kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan ...

57 downloads 673 Views 633KB Size Report
JUDUL TESIS ... KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 ...... 13Dasril Munir, et al, Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah, ...
KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT) TESIS Oleh:

HABIBI ADHAWIYAH 017005015/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT)

TESIS Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Oleh:

HABIBI ADHAWIYAH 017005015/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

HALAMAN PENGESAHAN JUDUL TESIS

: KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT)

NAMA MAHASISWA

: HABIBI ADHAWIYAH

NOMOR POKOK

: 017005015

PROGRAM STUDI

: ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Muhammad Abduh, SH Ketua

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH NIP. 131570455

Tanggal Lulus

:

Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum Anggota

Direktur

Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, MSc NIP. 130535852

03 Nopember 2007

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Tanggal Lulus : 3 Nopember 2007 Telah diuji pada Tanggal 03 Nopember 2007

PANITIA UJIAN TESIS KETUA : Prof. Muhammad Abduh, SH ANGGOTA : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT) Habibi Adhawiyah 1 Muhammad Abduh ∗∗ Alvi Syahrin ** Faisal Akbar Nasution ** INTISARI Pengelolaan keuangan Daerah adalah salah satu aspek yang harus diatur secara hati-hati dan merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah Daerah. Dalam upaya perwujudan reformasi pengelolaan keuangan pemerintah yang baik terdapat pula tuntutan yang semakin besar untuk mengakomodasi, menginkorporasi serta mengedepankan nilai-nilai good governance. Hal ini ditandai dengan terbitnya 3 (tiga) paket perundangan-undangan di bidang keuangan Negara. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah pusat kembali melakukan revisi kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang juga mengatur hal yang berkaitan dengan keuangan Daerah seperti yang diatur dalam paket perundang-undangan di bidang keuangan Negara. Hal ini tidak menutup kemungkinan timbulnya multi interpretasi dalam implementasinya mengingat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang sama ini mengatur substansi yang saling terkait. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara, sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 dengan peraturan perundangan lainnya, serta mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah dalam upaya pencapaian good governance (studi kasus di Kabupaten Langkat). Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini dititikberatkan pada data sekunder. Guna mendapatkan hasil yang objektif ilmiah, maka metode pengumpulan data dilakukan melalui library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan), sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara (interview).

1 ∗∗

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Hasil penelitian menunjukkan keuangan Daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan Daerah yang sebelumnya diatur dalam berbagai bentuk perangkat hukum dan terkesan adanya tumpang tindih tidak dapat diimplementasikan secara efektif. Akan tetapi hal ini kemudian diatasi dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang menjadi pedoman pokok bagi pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Namun proses pengelolaan keuangan di Kabupaten Langkat saat ini masih mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2004 dimana aturan tersebut masih berlandaskan pada PP No. 105 Tahun 2000 juncto Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 meskipun pada dasarnya proses pelaksanaan pengelolaan keuangan di Kabupaten Langkat menunjukkan kondisi menuju ruang perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang sejalan dengan prinsip good governance sehingga terdapat keharusan bagi Pemerintah Kabupaten Langkat untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dengan mengganti peraturan daerah yang sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian disarankan agar pemerintah daerah membuat pengaturan hukum pengelolaan keuangan daerah berupa Perda yang berlandaskan prinsip-prinsip good governance. Kemudian agar pemerintah daerah membentuk suatu badan atau dinas pengelolaan keuangan daerah yang berlevel satuan kerja (bukan unit kerja). Selain itu agar pemerintah daerah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengembangkan akuntabilitas publik, membuka peran serta masyarakat, serta meningkatkan jumlah aparatur yang memahami dan dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance secara konsisten dan berkelanjutan pada semua tingkat dan lini pemerintahan Kata kunci: - Kedudukan Keuangan Daerah - Sistem Pengelolaan Keuangan Negara - Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

STATUS OF REGIONAL FINANCIAL IN MANAGEMENT SYSTEM OF STATE FINANCIAL BY THE LAW NR.17/2003 ON STATE FINANCIAL (CASE STUDY IN DISTRICT OF LANGKAT) Habibi Adhawiyah 2 Muhammad Abduh ∗∗ Alvi Syahrin ** Faisal Akbar Nasution ** ABSTRACT Management of regional financial is an aspect to be regulated carefully and an essential policy instrument for regional government. In attempt of realizing an improved government financial management reform, there is an increasingly requirement to accommodate, incorporate an set forward the values of good governance. This is evident by three launched statutory on state financial. In addition, central government revised again regional autonomy policy through the Law Nr. 32/2004 and Nr. 33/2004 that also regulated regional financial as set in financial statute of the state. It is not impossible to result in multi interpretation in the implementation because this same legal power of statute regulates the related substances. Therefore, the objective of the research would be to know and analyze the status of regional financial in system of state financial management, synchronization of statute regulation of regional financial management according to the Law Nr. 17/2003 with another statutes, and also to know and analyze the regulation about financial management to achieve the good governance (case study in District of Langkat). To assess the case, an analytical descriptive research is made through normative juridical approach. The type of data used in this research is mainly focused on secondary data. To get the scientific objective result, method of collecting data is by library research and field research, and instrument of data collection used is document study and interview. The result of research indicates that regional financial is subsystem of state financial management system in implementation of regional government authority and it is an essential element of government performances. Moreover, the statute of regional financial management that is previously to seem overt overlapping can’t be implemented effectively. However, this is then overcome following the issuance of 2

Student of Law Science Magisterial, Postgraduate School, University of North Sumatera Lecturers of Law Science Magisterial, Postgraduate School, University of North Sumatera

∗∗

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Government Regulation Nr. 58/2005 with the instruction of implementation is contained in Regulation of Internal Ministry Nr. 13/2006 as basic guidance for Regional Government in managing the regional financial. However process of financial management in District of Langkat recently still makes reliance on Regional Regulation Nr. 1/2004 in which the regulation is based on Government Regulation Nr. 105/2000 juncto Decree of Internal Ministry Nr. 29/2002 although essentially the process of financial management implementation in District of Langkat indicates a condition toward improvement by applying the principles contained in Regulation of Internal Ministry Nr. 13/2006 in relevance to principle of good governance, thus there is an absolute requirement for Government of Langkat District to re-manage the institution of regional financial management by replacing the obsolete regional regulations. Therefore, it is suggested that regional government will prepare legal regulation of regional financial management as a Regional Government based on principles of good governance. And then regional government should established a board or agency for regional financial management by workforce (not work unit). Also, regional government is expected to improve the quality of human power and develop the public accountability, people participation, and to increase the number of apparatus who understands and can apply the principles of good governances consistently and continuously in all levels and line of government.

Keywords: - Status of Regional Financial - Management System of State Financial - The Law Nr. 17/2003

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Sang Pengasih lagi Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan moril maupun bantuan material. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister; 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 4. Prof. Muhammad Abduh, SH selaku Pembimbing Utama, Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., dan Dr. Faisal Akbar, SH., M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk mengoreksi, mengarahkan dan membimbing penulis untuk hasil penelitian yang lebih berbobot. 5. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M. Hum., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk memperkaya tesis ini.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

6. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan ilmunya kepada penulis. 7. Orangtua tercinta Ayahanda Sudarman (Alm) dan Ibunda Hj. Ratna Asmara Purba atas segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik, membimbing penulis sejak lahir serta senantiasa mengiringi penulis dengan doa yang tiada putus.

Tidak lupa juga terima kasih kepada

saudara-saudara penulis abang/kakak tersayang atas segala dukungan dan pengorbanan menjadi motor penggerak tersendiri untuk keberhasilan studi penulis. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini tetapi telah banyak memberikan bantuan untuk keberhasilan serta telah menjadi bagian hidup penulis sepanjang masa kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Semoga amal baik semua pihak yang telah mendukung

terselesaikannya tesis ini baik langsung ataupun tidak langsung mendapatkan pahala serta curahan rahmat dari Allah SWT Penulis menyadari pula bahwa substansi tesis ini tidak akan luput dari berbagai kekhilafan, kekurangan dan kesalahan, dan tidak akan sempurna tanpa bantuan, nasehat, bimbingan, arahan dan kritikan. Apapun yang disampaikan dalam rangka menyempurnakan tesis ini akan tetap penulis terima dengan tangan terbuka. Akhirulkalam, semoga tesis ini dapat memenuhi maksud penulisannya. Aamin…

Medan,

Nopember 2007 Penulis,

Habibi Adhawiyah

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

:

Habibi Adhawiyah

Tempat/Tgl. Lahir

:

Pematang Siantar/ 20 Desember 1974

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Agama

:

Islam

Pendidikan

:

-

-

Sekolah Dasar pada Perguruan Taman Siswa di Pematang Siantar, lulus tahun 1987; Sekolah Menengah Pertama pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 di Pematang Siantar, lulus tahun 1990; Sekolah Menengah Atas pada Sekolah Menengah Atas Negeri 2 di Pematang Siantar, lulus tahun 1993; Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, lulus tahun 1999.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT …………………………………………………………………. INTISARI … …………………………………………………………………. KATA PENGANTAR ………………………………………………………. DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………….... DAFTAR ISI …………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… A. Latar Belakang ………………………………………………. B. Perumusan Masalah ………………………………………….. C. Tujuan Penelitian ……..………………………………………. D. Manfaat Penelitian …………………………………………… E. Keaslian Penelitian ………………………………………….. F. Kerangka Teori ………………………………………………. G. Metode Penelitian ……………………………………………. BAB II

BAB III

BAB IV

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA . A. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah ............ B. Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Daerah ………………………………………….. C. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Keuangan Daerah ………………………………………. D. Kedudukan Keuangan Daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut UU No. 17 Tahun 2003 .............. SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGELOLAAN (PERENCANAAN) KEUANGAN DAERAH MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003 DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN LAINNYA ………………… PENGATURAN MENGENAI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT DALAM UPAYA PENCAPAIAN GOOD GOVERNANCE …………..…………… A. Gambaran Umum Kabupaten Langkat ……………………… B. Konsepsi Good Governancedan Hubungannya dengan Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah ……………………… C. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah di Kab. Langkat dalam Upaya Pencapaian Good Governance .…….

i iii v vii viii 1 1 14 14 15 15 16 23

29 29 32 55 65

78

107 107 116 123

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….... A. Kesimpulan ………………………………………………… B. Saran …………………………………………………………

140 140 142

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Keuangan Negara merupakan lembaga yang sangat vital dalam suatu negara, karena lembaga ini berkaitan erat dengan tujuan negara dan bagaimana kas negara yang diisi dari uang rakyat itu dikelola untuk memutar roda pemerintahan dan pembangunan.

Apabila Keuangan Negara tidak dikelola dengan baik maka

konsekuensi logisnya tujuan negara tidak akan tercapai.

Pengelolaan keuangan

merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah dalam kerangka nation dan state building. Adanya pengelolaan keuangan yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Oleh karena itu pengelolaan keuangan memiliki arti, manfaat dan pengaruh yang begitu besar terhadap nasib suatu bangsa karena segala kebijaksanaan yang ditempuh dalam pengelolaan keuangan bisa berakibat kemakmuran atau kemunduran suatu bangsa. Negara merupakan suatu organisasi yang unik, yang memiliki otoritas yang bersifat memaksa di atas subjek hukum pribadi yang menjadi warga negaranya. Walau demikian pengurusan, pengelolaan atau penyelenggaraan jalannya negara

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

tidak luput dari mekanisme pertanggungjawaban oleh para pengurus, pengelola dan penyelenggara negara. 3 Untuk melaksanakan tugasnya sebagai suatu organisasi yang teratur, negara harus memiliki harta kekayaan. Harta kekayaan negara ini datang dari penerimaan negara, yang dipergunakan untuk membiayai segala proses pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan negara tersebut.

Di Indonesia, hal-hal yang berhubungan

dengan proses penerimaan dan pengeluaran negara diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dalam rumusan ketentuan Pasal 23 dan amandemennya. 4 Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945 yang semula terdiri dari 5(lima) ayat dan berada di bawah ketentuan Bab VIII tentang Keuangan Negara, dalam tahun 2001 telah diamandemen menjadi 7(tujuh) pasal di bawah 2(dua) bab. Dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari pernyataan tersebut tersirat suatu makna yang luas, yaitu bahwa pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan negara harus dilakukan dengan persetujuan seluruh rakyat Indonesia, yang dalam hal ini diwakili Dewan Perwakilan Rakyat melalui anggota-anggotanya.

3

Gunawan Widjaja, Seri Keuangan Publik: Pengelolaan Harta Kekayaan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 2 4

Ibid

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Mengenai pengertian keuangan negara itu sendiri dipahami secara beragam, baik itu oleh para ahli maupun yang telah dituangkan dalam literatur.

Dalam

memahami keuangan negara ada yang berpendapat bahwa keuangan negara terbatas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ada pula yang berpendapat bahwa keuangan negara seharusnya lebih luas tidak saja mencakup APBN, tetapi meliputi keuangan yang terdapat pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keuangan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan keuangan lainnya. Hal ini diatasi dengan menetapkannya secara yuridis formal sehingga dalam pengelolaan keuangan negara, pengertian secara yuridis inilah yang dijadikan dasar untuk melaksanakan tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Dalam 2(dua) tahun terakhir ini telah dimulai langkah reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara, dengan diberlakukannya satu paket perundangundangan di bidang pengelolaan keuangan negara, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya ditulis UU No. 17 Tahun 2003), Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya ditulis UU No. 1 Tahun 2004), dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (selanjutnya ditulis UU No. 15 Tahun 2004). Diberlakukannya paket perundang-undangan di bidang keuangan negara tersebut merupakan loncatan yang telah dilakukan Pemerintah dan DPR-RI di bidang

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pengelolaan keuangan negara, karena dalam beberapa periode pemerintahan sebelumnya paket perundang-undangan tersebut belum dapat diselesaikan. Paket perundang-undangan tersebut menjadi landasan hukum pengelolaan keuangan negara yang mandiri bagi bangsa untuk menggantikan perundang-undangan lama yang disusun pada masa kolonial Hindia Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet (ICW). Untuk itu paket perundang-undangan di bidang keuangan negara yang menjadi landasan reformasi pengelolaan keuangan negara merupakan dasar hukum yang kuat di bidang keuangan negara untuk lebih mandiri, transparan, dan akuntabel. Hal ini penting sebagai upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran secara sungguh-sungguh guna meningkatkan kualitas pengelolaan anggaran. Reformasi pengelolaan keuangan negara mencakup keseluruhan aspek pengelolaan keuangan negara, yaitu penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Dalam bidang penyusunan anggaran perubahan yang dilakukan meliputi penerapan sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgetting), penerapan penyusunan anggaran dalam kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework), dan penerapan anggaran terpadu (unified budget). Sejauh ini pembicaraan mengenai keuangan negara dan kebijakan fiskal selalu dihubungkan dengan satu tingkat pemerintahan saja. Akan tetapi dengan adanya pembagian daerah administrasi negara Indonesia, maka dituntut adanya suatu sistem keuangan negara yang akan dapat menjamin kelancaran pemerintahan dan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pembangunan khususnya dalam hal pemerintah harus menyediakan jasa-jasa publik, maupun dalam hal negara harus mengumpulkan dana lewat berbagai sumber, khususnya perpajakan. Hal ini dikarenakan Daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, maka

hubungan antara Keuangan Negara dan Keuangan Daerah erat sekali. Hubungan tersebut bukan saja bersifat hubungan keuangan antara tingkatan pemerintahan, tetapi mencakup pula faktor-faktor strategi pembangunan dan pengawasan daerah. Persoalan pengelolaan keuangan Daerah 5 dan anggaran Daerah merupakan salah satu aspek yang harus diatur secara hati-hati. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 6 merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, Anggaran Daerah 5

Arifin P. Soeria Atmadja menyebutkan bahwa meskipun Negara dan Daerah sama-sama merupakan badan hukum publik, namun tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya berbeda. Dilihat dari kedudukan dan fungsinya secara yuridis masing-masing sangat berbeda antara keuangan Negara dan keuangan Daerah. Lebih lanjut lihat Arifin P. Soeria Atmadja, Komentar dan Kritik UU Tentang Keuangan Negara, Makalah dalam Seminar Nasional Undang-undang Keuangan Negara, Peningkatan Kualitas Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Laboratorium Konstitusi PPsUSU, Medan, 2003. Josef Riwu Kaho selanjutnya menyebutkan selain faktor manusia dan peralatan/sarana pendukung, faktor keuangan merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktifitas pemerintahan Daerah. Salah satu kriteria penting untuk menyetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah terletak pada kemampuan self supportingnya dalam bidang keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya, Daerah membutuhkan dana atau uang. Lihat Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 124 6

Pasal 16 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. M. Solly Lubis menyebutkan bahwa menurut ilmu politik dan ketatanegaraan, kegiatan membuat APBD itu termasuk contoh dari public policy making, yaitu perumusan kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada kepercayaan masyarakat. Lihat M. Solly Lubis, Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan, Mandar Maju, Bandung, 1996, hal. 150

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Anggaran Daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengeluaran ukuran-ukuran standar dan evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.

Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Daerah

hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi Daerah yang bersangkutan. 7 Sejalan dengan tuntutan reformasi di segala bidang, pengelolaan keuangan daerah pun mengalami reformasi. Tuntutan masyarakat era reformasi terhadap pelayanan publik yang ekonomis, efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan responsif semakin besar. Keleluasaan penggunaan dana-dana yang telah meningkat cukup signifikan harus mendapat pengelolaan yang cukup baik, yaitu melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat atau melalui penyelenggaraan pembangunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan latar belakang demikian adalah wajar bila dituntut adanya reformasi pengelolaan keuangan daerah sehingga proses pelayanan publik dapat berjalan dengan baik.

7

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002, hal. 9

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dalam upaya perwujudan reformasi pengelolaan keuangan pemerintah yang baik

terdapat

pula

tuntutan

yang

semakin

besar

untuk

mengakomodasi,

menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai-nilai good governance. Prinsip good governance merupakan issue yang paling mengemuka.

Tuntutan gencar yang

dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk diperjuangkan antara lain adalah transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan dimaksud, di samping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi. Dalam konteks ini, pengelolaan keuangan pemerintah tidak saja harus didasarkan pada prinsipprinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai dimaksud. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan reformasi pengelolaan keuangan daerah, diperlukan pengelolaan

keuangan

pemahaman

daerah

yang

yang

komprehensif mengenai

berdasarkan

prinsip-prinsip good

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

governance. 8 Hal ini penting, agar dalam pelaksanaannya dapat dihindarkan eksesekses negatif Otonomi Daerah yang dilakukan tanpa pemahaman yang baik. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena berkaitan dengan tujuan dari pemerintahan itu sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karena output dari perencanaan adalah penganggaran. Selama ini perencanaan dan penganggaran belum memiliki landasan aturan yang memadai. Penganggaran atau pengelolaan keuangan selama ini mengacu pada aturan perundang-undangan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet (ICW). Belakangan kebijakan ini dianggap tidak sesuai lagi dengan semakin kompleksnya pengelolaan keuangan negara sehingga hal ini disikapi pemerintah dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003, yang di dalamnya mengatur proses pengelolaan keuangan daerah. Reformasi pengelolaan keuangan negara yang ditandai dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 disertai dengan UU No. 1 Tahun 2004, dan UU No. 15 Tahun

8

Sementara itu Mardiasmo juga menyebutkan bahwa dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, salah satu perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah pengelolaan yang bertumpu pada kepentingan publik (public oriented) yang tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengelolaan anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan keuangan daerah. ibid..

