KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA DALAM UU NO ...

43 downloads 210 Views 479KB Size Report
narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) sebagai ... Pada UU Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud .
KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA DALAM UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA1 Permasalahan narkotika tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kesehatan khususnya penanggulangan penyebaran HIV dan AIDS, melihat permasalahan tersebut MPR RI pada sidang umum tahun 2002 melalui ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA Pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 merekomendasikan kepada Presiden RI bersama DPR, untuk merevisi UU No 22 Tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997, namun dalam perubahannya masih ada tarik menarik antara pendekatan kesehatan dengan pendekatakan kriminal, sehingga menarik untuk melihat kedudukan hukum pengguna narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) sebagai berikut : I. PEMISAHAN ANTARA PENGGUNA, PECANDU, PENYALAHGUNA DAN KORBAN NARKOTIKA Pada UU Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud dengan “pengguna narkotika” sebagai subyek (orang), yang banyak ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika. Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika2. Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga menggunakan narkotika, namun dalam tulisan ini yang penulis maksud pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam UU Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain :   Disampaikan oleh Totok Yuliyanto, S.H., Pengurus PBHI Nasional dalam dialog satu tahun

1

pelaksanaan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam upaya pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2 Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 sebagaimana diratifikasi UU No 7 Tahun 1997 menggunakan istilah pemakaian untuk kepentingan sendiri

-

-

-

-

Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika3, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13 UU Narkotika); Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 UU Narkotika) Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika) Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu; Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis (Penejelasan Pasal 58 UU Narkotika)

Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam UU Narkotika maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah keracuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d UU Narkotika yang menyatakan “UU Narkotika bertujuan : Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam Pasal 54 UU Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial” dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 UU Narkotika penyalah guna narkotika kemudiaan juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika. Pembuktiaan penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur dalam UU narkotika, merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran No 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan  3

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunanya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas (Pasal 1 angka 14 UU Narkotika)

Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial yang menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam memutus narkotika. Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat penegak hukum dan masyarakat, dilapangan aparat penegak hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam UU Narkotika adanya jaminan rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau wali dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi orang tau atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya pecandu atau bukan pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan sangat sulit bila dilihat dari kacamata awam. II. PENGGUNA NARKOTIKA KORBAN atau PELAKU ? Perdebatan yang sering muncul dalam membahas UU Narkotika adalah kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau sebagai korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang mengemuka dilakukannya pergantiaan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narotika adalah untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika4. Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras dengan amanat tujuan UU narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 UU Narkotika yang menyatakan “UU Narkotika bertujuan : a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika Berdasarkan tujuan UU Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna narkotika dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika, sehingga perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna narkotika). Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 UU Narkotika yang menyatakan :  4

Paragraf 2 Penjelasan Umum UU Narkotika

(1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, namun, dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudiaan adalah siapa yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal “tidak ada kejahatan tanpa korban”, menurut Ezzat Abdul Fateh yang menjadi korban karena dirinya sendiri (false victims), dari persepektif tanggung jawab korban, menurut Stephen Schafer “Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban. Akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius , alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus merupakan korban5. Menjawab permasalahan pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, dimana ditentukan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut : a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;  5

J.E. Sahetapy, (ed). Bunga Rampai Viktimisasi, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, (selanjutnya disingkat J.E. Sahetapy I), h. 204 dikutip dari Zvonimir Paul Separovic. Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985)

b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaiaan 1 (satu) hari c. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim e. Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara pengguna narkotika harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya, untuk menjatuhkan amar putusannya hakim harus sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi / taraf kecanduaan terdakwa. Sebagai konsekuesi pengguna narkotika adalah pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban maka masa menjalani pengobatan dan / atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana yang diputus oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman, dimana penentuan untuk menjalani masa pengobatan dan perawatan ditentukan oleh ahli. Namun surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut akan sulit diimplementasikan bila aparat penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut) tidak memiliki pola pandang yang sama terhadap pengguna narkotika (permasalahan ini akan dibahas pada bagian permasalahan implementasi hukum pengguna narkotika). III. HAK-HAK PENGGUNA NARKOTIKA dalam UU NARKOTIKA Pengguna Narkotika juga adalah warga negara dimana haknya dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara, baik ketika dalam proses hukum maupun dalam hal kesehatan dan sosial. Selain hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap manusia, baik dalam tataran hak atas kesehatan maupun hak ketika berhadap dengan proses hukum, secara khusus UU Narkotika memberikan hak kepada pengguna sebagai berikut : a. Rehabilitasi bagi Pengguna Narkotika Sebagaimana disebutkan dalam Tujuan UU Narkotika diatas dimana, adanya jaminan pengaturan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika, dimana hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 54 UU Narkotika yang menegaskan Pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan narkotika wajib6 menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dimana menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu  

