Kekayaan Pelestarian dan Pemanfaatan Jenis Flora di Papua

112 downloads 9148 Views 505KB Size Report
(spesies) tumbuhan berbunga atau berbiji menghuni hutan alam Indonesia dan ... vegetasi terlengkap di Asia-Pasifik mulai dari daerah pantai hingga alpin.
KEKAYAAN, PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN JENIS FLORA DI TANAH PAPUA Oleh : Krisma Lekitoo ABSTRAK Hutan hujan tropis Papua merupakan salah satu formasi hutan hujan tropis Indomalaya yang dikenal dengan sebutan Papuasia dan kaya akan jenis, genera dan famili yang khas dan tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Jumlah flora Papua diperkirakan 20.000 – 25.000 jenis (Jhons, 1997) dengan 1.465 marga dan paling sedikit 142 marga bersifat endemik, dimana 50 – 90% merupakan jenis endemik (De Fretes, 2000), baik endemik dalam skala terbatas maupun luas. Kekayaan flora tersebut baru dimanfaatkan dalam skala kecil dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun yang lalu, namun penelitian dan pendokumentasian serta hasil kajian etnobotani tersebut khususnya bahan obat-obatan dan bahan pangan yang berasal dari biji dan buah-buah hutan tidak mendapat perhatian dan tindaklanjut oleh pemerintah saat ini. Disisi lain ancaman terhadap kejayaan flora tersebut di alam terus meningkat akibat adanya pembukaan hutan untuk lahan pertanian, pemukiman dan pemekaran wilayah serta pemanenan hasil hutan kayu oleh HPH. Pelestarian keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua dapat dipertahankan dengan meningkatkan perlindungan dan perluasan kawasan konservasi, rehabilitasi lahan, mencegah pembukaan hutan secara besar-besaran dan illegal logging. Kata kunci : Flora, kekayaan, pelestarian, pemanfaatan, Papua

I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan alam tropika basah yang terbesar dan terkaya akan keragaman flora dan fauna. Sekitar 25.000 – 30.000 jenis (spesies) tumbuhan berbunga atau berbiji menghuni hutan alam Indonesia dan sekitar 4.000 jenis berupa pohon, yakni tumbuhan berkayu yang memiliki batang utama yang jelas terpisah dari tajuknya. Keragaman flora lainnya adalah lumut, ganggang, pakupakuan, epifit, palem, bambu dan tumbuhan bawah. Kekayaan tersebut disebabkan oleh biogeografi Indonesia yang membentang diantara 2 kawasan biogeorafi utama yaitu Indomalaya dan Australasia. Dari sekian banyak flora tersebut diperkirakan sekitar 30 % flora belum diberi nama ilmiah (Sastrapradja dkk, 1989). Untuk mengerjakan tugas tersebut, Indonesia membutuhkan paling sedikit 60 taksonom yang bekerja “full time” selama 30 tahun untuk menginventarisasi flora Indonesia. Hutan hujan tropis Papua merupakan salah satu formasi hutan hujan tropis Indomalaya yang kaya akan jenis, genera dan famili yang khas dan tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Jumlah flora Papua diperkirakan 20.000 – 25.000 jenis (Jhons, 1997) dengan 1.465 marga dan paling sedikit 142 marga bersifat endemik, dimana 1

50 – 90% merupakan jenis endemik (De Fretes, 2000), baik endemik dalam skala terbatas maupun luas. Menurut Primak (1998), Keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua kaya akan jenis, genera (marga) dan famili yang bersifat khas, namun masih sedikit yang diketahui manfaatnya bagi masyarakat Papua, baik sebagai bahan makanan, industri maupun obat-obatan. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tanaman berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini Kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, dikenal dan diketahui informasi botani, biologis dan penyebarannya. Demikian pula pemanfaatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor pembatas berupa bentangan lahan yang sangat luas, topografi yang cukup berat dan kurangnya penelitian atau ekspedisi dibidang taksonomi serta faktor politik dan keamanan. Faktor pembatas lainnya adalah kurangnya sumberdaya manusia dibidang taksonomi, waktu dan biaya yang disebabkan kurangnya perhatian pemerintah akan pentingnya data base keanekaragaman hayati flora di Tanah Papua. Pepatah “tak kenal maka tak sayang” mempunyai makna tertentu. Tanpa mengenal jenis-jenis tumbuhan yang ada, kita tak mungkin mengetahui potensi, keanekaragaman maupun sifat-sifat lainnya Perubahan

lingkungan

hutan

menjadi

perladangan,

pertanian,

industri,

pemukiman, jalan, padang alang-alang dan sebagainya mengakibatkan berkurang atau makin kecilnya populasi jenis-jenis tertentu. Beberapa jenis endemik dan langka mungkin sudah punah di habitat aslinya sebelum diketahui potensinya. II. KEANEKARAGAMAN JENIS FLORA DI PAPUA Sejarah Geologi pembentukan Pulau Papua yang rumit serta pengaruh ciri fisiografi mengakibatkan Tanah Papua memiliki lingkungan habitat dengan zona-zona vegetasi terlengkap di Asia-Pasifik mulai dari daerah pantai hingga alpin. Karena adanya pengaruh adaptasi, mengakibatkan flora Papua memiliki karakter-karakter yang

