Kumpulan Makalah PKMP - RISTEK BEM ITS 10/11

335 downloads 2618 Views 13MB Size Report
dengan kecepatan pengadukan 20 rpm selama 5 menit (Jahn, 1979) . Proses ini berlangsung ...... Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas ...... Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, UMS Surakarta, Surakarta. 2 .
i

DAFTAR ISI

PKM-P Kelompok 1 Kode PKMP-1-1

PKMP-1-2

PKMP-1-3

PKMP-1-4

PKMP-1-5

PKMP-1-6

PKMP-1-7 PKMP-1-8

PKMP-1-9

Judul

Nama_Ketua

Uji Penggunaan Minyak Angin Adelina Manurung 1001 untuk Pengendalian Populasi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Wereng Hijau (Nepholettix sp) Pemakaian Lapisan Ketuban Jefri Henky yang di Konservasi (Amnion Lyophilisasi Steril Radiasi) sebagai Perban Biologis pada Tukak Diabetes Pemberdayaan Media Komik Netty Ilmu Pengetahuan alam (Kolam) Untuk Meningkatkan Pemaham Konsep IPA Daya Hambat Rebusan Daun Eva Febia Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa) terhadap Pertumbuhan Tumor Payudara Mencit C3H secara In-Vivo Shanti Agustina Aktivitas Anti Tumor Dari Ekstrak Daun Sisik Naga (Pyrrosia nummularifolia (Sw.) Ching) Secara Invitro dan In Vivo Pada Tumor Payudara Mencit (Mus musculus) Pemanfaatan Limbah Mustopha Ahad Cangkang Kepiting Sebagai Pengganti Kitin Komersial Untuk Memproduksi Enzim Kitinase Skrining dan Potensi Kulit Muhammad Buah Pepaya Mentah Sebagai Mawardi Abdullah Obat Antimalaria Alami Pemanfaatan Ekstrak Bawang Rifki Masana Aulia El Hakim Merah Sebagai Pengganti Rooton F Untuk Menstimulasi Pertumbuhan Akar pada Stek Pucuk Jati (tectona grandis L.) Kurniastuti Lestari Pagelaran Wayang Kagok sebagai Media Pendidikan Seks pada Anak di Yogyakarta : Studi Kasus terhadap Siswa Kelas III - VI SD Negeri Pakel Yogyakarta

PT Universitas Negeri Medan

Universitas Andalas

Universitas Negeri Padang Universitas Indonesia

Institut Pertanian Bogor

Universitas Diponegoro

Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada

Universitas Negeri Yogyakarta

i

PKMP-1-10 Pengolahan Air Baku Menjadi Air Minum dengan Teknologi Membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi PKMP-1-11 Pemanfaatan Protein Whey (By product Keju) Menjadi Edible Film Coating Untuk Mempertahankan Kualitas Daging PKMP-1-12 Formulasi Sediaan Tablet Ekstrak Gossypium Herbaceum Sebagai Alternatif Kontrasepsi Pria PKMP-1-13 Studi Potensi Kalakai (Stenochlaena palustris (Burm.F) Bedd) sebagai Pangan Fungsional PKMP-1-14 Pemanfaatan Limbah Plastik (Polisterina) dan Kertas Bekas Sebagai Bahan Pembuatan Fiber Board PKMP-1-15 Kinerja dari Pemakaian Pasir Alam Hasil Tambang Masyarakat Desa Koto Baru Sebagai Agregat Halus Campuran Lataston PKMP-1-16 Pembuatan Abon Ampas Tahu Sebagai Upaya Pemanfaatan Limbah Industri Pangan PKMP-1-17 Pemaparan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Ayam Kampung (Gallus domesticus) PKMP-1-18 Sistem Detektor Kebocoran Gas pada Tabung LPG dengan Mennunakan Sensor AF56 PKMP-1-19 Analisa Uji Tarik Polipadu Poliester Tak Jenuh dengan Serabut Kelapa PKMP-1-20 Kajian Hubungan Kuantitatif Struktur Aktivitas Senyawa Kalanon dan turunannya sebagai Anti Leukemia dengan Pendekatan PCR (Principle Component Regression) PKMP-1-21 Kajian Optimasi Pengaruh Orientasi Serat dan Tebal Core Terhadap Peningkatan Kekuatan Bending dan Impak Komposit Sandwich GFRP dengan Core PVC

Nila Sari Mahardani Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya Erwin Wieddyanto Universitas Brawijaya

Ika Sherly Rudiawati

Universitas Jember

Dessy Maulidya Maharani

Universitas Lambung Mangkurat

Rita Afriyanti

Politeknik Negeri Lhokseumawe Banda Aceh

Ali Afdal

Politeknik Negeri Padang

Ridayanti

Universitas Djuanda Bogor

Reny Pratiwi

Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta

Adi Prasetyawan

Universitas Muhammadiyah Surakarta Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Universitas Jenderal Soedirman

Anton Setiawan Harjono

Istanto

Universitas Sebelas Maret Surakarta

ii

PKMP-1-22 Flash Card Klasifikasi dengan Dewi Wulandari sistem Permainan Bridge Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Sistem Klasifikasi Makhluk Hidup Pada Siswa SMA PKMP-1-23 Pengujian Sifat Fisik dan Trio Parsaoran ( TPSDP ) Mekanik Ori (Bambusa Hutapea arundinaceae)

Universitas Negeri Malang

Universitas Tanjungpura

PKM-P Kelompok 2 Kode

Judul

PKMP-2-1

Evaluasi Hasil Persilangan Bebrapa Ayam Lokal Upaya Penurunan Lemak Tubuh Ayam Broiler Melalui Penambahan Metionin dan Lisin sebagai Prekursor Karnitin dalam Ransum Uji Ketahanan Tanaman Pisang yang Telah di Imunisasi dengan Pseudomonas Berflouresensi Terhadap Ralstonia solanacearum Aplikasi Nanofluida Pada Radiator Formulasi Campuran Flower Leather dari Bunga Mawar Dengan Ekstrak Rempahrempah (Cengkeh dan Kayu Manis) sebagai Pangan Fungsional Kaya Antioksidan. Pemanfaatan Limbah Kulit Kacang Tanah (Arachis hypogea) Sebagai Bahan Bakli Asap Cair (Liquid Smoke) Antioksidan dan Aplikasinya dalam Pengasapan Ikan Bandeng (Chanos chanos F.) A Comic Enlightment: Suatu Metode Peningkatan Integritas Ego Pada Lansia Kajian Potensi Undur-Undur Darat (Myrmeleon sp.) sebagai Antidiabetes Absorbsi Timbal (Pb) dalam Gas Buang Kendaraan Bermotor Bensin dengan Karbon Aktif

PKMP-2-2

PKMP-2-3

PKMP-2-4 PKMP-2-5

PKMP-2-6

PKMP-2-7 PKMP-2-8 PKMP-2-9

Nama_Ketua

PT

Anggiat Humisar Universitas Jambi Siahan Eli Ratni Universitas Andalas

Fidel Kasfar

Universitas Negeri Padang

Angga Permana

Universitas Indonesia Institut Pertanian Bogor

Karen Puspasari

Titisari Dian Pertiwi

Universitas Diponegoro

Adi Dinardinata

Universitas Gadjah Mada

Tyas Kurniasih

Universitas Gadjah Mada

Murhadi

Universitas Negeri Yogyakarta

iii

PKMP-2-10 Kajian Penyebaran Limbah Cair Bawah Permukaan Berdasarkan Sifat Kelistrikan Batuan di Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) Benowo Surabaya PKMP-2-11 PEngaruh Campuran Lemak Sapi dan Mentega Sera Jenis Pelarut dalam Proses Ekstraksi Minyak Melati Menggunakan Sisten Enflourasi PKMP-2-12 Modifikasi Membran Selulosa Asetat Sebagai Membran Ultrafiltrasi : Studi Pengaruh Komposisi Terhadap Kinerja Membran PKMP-2-13 Pengaruh Ekstrak Bawang Putih dengan Dosis yang Berbeda terhadap Mortalitas Kutu Ikan (Argulus sp.) yang Menginfeksi Ikan Mas Koki (Carrasius auratus Linn) PKMP-2-14 Rancang Bangun Sistem Scada Proses Kontrol Industri Menggunakan Kendali Logika Fuzzy (Desain Software dan Hardware)

Suparmanto

Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya

Kelik Kurniawan Universitas Brawijaya

Ali Muhammad Yusuf Shofa

Universitas Jember

Akhmad Fakhrizal Universitas Nur Lambung Mangkurat

Bima Harimurti

Politeknik Negeri Jakarta

Mus Mulyadi PKMP-2-15 Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk dan Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Fase Sledling Anggrek Phalaenopsis

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang - Banten

PKMP-2-16 Toksisitas Rifampin Terhadap Fetus Mencit (Mus musculus) Swiss Webster Intrauterus

Adhi Pranoto

PKMP-2-17 Pemanfaatan Azolla (Azolla microphylla L.) Sebagai Biofilter Limbah Tambak Udang

Sujiati

Universitas Katholik Indonesia Atmajaya Yogyakarta Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Setyo Nurwaini PKMP-2-18 Uji Aktivitas Antiradikal Ekstrak Herba Cakar Ayam (Selaginella doederleinii Hieron), Herba Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) BL), Daun Dewandaru (Eugenia uniflora Linn.) Sebagai Sumber Alternatif Pencegahan Penyakit Degeneratif

Universitas Muhammadiyah Surakarta

iv

PKMP-2-19 Pola Interaksi Sosial Antar Umat Beragama (Studi Kasus Tentang Pola Interaksi Antar Umat Beragama di Wonosalam Jmbang Jawa Timur) PKMP-2-20 Studi Kasus Trigger Factor (Bootom Line) Pada Penderita Ketergantungan NAPZA yang Pulih PKMP-2-21 Pemanfaatan Bentonit Sebagai Katalis Padat Dalam Optimalisasi dan Efisiensi Sintesis α Tokoferol (Vitamin E). PKMP-2-22 Investasi Hukum Adat Suku Bajo Atas Penguasaan Wailayah Laut di kab. Banggai PKMP-2-23 Koefisien Pengeringan dan ( TPSDP ) Kadar Air Kesetimbangan Dinamis pada Pengeringan Lapisan Tipis Buah Pisang Irisan

Fuad Amrulloh

Universitas Bhayangkara Surabaya

Erwan Nizwarudin Universitas Padjadjaran Ucik Ayudianingsih

Universitas Airlangga

Rhenita

Universitas Tadulako

Toar Daniel Malingkas

Universitas Sam Ratulangi

PKM-P Kelompok 3 Kode PKMP-3-1

PKMP-3-2

PKMP-3-3

PKMP-3-4 PKMP-3-5

PKMP-3-6

Judul Investigasi Penyebaran Intrusi Air Laut di Kota Bengkulu dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis Pembuatan Tablit Kunyah (Suplemen) Dadih dengan Penambahan Madu, dan Rasa Jeruk Respon Regenerasi Eksplan Kalus Kedelai (Glycine max (L.) Merril) Terhadap Pemberian NAA dan BAP secara In Vitro Pengembangan Multiple Intelligence Melalui Program Pemeliharaan Hewan Pembuatan Egg Instan Drink dari Putih Telur dengan Penambahan Efek Effervescent dan Citra Rasa Lemon Pengembangan Ubi Jalar Sebagai Produk Konfeksioneri Permen Jelly Prebiotik

Nama_Ketua

PT

Bayu Suhartanto

Universitas Bengkulu

Rony Hamdy

Universitas Andalas

Eva Azriati

Universitas Negeri Padang

Regina Anindya Tantri

Universitas Indonesia

Dwi Yogo Wardoyo

Institut Pertanian Bogor

Helmi Nashirudin Institut Pertanian Bogor

v

PKMP-3-7

Isolasi Eugenol dalam Minyak Cengkeh dengan Destilasi Fraksionasi Tekanan Rendah PKMP-3-8 Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus) Terhadap Tikus (Rattus novergicus) Diabetik yang Diinduksi Aloksan PKMP-3-9 Pemanfaatan Senyawa Flavonoid dari Tumbuhan Asli Indonesia Ganiothalamus Sumatranus sebagai Biolarvasida dan Pengendali Hama yang Ramah Lingkungan PKMP-3-10 Pencelupan Pada Kain Sutera Menggunakan Zat Warna Urang Aring (Eclipta Alba) dengan Fiksator Tawas, Tunjung dan Kapur Tohor PKMP-3-11 Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan Limbah Plastik Jenis Polipropilen Dalam High Speed Diesel PKMP-3-12 Studi Perbandingan Kualitas Gelatin dari Limbah Kulit Ikan Tuna (Thunnus spp.) Kulit Ikan Pari (Dasiatis sp.) dan Tulang Ikan Hiu (Carcarias sp.) Sebagai Penyedia Alternatif Gelatin Halal

Ria Amiriani

Universitas Diponegoro

Rahmi Febriyanti Universitas Gadjah Mada

Nurwakhid Suko Diantoro

Universitas Airlangga

Khoiromi Trismawati

Universitas Negeri Yogyakarta

Ernia Novika Dewi

Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya

Doni Muhammad Universitas Irawan Brawijaya

Winda Rahmalia PKMP-3-13 Pemanfaatan Potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq) Sebagai Bahan Dasar C-aktif untuk Logam Perak dalam Larutan Muhammad Riyad PKMP-3-14 Pemanfaatan Ekstrak Akar Filza Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) Sebagai Model Antipenuaan in-vitro

Universitas Tanjungpura

PKMP-3-15 Pemanfaatan Limbah Gas Kiki Marina Kolektor Hasil Pengolahan Murdiani Logam PT. Krakatau Steel Sebagai Bahan Campuran Conblock PKMP-3-16 Perbanyakan Beberapa Species Yusnidar Tanjung Anggrek Hutan Langka Sumatera Utara Melalui Kultur In-Vitro

Politeknik Negeri Jakarta

Universitas Lambung Mangkurat

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

vi

PKMP-3-17 Struktur Komunitas Arthropoda Acressendo Tanah di Bukit Plawangan Taman Sleman, Yogyakarta PKMP-3-18 Motivasi Non-Ekonomi Pengemis di Kota Yogyakarta PKMP-3-19 Pemanfaatan Seni Karawitan untuk Menumbuhkan dan Meningkatkan Nilai Kedisiplinan dan Kebersamaan Anak PKMP-3-20 Uji Tata Letak Meja Kursi Model Tapal Kuda dan Intelegence Quotient (IQ) terhadap Prestasi Belajar Bidang Studi Matematika pada Siswa SDN Kertajaya XII Surabaya PKMP-3-21 Karakteristik Pemakaian Register Polisi Dalam Komunikasi "Handy Talky" do Polwiltabes Surabaya PKMP-3-22 Pemanfaatan Limbah Abu Layang (Fly Ash) Menjadi Material Terembani MnO2 dan Penggunaannya Pada Desinfektasi Fotokatalitik Bakteri Escherichia coli PKMP-3-23 Analisis dan Perancangan ( TPSDP ) Perangkat Ajar Pengetahuan Dasar Indonesia Berbasis Multimedia

Universitas Katholik Indonesia Atmajaya Yogyakarta Arie Kusuma Universitas Paksi Muhammadiyah Yogyakarta Muhammad Arifin Universitas Muhammadiyah Surakarta Alexander

Universitas Putra Bangsa Surabaya

Siti Alfiyatul MH Universitas Negeri Surabaya Khoirul Himmi Setiawan

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Adi Purwoko

Universitas Bina Nusantara

PKM-P Kelompok 4 Kode PKMP-4-1

PKMP-4-2 PKMP-4-3

Judul Penapisan Mikroba Penghasil Enzim Lignosellulosa dari Lumpur Selokan untuk Starter dalam Pembuatan Kompos di Kota Padang Rancang Bangun Mesin Pembuat Pasta Melinjo Pengaruh Penggunaan Pasta Gigi yang Mengandung Triklosan, Baking Soda dan Enzim Terhadap Aktivitas Laktoperoksidase Saliva

Nama_Ketua

PT

Masteria Yunovilsa Putra

Universitas Andalas

Asropi

Universitas Lampung Universitas Indonesia

Tri Rahayu Oktaviani

vii

Irfanni

PKMP-4-4

Keefektifan Bakteri Rhizosfer Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Dalam Pembuatan Kompos dan Pengendalian Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae) pada Tanaman Cruciferae

PKMP-4-5

Studi Tentang Pengaruh Medan Wulan Anggraeni Magnet dalam Proses Deposisi Lapisan Film Tipis pada Reaktor Opposed Target Magnetron Sputtering (OTMS) Pelarutan Senyawa Fosfat Agustina Dwi K. Anorganik Oleh Kultur Campur Secara In Vitro Pobi Tarosman Pembuatan Keju dengan Bantuan Pepsin dari Sekum Kelinci Sebagai Pengganti Rennet Peranan &-Endoktoksin Bacillus Debora Natalia Thuringiensis B-18749 sebagai Pemutus Siklus Hidup Aedes Aegyptu dalam Mencegah Demam Berdarah Dengue Kemampuan Potong End Mill Simson Purnomo Cutter Two Lips Dengan Tangkai Bahan VCL 140 Terhadap Bahan Mild Steel dan Aluminium Nurul Diyah Kajian Penelitian Sistem Kristiyani Keamanan Mobil dengan Membuat Remote Control yang Dilengkapi dengan Fasilitas Short Massage Service (SMS) dan Miscall Berbasis Mikrokontroler AT89C51 Harno Purwanto Upaya Peningkatan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Varietas Walet Melalui Aplikasi jenis dan Ketebalan Mulsa Kertas Bekas. Pemanfaatan Ball Clay Cap Aderya Monika Kala Untuk Penjernihan Air Gambut Pirolisis Tandan Kosong Kelapa Mira Setiyawati Sawit (TKKS) untuk Mendapatkan Asap Cair Serta Uji Kemampuannya sebagai Bahan Pembeku Lateks Alternatif

PKMP-4-6 PKMP-4-7

PKMP-4-8

PKMP-4-9

PKMP-4-10

PKMP-4-11

PKMP-4-12 PKMP-4-13

Institut Pertanian Bogor

Institut Teknologi Bandung

Universitas Diponegoro Universitas Gadjah Mada Universitas Airlangga

Universitas Negeri Yogyakarta

Universitas Negeri Malang

Universitas Brawijaya

Universitas Tanjungpura Universitas Lambung Mangkurat

viii

PKMP-4-14 Alat Pendeteksi Kantuk Sebagai Diko Harneldo Sarana Pengaman Bagi Pengemudi Mobil PKMP-4-15 Efektivitas Beberapa Bambang Fitohormon dan Tingkat Anggono Iriawan Kematangan Benih Terhadap Pertumbuhan Kecambah Tanaman Mahkota Dewa PKMP-4-16 Pengaruh Terapi Perilaku Nofrans Eka Kognitif Terhadap Kecemasan Saputra Menjelang Masa Pensiun PKMP-4-17 Pengaruh Komposisi Media Sarwono yang Dipadatkan (Nutricake Plant Media) Terhadap Pertumbuhan Stump Jati (Tectona grandis Linn.F) Ema Kurniawati PKMP-4-18 Uji Efektivitas Filtrat Serai (Andropogon nardus) Sebagai Insektisida Nabati Dalam Upaya Memberantas Nyamuk Aedes aegypti PKMP-4-19 Upaya Meningkatkan Kualitas Jainudin Tanah Gohong untuk Pekerjaan Lapis Pondasi Bawah Irwan Nugraha PKMP-4-20 Modifikasi Bentonit dan Uji Kinerja Bentonit Hasil Modifikasi pada Proses Pemucatan Minyak Sawit Mentah Muliatin PKMP-4-21 Model Diseminasi Inovasi Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo Melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris (Kasus di Wilayah Demplot Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Karang Ploso Malang) PKMP-4-22 Kinetika Degradasi Zat Warna Muhammad Rhodamin B Dengan Fotokatalis Arfandi Titanium Dioksida (TiO2) Sunan Nur Huda PKMP-4-23 Program Aplikasi Order ( TPSDP ) Penjualan Menggunakan Web Order dan Program Aplikasi Pemprograman Guna Meningkatkan Efektifitas Pelaksanaan Order Penjualan pada PT. Indomurni Dairy Industry

Politeknik Negeri Bandung Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Institut Pertanian Stiper Yogyakarta

Universitas Muhammadiyah Malang Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Brawijaya

Universitas Haluoleo Politeknik Negeri Malang

ix

PKM-P Kelompok 5 Kode PKMP-5-1

Judul

Nama_Ketua

Pemanfaatan Senyawa Sri Ayu Dewi Difeniltimah Disalisilat untuk Mengatasi Penyakit Panu PKMP-5-2 Frekuensi Siulan Lumba-Lumba Alfrido Marlianno Hidung Botol (Tursiops sp.) Saat Berenang Bersama anakanak di Gelanggang Samudera Jaya Ancol. PKMP-5-3 Prospek Steinernema sp. dan Ridwan Heterorhabditis sp. sebagai Fatamorgana Agens Pengendali Populasi Meloidagyne incognita Chidwood di Laboratorium Moh. Elvan PKMP-5-4 Aplikasi Kolom Penukar Ion Kamal Dalam Pengembangan Generator Strontium 90/Yttrium 90 Untuk Penyiapan Radiofarmaka Terapi Kanker PKMP-5-5 Perancangan dan Pengembangan Wesdiarman Sarana Relaksasi bagi Ibu Hamil Sebagai Alternatif Solusi Hypnoterapi Melalui Media Keramik di Industri Studio 181 PKMP-5-6 Felspar Jepara Sebagai Bahan Tyas Tri Baku Utama Industri Keramik Parwatiningsih Indonesia : Efektivitas Metode Flotasi dan Metode CBD Dalam Menurunkan Kandungan Besi Pengotor Felspar PKMP-5-7 Pengelolaan Biji Karet Menjadi Agus Jayadi Biodiesel PKMP-5-8 Beton Polimer Termoplastik Irfan Krisna yang Ringan dengan Kuat Tekan Saputra Tinggi PKMP-5-9 Pemanfaatan Zeolit Teraktivasi Siti Churrotin Sebagai Adsorben Ion Sianida PKMP-5-10 Perbandingan Efektifitas Larva Albert Cendikiawan Lucillia sp. dan Musca sp. dalam Uji Ekstrak In Vitro, Uji Ekstrak In Vivo, Manggot Debridement Therapy pada Luka Terinfeksi MethicillinResistanst Staphylococcus aureus (MRSA) PKMP-5-11 Sintesis Bahan Pewarna Dina Sugiyanti Keramik Tahap Awal Penyediaan Bahan Pewarna Keramik Pengganti Import

PT Universitas Lampung Universitas Indonesia

Institut Pertanian Bogor

Universitas Padjadjaran

Institut Teknologi Bandung

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Universitas Gadjah Mada Universitas Negeri Yogyakarta Universitas Airlangga Universitas Brawijaya

Universitas Negeri Malang

x

PKMP-5-12 Analisis Kekerabatan Antar Jenis Kelompok Anura (Amfibi) Sulawesi Tenggara Melalui Penanda Kariotipe PKMP-5-13 Inventarisasi dan Identifikasi Cempedak (Artocarpus champeden Spreng) di Kelurahan Ansus Distrik Yapen Barat di Kab. Yapen, Papua PKMP-5-14 Teknologi Penyisihan Logam Timbal dengan Metode Elektrokoagulasi pada Limbah Cair Industri Kecil Pewarnaan Logam PKMP-5-15 Pengebor PCB dengan Pemanfaatan Pola Gambar Komputer PKMP-5-16 Formulasi Lotion Antinyamuk Minyak Atsiri Kayu Manis PKMP-5-17 Pengembangan Produk Soygurt Bubuk Menggunakan Metode Foam - Mat Drying Untuk Memperpanjang Masa Simpan Soygurt dengan Menggunakan Penambahan Prebiotik PKMP-5-18 Perilaku Seks Bebas dan Aborsi Mahasiswa di Malang

Nur Wahidah

Universitas Haluoleo

Charlos Guntur Maay

Universitas Negeri Papua

Mahendra Galih

Politeknik Negeri Semarang

Calvin Nico Herlambang

Universitas Katholik Indonesia Atmajaya Jakarta Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Institut Pertanian Stiper Yogyakarta

Sri Widiastuti Pendhina AS.

Hutri Agustino

PKMP-5-19 Efek Ekstrak Etanol Biji Jintan Marlyn Dian Putih (Cuminum cyminum Lin.) Laksitorini Terhadap Induksi Enzim Glutation-S-Transferase dan Penghambatan Mutasi gen p53 pada Hepar Tikus Galur Sprague Dawley yang Diberi 7,12Dimentilben[a]Antrasena Kadek Agus PKMP-5-20 Studi Dampak Pengeboran Apriawan Putra Geotermal pada Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) terhadap Lingkungan dan Masyarakat Bedugul dan Sekitarnya Retno Kurniasih PKMP-5-21 Studi Pembuatan Serbuk Minuman Umbi Bit (Beta vulgaris L) Berkarbonasi (Effervescent) PKMP-5-22 Perbedaan Kadar Timbal (Pb) Edy Setyorini Pada Tanaman Kangkung Air Berdasarkan Lokasi Penanaman PKMP-5-23 Kajian Karakteristik Fisik dan Winarno ( TPSDP ) mekanik pada Buah Markisa dan Tomat

Universitas Muhammadiyah Malang Universitas Gadjah Mada

Ikip Negeri Singaraja

Universitas Sahid Jakarta Universitas Muhammadiyah Semarang Universitas Andalas

xi

PKM-P Kelompok 6

Kode PKMP-6-1

Judul

Teknologi Biodegrasi dan Biofilter dalam Treatment Air Terproduksi (Produce Water Pengeboran Minyak Lepas Pantai) PKMP-6-2 Rancang Bangun Alat Ukur Getaran Jembatan Dengan Transducer LVDT Berbantuan IBM PC PKMP-6-3 Model Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Kemampuan Entrepreneurship Untuk Siswa Sekolah Menengah Kejuruan PKMP-6-4 Pengurangan Kadar Ca2+ Dalam Air Sadah Menggunakan Zeolit alam Banyumas Sebagai Penukar Kation PKMP-6-5 Menelisik Terorisme dan Gejalanya (Analisis Kasus Terorisme di Kota Semaarang) PKMP-6-6 Pemanfaatan Adsorben Serbuk Gergaji Kayu Sengon pada Knalpot Sepeda Motor 4 Tak yang Dimodifikasi Sebagai Alternatif Pengurangan Emisi Pb di Surakarta PKMP-6-7 Studi Kemampuan Hutan Kota Dalam Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) (Stufi Kasus di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) PKMP-6-8 Kontraversi Peristiwa AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen Tahun 1950 PKMP-6-9 Pemanfaatan Hidrolisis Beberapa Jenis Xilan Dengan Enzim Xilanase Rekombinan Sebagai Bahan Baku Industri Alkohol PKMP-6-10 Pembuatan Minuman Probiotik Tersuplementasi "Rice Bran" yang Bersifat Multifungsional (Kajian Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Viabilitas BAL dan Aktivitas Bakteriosin)

Nama_Ketua

PT

Aditya Ary Yudhanto

Institut Pertanian Bogor

E.B. Fatari

Universitas Padjadjaran

Tarma

Universitas Pendidikan Indonesia

Teguh Purwanto

Universitas Jenderal Soedirman

Awaludin Marwan Universitas Negeri Semarang Aan Yunianto

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jany Tri Raharjo

Universitas Gadjah Mada

Banu Setiawan

Universitas Negeri Yogyakarta

Rizki Indra Irawan Universitas Airlangga

Elmi Dewi

Universitas Brawijaya

xii

PKMP-6-11 Keefektifan Media Komputer Sebagai Sarana Pembelajaran Ikatan Kimia pada Siswa SMA Kelas I PKMP-6-12 Isolasi dan Karakterisasi Pektin Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara PKMP-6-13 Studi Pembotolan Buah Matoa (Pometia sp.) PKMP-6-14 Pemanfaatan ban Bekas untuk Mengurangi Tekanan dan Potensi Pengembangan Tanah Ekspansif PKMP-6-15 Fermentasi Molase untuk Produksi Mikroprotein sebagai Bahan Pakan Unggas PKMP-6-16 Pilarisasi Bentonit Menggunakan TiO2 dan Pemanfaatannya pada Fotodegradasi Limbah Cair Industri Tekstil PKMP-6-17 Perancangan Instrumen Pengontrol Biaya Listrik Rumah Tangga dengan Sistem Pengambilan Data Metode Digital PKMP-6-18 Teleoperasi Robot Via Internet

Siti Ni'matul Fitriyah

Universitas Negeri Malang

Irnawati

Universitas Haluoleo

Sritina Novreta Paulina Paiki Yayan Rahmadi Utomo

Universitas Negeri Papua Politeknik Negeri Malang

Yuniati

Universitas Katholik Indonesia Atmajaya Jakarta Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

PKMP-6-19 Studi Awal Pembuatan dan Uji Menara Pendingin (Cooling Tower) Tipe Induced Counter Flow dengan Berbagai Bahan Filler untuk Pre Colling Produk Buah dan Sayur PKMP-6-20 Studi Tentang Keamanan Pangan Melalui Deteksi Kandungan Unsur Babi dengan Metode Imunodifusi dalam Produk Bakso Sapi di Wilayah Kodya Malang PKMP-6-21 Pengaruh Temperatur dan ( TPSDP ) Kelembaban Terhadap Kinerja Matrial Isolasi Komposit Silicone Rubber-Fiber Glass PKMP-6-22 Mekanisme Sistem Pengaturan ( TPSDP ) Jarak Aman Pengereman terhadap Benda yang Berada di Depan Mobil untuk Menghindari Terjadinya Benturan

Ilham

Purwo Guntoro

Ahmad Yuliyanto Politeknik Pratama Mulia Surakarta

Ahmad Mursid

Universitas Muhammadiyah Malang Politeknik Negeri Jember

Khoirun Anam

Universitas Muhammadiyah Malang

Novalina Tarihoran

Universitas Tanjungpura

Himawan Hindrarto

Universitas Kristen Petra Surabaya

xiii

PKMP-6-23 Pembuatan Batu Bata dengan ( TPSDP ) menggunakan Campuran Tras, Kapur, Tohor dan Tanah Liat tanpa Proses Pembakaran

Nodia Herman

Universitas Bung Hatta

xiv

PKMP-1-1-1

UJI PENGGUNAAN MINYAK ANGIN 1001 TERHADAP PENGENDALIAN POPULASI WERENG COKLAT (Nilaparvata lugens) DAN WERENG HIJAU (Nephottetix sp.) Adelina Manurung, Aida Warni, Peberliana Sihombing Jurusan Biologi, Universitas Negeri Medan, Medan

ABSTRAK Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Wereng Hijau (Nephotettix sp.) merupakan dua jenis serangga yang berpotensi sebagai hama paling dominan menyerang tanaman padi. Untuk mengurangi serangan hama wereng terhadap lahan pertanian beberapa tehnik pengendaliannya telah banyak dilakukan. Salah satu cara pengendalian populasi wereng coklat yang telah dilakukan para petani di Desa Prambon, Kabupaten Trenggalek adalah dengan mencampurkan Minyak Angin 1001 kedalam air. Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengkoleksi serangga percobaan sebanyak mungkin dari lapangan (Deli Serdang) dengan menggunakan jala serangga dan aspirator, dilanjutkan dengan penyortiran dan identifikasi di laboratorium, kemudian diperbanyak di Rumah Kaca dengan meletakkannya pada tanaman padi yang terdapat dalam tabung kaca dan pada bagian atasnya ditutupi kain kasa. Kemudian dilanjutkan dengan pengisolasian telur wereng hijau dan wereng coklat sebanyak 480 telur. Kemudian 30 butir telur ditempatkan pada larutan Minyak Angin 1001 dengan kadar 0% (kontrol); 0,1%; 0,3%; 0,5%. Kemudian telur ini diamati setiap hari dan masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 4 ulangan, dan diamati selama 8 hari. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Uji F dan yang menjadi rancangan penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non-faktorial yang kemudian diuji dengan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Minyak Angin 1001 yang diberikan pada telur wereng hijau dan wereng coklat berpengaruh sangat nyata (α Ftabel (5,95), maka Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 99%, yang berarti ada pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001 terhadap jumlah kematian telur wereng coklat (Nilaparvata lugens). Untuk mengetahui beda antar perlakuan, maka digunakan uji beda nyata terkecil (BNT).

PKMP-1-1-6

Tabel 3. Uji BNT Jumlah Kematian Telur Wereng Coklat Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001 Perlakuan

Rata-Rata

Beda Rata-Rata 0,1% 0,3%

0% 0% 1,25 0,1% 5,75 4.5** 0,3% 13,25 12** 0,5% 27 25,75** Keterangan: ** = berbeda sangat nyata

7,5** 21,25**

13,75**

0,5%

-

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa semua perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata antar perlakuan. Untuk mengetahui secara jelas hubungan antara jumlah kematian telur wereng coklat dengan perlakuan Minyak Angin 1001 dapat dilihat pada gambar histogram berikut ini: 60 50 Persentase Mortalitas Telur Wereng Coklat

40 0%

30

0.10%

20

0.30%

10

0.50%

0 0%

0,1%

0,3%

0,5%

Konsentrasi Minyak Angin 1001

Gambar 1. Persentase Mortalitas Telur Wereng Coklat Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi Minyak Angin 1001 0,5% mengakibatkan telur wereng coklat tidak berkembang bahkan mengalami kematian dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada konsentrasi 0,5% jumlah telur wereng coklat yang mati paling banyak dibandingkan dengan konsentrasi Minyak Angin 1001 0,1% dan 0,3%. Dibandingkan dengan kontrol (0%), pengaruh Minyak Angin 1001 terhadap perkembangan embrio ini sudah sangat nyata mulai dari konsentrasi 0,1%. Tetapi berdasarkan gambar 3.3 menunjukkan bahwa yang mendekati mencapai angka kematian 50% adalah pada konsentrasi 0,5%. Untuk mengetahui ketelitian dari penelitian ini maka dilakukan uji ketelitian koefisien keragaman (KK). Dari uji ketelitian ini diperoleh hasil KK(4,33%) < 20% (Lampiran I). Hal ini berarti penelitian yang dilakukan cukup teliti. Wereng Hijau (Nephotettix sp) Jumlah kematian telur wereng hijau setelah diberi perlakuan Minyak Angin 1001 dapat dilihat pada Tabel 4. Dari data tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 0,5% Minyak Angin 1001 jumlah kematian telur wereng hijau semakin meningkat. Setelah dianalisis secara statistik, jumlah kematian dari ketiga kelompok perlakuan tersebut berbeda sangat nyata dibanding dengan kelompok kontrol (0%).

PKMP-1-1-7

Tabel 4.

Jumlah Kematian Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001

Perlakuan 1 0% 0,1% 0,3% 0,5%

0 5 16 23

Ulangan 2 3 3 0 6 6 18 18 20 17 Total

Total Perlakuan

Rata-Rata

4 3 5 15 23

6 22 67 83 178

1,5 5,5 16,75 20,75 44,5

Tabel 5. Analisis Sidik Ragam Jumlah Kematian Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001 Sumber Variasi Perlakuan Galat Total

Db 3 12 15

JK 994,25 36,5 1030,75

KT

Fhitung 109,01**

331,41 3,04

Ftabel 0,05 0,01 3,49 5,95

Pada daftar sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan Minyak Angin 1001 memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 99% terhadap jumlah kematian telur wereng Hijau (Nephotettix sp). Hal ini terlihat dari Fhitung (109,01) > Ftabel (5,95), maka Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 99%, yang berarti ada pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001 terhadap jumlah kematian telur wereng Hijau (Nephotettix sp). Untuk mengetahui beda antar perlakuan, maka digunakan uji beda nyata terkecil (BNT). Tabel 6. Uji BNT Jumlah Kematian Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001 Perlakuan

Rata-Rata 0%

0% 1,5 0,1% 5,5 4** 0,3% 16,75 15,25** 0,5% 20,75 19,25** Keterangan: ** = berbeda sangat nyata

Beda Rata-Rata 0,1% 0,3% 11,25** 15,25**

4**

0,5%

-

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa semua perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata antar perlakuan. Untuk mengetahui secara jelas hubungan antara jumlah kematian telur wereng Hijau dengan perlakuan Minyak Angin 1001 dapat dilihat pada gambar histogram (Gambar 2). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Minyak Angin 1001 0,5% mengakibatkan telur wereng Hijau tidak berkembang bahkan mengalami kematian dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada Konsentrasi 0,5% jumlah telur wereng Hijau yang mati paling banyak dibandingkan dengan Konsentrasi Minyak Angin 1001 0,1% dan 0,3%. Dibandingkan dengan kontrol (0%), pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001 terhadap perkembangan ini sudah sangat nyata mulai dari konsentrasi 0,1%. Tetapi berdasarkan gambar 3.4 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,5% belum mencapai angka kematian 50%. Hal ini berbeda dengan wereng coklat yang mencapai lebih dari 50% (57,14%) sedangkan wereng hijau hanya 46,63%.

PKMP-1-1-8

50 40 Persentase MortalitasT elur Wereng Hijau

30

0%

20

0.10% 0.30%

10

0.50%

0 0%

0,1%

0,3%

0,5%

Konsentrasi Minyak Angin 1001

Gambar 2. Persentase Mortalitas Telur Wereng Hijau Dengan Perlakuan Minyak Angin 1001.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Minyak Angin 1001 0,5% mengakibatkan telur wereng Hijau tidak berkembang bahkan mengalami kematian dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada Konsentrasi 0,5% jumlah telur wereng Hijau yang mati paling banyak dibandingkan dengan Konsentrasi Minyak Angin 1001 0,1% dan 0,3%. Dibandingkan dengan kontrol (0%), pengaruh perlakuan Minyak Angin 1001 terhadap perkembangan ini sudah sangat nyata mulai dari konsentrasi 0,1%. Tetapi berdasarkan gambar 3.4 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,5% belum mencapai angka kematian 50%. Hal ini berbeda dengan wereng coklat yang mencapai lebih dari 50% (57,14%) sedangkan wereng hijau hanya 46,63%. Untuk mengetahui ketelitian dari penelitian ini maka dilakukan uji ketelitian koefisien keragaman (KK). Dari uji ketelitian ini diperoleh hasil KK(3,9%) < 20% (Lampiran II). Hal ini berarti penelitian yang dilakukan cukup teliti. Pembahasan Sebagaimana telah disebutkan dari hasil sebelumnya, bahwa Minyak Angin 1001 menyebabkan kematian (menghambat perkembangan embrio) pada telur wereng coklat dan wereng hijau. Sifat penghambat ini kemungkinan karena adanya Methylis salicylas 54,8% yang merupakan salah satu komposisi dari minyak angin tersebut. Zat ini jumlahnya paling besar dibandingkan dengan komposisi lainnya. Rumus molekul Methylis salicylas tersebut adalah C6H4(OH)C))CH3 yang merupakan metil ester asam salisinil (Anonim,2005). Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa konsentrasi dari Minyak Angin 1001 yang mengandung zat Mythylis salicylas dapat mengakibatkan telurtelur wereng coklat dan hijau menjadi tidak berkembang bahkan mengalami kematian. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana cara kerja Mythylis salicylas dalam menghambat perkembangan embrio wereng coklat dan wereng hijau. Dari data yang dihasilkan pada konsentrasi 0,5% Minyak Angin 1001, jumlah kematian telur wereng coklat dan hijau semakin meningkat. Setelah dianalisis secara statistikjumlah kematian dari ketiga kelompok perlakuan tersebut berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan kontrol (0%).

PKMP-1-1-9

KESIMPULAN 1.

2.

3.

Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) dan Wereng Hijau (Nephotettix sp) memiliki tahapan perkembangan embrio yang ditandai dengan adanya perubahan warna dan pertambahan ukuran telur serta terbentuknya berbagai organ tubuh seperti mata, kepala, notum, abdomen dan organ lainnya. Minyak Angin 1001 yang diberikan pada telur wereng coklat dan hijau berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap jumlah kematian telur wereng coklat dan hijau pada taraf 0,1%; 0,3%; dan 0,5%. Persentase kematian telur wereng coklat secara berturut-turut 0%; 0,1%; 0,3% dan 0,5% adalah 2,65%; 12,17%; 28,04% dan 57,12% sedangkan pada wereng hijau adalah 3,37%; 12,36%; 37,64% dan 46,63%.

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 26 Juli 1999. Awas Serangan Hama Padi. Suara Pembaharuan Anonimus. 27 Juli 1999. Perlu Disiplin Mengendalikan Hama Padi. Suara Pembaharuan Anonimus. 28 Januari 2002. Wereng Cokelat dan Tikus Mengganas. Suara Merdeka Anonimus. 2005. www.ibiblio.org Baehaki. 1993. Berbagai Hama Serangga Tanaman Padi. Bandung: Angkasa Harahap I.S. dan Tjahjono B. 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi. Jakarta: Penebar Swadaya Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta Kartasapoetro A.G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Jakarta: Bumi Aksara Manurung, B., Witsack, W. dan E. Fuchs. 2001. Zur Embryonal-und Larvalentwicklung der Zikade Psammotettixalienus (DAHLBOM, 1985) (Hemiptera, Auchenorrhyncha:Homoptera). Beitrage zur Zikadenkunde 4:49-58 Munthe. 2005. Kajian Biologi Perkembangan Embrionik dan Larva Wereng Hijau (nephotettix virescens Dist.). Medan: Unimed Pracaya. 2003. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya Rismunandar. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Bandung: Sinar Baru Algesindo Simajuntak D. 2005. Kajian Biologi Perkembangan Embrionik dan Larva Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens). Medan: Unimed Semangun H. 1993. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Indonesia. Yoyakarta: Gajah Mada University Press Stewart, A.J.A. 2002. Techniques for Sampling Auchenorrhyncha in Grassland. Denisia 04:491-512 Suprayono dan Setyono A. 1997. Mengatasi Permasalahan Budidaya Padi. Jakarta: Penebar Swadaya Tjahjadi N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius Wilson, M.R. dan Claridge, M.F. 1991. Handbook for the Identification of Leafhoppers of Rice. Wallingford-Oxon : CAB

PKMP-1-2-1

PEMAKAIAN LAPISAN KETUBAN YANG DIKONSERVASI (AMNION LYOPHILISASI STERIL RADIASI) SEBAGAI PERBAN BIOLOGI PADA TUKAK DIABETES Jefri Henky, Ikhsan Hidayat, Irsal Munandar Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang ABSTRAK Tukak Diabetes merupakan komplikasi menahun Diabetes Melitus (DM) dan penyebab terbanyak pasien dirawat di Rumah Sakit. Perawatan tukak diabetes memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Komplikasi lain pada pasien ini berupa gangguan aktifitas sehari-hari dan akhirnya menderita cacat. Patogenesis terjadinya tukak DM akibat iskemia, neuropati dan infeksi yang tidak sembuh. Iskemia disebabkan buruknya aliran darah ke perifer dan ke kulit, menyebabkan penurunan asupan O2 dan nutrisi untuk metabolisme serta proses perbaikan jaringan. Neuropati menyebabkan penurunan kemampuan mendeteksi sensasi atau vibrasi rasa, sehingga luka pada kaki akibat trauma tidak dirasakan. Luka yang disebabkan iskemia dan neuropati akan menimbulkan infeksi, hal ini juga diakibatkan kurangnya kemampuan leukosit menahan invasi bakteri sehingga menimbulkan ulserasi dan destruksi pada jaringan. Penyembuhan tukak diabetes melibatkan beberapa faktor pertumbuhan yang merangsang pembentukan jaringan granulasi, epitel, neovaskular dan respon imun. Faktor pertumbuhan itu berupa : PDGF (Platelet Derived Growth Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor Betha), AF (Angioneogenik Factor), EGF (Epidermis Growth Factor), Somatomedin atau IGF (Insulin-like Growth Factor) dan Fibronectin. Faktor tersebut bekerja merangsang proliferasi sel, sehingga sel jaringan pengganti tumbuh dan berkembang tanpa tergantung faktor tumbuh. Untuk perawatan tukak diabetes dalam waktu yang cepat dan biaya yang kecil, diperlukan perban yang menyembuhkan sekaligus menutup jaringan tukak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa amnion (selaput ketuban) mampu merangsang terjadinya jaringan granulasi, epitelisasi, neovaskularisasi dan respon imun untuk penyembuhan luka bakar, luka pasca operasi dan tukak lepra. Penelitian ini bertujuan melihat efek pemakaian amnion sebagai perban biologis pada 7 pasien tukak diabetes. Setelah debridemant, tukak dibagi dalam 2 daerah sebagai : Kelompok I (perlakuan) dan Kelompok II (kontrol positif). Kemudian dilakukan insisi untuk pemeriksaan histopatologi setelah tukak sembuh atau menutup. Pemeriksaan histopatologi berupa penghitungan jumlah jaringan granulasi, sel epitel, neovaskular, jaringan nekrotik, sel MN dan sel PMN. Lamanya penyembuhan pada masing-masing pasien dihitung berdasarkan kelompok yang sembuh lebih dahulu. Uji T-Test menunjukkan perbedaan yang signifikan antara Kelompok I dan Kelompok II, dengan hasil : jaringan granulasi (p=0,015), sel epitel (p=0,126), neovaskular (p=0,000), jaringan nekrotik (p=0,055), sel MN (p=0,611) dan sel PMN (p=0,271). Tukak pada Kelompok I lebih cepat sembuh dan menutup dibandingkan tukak pada Kelompok II. Perbedaan penyembuhan itu juga signifikan antara kedua kelompok penelitian (p=0,000). Uji Korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang bermakna antara gambaran histopatologi jaringan tukak dengan Kelompok I (perlakuan), yaitu : jaringan granulasi (p=0,05), neovaskular (p=0,01) dan waktu penyembuhan

PKMP-1-2-2

(p=0,01). Jadi, dapat disimpulkan bahwa amnion (ALS-Radiasi) dapat meningkatkan jumlah sel jaringan pengganti dan mempercepat penyembuhan tukak diabetes secara signifikan. Kata kunci : tukak diabetes, amnion (ALS-radiasi), histopatologi PENDAHULUAN Tukak Diabetes merupakan suatu komplikasi menahun pada Diabetes Melitus (DM) berupa gangguan neurologi dan vaskular (International 1999; Sarwono 1996). Tahun 1996, sekitar 15% pasien DM di dunia menderita tukak diabetes dan diperkirakan akan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025 mendatang. 40%-70% dari jumlah tersebut diamputasi, karena jaringan tukak telah mengalami ganggren (Armstrong et al. 1998). Sub Bagian Endokrin UPF Penyakit Dalam Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin menyebutkan 50%-80% indikasi rawat pasien DM adalah karena tukak dan biasanya terjadi setelah 5-15 tahun menderita DM. Di RS Dr. M. Djamil Padang tahun 1990-1994 terdapat 106 kasus tukak DM, diantaranya 62,3% adalah wanita dan 50,9% pasien berumur lebih dari 50 tahun (Endokrinologi UNDIP 2002; Dona 1996). Tukak DM merupakan penyebab utama pasien dirawat dan waktu perawatan yang lama, yaitu 20% lebih lama dari komplikasi DM lainnya. Lamanya perawatan dan biaya pengobatan yang mahal merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi pasien. Tahun 1998, beberapa pusat penelitian di Indonesia melaporkan biaya perawatan setiap pasien dengan tukak DM di kelas III sebesar Rp105.154,-/hari dengan lama perawatan 30 hari (Sarwono 1998; Levin et al. 1993). Umumnya tukak DM terjadi akibat iskemia, neuropati dan infeksi yang tidak sembuh. Iskemia disebabkan buruknya aliran darah ke perifer dan ke kulit, menyebabkan penurunan asupan O2 dan nutrisi untuk metabolisme serta proses perbaikan jaringan. Neuropati menyebabkan penurunan kemampuan mendeteksi sensasi atau vibrasi rasa, sehingga luka pada kaki akibat trauma tidak dirasakan. Luka yang disebabkan iskemia dan neuropati akan menimbulkan infeksi, hal ini juga diakibatkan kurangnya kemampuan leukosit menahan invasi bakteri (Stadelmann et al. 1998; Siti et al. 2002). Penyembuhan tukak diabetes melibatkan beberapa faktor pertumbuhan yang merangsang pembentukan jaringan granulasi, epitel, neovaskular dan respon imun. Faktor pertumbuhan itu berupa : PDGF (Platelet Derived Growth Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor Betha), AF (Angioneogenik Factor), EGF (Epidermis Growth Factor), Somatomedin atau IGF (Insulin-like Growth Factor) dan Fibronectin. Faktor tersebut bekerja merangsang proliferasi sel, sehingga sel jaringan pengganti tumbuh dan berkembang tanpa tergantung faktor tumbuh (Underwood 1999; Robbins 1995). Selama ini tukak DM hanya dibersihkan dan ditutup dengan perban sintesis yang steril atau perban sintesis berbasis antibiotik (Sofratulle), sehingga membutuhkan waktu perawatan dan penyembuhan yang lama serta biaya yang mahal. Untuk itu diperlukan suatu perban biologis yang dapat menyembuhkan sekaligus melindungi jaringan tukak diabetes.

PKMP-1-2-3

Di RS Dr. M. Djamil terdapat perban biologis yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Perban biologis itu adalah Amnion Lyophilisasi Steril Radiasi (ALS-Radiasi), yang dikonservasi dengan pengeringan beku tanpa melewati fase cair, tanpa merusak fisik dan biokimia amnion (Nazly, 1992). ALS-Radiasi berasal dari selaput ketuban wanita setelah melahirkan. Selaput ketuban ini tersedia banyak, namun selalu dibuang, dihanyutkan atau dikubur karena mengikuti tradisi budaya masyarakat. Sekarang ini selaput itu dikonservasi dan dipergunakan dalam bentuk ALS-Radiasi untuk mengobati dan menyembuhkan luka, seperti luka bakar, luka post operasi, tukak lepra dan pterigium pada mata (Menkher & Helfial 2000; Kamardi et al. 1993). Beberapa penelitian yang membandingkan pemakaian ALS-Radiasi dengan bahan sintesis (perban steril, sofratulle) menyebutkan bahwa Amnion merangsang proses granulasi, neovaskularisasi dan epitelisasi 2 kali lebih cepat dan lebih baik, mengurangi rasa nyeri, menahan evaporasi, menekan populasi kuman dan melekat rata pada permukaan sehingga akan mempercepat waktu penyembuhan. Manfaat lain yang dirasakan pasien adalah elastis, ringan, tipis, transparan, tidak perlu dilepas dan tidak menghalangi pergerakan. Dari segi ekonomi, Amnion mengurangi biaya hari perawatan dan harga jual yang relatif lebih murah (Barry 1991; Menkher et al. 2000; Yulfirstayuda 2001). Berdasarkan pada teori dan penelitian terhadap luka yang memakai Amnion (ALS-Radiasi) dan belum adanya kemajuan penelitian terhadap penyembuhan tukak diabetes dengan perban sintesis, maka dirasakan perlu untuk meneliti apakah Amnion (ALS-Radiasi) dapat dipakai sebagai perban biologis untuk mempercepat perbaikan jaringan pada tukak diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Efek pemakaian Amnion (ALS-Radiasi) terhadap gambaran histopatologi penyembuhan jaringan tukak diabetes. 2. Efek pemakaian Amnion (ALS-Radiasi) dalam mempercepat waktu penyembuhan jaringan (lama sembuh) pada tukak diabetes. 3. Membandingkan lama kesembuhan dan gambaran histopatologi penyembuhan jaringan tukak diabetes yang memakai Amnion (ALS-Radiasi) dengan memakai sofratulle (perban sintesis berbasis antibiotik). 4. Mengetahui hubungan korelasi antara gambaran histopatologi penyembuhan jaringan tukak diabetes dengan pemakaian Amnion (ALS-Radiasi). Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemanfaatan bahan buangan manusia (selaput ketuban yang sering dibuang, dikubur atau dihanyutkan) menjadi bahan berguna, yaitu sebagai perban biologis untuk penyembuhan tukak diabetes. Hasil penelitian ini dapat diterbitkan pada jurnal ilmiah, seminar pengembangan Bank Jaringan Indonesia dan dipakai sebagai dasar penelitian selanjutnya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan dasar teoritis dan aplikatif dari bukti klinis dan histopatologis yang ditemui nantinya. Penelitian ini berguna untuk melatih mahasiswa berkomunikasi, berinteraksi dan menghargai pasien (inform consent) terhadap tindakan yang dilakukan dalam penelitian dan memberikan tuntutan tanggung jawab serta kemampuan membagi waktu bagi peneliti dalam bekerjasama melaksanakan kegiatan penelitiannya. Penelitian ini juga dapat melatih keterampilan dan menambah ilmu pengetahuan mahasiswa, baik dalam ilmu bedah, penyakit dalam dan laboratorium patologi anatomi.

PKMP-1-2-4

Secara ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya penyembuhan dan perbaikan jaringan tukak diabetes seoptimal mungkin, juga untuk mengetahui keefektifan pemakaian Amnion (ALS-Radiasi) sebagai perban biologis. Sehingga dapat membantu pasien dalam mempersingkat waktu perawatan tukak, penderitaan terhadap komplikasi penyakit dan meringankan biaya penyembuhan tukak diabetes yang dideritanya. METODE PENELITIAN Disain penelitian yang dipakai adalah penelitian eksperimental di klinik, melibatkan pasien tukak diabetes yang dirawat inap sebagai sampel (Sudigdo et al. 2002). Pada penelitian ini masing-masing sampel mempunyai 2 kelompok, dengan nama kelompok I dan kelompok II. ™ Kelompok I : atau kelompok perlakuan adalah ½ bagian tukak yang ditutup memakai Amnion (ALS-Radiasi) sebagai perban biologis. ™ Kelompok II : atau kelompok kontrol adalah ½ bagian tukak yang ditutup memakai perban sintesis berbasis antibiotik (Sofratulle). Sampel (Satu Pasien) Debridemant Kelompok I : Amnion (ALS-Radiasi)

Kelompok II : Perban sintesis (Sofratulle)

Insisi Jaringan (A)

Insisi Jaringan (B)

Waktu Yang Sama Perbaikan Jaringan

Populasi penelitian ini adalah semua pasien wanita dengan tukak diabetes derajat II yang dirawat inap. Sampel penelitian ini sebanyak 7 orang berdasarkan rumus (Fraenkle et al, 1993) : {(np – 1) – (p – 1)} ≥ p2 Keterangan : n = Besar sampel, p = Banyaknya variabel perlakuan Sehingga dalam penelitian ini dibutuhkan sampel sebesar : {(6n – 1) – (6 – 1)} ≥ 62 {(6n – 1) – (5)} ≥ 36 6n – 6 ≥ 36 6n ≥ 42 n≥7 Variabel Bebas : Pakai ALS-Radiasi Pakai Sofratulle

Variabel Perancu : Kriteria Inklusi & Eksklusi

Variabel Tergantung : Jaringan Granulasi Epitelisasi Neovaskularisasi Jaringan Nekrosis Sel Morfo Nuklear Sel Poli Morfo Nuklear Waktu Penyembuhan

PKMP-1-2-5

Kriteria Inklusi : a) Pasien wanita dengan tukak diabetes derajat II menurut Wagner (Klasifikasi Wagner pada lampiran No.1) yang dirawat inap. b) Berumur > 45 tahun dan punya riwayat keturunan DM. c) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani Inform Consent. d) Termasuk pasien DM pengendalian baik (Kriteria pada lampiran No.2). e) Index massa tubuh 18,5-25 kg/m2. Kriteria Eksklusi : a) Perokok, peminum alkohol dan obat-obatan (jamu). b) Punya riwayat penyakit pembuluh darah atau penyakit kulit. Penelitian ini dilakukan di Bangsal Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M. Djamil Padang untuk perlakuan. Pemeriksaan histopatologi dilakukan di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, dengan tatalaksana sebagai berikut : 1. Penyaringan sampel (pasien) Sampel dipilih secara manual memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien yang terpilih bersama keluarganya diberi penjelasan tentang manfaat dan resiko penelitian, pasien sebagai sampel tersebut menandatangani inform consent (surat keterangan kesediaan). 2. Persiapan sampel Pasien dirawat sebagai pasien DM dengan tukak diabetes, terapi dan diet pasien sesuai dengan protap Bangsal Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M. Djamil. Untuk antibiotik diberikan obat-obatan berupa ; metronidazol dan cepotaxime secara intra vena. 3. Penanganan pasien selama penelitian a. Tukak pasien dibersihkan dengan NaCl 0,9%. Pus maupun jaringan nekrotik dibuang dengan tindakan debridemant. b. Tukak ditutup sebagai Kelompok I (perlakuan) pada ½ daerah tukak dan ½ daerah tukak lainnya ditutup sebagai Kelompok II (kontrol). c. Pengulangan cara kerja a dan b setiap hari, maksimal selama 30 hari. d. Jaringan tukak diambil dengan ukuran (Panjang x Lebar x Dalam) 0,5cm x 1cm x 0,5cm dengan memasukkan jaringan di sekitar luka, kemudian dikirim dalam tabung berisi Formalin 10% ke laboratorium Patologi Anatomi untuk pemeriksaan histopatologi. 4. Penangan pasien setelah penelitian Tukak pasien yang tidak sembuh pada kelompok II ditutup dengan perban biologis (ALS-Radiasi) untuk mempercepat perbaikan jaringannya. Data yang diperoleh dari pemeriksaan histopatologi dan lamanya perbaikan jaringan, dianalisa secara statistik dan dilakukan pengujian dengan menggunakan perbandingan dua rata-rata (T-Test) dengan α=0,05 (95%), sedangkan untuk mencari hubungan antara data yang diperoleh dengan kelompok I (perlakuan) dipergunakan Korelasi Pearson secara komputerisasi.

PKMP-1-2-6

Klasifikasi tingkat pertumbuhan masing-masing variabel (jaringan granulasi, epitelisasi, neovaskularisasi, jaringan nekrosis, sel morfo nuklear, sel poli morfo nuklear dan waktu penyembuhan) adalah : Variabel Jaringan Granulasi Epitelisasi Neovaskularisasi Jaringan Nekrosis Sel Morfo Nuklear Sel Poli Morfo Nuklear Waktu Penyembuhan

Intensit as Tipis Tebal Tipis Tebal Sedikit Sedang banyak Negatif Positif Sedikit Banyak Sedikit Banyak Lambat Cepat

Nilai < 10 lapis sel kolagen / LPB > 11 lapis sel kolagen / LPB < 5 lapis sel epitel / LPB > 6 lapis sel epitel / LPB < 5 pembuluh darah / LPB 6-10 pembuluh darah / LPB > 11 pembuluh darah / LPB Tidak terdapat mikroabses / LPB Terdapat mikroabses / LPB < 10 sel MN / LPB > 11 sel MN / LPB < 10 sel PMN / LPB > 11 sel PMN / LPB > 21 hari perawatan tukak < 20 hari perawatan tukak

HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilakukan insisi jaringan setelah pemakaian perban (ALS-Radiasi dan Perban Berbasis Antibiotik-Sofratulle) pada seluruh sampel guna untuk pembuatan sediaan histopatologi dan pemeriksaan jaringan granulasi, sel epitel, neovaskular, jaringan nekrosis, sel MN dan sel PMN. Penghitungan jaringan granulasi, sel epitel, neovaskular, jaringan nekrosis, sel MN dan sel PMN menggunakan mikroskop perbesaran 10 x 100 dilakukan secara manual per satu lapangan pandang besar (LPB) dengan hasil seperti terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1.

Jumlah rata-rata dan perbedaan rata-rata dua kelompok penelitian berdasarkan pemeriksaan histopatologi secara mikroskopik. (Hasil perhitungan pada lampiran No.4)

Gambaran Histopatologi

Intensit as

Kelompo kI N=7

Kelompo k II N=7

Tipis Jaringan Granulasi

TTest (p< 0,05)

100, 42,9 %

0%

0,01 5

Tebal 57,1 %

0,0 %

28,6 %

71,4 %

Tipis Epitelisasi

71,4 % 0,0 %

28,6 % 100, 0%

71,4 %

0,0 %

28,6 %

0,0 %

Sedikit Neovaskularisasi

0,12 6

Tebal

0,00

Sedang Banyak

0

PKMP-1-2-7

Negatif Jaringan Nekrosis

100, 0%

57,1 %

0,05 5

Positif 0,0 %

42,9 %

71,4 %

57,1 %

Sedikit Sel Morfo Nuklear

0,61 1

Banyak 28,6 %

42,9 %

85,7 %

57,1 %

Sedikit Sel Poli Morfo Nuklear

0,27 1

Banyak 14,3 %

42,9 %

0,0 %

85,7 %

Lambat Waktu Penyembuhan

Cepat 0%

0,00 0

100, 14,3 %

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah rata-rata (T-Test) jaringan granulasi, neovaskular dan jaringan nekrosis antara dua kelompok penelitian (kelompok I dan kelompok II) mempunyai perbedaan bermakna, sedangakan pertumbuhan sel epitel, sel MN dan sel PMN antara dua kelompok penelitian tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Tabel 4.2.

Korelasi Pearson antara perlakuan sampel penelitian dengan gambaran histopatologinya. (Hasil perhitungan pada lampiran No. 4) Gambaran Histopatologi Jaringan Granulasi

Korelasi Pearson 0,05

Epitelisasi

-----

Neovaskularisasi

0,01

Jaringan Nekrosis

-----

Sel MN

-----

Sel PMN

-----

Waktu Penyembuhan

0,01

Interprestasi Bermakna Tidak Bermakna Bermakna Tidak Bermakna Tidak Bermakna Tidak Bermakna Bermakna

Insisi dan pemeriksaan histopatologi ditentukan dari salah satu daerah atau bagian tukak (kelompok I atau kelompok II) yang menutup atau sembuh lebih dahulu, dengan batas maximal 40 hari. Pada kedua kelompok penelitian, penyembuhan lebih dahulu terjadi pada kelompok I, sedangkan kelompok II masih membutuhkan waktu lebih lama untuk penyembuhan jaringan tukak. Oleh karena itu, batas waktu insisi histopatologi berdasarkan pada kelompok I. Waktu penyembuhan tersebut berkisar antara 12 hari sampai 38 hari, dengan perbedaan rata-rata kedua kelompok yang bermakna (lihat tabel 4.1). Tukak Diabetes merupakan komplikasi DM terbanyak dan penyebab utama pasien dirawat dengan waktu yang lama (Sarwono 1998 ; Levin 1993). Lamanya perawatan merupakan masalah besar bagi pasien, karena memerlukan biaya yang banyak baik biaya perawatan maupun biaya pengobatan tukak. Kerugian lainnya,

PKMP-1-2-8

pasien akan kehilangan pekerjaan, gangguan aktifitas dan menderita cacat pada ekstremitas (Levin 1996). Pada penelitian ini bertujuan melihat efek pemakaian amnion (ALS-Radiasi) sebagai perban biologis dalam mempercepat penyembuhan jaringan tukak DM. Didapatkan hasil bahwa amnion bermakna secara klinis dan statistik dalam menyembuhkan tukak diabetes. Secara klinis amnion mempercepat waktu penyembuhan dan pertumbuhan jaringan pengganti dalam mengisi defek pada tukak, sedangkan secara statistik amnion (ALS-Radiasi) meningkatkan jumlah jaringan granulasi dan neovaskular dalam pemeriksaan sediaan histopatologi. Hasil terlihat pada tabel 4.1. dan tabel 4.2. Pada penelitian ini perbedaan jumlah sel radang (sel MN dan sel PMN) antara bagian yang memakai amnion dengan sofratulle tidak signifikan, hal ini menandakan bahwa respon pertahanan tubuh awal terhadap penyembuhan tukak adalah sama. Secara fisiologis peningkatan sel radang ini berguna untuk memfagosit bakteri dan membuang massa nekrotik serta fibrin dalam bentuk pus, sehingga jaringan tukak bersih dari bakteri dan bahan suplai hidupnya (Underwood et al. 1999 ; Robin et al. 1995; Cotrans et al. 1999; Peters 2000). Hasil penelitian ini memperkuat dugaan bahwa amnion berperan dalam menurunkan populasi bakteri dan meningkatkan respon imun lokal karena tidak ada perbedaan efektifitas antara Amnion dengan pembandingnya (perban berbasis antibiotik). Diduga allantoin dan lisozim pada amnion yang berfungsi sebagai bakteriostatik dan bakterisid. Allantoin berfungsi sebagai pembangkit anti bodi, selain itu lisozim merupakan enzim yang bersifat bakteriostatik dan bakteriolitik. Permeabilitas amnion terhadap O2 dan CO2 juga merupakan faktor penting dalam menurunkan infeksi dan populasi kuman anaerob. Hasilnya, populasi kuman aerob maupun anaerob akan menurun akibat mekanisme penarikan sel radang, sifat bakteriostatik dan bakterisid substansi serta permeabilitas dari amnion (Bose 1979; Gruss et al. 1978; Robson 1973). Namun, untuk membuktikan kemampuan amnion dalam menurunkan populasi kuman pada tukak diabetes, diperlukan penelitian untuk menghitung jumlah populasi kuman dan pengaruhnya terhadap pemakaian amnion (ALSRadiasi) serta uji sensitivity dengan amnion secara invitro. Pada kasus yang berbeda (pada luka bakar) Nursal H. menghitung sekitar 4,372 juta koloni kuman dapat dihindari dengan memakai amnion pada luka bakar ditubuh pasien (Nursal 1994). Penarikan sel radang dan interaksi trombosit beserta komplemen pada tukak akan melepaskan 2 faktor pertumbuhan potensial yaitu PDGF dan TGF-β. PDGF dan TGF-β menyebabkan proliferasi miofibroblast berupa pembelahan dan menghasilkan kolagen membentuk serabut otot dan perlekatan sel didekatnya, sehingga menghasilkan anyaman kolagen atau jaringan granulasi. Peningkatan pembentukan granulasi ini berperan dalam mengisi defek dan memperbaiki jaringan yang hilang (Underwood et al. 1999; Robins et al. 1995; Cotran et al. 1999; Peters et al. 2000). Pada bagian tukak diabetes yang sembuh dengan memakai amnion, secara histopatologi memperlihatkan peningkatan jumlah jaringan granulasi. Namun waktu pembentukannya tidak diukur, karena membutuhkan pengamatan berkala secara mikroskopis. Sebagai perbandingan, Kamardi T. menghitung lama terjadinya jaringan granulasi pada luka bakar yang memakai amnion yaitu sekitar

PKMP-1-2-9

6-7 hari atau 2-3 hari lebih cepat dibandingkan dengan sofratulle. Diduga dengan penyembuhan yang lebih awal ini, akan memperbanyak jumlah jaringan granulasi sampai menutupi defek pada tukak (Kamardi et al. 1993). Peningkatan jumlah vaskular pada hasil penelitian yang memakai amnion diduga disebabkan oleh transferin sebagai faktor angioneogenik, berupa perangsangan pertumbuhan pembuluh darah baru. Faktor angioneogenik menyebabkan sel endotel kapiler akan tumbuh ke dalam daerah yang diperbaiki, dimulai dengan tunas padat yang kemudian segera terbuka menjadi saluran. Vaskularisasi tersebut tersusun sebagai lengkungan yang masuk ke jaringan yang rusak (ulkus). Menurut Nursal H. pada penelitiannya mengenai luka bakar, terdapat 2,5-3 kali lebih banyak neovaskular bila memakai amnion dibandingkan dengan perban biasa (Nursal 1994). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan jumlah sel epitel pada dua kelompok perlakuan. Hal ini dikarenakan permeabilitas dua penutup luka terhadap O2 sebagai bahan metabolisme. Selain itu epitelisasi juga dirangsang oleh pelepasan PDGF, EGF, Fibronectin dan Somatomedin (IGF-1 & IGF-2) yang bekerja memindahkan sel dari fase istirahat sampai fase sintesa DNA, setelah itu sel epitel yang terbentuk bermigrasi menjadi sel epitel basalis. Kamardi T. menyebutkan bahwa proses epitelisasi ini terjadi lebih cepat bila memakai amnion, hal ini juga diduga dari pelepasan substansi yang ada pada amnion (Kamardi et al. 1993). Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa amnion merangsang peningkatan jumlah sel secara mikroskopis untuk membentuk jaringan pengganti. Mekanisme peningkatan sel radang, jaringan granulasi, sel epitel dan neovaskular pada bagian yang memakai amnion sesuai dengan respon hemostatik terhadap penyembuhan dan perbaikan tukak sehingga akan mempercepat waktu dalam penyembuhan. Penelitian ini membuktikan bahwa waktu penyembuhan tukak yang memakai amnion lebih cepat dibandingkan dengan memakai perban berbasis antibiotik, ini disebabkan oleh respon dari substansi biologis yang dilepaskan amnion. Peningkatan jumlah sel dan percepatan waktu penyembuhan ini secara biomolekular belum dapat dijelaskan dengan pasti. Oleh karena itu guna mengetahui mekanisme biomolekular dan substansi apa yang terdapat pada amnion yang merangsang penyembuhan tukak ini, perlu diadakan suatu penelitian lanjutan. Tujuannya adalah untuk memastikan pelepasan dan perangsangan substansi amnion terhadap mekanisme penyembuhan tukak ditingkat seluler dalam tubuh manusia. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Amnion (ALS-Radiasi) merupakan perban biologis yang meningkatkan jumlah jaringan granulasi dan neovaskular, serta menurunkan jumlah jaringan nekrotik sebagai respon radang yang berkelanjutan pada jaringan tukak diabetes. 2. Amnion (ALS-Radiasi) dapat mempercepat waktu penyembuhan tukak diabetes.

PKMP-1-2-10

3. 4.

Penyembuhan jaringan tukak diabetes yang memakai amnion mempunyai perbedaan yang bermakna secara klinis dan histopatologis dibandingkan dengan memakai perban berbasis antibiotik (Sofratulle). Terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran histopatologi penyembuhan jaringan tukak diabetes dengan pemakaian amnion (ALSRadiasi).

DAFTAR PUSTAKA Armstrong DG, Lavery LA. Diabetic Foot Ulcers : Prevention, Diagnosis and Classification. University of Texas Health Science Center at San Antonio and Diabetic Foot Research Group. San Antonio. Texas. Diakses dari : http//:www.AAFP.org/afp/980315ap/armstrong.html. 2 Maret 1998. Barry P. Thermal and Electrical Injury. Dalam : Smith JW, Grab and Smith. Plastic Surgery. 4th Ed. Little Brown Comp. Boston. 1991 : 675-723. Bose B. Burns Wound Dressing with Human Amniotic Membranes. Annals of The Royal College of Surgeons. England. 61st Ed. 1979 : 444-447. Cotran RS, Kumar V and Collins T. Robbins : Pathologyc Basis of Disease. 6th Ed. WB Sauders Co. Philadelphia. New York. 1999 : 97-111. Dona A. Kaki Diabetik Pada Penderita NIDDM Yang dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 1990-1994. Dalam : Acta Medica Indonesiana. Vol XXVIII. 1996 : 1341-1346. Endokrinologi UNDIP. Naskah Lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes Indonesia. Ceramah Ilmiah Populer Para Pakar Diabetes Indonesia. Cet I. Badan Penerbit UNDIP. CV Agung. Semarang. Oktober 2002 : 42. Fraenkle JR and Wallen NE. How to Design and Evaluate Research in Education. Mc Grawhill. New York. 1993 : 28-32. Gruss JS, et al. Human Amniotic Membrane : A Versatile Wound Dressing. CMA Journal. 118th Ed. 1978 : 1237-1254. International Working Group on The Diabetic Foot. International Consensus on The Diabetic Foot. Noordwijkerhout. May 1999. Kamardi T, Nursal H and Nazly H. Clinical Studies on Application of Sterille Irradiate Freeze-Dryed Amnio Chorion Membranes on Burn Wound Treatment. Padang. 1993 : 5-26. Levin ME, O’Neil LW, Bowker JH. The Diabetic Foot. 5th Ed. St Louis Mosby Year Book Inc. USA. 1993a. Levin ME. Medical Management of The Diabetic Foot Lesion. 25th Ed. Endocrynology and Metabolism Clinics of North America. USA. 1996b : 447-462. Menkher M and Helfial H. Using Amniotic Membrane as Wound Covering After Cesarean Section Operation. Padang. 2000 : 1-6. Menkher M, Ismail and Doddy E. Experience of Using Amniotic Membrane After Circumsision. Padang. 2000 : 1-27. Nazly H. Physical and Chemical Properties of Freeze-Dryed Amnio Chorion Membrane Sterilized by Irradiation. BATAN Research Tissue Bank. Jakarta. 1992. Nursal H. Efek Angioneogenik dan Penekanan Populasi Kuman dari Amnion yang Dikonservasi pada Luka Bakar di RS Dr. M. Djamil Padang. Padang. 1994 : 31-32.

PKMP-1-2-11

Peter SM, Robin R and Robin C. Pathology Illustrated. 7th Ed. Churchill Livingstone. Philadelphia. New York. 2000 : 48-51. Robbins SL, Kumar V. Basic Pathology (Buku Ajar Patologi). Part 1. 4th Ed. EGC. Jakarta. 1995 : 53-64. Robbson MC and Krizek TJ. The Effect of Human Amniotic Membrane on The Bacterial Population on Infected Rat Burns. Annals Surgeons. 177th Ed. 1973 : 144-149. Sarwono W. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus : Pengenalan Dan Penanganannya. Dalam : Sjaifoellah N, Sarwono W, Djoko W, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakti Dalam. Ed-3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996a : 597600. Sarwono W. Aspek Imunologi Kaki Diabetes. Sub Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. PERKENI. Jakarta. 1998b : 1-7. Siti S, Idrus A, Yoga IK, Lucky AB, Aida L. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Oktober 2002 : 74-77. Stadelmann WK, Digenis AG, Tobin GR. Physiology and Healing Dynamics of Chronic Cutaneus Wounds. The American Journal of Surgery. 176 Suppl 2A. 1998 : 26-38. Sudigdo S dan Sofyan I. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed-2. Sagung Seto. Jakarta. 2002 : 24-46, 67-70, 79-90, 144-160, 221-238, 288293. Underwood JCE. General and Systematic Pathology. Vol I. 2nd Ed. EGC. Jakarta. 1999 : 96-98, 123-127. Yulfirstayuda. Makalah Ilmiah : Keefektifan Penggunaan Amnion Yang Dikonservasi Sebagai Bahan Penutup Luka Sirkumsisi. Laboratorium Bedah RS. Dr. M. Djamil. Padang. 2001 : 4-16.

PKMP-1-3-1

PEMBERDAYAAN MEDIA KOMIK ILMU PENGETAHUAN ALAM (KOLAM) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPA Netty, Roseswinda, Jummita Sari, Ika Ichwani Y Biologi/Pendidikan Biologi, UNP, Padang ABSTRAK Salah satu mata pelajaran yang wajib dikuasai siswa Sekolah Dasar adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Namun pada kenyataannya siswa SD mengalami kesulitan dalam mempelajarinya bahkan mereka merasa pelajaran IPA merupakan hafalan yang berat dan sulit. Buku-buku pelajaran IPA yang seharusnya mereka baca tampaknya juga belum mampu menarik minat mereka untuk belajar. Republika (2003) mengatakan bahwa sebagian besar siswa lebih menyukai bacaan hiburan seperti komik dibandingkan buku pelajaran. Oleh karena itu kami mencoba untuk memberikan solusi dengan merancang dan menerapkan media pengajaran berupa Komik Ilmu Pengetahuan Alam (KOLAM) untuk memotivasi serta meningkatkan pehamaman konsep IPA bagi siswa SD. Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan penelitian Randomized Control Group Only Design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V dan VI SDN 24 Parupuk Tabing Padang. Diperoleh sampel penelitian yaitu kelas VA dan VIB sebagai kelas kontrol sedangkan kelas VB dan VIC sebagai kelas eksperimen. Data dianalisis dengan uji normalitas, uji homogenitas dan uji hipotesis. Instrumen penelitian terdiri atas tes hasil belajar, angket motivasi dan lembar observasi. Setelah dilaksankan tes hasil belajar dan dianalisis dengan menggunakan uji t, diperoleh t hitung >t tabel , berarti terdapat perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Grafik observasi menunjukkan bahwa aktivitas positif lebih tinggi daripada kelas kontrol sedangkan aktivitas negatif tidak berbeda antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil angket menunjukkan bahwa sebagian besar siswa lebih setuju dengan pernyataan positif dan tidak setuju dengan pernyataan negatif. Dapat disimpulkan bahwa media KOLAM dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa pada konsep IPA Kata Kunci: Media Komik, Komik Ilmu Pengetahuan Alam (KOLAM), Konsep IPA PENDAHULUAN Kebutuhan akan Sumber Daya Manusia yang handal di era teknologi dan globalisasi saat ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan disegala sisi kehidupan. Salah satu sektor strategis yang perlu ditingkatkan yaitu bidang pendidikan. Dengan adanya program Wajib Belajar sembilan tahun (Wajar 9 Tahun) yang diinstruksikan oleh pemerintah Indonesia diharapkan mampu menjadi titik awal pencerdasan kehidupan bangsa. Wajar 9 tahun terdiri dari dua jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Usaha peningkatan mutu pendidikan khususnya pada tingkat dasar sangat mempengaruhi kualitas SDM Indonesia pada jenjang pendidikan selanjutnya. Salah satu mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa sekolah dasar adalah ilmu pengetahuan alam. Sukadi (2003, hal 38) menyatakan bahwa, belajar

PKMP-1-3-2

IPA dapat membantu siswa berfikir logis tentang peristiwa sehari-hari, disamping itu juga memberi peluang agar siswa mampu mengembangkan lingkungannya secara logis dan sistematis. Pada hakikatnya mempelajari konsep IPA bukan sekedar menghafal teori-teori saja, tetapi juga diharapkan dapat mengembangkan keterampilan seperti percobaan-percobaan sederhana. Meskipun telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar dengan cara melakukan berbagai penelitian eksperimen dan tindakan kelas untuk PBM IPA namun hingga saat ini IPA masih dianggap sebagai pelajaran hafalan yang monoton, sehingga masih belum menunjukan hasil yang memuaskan. Sebagian siswa cenderung menganggap IPA adalah mata pelajaran yang sulit dipahami, hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai UAN maupun semester yang rendah. Kualitas pendidikan ditentukan oleh berbagai faktor. Diantaranya mencakup kompetensi guru, fasilitas untuk penunjang PBM IPA seperti media, kurikulum, dan faktor siswa itu sendiri. Pada saat ini perlu disadari bahwa kemampuan guru dalam menciptakan iklim belajar yang menyenangkan seperti pengadaan media belajar yang menarik masih kurang. Disisi lain siswa pun kurang menyukai bacaan-bacaan pada buku paket IPA sebagai buku sumber. Sangat dibutuhkan sebuah usaha untuk mengatasi hal ini seperti menemukan dan mengembangkan media belajar yang tepat, efektif dan mampu membangkitkan semangat belajar siswa. Menurut Chaeruddin (2004:20) ada dua aspek yang paling menonjol dalam metodologi pembelajaran yaitu metode pembelajaran dan media pembelajaran. Wibowo (1991:8) menyatakan bahwa media adalah pembawa pesan (dapat berupa benda atau orang) kepada penerima pesan. Psikolog Ebbinghans dalam Chaeruddin (2004:20) mengatakan bahwa materi pelajaran di dalam ingatan siswa yang diransang dengan media tepat guna dapat bertahan lebih lama karena sifat sifat media mempunyai daya stimulus yang kuat. Mengacu pada pendapat di atas maka jelaslah betapa pentingnya penggunaan media khususnya dalam memahami konsep IPA SD. British Audio Visual Assosition dalam Budiningsih (1995:30) mengatakan bahwa ternyata 75% pengetahuan diperoleh dari indera penglihatan. Berkenaan dengan hal ini Faridi (2002) mengungkapkan bahwa ilmuwan syaraf mengemukakan bahwa 90% masukan otak berasal dari sumber visual(penglihatan). Jelaslah bahwa belajar dengan memanfaatkan indera penglihatan seperti bacaan dengan gambar-gambar yang menarik lebih besar pengaruhnya. Saat ini salah satu bacaan yang sangat diminati siswa adalah komik. Republika (2003) menyatakan bahwa sebagian besar siswa lebih menyukai bacaan komik dibandingkan buku-buku pelajaran. Mereka sanggup bertahan lama hanya sekedar membaca komik dan menikmati hiburan yang ada di dalamnya. Alangkah lebih baiknya bila komik tersebut mampu menyajikan hiburan sekaligus bahan pelajaran yang dapat menunjang prestasi belajar siswa. Oleh karena itu peneliti mencoba untuk memasukkan konsep IPA dalam bentuk komik sehinga konsep tersebut menjadi mudah dicerna, dipahami dihafal dan diingat. Kegiatan ini dilaksankan di SD mengingat pada usia ini umumnya imajinasi mereka sangat tinggi, sehingga diharapkan dapat memicu semangat mereka dalam belajar IPA. Kurniawan (2001:260) mengatakan bahwa sebuah komik dapat dikatakan sebuah media pembelajaran jika di dalam komik tersebut terkandung pesan-pesan yang

PKMP-1-3-3

mempunyai tujuan tertentu. Dari hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Muhammad Iqbal dalam Republika (2003) telah menerapkan penggunaan komik sebagai media pembelajaran matematika SD. Ternyata usaha ini mampu membangkitkan motivasi dan pandangan positif siswa terhadap matematika. Selanjutnya Netty (2005) telah melakukan penelitian penggunaan Komik Biologi di SMUN 2 IV Angkat Candung Bukittinggi dengan hasil dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Di tingkat SLTP juga pernah dilakukan penelitian oleh Nugroho (2003) yang berjudul Pengaruh Penggunaan Media Kartun Fisika terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas I SLTPN 3 Batusangkar. Dengan hasil penelitian terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada taraf kepercayaan 95%. Pada kesempatan kali ini peneliti memperkenalkan sebuah media belajar IPA yaitu KOLAM (Komik Ilmu Pengetahuan Alam) sebagai salah satu media alternatif yang menarik dan tidak membosankan dalam mempelajari konsep IPA. Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas sedikitnya ada tiga masalah yang dapat diidentifikisasi sebagai berikut: 1. Kecendrungan siswa SD menganggap pelajaran IPA adalah pelajaran yang membosankan 2. Kurangnya minat baca siswa SD terhadap buku pelajaran IPA dibandingkan dengan bacaan hiburan 3. Guru IPA SD kurang menyediakan dan menerapkan media belajar yang kreatif dan menyenangkan bagi siswa 4. Guru IPA SD belum menerapkan komik dalam pembelajaran IPA Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Sejauh manakah perbedaan hasil belajar IPA antara pembelajaran menggunakan KOLAM dengan pembelajaran biasa 2. Sejauh manakah perbedaan motivasi belajar IPA antara pembelajaran mengunakan KOLAM dengan yang menggunakan pembelajaran biasa. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah merancang dan menerapkan media pengajaran berupa Komik Ilmu Pengetahuan Alam (KOLAM) di Sekolah Dasar. Setelah penelitian ini berakhir diharapkan dapat: 1. Memperkaya media alternatif yang dapat digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar IPA 2 Menjadi bahan pertimbangan bagi guru-guru SD dalam kegiatan belajar kegiatan mengajar sebagai alat bantu pengajaran Metode Pendekatan Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental dengan rancangan penelitian Randomized Control Only Design. Populasi adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri 24 Parupuk Tabing untuk penelitian kelas V dan seluruh siswa kelas VI SD Negeri 24 Parupuk Tabing untuk penelitian kelas VI. Untuk mengambil sampel digunakan teknik Purposive Sampling di mana peneliti menggunakan pertimbangan tertentu sehingga didapatkan satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Dari nilai tes awal IPA yang diberikan pada dua kelas yaitu kelas VA dan VB diperoleh rata-rata untuk kelas VB=5,8 dan VA=5,5. Setelah dilakukan uji 2 normalitas dan uji kelas sampel untuk kelas VB didapatkan S =4,10; L o =0,0898

PKMP-1-3-4

dan L t =0,1476. Karena L 0 0.30

PKMP-1-3-6

3. Validitas Tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur. Ada tiga jenis validitas yang digunakan dalam menyusun instrumen. Yaitu validitas isi (content validy), validitas bangun pengertian (construct validity), validitas ramalan (prediktif validity). Dalam menyusun instrumen penelitian ini berpedoman pada validitas isi. Yaitu soal yang digunakan disusun berpedoman pada GBPP untuk mata pelajaran IPA kelas V dan VI dengan membuat kisi-kisi soal. 4. Reliabilitas Reliabilitas merupakan ketepatan suatu tes apabila digunakan kepada subjek yang sama. Untuk menentukan indeks reliabilitas tes menggunakan rumus Kudar Richardson (KR-21) yang dikemukakan oleh Arikunto (1992:98) ⎡ n ⎤ ⎡ M (n − M ) ⎤ r 11 = ⎢ ⎥ ⎢1 − ⎥ nS 2 ⎦ ⎣ n −1⎦ ⎣

dengan M=

S2 =

∑X N

∑ X − (∑ X ) / N N

Keterangan: r 11 : Reliabilitas tes secara keseluruhan n : Jumlah butir soal M : Rata-rata skor tes S 2 : Varians total Tingkat reliabilitas soal yang dikemukakan oleh Slameto (1988:215) adalah Table 3. Klasifikasi indeks reliabilitas soal (r 11 ) No 1 2 3 4 5

Indeks reliabilitas 0.00-0.20 0.21-0.40 0.41-0.60 0.61-0.80 0.81-1.00

klasifikasi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

3. Angket Angket untuk menambah tingkat kepercayaan terhadap hasil observasi yang diperoleh. Angket terdiri dari 18 item dan kemudian dianalisis. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian ini peneliti menghasilkan kumpulan KOLAM kelas V dan VI SD. Kolam kelas V SD terdiri atas dua materi yaitu Penyesuaian Diri Makhluk Hidup dan Tumbuhan Hijau, sedangkan KOLAM VI SD terdiri atas tiga materi yaitu Perkembangbiakan Makhluk Hidup, Populasi, dan Indera.

PKMP-1-3-7

Setelah dilaksankan tes hasil belajar di kelas V diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 21.7 dan kelas kontrol 17,25. Hasil ini kemudian dianalisis dengan uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rata-rata. Dari hasil tersebut didapatkan t hitung >t tabel , berarti terdapat perbedaan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Sedangkan untuk kelas VI untuk tes I diperoleh rata-rata kelas eksperimen 18,73 dan kelas kontrol 15,58, dan untuk tes II diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 15.6 dan kelas kontrol 12,8. Hasil ini kemudian dianalisis dengan uii normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rata-rata. Dari hasil didapatkan t hitung >t tabel . Berarti terdapat perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari pengamatan terlihat anemo siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar meningkat setelah diberikan perlakuan berupa media KOLAM. Pada saat pertama kali KOLAM diberikan siswa menanggapi dengan sangat antusias. Hal ini tampak dari perilaku siswa yang saling berebut untuk mendapatkan komik. KOLAM dibagikan kepada siswa dalam bentuk lembaran – lembaran sesuai dengan materi yang akan dipelajari. KOLAM dapat dibawa pulang oleh masing – masing siswa. Dalam pelaksanaannya pada saat proses belajar mengajar berlangsung peneliti sebagai guru memberikan materi terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan dengan membaca komik. Materi yang telah diajarkan dapat dijumpai pada komik yang mereka dapatkan. sehingga penjelasan di dalam KOLAM dapat menambah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Pada umumnya siswa sangat tertarik dengan adanya KOLAM. Hal ini tergambar dari komentar siswa seperti, meminta agar KOLAM diberikan setiap kali belajar IPA, juga ada yang meminta KOLAM untuk materi pelajaran lain yang belum diajarkan. Banyak siswa yang berkomentar positif seperti : “Ee….. rancak mah buk, baraja jo KOLAM ko”, yang artinya wah bagus ya buk, belajar dengan KOLAM ini. “Banyak – banyak se lah buek komik IPA ko buk, Awak suko mambaconyo”, artinya banyak – banyak buat komik IPA ya buk, saya suka membacanya. “Bisuak agiah komik baliak yo buk” artinya besok minta lagi komiknya ya buk. “Komiknyo buek panjang-panjang caritonyo yo buk” artinya Cerita komiknya dipanjangkan ya buk. Jika dilihat dari tes akhir berupa tes hasil belajar yang diberikan tampak bahwa nilai rata – rata kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Berarti ada pengaruh komik yang diberikan. Dari hasil observasi yang dilaksanakan tampak bahwa aktivitas positif pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Sedangkan aktifitas negatif hampir sama ditunjukkan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini disebabkan psikologi siswa seumuran SD yang masih kurang mempunyai tanggung jawab dalam belajar. Selain itu peneliti juga menyebarkan angket di kelas eksperimen, dimana hasilnya sebagian besar siswa lebih setuju dengan pernyataan positif dibanding pernyataan negatif sebagaimana yang terlihat seperti di bawah ini. Dari grafik diatas terlihat bahwa perbedaan antara kelas eksperimen dan kontrol tampak pada pernyataan 3,4,5,6,7. Pernyataan 3,4,5 adalah pernyataan positif. Dan pernyataan 1,2,6 dan 7 adalah pernyataan negatif. sPernyataan 6,7 pada kelas eksperimen juga tampak tinggi sedikit, hal ini disebabkan karena psikologi siswa SD

PKMP-1-3-8

yang kurang bertanggungjawab terhadap pembelajarannya. Pada pernyataan 1 dan 2 tidak terdapat perbedaan mencolok diantard keduanya.

Gambar. 2. Grafik Observasi Motivasi Siswa Kelas VI

Dari grafik diatas terlihat bahwa perbedaan antara kelas eksperimen dan kontrol tampak pada pernyataan 3,4,5,6,. Pernyataan 3,4,5 adalah pernyataan positif. Dan pernyataan l,2,6,dan 7 adalah pernyataan negatif. Pernyataan 6 pada kelas eksperimen juga tampak tinggi sedikit, hal ini disebabkan karena psikologi siswa SD yang kurang bertanggungjawab terhadap pembelajarannya. Pada pernyataan 1, 2dan7 tidak terdapat perbedaan mencolok diantara keduanya.

PKMP-1-3-9

Gambar 3. Lokasi Penelitian.

PKMP-1-3-1

Tabel 3 Analisis angket motivasi siswa kelas VI No SS 1 4 2 4 3 4 4 4 5 4 6 4 7 4 8 4 9 4 10 1 11 4 12 4 13 4 14 4 15 4 16 4 17 4 18 4

f 27 7 8 15 28 26 27 14 18 26 3 14 1 21 15 4 23 20

ssxf 104 24 28 56 108 100 104 52 68 100 3 52 1 80 56 16 88 76

S

f 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 3 3

4 11 11 11 1 4 4 7 8 4 3 10 0 7 10 8 7 9

Sxf 12 33 33 33 3 12 12 21 24 12 6 30 0 21 30 24 21 27

TS 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2

Tabel 3 Analisis angket motivasi siswa kelas VI No SS f ssxf S f Sxf TS 1 4 32 128 3 4 12 2 2 4 23 92 3 10 30 2 3 4 29 116 3 2 6 2 4 4 27 108 3 7 21 2 5 4 25 100 3 8 24 2

f 0 13 9 5 2 0 0 6 5 1 17 6 19 2 4 8 26 2

f 0 3 3 2 2

TSxf STS 0 1 26 1 18 1 10 1 4 1 0 1 0 1 12 1 10 1 2 1 51 4 12 1 57 4 4 1 8 1 26 1 2 1 4 1

TSxf STS 0 1 6 1 6 1 4 1 4 1

f 0 0 3 0 0 1 0 4 0 0 8 1 6 1 2 6 0 1

f 0 0 2 0 1

STSxf Jumlah 0 120 0 87 3 86 0 103 0 119 1 117 0 120 4 93 0 106 0 118 32 92 1 99 24 82 1 110 2 100 6 72 0 115 1 112

STSxf Jumlah 0 140 0 128 2 130 0 133 1 129

% motivasi 96.77 70.16 69.35 83.06 95.97 94.35 96.77 75.00 85.48 95.16 74.19 79.84 66.13 88.71 80.65 58.06 92.74 90.32

% motivasi 97.22 88.89 90.28 92.36 89.58

Keteangan Sangat kuat Kuat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Kuat Kuat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Cukup Sangat Kuat Sangat Kuat

Keteangan Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Sanagt Kuat

PKMP-1-3-2

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

4 4 4 4 4 1 4 1 4 4 4 4 4

31 29 14 19 27 3 35 3 24 18 13 28 32

124 116 56 76 108 3 140 3 96 72 52 112 128

3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 3 3

5 7 8 12 8 2 1 1 10 9 4 7 3

15 21 24 36 24 4 3 2 30 27 12 21 9

2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2

0 0 11 5 0 28 0 24 2 13 1 1

0 0 22 10 2 84 0 72 4 10 26 2 2

1 1 1 1 1 4 1 4 1 1 1 1 1

0 0 3 0 0 3 0 8 0 4 6 0 0

0 0 3 0 0 12 0 32 0 4 6 0 0

139 137 105 122 134 103 143 109 130 113 96 135 139

96.52 95.14 72.92 84.72 93.06 71.53 99.30 75.69 90.23 78.47 66.67 93.75 96.53

Sanagt Kuat Sangat Kuat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuat Kuat Sangat Kuat Kuat Sangat Kuat Kuat Kuat Sangat Kuat Sangat Kuats

PKMP-1-3-1

KOLAM ini dapat membuat siswa merasa terhibur, dengan gambarnya yang menarik,dan ceritanya yang sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini tampak saat komik dibaca, mereka ikut tersenyum bahkan tertawa bila ada percakapan dan kondisi yang lucu pada KOLAM. Setelah KOLAM dibaca ada sebagian siswa yang mewarnai sendiri KOLAM sehingga dapat menyalurkan bakat menggambarnya. Karena media komik ini ternyata cukup ampuh diterapkan di Sekolah Dasar, semoga ada penelitian lebih lanjut untuk menerapkan komik pada mata pelajaran lain KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari perolehan nilai rata-rata hasil belajar IPA pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol, setelah dilakukan uji statistik dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan media KOLAM lebih baik dari pembelajaran biasa. 2. Pembelajaran dengan menggunakan media KOLAM dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Bertitik tolak dari kesimpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran: 1. Dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA diharapkan guru SD dapat menggunakan KOLAM. 2. Penelitian ini dilakukan di SD, maka untuk memperoleh hasil yang lebih baik diharapkan penelitian juga dilakukan pada jenjang pendidikan selanjutnya. 3. Kepada para komikus diharapkan kerja samanya untuk dapat mengembangkan komik pembelajaran pada mata pelajaran lainnya. 4. Kepada penerbit buku agar dapat menerbitkan komik-komik ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa dan memperkaya khasanah media alternatif pendidikan Berikut kami tampilkan cuplikan komik Ilmu Pengetahuan Alam

12

DAFTAR PUSTAKA

Gambar 5. Contoh Komik IPA.

PKMP-1-3-2

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi.1996. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Budiningsih, Asri. 1995. Intensitas Penggunaan Media IPA di SD. Jurnal Pendidikan no.I tahun XXV. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP. Chaeruddin. 2004. Media Membantu Mempertinggi Mutu Proses Belajar. Buletin Pusat Perbukuan Vol. 10. Jakarta: Depdiknas. Faridi, Salman. 2002. Komik Sebagai Media yang Mengasyikkan. Majalah Sabili no. 16. Jakarta. Kurniawan, Agus. 2001. Pemanfaatan Komik Sebagai Salah Satu Sumber Belajar. Jakarta: UT. Netty. 2005. Pengaruh Penggunaan Media Komik Biologi Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas II SMU Negeri I Angkat Candung Tahun Pelajaran 2005. Padang: Skripsi Nugroho, Sari Dewi. 2003. Pengaruh Pengunaan Media Kartun Fisika Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas 1 SLTPN 3 Batusangkar. Padang: Skripsi. Sukandi, Ujang. 2003. Belajar Aktif dan Terpadu. Surabaya: Duta Graha Pustaka. Republika.14 November 2003. Mengajar Matematika dengan Komik. (on line). http://www.republika.co.id/, diakses 23 oktober 2004. Wibowo, Basuki.1991. Media Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.

PKMP-1-4-1

DAYA HAMBAT REBUSAN DAUN RUMPUT MUTIARA (HEDYOTIS CORYMBOSA) TERHADAP PERTUMBUHAN TUMOR PAYUDARA MENCIT C3H SECARA IN VIVO Eva Febia, Felix, Risha Ayuningtyas, Andri, Leovinna Program Studi Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK Kanker payudara adalah penyakit multifaktor yang mengakibatkan insidens kematian wanita tertinggi di seluruh dunia. Pengobatan definitif kanker payudara saat ini adalah pembedahan, kemoterapi dan radioterapi tergantung dari stadiumnya. Akhir-akhir ini berkembang beberapa terapi alternatif menggunakan bahan alami. Salah satunya adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa). Hedyotis corymbosa dilaporkan memiliki efek antineoplastik, antitoksik, dan imunomodulator yang berguna pada penyakit keganasan. Tujuan penelitian ialah mengetahui daya hambat dan dosis efektif rebusan daun Hedyotis corymbosa terhadap pertumbuhan tumor payudara mencit strain C3H in vivo. Sebanyak 30 ekor mencit strain C3H dengan berat badan 18-20 gr dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol tanpa perlakuan, kelompok kontrol yang dicekok pelarut, kelompok dosis 0,25 mg/ml, kelompok dosis 0,5 mg/ml, kelompok dosis 1 mg/ml, dan kelompok dosis 2 mg/ml. Setiap mencit dicekok 0,1 ml selama 21 hari (hari ke-2 sampai 22). Panjang dan lebar tumor diukur dua kali seminggu. Pada akhir penelitian, dilakukan pengambilan tumor mencit dan dianalisa dengan pewarnaan AgNOR dan HE. Pada hari terakhir pengukuran diperoleh volume tumor setelah dibedah lebih besar dibandingkan sebelum dibedah. Analisis one-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna volume tumor antar kelompok. Pada pembacaan dengan pewarnaan AgNOR menggunakan metode Kruskal-Wallis ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna skor AgNOR antara kelompok I sampai VI (p > 0,05). Rebusan daun Hedyotis corymbosa dengan dosis yang digunakan dalam penelitian ini tidak dapat menghambat laju pertumbuhan tumor payudara pada mencit strain C3H secara in vivo yang tercermin dari volume tumor maupun skor AgNOR. Kata kunci: tumor payudara, Hedyotis corymbosa PENDAHULUAN Kanker payudara adalah penyakit multifaktor yang mengakibatkan insidens kematian wanita tertinggi di seluruh dunia. Terdapat banyak faktor yang terbukti dapat mencetuskan terjadinya kanker payudara, yaitu konstitusi genetik, ketidakseimbangan hormon (estrogen, progesteron, androgen dan prolaktin), faktor-faktor onkogen (virus, makanan, obesitas dan intoleransi glukosa), kondisi lingkungan seperti pemasukan estrogen, merokok, karsinogen kimiawi pada makanan (penyedap makanan), air minum dan udara [1]. Penatalaksanaan kanker payudara cukup sulit. Satu-satunya pengobatan kanker payudara yang bersifat primer (penyembuhan) adalah pembedahan

PKMP-1-4-2

(mastektomi) yang sudah dilakukan sejak tahun 1894. Terapi ini hanya dapat dilakukan pada stadium I, II, dan III awal. Sedangkan untuk stadium III akhir dan IV, pengobatan lebih bersifat paliatif yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Terapi-terapi lainnya seperti radioterapi, terapi hormon dan kemoterapi merupakan terapi yang bersifat sekunder.1 Akhir-akhir ini, terapi dengan bahan-bahan alami berkembang sebagai terapi alternatif untuk kanker di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah terapi dengan menggunakan rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) [2]. Hedyotis corymbosa dilaporkan mempunyai efek antineoplastik, antitoksik dan dapat memperkuat sistem imun tubuh, sehingga digunakan sebagai pengobatan pada penyakit-penyakit keganasan [2,3,4]. Berdasarkan penelitian oleh Hsu dkk, komponen utama dalam Hedyotis corymbosa yang memiliki efek antineoplastik adalah asam triterpene yaitu asam oleanolat dan asam ursolat. Kedua komponen tersebut dapat menghambat pertumbuhan tumor yang sudah ditransplantasikan subkutan dan sel hepatoma secara in vitro dan in vivo [4,5,6]. Mekanisme penghambatan tumor adalah dengan menginduksi INK4 yang berfungsi untuk menginhibisi aktivitas Cyclin Dependent Kinase 4 dan 6 (CDK4/6) sehingga terjadi aktivasi Rb, yang merupakan salah satu gen supresor tumor. Dengan demikian tidak terjadi proliferasi sel yang melampaui batas berlebihan [6]. Penelitian mengenai manfaat Hedyotis corymbosa pada kanker payudara masih sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan penelitian mengenai Hedyotis corymbosa sangat dibutuhkan [2,3]. Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah apakah rebusan daun Hedyotis corymbosa (RDHC) memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan tumor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah RDHC memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan tumor payudara pada mencit strain C3H secara in vivo dan mengetahui dosis yang paling efektif dari keempat dosis yang diteliti terhadap pertumbuhan tumor payudara pada mencit C3H secara in vivo Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian RDHC memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan tumor payudara mencit strain C3H secara in vivo. Apabila RDHC ternyata memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan tumor payudara pada mencit strain C3H, maka terbuka peluang pemanfaatan RDHC dalam terapi kanker pada manusia, terutama kanker payudara. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni mengenai hubungan pertumbuhan tumor payudara dengan pemberian rebusan daun Hedyotis corymbosa (RDHC) pada mencit strain C3H. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Patologi Eksperimental, Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 23 Juli 2005 sampai tanggal 17 Agustus 2005.

PKMP-1-4-3

Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah mencit strain C3H dengan berat badan 18-20 gr sebanyak 30 ekor. Mencit strain C3H yang berasal dari W.E Heston National Cancer Institute di Amerika ini digunakan karena memiliki insidens tumor payudara yang tinggi, yaitu 81% pada mencit betina yang dikawinkan. Mencit akan dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan dengan jumlah masing-masing 5 ekor. a. Kelompok I: kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan apa-apa b. Kelompok II: kelompok kontrol yang dicekok pelarut, yaitu cairan fisiologis NaCl 0,9% sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari. c. Kelompok III: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 0,25 mg/ml sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari. d. Kelompok IV: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 0,5 mg/ml sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari. e. Kelompok V: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 1 mg/ml sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari. f. Kelompok VI: kelompok yang dicekok Hedyotis corymbosa 2 mg/ml sebanyak 0,1 ml per hari selama 21 hari. Alat dan Bahan Adapun alat yang dipergunakan selama penelitian dan dipinjamkan oleh Departemen Patologi Anatomik adalah sebagai berikut: 1. timbangan OHAUS 2. kaliper TAJIMA 3. gelas ukur 4. seperangkat alat bedah untuk transplantasi 5. jarum trokar untuk inokulasi tumor 6. semprit 1 ml, 5 ml dan 10 ml 7. mikrotom 8. gelas objek dan gelas tutup 9. mikroskop cahaya 10. NaCl 0,9% (garam fisiologis) Bahan: 1. Hedyotis corymbosa kering 6 bungkus @ 50 mg 2. NaCl 0,9% 10 kolf 3. Aqua tribides 2 L 4. Pulasan perak koloidal (AgNOR) Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Rebusan Hedyotis corymbosa Pertama-tama timbang Hedyotis corymbosa kering sebanyak 50 mg dan dilarutkan ke dalam pelarut NaCl 0,9% sebanyak 500 ml, dipanaskan sampai menjadi 25 ml sehingga didapatkan konsentrasi 50 mg/25 ml atau 2 mg/ml. Dosis tersebut dipilih berdasarkan pada dosis ramuan yang dipergunakan pada manusia, yaitu 15-60 gr daun Hedyotis corymbosa yang direbus dalam 600 ml air sampai menjadi 200 ml.

PKMP-1-4-4

Untuk kebutuhan mencekok lima ekor mencit (satu kelompok) selama seminggu dibutuhkan 7x5x0,1ml atau 3,5 ml. Maka sebanyak 6 ml Hedyotis corymbosa konsentrasi 2 mg/ml disisihkan dalam tabung reaksi 10 ml. Sisanya diencerkan dengan NaCl dua kali, tiga kali dan empat kali sehingga didapatkan konsentrasi 1 mg/ml; 0,5 mg/ml dan 0,25 mg/ml. Ketiga larutan dengan konsentrasi yang berbeda dimasukkan dalam tabung reaksi masingmasing. Transplantasi tumor mencit Pada hari ke 0, dilakukan transplantasi tumor mencit. Sebelumnya, 30 mencit resipien yang sudah diacak dimasukkan ke dalam kandang masing-masing. Satu kelompok berisi lima ekor mencit dalam satu kandang. Kandang mencit dibuat dengan serbuk kayu dan dilengkapi makanan, yaitu jagung dan gandum dan minuman air keran ad libitum. Transplantasi dilakukan dengan mengeluarkan jaringan tumor dari mencit donor. Pertama-tama mencit donor dimatikan dengan eter, kemudian jaringan tumor diambil menggunakan alat bedah. Jaringan tumor dimasukkan ke dalam cawan arloji, dilarutkan dengan larutan PBS, dicacah-cacah sampai menjadi bubur tumor yang halus. Bubur tumor yang sudah halus dan merata tersebut disuntikkan subkutan di daerah lengan kanan bawah tumor resipien sebanyak 0,1 ml, dengan menggunakan spuit 1 cc. Pemberian Hedyotis corymbosa Pemberian cekokan Hedyotis corymbosa dimulai pada hari ke dua, yaitu dua hari setelah dilakukan transplantasi mencit. Pencekokan dilakukan selama 21 hari, yaitu dari hari 2 sampai hari ke 22. Selain mencekok, setiap hari juga dipantau makanan dan minuman semua kelompok mencit. Kelompok I sebagai kelompok kontrol, tidak dicekok, hanya dipantau makanan dan minumannya. Kelompok II dicekok dengan NaCL 0,9% setiap hari. Kelompok III dicekok dengan Hedyotis corymbosa 0,25 mg/ml. Kelompok IV dicekok dengan Hedyotis corymbosa 0,5 mg/ml. Kelompok V dicekok dengan Hedyotis corymbosa 1 mg/ml. Kelompok VI dicekok dengan Hedyotis corymbosa 2 mg/ml. Setiap kelompok mencit yang dicekok menggunakan satu buah spuit, yang sudah ditandai masing-masing. Selain dilakukan pencekokan dan pemantauan makanan dan minuman mencit setiap hari, juga dilakukan pembersihan kandang mencit seminggu sekali semua kelompok pada hari yang sama oleh satu orang tenaga peneliti. Pengukuran Pertumbuhan Tumor Mencit Pengukuran pertumbuhan tumor dimulai sejak hari ke-3. Pengukuran dilakukan dua kali seminggu, yaitu setiap hari selasa dan jumat, yang dilakukan oleh satu orang tenaga peneliti yang mengukur semua kelompok mencit selama penelitian berlangsung. Pengukuran dilakukan dengan membasahi kulit badan mencit dengan air sebelumnya, supaya bulu-bulunya tidak mengganggu pengukuran

PKMP-1-4-5

Pengukuran tumor dilakukan dengan menggunakan kaliper. Ukuran yang diukur adalah diameter terbesar dan diameter terkecil. Rumus volume tumor diperoleh berdasarkan penelitian Shibata dkk [7], yaitu Volume = 0,4 x diameter terbesar x (diameter terkecil) [2]. Pembulatan volume adalah sampai dengan tiga angka di belakang koma. Pengambilan Jaringan Tumor Mencit Pada akhir penelitian, yaitu pada hari ke-22 dilakukan pengukuran tumor terakhir kali. Sesudah itu, mencit dimatikan dengan eter, lalu jaringan tumor dikeluarkan. Setelah dikeluarkan, dilakukan pula pengukuran jaringan tumor yang sudah dikeluarkan tersebut. Sesudah itu jaringan tumor dimasukkan dalam larutan formalin untuk dibuat sediaan AgNOR. Hal itu dilakukan pada setiap mencit (30 ekor mencit). Pengamatan Mikroskopik Sediaan AgNOR Sediaan tumor mencit dibuat sediaan mikroskopik, kemudian diwarnai AgOR di laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pengamatan mikroskopik sediaan AgNOR dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung skor AgNOR yang ditujukan untuk menilai aktivitas proliferasi sel. Penghitungan skor AgNOR dilakukan dengan menghitung titiktitik pulasan pada sel. Titik-titik yang terpulas merupakan bagian dari nukleus, nukleolus, dan organel pada sel sehingga titik-titik tersebut akan tampak lebih jelas pada sel-sel yang mengalami proliferasi. Setiap titik-titik yang berukuran besar, sedang, dan kecil ikut dihitung. Caranya adalah menghitung lima sel yang berbeda pada setiap lapang pandang. Kemudian dihitung sepuluh lapang pandang, sehingga didapatkan lima puluh sel yang dihitung. Skor AgNOR yang didapat merupakan rata-rata dari skor lima puluh sel tersebut. Pengolahan Data Data yang diperoleh akan diolah secara deskriptif dan analisis. Data volume tumor diolah menggunakan analisis varian one way ANOVA dan data skor AgNOR diolah menggunakan analisis varian one way ANOVA HASIL DAN PEMBAHASAN Data Volume Tumor Mencit Data yang didapatkan dari penelitian ini adalah data ukuran tumor mencit tiap-tiap kelompok dan data skor AgNOR. Data kuantitatif berupa numerik yang didapat adalah data ukuran tumor mencit dan data skor AgNOR. Berikut ini disajikan data ukuran tumor mencit tiap-tiap kelompok. Tabel 1. Volume Tumor Rata-Rata Pada Tiap-Tiap Kelompok Selama 3 Minggu Kelompok Mencit Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 I 0,196 0,113 0,082 II 0,154 0.089 0.092 III 0.105 0.068 0.048 IV 0.166 0.117 0.070 V 0.177 0.114 0.047 VI 0.081 0.010 0.019

PKMP-1-4-6

Tabel 2. Uji Analisis Volume Tumor Rata-Rata Dengan One-Way ANOVA Sum of Squares .049 .174 .223 .043 .201 .245 .018 .071 .089

Minggu 1 Between Groups Within Groups Total Minggu 2 Between Groups Within Groups Total Minggu 3 Between Groups Within Groups Total

df 5 24 29 5 24 29 5 24 29

Mean Square .010 .007

F 1.352

Sig. .277

.009 .008

1.032

.421

.004 .003

1.216

.332

Data Skor AgNOR Rata-rata skor AgNOR mencit donor adalah 8,72. Sedangkan data rata-rata skor AgNOR kelompok mencit dicantumkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 3. Tabel Skor AgNOR Kelompok Mencit I-VI Mencit Ke1

Kelompok I

Kelompok II

Kelompok IV 9.8

Kelompok V

9.44

Kelompok III 12.22

12.88

Kelompok VI 11.6

9.8

2

8.12

7.04

11.52

Tdh

12.38

11.5

3

11.7

11.78

9.48

11.38

12.08

8.88

4

Tdh

11.2

9.74

Tdh

9.7

12.1

5

9.3

12.16

10.62

10

9.86

9,44

Ratarata

9,73

10.324

10.316

10.393

11.38

10.704

Keterangan: tdh=tidak dapat dihitung Tabel 4.

Uji Korelasi Antara Volume Tumor Minggu Ke-3 Dengan Skor AgNOR Dengan OneWay ANOVA Minggu 3

Minggu 3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N AgNOR Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

AgNOR 1

30 -.210 .293 27

-.210 .293 27 1 27

Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan bahwa data volume tumor dan skor AgNOR memiliki sebaran data normal yaitu p > 0,05. Analisis one-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna volume tumor antar kelompok. Hasil yang sama juga didapatkan saat mencari hubungan antara volume tumor minggu ke-3 dengan skor AgNOR. Pada tabel 1, volume rata-rata minggu 1 merupakan rata-rata dari hasil pengukuran volume tumor pada tanggal 29 Juli dan 2 Agustus. Minggu 2 adalah rata-rata volume tumor pada tanggal 5 dan 9 Agustus. Sedangkan minggu 3 adalah rata-rata volume tumor pada tanggal 12 dan 15 Agustus.

PKMP-1-4-7

Secara umum, volume tumor berhasil ditekan dengan semua dosis (kelompok III, IV, V dan VI). Penurunan volume tumor terlihat seiring dengan besarnya dosis yang diberikan, artinya semakin besar dosis, semakin berkurang pula volume tumor. Hal tersebut tercermin pada kelompok VI dimana pada minggu ke-2 volume tumor dengan cepat menurun walaupun terdapat sedikit kenaikan pada minggu ke-3. Akan tetapi, analisis volume tumor dengan one-way ANOVA menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna (p > 0,05) volume tumor antar kelompok pada minggu ke-1 hingga minggu ke-3 [tabel 2]. Pada tabel 3, skor AgNOR mencit ke-4 dari kelompok I, mencit ke-2 dan ke3 dari kelompok IV tidak dapat dihitung. Hal itu dikarenakan sediaan pada preparat sangat sedikit atau pewarnaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penghitungan skor AgNOR. Bila satu preparat tidak dapat dihitung, maka skor AgNOR rata-rata kelompok merupakan rata-rata skor preparat lain dalam kelompok tersebut yang dapat dihitung. Rata-rata skor AgNOR yang tertinggi terlihat pada kelompok V, sedangkan skor AgNOR yang terendah adalah pada kelompok I. Hal itu berbeda dengan hipotesis awal yang mengharapkan bahwa pada kelompok perlakukan skor AgNOR akan lebih rendah daripada kelompok kontrol. Selain itu hubungan antara volume tumor minggu ke-3 dengan skor AgNOR tidak menunjukkan hasil yang bermakna yaitu p sebesar 0,293 (p > 0,05). Hubungan antara volume tumor minggu ke-3 dengan skor AgNOR dicari karena dengan anggapan bahwa skor AgNOR merupakan cerminan dari keadaan tumor minggu terakhir (minggu ke-3). Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil penelitian ini kurang bermakna yaitu dosis yang digunakan dan kandungan zat antitumor dalam sediaan rebusan daun Hedyotis corymbosa. Menurut WHO, perhitungan dosis relatif untuk mencit dibandingkan manusia memerlukan faktor koreksi 17,5 kali. Faktor koreksi yang digunakan untuk menghitung dosis relatif antar spesies ini digunakan berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh [8]. Pada penelitian ini digunakan perhitungan dosis yang mengacu pada dosis manusia sehingga dosis tersebut mungkin belum cukup untuk menghambat proliferasi sel tumor payudara, yang tercermin dari volume tumor maupun skor AgNOR. Sebaiknya dosis yang akan digunakan dalam penelitian ini diuji terlebih dahulu melalui uji toksisitas akut dengan melakukan titrasi dosis. Kandungan senyawa antitumor yaitu asam oleanolat, asam ursolat dan asam geniposidik dalam sediaan rebusan daun Hedyotis corymbosa terlihat kurang bermakna dalam menghambat aktivitas proliferasi sel tumor payudara. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Hsu dkk [5,6] yang menggunakan asam oleanolat, asam ursolat dan asam geniposidik dalam bentuk sediaan ekstrak daun Hedyotis corymbosa. Perbedaan hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa konsentrasi senyawa antitumor dalam sediaan rebusan kurang cukup bila dibandingkan dengan sediaan ekstrak. Padahal penelitian ini semula mengharapkan sediaan rebusan daun Hedyotis corymbosa juga memiliki efek sama dengan sediaan ekstrak dalam menghambat perkembangan sel tumor melalui beberapa mekanisme diantaranya dengan menurunkan sintesis DNA sel tumor dan menginduksi INK4 yang selanjutnya mengaktivasi gen supresor tumor, Rb.

PKMP-1-4-8

Selain itu, pemberian rebusan daun Hedyotis corymbosa per oral melalui sonde sekali sehari selama 21 hari belum dapat menghambat laju pertumbuhan tumor yang tercermin dari volume tumor maupun skor AgNOR, walaupun pemberian dengan sonde memiliki akurasi dosis yang cukup baik bila dibandingkan dengan mencampurkan pada makanan mencit. Hal ini menunjukkan bahwa adanya faktor farmakodinamik dan farmakokinetik zat aktif rebusan daun ini (asam oleanolat, asam ursolat dan asam geniposidik) yang sampai di lokasi tumor, seperti kemampuan absorbsi oleh saluran pencernaan mencit maupun jalurjalur metabolisme patut dipertimbangkan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian rebusan daun Hedyotis corymbosa dengan dosis 0,25 mg/ml; 0,5 mg/ml; 1 mg/ml; dan 2 mg/ml per hari selama 21 hari secara per oral tidak dapat menghambat laju pertumbuhan tumor payudara pada mencit strain C3H secara in vivo yang tercermin dari volume tumor maupun skor AgNOR. Hipotesis ditolak. Sebagai perbaikan bagi penelitian berikutnya, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan dosis yang ditingkatkan sebesar 17,5 kali atau lebih dari dosis manusia sesuai dengan perhitungan dosis relatif untuk mencit menurut WHO. Hal ini dilakukan dengan tetap mempertimbangkan dosis toksiknya. Selain itu, bila memungkinkan, dapat dilakukan ekstraksi daun Hedyotis corymbosa, sehingga didapatkan zat aktifnya. Zat aktif inilah yang kemudian digunakan untuk mencekok mencit dalam penelitian tersebut. Dalam jangka panjang, penelitian serupa diharapkan dapat dilakukan di masyarakat mengingat masyarakat sudah banyak yang menggunakan Hedyotis corymbosa sebagai obat tradisional. DAFTAR PUSTAKA 1 Vorherr H. Breast Cancer: Epidemiology, Endocrinology, Biochemistry and Pathobiology. 1980. Germany. Urban & Schwarzenberg, Inc. 2 Dalimartha S. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. 2003. Jakarta. PT Penebar Swadaya. 3 Busey P. The little weed that could. Available at: http://turfscience.com/weeds/ diamond.html 4 Lin CC, Ng LT, Yang JJ, Hsu YF. Anti-inflamatory and hepatoprotective activity of Peh-HueJuwa-Chi-Cao in male rats. 2002. Am J Chin Med. Spring-Summer. Available at: http://www.findarticles.com/cf_dls/mOHKP/2002_Spring Summer/ 91913154/ p1/article.jhtml. 5 Hsu HY. Tumor inhibition by several components extracted from Hedyotis corymbosa and Hedyotis diffusa. 1998. Cancer Detection and Prevention 22 Suppl 1. Available at: http://www.cancerprev.org/Journal/Issues/22/101/28/ 2864 6 Hsu HY. Involvement of p-151NK4b gene expression in oleanolic acid and ursolic acid induced apoptosis of hepG2 cells. Available at: http://www.cancerprev.org/Journal/Issues/26/101/1092/4315. 7 Shibata M, Kavanaugh C, Shibata E, Abel H, Nguyen P, Utsukil Y, dkk. Comparative effects of lovastatin on mammary and prostate oncogenesis in transgenic mouse models. Carcinogenesis 2003;24:453-9. 8 Fishbein L. IPCS Training Module No. 4 General Scientific Principles of Chemical Safety. Geneva: World Health Organization, 2000.

PKMP-1-5-1

AKTIVITAS ANTI TUMOR DARI EKSTRAK DAUN SISIK NAGA (PYRROSIA NUMMULARIFOLIA (SW.) CHING) SECARA INVITRO DAN IN VIVO PADA TUMOR PAYUDARA MENCIT (MUS MUSCULUS) Shanti Agustina, A Abdillah, P Mei Widiyanti, Nina Herlina, Rinaldi Ghurafa Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-1-6-1

PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG KEPITING SEBAGAI PENGGANTI KITIN KOMERSIAL UNTUK MEMPRODUKSI ENZIM KITINASE Mustopha Ahad, Arif Nurkamto, Dewi Marbawati, Eva Oktiawati, Uly M Ulfah Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-1-7-1

SKRINING DAN POTENSI KULIT BUAH PEPAYA MENTAH SEBAGAI OBAT ANTIMALARIA ALAMI M Mawardi Abdullah, P Ariowibisono, Richard Ariefiandy, Moh. Fauzi, Sutarto Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Kata kunci:

PENDAHULUAN Pada beberapa wilayah Indonesia, penyakit malaria telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar. Penyakit tersebut memiliki dampak infeksi yang lebih luas dibanding penyakit infeksi lainnya karena terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas dalam skala besar ( WHO &Depkes, 2000). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi permasalahan tersebut, salah satunya dengan pemberian obat antimalaria. Namun beberapa tahun terakhir ini, pada beberapa wilayah Indonesia dilaporkan telah terjadi resistensi Plasmodium falcifarum terhadap obat antimalaria, contohnya klorokuin (Pribadi, 1997). Oleh karena itu untuk mengurangi penyakit malaria tersebut diperlukan penggunaan obat alternatif yang lebih aman dan tidak menimbulkan efek samping. Pepaya merupakan tanaman obat yang sering dimanfaatkan masyarakat India dan sebagian masyarakat Indonesia dalam pengobatan tradisional (Sadikin, 1995). Daun, akar, dan buah pepaya mengandung beberapa senyawa, antara lain: papain, damar, papayatin, dan tannin yang mempunyai potensi sebagai antibiotik. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa kulit dan daging buah pepaya muda berpotensi sebagai antimalaria (Bhat & Surolia, 2001). Sedangkan daun pepaya digunakan sebagai pencegahan terhadap serangan malaria (BeckstromSternberg et al., 1994). Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah pepaya merupakan salah satu tanaman obat yang dapat menghasilkan metabolit sekunder selama proses metabolisme berlangsung. Kandungan metabolit sekunder pada pepaya sangat beragam baik jumlah maupun jenisnya. Keragaman dari kandungan metabolit sekunder pada pepaya bergantung dari umur, sex, dan varietas atau kultivar tanaman. Metabolit sekunder tersebut terdistribusi pada berbagai bagian tanaman pepaya termasuk kulit dari buah pepaya. Metabolit sekunder pada umumnya mempunyai aktivitas biologi dan kimia yang sangat unik yang dapat bersifat sebagai antiplasmodial, antikanker. Antimikrobial dan sebagainya. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh ekstrak kulit buah pepaya mentah var. jingga terhadap Plasmodium berghei pada mencit sebagai hewan uji. Tujuan Penelitian ini adalah mempelajari pengaruh ekstrak kulit buah pepaya mentah var. jingga terhadap Plasmodium berghei pada mencit sebagai hewan uji.

PKMP-1-7-2

Hasil penelitian ini berguna sebagai: a. Sumber informasi tentang gambaran pengaruh ekstrak kulit buah pepaya mentah kultivar jingga terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei pada mencit b. Dasar penelitian selanjutnya, khususnya untuk uji aktivitas ekstrak buah pepaya terhadap Plasmodium falcifarum secara invitro. c. Dasar kerangka berpikir mahasiswa untuk pengembangan dan pemanfaatan pepaya lebih lanjut terutama dalam bidang pengobatan dan kesehatan. METODE PENELITIAN Cara kerja dari penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap: 1. Preparasi sampel Sampel kulit buah pepaya mentah yang telah diperoleh kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan menutup kain hitam diatas sampel tersebut. Hal ini bertujuan untuk melindungi senyawasenyawa aktif yang mudah rusak oleh radiasi sinar ultraviolet. Setelah sampel kering kemudian dihancurkan dengan blender. 2. Ekstraksi sampel dan Pembuatan variasi dosis Serbuk kulit buah pepaya mentah (70 g) diekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut petroleum ether selama lebih kurang 24 jam. Maserasi dilakukan sebanyak 2 kali dengan pertimbangan agar senyawa aktif yang diperlukan terisolasi seluruhnya. Setelah 2 X 24 jam, adonan terpisah sehingga dihasilkan filtrat dan residu. Filtrat kemudian dievaporasi menggunakan kipas angin sampai menjadi ekstrak kering. Beberapa variasi dosis (100, 200, 400, 800, 1600 mg/kg BB) dibuat dengan melarutkan ekstrak ke dalam pelarut Tween 80 5%. 3. Pengelompokan hewan uji Hewan uji sebanyak 35 ekor dibagi menjadi 7 kelompok secara acak (tiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit), yaitu 5 kelompok perlakuan ekstrak kulit buah pepaya mentah dengan variasi dosis yang diberikan sebesar 100, 200, 400, 800, dan 1600 mg/kg BB; 1 kelompok pembanding (klorokuin 5 mg/kg BB) dan 1 kelompok kontrol negatif. 4. Pengembangan Plasmodium berghei Plasmodium berghei diinokulasikan ke mencit strain Balb/ c. Untuk memelihara kelangsungan Plasmodium berghei dilakukan pasase (transfer) dari mencit yang telah terinfeksi berat ke mencit yang masih sehat. Pasase dilakukan dengan cara mengambil darah mencit dari jantung dengan spuit injeksi 2,5 ml yang sebelumnya telah diisi dengan antikoagulan yaitu heparin sebanyak 0,5 ml. Darah yang diperoleh diinjeksikan ke mencit lain yang belum terinfeksi Plasmodium berghei dengan volume ±0,2 ml. Pada mencit tersebut dilakukan pemeriksaan derajat parasitemia. Setelah parasitemia mencapai sekitar 30-40% maka mencit tersebut digunakan sebagai sumber pembuatan inokulum untuk menginfeksi hewan coba.

PKMP-1-7-3

5. Cara infeksi Inokulum disiapkan dengan cara mengencerkan sejumlah darah donor dengan parasitemia 30%-40% dalam RPMI 1640. Infeksi dilakukan dengan cara suntikan intraperitonial 0,2 mL darah yang mengandung 1x107 parasit stadium eritrositik pada hari pertama. 6. Uji potensi antiplasmodial ekstrak kulit buah pepaya mentah Uji potensi antiplasmodial ekstrak kulit buah pepaya mentah dilakukan terhadap mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei dengan cara suntikan subkutan sebanyak 20 µL ekstrak yang telah dilarutkan dalam larutan Tween 80 5%. Pemberian ekstrak tersebut dilakukan selama 4 hari sejak hari diinokulasi dengan Plasmodium berghei (D+0 sampai D+3). 7. Pemeriksaan parasitemia Pemeriksaan parasitemia dilakukan setiap hari dari hari pertama setelah infeksi sampai hari keempat. Darah diambil dari ujung ekor mencit kemudian dibuat apusan darah tipis. Sediaan tersebut diletakkan di atas rak datar kemudian difiksasi dengan methanol absolut kemudian digenangi larutan Giemsa 10% selama 45 menit. Sediaan dicuci dengan air mengalir sebentar sehingga larutan Giemsa hilang dan dikeringkan pada suhu kamar. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran objektif seratus kali dengan diberi minyak emersi. Persentase eritrosit yang terinfeksi Plasmodium berghei dihitung pada masing-masing sediaan. Penghitungan ini dilakukan untuk setiap seribu eritrosit. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum persentase parasitemia pada hari pertama ini lebih sedikit karena jumlah parasit yang mati lebih banyak ketika awal penyuntikan Plasmodium berghei ke mencit. Pada hari kedua parasit mulai menyesuaikan diri setelah masuk ke tubuh mencit sehingga peningkatan persentase parasitemia pada hari kedua belum begitu banyak yaitu sekitar 20-30 %. Pada hari pertama dan kedua antara kontrol, klorokuin dan perlakuan ekstrak kulit buah pepaya mentah dengan dosis yang bervariasi tidak berbeda nyata secara statistik, hal ini berarti pemberian ekstrak kulit buah pepaya mentah per subkutan tidak mampu menghambat pertumbuhan parasit. Pada hari ke-3, parasit mulai menginfeksi darah mencit yang ditunjukkan oleh persentase parasitemia yang tinggi pada kontrol negatif. Masing-masing dosis ekstrak memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei yang bervariasi yang ditunjukkan dengan persentase parasitemia lebih rendah daripada kontrol. Pemberian ekstrak kulit buah pepaya mentah dosis 200, 800, dan 1600 mg/kg BB mempunyai pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan parasit namun dosis 100 dan 400 mg/kg BB jauh lebih tinggi pengaruhnya dalam menghambat pertumbuhan parasit. Pada hari keempat, kelompok perlakuan dosis 200, 800, dan 1600 mg/kg BB mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei, namun masih lebih rendah dibanding dengan daya hambat yang diberikan oleh klorokuin. Persentase parasitemia mencit yang diberi ekstrak dosis 100 dan 400 mg/kg BB lebih tinggi daripada kontrol padahal pada hari ketiga ekstrak dosis ini mempunyai persentase parsitemia yang paling rendah. Hal ini dimungkinkan

PKMP-1-7-4

terjadi seleksi pada parasit dimana hanya parasit yang kuat yang mampu bertahan dari efek ekstrak tersebut. Dari grafik pertumbuhan Plasmodium berghei selama empat hari pengamatan, jumlah parasit cenderung terus meningkat pada perlakuan kontrol. Pada dosis 100 dan 400 mg/kg BB pada awal infeksi terjadi peningkatan parasitemia relatif lambat namun pada hari ke-4 terjadi peningkatan parasitemia. Pada perlakuan 200, 800, dan 1600 mg/kg BB serta klorokuin parasit cenderung terus meningkat tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan kontrol Berdasarkan penelitian Peters (1970), efektivitas dari suatu ekstrak yang diujikan secara invivo didasarkan pada gambaran hasil persentase parasitemia hari keempat. Berdasarkan persentase parasitemia hari keempat tersebut, secara umum pemberian ekstrak kulit buah pepaya mentah per subkutan tidak menunjukkan pengaruh penghambatan pertumbuhan Plasmodium berghei secara signifikan. Perlu diketahui bahwa ekstrak kulit buah pepaya mentah tersebut dimungkinkan masih mengandung campuran berbagai senyawa aktif yang belum diketahui secara pasti aktivitasnya. Selain itu, ekstrak tersebut juga mengandung berbagai bahan pengotor yang ikut terlarut di dalam ekstrak tersebut, diantaranya klorofil. Klorofil diduga mengganggu aktivitas dari senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak kulit buah pepaya mentah var. jingga memiliki pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei pada mencit namun secara statistik tidak berbeda nyata. DAFTAR PUSTAKA Beckstrom-Stemberg, Stepen, M., and Duke, J.A. 1994. The Phytochemical Database. http://probe nalusda. Gov:8300/cgi-bin/browse/phythochemdb. Bhat, G.P. and Surolia, N. 2003. Invitro Antimalarial Activity of Extract of Three Plants Used in The Traditional Medicine of India. J. American Society of Tropical Medicine and Hygene. 65 (41):304-308. Pribadi, W., Gandahusada, S., Illahude, H.D., 1988, Parasitologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, hal: 98. WHO & Depkes. 2000. Workshop Report An Integrated Development in Malaria’s Area and Roll Back malaria in Indonesia.

PKMP-1-8-1

PEMANFAATAN EKSTRAK BAWANG MERAH SEBAGAI PENGGANTI ROOTON F UNTUK MENSTIMULASI PERTUMBUHAN AKAR STEK PUCUK JATI (Tectona grandis L) R.M. Aulia El Halim, B. Pramudityo, R. Setiawan, I.Y. Habibi, M.T. Daryono Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Tingginya minat masyarakat sekitar hutan untuk menanam jati sebagai bentuk investasi masa depan di pekarangan semakin meningkat. Namun kurangnya asupan teknologi yang digunakan untuk mengembangkan tanaman jati, menyebabkan usaha mereka dalam menghasilkan bibit tanaman jati yang berkualitas dan dalam yang jumlah memadai kurang berhasil. Masyarakat sekitar hutan cenderung menanam jati secara generatif dan biji jati ditanam secara langsung. Sedangkan untuk menghasilkan bibit jati secara vegetatif yang khususnya dengan kultur jaringan nyaris tidak mungkin dilakukan masyarakat karena tingginya biaya dan sulitnya perawatan. Atas dasar pertimbangan ini, maka pembiakan jati dengan stek pucuk menjadi perhatian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pengaruh ekstrak bawang merah terhadap pertumbuhan akar stek pucuk dan membandingkan pembentukan perakaran antara stek pucuk jati yang diberi Rooton F dan yang diberi ekstrak bawang merah. Metode pendekatan diawali dengan pengambilan stek pucuk dari kebun pangkas kemudian dibandingkan kemampuan berakarnya antara stek yang memakai Rooton F, ekstrak bawang merah, dan kontrol. Desain percobaan pada penelitian ini menggunakan metode rancang acak lengkap berblok (RCBD) dengan 3 blok dan 3 macam perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 5 sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian eksrtak bawang merahampu menstimulasi pertumbuhan akar pada stek pucuk jati. Kata kunci: Jati, Stek pucuk, Perakaran, Ekstrak bawang merah, Rooton F PENDAHULUAN Menurut Simon (2003) pengelolaan tanaman jati secara ekonomis telah dimulai sejak abad 17 dengan sistem timber extarction. Pengelolaan jati pada saat itu ditujukan untuk mendukung industri hulu yang berupa industri perkapalan. Tanaman jati adalah jenis pohon hutan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia oleh negara (PERHUTANI) maupun oleh masyarakat. Pengetahuan dan pengalaman menanam jati sudah banyak diketahui baik secara konvensional (biji) maupun secara terpadu yaitu penerapan silvikultur intensif, penanaman jati klon unggul, rekayasa genetik dan sebagainya (Mahfudz dkk., 2003 ). Pengadaan bibit jati dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Secara generatif, pengadaan bibit jati dilakukan dengan menggunakan biji yang merupakan hasil perkawinan antara tepung sari (bagian jantan) dan kepala putik (bunga betina). Sedangkan secara vegetatif dilakukan tanpa melalui proses perkawinan, tetapi dengan mengambil bagian tanaman seperti daun, batang, umbi dan lain – lain. Untuk pembiakan vegetatif jati dapat dilakukan dengan cara

PKMP-1-8-2

sederhana yaitu dengan pengadaan stump, puteran hingga grafting dan kultur jaringan (Mahfudz dkk., 2003). Masyarakat sekitar hutan cenderung menanam jati secara generatif yaitu menanam bijinya. Pada pelaksanaannya, pengadaan bibit secara generatif cukup sulit dan memerlukan waktu yang lama. Hal ini disebabkan tidak adanya identifikasi yang memadai mengenai bibit tersebut ditambah rendahnya pemahaman masyarakat tentang cara penanaman generatif dan dormansi biji jati. Sedangkan untuk menghasilkan bibit jati secara vegetatif yang khususnya dengan cara kultur jaringan nyaris tidak mungkin dilakukan masyarakat karena tingginya biaya dan sulitnya perawatan. Atas dasar pertimbangan ini, maka pembiakan jati dengan stek pucuk menjadi perhatian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak bawang merah terhadap pertumbuhan akar stek pucuk dan membandingkan pembentukan perakaran antara stek pucuk jati yang diberi Rooton F dan yang diberi ekstrak bawang merah Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai cara pengadaan bibit jati secara vegetatif yang efektif, murah dan efisien, yaitu dengan menggunakan ekstrak bawang merah. Dengan demikian akan memberikan solusi cara pengadaan sumber bibit jati berskala kecil kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat memproduksi bibit jati secara mandiri, dimana saat ini masih didominasi oleh perusahaan besar. METODE PENDEKATAN Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dimulai pada bulan Maret sampai Mei di laboratorium Silvikultur Intensif Klebengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada DIY, dengan bibit yang diperoleh dari laboratorium lapangan Wanagama I, petak 14, Gunung Kidul DIY. Perawatan stek pucuk dilakukan di laboratorium Silvikultur Intensif Klebengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada DIY untuk mempermudah pengamatan. Bahan yang digunakan adalah stock plant (materi induk pangkasan) jati yang telah dipangkas dengan tinggi seragam 70 cm, Rooton F 100 ppm dan ekstrak bawang merah untuk setiap perlakuan stek pucuk jati. Sedangkan alat penelitian yang digunakan adalah gunting stek, polybag, silet, bak pembibitan, ember, penggaris, sprayer, plastik, terpal. Tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : a. Pemangkasan dan Trubusan 1. Pemilihan Bibit. Bibit yang ada di kebun bibit di Wanagama diidentifikasi terlebih dahulu, baik dalam hal umur bibit maupun tinggi minimal bibit yang bisa dijadikan sebagai stock plant (materi induk pangkasan). Setelah didapatkan bibit yang sesuai dengan kriteria umur dan tinggi minimal, kemudian bibit tersebut dipindahkan ke laboratorium Silvikutur Intensif Klebengan, Sleman,Yogyakarta. 2. Perawatan Setelah Pemindahan. Setelah dilakukan pemindahan, tanaman jati yang akan diberi perlakuan pemangkasan terlebih dahulu diberikan perlakuan pameliharaan awal, yaitu penyiraman rutin pagi dan sore selama 4 hari. Hal ini

PKMP-1-8-3

dimaksudkan untuk proses adaptasi untuk bibit jati tersebut pada lingkungan yang baru. 3. Pemangkasan. Setalah diberikan perlakuan khusus pada tanaman yang akan dipangkas, tanaman yang sehat dipindahkan ke dalam medium tanam yang telah dipersiapkan berupa top soil dan pupuk kandang dengan perbandingan 6:2. Setelah itu dilakukan pemangkasan stock plant setinggi 70 cm dari pangkal batang. b. Penumbuhan Perakaran 1. Seleksi stek pucuk dari kebun pangkas dengan persyaratan: a. Terdapat 1 lembar atau 2 lembar daun. b. Sehat,tidak terserang penyakit. 2. Stek pucuk yang telah diseleksi dikumpulkan dalam ember yang diisi air untuk menjaga kesegaran bibit selama pengambilan berlangsung. 3. Pemberian hormon perakaran Rooton F dengan konsentrasi 100 ppm sebanyak 15 sampel (replikasi). 4. Pemberian ekstrak bawang merah dengan perbandingan air dan ekstrak 1: 9 sebanyak 15 sampel. 5. stek pucuk yang tidak diberi apapun sebagai perlakuan kontrol sebanyak 15 sampel. 6. Penempatan stek pucuk pada media perakaran (top soil : Pasir = 6:2) di dalam bak perakaran. 7. Perawatan dan penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan menggunakan sprayer. 8. Desain Percobaan Desain percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain acak lengkap berblok (RCBD) dimana terdapat 3 blok dan 3 perlakuan (Rooton F, bawang merah, kontrol). Setiap perlakuan terdiri dari 5 sampel. 9. Koleksi Data Pengamatan perakaran dilakukan pada bulan ke 2 penanaman. Parameter yang diukur adalah : jumlah akar, panjang akar, dan pembentukan kalus. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamtan yang dilakukan dapat disajikan data sebagai berikut (tabel 1). Sementara berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa kemampuan pembentukan kalus yang paling tinggi terdapat pada perlakuan pemberian ekstrak bawang merah sebanyak 5 kalus, rooton F 3 kalus dan kontrol 1 kalus. Pada perlakuan bawang merah, pembentukan kalus relatif merata pada setiap sampel dimana masing-masing membentuk 1 kalus, demikian pula dengan kontrol.

PKMP-1-8-4

Tabel 1. Pembentukan kalus, akar dan panjang akar stek pucuk jati umur 2 bulan. Blok 1

Perlakuan Rooton F

Kontrol

Bawang Merah

2

Rooton F

Kontrol

Bawang Merah

3

Rooton F

Kontrol

Bawang Merah

1 1

Kalus Jumlah Akar Panjang Akar Kalus Jumlah Akar Panjang Akar Kalus Jumlah Akar Panjang Akar

Sampel 3

2

4

5

1

1 1 2.8

Kalus Jumlah Akar Panjang Akar Kalus Jumlah Akar Panjang Akar Kalus Jumlah Akar Panjang Akar

1 17.8

1

1

Kalus Jumlah Akar Panjang Akar Kalus Jumlah Akar Panjang Akar Kalus Jumlah Akar Panjang Akar

1 1 6.2

JUMLAH KALUS STEK UMUR 2 BULAN

5 4,5 4 3,5 3 JUMLAH KALUS 2,5

5 JUMLAH KALUS

2

3

1,5 1

1

0,5 0 Bawang Merah

Rooton F

Kontrol

PERLAKUAN

Gambar 1.

Grafik pembentukan kalus pada stek pucuk umur 2 bulan.

PKMP-1-8-5

JUMLAH AKAR STEK PUCUK JATI UMUR 2 BULAN

2 1,8 1,6 1,4 1,2 JUMLAH AKAR

2

1

Jumlah Akar

0,8 0,6

1

0,4 0,2

0

0 Bawang Merah

Rooton F

Kontrol

PERLAKUAN

Gambar 2.

Grafik pembentukan akar pada stek pucuk umur 2 bulan.

Dari gambar 2 dapat diketahui bahwa hanya 2 jenis perlakuan yang mampu membentuk perakaran yaitu perlakuan pemberian hormon Rooton F dan perlakuan pemberian ekstrak bawang merah sebagai pemacu sistem perakaran. Perlakuan yang membentuk perakaran paling banyak adalah perlakuan pemberian hormon Rooton F sebanyak 2 sampel dari 15 sampel diikuti oleh perlakuan pemberian ekstrak bawang merah sebanyak 1 sampel dari 15 sampel. Sedang pada kontrol tidak terjadi pembentukan perakaran dari 15 sampel yang telah disiapkan. Jumlah stek pucuk yang mampu membentuk perakaran adalah 3 dari total 45 sampel. RERATA PANJANG AKAR STEK PUCUK JATI UMUR 2 BULAN

12 10 8 PANJANG AKAR

12

6

Rerata Panjang Akar

4 2

2,8 0

0 Bawang Merah

Rooton F

Kontrol

PERLAKUAN

Gambar 3.

Grafik rerata panjang akar pada stek pucuk jati umur 2 bulan.

Pada gambar 3 dan gambar 4 dapat diketahui bahwa perakaran stek pucuk terbaik dibentuk oleh Rooton F dengan sampel yang mampu membentuk akar sebanyak 2 sampel dan panjang akar rata-rata 12 cm. Pada perlakuan bawang merah terdapat sampel yang membentuk akar dengan panjang akar 2,8 cm. Sedangkan pada kontrol tidak ada sampel yang mampu membentuk perakaran. Mengingat jumlah stek pucuk yang berakar maupun yang berkalus dalam jumlah sedikit (tabel 1) maka analisis varians tidak dapat dilakukan lebih lanjut.

PKMP-1-8-6

A Gambar 4.

B

C

Perakaran yang dibentuk stek pucuk jati dari tiapa perlakuan umur 2 bulan. (A) kontrol; (B) bawang merah; (C) Rooton F

Stek pucuk merupakan suatu metode perbanyakan vegetatif secara konvensional dengan menumbuhkan tunas-tunas axilar pada media persemaian yang dipengaruhi faktor luar dan dalam menurut (Mahfudz dkk., 2004 dalam Soekotjo, 2004) Faktor luar yang berpengaruh antar lain : 1) Medium. 2) Faktor lingkungan, antara lain : kelembaban udara, temperatur dan cahaya. 3) Pengerjaan mekanis. Sedangkan faktor dalam menurut Soekotjo (2004) yang mempengaruhi penyetekan antara lain: 1) Umur pohon induk. 2) Tempat cabang dalam pohon induk. 3) Persediaan makanan. 4) Callus formasi. Pada penelitian ini, masing-masing perlakuan ditempatkan pada lingkungan yang sama, sehingga pengaruh dari ketiga perlakuan relatif seragam. Ekstrak bawang merah mampu untuk menstimulasi pembentukan kalus, dimana kalus merupakan awal dari pembentukan akar pada stek pucuk jati. Hal ini karena bawang merah mengandung hormon auksin yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan akar ataupun juvenil. Hasil penelitian membuktikan bahwa pertumbuhan akar stek pucuk jati yang diberi bawang merah relatif bagus meskipun panjang akarnya masih lebih pendek dari akar stek jati yang diberi Rooton F. Saran untuk penelitian selanjutnya diharapkan adanya kajian tentang berbagai dosis ekstrak bawang merah agar diperoleh hasil perakaran yang optimal dan relatif sama dengan menggunakan Rooton F.

PKMP-1-8-7

KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak bawang merah berpengaruh pada pertumbuhan akar stek pucuk jati. Pembentukkan perakaran antara stek pucuk jati yang telah diberi eksrtak bawang merah lebih baik jika dibandingkan hasil stek pucuk tanpa perlakuan (kontrol), meskipun panjang akarnya relatif pendek dibandingkan Rooton F.

DAFTAR PUSTAKA Mahfudz M.A, Fauzi, Yuliah, T. Herawan, Prastyono, H. Supriyanto. 2003. Sekilas Jati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Simon, H. 2004. Cetakan I. Aspek Sosio-teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Soekotjo,S. Hardiwinoto, Sukirno, Adriana. 2004. Silvikultur. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

PKMP-1-9-1

PAGELARAN WAYANG KAGOK SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK DI YOGYAKARTA: STUDI KASUS TERHADAP SISWA KELAS III-VI SD NEGERI PAKEL YOGYAKARTA Kurniastuti Lestari, Sudaryanto Mahasiswa Prodi/Jur. PBI dan PBSI, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK Penelitian ini memiliki latar belakang bahwa perkembangan teknologi yang semakin pesat ternyata berimbas pada tingkat kekerasan seksual terhadap anakanak. Akibatnya, jumlah kekerasan seksual kian bertambah. Kondisi tersebut diperparah dengan terbukanya akses informasi yang tidak sehat mengenai kesehatan reproduksi di keluarga dan sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh Wayang Kagok terhadap pemahaman anak tentang seks, dan menguraikan manfaat pendidikan seks yang diperoleh anak dari pagelaran Wayang Kagok. Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif-analitis. Metode pengumpulan yang digunakan ialah purposive sampling. Sample dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar (SD) Negeri PAKEL Yogyakarta yang berusia 9–12 tahun. Data diperoleh dari pengamatan berperan serta, wawancara, dan pengamatan dokumen. Hasil penelitian berupa pre-test menunjukkan bahwa pada awalnya responden putri (90,9%) dan putra (95,5%) belum paham mengenai organ reproduksi mereka. Setelah pagelaran wayang kagok diselenggarakan, peneliti memberikan post-test dan terdapat pengaruh yang signifikan yaitu responden putri (90,9%) dan (57,9%) putra sudah paham. Selain itu, responden juga memberi respon jawaban yang diharapkan pada saat diberikan pertanyaan mengenai tindakan yang harus dilakukan saat mereka menghadapi ancaman kekerasan seksual, seperti berteriak minta tolong dan melaporkan kepada orangtua atau guru mereka. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa Wayang Kagok ini layak dipertimbangkan sebagai alternatif baru media pendidikan seks untuk anak yang menggabungkan unsur sosial-budaya. Dari hasil penelitian ini, siswa SD Negeri PAKEL Yogyakarta sebagai responden penelitian telah memahaminya secara fisik, dan juga mengerti bagaimana bersikap menjaga organ reproduksi mereka jika ada orang lain yang bermaksud jahat terhadap mereka. Kata Kunci: Wayang Kagok, pendidikan seks, anak PENDAHULUAN Perkembangan teknologi yang semakin pesat ternyata berimbas dengan tingkat kekerasan seksual terhadap anak-anak. Maraknya tayangan media elektronik, seperti televisi, VCD, dan internet yang berbau seks sangat mendominasi lingkungan anak-anak. Akibatnya, jumlah kekerasan seksual terhadap anak-anak kian lama kian bertambah (Wahyuni, 2005).

PKMP-1-9-2

Idealnya, pendidikan seks pada anak-anak diberikan kali pertama oleh orangtua di rumah atau lingkup keluarga. Akan tetapi, tidak semua orangtua mau bersikap secara terbuka terhadap anak dalam membicarakan permasalahan seksual. Dari sinilah kita berharap agar pendidikan seks bisa membuat seorang anak mengetahui tentang jenis kelaminnya, dan hal itu bisa memberikan penilaian yang tepat tentang suatu tindakan yang berkaitan dengan urusan seksualitas (Purwatiningsih, 2005; Thomassen, 2004). Rendahnya tingkat pendampingan orangtua ini ternyata berkait erat dengan meningkatnya angka kekerasan seksual pada anak, terutama di DIY. Menurut Koordinator Divisi Media dan Informasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC) Yogyakarta, Rofi Widiastuti (Kompas, 26/7/2004), anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual umumnya tidak mengetahui apa yang menimpa diri mereka. Penelitian ini memiliki dua tujuan penting, yakni mendeskripsikan (1) bagaimana pengaruh pagelaran Wayang Kagok terhadap pemahaman anak tentang seks, dan (2) apa sajakah manfaat pendidikan seks yang diperoleh anak dari pagelaran Wayang Kagok. Penelitian ini memberi manfaat bagi empat pihak, yakni (1) Bagi para orangtua, dimaksudkan untuk memberi salah satu alternatif dalam memberikan pendidikan seks yang benar pada anak-anak; (2) Bagi para pendidik, diharapkan menjadi sebuah jalan keluar bagi ketidaktahuan yang dihadapi oleh anak-anak tentang seks dan semoga ada partisipasi aktif, serta kerjasama dari sekolah untuk menjadi sarana pagelaran Wayang Kagok di masa yang akan datang; (3) Bagi masyarakat, dimaksudkan untuk lebih menghidupkan budaya yang terlahir dari masyarakat dan mengembalikan untuk kemanfaatan masyarakat; dan (4) Bagi pemerintah, terutama Pemprov DI Yogyakarta dalam hal ini Dinas Diknas DIY semoga dapat memberikan dukungan, baik moral dan material, dalam upaya sosialisasi pagelaran Wayang Kagok sebagai media alternatif dalam pendidikan seks pada anak-anak. Penelitian ini memiliki rujukan tentang pendidikan seks bagi anak-anak. Darno (2005) mendefinisikan pendidikan seks sebagai pelajaran khusus yang dimaksudkan untuk memberi anak fakta-fakta tentang seksualitas yang akurat dan mudah dipahami. Pendekatan dalam pengajaran dapat bersifat konstruktif, preventif, atau keduanya. Pendidikan konstruktif menyajikan fakta-fakta dan penjelasan tentang perilaku seksual. Pendidikan preventif memberikan fakta-fakta dengan menekankan pengajaran mengenai apa yang harus dihindarkan dalam menjaga kesehatan seksual. Memberikan pendidikan seks kepada anak sejak usia dini akan mendatangkan banyak manfaat selama cara dan materi yang disampaikan tepat. Materi pendidikan seks yang diberikan tidak bisa lepas dari latar belakang budaya yang mewarnai masyarakat. Materi yang disampaikan harus memerhatikan batasan norma-norma, kebudayaan, maupun agama yang dianut. Menurut Sarwono (1989), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, meliputi aspek-aspek kesehatan, kejiwaan, proses terjadinya pembuahan, kehamilan, kelahiran, tingkah laku seksual, dan hubungan seksual. Pendidikan seksual sangatlah luas, di antaranya mengajarkan anak untuk berperilaku sesuai gendernya, pengenalan organ tubuh, bagaimana menjaga dan

PKMP-1-9-3

merawat organ reproduksinya, serta melindungi diri dari pelecehan seksual. Pendidikan seks diajarkan untuk memberi pemahaman kepada anak dalam menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pendidikan seksual hendaknya diberikan sejak dini, ketika anak mulai sadar tentang perbedaan kelamin dirinya dengan orang lain. Pendidikan ini diberikan secara berkesinambungan dan bertahap sehingga penjelasannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan daya tangkap anak. Beberapa alasan mendasar pentingnya pendidikan seks secara dini pada anak-anak adalah pendidikan seks secara dini akan memudahkan anak-anak menerima keberadaan tubuhnya secara menyeluruh dan menerima fase-fase perkembangan secara wajar, membuat anak sadar dan paham akan perannya kelak di masyarakat menurut jenis kelaminnya, meraih tahap kedewasaan yang layak menurut usianya dan mengatasi informasi negatif dari lingkungan luar keluarga. Pendidikan seksual selain menerangkan aspek-aspek anatomis dan biologis, juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Nilai-nilai kultur dan agama hendaknya juga diikutsertakan sehingga akan menjadi pendidikan akhlak dan moral. Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika dan pendidikan tentang hubungan sesama manusia, baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Tujuan dari pendidikan seksual pada anak bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba, namun untuk menyiapkan anak agar tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya (Suminar, 2005). Selanjutnya penelitian ini pun merujuk soal Wayang Kagok. Wayang Kagok merupakan satu dari sekian jenis wayang kreasi baru yang muncul pada perkembangan abad ke-20. Tradisi wayang sendiri dikenal masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa sebagai media membawa muatan-muatan, seperti ilmu pengetahuan, seni, hiburan, pendidikan, kejiwaan, mistis, serta simbolis. Dalam Buku Panduan Museum Wayang Kekayon Yogyakarta (t.th), wayang memiliki tiga arti, yaitu wayang kulitnya sendiri, pagelaran wayang, dan refleksi falsafah hidup Jawa. Dalang sebagai sebuah medium, mendatangkan roh nenek moyang dalam bentuk bayang-bayang yang kemudian mempertunjukkan tiruan atau imitasi kehidupan manusia kepada para penonton. Seperti kita ketahui di bagian sebeelumnya, Wayang Kagok termasuk dalam kategori wayang kreasi baru yang penciptaannya memang dikhususkan untuk suatu tujuan tertentu, yakni sebagai media pendidikan seks, khususnya pada anakanak usia sekolah dasar (SD) yang berumur 6-12 tahun. Dengan begitu, pagelaran Wayang Kagok didesain untuk memperkenalkan anak-anak pada bagian tubuh mereka sendiri. Tujuan berikutnya adalah tindakan-tindakan yang harus diwaspadai anak-anak. Dalang dalam pagelaran Wayang Kagok tidak hanya bertindak sebagai pendongeng saja, namun dia juga harus mengundang minat bertanya anak. Pagelaran Wayang Kagok pun dikondisikan informal dan dialogis, sehingga anakanak tidak merasa sungkan dan mungkin terlalu asing dengan beberapa definisi biologis tentang bagian tubuh mereka, yang disampaikan secara terbuka oleh sang dalang. Penggunaan istilah-istilah yang disampaikan pada anak juga dimodifikasi agar mudah dipahami oleh anak-anak, serta ditambah iring-iringan musik.

PKMP-1-9-4

Diharapkan, dari pagelaran tersebut pendidikan seks yang sehat dan sesuai etika dapat semakin mudah dipahami oleh anak-anak.

Gambar 1.

Pementasan Wayang Kagok Didalangi oleh Kang Memed di SD Negeri PAKEL Yogyakarta, 25 Juni 2005.

Berawal dari tingginya kasus kekerasan pada anak-anak, khususnya dalam bentuk kekerasan seksual, LSM Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC) menyikapinya dengan program sosialisasi pendidikan seks yang berakar pada kesadaran anak-anak sendiri akan bagian-bagian tubuhnya, serta cara menjaga diri mereka dari ancaman kekerasan yang ada di sekitarnya. Menurut Koordinator Divisi Media dan Informasi Rofi Widiastuti (Kompas, 26/7/2004), anak-anak tidak sadar bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan atau pelecahan seksual. Ditambah lagi, hampir semua peristiwa kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual, tidak pernah ditanggapi para pejabat pemerintah secara serius. Sementara itu, rasa malu disertai rasa ketakutan menyebabkan anak-anak yang menyadarinya tidak berusaha mencari pertolongan (Kompas, 30/6/2003). Kondisi itu makin lengkap ketika faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab eksploitasi seksual terhadap anak. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, kemudian media berupa wayang yang juga bertujuan mengembalikan minat anak terhadap budaya mereka sendiri. Wayang yang khas Indonesia bisa diolah menjadi kisah yang menarik dan dekat dengan keseharian anak-anak. Oleh karena itu, disebutlah wayang ini sebagai Wayang Kagok, mengingat sifatnya sangat adaptif terhadap kondisi riil masyarakat, khususnya anak, serta tidak sepenuhnya mengikuti pakem dunia pewayangan yang ada. Tokoh yang diambil ialah tokoh-tokoh punakawan seperti Bagong, Gareng, Petruk, Togog, dan Bilung sebagai representasi dari golongan rakyat atau masyarakat bawah dalam dunia wayang. Adapun penokohan yang diambil pun tidak jauh dari kisah keseharian masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, tokoh-tokohnya juga disimbolkan memiliki peran atau posisi yang hampir sama dengan kehidupan sehari-hari yang setidaknya dihadapi oleh anak-anak. Sebagai contoh, Bagong, Gareng, Petruk, dan Limbuk digambarkan sebagai siswa sekolah dasar (SD) dengan khas seragam merah-putih, sementara Togog digambarkan sebagai sesepuh desa dan Bilung sebagai tipikal anggota masyarakat yang “nakal” dan berperilaku menyimpang. Dengan cara demikian, diharapkan

PKMP-1-9-5

anak-anak dapat menangkap pesan yang disampaikan secara jelas dan menyeluruh, sekaligus menghibur.

Gambar 2. Tokoh Gareng. METODE PENELITIAN Penelitian ini memilih anak-anak usia sekolah dasar (SD) yang berusia 9-12 tahun di SD Negeri PAKEL Yogyakarta, atau tepatnya siswa-siswa di kelas III-VI sebagai responden. Jumlah total mereka yaitu 44 orang, yang terdiri atas 22 siswa putri dan 22 siswa putra. Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menambahkan pendekatan kuantitatif menggunakan angket. Sebelum pagelaran Wayang Kagok dimulai, kami selenggarakan terlebih dulu pre-test terhadap para responden, yakni para siswa kelas III-IV SD Negeri PAKEL Yogyakarta berupa obrolan ringan tanya-jawab seputar perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian setelah pagelaran Wayang Kagok itu selesai, kami adakan post-test berupa pembagian angket atau kuesioner kepada para responden. Data diperoleh dari pengamatan berperan serta (participant observation), wawancara, dan pengamatan dokumen. Pengamatan berperan serta digunakan saat pagelaran dilaksanakan, yaitu untuk memahami pengaruh pagelaran Wayang Kagok terhadap pemahaman anak tentang pendidikan seks. Peneliti melakukan pendampingan bagi responden saat pagelaran dilangsungkan. Sedangkan metode angket/kuesioner digunakan untuk mengukur respon siswa SD Negeri PAKEL Yogyakarta terhadap pagelaran Wayang Kagok tersebut. Kuesioner ini juga akan menguraikan manfaat yang didapat dari pagelaran Wayang Kagok sebagai media pendidikan seks pada anak.

PKMP-1-9-6

Gambar 3.

Pementasan Wayang Kagok Didalangi oleh Kang Memed di SD Negeri PAKEL Yogyakarta, 25 Juni 2005.

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua pendekatan, yaitu kualitatif dan kuantitatif yang digunakan secara bersamaan. Pendekatan kuantitatif digunakan saat menguraikan data yang diperoleh dari kuesioner dan menyajikannya dalam bentuk tabel persentasi. Sementara pendekatan kualitatif digunakan untuk memberikan penjelasan atau uraian yang lebih mendalam terhadap temuan yang disajikan dalam tabel persentasi tersebut (Miles & Huberman, 1994). Setelah keseluruhan data terkumpul dan dianggap tuntas, maka dilakukan dua kegiatan yang terjadi secara bersama-sama, yaitu reduksi data dan penyajian data. Reduksi merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang hal-hal yang tidak perlu. Penyajian hasil analisis data dalam studi ini selain berupa teks naratif, juga didukung dengan beberapa tabel yang bertujuan untuk memudahkan dalam membaca hasil studi (Moleong, 2002). Untuk mencapai derajat keterpercayaan (dependability) dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi, di mana peneliti menggunakan sumber di luar data untuk mengecek atau membandingkan data tersebut. Ada empat cara untuk melakukan verifikasi data, yaitu melalui verifikasi sumber, metode, pengamat atau peneliti lain dan teori (Denzin & Lincoln, 1994). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pengamat atau peneliti lain, yang paham atas wayang ataupun pendidikan seks pada anak. Peneliti mengkonfirmasikan hal ini pada beberapa pihak, di antaranya kepada Rifka Annisa WCC dan kepala sekolah SD Negeri PAKEL Yogyakarta. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun penelitian ini kami dilakukan sejak bulan April hingga bulan Agustus 2005 yang meliputi beberapa hal: ♦ Bulan April dan Mei 2005, meliputi konfirmasi dengan LSM Rifka Annisa WCC selaku penggagas awal ide pagelaran Wayang Kagok, penelaahan kajian dan literatur secara mendalam, konfirmasi dengan pihak Kepala Sekolah SD Negeri PAKEL Yogyakarta. Dipilihnya SD tersebut, karena dilatarbelakangi: 1. Sebagian besar siswa SD berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Menurut survei Rifka Annisa, kecenderungan kasus

PKMP-1-9-7

kekerasan seksual pada anak banyak terjadi pada tingkat ekonomi menengah ke bawah; 2. Dalam kurikulum pembelajaran SD pendidikan seksual belum terdapat dalam mata pelajaran agama, baik sebagai sisipan terhadap pelajaran lain maupun sebagai mata pelajaran yang otonom; 3. Para siswa SD pernah mendapatkan materi tambahan tentang wayang purwa yang merupakan hibah dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan tetapi, belum ada lanjutan terhadap materi tersebut; dan 4. Secara geografis, letak SD berada di perbatasan antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul membuat akses para siswa terhadap pendidikan kesehatan reproduksi menjadi berkurang. Mereka kurang mendapat informasi yang memadai terhadap kemungkinan-kemungkinan kekerasan seksual di lingkungan tempat tinggal mereka. ♦ Bulan Juni 2005, meliputi pelaksanaan pementasan Wayang Kagok berjudul “Jangan Ganggu Aku” pada tanggal 25 Juni 2005, hari Sabtu di SD Negeri PAKEL Yogyakarta. Persiapan utama dari pementasan ini ialah pengadaan sembilan buah Wayang Kagok, gunungan, dalang, dan properti wayang lainnya. Dalang dalam pementasan ini ialah Kang Memed yang masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Adapun sembilan tokoh wayang itu meliputi Petruk, Gareng, Togog, Limbuk, Cangik, Bagong, Cublak, Bilung, dan Pak Cantrik. ♦ Bulan Juli 2005, meliputi kegiatan pengolahan data yang berbentuk kuesioner. Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas dua poin penting, yakni 1) pendidikan seks dalam cerita Wayang Kagok (terdiri atas 5 pertanyaan ganda), dan 2) pendidikan seks anak sehari-hari (terdiri atas 11 pertanyaan ganda dan uraian/esai). ♦ Bulan Agustus 2005, meliputi konfirmasi ulang melalui wawancara dengan Ibu Kepala Sekolah dan beberapa guru SD Negeri PAKEL Yogyakarta.

Gambar 4.

