adalah kemampuan memahami bahasa lawan bicara. Atas dasar konsep tersebut sebenarnya tes berbicara adalah tes yang berisi tugas yang harus dikerjakan siswa dalam usahanya menyampaikan gagasan kepada orang lain melalui bentuk bahasa lisan. Hal ini berarti aspek kemampuan berbicara mencakup kemampuan penguasaan materi bahasa lisan dan penguasaan gagasan (isi/non bahasa).

menentukan sendiri isi dan bentuk bahasa yang disampaikan.

Lebih lanjut kedua aspek tersebut dapat dirinci sebagai berikut. Aspek kebahasaan yang harus dikuasai oleh pembicara adalah (1) ucapan, (2) intonasi, (3) persendian, (4) kosa kata atau diksi, (5) bentuk kata, (6) struktur kalimat, dan (7) gaya bahasa. Aspek non-bahasa meliputi (1) aspek gagasan dan (2) penampilan. Aspek gagasan yang harus dikuasai adalah (1) kesesuaian, (2) kejelasan, (3) aktualitas, (4) penalaran, dan (5) koherensi. Dan aspek penampilan yang harus dikuasai adalah (1) penguasaan, (2) kelancaran, (3) semangat, (4) keberanian, (5) ketertiban, dan (6) sikap.

5. Tes Kemampuan Produktif Tulis (Menulis)

Isi tes berbicara tergantung pula pada bentuk bicara dan tingkatan kemampuan berbicara. Bentuk bicara bisa individual komunikasi searah dan kelompok dua arah. Sementara tingkatan kemampuan berbicara dapat kita pilah berbicara terstruktur, semi mandiri, dan mandiri. Sesungguhnya berbicara yang bersifat komprehensif adalah kemampuan berbicara secara mandiri, yaitu pembicara

Dalam penyusunan tes berbicara hal yang perlu mendapat perhatian adalah (1) aspek kemampuan yang hendak dinilai, aspektual ataukah komprehensif, (2) bentuk bicara individual searah atau kelompok dua arah, (3) berbicara terikat atau bebas, (4) wacana yang dihasilkan, dan (5) pedoman penilaian. Sekedar contoh untuk pedoman penilaian dapat dilihat pada lampiran 3 dan 4.

Kemampuan menulis merupakan suatu bentuk kemampuan/keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai pelajar setelah kemampuan menyimak, berbicara, dan membaca. Jika dalam kegiatan berbicara orang harus menguasai lambang-lambang bunyi, kegiatan menulis menghendaki orang untuk menguasai lambang atau simbol-simbol visual atau tata tulis. Kelancaran komunikasi bahasa lisan sangat didukung oleh unsur paralingual, sementara kelancaran komunikasi tulis sangat ditentukan oleh bahasa yang dilambangvisualkan. Di samping unsur bahasa tulis yang harus dikuasai penulis, yang perlu dikuasai pula tentunya masalah atau gagasan yang ditulisnya. Jadi, kemampuan menulis mencakup kemampuan penguasaan bahasa tulis dan pengolahan serta penataan gagasan secara sistematis. Kemampuan penguasaan bahasa tulis meliputi aspek (1) sistem ejaan, (2) kosa kata, (3) struktur kalimat, (4) gaya bahasa,

49

dan (5) penampilan teks. Kemampuan mengolah gagasan meliputi aspek (1) originalitas dan aktualitas gagasan, dan (2) organisasi pesan. Selanjutnya rincian kemampun tersebut dijadikan acuan dalam penyusunan pedoman penilaian. Untuk sekedar contoh, pedoman penilaian yang dimaksud dapat lihat pada lampiran 5. Dalam penyusunan tes menulis di samping masalah aspek kemampuan di atas, juga yang perlu mendapat perhatian adalah bentukbentuk kegiatan menulis yang akan ditugaskan kepada siswa. Kegiatan menulis dapat berupa menulis terpimpin, semi bebas, dan menulis bebas. Di samping itu bentuk wacana yang diinginkan juga jelas, seperti prosa, essay, laporan, ringkasan, dll. Kegiatan menulis juga dipengaruhi oleh teknik dan media menulis, kita kenal ada menulis berbentuk dikte, menulis rangsang visual, rangsang cerita, rangsang buku, dll. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah batasan wacana, berapa kosa kata, jenis wacana apa yang akan dihasilkan. Semua itu harus tertulis secara jelas pada lembar tugas yang akan diberikan kepada siswa. Dalam kaitannya dengan penilaian karangan sering kita berhadapan dengan kesulitan terbatasnya kemampuan (waktu dan tenaga) kita dalam mengoreksi karangan. Sering kita dihadapkan pada persoalan kejenuhan dan ketidakefektivan kerja yang berujung pada hasil penilaian yang kurang/tidak objektif. Haidar Alwasilah pernah menawarkan cara koreksi karangan dengan sistem koreksi silang teman sebaya yaitu