2

sangat unik, keadaan ini telah menciptakan kekayaan flora yang sangat tinggi di Tanah Papua Menurut Pigram dan Davis (1987), faktor penyebab utama tingginya keragaman hayati dan endemisitas flora dan fauna di Papua adalah sejarah pembentukan pulau tersebut. Pulau New Guinea memiliki 32 lempengan tektonik, setiap lempengan memiliki karakteristik khusus sehingga mempengaruhi jenis flora yang hadir diatasnya. Selain itu wilayah geografis Papua yang berbentuk pulau menyebabkan daerah ini memiliki keragaman jenis flora yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia karena adanya isolasi geografi berupa jarak (hamparan dataran), gunung dan laut yang cukup luas. Keragaman jenis flora di Papua juga sangat dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya. Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) memiliki hutan dataran rendah terbesar di Asia Tenggara yang masih murni dan mengandung kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang tidak ada taranya. Tanah Papua juga merupakan salah satu misteri (sesuatu yang tidak diketahui) terakhir di dunia yang paling besar…. Yang menantang untuk dipahami, merangsang untuk dijelajahi dan menantang pula untuk dikembangkan (Petocz, 1987). Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah : 1. Paijsman (1976), marga Angiospermae sebanyak 1.465 telah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan 9.000 spesies 2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 spesies 3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora seluruh Papuasia (semua famili) diduga melampaui 20.000 spesies 4. Jhons (1997), Keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat tinggi 20.00025.000 spesies. Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis flora Tanah Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan di Indonesia secara singkat dapat ditampilkan sbb:

3

1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 spesies 2. Kalimantan (Borneo) : antara 10.000-15.000 spesies namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh 3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 spesies tumbuhan ber-pembuluh 4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 spesies tumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu. 5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari maluku dan 2.900 berasal dari Maluku Utara 6. Kepulauan sunda kecil : belum dapat diperkirakan jumlahnya Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda tahun 1817 - 1950 (SteenisKruseman, Cyclopedia of Botanical Exploration in Malesia, Flora Malesia I (1). 1950) dan masa pemerintahan Indonesia tahun 1950-2008 (Flora Malesiana Bulletin 1–13. 1951– 2008), secara lengkap disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Perbandingan Jumlah Koleksi Herbarium di Tanah Papua dan Beberapa Daerah di Indonesia TAHUN 1817 - 1950

TAHUN 1951 - 2008

LUAS (KM2)

JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM

RATA-RATA NOMOR KOLEKSI PER 100 KM2

JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM

JUMLAH NOMOR KOLEKSI HIDUP

2.980.155

196.755

3,6

2.150 (Papua)

946 (Papua)

Maluku (Moluccas)

63.575

27.525

43

22.216

1.173

Sulawesi (Celebes)

182.870

32.350

18

15.420

1.834

Nusa Tenggara

98.625

24.546

25

4.365

3.638

Kalimantan (Borneo)

739.175

91.550

12

28.820 (Kalimantan)

2.739 (Kalimantan)

Jawa (Java)

132.474

247.522

25

4.363

3.638

Sumatera (Andalas)

479.513

87.900

18

26.966 (Sumatera)

3.357 (Sumatera)

PULAU

Papua (New Guinea)

Sumber : Steenis-Kruseman, 1950 dalam Flora Malesiana I dan Flora Malesiana Bulletin 1-13, 1950-2008 dalam Kartawinata, 2010

Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan spesies tumbuhan, maka Papua menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan wilayah biogeografi 4

lainnya, diikuti Kalimantan dan Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Perbandingan tersebut akan berubah sejalan dengan laju perkembangan penelitian taksonomi di masing-masing daerah di Indonesia. Tabel 2. Kekayaan dan Keendemikan Flora di Tanah Papua dan Beberapa Daerah di Indonesia

Wilayah

Kekayaan spesies

Sumatera (Andalas) Jawa (Java) Kalimantan (Borneo) Sulawesi (Celebes) Sunda kecil Maluku (Moluccas) Papua (Papuasia)

820 630 900 520 150 380 1030

Persentase spesies endemik (%) 11 5 33 7 3 6 55

Sumber : FAO/Mackinnon (1981) dalam Kusmana dan Hikmat 2005

Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan RI, belum banyak penelitian mengenai keanekaragaman jenis flora dan potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih potensial. A. Fitogeografi Flora di Tanah Papua Pada umumnya jenis flora di Tanah Papua tumbuh pada habitat hutan primer dan sekunder dengan tipe ekologi adalah hutan yang dipengaruhi oleh faktor edafis dan faktor iklim baik penyebaran hutan secara horisontal maupun vertikal. Penyebaran flora di Tanah Papua secara umum sangat berkaitan dengan penyebaran flora di wilayah lainnya di Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara. Khusus untuk wilayah Indonesia, berdasarkan geografi wilayah, penyebaran flora di Indonesia terbagi menjadi : 1. Flora Jawa (Java) 2. Flora Kalimantan (Borneo) 3. Flora Sumatra (Andalas) 4. Flora sulawesi (Celebes) 5. Flora Bali dan Nusa Tenggara (Kepulauan Sunda kecil) 6. Flora Maluku (Moluccas) 7. Flora Papua (Papuasia) 5

