kekerasan di sekolah: program pendidikan karakter atau ... - SpringUP

10 downloads 2050 Views 38KB Size Report
Karakter yang melekat dalam diri remaja untuk dapat menghargai dan menghormati orang lain ... (1) keluarga; (2) lembaga pendidikan dan (3) masyarakat.
KEKERASAN DI SEKOLAH: PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER ATAU PELAJARAN BUDI PEKERTI? Isu kekerasan di sekolah merebak akhir-akhir ini. Dimulai dengan berita yang sangat mengagetkan dari IPDN di tahun 2008, hingga beberapa kasus kekerasan yang ada di Sekolah Menengah maupun Sekolah Dasar. Kasus tawuran, perkelahian dan penganiayaan saat masa orientasi sekolah, menunjukkan bahwa praktek kekerasan (bullying) di sekolah masih kental terjadi. Selain itu, eksistensi kehidupan ”geng” yang telah lama muncul di sudut sekolah maupun komunitas lain, dirasakan cukup memberikan tekanan bagi remaja saat ini. Berbagai macam ”geng” dengan berbagai macam tujuan memang tumbuh disela aktivitas remaja saat ini. Terkadang aktivitas ”geng” ini tak nampak namun nyata adanya. Mulai dari mencari popularitas dengan cara memberi ketrampilan dan identitas khusus pada anggotanya sampai yang berusaha memeras (bullying) pada siswa atau remaja yang lebih lemah. Kenyataan di atas bukan suatu cerita yang dapat dihapus dalam waktu sesaat. Semua gambaran kejadian yang ada di dalam kasus kekerasan tersebut sangat dipengaruhi oleh “karakter” remaja. Karakter yang melekat dalam diri remaja untuk dapat menghargai dan menghormati orang lain, serta karakter untuk melakukan perbuatan yang bertanggung jawab merupakan gambaran yang hilang dari cerita di atas. Menyitir pendapat Menteri Pendidikan Nasional, bahwa cerita kekerasan di sekolah banyak diwarnai dengan absennya akhlak dan budi pekerti. Namun, muncullah pertanyaan berikutnya, siapakah yang wajib mengembangkan akhlak dan budi pekerti atau karakter siswa? Sekolah? Masyarakat ataukah keluarga? Karakter manusia tidak hanya dilahirkan, namun dikembangkan. Karakter dikembangkan melalui proses pengenalan ”nilai hidup” dan budaya melalui tiga lembaga utama, yaitu (1) keluarga; (2) lembaga pendidikan dan (3) masyarakat. Ketiga lembaga inilah yang akan bertanggung jawab akan terbentuknya karakter generasi suatu bangsa. Karakter merupakan satu penanda mengenai siapa diri kita sesungguhnya, bagaimana cara kita berpikir dan berperilaku. Karakter sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan, kita katakan, dan kita yakini (Boyatzis, 1995). Karakter dapat ditunjukkan dari tingkah laku kita saat tidak ada seorangpun yang melihat. Menurut pakar pendidikan karakter, Lickona (1991) karakter yang positif terdiri atas bagaimana seseorang dapat mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan juga melakukan hal-hal yang baik. Belajar dari sejarah pengembangan karakter di Indonesia Beberapa tahun, Indonesia mengembangkan program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada seluruh lapisan masyarakat. P4 diterapkan baik di tempat kerja maupun di lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatan. Hasil www.springupconsultant.com