 Banyak perdebatan yang dimaksud dalam wajib disini, namun menuert hemat penulis hal ini juga memiliki implikasi kepada tanggung jawab negara

pengetahuaan dan teknologi7. Pengguna narkotika dapat memilih tempat rehabilitasi yang telah memenuhi kualifikasi dan apabila pengguna narkotika dalam pengawasan negara, Negara memberikan hak rehabilitasi secara Cuma-Cuma kepada pengguna narkotika8 dimana pembiayaanya dapat diambil dari harta kekayaan dan asset yang disita oleh negara9 b. Hak untuk tidak dituntut pidana UU Narkotika, memberikan diskresi kepada beberapa hal agar pengguna narkotika tidak dipidana, diskresi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 128 UU Narkotika memberikan jaminan tidak dituntut pidana dengan criteria sebagai berikut : - Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) - Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter dirumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah

A.

Walaupun pengaturan ini telah diatur dalam UU Narkotika sebelumnya10 namun hal tersebut tidak efektif dalam pelaksanaanya karena tidak adanya peraturan pelaksana yang memadai untuk mengakomodir hak diskresi tersebut, dimana aparat penegak hukum masih tetap melakukan proses hukum bagi anak dan pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi. Permasalahan selanjutnya adalah mengenai rehabilitasi medis yang hanya diperbolehkan 2 (dua) kali masa perawatan dokter sebagaimana tertuang dalam Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika, hal ini menjadi kendala tersendiri, karena menurut beberapa pihak menggap kecanduaan narkotika adalah penyakit, dimana ada kerusakan dalam otak sehingga sewaktu-waktu bisa kambuh11 PERMASALAHAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA12 a. Pelaksanaan UU Narkotika Tergantung Aturan Pelaksana Sebagai wujud UU Narkotika merupakan UU Administratif yang mengatur tentang narkotika, maka beberapa hal dalam UU Narkotika 

Pasal 9 ayat (1) UU Narkotika Penjelasan Pasal 103 ayat 1 huruf b 9 Penjelasan Pasal 101 ayat (3) UU narkotika 10 Pasal 46 UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah memberikan pengaturan tentang wajib lapor bagi orang tua / wali, pengguna narkotika yang telah cukup umur 11 Keterangan HM Aminulah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI sebagaimana dikutip oleh hukumonline.com    Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PBHI banyak ditemukan permasalahan hukum dalam UU Narkotika, namun yang disajikan dalam makalah ini hanya yang berkaitan langsung dengan Pengguna Narkotika 7 8

harus diatur kembali oleh berbagai aturan pelaksanaanya. PBHI mencatat terdapat 10 ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah, 2 Ketentuan UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Presiden, 17 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, 1 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur dalam Peraturan Menteri Sosial, 2 Ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur oleh Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan 2 ketentuan dalam UU Narkotika yang harus diatur oleh Kepala Badan Narkotika Nasional. Dari banyaknya aturan pelaksana yang disebutkan diatas beberapa ketentuan yang memiliki dampak langsung bagi pengguna narkotika adalah sebagai berikut : No Ketentuan 1 Pelaksanaan Wajib Lapor 2 Tata cara penggunaan aset kekayaan yang dirampas 3 Rehabilitasi medis dan lemabaga rehabilitasi medis 4 Rehabilitasi Sosial 5

