konvensi & perangkat hukum dalam melawan terorisme udara

50 downloads 1889 Views 127KB Size Report
Terorisme pada pesawat udara atau dapat disebut sebagai terorisme udara ... Undang-Undang (UU) no.2 dan no.4 1976 sehingga pelaku tindak pidana ...
KONVENSI & PERANGKAT HUKUM DALAM MELAWAN TERORISME UDARA Oleh : Indro Dwi Haryono

Konvensi & Perangkat Hukum Dalam Melawan Terorisme Udara (Bagian I) Kejadian 11 September 2001 kembali mengingatkan orang betapa rapuh moda transportasi ini disalahgunakan demi kepentingan kriminal atau politik tertentu. Badan Penerbangan Internasional dan Nasional serta tidak ketinggalan badan dunia seperti PBB juga urun rembuk membuat konvensi dan perangkat hukum melawan terorime udara yang meresahkan ini. Terorisme pada pesawat udara atau dapat disebut sebagai terorisme udara merupakan salah satu bentuk tindak pidana atau bentuk kejahatan yang cukup serius terlebih lagi bila sampai memakan korban. Terorisme udara merupakan masalah pada aspek keamanan penerbangan. Pengertian terorisme sendiri banyak ragamnya tetapi dari pengertian kata dasarnya teror yaitu menimbulkan ketakutan kepada orang lain, atau dapat diambil kesimpulan pengertian terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam mencapai suatu tujuan entah politik, uang, dan sebagainya. Dalam konteks ini maka pengertian terorisme udara merupakan segala usaha untuk melakukan tindakan teror pada wahana udara terutama sipil. Tindakan ini dapat berupa tindakan kekerasan di dalam pesawat udara, pembajakan pesawat udara, sabotase terhadap pesawat udara, ataupun memasukan barang-barang berbahaya kedalam pesawat secara ilegal dengan tujuan membahayakan penerbangan, bahkan melakukan tindakan-tindakan terorisme yang mungkin hanya dapat terjadi pada film-film Hollywood seperti Die Hard 2 ataupun Critical Decission. Melihat definisi dan contoh diatas maka segala bentuk terorisme udara juga merupakan salah satu bentuk tindak pidana pada pesawat udara. Mengapa terorisme terhadap pesawat udara lebih sering terjadi pada pesawat komersial atau pesawat sipil ? Ini dapat terjadi dikarenakan pesawat komersial mampu membawa banyak penumpang, terlebih lagi beberapa keunggulan moda wahana ini yaitu jangkauannya yang sangat

1

jauh, kecepatannya yang tinggi, dan segala jenis pelayanan barang, manusia bahkan hewan dari satu negara ke negara lain dapat sampai dalam waktu yang singkat. Penerbangan sipil juga menjadi target empuk terorisme karena bentuknya yang non-combat atau sebagai pihak lemah. Dari beberapa “keunggulan” tersebut maka sangat sering dilakukan tindakan terorisme udara terlebih lagi dampak psikologis dan politisnya besar sekali karena penumpang bisa terdiri dari berbagai bangsa dan negara. Berbagai cara dilakukan untuk menekan sedemikian rupa untuk tindak kriminal ini. Baik oleh negara maupun dunia sangat mengutuknya, oleh karena itu dibentuklah hukum-hukum unuk memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku terorisme udara, peningkatan kerjasama dengan negara lain unuk mencegah terorisme udara, dan bahkan pada negara-negara maju sudah diambil tindakan pencegahan seperti penetrasi dan penghancuran organisasi yang dicurigai sebagai pelaku dan otak terorisme udara. Banyak kejadian terutama sejak setelah Perang Dunia II, penerbangan sipil mengalami bentuk terorisme udara. Tercatat terorisme udara pertama tahun 1948 sebuah pesawat Cathay Pasific dibajak saat terbang yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas, setelah itu ada berbagai macam terorisme udara lainnya seperti pemasangan bom pada tragedi Kashmir Princess, meningkatnya pembajakan demi motif politik mencari suaka saat konflik Cina dan Taiwan, konflik dua Korea, konflik Amerika Serikat dan Kuba, serta konflik Perang Dingin. Naiknya tingkat pembajakan dan terorisme udara sangat terasa di Timur Tengah saat konflik Arab-Israel pada kurun waktu 1960-1980. Tercatat peledakan tiga buah pesawat dari maskapai BOAC, SwissAir, dan TWA di Jordania oleh gerilyawan Palestina, pembajakan pesawat El Al Israel, pembajakan pesawat Lufthansa, dan usaha penembakan pesawat B747 El Al dengan rudal panggul oleh gembong terorisme Carlos The Jackal. Beberapa tindakan sabotase juga dilakukan. Tercatat ada dua buah kasus peledakan terhadap pesawat udara sipil yang membawa implikasi politis yaitu peledakan pesawat Korean Airlines Korea Selatan tahun 1987 oleh badan intelijen Korea Utara dan peledakan pesawat PANAM tahun 1988 di Lockerbie diduga dilakukan oleh badan intelejen Libya. Indonesia-pun juga tidak luput dari usaha terorisme udara ini seperti pembajakan pesawat Merpati dan pembajakan DC-9 Woyla. Terlihat pada kejadian-kejadian diatas bahwa tidak ada satupun negara yang mengoperasikan pesawat udara yang benar-benar imun terhadap terorisme udara bahkan pada suatu

