KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN DEWI ...

56 downloads 768 Views 6MB Size Report
RADEN DEWI SARTIKA. Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Strata 1 (S.Pd.I). Program Studi Pendidikan Agama Islam. LINA ZAKIAH.
KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN DEWI SARTIKA

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Strata 1 (S.Pd.I) Program Studi Pendidikan Agama Islam

LINA ZAKIAH NIM: 107011001073

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

ABSTRAK

Barangkali tidak banyak orang tahu bahwa di Bandung telah lahir sosok tokoh pendidikan yang memiliki concern terhadap perkembangan kaum perempuan. Tepatnya pada tahun 1904, telah berdiri sebuah lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Sekolah ini bernama Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika. Latar belakang didirikannya sekolah ini adalah oleh suatu kondisi dimana kaum perempuan seringkali memperoleh perlakuan diskriminatif dalam memperoleh pendidikan. Bertolak dari hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang mengangkat tokoh pendidikan perempuan di Bandung dalam upayanya memajukan kaum perempuan melalui pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk lebih mengenal sosok Pahlawan Nasional asal Jawa Barat, Raden Dewi Sartika yang concern pada pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian ekplorasi. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan pengujian yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lampau. Oleh karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia sejarah pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah pendidikan. Adapun data-data yang dijadikan rujukan diperoleh melalui sumber buku, makalah, dan karangan-karangan Raden Dewi Sartika yang diperoleh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas Sastra Universitas Padjajaran Bandung, Perpustakaan Daerah Bandung, dan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta khusus makalah-makalah, penulis dapatkan dari Yayasan Dewi Sartika di Bandung. Setelah melakukan penelitian, diketahui bahwa Raden Dewi Sartika adalah seorang pemikir dan aktifis perempuan Sunda yang lahir dari keluarga menak dan memiliki cita-cita tinggi untuk memajukan bangsa dengan cara memajukan kaum perempuannya melalui pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah seorang perempuan akan memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan yang akan berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Gagasannya itu, ia tuangkan dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri yang khusus diperuntukkan untuk kaum perempuan. Sakola Kautamaan Istri adalah ujung dari satu idealisme atau ujung dari cita-cita bangsa yang merupakan hasil kerja keras dalam upaya untuk meningkatkan derajat kaum perempuan, khususnya perempuan Sunda, dan pada umumnya perempuan Indonesia. Implementasi konsep itu sendiri tertuang dalam kurikulum yang diterapkan pada Sakola Kautamaan Istri diantaranya dengan memfokuskan materi pelajaran pada keterampilan perempuan sebagai salah satu upaya pemberdayaan kaum perempuan dengan pendidikan.

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan curahan Rahmat dan pertolongan-Nya yang tak terhingga serta petunjuk yang memberikan jalan bagi penulis, sehingga dapat dengan mudah menyelesaikan tulisan yang sulit ini, dengan judul “Konsep Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika”. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang mengubah dunia kegelapan menjadi terang benderang dan menuntun segenap manusia menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Juga kepada seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya yang selalu membantu perjuangan dalam menegakkan Agama Islam di muka bumi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan di saat menyusun tentang konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Raden Dewi Sartika untuk memajukan bangsa terutama kaum perempuannya. Oleh karena itu, apa yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun, meskipun begitu, penulis berharap, skripsi ini dapat menjadi sumbangsih tersendiri yang melengkapi pustaka tentang riwayat hidup dan gagasan Raden Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam memperoleh pendidikan. Sehingga dapat bermanfaat, dan memberi inspirasi bagi penerus bangsa agar berbuat dan berkarya yang lebih dari yang telah dilakukan oleh Raden Dewi Sartika. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kesadaran hati penulis sampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. ii

2. Ibu Hj. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus dosen Seminar Proposal Skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan masukan dalam memilih judul skripsi ini serta secara pribadi selalu memberikan motivasi kepada penulis. 3. Bapak Bahrissalim, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau senantiasa memberikan yang terbaik untuk seluruh mahasiswa Pendidikan Agama Islam. 4. Bapak Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas segala motivasi yang diberikan kepada penulis. 5. Ibu Hj. Dra. Eri Rossatria, MA, Dosen Pembimbing Skripsi. Berkat jasa beliau, yang telah ikhlas meluangkan waktu untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan penulis demi terselesainya skripsi ini. 6. Bapak Dr. Anshari, LAL, MA, Dosen Penasehat Akademik. Atas segala nasehat-nasehatnya serta bimbingan dan bantuan dalam masalah yang dihadapi oleh penulis. 7. Ibu Eva Fitria, MA, Dosen sekaligus saudara penulis. Yang memberikan inspirasi dan selalu memberikan masukan dalam menguraikan gagasan Raden Dewi Sartika, serta memberikan arahan kemana penulis harus mencari sumber buku. 8. Bapak Drs. Moh. Ziyad, MA dan Bapak Samsul Aripin, MA. Yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan saran dan kritik, dikala penulis butuh masukan dalam penulisan skripsi ini. 9. Rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orangtuaku, Drs. Dandan Nasjir dan Siti Sa’adah atas segala do’a dan cinta kasih sayangnya yang senantiasa menyertai penulis. Serta kakak-kakakku Syarif Hidayat, S.Ag, Lilis Latifah, S.Pd.I, Nanan Amin Iskandar, A.Ma, Irma Rismayanti, S.Pd, Deni Abdul Kholik, S.Pd.I, dan adikku satu-satunya Dede Khotibul iii

Umam. Semangat dan senyum kalian adalah motivasi berharga yang tidak penulis dapatkan dari orang lain. 10.

Hadi Assyihabi. Atas segala bantuan, dorongan dan semangat dalam membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mudah-mudahan kita benar-benar dipertemukan di Jabal Rahmat-Nya. Amin.

11. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mastna, HS, MA dan Ibu Mastna. Selaku Bapak dan Ibu kos. Terima kasih atas semangat, dorongan, nasehat dan do’anya kepada penulis. Serta temen-temen kos Rhoudlotul Hikmah, Mala Allifni, Husni Amalia, Mega Ziadatun Ni’mah, Bias Rembulan Semesta dan Rezki Meida Sari yang tak pernah henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis. 12. Dan sahabat-sahabat saya, Dini Puspita Mulyani, Wulandari, dan Titin Rostina. Atas bantuannya mencari sumber buku ke UNPAD Bandung dan Perpustakaan Daerah Bandung, serta menunjukan jalan ke Sekolah Dewi Sartika. Tanpa kalian, penulis tidak akan mendapatkan data yang penting untuk melengkapi bahan dalam skripsi ini. 13. Teh Nurchasanah, Teh Eka, Anisah Isu, dan Fadhila Putri. Atas semangat yang tak pernah henti-hentiya diberikan kepada penulis. Yang selalu memberikan masukan dan diskusi-diskusi, serta saran dan kritik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 14. Semua pihak yang telah ikut berjasa dalam penyusunan skripsi ini, yang tak mungkin disebutkan satu persatu. Kepada semua pihak tersebut, semoga amal baik yang telah diberikan dapat diterima oleh Allah SWT, dan mendapat limpahan Rahmat-Nya, Amin.

Jakarta, 12 Sepetember 2011

Penulis

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK .........................................................................................

i

KATA PENGANTAR .......................................................................

ii

DAFTAR ISI .....................................................................................

v

DAFTAR TABEL .............................................................................

vii

BAB 1

BAB II

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................

1

B. Identifikasi Masalah .......................................................

6

C. Pembatasan Masalah ......................................................

6

D. Perumusan Masalah ........................................................

6

E. Tujuan Penelitian ............................................................

6

F. Manfaat Penelitian ..........................................................

7

G. Metodologi Penelitian .....................................................

7

H. Penelitian Yang Relevan .................................................

9

PENDIDIKAN PEREMPUAN A. Pendidikan ......................................................................

11

1. Pengertian Pendidikan ................................................

11

2. Unsur-unsur Pendidikan .............................................

13

a. Pendidik ................................................................

13

b. Peserta didik ..........................................................

16

c. Kurikulum .............................................................

19

d. Proses Belajar Mengajar ........................................

22

e. Metode Pembelajaran ............................................

24

B. Perempuan ......................................................................

26

1. Pengertian dan Karakteristik Perempuan ....................

26

2. Kedudukan Perempuan ..............................................

29

3. Tugas Perempuan .......................................................

31

4. Peran Perempuan .......................................................

34

v

C. Pendidikan Perempuan ...................................................

36

1. Kebutuhan Perempuan terhadap Pendidikan ...............

36

2. Pemikiran Pendidikan Perempuan di Indonesia ..........

39

a. R.A.Kartini ............................................................

39

b. Rahmah El Yunisiah ..............................................

41

c. Rohana Kudus .......................................................

43

d. Rasuna Said ...........................................................

44

e. Raden Ayu Lasminingrat .......................................

45

3. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat ......................

46

BAB III RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA A. Latar Belakang Keluarga ................................................

52

B. Latar Belakang Pendidikan .............................................

56

C. Karya-karya ....................................................................

57

BAB IV KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN DEWI SARTIKA A. Latar Belakang Berdirinya Sakola Kautamaan Istri .........

58

B. Berdirinya Sakola Kautamaan Istri .................................

62

C. Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri .................

65

1. Guru ..........................................................................

65

2. Murid .........................................................................

67

3. Kurikulum .................................................................

68

4. Proses Belajar Mengajar ............................................

72

5. Metode Pembelajaran .................................................

75

D. Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika ........................................................

77

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................

87

B. Saran ..............................................................................

88

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri ................................... 69

Tabel 2

Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri .................. 72

Tabel 3

Metode Pembelajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri ........................... 75

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan di Indonesia bertujuan untuk menjadikan warga negara yang mengabdi pada kepentingan penjajah. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mencetak tenagatenaga yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkuat kedudukan penjajah. Oleh karena itu, isi pendidikan pun hanya sekedar pengetahuan dan kecakapan yang dapat membantu mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi penjajah. 1 Barulah awal abad ke-20, sifat pendidikan itu berangsung-angsur berubah. Hal tersebut antara lain sebagai akibat lahirnya Politik Etis (Ethische Politick). Politik Etis merupakan garis politik kolonial baru, yang pertama diucapkan secara resmi oleh Van Dedem sebagai anggota Parlemen Belanda. Dalam pidatonya tahun 1891, dikemukakan adanya keharusan untuk memisahkan keuangan Indonesia dari negeri Belanda. Selain itu, diperjuangkan pula kemajuan dan kesejahtaraan rakyat serta ekspansi menuju pada politik yang konstruktif. Perjuangan politik kolonial yang progresif itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, Van Deventer dan Brooschoot.2

1

I.L. Pasaribu dan B. Simandjuntak, Pendidikan Nasional, Tinjauan Paedagogik Teoritis, (Bandung: Tarsito, 1978), h. 53 dalam Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pialamas, 1998), edisi ke-2, h. 69 2 Edi S. Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., edisi ke-2, h. 69-70

1

2

Timbulnya elit baru ini ialah sebagai akibat dari perubahan dalam politik penjajahan Belanda. Kebijaksanaan baru ini dimulai terutama karena pengaruh beberapa orang Belanda yang menunjukkan adanya “eereschuld” (hutang budi) negeri Belanda terhadap jajahannya yang telah sekian lama memberi keuntungan berlimpah-limpah yang diperoleh dari tanam paksa. 3 Menurut Van Deventer, utang itu bisa dibayar lewat program yang dikenal dengan sebutan “Trias Etika” yaitu, “pendidikan, pengairan, dan transmigrasi”. Lebih jauh, Van Deventer menilai, sikap politik yang tidak berpihak pada rakyat Jawa atau Hindia-Belanda, merupakan strategi yang tidak menguntungkan Belanda sendiri, dalam kaitannya dengan sistem desentralisasi administrasi politik yang direncanakan. Karena sistem desentralisasi tidak mungkin berhasil tanpa bantuan golongan pegawai Bumiputra dan masyarakat terpelajar Bumiputra lainnya. 4 Akibat dari desentralisasi politik tersebut ialah pemerintah Hindia Belanda memerlukan banyak pegawai pribumi yang terdidik baik untuk lembaga pemerintahan maupun swasta, sehingga didirikanlah sekolah-sekolah sebagai tempat dalam mencetak tenaga ahli yang terdidik dari pribumi. 5 Namun, sesuai dengan keperluannya, tujuan didirikan sekolah adalah agar dapat mencetak tenaga kerja yang terdidik untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda, sehingga yang boleh masuk ke sekolah tersebut hanyalah anakanak dari keturunan terhormat, bangsawan, atau anak pejabat. Sedangkan anakanak dari seorang petani, pedagang, buruh dan rakyat biasa lainnya tidak diperkenankan untuk masuk sekolah tersebut, karena mereka tidak mungkin memiliki kemampuan seperti anak-anak bangsawan. Terlebih lagi, pendidikan untuk kaum perempuan dirasa tidak perlu dan tidak memberikan manfaat. Karena meskipun bersekolah, anak perempuan pada akhirnya tidak akan bekerja, mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang

3

Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1984), cet ke-1, h. 70-71 4 Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi “Bangsa”, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 78-79 5 Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism, (Tokyo: Institute of Developing Economics, 1972), h. 18 dalam Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, ..., cet ke-1, h. 72

3

hanya bertugas melayani suami, sehingga pendidikannya akan dirasa sia-sia. Apalagi bagi orangtua dari golongan miskin, jika mempunyai uang mereka lebih senang menyekolahkan anak laki-lakinya daripada menyekolahkan anak perempuan. 6 Selain itu juga, pada saat itu terdapat perbedaan pendidikan antara golongan menak dan golongan rakyat biasa. N. Dwidjo Sewojo Instruktur dari Sekolah Pendidikan Guru di Yogyakarta membagi masyarakat Jawa menjadi empat kelas, dan ia pun memberikan status kepada perempuan-perempuan dari empat kelas tersebut: 1. Golongan miskin. Para perempuan di kelas sosial ini tidak mendapatkan pendidikan. Mereka belajar melakukan pekerjaan di sawah dan menjual hasilnya. Terkadang mereka juga belajar menjahit. Hidup mereka sangat keras, tetapi mereka cukup bebas. Sewojo tidak menyebutkan pada usia berapa mereka biasanya menikah. 2. Golongan menengah (cukup mampu). Para perempuan di kelas sosial ini tidak bersekolah dan mereka pun belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Mereka biasanya menikah pada usia 12 sampai 15 tahun. Setelah menikah, mereka membantu suaminya di sawah atau berdagang; mereka diperlakukan dengan baik oleh suaminya karena mereka sebenarnya dapat menafkahi kehidupannya sendiri. 3. Golongan santri. Para perempuan di kelas sosial ini tidak bersekolah, tetapi mereka mendapat pelajaran agama di rumah. Mereka biasanya mulai menikah sejak usia lima belas tahun. Mereka begitu dihargai para suaminya karena secara umum mereka memiliki kemampuan yang lebih dibanding para perempuan di golongan sebelumnya. 4. Golongan priyayi, para bangsawan. Beberapa dari mereka belajar di bangku sekolah dasar. Sejak usia dua belas tahun, mereka dipingit dan hanya melakukan sedikit pekerjaan karena telah memiliki banyak pembantu. Setelah memasuki usia lima belas atau enam belas tahun dan

6

Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2010), h. 8

4

akhirnya menikah, mereka kembali melanjutkan kehidupan mereka yang terkekang dan tanpa kesibukan.7 Meskipun kehidupan para perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah terlihat begitu bebas dan keras, pernikahan dini yang terjadi dikelas sosial ini sama sering dengan yang terjadi di kelas sosial yang tinggi. Hal ini dibenarkan oleh seorang Bupati Serang di awal 1900, Achmad Djajadiningrat. Menurutnya, pernikahan dini dilakukan untuk mencegah seorang perempuan agar tidak menikahi seseorang karena dorongan hatinya belaka, bukan karena logika. Ketika perempuan itu masih anak-anak, tentu saja mereka belum memiliki perasaan cinta terhadap seorang lelaki. Namun, bila mereka telah dewasa, rencana pernikahan dini ini akan sulit karena biasanya si perempuan telah memiliki lelaki pilihan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya. 8 Keadaan sosial tersebut menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak seperti halnya laki-laki, kecuali anak perempuan dari golongan menak atau bangsawan. Sehingga kaum perempuan tidak mampu hidup mandiri, karena mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, yang pada akhirnya mereka hanya mengandalkan kaum pria, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk melanjutkan kehidupannya lagi jika ditinggalkan oleh kaum pria. Kondisi masyarakat yang masih terpengaruh feodalisme dan pandangan tradisional banyak merugikan rakyat biasa, juga di bidang pendidikan. Sehingga sebagian besar dari mereka masih tetap hidup dalam kebodohan. Dalam keadaan demikian, tampil seorang tokoh dari kalangan menak yaitu Raden Dewi Sartika, yang tergerak pikirannya untuk menyebarkan pendidikan di kalangan rakyat banyak, terutama untuk kaum perempuan. Raden Dewi Sartika mempunyai pandangan bahwa perempuan harus hidup terhormat dan sejajar dengan laki-laki,

7

Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera, (penyelidikan tentang menurunnya kesejahteraan masyarakat Jawa dan Madura), dalam, Cora Vreede-De Steurs, The Indonesian Women: Struggles And Achievement, 1960, Mouton&Co, s’Gravenhage, Terj Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 63-64 8 Ahmad Djajadiningrat, Herinneringen (Memoar), 1936, h. 146 dalam Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, ..., h. 64

5

tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan. Kaum perempuan harus mengecap pendidikan dan keterampilan untuk bisa hidup dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa harus bergantung kepada kaum pria. Sehingga ia mampu berperan aktif untuk memajukan bangsa yang beradab. Maka dari itu, dengan bantuan Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara, akhirnya Raden Dewi Sartika dapat mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Setelah Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri pada tahun 1904, anak-anak gadis dari golongan biasa bisa mendapatkan pendidikan. Di sekolah gadis pertama di Indonesia ini diajarkan dasar-dasar berhitung, menulis, membaca, memasak, mencuci, menyetrika, pengetahuan agama, membatik dan lain sebagainya. Selama tujuh tahun sekolah ini mengalami perkembangan yang pesat. Cabang-cabang sekolah dibuka antara lain di Bogor, Serang, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi. Pada tahun 1910 sekolah ini berubah nama menjadi “Sakola Kautamaan Istri”.9 Munculnya tokoh pendidikan kaum perempuan, Raden Dewi Sartika, telah menunjukan kiprah dan peran kaum perempuan Indonesia, tidak kalah penting dan sangat strategis fungsinya dalam memacu dan mendorong segala potensi dan kemampuan yang dimiliki agar menjadi sumbangsih yang lebih bermanfaat bagi diri pribadi maupun orang lain. Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai eksistensi dan konsep pendidikan bagi kaum perempuan. Adapun tokoh yang akan menjadi obyek penelitian kali ini adalah Raden Dewi Sartika, seorang tokoh perempuan pertama di Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan. Sehubungan dengan itu, penulis merasa tertarik untuk menulis studi tentang “Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika”.

9

Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2006), cet ke-1, h. 218

6

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya: 1. Kurangnya perhatian masyarakat

terhadap pendidikan bagi kaum

perempuan. 2. Kurangnya kesempatan bagi anak perempuan dalam mengenyam pendidikan. 3. Kurangnya kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anak perempuan. 4. Kondisi awal pendidikan perempuan di Bandung sebelum Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri. 5. Faktor didirikannya Sakola Kautamaan Istri. 6. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Dewi Sartika di Sakola Kautamaan Istri. 7. Konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika.

C. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, berdasarkan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti hanya pada “Konsep Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika”.

D. Perumusan Masalah Berdasarkan pada pembatasan masalah yang dikemukaan di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika.?

E. Tujuan Penelitian Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika.

7

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi kepada sivitas akademik pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya tentang kiprah Raden Dewi Sartika dalam mengemukakan gagasannya tentang konsep pendidikan bagi kaum perempuan dan dapat mengembangkan gagasan-gagasannya serta diharapkan dapat berbuat lebih dari apa yang telah diperbuat oleh Raden Dewi Sartika. 2. Diharapkan masyarakat Jawa Barat, dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengenal lebih jauh tentang sosok seorang perempuan pribumi dari Bandung yang berhasil mengembangkan konsep pendidikan bagi kaum perempuan di Jawa Barat yaitu Raden Dewi Sartika. 3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya dalam bidang pemikiran pendidikan kaum perempuan.

G. Metodologi Penelitian 1. Sumber dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan pengujian yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lampau. 10 Oleh karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia sejarah pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah pendidikan. 11 Adapun sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.12 Sumber tertulis ini diperoleh melalui sumber buku, makalah, dan karangan-karangan. Sumber tertulis tersebut diperoleh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung, Perpustakaan Daerah Bandung, Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Yayasan Raden Dewi Sartika. 10

J. Supranto, Metode Riset dan Aplikasinya di dalam Riset Pemasaran, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1974), h. 33 11 Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982), hal. 51. 12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. XVIII, hal. 13 - 14

8

Selain itu, penulis menemukan beberapa dokumentasi tentang Raden Dewi Sartika. Dari keseluruhan dokumen yang ditemukan, menghasilkan datadata deskriptif yang cukup berharga dan ditelaah dari segi subjektif serta dianalisis secara induktif.13 2. Teknik Perolehan Data Data-data yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh melalui Library research (kajian pustaka). Jadi data-data yang dikumpulkan peneliti diperoleh dari perpustakaan. Dari literatur yang penulis gunakan, terdapat beberapa data primer yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Selebihnya, peneliti menemukan data-data melalui makalah-makalah yang didapatkan dari Yayasan Raden Dewi Sartika di Bandung. Tulisan-tulisan tersebut dibaca, selanjutnya dianalisis kemudian disimpulkan. 3. Teknik Pengolahan Data Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sumber dan jenis data yang diperoleh pada penelitian ini salah satunya adalah berupa sumber tertulis. Jenis data lain juga diperoleh dalam bentuk dokumentasi yang setidaknya dapat memberikan informasi penting lainnya dari seorang tokoh yang bernama Raden Dewi Sartika. Setelah data-data itu diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut dengan cara dibaca dan dianalisis kemudian disimpulkan. 4. Bentuk Laporan Bentuk laporan penelitian yang disampaikan, dikemukakan dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua datadata yang sudah diperoleh dan dianalisis sehingga menjadi satu bentuk kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

13

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ..., h. 14-16.

9

H. Penelitian yang Relevan Penulis menemukan beberapa tulisan tentang Raden Dewi Sartika. Diantara penulis ialah Yan Daryono denga judul R. Dewi Sartika yang isinya tentang latar belakang keluarga dan pendidikan Raden Dewi Sartika serta gagasan-gagasannya dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan. 14 Nina Herlina Lubis dalam bukunya 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, isinya tentang konsep pendidikan perempuan yang digagas Raden Dewi Sartika.15 Meidiana F dengan judul R. Dewi Sartika, isinya tentang keluarga dan gagasannya dalam pendidikan perempuan.16 MB. Rahimsyah. AR dengan judul Kumpulan Biografi Pahlawan Bangsa, yang berisi tentang gagasan Raden Dewi Sartika yang dituangkan dalam Sakola Kautamaan Istri. 17 Biografi Pahlawan Asal Jawa Barat yang dikarang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dkk, yang berisi tentang biografi Raden Dewi Sartika.18 Buku karangan Maria Ulfah Subadio dan T.O. Ihromi dengan judul Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, yang berisi tentang peranan Raden Dewi Sartika dalam memajukan perempuan Indonesia melalui pendidikan.19 Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaiannya oleh Cora Vreede-De Stuers yang diterjemahkan oleh Elvira Rosa dkk, yang berisi tentang gerakan-gerakan Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan kaum perempuan melalui pendidikan. 20 Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat karya Nani Soewondo-Soerasno, berisi tentang Raden Dewi Sartika dalam peranannya dalam memajukan kaum perempuan di Indonesia. 21 Sukanti Suryochondro dalam bukunya Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, yang berisi tentang pergerakan Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan kaum 14

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998). Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006). 16 Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010). 17 MB. Rahimsyah. AR, Kumpulan Biografi Pahlawan Bangsa, (Surabaya: Serba Jaya) 18 Sultan Ageng Tirtayasa, Biografi Pahlawan Asal Jawa Barat, (Bandung: CV. Geger Sunten, 1993). 19 Maria Ulfah Subadio dan T.O. Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1986). 20 Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008). 21 Nani Soewondo-Soerasno, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Timun Mas, 1955). 15

10

perempuan melalui pendidikan. 22 Edi S Ekajati, dengan judul Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, yang berisi tentang sejarah pergerakan Raden Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam memperoleh pendidikan. 23 Kosoh S dkk dengan judul Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, yang berisi tentang sejarah berdirinya Sakola Kautamaan Istri yang didirikan Raden Dewi Sartika,24 dan makalah tentang riwayat hidup dan perjuangan Ibu Raden Dewi Sartika, yang berisi perjuangan Raden Dewi Sartika dalam memajukan kaum perempuan melalui pendidikan dan usahanya dalam mendirikan Sakola Kautamaan Istri.25 Dari sekian buku yang penulis temukan, hampir semuanya membahas tentang kehidupan dan gagasan Raden Dewi Sartika dalam memajukan perempuan melalui pendidikan. Namun dari sekian buku tersebut, berbeda dengan penulis dalam penulisan skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang konsep pendidikan kaum perempuan menurut Raden Dewi Sartika dengan meneliti lebih dalam bagaimana sistem pendidikan di Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika.