Pementasan Wayang Kagok yang Diikuti oleh Siswa-siswa SD Negeri PAKEL Yogyakarta, 25 Juni 2005

Dalam angket yang kami dibagikan, terdapat 16 butir pertanyaan yang mencakup lima buah pertanyaan berkaitan dengan cerita Wayang Kagok dan

PKMP-1-9-8

sebelas buah pertanyaan berkaitan dengan pengetahuan tentang pendidikan seks anak-anak sehari-hari. Dari 16 butir pertanyaan terdapat dua buah pertanyaan bersifat uraian (esai) dan 14 buah pertanyaan lainnya bersifat pilihan ganda. Dalam cerita Wayang Kagok dikisahkan bahwa Cangik merasa khawatir terhadap perubahan perilaku Limbuk, anak perempuannya. Namun, Limbuk justru bersikap diam dan tidak menceritakan kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri, bahwa dirinya pernah mendapat perlakuan tak senonoh dari Bilung, pamannya. Tabel 1 menunjukkan pendapat responden putra sebanyak 7 siswa (36,8 persen) dan responden putri sebanyak 4 siswa (16 persen) bahwa Limbuk menjadi pendiam. Selanjutnya dalam tabel yang sama, ada pendapat responden putra sebanyak 10 siswa (52,6 persen) dan responden putri sebanyak 17 siswa (68 persen) bahwa Limbuk takut untuk menceritakan perlakuan jahat Bilung atas dirinya. Sementara itu responden putra sebanyak 2 siswa (10,6 persen) dan responden putri 3 siswa (12 persen) memberi jawaban, yaitu Limbuk merasa bahagia. Sampling error sebanyak 1 siswa dari responden putri sedangkan responden putra tidak ada. Berdasarkan data tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pendidikan seks melalui Wayang Kagok cukup berhasil diapresiasi oleh anak usia sekolah dasar (SD). Hal ini membuktikan bahwa anak perempuan amat rentan terhadap kekerasan seksual, seperti yang dialami oleh Limbuk. Ditambah lagi, mereka yang mengalami sexual abuse cenderung mengalami gangguan psikologis. Tabel 1. Kekhawatiran Cangik Akan Perilaku Limbuk Apa yang membuat Cangik khawatir akan perubahan perilaku Limbuk? Limbuk menjadi Pendiam Limbuk takut untuk menceritakan perlakuan Bilung Limbuk merasa bahagia Tidak menjawab Jumlah

Jumlah

Putri Persentase

Putra Jumlah

Persentase

4

16 %

7

36,8 %

17 3 1 25

68 % 12 % 4% 100 %

10 2 0 19

52,6 % 10,6 % 0% 100 %

Dari tabel 1 kita bisa menyimpulkan bahwa bukti dari adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bilung terhadap Limbuk sangat jarang terlihat, kecuali terjadi kehamilan karena perkosaan. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar anak seperti Limbuk, tidak dapat memberitahukan apa yang mereka alami. Ini artinya bahwa orang dewasalah yang seharusnya peka terhadap tanda-tanda kekerasan seksual terhadap anak. Tanda-tandanya sangat beragam, mulai dari sulitnya berkonsentrasi di sekolah, menyendiri, sulit tidur, depresi, tidak punya nafsu makan, dan sebagainya. Pada usia 9-12 tahun, organ-organ seksual anak sudah berkembang secara matang. Hal ini menjadikan anak ingin memahami elemen-elemen organ reproduksi yang berhubungan dengan cara membersihkan, menjaga, dan merawatnya. Oleh sebab itu, Wayang Kagok digunakan sebagai media pendidikan seks untuk membantu anak-anak mengenali organ reproduksinya. Sebelum pagelaran dimulai, diadakan survei secara lisan tentang pemahaman anak akan

PKMP-1-9-9

organ reproduksi mereka. Hasil yang didapatkan dari survei tersebut ditampilkan dalam tabel 2a berikut ini. Tabel 2a. Pemahaman Anak Tentang Organ Reproduksi Apakah kamu tahu vagina atau penis itu apa? Ya Tidak Jumlah

Putri Jumlah 2 20 22

Putra Persentase 9,1% 90,9% 100%

Jumlah 1 21 22

Persentase 4,5% 95,5% 100%

Pada umumnya responden belum memahami benar apakah penis atau vagina itu. Hal itu dikarenakan pada umumnya orangtua ataupun guru lebih sering mengasosiasikannya sebagai ‘burung’ atau ‘anu’ pada anak-anak untuk menjawab keingintahuan anak akan organ reproduksi mereka sendiri. Sementara itu, dalam kuesioner yang kami bagikan setelah pagelaran, kami kembali menanyakan tentang organ reproduksi kepada seluruh responden. Setelah menggelar pementasan Wayang Kagok dengan judul “Kenali Tubuhku”, kami peroleh data responden tentang pemahamannya terhadap organ reproduksi dalam tabel berikut. Hasil yang kemudian kami peroleh kami tampilkan dalam dalam tabel 2b berikut. Tabel 2b. Pemahaman Anak Tentang Organ Reproduksi Apakah kamu tahu vagina atau penis itu apa? Ya Tidak Jumlah

Putri Jumlah 20 2 22

Putra Persentase 90,9% 9,1% 100%

Jumlah 11 8 19

Persentase 57,9% 42,1% 100%

Tabel 2b tersebut menunjukkan bahwa secara garis besar responden telah memahami organ reproduksinya. Terungkap bahwa responden putri lebih memahami organ reproduksinya dibandingkan responden putra. Responden putri lebih termotivasi untuk mencari informasi seputar menstruasi agar pada saat mengalaminya nanti mereka sudah merasa siap. Keingintahuan itu menyebabkan anak putri lebih paham akan organ reproduksinya. Pada umumnya orangtua tidak menyebut organ reproduksi dengan istilah vagina atau penis. Hal ini menyebabkan anak merasa tabu dan malu dengan istilah vagina dan penis. Padahal, istilah vagina dan penis bukanlah kata yang perlu disembunyikan, terutama untuk menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak. Isi pagelaran Wayang Kagok berusaha mengungkapkan organ reproduksi manusia secara jelas dan gamblang dengan penyebutan vagina dan penis. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak memahami organ reproduksi mereka dengan tidak malu-malu karena membicarakan seputar vagina dan penis bukanlah sesuatu yang patut dipermalukan. Selain itu, ketika anak sudah merasa biasa dengan istilah vagina dan penis, diharapkan anak memiliki keberterimaan yang tinggi untuk menerima materi pendidikan seks daripada jika mereka asing dengan penyebutan vagina dan penis. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Ibu Kepala Sekolah dan beberapa guru SD Negeri PAKEL Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa siswa-siswi SDN Pakel Yogyakarta mampu memahami bagaimana etika

PKMP-1-9-10

yang benar dalam bergaul. Manfaat pagelaran Wayang Kagok yang secara riil dapat terlihat adalah dengan berkurangnya kejadian yang sebelumnya sering terjadi yaitu saat anak-anak laki-laki, dengan maksud bercanda, menyibakkan rok anak-anak perempuan dengan penggaris sesekali. Pendapat para guru SD Negeri PAKEL Yogyakarta mengenai pagelaran Wayang Kagok yang pernah diadakan sangat positif. Mereka mendukung pagelaran tersebut meskipun ada catatan yang dapat disampaikan kepada peneliti yaitu sebaiknya materi cerita yang disampaikan pada pagelaran tersebut mendekati kondisi yang sebenarnya serta jalan ceritanya lebih diperdalam karena menurut pengamatan kepala sekolah, siswa-siswanya masih belum dapat memahami detail cerita dalam pagelaran Wayang Kagok tersebut. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman anak-anak akan pagelaran Wayang Kagok berjudul “Jangan Ganggu Aku” sudah baik. Dari lima pertanyaan yang berkaitan langsung dengan isi cerita pementasan tersebut (pertanyaan nomor 1-5) diketahui bahwa tingkat pemahaman anak cukup tinggi. Dari hasil jawaban responden atas tanda-tanda kekerasan seksual yang dialami oleh Limbuk, kita bisa mengetahui bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan seksual cenderung akan menjadi pendiam, suka menyendiri dan menutup diri. Hal itu kelak menyulitkan bagi si korban untuk mengungkapkan kekerasan tersebut pada orang lain. Untuk itu, kepekaan dari orang yang dewasa sangat dibutuhkan guna menolong anak-anak yang mengalami kekerasan seksual. Selanjutnya, sebelas pertanyaan yang diberikan pada responden (pertanyaan nomor 6-16) tentang pendidikan seks untuk anak sehari-hari dapat dijawab dengan relatif baik. Anak-anak telah mengerti bagaimana bersikap defensif dan menjaga organ reproduksi mereka jika ada orang lain yang bermaksud jahat terhadap mereka. Anak-anak juga telah memahami bahwa secara fisik, antara anak laki-laki dan perempuan berbeda. Akan tetapi, pemahaman mereka tentang organ reproduksi mereka sendiri dan orang lain bisa dibilang masih rendah. Dari konfirmasi atau pemberian umpan balik dari pihak SD Negeri PAKEL Yogyakarta melalui Ibu Kepala Sekolah diperoleh respon positif dari guru atas pagelaran Wayang Kagok yang mampu memberikan manfaat bagi siswa sekolah tersebut. Manfaat yang dimaksud ialah masukan-masukan tentang etika bergaul yang tepat antarlawan jenis. Tindakan lanjutan (follow up) dari sekolah tersebut adalah pemberian pelajaran atau materi budi pekerti dan etika lewat mata pelajaran agama dan kegiatan ekstrakurikuler, seperti TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). DAFTAR PUSTAKA Yayasan Sosial Kekayon Yogyakarta. t.th. Buku Panduan Museum Wayang Kekayon Yogyakarta. Yogyakarta: tanpa nama penerbit. Darno. 2005. “Pendidikan Seksual dalam Kurikulum Sekolah”. Makalah untuk Seminar Mengemas Pendidikan Seks di Sekolah di Ruang Utama Lantai III Pemkot Yogyakarta, 28 Maret 2005, diselenggarakan oleh PKBI DIY. Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. 1994. Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications.

PKMP-1-9-11

Kompas. “Mematahkan Mitos, Menghormati Anak sebagai Manusia” edisi 30 Juli 2003. _______ “Kekerasan Seksual terhadap Anak Kian Merajalela” edisi 26 Juli 2004. _______. “Saat Anak Mengenal Tubuhnya Sendiri” edisi 26 Juli 2004. Miles and Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis (2nd ed.). California: Sage Publications, Inc. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Purwatiningsih, Sri. 2005. “Analisis Kebutuhan Remaja Akan Pelayanan Kesehatan Reproduksi”, Bening edisi Oktober 2004, vol. V No. 2, hal. 812. Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Suminar, Dyah. 2005. “Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah”. Makalah untuk Seminar Mengemas Pendidikan Seks di Sekolah di Ruang Utama Lantai III Pemkot Yogyakarta, 28 Maret 2005, diselenggarakan oleh PKBI DIY. Thomassen, Dorine. 2004. “Yogyakarta Kota Pacaran: Gender dan Seksualitas Remaja: Pengetahuan, Ide dan Perilaku”, Bening edisi Oktober 2004, vol. V No. 2, hal. 2-7. Wahyuni, Budi. 2005. “Pendidikan Seks di Sekolah, Sebuah Pengalaman: Pemenuhan HAM yang Terabaikan”. Makalah untuk Seminar Mengemas Pendidikan Seks di Sekolah di Ruang Utama Lantai III Pemkot Yogyakarta, 28 Maret 2005, diselenggarakan oleh PKBI DIY.

PKMP-1-10-1

PENGOLAHAN AIR BAKU MENJADI AIR MINUM DENGAN TEKNOLOGI MEMBRAN MIKROFILTRASI DAN ULTRAFILTRASI Nila Sari Mahardani, Ferdyan Hijrah Kusuma Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS, Surabaya

ABSTRAK Air baku PDAM Surabaya yang berasal dari Kali Surabaya telah tercemar limbah dari kawasan industri Driyorejo (Kali Tengah). Penurunan kualitas air Kali Tengah (anak Kali Surabaya) berpengaruh pada kualitas air PDAM Surabaya sehingga dapat mengancam konsumen PDAM. Hal ini menyebabkan diperlukannya teknologi untuk menghasilkan kualitas air PDAM yang dapat langsung diminum. Teknologi yang digunakan adalah teknologi membran dengan variasi jenis membran Mikrofiltrasi, Ultrafiltrasi dan rangkaian membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi. Jenis membran yang menghasilkan persen rejeksi kontaminan terbaik adalah rangkaian KFS-MF-UF untuk parameter pH, suhu, TDS, TSS, dan E. coli. Sementara untuk parameter warna dan kekeruhan, yang terbaik dihasilkan oleh rangkaian KFS-MF. Pengolahan air dengan teknologi membran telah menghasilkan air olahan dengan kualitas air minum yang disyaratkan KEPMENKES RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 (untuk 7 parameter penting, yaitu pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E. coli), bukan hanya sekedar menghasilkan air bersih, sehingga air olahan teknologi membran dapat dikonsumsi manusia secara aman. Kata kunci: air baku, air minum, teknologi membran, mikrofiltras, ultrafilrasi PENDAHULUAN Kali Surabaya merupakan sumber air baku air minum bagi kota Surabaya. Air minum sangat penting dalam kehidupan manusia. Produsen air bersih yang ada di Surabaya saat ini, PDAM, hanya mampu menghasilkan air bersih tetapi bukan air yang dapat langsung di minum. Hal ini, salah satunya, disebabkan oleh air baku PDAM yang berasal dari Kali Surabaya, telah tercemar limbah dari kawasan industri Driyorejo (Kali Tengah). Sehingga penurunan kualitas air Kali Tengah (anak Kali Surabaya) berpengaruh pada kualitas air PDAM Surabaya sehingga dapat mengancam konsumen PDAM. Dalam proses pengolahan air baku menjadi air minum, diperlukan pengolahan yang memenuhi standar kualitas yang ada, agar produk yang dihasilkan berkualitas tinggi dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Pengolahan air minum yang sudah diterapkan di Indonesia berupa pengolahan konvensional yang terdiri dari Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi dan Filtrasi. Akan tetapi pengolahan konvensional ini memiliki keterbatasan seperti membutuhkan luas lahan besar, operasional dan perawatan yang rumit hingga kualitas air yang masih dibawah standar. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk mengembangkan lebih jauh bahkan hingga memodifikasinya dengan teknologi baru. Akhir-akhir ini, salah satu teknologi yang banyak digunakan di negaranegara maju adalah Teknologi Membran. Teknologi ini merupakan teknologi

PKMP-1-10-2

bersih yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan Teknologi membran ini dapat mengurangi senyawa organik dan anorganik yang berada dalam air tanpa adanya penggunaan bahan kimia dalam pengoperasiannya. (Wenten 1999). Inovasi baru yang akan dilakukan yaitu memodifikasi pengolahan secara konvensional (Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi) dengan membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi untuk mendapatkan air dengan kualitas yang jauh lebih baik bahkan dapat langsung di minum. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besarkah efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi? 2. Bagaimanakah korelasi masing-masing parameter air minum dikaitkan dengan jenis membran yang berbeda yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi? 3. Dapatkah menghasilkan air dengan kualitas lebih baik yaitu tidak hanya air yang bersih melainkan juga air minum yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/MENKES/SK/VII/2002? Tujuan yang ingin dicapai melalui Penelitian ini adalah: 1. Menguji efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi. 2. Mengetahui korelasi masing-masing parameter air minum dikaitkan dengan jenis membran yang berbeda yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi . 3. Mendapatkan air dengan kualitas lebih baik yaitu tidak hanya air yang bersih melainkan juga air minum. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini dapat menghasilkan air minum dari teknologi membran yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/ MENKES/SK/VII/2002. Pengolahan pendahuluan berupa proses koagulasi dan flokulasi secara umum merupakan suatu proses penambahan bahan kimia pembentuk flok pada air minum atau air buangan, untuk bergabung dengan padatan koloid yang sulit mengendap, sehingga dapat dihasilkan flok-flok yang mudah mengendap serta proses pengendapan secara perlahan dari suspended solid (Reynolds 1996). Kata membran berasal dari bahasa Latin “Membrana” yang berarti potongan kain. Saat ini istilah membran didefinisikan sebagai lapisan tipis (film) yang fleksibel, pembatas antara dua fasa yang bersifat semipermiabel. Membran dapat berupa padatan atau cairan dan berfungsi sebagai media pemisahan yang selektif berdasarkan perbedaan koefisien difusifitas, muatan listrik atau perbedaan kelarutan (Wenten 1999). Secara definitif menurut Wenten (1999), membran memiliki arti sebagai lapisan tipis yang berada diantara dua fasa dan berfungsi sebagai pemisah selektif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

PKMP-1-10-3

Gambar 1. Pemisahan Partikel oleh Membran (Wenten 1999).

Pengelompokkan membran dapat dilakukan atas dasar berbagai hal. Atas dasar material yang digunakan, membran dapat dikelompokkan menjadi membran polimer, liquid membran, padatan (keramik) dan membran penukar ion (Scott 1995). Berdasarkan konfigurasinya, membran dapat dikelompokkan menjadi membran lembaran, lilitan spiral (spiral wound), tubular, dan emulsi. Dan berdasarkan ukuran pori, membran dapat dikelompokkan menjadi mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan nanofiltrasi (Wenten 1999). Membran mikrofiltrasi (MF) mengalami perkembangan yang sangat cepat pada 40-50 tahun terakhir ini. Membran MF dikomersilkan pertama kali pada tahun 1927 oleh Sartorius Werke di Jerman. Membran MF dapat dibedakan dari membran reverse osmosis (RO) dan ultrafiltrasi (UF) berdasarkan partikel yang dapat dipisahkannya. Membran mikrofiltrasi dapat dibuat dari berbagai macam material, baik organik maupun anorganik. Membran anorganik banyak digunakan karena ketahanannya pada suhu tinggi dan zat kimia. Membran MF memiliki ukuran pori antara 0,05-10 μm dan tebal antara 10-150 μm. Membran Polyolefin (PE) adalah salah satu kelas terpenting dari material polimer. Beberapa keuntungan dari membran polyolefine adalah : ƒ Tidak mengeluarkan gas yang berbahaya apabila dibakar ƒ Terdiri dari beberapa ukuran diameter pori, dari 0.05 sampai 0.5 μm, yang dipakai dalam penelitian ini adalah 0,1 μm. ƒ Tidak terdegradasi oleh larutan asam maupun basa. ƒ Membran polyolefine mudah untuk dibersihan dan tidak mudah robek. Membran ultrafiltrasi (UF) memiliki peranan penting pada pengolahan air, baik air baku menjadi air minum maupun pengolahan air limbah. Hal ini disebabkan ukuran pori membran yang sangat kecil untuk bisa menahan (mereject) partikel-partikel kecil berukuran makromolekul hingga virus sekalipun dari larutan. Membran ini cocok diterapkan untuk memisahkan senyawa berberat molekul tinggi dari senyawa berberat molekul rendah atau memisahkan makromolekul dan koloid dari larutannya. Tekanan kerja yang dibutuhkan relatif besar yaitu 1-10 bar. Bahan ini terbuat dari selulosa diasetat dan selulosa triasetat. Peningkatan kandungan acetyl memberikan stabilitas kimia dan rejeksi garam yang baik, namun akan memberikan penurunan fluks (Nasrul 2002). Gambar 2 memperlihatkan struktur kimia dari selulosa asetat. Ada beberapa keuntungan selulosa asetat dan derivatnya sebagai material membran yaitu : ƒ Sifatnya merejeksi fluks dan garam yang tinggi, kombinasi yang jarang ada pada material membran lainnya. ƒ Relatif mudah untuk manufaktur. ƒ Bahan mentahnya merupakan sumber yang dapat diperbarui (renewable)

PKMP-1-10-4

Gambar 2. Struktur Kimia Selulosa Asetat (Rautenbach 1989).

Selain memiliki keuntungan, juga ada kerugiannya yaitu : Memiliki range temperatur yang sempit. Temperatur maksimum adalah 30 o C. Temperatur yang tinggi akan mempercepat degradasi. Yang tidak menguntungkan dari hal tersebut adalah perolehan fluks (karena temperatur tinggi menyebabkan difusitas semakin tinggi dan viskositas menjadi lebih rendah, keduanya menyebabkan fluks lebih banyak) dan sanitasi karena keadaan ini menghasilkan keadaan istimewa bagi pertumbuhan mikroba. ƒ Memiliki range pH yang cukup pendek. Kebanyakan dibatasi pada pH antara 2-8, kadang-kadang 3-6. ƒ Resistansinya lemah terhadap klorin, pada keadaan kontinu hanya tahan hingga konsentrasi 1 mg klorin/L. Oksidasi klorin terhadap selulosa asetat menyebabkan waktu operasi menjadi sangat sebentar. ƒ Selulosa asetat mengalami creep atau fenomena pemadat yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan material lainnya yaitu secara gradual kehilangan properti membran (khususnya fluks) pada tekanan diatas waktu operasinya. ƒ Selulosa asetat sangat biodegradable yaitu sangat rentan terhadap mikroba yang terdapat di alam. Membran ini biasanya terbuat dari polimer dan teknik yang digunakan dalam pembuatannya adalah teknik inversi fasa. Polimer ruang umum digunakan antara lain polisulfon, polietersulfon, polivinilidin fluorida, poliakrilonitril, selulosa asetat, poliamida, polieter keton dan lain sebagainya. Selain polimer material organik lainnya yang dapat digunakan seperti alumina, zirconia juga mulai digunakan akhir-akhir ini. Adapun karakteristik membran MF dan UF terdapat pada Tabel 1 berikut ini.

ƒ

Tabel 1. Karakteristik Membran Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi. Range Struktur Kekuatan Mekanisme Operasi Membran Operasi Dorong Pemisahan (Ukuran Pori) Tipikal (μm) MF Perbedaan saringan Makropori 0,08-2,0 Tekanan (> 50 nm) hidrostatik

UF

Perbedaan tekanan hidrostatik

Sumber: Wenten (1999)

Saringan, difusi

Mikropori (< 2 nm)

0,001-0,01

Konstituen Yang Direduksi Air + TSS,Kekeruha Senyawa n, Protozoa, terlarut Oocysts, Cysts, Beberapa Bakteri dan virus Air + Molekulmolekul molekul kecil, sangat kesadahan dan kecil, virus cairan ionik

Deskripsi Permeat

PKMP-1-10-5

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini akan dibandingkan efektifitas antara variabel jenis membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi dan gabungan antara membran ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi. Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran mikro filtrasi dapat dilihat pada Gambar 3. Digunakan jenis pengolahan pendahuluan yaitu KFS. Sedangkan membran yang digunakan adalah mikrofiltrasi.

Feeding Tank

Slow Mix dan Sedimentasi

Flash Mix

Speed Controller

Wadah Efluen KFS Membran MF Pressure Gauge

Suction Pump

Air baku

Valve

Reaktor Membran MF

Air Pump

Gambar 3. Skema Sistem KFS-Membran MF.

Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran ultrafiltrasi dapat dilihat pada Gambar 4. Digunakan jenis pengolahan pendahuluan yaitu koagulasi flokulasi (KFS). Sedangkan membran yang digunakan adalah ultrafiltrasi. Keduanya terpasang pada rangkaian sistem. Proses awalnya tidak jauh berbeda dengan membran mikrofiltrasi hanya ada perbedaan dalam jenis penggunaan membrannya.

Wadah Permeat

PKMP-1-10-6

Feeding Tank

Kran air Slow Mix dan Sedimentasi

Resirkulasi Retentat Flash Mixing

By Pass pembuangan

Reaktor Membran UF

Resirkulasi pendingin Wadah Efluen KFS Pressure Gauge Valve

Air baku Air buangan

Pompa

Resirkulasi

Wadah Permeat

Gambar 4. Skema Sistem KFS-Membran UF.

Skema rangkaian alat proses membran untuk variabel jenis membran mikro filtrasi dan ultra filtrasi dapat dilihat pada Gambar 5. Digunakan jenis pengolahan pendahuluan yaitu KFS. Sedangkan membran yang digunakan adalah mikrofiltrasi dan ultra filtrasi. Rangkaian sistem adalah sebagai berikut:

PKMP-1-10-7

Feeding Tank

Slow Mix dan Sedimentasi

Speed Controller

Flash Mix

Membran MF pembuangan Resirkulasi pendingin

Suction Pump

Wadah Efluen KFS

Reaktor Membran MF By Pass

Wadah Permeat MF

Air Pump

Reaktor Membran UF

Pressure Gauge Valve

Air baku

Pompa

Air buangan Resirkulasi

Wadah Permeat

Kran air

Gambar 5. Skema Sistem KFS-Membran MF –Membran UF.

Prosedur penelitian yang dilakukan yaitu air baku yang digunakan diambil dari intake PDAM Ngagel Surabaya. Air baku tersebut dianalisa di laboratorium untuk mengetahui kualitasnya. Parameter yang dianalisa adalah pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli. Kemudian air baku tersebut dimasukkan dalam feeding tank yang dialirkan menuju wadah flash mix (koagulasi) secara gravitasi dengan kecepatan pengadukan 60 rpm selama 30 detik. Pada wadah tersebut akan dibubuhkan koagulan tawas (alum) sesuai dengan dosis optimum yang telah dihasilkan pada analisa jartest. Dari koagulasi, air mengalir secara gravitasi ke slow mix (flokulasi) dan secara perlahan-lahan mulai terbentuk flok-flok halus dengan kecepatan pengadukan 20 rpm selama 5 menit (Jahn, 1979) . Proses ini berlangsung terus-menerus hingga air mengalir menuju bak sedimentasi. Pada bak sedimentasi ini, flok-flok berukuran semakin besar sehingga dapat cepat mengendap. Di sini, air olahan diendapkan selama ± 1 jam lamanya. Supernatan dari sedimentasi ini akan ditampung pada bak penampung efluen koagulasiflokulasi-sedimentasi (KFS). Selanjutnya, dilakukan proses filtrasi dengan teknologi membran. Untuk rangkaian KFS-MF, supernatan dialirkan ke reaktor membran MF dengan menggunakan pompa hisap dengan tekanan sebesar 1,5 bar. Untuk rangkaian KFS-UF, supernatan dialirkan ke membran UF dengan menggunakan pompa tekan dengan variasi TMP sebesar 1,6 -3,6 bar. Sedangkan untuk rangkaian KFSMF-UF, digunakan pompa hisap dengan tekanan sebesar 1,5 bar untuk

PKMP-1-10-8

mengalirkan supernatan ke reaktor membran MF, kemudian digunakan pompa tekan dengan variasi TMP sebesar 1,6 -3,6 bar untuk mengalirkan permeat MF ke membran UF. Pompa hisap berfungsi untuk menghisap hasil efluen KFS (supernatan) yang telah dialirkan ke dalam reaktor membran MF yang kemudian hasilnya (permeat) akan ditampung dalam ember kecil.Sedangkan pompa tekan berfungsi untuk mengalirkan efluen KFS (rangkaian KFS-UF) atau permeat MF (rangkaian KFSMF-UF) ke dalam reaktor membran UF yang kemudian hasilnya (permeat UF) akan ditampung dalam wadah kecil. Sistem dirancang sedemikian rupa dengan resirkulasi sehingga permeat (efluen membran MF/UF/MF dan UF) tertampung pada wadah tersendiri sedangkan retentat kembali menuju wadah efluen KFS. Selanjutnya permeat (efluen membran MF, UF, dan MF-UF)yang telah tertampung diambil sampel ± 130 mL dan dianalisa 7 parameter (pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli). Hasil analisa akhir yang berasal dari permeat MF, UF, dan MF-UF dibandingkan dengan standar kualitas air minum (Kepmenkes No.907/MENKES/SK/VII/2002) agar dapat diketahui hasilnya apakah layak disebut sebagai air minum. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian, air baku dianalisa untuk mengetahui karakteristiknya. Parameter yang dianalisa adalah pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan E. coli. Tabel 2 berikut memperlihatkan karakteristik air baku. Tabel 2. Hasil Analisa Karakteristik Air Baku Parameter pH Suhu air Suhu ruang Warna Kekeruhan TSS TDS E.coli

Satuan 0

C

Mg/LPtCo NTU mg/L mg/L MPN/100 mL

Uji I 6,98 28,4 28 18,27 112 157 283 7,08x108

Air Baku Uji II Uji III 7,06 7,2 28,8 28,6 28 28 17,86 18,05 98 117 148 139 268 262 -

-

Rata-rata 7,08 28,6 28 18,06 109 148 271 7,08x108

KEPMENKES 907/2002 6,5-8,5 Suhu ruang ± 30C Maks. 15 Maks. 5 Maks. 50 Maks. 1000 Maks. 0

Dari hasil analisa diatas menunjukkan bahwa kualitas air tidak memenuhi standar kualitas air minum (Kepmenkes No. 907/MENKES/SK/VII/2002) terutama untuk parameter warna, kekeruhan, TSS dan E.coli, maka dari itu perlu dilakukan pengolahan sebelum dikonsumsi. Kemudian dilakukan pengolahan pendahuluan dengan tujuan untuk menurunkan kandungan kontaminan yang terkandung dalam air baku sebelum menuju proses pengolahan lanjut menggunakan teknologi membran. Pengolahan pendahuluan yang dilakukan menggunakan sistem KFS. Pengolahan pendahuluan menggunakan KFS ini diawali dengan melakukan analisa jartest yang ditujukan untuk menentukan dosis optimum dari koagulan.. Koagulan yang digunakan adalah alum.. Hasil analisa jartest selengkapnya pada Tabel 3 dan Gambar 6.

PKMP-1-10-9

Tabel 3. Hasil Analisa Jartest

No.

Dosis Alum (mg/L)

pH

Suhu (0C)

Warna (mg/L PtCo)

Kekeruhan (NTU)

1 2 3 4 5 6 7 8

40 50 60 70 80 90 100 110

6,75 6,71 6,65 6,56 6,46 6,51 6,65 6,74

27,1 27,1 27,1 27,2 27,1 27,2 27,1 27,2

4, 00 2, 75 2,13 1,81 1,34 1,81 2,13 3,38

2,85 2,20 1,05 0,85 0,55 1,05 1,35 1,80

GRAFIK ANALISA KEKERUHAN HASIL JAERTEST

GRAFIK ANALISA WARNA HASIL JARTEST 3

4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

2.5 2 1.5 1 0.5 0

30

40

50

60

70

80

90

100

Gambar 6. Hasil Analisa Jartest.

110

120

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

D O SI S KO A G U LA N ( mg / L)

D OS I S K OA GU L A N ( m g / L )

Pada gambar di atas terlihat kekeruhan menurun seiring dengan penambahan koagulan hingga 80 mg/L, hal ini disebabkan penambahan koagulan mempercepat timbulnya flok. Sedangkan setelah dosis koagulan di atas 80 mg/L, kekeruhannya meningkat kembali. Hal ini dikarenakan kondisi air sudah jenuh yang menyebabkan flok terpecah kembali. Selanjutnya dilakukan pengenceran konsentrasi alum supaya memudahkan dalam mengatur flow rate pembubuhan. Pengenceran dilakukan sebanyak 5 kali sehingga konsentrasi alum yang ada menjadi 4000 ppm. Alum dengan konsentrasi 4000 ppm ini kemudian digunakan untuk KFS. Pada sistem pilot plan KFS, air baku memiliki flow rate 0,75 L/menit dan flow rate alum untuk konsentrasi 4000 ppm sebesar 15 mL/menit. Perangkat proses KFS dapat di lihat pada Gambar 7. Sedangkan hasil analisa efluen KFS yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 7. Perangkat Proses KFS.

PKMP-1-10-10

Tabel 4. Hasil Analisa Efluen dan % Rejeksi KFS Parameter pH Suhu Suhu ruang Warna Kekeruhan TSS TDS E.coli

Satuan

Air Baku

-

7,08 30 29 18,06 109 148 271 7,08x108

0

C

mg/L PtCo NTU mg/L mg/L MPN/100 mL

Efluen KFS 6,47 27,75 29 5,25 6,55 47 170 1550

% Rejeksi 70,93 93,99 68,24 37,24 99,9994

KEPMENKES 907/2002 6,5-8,5 Suhu ruang ± 30C Maks. 15 Maks. 5 Maks. 50 Maks. 1000 Maks. 0

Pada proses KFS, penambahan koagulan ini dilakukan untuk membantu pengendapan koloid, koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap secara alami karena adanya stabilitas suspensi koloidal. Hidrolisa atom Al dalam air menurut reaksi sebagai berikut : Al2(SO4)3 + 6 H2O ↔ 2 Al(OH)3 + 6 H+ + SO42Reaksi diatas menyebabkan pembebasan ion H+ sehingga pH larutan berkurang. Jika dilihat pada Tabel 3 diatas, dimana pH air baku 7,08 kemudian pH efluen KFS menjadi 6,47, hal ini sesuai dengan proses hidrolisa atom Al seperti telah dijelaskan diatas. Selain itu, pH 6,47 untuk efluen KFS ini menunjukkan bahwa berada pada kondisi rentang pH dimana alum dapat bekerja optimum yaitu berkisar antara 6-8 (Alaerts dan Santika 1987). Setelah air baku diolah menggunakan pengolahan pendahuluan, seelanjutnya dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air baku tersebut menggunakan teknologi membran, dalam hal ini membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi. Membran mikrofiltrasi (MF) dan ultrafiltrasi (UF).

Gambar 8. Membran Mikrofiltrasi dan Perangkat Membran Mikrofiltrasi

Gambar 9. Membran Ultrafiltrasi dan Perangkat Membran Ultrafiltrasi

PKMP-1-10-11

Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji kompaksi dan permeabilitas untuk mengetahui karakteristik membran yang dihasilkan. Berdasarkan uji kompaksi dan permeabilitas terhadap membran MF dan UF. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa nilai rejeksi untuk membran MF yang paling tinggi dicapai oleh tekanan hisap pompa sebesar 1,5 bar (Susilowati, 2005). Luas permukaan dari membran adalah 0.0828 m2 sehingga dihasilkan fluks sebesar 105,797 L/m2.jam. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 berikut. 120 100 80 60 40 20 0 0

20

40

60

80

W akt u ( menit )

Gambar 10. Uji Kompaksi Membran MF dengan Tekanan Hisap Pompa 1,5 bar.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui untuk uji kompaksi ini digunakan TMP 1,25 bar karena membran UF memiliki range TMP 1-10 bar sehingga digunakan TMP minimum untuk mendapatkan fluks konstan yang paling rendah (Arfiantinosa, 2004). Hasil uji kompaksi untuk membran ultrafiltrasi ini dapat dilihat pada gambar 11 berikut.

Fluks (L/m 2 .jam)

102 82 62 42 22 2 0

2

4

6

8

10

Waktu (me nit)

Gambar 11. Uji Kompaksi Membran Ultrafiltrasi.

Nilai permeabilitas membran UF adalah 10-50 L/m2.jam.bar (Mulder, 1996). Dan berdasarkan penelitian sebelumnya untuk TMP 1,6-3,6 nilai permeabilitasnya antara 13-25 yang menunjukkan bahwa membran yang digunakan merupakan membran UF. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Nilai Permeabilitas Membran UF Membran UF TMP K No. (bar) (L/m2.jam.bar) KFS-1 1,6 14,208 KFS-2 2,0 17,891 KFS-3 2,4 14,683 KFS-4 2,8 21,398 KFS-5 3,2 24,291 KFS-6 3,6 19,638 Sumber : Hasil Penelitian (Dipareza, 2004).

PKMP-1-10-12

Rangkaian proses membran dan perbandingan hasil analisa permeat dapat dilihat pada Gambar 12 dan Tabel 6.

Gambar 12.

Rangkaian Proses Membran dan Perbandingan Air Baku, Efluen KFS, Permeat MF, UF, dan Gabungan MF-UF

Tabel 6. Hasil Analisa Permeat dan % Rejeksi Membran MF, UF dan MF-UF Parameter pH Suhu air Suhu ruang Warna Kekeruhan TSS TDS E.coli

Satuan

Air Baku

-

7,08 30 29

0

C

mg/L PtCo NTU mg/L mg/L MPN/100 mL

Permeat % Permeat % Permeat % KEPMENKES MF Rejeksi UF Rejeksi MF-UF Rejeksi No. 907/2002 7,81 6,40 7,68 6,5-8,5 26,5 28,60 29 deviasi 3 28 28 28 -

18,06

0,41

97,73

2,13

88,21

2,12

88,26

15

109 148 271

0,54 ND 150

99,5 100 44,65

1,00 ND 77,5

99,08 100 71,4

4,76 ND 75,3

95,63 100 72,21

5 50 1000

7,08x108

0

100

0

100

0

100

0

KESIMPULAN Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu berdasarkan variabel jenis membran yang digunakan dalam penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa jenis membran yang menghasilkan persen rejeksi kontaminan terbaik adalah rangkaian KFS-MF-UF untuk parameter pH, suhu, TDS, TSS, dan E. coli. Sementara untuk parameter warna dan kekeruhan, yang terbaik dihasilkan oleh rangkaian KFS-MF. Berdasarkan KEPMENKES No. 907/MENKES/SK/VII/2002, maka dapat diketahui bahwa permeat dari ketiga variasi sistem membran yaitu membran mikrofiltrasi, membran ultrafiltrasi, dan rangkaian membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, telah memenuhi persyaratan air minum untuk 7 parameter penting, yaitu pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E.coli. Pengolahan air dengan teknologi membran telah menghasilkan air olahan dengan kualitas air minum yang disyaratkan (untuk 7 parameter penting, yaitu pH, suhu, warna, kekeruhan, TSS, TDS, dan kandungan bakteri E. coli), bukan hanya sekedar menghasilkan air bersih, sehingga air olahan teknologi membran dapat dikonsumsi manusia secara aman.

PKMP-1-10-13

DAFTAR PUSTAKA Alaerts G, Santika SS. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional. Arfiantinosa N. 2004. Aplikasi Membran Ultrafiltrasi Untuk Pemurnian Air. Tugas Akhir. Surabaya: Teknik Lingkungan ITS. AWWA. 1998. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 20th edition. USA Dipareza A. 2004. Studi Pengaruh Tans Membrane Pressure dan Sistem Pengaliran Terhadap Fluks Pada Membran Ultrafiltrasi. Tugas Akhir.. Surabaya: Teknik Lingkungan ITS. Jahn. 1979. Traditional Water Purification in Tropical Developing Countries : Existing Methods and Potential Application. GTZ. Eschborn Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology . 2nd edition. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. Nasrul. 2002. Kemampuan Membran Selulose Asetat Sebagai Media Filter Terhadap Penyisihan Kekeruhan dan Escheria Coli Pada Proses Pemurnian Air. Thesis. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS. Rautenbach RR, Albrecht. 1989. Membrane Process. Translated by Valerie Cottrel. John Willey and Sons Reynold, Richards. 1996. Unit Operations and Process in Environmental Engineering. 2nd editon. PWS Publishing Company. Susilowati. 2005. Studi Pengolahan Lindi LPA Benowo Dengan Menggunakan Koagulan Biji Kelor (Moringa oleifera) dan Membran Mikrofiltrasi. Tugas Akhir. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS. Scott K. 1995. Handbook of Industrial Membrane. 1st edition. Elsevier Advanced Tecnology. Wenten IG. 1999. Teknologi Membran Industri. Bandung.

PKMP-1-11-1

PEMANFAATAN PROTEIN WHEY MENJADI EDIBLE FILM COATING UNTUK MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAGING AYAM Erwin Wieddyanto, Ermy Indah S., Esti W., dan Siti Khoirul Z Jurusan Teknologi Hasil Ternak, UNIBRAW, Malang ABSTRAK Whey merupakan hasil samping dari pembuatan keju yang selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Whey keju banyak mengandung protein jenis laktoglobulin yang merupakan bahan dasar pembuatan edible film. Protein whey menghasilkan film yang transparan, lunak, fleksibel dan sifat penahan aroma dan oksigen yang baik pada kelembaban relatif yang rendah, sehingga dapat mempertahankan integritas daging. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan protein whey keju yang lebih optimal. Mengetahui sifat edible film yang memiliki WVP yang rendah dengan penambahan lemak dan edible film protein whey keju yang tidak mudah larut dalam air melalui denaturasi panas. Penerapan edible film dari protein whey untuk mempertahankan kualitas daging atau karkas selama penyimpanan dingin dan distribusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film dari protein whey yang ditambah lemak mempunyai nilai WVP yang rendah tetapi kelarutannya lebih tinggi daripada yang tanpa ditambahkan lemak. Namun demikian pada edible film yang tidak ditambahkan lemak WVPnya cenderung meningkat saat kondisi denaturasi ditingkatkan. Disamping itu dengan adanya pelapisan ini ternyata mampu menurunkan penyusutan berat dan jumlah kontaminasi mikroorganisme pada permukaan daging, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kualitas daging yang meliputi pH, Water Holding Capacity (WHC), cooking loss, dan kadar air antara daging yang dilapisi edible film dan yang tidak dilakukan pelapisan. Kesimpulan yang diperoleh yaitu protein whey yang merupakan hasil samping keju dapat dimanfaatkan menjadi edible film. Edible film ini dapat diaplikasikan sebagai bahan pelapis daging yang dapat mempertahankan penurunan berat dan menurunkan jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi permukaan daging. Kata kunci: protein whey, edible film, daging ayam PENDAHULUAN Permasalahan utama bagi industri rumah potong ayam dan pengemasan daging unggas adalah terjadinya pengkerutan atau turunnya berat daging selama pendinginan setelah penyembelihan, penyimpanan dan distribusi. Pengkerutan karkas dapat dikendalikan melalui penyimpanan pada suhu rendah yang disertai dengan pengaturan kelembaban relatif (RH) yang tinggi dan sirkulasi udara yang minimal. Namun RH yang tinggi mengakibatkan permukaan karkas menjadi basah sehingga lebih kondusif bagi pertumbuhan bakteri, untuk melindungi permukaan karkas dari RH yang tinggi dapat menggunakan coating dengan edible film. Film dari protein whey dapat menghasilkan film yang transparan, lunak, fleksibel dan mempunyai sifat penahan aroma dan oksigen yang baik pada RH yang rendah sehingga diharapkan dapat mempertahankan integritas daging, aroma

PKMP-1-11-2

daging dan melindungi daging dari reaksi oksidasi. Meskipun demikian film dari protein whey mempunyai sifat hidrofil yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan film jenis ini kurang mampu mempertahakan kadar air daging yang disebabkan oleh tingginya permeabilitas film protein whey terhadap air. Akibatnya daging mudah mengalami pengeringan pada bagian permukaan dan terjadi penurunan berat, yang secara ekonomis sangat merugikan. Kelemahan ini dapat diatasi dengan penggabungan lipid ke dalam film protein whey baik dalam emulsi atau sebagai coating sehingga dapat mengurangi permeabilitas uap air. Penggabungan lipid ke film protein whey ditujukan untuk mengurangi sifat hidrofil dan meningkatkan sifat hidrofob film sehingga diharapkan dapat menurunkan permeabilitas terhadap uap air. Disamping itu dilakukan perlakuan pemanasan untuk mendenaturasi protein whey sehingga dapat memacu gugus sulfidril internal membentuk ikatan disulfida intermolekuler yang berperan dalam pembentukan struktur film sehingga protein whey tidak mudah larut dan integritas film dan daging yang dilapisi film portein whey dapat terjaga integritasnya serta mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme atau bahan asing yang berbahaya. Oleh karena itu dari hasil kajian film dari protein whey ini diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi whey, meningkatkan kemampuan film protein whey sebagai coating daging ayam yang dapat diterapkan untuk mempertahankan kualitas daging ayam selama pendinginan setelah pemotongan, penyimpanan dan distribusi. Disamping itu, hasil penelitian ini bisa menjadi masukan bagi para pengusaha daging agar dihasilkan produk yang bermutu tinggi melalui penggunaan edible film yang sekaligus bermanfaat bagi kesehatan karena disamping melindungi daging dari kontaminasi zat-zat polutan dan mikroorganisme juga mengandung nilai nutrisi yang tinggi. METODE PENDEKATAN Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya mulai bulan Maret sampai Oktober 2005. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, sentrifuge, pH meter, oven semi vakum, pompa vakum, teflon, cawan petri, pipet mikro, blue tip, plat kaca, besi pemberat, desiccator, inkubator, dan outoclav. Bahan yang digunakan berupa whey hasil samping keju yang diisolasi proteinnya menggunakan sentrifuge dengan pengaturan pH 2,0 menggunakan HCl 1N, minyak sawit, gliserol, dan CaCl2 20%. Protein whey (kadar 5%) sebanyak 25% (W/V aquadest) ditambah gliserol 8% (V/V protein whey) diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan ke aquadest yang sudah mengandung CaCl2 sebanyak 1% (V/V potein whey). Larutan tersebut diatur pada pH 8,0 menggunakan NaOH 0,1N. Denaturasi 90oC selama 30 menit dan distirer 250 rpm. Minyak sawit 0,5; 0,75; 1% (V/V protein whey) ditambahkan 5 menit terakhir denaturasi. Larutan film didinginkan sampai suhu ruang dan diatur pada pH 5,2 menggunakan HCl 0,1N. Larutan film dicetak pada teflon dan dikeringkan menggunakan oven semi vakum berventilasi pada suhu 34±2oC selama 24 jam (Cagri 2003). Film dikelupas dari teflon dan dilakukan pengujian WVP dan Kelarutan protein, sedangkan untuk aplikasi ke daging ayam dilakukan pencelupan potongan paha dan dada ke larutan film setelah pengaturan pH 5,2 dan seterusnya dilakukan penyimpanan ke refrigerator.

PKMP-1-11-3

Kelarutan Protein Sebanyak 500 mg sampel film ditambah NaCl 0,1M dan diaduk hingga membentuk pasta, kemudian ditambahkan NaCl 0,1M hingga volume mencapai 40 mL. pH diatur pada pH 3,0 menggunakan HCl 0,1N dan distirer 300 rpm selama 1 jam dan pH selalu dimonitor. Larutan dimasukkan labu ukur 50 mL dan ditambah NaCl 0,1M hingga volume 50 mL dan dikocok hingga homogen. Larutan disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 30 menit dengan suhu 4oC. Kemudian disaring dengan kertas Whatman nomor 1 dan dihitung kadar protein supernatannya (Morr et al., 1985). Kelarutan protein diperoleh dengan rumus : Kel. Prot. (%) = Konsentrasi protein supernatan (mg/ ml) x 50 X 100 Berat sampel (mg) x Kadar protein sample (%) 100 Water Vapor Permeability (WVP) Metode pengukuran WVP menggunakan modifikasi metode gravimetrik ASTM E 96-92 untuk menentukan RH pada permukaan bawah film (Perez – Gago et al., 1999). Setelah kering film tanpa cacat dipotong dari setiap perlakuan. Aquadest 6 mL dimasukkan ke dalam beacker glass 250 mL. Film dijepit menggunakan cincin yang mempunyai 4 sekrup simetris. Cincin tersebut diletakkan ke beacker glass yang berisi aquadest dan dimasukkan ke dalam desiccator yang mengandung kipas. Berat film di ukur hingga mencapai berat konstan. Nilai WVP diukur menggunakan rumus : WVP = Berat film (g) x Ketebalan film (mm) Luas film (m2) x Waktu (jam) x ΔP (KPa) Penyusutan berat daging Penyusutan berat daging diperoleh dari selisih antara berat daging setelah pemotongan dengan berat akhir setelah penyimpanan. Penyusutan berat = berat setelah pemotongan (g) – berat setelah pelapisan (g) Kadar air Sebanyak 5 g sampel ditimbang dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam. Sampel dimasukkan desiccator selama 20 menit dan dilakukan penimbangan. Penurunan berat merupakan banyaknya air dalam bahan (Sudarmadji, 1997). Kadar air (%) =

beratawal − beratakhir x100% beratawal

Water Holding Capacity (WHC) Sebanyak 0,3 g sampel utuh dipres pada kertas saring whatman No. 42 yang diletakkan diantara dua plat kaca dengan beban 35 Kg selama 5 menit. Daerah basah pada kertas saring kemudian digambar pada plastik dan dipindahkan pada kertas grafik, dari gambar diperoleh area basah setelah dikurangi area yang tertutup daging (dari total area) (Soeparno, 1994). WHC dihitung menggunakan rumus :

PKMP-1-11-4

⎛ areabasah ⎞ − 8⎟ ⎜ 0,0948 ⎠ WHC (%) = % kadar air sampel - ⎝ beratsampelΧ100% Cooking Loss (CL) Sampel daging 50 g dimasukkan dalam plastik polietilen dan direndam dalam waterbath suhu 80oC selama 30 menit. Sampel dikeluarkan dalam air yang mengalir pada suhu kamar sampai dingin. Sampel dikeluarkan dari plastik dan dikeringkan pada permukaannya dengan kertas tissue tanpa memeras dan menekan. Sampel kemudian ditimbang dan dihitung menggunakan rumus : CL (%) =

beratsampel (sebelum dim asak − setelah dim asak ) Χ100% beratsampelsebelum dim asak

Total Plate Count (TPC) Penghitungan TPC bakteri menggunakan metode Pour plate (Pettipher, 1999). Sampel bakteri diambil dengan cara membilas daging setelah pelapisan dengan larutan peptone, kemudian dilakukan pengenceran 10-1 sampai 10-7. sebanyak 1 mL sampel dari masing-masing pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri steril menggunakan pipet mikro dengan aseptis. Larutan Plate Count Agar PCA steril suhu ±37oC dituang ke dalam cawan yang telah berisi sampel sebanyak 10-15 mL dengan aseptis. Setelah PCA membentuk agar diinkubasi ke dalam incubator dengan suhu 37oC selama 24 jam. Bakteri yang tumbuh dihitung dan dilaporkan sebagai Standart Plate Count cfu/ mL. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam menggunakan rancangan acak lengkap, apabila hasil analisis tersebut menunjukkan perbedaan, maka analisis data akan diteruskan dengan menggunakan Uji Berganda Duncan (Sastrosupadi, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan Film Proses pembentukan film dipengaruhi oleh viskositas, pH dan kekuatan ikatan silang ionik. Ketika pH mendekati pI gaya penolakan antar molekul menjadi lemah dan lebih mampu mengadakan ikatan baru dalam penyusunan struktur film. Perbedaan pH pada protein whey menyebabkan terjadinya perubahan struktur (De Wit, 1981; Leman dan Kinsella, 1989 dalam Perez-Gago, 1999b) yang mempengaruhi interaksi-interaksi protein, pembentukan dan sifat film yang dihasilkannya. Pengaturan pH akhir larutan pembentuk film dikondisikan pada pH 5,2 yang bertujuan untuk meningkatkan viskositas larutan sehingga menghasilkan gel yang lunak dan mampu membentuk suatu polimer pembentuk film. Hal ini sesuai dengan Perez-Gago (1999b) yang menyatakan bahwa pembentukan edible film dari protein whey tidak bisa secara sempurna pada pH 3, kemungkinan disebabkan oleh tingginya gaya elektrostatik yang mengadakan penolakan antar protein. Ketika edible film ini dikondisikan pada pH 4 dan 5 (range pI dari protein whey), viskositas larutan meningkat dengan cepat sehingga menghasilkan gel yang lunak. Ditambahkan pula oleh Perez-Gago

PKMP-1-11-5

(1999a) bahwa proses pembentukan film dapat dipengaruhi oleh stabilitas emulsi yang mungkin juga mempengaruhi morfologi dari film yang dihasilkan dan sifat bariernya. Proses pemanasan diatur pada suhu 70, 80, dan 90oC yang bertujuan untuk mendenaturasi protein agar diperoleh gugus hidrofobik yang semula berada di dalam struktur protein. Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfide intermolekuler yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago dkk., 1999b). Adanya ikatan kovalen disulfide meningkatkan kestabilan film dan menyebabkan film dari protein ini tidak larut dalam air (Galietta, 1998). Menurut Aguilera (1995), saat gelatinasi protein whey, rantai asam amino terurai selama pemanasan yang terbongkar ikatan intrachain disulfidanya. Ikatan ini rusak dan persilangan baru dari rantai disulfide akan terbentuk dengan rantai protein yang lain membentuk struktur film. Denaturasi panas dengan suhu diatas 65oC akan membuka struktur β-laktoglobulin, memunculkan gugus sulfidril dan hidrofobik, dan mendukung oksidasi dari sulfidril bebas, ikatan disulfide intermolekuler, dan ikatan hidrofobik (Damodaran, 1997). Denaturasi ini juga akan membuka struktur α-laktalbumin untuk mendapatkan tambahan ikatan disulfide intermolekuler. Pembentukan film dari protein whey juga dipengaruhi oleh adanya bahan plasticizer. Komponen ini diperlukan untuk membantu meningkatkan pengikatan antara molekul-molekul protein di dalam film, tetapi jumlahnya tidak boleh terlalu sedikit ataupun terlalu banyak, apabila terlalu sedikit film yang dihasilkan rapuh dan apabila terlalu banyak akan meningkatkan nilai WVP film yang tidak diinginkan dalam pembentukan film ini. Bahan plasticizer yang digunakan adalah gliserol karena mampu meningkatkan pengikatan molekul-molekul protein dan tidak mengganggu ikatan hydrogen (Galietta, 1998). Penambahan komponen plasticizer kedalam formulasi film mempengaruhi keregangan, fleksibelitas dan elastisitas film yang dihasilkan. CaCl2 digunakan untuk meningkatkan ikatan silang ionic didalam film (Cagri, 2003), ikatan ini penting untuk membantu meningkatkan gaya kohesi, sifat barier, kekuatan, dan mencegah film larut dalam film (Galietta, 1998). Kelarutan Protein Kelarutan protein merupakan suatu sifat yang penting di dalam menentukan kualitas edible film yang dihasilkan. Dengan rendahnya nilai kelarutan protein berarti film tersebut tidak mudah rusak atau terlarut di dalam air, yang berarti film tersebut tetap melapisi produk meskipun terkena air. Berdasarkan hasil penelitian kelarutan protein film dalam air menurun dengan meningkatnya suhu denaturasi pada saat proses pembuatan edible film tersebut (Gambar 1). Penurunan ini disebabkan karena banyak gugus hidrofobik dan ikatan intermolekuler disulfida protein yang semula tersembunyi di dalam protein keluar akibat pengaruh dari denaturasi yang diberikan. Menurut Fukusima dan Van Buren, 1970; farnum et al., 1976; Schofield et al., 1983; Mine et al., 1990 dalam Roy et al. (1999), denaturasi panas akan mengekspos barier grup seperti gugus hidrofobik dan sulfidril (SH). Gugus-gugus ini akan berinteraksi selama pengeringan film yang akan meningkatkan berat molekul dari fraksi protein,

PKMP-1-11-6

sehingga kelarutan film menjadi rendah. Ditambahkan Shimada dan Cheftel, 1998 dalam Gago dkk, (1999) protein whey merupakan protein globuler dimana kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidril berada dibagian dalam molekul. Denaturasi panas terhadap protein whey akan memacu denaturasi protein dan memacu pembentukan ikatan disulfida intermolekuler. 10

Kelarutan protein (%)

9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0

20

40

60

80

100

Denaturasi (C)

Gambar 1. Kelarutan protein edible film berbahan protein whey dipengaruhi denaturasi panas pada saat proses pembuatan film.

Penggunaan lipid di dalam proses pembuatan film ternyata memberi suatu kontribusi terhadap kelarutan protein film. Berdasarkan data yang kami peroleh, penambahan komponen lipid (minyak sawit) meningkatkan kelarutan protein film, namun demikian peningkatan ini masih bisa ditolerir karena tidak terlalu tinggi, perbandingan nilai kelarutan protein antara penambahan dan tanpa penambahan minyak dapat dilihat pada Tabel 1. Peningkatan ini berhubungan dengan struktur dasar dari edible film itu sendiri. Tabel 1. Perbandingan nilai kelarutan protein antara penambahan dan tanpa penambahan minyak ke dalam formulasi film Tanpa penambahan minyak Perlakuan Kelarutan protein (%) 70oC 8,8667b 80oC 8,1333b o 90 C 2,9667a

Dengan penambahan minyak Perlakuan Kelarutan protein (%) 90oC; 0,5% Minyak 90oC; 0,75% Minyak 90oC; 1% Minyak

11,6000a 9,4667ab 14,8000b

Struktur dasar edible film berbahan protein berupa pembentukan polimer dari protein-protein yang saling berinteraksi dengan gaya kohesi yang kuat. Akibat penambahan lipida menyebabkan polimer ini berubah, tidak hanya berupa interaksi rantai-rantai protein saja melainkan ada bagian lain yang berikatan dengan rantai lemak yang juga bersifat hidrofobik. Kondisi ini menyebabkan gaya kohesi film menjadi lemah dan mudah rapuh. Jumlah lipida yang ditambahkan ternyata memberi pengaruh yang berbeda pula. Penambahan minyak sebesar 0,5% ternyata memberikan pengaruh yang tidak nyata (p> 0,05) pada penambahan 0,75% minyak, tetapi berbeda nyata (p< 0,05) pada saat konsentrasi minyak ditingkatkan menjadi 1%. Saat konsentrasi minyak 0,5% kelarutan protein

PKMP-1-11-7

meningkat menjadi 11,6% dan kemudian menurun saat konsentrasi ditingkatkan menjadi 0,75%, namun kelarutan protein ini meningkat kembali saat konsentrasi ditingkatkan menjadi 1%. Water Vapor Permeability Water vapor permeability (WVP) merupakan kemampuan edible film dalam menjaga kandungan air dalam produk agar tidak menguap. Penguapan ini menyebabkan terjadinya penyusutan berat yang pada umumnya merugikan baik dari segi ekonomi maupun kualitas produk itu sendiri. Masalah ini berhubungan dengan sifat dari edible film apakah hidrofilik atau hidrofobik. Protein whey merupakan suatu protein yang berbentuk globular dengan rantai disulfide intramolekuler yang dominan sehingga menyebabkan protein ini bersifat hidrofilik. Namun demikian karena berbentuk globular protein ini juga mengandung rantai disulfida intermolekuler (kovalen disulfida), ionik, dan ikatan hydrogen yang apabila rantai-rantai ini terekspos akan menyebabkan protein ini bersifat hidrofobik. Berdasarkan penelitian kami perlakuan denaturasi panas pada saat proses pembentukan edible film dengan pengaturan pH akhir larutan 5,2 ternyata menyebabkan nilai WVP menjadi naik Tabel 2). Menurut Kinsella (1984), ketika protein whey didenaturasi kelarutan protein menurun sebagai akibat dari mendekatinya titik isoelektrik protein yang kemudian memberikan nilai WVP yang tinggi. Peningkatan ini sebagai konsekuensi dari viskositas larutan film yang tinggi, karena pada kisaran pH ini larutan film membentuk gel yang lemah. Hal ini menyebabkan pembuangan semua uap air pada saat pencetakan sulit, sehingga WVP meningkat. Ditambahkan McHugh dan Krochta (1994) dalam Perez-Gago (1999b) yang mempelajari pengaruh pH pada WVP dari edible film berbahan 10 % protein whey menemukan bahwa pada pH 6 nilai WVP film lebih tinggi daripada pada saat pH 7 atau 8. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat pH asam terjadi penghambatan parsial dari thiol disulfide interchange dengan thiol oksidasi. Peningkatan viskositas larutan pada pH 6 mungkin menyebabkan degassing tidak sempurna sehingga nilai WVP menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian kami dengan meningkatnya konsentrasi lipida menyebabkan nilai WVP semakin menurun, pada saat konsentrasi lipida sebesar 0,5% nilai WVP sebesar 7,8 x 10-5 dan demikian pada saat konsentrasi lipida dinaikkan menjadi 1% nilai WVP turun menjadi 2,8 x 10-5. Menurut Perez-Gago (1999a) pada pH 5 (dekat pI), fase separasi tampak lebih nyata daripada kondisi pH yang lain. Pada kestabilan emulsi-protein, pengumpulan lipida yang lebih tinggi dipengaruhi oleh pH emulsi. Peningkatan viskositas pada saat pI memungkinkan pengumpulan protein-protein lebih rendah daripada mobilitas lipida sehingga menghalangi fase separasi. Pada pH > 8, reaktivitas SH memulai reaksi SH-SH interchange yang akan meningkat dengan cepat sehingga menyebabkan partikel-partikel lipida terjebak dalam jaringan protein-protein yang mampu mencegah fase separasi.

PKMP-1-11-8

Tabel 2. Nilai WVP edible film berbahan protein whey yang dipengaruhi denaturasi panas. No. Denaturasi Nilai WVP (g. mm/ m2. h. kPa) o 1 70 C 3,7 x 10-5 o 2 80 C 4,6 x 10-5 o 3 90 C 8,7 x 10-5

WVP (g. mm/ kPa. h. m2)

Penambahan lipida ke dalam larutan film ternyata mampu menurunkan nilai WVP, Gambar 2. Lipida ini memberikan tambahan komponen hidrofobik ke dalam film sehingga nilai WVP berubah. 10 8 6 4 2 0 0

0.5

1

1.5

Konsentrasi lipida (%)

Gambar 2. Perubahan nilai WVP edible film berbahan protein whey akibat penambahan lipida (x 10-5)

Menurut Tanaka (2000) kemampuan edible film dalam mencegah penguapan air dapat ditingkatkan dengan penambahan komponen lipida seperti neutral lipid, asam lemak atau malam (wax). Penambahan lipida ini meningkatkan jarak tempuh molekul air yang diserap permukaan film sehingga menurunkan WVP. Ditambahkan Maria (2000), penambahan gugus hidrofobik lipida ke dalam gugus hidrofilik protein dalam edible film yaitu dengan membentuk kestabilan emulsi lipida atau melaminasi film dengan lapisan lipida ternyata mampu meningkatkan kemampuan film dalam menghalangi penguapan air. Jumlah bahan plasticizer juga memberikan pengaruh yang nyata dalam perubahan nilai WVP film. Jumlah yang terlalu tinggi akan menyebabkan peningkatan nilai WVP. Hal ini disebabkan karena bahan plasticizer bersifat hidrofilik sehingga menyebabkan nilai WVP meningkat. Menurut Lieberman dan Gilbert (1973) dalam Perez-Gago (1999a) peningkatan jumlah bahan plasticizer meningkatkan nilai WVP pula, karena bahan plasticizer menurunkan pengikatan internal hydrogen dan meningkatkan ruang intermolekuler. Dengan perbandingan protein:gliserol sebesar 1,5:1 memberikan nilai WVP yang relatif tinggi, akan tetapi apabila bahan plasticizer yang ditambahkan terlalu sedikit menyebabkan film rapuh pada pH 4 dan 5 (Perez-Gago, 1999a). Ditambahkan Galietta (1998), semakin meningkatnya bahan plasticizer akan meningkatkan pula keregangan dan fleksibelitasnya tetapi menurunkan elastisitas dan sifat barier dari film itu sendiri. Penggunaan bahan plastizer pada penelitian kami sebesar 8% (V/V protein) memberikan nilai akhir WVP seperti pada Tabel 2 dan Gambar 2 di atas. Apabila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Damodaran (1997), dengan penggunaan 1 bagian gliserol dalam 1,6 bagian protein whey memberikan nilai WVP sebesar 119,8 g. mm/kPa. h. m2, dimana kondisi pemanasan saat pembuatan

PKMP-1-11-9

larutan film adalah sama, yaitu 90oC selama 30 menit. Dalam jumlah yang rendah tersebut ternyata juga mampu membentuk film yang tidak rapuh pada kondisi pH 5,2. Penyusutan karkas Tabel 3. Prosentase Penyusutan Berat Karkas. Masa simpan (hari) Tanpa pelapisan edible film (%) 1 2,85 2 4,81 3 5,81

Pelapisan edible film (%) 0,70 3,32 4,02

Berdasarkan Tabel 3 diatas dengan adanya pelapisan edible film penyusutan berat karkas lebih rendah dibandingkan yang tanpa pelapisan. Menurut Smith dan Carpenter (1973) dalam Lazarus (1976) 75% dari berat karkas yang hilang setelah 72 jam terjadi selama masa awal 24 jam setelah pemotongan. Besarnya penyusutan awal ini berkaitan dengan pemakaian air selama prosedur pencucian. Kehilangan berat berikutnya berkaitan dengan kehilangan kelembaban karena penguapan dari jaringan karkas. Pada penelitian ini, pelapisan edible film menghalangi penguapan kelembaban dan transfer panas dari karkas selama 24 jam pertama. Penguapan air dapat menjadikan permukaan daging menjadi kering, maka konsentrasi garam dipermukaan akan meningkat sehingga mengakibatkan oksidasi pigmen daging menjadi metmioglobin berwarna coklat dan warna gelap yang disebabkan karena perubahan optik dalam urat daging (Purnomo, 1996). Sedangkan menurut Keeton (1995) protein whey dapat meningkatkan kelembaban dan penahan lemak, menghasilkan peningkatan hasil masakan, retensi kelembaban dan meningkatkan daya tahan terhadap penyusutan. Water Holding Capacity (WHC), Cooking Loss, Kadar air, dan pH WHC, cooking loss, kadar air, dan pH merupakan kualitas daging yang sangat dipengaruhi oleh kondisi kimiawi daging itu sendiri. Kondisi ini erat kaitannya dengan usia ternak, dan kondisi antemortem daging (sebelum ternak dipotong. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan daging dengan edible film tidak memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan yang tidak dilakukan pelapisan (Tabel 4). Menurut Soeparno (1994) penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot. Susut masak atau cooking loss bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer, dan status kontraksi miofibril. Disamping itu penurunan WHC juga dipengaruhi oleh pH (Bouton et al., 1971; Wismar-Pedersen, 1971 dalam Soeparno, 1994) dimana pH diatas pI daging (5,4-5,8) kondisi WHC meningkat karena adanya penolakan muatan positif maupun negatif yang memberikan lebih banyak ruang kosong untuk molekul-molekul air. Berdasarkan Tabel 4 diatas dengan adanya pelapisan menggunakan edible film memberikan hasil yang berbeda pada WHC dan cooking loss, namun demikian perbedaan ini tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal ini disebabkan karena parameter tersebut tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pelapisan, tetapi sangat dipengaruhi oleh kondisi ATP daging yang nantinya berpengaruh pada proses glikolisis dan penurunan pH yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap parameter-parameter tersebut.

PKMP-1-11-10

Tabel 4. Perbandingan kualitas daging (WHC, cooking loss, kadar air, dan pH) dengan pelapisan dan tanpa pelapisan. Perlakuan No. Parameter Hari Tanpa pelapisan Pelapisan edible film 1 43,32 32,61 1 WHC 2 40,55 40,01 3 35,58 41,27 2 Cooking loss 1 21,06 16,46 2 24,94 20,39 3 26,66 23,21 3 Kadar air 1 74,25 74,03 2 74,25 74,51 3 74,66 73,76 4 pH 1 6 6 2 6 6 3 6 6

Total Plate Count (cfu/ ml)

Total Plate Count (TPC) Berdasarkan data penelitian kami menunjukkan bahwa dengan adanya pelapisan terhadap daging ayam jumlah koloni mikroorganisme yang hidup di permukaan daging menurun (Gambar 3). Menurut Davies and Ron (1998) bahwa selama penyimpanan dingin jumlah bakteri yang ada di permukaan daging akan menurun menjadi sekitar 102-105. 2.5 2 1.5

Tanpa pelapisan

1

Pelapisan

0.5 0 0

2

4

Hari ke Gambar 3. Pertumbuhan mikroorganisme pada daging yang dilapisi dan tanpa dilapisi edible film pada suhu dingin (± 5oC), dengan nilai (x 106).

Berdasarkan grafik diatas tampak bahwa daging yang dilapisi dengan edible film mempunyai TPC yang lebih rendah pada setiap tahapan waktu penghitungan. Hal ini dikarenakan permukaan daging tanpa pelapisan film kaya lebih kaya nutrisi daripada permukaan daging dengan pelapisan, sehingga mikroorganisme lebih mudah tumbuh dan berkembang pada daging tanpa pelapisan film. Berdasarkan penelitian Natrajan (2000) edible film yang berasal dari protein dan polisakarida ternyata mampu menghambat pertumbuhan Salmonella pada permukan daging ayam, penghambatan ini akan lebih baik apabila edible film tersebut ditambahkan senyawa antimikroorganisme. Ditambahkan pada penelitian Cagri (2003) bahwa edible film berbahan protein whey mampu menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes pada hot dog selama 42 hari penyimpanan dingin.

PKMP-1-11-11

KESIMPULAN Perlakuan denaturasi panas diatas suhu denaturasi laktoglobulin (78oC) ternyata mampu menurunkan kelarutan protein ke dalam air, dimana pada suhu denaturasi 90oC memberikan hasil kelarutan protein yang terendah tetapi masih menyebabkan WVP meningkat saat suhu ditingkatkan pula. Namun setelah penambahan lipida (lemak) WVP yang semula tinggi bisa diturunkan saat konsentrasi lipida sebesar 0,75%, akan tetapi ketika konsentrasi lipida ini ditingkatkan menjadi 1% WVP meningkat kembali. Penggunaan edible film berbahan protein whey ini mampu menurunkan jumlah kontaminasi mikroorganisme pada permukaan daging dan mengurangi penurunan berat daging. Akan tetapi penggunaan bahan pelapis ini tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kondisi pH, WHC, cooking loss, dan kadar air daging. DAFTAR PUSTAKA Aguilera JM, 1995. Gelation of Whey protein. Food Tecnology. 49 (10) : 83-89. Cagri A, Ustunol Z. Osburn W. dan Ryser ET. 2003. Inhibition of Listeria monocytogenes on Hot Dogs Using Antimicrobial Whey Protein-based Edible Casings. Journal of Food Science Vol. 68:291-298. Damodaran S, dan Alazin P. 1997. Food Protein and Their Application. Marcel Dekkef inc. New York. Davies A, dan Ron B. 1998. The Microbiology of Meat and Poultry. Blakie Academic and Professional. London. Gago, Nadaud. dan Krochta. 1998. Water Vapor Permeability, Solubility, and tensile Properties of Heat-Denatured Versus Native Whey Protein Film. Journal of Food Science Vol 64 No 6. Galietta G, Di Gioia L. Guilbert S. dan Cuq B. 1998. Mechanical and Thermomechanical Properties of Film Based on Whey Protein as Affected by Plasticizer and Crosslinking Agents. Journal of Dairy Science Vol. 81:3123-3130. Keeton J, 1995. Produk Protein Whey dan Laktosa Pada Daging Olah, Dalam Manual Referensi untuk Produk-Produk Whey dan Laktosa Amerika Serikat, U. S. Dairy Export Council. Kinsella JE, 1984. Milk Protein : Psyco- Chemical and Functional Properties. CRC Critical Reviews in Food Sci. Nutr. 2 : 197-262. Lazarus DR, West RL. Oblinger JL. dan Palmer AZ. 1976. Evaluation of Calcium Alginate Coating and A Protective Plastic Wrapping for The Control of Lamb Carcas Shrinkage. Journal of Food Science Vol 41. Maria B, Perez-Gago. dan Krochta JM. 2000. Drying Temperature Effect on Water Vapor Permeability and Mechanical Properties of Whey ProteinLipid Emulsion Film. Journal of Agriculture Food Chemistry Volume 48:2687-2692. McHugh TH, Aujard JF. dan Krochta JM. 1998. Plasticized Whey Protein Edible Film : Water Vapor Permeability Propertis. Jurnal Food Sci. 59 : 416419,423. Morr CV, German B. Kinsella JE. Regenstein JM. Van Buren JP. Kilara A. Lewis BA. dan Mangino ME. 1985. A Collaborative Study to Develop a

PKMP-1-11-12

Standardized Food Protein Solubility Procedure. Journal of Food Science Volume 50: 1715. Natrajan N, dan Brian WS. 2000. Inhibition of Salmonella on Poultry Skin Using Protein-and Polysaccharida-Based Films Containing a Nisin Formulation. Journal of Food Protection. volume 63 No 9: 128-1272. Perez-Gago MB, dan Krochta JM. 1999a. Water Vapor Permeability of Whey Protein Emulsion Films as Affected by pH. Journal of Food Science Volume 64 No. 4:695-698. , Nadaud P. dan Krochta JM. 1999b. Water Vapor Permeability, Solubility, and Tensile Properties of Heat-denatured versus Native Whey Protein Films. Journal of Food Science Volume 64 no. 6:1034-1037. Pettipher GL, 1999. Microbiological Analyses, pp.441-460, In. Modern Dairy Technology Volume 2: Advances in Milk Products. 2nd ed. Robinson RK (ed). Chapman dan Hall. New York. Purnomo H, 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta. Roy S, Weller CL. Gennadios A. Zeece MG. dan Testin RF. 1999. Physical and Molecular Properties of Wheat Gluten Films Cast from Heated FilmForming Solutions. Journal of Food Science Volume 64 no. 1:57-59. Sudarmadji S, Hariyono B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Soeparno 1994. Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tanaka M, Ishizaki S. Suzuki T. dan Takai R. 2000. Water Vapor Permeability of Edible Films Prepared from Fish Water Soluble Proteins as Affected by Lipid Type. Journal of Tokyo University of Fisheries Volume 87:31-37. Sastrosupadi A, 2000. Rancangan percobaan praktis bidang pertanian. Kanisius. Jakarta.

PKMP-1-12-1

FORMULASI SEDIAAN TABLET EKSTRAK GOSSYPIUM HERBACEUM SEBAGAI ALTERNATIF KONTRASEPSI PRIA Ika S Rudiawati, Rice Riskiyah, Irma Rachmawati, Rama Perkasa, Dwi F Shofiyanti Fakultas Farmasi, Universitas Jember, Jember ABSTRAK Ekstrak Gossypium herbaceum telah diketahui berkhasiat sebagai antispermatogenik dan tidak menimbulkan efek toksik pada mencit, sehingga perlu diformulasikan dalam bentuk sediaan yang lebih efisien. Penelitian ini bertujuan memformulasi ekstrak Gossypium herbaceum yang beraktivitas antispermatogenik atau kontrasepsi pria dalam bentuk sediaan tablet. Dalam formulasi dibandingkan pengaruh pemakaian tiga bahan pengikat yang berbeda yaitu amilum tritici, gelatin, dan CMC terhadap sifat fisik tablet (kekerasan, kerapuhan, waktu hancur). Dari hasil penelitian bahan pengikat yang paling baik adalah gelatin 10%. Kata kunci : Formulasi tablet, Gossipium herbaceum, Gossypol, Kontrasepsi Pria PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih dirasakan terlalu tinggi walaupun pemerintah telah mencanangkan program keluarga berencana. Hal ini terlihat pada jumlah penduduk Indonesia tahun 2003 mencapai 215.276.906 jiwa (Anonim, 2004). Keberhasilan program ini membentuk catur warga masih belum dapat dikatakan memuaskan karena peningkatan jumlah penduduk tahun 2003 mencapai 1,50% (Anonim, 2004). Program KB yang dicanangkan pemerintah menekankan pada penggunaan alat kontrasepsi. Kontrasepsi adalah usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan (Prawirohardjo, 1982). Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara atau permanen. Pada umumnya akseptor KB saat ini masih didominasi oleh kaum wanita dan penggunaan kontrasepsi hormonal menduduki peringkat tertinggi (Anonim, 2004). Namun kontrasepsi hormonal memiliki beberapa efek samping yaitu retensi cairan, sakit kepala dan fluor albus (Prawirohardjo, 1982). Keterlibatan kaum pria sebagai akseptor KB masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini terlihat pada diagram di bawah ini :

Gambar 1. Diagram Pengguna Kontrasepsi di Jawa Timur

PKMP-1-12-2

Umumnya pria menggunakan alat kontrasepsi kondom dan vasektomi. Kedua metode tersebut memiliki beberapa efek samping, diantaranya pada vasektomi dapat menimbulkan autoimmuno orchitis dan kemandulan seumur hidup (Yatim, 1994). Sedangkan pada kondom dapat menyebabkan kebocoran sperma dan iritasi (Prawiroharjo, 1982). Sehingga diperlukan suatu alat kontrasepsi pria yang aman, nyaman, dan terjangkau. Maka penting adanya suatu obat kontrasepsi yang berasal dari bahan alam yang mempunyai efek samping serta toksisitas yang lebih rendah. Salah satu bahan alam yang berkhasiat sebagai kontrasepsi pria adalah Gossypol (Dalimarta, 2003). Gossypol adalah senyawa polifenol berwarna yang diisolasi dari biji Gossypium herbaceum (Yu et al, 1998). Gossypol dapat menyebabkan infertilitas dengan menekan spermatogenesis. Hal ini telah diteliti di propinsi Jiangxie China sejak tahun 1929. Dalam penelitian tersebut, beberapa responden pria yang memakai minyak cotton seed mentah memiliki fertilitas rendah (Gu, et al, 2000). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gossypol hanya efektif untuk kontrasepsi pria. Pemakaian langsung ekstrak Gossypium herbaceum untuk pengobatan memiliki kelemahan. Ekstrak Gossypium herbaceum memiliki rasa yang pahit dan bau yang tidak enak. Hal ini membuat pemakainya tidak nyaman sehingga mengganggu proses pengobatannya. Untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan memformulasi ekstrak Gossypium herbaceum yang beraktivitas antispermatogenik atau kontrasepsi pria dalam bentuk sediaan tablet. Bentuk sediaan ini dipilih karena memiliki kelebihan dibanding bentuk sediaan lain diantaranya adalah lebih acceptable dan merupakan sediaan yang tepat dosis. Manfaat yang diharapkan dari penelitian berupa artikel “Formulasi Sediaan Tablet Ekstrak Gossypium herbaceum Sebagai Alternatif Kontrasepsi Pria”dan paten formula tablet ekstrak Gossypium herbaceum. METODE PENDEKATAN a. Waktu, lama, dan tempat dilakukannya observasi Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmasetika, Biologi dan Biomedik Program Studi Farmasi Universitas Jember, dimulai pada bulan Februari – Juni 2006 (lima bulan). b. Bahan dan Alat yang digunakan Alat yang digunakan antara lain: Neraca analitik, Seperangkat alat maserasi, Mesin pencetak tablet Healty, Hardness tester, Pharmeq Disintegration tester, Pharmeq Rotap sieve shaker, Microskop binoculair dilengkapi micrometer Olympus , Oven Memert, Alat-alat gelas, Rotary evaporator, Corong Buchner, Sonde, Mortir-stamper dan Mikroskop dengan program WinTV 2000. Bahan-bahan yang digunakan: Biji kapas (Gossypium herbaceum) dari daerah Lamongan dan determinasinya dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Program Studi Farmasi Universitas Jember, Etanol 96%, Avicel, amylum tritici (tablet grade), CMC (4 %), Gelatin (pharmaceutical grade), Asam stearat (pharmaceutical grade), Aquades, larutan ringer, 25 ekor mencit jantan dan tilosa 1%.

PKMP-1-12-3

c. Metode untuk memperoleh data 1. Pembuatan Ekstrak Etanol Serat biji kapas dipisahkan, diperoleh biji berkulit, kulitnya dikupas, dan didapatkan inti biji (kernel). Inti biji ditumbuk lalu dikeringkan ditempat teduh, setelah kering, diserbuk dan diayak hingga diperoleh 1400 g serbuk kering berderajat halus. Serbuk dimaserasi dengan etanol 96 % sebanyak 9 L, kemudian disaring dengan corong Buchner dan diperoleh maserat. Maserat dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak yang diperoleh diuapkan diatas water bath hingga diperoleh ekstrak kental. Kemudian ditimbang dengan timbangan analitik dan diperoleh ekstrak Gossypium herbaceum sejumlah 90 g. 2. Uji aktivitas ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan. Ekstrak Gossypium herbaceum dilarutkan dalam tilosa 1% dan dipejankan pada mencit jantan dengan tiga konsentrasi yang berbeda secara per oral. Pemejanan dilakukan setiap hari selama lima hari. Kemudian untuk mengetahui pengaruh ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan dilakukan pembedahan untuk mendapatkan epididimis. Epididimis dicacah dan disuspensikan dalam larutan ringer, kemudian diambil cuplikan untuk dianalisa dengan mikroskop program WinTV 2000. 3. Pembuatan Granul Ekstrak Gossypium herbaceum dikeringkan dengan avicel sehingga didapatkan ekstrak kering. Kemudian ekstrak kering dibagi 3 sehingga masing-masing formula mempunyai prosentase ekstrak 25 %. Dilakukan granulasi dengan bahan pengikat Gelatin (10 %), CMC (4 %), dan mucilago amylum tritici (10 %). Granul diayak dengan ayakan 16 mesh. Granul dikeringkan pada suhu 500C. Ditambah Asam stearat sebagai bahan pelincir sejumlah 3% dari total sediaan, dan diaduk hingga homogen. 4. Pengamatan Distribusi Ukuran Partikel Massa granul sejumlah 10 g ditempatkan pada Rotap sieve shaker, mesin dinyalakan selama 20 menit. Massa pada masing-masing ayakan ditimbang. Ukuran partikel granul diamati dengan mikroskop yang dilengkapi dengan lensa okuler berskala dan mikrometer. 5. Pembuatan Tablet Massa granul dikempa dengan mesin pencetak tablet. Diambil 20 tablet, diamati keseragaman bobotnya dengan neraca analitik. 6. Uji aktivitas tablet ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan. Tablet ekstrak Gossypium herbaceum dilarutkan dalam tilosa 1% dan dipejankan pada mencit jantan secara per oral. Pemejanan dilakukan setiap hari selama lima hari. Kemudian untuk mengetahui pengaruh tablet ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan dilakukan pembedahan untuk mendapatkan epididimis. Epididimis dicacah dan disuspensikan dalam larutan ringer, kemudian diambil cuplikan untuk dianalisa dengan mikroskop program WinTV 2000. 7. Uji Kekerasan Tablet Lima tablet diambil sebagai sampel dan diukur kekerasannya dengan menggunakan hardness tester.

PKMP-1-12-4

8. Uji Waktu Hancur Tablet dimasukkan dalam disintegration tester dengan pelarut air. Mesin dinyalakan, dicatat waktu yang dibutuhkan tablet untuk hancur. 9. Uji Friabilitas Tablet dimasukkan friabilator lalu diuji kerapuhannya. 10. Analisis dan Evaluasi Hasil Data distribusi ukuran partikel, data uji kekerasan tablet, keseragaman bobot, dan waktu hancur dari ketiga macam tablet dengan bahan pengikat yang berbeda kemudian dibandingkan untuk memilih tablet dengan formula terbaik. d. Skema Kerja Penelitian Pembuatan Ekstrak Gossypium

Uji Pada Mencit

Pembuatan Granul

Pengamatan Distribusi

Uji Pada Mencit

Ukuran Partikel

Pembuatan Tablet

Uji Keseragaman Bobot

Uji Kekerasan Tablet

Uji Waktu Hancur

Analisis data

Gambar 2. Skema Kerja Penelitian 4. Data dan Analisis data a. Pembuatan Ekstrak Gossypium herbaceum Diperoleh ekstrak kental Gossypium herbaceum dengan pelarut etanol 96 % sebanyak 5, 29 % dari bobot simplisia. b. Uji aktivitas ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan Pemejanan ekstrak Gossypium herbaceum terhadap mencit jantan dilakukan selama 7 hari dengan replikasi 3 kali, dengan tiga peringkat dosis: 1. Dosis I = 1, 27 mg 2. Dosis II = 2,12 mg 3. Dosis III = 3,75 mg (Data hasil percobaan masih dalam proses pemejanan) c. Pembuatan Granul Ekstrak kental = 74 g dibagi 3 bagian untuk tiga macam formula Dibuat formula dengan komposisi

PKMP-1-12-5

Tabel 1.Resep atau Formula Tablet Formula 1 R/ Ekstrak 25 % Avicel 62 % Gelatin(10%) 10 % Asam Stearat 3 %

Formula 2 R/ Ekstrak 25 % Avicel 62 % CMC(4%) 10 % Asam Stearat 3 %

Formula 3 R// Ekstrak 25 % Avicel 62 % Gelatin(10%) 10 % Asam Stearat 3 %

d. Pembuatan Tablet Tablet dibuat dengan metode kempa cetak, setelah didapatkan tablet kemudian dilakukan uji sifat fisika tablet meliputi : 1. uji keseragaman bobot Diambil masing-masing 20 tablet dari formula yang berbeda, dihitung harga purata dan standar deviasinya, didapatkan data sebagai berikut: No

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 x±SD

Tabel 2. Data uji keseragaman bobot Formula 1 Formula 2 Formula 3 (Gelatin 10 (CMC 4 %)(mg) (Amilum Tritici %)(mg) 10 %) (mg) 390 339 324 387 339 318 390 338 320 385 340 315 387 340 314 386 335 318 387 343 319 390 337 327 390 340 302 386 342 316 390 335 323 387 342 289 384 337 325 384 344 331 383 338 322 387 332 313 385 343 314 386 338 324 385 337 325 388 338 324 386,85 ± 2.23 323,85 ± 67.12 318,15 ± 9,37

2. Data uji kekerasan tablet Lima tablet diambil sebagai sampel dan diukur kekerasannya dengan menggunakan hardness tester. Didapatkan data sebagai berikut : Tabel 3. data uji kekerasan tablet No 1 2 3 4 5

Formula 1 (Gelatin 10 %) (kg) 6 5 5,5 5,3 5 X = (5,36 ± 0,41)

Formula 2 (CMC 4 %) (kg) 1,2 1 1,5 1 1,3 X = (1,2 ± 0,12)

Formula 3 (Amilum Tritici 10 %) (kg) 1 1,2 1 1 1 X = (1,04 ± 0,09)

Dalam bidang Industri kekerasan tablet yang sesuai adalah 4 kg (Ansel, 1989).

PKMP-1-12-6

3. Data uji waktu hancur Tablet dimasukkan dalam disintegration tester dengan pelarut air. Mesin dinyalakan, dicatat waktu yang dibutuhkan tablet untuk hancur. Didapatkan data sebagai berikut : 1. Formula 1 (Gelatin 10 %) = 14 menit 2. Formula 2 (CMC 4 %) = 5 menit 3. Formula 3 (Amilum Tritici 10 %) = 2 menit Waktu yang diperlukan kelima tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak bersalut (Anonim, 1979). 4. Data kerapuhan tablet 20 tablet diambil sebagai sampel dan diukur kerapuhannya dengan menggunakan friabilator. Didapatkan data persen kerapuhan sebagai berikut : 1. Formula 1 (Gelatin 10 %) = 0,48 % 2. Formula 2 (CMC 4 %) = 15 % 3. Formula 3 (Amilum Tritici 10 %) = 54 % Kerapuhan yang masih memenuhi syarat adalah 0,5%-1% (Anonim, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi sediaan tablet ekstrak Gossypium herbaceum menggunakan tiga bahan pengikat yang berbeda yaitu gelatin 10%, CMC 4%, dan mucilago tritici 10%. Bahan pengikat dalam formulasi tablet berpengaruh terhadap sifat fisik tablet. Sifat fisik tablet yang diamati antara lain : Uji keseragaman bobot Hasil pengamatan menunjukkan bahwa formulasi 1 mempunyai keseragaman bobot yang paling baik dibanding formulasi 2 dan 3. Hal ini ditunjukkan dengan nilai distribusi (standar deviasi) terkecil. Semakin kecil standar deviasi maka simpangan bobot semakin besar. Keseragaman bobot tablet dipengaruhi oleh sifat alir granul sedangkan sifat alir granul dipengaruhi oleh bahan pengikat. Uji kekerasan tablet Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada ketiga formula pembuatan ekstrak Gossypium herbaceum, tablet yang dihasilkan memiliki kualitas yang berbeda-beda. Tablet yang menggunakan pengikat gelatin memiliki kekerasan baik sekali sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia III, namun untuk formula dengan pengikat CMC dan amilum tritici tidak sesuai. Hal ini disebabkan sifat dari bahan pengikat gelatin lebih baik daripada kedua pengikat lainnya dan sifat dari ekstrak Gossypium herbaceum yang lebih mudah dibuat granul dengan pengikat gelatin. Uji kerapuhan tablet Uji friabilitas pada ketiga formula menunjukkan bahwa tablet yang memiliki friabilitas paling bagus adalah formula dengan bahan pengikat gelatin. Hal ini dikarenakan gelatin mengikat kuat komponen-komponen tablet sehingga kerapuhan tablet akibat gesekan mekanis masih dalam rentang yang dipersyaratkan Farmakope Indonesia III. Uji waktu hancur Uji waktu hancur menunjukkan lama tablet hancur didalam saluran cerna untuk proses absorbsi di saluran cerna. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa formula 1 dengan bahan pengikat gelatin memiliki waktu hancur yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia III. Bahan pengikat berperan dalam perlekatan

PKMP-1-12-7

antar partikel bahan-bahan penyusun tablet sehingga berpengaruh terhadap waktu hancur. Perbandingan Sifat Fisika Tiga Formula Tablet Berdasarkan Nilai Distribusi Data Hasil analisa data yang diperoleh dapat dibandingkan secara kualitatif berdasarkan pemenuhannya terhadap prasyarat sifat fisik tablet yang baik. Tabel 4. Peringkat sifat fisik tablet Variabel Keseragaman bobot Kekerasan tablet Waktu hancur Kerapuhan Jumlah

1 (Gelatin 10%) 3 3 3 3 12

Formula 2 (CMC 4%) 1 1 2 2 6

3 (Amilum tritici) 2 1 1 1 5

Keterangan : Peringkat 3 : baik Peringkat 2 : cukup baik Peringkat 1 : kurang baik Dari tabel diatas dapat diketahui peringkat formula terbaik adalah Formula 1 > Formula 2 > Formula 3 KESIMPULAN Ekstrak Gossypium herbaceum dapat diformulasi dalam bentuk sediaan tablet yang baik secara fisik dengan formula : ekstrak Gossypium herbaceum 25 % , Avicel 62 %, Gelatin(10%) 10 %, Asam Stearat 3 %. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1979, Farmakope Indonesia ed. Ketiga, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia ed. Keempat, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia, Jakarta Anonim, 1999, Organic Compouds That Affect The Heart, Departement of Veterinary Biosciences, College of Vetenary Medicine, University of Illinois at Urbana-Champaign Urbana, IL, USA, http://www.ivis.org/advances /Beasley/ cpt14f/ chapter_frm.asp?LA=1 Anonim. 2000. The United States Pharmacopeia Book 1. United States Pharmacopeial Convention. Inc: USA. Anonim , 2001, Kapas, Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Dinas Pertanian, Malang Anonim, 2002, Kapas, Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Dinas Pertanian, Malang Anonim, 2004, Jawa Timur Dalam Angka 2003, BPS Propinsi Jatim, Surabaya, JawaTimur Anonim, 2004, Statistik Indonesia 2003, BPS Statistik Indonesia, Jakarta, Indonesia Ansel, H., 1989, Pengantar bentuk sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.

PKMP-1-12-8

Aulton, M. J., 1988, Pharmaceutics The Sience of Dosage Form Design, Churchill livingstone, Hongkong Dalimartha, S., 2003, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3, Trubus Agriwidya, Jakarta Gu et al, 2000, Asian Journal of Andrology 2000; vol 2(4), pp 283-287, http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html Gu ZP, Wan YX, Sang GW, Wang WC, Chen ZX, Zhao XJ, et al, 1990, Relationship between hormone profiles and the testoration of spermatogenesis in men treated with gossypol, Shanghai Institute of Materia Medica, Chinese Academy of Sciences, Shanghai 200031, China Meng et al, 1988, Internat'l Journal of Andrology 1988; vol 11(1), PP 1-11, http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, ITB, Bandung Segal, S.J.,2000 Low dose gossypol for male contraception, Population Division, Rockefeller Foundation, New York, USA Steenis, V. et all, 1975, Flora untuk Sekolah di Indonesia, Pradnya Pramita, Jakarta Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, UGM Press, Yogyakarta Waites et al, 1998, Internat'l Journal of Andrology 1998; vol 21(1), PP 8-12, http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html Yatim, W.,1994, Reproduksi dan Embryologi, Transito, Bandung Yu et al, 1998, Internat'l Journal of Andrology 1998; vol 21(1), PP 2-7, http://www.malecontraceptives.org/methods/gossypol_frame.html

PKMP-1-13-1

STUDI POTENSI KALAKAI (Stenochlaena palustris (BURM.F) BEDD), SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL Dessy Maulidya Maharani, Siti Noor Haidah, Haiyinah Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru ABSTRAK Kalimantan Selatan memiliki lahan basah cukup luas. Luasan terbesar terdapat di Kabupaten Barito Kuala yaitu sebesar 155477,50 Ha. Salah satu tumbuhannya adalah Kalakai (Stenochlaena palustris (Burm F)Bedd). Berdasarkan studi empirik kalakai dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat untuk mencegah kekurangan darah (pencegah anemia) dengan mengkonsumsinya sebagai sayuran. Sehingga perlu diteliti kandungan zat gizinya. Diharapkan hal itu dapat mengantarnya menjadi salah satu pangan fungsional. Penelitian meliputi analisa proksimat, uji mineral (Fe dan Ca), uji vitamin (vitamin C dan vitamin A) dan uji fitokimia (flavonoid, alkaloid dan steroid). Hasil pengukuran sampel daun dan batang yaitu untuk kadar air 8,56% dan 7,28%, kadar abu 10,37% dan 9,19%, kadar serat kasar 1,93% dan 3,19%, kadar protein 11,48% dan 1,89%, kadar lemak 2,63% dan 1,37%. Hasil analisis mineral Ca lebih tinggi di daun dibandingkan batang yaitu 182,07 mg per 100 g, demikian pula dengan Fe tertinggi 291,32 mg per100 g. Hasil analisis vitamin C tertinggi terdapat di batang 264 mg per 10 g dan vitamin A tertinggi terdapat di daun 26976,29 ppm. Hasil analisa fitokimia flavonoid, alkaloid dan steroid tertinggi terdapat pada batang ,sebesar 3,010%, 3,817% dan 2,583%. Senyawa bioaktif yang paling dominan adalah alkaloid. Berdasarkan hasil analisis, Kalakai dapat dijadikan pangan fungsional. Selanjutnya perlu dikaji peluang jenis pangan yang direkomendasikan mengingat berbagai sifat dari senyawa yang dikandungnya (baik daun maupun batang) karena sifat produk pangan basah, semi basah maupun kering (seperti cookies) memerlukan proses pengolahan dengan teknologi yang berbeda, sehingga dapat menjaga stabilitas gizi, mineral dan senyawa bioaktif di dalamnya sehingga berfungsi dalam mekanisme fisiologis tubuh. Kata Kunci : Kalakai, Stenochlaena palustris, Pangan Fungsional PENDAHULUAN Potensi lahan basah di Indonesia masih belum banyak tergali. Kalimantan Selatan merupakan daerah yang mempunyai sebaran lahan rawa (rawa air tawar dan rawa gambut) yang cukup luas, yaitu 287.000 ha atau rawa gambut mencakup daerah yang luas di dataran rendah Kalimantan dengan taksiran beragam antara 8 % - 11% (MacKinnon dalam MacKinnon dan Artha 1981; Soeprapto dan Driessen 1976 dalam MacKinnon et al 2000) dari seluruh luas wilayah yang ada. Tanah gambut menunjukan adanya formasi hutan khas dengan flora yang agak terbatas, (Anderson, 1972 MacKinnon et al (2000)). Lahan rawa yang cukup luas itu ditumbuhi oleh berbagai macam jenis paku-pakuan, dan salah satunya tumbuhan Kalakai (Stenochlaena palustris (Burm F)Bedd). Kalakai di Kalimantan Selatan memiliki sebaran yang sangat banyak dan umumnya belum banyak dimanfaatkan. Pemanfaatan tumbuhan ini hanya untuk sayuran saja dan

PKMP-1-13-2

menurut Soendjoto (2002) dijelaskan bahwa kalakai merupakan makanan bekantan (Larvatus nasalis). Pangan fungsional diartikan sebagai kumpulan makanan yang terbukti mampu mempertahankan fungsi biologis, baik tunggal (single) maupun berkali-kali untuk meningkatkan (improve) kesehatan. Pangan fungsional mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu karakteristik sensorik, baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi disamping mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Di konsumsi layaknya makanan sehari-hari berupa makanan atau minuman (Sampoerno dan Dedi Fardiaz, 2001). Fungsi fisiologis yang diberikan antara lain mengatur daya tahan tubuh, mengatur kondisi fisik, mencegah penuaan dan penyakit yang berkaitan dengan makanan. Menurut data TAD (1981) dalam MaCKinnon (2000) kalakai adalah tumbuhan sebagai sumber makanan suku Dayak Kenyah di Long S Barang (Apo Kayan) dan Long Segar (S. Telen) Kalimantan Timur, bagian yang diambil batang dan daun. Secara spesifik, kalakai yang digunakan oleh suku dayak untuk mengobati anemia belum pernah diteliti, tetapi memberikan bukti yang nyata secara empiris (etnobotani). Kelakai berkhasiat mencukupi Fe pada ibu menyusui dan balita, pereda demam, mengobati sakit kulit, dan juga sebagai pencuci perut. Umumnya kandungan senyawa aktif seperti alkaloid dan steroid diduga berperan bilamana terkait dengan kulit. Selain diduga adanya flavonoid terkait dugaan keberadaan senyawa anti oksidan seperti vitamin A dan C. Pada bagian lain potensi tersebut mampu dikembangkan sebagai komoditas unggulan atau bahan dasar komoditas industri khususnya industri pangan yang saat ini mengacu pada trend back to nature, perlu diteliti dan dikaji secara ilmiah dengan metodologi yang tepat serta mengacu pada SOP yang berlaku. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah tentang potensi tumbuhan kalakai (Stenochlaena palustris (Brum. F) Bedd) untuk dijadikan pangan fungsional. Informasi ilmiah adalah sebagai berikut : Golongan senyawa metabolit primer (lemak, protein) dan sekunder (Flavonoid, Steroid, Alkaloid) di dalam jaringan komponen tumbuhan kalakai. Variasi kandungan vitamin dan mineral terutama besi, perlu dianalisa secara kuantitatif untuk dijadikan dasar untuk menjawab empirical studies yang selama ini berkembang di masyarakat tentang peran fungsional kalakai terhadap anemia karena Fe yang dikandungnya. METODE PENDEKATAN Metode pendekatan yang digunakan adalah metode uji proximate (Air, abu, Serat kasar, Protein, Lemak dan Karbohidrat), Uji Mineral (Fe dan Ca), Uji Vitamin (Vitamin A dan Vitamin C) dan Uji Fitokimia (Alkaloid, steroid dan Flavonoid). Metode pendekatan untuk mengetahui informasi sebaran kalakai adalah dengan pengumpulan data kuantitatif kawasan budidaya pertanian lahan basah pada Kabupaten Barito Kuala yang menjadi titik fokus kajian. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan dari bulan April - Oktober 2005, bertempat di Laboratorium Analisis Kimia, Laboratorium Mikrobiologi dan Analisis Bahan Industri Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Pengambilan sample dilakukan diwilayah Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan.

PKMP-1-13-3

Pelaksanaan Persiapan Sampel Persiapan sampel dilakukan pada dua bagian Kalakai (batang dan daun). Pekerjaan tersebut meliputi beberapa kegiatan: Pengumpulan bahan baku, Sortasi basah, Pencucian, Perajangan, Pengeringan,Sortasi kering, Ekstraksi. Ekstraksi Alkaloid mengacu pada metode Martono, (1983), ekstrak flavonoid mengacu pada Budzianowski et al (1985) dan ekstraksi Steroid pada metode Bahti et al (1983). semua kegiatan dilaksanakan berurutan. Uji proksimate Penentuan/Penetapan Kadar Air (AOAC, 1995) : Penetapan kadar air dilakukan dengan mengeringkan pinggan porselin pada suhu 105oC selama 30 menit. Setelah didinginkan di dalam eksikator kemudian ditimbang. Serbuk daun sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam pinggan porselin lalu dikeringkan di oven dengan suhu 105oC selama 2 jam. Kadar air dihitung dengan cara berikut : KA (%) = bobot awal-bobot setelah dikeringkan/bobot awal x 100%. Uji Kadar Protein (AOAC, 1995) : 2 g sample dalam labu kjeldhal 30 ml. Tambahkan 1,9 g K2SO4, 4 mg HgO dan 3,5 H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg tambahkan 0,1 H2SO4 untuk setiap bahan organik di atas 15 mg. Didihkan sampel selama 1 – 1,5 jam sampai jernih. Dinginkan, tambahkan sedikit air perlahan, dinginkan dengan menambahkan 5 ml aquadest. Pindahkan isi labu ke alat destilasi. Cuci dan bilas labu 5 - 6 kali dengan 12 ml aquadest, pindahkan cucian ke alat destilasi. Letakkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml asam borat dan 2 – 4 tetes indikator (campuran dua bagian metilen merah 0,2 % dalam alkohol dan satu bagian metilen blue 0,2 % dalam alkohol) di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dibawah larutan asam borat. Kemudian tambahkan 8 – 10 ml NaOH 60 % dan Na2S2O8. Lakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Bilas tabung kondensor dengan air dan tampung bilasannya dalam erlenmeyer yang sama. Encerkan isi erlenmeyer kira-kira sampai 50 ml kemudian titrasi dengan HCl 0,1 N sampai warna menjadi abu-abu. %N = ((ml HCl – ml blanko) x N x 14,007 x 100) /mg sample, %protein= %N x 6,25 Uji kadar lemak (AOAC, 1995) : Contoh bebas air sebanyak 10 gr diekstraksi dengan pelarut Hexan selama 6 jam dalam soxhlet. Hasil ekstraksi diuapkan dengan cara dianginkan lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC sampai kering selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan. Kadar lemak (%) = (B2 /B1) x 100% Keterangan B1 = Bobot contoh awal (gr) , B2 = Bobot lemak (gr) Uji Kadar serat kasar (AOAC, 1995) : Timbang 2 g bahan kering dan ekstraksi lemaknya dengan soxhlet. kalau bahan sedikit mengandung lemak tidak perlu gunakan 10 g bahan tidak perlu dikeringkan dan ekstraksi lemaknya. Pindahkan bahan ke dalam erlenmeyer 600 ml. Kalau ada tambahkan 0,5 g asbes yang telah dipijarkan dan 3 tetes zat anti buih. Tambahkan 200 ml H2SO4 mendidih (1,25 g H2SO4 pekat/100 ml = 0,255 N H2SO4) atau 7 ml/1000 ml air. Tutuplah dengan pendingin balik, didihkan selama 30 menit sambil digoyang. Saring suspensi lalu residu yang tertinggal dan erlenmeyer dicuci dengan aquadest mendidih. Cucilah residu dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring kedalam erlenmeyer kembali dengan spatula, dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH

PKMP-1-13-4

mendidih (1,25 g NaOH/100 ml = 0,313 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang selama 30 menit. Saring melalui kertas kering diketahui beratnya, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Cuci lagi residu dengan aquadest mendidih, dan lebih kurang 15 ml alkohol 95%. Keringkan kertas saring atau krus Gooch dengan isinya pada 110o C sampai berat konstan (1-2 jam), dinginkan di desikator dan timbang. Berat residu = Berat serat kasar Uji kadar abu (AOAC, 1995) : Bakar cawan pengabuan di tanur, dinginkan didesikator, dan timbang. Timbang 2 gr sampel dalam cawan tersebut, bakar sampai berwarna abu-abu. Pengabuan dilakukan 2 tahap Pertama suhu sekitar 400o C dan kedua suhu 600o C. dinginkan di desikator kemudian timbang. Ca (Anton A. 1989) : Pipet 20-100 ml larutan abu hasil pengabuan kering, masukkan ke dalam gelas piala 250 ml. Jika perlu tambahkan 25-50 ml aquadest. Tambahkan 10 ml larutan amonium oksalat jenuh dan 2 tetes indikator merah metil. Buat larutan menjadi lebih sedikit asam dengan menambahkan beberapa tetes asam asetat sampai warna larutan merah muda (pH 5,0). Panaskan larutan sampai mendidih, diamkan selama minimum 4 jam atau semalam pada suhu kamar. Saring menggunakan kertas saring Whatman No.42 dan bilas dengan aquadest sampai filtrat bebas oksalat (jika digunakan HCl dalam pembuatan abu, fitrat hasil saringan terakhir harus bebas Cl dengan mengujinya menggunakan AgNO3. Lubangi ujung kertas saring menggunakan batang gelas. Bilas dan pindahkan endapan dengan H2S04 encer (1+4) panas, kedalam gelas piala bekas tempat mengendapkan kalsium. Kemudian bilas 1 kali dengan air panas dan selagi panas (70o - 8Oo C) titrasi dengan larutan KmNO4 0,01 N sampai larutan berwarna merah jambu permanen yang pertama. Masukkan kertas saring dan lanjutkan titrasi sampai tercapai warna merah jambu. Perhitungan: mgCa/100g sample = Hasil titrasi x 0,2 x total volume larutan abu x 100 Vol larutan abu x berat sample yg diabukan Fe (Anton A. 1989) :Pembuatan pereaksi 1. Larutan potasium persulfat jenuh (K2S2O8) : larutkan 7-8 g potasium persulfat bebas besi dengan 100 ml air didalam sebuah botol tertutup gelas, campur merata. Kocok sebelum digunakan dan simpan di dalam kulkas. 2. Larutan potasium tiosianat 3 N : larutkan 146 g KSCN di dalam air dan encerkan sampai 500 ml. Saring jika keruh. Tambahkan 20 ml aseton murni untuk menaikkan ‘’ keeping quality’’. 3. Larutan besi standar : larutkan 0,702 g kristal FeSO4.(NH2)4SO4.6H2O di dalam 100 ml air. Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat, hangatkan sebentar dan tambahkan potasium permanganat pekat tetes demi tetes sampai satu tetes terakhir menghasilkan warna tetap. Pindahkan ke labu takar 1000 ml, bilas dengan air, encerkan sampai tanda tera (konsentrasi standar = 0,1 mg besi/ml larutan). Larutan ini stabil. Gunakan larutan abu dari hasil pengabuan kering. Kedalam tiga tabung reaksi tertutup yang terpisah masukkan larutan seperti daftar berikut:

PKMP-1-13-5

Larutan besi standar (1 ml = 0,1 mg Fe) Larutan abu Air H2SO4 Pekat K2S2O8 KSCN

Blanko (ml) 0,0 0,0

Standar 1,0 0,0

Sampel 0.0 5,0

5,0 0,5 1,0 2,0

4,0 0,5 1,0 2,0

0,0 0,5 1,0 2,0

Catatan : Penambahan reaksi harus berurutan dari atas ke bawah Masing-masing encerkan sampai volume 15 ml dengan air. Ukur absorban warna dengan spektrofotometer panjang gelombang 480 nm blanko pada 100% transmisi. mg besi/ 100g = OD sample x 0,1 x vol total lar abu x 100 OD standar x 5 x berat sample pengabuan Vitamin A (Anton A. 1989) : Hancurkan 10 g contoh/sampel dengan blender, tambahkan aseton lalu diaduk (ekstraksi). Filtrat dipindahkan kedalam labu pemisah dan tambahkan 10 – 15 ml petroleum eter. Pigmen dipindahkan ke dalam fase petroleum eter dengan cara mengencerkan aseton dengan air yang mengandung 5 % Na2SO4 (penambahan sedikit demi sedikit ). Ulangi ekstraksi fase aseton dengan petroleum eter, saring melalui Na2SO4 anhidrans, kepekatan diatur supaya dapat terbaca pada spektrofotometer. Tentukan absorbance pada panjang gelombang (λ) 436 nm. Total karoten (ppm) =

100 B

xfpx

AbsC AbsS

x 100 λ

B = Berat contoh fp = faktor pengenceran Abs C = Absorbance Contoh Abs S = Absorbance standar = 2 : 53 Vitamin C (Jacobs) : Timbang 200 – 300 g bahan segar dan hancurkan dalam waring blender sampai diperoleh slurry. Timbang 10 – 30 g slurry masukkan ke dalam labu takar 100 ml dan tambahkan aquadest sampai tanda. Saring dengan krus Gooch atau dengan sentifuge untuk memisahkan filtratnya. Ambil 5 – 25 ml filtrat dengan pipet dan masukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml. Tambahkan 2 ml larutan amilum 1 % (soluble starch) dan tambahkan 20 ml aquadest kalau perlu, kemudian titrasi lah dengan 0,01 N standard yodium yang mengandung 16 g KI per liter. Perhitungan : 1 ml 0,01 N Yodium = 0,88 mg asam askorbat. Uji fitokimia : Senyawa yang akan diuji yaitu alkaloid, steroid dan flavonoid.. Golongan senyawa alkaloid dideteksi dengan menyemprotkan pereaksi Dragendorf. Golongan senyawa steroid, dideteksi dengan H2S04 dan asam asetat anhidrat. Sedangkan golongan senyawa flavonoid dideteksi dengan cara melarutkan 10 ml filtrat dengan 0,5 g Mg ditambahkan 2 ml. alkohol klorhidrat dan 20 ml amil alkohol, dikocok dengan kuat, terbentuknya wama merah, kuning, dan jingga pada lapisan amil alkohol, itulah pertanda yang menunjukkan adanya kandungan senyawa flavonoid. Bila deteksi dini menunjukkan hasil positif maka dilanjutkan dengan uji secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode spesifik yaitu untuk senyawa alkaloid mengaju pada metode Martono

PKMP-1-13-6

(1983), ekstraksi flavonoid mengacu pada Budzianowski et al (1985) dan ekstraksi steroid dengan metode Bahti et al (1983) Bahan : Daun dan Batang muda Kalakai, NaOH 1,25%, K2SO4, etanol, H2S04 1,25%, aquadest, K2SO4, HgO,H2SO4, H3BO4, NaOH, HCl, Heksana, besi standar, air, H2S04 pekat, K2S208, KSCN, larutan abu, aseton murni, larutan amoniumoksalat jenuh, indikator merah metil, asamasetat encer, AgN03, H2S04 encer, air panas, KMN04 0,01 N, KI, I2, Amilum, MgCO3, Mg aktif, supercel (1+1), lapisan Na2S04 anhydros setinggi 1 cm, Pereaksi Wagner, Mayers, dan Dragendorf, NH2, CHCl3, etanol, metanol, etil asetat, amilalkohol, besi klorida, formaldehid, asam asetat anhidrat. Alat : pisau stainless steel, gunting tanaman, baskom, pinggan porselin, eksikator, neraca analitik, oven, Labu kjedahl, alat destilasi, erlenmeyer, kondensor, soxhlet, pendingin balik, kertas saring, cawan porselen, tanur, kuvet, gelas ukur, tabung reaksi, pipet, gelas piala, biuret, kertas saring Whatman No 42, Blender/mortar, water bath, sentrifuge, labu pemisah, labu takar, Sprayer HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kadar Air Hasil analisis kadar air kalakai disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Persen kadar air pada batang dan Daun Daun (d1) 8,8140% Rata-rata = 8,5587%

(d2) 8,3034%

Batang (b1) 7,5519% Rata-rata = 7,2756%

(b2) 7,1993%

Kadar Abu Hasil analisis kadar abu pada kalakai disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persen kadar abu pada batang dan Daun Daun (%) (d1) (d2) 10,0714 10,6642 Rata-rata = 10,3678

Batang (%) (b1) (b2) 9,0159 9,3712 Rata-rata = 9,1936

Serat Kasar Hasil analisis kadar serat kasar pada kalakai disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Persen serat kasar pada batang dan Daun Daun (%) (d1) 1,57 Rata-rata = 1,93

(d2) 2,29

Batang (%) (b1) 3,50 Rata-rata = 3,35

(b2) 3,19

Kadar Protein. Hasil analisa Protein pada kalakai disajikan pada tabel 4.

PKMP-1-13-7

Tabel 4. Persen Protein pada batang dan Daun. Daun (%) (d1) (d2) 11,5206 11,4428 Rata-rata = 11,4817

Batang (%) (b1) (b2) 2,8787 0,9043 Rata-rata = 1,8915

Kadar Lemak Hasil analisis kadar lemak pada kalakai disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Persen kadar lemak pada batang dan Daun Daun (%) (d1) (d2) 2,6770 2,5799 Rata-rata = 2,6285

Batang (%) (b1) (b2) 1,2723 1,4597 Rata-rata = 1,3660

Uji Mineral Kalsium (Ca). Hasil analisis mineral Kalsium pada kalakai disajikan pada tabel 6. Tabel 6. Kadar Kalsium (Ca) batang dan Daun Daun (mg per 100 ml) (d1) (d2) 176,22 Rata-rata = 182,065

187,91

Batang (mg per 100 ml) (b1) (b2) 136,06 Rata-rata = 168,775

201,49

Besi (Fe). Hasil analisis mineral besi (Fe) pada kalakai disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar besi (Fe) Batang dan Daun Daun (mg per 100 mg) (d1) (d2) 236,484 346,148 Rata-rata = 291,316

Batang (mg per 100 mg) (b1) (b2) 358,046 84,839 Rata-rata = 221,443

Uji Vitamin Vitamin C. Hasil analisis Vitamin C pada kalakai disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kadar vitamin C pada batang dan Daun Daun (mg per 100 ml) (d1) (d2) 255,20 184,20 Rata-rata = 219,7

Batang (mg per 100 ml) (b1) (b2) 308 220 Rata-rata = 264

Vitamin A Hasil analisis vitamin A pada kalakai disajikan pada Tabel 9.

PKMP-1-13-8

Tabel 9. Kadar vitamin A pada batang dan Daun Daun (ppm) (d1) (d2) 25779,49 28173,08 Rata-rata = 26976.29

Batang (ppm) (b1) (b2) 11304,12 9547,51 Rata-rata = 10425.65

Uji fitokimia Komponen pengamatan uji fitokimia meliputi flavonoid, alkaloid, dan steroid. Hasil analisis senyawa bioaktif pada kalakai disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Persen senyawa bioaktif pada batang dan daun Komponen kalakai Batang

Daun

Senyawa bioaktif Flavonoid

Ulangan 1 (%) 3,040

Ulangan 2 (%) 2,980

Rata-rata (%) 3,010

Alkaloid Steroid Flavonoid Alkaloid Steroid

3,467 2,467 1,620 1,120 1,470

4,158 2,697 1,880 1,050 1,830

3,817 2,583 1,750 1,085 1,650

Pembahasan Mitchel, 1991; daun dan jaringan lainnya merupakan sumber hasil asimilasi. Sebagian hasil asimilasi yang telah diproduksi tetap tinggal dalam jaringan untuk pemeliharaan sel. Daun yang sedang berkembang memerlukan hasil asimilasi yang di impornya untuk penyediaan energi dan kerangka karbon yang diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang sampai daun-daun itu dapat memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Berdasarkan pernyataan inilah diduga mengapa sebagian besar kandungan senyawa yang dianalisis lebih tinggi jumlahnya pada daun dibandingkan batang. Hasil penelitian Potensi Kalakai sebagai Pangan Fungsional, diketahui Kalakai memiliki kandungan Protein, Lemak dan serat yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional. Keunggulan mineral besi memberikan hasil yang signifikan dan sesuai dengan potensi pada kajian secara empiris. Hasil analisa komponen proximate, kandungan vitamin, mineral dan kandungan senyawa bioaktif yang ada pada tumbuhan tersebut, menunjukkan angka-angka yang bervariasi besarnya antara bagian batang dan daun. Pada beberapa komponen yang dianalisa menunjukkan bahwa angka-angka yang ditunjukkan pada analisa daun lebih besar daripada angka-angka yang ditujukkan oleh bagian batang. Analisa Proksimate Kadar Air Hasil analisis proksimat kadar air kering ditunjukkan pada tabel 1, yaitu : pada daun dengan kadar air rata-rata sebesar 8,85587 % dan pada batang 7,2756 %. Persentase kadar air tertinggi berdasarkan Tabel 1. terdapat pada bagian daun.

PKMP-1-13-9

Kadar Abu Persentase rata-rata kadar abu pada bagian daun adalah sebesar 10,3678% lebih besar daripada persentase rata-rata kadar abu bagian batang yaitu 9,1936%. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya (Slamet Sudharmaji, Bambang Haryono, Suhardi, 2003). Abu dalam proses analisis proksimat merupakan sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan yang tidak menguap yang didalamnya terdapat beberapa mineral. Mineral tersebut dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan, pembentukan tulang dan gigi, pembentukan rambut, dan kuku (R.B. Ach. Murtada et al., 2002) Serat Kasar Persentase serat kasar pada batang lebih besar daripada yang ada pada daun.ditunjukkan pada Tabel 3. Persentase rata-rata pada daun 1,93% sedangkan pada batang 3,35%. Serat kasar mengandung selulose dan senyawa sebangsanya yang tidak dapat dicerna sebaik atau secepat bahan ekstrak tanpa nitrogen (terutama terdiri dari pati) (Tillman, et al., 1986 dalam R.B. Ach. Murtada et al., 2002). Dikemukakan juga bahwa serat kasar mengandung selulose, hemiselulose dan lignin. Selulose merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman bersama hemiselulose dan lignin. Hemiselulose merupakan sekelompok senyawa yang terdapat bersama-sama dengan selulose pada jaringan daun, batang dan beberapa macam biji tanaman. Lignin adalah bagian yang menjadi kayu dari tanaman seperti janggel, biji, bagian serabut kasar, akar, batang dan daun yang mengandung subtansi yang kompleks dan tak dapat dicerna (R.B. Ach. Murtada et al., 2002). Inilah yang menyebabkan bagian batang memiliki serat kasar yang lebih tinggi daripada di daun. Berdasarkan R.B. Ach. Murtada et al., 2002; keberadaan serat kasar tinggi berhungan dengan rendahnya nutrisi dan kemampuan suatu makanan untuk dicerna, tetapi memiliki fungsi dan peran yang penting pada sistem peristaltik dalam pencernaan. Kadar Protein Rata-rata persen Protein daun 11,4817 % dan batang rata-rata 1,8915% Nilainya lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis sayuran yang merupakan sumber protin seperti kacang hijau yang memiliki kadar protein sebesar 22,2%. Hal ini disebabkan kadar N yang terkandung di dalam protein lebih banyak terdapat di daun. Nitrogen selalu bergerak dalam tubuh tanaman. N banyak digunakan oleh daun yang masih muda dan organ yang sedang tumbuh dimana organ tersebut banyak memerlukan N seperti buah dan biji (Franklin P Gardener et al., 1991). Dengan adanya kadar protein yang diperoleh maka tanaman kalakai juga dapat menjadi salah-satu sumber asupan protein nabati bagi masyarakat yang mengkonsumsinya, terkait dengan kandungan proteinnya daun sangat direkomendasikan untuk dikonsumsi. Kadar Lemak Kadar lemak pada batang lebih rendah yaitu sebesar 1,366% dan daun lebih tinggi sebesar 2,6770 %. Tingginya persentase kadar lemak pada daun disebabkan daun merupakan jaringan yang aktifitasnya tinggi. Menurut Tillman, et al., 1986 dalam R.B. Ach. Murtada et al., 2002 mengemukakan bahwa protein dan lemak pada tanaman erat kaitannya dengan aktifitas jaringan. Lemak tak jenuh penting bagi tubuh yaitu untuk cadangan energi dan proses metabolisme di dalam tubuh, sementara rendahnya lemak pada bagian batang karena didominasi senyawa selulose, lignin dan lainnya yang merupakan komponen serat kasar.

PKMP-1-13-10

Kalsium (Ca) Pada hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata kadar Ca di daun lebih besar dari pada di batang sebesar 182,065 mg per 100 ml di batang dan 168,775 mg per 100 ml di daun. Mineral kalsium merupakan salah satu mineral yang menunjang aktivitas metabolisme dalam tubuh. Kalsium diperlukan untuk pertumbuhan tulang dan gigi, selain itu kalsium dapat mengurangi resiko osteoporosis Besi (Fe) Hasil analisis mineral Fe pada Tabel 7 menunjukkan rata-rata Fe di daun lebih tinggi sebesar 291,3158 mg per 100 mg, dibandingkan di batang 221,4427 mg per 100 mg. Fe merupakan salah satu komponen penyusun pigmen yang ada pada daun (Franklin F Gardener. et al,. 1991). Kandungan besi dalam kalakai cukup tinggi. Mineral besi (Fe) sendiri berfungsi untuk membentuk hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Sehingga kalakai dapat digunakan sebagai pangan fungsional penambah darah (Prof. Dr Made Astawan, 2005). Berdasarkan penelitian Daisy Irawan, C. Hanny Wijaya, Suwido H. Limin, Yayusuki Hashidoko, Mitsuru Osaki dan Ici P. Kulu, 2003; menyatakan bahwa kalakai secara tradisional juga diketahui dapat menstimulasi produksi ASI pada ibu menyusui. Vitamin C Jumlah rata-rata vitamin C di daun lebih rendah dari pada rata-rata di batang yaitu sebesar 219,7 mg per 100 ml dan 264 mg per 100 ml. Asam askorbat berfungsi membantu penyerapan Fe dalam tubuh, sehingga sangat sesuai dengan hasil Fe yang tinggi. Kombinasi beberapa nutrien dalam tubuh sangat diperlukan, pada plasma darah, mineral tembaga berikatan dengan seruplasmin yang mengkatalisis oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang kemudian akan ditransfer oleh protein transpor menuju hati (Belitz dan Grosch, 1999 dalam Daisy Irawan et al., 2003). Vitamin C juga berperan sebagai elektron transport, pembentukan kolagen, obat dan metabolisme steroid, metabolisme tirosin, metabolisme ion logam, antihistamin, fungsi imun, anti carsinogen, antioksidan dan fungsi prooksidan dalam tubuh. Sebagai antioksidan vitamin C dapat menetralkan radikal bebas dan penyakit kulit. Melalui pengaruh pencahar, vitamin C dapat meningkatkan pembuangan faeses atau kotoran (Daisy Irawan et al., 2003; Intisari online, http// :www.indomedia.com. 2000). Vitamin A Jumlah vitamin A pada daun sebesar 26976.29 ppm dan di batang 10425.65 ppm. Hasil ini berkolerasi positif dengan keberadaan senyawa Fe yang dikandung daun juga jauh lebih tinggi dibandingkan batang. Keberadaan vitamin A tidak terlepas dari keberadaan derivat lainnya seperti senyawa beta karoten dan antosianin. Senyawa Antosianin juga menyebabkan pigmen kuning kemerahaan seperti yang terlihat pada pucuk daun Kalakai. Pada bagian inilah yang dominan diambil dan dikonsusmsi masyarakat dayak untuk bahan sayuran. Bahan aktif vitamin A, bermanfaat memperkuat sel kekebalan, mengatur pertumbuhan, pembelahan sel, mengurangi pertumbuhan sel ganas. Berbagai penelitian menunjukkan suplementasi vitamin A dapat menurunkan 23% angka kematian anak akibat campak, diare, dan infeksi saluran pernapasan (Kompas, 26 Februari 1999

PKMP-1-13-11

Uji fitokimia Dari Tabel 10. pada daun menunjukkan kandungan flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan alkaloid dan steroid. Hal ini diduga terkait dengan fungsi spesifik dari flavonoid yang mampu sebagai antioksidan dan sama dengan vitamin A yang lebih dominan pada daun. Pada batang alkaloid lebih tinggi dibandingkan flavonoid dan steroid. Diduga erat terkait dengan komponen kulit batang berbagai tanaman terutama tanaman obat yang kaya akan alkaloid. Fungsi Fisiologis senyawa fitokimia adalah sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, anti-radang, merangsang sistem daya tahan tubuh, mengatur tekanan darah, mengatur kadar gula darah, dan menurunkan kolesterol (Waltz, 1996 dalam Sampoemo et al., 2000). Berdasarkan Winarno, 2002; warnawarna merah, biru, ungu pada bagian-bagian tanaman disebabkan oleh warna pigmen antosianin, yang merupakan bagian dari senyawa flavonoid. Namun warna daun kalakai yang hanya berwarna merah keunguan menunjukkan bahwa konsentrasi antosianin yang dikandung bagian tanaman tersebut rendah. Pada batang kalakai yang berwarna hijau muda diduga hanya sedikit mengandung senyawa flavonoid dan hal ini dibuktikan sesuai data pada Tabel 10. Alkaloid sejati merupakan senyawa nitrogen yang memiliki struktur kompleks dan bersifat basa. Atom nitrogen yang terdapat di dalam struktur merupakan bagian dari sistem heterosiklik dan dapat menyebabkan terjadi aktifitas farmakologis. Alkaloid jenis ini terbentuk secara biosintesis dari asam amino dan pada tumbuhan ditemukan dalam bentuk garam (Hesti Heryani, 2002). Pada tanaman sendiri, alkaloid berfungsi sebagai zat racun untuk melawan serangga atau hewan pemakan tanaman, pengatur tumbuh, sebagai substansi cadangan untuk memenuhi sumber Nitrogen atau elemen lain yang penting bagi tumbuhan, dan merupakan hasil akhir reaksi detoksifikasi dari zat yang berbahaya bagi tumbuhan (Sumiwi, 1992). Potensi Sebaran Kalakai Potensi Sebaran Kalakai dapat dilihat dari habitat Kalakai yang ada di Kalimantan Selatan. Habitat kalakai adalah di daerah rawa gambut yang secara umum disebut lahan basah. (MacKinnon et al., 2000). Daerah yang banyak memiliki rawa gambut adalah Kabupaten Barito Kuala yang luasnya menurut “Peta Rencana Tata Ruang Kalimantan Selatan” (Perda Nomor 9 Tahun 2002) adalah sebesar 155477,50 Ha. KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan baik pada komponen daun maupun batang diperoleh kesimpulan beberapa hal berikut : 1. Daun memiliki protein dan lemak, masing-masing 11,48% dan 2,63%. Keunggulan daun yaitu tingginya kandungan mineral Kalsium dan Besi. Kandungan besi 291,32 mg per 100 mg bahan, memungkinkan sebagai pencegah anemnia. Vitamin A daun dua kali lipat lebih banyak dibandingkan batang yaitu sebesar 26976,29 ppm. Flavonoid yang lebih tinggi di daun (1,75%) memungkinkannya dijadikan sebagai antioksidan dan anti kanker.

PKMP-1-13-12

2.

3.

Batang memiliki keunggulan dalam hal serat kasar (3,19%). Dalam hal kandungan bioaktif, batang memilki kandungan alkaloid yang lebih besar dibanding daun yaitu 3,82%. Karena itu batang sangat terkait dengan kemampuannya sebagai anti alergi dan gatal pada kulit. Berdasarkan habitat tumbuh kalakai, potensi sebaran terbesar di daerah Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 155477,50 Ha.

Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan produk pangan fungsional yang diekomendasikan, sehingga kandungan protein, mineral Fe, vitamin A serta senyawa alkaloid dan flavonoid yang menonjol dapat dipertahankan dan tidak hilang selama proses atau dalam fase teknologi pengolahan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Analisa Proksimat Bahan Pakan. Fakultas Pertanian Unlam. Banjarbaru. Anonim.Juli 2000. Vitamin-Vitamin Untuk Tubuh. www.indomedia.com/intisari. Anonim. Health: Saturday, 24 Sep 2005. Jenis, Fungsi, Sumber Gizi bagi Tubuh. Majalah Lisa. Anton Apriantono dkk. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bahti et al 1983. Isolasi dan Identiflkasi senyawa-senyawa Steroid dan Senyawasenyawa yang Bertalian Dengan serta Senyawa-senyawa Alkoloid dari Daun Kamboja (Plumiera acutofolia Poir). Laporan penelitian. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Budzianowski et al. 1985. di dalam Gauci, K. 1998. Pharmacognosy of the local plant P. Officinalis. www. Cis. Urn. Ed. MC-plicy/sypm98/KevinGauci. Htnil-7k. Daisy Irawan, C. Hanny Wijaya, Suwido H. Limin, Yayusuki Hashidoko, Mitsuru Osaki dan Ici P. Kulu. 2003. Ethnobotanical Study And Nutrient Potency of Some Local Traditional Vegetable in Central Kalimantan (I) dalam Proceeding of The International Symposium on Land Management And Biodiversity In South East Asia. Bali, Indonesia. 17-20 September 2005. Hokaido University. Sapporo. Japan and Research Center of Biology, The Indonesia nstitute of science Bogor. F. G. Winamo. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. M-BRIO Press. Bogor. Franklin P Gerdener, Pearce R Brand, Mithel Roger L. 1991. UI Press. Jakarta. Gembong Tjiprosoepomo. 1988. Taksonomi tumbuhan (spermathopyta). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan K.Padmawinata dan 1. Soediro. ITB. Bandung. Hesty Heryani. 2002. Kajian Fraksi Aktif Formulasi Tabat Barito (Ficus deltoidea Jack) Sebagai Anti Kanker Mikroorganisme Klinis. Proram Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor MacKinnon., dkk. 2000. Ekologi Kaliamantan Edisi Ill. Jakarta Made Astawan. Prof. DR. 2002 Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. KOMPAS

PKMP-1-13-13

Martono S. 1983. Isolasi dan Identifikasi Zat Aktif Berkhasiat analgetik pada Daun Gendarussa vulgaris Ness. Laporan Penelitian. Fakultas Farmasi Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi Keenam. Penerbit ITB, Bandung. R.B Ahmad. Murtada. 2002. Analisa Proksimat Pakan Kijang. Agrosain Vol 15 (2). Hal 263-274 Sampoemo dan Dedi Fardiach. 2000. Kebijakan. dan Pengembangan Pangan Fungsional dan Suplemen Di Indonesia di dalam Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional & Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional Institut Pertanian Bogor. Bogor. Slamet Sudarmadji, Bambang Haryono, Suhardi. 1976. Prosedur Analisa Hasil Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberti Gadjah Mada. Yogyakarta. . 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberti Gadjah Mada. Yogyakarta. Sudjana, Dr, MA, Msc. 1975. Metode Statistika. Tarsito. Bandung. Sumiwi, S.A. 1992. Kromatografl Lapis Tiga Alkaloid dari Daun Kelor. Moringa oleifera Lamle Laporan Penelitian. Direktorat Jenderal PendidikanTinggi. DepartemenPendidikanDan Kebudayaan. Jakarta. Voon Boon Hoe, Bagsci dan Kuch Hong Siong, Bagsei (1999). The Nutritional value of indigenous fruits and vegetables in sarawak. konference International Asia Pasifik Clinical Nutrition Society, Serawak Malaysia

PKMP-1-14-1

PEMANFATAN LIMBAH PLASTIK (POLISTIRENA) DAN KERTAS BEKAS SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN FIBER BOARD Rita Afriyanti, Nurhayati, Nafisah Teknik Kimia/Teknik kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Lhokseumawe ABSTRAK Polistirena (gabus elektronik) dan kertas bekas adalah salah satu hasil industri yang merupakan limbah, sesudah digunakan oleh manusia. Limbah tersebut dapat kita manfaatkan menjadi suatu produk komposit yang lebih bernila ekonomisi, yaitu fiber board. Pembuatan fiber board dilakukan dengan dengan melarutkan polistirena menggunakan toluene dan mencampurkannya dengan benzoil peroksida, asam akrilat dan kertas. Dari hasil uji tekan dan perhitungan yang dilakukan didapat bahwa pada perbandingan polistirena dengan serbuk kertas (60:40) nilai MoR sebesar 192.3675 kg/cm2 dan MoE sebesar 12696.125 kg/cm2, pada perbandingan polistirena dengan serbuk kertas (70:30) nilai MoR sebesar 156.585 kg/cm2 dan MoE sebesar 15571.2375 kg/cm2, dan pada perbandingan polistirena dengan serbuk kertas (80:20) nilai MoR sebesar 135.135 kg/cm2 dan MoE sebesar 20569.4125 kg/cm2. Dengan demikian semakin besar berat serbuk kertas maka modulus patah (uji tekan) semakin tinggi dan semakin kecil berat polistirena maka modulus elastisitas semakin kecil. Kata Kunci : Polistirena, Fiber Board PENDAHULUAN Limbah adalah buangan yang kehadirannya tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis dan dapat menurunkan kualitas lingkungan, serta dapat mengganggu kelangsungan hidup manusia juga makhluk hidup lain. Umumnya limbah tidak hanya berasal dari suatu industri yang memproses atau mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang dapat digunakan oleh manusia atau makhluk lain, tetapi limbah juga berasal dari manusia itu sendiri yang biasanya dikenal dengan limbah rumah tangga. Oleh karena itu limbah rumah tangga juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga memerlukan perhatian khusus. Namun, dengan meningkatnya perkembangan teknologi kita dapat memanfaatkan limbah menjadi suatu produk yang bernilai guna. Polistirena (gabus elektronik) dan kertas bekas adalah salah satu hasil industri yang merupakan limbah, sesudah digunakan oleh manusia. Limbah tersebut dapat kita manfaatkan menjadi suatu produk komposit, yaitu fiber board. Pada awal 1990 di Jepang dan Amerika Serikat telah berkembang teknologi dibidang papan komposit. Teknologi ini menghasilkan produk komposit yang merupakan gabungan antara serbuk kayu dengan plastik daur ulang (Setyawati, 2003:1). Namun, sekarang kita mencoba menggantikan kayu dengan kertas bekas dan plastik dengan polistirena (gabus elaktronik). Limbah polistirena dan kertas bekas merupakan limbah yang dibuang ke lingkungan, dan apabila dibuang terus-menerus tanpa penanganan sedikitpun, maka limbah tersebut dapat mengganggu kelestarian lingkungan.

PKMP-1-14-2

Dalam hal ini diupayakan untuk meningkatkan pengembangan dalam pemanfaatan polistirena dan kertas bekas untuk dijadikan produk yang bernilai ekonomis. Pengolahan limbah tersebut selain menghasilkan produk, juga dapat mengurangi banyaknya pencemaran lingkungan, dan fiber board adalah salah satu produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan limbah. Adapun tujuan dari penelitian pemanfaatan limbah polistirena dan kertas bekas sebagai bahan pembuatan fiber board adalah memanfaatkan limbah polistirena dan kertas bekas menjadi produk yang bernilai ekonomis, serta dapat mengetahui proses pembuatan fiber board dari bahan komposit polistirena dan kertas bekas. Penelitian ini sangat berguna untuk pengembangan kelestarian lingkungan karena bahan-bahan yang digunakan adalah limbah-limbah yang dapat merusak lingkungan. Pada masa yang akan datang jika program ini diwujudkan dalam suatu proses industri, dimungkinkan pasar akan melirik produk ini sebagai suatu pengganti papan yang sebenarnya. Dari segi ekonomi hal ini sangat memungkinkan karena bahan-bahan yang mendukung dalam pembuatan fiber board sangat mudah didapat dan harganya relative terjangkau. Di lain sisi pembuatannya pun relative sederhana. METODE PENDEKATAN Proses pelaksanaan penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan juni 2006. Pelaksanan penelitian bertempat di Laboratorium Kimia Analisa Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe. Uraian persiapan yang telah dilakukan termasuk mempersiapkan bahan, desain dan instrumen penelitian. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian: 1. Tahap persiapan penelitian meliputi: − Pengadaan zat-zat kimia, yang dipesan/dibeli di Medan − Pengadaan Bahan Kertas dan polistirena − Pembuatan Serbuk Kertas 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian meliputi: Pada tahap penelitian meliputi prosedur kerja untuk pembuatan serbuk kertas dan pembuatan fiber board. a. Prosedur kerja untuk pembuatan serbuk kertas Adapun prosedur kerja untuk pembuatan kertas adalah sebagai berikut : 1) Kertas bekas dikumpulkan sampai dengan berat yang diingikan (dibersihkan). 2) Kertas bekas yang telah terkumpul direndam sampai lunak. 3) Selanjutnya kertas diblender sampai kertas menjadi bubur dengan menggunakan sedikit air. 4) Bubur kertas kemudian dikeringkan dengan oven atau dengan sinar matahari sampai menjadi bubuk kertas. 5) Serbuk kertas ditempatkan dalam wadah yang kering. b. Prosedur kerja untuk pembuatan fiber board

PKMP-1-14-3

Adapun prosedur kerja untuk proses pembuatan fiber board adalah sebagai berikut : 1) Polistirena/busa elektronik yang telah disiapkan ditimbang sampai 60 gram. 2) Memasukkan polistirena ke dalam beaker glass 500 ml dan menambahkan pelarut toluena 100 ml, benzoil peroksida 0,1 gram, dam asam akrilat 4 ml. 3) Menambahkan serbuk kertas 40 gram ke dalam campuran tersebut. 4) Campuran diaduk sampai bahan-bahannya tercampur sempurna. 5) Campuran tersebut adalah fiber board yang siap dicetak. 6) Setelah pencetakan, fiber board dikeringkan dengan oven atau sinar matahari. 7) Selanjutnya dilakukan uji tekan dan uji lentur. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil uji tekan dan lentur yang telah dilakukan di laboratorium polimer FMIPA-USU Medan diperoleh data sbb: Sampel Serbuk Polistirena kertas 80 20 70 30 60 40

P(kg)

Ratarata

MoR (Kg/cm2)

13.8 14.2 13.6 13.86 12.1 19.3 16.8 16.06 17.6 21.8 19.8 19.73

135.135 156.585 192.3675

1

2

3

Dari data diatas dapat diperoleh grafik uji tekan terhadap berat polistirena dan serbuk kertas. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar berat serbuk kertas maka semakin tinggi kekuatan tekannya. Sebagai contoh, pada berat polistirena dengan serbuk kertas (60 dan 40) gr nilai MoR sebesar 192.3675 kg/cm2 pada berat (70 dan30) gr nilai MoR sebesar 156.585 kg/cm2 dan pada berat (80 dan 20) gr nilai MoR sebesar 135.135 kg/cm2. Dari data pada Tabel berikut dapat diperoleh grafik uji lentur terhadap berat serbuk kertas menunjukkan nilai yang sebaliknya yaitu semakin besar berat serbuk kertas maka semakin rendah nilai MoE, misalnya pada berat polistirena 60 gr dengan serbuk kertas 40 gr nilai MoE sebesar 12696.125 kg/cm2, pada berat polistirena 70 gr dengan serbuk kertas 30 gr nilai MoE sebesar 15571.2375 kg/cm2 dan pada berat polisrirena 80 gr dengan serbuk kertas 20 gr sebesar 20569.4125 kg/cm2.

PKMP-1-14-4

Grafik Uji Tekan Terhadap Berat Serbuk Kertas 250

MoR

200 150 MoR (kg/cm2)

100 50 0 0

1

2

3

4

5

Berat Serbuk Kertas

Sedangkan pada data uji lentur menunjukkan nilai yang berbeda. Hal ini ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Sampel Serbuk Polistirena kertas 80 20 70 30 60 40

P' (kg) 1

2

3

18.8 26.1 22.5 20.1 13.7 17.3 9.35 14.2 12.6

Y (cm)

MoE (Kg/cm2)

0.3 0.3 0.26

20569.4125 15571.2375 12696.125

Grafik Uji Lentur Terhadap Berat Polistirena 25000

MoE

20000 15000 MoE (kg/cm2)

10000 5000 0 0

1

2

3

Berat Polistirena

4

5

PKMP-1-14-5

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Perbandingan polistirena dan serbuk kertas dapat mempengaruhi modulus elastisitas dan modulus patah. 2. Semakin besar berat serbuk kertas maka semakin besar kekuatan tekan dari fiber board 3. Semakin besar berat pilistirena maka semakin besar pula kekuatan lentur dari pada fiber board. DAFTAR PUSTAKA 1. Fessenden & Fessenden. “kimia organik”. Edisi ketiga jilid I, Erlangga, Jakarta;1990 2. http:// Mawar. Colombs. Itb.ac.id/files/unsorted/kimia dasar 2, kimia, material/komposit. Htm;2001. 3. http:// pustaka, bogor, rust/dt baru/hut 1046.htm:2003 4. Maraudin “Industri Petrokimia dan Dampak Lingkungannya”. Gajah Mada University Press, Yogyakarta : 2002. 5. Niazi Anan. “Penggunaan Tepung Mineral Silika (S1O2) dalam Pembuatan Komposit Poliester Resin”. Skripsi Universitas Syiahkuala, Banda Aceh;2002 6. Rahmi Ita. “Membuat Kertas Daur Ulang”. TGA Politeknik Negeri Lhokseumawe;2001 7. Tim Suhuf Kertas Seni Nusantara. “Berkreasi dengan kertas Daur Ulang”.puspa Swara, Jakarta;2000 8. www.geocities.Com/kertas seni/Sejarah-Kertas.Htm;2001 9. www. Manggala.Or.id/Pubchation/media info/edaran/Edr;1999.

PKMP-1-15-1

KINERJA DARI PEMAKAIAN PASIR ALAM HASIL TAMBANG MASYARAKAT DESA KOTO BARU SEBAGAI AGREGAT HALUS CAMPURAN LATASTON Ali Afdal, Sony Afriyanto, Islah Politeknik Negeri Padang, Padang ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-1-16-1

PEMBUATAN ABON AMPAS TAHU SEBAGAI UPAYA PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN Ridayanti, Ai Patmawati, Elin Lisnawati PS Teknologi Pangan dan Gizi, Teknologi Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu dan teknologi menimbulkan dampak positif bagi perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak negatifnya berupa makin banyaknya limbah yang dihasilkan dari industriindustri tidak dapat dihindari. Untuk menanggulangi masalah pencemaran, masyarakat harus mulai befikir keras untuk memanfaatkan limbah industri yang masih dapat dimanfaatkan. Hal ini akan mengurangi biaya pengolahan limbah dan akan menambah pendapatan bagi masyarakat. Industri tahu yang menghasilkan limbah merupakan salah satu sumber pencemaran udara berupa bau busuk dan pencemaran sungai yang ada di sekitar pabrik. Limbah yang dihasilkan pabrik tahu berupa kulit kedelai, ampas dan air tahu masih dapat dimanfaatkan menjadi produk-produk yang bermanfaat. Pada proses pengolahan tahu akan dihasilkan limbah berupa ampas tahu yang apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan bau tidak sedap. Ampas tahu masih mengandung zat gizi yang tinggi yaitu protein (26.6%), lemak (18.3%), karbohidrat (41.3%), fosfor (0.29%), kalsium (0.19%), besi (0.04%) dan air (0.09%) (Daftar Komposisi Bahan Makanan, 1992). Oleh karena itu masih memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar atau campuran pada proses pengolahan pada poduk tertentu. Pada tahun 1990 ditemukan cara pemanfaatan limbah cair tahu menjadi nata de soya yang jika dilakukan bersama-sama oleh pengusaha tahu dapat mengurangi pencemaran sungai akibat pembuangan limbah cair tahu di sekitar pabrik. Ampas tahu dapat diolah menjadi produk makanan, salah satu alternatifnya adalah dibuat abon ampas tahu. Abon merupakan salah satu bentuk diversifikasi makanan berbahan baku ampas tahu. Abon adalah produk hasil olahan dengan menggunakan tehnik pengeringan untuk menghilangkan air yang terdapat dalam bahan sehingga produk menjadi renyah. Pembuatan abon adalah salah satu cara dalam berbagai macam tehnik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi ampas tahu. Produk yang dihasilkan ini diharapkan memiliki kandungan gizi yang tinggi dengan umur simpan yang lama. Abon memiliki umur simpan yang relatif lama, karena berbentuk kering. Dengan cara pengolahan yang baik, abon dapat disimpan berbulan-bulan tanpa mengalami banyak penurunan mutu. Pada dasarnya masyarakat lebih menyukai produk pangan yang siap dikonsumsi dan bergizi tinggi. Abon dapat dijadikan pilihan sebagai makanan yang siap dikonsumsi karena abon bisa disajikan sebagai lauk, bahan isi utama dalam pangan tradisional atau hanya sebagai taburan dalam berbagai produk pangan atau menu makanan. Abon sebagai salah satu bentuk produk olahan

PKMP-1-16-2

kering sudah dikenal masyarakat luas karena harganya cukup terjangkau dan rasanya lezat. B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat produk abon dari ampas tahu, mendapatkan formulasi abon ampas tahu yang tepat, dan mengetahui umur simpan abon ampas tahu yang dikemas dalam plastik polypropylene. C. Rumusan Masalah Masalah-masalah pokok yang dianalisis dan dicoba untuk dipecahkan dalam program penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kemungkinan pemanfaatan limbah industri tahu berupa ampas tahu diproses menjadi abon ampas tahu. 2. Menentukan formulasi abon ampas tahu yang enak dan disukai oleh masyarakat. 3. Bagaimana proses produksi yang tepat untuk menghasilkan abon ampas tahu yang baik. 4. Bagaimana tingkat kesukaan masyarakat terhadap abon ampas tahu. D. Manfaat 1. Melatih daya kreativitas, inovasi dan improvisasi mahasiswa. 2. Memasyarakatkan abon ampas tahu. 3. Merangsang masyarakat yang berada di sekitar pabrik tahu untuk memanfaatkan limbah industri tahu 4. Mengurangi pencemaran akibat limbah industri pangan METODE PENDEKATAN A. Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT SARTIKA Universitas Djuanda, Bogor. B. Waktu Pelaksanaan program penelitian ini dilakukan secara berkesinambungan selama 3 bulan dari bulan Februari sampai bulan April 2006. C. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan kasar, oven, soxhlet, desikator, labu kjeldahl, buret, pipet volumetrik, tanur, penangas air, cawan porselen, Erlenmeyer, filter glass, wadah plastik, pisau, sendok, pengering sentrifugal, kompor, wajan, panci kukus, peniris, pengaduk, penumbuk dan plastik PP (polypropylene). Spektrofotometer, desikator, silika gel, mikrometer, penggaris, timbangan analitik. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas tahu, santan kelapa, minyak goreng dan beberapa bumbu-bumbu antara lain garam, bawang merah, bawang putih, lada, lengkuas, gula pasir, ketumbar, daun salam. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisa antara lain air destilata, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, asam borax, HCl 0.1 N, HCl 0.2 N, pepsin, NaOH 4 N, pankreatin, sodium deodesil sulfat, HCl 4 N, aseton, isoamil alkohol, kristal timol.

PKMP-1-16-3

D. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara dua tahap, yaitu tahap awal adalah menentukan proses dan formulasi penambahan abon nangka untuk menghasilkan abon ampas tahu dengan mutu yang baik. Selanjutnya produk abon ampas tahu dilakukan uji organoleptik untuk menentukan tingkat kesukaan masyarakat. Parameter uji yang dilakukan meliputi tekstur, rasa, warna dan aroma. Kemudian ditentukan nilai gizinya melalui analisa proksimat (uji kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak dan serat makanan/dietary fiber). Tahap kedua adalah melihat umur simpan abon ampas tahu yang terbaik dari tahap 1, pengamatan umur simpan ini dilakukan setiap 1 minggu sekali (pada hari ke-0, ke-7, ke-14, dan ke-21) dengan metode Arrhenius dimana produk disimpan plastik PP (Polypropylene). Setiap satu minggu sekali dilakukan uji thiobarbituric acid dan uji FFA (Free Faty Acid). Data hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan tabel ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata, data dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan proses dan mencari formula penambahan abon nangka untuk menghasilkan abon ampas tahu yang baik yang akan digunakan pada penelitian utama. Pembuatan abon ampas tahu dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemilihan formula terbaik dipilih berdasarkan uji organoleptik menggunakan uji hedonik. Abon ampas tahu yang dihasilkan memiliki warna coklat muda, rasanya enak, memiliki aroma khas abon dan teksturnya lembut (tidak berserat). Karena abon ampas tahu yang dihasilkan memiliki tekstur yang kurang baik (tidak berserat seperti abon pada umumnya), jadi pada penelitian ini dilakukan penambahan abon nangka dengan tujuan untuk menambah kadar serat dan memperbaiki tekstur abon yang dihasilkan. Dimana nangka memiliki serat seperti daging sehingga abon ampas tahu yng ditambahkan abon nangka akan memiliki tekstur seperti abon daging. Kadar serat yang terkandung dalam nangka muda yaitu sebanyak 1.6 gram (www.asiamaya.com). Abon nangka yang dihasilkan memiliki warna coklat tua, rasanya enak, memiliki aroma khas abon dan teksturnya berserat. Pada penelitian ini menggunakan 3 perlakuan yaitu perlakuan A (100% abon ampas tahu), Perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu), dan perlakuan C (50% abon nangka + 50% abon ampas tahu). Analisa yang dilakukan pada penelitian pendahuluan meliputi analisa proksimat (kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat) dan uji organoleptik. 1. Uji Organoleptik Dalam menentukan mutu suatu produk, sifat pertama kali yang menentukan diterima atau ditolaknya produk tersebut oleh konsumen addalah sifat organoleptik yang dimilikinya, seperti warna, aroma, rasa dan tekstur. Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap

PKMP-1-16-4

warna, aroma, rasa, dan tekstur dilakukan uji organoleptik yaitu dengan uji hedonik. a. Warna Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari penyebaran spektrum sinar (Kartika, 1988). Pada uji organoleptik, warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik perhatian konsumen serta paling cepat pula memberi kesan produk tersebut disukai atau tidak (Soekarto, 1990). Warna memegang peranan penting dalam menentukan mutu suatu produk. Selain faktor yang menentukan mutu, warna juga mempunyai banyak arti yaitu dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan, indikator kerusakan, serta baik tidaknya cara pengolahan (Soekarto, 1990). Dengan penambahan abon nangka pada abon ampas tahu dapat mempengaruhi warna abon ampas tahu yang dihasilkan, dimana abon nangka memiliki warna coklat tua dan abon ampas tahu memiliki warna coklat muda, sehingga warna abon ampas tahu yang dihasilkan menjadi coklat. Penilaian 24 orang panelis terhadap parameter warna abon ampas tahu yang dihasilkan terdapat perbedaan nyata antara perlakuan A, B dan C. Setelah dilakukan analisis sidik ragam perlakuan C berbeda nyata dengan A, dan B pada taraf 5%. Sedangkan perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. Tetapi berdasarkan penilaian panelis perlakuan B lebih disukai daripada perlakuan A dan C, karena abon B mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.5450), dimana semakin tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh lamanya pemasakan atau penggorengan abon yang berbeda dan varietas nangka yang digunakan. Penggorengan abon ampas tahu dilakukan hingga bahan berwarna coklat kekuning-kuningan dengan menggunakan api yang tidak terlalu besar agar bahan tidak gosong. Sedangkan abon nangka sebelum dilakukan penggorengan sudah terjadi reaksi browning sehingga setelah dilakukan penggorengan warna abon nangka yang dihasilkan memiliki warna coklat tua. Hal ini dikarenakan varietas nangka yang digunakan tidak begitu bagus, sehingga mempengaruhi warna abon ampas tahu yang dihasilkan. b. Aroma Aroma dapat didefinisikan sebagai suatu yang dapat diamati dengan indra pembau. Pada industri pangan pengujian terhadap aroma/bau diangggap penting karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian tentang diterima atau tidaknya produk tersebut. Selain itu aroma yang dapat dipakai sebagai indikator terjadinya kerusakan pada produk misalnya sebagai akibat dari pengemasan atau cara penyimpanan yang kurang baik. Aroma merupakan bagian penting untuk menarik konsumen pada produk bahan pangan, sehingga memberikan ciri tertentu. Dalam setiap bahan pangan khususnya abon memiliki aroma yang berbeda

PKMP-1-16-5

dan khas, hal ini bisa dipengaruhi oleh penambahan bumbu dan bahan yang digunakan ketika pemasakan. Dengan adanya penambahan abon nangka dapat berpengaruh nyata terhadap abon ampas tahu yang dihasilkan. Setelah dilakukan analisis sidik ragam perlakuan A tidak berbeda nyata dengan C dan perlakuan C tidak berbeda nyata dengan B, sedangkan perlakuan A berbeda nyata dengan B pada taraf 5%. Tetapi menurut panelis perlakuan B lebih disukai daripada perlakuan A dan C, karena abon B mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.4350), dimana semakin tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai. Aroma abon ampas tahu yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan ketika pemasakan. Pada saat pemasakan terjadi penyerapan air oleh adonan dan bumbu dengan bantuan air serta panas, sehingga mengeluarkan zat volatil ketika pemasakan adonan. Pada saat pemasakan adonan akan terjadi proses pelepasan komponen volatil yang memberikan aroma khas pada abon. c. Rasa Rasa juga memegang peranan yang penting dalam menentukan suatu produk diterima atau tidak oleh konsumen. Apalagi dalam pembuatan suatu produk baru, penilaian konsumen terhadap rasa sangat menentukan mutu produk tersebut. Dengan adanya penambahan abon nangka dapat berpengaruh nyata terhadap rasa abon ampas tahu yang dihasilkan, dimana rasa abon ampas tahu dan abon nangka yang dihasilkan sangat berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penambahan bumbu yang berbeda pada saat pemasakan. Setelah dilakukan analisis sidik ragam perlakuan C berbeda nyata dengan A dan B, sedangkan perlakuan B tidak berbeda nyata dengan A pada taraf 5%. Tetapi menurut panelis perlakuan A (100% abon ampas tahu) lebih disukai daripada Abon B dan C, karena Abon A mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.5050), dimana semakin tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai. Abon ampas tahu memiliki rasa yang lebih baik daripada abon nangka, karena penyerapan bumbu pada pemasakan ampas tahu lebih baik dibandingkan dengan nangka. Dengan demikian rasa yang dihasilkan pada abon ampas tahu lebih kompak dan merata. d. Tekstur Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut ataupun perabaan dengan jari (Kartika, 1988). Tekstur juga dapat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Tekstur suatu produk dipengaruhi oleh komponen apa yang terdapat dalam produk tersebut. Abon ampas tahu dan abon nangka yang dihasilkan memiliki tekstur yang berbeda, dimana abon ampas tahu memiliki tekstur yang lembut (tidak berserat) sedangkan abon nangka berserat. Dengan adanya penambahan abon nangka seharusnya dapat berpengaruh nyata terhadap tekstur abon ampas tahu yang dihasilkan, tetapi setelah

PKMP-1-16-6

dilakukan analisis sidik ragam perlakuan A, B, dan C tidak berbeda nyata. Tetapi menurut panelis perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu) lebih disukai daripada perlakuan A dan C, karena abon B mempunyai penilaian yang paling tinggi (5.5000), dimana semakin tinggi tingkat penilaian abon akan semakin disukai. Nangka ini memiliki tekstur seperti daging sehingga baik untuk ditambahkan pada abon ampas tahu. Kadar serat yang terkandung dalam nangka muda yaitu sebanyak 1.6 gram (www.asiamaya.com). 2. Analisa Proksimat Abon ampas tahu yang dihasilkan dengan tiga perlakuan yaitu 100% abon ampas tahu, 25% abon nangka + 75% abon ampas tahu dan 50% abon nangka + 50% abon ampas tahu, dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan gizi abon ampas tahu. Hasil analisa proksimat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisa proksimat abon ampas tahu Hasil (%) Kandungan A1 A2 B1 B2 Kadar air 7.30 7.52 6.41 7.61 Kadar protein 8.47 10.01 9.94 9.80 Kadar lemak

11.94

11.78

13.04

14.20

C1 9.04 9.73

C2 8.43 9.38

14.03

15.20

Hasil dari analisis proksimat abon ampas tahu dijelaskan sebagai beikut : a.

Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Menurut Winarno (1992), kadar air air yang tinggi akan mempengaruhi keawetan bahan pangan dan mempercepat umur simpan serta memudahkan pertumbuhan mikroba. Dari hasil analisa didapatkan kadar air rata-rata pada perlakuan A (100% abon ampas tahu) adalah 7.4100 %, perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu) adalah 7.0100% dan perlakuan C (50% abon nangka + 50% abon ampas tahu) adalah 8.7350%. Secara statistik perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Tetapi perlakuan B nilai kadar airnya lebih rendah daripada perlakuan A dan C. Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Kadar air pada abon yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses pengolahan yakni pada tahap penggorengan, dikarenakan air yang terdapat dalam bahan menguap atau keluar sewaktu bahan digoreng. Hal ini disebabkan air bebas yang terdapat dalam bahan langsung diuapkan oleh panas wajan dan minyak sebagai media perantara, sehingga sebagian bebas air yang terdapat dalam jaringan bahan dapat menguap atau berkurang.

PKMP-1-16-7

% Kadar air

10 8 6

Konsetrasi Ampas Tahu

4 2 0 100%

75%

50%

Abon ampas tahu

Gambar 1. Kadar air abon ampas tahu b.

Kadar abu Kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat dalam abon ampas tahu. Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organic pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Menurut Winarno (1992), dalam proses pembakaran bahan-bahan organic terbakar tetapi zat anorganiknya tidak dan disebut abu. Unsur mineral diperlukan manusia agar memiliki kesehatan dan pertumbuhan yang baik. Uji kadar abu ini dilakukan pada abon yang terbaik yaitu 25% abon nangka + 75% abon ampas tahu. Kadar abu yang diperoleh sebanyak 4.71%. Meningkatnya kadar abu dalam produk abon ampas tahu dikarenakan kandungan mineral yang terdapat dalam abon ampas tahu seperti potassium, natrium, besi, fosfor, dan kalsium tidak hilang selama proses pengolahan.

c.

Kadar protein Menurut Almatsier (2001), Protein dihidrolisasi dengan asam alkali dan enzim, akan dihasilkan campuran-campuran asam-asam amino. Kandungan protein merupakan nutrisi terpenting yang menjadi daya tarik untuk mengkonsumsi ampas tahu. Kadar protein rata-rata yang diperoleh pada perlakuan A (100% abon ampas tahu) adalah 9.2400%, perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu) adalah 9.5550% dan perlakuan C (50% abon nangka + 50% abon ampas tahu) adalah 9.8700%. Secara statistik perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Tetapi perlakuan B nilai kadar proteinnya lebih tinggi daripada perlakuan A dan C. Penentuan kadar protein ini dilakukan dengan metode kjeldahl. Dari hasil analisa protein abon ampas tahu diperoleh data seperti terlihat pada Gambar 2. Ampas tahu mengandung protein sebanyak 26.6% sedangkan kandungan protein pada poduk yang dihasilkan lebih rendah, hal ini terjadi karena pada proses pemasakan dimana gula pasir yang ditambahkan dalam adonan menyebabkan reaksi mailard sehingga mengurangi jumlah protein yang ada dalam abon ampas tahu. Hal ini

PKMP-1-16-8

diperkuat oleh pernyataan Muchtadi (1989), penurunan protein pada abon daging terutama disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan (Mailard) selama proses pengolahan, dimana protein (asam amino) daging bereaksi dengan gula (pereduksi) yang ditambahkan sebagai bumbu. Gula pereduksi tersebut mempunyai gugus OH bebas yang reaktif, yaitu suatu kemampuan untuk mereduksi ion dalam keadaan basa (Goutara et al., 1985).

% Kadar Protein

10 9,8 9,6 Konsetrasi Ampas Tahu

9,4 9,2 9 8,8 100%

75%

50%

Abon ampas tahu

Gambar 2. Kadar protein abon ampas tahu Menurut winarno (1980), protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, goncangangoncangan dan sebab-sebab lainnya. Pemanasan yang berlebihan dapat mengakibatkan denaturasi protein dan selama penyimpanan protein dapat mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul-molekul kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana oleh aktivitas mikroba. d.

Kadar Lemak Lemak merupakan bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewani. Dari segi kimia lemak terdiri dari sebagian ester yang terbentuk dari gabungan gliserol dengan asam lemak (www. Astaga.com). Kerusakan lemak dalam bahan pangan dapat terjadi selama proses pengolahan, kerusakan lemak menyebabkan bahan pangan berbau dan rasa tidak enak, sehingga dapat menurunkan mutu dan nilai gizi bahan pangan tersebut. Lemak tidak jenuh mudah mengalami reaksi oksidasi, reaksi ini bertanggung jawab dalam menyebabkan bau tengik pada produk. Bila lemak dipanaskan untuk jangka waktu yang lama atau berulang-ulang, maka reaksi oksidasi asam lemak tak jenuh akan menghambat pembentukan polimer. Penetapan kadar lemak pada abon ampas tahu dilakukan dengan metode soxhlet. Dari hasil analisa diperoleh kadar lemak abon ampas tahu pada perlakuan A (100% abon ampas tahu) adalah 11.8600%, perlakuan B (25% abon nangka + 75% abon ampas tahu) adalah 13.6200% dan perlakuan C (50% abon nangka + 50% abon ampas tahu) adalah 14.6150%. Secara statistik perlakuan A tidak berbeda

PKMP-1-16-9

% Kadar Lemak

nyata dengan B, perlakuan B tidak berbeda nyata dengan C danperlakuan A berbeda nyata dengan C pada taraf 5%. Sedangkan perlakuan A nilai kadar lemaknya lebih rendah daripada perlakuan B dan C. Hasil analisa kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 3. 16 14 12 10 8 6 4 2 0

Konsetrasi Ampas Tahu

100%

75%

50%

Abon ampas tahu

Gambar 3. Kadar lemak abon ampas tahu Ampas tahu mengandung lemak sebanyak 18.3% sedangkan abon ampas tahu yang dihasilkan memiliki kadar lemak yang lebih rendah, hal ini dikarenakan proses pemerasan yang lebih baik karena menggunakan alat sentrifuse sehingga minyak yang dikeluarkan lebih banyak dan kadar lemak pada abon ampas tahu yang dihasilkan akan lebih rendah. e. Serat makanan (dietary fiber) Serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Menurut The American Association of Cereal Chemist (2001), Serat makanan merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar. Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakarida, oligosakarida, lignin dan bagian tanaman lainnya. Metode analisis yang digunakan untuk analisa serat makanan menggunakan metode enzimatis. Metode enzimatis yang dikembangkan oleh Asp et al. (1984), merupakan metode fraksinasi enzimatik, yaitu penggunaan enzim amilase, yang diikuti oleh penggunaan enzim pepsin pankreatik. Dari hasil analisa didapatkan serat makanan untuk 25% abon nangka + 75% abon ampas tahu adalah 9.21 g/100g bahan. Besarnya serat makanan dalam produk dikarenakan pengaruh dari proses pengolahan yang menyebabkan kadar air produk berkurang dan lebih padat sehingga yang dianalisa merupakan serat dari penambahan abon nangka yang tidak hilang selama proses pengolahan.

PKMP-1-16-10

B. Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan dengan tujuan untuk melihat pengaruh jenis kemasan dan untuk melihat pengaruh suhu penyimpanan terhadap mutu produk abon ampas tahu yang dihasilkan dengan menggunakan analisa umur simpan metode Arrhenius. Abon yang digunakan pada penelitian utama ini berdasarkan pada hasil uji organoleptik yang terbaik dan memiliki kandungan gizi yang baik berdasarkan analisa proksimat (Kadar air, kadar protein dan kadar lemak) dari hasil penelitian pendahuluan. Perlakuan pada penelitian utama adalah pengemasan dalam kemasan plastik PP (Polypropylene), serta penyimpanan pada kondisi suhu 30oC. Penyimpanan dilakukan selama satu bulan dengan waktu pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali. Analisa yang dilakukan pada penelitian utama adalah uji thiobarbituric acid dan uji FFA (Free Faty Acid). Untuk nilai thiobarbituric acid abon ampas tahu yang dikemas dengan menggunakan plastik PP (Polypropylene) dapat dianalisa regresi linier dengan menggunakan persamaan : Y = a + bx Dimana : Y = Nilai thiobarbituric acid x = Lama penyimpanan a = Intercept b = Slope Hasil perhitungan analisis regresi linier selama penyimpanan dengan menggunakan suhu 30oC dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Hasil perhitungan analisis regresi linier selama penyimpanan dengan menggunakan suhu 30oC Xi Yi X2 Y2 Y = 0.11348x – 0.04306 1 0.0688 1 0.0047 2 0.1163 4 0.0135 3 0.2652 9 0.0703 4 0.4692 16 0.2201 Total 10 0.9195 30 0.3086 Intercept Slope (b) = Koefisien (a) = 0.11348 relasi (r) = 0.04306 0.96031 Dari hasil perhitungan ini dapat diperoleh nilai umur simpan abon ampas tahu yang dikemas plastik PP (Polypropylene) dengan menggunakan suhu penyimpanan 30oC adalah selama 27 minggu. Menurut Winarno (1997), dalam penentuan umur simpan suatu produk banyak sekali faktor yang terlibat, tetapi faktor yang sangat menentukan adalah jenis makanan itu sebdiri, pengemasan dan kondisi penyimpanan. Penurunan mutu abon ampas tahu dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dQ/dt = k atau Qt = Q0 + kt, sehingga dapat diketahui persamaan untuk mencari waktu penyimpanan yaitu : ts = Qt – Q0 k

PKMP-1-16-11

Nilai Thiobarbituric acid

Kurva hubungan antara lama penyimpanan (minggu) sebagai absis dan nilai thiobarbituric acid sebagai ordinat dapat dilihat pada Gambar 4.

0.5

0.4692

0.4 0.3

0.2652

Lama Penyimpanan

0.2 0.1

0.1163 0.0688

0 1

2

3

Lama Penyimpanan

Gambar 4. Kurva hubungan antara lama penyimpanan dan thiobarbituric acid KESIMPULAN Dari hasil uji organoleptik tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan B lebih disukai oleh panelis untuk parameter warna, aroma dan tekstur. Perlakuan C lebih disukai oleh panelis untuk parameter rasa. Setelah dilakukan analisa sidik ragam, untuk parameter warna pada perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan A dan B. Untuk parameter aroma perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. Untuk parameter rasa pada perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan A dan B. Sedangkan untuk parameter tekstur pada perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata. Untuk anlisa proksimat kadar air dan kadar protein pada perlakuan A, B dan C tidak berbeda nyata tetapi perlakuan B memiliki kadar air yang lebih rendah dan kadar protein yang tinggi. Untuk kadar lemak pada perlakuan A berbeda nyata dengan B dan C. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa penambahan abon nangka 25 % merupakan perlakuan yang lebih baik karena memliki kadar protein dan kadar serat yang tinggi, selain itu juga perlakuan ini lebih disukai oleh panelis. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Asp, N.G., L. Prosky., L.Furda., J.W. De Vries., T.F. Schweizer and B.F. Harland. 1984. Determination of Total Dietary Fiber in Foods and Food Products and Total Diets : Interlaboratory Study. J.A.D.A.C. Daftar Komposisi Bahan Makanan. 1992. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. Bhratara, Jakarta. Gautara dan S. Wijayandi. 1981. Dasar pengolahan Gula I. jurusan Teknologi Industri. Fateta-IPB, Bogor. Kartika, B., Hastuti, P dan Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan GiziUGM, Yogyakarta. Kartika, B., Hastuti, P dan Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi-UGM, Yogyakarta.