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2004 mengisyaratkan terjadinya perubahan yang mendasar terhadap perencanaan dan penganggaran daerah. 9 Sejak digulirkannya kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, cukup banyak permasalahan yang muncul terhadap implementasi kebijakan ini. UU No. 22 Tahun 1999 dinilai kurang komprehensif dalam pengaturan terhadap konsep dasarnya, seperti pembagian kewenangan, hubungan antara tingkat pemerintahan, dan perimbangan keuangan. Selain itu ada pengaturan yang kurang sinkron di antara beberapa pasal, seperti dalam pasal tertentu ada wewenang yang ditetapkan sebagai wewenang pusat, tetapi di pasal lain ditetapkan sebagai wewenang daerah.

9

Perubahan yang mendasar tersebut antara lain: pertama, bahwa perencanaan program kerja dan kegiatan menjadi satu kesatuan dengan perencanaan anggaran, sehingga program kerja dan kegiatan yang direncanakan akan sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang tersedia; kedua, mengisyaratkan kepada seluruh dinas, badan, lembaga, dan kantor melaksanakan program kerja dan kegiatan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing instansi/lembaga di tiap tingkat pemerintahan; ketiga, APBD dikelola berdasarkan prestasi kerja/anggaran kinerja yang berarti program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan APBD harus dirumuskan secara jelas dan terukur, apa output dan outcomenya; keempat, Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan bahwa fungsi pemerintahan di Pusat terdiri dari 11 (sebelas) fungsi, yaitu fungsi pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, serta fungsi perlindungan sosial. Sedangkan pemerintahan di daerah terdiri dari 9 (sembilan) fungsi, tanpa fungsi pertahanan dan agama. Keseluruhan peraturan perundangan dimaksud terkait langsung dengan perencanaan dan penganggaran di daerah. Lebih lanjut lihat Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Modul I Perencanaan Daerah, Bimbingan Teknis Implementasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Stabat, 2006

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Berdasarkan hal ini, pemerintah pusat melakukan revisi kebijakan otonomi daerah 10 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 11 (selanjutnya ditulis UU No. 33 Tahun 2004). Anehnya dalam kedua kebijakan ini juga mengatur hal

10

Adapun yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat UU No. 32 Tahun 2004 Bab I Pasal 1. Inti pelaksanaan otonomi daerah menurut Ryaas Rasyid adalah terdapatnya keleluasaan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dengan otonomi, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya. Selanjutnya lihat Ryaas Rasyid, Prospek Otonomi Luas, dalam Otonomi atau Federalisasi, Harian Umum Suara Pembaharuan dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal. 142. Sejalan dengan hal ini J. Kaloh menyebutkan bahwa kondisi ini mengakibatkan kewenangan yang dimiliki Daerah mengalami eskalasi penguatan mengingat kewenangan tersebut diiringi dengan penyerahan urusan dan kewenangan mengelola berbagai sumber yang menjadi potensi bagi peningkatan pendapatan Daerah dan menjadi sumber utama pendapatan Daerah. Lihat J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 136 11

Pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari Pusat ke Daerah, terakhir berupa subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan bantuan berupa Inpres (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: a. Aspek perencanaan, dominannya peranan Pusat dalam menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; b. Aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun teknis dari Pusat; c. Aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti BPKP, Itjen Departemen, Irjenbang, Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling tumpah tindih. Lebih lanjut lihat Boediono, Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Asas Desentralisasi Fiskal, Makalah dalam Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional Tahun 2002, Jakarta, 2002, hal. 1. Selanjutnya Arifin P. Soeria Atmadja menjelaskan bahwa berdasarkan amandemen kedua UUD 1945 Pasal 18 A ayat (2) yang mengamanatkan agar diatur dan dilaksanakan secara jelas hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan secara adil dan selaras dalam suatu undang-undang sehingga jelaslah kedudukan dan kapasitas UU 33 Tahun 2004 sebagai undang-undang organik. Lihat Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2005, hal. 158

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah seperti yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004. Oleh karena itu untuk perencanaan dan penganggaran daerah selain merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 juga diatur oleh UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003. Keempat kebijakan tersebut mengatur hal yang tidak jauh berbeda mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah, sementara UU No. 25 Tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Artinya, proses perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu pada keempat undang-undang ini. Tidak menutup kemungkinan, keempat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang sama kuat ini dapat menimbulkan multi interpretasi dalam implementasinya, mengingat keempatnya mengatur substansi yang saling terkait. Merujuk pada keempat undang-undang tersebut, maka perencanaan dan penganggaran daerah terutama dari segi prosesnya akan menjadi kewenangan daerah yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP).

Sampai saat ini PP yang mengatur proses-proses

perencanaan daerah dan penganggaran dimaksud masih belum keluar.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Sebelum keluarnya PP tentang perencanaan dan penganggaran daerah, dari segi prakteknya saat ini pemerintah daerah masih berpedoman pada PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (selanjutnya ditulis PP No. 105 Tahun 2000) yang mengatur mengenai asas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan, serta pendekatan dalam penyusunan APBD yang dikenal dengan pendekatan kinerja. Akan tetapi, untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 182 dan Pasal 194 UU No. 32 Tahun 2004 maka Presiden RI pada tanggal 9 Desember 2005 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (selanjutnya disebut PP No. 58 Tahun 2005) dengan Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan LNRI No. 4578.

Selain

menindaklanjuti ketentuan perundang-undangan tersebut, PP ini sekaligus merupakan sinkronisasi dari berbagai ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah (antara lain UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan) sehingga merupakan satu kesatuan pengaturan (omnibus regulation) dan pedoman pokok bagi pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Secara operasional, asas umum dan pendekatan kinerja dalam perencanaan dan penganggaran daerah sebelumnya dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 (selanjutnya ditulis Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Kepmendagri ini secara rinci mengatur substansi dan proses yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah agar perencanaan dan penganggaran sesuai dengan asas umum dan pendekatan kinerja. Berbagai kebijakan mengenai perencanaan keuangan tersebut di atas, selanjutnya diberi payung hukum yang lebih kokoh, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 yang mengatur sistem keuangan termasuk proses penyusunannya baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Sejalan dengan ditetapkannya PP No. 58 Tahun 2005, saat ini juga telah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (selanjutnya disebut Permendagri No. 13 Tahun 2006) yang

memuat

secara

komprehensif

pengaturan

tentang

perencanaan

dan

penganggaran, penatausahaan, pengakuntansian, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang diselaraskan dengan pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dibahas mengenai kedudukan keuangan Daerah dalam sistem pengelolaan keuangan Negara, serta melihat bagaimana sinkronisasi pengaturan mengenai perencanaan keuangan Daerah apakah berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait dan sesuai antara satu dengan lainnya ke dalam tulisan yang berjudul: “KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM

SISTEM

PENGELOLAAN

KEUANGAN

NEGARA

MENURUT

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT).

B. Perumusan Masalah Dengan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara menurut UU No. 17 Tahun 2003? 2. Bagaimana sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 dengan peraturan perundangundangan lainnya? 3. Bagaimana pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Langkat dalam upaya pencapaian good governance?

C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan permasalahan maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

3. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat dalam upaya pencapaian good governance.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menyempurnakan peraturan pelaksana pengelolaan keuangan daerah, serta berguna untuk informasi awal bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi pemerintah, praktisi hukum, dan bahan masukan bagi masyarakat yang tertarik dengan masalah keuangan daerah

E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan pemantauan yang penulis lakukan maka diketahui bahwa belum ada dilakukan penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai “Kedudukan Keuangan Daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Studi Kasus di Kabupaten Langkat). Oleh karenanya maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori Pada dasarnya, sistem pengelolaan keuangan merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan

pemerintahan.

Dalam

kerangka

sistem

penyelenggaraan

pemerintahan terlihat bahwa sistem pengelolaan keuangan, pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pemerintahan itu sendiri. The Liang Gie menyebutkan bahwa sistem merupakan kebulatan yang berlikuliku dan tetap dari hal-hal atau unsur-unsur yang saling berhubungan dan disatupadukan berdasarkan sesuatu asas tata tertib. 12 Menurut Baridzwan sistem merupakan suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur-prosedur yang saling berhubungan disusun sesuai dengan skema yang menyeluruh adalah suatu urutan pekerjaan yang biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi. 13

12

The Liang Gie, Unsur-unsur Administrasi Suatu Kumpulan Karangan, Edisi III, Supersukses, 1981, hal. 341 13

Dasril Munir, et al, Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Yogyakarta, 2004, hal. 6

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Sedangkan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia merumuskan sistem sebagai suatu totalitas yang terdiri dari subsistem-subsistem dengan atributatributnya yang satu sama lain berkaitan, saling ketergantungan satu sama lain, saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi sehingga keseluruhannya merupakan suatu kebulatan yang utuh serta mempunyai peranan dan tujuan tertentu.14 Dari rumusan tersebut di atas mengarah pada suatu cara yang tepat dalam memecahkan

masalah-masalah

yang

rumit

hendaknya

menggunakan

suatu

pendekatan kesisteman (system approach). Pendekatan kesisteman ini lebih tepat karena diharuskan untuk menelaah suatu permasalahan dalam bentuk totalitas. Dalam sistem keuangan itu sendiri dapat terdiri atas subsistem penganggaran, subsistem pembiayaan, subsistem penerimaan, subsistem penggajian, subsistem pengadaan, dan sebagainya. Apa yang dilihat sebagai subsistem sangat tergantung dari maksud, tujuan dan sasaran dari pembagian yang dilakukan. Dari segi pendekatan wilayah, pemerintah pusat dapat dianggap sebagai sistem sedangkan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai subsistem yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana sistem keuangan negara yang diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945, aspek pengelolaan keuangan daerah juga merupakan subsistem yang diatur

14

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara RI, LAN, Jakarta, 1988, hal. 1

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dalam UU No. 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 155 sampai dengan Pasal 194 di bawah bab yang berjudul Keuangan Daerah. Sedangkan tujuan utama dari pengelolaan keuangan pemerintah daerah seperti disebutkan Brian Binder adalah tanggung jawab, memenuhi kewajiban keuangan, kejujuran, hasil guna dan daya guna, serta pengendalian. 15 Penerapan pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan efisien memerlukan pengaturan hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat penting bagi proses pengelolaan keuangan daerah karena melalui sarana perangkat hukum, pengelolaan keuangan daerah diharapkan memiliki dan menjamin suatu kondisi yang tertib, pasti dan adil. Dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pemisahan dan merupakan satu kesatuan. Hal ini sejalan dengan kesepakatan luhur yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan”. Sementara itu dalam otonomi daerah, masalahnya bukan hanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan

15

Mengenai hal ini selengkapnya lihat Brian Binder, Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah, dalam Nick Devas et al, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1989, hal. 279

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Kenneth Davey mengemukakan bahwa hubungan keuangan pusat-daerah menyangkut pembagian. 16 Hubungan ini menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan ini. Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian ini, bagaimana agar antara potensi dan sumberdaya masing-masing daerah dapat sesuai. 17 Dalam bagian lain Davey juga merinci bahwa tujuan hubungan antara pusat dan daerah adalah: 18 1. Adanya pembagian wewenang yang rasional antara tingkat-tingkat pemerintahan mengenai peningkatan sumber-sumber pendapatan dan penggunanya. 2. Pemerintah daerah memiliki sumber-sumber dana yang cukup, sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik (penyediaan dana untuk menutup kebutuhan rutin dan pembangunan). 3. Pembagian yang adil antara pembelanjaan daerah yang satu dan daerah lainnya. 4. Pemerintah daerah dalam mengusahakan pendapatan (pajak dan retribusi) sesuai dengan pembagian yang adil terhadap keseluruhan beban pengeluaran pemerintah. 16

Kenneth Davey, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, dalam Nick Devas et al, op.cit, hal. 179

17

ibid

18

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 85

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan. 19 Lebih jelasnya Pasal 1 angka 3 dan Pasal 2 ayat (1) dan (3) UU No. 33 Tahun 2004 menegaskan: Pasal 1 angka 3: Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan, desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pasal 2 ayat (1): Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 2 ayat (3): Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

Dengan demikian, dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 terdapat beberapa hal yang penting sehubungan dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu: 19

HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 41

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

1. Bahwa perimbangan keuangan diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Dari ketentuan tersebut jelas diisyaratkan adanya kejelasan agregat tugas yang dijalankan oleh Pemerintahan Daerah, baik propinsi, kabupaten ataupun kota. Dikaitkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 ada 3(tiga) prinsip yang dianut oleh Pemerintahan Daerah Propinsi, yaitu sebagai desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sedangkan untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota ada 2(dua) prinsip, yaitu desentralisasi dan tugas pembantuan. Masing-masing prinsip tersebut akan berimplikasi terhadap biaya. Kalau desentralisasi akan melahirkan urusan otonomi yang menjadi tanggung jawab Pemerintahan Daerah untuk membiayai, maka dekonsentrasi akan menjadi tanggung jawab pusat pembiayaannya serta tugas pembantuan menjasi tanggung jawab instansi yang menugaskan untuk membiayainya. 2. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam rangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pusat dan Daerah secara proprsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah (Pasal 1 ayat 1). Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perimbangan keuangan didasarkan atas kebutuhan nyata daerah akan tercermin dari isi rumah tangganya. Dan urusan otonomi haruslah mencerminkan kebutuhan nyata yang dirasakan oleh masyarakat daerah tersebut. Potensi dan kondisi daerah mengisyaratkan bahwa perimbangan keuangan didasarkan atas seberapa besar potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut dan dari potensi ini akan ditentukan beberapa propinsi yang menjadi hak daerah dan berapa yang menjadi hak Pusat. Dana perimbangan tersebut yang akan dialokasikan dari APBN kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 20

Selain

itu

dalam

rangka

menyelenggarakan

pemerintahan,

pelayanan

masyarakat dan pembangunan, maka pemerintah suatu negara pada hakekatnya mengemban 3(tiga) fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi antara lain meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan

20

Made Suwandi, Manajemen Pemerintahan Daerah pada Era Otonomi Luas (Implikasinya terhadap Keuangan Daerah), Seminar Nasional Hubungan Keungan Pusat dan Daerah, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, 2001, hal. 16

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

jasa pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi meliputi antara lain pendapatan dan kekayaan masyarakat, serta pemerataan pembangunan. Fungsi stabilisasi meliputi antara lain pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.21 Fungsi distribusi dan stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah, karena

pemerintah daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan situasi dan kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing wilayah. 22 Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi tersebut adalah sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara jelas dan tegas. Selanjutnya dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sumber daya alam atau disingkat sebagai bagi hasil antara Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 23 Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang 21

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit, hal. 89

22

ibid

23

Selengkapnya lihat Pasal 6 UU No. 25 Tahun 1999

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah.

Di samping itu bertujuan pula untuk menanggulangi keadaan

mendesak di Daerah, seperti bencana alam, kepada Daerah dapat dialokasikan dana darurat. 24 Dengan demikian adanya dana perimbangan yang meliputi bagi hasil pusat dan daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mencerminkan upaya dan asas keadilan perimbangan antara pusat dan daerah, selain upaya dan asas pemerataan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dan pembangunan di daerah-daerah.

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap inventarisasi dan sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan. Untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan inventarisasi terutama peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku khususnya dalam era otonomi daerah. 24

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit., hal. 90

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keuangan negara, penelitian ini mengacu kepada ketentuan hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya ditulis UU No. 10 Tahun 2004) yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah

Sinkronisasi yang dilakukan di sini adalah sinkronisasi secara vertikal dan horizontal terutama yang menyangkut masalah keuangan daerah, khususnya mengenai kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Sinkronisasi vertikal yang dimaksudkan adalah sinkronisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan berdasarkan hirarkhi perundang-undangan, misalnya UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 58 Tahun 2005, maupun dengan ketentuan yang berada di atasnya yaitu Undang-undang Dasar dan Ketetapan MPR. Sedangkan sinkronisasi horizontal merupakan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang sama tingkatan dan kedudukannya, misalnya dalam hal ini adalah antara UU No. 17 Tahun 2003 dengan UU No. 32 Tahun 2004. Untuk menambah pemahaman yang lebih luas digunakan pula pendekatan komparatif mengenai pengertian pengelolaan dan keuangan negara di luar pendekatan hukum. Selain itu untuk menggambarkan seluk beluk pengelolaan keuangan daerah

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

maka pendekatan yuridis normatif akan ditunjang dengan pendekatan sosiologis dengan mengadakan studi lapangan pada instansi terkait.

2. Sifat Penelitian Secara umum penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan/ memaparkan mengenai pengelolaan keuangan daerah. Penulis berusaha mengetahui dan memaparkan informasi aktual secara objektif dan sistematis mengenai pengelolaan keuangan daerah secara analitis keilmuan sehingga data yang diperoleh sedapat mungkin dianalisis, baik secara konseptual maupun penerapannya.

3. Jenis dan Sumber Data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan dan dokumen-dokumen resmi. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier, yaitu: 25 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945; b. Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 sampai dengan 23 D; c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara dan daerah, khususnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan 25

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.52

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Negara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan pakar hukum tata negara, politik, dan sebagainya yang memiliki hubungan analisis dengan topik penelitian ini. 3. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, mencakup: a. Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder; b. Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang ekonomi, politik, sosiologi, filsafat, dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian.

Data sekunder tadi ditunjang dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil yang dipaparkan, yang berupa wawancara dengan informan dari instansi yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini, diantaranya Bagian Keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, dan Inspektorat (Badan Pengawas) Kabupaten Langkat.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4. Cara Pengumpulan Data Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa penelitian ini memusatkan pada data sekunder, sehingga pengumpulan data ditempuh dengan melakukan studi kepustakaan dan studi dokumen.

Bahan dokumen diperoleh dengan cara

menginventarisasi dan mengkoleksi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah dan keuangan negara. Akan tetapi untuk memperkuat data tersebut dilakukan pula studi lapangan dengan melakukan diskusi secara bebas dan mendalam dengan menggunakan teknik wawancara (interview). Jenis pedoman wawancara yang dipilih adalah wawancara terbuka (opened interview) atau wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Peneliti hanya menggunakan panduan pokok dari butir-butir pertanyaan yang diajukan dalam wawancara, yang dikembangkan menjadi banyak pertanyaan pada saat wawancara dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya dari peneliti bersumber dari jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan induk, yang bersifat mendalam dan komprehensif dari jawaban informan.

5. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh disajikan secara kualitatif, dianalisis secara deskriptif. Melalui analisis ini jawaban permasalahan sebagai hasil temuan penelitian dikemukakan dalam bentuk uraian sistematis dengan menjelaskan hubungan antara

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

berbagai jenis data yang didapatkan dan memformulasikannya menjadi suatu verifikasi dan kesimpulan penelitian secara komprehensif (menyeluruh). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data: a. Memilih data-data yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah dan keuangan negara, kemudian memisahkan mana data yang relevan dan mana pula data yang tidak relevan. Data yang relevan digunakan sebagai bahan analisis berikutnya, sedangkan data yang tidak relevan disisihkan atau disimpan untuk sementara. Jika dibutuhkan data yang sudah disimpan dapat diambil kembali, baik untuk kebutuhan penelitian ini maupun untuk kebutuhan penelitian berikutnya yang terkait dengan topik penelitian ini; b. Data yang relevan selanjutnya diolah dan disajikan dalam bentuk sederhana untuk memudahkan interpretasi data tersebut; c. Memverifikasi data tersebut menurut permasalahan penelitian dan mengambil kesimpulan atau hasil dari semua kegiatan penelitian ini.