22

Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali,

1984). 23

Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pialamas, 1998). Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994). 25 Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947, (Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi Sartika). 24

BAB II PENDIDIKAN PEREMPUAN

A. PENDIDIKAN 1. Pengertian Pendidikan Menurut Arifin, secara teoretis pendidikan mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa peserta didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia. 26 Sementara, menurut Ngalim Purwanto pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. 27 Sejalan dengan itu, Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. 28 Lebih jauh, tokoh pendidikan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, menyatakan pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran

(intelek),

masyarakatnya.

dan

jasmani

anak-anak,

selaras

dengan

alam

dan

29

26

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet ke-5, h. 22 27 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2007), cet ke-18, h. 11 28 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h. 16 29 Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan; Kenang-kenangan Promosi Doktor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967), h. 42 dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet ke-4 , h. 4

11

12

Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan orang dewasa untuk menjadikan peserta didik agar tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan baik jasmani maupun rohani sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara itu, Oemar Hamalik mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses sosial, karena berfungsi untuk memasyarakatkan anak didik melalui sosialisasi di dalam masyarakat.30 Dalam proses sosialisasi yang cocok untuk peserta didik adalah di lingkungan sekolah. Di sekolah peserta didik akan memerankan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam proses belajar mengajar, baik itu terhadap gurunya sebagai pendidik, maupun temanteman sebayanya di lingkungan sekolah. Selain itu juga, peserta didik dapat mengamalkan dalam kehidupan di masyarakat dari apa yang telah dipelajari di sekolah. Lebih jauh, Azyumardi Azra mengemukakan pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih sekedar pengajaran; yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukkan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.31 Dengan demikian, pengajaran hanya sekedar proses pemberian materi pelajaran kepada anak didik yang hanya akan membentuk para spesialis, yang terkurung pada bidangnya saja. Sedangkan pendidikan, lebih dari itu, di samping proses transfer ilmu dan keahlian, juga lebih menekankan pada pembentukkan kesadaran dan kepribadian anak didik sehingga dapat menjadikan mereka dapat menyongsong kehidupannya di masa yang akan datang dengan lebih efektif dan efisien. Berbagai pengertian pendidikan di atas, sejalan dengan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pada bab 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan 30

Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet ke-2, h. 73 31 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, ..., cet ke-4, h. 3-4

13

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudukan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 32 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan ialah usaha sadar dengan sengaja dan terencana oleh pendidik untuk membimbing pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses bimbingan dan pengajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga ia dapat mencapai tingkat kematangan intelektual dan kepribadian yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Unsur-unsur Pendidikan a. Pendidik Menurut Ahmad D. Marimba pendidik ialah orang dewasa yang memiliki hak dan kewajiban dalam memikul tanggung jawab untuk mendidik peserta didik.33 Seorang pendidik hendaknya mengetahui bagaimana cara murid belajar dengan baik dan berhasil, oleh karena itu Zakiah Daradjat mengemukakan unsurunsur yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik yang meliputi: Kegairahan dan kesediaan untuk belajar, membangkitkan minat belajar, menumbuhkan sikap dan bakat yang baik, mengatur proses belajar mengajar, berpindahnya pengaruh belajar dan pelaksanaanya ke dalam kehidupan nyata, hubungan manusiawi dalam proses belajar.34 Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik dalam mengajar bukan hanya terbatas pada penyampaian ilmu pengetahuan dan keterampilan saja, akan tetapi juga melakukan pembinaan-pembinaan yang diperlukan untuk mengembangkan seluruh kepribadian peserta didik.

32

UU RI No. 20 tahun 2003 dan UU RI No. 14 tahun 2005, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), cet ke-2, h. 2 33 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, ..., h. 35 34 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), cet k-4, h. 1516

14

Sementara itu, menurut Ahmad Tafsir, orang yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama kodrat, yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena kepentingan orangtua, yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orangtua juga. Namun, karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah demikian luas, dalam, dan rumit, maka orangtua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas dalam mendidik anak. Oleh karena itu, tugastugas orangtua diserahkan kepada sekolah. 35 Dalam hal ini guru sebagai tenaga pendidik menggantikan orangtua di rumah untuk mendidik anak agar menjadi manusia yang dewasa. Guru sebagai seorang pendidik adalah orang yang memberikan ilmunya kepada peserta didik sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya. Selain memberikan pengajaran, seorang guru pun memberikan pendidikan dengan mentransformasikan nilai-nilai dan pembentukkan kepribadian sehingga peserta didik mewarisi nilai-nilai luhur dan dapat menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Namun, masih banyak orang beranggapan bahwa pekerjaan sebagai guru adalah rendah dibandingkan dengan pekerjaan lain seperti pekerjaan kantor dan lain sebagainya. Namun perlu diketahui bahwa bekerja menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang luhur dan mulia. Guru merupakan orang yang paling berjasa dalam memajukan negara ini. Tanpa seorang guru tidak akan ada orang-orang yang berkualitas yang memajukan negara, baik itu dari sektor pendidikan, ekonomi, maupun sektor lainnya. Karena bagaimanapun, tinggi atau rendahnya kebudayaan suatu masyarakat tergantung pada pendidikan dan pengajaran yang diperoleh dari seorang guru. Dengan demikian, dapatlah kita ketahui bahwa tugas seorang guru merupakan tugas yang berat, oleh karena itu negara mengatur syarat-syarat untuk 35

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet ke-7, h. 74-75

15

menjadi seorang guru yang tertera dalam UU No. 12 tahun 1954 bahwa syarat utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syarat-syarat yang mengenai kesehatan jasmani dan rohani, juga harus bertakwa kepada Tuhan YME, berkelakuan baik, bertanggung jawab, dan berjiwa nasional. 36 Seorang guru pun harus berlaku adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat, menguasai mata pelajarannya, suka kepada mata pelajaran yang diberikannya, dan berpengetahuan luas. 37 Selain itu, terdapat empat kompetensi guru dalam Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 yang meliputi:

Kompetensi

pedagogik,

kompetensi

kepribadian,

kompetensi

profesional, dan kompetensi sosial. 38 Semua syarat-syarat menjadi guru tersebut, merupakan sebagai upaya untuk menciptakan tenaga pendidik yang profesional untuk kemajuan bangsa dengan mendidik anak-anak penerus bangsa dengan baik. Selain itu juga, seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak-anaknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak-anaknya, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan, baik yang ringan maupun yang berat.39 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik adalah orang yang membimbing dan memimpin anak didik dalam proses belajar mengajar, tidak hanya bertugas memberikan pengajaran yang mentransformasikan ilmu pengetahuan, melainkan juga bertugas membentuk kepribadian peserta didik

36

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, ..., cet ke-18, h. 139 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,..., cet ke-18, h. 143 38 Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2006), h. 79 39 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru,...h. 9 37

16

menjadi manusia yang susila dan beradab, oleh karena itu seorang pendidik harus dibekali dengan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menguasai ilmu pengetahuan yang luas serta dapat mempraktekan pendidikan yang menjadi bidang spesialisnya. Karena pendidik adalah orang yang selalu dipandang dan dicontoh oleh anak didiknya. Dalam hal ini, seorang pendidik harus mengenal dan memahami serta mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karena sebelum mendidik peserta didik agar menjadi manusia susila, pendidik harus terlebih dahulu menjadi manusia susila. b. Peserta Didik Menurut Ahmad D. Marimba peserta didik adalah seseorang yang belum dewasa baik secara jasmani maupun rohani. Ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi yang tidak dapat ia penuhi sendiri, melainkan masih tergantung kepada orang lain, dalam hal ini pendidik. Oleh karena itu, peserta didik menggantungkan harapannya kepada pendidik. Sifat ketergantungan ini tidak disadari oleh peserta didik, melainkan para pendidiklah sebagai orang yang bertanggung jawab yang harus memahaminya. Namun demikian, tidaklah seluruh persoalan pendidikan tergantung kepada pendidik. Karena peserta didik memegang peranan yang penting pula. Ia yang memiliki apa-apa yang harus dikembangkan, ia juga akan mengolah apa yang telah diajarkan oleh pendidik. Peranan ini semakin lama semakin besar, dan pada masa dewasa seluruh tanggung jawab terletak pada diri peserta didik.40 Maka dari itu, dalam menjalankan tugasnya, seorang pendidik harus memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami keadaan peserta didik, baik dari segi fisik maupun psikis. Peserta didik adalah manusia yang belum dewasa dan memerlukan bantuan orang lain untuk membimbingnya supaya dapat mencapai kedewasaan. Karena, walaupun peserta didik memiliki potensi yang banyak, namun apabila tidak ada yang mengarahkan dan membimbingnya, maka dia tidak akan mencapai kedewasaan jasmani dan rohani yang optimal dan tidak akan menunaikan kewajibannya sebagai peserta didik untuk mengamalkan pendidikannya dalam kehidupannya sehari-hari. 40

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, ..., h. 30-31

17

Dalam kewajibannya sebagai peserta didik, menurut HAMKA seorang peserta didik harus berupaya memiliki akhlak mulia, baik secara vertikal maupun horizontal dan senantiasa mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan Allah melalui fitrah-Nya.41 Maka dari itu, dengan keluasan ilmu dan akhlak yang dimilikinya, peserta didik dapat memiliki wawasan yang luas, kepribadian yang baik, dan meraih kesempurnaan hidup sebagai makhluk Allah. Oleh karena itu, menurut HAMKA dalam menuntut ilmu, hendaklah peserta didik mencari guru yang banyak pengalamannya, luas pengetahuannya, bijaksana, pemaaf, tenang dalam memberi pengajaran. Hendaklah peserta didik rindu dan cinta pada ilmu dan tidak cepat bosan dalam mencari ilmu pengetahuan, percaya pada keutamaannya dan yakin pada manfaatnya, serta dengan niat untuk mencari keridhoan Allah SWT. Karena dengan ilmu yang luas itulah, peserta didik dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti yang baik. Dan janganlah menuntut ilmu karena ingin riya, karena orang riya itu sebenarnya tidaklah menjadi orang besar, tetapi ia menjadi orang yang terhina. 42 Sosok pendidik yang demikian, akan sangat bermanfaat bagi peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat menguasai ilmu pengetahuan luas dan kepribadian yang baik. Karena dengan demikian, ia akan dapat melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang senantiasa mengembangkan seluruh potensi yang ia miliki sebagai anugerah dari Allah untuk menjalankan segala aktifitas serta dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selain itu juga, menurut HAMKA seorang peserta didik hendaklah mengakui kelebihan gurunya dan menghormatinya, karena guru itu lebih utama daripada ibu dan bapak tentang kebesaran jasanya. Ibu dan bapak mengasuh anak sejak dilahirkan, tetapi guru melatih anak supaya berguna setelah besar. Karena 41

HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), jilid 6, h. 4033-4036 dalam Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 159 42 HAMKA, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 241

18

akal budi itu adalah laksana berlian yang baru keluar dari tambang, masih kotor dan belum berkilat. Adalah guru yang menjadi tukang gosoknya dan membersihkannya, sehingga menjadi berlian yang berharga. Meskipun guru tidak akan dikatakan lebih daripada ibu bapak, tetapi janganlah dikatakan kurang. 43 Jadi, sudah seharusnya seorang anak menghormati dan menyayangi guru sebagaimana ia menghormati dan menyayangi orang tuanya. Karena, tanpa bantuan seorang guru, ia tidak akan mampu tumbuh dan berkembang dengan optimal untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Di tangan gurulah peserta didik mendapatkan pendidikan, pengajaran dan pembinaan yang dilakukan dengan senagaja maupun tidak sengaja, bahkan tidak disadari oleh guru melalui sikap, dan berbagai penampilan kepribadian guru. Dalam mengikuti proses belajar mengajar, seorang peserta didik tidak bisa lepas dalam interaksi dengan sesamanya. Agar interaksi itu berjalan secara harmonis dan mendukung proses pendidikan, maka setidaknya ada dua kewajiban yang mesti dilakukan antara sesama peserta didik, yaitu: 1. Merasakan keberadaan mereka (peserta didik yang lain) bagaikan sebuah keluarga dengan ikatan persaudaraan). 2. Jadikan teman untuk menambah ilmu. Lakukanlah diskusi dan berbagai latihan sebagai sarana untuk menambah kemampuan intelektual sesama peserta didik.44 Maka dengan demikian, dengan melakukan interaksi dengan peserta didik lainnya, peserta didik akan menyadari kekurangan dirinya, sehingga ia akan selalu membutuhkan peserta didik lainnya dalam upaya mencari ilmu pengetahuan yang luas dengan melakukan diskusi-diskusi untuk meningkatkan mutu ilmu pengetahuan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang membutuhkan bimbingan dan pertolongan dalam mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga ia dapat mencapai kedewasaan dan dapat

43 44

HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 247 HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 245-246

19

bermanfaat untuk masa depannya baik untuk dirinya sendiri, masyarakat, bangsa maupun negara. c. Kurikulum Dalam proses pembelajaran, kurikulum sangat diperlukan sebagai pedoman untuk menyusun target dalam kegiatan pendidikan. Dengan kurikulum, seorang guru akan membawa peserta didik ke arah sesuai tujuan yang hendak dicapai. Pengertian kurikulum menurut pandangan lama atau pandangan tradisional adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah. 45 Menurut Ahmad Tafsir, pandangan tersebut tidak terlalu salah; mereka membedakan kegiatan belajar kurikuler dari kegiatan belajar ekstrakurikuler dan kokurikuler. Kegiatan kurikuler ialah kegiatan belajar untuk mempelajari mata pelajaran wajib, sedangkan kegiatan belajar kokurikuler dan ektrakurikuler disebut mereka sebagai kegiatan penyerta. Praktek kimia, fisika, biologi, kunjungan ke museum untuk pelajaran sejarah, dipandang mereka sebagai kokurikuler (penyerta kegiatan belajar bidang studi). Bila kegiatan itu tidak berfungsi penyerta, seperti pramuka dan olahraga (di luar bidang studi olahraga), maka ini disebut mereka kegiatan di luar kurikulum (kegiatan ekstrakurikuler).46 Berbeda dengan pandangan lama, pengertian kurikulum menurut pandangan modern adalah kurikulum bukan hanya mata pelajaran saja, tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. 47 Di dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan siswa dapat memberikan pengalaman belajar, atau dianggap sebagai pengalaman belajar, seperti berkebun, olahraga, pramuka, dan pergaulan selain mempelajari bidang studi. Semua itu merupakan pengalaman belajar yang bermanfaat. Pandangan modern berpendapat bahwa semua pengalaman belajar itulah kurikulum. Atas dasar ini maka inti kurikulum adalah pengalaman belajar. Ternyata pengalaman belajar yang banyak pengaruhnya dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata-mata 45

Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 2 46 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., cet ke-7, h. 53 47 Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, ..., cet ke-2, h. 4

20

pelajaran, interaksi sosial di lingkungan sekolah, kerja sama dalam kelompok, interaksi dengan lingkungan fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman belajar.48 Oleh karena itu, untuk memahami kurikulum sekolah, tidak hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.49 Berdasarkan pengertian di atas, maka kurikulum itu isinya luas sekali. Namun isi kurikulum yang luas tersebut menurut Hilda Taba dapat dirinci menjadi empat komponen kurikulum yang terdiri dari tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi yang merupakan bagian integral dalam kurikulum yang harus saling berkaitan satu sama lain. Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dicapai dalam proses belajar mengajar. Tujuan itu mula-mula bersifat umum, dalam operasinya tujuan tersebut harus dibagi menjadi bagian-bagian yang “kecil”. Bagian-bagian itu dicapai hari demi hari dalam proses belajar mengajar, dan tujuan yang kecil-kecil itu dirumuskan dalam rencana pengajaran yang sering disebut persiapan mengajar. Tujuan yang ditulis di dalam persiapan mengajar itu disebut tujuan pengajaran, yang sebenarnya adalah tujuan anak belajar dan selanjutnya tujuan itu mengarahkan perbuatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru.50 Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar. Materi (isi) itu harus relevan dengan tujuan pengajaran. Komponen proses belajar mengajar mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar. 48 49

4

50

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 53 Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, ..., h. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 54-55

21

Dalam proses belajar, anak sebaiknya tidak dibiarkan sendirian, karena hasil belajar biasanya kurang maksimal. Karena itulah para ahli menyebut proses belajar itu dengan proses belajar-mengajar, karena memang proses itu merupakan gabungan kegiatan anak belajar dengan guru mengajar yang tidak terpisahkan. Mutu proses itu banyak ditentukan oleh kemampuan guru dalam menguasai dan mengaplikasikan teori-teori keilmuan, yaitu teori psikologi, khususnya psikologi pendidikan, metodologi mengajar, metode belajar, penggunaan alat pengajaran, dan sebagainya.51 Adapun komponen evaluasi merupakan penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan pendidikan dalam proses belajar mengajar dapat tercapai. Hasil penilaian itu biasanya berupa angka, yang dinyatakan sebagai angka yang dicapai siswa. Feed Back yang diperoleh dari penilaian banyak juga. Dari penilaian itu kita mengetahui pencapaian tujuan. Jika terdapat tingkat pencapaian rendah, maka harus memeriksa proses belajar mengajar, karena bisa saja ada kekurangan dalam proses belajar mengajar tersebut. Mungkin isi kurang relevan dengan tujuan. Bahkan mungkin harus merevisi rumusan tujuan, atau mungkin rumusan kurang jelas, terlalu dalam, terlalu luas. Atau mungkin kita harus melihat lagi teknik dan alat evaluasi, mungkin teknik dan alatnya kurang tepat, istilahnya kurang valid atau kurang reliabel. Jadi, mengevaluasi sebenarnya mengevaluasi pencapaian tujuan, mengevaluasi isi, mengevaluasi proses, dan megevaluasi evaluasi itu sendiri, dengan kata lain, mengevaluasi adalah mengevaluasi kurikulum itu sendiri. 52 Keempat komponen tersebut bisa saja berubah sejalan dengan perubahan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Misalnya komponen tujuan akan sesuai dengan situasi kondisi pada saat kurikulum ditetapkan. Jadi, wajar apabila tujuan kurikulum berbeda tiap kurikulum mengalami perubahan. Diantara faktor penyebab perubahan kurikulum tersebut ialah pertama, perluasan dan pemerataan

51 52

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 55 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 55-56

22

kesempatan belajar, kedua, peningkatan mutu pendidikan, ketiga relevansi pendidikan dan keempat efektifitas dan efisiensi pendidikan. 53 d. Proses Belajar Mengajar Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri. Secara institusional, belajar dipandang sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman secara caracara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. 54 Menurut HAMKA, agar proses belajar mengajar mampu berperan dalam menciptakan peserta didik yang memiliki wawasan intelektual yang luas, maka proses interaksinya hendaknya mendorong perkembangan potensi peserta didik, sehingga ia dapat mengekspresikan seluruh kemampuan yang dimilikinya. 55 Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar seorang pendidik harus mengetahui bahwa peserta didik adalah individu yang berbeda, karena masingmasing peserta didik memiliki kemampuan baik fisik maupun psikis yang berbeda pula. Sehingga, peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ia miliki untuk mendapatkan pencapaian kedewasaan. Para ahli sependapat bahwa proses belajar mengajar adalah sebuah kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Para siswa dalam situasi instruksional menjalani tahapan kegiatan belajar melalui interaksi dengan 53

Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 7-8 54 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), cet ke-14, h. 91-92 55 Hamka, Falsafah Hidup. h. 267-268 dalam Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, ..., h. 185

23

kegiatan tahapan mengajar yang dilakukan guru. Namun, dalam proses belajar mengajar masa kini di samping guru menggunakan interaksi resiprokal, ia juga dianjurkan memanfaatkan konsep komunikasi banyak arah untuk menciptakan suasana pendidikan yang kreatif, dinamis, dan dialogis. (Pasal 40 ayat 2a UU Sisdiknas 2003). 56 Dalam hal ini ada interaksi antara peserta didik dan guru sebagai pendidik melalui proses pembelajaran. Peserta didik tidak hanya menerima saja pelajaran dari pendidik, namun juga harus aktif, dan dinamis dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran. Ia tidak hanya berkomukasi dengan guru saja, melainkan juga dengan teman-teman sebayanya. Karena dengan berperan aktif, peserta didik tidak hanya sekedar mendapatkan teori belajar saja, melainkan lebih daripada itu. Ia akan mewarisi berbagai ilmu pengetahuan praktis, juga berbagai warisan kebudayaan, pemikiran serta pembentukkan kepribadian yang berperan penting bagi kemajuan bangsa menuju masyarakat yang beradab. Oleh karena itu diperlukan proses belajar mengajar dalam suasana multiarah. Selanjutnya, kegiatan proses belajar mengajar dipandang sebagai kegiatan sebuah sistem yang memproses input, yakni para siswa yang diharapkan terdorong secara instrinsik untuk melakukan pembelajaran aneka ragam materi pelajaran disajikan di kelas. Hasil yang diharapkan dari PBM tersebut adalah output berupa para siswa yang telah mengalami perubahan positif baik dimensi ranah cipta, rasa, maupun karsanya, sehingga cita-cita mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas pun tercapai. 57 Oleh karena itu, peran guru sangatlah penting, agar peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikannya. Namun peran guru tidak akan dapat berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak ikut berperan aktif dalam proses pendidikan. Karena guru sebagai tenaga pendidik, hanya membimbing dan mengarahkan peserta didik, dan yang berperan aktif adalah peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang selaras antara pendidik dan peserta didik agar terciptanya keselarasan dalam mencapai tujuan pendidikan. 56 57

Muhibbin Syah, PsikologiPendidikan dengan Pendekatan Baru, ..., cet ke-14, h. 237 Muhibbin Syah, PsikologiPendidikan dengan Pendekatan Baru, ..., cet ke-14, h. 238

24

e. Metode Pembelajaran Proses pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang wajib guru berikan kepada peserta didik. Karena, merupakan kunci sukses untuk menggapai masa depan yang cerah, mempersiapkan generasi bangsa dengan wawasan ilmu pengetahuan yang tinggi. Yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Melihat peran yang begitu vital, maka penerapan metode yang efektif dan efisien adalah sebuah keharusan. Dengan harapan proses belajar mengajar akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan. Ahmad Tafsir secara umum mendefinisikan metode pembelajaran ialah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. 58 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode adalah cara atau teknik yang digunakan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Menurut Zakiah Daradjat metode adalah strategi penyampaian program belajar mengajar. Metode merupakan aspek yang sangat penting yang menentukan dalam pelaksanaan program belajar mengajar, terutama apabila dipandang dari segi pendidikan sebagai proses. Program belajar mengajar sebagai proses pendidikan terdiri dari interaksi dan komunikasi antara guru dan sumber belajar lainnya dengan murid. Metode mengajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan murid dalam pelaksanaan program belajar mengajar sebagai proses pendidikan. Proses mengajar mempunyai dua aspek; aspek ideal dan aspek teknis. Secara ideal, program belajar mengajar adalah sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, yang harus menjadi pedoman utama adalah bagaimana mengusahakan perkembangan anak didik yang optimal, baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Mengenai aspek teknis metode mengajar perlu dikemukakan bermacam-macam teknik yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi itu, seperti: bermain, ceramah, tanya jawab, diskusi, peragaan, kerja kelompok dll. 59

58 59

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, ..., h. 131 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru,..., h. 41

25

Selain itu juga, menurut HAMKA, agar proses pendidikan terlaksana secara efektif dan efisien, maka seorang pendidik dituntut untuk mempergunakan berbagai macam metode. Dengan menggunakan metode tertentu, proses interaksi akan dapat diterima dan dipahami oleh peserta didik.60 Oleh karena itu, pendidik

harus mengetahui berbagai metode

pembelajaran dalam upaya memberikan materi pelajaran kepada peserta didik. Karena, dengan metode pembelajaran yang kreatif maka peserta didik tidak akan merasa bosan dengan proses belajar mengajar, bahkan ia akan dengan mudah menyerap ilmu pengetahuan yang ia dapat dari pendidik. Selain metode-metode yang telah disebutkan di atas, penulis juga menemukan berbagai metode-metode baru yang sangat bervariasi yang akan menarik perhatian murid sehingga ia akan memiliki kegairahan dalam proses belajar mengajar, diantara metode-metode tersebut ialah, Mind Maping, Card Short, The Power Of Two, Index Card Match, Information Search, Everyone is A Teacher Here, Active Knowledge Sharing, True Or False, Jigsaw Learning dan lain sebagainya. 61 Metode-metode tersebut menampilkan sesuatu yang baru dan menarik untuk digunakan dalam proses pembelajaran, namun tentunya hal itu harus disesuaikan dengan materi yang akan diberikan kepada murid. Karena sebagus apapun metode pembelajaran yang dipakai, apabila tidak sesuai dengan materi yang diberikan, maka materi yang semula diharapkan dapat dipahami siswa justru sebaliknya, siswa tidak memahami materi karena kesalahan metode yang diberikan. Oleh karena itu, disini sangat diperlukan peran guru untuk memilih metode yang tepat untuk materi yang diberikan kepada murid dalam proses belajar mengajar. Sehingga pemilihannya disesuaikan dengan tujuan pengajaran yang hendak dicapai.