PKMP-1-16-12

Rismana, E.M.S. 2005. Minyak dari Biji Mengkudu. Peneliti Muda di P3 Teknologi Farmasi dan Medika. Bahan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. www. Astaga.com, Jakarta. Soekarto, S. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB- Press, Bogor. Winarno, F.G., Fardiaz, S dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta. Winarno, F.G. 1992. kimia pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

PKMP-1-17-1

PEMAPARAN LOGAM BERAT TIMBAL (PB) DAN KADMIUM (CD) PADA AYAM KAMPUNG (GALLUS DOMESTICUS) Reny Pratiwi, Michael Dian Nugraha, Maggie Olivya Marley Lewier Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-1-18-1

SISTEM DETEKTOR KEBOCORAN GAS PADA TABUNG LPG Adi Prasetiawan1, Dari Suparno2, Halida Nurrahmah2 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, UMS Surakarta, Surakarta 2 Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik, UMS Surakarta, Surakarta 1

ABSTRAK Bahan bakar dengan gas di Indonesia telah meliputi berbagai aspek kehidupan mulai dari rumah tangga hingga industri, mulai kompor di dapur, penghangat ruangan, pemanas air pada kamar mandi, hingga bahan bakar penggerak mesin. Dengan semakin banyaknya peralatan yang menggunakan gas, maka resiko yang ditimbulkan juga semakin besar, seperti bahaya kebakaran. Sebagai contoh kasus kebakaran depot LPG (Liquid Petrolium Gasses) milik PT Metroja Mandiri Tangerang yang meledak berturutan selama delapan kali akibat tabung LPG meledak dan menyebabkan seorang karyawannya meninggal dunia dan menghanguskan seluruh bagian depot LPG (Kompas, 23 Maret 2003). Berdasarkan fakta di atas diperlukan adanya alat yang mampu mendeteksi kebocoran gas LPG sebagai peringatan dini untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba memperkenalkan manfaat detektor kebocoran gas sebagai indikator awal kebocoran gas pada tabung LPG. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan kemampuan sistem detektor kebocoran gas sebagai sebuah solusi untuk mengurangi bahaya kebocoran gas dan resiko kebakaran yang terjadi. Sistem alat pendeteksi kebocoran gas pada tabung LPG terdiri dari beberapa komponen, yaitu: (1) sensor; (2) penguat; (3) mikrokontroller; (4) LCD; (5) rangkaian relay; (6) indikator; dan (7) catu daya. Sensor memegang peranan penting sebagai indikator awal kebocoran dari gas pada tabung LPG. Sensor gas ini berupa bahan semi konduktor yang akan berubah tahanan dalamnya apabila terkena pengaruh gas. Perubahan resistansi dapat mempengaruhi tegangan keluaran yang akan menjadi tegangan masukan pada komponen penguat. Tegangan keluaran dari penguat dilanjutkan ke mikrokontroller yang berfungsi sebagai otak dalam sistem detektor gas ini. Kemudian proses dilanjutkan ke bagian indikator yang digunakan sebagai sinyal terjadinya kebocoran dan besarnya gas yang tercium oleh sensor akan ditampilkan pada LCD. Dengan perancangan sistem ini diharapkan dapat menurunkan besarnya angka kebakaran yang terjadi akibat kebocoran gas LPG dapat. Kata Kunci: Detektor gas, mikrokontroller, dan indikator. PENDAHULUAN Elpiji merupakan campuran dari berbagai hidrokarbon, sebagai hasil penyulingan minyak mentah yang berbantuk gas. Dengan menambah tekanan atau menurunkan suhunya sehingga elpiji menjadi berbentuk cair. Gas elpiji terkenal dengan sifatnya yang mudah terbakar sehingga kebocoran peralatan elpiji beresiko tinggi terhadap kebakaran. Karena sifatnya yang sensitif, maka perlu adanya perhatian khusus terhadap bahan bakar jenis ini (http: //www.Material.Itb.ac.Id/ MTM/ eminex 2004/eminex 2001).

PKMP-1-18-2

Kebocoran tabung atau perangkat elpiji sampai saat ini masih menjadi salah satu penyebab utama kebakaran. Gas elpiji yang mengalami kebocoran memang tercium baunya sehingga kebocoran normal mudah dideteksi. Akan tetapi, bila gas yang bocor meresap kedalam saluran air, instalasi listrik, atau ke bawah karpet, maka maka akan sulit dideteksi oleh indra penciuman manusia. Selain itu, AC dan alat pemanas ruangan juga dapat menutupi bau gas elpiji. Banyak kasus kebakaran yang terjadi akibat dari kebocoran gas elpiji, seperti kebakaran di depot elpiji milik PT. Metroja Mandiri yang berlokasi di Kabupaten Tangerang. Ledakan sejumlah tabung gas ini menyebabkan seorang karyawannya tewas dan menghanguskan seluruh bagian depot berikut puluhan tabung elpiji beserta 3 (tiga) mobil pengangkut elpiji (Kompas, 23 Maret 2003). Dengan dilatarbelakangi permasalahan di atas maka penulis mencoba memperkenalkan sebuah sistem detektor kebocoran gas elpiji dengan untuk mencegah kebakaran akibat kebocoran gas elpiji. Secara khusus penelitian ini hendak mencari jawaban atas pertanyaan yaitu bagaimanakah sistem detektor yang dapat mencegah terjadinya kebocoran gas pada tabung elpiji? Tujuan dari program kreativitas mahasiswa penerapan teknologi dengan judul sistem detektor kebocoran gas elpiji pada tabung elpiji ini yaitu menciptakan sistem detektor kebocoran gas elpiji sebagai upaya menanggulangi kebakaran akibat kebocoran elpiji. Gas elpiji mempunyai sifat flamable (mudah terbakar). Sehingga percikan api yang sekecil apapun dapat segera menyambar gas elpiji. Untuk mencegah halhal yang tidak diinginkan maka perlu mengetahui beberapa sifat umum dari gas elpiji. Sifat umum tersebut sebagai berikut: (a) tekanan gas elpiji cukup besar, sehingga bila terjadi kebocoran gas ini akan membentuk gas secara cepat, memuai dan sangat mudah terbakar; (b) gas elpiji menghambur di udara secara berlahan sehingga sulit mengetahui secara dini; (c) elpiji tidak mengandung racun; (d) daya pemanasannya tinggi dan tidak meninggalkan abu (http://www.Pm2.Usm. My/mainsite/builetin/racun/1996/gas). Sistem detektor kebocoran gas elpiji ini tersusun dari beberapa rangkaian elektronik dalam suatu sistem kontrol otomatis. Suharto (1985) menyatakan bahwa komponen pada suatu otomatis terbagi menjadi 5 (lima) bagian, diantaranya adalah: (1) sistem mekanik; (2) sistem elektrik; (3) sistem suhu atau temperatur; (4) sistem tekanan; dan (5) sistem kontrol dengan feedback. METODE PENDEKATAN Pembuatan sistem detektor ini, mulai dari perakitan sampai uji coba dilakukan di laboratorium teknik elektro Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pelaksanaan program kreativitas mahasiswa ini memakan waktu selama 6 (enam) bulan, yaitu mulai bulan Januari sampai bulan Juni pada tahun 2006. Waktu pelaksanaan program sesuai dengan jadwal yang ditunjukkan oleh tabel 1 dibawah ini.

PKMP-1-18-3

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan No

Kegiatan

Bulan ke1

1.

Study Literatur

2.

Pembuatan Proposal

3.

Pengumpulan Proposal

4.

Persetujuan

5.

Pengumpulan data

6.

Perencanaan Sistem Struktur, dimensi, Error System

7.

Perakitan sistem

8.

Uji kesahihan dan analisis kepekaan

9.

Penyusunan Laporan

2

3

4

5

6

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan sistem detektor kebocoran gas elpiji ini adalah sebagai berikut: A. Bahan 1. Sensor Gas

Gambar 1. Sensor Gas 2. Rangkaian Penguat

Gambar 2. Rangkaian Penguat

PKMP-1-18-4

3. Rangkaian Mikrokontroller

Gambar 3. Rangkaian Mikrokontroller 4. LCD

Gambar 4. LCD 5. Rangkaian Relay

Gambar 5. Rangkaian Relay 6. Rangkaian Indikator

Gambar 6. Indikator

PKMP-1-18-5

B. Alat 1. Tang Potong Kabel 2. Solder 3. Obeng Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi literatur yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan pembuatan barang dan melakukan uji coba kemampuan sistem detektor gas terhadap kebocoran gas elpiji. Data yang dikumpulkan adalah data yang berhubungan dengan sistem detektor kebocoran gas. Sasaran dalam penelitian ini adalah para konsumen dan para pengguna gas elpiji termasuk juga agen distributor gas elpiji. Tahapan pelaksanaan program sesuai dengan diagram tahapan pelaksanaan program seperti gambar 7 dibawah ini. Study Literatur Pembuatan Proposal Pengumpulan Data Perencanaan Sistem Struktur Perencanaan Dimensi dan Error System Perakitan Sistem Uji Kesahihan dan Analisis Kepekaan Pembuatan Laporan Gambar 7. Diagram Tahapan Pelaksanaan Program

PKMP-1-18-6

HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem kerja detektor kebocoran gas LPG sesuai gambar 8 di bawah ini.

Sensor

Rangkaian Penguat

Rangkaian Mikrokontroller

Rangkaian Relay

Indikator

LCD

Catu Daya Gambar 8. Sistem Kerja Detektor Gas LPG

Detektor kebocoran gas elpiji terdiri dari beberapa rangkaian, dengan sistem kerja yaitu sebagai berikut: 1. Sensor Gas Pada bagian penginderaan sistem deteksi kebocoran gas menggunakan sensor gas yang di dalamnya terdapat kawat pemanas (heater) dari bahan nichrome yang berbentuk miniatur dengan nilai resistansi nominal 38 ohm. Permukaan sensor dilapisi dioxide (SnO2), yaitu semikonduktor yang sanggup menerima temperatur 30 sampai 40 derajad Fahrenheit. Sensor ini dilengkapi 2 lapis selongsong stainless steel untuk menahan jilatan api langsung pada pemanas akibat konsentrasi gas berbahaya. Pemanasan terhadap elemen semikonduktor ini menyebabkan 2 macam pengaruh, yaitu: menaikkan aktivitas molekul dan menimbulkan konveksi aliran udara. Pada dasarnya, saat melakukan deteksi, gas yang terdekteksi menyentuh permukaan sensor, maka satuan resistansi dalam sensor akan berubah-ubah. Sejalan dengan perubahan resistensi tersebut akan menghasilkan tegangan keluaran. Tegangan keluaran akan membesar sebanding dengan kenaikan konsentrasi gas yang terdeteksi. 2. Rangkaian Penguat Tegangan hasil keluaran dari rangkaian sensor gas masih terlalu lemah dan sifatnya masih labil. Dengan adanya rangkaian penguat maka tegangan keluaran dari sensor tersebut di proses kembali dengan tujuan untuk mendapatkan tegangan keluaran yang lebih kuat dan sudah bersifat stabil. Penguatan dan penstabilan tegangan keluaran dari rangkaian sensor ini dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah proses ketika tegangan masuk ke rangkaian lainnya pada proses berikutnya.

PKMP-1-18-7

3. Rangkaian Mikrokontroller Setelah mengalami proses penguatan dan penstabilan pada rangkaian penguat maka tegangan diteruskan ke rangkaian mikrokontroller. Sesuai dengan namanya rangkaian ini berfungsi mengkontrol kerja dari sistem detektor kebocoran gas elpiji ini. Rangkaian ini juga dapat disebut sebagai otak dari seluruh sistem detektor gas elpiji. Rangkaian mikrokontroller dalam detektor gas elpiji diprogram untuk dapat menganalisa kebocoran gas elpiji sampai tiga tingkatan atau level dan setiap levelnya akan dihubungkan dengan rangkaian indikator yang berbeda-beda. Selain menganalisa rangkaian ini juga mengubah tegangan yang masuk menjadi bentuk sinyal-sinyal digital yang nantinya akan ditampilkan oleh layar digital (LCD). Tingkatan pada detektor gas elpiji ini dibagi menjadi tiga level yaitu level biasa atau normal, level waspada dan level bahaya. Pada setiap level mempunyai batasan harga konsentrasi gas elpiji yang tercium sensor yang berbeda-beda dan mempunyai indikator yang berbeda juga. Ketika detektor menunjukkan level normal dengan batasan konsentrasi gas kurang dari 1500 ppm maka lampu warna hijau akan menyala sebagai indikator. Pada saat detektor menunjukkan level waspada dengan batasan konsentrasi gas antara 1500 sampai 6000 ppm maka lampu warna kuning akan menyala. Dan ketika konsentrasi gas diatas 6000 ppm maka masuk pada level bahaya, dimana lampu warna merah dan alarm akan menyala serta secara otomatis pompa air akan menyala untuk membuka kran air sehingga air akan disemprotkan keseluruh ruangan, hal ini dilakukan sebagai tindakan untuk menetralisir gas elpiji untuk menghindari bahaya kebakaran. 4. Layar Digital (LCD) Bagian LCD akan menampilkan besarnya konsentrasi gas elpiji yang tercium oleh sensor gas. Pada layar akan tertulis besarnya konsentrasi gas elpiji dengan satuan ppm dan dilengkapi dengan tingakat kebocorannya. LCD ini hanya menampilkan hasil proses dari rangkaian mikrokontroller. 5. Rangkaian Relay Setelah rangkaian mikrokontroller memproses tegangan dari rangkaian penguat maka akan dihasilkan sebuah tingakatan kebocoran gas elpiji sesuai dengan batasan yang sudah diprogramkan, maka akan dilanjutkan dengan memberikan suatu indikator pada tingkatan kebocoran tersebut. Untuk menghubungkan menuju ke rangkaian indikator maka diperlukan sebuah rangkaian relay, Rangkaian ini berfungsi sebagai saklar otomatis dimana akan mengaktifkan indikator-indikator yang sesuai dengan levelnya. Sehingga disamping dari program pada rangkaian mikrokontroller, pengaktifan indikator kebocoran gas elpiji juga dibantu dengan rangkaian relay. 6. Indikator Untuk mengetahui adanya suatu kebocoran selain membaca dari LCD maka dipermudah dengan adanya suatu indikator. Indikator pada masing-masing level kebocoran dibedakan satu sama lain. Untuk level normal menggunakan lampu warna hijau, level waspada dengan lampu warna kuning dan level bahaya menggunakan lampu warna merah ditambahkan alarm dan dihubungkan ke pompa air sebagai usaha pencegahan kebakaran.

PKMP-1-18-8

7. Catu Daya Semua kebutuhan listrik pada detektor ini dipasok oleh satu catu daya. Pada rangkaian catu daya atau yang sering disebut dengan adaptor, berfungsi mengubah arus listrik dari arus bolak balik (AC) menjadi arus searah (DC). Tegangan hasil proses dari catu daya ini dihubungkan ke rangkaian lainya bengan kabel sebagai penghubung. Secara lengkapnya alur kerja sistem detektor kebocoran gas elpiji tampak seperti gambar dibawah ini.

Gambar 9. Sensor Gas

Gambar 10. Rangkaian Penguat

Gambar 11. Rangkaian Mikrokontroller

PKMP-1-18-9

Gambar 12. LCD

Gambar 13. Rangkaian Relay

Gambar 14. Indikator KESIMPULAN Sistem detektor kebocoran gas adalah sistem dapat mendeteksi kebocoran tabung gas elpiji dengan sensor secara otomatis. Komponen penyusun sistem detektor kebocoran gas terdiri dari : (a) sensor gas; (b) rangkaian penguat; (c) rangkaian mikrokontroller; (d) LCD; (e) Rangkaian relay; (f) indikator; dan (g) catu daya. a. Sensor Gas Pada bagian penginderaan sistem deteksi kebocoran gas menggunakan sensor gas yang di dalamnya terdapat kawat pemanas (heater) dari bahan nichrome.

PKMP-1-18-10

b. Rangkaian Penguat Rangkaian ini berfungsi sebagai penguat dan penyetabil tegangan keluaran dari sensor gas sehingga tegangan dapat diproses lebih lanjut.. c. Rangkaian Mikrokontroller Merupakan otak dari sistem detektor gas elpiji ini. Seluruh proses diolah pada rangkaian ini sesuai dengan program yang di settingkan ke mikrokontroller. d. LCD Pada LCD akan ditampilkan besarnya konsentrasi kebocoran gas dengan satuan ppm dilengkapi dengan levelnya sesuai konsentrasi gas elpiji yang tercium oleh sensor. e. Rangkaian Relay Dari rangkaian mikrokontroller ke indikator dihubungkan oleh rangkaian relay. Fungsi dari rangkaian ini yaitu sebagai saklar otomatis untuk indikator. f. Indikator Indikator setiap level berbeda-beda, level waspada menggunakan lampu warna hijau, level waspada menggunakan lampu warna kuning dan level bahaya menggunakan lampu warna merah dan alarm serta dihubungkan ke pompa air untuk menetralisir gas elpiji ketika terjadi kebocoran gas. g. Catu Daya Rangkaian catu daya merupakan suber listrik utuk sistem detektor ini. Rangkaian catu daya mengubah arul listrik AC menjadi DC. Berdasarkan analisis kerja sistem detektor kebocoran gas elpiji maka dapat diambil kesimpulan bahwa dengan adanya sistem detektor kebocoran gas dapat mengurangi risiko kecelakaan yang disebabkan oleh kebororan tabung gas elpiji. DAFTAR PUSTAKA Fredrick W. Hughes. 1990. Panduan Op-Amp. PT Elek Media Komputindo. Jakarta. Forrest M. Mims. III. 1987. 103 proyek Elektronika. PT. Elekmedia Komputindo. Jakarta. Robert F. Coughlin. Fredrick F. Driscroll. 1985. Penguat Operasional dan Rangkaian Terpadu Linier. Erlangga. Jakarta. Schilling. Robert J. 1990. Fundamentals of Robotics Analysis and Control. Prentice Hall. New Jersey. Suharto. 1985. Teknik Sistem dan Kontrol Otomatis. Djambatan. Jakarta. Wasito 5. 1992. Data Sheel Book II. PT Elokmedia Komputindo. Jakarta. ______. 2003. Depo LPG Ludes Terbakar. Kompas. 23 Maret 2003. http: // www.Material.Itb.ac.Id/MTM/ eminex 2004/eminex 2001. http: // www. Pm2. Usm. My / main site / builetin / racun / 1996 / gas. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sulawesi/2004/07/27/brk,2004072735,jdhtml.

PKMP-1-19-1

ANALISA UJI TARIK POLIPADU POLIESTER TAK JENUH DENGAN SERABUT KELAPA Anton Setiawan, Irwan Purwanto, Ali Mas'udin Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Sidoarjo ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-1-20-1

KAJIAN HUBUNGAN KUANTITATIF STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA KALANON DAN TURUNANNYA SEBAGAI ANTI LEUKEMIA DENGAN PENDEKATAN PCR (PRINCIPLE COMPONENT REGRESSION) Harjono, Dea Iftihani Fitrian, Agni Lili Ariyanti Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-1-21-1

KAJIAN OPTIMASI PENGARUH ORIENTASI SERAT DAN TEBAL CORE TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN BENDING DAN IMPAK KOMPOSIT SANDWICH GFRP DENGAN CORE PVC Istanto, Arif Ismayanto, Ratna permatasari PS Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta ABSTRAK Komposit sandwich merupakan jenis komposit yang cocok untuk digunakan sebagai struktur. Salah satu jenis serat dan core yang banyak diaplikasikan di industri adalah serat gelas dan core Divinycell PVC. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh orientasi serat dan tebal core terhadap kekuatan bending dan impak komposit sandwich GFRP dengan core Divinycell PVC. Bahan penelitian adalah serat E-glass woven roving dengan density 300 gr/m2, unsaturated polyester resin 157 BQTN-EX, dan core Divinycell PVC H 60 (ρ = 60 kg/m3). Spesimen uji terdiri dari lamina komposit GFRP (skin) dan komposit sandwich. Komposit skin dibuat dengan 5 variasi orientasi serat (0/90, 45/90, 30/90, 45/-45,dan 30/60). Spesimen uji komposit sandwich terdiri dari komposit sandwich dengan variasi tebal skin (2, 4, 6, dan 8 layer, orientasi serat 0/90) dengan tebal core 10 mm dan komposit sandwich dengan variasi tebal core (5, 10, 15, dan 20 mm) dengan skin 4 layer. Pembuatan komposit dilakukan dengan metode cetak tekan. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian bending (ASTM D 790-93 dan ASTM C 393-94), dan pengujian impak (ASTM D 5941 dan ASTM D 5942). Hasil penelitian komposit skin GFRP dengan variasi orintasi serat menunjukkan bahwa orientasi serat [(0/90)4] mempunyai kekuatan bending tertinggi (226,62 Mpa) dan kekuatan impak tertinggi (0,057 J/mm2). Skin 4 layer dengan orientasi serat [(0/90)4] dipandang paling efektif sebagai penguat permukaan komposit sandwich. Semakin tebal core, semakin rendah kekuatan komposit sandwich. Namun semakin tebal core, kemampuan menahan momen dan energi patahnya tetap semakin meningkat. Penampang patahan komposit sandwich mengindikasikan kegagalan yang didominasi oleh core. Kekuatan komposit sandwich ini dapat ditingkatkan dengan mensubtitusikan core yang memiliki sifat mekanis lebih tinggi. Kata kunci : komposit sandwich, komposit skin, kekuatan bending, kekuatan impak PENDAHULUAN Penggunaan bahan komposit sebagai pengganti logam dalam bidang rekayasa sudah semakin meluas, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga merambah bidang lainnya seperti properti, arsitektur dan lain sebagainya. Berbagai keuntungan penggunaan komposit semakin dirasakan oleh industri dan masyarakat, misalnya ringan, tahan korosi, tahan air, performance-nya menarik, dan tanpa proses pemesinan. Karena sifat panel komposit yang ringan, maka beban akibat konstruksi tersebut juga menjadi lebih ringan. Harga produk komponen yang dibuat dari komposit dapat turun hingga 60% dibandingkan dengan produk logam (sumber: Kunjungan di PT. INKA Madiun). Bahkan,

PKMP-1-21-2

penggunaan bahan komposit ini diprediksi mampu mereduksi penggunaan bahan logam import, yang lebih mahal dan mudah terkorosi. Komposit sandwich merupakan material yang tersusun dari tiga material atau lebih yang terdiri dari flat composite sebagai skin dan core di bagian tengahnya. Jika digunakan perekat untuk menggabungkan skin dan core, maka lapisan bahan perekat diperhitungkan sebagai komponen tambahan. Ketebalan lapisan perekat umumnya diabaikan karena lebih tipis dari ketebalan skin maupun core (ASTM C 274-99, 1998). Untuk mendapatkan struktur sandwich yang memiliki sifat mekanis tinggi maka diperlukan jenis skin dan core yang tepat. Dalam struktur sandwich, fungsi utama skin antara lain : sebagai pelindung core dari benturan, gesekan dan memperbaiki penampilan (Steeves dan Fleck, 2005). Dalam tugasnya sebagai lapisan pelindung, skin sangat tergantung pada jenis serat dan orientasinya. Serat menerima tegangan dari matrik dan meneruskan tegangan yang diberikan sesuai dengan orientasinya. Penentuan orientasi serat yang tepat akan sangat membantu dalam mentransfer tegangan tersebut sehingga bahan komposit yang dihasilkan memiliki sifat mekanis yang tinggi. Variasi ketebalan core juga turut mempengaruhi sifat mekanis komposit sandwich. Komposit sandwich GFRP dengan core Divinycell PVC H 100 mempunyai kekuatan bending sebesar 70,977 MPa, dan kekuatan impak sebesar 0,0718 J/mm2. Penggunaan core Divinycell PVC H 200 mampu meningkatkan kekuatan bending menjadi 81,92 MPa, dan kekuatan impaknya menjadi 0,0741 J/mm2. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan density core Divinycell mampu meningkatkan kekuatan komposit sandwich (Kowangid dan Diharjo, 2003). Kekuatan impak komposit GFRP dengan kombinasi serat E-glass chopped 2 strand mat (CSM) 450 gr/m2 dengan serat E-glass moven roving (WR) 300 gr/m 2 2 berkisar antara 0,084 - 0,116 J/mm , dengan nilai rata-rata 0,099 J/mm . Penggunaan density serat gelas yang lebih rendah (CSM 300 gr/m2 dan WR 300 2 gr/m akan menurunkan kekuatan impak komposit GFRP menjadi berkisar antara 0,080 - 0,109 J/mm2, atau dengan nilai rata-rata 0,088 J/mm2 (Santoso dan Diharjo, 2002). Sudiyono dan Diharjo K. (2003) menyimpulkan bahwa rancangan komposit sandwich GFRP dengan core polyurethane foam (PUF) memiliki kelemahan di bagian core, yaitu mudah lepasnya ikatan komposit skin GFRP dengan core PUF. Hal ini disebabkan oleh sifat PUF yang mudah mripil. Jenis core ini tidak cocok untuk digunakan sebagai core komposit sandwich yang menerima beban dinamis. Core ini hanya cocok untuk beban statis tekan yang ringan. Hillger (1998), mengemukakan bahwa ada beberapa macam tipe kerusakan pada pengujian impak yang dapat dideteksi, seperti retak dan delaminasi pada skin, debonding antara skin dan core, serta kerusakan di dalam core. Kerusakan tergantung pada geometri balok sandwich dan sifat bahan penyusunnya. Model kerusakan yang terjadi dapat berupa core shear, micro buckling pada skin, dan indentation dibawah loading rooller (Steeves dan Fleck, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki optimasi pengaruh orientasi serat, tebal skin, dan tebal core terhadap sifat bending dan impak komposit sandwich dengan core Divinycell® PVC H 60. Analisis optimasi berdasarkan

PKMP-1-21-3

ketiga variabel tersebut di atas diharapkan dapat menemukan formulasi disain komposit sandwich yang memiliki sifat mekanis paling optimum. Pengamatan penampang patahan dilakukan untuk menyelidiki mekanisme kegagalan struktur komposit sandwich tersebut. Kekuatan Bending Untuk mengetahui kekuatan bending suatu material, dapat dilakukan pengujian bending. Pada umumnya, material komposit mempunyai nilai modulus elastisitas bending yang berbeda dengan nilai modulus elastisitas tariknya. Akibat pengujian bending, pada bagian atas spesimen akan mengalami tekanan, dan bagian bawah akan mengalami tarikan. Kekuatan tekan komposit lebih tinggi daripada kekuatan tariknya. Kegagalan yang terjadi akibat pengujian bending, komposit akan mengalami patah pada bagian bawah karena tidak mampu menahan tegangan tarik. Kekuatan bending komposit dapat dirumuskan (ASTM D 790) : 3PL σb = ...................................................................................... (1) 2bd 2 P = beban (N), L = panjang span (mm), b = lebar (mm), dan d = tebal (mm). besarnya Momen bending dapat dihitung dengan rumus : PL .......................................................................................... (2) M= 4 dengan catatan M = momen (N.mm). Jika uji bending dilakukan dengan metode midspan load maka kekuatan bending komposit sandwich (facing bending stress) dapat dihitung dengan rumus (ASTM C 393) : PL σ= ................................................................................ (3) 2t (d + c)b dengan catatan P = beban yang diberikan (N), d = tebal sandwich (mm), c = tebal core (mm), σ = kekuatan bending permukaan sandwich (MPa), t = tebal skin bawah (mm), L = panjang span (mm), b = lebar sandwich (mm). Model Kegagalan Struktur Sandwich Model kegagalan komposit sandwich akibat mengalami tegangan bending (three/four point bending) biasanya berupa face yield/ micro buckling, core shear, core crushing, dan indentation (Steeves dan Fleck, 2004).

Gambar 1. Model kerusakan akibat beban bending Kekuatan Impak Kekuatan impak material komposit umumnya di bawah kekuatan impak logam. Untuk mendapatkan kekuatan impak komposit yang mendekati logam maka fraksi serat yang digunakan sebaiknya ± 60 %. Peralatan uji yang digunakan untuk pengujian impak ada dua jenis, yaitu impak Izod dan Charpy. Pengujian

PKMP-1-21-4

impak komposit biasanya dilakukan dengan metode flat impact method, sesuai dengan aplikasinya sebagai panel struktur. Energi yang digunakan umtuk mematahkan spesimen dapat dihitung dengan persamaan 4. ⎡ ⎛ α + β ⎞⎤ E patah = WR ⎢(cos β − cos α ) − (cos α '− cos α )⎜ ⎟⎥ .................. (4) ⎝ α + α ' ⎠⎦ ⎣ Besarnya kekuatan impak dapat dihitung dengan persamaan 5. E patah Eimpack = ................................................................................ (5) A Berbagai jenis kegagalan material akibat pengujian impak ditunjukkan pada gambar 2.

(a) Fracture

(b) Tarik

------(c) Tekan

-----(d) Delaminasi

Gambar 2. Karakteristik kegagalan akibat beban impak

METODE PENDEKATAN Bahan penelitian adalah serat E-glass woven roving dengan density 300 gr/m2, unsaturated polyester resin (UPRs)157 BQTN-EX, dan core divinycell PVC H 60 (ρ = 60 gr/m3). Spesimen uji terdiri dari lamina komposit GFRP (skin) dan komposit sandwich. Komposit skin dibuat dengan 5 variasi orientasi serat (0/90, 45/90, 30/90, 45/-45,dan 30/60) dengan fraksi volume serat 40%. Komposit sandwich terdiri dari komposit sandwich dengan variasi tebal skin (2, 4, 6, 8 layer, orientasi serat 0/90) dengan tebal core 10 mm dan komposit sandwich dengan variasi tebal core (5, 10, 15, dan 20 mm) dengan skin 4 layer. Besarnya fraksi volume serat komposit skin pada rancangan komposit sandwich juga ditentukan 40%. Core Divinycell yang digunakan adalah jenis core segmen. Posisi sambungan core diletakkan pada bagian tengah sampel uji (yang dikenai beban). Pembuatan komposit dilakukan dengan metode cetak tekan. Untuk mengontrol besarnya fraksi volume serat, maka selama proses manufaktur diberikan stopper pada molding. Model komposit sandwich yang dibuat ditunjukkan pada gambar 3. Komposit hasil cetakan tersebut dipotong-potong menjadi spesimen uji. Skin/laminat bagian atas GFRP (Polyester - Woven Roving) (variasi tebal skin) Core Divinycell® H 60

(variasi tebal core)

Skin/laminat bagian bawah GFRP (Polyester - Woven Roving) (variasi tebal skin)

Gambar 3. Komposit sandwich GFRP dengan core Divinycell®

PKMP-1-21-5

Pengujian bending komposit sandwichnya mangacu standar ASTM C 39394 sedangkan pengujian impak komposit skin mengacu pada standar ASTM D5942 dengan impak Charpy. Skin sekunder

Skin primer

P

Dimensi Spesimen: Lebar = 40 mm Panjang Span = 60 mm Tebal sandwich = 12 mm (detail dimensi di data hasil uji).

core

30

30

Dimensi Spesimen:

Support Skin sekunder

Lebar = 15 mm Panjang Span = 50 mm Tebal Sandwich = 12 mm (detail dimensi di data hasil uji)

Pendulum

50 Skin primer Support

Gambar 4. Prosedur pengujian Three Point Bending dan Impak Charpy Berhubung spesimen uji memiliki titik terlemah di daerah sambungan core (daerah kosong), maka beban uji bending dan impak diarahkan pada titik tersebut. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh merupakan kekuatan terendah, sehingga jika diimplementasikan struktur sandwich tersebut akan tetap aman. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Bending Tabel 1. Data hasil uji bending skin komposit GFRP Orientasi Serat Eglass WR (o) [(0/90)4] [{(30/-60)/(60/-30)}2] [{(45/-45) 4}] [{(30/-60)/(0/90) }2] [{(45/-45)/(0/90)}2]

Jumlah Lamina 4 4 4 4 4

Vf (%)

Momen (Nmm)

40 40 40 40 40

1102.60 757.90 708.07 571.02 681.07

Kekuatan Bending (MPa) 266.62 192.28 182.39 152.07 189.28

Berdasarkan analisis hasil uji bending komposit GFRP (skin) dengan variasi orientasi serat, kekuatan bending tertinggi terdapat pada skin dengan orientasi serat [(0/90)4] sebesar 266,62 MPa. Hal ini disebabkan oleh faktor orientasi serat yang searah beban. Momen maksimum dan kekuatan bending skin dengan orientasi serat [(0/90)4] memiliki harga yang paling tinggi.

PKMP-1-21-6

300

Kekuatan bending, MPa

Momen maksimum, Nmm

1200 1000 800 600 400 200 0 (0/90)

(30/-60)/ (60/-30)

(45/-45)

(30/-60)/ (0/90)

250 200 150 100 50 0 (0/90)

(45/-45)/ (0/90)

(30/-60)/ (60/-30)

(45/-45)

(30/-60)/ (0/90)

(45/-45)/ (0/90)

Orientasi serat

Orientasi serat

Gambar 5. Diagram batang momen maksimum dan kekuatan bending komposit GFRP variasi orientasi serat Tabel 2. Data hasil uji bending komposit sandwich variasi tebal skin Jumlah layer E-glass skin

Tebal core (mm)

Span (mm)

Momen (Nmm)

Kekuatan Bending (MPa)

Defleksi (mm)

2 4 6 8

10 10 10 10

60 60 60 60

13282.74 20060.88 20895.30 27875.12

35.67 40.72 30.50 29.89

5.00 11.25 9.42 9.08

Momen Maksimum, Nmm

35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 0

2

4

6

8

Tebal skin (jumlah lamina E-glass)

10

K ekuatan B ending, M Pa

Skin yang semakin tebal meningkatkan kemampuan komposit sandwich dalam menahan beban momen. Komposit sandwich dengan tebal skin 8 layer memiliki kemampuan menahan beban momen tertinggi (27.875,12 Nmm). Kekuatan bending tertinggi komposit sandwich dimiliki oleh komposit sandwich dengan skin 4 layer, yaitu sebesar 40,72 MPa (14,13 % lebih tinggi dari kekuatan bending komposit sandwich dengan skin 2 layer). Kenaikan kekuatan bending ini sangat signifikan jika dibandingkan dengan kekuatan bending komposit sandwich dengan tebal skin 6 dan 8 layer. 50 40 30 20 10 0 0

2

4

6

8

Tebal skin (jumlah lamina E-glass)

Gambar 6. Kurva momen maksimum dan kekuatan bending komposit sandwich variasi tebal skin Kenaikan kekuatan bending komposit sandwich tebal skin 4 layer disebabkan meningkatnya kemampuan komposit sandwich dalam menahan momen maksimum yang terjadi. Dengan kata lain, skin menahan beban sampai batas maksimumnya kemudian beban didistribusikan core pada seluruh luasan. Skin dan core memberikan kontribusi optimumnya pada peningkatan kekuatan bending komposit sandwich.

10

PKMP-1-21-7

Pada komposit sandwich dengan skin 6 dan 8 layer, core akan mengalami kegagalan terlebih dahulu. Penebalan skin tidak memberikan kontribusi kekuatan bending komposit sandwich jika masih menggunakan core yang sama, karena kekuatan bending komposit sandwich sangat dipengaruhi oleh sifat mekanis komponen penyusunnya. Tabel 3. Data hasil uji bending komposit sandwich variasi tebal core Jumlah layer E-glass skin

Tebal core (mm)

Span (mm)

Momen (Nmm)

Kekuatan Bending (MPa)

Defleksi (mm)

4 4 4 4

5 10 15 20

60 60 60 60

12331.17 18815.58 21062.07 22381.51

77.01 56.15 33.77 30.38

5.33 5.33 4.25 8.33

25000 20000 15000 10000 5000 0 0

5

10

15

20

25

Kekuatan Bending, M Pa

M omen maksimum, Nmm

Kekuatan bending tertinggi terdapat pada komposit sandwich dengan tebal core 5 mm, yaitu sebesar 77,01 MPa. Peningkatan ketebalan core menyebabkan penurunan kekuatan bending komposit sandwich. Dengan tebal core yang lebih besar maka akan menyebabkan momen inersia menjadi lebih besar. Semakin besar momen inersia maka kekuatan bending komposit akan semakin menurun (kekuatan bending berbanding terbalik dengan momen inersia). 100 80 60 40 20 0 0

5

10

15

20

Tebal core, mm

Tebal core, mm

Gambar 7. Kurva momen maksimum dan kekuatan bending komposit sandwich variasi tebal core Core yang semakin tebal meningkatkan kemampuan komposit sandwich menahan momen maksimum. Namun, penebalan core secara otomatis juga meningkatkan momen inersia core sehingga berpengaruh terhadap kekuatan bending. Sifat Impak Tabel 4. Data hasil uji impak izod komposit skin GFRP. Orientasi Serat Eglass WR (0) [(0/90)4] [{(30/-60)/(60/-30)}2] [{(45/-45) 4}] [{(30/-60)/(0/90) }2] [{(45/-45)/(0/90)}2]

Jumlah Lamina 2 2 2 2 2

Vf (%) 40 40 40 40 40

l x t (mm) 12.73 x 1.40 12.83 x 1.37 12.70 x 1.35 12.83 x 1.33 12.67 x 1.32

E-Patah (Joule) 1.008 0.902 0.727 0.920 0.867

Kek. Impak (J/mm2) 0.057 0.051 0.042 0.054 0.052

25

PKMP-1-21-8

0.06

Kekuatan Impak, J/mm

2

1.2

Energi Patah, J

1 0.8 0.6 0.4 0.2

0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0

0 (0/90)

(30/-60)/ (60/-30)

(45/-45)

(30/-60)/ (0/90)

(45/-45)/ (0/90)

(0/90)

(30/-60)/ (60/-30)

(45/-45)

(30/-60)/ (0/90)

(45/-45)/ (0/90)

Orientasi serat

Orientasi serat

Gambar 8. Diagram batang energi patah dan kekuatan impak komposit GFRP variasi orientasi serat Kekuatan impak tertinggi dimiliki oleh komposit skin dengan orientasi serat [(0/90)4]. Orientasi tersebut merupakan orientasi yang paling optimum. Orientasi serat 0o memberikan penguatan yang lebih dominan terhadap ketahanan impak. Komposit yang memiliki orientasi serat 0o memiliki energi patah dan kekuatan impak yang tertinggi (1,008 J dan 0,057 J/mm2), seperti ditunjukkan pada gambar 8. Tabel 5. Data hasil uji impak charpy komposit sandwich variasi tebal skin. Jumlah layer E-glass skin

tebal core (mm)

Ukuran Lxt (mm)

Span (mm)

E-serap (Joule)

Kek. Impak (J/mm2)

2 4 6 8

10 10 10 10

13.67 x 11.22 14.17 x 12.25 14.38 x 13.33 14.17 x 14.50

50 50 50 50

5.924 11.34 14.47 16.69

0.039 0.065 0.075 0.081

Hasil pengolahan data uji impak komposit sandwich variasi tebal skin menunjukkan bahwa energi patah dan kekuatan impak meningkat seiring dengan penambahan jumlah layer (tebal skin). Peningkatan kekuatan impak komposit sandwich optimum pada skin 4 layer (0,065 J/mm2). Harga kekuatan tersebut meningkat 43,1 % dibandingkan dengan komposit sandwich dengan skin 2 layer (0,037 J/mm2). Kekuatan impak komposit sandwich dengan skin 6 layer (0,075 J/mm2) dapat dikatakan tidak terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan kekuatan impak komposit sandwich dengan skin 4 layer (0,065 J/mm2). Dengan demikian, skin 4 layer dipandang lebih menguntungkan untuk diaplikasikan. Berdasarkan gambar 10, komposit sandwich dengan tebal core 5 mm memiliki kekuatan impak yang lebih tinggi daripada sandwich dengan tebal core 10, 15, dan 20 mm. Namun, energi patah komposit sandwich meningkat seiring dengan penambahan tebal core. Energi patah komposit sandwich dengan ketebalan core 10 mm semestinya lebih tinggi dari pada komposit sandwich dengan core 5 mm. Rendahnya energi patah komposit sandwich dengan core 10 mm dapat disebabkan oleh kurang kuatnya ikatan antara skin dengan core yang disebabkan oleh faktor manufaktur.

PKMP-1-21-9

2

Kekuatan Impak, J/mm

Energi Patah, J

20

15

10

5

0 0

2

4

6

8

0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0

10

2

4

6

8

10

Tebal skin (jumlah lamina E-glass)

Tebal skin (jumlah lamina E-glass)

Gambar 9. Kurva energi patah dan kekuatan impak komposit sandwich variasi tebal skin Tabel 6. Data hasil uji impak Charpy komposit sandwich variasi tebal core. Variasi Tebal core (mm)

Skin (layer)

Ukuran L x t (mm)

Span (mm)

E-serap (Joule)

Kek. Impak (J/mm2)

5 10 15 20

4 4 4 4

15.47 x 07.35 15.07 x 12.38 14.90 x 17.57 14.50 x 21.85

50 50 50 50

10.894 10.893 22.788 25.780

0.096 0.059 0.088 0.081

Kekuatan Impak, J/mm

2

30

Energi Patah, J

25 20 15 10 5 0 0

5

10

15

Tebal core, mm

20

25

0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0

5

10

15

20

Tebal core, mm

Gambar 10. Kurva energi patah dan kekuatan impak komposit sandwich variasi tebal core Penampang patahan dari berbagai jenis struktur sandwich mengindikasikan bahwa kegagalan didominasi oleh faktor rendahnya sifat mekanis core. Kegagalan tersebut disebabkan oleh rendahnya kekuatan tekan core. Dengan demikian pola kegagalannya berupa core shear dan indentation seperti ditunjukkan pada gambar 12.

25

PKMP-1-21-10

Penampang Patahan Bending dan Impak

Core shear

Core shear 10 mm

Tebal core 5 mm

Tebal core 10 mm

10 mm

10 mm

Indentation Model kegagalan tidak bagitu nampak 10 mm

Tebal core 15 mm

Tebal core 20 mm

Gambar 11. Model kegagalan uji bending komposit sandwich variasi tebal core (pandangan samping) Skin patah

Core shear

Tebal core 5 mm

Tebal core 5 mm

Multiple core shear

Tebal core 10 mm

Delaminasi skin

Tebal core 20 mm

Gambar 12. Model kegagalan komposit sandwich akibat beban impak Berdasarkan pengamatan dengan foto makro, kegagalan komposit sandwich ini didominasi oleh kegagalan core. Mekanisme kegagalan yang terjadi pada uji impak komposit sandwich antara lain (1) core pecah tidak dapat menahan beban impak, (2) core tidak mampu menahan beban tekan dan terdefleksi, dan (3) terjadi delaminasi antara komposit GFRP skin dengan core.

PKMP-1-21-11

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orientasi serat (0/90) memiliki kekuatan bending dan impak tertinggi. Orientasi serat yang searah beban akan meningkatkan kekuatan bending dan impak komposit GFRP. Peningkatan ketebalan skin akan meningkatkan energi patah dan kemampuan menahan beban bending komposit sandwich. Tebal skin pada komposit sandwich yang paling efektif adalah 4 layer. Peningkatan tebal core juga akan menurunkan kekuatan impak dan bending, namun kemampuan menahan momennnya tetap lebih tinggi. Tebal core efektif yang paling baik untuk diaplikasikan adalah 5 mm. Penampang patahan komposit sandwich mengindikasikan bahwa kegagalan didominasi oleh lemahnya kekuatan core. UCAPAN TERIMA KASIH Tim Peneliti PKMP mengucapkan terima kasih kepada DP2M Dikti yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga kami sampaikan kepada Kuncoro Diharjo ST., MT. yang telah membimbing penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1998. ASTM C 274-99 standards, ‘Standard Terminology for Composites and Structural Sandwich Construction’, New York. Hillger, W.M., 1998. ‘Stress Analysis of Fiber Reinforced Composite Material’, McGraw Hills Book Company, New York, USA. Kowangid dan Diharjo K., 2003. ’Karakteristik Mekanis Komposit Sandwich Serat Gelas Dengan Core PVC’, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin FT-UNS, Surakarta. Santoso B. dan Diharjo K., (2002). ‘Pengaruh berat serat Chooped Strand terhadap kekuatan tarik, bending dan impak komposit GFRP kombinasi serat gelas Chooped Strand dan Woven Roving’, Skripsi, Teknik Mesin FT UNS, Surakarta. Sudiono dan Diharjo K., 2004. ‘Karakteritik Mekanis Komposit Sandwich Serat Glass dengan Core Foam/PU’. Skripsi, Teknik Mesin FT UNS, Surakarta. Steeves C. A., dan Fleck N.A., 2004. ‘Colllaps Mechanism of Sandwich Beam with Composite Face and Foam Core Loaded in Three Point Bending’, Available Online at www. sciencedirect.com.

PKMP-1-22-1

FLASH CARD KLASIFIKASI DENGAN SISTEM PERMAINAN BRIDGE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISTEM KLASIFIKASI MAKHLUK HIDUP PADA SISWA SMA D Wulandari, K Trianisa, R F Abswari, D Wulandari, K Tranisa dan R Fendi.A PS Biologi Fakultas MIPA, Universitas Negeri Malang, Malang ABSTRAK Materi klasifikasi makhluk hidup merupakan materi yang cukup sulit dikuasai oleh siswa SMA karena tingkat keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi dan siswa kesulitan menggunakan bahasa latin (nama ilmiah). Berdasarkan masalah tersebut, maka perlu dibuat suatu media pembelajaran yang inovatif, murah, mudah, serta menarik. Media pembelajaran tersebut berupa flash card klasifikasi yang diterapkan dengan sistem permainan bridge. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) bentuk, isi, dan sistem permainan flash card klasifikasi; (2) pengaruh penggunaan flash card klasifikasi terhadap hasil belajar siswa; dan (3) pendapat siswa dan guru mengenai penggunaan media flash card klasifikasi. Jenis penelitian adalah eksperimental semu dengan variabel bebas adalah penggunaan media flash card klasifikasi dan variabel terikat adalah hasil belajar. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X SMA Laboratorium UM dengan pemilihan sampel secara random. Instrumen yang digunakan ada dua jenis, yaitu tes dan angket. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan uji t. Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai t hitung (3,63) > nilai t tabel (1,991) yang berarti penggunaan media flash card klasifikasi berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, yang ditunjukkan dari rerata nilai kelompok kontrol (63,97) lebih rendah dibandingkan dengan rerata nilai kelompok perlakuan (71,51). Hasil analisis deskriptif dari hasil angket menunjukkan secara umum siswa dan guru memberi tanggapan posistif terhadap penggunaan media flash card klasifikasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Media flash card klasifikasi berupa kartu kecil yang berisi tulisan/gambar tingkat-tingkat takson. Model permainan flash card yang bisa digunakan ada dua macam. (2) Penggunaan flash card klasifikasi dengan sistem permainan bridge dapat meningkatkan hasil belajar siswa. (3) Secara umum, siswa dan guru memberikan tanggapan yang positif terhadap penggunaan media flash card klasifikasi. Kata Kunci: Flash card, Klasifikasi, Hasil Belajar. PENDAHULUAN Materi klasifikasi pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan pengetahuan dasar untuk mengetahui keanekaragaman makhluk hidup. Sampai sekarang siswa kesulitan untuk menghafal dan memahami klasifikasi makhluk hidup. Hal tersebut dikarenakan tingkat keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi dan kesulitan siswa dalam menggunakan bahasa latin atau nama ilmiah. Pembelajaran di luar kelas sangat baik untuk memahamkan siswa akan keanekaragaman makhluk hidup. Daya ingat siswa sangat terbatas, karena hanya melakukan pengamatan beberapa kali, untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan media yang dapat mendokumentasikan makhluk hidup yang dilihat siswa. Banyak media yang dimanfaatkan dalam pembelajaran, Heinich, dkk.

PKMP-1-22-2

(1996) dalam Pribadi dan Putri (2001) membuat klasifikasi jenis media pembelajaran sebagai berikut: (a) non projected media, (b) projected media, (c) media audio video, (d) media berbasis komputer, dan (e) multimedia kit. Sihkabuden (1995) menyatakan beberapa kriteria media pembelajaran yang baik, yaitu: (a) tujuan pembelajaran, (b) efektifitas media, (c) media sesuai dengan sasarannya, (d) ketersediaan media, dan (e) biaya pengadaan media, (f) kualitas media. Tidak semua jenis media dapat digunakan karena biaya yang mahal untuk pembelian atau pembuatan media dan kurangnya kemampuan guru untuk mengoperasikan suatu media. Berdasarkan hal tersebut, perlu dibuat sebuah media pembelajaran yang inovatif, biaya murah, pengoperasiannya sederhana, dan menarik siswa untuk aktif mempelajari sistem klasifikasi makhluk hidup. Media yang dirancang berupa flash card klasifikasi. Flash card ini merupakan pengembangan dari flash card yang sebelumya hanya berisi gambar-gambar (benda-benda, binatang, dan sebadan digunakan untuk melatih siswa mengeja dan memperkaya kosakata (Arsyad, 2003). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah bentuk, isi dan sistem permainan flash card klasifikasi yang dikembangkan untuk pembelajaran sistem klasifikasi makhluk hidup?; (2) Bagaimanakah pengaruh penggunaan flash card klasifikasi terhadap hasil belajar sistem klasifikasi makhluk hidup pada siswa SMA?; (3) Bagaimanakah pendapat guru dan siswa mengenai model pembelajaran sistem klasifikasi makhluk hidup dengan flash card klasifikasi? Tujuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah. Hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan media flash card berpengaruh terhadap hasil belajar siswa tentang sistem klasifikasi makhluk hidup. Sedangkan manfaat dari program ini adalah: (1) Menciptakan model pembelajaran materi sistem klasifikasi makhluk hidup dan mengetahui keefektifannya; (2) Meningkatkan hasil belajar mengenai sistem klasifikasi makhluk hidup.; (3) Membantu guru dalam proses pembelajaran materi sistem klasifikasi makhluk hidup. METODE PENDEKATAN Jenis penelitian adalah eksperimental semu. Variabel bebas adalah penggunaan media flash card, variabel terikat adalah hasil belajar siswa, dan variabel kontrol adalah tingkat kelas siswa. Populasinya adalah semua siswa kelas X SMA Laboratorium UM dengan sampel kelas X-3 (kontrol) dan X-6 (perlakuan). Data yang telah diperoleh dari tes dianalisis dengan menggunakan uji t tidak berpasangan, sedangkan data dari kuisioner dianalisis secara deskriptif f dengan rumus sebagai berikut: P = x 100 % n Keterangan : P = persentase f = frekuensi atau banyaknya skor n = jumlah seluruh skor Pelaksanaan program dimulai tanggal 6 April 2006 sampai dengan 10 Juni 2006, secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

PKMP-1-22-3

Tabel 1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan No 1. 2. 3. 4.

Kegiatan Pengambilan foto untuk media pembelajaran Pembuatan media flash card Pembuatan soal dan angket Penelitian • Melaksanakan pembelajaran materi pokok Plantae • Diskusi kelas

• Permainan Flash card • Tes dan pengisian kuisioner

Waktu 6 April 2006 6- 30 April 2006 16- 22 April 2006 25 Maret 2006 17, 19 April 2006 untuk kelompok perlakuan 18, 20 April 2006 untuk kelompok kontrol 1 dan 3 Mei 2006 8 Mei 2006 untuk kelompok perlakuan 10 mei 2006 untuk kelompok kontrol

Tempat Kebun Raya Purwodadi Rumah Rumah Kebun Raya Purwodadi SMA Laboratorium UM

SMA Laboratorium UM SMA Laboratorium UM

Pembuatan flash card klasifikasi pada tumbuhan dengan alat kamera digital, internet, dan komputer, serta dengan bahan kertas glossy dan tinta. Langkah pembuatan flash card klasifikasi secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Flash card klasifikasi yang digunakan sebagai media pembelajaran pada klasifikasi makhluk hidup berbentuk kartu kecil yang berisi tingkatan takson mulai dari divisi/filum, kelas, bangsa, suku, marga yang hanya berupa tulisan, sementara pada kartu kelas ditambahi dengan ciri-ciri umum dari kelas tersebut dan pada kartu spesies terdapat gambar foto dan nama ilmiah spesies tersebut. Contoh flash card klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar pada flash card klasifikasi bertujuan untuk memudahkan siswa mengetahui morfologi jenis makhluk hidup tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Latuheru (1988) yang mengemukan bahwa ada beberapa keuntungan dari penggunaan gambar, antara lain: (a) gambar diam dapat menerjemahkan ideide yang abstrak kedalam bentuk yang realita, (b) gambar diam mudah didapat, (c) mudah penggunaannya, (d) dapat digunakan pada semua jenjang pendidikan dan jenis pendidikan, (e) menghemat waktu dan tenaga kerja, (f) menarik perhatian.

PKMP-1-22-4

Mengumpulan data gambar tumbuhan dari foto atau internet

Mengumpulkan data klasifikasi tumbuhan

Memasukkan data ke komputer: • Membuat persegi dengan ukuran 6 X 9 cm • Menuliskan nama takson devisi/filum, kelas, bangsa, suku, marga, dan spesies dalam persegi • Pada takson kelas diberi ciri-ciri umum dari kelas tersebut • Pada takson spesies diberi gambar dari spesies tersebut

Pencetakan dengan kertas glossy

Bryophyta

Riccia fluitans

Gambar 1. Langkah Pembuatan Flash Card Klasifikasi pada Tumbuhan

PKMP-1-22-5

Hepaticopsida

Bryophyta

Divisi

Marchantiales

Bangsa

• Gametofit pipih dorsoventral • Berupa talus yang menempel pada tanah • Sporofit tidak punya sel yang menganduk kloroplas • Spora berkecambah tidak membentuk protonema

Kelas

Marchantiaceae

Suku

Marchantia Marcantia polimorpha

Marga

Gambar 2. Kartu Flash Card Klasifikasi

Spesies

PKMP-1-22-6

Media flash card klasifikasi ini sudah memenuhi kriteria media pembelajaran seperti yang dikemukan Sihkabuden (1995), antara lain: (a) flash card klasifikasi bertujuan untuk mempelajari klasifikasi makhluk hidup, (b) guru berpendapat bahwa flash card klasifikasi efektif untuk digunakan. Sedangkan sebanyak 68,29% siswa berpendapat bahwa flash card klasifikasi ini cukup efektif digunakan, (c) flash card klasifikasi memudahkan siswa memahami materi klasifikasi, (d) flash card klasifikasi sangat mudah dibuat sendiri oleh guru dan siswa (e) biaya pembuatan flash card klasifikasi cukup murah dan bahannya mudah didapat (f) flash card klasifikasi memiliki kualitas cukup baik karena tidak mudah rusak dan dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam klasifikasi makhluk hidup. Penerapan media flash card klasifikasi dikombinasikan dengan sistem permainan bridge. Tujuan dari hal ini adalah untuk membuat siswa lebih tertarik dan termotivasi dalam mempelajari materi klasifikasi makluk hidup seperti yang diungkapkan oleh Latuheru (1998), bahwa penerapan permainan dalam pembelajaran dapat menambah motivasi pada materi yang kurang menarik perhatian siswa. Flash card klasifikasi dimainkan dengan sistem permainan bridge yang terdiri dari 2 macam langkah permainan: 1). Langkah permainan 1 a. Permainan ini dilakukan secara berkelompok dimana jumlah pesertanya adalah 4 orang. Salah seorang lalu mengocok dan membagi flash card tersebut. b. Siswa yang mempunyai flash card divisi atau filum mengeluarkan kartu tersebut. c. Selanjutnya siswa berikutnya mengeluarkan kelas, kemudian siswa berikutnya mengeluarkan bangsa dan siswa selanjutnya mengeluarkan marga kemudian yang terakhir mengeluarkan spesies. d. Apabila tidak mempunyai flash card yang seharusnya dikeluarkan maka gilirannya langsung diberikan pada siswa selanjutnya. e. Siswa yang terakhir kali mengeluarkan spesies, berhak untuk mengeluarkan flash card yang dia kehendaki. f. Apabila seseorang mengeluarkan flash card marga maka siswa berikutnya boleh mengeluarkan flash card spesies ataupun juga dapat mengeluarkan flash card family. Jadi dalam hal ini boleh mengeluarkan kartu tingkatan takson di atasnya. g. Apabila flash card yang dia bawa sudah habis maka siswa itulah pemenangnya dan yang kalah adalah siswa yang paling akhir membawa flash card . h. Apabila ternyata siswa tersebut salah dalam mengeluarkan flash card maka flash card yang dikeluarkan mati kemudian siswa selanjutnya dapat mengeluarkan flash card lainnya. 2). Langkah permainan II a. Permainan ini dilakukan secara berkelompok yaitu jumlah pesertanya adalah 4 orang, kemudian salah satu peserta mengocok flash card klasifikasi tersebut dan membaginya yaitu setiap peserta mendapat flash card .

PKMP-1-22-7

b.

Langkah selanjutnya adalah peserta yang mengocok mengambil sebuah flash card dari kumpulan flash card yang tidak dibagikan. Setelah mengambil maka peserta tersebut harus membuang salah satu flash card nya. Langkah ini diikuti oleh siswa selanjutnya. c. Flash card yang dikumpulkan tersebut harus menunjukkan tingkatan takson yang benar dan yang benar semua mempunyai poin sempurna, apabila ada kesalahan maka setiap kesalahan mengakibatkan pointnya semakin berkurang. Data hasil belajar siswa diperoleh dari hasil tes yang telah dilakukan. Berdasarkan standar ketuntasan belajar minimum yang berlaku di SMA Laboratorium UM, siswa dikatakan tuntas belajar apabila memiliki skor minimal 70. Data hasil belajar ini terdiri atas 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan perlakuan. Gambaran selengkapnya mengenai data hasil belajar siswa dapat dilihat pada Tabel 2 untuk kelas perlakuan dan pada Tabel 3 untuk kelas kontrol. Tabel 2. Hasil Belajar Kelas Perlakuan No.

Nilai

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

72,5 80 85 80 75 72,5 67,5 70 72,5 80 57,5 72,5 75 62,5 67,5 75 72,5 77,5 77,5 75 72,5 75 70 72,5 55 72,5 72,5 67,5 72,5 67,5 70

Ketuntasan belajar tuntas Belum tuntas V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V

PKMP-1-22-8

Lanjutan Tabel 2. Hasil Belajar Kelas Perlakuan No.

Nilai

32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

57,5 67,5 65 77,5 72,5 70 72,5 62,5 72,5 75 67,5 80

Ketuntasan belajar tuntas Belum tuntas V V V V V V V V V V V V

Persentase ketuntasan belajar kelas untuk kelompok perlakuan adalah: Jumlah siswa yang tuntas belajar x 100 % jumlah seluruh siswa 31 Χ 100% = 72,09% 34

Tabel 3. Hasil Belajar Kelas Kontrol Ketuntasan belajar tuntas belum tuntas V

No.

Nilai

1

70

2

60

V

3

45

V

4

72,5

V

5

75

V

6

57,5

7

70

8

32,5

9

77,5

V

10

70

V

11

42,5

12

72,5

13

52,5

14

72,5

V

15

77,5

V

16

72,5

V

17

55

V

18

65

V

19

62,5

V

V V V

V V V

PKMP-1-22-9

Lanjutan Tabel 3. Hasil Belajar Kelas Kontrol Ketuntasan belajar No. Nilai tuntas belum tuntas 20 77,5 V 21

57,5

V

22

75

23

52,5

24

75

V

25

70

V

26

65

27

72,5

V

28

70

V

29

40

V

30

62,5

V

31

72,5

32

65

V

33

45

V

34

72,5

35

57,5

36

72,5

37

55

V

38

65

V

39

70

V V

V

V

V V V

V

Prosentase ketuntasan belajar kelas untuk kelompok kontrol adalah Jumlah siswa yang tuntas belajar x 100 % jumlah seluruh siswa 20 Χ 100% = 51,28% 39 Dari hasil tes dapat diketahui bahwa ada perbedaan hasil belajar antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberi perlakuan. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu t hitung (3,63) lebih besar dari t tabel (1,991). Hal ini berarti ada pengaruh penggunaan flash card klasifikasi terhadap hasil belajar siswa, yang ditunjukkan dengan hasil belajar kelompok perlakuan memberikan rerata lebih tinggi (71,5) dibandingkan kelompok kontrol (63,97). Prosentase ketuntasan belajar untuk kelompok kontrol adalah 51,28%, sedangkan untuk kelompok perlakuan adalah 72,09%. Peningkatan hasil belajar disebabkan karena adanya peningkatan keantusiasan siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Flash card klasifikasi yang digunakan dengan sistem permainan bridge dapat membuat anak lebih suka mempelajari sesuatu sehingga nantinya akan dapat meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Latuheru (1988) permainan tidak hanya semata-mata untuk mendapatkan kesenangan, namun

PKMP-1-22-10

permainan adalah kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam permainan yang ada hubungannya dengan pembelajaran, bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis angket yang disebarkan pada subyek penelitian (siswa) dan guru, diketahui bahwa secara umum responden menunjukkan rasa ketertarikan terhadap penggunaan flash card klasifikasi sebagai media pembelajaran. Media pembelajaran dalam bentuk flash card klasifikasi yang dikombinasikan dengan sistem permainan bridge belum pernah digunakan dalam proses pembelajaran sebelumnya. Selain itu, penerapan permainan dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, sehingga mampu meningkatkan pemahaman siswa mengenai materi pembelajaran. Di sisi lain, ternyata pengunaan flash card klasifikasi sebagai media pembelajaran kurang bisa memberikan hasil yang optimal. Sebanyak 68,29 % siswa responden menyatakan bahwa permainan flash card klasifikasi dengan sistem bridge kurang mudah dimainkan. Hasil ini diduga karena siswa baru pertama kali menggunakan media flash card klasifikasi untuk membantu proses pembelajaran, sehingga siswa belum begitu terampil dalam memainkan flash card klasifikasi. Selain itu, jumlah flash card klasifikasi yang sangat banyak (meliputi seluruh tingkatan takson Kingdom Plantae) menyebabkan siswa menjadi kesulitan dalam memilah dan memainkan kartu flash card klasifikasi. Berbeda dengan pendapat siswa, guru cenderung berpendapat bahwa permainan flash card klasifikasi dengan sistem permainan bridge mudah untuk dimainkan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan: (1) Flash card klasifikasi yang digunakan sebagai media pembelajaran pada pokok bahasan Plantae berbentuk kartu kecil berukuran 6 x 9 cm yang berisi tulisan/gambar tingkatan takson mulai dari divisi/filum, kelas, bangsa, suku, marga, dan spesies. Model permainan flash card klasifikasi yang bisa digunakan ada dua macam. Model pertama, seluruh kartu flash card klasifikasi dibagikan kepada peserta dan masing-masing peserta membuang kartu flash card klasifikasi sesuai dengan urutan takson secara bergiliran. Model kedua, sebagian kartu flash card klasifikasi dibagikan kepada peserta, sementara sebagian lainnya ditumpuk (dek kartu). Selanjutnya, setiap peserta mengambil sebuah kartu flash card klasifikasi dari dek dan membuang satu kartu flash card klasifikasi yang dipegangnya sesuai dengan urutan takson secara bergiliran. Peserta yang pertama kali membuang habis seluruh kartu flash card klasifikasi yang dipegangnya secara benar dianggap sebagai pemenang; (2) Penggunaan flash card klasifikasi Kingdom Plantae dengan sistem permainan Bridge berpengaruh terhadap hasil belajar siswa tentang sistem klasifikasi Kingdom Plantae. Sedangkan bentuk pengaruh perlakuan adalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang sistem klasifikasi Kingdom Plantae. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan rerata nilai tes antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, dimana rerata nilai kelompok kontrol (63,97) lebih rendah dibandingkan dengan rerata nilai kelompok perlakuan (71,51); (3) Secara umum, siswa dan guru (responden) memberikan tanggapan yang positif dan antusias terhadap penggunaan flash card klasifikasi sebagai media pembelajaran sistem klasifikasi makhluk hidup.

PKMP-1-22-11

Peneliti menyarankan: (1) Untuk memproduksi dalam jumlah yang banyak flash card klasifikasi dan dapat dipasarkan; (2)Membuat flash card klasifikasi untuk kingdom animalia, monera, fungi dan algae; (3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengunaan flash card klasifikasi sebagai media dengan menggunakan metode pembelajaran atau sistem permainan lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Arsyad, Azhar. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. 2. Latuheru, John.d. 1988. Media Pembelajaran: Dalam proses Belajar Mengajar masa kini. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 3. Pribadi, Deni dan Dewi Putri. 2001. Ragam Media dalam Pembelajaran . Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional. 4. Sihkabuden. 1995. Media Pembelajaran. Malang : UM

PKMP-1-23-1

PENGUJIAN SIFAT FISIK DAN MEKANIK ORI (BAMBUSA ARUNDINACEAE) Trio Parsaoran Hutapea Universitas Tanjungpura, Pontianak ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-2-1-1

EVALUASI HASIL PERSILANGAN BEBRAPA AYAM LOKAL Anggiat Humisar Siahan, Sukkri, Lidya Triani, Julie Universitas Jambi, Jambi ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-2-2-1

UPAYA PENURUNAN LEMAK TUBUH AYAM BROILER MELALUI PENAMBAHAN METIONIN DAN LISIN SEBAGAI PREKURSOR KARNITIN DALAM RANSUM Eli Ratni, Alfajri, Deri Afriko, Dwi Trizamadani, Surya Sandikha P Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Andalas Padang, Padang

ABSTRAK Pertambahan berat badan yang cepat pada ayam broiler diikuti perlemakan yang tinggi, hal ini bisa mengganggu kesehatan manusia. Pemakaian karnitin 150 mg/kg dalam ransum mampu menurunkan lemak dan kolesterol daging ayam broiler. Bahan baku biosintesis karnitin dalam tubuh adalah metionin dan lisin yang ditunjang adanya kofaktor untuk aktivasi enzim : niasin, FeSO4, piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C). Tujuan penelitian untuk mendapatkan komposisi metionin dan lisin yang tepat sebagai prekursor karnitin, menggunakan 64 ekor ayam broiler jantan strain CP 707 umur 3-6 minggu, ditempatkan dalam 32 unit boks percobaan. Metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), 8 perlakuan dan 4 kali ulangan. Data diolah dengan analisis keragaman (Steel and Torrie 1991), jika hasil signifikan dilakukan uji lanjut kontras ortogonal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian karnitin dosis 150 mg/kg ransum dan prekursor karnitin mempunyai pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap perlakuan. Prekursor karnitin dapat menggantikan kerja karnitin dalam upaya menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler, bahkan bisa bekerja lebih baik daripada karnitin terhadap pertambahan bobot badan dan konversi ransum tanpa mengganggu pertumbuhan organ lainnya. Komposisi prekursor karnitin yang paling baik adalah 0,55 % L-HCl Lisin; 0,44 % DL-Metionin; 0,33 mg/kg niasin; 80 mg/kg FeSO4; 250 mg/kg asam askorbat/vitamin C dan 3,5 mg/kg piridoksin/vitamin B6. Menurunkan kandungan lemak daging dada dari 4,99 % menjadi 1,75 %, kandungan lemak daging paha dari 21,55 % menjadi 16,76 % dan lemak abdominal dari 2,50 % menjadi 1,61 %. Kata Kunci : broiler, lemak, karnitin, metionin, lisin PENDAHULUAN Sektor perunggasan terutama ayam ras masih menjadi prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani manusia. Mengingat sifat-sifat unggulnya yaitu tidak memerlukan tempat luas dalam pemeliharaan, bergizi tinggi, pertumbuhan cepat dan efisien mengkonversikan makanan menjadi daging sehingga cepat mencapai usia berat jual dengan bobot badan yang tinggi. Tetapi mempunyai kecenderungan sifat perlemakan yang tinggi pula, karena diikuti adanya gen pembentuk lemak. Lesson dan Summers (1980) menyatakan bahwa lemak tubuh ayam broiler jantan dan betina umur sehari adalah 14,6 % dan 9,2 %, umur 6 minggu menjadi 17,9 % (jantan) dan 22,2 % (betina), setelah umur 8 minggu mencapai 21,1 % (jantan) dan 23,3 % (betina). Dan lemak abdomen antara 1,4 % - 2,6 % dari berat

PKMP-2-2-2

hidup ayam broiler jantan dan 3,2 % - 4,8 % dari berat hidup ayam broiler betina. Lebih lanjut Yuniza (2002) menyatakan bahwa lemak abdomen ayam broiler yang dipelihara di daerah tropik adalah 2,85 % dari berat hidup umur 6 minggu. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa seiring meningkatnya umur, kandungan lemak tubuh semakin meningkat, dan ayam betina lebih cepat menimbun lemak dibandingkan ayam jantan. Kelebihan energi dalam tubuh ayam akan disimpan dalam bentuk lemak, sedangkan metabolisme pembentukan lemak tersebut membutuhkan banyak energi, maka secara tidak langsung terjadi pemborosan energi ransum. Sedangkan penimbunan lemak abdomen termasuk kedalam hasil ikutan, merupakan penghamburan energi dan pengurangan berat karkas, karena lemak tersebut dibuang pada waktu pengolahan. Lemak abdomen merupakan salah satu komponen lemak tubuh, yang terdapat dalam rongga perut. Penilaian karkas ternak didasarkan pada berat karkas dan tingkat perlemakan tubuh. Karkas yang baik adalah mengandung daging yang baik, ikutan yang rendah dan kadar lemak tidak terlalu tinggi, yang semua itu sangat dipengaruhi oleh makanan dan pengelolaan. Sesuai pendapat Summers et al. (1965) bahwa pengaruh makanan ternyata paling menonjol terhadap kadar lemak tubuh, dilanjutkan oleh Scott et al. (1982) bahwa ayam tidak sepenuhnya mengadaptasikan diri terhadap konsumsi energi terutama energi makanan, konsumsi secara berlebihan akan diikuti dengan tingginya deposisi lemak. Disisi lain ditinjau dari animo (psikis) masyarakat yang menerapkan pola hidup sehat, cenderung enggan menerima produk ayam broiler tinggi kandungan lemak. Hal ini diperkirakan konsumen sebagai pendorong meningkatnya kolesterol dalam darah, sehingga mempengaruhi kesehatan serta penyebab berbagai penyakit degeneratif. Oleh karena itu untuk mencegah agar tidak terjadi penurunan konsumsi daging ayam broiler sebagai sumber protein hewani, perlu diupayakan penurunan kandungan lemak tubuh ayam broiler. Lemak yang tinggi dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya kenaikan kadar LDL yaitu lipoprotein yang kaya akan kolesterol (Muhajir 2002). Semakin banyak lemak yang dikeluarkan oleh tubuh, dengan demikian kadar kolesterol dalam tubuh akan menurun (Syahruddin 2002). Hasil penelitian Griffith et al. (1998) menunjukkan bahwa lemak rongga tubuh berkorelasi positif dengan pertumbuhan lemak pada karkas, dan lemak karkas akan meningkat sekitar 12 % dari umur 4-8 minggu. Penelitian Supadmo (1997) menghasilkan bahwa pemakaian karnitin level 150 mg/kg dapat menurunkan kolesterol daging ayam broiler dari 64,88 mg % menjadi 48,04 mg %, kolesterol darah dari 132,50 mg/dl menjadi 88,00 mg/dl, triasilgliserol darah dari 158,50 mg/dl menjadi 72,50 mg/dl. Menurut Mangisah (2003) kandungan lemak yang tinggi pada ayam broiler menimbulkan asumsi bahwa kandungan kolesterolnya juga tinggi. Karnitin sebagai senyawa pembawa asam lemak rantai panjang dalam menembus membran mitokondria pada β-oksidasi asam lemak, berarti ketersediaan karnitin dalam ransum dapat meningkatkan β-oksidasi asam lemak, sehingga timbunan lemak dalam bentuk kolesterol, trigliserida, garam empedu, dan hormon steroid dapat ditekan. Tetapi yang menjadi kendala adalah harga karnitin sangat mahal sehingga akan membebani peternak jika menggunakannya dalam ransum. Sementara diketahui bahwa secara kimia senyawa karnitin dapat

PKMP-2-2-3

disintesis oleh tubuh dengan senyawa makronutrien yaitu metionin dan lisin, dan senyawa mikronutrien yaitu niasin, FeSO4, piridoksin/vitamin B6 dan asam askorbat/vitamin C dengan bantuan enzim spesifik (Feller dan Rudman 1988). Asam-asam lemak yang telah diaktifkan, proses oksidasinya sangat tergantung pada karnitin, dimana asil karnitin dan asil CoA rantai panjang tidak akan menembus mitokondria dan tak teroksidasi kecuali bila asam lemak bebas tersebut membentuk asil karnitin (Fenita 2002). Karnitin memainkan suatu peranan pusat dalam seluruh proses sebagai pereaksi yang memperbolehkan masuknya gugus asil lemak ke dalam mitokondria, berarti membran dalam mitokondria harus mengandung suatu sistem pengangkutan untuk asil karnitin. Secara sederhana, asam lemak koenzim A (Asil CoA) yang terbentuk dalam sitoplasma dibawa ke dalam mitokondria dengan bantuan molekul karnitin (Asil Karnitin). Dalam mitokondria terjadi degradasi asam lemak, Asil CoA akan diteruskan ke dalam siklus krebs, dan molekul karnitin dilepaskan kembali ke dalam sitoplasma, terdapat pada Gambar 1. berikut : Mitokondria O II R-C-CoA

Membran O II R-C-Karnitin

Sitoplasma

O II R-C-Karnitin

O II R-C-CoA

s Karn

CoA-

SH Degradasi Biosintesis Asam Lemak Lemak Co-ASH O O II II CH3C-CoA CH3C-Karnitin

As.

Karn O II CH3C-Karnitin

O II CH3C-CoA

Asil CoA Asil Karnitin Asil Karnitin Asil CoA Gambar 1. Pengangkutan Asam Lemak Melalui Membran Mitokondria dengan Bantuan Karnitin (Wirahadikusumah 1985). Pada umumnya bahan-bahan yang digunakan dalam penyusun ransum ternak ayam yang berasal dari bahan nabati sering mengalami kekurangan asam amino metionin dan lisin. Ini sesuai dengan pendapat Soeharto (1980) bahwa asam amino metionin dan lisin selalu kurang dalam ransum ternak ayam, bila dilakukan penambahan asam amino metionin dan lisin ke dalam ransumnya akan dapat memperbaiki kualitas ransum. Fungsi metionin dan lisin dalam biosintesa karnitin ini mempunyai beberapa tahap, dijelaskan pada Gambar 2. sebagai berikut :

PKMP-2-2-4

AdoMet H

α-Ketoglutarat Suksinat + O2 + CO2

H

(CH3)3N+(CH2)4-C-COO (CH3)3N+(CH2)3CHOH-C-COOAskorbat, Fe2+

LISIN

NH3+ ε-N-trimetil-L-lisin 1. Metilase

NH3+ (β-hidroksi-ε-N-trimetil-L-lisin)

2. Hidroksilase mitokondrial PLP 3. Aldolase Glisin

H

Suksinat + CO2

α-Ketoglutarat + O2 NADH+H+

(CH3)3N+CH2CCH2COO(CH3)3N+(CH2)3COOAskorbat, Fe2+

NAD+ (CH3)3N+(CH3)3CHO

4. Dehidrogenase OH 5. Hidrolsilase sitosolik L-Karnitin γ-butirobetain γ-butirobetain-aldehid Gambar 2. Fungsi Metionin dan Lisin dalam Biosintesa Karnitin (Feller dan Rudman 1988). Hal ini memang agak rumit dan sangat membutuhkan pemikiran karena membahas metabolisme dalam sel perlu mempelajari pengaturan metabolisme dalam tubuh. Namun berawal dari pemikiran yang sederhana tentang β-oksidasi asam lemak dan cara kerja karnitin, peneliti mencoba mencari jawaban tentang peran kerja metionin dan lisin sebagai prekursor karnitin dalam peningkatan oksidasi asam lemak guna menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler. Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ada sebagai berikut : 1. Konsumen lebih menyukai ayam yang rendah lemak untuk dapat memenuhi kebutuhan protein tanpa mengganggu kesehatan. 2. Karnitin yang bisa menurunkan lemak tubuh ayam broiler, harganya sangat mahal dan meningkatkan biaya produksi, maka harus dicari prekursor karnitin. 3. Belum diketahui komposisi yang tepat untuk metionin dan lisin sebagai bahan baku biosintesis karnitin dalam tubuh, serta berapa besar pengaruhnya untuk menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi metionin dan lisin yang tepat sebagai prekursor karnitin untuk ditambahkan dalam ransum sebagai upaya menurunkan kandungan lemak tubuh ayam broiler melalui peningkatan oksidasi asam lemak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para

PKMP-2-2-5

peternak ayam broiler dalam memenuhi permintaan konsumen akan daging ayam broiler yang rendah kandungan lemak. Bahkan pada masa yang akan datang bisa dijadikan suatu peluang usaha untuk memproduksi prekursor karnitin atau ransum komersial yang telah disupplementasi dengan prekursor karnitin, yang mudah digunakan oleh peternak. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 8 perlakuan dan 4 kali ulangan (Steel and Torrie 1991). Dilaksanakan di kandang percobaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) ternak unggas dan laboratorium Nutrisi Non Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas pada bulan Mei s.d. November 2005. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Ayam broiler jantan strain CP 707 umur 21 hari sebanyak 64 ekor. 2. Kandang yang digunakan kandang berlantai dan dinding kawat berbentuk kotak (boks) sebanyak 32 unit yang ditempatkan dalam ruangan atau bangunan kandang, tiap unit diisi dengan 2 ekor ayam umur 3 minggu yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum, plastik hitam, layar plastik transparan dan lampu penerang 25 watt. 3. Makanan yang diberikan adalah ransum komersial Bravo 512 yang tersedia di poultry shop, kandungan nutrisi ransum tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Ransum Komersial Bravo 512 Nutrisi Ransum Kadar air Protein Lemak Serat Abu Kalsium Phospor

Ransum Bravo 512 Kadar (%)* Kadar (%)** 13 10.49 19 - 21 20.67 5-8 7.6 5 1.94 7 0.9 0.6 -

* PT. Charoen Pokphand Indonesia, KIM Medan **Laboratorium Nutrisi Non Ruminansia Fak. Peternakan Unand Ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi atas 8 macam yaitu : A : Ransum komersial (RK) = Bravo 512 B : RK + karnitin 150 mg/kg ransum C : RK + prekursor karnitin 1 D : RK + prekursor karnitin 2 E : RK + prekursor karnitin 3 F : RK + prekursor karnitin 4 G : RK + prekursor karnitin 5 H : RK + prekursor karnitin 6 Komposisi senyawa makro dan mikronutrien yang digunakan sebagai prekursor karnitin 1 - 6 dapat dilihat pada Tabel 2.

PKMP-2-2-6

4.

Senyawa makronutrien sintetis berupa L-HCl Lisin dan DL-Metionin, senyawa mikronutrien yaitu FeSO4, niasin, piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C), sebagai prekursor karnitin, dengan komposisi pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Prekursor Karnitin Senyawa L-HCl Lisin (%) DL-Metionin (%) Niasin (mg/kg) FeSO4 (mg/kg) Vitamin C (mg/kg) Piridoksin,vit B6 (mg/kg)

1 0,55 0,22 0,33 80 250 3,5

2 0,55 0,44 0,33 80 250 3,5

Prekursor Karnitin 3 4 0,55 1,1 0,66 0,22 0,33 0,33 80 80 250 250 3,5 3,5

5.

5 1,1 0,44 0,33 80 250 3,5

6 1,1 0,66 0,33 80 250 3,5

Alat-alat lain yang digunakan adalah timbangan teknis, kantong plastik, wadah plastik, peralatan laboratorium dan perlengkapan lain yang mendukung. Peubah yang diamati pada penelitian ini dibagi atas 3 parameter pengukuran yaitu: 1. Performan ayam broiler meliputi : konsumsi ransum (g/ekor), pertambahan bobot badan (g/ekor) dan konversi ransum yaitu perbandingan konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan (%). 2. Kualitas karkas ayam broiler meliputi : berat hidup yaitu penimbangan ayam pada akhir penelitian (g), berat karkas yaitu berat ayam tanpa bulu, darah, kepala, kaki bagian bawah dan alat tubuh bagian dalam kecuali paru-paru dan ginjal (g), persentase karkas yaitu perbandingan berat karkas dengan berat hidup (%), potongan karkas komersial yaitu berat dada, paha atas dan paha bawah (g), persentase potongan karkas komersial (%), persentase lemak abdominal (%), organ fisiologis yaitu berat hati dan ginjal (g) serta persentase organ fisiologis terhadap berat hidup (%) 3. Kualitas daging ayam broiler meliputi : kandungan lemak daging dada dan paha ayam broiler (%). Untuk pengujian kualitas daging ayam broiler, otot yang dipilih adalah otot yang cukup besar dengan arah serabut yang cukup jelas. Bentuk dan bagian ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 3.

Paha Atas Otot Dada

Paha Bawah

Gambar 3. Bagian Komersial Ayam Broiler Sebagai Sampel.

PKMP-2-2-7

Proses penelitian dilaksanakan sebagai berikut : 1. Sanitasi atau Persiapan kandang Kandang dibersihkan atau disucihamakan dengan cara pengapuran dan penyemprotan formalin dosis 5 cc/liter air, termasuk tempat makan dan minum ayam broiler. 2. Pemeliharaan DOC, menggunakan ransum Bravo 511 dan setelah umur 20 hari dilakukan sexing guna pengambilan ayam jantan untuk perlakuan sebanyak 64 ekor. 3. Pengacakan Dilakukan penomoran boks 1-32 untuk 8 perlakuan dan 4 ulangan, yang dilengkapi tempat makan dan minum pada masing-masing boks. Penempatan nomor boks dilakukan secara acak untuk proses perlakuan. 4. Penimbangan awal berat badan Ayam jantan umur 21 hari diambil secara acak sebanyak 10 ekor, ditimbang untuk mendapatkan berat rata-rata yang dijadikan berat patokan. Kemudian diambil dua level di bawah dan diatas berat tersebut. Disediakan 5 kotak untuk menempatkan ayam dengan kelima level berat tersebut. Semua ayam ditimbang dimasukkan kedalam kotak sesuai dengan berat badannya. Ayam dimasukkan ke dalam unit kandang yang telah diberi nomor 1-32 secara berurutan dan sebaliknya. Ayam diambil dari kotak dengan berat tertinggi sampai terendah sehingga masing-masing unit kandang terisi 2 ekor ayam. 5. Pemberian ransum dan air minum Ayam diberi ransum perlakuan dari umur 3 - 6 minggu. Ransum diberikan secara ad libitum dan ditimbang sesuai perlakuan. Sisa ransum dikumpulkan dan ditimbang setiap minggu. Air minum diberikan secara ad libitum setiap hari bersamaan dengan pemberian makanan. 6. Prosessing pemotongan dan pengumpulan data Pengumpulan data konsumsi ransum dan pertambahan berat badan dilakukan setiap minggu. Setelah umur 6 minggu, pada setiap unit percobaan diambil 1 ekor ayam broiler untuk dipotong. Lakukan pengukuran sesuai peubah yang diamati dan pengambilan sampel daging dada dan paha ayam broiler. 7. Analisis kandungan lemak daging dada dan paha di Laboratorium Nutrisi Non Ruminansia. 8. Pengolahan data dan pembuatan laporan. Data-data yang diperoleh selama penelitian lebih lanjut diolah secara statistik menggunakan analisis ragam menurut Steel and Torrie (1991), jika hasil analisis menunjukkan signifikan, maka dilakukan uji lanjut kontras ortogonal, untuk mendapatkan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Performan Ayam Broiler Umur 6 Minggu Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan mempunyai pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, berbeda sangat nyata (P 80%), kecepatan tumbuh tinggi (kurang dari 4 hari), murni atau tidak tercampur varietas lain, sehat atau tidak membawa bibit hama dan penyakit, tidak bercampur benih gulma, biji bernas, mengkilat, dan tidak keriput. Penyiapan lahan. Kegiatan pertama yang dilakukan ialah pengukuran luas lahan yang akan digunakan. Setelah itu lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan gulma. Olah tanah dilakukan dengan mencangkul tanah sedalam 20 cm sebanyak 2 kali, kemudian tanah dihancurkan dan diratakan. Pemetakan tanah dilakukan setelah diperoleh kondisi tanah yang rata dengan ukuran panjang 2,2 m dan lebar 2 m sebanyak 30 petak. Jarak antar petak adalah 50 cm dan jarak antar ulangan adalah 1 m, sehingga total lahan yang digunakan 16,5 m x 14 m. Pemasangan mulsa. Mulsa diletakkan di atas permukaan lahan. Pemasangan dilakukan dengan cara menghamparkan mulsa pada permukaan dengan ketebalan sesuai perlakuan. Mulsa dilobangi sesuai dengan jarak tanam sebelum dipasang.

PKMI-4-11-4

Penanaman dilakukan dengan cara ditugal sedalam + 4 cm pada lubang mulsa dengan 2 benih per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 20 cm. Penyulaman dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (hst) dengan cara mencabut tanaman yang pertumbuhannya tidak normal atau mati dan diganti atau menanam lagi benih kacang hijau. Penjarangan dilakukan pada umur 14 hst dengan menyisakan 1 tanaman yang paling baik pertumbuhannya pada setiap lubang tanam. Penyiraman dilakukan menggunakan gembor dengan volume dan interval penyiraman sesuai kebutuhan. Pemupukan. Pupuk dasar yang digunakan adalah SP-36 seluruh dosis. Sedangkan pupuk Urea dan KCl dibubuhkan secara terpisah pada saat 7 dan 15 hst masing-masing setengah dosis. Pupuk dibubuhkan dengan cara ditugal pada jarak + 5 cm dari lubang tanam. Adapun dosisnya ialah 75 kg SP-36, 50 kg Urea dan 50 kg KCl ha -1. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimiawi dengan dengan pestisida yang sesuai. Bahan yang akan digunakan ialah Furadan 3-G, Dithan M45 dan Ripcord 5 EC dengan dosis sesuai anjuran. Panen kacang hijau dilakukan ketika sebagian besar (+ 80%) polong sudah berubah warna menjadi hitam dan mudah pecah. Panen dilakukan pada pagi hari untuk menghindari pecahnya polong saat dipanen. Pengamatan. Pengamatan dilakukan secara destruktif yaitu dengan cara mencabut 2 tanaman sampel untuk setiap kombinasi perlakuan yang dilakukan pada saat tanaman berumur 17, 24, 31, 38, 45, 52 hst dan pada saat panen. Pengamatan tersebut meliputi variabel pertumbuhan (bobot kering total tanaman), lingkungan (kelembaban tanah, waktu terlarut mulsa dan analisis vegetasi gulma), dan komponen hasil (jumlah polong per tanaman, bobot polong segar per tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 biji dan bobot biji ha-1) Analisis data. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam (uji F dengan taraf α = 5%). Bila terjadi pengaruh dan interaksi dilanjutkan dengan uji perbandingan di antara perlakuan. Pada perlakuan yang terjadi interaksi digunakan uji jarak berganda Duncan dengan taraf α = 5% dan pada perlakuan yang tidak terjadi interaksi diuji dengan uji BNT dengan taraf α = 5% untuk menentukan perbedaan antar perlakuan. Sedangkan untuk membandingkan dengan tanaman kontrol digunakan uji t dengan taraf α = 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bobot kering total tanaman Tanaman menghasilkan fotosintat sebagai hasil proses fotosintesis. Fotosintat yang dihasilkan diedarkan ke seluruh bagian tanaman sebagai penyusun struktur tanaman. Keseluruhan bagian tanaman yang tersusun dapat diketahui melalui bobot total kering tanaman (BKTT). Bobot kering total tanaman (BKTT) kacang hijau tidak dipengaruhi oleh interaksi jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas. Perbedaan jenis mulsa kertas yang digunakan juga tidak berpengaruh pada BKTT kacang hijau. Pengaturan ketebalan mulsa bekas setebal 3 cm memberikan hasil terbaik pada umur 17, 31 dan 38 sebesar 0,33; 3,49 dan 6,78 g. Sedangkan pada umur 24 hst ketebalan 3 cm menghasilkan BKTT yang lebih baik daripada

PKMI-4-11-5

ketebalan 1 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan ketebalan 2 cm. Data rata-rata BKTT secara lengkap disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Rata-rata bobot kering total tanaman (g) akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas. Perlakuan Umur tanaman (hst) 17 24 31 38 45 52 Jenis mulsa Mulsa kertas koran 0.23 1.03 2.77 5.35 12.68 19.04 Mulsa kertas minyak 0.28 1.05 2.93 5.19 9.18 19.63 Mulsa kertas karton 0.26 1.01 3.17 6.18 13.01 15.49 BNT 5 % tn tn tn tn tn tn Tebal mulsa (cm) 1 0.21a 0.93a 2.57a 4.43a 10.17 16.03 2 0.23a 0.97ab 2.82a 5.52a 10.73 17.64 3 0.33b 1.19b 3.49b 6.78b 13.97 20.49 BNT 5 % 0.06 0.24 0.61 1.22 tn tn Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 3. Rata-rata bobot kering total tanaman (g) akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa. Perlakuan Umur tanaman (hst) 17 24 31 38 45 Jenis mulsa Tanpa mulsa 0,32 0,77 2,38 3,68 6,47 Mulsa kertas koran 0,23 1,03 2,77 5,35 12,68* Mulsa kertas minyak 0,28 1,05 2,93 5,19 9,18 Mulsa kertas karton 0,26 1,01 3,17 6,18* 13,01* Tebal mulsa (cm) Tanpa mulsa 0,32 0,77 2,38 3,68 6,47 1 0,21 0,93 2,57 4,43 10,17 2 0,23 0,97* 2,82 5,52* 10,73* 3 0,33 1,19* 3,49 6,78* 13,97* Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

52 12,17 19,04* 19,63 15,49 12,17 16,03 17,64 20,49 nyata dengan

Berdasarkan tabel 3, BKTT kacang hijau akibat perlakuan jenis mulsa kertas bekas berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa. Mulsa kertas koran berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa pada umur 45 dan 52 hst, mulsa kertas minyak tidak berbeda nyata, dan mulsa kertas karton berbeda nyata pada umur 38 dan 45 hst. BKTT tanaman dengan ketebalan mulsa 3 cm berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa pada umur 38 dan 45 hst. Pengaturan ketebalan mulsa 2 cm berbeda nyata dengan tanpa mulsa pada umur 24, 38 dan 45 hst, dan ketebalan 3 cm juga berbeda nyata pada umur 24, 38 dan 45 hst. 2. Kelembaban tanah Kelembaban tanah dipengaruhi oleh adanya perubahan kandungan air dalam tanah, baik bertambah atau berkurang. Air tanah dapat bertambah dengan adanya curah hujan atau penyiraman dan dapat berkurang karena penguapan akibat radiasi matahari. Penutupan mulsa pada permukaan tanah diharapkan dapat mengurangi penguapan air tanah. Akan tetapi selama penelitian jumlah hari hujan yang terjadi banyak dan radiasi matahari sedikit. Hal ini berakibat pada kurang

PKMI-4-11-6

berpengaruhnya mulsa kertas yang dihamparkan di atas permukaan tanah pada kelembaban tanah, terutama pada pagi hari karena hujan banyak terjadi pada sore dan malam hari. Hasil analisis kelembaban tanah pagi hari menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara jenis mulsa kertas yang digunakan. Demikian juga dengan pengaturan ketebalan mulsa kertas juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perbandingan penggunaan mulsa kertas dengan tanpa mulsa hanya menunjukkan perbedaan yang nyata antara kertas karton pada umur 15 hst. Data rata-rata kelembaban tanah pagi hari disajikan pada tabel 4 dan data perbandingannya dengan tanpa mulsa disajikan pada tabel 5. Tabel 4.

Rata-rata kelembaban tanah pagi hari (%) akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas.

Perlakuan Umur tanaman (hst) Jenis mulsa 15 24 38 52 Mulsa kertas koran 57,44 62,11 59,89 52,89 Mulsa kertas minyak 55,44 59,78 60,67 53,67 Mulsa kertas karton 60,22 62,33 64,00 55,89 BNT 5% tn tn tn tn Tebal mulsa (cm) 1 56,33 59,78 59,33 52,56 2 58,00 61,67 62,44 54,22 3 58,78 62,78 62,78 55,67 BNT 5% tn tn tn tn Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 5.

Rata-rata kelembaban tanah pagi hari (%) akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanpa mulsa.

Perlakuan Umur tanaman (hst) Jenis mulsa 15 24 38 52 Tanpa mulsa 51,67 64,33 58,33 56,00 Mulsa kertas koran 57,44 62,11 59,89 52,89 Mulsa kertas minyak 55,44 59,78 60,67 53,67 Mulsa kertas karton 60,22* 62,33 64,00 55,89 Tebal mulsa (cm) Tanpa mulsa 51,67 64,33 58,33 56,00 1 56,33 59,78 59,33 52,56 2 58,00 61,67 62,44 54,22 3 58,78 62,78 62,78 55,67 Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

Kelembaban tanah siang hari lebih menunjukkan perbedaan yang nyata daripada pagi hari. Hal ini karena sinar matahari banyak sampai ke bumi pada pagi hingga siang hari. Hasil analisis menunjukkan tidak adanya interaksi antara jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas. Penggunaan kertas karton dapat menjaga kelembaban tanah lebih baik daripada jenis lain pada umur 38 hst. Data rata-rata kelembaban tanah siang ini disajikan pada tabel 6. Perbandingan penggunaan mulsa dengan tanpa mulsa menunjukkan perbedaan nyata antara tanpa mulsa dengan mulsa kertas koran pada umur 15 hst dan dengan kertas karton pada umur 15, 24 dan 38 hst. Sedangkan pengaturan ketebalan yang menunjukkan perbedaan

PKMI-4-11-7

nyata dengan tanpa mulsa yaitu ketebalan mulsa 3 cm pada umur 15 dan 38 hst. Data perbandingan kelembaban tanah siang hari akibat jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dengan tanpa mulsa disajikan pada tabel 7. Tabel 6.

Rata-rata kelembaban tanah siang hari (%) akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas.

Perlakuan Umur tanaman (hst) Jenis mulsa 15 24 38 52 Mulsa kertas koran 56,11 60,89 52,44a 49,78 Mulsa kertas minyak 54,33 58,44 52,22a 50,00 Mulsa kertas karton 58,44 61,56 56,89b 50,11 BNT 5% tn tn 3,55 tn Tebal mulsa (cm) 1 54,33 59,22 52,22 48,67 2 55,67 60,44 55,44 50,22 3 58,89 61,22 55,78 51,00 BNT 5% tn tn tn tn Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 7.

Rata-rata kelembaban tanah siang hari (%) akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanpa mulsa.

Perlakuan Umur tanaman (hst) Jenis mulsa 15 24 38 52 Tanpa mulsa 47,00 54,00 53,33 52,00 Mulsa kertas koran 56,11* 60,89 52,44 49,22 Mulsa kertas minyak 54,33 58,44 52,22 50,00 Mulsa kertas karton 58,44* 61,56* 56,89* 49,44 Tebal mulsa (cm) Tanpa mulsa 47,00 54,00 49,00 48,33 1 54,33 60,00 52,44 50,56 2 55,67 60,89 54,22 49,00 3 58,89* 60,00 54,89* 49,11 Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

9. Waktu terlarutnya mulsa Kertas ialah bahan yang mudah larut apabila terkena air. Pemanfaatan kertas sebagai mulsa banyak diragukan kemampuannya berdasarkan asumsi di atas. Namun, apa yang terjadi selama penelitian ini akan memberikan pertimbangan lain untuk menggunakan kertas bekas sebagai mulsa bagi tanaman. Sampai penelitian ini selesai dilakukan, mulsa-mulsa kertas yang digunakan masih bertahan dan tidak larut oleh air hujan yang turun, walaupun intensitas tidak sebesar pada musim penghujan. Pengaturan ketebalan dan saluran drainase yang tepat sehingga permukaan tanah sehingga tidak tergenang akan dapat menjaga kemampuan kertas untuk bertahan lebih lama. Mulsa kertas apabila terkena air akan mengalami pelepuhan, tetapi ketika mendapat sinar matahari kertas yang telah melepuh memadat kembali menjadi satu lapisan yang tebal, sehingga masih memiliki ketahanan dan mampu berperan sebagai mulsa. Dengan demikian, penggunaan mulsa kertas bekas ini masih bisa diharapkan untuk dapat menekan

PKMI-4-11-8

kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi pada saat curah hujan kecil. Mulsa kertas juga rentan terhadap serangan hama rayap. Hal ini dapat diatasi dengan pestisida yang diaplikasikan di bawah mulsa pada awal pemasangan. 10. Analisis vegetasi gulma Penelitian dilaksanakan tanpa adanya pengendalian gulma yang tumbuh pada lahan percobaan dan pertumbuhan gulma pada lahan percobaan dimasukkan ke dalam variabel pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan adanya tujuh jenis gula yang dominan yaitu Alternatera sp, Emilia sonchifolia, Cynodon dactylon, Lantana camara, Amaranthus sp, Mimosa invisa dan Mikania micrantha. Rata-rata hasil perhitungan summed dominance ratio (SDR) tiap perlakuan pada umur 60 hst disajikan pada tabel 8. Tabel 8.

Jenis gulma Alternatera sp. Emilia sonchifolia Cynodon dactylon Lantana camara Amaranthus sp. Mimosa invisa Mikania micrantha

Rata-rata summed dominance ratio (SDR) (%) gulma akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas tiap perlakuan pada umur 60 hst. M0T0

M1T1

M1T2

M1T3

M2T1

M2T2

M2T3

M3T1

M3T2

M3T3

14.48

36.04

41.88

55.64

33.42

30.06

55.69

65.72

56.92

66.67

6.38

13.44

6.13

0

8.27

11.43

3.05

8.16

8.34

0.00

5.51

3.72

15.84

0

0

3.78

3.91

6.64

6.86

33.33

22.97

23.25

6.18

32.61

22.77

16.96

13.32

6.18

7.76

0

25.39

23.55

15.35

0

25.72

26.99

20.10

13.30

13.07

0

25.27

0

0

11.74

3.53

10.79

0

0

7.05

0

0

0

14.62

0

6.28

0

3.93

0

0

0

Hasil analisis ragam SDR gulma dikalikan dengan total dari kerapatan mutlak, frekuensi mutlak dan dominansi mutlak spesies menunjukkan tidak adanya interaksi antara jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas pada umur 60 hst. Jenis mulsa yang digunakan berpengaruh nyata, demikian juga pengaturan ketebalannya. Jenis mulsa kertas minyak diharapkan paling bisa menekan pertumbuhan gulma karena memiliki lapisan plastik, tetapi pada kenyataannya justru mulsa ini kurang bisa menekan pertumbuhan gulma dibandingkan jenis mulsa kertas lain. Hal ini karena kertas minyak yang terdiri dari lapisan kertas dan plastik yang direkatkan apabila terkena sinar matahari atau suhu yang panas lem perekatnya menyebabkan kertas menggulung, sehingga banyak permukaan tanah yang seharusnya tertutup mulsa menjadi terbuka. Dengan kondisi curah hujan yang banyak menjadikan gulma mudah tumbuh pada permukaan yang tidak tertutup mulsa. Pengaturan ketebalan yang paling baik untuk menekan pertumbuhan gulma ialah ketebalan 3 cm, karena semakin tebal mulsa semakin sulit ditembus oleh gulma. Data rata-ratanya disajikan pada tabel 9. Kemampuan kertas bekas menekan pertumbuhan gulma jika dibandingkan dengan tanpa mulsa menunjukkan hasil yang berbeda nyata baik jenis maupun pengaturan ketebalannnya. Hal ini juga membuktikan bahwa kertas bekas bisa

PKMI-4-11-9

digunakan sebagai mulsa terutama pada tanaman yang peka terhadap gangguan gulma. Pertumbuhan gulma pada tanah tanpa mulsa yang mencapai 62,05 % dapat ditekan menjadi 9,45 % dengan mulsa kertas karton atau menjadi 11,79 % dengan mulsa kertas koran. Sedangkan ketebalan 3 cm mampu menekan pertumbuhan gulma menjadi 7,51 %. Data rata-rata perbandingan ini disajikan pada tabel 10. Tabel 9.

Rata-rata SDR (%) gulma dikalikan dengan total kerapatan, frekuensi dan dominansi mutlak spesies akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas pada umur 60 hst.

Jenis mulsa

Nilai rata-rata pada umur 60 hst

Mulsa kertas koran Mulsa kertas minyak

11,79a 16,14b

Mulsa kertas karton

9,45a

BNT 5 % Tebal mulsa (cm) 1 2

3,42 16,13b 13,74b

3

7,51a

BNT 5 % 3,42 Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 10. Rata-rata SDR (%) gulma dikalikan dengan kerapatan, frekuensi dan dominansi mutlak spesies akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa. Jenis mulsa Nilai rata-rata pada umur 60 hst Tanpa mulsa 62,05 Mulsa kertas koran 11,79* Mulsa kertas minyak 16,14* Mulsa kertas karton 9,45* Tebal mulsa (cm) Tanpa mulsa 62,05 1 16,13* 2 13,74* 3 7,51* Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

11. Komponen hasil Pengamatan pada komponen hasil tidak menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata antara tiga jenis kertas yang digunakan, demikian juga dengan pengaturan ketebalannya. Hal ini sebagaimana disajikan pada tabel 29. Variabel komponen hasil pada table 29 tersebut apabila dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa maka semua jenis mulsa kertas bekas dan pengaturan ketebalannya menunjukkan perbedaan yang nyata pada variabel bobot segar polong per tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot biji per tanaman dan bobot biji ha-1

PKMI-4-11-10

walaupun tidak terjadi interaksi yang nyata. Variabel komponen hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman tanpa mulsa dan dengan mulsa ialah bobot 100 biji. Sedangkan jumlah polong per tanaman yang berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa ialah ketebalan mulsa 2 cm. Data rata-rata variabel komponen hasil akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa disajikan pada tabel 30. Tabel 29. Rata-rata variabel komponen hasil akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas. Perlakuan Jenis mulsa

Jumlah polong per tanaman (buah) 16,11a 16,50a 15,43a 3,24

Bobot segar polong per tanaman (g) 23,04a 22,59a 21,23a 5,59

Jumlah biji per tanaman (butir) 155,50a 161,07a 133,93a 29,66

Bobot biji per tanaman (g) 10,38a 10,92a 8,92a 3,46

Bobot 100 biji (g) 6,69a 6,78a 6,64a 0,49

Bobot biji (t ha_1) 2,57a 2,71a 2,21a 0,86

Mulsa kertas koran Mulsa kertas minyak Mulsa kertas karton BNT 5% Tebal mulsa (cm) 1 16,11a 21,15a 146,06a 9,96a 6,80a 2,47a 2 16,17a 23,80a 157,24a 10,52a 6,73a 2,61a 3 15,76a 21,91a 147,20a 9,74a 6,58a 2,41a BNT 5% 3,24 5,59 29,66 3,46 0,49 0,86 Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Tabel 30. Rata-rata variabel komponen hasil akibat perlakuan jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa. Perlakuan Jenis mulsa

Jumlah polong per tanaman (buah) 12.83 16,11 16,50 15,43

Bobot segar polong per tanaman (g) 11.93 23,04* 22,59* 21,23*

Jumlah biji per tanaman (butir) 79.04 155,50* 161,07* 133,93*

Bobot biji per tanaman (g) 5.27 10,38* 10,92* 8,92*

Bobot 100 biji (g) 6.67 6,69 6,78 6,64

Bobot biji (t ha_1) 1.31 2,57* 2,71* 2,21*

Tanpa Mulsa Mulsa kertas koran Mulsa kertas minyak Mulsa kertas karton Tebal mulsa (cm) Tanpa mulsa 12.83 11.93 79.04 5.27 6.67 1.31 1 16,11 21,15* 146,06* 9,96* 6,80 2,47* 2 16,17* 23,80* 157,24* 10,52* 6,73 2,61* 3 15,76 21,91* 147,20* 9,74* 6,58 2,41* Keterangan: Bilangan yang didampingi oleh tanda bintang menunjukkan berbeda nyata dengan tanaman tanpa mulsa berdasarkan uji t pada taraf 5%.

Jenis dan ketebalan mulsa kertas bekas pengaruhnya tidak berbeda nyata pada variabel komponen hasil. Ini berarti bahwa semua jenis kertas yang digunakan atau pengaturan ketebalan yang dilakukan sama baiknya untuk meningkatkan hasil tanaman kacang hijau var. Walet. Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan hasil tanaman yang dimulsa dengan tanaman tanpa mulsa. Bobot biji akibat jenis mulsa yang mencapai 2,7 t ha-1 lebih besar 2 kali dibandingkan tanpa mulsa yang hasilnya hanya mencapai 1,3 t ha-1. Perbedaan

PKMI-4-11-11

hasil yang nyata ini disebabkan dominasi gulma pada tanaman tanpa mulsa yang besar, sehingga kebutuhan tanaman kacang hijau seperti nutrisi, cahaya, dan gasgas menjadi berkurang sehingga produksi tanaman lebih rendah. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini ialah : 1. 3 jenis mulsa kertas bekas (mulsa kertas koran, kertas minyak dan kertas karton) yang digunakan mampu meningkatkan hasil produksi tanaman kacang hijau var. walet sama baiknya yaitu sebesar 2,2 – 2,7 t ha-1 jika dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa yang hanya menghasilkan produksi 1,3 t ha-1. 2. Pengaturan ketebalan mulsa kertas bekas (ketebalan 1, 2 dan 3 cm) juga mampu meningkatkan hasil sama baiknya yaitu sebesar 2,4 – 2,6 t ha-1 jika dibandingkan dengan tanaman tanpa mulsa yang hanya menghasilkan produksi 1,3 t ha-1. 3. Pemanfaatan kertas bekas sebagai mulsa mampu menekan dominasi pertumbuhan gulma pada lahan pertanian. Pertumbuhan gulma tanpa mulsa yang mencapai 62,05 % dapat ditekan sampai 9,45 % - 16,14 % dengan 3 jenis mulsa kertas bekas yang digunakan, atau ditekan sampai 7,51 % - 16,13 % dengan pengaturan ketebalan mulsa kertas bekas. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1999. Program penelitian tanaman rempah. (http://www.balittro.go.id/DOKUMEN/Rempah) Ariffin. 1999. Pemanfaatan kalium untuk meningkatkan daya tahan tanaman kacang hijau terhadap kekeringan. Habitat 10 (108): 58 – 62. Chugoku, T.H. 1991. The effect of mulching and row covers on vegetable prouction: Ueno 200, Atabe City Kyoto. (http://www.agnet.org/library/abstract.) Islami, T. dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan tanah, air dan tanaman. IKIP Semarang Press. p. 63 Nurmawati, S. I. Winarni dan A. Waskito. 2001. Penggunaan mulsa jerami, alangalang, dan plastik hitam perak pada tanaman semangka tanpa biji (Citrullus vulgaris L). Matematika, Sains, dan Teknologi 2 (1): 1 (http://pk.ut.ac.id/jmst/s_nurmawati/penggunaan.htm). Paimin, Triwilaida dan Wardojo. 2002. Upaya peningkatan produktivitas lahan di daerah tangkapan air waduk gajah mungkur, Wonogiri. (http://www.balitbang_das.or.id/hasil_penelitian/2002/Upaya%20peningkata n%20produktivitas) Purwowidodo. 1983. Teknologi mulsa. Dewa Ruci Press. Jakarta. pp. 168 Sudarmadji, T. dan G. Rachman. 2005. Percobaan penggunaan mulsa alang-alang untuk pengendalian erosi tanah pada lahan kritis dengan kelerengan yang beragam. FP Universitas Mulawarman (http://www.unmul.ac.id/datpub/frontir/triyono.pdf) Sudiarto dan Gusmani. 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi budidaya jahe yang berkelanjutan. J. Litbang Pert. 23 (2): 37 – 45 (http://www.pustaka_deptan.go.id/homepage/publication/p3232041) Umboh. A.H. 1997. Petunjuk penggunaan mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta. pp. 86

PKMI-4-12-1

UPAYA PENJERNIHAN AIR GAMBUT DENGAN MENGGUNAKAN BALL CLAY CAP KALA Aderya Munika, Ummi Fauziah, dan Tika Apriantini Program Studi P.Kimia Jurusan P.MIPA FKIP UNTAN, Pontianak ABSTRAK Kalimantan Barat merupakan daerah dengan luas areal lahan gambut yang sangat luas. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Kalimantan Barat, terutama di daerah pedesaan kesulitan mendapatkan air bersih. Air yang dikonsumsi oleh warga masyarakat umumnya adalah air gambut yang memiliki kualitas yang kurang baik, yaitu berwarna coklat sampai hitam dengan tingkat keasaman yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, perlu upaya pengolahan air gambut menjadi air bersih yang layak diminum. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan Ball Clay Cap Kala, yang merupakan salah satu sumber mineral Kalimantan Barat sebagai pengganti tawas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kemampuan Ball Clay Cap Kala sebagai salah satu bahan penjernih air gambut. Proses penjernihan air gambut dilakukan dengan cara pengendapan kotoran air gambut pada campuran Ball Clay Cap Kala dengan konsentrasi 10, 15, dan 20 baik Ball Clay putih maupun coklat, bubuk kapur 10 gram, dan kaporit 2,5 gram. Parameter air bersih yang diamati adalah keasaman, pH, tingkat kekeruhan, kesadahan (sebagai CaCO3), kandungan klorin, Fe, dan Sulfat. Hasil yang diperoleh untuk masing-masing Ball Clay pada konsentrasi10, 15, dan 20 berturu-turut adalah keasaman (karboksilat) 3;3;6;3;3;dan 9, kesadahan yaitu 70,063; 60,06; 60,054; 114,10; 300,27; dan 114,102 mg/L, kadar Fe 99,68; 149,52; 99,68; 99,68, 199,36 dan 797,44 mg/L, tidak ditemukan sulfat dan klor, pH berkisar dari 7,7-8 untuk Ball Clay putih dan 7,4-9 untuk Ball Clay coklat, dan kekeruhan O FTU dengan Ball Clay putih dan 1,22 dengan Ball Clay coklat. Kata kunci :Ball Clay Cap Kala, air gambut, air bersih PENDAHULUAN Kebutuhan air dalam kehidupan manusia merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Dua per tiga dari tubuh manusia terdiri dari air sehingga, air minum tidak hanya sekedar minuman tetapi, juga memiliki peran untuk menunjang kerja darah dan organ tubuh lainnya dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, air yang dikonsumsi manusia harus berkualitas baik. Kalimantan Barat dengan areal lahan gambut yang cukup luas (± 18 juta ha) memiliki permasalahan utama dalam memperoleh air bersih. Air gambut sebagai sumber air utama memiliki kualitas yang kurang baik, kesulitan tersebut semakin terasa dengan bertambahnya jumlah penduduk namun tidak dibarengi dengan peningkatan sumber air bersih. Di beberapa daerah pedalaman dan pedesaan di wilayah Kalimantan Barat terbatasnya sumber air bersih membuat masyarakat sering menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari mulai dari mencuci, mandi, sampai masak dan minum.

PKMI-4-12-2

Air yang digunakan dan dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan Barat umumnya adalah air gambut yang berwarna coklat sampai hitam dan memiliki sifat asam. Hal ini tentu merugikan baik dari segi estetis maupun dari segi kesehatan. Sampai saat ini upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh air bersih masih minim, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang cara pengolahan air menjadi air bersih dan atau adanya kesulitan memperoleh bahan penjernih air. Salah satu komponen yang digunakan oleh sebagian masyarakat dan perusahaan air minum daerah dalam proses penjernihan air adalah tawas. Selain harganya mahal, bahan ini juga sulit diperoleh. Berdasarkan hal tersebut, pemnfaatan sumber daya mineral asal Kalimantan Barat yaitu Ball Clay Cap Kala dapat menjadi alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapai saat ini. Ball Clay Cap Kala potensial menjadi bahan alternatif pengganti tawas dalam proses penjernihan air. Ball Clay dapat diperoleh didaerah Cap Kala kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat dengan jumlah yang berlimpah. Ball Clay memiliki sifat yang sama dengan tawas dan mengandung senyawa kompleks dengan komponen utama kaolin, . Kaolin [Al2O3 2SiO2.2H2O] merupakan masa batuan yang tersusun dari material lempung dengan kandungan besi yang rendah, dan umumnya berwarna putih atau agak keputihan. dengan sifat-sifat antara lain, kekerasan 2-2,5, berat jenis 2,6 – 2,63, plastis, mempunyai daya hantar panas dan listrik yang rendah, serta pH bervariasi. Dengan kandungan alumunium yang tinggi dalam Ball Clay Cap Kala, maka bahan tersebut memilki kemampuan dalam mengkoagulasi dan mengendapkan kotoran-kotoran yang berupa partikel koloid dalam air gambut. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan dilakukan upaya menjernihkan air gambut dengan memanfaatkan Ball Clay Cap Kala yang merupakan kekayaan alam mineral yang berlimpah di Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan Ball Clay Cap Kala dalam proses penjernihan air gambut, sehingga air dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kalimantan Barat Dari penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan air gambut yang jernih, tidak berbau dengan pH normal dan tidak payau dengan menggunakan Ball Clay Cap Kala. Selain itu melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah Ball Clay Cap Kala. METODE PENDEKATAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia FKIP UNTAN. Sedangkan waktu yang digunakan dalam penelitian ini mulai pada bulan Februari sampai Juni 2006. Metode Penelitian Penelitian ini berdasarkan pada studi eksperimen, dimana percobaan yang dilakukan dengan menggunakan variasi Ball Clay. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitin ini adalah 2 buah ember besar yang digunakan untuk bak pengendapan dan bak penyaringan, 2 buah kran ½ cm,

PKMI-4-12-3

pipa, drigen besar, pH meter, pipet tetes, gelas piala, erlenmeyer, labu ukur, peralatan titrasi, peralatan gelas, turbidimetri, pasir, ijuk, kerikil, kaporit, arang sekam padi [arang aktif], bubuk kapur, Ball Clay Cap Kala [10 gram, 15 gram, dan 20 gram], NaOH, NaHCO3, HCl, Eriochrome Black-T, NaNO3, BaCl2, Na2S2O3, KI, kertas saring Whatman No.42, MgCl2 dan air gambut. Analisis Karboksilat 25 ml larutan gambut (sampel) ditetesi 2-3 tetes penunjuk P.P, kemudian dititer dengan larutan NaOH 0,01 N sampai terbentuk warna merah jambu muda (sambil digoyangkan). Jumlah ml basa dicatat masing-masing (dua angka dibelakang koma). Analisis pH Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah koagulasi dan penyaringan dengan menggunakan pH meter. Analisis Clorida (Cl-) 8 gram air gambut ditimbang dengan teliti, kemudian ditambah dengan air suling ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan sampai tanda garis. 25 ml larutan contoh ini dipipet ke dalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 25 ml air suling dan 2 ml larutan perak nitrat 0,1 N. Hingga terbentuk warna merah coklat. Penetapan ini diulangi 2 kali. Penetapan Kesadahan (karbonat dan dikarbonat) 25 ml larutan gambut dipipet kedalam erlenmeyer 250 ml, kemudian dititer dengan HCl 0,1 N dengan penunjuk larutan P.P, hingga cairan tak berwarna lagi. Pada titrasi pertama ini diperlukan a ml larutan HCl. Selanjutnya ditetesi larutan penunjuk merah metil (M. M) dan penitaran dilanjutkan hingga warna cairan berubah. Kemudian didihkan untuk mengusir CO2 dan setelah dingin ditambahi lagi beberapa tetes HCl (bila perlu) hingga terjadi perubahan warna. Untuk seluruh titrasi b ml larutan HCl. Analisis Besi (Fe) 10 ml larutan gambut di pipet dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 25 ml H2SO4 4 N dan dipanaskan. Kemudian dalam keadaan panas larutan tersebut dititrasi dengan larutan KMnO4 sampai berwarna merah muda. Catat volum KMnO4 yang diperlukan. Penetapan dilakukan dua kali. Analisis Sulfate 5 gram larutan gambut ditimbang dengan teliti, dilarutkan dalam labu ukur 100 ml, kemudian diencerkan sampai tanda garis, 10 ml larutan ini dipipet kedalam gelas piala 100 ml, diencerkan sampai 50 ml HCl 4 N dan panaskan sampai mendidih. Kemudian dibubuhi larutan BaCl2 panas sedikit demi-sedikit diaduk (5 ml larutan BaCl2 2N dan 45 ml air suling). Selanjutnya larutan dibiarkan diatas penangas air selama 1 jam, disaring dengan kertas saring Whatman No.42 kemudian dicuci dengan air suling dingin sampai bebas klorida.

PKMI-4-12-4

Endapan dan filtrat dimasukkan kedalam piala gelas asal, ditambahkan 35 ml (dalam buret) larutan EDTA 0,05 M dan 5 ml amonia pekat, lalu didihkan hatihati selama 15 menit. Kemudian larutan tersebut dibubuhi lagi 2 ml amonia dan dipanaskan selama 15 menit. Larutan yang telah jernih didinginkan kemudian dicurahi 10 ml larutan dapar (pH=10), dan dibubuhi 3 tetes larutan penunjuk Eriochrome Black T; akhirnya kelebihan EDTA dititer dengan larutan MgO 0,05 M sampai warna larutan menjadi merah jernih. Penetapan dilakukan 3 kali. Analisis Kekeruhan Analisis kekeruhan sampel dengan menggunakan HANNA Turbidimetri. Analisis Warna Pengujian warna dapat dilihat secara visual Analisis Bau Analisis bau dilakukan melalui indera penciuman HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel di bawah memberikan informasi tentang adanya Asam Karboksilat yang menunjukkan adanya jumlah bakteri penghasil asam dalam air gambut. Tabel 1 Kadar Keasaman Karboksilat Ball Clay Putih (C1) dan Ball Clay Coklat (C2) Dalam Larutan Gambut No. Ball Caly Kadar rata-rata CH3COOH dalam larutan gambut (mg/l) 1. C1 10 gram 3 2. C1 15 gram 6 3. C1 20 gram 6 4. C2 10 gram 3 5. C2 15 gram 3 6. C2 20 gram 9 Berdasarkan tabel 1 larutan gambut dengan variasi Ball Clay Cap Kala memiliki kadar keasaman karboksilat relatif rendah. Artinya, jumlah bakteri yang terdapat pada larutan gambut relatif sedikit. Kesadahan air disebabkan adanya kation (ion positif) logam dengan valensi dua, seperti Ca2+, Mg2+, Sr2+, dan Fe2+. Secara umum, kation yang sering menyebabkan air sadah adalah kation Ca2+, Mg2. kation ini dapat membentuk kerak apabila bereaksi dengan air sabun. Sebenarnya, tidak ada pengaruh derajat kesadahan bagi kesehatan tubuh. Namun, kesadahan air dapat menyebabkan sabun atau diterjen tidak bekerja dengan baik (tidak berbusa). Tabel 2 Kadar Kesadahan ( CaCO3) Dalam Larutan Gambut No. Ball Clay Kadar rata-rata CaCO3 dalam larutan gambut (mg/l) 1. C1 10 gram 70,063 2. C1 15 gram 60,06

PKMI-4-12-5

3. 4. 5. 6.

C1 20 gram C2 10 gram C2 15 gram C2 20 gram

60,054 114,10 300,27 114,102

Berdasarkan tabel 2 larutan gambut memiliki kesadahan relatif rendah karena ini sesuai dengan standar air minum menurut PERMENKES RI yaitu kadar maksimum 500 mg/liter CaCO3 sehingga air tersebut dapat digunakan untuk mencuci. Tabel 3 memberikan informasi tentang kadar Fe dalam larutan gambut :

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Tabel 3 Kadar Besi (Fe) Dalam Larutan Gambut Ball Clay Kadar rata-rata Fe dalam larutan gambut (mg/l) C1 10 gram 99,68 C1 15 gram 149,52 C1 20 gram 99,68 C2 10 gram 99,68 C2 15 gram 199,36 C2 20 gram 797,44

Berdasrkan tabel 3 terlihat bahwa kadar Fe berkisar dari 99,68-797,44 mg/liter. Kadar tertinggi diperoleh pada air gambut yang diberi perlakuan Ball Clay coklat dengan kadar 20 gram, sedangkan kadar terendah diperoleh pada pemberian Ball Clay putih dengan kadar 10 gram. Dibandingkan perlakuan dengan Ball Clay Putih dengan coklat, perlakuan dengan Ball Clay putih akan menghasilkan kadar besi yang lebih rendah dibandingkan dengan Ball Clay coklat. Jika berdasarkan pada standar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI yaitu bahwa kadar Fe dalam air yang layak minum tidak boleh melebihi 0,3 mg/ Liter, maka air gambut hasil perlakuan dengan Ball Clay Cap Kala baik yang putih maupun coklat belum memnuhi syarat. Meskipun tidak layak diminum, namun air tersebut masih dapat digunakan untuk keperluan lain seperti mencuci dan untuk irigasi pertanian. Selain kadar Fe, parameter lain yang diuji adalah kadar Sulfate air gambut setelah perlakuan dengan Ball Clay. Tabel 4 memberikan informasi tentang kadar sulfat dalam air gambut setelah diproses dengan variasi Ball Clay. Tabel 4.Kadar Sulfate Dalam Air Gambut Dengan Variasi Ball Clay No. Ball Clay Kadar rata-rata Sulfate dalam larutan gambut (mg/l) 1. C1 10 gram 0 2. C1 15 gram 0 3. C1 20 gram 0 4. C2 10 gram 0 5. C2 15 gram 0 6. C2 20 gram 0

PKMI-4-12-6

Berdasarkan tabel 4 air gambut setelah diproses tidak memiliki kadar Sulfat, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kadar sulfat dalam air gambut relatif rendah sehingga tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode volumetri. Kemungkinan lain adalah bahwa air gambut memang tidak mengandung sulfat. Tabel 5 memberikan informasi tentang pH (Derajat Keasaman) air baku dan pH air gambut setelah diproses. Air yang baik adalah air yang bersifat netral (pH=7). Air dengan pH kurang dari 7 dikatakan air bersifat basa. Tinggi rendahnya pH air dapat mempengaruhi rasa air. Maksudnya, air dengan pHkurang dari 7 akan terasa asam di lidah dan terasa pahit apabila pH melebihi 7. Hasil pengukuran pH air gambut setelah perlakuan dengan Ball Clay dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 pH Air Baku dan Setelah dilakukan Proses Penyaringan dan Pengendapan dengan Variasi Ball Clay Cap Kala pH air minum pH air gambut setelah proses penyaringan dan pengendapan, dengan variasi Ball Clay Cap Kala C1 C2 C2 C1 C1 C2 10 g 15 g 20 g 10 g 15 g 20 g 6,5-8,5 8 7,9 7,7 9,0 8,4 7,4 Berdasarkan tabel 5 air baku gambut memiliki derajat keasaman yang relatif tinggi namun setelah terjadinya proses koagulasi dengan variasi Ball Clay. Partikel-partikel koloid dalam air gambut akan membentuk flok yang bermuatan (positif dan negatif). Kedua ion tersebut saling berinteraksi dan flok yang terbentuk segera mengendap dan berpisah dengan air. Hal ini yang memungkinkan terjadinya perubahan pH air gambut setelah diproses.s dalam pengendapan makapH larutan gambut berubah. Akan tetapi, air gambut dengan variasi Ball Clay ini dapat dikatakan baik karena memenuhi pH standar air minum PERMENKES RI yaitu batas pH minimum dan maksimum adalah 6,5 – 8,5. Pada tabel 6 memberikan informasi tentang kadar kekeruhan dalam air gambut dengan variasi Ball Clay , yaitu: Tabel 6 Kadar Kekeruhan Dalam Air Gambut Dengan Variasi Ball Clay Cap Kala Kekeru Kekeruhan (FTU) larutan gambut dengan variasi Ball Clay han Cap Kala (FTU) C1 C1 C2 C2 C2 C1 air baku 10 gram 15 gram 20 gram 10 gram 15 gram 20 gram 5,89 0 0 0 0 0 1,22 Berdasarkan hasil penelitian, kekeruhan air baku melebihi standar layak air minum yang telah ditetapkan oleh PERMENKES RI (5 NTU) tetapi, kekeruhan larutan gambut dengan variasi Ball Clay Cap Kala relatif rendah. Hal ini berarti, koalin pada Ball Clay mampu mengabsorbsi partikel-partikel dalam air baku yaitu air gambut. Tingginya daya absorbsi kaolin terhadap partikel koloid dalam air gambut, karena ion-ion keduanya efektif berinteraksi yang ditandai dengan cepatnya pembentukan flok dan terjadi destabilisasi koloid. Destabilisasi koloid segera terendapkan kedasar air, akibatnya partikel-partikel tersuspensi dan partikel koloid sampai mencapai keadaan optimal.

PKMI-4-12-7

Tabel 7 Analisis Klorida Dalam air Gambut Dengan Variasi Ball Clay Cap Kala Sampel Penambahan Reagen AgNO3 1N Hasil C1 10 gram Jernih Negatif C1 15 gram Jernih Negatif C1 20 gram Jernih Negatif C2 10 gram Jernih Negatif C2 15 gram Jernih Negatif C2 20 gram Jernih Negatif Pada tabel 7 menunjukkan bahwa semua sampel Ball Clay tidsak mengandung Clorida (Cl-) yang ditandai dengan terbentuknya larutan yang jernih, yang seharusnya berwarna merah coklat. Tabel 8. Hasil Uji Organoleptis Air Gambut Sebelum dan Setelah Perlakuan dengan Ball Clay Cap Kala Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan Berbau Rasa Warna merah Tidak Tidak Jernih (tidak asin dan kecoklatan berbau berasa berwarna) asam Sedangkan uji organoleptis terhadap semua sampel air gambut sebelum diberi perlakuan dengan Ball Clay yaitu berbau, rasa asam dan asin, berwarna merah kecoklatan. Sedangkan setelah diberi perlakuan dengan pemberian Ball Clay Cap Kala dengan berbagai konsentrasi menunjukkan terjadi perubahan dari segi organoleptis, yaitu jernih (tidak berwarna), tidak berbau, dan tidak berasa Tabel 8). Hal ini berarti bahwa partikel-partikel yang terdapat pada Ball Clay yang menyebabkan bau, warna, dan rasa pada air gambut telah hilang setelah perlakuan. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yaitu 1. Ball Clay Cap Kala merupakan alternatif pengganti tawas dalam penjernihan air gambut sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kalimantan Barat untuk keperluan sehari-hari. 2. Kadar besi (Fe) pada hasil air gambut relative tinggi sehingga tidak layak untuk diminum / dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan Barat.

DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Sujana. 2006. Merakit sendiri alat penjernih air untuk rumah tangga. Jakarta: Kawan Pustaka. APHA. 1998. Standard methods of the examination of water and wastewater, 2th edition. Washington DC : American Public Health Association. AWWA (American Water Works Association) dan ASCE (American Society of Civil Engineers). 1998. Water treatment plant design, 3rd edition. New York: McGraw-Hill.

PKMI-4-12-8

Dimitrov, P.S. dkk. 2001. Balkan endemic nephrophaty in vratza, Bulgaria. : an epidemiologic analysis of population –based disease registers. Eropean Journal of Epidemiology. Hartomo, Anton J. 1994. Mengenal keramik modern. Jakarta : Andi Offet. Orem, W.H, dkk. 2002. Environment, geochemistry, and the etiology of Balkan endemic nephropathy. Romania: facta Univ, Medidine and Biology. Parrott, Eugene L. 1971. pharmaceutical technology. Minneapolis: Burgess Publishing Company. Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran lingkungan 12 nd. Jakarta: Rineka Cipta. Shaw, Duncan J. 1992. Introduction to colloid, and surface chemistry fourth edition. Liverpool: Butterworth Heinemann. Sukandarrumidi. 1995. Batubara dan gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Taylor, J.R. and M.R. Wiesner. Membrance processes, in water quality and teratmant. Mc. Hill: in revision. Twort, A.C. Ratnayaka, D.D. and brandt, M.J. 2000. Water supply, 5th edition. London: Arnold.

PKMP-4-13-1

PIROLISIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) UNTUK MENDAPATKAN ASAP CAIR SERTA UJI KEMAMPUANNYA SEBAGAI BAHAN PEMBEKU LATEKS ALTERNATIF Mira Setiyawati, Resna Maulia, Elliza Ulfah, Hairun Nisa PS Kimia FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai pirolisis tandan kososng kelapa sawit (TKKS) untuk mendapatkan asap cair. Asap cair yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai bahan pembeku lateks. Pemanfaatan TKKS sebagai bahan baku pembuatan asap cair didasarkan pada kenyataan bahwa bahan tersebut merupakan limbah yang jumlahnya sangat melimpah. Pirolisis dilakukan dengan cara memanaskan TKKS yang telah dihaluskan dengan menggunakan reaktor pirolisis pada temperatur 500oC dalam sebuah reaktor pirolisis yang diletakkan dalam furnance. Hasil pirolisis berupa asap yang kemudian didinginkan sehingga berubah menjadi asap cair. Pada asap cair yang diperoleh selanjutnya diberikan perlakuan yang berbeda yaitu ekstraksi, destilasi dan pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan asap cair dari ter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asap cair yang dihasilkan mampu membekukan lateks dengan cukup baik, terutama asap cair bebas ter hasil destilasi. Kemampuan asap cair sebagai bahan pembeku lateks ini diduga karena sifatnya yang asam seoerti halnya asam format. Kata Kunci : Pirolisis, TKKS, Lateks PENDAHULUAN Salah satu komoditi pertanian yang paling penting di Indonesia adalah karet alam dan kelapa sawit, karena terbukti dapat menunjang perekonomian negara dengan baik. Hasil devisa yang diperoleh dari karet dan kelapa sawit ini cukup besar. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia dengan produksi terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan negara asal tanaman karet sendiri yaitu di daratan Amerika Selatan. Indonesia juga merupakan salah satu produsen utama minyak kelapa sawit. Pada umumnya karet yang ditanam di Indonesia adalah species Havea brasiliensis dari family Euphorbiaceae dan ordo Triciccae. Sejak 1910 karet ditanam oleh penduduk secara besar-besaran dan sekarang perkebunan karet sudah menyebar ke pulau Kalimantan khususnya propinsi Kalimantan Selatan. Beberapa kabupaten seperti kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), kabupaten Tabalong, Kabupaten Banjar, Kotabaru, Tanah Laut, Balangan dan Tanah Bumbu merupakan daerah penyebaran karet di Kalimantan Selatan Pada tanaman karet diperoleh getah yang disebut sebagai lateks, yang diperoleh dengan cara menyadap batang pohon tersebut. Penyadapan biasanya dilakukan pada pagi hari agar getah yang dikeluarkan dapat mengalir dengan deras, sehingga menghasilkan lateks yang banyak. Getah hasil sadapan biasanya ditampung dalam tempurung kelapa dan selanjutnya digumpalkan dengan asam format atau yang sering dikenal dengan cuka getah. Dengan asam format ini lateks akan menggumpal dalam waktu yang

PKMP-4-13-2

singkat, dan warna lateks yang dihasilkan tetap akan putih. Akan tetapi akhirakhir ini asam format mulai langka ditemukan dipasaran dan dirasakan sulit bagi para petani karet karena harganya yang mulai naik serta mempunyai dampak kimia yang berbahaya baik itu bagi lingkungan maupun bagi petani karet sendiri. Oleh karena itulah melalui kegiatan ini diusulkan untuk mencari alternatif lain guna mengatasi masalah tersebut yaitu dengan cara memanfaatkan asap cair dari hasil proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit (TKKS) untuk penggumpalan lateks. Hal ini mengingat sifatnya yang asam seperti halnya asam format. Selain itu juga sumber bahan bakunya sangat melimpah seiring dengan meningkatnya area perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Pemilihan TKKS sebagai bahan baku dalam pembuatan asap cair mengingat TKKS yang jumlahnya sangat melimpah di Kalimantan Selatan. Selain itu, adanya letak kawasan perkebunan kelapa sawit dengan perkebunan lateks yang berada pada satu daerah yang sama sehingga memudahkan para petani karet mendapatkannya selain itu mengurangi limbah kelapa sawit berupa tandan kosong terhadap lingkungan serta membantu para petani karet untuk menghemat biaya dalam proses pembekuan lateks. Serta menghindari pencemaran lingkungan akibat asam format yang digunakan oleh para petani sekarang. Berdasarkan pada uraian diatas maka penelitian mengenai pirolisis TKKS untuk mendapatkan asap cair sebagai bahan pembeku lateks alternatif merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah asap cair yang dihasilkan oleh tandan kosong kelapa sawit dengan proses pirolisis dapat digunakan sebagai bahan alternatif pada proses pembekuan lateks, mengetahui apakah asap cair yang dihasilkan bekerja sebaik asam format dalam hal pembekuan lateks dan mengetahui perbedaan kualitas antara lateks yang digumpalkan dengan bahan tersebut dengan lateks yang digumpalkan dengan bahan asam format. Sedangkan manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah adanya gambaran mengenai asap cair hasil pirolisis TKKS sebagai bahan pembeku lateks alternatif. METODE PENDEKATAN Dalam rangka untuk menjawab rasa keingintahuan tim peneliti mengenai bahan pembeku lateks alternatif melalui proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit, maka dilakukanlah serangkaian eksperimen dilaboratorium. Pirolisis merupakan proses transformasi suatu senyawa menjadi senyawa lain yang disebabkan oleh temperatur (300 – 700oC) pada kondisi oksigen terbatas. TKKS mempunyai komposisi seperti kebanyakan biomassa pada umumnya. Komponen terbesar yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan jumlah yang lebih kecil, selain itu juga terdapat mineral, produk asap cair dari proses selulosa mengandung senyawaan dengan gugus karbonil atau karboksil. Pirolisis lignin menghasilkan senyawaan fenol, metanol, asam asetat, aseton dan asetaldehida. Proses pirolisis menjadikan TKKS sebagai limbah padat menjadi asap cair yang mengandung beberapa senyawa penting seperti tersebut diatas. Beberapa senyawa dapat ditemukan dalam asap cair seperti senyawa asam karboksilat (asam asetat, asam propanoat, asam benzoat, asam isobutirat dan asam isovalerat) dan senyawa fenol (fenol, o- dan p-kresol, dimetoksifenol dan metoksifenol) yang berpotensi sebagai bahan pembeku lateks alternatif.

PKMP-4-13-3

Mengingat kandungan asap cair ini diharapkan lateks yang dibekukan mempunyai kualitas yang lebih bagus baik itu warna maupun bau dibandingkan dengan bahan pembeku lateks yang biasa digunakan oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka sangat dimungkinkan untuk memanfaatkan asap cair hasil pirolisis TKKS sebagai bahan pembeku lateks. Dalam rangka untuk membuktikan dugaan tersebut maka dilakukan serangkaian eksperimen yang dilakukan di laboraturium Dasar Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan dalam waktu selama 3 bulan. Dalam eksperimen alat yang digunakan berupa: gelas beaker, batang pengaduk, pipet tetes, pipet volume, erlenmeyer, kertas pH, pH meter, gelas ukur, wadah/loyang, stopwatch, reaktor pirolisis, termometer, furnance, neraca analitik, corong pisah, corong, pipa kondensor, penampung destilat, selang, ember dan plastik. Sedangkan bahan yang digunakan adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS), karet, asam format, NaOH, indikator pp, aluminium foil, tembaga, garam dan aquades. Eksperimen yang dilakukan secara berturut-turut sebagai berikut: Pembuatan asap cair dengan proses pirolisis Pengambilan asap cair dilakukan dengan cara pirolisis, dimulai dengan memasukkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang telah kering ke dalam reaktor pirolisis yang dilengkapi dengan sistem pendingin air es dan penampung destilat setelah semuanya siap, furnace dihidupkan dengan temperatur dan dibiarkan naik hingga temperatur optimal. Ketika temperatur tersebut dicapai, temperatur dijaga konstan selama tiga jam, asap cair yang mengalir dari kondensor ditampung dalam penampungan destilat yang diletakkan dalam wadah berisi campuran es dan garam dapur. Asap cair yang dihasilkan diukur volumenya kemudian disimpan dalam botol tertutup rapat dan disimpan dalam lemari pendingin. Penentuan pH asap cair 1. Seratus mililiter asap cair dimasukkan ke dalam gelas beaker 2. pH diukur dengan kertas pH 3. Asap cair siap pakai disimpan di dalam botol Penentuan pH asap cair bebas ter 1. Asap cair yang telah diperoleh diendapkan selama ± 3 hari sehingga terbentuknya endapan hitam pada lapisan bawah 2. Asap cair (lapisan atas) diambil 3. Tujuh Puluh Sembilan mililiter asap cair bebas ter dimasukkan ke dalam beaker gelas. 4. pH asap cair bebas ter diukur dengan pH meter. 5. Asap cair siap pakai disimpan di dalam botol. Penentuan pH asap cair bebas ter dan H2O ™ Proses Ekstraksi 1. Seratus mililiter asap cair murni diambil dan dimasukkan ke dalam corong pemisah 2. Lima puluh mililiter Dietil Eter ditambahkan (mendapatkan air dan senyawa organik pada lapisan bawah) 3. Dilakukan proses ekstraksi dan dikeluarkan lapisan bawah dan lapisan atas

PKMP-4-13-4

4. Lapisan bawah dimasukkan kembali ke dalam corong pisah dan ditambahkan 50 mililiter dietil eter. 5. Dilakukan proses ekstraksi kembali untuk dipisahkan dietil eter dengan senyawa organik. 6. Dilakukan proses evaporasi untuk dipisahkan dietil eter dengan senyawa organik. ™ Proses Destilasi 1. Seratus mililiter asap cair dimasukkan ke dalam labu didih 2. Dilakukan proses destilasi untuk memisahkan senyawa berdasarkan titik didihnya.

organik

Penentuan pH asam format 1. Enam puluh enam mililiter asam format dalam gelas beaker dan diencerkan dalam 100 mililiter aquades 2. pH diukur dengan kertas pH 3. Asam format disimpan di dalam botol Proses pembekuan lateks 1. Lateks disaring dari kotoran yang ikut bersama dari perkebunan 2. Lateks dimasukkan ke dalam 3 wadah/loyang masing-masing sebanyak 80 mililiter 3. Dua mililiter ditambahkan bahan pembeku pada masing-masing wadah/loyang. 4. Seratus mililiter air ditambahkan dan diaduk hingga hampir membeku. 5. Lateks dibiarkan membeku dan dibandingkan waktu yang diperlukan oleh masing-masing bahan pembeku alternatif. Pengujian hasil pembekuan Parameter yang diuji adalah warna, bau dan massa lateks yang membeku. HASIL DAN PEMBAHASAN Pirolisis Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Mendapatkan Asap Cair Pada penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pirolisis tandan kosong kelapa sawit untuk menghasilkan asap cair. Proses pirolisis yang dilakukan pada penelitian ini digunakan temperatur 500oC selama 3 jam. Dalam proses pirolisis ini digunakan alat reaktor pirolisis dan furnance sebagai alat pembakar serta pipa kondensor sebagai pendingin untuk menghasilkan asap cair. Adapun kelapa sawit yang digunakan adalah berasal dari varietas DP6 Durapesifera yang berasal dari Balibun, Sumatera Utara tahun 1997. Proses pirolisis dilakukan beberapa kali, untuk mendapatkan volume asap cair yang cukup banyak, sehingga dapat digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini didapatkan volume asap cair sebanyak 280 ml, sebagai hasil pirolisis TKKS sebanyak 15 kali yang masing- masing berat TKKS setiap pirolisis adalah sebanyak 90 gr Asap cair yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

PKMP-4-13-5

Gambar.1 Asap Cair Murni Asap cair merupakan cairan hasil proses pirolisis yang kemudian didinginkan melalui pipa kondensor. Asap cair yang didapat dari hasil pirolisis berwarna coklat tua keruh yang masih banyak mengandung ter. Asap cair ini berbau asap seperti hasil pembakaran pada umumnya. Perlakuan Terhadap Asap Cair Hasil Pirolisis Setelah asap cair dihasilkan, selanjutnya dilakukan proses pemurnian asap cair, yaitu: destilasi, ekstraksi dan proses pengendapan. Beberapa proses ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan asap cair dari zat pengotornya atau ter. Ekstraksi merupakan proses pemurnian atau pemisahan suatu bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut dimana pada penelitian ini digunakan pelarut dietil eter. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan 100 ml asap cair dengan 50 ml dietil eter. Asap cair yang dihasilkan dapat dilihat bahwa asap cair berkurang dari asap cair sebelumnya. Hal ini dikarenakan senyawa pada asap cair yang bersifat non polar terikat pada dietil eter yang juga bersifat non polar. Warna yang dihasilkan dari proses ekstraksi ini adalah coklat tua namun terlihat jernih tidak sekeruh asap cair awal. Hasil ekstraksi kemudian dievaporasi. Tujuan evaporasi untuk memisahkan senyawa organik yang masih tertinggal pada asap cair sehingga diperoleh yang benar-benar bebas ter. Perlakuan asap cair yang kedua yaitu dengan proses destilasi. Destilasi merupakan proses pemurnian berdasarkan titik didihnya. Proses ini dilakukan dengan cara mendestilasi asap cair. Asap cair mulai menguap pada suhu 97 0C sampai suhu 104 0 C. Asap cair destilat yang dihasilkan mempunyai warna kuning jernih. Sedangkan untuk perlakuan yang ketiga yaitu proses pengendapan yang dilakukan dengan cara mendiamkan asap cair murni yang dihasilkan selama 3 hari. Tujuan pendiaman ini untuk mengendapkan dan memisahkan ter lagi. Asap cair yang dihasilkan dengan warna coklat tua. Ketiga perlakuan ini bertujuan untuk memisahkan ter dari asap cair sehingga asap cair yang dihasilkan menjadi bebas dari senyawa-senyawaan polimer yang dapat mengotori asap cair murni. Hasil dari asap cair ekstraksi, destilasi dan bebas ter berturut-turut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

PKMP-4-13-6

Gambar.2 Asap Cair Hasil Ekstraksi, Destilasi dan Bebas ter Pengujian pH Asap Cair dan Asam Format. Pengujian pH ini bertujuan untuk mengetahui pH asap cair yang dihasilkan serta membandingkan dengan pH asam format yang digunakan sebagai bahan pembeku lateks. Dari ketiga perlakuan yang dilakukan pH Asap cair yang dihasilkan dengan proses destilasi lebih tinggi daripada dua perlakuan yang lain. Perbedaan pH ini mungkin disebabkan dalam proses destilasi masih terkandung banyak senyawa organik yang bersifat asam dibandingkan dengan asap cair hasil dua perlakuan yang lain. Derajat keasaman ketiga perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1 pH Asap Cair No 1 2 3

Asap cair Destilasi Ekstraksi Pengendapan

pH 3,63 4,19 4,67

Dari hasil tersebut maka dapat dilihat bahwa asap cair hasil tiga perlakuan mempunyai derajat keasaman yang tinggi, sehingga diharapkan dengan keadaan pH seperti ini dapat membekukan lateks dengan baik. Untuk asap cair murni derajat keasaman (pH) yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan asap cair dari hasil tiga perlakuan sedangkan jika dibandingkan dengan pH asam format, pH asap cair jauh lebih rendah. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Keasaman dan pH pada asap cair dan asam format No 1 2

Sampel Asap Cair Murni Asam format

pH 4,67 0.5

Pengujian Produk Lateks Proses pembekuan lateks dengan menggunakan bahan pembeku berupa asap cair dan asam format. Bahan pembeku yang digunakan bervariasi begitu juga dengan volumenya. Dari pengujian yang telah dilakukan, parameter yang digunakan yaitu warna, bau dan massa lateks yang membeku.

PKMP-4-13-7

Tabel .3 Hasil Pengujian Bahan Pembeku Lateks No 1.

Parameter yang Digunakan Warna

2.

Bau

3.

Massa

Hasil Pengujian Asam format berwarna putih Asap cair bebas ter putih pada bagian dasarnya dan kekuningan pada bagian atasnya. Asap cair hasil destilasi putih kekuningn pada bagian atasnya. Asap cair ekstraksi putih kekuningan pada bagian atasnya. Asap cair bebas ter lebih berbau busuk dibandingkan dengan destilasi asap cair, ekstraksi asap cair dan asam format. Asap cair hasil destilasi dapat mengendapkan lateks lebih banyak dibandingkan bahan pembeku lain.

Gambar.3 Lateks dengan Bahan Pembeku Asap Cair Hasil Ekstraksi dan Asap Cair Bebas ter

Gambar .4 Lateks dengan Bahan Pembeku Asap Cair Hasil Destilasi dan Asam Format Dari hasil penelitian diatas dapat ditarik kesimpulan dari masing-masing parameter yang digunakan. Dari segi warna asam format lebih putih dibandingkan dengan bahan pembeku lainnya. Dari segi bau asam format tidak terlalu bau dibandingkan dengan pembeku lainnya. Sedangkan dari segi massa lateks yang membeku lebih banyak pada asap cair hasil destilasi. Hal ini disebabkan karena

PKMP-4-13-8

pada asap cair hasil destilasi masih banyak terkandung senyawa-senyawa organik daripada asap cair hasil ekstraksi dan pengendapan. KESIMPULAN Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan, yaitu : 1. Asap cair yang dihasilkan oleh tandan kosong kelapa sawit dengan proses pirolisis dapat digunakan sebagai bahan pembeku lateks alternatif . 2. Asap cair yang dihasilkan bisa membekukan lateks seperti asam format yang digunakan masyarakat. 3. Asap cair memiliki kualitas relatif sama dengan asam format yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1991, Teknis Pengujian Karet Konvensional, Pusat Pengujian Mutu Barang, Departemen Perdagangan. Anonim, 1992, Seri Agribisnis Karet, PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Anonim, 2006, Kelapa Sawit, Wikipedia. http://ms.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit Akses terakhir tanggal 26 April 2006 Cal, 2002, “Target Pada Karya Agung Tak Tercapai”, Dalam Banjarmasin Post 11 Juni 2002, Banjarmasin. Fauzi; Y. E Widyastuti; I. Satyawibawa & R. Hartono, 2003, Kelapa Sawit, Edisi Revisi. Penerbit Swadaya. Jakarta. Fessenden, R.J, dan Fessenden, J.S, 1986, Kimia Organik, Penerbit Erlangga, Jakarta. Hornell, Christina, 2001, Thermochemical and Catalycal Upgrading in a Fuel Context: Peat, Biomassa and Alkenes. Disertai, Royal Institute Of Technology, Stockholm. Rachimoellah, M, 2002, Prospek Pemanfaatan Batubara dan Gambut sebagai Bahan Baku Industri Kimia, hlm 1-16, Dalam Peranan Kimia Dalam Menggali Potensi Sumberdaya Alam Kalimantan, Makalah Simposium Nasional Kimia UNLAM, Banjarmasin. Teguh, H K., 2004, Alergi Lateks pada Pekerja Kesehatan, Subbagian AlergiImunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta http://www.google.com/. Akses terakhir tanggal 26 April 2006. Yusuf dan Sulaiman, Y, 1983, Penyulingan Lembaran Karet Menjadi Bahan Bakar Minyak Karet, CV. Genep Jaya Baru, Jakarta. Veriga, H. J, 2000, Advance Techniques for Generation of Energi from Biomass and Waste.

PKMP-4-14-1

ALAT PENDETEKSI KANTUK SEBAGAI SARANA PENGAMAN BAGI PENGEMUDI MOBIL Diko Harneldo Teknik Elektro/Teknik Elektronika, Politeknik Negeri Bandung, Bandung

ABSTRAK Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab terbesar tingginya angka kematian di suatu daerah. Untuk mengatasinya telah dikembangkan berbagai jenis alat pengaman dan keselamatan yang terbagi menjadi dua jenis yaitu peralatan keselamatan pasif contohnya air bag dan sabuk pengaman. Dan peralatan keselamatan aktif contohnya electronic braking control, traction control, dan deteksi detak jantung. Salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas atau lakalantas adalah mengantuk. Mengantuk tergolong human error dan merupakan dampak dari keletihan, kekurangan oksigen, kekurangan darah, dll. Akibatnya pengemudi kehilangan konsentrasi dan kontrol atas kendaraannya sehingga terjadi kecelakaan fatal. Untuk mengatasi hal ini sangat dibutuhkan suatu alat keamanan aktif untuk menperingatkan pengemudi apabila pengemudi tersebut sudah mulai kehilangan konsentrasi karena mengantuk. Saat ini alat keselamatan aktif yang dapat mendeteksi kantuk umumnya menggunakan dua buah metode yaitu deteksi detak jantung dan deteksi kemiringan tubuh. Kelemahan terbesar metode deteksi kemiringan tubuh adalah adanya kemungkinan pengemudi mengantuk tapi tetap dalam posisi tegak. Sedangkan kelemahan dari metode deteksi detak jantung adalah respon yang relatif lambat dan mahalnya alat-alat keselamatan yang menggunakan deteksi seperti ini. Alat yang direalisasikan oleh penulis adalah sebuah alat keselamatan aktif yang menggunakan metode deteksi periode kedipan mata. Pada alat ini kamera akan mendeteksi gerakan menutupnya kelopak mata dan memperhitungkan periode menutupnya bola mata sehingga alat ini dapat membedakan antara mata mengantuk dan mata berkedip serta membuat keputusan untuk mengeluarkan output yang dapat berfungsi untuk mengaktifkan alarm atau mengaktifkan sistem rem. Kata Kunci : mengantuk, mata, kamera, pixel, deteksi, kedipan. PENDAHULUAN Kecelakaan lalu lintas sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab terbesar dalam peningkatan angka kematian pada suatu daerah [1]. Untuk mengatasi hal ini telah dikembangkan berbagai jenis alat pengaman dan alat keselamatan untuk kendaraan bermotor yang rentan terhadap kecelakaan. Ada banyak jenis alat-alat keselamatan dalam kendaraan khususnya mobil. Peralatan keselamatan tersebut dibagi menjadi dua jenis yaitu peralatan keselamatan pasif contohnya air bag dan sabuk pengaman. Dan peralatan keselamatan aktif contohnya electronic braking control, traction control, deteksi detak jantung, dll.

PKMP-4-14-2

Kecelakaan lalu lintas atau lakalantas dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu diantaranya adalah mengantuk. Mengantuk adalah penyebab lakalantas yang digolongkan sebagai human error. Mengantuk dapat disebabkan oleh keletihan, kekurangan oksigen, kekurangan darah, dll. Mengantuk dapat menyebabkan pengemudi kehilangan konsentrasi dan kehilangan kontrol atas kendaraannya sehingga menyebabkan kecelakaan yang fatal. Sebagai contoh pada hari Selasa tanggal 20-09-2005 pada pukul 06:14 WIB telah terjadi kecelakaan di KM 33+300/A ruas tol Cikarang yang melibatkan kendaraan Carry D1258LH. Kecelakaan ini disebabkan karena pengemudi Carry tersebut mengantuk sehingga mobil oleng dan menabrak pembatas beton pada tepi jalan [2]. Kecelakaan akibat mengantuk paling banyak terjadi di jalan tol dimana para pengemudi harus melakukan perjalanan yang sangat jauh tanpa mempedulikan keadaan dirinya sendiri atau tidak menyadari keadaan dirinya sendiri. Banyak pengemudi yang tetap meneruskan perjalanan walaupun ia sadar bahwa ia mengantuk, hal ini disebabkan karena jalan tol merupakan jalan bebas hambatan dengan lalu lintas yang padat tapi lancar sehingga tidak memungkinkan pengemudi untuk berhenti dan beristirahat. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah beserta sponsor-sponsor telah berusaha menyediakan tempat-tempat pemberhentian sementara di jalan-jalan tol untuk beristirahat sementara dan menyediakan kopi-kopi gratis agar para pengemudi tetap terjaga.[3] Usaha pemerintah ini telah berhasil menurunkan angka kecelakaan akibat mengantuk. Tapi dalam beberapa kasus sering terjadi pengemudi memiliki alasan yang sangat kuat untuk tetap meneruskan perjalanan meskipun dalam keadaan mengantuk. Misalnya ada anggota keluarga yang mengalami musibah, atau kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk berhenti, atau tidak adanya tempat pemberhentian sementara, dan banyak hal lainnya. Pada situasi-situasi diatas sangat dibutuhkan suatu alat keamanan akif yang dapat mencegah dan menperingatkan pengemudi apabila pengemudi tersebut sudah mulai kehilangan konsentrasi dan mulai mengantuk. Telah banyak alat keselamatan aktif yang dapat mendeteksi kantuk. Alat-alat tersebut umumnya menggunakan dua buah metode yaitu deteksi detak jantung dan deteksi kemiringan tubuh. Ada beberapa kelemahan dari kedua metode ini. Pada metode deteksi kemiringan tubuh, kelemahan terbesar dari metode ini adalah adanya kemungkinan pengemudi mengantuk tapi tetap dalam posisi tegak dan tidak terjadi kemiringan posisi tubuh. Sedangkan kelemahan dari metode deteksi detak jantung adalah mahalnya alat-alat keselamatan yang menggunakan deteksi seperti ini, selain itu respon dari metode ini juga relatif lambat. Alat yang telah direalisasikan oleh penulis adalah sebuah alat keselamatan aktif yang menggunakan metode deteksi periode kedipan mata. Pada alat ini kamera akan mendeteksi gerakan menutupnya kelopak mata dan memperhitungkan periode menutupnya bola mata sehingga alat ini dapat membedakan antara mata mengantuk dan mata berkedip serta membuat keputusan untuk mengeluarkan output yang dapat berfungsi untuk mengaktifkan alarm atau mengaktifkan sistem rem. Metode yang mirip dengan metode ini sebelumnya sudah pernah dipakai oleh sebuah perusahaan besar yaitu BMW, bedanya BMW menggunakan laser untuk mendeteksi dan men-track bola mata dari pengemudi. Metode laser ini telah

PKMP-4-14-3

diimplementasikan dalam concept car BMW dengan harga yang amat mahal, dengan kata lain kita harus membeli mobil BMW untuk mendapatkan alat keselamatan ini.[4] Metode deteksi kedipan mata yang direalisasikan ini menggunakan sebuah CMOS kamera dan sebuah video prosesor sebagai sensornya. Metode ini jauh lebih murah dari metode yang diterapkan oleh BMW, selain itu kehandalan dari metode ini dapat diandalkan dan merupakan sebuah terobosan baru dalam bidang ini. Sebagai tambahan informasi, versi pertama dari alat ini telah pernah penulis ikut sertakan dalam Lomba Cipta Elektroteknik Nasional 2004 di Surabaya dan berhasil meraih juara ke-3.[5] Versi pertama dan kedua memiliki perbedaan yang sangat signifikan antara lain terletak pada dimensi alat, kompleksitas system, portabilitas, dan besarnya daya yang digunakan. Permasalahan utama yang dihadapi adalah variasi cahaya dari beberapa lingkungan yang berbeda dapat menyebabkan hasil yang berbeda pula. Tujuan 1. Membuat prototype alat pendeteksi kantuk bagi pengemudi mobil berbasis kamera. 2. Menyempurnakan prototipe versi pertama yang berbasis PC menjadi berbasis mikrokontroler sehingga tercapai suatu prototipe yang memiliki dimensi fisik yang ringkas, konsumsi daya rendah, dan lebih portable 3. Mengaplikasikan dan menguji keandalan prototipe versi kedua di lapangan Alat yang telah direalisasikan ini dapat digunakan sebagai alat keamanan aktif pada kendaraan bermotor khususnya mobil. METODE PENELITIAN Teknik yang digunakan dalam pengenalan mata pada alat ini adalah dengan cara mengambil sebuah daerah pada mata dengan ukuran 10 x 20 pixel kemudian mengambil nilai pixel pada daerah tersebut dengan format R G B (Red Green Blue). Daerah mata tersebut kemudian di-track untuk menghindari perubahan kondisi mata pengguna sehingga apabila pengguna melirik ke kiri atau ke kanan hal itu tidak akan berpengaruh pada data yang diambil oleh kamera. Pada kondisi ini kita mengasumsikan bahwa secara ideal tidak akan terjadi perubahan nilai pixel kecuali pada saat mata berkedip karena daerah yang di track akan tertutup oleh kelopak mata. Pada saat mata berkedip maka terjadi perubahan nilai R G B pada daerah yang di track, perubahan ini mengindikasikan bahwa mata berkedip. Apabila perubahan ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu maka perubahan ini dapat diindikasikan sebagai mata mengantuk. Apabila kondisi ini terjadi maka mikrokontroler akan mengeluarkan logic 1 yang dapat difungsikan untuk mengaktifkan peringatan dan mengaktifkan system rem pada mobil. 1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Jurusan Teknik Elektro yang terletak di kampus Politeknik Negeri Bandung. Waktu pelaksanaan kegiatan adalah hari Senin - Jumat pada jam 15.00-17.00 WIB 2. Tahapan Pelaksanaan

PKMP-4-14-4

Tahapan pelaksanaan kegiatan ini adalah: 1. Penentuan tujuan dari penelitian Tujuan dari penelitian ini dapat dilihat pada bagian Tujuan Program 2. Study Literatur Mempelajari teknik-teknik pemrograman dan teknik pengenalan gambar dari buku-buku dan teori-teori yang telah ada sebelumnya. 3. Perancangan Meliputi penentuan komponen-komponen yang akan digunakan agar dapat mereduksi bentuk fisik dari alat, membuat diagram blok dari alat, menganalisa cara kerja alat. 4. Perakitan Perakitan rangkaian dilakukan dengan sangat hati-hati dan sangat memperhatikan faktor-faktor fisik seperti suhu komponen, listrik statik, grounding, proteksi, dan kenyamanan penguna. Perakitan rangkaian ini menggunakan konsep socket sehingga apabila perlu dilakukan perbaikan atau pengembangan dan riset lebih lanjut, pengguna tidak perlu melakukan de-soldering sehingga dapat memperkecil resiko kerusakan komponen. Untuk mengamankan PCB dan kamera maka penulis melapisi PCB dengan Hot Glue sehingga tidak akan terjadi grounding yang tidak sengaja pada bagian bottom layer dari PCB. Sedangkan untuk mengamankan kamera, penulis membuat sebuah casing berbentuk kotak untuk melindungi kamera, dilengkapi sebuah penyangga berbentuk L yang berfungsi menyangga kamera agar tidak bergerak didalam casing, penyangga ini juga berfungsi untuk melekatkan dua buah sisi casing. 5. Assembly Casing Proses assembly merupakan proses yang memakan waktu paling lama diantara semua proses yang ada. Pada tahap ini penulis berusaha menempatkan semua komponen-komponen elektronika ke dalam sebuah headphone tanpa merusak bentuk dasar dari headphone tersebut. Untuk melakukan hal ini, fisik dari headphone harus dibongkar total. Speaker internal headphone dikeluarkan sehingga seluruh rangkaian elektronika dapat dimasukkan kedalam dua buah rongga headphone. Proses pengkabelan dilakukan dengan sangat hatihati dan memperhatikan factor keamanan, kenyamanan, dan estetika dari pengguna. Kabel yang menghubungkan kamera, video prosessor, dan mikrokontroler sedapat mungkin diusahakan tidak terlihat oleh mata sehingga tidak menyebabkan perubahan bentuk headphone. Kabel-kabel dasar dari headphone tetap dipergunakan sebagai kabel untuk catu daya dan kabel untuk menghubungkan mikrokontroler dengan actuator. 6. Pembuatan Perangkat Lunak Perancangan perangkat lunak dilakukan dalam beberapa tahap antara lain: • Mempelajari syntax dari bahasa pemrograman yang digunakan • Menganalisa masalah • Membuat flowchart

PKMP-4-14-5

• Melakukan Coding • Download ke mikrokontroler • Pengujian software • Pengembangan lebih lanjut Adapun bahasa pemrograman yang digunakan adalah middle level language yaitu bahasa PBASIC sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh orang awan sekalipun. 7.

3.

Uji Coba Melakukan uji coba secara kepada beberapa sukarelawan dan menentukan tingkat keberhasilan alat. Instrumen Pelaksanaan Instrumen-instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Osiloskop 2. Multimeter 3. Personal Computer 4. Solder

HASIL DAN PEMBAHASAN Kesulitan utama yang dihadapi dalam penelitian ini adalah sensitivitas kamera yang terlalu tinggi dan resolusi perubahan nilai pixel akibat perubahan cahaya sangat rapat, akibatnya akan mengurangi kehandalan alat ini. Untuk mengatasi hal ini penulis menyarankan untuk menambahkan beberapa LED pada daerah sekitar lensa kamera guna menciptakan cahaya yang homogen pada objek yang disorot oleh kamera. Penambahan cahaya luar ini dapat berakibat pada kurangnya faktor kenyamanan dari pengguna alat. Sampai saat ini penulis belum menemukan metode yang cocok untuk menciptakan cahaya homogen disekitar mata tanpa mengganggu pengguna alat. Penulis berharap diberikan kesempatan, sarana, dan pra-sarana untuk meneruskan penelitian ini lebih lanjut mengingat hasil penelitian ini dapat berdampak besar bagi keselamatan para pengemudi mobil serta dapat menekan angka kematian dan angka lakalantas. Cara Kerja Alat Pada saat dihubungkan dengan power supply, alat akan melakukan start-up selama 100ms. Setelah itu lampu merah dan hijau akan menyala. Lampu merah adalah indicator bahwa alat telah mendapatkan tegangan dan bekerja sebagaimana mestinya sedangkan lampu hijau adalah indikator bahwa kamera sedang melakukan kalibrasi terhadap kondisi pencahayaan sekitar. Lima detik kemudian lampu hijau akan padam, hal ini menandakan lampu hijau akan melakukan kalibrasi terhadap mata pengguna. Setelah lima detik maka lampu hijau akan kembali menyala menandakan alat telah siap beroperasi. Kamera akan memantau mata pengguna secara terus menerus. Apabila pengguna mulai mengantuk, maka buzzer yang terletak di dalam head phone akan mengeluarkan bunyi yang memperingatkan pengguna bahwa ia mengantuk.