Pengambilan

kesimpulan tetap mengacu secara konsisten terhadap fokus permasalahan yang dibahas.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB II KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003

A. Inventarisasi

Peraturan

Perundang-undangan

Tentang

Pengelolaan

Keuangan Negara dan Keuangan Daerah Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keuangan negara, penelitian ini mengacu pada hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Selain itu UU No. 10 Tahun 2004 juga mengakui keberadaan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. 26 Berdasarkan hasil inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, diantaranya: 1. Undang-undang Dasar 1945 a. Pembukaan alinea ke-empat, yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ….”. b. Bab VIII Hal Keuangan UUD 1945 26

Perhatikan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) UU No. 10 Tahun 2004. Adapun jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Gubernur BI, Menteri, Kepala Bidang, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Propinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

c. Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945 “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” d. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. c. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. d. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. f. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 3. Peraturan Pemerintah a. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. b. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. c. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Informasi Keuangan Daerah. d. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. f. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat. g. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan III atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. h. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. i. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4. Peraturan Presiden. 5. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.

Selain itu terdapat pengaturan hukum pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk keputusan menteri yang menjadi pedoman teknis yaitu Keputusan Menteri Dalam

Negeri

Nomor

29

Tahun

2002

tentang

Pedoman

Pengurusan,

Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) yang kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Permendagri No. 13 Tahun 2006) sebagai tindak lanjut dari Pasal 155 PP No. 58 Tahun 2005 yang memuat secara komprehensif pengaturan tentang perencanaan dan penganggaran, penatausahaan, pengakuntansian, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang diselaraskan dengan pengelolaan keuangan negara.

Permendagri ini mengadopsi

prinsip dan standar pengelolaan keuangan daerah yang baik untuk mewujudkan efisiensi, efektif, transparan dan akuntabilitas. Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelaslah bahwa pengaturan hukum mengenai pengelolaan keuangan daerah, khususnya mengenai perencanaan dan penganggaran daerah sangat beragam yang secara hierarkhi

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

perundang-undangan bertolak dari aturan dasar yakni Undang-undang Dasar 1945 sampai Keputusan Menteri. Tahap perencanaan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Landasan dikeluarkannya undang-undang ini adalah sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat selama ini belum memiliki landasan aturan yang bersifat mengikat. Digulirkannya kebijakan otonomi daerah dan dihapuskannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang selama ini dijadikan landasan perencanaan membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis.

B. Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Daerah Pada hakekatnya keuangan pusat dan keuangan daerah adalah keuangan negara. 27 Oleh karena itu untuk lebih memahami makna keuangan negara, pertama-

27

Ady Kusnadi et al, Aspek Hukum Pengawasan Dalam Pelaksanaan Keuangan Pusat dan Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2000, hal. 22

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Negara adalah suatu lembaga kemasyarakatan yang mempunyai wilayah dan pemerintahan yang berkuasa yang didukung oleh warganya di wilayah itu guna mencapai tujuan tertentu.

Pandangan para filosof mengenai tujuan negara pada

dasarnya adalah sama, yaitu untuk mencapai kesejahteraan warga negaranya. Plato berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk memenuhi keanekaragaman kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi manusia secara individu, sementara Aristoteles menyebutkan bahwa tujuan negara adalah untuk menyelenggarakan kehidupan yang baik bagi semua warga negaranya. 28 Keberhasilan negara dalam mencapai tujuannya tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu menghimpun dana masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya antara lain keamanan, ketertiban dan hubungan internasional.

Hal ini mudah dipahami, karena untuk menjalankan roda

pemerintahan, negara membutuhkan dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan negara yang potensial, antara lain pajak melalui kebijaksanaan fiskal.

Kebijaksanaan pemerintah yang semula terbatas hanya

mengenai perpajakan, namun sejalan dengan perkembangan kebutuhan negara mensejahterakan warga masyarakatnya, kebijaksanaan tersebut berkembang lebih luas menjadi kebijaksanaan di bidang keuangan negara. 28

Badan Pemeriksa Keuangan, Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, 2000, hal. 9

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Keuangan negara sesungguhnya mempunyai arti luas, yaitu di samping meliputi milik negara atau kekayaan negara yang bukan semata-mata terdiri dari semua hak, juga meliputi semua kewajiban. Hak dan kewajiban itu baru dapat dinilai dengan uang apabila dilaksanakan. 29 Definisi keuangan negara sendiri memiliki pengertian yang cukup beragam, dapat diinterpretasikan secara luas maupun sempit, bergantung pada pihak yang berkepentingan terhadapnya. Dalam kepustakaan ilmu hukum, keuangan negara dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah geldmiddelen. Menurut P.H. Van der Kamp, geldmiddelen mengandung pengertian: “...all de rechten die een geld swaarde vertegenwoordegen. Zoomede al hetgeen faan gelden goed tenge volge van die rechten is varkregen...”. 30 Dalam Encyclopedia International dinyatakan bahwa ilmu keuangan negara adalah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana cara pemerintah mendapatkan dan menggunakan uang. Hal tersebut meliputi fungsifungsi pengumpulan, penerimaan, pinjaman dan pengeluaran yang dilakukan oleh bangsa, negara atau pemerintah daerah. 31

29

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit., hal. 1

30

H. Bohari, Hukum Anggaran Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal. 8, yang artinya: semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu yang dapat dijadikan milik negara menghubungkan dengan hak-hak tersebut. 31

Pengertian Keuangan Negara yang dianut dalam Encyclopedia International tersebut menjadi pedoman Supreme Audit International (SAI). Hal ini pula yang merupakan rumusan Keuangan Negara secara internasional. Ady Kusnady et al, op.cit., hal 25

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Sedangkan Goedhart berpendapat bahwa teori keuangan negara membahas keuangan badan-badan hukum publik. Badan-badan ini telah dianugerahi hak-hak publik dan karena itu mampu, dengan cara lain ikut serta dalam proses-proses ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari badan-badan swasta dan orangorang (natuurlijke personen). 32 M. Subagio menyebutkan bahwa keuangan negara ialah hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian juga segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. 33 Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Negara mempunyai hak-hak yang menurut keperluannya dapat dinilai dengan uang, misalnya: 34 1. Hak mengenakan pajak kepada warganya, yang pungutannya sekedar perlu atau berdasar undang-undang yang dapat dipaksakan, tanpa memberi imbalan secara langsung kepada orang yang dikenakan pajak. 32

C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara (judul asli Hoofdlijnen Van De Leer Der Openbare Financien),diterjemahkan oleh Ratmoko, Djambatan, Jakarta, 1982, hal. 1. Beliau juga menyebutkan bahwa badan-badan hukum publik adalah badan-badan, yang dasar hukumnya terdapat dalam kebutuhan akan pengurusan kebutuhan-kebutuhan bersama daripada para subjek ekonomi perseorangan dan untuk keperluan itu telah diberi hak mendapatkan uang-uang yang diperlukan dengan paksaan atau dengan pungutan. 33

M. Subagio, Hukum Keuangan Negara RI, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal. 11. M.N. Azmi Achir juga memberikan pengertian yang sama tentang Keuangan Negara. Lebih lanjut lihat Ibnu Syamsi, Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 252 34

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, loc.cit

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2. Negara dapat mencetak uang kertas maupun logam. Pengadaan alat-alat pembayaran yang sah termasuk tugas pemerintah. 3. Hak negara untuk mengadakan pinjaman paksa kepada warganya (pengguntingan uang tahun 1950). Selain itu kewajiban negara juga dapat dinilai dengan uang, yaitu: 35 1. Kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban, pembuatan dan perbaikan jalan raya, pelabuhan dan pangkalan udara, pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, waduk, pembuatan dan pemeliharaan pengairan, serta pembangunan dan pemeliharaan alat perhubungan. 2. Kewajiban membayar atas hak tagihan dari pihak-pihak yang melakukan sesuatu atau perjanjian dengan pemerintah, misalnya pembelian barangbarang untuk keperluan pemerintah (negara ataupun rakyat), pembangunan gedung pemerintah dan sebagainya. Sedangkan pakar lain Otto Eckstein menyatakan: 36 Keuangan negara adalah bidang yang mempelajari akibat-akibat dari anggaran belanja negara atas ekonomi, khususnya akibat dari dicapainya tujuan-tujuan ekonomi yang pokok, pertumbuhan, kemantapan, keadilan, dan efisiensi. Juga dipelajari tentang bagaimana seharusnya andaikata ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti misalnya pertumbuhan yang lebih cepat atau distribusi pendapatan yang lebih adil, kebijaksanaankebijaksanaan yang bagaimanakah yang akan dapat mengarah ke tujuantujuan itu.

35

Ibid, hal. 2. Mengenai kewajiban negara ini Ibnu Syamsi menyebutkan juga bahwa kewajiban negara adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lihat Ibnu Syamsi, loc.cit 36

Otto Eckstein dalam Badan Pemeriksa Keuangan, op.cit, hal. 17

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Otto Eckstein juga menyatakan bahwa keuangan negara membahas kegiatankegiatan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, yang dibahas adalah anggaran negara,

pajak-pajak,

Bahasannya

meliputi

pengeluaran ruang

pemerintah

lingkup

kegiatan

dan

utang-utang

pemerintah,

pemerintah.

efisiensi

dalam

pengeluaran, baik yang dilakukan di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah, masalah-masalah koordinasi dan perencanaan, efisiensi dan pertumbuhan pajak, dan peranan utang negara dan ekonomi. 37 Dari pendapat yang dikemukakan Eckstein tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur keuangan negara meliputi anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat-akibat kebijaksanaan di bidang ekonomi, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Menurut H. Bohari, pengertian keuangan negara mempunyai arti yang berbeda tergantung pada sudut mana melihatnya. Ketentuan dalam Tambahan Lembaran Negara (1776) menyatakan dengan keuangan negara tidak hanya dimaksud uang negara tetapi seluruh kekayaan negara, termasuk di dalamnya segala bagian harta milik kekayaan itu dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya baik kekayaan itu berada dalam pengurusan pada pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun dalam penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hukum publik maupun perdata, perusahaan-perusahaan negara dan perusahaan dimana pemerintah 37

Ibid

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

mempunyai kepentingan khusus dalam penguasaan dan pengurusan pihak lain maupun berdasarkan perjanjian dan penyertaan (partisipasi) pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah. 38 Sedangkan Suparmoko menggunakan istilah ilmu keuangan negara yang diartikan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan ilmu keuangan negara adalah bagian dari bidang ekonomi yang mempelajari tentang kegiatan-kegiatan pemerintah dalam bidang ekonomi terutama mengenai penerimaan dan pengeluarannya beserta dengan pengaruh-pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan-tujuan kegiatan ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga-harga, distribusi penghasilan yang lebih merata dan juga peningkatan efisiensi dan penciptaan kesempatan kerja. Jadi ilmu keuangan negara merupakan suatu studi tentang apa yang seharusnya. Misalnya jika ingin mencapai tujuantujuan tertentu seperti pertumbuhan ekonomi atau distribusi penghasilan yang lebih merata maka harus menentukan kebijakan yang bagaimanakah yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 39 Dari pendapat Suparmoko ini tampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran, dan pengaruh dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Sedangkan Harjono Sumosudirdjo menggunakan istilah keuangan negara yang artinya adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara, berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 40

38

H. Bohari, loc.cit

39

Suparmoko dalam Ady Kusnadi et al, op.cit, hal. 26

40

Badan Pemeriksa Keuangan, op.cit, hal. 19

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat luasnya arti keuangan negara ini, yaitu meliputi hak milik negara atau kekayaan negara, yang terdiri dari hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang apabila hak dan kewajiban itu dilaksanakan. 41 Pengertian keuangan negara tidak hanya dimaksud uang negara, melainkan seluruh kekayaan negara termasuk di dalamnya segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan berada dalam pengelolaan para pejabat-pejabat dan/atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun yang berada dalam pengelolaan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah dengan status hukum publik ataupun privat, badan-badan usaha negara serta badan-badan usaha lain dimana pemerintah mempunyai kepentingan khusus serta terikat dalam perjanjian dengan penyertaan pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah. Sedangkan pengertian keuangan negara secara yuridis 42 dapat ditelusuri melalui dasar hukumnya yaitu Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945. Sebagai dasar hukum keuangan negara, Undang-undang Dasar 1945 Pasal 23 sebelum amandemen menyebutkan bahwa: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. 41

H. Bohari, loc.cit

42

Pemahaman secara yuridis tentang keuangan negara diperlukan sebagai dasar untuk menyamakan persepsi dalam rangka melaksanakan kegiatan dari lembaga negara yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2. 3. 4. 5.

Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang.

Sedangkan dalam amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945 juga belum memuat batasan yang jelas tentang substansi keuangan negara.

Bab VIII Hal

Keuangan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari dasar hukum yang mengatur tentang pengelolaan keuangan negara tersebut di atas belum ditemukan apa yang dimaksud dengan keuangan negara, begitu juga apabila ditelusuri peraturan-peraturan pelaksana yang didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, seperti Indische Comptabiliteitswet (ICW) 43 dan Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemeene Rakenkamer (IAR) juga tidak ditemukan maknanya.

43

Dasar hukum pengelolaan keuangan Negara secara historis dapat ditelusuri dari masa sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk itu, berbicara mengenai sejarah perkembangan bidang hukum pengelolaan keuangan Negara pertama-tama tidak dapat dilepaskan dari Indische Comptabiliteitswet (ICW). ICW merupakan Undang-undang Perbendaharaan Negara yang ditetapkan pada tahun 1864 dan mulai berlaku untuk pertama kalinya pada tanggal 1 Januari 1967. Dewasa ini berdasarkan Pasal 72 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ICW yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1925 No. 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1968 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Lebih lanjut lihat M. Subagio, op.cit, hal. 21

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dalam upaya mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara serta untuk menyamakan persepsi dalam rangka melaksanakan kegiatan dari lembaga negara yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara maka dibentuklah undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan keuangan negara, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003. UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1 mendefinisikan tentang keuangan negara, yaitu “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Selanjutnya dalam Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1, meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. Kekayaan Negara/kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. 44 Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan.

Arifin P. Soeria Atmadja menyebutkan bahwa keuangan negara adalah urat nadi negara, tanpa uang, negara tidak dapat menjalankan hidupnya. 45 Dengan perkataan lain tanpa keuangan negara tidak mungkin seluruh alat perlengkapan negara yang 44

Selengkapnya periksa Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Penjelasannya. 45

Arifin P. Soeria Atmadja, Kapita Selekta Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, Universitas Tarumanegara, UPT Penerbitan, Jakarta, 1996, hal. 4.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

mewakili negara sebagai badan hukum publik melaksanakan fungsinya. Keuangan dari rumah tangga negara ini dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 46 APBN merupakan anggaran negara. Anggaran negara adalah rencana pengeluaran/belanja dan penerimaan/pembiayaan belanja suatu negara untuk suatu periode tertentu. 47 Pelaksanaan kegiatan keuangan dalam bentuk APBN menganut sistem pengurusan keuangan yang terdiri dari pengurusan umum (pengurusan administratif) dan pengurusan khusus (pengurusan bendaharawan). Pengurusan umum tersebut

46

Ibid. Selanjutnya Arifin P. Soeria Atmadja juga memberikan pengertian anggaran dalam tiga macam arti, yaitu Anggaran Negara dalam pengertian administratif, Anggaran Negara ditinjau dari sudut konstitusi, dan Anggaran Negara ditinjau dari sudut undang-undang dan peraturan pelaksananya. Selengkapnya lihat Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 10-20 47

Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hal. 12. Selanjutnya Suparmoko menyebutkan bahwa anggaran merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) di masa yang akan datang, umumnya disusun untuk satu tahun. Di samping itu anggaran merupakan alat kontrol atau pengawasan terhadap baik pengeluaran maupun pendapatan di masa yang akan datang. Beliau juga mengartikan anggaran (budget) ialah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu; yang biasa adalah satu tahun Lihat M. Suparmoko, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Edisi Pertama, Andi, Yogyakarta, 2002, hal. 26. Periksa juga M. Suparmoko, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta, 1996, hal. 49. Sementara Goedhart menyebutkan bahwa istilah anggaran Negara biasanya digunakan untuk menamai perkiraan normatif daripada semua pengeluaran Negara dan alatalat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran mengenai sesuatu jangka waktu tertentu di masa yang akan datang, yang pada waktu-waktu yang teratur disusun secara sistematis. Dengan demikian anggaran Negara itu dirumuskan dalam arti sosial ekonomis sebagai rencana keuangan. Dipandang dari sudut hukum tata negara, anggaran negara dapat dirumuskan sebagai keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberi kuasa kepada kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat-alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Lihat C. Goedhart, op.cit, hal. 302

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

mengandung unsur penguasaan, sedangkan pengurusan khusus mengandung kewajiban. 48 Pengurusan umum yang berisi hak penguasaan dilaksanakan oleh otorisator 49 , sedangkan yang berisi hak memberikan perintah menagih dan membayar dilaksanakan oleh ordonator 50 . Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri juga mengemukakan hal yang sama bahwa pada pokoknya pengelolaan keuangan negara terdiri dari pengurusan umum dan pengurusan khusus, dimana pengurusan umum terdiri dari penguasa (pejabat) yang menguasai anggaran (otorisator) dan penguasa (pejabat) yang berhak menerbitkan Surat Perintah Membayar/SPM (ordonator).

Sedangkan pengurusan

48

Ibnu Syamsi, op.cit, hal. 254. Selanjutnya Abdul Halim menyebutkan bahwa pengurusan keuangan Negara terdiri atas 2(dua) pengurusan, yaitu pengurusan umum(administratif) dan pengurusan khusus (bendaharawan/comptabel). Pengurusan umum berisi hak penguasaan serta memberikan perintah menagih dan membayar. Pelaksanaan pengurusan ini menimbulkan pengeluaran dan/atau penerimaan daerah. Di lain pihak pengurusan khusus berisi kewajiban menerima, menyimpan, mengeluarkan atau membayar uang atau yang disamakan dengan uang dan barang milik Negara. Lihat Abdul Halim, op.cit, hal. 11. Mamesah menegaskan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam kedua pengurusan tersebut. Persamaannya adalah bahwa baik pengurusan umum maupun pengurusan khusus mengandung unsur pengurusan dan pertanggungjawaban, serta terikat pada ketentuan peraturan perundangan. Sedang perbedaannya adalah pengurusan umum bersifat luas, memiliki unsur kekuasaan atau perintah, objeknya meliputi keuangan negara atau daerah, wujud tindakannya berakibat pengeluaran negara/daerah, dan atau penerimaan bagi negara/daerah, pertanggungjawabannya berupa perhitungan anggaran pendapatan dan belanja, serta penyempaian pertanggungjawaban keuangannya disampaikan satu kali dalam setiap tahun anggaran. Pengurusan khusus bersifat sempit, memiliki unsur kewajiban melaksanakan perintah pengurusan umum, objeknya meliputi uang dan barang, wujud tindakannya menerima, menyimpan, membayar/mengeluarkan (uang/barang) dan mempertanggungjawabkannya, sedang pertanggung jawabannya berupa surat pertanggungjawaban keuangan, dan disampaikan setiap bulan. Lihat Mamesah, op.cit, hal. 54 49

Otorisator adalah pejabat yang mempunyai wewenang mengambil tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara. Otorisator adalah presiden, yang dalam pelaksanaan melimpahkan wewenang kepada Menteri Negara dan pejabat lain. Abdul Halim, loc.cit 50

Ordonator adalah pejabat yang mempunyai wewenang menguji tagihan negara dan memerintahkan pembayaran atau penagihan sebagai akibat adanya tindakan otorisator. Ordonator dipegang oleh Menteri Keuangan, yang dalam pelaksanaan melimpahkan wewenang kepada Direktorat Jenderal Anggaran. Ibid, hal. 12

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

khusus (bendaharawan) terdiri dari bendaharawan umum, bendaharawan khusus untuk pengeluaran tertentu, dan bendaharawan materiil. 51 Dengan demikian, dalam pengelolaan keuangan negara sebenarnya tercakup beberapa peran penting pemerintah suatu negara, yaitu: 52 1. Pemerintah yang memegang pimpinan di bidang keuangan. 2. Penguasa yang menjalankan pengurusan umum (otorisator dan ordonator) serta pejabat yang ditunjuk menjalankan pengurusan khusus (bendaharawan). 3. Wilayah (grondebied) berlakunya sistem pengurusan dan pertanggungjawaban keuangan. 4. Hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan. 5. Prosedur yang ditempuh dalam menghadapi ketidakcocokan anggaran.