60

HAMKA, Tafsir al-Azhar, jilid 10, h. 7362-7363 dalam Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, ..., h. 159 61 Melvin L. Silberman, Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, Terj Sarjuli dkk, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2009), h. vii

26

B. PEREMPUAN 1. Pengertian dan Karakteristik Perempuan Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. 62 Sedangkan wanita digunakan untuk sebutan bagi perempuan dewasa. 63 Dalam judul tulisan ini, penulis menggunakan kata “perempuan’ karena menurut hemat penulis, cakupan makna kata “perempuan” lebih luas daripada kata “wanita”, karena semua yang ada di wanita sudah pasti ada di perempuan, namun yang ada di wanita belum tentu ada di perempuan. Jadi perempuan adalah orang yang memiliki semua sifat yang ada pada wanita. Berbicara mengenai perempuan, tidak terlepas dari sosok perempuan pertama yang diciptakan Allah. Hawa (sebagai perempuan pertama) lengkap dengan semua sifat-sifat femininnya untuk mengimbangi dan mendampingi Adam yang memiliki segala sifat maskulin. Keseimbangan ini berasal dari sifat Tuhan yang universal, yang memiliki maskulin seperti Mahakuasa, Maha Agung, Maha Hebat, Maha Perkasa dan sebagainya, yang semuanya menunjukkan pada kebesaran, keagungan, kekuasaan serta kontrol dan maskulin. Sebaliknya selain memiliki sifat-sifat di atas, Tuhan juga memiliki sifat-sifat yang lebih menekankan pada feminitas, seperti Maha Indah, Maha Dekat, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha Pengampun, Maha Pemaaf, Maha Pemberi dan sebagainya. Semuanya dikenal dengan nama-nama keindahan, melembutkan, anugerah, dan rahmat.64 Sifat-sifat Tuhan yang memiliki sifat maskulin lebih dominan dikategorikan sebagai jantan atau laki-laki. Sebaliknya, bagi yang memiliki sifat feminin lebih dominan dinamakan betina atau perempuan. Dari penciptaanNya itu, Tuhan mengaturnya dengan seimbang, dan tidak ada ketimpangtindihan dalam

62

Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media), h. 915 Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, (Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, 2003), h. 3021 64 Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999), Terj. Rahmani Astuti dan S Nasrullah, cet ke-VII, h. 31 63

27

derajat dan martabat manusia. Hanya perbedaan fisiklah yang ada pada diri lakilaki dan perempuan sehingga menimbulkan karakter yang berbeda pula. Perbedaan fisik tersebut misalnya, rambut kepala perempuan tumbuh lebih subur sehingga lebih panjang dan lebih halus dibandingkan rambut lelaki. Akan tetapi, lelaki begitu memasuki usia dewasa, tumbuh rambut pada dagu (jenggot) di atas bibir (kumis), dan tidak jarang pula pada dada. Kerongkongan pun lebih menonjol daripada perempuan. Sedangkan otot-otot perempuan tak sekekar otot-otot lelaki. Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi daripada perempuan, tetapi pertumbuhan perempuan lebih cepat daripada lelaki, demikian juga kemampuan berbicaranya. Itu antara lain perbedaan yang dapat diketahui dengan mudah melalui pancaindra. 65 Menurut Murtadha Muthahhari dalam buku M. Quraish Shihab mengatakan bahwa “Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak daripada perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat daripada denyut lelaki. Secara umum, lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, atau melakukan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibandingkan perempuan. Lelaki secara umum juga lebih cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan. Lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara perempuan lebih tenang dan tentram. 66 Lebih lanjut, pakar Psikologi Mesir, Zakaria Ibrahim dalam buku M.Quraish Shihab, menulis bahwa, “Perempuan memiliki kecendrungan mosokhisme/mencintai diri sendiri yang berkaitan dengan kecendrungan untuk menyakiti diri (berkorban) demi kelanjutan keturunan. Kecintaan kepada dirinya yang disertai dengan kecendrungan itu menjadikan perempuan kuasa mengatasi kesulitan dan sakit yang memang telah menjadi kodrat yang harus dipikulnya khususnya ketika haid, mengandung dan melahirkan, serta menyusukan dan membesarkan anak. Karena adanya rasa sakit itu pula, Allah SWT menganugerahkan kenikmatan bukan saja dalam hubungan seks seperti halnya lelaki, melainkan juga dalam memelihara anak-anaknya. Ini berbeda dengan lelaki. Tanpa kenikmatan itu, anak akan terlantar karena suami harus keluar rumah mencari nafkah buat istri dan anak-anaknya.67

65

M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet ke-1, h. 8-9 M.Quraish Shihab, Perempuan, ..., cet ke-1, h. 10-11 67 M.Quraish Shihab, Perempuan,..., cet ke-1, h. 11-12 66

28

Marwah Daud Ibrahim, yang terdapat dalam buku Azizah alHibri dkk, menulis bahwa dalam kenyataannya, sebenarnya wanita dan laki-laki pada dasarnya sama cerdas otaknya; sama mulia budinya; sama luhur cita-citanya, sama-sama memiliki impian dan harapan, mereka juga sama-sama didera oleh kekhawatiran dan ketakutan, dan sama-sama memiliki potensi untuk memimpin. 68 Firman Allah SWT QS Al-Hujuraat: 13

                       Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dari firman Allah SWT dapat diketahui bahwa salah satu prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antar manusia, baik antara laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah menciptakan makhluk yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan semua itu Dia ciptakan supaya manusia dapat saling melengkapi satu sama lain. Dan tidak ada satupun orang yang jauh lebih tinggi harkat dan martabatnya dihadapan Allah kecuali ketakwaannya. Namun perlu diketahui juga, di atas persamaan pasti ada perbedaan. Dan hal ini juga dialami oleh manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan karena di dalam diri mereka terdapat perbedaan yang menonjol terutama dari segi fisik maupun dari psikisnya. Karena bagaimanapun, Allah menciptakan makhluknya untuk saling berdampingan satu sama lain, jika semua manusia laki-laki dan perempuan sama, maka manusia sebagai makhluk sosial tidak akan ada fungsinya. Oleh karena itu baik segi fisik

68

Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press), h. 280

29

maupun psikis, bahkan kemampuan serta kegunaan antara laki-laki dan perempuan semuanya berbeda. Namun perlu diingat bahwa semua perbedaan itu tidak menjadikan martabat yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. 2. Kedudukan Perempuan Agama Islam menjamin hak-hak perempuan dan memberikan perhatian serta kedudukan terhormat kepada perempuan yang hal ini tidak pernah dilakukan oleh agama atau syari’at sebelumnya. Sebelum Islam datang, kaum perempuan pernah terpuruk jauh ke dasar yang paling hina, dimana kaum perempuan tidak punya harga diri sama sekali, diperjualbelikan, dihadiahkan, dan dipermainkan, sehingga

orang-orang

bangsawan

Quraisy

malu

mempunyai

anak-anak

perempuan, yang karenanya dikubur hidup-hidup sebelum orang lain tahu. Sedangkan kaum laki-laki menempati posisi sentral dan istimewa dalam keluarga dan masyarakat. Mereka bertanggung jawab secara keseluruhan dalam persoalan kehidupan keluarga, sehingga kaum perempuan secara umum hanya mengekor kaum lelaki. 69 Secara singkat dapat dikatakan bahwa posisi perempuan pada masa praIslam sebagai berikut: 1. Dari sisi kemanusiaan, perempuan tidak memiliki tempat terhormat di hadapan laki-laki karena tidak adanya pengakuan atau sikap laki-laki terhadap peran perempuan dalam mengatur masyarakat. 2. Ketidaksetaraan antara anak laki-laki dan perempuan, suami dan istri dalam lingkungan keluarga. 3. Mengesampingkan kepribadian atau kompetensi perempuan dalam memperoleh penghidupan, sehingga perempuan tidak memiliki hak dalam persoalan waris dan pemilikan harta.70 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mereka tidak ada sikap “memanusiakan”

perempuan,

baik

disebabkan

oleh

pengingkaran

kemanusiaannya atau karena ada anggapan dari kaum laki-laki bahwa peran

69 70

Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 37-38 Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 37-38

30

perempuan tidak dapat diandalkan dalam berbagai sektor kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, hadirnya Islam mengikis habis anggapan tersebut dan menempatkan kedudukan perempuan menjadi terhormat, Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dengan mengakui kemanusiaan mereka dan mengikis habis kegelapan yang dialami perempuan sepanjang sejarah, serta menjamin hak-hak perempuan. Firman Allah SWT QS. Lukman: 14

                  Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Begitu pual firman Allah SWT QS. Al-Ahqaf: 15

                 Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku baik kepadanya?” Nabi menjawab: “Ibumu” Orang itu bertanya lagi, “kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “ibumu” Orang itu bertanya lagi, “kemudian setelah dia siapa lagi?” Nabi menjawab, “ibumu” orang itu bertanya lagi, “kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab “ayahmu” (HR. Bukhari Muslim) Dari firman dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Islam memandang seorang perempuan sebagai calon ibu memiliki kedudukan terhormat.

31

Dan semua anak wajib menghormatinya, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti dan sopan santun dalam bersikap kepadanya. Dan kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Dengan demikian, agama Islam mempercayai kesanggupan perempuan untuk berpikir, bekerja dan memimpin, serta berhak mendapat pahala dan imbalan yang sama dengan pria. Agama Islam merupakan agama yang mempunyai prinsip-prinsip keadilan gender. Salah satu prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antar manusia baik dari segi gender, kebangsaan, kesukuan maupun keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan dan merendahkan seseorang hanyalah nilai ketakwaan dan pengabdiannya kepada Allah SWT. 71 Maka dari itu, kedudukan perempuan dalam Islam sangatlah terhormat. Dan tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Semua makhluk Allah sejajar dan tidak ada ketimpangtindihan diantara keduanya. Hal itu karena Islam adalah agama untuk seluruh alam, bukan untuk sebagian alam. Maka tidak sepatutnyalah ada orang yang memposisikan perempuan pada tempat yang tidak layak, sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum Islam datang. 3. Tugas Perempuan Laki-laki dan perempuan diciptakan Allah SWT untuk saling berdampingan satu sama lain. Dalam hal ini perempuan diciptakan Allah untuk mendampingi lelaki, demikian pula sebaliknya. Ciptaan Allah itu pastilah yang paling baik dan sesuai untuk masing-masing. Tidak ada ciptaan Tuhan yang tidak sempurna dalam potensinya saat mengemban tugas serta fungsi yang diharapkan dari ciptaan itu. Semua lelaki, termasuk para nabi yang suci sekalipun, harus mengakui bahwa dia membutuhkan perempuan untuk menyalurkan cinta yang terdapat dalam jiwanya sehingga jika seorang lelaki tidak menemukan perempuan yang dia cintai, dia akan mencintai perempuan yang ditemukan. 72 71 72

Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 39 M.Quraish Shihab, Perempuan,..., cet ke-1, h. vii

32

Semua lelaki harus mengakui bahwa tanpa perempuan hati lelaki akan remuk, dan tanpa perempuan lelaki akan saling menghancurkan. Lelaki yang tidak didampingi oleh perempuan demikian juga sebaliknya, bagaikan perahu tanpa sungai, malam tanpa bulan, atau biola tanpa senar. M.Quraish Shihab, menulis pengalaman pribadi dari Ibnu Hazm al-Andalusi (994-1064), bahwa “Seandainya bukan karena keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri kekeruhan, sedangkan surga adalah tempat perolehan ganjaran, kita akan berkata bahwa hubungan harmonis antar kekasih merupakan kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan, kesempurnaan cita dan puncak harapan”. Selanjutnya ulama besar ini berkata: “Aku telah merasakan kelezatan dengan aneka ragamnya. Aku juga telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya. Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan harta yang dimanfaatkan, tidaklah semua itu seindah hubungan harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita”.73 Dari uraian di atas, dapatlah diketahui bahwa perempuan sangat dibutuhkan dalam berbagai segi kehidupan. Maka, pantaslah ditempatkan pada tempat yang wajar. Sungguh tidak berbudi siapa yang tidak mencintai atau tidak menghormatinya,

atau

bahkan

mendiskriminasikannya,

terutama

dalam

mendapatkan hak pendidikan. Menuntut ilmu adalah kewajiban baik setiap muslim, seperti yang terdapat dalam hadis:

‫يضةٌ َعلَى ُك ِل ُم ْسلِم‬ َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر‬ “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”.(HR.ath-Thabarani melalui Ibnu Mas’ud ra).

Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW perempuan memohon kepada Nabi SAW agar diberi waktu tertentu untuk belajar langsung kepada beliau, dan permohonan mereka beliau kabulkan.

73

M.Quraish Shihab, Perempuan, ..., cet ke-1, h. x

33

Firman Allah SWT QS. Ali Imran: 195

                   Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berfikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang telah mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan kecendrungan dan keinginan masing-masing. Perempuan merupakan calon seorang ibu yang memiliki tugas utama untuk mendidik anak-anaknya. Tiap-tiap anak harus mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari ibunya, oleh karena itu seorang ibu mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam menjaga anak perempuannya. Pendidikan anak perempuannya jangan diserahkan kepada sekolah saja, karena waktu yang dipakainya di sekolah, tidaklah sepanjang waktu yang dipakainya di rumah. 74 Dengan demikian, seorang ibulah yang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan anaknya. Karena ditangan ibulah pertama kali anak diberikan pendidikan dan pengajaran yang akan bermanfaat bagi masa depannya. Oleh karena itu, seorang perempuan sebagai calon ibu wajib diberikan pendidikan, karena bagaimana mungkin tugas pokoknya itu dapat mereka laksanakan secara baik kalau mereka tidak diberi kesempatan untuk belajar. Karena sebelum ia memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak-anaknya, terlebih dahulu ia harus mendapatkannya. Sudah tidak diragukan lagi bahwa letak kebahagiaan tunas bangsa yang baru akan tumbuh menjadi kaum remaja, pemuda-pemudi, yang nantinya akan

74

HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 41

34

menjadi tiang utama negara, adalah sebagian besar ada di tangan kaum ibu, atau dengan kata lain, jika kaum ibu dan khususnya golongan kaum perempuan ingin merusakkan bangsanya, pasti akan dapat terlaksana, ingin menghancurkan akhlak generasi mudanya, itupun tidak ada kesukaran sama sekali, begitu pula jika ingin membaguskan keadaan bangsa serta akhlaknya. Hal itu disebabkan karena dalam kekuasaan merekalah letak kendali yang paling menentukan dalam hal didikan dan asuhan putra-putri bangsa. Namun beruntunglah bahwa kaum perempuan dan kaum ibu belum sampai hati berbuat hal-hal yang buruk untuk generasi bangsa. Ini adalah semata-mata berkat kasih sayang mereka kepada bangsa, tanah air dan terutama kepada anak-anak sendiri. 75 Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sebagai ibu memiliki tugas utama untuk mendidik anak-anaknya. Mendidik anak-anaknya adalah suatu keharusan mengingat dari tangan seorang ibulah lahir seorang penerus bangsa yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektualitas, juga memiliki adab sopan santun terhadap sesama. Dalam tugasnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, perempuan mengemban tugas menciptakan tunas-tunas bangsa yang akan menjadi tiang utama negara. Perempuanlah yang memberikan pendidikan pertama dan utama kepada anak-anaknya, dan dari pendidikan pertamalah akan memberikan pengaruh besar dalam kehidupan anak-anaknya. Oleh karena itu, tugas perempuan dalam mendidik anak-anaknya adalah tugas yang berat, yang harus diembannya dengan penuh tanggug jawab, karena dengan begitu perempuan akan banyak melahirkan penerus bangsa yang bermartabat. 4. Peran Perempuan Di dalam Islam tidak ada konsep peran yang khas untuk lelaki maupun perempuan kecuali dalam batas-batas yang menyangkut hal-hal yang khas dan yang menyangkut hak dan kewajiban masing-masing. Secara totalitas, Islam menjamin sepenuhnya hak-hak kaum perempuan. Sejumlah nash-nash dan konsep Islam dalam al-Quran menganjurkan manusia untuk menghormati dan melindungi kaum perempuan dalam perasaan cinta kasih dan tanggung jawab. Ini adalah inti 75

Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, (Semarang: CV. Toha Putra), h. 287-288

35

ajaran Islam yang melestarikan hak-hak asasi manusia, dan menghormati sesama manusia tanpa membedakan lelaki dan perempuan. Jadi, ajaran Islam telah menempatkan perempuan dalam posisi terhormat, patut dicintai dan diperlakukan dengan baik.76 Dari fakta-fakta sejarah kita peroleh gambaran yang menarik perhatian yang berhubungan dengan kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia. Kaum perempuan Indonesia tidak hanya memiliki peranan ternyata juga bisa memperoleh kedudukan, wewenang dan kekuasaan tertinggi sebagai kepala negara. Disamping itu, mereka juga telah berkiprah di berbagai bidang yang sering dianggap sebagai dunia laki-laki. Hal ini bertentangan sekali dengan gambaran umum yang ada tentang masyarakat Indonesia masa lalu, dimana kaum perempuan tidak memiliki peranan dan mereka hanya memiliki kedudukan yang rendah dan hidup terkekang. Mereka seolah-olah tidak mempunyai peluang untuk berkembang. Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan perempuan Indonesia. Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan dan disebarluaskan pendidikan cara Barat. Kaum perempuan, walaupun jumlahnya masih terbatas, mulai ada yang berkesempatan menikmati pendidikan Barat itu. Karena itu, muncullah orang-orang yang mulai sadar akan diri pribadi dan statusnya. Mereka tumbuh kesadarannya bahkan mereka hidup di bawah kaum penjajah dengan praktek-praktek kolonialnya. R.A.Kartini, Rd. Dewi Sartika, Rohanna Kudus, Rahmah El Yunisiah, Nyai Achamd Dahlan, Haji Rasuna Said dan Maria Walanda Maramis merupakan nama-nama tokoh wanita dari kalangan kaum elit modern Indonesia. Dari pendidikan dan pengetahuan yang mereka peroleh, mereka menyadari akan keadaan kaumnya. 77 Oleh karena itu, dengan berbagai cara, para tokoh pergerakan perempuan tersebut berusaha untuk menyadarkan kaum perempuan akan kedudukan dan perannya dalam masyarakat. Mereka menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong kemajuan perempuan. Mereka berharap, 76 77

Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 266 Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 290-291

36

kaum perempuan sebangsanya dapat sadar akan hak dan kewajibannya. Sehingga, kaum perempuan dapat ikut berperan untuk memajukan bangsa dan negaranya. Kalau ada ungkapan “wanita tiang negara” atau “didiklah wanita, maka kita mendidik bangsa” itu berarti betapa strategisnya kedudukan wanita dalam melipatgandakan

manfaat

hasil

pendidikan.

Dengan

menyadari

adanya

pergeseran-pergeseran pola komunikasi yang disebabkan oleh perkembangan industri barang dan jasa, perempuan tetap mempersepsi tugas mendidik anak sebagai tugas utama. Melalui perannya sebagai ibu ia bertindak secara nyata: memelihara, memberi contoh, mensugesti, memotivasi, melarang, menghukum, mengerjakan sesuatu bersama anak, merangsang berfikir, memuji dan lain sebagainya; ia menyebarkan ragi yang menstimulasi dan mengarahkan tumbuh kembangnya anak. Sebagai anggota masyarakat ia bergaul dan saling mempengaruhi dengan orang lain; suatu arena yang potensial menjadi tanah gembur bagi pertumbuhan pengetahuan, sikap dan keterampilan-keterampilan. 78 Maka dari itu, perlu mendudukkan perempuan pada kedudukan yang sebenarnya serta memberi mereka tugas dan peranan, bukan saja dalam kehidupan rumah tangga melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, semua pihak mengakui

perlunya

keadilan,

kebebasan,

kemajuan,

dan

pemberdayaan

perempuan.

C. PENDIDIKAN PEREMPUAN 1. Kebutuhan Perempuan Terhadap Pendidikan Dalam beberapa dekade yang lalu, perempuan tidak memiliki tempat dalam

mendapat

hak-haknya

dalam

dunia

pendidikan.

Kini

dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya isu demokrasi dan gender pada umumnya, maka perempuan mulai berkembang dan mendapatkan akses pendidikan. Di Indonesia, sebetulnya pendidikan perempuan sudah dimulai sejak perjuangan R.A. Kartini untuk memperoleh status sebagai pelajar.