Penyebaran flora di berbagai wilayah di Indonesia telah menciptakan berbagai tipe hutan. Tipe hutan merupakan suatu istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis dan perkembangannya. Umumnya tipe hutan dibedakan berdasarkan sebaran di setiap negara sesuai dengan kawasannya. Penyebaran flora di Papua sangat dipengaruhi oleh isolasi geografi berupa lautan yang sangat luas, pegunungan yang sangat tinggi dan bentangan alam lainnya seperti sungai, lembah yang luas, tebing yang curam dan patahan-patahan geologi yang ekstrim. Faktor lainnya yang juga sangat mempengaruhi penyebaran flora adalah lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran tumbuhtumbuhan pada suatu wilayah adalah : 1. Faktor Iklim yang meliputi ; Curah hujan, Suhu, Kelembaban atmosfer, angin, cahaya dan kesetimbangan energi 2. Faktor Fisiografi dan edafik yang meliputi ; Topografi, Faktor edafik (tanah dan lapis alas geologi) Faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut (Syafei, 1994). Selanjutnya Marsono (1977) menyebutkan bahwa kehadiran suatu jenis pada suatu tempat atau areal ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ; habitat, dimana habitat akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat, waktu yang diperlukan untuk mengatasi hal ini, dimana dengan berjalannya waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada disekitarnya. Akibat dari sejarah geologi dan faktor lingkungan, Papua terbagi menjadi empat wilayah utama keragaman hayati yaitu : daerah utara, daerah selatan, daerah kepala burung (Vogelkop) dan daerah dataran tinggi (Muller, 2005) . Pada daerah-daerah tersebut, sejarah geologis yang berbeda menghasilkan vegetasi yang berbeda dan pada tingkat tertentu jenis hewannyapun berbeda. Keadaan lingkungan yang spesifik dan adanya penghalang (isolasi geografi) untuk menyebar, maka kebanyakan jenis

6

tumbuhan dan hewan

mempunyai wilayah penyebaran yang terbatas yang

menyebabkan tingginya keendemikan. B. Potensi Tumbuhan Endemik di Papua Spesies endemik merupakan gejala alami sebuah biota untuk menjadi unik pada suatu wilayah geografi tertentu. Sebuah spesies bisa disebut endemik jika spesies tersebut merupakan spesies asli yang hanya bisa ditemukan di sebuah tempat tertentu dan tidak ditemukan di wilayah lain. Wilayah di sini dapat berupa pulau, negara, atau zona tertentu. Perbedaan yang harus diperhatikan adalah spesies asli belum tentu spesies endemik. Namun spesies endemik pastilah spesies asli wilayah tersebut. 1. Tumbuhan Berkayu Tingkat Pohon Menurut Whitemore, Tantra dan Sutisna (1997), Berdasarkan hasil kompilasi spesimen dari BO dan BZG, laporan penelitian Badan Litbang Kehutanan, penelusuran monograf, publikasi ilmiah dan hasil revisi serta masukan dari beberapa ahli taksonomi tumbuhan, di ketahui bahwa di Tanah Papua untuk tumbuhan berkayu dengan kriteria diameter 10 cm up dan tinggi lebih dari 5 m, terdapat 86 Famili tumbuhan berkayu yang terdiri dari 359 genus dan 2.323 spesies. Hasil kompilasi tumbuhan berkayu tingkat pohon tersebut belum lengkap, hal ini disebabkan karena spesimen yang ada sangat terbatas sehingga untuk beberapa famili seperti Lauraceae, Myrtaceae, Rubiaceae dan Rutaceae yang merupakan famili dengan genus dan spesies yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga hasil ini bukanlah hasil akhir dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan dan kemajuan penelitian di bidang taksonomi tumbuhan khususnya tumbuhan berkayu tingkat pohon. Berdasarkan hasil kompilasi tersebut, diketahui bahwa jenis tumbuhan berkayu tingkat pohon yang endemik di Pulau New Guinea atau Tanah Papua (Papua Barat yang termasuk wilayah Negara Republik Indonesia dan Papua Timur yang termasuk wilayah Negara Papua New Guinea) adalah 53 famili yang terdiri dari 175 genus dan 1205 spesies. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penyebaran tumbuhan tidak mengenal batas negara sehingga untuk tumbuhan berkayu tingkat pohon endemik di New Guinea dianggap sama untuk wilayah Republik Indonesia dan Papua New Guinea. Hasil ini masih perlu dibuktikan lagi, namun lambatnya penelitian taksonomi yang disebabkan oleh faktor pembatas sumberdaya manusia, waktu dan biaya dikhawatirkan

7

akan mengakibatkan beberapa jenis endemik akan punah sebelum sempat diketahui dan dibuktikan. 1