negara

yang

keamanannya

luar

biasa

ketat

seperti

Israel

sekalipun.

2

Oleh karena itu pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang cukup meresahkan ini maka dibuatlah konvesi yang mengaturnya. Konvensi ini ada tiga yaitu Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Konvensi ini diadakan untuk mengatur tindak pidana pada pesawat udara dimana pada tiap konvensi melakukan berbagai macam perbaikan. Badan dunia seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB juga membuat beberapa resolusi serta International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Assosiation (IATA) mengeluarkan bentuk perjanjian serupa. Indonesia juga tidak ketinggalan membuat UU no.2 1976 dan no.4 1976 yang akan dijelaskan nanti. Instrumen Hukum Instrumen hukum Internasional yang mengatur masalah tindak pidana dan bentuk-bentuk terorisme penerbangan diantaranya tiga Konvensi Internsional yaitu Konvensi Tokyo, Den Haag, dan Montreal. Beberapa resolusi juga telah dibuat oleh PBB dan ICAO. Sementara di Indonesia telah mengambil ketentuan-ketentuan dalam ketiga konvensi tersebut sebagai dasar pembuatan Undang-Undang (UU) no.2 dan no.4 1976 sehingga pelaku tindak pidana penerbangan atau terorisme udara tidak kebal hukum di negara ini. Seperti yang diketahui, mengenai masalah tindak pidana penerbangan telah dibuat tiga konvensi yaitu: a. Konvensi Tokyo pada tahun 1963 (Convention on Offence and certain Acts Committed on Board Aircraft) b. Konvensi den Haag pada tahun 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft) c. Konvensi Montreal pada tahun 1971 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation) Konvensi Tokyo Asal mulanya Konvesi Tokyo dipersiapkan untuk menampung status hukum suatu pesawat udara (legal status of aircraft), yurisdikasi peradilan (judical jurisdiction), hukum yang dapat diterapkan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam pesawat udara dalam penerbangan (the applicable substantive law to govern allege offences committed on board aircraft in flight), dan wewenang komandan atau pilot menurut hukum yang berlaku yaitu wewenang hukum terhadap pesawat udara, awak pesawat,dan penumpang selama penerbangan. Konvensi Tokyo mengatur 3

tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan diatas laut lepas atau terra nullius. Yang dimaksudkan sebagai tindak pidana itu adalah segala bentuk tindak pidana yang termasuk atau diatur didalam UU Pidana masing-masing negara peserta Konvensi Tokyo dan perbuatan-perbuatan tertentu adalah perbuatan baik pidana atau bukan yang melanggar ketentuan disiplin dan ketertiban didalam pesawat udara. Kedua tindak pidana dan perbuatan-perbuatan ini berlangsung saat penerbangan diatas laut lepas. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi. Unsur-unsur di dalam Pasal 1 Konvensi yaitu: 1. Tindak pidana itu dilakukan didalam pesawat udara. 2. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta Konvensi. 3. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut lepas. 4. Pesawat udara berada di permukaan laut lepas. Sedangkan pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindakan pidana diatur dalam Pasal 3 Konvensi yaitu negara tempat pesawat udara didaftarkan dan juga ada kemungkinan bagi negara lain yang bukan tempat pesawat udara didaftarkan untuk melaksanakan yurisdikasinya bila negara tempat pesawat udara didaftarkan tidak mau melaksanakannya. Sedangkan pada Pasal 4 Konvensi juga diatur kemungkinan kepada negara-negara untuk melaksanakan yuridikasi bersama artinya negaranegara tersebut punya wewenang yang sama dengan negara tempat pesawat udara terdaftar untuk menyelesaikan tindakan pidana yang tercantum pada Pasal 1 Konvensi. Konvensi Tokyo ini masih memiliki banyak kelemahan seperti : 1. Tindak pidana sabotase yang sebagian besar memasukan bahan peledak secara diamdiam pada pesawat udara saat didarat dan juga terlalu mengkhususkan diri pada tindak pidananya yang kurang jelas terlebih lagi pada masalah pembajakan dan terorisme udara. 2. Hanya negara peserta Konvensi saja yang dapat dikenai ketentuan-ketentuan Konvensi. 3. Terlalu membatasi kondisi “diatas laut lepas” karena tidak seluruh negara memiliki kekuatan yurisdiksi saat pesawat udara berada dilaut lepas ataupun diatas wilayah diluar kekuasaan negara. Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa pihak saat itu masih mengganggap tindak pidana diatas laut lepas itu tidak terjangkau oleh hukum pidana manapun.

4

Oleh karena masih banyak kekosongan yurisdiksi pada Konvensi Tokyo ini maka negara-negara peserta konvensi ini mengadakan konvensi berikutnya yaitu Konvensi den Haag pada tahun 1970. Konvensi Den Haag Konvensi ini diadakan karena timbulnya kelemahan pada Konvensi Tokyo terlebih lagi perkembangan tindak pidana seperti melebarnya dimensi perbuatan pembajakan terhadap pesawat udara yang dulunya sangat terbatas menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu dan membahayakan penerbangan sipil pada lingkungan Internasional yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Internasional dengan ideologi dan politik yang berbeda-beda. Konvensi ini juga terkenal dengan nama konvensi mengenai hijacking pesawat udara (unlawful seizure of aircraft) atau dalam bahasa Indonesia pembajakan pesawat udara. Pada Pasal 1 Konvensi Den Haag memberikan batasan mengenai pembajakan pesawat udara, yaitu apabila orang tersebut telah melakukan tindakan pidana dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan sebagai berikut: Ayat a : unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises

control

of,

that

aircraft,

or

attempts

to

perform

any

such

act

,or

Ayat b : is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act. Terlihat jelas bahwa Konvensi Den Haag hanya mengkhususkan tindak pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dengan jalan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sedangkan pada bidang yurisdiksinya pada Konvensi Den Haag menghendaki negara-negara anggota memiliki yurisdiksi bilamana : a. Kejahatan dilakukan didalam pesawat udara yang didaftarkan di negara yang bersangkutan. b. Pesawat udara terhadap dari mana dilakukan pembajakan, mendarat diwilayahnya dengan pembajak berada didalam pesawat tersebut. c. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang disewakan (tanpa awak) kepada seseorang yang mempunyai domisili di negara tersebut. Yuridiksi pada konvensi ini menetapkan yurisdiksi pertama ditentukan oleh negara dimana pesawat udara mendarat dan adanya pembajak didalam pesawat udara. 5

Konvensi Montreal Konvensi Montreal pada tahun 1971 sengaja ditujukan untuk menakuti mereka yang ingin melakukan tindakan kekerasan didalam pesawat pada umumnya dan juga tindakan sabotase dimana pada Konvensi Den Haag tidak mengatur secara jelas karena lebih memfokuskan pada pembajakan pada pesawat udara. Konvensi ini juga dimaksudkan sebagai suplemen pada pengaturan

terhadap

pembajakan

pada

Konvensi

Den

Haag

tersebut.