78

Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia,..., h. 331-333

37

Seperti halnya yang telah penulis kemukakan bahwa pendidikan merupakan hal yang tidak boleh tidak harus diberikan. Melalui pendidikan, kaum perempuan harus diyakinkan mengenai perlunya perubahan-perubahan yang akan memajukan kaum perempuan dalam berbagai segi kehidupan.79 Maka dari itu, seperti halnya laki-laki, perempuan pun mempunyai hak untuk belajar, dengan segala dan usaha serta kecakapannya. Jika dia tidak mendapatkan ilmu pengetahuan, maka hak dan tanggung jawab mereka menjadi sia-sia terpegang di tangannya. Jadi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan menuntut ilmu dan dimudahkan bagi mereka jalan untuk mencari ilmu, supaya dipilih mana yang menurutnya sanggup atau yang sesuai dengan bakat dan pikirannya.80 Dengan demikian, perempuan memiliki hak yang wajib dipenuhi. Hak tersebut adalah dalam memperoleh pendidikan. Karena sebenarnya, yang menyebabkan kemerosotan

masyarakat

seluruhnya,

hanyalah disebabkan

merosotnya kaum perempuan, sebab mereka menjadi manusia yang bodoh dan tidak terdidik sebagaimana mestinya, sehingga didikan mereka rusak dan inilah yang menimbulkan akhlak yang kurang sempurna kebaikan serta kemuliannya. Maka dari itu wajib memberikan pengajaran dan pendidikan kepada putri-putri dan para gadis remaja dengan tekun dan penuh tanggung jawab. Dengan melaksanakan itu, sudah dapat menguasai suatu urusan yang terpenting dan akan diikuti pula oleh amal perbuatan yang lain-lain yang seluruhnya adalah berupa amalan yang shalih dan diridhoi Allah WST.81 Oleh karena itu, kaum perempuan wajib mendapatkan kehormatan yang sepatutnya. Kedudukan mereka wajib diperbaiki dan diluhurkan, diberi pendidikan yang sempurna, diasuh dengan pendidikan yang mulia, budi pekerti yang luhur, sehingga nantinya akan menjadi ibu rumah tangga yang dapat mengendalikan seluruh keluarganya dengan cara yang sebaik-baiknya, disamping itu juga memahami apa yang menjadi tugas kewajibannya terhadap alam kecil 79

h. 8

80 81

Jacqueline Chabaud, Mendidik dan Memajukan Wanita, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 41 Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, ..., h. 291

38

yang wajib selalu ada di bawah pengawasannya, yakni rumah, tetapi jangan tidak mengerti sama sekali hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat luar. Oleh karena itu, kaum perempuan harus disekolahkan untuk memperoleh pelajaran yang bermanfaat dan didikan akhlak yang mulia dan luhur.82 Dengan demikian, pendidikan kaum perempuan telah menjadi suatu keharusan, karena kemajuan yang merupakan kebutuhan mendesak itu menciptakan dan sekaligus menuntut jenis perempuan yang baru. Mendesaknya kebutuhan ini dengan demikian berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh keadilan dan berkenaan dengan pentingnya orang perorangan, dan semua itu menyebabkan tidak berlakunya anggapan bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya. Perempuan adalah juga manusia seperti pria; ia pun patut mengembangkan kemampuannya, untuk memilih jalan hidup yang hendak ditempuhnya serta melaksanakan kegiatan-kegiatan dan memegang segala tanggung jawab yang akan ikut membentuk kemuliaan manusia. 83 Selain itu, Syekh Musthafa Ghalayini menasehatkan kepada para orangtua untuk mendidik putri-putri dengan tarbiyah yang benar-benar baik dan melalui garis yang ditetapkan oleh agama. Jika telah menjadi kepala negara kecil, yaitu kepala keluarga. Utamakanlah persoalan pendidikan, melebihi sandang pangan yang diberikan, dan berikanlah putri-putri pelajaran yang berguna bagi dirinya untuk hari dewasanya nanti, terutama apabila sudah memegang jabatan sebagai ibu rumah tangga. Karena hanya dengan demikian, tanah air akan segera bangun dengan cepat dan bangsapun akan luhur, sehingga dapat mencapai puncak ketinggian yang tiada taranya.84 Karena bagaimanapun juga, perkembangan masyarakat ditentukan sekali oleh kedudukan wanitanya dan peranan yang dimainkan oleh wanita dalam kehidupan bangsa itu. Rene Maheu mengemukakan dalam bukunya Jacqueline Chabaud bahwa “Terbukanya kesempatan bagi anak-anak perempuan merupakan juga konsekuensi langsung dari hak asasi 82

Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, ..., h. 288 Jacqueline Chabaud, Mendidik dan Memajukan Wanita, …, h. 11 84 Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, ..., h. 293 83

39

pendidikan…dan tuntutan kemajuan ekonomi pun membuat kesempatan itu sebagai suatu keharusan”. “Tiada satu negeri pun dapat membiarkan separuh dari penduduknya berada dalam keadaan relatif bodoh, karena hal ini akan menyebabkan mereka menghambat perkembangan, dan bukan menjadi tenaga motivasi”. 85 Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan bagi kaum perempuan adalah kebutuhan berskala nasional, bahkan internasional. Mengingat peranan serta tugas dan kontribusi yang telah perempuan berikan, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, lingkungan sekitar bahkan untuk negaranya. Kita jangan memandang rendah kemampuan seorang perempuan. Karena bagaimanapun juga perempuanlah yang mendidik anak-anaknya dengan perannya sebagai ibu dan pendidik pertama dan utama. Perempuanlah yang mendorong kesuksesan seorang laki-laki dalam arti suaminya. Walau terdengar klise, tapi itu benar bahwa “Dibalik kesuksesan seorang laki-laki terdapat peranan perempuan yang mendorongnya dari belakang”. Tidak hanya itu, perempuan pun ikut serta dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, yang berjuang melawan penjajah. Terbukti dengan banyaknya catatan sejarah pahlawan nasional perempuan seperti Cut Nyak Dien, Cut Muetia, dalam bidang pendidikan, antara lain R.A. Kartini, Dewi Sartika, Rahmah El Yunisiah, Rohanna Kudus, dan lain sebagainya. 2. Pemikiran Pendidikan Perempuan di Indonesia a. Rd. Ajeng Kartini Dilahirkan pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya ialah Raden Mas Adipati Sosroningrat, seorang Bupati Jepara. 86 R.A. Kartini dianggap sebagai pelopor kemajuan wanita di Indonesia, cita-citanya yang dimuat dalam buku kumpulan surat-suratnya “Habis gelap terbitlah terang” besar sekali pengaruhnya dalam menggerakkan kaum perempuan. Beberapa hal yang terpenting yang diungkapkan oleh R.A. Kartini ialah tentang kawin paksa (perempuan pada umumnya menikah dengan laki-laki yang belum dikenal, bahkan belum pernah dilihat sebelumnya), poligami (terutama diantara golongan

85 86

Jacqueline Chabaud, Mendidik dan Memajukan Wanita, …, h. 125 Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, (Yogyakarta: Narasi, 2005), cet k-1, h. 13

40

atas sudah menjadi kebiasaan laki-laki beristri lebih dari satu dan semua istri itu biasanya tinggal dalam satu rumah), perceraian dengan sewenang-wenang dari pihak suami, dan kebiasaan bahwa gadis-gadis setelah dewasa dipingit dirumah dan baru boleh keluar setelah bersuami, dan anak perempuan kurang mendapatkan kesempatan mendapatkan pendidikan.87 Kartini berpendirian bahwa calon-calon suami itu seharusnya telah terlebih dulu dikenal oleh gadis-gadis yang akan diperistrinya, dan tidak tiba-tiba disodorkan sebagai suami hasil pilihan orangtuanya. Ia berhasrat memperbaiki nasib para wanita, para wanita yang dimadu, termasuk Raden-raden Ayu yang setiap hari harus menghadapi kompleks-kompleks kontradiksi dalam hidup di suasana poligami, harus berhadapan dan menghadapi selir-selir sebagai “peliharaan” suaminya. Menurut Kartini, jalan keluar yang wajib ditempuh oleh para perempuan bangsanya hanyalah satu, yakni belajar, mencerdaskan diri. Hanya dengan jalan inilah, maka nasib mereka bisa berubah menjadi lebih baik, dan kaum pria tidak akan meremehkannya. 88 Dengan demikian, dapatlah terlihat tujuan Kartini adalah berusaha memajukan bangsa dan merintis jalan bagi kaum perempuan, menjadikan perempuan menjadi manusia yang beradab. Mendidik dan mencerdaskan kaum perempuan, serta membangkitkannya dari dasar yang paling dangkal, menuju pusaran tinggi dalam kehidupannya. Menurut R.A. Kartini, orang yang sanggup melakukan hal banyak dan berusaha memajukan kecerdasan budi, dan mempertinggi derajat manusia ialah perempuan sendiri, ibu; karena pada haribaan si ibulah manusia akan mendapat didikan yang pertama, oleh karena disanalah pangkal anak itu belajar merasa, berfikir, dan berkata, dan didikan yang pertama kali, pastilah sangat berpengaruh bagi penghidupan seseorang. “Peranan seorang Ibu bagi peradaban”, masyarakat, rumah tangga dan untuk dirinya sendiri. 89

87

Nani Soewondo-Soerasno, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Timun Mas, 1955), h. 126 88 Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, ..., cet k-1, h. 35-37 89 Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, ..., cet k-1, h. 38

41

Oleh karena itu, di tangan perempuanlah tercipta sebuah peradaban baru yang akan menyongsong meraih masa depan yang lebih baik. Dengan penuh citacita yang tak pernah goyah maupun sedetik pun lepas dari tangan, Kartini betapa menebar cinta kepada kemanusiaan, cita-citanya dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan merupakan perjalanan yang tak kenal mati, yang senantiasa segar, berkelopak, dan merekah sepanjang zaman. b. Rahmah El Yunisiah Rahmah El Yunisiah dilahirkan pada 31 Desember 1900 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia adalah putri bungsu dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Ayahnya adalah seorang kadi di Pandai Sikat yang juga ahli ilmu falak. Kakeknya adalah Syaikh Imaduddin, ulama terkenal di Minangkabau sekaligus tokoh tarekat Naqsanbandiyah. 90 Rahmah El Yunisiah bersekolah di perguruan Diniyah School pimpinan kakaknya, Zainuddin Labay. Disamping itu, pagi dan sore ia belajar kepada beberapa ulama terkemuka di Padang Panjang. Karena ia dibesarkan dalam keluarga yang banyak berkecimpung dalam bidang pendidikan, maka ia sangat kagum pada lembaga pendidikan yang dikelola kakaknya, Diniyah School. Namun demikian, menurut pandangannya sebagai seorang wanita, ia belum merasa cukup puas terhadap mekanisme pendidikan yang diselenggarakan Diniyah School dalam memperlakukan murid wanita.91 Menurutnya, kaum perempuan Indonesia harus memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai kodrat perempuan, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Usaha pendidikannya itu ditujukan agar kaum perempuan sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif, dan bertanggungjawab kepada kesejakhteraan bangsa dan tanah air. Minat Rahmah untuk bergerak di kalangan puteri-puteri didorong oleh keyakinan bahwa

90

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992, h. 804 91 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 804

42

terdapat masalah-masalah yang hanya khusus berlaku bagi puteri, dan semua itu harus diberikan oleh wanita.92 Sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan. Seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, namun ia memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Barangkali, seandainya Rahmah masih hidup ia akan sepakat dengan gagasan masa kini yang menyebutkan bahwa membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagaikan seekor burung yang terbang dengan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua manusia. Karena, sebagaimana diyakini oleh banyak orang, pendidikan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi upaya memodernisasi suatu masyarakat. Maka, atas bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang didirikkan oleh kakaknya, Labay, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah khusus untuk putri pada tanggal 1 Nopember 1923. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu rumah tangga yang masih sangat muda. Pelajaran diberikan tiap hari selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat. Pada tahun 1924, pindah ke sebuah rumah di dekat masjid dan mulailah diadakan kelas-kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja, dan papan tulis. Disamping usaha tersebut, Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan ibu-ibu yang lebih tua.93 Visi Rahmah tentang peran perempuan adalah peran dengan beberapa segi: pendidik, pekerja sosial untuk kesejahteraan masyarakat, teladan moral, muslim yang baik, dan juru bicara untuk mendakwahkan pesan-pesan Islam. Meniru model sekolah modern, Diniyah Putri menawarkan program pendidikan baik pelajaran umum (matematika, biologi, geografi, fisika, dan bahasa Indonesia), mata pelajaran agama (fiqh, ushul fiqh, tafsir, tauhid, hadis, musthalah al-hadis, akhlaq, sejarah Islam, dan sejarah kesenian islam). Diniyah Putri 92

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), cet ke-2, h. 62 93 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ..., cet ke-2, h. 63

43

menawarkan tiga ijazah: satu miliknya sendiri, satu untuk pendidikan sekolah menengah umum, dan satu pendidikan Islam yang diakui pemerintah. 94 Selain sebagai pendidik, Rahmah juga merupakan seorang pejuang. Dialah orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar

berita proklamasi

kemerdekaan Indonesia.

Dibawah

kepemimpinan Rahmah, Diniyah Putri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perhatian dan pujian dari berbagai tokoh pendidikan, pemimpin nasional, politikus, dan tokoh agama, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk itu pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar, Mesir.95 c. Rohana Kudus Rohana kudus lahir di Kota Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884. Ia merupakan anak dari Muhammad Rasyad gelar Maharajo Sutan. 96 Pada 11 Februari 1911, ia mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS) di kota Gadang, Sumatera Barat. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan derajat perempuan dengan jalan mengajarkan baca tulis huruf Arab dan latin, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan tangan, dan mengatur pemasarannya.97 Disamping itu Rohana Kudus beserta rekannya Zubaidah Ratna Juwita anak dari Mahyuddin gelar Datuk Sutan Maharajo 98 mendirikan sebuah surat kabar perempuan yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan kemajuan perempuan, khususnya perempuan Minang. Surat kabar tersebut didirikan di Kota Gadang tahun 1911. Rohana Kudus menyuarakan gagasannya lewat surat kabar Sunting Melayu. Atas usaha yang dilakukan, maka kemudian Rohana Kudus tercatat sebagai salah satu perintis pers Indonesia. Meskipun Rohana Kudus tidak 94

Lucy A. Whalley, Meletakkan Islam ke Dalam Praktek: Perkembangan Islam dalam Perspektif Gender Minangkabau, dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, cet 1, 1998), h. 217 dalam Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat, Quantum Teaching, 2005), h. 46-47 95 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 805 96 Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang dan mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet ke-1, h. 287 97 Kongres Wanita Indonesia, Sejarah setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), cet k 1, h. 2-15 dalam Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, ..., h. 48 98 Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, ..., cet ke-1, h. 287

44

mendapatkan pendidikan formal, akan tetapi ia menyadari betul arti penting dari media bagi pencapaian cita-citanya. 99 Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-mena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan. d. Rasuna Said Rasuna Said lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 14 September 1910. Dari semenjak gadisnya, ia telah menunjukkan bakat dan perhatian di bidang politik.100 Rasuna giat dalam Permi (Persatuan Muslim Indonesia) yang didirikan pada tahun 1930. Sebagai seorang tokoh Permi, Rasuna Said menjadi seorang juru pidato yang tangguh. Dalam pidatonya, Rasuna membakar semangat bangsa Indonesia untuk bangkit menentang penjajah Belanda. 101 Namun pada tahun 1932, Rasuna dijatuhi hukuman penjara satu tahun di penjara Bulu, Semarang karena dituduh menghasut rakyat untuk memberontak. Setelah bebas, ia kemudian pindah ke Medan, disana ia mendirikan Perguruan Putri dan Majalah Menara Putri di Medan.102 Lewat majalah inilah Rasuna Said menyuarakan suara hatinya dan pendiriannya dengan bebas. Selain itu, Ia juga pernah mengajar di Diniyah Putri yang didirikan Rahmah El-Yunisiah. Tahun 1930 ketika ia menjadi guru di Diniyah Putri, ia mulai mengemukakan pada pelajaran yang diberikan maupun dalam pembicaraan-pembicaraan yang bersifat pribadi dengan para pelajar tentang pentingnya politik dan partisipasi pelajar di dalamnya. Menurut Rasuna, pelajar 99

Kartini Syahrir, Para perempuan Indonesia di Media Massa, dalam Daniel Dhakidae, Perempuan, Politik dan Jurnalisme: Tujuh Puluh Tahun Tuty Aziz, (Jakarta: Yayasan Padi Kapas, 1994), h. 58 dalam Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, ..., h. 4849 100 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 806 101 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 806 102 Nani Soewondo-Soerasno, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, ...,h. 195

45

hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam kepandaian yang diperlukan oleh seseorang yang akan berkecimpung dalam pergerakan. 103 Sesudah proklamasi kemerdekaan, Rasuna Said diangkat menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNIP), kemudian menjadi anggota DPRS, dan DPA. Pada tahun 1963, Rasuna Said berpulang ke Rahmatullah di Parabek Bukittinggi. 104 Rasuna berjuang terus, tak mengenal lelah. Seluruh perhatian, kepandaiannya, kesanggupan, tenaga dan pikirannya ditumpahkan untuk perjuangannya dalam memajukan bangsa, terutama harkat dan martabat kaum perempuan. e. Raden Ayu Lasminingrat Dilahirkan pada tahun 1843 di Kota Intan, Garut. Beliau adalah putri Raden Muhammad Musa, Kepala Penghulu Kabupaten Garut, pendiri Sekolah Raja, dan pada saat itu menjabat sebagai penasehat pemerintah. 105 Meskipun terlahir dari keturunan bangsawan, Raden Ayu Lasminingrat tidak disekolahkan, karena pada saat itu di Garut belum ada sekolah khusus untuk kaum perempuan. Sebagai gantinya, beliau disekolahkan di rumah Kontroleur Levisan, seorang bangsa Belanda. Di sana Raden Ayu Lasminingrat belajar menulis, membaca, Bahasa Belanda, kebudayaan Barat dan pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan kewanitaan. Raden Ayu Lasminingrat adalah seorang perempuan yang memiliki otak yang cerdas, kemauan keras, cita-cita yang tinggi dan tekun belajar, maka segala pengetahuan yang diperolehnya dapat dikuasainya dengan cepat, sehingga beliau menjadi wanita Sunda pertama yang fasih berbahasa Belanda dengan orang-orang Belanda yang ada di Garut waktu itu. 106 Walaupun Raden Ayu Lasminingrat memiliki harkat dan derajat yang cukup tinggi, baik di lingkungan keluarga maupun dalam ketajaman intelektual,

103

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,..., cet ke-2, h. 64 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 806-807 105 Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998), h. 90 106 Kadir Tisna Sutan, Ibu Lasminingrat Pelopor Pendidikan yang terlupakan, Kawit, Bulletin Kebudayaan Jawa Barat, 1980, h. 4 dalam Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 90 104

46

semua itu tidak sepenuhnya membahagiakan hati beliau. Kehidupan kaum perempuan Sunda khususnya dan perempuan Indonesia pada umumnya, yang masih erat terbelengggu kebodohan akibat adat lama akibat penjajahan, selalu menjadi bahan pemikiran beliau. Dalam hal ini, beliau telah merasakan apa arti pendidikan dan pengetahuan bagi kehidupan manusia. Bertolak dari permasalahan di atas, Ayu Lasminingrat berusaha mendobrak adat lama yang tidak mengizinkan kaum perempuan memperoleh pendidikan. Pada tahun 1907 beliau mendirikan ”Sekolah Kautamaan Istri” di lingkungan Pendopo Garut, dengan mengambil tempat di ruang gamelan. Di sekolah tersebut beliau mulai mendidik beberapa orang putri bangsawan dan anakanak pesuruh yang ada di lingkungan kabupaten. Mereka dididik dan diajari membaca, menulis serta berbagai keterampilan wanita. 107 Raden Ayu Lasminingrat mendirikan sekolah tersebut karena beliau memiliki sifat dan jiwa pendidik serta menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan bagi kaum wanita. Selain itu, beliau tergugah oleh gagasangagasan Raden Dewi Sartika yang seringkali berkunjung kepadanya. 108 3. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat Pendidikan untuk penduduk golongan Eropa maupun penduduk golongan Bumiputra dapat dilaksanakan dan dikembangkan di Jawa Barat pada abad ke-19. Diantaranya: Usaha pertama kali oleh Reinwardt dengan mendirikan ELS (Europeeshe Lagere School) pada 24 Februari 1817. Sekolah ini mencontoh sekolah dasar yang ada di Belanda. Sekolah ini merupakan sekolah khusus untuk anak-anak Belanda. Pada tahun 1820 sekolah ini dikembangkan menjadi 7 buah, yaitu 2 buah di Jakarta (di Weltevreden dan Molenvliet) dan masing-masing 1 buah di Cirebon, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Gresik.109 Disekolah dasar itu diberikan pelajaran menulis, membaca, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, dan ilmu bumi.

107

E.M. Dachlan d/h Redacteur Sipatahunan, (Jakarta: September, 1980) dalam Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 90 108 E.M. Dachlan d/h Redacteur Sipatahunan dalam Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 90 109 Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, (Jakarta: Dep. PK BP3K, 1979), h. 41

47

Setelah pendidikan dasar tersebut berlangsung selama kurang lebih 9 tahun, pada tahun 1826 kegiatan pendidikan dan pengajaran terganggu oleh usaha-usaha penghematan yang dilakukan oleh pemerintah (Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignes), sehingga urusan pendidikan dan pengajaran sangat disederhanakan. 110 Sementara itu pada tahun 1830 kekuasaan di Indonesia beralih ke tangan Gubernur Jenderal Van den Bosch, “bapak” Cultuurstelsel” atau tanam paksa. Untuk kelancaran Cultuurstelsel, Van den Bosch sangat membutuhkan tenaga pekerja yang terdidik. Oleh karena itu bidang pendidikan, baik untuk golongan Eropa maupun untuk golongan Bumiputra ditingkatkan. Pendidikan untuk golongan Bumiputra bertujuan untuk mendapatkan tenaga pendidik dengan biaya murah. Karena bila pegawai untuk administrasi pemerintah ataupun pekerja bawahan harus didatangkan dari Negeri Belanda, sudah tentu memerlukan biaya yang besar. Van den Bosch

selau Gubernur

Jenderal Hindia Belanda memberikan (1830-1834) merasakan bahwa tanpa bantuan penduduk Bumiputra yang terdidik, maka pembangunan ekonomi Hindia Belanda yang menjadi tugas utama Van den Bosch tidak akan berhasil. 111 Untuk itu dibukalah pendidikan untuk golongan Bumiputra, agar pelaksanaan Cultuurstelsel mendatangkan keuntungan besar sehingga dapat memperbaiki kondisi ekonomi negeri Belanda. Demikianlah pada tahun 1833 jumlah sekolah dasar dikembangkan menjadi 19 buah, tahun 1845 menjadi 25 buah, tahun 1858 menjadi 57 buah, tahun 1895 menjadi 159 buah, kemudian tahun 1902 meningkat lagi menjadi 173 buah. 112 Sekolah Dasar Bumiputra dibagi menjadi dua kategori, yaitu 113: 1. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) Sekolah ini didirikan di ibukota keresidenan kabupaten, kewedanaan atau yang sederajat, dan di kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan kerajinan atau di tempat-tempat yang dipandang perlu untuk memiliki sekolah ini. Murid110

I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Ilmu, 1976), h. 121 Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, ..., h. 51 112 Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, ..., h. 50 113 Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 52-60 111

48

murid yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak golongan masyarakat atas, seperti anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang Bumiputra yang terhormat. Hal ini disebabkan anak sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan administrasi pemerintahan, perdagangan, dan perusahaan. Lama belajar pada Sekolah Kelas Satu adalah 3 tahun, dengan bahasa pengantar mula-mula bahasa Melayu dan daerah, tetapi kemudian secara berangsur-angsur diubah menjadi bahasa Belanda (tahun 1914). Sekolah Kelas Satu kemudian berkembang menjadi HIS (Hollandsch Inlandsche School). HIS dibuka bukan karena direncanakan oleh pemerintah, melainkan atas desakan masyarakat Indonesia, khususnya golongan masyarakat atas. Hal ini disebabkan Sekolah Kelas Satu terbukti tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan pelajaran. Selain itu, masyarakat meminta agar kesempatan masuk sekolah Belanda diperluas, sebab ujian Klein Ambtenaar terbukti terlalu sukar untuk anak-anak Sekolah Kelas Satu. 2. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse) Sekolah ini dibuka dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat umum. Dengan kata lain, sekolah tersebut disediakan bagi anak-anak Bumiputra dengan tujuan untuk mendidik calon-calon pegawai rendah. Perbedaan antara Sekolah Kelas Satu dengan Sekolah Kelas Dua terletak pada lama belajar, kurikulum, tenaga pengajar, dan ruang sekolah. Lama belajar pada Sekolah Dasar Kelas Dua selama 5 tahun. 3. Gymnasium Willem III Pada tahun 1860 di Jakarta dibuka Gymnasium Willem III yang merupakan sekolah lanjutan (menengah) pertama untuk anak-anak golongan Eropa dengan lama belajar 3 tahun. 114 Pada tahun 1867 sekolah tersebut dibagi menjadi dua bagian (afdeling). Bagian A dengan lama belajar 5 tahun dan dapat meneruskan ke Perguruan Tinggi. Bagian B dengan lama belajar 3 tahun, kemudian dapat melanjutkan ke Perguruan Perwira, Pendidikan Pegawai Negeri atau Akademi Perdagangan dan Kerajinan di Delf Negeri Belanda. Selanjutnya

49

Gymnasium diubah menjadi Hogere Burgerschool (HBS), dengan lama belajar 5 tahun. 115 4. Sekolah Raja (Hoofdenschool) Hoofdenschool atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut Sekolah Raja, mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan tahun 1872. Sekolah ini disediakan bagi anak-anak dari orang-orang Bumiputra yang menjadi kepala daerah dan tokoh-tokoh golongan Bumiputra lainnya. Setelah percobaan di Tornado berhasil, maka pada tahun 1878 sekolah Raja didirikan lagi di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini merupakan lanjutan umum dengan tujuan mendidik calon-calon pegawai Bumiputra. Oleh karena itu, setelah percobaan pendirian sekolah di kota-kota tersebut di atas berjalan lancar, maka pada tahun 1900, Sekolah Raja berganti nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor Inalndsche Ambtenaren: Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputra). Selanjutnya sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah menengah dengan nama MOSVIA. 5. Sekolah Pertukangan Sekolah kejuruan pertama kali dibuka atas prakarsa pihak swasta pada tahun 1856 di Batutulis, Jakarta. Murid-muridnya berusia 6-15 tahun. Tujuan dibuka sekolah ini adalah untuk membantu golongan peranakan Indo-Belanda agar dapat mencari penghidupan yang layak. Namun sekolah ini hanya bertahan sampai tahun 1873. Pada tahun 1860 pihak pemerintah juga membuka sekolah pertukangan namun inipun tidak dapat bertahan lama. Hal ini disebabkan sedikitnya biaya pengolahan sekolah atau kurangnya animo murid-murid. 6. Sekolah Pendidikan Guru (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) Setelah pendidikan guru (Kweekschool) dibuka dengan maksud sebagai persiapan untuk pendidikan sekolah-sekolah Bumiputra. Pada tahun 1834 dibuka di Ambon. Di Pulau Jawa pada tahun 1852 di Surakarta. Pada tahun 1866 dibuka di Bandung dengan murid pertama berjumlah 27 orang, diantaranya pindahan dari HIK Surakarta.