2

3 5

6

4

Gambar 1. Beberapa Jenis Tumbuhan Berkayu Endemik Terbatas dan Luas di Tanah Papua : 1. Diospyros papuana; 2. Alstonia beatricis; 3. Campthostemon schultzii; 4. Intsia acuminata; 5. Eucalyptus pelita; 6. Avicennia eucalyptifolia Sebagai contoh adalah jenis Manilkara napali van Royen yang penyebarannya di Teluk Yotefa Kota Jayapura, ketika tahun 2008 BPK Manokwari melakukan kerjasama penelitian dengan Royal Botanical Garden Kew Inggris, jenis ini sudah tidak ditemukan lagi karena lokasi terdapatnya jenis ini berdasarkan catatan Flora Malesiana, kini sudah dijadikan Pasar Yotefa. 2.Tumbuhan Non Kayu Belum banyak Informasi tentang tumbuhan non kayu (non woody plant) endemik untuk wilayah Tanah Papua. Hal ini disebabkan karena kurangnya penelitian taksonomi di wilayah ini, khususnya untuk tumbuhan non kayu. Hal ini menyebabkan hanya jenisjenis vegetasi non kayu tertentu saya yang telah diketahui dengan baik oleh masyarakat karena jenis-jenis tersebut sering dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Secara umum tumbuhan non kayu yang endemik di Papua belum banyak diketahui. Jenis-jenis yang baru diketahui adalah jenis yang sudah dimanfaatkan secara budaya oleh masyarakat adat Papua dan jenis-jenis yang dikerjakan oleh ahli taksonomi, dalam hal ini, jenis-jenis tersebut dapat terungkap karena ahlinya memang ada dan pernah melakukan penelitian di wilayah Papua. Hasil penelusuran sementara diketahui bahwa sekitar 120 jenis tumbuhan non kayu adalah jenis endemik di Tanah Papua. Sama halnya dengan tumbuhan berkayu, jenis-jenis tumbuhan non kayu endemik Tanah

8

Papua akan berubah seiring dengan laju perkembangan penelitian taksonomi di daerah ini.

1

2

3 6

4

5

Gambar 2. Beberapa Jenis Tumbuhan Non Kayu Endemik Terbatas dan Luas di Tanah Papua : 1. Grammatophyllum speciosum; 2. Borassus heineanus; 3. Pandanus browsimus; 4. Sararanga sinuoas; 5. Sommieria leucophylla; 6. Mucuna novoguinensis C. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya Saat ini jenis-jenis tumbuhan endemik (kayu dan non kayu) tersebut, belum semua dikenal dan diketahui dengan baik oleh ilmuwan lokal maupun nasional. Hal ini disebabkan karena laju penelitian taksonomi yang sangat lambat di daerah Papua. Disisi lain banyak kawasan konservasi yang arealnya telah dimanfaatkan untuk pemekaran kabupaten, sebagai contoh Kabupaten Tamrau yang wilayahnya sebagian besar merupakan Cagar Alam Pegunungan Tamrau Utara. Tidak berlebihan jika ada jenis-jenis flora dan fauna yang terlanjur punah sebelum diketahui dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. III. PEMANFAATAN JENIS FLORA Flora Tanah Papua dimasukkan ke dalam subdivisi timur dari pembagian daerah flora Indo-Malesiana dan merupakan daerah yang paling kaya akan tanaman berguna bagi umat manusia (Van Bolgooy, 1976) dalam Petocz (1987). Beberapa jenis diantaranya menghasilkan buah yang dapat dimakan, beberapa jenis daun yang setelah dikeringkan dengan bermacam-macam cara, dipakai sebagai atap bangunan, bungkus rokok atau dianyam menjadi tudung hujan dan tikar. Selain itu ada ratusan daftar nama tanaman yang dimanfaatkan oleh penduduk asli Tanah Papua untuk tujuan macammacam, termasuk pengobatan, perangsang dan narkotik, keagamaan dan ilmu sihir,

9

senjata dan peralatan, bangunan rumah dan perahu, bahan pakaian dan baju upacara atau penghias biasa (Powell, 1976). Bahkan ada diantara beberapa spesies yang baru sedikit diketahui ini yang dipakai oleh orang modern. A. Status Pemanfaatan Oleh Etnik Papua Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 2761, jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276 suku bangsa asli di Papua. Dari 276 suku bangsa dan bahasa tersebut, 5 diantara bahasa-bahasa asli tersebut sudah tidak ada lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Ini berarti tinggal 271 suku bahasa di Tanah Papua. Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk Budaya dan tatanan adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang.

Oleh karena itu warisan tersebut sangat perlu dijaga dan

dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. B. Perkembangan Penelitian Etnobotani Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun yang lalu. Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed pada Tahun 1939 melakukan penelitian etnobotani di Jayapura dan sekitarnya, Brass pada Tahun 1941, melakukan penelitian etnobotani di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kaberry 1

Data Summer institute of Linguistik, tahun 2011

10

pada tahun yang sama juga melakukan penelitian di Jayapura dan sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada Tahun 1955 di Mappi, Held pada Tahun 1957 di Waropen, Oomen dan Malcolm Tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen, Oosterwal pada Tahun 1961 di wilayah Mamberamo dan sekitarnya, Couvee et al pada Tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada Tahun yang sama di Wamena dan sekitarnya dan Pospisil pada Tahun 1963 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya) Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penelitian etnobotani selanjutnya dilakukan oleh Serpenti pada Tahun 1965 di Pulau Kimam, Lea Tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder Tahun 1971 di Paniai dan sekitarnya, Barth Tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta Hatanaka dan Bragge Tahun 1973 di daerah yang sama. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan. 115 jenis tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magic, 39 jenis dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38 jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis dimanfaatkan sebagai obat malaria. Penelitian dan pendokumentasian serta hasil kajian etnobotani tersebut khususnya bahan pangan yang berasal dari biji dan buah-buah hutan tidak mendapat perhatian dan tindaklanjut oleh pemerintah saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah. Disisi lain ancaman terhadap keberadaan jenis tersebut di alam terus meningkat akibat adanya pembukaan hutan untuk lahan pertanian, pemukiman dan pemekaran wilayah serta pemanenan hasil hutan kayu oleh HPH. Kekayaan flora tersebut merupakan salah satu tantangan terbesar bagi para ilmuwan untuk membuka tabir kerumitan yang dikandungnya, dan suatu tanggung jawab besar dari pemerintah untuk melindungi kekayaan alami tersebut, hingga dapat diteliti dan dimengerti, untuk kepentingan umat manusia khususnya masyarakat di Tanah Papua.