karangan yang akan kita koreksi dikembalikan lagi kepada siswa untuk mereka koreksi berdasarkan panduan/pedoman penilaian. Guru memandu siswa mengoreksi karangan temannya dengan pengawasan penuh. Lepas dari lemah tidaknya teknik ini, barangkali sebuah tawaran alternatif, tidak ada salahnya jika kita pertimbangkan sebagai jalan keluar terhadap permasalahan klasik tersebut.

6. Penutup Tes kemampuan berbahasa di atas jika dikembalikan pada prinsipnya, sebenarnya tes tersebut hendak mengukur kemampuan siswa meliputi penguasaan aspek bentuk dan isi atau aspek bahasa dan makna yang dikandungnya secara utuh. Diharapkan dengan menguasai bentuk dan isi tersebut siswa dapat berkomunikasi secara wajar seperti bayi dan anak-anak belajar bahasa ibunya. Semuanya berjalan alami tanpa dibebani pengetahuan tentang bahasa yang membelenggu kreativitas berbahasa. Daftar Pustaka Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa. Malang:YA3. Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: BPFE

50

Tarigan,

Henry Guntur. 1990. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Makalah disajikan dalam kegiatan “Diklat Pembuatan Alat Penilaian” oleh Kelompok Kerja Guru Kecamatan Pakong Pamekasan pada tanggal 28-29 April 2003.

51

PERKEMBANGAN SASTRA MADURA MODERN MEMPRIHATINKAN Oleh: Muhammad Tauhed Supratman Abstrak: Perkembangan sastra Madura modern sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena generasi kini sedikit sekali atau bisa dikatakan tidak ada yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Upaya untuk meningkat kehidupan bersastra Madura tersebut setidaknya ada 4 hal yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) Sastrawan Madura; yang dimaksud sastrawan Madura di sini adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Madura sebagai wahana untuk menciptakan karya-karya sastranya; (2) Pemerintah daerah; (3) Masyarakat Madura sebagai pemilik dan pendukung, termasuk di dalamnya pengelola stasiun televisi, radio, surat kabar dan majalah yang terdapat di Madura; dan (4) Karya sastra Madura, termasuk sastra lisan. Selain hal itu, perlu ditumbuhkembangkan peran media massa dan peran lembaga pendidikan. Kata kunci: Sastra Madura modern, peran media massa, peran lembaga pendidikan, dan upaya peningkatan

Pendahuluan “Sastra Madura telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura-pen.) Buku-buku Berbahasa Madura pun tak laku jual. Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia.” demikian kata Suripan Sadihutomo (Kompas, 2 September 2002). Suatu hal yang wajar dan tidak dapat dipungkiri lagi serta mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa dalam kehidupan sehari-hari sering terlontar perkataan yang mengatakan bahwa sastra Madura telah mati, sastra Madura ambruk total, sastra Madura hanya tidur panjang, sastra Madura

mulai loyo, sastra Madura kehilangan roh, dan sebagainya. Mengapa? Mengenai masalah tersebut Ghazali (2000:2) mengatakan bahwa bahasa daerah yang ada di Indonesia pada umumnya mengalami tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Dosen Universitas Negeri Malang asal Pamekasan tersebut menambahkan bahwa salah satu penyebabnya adalah adanya kebijakan pemerintah, yang meletakkan bahasa daerah, sastra daerah, serta seni budaya daerah dalam posisi terjepit, sehingga beberapa bahasa daerah dan begitu pula sastranya semakin berkurang penuturnya dan akhirnya, mati dan sebagian lagi terus tumbuh dan berkembang dengan kondisi yang memprihatinkan.