Latar belakang terbentuknya konvensi antara lain disebabkan dua peristiwa sabotase terhadap pesawat sipil SwissAir dan peledakan ruang kargo pesawat Austrian Airlines. Disamping itu kemajuan dan keberhasilan cara-cara pemberantasan pembajakan udara juga memberikan implikasi diadakannya konvensi ini. Pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal mengatur tidak pidana sebagai berikut : a. Dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan dan tindakannya itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut. b. Dengan sengaja dan secara melawan hukum merusakkan pesawat udara dalam dinas (in service) atau menyebabkan pesawat udara tersebut tidak mampu untuk melakukan penerbangan dengan sempurna sehingga membahayakan keselamatannya dalam penerbangannya. c. Menempatkan atau memungkinkan penempatan suatu bahan peledak atau suatu zat dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara bagaimanapun, sehingga dapat memusnahkan atau menyebabkan peswat udara tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan. d. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan atau turut campur secara melawan hukum dalam pengoperasiannya, sehingga dapat membahayakn keselamatan pesawat udara dalam penerbangan. e. Memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan pesawat udara dalam penerbangan. Konvensi ini mengikuti pola yang ada dalam konvensi terdahulu bahkan dalam aspek yurisdiksi hukum telah dimasukkan sangsi-sangsi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya dan 6

kemungkinan untuk ekstradisi pelakunya (penyerahan) ke negara dimana tindakan tersebut mulamula dilakukan. Pada konvensi ini juga berisi tindakan pembajakan dan terorisme udara sehingga konvensi ini dapat dikatakan sempurna karena memuat kedua tindakan tersebut. Resolusi MU dan DK PBB Dalam rangka mengatasi bentuk terorisme udara ini, PBB selaku badan dunia ikut bertanggung jawab atas masalah ini, terlebih lagi terorisme udara telah dianggap menjadi kejahatan Internasional. Beberapa diantaranya Resolusi Majelis Umum (MU) dan Dewan Keamanan (DK) PBB : a. General Assembly Resolution on Forcible Diversion of Civil Aircraft in Flight (Resolution 2551 XXIV), 12 Desember 1969 yang isinya antara lain mengajak negara-negara bekerjasama dalam mengatasi pembajakan dan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963. b. Resolusi 286-1970 Dewan Keamanan PBB tanggal 9 September 1970 yang isinya mengenai pembajakan pesawat udara dan bentuk kejahatan lainnya serta pencegahan terhadap pembajakan. c. Resolusi Majelis Umum PBB 2645 (XXV), 30 November 1970, berisi : “…condemns, without exeption whatsoever, all acts of aerial hijacking,…call upon States to take all appropriate measures to deter, prevent or suppress such acts within their jurisdiction.” d. Pernyataan berbentuk konsensus dan diterima secara aklamasi oleh sidang Dewan Keamanan PBB 20 Juni 1972 menyatakan : “…grave concern of the Security Council at the threat to the lives of passengers and crews arising from aerial hijacking,… condemn(ed) and consider(ed) it necessary to put an end to acts of hijacking; and once again(ed) upon States to take all appropriate measures within their jurisdiction to deter and prevent hijackings.” Instrumen Hukum Internasional Lainnya Selain beberapa Konvensi dan Resolusi ternyata juga terdapat beberapa instrumen hukum yang cukup diakui keberadaanya terutama yang berasal dari ICAO, badan penerbangan kelas dunia yang sangat memperhatikan keamanan dan keselamatan terbang.