11

C. Kondisi Saat Ini dan Permasalahannya Saat ini bentuk pemanfaatan jenis flora oleh pemerintah khususnya untuk tumbuhan berkayu tingkat pohon adalah dengan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap jenis tumbuhan berkayu yang bernilai ekonomis (komersil) untuk tujuan utama ekonomi tanpa memperhatikan aspek ekologi dan sosial. Hal ini semakin menimbulkan kesan bahwa pemerintah telah melupakan aspek ekologi dan sosial dalam pengelolaan hutan produksi di Papua, pemerintah terkesan hanya mengejar ekonomi saja. Hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang HHBK dan etnobotani semakin dilupakan untuk dikembangkan bahkan tidak digubris sama sekali. Namun jika dicermati secara baik, Surat Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : 163/KPTS-II/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu Sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan, nampak jelas bahwa pengelompokan jenis kayu tersebut hanya berlaku untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pengelompokan jenis kayu tersebut tidak berlaku untuk wilayah Papua. Sebagai contoh : 1. Pengelompokan jenis kayu Meranti atau Komersil Satu, pengelompokan ini sebenarnya tidak berlaku untuk Wilayah Papua, hal ini disebabkan karena kelompok meranti umumnya merupakan nama perdagangan untuk jenis Shorea spp., sementara di Papua tidak terdapat jenis Shorea spp. 2. Banyak jenis kayu di Papua yang telah lama dieksploitasi sebagai jenis kayu komersil tetapi jenis tersebut belum terdaftar atau terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : 163/KPTS-II/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu Komersil tersebut. Sebagai contoh jenis Flindersia pimentelliana dan Rhus taitensis, kedua jenis ini belum terdapat pada surat keputusan tersebut. 3. Dasar dalam pengelompokan jenis tersebut belum jelas sehingga perlu adanya pengelompokan ulang dengan dasar yang lebih ilmiah. Hal ini untuk menghindari kerugian bagi negara, karena ada jenis-jenis tertentu yang seharusnya dimasukan sebagai kayu indah namun karena keterbatasan pengetahuan maka jenis tersebut dimasukan sebagai Kelompok Komersil Satu atau Kelompok Komersil Dua.

12

IV. Pelestarian (Konservasi) Flora di Papua Tanah Papua merupakan salah satu daerah yang memilki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi sampai melampaui 10.000 dalam tahuntahun mendatang. Jika dibandingkan dengan daerah tropik lainnya jumlah tumbuhan di Papua mencapai 246 famili dari kurang lebih 1.500 marga. Paling sedikit 124 marga tanaman berbunga di Tanah Papua ternyata endemis (dibandingkan dengan 59 marga endemis di Kalimantan, 17 marga di Sumatera dan 10 marga di Jawa). Meskipun kebanyakan tanaman mewakili suku dan marga yang sudah terkenal, dan keendemikan marga dan keluarga flora sangat rendah, tetapi keendemikan spesies di Tanah Papua, luar biasanya tingginya dan sangat menakjubkan, kira-kira 90% (Hope, 1982) dalam Petocz (1987). Ekosistem hutan hujan tropis basah dataran rendah merupakan ekosistem yang paling kaya (memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi), tetapi kepadatan pohon tiap hektarnya sangat kecil. Untuk itu sangat diperlukan adanya tindakan konservasi berupa perlindungan untuk memantapkan demografi dan populasi jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa makin tinggi letak suatu tempat di atas permukaan laut, keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan semakin menurun tetapi keendemikan jenis tumbuh-tumbuhan semakin tinggi. Meskipun Tanah Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tanaman berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti. Menurut Conservation International (CI), di Papua belum banyak ilmuwan yang memiliki kemampuan untuk secara cepat mengumpulkan, menganalisa dan menyebarluaskan informasi keanekaragaman hayati yang sangat penting untuk membuat rekomendasi konservasi yang memadai. Menyadari bahwa konservasi di Tanah Papua terhambat oleh kurangnya informasi dasar tentang keragaman, distribusi dan kelimpahan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), maka Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) pada tahun 1997 menyimpulkan bahwa pengembangan kapasitas ilmuwan lokal dan pengumpulan informasi biologi adalah sangat diperlukan untuk memastikan pemberian rekomendasi yang tepat bagi Tanah Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat). Khusus untuk tumbuhan rendahnya pengetahuan mengenai taksonomi dan distribusi vegetasi

13

menjadi hambatan utama untuk menentukan status konservasi dari sebagian besar spesies yang ditemukan dalam setiap penelitian di Tanah Papua (de Fretes, 2000). Di era otonomi khusus saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menginventarisasi kembali semua potensi sumber daya alam, khususnya potensi tumbuhan guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang akhirnya bermuara bagi kesejahteraan rakyat.