pelaksanaan P4 ini ternyata kurang dapat terpatri di dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia. Beberapa analisis telah dilakukan, salah satu diantaranya menangkap permasalahan di dalam metode pembelajaran dan penyampaian P4. Proses yang dikembangkan dirasakan terlalu mengarah kepada domain kognitif, sehingga penghayatan Pancasila hanya sebatas pada hafalan semata, bukan terinternalisasi di dalam perilaku dan sikap hidup. Sebagaimana teori pengembangan karakter yang disampaikan oleh Lickona (1991) bahwa karakter merupakan konsep psikologis yang kompleks, tidak hanya terdiri dari satu domain saja, namun harus menyentuh semua domain secara lengkap, yaitu kognitif, afeksi dan psikomotor. Hasil evaluasi kedua adalah bahwa karakter tidak dapat hanya diajarkan di dalam satu waktu pelatihan saja. Program P4 hanya diberikan di awal perkuliahan, di awal sekolah dan di awal suatu pekerjaan, dalam paket 40 jam saja. Hal ini menurut Lickona (1991) tidak mencukupi untuk sampai pada ranah afeksi dan psikomotor. Saat anak berusaha belajar untuk memiliki karakter menghormati orang lain, anak perlu untuk dapat memiliki model yang secara jelas menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Kemudian juga diikuti dengan melatih karakter tersebut di dalam aktivitas nyata, seperti halnya anak dimasukkan di dalam lingkungan yang memberikan kesempatan untuk menghormati orang lain dengan cara nyata, bukan hanya konseptual saja. Dan terakhir, anak memiliki kesempatan untuk mendikusikannya dengan orang yang memiliki karakter tersebut, secara lebih intensif. Usaha lain di dalam di dalam mengembangkan karakter bangsa adalah disusunnya mata pelajaran budi pekerti, yang diajarkan di semua tingkatan pendidikan. Namun sekali lagi, permasalahan yang muncul tetap pada desain pembelajaran yang cenderung mengarah pada satu ranah kognitif saja. Bahkan sejalan dengan syaratnya muatan teknologi dan ilmu yang dipelajari, pendidikan budi pekerti ini telah mulai banyak ditinggalkan oleh sekolah. Desain pembelajaran budi pekerti semestinya tidak muncul sebagai suatu mata pelajaran, namun terserap sebagai muatan di setiap aktivitas pembelajaran yang didesain. Usulan program pengembangan karakter di sekolah Melalui tulisan ini diharapkan tidak lagi muncul kesalahan yang sama di dalam mengembangkan karakter siswa dengan membentuk ”mata ajaran budi pekerti” ataupun ”mata ajaran kepribadian”. Namun menjawab tantangan pendidikan karakter dengan cara terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum, serta kegiatan kokurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata ajaran melalui tugas dan bahan kajian, juga terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap tersier, yaitu kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler. Hal kedua adalah bahwa pendidikan karakter tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat, dalam bentuk spot mata ajaran di awal, di tengah ataupun di akhir saja. Namun pendidikan karakter harus menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum tersebut diterapkan, kandungan dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan. Pendidikan karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata kuliah tidak akan www.springupconsultant.com

dapat menjamin tercapainya karakter siswa yang diinginkan. Untuk itu SK Mendiknas No. 045/U/MENDIKNAS/2002, mengenai pelaksanaan kurikulum di Perguruan Tinggi merupakan satu contoh yang tepat dalam usaha pengembangan karakter. SK Mendiknas tersebut mensyaratkan bahwa tujuan akhir membentuk lulusan yang berkarakter dan berkepribadian kuat harus tertuang di dalam kurikulum serta dilakukan secara simultan dalam aspek kegiatan belajar mengajar. Ketiga adalah bahwa pendidikan karakter menuntut peran guru secara optimal. Tanpa adanya role model, karakter tidak akan dapat dikembangkan dengan baik. Peran model yang berkarakter, merupakan kunci utama di dalam pendidikan karakter. Di sekolah, role model siswa adalah guru. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan karakter, terlebih dahulu perlu dikembangkan guru-guru yang berkarakter. Selain sebagai role model, guru juga harus dapat menciptakan ’teachable moment’ bagi karakter yang akan dikembangkan, sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan karakter. Terakhir, tentu saja, karakter tidak akan dapat sukses dikembangkan jika hanya berasal dari sekolah saja. Perlu kerjasama yang baik antara sekolah, keluarga dan masyarakat di dalam usaha pengembangan karakter. Pendidikan karakter yang hanya dilakukan di sekolah, namun kurang diperkuat atau bahkan diperlemah oleh aturan masyarakat dan keluarga, akan mengarah kepada kebimbangan siswa didik. Keterpaduan sikap, pola pikir dan prinsip antara sekolah, keluarga dan masyarakat, menjadi hal yang sangat penting di dalam pendidikan karakter.

Sylvi Dewajani Spring UP Education Consultant

www.springupconsultant.com