PKMP-4-14-6

Pengoperasian Alat Langkah-langkah untuk mengoperasikan alat ini adalah: • Hubungkan power supply dengan sumber tegangan 220V AC atau 12V DC • Pasang headphone pada kepala • Arahkan lensa kamera agar berada pada samping mata dan tidak mengganggu pandangan • Hubungkan kabel dengan jack merah pada headphone ke power supply • Lampu hijau akan menyala selama 5 detik sebagai indikasi kamera sedang mengkalibrasi kondisi cahaya sekitar • Ketika lampu hijau mati, pejamkan mata selama 5 detik sampai lampu hijau menyala kembali • Kamera akan mengkalibrasi warna mata • Sistem siap di pergunakan KESIMPULAN Setelah melakukan semua proses perancangan yang telah direncanakan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Alat Pendeteksi Kantuk bagi Pengemudi Mobil telah berhasil direalisasikan dan berhasil beroperasi secara fungsional. 2. Realisasi dari alat telah berhasil mereduksi dimensi alat secara signifikan 3. Tingkat keberhasilan pengujian di lapangan adalah 70% Untuk pengembangan lebih lanjut, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut 1. Menambahkan sebuah rangkaian Voice Recording yang dapat digunakan sebagai panduan bagi pengguna dalam memakai dan memanfaatkan alat ini. Rangkaian ini dapat memberikan petunjuk-petunjuk bagi pengguna agar memudahkan pengguna. Misalnya pada saat kalibrasi, pemasangan headphone, setting posisi kamera, dll. Selain itu output dari alat ini juag dapat disambungkan ke speaker mobil sehingga para penumpang turut mengetahui apabila supir mereka mengantuk dan dapat memperingatkan supit tersebut. 2. Mengganti catu daya dengan baterai kering yang mempunyai ukuran yang kecil dan daya yang besar serta dapat diisi ulang. Penggantian ini dimaksudkan agar pengguna terbebas dari kabel-kabel yang merepotkan dan membuat pengguna merasa tidak nyaman. 3. Apabila dimungkinkan maka disarankan untuk mengganti casing dengan bentuk yang lebih kompak misalnya kacamata. Mengingat zaman sudah bergeser ke era nano teknologi maka sangat dimungkinkan untuk mengintegrasikan mikrokontroler dan video prosesor kedalam sebuah kacamata biasa sehingga pengguna tidak akan merasa risih dengan membawa casing yang besar dan berat seperti headphone 4. Penulis sangat berharap ada institusi tertentu yang berminat untuk bekerjasama dan mendanai pengembagan alat ini ke tingkat yang lebih tinggi agar dihasilkan sebuah alat yang sempurna

PKMP-4-14-7

DAFTAR PUSTAKA [1] www.polri.go.id [2] www.infotol.astaga.com [3] www.jasamarga.com [4] www.tomshardware.com [5] www.its.ac.id www.stampinclass.com www.parallaxinc.com www.ubicom.com/products/processors/sx28ac.html www.ovt.com/omnicmoss.htm www.seattlerobotics.com www.cs.cmu.edu

PKMP-4-15-1

EFEKTIVITAS BEBERAPA FITOHORMON DAN TINGKAT KEMATANGAN BENIH TERHADAP PERTUMBUHAN KECAMBAH TANAMAN MAHKOTA DEWA Bambang Anggono Iriawan, Yusnidar Tanjung, Rino PS Agronomi, Fakultas Pertanian, Univ Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan ABSTRAK Fitohormon dan kematangan benih merupakan diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kecambah mahkota dewa. Objektif kajian untuk mengetahui efektivitas beberapa fitohormon dan tingkat kematangan benih terhadap pertumbuhan kecambah mahkota dewa dengan peubah yang diukur adalah daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah dan tinggi tunas. Penelitian dilakukan di Taman Gizi Afdeling III PTPN IV Kebun Marjandi, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang dimulai dari bulan Maret sampai Mei 2006. Metode penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktorial terdiri atas tiga jenis fitohormon yaitu: auksin (IBA), sitokinin (BAP), giberelin (GA3) dan empat tingkat kematangan benih yaitu: benih muda, masak fisiologis, masak pokok, lewat masak (jatuh). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fitohormon berpengaruh terhadap tinggi tunas, dengan rataan tertinggi pada pemberian giberelin (14,44 cm) dan tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh benih, jumlah kecambah dan kecepatan berkecambah. Tingkat kematangan benih berpengaruh terhadap daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah dan tinggi tunas. Interaksi antara fitohormon dan tingkat kematangan benih berpengaruh terhadap semua kombinasi perlakuan. Persentase daya tumbuh benih dan jumlah kecambah tertinggi terdapat pada kombinasi auksin dengan benih masak pokok dan lewat masak, juga pada giberelin dengan benih lewat masak. Persentase kecepatan berkecambah (6 hst) terdapat pada kombinasi auksin dengan benih masak pokok dan giberelin dengan benih lewat masak (95,83%). Tunas tertinggi (39 hst) terdapat pada kombinasi giberelin dengan benih lewat masak (20,15 cm). Pemberian auksin pada dosis 2 mg/l air pada benih masak pokok dan lewat masak dapat mempercepat pertumbuhan kecambah mahkota dewa. Kata kunci : fitohormon, kematangan benih, mahkota dewa PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hal yang sangat utama bagi setiap manusia dan kesembuhan bagi manusia yang mempunyai penyakit sangat didambakan. Dari berbagai jenis penyakit, banyak diantaranya tidak dapat ditanggulangi secara medis sehingga masyarakat beralih kepada pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif yang sering dilakukan adalah mempergunakan berbagai jenis tanaman sebagai obat. Salah satunya adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa). Kebutuhan akan konsumsi mahkota dewa semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya peluang usaha di bidang pengobatan tradisional, maka mahkota dewa sebagai salah satu komoditas tanaman obat yang saat ini banyak diperbincangkan orang (Winarto, 2003), baik dari segi kandungan obatnya maupun budidayanya. Teknologi budidaya mahkota dewa secara intensif hingga

PKMP-4-15-2

saat ini belum ada. Hal ini disebabkan keberadaannya belum dikenal secara luas oleh masyarakat, sehingga perlu dilakukannya penelitian tentang budidaya tanaman mahkota dewa ini, yang tujuannya untuk meningkatkan hasil produksi tanaman ini sehingga permintaan pasar terpenuhi. Penelitian tentang budidaya tanaman mahkota dewa dirasakan masih kurang memadai, sehingga sampai saat ini belum ada orang yang secara serius mengupayakan perbanyakan mahkota dewa. Salah satu sebabnya karena pembudidayaannya yang tidak begitu mudah. Mahkota dewa bisa ditanam di kebun, tanah pekarangan maupun di dalam pot (Harmanto, 2001). Perbanyakan tanaman mahkota dewa yang paling banyak dilakukan adalah dengan cara generatif melalui biji, dimana perbanyakan ini memang paling mudah tetapi pertumbuhan dan perkembangan pohon lebih lama. Benih mulai bertunas umur dua sampai tiga minggu setelah tanam (Winarto, 2003). Pertumbuhan kecambah benih dapat lebih dipercepat melalui berbagai perlakuan yang dilakukan terhadap benih dan salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan fitohormon untuk merangsang pertumbuhan kecambah mahkota dewa yang diberikan pada biji benih dengan tingkat kematangan tertentu. Fitohormon ialah sekumpulan zat-zat yang membantu pertumbuhan, acap kali disebut juga zat penumbuh atau hormon pertumbuhan. Di antara zat-zat penumbuh yang telah agak banyak diketahui ialah auksin, giberelin dan sitokinin (Dwidjoseputro, 1985). Guna mengungkap efektivitas beberapa fitohormon tersebut, telah dilakukan penelitian mengenai efektivitas auksin (Indolebutyric acid), sitokinin (Benzylaminopurine) dan giberelin (Gibberellic acid 3) terhadap benih muda, masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak (jatuh). Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui jenis fitohormon yang cocok bagi pertumbuhan kecambah dari benih mahkota dewa dan tingkat kematangan benih yang baik untuk dijadikan biji benih dalam budidaya mahkota dewa. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Gizi Afdeling III PTPN IV Kebun Marjandi, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian tempat + 800 meter di atas permukaan laut dengan tingkat kemasaman tanah (pH) 6 – 7. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2006 sampai Mei 2006. Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih mahkota dewa dengan tingkat kematangan yang berbeda (benih muda, masak fisiologis, masak pokok, dan lewat masak), fitohormon auksin (IBA), sitokinin (BAP) dan giberelin (GA3) serta alat dan bahan lain yang mendukung. Metode penelitian yang dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yang diteliti yaitu Faktor fitohormon terdiri dari tiga perlakuan yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin dengan dosis 2 mg/l air dan faktor tingkat kematangan benih, terdiri dari empat perlakuan yaitu benih muda, masak fisiologis, masak pokok, dan lewat masak (jatuh). Kombinasi perlakuan sebanyak 12 kombinasi dengan jumlah ulangan adalah empat ulangan. Peubah yang diukur adalah daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah dan tinggi tunas. Pengukuran dilakukan sampai tanaman berumur 39 hari setelah tanam.

PKMP-4-15-3

Prosedur Penelitian meliputi: persiapan areal, pembuatan bangunan naungan, persiapan media tanam, pengumpulan dan penyeleksian biji benih, perendaman biji benih dalam larutan fitohormon, penanaman biji benih, pemeliharaan tanaman yang meliputi penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit. Data hasil penelitian ini dianalisis dengan Analysis of varians (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Beda Rataan menurut Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Gomez and Gomez, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian fitohormon giberelin (GA3) menunjukkan tinggi tunas terbaik (14,44 cm) dibandingkan dengan fitohormon auksin (8,95 cm) dan sitokinin (2,23 cm). Kematangan benih masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan benih muda untuk seluruh peubah demikian juga interaksi antara pemberian fitohormon dan tingkat kematangan benih menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan diantara kombinasi untuk daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan tumbuh dan tinggi tunas kecambah (Tabel 1, 2, 3, dan 4).

Tabel 1. Rata-rata Persentase Daya Tumbuh Benih Mahkota Dewa Umur 7 HST dari Efektivitas Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih Benih Benih Masak Benih Masak Benih Lewat Muda Fisiologis Pokok Masak Auksin (IBA) 0,00c 79,13b 100,00a 100,00a Sitokinin (BAP) 0,00c 79,13b 95,83a 83,30ab c a a Giberelin (GA3) 0,00 91,65 91,67 100,00a Rata-Rata 0,00b 83,30a 95,83a 94,43a Perlakuan

Rata-Rata 69,78 64,56 70,83

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Kecambah Mahkota Dewa Umur 7 HST dari Efektivitas Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih Benih Benih Masak Benih Masak Benih Lewat Muda Fisiologis Pokok Masak Auksin (IBA) 0,00c 5,25ab 6,00a 6,00a c ab ab Sitokinin (BAP) 0,00 5,25 5,75 5,00b Giberelin (GA3) 0,00c 5,50ab 5,50ab 6,00a b a a Rata-Rata 0,00 5,33 5,75 5,67a Perlakuan

Rata-Rata 4,31 4,00 4,25

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT

PKMP-4-15-4

Tabel 3. Rata - rata Persentase Kecepatan Berkecambah Benih Mahkota Dewa Umur 6 HST dari Efektivitas Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih Benih Benih Masak Benih Masak Benih Lewat Muda Fisiologis Pokok Masak d ab a Auksin (IBA) 0,00 83,30 95,83 83,30ab Sitokinin (BAP) 0,00d 62,48bc 66,60bc 70,78bc d c ab Giberelin (GA3) 0,00 45,80 83,30 95,83a c b ab Rata-Rata 0,00 63,86 81,91 83,30a Perlakuan

Rata-Rata 65,61 49,96 56,23

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT

Tabel 4. Rata - rata Tinggi Tunas Umur 39 HST dari Efektivitas Beberapa Fitohormon dan Tingkat Kematangan Benih Benih Benih Masak Benih Masak Benih Lewat Rata-Rata Muda Fisiologis Pokok Masak d b b b Auksin (IBA) 0,00 11,06 12,47 12,27 8,95b d c c c Sitokinin (BAP) 0,00 2,78 3,20 2,96 2,23c Giberelin (GA3) 0,00d 18,65a 18,95a 20,15a 14,44a b a a a Rata-Rata 0,00 10,83 11,54 11,79 Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama, adalah berbeda nyata (p < 0,05) menurut DMRT Perlakuan

Perlakuan benih dengan ketiga fitohormon (2 mg/l) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap daya tumbuh benih (Tabel 1), akan tetapi perlakuan giberelin memiliki rataan yang tertinggi (70,83%), hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan senyawa giberelin pada biji benih tersebut. GA3 di dalam biji dijumpai di embrio dan lapisan aleuron dari endosperm, yang berada di embrio sangat berhubungan dengan perkecambahan (Mayer and Mayber, 1975). Benih masak pokok dan lewat masak memiliki persentase daya tumbuh yang tertinggi (95,83%), sedang benih muda tidak mampu tumbuh. Terjadinya perbedaan ini disebabkan faktor kematangan dari biji sendiri, dimana biji belum matang sehingga mengakibatkan proses pertumbuhan tidak dapat terlaksana. Benih dari beberapa spesies tidak dapat berkecambah sebelum mencapai tingkat kematangan secara morfologis, karena embrio belum matang (Copeland and McDonald, 1995). Benih yang baik untuk ditanam adalah benih yang berasal dari buah yang telah benar-benar masak (Winarto, 2003). Pemberian fitohormon auksin, sitokinin dan giberelin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan (p < 0,05) terhadap jumlah benih yang berkecambah (Tabel 2). Hal ini dikarenakan ketiga jenis fitohormon tersebut sama-sama berfungsi dalam proses perkecambahan (Widyastuti dan Tjokrokusumo, 2001). Antara benih masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05), akan tetapi ketiganya menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan benih muda. Ditinjau dari kombinasi perlakuan, persentase daya tumbuh menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dapat diketahui kombinasi antara auksin dengan benih masak pokok, auksin dengan benih lewat

PKMP-4-15-5

masak, dan giberelin dengan benih lewat masak menunjukkan bahwa keseluruhan benih yang ditanam dalam kombinasi tersebut berkecambah 100%. Jumlah kecambah erat kaitannya dengan persentase daya tumbuh, semakin banyak jumlah benih yang berkecambah, maka semakin tinggi persentase daya tumbuh benih tersebut. Pemberian auksin, sitokinin dan giberelin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan (p < 0,05) terhadap kecepatan berkecambah benih. Akan tetapi pemberian auksin menunjukkan rataan persentase tertinggi (65,61%). Tingkat kematangan benih yang diamati pada enam hari setelah tanam menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap persentase kecepatan berkecambah benih mahkota dewa. Rataan persentase tertinggi terdapat pada benih lewat masak (83,30%). Kombinasi perlakuan juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05). Kombinasi antara auksin (IBA) dengan benih masak pokok, dan giberelin (GA3) dengan benih lewat masak menunjukkan persentase kecepatan tumbuh tertinggi (95,83%), oleh karena itu perendaman benih masak pokok dengan IBA dapat mempercepat perkecambahan benih mahkota dewa. Biji mahkota dewa yang ditanam dengan perawatan yang baik akan bertunas setelah berumur 2 – 3 minggu (Winarto, 2003). Dengan pemberian auksin (IBA) benih mahkota dewa akan berkecambah setelah enam hari, dan dari pengamatan dilapangan benih mulai bertunas kurang dari dua minggu setelah tanam. Fenomena ini dikarenakan adanya pengaruh auksin (IBA) yang diberikan dengan dosis 2 mg/l memacu perakaran. Widyastuti dan Tjokrokusumo (2001) melaporkan bahwa auksin berperan dalam pertumbuhan akar, suspensi sel dan pertumbuhan kalus. Tingkat kematangan benih berpengaruh dalam kecepatan berkecambah, karena kualitas benih terdiri dari beberapa aspek antara lain adanya kualitas genetik, keadaan fisik, kesehatan benih, viabilitas, vigor dan berat basah (George, 1999). Benih yang berasal dari buah lewat masak menunjukkan persentase kecepatan berkecambah yang lebih tinggi daripada benih yang berasal dari buah muda, masak fisiologis dan masak pokok. Pada benih muda jelas terlihat berbeda karena seluruh benih muda yang ditanam sama sekali tidak tumbuh. Menurut Hamid (1993) sampel yang paling baik terdiri dari biji benih yang dipungut setelah ia mencapai kematangan fisiologi. Peringkat ini selaras dengan berat kering biji benih yang maksimum, dan benih pada kebanyakan species sanggup berkecambah pada waktu masak fisiologis (Holmes 1953, Harrington 1959, Bower 1958, Giri 1967). Akan tetapi untuk tanaman mahkota dewa menurut penelitian ini, benih yang menunjukkan daya tumbuh, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah, dan tinggi tunas adalah biji benih yang berasal dari buah dengan tingkat kematangan benih masak pokok dan lewat masak, karena untuk tanaman mahkota dewa, benih yang baik adalah benih yang berasal dari buah yang telah benar-benar masak (Winarto, 2003). Pemberian auksin, sitokinin dan giberelin menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap tinggi tunas kecambah pada umur 39 hari setelah tanam. Pemberian giberelin menunjukkan rataan tertinggi untuk tinggi tunas (14,44 cm). Dalam hal ketinggian tunas pemberian giberelin dapat memacu perpanjangan batang. Kebanyakan dikotil dan beberapa monokotil memberikan tanggapan terhadap giberelin. Beberapa tanaman secara genetik berbatang pendek, setelah diberikan perlakuan GA3, maka batangnya lebih tinggi (Moore, 1979). Sedangkan

PKMP-4-15-6

perendaman benih mahkota dewa dalam sitokinin (BAP) menyebabkan pertumbuhan tinggi tanaman terhambat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan ketinggian tunas tertinggi hanya mencapai 2,23 cm saja. Fenomena ini terjadi karena pengaruh sitokinin berdampak pada penggandaan tunas. Menurut Zaerr dan Mapes (1982) dalam Toruan (1991) menyatakan bahwa BAP sangat efektif merangsang penggandaan tunas pada lebih dari 30 jenis tanaman kehutanan. Oleh sebab itu pertambahan tinggi tunas menjadi terhambat, dan tanaman menjadi kerdil akan tetapi dilihat dari pengamatan dilapangan, benih yang direndam dengan sitokinin (BAP), berkecambah dengan tunas lebih dari dua. Sedangkan perendaman benih dengan auksin (IBA) rataan ketinggian tunas hanya mencapai 8,95 cm pada umur 39 hari setelah tanam. Benih masak fisiologis, masak pokok dan lewat masak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi ketiganya berbeda sangat nyata dengan benih muda. Benih lewat masak menunjukkan rataan tertinggi untuk tinggi tunas (11,79 cm). Kombinasi perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) terhadap tinggi tunas. Tunas tertinggi terdapat pada kombinasi antara giberelin dengan benih lewat masak (20,15 cm). Pemberian ketiga jenis fitohormon menunjukkan ketinggian tunas kecambah yang berbeda (Tabel 4). Dilihat dari rataan tinggi tunas, maka dapat diketahui tunas tertinggi terdapat pada benih lewat masak, karena tingkat kecepatan berkecambahnya lebih tinggi (Tabel 3). Interaksi fitohormon dengan tingkat kematangan benih mahkota dewa menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap seluruh kombinasi perlakuan pada peubah daya tumbuh benih, jumlah kecambah, kecepatan berkecambah dan tinggi tunas (Tabel 1, 2, 3 dan 4). Fenomena ini terjadi karena masing-masing fitohormon yang diberikan pada dosis yang sama (2 mg/l) memiliki pengaruh yang berbeda-beda, dimana auksin dalam hal ini Indolebutyric acid (IBA) berpengaruh terhadap perakaran (Salisbury dan Ross, 1995), sitokinin dalam hal ini benzylamino purine (BAP) sangat efektif untuk merangsang pembentukan tunas aksiler (George and Sherrington, 1984), penggandaan tunas dan daun (Zaer and Mapes, 1982 dalam Toruan, 1991), dan giberelin dalam hal ini Giberellic acid (GA3) sangat efektif memacu pemanjangan batang (Moore, 1979). Sedangkan benih mahkota dewa dengan tingkat kematangan yang berbeda juga menunjukkan daya tumbuh, kecepatan tumbuh, jumlah kecambah dan tinggi tunas yang berbeda, hal ini jelas terlihat pada benih muda mahkota dewa yang tidak mampu untuk berkecambah walau direndam dengan beberapa fitohormon. Hanya benih yang benar-benar masak yang menunjukkan pertumbuhan yang baik (Winarto, 2003). Persentase daya tumbuh benih yang tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan antara auksin dengan benih masak pokok dan lewat masak, serta giberelin dengan benih lewat masak. Telah diketahui benih mahkota dewa yang baik untuk ditanam adalah benih yang benar-benar masak (masak pokok dan lewat masak), kemudian direndam dalam auksin yang efektif memacu perakaran, maka daya tumbuh benih menjadi meningkat, begitu juga dengan jumlah kecambah dan kecepatan berkecambah benih mahkota dewa. Akan tetapi lain halnya dengan tinggi tunas. Benih dengan tingkat kematangan yang berbeda direndam dalam masing-masing fitohormon yang berbeda, menunjukkan ketinggian tunas yang berbeda pula. Fenomena ini dikarenakan perbedaan efektivitas fitohormon yang diberikan. Benih mahkota

PKMP-4-15-7

dewa dengan tingkat kematangan lewat masak yang direndam dalam GA3 menunjukkan tinggi tunas melebihi semua benih yang direndam dalam IBA dan BAP (Tabel 4), fenomena ini dikarenakan GA3 efektif memacu pemanjangan batang mahkota dewa. KESIMPULAN Fitohormon giberelin sangat merangsang pertumbuhan tinggi tunas dibandingkan dengan auksin dan sitokinin. Interaksi perlakuan menunjukkan bahwa fitohormon berperan sangat berperan aktif pada tingkat kematangan masak pokok dan lewat masak dan tidak menunjukkan peranan penting pada biji muda. DAFTAR PUSTAKA Copeland LO, and McDonald MB. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Third Edition. Chapman and Hall. p. 107. Bowers JL. 1958. “Preliminary Studies on Cucumber Seed Development as Related to Viability”. Proceedings of The Association of Southern Agricultural Workers. 55 : 163-164. Dwidjoseputro D. 1985. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : Gramedia. George EF and Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. London : Exegenetic Limited. p. 3, 362. George RAT. 1999. Vegetable Seed Production. 2nd Edition. New York : CABI Publishing. p. 97-98. Giri A. 1967. “Germination Percentage, Average Height, and Girth of Seedlings Raised from Seedstones Extracted from Syrupy and Firm Manggo Fruits”. Pakistan Journal of Science. 18 : 79-81 Gomez KA and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research Institute. Second edition. Los Banos Philipines: Jhon Wiley Sons Inc. Hamid ZA. 1993. Sumber Genetik Tumbuhan. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Harmanto N. 2001. Mahkota Dewa Obat Pusaka Para Dewa. Jakarta : Agromedia Pustaka. hlm. 9-24. Harrington JF. 1959. “Effect of Fruit Maturity and Harvesting Methods of Germination of Muskmelon Seed”. Proceedings of the American Society for Horticultural Science. 73 : 422-430. Holmes AD. 1953. “Germination of Seed Removed from Mature and Immature Butternut Squashes after Seven Months of Storage”. Proceedings of the American Society for Horticultural Science. 62 : 433-436 Mayer AM, and Mayber AP. 1975. The Germination of Seed. Oxford : Pergamon Press. Moore CT. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. New York : Springer Verlag. Mulyati MT. 1990. “Pengaruh Varitas dan Umum Panen Terhadap Sifat Fisiologis, Fisis dan Khemis Buah Markisa Selama Penyimpanan”. Yogyakarta. Tesis : Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Salisbury FB dan Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan, 4 eds, jld 3. Terjemahan oleh DR Lukman dan Sumaryono. Bandung : Institut Teknologi Bandung. hlm. 45-46.

PKMP-4-15-8

Toruan MN. 1991. “Perbanyakan Tanaman Sungkai (Peronema canascens JACK) dengan Teknik Kultur Jaringan. Bogor. Makalah : Pusat Penelitian Bogor. hlm. 102-113. Widyastuti N, dan Tjokrokusumo D. 2001. “Peranan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Tanaman pada Kultur In Vitro”. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 3(5) : 55-63. Winarto WP. 2003. Mahkota Dewa, Budidaya & Pemanfaatan untuk Obat. Jakarta : Penebar Swadaya. hlm. 14-18.

PKMP-4-16-1

PENGARUH TERAPI PERILAKU KOGNITIF TERHADAP KECEMASAN MENJELANG MASA PENSIUN Nofrans Eka Saputra, Dwi Indo, Meriam Esterina Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-4-17-1

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA YANG DIPADATKAN (NUTRICAKE PLANT MEDIA) TERHADAP PERTUMBUHAN STUMP JATI (TECTONA GRANDIS LINN.F) Sarwono, Agus Ismail, Suyoko Institut Pertanian Stiper, Yogyakarta ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-4-18-1

UJI EFEKTIVITAS FILTRAT SERAI (ANDROPOGON NARDUS) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM UPAYA MEMBERANTAS NYAMUK AEDES AEGYPTI Ema Kurniawati, Rani Indra Puspita,Yanur Setyaningrum, Sholihah Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK Di Indonesia jumlah penderita demam berdarah semakin meningkat setiap tahunnya. Hingga akhir tahun 2005 ini jumlah penderita di seluruh Indonesia tercatat 50.196 kasus, dengan 701 di antaranya meninggal. Selama ini masyarakat memberantas nyamuk dengan bahan kimia sehingga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dan hama menjadi resisten. Cara alternatif yang aman untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan bahan alami. Salah satunya tanaman serai yang mengandung senyawa alamiah seperti sitral, sitronela, geraniol, mirsera, nerol, farsenol, methyl heptenon, dan dipentema. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan filtrat tanaman serai sebagai insektisida Aedes aegypti pada semua stadium perkembangannya. Konsentrasi filtrat tanaman serai yang paling efektif sebagai insektisida nabati pada Aedes aegypti. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian true eksperiment dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 6 perlakuan: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Populasi penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti yang diambil dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor Reservoir dan Penyakit Salatiga. Alat yang digunakan dalam penelitian Parut, Kain saring, Gelas ukur, Mangkok plastik, Gelas kimia, Timbangan sartorius, Corong, Pipet, Kandang. Bahan yang digunakan yaitu telur Aedes aegypti, Serai dan Aquadest. Hasil penelitian ini yaitu pada stadium telur filtrat serai belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas Aedes aegypti sedang pada stadium larva, pupa, dan dewasa filtrat serai sangat berpengaruh nyata terhadap mortalitas Aedes aegypti. Hal ini dapat disimpulkan bahwa filtrat serai yang tersusun atas senyawa sitronela sangat berpengaruh pada stadium larva, pupa dan dewasa dibandingkan dengan stadium telur. Kata Kunci: Filtrat Serai, Aedes aegypti, mortalitas nyamuk. PENDAHULUAN Demam berdarah dengue atau Dengue hemorhagig Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan virus dengue yang ditularkan ketubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi (Ester, 1999). Pada awalnya penyakit ini disebut dengan sendi atau penyakit tulang. Hal ini disebabkan gejalanya penderita mengalami demam yang disertai dengan rasa ngilu dan nyeri di sendi tulang (Anonymous, 2000). Jumlah penderita demam berdarah setiap tahun terus bertambah, terutama yang memiliki musim hujan. Pada negara-negara berkembang, kejadian ini

PKMP-4-18-2

biasanya meningkat satu sampai dua bulan setelah musim hujan (Anonymous, 2000). Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, terjadi pendarahan yang ditandai bintik-bintik merah (petechia) pada bagian-bagian badan penderita. Dapat pula menimbulkan sindrom shok dan meninggal bagi penderita. Virus ini ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang hidup di genangan air bersih atau baju-baju yang tergantung dibalik pintu kamar atau tirai. Aedes aegypti sekujur tubuhnya berwarna hitam bercak-bercak putih. Biasanya nyamuk betina dewasa akan menghisap darah manusia (andropofilik) dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00) (Gandahusada, 2000). Penyakit ini sampai sekarang belum ditemukan obat etiologist atau vaksinnya sehingga salah satu penanggulangannya adalah dengan mengendalikan vektor penyakit tersebut (Nurhasanah, 2001). Menurut Agus, pemberantasan dengan bahan kimia (pengasapan dan penggunaan abate) secara besar-besaran dan serempak, hanya akan memberantas nyamuk dewasa saja dan dapat menimbulkan resisten pada populasi nyamuk, dan membutuhkan biaya besar, serta mempunyai efek pencemaran yang besar terhadap lingkungan. Riset menunjukkan bahwa setelah penyemprotan, kasus demam berdarah justru mengalami kenaikan (Anonymous, 2000). Metode yang paling efektif untuk mengendalikan nyamuk vektor demam berdarah dengan cara membunuh jentik-jentiknya yang biasa hidup di bak air atau tempat-tempat yang sering digunakan untuk menampung air (Nurhasanah, 2001). Pemberantasan vektor ini adalah dengan memutuskan rantai penularannya, yaitu pemberantasan vektor dengan bahan kimia. Masyarakat diharapkan secara aktif berperan berusaha menghindari dari gigitan nyamuk penular dengan menggunakan kelambu waktu tidur, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, serta menghilangkan tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk penular. Saat ini pemberantasan yang dilakukan dengan insektisida sintetis. Bagi mereka yang tidak tahan, insektisida ini menimbulkan bau yang menyengat dan bisa menimbulkan sesak nafas atau alergi pada kulit sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan. Dengan demikian, maka diperlukan cara alternatif yang aman untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan bahan alami (insektisida nabati), dimana bahan dasarnya menggunakan tanaman. Salah satunya tanaman serai, yang mengandung senyawa alamiah seperti sitral, sitronela, geraniol, mirsera, nerol, farsenol, methyl heptenon, dan dipentema. Karena bahan alami itulah, jenis insektisida ini mudah terurai (biodegradable) dialam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia maupun ternak peliharaan karena residunya mudah hilang. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut diatas, maka dapat di rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah filtrat tanaman serai mempunyai kemampuan sebagai insektisida

PKMP-4-18-3

nabati pada nyamuk Aedes aegypti? 2. Apakah filtrat tanaman serai mempunyai kemampuan sebagai insektisida nabati pada semua stadium perkembangan nyamuk Aedes aegypti? 3. Berapakah konsentrasi dari filtrat tanaman serai yang paling efektif sebagai insektisida nabati pada nyamuk Aedes aegypti? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Kemampuan filtrat tanaman serai sebagai insektisida nyamuk Aedes aegypti pada semua stadium perkembangannya. 2. Konsentrasi filtrat tanaman serai yang paling efektif sebagai insektisida nabati pada nyamuk Aedes aegypti. Kegunaan Penelitian 1. Aspek ekonomi: pemanfaatan filtrat serai sebagai insektisida nabati dapat menghemat biaya. 2. Aspek akademis: memberikan informasi ilmiah pada masyarakat dan Departemen Kesehatan tentang manfaat filtrat serai sebagai insektisida nabati untuk memberantas Aedes aegypti. 3. Aspek lingkungan: insektisida nabati mudah didapatkan dari lingkungan disekitar kita, serta aman digunakan (ramah lingkungan). METODE PENDEKATAN Metode yang dipakai dalam pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) menggunakan metode eksperimen sungguhan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode eksperimen ini, menggunakan bahan perlakuan yaitu dengan tanaman serai yang kemudian di aplikasikan terhadap semua stadium nyamuk Aedes aegypti dan melalui prosedur atau metode yang telah ditentukan. Program ini diorientasikan pada studi keberhasilan akan pengaruh dari tanaman serai dengan berbagai konsentrasi sebagai insektisida nabati dalam upaya memberantas Aedes aegypti, dengan mengamati mortalitas Aedes aegypti pada tiap-tiap stadium. Metode dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan (true eksperiment) dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan terhitung mulai bulan Maret 2006 sampai dengan bulan Mei 2006 di laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang. Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah parut, kain saring, gelas ukur, mangkok plastik, gelas kimia, timbangan sartorius, corong, pipet, kandang. Sedangkan bahan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah batang dan daun serai sebanyak 2 kg, aquadest steril 500 ml, telur Aedes aegypti sebanyak 2000 ekor, Tahap-tahap pelaksanaan: a. Mencuci alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan filtrat serai dengan air bersih b. Memilih serai dengan syarat batangnya besar dan tua, lalu dicuci dan membuang bagian yang tidak digunakan. c. Menghaluskan serai dengan menggunakan parut.

PKMP-4-18-4

d. Menyaring hasil parutan serai dengan kain saring. Tahap-tahap penelitian: 1. Serai yang sudah disaring lalu diencerkan sesuai konsentrasi 0% (kontrol), 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. 2. Meletakkan telur, larva, pupa, kedalam mangkok sebanyak 25 ekor, kemudian diberi filtrat serai sesuai perlakuan pada tiap-tiap ulangan. 3. Menghitung mortalitas pada masing-masing stadium perkembangan. 4. Meletakkan pupa kedalam kandang dan menunggu sampai menjadi nyamuk. 5. Setelah menjadi nyamuk, dilakukan penyemprotan dengan menggunakan filtrat serai sesuai konsentrasi. 6. Menghitung mortalitas nyamuk. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan Muhammadiyah Malang.

di

Laboratorium

Kimia

Universitas

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada semua stadium Aedes aegypti (telur, larva, pupa dan dewasa) yang berada didalam ruangan (laboratorium) dengan suhu kamar (27˚C), kemudian diberi filtrat serai dan diamati mortalitasnya setelah 24 jam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas minyak atsiri jenis sitronela yang terdapat pada filtrat serai dengan berbagai macam konsentrasi sesuai perlakuan. Dengan demikian diharapkan serai yang telah menjadi filtrat dapat memberantas Aedes aegypti disemua stadium yang ditandai dengan besarnya jumlah mortalitas pada tiap perlakuan. Hasil pengamatan stadium telur, larva, pupa dan dewasa Aedes aegypti yang telah diberi filtrat serai dan dibiarkan selama 24 jam dan diamati tingkat mortalitasnya dapat dilihat pada tabel 1, 2, 3, dan 4 seperti dibawah ini: Tabel. 1 Hasil Pengamatan Stadium Telur yang diberi Filtrat Serai Perlakuan A0 (0%) A1 (5%) A3 (10%) A4 (15%) A5 (20%) A6 (25%) Total

∑ Mortalitas/ulangan I II III 3 5 2 14 14 5 1 4 9 3 7 3 3 4 2 3 7 2

Total

Rerata

10 33 14 13 9 12 91

3,33 11 4,67 4,33 3 4 30,33

PKMP-4-18-5

Tabel. 2 Hasil Pengamatan Stadium Larva yang diberi Filtrat Serai Perlakuan B0 (0%) B1 (5%) B3 (10%) B4 (15%) B5 (20%) B6 (25%) Total

∑ Mortalitas/ulangan I II III 0 0 0 2 3 3 8 8 10 20 5 10 20 13 24 25 21 22

Total

Rerata

0 8 26 35 57 68 194

0 2,67 8,67 11,67 19 22,67 64,67

Tabel. 3 Hasil Pengamatan Stadium Pupa yang diberi Filtrat Serai Perlakuan C0 (0%) C1 (5%) C3 (10%) C4 (15%) C5 (20%) C6 (25%) Total

∑ Mortalitas/ulangan I II III 0 0 2 5 3 7 9 7 6 10 11 11 13 13 14 15 19 20

Total

Rerata

2 15 22 32 40 54 165

0,67 5 7,33 10,67 13,33 18 55

Tabel. 4 Hasil Pengamatan Stadium Dewasa yang disemprot dengan Filtrat Serai. Perlakuan D0 (0%) D1 (5%) D3 (10%) D4 (15%) D5 (20%) D6 (25%) Total

∑ Mortalitas/ulangan I II III 0 0 0 1 3 1 2 5 4 6 5 7 9 11 13 12 10 13

Total

Rerata

0 5 11 18 33 35 102

0 1,25 2,75 4,5 8,25 8,75 25,50

Pembahasan Hasil penelitian dari semua parameter penelitian pengaruh filtrat serai terhadap Aedes aegypti pada stadium larva, pupa dan nyamuk telah menunjukkan ada perbedaan antara kontrol dan perlakuan. Namun tidak terjadi pada stadium telur seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, dimana rata-rata terjadi tingkat mortalitas yang tinggi sebesar 11 pada konsentrasi 5%. Sedangkan pada konsentrasi 20% terjadi penurunan tingkat mortalitas telur dengan rata 3. Hal ini

PKMP-4-18-6

belum bisa dijadikan dasar bahwa semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, ternyata belum mampu mempengaruhi mortalitas telur. Rendahnya tingkat mortalitas telur karena telur Aedes aegypti terbungkus atas kulit yang berlapis tiga (Brown, 1983), diperkirakan lapisan tersebut mampu mempertahankan kondisi telur sampai menetas meskipun sudah diberi filtrat serai. Pada stadium larva (Tabel 2) menunjukkan tingkat mortalitas tertinggi pada konsentrasi 25% di semua ulangan, sedangkan pada konsentrasi 0% (kontrol) tidak berpengaruh pada perkembangan larva. Tingkat mortalitas yang berbeda pada tiap-tiap perlakuan disebabkan pada filtrat serai memiliki kandungan sitronela yang berbeda pula sehingga mempengaruhi perkembangan larva yang dapat menyebabkan kematian, hal ini tergantung banyak sedikitnya konsentrasi filtrat serai yang diberikan. Demikian pula pada stadium pupa (Tabel 3) terlihat bahwa filtrat serai memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perkembangan pupa. Dimana tingkat mortalitasnya sama dengan stadium larva. Tingkat kematian terbanyak pada konsentrasi 25% di semua ulangan, sedangkan pada konsentrasi 0% (kontrol) mortalitas pupa hanya 2 ekor saja diulangan ke-3. Sedangkan pada stadium dewasa, angka kematian terbanyak pada konsentrasi 25% di semua ulangan. Dan pada konsentrasi 0% (kontrol) tidak terjadi kematian sama sekali di semua ulangan. Adapun hasil pengamatan perkembangbiakan stadium dewasa ditunjukkan pada Tabel.4. Perbedaan tingkat mortalitas ini disebabkan karena pada tiap-tiap konsentrasi filtrat serai memiliki kandungan senyawa sitronela yang berbeda pula sehingga daya bunuh pada stadium dewasa berbeda, tergantung banyak sedikitnya filtrat serai. Dengan demikian, semakin tinggi konsentrasi filtrat serai, maka semakin tinggi tingkat mortalitas pada nyamuk. Serai mengandung senyawa berbentuk padat yang mempunyai bau yang khas, minyak atsiri yang merupakan produksi serai terdiri dari berbagai senyawa, salah satu senyawa yang dapat membunuh nyamuk adalah sitronela. Kandungan sitronela pada serai yaitu sebesar 35%. Sitronela mempunyai sifat racun (desiscant). Menurut cara kerjanya, racun ini seperti racun kontak yang dapat memberikan kematian karena kehilangan cairan secara terusmenerus sehingga tubuh nyamuk kekurangan cairan (Anonymous, 2003 ). Berdasarkan hal-hal tersebut maka penggunaan toksin yang berasal dari tanaman serai dapat digunakan untuk memberantas Aedes aegypti, karena dalam suatu filtrat tumbuhan serai, selain senyawa aktif (sitronela) juga terdapat senyawa lain yang kurang efektif dalam memberantas Aedes aegypti seperti sitral, geraniol, mirsera, nerol, farsenol, methyl heptenon, dan dipentema. Namun senyawa aktif ini dapat meningkatkan aktifitas filtrat serai secara keseluruhan (sinergis). Hal ini memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten karena kemampuan serangga membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa berbeda secara bersamaan (Anonymous, 1999). Keuntungan penggunaan filtrat serai sebagai insektisida nabati adalah berpotensi untuk memberantas Aedes aegypti pada stadium larva, pupa dan nyamuk. Selain itu bahannya mudah didapat, tidak toksik terhadap lingkungan sehingga aman bagi operator pengendali nyamuk (aman bagi manusia), serta aman bagi hewan peliharaan. Sedangkan dari segi ekonomi dapat menghemat biaya dibandingkan dengan bahan insektisida kimia yang sudah digunakan oleh masyarakat selama ini.

PKMP-4-18-7

KESIMPULAN Dari hasil penelitian terhadap Aedes aegypti yang diberi filtrat serai dapat disimpulkan bahwa pada stadium larva, pupa dan dewasa (nyamuk) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap mortalitasnya. Filtrat serai memiliki kandungan senyawa sitronela sebesar 35%, dan senyawa tersebut mampu membunuh larva, pupa dan dewasa. Racun serai ini seperti racun kontak yang dapat memberikan kematian karena kehilangan cairan secara terus-menerus sehingga tubuh nyamuk kekurangan cairan. Filtrat serai yang efektif sebagai insektisida nabati pada larva, pupa dan nyamuk Aedes aegypti sebesar 25%, sedangkan pada stadium telur belum berpengaruh. Karena diduga telur Aedes aegypti terbungkus atas kulit yang berlapis tiga, hal ini diperkirakan lapisan tersebut mampu mempertahankan kondisi telur sampai menetas meskipun sudah diberi filtrat serai. Dengan demikian, filtrat serai dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk memberantas Aedes aegypti pada stadium larva, pupa dan dewasa. Karena memiliki efek positif seperti; bahannya mudah didapat, tidak toksik terhadap lingkungan, aman bagi manusia dan hewan peliharaan, serta menghemat biaya dibandingkan dengan bahan insektisida kimia. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 1999. Penghasil Pestisida Nabati. Trubus Edisi September No. 358. Jakarta Anonymous, 2000. Demam Berdarah.http//www.bpk penabur.or.id/kpsjkt/wydiaw/55/artikel 13.htm Anonymous, 2000. Demam Berdarah Topik Kesehatan Anak. http//www.infokes.com/today/artikelview.html?Item ID=96&topic=anak Anonymous, 2004. Perlu Gerakan Nasional Penanggulangan DBD. Kompas. Brown Harold. W, 1985. Dasar-dasar Parasitologi Klinik. Edisi ke-3. Gramedia. Jakarta. Betty dkk, 2003. Insektarium II Aedes aegypti. Laporan magang BPVRP Salatiga. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNDIP. Semarang. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1992. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue. Depkes RI. Jakarta. Ester, 1999. Demam Berdarah Dengue, Diagnosa, Pengobatan, dan Pengendalian. ECG. Jakarta. Gandahusada. S, 2000. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Kardinan. A, 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Kardinan. A, 2001. Tanaman Pengusir Nyamuk dan Pembasmi Nyamuk. Agromedia Pustaka. Jakarta. Nasir. M, 1988. Metode Penelitian. Ghallia Indo. Jakarta. Natawiguna. H, 1989. Pestisida dan Kegunaannya. Armico. Bandung. Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agro Media Pustaka. Jakarta. Rofieq. A, 2001. Metodologi Penelitian. UMM Press. Malang. Sastrodihardjo, 1984. Pengantar Entomologi Terapan. ITB. Bandung.

PKMP-4-19-1

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS TANAH GOHONG UNTUK PEKERJAAN LAPIS PONDASI BAWAH Jainudin, Arian, Arif Julianto Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Palangkaraya ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-4-20-1

MODIFIKASI BENTONIT DAN UJI KINERJA BENTONIT HASIL MODIFIKASI PADA PROSES PEMUCATAN MINYAK SAWIT MENTAH Irwan Nugraha, Ihsan Abdurrahman, Haris Suwandi Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung ABSTRAK Bentonit merupakan mineral berpori yang memiliki kemampuan menyerap zat-zat organik maupun anorganik. Bentonit alami memiliki kapasitas adsorpsi yang terbatas. Telah dilakukan kajian aktivasi asam terhadap bentonit alami dan modifikasi terhadap bentonit hasil aktivasi asam. Aktivasi asam terhadap bentonit alami dilakukan dengan variasi konsentrasi asam 17, 20, 23, 30 % dan variasi waktu pengadukan 3, 5, 7 jam. Terhadap bentonit teraktivasi asam dilakukan modifikasi dengan menggunakan garam yang berperan sebagai asam Lewis (AlCl3.6H2O) dengan variasi waktu 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28 jam dan variasi konsentrasi bentonit/garam 20:1; 20:2; 20:3; 20:4; 20:5; 20:6 b/b. Perubahan struktur bentonit setelah mengalami aktivasi asam dan modifikasi diuji melalui difraksi sinar-X, spektrometri infra merah, analisis komposisi kimia, serta analisis sifat fisik dan kimia. Aktivasi asam dan modifikasi menyebabkan adanya perubahan pada bentonit. Kinerja bentonit teraktivasi asam dan termodifikasi diuji pada proses pemucatan minyak sawit mentah. Hasil uji kinerja menunjukkan bentonit teraktivasi asam memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bentonit alami dan kinerja bentonit termodifikasi lebih baik dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam. Bentonit alami memiliki nilai bleaching power 20,52 %, bentonit teraktivasi asam memiliki nilai bleaching power sebesar 73,06% dan bentonit termodifikasi dengan waktu pengadukan 24 jam dan konsentrasi bentonit/garam 20:2 (BI-24h2) memiliki nilai bleaching power sebesar 85,96%. Kata Kunci : Bentonit, aktivasi asam, modifikasi, bleaching power. PENDAHULUAN Berdasarkan pada sifat penyerapan dan sifat katalis yang dimiliki oleh bentonit, bentonit banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri. Lempung bentonit dapat digunakan sebagai pengemban pestisida, adsorben kotoran binatang, katalis dan penunjang katalis, sebagai decolorizing agent dalam pemurnian minyak, dan industri farmasi. Bentonit merupakan senyawa alumunium dan atau magnesium silikat berkristal halus dengan kandungan kapur, alkali dan besi yang bervariasi serta sejumlah air yang terhidrasi. Berdasarkan analisis mineralogi, bentonit mengandung montmorillonite > 85% dan sisanya terdiri dari kaolinite, illite, feldspar, gypsum, unweathered volcanic ash, kalsium karbonat, kuarsa dan mineral lainnya. Secara umum bentonit yang ditemukan di alam dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu natrium bentonit dan kalsium bentonit. Natrium bentonit mempunyai sifat mengembang (swelling) yang relatif tinggi dan banyak dipakai antara lain sebagai bahan untuk lumpur pengeboran minyak bumi (drilling mud). Sebaliknya, kalsium bentonit mempunyai sifat tidak mengembang (non-swelling) dan biasanya digunakan sebagai bahan pemucat

PKMP-4-20-2

(bleaching earth), khususnya untuk memucatkan warna minyak sawit mentah (Crude Palm Oil). Minyak sawit merupakan minyak pangan yang penting secara domestik dan global. Perkembangan industri minyak sawit pada dua dasawarsa terakhir mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan laju produksi minyak sawit yang meningkat pesat. Secara historis, pertumbuhan produksi minyak sawit selama dua dasawarsa terakhir mencapai 7,3% per tahun. Laju produksi minyak sawit yang meningkat secara pesat membutuhkan antisipasi yang tepat dengan cara diversifikasi produk hasil olahannya. Diversifikasi produk olahan yang berbahan dasar minyak sawit dapat menghasilkan produk yang tidak hanya cocok untuk industri makanan seperti minyak goreng, margarin, dan sebagainya tetapi juga untuk industri oleokimia seperti sabun, gliserin, asam laurat, asam palmitat, dan lain sebagainya. Diversifikasi produk olahan berbahan dasar minyak sawit salah satunya dapat dilakukan dengan memisahkan pengotor yang terdapat dalam minyak sawit tersebut sehingga diperoleh minyak sawit yang lebih jernih. Pemisahan pengotor dari minyak sawit dapat dilakukan melalui mekanisme adsorpsi dengan penambahan bentonit. Pada kondisi alami, mineral bentonit memiliki kapasitas adsorpsi yang terbatas sehingga proses pemisahan pengotor dan zat warna yang terdapat dalam minyak sawit atau yang lebih dikenal dengan istilah pemucatan (bleaching) tidak dapat dilakukan secara maksimal. Berbagai upaya guna meningkatkan efisiensi pemucatan mineral bentonit terhadap pengotor dan zat warna yang terdapat dalam minyak sawit telah lama dilakukan melalui proses aktifasi mineral bentonit (Husaini, 2001). Aktivasi yang biasa dilakukan saat ini adalah aktivasi asam dengan menggunakan asam mineral. Berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan bentonit yang memiliki kinerja yang lebih baik dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang kinerja bentonit modifikasi dengan penambahan garam yang berperan sebagai asam Lewis pada proses pemucatan minyak sawit mentah. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh suatu alternatif metode aktivasi bentonit sebagai bahan pemucat minyak sawit mentah yang lebih baik. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui teknik modifikasi bentonit alam sebagai adsorben pengotor organik maupun anorganik yang memberikan adsorpsi optimum dan kondisi bentonit yang memberikan efisiensi pemucatan minyak sawit yang optimum. Tujuan dari penelitian ini diarahkan untuk mengetahui teknik modifikasi bentonit alam yang menghasilkan adsorpsi optimum terhadap pengotor organik maupun anorganik yang terdapat dalam minyak sawit mentah dan mengetahui kondisi bentonit yang memberikan efisiensi pemucatan minyak sawit yang optimum. Kegunaan penelitian ini dimasa yang akan datang diarahkan pada penggunaan teknologi alternatif yang ekonomis dan tepat guna dalam pengolahan bentonit yang memberikan kinerja yang lebih baik dala proses pengolahan minyak sawit mentah dengan proses adsorpsi menggunakan bentonit alam, bentonit teraktivasi asam maupun bentonit termodifikasi serta minyak sawit hasil pengolahan dengan adsorpsi bentonit dapat digunakan sebagai bahan baku industri lanjutan yang berbahan dasar minyak sawit.

PKMP-4-20-3

METODE PENDEKATAN Penelitian dilakukan dalam rentang waktu Januar-Juni 2006 yang bertempat di Laboratorium Riset II Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Bandung, Laboratorium Kimia Instrumen (LKI) Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Bandung Universitas Indonesia, Laboratorium Fisika Lanjut Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung dan Laboratorium Pengujian tekMIRA Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Bandung. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah field research yang dilakukan melalui serangkaian percobaan yang dilakukan di laboratorium. Data karakteristik bentonit diperoleh melalui analisis terhadap bentonit dengan menggunakan Spektroskopi Infra Merah (FTIR), Difraksi SinarX dan serangkaian metode pengujian untuk mengetahui komposisi logam, sifat fisik dan sifat kimia yang dimiliki oleh bentonit. Data hasil kinerja pemucatan bentonit terhadap minyak sawit mentah diperoleh dari hasil analisis absorbansi zat warna yang terdapat dalam minyak sawit dengan menggunakan Spectronic 20+. Data karakteristik minyak sawit sebelum dan sesudah proses pemucatan diperoleh dengan menggunakan Spektroskopi FTIR dan GCMS. Kemampuan pemucatan yang dimiliki oleh bentonit terhadap minyak sawit mentah (bleaching power) diperoleh dengan cara membandingkan absorbansi minyak sawit sebelum dan sesudah dikontakkan dengan bentonit melalui persamaan:

Bleaching Power (%) =

A0 - A1 × 100% A0

(Foletto, et. al., 2003)

dimana : A0 = absorbansi minyak sawit sebelum proses pemucatan A1 = absorbansi minyak sawit setelah proses pemucatan

HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivasi merupakan proses pengolahan secara kimia maupun fisika terhadap mineral lempung bentonit untuk meningkatkan kemampuan daya serap dan memberikan sifat-sifat tertentu yang diperlukan dalam penggunaan mineral lempung bentonit tersebut. Metode aktivasi yang umum digunakan adalah dengan penambahan asam atau pemanasan. Mineral lempung bentonit yang dapat diaktivasi dengan asam adalah sub-bentonit yang umumnya terdiri dari montmorillonite. Pada aktivasi asam, ion-ion yang dapat tertukar seperti K+, Na+, dan Ca+ diganti dengan ion H+. Aktivasi asam juga dapat melarutkan sebagian ion-ion Al3+, Fe3+, dan Mg2+ dari struktur bentonit sehingga menghasilkan lempung bentonit yang lebih porous (secara fisik) dan lebih aktif (secara elektrokimia). Asam yang umum digunakan dalam proses aktivasi bentonit yaitu asam sulfat dan asam klorida. Ketika bentonit di aktivasi dengan larutan asam mineral yang panas, ion hidrogen menyerang lapis aluminosilikat melalui bagian interlayer (Taylor dan Jenkins, 1987 dalam Foletto, 2003). Proses ini mengubah struktur, komposisi kimia, dan sifat fisik dari lempung bentonit dan bahkan kapasitas adsorpsinya (Mokaya, 1993 dalam Foletto, 2003). Pada proses pemurnian minyak tumbuhan,

PKMP-4-20-4

proses pemucatan adalah langkah yang penting, proses pemucatan dilakukan untuk menghilangkan komponen yang tidak dikehendaki yang terdapat dalam minyak dengan cara penyerapan. Proses pemucatan memungkinkan produk minyak yang dihasilkan lebih jernih dan lebih stabil sesuai dengan permintaan konsumen (Proctor dan Palaniappan, 1989 dalam Foletto, 2003). Modifikasi bentonit yang dilakukan pada penelitian ini merupakan aktivasi lanjutan terhadap bentonit teraktivasi asam melalui penambahan ion Al3+ yang berasal dari senyawa AlCl3.6H2O melalui proses impregnasi. Modifikasi melalui penambahan ion Al3+ didasari pada kemampuan ion Al3+ mengadsorpsi zat warna yang terdapat dalam minyak sawit. Daya pemucat bleaching earth disebabkan karena ion Al3+ pada permukaan adsorben dapat mengadsorpsi partikel zat warna (Ketaren, 1986). Penambahan ion Al3+ yang berperan sebagai asam Lewis pada permukaan bentonit dapat memperbanyak situs aktif pada permukaan bentonit yang menyebabkan peningkatan adsorpsi zat warna yang terdapat dalam minyak sawit oleh bentonit. Proses impregnasi ion Al3+ pada struktur bentonit dilakukan melalui proses pengadukan mekanik. Kondisi refluks yang dilakukan pada proses modifikasi bertujuan menjaga kuantitas air selama proses aktivasi berlangsung. Penggunaan air sebagai media aktivasi diharapkan untuk mempermudah proses agitasi dan proses impregnasi berlangsung secara homogen pada seluruh permukaan bentonit dan menghindari impregnan yang terkonsentrasi pada satu bidang permukaan bentonit. Analisis mineral dasar yang terdapat dalam bentonit dilakukan dengan menggunakan instrumen XRD tipe Rigaku Miniplex. Gambar 1(1) menunjukkan difraktogram XRD bentonit teraktivasi asam dan gambar 1(2) menunjukkan difraktogram XRD bentonit termodifikasi. Dari Gambar 1 diperoleh adanya perubahan kandungan mineral dasar penyusun bentonit termodifikasi yang ditunjukkan oleh hilangnya puncak-puncak penciri mineral kuarsa (harga 2θ 26,770) dan felspar (harga 2θ 28,080 dan 28,190). Akan tetapi dari kedua spektra tersebut terdapat puncak-puncak penciri mineral montmorillonite (harga 2θ 19,940 dan 20,030). Hal ini menunjukkan bahwa bentonit teraktivasi asam maupun bentonit termodifikasi tersusun dari mineral montmorillonite.

Gambar 1. Difraktogram XRD Bentonit Teraktivasi Asam dan Bentonit Termodifikasi

PKMP-4-20-5

Gambar 2 menunjukkan spektra infra merah bentonit alami. Dari spektra IR pada gambar 2, Si-O dapat diamati pada daerah bilangan gelombang 1029,6 cm-1. Vibrasi tekuk Si-O yang terjadi dipengaruhi oleh vibrasi mlekul air. Intensitas puncak serapan IR pada υ(Si-O) akan turun dengan berkurangnya kandungan air dalam bentonit. Vibarasi Si-O juga muncul pada bilangan gelombang 468,7 cm-1 dan 698,2 cm-1 yang dihasilkan dari vibarasi Si-O-Al dan Si-O-Si ulur simetris.Spektra IR pada bilangan gelombang 3682,1 cm-1 adalah uluran dari gugus OH yang terikat Al. Gugus OH ini berada pada lapisan oktahedral bentonit membentuk AlAlOH atau AlMgOH. Puncak-puncak serapan khas yang muncul pada bilangan gelombang 3682,1 cm-1, 1639,4 cm-1, 1029,6 cm1 , 69,2 cm-1, dan 48,7 cm-1 menunjukkan bahwa salah satu mineral penyusun bentonit alami ini adalah monmorilonit (Othmer, 1964)

Gambar 2. Spektra Infra Merah Bentonit Alami

Gambar 3(1) menunjukkan spekra infra merah bentonit teraktivasi asam. Pita absorpsi pada bilangan gelombang 524,6 cm-1 menunjukkan vibrasi Si-O-Al sedangkan pita pada bilangan gelombang 794,6 dan 1049,2 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur Si-O. Pita pada bilangan gelombang 1639,4 cm-1 menunjukkan vibrasi H-O-H yang berhubungan dengan adanya air yang diserap oleh bentonit (Foletto & Volzone, 2003). Pita serapan pada bilangan gelombang 3433 cm-1 menunjukkan interlayer air sedangkan pita serapan pada 3630 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur dari O-H yang terletak pada lapis oktahedral yang terikat pada Al (Srasra et al., 1994 dalam Kurniawan, 2004). Gambar 3(2) menunjukkan spekra infra merah bentonit termodifikasi. Pita absorpsi pada bilangan gelombang 524,6 cm-1, 1049,2 cm-1 dan 3433 cm-1 mengalami penyempitan puncak yang menunjukkan vibrasi-vibrasi Si-O-Al, Si-O dan O-H pada lapis oktahedral. Komposisi kimia yang terdapat dalam bentonit ditentukan berdasarkan metode SNI 13-3608-1994. Sampel di analisis dari bahan kering melalui pemanasan pada suhu 105-110oC. Analisis komposisi kimia bentonit dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia bentonit teraktivasi asam bentonit termodifikasi. Analisis komposisi kimia dalam bentonit dilakukan melalui pengukuran kadar logam dalam bentuk oksida logam.

PKMP-4-20-6

100 90 80 70

2

%T

60 1639.4

50

794.6

40

2 1

30 3630

20 10

1 1639.4 794.6

3433 1026

524.6

3629.8 3425.3

0 4000

3500

1049

3000

2500

2000

1500

526.4

1000

500

Bilangan Gelombang (cm-1)

Gambar 3. Spektra Infra Merah Bentonit Teraktivasi Asam dan Bentonit Termodifikasi Tabel 1 Komposisi Kimia Bentonit Teraktivasi Asam dan Termodifikasi Kadar (%) Bentonit Teraktivasi Asam Bentonit Termodifikasi SiO2 65,70 66,00 Al2O3 14,00 15,39 Fe2O3 5,33 2,25 K2O 0,32 0,28 Na2O 0,023 0,53 CaO 2,31 0,65 MgO 1,66 0,85

Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia bentonit teraktivasi asam dan termodifikasi. Data tersebut menunjukkan terjadinya kenaikan persentase Al2O3 setelah melalui proses modifikasi. Persentase Al2O3 naik dari 14,00% menjadi 15,37%, dan hal ini menunjukkan terjadinya penambahan Al3+ setelah melalui proses impregnasi ion Al3+ pada struktur bentonit. Penambahan persentase Al2O3 juga menunjukkan adanya penambahan site active Al3+ pada bentonit. Persentase Fe2O3, K2O, CaO dan MgO menurun sejalan dengan naiknya persentase Al2O3 dan Na2O, dan hal ini dimungkinkan karena adanya pertukaran ion selama proses termodifikasi berlangsung. Proses impregnasi melalui pengadukan menyebabkan terjadinya penyusupan ion Al3+ yang berasal dari garam menggantikan ion-ion logam lain yang terdapat dalam bentonit. Tabel 2. Data Analisis Sifat Fisika Dan Kimia Bentonit Teraktivasi Asam dan Bentonit Termodifikasi Bentonit Teraktivasi Bentonit Asam Termodifikasi Bulk Density (g/l) 535,5 388,2 o free moisture (%) (2 h, 110 C) 11,738 6,567 pH (10% suspension, filtered) 3,6 3,55 Acidity (mg KOH/g) 0,8581 4,0760

PKMP-4-20-7

Pengukuran absorbansi minyak sebelum dan sesudah proses pemucatan menggunakan spectronic 20+ setelah minyak tersebut diencerkan terlebih dahulu dengan menggunakan pelarut heksan dengan konsentrasi minyak 1.5% v/v. Gambar 4 menunjukkan spektra infra merah dari minyak sawit sebelum mengalami proses pemucatan. Dari spektra infra merah tersebut diperoleh adanya vibrasi ulur C-H yang terdapat pada alkana pada rentang bilangan gelombang 3200-2800 cm-1. Puncak-puncak pada bilangan gelombang 2952,8; 2920.0 dan 2850,6 cm-1 masing-masing menunjukkan vibrasi ulur CH3 asimetris, vibrasi ulur CH2 asimetris dan vibrasi ulur CH2 simetris.Puncak yang kuat dan tajam pada bilangan gelombang 1743,5 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C=O yang berasal dari aldehid jenuh atau asam karboksilat.Vibrasi tekuk C-CH3 dari golongan alkana ditunjukkan dengan adanya puncak-puncak pada rentang bilangan gelombang 1470-1350 cm-1 sedangkan vibrasi tekuk C-CH3 asimetris dan C-CH3 simetris masing-masing ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang 1469,7 dan 1377 cm-1. Terdapatnya gugus fungsi alkohol pada minyak sawit mentah ditunjukkan dengan adanya puncak-puncak pada rentang bilangan gelombang 1350-1300 cm-1 yang berasal dari vibrasi tekuk O-H. Adanya vibrasi ulur C-C yang berasal asam yang memiliki struktur lingkar dapat diketahui dari munculnya puncak-puncak pada rentang bilangan gelombang 1300-1000 cm-1. Puncak pada bilangan gelombang 1166,9 cm-1 dapat juga menunjukkan vibrasi ulur C-C-O yang berasal dari gugus fungsi ester. Sedangkan puncak pada bilangan gelombang 717,5 cm-1 menunjukkan vibrasi N-H (wagging) yang berasal dari grup amina sekunder. 100 90 80 70

%T

60 50 3004.9

40

717.5

1417.0 1377.0

30

1242.1

1112.9

20 1469.7

10 0 4000

2920.0

3600

3200

2850.6

2800

1166.9

1743.5

2400

2000

1600

1200

800

400

-1

Bilangan Gelombang (cm )

Gambar 4. Spektra Infra Merah Minyak Sawit Mentah

Gambar 5 menunjukkan spektra infra merah dari minyak sawit setelah mengalami proses pemucatan. Spektra infra merah pada Gambar 4 nampak identik dengan spektra infra merah pada Gambar 5 yang memuat jenis-jenis gugus fungsi yang terdapat dalam minyak sawit. Gambar 6 menunjukkan grafik waktu retensi pemisahan komponenkomponen dalam minyak sawit mentah. Dari Gambar tersebut diperoleh dua puncak yang relatif tinggi dan lebar dibandingkan dengan puncak-puncak lainnya. Kedua puncak pada waktu retensi 20,000 dan 21,915 menit masing-masing menunjukkan komponen asam palmitat dan gliserol.

PKMP-4-20-8

100 90 80 70

%T

60 50 3004.9

40 30 20 10 0 4000

2920.0

3600

3200

1743.5

2800

2400

2000

1600

1200

800

400

-1

Bilangan Gelombang (cm )

Gambar 5. Spektra Infra Merah Minyak Sawit Hasil Proses Pemucatan

Gambar 6. Grafik Waktu Retensi Pemisahan Komponenkomponen dalam Minyak Sawit Mentah

Gambar 7 menunjukkan grafik waktu retensi pemisahan komponenkomponen miyak sawit hasil proses pemucatan. Komponen-komponen dalam minyak sawit hasil proses pemucatan masih didominasi oleh asam palmitat dan gliserol yang ditunjukkan oleh puncak pada waktu retensi 20,000 menit dan 21,915 menit.

Gambar 7. Grafik Waktu Retensi Pemisahan Komponenkomponen dalam Minyak Sawit Hasil Proses Pemucatan

Uji kinerja bentonit pada proses pemucatan minyak sawit mentah dilakukan melalui sistem batch pada kondisi vakum. Minyak sawit mentah yang digunakan pada proses pemucatan telah melewati proses degumming terlebih dahulu dengan menggunakan asam posfat.

PKMP-4-20-9

Gambar 8.1. menunjukkan aluran grafik fungsi konsentrasi asam pada proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit hasil proses pemucatan dan Gambar 8.2. menunjukkan aluran grafik daya adsorpsi bentonit teraktivasi asam dengan variasi konsentrasi asam terhadap adsorpsi zat warna dalam minyak sawit mentah. dari kedua grafik tersebut diperoleh bahwa konsentrasi asam sebesar 20 % memberikan kinerja yang lebih baik terhadap adsorpsi zat warna yang terapat dalam minyak sawit. 0.600

72.00 71.00

0.550

70.00

0.500

68.00

Absorbansi

Bleaching Power (%)

69.00

67.00 66.00 65.00

0.450

0.400

64.00 63.00

0.350

62.00 61.00 15%

17%

19%

21%

23%

25%

27%

29%

0.300 15%

31%

17%

19%

21%

23%

25%

27%

29%

31%

Konsentrasi Asam (%)

Konsentrasi Asam (%)

1 2 Gambar 8. Aktivasi Asam Dengan Variasi Konsentrasi Asam

0.550

74.00

0.500

72.00

0.450

70.00

Bleaching Power (%)

Absorbansi

Gambar 9.1 menunjukkan aluran grafik fungsi waktu pengadukan pada proses aktivasi asam pada proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit hasil proses pemucatan. Gambar 9.2 menunjukkan aluran grafik daya adsorpsi bentonit teraktivasi asam dengan variasi waktu pengadukan pada proses aktivasi asam terhadap zat warna dalam minyak sawit mentah. dar kedua grafik tersebut, aktivasi asam selama 7 jam memberikan kinerja yang lebih baik terhadap adsorpsi zat warna yang terdapat dalam minyak sawit.

0.400 0.350 0.300

68.00 66.00 64.00 62.00

0.250

60.00

0.200 2

3

4

5 Waktu Pengadukan (jam)

6

7

8

2

3

4

5

6

7

8

Waktu Pengadukan (jam)

1 2 Gambar 9. Aktivasi Asam Dengan Variasi Waktu Pengadukan Gambar 10.1 menunjukkan aluran grafik fungsi waktu pengadukan pada proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit hasil proses pemucatan. Penyerapan zat warna oleh bentonit termodifikasi cenderung meningkat seiring dengan lamanya waktu aktivasi. Gambar 10.2 menunjukkan aluran grafik daya adsorpsi bentonit termodifikasi dengan variasi waktu pengadukan terhadap zat warna dalam minyak sawit mentah.

0.500

100.00

0.450

95.00

0.400

90.00 Bleaching Power (%)

Absorbansi

PKMP-4-20-10

0.350 0.300 0.250

85.00 80.00 75.00

0.200

70.00

0.150

65.00

0.100

60.00 0

4

8

12

16

20

24

28

32

0

4

8

12

16

20

Waktu Pengadukan (jam)

Waktu Pengadukan (jam)

1

2

24

28

32

Gambar 10. Grafik Fungsi Waktu modifikasi Terhadap Absorbansi Minyak Sawit dan daya adsorpsi zat warna

0.500

100.00

0.450

95.00

0.400

90.00 Bleaching Power (%)

Absorbansi

Gambar 11.1 menunjukkan aluran grafik fungsi dosis garam yang ditambahkan pada proses modifikasi terhadap absorbansi minyak sawit. Dari grafik tersebut diperoleh adanya peningkatan penyerapan zat warna seiring dengan banyaknya impregnan yang ditambahkan pada BI-24h1 dan BI-24h2. Peningkatan penyerapan zat warna dari BI-24h1 ke BI-24h2 disebabkan karena situs aktif pada BI-24h1 jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan situs aktif pada BI-24h2. Hal tersebut tidak berlaku bagi penambahan garam pada bentonit dengan kondisi berlebih. Penurunan penyerapan zat warna oleh bentonit termodifikasi terjadi pada bentonit yang diaktivasi dengan penambahan garam lebih dari perbandingan 2:20 terhadap massa bentonit. Penambahan garam yang berlebih menyebabkan semakin banyaknya situs aktif pada permukaan bentonit. Gambar 11.2 menunjukkan daya adsorpsi yang dimiliki oleh bentonit termodifikasi dengan variasi dosis garam yang ditambahkan pada proses modifikasi. Grafik tersebut menunjukkan bahwa BI-24h2 memiliki daya adsorpsi lebih besar dibandingkan dengan bentonit termodifikasi yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan bleaching power BI-24h2 sebesar 85,96%.

0.350 0.300 0.250

85.00 80.00 75.00

0.200

70.00

0.150

65.00

0.100

60.00

0

1

2

3

4

Dosis AlCl3.6H2O terhadap bentonit

5

6

7

0

1

2

3

4

5

6

7

Dosis AlCl3.6H2O terhadap Bentonit

1 2 Gambar 11. Grafik Fungsi Dosis Penambahan Garam Pada Proses Aktivasi Terhadap Daya Adsorpsi Zat Warna dan Daya Adsorpsi Zat Warna Gambar 12.1 menunjukkan grafik fungsi jumlah bentonit yang dikontakkan dengan minyak sawit mentah terhadap penyerapan zat warna yang terdapat alam minyak sawit. Dari grafik tersebut nampak bahwa peningkatan penyerapan zat warna oleh bentonit sejalan dengan peningkatan konsentrasi

PKMP-4-20-11

bentonit terhadap minyak sawit. Kinerja bentonit termodifikasi pada proses pemucatan lebih baik dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam. Dari Gambar12.2 terlihat bahwa nilai bleaching power bentonit termodifikasi lebih besar dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam pada konsentrasi bentonit yang sama. 1.000

100.00

0.900

90.00

Absorbansi

0.700 Bentonit teraktivasi asam

0.600 0.500

Bentonit teraktivasi garam

0.400 0.300

Bleaching Power (%)

0.800

0.200

80.00 Bentonit teraktivasi asam

70.00

Bentonit teraktivasi garam

60.00 50.00 40.00

0.100

30.00

0.000 0%

1%

2%

3%

4%

5%

0%

6%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

Konsentrasi Bentonit

Konsentrasi Bentonit

Gambar 12. Grafik Fungsi Konsentrasi Bentonit Terhadap Absorbansi Minyak Sawit dan Daya Adsorpsi Zat Warna

Gambar 13.1 menunjukkan grafik waktu kontak bentonit dengan minyak sawit terhadap penyerapan zat warna yang terdapat alam minyak sawit. Dari aluran grafik tersebut nampak bahwa peningkatan penyerapan zat warna oleh bentonit sejalan dengan meningkatnya waktu kontak bentonit denga minyak sawit. Gambar 13.2 menunjukkan daya adsorpsi bentonit terhadap zat warna dalam berbagai variasi waktu kontak. Waktu kontak bentonit dengan minyak sawit yang lebih lama memiliki kecenderungan peningkatan daya pemucatan bentonit terhadap zat warna yang terdapat dalam minyak sawit. 0.450

95.00

0.400

90.00

Absorbansi

0.300 0.250

Bentonit teraktivasi asam Bentonit teraktivasi garam

0.200 0.150 0.100

Bleaching Power (%)

0.350 85.00 80.00

Bentonit teraktivasi asam Bentonit teraktivasi garam

75.00 70.00 65.00

0.050 0.000

60.00

0

5

10

15

Waktu Pengadukan (menit)

20

25

0

5

10

15

20

25

Waktu Pengadukan (menit)

1 2 Gambar 13. Grafik Fungsi Waktu Kontak Bentonit Terhadap Absorbansi Minyak Sawit dan Daya Adsorpsi Zat Warna KESIMPULAN Peningkatan daya adsorpsi bentonit alami terhadap zat-zat warna yang terdapat dalam minyak sawit dapat dilakukan dengan proses aktivasi asam dan proses modifikasi terhadap bentonit alami tersebut. Kinerja bentonit teraktivasi asam lebih baik dibandingkan dengan bentonit alami dan kinerja bentonit termodifikasi lebih baik dibandingkan dengan bentonit teraktivasi asam.

PKMP-4-20-12

DAFTAR PUSTAKA Foletto. 2003. Performance of an Argentinian Acid-Activated Bentonite In The Bleaching of Soybean Oil. Braz. J. Chem. Eng. vol.20 no.2 São Paulo April/Juni 2003. Husaini. 2001. Laporan Kegiatan Pembangunan Pilot Plant Aktivasi Bentonit Dengan Asam Sulfat Untuk Penjernih CPO Di Daerah Karang Nunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Kimia Minyak dan Lemak. Jakarta: UI Press. Kurniawan, C. 2004. Kajian Kinerja Bentonit Sebagai Adsorben Zat Warna Sintetis dalam Limbah Tekstil. Bandung: FPMIPA UPI. Orthmer, K. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology. Second Edition. Vol 3. USA: John Wiley and Sons, Inc.

PKMP-4-21-1

MODEL DISEMINASI INOVASI BUDIDAYA TANAMAN PADI SISTEM JAJAR LEGOWO MELALUI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PARTISIPATORIS Studi Kasus di Wilayah Demplot Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Karangploso Malang Muliatin, Ratna Dewi M, Ermah Fachriyani PS Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi , Fakutas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Pembangunan perekonomian nasional dikembangkan dengan bertumpu sektor pertanian yang didukung oleh sumber daya domestik dan memiliki peluang usaha, yaitu sektor agribisnis, yang merupakan sinergi antara pertanian, agroindustri dan jasa-jasa yang menunjang pertanian. Disisi lain komoditas beras sampai saat ini masih tetap menjadi konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut telah diketahui bahwa budidaya tanaman padi sistem jajar legowo merupakan rekayasa teknik tanaman padi dengan mengatur jarak tanam antara rumpun dan antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun dan populasi tanaman menjadi bertambah.. Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian tentang model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Penelitian dilakukan di Desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk, pada bulan Februari sampai awal Juni, mulai tahap sosialisasi hingga aksi di lapang. Sampel berjumlah 30 reponden diambil dari Kelompok Tani "Subur Makmur" yang beranggotakan 64 petani. Bentuk data primer dan sekunder, diambil melalui kuisioner, deep interview, pengamatan, diskusi lapang dan dokumentasi. Untuk mengetahui efektifitas model diseminasi sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi patisipatoris yaitu dengan meneliti tingkat penerimaan atau adopsi terhadap inovasi tersebut. Dari segi adopsi inovasi menunjukkan bahwa tingkat adopsi masyarakat desa Bulu Tawing cukup bagus, hal ini dapat diketahui dari penerapan masyarakat lebih 90% telah menerapkan sistem tanam padi jajar legowo. Karena budidaya tanaman padi sistem jajar legowo secara analisa usaha tani lebih menguntungkan dengan selisih + 1,45 Ton per hektare dibandingkan dengan sistem tanam padi biasa (tapin), selain itu penggunaan pupuk juga lebih efektif. Key words: diseminasi, jajar legowo, partisipatoris PENDAHULUAN Pendekatan pembangunan pertanian telah mengalami perubahan yang mendasar yaitu dari pendekatan komoditi menjadi pendekatan sistem agribisnis. Hal ini sejalan dengan penegasan paradigma baru pendekatan pembangunan pertanian. Membangun sistem agribisnis yang kuat sekaligus pemerataan sehingga berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah. Pembangunan perekonomian nasional (APBN 2001-2004) dikembangkan dengan bertumpu pada sektor yang didukung oleh sumber daya domestik dan memiliki peluang usaha, yaitu sektor

PKMP-4-21-2

agribisnis, yang merupakan sinergi antara pertanian, agroindustri dan jasa-jasa yang menunjang pertanian. Dengan landasan tersebut maka visi pembangunan pertanian adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera khususnya petani, melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Sementara itu rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang cukup signifikan dalam pembangunan agribisnis. Pertanian Indonesia yang berbasis pedesaan melibatkan sumberdaya manusia yang sangat besar, terutama dalam hal manajemen dan orientasi komersial dan bisnis jangka panjang. Berdasarkan tingkat pendidikan, 48,4% tenaga kerja di sektor pertanian tidak pernah sekolah atau tidak tamat sekolah dasar, 40,5% menamatkan sekolah dasar, 11,1% yang menamatkan sekolah menengah ke atas. Akan tetapi yang sangat menentukan adalah belum terciptanya wawasan para pelaku baik petani atau usaha kecil, maupun usaha skala besar dan multinasional untuk merencanakan bisnis jangka panjang dalam kerangka kerjasama yang saling menguntungkan. Memasuki era pasar bebas komoditas-komoditas pertanian yang akan berkembang terutama adalah komoditas yang sesuai dengan permintaan pasar baik domestik maupun internasional. Dengan demikian teknologi pertanian yang diperlukan adalah: 1) Teknologi untuk mendukung pengembangan komoditas yang berorientasi pasar. 2) Sistem Pelayanan, yaitu perkembangan sistem pelayanan bagi petani dan usaha agribisnis on farm dan off farm seperti teknik budidaya serta pelayanan penyediaan modal usaha (kredit) dan penyuluhan pertanian (Extension Agriculture). Pada saat yang sama, pembangunan agribisnis juga dihadapkan kepada terjadinya penurunan sumberdaya pertanian terutama sumberdaya lahan dan air, baik kuantitas maupun kualitas. Dalam periode tahun 1983-1993 luas lahan pertanian menurun dari 16,7 juta hektar menjadi 15,6 juta hektar. Penurunan tersebut terutama terjadi di jawa, yang mempunyai implikasi serius dalam produksi komoditas pangan terutama beras karena pangsa pulau Jawa dalam produksi beras nasional mencapai 56 persen. Konversi lahan juga diikuti oleh penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan perkembangan sektor non pertanian yang kurang memperhatikan aspek lingkungan. Sejalan pula dengan proses alih fungsi lahan, skala usaha pertanian juga terus menurun. Jumlah petani gurem (pemilik lahan < 1 ha) dan petani yang tidak mempunyai lahan meningkat. Sensus pertanian tahun 1983 dan 1993 menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan menyempit dari 0,58 ha menjadi 0,41 ha di Jawa, dan dari 1,58 ha menjadi 0,83 ha di luar Jawa (Muslich, 2003). Pengembangan pertanian, khususnya sektor agribisnis dapat dilakukan dengan mengoptimalkan diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo merupakan rekayasa teknik tanaman padi dengan mengatur jarak tanam antara rumpun dan antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan melebar jarak antar barisan tanaman. Dengan sistem ini, populasi tanaman menjadi bertambah karena adanya tambahan rumpun padi. Sedangkan pengembangan teknologi partisipatoris merupakan kumpulan dan klasifikasi pengalaman dan metode lapangan yang digunakan oleh pekerja pembangunan yang mencoba membantu petani mengembangkan sistem-sistem pertanian. Pengembangan Teknologi Partisipatoris diberikan untuk memberi

PKMP-4-21-3

dorongan dan inspirasi kepada pekerja pembangunan lainnya, serta merangsang kreatifitas masyarakat. Dengan demikian penerapan teknologi dan pengembangan usaha harus sesuai dengan kebutuhan penggunaanya. Dengan kata lain, pendekatan dalam komunikasi teknologi pertanian perlu mempertimbangkan aspek lokalita untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi dan kecepatan prosesnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian tentang model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Adapun rumusan maslah yang dibahas dalam penelitihan ini adalah Bagaimana proses penerapan model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris, Bagaimana analisis usaha tani inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi parrtisipatoris dan Sejauhmana efektifitas model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris di masyarakat. Penelitihan ini bertujuan untuk Mengetahui proses penerapan model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris, Menganalisis usaha tani budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris, dan Menganalisis efektifitas model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Selain itu penelitian ini juga di harapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan bidang pertanian, Dapat digunakan sebagai informasi dan pertimbangan bagi semua pihak yang berkepentingan, Dapat digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat (petani) dan Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti dan mahasiswa untuk penelitian lebih lanjut tentang diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. METODE PENDEKATAN Metode pendekatan yang digunakan peneliti untuk mengkaji permasalahan yang ada adalah Pendekatan Partisipatoris (Participatory Appraisal), yaitu peneliti melakukan pengkajian terhadap suatu fenomena dengan ikut berpartisipasi di dalamnya secara berkesinambungan. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat mengkaji secara mendalam tentang model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Adapun Metode Pelaksanaan Program yaitu dengan Metode Penentuan Tempat dan Waktu Penelitian serta lama penelitihan. Penelitian ini dilaksanakan secara sengaja (purposive), yaitu masyarakat petani di wilayah demplot Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) Karangploso Malang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa saat ini di wilayah tersebut (lokasi penelitian di Desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk) sebagai salah satu sentra produksi padi (lumbung pangan) di Jawa Timur. Adapun waktu penelitian dilaksanakan dalam 3 tahapan, yaitu : 1. Tahap I: Sosialisasi, tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui proses penerapan model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris.

PKMP-4-21-4

2. Tahap II: Pelaksanaan Program, tujuan kegiatan ini adalah untuk menganalisis

tingkat keberhasilan model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Dengan kegiatan ini diharapkan adanya pemahaman masyarakat petani secara bottom up yang didasarkan pada kebutuhan (need assesment) tentang perlunya peningkatan produktivitas tanaman padi melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan pertanian. 3. Tahap III: melakukan uji coba dan implementasi model diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris. Dalam metode pengambilan sample Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel purposif (Purposional Sampling) yaitu teknik pengambilan sampel yang ditetapkan secara sengaja berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu (Sanapiah, 1999). Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat petani di wilayah demplot Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) Karangploso Malang yang berlokasi di Desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk. Dalam metode pengumpulan data yaitu menggunakan Studi Dokumentasi Untuk melengkapi, menyempurnakan dan memperkuat data yang telah diperoleh dari hasil survei pendahuluan, peneliti juga menggunakan studi dokumentasi atau menggunakan bahan pustaka yang berkaitan dengan subtansi materi penelitian dengan cara mengumpulkan data yang bersumber dari beberapa dokumen, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Selain itu diadakan Wawancara Mendalam (Indepth Interview) dan observasi langsung Untuk mengetahui bagaimana perasaan seseorang terhadap obyek psikologi yang dipilihnya, maka prosedur yang temudah adalah dengan menanyakan secara langsung pada orang tersebut. Prosedur inilah yang disebut sebagai ”Method of Direct Questioning” dengan menggunakan instrumen kuesioner. Dalam Observasi Langsung Yaitu melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian. Dalam menganalisa data, peneliti berpedoman pada konsep Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman (1982) (dalam Ngabut, 1999) bahwa: “... analisa kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas. Dalam analisa ini terdiri dari 3 alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data kasar yang muncul dar catatan-catatan tertulis di lapangan. 2. Penyajian data, diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Penarikan kesimpulan/ verifikasi, diartikan sebagai suatu kegiatan konfigurasi yang utuh selama penelitian berlangsung.

PKMP-4-21-5

C. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Penerapan Model Diseminasi Inovasi Budidaya Tanaman padi Sistem Jajar Legowo melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo merupakan rekayasa teknik tanaman padi dengan mengatur jarak tanam antara rumpun dan antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan melebar jarak antar barisan tanaman. Dengan sistem ini, populasi tanaman menjadi bertambah karena adanya tambahan rumpun padi. Populasi tanaman bujur sangkar seperti yang dilakukan oleh para petani adalah 250.000 rumpun/ ha, dengan cara sistem Legowo, populasi tanaman meningkat menjadi sekitar 300.000 rumpun/ ha. Meskipun populasi lebih banyak, dengan cara mengatur jarak tanam berselangseling antar barisan 40 cm dan 20 cm, jarak dalam barisan 10 cm, maka sirkulasi udara lebih lancar dan radiasi sinar matahari yang mengenai tanaman relatif sama dengan tapin biasa. Berdasarkan rakitan teknologi yang telah didiseminasikan oleh BPTP Karangploso terhadap kelompok tani “Subur Makmur” Desa Bulu Tawing, jika pemanfaatan jarak tanam pada lahan secara tepat mengikuti aturan yaitu 40x20x10 cm, maka dalam 1 ha, jumlah lubang tanam dapat mencapai 333.000 lubang tanam selisih yang cukup besar bila dibandingkan dengan jumlah lubang tanam pada sistem tanam tapin ini, yaitu yang semula hanya 250.000 lubang tanam, telah menyebabkan hasil panen yang berbeda pula yaitu dari yang semula hasil panen dalam tiap 1 ha sebesar 8,1 ton, jika menggunakan sistem tanam padi jajar legowo hasil panennya menjadi sebesar 9,5 ton tiap 1 ha lahan. Selisih sebesar1,4 ton ini disebabkan karena pada sistem tanam padi jajar legowo mempunyai selisih lubang taman sebanyak 83.000 lubang tanam bila dibanding dengan sistem tanam padi biasa. Dalam perhitungan matematis sistem tanam padi jajar legowo dapat meningkatkan hasil panen sebesar 17-20 % bila dibanding dengan sistem tanam padi biasa. Secara lengkap rakitan teknologi BPTP berkaitan dengan program PTT (Pengolahan Tanah terpadu). yaitu adalah: a. Adanya pupuk bokasi yang harus dimasukkan dalam tanah. b. Jarak tanam padi sebesar 40x20x10 cm (jajar legowo). c. Harus memakai umur bibit muda (dari yang semula berumur 40 hari menjadi bibit berumur 20 hari). d. Jumlah bibit 2-3 perumpun. e. Dan pemupukan yang sesuai, yaitu dalam satu hektar lahan diberi pupuk bokashi sebesar 20 ton, Urea 300 kg/ha, dan phonska 130 kg/ha (urea dan phonska dapat digantikan dengan SP36 100kg/ha dan Za 50 kg/ha). f. Penggunaan varietas unggul Ciherang dan Cibogo, secara bergantian tiap pergantian periode tanam. Dengan rakitan teknologi yang tepat tersebut dapat diperoleh beberapa keuntungan lain yaitu: pertama penggunaan pupuk bokashi dapat mengembalikan sifat fisik dan kandungan tanah, selain itu dapat menghemat penggunaan pupuk misalnya urea yang semula sebanyak 600 kg perhektar dapat dihemat menjadi 300 kg perhektar, begitu pula dengan pupuk yang lain, penghematan pupuk juga disebabkan karena jumlah rumpun tiap lubang adalah sebanyak 2-3 rumpun saja jika dibandingkan dengan yang semula berjumlah 5-7 rumpun tiap lubang yang

PKMP-4-21-6

nantinya anakan dari tiap-tiap rumpun yang biasa berjumlah 5-7 bibit tiap rumpun. Padahal tiap rumpun hanya kurang lebih 15 anakan saja yang dapat tumbuh optimal sehingga sisa dari anakan akan menyerap pupuk dengan sia-sia tanpa hasil. Hal ini berbeda dengan sistem tanam padi jajar legowo dimana jumlah anakan yang berjumlah kurang lebih 15 anakan tersebut seluruhnya dapat tumbuh dengan optimal, tanpa menyia-nyiakan pupuk yang diberikan. Keuntungan lain yaitu penggunaan bibit umur muda dapat menghemat waktu dari yang semula berumur 40 hari menjadi 20 hari, dan juga penggunaan varietas padi yang berbeda setiap kali ganti periode tanam, dapat mengurangi siklus hidup hama tertentu yang menyukai jenis padi tersebut (Ciherang dan Cibogo). Berkaitan dengan diseminasi inovasi budidaya tanaman padi sistem jajar legowo melalui pengembangan teknologi partisipatoris dapat diketahui bahwa peneliti yang bekerjasama dengan BPTP Karangploso Malang, melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Tahap Awal : Membentuk Jaringan Kerja dan Melakukan Inventarisasi Tahap awal dari kegiatan ini ada petugas mensosialisasikan program sistem tanam padi jajar legowo yang terangkum dalam program PTT atau pengolahan tanah terpadu, dengan cara bekerjasama dengan kelompok tani secara langsung, dan melakukan inventarisasi mengenai keorganisasian kelompok tani, penyuluh yang selama ini terlibat dan juga teknologi yang pernah masuk, dalam hal sistem tanam padi. Dari sini dapat diketahui bahwa pada kelompok tani ”Subur Makmur” Desa Bulu Tawing ini belum pernah secara intensif dimasuki teknologi sistem tanam padi sebelumnya. 2. Mencari Hal-Hal untuk Dicoba: Mengembangkan Agenda Penelitian Hal-hal untuk dicoba berkenaan dengan mengembangkan agenda penelitian secara lengkap terangkum dalam program PTT (Pengolahan Tanah Terpadu) adalah: adanya pupuk bokasi yang harus dimasukkan dalam tanah, jarak tanam padi sebesar 40x20x10 cm (jajar legowo), harus memakai umur bibit muda (dari yang semula berumur 40 hari menjadi bibit berumur 20 hari) dan jumlah bibit 2-3 perumpun, pemupukan yang sesuai, yaitu dalam satu hektar lahan diberi pupuk bokashi sebesar 20 ton, urea 300 kg/ha, dan phonska 130 kg/ha (urea dan phonska dapat digantikan dengan sp36 100kg/ha dan za 50 kg/ha), serta penggunaan varietas unggul Ciherang dan Cibogo, secara bergantian tiap perganti periode tanam. 3. Merancang Uji Coba: Mendasarkan Kemampuan Eksperimentasi Setempat Tujuan kegiatan ini adalah mengembangkan rancangan uji coba yang cocok dengan tujuan-tujuan petani dan memperkuat keinginan mereka (ketrampilan, organisasi, rasa percaya diri) untuk merancang uji coba secara mandiri. Disini, ada keseimbangan yang baik antara mendukung dan mengembangkan daya dukung uji coba lokal, dan melakukan rancangan percobaan dan konsep uji coba yang memiliki kesahihan dalam praktek penelitian. Tidak ada aturan yang pasti yang harus diikuti namun gagasan dasarnya adalah memperbaiki, memperkuat dan menambah praktek uji coba petani. Berkaitan dengan hal ini petugas melakukan kegiatan dan pertemuan dengan kelompok. 4. Percobaan: Menerapkan dan Mengevaluasi Uji Coba Diskusi dan evaluasi dilakukan pada pertemuan kelompok, baik secara rutin satu bulan sekali, tiap minggu Pahing ataupun pertemuan insidental, bahkan petani juga terkadang juga mengadakan pertemuan lapang. Percobaan ini tidak

PKMP-4-21-7

hanya menyangkut pelaksanaan uji coba dan kegiatan-kegiatan terkait, seperti pengukuran dan evaluasi, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk menerapkan dan memantau uji coba (pengembangan keterampilan, pembentukan kelompok, memperkuat pertukaran, dan pertautan yang mendukung dengan masyarakat lain, serta organisasi lain yang aktif di wilayah itu). 5. Pertukaran Hasil: Komunikasi, Penyebaran, dan Pelatihan Sebagai pengayaan teknologi ini telah berkembang, hingga perencanaan pembangunan klinik agribisnis, pengadaan alat pemotong dan perontok padi, oven pengering padi dan juga komputer, untuk mendukung petani menuju taraf manajemen kelompok tani yang lebih baik. Tingkat dan pola difusi teknologi yang terbukti berhasil melalui eksperimen petani belum dipelajari secara formal, namun para Praktisi Pengembangan Teknologi Partisipatoris melaporkan bahwa difusi secara spontan terjadi karena masyarakat yang melakukan uji coba saling bertukar hasil dengan rekan-rekannya dan menyebarkan benih (persediaan) dan karena produk-produk baru mendapat pengakuan sepanjang rute perdagangan (Gubbels, 1988 dan Budelman, 1983). 6. Menjaga Proses: Mengitari Pengembangan Teknologi Lokal Tim pengembangan Teknologi Partisipatoris harus memiliki perhatian terhadap pengembangan organisasi dan penciptaan kondisi-kondisi yang mendukung lainnya bagi eksperimentasi terus-menerus dan pengembangan sisitem pertanian berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui kegiatan pendampingan oleh petugas secara kontinyu, mengadakan pertemuan pendukung, dan teknologi penunjang lain baik berupa alat, maupun informasi benih unggul, pemberantasan hama penyakit dan sebagainya, sebagai upaya untuk menjaga proses dan mengitari pengembangan teknologi lokal. Analisis Usaha tani Inovasi Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo Melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris Perbandingan analisis usaha tani tanam padi sistem jajar legowo dengan usaha tani tanam padi sistem tapin (tradisional) adalah sebagai berikut : I Analisis usaha tani tanam padi sistem jajar legowo Tabel 2. Analisis Usaha Tani Tanam Padi Sistem Jajar Legowo dalam 1 Hektare No Keterangan Biaya (Rp) A. Biaya Produksi a. Sewa lahan 1 ha selama 3 bulan 2.500.000,00 b. Pembelian bibit 45 kg @ 4.500 202.500,00 c. Biaya pengolahan tanah (traktor, cangkul dsb.) 1.350.000,00 d. Biaya penanaman 6 Orang 480.000,00 e. Biaya Pemupukan: ƒ Bokasi 750.000,00 ƒ Tenaga Kerja 6 Orang x 2 480.000,00 ƒ Urea 300 kg @ 1600 480.000,00 ƒ Phonska 130 kg @ 1450 188.500,00 f. Perawatan dan pencabutan rumput 6 orang 240.000,00 g. Pemberantasan pestisida: ƒ Tenaga Kerja 2x 4 Orang 160.000,00 ƒ Harga pestisida 120.000,00 h. Panen dan Pascapanen 1.200.000,00

PKMP-4-21-8

B. C.

Jumlah Hasil Penjualan 9.500 kg x Rp. 1300 Keuntungan B/C = 12.350.000,00/8.151.000,00 = 1,51 B/C > 1 = Untung

8.151.000,00 12.350.000,00 4.198.000,00

II Analisis usaha tani tanam padi sistem tapin(tradisional) Tabel 3. Analisis Usaha Tani Padi Sistem Tapin (Tradisional) dalam 1 Hektare. No Keterangan Biaya (Rp) A. Biaya produksi a. Sewa lahan 1 ha selama 3 bulan 2.500.000,00 b. Pembelian bibit 35 kg @ 4.500 157.500,00 c. Biaya pengolahan tanah (traktor, cangkul dsb.) 1.350.000,00 d. Biaya penanaman 6 Orang 400.000,00 e. Biaya Pemupukan: ƒ Bokasi 750.000,00 ƒ Tenaga Kerja 6 Orang x 2 480.000,00 ƒ Urea 350 kg @ 1600 560.000,00 ƒ Phonska 200 kg @ 1450 290.000,00 f. Perawatan dan pencabutan rumput 6 orang 240.000,00 g. Pemberantasan pestisida: ƒ Tenaga Kerja 2x 4 Orang 160.000,00 ƒ Harga pestisida 300.000,00 h. Panen dan Pascapanen 1.053.000,00 Jumlah 8.240.500,00 B. Hasil Penjualan 8.100 kg x 1300 10.530.000,00 C Keuntungan B/R = Rp 10.530.000,00/ Rp8.240.500,00 2.289.500,00 =1,278 B/R > 1= Untung Efektifitas Model Diseminasi Inovasi Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo melalui Pengembangan Teknologi Partisipatoris di Masyarakat Dalam penelitian ini adopsi adalah sebuah proses dimana petani mulai dari mempunyai kesadaran untuk berubah, menaruh minat, berani untuk menilai, kemudian mau mencoba walaupun dengan skala yang kecil dan pada akhirnya mengambil keputusan untuk menerima inovasi. Adapun dari hasil penelitian model diseminasi sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi partisipatoris didesa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk ini efektifitas pelaksanaan teknologi partisipatoris diukur dari tingkat penerimaan atau adopsi inovasi terhadap teknologi sistem tanam padi jajar legowo. Berdasarkan tahapan adopsi inovasi dapat diketahui bahwa: a. Tahap Kesadaran Di daerah penelitian pada tahap ini adalah tahap dimana petani mulai mengetahui adanya informasi tentang inovasi budidaya tanaman paprika. Pada

PKMP-4-21-9

tahap ini petani baru mendapatkan informasi yang dalam kualitas dan kuantitas yang sangat sedikit. Dalam tahap ini petani belum mengetahui secara pasti tentang inovasi sistem tanam padi jajar legowo dimana ditunjukkan dengan angka 20,00% untuk yang mengetahui, 66,67% kurang mengetahui, dan 13,33% yang tidak mengetahui. Dalam tahap proses adopsi ini petani padi menyatakan bahwa mereka mengetahui mengetahui tentang adanya budidaya tanam padi dengan sistem jajar legowo adalah dari petugas BPTP Karangploso Malang yang mensosialisasikan program PTP (Pengolahan Tanah Terpadu) pada tahun 2004. yang didalamnya telah terdapat program sistem tanam padi jajar legowo. Akan tetapi petani belum mengetahui secara pasti bagaimanakah teknologi tersebut. Petani hanya mengetahui secara sepintas dari para petugas. b. Tahap Minat Setelah mengetahui tahap kesadaran atau penghayatan dimana petani mulai mengetahui adanya suatu inovasi baru walaupun dengan informasi yang terbatas. Setelah mengetahui adanya inovasi baru maka petani berusaha untuk mendapatkan informasi yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas. Berkaitan dengan penaruhan minat, petani di kelompok tani "Subur Makmur" mempunyai minat yang besar. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase sampel sebanyak 100% mempunyai minat untuk mengadopsi sistem tanam padi jajar legowo. c. Tahap Penilaian Penilaian ini dilakukan dengan menghubungkan informsi tersebut dengan keadaan diri petani baik secara ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini penting dilakukan sebelum petani nantinya apakah memutuskan akan melakukan percobaan terhadap inovsai tersebut atau tidak. Tahap penilaian pada responden menunjukkan penilaian yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penilai petani yang 100% diantara responden, menyatakan bahwa teknologi sistem tanam padi jajar legowo merupakan teknologi yang baik untuk dikembangkan. d. Tahap Percobaan Di daerah penelitian sebagian petani dengan jumlah sekitar 93,33% mengungkapkan bahwa mereka melakukan percobaan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menerima inovasi budidaya tanam padi jajar legowo. Sedangkan pada penyebaran teknologi sistem tanam padi dengan teknologi patisipatoris petani mengungkapkan bahwa sebelum memutuskan untuk menerima inovasi budidaya tanam padi jajar legowo tidak melakukan percobaan terlebih dahulu, yang ditunjukkan dengan prosentase sebesar 6,67%, tahap percobaan dilakukan pada lahan beberapa petani, yang digunakan sebagai demplot untuk percontohan, petani yang lainnya. Kegiatan ini dilakukan langsung dilapang. e. Tahap memutuskan Dalam tahap ini petani akan memutuskan apakah petani akan menerapkan inovasi tersebut secara penuh merasa bahwa inovasi yang ada secara keseluruhan sangatlah baik dan patut untuk dikembangkan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa seluruh anggota kelompok tani "Subur Makmur" telah mengadopsi teknologi. Meskipun pada tahapan tertentu ada sejunlah petani yang tidak mengikuti seluruh tahapan, namun pada akhirnya keseluruhan petani pada kelompok tani "Subur Makmur" telah mengadopsi teknologi sistem tanam padi

PKMP-4-21-10

jajar legowo. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hanafi (1986) dimana tidak semua tahapan itu selalau terjadi atau beberapa tahap mungkin terlewatkan. Sedangkan beberapa hal yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pada model diseminasi inovasi sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi partisipatoris, di Desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Nganjuk, dapat diketahui bahwa: FAKTOR PERSONAL a. Umur Dalam teori adopsi bahwa umur seorang petani akan mempengaruhi kemauannaya untuk menerima suatu inovasi. Petani yang tergolong sangat tua akan sulit untuk menerima suatu inovasi atau perubahan dalam budidaya mereka. Namun demikian, meskipun karakteristik responden menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi mempunyai variasi umur yang sangat nyata, yaitu diatas 50 tahun 33,33%, antara 30-50 tahun 13,33%, dan kurang dari 30 tahun 53,33%, namun dapat diketahui bahwa tingkat adopsi petani tersebut, sangat tinggi. Karena jika dilihat pada tahapan adopsi inovasi untuk tahap memutuskan menunjukkan, bahwa 100% responden telah mengadopsi. b. Pendidikan Secara teori bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin mudah pula dalam menerima suatu inovasi atau perubahan yang datang dari luar. Demikian halnya dengan pendidikan, meskipun karakteristik petani padi menunjukkan proporsi tingkat pendidikan yang di dominasi tingkat pendidikan SD sederajat, dan SLTP sederajat (40% dan 46,67%), dan minimal SMU hanya 13,33%, tetapi seperti yang dijelaskan bahwa tingkat adopsi masyarakat sangat tinggi. Hal ini dimungkinkan karena adanya penggunaan teknologi partisipatoris yang berkesinambungan, sehingga tingkat adopsi masyarakat tinggi. c. Status kepemilikan lahan Petani yang lahan garapannya berstatus hak milik pribadi akan lebih mudah untuk mengadosi suatu inovasi dengan pertimbangan bahwa resiko kerugiannya lebih kecil dibandingkan dengan apabila lahan garapan yang diusahakan dengan status bukan hak milik atau dengan kata lain sewa maupun bagi hasil. Hal ini sesuai dengan kondisi petani padi di Kecamatan Brebek. Dimana menunjukkan bahwa 80% status kepemilikan lahan adalah milik sendiri, 6,67% hak milik dan sewa, dan hanya 13,33% yang status nya adalah sewa. Hal ini menunjukkan bahwa jika status kepemilikan adalah pribadi maka, tingkat adopsinya pun tinggi. d. Luas Lahan Garapan Secara teori petani yang memiliki lahan yang lebih luas cenderung untuk mudah menerima inovasi dibandingkan petani yang memiliki lahan sempit. Meskipun dari segi luas kepemilikan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar luas lahannya sedang yaitu sebesar 60,00%, luas hanya 26,67%, dan sempit hanya 13,33 persen. Namun menunjukkan suatu keadaan dimana tingkat adopsi yang tinggi. e. Status Sosial Dari data menunjukkan bahwa pejabat publik yang merupakan anggota dari kelompok tani "Subur Makmur" kecamatan Brebek menunjukkan bahwa

PKMP-4-21-11

tidak ada pejabat publik, 13,33% adalah tokoh masyarakat, dimana dua orang ini merupakan ketua Rukun Warga setempat (RW), satu lagi adalah tetua desa tersebut, yang sekaligus ketua kelompok tani responden, sedangkan sisanya sebesar 86,66% sisanya merupakan warga biasa. Namun demikian data menunjukkan bahwa tingkat adopsi masyarakat cukup tinggi. f. Pendapatan Usaha Tani Terdapat kecenderungan suatu kondisi dimana, semakin tinggi pendapatan, maka tingkat adopsinyapun semakin tinggi. Namun demikian meskipun pendapatan petani padi kecamatan Brebegan menunjukkan komposisi 26,67% berpendapatan tinggi, 40,00% berpendapatan sedang dan sisanya 33,33% berpendapatan rendah, namun tetap menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi pada model diseminasi teknologi sistem tanam padi Jajar legowo menunjukkan tingkat adopsi yang tinggi. FAKTOR LINGKUNGAN a. Tersedianya Informasi Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 86,66% informasi berasal dari Tenaga ahli, dan sisanya 13,33% berasal dari petani lain, hal ini menunjukkan bahwa peranan seorang tenaga ahli dalam diseminasi sistem tanam padi Jajar legowo dengan teknologi partisipatoris msangat dibutuhkan. b. Media Informasi Berkaitan dengan pembahasan diatas bahwa sebagian besar informasi diperoleh dari tenaga ahli, meskipun data menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi hanya mempunyai satu jenis media saja 60,00%, dan yang tidak memiliki sebesar 26,67% tidak memiliki, dan yang memiliki lebih dari satu media hanya sebesar 13,33%, namun demikian hal ini hampir tidak berpengaruh, karena sebagian besar informasi diperoleh dari tenaga ahli. c. Derajat Komersialisasi Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa 100% petani telah berorientasi, bahkan menjadi mata pencaharan utama, meskipun kegiatan pertanian dilakukan dalam skala kecil. d. Dukungan Keluarga dan Masyarakat. Salah satu penyebab tingginya tingkat penerimaan, adalah karena dukungan keluarga dan masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa 100% keluarga mendukung petani padi, hal ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan tingkat penerimaan teknologi budidaya padi dengan sistem jajar legowo, mempunyai tingkat penerimaan yang tinggi. KESIMPULAN Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo merupakan rekayasa teknik tanaman padi dengan mengatur jarak tanam antara rumpun dan antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan melebar jarak antar barisan tanaman. Dari segi analisa usaha tani dapat diketahui bahwa sistem tanam padi jajar legowo lebih menguntungkan jika dibandingan dengan sistem tapin, meskipun terdapat perbedaan biaya tenaga kerja saat penanaman lebih besar, dan juga biaya pembelian bibit lebih besar, tetapi sistem tanam padi jajar legowo lebih mnguntungkan karena hasil panen yang dihasilkan lebih besar, dan penggunaan pupuk juga lebih efektif dengan aturan tertentu. Dari segi adopsi inovasi pada model diseminasi sistem tanam padi jajar legowo dengan teknologi patisipatoris

PKMP-4-21-12

menunjukkan bahwa tingkat adopsi masyarakat desa Bulu Tawing Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk cukup bagus, hal ini dapat diketahui dari penerapan masyarakat lebih 90% telah menerapkan sistem tanam padi jajar legowo. DAFTAR PUSTAKA ----------------, 2000. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2000. Badan Pusat Statistik. Provinsi Jawa Timur. ----------------, 2000. Kumpulah Makalah Penelitian Pertanian. Sinar Tani. Jakarta. Anonymous, 2000. Rakitan Teknologi Budidaya Padi Spesifikasi Lokasi. Balai Pengkajian Teknoligi Pertanian (BPTP). Karangploso Malang. Anonymous, 2000. Budidaya Tanaman Padi Sistem Jajar Legowo (dalam Sinar Tani, Edisi 7-13 Juni 2000), BPTP Karangploso. Malang. Dean C. Barnlund, 1986. the interpersonal communication book. Fourth edition. New york. Harper & row, publishers. Deutsch (1966), communication models for the study of mass commnucations. New york. Longman. Faisal, S., 1999. Format-Format Penelitian Sosial. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Kusnadi, 1985. Penyuluhan Pertanian Teori Dan Terapannya. Fakultas Pertanian - Universitas Brawijaya. Malang. Littlejohn, 1989. theories of human communication. Third edition. Belmont, california. Wadsworth publishing company. Margono Slamet, 1985. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pedesaan. Ditjen-Dikti. Jakarta. Rogers E.M dan F. Soumokers, 1971. komunikasi inovasi, suatu pendekatan lintas kultural (terjemahan). Sumbangsih offset. Yogyakarta. Samsudin, 1994. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bina Cipta. Bandung. Soedarmanto, 1994. Pengelolaan Penyuluhan Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soekartawi, 1994. Pembangunan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soeyitno, 1998. Pedoman Penyuluhan Pertanian Bagi Tenaga Penyuluh. Dinas Pertanian. Jakarta. Suhardiyono, 1990. Peran Penyuluhan Dalam Pembangunan Pedesaan. UGM Press. Yogyakarta. Van den Ban A.W. dan Hawkins H.S., 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta

PKMP-4-22-1

KINETIKA DEGRADASI ZAT WARNA RHODAMIN B DENGAN FOTOKATALIS TITANIUM DIOKSIDA (TIO2) Muhammad Arfandi, Wardah, Arum Purwaningsih Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Haluoleo, Kendari ABSTRAK Penelitian tentang kinetika degradasi Rhodamin B dengan Fotokatalis TiO2 dilakukan untuk mendegradasi Rhodamin B sebagai salah satu zat warna yang dapat bersifat sebagai pencemar pada limbah perairan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tetapan laju, waktu paruh, laju degradasi, serta massa efektif TiO2 yang dibutuhkan untuk fotodegradasi. Katalis TiO2 dipanaskan pada suhu 200 oC selama 120 menit. Massa efektif TiO2 ditentukan dengan variasi massa TiO2 yang digunakan : 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 miligram dalam 50 mL larutan. Degradasi fotokatalis dilakukan dengan variasi waktu penyinaran pada 15, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 menit dengan menggunakan reaktor sinar ultraviolet. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum yaitu 555 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2 melalui penyinaran sinar ultraviolet lebih baik dibandingkan tanpa TiO2. Massa efektif TiO2 adalah 80 miligram. Waktu paruh, tetapan laju, dan laju degradasi Rhodamin B masing-masing adalah 866,25 menit, 0,0008 menit-1, dan 0,0194 mg/L menit. Dalam penelitian ini dilakukan pula pengukuran pH dan konduktivitas larutan Rhodamin B sebagai parameter tambahan proses degradasi larutan. pH larutan hasil degradasi meningkat dengan bartambahnya waktu penyinaran, sedangkan konduktivitas larutan menurun dengan bertambahnya waktu penyinaran. Kata kunci : Degradasi, Rhodamin B, Titanium Dioksida PENDAHULUAN Pencemar organik zat warna yang terakumulasi di alam dapat merugikan makhluk hidup dan lingkungan, sementara proses biodegradasi alamiah berjalan dengan sangat lamban seiring dengan penumpukan limbah buangan industri yang berlebih setiap saat. Pencemar organik yang berupa zat warna merupakan salah satu senyawa non-biodegradable sebagai limbah yang akan kembali ke lingkungan, akibatnya di alam akan terjadi akumulasi senyawa tersebut (Andayani dan Sumartono, 1999). Sejak publikasi Fujishima dan Honda (1972) mengenai fotoelektrokatalisis pemecahan air pada elektroda lapis tipis TiO2, perkembangan aplikasi teknologinya semakin populer dan sangat pesat hingga saat ini. Salah satu riset dasar dan terapan yang paling menonjol adalah usaha-usaha mewujudkan teknologi sistem mineralisasi zat warna, sehingga dapat diterapkan dalam sistem pengolahan/pembersihan air maupun gas. Legrini, dkk., (1993), mempublikasikan penggunaan TiO2 sebagai fotokatalis dalam degradasi klorobenzena, fenol, naftalena, dibenzofuran, dan dibenzo-ρ-dioksin serta senyawa-senyawa aromatik. Hashim, dkk., (2001) mempublikasikan kinetika fotodegradasi Tatrazin dengan TiO2 yang diradiasi

PKMP-4-22-2

dengan sinar ultraviolet buatan. Cardona (2001) meneliti kinetika degradasi senyawa-senyawa fenol tersubtitusi dan pestisida fenil urea. Rhodamin B merupakan salah satu jenis pewarna sintesis yang umumnya digunakan sebagai pewarna kertas atau tekstil. Zat ini tidak dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam obat dan makanan karena dapat menimbulkan iritasi saluran pencernaan, iritasi pada kulit, dan jika ditelan dapat menimbulkan iritasi pada pencernaan. Pemakaian Rhodamin B untuk waktu lama dapat menyebabkan gangguan fungsi hati atau kanker hati (Winarno, 1997). Penelitian dan publikasi tentang degradasi pewarna Rhodamin B menggunakan fotokatalisis TiO2 baik kinetika, mekanisme reaksi, dan perubahan-perubahan yang terjadi selama degradasi belum dilakukan. Karena itu perlu dilakukan penelitian kinetika degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2. Dalam menyimak kemampuan TiO2 sebagai fotokatalis yang dapat berperan aktif pada reaksi degradasi zat warna pencemar Rhodamin B, maka dapat ditelaah suatu kemungkinan teknologi aplikasi terapan pada pemurnian air. Dengan mengetahui kemampuan TiO2 tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelaahan lebih lanjut adalah bagaimana aktivitas fotokatalis TiO2 pada reaksi degradasi zat warna pencemar Rhodamin B. Selain itu, perlu pula ditinjau beberapa data-data informasi tentang kinetika reaksi degradasi seperti tetapan laju, waktu paruh, laju reaksi, konsentrasi/massa efektif katalisator, suhu, pH larutan, dan/atau pengaturan intensitas cahaya yang baik, mutlak diperlukan karena data kinetika merupakan salah satu faktor penentu dalam mempelajari mekanisme reaksi (Cardona, 2001; Zhou dan Ray, 2003). Sehingga, dalam skala instrumental, maka permasalahan yang akan diteliti adalah : 1) Berapa massa efektif fotokatalis TiO2 untuk mendegradasi Rhodamin B; 2) Berapa waktu paruh Rhodamin B yang didegradasi secara fotokatalitik oleh TiO2; 3) Berapa tetapan laju reaksi degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2; dan 4) Berapa laju degradasi Rhodamin B dengan fotokatalisis TiO2. Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah : 1) Untuk mengetahui berapa massa efektif fotokatalis TiO2 untuk mendegradasi Rhodamin B; 2) Untuk mengetahui berapa waktu paruh Rhodamin B yang didegradasi secara fotokatalitik oleh TiO2; 3) Untuk mengetahui berapa tetapan laju reaksi degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2; 4) Untuk mengetahui berapa laju degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menambah wawasan keilmuan dan teknologi dalam mempelajari reaksi degradasi suatu zat warna. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pengembangan metode pengolahan air dan limbah cair, terutama yang mengandung senyawa-senyawa zat warna yang bersifat toksik dan non-biodegradable yang juga bersifat sebagai bahan informasi tambahan mengenai alternatif pengolahan limbah zat warna. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan kerja, dimulai pada bulan Februari sampai Mei 2006, yang bertempat di Laboratorium Kimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Haluoleo, Kendari. Bahanbahan yang digunakan adalah akuades, zat warna Rhodamin B (C.I. 45170), Titanium Dioksida (TiO2) PC-102 sebagai fotokatalis. Peralatan yang digunakan adalah desikator, gelas kimia Iwaki Pyrex 100 mL dan 1000 mL, labu takar Iwaki

PKMP-4-22-3

Pyrex 25 mL; 50 mL; 100 mL; dan 1000 mL, pipet volum 10 mL dan 50 mL, spektronik 20-D GENESYS, spatula, stopwatch, timbangan analitik Ohaus No. E. 12140 (Swiitzerland), oven Gallenkamp (Hot box Oven Witfan, Size 2), pH meter Hanna Instrument HI 8519, Konduktometer Oakton WD 35607-00, lampu ultraviolet (Himawari Fluorocent Lamp 20 W), dan flux meter. Metode pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja fotokatalis TiO2 tersebut adalah metode eksperimental, dengan menentukan parameter-parameter kinetika. Parameter tersebut merupakan salah satu data yang dibutuhkan untuk mengestimasi proses mekanisme reaksi yang terjadi dalam proses degradasi zat warna Rhodamin B dengan menggunakan fotokatalis TiO2. Data beberapa parameter kinetika yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan. Tahapan pelaksanaan penelitian dilakukan berdasarkan penentuan beberapa parameter kimia yang akan ditentukan. Adapun tahapan penentuan parameter tersebut adalah sebagai berikut : a. Pembuatan Larutan, Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Rhodamin B. Larutan Rhodamin B dibuat dengan cara menimbang 1 gram bubuk Rhodamin B, kemudian dilarutkan dengan aquades dalam labu takar 1000 mL sampai tanda tera (konsentrasi 1000 mg/L). Larutan diencerkan menjadi konsentrasi 25 mg/L. Larutan Rhodamin B 25 mg/L serapannya dengan variasi panjang gelombang untuk menentukan panjang gelombang maksimum. Seri larutan standar Rhodamin B dibuat pada beberapa konsentrasi dan diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum untuk memperoleh kurva kalibrasi. b. Preparasi TiO2 Sebagai Fotokatalis. Serbuk TiO2 PC-102 yang telah diaktivasi (bentuk anatase) dipanaskan di dalam oven dengan suhu 200 oC selama 120 menit dengan tujuan untuk mengurangi kadar air. c. Penentuan Massa Efektif Fotokatalis TiO2. Penentuan massa efektif TiO2 dilakukan dengan memvariasikan massa TiO2 yang digunakan untuk memfotooksidasi larutan zat pewarna. Larutan Rhodamin B dengan konsentrasi 25 mg/L sebanyak 50 mL dengan massa TiO2 yang divariasikan yaitu 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100 miligram dimasukkan ke dalam reaktor dan diamkan selama 30 menit agar proses adsorbsi pada permukaan TiO2 berlangsung sempurna. Menurut Poulios, dkk., (2003). Setelah proses adsorbsi, larutan dengan sistem tersuspensi tersebut disinari dengan lampu UV selama 60 menit. Perhatian secara ekstra untuk memastikan proses penyinaran telah merata. d. Proses Degradasi Rhodamin B Larutan Rhodamin B awal 25 mg/L sebanyak 50 mL ditambahkan serbuk TiO2 (sesuai massa efektifnya) ke dalam reaktor, lalu disinari dengan lampu UV selama 15 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, 180 menit, 240 menit, 300 menit, 360 menit, 420 menit, dan 480 menit. Selama proses degradasi sampel diambil secara periodik sesuai variasi waktu dan diukur dengan Spektrofotometer UV-VIS. Setelah proses degradasi selesai, data hasil pengamatan yang telah dikumpulkan, dianalisis dan ditafsirkan di Laboratorium Kimia F-MIPA Unhalu.

PKMP-4-22-4

e. Pengukuran pH dan konduktivitas larutan Untuk menguatkan data parameter kimia yang telah diperoleh maka beberapa parameter tambahan seperti pH dan konduktivitas larutan perlu ditentukan. Penetuan pH dan konduktivitas larutan dilakukan dengan cara mengukur pH dan konduktivitas larutan dengan menggunaan pH-meter dan konduktometer pada larutan zat warna Rhodamin B baik dengan maupun tanpa TiO2 tersuspensi pada setiap waktu penyinaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter yang akan diteliti adalah konsentrasi/massa efektif fotokatalis TiO2, pengaruh konsentrasi Rhodamin B mula-mula, waktu paruh, tetapan laju, dan laju reaksi fotodegradasi. Data-data tersebut diperoleh secara eksperimental dengan menggunakan metode spektrofotometri. Sebelum melakukan pengukuran terhadap beberapa parameter di atas, maka perlu ditentukan panjang gelombang maksimum dan kurva kalibrasi dari Rhodamin B. Penentuan panjang gelombang berfungsi dalam penentuan konsentrasi larutan secara spektroskopi. Panjang gelombang maksimum merupakan daerah panjang gelombang yang menunjukkan serapan tertinggi terhadap spektrum cahaya. Panjang gelombang maksimum Rhodamin B yang diperoleh adalah 555 nm. Spektrum serapan pada pengukuran panjang gelombang maksimum Rhodamin B terlihat Gambar 1. 0.600

Serapan

0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 490

500

510

520

530

540

550

560

570

580

590

Panjang gelombang (nm)

Gambar 1. Spektrum serapan panjang gelombang maksimum Rhodamin B Panjang gelombang Rhodamin B yang telah diperoleh digunakan untuk mengukur serapan seri larutan standar Rhodamin B, sehingga dapat dibuat suatu kurva kalibrasi. Kurva tersebut digunakan untuk menentukan konsentrasi Rhodamin B setelah proses fotodegaradasi pada variasi waktu penyinaran, dengan menggunakan metode kurva kalibrasi. Melalui kurva kalibrasi tersebut maka dapat diperoleh persamaan garis lurus sebagai mana terlihat pada Gambar 2. Penentuan massa efektif TiO2 untuk degradasi Rhodamin B ditentukan dengan menggunakan larutan Rhodamin B 25 mg/L dengan volume 50 mL. Grafik hasil pengukuran serapan pada penentuan massa efektif fotokatalis TiO2 terlihat pada Gambar 3.

PKMP-4-22-5

1 0.9 0.8 0.7 y = 0.019x R2 = 0.9998

Serapan

0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0

10

20

30

40

50

60

Konsentrasi (mg/L)

Gambar 2. Kurva kalibrasi Rhodamin B 0.5 0.45 0.4 0.35 Serapan

0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100 110

Massa TiO2 (mg)

Gambar 3. Grafik Hubungan Massa TiO2 Terhadap Serapan Pada Gambar 3 terlihat bahwa serapan terendah diperoleh pada massa TiO2 80 mg. Serapan terendah dari larutan menunjukan bahwa larutan zat warna tersebut paling banyak terdegradasi. Massa 80 mg TiO2 merupakan massa efektif untuk konsentrasi Rhodamin B 25 mg/L dengan volume 50 mL. Massa TiO2 kurang dari 80 mg belum cukup untuk mendegradasi zat warna Rhodamin B secara optimal, sehingga menunjukan serapan yang lebih tinggi. Massa TiO2 lebih dari 80 mg membuat larutan menjadi keruh sehingga sinar ultraviolet hanya akan mengenai permukaan dan tidak dapat masuk sampai ke dalam larutan. Dengan demikian hanya sedikit TiO2 yang aktif sebagai fotokatalis karena menghalangi sinar ultraviolet sebagai sumber energi untuk terjadinya reaksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjahjanto dan Gunlazuardi (2001), suspensi TiO2 yang membuat larutan menjadi keruh akan menghalangi sinar ultraviolet dalam mengaktifkan seluruh fotokatalis. Pada proses degradasi, aktivitas fotokatalis TiO2 diamati dengan menggunakan larutan zat warna Rhodamin B yang terdiri dari dua bagian yaitu tanpa dan dengan tersuspensikan TiO2 (sesuai massa efektifnya). Pengamatan proses degradasi tersebut dilakukan dengan variasi waktu penyinaran dan setiap waktu penyinaran dilakukan pengukuran serapan larutan Rhodamin B. Melalui pengukuran serapan, maka konsentrasi Rhodamin B dapat diketahui dengan metode kurva kalibrasi. Hasil pengukuran serapan dan konsentrasi pada setiap waktu penyinaran terlihat pada Tabel 1.

PKMP-4-22-6

Tabel 1. Serapan Rhodamin B pada pH 1 dengan 3 kali pengukuran Serapan dengan TiO2 Waktu Serapan tanpa TiO2 (menit) 1 2 3 rerata 1 2 3 0 0,475 0,475 0,476 0,475 0,476 0,475 0,475 15 0,463 0,463 0,463 0,463 0,467 0,466 0,467 30 0,439 0,439 0,438 0,439 0,460 0,461 0,461 60 0,418 0,418 0,418 0,418 0,452 0,451 0,452 90 0,410 0,409 0,410 0,410 0,439 0,439 0,439 120 0,363 0,362 0,363 0,363 0,426 0,426 0,426 180 0,355 0,356 0,357 0,355 0,411 0,410 0,411 240 0,311 0,311 0,311 0,311 0,401 0,400 0,411 300 0,306 0,305 0,306 0,306 0,385 0,385 0,384 360 0,298 0,298 0,299 0,298 0,371 0,372 0,371 420 0,263 0,263 0,263 0,263 0,352 0,351 0,352 480 0,228 0,227 0,228 0,228 0,341 0,341 0,342

rerata 0,475 0,467 0,461 0,452 0,439 0,426 0,411 0,411 0,385 0,371 0,352 0,341

Melalui data pengukuran tersebut, maka terdapat penurunan konsentrasi Rhodamin B setelah proses fotodegradasi sebagaimana terlihat pada Gambar 4. 30 Dengan TiO2

Konsentrasi (mg/L)

25

Tanpa TiO2 20 15 10 5 0 0

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 Waktu Penyinaran (menit)

Gambar 4. Grafik Konsentrasi Rhodamin B terhadap Waktu pada saat Degradasi Penurunan konsentrasi zat warna Rhodamin B selama masa penyinaran pada larutan dengan maupun tanpa TiO2 tersuspensi memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Hal ini menunjukan bahwa TiO2 mempunyai efek yang besar dalam proses degradasi. Konsentrasi zat warna pencemar Rhodamin B tersebut akan terus berkurang dengan bertambahnya waktu penyinaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa TiO2 aktif sebagai fotokatalis, selama energi foton dari sinar ultaviolet masih tersedia. Parameter-parameter kinetika seperti konstanta laju reaksi degradasi, waktu paruh dan laju reaksi degradasi dapat ditentukan dengan terlebih dahulu mengetahui orde atau tingkat reaksi yang terjadi pada proses degradasi tersebut. Aktivitas penurunan konsentrasi Rhodamin B terhadap pertambahan waktu penyinaran tersebut sejalan dengan pernyataan Cardona (2001) dan Poulios, dkk., (2002) bahwa secara umum kinetika degradasi suatu senyawa mengikuti persamaan Langmuir-Hinshelwood yaitu kecepatan reaksi akan berbanding lurus dengan luas permukaan substrat, jika keadaan berlangsung pada konsentrasi yang

PKMP-4-22-7

kecil maka reaksi merujuk ke orde pertama dan jika berlangsung pada konsentrasi yang tinggi maka reaksi merujuk pada orde nol. Oleh karena dalam proses degradasi digunakan konsentrasi yang kecil maka kinetika reaksi degradasi mengikuti orde pertama, yang ditandai berkurangnya konsentrasi pereaksi secara eksponensial terhadap pertambahan waktu penyinaran. Untuk menentukan nilai tetapan laju (k) yang menyatakan probabilitas terdegradasinya zat warna Rhodamin B berdasarkan persamaan hukum laju orde pertama, yaitu : ⎛ [ EB] ⎞ ⎟⎟ = kt − ln ⎜⎜ ⎝ [ EB]o ⎠ Dimana [RB]o dan [RB] adalah konsentrasi Rhodamin B sebelum dan setelah degradasi, k adalah konstanta laju reaksi degradasi dan t adalah waktu penyinaran (menit). Sehingga dengan mengalurkan -ln[EB]/[EB]o terhadap waktu (t) akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan sebagai k. 0.45 0.4 - ln [RB]/[RB]0

0.35 0.3 0.25 0.2

y = 0.0008x

0.15 0.1 0.05 0 0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

550

waktu penyinaran (menit)

Gambar 5. Alur – ln [RB]/[RB]o terhadap waktu Melalui grafik tersebut, maka dapat diketahui bahwa dengan kemiringan sebagai k maka nilai k adalah 0,0008 menit-1. Selain itu, nilai waktu paruh (t ½) menyatakan waktu yang diperlukan oleh pereaksi untuk mencapai setengah dari konsentrasi awalnya, dapat ditentukan menggunakan persamaan dalam hukum laju orde pertama, yaitu : ln 2 0,693 t 12 = = k k Dari persamaan tersebut, maka diketahui waktu paruh (t ½) degradasi Rhodamin B adalah 866,25 menit. Parameter kinetika berikutnya adalah laju reaksi degradasi zat warna Rhodamin B. Berdasarkan persamaan hukum laju orde pertama, maka nilai laju reaksi degradasi dapat dinyatakan sebagai : r = k [A] (Atkins, 1999). Dengan memasukkan nilai konsentrasi Rhodamin B setelah proses penyinaran sebagai A dan k adalah nilai tetapan laju (0,0008 menit-1), maka diperoleh laju reaksi degradasi. Perhitungan laju degradasi Rhodamin B dapat dilihat pada Tabel 2.

PKMP-4-22-8

Tabel 2. Nilai laju reaksi degradasi Rhodamin B pada setiap waktu penyinaran Dengan TiO2 Waktu Laju reaksi (menit) (mg/L menit) Serapan [RB] rata-rata rata-rata (mg/L) 0 0,475 25 0 15 0,463 24,368 0.0194 30 0,439 23,105 0.0184 60 0,418 22 0.0176 90 0,410 20,947 0.0167 120 0,363 19,105 0.0152 180 0,355 17,473 0.0139 240 0,311 16,683 0.0133 300 0,306 15,736 0.0125 360 0,298 14,842 0.0118 420 0,263 13,842 0.011 480 0,228 12 0.0096 Terlihat pada Gambar 6, bahwa semakin lama waktu penyinaran, laju reaksi degradasi semakin berkurang. laju reaksi (mg/ L menit)

0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 0

50

100

150

200 250

300 350

400

450 500

550

waktu penyinaran (menit)

Gambar 6. Laju degradasi Rhodamin B selama penyinaran Keberadaan TiO2 dalam sistem tersuspensi zat warna pencemar Rhodamin B akan menyebabkan terjadinya proses degradasi yang akan mempercepat laju reaksi degradasi. Penurunan nilai laju disebabkan oleh radikal hidroksil yang tercipta sebagai hasil dari perpindahan elektron pada permukaan TiO2 sebagai katalis akan semakin berkurang, akibat reaksi radikal berantai yang terus terjadi hingga zat warna Rhodamin B terdegradasi menjadi CO2, H2O, dan produk mineralisasi lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wu, dkk., (1999) dan Gunlazuardi (2001) yang menyatakan bahwa reaksi interaksi zat warna dan TiO2 dengan foton akan menghasilkan suatu produk CO2, H2O, dan hasil mineralisasi lainnya. Wu, dkk., (1999) memberikan suatu mekanisme reaksi antara zat warna dengan TiO2 yang dikenai oleh foton, yaitu :

PKMP-4-22-9

zat warna + hv → zat warna ∗ zat warna ∗ + TiO2 → zat warna • + + TiO2 (e) TiO2 (e) + O2 → TiO2 + O2 • − O2 • − + TiO2 (e) + 2 H + → H 2 O2 H 2 O2 + TiO2 (e) → • OH + OH − zat warna • + + O2 (atau O2 • − atau • OH ) → intermediet → produk Mekanisme reaksi degradasi zat warna pencemar seperti Rhodamin B merupakan suatu proses mekanisme reaksi yang kompleks. Namun, menurut Legrini, dkk., (1993) bahwa mekanisme reaksi pada proses degradasi berlangsung dengan cara adisi elektrofilik. Pada proses tersebut, radikal hidroksil yang terbentuk akan menyerang ikatan rangkap, tepatnya pada sistim π sehingga akan membentuk senyawa radikal organik. Radikal tersebut kemudian terkonjugasi dalam struktur dari spesi intermediet. Proses ini akan terus berlangsung karena ketersediaan radikal hidroksil, sehingga pada akhirnya radikal-radikal tersebut akan mendegradasi struktur senyawa menjadi lebih sederhana dan pada akhirnya dihasilkan produk-produk mineralisasi di samping H2O dan CO2. Proses mekanisme reaksi utuh yang terjadi dalam zat warna pencemar seperti Rhodamin B dapat diketahui melalui penelitian lebih lanjut. Beberapa parameter tambahan diukur pula dalam penelitian ini, yaitu pH dan konduktivitas larutan Rhodamin B seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengukuran pH dan konduktivitas larutan zat warna pencemar Rhodamin B setiap waktu penyinaran Waktu penyinaran (menit) 0 15 30 60 90 120 180 240 300 360 420 480

pH larutan 7,00 7,07 7,17 7,30 7,46 7,66 7,70 7,9 7,96 8,01 8,04 8,04

Konduktivitas ( x 10-3 Siemens) 0,32 0,31 0,29 0,28 0,26 0,25 0,23 0,22 0,21 0,19 0,17 0,14

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dibuat suatu grafik yang mengalurkan hubungan pH dan konduktivitas larutan seperti terlihat pada Gambar 7 berikut.

PKMP-4-22-10

0,35

8

0,3 k o n d u k ti v i ta s (m S )

8,2

7,8 pH

7,6 7,4 7,2

0,25 0,2 0,15 0,1

7

0,05

6,8

0 0

100

200

300

waktu penyinaran (menit)

400

500

0

100

200

300

400

waktu penyinaran (menit)

Gambar 7. Hubungan antara pH dan konduktivitas larutan dengan bertambahnya waktu penyinaran Melalui persamaan reaksi yang diberikan oleh Wu, dkk., (1999), maka dengan adanya fotokatalis TiO2 tersuspensi dalam larutan maka akan menginisiasi reaksi berantai yang menyebabkan rusaknya struktur sehingga konsentrasi zat warna pencemar Rhodamin B akan menurun. Konduktivitas larutan akan menurun dengan berkurangnya partikel Rhodamin B dalam larutan sehingga pada larutan hasil degradasi tersebut akan diperoleh nilai konduktivitas yang akan semakin menurun dengan bertambahnya waktu penyinaran (lama degradasi), meskipun penurunan konsuktivitas tersebut tidak secara signifikan karena disertai terbentuknya partikel-partikel lain yang lebih kecil sebagai akibat dari reaksi degradasi. Sementara itu, terlihat pada mekanisme reaksi di atas terdapat kebolehjadian terciptanya hidrogen peroksida (H2O2) yang dapat terionisasi menjadi radikal OH dan OH-. Keberadaan OH- tersebut akan menyebabkan naiknya pH larutan, sekalipun tidak secara signifikan. Dalam proses untuk skala insitu maka perlu diketahui mekanisme reaksi degradasi dari zat warna pencemar, di mana parameter kinetika yang telah diketahui melalui penelitian dengan skala laboratorium tersebut akan sangat berguna. Namun, suatu mekanisme reaksi umum dari proses degradasi dapat dituliskan sebagai berikut : +hυ +hυ Zat warna pencemar ⎯TiO2 ⎯⎯ ⎯→ intermediet ⎯TiO2 ⎯⎯ ⎯→ CO2 + H2O + produk lain

Menyimak mekanisme reaksi umum di atas maka dapat diketahui bahwa reaksi degradasi zat warna pencemar dengan menggunakan fotokatalis TiO2 berlangsung dengan baik di bawah paparan sinar ultraviolet. Terjadinya reaksi degradasi ini diindikasikan dengan perubahan warna larutan selama penyinaran. Perubahan warna larutan disebabkan rusaknya gugus-gugus kromofor yang terdapat dalam zat warna pencemar akibat serangan radikal hidroksil yang sangat reaktif. Radikal hidroksil itu sendiri terbentuk akibat pelepasan satu elektron dari ion hidroksida untuk mengisi lubang positif (h+) pada pita valensi TiO2 yang mengabsorbsi sinar ultraviolet.

500

PKMP-4-22-11

Pemanfaatan TiO2 sebagai fotokatalis ini lebih lanjut dapat direkomendasikan sebagai salah satu metode terapan dalam pengolahan limbah yang terkandung zat warna pencemar, tentunya dengan tetap melihat aspek kinetika dan mekanisme reaksi degradasi yang ada. Selain itu, aplikasi keilmuan yang dapat diperoleh dari kemampuan fotokatalis TiO2 ini adalah melalui penelitian lebih lanjut terhadap reaksi degradasi zat warna pencemar dengan menggunakan konfigurasi reaktor yang lain, yaitu reaktor sistem terimobilisasi. Dalam reaktor tersebut TiO2 sebagai fotokatalis tidak langsung disuspensikan ke dalam larutan namun dilapisi dengan lapisan tipis sehingga terhindar dari kesulitan untuk memperoleh kembali TiO2. KESIMPULAN Sebagai kesimpulan, maka dapat diketahui nilai beberapa parameter kinetika dalam reaksi degradasi larutan Rhodamin B, yaitu : 1) Massa efektif fotokatalis TiO2 untuk mendegradasi Rhodamin B 25 mg/L adalah 88 mg untuk 50 mL; 2) Waktu paruh Rhodamin B yang didegradasi secara fotokatalitik oleh TiO2 adalah 886,25 menit; 3) Tetapan laju reaksi degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2 adalah 0,0008 menit-1; 4) Laju degradasi Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2 adalah 0,0194 mg/L menit. Parameter kinetika tersebut berguna untuk mengestimasi proses degradasi larutan Rhodamin B DAFTAR PUSTAKA Andayani W., dan Sumartono A. 1999. Aplikasi Radiasi Pengion dalam Penguraian Limbah Industri. Majalah Batan Online, Vol. XXXII No. ½, Januari/April.(http://www.batan.go.id/pustaka/m-natan/Mb321-2JA99/winarti.htm, diakses tanggal 5 Oktober 2005). Atkins PW. 1997. Kimia Fisika. Edisi keempat. Jilid dua. Jakarta : Erlangga. Bender AE. 1982. Dictionary of Nutrition and Food Technologi. Fifth Edition. Butterworks, London. Cardona SPP. 2001. Coupling Of Photocatalytic And Biological Processes As a Contribution To The Detoxification Of Water : Catalytic And Technological Aspects, Chimiste, Universidad del Valle, Cali, Colombie de nationalite` colombienne. Departemen Kesehatan. 1990. Keputusan Direktur Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia No.00386/C/SK/II/90 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya. Jakarta. Fuh RA., dan Corkan JS. 1998. Photochemistry and Photobiologi, J. Photochem, Vol. 68. 141-142. Fujishima A., dan K. Honda. 1972. Electrochemical Photolysis of Water at a semicondustor Electrode. Nature, 238, 37-38. Gerischer H. 1991. Electron-Transfer Kinetics of Redoks Reaction at The Semiconductor Electrolyte Contact, A New Approach. J. Physc. Chem, 95, 1356-1359. Gunlazuardi J. 2001 Fotokatalisis pada Permukaan TiO2 : Aspek Fundamental dan Aplikasinya. Jakarta : Jurusan Kimia F-MIPA Universitas Indonesia. (http://www.chem.ui/ac.id./riset, diakses 1 Maret 2005).

PKMP-4-22-12

Hashim HAA., Mohammed AR., dan Teong LK. 2001. Solar Photocatalytic Degradation of Tatrazine Using Titanium Dioxide. J. Technology, 35(F), 31-40. Legrini O., E. Oliveros., dan AM. Braun. 1993. Photochemical Processes for Water Treatment. Chem. Rev., 93, 671. Linsebigler AL., Lu GQ., dan Yates Jr JT. 1995. Photocatalysis on TiO2 surfaces principles, mechanism, and selected results. J, Chem, Rev., 95, 735. Parcherancier JP. 1995. Semiconductor-sensitized Photodegradation of Pestisides in Water: The Case of Carbetamide. Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, 87, 261-266. Poulios I., Micropoulou E., Panou R., dan Kostopoulou E. 2002. Photooxidation of Eosin Y in the Presence of Semiconducting Oxides. Applied Catalysis B: Envirinmental 41 (2003) 345-355. Shi DY., Feng S., dan Zhong. 2004. Photocatalitic Convertion of CH4 and CO2 Oxygenated Compoun over Cu/CdS-TiO2/SiO2 Catalyst. Catalyst Today, 98, 505-509. Tjahjanto RT., dan Gunlazuardi J. 2001. Preparasi Lapis tipis TiO2 sebagai Fotokatalisis: keterkaitan antara Ketebalan dan Aktivitas Fotokatalis. Makara: Sains, J. Penelitian Universitas Indonesia, 5(2): 81-91. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Wu T., Liu G., dan Zhao J. 1999. Evidence for H2O2 Generation during the TiO2Assisted Dhotodegradation of Dyes in Aqueous Dispersions under Visible light Illumination. J. Phys, Chem B , 103, 4862-4867. Zhou S., dan AK. Ray. 2003. Kinetic Studies for Photocatalytic Degradation of Eosin B on a Thin Film of Titanium Dioxide. Ind. Eng. Chem. Res. 42, 6023-6024. http://www.uni-siegen.de/dept/fb08/studium/pcfprakt/pics/rhodaminb.gif, diakses 15 Maret 2005.

PKMP-4-23-1

PROGRAM APLIKASI ORDER PENJUALAN MENGGUNAKAN WEB ORDER DAN PROGRAM APLIKASI PEMPROGRAMAN GUNA MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PELAKSANAAN ORDER PENJUALAN PADA PT. INDOMURNI DAIRY INDUSTRY Sunan Nur Huda Politeknik Negeri Malang, Malang ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-5-1-1

PEMANFAATAN SENYAWA DIFENILTIMAH DISALISILAT UNTUK MENGATASI PENYAKIT PANU Sri Ayu Dewi, Fatirissia, Puguh Supriyanto Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung, Lampung ABSTRAK Sintesis senyawa difeniltimah(IV) diftalat telah dilakukan dengan mereaksikan difeniltimah(IV) diklorida dengan asam ftalat melalui senyawa antara difeniltimah(IV) dihidroksida. Persentase produk yang dihasilkan adalah 96,87%. Produk yang dihasilkan pada tiap tahapannya dikarakterisasi dengan spektroskopi UV-Vis dan FTIR. Senyawa difeniltimah(IV) diftalat ini diperkirakan memiliki aktivitas antifungi yang dapat mengatasi penyakit panu yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur . Uji aktivitas antifungi dilakukan terhadap senyawa difeniltimah(IV) disalisilat, difeniltimah(IV) dihidroksida, difeniltimah(IV) diklorida dan asam salisilat dengan menggunakan 2 metode, yaitu metode difusi dan dilusi. Kata kunci: organotimah, karboksilat, spektroskopi, antifungi, Malassezia Furfur PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara beriklim tropis merupakan tempat yang memenuhi syarat bagi penyakit kulit untuk berkembang dengan baik. Panu atau Pityriasis versicolor adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur panu (Malassezia furfur), karena jamur ini mengeluarkan asam azeleat yang mengganggu proses pembentukkan melanin kulit sehingga timbul hipopigmentasi. Pertumbuhan Malassezia furfur (jamur panu) pada kulit remaja dan orang dewasa terdapat pada wajah, leher atau punggung dan tampak bercak-bercak putih. Penyakit panu ini mudah menular dan terasa gatal bila berkeringat. Keberadaan penyakit panu dapat mengurangi rasa percaya diri bagi penderitanya, apalagi bila penyakit panu tersebut terdapat pada bagian muka.6 Telah diupayakan berbagai jenis obat untuk mengatasi penyakit panu, baik obat-obatan dari bahan alami maupun dari bahan kimia sintetik. Pengobatan secara alami yang umum digunakan misalnya dari lengkuas dan daun ketepeng, pengobatan secara alami sulit dilakukan umumnya bagi masyarakat perkotaan karena bahan-bahan tersebut sulit ditemukan didaerah perkotaan, dan juga pengobatan secara alami tidak memberikan efek penyembuhan secara langsung, bahkan dapat menimbulkan penyakit kulit lain bila pemakaiannya tidak sesuai misalnya timbulnya penyakit kurap atau kudis, sedangkan pengobatan dengan mengunakan bahan-bahan kimia sintetik seperti Kalpanax, Canastan dan Fungiderm memang secara uji klinis dapat mengatasi penyakit panu namun terkadang pada prakteknya masih kurang efektif untuk mengatasi penyakit panu. Senyawa organologam adalah salah satu jenis senyawa kimia yang banyak digunakan dalam bidang medis dan pertanian, misalnya sebagai anti kanker, anti mikroba dan anti jamur. Salah satu senyawa organologam yang diketahui memiliki aktivitas biologi adalah senyawa turunan organotimah. Sebagian besar senyawa organotimah bersifat toksik walaupun pada konsentrasi kecil.

PKMP-5-1-2

Aktivitas biologi ini ditentukan oleh jumlah gugus organik yang terikat pada atom pusat Sn.3 Asam salisilat merupakan jenis asam karboksilat yang memiliki aktivitas antijamur dan juga dikenal sebagai komposisi utama pada obat-obatan yang sering digunakan untuk mengatasai penyakit kulit, seperti Salep 88. Sifat antijamur dari asam salisilat ditentukan oleh gugus fenol pada senyawa tersebut. Pada konsentrasi 1%, phenol bersifat antibakteri, sedangkan pada konsentrasi diatas 1,3%, phenol bersifat antifungi 2, sehingga apabila penggunaan asam ini dikombinasikan dengan senyawa organotimah diharapkan sifat antijamur dari senyawa yang dibuat semakin meningkat. Rumusan Masalah Membuat obat baru yang diharapkan memiliki kemampuan yang lebih efektif (kuat) untuk mengatasi penyakit panu, dibandingkan dengan obat yang telah ada. Dimana jenis obat yang akan dibuat tidak hanya terdiri dari asam salisilat (senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk membunuh jamur) tetapi akan dikombinasikan dengan senyawa orgatotimah (difeniltimah) yang juga memiliki kemampuan untuk membunuh jamur. Tujuan Program Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menambah ilmu pengetahuan bagi peneliti khususnya dibidang organotimah. 2. Memberikan obat alternatif yang lebih efektif untuk mengatasi penyakit panu bagi penderita. Luaran Yang Diharapkan Luaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah mendapatkan produk yang dapat digunakan untuk mengobati panu. Kegunaan Program Memberikan sumbangan pengetahuan tentang pembuatan senyawa difeniltimah disalisilat (C6H4)2Sn(OOCR)2 (R= asam salisilat), serta memberikan informasi tentang respon morfologis jamur panu (Malassezia furfur) setelah perlakuan dengan senyawa difeniltimah dikarboksilat. METODE PENDEKATAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret hingga Juni 2006 di Laboratorium Kimia Organik FMIPA Unila (dilakukan sintesis) dan Laboratorium Botani FMIPA Unila (akan dilakukan uji aktifitas antifungi), sedangkan karakterisasi sampel dilakukan di Laboratorium Puspiptek Serpong. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peralatan gelas yang biasa dipakai di laboratorium (gelas piala, gelas ukur, pengaduk magnetik dan

PKMP-5-1-3

lain-lain), cawan petri, paper disk, kertas saring whatman No. 42, kaca preparat, hot plate, spektrofotometer UV-Vis Hitachi model 150/20 dan spektrofotometer FT-IR. Bahan-bahan yang digunakan adalah zat-zat kimia dengan kualitas p.a (Pro Analysis) yang terdiri dari: (C6H5)2SnCl2, NaOH, metanol, DMSO (dimetil sulfoksida), akuades, akuabides dan asam salisilat serta PDA (Potato Dextrose Agar). Prosedur Penelitian a. Pembuatan Senyawa Difeniltimah Oksida (C6H5)2SnO 3,03924 gram difeniltimah diklorida direaksikan dengan 0,8 gram NaOH dalam pelarut metanol kering, sehingga terjadi penggantikan klor dengan oksida sehingga didapatkan difeniltimah oksida. Endapan putih difeniltimah oksida dipisahkan dengan pencucian menggunakaan akuades dan methanol.3 b. Pembuatan Senyawa Difeniltimah Disalisilat Sintesis ini dilakukan dengan mereaksikan dibutiltimah oksida dengan asam asetilsalisilat, asam salisilat pada perbandingan mol 1 : 2 dalam pelarut metanol kering. Kemudian direfluks dengan variasi waktu 2, 3, 4 dan 5 jam. Hasil refluks ini kemudian dievaporasi untuk memisahkan endapan dibutiltimah diasetilsalisilat dari campurannya dan direkristalisasi dengan pelarut metanol. c. Analisis Spektroskopi UV-Vis dan FTIR Analisis dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis ini dilakukan pada senyawa awal dibutiltimah diklorida, ligan asam salisilat dan dibutiltimah disalisilat dalam pelarut metanol. Sedangkan analisis spektroskopi FTIR dilakukan pada difeniltimah diklorida, difeniltimah oksida, asam salisilat dan difeniltimah disalisilat. Analisis dengan menggunakan alat ini bertujuan untuk mengetahui apakah senyawa yang dibuat telah benar-benar terbentuk. d. Uji Aktifitas Antijamur 1. Metode Tabur Langsung (in vitro ) Pada setiap 10 ml medium agar PDA dalam cawan petri ditanamkan isolat Fusarium oxsyporum, Kemudian diletakkan difeniltimah disalisilat pada 3 posisi dalam medium agar tersebut. Lalu diinkubasi selama 7 hari pada temperatur kamar dan diamati setiap hari. 2. Metode Tabur Langsung (in vivo) Senyawa difeniltimah disalisilat dioleskan pada bagian tubuh yang terkena penyakit panu dengan pariasi senyawa 0.01 gram, 0.02 gram dan 0.03 gram. PEMBAHASAN Sintesis Senyawa Difeniltimah Oksida Pembuatan senyawa difeniltimah oksida dilakukan dengan mencampurkan 6,876 g (0,02 mol) difeniltimah diklorida dan 1,6 g (0,04 mol) natrium hidroksida dalam pelarut metanol. Campuran distirrer selama 90 menit hingga terbentuk endapan berwarna putih. Endapan disaring dengan kertas saring Whatman No.

PKMP-5-1-4

42, lalu dicuci dengan aquabides untuk menghilangkan natrium klorida (NaCl) yang masih terdapat pada endapan. Selanjutnya endapan dicuci dengan metanol yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa organik. Dari sintesis ini diperoleh endapan putih sebanyak 6,134 g. Senyawa difeniltimah oksida dihasilkan melalui beberapa intermediet seperti di bawah ini 4 : OH -H+

NaOH

R2SnX2

-X⎯

R2Sn

OH⎯

XR2SnOSnR2X

-X⎯

XR2SnOSnR2OH -H+

X R2SnO Mekanisme pembentukkan difeniltimah oksida diawali dengan penggantian ligan Cl- oleh OH- yang kemudian mengalami serangkaian tahap intermediet sehingga terbentuk senyawa difeniltimah oksida. Kemampuan suatu ligan untuk dapat menggantikan ligan yang lainnya dipengaruhi oleh kekuatan ligan. Ligan yang lebih kuat dapat menggantikan ligan yang lebih lemah. Ligan lemah memiliki elektron bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan ligan kuat, akibatnya interaksi antara ligan dengan atom pusat lebih sedikit dan kekuatan ikatannya juga kecil, sehingga senyawa kompleks dengan ligan lemah dapat digantikan oleh ligan kuat. Beberapa ligan dapat dideretkan dalam suatu seri sesuai dengan kekuatan medannya. Deret kekuatan ligan dinyatakan sebagai berikut : CO~CN->NO2->bipiridin>etilen diamin>NH3~piridin>NCS>H2O>RCO2->OH->F>Cl->Br->I-).4 Menurut Purcell 7, ligan lemah terjadi bila memiliki karakter ikatan sigmanya (σ) lemah atau aseptor σ dan merupakan donor (π) yang kuat. Sedangkan ligan kuat terjadi bila memiliki karakter donor σ yang kuat dan sebagai aseptor π yang kuat. Urutan kekuatan ligan dapat dinyatakan sebagai berikut : Halogen < Oksigen < Nitrogen < Karbon. Berdasarkan urutan kekuatan ligan di atas, terlihat bahwa kekuatan ligan karbon lebih besar dibandingkan dengan oksigen dan kekuatan ligan oksigen lebih besar dibandingkan ligan klorida. Jadi dalam sintesis ini fenil (ligan karbon) tidak dapat digantikan oleh OH (ligan oksigen) sedangkan OH dapat menggantikan Cl (ligan halida). Untuk meyakinkan bahwa endapan yang terbentuk adalah senyawa difeniltimah oksida, maka hasil yang didapat dianalisis dengan spektrofotometer FT-IR dan UV. Sebagai pembanding keberhasilan sintesis, digunakan senyawa awal (ligan awal) difeniltimah diklorida. Pengukuran FT-IR dilakukan pada panjang gelombang 4000-400 cm-1. Spektrum FT-IR dari senyawa difeniltimah diklorida dan senyawa yang diperoleh dari hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

PKMP-5-1-5

Gambar 1. Spektrum FT-IR senyawa difeniltimah diklorida

Gambar 2. Spektrum FT-IR senyawa yang diperoleh dari hasil sintesis Analisis spektrofotometer IR untuk senyawa difeniltimah oksida dipakai untuk melihat adanya puncak-puncak Sn-O, alkil dan hilangnya puncak pada daerah Sn-Cl yang dibandingkan dengan senyawa difeniltimah diklorida sebagai senyawa awal. Serapan-serapan tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Serapan gelombang radiasi FT-IR senyawa difeniltimah diklorida (ligan awal) dan senyawa hasil sintesis. Bilangan gelombang difeniltimah Serapan diklorida (cm-1) Sn-Cl 346,3 Sn-O Fenil 1479,7; 1430,2; 728,1 O-H -

Bilangan gelombang senyawa hasil sintesis (cm-1) 572,6 1480,2; 1427,2; 719,6 3487,8; 3449; 3389,6

Referensi (cm-1) 390-320 600-500 1479; 1428; 729 3300-3700

Spektrum FT-IR yang diperoleh dari kedua senyawa tersebut memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan. Spektrum FT-IR dari senyawa hasil sintesis tidak lagi menunjukkan serapan Sn-Cl pada daerah 390-320 cm-1

PKMP-5-1-6

seperti pada senyawa difeniltimah diklorida yaitu pada daerah 346,3 cm-1 , serapan tersebut telah diganti oleh serapan Sn-O pada daerah 600-500 cm-1 tepatnya pada daerah 572,6 cm-1 serapan ini menunjukkan telah bergantinya gugus Cl oleh gugus OH, namun pada senyawa hasil sintesis terlihat juga serapan pada daerah 33003700 cm-1 yaitu pada daerah 3487,8 ; 3449,0 dan 3389,6 yang menunjukkan serapan O-H. Dari serapan ini dapat dinyatakan bahwa senyawa yang terbentuk menggandung gugus Sn-OH sedangkan senyawa yang diharapkan hanyalah gugus Sn-O. Proses intermediet pembentukkan senyawa difeniltimah oksida terdapat kemungkinan terbentuknya senyawa difeniltimah hidroksida. Hal ini dapat terjadi bila gugus hidroksida yang menggantikan Cl, membentuk jembatan dengan Sn tanpa melepaskan atom hidrogennya. Dari informasi tersebut dapat diperkirakan bahwa senyawa yang terbentuk adalah difeniltimah dihidroksida. Dengan pertimbangan bahwa senyawa kompleks yang diharapkan pada akhir sintesis ini yaitu senyawa difeniltimah disalisilat selain dapat diperoleh melalui senyawa oksida, juga dapat diperoleh melalui senyawa hidroksida maka hasil dari sintesis ini masih dipakai untuk sintesis berikutnya. Selain dengan spektrum FT-IR identifikasi senyawa yang diperoleh juga dilakukan dengan spektrum UV, sebagai pembanding juga digunakan ligan awal (difeniltimah diklorida). Pengukuran UV untuk senyawa difeniltimah diklorida dan difeniltimah hidroksida ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Spektrum UV senyawa difeniltimah diklorida

Gambar 4. Spektrum UV senyawa difeniltimah dihidroksida

PKMP-5-1-7

Hasil pengukuran UV (Gambar 3 dan 4) memperlihatkan panjang gelombang maksimum ( λmak ) untuk difeniltimah dihidroksida 289,6 nm sedangkan difeniltimah diklorida terukur pada panjang gelombang 288,4 nm, hal ini menunjukkan bahwa perubahan difeniltimah diklorida menjadi difeniltimah dihidroksida terjadi pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih panjang (pergeseran merah / batokrom) yaitu sebesar 1,2 nm. Pergeseran ke arah panjang gelombang lebih panjang (pergeseran merah) dapat terjadi karena adanya pengaruh pelarut atau suatu ausokrom. Pergeseran merah sebesar 1,2 nm pada perubahan difeniltimah diklorida menjadi difeniltimah dihidroksida ini terjadi karena pengaruh ausokrom. Karena pelarut yang digunakan pada pengukuran ini sama yaitu metanol, jadi pelarut tidak berpengaruh pada pergeseran merah ini. Pengaruh auksokrom ini dapat dilihat bahwa pada difeniltimah dihidroksida mengandung gugus OH yang memiliki panjang gelombang lebih panjang dibandingkan gugus Cl pada difeniltimah diklorida.8 Senyawa yang digunakan pada pengukuran UV ini dilarutkan dalam metanol kering dengan konsentrasi 10-4 M. Dengan menggunakan persamaan Lambert-Beer, dari nilai konsentrasi ini dapat diperoleh masing-masing nilai ekstingsi molarnya (ξ), yaitu 1540 L mol-1cm-1 untuk difeniltimah diklorida, 1550 L cm-1 mol-1 untuk difeniltimah dihidroksida. Diketahui bahwa pada nilai ekstingsi molar 10 – 102 L mol-1cm-1 terjadi transisi elektron pada orbital n - π*, 102 - 3.103 L mol-1cm-1 terjadi transisi elektron pada orbital n - σ* serta pada 103 – 104 L mol-1cm-1 terjadi transisi elektron pada orbital π - π*. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada difeniltimah diklorida dan difeniltimah hidroksida terjadi transisi elektron n - σ* dan π - π* yaitu transisi elektron π aromatik dari gugus fenil dan elektron n menyendiri dari gugus Cl maupun OH.5 Dari analisis dengan spektrofotometer FT-IR dan UV, belum dapat ditentukan struktur senyawa yang dihasilkan, namun dari hasil penelitian terdahulu (Azizah, 2001) dikemukakan bahwa diorganotimah diklorida berupa polimer dengan bentuk geometri oktahedral (sp3d2). Polimer ini terjadi karena pada diorganotimah diklorida terdapat atom Cl yang elektronegatif dan memiliki lebih dari satu pasang elektron bebas. Sehingga pada saat satu pasang elektron bebas pada Cl digunakan untuk berikatan dengan logam Sn, maka satu pasang elektron bebas lain dapat digunakan juga oleh Cl untuk berikatan dengan logam Sn lain. Struktur difeniltimah diklorida dapat dilihat pada Gambar 5. R

R Cl

Cl Sn

Sn

R

Keterangan

: R = fenil

Cl

R

Sn

Sn Cl

Cl

R

R

Cl R

R

Gambar 5. Struktur polimer difeniltimah diklorida

PKMP-5-1-8

Difeniltimah dihidroksida strukturnya juga berupa polimer, hal ini terjadi karena difeniltimah dihidroksida juga mengandung atom O yang bersifat elektronegatif yang mempunyai lebih dari satu pasang elektron bebas. Setelah satu pasang elektron bebas digunakan untuk berikatan dengan logam Sn, maka seperti pada difeniltimah diklorida, atom oksigen ini menggunakan kelebihan pasangan elektron bebasnya untuk berikatan dengan Sn. Sehingga terbentuk struktur polimer dengan jembatan dimer OH.9 Struktur polimer untuk senyawa difeniltimah dihidroksida ditunjukkan pada Gambar 6. Ph H Ph O Sn

Sn O H

Ph

Ph

Gambar 6. Struktur polimer difeniltimah dihidroksida Sintesis Senyawa Difeniltimah Disalisilat Senyawa difeniltimah disalisilat diperoleh dengan cara mereaksikan 0,3067 g (0,001 mol) difeniltimah dihidroksida (yang didapat dari sintesis awal) dengan 0,276 g asam salisilat didalam pelarut metanol dengan variasi waktu refluks yang berbeda-beda, yaitu 2, 3, 4 dan 5 Jam dengan suhu konstan 60˚C . Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : (C6H5)2Sn(OH)2 + 2(C6H4)COOHOH

(C6H5)2Sn(OCOC6H4OH)2 + H2O

Pada reaksi ini terjadi penggantian gugus hidroksida oleh gugus karboksilat sehingga terbentuk senyawa organotimah karboksilat yaitu senyawa difeniltimah disalisilat. Proses penggantian gugus hidroksida oleh gugus salisilat dapat dilihat sebagai reaksi esterifikasi, yaitu reaksi pembentukkan ester dari suatu asam karboksilat dengan suatu alkohol. Dalam hal ini asam salisilat tidak dapat menggantikan gugus fenil karena gugus fenil cukup besar dan meruah sehingga rintangan steriknya besar, jadi reaksi esterifikasinya terbentuk dengan penggantian gugus OH oleh gugus salisilat membentuk difeniltimah disalisilat. Dari empat variasi waktu refluks yang digunakan, diperoleh hasil endapan seperti pada Tabel 2 : Tabel 2. Pengamatan waktu refluks terhadap pembentukan difeniltimah disalisilat pada suhu 60ºC Waktu refluks (jam)

Berat difeniltimah Persen disalisilat (gram) disalisilat

2

0,5080

92,92%

3

0,5117

93,59 %

difeniltimah

PKMP-5-1-9

4 5

0,5296 0,5012

96,87 % 91,67 %

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa difeniltimah disalisilat yang dihasilkan meningkat jumlahnya dengan peningkatan waktu refluks 2 sampai 4 jam, tetapi kembali turun pada waktu 5 jam. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi sempurna sintesis difeniltimah disalisilat terjadi pada waktu refluks 4 jam. Difeniltimah disalisilat hasil sintesis ini berupa kristal berwarna putih. Untuk membuktikan senyawa yang dihasilkan adalah difeniltimah disalisilat maka dilakukan identifikasi dengan spektrum FT-IR dan UV. Sebagai pembanding digunakan asam salisilat dan difeniltimah dihidroksida (Gambar 2). Hasil pengukuran dengan spektrum FT-IR untuk senyawa difeniltimah disalisilat dan asam salisilat dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Pengukuran ini memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan antara senyawa ligan dan senyawa kompleksnya. Hasil serapan yang karakteristik dari senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.

Serapan FT-IR karakteristik dari senyawa difeniltimah disalisilat (DFTA), asam salisilat dan difeniltimah dihidroksida (DFTOH).

Tipe Serapan

Jenis Senyawa

(cm-1)

DFTA

Asam Salisilat

DFTOH

Sn-O

550

-

Fenil

1430; 759,95

-

572,6 1480,2; 719,6

C=O

1660,71

O-H

3240,41

C=C

1480

C-O

1249,87

Referensi

1662,3 3232,7 1445 1297,6

-

(cm-1) 500-600 1479; 1428; 729 1740-1650 2860-3300 1650-1450 1320-1210

Pada spektrum asam salisilat menunjukkan serapan karakteristik untuk senyawa karboksilat yaitu serapan vibrasi ulur dari gugus C=O pada daerah 1662,3 cm-1, serapan dari gugus O-H yang sangat terbedakan pada daerah sekitar 3300 cm-1 yang sangat lebar. Serapan ini sangat lebar dan berbeda dengan spektrum pada alkohol hal ini disebabkan karena asam salisilat membentuk dimmer berdasarkan ikatan hidrogen.5 Serapan C=C aromatik dari gugus benzen terlihat pada daerah 1480 cm-1 dan serapan C-O pada daerah 1249,87 cm-1. Tipe serapan yang terjadi pada asam salisilat juga terlihat pada senyawa kompleks difeniltimah disalisilat yaitu serapan vibrasi ulur dari gugus C=O pada daerah 1660,71 cm-1, serapan C=C aromatik dari gugus benzen pada daerah 1480 cm-1 dan serapan C-O pada daerah 1249,87 cm-1 perbedaannya pada senyawa difeniltimah disalisilat juga terlihat serapan karakteristik dari gugus-gugus pada senyawa difeniltimah dihidroksida, seperti serapan Sn-O pada 500-600 cm-1 yaitu tepatnya pada daerah 550 cm-1 dan serapan fenil pada daerah 1430 cm-1 dan 759,95 cm-1.

PKMP-5-1-10

Pada spektrum difeniltimah disalisilat memperlihatkan serapan O-H pada daerah 3240,41 cm-1 yang tidak lagi melebar seperti pada ligan asam salisilat, hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen dari O-H karboksil asam salisilat, dimana pasangan elektronnya masuk dan berkoordinasi dengan Sn 3 Masih adanya pita serapan ulur O-H kemungkinan disebabkan oleh gugus O-H pada ligannya yang tidak ikut berkoordinasi dengan Sn.

Gambar 7. Spektrum FT-IR difeniltimah disalisilat

Gambar 8. Spektrum FT-IR asam salisilat Selain menggunakan spektrum FT-IR juga dilakukan identifikasi dengan menggunakan spektrum UV, sebagai pembanding keberhasilan sintesis ini, digunakan spektrum UV dari senyawa awal yaitu asam salisilat (Gambar 10) dan difeniltimah dihidroksida (Gambar 3). Spektrum UV dari senyawa difeniltimah disalisilat ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil spektrum UV diperoleh panjang gelombang maksimum ( λmak ) untuk difeniltimah disalisilat sebesar 302,4 nm (Gambar 9) sedangkan asam salisilat 300 nm (Gambar 10). Spektrum ini memperlihatkan bahwa terjadi pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih panjang pada difeniltimah disalisilat yaitu sebesar 2,4 nm. Seperti dijelaskan pada pembahasan UV untuk difeniltimah dihidroksida pergeseran kearah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan karena pengaruh pelarut atau auksokrom. Karena pada

PKMP-5-1-11

sintesis ini juga digunakan pelarut yang sama yaitu metanol maka yang berpengaruh disini adalah auksokrom.

Gambar 9. Spektrum UV difeniltimah disalisilat

Gambar 10. Spektrum UV asam salisilat Dari struktur senyawa difeniltimah disalisilat dapat dilihat senyawa difeniltimah disalisilat mengandung dua gugus fenil (elektron π aromatik ) dan gugus benzen (elektron π aromatik) sedangkan asam salisilat hanya mengandung satu gugus benzen, secara teori senyawa yang memiliki banyak elektron π aromatik mengalami transisi elektron dari π- π* dimana transisi ini hanya membutuhkan energi yang kecil. Sesuai dengan hukum Lambert-Beer energi berbanding terbalik dengan panjang gelombang, maka pada energi yang kecil akan menghasilkan panjang gelombang yang besar. Pergeseran panjang gelombang yang kecil hanya 2,4 nm dapat terjadi karena pada senyawa difeniltimah disalisilat tidak lagi mengalami konjugasi elektron π seperti pada asam salisilat karena elektron bebas pada atom O karbonil telah berikatan dengan Sn, dimana adanya konjugasi elektron π akan memperkecil energi transisi (panjang gelombangnya besar), namun hal itu tidak terjadi lagi pada difeniltimah disalisilat. Bila dibandingkan terhadap difeniltimah dihidroksida λmak = 289,6 nm (Gambar 3), panjang gelombang difeniltimah disalisilat juga mengalami perubahan kearah panjang gelombang yang lebih panjang yaitu sebesar 12,8 nm. Ini dapat terjadi karena gugus auksokrom OH digantikan dengan anion salisilat

PKMP-5-1-12

yang mengandung elektron π aromatik. Dimana elektron π aromatik mengalami transisi elektron dengan energi lebih kecil (π - π*) dibandingkan dengan gugus OH pada difeniltimah dihidroksida yang mengalami transisi elektron dari n - σ* yang membutuhkan energi yang besar. Dengan persamaan Lambert-Beer dihitung nilai ekstingsi molarnya (ξ). Nilai ekstingsi molar (ξ) dapat menunjukkan tipe transisi yang terjadi dari senyawa tersebut. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai ekstingsi molar (ξ) untuk difeniltimah disalisilat dan asam salisilat yaitu 7760 dan 4040 L cm-1mol-1. Nilai ini menunjukkan transisi elektron yang terjadi adalah transisi dari π - π* dan n σ* yaitu transisi elektron π aromatik dari gugus fenil maupun benzen dan elektron n menyendiri dari gugus OH.5 Dari analisis kedua spektrofotometer tersebut dapat diperkirakan bahwa senyawa yang disintesis adalah difeniltimah disalisilat. Hasil analisis dengan spektrofotometer FT-IR dan UV tidaklah cukup untuk menentukan struktur senyawa yang dihasilkan, dengan melihat konfigurasi elektron atom timah Sn dan ligan yang terlibat, struktur difeniltimah disalisilat dapat ditentukan. Diagram orbital valensi Sn4+ adalah sebagai berikut : Sn4+(Kr) 4d

5s

5p

5d

Pada diagram tersebut, orbital 5d dari Sn masih dapat menerima pasangan elektron dari suatu ligan dan berpeluang membentuk bilangan koordinasi 5, 6 bahkan 7 dengan jalan membentuk polimer melalui jembatan atom O dari karboksil. Ligan yang terlibat yaitu asam salisilat dapat menyumbangkan pasangan elektronnya melalui dua atom O karboksilnya. Gugus OH yang berkedudukan ortho dari dari gugus karboksil berpeluang kecil untuk ikut berkoordinasi karena adanya halangan sterik. Hal ini dapat dilihat dari spektrum FT-IR difeniltimah disalisilat yang menunjukkan serapan pita serapan ulur O-H. R' C

R

O

O

Sn

Sn O

R Keterangan

R

O C R'

R

: R’ = salisilat R = Fenil Gambar 11. Struktur polimer difeniltimah disalisilat.