Pemanfaatan tumbuhan yang berdaya guna dan pencegahan

terhadap dampak-dampak negatif yang mengancam kelestarian jenis-jenis tumbuhan tersebut di masa yang datang. Guna mendukung hal tersebut, perlu upaya peningkatan SDM maupun upaya pengenalan, pengembangan dan peningkatan sumber daya tumbuhan itu, disamping pemahaman yang mendalam tentang arti dan peranannya bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia, sehingga pembangunan yang dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan sumber daya alam hayati tersebut. Saat ini mungkin kita masih terlena dengan adanya euforia otonomi khusus di Tanah Papua yang notabene secara implisit menyebabkan dana tersedia cukup banyak bagi kegiatan pembangunan di daerah ini. Adanya dana yang banyak tersebut mengakibatkan kita lupa akan sumber-sumber pendapatan lainnya yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga ada kesan bahwa kita cenderung melupakan pundi-pundi tersebut dan bahkan kita bingung dalam menentukan kegiatan prioritas karena begitu banyak dana yang tersedia. Akan sangat ironis sekali jika kita mengetahui bahwa suatu tumbuhan di Tanah Papua bernilai ekonomis tetapi ketersediaannya di hutan telah habis karena adanya kegiatan pembangunan. Kita hanya sebatas bangga dan tahu saja bahwa daerah kita “Tanah Papua” memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi. Namun kebanggaan kita akan lenyap dan pupus seketika begitu ada orang atau pihak lain yang bertanya tentang kekayaan flora apa saja yang ada di dalam hutan kita yang tercinta ini. Mungkin ada jenis-jenis flora tertentu (sedikit, banyak atau sangat banyak) yang kita tidak akan tahu dan kenal sampai akhir hidup kita. Oleh karena itu kadang-kadang muncul ungkapan yang bersifat ironis tetapi sangat perlu untuk dimaklumi yaitu “lebih baik Belanda menjajah kita 20 tahun lagi, supaya kita tidak perlu bekerja keras mengungkapkan kekayaan keanekaragaman hayati flora kita secara Nasional dan khususnya di Tanah Papua yang tercinta ini”.

14

A. Ancaman Terhadap Keanekaragaman Flora Beberapa penyebab penurunan keanekaragaman hayati flora di Papua adalah : penurunan kualitas habitat akibat campur tangan manusia, (perambahan hutan, okupasi lahan dan perladangan berpindah), pemekaran daerah, pembukaan lahan yang berlebihan untuk pengembangan pemukiman, introduksi jenis, polusi udara, perubahan iklim global, perluasan areal pertanian dan industri

kehutanan. Penurunan

keanekaragaman hayati dapat diakibatkan oleh faktor langsung dan tidak langsung. Ancaman utama bagi keanekaragaman hayati adalah penyusutan akibat kepunahan. Penyebab penyusutan keanekaragaman hayati adalah kegiatan manusia yang mengubah dan merusak habitat alam untuk tujuan kepentingannya. Aspek yang sangat serius dari penyusutan keanekaragaman hayati adalah kepunahan spesies. Komunitas dapat mengalami degradasi dan reduksi luas areal persebaran, tetapi selama spesies asalnya masih bertahan dan tingkat kemampuan reproduksi belum terancam, komunitas tersebut berpotensi untuk pulih kembali. Sejalan dengan itu keanekaragaman genetik dalam spesies dapat tereduksi karena penyusutan ukuran populasi. Spesies berpotensi untuk menimbulkan keragaman genetik melalui mutasi, seleksi alam dan kombinasi baru. Sekali suatu spesies tersingkir dan punah, keunikan informasi genetik yang terkandung di dalam DNA dan kombinasi khusus karakter-karakter yang dimiliki sulit untuk dipulihkan dan diperoleh kembali. Sekali suatu spesies punah, hilanglah kesempatan untuk berevolusi secara berlanjut, komunitas hayati semakin miskin dan kandungan nilai pentingnya bagi umat manusia yang belum terungkap tak akan pernah dimanfaatkan. 1.

Kepunahan Global dan Kepunahan Lokal

Kata punah (”extinct”) dapat beragam artinya tergantung pada konteks pembahasan. Satu spesies dinyatakan punah apabila tidak satupun individu dari spesies tersebut masih ditemukan hidup di bumi. Istilah punah di alam digunakan untuk menyatakan suatu spesies yang sudah tidak ditemukan lagi di lingkungan alami, tetapi masih dibudidayakan atau dipelihara di kebun binatang atau kebun raya. Kedua tipe kepunahan tersebut dinyatakan sebagai punah global untuk membedakan dari istilah punah lokal. Suatu spesies dinyatakan punah lokal apabila spesies tersebut tidak lagi ditemukan di daerah dimana diketahui pernah ada, tetapi masih ditemukan di daerah lain. Banyak spesies yang