Ketentuan Pasal Pasal 52 Pasal 101

Pengaturan pelaksana Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah

Pasal 59

Peraturan Kesehatan

Pasal 59

Peraturan Menteri Sosial Peraturan Kepala BNN

Wadah Kordinasi peran Pasal 108 serta masyarakat

Menteri

UU Narkotika yang telah disahkan dan diundangkan pada 12 Oktober 2009 dan dinyatakan mulai berlaku sejak diundangkan telah memberikan batas waktu paling lambat 1 (satu) tahun untuk menetapkan peraturan pelaksana, sebagaimana diatur dalam Pasal 154 UU Narkotika. Walaupun Pasal 152 UU Narkotika menyatakan “Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini”, namun yang harus diperhatikan UU Narkotika bukanlah aturan perubahan/revisi dari UU Sebelumnya, melainkan suatu aturan yang menggantikan pengaturan Narkotika sebelumnya, sehingga semangat dan pengaturan dalam UU Narkotika berbeda dengan UU sebelumnya. Sehingga menjadi penting bagi pihakpihak pemangku kepentingan menyusun baru peraturan pelaksana atau setidak-tidaknya mengoreksi peraturan pelaksana sebelumnya apakah telah sesuai dengan Semangat dari UU Narkotika, sehingga dalam implementasi tidak menemukan kendala.

Belum terlihatnya upaya penyusunan peraturan pelaksana dari UU Narkotika khususnya untuk kepentingan bagi para pengguna menimbulkan berbagai permasalahan karena upaya pemberantasan berjalan lebih cepat dibandingkan upaya pencegahan dan pemulihan. b. Tumpang Tindihnya Pasal Pemidanaan Bagi Pengguna Narkotika Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang dilakukan pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai, menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri. UU Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara delik pidana dalam Pasal 127 UU Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat dalam UU Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkan narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana tersendiri dalam UU Narkotika. Dalam prakteknya aparat penegak hukum mengaitkan (termasuk/include/juncto) antara delik pidana pengguna narkotika dengan delik pidana penguasaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana ancaman hukumanya menjadi lebih dari 5 tahun penjara dan dibeberapa kententuan melebihi 9 tahun penjara, sehingga berdasarkan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP Pengguna narkotika dapat ditahan, dan bila dikenakan ketentuan pidana yang ancamannya melebihi 9 (Sembilan) tahun maka berdasarkan Pasal 29 KUHAP masa tahanan dapat ditambahkan sampai 60 (enam puluh) hari. Selain terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU narkotika, pengguna narkotika juga dapat dikenakan berbagai ketentuan pemidanaan lain dalam UU narkotika selama terpenuhinya unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” Narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana memiliki sanksi pidana yang lebih tinggi dan tidak ada pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi tanpa adanya putusan penjara karena ada batas minimal pemidanaan dalam delik tersebut. c. Tidak ada batas daluwarsa yang jelas bagi pengguna narkotika UU narkotika tidak memberikan batasan / daluwarsa yang jelas atas tindak pidana yang dapat dikenakan bagi pengguna narkotika. Bagi mantan pengguna narkotika yang kemudiaan menceritakan

pengalamannya menggunakan narkotika dihadapan orang banyak13 dan Pengguna narkotika yang sedang menjalani proses rehabilitasi atas kemauaan sendiri (bukan berdasarkan putusan hakim) bisa dikenakan pidana atas pebuatan yang telah lampau (membeli, menggunakan, menguasai atau menyimpan narkotika tanpa hak dan melawan hukum) berpeluang sewaktu-waktu dapat dikenakan hukuman. Permasalahan tersebut karena adanya ketentuan mengenai batas waktu dalam hukum pidana bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yang menyebutkan : ”Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun; Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun; Tidak diaturnya pengecualiaan jangka waktu terhadap pengguna narkotika yang sedang atau sudah dalam tahap mantan pengguna narkotika mengakibatkan, aparat penegak hukum yang menentukan pengguna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) akan melakukan pengawasan terhadap pengguna narkotika dimana tidak tertutup dilakukan ditempat-tempat rehabilitasi. Sehingga menjadi suatu hal yang sangat wajar bila banyak ditemukan tempat-tempat rehabilitasi banya ditemukan atau diawasi oleh aparat penegak hukum (penyidik) baik dengan menggunakan baju dinas maupun tidak menggunakan baju dinas. d. Pengguna Narkotika rentan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Kejam Walupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan perlakuaan kejam14, namun hukum acara pidana di Indonesia masih rentan terhadap praktek-praktek upaya penyiksaan dan perlakuaan kejam khususnya pengguna narkotika yang ditahan. Reporter Khusus untuk PBB Manfred Nowak untuk penyiksaan dan perlakuaan kejam sudah memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia untuk membatasi waktu penangkapan dan penahanan, namun UU Narkotika mengabaikan rekomendasi tersebut dengan memberikan kewenangan  