PKMP-5-1-13

Pelarut yang digunakan dalam sintesis ini yaitu metanol juga berpeluang untuk berkoordinasi dengan Sn, namun karena asam salisilat lebih bersifat asam (mudah melepaskan atom H) dibandingkan metanol maka asam salisilat lebih mudah bereaksi dengan atom Sn. Jadi bilangan koordinasi yang mungkin untuk Sn dalam difeniltimah disalisilat adalah 6, yaitu 2 dari gugus fenil dan dan 4 dari gugus salisilat yang membentuk jembatan dengan hibridisasi sp3d2 (Oktahedral). Struktur polimer difeniltimah disalisilat dapat dilihat pada Gambar 11. DAFTAR PUSTAKA 1. Azizah, N. 2001. Sintesis Secara Langsung dan Karakterisasi Dibenziltimah Diklorida dan Tribenzoiltimah Klorida. Skripsi FMIPA UI. 2. Bonire, J.J., G.A. Ayoko., P.F. Olurinola., J.O. Ehinmidu., N.S.N. Jalil., A.A. Omachi. 1998. Synthesis and Antifungal Activity of Some Organotin(IV) Carboxylates. Applied Organometallic of Chemistry, Vol 5, No 4. 3. Brahmanawati, J. 1999. Sintesa dan Karakterisasi Senyawa Dibutiltimah DiBenzoat. Skripsi Jurusan Kimia FMIPA. Universitas Indonesia. Jakarta. 4. Cotton, F.A and G. Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Terjemahan oleh S. Suharto. UI Press. Jakarta. 5. Fessenden, R.J dan J.S. Fessenden. 1996. Kimia Organik Dasar. Jilid 2. Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta. 6. Mulyati Students dan Syarifuddin. 1995. Pityriasis Versicolor dan Masalahnya. Majalah Parasitologi Indonesia. Vol 8. Jakarta. Hal 27-29. 7. Purcell, K.F. and F. Keith. 1980. An Introduction to Inorganic Chemistry. Sounders College. Philadelphia. 8. Sudjadi. 1985. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Ghalia. Indonesia 9. Sumadyo, I.M. 2003. Sintesa dan Karakterisasi Senyawa Dibutiltimah Dibenzoat. Skripsi Jurusan FMIPA. Universitas Indonesia. Jakarta. 10. Willkinson dan Sir Geofery. 1982. Comprehensive Organometallic Chemistry, International tin research Institute. Publication No. 618. Pergamon Press.

PKMP-5-2-1

FREKUENSI SIULAN LUMBA-LUMBA HIDUNG BOTOL (Tursiops sp.) SAAT BERENANG BERSAMA ANAK-ANAK DI GELANGGANG SAMUDERA JAYA ANCOL TAMAN IMPIAN JAYA ANCOL Alfrido Marlianno, Ika Mustika A., Linda Retnawaty, Yudha Fariska PS Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Depok ABSTRAK Penggunaan lumba-lumba hidung botol sebagai hewan penghibur dan media pembantu dalam terapi penyakit semakin meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan perilaku lumba-lumba hidung botol. Perubahan tersebut dapat diketahui dari perubahan frekuensi siulan dan klik lumba-lumba hidung botol. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan frekuensi siulan dan klik lumba-lumba hidung botol saat berenang bersama anak-anak dengan kondisi normal (BDL), anak-anak dengan kondisi khusus (TDL), dan saat tidak berenang bersama anak-anak (tidak ada gangguan) di Gelanggang Samudera Jaya Ancol. Penelitian ini dilakukan dengan merekam suara lumba-lumba hidung botol. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa lumbalumba hidung botol istirahat dan tidur saat keadaan normal, berenang cepat di bawah permukaan air ketika BDL, dan mengambang dekat dengan para pasien saat TDL. Jumlah siulan dan klik saat keadaan normal sebanyak 10 siulan dan 22 klik. Jumlah siulan dan klik saat BDL sebanyak 9 siulan dan 13 klik. Jumlah siulan dan klik saat TDL sebanyak 45 siulan dan 32 klik. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat keadaan normal berturut-turut berkisar 2.543--4.949 Hz dan 36--2.911 Hz. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat BDL berturut-turut berkisar 2.323--6.887 Hz dan 585--7.929 Hz. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat TDL berturut-turut berkisar 1.387--5.292 Hz dan 308--6.990 Hz. Kata kunci: berenang dengan lumba-lumba hidung botol; klik; siulan; terapi dengan lumba-lumba hidung botol; Tursiops sp. PENDAHULUAN Lumba-lumba merupakan hewan yang sering mengeluarkan suara. Suara tersebut keluar melalui blowhole. Suara yang sering dikeluarkan adalah berupa siulan (Richardson dkk. 1995: 170). Siulan merupakan salah satu bentuk perilaku dan sarana komunikasi bagi hewan yang hidup berkelompok seperti lumba-lumba. Siulan digunakan sebagai alat komunikasi, navigasi, dan berburu (Berrow dkk. 2002: 4). Lilly dan Miller pada tahun 1961, Tyack pada tahun 1985, M. Caldwell dkk. pada tahun 1990, Schultz dan Corkeron pada tahun 1994, serta Wang Ding dkk. pada tahun 1995 menyatakan bahwa frekuensi siulan yang dikeluarkan lumba-lumba hidung botol berkisar 0,8--24 kHz (lihat Richardson dkk. 1995: 174). Penelitian mengenai siulan lumba-lumba telah dilakukan oleh beberapa peneliti baik dari alam maupun dari kolam penangkaran. Miksis dkk. (2002: 730) meneliti perbedaan frekuensi siulan yang dihasilkan lumba-lumba Tursiops truncatus. Kisaran frekuensi yang dihasilkan T. truncatus yang berasal dari alam adalah 5024--18216 Hz dan dari kolam penangkaran adalah 4328--14048 Hz.

PKMP-5-2-2

Cole pada tahun 1996 dan Birch pada tahun 1997 menyatakan bahwa sinyal ultrasonik yang berasal dari proses ekolokasi lumba-lumba dapat menstimulasi sistem endokrin manusia (lihat Brensing 2004: 12). Brensing (2004: 13) meneliti frekuensi suara yang dikeluarkan lumba-lumba hidung botol, T. truncatus, terhadap sejumlah kelompok anak-anak dalam program berenang bersama. Hasil penelitian mengenai frekuensi suara yang dikeluarkan adalah sebesar 120 kHz. Gelanggang Samudera Taman Impian Jaya Ancol merupakan salah satu tempat rekreasi dan penangkaran lumba-lumba di Indonesia, serta berfungsi sebagai sarana konservasi. Jenis lumba-lumba yang dimiliki oleh Gelanggang Samudera Jaya Ancol (GSJA) adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops sp.) (Klinowska 1995: 27--28; Priyono 2001: 4&10; Culik 2003: 1--3). Lumba-lumba tersebut dipelihara untuk digunakan sebagai hewan pertunjukkan (pentas). Selain untuk pertunjukkan, lumba-lumba pun digunakan dalam program “Berenang Bersama Lumba-lumba”. Program tersebut baru dimulai diawal tahun 2005. Program tersebut ditujukan untuk anak-anak yang berusia dibawah 12 tahun. Program tersebut mempunyai 2 tujuan, yaitu tujuan rekreasi dan kesehatan. Program berenang bersama lumba-lumba yang bertujuan rekreasi adalah berupa kegiatan anak-anak “Berenang dengan lumba-lumba” (BDL). Sedangkan program yang bertujuan untuk kesehatan adalah program “Terapi dengan lumbalumba” (TDL) bagi anak-anak dengan kondisi khusus. Data dan informasi penelitian mengenai lumba-lumba terutama frekuensi siulan lumba-lumba di GSJA belum memadai. Penelitian mengenai frekuensi siulan lumba-lumba hidung botol saat berenang bersama anak-anak di GSJA belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai frekuensi siulan lumba-lumba khususnya saat berenang bersama anak-anak. Penelitian mengenai frekuensi suara lumba-lumba di alam dan di kolam penangkaran telah dilakukan di negara-negara maju, yaitu Amerika Serikat, Australia, dan Skotlandia. Frekuensi yang dihasilkan T. truncatus saat berenang bersama anak-anak dilakukan oleh Brensing pada tahun 2004. Frekuensi suara lumba-lumba saat berenang bersama anak-anak adalah sebesar 120 kHz (Brensing 2004: 12--13). Namun, Brensing tidak meneliti frekuensi siulan yang dikeluarkan oleh T. truncatus saat berenang bersama anak-anak. Rumusan masalah penelitian adalah apakah ada perbedaan frekuensi siulan lumba-lumba hidung botol pada 3 kondisi. Kondisi tersebut adalah saat berenang bersama anak-anak dengan kondisi khusus, saat berenang bersama anak-anak normal dan saat tidak berenang bersama anak-anak. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui perbedaan frekuensi siulan lumba-lumba hidung botol (saat berenang bersama anak-anak dengan kondisi khusus, saat berenang bersama anak-anak normal, dan saat tidak berenang bersama anak-anak). Cole pada tahun 1996 dan Birch pada tahun 1997 menyatakan bahwa sinyal ultrasonik yang berasal dari proses ekolokasi lumbalumba dapat menstimulasi sistem endokrin manusia (lihat Brensing 2004: 12). Hasil atau luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah data kisaran frekuensi siulan lumba-lumba yang diperoleh saat kegiatan berenang bersama anak-anak.

PKMP-5-2-3

Data frekuensi siulan lumba-lumba yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar pembuatan alat fisioterapi bagi anak-anak dengan kondisi khusus. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di kolam Fanta-sea Dolphin Gelangganng Samudera Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Waktu penelitian adalah 4 bulan, terhitung mulai Maret--Juni 2006.

Gambar 1. Lumba-lumba

Gambar 2. Kolam penelitian

Sampel yang digunakan selama penelitian adalah seekor lumba-lumba hidung botol yang telah dilatih bernama Paulina (Gambar 1). Paulina ditangkap di pantai utara Jawa (Pekalongan) pada tanggal 28 Agustus 1993. Morfometri yang terakhir kali dilakukan pada tanggal 20 Mei 2002, Paulina mempunyai berat dan panjang tubuh berturut-turut 90 kg dan 215 cm. Umur Paulina diperkirakan lebih dari 20 tahun. Jadwal makan Paulina mengikuti jadwal TDL dilaksanakan. Bahan yang digunakan adalah 5 buah kaset kosong (Sony HF), tiap-tiap kaset berdurasi 90 menit. Tempat penelitian adalah sebuah kolam dengan ukuran diameter 5 m dan kedalaman 3 m, merupakan sebuah kolam kecil dari satu kolam yang besar. Tiap kolam dibatasi dengan pembatas berupa pagar besi (Gambar 2). Alat lain yang digunakan dalam penelitian adalah headphone (KOSS) (Gambar 3, A), perekam suara (Sony WM-GX100) (Gambar 3, B), hidrofon (Aquarian AQ-3) (Gambar 3, C), komputer (Pentium 4, 1024 RAM, Microsoft Windows XP Proffesional SP1-RU1), dan perangkat lunak Adobe Audition versi 1.5 edisi 30 hari free trial 2006. Berikut adalah cara kerja yang dilakukan dalam penelitian: 1. Perekaman siulan dan klik

Gambar 3. Peralatan penelitian

PKMP-5-2-4

Perekaman siulan dan klik dilakukan secara analog yakni menghubungkan hidrofon dengan alat perekam suara yang berisi kaset. Hidrofon diletakkan ± 50 cm di bawah permukaan air dan sekitar 1--2 m dari lumba-lumba. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan sampel siulan dan klik yang jelas karena hidrofon terletak dekat sumber suara. Siulan dan klik lumba-lumba akan terdengar melalui headphone alat perekam suara. a. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba saat keadaan normal Perekaman siulan dan klik lumba-lumba saat keadaan normal berlangsung saat lumba-lumba tidak berenang bersama anak-anak atau terhindarnya lumbalumba dari kehadiran manusia dan gangguan lainnya. Kondisi tersebut memungkinkan lumba-lumba untuk mengeluarkan siulan dan klik secara alami. Lamanya pengambilan data siulan adalah 5 menit. Pengambilan data dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda. b. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba saat BDL dan TDL Siulan dan klik lumba-lumba direkam saat lumba-lumba berenang bersama satu dari enam anak-anak. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba hidung botol saat BDL dilakukan pada hari yang sama. Perekaman siulan dan klik saat TDL dilakukan pada hari yang berbeda (Gambar 8). Perekaman siulan dan klik saat BDL dan TDL dilakukan dalam 3 periode, yaitu awal, pertengahan, dan akhir. Perekaman siulan dan klik saat periode awal dimulai saat anak-anak dan pasien masuk ke kolam lumba-lumba (5 menit pertama). Perekaman siulan dan klik saat periode pertengahan dimulai pada menit ke-15. Perekaman siulan dan klik periode akhir dilakukan pada menit ke-25, sebelum kegiatan BDL dan TDL berakhir. Lamanya perekaman data siulan dan klik tiap periode adalah 5 menit. Perekaman siulan dan klik lumba-lumba hidung botol saat BDL dan TDL dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali pada hari dan waktu yang berbeda. Pengulangan tersebut dilakukan terhadap tiap anak-anak dan pasien saat BDL dan TDL. 2. Analisis Suara

Gambar 4. Pengambilan data TDL Proses analisis siulan dan klik dilakukan dengan menggunakan Personal Computer (PC) dan Adobe Audition 1.5. Data yang akan diperoleh adalah

PKMP-5-2-5

frekuensi dan intensitas tiap siulan dan klik. Frekuensi yang akan diukur adalah frekuensi maksimum dan minimum. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh berupa jumlah siulan dan klik yang dikeluarkan Paulina serta frekuensinya. Jumlah siulan dan klik serta rerata frekuensi yang dikeluarkan Paulina pada tiga perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Jumlah siulan dan klik serta rerata frekuensinya pada tiap-tiap keadaan. Siulan Perlakuan Keadaan normal BDL TDL

Klik

Jumlah (n)

Rerata frekuensi (kHz)

Jumlah (n)

Rerata frekuensi (kHz)

10

3,186

22

0,325

9 45

3,574 2,774

14 32

3,858 3,096

Frekuensi Siulan Paulina saat Kondisi Normal

Frekuensi Klik Paulina Keadaan Normal

Frekuensi Siulan (H z)

6000 5000 4000 Series1 3000 2000 1000 0 1

2

3

4

5

6

7

Siulan ke-

8

9

10

Fr e k ue ns i E k olok a s i (H z )

7000

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0

Series1

1

4

7 10 13 16 19 22 Ekolokasi ke-

A B Gambar 5. Frekuensi siulan (A) dan klik (B) pada keadaan normal

PKMP-5-2-6

Frekuensi Siulan Paulina saat BDL

Frekuensi Klik Paulina saat BDL

8000

6000 5000 4000

Series1

3000 2000 1000

F rek u e n si E ko lo kasi (H z )

Frekuensi Siulan (H z)

7000

10000 8000 6000 4000 2000 0

0 1

2

3

4

5

6

7

8

Series1

1

9

3

5

7

9

11 13

Ekolokasi ke-

Siulan ke-

A B Gambar 6. Frekuensi siulan (A) dan klik (B) pada saat BDL

Frekuensi Siulan Paulina saat TDL

Frekuensi Klik Paulina saat TDL

7000

5000 4000 Series1 3000 2000 1000 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 Siulan ke-

F rek u e n si E ko lo kasi (H z )

Frekuensi Siulan (H z)

6000

8000 6000 Series1

4000 2000 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 Ekolokasi ke-

A

B

Gambar 7. Frekuensi siulan (A) dan klik (B) pada saat TDL Frekuensi siulan dan klik yang dihasilkan Paulina dari tiga perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Jumlah siulan Paulina saat keadaan normal sedikit, kemungkinan karena Paulina melakukan sedikit komunikasi dengan lumba-lumba hidung botol lainnya dan lebih banyak melakukan aktivitas istirahat. Jumlah klik Paulina saat keadaan normal lebih sedikit dibandingkan TDL. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan fungsi klik digunakan sebagai sinyal pemantau kolam yang merupakan wilayah teritorial Paulina. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Tof (1998: 13) yang menyatakan bahwa lumba-lumba hidung botol menggunakan klik dalam menjaga wilayah teritorial lumba-lumba hidung botol dari predator.

PKMP-5-2-7

Spektogram siulan dan klik Paulina dapat dilihat pada gambar berikut:

A

B

Gambar 8. Tampilan spektogram siulan (A) dan klik (B) Paulina mengeluarkan siulan saat BDL dengan jumlah paling sedikit, kemungkinan karena respons dari anak-anak yang terlibat dalam sesi BDL. Anakanak yang mengikuti sesi BDL terlihat dapat beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan air dan keberadaan lumba-lumba hidung botol. Siulan yang dikeluarkan Paulina diduga merupakan siulan yang berfungsi untuk berkomunikasi, seperti halnya siulan yang dikeluarkan ibu untuk anaknya. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 150), Tyack (1999: 302), dan Nowak (2003: 145) yang menyatakan bahwa siulan digunakan sebagai komunikasi antar anggota kelompok dalam menjaga anak-anak dan anggota kelompoknya. Jumlah klik yang dikeluarkan Paulina saat sesi BDL, kemungkinan, karena respons terhadap banyaknya alat yang digunakan selama sesi BDL. Alat yang digunakan saat sesi BDL adalah jaket pelampung. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 170--178), Pack & Herman (1999: 2 & 10), dan Jones & Sayigh (2002: 375) yang menyatakan bahwa lumbalumba hidung botol menggunakan klik untuk mengetahui bentuk dan lokasi benda-benda yang berada di depan lumba-lumba. Disamping itu, jumlah klik tersebut mungkin pula dipengaruhi oleh gerakan tubuh anak-anak saat berenang. Gerakan tubuh anak-anak saat berenang dapat dikatakan teratur, tenang, dan terkendali. Jumlah siulan Paulina paling banyak ditemui ketika sesi TDL. Hal tersebut kemungkinan karena beberapa pasien tidak dapat beradaptasi dengan cepat, takut, dan panik terhadap lingkungan air dan keberadaan Paulina. Siulan yang dikeluarkan Paulina diduga merupakan siulan yang berfungsi untuk berkomunikasi, seperti halnya siulan yang dikeluarkan ibu untuk anaknya. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 150), Tyack (1999: 302), dan Nowak (2003: 145) yang menyatakan bahwa siulan digunakan sebagai komunikasi antar anggota kelompok dalam menjaga anak-anak dan anggota kelompoknya. Jumlah klik yang dikeluarkan Paulina yang terbanyak diperoleh saat sesi TDL. Hal tersebut kemungkinan, karena respons terhadap banyaknya alat yang digunakan selama sesi TDL. Alat yang digunakan saat sesi TDL adalah jaket

PKMP-5-2-8

pelampung, papan pelampung, dan bola. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 170--178), Pack & Herman (1999: 2 & 10), dan Jones & Sayigh (2002: 375) yang menyatakan bahwa lumba-lumba hidung botol menggunakan klik untuk mengetahui bentuk dan lokasi benda-benda yang berada di depan lumba-lumba. Disamping itu, jumlah klik tersebut mungkin pula dipengaruhi oleh gerakan tubuh anak-anak saat berenang. Gerakan tubuh anak-anak saat berenang dapat dikatakan tidak teratur, tidak tenang, dan tidak terkendali. Frekuensi suatu siulan lumba-lumba hidung botol mempunyai nilai yang sama, karena hal tersebut berkaitan dengan sinyal pengenalan diri. Nilai rerata frekuensi siulan Paulina dari 3 perlakuan yang berbeda mempunyai nilai di bawah 20 kHz. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 170--178), Janik & Slater (1998: 830--835), dan McCowan & Reiss(2001: 1155) yang menyatakan bahwa nilai frekuensi siulan lumba-lumba hidung botol, umumnya, di bawah 20 kHz.. Rerata frekuensi klik Paulina dari 3 perlakuan berbeda, nilai rerata frekuensi klik yang terbesar diperoleh saat sesi BDL. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Richardson dkk. (1995: 184) yang menyatakan bahwa lumba-lumba hidung botol mengeluarkan klik dengan frekuensi tinggi untuk benda-benda yang dekat dan sebaliknya. Penyimpangan nilai tersebut kemungkinan saat BDL tidak ada kegiatan pemberian makan, sedangkan lumbalumba hidung botol menggunakan klik dengan frekuensi rendah saat makan. Hal lainnya yang menyebabkan penyimpangan nilai tersebut adalah adanya gangguan dari lumba-lumba hidung botol saat BDL berlangsung. Penelitian Brensing pada tahun 2004, menunjukkan bahwa frekuensi klik yang dihasilkan lumba-lumba pada saat TDL mencapai 120 kHz (Brensing 2004: 13). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda dari hasil penelitian Brensing. Kisaran frekuensi yang dihasilkan saat TDL di GSJA yaitu 308--6.990 Hz. hal tersebut mungkin disebabkan perbedaan lingkungan tempat pengambilan data. Lokasi penelitian Brensing adalah penangkaran tepi pantai (seaquarium) yang berhubungan langsung dengan perairan laut sekitar, sedangkan lokasi penelitian di GSJA merupakan penangkaran yang berupa kolam tertutup. Faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan hasil tersebut adalah individu yang digunakan pada kedua penelitian berbeda. Tiap-tiap lumba-lumba memiliki frekuensi siulan dan klik yang berbeda. KESIMPULAN 1. Jumlah siulan dan klik saat keadaan normal sebanyak 10 siulan dan 22 klik. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat keadaan normal berturut-turut berkisar 2.543--4.949 Hz dan 36--2.911 Hz. 2. Jumlah siulan dan klik saat BDL sebanyak 9 siulan dan 13 klik. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat BDL berturut-turut berkisar 2.323--6.887 Hz dan 585--7.929 Hz. 3. Jumlah siulan dan klik saat TDL sebanyak 45 siulan dan 32 klik. Rata-rata frekuensi siulan dan klik saat TDL berturut-turut berkisar 1.387--5.292 Hz dan 308--6.990 Hz.

PKMP-5-2-9

DAFTAR PUSTAKA 1. Berrow, S., B. Holmes, & J. Goold. 2002. The distribution and intensity of ambient and point source noises in the Shannon estuary. HERITAGE COUNCIL WLD 003: 32 hlm. 2. Brensing, K. 2004. Approaches to the behavior of dolphins Tursiops truncatus during unstructured swim-with-dolphin programs. Freie Universität, Berlin: 89 hlm. 3. Janik, V.M. & P.I.B. Slater. 1998. Context-specific use suggest that bottlenose dolphin signature whistles are cohesion calls. Animal behaviour 56: 829--838. 4. Jones, G.J. & L.S. Sayigh. 2002. Geographic variation in rates of vocal production of free ranging bottlenose dolphins. Marine Mammal Science, 18(2): 374--393. 5. Klinowska, M. 1995. Binatang paus, pesut dan lumba-lumba di Indonesia. Terj. dari: Dolphins, porpoises and whales of the world: the IUCN red data book, oleh Suwelo, I.S., Kuncoro D.M. & G.F. Kartasantana. Yayasan Nasional Bina Samudera, Jakarta: iii + 216 hlm. 6. McCowan, B. & D. Reiss. 2001. The fallacy of ‘signature whistles’ in bottlenose dolphins in animal vocalizations. Animal behaviour , 62: 1151-1162. 7. Miksis, J. L., P.L. Tyack & J.R. Buck. 2002. Captive dolphins, Tursiops truncatus, develop signature whistles that match acoustic features of humanmade model sounds. J. Acoust. Soc. Am 112 (2): 728--739. 8. Nowak, R. M. 2003. Walker’s Marine mammals of the world. The John Hopkins University Press, Baltimore: xiv + 264 hlm. 9. Pack, A. A. & L. M. Herman.1999. Can dolphin “see” with sound?. Upwellings 5 (2): 1--12. 10. Richardson, W.J., C.R. Greene, Jr., C.I. Malme & D.H. Thomson. 1995. Marine mammals and noise. Academic Press, San Diego: 576 hlm. 11. Tof, I. 1998. Psychophysiological mechanism of therapeutic dolphin-human interactions. Little tree Pty. Ltd. ? : 1--33. 12. Tyack, P.L. 1999. Communication and cognition. Dalam: Reynolds III, J.E. & S.A. Rommel (eds.). 1999. Biology of marine mammals. Smithsonian Institution press, Washington: 578 hlm.

PKMP-5-3-1

PROSPEK Steinernema sp. DAN Heterorhabditis sp. SEBAGAI AGENS PENGENDALI Meloidogyne incognita CHITWOOD DI LABORATORIUM Ridwan Fatamorgana, Salbiah, Rike Novianti, Intan W Ekawati, Prakarsa Sitepu PS Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor ABSTRAK. Meloidogyne incognita merupakan patogen yang bersifat polyfag di berbagai tipe tanah. Kehilangan hasil mencapai lebih dari 12-15% pada tanaman kedelai. Meloidogyne incognita berinteraksi dengan beberapa patogen karena nematoda ini mematahkan pertahanan pada tanaman. Berbagai metode pengendalian telah banyak dilakukan, namun hasil yang dicapai tidak memuaskan dan menimbulkan efek samping bagi lingkungan. Oleh karena itulah diperlukan suatu pengendalian yang ramah lingkungan, salah satunya menggunakan nematoda entomopatogen. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi potensi nematoda Steinernema dan Heterorhabditis dalam menekan kepadatan populasi M. incognita. Bakteri simbion yang terdapat di dalam tubuh nematoda entomopatogen memiliki senyawa yang bersifat antifungal, antibiotik, dan nematisidal. Pengujian dilakukan secara in vitro untuk Xenorhabdus dalam cawan sirakus dan in vivo untuk Xenorhabdus serta Steinernema dalam media zeolit. Nematoda entomopatogen yang didapatkan di CIFOR adalah Steinernema dan bakteri simbion yang diisolasi dari bagian dalam tubuhnya adalah Xenorhabdus. Pengujian in vitro Xenorhabdus pada pengamatan 24 JSI menyebabkan -1

mortalitas L2 M. incognita sebesar 55% pada konsentrasi 2.10 , hal ini menunjukan bahwa pada konsentrasi tersebut efektif mengendalikan L2 M. incognita. Pada pengujian in vivo Xenorhabdus menunjukan adanya sifat menginduksi ketahanan tanaman, sedangkan untuk Steinernema menimbulkan efek repelensi bagi pembentukan bintil akar pada tanaman tomat. Kata kunci : Meloidogyne incognita, Xenorhabdus, Steinernema PENDAHULUAN Nematoda parasitik tumbuhan menyebabkan kehilangan hasil antara 5 % sampai 12 % pada berbagai komoditas tanaman dan nematoda bintil akar Meloidogyne menjadi penyebab kehilangan hasil terbesar (Sasser & Freekman 1987 dalam Fallon et al 2002). M. incognita Chitwood merupakan patogen tanaman yang bersifat polifag diberbagai tipe tanah, tersebar di daerah tropik dan subtropik. Kehilangan hasil mencapai 80 % pada terong, 40% kacang panjang dan 60% kedelai. Rata- rata kehilangan hasil berkisar 12-15% (CPC 2002). M. incognita dapat meningkatkan keparahan penyakit pada suatu tanaman dengan cara mematahkan pertahanan awal tanaman. Sebagai contoh, pada penyakit layu cendawan yang disebabkan oleh Fusarium dan Rhizoctonia solani pada berbagai tanaman termasuk kapas, Chickpeas dan tembakau menjadi lebih parah kerusakannya ketika juga menyerang tanaman yang sama Berbagai pengendalian telah banyak dilakukan termasuk dengan menggunakan nematisida. Pengendalian dengan menggunakan nematisida memiliki kekurangan yaitu menyebabkan persistensi di alam, mematikan organisme non target (musuh alami). Dengan adanya kekurangan

PKMP-5-3-2

tersebut maka manusia selalu mencari pengendalian yang cepat dan tepat sasaran namun tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, kriteria tersebut mengantarkan pada pengendalian alternatif dengan menggunakan agens antagonis yang dapat menekan kepadatan populasi patogen. Cara kerja agens antagonis berbeda-beda, ada yang secara langsung mematikan patogen dan ada juga yang tidak langsung yaitu dengan merangsang pertahanan tanaman. Pemanfaatan agens hayati dari golongan nematoda entomopatogen untuk mengendalikan masih banyak diteliti para ilmuwan fitopatologi. Penelitian tentang aplikasi nematoda entomopatogen Steinernema dan Heterorhabditis terhadap nematoda parasitik tumbuhan telah banyak dilaporkan seperti pada Belonolaimus, Tylenchorhynchus, Criconematidae, Globodera rostochiensis dan Meloidogyne (Fallon et al 2002). Pemanfaatan nematoda entomopatogen dilaporkan dapat mengurangi kepadatan populasi nematoda parasitik tumbuhan dan penelitian tersebut dilakukan di daerah yang beriklim sedang (subtropik). Perbedaan iklim dan kondisi lingkungan memungkinkan strain, virulensi fitonematoda dan nematoda entomopatogen berbeda satu sama lainnya. Dengan perbedaan seperti itu, maka diperlukan studi tentang prospek nematoda entomopatogen khususnya Steinernema dan Heterorhabditis dalam menekan kepadatan populasi nematoda bintil akar M. incognita Chitwood di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi potensi nematoda Steinernema dan Heterorhabditis dalam menekan kepadatan populasi M. incognita. Penelitian ini bermanfaat sebagai studi awal dalam pengendalian fitonematoda M. incognita dengan menggunakan agens antagonis, untuk mengurangi penggunaan nematisida dikalangan petani dan masyarakat luas. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2006 sampai Juni 2006 di Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan pengambilan sampel tanah serta inokulum dilaksanakan di wilayah CIFOR Bogor dan Pasir Sarongge Cipanas Cianjur . Pembiakan Meloidogyne incognita Meloidogyne incognita dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara dibiakkan didalam pot dengan menggunakan tanah steril yang ditanami tanaman tomat sebagai inangnya. Sebanyak 1000 ml tanah steril dimasukkan kedalam pot yang berukuran 1500 ml, kemudian masukkan M. incognita yang akan dibiakkan berupa larva yang belum membengkak kedalam pot yang berisi tanah tersebut dan benih tomat yang berumur 10 hari ditanam lalu siram dengan air sampai mencapai kapasitas lapang. Tanaman tomat dirawat setiap hari sampai M. incognita tersebut diperlukan untuk pengujian lanjutan. Pemerangkapan dan Identifikasi Nematoda Entomopatogen Pemerangkapan nematoda entomopatogen dilakukan dengan cara mengambil sampel tanah disekitar perakaran tanaman menggunakan soil sampler berdiameter 5 cm. Teknis pengambilan sampel tanah adalah mengambil dengan metode bintang, dalam satu kali pengambilan terdiri dari 10 kali tusukan pada tanah di sekitar perakaran tanaman. Kedalaman tusukan sekitar 20 cm yang dibagi menjadi dua dengan asumsi bahwa nematoda entomopatogen Steinernema berada

PKMP-5-3-3

pada bagian atas dekat permukaan tanah, sedangkan Heterorhabditis berada pada bagian bawah. Sampel tanah dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemerangkapan nematoda entomopatogen. Pemerangkapan dilakukan dengan cara memasukkan setiap sampel tanah komposit sebanyak 1000 ml dengan kedalam pot dalam kapasitas lapang. Larva T. molitor dimasukan kedalam kurungan silindrik kasa baja tahan karat 100 mesh berdiameter 1 cm dengan panjang 7 cm. Tiap kurungan diisi 5 larva instar akhir. Kurungan yang telah berisi larva tersebut 0

dikubur sampel tanah dengan posisi miring sekitar 30 dan sebagian kurungan menyembul keluar. Larva yang telah mati dari setiap contoh tanah diambil setiap 3-4 hari kemudian dicuci dengan air destilata. Larva dari setiap sampel tanah diinkubasi dalam cawan petri (100 X 20 mm) selama 2-3 hari. Setelah masa inkubasi tersebut, larva yang terinfeksi oleh nematoda entomopatogen akan menunjukkan gejala (Poinar 1979 dalam Anggraeni 2003). Larva T. molitor yang menunjukkan gejala diamati dibawah mikroskop stereo, kemudian diekstrak dan dilakukan uji Postulat Koch. Setelah Postulat Koch berhasil maka dilakukan identifikasi berdasarkan karakter morfometri (Wouts 1991; Kaya & Stock 1997), nematoda dipersiapkan dalam preparat semipermanen dengan media laktofenol. Pengamatan karakter morfologi dan morfometri untuk mengambil jenis nematoda entomopatogen yang didapatkan dari tiap sampel tanah. Perbedaan spesies nematoda diduga dari tiap karakter morfometri dan nilai standar deviasinya. Pengujian dan Perbanyakan Nematoda Entomopatogen pada T. molitor Pengujian nematoda entomopatogen dapat dilakukan juga untuk perbanyakan. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan cara perangkap White menggunakan larva instar akhir T. molitor. Larva yang terinfeksi dipindahkan kedalam cawan petri kecil (φ5 cm) yang telah dilapisi kertas saring dan diletakkan terbalik kedalam cawan petri besar (φ20 cm). Cawan besar diisi air destilata setengah kapasitas isi lalu ditutup dan diinkubasi selama satu minggu sampai nematoda pradewasa bermigrasi ke air destilata. Waktu yang dibutuhkan larva keluar dari umpan yang telah mati bervariasi. Setelah penetrasi, Steinernematidae biasanya memerlukan waktu sekitar 8-10 hari, sedangkan Heterorhabditidae memerlukan waktu sekitar 14-15 hari (Kaya & Stock 1997). Pradewasa akan berkerumun didalam air destilata steril didasar cawan besar. Nematoda yang terperangkap didalam air steril tadi disimpan dalam botol dan dimasukkan 0

kedalam refrigerator dalam suhu 10 C untuk dipersiapkan pada pengujian selanjutnya. Isolasi Bakteri Simbion dari Nematoda Entomopatogen Isolasi bakteri simbion dilakukan dengan cara menggerus T. molitor yang terinfeksi oleh nematoda entomopatogen dan dibiakkan dalam Nutrient Agar dan Tryptic Sucrose Agar yang memiliki kandungan sucrose 1.00 g, tryptose 0.20 g, Na2HPO4.7 H2O 0.60 g, KH2PO4 0.02 g, agar 1.5 g, air steril 100 ml. Pengujian In Vitro Bakteri terhadap Meloidogyne incognita Pengujian secara in vitro dilakukan diatas cawan petri, 60 ekor larva instar 2 M. Incognita dan dimasukan suspensi bakteri Xenorhabdus dengan konsentrasi 1

-2

-3

-4

-5

-6

2.10 , 2.10 , 2.10 , 2.10 , 2.10 , dan 2.10 loop/ml. Hal-hal yang diamati pada

PKMP-5-3-4

waktu pengamatan adalah mortalitas dengan memakai rumus penghitungan sebagai berikut; M = mp-mk x 100% 300 Dengan M adalah mortalitas L2 karena perlakuan, mp adalah jumlah L2 mati pada perlakuan dan mk adalah jumlah L2 pada kontrol. Pengujian In Vivo Bakteri dan Steinernema terhadap Meloidogyne incognita Pengujian in vivo dilakukan atas dasar untuk mengetahui perlakuan dengan konsentrasi berapa dan faktor perlakuan apakah yang dapat menyebabkan penurunan populasi nematoda puru akar M. incognita. Pengujian secara in vivo dilakukan di tanaman tomat yang berumur 1 minggu pada media zeolit kemudian diinolukasikan M. incognita sebanyak 1000 ekor larva instar 2 pada tiap tanaman dalam media tersebut. Pengujian dalam media zeolit menggunakan bakteri -1

-2

-3

-4

-5

-6

dengan konsentrasi 2.10 , 2.10 , 2.10 , 2.10 , 2.10 , dan 2.10 loop/ml serta Steinernema dengan konsentrasi 100, 500, 1.000, 5.000, dan 10.000 ekor/ml. Untuk kontrol tanpa perlakuan dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. Jumlah ulangan pada tiap perlakuan sebanyak 5 kali ulangan kemudian pengamatan dilakukan 6 MSI (minggu setelah inokulasi). Aspek- aspek yang diamati adalah bobot kering udara (BKU) dan penetasan telur M. incognita. Rumus untuk menghitung tingkat efikasi obyek yang diujikan adalah adalah sebagai berikut: TE = pf kontrol-pf perlakuan x 100% Pf kontrol Dengan pf adalah populasi akhir yang merupakan jumlah L2 dan telur yang terekstrak pertanaman pot dan pi adalah populasi awal yang merupakan jumlah L2 yang diinfestasikan. Dengan kriteria 4 tingkat, yaitu tidak efektif bila TEPr3+>Eu3+>Y3+>Sc3+>Al3+>> Ba2+>Pb2+>Sr2+>Ca2+>Ni2+>Cd2+>Cu2+>Co2+>Zn2+>Mg2+>UO22+>> Ti+>Ag+>Cs+>Rb+>K+>NH4+>Na+>H+>Li+ Stronsium-90 dan yttrium-90 dalam pelarut HCl 6 N mengalami hidrasi. Proses hidrasi yang terjadi dapat dijelaskan oleh persamaan reaksi hipotesis sebagai berikut : 90 2+ Sr + 4H2O → [90Sr(H2O)4]2+ (A) 90 3+ 90 Y + 6H2O →[ Y(H2O)6]3+ (B)

PKMP-5-4-10

Banyaknya molekul H2O yang terikat pada Y-90 dalam proses hidrasi menyebabkan jari-jari ion [90Y(H2O)6]3+ lebih besar daripada [90Sr(H2O)4]2+ . Pengaruh jari-jari ion kompleks terhidrasi lebih besar daripada muatan ion terhidrasi dalam proses pembentukan ikatan dengan anion (gugus fungsi sulfonat pada resin), sehingga walaupun kompleks terhidrasi Y-90 bermuatan 3+, kekuatan ikatan dengan gugus fungsi sulfonat pada resin lebih lemah daripada Sr-90 terhidrasi dengan muatan 2+. Akibatnya ion Sr-90 terhidrasi lebih kuat terikat pada resin daripada ion Y-90 terhidrasi. Dari kurva 1 diperoleh nilai regresi tertinggi untuk Sr-90 dan Y-90 pada t= 30 menit. Jadi selama 30 menit pengocokan, diperoleh pemisahan yang optimal antara Y-90 dan Sr-90 dengan pelarut HCl 6 N. Untuk selanjutnya dapat dijadikan prosedur pemisahan Y-90 dari Sr-90 dengan menggunakan metode kolom yang berisi resin Dowex AG 50x8. 1 .4 1 .3

Y = 0 .0 2 3 0 7 + 0 .0 1 4 8 1 9 -0 .0 0 0 4 2 8 X 2 + (3 .5 4 x 1 0 -6 X 3 )

1 .2

R 2 = 0 .5 9 7 6 4

1 .1

Y = 0 .0 9 2 1 4 3 + 0 .0 4 4 0 6 2 -0 .0 0 1 2 9 9 X 2 + (1 .1 6 x 1 0 -5 X 3 )

1 .0

R 2 = 0 .6 9 8 1 4

.9 .8

Kd

.7

0 .6 5 0 .6 4

.6

0 .5 6

0 .5 5 0 .4 8

.5

0 .5 4 0 .4 9

0 .3 8

.4

0 .4 2

0 .5 4

0 .4

S r-9 0 reg Y -9 0 reg

0 .4 5

.3 0 .2 1

.2 .1 0 .0

0 .1 1

0 .1 1

0

5

10

15

20

S r-9 0

0 .1 9

0 .2 0

0 .1 7

0 .1 9

30

0 .1 2

0 .1 3

0 .1

25

0 .1 6

0 .1 4

Y -9 0 35

40

45

50

55

60

W a k tu P e n g o c o k a n (m e n it)

Kurva 2.

Koefisien Distribusi (Kd) Sr-90 dan Y-90 dengan Pelarut HCl 8 N Terhadap Waktu Pengocokan

Kurva regresi Kd Sr-90 dan Y-90 dengan pelarut HCl 8 N memperlihatkan bahwa Kd Y-90 dalam resin penukar kation Dowex AG 50x8 lebih besar daripada Kd Sr-90. Dalam pelarut HCl 8 N kandungan (konsentrasi) HCl lebih besar daripada kandungan air sehingga hidrasi tidak terjadi. Sr-90 dan Y-90 bermuatan 2+ dan 3+.. 90Y3+ bermuatan lebih besar daripada 90Sr2+. Oleh karena itu, Y-90 akan terikat lebih kuat pada resin daripada Sr-90. Dari kurva 2 diperoleh nilai regresi tertinggi untuk Sr-90 dan Y-90 pada t= 25 menit. Jadi selama 25 menit pengocokan, diperoleh pemisahan yang optimal antara Y-90 dan Sr-90 dengan pelarut HCl 8 N menggunakan resin Dowex AG 50x8.

PKMP-5-4-11

KESIMPULAN Resin Dowex AG 50x8 dengan elusi larutan HCl 6 N mampu memisahkan Y-90 dari Sr-90 sebagai dasar pembuatan generator 90Sr/90Y. Untuk mendapatkan pemisahan yttrium-90 dari stronsium-90 dengan pelarut HCl 6 N yang baik, perlu diupayakan terbentuknya kompleks anion 90Y dengan spesi Cl- . DAFTAR PUSTAKA Darlene et al. 2003. 90Y Ibritumomab Tiuxetan in The Treatment of Relapsed or Refractory B-Cell Non-Hodgin’s Lymphoma. J Nuc Med Tech 31(2). Grahek et al. 2000. Isolation of Yttrium and Strontium from Soil Samples and Rapid Determination of Sr 90. Croatia Chemica Acta 73(3). Zagreb. Haddad PR dan Jackson PE. 1991. Ion Chromatography, Principles and Application. J. of Chrom. Library. 46(2). Amsterdam: Elsevier. L’Annunziata MF. 1998. Handbook of Radioactivity Analysis. California: Academic Pr. Meloan CE. 1999. Chemical Separation, Principles, Techniques And Experiments. New York: John Wiley & Sons, Inc. Nur RM. 2000. Application of Pyridine-Type and Amine-Type Anion Exchange Resin for Separating Fission Product Element in Methanol-Hydrochloric Acid Media. Atom Indonesia 26(2). National Nuclear Energy Agency of Indonesia. Saito N. 1984. Selected Data on Ion Exchange Separations in Radioanalytical Chemistry. Pure & Application Chemistry 56(4). Great Britain: Pergamon Press Ltd. Talmage SS. 1994. Toxicity Summary for Strontium-90. Tennessee: U.S. Department of Energy. William HB. 1971. Nuclear Medicine. 2nd Edition. New York: Mc.Graw-Hill Book Company.

PKMP-5-5-1

PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN SARANA RELAKSASI BAGI IBU HAMIL SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI HYPNOTERAPI MELALUI MEDIA KERAMIK DI INDUSTRI STUDIO 181 Wesdiarman, Amelia Rachim, Bernadette Bianca Institut Teknologi Bandung, Bandung ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-5-6-1

FELSPAR JEPARA SEBAGAI BAHAN BAKU UTAMA INDUSTRI KERAMIK INDONESIA : EFEKTIVITAS METODE FLOTASI DAN METODE CBD DALAM MENURUNKAN KANDUNGAN BESI PENGOTOR FELSPAR Tyas Tri Parwatiningsih, Erni Muchlisoh, Endah Kusumawati PS Kimia Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Industri keramik Indonesia menggunakan felspar impor sebagai salah satu bahan bakunya. Hal ini disebabkan kualitas felspar lokal cenderung rendah karena kandungan besinya yang tinggi, melampaui standar maksimum dalam industri keramik. Pendayagunaan potensi felspar lokal yang melimpah perlu dilakukan untuk mencegah atau meminimalkan ketergantungan terhadap bahan baku felspar impor tersebut. Telah dilakukan pengurangan kadar besi pengotor pada felspar Jepara dengan metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite). Kajian dilakukan untuk membandingkan efektivitas kedua metode pada masing-masing kondisi optimumnya. Penentuan kondisi optimum metode flotasi, meliputi pH, konsentrasi asam oleat dan konsentrasi (NH4)2SO4 dilakukan untuk memisahkan mineral besi pengotor ke dalam fasa minyak, sedangkan penentuan kondisi optimum metode CBD dengan variasi suhu dilakukan untuk mengomplekskan besi terlarut dengan citrate. Kadar oksida besi (Fe2O3) sisa dan kadar oksida alkali total (K2O + Na2O) dalam felspar sesudah pengolahan, digunakan untuk menentukan metode yang paling efektif untuk menurunkan kadar besi pengotor dan sekaligus meningkatkan kualitas felspar Jepara. Analisis dilakukan dengan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sama efektifnya dengan metode CBD untuk menurunkan kadar besi pengotor, tetapi metode flotasi tersebut lebih efektif dibandingkan dengan metode CBD untuk meningkatkan kadar total oksida alkali pada felspar Jepara yang mula-mula mengandung oksida besi 0,66% berat dan total oksida alkali 11,22% berat. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya kadar besi pada felspar Jepara sebesar 34,85% dari kadar besi mula-mula menggunakan kedua metode, namun metode flotasi dapat meningkatkan kadar total oksida alkali sebesar 18,00%, lebih tinggi dibandingkan metode CBD, yaitu sebesar 10,78% dari kadar mula-mula. Kata Kunci: felspar, pengurangan kadar besi, flotasi, CBD.

PENDAHULUAN Keramik sudah dikenal manusia sejak awal peradaban. Hal ini terbukti dengan ditemukannya benda-benda perkakas rumah tangga yang terbuat dari lempung yang dibakar. Dewasa ini keramik sudah jauh berkembang dalam kualitas maupun diversitas produknya, bahkan sudah menjadi produk industri yang dihasilkan secara masal oleh pabrik bermesin modern.

PKMP-5-6-2

Produksi berbagai artikel keramik tersebut menggunakan felspar sebagai salah satu bahan baku utamanya. Industri keramik Indonesia masih banyak yang mendatangkan felspar dari Cina, India, dan Jepang untuk menjaga mutu produknya. Akibatnya, perkembangan industri keramik justru meningkatkan kebutuhan dan ketergantungan pada bahan impor. Di sisi lain, potensi felspar di Indonesia melimpah. Hal ini terbukti dengan terdapatnya berbagai batuan sumber mineral felspar, antara lain pegmatite di Sawah Lunto, Bonti, Lampung, dan Saparua; tuff lipartis atau biasa disebut felspar Lodoyo, Malang; arkosa di Banjarnegara dan Jepara. Felspar dari daerah Banjarnegara, Sulawesi Tengah (Nuryanto, 1990a; Nuryanto, 1990b; Syaripudin, 1998) dan Flores (Ardha, 1993) telah diteliti. Felspar Indonesia tidak ditemukan dalam keadaan murni tetapi bercampur dengan mineral atau senyawa lain sebagai pengotor. Mineral pengotor yang sering bercampur antara lain mica, ilmenite, magnetite, hematite, dan kuarsa. Umumnya, senyawa pengotor berasal dari besi dalam bentuk persenyawaan dengan unsur oksigen, karbonat, atau sulfida (Grimshaw, 1980). Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian mutu felspar Indonesia dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh industri keramik. Pada umumnya, komposisi kimia oksida felspar Indonesia khususnya silika, alumina, dan alkali - tidak menjadi masalah serius. Namun, tidak demikian halnya dengan besi. Mengacu pada Standar Industri Indonesia (SII) No. 1145-84, parameter mutu komposisi kimia felspar yang baik untuk industri pemakai, meliputi antara lain kandungan oksida: Si 68,00 - 69,99 %, Al 17,00 -17,99 %, dan Fe maksimum 0,50 % - untuk industri keramik. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengurangi kandungan besi pengotor dalam mineral aluminosilikat yang lain. Pada tahun 1960, Jackson dan Mehra memperkenalkan metode CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite), dan berhasil mengurangi kandungan oksida besi dalam tanah dan lempung. Metode CBD dapat melarutkan semua partikel yang sangat halus dari maghemite dan magnetite dengan baik (Oorschot & Dekkers, 1999). Menurut Deng dkk. (2000) butiran pedogenik yang bersifat magnet, termasuk maghemite dan partikel magnetite yang sangat halus dapat dikurangi secara efektif dengan metode CBD. Metode tersebut juga berhasil untuk mengeliminasi besi oksida dari mineral chlorite kaya Fe pada Chinese loess (Zhao dkk, 2003). Pengolahan felspar Indonesia dengan cara pemisahan magnetik, flotasi maupun gabungan keduanya pernah dilakukan oleh Nuryanto (1990a; 1990b; 1991) untuk felspar Banjarnegara dan felspar Sulawesi Tengah dan Ardha (1993) untuk felspar Flores, namun cara-cara tersebut ternyata kurang efektif untuk pemisahan partikel-partikel yang sangat halus. Untuk itu digunakan metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah berdasarkan fenomena terpisahnya minyak dengan air yang telah berhasil untuk menungkatkan kadar bijih mangan (Arif, Nasution, 1990) dan mengurangi kadar besi oksida dari kaolin (Moutsatsu dan Parissaki, 1995). Metode tersebut juga pernah digunakan untuk mengurangi besi oksida dalam felspar Banjarnegara tetapi persentase kandungan felspar dalam sampel ternyata tidak memadai dan optimasi belum dilakukan (Syaripuddin, 1998). Felspar Indonesia umumnya diolah dengan metode flotasi dan metode pemisahan magnetis namun felspar hasil kedua perlakuan tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai. Oleh karena itu perlu diupayakan

PKMP-5-6-3

pengembangan metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sekaligus membandingkan efektifitasnya dengan metode CBD dalam upaya menurunkan kandungan besi dalam mineral sumber felspar Jepara. Dengan demikian, permasalahan yang muncul berikutnya adalah bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD dioptimalkan. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan felspar dengan mutu memenuhi persyaratan kandungan besi yang diijinkan sebagai bahan baku felspar pada industri keramik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD dalam menurunkan kandungan besi pengotor felspar Jepara. Penelitian ini memberi kontribusi dalam mengatasi ketergantungan industri keramik Indonesia terhadap bahan baku felspar impor yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal yang melimpah. Apabila felspar lokal dapat digunakan sebagai bahan baku utama industri keramik, secara tidak langsung akan menghasilkan penghematan devisa dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja yang terlibat dalam industri felspar sekaligus menurunkan harga jual produk keramik. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan di laboratorium kimia FMIPA dan Sub. Lab. Kimia UPT Laboratorium pusat Universitas Sebelas Maret. Sedangkan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2005. B. Bahan dan Alat yang Digunakan 1. Bahan yang digunakan : Felspar Jepara, aquades, aquabides, kertas saring whatman no. 40 dan 42, HCl, NaOH, asam oleat, ammonium sulfat, natrium sitrat, natrium bikarbonat, natrium dithionit, minyak kerosin. 2. Alat yang digunakan : Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) AA-6650 Shimadzhu, pH meter, X-Ray Diffraction (XRD) Shimadzhu 6000, neraca analitis satorius, oven, pengaduk magnet, alat-alat gelas, ayakan, shaker, drug ball, alat setrifuge, timer, desikator. C. Metode Pelaksanaan 1. Preparasi dan Identifikasi Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Jepara, Jawa tengah. Sampel grade A yang diperoleh dari hasil sampling terlebih dahulu dicuci untuk mengurangi lempung pengotor yang ada kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering, dilakukan penggerusan agar kondisi sampel homogen dan pengayakan hingga diperoleh ukuran butir felspar ≤ 200 mesh. Identifikasi sampel felspar sebelum pengurangan kadar besi, dilakukan dengan AAS dan XRD. Analisis oksida logam dan semilogam dengan AAS meliputi SiO2, Al2O3, Na2O, K2O, CaO, dan Fe2O3. 2. Pengurangan Kandungan Besi dalam Felspar : a. Metode Flotasi 1) Optimasi pH

PKMP-5-6-4

Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam gelas beker 400 ml. Kemudian ditambahkan 212,5 ml aquades dan 5 ml (NH4)2SO4 9x10-3M. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH (3, 5, 7 dan 9) dengan larutan HCl dan NaOH. Setelah pH sesuai, 10 ml kolektor (asam oleat) 9x10-4M ditambahkan kemudian larutan diaduk. Minyak kerosin sebanyak 37,5 ml ditambahkan ke dalam larutan, campuran dikocok dengan stirrer selama 6 menit kemudian dimasukkan dalam corong pisah dan diamkan selama 20 menit hingga terbentuk dua lapisan, lapisan atas berupa minyak dan lapisan bawah berupa air. Lapisan bawah dipisahkan dari lapisan atas. Larutan pada lapisan bawah didekantasi, endapan dicuci hingga baunya hilang, dikeringkan dalam oven, ditimbang (konsentrat 1), kemudian dianalisis dengan AAS. Larutan hasil dekantasi disaring, residu dikeringkan kemudian ditimbang (konsentrat 2). Larutan lapisan atas disaring, residu dikeringkan kemudian ditimbang (residu kotor). b) Optimasi konsentrasi asam oleat Prosedur kerja seperti point (a) namun dengan konsentrasi asam oleat divariasi (3, 5, 7 dan 9) x10-4 M dan flotasi dilakukan pada pH optimum yang sesuai hasil pada point (a). c) Optimasi konsentrasi (NH4)2SO4 (Ammonium sulfat) Prosedur kerja seperti point (a) namun dengan konsentrasi (NH4)2SO4 divariasi (3, 5, 7 dan 9)x10-3 M sedangkan pH optimum dan konsentrasi asam oleat optimum yang digunakan tetap sesuai hasil pada point (a) dan (b). b. Metode CBD Sampel sebanyak 2,5 gram dimasukkan dalam tabung sentrifuge kemudian ditambah 45 ml C6H5Na3O7.2H2O (sodium citrate) 0,3 M dan 5 ml NaHCO3 1M. Selanjutnya tabung ditempatkan dalam water bath hingga sampel mencapai suhu yang diinginkan (variasi suhu 60°C, 70°C, 80°C dan 90°C). Kemudian 1 gram Na2S2O4 ditambahkan dan diaduk selama 1 menit dengan temperatur dijaga konstan selama 15 menit dan diaduk setiap 5 menit. Satu gram Na2S2O4 yang kedua ditambahkan dan diperlakukan seperti sebelumnya. Sentrifugasi dilakukan pada 1200 rpm selama 15 menit kemudian larutan didekantasi, endapan dicuci dengan 50 ml air bebas mineral dan disentrifugasi lagi selama 15 menit. Setelah sentrifugasi, larutan didekantasi dan endapan yang diperoleh dikeringkan, ditimbang kemudian dianalisis dengan AAS. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Sampel Felspar 1. Analisis Komposisi Oksida Logam dan Oksida Semilogam. Hasil analisis komposisi oksida logam dan semilogam dalam sampel felspar dengan AAS disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diketahui rasio Si/Al-nya mendekati 3:1. Menurut Mason dan Moore (1982) rasio Si/Al felspar antara 3:1 hingga 1:1. Hal ini mengindikasikan adanya mineral felspar dalam sampel. Sedangkan komposisi logam yang lain yang terdapat dalam sampel felspar dalam bentuk oksidanya adalah Fe, Ca, K dan Na. Logam-logam Ca, K dan Na biasa terdapat sebagai kation penyeimbang yang khas untuk jenis mineral felspar, misalnya Ca untuk anorthite, K untuk microline dan Na untuk albite. Ditinjau dari rasio oksida Na dengan oksida K yang mendekati 1:1, mengindikasikan adanya felspar jenis sanidine, anorthoclase dan kemungkinan juga microline dalam sampel.

PKMP-5-6-5

Tabel 1. Komposisi Oksida Logam dan Oksida Semilogam Sampel Felspar Jepara No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Jenis Oksida Logam dan Oksida Semilogam SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO Na2O K2O

Kadar (% berat) 63,55 20,07 0,66 0,49 5,56 5,66

Ditinjau dari kandungan besinya, sampel mengandung oksida besi yang relatif kecil, namun masih berada di atas standar baku felspar sebagai bahan keramik halus. Menurut Hartono (1982), sejumlah oksida besi (< 1 %) mampu menimbulkan warna sehingga felspar tidak bernilai lagi dalam industri keramik. Hasil analisis AAS menunjukkan keadaan sampel menarik untuk diteliti sehingga diketahui efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD dalam menurunkan kadar besi pengotor. 2. Analisis Komposisi Mineral Hasil analisis komposisi mineral yang terkandung dalam sampel felspar Jepara dengan XRD pada rentang sudut (2θ) 10o–70o disajikan pada Gambar 1. f

f

z

Gambar 1.

f

l

f a mf m f

f

m

Difraktogram Sampel Felspar Jepara dengan Label: (f) Felspar, (m) Magnetit, (l) Lisetit, (a) Alofan, dan (z) Lizardit.

Analisis komposisi mineral dengan XRD bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis mineral dalam sampel sehingga lebih mendukung data AAS mengenai kelayakan sampel sebagai sampel penelitian. Analisis XRD dapat digunakan untuk identifikasi secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan persentase kandungan (% berat) masing-masing mineral dalam sampel, yaitu felspar (89,74 %), magnetit (5,13 %) lisetit (2,14 %), alofan (1,71 %), dan lizardit (1,28 %). Felspar dalam sampel sebagian besar tersusun dari jenis sanidine (60,26 %), sebagian microline (22,22 %) dan sejumlah kecil anorthoclase (7,26 %). Dari persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa penyusun utama dari sampel tersebut adalah mineral felspar karena kandungannya paling tinggi sedangkan mineral utama jenis felspar adalah sanidine. Indikasi terdapatnya felspar jenis sanidine, anorthoclase dan microline

PKMP-5-6-6

dari hasil analisis AAS, telah diperkuat oleh hasil analisis XRD. Indikasi tersebut semakin jelas dari hasil analisis kuantitatif bahwa felspar sanidine yang paling dominan. Sampel tersebut layak untuk diteliti sehingga diketahui efektivitas metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD dalam menurunkan kandungan besi didalamnya.

Kadar total oksida alkali (%)

B. Pengurangan Kadar Besi pada Felspar 1. Metode Flotasi Berdasarkan fenomena terpisahnya air dengan minyak maka mineral besi dapat dipisahkan dari felspar dengan cara membuat permukaan mineral besi menjadi hidrofobik sehingga berada dalam fasa minyak sedangkan felspar tetap berada di dalam fasa air. Sifat-sifat permukaan dapat diubah dan dikendalikan dengan menggunakan berbagai macam pereaksi kimia. Agar pengurangan kadar besi optimal dibutuhkan kondisi optimum. Oleh karena itu, dilakukan optimasi pH, konsentrasi kolektor, dan konsentrasi (NH4)2SO4 (ammonium sulfat). a. Optimasi pH Kadar oksida besi (Fe2O3) sisa dan kadar total oksida alkali (K2O + Na2O) hasil analisis AAS dari konsentrat 1 setelah proses flotasi pada berbagai pH disajikan pada Gambar 2. Kadar Fe2O3 sisa (%)

0,48 0,47 0,46 0,45 0,44 0,43 3

4

5

6

7

8

9

12,74 12,68 12,62 12,56 12,5 12,44 3

4

5

(a)

6

7

8

9

pH

pH

(b)

Gambar 2. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe2O3) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida Alkali (b) pada Berbagai pH, setelah Flotasi. Partikel-partikel mineral besi bermuatan listrik, tetapi pada pH tertentu muatan permukaan mineral besi netral, kondisi ini disebut PZC (Point of Zero Charge) dari mineral besi. Mineral besi mempunyai PZC pada pH sekitar 6,70– 8,67 yang berarti pada pH dibawah PZC permukaan mineral besi akan bermuatan positif. Sebaliknya, pada pH diatas PZC permukaan mineral besi akan negatif. Hasil analisis AAS terhadap kandungan besi sisa pada berbagai variasi pH (Gambar 2) menunjukkan pengurangan kadar besi terbanyak terjadi pada pH 5 dan 7, yaitu menjadi 0,45 % berat atau turun sebesar 31,81 % dibandingkan kadar awal (0,66 % berat). Pada pH < 5 kadar besi sisa lebih banyak. Hal ini disebabkan pada kondisi semakin asam, kolektor kurang reaktif. Pada pH > 7 kadar besi sisa meningkat kembali karena ion-ion penentu permukaan yang bermuatan positif berkurang mendekati PZC-nya sehingga penyerapan mineral besi oleh kolektor berkurang. Adanya ion OH¯ pada kondisi alkali dari NaOH yang menyerap partikel besi menyebabkan berkurangnya besi oksida yang terselaputi oleh kolektor. Di sisi lain, menurut Arif dan Ronald (1990) serta Xuede dan Kewu (1993), ion OH¯ dapat bertindak sebagai depresan sehingga akan mempercepat pengendapan felspar. Adanya ion OH¯ juga akan mengaktifkan kolektor dengan mengikat H+ pada gugus polar kolektor sehingga kolektor menjadi anionik dan

PKMP-5-6-7

0.54 0.52 0.5 0.48 0.46 0.44 3

4

5

6

7

Konsentrasi asam oleat (10-4M)

(a)

8

9

Kadar total oksida alkali (%)

Kadar Fe2O3 sisa (%)

lebih mudah berinteraksi mineral besi yang permukaannya bermuatan positif. Hal inilah yang mungkin menyebabkan peningkatan kadar besi cenderung kecil pada pH 9. Pada Gambar 2 terlihat bahwa kadar total oksida alkali cenderung menurun dengan bertambahnya pH tetapi masih memenuhi standar sebagai bahan baku keramik. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pengurangan kadar besi optimum pada pH 5 – 7. Percobaan selanjutnya dilakukan pada pH 6 karena pada pH 6 masih dalam rentang pH optimum selain itu pada pH tersebut senyawa pengatur pH yang ditambahkan minimum. b. Optimasi Konsentrasi Asam Oleat Kadar oksida besi (Fe2O3) sisa dan kadar total oksida alkali (K2O + Na2O) hasil analisis AAS dari konsentrat 1 setelah proses flotasi pada berbagai konsentrasi asam oleat, disajikan pada Gambar 3. 13.55 13.4 13.25 13.1 12.95 12.8 3

4

5

6

7

8

9

-4

Konsentrasi asam oleat (10 M)

(b)

Gambar 3. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe2O3) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida Alkali (b) pada Berbagai Konsentrasi Asam Oleat, setelah Flotasi. Kolektor asam oleat digunakan untuk mengubah permukaan mineral besi menjadi hidrofobik agar mineral besi dapat terpisah dari felspar dan dibawa ke fasa minyak. Hasil analisis kadar oksida besi sisa dan kadar total oksida alkali yang disajikan dalam Gambar 3 terlihat bahwa pengurangan kadar besi optimum terjadi saat konsentrasi kolektor yang digunakan 5 x 10-4 M, yaitu menjadi 0,45 % berat atau berkurang 31,81 % dibandingkan kadar mula-mula. Hal ini disebabkan terjadinya formasi hemicelle antara permukaan mineral besi dengan kolektor sehingga hidrofobisitas mineral besi dan adsorpsi kolektor optimum. Pada konsentrasi kolektor yang lebih rendah, hidrofobisitas mineral besi dan penyerapan kolektor belum optimal sehingga kadar besi dalam konsentrat masih tinggi. Pada konsentrasi kolektor yang lebih tinggi, hidrofobisitas mineral besi berkurang sehingga kadar besi dalam konsentrat meningkat lagi. Hal ini disebabkan terbentuknya formasi micelle (lapisan ganda antarmuka), rantai hidrokarbon kolektor yang nonpolar berasosiasi membentuk agregat sehingga mengurangi daya apungnya. Terbentuknya micelle mengakibatkan rantai hidrokarbon tertutup dan permukaan mineral menjadi hidrofilik sehingga berada pada fasa air. Pada Gambar 5 terlihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi kolektor hingga 7 x 10-4 M, kadar alkali cenderung berkurang tetapi meningkat lagi pada konsentrasi yang lebih tinggi. Interaksi yang terjadi (adsorpsi) antara kolektor dengan mineral besi dapat terjadi karena adanya gaya elektrostatis atau gaya van der Waals, pertukaran ligan, atau interaksi hidrofobik. Gaya van der Waals yaitu gaya yang disebabkan oleh antaraksi dipol-dipol yang berupa dipol permanen atau dipol induksi. Pertukaran ligan (ligand exchange) terjadi antara gugus OH pada permukaan mineral dengan anion kolektor. Interaksi hidrofobik antara rantai karbon dari kolektor yang

PKMP-5-6-8

panjang dengan medium (air) merupakan kontribusi paling besar terpisahnya besi ke fasa minyak karena air polar sedangkan rantai karbon yang panjang nonpolar. c. Optimasi Konsentrasi (NH4)2SO4 Kadar oksida besi (Fe2O3) sisa dan kadar total oksida alkali (K2O + Na2O) hasil analisis AAS dari konsentrat 1 setelah proses flotasi pada berbagai konsentrasi (NH4)2SO4 disajikan pada Gambar 4. Kadar total oksida alkali (%)

Kadar Fe2O3 sisa (%)

0.59 0.55 0.51 0.47 0.43 0.39 5

6

7

8

9

10

11

13.4 13.2 13 12.8 12.6 12.4 5

-3

Konsentrasi (NH4)2 SO4 (10 M)

6

7

8

9

10

11

Konsentrasi (NH4)2SO4 (10-3 M)

(b)

(a)

Gambar 4. Histogram Kadar Oksida Besi (Fe2O3) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida Alkali (b) pada Berbagai Konsentrasi (NH4)2SO4, setelah Flotasi. Hasil analisis AAS yang disajikan pada Gambar 4, terlihat bahwa pada konsentrasi ammonium sulfat 9 x 10-3 M kadar besi dalam konsentrat paling rendah, yaitu 0,43 % berat atau turun sebesar 34,85 % dari kadar mula-mula dan total kadar alkali paling tinggi, yaitu 13,24 % berat atau naik sebesar 18,00 % dari kadar mula-mula. Hal ini disebabkan hidrofobisitas oleat terhadap mineral besi optimal. Pada konsentrasi yang lebih rendah, fungsi ion sulfat sebagai senyawa penekan felspar belum optimal sehingga pemisahan mineral besi dari felspar kurang optimal akibatnya kadar besi sisa masih tinggi. Pada konsentrasi yang makin tinggi, mineral felspar yang cederung bermuatan negatif akan menyerap ion NH4+ semakin banyak, akibatnya permukaan felspar akan cenderung bermuatan lebih positif dibandingkan jika ion NH4+ yang terserap sedikit. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kompetisi dengan mineral besi untuk terhidrofobisasi oleh kolektor seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Hasilnya, permukaan felspar menjadi hidrofobik dan ikut terbawa ke fasa minyak sehingga pemisahan besi tidak optimal.

Cation (NH4+)

Gambar 5.

Visualisasi Penyerapan NH4+ yang Berlebih pada Permukaan Felspar (Ardha, 1994).

Hasil analisis XRD setelah proses flotasi pada kondisi optimum, disajikan dalam Gambar 6.

PKMP-5-6-9

Gambar 6.

Difraktogram Felspar Jepara setelah Flotasi pada kondisi Optimum, dengan Label (f) Felspar, (l) Lisetit, dan (a) Alofan.

Analisis XRD felspar Jepara setelah proses flotasi pada kondisi optimum dilakukan untuk memastikan struktur felspar tetap dan kandungannya tidak banyak berubah. Gambar 1 menunjukkan setelah proses flotasi struktur felspar tetap dipertahankan dan pola pola difraksinya tidak berubah. Secara kualitatif felspar masih mengandung lisetit dan alofan tetapi mineral besi (magnetit dan lizardit) sudah tidak teridentifikasi. Hal ini membuktikan proses flotasi berhasil mengurangi mineral besi dalam felspar Jepara grade A dan tidak menyebabkan struktur mineral lain rusak seperti alofan (mineral dengan derajad kristalinitas relatif rendah) masih teridentifikasi. Secara kuantitatif, kandungan felspar adalah 96,32 % yang terdiri atas sanidine (57,79 %), microline (27,87 %), dan anorthoclase (10,66 %) sedangkan mineral pengotor dalam felspar relatif kecil, yaitu lisetit (2,05 %) dan alofan (1,64 %).

0,57

Kadar total oksida alkali (%)

Kadar Fe2O3 sisa (%)

2. CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite) Kadar oksida besi (Fe2O3) sisa dan kadar total oksida alkali (K2O + Na2O) pada felspar setelah proses CBD pada berbagai suhu, disajikan pada Gambar 7. Dari Gambar 7 terlihat penurunan kadar besi optimum pada suhu yang lebih rendah, pelarutan besi yang terjadi lebih lambat sehingga kelat Fe-citrate yang terbentuk belum optimal, akibatnya kandungan besi yang tersisa pada felspar masih tinggi. Secara kinetik, pada suhu yang lebih tinggi, reaksi akan berjalan lebih cepat karena energi kinetiknya meningkat. Akan tetapi, pelarutan besi terlalu cepat memungkinkan molekul-molekul produk (kompleks Fe-citrate) bereaksi kembali membentuk zat semula sehingga produk berkurang, akibatnya kandungan besi dalam felspar masih lebih tinggi.

0,53 0,49 0,45 0,41 0,37 60

70

80

90

12.7 12.5 12.3 12.1 11.9 11.7 60

70

0

Suhu ( C)

80

90

0

Suhu ( C)

Gambar 7.

(a)

(b)

Histogram Kadar Oksida Besi (Fe2O3) Sisa (a) dan Kadar Total Oksida Alkali (b) pada Berbagai Suhu, setelah Proses CBD.

PKMP-5-6-10

Hasil analisis XRD setelah proses CBD pada suhu optimum, disajikan dalam Gambar 8. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa setelah proses CBD struktur felspar masih dipertahankan, bahkan secara kualitatif hanya puncak felspar yang teridentifikasi. Hal ini semakin memperkuat bahwa metode CBD efektif mengurangi kadar besi dalam felspar, terbukti tidak munculnya puncakpuncak khas difraksi dari mineral besi. Tidak teridentifikasinya mineral pengotor lain (alofan dan lisetit) mungkin disebabkan rusaknya kristalinitas mineral tersebut oleh proses CBD pada suhu 70ºC. Secara kuantitatif, sampel mengandung felspar 100 % yang terdiri dari sanidine (55,98 %), microline (27,75 %), dan anorthoclase (16,27 %). Hasil ini terjadi karena puncak felspar semakin tajam setelah proses CBD sedangkan puncak-puncak mineral yang lain rendah sehingga bisa diabaikan terhadap felspar selain itu mineral felspar mempunyai kristalinitas tinggi. XRD hanya bisa digunakan untuk menganalisa mineral kristalin sehingga mineral yang amorf tidak teridentifikasi. selain itu XRD juga mempunyai keterbatasan untuk menganalisa mineral dalam kuantitas yang sangat kecil.

Gambar 8.

Difraktogram Felspar Jepara setelah proses CBD pada Suhu Optimum, dengan Label (f) Felspar.

C. Perbandingan Metode Flotasi Menggunakan Dua Media Cairan Pemisah dengan Metode CBD (Citrate Bicarbonate Dithionite) Hasil pengurangan kadar besi pada felspar dengan metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dibandingkan dengan metode CBD disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan tabel 2, kecilnya persentase penurunan kadar besi dalam felspar Jepara grade A disebabkan kecilnya kadar besi mulamula. Ditinjau dari kadar total oksida alkalinya maka metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD berhasil menaikkan kadar total oksida alkali dari kadar mula-mula. Meningkatnya kadar total oksida alkali tersebut selain disebabkan adanya penambahan unsur-unsur alkali dari reagen yang digunakan sebagai akibat berkurangnya kadar besi dalam felspar karena terpisah/terambil setelah proses flotasi dan CBD maupun terlarut oleh basa. Dengan demikian berkurangnya kadar oksida besi dalam felspar mengakibatkan kadar total oksida alkali seolah-olah naik. Tabel 2.

Hasil Pengurangan Kadar Besi pada Felspar Jepara dengan Metode Flotasi Menggunakan Dua Media Cairan Pemisah Dibandingkan dengan Metode CBD Kadar

Oksida besi sisa Oksida alkali Total

Awal (% berat) 0,66 11,22

Akhir (% berat) Metode Flotasi Metode CBD 0,43 0,43 13,24 12,43

PKMP-5-6-11

Metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sama efektifnya dengan metode CBD untuk menurunkan kandungan besi dalam felspar Jepara grade A tetapi metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah lebih efektif untuk meningkatkan kualitas felspar Jepara grade A dibandingkan dengan metode CBD. Metode CBD dapat digunakan sebagai alternatif metode pengurangan kandungan besi dalam felspar dengan proses yang lebih praktis. Metode ini mungkin akan lebih efektif jika ekstraksi dilakukan dua atau tiga kali. Jadi, felspar Jepara grade A telah memenuhi standar sebagai bahan baku keramik jenis porselin. KESIMPULAN 1. Metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dan metode CBD dapat menurunkan kandungan besi pada felspar sebesar 34,85 %, metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah dapat meningkatkan kadar total alkali sebesar 18,00 % sedangkan metode CBD sebesar 10,78 %. 2. Metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah sama efektifnya dengan metode CBD untuk mengurangi kadar besi dalam felspar Jepara grade A tetapi metode flotasi menggunakan dua media cairan pemisah lebih efektif untuk meningkatkan kualitas felspar Jepara grade A dibandingkan dengan metode CBD. DAFTAR PUSTAKA Arda, Ngurah. 1993. “Percobaan Pendahuluan Peningkatan Kadar Felspar dari Bahan Granit Wolowaru Flores”. Buletin PPTM. Vol. 15. No. 9. September. hal: 17. Arda, Ngurah. 1994. “Felspar Grade Improvement by Flotation Using Double Collectors and Non Hydrofluoric Acid System”. Indonesian Mining Journal. Introduction Edition. October. hal: 55. Arif, Arifin dan Ronald Nasution. 1990. “Percobaan Pendahuluan Liquid-Liquid Extraction Monazid dengan Menggunakan Kolektor Anion dan Kation”. Jilid 8. No.1. Metalurgi LIPI Bandung. hal: 27-31. Grimshaw, Rex W. 1980. Physical of Clays and Other Ceramic Material. 4th Edition. John Wiley and Sons. New York. Grygar, T. and Ingeborg H. M. van Oorschot. 2002. “Voltammetric Identification of Pedogenic Iron Oxides in Paleosol and Loess”. Electroanalysis. Vol 14. No..5. Germany. hal: 339-344. Hartono, Y.M.V. 1982. Bahan Mentah untuk Pembuatan Keramik. BBK. Bandung. hal: 83-90. Mason, M. and C. B. Moore. 1982. Principles of Geochemistry. 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. hal 99-103 Moutsatsu A. K. and Parissaki. 1995. “Reducing The Iron Content of Kaolin From Milos by A Hydrometallurgical Process”. Vol. 104. Mineral Process Extracted Metallurgy in The IMM. hal: 110-112. Nuryanto. 1990a. “Flotasi Balik terhadap Felspar Banjarnegara Derajat Liberasi-65 mesh (Bagian I)”. Informasi Teknologi Keramik dan Gelas. No. 46. Tahun XII. BPPI. Balai Besar Industri Keramik. Bandung. hal: 2331.

PKMP-5-6-12

Nuryanto 1990b. “Flotasi Balik terhadap Felspar Banjarnegara Derajat Liberasi65 mesh (Bagian II)”. Informasi Teknologi Keramik dan Gelas. No. 45. Tahun XII. BPPI. Balai Besar Industri Keramik. Bandung. hal: 5-12. Nuryanto. 1991. “Flotasi Balik terhadap Felspar Banjarnegara Derajat Liberasi65 mesh (Bagian III)”. Informasi Teknologi Keramik dan Gelas. No. 48. Tahun XII. BPPI. Balai Besar Industri Keramik. Bandung. hal: 18-32. Oorschot, I.H.M.Van and M.J. Dekkers. 1999. “Dissolution Behaviour of Finegrained Magnetite and Maghemite in The Citrate-Bicarbonate-Dithionite Extraction Method “. Earth and Planetary Science Letters 167. hal: 283295. Standar Industri Indonesia (SII). 1145-84. Syarat Mutu Felspar untuk Badan Keramik Halus. Syaripuddin, A. 1998. Pengurangan Besi Oksida dalam Mineral Felspar dengan Metode Flotasi. Skripsi S-1. Jurusan Kimia. F.MIPA. Universitas Diponegoro Semarang. Xuede, H. and Wei Kewu. 1993. “A Study of Iron Removal from Fine Kaolin by Two Liquid Flotation”. International Mineral Processing Congress. Vol XVII. Sydney. Hal: 1389-1393. Zao, Liang, WU, Tao, and JI. 2003. “Quantitatif Measurement of Chlorite in the Cinese Loess by Sequantial Extraction Method”. Department of Earth Sciences. Nanjing Univ. Nanjing. China.

PKMP-5-7-1

PENGELOLAAN BIJI KARET MENJADI BIODIESEL Agus Jayadi, Risal Rahman, Umul Khiyaroh, Mustanginah Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRAK Kebutuhan energi di dunia semakin meningkat, padahal cadangan energi fosil sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan energi alternatif pengganti bahan bakar minyak yang diharapkan memiliki sifat-sifat terbarukan dan ramah lingkungan. Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif merupakan cara penanggulangan yang tepat. Penelitian ini bertujuan mencari kondisi optimum proses pembuatan biodisel dari minyak biji karet dengan mempelajari pengaruh perbandingan pereaksi dan konsentrasi katalis. Metanolisis minyak biji karet dilakukan di dalam reaktor yang berupa gelas beker 600 ml yang dilengkapi penutup dan magnetic stirer serta pipet tetes sebagai pengambil cuplikan pada tiap-tiap waktu. Cuplikan dianalisis gliserolnya dengan metode Iodometri-Asam Periodat. Sisa hasil reaksi diekstraksi dengan menggunakan aquadest pada corong pemisah dan diambil ester sebagai hasil atas. Ester yang diperoleh inilah yang diharapkan dapat dipakai sebagai bahan bakar motor diesel / biodiesel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metanolisis minyak biji karet, konversi maksimum diperoleh pada perbandingan pereaksi sebesar 6 mgek metanol/ mgek minyak, dengan katalisator KOH sebesar 0.75 % berat minyak dan dalam waktu 60 menit yaitu sebesar 69,0123 %. Dari hasil pengujian spesifikasi ester hasil reaksi yang meliputi flash point, pour point, carbon residue didapatkan bahwa ester hasil memiliki sifat-sifat fisik yang memenuhi kriteria sebagai minyak diesel dan solar kecuali untuk viskositasnya dan carbon residue. Mengenai viskositas dapat diatasi dengan membuat campuran (blending) antara ester dengan minyak diesel. Pencampuran dapat dilakukan sampai level 30 % ester dan 70 % minyak diesel yang memberikan viskositas sebesar 8,9031cSt. Kata kunci : energi, karet, biodiesel

PENDAHULUAN Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan energi di dunia yang semakin meningkat, padahal cadangan energi fosil sangat terbatas. Bersumber dari (blue print) pengelolaan energi nasional ESDM, disebutkan bahwa untuk energi fosil jenis minyak dengan sumber daya sebesar 86,9 miliar barel dan cadangan 9 miliar barel untuk produksi per tahun sebanyak 500 juta barel akan diperoleh rasio cadangan/produksi (tanpa eksplorasi) selama 18 tahun, sedangkan untuk energi fosil jenis gas dengan sumber daya sebesar 384.7 TSCF dan cadangan 188 TSCF untuk produksi per tahun sebanyak 3.0 TSCF akan diperoleh rasio cadangan/produksi (tanpa eksplorasi) selama 62 tahun. Oleh karena itu diperlukan energi alternatif lain sebagai pengganti bahan bakar minyak yang diharapkan memiliki sifat-sifat terbaharui dan ramah lingkungan. Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif merupakan cara penanggulangan yang tepat. Dari segi kualitas biodiesel tidak kalah dengan minyak solar, baik

PKMP-5-7-2

dalam hal kinerja sebagai bahan bakar maupun efisiensinya. Selain itu biodiesel mempunyai keuntungan yaitu ramah lingkungan karena tidak mengandung gas sulfur yang berbahaya dan kandungan CO pada emisi gas hasil pembakaran rendah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya hayati yang berlimpah, salah satunya adalah tanaman karet (Hevea brasiliensis). Sampai saat ini hanya getah karet yang banyak digunakan dalam industri, sedangkan buah atau bijinya belum banyak dimanfatkan. Selain bibit tanaman, biji karet dapat diambil minyak dan bungkilnya (Team Sertifikat Bahan Tanaman Karet Rakyat, 1975). Selain itu melalui program pemerintah di bidang pemanfaatan biofuel yakni Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2006, target untuk tahun 2025 yaitu 33 % berasal dari batu bara, 30 % dari gas, 20 % dari minyak, 5 % dari biofuel, 5 % dari geothermal dan sisanya dari sumber energi lain seperti air, nuklir, biomassa, matahari, angin dan lain-lain. Hal ini menunjukkan untuk tahun 2025 ditargetkan biofuel setidaknya memberikan kontribusi sebesar 5 % terhadap total kebutuhan energi nasional. Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : biji karet dengan kandungan minyak mencapai 60% di Indonesia melimpah tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal dan biodiesel yang terbuat dari minyak hayati merupakan salah satu alternatif energi untuk menanggulagi krisis energi di Indonesia. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan kondisi optimum dalam pembuatan biodiesel dengan memanfaatkan biji karet yaitu dengan alkoholisis minyak biji karet dengan katalis KOH. Manfaat dari kegiatan ini antara lain, dalam bidang akademis akan memperkaya khasanah pendidikan dengan kajian mengenai pemanfaatan biji karet dan pembuatan biodiesel dengan katalis basa. Dalam bidang industri pembuat, diharapkan dapat memanfaatkan minyak biji karet sebagai biodiesel sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Dalam bidang lingkungan, dengan biodiesel dari minyak biji karet diharapkan dapat lebih mengurangi tingkat polusi. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Proses Kimia, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sedangkan untuk analisis ester hasil sisa reaksi dianalisis dengan menggunakan standar uji biodiesel seperti viskositas, pour point, flash point, dan carbon residue di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Waktu pelaksanaan selama 4 bulan dari bulan Februari sampai Mei 2006 dengan perincian sebagai berikut : Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : minyak karet (densitas pada 29 0C: 0,9130 gr/ml, kadar air: 0.5634 %, ekuivalen asam lemak total: 3.5278 mgek/g minyak, ekuivalen asam lemak bebas: 0,6948 mgek/g minyak, warna: coklat tua dan viskositas: 33,2151 cst); metanol absolut (densitas pada 300C: 0,7850 gr/ml, kadar: 99,98 %, titik didih: 66.70C, warna: jernih, dan methanol absolute dibeli di toko bahan kimia UD. Manggung, Jl. Kaliurang Km.5,7 No.21, Yogya); larutan KOH yang digunakan sebagai katalisator dalam reaksi transesterifikasi trigliserida minyak karet, diperoleh dari Laboratorium Proses Kimia Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada.

PKMP-5-7-3

KOH terlebih dahulu dilarutkan dalam methanol membentuk larutan metoksid sebelum dicampur dengan minyak biiji karet Jumlah KOH yang digunakan sebagai katalisator dihitung berdasarkan berat minyak karet. Alat yang digunakan adalah magnetic stirrer, pengaduk magnetik, gelas beker, plastik penutup, pipet pengambil cuplikan dan steker. Pelaksanaan Penelitian Untuk mempelajari pengaruh perbandingan pereaksi dan perbandingan katalis, metanolisis dilaksanakan pada tekanan atmosferis didalam reaktor batch berupa gelas beker 600 ml yang dilengkapi penutup dan magnetic stirer. Cuplikan diambil dengan menggunakan pipet tetes. 1). Menentukan perbandingan pereaksi yang memberikan konversi maksimum (pada konsentrasi katalis 1,25 % berat minyak). Penelitian dilakukan dengan memasukkan minyak biji karet sebanyak 100 ml kedalam gelas beker. Kemudian KOH pellet 1,14125 gram dilarutkan dalam metanol absolut sebanyak 39,44 ml (untuk perbandingan pereaksi 3) dengan menggunakan magnetic stirrer kemudian dimasukkan ke gelas beker yang berisi minyak biji karet kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer. Pengambilan sampel dilakukan pada 15, 30, 45, 60, dan 75 menit (dimulai dari saat pencampuran). Sampel yang diperoleh kemudian dianalisis kadar gliserolnya dengan metode Iodometri – Asam Periodat. Setelah 75 menit, proses dihentikan dan sisa hasil reaksi diekstrasi dengan aquadest. Langkah-langkah diatas diulang dengan variasi perbandingan pereaksi 4,5; 6,0; 7,5 dan 9,0. Volume metanol absolut yang akan diambil dihitung menggunakan persamaan : 1 × ρ ethanol × Vethanol × 1000 mgrek ethanol BMethanol = mgrek min yak EALT × ρ min yak × Vmin yak 2). Menentukan konsentrasi katalis yang memberikan konversi maksimum (pada perbandingan pereaksi 6). Penelitian dilakukan dengan memasukkan minyak biji karet sebanyak 100 ml kedalam gelas beker. Kemudian KOH pellet 0.4565 gram (untuk konsentrasi katalis 0,5 %) dilarutkan dalam metanol absolut sebanyak 78,88 ml dengan menggunakan magnetic stirrer kemudian dimasukkan ke gelas beker yang berisi minyak biji karet kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer. Pengambilan sampel dilakukan pada 15, 30, 45, 60, dan 75 menit (dimulai dari saat pencampuran). Sampel yang diperoleh kemudian dianalisis kadar gliserolnya dengan metode Iodometri – Asam Periodat. Setelah 75 menit, proses dihentikan dan sisa hasil reaksi diekstrasi dengan aquadest. Langkah-langkah diatas diulang dengan variasi konsentrasi katalis 0.75%, 1.00%, 1.25%, dan 1.50%. Banyaknya katalis KOH yang akan digunakan dihitung berdasar persamaan : WKOH = K × ρ min yak × Vmin yak Analisis Hasil 1). Analisis Gliserol Analisis gliserol dalam sample dilakukan dengan metode Iodometri Asam Periodat. Analisis ini meliputi anlisis kadar gliserol bebas dan anlisis gliserol total. Dari hasil analisis ini konversi reaksi dapat dihitung dengan persamaan :

PKMP-5-7-4

Gbbs × 100% Gttl 2). Analisis Ester Ester hasil ekstraksi sisa hasil reaksi dianalisis dengan menggunakan standar uji biodiesel seperti viscositas spesifik, pour point, flash point, dan carbon residue di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, FT UGM. X =

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perbandingan Pereaksi Pengaruh waktu reaksi terhadap konversi pada berbagai perbandingan pereaksi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3. Pada Tabel 1 dan Gambar 3 terlihat bahwa secara umum konversi akan semakin naik dengan semakin lamanya waktu reaksi hingga pada suatu waktu tertentu mencapai konversi kesetimbangan, dimana konversi yang dicapai tidak banyak mengalami perubahan. Tabel 1. Hubungan antara Konversi dan Perbandingan Pereaksi.

(Suhu 30 oC, kosentrasi katalis 1,25 %, P=1 atm, kadar etanol = 99,98%)

Waktu (menit)

Konversi pada perbandingan pereaksi 3,0

4,5

6,0

7,5

9,0

0

0

0

0

0

0

15 30 45 60 75

17.2451 19.5438 21.6038 19.4199 19.5555

26,3966 27.9103 31.7420 31.6540 26.2691

51,0340 52,6941 54,6499 55,8338 53,5506

52,8578 53,0768 53,6145 53,5188 52,8948

50,8367 51,6719 52,7362 51,5686 51,7959

60

perb pereaksi 3 perb pereaksi 4.5 perb pereaksi 6

50

konversi (x), %

perb pereaksi 7.5 perb pereaksi 9

40

30

20

10

0 0

10

20

30

40

50

60

70

80

waktu reaksi (t), menit

Gambar 3. Hubungan konversi (x) dengan waktu (t) pada berbagai perbandingan pereaksi.

PKMP-5-7-5

Dengan bertambahnya perbandingan pereaksi, maka konversi akan meningkat karena dengan bertambahnya reaktan maka keseimbangan akan bergeser ke kanan sehingga produk yang diperoleh akan makin banyak, konversi makin besar. Dari hasil percobaan, konversi terbesar dicapai pada perbandingan pereaksi 6,00 mgek methanol/mgek minyak biji karet. Konversi mendekati kesetimbangan dicapai pada waktu reaksi 75 menit, untuk waktu reaksi yang lebih lama (lebih dari 75 menit ) konversi yang dicapai relatif konstan. Viskositas ester hasil reaksi pada berbagai perbandingan pereaksi dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 4. Secara teoritis viskositas akan semakin turun dengan naiknya konversi. Hal ini dikarenakan dengan semakin besarnya konversi maka jumlah minyak (trigliserid) yang terpecah menjadi etil ester dengan rantai yang pendek akan semakin besar pula sehingga viskositasnya turun.

Perbandingan Pereaksi 3.0 4.5 6.0 7.5 9.0

Konversi, % 19.5555 26.2691 53,5506 52,8948 51,7959

Viskositas ( cst ) 29,5779 29.9501 30.3042 30.5329 31.2536

35 30

viskositas, cst

Tabel 2. Viskositas ester pada berbagai perbandingan pereaksi (suhu 30 oC, katalis 1,25 %, P=1 atm,kadar etanol = 99,98%).

25 20 15 10 5 2

3

4

5

6

7

8

9

10

perbandingan pereaksi, gek methanol/gek minyak

Gambar 4. Hubungan antara viskositas ester dengan perbandingan pereaksi.

B. Pengaruh Konsentrasi Katalis Pengaruh konsentrasi katalis terhadap konversi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 5. Pada Tabel 3 dan Gambar 5 terlihat bahwa secara umum konversi akan semakin naik dengan semakin bertambahnya katalis dan bertambahnya waktu, karena dengan adanya katalis akan mempercepat reaksi pada suatu waktu tertentu mencapai konversi kesetimbangan, dimana konversi yang dicapai tidak banyak mengalami perubahan. Tabel 3. Hubungan antara konversi dan konsentrasi katalis.

(suhu 30oC, perbandingan pereaksi= 6, P=1 atm, kadar etanol= 99,98%).

Konversi pada konsentrasi katalis

Waktu (menit)

0,50

0,75

1,0

1,25

1,50

0 15 30 45 60 75

0 53,8949 54,5080 58,8031 65,3078 64,4153

0 61,7336 64,0352 65,9172 69,0124 67,0764

0 46,8165 49,8025 50,6742 50,9245 51,3167

0 51,0340 52,6941 54,6499 55,8338 53,5506

0 65,8859 68,4785 63,1737 61,6006 65,9056

PKMP-5-7-6

80 70

konversi (x), %

60 50 40 katalis 0.5%

30

katalis 0.75% 20

katalis 1% katalis 1.25%

10

katalis 1.5% 0 0

10

20

30

40

50

60

70

80

waktu (t), menit

Gambar 5. Hubungan antara konversi (x) dengan waktu (t) pada berbagai konsentrasi katalis.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa konversi maksimum terjadi pada konsentrasi katalis 0.75% sedangkan pada konsentrasi katalis di atas 0.75 %, konversi justru mengalami penurunan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa di dalam reaksi ini terdapat suatu reaksi samping yang sangat mengganggu reaksi utama. Reaksi samping tersebut adalah reaksi penyabunan atau saponifikasi minyak dengan KOH, dimana reaksi ini dapat terjadi karena adanya KOH yang berlebih. Pembentukan sabun terlihat sangat nyata pada saat tahap pemisahan hasil yaitu antara ester dengan gliserol dengan cara ekstraksi menggunakan aquadest. Pada saat ekstraksi terlihat adanya gumpalan-gumpalan putih yang melekat pada dinding corong pemisah yang mengakibatkan proses ekstraksi menjadi sulit dan memerlukan ekstraksi yang berulang-ulang. Dengan adanya reaksi samping yang berupa penyabunan inilah konversi minyak yang menjadi ester menjadi kecil, konversi mengalami penurunan. Sehingga pada suhu yang semakin naik konversi tidak pernah mencapai konversi optimum yang sesunguhnya. Karena adanya reaksi yang kompleks ini persamaan reaksi untuk alkoholisis minyak biji karet menjadi sulit untuk dimodelkan. Persamaan reaksi penyabunan adalah sebagai berikut : O

O

║ H 2 C − O − C − R1

║ R1 − C − O − K H 2 C − OH

O

║ HC − O − C − R 2 + 3 KOH O

H − C − OH

║ + R2 − C − O − K



O



H 2 − C − OH

║ H 2C − O − C − R3 Minyak

PANAS

Basa

O

Gliserol

║ R3 − C − O − K Sabun

Pada pengunaan konsentrasi katalis dibawah 0.75 %, konversi juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena katalisator yang dibutuhkan

PKMP-5-7-7

selama bereaksi kurang. Sehingga penggunaan konsentrasi katalis 0.75% dianggap sebagai yang paling optimal. Viskositas ester hasil reaksi pada berbagai perbandingan pereaksi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 6. Dari Tabel 4 dan gambar 6 terlihat bahwa dengan semakin naiknya konversi maka viskositas yang terukur semakin turun. Hal ini sesuai dengan teori, dengan naiknya konversi yang berarti naiknya jumlah minyak yang terpecah menjadi metil ester sehingga viskositasnya turun.

Konsentrasi katalis, % 0,50 0,75 1,00 1,25 1,50

Konversi, % 64,4153 67,0764 51,3167 53,5506 65,9056

Viskositas ( cst ) 26,7303 29.7052 31.2536 29,5779 34.8102

40 35

viskositas, cst

Tabel 4. Viskositas ester pada berbagai konsentrasi katalis (S= 6,0 gek etanol/gek minyak, P=1 atm, kadar etanol=99,98%).

30 25 20 15 10 5 0 0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

konsentrasi katalis, %berat minyak

Gambar 5. Hubungan antara viskositas ester dengan konsentrasi katalis.

Melihat hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan untuk memproduksi biodiesel dari karet dapat dilaksanakan pada waktu reaksi selama 60 menit dan suhu kamar, dimana secara ekonomis hal ini sangat menguntungkan sebab tidak perlu dilakukan pemanasan dalam reaksi ini, sehingga energi yang diperlukan dalam produksi hanya sedikit. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan dari produksi / penciptaan biodiesel sebagai suatu sumber energi alternatif dimana dapat diproduksi sumber energi baru yang lebih murah dan ramah lingkungan. C. Pengujian Spesifikasi Ester Lapisan hasil atas reaksi alkoholisis yang merupakan campuran ester dengan air dan metanol dimurnikan dengan menguapkan air dan metanol didalam oven. Ester kemudian diuji sifat-sifat fisisnya di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan spesifikasi minyak diesel dan solar. Daftar perbandingan sifat-sifat fisis ester hasil reaksi alkoholisis minyak karet dengan minyak diesel dan solar dapat dilihat pada Tabel 5. Dari data-data yang tertera pada Tabel 5 di bawah ini dapat diambil kesimpulan bahwa sifat fisis biodiesel minyak karet sudah bisa memenuhi kriteria minyak diesel dan minyak solar kecuali dalam hal viskositas, sehingga diperlukan perlakuan lebih lanjut secara khusus terhadap ester minyak biji karet agar dapat dihasilkan biodiesel yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. D. Pencampuran ( Blending ) antara ester Minyak Biji Karet dengan solar Pencampuran dapat dilakukan dalam berbagai level, antara lain B10, B20, B30, B40, sampai B50. Yang dimaksud dengan campuran B20 yaitu pencampuran dalam level 80 % minyak solar dengan 20 % ester. Pencampuran/ blending ini memiliki kelebihan yaitu dapat mengurangi pembentukan asap, kadar hidrokarbon, karbondioksida (CO2), serta karbonmonoksida (CO) dapat

PKMP-5-7-8

terkurangi. Pada penelitian ini juga dilakukan uji viskositas terhadap berbagai campuran ester hasil reaksi dengan minyak solar, hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 5. Spesifikasi ester hasil alkoholisis, minyak diesel, dan solar. No.

Sifat Fisik

Ester minyak karet

Minyak diesel (Minimal)

Minyak diesel (Maksimal)

Minyak Solar (Minimal)

Minyak Solar (Maksimal)

1.

Specific grafity ( Pada suhu 60 0 F )

0.9130

0,84

0,92

0,82

0.92

2.

Viskositas kinematik (Pada 100 0 F )

29.5747

8,46 cSt

11,11 cSt

1,60 cSt

5,80 cSt

3.

Flash point

428 0F

150 0 F

----

150

----

4.

Pour point

230F

----

65 0 F

----

65 0 F

5.

Carbon residue

0,03306 %

0,1 %

----

----

1,0 %

Tabel 6. Hasil uji viskositas pencampuran ester dengan solar. No.

Level Pencampuran

Viskositas

1. 2. 3..

B10 B20 B30

5,8258 7,0729 8,9031

4.

B40

11,2689

5.

B50

14,0148

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa dengan blending ester dan solar dapat mengatasi permasalahan viskositas yang terlalu tinggi dari ester murni. Untuk memenuhi kriteria sebagai bahan bakar solar, viskositas biodiesel harus dibawah 5,8 cSt, hal ini dapat dilakukan dengan pencampuran sampai level B10. Sedangkan untuk bisa dipakai sebagai minyak diesel bisa dilakukan blending sampai level B40. KESIMPULAN

Metanolisis minyak karet menggunakan katalisator KOH menghasilkan gliserol dan ester. Penggunaan katalisator basa yang berlebihan akan menyebabkan reaksi samping berupa reaksi penyabunan/ saponifikasi yang menyebabkan penurunan konversi minyak yang menjadi ester. Konversi tertinggi yaitu 69,0123 % dapat dicapai pada kondisi proses dengan perbandingan zat pereaksi 6,00 mgek metanol / mgek minyak, konsentrasi katalisator 0,75 % berat minyak, suhu reaksi 30 0C, waktu reaksi 60 menit. Sehingga kondisi operasi ini dapat digunakan untuk produksi biodiesel.

PKMP-5-7-9

Ester minyak karet memiliki sifat yang mendekati sifat minyak diesel / solar akan tetapi viskositasnya masih cukup tinggi. Blending / pencampuran antara ester minyak karet hasil reaksi alkoholisis minyak karet mempunyai viskositas yang memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel, yaitu pada level pencampuran B40, sedangkan untuk bahan bakar solar sampai pada level B10. DAFTAR PUSTAKA

Encinar, J.M., Gonzales, J.F., Rodriguez, J.J. and Tejedor, A. 2001. “Transesterification of Cynara cardunculus Oil With Ethanol “, 443-450, Departemento de Quimica y Energetica Universidad de Extremadura. Fogler, H.C. 1999. “Elements of Chemical Reaction Engineering”, 3 ed., pp. 7780, Prentice-Hall, Inc, New Jersey. Foglia, T.A., L.A. Nelson, R.O. Dunn, and W.N. Marmer, “Low-Temperature Properties of Alkyl Esters of Tallow and Grease” J. Am. Oil Chem. Soc (JAOCS), 74(8) 951 – 955 (1997). Formo, M.W., “Ester Reactions of Fatty Materials”, J. Am. Oil Chem. Soc. (JAOCS) 31(11) 548 – 559 (1954). Freedman, B., E.H. Pryde, and T.L. Mounts, “Variables Affecting the Yields of Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oils”, J. Am. Oil Chem. Soc. Freedman, B., E.H. Pryde, (JAOCS) 61(10) 1638 – 1643 (1984). 06. and T.L. Mounts, “Variables Affecting the Yields of Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oils”, J. Am. Oil Chem. Soc. (JAOCS) 61(10) 1638 – 1643 (1984). Fukuda, H., A. Kondo, dan H. Noda, “Biodiesel Fuel Production by Transesterification of Oils (Review)”, J. Biosci. Bioeng. 92(5) 405 – 416 (2001). Furuta, S., Yano, K., Matsuhasi, H., and Arata. K., 2000, “ Biodiesel Production by Transesterication of Soyabean and Castor Oil and the Esterification of Fatty Acid using Fixed Bed Reactor with Solid Superacid and Amorphous Zirconia Catalist, 1-2, Departement of Science Hokkaido University. Green-Trust.org, 2000, “ Biodiesel Made from Ethanol ”, 1-3, green-trust.org. Griffin,R.C.,1927, “Technical Methods of Analysis”, 2 ed., pp. 107-110, McGraw-Hill Company, Inc., New York. Groggins, P.H., 1958, “ Unit Process in Organic Syntesis “, 5 ed., pp. 694-701, McGraw-Hill Book Company, Inc, New York. Ikwuagwu, O.E., Ononogbu, I.C., Njoku, O.U., 2000, “ Production of Biodiesel Using Rubber Seed Oil ”, 57-62, Industrial Crops and Products International Journal. Kirk, R.E. and Othmer,D.F., 1980a, “Encyclopedia of Chemical Technology”, Vol. 9, 3 ed., pp. 306-308, John Willey and Sons, New York. Kirk, R.E. and Othmer,D.F., 1980b, “Encyclopedia of Chemical Technology”, Vol. 11, 3 ed., pp. 921, John Willey and Sons, New York. Lotero, E., Y. Liu, D.E. Lopez, K. Suwannakarn, D.A. Bruce, dan J.G. Goodwin Jr., “Synthesis of Biodiesel via Acid Catalysis”, Ind. Eng. Chem. Res. 44(14), 5353 – 5363 (2005). Perry, R.H. and Green, D.E., 1997, “Perry’s Chemical Engineer’s Handbook”, 7 ed., McGraw-Hill Book Company, Inc., New York.

PKMP-5-8-1

BETON POLIMER TERMOPLASTIK YANG RINGAN DENGAN KUAT TEKAN TINGGI Irfan Krisna Saputra, Dwi Syukur Mulyadi, Septiant Dwi Cahyo H. Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. ABSTRAK Pertumbuhan penduduk yang menglami peningkatan dari tahun ketahun mengakibatkan kebutuhan akan rumah tinggal yang semakin meningkat, terutama perumahan. Salah satu masalah yang timbul dilapangan adalah dampak lingkungan yang diakibatkan masyarakat banyak membuang sampah setiap hari. Pemanfaatan sampah terutama yang berupa bahan plastik yaitu dengan membuat campuran bahan air, pasir, semen, dan polimer termoplastik (bahan plastik) untuk dibuat beton polimer termoplastik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pembuatan dan sifat mekanika dari beton polimer termoplastik sebelum digunakan dilapangan sebagai bahan struktur bangunan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Bangunan Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah eksperimen. Benda uji yang digunakan berupa silinder dengan ukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm dengan cara pengujian mengacu pada SNI: 03-1974-1990. Semen yang digunakan yaitu Semen Portland tipe I. Kuat tekan rata-rata yang direncanakan 34 Mpa. Subtitusi volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton adalah 1,0:0,0; 0,8:0,2; 0,6:0,4; 0,4:0,6; 0,2:0,8 dan 0,0:1,0. Setiap varian dalam penelitian ini akan diuji kuat tekan dan berat jenis beton pada umur 28 hari dengan 5 benda uji beton untuk 1 data pengujian. Perawatan benda uji dengan cara direndam dalam air. Hasil akhir penelitian menunjukkan beton yang dihasilkan dengan subtitusi volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton berpengaruh terhadap kuat tekan dan berat jenis beton. Hubungan antara kuat tekan dan berat jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton adalah berbanding lurus, dalam pengertian semakin tinggi kuat tekan beton diikuti dengan semakin tinggi berat jenis beton. Batas maksimum subtitusi polimer terhadap kerikil dalam campuran adukan beton untuk mendapatkan beton ringan dan masih memenuhi kuat tekan rata-rata yang direncanakan adalah 20% bahan polimer dan 80% kerikil. Kata Kunci: Beton Polimer Termoplastik, Kuat Tekan, Berat Jenis. PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk di D.I.Yogyakarta pada tahun 2000-2003 sebesar 0.96 %, hal tersebut mengakibatkan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ketahun, yang mengakibatkan kebutuhan akan rumah tinggal yang semakin meningkat pula terutama perumahan. Masalah yang timbul dilapangan adalah dampak lingkungan yang diakibatkan masyarakat yang begitu banyak yang membuang sampah setiap hari. Sampah-sampah yang dihasilkan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang begitu besar. Sampah plastik memiliki tekstur yang kuat dan tidak mudah

PKMP-5-8-2

terdegradasi oleh mikroorganisme tanah, sehingga seringkali kita membakarnya untuk menghindari pencemaran terhadap tanah dan air di lingkungan. Namun pembakaran plastik ini justru dapat mendatangkan masalah tersendiri bagi kesehatan. Untuk mencegah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah maka sampah yang sudah dibuang harus dapat didaur ulang atau dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri, maka perlu dicari alternatif pemanfaatan dari sampah ini terutama yang berupa bahan plastik yaitu membuat campuran bahan air, pasir, semen, dan polimer termoplastik (bahan plastik) untuk dibuat Beton polimer termoplastik. Sampah plastik ini adalah termasuk bagian polimer termoplastik yang mempunyai berat satuan sangat ringan. Karena beratnya yang ringan, maka beton ini akan mempunyai keuntungan yaitu lebih mudah dalam hal pelaksanaan konstruksinya, dapat lebih hemat dibiaya struktur dan karena berat struktur berkurang, maka beban gempa yang bekerja juga akan lebih kecil sehingga struktur diharapkan akan lebih aman dan cocok untuk perumahan di daerah gempa. Dari hal tersebut dapat diambil rumusan masalah yaitu : (1) Apakah ada perbedaan kuat tekan beton antara beton normal dengan beton polimer termoplastik. (2) Apakah ada perbedaan berat jenis beton antara beton normal dengan beton polimer termoplastik. (3) Bagaimana hubungan antara kuat tekan dan berat jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton. (4) Apakah kuat tekan beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton dapat mencapai kuat tekan yang direncanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pembuatan dan sifat mekanika dari beton polimer termoplastik sebelum digunakan dilapangan sebagai bahan struktur bangunan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) Memberikan alternatif bahan campuran beton. (2) Dengan adanya beton polimer termoplastik yang ringan maka dari segi kontruksi dapat mengurangi beban struktur sehingga akan menghemat biaya (3) Memberdayakan sampah plastik secara optimal (4) Mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta selama 2 bulan, yaitu dari 1 Maret sampai dengan 1 Mei 2006. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Portland Cement (PC) jenis I dengan merek dagang Semen Gresik, (2) agregat kasar menggunakan batu pecah dengan diameter maksimum 20 mm, berat jenis 2,45 dan serapan air 2, 83% yang berasal dari wilayah Kabupaten Sleman, (3) agregat halus berupa pasir sungai dari Kali Progo dengan berat jenis 2,56 dan serapan air 3,96 % sedangkan nilai modulus halus butiran 3,38, (4) air yang digunakan adalah air bersih yang diambil dari Laboratorium Bahan Bangunan FT UNY, (5) bahan polimer termoplastik dengan berat jenis 1,01. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) timbangan merk Ohaus kapasitas 310 gram dengan ketelitian 0,01 gram dan kapasitas 2110 gram dengan ketelitian 0,1 gram, (2) jangka sorong dan penggaris, (3) gelas ukur dan piknometer, (4) mesin uji kuat tekan (Compression Testing Machine) merk ELE berkapasitas 2000 KN dengan ketelitian 5 KN, (5) ayakan / saringan dan mesin penggetar siever, (6) cetakan silinder berukuran diameter 15

PKMP-5-8-3

cm dengan tinggi 30 cm, (7) concrete mixer merk Montgomory Ward dengan kapasitas 0,25 m3, (8) bak air, (9) kerucut abrams dari plat besi dengan diameter dasar 200 mm dan diameter puncak 100 mm dan tongkat penusuk berdiameter 16 mm dengan panjang 600 mm, (10) kerucut konik dari plat logam dengan diameter atas 89 mm dan 36 mm pada bagian puncaknya dilengkapi tongkat penusuk seberat 339 gram, (11) oven merk Memmert dari Jerman untuk pemanasan sampai 225oC, (12) los angeles apparatus, (13) peralatan pendukung seperti jangka sorong, sendok spesi, ember, cawan, sekop. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah eksperimen, yaitu dengan menguji beton yang dicetak berbentuk silinder yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Benda uji yang digunakan dalam penelitian ini berupa silinder dengan ukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm dengan cara pengujian mengacu pada SNI: 03-1974-1990. Substitusi volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton adalah sebagai berikut 1,0:0,0; 0,8:0,2; 0,6:0,4; 0,4:0,6; 0,2:0,8 dan 0,0:1,0. Setiap varian dalam penelitian ini akan diuji kuat tekan dan berat jenis beton pada umur 28 hari dengan 5 benda uji beton untuk 1 data pengujian. Perawatan benda uji dengan cara direndam dalam air. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui serta mendapatkan metode konstruksi yang berkualitas dan efisien dalam struktur sebuah bangunan serta mendapatkan argumentasi ilmiah yang memadai tentang pengguanaan polimer termoplastik ini terhadap kualitas beton dalam setiap bagian elemen struktur bangunan. Langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian ini dapat ditunjukkan pada Gambar 1 Mulai Uji Bahan Penyusun Beton Komposisi Campuran Adukan Pengujian Beton Segar Workability (Slump Test)

Dituang Dalam Cetakan Uji Kuat Tekan dan Berat Jenis Selesai Gambar 1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian Pengujian beton polimer termoplastik ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu: (1) Tahap persiapan penelitian, pada tahap ini dilakukan penyiapan

PKMP-5-8-4

dan pemeriksaan bahan maupun alat yang akan digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan adalah: (a) pemeriksaan air dan semen secara visual, (b) pemeriksaan pasir dan kerikil meliputi pemeriksaan kadar air, berat jenis, berat satuan, kandungan zat organik, kandungan lumpur, modulus kehalusan dan gradasi, (c) pemeriksaan bahan polimer termoplastik meliputi pemeriksaan berat jenis. (2) Tahap perencanaan campuran adukan beton, komposisi campuran adukan beton direncanakan berdasarkan rancangan campuran beton menurut SK. SNI. T-15-1990-03 dengan perbandingan sesuai hasil mix design dalam penelitian. Rencana campuran adukan beton yang telah dihitung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rancangan Campuran Adukan Beton 1 m3 Perbandingan volume Material Kerikil dan Polimer Termoplastik 1,0: 0,0 0,2: 0,8 0,4: 0,6 0,6: 0,4 0,8: 0,2 0 80,36 160,71 241,07 321,42 Polimer (Kg/m3) 3 205 205 205 205 205 Air (lt/m ) 445,65 445,65 445,65 445,65 445,65 Semen (Kg/ m3) 974,61 779,69 584,77 389,84 194,92 Agregat Kasar (Kg/ m3) 649,74 649,74 649,74 649,74 649,74 Agregat Halus (Kg/ m3) Berat Total(Kg/ m3) 2275,00 2160,43 2045,87 1931,30 1816,73

0,0: 1,0 401,78 205 445,65 0 649,74 1702,17

(3) Tahap pelaksanaan, pada tahap ini pencampuran beton dilakukan di dalam concrete mixer agar diperoleh campuran yang homogen. Kerikil dan pasir yang telah diayak dan dibuat dalam kondisi Saturated Surface Dry (SSD), semen, polimer ditimbang lalu dimasukkan ke dalam concrete mixer, selanjutnya air ditakar sesuai dengan kebutuhan, kemudian concrete mixer mulai diputar sambil menambahkan air. Sebelum campuran adukan beton dituang dalam cetakan beton terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sifat beton segar. Pemeriksaan sifat beton segar dalam penelitian ini diuji dengan metode modified slump test untuk mengukur nilai slump yang terjadi. Menurut ASTM C 143-78 slump test dilakukan dengan menggunakan cetakan berbentuk kerucut terpancung dengan ukuran tinggi 300 mm, diameter dasar 200 mm serta diameter puncak kerucut sebesar 100 mm. Beton segar yang telah siap dimasukkan ke dalam cetakan secara bertahap, setiap penuangan dilakukan untuk mengisi kurang lebih sepertiga tinggi kerucut. Pemadatan dilakukan pada setiap lapis dengan cara menusukkan baja berdiameter 16 mm sebanyak 25 kali, jika kerucut telah terisi penuh maka cetakan segera (kurang lebih 30 detik) diangkat dengan perlahan-lahan dan nilai slump ditentukan berdasarkan tinggi jatuh puncak kerucut. Pembuatan benda uji silinder dilakukan dengan cara beton segar dituangkan ke dalam cetakan silinder berukuran diameter 15 cm dan tinggi 30 cm, penuangan tahap pertama dilakukan dengan mengisikan beton segar ke dalam cetakan kurang lebih sepertiga tinggi bagian cetakan silinder tersebut yang kemudian ditumbuk selama 25 kali. Tahapan ini dilakukan sampai cetakan beton yang berbentuk silinder ini penuh. Setelah cetakan silinder penuh maka perlu dilakukan perataan permukaan. Setelah kurang lebih 24 jam maka cetakan beton tersebut dibuka dan dilakukan perawatan beton

PKMP-5-8-5

(curring beton). Perawatan benda uji dilakukan dengan cara merendam benda uji silinder ke dalam bak air. Perawatan benda uji ini dilakukan selama 28 hari. Pengujian kuat tekan beton dilaksanakan berdasarkan BS 1881 tahun 1983, yaitu benda uji diletakkan pada mesin tekan secara sentris, dan mesin tekan dijalankan dengan penambahan beban antara 0,2 sampai 0,4 MPa perdetik. Pembebanan dilakukan sampai benda uji menjadi hancur dan beban maksimum yang terjadi selama pemeriksaan benda uji dicatat. Kuat tekan beton dihitung berdasarkan besarnya beban persatuan luas, menurut persamaan f’c = P/A. Dimana f’c adalah kuat tekan beton (dalam MPa), P adalah beban maksimum (dalam N), dan A adalah luas penampang benda uji (dalam mm2). Pengujian berat jenis beton dilakukan dengan menimbang benda uji beton dengan ketelitian 0,1 gram. Benda uji kemudian diukur diameter dan tingginya untuk mencari volume benda uji. Berat jenis beton dihitung berdasarkan berat per volume beton, menurut persamaan W/V. Dimana W adalah berat benda uji (dalam gram) dan V adalah volume benda uji (dalam cm3). Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kadar polimer pada pembuatan beton terhadap kuat tekan dan berat jenisnya dilakukan uji t (t-test) dengan tingkat kepercayaan 95% (tingkat signifikansi 5%). Pengujian data menggunakan t-test menggunakan program SPSS versi 11.5. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian terhadap semen, air, agregat halus dan agregat kasar diatas menunjukkan bahwa masing-masing bahan tersebut masih memenuhi standar untuk dapat digunakan sebagai campuran adukan beton. Pengujian beton segar yang dilakukan dengan pengujian nilai slump pada masing-masing campuran adukan beton didapat dalam variasi perbandingan antara kerikil dan polimer 1,0:0,0 yaitu pada beton normal menghasilkan nilai slump sebesar 17,5 cm. Nilai slump yang dihasilkan dengan variasi perbandingan kerikil dan polimer termoplastik 0,8:0,2 sebesar 17 cm, dengan penurunan nilai slump yang dihasilkan sebesar 2,86%. Nilai slump yang dihasilkan dengan variasi perbandingan kerikil dan polimer termoplastik 0,6:0,4 sebesar 15,5 cm, maka penurunan nilai slump yang terjadi sebesar 11,43%. Variasi perbandingan antara kerikil dan polimer termoplastik pada 0,4:0,6 menghasilkan nilai slump 11 cm, sehingga penurunan nilai slump yang terjadi sebesar 37,14%. Perbandingan volume kerikil dan polimer pada perbandingan 0,2:0,8 dengan penambahan polimer sebesar 80% menghasilkan nilai slump 8 cm, sehingga nilai slump ini mengalami penurunan sebesar 54,29% dan pada perbandingan volume kerikil dan polimer pada perbandingan 0,0:1,0 dengan penambahan polimer sampai 100% tanpa kerikil menghasilkan nilai slump 6 cm, sehingga penurunan yang terjadi sebesar 65,71%. Pengujian nilai slump ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemudahan beton segar untuk diaduk, dituang dan dipadatkan. Dalam perbandingan penambahan polimer 80% dan 100% menghasilkan nilai slump kurang dari persyaratan nilai slump untuk beton segar yaitu 10 sampai 17,5 cm, akan tetapi dengan variasi penambahan polimer sebagai pengganti kerikil karena besar butirannya lebih kecil dari pada kerikil maka campuran adukan beton yang dihasilkan ternyata memiliki tingkat kelecakan (workability) yang tinggi sehingga mudah untuk dipadatkan. Hasil akhir penelitian menunjukkan beton yang dihasilkan dengan subtitusi volume kerikil dan polimer termoplastik dalam campuran beton

PKMP-5-8-6

berpengaruh terhadap kuat tekan dan berat jenis beton. Kuat tekan yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 1,0:0,0 sebesar 40,08 MPa. Kuat tekan yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,8:0,2 adalah 35,86 MPa, sehingga kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 10,53%. Kuat tekan sebesar 32,68 MPa dihasilkan pada perbandingan kerikil dan polimer 0,6:0,4, sehingga kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 18,46%. Penurunan kuat tekan sebesar 33,71% dihasilkan beton dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,4:0,6, yaitu sebesar 26,57 MPa. Dalam perbandingan kerikil dan polimer 0,2:0,8 kuat tekan yang dihasilkan adalah 24,59 MPa, sehingga kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 38,65%. Kuat tekan yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,0:1,0 adalah 21,41 MPa, sehingga pada perbandingan ini kuat tekannya mengalami penurunan sebesar 46,58%. Analisis data menggunakan t-test menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan polimer pada beton memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kuat tekan beton. Berat jenis yang dihasilkan pada beton normal dengan perbandingan kerikil dan polimer 1,0:0,0 sebesar 2,37. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,8:0,2 adalah 2,33 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 1,69%. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,6:0,4 adalah 2,19 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 7,59%. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,4:0,6 adalah 2,08 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 12,34%. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,2:0,8 adalah 1,93 sehingga berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 18,57%. Berat jenis yang dihasilkan dengan perbandingan kerikil dan polimer 0,0:1,0 adalah 1,82 sehingga pada perbandingan ini berat jenisnya mengalami penurunan sebesar 30,22%. Analisis data menggunakan t-test menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan polimer pada beton memberikan pengaruh secara signifikan terhadap berat jenis beton, kecuali pada subtitusi polimer 20%. Hubungan antara kuat tekan dan berat jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton adalah berbanding lurus, dalam pengertian semakin tinggi kuat tekan beton diikuti semakin tinggi berat jenis beton. Dengan penambahan polimer sampai 20%, kuat tekan yang dihasilkan masih memenuhi kuat tekan rata-rata yang direncanakan dan memiliki berat jenis yang lebih ringan dari beton normal, berarti beton tersebut masih memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai struktur bangunan. KESIMPULAN (1) Substitusi polimer termoplastik yang bervariasi yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% mengakibatkan adanya perbedaan kuat tekan beton secara signifikan. Perbedaan kuat tekan beton polimer termoplastik jika dibandingkan dengan beton normal adalah: untuk 20% polimer sebesar 4,2284 MPa, 40% polimer sebesar 7,4062 MPa, 60% polimer sebesar 13,5128 MPa, 80% polimer sebesar 15,4962 MPa, 100% polimer sebesar 18,6750 MPa. (2) Perbedaan berat jenis beton polimer termoplastik jika dibandingkan dengan beton normal adalah: untuk 20% polimer sebesar 0,0472 gr/cm3, 40% polimer sebesar 0,1814 gr/cm3, 60% polimer sebesar 0,2910 gr/cm3, 80% polimer sebesar 0,4332 gr/cm3, 100% polimer sebesar 0,5434 gr/cm3. (3) Hubungan antara kuat tekan dan berat jenis beton dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton adalah

PKMP-5-8-7

berbanding lurus. (4) Beton dengan substitusi polimer termoplastik 20% kuat tekannya 35,855 MPa, dalam substitusi polimer termoplastik 40% kuat tekannya 32,677 MPa, kuat tekan 26,571 MPa diperoleh beton dengan substitusi polimer termoplastik 60%, dengan substitusi polimer termoplastik 80% kuat tekan betonyang dihasilkan sebesar 24,587 MPa, beton dengan substitusi polimer termoplastik 100% kuat tekannya 21,408 MPa, berarti dengan substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton sebesar 20% kuat tekannya dapat mencapai kuat tekan rata-rata yang direncanakan. Pada substitusi polimer termoplastik dalam campuran beton sebesar 40%, 60%, 80%, 100% kuat tekannya tidak dapat mencapai kuat tekan rata-rata yang direncanakan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut propinsi. www.kimpraswil.go.id/infoStatistik Anonim, 2003. Distribusi persentase dan kepadatan penduduk menurut propinsi. www.kimpraswil.go.id/infoStatistik Anonim, 2004. Rekapitulasi permintaan perumahan. www.kimpraswil.go.id/infoStatistik Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standart Nasional Indonesia. Bandung. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1971. Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971. Bandung. Neville, A.M. and Brooks. 1987. Concrete Technology. Essex: Longman Scientific & Technical. Sapto Nugroho, Hadi, 2004. Ancaman Polimer Sintetik Bagi Kesehatan Manusia. www.chem-is-try.org Stevens, Malcolm P. 2001. Kimia Polimer. Diindonesiakan oleh Iis Sopyan. Jakarta: Pradnya Paramita. Tjokrodimuljo, Kardiyono. 1996. Teknologi Beton. Yogyakarta : Nafiri Wuryati, Samekto dan Candra, Rahmadiyanto. 2001. Teknologi Beton. Yogyakarta : Kanisius

PKMP-5-9-1

PEMANFAATAN ZEOLIT TERAKTIVASI SEBAGAI ADSORBEN ION SIANIDA Siti Churrotin, Elly Indrawati, Reo D Kembara, N Madichah, Evy Muliasari PS Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRACT The purpose of this research was to know that of activated zeolite can be used as adsorbent of cyanide ion and determine adsorption capacity. Zeolites can be used to adsorption and ion exchange, because they contain channels or interconnected void that are occupied by the cations and water molecules. Ability of zeolites as adsorbent and ion exchanger can be increased with activations are thermal treatment (300oC) and acid treatment (H2SO4 0,5 M). This activated zeolites will be used as adsorbent of cyanide ion. To get optimum adsoption was used variations of optimum adsorption time, the optimum adsorption pH and cyanide concentration. Adsorption capacity was determined with interact cyanide ion solution with activated zeolit at optimum adsorption time 60 minutes and the optimum adsorption pH was 3. The absorbance was measured after reacted with (NH4)S2, HCl dan Fe3+ solution to give complex Fe(SCN)n3-n used UV-Vis spectrophotometer in 459 nm. From the data was obtained capacity of adsorption was 120,3 mek/100 gram to heating zeolite and 128,7 mek/100 gram to acidity zeolite. Kata kunci: activated zeolit, CN- and adsorption PENDAHULUAN Dalam rangka memasuki era globalisasi yang diikuti dengan perkembangan di bidang industri, diperlukan adanya antisipasi terhadap dampakdampak yang ditimbulkannya. Dampak negatif yang ditimbulkannya adalah polusi dan limbah industri. Limbah industri yang mengandung ion sianida (CN-) merupakan salah satu sumber pencemaran yang membahayakan lingkungan. Sianida adalah zat beracun yang mematikan. Pada konsentrasi lebih dari 0,3 ppm sianida bersifat toksik (Watts J. R., 1998) Dalam air, sianida terdapat sebagai hidrogen sianida (HCN) yang merupakan gas beracun yang mematikan (Saeni, 1989). Gejala keracunan sianida antara lain sakit kepala, badan lemah, iritasi mata, muntah, detak jantung cepat dan sesak napas (Watts J. R., 1998). Sebagian besar limbah sianida dihasilkan oleh industri, antara lain : industri elektroplating emas dan logam lain, bahan makanan, pembasmi hama, ekstraksi, dan tepung tapioka (Watts J.R., 1998). Selain itu pada industri kertas, tekstil, plastik, penggilingan baja, besi, dan logam lain (Anonim, 1990). Cara menanggulangi masalah pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah sianida telah dilakukan antara lain adsorpsi dengan karbon aktif, oksidasi kimiawi, degradasi secara biologis (bioteknologi) yang ternyata kurang menguntungkan dan terbatas penggunaannya (Chen dan Ray, 1999) serta dengan degradasi fotokatalitik menggunakan suspensi TiO2 (Puspitoningrum, 2004). Pada metode adsorpsi selain menggunakan karbon aktif dapat juga menggunakan bentonit atau zeolit sebagai adsorben. Karena selain harganya relatif murah, zeolit

PKMP-5-9-2

juga banyak terdapat di Indonesia serta memiliki kemampuan untuk mengikat berbagai jenis molekul dan ion yang terdapat dalam fasa larutan maupun gas. Di Indonesia zeolit alam dapat ditemukan di daerah Bayah (Banten selatan), Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Lampung, dan beberapa tempat di Jawa Timur, khususnya di Pacitan, Ponorogo, Blitar, dan Malang (Sariman,1998). Dewasa ini zeolit telah banyak digunakan untuk bahan ornamen dan bangunan, pengembang dan pengisi pasta gigi, bahan penjernih air limbah, pemurnian gas alam dan minyak bumi, dan penyerap zat atau logam beracun (Anonim, 1990). Zeolit merupakan kristal aluminosilikat yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensinya. Zeolit memiliki bentuk kristal yang susunannya teratur dengan rongga-rongga yang selalu berhubungan ke segala arah menyebabkan permukaan zeolit menjadi sangat luas serta memiliki kapasitas yang tinggi sebagai penyerap. Sifat ini disebabkan karena zeolit dapat memisahkan molekul-molekul atau ion-ion yang diserap berdasarkan ukuran dan konfigurasi molekul atau ion tersebut. (Kirk-Othmer, 1991). Pada keadaan normal, rongga besar dan saluran zeolit telah terisi oleh molekul air yang terbentuk akibat proses hidrasi udara di sekeliling kation penukar. Jika air yang terkandung dalam rongga dan saluran terurai pada saat pemanasan, maka saluran-saluran tersebut akan siap mengadsorpsi molekul atau ion lain pada permukaan bagian dalam ruang yang telah terhidrasi. Molekul yang diadsorpsi akan keluar melalui pintu saluran dan dikenal sebagai proses “molecular sieving” (Prayitno, 1989). Kemampuan zeolit sebagai adsorben, penukar ion dan katalis dapat ditingkatkan dengan cara aktivasi dan modifikasi. Proses aktivasi dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan pemanasan, sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan dengan pengasaman (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Dalam penelitian ini akan digunakan zeolit yang telah diaktifkan untuk mengadsorpsi ion sianida. Konsentrasi ion sianida yang teradsorpsi diperoleh dari selisih konsentrasi awal larutan ion sianida dengan konsentrasi larutan setelah proses adsorpsi. Penentuan konsentrasi larutan ion sianida ini menggunakan spektrofotometer UV-Vis, sedangkan analisis zeolit alam, aktivasi dan zeolit setelah proses adsorpsi dilakukan dengan difraksi sinar-X. Dari proses adsorpsi tersebut dapat ditentukan kapasitas adsorpsinya. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yaitu apakah zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman dapat digunakan sebagai adsorben ion sianida dan berapa menentukan kapasitas adsorpsi zeolit pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion sianida Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion sianida dan menentukan kapasitas adsorpsi zeolit pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion sianida. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kemungkinan penggunaan zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman sebagai adsorben ion sianida serta mengetahui kapasitas adsorpsinya sehingga dapat digunakan untuk pengolahan limbah yang mengandung zat beracun ion sianida.

PKMP-5-9-3

METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai April 2006 yang bertempat di Laboratorium Kimia Analitik dan Laboratorium Kimia Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga. Analisis XRD dilakukan di Laboratorium Kimia UGM dan Laboratorium Penelitian ITS. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah pro analisis yang terdiri atas: asam klorida, asam sulfat, kalium sianida, amonium hidroksida, besi (II) sulfida, asam nitrat, serbuk belerang, serbuk besi, akuadem, dan zeolit yang berasal dari Turen, Malang. Penelitian ini menggunakan alat antara lain: lumpang dan mortar agat, ayakan dengan ukuran 200 mesh, oven, sentrifuge, pengaduk magnetik, pH meter, neraca analitik, api bunsen, kertas saring Whatman No. 40, kertas lakmus, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu-1700, XRD Shimadzu Lab-X 6000, XRD Philips dan alat-alat gelas yang lazim digunakan dalam penelitian. Cara Kerja: Zeolit alam yang berupa bongkahan dibersihkan dari pengotorpengotornya yang berupa pasir dan sebagainya. Zeolit yang telah dibersihkan dipecah-pecah dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 105oC, kemudian ditumbuk menggunakan lumpang agat sampai menjadi serbuk. Serbuk diayak dengan ayakan yang berukuran 200 mesh. Analisis Pendahuluan Untuk mengetahui jenis mineral penyusun zeolit alam dilakukan analisis pendahuluan. Analisis ini dilakukan dengan metode serbuk dengan radiasi yang ditimbulkan oleh Cu Kα dan menggunakan filter Ni. Serbuk zeolit ditempatkan pada permukaan tempat sampel kemudian dibuat difraktogam pada sudut 2θ = (5 - 40)o (Harsini, 1995). Pengaktifan Zeolit Dengan Pemanasan Sebanyak 25 g serbuk zeolit dalam cawan porselin dipanaskan di dalam oven pada suhu 300ºC selama 120 menit. Pengaktifan zeolit Dengan Pengasaman Sebanyak 25 g serbuk zeolit dimasukkan dalam gelas beker kemudian ditambahkan 50 mL H2SO4 0,5 M (Sutarti dan Rahmawati,1994). Selanjutnya diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Suspensi yang terjadi dipisahkan dalam tabung sentrifuge sehingga padatan terpisah dengan cairan. Cairan dibuang dan padatan dicuci dengan akuadem hingga bebas asam (diuji dengan kertas lakmus). Padatan zeolit yang diperoleh diletakkan pada cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC selama 90 menit. Selanjutnya serbuk diayak dengan ayakan 200 mesh. Serbuk zeolit digunakan untuk pengujian selanjutnya. Analisis Zeolit Teraktivasi Dengan Difraksi Sinar-X Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis mineral penyusun dan perbedaan hasil difraksi sinar-X dari zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman. Identifikasi dilakukan dengan metode serbuk dengan radiasi yang ditimbulkan oleh Cu Kα dan menggunakan filter Ni. Serbuk zeolit ditempatkan pada permukaan tempat sampel kemudian dibuat difraktogam pada sudut 2θ = (5-40)o (Harsini, 1995).

PKMP-5-9-4

Penentuan Panjang Gelombang Maksimum (Fe(SCN)n )3-n Diambil 1 mL larutan standar 100 ppm dengan kadar tertentu dengan pipet volume 1 mL dan dimasukkan dalam gelas beker 50 mL. Kemudian direaksikan dengan 2 mL larutan (NH4)2S2 1 M dan dipanaskan di atas penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M dengan pipet volume 1 mL lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Larutan disaring dengan kertas saring yang telah dibasahi. Larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Ke dalam labu ukur tersebut ditambahkan 4 mL larutan Fe3+ 0,1 M dan diencerkan dengan akuadem sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen (Syah, Y., 1993). Campuran yang telah dibuat ditentukan panjang gelombang maksimumnya dengan spektrofotometer UV-Vis. Sebagai blanko digunakan campuran 2 mL larutan (NH4)2S2 1 M, 4 mL larutan Fe3+ 0,1 M, 1 mL HCL 4 M dan akuadem sampai tanda batas. Pembuatan Kurva Standar (Fe(SCN)n)3-n Diambil 1 mL masing-masing larutan standar CN- dengan piper volume 1 mL dan dimasukkan ke dalam gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH4)2S2 1 M dan dipanasi di atas penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M dengan menggunakan pipet volume 1 mL lalu dipanasi kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring dengan kertas saring yang telah dibasahi. Larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 4 mL larutan Fe3+ 0,1 M dan diencerkan dengan akuadem sampai garis tanda dan diaduk hingga homogen. Setiap campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Penentuan Waktu Pengadukan Optimum Adsorpsi Ke dalam 20 mL larutan sampel CN- 100 ppm ditambahkan 0,15 g serbuk zeolit yang telah diaktifkan. Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan variasi lama pengadukan 20, 30, 40, 50, 60, dan 80 menit. Campuran yang terjadi disentrifuge. Filtrat yang diperoleh dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH4)2S2 1 M dan dipanaskan di atas penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring dengan kertas saring yang telah dibasahi, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Kemudian ditambahkan 4 mL larutan Fe3+ 0,1 M dan diencerkan dengan akuadem sampai tanda batas dan diaduk hingga homogen. Campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva absorbansi terhadap konsentrasi. Diperoleh data waktu pengadukan optimum yaitu waktu pengadukan larutan yang memberikan serapan zeolit aktif terhadap ion CN- terbanyak. Waktu pengadukan optimum yang diperoleh dijadikan acuan pada analisis selanjutnya. Prosedur diatas dilakukan pada zeolit yang diaktifkan dengan pemanasan dan pengasaman. Penentuan pH Optimum Adsorpsi Diambil 20 mL larutan sampel CN- 100 ppm kemudian dibuat variasi pH yaitu 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Pengaturan variasi pH dilakukan dengan menambahkan HCl 0,1 M. Kemudian ditambahkan ke dalamnya 0,15 g serbuk zeolit aktif.

PKMP-5-9-5

Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan menggunakan waktu pengadukan optimum yang diperoleh. Campuran yang terjadi disentrifuge. Filtrat yang diperoleh dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH4)2S2 1 M dan dipanaskan di atas penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring dengan kertas saring yang telah dibasahi, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan dibilas dengan akuadem. Ditambahkan 4 mL larutan Fe3+ 0,1 M dan akuadem sampai garis batas dan diaduk hingga homogen. Campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva absorbansi terhadap konsentrasi. Diperoleh data pH optimum yaitu pH larutan yang memberikan serapan zeolit aktif terhadap ion CN- terbanyak. pH optimum yang diperoleh dijadikan acuan pada analisis selanjutnya. Prosedur diatas dilakukan pada zeolit yang diaktifkan dengan pemanasan dan pengasaman. Penentuan Konsentrasi Optimum Adsorpsi Diambil 20 mL larutan sampel CN- 100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm dalam kondisi pH optimum dan ditambahkan ke dalamnya 0,15 g serbuk zeolit aktif. Larutan tersebut diatur pHnya sesuai pH optimum yang diperoleh. Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan menggunakan waktu pengadukan optimum yang diperoleh Campuran yang terjadi disentrifuge. Masing-masing filtrat yang diperoleh dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam gelas beker 50 mL lalu ditambah 2 mL (NH4)2S2 1 M dan dipanaskan di atas penangas uap selama 2 menit. Setelah dingin ke dalamnya ditambahkan 1 mL HCl 4 M lalu dipanaskan kembali selama 2 menit. Masing-masing larutan disaring dengan kertas saring yang telah dibasahi, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan dibilas dengan akuadem. Ditambahkan 4 mL larutan Fe3+ 0,1 M dan akuadem sampai garis batas dan diaduk hingga homogen. Campuran diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva absorbansi terhadap konsentrasi. Diperoleh data konsentrasi optimum yaitu konsentrasi larutan yang memberikan serapan zeolit aktif terhadap ion CN- terbanyak. Prosedur di atas dilakukan pada zeolit yang diaktifkan dengan pemanasan dan pengasaman. Analisis Zeolit Teraktivasi-CN Dengan Difraksi Sinar–X Analisis ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara ion CN- dengan zeolit aktif. Analisis ini dilakukan dengan menjenuhkan zeolit aktif dengan larutan ion CN- pada kondisi optimum (waktu pengadukan, pH, dan konsentrasi optimum). Filtrat dipisahkan dengan disentrifuge, endapan zeolit aktif-CN diletakkan pada cawan porselin dan dikeringkan pada suhu 110ºC selama 2 jam kemudian diayak dengan ayakan berukuran 200 mesh, sehingga diperoleh serbuk zeolit aktif-CN dan siap dianalisis dengan difraktometer sinar-X. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Zeolit Karakterisasi zeolit ini bertujuan untuk mengetahui jenis mineral penyusun zeolit. Karakterisasi ini dilakukan dengan menggunakan difraksi sinar-X pada sudut difraksi 5o-40o. Spektrum hasil difraksi sinar-X dapat dilihat dari Gambar 1.

PKMP-5-9-6

Gambar 1. Hasil difraksi sinar-X zeolit alam Turen, Malang Gambar tersebut menunjukkan bahwa zeolit alam Turen, Malang banyak mengandung mineral mordenit dengan rumus molekul (Ca, Na2, K2)Al2Si10O24.17H2O dan sedikit mengandung Greenalite-1M dengan rumus molekul Fe3Si2O5(OH)4 serta tercampur sedikit Illite-2M2 [KAl2(Si3Al)O10(OH)2] dengan perbandingan Si/Al sebesar 1,1203. Perbandingan ini menunjukkan adanya penggantian ion Si(VI) dengan ion Al(III) pada srtuktur zeolit sebesar 1,1203, sehingga struktur zeolit bermuatan negatif yang akan dinetralkan oleh kation yang bersifat mobil. Komposisi mordenit tersebut (% b/b) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi mordenit Turen, Malang Komposisi % b/b SiO2 47,1 TiO2 0,34 Al2O3 37,1 Fe2O3 0,49 MgO 0,83 CaO 0,57 Na2O 0,35 K2O 7,1 H2C+ 5,18 H2C0,99 P2O5 0,01 Aktivasi Zeolit Alam Zeolit alam yang berasal dari Turen, Malang yang berupa butiran-butiran berwarna hijau muda kemungkinan masih mengandung senyawa lain yang dapat mengganggu/mengurangi daya serap pada zeolit. Untuk meningkatkan daya serap, zeolit perlu diaktifkan dengan pemanasan dan penambahan larutan asam. Aktivasi Zeolit Alam Dengan Pemanasan Aktivasi dengan pamanasan ini bertujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit sehingga luas permukaan pori bertambah. Pada penelitian ini, zeolit dipanaskan dengan oven pada suhu 300oC

PKMP-5-9-7

selama 2 jam. Zeolit hasil pemanasan berwarna coklat. Perubahan warna ini disebabkan adanya air kristal yang hilang. Aktivasi Zeolit Alam Dengan Pengasaman Aktivasi zeolit pengasaman ini bertujuan untuk membersihkan pori, menghilangkan pengotor dan mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan sehingga lebih porous dan sifat elektrokimia lebih aktif. Pada penelitian ini, pengasaman zeolit menggunakan larutan H2SO4 0,5 M. Proses ini mengakibatkan struktur zeolit rusak atau terjadi dealuminasi. Untuk menstabilkan struktur zeolit dilakukan pemanasan pada suhu 105oC selama 2 jam. Zeolit yang telah mengalami perubahan struktur inilah yang akan digunakan untuk mengadsorpsi ion CN-. Zeolit hasil pengasaman berwarna putih kehijauan. Setelah proses tersebut dilakukan, zeolit dihaluskan lagi dengan mortar dan diayak dengan ayakan berukuran 200 mesh. Hal ini bertujuan agar luas permukaan zeolit bertambah sehingga dapat digunakan untuk proses adsorpsi secara optimal. Analisis Struktur Kristal Zeolit Teraktivasi Analisis tersebut bertujuan mengetahui perubahan susunan atom pada kristal zeolit akibat proses aktivasi. Keberhasilan proses pengaktifan dengan pemanasan dan pengasaman ditentukan dari hasil analisis difraksi sinar-X yaitu dengan membandingkan harga 2θ dan d-spacing dari difraktogram zeolit alam dan zeolit teraktivasi yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Data pergeseran difraksi sinar-X zeolit alam, zeolit pemanasan dan pengasaman Zeolit alam Zeolit Pemanasan Zeolit Pangasaman No d d d 2θ 2θ 2θ 1 22,3075 3,98196 22,339 3,97652 22,2667 3,98927 2 25,68265 3,4658 25,7063 3,46275 25,6332 3,47246 3 26,36877 3,37715 26,3635 3,37791 26,2877 3,38747 Dari data tersebut menunjukkan bahwa pemanasan dan pengasaman mengakibatkan perubahan 2θ dan d-spacing pada zeolit alam. Pada pemanasan perubahan jarak antar bidang tersebut diakibatkan karena adanya penggantian kation pada zeolit dengan ion H+. Pada proses pemanasan perubahan jarak terjadi karena hilangnya air kristal pada zeolit tersebut. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Fe(SCN)n3-n Panjang gelombang maksimum ditentukan dari nilai absorbansi maksimum. Konsentrasi larutan CN- yang digunakan untuk penentuan panjang gelombang maksimum 100 ppm. Larutan CN- yang akan diukur dikomplekskan lebih dahulu sehingga membentuk Fe(SCN)n3-n yang berwarna merah. Larutan ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 380 – 600 nm yang merupakan daerah visibel dengan spektrofotometer UV–Vis. Kurva penentuan panjang gelombang maksimum Fe(SCN)n3-n dapat dilihat pada Gambar 2.

PKMP-5-9-8

Gambar 2. Kurva penentuan panjang gelombang maksimum Fe(SCN)n3-n Dari kurva tersebut dapat diketahui bahwa panjang gelombang maksimum adalah 459 nm. Pembuatan Kurva Standar Fe(SCN)n3-n Larutan standar CN- dibuat dengan konsentrasi 100, 120, 140, 160, 180, dan 200 ppm. Variasi standar ini, kemudian dikomplekskan sehingga membentuk Fe(SCN)n3-n dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 459 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. kurva standar dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kurva standar Fe(SCN)n3-n Kurva diatas mempunyai persamaan regresi Y = 0,0068X – 0,1244 dengan harga koefisien korelasinya (R2) sebesar 0,9942. Tampak bahwa koefisien korelasi mendekati 1 maka ada korelasi linier positif antara konsentrasi larutan CN- dengan adsorbansi. Penentuan Waktu Optimum Adsorbsi Penentuan konsentrasi serap optimum pada variasi waktu pengadukan dilakukan dengan menginteraksikan zeolit pemanasan atau zeolit pengasaman dengan larutan CN- 100 ppm dengan variasi waktu pengadukan 20, 30, 40, 50, 60, dan 80 menit. Pengaruh waktu pengadukan dengan konsentrasi larutan CN- 100 ppm yang terserap ditunjukkan pada Gambar 4.

PKMP-5-9-9

konsentrasi serap (ppm)

80 70 60 50

pengasaman

40

pemanasan

30 20 10 0 0

20

40

60

80

100

waktu pengadukan (menit)

Gambar 4. Kurva hubungan waktu pengadukan dengan konsentrasi serap CNBerdasarkan data diatas, terlihat bahwa konsentrasi CN- yang paling banyak terserap pada zeolit pemanasan dan pengasaman terjadi pada waktu pengadukan 60 menit. Lama pengadukan tersebut mengakibatkan interaksi antara zeolit pengasaman dan pemanasan dengan larutan CN- semakin lama sehingga CN- yang teradsorpsi semakin banyak. Pada waktu yang semakin lama (t > 60 menit) adsorpsi dengan zeolit pengasaman tidak lagi terjadi kenaikan konsentrasi serap CN- (konstan). Hal ini disebabkan karena zeolit menjadi jenuh sehingga tidak mampu lagi menyerap CN-. Sedangkan pada adsorpsi dengan zeolit pemanasan pada waktu lebih dari 60 menit, maka konsentrasi serap CN- semakin kecil karena adsorpsi yang terjadi adalah adsorpsi fisik yang melibatkan gaya Van Der Waals (lebih lemah) sehingga memungkinkan terjadi deadsorpsi.

Konsentrasi Serap (ppm)

Penentuan pH Optimum Adsorbsi Penentuan konsentrasi serap optimum pada variasi pH dilakukan setelah penentuan waktu optimum adsorbsi. Variasi pH yang dilakukan adalah 3 - 7. Hal ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pH larutan yang memberikan kemampuan terbesar pada zeolit pengasaman dan pemanasan untuk menyerap CN-. Pada pH < 3 proses adsorpsi semakin sedikit dan toksik karena pada pH yang semakin asam akan lebih cepat terbentuk HCN yang merupakan gas beracun dan mudah menguap. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap konsentrasi CN100 ppm yang terserap dapat dilihat pada Gambar 5. 80 60 Series1

40

Series2

20 0 0

2

4

6

8

pH

Gambar 5. Kurva hubungan pH dengan konsentrasi serap CN-

PKMP-5-9-10

Dari kurva tersebut ditunjukkan bahwa pH larutan yang menghasilkan konsentrasi CN- yang terserap paling banyak adalah pada pH 3. Hal ini terjadi karena pada proses pengasaman zeolit mengalami dealuminasi sehingga terjadi pemutusan ikatan Al-O dan terbentuk ikatan Si-OH (silanol) sebagai pembawa muatan positif akibatnya zeolit akan lebih mudah untuk mengadsorpsi CN- atau dengan kata lain gugus OH- pada zeolit dapat mengasosiasi proton dan membuat sisi aktif terhadap zeolit sehingga zeolit pengasaman dapat menyerap CN-. Sedangkan pada pH semakin tinggi maka daya serap zeolit pengasaman terhadap CN- lebih kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh bertambah negatifnya permukaan zeolit aktif karena terjadi disosiasi proton dari gugus OH terbuka terkristal (Tan, 1991). Selain itu dapat disebabkan oleh persaingan antara H+ dengan CN- karena penambahan asam (HCl) sebagai pangaturan variasi pH. Hal ini dapat terlihat dari perubahan pH setelah proses adsorpsi yang semakin naik, ini menunjukkan semakin banyaknya H+ yang terserap oleh zeolit. Hal yang sama juga terjadi pada zeolit pemanasan, karena sebelum CNdiinteraksikan dengan zeolit pemanasan terlebih dahulu ditambahkan HCl (suatu asam) setelah itu diaduk selama 60 menit. Pada saat pengadukan tersebut kemungkinan terjadi dealuminasi (dengan adanya asam) yang mengakibatkan muatan positif pada struktur zeolit sehingga CN- akan lebih mudah terserap. Penambahan pH akan menurunkan daya serap zeolit pamanasan terhadap CN-, seperti halnya perubahan pH pada adsorpsi dengan zeolit pengasaman. Analisis Difraksi Sinar-X Zeolit-pemanasan-CN- dan Zeolit-pengasaman-CNAnalisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah CN- telah teradsorpsi dalam kristal zeolit. Keberhasilan proses adsorpsi dengan zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman ditentukan dari hasil analisis difraksi sinar-X yaitu dengan membandingkan harga 2θ dan d-spacing dari difraktogram zeolit teraktivasi dan zeolit teraktivasi-CN yang ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Data pergeseran difraksi sinar-X zeolit pemanasan dan zeolit pemanasan CNZeolit pemanasan Zeolit pemanasan-CNNo d d 2θ 2θ 1 22,3390 3,97652 22,2958 3,98413 2 25,7063 3,46275 25,6959 3,46413 3 26,3635 3,37791 27,7698 3,20996 Tabel 4. Data pergeseran difraksi sinar-X zeolit pengasaman dan zeolit pengasaman CNZeolit pengasaman Zeolit pengasaman-CNNo d d 2θ 2θ 1 22,3390 3,97652 22,2667 3,98927 2 25,7063 3,46275 25,6332 3,47246 3 26,3635 3,37791 26,2877 3,38747 Dari tabel diatas terlihat adanya perbedaan 2θ dan d-spacing dari zeolit teraktivasi dengan zeolit teraktivasi yang telah terserap ion CN-, yang mana antara 2θ dan d-spacing saling berbanding terbalik sesuai dengan Persamaan Bragg. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kristal zeolit telah mengadsorpsi CN-.

PKMP-5-9-11

Konsentrasi Serap (ppm)

Penentuan Kapasitas Adsorpsi Pada proses adsorpsi, selain terjadi proses adsorpsi juga terjadi pertukaran ion. Proses tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Dalam penelitian ini ion yang dipertukarkan adalah anion (CN-). Pada adsorpsi yang menggunakan zeolit pemanasan dengan pH 3 akan terjadi proses adsorpsi dan pertukaran anion. Proses adsorpsi dapat terjadi akibat pemanasan zeolit, karena air kristal keluar sehingga rongga zeolit menjadi kosong. Proses pertukaran ion terjadi karena adanya pengasaman pada zeolit, karena pengasaman menyebabkan terjadinya dealuminasi. Pada proses dealuminasi terbentuk silanol (Si-OH) yang membawa muatan positif pada lapisan permukaan struktur zeolit tersebut . Lapisan ini makin bersifat positif dengan menurunnya pH atau meningkatnya ion H+ pada lapisan tersebut. Lapisan yang bermuatan positif inilah yang mengadsopsi ion-ion yang bermuatan negatif atau anion. Penentuan kapasitas adsorpsi CN- dilakukan dengan menggunakan larutan CN- dengan berbagai variasi konsentrasi (100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm) yang diinteraksikan dengan zeolit pemanasan dan pengasaman dengan waktu pengadukan optimum 60 menit dan pH optimum yaitu 3. Hasil penentuan kapasitas adsorpsi ditunjukkan pada kurva hubungan antara konsentrasi awal dengan konsentrasi larutan CN- yang terserap, seperti yang terlihat pada Gambar 6. 80 60 pemanasan

40

pengasaman

20 0 0

2

4

6

8

pH

Gambar 6. Kurva hubungan antara konsentrsi awal dengan konsentrasi serap CNKurva tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi CN- yang digunakan maka semakin besar pula konsentrasi CN- yang dapat diserap oleh zeolit pemanasan dan pengasaman. Hal ini dipengaruhi oleh laju reaksi. Semakin banyak konsentrasi serap maka laju reaksi semakin cepat. Penentuan kapasitas adsorpsi dapat dihitung dari kapasitas pertukaran anion (KPA) yang merupakan total dari proses adsorpsi dan pertukaran anion. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa harga kapasitas adsorpsi atau kapasitas pertukaran anion (KPA) CN- untuk zeolit pamanasan adalah 120,4 mek/100 gram zeolit pemanasan dan untuk zeolit pengasaman adalah 128,8 mek/100 gram zeolit pengasaman. Harga kapasitas adsorpsi untuk zeolit pengasaman lebih besar daripada zeolit pemanasan hal ini mungkin karena proses dealuminasi pada zeolit pengasaman lebih besar daripada zeolit pemanasan akibatnya zeolit akan bermuatan lebih positif sehingga lebih mudah untuk mengadsoprsi CN-. Perhitungan: [CN - ] terserap valensi volume 100 KPA atau kapasitas adsorpsi Ar CN- berat sampel Untuk zeolit pemanasan:

PKMP-5-9-12

KPA

Untuk zeolit pengasaman: KPA

234,7941 1 20 100 26 1000 mL 0,15 gram = 120,4 mek/100 gr 251,1176 1 20 100 26 1000 mL 0,15 gram = 128,8 mek/100 gram

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. zeolit aktif hasil pemanasan dan pengasaman dapat digunakan sebagai adsorben ion sianida 2. kapasitas adsorpsi untuk zeolit pengasaman sebesar 128,8 mek/100 gram dan untuk zeolit pemanasan sebesar 120,4 mek/100 gram. DAFTAR PUSTAKA 1. ARHA, AWWA, WPCF, 1995, Standart Methods for The Examination of Waste and Waste Water, 19th edition, ARHA, Washington D. C. 2. Anonim, 1990, Kegunaan dan Prospek Zeolit Di Indonesia, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Laporan Ekonomi Bahan Galian, No. 7, Jakarta. 3. Anonim, 1995, Potensi Bahan Galian Golongan C Kabupaten Daerah Tingkat II Pacitan, Dinas Pertambangan Daerah, Surabaya. 4. Atkins, P., Paula, de Julio, 2002, Physical Chemistry, 7th edition, Oxford University Press, Inc., New York. 5. Barrer, R.M., 1978, Zeolite and Clay Mineral as Sorbent and Molecular Sieves, Academic Press, Inc., London, p.1-9. 6. Bohn, Heinrich, L., Brian, L., McNeal and George A. Connor, 1985, Soil Chemistry, 2nd edition, John Wiley and Sons, Inc., New York. 7. Chen, D., Ray, A. K., 1999, Photocatalytic Kinetic of Phenol Its Derivates Over UV Irradiated TiO2, Applied Catalysis B: Enviromental, Vol. 23, p.143157. 8. Dyer, 1994, Zeolites, Encyclopedia of lnorganic Chemistry, Editor : R. Bruce King, V.B., John Wiley and Sons, Chishester, p. 4365-4391. 9. Erawati, dkk. 2003, Penentuan Daya Serap zeolit Alam Malang Selatan Terhadap Biru Metilen dan kuinin HCI, Majalah Farmasi Airlangga, Vol. 2, No.3 10. Ewing, G. W., 1988, Instrumental Method of Chemical Analysis, 5th edition, Mc Graw Hill Book Company, New York. 11. Geby, 2003, Reduksi Kandungan Sianida Dalam Air Limbah Dengan TiO2, Skripsi, Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS, Surabaya. 12. Glusker, J.P., Trueblood, K.N., 1985, Crystal Structure Analysis: A Primer, 2nd edition, Oxford University Press, New York. 13. Hampel, C.A., Hawley, G.G., 1982, Glossary of Chemical Terms, 2nd edition, Van Nostrand Reinhold, New York, p.8. 14. Jolly, W.L., 1991, Modem Inorganic Chemistry, 4th edition, Chapman and Hall, London.

PKMP-5-9-13

15. Kirk-Othmer, 1991, Molecular Sieves, Encyclopedia of Chemical Technology, 3th edition, Vol. 15, John Wiley and Sons, New York, p. 638-650. 16. Liebau, F., 1985, Structural Chemistry of Silicate, Springer-Verlag, Berlin, p.13-15, 155-159. 17. Harsini, M., 1995, Metode Difraksi Sinar-X Untuk Identifikasi Perubahan Kristal Zeolit akibat aktivasi, Jurnal, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga. 18. Prakash, S., Basu, S.K., et.al, 1980, Advanced Inorganic Chemistry, 6th edition., Chand and Co New Delhi, p.392. 19. Prayitno, K.B., 1989, Zeolit Sebagai Alternatif Industri Komoditi Mineral di Indonesia, Majalah BPPT, No. XXXV, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, p.15-23. 20. Puspitoningrum, D., 2004, Degradasi Fotokatalitik Sianida Menggunakan Suspensi TiO2, Skripsi, Kimia FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya. 21. Saeni, M. S., 1989, Kimia Lingkungan, Pusat Antar Ilmu Hayat IPB, Dirjen Dikti, Depdikbud. 22. Subagjo, 1993, Zeolit, Warta Insinyur Kimia, Pusat Antar Ilmu Hayat IPG, Dirjen Dikti, Depd ikbud. 23. Sukarjo, 1991, Kimia Fisika, edisi kedua, Bina Aksara Press, Jakarta. 24. Sariman, Trisnasunara, dan Husaini, 1998, Persiapan, Pengelolaan, dan Penggunaan Zeolit Alam Berdasarkan Sifat Yang Dimilikinya, Makalah Teknik, No.1 ,Pusat Penelitian dan Pengembangan Tehnologi Mineral, Bandung. 25. Sutarti, M., dan Rachmawati, M., 1994, Zeolit Tinjauan Literatur, Pusat Dokumentasi dan Infomasi Ilmiah, LIPI, Jakarta. 26. Syah, Y., 1993, Penentuan kadar Protein dengan Pereaksi (NH4)S2 dan Garam Fe (III) secara Spektrofotometri, Fakultas MIPA, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya. 27. Tan, K. H., 1982, Dasar-Dasar Kimia Tanah, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 28. Vansant, E.F, 1990, Pore Size Engineerig in Zeolites, John wiley and Sons, Inc., New York. 29. Widjajakusuma, C., 1996, Pengaruh Pengaktifan Zeofit Alam Pada Pertukaran Ion Cr (III), Skripsi, Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya.

PKMP-5-10-1

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS LARVA LUCILLIA SP. DAN MUSCA SP. DALAM UJI EKSTRAK IN VITRO, UJI EKSTRAK IN VIVO, MANGGOT DEBRIDEMENT THERAPY PADA LUKA TERINFEKSI METHICILLIN-RESISTANST STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA) Albert Cendikiawan, H Gunarwan, O Trinurcahyo, V Tedjamulia, CA Wahyu P Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-5-11-1

SINTESIS BAHAN PEWARNA KERAMIK SEBAGAI TAHAP AWAL PENYEDIAAN BAHAN PEWARNA KERAMIK PENGGANTI IMPORT Dina Sugiyanti, Zainal Arifin, Agus Basir Ali Akbar PS Kimia FMIPA, Universitas Negeri Malang, Malang ABSTRAK Keramik memiliki nilai estetika yang tinggi apabila pada proses finishingnya digunakan pewarna yang menarik. Untuk menambah nilai dekoratif pada finishingnya ditambahkan bahan tambahan glasir frit. Pewarna keramik yang digunakan oleh kebanyakan pengrajin keramik umumnya merupakan pewarna import, sehingga harganya relatif mahal. Pada penelitian ini dilakukan sintesis pewarna keramik berbasis oksida dengan menggunakan metode spinel. Metode ini merupakan metode sintesis pewarna keramik dengan mencampurkan dua oksida atau lebih dan dilakukan kalsinasi pada suhu 1250 0C selama 24 jam. Penelitian ini bersifat eksperimental dengan tujuan untuk memperoleh pewarna keramik sintesis pengganti import dengan harga relatif murah sehingga mengurangi penggunaan devisa negara. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini pertama mengetahui kadar logam krom dan kobalt dalam pewarna keramik import peacock blue Cp 256. Kedua membuat massa body keramik jenis tegel sebagai media pengaplikasian pewarna hasil sintesis. Ketiga melakukan sintesis pewarna keramik berbasis oksida CoO, Cr2O3, Al2O3, MnO2 dengan spesifikasi sbb: (1) Cr2O3 dan Al2O3 dengan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (2) Cr2O3 dan CoO dengan dengan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (3) MnO2 dan Al2O3 dengan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (4) CoO, MnO2 dan Al2O3 dengan komposisi 1 : 1 : 1, 1 : 3 : 6, 1 : 6 : 3, 3 : 1 : 6, 3 : 6 : 1, 6 : 1 : 3, 6 : 3 : 1. Keempat melakukan aplikasi pewarna hasil sintesis pada massa body dengan mencampurkan glasir frit. Hasil yang diperoleh sebagai berikut: (1) kadar logam Co dan Cr dalam pewarna import peacock blue Cp 256 0,029 dan 0,071 ppm (2) pewarna hasil sintesis dari oksida logam Cr dan Al menghasilkan warna dominan hijau, oksida logam Co dan Cr menghasilkan warna dominan biru, oksida logam Mn dan Al menghasilkan warna dominan hitam dan merah, oksida logam Co, Mn dan Al menghasilkan warna ungu, cokelat muda, biru muda dan biru tua (3) hasil aplikasi pewarna sintesis pada massa body keramik memiliki warna yang sesuai dengan warna dari pewarna sintesis dan mengkilap karena penambahan glasir frit. Penelitian ini berhasil mensintesis pewarna keramik berbasis oksida logam sehingga didapatkan pewarna keramik pengganti import dengan harga yang relatif murah. Kata kunci: pewarna keramik, kalsinasi, oksida logam, spinel, peacock blue Cp 256 PENDAHULUAN Pembangunan sarana fisik sangat gencar dilakukan, yang tentu tidak lepas dari material bangunan diantaranya adalah keramik. Keramik memberikan warna tersendiri terhadap fisik bangunan, karena finishing atau bagian luar dari keramik memiliki nilai dekoratif yang tinggi. Oleh karena itu kebutuhan keramik sebagai material bangunan saat ini sangat besar, baik dari segi kuantitas maupun

PKMP-5-11-2

kualitasnya. Ditinjau dari segi kualitas misalnya adalah efek dekoratif, yaitu suatu desain bentuk atau warna yang menarik, yang tidak lepas dari bentuk body keramik dan pewarnaan pada keramik. Keramik didefinisikan sebagai material anorganik yang komponen dasarnya adalah material non logam anorganik dan juga terdapat sebagai material logam (Oxtoby 2003). Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan keramik diantaranya adalah kaolin, feldspar, clay, pasir kuarsa, dan glasir. Untuk memberikan efek dekoratif diperlukan pewarnaan pada finishing keramik. Pewarnaan merupakan bagian yang sangat penting bagi penampilan fisik keramik, karena warna terletak pada bagian yang paling luar dari keramik atau bagian yang terlihat oleh mata. Oleh karena itu warna mutlak diperlukan pada body keramik. Di Jawa Timur khususnya di Kabupaten Malang, banyak sekali terdapat pengrajin keramik dan pabrik-pabrik keramik, yang memerlukan pewarnaan pada keramik yang dihasilkan. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa bahan pewarna yang digunakan umumnya mahal karena berasal dari produk luar negeri atau import. Oleh karena itu dibutuhkan bahanbahan pewarna yang mempunyai kualitas baik, mudah didapat, dan harganya murah. Kualitas baik berkaitan dengan hasil warna keramik setelah pembakaran sama dengan sebelum pembakaran, stabil selama proses pembakaran, cocok dengan glasir yang digunakan, dan dapat diaplikasikan pada keramik pada suhu serendah mungkin. Mudah didapat artinya bahwa kebutuhan bahan-bahan pewarna tidak diperoleh dari import tetapi sudah tersedia di dalam negeri dan berharga murah. Berdasarkan kajian literatur bahan pewarna komersial diketahui bahwa kandungan utama bahan-bahan pewarna tersebut adalah logam-logam transisi seperti Fe, Zn, Zr, Co, Sn, Ti, Cr, Ni, Mn dan beberapa logam golongan A dalam Sistem Periodik seperti Ca, Si, Pb, Al (Anonim, tanpa tahun). Dilihat dari komposisinya, maka bahan-bahan pewarna tersebut dapat disintesis dengan menggunakan metode pembuatan warna spinel. Berdasarkan uraian diatas, penting dilakukan penelitian mengenai kadar logam dalam pewarna komersial (peacock blue Cp 256) untuk selanjutnya dijadikan acuan dalam menentukan komposisi oksida logam (CoO, Cr2O3, MnO2 dan Al2O3) pada sintesis pewarna keramik. Setelah berhasil disintesis bahan pewarna keramik diharapkan dapat menghemat biaya produksi pada pabrik-pabrik keramik di Kabupaten Malang khususnya dan industri keramik dalam negeri pada umumnya. Disisi lain ditemukannya metode atau cara sintesis pada penelitian ini diharapkan semakin menambah khasanah perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. METODE PENDEKATAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di Laboratorium Jurusan Kimia UM dan Balai Penelitian Teknologi Industri Keramik LIK Malang mulai 1 Maret – 30 Mei 2006. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.