7

Beberapa instrumen hukum yang dikenal saat ini adalah : a. Mukadimah Konvensi Chicago 1944 yang mejamin adanya kebebasan ruang udara (freedom of the air) dan kutipan yang menyatakan : “…that International civil aviation should be develop in a safe and orderly manner.” Memang tampaknya cukup luas pengertian “safe” ini, tetapi hal ini juga dimaksudkan sebagai keamanan terhadap gangguan teror dan kejahatan. b. Perjanjian multilateral yaitu “Convention for the Prevention and Punishment of Terorism” di Genewa, Swiss pada tanggal 16 November 1937. Dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak peserta konvensi telah memandang secara jauh pada tahun 1937 mengenai masalah ini. c. Di bawah naungan ICAO terbentuk pada tahun 1973 yaitu Convention on the Pervention and Punishment of Crimes Againts Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, lalu pada tahun 1977 diadakan The European Convention on The Suppression of Terrorism. d. Beberapa deklarasi juga dibuat terutama untuk kerjasama internasional seperti The Bonn Declaration 1978. Hukum Nasional Indonesia Indonesia meratifikasi ketiga konvensi tersebut menjadi Undang-Undang (UU) No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung terikat oleh ketentuan-ketentuan pada ketiga konvensi tersebut. Dengan kata lain Indonesia berhak melaksanakan hal yurisdikasi bila hukum nasional belum mengaturnya. Sedangkan untuk hukum pidana, sebelum tahun 1976 tidak berlaku tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Lalu Indonesia memperluas berlakunya hukum pidana Indonesia sehingga berlaku terhadap pesawat udara yang berada diluar wilayah Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976 yakni Undangundang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP.

8

Sangat jelas terlihat pada Pasal 479 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) mengambil ketentuan

pada

Konvensi

Montreal

bahkan

dapat

diambil

bandingannya.

Pasal 479 yang dimaksud adalah : a. Pasal 479a s/d 479d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas penerbangan, sedangkan pada Konvensi tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (d). Perhatikan pada pembahasan Konvensi Montreal sebelumnya ! b. Pasal 479e s/d 479h mengatur tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, baik sengaja atau kealpaan, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran, dan sebagainya terhadap pesawat udara dengan maksud mencari keuntungan untuk dirinya sendiri atas kerugian penanggungan asuransi. Dapat dibandingkan dengan jelas Pasal 1 ayat 1 (b) Konvensi Montreal. c. Pasal 479l mengenai tindak pidana sengaja melakukan kekerasan terhadap seseorang dalam pesawat udara yang sedang berada dalam penerbangan. Tercantum pula pada Pasal 1 ayat 1 (a) Konvensi Montreal. d. Pasal 479n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1 ayat 1 (c) Konvensi. e. Pasal 479p yang berisi memberikan informasi yang tidak benar yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan yang juga sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 (e) Konvensi. Setelah melihat pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa sangat mengikuti (khususnya) Konvensi Montreal. Ini sebetulnya sangat riskan bila pada ketentuan-ketentuan Montreal terhadap kesalahan ataupun terhadap celah hukum yang memungkinkan terjadinya hal itu. Untung saja untuk sementara ini Konvensi Montreal cukup baik ketentuannya dan nyaris tidak terdapat kesalahan yang dapat dikhawatirkan dapat terjadi (ataukah pada suatu saat terjadi ?).