Oleh karena itu, pembicaraan mengenai keuangan negara pada dasarnya membahas pula topik-topik kajian keuangan badan-badan hukum publik. Badanbadan ini telah dianugerahi hak-hak hukum publik, sehingga dengan cara lain mampu ikut serta dalam proses-proses ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendasar dari badan-badan swasta maupun orang perorangan warga negara. 53 Hal ini berarti bahwa pengelolaan keuangan menyangkut persoalan anggaran negara. John F. Due mendefinisikan anggaran negara sebagai berikut “... a budget is 51

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit, hal. 4

52

M. Subagio, op.cit, hal. 14

53

John F. Due, Keuangan Negara RI, UI Press, Jakarta, 1985, hal. 63

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

general sense of term, is a financial plan for specified period time. ... a government budget, therefore is a statement of proposed expenditures and expected revenues for the coming period together with data of actual expenditures and revenues for current and past period.” 54 Dari definisi di atas jelas bahwa anggaran belanja yang terdapat dalam rangkaian pengelolaan keuangan daerah juga memuat data-data keuangan mengenai pengeluaran-pengeluaran dan penerimaan-penerimaan dari tahun yang lalu, jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan, dan jumlah keuangan yang diusulkan untuk tahun yang akan datang. 55 Anggaran negara memiliki beberapa fungsi, yaitu: 56 1. Sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara untuk suatu periode di masa mendatang. 2. Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan yang telah dipilih pemerintah karena sebelum anggaran negara dijalankan harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. 3. Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaan yang telah dipilihnya karena pada akhirnya anggaran harus dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada DPR. Menurut M. Subagio, materi atau isi anggaran negara dapat dibedakan menjadi 4(empat) golongan, yaitu: 57

54

M. Subagio, op.cit, hal. 13

55

John F. Due, loc.cit

56

Abdul Halim, op.cit, hal. 13

57

M. Subagio, op.cit, hal. 15

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

1. Pendapatan Negara Pendapatan negara 58 dapat digolongkan lagi menjadi 3(tiga) bagian, yakni penerimaan dalam negeri, penerimaan pembangunan, dan penerimaan insidentil. Penerimaan dalam negeri meliputi penerimaan dari pajak langsung dan pajak tidak langsung, dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan pembangunan meliputi bantuan program dalam bentuk kredit atau grant, dan bantuan proyek berupa peralatan maupun keahlian. 2. Pengeluaran Negara Pengeluaran negara 59 dibedakan lagi ke dalam pengeluaran rutin (current expenditure) dan pengeluaran pembangunan (capital expenditure). Yang termasuk dalam pengeluaran negara adalah belanja pegawai, belanja barang, gaji dan upah, pembelian tanah, bahan-bahan, pembelian peralatan dan mesin, pengangkutan, biaya perjalanan, biaya konstruksi, bea masuk dan pajak, dan lain-lain. 3. Utang-utang Negara Utang negara dapat dibedakan ke dalam utang dalam negeri dan utang luar negeri. Utang dalam negeri biasanya berasal dari obligasi, sedang utang luar negeri berasal dari lembaga-lembaga, seperti IGGI, Bank Dunia, swasta asing, maupun negara asing. 4. Administrasi Keuangan Negara

Mustopadidjaja AR menyebutkan bahwa sebagian besar dari ruang pengelolaan keuangan dalam anggaran belanja pada umumnya digunakan untuk alokasi biaya-

58

Pendapatan Negara/Penerimaan Negara dapat diartikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya yaitu yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang, dan sebagainya. Lebih lanjut lihat dalam Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit, hal. 43. Sedangkan Jean Bodin membedakan 7 (tujuh) sumber pendapatan negara, yaitu domein, pampasan perang, sumbangan sukarela, hadiah negara sahabat, bea impor dan ekspor, perusahaan negara, dan akhirnya juga perpajakan sebagai alat pembiayaan luar biasa. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kebutuhan akan pembiayaan negara dan karena bertambah besarnya permintaan, terpaksa diadakan pemungutan pajak, sehingga terjadi perubahan yang menempatkan pajak sebagai alat pembiayaan biasa. Selanjutnya lihat C. Goedhart, op.cit, hal. 115. Sementara UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 angka 9 mendefinisikan penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. 59

Smith membedakan 3(tiga) golongan pengeluaran negara, yaitu: pengeluaran untuk pertahanan, pengeluaran untuk perlindungan hukum (polisi dan yustisi), dan pengeluaran untuk pekerjaan-pekerjaan umum dan badan-badan umum. Lihat ibid, hal. 32. Sedangkan UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 angka 10 menyebutkan pengeluaran Negara adalah uang yang keluar dari kas Negara.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

biaya pengeluaran. Pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi, sehingga keseluruhan pengeluaran negara pada umumnya dapat dibedakan sebagai berikut: 60 1. Pengeluaran itu merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa-masa yang akan datang (yang semakin kompetitif). 2. Pengeluaran itu langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi masyarakat. 3. Merupakan penghematan pengeluaran yang akan datang. 4. Menyediakan kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran tenaga beli yang lebih luas.

Sedangkan

dalam

lingkup

pengelolaan

keuangan

negara,

Suparmoko

menyebutkan terdapat beberapa macam pengeluaran negara, yaitu: 61 1. Pengeluaran yang self liquiditing. Berarti bahwa sebagian atau seluruh pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa-jasa/barang-barang yang bersangkutan. Misalnya pengeluaran untuk jasa-jasa perusahaan negara maupun perusahaan daerah, atau untuk proyek-proyek produktif barang ekspor. 2. Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungankeuntungan ekonomis bagi masyarakat yang dengan naiknya tingkatan penghasilan dan sasaran pajak yang lain akhirnya akan menaikkan penerimaan pemerintah. Misalnya pengeluaran untuk bidang pengairan, pertanian, pendidikan, kesehatan masyarakat (public health), dan sebagainya. 3. Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak reproduktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat, misalnya untuk bidang-bidang rekreasi, pendirian monumen, objek-objek tourism, dan sebagainya. Dalam hal ini dapat pula mengakibatkan naiknya penghasilan nasional dalam arti jasa-jasa tadi.

60

Mustopadidjaja AR, Manajemen Proses Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi Kinerja,Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2002, hal. 21. Lihat juga M. Suparmoko, Keuangan Negara…, op.cit, hal. 47 61

Ibid, hal. 48

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4. Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan/perang meskipun pada saat pengeluaran terjadi penghasilan perorangan yang menerimanya akan naik. 5. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang, misalnya pengeluaran untuk anak yatim piatu. Kalau hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan bagi mereka di masa mendatang pada waktu usia yang lebih lanjut pasti akan lebih besar. Berdasarkan ruang lingkupnya 62 , keuangan negara dikelompokkan menjadi 2(dua) bagian, yaitu: 63 1. Dikelola langsung oleh negara Dikelola langsung oleh negara 64 yang berarti termasuk dalam APBN terdiri dari: b. Anggaran Pendapatan Negara Anggaran pendapatan negara adalah suatu perkiraan mengenai batas penerimaan tertinggi keuangan negara sebagai sumber pendapatan negara dan merupakan dana yang akan diterima guna membiayai belanja negara. Anggaran pendapatan negara terdiri dari pendapatan rutin (pajak, bea cukai, pendapatan jasa, denda khusus, dan lain-lain) dan pendapatan pembangunan/bantuan luar negeri (bantuan program dan bantuan proyek). c. Anggaran Belanja Negara Anggaran belanja negara adalah suatu perkiraan mengenai batas pengeluaran tertinggi keuangan negara bagi pembiayaan pelaksanaan kegiatan organisasi pemerintah untuk masa satu tahun. Anggaran belanja negara terdiri dari: 62

Ruang lingkup keuangan negara adalah semua unsur keuangan atau kekayaan yang menjadi tanggung jawab negara. Ruang lingkup keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok keuangan negara. Unsur pokok keuangan negara meliputi hak, kewajiban, ruang lingkup dan tujuan keuangan negara. Selanjutnya lihat Abdul Halim, op.cit, hal. 11 63

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit, hal. 3

64

Keuangan Negara yang dikelola langsung oleh negara adalah komponen keuangan negara yang mencakup seluruh penerimaan dan pengeluarannya (dalam hal ini adalah APBN dan barangbarang inventaris kekayaan milik Negara). Keuangan Negara yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat ini meliputi seluruh pemerintah pusat dan instansi-instansi di bawahnya, yaitu: Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Non-Departemen, dan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Abdul Halim, loc.cit

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

1) Belanja pembangunan, yaitu suatu perkiraan batas pengeluaran tertinggi pemerintah yang diperlukan pada setiap tahun anggaran untuk pembiayaan pelaksanaan proyek pembangunan selama rencana pembangunan itu ada dan masih berguna. 2) Belanja rutin, yaitu, perkiraan batas pengeluaran tertinggi pemerintah yang diperlukan secara terus-menerus pada setiap tahun anggaran bagi pembiayaan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, dan belanja jasa dinas. 2. Pengelolaannya dipisahkan Komponen keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan adalah komponen keuangan negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Badan-badan Usaha Milik Negara dan Lembaga-lembaga Keuangan Negara (BUMN/D).

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Pelaksanaan asas Otonomi Daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 adalah mengedepankan konsep transparansi dan akuntabilitas. Melalui UU No. 33 Tahun 2004 konsep transparansi dan akuntabilitas tersebut diaplikasikan dalam pengelolaan keuangan daerah.

Dengan kata lain perubahan mendasar terhadap

tatanan Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 membawa implikasi pada pengaturan hukum pengelolaan keuangan daerah. Misi utama dari kedua undang-undang tersebut adalah untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat perlu ditingkatkan.

Untuk itu

semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah pada khususnya. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan.

Dengan

perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.

Ini berarti, dalam

penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan ini, Pamudji menegaskan: 65 Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

65

S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980, hal. 61

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Ibnu Syamsi yang menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 66 Faisal Akbar Nasution juga menyebutkan bahwa untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah itu dengan baik dan lancar, maka daerah haruslah mempunyai keuangan sendiri yang kuat pula. Apabila semakin besar kemampuan keuangan daerahnya maka akan semakin besar pula kemampuan daerah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pembangunan di daerahnya dalam berbagai sektor kehidupan masyarakatnya. 67 Dari pendapat di atas terlihat bahwa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, daerah membutuhkan biaya atau uang. Tanpa adanya biaya yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tapi juga ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom menjadi hilang. 68 Keuangan daerah secara sederhana dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum

66

Ibnu Syamsi, op.cit., hal. 258

67

Faisal Akbar Nasution, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Kajian Kritis Atas UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 84 68

Josef Riwu Kaho, op.cit., hal. 125

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. 69 Rumusan di atas mengemukakan 2(dua) unsur penting, yaitu: 70 1. Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah. 2. Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau mengeluarkan uang sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.

Sementara Wihana Kirana Jaya menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. 71 Permendagri No. 13 Tahun 2006 dalam Ketentuan Umum menyebutkan bahwa: Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.

69

D.J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal. 16. Sejalan dengan pengertian ini, Ahmad Yani menyebutkan bahwa Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lihat Ahmad Yani, Seri Keuangan Publik, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 229 70

D.J. Mamesah, loc.cit.

71

Wihana Kirana Jaya, Analisis Potensi Keuangan Daerah, Pendekatan Makro, PPPEB UGM, Yogyakarta, 1999, hal. 11

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dalam mempelajari keuangan daerah sebagai badan hukum publik yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga dengan keuangannya sendiri, terlebih dahulu perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan dasar mengenai sumber penghasilan dan pembiayaan daerah. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 157 dan UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 5. Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan: Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. pendapatan asli daerah, yaitu: 1) hasil pajak daerah; 2) hasil retribuasi daerah; 3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. b. dana perimbangan; c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Kebijaksanaan keuangan daerah tercermin pada kebijaksanaan fiskal atau anggaran daerah. Tujuan utama dari kebijaksanaan fiskal adalah: 72 1. Untuk menjamin agar laju pertumbuhan ekonomi dapat sesuai dengan potensinya. Ini berarti dengan kebijaksanaan fiskal akan diusahakan seoptimal mungkin agar potensi-potensi ekonomi yang ada pada daerah itu dapat direalisasi. 2. Untuk mengusahakan terbukanya berbagai kesempatan. 3. Mengusahakan agar harga berada dalam tingkat yang wajar dan selalu dalam keadaan stabil, sehingga memungkinkan peningkatan pertumbuhan.

Oleh karena anggaran daerah merupakan realisasi kebijaksanaan fiskal, dan kebijaksanaan fiskal ini termasuk bagian dari kebijaksanaan pemerintah daerah dalam pembangunan, maka kebijaksanaan penganggaran daerah harus ditangani dengan 72

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit, hal. 84

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

sebaik-baiknya.

Pengumpulan dan penggunaan dana harus disesuaikan dengan

kebutuhan pembangunan daerah.

Pendapatan pemerintah daerah haruslah selalu

meningkat sedangkan pengeluaran haruslah seefisien mungkin. anggaran

harus

terkoordinasi

dengan

baik

sehingga

Seluruh proses

mampu

membiayai

pembangunan.

C. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Keuangan Daerah Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan memiliki arti, manfaat, dan pengaruh yang begitu besar terhadap nasib suatu bangsa karena segala kebijaksanaan yang ditempuh dalam pengelolaan keuangan bisa berakibat kemakmuran atau kemunduran suatu bangsa. Sistem pemerintahan negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menempatkan Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Presiden memiliki kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, meliputi apa yang dalam trias politika disebut kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa kekuasaan legislatif itu dijalankan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. 73 Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara itu meliputi di

73

Lihat Pasal 20 ayat (2) UUD 1945

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dalamnya tiga kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi, ordonasi, dan kekuasaan kebendaharawanan. Kekuasaan otorisasi adalah kekuasaan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang dapat mengakibatkan kekayaan negara menjadi berkurang atau bertambah. Kekuasaan otorisasi dibedakan atas kekuasaan otorisasi yang bersifat umum dan kekuasaan otorisasi yang bersifat khusus. 74 Kekuasaan ordonasi adalah kekuasaan untuk menerima, meneliti, menguji keabsahan dan menerbitkan surat perintah menagih dan membayar tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan pengeluaran negara sebagai akibat dari tindakan otorisator. Pengujian dan penelitian yang dilakukan oleh ordonator meliputi dasar haknya (wetmatigheids), dasar hukum tagihannya (rechtmatigheids), dan tujuannya (doelmatigheids). 75

74

Kekuasaan otorisasi yang bersifat umum diwujudkan dalam bentuk kekuasaan membuat peraturan yang bersifat umum seperti menetapkan undang-undang tentang APBN, undang-undang tentang pokok kepegawaian, undang-undnag tentang tata cara perpajakan, dan sebagainya. Kekuasaan otorisasi yang bersifat umum ini menurut sistem pemeintahan Negara RI pelaksanaannya harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Artinya bentuk pelaksanaan kekuasaan otorisasi, pertama-tama adalah undang-undang, selanjutnya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah. Sedangkan kekuasaan otorisasi yang bersifat khusus diwujudkan dalam bentuk kekuasaan untuk menetapkan surat keputusan yang khususnya mengikat orang atau pihak tertentu sebagai pelaksanaan keputusan otorisasi yang bersifat umum. Selanjutnya lihat Badan Pemeriksa Keuangan, op.cit, hal. 38. Selanjutnya mengenai kekuasaan otorisasi ini dapat dilihat pada Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 75

ibid

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Kekuasaan kebendaharawanan adalah kekuasaan untuk menerima, menyimpan, atau membayar/mengeluarkan uang atau barang, serta mempertanggungjawabkan uang atau barang yang berada dalam pengelolaannya. 76 Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang, Kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya. 77 Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dan penyelenggaraan tugas pemerintahan.

76

ibid, hal. 39

77

Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dalam wilayah negara Indonesia yang luas dengan berbagai fungsi yang harus diselenggarakannya, tugas menjalankan kekuasaan pengelolaan keuangan negara tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh Presiden.

Dalam rangka efisiensi dan

efektivitas pelaksanaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945, Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara itu kepada aparatur pemerintah di pusat dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain berdasarkan peraturan perundangundangan. Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan tentang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara: (1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang-undang.

Memperhatikan pasal 6 ayat (2) huruf c di atas, maka hal ini berarti kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tidak dikuasakan tetapi diserahkan oleh pemerintah

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pusat kepada gubernur/bupati/walikota sehingga pemerintah pusat tidak dapat lagi menarik kekuasaan yang telah diserahkan pada daerah. Dalam Penjelasan undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan penerimaan negara. Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara. Seperti

telah

dijelaskan

sebelumnya

bahwa

Presiden

selaku

Kepala

Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan menyerahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dalam Pasal 10 UU NO. 17 Tahun 2003 menyebutkan: (1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c:

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD; b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. (2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan daerah mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD; b. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD; c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan daerah; d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. (3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak; e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya. Jika ditelaah dari PP No. 105 Tahun 2000, sistem pengelolaan keuangan daerah meliputi 3(tiga) tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, serta pelaporan dan pertanggungjawaban. 78 Pada tahap perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui DPRD dan Pemerintah Daerah.

Usulan tersebut selanjutnya

78

Tahapan ini dapat dilihat pada Bab III Pasal 15 sampai dengan Pasal 23, Bab IV Pasal 24 sampai dengan Pasal 34, Bab VI Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 PP No. 105 Tahun 2000

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan setiap unit kerja. Setiap kegiatan harus memiliki tujuan dan sasaran, serta hasil terukur yang disetarakan dengan usulan anggaran. Pada tahap pelaksanaan, input yang digunakan adalah APBD yang sudah ditetapkan oleh DPRD. Pengeluaran APBD dicatat dalam sistem akuntansi dengan menghasilkan laporan pelaksanaan APBD, baik berupa laporan triwulan maupun tahunan sebagai bagian dari Laporan Pertanggungjawaban 79 Kepala Daerah. Tahap pelaporan dan pertanggungjawaban meliputi penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD 80 , proses evaluasi laporan pertanggungjawaban,

serta

keputusan

menerima

atau

menolak

laporan

pertanggungjawaban kepala daerah. Di samping itu, terdapat proses pengawasan dan pengendalian dimulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, serta pelaporan dan pertanggungjawaban. Proses ini

79

Menurut kurun waktunya, ada 3(tiga) pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban sewaktu-waktu, dan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan. Lebih lanjut lihat Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani (ed), Etika Hubungan Legislatif dan Eksekutif Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Fokusmedia, Bandung, 2003, hal.11 80

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD. Selengkapnya lihat Pasal 44 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999. Selanjutnya Ateng Syafrudin menegaskan bahwa satu di antara paradigma yang berubah dan berbeda antara UU No. 5 Tahun 1974 dengan UU No. 22 Tahun 1999 ialah demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya hubungan badan legislatif dengan badan eksekutif daerah. Paradigma lama menegaskan bahwa pimpinan eksekutif tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif, melainkan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Paradigma baru menegaskan bahwa kepala daerah sebagai pimpinan badan eksekutif daerah bertanggungjawab kepada badan legislatif daerah. Lihat Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani (ed), op.cit, hal. 12

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

diperlukan agar sejak awal dapat menghindari atau mengurangi penyimpangan yang mungkin terjadi. Adapun pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada prinsip-prinsip: 81 1. Tanggung jawab Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.