 Banyak orang terkenal menceritakan pengalamannya menggunakan narkotika dibeberapa biografinya   Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuaan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 5 Tahun 1998

kepada penyidik BNN untuk dapat menangkap pengguna narkotika selama 3 hari dan dapat diperpanjang 3 hari. UU narkotika juga tidak memberikan pengaturan mengenai jaminan rehabilitasi bagi pengguna narkotika selama menjalani proses hukum, rehabilitasi baru bisa didapatkan pengguna narkotika setelah mendapatkan putusan / penetapan majelis hakim yang memeriksa perkara. Lamanya jangka waktu penangkapan dan penahanan kemudiaan tanpa disertai dengan jaminan rehabilitasi mengakibatkan pengguna narkotika akan mengalami kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan pelaku tindak pidana lainya sehingga cenderung memiliki potensi bentuk perlakuaan dan penghukuman yang kejam. Penyiksaan juga sering dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk upaya-upaya untuk mendapatkan keterangan dari pengguna narkotika, alasan yang sering terkemuka adalah untuk mengembangkan penyidikan peredaran gelap narkotika, dimana keterangan pengguna narkotika kemudiaan dianggap menjadi salah satu sumber untuk membongkar peredaran gelap narkotika, namun upaya-upaya dalam melakukan penyidikan yang tidak mengedepankan perlindungan hak asasi manusia seringkali menimbulkan penyiksaan yang berakibat rekayasa kasus-kasus bagi pengguna narkotika15 Sayangnya tidak mudah untuk membongkar praktek-praktek penyiksaan, hal ini dikarenakan banyak ketakutan oleh pengguna narkotika untuk mempermasalahkan ini, dan pola pandang pengguna narkotika yang menggap praktek-praktek penyiksaan dan perlakuaan yang kejam merupakan hal yang lumrah terjadi. e. Sulitnya Implementasi SEMA No 04 Tahun 2010 Walaupun Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) bagi para majelis hakim baik ditingkat pengadilan negeri mapun tingkat pengadilan tinggi, untuk memutuskan perkara pengguna narkotika namun SEMA tersebut tida dapat mengintervensi aparat penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut umum). Pelaksanaan SEMA tersebut tidak akan mengkin bisa berjalan bila : - Penyidikan ditekankan pada keterlibatan tersangka dalam peredaran gelap narkotika dan tidak mementingkan apakah tersangka pengguna narkotika atau bukan. - Pihak penyidik tidak mau bekerjasama untuk meminta surat keterangan uji laboratorium untuk melihat apakah tersangka positif menggunakan narkotika.  

Kasus yang dihadapi oleh aan, dimana dia disiksa agar mengakui kepemilikan narkotika atau kasus Usep Cahyono yang dipaksa mengakui sebagai pengedar narkotika

-

-

B.

Pihak penuntut umum mendakwa dengan dakwaan tunggal terhadap penguasaan narkotika walaupun terbukti terdakwa positif menggunakan narkotika, sehingga menggiring hakim untuk menjatuhkan vonis penguasaan narkotika bukan pengguna narkotika16 Pihak penuntut umum tidak mau menerima ahli yang dimintakan oleh hakim untuk menilai tingkat kecanduaan pengguna narkotka, sehingga menghambat putusan rehabilitasi. Pengguna narkotika yang buta hukum, sehingga mengingkari narkotika yang memang digunakan untuk kepentingan sendiri, dimana akhirnya dihukum karena pengusaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan.