52

Perlu penulis katakan, berbagai upaya untuk menjawab masalahmasalah di atas, sebenarnya sering kali diadakan diskusi-diskusi atau seminarseminar untuk mencari jalan keluarnya. Tetapi, sayangnya di dalam forum-forum seperti itu isinya hanya membicarakan masalah-masalah yang itu-itu saja, seperti ratapan masa depan sastra Madura yang suram dan sebagainya. Bahkan dalam seminar bahasa Madura yang diadakan oleh Balai Bahasa Surabaya tanggal 22-23 Nopember 2005, tidak menyentuh tentang sastra Madura itu sendiri. Memang memprihatinkan. Dan penulis bisa mengatakan bahwa itu merupakan langkah pasif-statis. Dengan kata lain, langkah-langkah tersebut hanya melihat satu sisi saja, yaitu keberadaan sastra Madura yang memprihatinkan tanpa dibarengi usaha dan kesadaran untuk lebih memajukan sastra Madura. Lalu apa jadinya kalau sastra Madura hanya di “ratapi dan ditangisi?” Ini bisa diibaratkan bahwa sastra Madura sedang tidur panjang dan menderita sakit. Apakah benar sastra Madura sedang tidur panjang atau menderita sakit? Tidak! Sama sekali tidak! Sastra Madura tetapa sehat wal-afiat. Sementara itu, Halifaturrahman (2000:1) mengatakan, realitas menunjukkan, sastra Madura mengalami keterputusan dengan generasinya. Padahal kebudayaan dalam arti yang sebenarnya hanya dapat diandalkan pada kehidupan manusia yang melahirkan kebudayaan itu. Demikian halnya dengan pernyataan penyair nasional asal Madura, H.D. Zawawi Imron, juga pernah mengatakan, bahwa generasi kini sedikit sekali atau bisa dikatakan tidak ada yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-

tokoh muda asal Madura, seperti: Abdul Hadi W. M., Mohammad Fudoli Zaini dan beberapa nama lagi (mungkin juga Pak Zawawi sendiri--pen.) lebih suka menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia. “Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang meng-Indonesia-kan diri”, tambah Zawawi Imron dalam dialog sastra Madura, 30 April 2000, di Kampus Universitas Madura. Sedangkan menurut pengamatan penulis, apa yang dilontarkan Halifaturrahman dan H.D. Zawawi Imron tersebut memang ada benarnya. Ini adalah kenyataan yang bisa kita lihat. Maka dari itu kita (para pecinta sastra Madura) lebih-lebih para pengarangnya harus mau mawas diri atau instrospeksi diri. Selanjutnya, kita berusaha agar masalah-masalah atau suara-suara sumbang yang menyelimuti dan membelenggu sastra Madura secepatnya dapat disingkirkan dan diatasi. Ini semua demi sehat dan majunya sastra Madura di dalam kiprahnya. Untuk meningkatkan potensi sastra daerah (baca: Madura), menurut pakar folklor dari Universitas Negeri Jember, Ayu Sutarto (dalam Kidung, 2003:22), mengatakan, paling tidak ada empat variabel yang harus menjadi sasaran perhatian dan penanganannya, yakni: (1) Sastrawan Madura; yang dimaksud sastrawan Madura di sini adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Madura sebagai wahana untuk menciptakan karya-karya sastranya; (2) Pemerintah daerah; (3) Masyarakat Madura sebagai pemilik dan pendukung, termasuk di dalamnya pengelola

53

stasiun televisi, radio, surat kabar dan majalah yang terdapat di Madura; dan (4) Karya sastra Madura, termasuk sastra lisan. Keempat variabel tersebut merupakan kunci hidup-matinya sastra Madura. Keempatnya merupakan komponen yang saling mendukung, tidak bisa salah satu darinya ditiadakan atau tidak disertakan. Perlu Peran Media Massa Untuk meningkatkan potensi sastra Madura, menurut pendapat penulis, sangat terkait dengan kesediaan media massa untuk memberikan ruang dan waktu untuk produk budaya yang satu ini. Mengapa media massa? Karena media massa merupakan produk peradaban yang mempunyai jangkauan dan pasar yang sangat luas. Dalam era reformasi sekarang ini, pertumbuhan media massa, baik cetak maupun elektronik sangat luar biasa, para pendukung dan pemilik sastra Madura seharusnya memanfaatkan peluang ini. Yang dimaksud media massa di sini bukan hanya surat kabar, majalah, radio, televisi, tetapi juga produk teknologi yang mutakhir, yakni internet. Faruk (dalam Sutarto, 2003:27) dalam ceramah sastranya yang bertajuk “Situasi Kritik Sastra Dewasa Ini”, juga menyinggung peran strategis media massa. Menurutnya, sekarang ini media massa yang memiliki jangkauan luas, khususnya surat kabar, telah mengambil lahan kritik dan sosialisasi sastra yang dulu hanya dimiliki oleh majalah kebudayaan dan buku. Koran-koran baik yang terbit di pusat maupun daerah telah mengambil alih posisi majalah kebudayaan sebagai basis kehidupan sastra dan