Hal ini

merupakan pencerminan dari Pasal 37 PP No. 105 Tahun 2000. 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. 3. Kejujuran Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. 4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. 81

Brian Binder, Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah, dalam Nick Devas et al, op.cit., hal. 279. Prinsip-prinsip ini dapat dibandingkan dengan asas umum pengelolaan keuangan daerah yang terdapat dalam Pasal 4 PP No. 105 Tahun 2000.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

5. Pengendalian Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.

Sedangkan ciri-ciri pengelolaan keuangan yang baik menurut Brian Binder adalah: 1. Sederhana Sistem yang sederhana lebih mudah dipahami dan dipelajari, lebih besar kemungkinan untuk diikuti tanpa salah, dapat lebih cepat memberikan hasil, dan mudah diperiksa. 2. Lengkap Secara keseluruhan, pengelolaan keuangan hendaknya dapat digunakan untuk mencapai semua tujuan yang tercantum dalam prinsip-prinsip pengelolaan keuangan seperti tersebut di atas, dan harus mencakup segi keuangan setiap kegiatan daerah. 3. Berhasil guna Pengelolaan keuangan harus dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini dapat terwujud dengan adanya peraturan yang mengharuskan pemerintah daerah menyelesaikan rencana anggarannya pada waktu tertentu dengan hasil yang maksimal.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4. Berdaya guna Dalam hal ini pengelolaan keuangan harus dapat dicapai dengan biaya yang serendah-rendahnya dan hasil yang setinggi-tingginya. 5. Mudah disesuaikan Pengelolaan keuangan tidak dibuat kaku sehingga mudah menerapkannya dan menyesuaikannya pada keadaan yang berbeda-beda.

Ciri-ciri pengelolaan demikian jika dikaitkan dengan UU No. 17 Tahun 2003 terlihat masih terlalu jauh dari harapan. Sebagai contoh, meskipun UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan perlunya suatu kerangka pengeluaran jangka menengah, akan tetapi pasal-pasal yang mengatur proses penyusunan dan penertapan APBD kelihatan masih terperangkap pada fokus jangka pendek, yaitu mekanisme dan proses penganggaran tahunan.

Selain itu UU No. 17 Tahun 2003 hanya sedikit

menyinggung dimensi perencanaan. Adapun dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah yang merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, selain berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum yang berlaku juga berdasarkan pada: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai daerah Otonom; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Informasi Keuangan Daerah.

D. Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam perkembangan pengaturan hukum terakhir, dapat dikatakan bahwa dasar hukum yang utama dalam pengelolaan keuangan daerah adalah UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Namun, sebagai garis kebijaksanaan hukum yang mengedepan dalam pengelolaan keuangan daerah seharusnya tetap berpaling pada UUD 1945. Berpijak pada UUD 1945, dasar hukum yang fundamental mengenai pengaturan yuridis pengelolaan keuangan daerah adalah Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: a. Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. c. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu.

Pasal 23 A UUD 1945 sebagai hasil amandemen Ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang”. Pasal 23 C UUD 1945 menggariskan pula: “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-undang”.

Penegasan ini

merupakan

hukum

konsekuensi

logis

dari

tatanan

yuridis

negara

yang

mengkualifikasikan “Undang-undang” sebagai piranti yuridis yang demokratis. 82 Meskipun menurut Amandemen Keempat UUD 1945 tampak bahwa Penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi satu kesatuan dengan UUD 1945, namun sebagai bahan untuk mendapatkan pemahaman dapat dikemukakan Penjelasan UUD 1945 yang pernah ada, menyebutkan bahwa: Ayat 1 memuat hak begrooting Dewan Perwakilan Rakyat. Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi sifat pemerintah negara. Dalam negara yang berdasarkan fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-undang. Artinya, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan perantara dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga mengenai cara hidupnya.

82

Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah, Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal. 120

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Pasal 23 menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah ini tanda kedaulatan rakyat oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan Undang-undang dengan persetujuan yaitu dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan oleh Undang-undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual beli dalam masyarakat. Berhubungan dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlikan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang itu harus ditetapkan dengan Unadang-undang. Berhubungan dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang. Ayat 5. Cara pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui dengan keputusan tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan Undang-undang.

Ketentuan Pasal 23 UUD 1945 tersebut mengamanatkan bahwa pengaturan keuangan negara harus bersendikan pada suatu perangkat hukum yang berderajat undang-undang, seperti undang-undang tentang keuangan negara.

Pengelolaan

keuangan negara memang menjadi urusan publik yang niscaya membutuhkan keterlibatan peran serta (public participation) dan keterbukaan (transparency) pemerintahan.

Pengaturan hukum pengelolaan keuangan negara dalam undang-

undang merupakan tuntutan negara hukum dan demokrasi.

Undang-undang

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

keuangan negara menjadi elemen dasar perencanaan keuangan (financiele planning) dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum. 83 Upaya untuk memiliki sebuah undang-undang bidang keuangan pasca reformasi telah dimulai sejak tahun 2000, dimana pemerintah telah mengajukan paket Rancangan Undang-undang (RUU) bidang Keuangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang meliputi RUU Keuangan Negara, RUU Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Setelah melalui

pembahasan guna penyempurnaan RUU tersebut telah disahkan oleh DPR dan telah diundangkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang

Nomor

15

Tahun

2004

tentang

Pemeriksaan

dan

Pertanggungjawaban Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003 memiliki peran strategis yang melandasi semua perundangan yang berkaitan dengan keuangan negara baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal-hal baru dan perubahan yang mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah 83

C.B. Baard dalam ibid, hal. 121.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksana APBN dan APBD. Misi utama dari ketiga undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan pada masyarakat khususnya di daerah. Untuk itu semangat demokratisasi, desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting dalam mewarnai proses penyelenggaraan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah pada khususnya. Di dalam UU No. 17 Tahun 2003, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Untuk lebih jelasnya kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara diatur dalam Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa:

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): a. dikuasakan kepada menteri keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna barang kementrian negara/lembaga yang dipimpinnya; c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang-undang.

Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah.

Dengan demikian

pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 10 UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa: (1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (2) huruf c: a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku Pejabat Pengelola APBD; b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. (2) Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD; b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan daerah; d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD (3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak; e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya; g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

Adapun mekanisme pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Perencanaan dan penganggaran (dapat juga dilihat dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga) 2. Pelaksanaan anggaran, yaitu pendapatan dan belanja (dapat juga dilihat dalam UU No. 1 Tahun 2004) 3. Pengelolaan kas, utang/piutang, investasi, dan barang milik daerah (lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah)

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4. Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah 5. Pemeriksaan atas keuangan daerah (diatur melalui UU No. 15 Tahun 2004)

Mengenai perencanaan dan penganggaran yang menjadi kajian dalam penelitian ini, sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004, ada 2 (dua) dokumen pembangunan jangka menengah di daerah, yaitu: 1. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif, RPJMD merupakan dasar bagi perencanaan dan penganggaran tahunan, karena itu RPJMD harus dapat dioperasionalkan dalam perencanaan dan penganggaran tahunan. 2. Dokumen Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan SKPD yang bersangkutan.

Dalam UU tersebut, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dimulai dengan kegiatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) menyusun Rancangan Awal RKPD. Selanjutnya Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyiapkan Rencana Kerja (Renja) SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awal RKPD dan berpedoman kepada Renstra-SKPD. Setelah Renja-SKPD tersusun, maka Kepala

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD. Rancangan RKPD yang telah disusun oleh Bappeda menjadi bahan bagi Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang diikuti oleh unsur-unsur masyarakat dan penyelenggara pemerintahan.

Musrenbang penyusunan RKPD

diselenggarakan oleh Bappeda paling lambat bulan Maret.

Berdasarkan hasil

Musrenbang, Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD. RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dan menjadi pedoman penyusunan RAPBD. Proses penyusunan APBD yang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 20 UU No. 17 Tahun 2003, dimulai dengan Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambatlambatnya pertengahan Juni tahun berjalan. Selanjutnya DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.

Berdasarkan kebijakan umum

APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas prioritas anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah. Berdasarkan Kebijakan Umum APBD, Strategi, dan Plafon sementara yang telah ditetapkan pemerintah dan DPRD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) tahun berikutnya dengan pendekatan berdasarkan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

prestasi kerja yang akan dicapai.

Rencana kerja dan anggaran disertai dengan

prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana kerja dan anggaran selanjutnya disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.

Hasil pembahasan rencana kerja dan

anggaran disampaikan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan daerah tentang APBD tahun berikutnya. UU No. 17 Tahun 2003 tidak mengatur proses penyusunan dan pembahasan RKA-SKPD. UU No. 17 Tahun 2003 menetapkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah. Setelah dokumen Rancangan Perda mengenai APBD tersusun, Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tersebut, disertai dengan penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD antara Pemerintah Daerah dan DPRD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD. Dalam pembahasan Perda RAPBD, DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Berdasarkan Pasal 186 UU No. 32 Tahun 2004, rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota paling lama 3(tiga) hari

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya

Rancangan

Perda

Kabupaten/Kota

dan

Rancangan

Peraturan

Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD. Pengambilan keputusan mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan oleh DPRD selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan Pemerintah Daerah, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya. Sedangkan mengenai pelaksanaan dan perubahan APBD diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 33 UU No. 17 Tahun 2003. Dalam Undang-undang tersebut, setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati/Walikota. Dalam melaksanakan APBD, Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. Laporan tersebut disampaikan kepada DPRD selambatlambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: 1. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; 2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; 3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih pada tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam Rancangan Perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. Dengan demikian, pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sehingga menimbulkan hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang, dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dipertegas dalam UU No. 17 Tahun 2003 dimana kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pemerintahan, dan kekuasaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB III SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003 DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN LAINNYA

Sebagai langkah awal untuk melakukan sinkronisasi pengaturan tentang pengelolaan keuangan daerah, terlebih dahulu telah dilakukan inventarisasi terhadap peraturan yang terkait, terutama peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku. Penelitian ini tetap memegang sejumlah asas dari perundang-undangan sebagai teknis yuridis perundang-undangan 84 , yaitu: 1. Undang-undang tidak berlaku surut. 2. Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama. 4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang terdahulu. 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. 6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu melalui pembahaaruan dan/atau pelestarian.

Dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, penelitian ini mengacu kepada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) yang terdiri dari: 84

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Alvi Syahrin, Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan di Wilayah Metropolitan MEBIDANG, Desertasi, Program Pasca Sarjana USU, Medan, hal. 63-64

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

6. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 7. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 8. Peraturan Pemerintah 9. Peraturan Presiden 10. Peraturan Daerah

Telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa tahap perencanaan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah (RenstraSKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Landasan dikeluarkannya undang-undang ini adalah sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat selama ini belum memiliki landasan aturan yang bersifat mengikat. Digulirkannya kebijakan otonomi daerah dan dihapuskannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang selama ini dijadikan landasan perencanaan membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis. Meskipun demikian, UU No. 32 Tahun 2004 mengatur kembali sistem perencanaan pembangunan daerah yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2005 sebelumnya, sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur sedetail UU No. 25 Tahun 2004 khususnya perencanaan, dan proses penganggaran, namun pengaturan kembali ini menimbulkan kerancuan terhadap penafsirannya. Sementara, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 33 Tahun

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2004 mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), di samping mengatur penyusunan APBD. Untuk lebih jelasnya dan memudahkan sinkronisasi supaya lebih terarah maka dalam hal ini akan dilakukan sinkronisasi baik secara horizontal maupun secara vertikal dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah. Hal ini merupakan topik ataupun kerangka acuan yang dijadikan dasar dalam melakukan sinkronisasi yaitu mengenai proses perencanaan sebagaimana termuat dalam undang-undang yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah dan peraturan pelaksananya, yaitu: 1. Perencanaan dan Penganggaran Menurut UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 33 Tahun 2004 UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 33 Tahun 2004 mengatur hal yang sama dalam pengaturan penyusunan APBD. Hal ini dapat dilihat hampir sebagian pasal dan ayat pada UU No. 33 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan penyusunan APBD yang mengadopsi isi pasal dalam UU No. 17 Tahun 2003, yaitu Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 UU No. 17 Tahun 2003 yang redaksinya sama dengan Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 73 UU No. 33 Tahun 2004 yang berbunyi: Pasal 16 ayat (2) : APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan (3) : Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

(4) : Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Pasal 18 ayat (1) : Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambatlambatnya Juni tahun berjalan. (2) : DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. (3) : Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah. Pasal 19 ayat (1) : Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya. (2) : Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengn pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. (3) : Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. (4) : Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. (5) : Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya. Pasal 20 ayat (1) : Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendudukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.

Perbedaannya hanyalah pergantian beberapa kata dan penambahan 1 (satu) ayat dalam pasal-pasalnya, namun tetap mengisyaratkan hal yang sama. Dari kedua aturan yang memiliki kekuatan hukum yang sama ini, 12 (duabelas) ayat menyatakan atau

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

mengatur hal yang sama. Pada dasarnya pencantuman kembali aturan ke dalam aturan yang lain tidaklah menjadi suatu masalah, namun alangkah baiknya jika pengaturan hal yang sama cukup merujuk aturan yang dimaksud, sehingga tidak terkesan melakukan pemborosan aturan dalam penyusunan undang-undang yang dapat menjadi preseden buruk bagi para aparat di daerah dalam penyusunan Perda.

2. Perencanaan Pembangunan Daerah Menurut UU No. 25 Tahun 2004 Dalam UU No. 25 Tahun 2004, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Selanjutnya disebutkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (duapuluh) tahun. RPJP ini memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah.

Berkaca dari pengalaman orde baru,

perencanaan jangka panjang 25 (duapuluh lima) tahunan telah gagal mencapai targetnya. Tahapan pembangunan ini tidak pernah terwujud dalam tahapan tinggal landas di Indonesia. RPJP Daerah sebagai pedoman dalam penyusunan RPJM Daerah secara tidak langsung membatasi kampanye visi, misi dan program calon-calon kepala daerah yang turun dalam pemilihan kepala daerah langsung, mengingat RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi dan perogram kepala daerah terpilih, artinya

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

para calon kepala daerah dalam berkampanye menyampaikan visi dan misi, serta programnya tidak boleh terlepas dari RPJP Daerah. Di samping itu, perencanaan jangka panjang memiliki landasan hukum yang lemah karena baik RPJP Nasional maupun Daerah yang ditetapkan dengan undang-undang ataupun dengan peraturan daerah dapat saja berubah atau diganti seiring dengan pergantian pemerintahan nasional maupun daerah. Akibatnya, RPJP Daerah bisa saja terus diubah pada saat pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda dengan RPJM Daerah yang selalu dirumuskan lima tahunan. RPJM Daerah dengan periode lima tahunan sebagai penjabaran visi, misi dan program kepala daerah terpilih, penyusunannya dengan berpedoman pada RPJP Daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional. Hal ini memungkinkan membuka peluang ketidaksinkronan bahkan pertentangan antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional yang merupakan penjabaran visi, misi, dan arah pembangunan presiden terpilih. Kaitannya dengan UU No. 32 Tahun 2004, terjadi perbedaan dasar hukum dalam penetapan RPJM Daerah, dimana dalam undang-undang ini ditetapkan melalui Perda, sementara itu, pada UU No. 25 Tahun 2004 ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah 85 . Sisi positifnya, baik RPJP maupun RPJM dalam penyusunannya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) perlu mengikutsertakan 85

Pasal 150 huruf (e) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan: “RPJP Daerah dan RPJM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b, ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Sedangkan Pasal 19 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004 menyatakan: “RPJM daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3(tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

masyarakat. Namun, justru terjadi kontradiksi dalam penyusunan RKPD karena tidak disebutkan perlunya keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya. Sementara itu, RKPD sebagai rencana tahunan merupakan perencanaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang langsung dirasakan oleh masyarakat, sedangkan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKPD hanya dalam hal pendanaan pembangunan. Selain itu, RKPD sebagai penjabaran RPJM Daerah memiliki derajat hukum yang lemah karena hanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal RKPD ini dijadikan pedoman dalam penyusunan APBD yang ditetapkan dengan Peraturan daerah. Artinya, jika terjadi ketidaksinkronan antara RKPD dan APBD, maka yang dijadikan acuan dan memiliki landasan aturan lebih kuat adalah APBD. Sepintas perencanaan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 terintegrasi dengan penganggaran, karena dijadikan acuan atau pedoman RKPD dalam penyusunan RAPBD.

Namun, dari segi institusi yang berperan sangat

memungkinkan terjadinya overlapping peran antara Bappeda yang mengusung RKPD dengan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengusung arah kebijakan APBD yang juga tercantum dalam RKPD. Kemungkinan yang terjadi apabila kedua institusi ini tidak melakukan koordinasi maka DPRD akan menerima dua RKPD dari institusi yang berbeda.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

3. Perencanaan dan Penganggaran Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Jika dilihat isi dari UU No. 32 Tahun 2004 berupaya untuk menggabungkan perencanaan daerah yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004, dan penganggaran daerah yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 33 Tahun 2004. Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 mengatur secara umum berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah tetapi justru hal ini menimbulkan multi interpretasi atau kerancuan pada penafsirannya. Contohnya, seperti telah dijelaskan di atas adanya perbedaan landasan aturan penetapan RPJM Daerah antara UU No. 25 Tahun 2004 dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah adalah urusan wajib dan kewajiban daerah, dan ditempatkan dalam 1 (satu) bab khusus, yaitu Bab VII dengan 5 (lima) pasal, yaitu Pasal 150, 151, 152, 153,154, namun terkait pula dengan pasal-pasal sebelum dan sesudahnya. Jika ditelaah, redaksi pasal-pasal tersebut sebagian besar dikutip dari UU No. 25 Tahun 2004 karena sebagian besar kalimatnya identik, kecuali beberapa pasal, yaitu dalam Pasal 1 Ketentuan Umum angka 9 menyebutkan “Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun”, sedangkan Pasal 150 ayat (3) huruf d UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan “Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut RKPD ...”.

Dari isi pasal-pasal tersebut ada sedikit

perbedaan yaitu dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak menyebutkan sebagai Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Kemudian ada sedikit perbedaan dalam ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penyusunan perencanaan antara UU No. 25 Tahun 2004 dengan UU No. 32 Tahun 2004 seperti terlihat dalam pasal-pasal di bawah ini Pasal 27 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan pelaksanaan Musrenbang Daerah diatur dengan Peraturan Daerah. Pasal 154 UU No. 32 Tahun 2004: Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang berpedoman pada perundang-undangan.