PKMP-5-11-3

Analisis Kadar Logam Co dan Cr dalam Pewarna Keramik Peacock Blue Cp 256 Penentuan kadar logam Co dan Cr dilakukan dengan melarutkan 0,1 gram pewarna peacock blue Cp 256 dengan 10 ml air raja (campuran HCl pekat dengan HNO3 dengan perbandingan 1:3 ) kemudian mengencerkannya dengan akuades sampai volume 100 ml. Larutan kemudian disaring untuk selanjutnya filtrat yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer AAS merk SHIMADZU AA-6800. Pembuatan Massa Body Keramik Kaolin, feldspar, kuarsa, dan semen merah kemudian digerus sampai halus dan homogen. Campuran disaring dengan saringan nomor mesh 100 kemudian ditambah air dan diaduk agar homogen selanjutnya dicetak dalam cetakan berbentuk silinder, setelah itu dikeringkan di udara terbuka yang terlindung dari sinar matahari langsung selama satu hari. Kemudian dibakar pada suhu 1250°C selama 1 jam. Pembuatan Pewarna Spinel Berbasis Oksida Logam Dua oksida logam atau lebih dicampur kemudian dikalsinasi pada suhu 1250 °C selama 24 jam. Hasil kalsinasi kemudian digerus sampai diperoleh serbuk halus yang homogen. Pada penelitian ini digunakan oksida CoO, Cr2O3, Al2O3, MnO2 dengan spesifikasi sbb: (1) Cr2O3 dan Al2O3 dengan perbandingan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (2) Cr2O3 dan CoO dengan dengan perbandingan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (3) MnO2 dan Al2O3 dengan dengan perbandingan komposisi 1 : 9, 3 : 7, 5 : 5, 7 : 3, 9 : 1 (4) CoO, MnO2 dan Al2O3 dengan perbandingan komposisi 1 : 1 : 1, 1 : 3 : 6, 1 : 6 : 3, 3 : 1 : 6, 3 : 6 : 1, 6 : 1 : 3, 6 : 3 : 1. Aplikasi Pewarna Hasil Sintesis pada Keramik Jenis Tegel Pewarna hasil sintesis seberat 0,2 gram dicampur dengan 2 gram glasir frit kemudian ditambah 10 mL air. Campuran yang diperoleh diaduk sampai homogen kemudian dioleskan pada massa body keramik. Selanjutnya dikalsinasi pada suhu 1100oC selama 1 jam. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Kadar Logam Cr dan Co pada Pewarna Keramik Komersial Peacock Blue Cp 256 Hasil analisis dengan spektrofotometer AAS kadar logam krom dan kobalt dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256 sebesar 0,071 ppm dan 0,029 ppm. Kadar yang diperoleh sangat kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa warna yang dihasilkan dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256 bukan semata-mata akibat adanya logam transisi dalam pewarna tersebut. Karena adanya logam transisi yang banyak terdapat elektron tidak berpasangan secara teoretis dapat menimbulkan warna tertentu sebagai akibat adanya transisi elektronik dalam orbital d yang menyerap di daerah sinar tampak. Warna yang ada dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256 kemungkinan disebabkan adanya pewarna organik yang ditambahkan kedalamnya. Karena secara teoretis ada senyawa yang dapat menghasilkan warna

PKMP-5-11-4

disamping senyawa dari logam transisi yaitu pewarna organik. Keberadaan pewarna organik dalam pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256 didukung dari hasil pengamatan pada waktu pewarna diberi perlakuan sebelum AAS yaitu dengan melarutkannya dalam beberapa pelarut: air, HCl, HNO3 dan air raja, pewarna tersebut tidak dapat larut dengan baik dan terbentuk endapan kembali yang berwarna biru. Secara teoretis senyawa anorganik dapat larut dengan air raja namun hal itu tidak terjadi pada pelarutan pewarna keramik komersial peacock blue Cp 256. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pewarna tersebut terdapat senyawa organik yang dapat menimbulkan warna disamping logam transisi. Pembuatan Massa Body Keramik Massa body keramik diperlukan untuk menguji kualitas hasil pewarna sintesis. Massa body yang dibuat merupakan massa body keramik jenis tegel, karena dalam proses pembuatannya sesuai dengan jenis keramik tegel. Pembakaran awal bertujuan untuk mereaksikan senyawa-senyawa yang dipakai dalam massa body setelah dicetak, dimana kaolin yang merupakan tanah liat berkualitas tinggi berfungsi sebagai bahan perekat. Feldspar berfungsi sebagai bahan pelebur untuk menurunkan suhu peleburan keramik, serta pemberi kekuatan pada body keramik setelah dibakar. Kuarsa berfungsi sebagai rangka saat pembakaran serta berfungsi sebagai bahan pengisi ruang yang ditinggalkan oleh bahan-bahan organik setelah proses pembakaran. Sedangkan semen merah dapat menambah kuat tekan keramik. Hasil pembuatan massa body ditunjukkan pada gambar1.

Gambar 1 Massa Body Keramik yang Telah Dibakar Hasil Sintesis Bahan Pewarna Sintesis bahan pewarna menggunakan metode spinel. Hal ini dilakukan dengan mencampur dan menggerus dua oksida atau lebih yang dikalsinasi atau dibakar pada suhu tertentu. Kalsinasi dilakukan 2 kali, pertama pada suhu 1250 °C selama 24 jam dengan tujuan agar oksida yang dicampur bereaksi. Kalsinasi yang kedua dilakukan pada suhu 1100 oC selama 1 jam, dengan tujuan menstabilkan warna saat diaplikasikan pada keramik (Anonim 2003) dan dapat bercampur dengan glasir frit yang digunakan setelah ditambah dengan air. Bahan pewarna hasil kalsinasi digerus sangat halus agar dapat bercampur homogen dengan glasir frit dan membentuk suspensi yang stabil setelah ditambah dengan air. Hal ini menyebabkan bahan pewarna terdistribusi rata ke dalam leburan glasir pada proses pembakaran. Partikel-partikel bahan pewarna terikat dalam glasir frit. Keadaan tersebut berdasarkan pada metode pewarnaan yang disebut metode in glaze. Bahan pewarna yang digunakan harus digerus sangat halus. ƒ Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida Cr2O3 dan Al2O3

PKMP-5-11-5

Oksida Cr2O3 adalah serbuk agak kasar dan berwarna hijau tua, sedangkan oksida Al2O3 adalah serbuk halus dan berwarna putih. Warna kedua bahan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.

(a)

(b)

Gambar 2 (a) Serbuk Cr2O3 dan (b) Serbuk Al2O3 Variasi jumlah bahan yang digunakan pada metode ini terdapat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Variasi Perbandingan Berat dengan Metode Spinel Perbandingan Berat Cr2O3 dan Al2O3 yang dikalsinasi 9:1 7:3 5:5 3:1 1:9

Berat Glasir Frit (g) 2 2 2 2 2

Bahan dan Hasil yang Diperoleh

Berat Campuran dari Kolom 1 yang Digunakan (g) 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2

Warna sebelum dikalsinasi

Warna setelah dikalsinasi

Hijau tua Hijau lebih muda Hijau lebih muda Hijau lebih muda Hijau muda

Hijau tua Hijau lebih muda Hijau lebih muda Hijau lebih muda Hijau muda

Perbandingan jumlah oksida Cr2O3 dan Al2O3 yang terdapat pada Tabel 1, dari atas ke bawah menunjukkan jumlah oksida Cr2O3 yang semakin sedikit dan jumlah oksida Al2O3 yang semakin banyak. Dari bahan pewarna hasil kalsinasi campuran dua oksida tersebut pada berbagai perbandingan, semua dapat diaplikasikan pada body keramik. Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa body keramik ditunjukkan pada gambar 3, 4, 5, 6, 7.

(a)

(b)

Gambar 3 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan Al2O3 dengan Perbandingan 9 : 1, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

PKMP-5-11-6

(a)

(b)

Gambar 4 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan Al2O3 dengan Perbandingan 7 : 3, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 5 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan Al2O3 dengan Perbandingan 5 : 5, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 6 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan Al2O3 dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 7 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan Al2O3 dengan Perbandingan 1 : 9, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik Hasil pewarna yang diperoleh berbentuk serbuk berwarna dominan hijau yang halus dan homogen. Warna hijau disebabkan karena campuran mengandung logam Cr. Ketika diaplikasikan pada massa body keramik diperoleh hasil warna mengkilap yang sama dengan warna bahan pewarna awal, hal ini karena adanya reaksi kimia antara oksida Cr2O3 dan oksida Al2O3 dengan glasir frit. Penambahan glasir frit berfungsi sebagai efek dekoratif dalam hasil akhir pembuatan keramik. Penambahan oksida Al2O3 yang semakin banyak menyebabkan warna bergeser ke arah warna hijau muda. Hal ini terjadi karena campuran didominasi

PKMP-5-11-7

oleh keberadaan logam Al, dimana logam tersebut tidak berwarna sehingga intensitas warna hijau yang disebabkan adanya keberadaan logam Cr berkurang. Warna hijau tua pada bahan dapat terjadi karena atom pada bahan menyerap warna merah yang mempunyai panjang gelombang (λ) 700 nm (Effendy 2004). ƒ

Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida Cr2O3 dan CoO Oksida Cr2O3 adalah serbuk agak kasar dan berwarna hijau tua, sedangkan oksida CoO adalah serbuk halus dan berwarna biru tua.Variasi jumlah bahan yang digunakan pada metode ini terdapat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Variasi Perbandingan Berat dengan Metode Spinel Perbandingan Berat Cr2O3 dan CoO yang Dikalsinasi 9:1 7:3 5:5 3:1 1:9

Berat Glasir Frit (g) 2 2 2 2 2

Bahan dan Hasil yang Diperoleh

Berat Campuran dari Kolom 1 yang Digunakan (g) 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2

Warna sebelum dikalsinasi

Warna setelah dikalsinasi

Hijau tua Hijau lebih muda Biru Biru Biru

Hijau tua Hijau lebih muda Biru lebih muda Biru lebih muda Biru muda

Perbandingan jumlah oksida Cr2O3 dan CoO yang terdapat pada tabel 2 dari atas ke bawah menunjukkan jumlah oksida Cr2O3 yang semakin sedikit dan jumlah oksida CoO yang semakin banyak. Dari bahan pewarna hasil kalsinasi campuran dua oksida tersebut pada berbagai perbandingan, semua dapat diaplikasikan pada body keramik. Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa body keramik ditunjukkan pada gambar 8, 9, 10, 11, 12.

( a) ) Gambar 8 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi(bCampuran Cr2O3 dan CoO dengan Perbandingan 9 : 1, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 9 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan CoO dengan Perbandingan 7 : 3, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

PKMP-5-11-8

(a)

(b)

Gambar 10 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan CoO dengan Perbandingan 5 : 5, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 11 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan CoO dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 12 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran Cr2O3 dan CoO dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik Hasil pewarna yang diperoleh berbentuk serbuk berwarna dominan hijau dan biru yang halus dan homogen. Warna hijau disebabkan karena campuran mengandung atom logam Cr, sedangkan warna biru karena campuran mengandung atom logam Co. Ketika diaplikasikan pada massa body keramik diperoleh hasil warna mengkilap yang sama dengan warna bahan pewarna awal, hal ini karena adanya reaksi kimia antara oksida Cr2O3 dan oksida CoO dengan glasir frit. Penambahan oksida CoO yang semakin banyak menyebabkan warna bergeser ke arah biru. Hal ini terjadi karena campuran didominasi oleh keberadaan logam Co, dimana logam tersebut berwarna biru sehingga intensitas warna biru bertambah yang disebabkan adanya keberadaan logam Co yang bertambah dan logam Cr yang berkurang.

PKMP-5-11-9

ƒ

Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida MnO2 dan Al2O3 Oksida MnO2 adalah serbuk agak halus dan berwarna hitam, sedangkan oksida Al2O3 adalah serbuk halus dan berwarna biru putih. Variasi jumlah bahan yang digunakan pada metode ini terdapat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Variasi Perbandingan Berat dengan Metode Spinel Perbandingan Berat MnO2 dan Al2O3 yang Dikalsinasi 9:1 7:3 5:5 3:1 1:9

Berat Glasir Frit (g) 2 2 2 2 2

Bahan dan Hasil yang Diperoleh

Berat Campuran dari Kolom 1 yang Digunakan (g) 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2

Warna sebelum dikalsinasi

Warna setelah dikalsinasi

Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam

Hitam Merah muda Hitam Hitam Hitam

Perbandingan jumlah oksida MnO2 dan Al2O3 yang terdapat pada tabel 3, dari atas ke bawah menunjukkan jumlah oksida Al2O3 yang semakin sedikit dan jumlah oksida MnO2 yang semakin banyak. Dari bahan pewarna hasil kalsinasi campuran dua oksida tersebut pada berbagai perbandingan, hanya ada satu warna yang bisa diaplikasikan pada body keramik yaitu pada perbandingan logam Mn : Al 3 : 7. Pada perbandingan logam hasil kalsinasi pada perbandingan yang lain diperoleh pewarna yang sangat keras sehingga tidak bisa digerus dan tidak bisa di aplikasikan pada massa body keramik. Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa body keramik ditunjukkan pada gambar 13, 14, 15, 16, 17 sebagai berikut.

Tidak berhasil diaplikasikan

Gambar 13 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 1 : 9

(a)

(b)

Gambar 14 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 3 : 7, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

PKMP-5-11-10

Tidak berhasil diaplikasikan

Gambar 15 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 5 : 5

Tidak berhasil diaplikasikan

Gambar 16 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 7 : 3 Tidak berhasil diaplikasikan

Gambar 17 Padatan Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 9 : 1 ƒ

Pembuatan Bahan Pewarna dengan Metode Spinel dari Oksida CoO, MnO2 dan Al2O3 Oksida MnO2 adalah serbuk agak halus dan berwarna hitam, oksida Al2O3 adalah serbuk halus dan berwarna biru putih, sedangkan oksida CoO adalah serbuk halus dan berwarna biru tua. Variasi jumlah bahan yang digunakan pada metode ini terdapat pada tabel 4 berikut. Tabel 4 Variasi Perbandingan Berat dengan Metode Spinel Perbandingan Berat CoO, MnO2 dan Al2O3 yang Dikalsinasi 1:1:1 1:3:6 1:6:3 3:1:6 3:6:1 6:1:3 6:3:1

Bahan dan Hasil yang Diperoleh

Berat Glasir Frit (g)

Berat Campuran dari Kolom 1 yang Digunakan (g)

Warna sebelum dikalsinasi

Warna setelah dikalsinasi

2 2 2 2 2 2 2

0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2

Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam

Abu-abu Cokelat muda Cokelat Biru Cokelat muda Biru Tua Abu-abu

PKMP-5-11-11

Hasil pewarna yang telah berhasil disintesis dan aplikasinya pada massa body keramik ditunjukkan pada gambar 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 sebagai berikut.

(b) (a)

Gambar 18 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3, dengan Perbandingan 1: 1 : 1, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 19 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 1: 3 : 6, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 20 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3, dengan Perbandingan 1: 6 : 3, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 21 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3, dengan Perbandingan 3:1:6, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

PKMP-5-11-12

(a)

(b)

Gambar 22 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 3:6:1 (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 23 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 6:1:3, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

(a)

(b)

Gambar 24 (a) Serbuk Bahan Pewarna Hasil Kalsinasi Campuran CoO, MnO2 dan Al2O3 dengan Perbandingan 6:3:1, (b) Aplikasi pada Massa Body Keramik

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) kadar logam Co dan Cr dalam pewarna peacock blue cp 256 adalah 0,029 dan 0,071 ppm, (2) pewarna hasil sintesis dari oksida logam Cr dan Al menghasilkan warna dominan hijau, dari oksida logam Co dan Cr menghasilkan warna dominan biru, dari oksida logam Mn dan Al menghasilkan warna dominan hitam dan merah, dari oksida logam Co, Mn dan Al menghasilkan warna ungu, cokelat muda, biru muda dan biru tua, (3) hasil aplikasi pewarna hasil sintesis pada massa body keramik menghasilkan warna yang sesuai dengan warna pewarna hasil sintesis dan mengkilap karena penambahan glasir frit. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) melakukan sintesis pewarna keramik dengan menggunakan oksida yang berbeda dan menggunakan variasi perbandingan yang lebih spesifik, (2) menggunakan katalis agar pada kalsinasi tidak memerlukan temperatur tinggi dan oksida yang dicampurkan benar-benar saling bereaksi menghasilkan suatu warna, (3) melakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi antara pewarna hasil sintesis dengan glasir frit sehingga diperoleh warna yang memiliki nilai estetika yang tinggi, (4) melakukan penelitan untuk menemukan metode pengaplikasian

PKMP-5-11-13

hasil pewarna sintesis yang telah dicampur dengan glasir frit pada massa body keramik, (5) mengaplikasikan pewarna hasil sintesis pada keramik jenis lain. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Tanpa tahun. Ceramic Pigment. China: China Glaze Co.Ltd. 2. Anonim. 2003. Glasir dan Pewarna Keramik. Malang: tidak diterbitkan. 3. Effendy. 2004. Spektra Elektronik Senyawa Koordinasi. Diktat Kuliah tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia FMIPA UM. 4. Oxtoby, D. W. Gillis, H.P. Nachtriep, H.N.2003. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Edisi Ke empat. Jilid II. Jakarta: Erlangga.

PKMP-5-12-1

ANALISIS KEKERABATAN ANTARJENIS KELOMPOK ANURA (AMFIBI) SULAWESI TENGGARA MELALUI PENANDA KARIOTIPE Nur Wahidah, Fauziah, Aswaty Nur, Ernastin Maria Jurusan Biologi, Universitas Haluoleo, Kendari

ABSTRAK Berdasarkan data terbaru, di Sulawesi Tenggara saat ini telah diketahui terdapat 41 jenis kelompok Anura (amfibi) dan 19 jenis diantaranya telah diteliti dan diketahui jumlah kromosomnya (Iskandar dan Tjan 1996, Nasaruddin et al. 2000). Namun demikian gambaran mengenai profil kromosom (kariotipe) serta penggunaan indicator ini dalam menentukan hubungan filogeni belum diungkap. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara spesies kelompok Anura (Amfibi) melalui pendekatan analisis kariotipe. Sebanyak 10 jenis Anura (Amfibi) diperoleh dari beberapa lokasi di Kendari Sulawesi Tenggara. Preparasi kromosom menggunakan metode air drying dari sel-sel sum-sum tulang paha katak dengan konsentrasi kolkisin (0.25%). Pewarnaan kromosom dilakukan dengan menggunakan pewarna Giemsa yang diencerkan dengan buffer fosfat pH 6,8. Pengamatan kromosom dilakukan pada perbesaran 1000 kali. Setelah pemotretan, dilanjutkan dengan pencetakan dan pengukuran untuk membuat peta kromosom yang disusun berdasarkan panjang relatif (PR) dan indeks sentromer (IS). Hasil penelitian menunjukan bahwa Jumlah kromosom diploid (2N) L. cf. grunniens dan L. cf. modestus adalah 24. R. chalconota dan F. cancrivora masing-masing 26. P. celebensis dan 2 spesies Bufo (B. celebensis dan B. biporcatus) masing-masing memiliki 22 kromosom. Secara keseluruhan, perbandingan kariotipe 7 jenis anura (amfibi) memiliki kesamaan dalam 4 pasang kromosom tipe metasentrik, yaitu pasangan kromosom No. 5, 6, 9 dan 10. Sedangkan 3 jenis lainnya belum dapat disusun kariotipenya, karena belum diperoleh kondisi sebaran metafase kromosom yang konsisten dengan resolusi gambar yang baik. Namun sudah dapat dihitung jumlah kromosomnya. Kata kunci : Kromsom, kariotipe, amfibi, indeks sentromer, panjang relatif PENDAHULUAN Sejumlah penelitian tentang keanekaragaman amfibi di beberapa kawasan lindung di Sulawesi telah menambah daftar kekayaan amfibi Indonesia. Berdasarkan data terbaru, di Sulawesi saat ini telah diketahui sebanyak 41 jenis kelompok anura (amfibi), terdiri atas 25 jenis famili Ranidae, 7 jenis famili Rhacophoridae, 6 jenis famili Microhylidae, dan 3 jenis famili Bufonidae (Iskandar dan Tjan 1996, Nasaruddin et al. 2000, Gillespie et.al. 2001). Dari 41 jenis tersebut di atas, 19 jenis diantaranya telah diteliti dan diketahui jumlah kromosomnya (Iskandar & Tjan, 1996, Nasaruddin et al. 2000). Meskipun beberapa jenis telah diketahui jumlah kromosomnya, namun informasi detail mengenai tipe kromosom (kariotipe) terhadap sebagian besar jenis amfibi tersebut di atas belum pernah diungkap. Terdapatnya sejumlah jenis

PKMP-5-12-2

yang memiliki jumlah kromosom yang sama, seperti Fajervarya cancrivora, F. vitigera, Kaloula, Limnonectes leavis, Rana celebensis, Rana erythraea, Polypedates leucomystax, dan Rana georgi (2N = 26); Limnonectes hienrichi, L. microdiscus, dan L. magnus (2N = 24) serta Bufo biporcatus, B. celebensis, dan B. melanosticus (2N = 22) merupakan fenomena yang masih menyulitkan untuk melihat keterkaitan hubungan evolusi antara jenis yang satu dengan jenis lainnya. Dengan melakukan pendekatan terpadu (morfologi dan kariologi), penelitian ini akan menelusuri lebih lanjut mengenai profil kromosom dengan sasaran selain untuk mencari penanda yang lebih spesifik bagi setiap jenis, juga untuk menggambarkan fenomena keanekaragaman intra dan inter spesies amfibi. Dewasa ini kita dihadapkan pada populasi amfibi yang sedang mengalami penurunan dengan drastis sebagai akibat kerusakan hutan, perburuan liar dan pencemaran habitat (Sugiri et al. 1998, Nasaruddin dkk. 2000). Kekurangan informasi biologi dasar sangat terasa pada hewan amfibi yang menyebar di Indonesia, terutama yang mempunyai penyebaran sangat terbatas (endemik) seperti di Sulawesi dari aspek kariologinya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan kekerabatan antar jenis kelompok anura (amfibi) melalui penanda kariotipe. Penelitian berorientasi pada penggalian informasi dasar untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan terutama tentang hubungan filogenik kekayaan keanekaragaman amfibi Sulawesi Tenggara melalui pengkajian profil genetik (analisis kariotipe). Selain itu temuan lain yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah diperolehnya metode-metode baru hasil modifikasi dari metode yang sudah baku pada analisis kromosom yang spesifik untuk jenis lokal. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan kombinasi antara riset lapangan dengan laboratorium yang dilaksanakan pada bulan April – September 2005, bertempat di Laboratorium Biologi FMIPA Unhalu. Penelitian ini menggunakan 10 spesies kelompok anura yang dikoleksi dari beberapa lokasi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Preparasi kromosom menggunakan metode air drying (Nasaruddin et al. 2000) yang sedikit dimodifikasi dari Nishioka, Ohtani dan Sumida (1980). sebagai berikut: katak setelah ditimbang berat badannya, disuntik dengan larutan kolkisin selama 60 menit. Paha dipisahkan dari sumsum tulang dan disemprot dengan larutan Ringer hipotonis (3:1), didiamkan selama 30 menit. Disentrifus selama 5 menit (400 rpm), lalu didiamkan selama 5 menit kemudian supernatan dibuang. Ditambahkan larutan fiksaktif Carnoy selama 5 menit, lalu disentrifus sebanyak dua kali. Ditambahkan 0,5 ml larutan Carnoy dan diteteskan pada gelas obyek. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan pewarna Giemsa yang diencerkan dengan buffer fosfat pH 6,8 selama 45 menit. Perolehan data atau informasi dari penelitian ini berupa karakter morfologi (morfometri dan pola warna) dan kromosom. Data ini mencakup kisaran ukuran bagian-bagian tubuh dan proporsinya, bobot badan dan tanda-tanda seks primer dan sekunder. Data kromosom diperoleh dari penghitungan metafase dan pemotretan, dilanjutkan dengan pencetakan dan pengukuran untuk membuat peta

PKMP-5-12-3

kromosom yang disusun berdasarkan panjang relatif (PR) dan indeks sentromer (IS) mengikuti formula Nishioka et al. (1987), sebagai berikut:

PR =

panjang kromosom × 100 panjang genom

IS =

panjang lengan pendek × 100 panjang kromosom

Kriteria tipe kromosom menurut Indeks Sentromer (IS) adalah sebagai berikut: Indeks Sentromer (IS)

Tipe Kromosom

50,0 – 37,5 37,4 -25,0 24,9 – 12,5 12,4 – 0

Metasentrik (m) Submetasentrik (sm) Subtelosentrik (st) Telosentrik (t)

Hasil kariogram kemudian dibandingkan untuk melihat adanya perbedaan kariotipe antar jenis. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah spesies kelompok Anura (amfibi) yang telah dianalisis dan dihitung jumlah kromosomnya dalam penelitian ini terdiri atas 5 spesies dari famili Ranidae yaitu: Limnonectes cf. grunniens dan Limnonectes cf. modestus jumlah kromosom diploid (2N) adalah 24, Fajervarya cancrivora, Fajervarya limnocharis dan Rana chalconota jumlah kromosom diploid (2N) adalah 26; 2 spesies dari famili Rhacophoridae yaitu Polypedates celebensis jumlah kromosom diploid (2N) adalah 22 dan Polypedates leucomystax jumlah kromosom diploid (2N) adalah 26; dan 3 spesies dari famili Bufonidae yaitu Bufo celebensis, Bufo melanostictus, dan Bufo biporcatus jumlah kromosom diploid (2N) adalah 22. Keseluruhan daftar jenis yang diteliti disajikan pada Gambar 1. Penamaan jenis didasarkan pada daftar herpetofauna Asia Tenggara dan New Guinea (Iskandar dan Colijn, 2000). Dari 10 jenis tersebut di atas, 7 jenis diantaranya (Limnonectes cf. grunniens, Limnonectes cf. modestus, Fajervarya cancrivora, Rana chalconota, dan Polypedates celebensis, Bufo celebensis dan Bufo biporcatus) telah kami susun kariotipenya sampai pada penghitungan panjang relatif dan indeks sentromer. Sedangkan 3 jenis lainnya belum dapat disusun kariotipenya, karena belum diperoleh kondisi sebaran metafase kromosom yang konsisten dengan resolusi gambar yang baik. Meskipun demikian, beberapa kondisi preparasi telah mempelihatkan hasil sehingga pada beberapa jenis sudah dapat dihitung jumlah kromosomnya, yaitu Fajervarya limnocharis, Polypedates leucomystax dan Bufo melanotictus. Limnonectes cf. grunniens (Katak Raksasa) Limnonectes cf. grunniens merupakan salah satu katak jenis raksasa yang terdapat di Sulawesi. Berat badan hewan jantan mencapai 1000 g, sedangkan

PKMP-5-12-4

betina mencapai 350 g. Secara morfologi, Limnonectes cf. grunniens memiliki ciri timpanum yang jelas, punggung berwarna coklat sampai coklat tua, kadangkadang dengan garis seperti pita yang membelas dua bagian tubuh dari mulut sampai ke anus. Kaki berselaput sepenuhnya sampai ke ujung jari, dengan ujung jari kaki dan tangan yang sedikit melebar.

1

2

3

6 7 8 Gambar 2. Kariotipe Limnonectes cf. grunniens. Tabel 1.

4

9

5

10

11

12

Panjang relatif, indeks sentromer, dan tipe metafase kromosom pada Limnonectes cf. grunniens. Panjang Relatif (PR)

Indeks Sentromer (IS)

Kromosom No.

Min

Max

Mean (±)

Kromosom No.

Min

Max

Mean (±)

1

5,60

7,80

6,71 ± 0,65

1

31,85

47,80

39,92 ± 5,65

m (7)

sm (3)

2

5,05

6,65

6,03 ± 0,57

2

33,85

47,85

41,83 ± 4,88

m (8)

sm (2)

3

5,00

6,45

5,54 ± 0,40

3

35,10

46,50

41,33 ± 3,25

m (9)

sm (1)

4

4,40

5,55

4,99 ± 0,34

4

37,75

47,25

42,71 ± 2,98

5

3,95

4,80

4,35 ± 0,27

5

33,10

47,20

43,09 ± 5,16

6

3,60

4,45

3,97 ± 0,28

6

38,75

49,65

45,38 ± 2,97

7

3,20

4,00

3,53 ± 0,26

7

36,85

49,25

44,52 ± 3,78

8

2,95

3,45

3,18 ± 0,16

8

41,65

47,55

44,33 ± 2,17

9

2,75

3,30

3,04 ± 0,17

9

35,25

48,75

44,69 ± 4,20

10

2,60

3,25

2,88 ± 0,24

10

38,35

47,05

43,90 ± 3,15

m (10)

11

2,15

3,20

2,63 ± 0,32

11

40,05

49,20

44,01 ± 3,11

m (10)

12

1,90

3,25

2,48 ± 0,37

12

36,25

48,50

43,11 ± 4,14

Tipe

m (10) m (8)

sm (2)

m (10) m (9)

sm (1)

m (10) m (9)

m (9)

sm (1)

sm (1)

* m =metasentrik sm = submetasentrik

Limnonectes cf. modestus Limnonectes cf. modestus merupakan salah satu marga Limnonectes yang berukuran kecil. Berat badan katak dewasa hanya mencapai 25 gram. Tubuh berwarna abu-abu tua dengan variasi bintik hitam dan coklat di daerah punggung (dorsal) dan putih polos pada daerah ventral (kepala sampai kami). Dimorfisme seksual kurang jelas dari segi penampakan pola warna tubuh baik pada hewan muda maupun yang dewasa. Katak dewasa, jantan lebih kecil daripada betina.

PKMP-5-12-5

1

2

7

8

3

9

4

10

5

11

6

12

Gambar 3. Kariotipe Limnonectes cf. modestus. Tabel 2.

Panjang relatif, indeks sentromer, dan tipe metafase kromosom pada Limnonectes cf. modestus.

Panjang Relatif (PR)

Indeks Sentromer (IS)

Kromosom No.

Min

Max

Mean (±)

Kromosom No.

Min

Max

Mean (±)

Tipe

1

5,65

7,85

6,74 ± 0,73

1

38,65

49,25

45,41 ± 3,28

m 10

2

5,00

6,65

5,67 ± 0,53

2

23,75

46,85

40,47 ± 6,99

3

4,50

6,35

5,23 ± 0,54

3

41,55

48,15

45,28 ± 2,54

m 10

4

4,35

5,85

4,98 ± 0,47

4

40,45

49,15

44,56 ± 3,25

m10

5

4,00

4,90

4,37 ± 0,23

5

39,10

47,50

44,91 ± 2,39

m10

6

3,55

4,65

4,00 ± 0,32

6

0,00

46,00

38,17 ± 15,31

m (8)

st (1)

7

3,10

4,20

3,71 ± 0,37

7

21,25

47,45

38,38 ± 10,34

m (7)

st (3)

8

3,00

3,90

3,43 ± 0,28

8

0,00

46,55

27,61 ± 19,92

m (6)

st (1)

9

2,65

3,80

3,13 ± 0,30

9

0,00

46,25

29,63 ± 20,63

m (7)

10

2,30

3,65

2,85 ± 0,37

10

0,00

45,00

22,93 ± 20,83

m (5)

st (4)

t (1)

11

2,20

2,95

2,68 ± 0,29

11

0,00

40,40

8,32 ± 14,40

m (1)

st (1)

t (7)

12

1,95

2,85

2,41 ± 0,29

12

0,00

39,35

8,31 ± 14,20

m (1)

st (2)

t (7)

m (8)

st (1)

sm (1)

t (1)

t (3) t (3)

* m =metasentrik sm = submetasentrik

Rana (Hylarana) chalconota Schlegel, 1837. Rana (Hylarana) chalconota merupakan katak yang berukuran kecil dan sedang. Katak jantan lebih kecil dari betina. Berat badan jantan antara 4,45 – 5,51 g, sedangkan betina tercatat antara 13,48 – 29,81. Secara morfologi, Rana chalconota dicirikan oleh timpanum coklat tua, dengan kaki yang panjang dan ramping. Kaki berselaput sepenuhnya sampai ke ujung jari, dengan ujung jari kaki dan tangan yang melebar. Punggung berwarna coklat kekuningan, pada bibir terdapat garis memanjang berwarna putih.

PKMP-5-12-6

1

2

7

8

3

9

4

10

5

11

12

6

13

Gambar 4. Kariotipe Rana chalconota. Tabel 3. Panjang relatif, indeks sentromer, dan tipe metafase kromosom pada Rana chalconota Panjang Relatif (PR) Kromosom No.

Min

Max

1

6,65

2

Indeks Sentromer (IS) Mean (±)

Kromosom No.

Min

Max

Mean (±)

9,85

7,70 ± 0,99

1

33,93

45,36

39,64 ± 3,25

m (8)

sm (2)

5,65

7,35

6,47 ± 0,53

2

33,04

48,09

41,76 ± 5,82

m (7)

sm (3)

3

5,13

6,95

5,79 ± 0,52

3

31,76

44,41

37,15 ± 4,26

m (4)

sm (6)

4

3,44

6,09

4,98 ± 0,72

4

34,80

47,26

42,73 ± 3,52

m (9)

sm (1)

5

3,34

4,68

4,07 ± 0,49

5

31,51

47,37

39,58 ± 6,33

m (6)

sm (4)

6

2,89

3,96

3,26 ± 0,29

6

31,21

46,12

41,32 ± 5,11

m (8)

sm (2)

7

2,46

3,71

2,97 ± 0,37

7

36,07

48,91

43,19 ± 4,02

m (9)

sm (1)

8

2,42

3,15

2,85 ± 0,26

8

34,30

46,42

41,69 ± 3,59

m (8)

sm (2)

9

1,76

3,12

2,60 ± 0,38

9

28,19

47,51

41,44 ± 5,79

m (9)

sm (1)

10

1,61

3,08

2,49 ± 0,41

10

33,90

46,50

40,99 ± 4,51

m (7)

sm (3)

11

1,50

2,84

2,37 ± 0,42

11

31,24

45,87

37,85 ± 5,88

m (5)

sm (5)

12

1,47

2,82

2,28 ± 0,41

12

26,14

46,98

38,03 ± 6,83

m (6)

sm (4)

13

1,45

2,67

2,07 ± 0,46

13

32,56

46,64

39,98 ± 4,86

m (8)

sm (2)

Tipe

* m =metasentrik sm = submetasentrik

Fajervarya cancrivora Gravenhorst, 1929. Fajervarya cancrivora adalah katak berukuran besar dengan lipatan-lipatan atau bintil-bintil yang memanjang paralel dengan sumbu tubuh. Betina berukuran lebih besar dengan berat badan yang lebih tinggi daripada yang jantan. Kaki belakang berselaput renang agak penuh dan berjari lancip. Hewan betina dengan ukuran panjang tubuh antara antara 45 – 95 mm sedang jantan antara 62 – 89 mm.

PKMP-5-12-7

1

7

8

2

9

3

10

4

11

5

12

6

13

Gambar 5. Kariotipe Fajervarya cancrivora Gravenhorst. Tabel 4.

Panjang relatif dan indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada Fajervarya cancrivora

No. kromosom Panjang Relatif (PR) 6,67 1 6,25 2 6,02 3 5,15 4 4,60 5 3,32 6 3,20 7 2,89 8 2,81 9 2,48 10 2,30 11 2,24 12 1,98 13 * m = metasentrik sm = submetasentrik

Indeks Sentromer (IS) 44,43 43,98 48,20 44,11 39,34 46,99 43,91 43,15 45, 31 37, 92 36,08 37,94 32,83

Tipe* m m m m m m m m m m sm m sm

Fajervarya limnocharis Boie, 1835 Cirinya mirip dengan F. cancrivora. Berbeda dari F. cancrivora, F. limnocharis berukuran lebih kecil, kepala runcing dan pendek, punggung banyak terdapat lipatan-lipatan. Kaki belakang berselaput kurang penuh, 2 – 3 phalange jari keempat tak berselaput renang, mempunyai tuberkel metatarsal luar. Gelambir sempit terdapat disepanjang sisi luar metatarsal dan jari kelima. Warna tubuh seperti lumpur dengan bercak-bercak yang lebih gelap, kadang-kadang dengan warna kehijauan.

Gambar 6.

Sebaran kromosom metafase sel somatik (1000x) Fajervarya limnocharis Boie.

PKMP-5-12-8

Polypedates celebensis Polypedates celebensis merupakan salah satu pohon berukuran kecil, berwarna Penamaan hewan ini sementara mengacu pada Gillespie (2000) dari spesimen yang diidentifikasi dari daerah Buton, Sulawesi Tenggara. Tubuh berwarna coklat keabu-abuan dan coklat kekuningan. Punggung dengan bercakbercak hitam sampai kaki. Jari tangan dan jari kaki melebar dengan ujung rata. Jari tangan dan jari setengahnya berselaput. Berat badan mencapai 3,43 gram.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Gambar 7. Kariotipe Polypedates celebensis Tabel 5. Panjang relatif, indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada Polypedates celebensis No. Panjang Relatif Kromosom (PR) 1 7,26 2 6,92 6,36 3 4 5,38 5 5,31 4,21 6 3,25 7 2,81 8 9 2,71 10 2,90 11 2,12 * m = metasentik sm = submetasentrik

Indeks Sentromer (IS)

Tipe*

31,92 37,88 41,52 28,20 40,85 44,89 38,26 33,14 41, 41 41,67 45,84

sm m m sm m m m sm m m m

Polypedates leucomystax Polypedates leucomystax merupakan salah satu pohon berukuran sedang, Tubuh berwarna coklat keabu-abuan dan coklat kekuningan. Punggung dengan bercak-bercak hitam sampai kaki. Jari tangan dan jari kaki melebar dengan ujung rata. Jari tangan dan jari setengahnya berselaput Dari penampakan yang ada, kami masih kesulitan menghitung jumlah kromosomnya. Informasi dari spesimen yang berasal dari Jawa diketahui jumlah kromosom (2N) pada Polypedates leucomystax adalah 26. Kesulitan yang kami hadapi dalam preparasi adalah selain terbatasnya jumlah sampel juga hewan sampel yang digunakan terlalu tua (bobot badan mencapai 13 gram).

Gambar 8. Sebaran kromosom metafase sel somatik (1000x) Polypedates leucomystax.

PKMP-5-12-9

Bufo celebensis

1

2

3

6 7 Gambar 9. Kariotipe Bufo celebensis.

8

4

9

5

10

11

Tabel 6. Panjang relatif, indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada Bufo celebensis No. Panjang Relatif Kromosom (PR) 1 7,77 2 7,44 3 7,74 4 6,53 5 6,16 3,13 6 2,76 7 8 2,59 2,39 9 2,05 10 1,41 11 *m = metasentrik sm = submetsentrik

Indeks Sentromer (IS)

Tipe*

41,13 37,24 41,21 40,53 46,48 48,58 48,80 45,40 43, 39 37,63 47,72

m sm m m m m m m m m m

Bufo biporcatus

1

2

6 7 Gambar 10. Kariotipe Bufo biporcatus.

3

8

4

9

5

10

11

Bufo melanostictcus Dari penampakan yang ada, kami masih kesulitan menghitung jumlah kromosomnya. Informasi dari spesimen yang berasal dari Jawa diketahui jumlah kromosom (2N) pada Bufo melanostictus adalah 22 untuk jenis yang berasal dari Jawa (Iskandar, 2000). Kesulitan yang kami hadapi dalam preparasi adalah selain terbatasnya jumlah sampel juga hewan sampel yang digunakan terlalu tua.

PKMP-5-12-10

Tabel 7. Panjang relatif, indeks sentromer dan tipe metafase kromosom pada Bufo biporcatus. No. Panjang Relatif Kromosom (PR) 1 9,87 2 8,48 3 6,04 4 6,20 5 4,79 6 3,51 7 3,11 8 2,37 9 2,16 10 1,82 1,58 11 *m =metasentrik sm = submetasentrik

Indeks Sentromer (IS)

Tipe*

44,96 42,16 37,37 42,93 45,26 47,66 36,22 46,99 44, 38 42,81 41,37

m m m m m m sm sm m m m

Gambar 11. Sebaran kromosom metafase sel somatik pada Bufo melanostictus.

PEMBAHASAN 1. Perbandingan Kariotipe Berdasarkan rata-rata hasil pengukuran data pada tabel 1 dan 2 memperlihatkan perbedaan dan persamaan jenis pada Limnonectes cf. grunniens dan Limnonectes cf. modestus, jika dilihat dari nilai rata-rata indeks sentromer (IS). Persamaan keduanya tampak pada kromosom No.1-7 dengan tipe metasentrik. Walaupun keduanya memiliki jumlah kromosom yang sama namun bentuk dan tipe kromosom mereka berbeda. Pada Limnonectes cf. grunniens ke 12 pasang kromosomnya memiliki tipe metasentrik, sedangkan Limnonectes cf. modestus, tipe metasentrik ditemukan pada kromosom No.1-7, lima kromosom lainnya masing-masing dengan tipe submetasentrik pada kromosom No. 8 dan 9, subtelosentrik pada kromosom No. 10 dan telosentrik pada kromosom No. 11 dan12. Informasi kariotipe kedua spesies ini dapat dijadikan sebagai pembanding yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan. Rana chalconota sering ditemukan hidup simpatrik di daerah aliran sungai bersama dengan Limnonectes cf. grunniens, dan Limnonectes cf. modestus (Nasaruddin, 2004). Ketiga spesies ini memiliki tipe kromosom metasentrik (m) yang jumlahnya dominan bila dibandingkan dengan tipe kromosom yang lain seperti submetasentrik (sm) pada Rana chalconota dan Limnonectes cf. grunniens serta subtelosentrik (st) dan telosentrik (t) Limnonectes cf. modestus, sedangkan perbedaannya terletak pada jumlah kromosom (2N), Rana chalconota memiliki kromosom (2N) sebanyak 26, dan kedua spesies Limnonectes memiliki jumlah kromosom (2N) sebanyak 24. Perbandingan kariotipe antara marga Limnonectes dan marga Fajevarya belum dapat dilaporkan, karena pembuatan kariotipe pada Fajevarya cancrivora

PKMP-5-12-11

hanya didasarkan pada satu plate metafase, demikian pula dengan Fajevarya limnocharis belum dapat dibuat perbandingan kariotipenya, karena panjang relatif (PR) dan indeks sentromer (IS) sulit diukur mengingat plate metafase yang diperoleh tidak memenuhi syarat. Pada marga Polyopedates juga belum dapat dibuat kariotipenya, karena pada pembuatan kariotipe Polypedates celebensis dengan jumlah kromosom (2N) 22 masih kami ragukan keakuratannya akibat terbatasnya plate metafese yang diperoleh, demikian pula pada Polypedates leucomystax plate metafase yang diperoleh tidak memenuhi syarat sehingga masih sulit dihtung kromosomnya apalagi jumlah individu yang dipreparasi sangat terbatas. Pada marga Bufo, perbandingan kariotipe hanya dapat dilakukan pada Bufo celebensis dan Bufo biporcatus, sedangkan pada Bufo melanostictus belum dapat dilaporkan karena tidak diperoleh plate metafase yang memadai. Bufo celebensis dan Bufo biporcatus yang hidup simpatrik di aliran sungai memiliki tipe kromosom metasentrik dan submetasentrik, namun yang dominan adalah metasentrik, selain itu nilai panjang relatif (PR) dan indeks sentromer (IS) keduanya tidak jauh berbeda. 2. Hubungan Kekerabatan Kromosom suatu spesies hewan memiliki struktur yang berbeda dengan spesies yang lain, sehingga analisis kariotipe dapat digunakan untuk identifikasi suatu spesies, studi antar spesies, hibridisasi dan analisis kekerabatan antar spesies. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah kromosom (2N) katak pada ummnya adalah 26, dimana 99 % diantaranya berbentuk metasentrik dan submetasentrik, selain itu jumlah kromosom lainnya adalah 22 dan 24 (Iskandar, dkk., 1991). Secara umum jumlah kromosom (2N) kelompok Ranidae adalah 26 namun pada marga Limnonectes hanya memiliki 24 buah kromosom. Rana chalconota dan Fajevarya cancrivora memiliki jumlah kromosom (2N) yang sama yaitu 26 dengan tipe kromosom yang dominan yaitu metasentrik (m). Hal ini menunjukkan keduanya memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat bila dibandingkan dengan spesies lain yang berada pada marga berbeda seperti Limnonectes dan Bufo. Pada marga Bufo, meskipun ketiga spesies lain yang diteliti termasuk dalam kelompok spesies yang terpisah, namun hasil kariotipe dari Bufo biporcatus dan Bufo celebensis menunjukkan hubungan kekerabatan yang cukup erat. Tipe kromosom metasentrik, adalah tipe kromosom yang dominan yang ditemukan pada kedua spesies yang diteliti, selain itu nilai panjang relatif (PR) dan indeks sentromer (IS) dari kedua spesies ini tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan kedekatan hubungan kekerabatannya walaupun keduanya tidak berada dalam satu kelompok spesies. Seperti yang dikemukakan oleh Yatim (1991) bahwa setiap spesies memiliki tipe kromosom yang berbeda. Makin renggangnya hubungan kekerabatan suatu spesies dengan spesies lain akan memunculkan banyak perbedaan dalam susunan dan tipe kromosomnya. Pada hewan umumnya, makin dekat hubungan kekerabatan, makin banyak persamaan tipe, ukuran maupun jumlahnya kromosomnya. Pada marga Polypedates celebensis dan Polypedates leucomystax belum dapat dilaporkan hubungan kekerabatannya karena jumlah individu terbatas dan plate metafase yang diperoleh tidak memenuhi syarat. Namun untuk

PKMP-5-12-12

mendapatkan hasil yang akurat dalam menganalisis hubungan kekerabatan antar jenis katak tidak cukup hanya dengan analisis kromosom, namun perlu ditunjang dengan analisis polimorfisme protein. KESIMPULAN 1.

2.

Keanekaragaman genetik dari 10 jenis yang telah diteliti terdiri atas 5 spesies dari famili Ranidae yaitu: Limnonectes cf. grunniens dan Limnonectes cf. modestus jumlah kromosom diploid (2N) adalah 24, Fajervarya cancrivora, Fajervarya limnocharis dan Rana chalconota jumlah kromosom diploid (2N) adalah 26; 2 spesies dari famili Rhacophoridae yaitu Polypedates celebensis jumlah kromosom diploid (2N) adalah 22 dan Polypedates leucomystax jumlah kromosom diploid (2N) adalah 26; dan 3 spesies dari famili Bufonidae yaitu Bufo celebensis, Bufo melanostictus, dan Bufo biporcatus jumlah kromosom diploid (2N) adalah 22. Filogeni antar spesies melalui perbandingan indeks sentromer baru dapat dilaporkan pada L. cf. grunniens, L. cf. modestus dan R. chalconota. Kesamaan antara L. cf. grunniens dan L. cf. modestus. yaitu terletak pada kromosom No. 1 - No. 7 dengan tipe metasentrik, sedangkan perbedaannya adalah pada L. cf. grunniens ke-12 pasang kromosom dengan tipe metasentrik, sedangkan pada L. cf. modestus tipe metasentrik hanya pada pasangan kromosom No. 1 – 7. Lima pasang kromosom lainnya masingmasing dengan 2 tipe submetasentrik, 1 subtelosentrik dan 2 telosentrik. Berdasarkan nilai rata-rata indeks sentromer, L. cf. grunniens memiliki kesamaan dengan R. chalconota, semua pasangan kromosomnya tipe kromosom metasentrik. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah kromosom. Pada B. celebensis dan B. biporcatus didominasi oleh kromosom dengan tipe metasentrik. Pada B. biporcatus kromosom No. 7 dan 8 bertipe submetasentrik, sedangkan pada B. celebensis kromosom submetasentrik diemukan pada kromosom No. 2.

DAFTAR PUSTAKA Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M. Scroggie, Boeadi. 2001. The Herpetofauna of Offshore of Sulawesi, Indonesia: Taxa Richness, Habitat and the Influence on Community Structure of Human Disturbance. Operation Wallacea, unpublished report. Iskandar, D.T, T.K. Nio, M.Purwitasari, R.I. Widayanti. 1991. Evolusi Kromosom dari Beberapa Jenis Katak di Jawa Barat. Laporan Penelitian JSPS. Bandung : Biologi FMIPA, ITB. Iskandar, D.T. 1995. Note on the Second Specimen of Barbourula kalimantanensis (Amphibia : Anura : Discoglossidae). The Rafles Bulletin of Zoology, 43 : 309 –311. Iskandar, D.T. 1996. The Biodiversity of The Amphibians and Reptiles of The Indo-Australian Archipelago : Assesment for Future Studies and Conservation. In. I. N. Turner, C. H. Diong, S.S., L. Lim , P.K.L. Ng (eds), Biodiversity and The Dinamics of Ecosystem. DWIPA. 1 : 353-365.

PKMP-5-12-13

Iskandar, D.T. ,Tjan, K.N. 1996. The Amphibians and Reptiles of Sulawesi with Notes on The Distribution and Chromosomal Number of Frog. In D. J. Kitchener , A. Suyanto (eds), Proceedings of The First International Conference on Eastern Indonesia-Australia Verterbratae Fauna, Indonesia. Pp 39-46. Iskandar, D.T. 1998. LIPI Seri Panduan Lapangan : Amfibi Jawa dan Bali. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI. CEF Biodiversity. Iskandar, D.T., E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of the Southeast Asian Herpetofauna I. Amphibian. Treubia, 31 : 1 – 133. Nasaruddin. 2000. Analisis Habitat, Nilai Hematologi dan Keragaman Genetik Antar Spesies Katak Genus Rana di Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian Dasar –Dikti, Kendari : LP-Unhalu . Nishioka, M. Okumoto H., Ueda. H., Ryuzaki M. 1987. Karyotypes of Brown Frogs Distributed in Japan, Korea, Europe and North America. Sci. Rep. Lab. Amphibian Biol. Hiroshima. Univ., 9 : 165-212. Yatim, Wildan. 1991. Genetika, edisi 4. Bandung : Tarsito.

PKMP-5-13-1

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI CEMPEDAK (ARTOCARPUS CHAMPEDEN SPRENG) DI KELURAHAN ANSUS DISTRIK YAPEN BARAT DI KABUPATEN YAPEN, PAPUA Charlos G Maay, Samen Manami, Yonas Wayeni, Nusye Souhoka, Agus Yogi Universitas Negeri Papua ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-5-14-1

TEKNOLOGI PENYISIHAN LOGAM TIMBAL DENGAN METODE ELEKTRO KOAGULASI PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI KECIL PEWARNAAN LOGAM Mahendra galih, Rachmat purnomo, Emi susanti Politeknik Negeri Semarang, Semarang ABSTRAK Seiring dengan kemajuan teknologi pemakaian logam berat pada kegiatan industri semakin diperlukan. Untuk peningkatan proses produksi. Salah satu sentra industri yaitu industri pewarnaan logam dengan metode anodisasi. Industri ini memanfaatkan logam aluminium sebagai bahan bakunya. Proses ini dilengkapi dengan pewarnaan aluminium yang mengandung zat yellow brown. Hasil uji terhadap limbah pembilasan proses pewarnaan aluminium di desa kalimati, Adiwerna, Tegal menunjukan bahwa kandungan timbalnya adalah 73,976 mg/l. Limbah cair yang mengandung timbal tersebut langsung dibuang ke selokan kemudian mengalir ke sungai kaligung sehingga berpengaruh pada pengairan yang berdampak buruk pada kesehatan manusia, pertumbuhan tanaman dan kehidupana biota air. Hal ini melampaui baku mutu air limbah berdasarkan Perda Jateng No.10 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kandungan maksimum timbal bagi industri pelapisan logam adalah 0,1 mg/l. Untuk itu perlu adanya pengolahan limbah tersebut sehingga limbah yang dibuang memenuhi standart aturan pembuangan limbah industri. Kata kunci: Anodisasi, Timbal, Zat Yello Brown PENDAHULUAN Latar Belakang • Perkembangan industri pewarnaan aluminium sangat pesat • Proses pewarnaan aluminium industri aksesori motor di desa kalimati, Adiwerna, Tegal menggunakan zat yellow brown • Hasil analisa timbal pada limbah pembilasan sebesar 73,976 mg/l • Konsentrasi timbal melebihi baku mutu limbah cair berdasarkan Perda Jateng No. 10 Tahun 2004 tentang industri pelapisan logam sebesar 0,1 mg/l • Timbal termasuk dalam daftar limbah B3 (D215) dan bersifat kronis (D 5263) Perumusan Masalah • Konsentrasi timbale melebihi baku mutu • Industri pewarnaan aluminium belum mengolah limbah cair yang dihasilkannya • Limbah cair dibuang ke selokan kemudian mengalir ke sungai Tujuan Program • Umum = mendapatkan tehnik pengolahan timbal pada limbah cair pewarnaan aluminium dengan metode alektrokoagulasi

PKMP-5-14-2



Khusus : - Menganalisa efisiensi penyisihan timbale pada limbah cair pewarnaan aluminium - Membuat model hubungan antara konsentrasi timbal dengan waktu proses elektrokoagulasi - Penelitian ini memberikan rancangan unit pengolahan limbah cair yang dapat dipatenkan

Ruang Lingkup • Parameter pokok analisis = limbah cair proses pewarnaan aluminium metode anodisasi yang mengandung timbale • Sample yang digunakan adalah sample buatan • Variasi yang dilakukan : variasi konsentrasi timbal dan variasi waktu • Elektroda yang digunakan adalah aluminium • Analisa konsentrasi timbal menggunakan metode spectrometer serapan atom Manfaat Penelitian • Pengolahan limbah cair proses pewarnaan logam dengan metode elektrokoagulasi dapat mengurangi pencemaran lingkungan sehingga kelestarian linkungan sekitar industri terjamin • Hasil penyisihan logam timbal mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai subtitusi bahan baku industri kecil bandul pancing atau aki • Dari sisi IPTEKS penelitian ini tidak menimbulkan permasalahan kembali karena kontaminan limpaan timbal dimanfaatkan kembali sebagai teknologi bersih pada industri kecil dapat tercapai ALAT DAN BAHAN Pada proses elektrokoagulasi diperlukan beberapa peralatan dan bahan. Bahan habis pakai : ™ Pb(NO3)2 ™ HNO3 ™ Aquades Peralatan : ™ Reaktor (kaca 30 cm x 20cm) ™ Elektroda (Aluminium 20cm x 20cm x 0.1cm) ™ Amperemeter ™ Voltmeter ™ Power Supply ™ Stop watch ™ Gelas ukur ™ Timbangan digital ™ Pipet ™ Gelas Erlenmeyer ™ Spektro foto meter

PKMP-5-14-3

METODOLOGI PENELITIAN

Perakitan Alat dan Pembuatan Limbah Simulasi

Proses Elektrokoagulasi

t = 15’

Sampel

t = 30’

Sampel

t = 45’

t = 60’

Sampel

Sampel

t = 75’

Sampel

t = 90’

Sampel

t = 105’

Sampel

t = 120’

Sampel

t = 135’

Sampel

Analisa Spektrometer Serapan Atom

Hasil

Analisa Statistik

Model

Analisa Model Variabel Penelitian • Variabel bebas : - konsentrasi timbal 50 mg/l, 75 mg/l, dan 100 mg/l - waktu 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit, 105 menit, 120 menit, 135 menit, dan 150 menit • Variabel terikat : konsentrasi timbal tersisih Analisa Statistik Æ S Plus-2000 Uji Banding Rata-Rata Konsentrasi Timbal Pengulangan Pertama Dan Pengulangan Kedua Uji t : _ _ t=

( χ1 − χ 2 ) − d 0 1 sp n1 + 1 n2

s12 (n1 − 1) + s22 (n2 − 1) s = n1 + n2 − 2 2 p

t = 150’

Sampel

PKMP-5-14-4

v = n1 + n2 -2 UJI KELINIERAN REGRESI • Uji F Sumber variasi Jumlah Derajat kuadrat kebebasan Regresi

JKR

k-1

Galat

JKG

n-k



Uji t Æ t =

Rataan kuadrat F hitung JKG/n-k

JKR s2

b s Jxx

Uji Anova Sumber Variasi Perlakuan Blok Galat

Jumlah Derajat Kuadrat Kebebasan JKA JKB JKG

k-1 b-1 (k-1) (b-1)

Rataan Kuadrat

JKA k −1 JKB 2 s2 = − b −1 s12 = −

s2 = Jumlah

JKT

bk-1

JKG ( b − 1)( k − 1)

f Hitungan

s12 f1 = 2 s

f2 =

s22 s2

PKMP-5-14-5

HASIL PENELITIAN

120

Efisiensi (%)

100 80 Pengulangan 1

60

Pengulangan 2

40 20 0 0

50

100

150

200

Waktu (m enit)

Grafik Pengaruh Waktu Penyisihan terhadap Konsentrasi Pb untuk Konsentrasi Awal 57,4903 mg/l

120

Efisiensi (%)

100 80 Pengulangan 1

60

Pengulangan 2

40 20 0 0

50

100

150

Waktu (m enit)

200

PKMP-5-14-6

Grafik Pengaruh Waktu Penyisihan terhadap Konsentrasi Pb untuk Konsentrasi Awal 88,4931 mg/l 120

E f is ie n s i ( % )

100 80 Pengulangan 1

60

Pengulangan 2

40 20 0 0

50

100

150

200

Waktu (menit)

Grafik Pengaruh Waktu Penyisihan terhadap Konsentrasi Pb untuk Konsentrasi Awal 111,465 mg/l UJI BANDING RATA-RATA KONSENTRASI TIMBAL PENGULANGAN PERTAMA DAN PENGULANGAN KEDUA • Konsentrasi awal timbal 57,4913 mg/l Æ t = 0.2506, df = 19.755 alternative hypothesis: true difference in means is not equal to 0 Æ tidak ada perbedaan yang signifikan • Konsentrasi awal timbal 88,4931 mg/l Æ t = 0.1163, df = 20 alternative hypothesis: true difference in means is not equal to 0 Æ tidak ada perbedaan yang signifikan • Konsentrasi awal timbal 111,465 mg/l Æ t = 0.0945, df = 20 alternative hypothesis: true difference in means is not equal to 0 Æ tidak ada perbedaan yang signifikan MODEL PERSAMAAN Hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi timbal Æ garis eksponensial Konsentrasi awal timbal 57,4913 mg/l Y( t ) = 31,977e −0, 02323t

Rsq = 0,8966 Konsentrasi awal timbal 88,4931 mg/l

Y( t ) = 33,7659e −0, 021t Rsq = 0,9848 Konsentrasi awal timbal 111,465 mg/l

PKMP-5-14-7

Rsq = 0,8881

Y( t ) = 55,8859e −0, 0166t

UJI KELINIERAN REGRESI ™ Konsentrasi awal timbal 57,4913 mg/l Æ F-statistic: 69.33 on 1 and 8 degrees of freedom; t value : -8.3265 Æ ada hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi akhir timbal ™ Konsentrasi awal timbal 88,4931 mg/l Æ F-statistic: 519.8 on 1 and 8 degrees of freedom; t value : -22.7998 Æ ada hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi akhir timbal ™ Konsentrasi awal timbal 111,465 mg/l Æ F-statistic: 63.51 on 1 and 8 degrees of freedom; t value : -7.9693 Æ ada hubungan antara waktu penyisihan timbal dengan konsentrasi akhir timbal UJI ANOVA *** Analysis of Variance Model *** AWAL WAKTU Error Total Sum of Squares 748.022 4188.910 771.425 5708.357 2 9 18 29 • df 374.011 465.434 • Mean Square 8,727 10.86 • F Hasil : 1. Ada perbedaan antara variasi konsentrasi awal timbal 57,4903 mg/l, 88,4931 mg/l dan 111,465 mg/l 2. Ada perbedaan perlakuan antara variasi waktu yang mempengaruhi konsentrasi akhir timbal KESIMPULAN • Elektrokoagulasi mampu menyisihkan timbal pada limbah cair pewarnaan aluminium industri kecil anodisasi • Penyisihan timbal Konsentrasi awal 57,4913 mg/l Æ 2,22 mg/l Efisiensi = 96,14 % Konsentrasi awal 88,4931 mg/l Æ 1,41 mg/l Efisiensi = 98,41 % Konsentrasi awal 111,465 mg/l Æ 3,67 mg/l Efisiensi = 96,71 %. • Model persamaan hubungan antara konsentrasi penyisihan timbal dengan waktu proses elektrokoagulasi, yaitu :

Keterangan : Y(t) = konsentrasi timbal (mg/l) t = waktu penyisihan (menit) SARAN Pemanfaatan kembali timbal yang tersisihkan akibat elektrokoagulasi di industri kecil anodisasi sehingga didapatkan industri yang berwawasan lingkungan

PKMP-5-14-8

DAFTAR PUSTAKA 1. Achmad, Hisika. 2001. Elektrokimia dan Kinetika Kimia. Bandung : Citra Aditya Bakti 2. Anggraini. 2002. Penurunan Kadar Cu dan Ag Limbah Cair Industri Perak dengan Elektrokoagulasi. Tugas Akhir. Semarang : Universitas Diponegoro 3. Anonimous. 2001. Bahan-Bahan Berbahaya dan Dampaknya terhadap kesehatan manusia. Jakarta : Departemen keseahatan RI 4. Anonimous. 2005. bahaya logam berat dalam makanan. 5. http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php?id=8248 6. Barkley, Naumi p; Cliftonn Farrell; Trace Williams. 1993. Electro-Pure alternatif current Electrocoagulatin. Superfun Innofatif technologi evaliation emerging. New York : united states environment protection Agency 7. Beagles, Abe. 2004. Electocoagulation-science and aplication 8. http://www.eco-web.com/cgi local/sfc?a=/editorial/index.html&b=/editorial/06053.html 9. Brace, AW;PG Sheasby. 1981. The Technologi of Anodizing Aluminium. London: Technicopy Limited 10. Cahyadi, Wisnu. 2004. Bahaya Pencemartan Limbah pada Makanan dan Minuman. Pikiran Rakyat. 19 Agustus 2004 11. Canning. 1982. Surface Finishing Technology. London : w. Canning Plc. 12. Enjarlis. 1999. Pengolahan Air Buangan Berzat Warna Asamsecara Elektokimia. Jurnal Iptek No.XIV 1999. Halaman 39-42 13. Holt, Petter; Geoffrey Barton; Chintya Mitcellt.1999. Electrocoagulation as a wastewater treatment. The Third Annual Australian Enivorenmental Enginnering Research Event. Victoria: Unufersiti of Sidney, 1999 14. Hughes, Richard; Michael Rowe. 1991. The Colouring, Bronzing and Patination of Metals.Wosington : Thames and Hudson

PKMP-5-15-1

PENGEBOR PCB DENGAN PEMANFAATAN POLA GAMBAR KOMPUTER Calvin Nico Herlambang, Natalia Yunita Dewi, Buwono Lembono Universitas Katholik Indonesia Atmajaya, Jakarta ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-5-16-1

FORMULASI LOTION ANTINYAMUK MINYAK ATSIRI KAYU MANIS Sri Widiastuti, Atika Prihantini, Siti Fatmawati, Rahmawati Ayu. A Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi lotion antinyamuk yang paling baik sekaligus untuk mengetahui aktifitas repelan lotion minyak atsiri kayu manis terhadap nyamuk Aedes aegypti. Kulit batang kayu manis didestilasi uap dan air untuk diambil minyak atsirinya. Dibuat variasi basis lotion yaitu basis larut air, basis emulsi, dan basis vanishing cream. Lotion dibuat dengan mencampurkan minyak atsiri kayu manis dalam masing-masing basis. Sediaan lotion minyak atsiri kayu manis diformulasikan kedalam tiga basis dengan variasi konsentrasi tiap-tiap basis sebagai berikut: 0,5% b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v. Aktivitas lotion diuji terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan cara mengoleskan lotion pada tangan peneliti. Tiga puluh ekor nyamuk Aedes aegypti betina yang sebelumnya dipuasakan dimasukkan ke dalam sangkar, kemudian tangan yang telah dioleskan lotion dimasukkan ke dalam sangkar tersebut. Dicari Kadar Tolak Minimum (KTM) dari lotion yang bertindak sebagai penolak nyamuk Aedes aegypti, kemudian dicatat waktu efektif penolakan ditandai dengan gigitan nyamuk pertama ditangan peneliti. Sediaan lotion diuji sifat fisiknya, meliputi uji daya lekat, uji daya sebar, dan uji viskositas. Data sifat fisik dianalisis dengan statistik varian satu jalan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan Kadar Tolak Minimum (KTM) lotion minyak atsiri kayu manisi terhadap nyamuk Aedes aegypti adalah 1% dengan waktu efektif masing-masing formula berturut-turut 16.3 menit, 3.22 menit, dan 4.22 menit. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa lotion minyak atsiri kayu manis mempunyai aktivitas repelan terhadap nyamuk Aedes aegypti. Uji sifat fisik menunjukkan secara umum bahwa basis larut air mempunyai sifat fisik yang paling baik, dengan daya lekat (2,623 ± 0,300) detik, daya sebar (19,76 ± 0,46) cm2 untuk beban 252,3079 gram dan viskositas (291,67 ± 14,433) poise. Hasil analisis uji sifat fisik dengan statistik menunjukkan bahwa untuk daya sebar lotion, formula I berbeda bermakna dengan formula II, formula I tidak berbeda bermakna dengan formula III dan formula II berbeda bermakna dengan formula III. Daya lekat antara ketiga formula menunjukan perbedaan yang bermakna. Viskositas antara ketiga formula juga menunjukan perbedaan yang bermakna. Kata kunci : Kayu manis, minyak atsiri, lotion, repelan, nyamuk Aedes aegypti. PENDAHULUA N Nyamuk merupakan salah satu serangga penghisap darah yang paling sering menimbulkan gangguan pada manusia. Iklim tropis di Indonesia memungkinkan nyamuk berkembang biak dengan baik. Serangga mengganggu bukan hanya gigitannya saja tetapi sering kali berperan sebagai vektor penyakitpenyakit parasitik seperti malaria, demam berdarah, filariasis, dan lain-lain (Herms, 1950). Salah satu nyamuk yang berperan penting dalam dunia kedokteran adalah nyamuk Aedes aegypti. Bersama dengan nyamuk Aedes albopictus, kedua nyamuk

PKMP-5-16-2

tersebut telah lama dikenal sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (Rachmat, 1984). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan karena angka kematiannya yang tinggi dan penyebarannya yang makin meluas. Penyakit ini telah dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian serta menimbulkan kegelisahan pada masyarakat. Pada umumnya penyakit ini berjangkit pada anak-anak terutama di perkotaan yang berpenduduk padat (Pranoto dan Munif, 1994). Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya terkendali, tetapi semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004, kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan angka kematian 1,3 persen ( Anonim, 2004). Tingginya kasus DBD di Indonesia mengharuskan masyarakat untuk berusaha mengendalikan laju penyebaran virus dengue dan salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memutus rantai penularan yang ada. Pemutusan rantai penularan penyakit DBD ini dapat dilakukan dengan pengendalian vektor DBD (Hoedojo, 1993). Cara tersebut antara lain dengan menghindari atau mengurangi kontak dan gigitan nyamuk, membunuh larva nyamuk, membunuh nyamuk dewasa, menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan, mengobati penyakitnya, dan lain-lain. Tindakan preventif paling dini yang dapat dilakukan oleh setiap individu dalam mencegah penyebaran virus dengue adalah dengan melakukan proteksi diri terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti (Brown, 1984). Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin instan masyarakat sangat tergantung pada produk yang gencar tampil diberbagai iklan tanpa menghayati ancamannya jika menggunakan produk semacam itu secara sembarangan. Efeknya bukan hanya terhadap kesehatan si pemakai tapi juga zat pembawanya yang termasuk kedalam kategori sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang secara umum dapat meracuni alam dan penghuninya (Anonim, 2001). Bahan repelan yang banyak beredar dimasyarakat sebagian besar mengandung DEET Diethyltoluamid 12,5 %. DEET ini dapat memberikan proteksi terhadap gigitan nyamuk dan serangga lainnya selama 4 - 8 jam (Sutanto dan Purnomo, 1990). Efek yang timbul dari penggunaan DEET yang patut dicurigai adalah aphasia, anemia aplastik, ataxia, karsinogenesis, gagal jantung, kejang depsresi, disorientasi, dorsoflexi ibu jari, iritasi mata, mata berdarah, konjungtivitis, luka pada kornea, hipertropi hepar, ginjal, limpa, dan testis; jaundice, mutagenesis, prenatal damage, kegagalan pernafasan, kekakuan pada posisi duduk, gemetar (Cunningham dan Hallenbeck, 1985). Sebagai tindakan untuk mengatasi penggunaan DEET dan bahan kimia lainnya serta untuk mencegah peningkatan epidemi demam berdarah maka perlu ditemukan alternatif repelan lain yang lebih tidak bersifat toksik, tidak mengiritasi atau tidak menimbulkan sensitifitas namun dengan efektifitas yang baik. Salah satunya dengan menggunakan bahan dari tumbuhan alami yaitu tanaman kayu manis (Cinnamomum burmanni, Ness.Ex.BI.) Kulit batang dari tanaman kayu manis menghasilkan minyak atsiri yang memiliki bau khas. Minyak atsiri kayu manis dapat digunakan sebagai bahan penolak nyamuk (repelan) karena dapat mengatasi jentik-jentik nyamuk penyebab demam berdarah. Zat yang berperan mengatasi jentik nyamuk tersebut adalah

PKMP-5-16-3

senyawa cinnamaldehyda, cinnamylacetate, eugenol, dan anethole (Wahyudi, 2002). Dengan adanya senyawa dalam kayu manis yang berperan sebagai penolak nyamuk sebaiknya diimbangi dengan perbaikan mutu dan perlu adanya pengembangan bentuk sediaan dari bahan alam sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat bentuk sediaan diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya baik dari segi proses pembuatannya maupun bentuk sediaan yang baik agar dapat diterima masyarakat. Saat ini ada kecenderungan konsumen untuk menggunakan segala sesuatu dengan mudah dan praktis. Adanya kemajuan dalam bidang pengobatan memungkinkan adanya sediaan repelan yang digunakan secara topikal, yaitu salah satunya dalam bentuk lotion. Penolak nyamuk yang dibuat dari minyak atsiri kayu manis dalam bentuk sediaan lotion memudahkan dalam hal penggunaannya. Dari hal tersebut diperlukan adanya formulasi lotion antinyamuk yang baik dan memenuhi persyaratan. Hal ini ditujukan untuk pengembangan penggunaan bahan alam dan upaya perbaikkan mutu sesuai dengan perkembangan teknologi sediaan farmasi agar memberikan efektifitas yang maksimum. METODE PENDEKATAN Bahan : Kulit batang kayu manis, aquades, natrium sulfat anhidrat pro analisis, alkohol teknis, aseton teknis, PEG 4000, stearil alkohol, gliserin, natrium lauril sulfat, air suling, propilenglikol, vaselin putih, asam stearat, malam putih, trietanolamin, nyamuk Aedes aegypti, tangan naracoba Alat : Destilasi Uap dan Air, destilasi Stahl, refraktometer ABBE, mortir dan stamper, cawan porselin, penangas air, alat-alat gelas, pot salep, alat uji sifat fisik lotion, timbangan, sangkar nyamuk Jalannya Penelitian Dalam penelitian ini digunakan minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari hasil destilasi uap dan air dari kulit batang tanaman kayu manis yang sebelumnya telah dideterminasi. Determinasi tanaman dilakukan untuk menghindari kesalahan dari bahan tanaman yang akan digunakan untuk penelitian. Uji Kualitas Minyak Atsiri : Minyak atsiri yang diperoleh dilakukan uji organoleptis terhadap warna, bau, dan rasa dan uji kualitas minyak atsiri meliputi pemeriksaan indeks bias menggunakan alat refraktometer ABBE, dan rendemennya dihitung dengan menggunakan alat destilasi Stahl. Pembuatan Basis Lotion: Formulasi basis larut dalam air (Martin, 1961) R/ PEG 4000 20 g Stearil alcohol 34 g Gliserin 30 g Air suling 30 g Natrium lauril sulfat 1g Proses pembuatan lotion dengan berbagi tipe basis yaitu basis larut air, basis hidrofil atau emulsi, dan basis vanishing cream. Pembuatan tiga macam basis tersebut mengacu pada resep standar yang telah tercantum dalam buku standar.

PKMP-5-16-4

Formula basis hidrofil/emulsi USP (Martin, 1961) R/ Natriumlauril sulfat 10 g Propilen glikol 120 g Stearil alkohol 250 g Vaselin putih 250 g Aquadest 370 g

Formula basis vanishing cream (Martin, 1961) R/ Asam stearat 150 g Malam putih 20 g Vaselin putih 80 g Trietanolamin 15 g Propilenglikol 80 g Aquadest 655 g

Formulasi Lotion Minyak Atsiri Kayu Manis: Lotion minyak atsiri kayu manis berbagai variasi konsentrasi dibuat dengan cara mencampurkan minyak atsiri kayu manis dengan jumlah sesuai konsentrasi lotion yang diinginkan ke dalam masing-masing basis. Variasi konsentrasi yang dibuat yaitu : 0,5 % b/v, 1% b/v, 5 % b/v, 10 % b/v, 15 % b/v. Uji Efek Repelan: Penelitian dilakukan secara eksperimental. Hewan uji dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok kontrol dan kelompok bahan uji. Sangkar yang digunakan berukuran 20x20x20 dengan lubang sirkuler berdiameter 15 cm, disiapkan sebanyak 7 sangkar yang berisi 30 ekor nyamuk Aedes aegypti yang belum pernah digigitkan, dipuasakan sehari sebelum percobaan. Tangan peneliti dibersihkan dengan air dan didiamkan selama ± 2 - 3 menit, dimasukkan ke dalam sangkar nyamuk. Pada kelompok kontrol negatif, diberi perlakuan dengan memasukkan tangan peneliti yang telah dioleskan basis. Basis I ke dalam sangkar II, basis II ke dalam sangkar III, dan basis III ke dalam sangkar IV. Waktu penolakan ditetapkan untuk menentukan lamanya tangan peneliti didiamkan dalam sangkar uji pada saat pengujian efek masing-masing repelan. Kontrol negatif menunjukan bahwa pada pengujian senyawa uji tidak ada intervensi dari bahan pembawa. Pada kelompok bahan uji, tangan peneliti dibersihkan dengan air dan diolesi dengan bahan uji dibiarkan selama 2 - 3 menit, kemudian dimasukkan ke dalam sangkar nyamuk V-VII selama waktu yang telah ditetapkan dengan interval waktu 5 menit. Sangkar V digunakan uji repelan basis I dengan konsentrasi 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v, sangkar VI digunakan uji repelan basis II dengan konsentrasi 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v, sangkar VII digunakan uji repelan basis III dengan konsentrasi 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v.

PKMP-5-16-5

Pengelompokkan Hewan Uji Nyamuk Aedes aegypti betina

Kelompok Kontrol Negatif (per sangkar 30 ekor nyamuk)

Kelompok Bahan Uji (per sangkar 30 ekor nyamuk)

Tangan peneliti diberi perlakuan dengan diolesi 3 macam basis lotion

B.I

B.II

B.III

Tangan peneliti diberi perlakuan dengan diolesi lotion minyak atsiri kayu manis

F.I

F.II

F.III

Masing-masing formula dengan variasi konsentrasi yang sama yaitu: 0,5 % b/v; 1% b/v; 5% b/v; 10% b/v; 15% b/v

Tangan Peneliti dimasukkan ke dalam sangkar yang berisi nyamuk Aedes aegypti

Didiamkan dan diamati sampai pertama kali nyamuk menggigit

Dicatat waktu penolakannya

Waktu pertama kali nyamuk Aedes aegypti menggigit setelah tangan peneliti diolesi dengan repelan disebut waktu penolakan. Kadar Tolak Minimum (KTM) dari lotion yang bertindak sebagai penolak nyamuk Aedes aegypti adalah waktu efektif penolakan ditandai dengan gigitan nyamuk pertama ditangan

PKMP-5-16-6

peneliti. Hasil penelitian uji aktivitas repelan lotion minyak atsiri kayu manis memberikan informasi kadar efektif minimum beserta waktu perlindungannya

Gbr. 1 Tangan Naracoba

Gbr. 3. Sangkar isi 30 ekor nyamuk Aedes aegypti

Gbr. 5 Bahan Uji Lotion Minyak Atsiri Kayu Mais

Gbr. 2 Sangkar Nyamuk

Gbr. 4 Nyamuk Aedes aegypti

Gbr. 6 Uji Efek repelan

Uji Sifat Fisik Lotion: Uji daya sebar dilakukan dengan cara meletakkan 0,5 gram lotion diatas kaca bulat berskala, kemudian menutupnya dengan menggunakan kaca bulat yang tidak berskala yang ditimbang dan diketahui bobotnya selama 5 menit. Diameter penyebarannya dicatat dan dilanjutkan dengan beban 100 gram, 200 gram, uji daya sebar dilakukan dengan replikasi tiga kali untuk masing-masing formula dengan konsentrasi pada Kadar Tolak Minimum (KTM).

PKMP-5-16-7

Uji daya lekat dilakukan dengan cara meratakan lotion minyak atsiri kayu manis pada objek glass dengan luas tertentu, kemudian ditutup dengan objek glass lain, ditekan dengan beban seberat 1 kg selam 5 menit. Objek glass dipasang pada alat uji dilepas dengan beban seberat 80 gran dan waktu yang diperlukan untuk memisahkan kedua objek glass tersebut dicatat. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali untuk masing-masing formula dengan konsentrasi pada Kadar Tolak Minimum (KTM). Uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat Viskotester. Alat tersebut disiapkan pada posisi horizontal dan rotor dapat diatur sedemikian rupa hingga jarum penunjuk tepat horizontal, lotion yang diukur diletakkan dalam cup viskotester. Rotor dicelupkan dalam lotion tersebut hingga batas yang tertera pada rotor. Viskotester dihidupkan dan rotor akan mulai bergerak atau berputar dibiarkan beberapa saat sehingga jarum penunjuk stabil. Harga viskositas dibaca dalam skala poice. Perhitungan viskositas dilakukan dengan replikasi tiga kali untuk masing-masing formula dengan konsentrasi pada Kadar Tolak Minimum (KTM). Analisis Data: Hasil evaluasi sifat fisik terhadap lotion minyak atsiri kayu manis dianalisis menggunakan uji statistik One Way Anova untuk menunjukkan kemaknaan antar masing-masing basis terhadap sifat fisik yang baik sebagai lotion antinyamuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari hasil destilasi uap dan air kulit batang tanaman kayu manis berupa cairan jernih agak kekuningan, dengan rasa pedas, sedikit manis, hangat (warm) dan bau khas aromatik. Uji kualitas minyak atsiri kayu manis dilakukan untuk menentukkan kemurnian minyak atsiri, meliputi pengukuran indeks bias dan penentuan randemennya. Analisis indeks bias ini dapat digunakan untuk memeriksa pemalsuan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Pengukuran indeks bias minyak atsiri kayu manis dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer ABBE, dengan harga indeks bias sebesar 1,5910 dan dilakukan pada suhu 28,7 °C. hasil ini tidak jauh berbeda dari dfata uindeks bias minyak atsiri kulit batang kayu manis Lembang yaitu 1,5014 pada 25 °C (Sukandar, 1999). Penentuan rendemen kadar minyak atsiri kayu mansi dilakukan dengan alat destilasi Stahl. Diperoleh randemen rata-rata dari penyulingan sebanyak tiga kali sebesar 1,013 ± 0,023. Rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda jika dibandingkan dengan rendemen minyak atsiri kulit kayu manis pada penelitian terdahulu. Rendemen yang didapat pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Putu Dedy Sulaksana (2005) menghasilkan rendemen sebesar 0,2 %, dimana dari 4 kg kulit kayu manis kering dihasilkan 8 ml minyak atsiri kayu manis. Perbedaan rendemen ini disebabkan perbedaan asal tanaman, umur tanaman ketika dipetik, waktu pengambilan tanaman, perlakuan bahan sebelum, saat dan sesudah penyulingan, serta variasi alat dan manusia. Tahap awal penelitian ini adalah menentukan konsentrasi terendah yang dapat memberikan efek penolakan terhadap nyamuk dan konsentrasi tertinggi yang tidak dapat memberikan efek penolakan terhadap nyamuk. Diperoleh

PKMP-5-16-8

rentang konsentrasi minyak atsiri kayu manis dari hasil orientasi yaitu 0,5 % 15%. Konsentrasi 0,5% sebagai konsentrasi tertinggi yang tidak memberikan efek penolakan dan konsentrasi 15% sebagai konsentrasi terendah memberikan efek penolakan yang maksimum. Berdasarkan rentang konsentrasi tersebut dibuat 5 variasi konsentrasi sebagai berikut: 0,5 % b/v, 1% b/v, 5 % b/v, 10 % b/v, 15 % b/v. Pengujian penolakan nyamuk basis lotion sebagai kontrol negatif menunjukkan basis larut air, basis emulsi dan basis vanishing cream tidak memberikan pengaruh terhadap penolakan nyamuk Aedes aegypti. Pada saat tangan dimasukkan kedalam sangkar tidak menunjukkan adanya efek penolakan dari ketiga puluh ekor nyamuk. Pada pengujian aktivitas lotion minyak atsiri kayu manis diperoleh Kadar Tolak Minimum (KTM) dari lotion yang bertindak sebagai penolak nyamuk Aedes aegypti yaitu 1 % dengan waktu efektif penolakan pada masing-masing basis berturut-turut yaitu 16.33 menit, 3.22 menit, dan 4.22 menit. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan menolak dari lotion minyak atsiri kayu manis yang dibuat dengan berbagai konsentrasi sebagai repelan terhadap nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri kayu manis maka semakin besar potensi penolakan terhadap nyamuk Aedes aegypti yang terlihat dari meningkatnya waktu perlindungan setiap peningkatan konsentrasi. Efektifitas repelan atau penolakan minyak atsiri kayu manis pada kadar tolak minimal 1% memberikan waktu perlindungan yang paling baik yaitu pada basis larut air. Repelan digunakan dengan cara menggosokannya pada tubuh atau menyemprotkannya pada pakaian. Oleh karena itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu: tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya menyenangkan pemakainya dan orang disekitarnya, tidak menimbulkan iritasi kulit, tidak beracun, tidak merusak pakaian, dan daya pengusir terhadap serangga hendaknya bertahan cukup lama (Soedarto, 1990). Lotion penolak nyamuk yang baik harus memenuhi persayaratan tersebut, sehingga lotion minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari masing-masing formula diuji sifat fisiknya, meliputi uji daya lekat, uji daya sebar, dan uji viskositas. Pengujian sifat fisik lotion minyak atsiri kayu manis kadar 1% pada masingmasing basis meliputi evaluasi sifat fisik terhadap lotion. Hasil evaluasi sifat fisik dapat dilihat pada tabel I. Tabel I. Data evaluasi sifat fisik lotion minyak atsiri kayu manis Macam Uji Uji Daya Sebar (cm2)

Formula I rerata ± SD 19,76 ± 0,46

Formula II rerata ± SD 23,19 ±1,73

Formula III rerata ± SD 18,72 ± 0,22

Uji Daya Lekat (detik)

2,623 ± 0.300

1,593 ± 0.150

0,39 ± 0,00

Uji Viskositas (poice)

291,67 ± 14,433 241,67 ± 14,433

28,33 ± 1,433

Pada formula I yaitu basis larut air mempunyai efektifitas penolakan pada kadar tolak minimal (KTM) 1% relatif lebih besar dibandingkan formula II dan III. Formula I memberikan efek yang lama ditunjang dengan daya lekatnya yang

PKMP-5-16-9

lama dan tidak menimbulkan iritasi, tetapi harga viskositasnya lebih besar dibanding formula lainnya lainnya dan juga daya sebarnya lebih sempit dibanding formula lainnya. Pada formula II yaitu basis emulsi mempunyai efektifitas penolakan pada kadar tolak minimal (KTM) 1% relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan formula I dan formula III. Formula II memberikan efek yang singkat dikarenakan daya lekatnya yang kecil, tetapi harga viskositasnya yang lebih kecil bila dibandingkan formula I dan daya sebarnya lebih luas dibandingkan formula I dan formula III Pada formula III yaitu basis vanishing cream mempunyai efektifitas penolakan pada kadar tolak minimal (KTM) 1% relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan formula I, tetapi lebih baik dari formula II. Sifat fisiknya, untuk daya lekat, daya sebar, dan harga viskositasnya paling kecil dibandingkan dengan formula I dan II. Pada evaluasi sifat fisik semua formula memenuhi syarat. Berdasarkan hasil analisis variansi satu jalan pada taraf kepercayaan 95%, maka perbedaan daya sebar lotion formula I berbeda bermakna dengan formula II, formula I tidak berbeda bermakna dengan formula III dan formula II berbeda bermakna dengan formula III. Perbedaan daya lekat lotion pada uji statistik memberikan hasil formula I berbeda bermakna dengan formula II, formula I berbeda bermakna dengan formula III dan formula II berbeda bermakna dengan formula III. Perbedaan viskositas setelah dianalisis memberikan hasil bahwa formula I berbeda bermakna dengan formula II, formula I berbeda bermakna dengan formula III, dan formula II berbeda bermakna dengan formula III. KESIMPULAN Lotion minyak atsiri kulit batang kayu manis memiliki aktivitas penolakan (repelan) terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan Kadar Tolak Minimal (KTM) 1% pada masing-masing basis (formula I, II, dan III) yang diujikan. Efektifitas penolakan tertinggi pada Kadar Tolak Minimal (KTM) 1% yaitu pada lotion dengan basis larut air (formula I). Formula I dengan basis larut air memenuhi kriteria lotion repelan yang baik dilihat dari efektifitas, keamanan, dan sifat fisiknya. DAFTAR PUSTAKA Adhyatma, M.,1983, Malaria Epidemiologi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2001, Jangan Asal Semprot Bahaya, http://www.prospektif.com, diakses pada bulan Agustus 2005 Anonim, 2004, Demam Berdarah Dengue, http://www.kompas.com, diakses pada bulan Agustus 2005 Ansel, H.C., 1985, Pengantar Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta Brown, Harold W, 1983, Dasar-Dasar Parasitologi Klinis, Ed.3, pp.424,430-1, PT. Gramedia, Jakarta Cunningham, K.M., Hallenbeck, W.H., 1985, Pesticides and Human Health, pp.48, Springer-Verlag, New York

PKMP-5-16-10

Gobbler. D. S.,1984, Insect In Discase Tranmisi on In Stochland T. G. Hunter Tropical Medicine, Edisi 6, W, B, Saunder Guenther, E., 1987, Minyak Atsiri jilid VI, diterjemahkan oleh S. Ketaren, UI Press, Jakarta Herms, B.W., 1950, Medical Entomology, edisi 4, The Mc Millan Co, New York Hoedojo,1983, Vektor Demam Berdarah Dengue dan Upaya Penanggulangannya, Majalah Parasitologi Indonesia Pant, C.D., and Self. L.S., 1993, Monograph On Dengue Haemoragic Fever, Regeonal Publication Seard, Asia, New Delhi Pranoto, Munif, A., 1994, Kaitan Tempat Perindukan Vektor dengan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kodya Batam. Cermin Dunia Kedokteran, Vol.92, pp. 22-27. Grup PT Kalbe Farma, Jakarta Rachmat, Musaka, 1984, Epidemiologi DBD di Sulawesi Selatan, Simposium Demam Berdarah Dengue. Ikatan Dokter Indonesia, Ujung Pandang Rismundar dan Paimin, Farry B, 2001, Kayu Manis Budi Daya & Pengolahan, Penebar Swadaya, Jakarta Soedarmo, S. SP., 1988, Demam Berdarah Dengue pada Anak, Universitas Indonesia, Jakarta Soedarto, 1990, Entomologi Kedokteran , pp. 63, 120, Penerbit Buku Kedoketran EGC, Jakarta Sungkar, S. Danismid, L.S, 1994, Bionomik Ae. Aegypti Vektor Utama DBD dalam Medika Voigt, 1994, Buku Ajar Tekhnologi Farmasi, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Wahyudi, Andi, 2002, Melawan Penyakit dengan Kayu Manis, http://www.pikiranrakyat.com, diakses pada bulan Agustus 2005

PKMP-5-17-1

PENGEMBANGAN PRODUK SOYGURT BUBUK MENGGUNAKAN METODE FOAM - MAT DRYING UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN SOYGURT DENGAN MENGGUNAKAN PENAMBAHAN PREBIOTIK Pendhina AS, Ika Febrian Suryanti, M Bahrun Institut Pertanian Stiper, Yogyakarta ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-5-18-1

PERILAKU SEKS BEBAS DAN ABORSI MAHASISWA DI MALANG Hutri Agustino, Shanti Devi Prananta, Ita Mandasari Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang ABSTRAK Malang sebagai Kota Pendidikan Internasional dan sebagai tempat persinggahan serta wisata berpotensi besar terhadap munculnya permasalahan sosial. Disinilah tempat berbaurnya berbagai macam budaya dari masing-masing daerah yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi sehingga komunitas yang paling besarlah yang akan mendominasi pertarungan budaya tersebut. Beberapa dampak dari hal di atas adalah munculnya perilaku seks bebas dan aborsi di kalangan mahasiswa. Hasil penelitian di kota-kota pendidikan tentang pergaulan bebas di kalangan mahasiswa seperti Bandung dan Jogjakarta menunjukkan angka yang mencengangkan. Hal inilah yang menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui secara pasti penyebab dan dampak mereka berperilaku seperti ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan corak deskriptif, serta memakai teknik wawancara secara mendalam (depth interview) dalam proses pengumpulan datanya. Berdasarkan hasil fact finding (Dengan jumlah informan 19 mahasiswa yang tersebar pada PTN/PTS terbesar di Malang) dapat dikonklusikan bahwa perilaku menyimpang di atas diakibatkan oleh faktor just for fun, trend dan faktor materi. Pergaulan bebas berupa free sex menjadi identitas pergaulan yang dianggap modern di kalangan mahasiswa. Sedangkan aborsi dianggap sebagai “katup penyelamat” perilaku mereka. Beberapa informan mengatakan bahwa free sex yang seringkali dilakukan bertujuan untuk bersenang-senang, mengakrabkan pergaulan, bukti kesetiaan dengan pasangannya dan berorientasi pada kepuasan materi. Temuan lainnya mengindikasikan bahwa bukan hanya antar mahasiswa yang melakukan hubungan tersebut. Beberapa informan ada yang mangatakan bahwa Polri juga ada yang terlibat langsung dengan perilaku ini. Kecenderungan di atas dipicu oleh lemahnya pengawasan dari orang tua dan masyarakat serta institusi terkait. Di lingkungan mahasiswa tinggal, masyarakat terkesan sangat permisif dengan kecendengan perilaku tersebut, sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama diprediksi frekuensi perilaku seks bebas dan aborsi mahasiswa di Malang akan terus meningkat secara signifikan. Kata kunci: Perilaku Seks, , Just for fun, Aborsi. PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri, Malang telah menjadi pilihan utama orang tua di luar daerah untuk studi anaknya sehingga predikat Malang sebagai kota Pendidikan Internasional telah tercapai, hal ini juga ditandai dengan banyaknya Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta idealnya dapat memberikan kontribusi secara aktif untuk menciptakan masyarakat berpendidikan yang identik dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang bermanfat dalam rangka tercapainya masyarakat madani (civil society). Dengan banyaknya jumlah mahasiswa dari berbagai macam daerah, maka proses akulturasi budaya tidak dapat dihindari,

PKMP-5-18-2

artinya budaya-budaya lokal yang mereka bawa dari daerah masing-masing membaur menjadi satu dan melebur menjadi budaya baru yang belum tentu sesuai dengan norma dan hukum positif yang berlaku. Pengaruh budaya-budaya barat misalnya hedonisme dan materialisme telah meracuni generasi muda tidak terkecuali kalangan mahasiswa. Sehingga terkonstruksi stigma bahwa mahasiswa yang modern adalah mahasiswa yang sudah merasakan kehidupan malam dengan segala macam “sajiannya”. Sebagai contoh adalah banyaknya tempat hiburan malam disekitar kampus seperti cafe, diskotik, dan tempat hiburan malam lainnya. Sebaliknya mahasiswa yang hanya sibuk memikirkan perkuliahan dikatakan sebagai mahasiswa yang ”tidak gaul” atau ketinggalan jaman. Apabila hal ini tidak segera diantisipasi, maka dalam jangka panjang nilai-nilai ideal yang sudah mencari ciri khas mahasiswa lama kelamaan akan berganti dengan kebiasaan-kebiasaan negatif yang mengancam masa depannya. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi yang semakin dahsyat serta tantangan zaman yang teramat keras, maka kini kita hidup dalam suatu lingkungan modern yang sangat “permisif” terhadap free seks (aktivitas seks diluar pernikahan yang sah). Jika dulu orang merasa malu mengakui hamil diluar nikah, maka saat ini nilai tersebut sudah mulai pudar. Perilaku free seks baik dengan pasangan tetap maupun dengan berganti pasangan, telah merebak dalam kehidupan kaum muda. Bisa disebut sebagai salah satu bukti yang mengindikasikan telah tersebarnya fenomena free seks hingga kelingkungan – lingkungan intelektual yang selama ini kita banggakan sebagai garda depan kehormatan bangsa. Ini terbukti dengan mudahnya ditemukan kasuskasus penyimpangan seksual seperti Married By Accident (MBA), kumpul kebo, aborsi, pelacuran mahasiswa dan lain sebagainya yang dilakukan oleh mahasiswa. Pada dasarnya pola pergaulan maupun pola pacaran yang tidak sehat dan tanpa pengetahuan yang memadai mengenai seksualitas dapat menyebabkan seseorang mengambil tindakan- tindakan yang berbahaya seperti free seks atau hubungan seks tanpa perlindungan. Sehingga banyak kaum muda nekad melakukan perbuatan yang tercela tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapinya. Resiko dari perilaku tersebut sangat luas, tidak hanya mengancam secara fisik tetapi juga psikologis dan sosial. Sebagaimana telah kita ketahui bersama salah satu permasalahan sosial yang muncul akibat hal tersebut diatas adalah free sex dan aborsi dikalangan mahasiswa yang semakin hari semakin menunjukkan angka yang tidak sedikit. Free sex dan aborsi menjadi hal yang tidak dapat dinafikan lagi dalam pergaulan mahasiswa di Malang. Rumusan Masalah 1. Mengapa Mahasiswa melakukan perilaku seks bebas? 2. Apa dampak yang ditimbulkan dari hubungan tersebut? 3. Bagaimana pemahaman mahasiswa yang melakukan seks bebas terhadap tindakan aborsi? Tujuan Kegiatan 1. Ingin mengetahui alasan Mahasiswa Malang melakukan perilaku seks bebas. 2. Mengetahui faktor-faktor yang diakibatkan oleh perilaku seks bebas dikalangan Mahasiswa Malang.

PKMP-5-18-3

3. Ingin mengetahui pemahaman dan korelasi antara perilaku seks bebas dengan aborsi Mahasiswa Malang. Manfaat Kegiatan 1. Mendeskripsikan realitas sosial kepada masyarakat tentang adanya perilaku seks bebas dan aborsi dikalangan Mahasiswa Malang. 2. Referensi komparasi bagi Mahasiswa dalam penelitian-penelitian yang berkaitan dengan hasil penelitian ini. 3. Bahan pertimbangan atau rujukan dalam membuat kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan realitas sosial yang ada. 4. Bahan informasi bagi pengembangan pembinaan kemahasiswaan. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilakukan selama empat bulan terhitung mulai bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2006 di PTN/PTS terbesar di Malang. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa PTN/PTS di Malang. Populasi disini adalah populasi yang tersedia (Accessible Population) di Malang. Dengan populasi Mahasiswa di PTN/PTS di Malang, maka dalam penelitian ini kami akan menggunakan teknik pengambilan sampel purpossive sampling atau teknik dengan menggunakan sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini kami menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara yang kami maksud disini adalah wawancara terpimpin atau wawancara dimana poin-poin pertanyaan sudah disiapkan terlebih dahulu, dan kami akan melakukan wawancara secara mendalam (In Dept Interview) agar dapat menghasilkan menghasilkan data yang akurat dan lengkap. Teknik Analisa Data Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data secara kualitatif, yaitu dengan teknik deskriptif kualitatif. Secara umum penelitian akan menggambarkan atau mendeskripsikan fenomena yang muncul secara objektif tanpa melakukan intervensi terhadap objek. Karena data berupa deskripsi, maka data yang dianalisis adalah data kualitatif dan datadata yang merupakan data kuantitatif berfungsi sebagai analisis untuk membantu memperjelas pendeskripsian data kualitatif. Sesuai tujuan penelitian, maka data kuantitatif (data-data yang dapat dikategorikan dalam bentuk-bentuk angka-angka) analisis yang digunakan antara lain berupa persentase, tabulasi frekuensi, ataupun cross tabulasi, sedangkan untuk data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif induktif. Analisis kualitatif yang digunakan adalah analisis fenomenologis berupa fenomena proses sosial dan interaksi sosial yang terjadi sepanjang rentang waktu penelitian. Alat yang digunakan. Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah recorder, kaset Recorder, dan kamera digital.

PKMP-5-18-4

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini, kami akan memaparkan hasil fact finding dalam bentuk wawancara secara mendalam (dept interview) dengan 19 (sembilan belas) informan yang tersebar pada PTN/PTS terbesar di Malang yang kemudian dipersentasekan sesuai dengan rumus yang ada dibagian bawah tabel, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: Tabel Hasil Wawancara No 1

2.

3.

4.

Kode Pertanyaan A1 a. b. c. A2 a. b. c. d. A3 a. b. c. A4 a. b. c.

5.

A5

6.

A6

7.

A7

8.

B1

9.

B2

10.

B3

11.

C1

12.

C2

13.

C3

a. b. c. a. b. c. a. b. c. d. a. b. a. b. c. a. b. a. b. a. b. a.

Ragam Jawaban Sejak SMU Awal Kuliah (Semester 1 s/d 2) Pertengahan (Semester 3 s/d 6) Dengan Pacar POLRI Dokter Lainnya (dengan Tante-tante) Kost-kosan Penginapan Rumah Rendah (Tidak lebih dari 1 kali dalam 2 minggu) Sedang (1 minggu 1 kali) Tinggi (1 minggu lebih dari 1 kali) Saling mencintai (kasih sayang) Just for fun Komersil Rendah(500 Ribu s/d 750 Ribu) Sedang (750 Ribu s/d 1 juta) Tinggi (1 juta keatas) Beli Handphone Buat bayar kuliah Foya-foya Lainnya Pernah Tidak Pernah Ya (Misalnya: Kondom) Kadang-kadang Tidak Pernah Ya Tidak Ya Tidak Dirawat Digugurkan (aborsi) Sendiri

Frekuensi (Informan) 10 5 4 16 1 1 1 4 10 5 6

Persentase

3

16%

10 15 1 3 4

53% 79% 5% 16% 21%

1 1 1 1 2 2 17 5 7 7 10 9 7 12 1 6 6

5% 5% 5% 5% 10% 10% 90% 26% 37% 37% 53% 47% 37% 63% 14% 86% 100%

53% 26 % 21% 85% 5% 5% 5% 21% 53% 26% 31%

PKMP-5-18-5

14.

C4

15.

C5

b. c. a. b. c. a. b.

Dokter Dukun 1 kali 2 kali 3 kali Masih perlu Tidak perlu

5

83%

1 9 10

17% 47% 53%

Keterangan: a. Nomor 1 s/d 13 dan nomor 17 persentase dihasilkan dari rumus: Frekuensi Informan X 100% Jumlah Informan (19) b. Nomor 14 persentase dihasilkan dari rumus: Frekuensi Informan X 100% Frekuensi Informan Hamil (7) c. Nomor 15 dan 16 persentase dihasilkan dari rumus: Frekuensi Informan X 100% Frekuensi Informan aborsi d. A1 : sejak kapan melakukan perilaku sex bebas ? A2 : hal tersebut dilakukan dengan siapa ? A3 : dimana tempat yang digunakan untuk melakuakn sex bebas ? A4 : seberapa sering melakukan sex bebas ? A5 : apa yang melatarbelakangi melakukan sex bebas ? A6 : berapa nominal yang sering anda tawarkan kepada calon pasangan ? A7 : hasil dari transaksi dipergunakan untuk apa ? B1 : pernahkah terkena penyakit menular seksual akibat dari seks bebas tersebut ? B2 : apakah anda mempergunakan alat kontrasepsi dalam berhubungan seksual ? B3 : apakah anda pernah melakukan hubungan dalam keadaan mabuk atau menggunakan Narkoba ? C1 : apakah anda pernah hamil dari hubungan seks bebas ? C2 : kandungan tersebut dirawat sampai melahirkan atau di aborsi ? C3 : siapa yang membantu melakukan aborsi tersebut ? C4 : berapa kali anda melakukan aborsi ? C5 : menurut anda perlukah virginitas dan keperjakaan dalam perkawinan ? Dari hasil wawancara dengan beberapa informan tersebut, sebenarnya hanya segelintir fenomena yang terkuak kepermukaan, namun tidak menutup kemungkinan banyak kasus sama yang tidak sempat terindentifikasi dalam proses fact finding yang telah kami lakukan. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, seperti hasil persentase 53% informan telah melakukan hubungan seks bebas semenjak mereka duduk di bangku sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan free sex dan aborsi tidak hanya ditemui pada diri mahasiswa saja, tetapi siswa SMA juga telah melakukan perilaku yang bertentangan dengan norma ini, sehingga memungkinkan diadakan penelitian seputar perilaku seks bebas dan aborsi dikalangan siswa SMA.

PKMP-5-18-6

Selanjutnya, hasil 85% informan yang mengaku melakukan hubungan seks bebas ini dengan pacar, padahal ada salah satu informan yang mengaku menyesal melakukan hal tersebut karena sekarang telah putus dengan pacarnya, sehingga tidak salah pepatah bilang “habis manis sepah dibuang”, karena hubungan atas dasar kasih sayang tanpa ada ikatan resmi pernikahan rawan dengan resiko putus hubungan yang lebih merugikan bagi pihak perempuan. Hal ini dapat menjadi rekomendasi bagi mahasiswi agar menjaga pergaulan dan berhati-hati dalam memilih pasangan, sehingga ia tidak sampai menjadi korban. Informan yang frekuensi hubungan seks bebasnya lebih dari satu kali dalam satu minggu mencapai 53%, hal ini bukti bahwa perilaku seks bebas dikalangan mahasiswa bukan hal yang sepele lagi, tetapi telah menjadi permasalahan sosial yang segera menuntut penyelesaian secara optimal. Sebab hal ini akan berdampak secara estafet terhadap meningkatnya pengidap penyakit menular seksual (PMS) apalagi data diatas menunjukkan bahwa hanya 26% pasangan yang memakai alat pengaman dalam berhubungan, sehingga rentan sekali terjadi penularan penyakit menular seksual. Dampak selanjutnya adalah aborsi sebagai jalan pintas selamat dari sanksi sosial yang dalam data tersebut diatas 100% dilakukan sendiri, tentunya dengan alat seadanya dan cara sederhana sehingga dapat dipastikan membahayakan organ-organ reproduksi. Dari 19 informan, 53% informan mengatakan tidak perlu lagi mempermasalahkan faktor Virginitas dan Keperjakaan, karena mereka beranggapan bahwa dirinya saja sudah tidak virgin atau perjaka lagi, jadi tidak harus menuntut pasangan nikah yang masih virgin atau perjaka. Hal ini secara umum adalah bagian dari adopsi budaya-budaya barat oleh generasi muda di Indonesia tanpa ada filterisasi. KESIMPULAN Pada dasarnya kesimpulan dari hasil penelitian ini merujuk pada tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Pertama, ingin mengetahui alasan Mahasiswa Malang melakukan perilaku seks bebas. Tujuan penelitian yang pertama ini terjawab dengan hasil Mahasiswa melakukan sejak SMU sebanyak 53%, awal kuliah (semester 1 s/d 2) sebanyak 31%, dan pertengahan kuliah (semester 3 s/d 6) sebanyak 16%. Kedua, mengetahui faktor- faktor yang diakibatkan oleh perilaku seks bebas dikalangan Mahasiswa Malang dengan hasil Mahasiswa yang terkena Penyakit Menular Seksual dan infeksi didaerah alat kelamin yaitu 10%. Berkaitan dengan kesehatan seksual muncul dampak negatif yang ditimbulkan akibat melakukan free seks yang lazim disebut Penyakit Menular Seksual (PMS). PMS merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang kepada orang lain melalui hubungan seksual. Baik melalui vagina, penis, oral, maupun anal di mana apabila tidak diobati dengan benar penyakit ini dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi, seperti terjadinya kemandulan, bahkan bisa berwujud kematian pada penderitanya. Sedangkan dampak negatif secara psikologis para informan (pria/ wanita) mengalami seks sakaw (kecanduan seks) atau seks adiktif. Sehingga merasa ketagihan, dan ingin melakukan terus menerus setiap kali pacaran, kapanpun dan dimanapun. Ketiga, ingin mengetahui pemahaman dan korelasi antara perilaku seks bebas dengan aborsi Mahasiswa Malang. Hasil dari penelitian jumlah Mahasiswa yang hamil akibat melakukan free seks 37% dari 19 informan, sedangkan yang melakukan aborsi dari 7

PKMP-5-18-7

informan yang hamil berjumlah 6 informan atau 86% . Berarti hal ini menandakan bahwa da hubungan yang signifikan antara seks bebas dan aborsi. Berdasarkan konklusi diatas, maka dapat kami rekomendasikan pemecahan masalah sebagai berikut: 1. Pada tingkatan PTN dan PTS, pihak kampus melalui lembaga pendidikan kemahasiswaannya secara formal harus melakukan pendidikan dan pemahaman berkaitan dengan bahaya seks bebas dan aborsi dalam artian ada mata kuliah pengantar yang khusus membahas tentang permasalahan sosial tersebut tanpa memperdulikan fakultas dan jurusan. Secara informal, pihak kampus harus sering berkoordinasi dengan masyarakat sekitar kampus termasuk juga pengelola rumah kos dan kontrakan mahasiswa berkenaan dengan aktivitas mahasiwa pada rumah kos dan kontrakan setiap harinya. 2. Pada tingkatan masyarakat, pihak- pihak yang memiliki otoritas (Ketua RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat) harus mengfungsikan kontrol sosialnya dalam rangka meminimalisir terjadinya perilaku menyimpang pada Mahasiswa, terutama perilaku seks bebas. 3. Pada tingkatan keluarga, disini pihak keluarga ada dua macam klasifikasi, pertama, bagi keluarga yang memiliki anak jauh dari keluarga (kost), disini pihak keluarga harus selalu berkomunikasi dengan anaknya dan jangan sampai terlepas komunikasi dan perhatiannya, kedua, bagi pihak keluarga yang anaknya bertempat tinggal bersama dengan orang tuanya, disini pihak keluarga (orang tua, anggota keluarga) selalu memberikan kegiatan- kegiatan aktivitas yang positif terhadap anaknya, serta mengawasi semua pergaulan- pergaulan anaknya. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, abu, 2002, Psikologi Sosial, Rineksa Cipta, Jakarta. Al- Maliky, Ekky, 2003, Why not? Remaja Doyan Filsafat, Dar! Mizan, Bandung. Dayakisni, Tri dan Hudaniah, 2003, Psikologi Sosial, UMM Press, Malang. Gatra, 1999. Kartono, Kartini, 1981, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, Alumni, Bandung. Koentjoroningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineksa Cipta, Jakarta. Monks et al, 2004, Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nawawi, Handari, 2003, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sadarjan, Jawa Pos, 22 Februari, 2004. Soekanto, Soerjono, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sugiyono, 1998, Metode Penelitian Administrasi, CV. Alfabeta, Bandung. Usman, Husaini, dan Akbar, Purnomo setiady, Metode Penelitian Sosial, Bumi Aksara, Jakarta. Wijayanto, Iip, 2003, Sex In The Kost, CV. Qalam, Yogyakarta. www.pikiranrakyat.com.

PKMP-5-19-1

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JINTAN PUTIH (CUMINUM CYMINUN LIN.) TERHADAP EKSPRESI ENZIM GLUTATION-S-TRANSFERASE DAN PENGHAMBATAN MUTASI GEN P53 PADA HEPAR TIKUS GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIBERI 7,12-DIMETILBENZ[A]ANTRASENA M. D. Laksitorini, A.F. Romadhon, Y.Afrianto, Wynanda, MY. Putro Utomo Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ABSTRAK Terapi kanker banyak dialihkan pada pengobatan dengan menggunakan bahan alamiah. Salah satu bahan alam yang telah terbukti berkhasiat sebagai antikanker adalah tamanan jintan putih (C. cyminum Lin.).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanol biji jintan putih (C. Cyminum Lin.) terhadap ekspresi enzim Glutation S-Transferase dan penghambatan mutasi gen p53 pada hepar tikus galur Sprague Dawley yang diberi 7,12-Dimetil Benz(a)ntrazena. Terdapat lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol pelarut (CMC-Na 0,05 % dan corn oil), kelompok kontrol DMBA, kelompok dosis I (250 mg/kg bb), kelompok dosis II (500 mg/kg bb), dan kelompok dosis III (750 mg/kg bb). Semua kelompok dosis (dosis I, dosis II dan dosis III) mendapat perlakuan setiap hari selama dua minggu. Kelompok kontrol pelarut diberi perlakuan dengan CMC Na 0,05%-corn oil sedangkan kelompok kontrol DMBA diberi perlakuan DMBA dosis 30 mg/KgBB. Setelah minggu ke-dua perlakuan, kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi enzim GST-nya dikorbankan sedangkan kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi mutasi gen p53, dibiarkan tanpa perlakuan selama satu bulan. Evaluasi hasil dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ekspresi enzim GST dan hasil PCR SSCP untuk mengetahui kemungkinan mutasi yang terjadi pada gen p53.Penentuan ekspresi enzim GST pada percobaan dengan melakukan kuantifikasi pita hasil elektroforesis memberikan hasil kelompok kontrol pelarut CMC Na-corn oli, DMBA, dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB berturut-turut 2.720 + 0.326, 4.67 + 0.980, 5.550 + 0.546, 4.200 + 0.676, dan 3.347 + 1.068 dalam satuan cm2. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ekstrak etanol biji jintan putih C. Cyminum L. dapat menekan ekspresi enzim GST. Kesimpulan tersebut masih bersifat sementara karena harus menunggu konfirmasi dari uji mutasi gen p53 yang masih berjalan, yang dapat memberikan infiormasi apakah terjadi mutasi atau tidak pada gen p53. Kata kunci : Cuminum cyminun Lin., glutation S-transferase, mutasi p53 PENDAHULUAN Penyakit kanker dikenal sebagai salah satu ancaman utama dalam dunia kesehatan dengan angka kematian akibat kanker yang terus meningkat yaitu 1,4 % pada tahun 1972 menjadi 4,4 % pada tahun 1992 (Winarno et al., 2000). Banyak usaha terapi yang sudah dilakukan untuk menyembuhkan kanker namun memakan banyak biaya dan dapat menyebabkan banyak efek samping. Sehingga sekarang terapi kanker banyak dialihkan pada pengobatan dengan menggunakan bahan alamiah. Salah satu bahan alam yang telah terbukti

PKMP-5-19-2

berkhasiat sebagai antikanker adalah tamanan jintan putih (C. cyminum Lin.). Dalam perkembangannya, penelitian-penelitian mengenai tanaman C. cyminum semakin menunjukkan kemajuan yang positif sebagai salah satu sumber obat kanker. Salah satunya adalah penelitian Gagandep et al. (2003) menyatakan bahwa biji jintan putih (C. cyminum Lin.) mampu memberikan efek kemopreventif terhadap tumor lambung dan leher rahim tikus yang diakibatkan oleh benzo(a)piren. Hasil tersebut menunjukkan bahwa di dalam biji C. cyminum terdapat senyawa yang berkhasiat sebagai antikanker. Proses perkembangan sel kanker yang telah diketahui sejauh ini terdiri dari 4 tahap, yaitu inisiasi, promosi, progresif, dan metastasis (King, 2000). Pada tahap inisiasi tejadi pembentukan senyawa metabolit reaktif yang dapat menyebabkan mutasi pada DNA. Senyawa tersebut dapat segera dikeluarkan dari dalam tubuh dengan proses metabolisme fase II, yaitu konjugasi dengan glutation yang dikatalisis oleh enzim Glutation S-Transferase (GST). Dengan adanya peningkatan enzim GST ini, maka senyawa karsinogen akan mengalami detoksifikasi sehingga cepat diekskresikan dan tidak sempat mengalami tahaptahap perkembangan selanjutnya menjadi kanker. Dengan adanya penelitian ini akan dibuktikan khasiat biji C. cyminum sebagai antikanker melalui uji efeknya terhadap ekspresi enzim GST pada fase inisiasi. Selain itu juga akan dilihat efek pencegahan mutasi pada gen p53 yang mengatur apoptosis pada sel kanker. Dan bila ternyata terbukti bahwa C. cyminum dapat memacu ekspresi enzim GST dan menghambat mutasi gen p53 pada hepar tikus, maka tanaman ini bisa dijadikan salah satu alternatif sebagai antikarsinogenesis melalui modulasi ekspresi enzim detoksifikasi fase II dan penghambatan mutasi gen p53. Sejauh ini belum ada penelitian tentang efek ekstrak etanol biji C. cyminum terhadap ekspresi enzim GST dan penghambatan mutasi gen p53 karena DMBA, sehingga muncul pertanyaan: apakah ekstrak etanol biji C. cyminum mampu memacu induksi enzim GST dan apakah ekstrak etanol biji C. cyminum dapat mencegah mutasi gen p53 pada organ paru?. Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan penggunaan biji C. cyminum sebagai antikarsinogenesis. Selain itu penelitian ini juga dapat dipergunakan untuk pengembangan penelitianpenelitian selanjutnya bagi penemuan obat kanker untuk umat manusia. METODE PENDEKATAN Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian. Tahap persiapan meliputi studi pustaka orientasi, determinasi tanaman dan pengumpulan bahan penelitian yang dilakukan selama satu bulan pertama. Informasi yang berkaiatan dengan penelitian didapatkan dari papper dan jurnal penelitian yang didapatkan baik dari perpustakaan maupun internet. Tahap pelaksanaan meliputi percobaan pendahuluan untuk mempersiapkan ekstrak tanaman dan hewan uji yang dilakukan selama bulan pertama dan kedua. Sedangkan tahap pengujian sampel pada hewan uji dilakukan selama empat bulan selanjutnya. Sedangkan tahap penyelesaian meliputi pengumpulan, pengolahan dan analisis data yang dilakukan selama 3 bulan terakhir. Tahap tersebut dilanjutkan dengan penyusunan laporan hasil penelitian.

PKMP-5-19-3

Ekstrak Etanol Bici Jintan Putih (C. Cyminum L) Tanaman diambil bagian biji dari tanaman C. cyminum L. sehat, berumur tua, berwarna kecoklatan, diambil dari daerah Tomohon, Sulawesi Utara. Biji Cuminum cyminum L. dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan, dijemur dengan panas matahari dengan ditutupi kain warna gelap. Setelah kering, diserbuk dan diayak hingga diperoleh serbuk biji C. cyminum L. Sebanyak 400 gram serbuk dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke alat soxhlet, selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan pelarut etanol 96 % sebanyak 1,5 L. Fraksi etanol yang diperoleh diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental daun (selanjutnya digunakan kata ekstrak untuk ekstrak etanol biji Cuminum cyminum L.). Perlakukan Terhadap Hewan Uji Tikus jantan Sprague Dawley umur 50 hari, beratnya sekitar 150 - 200 g sebanyak 3 ekor tiap kelompok ditempatkan dalam kandang dan diberi makan serta diberi minum air matang. Pakan yang digunakan merupakan pakan olahan sendiri dengan komposisi : tepung gandum 400 g, telur 30 g, teri 30 g, maizena 25 g dan susu skim 15 g. Tikus diberi makan 2 kali sehari, masing-masing tikus sebanyak 6 g. Perlakuan terhadap hewan uji dilakukan untuk melihat peningkatan ekspresi enzim GST baik karena DMBA maupun ekstrak. Terdapat lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol pelarut (CMC-Na 0,05 % dan corn oil), kelompok kontrol DMBA, kelompok dosis I (250 mg/kg bb), kelompok dosis II (500 mg/kg bb), dan kelompok dosis III (750 mg/kg bb). Semua kelompok dosis (dosis I, dosis II dan dosis III) mendapat perlakuan setiap hari selama dua minggu dan pada minggu ke-dua diberi perlakuan DMBA dengan dosis 30mg/KgBB setiap dua hari sekali. Kelompok kontrol pelarut diberi perlakuan dengan corn oil setiap dua hari sekali selama satu minggu. Kelompok kontrol DMBA diberi perlakuan DMBA dosis 30 mg/KgBB setiap dua hari sekali selama satu minggu pada minggu ke-dua. Setelah minggu ke-dua perlakuan, kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi enzim GST-nya, dipuasakan 24 jam sebelum dikorbankan. Sedangkan kelompok hewan uji yang akan diamati ekspresi mutasi gen p53, dibiarkan tanpa perlakuan selama satu bulan. Selanjutnya hewan uji tersebut dipuasakan 24 jam sebelum dikorbankan. Ekstrak dipejankan secara per oral (p.o) dalam bentuk sediaan suspensi dalam CMC-Na 0,5%. Sedangkan untuk DMBA digunakan pelarut corn oil. Sebagai kontrol pelarut, CMC-Na diberikan dengan volume 2 ml/200 kg BB p.o, dan corn oil sebanyak 0,3 ml/tikus p.o. Satu kelompok tikus diberi DMBA, dipejankan secara intragastric (i.g) selama 2 hari sekali dengan dosis 30 mg/kg BB. Diperkirakan dosis tersebut cukup besar untuk menaikkan ekspresi enzim GST dan cukup rendah agar tidak toksik terhadap tikus percobaan. Untuk melihat pengaruh dosis pada efek ekstrak, dibuat 3 kelompok peringkat dosis yaitu 250, 500, dan 750 mg/kg BB.

Penyiapan fraksi sitosol hepar tikus yang mengandung GST.

PKMP-5-19-4

Setelah selesai perlakuan, tikus dipuasakan selama 24 jam, kemudian tikus dikorbankan dengan dislokasi cervix dan diambil heparnya. Hepar tadi dimasukkan dalam eppendorf kemudian dihomogenasi dengan menggunakan sonikasi dalam loading buffer (10 mM Tris-HCl pH 7,9, 10mM NaCl, 1mM DTT) pada suhu 4 oC. Homogenat disentrifuge pada 17.000 rpm, 4 oC selama 1 jam. Supernatan yang diperoleh merupakan fraksi sitosol. Pemurnian dan elektroforesis GST dengan SDS-PAGE (Sodium Dodesil SulfatPoliakrilamid Gel Elektroforesis). Pemurnian GST dari fraksi sitosol menggunakan resin yang dapat mengikat GST, yaitu Glutathione Sepharose 4B. Pertama, resin (50µl) dalam tabung ependorf 1,5 ml, disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Supernatannya dibuang, kemudian ditambahkan pada residu tersebut, fraksi sitosol dari hepar tikus (500µl), digojog dengan membolak-balikkan tabung selama ± 1 menit, didiamkan selama 5-10 menit. Lalu disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang, dicuci dengan buffer fosfat sebanyak tiga kali dan dengan aquadest satu kali. Kemudian pada endapan ditambahkan dapar sampel lalu disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Supernatannya diambil lalu dielektroforesis menggunakan SDS-PAGE. Tabel 1. Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid 12%. Akrilamid/bisakrilamid 30% 1,5 M Tris-HCL pH 8,6 1,5 M Tris-HCL pH 6,8 Aquadest steril SDS 10% Amonium persulfat 10% TEMED

Gel Pemisah 5,0 ml 3,4 ml 5,1 ml 148 µl 100 µl 10 µl

Gel Penumpuk 3,05 ml 2,0 ml 4,65 ml 85 µl 75 µl 7,5 µl

Lempeng kaca yang telah dibersihkan dengan etanol dan dipasang pada alatnya, diisi dengan gel pengisi dan penumpuk yang telah terlebih dahulu dibuat dengan komposisi seperti tercantum pada Tabel I. Sampel pada elektroforesis ini adalah GST yang telah dimurnikan. GST tersebut dilarutkan dalam dapar sampel, kemudian disentrifuge. Setelah itu, campuran dipanaskan pada suhu 95-1000C selama 5 menit. Adapun sampel yang dielektroforesis, yaitu GST standar, fraksi hepar tikus tanpa perlakuan sebagai kontrol negatif, perlakuan DMBA 20 mg/kgBB sebanyak 10 kali, dan dua dosis perlakuan dengan ekstrak yaitu 300mg/kgBB dan 750mg/kgBB, yang ditambah perlakuan dengan DMBA dosis 20 mg/kgBB. Analisis Data Data yang dihasilkan berupa hasil elektroforesis GST dengan menggunakan metode SDS-PAGE yang kemudian dihitung luas area pita dan ekspresi gen p53 dengan metode PCR-SSCP. Data yang diperoleh dibandingkan

PKMP-5-19-5

antar kelompok kontrol pelarut, kelompok kontrol DMBA, kelompok dosis I, II, dan III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Determinasi Tanaman Identifikasi yang dilakukan terhadap serbuk, dengan mencocokkan ciri-ciri serbuk daun Cuminum cyminum L dengan ciri-ciri yang ada pada buku Materia Medika V (1989) sudah meyakinkan. Hasil identifikasi terhadap serbuk biji Cuminum cyminum L menunjukkan adanya endosperm dengan sel minyak, fragmen bekas pengangkut dengan penebalan bentuk tangga, sel minyak, parenkim, mesokarpium dan epikarpium. Ciri-ciri ini sesuai dengan ciri-ciri serbuk biji Cuminum cyminum L yang tertera dalam buku material Medika V (Anonim, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar biji Cuminum cyminum L. Perkembangan Berat Badan Hewan Uji Selama hewan uji mengalami perlakuan, dilakukan pengamatan terhadap perkembangan berat badan hewan uji. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan tehadap perkembangan berat badan hewan uji. Pengaruh tersebut dapat diamati dalam profil berat badan hewan uji. Pengamatan perkembangan berat badan tikus dilakukan terhadap seluruh kelompok, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Analisis statistik nonparametrik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antar kelompok. Namun, jika diteruskan dengan menggunakan uji statistika nonparametrik Mann Whitney, hanya antara kelompok kontrol pelarut CMC Na-corn oli dan kelompok kontrol DMBA saja yang mempunyai perbedaan yang signifikan, sedangkan antar kelompok lain tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kelompok kontrol DMBA mempunyai rata-rata berat badan yang lebih besar dibandingkan kelompok dosis 250 mg/kg BB, dosis 500 mg/kg BB, dosis 750 mg/kg BB, dan kelompok kontrol pelarut CMC NA-corn oil. Grfaik Profil Pe rtambahan Purata Be rat Badan He wan Uji 250.00

Berat Badan(gram)

200.00

pelarut

150.00

DMBA Dos is 1 Dos is 2

100.00

Dos is 3

50.00

0.00 Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Waktu

Gambar 1. Grafik profil perkembangan purata berat badan hewan uji.

PKMP-5-19-6

Kelima profil berat badan tersebut mempunyai kecenderungan yang hampir sama, sehingga variabel perlakuan terhadap hewan uji tidak mempengaruhi perkembangan berat badan hewan uji. Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Hepar Hewan Uji DMBA merupakan salah satu senyawa yang bersifat karsinogenik poten (King, 2000). Senyawa tersebut akan masuk ke dalam tubuh kemudian akan mengalami metabolisme yang akan menjadi ultimate carcinogen yang akan bereaksi dengan bagian nukelofil dari DNA sehingga menjadi DNA adduct (King, 2000). Senyawa inilah yang akan mengakibatkan mutasi dan karsinogenesis. Perlakuan hewan uji menggunakan DMBA dosis 30 mg/kg BB mengakibatkan perubahan secara molekuler seperti di atas yang secara makroskopik dapat diamati berupa nodul tumor pada organ hepar hewan uji yang diberikan DMBA. Sedangkan pada kelompok perlakuan ekstrak maupun kontrol pelarut tidak ditemukan adanya perubahan makroskopik seperti yang terdapat pada kelompok kontrol DMBA. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa adanya perlakuan DMBA dosis 30 mg/kgBB telah mengakibatkan timbulnya mutasi pada DNA dan proses karsinogenesis pada hewan uji. Perubahan tersebut dapat dilihat pada gambar 3.

a

b

d

e

c

Gambar 2. Gambaran makroskopi organ hepar hewan uji dimana terlihat adanya nodul tumor yang ditunjukkan oleh tanda panah pada kelompok kontrol DMBA (a), sedangkan kelompok dosis 250 mg/kgBB (b), dosis 500 mg/kgBB (c), dosis 750 mg/kgBB, dan kontrol pelarut CMC Na-corn oil (e) tidak menunjukkan adanya kenampakan nodul tumor. Hal ini disebabkan oleh pemberian DMBA yang memacu proses mutasi DNA dan karsinogenesis pada sel hepar. Pemurnian dan Elektroforesis GST dengan Menggunakan Metode SDS-PAGE Hasil elektroferesis dengan menggunakan metode Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) yang merupakan

PKMP-5-19-7

metode pemisahan protein berdasarkan berat molekul protein. Protein dengan berat molekul yang sama akan terpisah pada posisi yang sama. Hasil uji tersebut seperti ditunjukkan pada gambar 3.

D

M

C

B

A

E

M

D

C

B

A

E

b

a

M

D

C

B

A

E

c Gambar 3. Profil pita hasil elektroforesis GST dengan menggunakan metode SDS-PAGE, dilakukan replikasi 3 kali (a, b, dan c). Penyiapan fraksi sitosol hepar tikus yang mengandung enzim GST dilakukan dengan ekstraksi hepar tikus menggunakan loading buffer (10 mM Tris-HCl pH 7,9, 10 mM NaCl, 1 mM DTT). Dengan metode ini, dapat dilakukan ekstraksi pada masing-masing hepar hewan uji sehingga akan diketahui ekspresi enzim GST setiap hewan uji. Terlihat pita protein marker (GST) (M), pita kelompok dosis 750 mg/kgBB (D), kelompok dosis 500 mg/kgBB (C), kelompok dosis 250 mg/kgBB (B), kelompok kontrol DMBA (A), dan kelompok kontrol pelarut (CMC Na-corn oil) (E). Penentuan parameter ekspresi enzim GST dilakukan dengan mengukur luas area pita hasil elektroforesis. Luas area pita tersebut kemudian diperbandingkan antar kelompok. Data hasil kuantifikasi seperti terdapat pada gambar 4.

PKMP-5-19-8

Grafik Kuantifikasi Luas Area Pita Hasil Elektroforesis GST dengan metode SDS-PAGE 6.000

5.550

LuasArea(cm 2)

5.000

4.673 4.200

4.000 3.347 3.000

2.507

2.720

2.000 1.000 0.000 (GST) Marker

Kontrol pela rut

Kontrol DMBA

Dosis 250 Dosis 500 Dosis 750 mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB

Kelompok

Gambar 4. Grafik kuantifikasi luas area pita hasil elektroforesis GST dengan metode SDS-PAGE. Terlihat bahwa terjadi penurunan ekspresi GST seiring dengan peningkatan dosis ekstrak etanol biji jintan. Pembahasan Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Hepar Hewan Uji Secara makroskopik terlihat adanya nodul tumor pada hepar hewan uji yang diperlakukan dengan DMBA. Sedangkan pada kelompok ekstrak dan pelarut tidak ditemukan adanya nodul pada hepar. Walaupun perlakuan dengan menggunakan DMBA hanya dilakukan selama beberapa hari, namun perlakuan tersebut telah cukup untuk menginduksi adanya tumor di dalam hepar hewan uji. Hal ini mengindikasikan bahwa DMBA merupakan agen karsinogenik yang cukup poten. Hal ini juga memperkuat kenyataan bahwa DMBA sudah banyak dipakai sebagai model senyawa karsinogen dalam berbagai penelitian sebelumnya (Singletary et al., 1997 ; Buttersby et al., 1999 ; Andreson et al., 1999). Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Gagandep et al. (2003), bahwa biji jintan dapat mengurangi kejadian tumor lambung dan leher rahim pada hewan uji yang diinduksi dengan benzo(a)piren, maka kemungkinan ekstrak etanol biji jintan dapat menghambat pembentukan tumor. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa tidak terdapat nodul tumor pada hepar hewan uji yang diberikan ekstrak. Walaupun untuk pengamatan tumor dibutuhkan waktu yang lebih lama, namun kemungkinan ekstrak dapat menghambat pembentukan tumor tetap ada. Kandungan ekstrak etanol yang diantaranya mengandung komponen minyak atsiri, yang terdiri dari cuminal dan safranal (Sahelian, 2005), serta komponen glikosida lakton sesquiterpen (Takayanagi et al., 2003) telah terbukti dapat menghambat tumor lambung dan tumor leher rahim (Gagandep et al., 2003) dan tumor kolon karena enyawa karsinogen 1,2-dimetil hidrasin (DMH) (Nalini, 1998). Salah satu kemungkinan mekanisme penghambatan ekstrak terhadap proses karsinogenesis adalah melalui penghambatan pembentukan metabolit DMBA yang dikatalisis oleh sitokrom P450.

PKMP-5-19-9

Penentuan Ekspresi GST Hasil kuantifikasi luas area pita hasil elektroforesis GST menunjukkan bahwa semakin tinggi peringkat dosis ekstrak yang diberikan kepada hewan uji maka level ekspresi GST semakin turun. Data tersebut menginformasikan bahwa senyawa yang terdapat di dalam ekstrak menekan ekspresi GST. Ada beberapa kemungkinan mekanisme aksi ekstrak dalam menekan ekspresi GST, diantaranya adalah menghambat pembentukan metabolit aktif DMBA dan menekan faktor transkripsi yang berhubungan langsung dengan ekspresi GST. DMBA merupakan karsinogen sekunder sehingga agar dapat berefek maka harus mengalami aktivasi terlebih dahulu. Mekanisme aktivasi DMBA melibatkan enzim-enzim pemetabolisme tertentu terutama sitokrom P-450. Oksidasi metabolik DMBA akan menghasilkan metabolit epoksida yang sangat reaktif, yaitu senyawa 5,6-epoksi (King, 2000). Keluarga CYP1A terdiri dari isoenzim CYP1A1 dan CYP1A2. CYP1A1 biasanya memetabolisme senyawa-senyawa PAH, dimana salah satunya adalah DMBA, sedangkan CYP1A2 mengaktifkan senyawa-senyawa aminofluoro dan nitrosamin (Suoping Zhai et al., 1998). Pemberian ekstrak terlebih dulu sebelum pemberian DMBA, mungkin telah mampu menghambat secara spesifik isoenzym CYP1A1. Sehingga ketika diberi DMBA, aktivasi DMBA ini menjadi metabolit yang reaktif (dapat berikatan dengan DNA), dapat menjadi turun, dan metabolit yang dihasilkan sedikit sehingga tidak mampu menginisiasi tahap karsinogenesis. Ada kemungkinan beberapa senyawa yang terdapat dalam ekstrak etanol biji C. Cyminum L. dapat menekan ekspresi GST melalui mekanisme suppresi transkripsi. Dalam proses transkripsi, diperlukan respon elemen, dimana untuk transkripsi gen GST, bisa melalui ARE, XRE, GPE, maupun GRE. Kemungkinan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak akan berinteraksi dengan reseptorreseptor tersebut dan membentuk kompleks. Kompleks ini tidak seperti kompleks aktivasi, sehingga kompleks ini kemungkinan tidak dapat bekerja untuk menjadi pemacu transkripsi sehingga tidak terjadi ekspresi GST. Namun untuk memastikan bahwa mekanisme ini benar-benar terjadi perlu dilakukan penelitian dengan memberlakukan kontrol ekstrak tanpa diberikan perlakuan DMBA. Jika ditemukan bahwa terjadi penurunan level ekspresi GST, maka hal tersebut disebabkan karena ekstrak menekan faktor transkripsi gen GST. Kenyataan tersebut menuntun dugaan bahwa mekanisme aksi ekstrak yang paling mungkin dalam menekan ekspresi GST adalah melalui penghambatan aktivitas enzim sitokrom P450 terutama isoenzym CYP1A1. Konfirmasi lebih lanjut untuk mengtahui terjadinya mutasi pada gen p53 akan memberikan informasi lebih mengenai aktivitas antikarsinogenik dari ekstrak etanol biji jintan C. cyminum L.

KESIMPULAN Penentuan ekspresi GST pada percobaan dengan melakukan kuantifikasi luas area pita hasil elektroforesis GST memberikan hasil kelompok kontrol pelarut CMC Na-corn oil, DMBA, dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB berturut-turut 2.720 + 0.326, 4.67 + 0.980, 5.550 + 0.546, 4.200 + 0.676, dan 3.347 + 1.068 dalam satuan cm2. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ekstrak etanol biji jintan putih C. Cyminum L. dapat menekan ekspresi

PKMP-5-19-10

enzim GST. Kesimpulan tersebut masih bersifat sementara karena harus menunggu konfirmasi dari uji mutasi gen p53 yang masih berjalan, yang dapat memberikan infiormasi apakah terjadi mutasi atau tidak pada gen p53. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.E., Boorman, G.A., Morris, J.E., Sasser, L.B., Mann, P.C., Grumbien, S.L., Hailey, J.R., McNally, R., Sills, R.C., and Haseman, J.K., 1999, Effect of 13 Week Magnetic Field Exposures on DMBA-initiated Mammary Galnd Carcinomas in Female Sprague-Dawley rats, Carcinogenesis, Vol. 20, No. 8, pp 1615-1620. Anonim , 1989, Materia Medika Indonesiam, jilid V, Depkes RI, Jakarta Balmain, A., M. Ramsden, G. T Bowden, and J. Smith. 1984, Activation of the mouse cellular Harvey-ras gene in chemically induced benign skin papillomas, Nature (London) 307:658-660. Backer, C.A., and Van Den Brink, R.C.B., 1965, Flora of Java (Spermatophytes Only), Vol II., N.V.D. Noordhoff-Groningen-The Netherlands. Buttersby,S.T., Mevissen, T., Loseher, W., 1999, Exposures of Sprague-Dawley rats to a 50 Hertz, 100-μTesla Magnetic Field for 27 Weeks Facilities Mammary Tumorigenesis in The 7,12-dimethylbenz(a)anthracene Model of Breast Cancer, Cancer Res, 59, 3627-3233. Gagandeep, Dhanalakshmi S, Mendiz E, Rao AR, Kale RK, 2003, Chemopreventive effects of Cuminum cyminum in chemically induced forestomach and uterine cervix tumors in murine model systems, Nutr Cancer;47(2):171-80 King, R.J.B., 2000, Cancer Biology, 2nd edition, Pearson Education Ltd., London Nalini, Sabitha, Viswanathan, Menon, 1998, Influence of Spices on the Bacterial (Enzyme) Activity in Experimental Colon Cancer, J Ethnopharmacol, 62(1): 15-24. Sahelian,R.,M.D.,2005, Cumin, diambil dari http://www.raysahelian.com/cumin. html, diakses September 2005. Suoping Zhai, Renke Dai, Fred K. Friedman, and Robert E. Vestal, 1998, Comparative Inhibition of Human Cytochromes P450 1A1 and 1A2 by Flavonoids, Drug Metabolism and Disposition, Vol. 26, No. 10, 989-992. Singletary, K., MacDonald, C., Wallig, M., 1997, thr Plasticizer Benzyl Buthyl Phtalate (BBP) Inhibits 7,12-Dimethylbenz(a)anthracene, Induced Rat Mammary DNA Adduct Formation and Tumorigenesis, Carcinogenesis, 18(8) 1669-1673 Takayanagi T, Ishikawa T, Kitajima J, 2003, Sesquiterpene lactone glucosides and alkyl glycosides from the fruit of cumin, Phytochemistry, 63(4):479-84 Tullo, A., and E. Sbisa. 2002. Molecular characterization of p53 mutations in primary and secondary liver tumors. Diagnostic and Therapeutic perspectives. Moleculer Biotechnology. Vol. 21. Pp. 265-278. Winarno, W.M., Sundari, D., Nurarmi, B., 2000, Penelitian Aktivitas Biologik Infus Benalu The Terhadap Aktivitas Sistem Imun Mencit, Majalah Cermin Kedokteran, No 127, Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Jakarta, hal 11-12.

PKMP-5-20-1

STUDI DAMPAK PENGEBORAN GEOTERMAL PADA PROYEK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI (PLTPB) TERHADAP LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT BEDUGUL DAN SEKITARNYA Kadek Agus Apriawan Putra, I Made Wiranata, dan I Wayan Karta PS Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidikan MIPA IKIP Negeri Singaraja, Singaraja ABSTRAK Pro-kontra proyek geotermal pada PLTPB Bedugul terus bergulir, baik di masyarakat maupun di media masa. Namun, kajian ilmiah mengenai isu-isu yang masih dipro-kontrakan tersebut kurang atau jarang dilaporkan/dilakukan. Studi ini bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah dampak pengeboran geotermal PLTPB terhadap lingkungan dan masyarakat Bedugul dan sekitarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian diawali dengan mengidentifikasi kerak berwarna kuning pada pipa pengeboran PLTPB Bedugul, mengidentifikasi kandungan kadar belerang pada daun tanaman di sekitar pengeboran dan membandingkannya dengan daun di tempat yang bebas pencemaran H2S, survei lingkungan fisik sekitar pengeboran dan studi dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Hasil analisis kerak berwarna kuning pada pipa dan daun tanaman di sekitar lokasi pengeboran menunjukkan adanya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S). Kondisi air, udara, dan tanah menunjukkan bahwa telah terjadi perusakan lingkungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat Bedugul dan sekitarnya, sehingga kelanjutan proyek tersebut perlu dikaji ulang secara ilmiah. Kata kunci: geotermal, Bedugul, dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. PENDAHULUAN Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menjamin pasokan listrik di wilayah Bali adalah dengan membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi. Pembangkit ini memanfaatkan panas bumi yang digunakan untuk memanaskan air hingga didapat uap air super panas untuk menggerakkan turbin. Usaha mendapatkan panas bumi itu dapat ditempuh dengan jalan melakukan pengeboran sampai kedalaman tertentu. Usaha ini akan sia-sia jika sesudah pengeboran dilakukan, panas bumi yang didapat tidak mampu membuat uap air super panas yang diharapkan. Penanganan bekas pengeboran adalah dengan menutup lubang pengeboran dengan penutup pipa dengan campuran semen. Penutupan dengan metode ini bertujuan agar gas dalam kerak bumi tidak dapat keluar melalui pipa. Namun metode ini tidak 100% berhasil, karena penutupan dengan cara tersebut dapat membentuk lubang-lubang kecil yang dapat dilalui materi dalam wujud gas. Cara semacam ini tampaknya mengabaikan salah satu sifat dari gas yang dapat berdifusi ke konsentrasi yang lebih rendah. Gas-gas seperti hidrogen sulfida (H2S) yang ada dalam bumi akan menerobos celah-celah kecil yang ada pada pipa yang telah ditutup tersebut akibat tekanan yang besar. Tentunya kita tidak ingin membiarkan

PKMP-5-20-2

gas-gas tersebut keluar dan meracuni ekosistem, yaitu dengan memperhatikan penutupan bekas pengeboran secara intensif. Gas yang keluar dari pipa pengeboran panas bumi secara kasat mata dapat diketahui dari kerak yang ditimbulkan pada pipa. Berdasarkan hasil pengamatan awal peneliti, terdapat kerak berwarna kuning pada pipa, hal ini menunjukkan kemungkinan adanya belerang yang menempel pada pipa (belerang pada suhu 25oC berwarna kuning). Indikasi lainnya adalah terciumnya bau busuk (bau seperti bau kentut atau telur busuk) di sekitar bekas pengeboran. Bau busuk ini tercium sampai ke pemukiman penduduk pada pagi atau malam hari. Persenyawaan belerang, seperti gas H2S dan SO2, dalam konsentrasi berlebih dapat menimbulkan pencemaran. Pencemaran tidak saja terjadi pada manusia (berupa gangguan pernapasan) tetapi juga pada lingkungan secara makro (tanaman dan hewan), seperti kerusakan daun tanaman, penurunan pH tanah dan air. Kebocoran semacam ini jika tidak ditangani secara profesional dapat merusak lingkungan. Walaupun pro-kontra proyek geotermal pada PLTPB Bedugul terus bergulir, baik di masyarakat maupun di media masa, namun kajian ilmiah mengenai isu-isu yang masih dipro-kontrakan tersebut kurang atau jarang dilaporkan/dilakukan. Tujuan studi ini adalah mengkaji secara ilmiah dampak yang ditimbulkan akibat pengeboran geotermal untuk PLTPB terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, yang diawali dengan mengkarakterisasi secara kimiawi kerak berwarna kuning pada pipa pengeboran geotermal untuk PLTPB Bedugul. METODE PENDEKATAN Analisa kimia kualitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai senyawa kimia belerang yang ada. Instrumen yang digunakan untuk studi dampak lingkungan dan masyarakat adalah pedoman observasi, pedoman wawancara dan angket. Prosedur kerja karakterisasi kimiawi kerak berwarna kuning pada pipa pengeboran dan daun di sekitar proyek pengeboran geotermal PLTPB Bedugul adalah sebagai berikut: 1. Sampel kerak dan daun dimasukkan ke dalam tabung uji yang kering sampai tidak ada serbuk yang melekat pada dinding tabung dan pada mulut tabung disumbat dengan kapas yang telah dibasahi larutan timbal asetat. 2. Tabung uji yang telah diisi sampel dipanaskan dalam kedudukan hampir horisontal 3. Setiap perubahan yang terjadi diamati. Jika warna larutan timbal asetat berubah menjadi hitam, dapat disimpulkan bahwa daun tanaman mengandung belerang dan udara di sekitar tempat tumbuhnya tanaman mengandung gas persenyawaan belerang, H2S. Jika tidak terjadi perubahan berarti udara di sekitar tempat tumbuhnya tanaman tidak mengandung gas persenyawaan belerang, H2S (1). Prosedur kerja pengujian derajat keasaman air: 1. Air yang berada di beberapa titik dekat pengeboran diukur tingkat keasamannya (pH) dengan pHmeter (catatan: sampel air yang diuji adalah air di tempat penampungan air hujan di ladang pertanian, air yang digunakan

PKMP-5-20-3

penduduk untuk kebutuhan sehari-hari, air sungai, dan air di tempat penampungan air). 2. Hasil pengukuran dan data yang didapat dicatat dan dibandingkan dengan pH air netral (pH sama dengan atau mendekati 7). Pedoman observasi memuat hal-hal tentang dampak pengeboran terhadap lingkungan dilihat dari keadaan tumbuh-tumbuhan di sekitar lokasi sampai dengan radius 20 m, keadaan areal pertanian (keadaan tanaman, tanah dan air secara kualitatif) serta areal perumahan di sekitar areal pengeboran. Pedoman wawancara meliputi wawancara mengenai hal-hal yang dirasakan masyarakat sekitar tempat pengeboran pada saat dan sesudah adanya pengeboran seperti adanya bau, keadaan suhu, keadaan air serta hal lainnya yang relevan. Angket dalam penelitian ini berupa kuisioner yang diberikan kepada masyarakat sekitar tempat pengeboran mengenai hal-hal yang telah diamati serta dirasakan pada saat dan setelah adanya pengeboran tersebut. Data yang dikumpulkan meliputi data kuantitatif pH air, data kualitatif tentang keberadaan senyawa belerang pada kerak yang menempel pada pipa dan yang terdapat pada daun tumbuhan di sekitar pengeboran, deskripsi sifat-sifat senyawa belerang yang ada serta dampak pengeboran terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Penelitian ini dilakukan melalui tahapan persiapan dan pelaksanaan. Pada tahap persiapan dilakukan beberapa kegiatan seperti penyiapan alat yang akan digunakan dalam pengambilan sampel, menyiapkan instrumen, pedoman observasi, pedoman wawancara dan angket. Tahap pelaksanaan penelitian meliputi pengambilan sampel, penyebaran angket. Sampel belerang yang menempel pada pipa diambil, dimasukkan dalam plastik kemudian diikat serta dianalisis di laboratorium. Angket penelitian diberikan kepada 50 orang penduduk yang berada di sekitar tempat pengeboran. Penduduk yang dimaksud adalah penduduk dari segala usia baik laki maupun perempuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian kerak pada pipa pengeboran (contohnya Gambar 1), pH air di sekitar tempat pengeboran dan analisa daun tanaman dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3. Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 3, sampel menunjukkan adanya emisi gas persenyawaan belerang. Warna hitam yang semakin pekat menunjukkan kadar belerang yang terkandung dalam kerak dan daun semakin tinggi. Pada Tabel 2 menunjukkan, air di Desa Antapan dan Desa Batunya termasuk dalam kategori air bersih dan di Bukit Catu serta Tapak Pengeboran H (BEL H) sudah mengalami pencemaran, yang ditunjukkan oleh pH yang rendah. Beragam tanggapan muncul di masyarakat terkait keberadaan proyek pengeboran panas bumi di Bedugul. Sebanyak 68% responden menyatakan tidak setuju, 18% menyatakan setuju dan sisanya ragu-ragu. Masyarakat yang tidak setuju dengan proyek ini berpendapat bahwa dengan adanya proyek ini maka debit air dari sumber air akan berkurang mengingat lokasi berjalannya proyek berada di kawasan konservasi hutan lindung Batukaru dan dekat dengan sumber air (Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan), suhu lingkungan akan bertambah

PKMP-5-20-4

tinggi dan kondisi ini akan mengakibatkan matinya tanaman milik para petani. Selain itu udara akan tercemar oleh asap/gas yang dikeluarkan dari mesin, yang paling utama adalah bau busuk yang diakibatkan oleh kebocoran pipa yang tidak berfungsi (walaupun telah ditutup). Warga yang menerima menyatakan proyek ini sangat membantu kehidupan mereka dalam hal penyediaan lapangan kerja dan harapan terpenuhinya kebutuhan listrik di Bali secara mandiri. Warga yang raguragu beranggapan mereka tidak terkena dampak langsung poyek, baik dampak positif maupun dampak negatifnya, dan jalan tidaknya proyek ini diserahkan kepada pemimpin mereka (pamong desa/pemerintah) untuk mengambil keputusan.

Gambar 1. Kerak berwarna kuning pada pipa bekas pengeboran yang menunjukkan adanya kebocoran gas H2S Tabel 1. Hasil pengujian kerak pada pipa pengeboran No 1.

Lokasi pengambilan sampel kerak pada pipa Tapak pengeboran H, Kabupaten Tabanan

2..

Dusun Bukit Catu, Desa Candi Kuning, Kabupaten Tabanan Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Dusun Juuklegi, Desa Batunya, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan

3. 4.

Keterangan pengeboran yang masih aktif pengeboran yang tidak aktif pengeboran yang tidak aktif pengeboran yang tidak aktif

Kondisi ***** **** **** ****

Tabel 2 . Hasil pengukuran derajat keasaman air No 1. 2. 3. 4.

Lokasi pengambilan sampel air Tapak pengeboran H Bukit Catu Desa Antapan Desa Batunya

pH

Keterangan

3,62 5,34 6,22 6,58

Lokasi pengeboran yang masih aktif Tempat penampungan air hujan Pancuran, penampungan air hujan Pancuran

Tabel 3 Hasil pengujian kandungan belerang pada daun di sekitar pengeboran No 1.

Nama daun Jambu biji

Desa Antapan 1m *****

10 m *

Desa Batunya 20m ***

1m *****

20 m x

Bukit Catu 1m x

Murni ***

PKMP-5-20-5

2. 3. 4. 5.

6. 7.

(Psidium guajava) (2) Sembung (Blumea balsamifera) (3) Dap-dap (Erythrina haerdii) (2) Lontoro (Leucaena sp) (3) Pisang (Musa paradisiaca) (2) Nangka (Artocarpus heterophillus) (2) Alang-alang (Eriophorum angustifolium) (2)

*****

*****

****

*****

x

***

***

*****

****

x

x

x

x

***

x

x

x

*****

****

x

**

x

x

x

x

****

x

**

x

x

x

x

*****

x

***

x

x

**

x

x

*****

*

Keterangan: * sangat sedikit endapan hitam, ** ada sedikit endapan hitam, *** cukup banyak endapan hitam, **** banyak endapan hitam, ***** banyak sekali endapan hitam, dan x tidak dilakukan pengambilan sampel karena tidak ada tanaman atau tumbuhan di areal pengambilan sampel.

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa penduduk di Dusun Bukit Catu hanya mencium bau busuk (bau seperti telur busuk) pada awal pengerjaan proyek. Setelah berlangsung kurang lebih dua bulan bau tersebut tidak tercium lagi. Namun warga yang tinggal di Dusun Wanagiri tetap mencium bau busuk itu. Bau busuk mereka cium pada saat pagi dan sore atau malam hari. Masyarakat di Dusun Bukit Catu dan Dusun Wanagiri meyakini bau busuk itu merupakan bau belerang. Mereka dapat mendeskripsikan bau itu sama dengan bau yang mereka cium di kawasan Pura Teratai Bang yang telah diketahui sebelumnya bau belerang. Akibat dari adanya bau itu di udara (pencemaran) masyarakat di Dusun Wanagiri banyak yang mengalami gangguan pernapasan. Gangguan pernapasan yang mereka alami berupa batuk-batuk, kepala pusing namun tidak sampai muntah-muntah. Lain halnya dengan masyarakat di Dusun Bukit Catu, mereka hanya merasa terganggu di awal proyek ini berjalan. Selebihnya mereka tidak merasakan dampak apapun dari bau busuk itu. Hanya saja sedikit mengganggu di malam hari. Secara umum ketersediaan air untuk hidup (keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK) maupun pertanian) tidak mengalami gangguan berarti. Air yang mereka gunakan tidak mengalami banyak perubahan, bahkan tidak ada perubahan rasa air (air tidak menjadi terasa aman). Air untuk keperluan sehari-hari penduduk disuplai dari air ledeng (PAM) yang kemungkinan terkontaminasi oleh zat-zat berbahaya akibat pengeboran adalah sangat kecil. Beberapa responden yang berprofesi sebagai petani, pernah mengalami gagal panen dan ada pula yang tidak. Gagal panen terutama terjadi pada komoditi pertanian berupa pisang, alpukat, tomat, kubis dan bunga kembang seribu. Tanaman itu mati dicurigai terutama akibat ketidaktahanan tanaman terhadap gas berbau busuk yang keras dari proyek pengeboran. Masyarakat umumnya tidak terlalu merasakan adanya perubahan khusus yang mencolok pada suhu udara akibat pelaksanaan pengeboran. Hanya pada awal pelaksanaan saja suhu udara menjadi sangat panas. Suara bising mesin-mesin proyek tidak terlalu mengganggu kehidupan penduduk di Dusun Bukit Catu. Hal ini karena lokasi pengeboran berada jauh dari pemukiman penduduk. Namun masyarakat di Dusun Wanagiri ada yang merasa

PKMP-5-20-6

sangat terganggu, karena pada malam hari mereka tidak dapat tidur akibat suara bising mesin-mesin proyek. Dampak Negatif 1. Penurunan kualitas udara Hasil analisis daun pada lokasi dekat tapak-tapak pengeboran menunjukkan hasil yang positif mengandung belerang. Adanya kandungan belerang pada daun tanaman menunjukkan bahwa di sekitar tempat tumbuh daun/tanaman itu telah terjadi pencemaran gas H2S. Kandungan persenyawaan belerang pada kerak membuktikan adanya emisi pencemaran udara oleh gas-gas yang dihasilkan oleh kegiatan kontruksi, operasional ataupun adanya indikasi kebocoran pipa bekas pengeboran. Peningkatan konsentrasi gas di udara terutama gas H2S yang berbau busuk akan menimbulkan berbagai akibat dan dampak terhadap lingkungan dan sosial masyarakat di sekitar lokasi pengeboran. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya emisi gas pencemar ini adalah bau tidak enak yang sering tercium di kawasan pengeboran. Peningkatan konsentrasi gas H2S, serta gas-gas emisi lainnya seperti hidrokarbon dan amoniak dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan adanya perubahan pola genetik pada makhluk hidup (4). Gangguan kesehatan meliputi iritasi pada saluran pernapasan, mual dan pusing-pusing (4). Gangguan kesehatan ini ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di Dusun Wanagiri dan sekitarnya. Jika tidak ditanggulangi dengan cermat hal ini dapat menimbulkan keresahan. Bau ini dapat meresahkan kehidupan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya, seperti bertani, istirahat, dan lain-lain. Hal ini karena bau seperti bau kentut (indikasi adanya gas H2S) sering muncul pada pagi dan siang hari seperti yang dialami beberapa responden di Dusun Bukit Catu dan Desa Batunya, serta pagi dan malam hari di Dusun Wanagiri. Tumbuhan juga mengalami gangguan akibat adanya H2S. Seperti halnya manusia tumbuhan juga bernapas. Tumbuhan saat bernapas menghirup segala gas yang ada di udara, termasuk H2S seperti terungkap pada pengujian daun tumbuhan di sekitar lokasi pengeboran memiliki kandungan belerang yang lebih besar. Perubahan kondisi lingkungan (udara) akan memaksa tumbuhan (juga hewan) menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Agar dapat menyesuaikan diri maka susunan tanaman dalam tubuh tumbuhan akan mengalami perubahan. Perubahan susunan tanaman ini (mutagen) adalah dampak buruk yang dapat mengakibatkan tumbuhan kehilangan sifat alaminya. Pembukaan area hutan lindung secara otomatis akan mengurangi jumlah penyerapan karbon dioksida (CO2) yang dapat dilakukan oleh tumbuhan. Berkurangnya jumlah CO2 yang mampu diserap menyebabkan kadar CO2 di udara mengalami peningkatan yang berakibat pada terjadinya efek rumah kaca (4). Suhu udara yang panas dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, menempatkan masyarakat pada kondisi emosi yang labil. Kondisi-kondisi tersebut jika tidak ditanggulangi dengan cermat akan menimbulkan keresahan masyarakat. Penanaman hutan kembali di Desa Gesing oleh pihak pengelola proyek (Bali Energy Ltd. (BEL), tidak serta-merta mampu menanggulangi dampak ini. Kemampuan daun tamanan yang masih muda dalam melakukan penyerapan CO2 lebih rendah daripada daun tanaman tua (4). Hal ini berakibat terganggunya

PKMP-5-20-7

perlindungan terhadap atmosfer Bali khususnya kawasan Bedugul dan sekitarnya sebagai paru-paru Bali. 2. Kebisingan dan getaran Masyarakat di sekitar pengeboran merasa terganggu dengan kebisingan yang terjadi pada tahap kontruksi sampai tahap uji sumur produksi. Hal ini terjadi karena pada saat kontruksi menggunakan berbagai kendaraan berat (trailer dan dump truck), penggunaan mesin pancang serta mobilitas lalu lintas yang padat saat pengangkutan peralatan yang diperlukan dalam kegiatan pengeboran. Hal ini memberikan dampak sosial berupa kekurangnyamanan dan terganggunya aktivitas masyarakat. Sedangkan dampak terhadap lingkungan yang terjadi yaitu beberapa ternak penduduk menjadi resah/stress. Satwa juga kemungkinan terganggu dengan adanya kebisingan berupa gangguan komunikasi. Gangguan ini terasa khususnya pada tahap ketergantungan “anak-induk” saat usia muda serta gangguan terhadap kemampuan anak untuk berkomunikasi saat meminta makanan dari induknya atau gangguan komunikasi induk kepada anaknya pada saat ada bahaya. Fenomena ini menyebabkan keanekaragaman jenis fauna di kawasan hutan akan berkurang akibat ketidaknyamanan oleh kebisingan. Gangguan kebisingan yang dialami oleh satwa dapat menyebabkan menurunnya keanekaragaman satwa. Hal ini terjadi karena satwa yang merasakan kebisingan akan berpindah dari kawasan hutan. Menurunnya keanekaragaman satwa menyebabkan putusnya beberapa rantai makanan pada ekosistem. 3. Penurunan sifat fisik dan kimia tanah serta penurunan kualitas air Emisi gas H2S akan memperbanyak konsentrasi asam-asam belerang dalam udara yang mengakibatkan hujan asam. Hal ini ditunjukkan dari pH air hujan yang ditampung oleh warga berada pada kondisi di bawah normal (pH air hujan yang diambil dari penampungan air hujan di Dusun Bukit Catu adalah 5,34). Efek dari hujan asam ini menyebabkan penurunan pH tanah. Pelaksanaan proyek PLTPB dapat menurunkan kualitas air khususnya air permukaan pada tahap konstruksi kegiatan uji sumur produksi. Pada saat uji sumur produksi banyak uap panas yang lepas ke udara dengan berbagai komponen yang berupa asam, basa dan garam-garam mineral yang selanjutnya jatuh bersama air hujan dan terbawa ke aliran permukaan. Limbah gas buang yang dihasilkan pada kegiatan ini mengandung SO2, CO2, CO, NO2, dan H2S. Limbah gas ini akan menyebabkan terjadinya hujan asam di wilayah dekat lokasi proyek. Hujan asam akan berdampak pada penurunan kualitas air, menyebabkan gangguan dan kematian komponen flora dan fauna pada ekosistem.

4. Penurunan potensi air dan tofografi tanah Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan manfaat air menjadi berkurang bagi masyarakat, pertanian dan perikanan serta menimbulkan penyakit pada masyarakat, seperti diare, hepatitis A, kolera, disentri, dan lain-lain (5). Penurunan kualitas air ditandai dengan perubahan pH yang drastis akibat adanya senyawa anorganik (5). Pada tumbuhan, perubahan pH dapat menyebabkan permeabilitas

PKMP-5-20-8

membran sel berubah, dan menyebabkan menurunnya sifat alamiah enzim sehingga enzim-enzim yang terdapat pada tumbuhan kehilangan aktivitasnya (6). Dampaknya terhadap pertanian akan mengurangi hasil panen petani akibat pertumbuhan dan perkembangan tanaman terganggu. Hal ini akan meresahkan masyarakat mengenai persediaan, kualitas dan kuantitas air yang akan berkurang terutama yang memanfaatkan aliran air dan danau untuk pertanian. Pembukaan areal hutan lindung menyebabkan daya serap tanah menurun terhadap air hujan. Lama-kelamaan jika terjadi hujan deras maka akan menyebabkan tanah longsor dan menurunnya air permukaan. Longsor terjadi karena tanaman perekat tanah sudah ditebang dan perubahan arah aliran air. Peristiwa ini pernah dialami responden di Desa Batunya. Tentu saja hal ini meresahkan masyarakat mengenai bahaya longsor. Penurunan air permukaan menyebabkan pendangkalan sumber-sumber air khususnya air di Danau Buyan, Danau Tamblingan, dan Danau Beratan.

Gambar 2. Kondisi lahan kritis di bekas tempat pengeboran 5. Penurunan kelimpahan dan keanekaragaman jenis flora dan fauna Salah satu karakteristik gas H2S adalah lebih berat daripada udara dan oleh sebab itu gas ini akan berada lebih dekat dengan permukaan tanah. Kondisi geografis Bedugul berupa lembah akan menyulitkan pergerakan gas-gas ini. Kondisi ini mengakibatkan akumulasi gas pada daerah tertentu. Akumulasi gasgas ini akan terhirup oleh hewan dan tumbuhan di sekitarnya, yang mengakibatkan kematian pada spesies tertentu. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sudah terdapat kematian pada jenis tanaman pisang, alpukat, tomat, kubis, dan bunga kembang seribu. Tidak menutup kemungkinan peristiwa serupa terjadi pada jenis flora dan fauna lainnya. (perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kasus ini). Pembuatan jalan melalui penebangan atau perabasan hutan di areal hutan lindung mengakibatkan kematian pada banyak spesies yang tumbuh dan hidup di kawasan hutan Batukaru. Kematian tersebut tidak saja pada jenis yang umum terdapat di tempat lain tetapi juga tanaman yang hanya dapat hidup di tempat itu, seperti cemara pandak. Pembukaan hutan untuk jalan penghubung menuju tempat pengeboran telah merusak dan menghilangkan tempat mencari makan, bersarang, daerah jelajah bagi sejumlah hewan. Hutan Batukaru merupakan hutan yang telah berumur ribuan tahun. Di dalamnya telah terjadi keseimbangn ekologis yang mantap seperti komunitas pohon cemara pandak (Podocarpus imbricatus) (2) khas Bedugul. Cemara pandak ini merupakan tegakan murni di hutan lindung Batukaru yang merupakan tempat satwa lainnya hidup dan berkembangbiak. Penebangan ini juga berdampak pada jenis tumbuhan lain. Jika salah satu

PKMP-5-20-9

komponen hilang, maka rantai kehidupan di dalamnya akan terganggu. Sehingga keberadaan proyek pengeboran ini sangat mengganggu pelestarian ekosistem (flora dan fauna) secara insitu di hutan Batukaru. Kebijakan mengganti hutan yang hilang dengan luas tertentu akibat proyek dengan luas lahan penanaman pohon duakali di tempat lain belum memiliki sasaran yang tepat. Hutan yang dibuka adalah kawasan hutan lindung dan hutan primer dengan tegakan murni yang berumur ratusan tahun dan telah terbangun sistem ekologis yang fungsional, dalam penanaman yang baru diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan hutan sesuai dengan ekosistemnya, serta belum ada jaminan lokasi pengganti hutan dari penebangan. Pembukaan lahan ini juga dapat menurunkan fungsi-fungsi konservasi sebagai kawasan hutan lindung (konservasi plasmanutfah, persediaan air, persediaan udara yang bersih, konservasi tanah dan lahan, sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat). 6. Gangguan transportasi Gangguan transportasi terutama terjadi di daerah-daerah tempat pengeboran yang gagal. Jalan yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat di Desa Antapan menjadi rusak akibat dilalui oleh kendaraan yang membawa alat-alat berat dan material bangunan pada tahap persiapan pengeboran. Dampak kerusakan menyebabkan gangguan pada kendaraan dan pengendara yang melintas di jalan ini. Gangguan ini berupa hentakan atau goncangan pada saat berkendara. 7. Perubahan tata guna lahan Dampak lain yang ditimbulkan dari bekas pengeboran yang gagal adalah adanya perubahan tata guna lahan dari lahan subur menjadi lahan kritis. Lahan yang dulunya merupakan lahan yang subur dan merupakan lahan yang sangat potensial untuk pertanian, kini menjadi lahan kritis yang terlantarkan. Hal ini tampak jelas pada tapak-tapak pengeboran yang gagal dan ditelantarkan (Gambar 2). Pembangunan jalan menuju proyek pengeboran yang melintasi peladangan petani akan memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi bangunan, perumahan, dan lain-lain. 8. Perubahan nilai-nilai sosial Hampir seluruh perusahaan memerlukan pengamanan dalam menjalankan usahanya. Tidak terkecuali, Bali Energi Ltd (BEL) yang menjadi pelaksana pengeboran proyek geotermal di Bedugul. BEL selain mempekerjakan sejumlah satpam juga mempekerjakan pecalang untuk menjaga keamanan proyek. Pecalang merupakan salah satu komponen dalam sistem masyarakat adat Bali. Pecalang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban pelaksanaan upacara-upakara agama Hindu di Bali. Mempekerjakan pecalang sebagai pengaman proyek jelas merupakan suatu kekeliruan, jika ditinjau dari peran pecalang dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Bali pada umumnya. Jika fenomena ini tidak diluruskan, maka tugas pecalang sebagai ‘satpam’ akan diwariskan secara turuntemurun dan mengakibatkan perubahan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Pro-kontra mengenai keberadaan PLTPB Bedugul akan menimbulkan keresahan pada masyarakat dan kesenjangan di masyarakat akibat timbulnya konflik horisontal. Apalagi dari 50 responden, hanya 18% yang menyatakan

PKMP-5-20-10

setuju proyek PLTPB Bedugul terus berlanjut, 68% menolak dan sisanya raguragu. Keresahan ini dapat berbuntut panjang jika tidak ditangani dengan bijak. Masyarakat yang kontra dengan PLTPB Bedugul bisa saja mengamuk dalam artian melakukan perusakan di lokasi proyek atau kantor-kantor pemerintahan, tempat-tempat pelayanan publik dan atau kantor pimpinan proyek bahkan menyerang masyarakat dari kelompok pro-PLTPB Bedugul. Dampak positif Selain dampak negatif yang terjadi pada komponen fisika dan kimia dari lingkungan dan perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, pembangunan PLTPB Bedugul akan menimbulkan dampak positif khususnya terhadap komponen ekonomi. Pembangunan jalan menuju proyek pengeboran yang melintasi peladangan petani dapat memperlancar distribusi logistik, hasil petanian dan perkebunan di daerah Bedugul dan sekitarnya. Beberapa orang yang menganggur dapat memperoleh pekerjaan pada proyek PLTPB Bedugul. Dampak proyek dalam penyerapan dan perekrutan tenaga kerja menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Tetapi penyerapan tenaga kerja ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial terhadap mereka yang tidak diterima. Hal ini dapat menimbulkan konflik horisontal maupun vertikal pada masyarakat. Namun apabila ditinjau secara mendalam, dampak positif tidaklah seimbang dengan dampak negatif yang ditimbulkan, apalagi ditinjau dari kepentingan Bali secara umum karena Bedugul merupakan kawasan konservasi hutan, sumber air dan kehidupan spiritual Bali yang harus dilestarikan. KESIMPULAN Hasil analisis kerak berwarna kuning pada pipa dan daun tanaman di sekitar lokasi pengeboran menunjukkan adanya kebocoran gas H2S. Kondisi air, udara, dan tanah menunjukkan bahwa telah terjadi perusakan lingkungan. Hasil studi dampak pengeboran PLTPB Bedugul menunjukkan lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat Bedugul dan sekitarnya, sehingga kelanjutan proyek tersebut perlu dikaji ulang secara ilmiah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dirjen Dikti atas bantuan dana yang diberikan untuk membiayai penelitian ini, Direktur Bali Energy Ltd. atas kerja samanya, Rektor IKIP Negeri Singaraja atas ijinnya dalam melaksanakan penelitian, Bapak Dr. I Nyoman Tika, M.Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kimia, Bapak Dr. rer. nat. I Wayan Karyasa, S.Pd. M.Sc selaku dosen pembimbing, Kepala Desa Antapan, Desa Batunya, dan Desa Candikuning atas bantuan dan kerjasamanya. DAFTAR PUSTAKA 1. Sugiharto, Kristian H. Kimia Anorganik I. Yogyakarta: Jurusan Kimia FPMIPA Universitas Negeri Yogyakarta; 2004. 2. William, Warrem. Botanica The Ilustrated A-2 of Over 10,000 Garden Plants and How to Cultivate them. Singapore: Periplus Editions; 1998. 3. Afriastini, JJ. Daftar Nama Tanaman. Jakarta: PT Penebar Swadaya; 1985.