kritik sastra. Penyebabnya menurut Faruk, media massa memiliki jaringan dan kontribusi yang luas dan faktor ekonomis. Di samping memiliki jangkauan luas, koran-koran memberi honorarium yang besar. Sayangnya, seperti yang telah ditegaskan oleh Budi Darma (dalam Sutarto, 2003:28) minat media massa terhadap pembinaan dan pemasyarakatan sastra Indonesia atau daerah tidak banyak. Media massa sering kali menolak untuk memuat karya sastra, masalah sastra, dan berita mengenai sastra karena alasan-alasan ekonomis. Kekurangpedulian media massa terhadap sastra mau tidak mau membantu menciptakan sikap apatis terhadap pengajaran sastra. Berkaitan dengan kebangkitan potensi sastra Madura menurut Sutarto, perlu kiranya dilakukan reformasi kegiatan sastra Madura yang terkait dengan peran strategis media massa dan pemanfaatan teknologi informasi. Seperti yang telah ditegaskan di atas, media massa yang memiliki jangkauan dan pasar yang luas merupakan kunci utama kelangsungan hidup sastra Madura. Mengapa? Karena media massa memiliki paling tidak empat peran sentral, yaitu: (1) Mengokohkan dan mengukuhkan keberadaan sastra Madura yang merupakan ekspresi budaya pemiliknya (kelompok etnik atau komunitas tertentu, baca: Madura); (2) Memperkenalkan dan memberdayakan sastrawan Madura dalam forum lokal, nasional, regional, dan internasional; (3) Memperkenalkan tradisi dan nilainilai budaya Madura yang produktif kepada masyarakat luas,

54

baik masyarakat pendukungnya maupun masyarakat di luar pendukungnya; dan (4) Menggali dan memanfaatkan potensi yang terkandung dalam sastra Madura, terutama yang terkait dengan kearifan-kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai virus mental untuk membangun kehidupan yang arif, hubungan antar-manusia yang penuh pengertian, etos kerja dan etos belajar. (2003:28) Peran Lembaga Pendidikan Apresiasi bahasa dan sastra Madura di sekolah kurang bergairah, kurang gizi dan mlempem. Dan kalau pun pembelajaran bahasa dan sastra Madura tetap berlangsung, kiranya tidak bersifat apresiatif melainkan bersifat informatif, berupa teks book dari guru kepada muridnya karena tuntutan kurikulum. Kondisi semacam inilah yang membuat lemahnya pembelajaran bahasa dan sastra Madura di sekolah. Terutama di sekolah menengah (SMP dan SMA). Terlebih lagi di SD karena apresiasi bahasa dan sastra Madura memang masih bertaraf pengenalan. Mengingat siswa adalah anakanak yang masih dipandang awam dalam bahasa dan sastra Madura, maka posisi guru menjadi pemegang peranan. Guru jangan mengajar hanya bersifat teks book, melainkan perlu juga diikuti suasana kreatif dengan meningkatkan apresiasinya. Materi pengajarannya jangan hanya berupa ejaan bahasa daerah atau periodisasi sastra Madura, tetapi perlu ada penciptaan suasana mengajar secara inovatif, yang lebih menarik siswanya. Rasanya sudah klise atau ketinggalan kereta manakala siswa