115

Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, ..., h. 51

50

Semula bahasa pengantar pada HIK adalah bahasa Melayu, tetapi setelah bahasa Belanda pada tahun 1865 diajarkan, maka sejak tahun 1871 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar. Di daerah Priangan (Jawa Barat), HIK biasa disebut juga “Sekolah Raja”, yaitu di Bandung, maka pendidikan Bumiputra di Jawa Barat dapat berkembang karena adanya tenaga guru untuk mengajar, baik di sekolah pemerintah maupun di sekolah swasta misalnya di HIS, termasuk HIS Pasundan. Setelah lahirnya Politik Etis maka pendidikan tersebut diatas berangsurangsur membaik dan semakin banyak. Diantara sekolah yang baru didirikan ialah sebagai berikut116: 1. Sekolah Bumiputra-Belanda (Hollandsch Inlandscheschool) HIS yang dimulai didirikan pada tahun 1914 merupakan penjelmaan dari Sekolah Kelas Satu. Di Jawa Barat HIS pemerintah dibuka di Jakarta, Bandung, Sumedang, Ciamis, dan Kuningan. HIS Pasundan (swasta) terdapat di Bandung, Ciparay, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Karawang, Purwakarta, Tasikmalaya, dan kota-kota lainnya. 2. Sekola Desa Pertama kali didirikan pada tahun 1907 dan disediakan untuk anak-anak rakyat biasa yang tinggal di desa-desa. Lama belajarnya 3 tahun. Pengetahuan yang diajarkan hanyalah sekedar kepandaian membaca, menulis, dan berhitung. Di Jawa Barat, sekolah ini antara lain terdapat di desa-desa di lingkungan kota Bandung, Cirebon, dan Ciamis. 3. Sekolah Lanjutan (Vervoigschool) Sekolah ini dibuka pada tahun yang bersamaan dengan tahun pendirian HIS, yaitu tahun 1914 dan merupakan sekolah lanjutan dari Sekolah Desa (Volkschool). Lama belajarnya 3 tahun dan disediakan untuk murid-murid Sekolah Desa yang berprestasi baik. Pada sekitar tahun 1915 di Jawa Barat, Vervolgschool dan Sekolah Kelas Satu/HIS telah berdiri hampir di tiap kabupaten.

116

Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 73-78

51

4. Sekolah Peralihan (Shakeschool) Di Jawa Barat, sekolah ini pertama kali didirikan di Bandung pada tahun 1921 dan di Jakarta pada tahun 1924. Disebut sekolah peralihan karena memang sekolah tersebut merupakan peralihan dari Sekolah Desa 3 tahun yang berbahasa pengantar bahasa daerah ke sekolah dasar yang berbahasa Belanda dengan lama belajar 5 tahun. 5. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) MULO pertama kali didirikan pada tahun 1914 dan merupakan sekolah umum yang berdiri sendiri (sekarang SMP) yang terbuka bagi golongan Bumiputra dan Timur. Lama belajar MULO selama 3 tahun 6. AMS (Algemeene Middelbaresschool) AMS merupakan kelanjutan dari MULO dan sekaligus merupakan persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, dengan lama belajar 3 tahun. Setaraf dengan SMA. Pada tahun 1920 membuka AMS di Bandung.

BAB III RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA

A. Latar Belakang Keluarga Raden Dewi Sartika dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1884 di Bandung dalam kalangan menak (bangsawan) Sunda, sebagai putri kedua dari lima bersaudara. Ayahnya adalah Raden Rangga Somanagara, Patih Bandung, dan Ibunya adalah Raden Ayu Rajapermas. Raden Dewi Sartika mempunyai saudara empat orang, yaitu Raden Sumamur (kakaknya) dan tiga orang adiknya masingmasing bernama Raden H.Yunus, Raden Entis, dan Raden Sarti Pamerat. 117 Raden Rangga Somanagara adalah salah seorang putra dari perkawinan Raden Demang Suriadipraja dengan Raden Ayu Komalanagara. Adapun kakeknya dari garis ayah dikenal sebagai mantan Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala) di Bandung. Selain itu ia juga masih keturunan keluarga Dalem Timbanganten yang menjadi cikal bakal pendiri kabupaten Bandung. Sedangkan ibunya, Raden Ayu Rajapermas

merupakan salah seorang putri dari Raden Aria

117

Adipati

Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2006), h. 92

52

53

Wiranatakusumah IV yang pernah menjabat sebagai bupati Bandung (1846-1874) dan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Bintang. 118 Saat di Bandung, Raden Dewi Sartika tinggal bersama orangtua dan saudara-saudaranya di sebuah rumah besar dan luas yang terletak di pinggir jalan raya, tepatnya di Kepatihan Straat. Di beranda atau tepas, terlihat pot-pot bunga berisi tanaman suflir dan kuping gajah yang tertata rapi. Sedangkan di halamannya yang cukup luas itu ditumbuhi berbagai tanaman keras serta bungabunga yang asri, termasuk diantaranya bunga hanjuang merah yang menjadi ciri khas orang Sunda.119 Raden Dewi Sartika sangat rajin, dan suka kepada segala sesuatu

yang

baru,

serta

dari

kecil

telah

tampak

pula

sifat-sifat

kepemimpinannya. 120 Gerak-geriknya lincah, sigap, berani. Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Walaupun Raden Dewi Sartika agak tomboy, akan tetapi setiap harinya ia mengenakan kebaya dan kain panjang. Jika berangkat ke sekolah atau bepergian kemana saja, ia selalu diantar dengan delman yang dihias. Mengenakan busana yang terbuat dari bahan mahal serta perhiasan yang indah. Kehidupan sehari-haripun diurus dan dilayani oleh para abdi dalem yang setia, patuh dan hormat.121 Setiap ada acara yang cukup penting, ayahnya sering mengajak Raden Dewi Sartika serta saudara-saudaranya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di Tegalega, pagelaran hiburan rakyat dan lain sebagainya. 122 Namun kebahagiaan itu, berubah ketika tahun 1893, Raden Rangga Somanagara dituduh terlibat dalam percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung R.A.A.Martanegara (keturunan menak Sumedang) dan para pejabat Belanda di Kota Bandung. 123 Dalam aksinya Raden Rangga Somanagara, ayah Raden Dewi Sartika, bertindak bersama ayahnya, yang juga kakek Raden Dewi Sartika yaitu Raden Demang Suriadipraja (hoofd jaksa) Bandung dan beberapa tokoh menak lainnya, diantaranya Raden 118

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: Yayasan Awika&PT. Grafitri Budi Utami, 1996). h. 28 119 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h.29 120 Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998), h. 84 121 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29-30 122 Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010), cet ke-1, h. 6 123 Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat,..., h. 92

54

Rangga Kartadireja, Raden Danugara, Raden Natanagara, Raden Wira Sudibya, Haji Abdul Kahar, dan Raden Argawijaya. Atas tuduhannya itu, Raden Rangga Somanagara dibuang ke Ternate, yang terlebih dahulu pada tanggal 22 Juli 1893, dimutasi

menjadi

Patih

Afdeling

Mangunreja,

menggantikan

jabatan

R.A.A.Martanegara. Sementara jabatan Patih Bandung digantikan oleh Raden Tisnakusumah yang semula menjabat sebagai Patih Sumedang. 124 Sementara itu, ayahnya, yang juga kakek Raden Dewi Sartika, Raden Demang Suriadipraja dibuang ke Pontianak. 125 Sejumlah tokoh lainnya yang terlibat, ada yang dikenakan hukuman buang di sekitar Pulau Jawa, atau menjalani hukuman kurungan selama 20 tahun dan dikenakan kerja rodi untuk kepentingan Gubernemen. Selain diasingkan, harta kekayaan mereka pun disita. 126 Setelah ditinggalkan oleh ayah dan ibunya ke pengasingan, kehidupan Raden Dewi Sartika berubah drastis. Ia tinggal di rumah kakak kandung ibunya di Cicalengka yang bernama Raden Demang Aria Surakarta Adiningrat. Semula Raden Dewi Sartika terbiasa hidup enak dan serba dilayani oleh abdi dalem, setelah ayahnya dibuang, ia harus hidup susah. Perlakuan tidak ramah dan kasar sering dialami oleh Dewi kecil. Raden Dewi Sartika dianggap sebagai anak pemberontak. Siapa pun yang membela atau memperlakukannya dengan baik, akan dianggap sebagai pro pemberontak. Karena alasan itulah, pamannya yang juga patih Cicalengka, memperlakukan dia sebagai abdi dalem atau pembantu di rumahnya.127 Selain itu, Raden Dewi Sartika dikeluarkan dari sekolahnya, karena pihak sekolah tidak mau menerima anak pemberontak. Akhirnya, Dewi kecil mulai terbiasa dengan pekerjaan yang layaknya dilakukan oleh para pembantu, seperti mencuci,

membereskan

rumah,

menyapu

rumah,

memasak

dan

menghidangkannya, serta semua pekerjaan rumah sehari-hari lainnya. Yang membedakan Raden Dewi Sartika dengan abdi dalem lainnya adalah dia dapat 124

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 35 Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994), h. 162 126 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 36 127 Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 14 125

55

membaca dan menulis karena dia pernah bersekolah di Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse Inlandsche School) di Bandung, sekolah khusus anak-anak Belanda dan anak priyayi. 128 Meskipun sehari-hari ia diperlakukan seperti abdi dalem, tapi pancaran wajahnya tetap memantulkan darah kebangsawanannya. Ibarat kata pepatah, jika terbuat dari loyang meskipun diletakkan di etalase tetap saja loyang. Dan meskipun terbuat dari emas, bila ditempatkan di tempat kotor, tetap saja bernilai emas. Hal demikian dalam bahasa Sunda disebut sorot. Dan sorot itu diyakini tidak bisa dibuat-buat, karena ia adalah anugerah dari Kanjeng Gusti Allah. Nampaknya kecantikan Raden Dewi Sartika mengundang hasrat Raden Kanjun yang sudah beristri, berniat memperistri Raden Dewi Sartika sebagai istri yang kedua. Namun Raden Dewi Sartika menolak secara halus ajakan anak dari istri ketiga pamannya itu.129 Penolakannya, bukan hanya disebabkan karena tidak menaruh hati pada saudaranya misannya itu, juga karena ia tidak bisa menganut paham poligami, dan tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. 130 Setelah Raden Dewi Sartika kembali tinggal dan hidup dengan ibunya di Bandung, tepatnya setelah Raden Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri. Ia kembali dilamar oleh seorang lelaki yaitu dari salah satu anak Pangeran Djajadiningrat melalui utusan yang datang dari Banten yang menemui R.A.Rajapermas. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Raden Dewi Sartika, karena menurutnya dirinya tak mungkin bisa menikah dengan pria yang belum dikenalnya dengan baik, dan yang belum tentu mengena dihatinya. 131 Akhirnya, pada tahun 1906 Raden Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata.132 Raden Agah Kanduruan sendiri merupakan seorang duda beranak dua, namun salah satu anaknya meninggal menyusul

128

Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 16 Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18 130 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 51 131 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 64 132 Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 42 129

56

istrinya yang lebih dahulu meninggal. Ia adalah seorang guru Eerste Klasse School di Karang Pamulang.133

B. Latar Belakang Pendidikan Orangtua Raden Dewi Sartika sangat menginginkan anaknya tumbuh dengan cerdas dan pintar. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, maka Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste Klasse School yakni sekolah setingkat sekolah dasar. Pada prinsipnya sekolah tersebut hanya untuk anak-anak Belanda dan peranakan, tapi sehubungan Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya adalah putri Patih, maka ia diperbolehkan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Disitulah mereka mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan Inggris. 134 Di sekolah tersebut Raden Dewi Sartika termasuk ke dalam golongan murid yang maju, sungguh-sungguh dalam belajar dan sukai oleh temantemannya. Sayang ia tidak dapat menamatkan sekolahnya (hanya sampai kelas 3) karena ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya karena musibah telah menimpa ayahandanya. Raden Rangga Somanegara, ayah Raden Dewi Sartika telah dituduh sebagai pelopor pemberontakkan yang akan menggulingkan kedudukan Bupati Bandung masa itu. 135 Dari kejadian itulah, Raden Rangga Somanagera diasingkan ke Ternate, hal itu menjadikan kaum kerabat dan masyarakat menjauhkan diri dari kehidupan mereka, sebab takut dicurigai atau dianggap bersekutu dengan “pemberontak”.

Sekolah-sekolah

tidak

mau

menerima

kelima

anak

R.A.Rajapermas sebagai muridnya. Mereka takut kepada tindakan Pemerintah Hindia Belanda, sebab menerima anak seorang “pemberontak”. Karena keadaan tidak memungkinkan untuk terus belajar, Raden Dewi Sartika kemudian dibawa pamannya ke Cicalengka, yang diangkat sebagai Patih Cicalengka. 136 Di tempat uwaknya tersebut, Raden Dewi Sartika tetap mendapatkan pendidikan dari istri ke empat Raden Aria Suriakarta, yakni Nyi Raden Eni (Agan 133

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 66 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29 135 Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85 136 Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, ..., h. 92-93 134

57

Eni). Oleh uwaknya ia dididik dan dibekali bermacam-macam ilmu pengetahuan yang perlu untuk perempuan. Ia merasa bangga karena pada waktu itu ia merupakan satu-satunya diantara wanita-wanita di lingkungannya yang sudah pandai membaca dan menulis. 137 Dalam pengajarannya, Agan Eni mengajarkan para perempuan menak bawah tentang kepandaian bertutur, bertingkah laku, memasak makanan sehat, berdandan, dan semua hal yang sudah seharusnya wanita kuasai untuk menyenangkan suami. 138 Pada waktu itu Raden Dewi Sartika sudah memperlihatkan minat terhadap usaha dalam mendidik kaumnya. Bila ada kesempatan bermain dengan sesama gadis para menak, Raden Dewi Sartika sering bermain sekolah-sekolahan, dimana ia bertindak sebagai guru sedangkan teman-temannya sebagai murid. Ia juga sering membantu teman-temannya yang buta huruf untuk membacakan suratsurat yang mereka terima. Mungkin, hal tersebut yang kelak menjadi pendorong bagi Raden Dewi Sartika untuk memberikan peluang bagi kaum perempuan dari kalangan masyarakat biasa, agar memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan melalui jenjang pendidikan yang akan menjadi pembuka atau jalan bagi kehidupan yang lebih baik.

C. Karya-karya Karangan-karangan Raden Dewi Sartika dalam pidatonya tentang Konsep Pendidikan bagi Kaum Perempuan. Karangan tersebut disampaikan dalam pidatonya di Surabaya dalam acara Sarekat Islam atas undangan HOS Tjokroaminoto sekaligus perayaan tujuh tahun didirikannya Sakola Kautamaan Istri di Bandung dengan judul: 1. Kautamaan Istri yang berisi tentang keutamaan perempuan dalam kehidupan teruatam hak untuk mendapatkan pendidikan. 2. Wanita Pribumi yang berisi tentang keadaan wanita pribumi pada masa kolonial (masa Raden Dewi Sartika).

137 138

Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85-86 Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18

BAB IV KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN DEWI SARTIKA A. Latar Belakang Berdirinya Sekolah Kautamaan Istri Dari semenjak kecil Raden Dewi Sartika sudah bercita-cita menjadi seorang guru. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan layaknya seorang guru di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu di kepatihan. 139 Cita-citanya tersebut semakin kuat untuk dilaksanakan, setelah terjadi prahara di kepatihan yang menyebabkan Ayahnya harus dibuang ke Ternate, karena dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap bupati Bandung yang akan dilantik pada saat itu, R.A.A. Martanegara.140 Raden Ayu Rajapermas, Ibu Raden Dewi Sartika, memutuskan untuk ikut menemani suaminya ke Ternate.141 Raden Dewi Sartika merasakan pedihnya ditinggal oleh kedua orangtuanya, terlebih lagi ibunya yang sebenarnya tidak menerima hukuman buang ke Ternate, namun lebih memilih menemani ayahnya daripada menjaga dan mengasuh ia dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Kejadian itu membukakan pikirannya untuk mengubah jalan pikiran perempuan agar lebih mandiri dalam 139

Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010), cet ke-1, h. 12 Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994), h. 162 141 Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 14 140

58

59

menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan kemampuan yang perempuan miliki, selayaknya kaum perempuan harus dapat keluar dari bayang-bayang kaum pria. Karena bagaimanapun, tak selamanya seorang istri terus berada di belakang suaminya. Selain itu, ketika Raden Dewi Sartika tinggal bersama uwaknya, di Cicalengka, ia melihat kehidupan rumah tangga uwaknya yang berpoligami. Raden Aria Suriakarta Adiningrat, uwak Raden Dewi Sartika, memiliki empat orang istri. Bahkan konon walaupun telah memiliki empat orang istri, Raden Aria Suriakarta Adiningrat masih suka mengganggu istri-istri bawahannya, bahkan ketika berburu ia suka memanfaatkan kesempatan mencari wanita yang bisa dikencani. 142 Dari realitas kehidupan yang ia alami di rumah uwaknya, Raden Dewi Sartika melihat bahwa seorang istri tidak berdaya ketika suaminya ingin memiliki istri lagi, dan tidak dapat menolak keinginan suaminya itu. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan perempuan lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang istri harus menerima apapun yang suaminya berikan kepadanya, tanpa bisa menolak sedikitpun. Selain melihat kehidupan keluarga yang berpoligami, Raden Dewi Sartika pun melihat realita bahwa keponakan-keponakannya, serta anak-anak abdi dalem yang sebaya dengannya tidak dapat membaca dan menulis. Hal itu diketahui ketika ia dan teman-teman sebayanya mendapatkan pengajaran dan pendidikan dari Agan Eni, istri keempat uwaknya, Raden Aria Suriakarta Adiningrat. Dari seluruh anak-anak yang diajar oleh Agan Eni, hanya Raden Dewi Sartika yang pandai membaca dan menulis, hal itu disebabkan karena ia sebelumnya telah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Pada waktu itulah ia merasa bangga karena ia merupakan satu-satunya murid yang sudah pandai membaca dan menulis. Oleh karena itu ia seringkali dimintai pertolongan oleh teman-teman sebayanya untuk menulis surat atau membacakan surat. 143 142

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998), h. 50 Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947, (Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi Sartika), h. 2 143

60

Keadaan keponakan-keponakan dan teman-teman Raden Dewi Sartika, yang dibiarkan bodoh akan baca tulis, dapat membahayakan bagi nasib kaum perempuan itu sendiri. Karena jika mereka meminta tolong kepada orang lain, untuk membaca atau menuliskan surat, maka tidak menutup kemungkinan mereka bisa ditipu oleh orang lain. Hal inilah yang membuka pikirannya bahwa anak perempuan harus bisa menulis dan membaca, agar dapat menjaga dirinya dan tidak menjadi korban penipuan. Ketika ibunya kembali ke Bandung setelah ayahnya meninggal di Ternate, Raden Dewi Sartika pun memutuskan pergi dari rumah uwaknya dan hidup bersama ibunya. Namun tak disangka kehidupannya terasa pahit, karena ibunya sudah jatuh miskin dan tidak memiliki kemampuan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Karena semua hartanya disita oleh pemerintah ketika suaminya, Raden Somanagara diasingkan ke Ternate. Karena Raden Ayu Rajapermas, ibunya Raden Dewi Sartika tidak mendapat pengajaran dan pendidikan, sehingga ia tidak bisa mencari nafkah untuk kelima putra-putrinya, apalagi untuk hidup di atas kaki sendiri. Sehingga ia dan keluarga hidup dalam keadaan serba kekurangan dan banyak mendapat kesulitan-kesulitan dalam menjalani kehidapannya. Hal ini mengakibatkan penderitaan batin bagi ibu Raden Dewi Sartika. 144 Raden Raden Dewi Sartika sangat prihatin akan ketidakberdayaan ibunya sebagai seorang perempuan. Dalam pikirannya, sudah tentu banyak perempuan yang bernasib buruk dan tidak berdaya seperti ibunya, lebih-lebih di kalangan rakyat kecil. Kesedihan dan keprihatinan yang dialaminya telah membukakan mata hatinya untuk berusaha mengubah jalan pikiran kaum perempuan sebangsanya sehingga timbullah keinginan untuk memperbaiki kehidupan mereka dengan jalan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada kaum perempuan supaya mereka dapat memiliki berbagai kecakapan yang diperlukan sebagai perempuan, terutama calon ibu rumah tangga.

144

Panitia peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947,..., h. .3- 4

61

Seorang perempuan tidak boleh bergantung kepada suami, keluarga atau kebaikan hati orang lain. Kaum perempuan harus mendapatkan pengajaran dan pendidikan sedemikian rupa sehingga ia sanggup dan dapat berdiri di atas kaki sendiri. Terlebih-lebih Raden Dewi Sartika telah merasakan dan menyaksikan sendiri perlakuan yang sangat berbeda antara pendidikan bagi perempuan dan laki-laki waktu itu, yang menjadikan posisi kaum perempuan berada di nomor dua daripada laki-laki dalam menerima pendidikan. Maka, ia semakin mempunyai tekad untuk berjuang terus melaksanakan cita-citanya dalam memajukan kaum perempuan untuk dapat mendapatkan pendidikan yang layak, dan memperkuat keteguhan untuk berjuang dalam memajukan kaum perempuan. Namun tidak hanya itu, keadaan sosial yang masih terikat dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat pun mengikat anak perempuan untuk berkembang. Ketika anak perempuan menginjak usia 12 tahun, ia mulai dipingit oleh orang tuanya. Mereka tidak diizinkian ke luar rumah tanpa sepengatahuan orang tuanya. Di rumah, mereka hanya belajar mempersiapkan diri untuk terampil di dapur sambil menunggu nasibnya disunting oleh laki-laki yang hendak menjadikannya istri. Bagi mereka yang sedang sekolah, tidak ada pilihan lain kecuali harus ke luar dari sekolah. 145 Dengan kondisi sosial budaya seperti itu, betapa besar kesulitan yang dihadapi Raden Dewi Sartika untuk mewujudkan cita-citanya. Karena sulit baginya untuk mengubah suatu keadaan yang sudah tertanam dalam masyarakat dan menjadikannya suatu perubahan demi menciptakan peradaban baru dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi, baginya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya tersebut justru semakin memperkuat keinginannya untuk dapat memberikan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, yang ia realisasikan dengan mendirikan sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus bagi kaum perempuan. Keinginannya itu dapat terwujud dengan bantuan Bupati Bandung R.A.A. Martanegara yaitu pada tanggal 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika 145

Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006), h. 94

62

dapat mendirikanlah sebuah sekolah yang khusus untuk kaum perempuan yang bertempat di Paseban Kulon, Kompleks Pendopo Kabupaten Bandung dengan nama “Sakola Istri” dan kemudian diganti dengan nama “Sakola Kautamaan Istri.146

B. Berdirinya Sakola Kautamaan Istri Semua pengalamannya baik ketika tinggal bersama uwaknya di Cicalengka, maupun ketika kembali tinggal bersama ibunya di Bandung, telah menyadarkan Raden Dewi Sartika bahwa selayaknyalah kaum perempuan harus mampu mandiri dan terampil. Untuk itu anak perempuan harus dididik dan dibina agar menjadi manusia yang dapat mengembangkan potensinya dan supaya dikemudian hari mereka dapat menjadi ibu yang baik, yang sanggup melindungi keluarganya. Karena dari ibu yang baik akan lahir generasi yang baik. Oleh karena itu, ia mulai berpikir untuk mewujudkan cita-citanya untuk mendidik anak-anak perempuan dari kalangan menak maupun rakyat jelata demi kemajuan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri, sehingga dapat menjadi manusia berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dan hanya dengan pendidikanlah jalan keluarnya. Maka, inilah alasan mengapa Raden Dewi Sartika mencetuskan gagasan untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan. Usahanya dalam mengajar dan mendidik kaum perempuan, dilakukan pertama kali pada tahun 1902 ketika ia kembali ke rumah ibunya di Kota Bandung. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, dia mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan, seperti merenda, menyulam, merancang pakaian, tatakrama, memasak, menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya. Mereka pun sangat senang diajari oleh Raden Dewi Sartika sehingga pengetahuan mereka semakin bertambah. Sebagai imbalan atas