9

Konvensi & Perangkat Hukum Dalam Melawan Terorisme Udara (Bagian II) Pembajakan dan terorisme udara pada dasarnya baru dikenal pada awal abad XX dan asal mulanya tidak dikenal. Masalah ini menjadi masalah yang meresahkan setelah manusia mampu menggunakan ruang udara bagi hubungan satu dengan lainnya. Hukuman Terhadap Pelaku Diakui beberapa negara tidak memiliki hukum yang cukup untuk tindak pidana ini sehingga hanya bisa menggunakan hukum pidana negaranya sendiri yang isinya terbatas seperti tindakan perampasan, ancaman kekerasan, dan sebagainya. Hal ini memang menjadi kejadian yang sulit bila dilakukan diatas laut bebas dimana negara yag bersangkutan tidak memiliki dasar hukum angkasa yang kuat. Pada Konvensi Den Haag dan Montreal memberikan batasan apa yang disebut pembajak dan tindak pidana udara. Konvensi tersebut hanya mengatur untuk pesawat komersial dan untuk penerbangan domestic. Oleh karena itu pada tiap-tiap negara harus dibuat hukum nasionalnya masing-masing agar masalah diluar pesawat komersial dan jalur domestik terpecahkan. Yurisdikasi dan Ekstradisi Penentuan masalah yurisdiksi saat ini merupakan hal yang sulit. Apalagi bagi beberapa negara yang tidak memiliki instrumen hukum yang mengaturnya serta tidak menjadi anggota Konvensi dan anggota badan penerbangan dunia. Umumnya peristiwa terjadi diluar wilayah negara dimana pesawat itu akan mendarat dan juga kepintaran para pelaku memanfaatkan kelemahan hukum dan prinsip hukum angkasa negara tertentu. Prinsip-prinsip yang didasarkan pada Hukum Angkasa dan Hukum Internasional adalah prisnsip kebangsaan korban, prinsip kebangsaan pelaku pembajak dan teroris, prinsip efektif dan prinsip dimana pesawat mendarat. Pelaku kejahatan ini merupakan tindak pidana yang sangat berat dan besar harapan dari masyarakat Internasional untuk mendapatkan keadilan lewat ukum dan konvensi yang berlaku terlebih lagi menurut pandangan mereka, kejahatan sepeti ini dikatakan sebagai international crime. Ekstradisi kepada para pelaku sering tidak dimungkinkan karena ada kalanya antara kedua atau beberapa negara tidak memiliki perjanjian mengenai ekstradisi tersebut. Masalah ini

10

terpecahkan pada Konvensi den Haag dengan mengklasifikasikan sebagai extraditible offence sehingga bila tidak ada perjanjian maka keputusan konvensi ini menjadi dasar yang sah untuk menyerahkan para pelaku kepada negara-negara yang meminta penyerahannya untuk diadili. Melihat hal-hal diatas maka bagi para pelaku tidak ada tempat untuk bersembunyi dan cuci tangan atas perbuatannya. Sayangnya hal ini dinodai oleh aspek-aspek politis yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya terhadap instrumen hukum angkasa manapun dari beberapa negara di dunia. Yang sangat terkenal adalah tindakan negara Libya yang melindungi pelaku sabotase peledakan pada pesawat PANAM Amerika Serikat diatas Skotlandia pada tahun 1988. Negara Libya bersitegang dengan Amerika Serikat. Aspek politis amat kental pada kasus ini dimana Amerika Serikat menuntut keadilan atas peristiwa tersebut karena banyak warganya ada di pesawat tersebut sedangkan Libya melindungi pelaku karena intervensi yang berlebihan dari negara Amerika Serikat . Beberapa waktu yang lalu Libya telah menyerahkan para pelaku sabotase itu setelah 13 tahun lebih (!) namun penyelesaian hukum terhadap pelaku masih belum jelas kelanjutannya. Pada kasus peledakan pesawat PANAM tadi, Libya sebagai negara yang terlibat melindungi para pelaku harus menghadapi sangsi yang cukup berat. Sangsi yang diterapkan antara lain : a. Negara-negara menolak dan memutuskan perjanjian penerbangan dengan negara Libya. b. Warga negara Libya tidak diberi fasilitas dan dipersulit untuk mendapatkan visa. c. Pemboikotan dan embargo baik secara terselubung atau terang-terangan. Disamping itu juga bagi negara-negara peserta ICAO dan IATA yang melakukan tindakan seperti Libya maka akan dikeluarkan dari keanggotaannya. Memang cukup banyak kelemahan dari sangsi tersebut diatas yang bisa saja menimbulkan ketegangan antar kedua negara seperti yang sedang terjadi antara Amerika Serikat dan Libya. Tindakan Pencegahan Tindakan pencegahan menggunakan alat dan cara untuk menghindari serta menekan bahaya terorisme udara. Beberapa kombinasi telah diterapkan seperti penerapan prinsip psikologi, sosiologi, teknologi, dan hukum.