seusia SMP atau SMA memperoleh pembelajaran bahasa dan sastra Madura hanya berupa ejaan atau periodisasi sastra, sejarah sastra, dan tokoh-tokoh sastra Madura. Walaupun sebagai materi hal itu tidak bisa ditinggalkan oleh guru dalam rangka proses awal pengenalan terhadap bahasa dan sastra Madura tersebut. Apalagi buku pegangan guru dan buku murid bidang bahasa dan sastra memang demikian adanya. Padahal, tidak kalah pentingnya – sebagai upaya kian lekatnya anatara bahasa dan sastra Madura dengan siswa – adalah terwujudnya apresiasi bahasa dan sastra Madura secara kreatif. Dengan begitu, anak didik akan mampu menggunakan bahasa atau mencipta puisi berbahasa daerah yang baik, mampu membaca puisi berbahasa Madura secara baik dan tepat intonasinya, dan mampu menulis prosa seperti cerita pendek dan essai dari bahasa daerah tersebut. Tampaknya, kelemahan pembelajaran bahasa dan sastra Madura di sekolah terletak pada guru dan murid. Sebab, seharusnya guru bahasa dan sastra Madura dan muridmuridnya sama-sama mempunyai kometmen dan minat terhadap bahasa dan sastra Madura. Bahkan sebagai guru bahasa dan sastra Madura, ia harus kaya pengalaman, punya minat besar terhadap bahasa dan sastra Madura, dan selalu kreatif terhadap tugasnya sebagai guru bahasa dan sastra Madura. Guru, ketika berdiri di depan kelas tidak perlu malu, takut atau minder bila hendak memberi contoh menggunakan bahasa Madura yang baik dan benar atau membaca puisi berbahasa Madura secara baik dengan ekspresi, intonasi dan akting guna

55

menguatkan atau menghidupkan maknanya. Bahkan, metode inilah yang barangkali akan memancing siswa untuk berani tampil di depan rekan sekelasnya. Langkah awal dalam hal pengenalan bahasa dan sastra Madura secara lebih luas adalah, memanfatkan buku perpustakaan sebagai sumber pembelajaran. Melalui sistem ini, siswa dapat digiatkan untuk membaca dan menelaah salah satu buku sastra berbahasa Madura yang paling diminati. Tahap berikutnya, siswa dilatih mengungkapkan secara tertulis hasil bacaannya (meresensi). Kita merasa prihatin bahwa mayoritas guru bahasa dan sastra Madura, rata-rata mengajar secara verbalistis. Kini, harus segera diwujudkan mengubah cara mengajar yang dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya, dengan metode merangsang minat siswa. Misalnya mencipta karya sastra berbahasa Madura. Karya yang baik dapat dimuat di majalah dinding di sekolah bersangkutan. Melalui forum pemajangan hasil karya sastra anak ke majalah dinding, akan tercipta suasana kompetitif sesama siswa. Dengan demikian, majalah diding bukan sekedar dibuat bila akan ada lomba saja. Ia harus menjadi media ekspresi siswa sekaligus sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasinya masingmasing secara bebas dan bertanggung jawab. Bahkan, lewat kegiatan majalah dinding ini, siswa belajar menangani masalah penerbitan. Dengan bimbingan guru yang berpengalaman, siswa yang menjadi pengurus majalah dinding dapat menyusun lay out, penyuntingan, editorial dan lain-lain.

Manfaat pembelajaran bahasa dan sastra Madura tentu bukan untuk hari ini saja. Juga untuk hari esok yang kini belum kita ketahui. Dan guru perlu meyakinkan kepada siswanya bila karya sastra sebagai karya kreatif, juga bisa menjadi sumber penghasilan bila sastra hendak dijadikan profesi atau ladang bisnis. Kita bisa menunjuk beberapa pengarang sastra daerah (sastrawan berbahasa Jawa) yang karyanya telah laku di pasar dan namanya selalu dikenal masyarakat pembacanya, misalnya mBak Trinil, Widodo Basuki, Suparto Brata, Djayus Pete, Bonari Nabonenar, dan sebagainya. (Supratman, 2005) Kesadaran Baru Suatu hal yang sangat mendasar apabila sastra Madura dikatakan belum memasyarakat. Memasyarakat di sini dimaksudkan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat, menyangkut kehidupan masing-masing individu maupun kehidupan kelompok. Tidak berlebihan memang, kalau dikatakan bahwa sastra Madura (baca: sastra Madura modern) belum memasyarakat. Masih banyak kelompok etnis Madura yang belum mengetahui sastranya. Lebih-lebih lagi orang Madura yang berdomisili di luar pulau Madura. Menurut persepsi penulis, mengenai bagaimana keberadaan sastra Madura di tengah-tengah masyarakat Madura sekarang ini, memang belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Jalannya masih tertatih-tatih. Hal ini disebabkan minimnya penikmat atau pembaca terhadap karya sastra Madura. Meskipun ada itu terbatas yang sudah gandrung atau cinta. Sebagai contoh