Perbedaan ketentuan tersebut adalah antara Perda dan PP, dimana UU No. 25 Tahun 2004 memberi kewenangan kepada daerah untuk mengaturnya dengan Perda, sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004 akan diatur dengan PP. Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) huruf k UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan rapat paripurna DPRD. Tapi tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan rencana strategis disini. Namun demikian, Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004 menyebutkan bahwa RPJM Daerah dalam ayat ini merupakan rencana strategis daerah (renstrada). Dari analisis di atas jelas bahwa pengaturan hukum mengenai pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan dan penganggaran daerah sangat beragam sehingga menimbulkan banyak penafsiran dalam penerapannya.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah daerah dapat memegang sejumlah asas dari perundang-undangan sebagai teknis yuridis perundang-undangan salah satunya adalah undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum jika pembuatnya sama karena pada dasarnya tidak ada suatu aturan yang dibuat bertentangan, sehingga dalam hal perencanaan keuangan daerah pemerintah menerapkan undang-undang yang sifatnya lebih khusus, yaitu undangundang mengeenai sistem perencanaan pembangunan nasional. Sementara itu, pengaturan tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah atas persetujuan DPRD. Namun, Perda yang dibuat harus sesuai dengan pula dengan ketentuan dalam PP No. 105 Tahun 2000 86 (sekarang PP No. 58 Tahun 2005 yang diterbitkan untuk menindaklanjuti pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti dari PP 105 Tahun 2000 yang diimplementasikan mulai Tahun Anggaran 2007). Terbitnya PP 58 Tahun 2005 didasari oleh banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam pengelolaan keuangan daerah, seperti UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004, UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 33 Tahun 2004.

86

Sebelumnya ada 7 (tujuh) pokok-pokok ketentuan pengelolaan keuangan daerah, yaitu kerangka dan garis besar prosedur penyusunan APBD, kewenangan keuangan Kepala Daerah dan DPRD, Prinsip-prinsip pengelolaan kas, Prinsip-prinsip pengelolaan belanja daerah yang telah dianggarkan, tatacara pengadaan barang dan jasa, prosedur pinjaman daerah, dan prosedur pertanggungjawaban keuangan. Selanjutnya lihat Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 124

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dan dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan penyerahan urusan dari Pemerintah Pusat, maka sesuai dengan amanat Pasal 182 dan Pasal 194 UU No. 32 Tahun 2004, serta Pasal 69 dan Pasal 86 UU No. 33 Tahun 2004 ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain itu buah pikiran yang melatarbelakangi terbitnya PP 58 Tahun 2005 tersebut adalah adanya keinginan untuk mengelola keuangan negara dan daerah secara efektif dan efisien. Ide dasar tersebut tentunya ingin dilaksanakan melalui tata kelola pemerintahan yang baik yang memiliki tiga pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. PP dimaksud juga bertujuan agar memudahkan dalam pelaksanaannya dan tidak menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.

Selain

menindaklanjuti ketentuan perundang-undangan dimaksud, PP No. 58 Tahun 2005 ini juga merupakan sinkronisasi berbagai ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, sehingga merupakan satu kesatuan pengaturan (omnibus regulation) dan menjadi pedoman pokok bagi Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah yang memuat berbagai kebijakan terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pokok-pokok muatan PP ini mencakup: 1. Perencanaan dan penganggaran 2. Pelaksanaan dan Penatausahaan Keuangan Daerah 3. Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses dan mekanisme penyusunan APBD yang diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005, memperjelas siapa bertanggungjawab, apa sebagai landasan pertanggungjawaban baik antara eksekutif dan DPRD, maupun di internal eksekutif itu sendiri. 87 Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing SKPD yang disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD harus betulbetul menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, susunan, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber dayanya. APBD merupakan instrumen yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah. Untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar maka dalam PP ini diatur landasan administratif dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis penganggaran yang 87

Lihat Pasal 29 sampai dengan Pasal 41 PP 58 Tahun 2005

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

harus diikuti secara tertib dan taat asas. Selain itu dalam rangka disiplin anggaran baik pendapatan maupun belanja juga harus mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya, apakah itu UU, PP, Kepmen, Perda atau Keputusan Kepala Daerah. Oleh karena dalam proses penyusunan APBD pemerintah daerah harus mengikuti prosedur administratif yang ditetapkan. Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran daerah antara lain: 1. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja; 2. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD/ Perubahan ABPD; 3. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah. 88

Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran

88

Ketiga prinsip ini dapat dilihat dalam Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) PP No. 58 Tahun 2005

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

horizontal (yang menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama) dan prinsip kewajaran vertikal (yang dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/retribusi untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban pajak yang tinggi pula). Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah dapat melakukan diskriminatif tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain itu dalam konteks belanja, Pemerintah Daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam memberikan pelayanan umum. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan : 1. Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; 2. Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.

Aspek penting lainnya yang diatur dalam PP 58 Tahun 2005 adalah keterkaitan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning) dengan penganggaran (budget) oleh pemerintah daerah, agar sinkron dengan berbagai kebijakan pemerintah sehingga

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

tidak menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan program dan kegiatan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Proses penyusunan APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang tersedia, mengalokasikan sumber daya secara tepat sesuai kebijakan pemerintah dan mempersiapkan kondisi bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik.

Oleh karena itu pengaturan

penyusunan anggaran merupakan hal penting agar dapat berfungsi sebagaimana diharapkan, yaitu: 1. Dalam konteks kebijakan, anggaran memberikan arah kebijakan perekonomian dan menggambarkan secara tegas penggunaan sumber daya yang dimiliki masyarakat; 2. Fungsi utama anggaran adalah untuk mencapai keseimbangan ekonomi makro dalam perekonomian; 3. Anggaran menjadi sarana sekaligus pengendali untuk mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal di suatu negara.

Penyusunan APBD diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD,

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah. 89 Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana Kerja dan Anggaran ini disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. kemudian

disampaikan

kepada

DPRD

Rencana Kerja dan Anggaran ini

untuk

dibahas

dalam

pembicaraan

pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Proses selanjutnya Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dari dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk dibahas dan disetujui. APBD yang disetujui DPRD ini terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan , dan jenis belanja. Jika DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD tersebut, untuk membiayan keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran daerah setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya dengan prioritas untuk belanja yang mengikat dan wajib. Mengingat prinsip dan norma pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005 masih bersifat umum, maka untuk dapat diaplikasikan secara mudah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 155, pada tanggal 15 Mei 2006 89

Pasal 29 PP No. 58 Tahun 2005

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang secara formal sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa PP 58 Tahun 2005 dengan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006, secara formal merupakan pengganti PP No. 105 Tahun 2000 dengan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, yang mana lingkup pengelolaan keuangan daerah lebih dipertegas dan diperjelas dengan adanya desentralisasi pelaksanaan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut: 1. Adanya Desentralisasi Pelaksanaan Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah Pada PP No. 105 Tahun 2000 jo Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 kekuasaan umum

pengelolaan

keuangan

daerah

dipegang

oleh

Kepala

Daerah

(gubernur/bupati/walikota), namun dalam PP No. 58 Tahun 2005 jo Permendagri No. 13 Tahun 2006, kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah tidak lagi mutlak di tangan Kepala Daerah akan tetapi harus didesentralisasikan pelaksanaan kekuasaan pengelolaannya kepada: a. Kepala SKPKD (Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah), selaku pejabat yang ditunjuk untuk mengelola keuangan daerah atau PPKD; b. Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) selaku pejabat yang ditunjuk sebagai pengguna anggaran atau pengguna barang daerah; c. Sekretaris Daerah (Sekda), selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dengan adanya pelimpahan kekuasaan oleh Kepala Daerah tersebut, maka Kepala Daerah selaku kepala pemerintahan mempunyai kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Permendagri No. 13 Tahun 2006, antara lain: a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD; b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah; c. Menetapkan kuasa pengguna anggaran/barang daerah; d. Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran; e. Menetapkan pejabat yang melakukan penerimaan daerah; f. Menetapkan pejabat yang mengelola utang dan piutang daerah; g. Menetapkan pejabat yang mengelola barang milik daerah; h. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.

Sekretaris Daerah sebagai pejabat yang mengkoordinasikan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Kepala Daerah, bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah, serta berkewajiban untuk membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan

penyelenggaraan

urusan

pemerintahan

daerah

termasuk

pengelolaan keuangan daerah. Dalam kapasitas yang demikian, maka Sekretaris Daerah mempunyai tugas koordinasi di bidang: a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD dan barang daerah; b. Penyusunan Rancangan APBD dan Rancangan Perubahan APBD;

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

c. Penyusunan Raperda APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban APBD; d. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan Pengawas Keuangan Daerah; e. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Selain tugas tersebut, Sekretaris daerah juga mempunyai tugas: a. Memimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD); b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD; c. Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah; d. Memberikan persetujuan pengesahan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) SKPD dan Dokumen Pelaksana Perubahan Anggaran (DPPA) SKPD.

Sedangkan Kepala SKPKD selaku PPKD secara umum melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah dan berfungsi sebagai Bendahara Umum Daerah yang mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana dirinci dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 Permendagri No. 13 Tahun 2006, dan Kepala SKPD selaku pemegang kuasa pengguna anggaran/pengguna barang daerah, tugas-tugasnya diatur dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dalam peraturan tersebut. Perbedaan yang menonjol dalam desentralisasi kuasa pengelolaan keuangan kepada SKPD ini antara lain Kepala SKPD berwenang melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran, menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM), dan mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Adanya desentralisasi pelaksanaan kekuasaaan pengelolaan keuangan tersebut, memberikan kejelasan dan ketegasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab untuk terlaksananya mekanisme check and balances berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang. Oleh karena itu, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah.

Pendelegasian

kekuasaan ini menuntut adanya peningkatan profesionalisme seluruh unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

2. Adanya Perbedaan Asas Umum dan Struktur APBD Aspek lain yang menonjol adalah mengintegrasikan antara perencanaan dan penganggaran daerah, agar pemanfaatan seluruh sumber daya yang tersedia dapat digunakan secara efektif, efisien dan seoptimal mungkin melibatkan partisipasi masyarakat dalam perumusan berbagai program/kegiatan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selain itu juga mengedepankan prinsip taat asas dan berorientasi pada capaian prestasi kerja dalam penganggaran karena APBD harus disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Pada sisi belanja dan pembiayaan daerah, diarahkan untuk menggerakkan roda perekonomian dan peningkatan pertumbuhan investasi daerah.

Oleh karena itu,

penganggaran berbasis kinerja harus dimaknai bahwa penganggaran APBD mengutamakan hasil suatu input yang ditetapkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD. Dari segi struktur APBD, perbedaan yang menonjol antara Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006, yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan pada dasarnya masih tetap dianut, akan tetapi klasifikasinya yang semula dibagi menurut bidang kewenangan pemerintahan daerah, menurut urusan pemerintahan daerah, dan yang semula dipisahkan antara belanja aparatur dan belanja publik, pemisahan belanja APBD yang dianut dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 adalah pemisahan kebituhan belanja antara aparatur dengan pelayanan publik tercermin dalam program dan kegiatan, demikian pula dengan pengelompokan belanja semula dikelompokkan dalam Belanja Administrasi Umum (BAU), Belanja Operasi Pemeliharaan (BOP), dan Belanja Modal, pengelompokannya menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung.

3. Penyederhanaan Proses Penatausahaan Keuangan Daerah Perbedaan prinsip lainnya adalah lebih sederhananya proses penatausahaan keuangan daerah melalui pendelegasian kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sampai pada tingkat manajemen terendah di setiap SKPD. Fungsi perbendaharaan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan daerah dipusatkan pada SKPKD selaku

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

entitas pelaporan. Kepala SKPKD sebagai PPKD adalah selaku Bendahara Umum Daerah

(BUD).

Dalam kedudukannya yang

mendelegasikan kepada Kuasa BUD. anggaran,

Kepala

SKPD

demikian,

Kepala

SKPKD

Sedangkan untuk efektivitas pelaksanaan

mendelegasikannya

kepada

kuasa

pengguna

anggaran/pengguna barang dan atau kepada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang dibantu oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD (PPK-SKPD). Sementara itu peran Badan Perencana Daerah (Bappeda) menjaga sinkronisasi antara kebijakan pusat dan kebijakan perencanaan dalam penganggaran daerah. Hal ini bertujuan sejauh mungkin kebijakan perencanaan program/kegiatan APBD sinkron dengan berbagai kebijakan pemerintah, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan program dan kegiatan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Di samping itu aspek lain yang dikendalikan adalah untuk

tercapainya sasaran dan target pembangunan jangka menengah secara berkelanjutan. Dalam konteks kebijakan, pengintegrasian antara perencanaan dan penganggaran daerah menjadi sangat penting guna memberikan arah kebijakan perekonomian daerah yang menggambarkan secara tegas penggunaan sumber daya yang dimiliki masyarakat, sekaligus dijadikan sarana untuk mengurangi ketimpangan dan kesenjangan perekonomian dalam masyarakat. 90 Sedangkan peran Badan Pengawas (Inspektorat) sebagai perangkat pengawas internal pemerintah daerah adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan sistem 90

Wawancara dengan H. Abdul Rahman, BBA, Kepala Bidang Kesejahteraan Sosial Inspektorat Kabupaten Langkat

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pengendalian intern.

Sistem pengendalian intern keuangan daerah dimaksud

merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang dilakukan oleh Badan Pengawas melalui audit dan evaluasi, untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan rencana dan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, pengendalian intern harus dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintahan yang tercermin dari

kehandalan

laporan

keuangan,

efisiensi

dan

efektivitas

pelaksanaan

program/kegiatan, serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan.

Dengan

demikian, tugas dan fungsi Kepala Bawasda (Inspektur) adalah membantu Sekretaris Daerah dalam mengendalikan dan mengevaluasi, agar kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang digariskan oleh Kepala Daerah berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, sebagai entitas akuntansi, Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda, Kepala Bawasda (Inspektur) maupun Kepala SKPKD juga melaksanakan tugas dan fungsi selaku pengguna anggaran/barang daerah dalam SKPD yang dipimpinnya. 91 Desentralisasi

pelaksanaan

kekuasaan

pengelolaan

keuangan

daerah

berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006, memberikan banyak implikasi bagi pemerintah daerah, khususnya dari sisi organisasi dan tata laksana pengelolaan keuangan daerah, diantaranya sebagai berikut:

91

Ibid.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

1. Pemerintah Daerah harus membentuk SKPKD SKPKD yang dimaksudkan adalah merupakan suatu badan atau dinas pengelolaan keuangan/kekayaan daerah dan bukan berlevel unit kerja yang merupakan bagian dari satuan kerja. Sebelum berlakunya PP No. 58 ini, terdapat keanekaragaman di antara pemerintah daerah tentang organisasi pengelola keuangan daerah. Ada daerah yang menempatkan pengelolaan keuangan daerah di biro/bagian keuangan yang merupakan unit kerja dari satuan kerja Sekretariat Daerah, dan ada pula yang telah membentu badan atau dinas pengelolaan keuangan/kekayaan daerah. Dengan diterbitkannya PP No. 58 Tahun 2005 ini, maka keanekaragaman menjadi seragam karena PP ini menghendaki agar organisasi pengelola keuangan daerah berlevel Satuan Kerja (bukan unit kerja). Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1 angka 11 yang menyatakan “Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.” Dengan demikian, daerah-daerah yang masih menggunakan Biro/Bagian Keuangan sebagai pengelola keuangan daerahnya, harus membentuk SKPD yang berdiri sendiri.

SKPD dimaksud tidak hanya mengelola keuangan baik segi

pendapatan maupun belanja saja, akan tetapi juga mengelola seluruh asset/kekayaan daerah seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005: PPKD selaku BUD berwenang: a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD; b. mengesahkan DPS-SKPD;

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD; d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah; e. melaksanakan pemungutan pajak daerah; f. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk; g. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD; h. menyimpan uang daerah; i. menetapkan SPD; j. melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi; k. melakukan pembayaran berdasarkan permintan pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah; l. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah; m. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah; n. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; o. melakukan penagihan piutang daerah; p. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah; q. menyajikan informasi keuangan daerah; r. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.

Dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, maka SKPKD dimaksud adalah merupakan satuan kerja yang besar karena gabungan dari Bagian Keuangan, Bagian Perlengkapan, Bagian Umum dan Dinas Pendapatan.

2. Pemerintah Daerah harus mempersiapkan struktur baru bagi pengelolaan keuangan daerah pada masing-masing SKPD Kepala SKPD merupakan pejabat pengguna anggaran/barang daerah, yang antara lain bertugas menguji tagihan dan memerintahkan membayar, menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) serta mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD. Oleh karena itu, dalam melaksanakan program/kegiatan SKPD melimpahkan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

sebagian kewenangannya kepada Kuasa Pengguna Anggaran (Kuasa PA) yang dibantu dengan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang ditunjuk oleh Pejabat Pengguna Anggaran dan bertugas untuk mengendalikan pelaksanaan kegiatan dan menyiapkan dokumen anggaran. Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD), Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai PPK-SKPD. Aspek lain dalam pengelolaan keuangan SKPD adalah tidak lagi dikenal adanya fungsi Satuan Pemegang Kas, akan tetapi dalam PP No. 58 Tahun 2005 ini diintrodusir bendahara penerima, bendahara pengeluaran.

Bendahara penerima

maupun bendahara pengeluaran merupakan jabatan fungsional yang secara fungsional bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku kuasa BUD, sedang pejabat penatausahaan keuangan PPK-SKPD adalah pejabat struktural. Implikasi lebih jauh lagi dengan adanya bendahara penerima/pengeluaran sebagai jabatan fungsional adalah pemerintah daerah harus menyiapkan jenjang kepangkatan bagi para bendahara, cara penilaian angka kredit, sertifikasi yang diisyaratkan, tunjangan fungsionalnya.

3. Pemerintah Daerah harus mengubah sistem dan prosedur akuntansi Sejalan dengan keharusan untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, maka sistem dan prosedur akuntansinya pun akan berubah pula. Terutama sistem dan prosedur akuntansi kas. Jika dulu dikenal dengan SPP (Surat

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Permintaan Pembayaran) dan SPM (Surat Perintah Membayar), SPP/SPM Beban Tetap (BT), dan Beban Sementara/Pengisian Kas (BS/PK), maka dalam PP No. 58 Tahun 2005 ini memperkenalkan SPP/SPM Uang Persediaan (UP), Ganti Uang (GU), Tambah Uang (TU) dan Langsung (LS). SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran untuk menerbitkan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) atas beban pengeluaran DPASKPD yang dipergunakan sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan operasional SKPD sehari-hari.

SPM-GU dipergunakan untuk mengganti uang

persediaan SKPD yang telah dibelanjakan, sedangkan SPM-TU tambahan uang yang diperlukan karena kebutuhan dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang persediaan yang telah ditetapkan, dan SPM-LS adalah pengeluaran untuk pihak ketiga. Pengaturan lebih jauh mengenai akuntansi pengeluaran, khususnya mengenai batasan jumlah SPP-UP maupun SPP-GU adalah pemerintah daerah harus menerbitkan Peraturan Kepala Daerah sesuai dengan amanat Pasal 201 Permendagri No. 13 Tahun 2006. Sejauh ini peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan daerah yang masih berlaku di Kabupaten Langkat adalah Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keputusan Bupati Langkat No. 1 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Langkat yang masih mengacu pada PP No. 105 Tahun

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2000 dimana PP tersebut telah menggariskan beberapa kekuasaan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan produk peraturan mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. Tugas dan fungsi setiap Pejabat Pengelola Keuangan Daerah ditetapkan dalam peraturan daerah (Pasal 3 ayat (2)); 2. APBD, Perubahan APBD dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 7 ayat (2)); 3. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah (Pasal 14 ayat (1)); 4. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan keputusan kepala daerah (Pasal 14 ayat (3)); 5. Sumber-sumber pembiayaan lain dan investasi diatur diatur dengan peraturan daerah (Pasal 19 ayat (4)); 6. Pengadaan barang dan jasa atas beban APBD diatur dengan keputusan kepala daerah (Pasal 32 ayat (2)); 7. Sistem dan prosedur pertanggungjawaban Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (Pasal 32 ayat (2)); 8. Ketentuan mengenai ganti rugi diatur dengan peraturan daerah (Pasal 46 ayat (2)).