11

Beberapa alat dan cara yang dipakai adalah : 1. Pemeriksaan daftar penumpang dan barang secara teliti. 2. Penggunaan alat pencari senjata dan deteksi logam serta X-ray. 3. Memperketat pengawasan dan penjagaan organisasi pelabuhan udara. 4. Mempersenjatai awak pesawat udara. 5. Memasang alat khusus pada pesawat udara seperti pintu perangkap dan alat pengurang tekanan secara tiba-tiba. 6. Larangan memasuki tempat tertentu dalam pesawat udara seperti kokpit. Cara dan alat tersebut diatas masih banyak memiliki kekurangan karena tidak ada jaminan bahwa cara diatas akan efektif. Pelaku terorisme sering melakukan penyamaran tertentu yang sulit diungkap dan dapat menyeludupkan senjata atau bom dalam berbagai cara. Alat pendeteksi senjata kadang-kadang kurang efektif terhadap bom plastik dan bahkan senjata yang terbuat dari bahan non-logam. Mempersenjatai awak pesawat udara sering tidak disukai oleh awak yang bersangkutan karena dinilai lebih banyak bahayanya daripada amannya. Alat-alat khusus pada pesawat udara juga dapat membahayakan penumpang serta larangan memasuki tempat seperti kokpit akan tidak efektif bila si pelaku menyandera penumpang atau awak pesawat udara.

Konvensi & Perangkat Hukum Dalam Melawan Terorisme Udara (Bagian III) Apapun alasannya tindakan terorisme udara demi mengatasnamakan agama, perjuangan kemerdekaan, ideologi ataupun murni demi kepentingan pribadi adalah kejahatan yang tidak terampuni. Kesimpulan Adalah sangat tidak adil bila penumpang yang tidak tahu apa-apa dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Oleh karena itu Badan Internasional dan Nasional maupun badan penerbangan sipil telah memuat perangkat hukum serta sarana atau prasarana untuk melawan tindakan kejahatan pengecut ini. Tapi hendaknya pula badan ini juga selalu meng-upgrade perangkat hukum

karena

masih

banyak

celah

yang

selalu

diambil

pihak

pelaku

kriminal.

Kerjasama Internasional perlu segera diambil karena kejahatan ini tetap dianggap sebagai kejahatan yang meresahkan dunia. Karena bisa jadi walaupun terorisme udara dilakukan di negara 12

tertentu atau maskapai negara tertentu, sedangkan para penumpangnya adalah dari negaranegara lain. Kerjasama Internasional dapat meliputi kerjasama dalam fasilitas pengamanan bandara, penyelidikan terhadap kemungkinan terjadinya terorisme udara, pelatihan awak udara terhadap bahaya terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada tempat bagi pelaku terorisme udara untuk bersembunyi. (Sudiro Sumbodo,Jakarta, 2002). Sumber Pustaka : 1. Angkasa, Majalah Bulanan,”11.000 Kecelakaan Pesawat Tercatat Pada Abad 20 Lalu”, No.4 Januari 2000 2. Angkasa, Majalah Bulanan,”Lockerbie: Siapa Yang Membayar Pelurunya ?”, No. 3 Desember 1991 3. Angkasa, Majalah Bulanan,”Terorisme Dalam Penerbangan”,No.5 Febuari 1992 4. Diktat Kuliah Hukum Penerbangan Universitas Suryadarma 5. Katz, Samuel H., Super Elite Mossad, Mega Abadi Jakarta, 1994 6. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988 7. Poulantzas, Nicholas, The Anti Hijack Convention of December 1970, Barry Rose Publishers, 1970 8. Saleh, K. Wantjik, Pelengkap KUHP UU Pidana Baru dan Perubahan KUHP, 1977 9. Sheperd I.M, Air Piracy : The Rule of The International Federation of Airline Pilots Associations, Cornel International Law Journal Vol.3, 1970 10. Wiradipradjo Saefullah S.H, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, RK Karya CV, 1988. 11. http://www.sudirodesign.com/index.php?m=news&id=0&hash_token=0&my_keywords=&m y_category=&lower_limit=15.

13