telah mengalami kepunahan lokal di lingkungan

15

persebarannya. Spesies-spesies yang sebelumnya menempati suatu wilayah persebaran yang luas, kini hanya menempati kantong wilayah persebaran yang sempit dan terbatas. Istilah punah ekologi atau punah lokal banyak digunakan oleh biologiwan konservasi untuk menggambarkan penyusutan jumlah spesies yang sangat mempengaruhi keseimbangan komunitas. 2. Laju Kepunahan di Pulau Sepanjang sejarah kehidupan, telah dibuktikan bahwa kecepatan kepunahan spesies terjadi di Pulau. Tidak kurang dari 90% tumbuhan endemik yang hidup di pulau telah punah atau dalam keadaan rawan untuk punah. Spesies-spesies di pulau sangat rentan terhadap kepunahan karena pada umumnya sebagai spesies endemik. Suatu spesies dinyatakan endemik apabila persebarannya di alam pada wilayah tertentu. Sebetulnya suatu spesies dapat endemik pada daerah persebaran yang luas, namum istilah endemik lebih sering digunakan untuk spesies yang persebarannya terbatas pada daerah yang sempit. Banyak spesies endemik hanya ditemukan atau terdapat di suatu pulau tertentu saja dan tidak ditemukan di pulau-pulau lain. Bila komunitas di pulau tersebut dirusak dan dihancurkan atau diburu dan dipanen secara intensif, spesies tersebut terancam punah. Sebaliknya, spesies di daratan (pengertian daratan mencakup benua atau pulau dengan luas wilayah lebih dari 1 juta km2.) pada umumnya memiliki banyak populasi dengan daerah persebaran luas sehingga apabila kehilangan suatu populasi tidak terjadi malapetaka bagi spesies tersebut. B. Konservasi Pada umumnya tumbuhan endemik baik tumbuhan berkayu (tingkat pohon) maupun non kayu sudah dikategorikan pada jenis flora yang dilindungi. Dengan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi jenis-jenis endemik tersebut dan dampak pemanfaatan hutan dan habitat flora endemik tersebut menyebabkan kelangkaan populasi dan upaya penanggulangannya belum teratasi dengan baik. Salah satu strategi dalam pelestarian tumbuhan endemik di Tanah Papua adalah dengan penetapan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) jenis endemik Tanah Papua berdasarkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Jenis Endemik baik di Papua maupun di Papua Barat untuk selanjutnya diterbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Perlindungan Terhadap Jenis-Jenis Tumbuhan Endemik tersebut.

16

C. Penetapan Kawasan Konservasi Salah satu cara yang efektif bagi perlindungan jenis dan populasi flora endemik adalah dengan cara penetapan habitatnya sebagai kawasan konservasi. Namun dengan terkonsentrasinya jenis-jenis endemik di Pulau atau di habitat tertentu di Tanah Papua yang spesifik menyebabkan belum semua areal sebaran jenis endemik dapat terwakili sebagai kawasan konservasi. Tabel 3. Luas (ha) Kawasan Konservasi di Papua (Dephut, 2010) Provinsi Kawasan Konservasi Papua Cagar Alam 654.295,00 Suaka Marga Satwa 2.514.000,00 Taman Nasional 2.919.410,00 Taman Wisata Alam 1.750,00 Total 6.089.455,00

Papua Barat 1.808.482, 93 65.170, 53 1.453.500,00 22.848,27 3.350.001,73

Apabila dibandingkan dengan luas tutupan lahan kawasan hutan di Papua 23.000.0000 ha (sebelumnya pada awal tahun 2000-an kawasan hutan di Papua seluas 31,5 juta ha) dan Papua Barat 9.769.686,81 ha, maka luas kawasan konservasi di Papua 26, 48% dan luas kawasan konservasi di Papua Barat adalah 34,29. Meskipun secara nominal luas kawasan konservasi di Papua dan Papua Barat cukup terwakili, namun apakah penetapan kawasan konservasi tersebut sudah bersifat representatif untuk semua habitat spesies flora endemik di Tanah Papua. Tak dapat disangkal lagi, kalau pemekaran wilayah kabupaten baru di Tanah Papua justru mempercepat proses pengoyakan hutan dan kawasan konservasi. Pasalnya wilayah baru membutuhkan ruang untuk membangun sarana dan prasaranan dan ruang yang tersedia luas di Tanah Papua adalah hutan. Dalam tiga tahun terakhir, dari sembilan kabupaten hasil pemekaran di Provinsi Papua, tujuh di antaranya terletak di kawasan Pegunungan Tengah Papua, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, Lanny Jaya, dan Intan Jaya. Dari jumlah itu, lima kabupaten bersentuhan dengan Taman Nasional Lorentz, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Memberemo Tengah, dan Lanny Jaya (Tabloid Jubi, 10 Maret 2010). Sedangkan di Provinsi Papua Barat dari empat kabupaten hasil pemekaran yakni Meybrat, Tamrau, Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan, tiga kabupaten bersentuhan dengan kawasan konservasi yaitu Kabupaten Tamrau dengan Cagar Alam Pegunungan Tamrau, Kabupaten Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan dengan 17