Keleluasaan ini memungkinkan daerah untuk menetapkan peraturan daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah sepanjang hal tersebut masih sejalan dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini juga dimaksudkan agar daerah secara terus menerus dapat memaksimalkan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah berdasarkan keadaan, kebutuhan dan kemampuan yang ada. Akan tetapi, sejalan dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006, Perda tersebut di atas sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang ada sehingga ada keharusan bagi daerah untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah sehingga sistem dan prosedurnya harus berubah pula. Oleh karena itu demi tercipta dan terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki keabsahan yuridis maka Pemerintah Kabupaten Langkat perlu membuat pengaturan hukum (dalam bentuk Perda) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan yang ada di atasnya dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB IV PENGATURAN MENGENAI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT DALAM UPAYA PENCAPAIAN GOOD GOVERNANCE

A. Gambaran Umum Kabupaten Langkat Kabupaten Langkat merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sumatera Utara. Secara yuridis Kabupaten Langkat dibentuk berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Utara yang secara administratif menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya. Kabupaten Langkat berlokasi di Propinsi Sumatera Utara dengan ibukotanya Stabat yang secara geografis terletak pada 3°14’ - 4°13’ Lintang Utara dan 97º52’ – 98°45’ Bujur Timur, dengan luas daerah ± 6.263,29 km2 (626.329 Ha). Kabupaten Langkat berbatasan sebelah Utara dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Kabupaten Aceh Tamiang) dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo, sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai, serta sebelah Barat dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Kabupaten Aceh Tenggara). 92 Topografi Kabupaten Langkat bervariasi dengan ketinggian antara 0 – 1.200 meter di atas permukaan laut, terdiri dari daerah pesisir pantai sampai kawasan perbukitan dan pegunungan. Kabupaten Langkat memiliki garis pantai sepanjang 110

92

Lebih lanjut lihat Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 3 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Langkat Tahun 2006-2010

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

kilometer dan pada beberapa kawasan terdapat topografi cekukan dimana pada waktu musim penghujan menjadi daerah genangan air dan terjadi banjir. Jumlah penduduk Kabupaten Langkat berdasarkan hasil sensus Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005 adalah sebanyak 970.433 jiwa yang terdiri dari 491.424 jiwa laki-laki dan 479.009 jiwa perempuan. Secara kumulatif persentase jumlah penduduk adalah 50,63% laki-laki dan 49,27% perempuan.

Laju

pertumbuhan penduduk Kabupaten Langkat (hasil perhitungan BPS tahun 2005), untuk tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 adalah rata-rata 1,82%. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Langkat (Perda) Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Langkat dan Perda Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi, Kedudukan dan Fungsi Perangkat Daerah Kabupaten Langkat, pemerintahan Kabupaten Langkat dipimpin oleh seorang Bupati dan Wakil Bupati dengan dibantu oleh 2 (dua) Sekretariat, 3 (tiga) Asisten, 11 (sebelas) Bagian, 14 (empat belas) Dinas, 6 (enam) Badan, dan 3 (tiga) Kantor, yaitu: 1. Sekretariat Daerah Kabupaten Langkat 2. Sekretariat DPRD Kabupaten Langkat 3. Asisten Administrasi Pemerintahan a. Bagian Tata Pemerintahan b. Bagian Hukum c. Bagian Humas/Informasi 4. Asisten Administrasi Ekonomi dan Pembangunan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

a. Bagian Perekonomian b. Bagian Organisasi c. Bagian Bina Sosial d. Bagian Pemberdayaan Perempuan 5. Asisten Administrasi Umum a. Bagian Umum dan Perlengkapan b. Bagian Keuangan c. Bagian Kearsipan dan Perpustakaan d. Bagian Pengolahan Data Elektronik dan Sandi Telekomunikasi 6. Dinas Pekerjaan Umum Daerah 7. Dinas Kesehatan 8. Dinas Pendidikan dan Pengajaran 9. Dinas Pertanian dan Peternakan 10. Dinas Perhubungan 11. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 12. Dinas Pertamanan dan Kebersihan 13. Dinas Koperasi, UKM dan Penanaman Modal Daerah 14. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 15. Dinas Perikanan dan Kelautan 16. Dinas Pendapatan Daerah 17. Dinas Kehutanan dan Perkebunan 18. Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan Energi

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

19. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) 20. Inspektorat Daerah 21. Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat 22. Badan Kepegawaian Daerah 23. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kelurahan 24. Badan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Catatan Sipil 25. Kantor Satuan Polisi Pamong Praja 26. Kantor Kebudayaan dan Pariwisata 27. Kantor Sosial Kegiatan operasional pemerintahan melibatkan 20 (dua puluh) kecamatan, yaitu: 1. Kecamatan Stabat 2. Kecamatan Wampu 3. Kecamatan Binjai 4. Kecamatan Selesai 5. Kecamatan Kuala 6. Kecamatan Sei Bingai 7. Kecamatan Salapian 8. Kecamatan Bahorok 9. Kecamatan Batang Serangan 10. Kecamatan Padang Tualang 11. Kecamatan Sawit Seberang

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

12. Kecamatan Hinai 13. Kecamatan Sei Lepan 14. Kecamatan Secanggang 15. Kecamatan Tanjung Pura 16. Kecamatan Gebang 17. Kecamatan Babalan 18. Kecamatan Brandan Barat 19. Kecamatan Pangkalan Susu 20. Kecamatan Besitang Dari 20 (dua puluh) kecamatan tersebut, terdiri dari 210 (dua ratus sepuluh) desa dan 34 (tiga puluh empat) kelurahan. Di samping itu didukung dengan satuan kerja yang bersifat organisatoris yaitu: 1. Rumah Sakit Umum (RSU) Tanjung Pura. 2. Akademi Perawat (Akper) Stabat. 3. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Wampu Stabat Untuk mengawasi kegiatan pemerintahan tersebut telah terbentuk lembaga legislatif (DPRD) hasil Pemilu Legislatif tahun 2004 yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) orang. Adapun visi Kabupaten Langkat adalah terwujudnya Kabupaten Langkat yang maju dan sejahtera.

Sedangkan untuk mencapai hasil dari komitmen murni

masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Langkat dalam mewujudkan langkah yang

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

maju dan sejahtera sesuai dengan perkembangan yang berorientasi ke depan maka misi yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Langkat adalah: 1. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). 2. Mewujudkan kehidupan sosial, budaya dan politik yang sehat dan demokratis. 3. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan. 4. Meningkatkan pemanfaatan secara optimal seluruh sumber daya daerah menuju ekonomi kerakyatan. 5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan yang berkesinambungan dan disiplin. 6. Peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah dalam rangka perwujudan ekonomi daerah. Sedangkan tujuan (merupakan penjabaran dari pernyataan misi) yang akan dicapai adalah sebagai berikut: 1. Terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). 2. Mewujudkan pemerintahan yang partisipatif, transparan, akuntabel yang didukung oleh pelayanan prima dan profesional aparatur. 3. Kokoh dan mantapnya ketahanan ekonomi berkelanjutan melalui pemberdayaan sumber daya daerah dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. 4. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang religius, cerdas dan disiplin. 5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

6. Mengembangkan kepeloporan pemuda yang kreatif dalam pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan. 7. Mewujudkan pelestarian, rehabilitasi dan pemantapan kawasan hutan. 8. Terciptanya Kawasan Pertumbuhan Ekonomi (KPE). 9. Meningkatnya produktifitas dan komoditas sektor-sektor unggulan Kabupaten Langkat. 10. Terwujudnya pertumbuhan Kota dan Ibukota Kecamatan dan Penataan Ruang. 11. Terciptanya tatanan kehidupan sosial yang sehat dan berbudaya. 12. Terciptanya tatanan kehidupan poleksosbud yang demokratis. 13. Terwujudnya supremasi hukum, moralitas dalam suasana keamanan dan keteriban yang stabil. 14. Meningkatnya pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah untuk mendukung otonomi daerah.

Strategi Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan pembangunan daerah tidak terlepas dari dukungan keuangan daerah. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, penerimaan daerah adalah uang yang telah masuk ke kas daerah. Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah, sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Secara keseluruhan pendapatan daerah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun mulai tahun 2002 naik 17,57% dari tahun 2001, tahun 2003 naik 22,25% dari tahun 2002, tahun 2004 naik 12,81% dari tahun 2003, tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 1,08% dari tahun 2004. Peningkatan penerimaan daerah dari tahun 2001 ke 2005 terutama disebabkan oleh peningkatan PAD dari sektor pajak daerah dan retribusi daerah. Demikian juga didukung oleh peningkatan penerimaan dana perimbangan dari sektor bagi hasil pajak/bukan pajak dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dalam pengelolaan pendapatan daerah, Pemerintah Kabupaten Langkat mengalami permasalahan sebagai berikut: 1. Masih terdapat Peraturan Daerah yang belum dapat diterapkan karena berbagai kesulitan yaitu perbedaan antara peruntukan bangunan dengan izin yang dimohonkan, misalnya objek retribusi mengusulkan izin bangunan untuk perumahan pertokoan tetapi bangunan tersebut digunakan untuk sarang burung walet, sehingga pemungutan retribusi pengelolaan burung walet sulit diterapkan. 2. Kurangnya sosialisasi peraturan daerah terhadap pajak restoran dimana masih terdapat banyak restoran yang belum membebankan pajak restoran sebesar 10% (sepuluh persen) pada bill makanan yang dibebankan kepada konsumen, sehingga terdapat kesulitan dalam menagih dan menetapkannya kepada wajib pajak restoran. 3. Tingginya

kebutuhan

daerah

Kabupaten

Langkat

dibandingkan

dengan

kemampuan untuk memperoleh dana yang menyebabkan Pemerintah Kabupaten

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Langkat

sulit

dalam

menentukan

skala

prioritas

dalam

melaksanakan

pembangunan walaupun masih tingginya kebutuhan peningkatan pembangunan dari setiap sektor Sistem pengelolaan keuangan daerah mengacu pada suatu sistem anggaran yang mampu meningkatkan penyelenggaraan daerah yang baik terhadap tugas umum pemerintahan maupun tugas pembangunan.

Kabupaten Langkat berusaha untuk

mengelola keuangan daerah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dan stabilitas keuangan yang harus dijaga agar tidak terjadi stagnasi dalam pembangunan. Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Kabupaten Langkat diarahkan kepada: 1. Menjaga keseimbangan antara alokasi anggaran terhadap kebutuhan pelayanan publik dan aparatur. 2. Berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah dan melakukan efisiensi belanja daerah.

Kemudian upaya-upaya untuk pengembangan kapasitas keuangan daerah dan mengoptimalkan manfaat penggunaan dana yang ada dengan tujuan utama meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai berikut: 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan daerah. 2. Mengembangkan mekanisme pembiayaan dan pengembangan sistem akuntansi, dan sistem informasi keuangan yang transparan dan bertanggungjawab. 3. Meningkatkan pengawasan, baik secara preventif maupun represif.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

B. Konsepsi Good Governance dan Hubungannya dengan Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah Tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Pola lama penyelenggaraan pemerintahan kini sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Miftah Thoha menyatakan: Tata pemerintahan yang baik itu merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik. Konsep itu lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, civil society, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa lalu, konsep tata pemerintahan yang baik itu lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. 93

Dalam pertemuan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI, dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) yang difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri, telah dihasilkan prinsipprinsip mengenai tata pemerintahan yang baik (good governance).

Hal ini

dilatarbelakangi pemikiran bahwa kesejahteraan rakyat merupakan tujuan utama dalam pembangunan berkelanjutan melalui pelaksanaan otonomi daerah. Prinsip-

93

S.H. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, hal.

269

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

prinsip tersebut beserta dokumen penjelasan/pedoman pelaksanaan dituangkan dalam nota kesepatan bersama. 94 Chris Cooper menyebutkan “good governance is a collection of board principles and practices for the efficient, effective and practical running the organization in procedure objective”. 95 Sementara itu Azhar Kasim menyatakan “governance adalah proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik dan sebagainya) dalam suatu negara serta penggunaan sumberdaya (alam, keuangan, manusia) dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas”. 96 World Bank memberikan definisi governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sedangkan United Nation Development Programme (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. 97

94

Arlen T. Pakpahan, Reformasi Manajemen Keuangan Sektor Publik, Makalah dalam Kesepakatan Bersama, Seminar Nasional Otonomi dan Tata Pemerintahan yang Baik, UNDP, Jakarta, 2001 95

Chris Cooper dalam Iman Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate Governance (GCG), Harvarindo, Jakarta, 2002, hal. 3 96

Azhar Kasim dalam ibid, hal,5

97

Mardiasmo, op.cit, hal. 23

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Dalam hal ini World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat. Sementara menurut definisi yang terakhir, governance menekankan pada 3 (tiga) aspek yaitu political, economic, dan administrative. Political governance mengacu pada proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life, dan administrative governance yang mengacu pada sistem implementasi proses kebijakan. Arti good dalam good governance itu sendiri mengandung 2(dua) pengertian: pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilainilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 98 Oleh karena itu World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,

98

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN, Jakarta, 2000, hal. 6

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. 99 Sedangkan UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Berdasarkan hal ini UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut: 100 1. Participation, yaitu setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of law, yaitu kerangka hukum harus adil dan dilaksakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparency, yaitu transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor. 4. Responsiveness, yaitu lembaga-lembaga dan proses-proses harus cepat dan tanggap melayani stake holders. 5. Concensus orientation, yaitu menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. 6. Equity, yaitu semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka 7. Effectiveness and efficiency, yaitu proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. 8. Accountability, yaitu para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik atas setiap aktifitas yang dilakukan. 9. Strategic vision, yaitu penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. 99

Mardiasmo, op.cit., hal. 24

100

Lembaga Administrasi Negara …, op.cit., hal. 7

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Sebagai suatu bahan perbandingan, dapat dikemukakan adanya pemahaman esensial tentang good governance yang berkembang di Thailand seperti berikut: 101 Good governance is essential to the creation of harmony, stability, and order among all sectors of society, public, private, and individual, as well as to the continuing progress and development of the country. As system based on good governance, one that incorporates the concepts of fairness, transparency, and public participation in accordance with a democratic system under a constitutional monarchy, that adheres to respect for human dignity as well as Thai cultural norms and value, and that is enlightened through a global perspective, will be strong enough to withstand the threat of future crises and able to minimize negative impact.

Oleh karena itu dalam pemerintahan yang dikatakan good governance dipastikan tercerminnya suasana harmoni, stabilitas, dan ketertiban antar semua sektor pemerintahan. Dari konsepsi tersebut dijabarkan mengenai 6(enam) elemen utama good governance, yaitu: 102 1. The Rule of Law: to enact laws, regulations, rule, and directive that are fair, up to date, and that are accepted and conformed to by the citizenry. 2. The Rule of Integrity: to encourage ethical ad exemplary behavior by government officials, and to inculcate the values of integrity, fairness, hard work, and discipline among the Thai people as national characteristics. 3. The Rule of Transparency: to create a climate of mutual trust through a change in processes in all sectors to ensure transparency and enable public scrutiny, to guarantee access to accurate information throughout the system, and to provide information in a straightforward manner in language that is clear and easy to understand.

101

Office of the Civil Service Commission dalam Sukarwo, op.cit., hal. 68

102

ibid

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4. The Rule of participation: to welcome input from the general public, and to encourage their participation in significant decisions of the country through public hearings, referenda, and public investigations. 5. The Rule of Accountability: to raise public awareness of the rights of individuals, as well as the duties and responsibilities of citizens towards society, and to encourage the general public to be mindful of social problems and difficulties and active in seeking their solution. At the same time they must respects the opinions of others and be willing to accept the consequences of their actions. 6. The Rule of Value for Money: to encourage all sectors to utilize and manage limited resources efficiently and effectively; to conserve natural resources; to promote thrift and economy to maximize the benefits from limited resources for the national good; and to support the production of quality products and services so as to be competitive in the global marketplace.

Pada dasarnya konsep good governance sendiri apabila dilihat dari dimensi pemerintahan daerah dapat dinilai melalui aspek-aspek:103 1. Hukum (sebagai formulasi kebijakan publik), ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik, dan ekonomi. 2. Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin, dan model administratif, keterbukaan informasi. 3. Desentralisasi, desentralisasi regional, dan dekonsentrasi di dalam departemen. 4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan makroekonomi.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara dan daerah, seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pengelolaan keuangan pemerintah yang baik merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan

103

Lembaga Administrasi Negara …, op. cit., hal. 8

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

pemerintahan. Adanya pengelolaan keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan khususnya, dan tujuan berbangsa dan bernegara umumnya. Oleh karena itu langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem pengelolaan keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tidak dapat dielakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan. Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya pengelolaan keuangan pemerintah yang dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu sisi dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain harus segera diwujudkan. Dalam upaya perwujudan pengelolaan keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula tuntutan yang semakin besar untuk mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang penting untuk segera diwujudkan antara lain transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensi, dan efektivitas. Sejalan dengan hal tersebut reformasi keuangan daerah berhubungan dengan perubahan sumber-sumber pembiayaan pemerintahan daerah yang meliputi perubahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah. Oleh karena itu tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money (efisien dan efektif) sehingga tercipta akuntabilitas publik.

Berbagai perubahan

tersebut harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik yang didasari oleh prinsip good governance yang berupa rule of law sehingga hal ini berarti bahwa pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

berdasarkan panduan pengaturan hukum yang menjamin perlindungan hukum bagi warga negara.

C. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Langkat Dalam Upaya Pencapaian Good Governance Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung merekomendasikan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 104

104

Dalam Tap MPR No. IV/MPR/2000 dinyatakan bahwa Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sementara dalam Tap MPR No. VI/MPR/2002 juga dinyatakan bahwa pelaksanaan undang-undang otonomi daerah selama ini belum diimplementasikan secara utuh sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, serta kevakuman hukum dan kesenjangan antardaerah. Keadaan ini mengakibatkan suasana disharmonis, ketidakpastian hukum, dan tambahan beban biaya bagi dunia usaha. S.H. Sarundajang juga menambahkan bahwa penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 termasuk juga penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah sehingga inti dari penyempurnaan undang-undang tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan paket perundang-undangan tentang keuangan negara dan undang-undang tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. S.H. Sarundajang, op.cit., hal. 229

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Sejalan dengan amanat Tap MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebabkan terjadinya perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem Keuangan Negara. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa secara yuridis konseptual, pengertian Keuangan Negara telah tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 yang menyebutkan “Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Dalam PP No. 105 Tahun 2000 juga telah didefinisikan mengenai Keuangan Daerah yaitu dalam Pasal 1 angka 1: Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Penjelasan Umum PP No. 105 Tahun 2000 telah menerangkan mengenai posisi pengelolan keuangan daerah dalam keseluruhan sistem pengelolaan keuangan: Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah Pusat dengan Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya. Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan terlihat bahwa sistem pengelolaan keuangan, pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pemerintahan itu sendiri. Sebagaimana sistem keuangan negara yang diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-undang Dasar Tahun 1945, aspek pengelolaan Keuangan Daerah juga merupakan subsistem yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 78 sampai dengan Pasal 86. Dalam Pasal 80 ditetapkan bahwa perimbangan keuangan Pusat dan daerah ditetapkan dengan undangundang. Dengan peraturan tersebut diharapkan terdapat keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam pendistribusian kewenangan, pembiayaan, dan penataan sistem pengelolaan keuangan yang lebih baik dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi Daerah secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat yang berkembang. Sejalan dengan hal tersebut sudah barang tentu pelaksanaan otonomi Daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar Daerah akan memperoleh Dana Perimbangan tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan sejauhmana instrumen atau sistem pengelolaan Keuangan daerah saat ini mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan bertanggungjawab sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang tersebut.