SEKILAS tentang HARM REDUCTION dalam UU Narkotika Secara umum Harm Reduction diartikan sebagai pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkotika dengan penerapan berbagai metode layanan alat suntik steril, layanan program terapi rumatan metadon dll. Prinsip yang mendasari pendekatan Harm Reduction sebagai cara yang efektif dalam mengurangi dampak buruk pemakaian narkotika terdapat dalam Declaration on The Guiding Principles of Drug Demand Reduction, yang diadopsi oleh UN General Assembly Special Session (UNGASS) melalui Resolusi S20/4, yang menyebutkan bahwa kebijakan narkotika baik pada tingkat nasional maupun internasional harus bertujuan tidak hanya mencegah pemakaian narkotika tetapi juga pengurangan dampak buruk dari pemakaian narkotika. Selanjutnya Decision 74/10, Flexibility of Treaty Provisions as Regards Human Reduction Approaches yang dikeluarkan oleh UN International Narcotics Control Board menegaskan bahwa pendekatan Harm Reduction adalah sejalan dengan konvensikonvensi tentang narkotika17. Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan aturan mengenai program harm reduction dan dalam pelaksanaanya telah dilaksanakan. Sayangnya UU Narkotika tidak tegas mengakomodir harm reduction dalam ketentuan didalamnya, salah satu ketentuan Harm Reduction terdapat dalam Penjelasan Pasal 56 UU Narkotika yang menyebutkan “Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan. Ketentuan tersebut menekankan adanya pengawasan ketat oleh Departemen Kesehatan dalam program harm reduction, dimana Departemen Kesehatan merupakan salah satu pemangku kebijakan yang 

17

16 Kasus yang dihadapi oleh Fira Fany, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat Tinjauaan Konstitusi UU Narkotika yang dilakukan oleh PBHI

memeliki peran kunci melihat permasalahan pengguna narkotika dari sudut pandang kesehatan, namun dalam pelaksanannya masih sulit penggiat-penggiat harm reduction dalam melaksanankan tugas karena berbagai ketentuan dalam UU Narkotika antara lain : - Adanya ketentuan dalam UU Narkotika yang dapat mempidana setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana, termasuk tindak pidana pengguna narkotika sebagaimana18 - Penggiat harm reduction yang memberikan jarum suntik steril dianggap sebagai pihak yang terlibat dalam pemufakatan jahat dalam tindak pidana narkotika19 - Penggiat harm reduction yang memberikan jarum suntik steril kepada pengguna narkotika dibawah umur juga dapat dianggap memberikan kemudahan dalam melakukan tindak pidana narkotika - Adanya potensial konflik horizontal antara penggiat harm reduction dengan kelompok masyarakat yang memandang sempit makna peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika Walau program harm reduction telah memiliki dasar hukum dan dilaksanakan jauh sebelum UU Narkotika namun dalam pelaksanaanya masih dibayang-bayangi kekhawatiran bagi penggiat harm reduction dan pengguna narkotika yang mendapatkan layanan harm reduction, ada baiknya pelaksanaan program harm reduction tidak hanya dilaksanakan oleh Depertemen Kesehatan atau KPAN tapi juga melibatkan pemangku kepentingan UU Narkotika lainya (Kepolisian, BNN, DEPSOS, PEMDA dll) VI.

REKOMENDASI dan PENUTUP Saat ini masyarakat dan beberapa pihak pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengguna narkotika sudah mulai memandang pengguna narkotika sebagai korban, dan apabila harus melalui proses hukum maka rehabilitasi adalah pilihan yang terbaik bagi pengguna narkotika, karena melihat maraknya peredaran gelap narkotika didalam penjara. Sehingga menjadi penting bagi pengguna narkotika sebagai obyek dalam perdagangan gelap narkotika harus mulai melakukan upaya-upaya untuk membuka pemahaman masyarakat secara lebih luas mengenai posisi pengguna narkotika dan melakukan pengawalan terhadap kebijakan narkotika di Indonesia. Pihak pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah sebagai pihak yang melaksanakan UU Narkotika baik dalam bidang penegakan, pencegahan, penanggulangan dan pengawasan haruslah memperhatikan hak-hak dasar pengguna narkotika secara umum dan hak pengguna narkotika secara khusus.  18 19

Pasal 131 UU Narkotika Pasal 132 UU Narkotika