PKMP-5-20-11

4. Ardhana, I Putu Gede. Dampak Pembangunan Terhadap Kesehatan Lingkungan (Lokakarya Kimia Lingkungan Jurusan Pendidikan Kimia IKIP Negeri Singaraja). Singaraja: Tidak dipublikasikan; 2005. 5. Arya Wardhana, Wisnu. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi; 2001 6. Sarna, Ketut. dkk. Buka Ajar Fisiologi Tumbuhan. Singaraja: Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja; 1998/1999.

PKMP-5-21-1

STUDI PEMBUATAN SERBUK MINUMAN UMBI BIT (Beta vulgaris L) BERKARBONASI (EFFERVESCENT) Retno Kurniasih, Niken Anjani, dan Riana Handayani Jurusan Tekn Pangan, Fak Tekn Industri Pertanian, Universitas Sahid Jakarta ABSTRAK Perhatian masyarakat kini semakin meningkat terhadap pangan fungsional. Umbi bit dapat mendetoksifikasi darah, merangsang fungsi sel hati dan melindungi saluran empedu dan hati, menghambat penumpukan lemak pada hati, mencegah serangan jantung dan penyakit arteri serebral, serta mencegah tumor. Komponen yang berperan adalah betanin yang mampu disintesis menjadi kolin dalam tubuh. Umbi bit memiliki flavor tanah yang kurang menyenangkan, dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Diperlukan produk olahan yang dapat membawa efek positif bagi kesehatan secara maksimal dan disukai, yaitu serbuk minuman berkarbonasi (effervescent) umbi bit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat terhadap mutu serbuk effervescent umbi bit sehingga dapat diperoleh konsentrasi yang seimbang. Rancangan eksperimen yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial (RALF) dengan dua faktor, yaitu konsentrasi Na-bikarbonat (39%, 49%, 59%) dan konsentrasi asam sitrat (15%, 25%, 35%) dengan dua kali pengulangan. Analisis data dilakukan dengan Analisis Varian untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan mutu antar taraf dalam perlakuan. Bila ada perbedaan dilakukan uji Duncan Multiple Range Test. Pengujian mutu dilakukan melalui uji kimia (kadar air, pH, uji spektrofotometer), uji fisik (persentase volume buih, kelarutan), serta uji organoleptik melalui uji mutu hedonik dan uji penjenjangan (penampakan buih, warna, aroma umbi bit dan rasa). Berdasarkan pengamatan, serbuk effervescent umbi bit yang memiliki mutu terbaik dihasilkan dengan konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan konsentrasi asam sitrat 35% karena memiliki pH 5.25 (komponen betanin tetap stabil), persentase volume buih yang paling maksimal (20.4%), tingkat kelarutannya sebesar 99.9596%, memiliki kadar air 0.25%, skor penampakan buih 3.9 (volume agak kecil), warna 4.3 (merah tua), aroma umbi bit 5.3 (kurang kuat), rasa 3.4 (asam manis kurang kuat), tingkat penjenjangan ratarata 0.2192. Kata kunci: umbi bit, betanin, effervescent, Na-bikarbonat, asam sitrat PENDAHULUAN Perhatian masyarakat semakin meningkat terhadap pemanfaatan pangan fungsional, yaitu pangan yang mempunyai fungsi kesehatan. Salah satunya adalah umbi bit yang dapat mendetoksifikasi darah (Heirman, 1994 dalam AIM Internasional, 2000), merangsang fungsi sel hati, melindungi saluran empedu dan hati (Vogel, 1991), serta mampu mencegah tumor. Komponen penting betanin berdasarkan percobaan pada hewan, mampu menghambat penumpukan lemak pada hati (fatty liver) sehingga mencegah serangan jantung dan penyakit arteri serebral. Betanin adalah bahan utama bagi tubuh dalam mensintesis kolin. Kolin berperan dalam metabolisme lemak pada hati, dan merupakan senyawa utama pada spingomielin (berperan dalam kerja otak dan jaringan saraf), sebagai

PKMP-5-21-2

prekursor asetilkolin yang berperan penting dalam transmisi saraf (Ensminger dkk, 1995; Aim Internasional, 2000). Umbi bit memiliki flavor tanah yang kurang menyenangkan, dan betanin bersifat rentan terhadap suhu, cahaya, panas, dan pH (Eder, 2000). Umbi bit belum dimanfaatkan dengan optimal, dan belum terdapat produk olahan umbi bit di Indonesia, maka umbi bit masih memiliki peluang industri yang besar. Menurut Eder (2000), betanin pada konsentrat umbi bit kering bersifat stabil, dengan demikian effervescent umbi bit diharapkan dapat memberikan efek positif betanin secara maksimal, serta memberikan efek rasa menyegarkan dengan adanya karbonat pada produk sehingga menutupi rasa bit yang kurang menyenangkan, praktis, dan biaya pengangkutan rendah. Konsentrasi asam dan Na-bikarbonat dapat mempengaruhi efek menyegarkan dan pembentukan gas CO2 (efek effervescing). Efek effervescing dapat hilang atau berkurangnya bila konsentrasi garam bikarbonat yang ada tidak tepat untuk dapat habis bereaksi dengan asam sitrat yang ada. Na-bikarbonat dan asam dapat mempengaruhi pH dan kestabilan betanin (Lieberman dkk, 1989). Permasalahan yang akan diteliti adalah: (1) Secara keseluruhan, apakah ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda (39%, 49% dan 59%)? Bila ada, pada konsentrasi berapakah diperoleh mutu serbuk effervescent umbi bit yang terbaik? (2) Secara keseluruhan, apakah ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi asam sitrat berbeda (15%, 25% dan 35%)? Bila ada, pada konsentrasi berapakah diperoleh mutu serbuk effervescent umbi bit yang terbaik? (3) Secara keseluruhan, apakah terdapat interaksi antara konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat dalam mempengaruhi mutu serbuk effervescent umbi bit? Bila ada, kombinasi manakah diperoleh mutu serbuk effervescent umbi bit terbaik? Mutu ditentukan melalui uji fisik (volume buih dan kelarutan), uji kimia (kadar air, pH, dan uji spektrofotometer), uji organoleptik meliputi uji mutu hedonik dan uji rangking terhadap warna, aroma, rasa dan penampakan buih produk. Hipotesis yang disusun, yaitu : (1) Secara keseluruhan, diduga ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi Nabikarbonat yang berbeda (39%, 49% dan 59%), (2) Secara keseluruhan, diduga ada perbedaan antara mutu serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi asam sitrat yang berbeda (15%, 25% dan 35%), (3) Secara keseluruhan, diduga ada interaksi antar konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat dalam mempengaruhi mutu serbuk effervescent umbi bit. Tujuan penelitian ini yaitu menghasilkan produk berbahan dasar umbi bit yang praktis, disukai dan bermanfaat bagi kesehatan, menerapkan teknologi pembuatan serbuk effervescent dengan menggunakan bahan baku umbi bit sehingga dihasilkan produk serbuk effervescent umbi bit yang terbaik, menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman penulis dalam melakukan penelitian secara ilmiah. Bagi masyarakat diharapkan adanya peningkatan produk serbuk effervescent umbi bit sebagai peningkatan dan penganeka ragaman produk bit sebagai produk pangan fungsional, dan manfaat dari produk ini dapat diketahui masyarakat luas.

PKMP-5-21-3

METODE PENDEKATAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Biokimia Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB, Bogor serta di Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Kimia FTIP Universitas Sahid Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2006 sampai dengan Mei 2006. Bahan yang digunakan adalah bahan baku berupa umbi bit, dan bahan lainnya yaitu asam sitrat, asam tartrat, aspartam, dekstrin, tween 80, sodium bikarbonat, dan gula halus, buffer pH 4 dan 7. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kertas saring Whatman No. 42, freeze dryer, pengepress hidrolik, freezer, toples kedap udara, ayakan 50 mesh, desikator, pH meter, timbangan analitik, bejana plastik, HPLC, gelas ukur, wadah plastik, pisau, alatalat gelas, dan sealer, spektrofotometer. Metode penelitian adalah metode eksperimen rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu konsentrasi Na-bikarbonat (39%, 49%, 59%) dan asam sitrat (15%, 25%, 35%) dengan dua kali pengulangan. Penelitian terdiri dari penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan serbuk effervescent yang tepat dan menentukan tingkat kemanisan yang paling tepat dengan perlakukan konsentrasi gula pasir berbeda (21%, 26%, 31%, 36%, dan 41% (b/b) dari total bobot daging umbi bit). Perbandingan Na-bikarbonat dan asam sitrat berdasarkan perhitungan stokiometri, yaitu Na-bikarbonat sebanyak 49% (b/b), dan asam sitrat sebanyak 25% (b/b), sedangkan bahan lainnya digunakan sesuai dengan formulasi produk pada umumnya. Hasil uji organoleptik pada Tabel 1 menunjukkan konsentrasi yang akan digunakan pada penelitian utama adalah 21% karena memberikan nilai tertinggi. Tabel 1. Rata-rata nilai hasil uji hedonik dan uji mutu hedonik terhadap rasa effervescent yang dibuat dengan konsentrasi gula halus berbeda. Konsentrasi gula halus (%) 21 26 31 36 41

Nilai rata-rata hasil uji organoleptik Uji hedonik rasa Uji mutu hedonik rasa 4.20a 4.05a b 3.50 3.15b c 3.15 3.50c d 3.65 4.10a e 3.35 3.75d

Keterangan : Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan Nilai pada hedonik rasa : 1 = asam manis sangat tidak kuat; 2 = asam manis tidak kuat; 3 = asam manis kurang kuat; 4 = asam manis agak kuat; 5 = asam manis kuat; 6 = asam manis sangat kuat Nilai pada mutu hedonik rasa : 1 = sangat suka; 2 = suka; 3 = agak suka; 4 = kurang suka; 5 = tidak suka; 6 = sangat tidak suka

Penelitian utama dilakukan untuk menentukan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat terbaik sehingga dapat menghasilkan mutu produk terbaik. Konsentrasi Na-bikarbonat yang digunakan adalah 59%, 49%, dan 39% (b/b), sedangkan konsentrasi asam sitrat yang digunakan adalah 15%. 25%, dan 35. % (b/b). Skema pembuatan serbuk effervescent umbi bit dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 2. Konsentrasi bahan dalam pembuatan serbuk effervescent umbi bit pada penelitian utama

PKMP-5-21-4

Bahan Daging umbi bit Asam sitrat Asam Tartarat Tween 80 Dekstrin Aspartam Na-bikarbonat Gula Halus

Berat 1000 g 150g, 250g, 350g 180 g 0.4 g 300 g 50 g 390g, 490g, 590g 210 g

Persentase (%) 100% 15%, 25%, 35% 18% 0.04% 30% 5% 39%, 49%, 59% 21%

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data kimia (kadar air, pH, dan hasil uji spektrofotometer), data fisik (volume buih dan tingkat kelarutan), dan data organoleptik (hasil uji hedonik dan rangking) Penentuan kadar air dilakukan dengan metoda oven dimana cawan kosong dan tutupnya dikeringkan 15 menit, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram, dan ditempatkan cawan beserta isinya dan tutupnya dalam oven vakum selama 6 jam. Cawan lalu didinginkan dalam desikator. Setelah dingin ditimbang, dan dikeringkan kembali sampai bobotnya tetap. Hasil analisa kadar air dinyatakan sebagai persen kadar air basis basah (AOAC, 1999) Pengukuran pH dilakukan terhadap serbuk effervescent umbi bit yang telah dilarutkan sebanyak 4,5 gram dalam 250 ml air dingin. Pengukuran dilakukan menggunakan pH meter yang dikalibrasi (SNI 01-2891-1992). Pengujian spektrofotometri dilakukan dengan menyiapkan larutan uji dan pembanding yang akan diukur serapannya. Kemudian kuvet diisi dengan larutan blanko (air), dan set panjang gelombang yang digunakan (538nm), setelah panjang gelombang keluar, tekan autozerro. Setelah kuvet diisi dengan larutan standard, dan diuji (Depkes, 1995). Sifat pembuihan diamati dengan mengukur volume buih terbesar yang terbentuk selama produk larut menggunakan gelas ukur. Sifat ini diamati dengan melarutkan 4,5 gram produk serbuk effervescent umbi bit dalam 250 ml air dingin (Cheftel et al., 1991) Persentase volume buih = [volume buih (ml) / volume cairan awal (ml)] x 100 % Pengukuran kelarutan dilakukan dengan metode gravimetri. Pengukuran dilakukan dengan menimbang 4.5 gram contoh ke dalam gelas piala 400 ml dan ditambah 250 ml air dingin, diaduk hingga homogen, dalam keadaan dingin dituangkan ke dalam kertas saring yang dikeringkan dan ditimbang. Kemudian gelas piala dan kertas saring dibilas dengan menggunakan air dingin. Kertas saring kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC selama 2 jam, didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap (SNI 01-2891-1992) W1-W2 % Bagian yang tidak larut air

=

100% -

x 100% W

Dimana:

Bit Segar Sortasi

W W1

= =

W2

=

bobot cuplikan bobot botol cuplikan + kertas saring berisi bagian yang tidak larut bobot botol timbang dan kertas saring kosong

PKMP-5-21-5

Kulit & Kotoran

Pengupasan dan pencucian Penghancuran (grinder) Pengepresan (hydrolic presser)

Ampas

Sari Umbi Bit

Dekstrin Tween 80

Pembekuan (Freezer) Pengeringan beku (Freeze Dryer) Penghancuran dan pengayakan (50 mesh)

Na-bikarbonat (A) 39% (A1), 49% (A2) , 59% (A3)

Asam Sitrat (B) 15% (B1), 25% (B2), 35% (B3)

Serbuk Konsentrat umbi bit

Tahap 1 A1B1

Tahap 2

Asam Tartrat

A1B2

A1B3

A2B1

Pencampuran 1

A2B2

A2B3

A3B1

¼ bagian NaHCO3

Pencampuran 2

¾ bagian NaHCO3

Aspartam Gula Halus

Tahap 3

Penimbangan dan pengemasan

Gambar 1. Skema pembuatan serbuk minuman berkarbonasi (effervescent) umbi bit Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan ranking terhadap warna, rasa, aroma dan penampakan buih oleh 20 orang panelis semi terlatih. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis varian faktorial 3 x 3, dua kali pengulangan. Perlakuan memberikan pengaruh nyata jika F hitung>F tabel (Ho ditolak bila F hitung>Ftabel) pada taraf 5% dan berpengaruh sangat nyata jika F hitung>F tabel pada taraf 1%. Uji DMRT untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda nyata atau sangat nyata dan taraf perlakuan mana yang terbaik. Model hipotesis penelitian:

A3B2

A3B3

PKMP-5-21-6

a. H0 : Ai = 0 (i = 1, 2, 3) H0 diterima apabila Fhitung A lebih kecil atau sama dengan Ftabel A, tidak ada perbedaan antara taraf perlakuan A (Na-bikarbonat). Demikian pula halnya pada taraf perlakuan B dan Kombinasi A dan B. H1 : Ai ≠ 0 H1 diterima (Ho ditolak) bila Fhitung A lebih besar dari Ftabel A, ada perbedaan antara taraf perlakuan A (Na-bikarbonat). Demikian pula halnya pada taraf perlakuan B dan Kombinasi A dan B. Metode uji Duncan dihitung dengan parameter standard kekeliruan ratarata (Sy) dengan rumus: Kuadrat Tengah Galat SyAB = Jumlah ulangan HASIL DAN PEMBAHASAN Mutu Kadar Air Hasil pengamatan terhadap kadar air produk menunjukkan nilai rata-rata mutu pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata kadar air (%) serbuk minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Asam Sitrat (%) 15 25 35 Rata-rata

Konsentrasi Na-bikarbonat (%) 39 49 59 0.25 0.25 0.24 0.24 0.25 0.25 0.25 0.24 0.25 0.25 0.25 0.25

Rata-rata (%) 0.25 0.25 0.25

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh terhadap persentase kadar air serbuk effervescent umbi bit yang dihasilkan. Tidak terdapat perbedaan kadar air karena kadar air dipengaruhi oleh kondisi suhu dan kelembaban ruangan pengolahan (maksimal 25oC dan kelembaban maksimal 35%) dimana kondisi tersebut terjaga pada saat pengolahan. Pada kelembaban dan suhu yang lebih tinggi, effervescent bersifat kurang stabil karena menyerap uap air lingkungan sehingga memicu reaksi effervescing tidak dikehendaki. Untuk mencegah penyerapan uap air selama disimpan, dilakukan pengemasan dengan alumunium foil dan polietilen. Kadar air bahan yang digunakan harus cukup rendah sebelum dicampur untuk mencegah terjadinya reaksi effervescing yang tidak dikehendaki (Mohrle, 1989). Mutu Derajat Keasaman (pH) Hasil pengamatan terhadap pH produk pada Tabel 4 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi Na-bikarbonat, pH cenderung semakin tinggi dan semakin tinggi konsentrasi asam sitrat, pH cenderung semakin rendah. Tabel 4. Rata-rata pH minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Asam Sitrat 15 25

Konsentrasi Na-bikarbonat (%) 39 49 59 5.75 6.05 6.20 5.10 5.60 5.95

Rata-rata 6.00c 5.55b

PKMP-5-21-7

4.50 5.15 5.25 4.97a 35 a b b 5.12 5.60 5.80 Rata-rata Keterangan : Notasi yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan pada (α=0.01)

Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan sangat nyata (α=0.01) antara pH dengan penambahan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda, namun tidak ada interaksi antara keduanya. Hasil uji Duncan menunjukkan perbedaan nyata α=0,05 nilai pH dengan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda. Terdapat perbedaan sangat nyata α=0,01 nilai pH dengan konsentrasi asam sitrat berbeda. Menurut Ensminger dkk (1995), betanin stabil pada pH 5-6. Nilai pH yang lebih rendah dari 5 menyebabkan betanin mengalami isomerisasi dan degradasi. Semua perlakuan memberikan nilai pH yang mendukung kestabilan betanin kecuali konsentrasi asam sitrat 35% dan Na-bikarbonat 39% (pH 4,5). Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat maka pH produk akan semakin rendah karena konsentrasi ion H+ semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi Nabikarbonat maka pH produk akan semakin tinggi (konsentrasi ion OH- semakin tinggi). Asam sitrat tidak habis bereaksi dengan Na-bikarbonat) menyebabkan turunnya pH. Keasaman juga disebabkan oleh pembentukkan CO2 pada reaksi effervescing yang sebagian akan larut membentuk asam karbonat yang kemudian mengurai menghasilkan ion H+ dengan reaksi : + H2O H2CO3 CO2 H2CO3 H+ + HCO3Mutu Absorbansi dengan Spektrofotometer Hasil Pengamatan kadar betanin berdasarkan absorbansi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata kadar betanin effervescent umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Konsentrasi Asam Sitrat Rata-rata (%) (%) 39 49 59 0.025 0.024 0.023 0.024 15 0.024 0.021 0.019 0.021 25 0.023 0.019 0.017 0.020 35 0.024 0.021 0.020 Rata-rata Keterangan : nilai kadar betanin adalah berdasarkan acuan bahwa setiap 100 gram umbi bit mengandung 1% betanin.

Berdasarkan perhitungan, kadar betanin standart yang digunakan (sari umbi bit) adalah 0.042% betanin dengan asumsi setiap 100 gram umbi bit mengandung 1 % betanin (Eder, 2000). Hasil pengamatan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat maka absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi, sehingga kadar betanin yang terhitung semakin tinggi pula karena semakin gelap warna larutan produk, semakin tinggi pula konsentrasi konsentrat umbi bit di dalam produk. Mutu Persentase Volume Buih Hasil Pengamatan terhadap volume buih dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata persentase volume buih effervescent umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Asam Sitrat (%) 15

Konsentrasi Na-bikarbonat (%) 39 49 59 8.80 13.20 17.60

Rata-rata (%) 13.20a

PKMP-5-21-8

25 35 Rata-rata Keterangan : Notasi yang sama perbedaan pada (α=0.01)

10.00 14.40 18.80 14.40b 11.20 15.20 20.40 15.60c 10.00a 14.27b 18.93c pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak ada

Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan sangat nyata (α=0.01) antara persentase volume buih akibat penambahan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda, namun tidak terdapat interaksi antara keduanya. Hasil uji Duncan menunjukkan nilai rata-rata persentase volume buih masing-masing konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda sangat nyata (α=0.01). Persentase volume buih tertinggi dihasilkan pada perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 35% (disimpulkan sebagai mutu volume buih terbaik). Na-bikarbonat sendiri dapat bereaksi dengan air membentuk gas CO2, maka semakin tinggi konsentrasi Na-bikarbonat, volume buih cenderung semakin tinggi (Pulungan dkk, 2004). Selain itu Na-bikarbonat dapat bereaksi dengan asam menghasilkan gas CO2 sehingga konsentrasi asam sitrat berbeda dapat mempengaruhi volume buih yang terbentuk (Mohrle, 1989). Pembentukan gas CO2 akan menghasilkan buih pada larutan yang akan menentukan efek kilau (sparkle) dan rasa “menggigit” serta menyegarkan. Mutu Tingkat Kelarutan Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan sangat nyata (α=0.01) antara tingkat kelarutan akibat penambahan Na-bikarbonat asam sitrat berbeda dan terdapat interaksi diantara keduanya. Hasil uji Duncan pada Tabel 7 menunjukkan semua konsentrasi Na-bikarbonat dan konsentrasi asam sitrat dapat digunakan kecuali konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 15% serta konsentrasi Nabikarbonat 59% dan asam sitrat 25%. Konsentrasi Na-bikarbonat yang tinggi tanpa asam sitrat yang cukup untuk dapat habis bereaksi membentuk gas CO2 menyebabkan sisa Na-bikarbonat yang tidak bereaksi menurunkan tingkat kelarutan produk. Kelarutan menunjukkan konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut. Bila suatu zat terlarut melarut, kekuatan tarik-menarik antarmolekul dari zat dibatasi oleh kekuatan tarik menarik antara molekul zat terlarut dan pelarut. Ini menyebabkan pemecahan kekuatan zat terlarut-zat terlarut dan pelarut-pelarut untuk mencapai tarik-menarik zat terlarut-pelarut (Martin dkk., 1990). Ukuran dan bentuk partikel yang semakin kecil akan meningkatkan kelarutan zat terlarut karena luas permukaan kontak dengan pelarut semakin besar, sehinmgga diperlukan keseragaman ukuran dan bentuk partikel komponen produk agar dapat larut dengan mudah, terutama Na-bikarbonat dan asam sitrat memiliki ukuran dan bentuk partikel yang sama agar dapat saling bereaksi secara bersamaan. Oleh karena itu semua bahan yang digunakan harus lolos dalam ayakan berukuran 50 mesh (Martin dkk., 1990; Ansel, 1989). Tabel 7. Hasil uji Duncan untuk pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat, asam sitrat, dan interaksi terhadap persentase kelarutan serbuk effervescent umbi bit Perlakuan Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Konsentrasi Asam Sitrat

39 49 59 35

Rata-Rata (%) 100 99.9974 99.8398 99.9865

Notasi pada α = 0.05 α = 0.01 a a a a b b a a

PKMP-5-21-9

(%)

Interaksi Konsentrasi Nabikarbonat (%) X Konsentrasi Asam Sitrat (%)

25 15 Na-bikarbonat 39%, asam sitrat 15% Na-bikarbonat 39%, asam sitrat 25% Na-bikarbonat 39%, asam sitrat 35% Na-bikarbonat 49%, asam sitrat 35% Na-bikarbonat 49%, asam sitrat 25% Na-bikarbonat 49%, asam sitrat 15% Na-bikarbonat 59%, asam sitrat 35% Na-bikarbonat 59%, asam sitrat 25% Na-bikarbonat 59%, asam sitrat 15%

99.9401 99.9105 100.0000 100.0000 100.0000 100.0000 99.9992 99.9930 99.9596 99.8212 99.7385

b

a c

a a a a a a a

b a a a a a a a

b

b c

c

Mutu Hedonik Penampakan Buih Skor penampakan buih produk dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh sehingga semua perlakuan dapat diterima. Tabel 8. Skor deskriptif penampakan buih minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Rata-rata 39 49 59 3.3 4.5 3.8 3.8 15 3.5 3.8 3.9 3.7 25 3.8 3.8 3.9 3.8 35 3.5 4.0 3.9 Rata-rata Keterangan : 1 = volume sangat kecil, 2 = volume kecil, 3 = volume agak kecil, 4 = volume agak besar, 5 = volume besar, 6 = volume sangat besar

Konsentrasi Asam Sitrat (%)

Mutu Hedonik Warna Hasil pengamatan organoleptik warna dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata antara skor warna akibat konsentrasi Na-bikarbonat berbeda dan terdapat perbedaan sangat nyata antara skor warna akibat konsentrasi asam sitrat berbeda, serta tidak ada interaksi antara keduanya, namun semua perlakuan memberikan skor 4 (merah tua), maka semua perlakuan dapat diterima. Warna merah keunguan disebabkan oleh komponen betanin pada konsentrat umbi bit. Semakin besar konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat pada produk, maka jumlah konsentrat dalam setiap porsi berkurang, sehingga warna produk semakin terang. Dengan demikian intensitas warna produk juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi kestabilan betanin, yaitu panas, cahaya, dan pH (Eder, 2000). Tabel 9. Skor deskriptif warna minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Rata-rata 39 49 59 5.0 5.0 4.6 4.9b 15 5.1 4.7 4.6 4.8b 25 4.7 4.2 4.3 4.4a 35 a ab a 4.9 4.6 4.5 Rata-rata Keterangan : 1 = putih, 2 = putih kemerahan, 3 = merah, 4 = merah tua, 5 = ungu, 6 = ungu tua Notasi yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan pada (α=0.01)

Konsentrasi Asam Sitrat (%)

Mutu Hedonik Aroma Umbi Bit

PKMP-5-21-10

Hasil pengamatan organoleptik aroma umbi bit dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Skor deskriptif aroma umbi bit minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Rata-rata 39 49 59 5.8 5.8 5.7 5.8 15 5.6 5.5 5.7 5.6 25 4.0 5.6 5.3 5.6 35 5.1 5.6 5.6 Rata-rata Keterangan : 1 = sangat kuat, 2 = kuat, 3 = agak kuat, 4 = agak kurang kuat, 5 = kurang kuat, 6 = sangat tidak kuat

Konsentrasi Asam Sitrat (%)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda tidak pengaruhi aroma sehingga semua perlakuan dapat diterima. Hal ini disebabkan oleh adanya efek menyegarkan yang ditimbulkan oleh gas CO2 hasil reaksi Na-bikarbonat dan asam sitrat sehingga dapat memecahkan masalah rasa umbi bit yang kurang disukai (Eder, 2000). Mutu Hedonik Rasa Hasil pengamatan organoleptik rasa produk dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda tidak pengaruhi rasa sehingga semua perlakuan dapat diterima. Namun menurut Eder (2000), konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat yang semakin tinggi cenderung memberikan efek rasa menyenangkan dan menggigit yang semakin kuat karena terbentuknya gas CO2 yang semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat maka rasa asam cenderung semakin kuat, dan demikian pula sebaliknya. Tabel 11. Skor deskriptif rasa minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Na-bikarbonat (%) Rata-rata 39 49 59 3.7 3.8 3.3 3.6 15 4.0 3.6 4.1 3.9 25 4.4 3.8 3.4 3.9 35 4.0 3.7 3.6 Rata-rata Keterangan : 1 = asam manis sangat tidak kuat, 2 = asam manis tidak kuat, 3 = asam manis kurang kuat, 4 = asam manis agak kuat, 5 = asam manis kuat, 6 = asam manis sangat kuat.

Konsentrasi Asam Sitrat (%)

Penjenjangan (Rangking) Hasil pengamatan organoleptik penjenjangan dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda tidak pengaruhi tingkat kesukaan produk sehingga semua konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat dapat diterima. Tabel 12. Angka konversi penjenjangan minuman berkarbonasi umbi bit akibat pengaruh konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda. Konsentrasi Asam Sitrat (%) 15 25 35

Konsentrasi Na-bikarbonat (%) 39 49 59 -0.1539 (VIII) 0.0777 (IV) -0.0146 (VI) 0.0187 (V) 0.3550 (I) 0.0996 (III) -0.0482 (VII) -0.2257 (IX) 0.2192 (II)

Keterangan : angka di dalam kurung menunjukkan urutan jenjang

PKMP-5-21-11

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang pengaruh konsentrasi Nabikarbonat dan asam sitrat terhadap mutu serbuk minuman berkarbonasi (effervescent) umbi bit, maka diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengujian mutu pH menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda memberikan perbedaan yang sangat nyata (α = 0.01). Sesungguhnya semua nilai pH setiap perlakuan dapat digunakan karena mendukung kestabilan betanin (pH 5-6) kecuali perlakuan konsentrasi Nabikarbonat 39% dan asam sitrat 35%. Pengujian kadar air menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Dengan demikian berdasarkan mutu kimia semua perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda (39%, 49% dan 59%) dan konsentrasi asam sitrat berbeda (15%, 25% dan 35%) dapat digunakan kecuali konsentrasi Na-bikarbonat 39% dan konsentrasi asam sitrat 35%. 2. Pengujian tingkat kelarutan menunjukkan konsentrasi Na-bikarbonat dan asam sitrat berbeda memberikan perbedaan yang sangat nyata (α = 0.01), terdapat interaksi diantara keduanya. Semua perlakuan dapat dipilih kecuali konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 25% serta konsentrasi Nabikarbonat 59% dan asam sitrat 15%. Hasil uji volume buih menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (α = 0.01) dengan mutu terbaik pada konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 35%. Berdasarkan mutu fisik dapat disimpulkan bahwa produk dengan konsentrasi Na-bikarbonat 59% dan asam sitrat 35% memberikan mutu terbaik. 3. Pengujian mutu hedonik terhadap warna menunjukkan hasil sangat berbeda nyata (α = 0.01) pada perlakuan konsentrasi asam sitrat berbeda, hasil berbeda nyata (α = 0.05) pada perlakuan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda. Namun seluruh nilai mutu warna menunjukkan nilai yang sama yaitu 4 (merah tua). Hasil uji deskriptif terhadap penampakan buih, aroma, dan rasa dan penjenjangan menunjukkan tidak terdapat adanya perbedaan. Dengan demikian semua konsentrasi Na-bikarbonat (39%, 49% dan 59%) dan asam sitrat (15%, 25% dan 35%) dapat diterima. 4. Berdasarkan hasil pengujian mutu fisik, kimia dan organoleptik terhadap serbuk effervescent umbi bit yang dibuat dengan konsentrasi Na-bikarbonat berbeda (39%, 49% dan 59%) dan konsentrasi asam sitrat berbeda (15%, 25% dan 35%) menunjukkan mutu terbaik dengan penambahan Na-bikarbonat konsentrasi 59% dan konsentrasi asam sitrat 35%. DAFTAR PUSTAKA Aim International. 2002. Beet Root Juices. Diambil tanggal 29 Desember 2004. http://www.healthyconcept.ns.ca/gardentrio2.html Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI-Press. Jakarta. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis. Association of Offcial Analytical Chemist, Inc. Arlington. Virginia. Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 106 Eder. 2000. Betalains. dalam Nollet, L. M. L (ed). Food Analysis by HPLC, 2nd ed. Marcel Dekker, Inc. New York.

PKMP-5-21-12

Ensminger, A. H., M. E. Ensminger., J. E. Konlande., J. R. K. Robson. 1995. The Concise Encyclopedia of Food & Nutrition. CRC Press. Tokyo. Heinerman, John. 1994. Encyclopedia of Healing Juices. NY: Parker Publishing, West Nyack. dalam Aim International. 2002. Beet Root Juices. Diambil tanggal 29 Desember 2004. http://www.healthyconcept.ns.ca/gardentrio2.html Martin, A., J. Swarbrick., A. Cammarata. 1990. Farmasi Fisik : Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. UI-Press. Jakarta. Lieberman, H. A; Lachman, L; J. B. Schwartz. 1989. Phamaceutical Dosage Forms: Tablet vol 1, 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York & Basel. Mohrle, R. 1989. Effervescent Tablets. dalam Lieberman, H. A., L. Lachmand., J. B. Scwartz (ed). Pharmaceutical Dosage Forms: Tablets, vol 1, 2nd ed. Marcel Dekker Inc. New York. Pulungan, M. H., Suprayogi., Yudha, B. 2004. Effervescent Tanaman Obat. Trubus Agrisarana. Surabaya. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi Nasional. Departemen Perindustrian. Jakarta. Vogel, Dr. H.C.A. 1991. The Nature Doctor. CT: Keats Publishing, Inc., New Canaan., dalam Aim International. 2002. Beet Root Juices. Diambil tanggal 29 Desember 2004. http://www.healthyconcept.ns.ca/gardentrio2.html.

PKMP-5-22-1

PERBEDAAN KADAR TIMBAL (Pb) PADA TANAMAN KANGKUNG BERDASARKAN LOKASI PENANAMAN Edy Setyorini, Nur Fitria R, Masruchan Program Studi DIII Analis Kesehatan, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang ABSTRAK Kangkung merupakan sayuran yang daunnya berwarna hijau dan sering dikonsumsi masyarakat, karena sayuran ini memiliki kandungan zat besi, sumber vitamin dan mineral yang berguna bagi kesehatan tubuh. Sayuran kangkung juga dapat digunakan untuk menenangkan syaraf atau berkhasiat sebagai obat tidur, penyembuh penyakit sembelit dan anemi. Lokasi penanaman kangkung ada yang dilakukan di desa jauh dari jalan raya, tetapi ada pula yang ditanam dekat jalan raya. Dampak negatif kangkung yang ditanam dekat jalan raya adalah tingginya tingkat polusi udara lingkungan kota, sebagai hasil emisi gas pembuangan kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C2H5)4Pb sering digunakan dalam kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, sehingga menghasilkan partikulat logam Pb yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Semakin banyaknya kendaraan bermotor mengakibatkan tanaman sekitarnya terkontaminasi logam Pb. Tujuan Umum penelitian ini adalah membedakan kadar Timbal (Pb) pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. Sample diabukan dan dilarutkan dengan HCl sampai volume tertentu kemudian disaring, Filtrat yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian kadar rerata Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya 1,7133 mg/kg, yang jauh dari jalan raya 1,233 mg/kg. Selanjutnya dilakukan uji kenormalan yaitu Uji Kolmogorov-Smirnov Z diperoleh data normal. dan uji parametrik yaitu Uji Beda atau Uji T-Independen dengan metode SPSS, diperoleh hasil p value = 0,000, dan α = 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya ada perbedaan kadar Pb antara kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya.Tingginya kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya disebabkan karena tercemar oleh partikulat Pb yang dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C2H5)4Pb digunakan pada kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, tetapi bila bereaksi dengan bahan bakar akan menghasilkan asap yang mengandung partikulat Pb yang selanjutnya dapat mencemari tanaman di sekitar jalan raya. Kata kunci : Kadar Timbal (Pb), Kangkung , dan Lokasi penanaman PENDAHULUAN Kangkung merupakan sayuran yang daunnya berwarna hijau dan sering dikonsumsi masyarakat, karena sayuran ini memiliki kandungan zat besi, sumber vitamin dan mineral yang berguna bagi kesehatan tubuh. Sayuran kangkung juga dapat digunakan untuk menenangkan syaraf atau berkhasiat sebagai obat tidur, penyembuh penyakit sembelit dan anemi. Bagian tanaman kangkung yang paling penting adalah batang muda dan daun. Berbagai jenis masakan dapat diolah dari bahan baku kangkung antara lain untuk pencampur lotek, lalap masak, oseng-

PKMP-5-22-2

oseng, semur, sayur bening, sayur asam dan sayur bobor (Kanisius, 1992). Kebutuhan zat besi pada manusia sangat diperlukan walaupun dalam jumlah kecil. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengkonsumsi sayuran yang berwarna hijau, misalnya kangkung. Taksonomi Tanaman Kangkung (sistematika) tumbuhan diklasifikasikan kedalam divisio Spermatophyta, sub-divisio Angiospermae, famili Dicotyledoneae, spesies Ipomoea aquatica Forsk (kangkung air) dan Ipomoea reptans Poir (kangkung darat). Dari suku kangkung–kangkungan (Convolvulaceae) ini masih terdapat beberapa jenis lainnya seperti kangkung hutan atau kangkung pagar, rintik bumi (I. quamoqlit), dan I. triloba L, yang tumbuh liar di hutan-hutan. Morfologi Tanaman Kangkung batang tanaman berbentuk bulat panjang, berbuku-buku, banyak mengandung air (herbaceous) dan berlubang-lubang. Batang tanaman kangkung tumbuh merambat atau menjalar dan percabangannya banyak. Tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan di ketiak daunnya terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi percabangan baru. Bentuk daun umumnya seperti jantung hati, ujung daun runcing ataupun tumpul, permukaan daun sebelah atas berwarna hijau tua, dan permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda. Selama fase pertumbuhannya, tanaman kangkung dapat berbunga, berbuah dan berbiji, terutama jenis kangkung darat. Bentuk bunga seperti terompet, buah kangkung berbentuk bulat telur yang di dalamnya berisi tiga butir biji. Bentuk biji kangkung bersegi-segi atau agak bulat, berwarna coklat atau kehitam-hitaman dan termasuk biji berkeping dua. Varietas Tanaman Kangkung terdiri dari dua macam yaitu kangkung air dengan ciri-ciri bentuk daun panjang dengan ujung agak tumpul, berwarna hijau kelam, dan bunganya berwarna putih kekuning-kuningan atau kemerah-merahan dan kangkung darat dengan ciri-ciri bentuk daun panjang dengan ujung runcing, berwarna keputihputihan dan bunganya berwarna putih (Rukmana R, 1994). Penanaman kangkung ada yang dilakukan di desa jauh dari jalan raya, tetapi ada pula yang ditanam dekat jalan raya. Dampak negatif kangkung yang ditanam dekat jalan raya adalah tingginya tingkat polusi udara lingkungan kota, sebagai hasil emisi gas pembuangan kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C2H5)4Pb sering digunakan dalam kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, sehingga menghasilkan partikulat logam Pb yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Semakin banyaknya kendaraan bermotor mengakibatkan tanaman sekitarnya terkontaminasi logam Pb. Plumbum (Pb) bisa terkandung didalam air, makanan dan udara. Pb diatmosfer berasal dari senyawa hasil pembakaran bensin premium dan regular yang tidak sempurna. Bensin premium terdiri 2-4 gram Pb per galon dengan rata-rata 2,8 gram. Bensin regular rata-rata mengandung Pb 2,3 gram per galonnya. Rata-rata 70-80 % Pb didalam bensin dikeluarkan dari pipa knalpot mobil sebagai partikulat. Pb sebagai polutan udara lingkungan merupakan hasil pembakaran bensin dalam kendaraan dan emisi timah dari peleburan CO2. Pb (Plumbum) diabsorbsi melalui cara penghirupan dan masuk melalui jalur organ pernapasan. Kira-kira 40% dari asap Pb yang dihirup, diabsorbsi sampai kesaluran pernapasan. Penyerapan partikulat debu Pb bergantung pada ukuran partikel dan kelarutannya. Didalam aliran darah, sebagian besar Pb diserap dalam bentuk ikatan dengan eritrosit. Plasma darah berfungsi dalam mendistribusikan Pb dalam darah ke bagian syaraf, ginjal, hati, kulit dan otot. Jaringan yang terpapar Pb dengan dosis tinggi akan menunjukan gejala akut. Pencemaran logam Pb menyebabkan kerusakan jaringan syaraf, menurunkan kemampuan belajar dan

PKMP-5-22-3

kelumpuhan. Pb dalam darah antara 50-70µg/dl menyebabkan IQ pada anak asimtomatik dengan faktor pengacau yang terkontrol. Kadar Pb darah 10µg/dl pada anak umur 8 tahun serta kadar Pb darah 5µg/dl pada anak umur 6 tahun, menunjukkan gangguan pada ketrampilan membaca dan mengeja (Riyadina Woro, 1997). Senyawa tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb dapat diserap oleh kulit, hal ini disebabkan kedua senyawa tersebut dapat larut dalam lemak dan minyak. Sedangkan dalam lapisan udara tetraetil-Pb terurai dengan tepat karena adanya sinar matahari. Tetraetil-Pb akan terurai membentuk trietil-Pb, dietil-Pb, monoetilPb. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb memiliki bau yang spesifik seperti bau bawang putih, sulit larut dalam minyak akan tetapi semua senyawa turunan ini dapat larut dengan baik dalam air. Senyawa-senyawa Pb dalam keadaan kering dapat terdispersi di dalam udara, sehingga terhirup pada saat bernafas dan sebagian akan menumpuk di kulit dan terserap oleh daun tumbuhan (Palar Heryando, 1994). Pb (Plumbum) diabsorbsi melalui cara penghirupan dan masuk melalui jalur organ pernapasan. Jaringan yang terpapar Pb dengan dosis tinggi akan menunjukan gejala akut, apabila Pb melewati plasenta tingkat kematian janin akan sangat bergantung pada tingkat kondisi ibunya. Pb yang diserap akan diendapkan dalam tulang bergabung dengan matrik tulang yang mirip dengan kalsium (Ca). Penyimpanan Pb dalam tulang menyebabkan kenaikan katabolisme tulang yang memungkinkan dapat meningkatkan konsentrasi Pb dalam sirkulasi darah. Peningkatan seperti itu juga terdapat pada keberadaan Pb dalam rambut dan kuku. Pb juga terikat pada membran mitokondria dan bergabung dengan protein dan berperan dalam sintesa asam nukleat. Pengaruh paparan Pb terhadap kesehatan adalah yang pertama terpapar secara akut sub akut oleh Pb melalui udara yang dihirup menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal seperti kram perut, kolik dan biasanya diawali dengan sembelit. Sakit perut sering dirasakan diantaranya sering mual dan muntah-muntah. Sedangkan manifestasi secara neurologi dari terpapar Pb adalah encephalopathy seperti sakit kepala, pikiran kacau, sering pingsan dan koma. Pada beberapa kasus akibat terpapar Pb, oliguria dan gagal ginjal yang akut dapat berkembang dengan cepat. Kedua Pb terpapar secara kronis yaitu pada kasus terpapar Pb akibat kerja, intoksikasi Pb secara kronis berjalan lambat. Kelelahan, kelesuan, iritabilitas dan gangguan gastrointestinal merupakan tanda awal dari intoksikasi Pb secara kronis. Terpaparnya Pb secara terus–menerus pada sistem syaraf pusat menunjukkan gejala seperti insomnia, pikiran kacau, konsentrasi berkurang dan gangguan ingatan atau memori. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Amerika Serikat, disimpulkan bahwa pemasukan Pb sehari-hari ke dalam tubuh dan digolongkan pada tingkat keterpaparan normal adalah dalam kisaran 330µg perhari, dengan tingkatan variasi antara 100µg sampai dengan 2000µg. Bila manusia terpapar oleh Pb dalam batas normal atau dalam batas toleransi, maka daya racun yang dimiliki oleh Pb tidak akan bekerja dan tidak akan menimbulkan pengaruh apa-apa. Tetapi bila jumlah yang diserap telah mencapai batas ambang atau bahkan melebihi batas ambang maka individu yang terpapar Pb akan memperlihatkan gejala-gejala keracunan. Beberapa gejala lain yang timbul akibat terpapar Pb secara kronis termasuk diantaranya adalah kehilangan libido, infertilitas pada laki-laki, gangguan menstruasi serta aborsi spontan pada wanita. Pada laki-laki telah terbukti adanya perubahan dalam spermatogenesis. Hal ini juga senada dengan hasil penelitian dari Harianto Ludirdja tahun 1994 yang

PKMP-5-22-4

menyimpulkan bahwa polisi lalu lintas mempunyai jumlah spermatozoa (19,5 juta spermatozoa/ml) lebih rendah dari standar normal (≥20 juta ml) dan Pb yang melewati plasenta pada wanita hamil yang terpapar Pb selama kehamilan dapat menyebabkan kematian dan toksisitas. Pb alkil dapat menimbulkan gejala–gejala intoksikasi Pb alkil secara neurologi. Tanda-tanda yang tampak, antara lain anorexia, insomnia, kelelahan, kelesuan, sakit kepala, depresi dan iritabilitas sebagai gejala awal. Proses selanjutnya adalah kondisi bingung atau kacau, gangguan ingatan dan “exacitability”. Pada beberapa kasus, kebutaan, serangan yang tiba-tiba, koma dan kematian bisa terjadi dalam beberapa hari setelah terpapar Pb. Berbagai upaya dan tindakan pengamanan perlu dilakukan dalam rangka untuk mencegah dan mengurangi paparan Pb, baik yang berasal dari sumber hasil pembakaran bensin mesin mobil maupun dari industri, terutama bagi individu yang mempunyai risiko besar untuk terpapar Pb baik secara akut ataupun kronis. Secara umum pencegahan yang tepat adalah dengan selalu mewaspadai terhadap paparan Pb dengan menghindari atau tidak berada lama di tempat-tempat yang udaranya terpolusi oleh gas buang kendaraan, khususnya bagi anak-anak dan ibu hamil. Bagi tubuh yag sudah terpapar Pb, dapat diobati dengan mengkonsumsi antioksidan misalnya vitamin C. Upaya pencegahan lain yang perlu dilakukan diantaranya adalah dengan mengontrol lingkungan sebagai tempat beradanya unsur Pb bebas diudara. Pemantauan terhadap kadar Pb di udara secara berkesinambungan merupakan cara yang tepat untuk mengetahui tingkat kadar tertinggi dari paparan Pb sehingga keadaan polutan Pb diudara selalu dapat dipantau dan diwaspadai. Disamping itu dengan menggantikan bensin premium dengan bensin tanpa Pb dapat merupakan salah satu alternatif langkah yang perlu segera direalisasikan (Riyadina W, 1997). Macam-macam metode pemeriksaan Pb yaitu metode Spektrofotometri yang sering digunakan dengan dasar untuk analisis suatu zat dalam jumlah cukup kecil, pengerjaannya cepat, sederhana, praktis dan murah. Metode analisis yang dikembangkan umumnya cukup peka dan teliti serta mudah dalam menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Metode spektrofotometri umumnya membandingkan absorbansi yang dihasilkan oleh suatu larutan yang diuji dengan absorbansi larutan baku. Metode yang kedua adalah titrasi kompleksometri yaitu titrasi yang didasarkan atas pembentukan kompleks dari reaksi komponen zat uji dengan titran. Reaksi pembentukan kompleks disamping harus memenuhi persyaratan umum untuk titrasi, maka kompleks yang terjadi harus stabil dan merupakan kompleks 1:7. Titrasi ini biasanya digunakan untuk penetapan kadar logam polivalen yang konsentrasinya besar dengan menggunakan natrium edetat (EDTA) sebagai titran pembentuk kompleks. Metode yang ketiga adalah metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) atau Atomic Absorption Spektrofotometri (AAS) yang merupakan analisis spektroskopi untuk penentuan kadar unsur-unsur metal dan semi metal dengan konsentrasi yang rendah (ppm/ppb) dalam suatu sampel. Tiap-tiap logam mempunyai panjang gelombang maximum yang berbeda-beda dan khas, sehingga diperlukan berbagai jenis lampu katoda cekung atau Hollow Cathode Lamp. Prinsip pemeriksaannya adalah larutan sampel melalui suatu nyala diubah menjadi uap atom oleh lampu katoda cekung (Hollow Cathode Lamp). Beberapa diantara atom akan tetap tinggal sebagai atom bebas dalam keadaan dasar (Graound state). Atom-atom Ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan sumber radiasi. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi sama dengan panjang gelombang

PKMP-5-22-5

yang dihasilkan oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hokum Lambert Berr, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi analit dalam sampel. Teknik analisisnya dapat secara standard tunggal, kurva kalibrasi dan standard addisi. Dari latar belakang tersebut, maka timbul suatu permasalahan yaitu “Adakah perbedaan kadar Pb pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya ?”. Tujuan Umum penelitian ini adalah membedakan kadar Timbal (Pb) pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. Tujuan khusus penelitian ini adalah menentukan kadar Timbal (Pb) yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya, dan membedakan kadar Timbal (Pb) pada kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang kadar Pb pada tanaman kangkung yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya, sehingga masyarakat dapat memilih lokasi penanaman kangkung yang aman dan menangani kangkung sebelum dikonsumsi.

METODE PENDEKATAN Penelitian ini bersifat eksperimen, dan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan jalan Wonodri Sendang Raya no.2A Semarang, dilakukan pada bulan Januari 2006 sampai Mei 2006. Sampel kangkung air diambil selama 6 hari berturut-turut mulai tanggal 6 Maret sampai dengan 11 Maret 2006, tiap sampel dikerjakan 5 kali pengulangan baik untuk kangkung air yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sayuran kangkung yang berasal dari sepanjang jalan raya Kudus-Demak dan di Perumahan Sayung, dan HCl pekat. Alat yang digunakan adalah neraca analitik, krus porselin, oven, corong pisah, pipet, alat-alat gelas dan Spektrofotometer Serapan Atom. Pemeriksaannya sample (sayuran kangkung) diblender, kemudian ditimbang 10 g, dan diabukan dalam krus porselin pada suhu 500ºC selama 6 jam, sehingga terjadi pengarangan dan akhirnya dipijarkan menjadi abu. Selanjutnya abu dilarutkan dengan HCl sampai volume larutan 100 mL, kemudian disaring, Filtrat yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) yang merupakan teknik analisis spektroskopi untuk penentuan kadar unsur-unsur logam dan semi logam dengan konsentrasi rendah (ppm/ppb). Prinsip pemeriksaannya adalah larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsurunsur sampel diubah menjadi uap atom. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom akan tetap tinggal sebagai atom bebas dalam keadaan dasar (Ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi sama dengan panjang gelombang yang dihasilkan oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hukum Beer, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi analit dalam sampel (Sastrohamidjoyo, H., 1991). Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ho diterima jika “Tidak ada perbedaan kadar timbal (Pb) pada tanaman kangkung berdasarkan lokasi penanaman” dan Ha diterima bila “Ada perbedaan kadar timbal (Pb) pada tanaman kangkung berdasarkan lokasi penanaman”. Absorbansi baku seri Pb vs baku seri Pb dibuat persamaan garis lurus y=b x + a. Konsentrasi Pb dalam larutan sampel dihitung dengan rumus:

PKMP-5-22-6

y-a xp x= b

p = pengenceran sampel x = konsentrasi Pb (mg/L) y = absorbansi a = titik potong (intersep) b = lereng (slope)

Konsetrasi Pb dalam 1000 g kangkung = (1000/gram sampel) . X Pb (mg/kg) (Robyt, J.F., and White B.J., 1987). Teknik pengumpulan data adalah data primer yang diperoleh dikumpulkan secara langsung dari hasil pengujian. Selanjutnya data yang diperoleh ditabulasikan dan dihitung dengan metoda SPSS. Untuk mengetahui apakah perbedaan dua sampel signifikan atau tidak, maka nilai p value yang diperoleh dibandingkan dengan nilai α (0,05). Bila p value > α, dengan taraf signifikansi 5% maka H0 ditolak dan Ha diterima, sedangkan bila p value < α, dengan taraf signifikansi 5% maka H0 diterima dan Ha ditolak. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat dan jauh dari jalan raya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar Pb Pada Kangkung Air yang Ditanam Dekat dan Jauh dari Jalan Raya Kadar Pb Pada Tanaman Kangkung Air (mg/L) No Dekat Jalan Raya Jauh dari Jalan Raya 1. 1,739 0,131 2. 1,680 0,130 3. 1,749 1,284 4. 1,739 1,274 5. 1,680 1,294 6. 1,676 1,294 7. 1,676 1,284 8. 1,666 1,325 9. 1,666 1,335 10. 1,685 1,316 11. 1,715 1,325 12. 1,705 1,325 13. 1,715 1,125 14. 1,725 1,115 15. 1,705 1,125 16. 1,757 1,134 17. 1,767 1,165 18. 1,747 1,165 19. 1,767 1,155 20. 1,757 1,165 21. 1,683 1,174

PKMP-5-22-7

22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

1,683 1,692 1,683 1,692 1,725 1,735 1,735 1,735 1,715 x = 1,713

1,226 1,235 1,216 1,226 1,266 1,286 1,276 1,176 1,266 x = 1,233

Berdasarkan Tabel 1 diketahui kadar rata-rata Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya 1,713 mg/kg, yang jauh dari jalan raya 1,233 mg/kg. Kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat dan jauh dari jalan raya selanjutnya dilakukan uji kenormalan yaitu Uji Kolmogorov-Smirnov Z dan diperoleh data normal karena p value > α (0,05), selanjutnya dilakukan Uji Beda atau Uji TIndependent dengan metode SPSS. Pada uji parametrik diperoleh hasil p value = 0,000, α = 0,05 (5%). Karena harga p value < α maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya ada perbedaan kadar Pb antara kangkung yang ditanam di dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. Tingginya kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya disebabkan karena tercemar oleh partikulat Pb yang dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor. Tetra etil lead (C2H5)4Pb digunakan pada kendaraan bermotor untuk mencegah suara ketukan, tetapi bila bereaksi dengan bahan bakar akan menghasilkan asap yang mengandung partikulat Pb yang selanjutnya dapat mencemari tanaman di sekitar jalan raya. KESIMPULAN a. Kadar Pb rata-rata pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya 1,713 mg/kg sedangkan yang jauh dari jalan raya 1,233 mg/kg. b. Ada perbedaan kadar Pb pada kangkung air yang ditanam dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya. SARAN Diharapkan ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar Pb pada kangkung air setelah dicuci berulang kali. DAFTAR PUSTAKA Kanisius. 1992. Petunjuk Praktis Bertanam Kangkung. Yogyakarta: Kanisius. Rukmana Rahmad. 1994. Bertanam Kangkung. Yogyakarta: Kanisius. Palar Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta Riyadina Woro. 1997. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Robyt, J.F., and White B.J. 1987. Biochemical Thechniques Theory and Practice. America: Waveland Press. Sastrohamidjoyo, H. 1991. Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty.

PKMP-5-23-1

KAJIAN KARAKTERISTIK FISIK DAN MEKANIK PADA BUAH MARKISA DAN TOMAT Winarno, Dewi Arziyah Universitas Andalas, Padang ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-6-1-1

TEKNOLOGI BIODEGRADASI DAN BIOFILTRASI UNTUK TREATMENT AIR TERPRODUKSI ( PRODUCED WATER PENGEBORAN MINYAK LEPAS PANTAI) Aditya A Yudhanto, DH Maulana, MUM Adam, A Prameswarie, Dwi Sartika PS Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRAK Air terproduksi adalah buangan kegiatan pertambangan minyak bumi yang mengandung komponen minyak dan logam berat yang bila dibuang ke lingkungan secara langsung dapat merusak lingkungan. Salah satu teknik untuk mengolah air terproduksi pengeboran minyak bumi adalah biodegradasi dan biofiltrasi. Biodegradasi akan menguraikan unsur minyak mentah menjadi senyawa H2O dan CO2 dengan cara penambahan bakteri. Biofiltrasi akan mengkelat unsur logam berat Hg dalam air terproduksi dengan penambahan khitosan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efektifitas pemanfaatan bakteri perairan sebagai pendegradasi minyak mentah dan pemanfaatan khitosan sebagai absorben logam berat (Hg) dalam air terproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan Arthobacter sp. dapat menurunkan konsentrasi Hg dari 43.37 ppb menjadi 38.73 ppb. Penambahan kitosan dapat menurunkan Hg dari 38.73 ppb menjadi 26.89 ppb. Komponen hidrokarbon yang terkandung dalam air terproduksi dapat diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana diakhir proses. Penurunan konsentrasi Hg dan terurainya komponen kompleks hidrokarbon pada air terproduksi mengindikasikan bahwa bakteri dan khitosan dapat digunakan untuk mengolah air terproduksi sebelum dibuang ke lingkungan. Kata kunci: Pseudomonas sp., Mycobacterium sp., Arthobacter sp., Air terproduksi, Khitosan PENDAHULUAN Pada industri modern, minyak bumi merupakan sumber energi utama bagi sebagian besar negara-negara di dunia dan juga sebagai sumber devisa negara. Selama ditangani dengan baik, minyak bumi akan menjadi sumber energi yang banyak manfaatnya, efisien, dan ekonomis. Air terproduksi merupakan hasil samping dari pengeboran minyak bumi. Air ini berupa air laut yang mengandung minyak dan logam berat khususnya Hg yang sangat berbahaya apabila dibuang langsung ke lingkungan. Salah satu teknik untuk mengolah air terproduksi dari pengeboran minyak bumi yang mengandung komponen minyak dan logam berat adalah dengan cara biodegradasi dan biofiltrasi. Potensi organisme laut dalam mendegradasi limbah atau membantu dalam proses degradasi sangat besar. Biodegradasi adalah proses penguraian unsur kompleks hidrokarbon menjadi senyawa H2O dan CO2 serta senyawa hidrokarbon yang lebih sederhana dengan cara penambahan bakteri. Biofiltrasi adalah proses penyerapan atau pengkelatan unsur logam oleh makhluk hidup atau bagian makhluk hidup contohnya khitosan.

PKMP-6-1-2

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektifitas pemanfaatan bakteri perairan sebagai pendegradasi minyak mentah dan pemanfaatan khitosan sebagai absorben logam berat (Hg) dalam air terproduksi. Bakteri yang digunakan adalah Arthrobacter sp., Mycobacterium sp. dan Pseudomonas sp. Untuk pengabsorbsi logam berat, biofiltrasi dapat dilakukan dengan khitosan dari limbah kulit udang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi tim penulis dan bagi masyarakat umum sebagai acuan alternatif berupa informasi ilmiah pemanfaatan bakteri dan khitosan untuk pengolahan air terproduksi. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Mei 2006 yang dilakukan di laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB dan analisis sampel di laboratorium Terpadu FMIPA IPB dan laboratorium BRKP DKP. Alat yang digunakan antara lain clean bench, oven, autoclave, erlenmeyer, cawan timbang, mikro cup, neraca digital analitik, pipet mikro (1000 μl), magnetic stirer, hot plate, vortex, GC-MS, shaker, sudip, bunsen, kuvet, tabung reaksi, inkubator, dan cawan petri. Bahan-bahan yang digunakanan antara lain air terproduksi (air terproduksi) yang disediakan oleh Conoco Phillips, tissue, korek api, alumunium foil, kapas bakteri Mycobacterium sp., Pseudomonas sp., Arthrobacter sp., garam fisiologis, media agar PCA (Plate Count Agar), media agar NB (Nutrient Broth), heksana, aquades, alkohol dan kitosan. Air terproduksi mengandung minyak dan logam berat khususnya Hg diberi treatment pendahuluan dengan bakteri pengurai minyak yaitu Pseudomonas sp, Mycobacterium sp dan Arthobacter sp untuk menghilangkan minyak mentah yang dikandungnya. Setelah komponen minyak hilang, air terproduksi difilter dengan khitosan untuk mengabsorb logam berat Hg yang dikandungnya. Diagram alir metode penelitian disajikan pada gambar 1. HASIL DAN PEMBAHASAN I. Karakteristik awal air terproduksi Sebelum melakukan pengolahan air terproduksi dengan metode biologis mengacu kepada KepMen LH no. 128 tahun 2003, maka perlu dilakukan analisis terhadap bahan yang diolah untuk mengetahui komposisi dan karakteristik limbah yang terdiri dari : • Kandungan minyak atau oil content (bila kandungan minyak relatif besar) dan/atau Total Petroleum Hydrocarbon / TPH (bila kandungan minyak relatif kecil) ; • Kandungan logam berat. Limbah air terproduksi dianalisis kandungan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon), fraksi TPH dan Hg. Setelah dilakukan analisis komposisi dan karakterisasi air terproduksi, hasil analisa disajikan dalam tabel 1.

PKMP-6-1-3

Air terproduksi (Produced water)

CO2 + H2O

Biodegradasi dengan bakteri Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan Arthobacter sp.

Air terproduksi dengan kadar minyak yang berkurang

Biofiltrasi dengan Khitosan (14 hari)

Air terproduksi bebas minyak dan Hg

Gambar 1. Diagram alir metode penelitian

Sampel air terproduksi memiliki karakteristik nilai pH 8 - 9 dengan nilai salinitas 13 0/00 pada minggu pertama hingga minggu terakhir penelitian Hasil analisis memberikan informasi yang menjelaskan komposisi dan karakteristik merkuri (Hg) yang bila tidak terolah dengan benar akan bereaksi menjadi Methylmerkuri yang sangat beracun. Kandungan fraksi TPH terutama komponen benzen bila tidak terolah akan terakumulasi pada biota laut yang bila dikonsumsi akan menyebabkan karsinogenik. Hal ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan treatment lebih lanjut menggunakan teknik biodegradasi dan biofiltrasi untuk menurunkan kandungan merkuri dan fraksi TPH pada air terproduksi.

PKMP-6-1-4

Tabel 1. Karakteristik air terproduksi No. 1. 2. 3. 4

Parameter pH Salinitas Hg (ppb) TPH (ppm)

5.

Fraksi TPH

Nilai dan Kandungan 8-9 13 0/00 43,37 < 0,5 Semicarbazide Hydrocloride Formaldehyde 2-Metil Butanal Benzen Sulfonat Methyl-d3 1-dideuterio-2 Prophenyl ether 2,5 Dimethylbenzaldehyde 1,2 Benzene dicarboxilic Acid Chrom Tricarbonyl

Sumber : Hasil laboratory test Lab Terpadu IPB, hasil laboratory test Lab BRKP Slipi DKP RI, dan hasil Laboratory test Biofarmaka IPB

II. Kandungan TPH, fraksi TPH, dan Hg setelah treatment Setelah dilakukan treatment, kadar TPH, fraksi TPH, dan Hg disajikan dalam tabel 2. Tabel 2. Kandungan TPH, fraksi TPH, dan Hg setelah Treatment Hasil Nilai dan Kandungan Proses No. Parameter Air terproduksi Biodegradasi Biofiltrasi 1. pH 8-9 2. Salinitas 13 0/00 3. TPH(ppm) < 0,5 4 Hg (ppb) 43,37 38,73 26,89 Semicarbazide 1-Propanol 2 amino DL-Alaninol Hydrocloride Carbon Formaldehyde Methanol Dioxide 2-Metil Butanal Methyl Pentane Etilen Carbamic Benzen Sulfonat Methylbutyraldehyde Acid Fraksi 5. Methyl-d3 1TPH dideuterio-2 Prophenyl Methylcyclopentana Cyclopentana ether 2,5 Carbon Dioxide Oxygen Dimethylbenzaldehyde 1,2 Benzene Amonium dicarboxilic Acid Salt Chrom Tricarbonyl Sumber : Hasil laboratory test Lab Terpadu IPB, hasil laboratory test Lab BRKP Slipi DKP RI, dan hasil Laboratory test Biofarmaka IPB

PKMP-6-1-5

Dari hasil analisis diperoleh informasi bahwa kontrol air terproduksi mengandung komponen Semicarbazide Hydrocloride, Formaldehyde, 2-Metil Butanal ,Methyl-d3 1-dideuterio-2 Prophenyl ether, Benzen Sulfonat, 2,5 Dimethylbenzaldehyde, 1,2 Benzene dicarboxilic Acid, Formaldehyde, Chrom Tricarbonyl, Hydrogen sulfide, Methyl D-Glicollat. Hasil biodegrasi diperoleh informasi komponen 1-Propanol 2 amino, Methanol, Methyl Pentane, Methylbutyraldehyde, Methylcyclopentana, Carbon Dioxide pada sampel tersebut. Sedangkan pada biofiltrasi diperoleh informasi adanya komponen Carbamic Acid, Carbon Dioxide, Amonium Salt, DL-Alaninol, Oxygen, Cyclopentana, Etilen. Komponen hidrokarbon yang terdapat pada air terproduksi dapat tereduksi dengan perlakuan penambahan bakteri Pseudomonas sp., Mycobacterium sp,, dan Arthrobacter sp. yang telah dicampur sempurna selama proses treatment biologis. Hasil degradasi komponen air terproduksi secara mineralisasi sempurna ditandai dengan adanya komponen CO2. Semua komponen air terproduksi didegradasi oleh bakteri pengurai minyak menjadi komponen yang lebih sederhana seperti terlihat pada hasil biodegradasi, sebagai contoh 2,5 Dimethylbenzaldehyde dan 1,2 Benzene dicarboxilic Acid hilang setelah proses biodegradasi. Degradasinya komponen 2,5 Dimethylbenzaldehyde dan 1,2 Benzene dicarboxilic Acid ini mengindikasikan campuran Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan Arthobacter sp. dalam air terproduksi mampu mendegradasi kandungan hidrokarbon. Setelah 14 hari, proses biodegradasi masih berlangsung diindikasikan dengan terjadinya penguraian komponen kompleks hidrokarbon menjadi komponen sederhana bahkan hilang yang ditandai dengan adanya komponen CO2. Khitosan yang memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi mampu mengikat air dan minyak (Brzeski, 1987). Unsur Hg merupakan zat pencemar yang tidak dapat terurai (nonbiodegradable pollutant), umumnya berada dalam bentuk garam-garam Hg, beracun dan mudah terakumulasi ke dalam rantai makanan melalui siklus biogeokimia. Dalam lingkungan laut hampir 90% senyawa Hg diubah menjadi senyawa alkyl merkuri yang sangatberacun oleh aktifitas bakteri (Halstead, 1972). Nas (1974) dalam Waldichuk (1974) mengurutkan kadar toksisitas logam berat dalam air laut sebagai berikut : Hg2+> Cd2+> Ag2+> Ni2+> Pb2+> As2+> Cu2+> Sn2+> Zn2+. Penurunan kandungan logam berat merkuri disebabkan karena kemampuan dari kinerja bakteri yang mampu mengakumulasikan merkuri ke dalam dirinya. Bakteri pendegradasi minyak yang digunakan (Arthrobacter sp., Mycobacterium sp. dan Pseudomonas sp.) tersebut mendegradasi minyak yang terikat dengan merkuri (Hg) sehingga sebagian besar merkuri ikut serta terakumulasi di dalam diri bakteri tersebut. Proses biodegradasi minyak yang kemudian dilanjutkan dengan proses biofiltrasi menggunakan khitosan ternyata mampu menurunkan kandungan merkuri pada air terproduksi. Khitosan yang memiliki kemampuan mengkelat dan meng-absorb logam berat merkuri, hasil pengkelatan mampu menjebak merkuri yang terlepas dari minyak setelah didegradasi oleh bakteri pengurai minyak.

PKMP-6-1-6

50 43,37

45

38,73

Nilai Hg (ppb)

40 35

26,89

30 25 20 15 10 5 0 Air Terproduksi

Biodegradasi

Biofiltrasi

Perlakuan

Gambar 2. Diagram batang kandungan merkuri (ppb) III . Nilai TPC Bakteri selama Proses Biodegradasi dan Biofiltrasi Proses biodegrasi dalam pengolahan air terproduksi menggunakan proses biologis, karenanya diperlukan pemantauan pertumbuhan bakteri pendegradasi minyak selama kegiatan penelitian. Tabel 4. Nilai TPC Bakteri selama Proses Penelitian Total Plate Count (CFu/ml) Minggu ke-

Biodegradasi

Biofiltrasi

Mycobacterium sp.+Pseudomonas sp.+Arthrobacter sp. 24 jam(1)

48 Jam(1)

24 jam(2)

48 Jam(2)

1

1.4 x 108

1.8 x 109

8.5 x 107

1.5 x 107

2

3.4 x 108

4.8 x 108

4.0 x 107

4.3 x 107

3

3.5 x 109

1.2 x 109

8.6 x 108

3.1 x 109

4

1.9 x 109

8.4 x 109

1.5 x 108

9.0 x 108

5

3.5 x 109

4.5 x 109

1.2 x 107

1.7 x 109

6

2.3 x 109

7.0 x 109

3.0 x 109

6.2 x 109

7

3.2 x 109

3.6 x 109

1.3 x 109

2.1 x 109

8

3.0 x 109

8.9 x 109

1.3 x 109

7.0 x 109

Bakteri pendegradasi hidrokarbon di antaranya adalah Nocardia, Pseudomonas, Mycobacterium, khamir tertentu, dan jamur. Bakteri ini menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh bakteri meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi (Daubaras and Chakrabarty, 1992).

8000 7000 6000 5000 24 Jam

4000

48 Jam

3000 2000 1000 0 1

2

3

4

5

6

Waktu (Minggu ke - )

7

8

T P C (C F U /m l) p e n g e n c e ra n 1 0 ^ 6 M illio n s

T P C (C F U /m l) P en g en ceran 10 ^ 6 M illio n s

PKMP-6-1-7

8000 7000 6000 5000 24 Jam

4000

48 Jam

3000 2000 1000 0 1

2

3

4

5

6

7

8

Waktu (MInggu ke - )

Gambar 3. Diagram batang dan grafik pertumbuhan bakteri Bakteri yang digunakan untuk proses biodegradasi adalah Arthrobacter sp., Mycobacterium sp. dan Pseudomonas sp.. Pemilihan ketiga bakteri pendegradasi tersebut didasarkan kepada hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya pada proses bioremediasi sludge minyak bumi. Ketiga bakteri ini efektif dalam proses biodegradasi dan cepat tumbuh serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang miskin akan nutrisi dan pada kadar garam 0-30 ‰. Ketiga bakteri ini dicampurkan secara sempurna ke air terproduksi setelah dilakukan inkubasi selama 9 (sembilan) jam sehingga diharapkan ketiganya mampu bersinergis untuk mendegradasi sehingga melepaskan ikatan merkuri dengan minyak. Proses aklimatisasi bakteri selama 9 (sembilan) jam, dimaksudkan untuk mengaktifkan bakteri yang akan digunakan sehingga bakteri dapat bekerja semaksimal mungkin sesuai dengan studi literatur yang telah kami lakukan dan hasil penelitian terdahulu pada proses bioremediasi sludge minyak bumi. Dari hasil perhitungan pertumbuhan bakteri dengan metode TPC selama 24 – 48 jam terjadi peningkatan petumbuhan bakteri. Hal ini diduga karena bakteri telah mampu beradaptasi dengan bakto agar yang kaya akan nutrisi . Bakteri semakin lama semakin banyak sehingga dapat memberikan informasi dengan jelas mengenai kuantitas bakteri dalam air terproduksi, ini dapat menandakan pula bahwa selama proses penelitian bakteri mampu bertahan hidup dan tumbuh dengan cepat dalam sampel. KESIMPULAN Campuran Pseudomonas sp., Mycobacterium sp. dan Arthobacter sp. dalam air terproduksi mampu mendegradasi kandungan hidrokarbon Proses biofiltrasi dengan penggunaan khitosan dapat menurunkan kandungan Hg dari 43.37 ppb menjadi 26.89 ppb.

PKMP-6-1-8

DAFTAR PUSTAKA Brzeski, M.M. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish 5. Daubaras, P. and Chakrabarty, A, M. 1992. The Environment, Microbes and Bioremediation : Microbial Activities Modulated by The Environment. Rossenberg, E (ed). 1993. Microorganisms to Combat Pollutant. Department of Molecular Microbiology and Biotechnology. Tel Aviv University. Israel. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. P. 1 – 11 Halsted,B.W. 1992. Toxocity of Marine Organism caused by Pollutant In : marine Pollutant and Sealife. FAO. Fisheries news (Book) Ltd. London Waldichuk,, M. 1974. Some Biological Concern in Metal Pollution In : Pollution and Physicology of Marine Organism. F.J Vernberg and W.B. Vernberg (ed) Academic Press Inc. London

PKMP-6-2-1

RANCANG BANGUN ALAT UKUR GETARAN JEMBATAN DENGAN TRANSDUCER LVDT BERBANTUAN IBM PC Eka Budi Fatari, Arief Hafidh, Eko Sulistyo, Nanda M Arby, Husneni Jurusan Fisika, Universitas Padjajaran, Bandung

ABSTRAK Linier Variable Deference Transformer (LVDT) adalah salah satu transducer dapat digunakan untuk pengukuran getaran jembatan. Dalam metoda ini, inti ferit LVDT, dihubungkan ke badan jembatan, dengan ini tegangan selisih keluaran LVDT sebanding dengan getaran inti ferit. Dalam rancang bangun instrumentasi berbantuan komputer diperlukan perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras akan mengolah fluktuasi inti-LVDT akibat getaran jembatan ke sinyal analog,, dan mengubahnya menjadi sinyal digital. Selanjutnya sinyal digital ini direkam ke dalam komputer melalui fasilitas akusisi data. Perangkat lunak dirancang untuk melakukan akusisi data, mengolahnya, berikut intepretasi kuantitatifnya. Oleh karenanya sistem instrumentasi pengukur getaran jembatan ini dibuat dilengkapi pula dengan berbagai submenu yang diperlukan, sehingga seluruh proses mulai dari akusisi data sampai dengan intepretasinya dapat dilakukan secara in situ. Dalam penelitian ini dirancang perumusan parameter desain dan dikonstruksi prototipe pengukur getaran jembatan berbantuan komputer dengan sensitifitas 100μm/50mV (100μm/Pixel). Hasil uji coba perekaman sinyal getaran untuk jembatan tipe simple beams, dengan berbagai berat kendaraan dari analisa data kuantitatif, menunjukkan respon teredam, dengan ini jembatan, baik meredam getaran. Kata kunci: LVDT, getaran jembatan, akusisi, sinyal, sensitivitas PENDAHULUAN Dalam konstruksi jembatan terdapat besaran yang menyatakan kemampuan suatu jembatan tersebut untuk dapat menerima getaran dari lingkungan sekitarnya. Untuk mengetahui respon jembatan terhadap getaran diperlukan instrumentasi perekam getaran selanjutnya dari analisa kuantitatif sinyal getaran dapat diklkasifikasikan jembatan tersebut kedalam keadaan layak tidaknya untuk digunakan. Sistem perekam getaran jembatan menggunakan transduser yang bernama Pickup. Transduser ini mengubah getaran ke dalam besaran listrik, kemudian dilakukan proses pengolahan sinyal sehingga getaran tersebut dapat dicatat oleh Miniwriter WTR781A. Keluaran yang dihasilkan dari alat pencatat ini berupa gambaran grafis getaran pada kertas milimeter blok, untuk intepretasi selanjutnya dilakukan cara manual hal ini selain memerlukan waktu juga memungkinkan kesalahan hitung. Selain itu data rekaman tidak disimpan dalam file, sehingga sulit bila diperlukan untuk mengolahan selanjutnya. Alternatif untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan instrumentasi perekam sinyal getaran jembatan berbantuan komputer. Dalam penelitian ini dirancang perumusan parameter desain dan dikonstruksi prototipe instrumentasi pengukur jembatan berbantuan IBM PC

PKMP-6-2-2

dengan sensitifitas 4,8μm/2,44mV (4,8μm/Nyble). Akses Melalui LPT, Pemrograman Dengan Bahasa Pascal hal ini agar mudah dalam installasi dan relatip mudah diperbaiki bila ada trouble shooting. Prototipe yang dirancang pengoprasianya mudah. METODE PENELITIAN Metode pendekatan berdasarkan perumusan masalah dan tujuan. Penelitian bertujuan mendesain sistem pengukuran getaran jembatan berbasis komputer, untuk dapat terealisasi berdasarkan keberadaan anggaran, waktu, tempat, komponen dan perlatan uji, disusun langkah penyelesaiannya: Berdasarkan litelatur dan observasi, mendeskripsikan sistem yaitu diagram blok, prinsip kerja, rumusan transformasi dan konversi data serta penskalaan, langkah ini perlu dilakukan, karena grafik getaran jembatan dan nilai kuantitatifnya akan divisualisasikan pada layar monitor komputer, maka rumusan skala pixel diperlukan. Berdasarkan deskripsi, didesain perangkat keras dan perangkat lunaknya. Perangkat keras meliputi konstruksi pengukuran, pengkondisi sinyal, dan perantara ADC. Perangkat lunak meliputi algoritma, pengukuran, setnol, rekam dan data base. Dari hasil desain selanjutnya disusun kebutuhan bahan dan peralatan serta prosedur pengujian subsistem dan integrasi. Waktu pelaksankan penelitian 8-bulan. 4-bulan pertama strateginya sistem minimal dapat dibangun, pelaksanaan meliputi pekerjaan kontruksi, pengujian karakteristik transducer, pengkondisi sinyal, akusisi data. Untuk perangkat lunak melibuti desain algoritma, pemilihan bahasa program, buat program visualisasi numerik grafis, dan data base. 4-bulan terakhir perbaikan khususnya pada subsistem transducer dan pengkondisi sinyal untuk meningkatkan sensitivitas, resolusi, respon dan linieritasnya. Tempat pelaksanaan di Laboratorium Instrumen Fisika Unpad Jatinangor, Laboratorium workshop Fisika Unpad Bandung, Toko komponen elektronik dan bahan konstruksi Bandung. Kebutuhan bahan komponen dan perlatan uji dalam penelitian ini terdiri dari: Screen layout, Printed Circuit Board, komponen Tranducer LVDT, Resistor, kapasitor, IC-Opamp, ADC, IC-Gate, komponen catu daya, komponen pendukung konstruksi, komponen pendukung pengujian, dan compiler bahasa pascal. Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan riset terdiri dari: Toolset, Mikromrter sekrup, Mesin konstruksi, Komputer IBM PC, Generator sinyal, Power suply, Osciloscope, Multitester Analog dan Digital. Desain sistem pengukur getaran jembatan berbasis komputer, diagram bloknya ditunjukkan Gambar 1. Prinsipnya getaran jembatan divisualisasikan grafik pada layar monitor secara in situ, dengan ini garis skala getaran harus mengacu pada transduce, pengkondisi sinyalnya dan perantara ADC. Subsistem analog meliputi Transducer LVDT dan pengkondisi sinyal untuk mengubah getaran mekanis jembatan ke tegangan analog dengan subrangkaian osilator, penyearah, dan penguat. perumusaan transformasi dan konversi getaran mekanis jembatan (x) ke tegangan secara emperik, dapat diturunkan,

V ( t ) = + α .k .Δ x ( t )

(1)

PKMP-6-2-3

Sesuai tinjauan pustaka, transducer LVDT terdiri dari 1-lilitan primer dan 2lilitan sekunder serta inti pada rongga lilitan. Dengan osilator eksitasi dililitan primer, keluaran selisih tegangan sekunder besarnya sebanding dengan perubahan posisi inti. Dalam hal ini, inti dari bahan ferit disambungkan ke badan jembatan, dengan kata lain pengukuran getaran jembatan transducer LVDT prinsipnya mengukur fluktuasi sinyal listrik dari pergerakan inti (core). TRANSDUCER LVDT

x

L

OSILATOR

VsA(t)

AC TO DC

Vp(t)

VB

INS

VA VsB(t)

V

AC TO DC

Y=0 Y=Y1

Vref

ELEMEN JEMBATAN

ADC

x GETARAN D0 ... Dn

n-bit

I/0 LPT

PERANGKAT LUNAK

Gambar 1. Blok Diagram Sistem Pengukur Getaran Jembatan Berbasis Komputer.

Dari rumusan transducer LVDT, dan dengan desain pengkondisian sinyal, untuk k=1, dapat diturunkan, V (t ) =

ωVm N 2 A RP

l

.c.x(t )

(2)

Persamaan (2) adalah tegangan analog sebanding dengan amplitudo getaran, bergantung pada parameter osilator yaitu frekuensi sudut osilator (ω) tegangan maksimum (Vm) dan hambatan masukan (Rp), serta gometri kumparan yaitu jumlah lilitan (n), panjang kumparan (l) dan luas penampang kumparan. Konstanta c adalah faktor pembanding permeabilitas fungsi dari posisi ferit dalam hal ini terjadi perubahan permeabilitas udara dan ferit, maka nilai c adalah perbandingan permeabilitas ferit dan udara. Dengan menghitung dan memilih parameter eksitasi dan geometri: dengan tegangan maksimum Vm=5Volt, Frekunsinya f=50 KHz (ω =2πf=314159z). Hambatan masukan lilitan primer Rp=100Ohm, Panjang lilitan l = 10 mm = 0.001 meter. Jumlah lilitan n=500. Luas penampang A=0.000078540 m 2 (jejari lilitan 2 mm). c=80,63 (ferit dililih sekitar μ =500.μo dimana μo permeabilitas udara. Berdasarkan pemilihan parameter, maka persamaan (2) dengan k=1 adalah, V (t ) = 499,976 Δx(t )

(3)

PKMP-6-2-4

dangan Δx merupakan posisi ferit (+10m>Δx>-10mm) tanda negatip menyatakan ferit bergerak kebawah dan positip keatas. Subsistem digital prinsipnya sebagai pengkonversi analog ke data digital, perantara ADC dan perangkat lunaknya. Berbasiskan komputer didasarkan pada pemikiran bahwa sampling data ukur dalam rentang waktu tertentu, diplot berupa grafik garis yang menyatakan variasi pergerakan inti (core) LVDT. Parameter kelaikan jembatan ditentukan dari grafik getaran yang diperoleh akibat initi (core) LVDT tergerakan. Konversi tegangan sebagai fungsi dari perubahan gerak core ke data digital, sesuai dengan perumusan konversi ADC n-Bit modus bipolar dengan tegangan referensi Vref adalah, Do(t ).20 + D1(t ) + ..... + Dn(t )2n =

n

∑ Dm(t ).2m =

m=0

(2n − 1) (Vref + V (t )) 2.Vref

(4)

Selanjutnya data biner tersebut melalui perantara (I/O) masuk masuk ke komputer dengan pengalamatan, ditapung dalam variabel Data [t] bilangan bulat sesuai dengan deklarasi tipe data dalam perangkat lunaknya. Dengan pemilihan n=16 bit dan tegangan refernsi Vref=5 Volt, maka dari persamaan (3) dan (4) Data sebagai fungsi dari simpang getar adalah, Data (t ) = (6553,5) * (5 + 499,976211 * ΔX (t ))

(5)

Data(t) sebagai fungsi dari gerak core, dengan menggunakan perangkat lunak modus grafik, dapat diplot berupa garis pada layar monitor. Untuk menampilkan nilai x[t] dari Data(t) perumusannya,

x(t) = (10/5)*((5/32767)*(Data(t) - 32767))

(6)

Berdasarkan persamaan (3) dan persamaan (5), Untuk perubahan sekitar (0.505 sd +0.505) mm, hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 2.1. Dalam tabel skala-nol pada layar monitor pada pixel ke-171 untuk skala monitor (640x480) pixel. Posisi skala normal pada layar monitor Gambar 2.2. Dalam hal ini menggunakan 200 Pixel, dengan skala 0 pada pixel-172. Dari hasil penskalaan dan perhitunga diatas, untuk visualisai pada Grafik fluktuasi gerak core pada layar monitor, dengan bahasa pascal statementnya: Line(t,Y[t],t+1,Y[t+1]), dalam bahasa pascal statement Y[t] adalah, ⎛ ⎛ 200 ⎞ ⎞ y[t ] = 272 − Round ⎜⎜ ⎜ ⎟ * data[t ] ⎟⎟ ⎝ ⎝ 65535 ⎠ ⎠ Dimana data[t]:=DataWord dari konversi data biner 16-bit.

(7)

PKMP-6-2-5

Tabel.1 :Penskalaan Layar Monitor ΔX (mm) -0.505

V (Volt) -0.253

31113

Pixel (CRT) 166

-0.404

-0.202

31444

167

Data

-0.303

-0.152

31775

168

-0.202

-0.101

32106

169

-0.101

-0.051

32437

170

0

0

32768

171

+0.101

+0.05

33098

172

+0.202

+0,101

33429

173

+0.303

+0.152

33760

174

+0.404

+0.202

34091

175

+0.505

+0.253

34422

176

+1cm +5V 65535

SKALA LAYAR MONITOR

x[i],y[i] 0mm 0V 32767

-1cm -5V 0

Gambar.2 Skala Pixel Monitor Komputer

Prosedur pengukuran getaran jembatan yang didesain, inti-LVDT disambungkan (dikopel) dengan badan jembatan, dengan ini bila jembatan bergetar, maka inti-LVDT akan turut bergetar, dengan ini akan timbul fluktuasi pada tegangan selisih pada lilitan sekunder, kontruksinya ditunjukkan Gambar 3. Bila dalam pengukuran getaran jembatan, ditentukan kecepatan kendaraan yang melewati jembatan tidak lebih dari 10 km/jam. Untuk keperluan perekaman sinyal getaran jembatan rentang pengukuran dibatasi dalam 5 detik sebanyak 320 sampling data, dengan ini sinyal getaran yang diukur pada daerah 7 meter sebelum dan setelah posisi transducer. Desain konstruksi Tranduser LVDT ditunjukkan Gambar 4 panjang kumparan primer dan sekunder sama 10 mm, dengan 500 lilitan dengan luas penampang 0.000012566 m 2 . Kawat kumparan dipilih dari email dengan diameter 0,08 mm. Tebal sekat antar kumparan adalah 0,8 mm.

10 mm

10 mm 10 mm

10 mm

10 mm

10 mm

a

Rambat Getar

Gambar. 3 Konstruksi Transducer

b

Gambar 4 a. Simbol LVDT b. Ukuran Gulungan c. Hasil Gulungan

c

PKMP-6-2-6

D1 s/d D8

LVDT

+VCC X

R1 7

555

VB L

84 3

C2 R3

Vp(t)

R2 6

VA 2 15

C3

X=0 X=X1

C

R4

10nF Badan Jembatan X C4

+

R14 R9

Rf P3

R13

R12

-

Vo Voo

R7

-

R11

+

P

+

Vo

-

-

+

C3

R5

Vo

R8 R10

R6

+

Gambar 5. Rangkaian Pengkondisi Sinyal.

Rangkaian pengkondisi sinyal, ditunjukkan Gambar 5, terdiri dari: Osilator, penyearah, penguat instrumentasi, penapis lolos rendah dan penapis lolos rendah dan penguat non inverting. Rangkaian osilator untuk tegangan eksitasi LVDT menggunakan osilator Timer IC555. Sesuai rumusan frekuensi untuk frekuensi 50 KHz, didapat R1=100 Ohm, R2=20 KOhm, dan C=1n2 nF. Rangkaian penyearah berfungsi agar tegangan selesih LVDT sebanding dengan getaran jembatan. Penyearah menggunakan jembatan 4-dioda 1N4148 dengan tapis R1C1. Untuk ripple Vrpp = 0.1 mV dengan Vp=5V, didapat R3,4 =1 MOhm, C2,3 = 100 nF. Dengan waktu respon output sekitar 0,1 detik. Sebagai penguat pertama menggunakan penguat instrumentasi yang umum digunakan menggunakan tiga buah op-amp, sesuai yang telah dibahas pada tinjauan pustaka dipilih hambatan R5,R6,R7,R8,R9,R10,P sama 10KOhm, maka besar penguatan dapat diatur dari posisi potensiomter. Penapis lolos rendah dibutuhkan, agar sinyal ke ADC sebanding dengan fluktuasi getaran dan memotong frekuensi noise. Frkuensi cut (fcut) dirancang 15 Hz, sesuai rumusan didapat R11=R12=10 KOhm, C4=C5=1μF. Rangkaian penguat Non-inverting sebagai penguat akhir, untuk menguatkan 10 kali. sesuai rumusan penguatan didapat R13=10K,R14=100K dan P3=20K, maka penguatan dapat diatur antara (10 sd 12) kali. Rangkaian catu daya yang dirancang ditunjukkan, dirancang untuk dapat menghasilkan tegangan + 12 V yang digunakan sebagai Vcc bagi rangkaian penguat, sedangkan tegangan + 5 V digunakan sebagai Vcc bagi rangkaian Osilator. Tegangan ini diperoleh dari rangkaian jembatan dioda dengan

PKMP-6-2-7

transfomator-CT 12 Volt dan 6 Volt dengan kapasitor penyearah masing-masing 4700uF/25V. Untuk meregulasi tegangan stabil + 12 Volt dan +5Volt digunakan IC regulator 7812, 7912 dan 7805. Yang keluaran masing-masing IC regulasi distabilkan lagi oleh kapasitor 100uF/25V dan 100nF disusun paralel. Perantara ADC yang digunakan tipe Max195, diakses melalui port LPT IBM PC, diagram blok rangkaian ditunjukkan Gambar 2.3. Spesifikasi desain: Masukan sinyal analog satu saluran (AIN) melalui resistor 100 Ohm. +5V

OSILATOR

BP/UP

DOUT EOC CLOCK

TRANSDUCER LVDT

KONDISI SINYAL

100

LPT D3 Pin 15 D4 Pin 13 D0 Pin 2

AIN

CONV

ADC MAX195

D1 Pin 3

Gambar 6. Blok rangkaian ADC Max195 diakses melalui LPT IBM PC. Hasil konversi analog ke serial data biner dari ADC pada DOut, masuk ke port LPT melalui pin 15, diakses melalui alamat 379H. Proses konversi ADC (CONV) dikendalikan oleh sinyal hasil gerbang OR antara sinyal CLK dan START, dari pin 2,3 diakses melalui alamat 378H. Dan end-konversi ADC (EOC) masuk ke pin 13 diakses melalui alamat 379H. Piranti untuk buffer digunakan tipe CMOS 4050 dan OR menggunakan tipe TTL 7432. Untuk Perangkat lunak menu utama pengukur getaran jembatan terdiri atas: Submenu Rekam, Data, Grafik dan Keluar dari program. Submenu Rekam untuk proses rekam getaran jembatan, menvisualisasikan pada layar monitor, mengukur simpangan maksimum dan minimum serta menyimpan dalam file. Mulai Ambil waktu-t1 i=1; Ulang In_ADC; Plot Grafik Getaran i=i+1 Akhir Ulang i= MaxData Simpan ke File Selesai Prosedur untuk perekaman sinyal getaran adalah :

Prosedur In_ADC; Mulai (Start konversi) Port [$378H] ← 1 + 2; Port [$378H] ← 0 + 0; (Baca End Konversi) Ulang Port [$378H] ← 1 + 2; Port [$378H] ← 0 + 2;

PKMP-6-2-8

EOC ← (Port[$379H] AND 16) SHR 4; Akhir ulang EOC = 1 (Ambil data serial 16 bit D0 s/d D15 ubah ke data word) Dataword ← 0 Ulang mulai n ← 15 Port [$378H] ← 0 + 2; Port [$378H] ← 1 + 2; D0 ← (Port[$379H] AND 8) SHR 3; Dataword = Dataword*2 + D0 Akhir ulang n ← 0 (Ubah ke tegangan) Teg_Bi ← (5/32767)*(Dataword – 32767) (Ubah ke simpang getar Y) Y ← (10/5)*Teg_Bi (Dalam mm Untuk Penguatan-1) Selesai Sumbenu Data berfungsi untuk menampilkan Data Numerik (angka) getaran pada layar monitor dari data yang telah disimpan pada File. Submenu Grafik berfungsi untuk mengulang tampilan grafik getaran jembatan pada layar monitor dari data yang telah disimpan pada File. Submenu Keluar berfungsi untuk Keluar dari program utama. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian bertujuan untuk mendesain sistem pengukur getaran jembatan berbasis komputer, realisasinya adalah rumusan parameter desain dan prototipe, ditunjukkan Gambar 7 a,b. Pada gambar (a), konstruksi transducer LVDT. Pada gambar (b) Tranducer-LVDT, pengkondisi sinyal dan akusisi data. Prosedur pengukuran getaran jembatan untuk amplitudo maksimum 10mm. Untuk masingmasing subsistem sebelum diintegrasi dan uji coba pengukuran, karakteristiknya diuji. Sesuai dengan prosedur pengujian, karakteritik linier diuji dengan statistik korelasi dan regresi linier. Pengujian karakteristik subrangkaian meliputi: Keluaran kumparan sekunder saat dieksitasi oleh osilator, subrangkaian penyearah, Linieritas Penguat. Linieritas Transducer dengan Penguat, Linieritas dan kualitas ADC, Linieritas Transducer dengan ADC.

(a)

(b)

Gambar 7a. Prototipe Transducer LVDT, b. Penkondisi Sinyal Dan ADC.

PKMP-6-2-9

Uji Integrasi ADC dan Transducer untuk mengetahui linearitas akusisi data dalam proses konversi data ke komputer fungsi dari bergeraknya posisi inti akibat getaran jembatan. Dalam uji integrasi posisi inti dengan menggunakan Mikrometer dan untuk data langsung dari layar monitor dengan linieritas grafik hasil pengukuran untuk penguatan-1. Grafiknya ditunjukkan pada Gambar.8, didapat persamaan Data=3274,8 X + 32767 dengan korelasinya r adalah 0,9897. ini menunjukkan akusisi data untuk pengukuran getaran linier. Pengoperasian perangkat lunak menggunakan Pemrograman bahasa pascal. Saat program dirunning akan timbul menu utama, dan submernu rekam, data, grafik dan set nol. Sebelium pengukuran posisi inti harus diset-0, dengan pola tampilan ditunjukkan Gambar 9,. Setelah itu dilakukan perekaman getaran, setelah selesai pola tampilan sesuai dengan Gambar 10. Selesai perekaman dapat disimpan dalam file. Bila ingin dilihat data melalui submenu Data pola tampilan ditunjukkan Gambar 11, Submenu grafik Pada prinsipnya sama dengan Data, namun yang ditampilkan adalah grafik getaran yang disimpan dalam file. 65535 55535 45535

Dat a AD C

35535 y = 3274.8x + 32767 25535 15535 5535 -10

-5

-4465 0

5

10

Perubahan Posisi (mm)

Gambar 8 Linieritas Uji Integrasi

Gambar 10 Submenu Rekam

Gambar 9 SubMenu Set-Nol

Gambar 11 Submenu Data

10 5

1

0.5

0 -5

Simpangan (mm)

Simpangan (mm)

PKMP-6-2-10

0 0.110.220.330.440.550.660.770.880.99

-10

0 0 0.110.210.320.430.530.640.750.850.96 -0.5 -1

Waktu(detik)

Waktu(Detik)

Gambar 12

Gambar 13

1.6

5

1.4

0 -5

0 0.1 0.210.310.410.520.620.720.830.93

Amplitudo (mm)

Simpangan (mm)

Respon redaman

10 1.2 1 0.8

-1.6181x

y = 1.387e

0.6 0.4 0.2

-10

0 0

Waktu(Detik)

0.2

0.4

0.6

0.8

Waktu (s)

Gambar 15

Gambar 14

Tabel 2. Data Sinyal Getaran Berbagai Beban. Simpangan Max (mm) 1,387 1,477 2,006 2,704 0,919 0,734 0,285 0,129

Jenis Kendaraan Konstanta γ 1.6181 0.9904 0.0954 0.2805 0.3064 0.3045 0.1234 0.0820

Truk sedang, bermuatan Truk sedang, bermuatan Truk besar, bermuatan Tangki Bus Truk box Truk sedang Tangki

Dalam uji coba pengukuran getaran model simpel beam, lokasi di jembatan Cidurian Bandung untuk 8 jenis kendaran, perekaman dilakukan dengan memilih jenis kendarraan yang melewati jembatan yaitu unyuk kendaraan berat, seperti truk dengan beban tetentu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa simpang getar yang dihasilkan dari kendaraan yang dikategorikanberbobot ringan seperti sedan sangat kecil. Gambar grafik getaran untuk truk sedangg, bermuatan

1

PKMP-6-2-11

ditunjukan Gambar 12, grafik getaran kendaraan Bus pada gambar 13 dan grafik getaran kendaraan tangki pada gambar 14. Untuk sampel grafik getaran truk sedang, terlihat memiliki pola redaman, grafik respon redamannya ditunjukan pada gambar 15. KESIMPULAN Telah dirancang Prototipe Instrumentasi perekam dan pengukur getaran jembatan dengan transducer LVDT berbasis IBM-PC. Pengaksesan melalui Port LPT IBM-PC, perangkat lunak disusun terdiri dari submenu merekam, submenu data, submenu grafik dan submenu setnol, dengan bahasa pemrograman Pascal Dari hasil uji coba, untuk karakterisasi akusisi data terhadap posisi ferit Tranduser LVDT didapat persamaan linier: Data=3274.8.X+32767 untuk penguatan-, sensitivitasnya 100μm per 50mV (100 μm per pixel). Integrasi sistem telah mampu melakukan perekaman sinyal getaran jembatan Hasil perekaman getaran untuk jembatan tipe simple beams, dengan variasi beban kendaraan diperoleh ampitudo getaran pada rentang 0,129 mm sampai dengan 2,704 mm. Dilihat dari respon sinyalnya menunjukkan pola getaran teredam. Sehingga dapat dikatakan jembatan masih mampu meredam getaran dengan baik DAFTAR PUSTAKA AD Maxim 195, Maxim Intgrated Product 1997. Conffron, James W, The IBM Connection, Sybex Inc., 1990. Derenzo, Interfacing, Prentice Hall Inc., 1990. Darold obschall, Circuit Design For Electronic Instrumentation,Mc.Graw-Hill.Inc, 1987 Draft Laporan Akhir, Evaluasi Kondisi Jembatan Ciliwung, Semanggi, Muara Angke dan Cengkareng Drain Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng, PT. Jasa Marga (Persero), Depatermen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta, 2003. Khairul Syafari, Darwin. Perancangan Sistem Instrumentasi Perekam Sinyal Getaran Model Jembatan Dengan Menggunakan Transducer LVDT , Skripsi Fisika, 2003 Sutrisno, Seri Fisika Dasar Mekanika, Bandung : ITB, 1996., Elektronika 1,2:Teori dan Penerapannya, Jilid 2, Bandung : ITB, 1987 The Linear Variable Differential Transformer (LVDT), www.sensorland.com Trans.Tek Inc, Hand book of Transducer design, Engineering and Application, September, 2001. William D Cooper, Electronic Instrumentation and mesuarment techniques 4th Ed, Prentice Hall Inc., 1990.

PKMP-6-3-1

MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGEMBANGAN KEMAMPUAN ENTREPRENEURSHIP UNTUK SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Tarma, Nasir Sidik, Miftah Anugrah Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung ABSTRAK Penyusunan model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship siswa SMK ini dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat penerimaan lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja. Seyogianya, lulusan SMK dapat terserap dengan baik oleh dunia kerja. Namun, perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa angka pengangguran lulusan SMK semakin meningkat. Fenomena tersebut ditambah dengan situasi perekonomian yang masih belum pulih dari krisis. Kenyataan yang diametral seperti itu memunculkan kebutuhan agar lulusan SMK dapat secara mandiri mengembangkan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup. Upaya untuk mencapai kemandirian usaha tersebut adalah dengan adanya mata diklat kewirausahaan. Dengan demikian, lulusan SMK diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut dengan mengembangkan kemandirian dalam berusaha. Akan tetapi, pembelajaran kewirausahaan yang terjadi lebih menekankan pada kemampuan kognitif sehingga siswa tetap belum dapat secara mandiri mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Untuk itu, diperlukan pengembangan model pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan kemampuan entrepreneurship siswa SMK yang lebih aplikatif. Tujuan penyusunan model ini adalah mengembangkan model diklat pengembangan kemampuan entrepreneurship berdasarkan pada analisis kebutuhan lapangan. Metode yang digunakan adalah studi komparatif-kolaboratif model diklat kewirausahaan dan judgement expert. Hasil yang diperoleh adalah model diklat yang dikembangkan adalah model diklat yang lebih menekankan pada pengalaman siswa dalam mengelola usaha kecil menengah. Model ini dilakukan secara komplementer dengan mata diklat kewirausahaan yang telah dilakukan pada kelas satu dan kelas dua. Kesimpulan yang didapat adalah rendahnya kemampuan entrepreneurship siswa dapat diatasi dengan pendidikan dan pelatihan yang berbasis pengalaman yang diawali dengan pengembangan dan pemupukan motivasi dan dilanjutkan dengan pengalaman nyata siswa dalam berusaha. Kata kunci: pengalaman, mandiri, motivasi, kewirausahaan. PENDAHULUAN Mutu pendidikan Indonesia dewasa ini tergolong dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal tersebut mengacu pada berbagai kajian yang dilakukan oleh lembaga internasional. Misalnya kajian yang dilakukan oleh UNDP tentang Human Developmen Index pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat yang ke-112 dari 175 negara. Pada skala regional pun mutu pendidikan Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Mengacu pada hasil studi yang dilakukan oleh Political and Economic

PKMP-6-3-2

Risk Consultancy (PERC) tahun 2001 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 dari 12 negara di Asia. Masalah rendahnya mutu pendidikan berimplikasi langsung terhada mutu lulusan. Rendahnya mutu lulusan berakibat pada rendahnya kemampuan kompetitif dan komparatif lulusan. Ditambah lagi dengan lapangan pekerjaan yang belum sebanding dengan angkatan kerja. Hal ini berakibat terhadap akumulasi jumlah pengangguran terdidik. Menurut perkiraan Pusat Studi Tenaga Kerja dan Pembangunan, angka pengangguran tahun 2001 jumlahnya 40,2 juta orang, artinya sekitar 20% dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut terus meningkat, tahun 2002 jumlah tenaga kerja yang produktif tapi disia-siakan ditaksir sudah mencapai 42 juta. Dari penganggur sebanyak itu, 1,91 juta adalah lulusan universitas. Tahun 2004 pengangguran di Indonesia diperkirakan berjumlah 45,2 juta orang. Yang 2,56 di antaranya adalah pengangguran kerah putih. Penganggur terpelajar ini jumlahnya akan terus meningkat secara mencolok karena akan lebih banyak lagi pelajar dan mahasiswa yang drop out. Menurut Badan Pusat Statistik Depnakertrans tahun 2002 terdapat 100.779.270 penganggur. Berdasarkan tingkat pendidikannya, pada tahun 2002 lulusan SD ke bawah sebanyak 59.057.037 orang (59%), lulusan SMTP sebanyak 17.488.965 (17%), lulusan SMTA sebanyak 19.332.492 orang, lulusan diploma sebanyak 2.214.935 (2%) dan lulusan universitas sebanyak 2.685.270 orang (2%). Pada tahun 2003 sebanyak 100.316.007 penganggur. Dari jumlah tersebut, pengangguran lulusan SD sebanyak 59.823.889 (55%), lulusan SMTP sebanyak 20.596.057 (21%), lulusan SMTA sebanyak 20.292.724 (20%), lulusan diploma sebanyak 1.923.558 (2%) dan lulusan universitas sebanyak 2.697.779 (3%). Berdasarkan estimasi pengamat ekonomi Lin Che Wei dalam Kompas Cyber Media (2002), pada tahun 2005, jika pertumbuhan ekonomi mencapai lima persen, maka akan tercipta 1,80 juta lapangan pekerjaan baru. Perkiraan angkatan baru yang lahir 2,16 juta orang dan jumlah penganggur terbuka 11,19 juta orang. Pada tahun 2006, jika pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5 persen akan tercipta 1,70 lapangan pekerjaan baru. Saat itu jumlah angkatan kerja baru yang lahir 2,18 juta orang dan jumlah pengangguran terbuka 11,63 juta orang. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,9 persen. Dengan pertumbuhan sebesar itu, tercipta 1,90 juta lapangan pekerjaan baru. Pada saat itu lahir 2,21 juta angkatan kerja baru dan jumlah pengangguran terbuka mencapai 11,90 juta orang. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 6,4 persen dan akan menciptakan 2,20 juta lapangan pekerjaan baru. Saat itu ada 2,23 juta angkatan kerja baru dan 11,98 juta pengangguran terbuka. Jadi, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi telah berhasil menyerap angkatan kerja baru yang lahir, namun belum mampu menanggulangi pengangguran terbuka yang ada. Sedangkan pada tahun 2009 ketika ekonomi diestimasi dapat tumbuh sampai tujuh persen dan menciptakan 2,40 juta lapangan kerja baru, pengangguran masih tetap belum dapat diatasi. Pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja baru yang lahir mencapai 115,95 juta orang dengan pengangguran terbuka 11,79 juta orang. Sekolah menengah kejuruan sebagai institusi yang mengembangkan peserta didik sehingga mahir dan terampil yang siap bekerja di masyarakat, (Ace Suryadi, 2005). Meskipun demikian, ternyata tingkat lulusan SMK yang menganggur cukup banyak. Jumlah SMK negeri sebanyak 823 dan SMK swasta sebanyak

PKMP-6-3-3

4.038. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Pikiran Rakyat (4 Agustus 2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2001 lulusan SMK se-Indonesia sebanyak 2.099.753 siswa. Dari jumlah tersebut 950.000 siswa (50%) di antaranya menganggur. Mengingat banyaknya angka pengangguran lulusan SMK, maka diperlukan terobosan-terobosan baru dalam pendidikan persekolahan. Sekolah menengah kejuruan sebagai pendidikan vokasional yang diarahkan untuk bekerja perlu dibekali kemampuan entrepreneurship. Sehingga setelah lulus, tidak berorientasi mencari kerja, tetapi mampu melihat peluang untuk membuka usaha dengan bekal kemampuan teknis dan karakter entrepreneurship yang dibina melalui pendidikan dan pelatihan entrepreneurship yang dikembangkan melalui model pendidikan dan pelatihan yang telah teruji. Meskipun saat ini di SMK sudah terdapat pelajaran (mata diklat) kewirausahaan, namun hasilnya belum menggembirakan. Dengan penelitian pembuatan model ini, diharapkan pendidikan dan pelatihan entrepreneurship (kewirausahaan) yang efektif dan efisien. Sehingga akhirnya dapat menghasilkan lulusan yang siap mandiri. Adapun rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah gambaran kemampuan entrepreneurship di kalangan siswa Sekolah Menengah Kejuruan? (2) bagaimana model yang dapat digunakan untuk pendidikan dan pelatihan pengembangan entrepreneurship di kalangan siswa SMK berdasarkan kepada hasil riset yang dilakukan? Dan (3) bagaimana deskripsi hasil uji model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship? Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) dengan judul: Model Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Entrepreneurship Untuk Siswa Sekolah Menengah Kejuruan ini memiliki beberapa tujuan, yakni: (1) mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis kemampuan entrepreneurship di kalangan SMK; (2) membuat model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan; (3) mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis hasil uji coba model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship di kalangan siswa SMK. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) model yang telah dibuat melalui proses ilmiah dapat dilaksanakan dan sesuai dengan kondisi yang ada; dan (2) dengan penerapan model yang telah diuji melalui penelitian ini, diharapkan akhirnya akan berakumulasi pada peningkatan kemampuan entrepreneurship di kalangan siswa SMK sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan menekan angka pengangguran. METODE PENDEKATAN Kegiatan PKMP penyusunan model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa sekolah menengah kejuruan dilakukan dengan menggunakan beberapa tahap. Tahap pertama ialah melakukan kajian pustaka dengan mengkaji berbagai literatur yang relevan dengan judul program PKMP kami. Sumber yang kami gunakan di antaranya ialah buku, dokumen lembaga diklat, kurikulum Mata

PKMP-6-3-4

Diklat Kewirausahaan, dan sumber belajar lainnya. Tahap ini dilakukan selama kegiatan PKMP ini berlangsung. Tahap kedua ialah melakukan studi pendahuluan. Kegiatan ini dimaksudkan guna memperoleh referensi awal mengenai model-model diklat kewirausahaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang telah mapan. Lembaga-lembaga tersebut ialah (1) Departemen Pendidikan dan Pelatihan Daarut Tauhiid bagian Santri Mukim; (2) SBHL Consulting; (3) Dinas KUKM Propinsi Jawa Barat, dan (4) SMEA 45 Lembang. Kegiatan studi pendahuluan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Teknik-teknik ini difokuskan pada manajemen diklat dan substansi diklat. Tahap ini dilakukan selama satu bulan, yaitu bulan Maret 2006. Tahap ketiga ialah merumuskan instrumen yang akan digunakan untuk menganalisis kebutuhan diklat kewirausahaan di SMK Al-Mufti Kabupaten Subang. Hasil perumusan instrumen ini menghasilkan pedoman wawancara dengan rumusan responden yang dijadikan subjek wawancara. Tahap ini dilakukan pada tanggal 9 April 2006. Tahap keempat ialah melakukan analisi kebutuhan ke lapangan dengan menggunakan instrumen yang telah disusun sebelumnya. Hasil kegiatan ini adalah diperolehnya kompetensi-kompetensi yang akan dijadikan kebutuhan diklat. Tahap ini dilaksanakan pada minggu ketiga dan keempat bulan April 2006. Tahap kelima ialah menyusun model pendidikan dan pelatihan kemampuan Entreupreneurship untuk siswa SMK. Pada tahap ini seluruh hasil dari studi pendahuluan dan analisis kebutuhan ditinjau dan dianalisis guna memperoleh rumusan-rumusan kompetensi kemampuan entrepreneurship. Tahap ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2006. Tahap keenam ialah melakukan validasi model dengan teknik judgement expert. Dari tahap ini akan diperoleh penilaian terhadap model yang dikembangkan. Tahap ini dilakukan pada minggu keempat bulan Juni 2006. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kajian analisis kebutuhan diklat pengembangan kemampuan entrepreneurship siswa SMK Al-Mufti Kabupaten Subang, diperoleh informasiinformasi sebagai berikut: Pertama, sekolah berupaya melakukan berbagai pengembangan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan. Namun, menurut kepala sekolah hasilnya sampai saat ini tidak berhasil. Dan untuk tahun ajaran yang akan datang SMK Al-Mufti akan mengembangkan model baru lagi. Penyusunan model ini diharapkan oleh kepala sekolah sebagai alternatif solusi. Kedua, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan saat ini lebih bersifat pengajaran yang hanya membangun aspek kognitif saja, tidak pada afektif dan psikomotorik yang akan menggiring siswa untuk mengimplementasikan entrepreneurship. Ketiga, apresiasi siswa terhadap mata diklat kewirausahaan masih rendah. Keempat, minat dan keberanian siswa untuk menjadi wirausahawan atau entrepreneur masih sangat rendah. Kelima, rasa gengsi dan tidak percaya diri yang menghinggapi siswa sehingga memiliki keengganan untuk menekuni profesi sebagai entrepreneur atau wirausahawan. Keenam, masih rendahnya kemampuan praktik berwirausaha yang dilakukan oleh siswa. Ketujuh, menurut kepala sekolah, pemahaman dan

PKMP-6-3-5

kemampuan siswa untuk membuka usaha kecil (MUK) masih sangat rendah. Karenanya diperlukan model diklat yang berorientasi pada membuka usaha kecil. Khususnya untuk kelas tiga. Sekolah sebagai sebuah sistem dipengaruhi oleh berbagai komponen yang saling terkait. Demikian halnya dengan pembelajaran Mata Diklat Kewirausahaan pun dapat dipandang sebagai suatu entitas sistem. Berbagai gejala atau fakta masalah yang teramati harus dikaji dengan menggunakan analisis sistem. Bila ditinjau dari strategi pembelajaran, Mata Diklat Kewirausahaan yang dilakukan di SMK Al-Mufti lebih bersifat teoretis. Dan hanya memberikan wawasan tentang kewirausahaan. Sedangkan untuk porsi praktikum kewirausahaan masih belum proporsional. Ditinjau dari tenaga pendidik, pembelajaran Mata Diklat Kewirausahaan disampaikan oleh guru yang bukan wirausahawan atau tidak memiliki kemampuan kewirausahaan yang patut diteladani oleh siswanya. Sehingga proses pembelajaran yang diberikan kurang terjiwai oleh guru. Dipandang dari segi kurikulum, pembelajaran Mata Diklat Kewirausahaan masih belum tuntas. Dalam kurikulum Kewirausahaan 2004, siswa tidak diberikan kesempatan yang luas untuk melakukan praktikum kewirausahaan. Rendahnya motivasi siswa untuk berwirausaha disebabkan oleh pembelajaran yang belum efektif dalam menumbuhkan motivasi tersebut. Proses pembelajaran yang dilakukan sangat monoton. Rendahnya motivasi siswa juga dipengaruhi oleh rasa gengsi yang masih dimiliki oleh siswa-siswa tersebut. Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di atas maka kami merumuskan alternatif model pendidikan pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK. Adapun ringkasan model yang kami ajukan sebagai berikut: Model yang kami kembangkan ini dikhusukan untuk siswa SMK tingkat tiga. Artinya model ini bersifat komplementer dan diperuntukkan bagi mereka yang telah menuntaskan belajar kewirausahaan pada tingkat satu dan dua. Model ini lebih bersifat pelatihan selama enam bulan. Kegiatan pelatihan yang diberikan dengan komposisi 20 persen pembelajaran tatap muka, dan 80 persen berupa pembelajaran yang bersifat praktikum. Model pendidikan dan pelatihan kewirausahaan pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK difokuskan pada tiga tujuan pembelajaran atau kompetensi, yakni: (1) Membangun motivasi siswa untuk berwirausaha di sektor UKM (usaha Kecil dan menengah); (2) Siswa mampu mengenali peluang-peluang usaha di sektor UKM dan (3) siswa mampu membuka dan mengelola usaha kecil. Pengalaman belajar yang diinginkan dari model ini adalah siswa memiliki pengalaman yang lebih banyak bersifat praktek. Untuk pemupukan motivasi, siswa diarahkan pada pengenalan tentang biografi pengusaha-pengusaha sukses baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Selain itu, model ini juga memupuk motivasi siswa dengan profil pengusaha setempat yang berhasil. Studi kasus-studi kasus tentang profil UKM yang sudah berhasil pun dijadikan sebagai pengalaman belajar siswa. Hal berikutnya yang dijadikan sebagai pengalaman belajar adalah mengenali peluang-peluang usaha di sektor UKM. Untuk mencapai hal tersebut, siswa diarahkan pada upaya eksplorasi usaha mandiri terhadap UKM-UKM yang ada. Tahap ini dilakukan dalam rentang waktu selama satu bulan.

PKMP-6-3-6

Upaya untuk menindaklanjuti berbagai pemupukan motivasi sebagai pengalaman belajar dilakukan dengan metode internship. Metode ini merupakan suatu metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara menempatkan siswa pada UKM-UKM yang ada dengan bimbingan dari pelaku UKM dan guru. Pada tahap ini siswa diarahkan pada pemahaman dan analisis aspek-aspek usaha yang menentukan keberhasilan sebuah UKM. Pengalaman belajar seperti ini pun dimaksudkan agar siswa memiliki rasa percaya diri terlebih dahulu sebelum mereka memulai usahanya sendiri. Dengan begitu, mereka dapat lebih leluasa mulai membuka usaha sendiri. Tahap ini dilakukan dalam rentang waktu selama dua bulan. Pengalaman belajar berikutnya adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mulai membuka usaha mereka. Pada tahap ini, guru diposisikan sebagai asisten/konsultan bagi para siswa. Para siswa diberikan kesempatan untuk mulai merencanakan usaha, mengelola usaha, menilai kemajuan usaha, dan merencanakan pengembangan usaha. Penekanan yang difokuskan pada tahap ini adalah: perencanaan usaha, manajemen biaya, manajemen komunikasi/ pemasaran, manajemen struktur usaha, manajemen logistik/persediaan, manajemen sistem usaha, dan kepemimpinan usaha. Tahap ini dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan. Sebagai panduan untuk ketiga tahap pengalaman pembelajaran tersebut disusunlah sebuah buku panduan yang akan berfungsi sebagai pedoman dalam menjalankan usaha. Sistem penilaian yang digunakan dalam model diklat pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK ini ialah dengan menggunakan metode portofolio. Metode ini difokuskan pada proses pembelajaran yang dialami oleh siswa yang dibuktikan dengan kumpulan-kumpulan hasil karyanya. Dalam konteks model ini, hasil karya siswa diwujudkan dengan hasil-hasil analisis yang dilakukan siswa baik pada tahap pertama (pemupukan motivasi), tahap kedua (ketika siswa melakukan magang usaha), dan tahap ketiga (ketika siswa melakukan usahanya sendiri). Pada tahap pertama, hasil analisis berwujud eksplorasi siswa tentang keberhasilan-keberhasilan para pengusaha sukses yang dikaji. Pada tahap kedua, hasil analisis berwujud pada peran dan fungsi masingmasing aspek usaha dan pengaruhnya pada kemajuan usaha. Sedangkan pada tahap akhir hasil analisis berwujud pada hasil evaluasi yang dilakukan oleh siswa terhadap permasalahan usaha yang dihadapinya. Untuk mencapai titik optimal dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship disyaratkan guru yang menjadi pemimbing atau pengajar ialah mereka yang memiliki usaha sendiri (pengusaha) sehingga bimbingan yang diberikan berdasarkan kepada pengalaman empirik yang telah dilaluinya. Model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK ini memerluykan dukungan dari semua komponen sekolah. Salah satu yang paling dibutuhkan ialah kebijakan sekolah yang mampu menjembatani proses pembelajaran yang akan dilalui oleh siswa. Misanya sekolah memberikan fasilitas atau modal usaha kepada kelompok siswa yang membuka usaha secara mandiri dalam kontek diklat kewirausahaan. Sejalan dengan itu, sekolah pun harus memiliki unit-unit usaha kecil yang bisa dijadikan sebagai tempat bagoi siswa untuk melakukan magang. Juga harus memiliki unit usaha kecil yang bisa dijalankan oleh siswa secara mandiri.

PKMP-6-3-7

KESIMPULAN Model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship untuk siswa SMK diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi banyaknya lulusan SMK yang tidak terserap oleh dunia kerja. Pembelajaran yang diarahkan dengan memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman mengelola usaha secara langsung. Sehingga mereka kahirnya memiliki kesiapan untuk mengeloa usaha secara mandiri setelah lulus nanti. Usaha kecil dan menengah dijadikan sebagai sektor yang dianjurkan untuk digeluti, hal tersebut karena sektor UKM relatif tahan terhadap ekses krisis ekonomi. Berdasarkan kajian yang dilakukan di Al-Mufti diperoleh gambaran kemampuan kewirausahaan yang dimiliki oleh siswa. Hal tersebut dilihat dari indikator siswa hanya menguasai kewirausahaan secara teoretis, sedangkan kemampuan prakteknya belum banyak difasilitasi. Apresiasi siswa terhadap Mata Diklat Kewirausahaan pun masih rendah. Minat dan keberanian siswa untuk menjadi seorang wirausahawan masih rendah. Rasa gengsi dan tidak percaya diri untuk menjadi wirausahawan masih meliputi sebagian besar siswa di SMK AlMufti Kabupaten Subang. Untuk mengatasi permasalahan rendahnya kemampuan entrepreneurship siswa di SMK Al-Mufti diperlukan model baru sebagai alternatif pemecahan masalah. Model yang kami ajukan bersifat komplementer, dan dapat dijadikan pilihan sebagai upaya pemantapan kemampuan entrepreneurship siswa SMK. Model pendidikan dan pelatihan pengembangan kemampuan entrepreneurship yang kami kembangkan menggunakan pendekatan praktikum di sektor UKM. Sektor usaha yang selama ini dipandang tahan terhadap terpaan krisis ekonomi. Model yang ini diperuntukkan bagi siswa yang telah menyelesaikan mata diklat kewirausahaan pada tingkat satu dan tingkat dua. DAFTAR PUSTAKA Danim S. 1998. Model Pengelolaan Terpadu Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan. Disertasi. Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Idnonesia. Darwis R. 1993. Transformasi Nilai-Nilai Tradisi Kekeluargaan Dalam Pendidikan Kewiraswastaan. Disertasi. Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Idnonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Panduan Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Depdikbud; 1999. Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 1999. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat. Bandung: Disdik Propinsi Jawa Barat. Gitosudarmo I. 2000. Pengantar Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Hisrich R D dan Peters M P. 1992. Entrepreneurship. Tokyo: Toppan Company. Ltd. Johnson K A dan Foa L J. 1989. Instructional Design. London: Collier Macmillan Publishers. Osborne D dan Gaebler T. 2003. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: PPM. Pusposutardjo D. 1999. “Pengembangan Budaya Kewiraswastaan Melalui Mata Kuliah Keahlian”. Jurnal Pengembangan dan Penerapan Teknologi: 379:392-9. Riyanto A dan Riyanto A A. 1991. Kewiraswastaan. Bandung: IKIP Bandung.

PKMP-6-3-8

Sumahamijaya S et al. 2003. Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan. Bandung: Aksara. Thrismono E. 2002. Efektivitas Pelatihan Manajemen Qolbu Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tjiptono F. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Universitas Pendidikan Indonesia. 1999. Modul Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan dalam Pendidikan Tinggi. Bandung: UPI. Wills M. 1993. Managing The Training Process. London: McGraw-Hill.

PKMP-6-4-1

PENGURANGAN KADAR CA2+ DALAM AIR SADAH MENGGUNAKAN ZEOLIT ALAM BANYUMAS SEBAGAI PENUKAR KATION Teguh Purwanto, Ilham Supitra, Kartika L, Umi Qoriatul H, Lestari Solikhati Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-6-5-1

MENELISIK TERORISME DAN GEJALANYA: ANALISIS KASUS TERORISME DI KOTA SEMARANG Awaludin Marwan, Eko Setyo Atmodjo Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Semarang

ABSTRAK Awaludin Marwan, Eko Setyo Atmodjo, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2006. “ Menelisik Terorisme dan Gejalanya”. Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, virus ganas dan monster yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”. Aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan martabat bangsa dan norma-norma agama. Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkannya telah atau lebih banyak menyentuh multi dimensi kehidupan manusia, jati diri manusia, harkat sebagai bangsa beradab, dan cita-cata dapat hidup dengan bangsa lain dalam misi mulia “Kedamaian Universal” mudah dan masih bisa dikalahkan oleh aksi teror. Karena sedemikian akrabnya aksi teror ini di gunakan manusia dan akhirnya dengan sendirinya aksi teror ini bergeser menjadi “terorisme” artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa ini untuk menunjukan potret lain dari dan diantara berbagai jenis dan ragam kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime). Dari tulisan ini selanjutnya akan diarahkan pada pengetahuan tentang tindak pidana terorisme yang bersimpul pada (1) klasifikasi kekerasan yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana terorisme, (2) landasan pikir dari tindak pidana terorisme. Dengan menggunakan metodologi pendekatan yuridis sosiologis diharapkan tulisan ini mampu memberikan gambaran yang bermaksud menjelaskan kekhawatiran masyarakat tentang kasus terorisme yang ada dalam skala global ataupun lokal. Kemudian dapat digambarkan bahwa terdapat karakteristik-karakteristik dalam mengidentifikasi sebuah kejahatan yang dapat di kategorikan dalam kejahatan tundak pidana masyarakat yang diantaranya terdapat ciri-ciri sebagai berikut : (1) menggunakan encaman kekerasan, (2) menimbulkan rasa takut terhadap orang banyak, (3) adanay perampasan kemerdekaan, nyawa dan harta benda orang lain. Kata kunci: menelisik, terorisme PENDAHULUAN Terorisme merupakan suatu paham yang berbeda dengan kebanyakan paham didunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme identik dengan aksi teror, kekerasan, ekstrimitas, dan intimidasi, serta sebutan bagi pelakunya disebut dengan teroris. Terorisme acapkali menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tidak sedikit. Ada sasaran yang terorganisir dan intelektual, modus operandinya terencana termasuk menjadikan sandra sebagai “tameng hidup” untuk mensukseskan dan memperlancar aksinya. Nyawa manusia kian menjadi subjek yang tidak dimartabatkan.

PKMP-6-5-2

Meski teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun 11 September 2001, menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika. Peristiwa yang sempat disiarkan secara langsung oleh stasiun Metro TV merelay siaran langsung dari CNN itu sangat mencengangkan. Gambar-gambar yang muncul diTV begitu dramatis, Gedung WTC (Word Trade Centre) yang tampak begitu perkasa runtuh berlahan dan hancur lebur menjadi debu. Ketakutan dan kepanikan mewarnai Amerika. Presiden George. W Bush segera mengumumkan kepada dunia, bahwa Amerika diserang oleh teroris biadab. Teroris tersebut tidak lain adalah Osama bin Laden dan Jaringannya, Al-Qaeda. Terorisme itu adalah islam arab. Sejak itu, “terorisme”menjadi kata yang tidak ada habisnya disebut masyarakat dalam obrolan sehari-hari. Akhirnya Osama bin Laden, dengan Alqaedanya dikejar-kejar, karena dianggap sebagai biang peledakkannya. Tidak hanya Osama, tapi juga Afganistan yang saat itu diperintah rezim Taliban-pun harus dibom bardir oleh Amerika beserta sekutunya karena dianggap melindungi Osama bin Laden. Tragedi di bom di Sari Club dan Pedy’s Club Kuta Legian Bali, 12 Oktober 2002 adalah teror yang layak digolongkan sebagai kejahatan terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi itu adalah bukti nyata bahwa teror adalah perbuatan yang sangat keji yang tidak memperhitungkan, tidak memperdulikan, dan sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang tidak tahumenahu tentang misi dan tujuan pembuat teror telah menjadi korban tak berdosa (Innocent Victim). Rakyat tak berdosa menjadi ongkos manusia yang dimenangkan dan disupremasikan aksi teror yang terjadi di Legian Bali itu meningatkan publik dari kejadian Black Tuesday. Selasa kelabu yaitu tragedi yang menghancurkan simbol kapitalisme negara adikuasa AS berupa menara Word Trade Centre (WTC) dan simbol pertahanan pentagon. Publik menarik benang merah bahwa kasus bom bali dan kasus WTC AS adalah produk gerakan terorisme yang bermaksud merusak perdamaian global, menghancurkan nilai-nilai peradaban, dan mendegradasikan hak-hak asazi manusia (HAM). Kasus peledakan bom di JW Marriot (5 Agustus 2003) yang menewaskan belasan orang dan luka-luka puluhan orang juga makin membenarkan bahwa disamping persoalan teror itu tergolong termasuk persoalan serius bangsa dan dunia, juga disisi lain dampaknya kian terasa oleh masyarakat. Masyarakat akhirnya dicekam ketakutan. Siapa yang tidak takut juga sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang dan tubuhnya bisa hancur ditanggan pelaku terorisme. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dalam tulisan ini memakai pendekatan penelitian hukum yuridis sosiologis. Menurut Kartini Kartono penelitian hukum yuridis sosiologis merupakan aktifitas ilmiah yang menggunakan metode-metode logis dan sistematis, bertujuan mengadakan verifikasi terhadap data-data lama dan menemukan fakta-fakta baru, dengan menjalankan analisis sebab-sebab terjadinya proses, interrelasi dari proses-proses, rangkaian perurutan dari proses-proses, rangkaian perurutan dari proses-proses untuk kemudian menemukan “hukum” atau prinsip umum dari proses sosial tersebut. 2. Metode Pengumpulan data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

PKMP-6-5-3

a. Studi Kepustakaan Suatu cara yang dilakukan dengan mengadakan penelitian dan pemahaman terhadap brosur-brosur, literatur yang berkaitan dengan masalah tersebut. b. Wawancara Suatu cara yang dilakukan dalam mendapatkan pemahaman terhadap masalah tersebut dengan mengumpulkan keterangan-keterngan dari pihak yang terkait masalah tersebut. c. Observasi Observasi biasa dianalogikan sebagai metode Human Instrument, yakni metode di mana dalam pengumpulan dan interpretasi data, keberadaan pemantau secara individual bersifat pro-aktif dan subtansional. Artinya, diantara alat pengumpulan data yang sudah banyak digunakan seperti ceklis, kamera, dan lain sebagainya, posisi pemantau merupakan alat pengumpulan data yang paling utama dan yang paling penting. 3. Metode Penyajian Data Metode yang digunakan dalam penyajian data adalah secara induktif dan deduktif yang dituangkan dalam laporan hasil penelitian dan disajikan dalam bentuk gambaran, konsepsi, teori atau penemuan-penemuan baru yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. 4. Metode Analisis Data Data yang sudah terkumpul akan dibahas dengan menghubungkan variabelvariabel yang saling terkait. Dalam program ini menggunakan analisis kualitatif deskiriptif yaitu data yang diperoleh akan di olah dan di analisa kemudian di inteprestasikan menjadi suatu data yang dapat menggambarkan kondisi secara riil HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Klasifikasi Kekerasan Terorisme. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang juga berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againt humanity). Berbagai gejala dan wacana kita temui dalam menelisik kasus terorisme. Mulai dari dampak isu dan kasus terorisme yang terkecil berupa kegelisahan dan kekawatiran masyarakat, sampai terbentuknya berbagai wacana sosial dalam skala lokal maupun global tentang terorisme itu sendiri. Diantara bentuk tindak pidana terorisme yang paling populer belakangan ini adalah pengeboman, namun kaum teroris juga masih sering menggunakan tindakan teror seperti pembunuhan, penculikan, serangan bersenjata, pembajakan dan penyandraan, serta menggunakan senjata pembunuh massal (kimia, biologi, radio aktif, nuklir/CBRN). Itulah sebabnya sasaran teror tidak hanya individu, melainkan juga organisasi, komunitas tertentu, bahkan negara. Salah satu karakteristik perlakuan masyarakat barat terhadap tindak kekerasan adalah individualistik. Pendekatan yang individualistik ini hanya memperhitungkan faktor-faktor individual yang pada kenyataannya dianggap sebagai pendekatan yang obyektif. Dengan begitu hubungan kausal antara kekerasan yang diamati dan struktur sosial yang melingkupinya dilenyapkan secara sistematis. Konsekuensinya analisis tersebut gagal menelusuri

PKMP-6-5-4

hubungan-hubungan logis antara seorang individu dan kelompok atau kelas sosial dari mana dia berasal. (Jamil salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, 2003) Terorisme seperti yang ditegaskan dalam Convention of the Organitation of the Islamic Conference on Combating International Terorism (1999) sebagaimana dikutib Muladi merupakan tindak kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan mereka, kebebasan, keamanan, kehormatan, dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas integritas teritorial kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara merdeka. Terorisme merupakan kejahatan internasional yang terorganisir (Transnational organized crime), oleh karena itu dalam penanggulangannya membutuhkan kerja sama internasional. Menurut konvensi Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat di kategorikan sebagai Transnational Organized Crime, apabila memiliki karakteristik : a. dilakukan lebih disatu negara, b. dilakukan di satu negara, tetepi persiapan, perencanaan dan pengendalianya mengambil di negara lain, c. dilakukan di satu negara, tetepi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jatingan kegiatan di banyak negara, atau, d. dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya mengimbas sampai negara lain. Bertolak pada Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme mengkalisifikasikan empat jenis perbuatan yang di kategorikan sebagai tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme, yaitu : a. menggunakan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/ atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu. (Pasal 20) b. memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang peradilan atau melakukan penyerangan terhadap saksi termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 21) c. mencegah, merintangi atau menggagalkan secra langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 22) d. saksi atau orang lain yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dpat di ketahuinya identitas pelapor. (Pasal 23 jo Pasal 32) 2. Landasan Pikir dalam Paham Terorisme. Jika kita cermati, ada beberapa motif yang mengakibatkan munculnya tindakan teror, sebut saja yang paling menyolok adalah di dasari pada ekstrimisme idiologi keagamaan. Para teroris ini pada umumnya memiliki sifat radikal, dengan berdasarkan pada agama, karena berkeyakinan dirinya

PKMP-6-5-5

yang paling benar, mereka ingin membangun komunitasnya yang bersih dari dekadensi moral yang telah melanda dunia. Motif lain yang memunculkan tindakan teror adalah separatisme yang diakibatkan oleh nasional kesukuan, yaitu semangat ingin memisahkan diri dari pemeritah pusat. Demi mendapatkan kemerdekaan politik, kelompok seperti ini tidak segan-segan melakukan teror, selain itu ketimpangan ekonomi dan sosial juga bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya terorisme.(Bambang Abimanyu, 2005) Sadar atau tidak, paling dominan, terorisme global dan terkini oleh sejumlah media dan komunitas di identikkan dengan islam. Satu keping lain pula, terjadi penolakan ataupun bisa disebut apologi dari masyarakat agamis islam yang menentang adanya pewarnaan islam dengan terorisme. Dalam pemikiran barat konstruksi pemikiran sebuah identitas islami yaitu jihad hanya dilakukan melalui kekerasan. Meskipun mereka yang terlibat didalam kekerasan jihad itu hanya beberapa saja. Bagi kebanyakan muslim jihad berarti berjuang di jalan Allah dan memiliki dua komponen. Pertama jihad Akbar, yaitu perjuangan secara damai untuk mencapai pemenuhan moral individu dan sosial. Kedua jihad Asghat, yaitu perjuangan bersenjata. (Prof. H Abdurahman Mas’ud Ph.D, 2004). Rasa takut yang berlebihan (fear-morgers) rasanya kian terasa oleh khalayak luas ditengah issue global, sebagaimana diramalkan oleh Sammel P. Huntington dalam suatu buku yang berjudul “Benturan Peradaban-Peradaban” (Class of Civilization) yang cenderung mendasarkan pemikiran pada pemahaman yang tidak memihak tentang konsep jihad. Hal ini kian menyemarakkan bagaimana islam menjadi musuh kapitalisasi, demokrasi dan libelarisasi, sehingga bentukan bahasa terorisme yang mewarnai islam terkesan menambah pencitraan buruk bagi kaumnya. “Jihad merupakan persoalan sangat penting dalam ajaran islam. Jihad dalam islam berjuang dengan segala cara demi tegaknya agama, termasuk didalamnya makna perang. Karena perjalanan sejarah umat islam sejak awal selalu diiringi kisah peperangan melawan musuh hingga kesan jihad lebih kuat dan dominan. Ini pula yang di pakai pihak-pihak anti islam yang mendeskriditkan agama yang suci ini dengan mempropagandakan bahwa islam adalah agama pedang dan peperangan. (Mohammad Chirzin, M.Ag, 2003) Begitu lekatnya islam dengan isu terorisme menambah kegelisahan yang cukup berarti bagi masyarakat Indonesia secara khusus yang mayoritas penduduknya beragama muslim ini. Apalagi dengan tertangkapnya tokoh keagamaan seperti KH Abu bakar Ba’asyir tokoh pesantren besar ngruki kenamaan yang diduga menjadi bagian dari otak rangkaian pengeboman di Indonesia. Terorisme yang selalu diidentikkan dengan kekerasan tak hanya berhenti pada persoalan keislaman saja. Namun sudah berangkat menuju posisi yang saling menyerang dengan berbagai arena pertarungan isu yang lain. Seperti ungkapan-ungkapan yang dilemparkan oleh barat sebagai tandingan keganasan isu terorisme sebagai bagian dalam kekerasan kehidupan. Diukur dari sudut pandang agama, Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik

PKMP-6-5-6

sepenuhnya bertentangan dengan etos agama islam, islam mengajarkan pda etos kemanusiaan yang sangat menekankan pada etos kemanusiaan yang unversal. Islam mengajarkan pada umatnya untuk berjuang mewujudkan keadilan, perdamaian, dan kehormatan, tetepi perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dalam bentuk kekerasan atau terorisme. Islam sebagai agama yang Rahmatan lil Alamin jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (AlGhoyat) termasuk tujuan yang baik sekalipun. Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula tindak kekerasan apalagi teror. Dengan demikian kalau ada tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok islam tertentu sudah barang tentu alasannya bukan karena ajaran etik moral islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut. Dugaan tentang keterlibatan kelompok keagamaan tertentu dalam tragedi terorisme yang acap kali ada setidaknya di tengarai oleh alasan-alasan mendasar yaitu : a. Stigma negatif atas jaringan Al-Qaeda. Ini bermula sejak merebaknya aksi-aksi pengeboman yang di motori oleh Al-Qaeda. Ini menimbulkan pernyataan bahwa Al-Qaeda merupakan organisasi terorisme, pernyataan seperti ini tidak hanya memberikan citra buruk pada Al-Qaeda sebagai organisasi agama tapi juga membawa stigma negatif pada islam , b. munculya kelompok keagamaan di luar mainstream. Kalau selama ini organisasi islam di Indonesia di representasikan oleh NU, Muhammadiyah, yang juga bergerak di bidang kultural namun setelah reformasi muncul organisasi keagamaan yang bergerak di bidang lain, ormas-ormas tersebut lebih cenderung pada gerakan islam politik. Stigma terorisme kepada agama islam, akan mengabaikan terorisme baik itu aktornya negara maupun bukan, tidak hanya di lakukan dikalangan agama islam. Kalangan agama lain pun menghadapai persoalan yang sama. Fundamentalisme, merupakan sebutan atau tudingan yang belum jelas di tujukan kemana, pada pengertian ini maka seorang fundamentalis dapat memegang nilai-nilai teologi dan agamanya pada tataran ajaran eksplisit. Dengan begitu jelas sangat berbeda dengan terorisme karena terorisme selalu menampilkan watak yang hegemonik, anarkis, raja tega, dan radikal. Terorisme tidak selalu identik dengan fundamentalisme, baik dalam kalangan islam maupun diluar islam. KESIMPULAN a. Klasifikasi Kekerasan yang Tergolong dalam Kejahatan Terorisme. i. Kriminalisasi tindak pidana terorisme di Indonesia dirumuskan dalam dua kelompok, yaitu kelompok tindak pidana terorisme dan kelompok tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. ii. TindakPidana lain yang berkaitan dengan terorisme diarahkan kepada tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan atas proses peradilan tindak pidana terorisme. iii. Karakteristik terorisme yang diatur di Indonesia, kejahatan yang : a) Kejahatan yang menggunakan atau ancaman kekerasan,

PKMP-6-5-7

b)

Menimbulkan atau dengan maksud suasana teror atau rasa takut terhadap orang, atau menimbulkan korban yang bersifat massal, c) Dengan cara merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa, dan harata benda orang lain, d) Mengakibatkan atau untuk menimbulkan kerusakan, atau kehancuran terhadapa objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional. iv. Bertolak pada UU terorisme yang telah mengklasifikasikan 4 (empat) jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme, yaitu : a) menggunakan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/ atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu. (Pasal 20) b) memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang peradilan atau melakukan penyerangan terhadap saksi termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 21) c) mencegah, merintangi atau menggagalkan secra langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme. (Pasal 22) d) saksi atau orang lain yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat di ketahuinya identitas pelapor. (Pasal 23 jo Pasal 32). b. Landasan dan Pola Pikir Paham Terorisme. Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah menakut-nakuti dan mengancam, ia tidak bisa di terima dengan akal menusia dan tidak di benarkan oleh semua agama. Di dalam agama memang ada sebuah bentuk kekerasan yang diajarkan tetapi itu merupakan suatu bentuk implementasi hukum (Syariah) seperti masih diakuinya sanksi dalam hukuman mati. SARAN Perlu sesegera mungkin diadakan penggantian atau paling tidak revisi Undang-undang terorisme. Hal-hal yang perl di revisi terutama di prioritaskan terhadap perumusan pemberlakuan surut, pengecualian tindak pidana terorisme dari tindak pidana politik, adanya pendefinisian yuridis tindak pidana terorisme dan penghhindaran kata yang mengandung makna multitafsir. DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia, Grafindo, Jakarta. Abdurahman Prof. H mas’ud PH.D, 2004. Jihad Ala Pesantren Menurut Antropolog Amerika, Gama Media Yogyakarta. Chirzin, Mohammad, M.Ag, 2003. Jihad Menurut Syaidqutub Dalam Tafsir Zilal. Intermedia. Solo. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Panduan Pelaksanaan dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi VI, Jakarta, 2002.

PKMP-6-5-8

Masyhar, Ali. Tesis Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, UNDIP, Semarang 2005. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bima Aksara, Jakarta 1987 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bima Aksara, 2001 Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Silpil, TERORISME, definisi dan regulasi, Imparsial, jakarta, 2003 Salmi, Jamil. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme Pendekatan Baru dalam Melihat Hak-Hak Asasi Manusia, 2003. komite untuk anti kekerasan (KUAK). Yogyakarta. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang Undang-Undang No.16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002, Tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang. Wahid, Abdul, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Rafika Aditama, Bandung, 2004

PKMP-6-6-1

PEMANFAATAN ADSORBEN SERBUK GERGAJI KAYU SENGON PADA KNALPOT SEPEDA MOTOR 4 TAK YANG DIMODIFIKASI SEBAGAI ALTERNATIF PENGURANGAN EMISI Pb DI SURAKARTA Aan Yunianto, Aryadhita Fibrilianto, Dimas Candra Atmaja P MIPA / KIMIA FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta ABSTRAK Pemanfaatan serbuk gergaji kayu sengon selama ini hanya sebagai bahan bakar. Ada beberapa manfaaat lain yang dapat diterapkan pada masyarakat. Salah satunya adalah penggunaan arang aktif serbuk gergaji kayu sengon sebagai adsorben logam Pb pada emisi sepeda motor 4 tak yang selama ini menjadi penyebab timbulnya polusi udara. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memanfaatkan limbah serbuk gergaji kayu sengon menjadi barang yang bernilai tambah khususnya sebagai adsorben. (2) mengetahui efektifitas adsorben serbuk gergaji kayu sengon dalam mengadsorbsi Pb yang terkandumg dalam asap sepeda motor 4 tak. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Sampel adalah Pb yang terkandung dalam asap sepeda motor 4 tak. Teknik analisis sampel dengan metode spektroskopi menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa: (1) serbuk gergaji kayu sengon dapat dijadikan adsorben sehingga mampu menaikkan nilai tambah (2) adsorben dari serbuk gergaji kayu sengon dapat mengadsorbsi Pb pada emisi sepeda motor 4 tak sebesar + 29,4179%. Kata kunci : serbuk gergaji, arang aktif, adsorbsi, emisi Pb. PENDAHULUAN Percepatan pertumbuhan di sektor transportasi dapat dilihat dan dirasakan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, khususnya di wilayah kota Surakarta. Kepadatan arus lalu lintas disebabkan besarnya volume kendaraan yang tidak sesuai dengan ketersediaan ruas jalan yang ada. Kondisi tersebut merupakan faktor utama penyebab kemacetan arus lalu lintas. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah tingginya tingkat polusi udara di lingkungan perkotaan sebagai akibat emisi gas buang sepeda motor. Dilihat dari sumbernya, pencemaran udara terbesar memang berasal dari gas buang kendaraan bermotor, yaitu sebesar 70 % (WALHI, 2000), khususnya sepeda motor 4 tak di kota Surakarta yang mempunyai kontribusi besar terhadap pencemaran Pb, karena jumlahnya yang banyak. Asap sepeda motor tersebut dapat mengeluarkan partikel Pb yang dihasilkan oleh pembakaran bensin. Pb dapat mencemari makanan yang dijajakan di pinggir jalan atau dapat diserap manusia secara langsung melalui pernafasan. Pb dapat merusak jaringan saraf, fungsi ginjal, menurunkan kemampuan belajar dan membuat anak-anak hiperaktif (Juli Soemirat Slamet, 1996:115). Anak-anak menjadi paling menderita akibat pencemaran udara, karena paru-parunya belum berkembang sempurna dan daya tahan tubuhnya belum kuat.

PKMP-6-6-2

Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara di perempatan Nonongan Surakarta oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan pada bulan Juli 2002 diketahui kadar Pb sebesar 0,371 μg/m3 dan pada bulan Desember 2002 sebesar 0,730 μg/m3 berarti selama lima bulan ada peningkatan kadar Pb sebesar 0,369 μg/m3 sehingga dapat diperkirakan pada bulan juli 2005 kadar Pb sebesar 2,657 μg/m3. Angka ini berarti pada bulan Juli 2005 di perempatan Nonongan Surakarta telah melebihi baku mutu SK Gubernur Jateng No. 8 tahun 2001 yaitu sebesar 2.000 μg/m3. Melihat fenomena tersebut, pengurangan polutan berupa logam-logam berat khususnya Pb perlu dilakukan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran tersebut adalah dengan adsorbsi. Maka dalam penelitian ini dilakukan studi tentang karbon aktif dari serbuk gergaji kayu sengon sebagai adsorben untuk penanggulangan emisi Pb pada sepeda motor 4 tak. Mengingat pemanfaatan serbuk gergaji kayu sengon saat ini masih terbatas pada penggunaan konvensional yaitu sebagai bahan bakar tradisional. Di samping itu di Indonesia ada tiga macam industri kayu yang mengkonsumsi kayu dalam jumlah relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu lapis dan pulp/kertas. Dan masih terdapat masalah yaitu limbah penggergajian yang ternyata di lapangan masih ada yang ditumpuk, sebagian dibuang ke aliran sungai sehingga dapat menyebabkan pencemaran air, atau dibakar secara langsung, berarti ikut menambah emisi karbon di atmosfer. Produksi total kayu gergajian di Indonesia mencapai 2,6 juta m3 per tahun (Forestry Statistics of Indonesia, 1997). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk 54,24 % dari produksi total (Martawijaya dan Sutigno: 1990), maka dihasilkan limbah gergajian sebanyak 1,4 juta m3 per tahun; angka ini cukup besar karena mencapai sekitar separuh produksi kayu gergajian. Setelah mengetahui berbagai dampak negatif yang diakibatkan emisi Pb, maka hal yang terpenting adalah bagaimana kita mengupayakan penanggulangan bahaya tersebut, paling tidak meminimalisasi emisi yang ada. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengadsorbsi emisi gas buang sepeda motor khususnya 4 tak menggunakan karbon aktif serbuk gergaji kayu sengon yang selama ini menjadi limbah. Sampel yang akan diuji adalah sepeda motor tipe NF 100D, FD 125 XSD, T 105 ERD yang merupakan jenis sepeda motor penyumbang Pb terbesar karena kuantitasnya yang banyak (hasil observasi di perempatan Nonongan, komplek balai kota dan pemukiman Mojosongo). Untuk mengetahui efektivitas absorben kayu sengon, maka dilakukan pengukuran terhadap emisi knalpot kemudian dilakukan pembandingan antara jumlah Pb sebelum dan sesudah dilakukan absorbsi. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Dapat memanfaatkan limbah serbuk gergaji kayu sengon menjadi barang yang bernilai tambah khususnya sebagai adsorben. 2) Dapat mengetahui efektifitas adsorben serbuk gergaji kayu sengon dalam mengadsorbsi Pb yang teremisi dari asap sepeda motor 4 tak. Manfaat dari penelitian adalah : 1) Memberikan kesadaran bagi industri kayu untuk memanfaatkan limbah serbuk gergaji kayu khususnya kayu sengon.

PKMP-6-6-3

2) Memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilakukan selama 5 (lima) bulan, mulai Januari s.d. Mei 2006, di Sub. Lab. Kimia UPT Laboratorium Pusat MIPA dan Laboratorium FKIP P.MIPA Program Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah : Alat - Erlenmeyer 250 mL - Labu ukur 1000 mL - Gelas beker 500 mL - Kaca arloji - Pengaduk - Gelas ukur 200 mL - Timbangan analitik - Pipet tetes dan pipet volume - Spektrofotometer Serapan Atom - Muffle furnace - Kertas saring - Krus porselin - Blender - Sepeda motor 4 tak - Termometer - Impinger 50 mL - Pengepres Bahan - Serbuk gergaji - Akuades bebas ion - H3PO4 20 % - HNO3 1 N - Bensin - Steinless steel - Mur dan Baut - Tepung Tapioka Metode penelitian yang digunakan adalah dokumentasi, observasi dan eksperimen dengan melakukan percobaan di laboratorium dengan urutan kerja sebagai berikut: 1) Pembuatan adsorben • Mencuci serbuk gergaji dengan air bebas ion dan mengeringkannya. • Memanaskan serbuk gergaji dalam Muffle Furnace pada suhu 200o C selama 12 jam. • Menghaluskan hasil pemanasan tadi sehingga diperoleh partikel halus. • Mengayak sampai mendapatkan serbuk yang halus.

PKMP-6-6-4

2) Pengaktifan adsorben • Menyiapkan gelas beker 500 mL yang diisi larutan aktivator yaitu H3PO4 20%. • Memasukkan serbuk gergaji yang halus ke dalam gelas beker tersebut. • Merendam selama 4 jam pada suhu kamar. • Menyaring . • Mengeringkan dalam oven pada suhu 120 oC selama 12 jam. 3) Pemadatan karbon Setelah karbon aktif siap, langkah selanjutnya adalah pengepresan, dan untuk mengikat serbuk karbon aktif tersebut digunakan tepung tapioka. 4) Pembuatan alat adsorben dan penempelan pada lempengan steinless steel Karbon aktif yang sudah dipadatkan kemudian ditempelkan pada lempengan steinless steel (alat adsorben). 5) Pemasangan pada knalpot Pemasangan alat adsorben tersebut pada knalpot dilakukan dengan merangkai sedemikian rupa sehingga adsorben dapat terpasang pada plat. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan yang didukung oleh informasi dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta, terdapat 3 (tiga) titik yang merupakan kawasan padat lalu lintas. Observasi pada pukul 16.00 s.d. 17.00 WIB menunjukkan jumlah sepeda motor 4-tak : a. Di perempatan Nonongan sebanyak 762 unit b. Di kompleks Balaikota Surakarta sebanyak 658 unit c. Di pemukiman Mojosongo Rt 4 Rw 1 Surakarta sebanyak 571 unit Sehingga, di ketiga titik tersebut dapat diduga terjadi akumulasi polusi udara yang cukup besar. Industri kayu sengon yang diambil sebagai sampel adalah kompleks industri kayu sengon yang berada di Jebres dan Karangpandan kota Surakarta. Industri tersebut bekerja pada bidang furniture yang biasanya berupa meja, kursi, almari, rak, dan lain-lain. Berdasarkan hasil pengamatan, industri pengolahan kayu sengon tersebut setiap hari dapat menghasilkan + 3 (tiga) kuintal limbah yang berupa serbuk gergaji. Pemanfaatan limbah serbuk gergaji selama ini hanya digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga. Oleh karena itu peneliti sengaja memilih limbah serbuk gergaji kayu sengon sebagai bahan tepat guna dalam mengurangi polusi udara yang diakibatkan oleh logam berat khusunya timbal (Pb) dalam bentuk arang aktif. Dalam penelitian ini dilakukan adsorbsi oleh arang aktif serbuk gergaji kayu sengon terhadap Pb pada emisi sepeda motor 4 tak. Pembuatan adsorben dilakukan melalui proses pengarangan dimana serbuk gergaji kayu sengon diarangkan di dalam oven. Suhu yang digunakan untuk pengarangan adalah 200oC selama 12 jam, karena jika suhu yang lebih tinggi dari suhu tersebut arang akan terbakar lebih lanjut dan berubah menjadi abu, sehingga hasil yang diperoleh menjadi sedikit. Pada proses pengaktifan digunakan aktivator larutan asam fosfat (H3PO4) 20 %. Arang serbuk gergaji kayu sengon direndam dalam larutan asam

PKMP-6-6-5

fosfat (H3PO4) 20 %, perendaman dilakukan selama 4 jam setelah itu disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 500o C selama 1 jam. Penggunaan asam fosfat sebagai aktivator karena asam fosfat merupakan asam kuat, dimana kekuatan asam kuat berpengaruh terhadap residu, yaitu asam kuat mampu melarutkan bahan-bahan anorganik seperti oksida dan ion logam yang mungkin tercampur dan melekat pada sampel sehingga pori-pori di permukaan partikel akan terbuka luas. Tabel 1. Adsorbsi Pb pada emisi Sepeda Motor 4-tak Tipe Sepeda Motor C 100 NF 100 D FD 125 XSD T 105 ERD

Ci (ppm) 0,6314 0,4629 0,4523 0,4442

Cf (ppm) 0,4050 0,3240 0,3475 0,3169

Cb (ppm) 0,2264 0,1389 0,1048 0,1273

% Pb terserap 35,8534 30,0065 23,1631 28,6486

Keterangan : Ci = [Pb]i = konsentrasi logam Pb awal Cf = [Pb]f = konsentrasi logam Pb akhir Cb = [Pb]b = konsentrasi logam Pb terserap Proses selanjutnya yaitu pengepresan. Arang serbuk dicampur terlebih dahulu dengan perekat larutan tapioka dengan perbandingan 10 : 1. Setelah proses pencampuran, langkah selanjutnya adalah mencetak arang dalam bentuk silinder dengan diameter 70 mm dan ketebalan + 4 mm kemudian memanaskannya selama 15 menit pada suhu + 150 0C sampai kering. Sebelum pengontakan dengan emisi Pb, lempeng arang aktif dirangkai dengan plat stainless steel. Pada proses penangkapan Pb yang terkandung dalam emisi sepeda motor, peneliti menggunakan HNO3 1 N sebagai pelarut. Hal ini dikarenakan HNO3 mampu mengikat Pb menjadi Pb(NO3)2 (Vogel, 1990: 207). Selanjutnya larutan diukur konsentrasinya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (Atomic Absorbtion Spectrophotometre). Dari hasil adsorbsi, serbuk gergaji kayu sengon mempunyai sisi aktif (active sides) pada dinding permukaan partikel arang aktifnya sehingga mampu mengadsorbsi Pb. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil percobaan yang menunjukkan bahwa konsentrasi Pb sesudah diadsorbsi lebih kecil daripada sebelumnya. Partikel Pb keluar melalui knalpot bersama asap. Partikel tersebut kemudian mengalir menuju tempat penampung berisi larutan HNO3 1 N yang akan mengikat Pb. Pada proses adsorbsi, sebelum menuju penampung, partikel Pb dikontakkan dengan adsorben arang aktif serbuk gergaji kayu sengon sehingga sebagian partikel Pb teradsorbsi karena adanya active sides pada adsorben. Menurut Pari, 1999, arang aktif dapat digunakan dalam penyerapan gas hal ini dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Penggunaan Arang Aktif untuk Penyerapan Gas Maksud/Tujuan

PKMP-6-6-6

UNTUK GAS 1. Pemurnian gas

2. Pengeolahan LNG 3. Katalisator 4. Lain-lain

Pemakaian Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk, asap, menyerap racun. Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah dan reaksi gas. Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida dan vinil asetat. Menghilangkan bau dalam kamar pendingin dan mobil (Pari, 1999)

Dari data hasil penelitian dapat diketahui bahwa serapan Pb pada masingmasing sepeda motor mempunyai nilai yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1. Diagram Serapan Pb 40

35.8534

Serapan (%)

35

30.0065

28.6486

30 23.1631

25 20 15 10 5 0 C 100

NF 100 D

FD 125 XSD

T 105 ERD

Jenis Sepeda Motor

Gambar 1. Diagram serapan Pb pada setiap jenis sepeda motor. Pada sepeda motor tipe C 100 Pb yang teradsorbsi sebesar 35,8534% sedangkan pada tipe FD 125 XSD hanya 23,1631%. Hal ini terjadi karena Pb yang dihasilkan oleh sepeda motor tipe C 100 lebih banyak sebagai akibat dari kondisi putaran mesin yang lebih besar (pada putaran rendah mesin kurang stabil). Perbedaan hasil adsorbsi terjadi karena perbedaan kondisi mesin khususnya pada putaran mesin, semakin tinggi putarannya semakin banyak bahan bakar yang digunakan, maka Pb yang dihasilkan akan semakin besar pula. Selain itu perbedaan kemampuan karburator dalam menginjeksi bahan bakar pada busi sepeda motor, jika karburator normal maka injeksi bahan bakar pada busi tidak akan tersendat atau berlebihan (Republika, 2006). KESIMPULAN 1. Serbuk gergaji kayu sengon dapat dijadikan adsorben sehingga mampu menaikkan nilai tambah.

PKMP-6-6-7

2.

Adsorben dari serbuk gergaji kayu sengon dapat mengadsorbsi Pb pada emisi sepeda motor 4 tak sebesar + 29,4179%.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Forestry Statistic of Indonesia. Secretary General of Forestry. Ministry of Forestry and Estate Crops, Bureau of Planning, Jakarta. Castellan, G.W. 1983. Physical Chemistry. Third Edition. Canada: Addition Publishing Company. Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi. 1999. Statistik Perminyakan Indonesia www.bonet.co.id/dephut/statis2. Diakses tanggal 22 Juni 2005. Juli Soemirat Slamet. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press. Martawijaya, A. and P. Sutigno (1990, January 22). Increasing the efficiency and productivity of wood processing through the minimization and utilization of wood residues. Seminar on Wood Technology, Jakarta. (in Indonesian). Nana Sudjana dan Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Oedjijono dan Agus Irianto. 2000. Immobilisasi Logam Cu, Pb, dan Hg Oleh Baacillus S3P5. Majalah Ilmiah UNSOED. No 2: 45-54. Othmer, K. 1991. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. 1, 4th ed. USA: John Wiley and Sons. Pari, G. 1996. Pembuatan Karbon Aktif dari Serbuk Gergajian Tusam untuk Penjernih Air Sumur dan Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (2): 69-75. _______ .1996. Pembuatan karbon aktif dari serbuk gergajian sengon dengan cara kimia. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (8): 308-320. _______ .1999. Karakterisasi karbon aktif dari karbon serbuk gergaji sengon dengan NH4HCO3 sebagai bahan pengaktif. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (2):89-100. _______ .2002. Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Kayu. Makalah Falsafah Sains. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Primaharinasti, Riesta. 2004. Pemanfaatan Limbah Serbuk Kayu Meranti (Shorea spp) Untuk Eliminasi Cemaran Logam Berat Beracun Timbal (Pb). Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Santoso.1992.Budidaya Sengon.Yogyakarta:Kanisius Soekardjo. 1985. Kimia Fisika. Jakarta: Bina aksara. Svehla, G. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta. PT Kalman Media Pustaka.

PKMP-6-7-1

STUDI KEMAMPUAN HUTAN KOTA DALAM PENYERAPAN KARBON (CARBON SEQUESTRATION) (STUDI KASUS DI KAMPUS UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA) Jany Tri Raharjo; Chollis Munajad; Pamungkas Aji; Dian Asih K Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK Isu pemanasan global sekarang menjadi salah satu fenomena yang mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Emisi gas karbon dioksida dari waktu ke waktu semakin meningkat terutama di daerah perkotaan. Di lain pihak konversi lahan atau ruang terbuka hijau menjadi penggunaan lain di perkotaan semakin meningkat seiring pertambahan penduduk. Jumlah karbon yang semakin meningkat akan mempercepat pemanasan global. Dampak pemanasan global sangat besar terhadap perubahan iklim dunia dan kenaikan permukaan air laut. Hutan kota menjadi salah satu kawasan yang dapat berfungsi untuk mengendalikan pemanasan global dengan kemampuannya dalam menyerap karbon. Berkaitan dengan Kesepakatan Kyoto, hutan kota dapat dikembangkan sebagai kawasan yang dapat diikutsertakan dalam perdagangkan karbon. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung jumlah karbon yang mampu diserap oleh tegakan hutan kota. Penelitian dilakukan di hutan kota Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, yaitu Arboretum Fakultas Kehutanan, Arboretum Fakultas Biologi, tegakan pinus bunderan UGM dan Lembah UGM. Inventarisasi jenis penyusun hutan kota di lakukan dengan survey 100%. Metode perhitungan menggunakan metode alometrik biomasa Brown (1997). Parameter penelitian yang diperlukan adalah diameter pohon setinggi dada (1.3 m), tinggi total pohon, dan jenis tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan kota di kampus UGM mampu menyerap karbon sebesar 16.94668 ton dengan jumlah pohon sebanyak 1131 pohon. Ini membuktikan bahwa hutan kota di kampus UGM mempunyai peran yang besar dalam mengendalikan pemanasan global. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan hutan kota di kawasan perkotaan. Pengembangan hutan kota perlu memperhatikan pemilihan jenis yang akan di tanam Kata kunci : karbon, biomasa, pemanasan global, hutan kota. PENDAHULUAN Isu pemanasan global sekarang menjadi salah satu fenomena yang di mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Emisi gas karbon dioksida dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pemanasan global di picu oleh efek rumah kaca yang terjadi akibat pemantulan sinar matahari oleh bumi yang tidak dapat di teruskan karena tertahan oleh lapisan polutan berupa gas yang mengambang di atmosfer. Gas-gas tersebut antara lain CO2, maupun NO2. Menurut Fardiaz (1995), karbon monoksida menjadi polutan utama dari polusi yang yang ada di udara dan kandungannya mencapai hampir setengah dari seluruh polutan udara yang ada. Sumber emisi karbon di atmosfer di sebabkan oleh aktivitas manusia seperti dari transportasi, pembakaran minyak, gas, arang dan kayu, proses-proses idustri dan penebangan serta kebakaran hutan.