Dalam perkembangan terakhir ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. UU No. 32 Tahun 2004 ini dapat dikatakan sebagai dasar hukum

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

yang utama dalam pengelolaan keuangan daerah selain UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003, dan UU No. 1 Tahun 2004. Secara umum, berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah akan membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kewenangan pemerintah.

Demikian pula berlakunya Undang-undang Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sekaligus memberi dasar perubahan dalam hal keuangan, sehingga hal tersebut akan membawa perubahan secara keseluruhan dalam aspek kesisteman di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan kedua undang-undang ini pula, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya

penyelenggaraan

pemerintahan

dan

pelayanan

masyarakat

sehingga

pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara

dan merupakan elemen pokok dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagaimana sistem keuangan negara dalam Pasal 23 C UUD 1945 (amandemen ketiga yang disahkan 10 Nopember 2001), aspek keuangan daerah juga merupakan subsistem yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 155 sampai dengan Pasal 194. Sementara itu Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 juga mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan Sumber Daya Alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Dengan dasar ini

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

maka dibentuk UU No. 33 Tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dimana pendanaan dimaksud menganut prinsip money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Pasal 155 sampai dengan Pasal 194 UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang masalah keuangan daerah dimana dalam Pasal 155 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa: (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah. (2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara. (3) Administrasi pendapatan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (2).

Dengan demikian, berarti bahwa dalam setiap kegiatan pengelolaan keuangan daerah terdapat aspek-aspek manajemen Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 juga telah menetapkan mengenai sumber pendapatan daerah: Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) hasil pajak daerah; 2) hasil retribusi daerah; 3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

4) lain-lain PAD yang sah; b. dana perimbangan; c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Dari ketentuan Pasal di atas sumber-sumber pendapatan pemerintahan daerah dapat digali secara luas sehingga dana keuangan daerah menjadi tidak limitatif. Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 menetapkan: (1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. (2) Pendapatan Daerah sebagaimana pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan. (3) Pembiayaan sebagaimana pada ayat (1) bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. penerimaan pinjaman daerah; c. dana cadangan daerah; dan d. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Dengan demikian dasar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 mengikuti asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Hal ini menimbulkan

banyaknya perbedaan persepsi mengenai mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Dalam Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2004 dirumuskan: (1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD; (2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN; (3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN; (4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana.

Sebelumnya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 26 UU No. 25 Tahun 1999 terutama mengenai pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, ditetapkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Akan tetapi, walaupun

kemudian UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 namun ternyata ketentuan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 sampai awal Desember 2005 belum mengalami perubahan, sehingga dikarenakan PP dimaksud belum ada maka banyak Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah masih berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000. PP No. 105 Tahun 2000 memberikan pedoman yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan oleh masing-masing daerah melalui Perda, sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci diatur dalam Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Perda. Dalam hal ini setiap daerah didorong untuk lebih tanggap, kreatif dan mampu mengambil inisiatif dan perbaikan, serta pemutakhiran sistem dan prosedurnya serta meninjau kembali sistem tersebut secara terus menerus dengan tujuan memaksimalkan efisiensi dan efektivitas berdasarkan keadaan, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

PP No. 105 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan dan kepatutan. Ini merupakan asas umum pengelolaan keuangan daerah yang sejalan dengan prinsip good governance 105 yang seharusnya menjadi tumpuan pengaturan keuangan daerah di seluruh wilayah Indonesia. Dalam PP tersebut juga diatur secara tegas bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan, khususnya di bidang keuangan. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan kinerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian Neraca daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban kepala Daerah merupakan beberapa hal yang diamanahkan dalam PP tersebut. Dasardasar pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini APBD (yang merupakan dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu) telah diatur secara detail di dalam PP yakni tersebut mulai dari perencanaan atau penyusunan APBD, pelaksanaan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Dalam proses perencanaan dan penyusunan APBD, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kinerja (performance budget). Pendekatan kinerja dalam hal ini memuat: 1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja/pengeluaran 105

Selain itu untuk pemetaan good governance pada sektor publik telah diformalkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu menyangkut asas atau prinsip tertib penyelenggara negara, akuntabilitas, keterbukaan, kepentingan umum, profesionalitas, proporsionalitas, dan kepastian hukum.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; 3. Sumber pendapatan dalam APBD dan pemanfaatannya. Artinya, apakah seluruh atau sebagian besar dana PAD dipergunakan untuk membiayai belanja rutin daerah di luar belanja pegawai, ataukah ada kebijakan atau pendekatan di dalam pemanfaatan atau penggunaan setiap jenis pendapatan daerah. Performance budget atau anggaran kinerja merupakan suatu sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja dari organisasi pemerintahan. Hal ini berarti bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik. Untuk mencapai kinerja anggaran yang baik, maka prinsip efisiensi dan efektivitas menjadi syarat mutlak. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya disusun secara berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Paling tidak, terdapat empat metode untuk mengatasi kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran yang umum dilakukan dalam setiap negara, yaitu: 1. Penerimaan-penerimaan tingkat propinsi dapat ditingkatkan meskipun dengan peluang yang sangat kecil di antara semua potensi yang dapat digali. 2. Pengeluaran propinsi dapat dikurangi. Terlepas dari kepopulerannya (dari sisi Pusat) dan merupakan suatu keharusan. Pendekatan ini juga tidak perlu disarankan jika sistem sudah dirancang dengan baik sejak dini.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

3. Fungsi-fungsi pengeluaran dapat dialihkan ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki sumber-sumber penerimaan lebih banyak (kewenangan penerimaan lebih banyak), atau dialihkan ke jenjang pemerintahan lebih rendah yang memiliki pengeluaran lebih banyak. Lagi-lagi ini tidak perlu dan tidak bijaksana jika pondasi struktur sistemnya sudah benar. 4. Sebagian dari pendapatan yang dikumpulkan Pusat dapat ditransfer ke Pemerintahan Propinsi. Akhirnya, pada setiap negara, alternatif inilah yang hampir selalu dilaksanakan. 106

Dalam PP No. 105 Tahun 2000 telah diatur mengenai langkah-langkah penyusunan APBD. Pasal 15 sampai dengan Pasal 19 PP No. 105 Tahun 2000 pada dasarnya mengatur tentang struktur dan pengertian mengenai APBD. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sementara selisih kurang pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan, sedangkan belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Adapun pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan.

Anggaran untuk

membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak tersangka disediakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak tersangka. Sedangkan dalam PP 58 Tahun 2005 penyusunan APBD diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah

106

Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt dalam Soekarwo. op.cit, hal. 225

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijasikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (selanjutnya disingkat SKPD). Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. RKA ini disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana Kerja dan Anggaran ini kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Proses selanjutnya Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dari dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk dibahas dan disetujui. APBD yang disetujui DPRD ini terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Jika DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD tersebut, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran daerah setinggitingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya dengan prioritas untuk belanja yang mengikuti dan wajib. Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah dan dilaksanakan oleh SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Telah dijelaskan dalam bagian terdahulu bahwa proses pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat masih mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2004 dan Keputusan Bupati Langkat No. 1 Tahun 2004 dimana aturan tersebut masih berlandaskan pada PP No. 105 Tahun 2000.

Meskipun demikian, pedoman

pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam PP No. 105 Tahun 2000 bersifat umum dan lebih menekankan pada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah, contohnya pokok-pokok muatan yang terkandung dalam PP tersebut antara lain: 1. Prinsip-prinsip bagi transparansi dan akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan, dan perhitungan APBD, pengelolaan kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi, serta pedoman bagi sistem dan prosedur pengelolaan.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

2. Pedoman laporan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan standar akuntansi pemerintah daerah, serta persentase jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan pemerintahan umum.

Sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci ditetapkan oleh masing-masing daerah.

Pada saat ini pelaksanaan pengelolaan

keuangan daerah yang berlandaskan prinsip good governance di Kabupaten Langkat menunjukkan kondisi yang rata-rata menuju ruang untuk perbaikan.

Hal ini

ditunjukkan dari upaya pemerintah daerah untuk menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 dalam proses penyusunan APBD yang akan datang. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah di Kabupaten Langkat, telah dilakukan analisis atas penerapan Sistem Pengendalian Intern, meliputi: 1. Organisasi Struktur organisasi dan tugas serta fungsi perangkat daerah Kabupaten Langkat telah diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 10 Tahun 2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Langkat.

Berdasarkan Perda tersebut, organisasi Sekretariat

Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah dibantu oleh 3 (tiga) asisten, dan 11 (sebelas) kepala bagian.

Sedangkan Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris Dewan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Pimpinan DPRD dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Daerah Kabupaten. Penatausahaan pembukuan atas pelaksanaan APBD diselenggarakan oleh Bagian Keuangan Sekretariat Daerah yang terdiri dari 3 (tiga) sub bagian, yaitu Sub Bagian Anggaran, Sub Bagian Pembukuan dan Verifikasi, serta Sub Bagian Perbendaharaan dan Gaji.

2. Kebijaksanaan Dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD Kabupaten Langkat telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 10 Maret 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Perda tersebut diikuti

dengan Surat Keputusan Bupati Langkat No. 900-15/SK/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Administrasi Keuangan Daerah. Dalam penyelenggaraan APBD, Pemerintah Kabupaten Langkat belum sepenuhnya mengikuti kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat khususnya ketentuan/peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan dan penyusunan perhitungan anggaran, bentuk dan susunan APBD dan buku-buku serta catatancatatan yang digunakan.

Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Langkat diberi

keleluasaan untuk menetapkan peraturan daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah sepanjang hal tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi agar daerah secara terus menerus

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dapat memaksimalkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah berdasarkan keadaan, kebutuhan dan kemampuan yang ada.

Dengan demikian,

sejalan dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat keharusan bagi Pemerintah Kabupaten Langkat untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, merubah kembali sistem dan prosedur dengan menerbitkan Perda yang sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang ada demi tercipta dan terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki keabsahan yuridis serta berlandaskan pada peraturan-peraturan yang ada di atasnya dan berdasarkan prinsip-prinsip good governance.

3. Perencanaan Untuk menciptakan agar pengurusan APBD dilaksanakan dengan tertib, sesuai ketentuan, efektif, efisien dan ekonomis, maka untuk anggaran belanja (Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan serta Belanja Modal) telah ditetapkan rincian kegiatan yang dituangkan dalam DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja).

Konsep DASK yang disampaikan oleh satuan kerja

tersebut, oleh Bagian Keuangan diteliti terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Bupati untuk disahkan. Dalam proses penyusunan APBD yang sejalan dengan prinsip good governance yang harus diperhatikan adalah membuat APBD yang demokratis dengan mengedepankan unsur peran serta masyarakat. Elemen masyarakat menjadi penting artinya dalam proses pembuatan APBD di samping pemerintah daerah dan DPRD

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dengan maksud untuk mempertajam substansi APBD sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Berkaitan dengan hal tersebut perlu dijelaskan bahwa dalam tahap

penyusunan APBD, pemerintah daerah berfungsi sebagai penyusun rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya pemerintah daerah mengkordinasi satuan kerja perangkat daerah (dalam hal ini dinas-dinas, badan, dan kantor) untuk mempersiapkan usulan kegiatan di bidangnya, serta menyiapkan bahan-bahan rancangan APBD untuk diusulkan kepada masyarakat melalui DPRD lengkap dengan sasaran alokasi anggaran biaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini membutuhkan langkah kerja yang memiliki nilai demokrasi dan sesuai dengan prinsip good governance diantaranya transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensi, dan efektivitas. Keterlibatan masyarakat ini tidak hanya terbatas pada penyusunan program pembangunan, tetapi secara simultan terlibat juga dalam penyusunan anggaran. Usulan kegiatan dari warga masyarakat diakomodasikan dengan adanya musyawarah pembangunan desa/kelurahan, selanjutnya rekapitulasi pandangan yang ada pada tingkat kecamatan, dan kemudian pada tingkat kabupaten/kota.

Hal ini menjadi

menjadikan anggaran pembangunan memiliki pijakan yang kuat dari masyarakat karena mempunyai semangat transparansi dan akuntabilitas sehingga pengelolaan keuangan daerah benar-benar bertumpu pada kekuatan masyarakat/publik.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Pada akhirnya good governance tidak mungkin terlaksana bila tidak didasarkan atas pengertian, format hukum yang jelas, transparan, kemandirian, akuntabilitas publik, sehingga memberikan peluang kepada kekuasaan untuk selalu bertindak di luar hukum.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara adalah: a. Keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah yang menimbulkan hak dan kewajiban daerah dan dapat dinilai dengan uang, b. Elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan yang secara yuridis normatif bertumpu pada UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Hal ini dipertegas dalam UU No. 17 Tahun 2003 dimana kekuasaan pengelolaan keuangan Negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan keuangan Negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/ bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan 2. Peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah yang sebelumnya diatur dalam berbagai bentuk perangkat hukum, mulai dari Undangundang Dasar 1945, undang-undang (seperti, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2004, UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004), peraturan pelaksana (contohnya peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah), keputusan instansi pemerintahan, (seperti keputusan menteri),

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

dan peraturan daerah terkesan adanya tumpang tindih peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah sehingga pengaturan

hukum

tentang

pengelolan

keuangan

daerah

tidak

dapat

diimplementasikan secara efektif. Hal ini kemudian diatasi dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 yang merupakan sinkronisasi berbagai ketentuan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, sehingga merupakan satu kesatuan pengaturan (omnibus regulation) dan menjadi pedoman pokok bagi Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah yang memuat berbagai kebijakan terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Untuk dapat diaplikasikan secara mudah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 155, pada tanggal 15 Mei 2006 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang secara formal sebagai pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang mana lingkup pengelolaan keuangan daerah lebih dipertegas dan diperjelas dengan adanya desentralisasi pelaksanaan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. 3. Proses pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat masih mengacu pada Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah yang berlandaskan PP No. 105 Tahun 2005.

Proses pelaksanaan

pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat menunjukkan kondisi yang rata-rata menuju ruang perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

terkandung dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang sejalan dengan prinsip good governance dan memiliki nilai demokrasi dan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensi dan efektivitas. Meskipun demikian, sejalan dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat keharusan bagi daerah untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah sehingga sistem dan prosedurnya harus berubah pula dengan mengganti Perda yang sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang ada demi tercipta dan terlaksananya pengelolaan keuangan yang memiliki keabsahan yuridis, berlandaskan pada peraturanperaturan yang ada di atasnya dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

B. Saran 1. Agar pemerintah daerah membuat pengaturan hukum pengelolaan keuangan daerah yang berupa peraturan daerah (Perda) yang berlandaskan prinsip-prinsip good governance demi tercipta dan terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki keabsahan yuridis. Hal ini bisa diawali dengan pembuatan hukum nasional tentang keuangan negara yang mengatur secara komprehensif pengelolaan keuangan negara yang berbasis good governance. 2. Agar pemerintah daerah segera membentuk suatu badan atau dinas pengelolaan keuangan daerah yang berlevel satuan kerja (bukan unit kerja). Hal ini selain merupakan amanat PP No. 58 Tahun 2005, juga disebabkan banyaknya instansi

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

yang selama ini memiliki kewenangan di bidang pengelolaan keuangan daerah sehingga menimbulkan benturan antara tugas dan kepentingan. 3. Agar pemerintah daerah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengembangkan akuntabilitas publik dalam keseluruhan rangkaian pembuatan APBD, serta membuka peran serta masyarakat seluas-luasnya melalui perumusan, penetapan, dan implementasi APBD yang demokratis. 4. Agar pemerintah daerah meningkatkan jumlah aparatur negara yang memahami dan dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance secara konsisten dan berkelanjutan pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan, serta melakukan pembenahan manajemen pemerintahan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kinerja kebijakan dan program pembangunan secara bertahap dan konsisten yang efektif dan efisien serta berorentasi pada peningkatan kinerja instansi dan para pegawai.

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta, 2002 Ady Kusnadi et al, Aspek Hukum Pengawasan Dalam Pelaksanaan Keuangan Pusat dan Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2000 Ahmad Yani, Seri Keuangan Publik, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Gramedia, Jakarta, 1986 ----------, Kapita Selekta Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, Universitas Tarumanegara, UPT Penerbitan, Jakarta, 1996 ----------, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum, Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2005 Badan Pemeriksa Keuangan, Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, 2000 C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Djambatan, Jakarta, 1982 D.J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 Faisal Akbar Nasution, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Kajian Kritis Atas UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003 Gunawan Widjaja, Seri Keuangan Publik: Pengelolaan Harta Kekayaan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 H. Bohari, Hukum Anggaran Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1995

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Ibnu Syamsi, Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994 Imam Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate Governance, Harvarindo, Jakarta, 2002 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, 2002 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara RI, LAN, Jakarta, 1988 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN, Jakarta, 2000 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002 M. Solly Lubis, Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan, Mandar Maju, Bandung, 1996 M. Subagio, Hukum Keuangan Negara RI, Rajawali Pers, Jakarta, 1991 M. Suparmoko, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002 ----------, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta, 1996 Mustopadidjaja AR, Manajemen Proses Kebijakan Publik: Formulasi, Impelementasi, dan Evaluasi Kinerja , Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2002 Nick Devas et al, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1989 Riant D Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2000

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Ryaas Rasyid, Otonomi atau Federalisasi, Harian Umum Suara Pembaharuan dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000 Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Fokus Media, Bandung, 2003

S.H. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2005 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, Airlangga University Press, Surabaya, 2003 --------, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah: Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005 Syaukani HR, et al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002 S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980 The Liang Gie, Unsur-unsur Administrasi Suatu Kumpulan Karangan, Edisi III, Supersukses, 1981 ----------, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid I, Liberty, Yogyakarta, 1993 ----------, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid II, Liberty, Yogyakarta, 1994 Wihana Kirana Jaya, Analisis Potensi Keuangan Daerah, Pendekatan Makro, PPPEB UGM, Yogyakarta, 1999 Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Makalah dan Jurnal Arifin P. Soeria Atmadja, Komentar dan Kritik UU Tentang Keuangan Negara, Makalah dalam Seminar Nasional Undang-undang Keuangan Negara,

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Peningkatan Kualitas Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Laboratorium Konstitusi, PPs-USU, Medan, 2003 Arlen T. Pakpahan, Reformasi Manajemen Keuangan Sektor Publik, Makalah dalam Kesepakatan Bersama, Seminar Nasional otonomi dan Tata Pemerintahan yang Baik, UNDP, Jakarta, 2001 Demokrasi dan HAM, Desentralisasi, Demokrasi dan Pemulihan Ekonomi, Vol. 2, No. 2, Juni-September, 2002 Hukum, Vol. 8, No. 1, FH-USU, Pebruari 2003 Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 5, 2003

Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Pertanggungjawaban Keuangan Negara

tentang

Pemeriksaan

dan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun Pertanggungjawaban Kepala Daerah

2000

tentang

Tata

Cara

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Informasi Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan III atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Langkat Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 3 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Langkat Tahun 2006-2010

Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008