Cagar Alam Pegunungan Arfak. Kondisi ini telah menciptakan ancaman terhadap kawasan konservasi di Papua. D. Kawasan Perlindungan Khusus Penetapan kawasan lindung yang ada masih didominasi atas dasar perlindungan dan pelestarian tata air, seperti sempadan sungai dan kawasan pantai. Penetapan sempadan sungai selebar 100 m sebagai kawasan lindung belum memadai sebagai habitat. Berdasarkan penelitian kawasan sempadan sungai dan pantai akan berfungsi sebagai habitat satwa arboreal dan terestrial endemik minimal selebar 500 m (Bismarck, 1997). E. Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional Daerah sekitar taman nasional merupakan daerah penyangga. Fungsi daerah penyangga terhadap pelestarian taman nasional dan populasi flora serta faunanya dapat terlihat apabila ada sinkronisasi penggunaan lahan yang dapat memperbaiki lingkungan dan ekonomi masyarakat. Dalam pengelolaannya, daerah yang berbatasan dengan taman nasional (daerah ekoton) tetap dikelola sebagai kawasan hutan dalam fungsi jalur hijau. Jalur ini dapat berupa hutan atau hutan kemasyarakatan dengan lebar minimal 750 m. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi habitat dan populasi flora serta fauna di perbatasan taman nasional dan sebagai penyangga bagi areal budidaya pertanian masyarakat dari gangguan satwa liar (Bismarck, 2002). Pembangunan daerah penyangga dengan kombinasi hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, perkebunan rakyat dan areal pertanian akan memberikan dampak pada peningkatan populasi flora dan fauna endemik yang mudah beradaptasi dengan hutan sekunder dan hutan tanaman. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sejarah pembentukan geologi yang rumit menyebabkan Tanah Papua memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan zone-zone vegetasi yang lengkap. Keanekaragaman (kekayaan) hayati flora di Tanah Papua 20.000 – 25.000 spesies (Jhons, 1997). 2.

Papua memiliki 271 suku bangsa, pemanfaatan jenis flora oleh masyarakat tradisional masih bersifat skala kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka

18

3. Papua memiliki keanekaragaman jenis flora endemik yang sangat tinggi. Salah satu strategi untuk pelestarian jenis-jenis tersebut adalah dengan penetapan kawasan konservasi 4. Lingkungan habitat flora yang sangat bervariasi dengan kondisi geografis yang ekstrim akan sangat mudah untuk terjadi kepunahan secara ekologi 5.

Perlu

dilakukan

pengelompokan

ulang

jenis

kayu

komersil

serta dasar

pengelompokan jenis kayu tersebut sehingga tidak menimbulkan kerugian negara B. Saran 1.

Diperlukan adanya tindakan konservasi baik konservasi in-situ maupun eks-situ terhadap jenis-jenis flora endemik yang memiliki tingkat keterancaman yang tinggi terhadap kepunahan

2.

Perlu adanya pembinaan taksonomi terhadap ilmuwan lokal agar dapat mengungkapkan keanekaragaman jenis flora endemik serta jenis-jenis flora lainnya yang bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua

DAFTAR PUSTAKA Bismarck, M. 1997. Parameter Penetapan Lebar Zona Sempadan Sungai untuk Pelestarian Keanekaragaman Jenis Satwaliar di Hutan Pantai. Prosiding Hasil Penelitian. Peran Hutan dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia dan Antisipasi Isu Global. P3HKA Bogor. Bismarck, M. 2002. Integrasi Kepentingan Konservasi dan Kebutuhan Sumber Penghasilan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan. P3HKA, Bogor. de Fretes, Y. 2000. Laporan Rapid Assessment Program (RAP) CI-IP dan Uncen di Yongsu, Jayapura. Conservation International-Indonesian Program. Jayapura. Tidak dipublikasikan. Departemen Kehutanan. 2003. SK Menteri Kehutanan NOMOR : 163/KPTS-II/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu Sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2008. Data Strategis Departemen Kehutanan. Jakarta. John, R. 1997. Common Forest Trees of Irian Jaya Papua – Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris. Kartawinata, K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora dan Ekosistem di Indonesia. Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture X, 23 Agustus 2010, Jakarta. Tidak diterbitkan.

19

Kusmana, C dan Agus Hikmat. 2005. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Tidak dipublikasikan. Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Muller, K. 2005. Keanekaragaman Hayati Tanah Papua. Editor : Frans Wanggai, A. Sumule; Alih Bahasa : Fenny Ismoyo, A. Killmaskossu, Sintje Lumatauw, Doan Nainggolan, M. St. E. Kilmaskossu, Saraswati Prabawardani. Universitas Negeri Papua, Manokwari. Petocz, R. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. PT. Gramedia. Jakarta. Pigram, C.J. and H.L. Davies. 1987. Terranes and the Accreation History of the New Guinea Orogen. Bureau of Mineral Resources, J. Aust. Geol. Geophys. 10:193211. Powell, J. M. 1976. Ethnobotany. In K. Paijmans (Editor). New Guinea Vegetation: 106-170. The Australian National University Press. Canberra. Primack, R. B. 1998. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sastrapradja, D.S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M.A. Rifai., 1989. Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup bangsa. Puslitbang Bioteknologi – LIPI. Bogor. Sirami E.V., Krisma Lekitoo, Alfredo O Wanma dan Victor I. Simbiak. 2009. Inventarisasi Hutan Pada Distrik Koweda Kabupaten Waropen. Tidak diterbitkan. Steenis-kruseman MJ van & CGGJ van Steenis,, 1950. Malaysian Plant Collectors nd Collections, being a Cyclopedia of Botanical Exploration in Malaysia and a Guide to the Concerned Literature up to the year 1950. Hal. i-clii & 1-639 dalam CGGJ van Steenis (Ed.), Flora Malesiana, I, 19. Noordhoff-Kolff NV, Djakarta Syafei, E. S. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. FMIPA Institut Teknologi Bandung. Bandung Tabloid Jubi 10 Maret 2010. Tata Kelola Kehutanan di Papua. Whitmore, T. C., I. G. M. Tantra dan U. Sutisna. 1997. Tree Flora Of Indonesia. Check List For Irian Jaya. Ministry Of Forestry. Forestry Research And Development Agency. Bogor.

20