56

yang mudah saja, ketika diadakan lomba adungngeng (mendongeng) berbahasa Madura ini bisa dipastikan penontonnya sa-ngat sedikit. Berbeda dengan kalau diadakan pementasan musik dangdut, seperti Inul misalnya, pasti penontonnya akan ramai. Kalau kita simak lebih jauh lagi ditengah-tengah masyarakat, semua itu terbawa oleh asumsi yang keliru dan salah kaprah dari sebagian masyarakat. Kebanyakan mereka menganggap bahwa sastra termasuk didalamnya sastra Madura itu tidak penting dan tidak bermanfaat. Maka dari itu asumsi yang keliru dan salah kaprah tersebut harus diluruskan dan dibenarkan. Bagaimanakah, caranya? Sebelum sampai pada jawabannya, kiranya perlu penulis katakan, bahwa karaya sastra Madura hanya merupakan konsumsi bagi kalangan menengah ke bawah. Dan sebagian besar tersebar di pedesaan. Jadi tidak mengherankan kalau sastra Madura disebut sastra desa. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kiranya di masyarakat (baik di desa maupun di kota) perlu ditumbuhkembangkan adanya kesadran baru terhadap karuya sastra Madura. Dengan kata lain diadakan suatu usaha yang mengarah kepada pema-syarakatan sastra Madura. Seharusnya usaha tersebut dilandasi dengan sistem dan metode yang tepat kalau ingin berhasil. Apabila di masyarakat Madura sudah tumbuh kesadaran baru terhadap karya sastra Madura dengan demikian pembaca atau penikmatnya semakin lama semakin bertambah. Dan pada akhirnya akan menjadikan sastra Madura bisa tumbuh subur dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya.

Penutup Penulis mengira sdah saatnya sastra Madura bangun dan bangkit. Kalau demikian apakah sastra Madura itu tidur? Tidak! Ini mengandung maksudagar jalan dan perkembangannya semakin lancar dan subur. Juga diharapakan sastra Madura bisa tahan bantingan dan tahan uji menghadapi segala situasi dan arus perkembangan zaman. Disamping para pengarang selaku kreator dituntut benar-benar mempunyai kreativitas tinggi yang nantinya bisa memberi corak, model dan nuansa baru bagi perkembangan sastra Madura, juga masyarakat Madura sebagai konsumen hasil karya sastra sepenuhnya bisa memberikan andil besar terhadap perkembangan sastra Madura. Kalau semua itu sudah berjalan mulus tidak aneh lagi apabila sastra Madura nantinya bisa hidup dengan subur dan berkembang, syukur apabila nanti dapat meraih zaman kejayaan. Itulah yang kita harapkan. Sekali lagi perlu penulis tegaskan bahwa sekaranlah saatnya bagi sastra Madura untuk bangkit, sehingga tidak terdengar lagi ratapan dan tangis serta suara-suara sumbang yang ditujukan kepada sastra Madura. Semoga...!

Daftar Pustaka Ghazali, A. Syukur. 2000. Beberapa Pemikiran Tentang Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya. Makalah “Dialog Sehari Seni Budaya Madura”. 28 Oktober 2000. Makalah Seminar. Tidak Diterbitkan.

57

Halifaturahman. 2000. Sastra Madura “Dimanakah Kini?”. Makalah “Dialog Sehari Seni Budaya Madura” 30 Oktober 2000. Makalah Seminar Tidak Diterbitkan Imron. D. Zawawi (dalam Haub de Jonge, ed). 1985. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Jakarta:Rajawali Pers. Kompas Cyber Media. 2002. Menghidupkan Kembali Sastra Madura. Jakarta: Kompas Edisi Senin, 2 September 2002. Nabonenar, Bonari. 2002. Sastra Campursari Kumpulan Puisi: Osing, Madura, Surabaya-an, dan Mataram-an. Surabaya: Taman Budaya Jawa Timur. Supratman, M. Tauhed. 2005. “Sastra Madura, Anak Pembelajaran?” Kompas Jawa Timur, 26 Nopember 2005 Sutarto, Ayu. 2003. “Kebangkitan Sastra Daerah dan Media Massa” dalam Kidung, VII/April 2003. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur

58