146

Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947, ...h. 5

63

pelajaran yang diberikan Raden Dewi Sartika, biasanya murid-muridnya membawa makanan, beras, garam, buah-buahan dan sebagainya. 147 Kegiatan belajar mengajar yang dirintis Raden Dewi Sartika perlahanlahan tercium oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung yang bernama C. Den Hammer. Pada mulanya, Den Hammer menilai kegiatan tersebut adalah kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Terlebih Raden Dewi Sartika adalah anak dari Patih Somanagara yang dikenal menentang Gubernemen. Tetapi, setelah melihat secara dekat, dengan cara mendatangi rumah R.A. Rajapermas untuk melihat kegiatan pengajaran yang dilakukan Raden Dewi Sartika, akhirnya C. Den Hammer menilai kegiatan tersebut tidak membahayakan dan bahkan dinilai positif, sehingga ia terkesan dengan pemikiran dan keinginan Raden Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi anak perempuan.148 Karena terkesan dan simpati, secara pribadi maupun sebagai pejabat Inspektur Pengajaran, Den Hammer menyatakan dukungannya atas rencana untuk mendirikan sekolah untuk kaum perempuan, bahkan Den Hammer menyuruhnya agar segera mendirikan sekolah tersebut. Namun, dukungan Den Hammer ternyata tidak cukup, karena masih saja ada yang menghalangi usahanya tersebut. Bahkan ketika Raden Dewi Sartika menghubungi kerabat dekat dan sanak keluarganya untuk membantu mendirikan sekolah bagi anak perempuan, semua yang dihubunginya justru menolak dan menentang gagasan tersebut dengan alasan adat istiadat. Seperti yang diungkapnya dalam salah satu artikelnya, dia menyayangkannya,”.......masih banyak diantara orang-orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”.149 Dengan kenyataan itu, Den Hammer ikut prihatin. Melihat kenyataan bahwa keluarga Raden Dewi Sartika tidak mendukung cita-citanya dalam mendirikan sekolah bagi anak perempuan, akhirnya Den Hammer mengusulkan agar ia meminta bantuan kepada Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara. Mendengar usulan dari Den Hammer membuatnya merasa ragu, 147

Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 22-24 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 56 149 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 55 148

64

mengingat ayahnya dibuang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana karena dituduh melakukan percobaan pembunuhan pada bupati Bandung, R.A.A. Martanegara. Ia sudah membayangkan bahwa ibunya akan marah dan mungkin akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Tetapi setelah berpikir ulang, ia akhirnya menerima usulan Den Hammer. 150 Mendengar bahwa Raden Dewi Sartika akan menghadapinya, Bupati Bandung R.A.A. Martanegara terkejut, apalagi mendengar gagasan Raden Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi anak perempuan. Setelah bupati Bandung mendengar paparan dari Raden Dewi Sartika dalam mewujudkan citacitanya untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan, demi kemajuan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri, R.A.A. Martanegara merasa haru, dan kagum, akan tetapi sang Bupati perlu waktu untuk merundingkan ide itu dengan sejumlah sahabat dan kerabat dekatnya. Tak lama setelah itu, ia pun dipanggil ke Pendopo dalem. Dalam pertemuan itu, R.A.A. Martanegara menjawab keinginan Raden Dewi Sartika dan mengatakan: “Nya atuh uwi, ari Uwi jeung kekeuh hayang mah, mugimugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam, urang nyoba-nyoba nyieun sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen,” ujar Martanegara. (Kalau memang Uwi tetap berkeinginan seperti itu, semoga dikabulkan oleh Allah penguasa semua alam. Kita mencoba membuat sekolah sebagaimana keinginan Uwi. Untuk mencegah kalau ada hal-hal yang tdak diinginkan lebih baik sekolahnya di Pendopo saja. Kalau sudah berjalan dengan baik, silahkan pidah ke tempat lain,” ujar Martanegara).151 Mendengar ucapan R.A.A. Martanegara, hilanglah semua perasaan cemasya. Ia sangat senang karena ucapan sang Bupati menandakan dukungan dan perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk kaum perempuan. Oleh

150 151

Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 28 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 57

65

karena itu, pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Dalam bahasa Sunda, istri berarti juga wanita. 152 Sekolah ini merupakan sekolah pertama bagi kaum perempuan Indonesia. Sesuai dengan amanat R.A.A. Martanegara, untuk sementara waktu tempat belajar dilaksanakan di ruangan Paseban Barat di halaman rumah bupati Bandung. 153

C. Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri Sehubungan dengan sistem pendidikan Sakola Kautamaan Istri, penulis mencatat beberapa elemen penting yang menjadi faktor penunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Guru Sakola Kautamaan Istri adalah sekolah yang khusus diperuntukkan untuk kaum perempuan. Oleh karena itu, guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut semuanya merupakan perempuan. Salah satu tujuan diberlakukan kebijakan seperti ini adalah agar masyarakat dapat menyaksikan dan mampu memberikan penilaian bahwa kaum perempuan juga mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam upaya pemberdayaan pendidikan. Penulis mencatat, pada awal pembentukkannya pada tahun 1904, terdapat tiga guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri, selain Raden Dewi Sartika sendiri yang juga merangkap sebagai kepala sekolah, juga ada saudara misannya yang ikut membantu dalam memberikan ilmu pengetahuan. Diantara kedua guru tersebut ialah Nyi Poerwa dan Nyi Oewit. Selain itu penulis mencatat beberapa nama guru setelah berdirinya tahun 1904, diantaranya mbok Suro (guru pada mata pelajaran membatik), Ibu Juhana, Ibu Neno Karsanah, Ibu Enceh, Ibu Halimah, Ibu Ine Tardine, dan Ibu Teiters (guru bahasa Belanda). 154 Oleh karena keterbatasan sumber dan data yang tersedia, penulis hanya bisa menyajikan beberapa nama guru yang mengajar pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena tidak adanya dokumentasi tertulis baik dari Perpustakaan Daerah Bandung maupun dari Sekolah Dewi Sartika sekarang, tentang 152

Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 31-32 Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 58 154 Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 58, 72, 127, 128, 153

66

keseluruhan jumlah guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri selama rentang sekolah tersebut beroperasi. Walaupun Sakola Kautamaan Istri atau sekarang berubah menjadi Sekolah Dewi Sartika masih ada, namun penulis tidak dapat menemukan data nama-nama guru sewaktu masih di pimpin oleh Raden Dewi Sartika di sekolah tersebut, mengingat banyak dokumen-dokumen yang hilang ketika tentara Jepang mengambil alih Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1942. Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa semua tenaga pengajar yang mengajar pada Sakola Kautamaan Istri merupakan guru-guru pilihan yang sengaja dipilih oleh Raden Dewi Sartika untuk membantu beliau dalam merealisasikan cita-citanya mengangkat derajat kaum perempuan. Oleh karena itu, kriteria guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kemampuan tinggi tentang dunia pendidikan. 2. Memiliki keterampilan khusus di bidang keterampilan wanita, seperti; memasak, menjahit, menyulam, merenda, mengatur rumah dll. 3. Berwibawa, bijaksana, tegas, disiplin, baik, periang, dan berlaku adil kepada murid-murid. 4. Memiliki kemampuan untuk selalu membangkitkan minat anak belajar dan memberi nasehat kepada anak didik untuk belajar sungguh-sungguh. 5. Memiliki semangat juang dalam memajukan kaum perempuan. 155 Dalam proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri, guru-gurunya tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan umum saja seperti membaca, menulis, berhitung dll, akan tetapi juga memberikan berbagai keterampilan yang dituangkan dalam pelajaran keterampilan wanita seperti memasak, menjahit, menyulam, merenda, menyajikan makanan dll. Selain itu juga, diberikan pelajaran akhlak atau budi pekerti dan berbagai pembinaan-pembinaan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa seorang guru menurut Raden Dewi Sartika adalah orang dewasa yang tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan saja kepada anak didik, namun juga memberikan pembinaan-pembinaan yang akan

155

Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 125, 126, 134

67

membentuk kepribadian yang baik bagi anak didik yang akan bermanfaat bagi kehidupan yang akan datang. 2. Murid Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Raden Dewi Sartika khusus untuk anak-anak perempuan sebagai upaya untuk menjadikan mereka memiliki pengetahuan, dan keterampilan yang akan mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, murid-murid yang sekolah di Sakola Kautamaan Istri pun semuanya adalah anak perempuan. Penulis mencatat, pada tahun 1904 didirikan, jumlah murid di Sakola Kautamaan Istri cukup menggembirakan. Walaupun baru didirikan namun jumlah siswi yang mendaftar pada angkatan pertama sudah mencapai 60 siswi. Pada tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1905, proses belajar mengajar dipindahalihkan dari Pendopo atau halaman rumah bupati Bandung, R.A.A Martanegara ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau. Walaupun penulis tidak menemukan data tentang jumlah siswi pada saat dipindahkan, namun penulis dapat mengasumsikan bahwa siswinya pada saat itu sangat banyak. Mengingat untuk angkatan pertama saja siswi yang daftar sudah mencapai 60 siswi, apalagi untuk angkatan kedua, penulis menilai lebih dari 50 siswi yang daftar sebagai murid Raden Dewi Sartika, karena berdirinya Sakola Kautamaan Istri mendapat sambutan hangat dari masyarakat umum, selain itu juga yang menjadi sebab kegiatan belajar mengajar dipindahkan, karena Pendopo sudah tidak bisa lagi menampung siswi yang semakin banyak. 156 Tepat pada tujuh tahun Sakola Kautamaan Istri didirikan, pada tahun 1911 jumlah siswi pada Sakola Kautamaan Istri berjumlah 210 siswi. Memasuki tahun ajaran di tahun 1913, jumlah siswi di Sakola Kautamaan Istri telah mencapai 251 siswi. Dan yang lulus pada tahun yang sama sebanyak 107 siswi. Maka dapat penulis simpulkan bahwa jumlah siswi keseluruhan pada saat itu mencapai 358 siswi. Dari data tersebut dapat terlihat jelas bahwasanya Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika merupakan sekolah

156

Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 58, 82

68

bumiputra yang paling besar dan paling mapan di zamannya. Bahkan para siswinya tidak hanya dari Bandung, akan tetapi dari seluruh pulau jawa.157 Namun demikian, penulis tidak dapat menuliskan jumlah siswi di Sakola Kautamaan Istri pada tiap tahunnya, karena keterbatasan sumber yang ditemukan. Dari buku yang penulis temukan, tidak ada data tentang jumlah siswi pada tiap tahunnya, selain itu juga ketika penulis sambangi ke Sekolah Dewi Sartika, disanapun tidak ada data tentang jumlah siswi pada saat ia pimpin, karena seluruh dokumentasi tentang Sakola Kautamaan Istri dibuang oleh tentara Jepang yang mengambil alih Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1942. Sesuai yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa latar belakang Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri adalah karena masih banyak anak-anak perempuan yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan keterampilan-keterampilan yang berguna bagi kehidupan. Maka dari itu, hadir Raden Dewi Sartika dengan guru-guru lain yang ada di Sakola Kautamaan Istri untuk memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan kepada anak didik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak didik menurut Raden Dewi Sartika adalah orang yang membutuhkan bimbingan untuk memperoleh ilmu

pengetahuan

dan

keterampilan

sehingga

dapat

bermanfaat

bagi

kehidupannya di masa yang akan datang. Karena, bagaimanapun juga tanpa bimbingan dari Raden Dewi Sartika dan guru-guru lain yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri, anak-anak perempuan tidak akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi kehidupan, baik di keluarga maupun di masyarakat luas. 3. Kurikulum Sementara itu, kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini dirancang menyesuaikan dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah kolonial, yakni dengan mengacu pada Tweede Klasse School. 158 Kurikulum yang mengikuti sistem pemerintah kolonial diantaranya dengan memasukan materi Bahasa Belanda sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada para siswi. 157 158

Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 71, 82 Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, ..., 97

69

Adapun materi berhitung, menulis, membaca, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu dan Olah Raga merupakan mata pelajaran yang juga diajarkan di sekolah-sekolah umum lainnya. Selain materi-materi yang telah disebutkan diatas, materi pelajaran yang diberikan di Sakola Kautamaan Istri juga disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dirancang untuk membuktikan bahwa materi-materi keterampilan wanita merupakan mata pelajaran khusus yang dipelajari di Sakola Kautamaan Istri dan tidak diajarkan di sekolah-sekolah lain. Dan perlu dikemukakan sebuah catatan penting berkaitan dengan kurikulum yang diterapkan di Sakola Kautamaan Istri, yaitu implementasi materi pelajaran agama Islam yang sama sekali tidak lazim diajarkan di sekolah-sekolah umum yang ada pada saat itu. Berikut adalah materi-materi yang diajarkan oleh Raden Dewi Sartika dan guru-guru lainnya di Sakola Kautamaan Istri159: Tabel 1. Daftar Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri NO

MATERI

KATEGORI

1

Berhitung

Pendidikan Umum

2

Menulis

Pendidikan Umum

3

Membaca

Pendidikan Umum

4

Bahasa Belanda

Pendidikan Umum

5

Bahasa Melayu

Pendidikan Umum

6

Budi Pekerti/Akhlak

Pendidikan Agama

7

Agama

Pendidikan Agama

8

Membatik

Pendidikan Keterampilan Wanita

9

Menjahit

Pendidikan Keterampilan Wanita

159

Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 72, 82, 88, 124, 127

70

10

Merenda

Pendidikan Keterampilan Wanita

11

Menambal

Pendidikan Keterampilan Wanita

12

Menyulam

Pendidikan Keterampilan Wanita

13

Menisi

Pendidikan Keterampilan Wanita

14

Menyongket

Pendidikan Keterampilan Wanita

15

Memasak

Pendidikan Keterampilan Wanita

16

Menyajikan Makanan

Pendidikan Keterampilan Wanita

17

Memelihara Bayi

Pendidikan Keterampilan Wanita

18

Mencuci

Pendidikan Keterampilan Wanita

19

Menyetrika

Pendidikan Keterampilan Wanita

20

Mengatur Rumah

Pendidikan Keterampilan Wanita

21

Merawat Orang Sakit

Pendidikan Keterampilan Wanita

22

Kesehatan (PPPK)

Pendidikan Umum

23

Olah raga

Pendidikan Umum

Dibawah ini merupakan mata pelajaran yang diajarkan pada tiap tingkatannya160: 1. Kelas 1

: Membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dikte, dan

berbaris. 2. Kelas II

: Membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dikte, berbaris,

dan menggambar. 3. Kelas III

: Membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dikte, berbaris,

menggambar, dan merajut. 4. Kelas IV

: Ilmu Sejarah, Ilmu bumi, Bahasa Belanda dan menjahit

(membuat taplak meja, baju bayi), membordel, memasak (membuat sayur 160

Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, h. 128, 130, 133-134

71

lodeh, sayur sop, tumis-tumisan, dan macam-macam sambal), bahasa melayu, mengaji al-Quran, belajar shalat, do’a-do’a, membuat bunga dari kertas kreep. 5. Kelas V

: Menjahit (membuat taplak meja dari kain strimin), ilmu

tumbuh-tumbuhan, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, bahasa Belanda, memasak, mengaji al-Quran dan sembahyang dan sebulan sekali mengisi siaran Radio NIROM (Nederland Indische Radio Omroep Maatchaapy) berubah menjadi RRI dari pukul 17.00-18.00, anak-anak menyanyikan lagu-lagu Belanda dan Sunda. 6. Kelas VI

: Menjahit (membuat taplak meja dari kain strimin), ilmu

tumbuh-tumbuhan, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, bahasa Belanda, memasak, mengaji al-Quran dan sembahyang dan membuat baju bayi, gurita bayi, membuat tali popok. Raden Dewi Sartika tentunya memiliki alasan tersendiri untuk menentukan materi yang akan diajarkan kepada para anak didiknya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pada saat itu gerak langkah kaum perempuan sangatlah terbatas, khususnya dalam memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan. Dengan demikian, diberikannya kesempatan kepada kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan, memiliki nilai tersendiri pada masyarakat Indonesia saat itu. Sehubungan dengan itulah, maka Raden Dewi Sartika mengeluarkan kebijakan untuk memperbanyak porsi pendidikan keterampilan wanita hingga 61 %. Kemudian, pada tataran yang lebih praktis, dalam perkembangannya banyak diantara para alumni Sakola Kautamaan Istri yang memanfaatkan keterampilan mereka dengan membuka lapangan pekerjaan pada bidang keterampilan wanita, seperti: berdagang saputangan, renda, rok dll, membantu orangtua mereka menghitung uang hasil dagangan, membuka jasa menjahit pakaian, dll. 161

161

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 88

72

Berikut adalah prosentase materi pelajaran pada Sakola Kautamaan Istri: Tabel 2. Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri NO

MATERI

JUMLAH

PROSENTASE

1

Umum

7

30 %

2

Agama

2

9%

3

Keterampilan Wanita

14

61 %

23

100 %

Dalam kurikulum yang terdapat di Sakola Kautamaan Istri, mata pelajaran yang diberikan tidak hanya ilmu pengetahuan umum saja, melainkan banyak diberikan keterampilan-keterampilan perempuan seperti memasak, menjahit, menyulam dan lain sebagainya yang semua itu membutuhkan praktek langsung sehingga dalam proses belajar mengajar, murid-murid tidak hanya mendapatkan materi-materi pelajaran saja, akan tetapi langsung di praktekkan. Oleh karena itu, Raden Dewi Sartika membuat ruangan khusus untuk mempraktekkan teori-teori pada mata pelajaran keterampilan perempuan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan kurikulum Raden Dewi Sartika sama dengan pengertian kurikulum menurut pandangan baru atau modern yang mengatakan bahwa kurikulum adalah bukan hanya sekumpulan mata pelajaran saja, melainkan meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. Berarti, walaupun Raden Dewi Sartika merancang kurikulum yang ada di Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1904, namun padangannya sama dengan orang-orang yang merancang kurikulum pada masa sekarang. 4. Proses belajar mengajar Proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri dilaksanakan di jalan Ciguriang, dan sekarang berganti nama menjadi Jalan Kautamaan Istri. Jam masuk sekolah setiap harinya dimulai pada pukul 07.30 sampai 13.00 WIB, dan

73

istirahat dari pukul 10.00 WIB selama 30 menit. Sebelum masuk kelas, para siswi berbaris terlebih dahulu di depan kelas dengan dua barisan, dan sebelum masuk, guru yang berdiri di depan para siswi berbaris, memeriksa kuku mereka satu persatu. Setiap hari saat mulai pelajaran, buku tulis sudah tersusun rapi dan berada di atas pinggir kiri bangku, sedangkan buku pelajaran atau buku paket, para siswi mendapatkan pinjaman dari sekolah sehingga tidak perlu membelinya. Setiap harinya para siswi memakai pakaian kebaya. 162 Raden Dewi Sartika sebagai kepala sekolah merupakan orang yang sangat berwibawa sehingga semua guru dan murid-murid segan dan patuh kepada beliau. Setiap hari ia berangkat ke sekolah dan tiba sebelum pelajaran dimulai. Semua pekerjaan di sekolah dilakukan dengan gesit, lincah dan cepat. Setelah lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain panjang dan kemben, kebaya Sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera beraktifitas. Setelah murid-murid masuk ke kelas, ia berkeliling kelas untuk memonitor seluruh proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri. Kebijaksanaannya dapat terlihat dari kesehariannya yang tidak pernah menghukum murid-murid ketika ada yang melakukan kesalahan, paling-paling beliau memberi wejangan-wejangan di depan kelas. Jika beliau marah pada seorang murid, beliau tidak memarahi murid yang bersangkutan, tetapi beliau memarahi semua murid dengan wejangan-wejangan sampai murid-murid tidak tahu kepada siapa sebenarnya beliau marah. Tetapi apabila beliau betul-betul marah kepada salah satu murid yang melakukan pekerjaan yang salah, maka beliau memanggil murid itu ke kantor dan disanalah murid itu diberi banyak wejangan, dan murid itu harus berjanji untuk tidak mengulang lagi kesalahannya itu. Apabila ia sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya, baik di depan kelas maupun di kantor, tangan kiri beliau selalu ke belakang dan tangan kanan di depan, serta telunjuk tangan kanannya selalu menunjuk ke atas. 163 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Raden Dewi Sartika tidak pernah menghukum murid-murid dengan memukul atau perbuatan fisik lainnya, 162 163

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 124 Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 125

74

bahkan memarahi dengan nada keras pun tidak pernah, yang ia berikan adalah memberikan wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat yang selalu mengingatkan kepada murid-muridnya untuk menjadi seorang calon ibu yang baik bagi keluarganya serta agar memiliki akhlak yang mulia dalam pergaulan dengan masyarakat luas. Tidak seperti yang terjadi dalam dunia pendidikan pada beberapa tahun terakhir ini, yang banyak melakukan cara kekerasan fisik ketika ada murid yang melakukan kesalahan. Dalam kesehariannya di sekolah, Raden Dewi Sartika sangat peduli dan perhatian kepada murid-murid di Sakola Kautamaan Istri, hal itu terlihat dengan seringnya ia datang ke kelas-kelas untuk memeriksa murid yang hadir dan memberikan wejangan kepada murid-murid. Bahkan, setelah jam istirahat pun beliau selalu kembali datang ke kelas-kelas, untuk memeriksa jika ada murid yang datang telat ke kelas setelah jam istirahat. Keadaan proses belajar mengajar yang diuraikan di atas, menurut hemat penulis, untuk zaman sekarang belum tentu ada seorang kepala sekolah yang melakukan hal serupa dengan apa yang telah Raden Dewi Sartika lakukan di Sakola Kautamaan Istri. Dalam penyampaian materi pelajaran, setiap harinya setelah materi dalam proses belajar mengajar diberikan, biasanya para siswi langsung mempraktekkannya di ruangan praktek yang berada di sebelah kelas. 164 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri, antara guru dan murid tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena disamping guru mengajar, juga murid belajar dan dipraktekkan secara langsung sehingga anak lebih aktif dan kreatif. Oleh karena itu, hasilnya pun murid-murid memiliki berbagai wawasan intelektual yang luas, serta keterampilan-keterampilan yang mendorong perkembangan potensi anak didik sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupannya di masa yang akan datang, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat luas.

164

Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 125

75

5. Metode Pembelajaran Metode merupakan salah satu komponen yang menempati peranan yang tidak kalah penting dengan komponen lainnya dalam proses pembelajaran. Metode merupakan salah satu cara yang digunakan oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam proses ini, seorang guru dituntut untuk menggunakan lebih dari satu metode pembelajaran, jika hanya menggunakan satu metode saja dalam menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya, pada umumnya, akan cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang membosankan, sehingga anak didik terlihat kurang bergairah karena merasa jenuh dan malas dengan proses belajar mengajar, dan akhirnya tujuan pendidikan pun tidak tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik, maka seorang guru harus mampu mengembangkan metode pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Berikut ini merupakan metode pembelajaran yang diberikan di Sakola Kautamaan Istri: Tabel 3. Metode Pembelajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri 165 NO

MATERI

KATEGORI

1

Berhitung

2

Menulis

Ceramah dan praktek

3

Membaca

Ceramah dan praktek

4

Bahasa Belanda

Ceramah dan praktek

5

Bahasa Melayu

Ceramah dan praktek

6

Budi Pekerti/Akhlak

Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek

7

Agama

Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek

165

Ceramah dan tanya jawab

Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 128, 130, 133-134

76

8

Membatik

Ceramah dan praktek

9

Menjahit

Ceramah dan praktek

10

Merenda

Ceramah dan praktek

11

Menambal

Ceramah dan praktek

12

Menyulam

Ceramah dan praktek

13

Menisi

Ceramah dan praktek

14

Menyongket

Ceramah dan praktek

15

Memasak

Ceramah dan praktek

16

Menyajikan Makanan

Ceramah dan praktek

17

Memelihara Bayi

Ceramah dan praktek

18

Mencuci

Ceramah dan praktek

19

Menyetrika

Ceramah dan praktek

20

Mengatur Rumah

Ceramah dan praktek

21

Merawat Orang Sakit

Ceramah dan praktek

22

Kesehatan (PPPK)

Ceramah dan praktek

23

Olah raga

Ceramah dan praktek

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa metode-metode yang diterapkan Raden Dewi Sartika kepada murid-muridnya di Sakola Kautamaan Istri, seluruhnya selain menggunakan metode ceramah dalam upaya menyampaikan materi pelajaran juga menggunakan metode praktek. Hal itu sengaja diberlakukan dengan tujuan agar setiap murid senantiasa dapat berperan aktif dalam proses belajar mengajar, dan agar dapat bermanfaat bagi mereka ketika terjun ke tengahtengah masyarakat luas.

77

Walaupun metode yang diberikan oleh Raden Dewi Sartika tidak menggunakan metode-metode yang banyak sekarang ini, namun pada esensinya penerapan metode yang diberikan oleh Raden Dewi Sartika sama dengan guruguru pada masa sekarang, yaitu untuk menjadikan anak memiliki ilmu pengetahuan yang luas, serta aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

D. Konsep Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Raden Dewi Sartika merupakan tokoh perempuan Sunda yang memiliki cita-cita tinggi untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan. Ia prihatin ketika para perempuan banyak dilecehkan oleh kaum pria. Menurutnya, kaum perempuan harus hidup sejajar dengan kaum pria, ia harus memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang akan membawanya pada tarap hidup yang lebih tinggi, dan jalan untuk mendapatkannya yaitu dengan pendidikan. Namun yang terjadi pada lingkungannya, ada fakta yang kuat bahwa Kaum Tua sangat berat untuk menyekolahkan putri-putri mereka. Mereka khawatir dan takut untuk membiasakan anak setiap hari bergaul dengan ratusan orang, apalagi selama bersekolah putri-putri mereka berada di luar pengawasan orang tua. Orangtua pun tidak mempunyai kepastian bahwa anak mereka bersama dengan teman-teman yang baik. Menurut pandangan mereka pendidikan sekolah membangkitkan sikap bebas pada sang anak, yang dikhawatirkan anak mereka akan lebih mudah tergoda untuk berbuat jahat. Selain itu juga Kaum Tua tidak dapat rela melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama, bahwa mereka sesungguhnya tidak pernah bersekolah, tapi mereka mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik.166 Selain itu juga, terdapat beberapa pandangan masyarakat dalam hal menyekolahkan anak perempuan, diantaranya sebagian besar orang berpendapat: 1. Anak perempuan itu tidak perlu sekolah, karena walaupun pintar tidak akan memiliki kedudukan seperti laki-laki. Asal baik, bisa menanak nasi, bisa membuat sambal, dan bisa memelihara rumah, sudah bisa untuk 166

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 93

78

mengabdi kepada suaminya. Dan kalau ingin bisa menulis, minta diajar kepada suaminya. 2. Percuma anak perempuan disekolahkan, karena kalau sudah pandai menulis, suka digunakan membuat surat-surat cinta yang mendorong berbuat tidak baik. Oleh karena itu, lebih baik diam saja di rumah membantu pekerjaan orangtua. 3. Menurut kaum santri, anak perempuan itu bukan disekolahkan, melainkan agar mempelajari pengetahuan agama, belajar shalat, mempelajari sifat 20 dan tasawuf, supaya baik hati dan ada sesuatu untuk menahan nafsunya, karena wanita itu harus teguh benteng pertahanannya. 4. Perempuan itu tidak boleh terlihat oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya dan muhrimnya. Oleh karenanya wanita itu tidak baik disekolahkan167. Selain pemikiran orang tua yang terlalu kolot dalam pandangannya tentang pendidikan, juga kebiasaan mengawinkan anak-anak di usia kanak-kanak telah menjadi penyakit di masyarakat. Dalam masyarakat, ada kebiasaan buruk untuk saling memperjodohkan anak-anak di usia yang masih kanak-kanak, bahkan sebelum yang bersangkutan mempunyai sesuatu pengertian mengenai hal itu. Walau

perkawinan

masih

jauh,

tetapi

orangtua

masing-masing

sudah

menginginkan kepastian, karena khawatir bahwa akan timbul peristiwa yang dapat menghalangi maksud itu. Betapa seringnya terjadi bahwa kedua orang anak yang sama sekali tidak saling mengenal dijodohkan, dan tidak diperhitungkan adanya dua tabiat yang justru bertentangan satu sama lain. Menurut Raden Dewi Sartika, pemikiran para orangtua untuk menikahkan anak-anak mereka dalam usia dini akan dapat diubah dengan pendidikan. Dengan pendidikan, orangtua akan menyadari bahwa perkawinan kanak-kanak itu adalah keliru. Selain orangtua, kaum perempuan sendirilah yang harus menginsyafi bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan keinginan dari kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan

167

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 86

79

yang bersangkutan, bukan kepada sikap tunduk berserah pada perhitungan orangtua mereka. 168 Selain itu juga, menurut pandangan Raden Dewi Sartika, sebagian besar orang berpendirian bahwa pendidikan untuk anak-anak perempuan dirasa tidak perlu karena para orangtua belum mengetahui benar manfaatnya sekolah, mereka menganggap di sekolah itu hanya diajarkan menulis, membaca dan berhitung. Sebenarnya tidak hanya itu, karena masih banyak lagi mata pelajaran pokok yang perlu bagi keutamaan hidup manusia, agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mencari jalan hidup ketika tidak ada yang memberi nafkah untuk menjaga keselamatan, menghindari bahaya dan lain sebagainya. Diantara pelajaran pokok yang diberikan kepada anak-anak yaitu169: 1. Kebersihan: Yaitu agar badan, pakaian, alat-alat sekolah, tempat duduknya harus bersih dan berhati-hati dalam memilih makanan. 2. Tatakrama: Yaitu segala tindak-tanduknya sopan, bisa bekerjasama atau menyesuaikan diri dengan orang lain, bersikap sesuai dengan orang yang dihadapi seperti kepada pembesar, kepada yang setahap, dan kepada orangtua serta berpakaian rapih dan wajar. 3. Berbicara: Yaitu tepat menggunakannya, tidak tertukar antara berbicara dengan pembesar dan dengan rakyat biasa, fasih berbicara, jelas ucapannya dan tidak cabul atau tidak sopan. 4. Disiplin dalam pemakaian waktu: Seperti waktu untuk belajar jangan digunakan untuk bermain atau sebaliknya, begitu pun mandi, makan, tidur harus pada waktunya dan harus tetap. 5. Taat: Yakni sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah guru, perintah orangtua dengan benar, belajar, bekerja rajin, sampai selesai dengan cepat, benar dan tidak berbohong. 6. Gembira: Yaitu mencari kegembiraan hati dengan menyanyi, main musik, bercerita, menonton lukisan, bermain dengan teman, membuat kerajinan. 168

Maria Ulfah Subadio dan T.O. Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1986), h. 118 169 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 87-88

80

7. Baik hati, hati suci: Seperti bersahabat dengan kawan sekolah, tidak pernah bertengkar, sayang kepada teman-teman, tidak sombong, suka menolong, sabar, tidak suka terburu-buru, tidak suka mengejek, tidak ingin dipuji, tidak iri. 8. Hemat: Seperti belajar mengumpulkan uang (menabung) supaya mengerti nilai uang, agar kelak senang menyisakan rizki yang diperoleh, bisa cukup dengan rizki kecil dan bersisa bila rizkinya besar. 9. Berpikir atau memilih: Yaitu membukakan pikiran agar kelak dapat berpikir baik, dapat memilih mana yang menyenangkan dan mana yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, menurut Raden Dewi Sartika anak yang rajin sekolahnya sampai tamat, baik anak perempuan maupun laki-laki dapat diharapkan akan menjadi orang yang baik seperti menurut ungkapan sehat, baik, cekatan dan benar. Menurut Raden Dewi Sartika perkembangan anak didik berdasarkan pula atas pergaulannya dan pendidikannya. Misalnya jika ia bergaul dengan priyayi tentu akan dapat bertatakrama seperti priyayi dan dapat pula menjadi priyayi. Tetapi sebaliknya, walaupun putera priyayi, tapi jika tidak dididik dan tidak disekolahkan, maka tidak akan dapat menjadi priyayi. Akhirnya hilang tabiat kepriyayiannya dan muncul tabiat buruk dan jelek pula kelakukannya serta membawa akibat buruk kepada lingkungannya, karena hal itu akan ditiru oleh rakyat kecil. Karena tabiatnya tidak dipelihara atau dimanja sejak kecil, segala kehendaknya dituruti, sesudah besar sulit dididiknya. Menurutnya, akan jauh lebih baik jika mereka berasal dari keturunan baik, ditambah dengan pemeliharaannya baik, maka kebaikannya akan berlipat ganda. Jika anak itu dijaga, diperhatikan, dan dididik, maka penglihatan dan pilihannya tentu akan berbeda dengan anak yang tidak baik penjagaan atau pendidikannya. Sebaliknya jika anak kurang baik pemeliharaannya, tentu badannya lemah dan sering kena penyakit. Sesudah besar tabiatnya jelek dan bodoh atau lemah pikirannya, mudah melakukan kejelekan, mudah tergoda, mudah tertipu, nafsunya besar tak tertahan oleh akal sehatnya sebab sudah lemah sejak kecil. Dan ingatan yang terang benderang atau hati yang terbuka terdapat

81

pada badan yang sehat. Begitu pula anak-anak Sunda yang baik mendidiknya, bisa pula menyamai orang Eropa.170 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Raden Dewi Sartika sejalan dengan aliran konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern, yang berpandangan bahwa perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungannya. Dalam hal ini, keturunan yang baik merupakan pembawaan dari lahir, sedangkan pemeliharaan yang baik berasal dari lingkungan atau pendidikan yang diperoleh anak didik. Oleh karena itu, pembawaan anak dari sejak lahir tidak akan memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkembangan anak didik jika tidak dibarengi dengan pendidikan yang ia dapatkan. Begitu pula pandangan Raden Dewi Sartika, mengenai mutu pendidikan bahwa jika anak-anak dididik dengan baik maka mereka akan bisa pula menyamai orang Eropa. Kata-kata tersebut sarat dengan idealisme. Walaupun pada saat itu masih tahun 1911. Namun, dapat menggambarkan begitu idealisnya seorang Raden Dewi Sartika dalam menyongsong masa depan. Karena jika kita sebagai orang Indonesia pada umumnya, mendapatkan pendidikan yang baik, maka akan menyamai orang Eropa mencapai keberhasilan dalam kehidupan melalui ilmu pengetahuan yang luas yang diperoleh dari hasil belajar sehingga orang Indonesia tidak diinjak-injak kehormatannya, bahkan akan disegani dan dihormati. Karena hanya ilmu pengetahuanlah yang akan mengangkat harkat dan martabat perempuan, bukan keturunan ataupun harta pusaka. Begitu pula, pandangan Raden Dewi Sartika mengenai kemajuan bangsanya bahwa agar suatu bangsa bertambah maju, maka kaum perempuannya harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum perempuan itu akan menjadi ibu.171 Seorang ibulah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan, karena didikan yang pertamalah yang memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan seseorang. Jadi kaum perempuan bangsa pribumi itu pertama-tama harus tahu tentang segala macam urusan perempuan. Disini dapat diketahui bahwa Raden Dewi Sartika 170 171

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 89 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 90

82

mempertautkan masalah martabat perempuan dan kemajuan bangsa, karena menurutnya mendidik perempuan adalah mendidik ibu bangsa. Pandangan tersebut mengandung makna bahwa suatu bangsa tidak akan mencapai suatu peradaban tinggi jika kaum perempuannya tidak maju, dan agar perempuan maju maka ia harus disekolahkan, karena dengan bersekolah mereka akan mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang nantinya akan memajukan bangsa. Apalagi Raden Dewi Sartika hidup pada masa penjajahan. Maka agar bangsa Indonesia bebas dari penjajahan, kaum perempuannya harus maju dan berpengetahuan luas, sehingga rakyat tidak dapat dibodohi oleh penjajah. Terbukti, setelah banyak tokoh-tokoh pergerakan perempuan Indonesia, maka Indonesia dapat bebas dari penjajahan. Selain itu, dengan prinsip Nu bisa hirup dapat ditelusuri konsep pendidikan menurut Raden Dewi Sartika bahwa sejak semula, Raden Dewi Sartika tidak setuju dengan pandangan orang-orang tradisional tentang pendidikan kaum perempuan pada masa itu, yang membuat kaum perempuan tidak berdaya yang nasibnya tergantung kepada pria. Oleh karena itu, dengan prinsip Nu bisa hirup, kaum perempuan akan dapat menjalankan kehidupannya dengan sebaik mungkin, dan dapat berdiri di atas kaki sendiri, cakap, dan terampil dalam menyongsong kehidupan yang akan datang. Dengan demikian, menurut Raden Dewi Sartika, kaum perempuan harus hidup terhormat sejajar dengan laki-laki dan harus menggapai kemajuan dalam segala bidang kehidupan tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan, agar senantiasa menjadi ibu yang binangkit, ibu teladan yang penuh kesabaran, ramah, riang, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perempuan harus mendapatkan pendidikan dan keterampilan untuk bisa hidup. Karena dengan bekal keterampilan yang dimiliki, ia akan hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. Cita-cita Raden Dewi Sartika yang berjangkauan luas ke depan itu benarbenar diperjuangkan olehnya dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri sebagai media untuk mewujudkan visi dan gagasan-gagasan revolusionernya. Di sinilah

83

letak kemampuannya dalam menurunkan ide dan gagasannya secara langsung ke wilayah praktis-realistis. Dengan sekolah yang didirikannya itu, Raden Dewi Sartika memiliki keyakinan kuat bahwa ia akan dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Dengan bersekolah kaum perempuan akan lebih pandai karena sekolah adalah sarana untuk mendidik manusia sehingga jati dirinya dapat dikenali oleh dirinya sendiri. Selain mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, para siswi pun langsung mempraktekkan pengetahuan yang mereka peroleh sehingga mereka dapat dengan mudah mengamalkannya dalam kehidupan seharihari. Oleh karena itu, Raden Dewi Sartika merasa yakin dapat mengubah keadaan sosial budaya yang menganggap rendah kaum perempuan, karena dengan pendidikan yang semakin baik, perilaku dan budi pekerti akan semakin baik sehingga kehidupannya akan semakin maju. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan pada Sakola Kautamaan Istri, dirancang dalam bentuk konsep pendidikan kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan mata pelajaran keterampilan perempuan lebih banyak diberikan daripada materi pelajaran umum. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan dalam urusan rumah tangga, bukanlah sesuatu yang dianggap mudah. Melainkan harus diberikan pengajaran khusus, serta dipraktekan secara langsung. Selain itu juga, dengan didirikannya Sakola Kautamaan Istri memberikan kesempatan yang luas kepada kaum perempuan untuk mengasah keterampilannya, sehingga akan jauh lebih bermanfaat baik untuk dirinya sendiri sebagai istri untuk melayani suami, juga sebagai ibu yang mendidik putra-putrinya supaya dapat menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan bermanfaat bagi lingkungan di sekelilingnya. Pandangan Raden Dewi Sartika mengenai tujuan pendidikan yang diterapkan di Sakola Kautamaan Istri, ialah bertujuan untuk mencetak anak didik yang cageur, bageur, bener, pinter, dan wanter, serta harus berani kepada

84

kebenaran yang diyakininya, jangan mudah putus asa, dan harus melangkah lebih jauh serta tidak mengeluh dalam setiap keadaan. 172 Jika istilah cageur, bageur, bener, pinter, dan wanter dikaitkan pada masa sekarang, maka akan terlihat tujuan pendidikan pada Sakola Kautamaan Istri sangat relevan dengan pendidikan saat ini. Yakni istilah cageur yaitu sehat jasmani dan rohani, merupakan aspek fisik anak, bageur yaitu berhati dan berkelakuan baik, bener yaitu memegang teguh kebenaran, wanter yaitu pandai bergaul, ketiga istilah tersebut merupakan ranah emosional/afektif, dan pinter yakni pintar, pandai atau cakap merupakan ranah kognitif/intelektual. Sedangkan ranah prikomotor terdapat pada pelajaran keterampilan perempuan yang diberikan di Sakola Kautamamaan Istri. Dari tujuan pendidikan yang dikemukakan Raden Dewi Sartika di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dicapai oleh anak didik pada Sakola Kautamaan Istri, sama dengan aspek-aspek yang harus ada pada anak didik pada masa sekarang, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Walaupun Raden Dewi Sartika mendirikan sekolahnya pada tahun 1904, namun pemikirannya sejalan dengan masa sekarang. Dengan demikian, Raden Dewi Sartika merupakan seorang pemikir dan aktifis yang mempunyai integritas kepribadian yang tinggi, dan naluri yang tajam terhadap strategi dan keseimbangan di dalam totalitas aksi, reaksi, dan kontemplasi. Raden Dewi Sartika bereaksi ketika merasakan keterbatasan eksistensi sebagai seorang perempuan karena ikatan tradisi masyarakat yang berlaku pada saat itu, kemudian ia berkontemplasi dengan membaca buku-buku sehingga daya cerna pikirannya mulai bekerja. Ia berpendapat bahwa kaum perempuan harus bisa mandiri dan tidak bergantung kepada kaum pria dalam mencari nafkah. Oleh karena itu mereka harus bersekolah, karena di sekolah mereka akan diberi ilmu pengetahuan yang luas, diajari keterampilan-keterampilan, bahasa asing sebagai jendela untuk melihat dunia luas, dan budi pekerti yang tepat untuk memperkuat ekspresi diri. Begitu ia bisa merumuskan reaksinya di dalam kontemplasi, segera

172

Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 130

85

ia memulai aksinya dengan cara mengajari sanak keluarganya yang perempuan dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Betapa besar kemampuan yang ia miliki pada saat ia memulai aksinya. Gadis remaja yang berumur 18 tahun, putri seorang musuh pemerintah yang wafat dipembuangan, menghadapi tradisi pelecehan terhadap hak asasi perempuan yang masih berlaku pada saat itu, fasilitas dan dana yang serba kurang, juga tidak memiliki ijazah guru, serta harus menghadapi kaum menak atau bangsawan. Namun Raden Dewi Sartika sanggup menghadapinya, dan akhirnya ia sanggup menjelma menjadi sosok unggul yang harus diperhitungkan oleh segenap lapisan masyarakat. Dari konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan, terlihat jelas membuktikan bahwa Raden Dewi Sartika memiliki kepekaan yang sangat tajam terhadap masalah sosial, padahal ia lahir pada masa kolonial. Namun ternyata, daya pikirnya tajam, yang menunjukkan tingkat kecerdasannya yang tinggi, Raden Dewi Sartika mampu melahirkan pemikiran dan gagasan inovatif bagi bangsanya di masa itu. Jarang pemikir sekaligus aktifis yang memiliki kelebihan yang dapat melakukan sesuatu di masyarakat dan untuk masyarakat dengan tujuan untuk memperbaiki dan memajukan masyarakat, terutama kaum perempuan. Gagasan-gagasannya untuk memajukan kaum perempuan dengan memberikan kaum perempuan hak pendidikan seperti layaknya kaum laki-laki sesuai dengana hadis Rasulullah SAW:

‫يضةٌ َعلَى ُك ِل ُم ْسلِم‬ َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر‬ “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”.(HR.ath-Thabarani melalui Ibnu Mas’ud ra).

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa menuntut ilmu bukan hanya untuk kaum laki-laki saja, melainkan untuk kaum laki-laki dan perempuan. Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW perempuan memohon kepada Nabi SAW agar diberi waktu tertentu untuk belajar langsung kepada beliau, dan permohonan mereka beliau kabulkan.

86

Firman Allah SWT QS. Ali Imran: 195

                   Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.

Demikianlah, sikap dan pandangan Raden Dewi Sartika menunjukkan pribadi yang mandiri dan kokoh. Dengan berbekal pendidikan yang sederhana tapi disertai kepekaan terhadap lingkungan kehidupan, Raden Dewi Sartika mampu mendirikan sekolah dengan corak baru dan menggagas konsep pendidikannya, menginginkan kaum perempuan harus mencapai kemajuan dalam segala bidang tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan, agar senantiasa menjadi istri dan ibu teladan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Raden Dewi Sartika telah mengorbankan segalanya baik pirkiran, tenaga maupun harta.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian tentang konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika, dapat disimpulkan bahwa Raden Dewi Sartika adalah sosok pahlawan Indonesia yang berjuang untuk memajukan derajat perempuan melalui pendidikan. Walaupun Raden Dewi Sartika tidak memiliki ijazah namun ia mampu menjadi guru bangsa. Ia memiliki naluri seorang pemikir dan aktifis yang dengan tegas mendobrak kebiasaan lama menjadi sesuatu yang baru dengan bermodalkan tekad yang kuat, keberanian, tanggung jawab, keteguhan, serta pemikiran yang cemerlang dalam membuat suatu konsep luar biasa, yang belum tentu ada orang pada masa sekarang mampu membuatnya. Konsep pendidikan yang Raden Dewi Sartika kemukakan pada tahun 1904, menurut hemat penulis, sangat relevan dengan keadaan pendidikan pada masa sekarang. Diantaranya, prinsip Nu Bisa Hirup yang mengimplikasikan bahwa kemampuan kaum perempuan dapat disejajarkan dengan kaum laki-laki. Selain itu juga, pandangan Raden Dewi Sartika sejalan dengan aliran konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern, yang berpandangan bahwa perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungannya.

87

88

Yang menarik ialah pandangan Raden Dewi Sartika mengenai mutu pendidikan bahwa jika anak dididik dengan baik maka akan bisa menyamai orang Eropa. Kalimat itu, walaupun diucapkan pada tahun 1911. Namun, kita bisa melihat dari kalimat tersebut bahwa Raden Dewi Sartika adalah seorang pelopor zaman itu, yang mengucapkan kalimat yang sarat dengan idealisme. Gagasan Raden Dewi Sartika yang sangat relevan lainnya adalah mengenai konsep tujuan pendidikan di Sakola Kautamaan Istri, yaitu istilah cageur, bageur, bener, pinter, dan wanter yang semua itu mencakup seluruh aspek baik itu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek itu, merupakan aspek yang harus dimiliki oleh peserta didik pada masa sekarang. Dari gagasan-gagasannya itu, dapat diketahui bahwa Raden Dewi Sartika adalah seorang pemikir dan aktifis yang berpandangan jauh ke depan, untuk kemajuan bangsanya terutama kaum perempuan.

B. Saran Dengan dilakukannya penulisan ini, penulis memiliki harapan agar sekiranya masyarakat Indonesia dapat lebih jauh mengenal sosok Pahlawan Nasional asal Bandung yang concern pada bidang pendidikan kaum perempuan. Tidak hanya dikenal untuk orang Sunda saja, tapi untuk semua masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu, untuk civitas akademika, penulis berharap agar dapat melanjutkan dan mengembangkan gagasan serta cita-cita Raden Dewi Sartika, untuk berperan yang signifikan terhadap perkembangan bagi kaum perempuan melalui pendidikan. Bagi mahasiswa, agar dapat mengetahui gagasan-gagasan pendidikan Raden Dewi Sartika dalam memajukan bangsa serta meneladani kegigihan dan semangat tanpa lelah dalam memperjuangkan hak bangsa untuk mengenyam pendidikan. Karena kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang berhasil sekarang nikmati adalah hasil perjuangan dan jerih payah pahlawan bangsa, diantaranya Raden Dewi Sartika. Yang pada akhirnya, diharapakan agar mahasiswa menjadi generasi penerus untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. Memperkembang dan mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 1976. Al-Hibri, Azizah dkk. Wanita dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2005.Arbaningsih, Dri. Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi “Bangsa”. Jakarta: Kompas. 2005. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2006. _______, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. 1987. Artmanda W, Frista. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jombang: Lintas Media Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002. Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008. Chabaud, Jacqueline. Mendidik dan Memajukan Wanita. Jakarta: Gunung Agung, 1984. Cora Vreede-De, Steurs. The Indonesian Women: Struggles And Achivement. 1960. Mouton&Co, s’Gravenhage, Terj. Elvira Rosa dkk. Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008. Daradjat, Zakiah. Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang. 1982. Daryono, Yan. R. Dewi Sartika. Jakarta: Yayasan Awika&PT. Grafitri Budi Utami. 1996. Ekajati, Edi S. dkk. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Pialamas. 1998. F, Meidiana. Dewi Sartika. Jakarta:Bee Media Indonesia. 2010.

Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007. HAMKA. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni. 1962. ________, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1998. ________, Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983. Ibrahim, Abdul Mun’im. Mendidik Anak Perempuan. Jakarta: Gema Insani. 2005. Kosoh, dkk. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1994. Ladjid,

Hafni.

Pengembangan

Kurikulum

menuju

Kurikulum

Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Quantum Teaching. 2005. Lubis, Nina Herlina. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. 2006. Mahmud, Dato Paduka Haji bin Haji Bakyr. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei. 2003. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1989. Murata, Sachiko The Tao of Islam. Bandung: Mizan, 1999. Terj. Rahmani Astuti dan S Nasrullah. Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat. Quantum Teaching. 2005. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1982. Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947. Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi Sartika. Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2007.

Sanjaya,

Wina.

Pembelajaran dalam Implementasi

Kurikulum

Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Kencana. 2008. Sastroatmodjo, Suryanto. Tragedi Kartini. Yogyakarta: Narasi. 2005Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2008. Shihab, M.Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati. 2005. Struggles And Achivement, 1960, Mouton&Co, s’Gravenhage, diterjemahkan oleh Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu. 2008. Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik. Bandung: tarsito. 1998. Suryochondro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Rajawali. 1984. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1992. UU RI No. 20 tahun 2003 dan UU RI No. 14 tahun 2005. Jakarta: Transmedia Pustaka. 2008. Yamin, Martinis. Profesionalisasi Guru & Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Ciputat: Gaung Persada Press. 2006.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Karangan-karangan Raden Dewi Sartika

Pada tahun ini (1911) telah tepat tujuh tahun lamanya penulis menjadi guru di Sakola Kautamaan Istri. Pada mulanya penulis mengikuti kehendak Kanjeng Tuan Inspektur Sekolah yang bernama Den Hammer, yang sekarang telah pensiun dan telah kembali ke Negeri Belanda. Beliaulah yang untuk pertama kali mendirikan sekolah bagi anak-anak wanita pribumi di Bandung. Dan atas persetujuan dari Kanjeng Bupati Bandung Raden Adipati Aria Martanegara. Sekolah tersebut mulai dibuka pada tanggal 16 Januari 1904, muridnya waktu itu ada 60 orang dan gurunya sebanyak 3 orang. Adapun tempatnya ialah di Paseban Barat, depan Pendopo Kabupaten Bandung yang sekarang (1911) ditempati oleh kantor Bank (Bandoengsche Afdelings Banks). Sedangkan sekarang sekolah wanita itu telah mempunyai bangunan tersendiri dengan muridnya sebanyak 210 orang dan gurunya 5 orang. Sebelum menjadi guru, penulis telah senang mengajar anak-anak perempuan, terutama dari kalangan keluarga sendiri, yaitu mengajarkan merenda, menyulam, merancang pakaian dan tata krama. Ketika dipanggil oleh Kanjeng Tuan Inspektur bahwa akan diangkat menjadi guru sekolah, penulis sangat gembira. Menurut peribahasanya; pucuk dicita ulam tiba. Tambahan hal itu mendapat persetujuan dari orang tua. Mengapa akan diangkat menjadi guru itu gembira? Padahal semuanya tahu bahwa penulis tak punya kecakapan, sempit budi, dan tak tahu apa-apa. Adapun alasan sebabnya penulis gembira begini: 1. Kesenangan penulis mengajar anak-anak menjadi berlanjut, dan anakanak bertambah teguh hatinya sebab diperkuat oleh perintah pembesar negara. 2. Menjadi guru itu, walaupun wanita bukan kelakuan hina dan tidak melanggar hukum agama. Yang dimaksud agar kaum wanita orang Sunda bisa maju, meniru orang Eropa, mudah-mudahan bangsa kita tidak terlalu direndahkan oleh bangsa lain.

3. Punya pekerjaan tetap. Sebab wanita yang menganggur suka murung, akibatnya pun macam-macam. Dalam hal ini semuanya sudah mengetahui atau merasakan. 4. Martabat guru dianggap paling tinggi kedudukannya oleh bujangga; bukankah ada ungkapan leluhur yang mengatakan bahwa yang harus ditaati ada tiga macam yaitu guru, pemerintah dan orang tua. Dan lagi prakteknya guru itu suka mengajarkan ilmu pengetahuan, menunjukkan kebaikan. Barangkali menurut peribahasa Belanda: Jika suka mencuci tangan kiri, tangan kanan pun ikut bersih. 5. Dan yang menjadi guru itu biasanya luas pandangannya; tiap hari pengetahuannya bertambah, karena terpaksa menjadi pembimbing anakanak dan suka ditanya oleh murid-murid. 6. Ilmu pengetahuan dan pandangan itulah yang akan selalu dijadikan pegangan oleh manusia selama hidupnya, laksana obor menerangi jalan gelap. Dalam usia 3-4 tahun menjadi guru, penulis tak henti-hentinya digunjingkan orang sehingga telinga terasa merah sekali akibat cemoohan orang yang mengatakan macam-macam. Misalnya merendahkan martabat orangtua seperti tidak diberi makan atau tidak diurus saja. Tak pantas wanita bangsa kita menjadi guru di sekolah, sebab tidak ada contoh dari dulu. Yang ada hanya guru ngaji dan lain-lain. Mereka berpendapat demikian, karena baik priyayi mau pun rakyat kurang mengetahui keadaan masa silam. Mereka tidak ingat akan ungkapan yang mengatakan; dulu-dulu, sekarang-sekarang. Tetapi penulis tidak ragu dan tidak akan mundur setapak pun, sebab memang demikianlah dalam hidup ini. Walau bagaimanapun baiknya, toh ada saja yang sirik/dengki. Dalam masyarakat kita yang menimbulkan kedengkian itu ada 3 macam yaitu harta benda, kebahagiaan, dan ketampanan/kecantikan. Lebih-lebih setelah sering disebut-sebut istilah Kaum Muda, penulis merasa bertambah teguh pendirian. Apakah Kaum Muda itu dan bagaimana kehendaknya?

Adapun yang dinamakan Kaum Muda itu ialah bangsa kita, wanita dan pria. Suku Sunda, Melayu, Bugis, Makasar dan lain-lain, yang bermaksud ingin memuliakan dirinya dengan ilmu pengetahuan dan kemauannya. Istilah Kaum Muda itu berasal dari seorang cendekiawan yaitu orang Melayu yang bernama Abdul Rivai. Atas kepintarannya, keuletannya, dan tuntas dalam menuntut ilmu sehingga bisa menjadi Dokter Militer di Cimahi (namun sekarang beliau sudah pindah ke Bukit Tinggi). Kedudukan Abdul Rivai waktu itu tidak berbeda dengan dokter-dokter Eropa. Oleh karenanya penulis waktu ini makin teguh memegang pendapat sendiri dan ikut serta ambil bagian sedapat-dapatnya dalam mengarungi zaman kemajuan. Adapun yang dipikirkan oleh penulis siang dan malam dengan susah payah sekalipun, tak lain hanyalah masalah sekolah wanita. Yang dimasalahkan itu terutama begini: 1. Supaya para orangtua ingin menyekolahkan anak perempuan mereka dan memahami fungsi dan manfaatnya bersekolah. 2. Anak-anaknya sendiri mau bersekolah dan mau mengikutinya sampai tamat. 3. Pelajaran apa yang perlu diajarkan kepada anak-anak perempuan itu, harus bisa apa mereka itu, dan sampai bagaimana demi bekal hidup mereka kelak. 4. Memperhatikan tingkah laku wanita yang baik dan yang buruk untuk dijadikan contoh bagi anak-anak. 5. Kemudian bertanya-tanya kepada orang tua, para cendekiawan, para bujangga, bahkan kepad apara bupati, walaupun segan memberikan diri juga menanyakan tentang apa yang menjadi kebutuhan kaum wanita agar mereka tidak sampai hidup sengsara. Adapun usaha yang dilaksanakan untuk mendidik anak-anak itu tidak ada lagi kecuali dua macam, yaitu menasehati dan memberi contoh. Mudahmudahan ada berkatnya almarhum Tuan K.F.Holle yang memajukan rakyat dalam bidang pertanian. Karena terus menerus dinasehati dan diberi contoh akhirnya sekarang banyak petani yang kaya raya. Menurut ungakapan bahasa

Belanda: “Leeringen wekken, voorbeelden trekken” artinya nasehat itu menumbuhkan niat, sedangkan contoh menimbulkan keinginan. Tetapi nasehat dan contoh yang sedang dilaksanakan oleh penulis, laksana perahu kecil yang sedang dinaiki oleh anak-anak perempuan (murid penulis) akan berlayar ke negara kemajuan, mengarungi samudera besar yang beromabk besar. Perjalanan itu belum tentu sampai ke tempat tujuannya, walau nasib sial bisa jadi tenggelam!. Hanya demikianlah barangkali sudah menjadi keberuntungan mereka. Karena tiba-tiba datang kapal besar dan kokoh yang membimbing dan menunjukkan jalan ke arah negara kemajuan. Coba apa yang dilambangkan dengan kapal besar tersebut? Adapun yang dilambangkan dengan kapal besar itu ialah bahwa sekarang di Bandung berdiri sebuah organisasi yang diatur oleh Tuan Inspektur Sekolah J.C.J. Van Bemmel maksudnya akan memajukan anak-anak perempuan. Oleh karena itu organisasi tersebut dinamai Kautamaan Istri (Keutamaan wanita) oleh Kanjeng Bupati Bandung. Adapun berdirinya organisasi itu ialah pada tanggal 5 Nopember 1910. Pada waktu itu penulis dipanggil oleh Tuan Residen W.F.L. Boissevain dan harus menghadap di Karesidenan pada hari minggu jam 19.00 malam. Begitu juga Tuan Residen mengundang tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang sama-sama menghendaki kemajuan wanita Sunda untuk menghadiri pertemuan tersebut. Pimpinan pertemuan itu ialah Tuan Inspektur Sekolah, Kanjeng Bupati Bandung, dan 3 orang Raden Ayu. Pada pertemuan itu ditetapkan pengurus organisasi yaitu para nyonya dan para Raden Ayu saja, yang sama-sama ingin memajukan kecerdasan anak perempuan orang Sunda. Yang akan lebih dahulu diusahakan oleh organisasi tersebut ialah membantu sekolah wanita di Bandung. Cara kerjanya begini: 1. Komisi memohon kepada pengurus agar organisasi Kautamaan Istri itu diberi kekuatan yang kokoh (kekuatan hukum). 2. Komisi itu secara bergilir masing-masing 2 orang (seorang nyonya dan seorang Raden Ayu) mengunjungi sekolah wanita untuk memeriksa apa

kekurangan sekolah itu, apa yang harus diajarkan dan apa yang kurang baik. 3. Setelah semua anggota komisi mengunjungi sekolah, kemudian komisi mengadakan pertemuan untuk membicarakan hasil pemeriksaan itu. Adapun untuk biayanya, sementara diusahakan begini: 1. Kanjeng Tuan Inspektur membuat surat edaran yang dibagikan kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya untuk memohon bantuan berupa uang iuran setiap bulan atau bantua sekali saja. 2. Begitu pula Kanjeng Bupati Bandung membuat surat edaran kepada priyayi-priyayi dan orangtua anak-anak sekolah wanita dengan maksud seperti tersebut dalam nomor di atas. 3. Jika uang iuran itu tidak mencukupi, selanjutnya akan mengadakan undian yang besar kecilnya dan caranya dipertibangkan oleh Kanjeng Tuan Residen dan Kanjeng Tuan Inspektur. 4. Jika uang itu ada lebihnya, akan digunakan untuk mendirikan sekolah wanita lagi seperti di Garut atau dimana saja yang dipandang perlu ada sekolah wanita. Harapan komisi dapat dikatakan tercapai. Hasil daftar iuran yang diedarkan cukup buat memajukan sekolah wanita di Bandung dan mendirikan sekolah wanita di Garut. Demikianlah cara yang ditempuh oleh Kanjeng Inspektur dengan persetujuan Kanjeng Bupati dalam membantu anak-anak perempuan supaya maju pengetahuan dan kecakapan mereka. Masalah ini tentu telah terpikirkan oleh beliau bahwa yang harus maju itu bukan saja pria, wanita pun harus maju pula supaya sama-sama menjadi satu barisan. Sebab mungkin telah mendengar juga cerita seseorang pria yang pintar tapi istrinya tak tahu apa-apa, berakibat rumah tangga mereka selamanya tidak bahagia. Dan wanita dari hasil bersuami mempunyai anak. Mengurus dan mendidik anak itu biasanya bagian ibunya. Semua orang mempunyai keinginan yang sama yaitu punya anak yang sehat dan baik. Tapi bagaimana agar anaknya begitu? Tak ada lagi kecuali ibunya harus mempunyai ilmu, banyak pengetahuan dan kecakapan serta harus bersekolah. Semoga kehendak Kanjeng Tuan

Inspektur segera ada hasilnya. Jika diibaratkan tanaman, baik tumbuhnya, subur daunnya, banyak dalamnya dan lebat buahnya. Sekarang kembali lagi pada masalah, apakah perlu wanita itu disekolahkan supaya pintar? Sebagian besar orang berpendapat begini: 5. “Ah, wanita itu tidak perlu sekolah, karena walaupun pintar tidak akan memiliki kedudukan seperti laki-laki. Asal baik, bisa menanak nasi, bisa membuat sambal, dan bisa memelihara rumah, sudah bisa untuk mengabdi kepada suaminya. Katanya, kalau ingin bisa menulis, minta diajar kepada suaminya. 6. Ada

juga

yang

begini

pandangannya:

“Ah,

percuma

wanita

disekolahkan, sebab kalau sudah pandai menulis, suka digunakan membuat surat-surat cinta yang mendorong berbuat tidak baik. Oleh karena itu, lebih baik diam saja di rumah membantu pekerjaan orangtua. 7. Kalau kaum santri bukan begitu pandangannya, tapi begini: “His, wanita

itu

bukan

disekolahkan,

melainkan

agar

mempelajari

pengetahuan agama, belajar shalat, mempelajari sifat 20 dan tasawuf, supaya baik hati dan ada sesuatu untuk menahan nafsunya, karena wanita itu harus teguh benteng pertahanannya. 8. Ada lagi pendapat golongan santri yang terdengar oleh Kanjeng Bupati Bandung” Wanita itu tidak boleh terlihat oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya dan muhrimnya. Oleh karenanya wanita itu tidak baik disekolahkan Coba mana yang benar diantara berbagai pendapat tersebut. Menurut hemat penulis, semuanya juga tidak salah sebab kehendaknya sama, yaitu kalau-kalau anaknya tidak baik. Tetapi manusia itu, laki-laki ataupun wanita, tidak cukup hanya baik saja, tetapi harus juga memiliki pengetahuan dan kecakapan buat mencari jalan hidup pada waktu tak ada yang memberi nafkah buat menjaga keselamatan, menghindari mara bahaya dan lain sebagainya. Dan lagi jika anak perempuan tidak bersekolah, apakah sesudah besarnya terjamin pasti baik? Ah jelek orang mengatakan: “Bukankah ada ungkapan walau disimpan di dalam peti besi sekalipun, kalau akan jahat ya jahat

saja” Dan supaya sekolah memang masih baru, pada zaman dahulu belum ada yang bersekolah. Apakah dahulu tidak pernah ada orang jahat? Mengapa sebagian besar orang berpendirian demikian? Hal itu karena mereka belum mengetahui benar gunanya sekolah, disangkanya di sekolah itu hanya diajarkan menulis atau membaca dan berhitung. Selain dari pelajaran pokok tersebut, banyak lagi mata pelajaran yang perlu bagi keutamaan hidup manusia. Oleh Kanjeng Tuan Inspektur itu dinamakan “de bron van het leven”. Jelasnya sekolah itu modal hidup, sebab selain pelajaran pokok, anak-anak itu diberi pelajaran: 1. Kebersihan: Yaitu agar badan, pakaian, alat-alat sekolah, tempat duduknya harus bersih dan berhati-hati dalam memilih makanan. 2. Tatakrama: Yaitu segala tindak-tanduknya sopan, bisa bekerjasama atau menyesuaikan diri dengan orang lain, bersikap sesuai dengan orang yang dihadapi seperti kepada pembesar, kepada yang setahap, dan kepada orangtua serta berpakaian rapih dan wajar. 3. Berbicara: Yaitu tepat menggunakannya, tidak tertukar antara berbicara dengan pembesar dan dengan rakyat biasa, fasih berbicara, jelas ucapannya dan tidak cabul atau tidak sopan. 4. Disiplin dalam pemakaian waktu: Seperti waktu untuk belajar jangan digunakan untuk bermain atau sebaliknya, begitu pun mandi, makan, tidur harus pada waktunya dan harus tetap. 5. Taat: Yakni sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah guru, perintah orangtua dengan benar, belajar, bekerja rajin, sampai selesai dengan cepat, benar dan tidak berbohong. 6. Gembira: Yaitu mencari kegembiraan hati dengan menyanyi, main musik, bercerita, menonton lukisan, bermain dengan teman, membuat kerajinan. 7. Baik hati, hati suci: Seperti bersahabat dengan kawan sekolah, tidak pernah bertengkar, sayang kepada teman-teman, tidak sombong, suka menolong, sabar, tidak suka terburu-buru, tidak suka mengejek, tidak ingin dipuji, tidak iri.

8. Hemat: Seperti belajar mengumpulkan uang (menabung) supaya mengerti nilai uang, agar kelak senang menyisakan rizki yang diperoleh, bisa cukup dengan rizki kecil dan bersisa bila rizkinya besar. 9. Berpikir atau memilih: Yaitu membukakan pikiran agar kelak dapat berpikir baik, dapat memilih mana yang menyenangkan dan mana yang tidak menyenangkan. Sekarang di sekolah wanita Bandung ditambah 3 macam pelajaran yaitu: 1. Keterampilan memotong

wanita:

dan

Seperti

menjahit

menyulam,

pakaian.

menyongket,

Membuat

merenda,

kembang

kertas,

menggambar dan sebagainya. 2. Rumah tangga: Seperti mengatur rumah, menyusun barang, mencuci pakaian,

membereskan

dan

menyetrika

pakaian,

mencuci

dan

membersihkan perkakas rumah, mengatur halaman dan menyediakan makanan. 3. Masak: Belajar memasak lauk-pauk dan jenis makanan lainnya untuk bangsa kita. Dimasa datang akan diajarkan membatik yaitu melukis kain, tutup kepala, selendang dan lain sebagainya. Oleh karena itu anak yang rajin sekolahnya sampai tamat, dapat diharapkan akan menjadi orang baik seperti menurut ungkapan; sehat, baik, cekatan, dan benar. Baik wanita atau pria sama saja. Penulis sering menyaksikan anak-anak perempuan di Pasar Baru di Bandung, keluaran sekolah wanita di Bandung, telah dapat menolong orangtua mereka memegang pensil dan buku untuk mencatat barang-barang atau mencatat yang membayar utang dan yang mengutang dagangan. Dan lagi telah banyak diantara mereka yang berdagang kutang, rok, renda, saputangan dan lain sebagainya. Hal ini telah diketahui oleh para pembesar, serta beliau-beliau merasa gembira melihat kemajuan rakyatnya. Dan jika semua orang pribumi (orangtua) dimana-mana

sudah

mengerti

akan

maksudnya

anak-anak

perempuan

disekolahkan, seperti yang telah terjadi di Bandung, tentu rakyat kecil makin bertambah maju. Sekarang aka menceritakan pendapat dokter tentang anak. Adapun usaha atau sarat agar anak itu sesudah besarnya menjadi orang baik ialah sejak kecil harus sehat, yaitu tidak banyak penyakit di tubuhnya, tidak lemah panca indranya, yakni tajam penglihatan, tajam penciumannya, tajam pendengarannya cerdas dan terbuka hatinya. Menurut Dokter Raden Saleh, penyakit itu ada dua macam: 1. Penyakit karena pembawaan: Sejak lahir penyakit itu sudah ada. Penyakit ini disebut penyakit keturunan. Artinya penyakit itu sifat dan tabeatnya keturunan dari orangtuanya. 2. Penyakit adat kebiasaan: Yaitu penyakit yang datang kemudian sesudah lahir, seperti sakit kepala, sakit ulu hati, sakit perut dan lain-lain. Sifat anak berdasarkan pula atas pergaulannya dan pendidikannya, misalnya bergaul Misalnya bergaul dengan priyayi tentu akan dapat bertatakrama seperti priyayi dan dapat pula menjadi priyayi. Tetapi sebaliknya, walaupun putera priyayi, tapi jika tidak dididik, tidak disekolahkan, tidak akan dapat menjadi priyayi. Akhirnya hilang tabiat kepriyayiannya dan muncul tabiat buruk dan jelek pula kelakukannya serta membawa akibat buruk kepada lingkungannya (semuanya), sebab hal itu akan ditiru oleh rakyat kecil. Karena tabiatnya tidak dipelihara atau dimanja sejak kecil, segala kehendaknya dituruti, sesudah besar sulit dididiknya. Bukankah ada peribahasa “Bambu itu hanya dapat dilengkungkan tatkala masih muda, tapi kalau sudah tua daripada lengkung mungkin potong”. Kedua penyakitnya tersebut dapat dicegah, diobati oleh usaha, oleh pemeliharaan yang baik. Lebih-lebih jika mereka berasal dari keturunan baik, ditambah dengan pemeliharaannya baik, maka kebaikannya akan berlipat ganda. Jika anak itu dijaga, diperhatikan, dan dididik, maka penglihatan dan pilihannya tentu akan berbeda dengan anak yang tidak baik penjagaan atau pendidikannya. Bukankah bunga ros merah pun kalau dipelihara baik, bunganya bisa menjadi

indah dan berwarna-warni. Begitu pula anak-anak Sunda yang baik mendidiknya, bisa pula menyamai orang Eropa. Sebaliknya jika anak kurang baik pemeliharaannya, tentu badannya lemah dan sering kena penyakit. Sesudah besar tabiatnya jelek dan bodoh atau lemah pikirannya, mudah melakukan kejelekan, mudah tergoda, mudah tertipu, nafsunya besar tak tertahan oleh akal sehatnya sebab sudah lemah sejak kecil. Dan ingatan yang terang benderang atau hati yang terbuka terdapat pada badan yang sehat. Dan menurut ahli ilmu mendidik, ingatan yang terang benderang atau hati yang terbuka terdapat pada badan yang sehat (Een gezonde ziel is een gezonde Iichaam, dat is de volkomen mench). Penulis mendapatkan sebuah cerita. Di Eropa ada seorang tuan, Thomas Alva Edison namanya. Ibunya seorang guru. Tuan Edison di sekolahkan hanya selama 6 bulan, selanjutnya dididik sendiri saja. Karena teliti dan baik memberi pelajarannya, tuan Edison menjadi orang yang termasyur di dunia zaman sekarang ini. Atas berkat kepintaran dan cerdas pikirannya, disebutnya pun “Raja Listrik”. Mesin dan telpon (agar dapat berbicara dengan yang lebih jauh, seperti dari Bandung ke Jakarta) diciptakan berkat kecerdasan tuan Edison. Apakah dari bangsa kita kira-kiranya ada yang bisa berbuat demikian? Wah masih jauh. Kalau menurut peribahasa “laksana jauhnya bumi dengan langit”. Tetapi bukan mustahil, kalaupun perbuatan itu tidak disaksikan oleh kita, barangkali dapat disaksikan oleh anak cucu, sebab zaman sekarang pun bangsa kita sudah mulai maju, menguasai ilmu pengetahuan yang berasal dari Eropa. tapi kebanyakan dari mereka terdiri atas kaum laki-laki yaitu putra-putra para priyayi atau putra-putra orang kaya, sedangkan kaum wnaita masih belum begitu banyak. Bagaimana caranya agar bangsa kita bertambah maju? Hal ini oleh para pembesar sudah terpikirkan, yaitu kaum wanitanya harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum wanita itu akan menjadi ibu. Merekalah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan kepada manusia, yaitu kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan.

Jadi kaum wanita bangsa pribumi itu pertama-tama harus tahu tentang segala macam urusan wanita. Hal itu menurut hemat penulis ada 6 macam: 1. Mengurus anak: Sejak bayi hingga masanya untuk disekolahkan, bagi bangsa kita dalam usia 6 atau 7 tahun. 2. Menjaga anak selama masih sekolah. 3. Sesudah dewasa dan tamat sekolah. 4. Mempunyai suami dan berumah tangga 5. Tidak mempunyai suami atau ditinggal oleh suami, tidak ada yang memberi nafkah. 6. Kehidupan wanita, disamping mempunyai suami.

Dokumentasi Sekolah Raden Dewi Sartika di Bandung

Foto-foto di atas merupakan bangunan asli pada Sakola Kautamaan Istri yang didirikan pada tahun 1904 yang memiliki enam ruang kelas. Ke enam ruangan kelas tersebut tidak ada perubahan dari bangunan asli sejak zaman dulu, kecuali atap (genting) yang mengalami renovasi. Dan sekarang masih digunakan di Sakola Raden Dewi Sartika di Bandung.