PKMP-6-7-2

Pertumbuhan kandungan karbon dioksida dari tahun 1990 hingga 2018 di perhitungkan mempunyai angka pertumbuhan rata-rata 6,9% (world Bank, 1993 dalam Fandeli, 2004). Bahaya emisi dari karbon dapat menyebabkan kematian jika kontak yang terjadi cukup lama. Namun demikian, kontak karbon dengan manusia pada konsentrasi yang relatif rendah juga dapat mengganggu kesehatan. Dampak terhadap kesehatan antara lain gangguan sistem syaraf, perubahan fungsi jantung, pingsan bahkan sampai kematian (Fardiaz, 1995). Di satu sisi, hutan yang diharapkan menjadi pengendali pemanasan global, kondisinya semakin mengkhawatirkan. Penjarahan hutan (illegal logging) dari waktu ke waktu semakin marak. Akibatnya angka kerusakan hutan sudah mencapai total luasan 101,79 juta hektar dengan laju kerusakan mendekatai 3,8 juta hektar per tahun (Badan Planologi Kehutanan, 2003 dalam Iskandar dan Nugraha, 2004). Kerusakan hutan disinyalir di sebabkan kuatnya paradigma bahwa hutan adalah kayu (timber oriented). Hutan masih sekedar di lihat dari nilai tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu bulat untuk kayu lapis atau perabot rumah yang di ekspor. Padahal hutan juga penghasil intangible produk yang apabila di hitung, nilai ekonomi dan ekologisnya lebih tinggi dari nilai ekonomis kayu (tangible product). Nilai intangible hutan antara lain sebagai pencegah banjir di musim hujan dan penyimpan air di musim kemarau. Hutan juga merupakan penyerap karbon dan pelepas udara bersih atau lebih di kenal sebagai paru-paru dunia. Merespon isu pemanasan global, di tingkatan internasional telah melakukan berbagai kesepakatan sebagai antisipasi seperti adanya konsep dalam Scheme Debt For Nature Swap (DNS) atau pendanaan konservasi melalui penghapusan utang, menilai secara ekonomis suatu lingkungan (enviromental valuation), pajak konservasi (conservation tax) dan yang terbaru adalah kessepakatan mengenai perdagangan karbon (carbon trade) yang di kenal dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memperjelas adanya pasar bagi pemanfdaatan hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui penyerapan karbon termasuk bagi Indonesia. Protokol Kyoto merupakan kesepakatan internasional untuk menurunkan emisi karbon di atmosfer, dimana untuk menstabilkan konsentrasi CO2 negara-negara maju bersepakat untuk menekan tingkat emisi mereka ke tingkat sekitar rata-rata 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode komitmen pertama tahun 2008-2012 (Murdiyarso, 2003). Hutan kota termasuk salah satu kawasan yang dapat di kembangkan untuk mengikuti berbagai kesepakatan internasional di atas. Salah satu fungsi hutan kota adalah sebagai penyerap karbon baik karbon monoksida maupun karbon dioksida di atmosfer (Fandeli, 2004). Kalau dilihat dari nilai tangible, produk kayu hutan kota dapat di katakan rendah karena memang batang yang dihasilkan mempunyai kualitas yang tidak bagus. Namun manfaat (intangible) hutan kota sebagai penyedia jasa lingkungan-salah satunya penyerapan karbon-akan memberikan nilai ekonomis yang tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan studi untuk mengetahui kemampuan hutan kota dalam menyerap karbon sekaligus mengkuantifikasikan nilai intangible hutan kota Fandeli (2001) mendefinisikan hutan kota sebagai sebidang lahan di dalam kota atau sekitar kota yang ditandai atas asosiasi jenis tanaman pohon yang kehadirannya mempu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan diluarnya. Didalam definisi ini tidaklah mempermasalahkan luas dan kerapatannya, tetapi

PKMP-6-7-3

yang penting adalah kumpulan pohon itu mampu membentuk iklim mikro yang spesifik seperti suhu, kelembapan, intensitas sinar matahari, arah dan kecepatan angin. Menurut Grey dan Deneke (1986), hutan kota sebagai lahan dalam kota yang terdiri dari komponen fisik dengan vegetasi berupa pohon dengan lingkungan yang spesifik. Pengertian hutan kota menurut Dahlan (1992) menekankan bahwa saluruh kota dapat merupakan hutan kota. Menurut Fandeli (2004), berbagai definisi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan, yaitu pandangan terhadap hutan kota sebagai suatu areal yang kompak dan rapat sebagaimana halnya wujud hutan yang merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau dan pandangan tentang hutan kota yang menganggap kota sebagai suatu kawasan hutan yaitu setiap lahan yang berpotensi untuk ditanami pohon dapat diupayakan, sehingga tanpa lahan yang luas dapat mewujudkan hutan kota. Menurut Fandeli (2004), hutan kota mempunyai kemampuan untuk menjaga keseimbangan ekologis yaitu sebagai suplier oksigen, penangkal polutan, peredam kebisingan, pengatur iklim, habitat fauna, pengatur tata air, sarana pendidikan dan penambah estitika perkotaan. Irwan (1997) membagi fungsi hutan kota menjadi tiga yaitu fungsi lanskap, fungsi pelestarian lingkungan dan fungsi estetika. Menurut Ginoga (2004), pada ekosistem hutan, karbon terakumulasi pada biomassa tegakan terutama bagian batang dan besarnya biomassa karbon tergantung pada keadaan musim. Lebih lanjut Ginoga menyatakan bahwa laju penyerapan karbon tergantung dari waktu dan variari pertumbuhan pada setiap spesies. Berdasarkan hasil penelitian Boyce (1995) seperti di kutip Fandeli (2004), menunjukkan bahwa pada bagian tubuh pohon dan tegakan pohon di atmosfer ternyata memiliki kandungan karbon yang tidak sama antara berbagai bagian tubuh pohon. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah karbon yang terdapat pada daun justru paling sedikit dan terbanyak terdapat pada batang. Meskipun karbon pertama kali di serap oleh daun pada proses fotosintesis, tetapi sebagian besar di timbun pada batang. Dengan demikian biomassa karbon pada tegakan dapat di dekati dengan pengukuran volume pohon. Seperti di ungkapkan Ginoga (2004), perhitungan karbon yang umum di lakukan pada saat ini adalah pendekatan biomassa karbon melalui penghitungan volume pohon. Hal ini di karenakan, pendekatan tersebut mempunyai tingkat akurasi yang relatif tinggi, mudah di lakukan dan mudah untuk di verifikasi. Karbon yang terdapat di akar dan di dalam tenah relatif kecil, oleh karena itu karbon di akar dan di dalam tanah dapat di abaikan (Ginoga, 2004; Boyce, 1995 dalam Fandeli, 2004). Namun cara tradisonal yang bisa di adopsi untuk memperkirakan besarnya karbon adalah dengan memperkirakan biomassa akar sebesar 10- 15% dari biomassa batang pohon (Mac Dicken, 1997 dalam Ginoga, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk menghitung jumlah karbon yang mampu diserap oleh tegakan hutan kota. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain (1) menimbulkan kesadaran pada masyarakat bahwa hutan tidak bernilai tangible saja namun juga mempunyai nilai intangible yang lebih besar; (2) menimbulkan kemauan masyarakat untuk menanam pohon dan menggalakan pembangunan hutan kota; (3) tersedianya data mengenai kemampuan hutan kota dalam menyerap karbon, dan (4) sebagai bukti dalam

PKMP-6-7-4

mengupayakan alternatif pendanaan bagi kelestarian hutan seperi Debt For Nature Swap maupun Carbon Trade. METODE PENDEKATAN Penelitian ini dilaksanakan di hutan kota yang berada di sekitar kawasan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu (1). arboretum Fakultas Kehutanan; (2). arboretum Fakultas Biologi; (3). kawasan Lembah UGM; (4). Tegakan Pinus di bunderan UGM. Penelitian di laksanakan kurang lebih selama 2 bulan pada tanggal 13 Maret – 15 Mei 2006. Bahan dari penelitian ini berupa berbagai tipe hutan kota yang ada di kawasan kampus UGM. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pita ukur untuk mengukur keliling pohon, Hagameter untuk mengukur tinggi pohon, tally shett untuk mentabulasikan data hasil pengukuran, kapur untuk memberi tanda pada pohon yang sudah diukur dan alat tulis menulis. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang di peroleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan langsung dari lapangan yaitu data diameter pohon setinggi dada (1.3 m), tinggi total pohon, dan jenis tanaman. Berat jenis tanaman didapatkan dari data sekunder baik dari literatur maupun hasil penelitian. Inventarisasi tegakan hutan kota dari lokasi terpilih di lakukan dengan survey 100%. Data hasil pengukuran ditabulasikan dalam tally shett termasuk inventarisasi terhadap jenis pohon. Kemudian hasil tabulasi data dalam tally sheet dapat digunakan untuk mencari jumlah karbon yang diserap pohon. Model penghitungan karbon yang di gunakan dalam penelitian ini adalah model yang bersifat manual yaitu dengan menggunakan pendekatan perhitungan biomasa pohon. Model manual yang di pakai adalah model manual alometrik biomasa Brown (1997) dalam Ginoga (2004) dengan persamaan : C = 0.45 (0.049*ρ* D2 *H) Dimana C adalah jumlah karbon, ρ adalah berat jenis kayu, D adalah diameter setinggi dada (1.3 m), dan H adalah tinggi total pohon. HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Yogyakarta yang memiliki luas wilayah 32,5 km², mendapat arus migrasi penduduk yang cukup tinggi terutama dari sektor pendidikan. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta berdasarkan registrasi jumlah penduduk tahun 2002 berjumlah 510.914 orang, dengan kepadatan penduduk rata-rata 15.720 jiwa per km² (BPS, 2003). Jumlah penduduk yang semakin banyak tersebut tentu saja menuntut ketersediaan pemukiman dan fasilitas lainnya sehingga akan semakin meningkatkan konversi lahan atau ruang terbuka hijau perkotaan ke penggunaan lain yang secara ekonomi lebih menjanjikan. Kondisi tersebut dapat mempercepat terjadinya penurunan kualitas udara karena semakin meningkatnya jumlah partikel pencemar di udara akibat aktivitas manusia. Hutan kota di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) mempunyai potensi untuk mengurangi jumlah partikel pencemar udara, terutama partikel karbon. Lokasi hutan kota berupa tegakan pinus di bunderan UGM mempunyai komposisi jenis yang seragam (monokultur) yaitu pohon pinus (Pinus Merkusii)

PKMP-6-7-5

dengan jumlah pohon sebanyak 21 batang. Jumlah pohon dan jumlah karbon yang mampu diserap oleh tegakan pinus tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Jumlah pohon di hutan kota Bunderan UGM

jumlah pohon

25

21

20 15 10 5 0 Pinus merkusii Jenis Pohon

Gambar 1. Jumlah pohon pada hutan kota Bunderan UGM.

Jumlah Karbon tiap jenis di Bunderan UGM

Jumlah Karbon

600

552.43

500 400 300 200 100 0 Pinus Merkusii Jenis Pohon

Gambar 2. Jumlah karbon yang diserap pohon Pinus di Bunderan UGM. Dari grafik tersebut bahwa tegakan pinus di bunderan UGM mampu menyerap karbon sebesar 552,43 kg dengan jumlah pohon sebanyak 21 batang. Jumlah pohon yang hanya sedikit mempengaruhi jumlah karbon yang diserap, apalagi kawasan bunderan UGM merupakan kawasan dengan tingkat kepadatan transportasi yang tinggi. Jenis pinus yang merupakan jenis pohon jarum juga menjadi faktor penentu kemampuan pohon dalam menyerap pohon. Pohon berdaun jarum mempunyai daun yang kecil sehingga jumlah dan ukuran stomata juga kecil yang mengakibatkan kemampuan menyerap karbon lebih rendah dikarenakan proses fotosintesis yang lebih rendah.

PKMP-6-7-6

Berbeda dengan tegakan pinus di bunderan UGM, lokasi di Arboretum Fakultas Kehutanan mempunyai komposisi jenis yang bermacam-macam (polikultur) dengan jumlah pohon yang lebih banyak sehingga mempunyai kemampuan menyerap karbon yang lebih besar. Jumlah pohon dan macam jenis serta kemampuan dalam menyerap karbon dari Arboretum Fakultas Kehutanan UGM dapat di lihat di gambar 3 dan gambar 4. Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM

Ad en an Ar th to ca era sp rp u Ce s in p te ib a gr pe a nt a nd Eu De lo ra ca ni k lyp re tu g s d e ia G m gl up el in ta a Hi ar Le b is c bo u re uc a a e s ti M l ia n el a ce al l eu us eu co ca c ep le uc al a ad Pa e rk n d ia ro ro xb n Pi ur nu oh s ii m e Pt rk er us ig ii ot a a la Sw Sh ta or ei ea te ni sp a p m Ta ah m ag ar in du oni s in di ca

Jumlah Pohon

180 153 160 140 120 100 80 62 61 56 49 60 26 40 13 6 10 6 1 1 5 6 20 2 1 1 10 2 6 3 2 2 1 3 5 3 1 1 1 0

Jenis Pohon

Gambar 3. Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM.

82.25

43.05

3.41

1185.06

89.91

65.93

951.46

571.12

56.61

2.07

914.66

17.95

53.97

28.96

67.40

18.52

127.25

57.43

3.67

5.92

31.86

A

de na nt he A rto ra ca sp rp p us i n C te ei gr ba a pe nt an dr D a el E on uc ik al re yp gi tu a s de gl G up m ta el in a ar H bo ib isc re a Le us uc til ia ae c na eu M s le el uc al eu oc ca ep al le a uc ad e P n ar dr ki on a ro xb ur Pi oh nu ii s m er ku P si te i rig ot a al at a S ho Sw r ea ei te sp ni p a m a Ta ha m go ar ni in du s in di ca

0.00

1011.62

1000.00

1.84

2000.00

160.56

3000.00

32.56

4000.00

18.35

5000.00

2966.72

Jumlah Karbon

6000.00

93.51

7000.00

2359.69

5923.37

Jumlah karbon yang di serap tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM

Jenis Pohon

Gambar 4. Jumlah karbon yang diserap tiap jenis di Arboretum Fak. Kehutanan UGM. Dari gambar 3 terlihat bahwa hutan kota di Arboretum Fakultas Kehutanan UGM mempunyai jumlah pohon sebanyak 499 pohon. Jumlah pohon tersebut terdiri dari beraneka macam jenis (ada 30 jenis) sehingga tingkat keanekaragaman hayati di Arboretum Fakultas kehutanan UGM lebih tinggi di banding di lokasi tegakan Pinus bunderan UGM. Jenis di Arboretum tersebut di dominasi oleh pohon pohon berdaun lebar antara lain pohon flamboyan (delonix regia) dengan

PKMP-6-7-7

jumlah pohon 153 pohon, Adenantara sp (62 pohon), dan Pterygota alata (61 pohon). Jenis-jenis tersebut juga mempunyai kemampuan menyerap karbon yang tinggi seperti terlihat pada gambar 4. Kemampuan yang tinggi tersebut dikarenakan ketiga jenis tersebut mempunyai pertumbuhan yang baik, jika dilihat dari ukuran batang. Ketiga jenis tersebut termasuk jenis yang sesuai untuk di tanam pada lokasi Arboretum Fakultas Kehutanan UGM. Kondisi yang tidak berbeda jauh dengan hutan kota di Arboretum Fakultas Kehutanan UGM, ditemui di hutan kota yang terletak di Arboretum Fakultas Biologi UGM. Hutan kota di Arboretum Biologi, juga terdiri dari bermacammacam jenis (51 jenis), dengan jenis yang paling banyak adalah mahoni (Sweitenia mahagoni), Melina (Gmelina arborea) dan juga Flamboyan (Delonix regia). Kondisi selengkapnya mengenai jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fakultas Biologi UGM dapat di lihat di gambar 5. Jumlah pohon yang banyak dari suatu jenis menyebabkan jumlah karbon yang mampu diserap juga lebih banyak. Di hutan kota Arboretum Fakultas Biologi UGM, jenis yang mampu menyerap karbon paling besar adalah (Langerstromia londoni), kemudian jenis mahoni, flamboyan (Delonix regia), kenari (Canarium spp) dan meranti (Shorea selanica). Kemampuan penyerapan setiap jenis dari hutan kota di Arboretum Biologi UGM secara lengkap dapat di lihat di gambar 6.

Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Biologi UGM

Av e

rrh oa Al bil im a As cis b em g i i L ne ( n Du Di Tam sis c a ria h r Fl n ( r oa in s am Du sy p) bo rio iva ti ya n zibe ca (D th i el on nus M G ) i k ela m leu eli r eg ia) na c a M Lan a le ge uc rbo ah re r a on i ( str o den a Sw em dr on i e M iten a lo n ac i ar a m don an i a h ga a de gon nt i Po O ic ) do r ed ula ta e Ra ca nd r pu oxa u r s ( C ne egi rii a ei f b Sh a p oli u o Sp r ea enta s nd ath se ol lan r a) ea ic co a s Ve mp pp. ith anu ch l ia ata jo an ni s

38 40 35 28 30 22 22 22 25 18 17 Jumlah 20 15 12 pohon 15 11 11 10 9 7 10 6 5 5 4 4 44 4 45 3 2 2 1 2 11 5 2 2 22 2 11 2 1 1 2 11 1 1 1 1 12 1 0

Jenis pohon

Gambar 5. Jumlah pohon tiap jenis di Arboretum Fakultas Biologi UGM. Untuk hutan kota di lembah UGM, juga tersusun atas banyak jenis pohon (28 jenis). Hampir sama lokasi hutan kota yang lain, jenis pohon yang dominan di kawasan Lembah UGM adalah melina (Gmelina arborea), flamboyan (Delonix regia), mahoni (Swietenia sp), dan sono keling (Dalbergia latifolia). Jumlah pohon tiap jenis di lokasi Lembah UGM dapat dilihat di gambar 7.

ja w a

0

(T am ar A Ak in ng as du sa ia si na (A nd (P cc ic te ai us ro a c ) ca o C rp nf B em u u un s i sa gu ara nd ) r ( (C ic La as us ge ua ) rs rin tro a Fl Eu s em p am ca ) ia bo lyp sp ya tu p) n sd (D eg el l B on upt er in ix a gi re n gi (F a) ic us sp p) G G K Ja m lod ay el ti o u pu J (Te ina kan a tih oh ct r (M ar ( ona bor el Sam gr ea ae an and u ca e La is le a sa ) m K uc m to en r ad an M o (L ari en ) ah dr e (C on uca an on i( ) e a Sw na rium l e ie uc sp t en M oc p) lin ia ep m M jo ( ac ala) an G ro gg ne ph tu a yl (M m a) an gn N gi em an M fe on gk er r a a an in ) (A ti di trh (Sh ca oc or ) ar ea pu s s i pp nt ) e Pi gr nu a) sm R a Se nd Pte erk u r So ngo (C igo usii ei ta no n ke (A ba ala lin lbi pe ta ta z g (D zia nd al fal ra) be c rg ata ri ia Tr Te la a) em rm tif ol in b ia W esi alia ) (C ar u a ca (H ssi tta p a ib si a is cu am e st ili a) ac eu s)

A se m

Jumlah Pohon ja w a( Ta A Ak mar ng as i sa ia ndu na (A s (P cc ind te ai ro a icus Bu Cem car con ) ng ar pus fus a) ur a ( i (L Ca ndi ag su cus er ari ) s Fl Eu tro na am ca sp e bo lyp mia ) ya tu s n s d pp) ( Be De eglu rin lon pt gi ix a n (F regi a ic us ) s G Gl pp) K m J o ay at el do i u pu Jo (Te ina kan tih ha ct ar (M r (S ona bor el am gr ea ae a La uc ane ndi s a m a to Ken leu sa ) m r a o c M r a a ah (Le i (C den n) on uc an dr i ( ae ar o Sw na iu n) m M iete leuc sp lin ni o p) M jo a m cep a an (G a gg ne cro la) p a ( tu M m hyla N g an M ang ne ) gk era ife mo a ( nt ra n) i A i( trh Sh ndi oc or ca) ar ea pu sp s p Pi int ) nu eg s m ra) Ra Se nd Pte er So ngo u (C rigo kus no n ta ii e ke (A iba al lin lbi pe ata zz ta g (D ia nd al fa ra) be lc a Tr Te rgia tari em rm la a) be ina tifo W si lia lia ar u (Ca ca ) (H ss tta p ib ia isc sia a us m til ea) ia ce us )

A se m

Jumlah Pohon

PKMP-6-7-8

70

Jumlah pohon tiap jenis di Lokasi Lembah UGM

60 59

50

40

30 33

20 20

10 1 4

20 20

10

1

4

5

5

3

33

3 4

4

5 2

60

6

5

2

1 5

33

6

1

1

5

33

18 17

1 4 2

4

1

2

3

1

5

3

4

5

3

4

Jenis Pohon

Gambar 7. Jumlah pohon tiap jenis di kawasan Lembah UGM. 2 8

0

3

2

Jenis Pohon

Gambar 6. Jumlah karbon yang diserap tiap jenis di Arboretum Fak. Biologi UGM

Kemampuan menyerap karbon dari masing-masing jenis di kawasan lembah UGM dapat dilihat pada gambar 8. Dari gambar 8 terlihat bahwa jenis yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar antara lain jenis trembesi (Cassia simea) dan melina (Gmelina arborea)

70

Jumlah pohon tiap jenis di Lokasi Lembah UGM

59

50

40

30 33 33

18 17

2

8

2

PKMP-6-7-9

As em

ja w a An gs an a Bu ng Fl am ur bo ya G n lo do ka n

1043.79

27.91

129.13

658.75

713.88 76.05 7.03 26.63 33.3 245.97 354.73 31.99 11.63

119.34 54.21 9.76 3.43 22.75

0

29.04

400

Ka Ja yu ti pu ti La h m to ro M lin jo M Pi e nu ra nt s i m er ku si i R an So d no u ke l Tr ing em be si

305.56

600

200

937.6 812.96

615.7

800

26.1 97.36

1000

3.71

Jumlah Karbon

1200

978.16

1400

1204.92

Jumlah Karbon tiap Jenis di Lokasi Lembah UGM

Jenis Pohon

Gambar 8. Jumlah karbon yang diserap tiap jenis di Lembah UGM. Dari keempat lokasi hutan kota yang ada di Kampus UGM, terlihat bahwa jenis yang mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar antara lain flamboyan (Delonix regia), melina (Gmelina arborea), mahoni (Swietenia sp), trembesi (Cassia simea), Ecaliptus deglupta, dan Adenantera sp. Faktor yang menyebabkan kemampuan penyerapan karbon dari jenis-jenis tersebut cukup besar adalah kecepatan pertumbuhannya. Jenis-jenis yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam penyerapan karbon mempunyai pertumbuhan relatif cepat di lokasi penelitian. Pertumbuhan tanaman terkait erat dengan proses fisiologis tanaman, salah satunya proses fotosintesis yang banyak menggunakan unsur karbon sebagai bahan baku utama. Hal ini juga sesuai dengan karakteristik dari jenis pohon yang termasuk jenis pertumbuhan cepat (fast growing spesies). Pohon flamboyan (Delonix regia), melina (Gmelina arborea), mahoni (Swietenia sp), trembesi (Cassia simea) termasuk jenis yang pertumbuhan batangnya cepat sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk di panen. Faktor lain yang menyebabkan kemampuan penyerapan karbon dari suatu jenis tinggi adalah kesesuaian jenis untuk tumbuh pada suatu tempat tumbuh. Jenis-jenis yang di sebutkan di atas termasuk jenis yang sesuai untuk ditanam pada lokasi hutan kota di kampus UGM. Kesesuaian jenis dengan tempat tumbuh akan menyebabkan tingkat pertumbuhan jenis menjadi cepat dan menyebabkan penyerapan/ pengikatan karbon semakin tinggi. Jenis pohon yang cepat tumbuh (fast growing species) yang ditanam pada tapak yang berkualitas akan menghasilkan riap yang tinggi sehingga dapat mengikat karbon dalam jumlah tinggi dalam biomassanya. Namun jenis-jenis tersebut belum tentu sesuai untuk ditanam dalam pengembangan hutan kota di berbagai lokasi. Perlu diteliti lebih

PKMP-6-7-10

lanjut mengenai karakteristik dan sifat dan jenis tersebut terutama masalah organorgan tanaman seperti perakaran, percabangan maupun tajuknya. Hal ini diperlukan agar saat di tanam, tanaman tidak menimbulkan dampak negatif terhdap lokasi sekitar tempat tumbuhnya, seperti kerusakan aspal karena perakaran pohon. Jumlah karbon yang mampu di serap hutan kota di kampus UGM masingmasing lokasi dapat di lihat pada tabel 1. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah total karbon yang mampu diserap oleh hutan kota di kampus UGM Yogyakarta dari keempat lokasi sebesar 39966,27 kilogram atau 39,966 ton dengan jumlah pohon sebanyak 1131 pohon. Jumlah ini hanya untuk penyerapan karbon diatas tanah, belum memasukan jumlah karbon yang terdapat pada akar dan serasah. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa hutan kota mampu mengurangi akumulasi karbon di alam sekitar 39,96627 ton. Tabel 1. Jumlah pohon dan jumlah penyerapan karbon di hutan kota kampus UGM. Lokasi Hutan Kota Bunderan UGM Arboretum Kehutanan Arboretum Biologi Lembah UGM Total

Jumlah Pohon 21 499 327 284 1131

Jumlah Karbon (kg) Berat jenis *) 552.43 16946.68 13889.51 8577.65 39966.27

* Brown, S.(1997), PIKA (1979) dan Oey Djoen Seng (1990)

Melihat begitu besarnya potensi penyerapan karbon oleh hutan kota membuktikan bahwa hutan kota mempunyai peran yang besar dalam mengendalikan pemanasan global. Bisa di bayangkan seandainya hutan kota tidak ada, maka sekitar 39,96627 ton akan menambah akumulasi karbon yang ada di alam. Jika tidak ada hutan kota di kampus UGM maka kualitas udara di Kota Yogyakarta akan semakin memburuk yang sekaligus mempercepat terjadinya pemanasan global. Dari tabel 1 dapat di lihat bahwa masing-masing lokasi hutan kota mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap karbon. Hutan kota di Arboretum Fakultas Kehutanan UGM mampu menyerap karbon dalam jumlah yang paling besar yaitu 16946.68 kilogram dengan jumlah pohon sebanyak 499 pohon. Hutan kota di Arboretum Biologi UGM menempati urutan kedua terbanyak dalam penyerapan yaitu sebesar 13889.51 kilogram dengan jumlah pohon sebanyak 327 pohon. Dari tabel 1, terlihat bahwa jumlah karbon yang mampu diserap oleh hutan kota di pengaruhi oleh jumlah pohon yang menyusun hutan kota tersebut. Jumlah pohon yang banyak menyebabkan jumlah karbon yang diserap semakin besar. Jumlah pohon di Arboretum Fakultas Kehutanan merupakan yang terbanyak (499 pohon) jika dibandingkan dengan lokasi yang lain. Kerapatan jenis di arboretum Fakultas Kehutanan juga paling tinggi dibanding lokasi yang lain. Arboretum Fakultas Kehutanan letaknya dekat dengan perempatan jalan kaliurang yang

PKMP-6-7-11

tingkat kepadatan lalu lintas sangat tinggi. Sehingga keberadaan hutan kota tersebut mempunyai andil yang besar dalam menyerap karbon dari alat transportasi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dengan menggunakan metode perhitungan alometrik biomasa, dapat disimpulkan bahwa hutan kota di kampus UGM mempunyai kemampuan menyerap karbon sebanyak 39,96627 ton. Angka tersebut membuktikan bahwa hutan kota mempunyai peran yang besar dalam mengendalikan pemanasan global. DAFTAR PUSTAKA BPS dan Bappeda Kota Yogyakarta, 2004. Yogyakarta Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik. Yogyakarta Brown, S., 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests, a primer. FAO Forestry paper No. 134. FAO, Rome, 55 pp Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan Lingkungan Di Perkotaan. APHI. Jakarta. Fandeli, C. 2003. Perencanaan Pengelolaan Hutan Kota Hirarki dan Kriterianya, Makalah Kursus Hutan Kota Angkatan IV. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Fandeli, C. 2004. Perhutanan Kota. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Ginoga, K dkk. 2003. Peranan Karbon Dalam penoingkatan Nilai Ekonomi Hutan Tanaman Acacia Mangium di Sumatera Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Vol. 4 No. 1, Tahun 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Budaya dan Ekonomi Departemen Kehutanan. Bogor Ginoga, K. 2004. Beberapa Cara Perhitungan Biomassa Karbon. Jurnal Sosial Ekonomi Vol. 4 No. 1, Tahun 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Budaya dan Ekonomi Departemen Kehutanan. Bogor Grey, G.W & F.J. Deneke. 1986. Urban Forestry. John Wiley & Sons. Inc. New York. Irwan, Z.D., 1997. Tantangan Lingkungan Hidup dan Lanskap Hutan Kota. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Iskandar, U dan Nugraha, A. 2004. Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan : Isuue dan Agenda Mendesak. Debut Press. Yogyakarta Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih; Seri Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Oey Djoen Seng. 1990. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Bogor. Indonesia PIKA. 1981. Mengenal Sifat-Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

PKMP-6-8-1

KONTROVERSI PERISTIWA AOI (ANGKATAN OEMAT ISLAM) ) DI KEBUMEN TAHUN 1950 Banu Setiawan, Puteri Soraya Mansur, Muhammad Iqbal FISE/Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta ABSTRAK Latar belakang penelitian ini ialah adanya perbedaan pendapat mengenai kebenaran antara Angkatan Bersenjata (militer) dengan Angkatan Oemat Islam (AOI) dalam peristiwa AOI di Kebumen tahun 1950. Angkatan Bersenjata mengambil kesimpulan bahwa peristiwa tersebut sebagai pemberontakan. Namun sebaliknya AOI menganggap peristiwa itu sebagai sebuah wujud perlawanan untuk mempertahankan diri dari tuduhan dari fihak militer. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa AOI bukan pemberontak yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta untuk mengetahui dampak peristiwa tersebut terhadap anggotaanggota AOI pascaperistiwa AOI di Kebumen tahun 1950. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: (1) Heuristik atau pengumpulan sumber; (2) Kritik sumber; (3) Interpretasi; dan (4) Penyajian atau penulisan sejarah. Ihwal penelitian peristiwa AOI tahun 1950 ini dikategorikan sebagai sejarah lisan (oral history), sehingga kegiatan pengumpulan sumber ditempuh melalui wawancara dengan beberapa responden dalam peristiwa AOI di Kebumen tahun 1950. Hasil wawancara tersebut kemudian dilakukan pengamatan fisik (kritik ekstern) dan meneliti kebenaran isinya (kritik intern). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perpecahan di dalam AOI dan kesalahpahaman penafsiran terhadap pembunuhan tanggal 31 Juli 1950 antara fihak Angkatan Bersenjata dengan fihak AOI. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis, yaitu peristiwa tersebut bukan sebuah pemberontakan yang memiliki tujuan mendirikan negara di dalam NKRI, serta terdapat dampak di pelbagai aspek kehidupan, seperti: psikologi, ekonomi dan sosial terhadap anggota-anggota AOI. Kata kunci: Angkatan Oemat Islam, Kontroversi, Kebumen. PENDAHULUAN Peristiwa AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen tahun 1950 sangat menarik untuk direkonstruksi, sebab sampai saat ini peristiwa tersebut masih kontroversial. Kontroversi yang dimaksud ialah di antara dua fihak yang saling bertikai pada waktu itu yakni pemerintah Indonesia dengan AOI terdapat perbedaan pendapat tentang kebenaran peristiwa tersebut. Angkatan bersenjata sebagai fihak yang menumpas gerakan DI/TII, mengambil kesimpulan bahwa peristiwa AOI tahun 1950 sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia Serikat atau RIS buatan pemerintah RI dengan pemerintahan kolonial Belanda. Namun sebaliknya, AOI menganggap peristiwa tersebut sebagai sebuah perlawanan untuk mempertahankan diri dari tuduhan Angkatan Bersenjata

PKMP-6-8-2

terhadap AOI sebagai pemberontak karena tidak mau bergabung dengan tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).1 Beberapa studi kasus telah dilakukan untuk membuktikan kebenaran lain mengenai hal ihwal ini, namun hasil dari studi tersebut masih ternoktahkan dalam beberapa skripsi ataupun artikel. Salah satu contoh studi mengenai peristiwa AOI adalah dalam artikel sejarawan Kuntowijoyo, “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan Mengenai Gerakan Islam Lokal, 1945-1950” (makalah pada Seminar Sejarah Nasional II, Yogyakarta, 26-29 Agustus 1970, yang diterbitkan kembali dalam Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi cet. ke-III [Bandung: Mizan, 1991] hlm. 103-122) ialah mengenai reaksi santri atas kekuasaan kaum abangan, atau reaksi ulama atas priyayi pascakemerdekaan di Kebumen, Jawa Tengah.2 Artikel tersebut merupakan salah satu pendorong tim penulis untuk melakukan penelitian terhadap peristiwa AOI tahun 1950 dari sudut yang berbeda lagi, yakni sudut pandang anggota AOI sebagai korban pergumulan politik pascakemerdekaan. Berpijak pada permasalahan yang muncul dari latar belakang di atas, yaitu: (1) Bagaimana sudut pandang pelaku sejarah dari pihak AOI mengenai peristiwa AOI tahun 1950?; (2) Adakah kepentingan dan muatan politis di balik peristiwa AOI tahun 1950 di kebumen?; dan (3) Apa dampak dari peristiwa AOI tahun 1950 tersebut bagi anggota-anggota AOI? Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa AOI bukan pemberontak yang memiliki tujuan mendirikan negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk mengetahui dampak peristiwa tersebut terhadap anggota-anggota AOI. Manfaat penelitian ini untuk waktu yang akan datang diharapkan masyarakat Indonesia mengetahui dan memahami bahwa peristiwa AOI di Kebumen tahun 1950 bukan suatu pemberontakan yang memiliki tujuan mendirikan negara. Hasil penulisan ini diharapkan pula dapat menggugah hati masyarakat Indonesia untuk memahami peristiwa sejarah bangsanya dan tidak lagi meremehkan arti penting sejarah bagi peradaban suatu bangsa/negara.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu:3 1. Heuristik, yaitu aktivitas mencari, menghimpun dan mengumpulkan sumbersumber yang relevan. Penelitian peristiwa AOI tahun 1950 ini dikategorikan 1

APRIS merupakan tentara bentukan pemerintahan Republik Indonesia Serikat yang tertuang dalam Undang-Undang darurat Nomor 4 tahun 1950. Selebihnya lihat: Nn. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1959, cetakan ke-V. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. hlm. 19. 2

3

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. 181.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 35.

PKMP-6-8-3

sebagai sejarah lisan (oral history). Kegiatan pengumpulan sumber ditempuh melalui wawancara dengan beberapa responden dari tanggal 1 Maret-8 Maret 2006. Hasil wawancara dengan responden tersebut direkam dalam kaset yang dijadikan sumber primer.4 2. Kritik sumber, yaitu kegiatan meneliti kesejatian atau keaslian sumber-sumber, baik bentuk maupun isinya. Sumber yang telah didapat memerlukan penelitian terhadap keaslian dilihat dari fisik sumber (kritik ekstern) dan kebenaran mengenai isinya (kritik intern). 3. Interpretasi, adalah kegiatan penelitian untuk merangkai fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah diterapkan kritik ekstern maupun kritik intern dari sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan, sehingga memberikan kesatuan dalam bentuk peristiwa masa lampau, yakni tentang peristiwa AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen tahun 1950. Tahapan ini merupakan tahapan penerapan teori-teori yang telah dipilih untuk menganalisa peristiwa tersebut. 4. Penyajian, yaitu menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam bentuk karya sejarah. Penelitian dilakukan di wilayah kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan penyusunan hasil penelitian dilakukan di Yogyakarta. Lama penelitian dari bulan Maret-Mei 2006. Instrumen yang digunakan hanya sebatas pedoman yang diperlukan dalam kegiatan wawancara. Instrumen tersebut antara lain, recorder sebanyak 2 buah, 1 buah kamera digital, dan 8 buah kaset.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kontroversi peristiwa sejarah senantiasa menarik karena di dalamnya terdapat sebuah proses yang panjang untuk berusaha memulihkan sebuah peristiwa sejarah yang dahulu dianggap benar dan sekarang terungkap fakta-fakta baru yang jauh dari fakta sebelumnya dari peristiwa tersebut. Kontroversi mengenai peristiwa AOI tahun 1950 di Kebumen terjadi dalam sejarah antara militer dengan para pelaku dari pihak AOI yang pernah diwawancarai. Fakta-fakta baru muncul dari pihak AOI yang berusaha memberikan penjelasan yang berbeda dengan penjelasan dari pihak militer mengenai peristiwa tersebut. Konflik muncul di dalam AOI akibat dari perbedaan pendapat mengenai nasib laskar AOI pascaperang kemerdekaan akan masuk ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRIS) atau kembali ke masyarakat. Perbedaan pendapat tersebut menimbulkan perpecahan, sehingga AOI terbagi menjadi 2 batalion, yaitu: (1) Batalion Lemah Lanang atau Batalion Be 9/III pimpinan Haji Nursodik yang telah bergabung ke dalam APRIS dan (2) Batalion Kiyamatul Islam pimpinan Kiai Mahfud yang tidak mau bergabung dengan APRIS. Perpecahan tersebut berakhir setelah terjadi pembunuhan perwira Batalion Lemah Lanang oleh Batalion Kuda Putih pada 31 Juli 1950. Perlawanan AOI atas peristiwa pembunuhan tersebut diartikan sebagai sebuah pemberontakan oleh

4

P. Lim Pui Huen, James H. Morrison & Kwa Chong Guan. ed. 2000. Sejarah Lisan di Asia Tenggara Teori dan Metode, terjemahan R.Z. Leirissa. Jakarta: LP3ES. hlm. 85-102.

PKMP-6-8-4

Angkatan Bersenjata, sehingga meletuslah peristiwa perlawanan AOI terhadap Angkatan Bersenjata pada 1 Agustus 1950. Pembahasan A. Keadaan Umum Kabupaten Kebumen Secara geografis, Kabupaten Kebumen terletak antara 7° - 8° Lintang Selatan dan 109° – 110° Bujur Timur, dan merupakan salah satu wilayah yang besar dan luas di Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Kebumen dibagi menjadi enam wilayah Pembantu Bupati, 22 wilayah kecamatan dan 460 Desa/Kelurahan. Daerah ini sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, serta sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Kebumen adalah 128.111, 50 Ha atau 1.281.115 km2 yang terdiri dari daerah pegunungan di sebelah utara, daerah daratan di bagian tengahnya dan daerah pantai di sebelah selatan. Pendukung perekonomian daerah ini berupa pertanian dan pengolahan tanah basah atau sawah seluas 39.802,00 Ha dan pengolahan tanah kering serta tambak seluas 88.309,50 Ha.5 Menurut catatan perhitungan/sensus penduduk yang dilakukan pada 1933, Kabupaten Kebumen berpenduduk 333,191 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri dari 330,652 pribumi, 331 Eropa, 2166 Tionghoa dan 42 timur asing. Mata pencaharian pokok penduduk Kebumen adalah bercocok tanam dan bertani, oleh karena keadaan tanahnya cukup subur. Pertanian di daerah tersebut dilakukan baik di bagian selatan maupun di bagian utara maksudnya baik di dataran rendah maupun di daaran tinggi (pegunungan). Hampir seluruh penduduk desa di Kebumen mayoritas memeluk agama Islam yang sebagian besar menuntut ilmu di pondok pesantren yang banyak berdiri di daerah setempat, sehingga mendapat julukan sebagai “daerah santri”. B. Eksistensi Angkatan Oemat Islam Kelahiran organisasi AOI memiliki benang merah dengan berdirinya organisasi-organisasi resmi lain yang memiliki tujuan sama yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Pemerintah Belanda yang masih ingin bercokol di negeri ini. AOI merupakan organisasi lokal yang tetap bertahan hingga tahun 1950. Nuansa Islam dalam organisasi AOI merupakan dasar perjuangan yang menjadikannya sebuah organisasi kelaskaran yang cukup kuat. Organisasi-organisasi yang lahir pada masa revolusi memiliki latar belakang yang berbeda-beda, namun memiliki satu tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ciri pokok organisasi kelaskaran Islam di masa kemerdekaan, yaitu: pertama, munculnya seorang tokoh sentral yang menjadi “magnet” bagi para anggotanya. Tokoh sentral bagi organisasi sosial Islam pada umumnya seorang ulama atau kiai. Kelompok ulama atau kiai yang dimaksud sering disebut sebagai 5

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. 1989. Penetapan Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. Yogyakarta: Pusat Ilmiah Pembangunan Regional (PIPR) Jawa Tengah & Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 1.

PKMP-6-8-5

elit agama Islam.6 Tokoh sentral AOI muncul dari keluarga Pondok Pesantren Somalangu di Kebumen yakni Kiai Haji Mahfud Abdurrahman.Ciri kedua yang menjadi karakteristik sebuah organisasi kelaskaran Islam ialah di dalam salah satu tujuannya termuat penegakan terhadap Syari’at Islam. Penegakan terhadap hukum agama Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim di muka bumi ini. Unsur tersebut termuat dalam Anggaran Dasar AOI, yang merupakan tujuan AOI.7 Tujuan AOI dalam Anggaran Dasar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yang merupakan tujuan utama berdirinya AOI adalah melawan penjajah di Indonesia sebagai upaya pembelaan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Tujuan khusus AOI ialah menyempurnakan Syari’at Agama Islam. Tujuan tersebut tidaklah menyalahi ketentuan Pemerintah Republik Indonesia sebab AOI mengusahakan kemakmuran bersama dalam Indonesia merdeka menurut jalan Allah di belakang Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Negara.8 AOI dalam perkembangannya memiliki harapan Republik Indonesia dijadikan pemerintahan Darul Islam.9 Hal tersebut dikarenakan terdapat salah satu ideologi yang sangat mengancam integritas bangsa dan menyalahi Syari’at Islam. Ideologi tersebut adalah Komunisme yang identik dengan anti agama atau atheis, sehingga dapat mengancam eksistensi agama-agama di Indonesia apabila ideologi tersebut berhasil berkuasa di negeri ini. Eksistensi AOI sebagai organisasi kelaskaran perlu diperjelas kembali. AOI pascaterbentuknya APRIS lebih terorganisir dan jelas keberadaannya dibandingkan AOI sebelumnya. Laskar AOI yang hanya terdiri dari satu batalion pada 17 September 1949 atas nama Wakil Panglima Divisi III Teritorium Jawa Tengah dimasukkan dalam formasi Be 9/III, sambil menunggu peresmian lebih lanjut. Setelah Undang-Undang APRIS dikeluarkan, pada 17 Mei 1950 dengan dihadiri oleh Panglima Divisi III/Teritorium Jawa Tengah Kolonel Bambang Sugeng, Batalion Lemah Lanang dijadikan Batalion Be 9/III sebagai Batalion Teritorial dengan Komandan Batalion Haji Nursodik (adik dari Kiai Mahfud).10 6

Mohammad Iskandar. 2000. Peranan Elit Agama pada Masa Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 7

Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) AOI, Sumber Arsip: buku saku nukilan sejarah dalam rangka Haul ke-57 Syekh As-Sayid Mahfudz Al Hasani, diambil dari buku Sejarah Somalangu, karangan: K.H. Afifudin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani (Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen, tt). 8

ANRI, Arsip Kepolisian Bundel 596.

9

Istilah Darul Islam tidak terdapat dan tertulis dalam Al-Quran, akan tetapi pada waktu itu istilah tersebut sangat populer bagi orang-orang yang mengerti dan mendalami agama Islam terutama tafsir Al-Quran. Melalui tafsiran tersebut, maka ayat-ayat yang mengarah dan menuju negara Islam itu dapat ditemukan di dalam Al-Quran. Istilah Darul Islam berasal dari kata Idhharul Haq. Selebihnya lihat: Irfan S. Awwas. 1999. Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo: Proklamator Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press. hlm. 45. 10

Dinas Sejarah Militer TNI-AD. 1979. Sejarah TNI-AD 1945-1973: Peranan-Peranan TNI- AD Menegakkan Negara Kesatuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer TNI AD. hlm. 245.

PKMP-6-8-6

Batalion Lemah Lanang yang sudah resmi menjadi Batalion Be 9/III merupakan peleburan dari kelaskaran AOI dan Pasukan Surengpati dari Hisbullah.11 Batalion tersebut bukan peleburan secara keseluruhan kelaskaran AOI, sebab masih terdapat dua kompi yang masih ragu untuk bergabung dengan APRIS, yang berada di bawah pimpinan Kiai Mahfud. Kekuatan Batalion Lemah Lanang atau 9 Be/III terdiri dari:12 a. Kekuatan : 174 orang b. Kekuatan Senjata : ± 158 pucuk c. Kekuatan senjata berat : 4 nitraliur, 3 bren, dan 1 mortir Semakin jelas keberadaan kelaskaran AOI pascaterbentuknya APRIS yakni terbagi menjadi dua yaitu Batalion Lemah Lanang atau Batalion Be 9/III dan Batalion Khiyamatul Islam. Keberadaan Batalion Khiyamatul Islam masih sangat kontroversi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa batalion tersebut dibentuk ketika parade besar pada 27 Mei 1950 berlangsung.13 Sedangkan ada pengertian yang muncul di kalangan kelaskaran AOI, bahwa batalion tersebut memang tidak ada.14 Batalion yang ada dalam pengertian pasukan AOI, yaitu: (1) Batalion Lemah Lanang sebagai tentara Mutatowwingin (berjuang karena Allah), berbekal alat perang sendiri, dari hasil-hasil zakat maal untuk membuat peluru, granat, panah, bandring dan sebagainya. Batalion tersebut di bawah pimpinan Kiai Mahfud dengan Panglima Perang Bapak Sururudin dari Purwosari, Puring. (2) Batalion Sureng Pati sebagai tentara Murtaziqoh yang digaji oleh pemerintah dengan menerima pakaian-pakaian dan alat-alat perang dari pemerintah. Batalion ini dipimpin oleh Haji Nursodik dengan panglima perang Bapak Masduki.15 Pemahaman terpecahnya kelaskaran AOI menjadi dua batalion dengan penyebutan nama yang sangat berbeda, menunjukkan bahwa politik kemiliteran hanya dimengerti oleh pucuk pimpinan sehingga prajurit di bawahnya tidak begitu memahami keberadaan AOI pada waktu itu. Perpecahan di tubuh kelaskaran AOI memberikan bukti baru bahwa AOI sebelum terbentuknya APRIS berbeda susunan dengan AOI sesudah terbentuknya APRIS. AOI praterbentuknya APRIS, yakni dari tahun 1945-1949 berada pada periode pertama. Periode pertama, merupakan periode mengusir penjajah Belanda. AOI pascaterbentuknya APRIS berada dalam periode kedua, yaitu periode terpecahnya AOI menjadi 2 kekuatan berbeda yang kemudian menjadi isu pemberontakan AOI melawan pemerintah. 11

Pernyatan tersebut diperjelas dalam hasil wawancara dengan Bapak Solehudin Umar, bahwa akhir tahun 49, satu kompi dari Hisbullah dan satu kompi dari AOI tergabung dalanm satu batalion Lemah Lanang di bawah pimpinan Haji Nursodik. Sedangkan Pasukan Surengpati merupakan nama salah satu pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh Masduki sebelum bergabung dalam Batalion Lemah Lanang. 12

Dinas sejarah Militer TNI-AD. Sejarah TNI-AD..., op. cit., hlm. 246.

13

Kuntowijoyo. Paradigma..., op. cit., hlm. 116.

14

Hanya satu responden dari delapan responden yang menyebutkan batalion Khiyamatul Islam sebagai batalion yang dipimpin oleh Kiai Mahfud, yaitu Abu Salim Khurmein. 15

Catatan Bapak Muhadjir. hlm. 1-2.

PKMP-6-8-7

C. Peristiwa 1950 AOI Bukan Sebuah Pemberontakan Pergolakan di dalam negeri setelah penyerahan kedaulatan RI cenderung dikarenakan hasil persetujuan yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar atau lebih dikenal dengan KMB itu di bidang militer, antara lain memuat ketentuanketentuan mengenai pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai intinya, pembubaran KNIL dan pemasukan bekas anggota KNIL secara perorangan ke dalam APRIS. 16 Pembentukan APRIS tersebut kemudian diatur dalam UndangUndang Darurat Nomor 4 Tahun 1950, pasal 1 UU, yaitu: “Yang dapat diterima sebagai anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ialah warga negara Republik Indonesia Serikat bekas anggota Angkatan Darat, yang disusun oleh suatu atau dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan warga negara bekas anggota Angkatan Laut Kerajaan Belanda.”17 AOI tidak menyetujui Undang-Undang APRIS di atas karena menyalahi sikap AOI dalam AD/ART yang harus bekerja sama dengan bekas lawannya. Sikap tidak setuju AOI masuk ke dalam APRIS merupakan sebab umum munculnya peristiwa AOI tahun 1950 di Kebumen. Sebab khusus munculnya peristiwa AOI tahun 1950 ialah terbunuhnya seorang tentara Batalion Lemah Lanang bernama Churmen, yang diarak dengan mobil jeep oleh anggota-anggota Batalion Kuda Putih18 dan mayatnya dibuang ke sungai Lukulo.19 Peristiwa itu terjadi pada 31 Juli 1950. Pembunuhan terjadi dikarenakan tentara tersebut tidak mau dilucuti senjatanya oleh tentara Kuda Putih yang sedang berpatroli. Analisa baru terhadap peristiwa pembunuhan di atas bahwa peristiwa AOI tahun 1950 merupakan konflik di dalam tubuh APRIS.20 Tentara yang terbunuh merupakan tentara Batalion Lemah Lanang yang sudah resmi menjadi bagian APRIS, meskipun tentara tersebut merupakan bekas tentara AOI ketika perang melawan Belanda. Sejak peresmian Batalion Lemah Lanang tanggal 17 Mei 1950, berada di bawah kendali tentara Divisi III Teritorium Jawa Tengah yang menguasai wilayah Kedu. Batalion Kuda Putih juga berada pada posisi yang sama dengan Batalion Lemah Lanang sebagai distrik militer. Sehingga, peristiwa pembunuhan tersebut merupakan suatu perlawanan antardistrik militer yang merupakan bagian tentara APRIS. Peristiwa pembunuhan tentara Batalion Lemah Lanang telah membakar amarah kedua belah fihak, baik Batalion Lemah Lanang maupun Batalion Kuda Putih. Kontak senjata antara kedua batalion tersebut terjadi di utara stasiun 16

30 Tahun Indonesia Merdeka…, loc. cit., hlm. 19.

17

Ibid., hlm.23.

18

Terdapat dua batalion yang bermarkas di Kebumen sebagai distrik militer, yaitu Batalion Lemah Lanang dan Kuda Putih. Batalion Kuda Putih dikenal oleh pasukan AOI sebagai batalion yang dipimpin oleh Ahmad Yani yang sekaligus sebagai batalyon yang mengatasi pasukan AOI itu sendiri. Beberapa literatur Batalion Kuda Putih disebut sebagai CPM. 19

20

Wawancara dengan Bapak Muhadjir, tanggal 3 Maret 2006.

Wawancara dengan K.H. Afifuddin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani, tanggal 6 Maret 2006.

PKMP-6-8-8

Kebumen, sekarang menjadi Jalan Pramuka, tepatnya di toko Lima-Lima.21 Batalion Lemah Lanang terdesak hingga masuk ke Somalangu dan meminta pertolongan terhadap Kiai Mahfud. Kiai Mahfud mengambil tindakan membantu Batalion Lemah Lanang dengan pertimbangan Somalangu telah terkepung dan tentara Batalion Lemah Lanang merupakan teman seperjuangan ketika perang kemerdekaan. Kesalahpahaman antara AOI dengan Angkatan Bersenjata pada akhirnya disadari oleh pemerintah yang masih berada di bawah pimpinan Sukarno. Pemerintah memberikan pengampunan semacam amnesti melalui Panglima Teritorial (Panglima Divisi Diponegara) yakni Letkol Soeharto, yang isinya tidak boleh menghukum atau menahan orang-orang AOI. Sehingga, pascaperistiwa AOI tahun 1950, laskar-laskar AOI melebur ke masyarakat.22 Namun, amnesti tersebut tidak dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat maupun Angkatan Bersenjata sehingga penulisan sejarah Indonesia tentang peristiwa ini masih bersifat subjektif, karena memojokkan eksistensi fihak AOI sebagai pemberontak masih tetap dilakukan baik di kalangan militer satu sisi maupun masyarakat sejarawan di sisi lainnya. Peristiwa AOI tahun 1950 merupakan suatu intervensi Angkatan Bersenjata dalam rangka mewujudkan NKRI. Faktor-faktor yang menyebabkan Angkatan Bersenjata melakukan intervensi terhadap AOI, antara lain: pertama, Angkatan Bersenjata Indonesia mengalami dilema yakni dengan kenyataan bahwa militer harus menghadapi kelompok-kelompok militan yang terus bergejolak di pelbagai daerah sebagai tugas memelihara keamanan negeri sementara terdapat tuntutan-tuntutan negara bagian hasil KMB tersebut. Kedua, kegagalan usaha perdamaian dalam pertemuan pada 27 Juli dan 28 Juli 1950. Ketiga, terdapat motivasi kepentingan individu di kalangan militer Indonesia. Ambisi tersebut terlihat pada diri Ahmad Yani yang merupakan teman seperjuangan dengan tentara AOI. Benteng Raider merupakan usahanya untuk melakukan Gerakan Bina Negara (GBN) yang disusun secara khusus untuk mengatasi kelompok militan di wilayah Kedu. Strategi tersebut telah menjadikannya sebagai tentara yang tangguh. Selain itu, terdapat satu lagi tokoh yang menggunakan kesempatan dalam peristiwa AOI tahun 1950 di Kebumen sebagai sarana pemulihan nama baiknya sebagai oknum PKI, yaitu Gatot Subroto.23 D. Dampak Peristiwa AOI terhadap Anggota AOI Meletusnya perlawanan AOI tahun 1950 berdampak luas bagi kondisi para anggotanya secara keseluruhan. Pertama, dilihat dari segi psikologi, sebagian besar mantan anggota AOI merasa terpukul dengan meninggalnya para kiai yang selama ini menjadi tempat bertanya (soko guru). Peristiwa itu telah membungkam mantan anggota AOI yang terlibat dalam peristiwa, sehingga mereka sulit 21

Mengenai siapa yang melakukan penyerangan untuk pertama kali, masih belum diketahui secara pasti. Wawancara dengan K.H. Afifuddin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani, tanggal 6 Maret 2006. 22

Wawancara dengan K.H. Masykur Hudri. Wawancara dengan K.H. Afifuddin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani, tanggal 6 Maret 2006. 23

PKMP-6-8-9

mengungkapkan kebenaran peristiwa sebab bukti tertulis telah berhasil dimusnahkan oleh Angkatan Bersenjata. Perilaku tersebut juga terkait dengan kondisi pemerintahan sesudahnya yang sering disebut Orde Baru yang berkarakter otoriter dan sangat militeristik. Kedua, dilihat dari dimensi ekonomi. Perlawanan AOI tahun 1950 tidak hanya membuat perekonomiannya berantakan dan lumpuh, namun juga tingkat kepercayaan masyarakat juga berangsur redup. Tidak sedikit mantan anggota AOI yang hidup dalam kekurangan, bahkan menjadi miskin. Dengan demikian, ekonomi mereka secara struktural termasuk kelas pinggiran (rural elite). Ketiga, dimensi sosial. Perlawanan AOI tahun 1950 telah menyebabkan kompetisi antar elit pedesaan, yaitu elit agama dan elit birokrasi (priyayi), berakhir. Sebelum peristiwa tersebut elit agama lebih berpengaruh, sehingga menghambat perubahan desa. Setelah peristiwa tersebut, birokrasi desa sebagai pemegang kendali pemerintahan di desa menjadi lebih leluasa bergerak. KESIMPULAN Peristiwa AOI tahun 1950 bukan sebuah pemberontakan yang murni memiliki tujuan mendirikan atau membentuk negara RI berdasarkan Syari’at Islam, melainkan perlawanan terhadap Angkatan Bersenjata yang menyerang markas AOI di Somalangu pada tanggal 1 Agustus 1950. Peristiwa tersebut merupakan suatu gerakan (reaksi) sosial akibat ketidakpuasan AOI terhadap kebijakan diplomatik pemerintah RI dengan pemerintah Belanda. Sesungguhnya terdapat kepentingan di balik peristiwa AOI tahun 1950, yaitu, pertama, kepentingan kaum Nasionalis yang memiliki kekuatan dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, kepentingan individu di dalam Angkatan bersenjata untuk memperbaiki atau menambah citra individu tersebut. Dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa AOI tahun 1950 meliputi tiga dimensi, yaitu psikologi, ekonomi dan sosial. Anggota AOI setelah peristiwa tersebut merasa traumatis dan cenderung tidak memiliki ketakutan terhadap pemerintahan sesudahnya (Orde Baru) untuk mengungkapkan kebenaran peristiwa melalui sudut pandang mereka yang sangat bertolak belakang dengan sudut pandang pemerintah atau Angkatan Bersenjata. Peristiwa tersebut juga telah meletakkan anggota AOI secara struktural ke dalam kelas pinggiran (rural elite). Perubahan sosial muncul setelah peristiwa tersebut berakhir dengan berakhirnya kompetisi antara elit desa dengan elit agama. Eksistensi elit desa menjadi lebih stabil dibandingkan sebelum peristiwa tersebut. DAFTAR PUSTAKA 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1959, cetakan ke-V. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. ANRI, Arsip Kepolisian Bundel 596. Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) AOI, Sumber Arsip: buku saku nukilan sejarah dalam rangka Haul ke-57 Syekh As-Sayid Mahfudz Al Hasani, diambil dari buku Sejarah Somalangu, karangan: K.H. Afifudin bin Chanif bin Mahfudz Al Hasani (Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen, tt).

PKMP-6-8-10

Dinas Sejarah Militer TNI-AD. 1979. Sejarah TNI-AD 1945-1973: PerananPeranan TNI- AD Menegakkan Negara Kesatuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer TNI AD. Dinas Sejarah Militer TNI-AD. 1979. Sejarah TNI-AD 1945-1973: Peranan-Peranan TNI- AD Menegakkan Negara Kesatuan RI. Jakarta: Dinas Sejarah Militer TNI AD. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, cetakan ke-V. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Irfan S. Awwas. 1999. Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo: Proklamator Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Wihdah Press. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Mohammad Iskandar. 2000. Peranan Elit Agama pada Masa Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. P. Lim Pui Huen, James H. Morrison & Kwa Chong Guan. ed. 2000. Sejarah Lisan di Asia Tenggara Teori dan Metode, terjemahan R.Z. Leirissa. Jakarta: LP3ES. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. 1989. Penetapan Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. Yogyakarta: Pusat Ilmiah Pembangunan Regional (PIPR) Jawa Tengah & Daerah Istimewa Yogyakarta.

PKMP-6-9-1

PEMANFAATAN HIDROLISIS BEBERAPA JENIS XILAN DENGAN ENZIM XILANASE REKOMBINAN SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI ALKOHOL Rizki Indra Irawan , One Asmarani, Anita Kurniati, Mirza Ardella Saputra PS Kimia Fakultas MIPA, Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan enzim xilanolitik rekombinan dari E.coli DH5 α (pTP510) dalam menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial dan menganalisis produk gula pereduksi yang dihasilkan. Enzim xilanolitik rekombinan (β-xilosidase dan α-L-arabinofuranosidase) mampu menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial (oat-spelt xylan, birchwood, wheat, rye, dan arabinan) dengan aktivitas xilanolitik yaitu : oat-spelt xylan (173,33 U/mL), birchwood (92,22 U/mL), wheat (652,22 U/mL), rye (494,44 U/mL), dan arabinan (340 U/mL). Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat spesifik p-nitrofenil-β-D-xilopiranosida (pNP-x) menunjukkan aktivitas xilosidase sebesar 1,5869 μ mol/menit (Unit). Produk hidrolisis dianalisis dengan HPLC. Hasil menunjukkan bahwa xilosa, arabinosa, dan xilo-oligosakarida dihasilkan dari hidrolisis birchwood, wheat, rye, dan arabinan, sedangkan xilosa dan arabinosa dihasilkan dari hidrolisis oat-spelt xylan. Dan hasil hidrolisis yang telah difermentasi menunjukkan produk utama berupa etanol. Kata kunci : enzim xilanolitik, pNP-x, pTP510, xilan komersial, fermentasi. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris yang menghasilkan limbah pertanian seperti batang / jerami padi, bonggol jagung, daun-daun kering dan rantingranting tanaman yang cukup melimpah. Limbah pertanian tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, dan sebagian besar dimusnahkan dengan pembakaran. Sementara itu, pembakaran limbah pertanian meningkatkan kadar CO2 di udara yang berdampak terjadinya pemanasan global. Kandungan hemiselulosa yang cukup tinggi (± 30%) dalam limbah pertanian dapat dimanfaatkan menjadi monomer xilosa yang berpotensi untuk bahan baku industri. Beberapa jenis hemiselulosa yang akan dihidrolisis dalam penelitian ini adalah oat spelt xylan (Megazyme), birchwood (Megazyme), arabinan / sugar beet (Megazyme Lot 80901), wheat arabinoxylan viskositas rendah (Megazyme Lot 90201), dan rye flour arabinoxylan / pentosan (Megazyme Lot 90501) yang merupakan contoh ekstrak dari limbah pertanian yang sudah dikemas dan dipasarkan. Kelima jenis substrat hemiselulosa tersebut mempunyai komposisi karbohidrat yang berbeda sehingga diperlukan pengujian untuk mengetahui kemampuan enzim dalam menghidrolisis hemiselulosa. Limbah pertanian yang sudah dikemas tersebut akan dihidrolisis menggunakan enzim xilanolitik dan E.coli DH5 α rekombinan (pTP510) dan dianalisis kandungan monosakarida hasil hidrolisis menggunakan HPLC. Dan hasil hidolisis tersebut digunakan sebagai bahan baku dalam proses fermentasi untuk menghasilkan alkohol.

PKMP-6-9-2

Dari penelitian ini diharapkan mendapat informasi ilmiah tentang bagaimana mengetahui kemampuan enzim xilanolitik rekombinan dari E.coli DH5 α (pTP510) dalam menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial dan dapat menganalisis produk hidrolisis enzim xilanolitik rekombinan terhadap beberapa jenis xilan komersial. Selanjutnya monomer – monomer hasil hidolisis hemiselulosa sangat berguna sebagai bahan baku di berbagai industri, misalnya pembuatan alkohol, xilitol, bahan bakar cair, dan pelarut organik. METODE PENDEKATAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik / Biokimia, Jurusan Kimia, Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai bulan Juni 2006. Alat dan bahan yang digunakan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas autoklaf (OSK 6508 Steam pressure apparatus Ogawa Seiki Co., LTD), laminair air flow cabinet (Kottermann 8580), sentrifuga Beckman (tipe TJ-6), transluminator UV (BioRad), timbangan analitik (Ohaus), pH meter (Metrohm 744), oven (Memmert, Jerman), lemari pendingin (Sharp Matric), lemari pendingin -200C (Royal Chest Freezer BD195), pipet mikro (Eppendorf), ultrasonikator (Soniprep 150 Sanyo), waterbath (sansat type syk-382-M), spektrofotometer UV-VIS (Shimazu 1700 Pharma), piranti SDS-PAGE dan zimogram (Biorad), penggoyang (Heidolph Polymax 1040), shaker inkubator (Heidolph Unimax 1010), HPLC (Waters 2487), GC 5890 Series II, dan alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium. Bakteri yang digunakan sebagai sumber enzim xilanolitik adalah E. coli DH5 α rekombinan (pTP510) koleksi Laboratorium Biokimia FMIPA, Unair Surabaya. Bahan yang digunakan antara lain, tripton, yeast extract, NaCl, Na2CO3, Na2HPO4.12H2O, asam sitrat, bacto-agar, oat spelt xylan, birchwood, wheat, rye, arabinan, ampisilin, isopropil- β -D-thiogalaktopiranosida (IPTG), 5bromo-4-kloro-3-indolil- β -D-galaktopiranisida (X-gal), p-nitrofenil-β-Dxilopiranosida (pNP-x), p-nitrofenol, standar xilosa, standar arabinosa, standar xilooligosakarida, marker protein (Novagen), asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS), 4metilumbeliferil- β -xilosida (MUX), etanol, Triton-X 100, Congo red, alkohol 70%, spiritus, akuades. Produksi enzim xilanolitik Media inokulum merupakan media cair LB. Inokulum dibuat dengan menginokulasikan biakan bakteri pTP510 dari E. coli DH5 α ke dalam 20 mL media inokulum yang sebelumnya ditambahkan 20 μ L ampisilin (100 mg/mL). Biakan diinokulasi pada suhu 370C dengan kecepatan 150 rpm selama ±18 jam. Satu persen biakan inokulum dimasukkan ke dalam 20 mL media produksi yang sebelumnya ditambahkan 20 μ L ampisilin (100 mg/mL). Biakan diinkubasi dengan kondisi seperti di atas. Sel dipanen setelah ±18 jam pertumbuhan dengan cara sentifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet dilarutkan dalam buffer fosfat sitrat (PC) pH 7 dan dilisis dengan ultrasonikator dengan frekuensi 20 Hz selama 2 menit diulang 2 kali. Enzim

PKMP-6-9-3

xilanolitik didapat dari supernatan hasil sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat p-nitrofenil-β-Dxilopiranosida Sebanyak 100 μ L enzim xilanolitik ditambah 900 μ L substrat pnitrofenil-β-D-xilopiranosida diinkubasi pada suhu 700C selama 60 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 0,1 mL Na2CO3 0,4 M. Aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan. Pengamatan jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan diamati dengan spektrofotometri pada λ 405 nm. Blangko yang digunakan 100 μ L aquades dan 900 μ L substrat p-nitrofenil-βD-xilosida diperlakukan sama dengan kondisi di atas. Standar p-nitrofenol digunakan pada kisaran 0,1-0,5 mM p-nitrofenol/mL dari stok p-nitrofenol 10 mM/mL dalam pelarut buffer PC pH 7. Seratus μ L masing-masing larutan standar p-nitrofenol dicampur dengan 300 μ L buffer PC dan diinkubasi pada suhu 700C selama 60 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 μ L Na2CO3 0,4 M. Absorbansi dibaca pada λ 405 nm. Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat beberapa jenis xilan Aktivitas enzim xilanolitik ditentukan dengan mengukur banyaknya gula pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis substrat oat spelt xylan, birchwood, wheat, rye, dan arabinan. Masing-masing 100 μ L substrat tersebut ditambah 100 μ L enzim diinkubasi pada suhu 700C selama 60 menit. Hasil inkubasi ditambah dengan 600 μ L pereaksi DNS dimasukkan dalam penangas air mendidih dan dipanaskan selama 15 menit, kemudian segera didinginkan dalam air es selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada λ 550 nm. Kontrol yang digunakan 100 μ L enzim dan 600 μ L pereaksi DNS diperlakukan sama dengan kondisi di atas (Miller, 1959). Standar xilosa dibuat pada kisaran 0,1-1 mg xilosa/mL dari stok xilosa 10 mg/mL. 1 mL masing-masing larutan standar dicampur dengan 1 mL aquades, kemudian ditambah 3 mL pereaksi DNS, dikocok kuat. Tabung dimasukkan dalam penangas air mendidih dan dipanaskan selama 15 menit, kemudian segera dinginkan dalam air es selama 20 menit. Absorbansi dibaca pada λ 550 nm. Blangko digunakan dengan mengganti xilosa dengan aquades. Analisis produk hidrolisis Sampel substrat xilan ditambah dengan enzim xilanolitik, dihidrolisis pada suhu 70 0C selama 24 jam. Hasil hidrolisis digunakan sebagai sampel untuk analisis HPLC. Analisis HPLC menggunakan kolom karbohidrat (Mikrobondapak), detektor indeks bias, pelarut metanol 80 % dalam air, kecepatan alir 1 mL/menit, konsentrasi senyawa standar 0,05 %, volume injeksi 20 μ L pada suhu kamar. Analisis produk fermentasi Sampel substrat xilan yang telah difermentasi dianalisis dengan GC. Analisis GC menggunakan senyawa standar dengan konsentrasi 0,1%, volume injeksi 0,2 μL untuk standar dan 1 μL untuk sampel, pada suhu kamar.

PKMP-6-9-4

HASIL DAN PEMBAHASAN E.coli DH5 α rekombinan (pTP510) dapat memproduksi enzim xilanolitik, yang terdiri dari Xyl ( β -xilosidase) dan Abfa ( α -L-arabinofuranosidase). Kedua enzim ini secara sinergis menghidrolisis oat-spelt xylan menjadi xilosa sebagai produk utamanya di samping arabinosa dan xilobiosa (Puspaningsih, 2004). Hasil analisis struktur gen penyandi enzim xilanolitik pada pTP510 ditemukan enzim ekso-xilanase yang berlokasi di bagian hulu dari gen xyl (Puspaningsih,2004). Enzim xilanolitik rekombinan berhasil diproduksi, diuji aktivitasnya, dibuktikan adanya enzim tersebut, dan dianalisis kemampuan hidrolisisnya terhadap beberapa xilan komersial. Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat p-nitrofenil-β-Dxilopiranosida Enzim xilanolitik diuji aktivitas xilanolitiknya, dengan mereaksikan enzim xilosidase yang diekspresikan oleh E. coli DH5 α rekombinan (pTP510) dengan substrat p-nitrofenil-β-D-xilopiranosida. Aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan. Pengamatan jumlah p-nitrofenol yang dilepaskan diamati dengan spektrofotometri pada λ 405 nm. 1 unit aktivitas enzim xilosidase didenifisikan sebagai jumlah enzim yang menghasilkan 1 μ mol p-nitrofenol dalam waktu 1 menit pada kondisi percobaan. Hasil penentuan aktivitas xilosidase sebesar 1,5869 μ mol/menit (Unit). Aktivitas xilosidase ini menunjukkan bahwa enzim xilanolitik rekombinan mempunyai aktivitas yang tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : O

OH

xilosa

β−xilosidase

NO2

p-nitrofenil-β-D-xilopiranosida (tak berwarna)

NO2

p-nitrofenol (kuning)

Uji aktivitas enzim xilanolitik menggunakan substrat beberapa jenis xilan Enzim xilanolitik diuji dengan beberapa substrat xilan dengan pereaksi DNS. Banyaknya gula pereduksi diukur menggunakan metode DNS secara spektrofotometri pada λ 550 nm (Miller, 1959). 1 unit aktivitas xilanolitik menunjukkan μ mol xilosa yang dihasilkan per menit untuk setiap mL enzim. Aktivitas xilanolitik terhadap beberapa xilan terlihat pada tabel 1. Dari data tersebut terlihat bahwa enzim xilanolitik rekombinan dapat menghidrolisis beberapa jenis substrat xilan komersial.

PKMP-6-9-5

Tabel 1. Aktivitas xilanolitik beberapa jenis xilan Jenis xilan Aktivitas (U/mL) 173,33 Oat-spelt xylan 92,22 Birchwood 652,22 Wheat 494,44 Rye 340 Arabinan Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : COOH

COOH OH

OH

gula pereduksi

NO2

O2N

NH2

O2N

asam 3,5-dinitrosalisilat asam 3-amino-5-nitrosalisilat (kuning) (coklat) Perbedaan aktivitas xilanolitik beberapa jenis xilan komersial di atas disebabkan kemampuan menghidrosis enzim xilanolitik rekombinan yang berbeda terhadap masing-masing jenis xilan. Aktivitas tertinggi enzim xilanolitik rekombinan terlihat pada wheat, data ini juga didukung oleh data HPLC (tabel 2 dan gambar 1c) yang menunjukkan bahwa wheat terhidrolisis menjadi 17,62% xilosa, 19,95% arabinosa, dan 42,46% xilo-oligosakarida. Analisis Produk Hidrolisis Produk hidrolisis enzim xilanolitik rekombinan terhadap beberapa substrat xilan menunjukkan bahwa enzim tersebut dapat menghidrolisis xilan menjadi xilosa, arabinosa, dan xilooligosakarida (Tabel 2). Enzim xilanase rekombinan dapat menghidrolisis oat-spelt xylan menjadi xilosa dan arabinosa, ini dukung data HPLC pada gambar 1a dengan RT 1,40 untuk xilosa (RT xilosa standar 1,37) dan 2,02 untuk arabinosa (RT arabinosa standar 2,00).

Jenis xilan Oat spelt xylan Birchwood Wheat Rye Arabinan

Tabel 2. Hasil analisis HPLC Hasil analisis (%) xilosa arabinosa xilooligosakarida 21,73 26,67 20,60 17,62 8,89 13,55

22,26 19,95 13,02 15,10

18,60 42,46 10,05 13,99

PKMP-6-9-6

36

waktu retensi waktu retensi waktu retensi (a) (b) (c) Gambar 1. Kromatogram HPLC dari oat-spelt xylan, birchwood, dan wheat Komposisi birchwood adalah xilosa 89,3%, arabinosa 1%, glukosa 1,4%, dan asam anhidrouronat 8,3% (Saha, 2003), sedangkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa birchwood terhidrolisis menjadi xilosa 20,60% (RT 1,39), arabinosa 22,26% (RT 2,08), dan xilooligosakarida 18,60% (RT 3,45) oleh enzim xilanase rekombinan (Gambar 1b). Hasil hidrolisis menunjukkan bahwa enzim yang diekspresikan oleh E. coli DH5 α rekombinan (pTP510) mempunyai aktivitas xilanolitik lebih dibandingkan hasil penelitian sebelumnya. Wheat terhidrolisis menjadi xilosa (RT 1,35), arabinosa (RT 1,93), dan xilooligosakarida (RT 3,48) oleh enzim xilanolitik rekombinan (Gambar 1c). Komposisi wheat menurut Saha (2003) terdiri dari 65,8% xilosa, 33,5% arabinosa, 0,3% glukosa, dan 0,1% manosa. Komposisi wheat (Megazyme) yaitu arabinosa 37%, xilosa 61%, gula lainnya 2%. Hasil hidrolisis wheat dengan enzim xilanolitik rekombinan adalah 17,62% xilosa, 19,95% arabinosa, 42,46% xilooligosakarida. Hal ini menunjukkan bahwa wheat menghasilkan produk xilooligosakarida tertinggi dibandingkan sampel xilan yang lain. Enzim xilanolitik rekombinan terutama menghidrolisis rye menjadi arabinosa. Hasil hidrolisis rye oleh enzim xilanolitik rekombinan adalah 8,89% xilosa (RT 1,33), 13,02% arabinosa (RT 2,18), dan 10,05% xiloologosakarida (RT 3,50) ditunjukkan pada Gambar 2a, sedangkan komposisi Rye (Megazyme) yaitu arabinosa 49%, xilosa 48%, dan gula lainnya 3%.

waktu retensi waktu retensi (a) (b) Gambar2. Kromatogram HPLC dari rye dan arabinan

PKMP-6-9-7

Komposisi arabinan (Megazyme) mengandung arabinosa, galaktosa, rhamnosa, dan asam galakturonat dengan perbandingan 88:3:2:7. Arabinan terhidrolisis oleh enzim xilanase rekombinan menjadi 13,55% xilosa (RT 1,36), 15,10% arabinosa (RT 2,04), dan 13,99% xilooligosakarida (RT 3,47) seperti yang terlihat pada gambar 2b. Sesuai dengan komposisi arabinan, hidrolisis dengan enzim xilanolitik rekombinan menunjukkan bahwa produk utamanya adalah arabinosa. Hidrolisis enzimatis terhadap substrat xilan komersial menunjukkan bahwa wheat mampu terhidrolisis 80% menjadi produk monomer dan oligomernya, sedangkan yang lain kurang dari 80%. Hasil ini sesuai dengan data aktivitas enzim yang tinggi pada wheat (tabel 1). Hidrolisis substrat xilan dilakukan oleh sifat sinergi enzim xilanase (Xyl dan Abfa). Mekanisme hidrolisis diawali oleh enzim α -L-arabinofuranosidase (Abfa) yang menghidrolisis rantai cabang xilan menghasilkan L-arabinosa dan xilobiosa. Pemutusan rantai cabang akan mempermudah hidrolisis xilan oleh enzim xilanase dan β -xilosidase (Xyl), lokasi hidrolisis enzim terlihat pada gambar 1. Enzim ekso-xilanase menghidrolisis rantai utama xilan menjadi xilooligosakarida yang merupakan substrat bagi enzim β -xilosidase untuk menghasilkan xilosa. Produk utama dari ketiga enzim tersebut adalah xilosa, arabinosa, dan xilotetrosa tersubstitusi yang bercampur dengan sedikit xilotriosa tersubstitusi (Tuncer dan Ball, 2003 , Puspaningsih, 2004). Hasil analisis produk hidrolisis diatas menunjukkan bahwa enzim xilanase rekombinan sangat berpotensi menjadi enzim yang dapat menghasilkan xilosa yang bermanfaat sebagai bahan baku di berbagai industri, seperti produksi bioetanol, xilitol, 2,3-butanadiol (Horitsu et al, 1992), bahan bakar cair (Fall et al, 1984), dan pelarut organik (Yu dan Saddler, 1985). Analisis produk fermentasi Analisis kualitatif etanol hasil fermentasi dilakukan dengan kromatografi gas. Identifikasi etanol dilakukan dengan melihat waktu retensinya dalam kromatogram. Identifikasi didasarkan pada perbandingan waktu retensi etanol standar, yang dianalisis pada kondisi sama. Sedangkan analisis kuantitatifnya dilakukan dengan melihat luas puncak suatu cuplikan dalam kromatogram. Luas setiap puncak yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi puncak tersebut. Ini dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi yang tepat dari setiap komponen.

PKMP-6-9-8

waktu retensi waktu retensi (a) (b) Gambar 3. Kromatrogram GC dari etanol standar (a) dan alkohol dari fermentasi birchwood (b) Pada kromatogram hasil fermentasi birchwood diketahui bahwa produk utama yang dihasilkan adalah 0,074 % etanol (RT 0,59) yang dihitung dengan cara membandingkan dengan larutan standar 0,1% etanol (RT 0,68). Pada kromatogram tampak adanya puncak lain selain puncak etanol, hal itu menunjukkan adanya senyawa hasil samping fermentasi. Untuk megidentifikasi senyawa tersebut, harus diketahui terlebih dahulu senyawa-senyawa yang biasanya merupakan hasil samping fermentasi. Kemudian waktu retensi senyawa yang diduga hasil samping fermentasi tersebut dibandingkan dengan waktu retensi senyawa standar. Hasil samping fermentasi karbohidrat selain etanol dan gas karbondioksida adalah metanol, gliserol, asam asetat, amil alkohol, isoamil alkohol dan asam suksinat. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Enzim xilanolitik dari E.coli DH5 α rekombinan (pTP510) mampu menghidrolisis beberapa jenis xilan komersial dengan aktivitas xilanolitik untuk oat-spelt xylan (173,33 U/mL), birchwood (92,22 U/mL), wheat (652,22 U/mL), rye (494,44 U/mL), dan arabinan (340 U/mL). 2. Produk hidrolisis utama dari degradasi xilan komersial oleh enzim xilanolitik rekombinan adalah xilosa, arabinosa, dan xilo-oligosakarida. 3. Hasil fermentasi dari produk hidrolisis birchwood adalah etanol. DAFTAR PUSTAKA 1. Fall, R.P., Phelps, P., Spindler, D., 1984, Bioconversion of xylan to triglyceride by oil-rich yeasts, Appl Environ Microbiol 47:1130-1134. 2. Horitsu, H., Yahashi, Y., Takamizawa, K., Kawai, K., Suzuki, T., Watanabe, N., 1992, Production of Xylitol from D-xylose by Candida tropicalis: optimization of production rate, Biotechnol Bioeng 40: 10851091. 3. Puspaningsih, N.N.T., 2004, Gen Penyandi Xilosidase dari Bacillus thermoleovorans IT-08, Desertasi S3-IPB, Bogor. 4. Saha, B.C., 2003, Hemicellulose Bioconvertion, J Ind Microbiol Biotechnol, 30:279-291. 5. Saha BC, 2003, Purification and Properties of An Extracelluler β xylosidase from A Newly Isolated Fusarium proliferatum, Bioresources Technol 90 : 33-38. 6. Tuncer, M., Balls, A.s., 2003, Co-operative actions and degradation analysis of purified xylan degrading enzymes from Thermomonospora fusca BD25 on oat spelt xylan, J. Appl Microbiol 94 : 1030-1035. 7. Yu, E.K.C., Saddler, J.N., 1985, Biomass convention to butanediol by simultaneous saccharification and fermentation, Trends Biotechnol 3 : 100-104.

PKMP-6-10-1

PEMBUATAN MINUMAN PROBIOTIK TERSUPLEMENTASI "RICE BRAN" YANG BERSIFAT MULTIFUNGSIONAL (KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN BEKATUL TERHADAP VIABILITAS BAL DAN AKTIVITAS BAKTERIOSIN) Elmi Dewi, Anita Kusuma, Nawa Aldina, Novia Rika, Yusnita Liasari Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-6-11-1

KEEFEKTIFAN MEDIA KOMPUTER SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA PADA SISWA SMA KELAS I. Siti Ni’matul Fitriyah, Nurul Aini, Novy Dwi Hermawati PS Pendidikan Kimia, Fakultas Mipa, Universitas Negeri Malang, Malang ABSTRAK Komputer dapat mempercepat penyimpanan dan mengakses informasi sehingga kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan cepat, dan menyenangkan terutama dalam materi ikatan kimia. Dewasa ini pelaksanaan pembelajaran materi ikatan kimia masih menggunakan metode pembelajaran yang konvensional (klasikal). Dalam realitas empirik pembelajaran ikatan kimia lebih menarik jika media pembelajaran berbasis komputer (teknologi informasi. Dalam hal ini Siswa dapat mengakses sendiri materi ikatan kimia dengan menggunakan komputer baik di sekolah ataupun di rumah, yang selanjutnya akan didiskusikan dalam forum kelas. Permasalahannya adalah bagaimana peran media komputer sebagai sarana pembelajaran ikatan kimia dalam menunjang percepatan proses pembelajaran di sekolah. Kegiatan penelitan ini bertujuan untuk: mengembangkan komputer sebagai media pembelajaran yang efektif, membuat desain media pembelajaran ikatan kimia, mengetahui keefektifan media komputer yang telah dibuat. Metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan dan kuasi eksperimen. Analisis data yang digunakan dalam kegiatan ini dilakukan melalui analisis data kualitatif berdasarkan persentase kriteria penilaian dan analisis kuantitatif nilai siswa dilakukan dengan menggunakan uji statistik (uji-t). Hasil penelitian ini berupa produk CD pembelajaran interaktif untuk materi ikatan kimia dan prestasi hasil belajar siswa melalui penggunaan CD pembelajaran interaktif. Dalam hal ini diketahui bahwa metode pembelajaran melalui CD Interaktif dapat memberikan kontribusi positif pada hasil belajar daripada metode konvensional. Hal ini terlihat pada nilai siswa, dalam kelas eksperimen diperoleh rata-rata sebesar 77,3 dan kelas kontrol sebesar 69,5. Berdasarkan data yang diperoleh diatas dapat disimpulkan bahwa: Media CD Interaktif Ikatan Kimia merupakan media yang valid untuk pembelajaran kimia; Media CD Interaktif Ikatan Kimia mampu membantu pelaksanaan pembelajaran kimia materi Ikatan Kimia kelas IX semester 1 melalui pembelajaran berbasis komputer. Kata kunci: Keefektifan, Media komputer, ikatan kimia PENDAHULUAN Perkembangan dan pemanfaatan teknologi dalam proses pengembangan sumber daya manusia khususnya pendidikan, selaras dengan perkembangan pendidikan dan revolusi pembelajaran itu sendiri. Perkembangan teknologi pembelajaran semakin cepat karena didorong perkembangan dan perubahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Model pembelajaran tradisional (classical conditioning) dalam kelas dengan metode tatap muka bergeser ke layar manitor komputer sebagai sistem pembelajaran individual (self instruction). Dengan bantuan komputer kemudian berkembang lebih jauh yaitu dengan bantuan

PKMP-6-11-2

telekomunikasi dapat menjadikan pembelajaran dapat terjadi kepada siapa, kapan dan dimana saja (Adi 2004) Penyampaian informasi melalui gambar-gambar visual sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia sejak sejarah paling dini. Bahkan definisi sejarah membedakan masa sejarah dan pra sejarah, pada suatu saat ketika kemampuan merekam pengetahuan secara visual menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Selama perkembangan peradaban umat manusia, komunikasi visual makin lama makin menyisihkan komunikasi oral (Landa 2001 dalam Adi 2004). Bagi kebanyakan negara berkembang teknologi yang baru tidak dapat dikembangkan sendiri tetapi harus diperoleh dari luar. Namun masalah memperolehnya dari luar mengalami banyak hambatan yang berkaitan dengan masalah intelektual (property rights) dan atau biaya transfer teknologi yang cukup tinggi. Selain itu kesulitan yang dihadapi juga bersumber dari keterbatasan sumber finansial dan sumber daya manusia. Oleh karena itu bagi negara berkembang kebijaksanaan penguasaan teknologi yang paling tepat adalah membangun kemampuan penyerapan (absortive capacity) melalui upaya transformasi teknologi dalam arti mempelajari, menyesuaikan, dan bila mungkin memperbaiki teknologi yang tersedia dengan tujuan memperoleh keunggulan kompetitif. Dengan cara demikian memungkinkan terjadinya alih IPTEK atau pergeseran kekuasaan dari teknologi yang bersifat madya (intermediet) pada teknologi tinggi (high-tech) dan akhirnya pada teknologi yang baru (new technology) (Saepudin 2001) Dalam mengembangkan teknologi pendidikan, yang paling memungkinkan, murah serta efektif adalah melalui media komputer, karena dengan kemajuan teknologi komputasi pada saat ini, berbagai jenis aplikasi yang bersifat mempermudah proses pembelajaran dapat dijalankan dengan media komputer. Komputer berperan sebagai manajer dalam proses pembelajaran yang dikenal dengan nama Computer Manage Instruction (CMI). Ada pula peran komputer sebagai pembantu tambahan dalam belajar; kemanfaatannya meliputi penyajian informasi isi materi pelajaran, latihan atau keduannya. Modus ini dikenal sebagai Computer Assisted Instruction (CAI). CAI mendukung pengajaran akan tetapi bukanlah penyampai utama materi pelajaran (Arsyad 2004). Dalam hal ini peran guru tetap utama dalam menyampaikan materi pelajaran, yakni sebagai fasilitator pengguna mesin komputer sehingga proses pembelajaran dapat dilaksanakan (Arsyad 2004). Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran mempunyai beberapa keuntungan diantarannya adalah : (1) komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran karena dapat memberikan iklim yang bersifat efektif dengan cara yang lebih individual, tidak pernah lupa, tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi seperti yang diinginkan program yang digunakan; (2) komputer dapat merangsang siswa untuk mengerjakan latihan, melakukan kegiatan laboratorium atau simulasi karena tersediannya animasi grafik, warna dan musik yang dapat menambah realisme; (3) kendali berada ditangan siswa sehingga tingkat kecepatan belajar siswa dapat disesuaikan dengan tingkat penguasaannya, yaitu berinteraksi dengan siswa secara perorangaan misalnya dengan bertanya dan menilai jawaban; (4) kemampuan merekam aktifitas siswa selama mengunakan suatu program pengajaran memberi

PKMP-6-11-3

kesempatan lebih baik untuk pembelajaran secara perorangan dan perkembangan setiap siswa selalu dapat dipantau (Arsyad 2004). Menurut Azhar Arsyad (2004) mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran, guru hanya berusaha untuk memberikan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera oleh siswa. Semakin banyak alat indera yang digunakan untuk mengolah informasi semakin besar pula kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan. Stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali dan menghubungkan fakta dengan konsep (Levie & Levie 1975 dalam Arsyad 2004). Belajar dengan menggunakan indera ganda dapat memberikan keuntungan bagi siswa. Siswa akan belajar lebih banyak daripada jika materi disajikan hanya dengan stimulus pandangan saja atau hanya dengan stimulus dengar saja (Arsyad 2004). Dalam perkembangannya media komputer sangat mendukung dalam proses pembalajaran. Namun, sampai saat ini masih sedikit sekali instansi pendidikan yang menggunakan lebih-lebih mengembangkan media komputer sebagai sarana pembelajaran, maka dari itu salah satu inspirasi Peneliti adalah membuat desain media komputer sebagai sarana pembelajaran dalam hal ini mata pelajaran kimia materi ikatan kimia. Dengan harapan perkembangan teknologi dapat diikuti oleh siswa sekolah menengah atas dan dapat mempermudah proses pembelajaran. Berdasarkan latar belakang permasalahan, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah desain pembelajaran ikatan kimia dengan menggunakan media komputer, 2) Bagaimanakah keefektifan media komputer sebagai sarana pembelajaran ikatan kimia? Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pembelajaran ikatan kimia akan lebih efektif jika menggunakan media komputer. Kegiatan penelitan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan komputer sebagai media pembelajaran yang efektif. Manfaat dari penelitian ini untuk jangka waktu yang akan dating adalah dihasilkannya CD pembelajaran interaktif tentang materi ikatan kimia siswa SMA kelas I. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu konstribusi yang sangat berarti pada dunia pendidikan tentang keefektifan media komputer sebagai sarana pembelajaran ikatan kimia khususnya dan mata pelajaran lain pada umumnya. METODE PENDEKATAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (developmental research) dan juga merupakan suatu penelitian eksperimental semu (kuasi eksperimen). Lama waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya penelitian ini adalah 1 minggu, yang bertempat di SMA Assaadah Bungah Gresik. Populasi dari kegiatan penelitian ini adalah semua siswa kelas I SMA, sedangkan sampel dari penelitian ini ada 2 kelas yaitu kelas I-7 (kelas eksperimen) dan kelas I-4 (kelas kontrol). Dipilihnya kedua kelas tersebut karena termasuk kelas yang kemampuannya homogen, sehingga diharapkan data yang diperoleh akan dapat mewakili tentang keadaan populasi yang sebenarnya. Alat dan bahan yang diperlukan demi terlaksananya kegiatan penelitian ini adalah perangkat pembelajaran, yang meliputi silabus dan sistem penilaian, rencana pelaksanaan pembelajaran, konsep materi ikatan kimia, dan CD pembelajaran interaktif materi ikatan kimia.

PKMP-6-11-4

Metode yang dilakukan untuk memperoleh data penelitian ada dua, yang pertama yaitu pada tahap pengembangan media data yang diperoleh berupa angket yang disebarkan pada ahli media dan ahli materi untuk mengetahui tingkat kelayakan dari media yang dikembangkan. Kedua yaitu pada tahap uji coba dilapangan, data diperoleh dengan cara melakukan review pembelajaran tentang materi ikatan kimia yang telah disampaiakn pada semester sebelumnya, kemudian siswa akan diberikan tes akhir dari materi tersebut sehingga diperoleh data yang berupa nilai akkhir siswa untuk materi ikatan kimia. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua bagian yang pertama adalah untuk data kualitatif dan yang kedua untuk jenis data kuantitatif. Teknik analisis data yang tergolong dalam jenis data kualitatif (angket) digunakan teknik analisis data persentase. Rumus yang digunakan sebagai berikut :

x x100% , dengan : x1 P = Persentase x = Jawaban responden dalam satu item x1 = jumlah nilai ideal dalam satu item Rumus pengolah data secara keseluruhan item adalah : ∑ x x100 P= ∑ x1 P=

Untuk menentukan kesimpulan ditetapkan kriteria pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase kriteria penialian Persentase 80%-100% 60%-79% 50%-59% 20Å) dibandingkan montmorillonit alam. Hal ini disebabkan karena telah terbentuknya struktur jaringan mikropori baru akibat dari kenaikan jarak antar lapis silika. Material yang diperoleh digunakan sebagai fotokatalis pada fotodegradasi limbah cair industri tekstil. Uji aktivitas dilakukan dengan sistem suspensi fotokatalis pada cairan limbah kemudian dikenai ekspos sinar sebagai sumber foton. Dalam penelitian ini diamati perbandingan penggunaan sinar UV dan sinar matahari. Fotodegradasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan TiO2-Montmorillonit Sebelum dilakukan proses pengolahan limbah cair industri tekstil menggunakan TiO2-montmorillonit, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap kondisi awal limbah dengan pengukuran parameter pH, COD, TSS, dan warna. Angka COD sampel ditentukan secara kolorimetri/spektrofotometri terhadap sampel yang lebih dahulu dioksidasi dengan kalium bikromat secara refluks tertutup. Hasil analisis awal terhadap sampel limbah cair tekstil ditunjukkan pada tabel 4. Dari data diatas terlihat bahwa warna limbah, pH serta padatan tersuspensi total (TSS) memenuhi baku mutu lingkungan ditunujukkan dengan kadar dan kenampakan yang sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Secara visual, warna limbah cair yang digunakan jernih agak keruh dan tidak menunjukkan adanya zat warna. Analisis ini didukung oleh kandungan padatan tersuspensi total yang cukup rendah yaitu sebesar 8 mg/L. Hal ini disebabkan karena limbah diperoleh dari industri tekstil yang tidak memproses pewarnaan melainkan pembuatan kain mori. Namun demikian kandungan COD dalam sampel melebihi baku mutu yang ditetapkan.

PKMP-6-16-8

Tabel 4. Data kondisi awal limbah cair tekstil Parameter yang diukur

Hasil pengukuran

Baku mutu lingkungan*

pH

7,9

6,0 – 9,0

COD

441,401 mg/L

250,0 mg/L

TSS

8,0 mg/L

60 mg/L

Warna Jernih 0 Pt - Co *Baku Mutu Lingkungan Limbah Cair industri Tekstil berdasar SK Men. LH No: 51/MENLH/10/95

Fotodegradasi limbah cair tekstil dengan menggunakan montmorillonit terpilar TiO2 sebagai katalis dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan bantuan sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm dan sinar matahari. Hal ini bertujuan untuk mencari metode yang efektif, efisien dan ekonomis pada penerapannya di industri tekstil. Sistem fotodegradasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem suspensi. Fotokatalis dibuat dalam bentuk suspensi bersama larutan limbah cair industri tekstil dengan perbandingan 1:100. Sebanyak 25 mL larutan limbah cair industri tekstil didegradasi menggunakan 0,25 mg TiO2-montmorillonit dan diekspos dengan sinar UV pada panjang gelombang 366 nm dan sinar matahari selama 180 menit. Sebagai pembanding dilakukan prosedur yang sama dengan menggunakan montmorillonit alam dan montmorillonit terpilar TiO2 tanpa penyinaran (gelap). Pengukuran absorbansi filtrat digunakan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang serapan maksimal 601 nm. Hal ini didasarkan pada serapan panjang gelombang maksimum yang dimiliki oleh larutan kalium bikromat (K2Cr2O7). Standart COD dibuat dari kalium hidrogen phtalat direfluks bersama kalium bikromat dan H2SO4 Pengamatan terhadap perubahan nilai COD pada reaksi fotodegradasi menggunakan katalis TiO2 dengan bantuan sinar matahari, UV 366, gelap, dan adsorpsi menggunakan montmorillonit alam dapat ditujukkan melalui data perubahan angka COD seperti terlihat pada tabel 5. Tabel 5. Perubahan angka COD pada limbah cair industri tekstil

Adsorpsi Mont-alam

Angka COD setelah perlakuan 387,42

% penurunan angka COD 12,23

2

Adsorpsi TiO2-mont

102,64

76,75

3

TiO2-mont matahari

62,264

85,89

4

TiO2-mont UV 366 nm

25,314

94.26

No

Sampel

1

Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka COD yang cukup signifikan. Persen penurunan angka COD untuk montmorillonit alam adalah 12,23 %. Sedangkan untuk TiO2-montmorillonit persen penurunan angka CODnya adalah 76,75 %. TiO2-montmorillonit memiliki persen penurunan angka COD lebih besar dibandingkan dengan montmorillonit alam karena TiO2-

PKMP-6-16-9

montmorillonit memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan montmorillonit alam. Selain itu TiO2-montmorillonit memiliki luas permukaan spesifik, volume total pori, dan rerata jejari pori yang besar yang diakibatkan terbentuknya pilar/tiang TiO2 didalam antarlapis silika montmorillonit. Aktivitas fotokatalitik 0,25 mg TiO2-montmorillonit untuk mendegradasi 25 mL limbah cair industri tekstil dengan bantuan penyinaran lampu UV 366 nm mencapai 94.26 % selama 180 menit, sedangkan aktivitas fotokatalitik TiO2montmorillonit dengan bantuan sinar matahari dengan waktu dan jumlah sampel yang sama hanya mencapai 85,89 %. Pada proses fotokatalitik TiO2montmorillonit dengan bantuan sinar matahari memiliki kemampuan menurunkan angka COD yang lebih rendah dibandingkan dengan proses fotokatalitik TiO2montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366. Hal ini bisa disebabkan karena pada saat proses fotokatalitik berlangsung kondisi cuacanya kurang mendukung terjadinya proses fotokatalis, akibatnya intensitas sinar yang dibutuhkan untuk membantu proses fotodegradasi sampel tidak konstan (berubah-ubah). Sedangkan proses fotokatalitik TiO2-montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366 memiliki kemampuan yang lebih baik karena intensitas sinar yang dibutuhkan pada saat proses fotokatalitik dapat berlangsung secara kontinyu dan konstan (tetap) Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas fotokatalitik TiO2-montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366 nm lebih efektif digunakan untuk mendegradasi limbah cair industri tekstil dibandingkan dengan TiO2montmorillonit dengan bantuan sinar matahari. KESIMPULAN Pemilaran antar lapis silikat montmorillonit alam dengan titanium dioksida (TiO2) telah berhasil meningkatkan luas permukaan spesifik, volume total pori. dan basal spacing (d001) serta kandungan Ti didalam antar lapis silikat montmorillonit. Fotodegradasi limbah cair industri tekstil menggunakan TiO2montmorillonit dengan bantuan sinar UV 366 nm terbukti lebih efektif menurunkan angka COD sampai 94,26 % selama 180 menit dibandingkan menggunakan TiO2-montmorillonit dengan bantuan sinar matahari yang hanya mampu menurunkan angka COD limbah cair tekstil sebesar 85,89 % selama 180 menit. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi, BAPPEDAL, Jakarta Ekimav AI, Effros AIL, Anuchenko AA. 1985. Quantum Size Efection Semiconductor Microcrystal. Solid States Communication. 5611,921-1524 Fatimah Is, Huda T. 2004. Pilarisasi Lempung Bentonit Alam dengan Oksida Ti dan Aplikasinya pada Fotodegradasi Limbah Cair Industri Tekstil, Laporan Penelitian. Jogjakarta: FMIPA UII, Nurmantias SD. 2002. Sintesis Lempung Terpilar Al2O3 dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Inang Senyawa para- Nitro Anilin, Skripsi. Jogjakarta: FMIPA, UGM. Tan KH. 1982. Dasar-Dasar Kimia Tanah, Edisi Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Wijaya K. 2000. Lempung Terpilar (Pillred Clay) Sebagai Material Multi Guna, Eksakta, 1,2, 1-10

PKMP-6-17-1

PERANCANGAN INSTRUMEN PENGONTROL BIAYA LISTRIK RUMAH TANGGA DENGAN SISTEM PENGAMBILAN DATA METODE DIGITAL Ahmad Yuliyanto, Anton Budi Prasetyo, Risa Amalia Politeknik Pratama Mulia Surakarta, Surakarta ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya keluhan dari pelanggan PLN, yang ketika membayar rekening listriknya banyak yang tidak sesuai dengan uang yang dibawanya dari rumah. Hal ini dikarenakan ketika mereka melihat apa yang tercatat di meter listrik, tidak sama dengan apa yang harus dibayarnya. Oleh karena itu ketika mereka membayar, sedangkan jumlah uang yang mereka bawa tidak sesuai, maka mereka biasanya marah-marah kepada petugas yang melayani pembayaran. Padahal ini bukanlah kesalahan dari petugas penerima pembayaran rekening listrik tersebut. Oleh karena itu, kami sebagai mahasiswa tergerak untuk membuat suatu instrumen atau alat yang bertujuan untuk memudahkan bagi pelanggan PLN dan petugas pencatat meter listrik untuk mengetahui jumlah uang yang harus dibayarkan ketika akhir bulan. Metode yang kami kembangkan disini adalah menggunakan instrumen Mikrocontroller, yang mudah didapat dan murah harganya, sehingga sangat ekonomis jika dikembangkan dalam jumlah yang banyak. Dari hasil yang telah kami kembangkan, telah kami buat suatu alat yang bisa menampilkan jumlah uang sesuai dengan jumlah KWh yang dipakai oleh pelanggan tersebut serta ditambah dengan pajak yang diwajibkan oleh pemerintah dalam satu periode tertentu. Kesimpulan dari hasil penelitian kami adalah, bahwa alat ini akan sangat membantu bagi para pelanggan PLN dalam mengontrol penggunaan listrik mereka sendiri, juga membantu PLN dalam melakukan penghematan dan efisiensi biaya di segala bidang serta penerapan teknologi tepat guna. Peralatan ini kami katakan sebagai suatu alat yang MUDAH, MURAH DAN EKONOMIS. Kata kunci: Listrik murah, PLN, kWH meter PENDAHULUAN Pada era sekarang ini, listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga peranannya tidak lagi dapat dipisahkan dari kehidupan masa sekarang. Hampir seluruh peralatan rumah tangga memerlukan listrik, kecuali peralatan tradisional. Bila dilihat pada sisi industri, padam listrik dalam satu hari dapat melumpuhkan perekonomian sampai jutaan rupiah. Masih banyak masalah yang terjadi pada sistem kelistrikan. Dari berbagai sudut pandang diatas, dapat diketahui beberapa contoh dari kasus tentang listrik. Namun, perlu juga diketahui bahwa semakin besar tenaga listrik yang digunakan semakin banyak pula tagihan yang harus dibayarkan. Sehingga kebutuhan pokok listrik harus dapat dimanfaatkan dengan betul dan seefisien mungkin. Efisiensi dari penggunaan sumber daya kelistrikan bukan hanya tanggung jawab dari para pelanggan namun juga peran aktif penyedia jasa kelistikan dalam hal ini pihak PLN. Penerapan meteran listrik yang digunakan pada rumah tangga

PKMP-6-17-2

saaat ini, banyak dari kalangan keluarga yang belum mengetahui maksud dari nilai yang tertera pada meteran tersebut sehingga banyak yang mengeluh ketika datang untuk membayar tagihan, ternyata harus membayar lebih dari yang diperkirakan oleh para pelanggan tersebut.Melihat hal tersebut kami melakukan suatu kegiatan penelitian yang menyangkut penerapan teknologi dibidang kelistrikan. Latar Belakang Masalah Hasil obsevasi yang dilakukan pada masyarakat masih menunjukan pemborosan yang terjadi dalam penggunaan kelistrikan. Hal ini akibat banyak masyarakat yang belum dapat membaca dan menerjemahkan nilai yang tertera dalam meteran tersebut. Sehingga tidak aneh jika para pelanggan membayar banyak untuk hal ini. Peranan pemerintah dalam mengkampanyekan hemat energi tidak mencapai sasaran yang tepat. Karena belum ada sosialisasi terhadap masyarakat tentang sistem pembayaran dan penggunaan yang aman terhadap beban listrik yang berlaku. Sosialisasi melalui periklanan didunia pertelevisain, kurang dapat diterima oleh masyarakat karena sebagaian besar dunia pertelevisian masih dianggap sebagai dunia hiburan saja. Jika pemerintah menurunkan biaya uintuk sosialisasi tersebut maka berapa milyar dana yang harus dikeluarkan? Melihat kemungkinan tersebut belum tentu berhasil. Penulisan dalam pengambilan data pada Kwh meter yang diberlakukan saat ini masih sangat rentan terhadap kesalahan penulisan, jika hal ini terjadi akan berakibat kerugian pada kedua belah pihak, pada PLN sendiri memungkinkan akan menurunnya omset penjualan tenaga listrik pada masyarakat dan bagi masyrakat akan melambung biaya pembayaran listriknya. Dari faktor ekonomi pengambilan data Kwh meter ini tidak efisien karena masih menggunakan banyak kertas yang akan terbuang sia-sia tanpa ada guna lebih lanjut. Dalam melakukan hemat energi harus dapat diketahui setiap saat nilai yang harus dibayarkan. Dengan demikian pelanggan dapat mengetahui berapa beban yang harus terpasang dan digunakan dalam setiap saat. Perumusan Masalah Perumusan masalah yang diperlukan bagaimana mengefisienkan pegawai pencatat Kwh meter dan mempermudah pelanggan PLN untuk mengetahui jumlah rekening yang harus dibayarkan. Batasan Masalah Dari rumusan masalah yang telah kami kemukakan diatas, maka kami membatasi permasalahan hanya pada menampilkan jumlah biaya yang telah dipakai oleh pelanggan PLN jenis rumah tangga. Tapi, hal ini masih bisa dikembangkan lagi untuk pelanggan jenis industri. Tujuan Dan Kegunaan Dari beberapa permasalahan yang terjadi baik dalam PLN sebagai pengelola dan pelanggan, diantaranya: 1. Keinginan pelanggan untuk langsung mengetahui jumlah uang yang harus dibayarkan ketika akhir bulan pemakaian.

PKMP-6-17-3

2. Efisiensi pegawai pencatat Kwh meter 3. Kecepatan dalam perolehan data oleh PLN Selain dari tujuan tersebut terdapat pula manfaat yang dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, diantaranya: 1. Dapat diperoleh gambaran kondisi dan permasalahan yang dialami oleh pelanggan dalam pembayaran. 2. Pengguanaan energi listrik dapat dihemat karena semua beban pembayaran telah terpapar pada Kwh meter. 3. Kesalahan dalam pencatatan data pelanggan dapat diminimalisasi karena system ini tidak menggunakan system analog dalam melakukan transfer data. 4. Manfaat lebih lanjut data yang tersimpan dalam memori dapat langsung diakses dalam komputer induk PLN sebagai pengolah data di daerah. METODE PENDEKATAN Perancangan instrumen yang dilakukan untuk memperoleh hasil akhir yang berupa prototype adalah sebagai berikut: No. 1.

Kegiatan

2. 3. 4.

Observasi dan Identifikasi Masalah Perumusan Masalah Perancangan Model Alat Ukur Desain Alat

5. 6. 7.

Evaluasi Hasil Desain Pembuatan Prototipe Kesimpulan dan Saran

Bulan Pada Tahun Berjalan (2006) Maret April Mei Juni

Obsevasi yang dilakukan pada masyarakat dengan melihat kondisi yang terjadi pada pengguna listrik dan system pencatatan data. Hasil observasi merupakan input yang diperlukan perumusan masalah. Sehingga diperoleh suatu system instrumen pengontrol biaya yang otomatis sesuai dengan keadaan yang sekarang ini. Perumusan masalah adalah bentuk dari hasil observasi yang dilakukan terhadap masyarakat. Selain untuk menentukan peralatan yang dibutuhkan dalam pembuatan instrumen biaya pengontrol biaya listrik dan menentukan data base yang diperlukan. Perancangan model alat ukur adalah penyesuaian instrumen yang dibutuhkan dalam pembuatan instrumen ini. Desain alat ini merupakan bentuk awal yang diperlukan dalam dalam menjawab perumumusan masalah tersebut. Evaluasi hasil desain digunakan sebagai pelacakan kesalahan yang terjadi pada perancangan alat ukur dan desain alat. Hasil akhir dari program adalah pembuatan prototipe yang melihat kepada perancangan alat ukur dan desain.

PKMP-6-17-4

TEMPAT KEGIATAN Lokasi : Politeknik Pratama Mulia Surakarta Bahan dan Alat yang digunakan Bahan : • Optocoupler. • Adaptor. • Minimum System. • Komponen elektronika. Alat : • Komputer • Software Downloader versi 1.0 Tahap pelaksanaan kegiatan. 1. Tahap observasi Tahap obsevasi yang dilakukan dalam masyarakat dan PLN adalah dengan mensurvei apa yang diinginkan oleh pelanggan PLN dan PLN itu sendiri. 2. Tahap studi pustaka Tahap studi pustaka yang dilakukan dengan mempelajari teori-teori dan konsep yang akan digunakan dalam menyelesaikan permasalahan ini untuk mendapatkan referensi yang kuat dari buku-buku dan sumber-sumber lain yang relevan dengan masalah tersebut. 3. Konsultasi Tahapan ini adalah dengan melakukan konsultasi dan pembimbingan dari orang-orang atau dosen yang sesuai dengan bidang permasalahan ini. 4. Eksperimen Tahapan ini adalah melakukan/membuat suatu prototype/contoh alat yang nantinya akan digunakan, dan melakukan percobaan dari alat tersebut sehingga menghasilkan data yang valid dan dapat dipergunakan dengan baik. HASIL DAN PEMBAHASAN Instrumen ini pada dasarnya memiliki dua system yang bekerja secara berhubungan, diantaranya: • Kwh meter • Optocoupler • Pemrosesan data Kwh meter Kwh meter adalah perlatan yang terdapat dalam penampil nilai yang ada dalam penggunaan litrik dalam rumah tangga. Dalam dalam aplikasi intrumen ini sebagai pembangkit pulsa yang akan diolah pada unit pemroses data (input data). Pada piringan Kwh meter terdapat piringan yang kecepatan berputar sesuai dengan jumlah beban yang digunakan Semakin besar nilai beban yang digunakan maka akan semakin cepat putaran dari piringan tersebut. Dalam stsndart PLN jumlah 1 kwh = 600 putaran piringan. Optocoupler Piranti ini digunakan sebagai pembangkit pulsa yang diperoleh dari putaran piringan tersebut.

PKMP-6-17-5

Piringan meteran driver

mcs at89s51

Moc Gambar 1. Proses Pembacaan Mikrokontroller Pemberian lubang pada piringan meteran tersebut, mengakibatkan aktifnya dari optocoupler. Karena hasil tegangan yang diperoleh dari optocoupler terlalu kecil, maka perlu adanya suatu driver sebagi penguat tegangan. Pemrosesan Data Proses mengunakan memori internal dan eksternal yang digunakan dalam pemrosesan ini. Karena pada mikrokontroler intruksi dapat dilakukan pada memori yang dituliskan kedalam mikrokontrolertersebut. Proses Pembacaan Proses pembacaan dapat dianalogikan sebagai proses membaca dari halaman tertentu dari sebuah buku di mana pada proses tersebut dibutuhkan: - Halaman dari tulisan yang akan dibaca = Alamat Memori - Perintah untuk membaca = Sinyal Read untuk Data dan Sinyal PSEN untuk kode Pembacaan Data dari Memori Eksternal Instruksi : MOV DPTR,#[address] ; Penentuan lokasi data yang akan dibaca MOVX A,@DPTR ; Perintah pembacaan data sekaligus mengambil data tersebut dan disimpan ke Akumulator A Data yang dihasilkan sebagai input pada port 2.6. sebagai counter ditunjukkan pada listing Subroutine COUNT. COUNT:

CLR P2.6 MOV A,SMTR0 INC A CJNE A,#21,NAIK0 MOV SMTR0,#00 MOV A,SMTR1 INC A CJNE A,#31,NAIK1 MOV SMTR1,#00 INC KWH ACALL SAVE ACALL KONV ACALL TAMPIL NOP

;600=20X30, SMTR0=20,SMTR1=30

;UTK NYIMPAN KWH KE EEPROM ;KONVERSI KWH KE RP (PER DIGIT) ;TAMPILAN LCD

PKMP-6-17-6

Pada tahapan ini data yang masuk secara digital akan diterima oleh port input pada microcontroller dan akan berakibat data port output akan mengeluarkan ke LCD. Selain tampil di LCD data tersebut juga dapat diakses langsung ke data bank melalui transfer data yang ada. melalui listing 1 merupakan penunjuk tampilan data ke LCD. Setelah mikrokontroler mengambil semua data yang ditunjuk DPTR dimana pada listing 1. Listing 1 ; routine data LCD write_data: SETB P2.1 ;untuk menuliskan mov P0,R1 ;data ke LCD setb P2.0 ;module clr P2.0 acall delay ret Listing 2 ;=================================== ; routine tampil Rupiah ;=================================== TAMPIL: tulis0: mov barisa: mov

tulis1: clr

NOP R4,#1 mov R3,#9 mov acall A movc mov Inc acall djnz

DPTR,#lalu R1,#80h write_inst A,@A+DPTR R1,A DPTR write_data R3,Tulis1

Jika terjadi counter pada program tersebut maka subroutine akan memanggil subroutine kovensi bilangan dimana bilangan yang dikonversi termasuk biaya pajak dalam prosentase dan beban yang terbagi dalam tiap blok. Untuk daya listrik sebesar 900VA dan 450VA akan berbeda pembayaran yang dibayarkannya, biaya yang dibayarkan perblok adalah sebagai berkut:

Daya (VA) 450 900

Tabel 1. Biaya Perblok Blok II Blok I Mulai dari B. Beban Mulai dari (Rp) 0 – 30 KWh 31 – 60 KWh (Rp) (Rp) 4950 169 360 18000 275 445

Blok III Mulai dari > 61 KWh (Rp) 495 495

PKMP-6-17-7

Dari hasil yang diperoleh dari perblock dikonversi mulai sebagai berikut Tabel 2. Harga perKwh. Kwh 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

900 VA 19920 19220 20519 20819 20119 21419 21718 22018 22318 22618 22917 23217 23517 23817 24116 24416 24716 25016 25315 25615 26100 26585 27070 27555 28040 28525 29010 29495 29980 30466 30915 31436 31921 32406 32891 33376 33861 34346 34831 35316

450VA 5580 5764 5948 6132 6317 6501 6685 6869 7053 7238 7422 7606 7790 7974 8159 8343 8527 8711 8895 9080 9264 9448 9632 9817 10001 10185 10369 10553 10738 10922 11314 11707 12099 12491 12884 13276 13669 14061 14453 14846

PKMP-6-17-8

Perhitungan jumlah harga dirumuskan sebagai berikut:

Tipe 450 VA 900 VA

Tabel 3. Rumus Harga Rumus (B. Beban + (KWh Blok1 * 169) + (KWh blok2 * 360 ) + (KWh Blok3 * 495)) * (1,09) (B. Beban + (KWh Blok1 * 275) + (KWh blok2 * 445 ) + (KWh Blok3 * 495)) * (1,09)

Dari data yang telah dikonversi, data tersebut disimpan dalam memori internal mikrokontroller EEPROM. berikut listing database pada perhitungan biaya: KONV:

SATU:

LUJI:

MOV A,KWH CJNE A,#00,SATU MOV RP21,#20H MOV RP43,#96H MOV RP65,#0F1H RET CJNE A,#01,DUA MOV RP21,#20H MOV RP43,#99H MOV RP65,#0F1H RET MOV RP21,#51H MOV RP43,#09H V RP65,#0F3H RET

;0 KWH, RP21,RP43,RP65=ASCII KE LCD

;1 KWH

;31 KWH

Penampilan ini dilakukan berdasarkan banyak detak yang ada dan dilakukan proses pemanggilan nilai yang terdapat dalam tabel harga tersebut. Penggunaan jumper sebagai pemilih data digunakan untuk memilih database pembayaran yang dilakukan. Penggunaan resistor yang terpasang pada jumper berfungsi sebagai penahan kondisi agar tidak mengambang. KESIMPULAN 1. Pengguanaan mikrokontroler dalam berbagai aplikasi dapat diterapkan dalam semua bentuk sesuai dengan kemampuan kita. 2. Instrumen ini dapat dikembangkan lebih lanjut dalam aplikasi yang berhubungan dengan kelistrikan terutama PLN selaku produsen listrik di negara ini. 3. Secara ekonomi, instrumen ini sangatlah murah jika diproduksi secara banyak dan distribusikan kepada masyarakat, dibandingkan jika dilakukan pembuatan secara individu. Biaya yang dikeluarkan untuk instrumen ini tergolong murah. 4. Kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam membaca jumlah pembayaran yang harus dibayarkan. Sehingga pelanggan dapat mengontrol penggunaan tenaga listrik untuk rumah tangga mereka.

PKMP-6-17-9

5. Efisien tenaga kerja dilapangan, karena sistem ini menerapkan sistem digital sehingga penulisan secara manual dapat dikurangi dan diperoleh keakuratan data. 6. Meminimalisasi kesalahan penulisan pengambilan data dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA 1. Moh. Ibnu Malik, ST. 2003. Belajar Mikrokontroller ATMEL AT89S8252, Gama Media, Yogyakarta 2. Malvino, dkk. 1999. Prinsip-prinsip Elektronika, Erlanga, Jakarta 3. Putra, Agvianto Eko. 2002. Teknik Antarmuka Komputer : Konsep dan Aplikasi, Elex Media Komputindo, Jakarta 4. Budiharto, Widodo. 2004. Interfacing Komputer dan Mikrokontroller, Elex Media Komputindo, Jakarta 5. Paulus Andi Nalwan. 2004. Penggunaan dan Antarmuka Modul LCD M1632, Elex Media Komputindo, Jakarta

PKMP-6-18-1

TELEOPERASI ROBOT VIA INTERNET Ahmad Mursid, Dadang Hardiputra, Muhtar Rosyid PS Elektro Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK Diantara bidang pengetahuan yang berkembang paling pesat dewasa ini adalah teknologi informasi dan telekomunikasi. Khusus pada bidang teknologi informasi, perkembangan yang sangat luar biasa pesat terjadi pada bidang internet. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan internet dalam bidang komunikasi sangat berpengaruh pada kemajuan teknologi pada masa saat ini. Salah satunya adalah teknologi teleoperasi, dimana manusia dapat mengoperasikan peralatan dari tempat lain yang sangat jauh tanpa harus berada pada tempat tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah sistem teleoperasi robot melalui internet dengan menggunakan visualisasi, dimana visualisasi ini dapat berupa grafik visualisasi, live video, grafik 3D. Teknologi teleoperasi atau teleotomasi, merupakan teknologi yang berhubungan dengan interaksi antara manusia dengan sistem secara otomatis dari jarak yang jauh. Sistem telerobotik termasuk sistem dua arah, dengan pertukaran data antara pengontrol sisi local (local site) atau client dan bagian pengendali sisi jauh (Remote Site) atau server yang berlangsung dalam dua arah. Client mengirimkan data posisi robot yang diinginkan, sedangkan dari arah server dikembalikan hasil posisi robot yang telah dikerjakan bahkan dapat pula disertai dengan visualisasi (live video) gerakan robot. Robot yang digunakan adalah robot manipulator (Lynx5 Robot Arm). Penggunaan media internet sebagai penghubung antara peralatan yang dioperasikan dengan operator yang mengoperasikan peralatan jarak jauh. Protokol transfer utama yang digunakan oleh word wide web adalah Hypertext Transfer Protocol (HTTP). Ini adalah protokol aplikasi berbasis client server yang dibangun diatas TCP (Transmission Control Protocol). Transaksi yang khas dari HTTP ini client melakukan koneksi dengan server HTTP dan melakukan permintaan untuk sumber yang diinginkan dan menunggu respon dari server. Kata kunci : teleoperasi, telerobotic, visualisasi (WebCam), konsep jaringan TCP/IP, lynx5 robot arm. PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan dunia internet akhir–akhir ini, memicu berkembangnya teknologi baru yang memanfaatkan teknologi internet tersebut sebagai media untuk mewujudkan impian manusia akan sebuah aplikasi pengoperasian peralatan dari tempat lain yang sangat jauh tanpa harus berada ditempat tersebut. Peranan internet untuk keperluan tukar menukar informasi melalui protokol TCP/IP yang memadai sangat menunjang untuk dapat digunakan sebagai media pengendalian jarak jauh melewati batas wilayah. Aplikasi pengendalian dari jarak jauh tersebut sering disebut dengan nama teleoperasi atau sering pula disebut sebagai teleotomasi. Istilah teleoperasi mengandung dua kata yang akan mempermudah untuk menebak arti dari istilah teleoperasi tersebut. Yaitu pertama adalah tele berarti jauh dan operasi yang berhubungan dengan melakukan sebuah

PKMP-6-18-2

aktivitas atau kerja dengan sebuah alat. Jika kedua kata tersebut disatukan istilah yang diperoleh memberikan sebuah arti yang sangat khusus, dalam hal ini mengacu pada sebuah sistem pengoperasian peralatan dari jarak jauh. Dalam beberapa literatur, teleoperasi disebut sebagai sebuah cara yang mengkombinasikan kecerdasan dan kemempuan beradaptasi dari manusia dengan kemampuan dan ketahanan sebuah robot untuk melakukan pekerjaan yang sangat sulit untuk dilakukan. Istilah robot dapat didefinisikan secara berbeda tergantung pada konteksnya. Robot adalah suatu mesin yang diarahkan untuk mengerjakan bermacam-macam tugas tanpa campur tangan dari manusia. Secara ideal robot diharapkan dapat melihat, mendengar, manganalisa lingkungannya dan melakukan tindakan yang terprogram. Dewasa ini robot digunakan untuk industri terutama pekerjaan 3D yaitu Dirty, Dangerous atau Difficult (kotor, berbahaya atau pekerjaan yang sulit). Rumusan Masalah Protokol TCP/IP merupakan protokol yang paling banyak digunakan oleh para pengguna internet diseluruh dunia. Dengan menggunakan protokol ini, sistem apapun yang terhubung didalamnya dapat saling berkomunikasi tanpa perlu memperhatikan bagaimana sistem tersebut bekerja. Komunikasi data merupakan proses pengiriman data dari suatu komputer dengan komputer lain. Teknologi teleoperasi atau teleotomasi merupakan teknologi yang berhubungan dengan interaksi antara manusia dengan sistem secara otomatis dari jarak yang jauh. Sistem atau peralatan yang dikendalikan menggunakan teknologi ini antara lain robot yang banyak digunakan pada bidang industri dimana kondisi lingkungan disekitar industri sangat berbahaya dan tidak terstruktur sehingga situasi lingkungannya tidak dapat diprediksi secara tepat. Dengan melihat kondisi tersebut maka sistem teleoperasi dimungkinkan untuk diterapkan pada industri tersebut. Secara garis besar dalam sebuah sistem tekleoperasi, terdapat dua buah komponen utama yang harus dipersiapkan yaitu bagian pengendali lokal (local site) dan bagian pengendali sisi jauh (Remote Site). Pengendalian lokal merupakan bagian yang menjadi tempat kerja dari operator, biasanya diimplementasikan dalan bentuk sebuah komputer yang tidak terhubung langsung dengan peralatan yang dikendalikan namun terhubung dengan media transmisi tertentu misalnya internet. Tujuan Kegiatan Adapun tujuan dari program ini adalah sebuah sistem teleoperasi robot melalui internet dengan menggunakan visualisasi. Pada sistem ini, pengendali lokal akan memproses data menjadi sebuah gambar baik secara status maupun dinamis. Gambar yang dihasilkan pada bagian pengendali lokal berupa gambar buatan atau simulasi dari data yang akan dikirim pada sisi bagian jauh.

PKMP-6-18-3

Manfaat Kegiatan Adapun manfaat program ini adalah : 1. Murah dan efisien 2. Jangkauan operasionalnya sangat luas. 3. Menggunakan protokol standart (TCP/IP). 4. Perluasan penggunaan internet tidak hanya untuk keperluan saling tukar informasi tetapi dapat digunakan sebagai pengendali robot. 5. Mempermudah dalam mengendalikan sebuah sistem atau peralatan jarak jauh. METODE PENDEKATAN Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Penelitian ini adalah : 1. Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah robot yang akan dikontrol dan akan ditampilkan secara visual serta protokol TCP/IP digunakan sebagai media pengiriman data atau informasi. 2. Model. Model yang digunakan adalah dengan melakukan pemodelan konfigurasi dan spesifikasi dari teleoperasi, spesifiakasi koordinat dalam grafik 3D, konsep desain dan parameter implementasi yang akan digunakan. 3. Rancangan penelitian. Dalam perancangan ini akan membahas konsep tentang desain dan implementasi sistem, grafik visualisasi, interface dam kontrol telerobotik. 4. Teknik pengumpulan data dan analisis data. Teknik yang akan digunakan adalah : 1) Melakukan pemodelan dan pengkajian secara mendalam tentang konsep pengendalian melalui protokol TCP/IP. 2) Dalam membangun sebuah sistem teleperasi memerlukan pertimbangan yaitu faktor kecepatan proses, faktor akurasi data, faktor interface dan faktor keamanan sistem. 3) Melakukan analisa secara visual terhadap data yang akan dikirim dan data-data mengenai robot yang akan digunakan, spesifikasi dan karakteristik robot. 5. Penyimpulan hasil penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah diharapkan dapat diterapkannya teknologi internet untuk digunakan dalam mengendalikan robot secara visualisasi menggunakan aplikasi teleoperasi. Alat : Pada penelitian ini menggunakan beberap instrumen, antara lain : 1. Robot manipulator yang terdiri dari 4 joint dan 1 gripper. 2. WebCam sebagai visualisasi. 3. 1 set PC sebagai server 4. 1 set PC sebagai Client

PKMP-6-18-4

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfigurasi Kontrol Hardware Visualisasi (WebCam) Server Client Comp

Robot Interface

Robot

Gambar 1. Konfigurasi kontrol hardware Sistem program teleoperasi Client Computer

Client/Server Program

HTML website

Robot Program

Robot Interface

Visualisasi (WebCam Interface)

WebCam

Robot

Gambar 2. Sistem pemrograman teleoperasi. Program (Software) Server Sistem operasi yang digunakan di server adalah Debian GNU/Linux Serge. Sedangkan software aplikasi yang digunakan adalah WebCam2000 yang tersedia secara gratis diinternet. WebCan2000 digunakan untuk menampilkan data video

PKMP-6-18-5

stream dan meng-capture video dan gambar. Sedangkan program antar muka Robot menggunakan pemrograman java, CGI dan C. Server sebagai penghubung langsung dengan peralatan yang akan diopersikan, server memiliki peranan yang sangat penting. Dengan menggunakan server ini, peralatan yang akan dioperasikan dihubungkan dengan dunia luar menggunakan media transmisi tertentu. Fungsi yang ditangani adalah menerima dan mengolah data yang diterima dari client melalui media fisik, selanjutnya dengan menggunakan data-data tersebut server menggerakkan peralatan. Selanjutnya, server menerima umpan balik dari WebCam yang sedang dioperasikan untuk menentukan apakah operasi berjalan dengan sukses atau tidak. Client Pada bagian ini merupakan bagian dimana seorang client atau operator berada. Umumnya dengan menggunakan sebuah PC, seorang operator dapat menyaksikan dasil operasi dari peralatan yang diopeasikan. Hasil operasi tersebut berupa visualisasi (gambar live) dari sebuah kamera. Media Transmisi TCP/IP merupakan protokol standar yang digunakan secara luas saat ini, dengan menggunakan menggunakan protokol ini, sistem apapun yang terhubung didalamnya dapat saling berkomunikasi tanpa perlu memperhatikan bagaimana remote sistem-remote sistem tersebut bekerja. TCP/IP merupakan sekumpulan protokol komunikasi (protocol site) yang sekarang ini secara luas digunakan dalam komunitas global jaringan komputer (internet-working). Karakteristik protokol ini adalah : 1. Tersedianya Open Protocol Standar secara luas, bebas terhadap perangkat keras komputer maupun sistem operasi. 2. Mampu menyatukan berbagai macam perangkat keras maupun perangkat lunak kedalam satu jaringan tertentu. 3. Sistem pengalamatan yang digunakan secara bersama-sama untuk mengenali perangkat keras lain yang berada dalam jaringan yang sama. 4. mampu melayani pengguna secara luas karena mempunyai protokol level tinggi yang distandarkan. Pada dasarnya sistem yang dirancang menggunakan model clien-server. Pada sistem komunikasi model client-server, client akan memesan permintaan layanan untuk melaksanakan berbagai pekerjaan dari client kepada server. Kemudian oleh server, hasil proses yang telah dilaksanakan sesuai permintaan akan dikirim kembali ke client. Visualisasi Teknologi yang digunakan sebagai visualisasi adalah sebuah WebCam yang dimanfaatkan untuk menampilkan video streaming secara langsung yang dicapture oleh kamera web. Istilah streaming adalah proses pengiriman data berupa video/audio digital melalui jaringan data secara terus menerus dan berkesinambungan. Oleh operator/client pengguna layanan video streaming yang terkoneksi ke server streaming dapat menikmati layanan baik yang sifatnya live streaming. Client dapat menampilkannya lewat player audio/video atau juga dapat berupa layanan berbasis web. Video streaming ditampilkan pada sebuah halaman

PKMP-6-18-6

web melibatkan 4 komponen utama yaitu : video/audio input, streaming server, webserver, dan webrowser. User akan meminta layanan streaming melalui webrowser yang terletak pada komputer client. Selanjutnya oleh browser akan diteruskan ke web server, oleh web server akan diteruskan kembali ke streaming server. Streaming server akan memproses permintaan dari client dan selanjutnya akan memberikan layanan ke client sesuai permintaan. Website World Wide Web (www) atau sering disebut dengan web merupakan jaringan komputer yang cakupannya hingga seluruh dunia. Semua komputer yang terintegrasi di dalam web dapat saling berkomunikasi. Komputer tersebut menggunakan standar komunikasi yang disebut HTTP. HTTP adalah suatu protokol client-server internet untuk penyampaian yang efisien dan cepat atas materi-materi hypertext. Untuk mengembangkan interaktif aplikasi berbasis HTML, harus dipahami bagaimana sebuah program client web berinteraksi dengan sebuah server HTTP. Aplikasi web berjalan pada protokol HTTP dan semua protokol yang ada di internet selalu melibatkan server dan client. Ketika seseorang mengetikkan alamat di web browser, maka web browser akan mengirimkan perintah tersebut ke web server. Melalui tampilan pada web browser, client dapat mengakses file–file yang disediakan oleh server. Pengaksesan client diawali dengan sebuah request berupa page address atau alamat web. Misalnya untuk mengakses halaman x dari server kita tuliskan alamat http://www.nama-server-y.com/halaman_x.htm ). Driver Robot Interface SSC-12 hanya memerlukan dua penghubung (connection) ke komputer, yaitu serial data dan signal ground. Terdapat dua tempat untuk membuat penghubung yaitu modul “phone” jack, dan sebuah kabel yang dapat dihubungkan dengan S/in pada board SSC-12. Jika menggunakan PC hanya memakai kabel DB9-01, hubungan pin I/O yang digunakan menggunakan serial output ke S/in dan dihubungkan ke ground pada SSC-12 board.

Gambar 3. Interface SSC-12 Robot Manipulator Robot yang digunakan adalah sebuah robot manipulator yang terdiri dari : 1. Satu motor untuk base. 2. Dua motor untuk bahu (shoulder). 3. Satu motor untuk siku (elbow) dan pergelangan tangan (wrist). 4. Dan suatu HS-81 digunakan sebagai gripper.

PKMP-6-18-7

Gambar 4. Robot Manipulator Parameter untuk robot manipulator ini mempunyai 4 joint yaitu : 1. Joint 1 (base) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar vertikal dengan lintasan sudut sebesar 1800. 2. Joint 2 (shoulder) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar horizontal dengan lintasan sudut sebesar 1800. 3. Joint 3 (elbow) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar horizintal dengan lintasan sudut sebesar 1800. 4. Joint 4 (wrist) mempunyai gerakan rotasi yang mengelilingi sumbu putar horizintal dengan lintasan sudut sebesar 1800. 5. Gripper dibuat berbeda dengan joint yang lain, sudut 1 menunjukkan gripper 100% terbuka dan sudut 2 menunjukkan gripper 0% terbuka (100% tertutup). Sudut 1 dan sudut 2 untuk gripper tentunya tidak perlu untuk dirubah. SSC-12 mempunyai 12 keluaran yang dapat digunakan untuk mengontrol 12 buah motor servo, tetapi pada robot manipulator ini menggunakan 5 buah keluaran, yaitu : Ch 0 = Base (add to mid=Right, sub from mid=Left) Ch 1 = Shoulder (add to mid=Back, sub from mid=Forward) Ch 2 = Elbow (add to mid=Lower, sub from mid=Lift) Ch 3 = Wrist (add to mid=Lift, sub from mid=Lower) Ch 4 = Gripper (add to mid=Close, sub from mid=Open) Motor yang digunakan pada robot ini adalah electric servomotors, pada robot manipulator ini menggunakan motor servo untuk menggerakkan setiap jointnya. Jenis motor yang digunakan yaitu HS-422 produksi Hitc RCD USA

Gambar 5. Spesifikasi standard HS-422

PKMP-6-18-8

HASIL UJI Proses Pengambilan Data Visualisasi Setelah semua instalasi selesai, fasilitas yang akan diperoleh berupa data visual (dalam bentuk video cupture) yang akan ditampilkan pada pengendali sisi lokal (local site). Pengendali lokal atau sering disebut dengan client yang ingin mengakses visualisasi dari pengendali sisi jauh (Remote Site) atau mesin server akan meminta layanan berupa akses dalam bentuk live video menggunakan port 8080. Dengan membuka internet browser windows ketikkan URL http://localhost:8080, atau http//:8080, atau dengan http://:8080. Client akan mendapatkan tampilan visualisasi yang ditampilkan pada main window.

Gambar 6. Tampilan visualisasi (live video)

Proses Kontrol Robot Robot manipulator yang ada pada pengendali sisi jauh dapat dikontrol malalui pengendali sisi lokal, dengan membuka internet browser windows ketikkan URL http://localhost:8080/halaman_site.html, client akan memberikan parameter data yang akan digunakan untuk menggerakkan robot manipulator. Sedangkan untuk menguji faktor kecepatan proses dan faktor akurasi data, digunakan perintah yang dikirim ke server hingga server lengkap mengerjakan perintah tersebut. Hasilnya ternyata sangat bervariasi dan sangat bergantung pada kondisi jaringan saat itu.

PKMP-6-18-9

Gambar 7. Tampilan visualisasi (video capteure)

Gambar 8. Tampilan kontrol robot

PKMP-6-18-10

KESIMPULAN 1. Sistem teleoperasi merupakan teknologi yang berhubungan dengan interaksi antara manusia dengan sistem secara otomatis dari jarak yang jauh. 2. Sistem teleoperasi membutuhkan dua buah komponen utama yaitu bagian pengendali lokal (Lokal Site) atau client dan bagian pengendali sisi jauh (Remote Site). 3. Teknologi internet sebagai penghubung antara peralatan yang dioperasikan dengan operator yang mengoperasikan peralatan jarak jauh. 4. Pada sistem teleoperasi ini, client dapat mengetahui keadaan atau perubahan pada peralatan (robot manipulator) yang berada pada sisi jauh. DAFTAR PUSTAKA (1) Azikin, Askari. 2005. Kamera Pengawas Berbasis Open Source, PT. Gramedia Jakarta. (2) Bboyes. Five Axis Arm Demo with Amulet LCD GUI. 2002. Available from URL : http://jstampu.systronix.com/appnote/arm5/ Accessed March 28, 2006. (3) Carlyle, Jeffrey. WebCam2000. 2002. Available from URL : http://www.stratoware.com/webcam2000/. Accessed February 7, 2006. (4) Debian Serge. Available from URL : http://www.debian.org Accessed December 15, 2005.Schilling, (5) Hartanto, Antonius Aditya dan Purbo, Onno W.2001. Buku Pintar Internet Teleoperasi Melelui Internet, PT. Elex Media Komputindo. (6) Robert J., Fundamentals Of Robotics Analysis and Control, Associate Professor Clarkson University. (7) Spong, Mark W. and Vidyasagar, M.1989. Robot Dynamics And Control, Permissions Department. (8) SSC-12 Ver 2.0 (12 Channel Serial Servo Controller with Independent Variable Speed), Lynxmotion, Inc. Available from URL: http://www.lynxmotion.com Accessed January 12, 2006. (9) Taufan, Riza. 2001. Manajemen Jaringan TCP/IP. PT. Elex Media Komputindo (10) Thamma, Mr. Ravinda. Huang, Dr. Luke H. Lou, Dr. Shi-Jer and Diez, Dr. C. 2004. Ray. Journal of Industrial Technology

PKMP-6-19-1

STUDI AWAL PEMBUATAN DAN UJI MENARA PENDINGIN (COOLING TOWER) TIPE INDUCED COUNTER FLOW DENGAN BERBAGAI BAHAN FILLER UNTUK PRECOOLING PRODUK BUAH DAN SAYUR Ilham, Nur Sodiqin, Rizki Fajar Dermawan PS Keteknikan Pertanian, Politeknik Negeri Jember, Jember ABSTRAK Penanganan bahan hasil pertanian secara cepat dapat meningkatkan ketersediaan pangan dan hasil dari petani. Dalam proses penanganan diperlukan alat yang sederhana, murah dan terjangkau juga ramah lingkungan. Salah satunya adalah pendinginan dengan menggunakan menara pendingin (cooling tower). Dalam penerapan teknologi ini diharapkan sistem dapat menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban yang dapat dimanfaatkan sebagai precooling sayur dan buah. Prinsip kerja menara pendingin adalah meningkatkan waktu kontak dan memperbesar luas permukaan kontak air dengan udara. Peningkatan efisiensi pada menara pendingin dapat dilakukan dengan pemberian filler pada menara dengan bermacam-macam bahan diantaranya batu apung dan busa. Keberhasilan atau kinerja menara pendingin dinyatakan oleh nilai range dan approach yang menunjukkan besarnya penurunan suhu, juga nilai karakteristik menara. Berdasarkan penelitian, RH tertinggi diperoleh pada filler batu apung sebesar 81,23 % , nilai range 3,23 oC dan approach 1,33 oC. Penurunan suhu pada menara pendingin dapat dicari menggunakan persamaan regresi dalam hubungan RH dan penurunan suhu. Karakteristik menara pendingin dihitung berdasarkan nilai KαdV/L , nilai terbesar adalah 0,368 oC.kg/kJ terdapat pada menara dengan filler busa. Nilai karakteristik menara pendingin sangat dipengaruhi oleh fluktuasi suhu lingkungan terkait dengan kondisi menara pendingin. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian filler pada menara pendingin dapat meningkatkan nilai RH dan penurunan suhu. Filler batu apung lebih baik digunakan dibandingkan dengan filler busa. Untuk meningkatkan kinerja menara pendingin perlu adanya studi lanjut terkait dengan bahan isolasi menara, air yang disirkulasikan dan sebaran suhu pada menara. Kata kunci : menara pendingin, filler, penurunan suhu PENDAHULUAN Hasil pertanian berupa sayuran dan buah-buahan merupakan jaringan hidup yang terus melanjutkan proses metabolisme yang meliputi proses fisiologis, enzimatis dan kimiawi seperti fotosintesis dan respirasi. Oleh karena itu segera setelah masa pasca panen dilakukan usaha-usaha yang dapat menurunkan laju respirasi dan mempertahankan mutu produk selama mungkin, diantaranya dengan pra-pendinginan dan penyimpanan produk hortikultura.

PKMP-6-19-2

Rata-rata kehilangan pasca panen produk sayuran dan buah mencapai 2030 %, sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi produsen, apalagi biaya produksi juga terus semakin meningkat. Kondisi ini berdampak bagi pasokan bahan pangan kepada masyarakat yang membutuhkan sehingga terjadi kelangkaan produk dan harga yang semakin tinggi. Produsen atau pedagang pengepul sayuran dan buah umumnya tidak melakukan proses pre-cooling karena biaya dan fasilitas yang belum terjangkau. Oleh sebab itu, produk sayuran dan buah hasil panen harus segera dijual untuk meminimalkan kerusakan, meski harga jualnya semakin rendah. Berdasarkan kondisi di atas perlu dilakukan adanya penelitian unit menara pendingin untuk proses pre cooling. Keuntungan yang dapat diharapkan dari sistem ini antara lain bisa diterapkan secara bersamaan untuk menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban serta ramah terhadap lingkungan karena menggunakan air murni untuk fluida pendingin. Prinsip kerja menara pendingin adalah meningkatkan waktu kontak dan memperbesar luas permukaan kontak air dengan udara. Ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah butiran air atau dengan cara membiarkan air membentuk selapis film disepanjang permukaan (British Standars Institution, 1988). Disamping itu diperlukan adanya pemisah insulasi sehingga suhu dan kelembaban dalam sistem tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Untuk lebih meningkatkan efisiensi dari menara pendingin perlu dilakukan upaya memperbesar luas permukaan antara air dan udara dalam proses pendinginan dengan pemberian filler berupa batu apung atau karet busa. Diharapkan dengan adanya filler diperoleh kinerja alat menara pendingin yang lebih optimal. Menara Pendingin Pendinginan air adalah proses yang paling tua dikenal manusia. Dimulai dari cara yang paling sederhana, yaitu dengan membiarkan air tergenang dalam wadah atau kolam terbuka supaya bersentuhan dengan udara lingkungan sampai dengan metode menyemprotkannya ke udara. Sistem pendinginan dengan menara pendingin yaitu mendingin-kan air dengan cara mengkontakkan langsung air dengan udara dan menguapkan sebagian air tersebut (Stoecker dan Jones, 1987). Dalam kebanyakan menara pendingin yang melayani sistem refrigerasi dan penyamanan udara, menggunakan satu atau lebih kipas propeler atau sentrifugal untuk menggerakkan udara vertikal ke atas atau horisontal melintasi udara. Luas permukaan air yang besar dibentuk dengan menyemprotkan air lewat nosel atau memercikkan air ke bawah dari suatu bafel ke bafel lainnya. Bafel-bafel atau bahan pengisi biasanya terbuat dari kayu tetapi juga dibuat dari plastik atau bahan keramik. Konfigurasi menara pendingin yang digunakan untuk pemakaian mesin daya kapasitas besar biasanya berbentuk hiperbola, yang dilengkapi dengan cerobong setinggi 50 sampai 100 meter dimana didalamnya berlangsung aliran udara konveksi secara alami. Penguapan memerlukan panas laten penguapan yang diambil dari lingkungannya sehingga lingkungan tersebut kehilangan panas sensibel dan mengalami penurunan suhu. Proses pindah panas yang terjadi antara lain adalah pindah panas laten yang memberikan proses penguapan bagian kecil dari air, dan pindah panas sensible yang mengakibatkan perbedaan suhu antara air dan udara. Sekitar 80 % berupa

PKMP-6-19-3

pindah panas laten dan sisanya sekitar 20 % berupa pindah panas sensible (Perry dan Chilton, 1973; Brown, 1974). Pendinginan dengan menara pendingin dapat dilakukan dengan sistem langsung maupun tidak langsung, atau kombinasi dari keduanya. Pada sistem langsung air diuapkan langsung keudara suplai sehingga menghasilka pendinginan sekaligus meningkatkan kelembaban udara suplai tersebut. Sistem pendinginan tidak langsung meliputi penguapan air ke udara yang mengalir sehingga terjadi pertukaran panas sensibel melalui penukar panas dengan udara suplai. Pada kombinasi kedua sistem, besarnya pendinginan tergantung pada kondisi psychrometric udara luar. Pendinginan dilakukan dengan memecah aliran air untuk menyediakan bidang luasan permukaan air yang lebar bagi udara, yang mengalir secara alami atau diberikan kondisi paksaan agar dapat melewati menara, untuk bersentuhan dengan air (ASHRAE Handbook Fundamentals, 1985). Secara teoritis kemungkinan panas yang dipindahkan per kg massa udara yang disirkulasikan didalam menara pendingin tergantung pada suhu dan kandungan lengas udara. Satu indikator kandungan lengas udara adalah suhu bola basah udara. Selanjutnya secara ideal suhu bola basah adalah suhu teoritis terendah yang bisa dicapai oleh air yang didinginkan. Pada prakteknya suhu air dingin yang keluar dari menara pendingin mendekati tetapi tidak sama dengan suhu bola basah udara, hal ini disebabkan tidak mungkin mengkontakkan semua air dengan udara segar selama air jatuh melewati permukaan filler atau bafel (bahan isian menara pendingin) ke dasar menara. Besarnya pendekatan ke suhu bola basah tergantung pada desain menara. Faktor yang penting adalah waktu kontak udara dengan air, jumlah luas permukaan filler dan besar kecilnya pecahan air ke bentuk butiran (Perry dan Chilton. 1973). Menara pendingin mendinginkan air dengan mengkontakkannya dengan udara dan menguapkan sebagian air tersebut. Dalam kebanyakan menara pendingin yang melayani sistem pendinginan dan pengkondisian udara, menggunakan kipas propeler atau sentrifugal untuk menggerakkan udara vertikal ke atas atau horisontal melintasi menara. Luas permukaan air yang besar dibentuk dengan menyemprotkan air lewat nosel atau memercikkan air ke bawah dari suatu bafel ke bafel lainnya. Bafel-bafel atau bahan-bahan pengisi biasanya terbuat dari kayu, namun bisa juga dari plastik atau keramik (Stoecker dan Jones, 1982). Tujuan utama dari menara pendingin adalah untuk mendinginkan air dengan melepaskan panas darinya. Penggunaan air sebagai media pindah panas dalam sistem pendinginan atau pemanasan lebih banyak digunakan, karena penggunaan air lebih mengefisienkan energi dibandingkan menggunakan media transfer udara (Langley, 1986). Prestasi menara pendingin dinyatakan dalam range dan approach. Ring adalah selisih suhu air masuk dan keluar menara pendingin, sedangkan approach adalah selisih suhu air yang keluar dari menara pendingin dengan suhu bola basah udara lingkungan. Dalam menara pendingin, perpindahan panas berlangsung dari air keudara tak jenuh. perpindahan panas bisa terjadi karena perbedaan suhu bola kering atau perbedaan tekanan uap antara permukaan air dan udara (Stoecker dan Jones, 1982). Teori pindah panas selama ini adalah teori yang dikembangkan oleh Merkel pada tahun 1925. Analisis persamaan Merkel adalah kombinasi dari

PKMP-6-19-4

pindah panas sensibel dan pindah panas laten menuju keseluruhan proses yang didasarkan pada potensial entalpi sebagai driving force. Setiap partikel dari curahan air dalam menara pendingin dikelilingi interface yang akan mengambil panas dari air. Panas ini kemudian dipindahkan dari interface menuju massa udara, baik dengan pindah massa sensibel maupun pindah panas laten, setara dengan pindah massa yang dihasilkan dari penguapan dari bagian kecil air (Baker dan Shryock, 1961). Kedua proses tersebut berlangsung dan dapat dituliskan dalam persamaan : Ldt = K α dV (h’-h) = G dh ……………….(1) Dimana : K adalah koefisien pindah massa (kg air/jam m2 ≈ kg/jam m2), α adalah luas permukaan kontak air dan udara (m2/m3 x volume menara ≈ m2), V adalah volume pendingin aktif (m3/m2 x luasan areal ≈ m3), L adalah laju aliran air (kg/jam x m2), G adalah laju aliran udara (kg/jam x m2), h’ adalah entalpi udara jenuh pada suhu air (kJ/kg), h adalah entalpi udara yang mengalir (kJ/kg), dt adalah d (T1-T2), T1 adalah suhu air masuk menara pendingin (oC), T2 adalah suhu air keluar menara pendingin (oC), dh adalah d(h1-h2), h1 adalah entalpi udara masuk menara pendingin (kJ/kg) dan h2 adalah entalpi udara keluar menara pendingin (kJ/kg).

range(rentang) approach (pendekatan)

Gambar 1

Air masuk Air keluar Bola basah udara masuk

Range dan approach dalam menara pendingin (Stoecker dan Jones, 1982)

Tipe-tipe Menara Pendingin British Standart Institution (1998) menyebutkan bahwa terdapat banyak sekali tipe menara pendingin, namun umumnya dapat dibedaka menjadi dua kelompok berdasarkan cara pergerakan udara didalam menara, yaitu : a. Natural draft tower 1. atmosfheric tower 2. hyberboloid tower b. Mechanical draft tower 1. forced draft tower, pada tipe ini kipas dipasang pada dasar menara sehingga udara ditekan masuk melalui dasar tersebut dan dikeluarkan dengan kecepatan yang rendah melalui bagian atas menara. Keuntungan tipe ini adalah kipasnya diletakkan diluar menara sehingga mudah untuk dikontrol dan diperbaiki. Sedangkan kerugiannya adalah karena kecepatan pengeluaran udaranya rendah maka akan menyebabkan resirkulasi uap lembab ke pengambilan udara semula . hal ini berakibat suhu air yang didinginkan meningkat kembali.

PKMP-6-19-5

2. Induced draft tower, yang dibagi menjadi dua arah aliran yaitu : counterflow tower serta crossflow tower. a. Tipe counterflow (aliran berlawanan), tipe ini menghasilkan entalpi maksimum karena air terdingin akan bertemu dengan udar terdingin. b. Tipe croosflow (aliran menyilang), tipe ini dapat mengurangi nilai karakteristik menara sampai tingkat hampiran yang sangat rendah, dengan meningkatkan jumlah udara pendingin dan menurunkan rasio L/G. Tipe crossflow ini mempunyai kelemahan yaitu meningkatkan daya kipas terpasang. Pada dasarnya pembagian tipe menara pendingin, tergantung dari pola aliran udara yang terjadi, apakah terjadi aliran air dan udara yang menyilang (crossflow), aliran berlawanan (counterflow), atau kombinasi keduanya (mixed flow). METODE PENDEKATAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari 2006 di Laboratorium Bengkel Logam Politeknik Negeri Jember selama 4 bulan. Bahan yang digunakan adalah tabung plastik besar tinggi 100 cm dengan diameter 45 cm sebagai badan menara, bak penampung setinggi 40 cm dengan diameter 30 cm, rangkaian kawat kasa setinggi 75 cm sebagai tempat filler, filler berupa potongan busa dan batu apung, kipas aksial, nosel, pipa PVC dan pompa air. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat-alat perbengkelan, alat–alat penguji yang meliputi pengukur suhu dan RH (data logger LM 355), pengukur kecepatan udara (Airflow LCA 6000), pengukur kecepatan air dan psychrometric chart. Metode percobaan diawali dengan pembuatan prototipe menara pendingin, dilanjutkan dengan pengukuran parameter suhu, kelembaban, kecepatan aliran air dan kecepatan udara. Parameter suhu dan RH diukur setiap 2,5 menit selama 30 menit. Suhu yang diukur adalah suhu udara masuk, suhu bola basah udara, suhu air pada nosel dan suhu air pada penampung. Kecepatan udara diukur pada bagian bawah menara (udara masuk) dan atas (udara keluar) kemudian dirata-rata. Kecepatan aliran air diukur pada pipa sebelum melewati nosel. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian diperoleh kecepatan aliran air sebesar 7,181 liter/menit dan kecepatan aliran udara rata-rata 36 m/menit. Keberhasilan dalam pembuatan suatu menara pendingin diukur dari kemampuan menara pendingin dalam mendinginkan air dengan melepaskan panas darinya. Hal itu dinyatakan dalam range dan approach, serta nilai karakteristik menara pendingin. Range adalah selisih antara suhu air masuk dan suhu air keluar menara pendingin, sedangkan approach adalah selisih antara suhu keluar menara dan suhu bola basah udara masuk. Nilai karakteristik menara pendingin adalah besarnya nilai KαdV/L sesuai dengan persamaan Merkel. Range dan Approach Menara Pendingin Tabel 1 menunjukkan besarnya nilai suhu dan RH pada masing-masing kondisi filler, sehingga dapat diperoleh nilai range dan approach. Sesuai dengan tabel diatas menara pendingin yang didalamnya tidak terdapat filler mempunyai nilai RH dan approach paling kecil yaitu 70,23 % dan 0,45. Nilai RH dan

PKMP-6-19-6

approach yang paling tinggi ada pada menara dengan filler batu apung yaitu 81,23 % dan 1,33. Sedangkan nilai RH dan approach menara dengan filler busa adalah 73,38 % dan 1,16. Nilai approach disini menunjukkan seberapa jauh penurunan suhu air terhadap suhu udara lembab yang masuk ke menara. Semakin besar nilai approach maka semakin jauh lebih rendah suhu air yang keluar menara terhadap suhu udara lembab. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian filler dapat meningkatkan penurunan suhu air. Tabel 1. Hasil Pengamatan Rata-rata pada Berbagai Kondisi Filler Filler Tanpa filler batu apung busa

suhu udara Tw Td 28.87 33.69 28.78 30.59 29.38 32.80

RH (%) 70.23 81.23 73.38

suhu air basin nosel 28.42 31.53 27.46 30.68 28.22 30.80

range 3.11 3.23 2.58

approach 0.45 1.33 1.16

Nilai range disini tidak dapat digunakan sebagai pedoman dalam penentuan efektif atau tidaknya suatu menara pendingin dalam pengkondisian penyimpanan bahan. Hal itu disebabkan oleh besarnya nilai range yang sangat ditentukan oleh perbedaan suhu air masuk melalui nosel dan suhu air keluar menara. Sebagaimana diketahui bahwa suhu air masuk menara melalui nosel mengalami kenaikan suhu pada saat melalui pompa dan pipa-pipa akibat adanya gaya gesek antara air dan dinding bahan, juga perpindahan panas dari pompa air selama pompa bekerja. Penurunan suhu air nilainya sangat dipengaruhi oleh nilai RH, yang nilainya juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika suhu lingkungan berfluktuatif maka nilai-nilai faktor yang berpengaruh terhadap penurunan suhupun berfluktuatif. Semakin tinggi nilai RH akan semakin kecil penurunan suhu yang terjadi. Berikut ini hubungan antara nilai RH dengan selisih suhu air keluar (basin) dan suhu bola basah udara, juga RH dengan selisih suhu air keluar (basin) dan suhu udara.

7.00

Selisih Suhu (oC)

6.00

y = -0.207x + 19.815

5.00 4.00 3.00 2.00 y = -0.0488x + 3.8824

1.00 0.00 66.00

68.00

70.00

72.00

74.00

76.00

78.00

RH (%)

Twb - T out

Tdb - T out

Gambar 1. Hubungan antara RH (%) dengan Selisih Suhu (oC) pada Kondisi Tanpa Filler

PKMP-6-19-7

Selisih Suhu (o C)

6.00 5.00

y = -0.1862x + 18.258

4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 65.00

y = -0.0804x + 7.8604

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

RH (%) Twb - T out

Tdb - T out

Gambar 2. Hubungan antara RH (%) dengan Selisih Suhu (oC) pada Kondisi Filler Batu Apung

Selisih Suhu (o C)

6.00 y = -0.1833x + 18.033

5.00 4.00 3.00

y = -0.2087x + 16.477

2.00 1.00 0.00 69.00

70.00

71.00

72.00

73.00

74.00

75.00

76.00

77.00

RH (%) Tdb - T out

T wb - T out

Gambar 3. Hubungan antara RH (%) dengan Selisih Suhu (oC) pada Kondisi Filler Busa Dari gambar diatas, besarnya penurunan suhu yang dapat dicapai oleh menara pendingin dengan berbagai filler dapat dicari melalui persamaan regresi yang didapat. Pada menara pendingin tanpa filler dapat menurunkan suhu sebesar 3,255 oC dengan RH 80%, 7,395 oC dengan RH 60% dan 9,465 dengan RH 50%. Pada menara pendingin berfiller batu apung terjadi penurunan suhu 3,362 oC dengan RH 80%, 7,086 oC dengan RH 60% dan 8,948 oC dengan RH 50%. Sedangkan pada menara pendingin berfiller busa penurunan suhu sebesar 3,369 oC dengan RH 80%, 7,035 oC pada RH 60% dan 3,369 oC pada RH 50%. Nilai Karakteristik Menara Pendingin Nilai karakteristik menara pendingin pada penelitian ini diperoleh berdasarkan persamaan Merkel seperti pada persamaan (1) yaitu : L dt = KαdV (h’ – h) = G dh

PKMP-6-19-8

Berdasarkan persamaan tersebut dapat dijabarkan bahwa : L dt = KαdV (h’ – h) sehingga KαdV/L = dt/(h’- h) = (T1 – T2) / (h’- h) L dt = G dh sehingga L/G = dh/dt = (h2 – h1) / (T1-T2). Besarnya nilai KαdV/L atau L/G tersebut dapat digunakan sebagai dasar bagaimana karakteristik dari menara pendingin tersebut. Berdasarkan data pada tabel 1 nilai KαdV/L dapat dicari seperti berikut ini. Tabel 2. Persamaan Regresi antara RH (%) dan Selisih Suhu (oC) Filler Tanpa filler Batu apung Busa

T db – T out Y = -0,207 X + 19,815 Y = -0,1862 X + 18,258 Y = -0,1833 X + 18,033

T wb – T out Y = -0,0488 X + 3,8824 Y = -0,0804 X + 7,8604 Y = -0,2087 X + 16,477

Tabel 3. Nilai Karakteristik Menara Pendingin pada Berbagai Kondisi Filler Filler

T1 (oC)

T2 (oC)

Tanpa filler Batu apung Busa

31.53 30.68 30.80

28.42 27.46 28.22

h’ (kJ/kg ) 106 103 104

h (kJ/kg ) 94 93 97

T1-T2 (oC) 3.11 3.22 2.58

h’ – h (kJ/kg ) 12 10 7

KαdV/L (oC.kg/kJ) 0.259 0.322 0.368

Seperti yang tercantum pada tabel 3 nilai KαdV/L terbesar adalah pada menara berfiller busa, yaitu sebesar 0,368 oC.kg/kJ. Pada menara berfiller batu apung sebesar 0,322 oC.kg/kJ, sedangkan pada menara pendingin tanpa filler sebesar 0,259 oC.kg/kJ. Nilai tersebut menunjukkan besarnya koefisien pindah massa air melalui udara pada permukaan bahan pengisi. Semakin besar luas kontak akan semakin besar nilainya. Hal ini ditunjukkan pada menara yang berfiller busa. Luas permukaan kontak pada filler busa lebih besar dibanding dengan filler batu apung ataupun tanpa filler. Berdasarkan data analisa keberhasilan menara pendingin, besarnya penurunan suhu pada suatu menara pendingin dipengaruhi oleh bahan filler, bukan berdasarkan luas permukaan filler saja. Semakin baik daya hantar panas filler tersebut, maka akan semakin baik dalam menyerap panas dari butiran-butiran air, sehingga air yang keluar dari menara pendingin lebih cepat dingin. KESIMPULAN Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian filler pada suatu menara pendingin dapat meningkatkan penurunan suhu air terhadap suhu lembab udara (suhu bola basah) dan penambahan nilai RH. Filler batu apung lebih baik digunakan dibandingkan filler busa, karena penurunan suhu lebih tinggi dan RH lebih tinggi. Untuk mendapatkan kinerja protipe menara pendingin yang lebih baik, perlu adanya studi lanjut mengenai alat ini, terkait dengan bahan yang digunakan sebagai menara, air yang disirkulasikan dan sebaran suhu dalam menara.

PKMP-6-19-9

DAFTAR PUSTAKA 1. ASHRAE Handbook Fundamentals. 1985. Published by thr American Society of Hetaing, Refrigerating, and Air Conditioning Engineerings. Inc. 1791 Tullie Circle, N.E., Atlanta, GA 30329. 2. Baker, D.R., dan H.A. Shryock. 1961. A Comprehensif Approach to the Analysis of Cooling Tower Performance. Journal of Heat Transfer. ASME. 3. British Standart Institution. 1998. Water Cooling Tower. 4. Langley, B.C. 1986. Refigeration and Air Conditioning. 3th ed. Prentice Hall England cliff. New Jersey. 5. Perry, R.H., dan C.H. Chilton, 1973. Chemical Engineers; Handbook, Fifth Edition. Mc Graw Hill Kogakusha. Ltd.Tokyo. 6. Stoecker, W.F dan J.W. Jones, 1987. Refrigeration and Air Conditioning. 2nd Edition. 4th Printing. Mc Graw Hill Book Company. Printed in Singapore by Chong Moh Offset Printing Pte. Ltd.

PKMP-6-20-1

STUDI TENTANG KEAMANAN PANGAN MELALUI DETEKSI KANDUNGAN UNSUR BABI DENGAN METODE IMUNODIFUSI DALAM PRODUK BAKSO SAPI DI WILAYAH KODYA MALANG Khoirul Anam, Hikmah Ali, Catur Budi Prayitno Jurusan Teknologi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK Pangan dikatakan aman apabila tidak terdapat unsur-unsur yang berbahaya bagi manusia, baik berasal dari mikroorganisme ataupun bahan-bahan berbahaya yang sengaja ataupun tidak sengaja terkonsumsi sehingga mempengaruhi perubahan fungsi fisiologi tubuh, akibatnya kondisi homeostatis tidak tercapai. Bahan-bahan makanan asal hewani walaupun mungkin tidak mengganggu fungsi fisiologis tubuh, ada beberapa yang tidak dihalalkan bagi umat muslim untuk dikonsumsi antara lain binatang bertaring, binatang amphibi dan babi. Keberadaan babi dan unsur-unsurnya menjadikan bahan makanan tidak aman untuk dikonsumsi. Bakso adalah olahan hasil ternak yang berasal dari Cina, yang semula dibuat dari daging babi. Di Indonesia dikembangkan dengan berbagai macam daging. Sebagian masyarakat Indonesia yang tidak menghiraukan masalah halal dan haram, bagi umat muslim masih banyak menggunakan daging babi baik seluruhnya ataupun sebagian untuk membuat olahan bakso. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi adanya unsur babi pada produk bakso tanpa kemas (bakso keliling dan bakso depot) yang beredar di Kodya Malang. Adapun unsur babi yang berupa protein merupakan antigen dimana perlu antibodi untuk pendeteksiannya. Metode imunodifusi dianggap paling mudah diaplikasikan dan cukup murah. Metode imunologi dipergunakan dalam penelitian ini dimana dimulai dengan memberikan antigen babi dengan cara penyuntikan ekstrak daging babi pada kelinci yang specific pathogen free (SPF). Kata kunci: lahan; Daging Babi; Imunodifusi

PENDAHULUAN egara Indonesia sebagai Negara besar dengan sebagian besar penduduknya penganut agama Islam tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi industriawan yang bergerak dalam bidang usaha makanan dan minuman. Produk yang dihasilkan bukan hanya memenuhi kriteria dalam hal gizi, keamanan dari cemaran mikroorganisme dan kontaminasi dari bahan kimia berbahaya (residu), akan tetapi juga memenuhi kriteria dari sudut pandang kaidah agama dalam hal ini memenuhi persyaratan kehalalan. Aspek kehalalan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan menjadi pertimbangan tersendiri bagi produsen makanan dan minuman untuk bisa memasarkan produknya pada konsumen kalangan muslim. Halal – haram produk makanan menjadi masalah serius apabila hal ini tidak diperhatikan oleh produsen yang akan menyebabkan dampak negatif terhadap kelangsungan usaha.

PKMP-6-20-2

Sistem pengawasan makanan dan minuman merupakan tanggungjawab bersama antara tiga pilar utama : Pemerintah, Produsen dan konsumen. Sistem pengawasan makanan oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dilakukan melalui : Standarisasi dan Regulasi; Registrasi; Sampling dan Pengujian; Penegakan Hukum; Monitoring dan Evaluasi serta Public Warning. Diversifikasi produk olahan makanan terutama pada industri hilir (Agroindustri) sub sektor peternakan semakin beragam. Konsekuensinya adalah sistem pengawasan yang diberlakukan semakin dituntut untuk selalu mengiringi perkembangan dalam industri ini. Hal ini untuk mencegah seminim mungkin penyelewengan yang berimplikasi pada kerugian pada pihak konsumen. Bakso sebagai produk olahan hasil ternak telah lazim diketahui sebagai produk olahan yang berbahan dasar dari daging, kebanyakan menggunakan daging sapi. Pada industri besar, yang memproduksi bakso kemasan menjadi tugas bagi LP-POM MUI sebagai lembaga dibawah naungan pemerintah untuk sertifikasi kehalalannya. Karena produk tersebut dikemas dan diawetkan dengan melalui sistem penjualan lebih panjang untuk sampai ke konsumen. Pada industri kecil-rumah tangga yang memproduksi bakso yang dijual dengan tampilan siap konsumsi tanpa perlakuan yang bersifat mengawetkan produk, tentunya tidak ada sistem yang bertindak sebagai pengawas jika ada kecurangan. Kemungkinan kecurangan yang terjadi menyangkut masalah kehalalan produk tersebut berkaitan dengan penambahan zat atau bahan lain yang dari sisi kahalalannya tidak terjamin. Dalam hal ini adanya unsur babi yang ditambahkan pada produk tersebut. Wilayah Kodya Malang terkenal dengan salah satu makanannya yaitu bakso. Di Kodya Malang sendiri banyak pedagang bakso baik yang keliling dengan menggunakan gerobak untuk menjajakan produknya ataupun yang menetap pada suatu lokasi. Beberapa isu yang beredar pada masyarakat mengenai kecurangan oleh produsen perlu disikapi dengan bijak. Sistem pengawasan pada produk industri kecil rumah tangga ini masih sangat lemah terhadap adanya penipuan kepada konsumen yang menyangkut beberapa aspek salah satunya adalah ada atau tidak adanya unsur babi dalam bakso. Pengujian imunologi yang dilakukan pada produk makanan digunakan untuk mendeteksi kandungan spesies daging tertentu memang penting guna menjamin kenyamanan konsumen (muslim). Kenyamanan konsumen (muslim) berupa ketenangan dalam mengkonsumsi produk yang bebas dari kandungan unsur haram dalam hal ini unsur babi. Beberapa metode dengan prinsip imunologi yang telah jamak digunakan mempunyai prinsip kerja yang sama yaitu mereaksikan antara antigen (produk yang disinyalir mengandung unsur tertentu) dengan antiserum dari unsure daging yang disinyalir tersebut, seperti imunodifusi. Metode ini mampu menunjukkan hasil sebatas kualitatif dengan indikasi yang jelas.

METODE PENDEKATAN Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pengambilan sample secara Insidental yaitu dengan mengambil beberapa sample bakso yang

PKMP-6-20-3

didapatkan dari penjual bakso keliling dan penjual bakso depot yang mana pengambilannya didasarkan adanya indikasi pencampuran antara daging sapi dengan daging babi yang terdapat di Kodya Malang. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan uji imunodifusi berdasarkan prinsip Imunologi. Teknik imunodifusi menurut Ouchterlony masih banyak digunakan walaupun teknik ini merupakan teknik lama. Pada lapisan gel agarose yang dibuat diatas lempeng kaca dibuat sumur-sumur demikian rupa hingga salah satu sumur terletak ditengah dan sumur-sumur lain disekitarnya (lihat gambar 1) , kemudian disumur-sumur itu dimasukkan antigen dan kedalam sumur yang terletak ditengah dimasukkan antibodi. Setelah itu antigen dan antibodi dibiarkan berdifusi ke dalam lapisan agar dan dimana keduanya bertemu dan mencapai keseimbangan terbentuk kompleks yang mengendap dan membentuk garis presipitasi. (lihat gambar 2)

Gambar 1. Lempengan Kaca Untuk Imunodifusi

Pembuatan Antigen. Pada tahap selanjutnya yaitu pembuatan antigen dengan cara mengekstrak daging babi dicampur dengan aquadest murni menggunakan blender lalu disaring. Pada penelitian kali ini digunakan konsentrasi pencampuran 5% (5gr daging babi dan 100ml aquadest murni) dan 10% (10gr daging babi dan 100ml aquadest murni) dan masing-masing diberi perlakuan yaitu : tanpa pemanasan, pemanasan dengan suhu 50°C selama 5 menit, dan pemanasan dengan suhu 100°C selama 5 menit. Pemanasan dilakukan di waterbath setelah daging babi diekstrak. Setelah antigen didapatkan (ekstrak daging babi), kemudian dilakukan penyuntikan antigen ke masing-masing kelinci sesuai perlakuan. Penyuntikan dilakukan seminggu sekali sebanyak 1 ml antigen selama 3 minggu pada bagian intramuscular atau dibagian subcutan, karena pada bagian ini tidak terlalu dekat dengan bagian tubuh yang banyak terdapat syaraf-syaraf dan antigen dapat lebih mudah terserap oleh tubuh karena bagian intramuscular lebih dekat ke pembuluh darah besar yang dekat dengan jantung sehingga lebih aman dan mudah.

GARIS PRESIPITASI

PKMP-6-20-4

Difusi Lapisan Gel

Ab

Lapisan Gel

Ekses Antibodi

Ag

Difusi Lapisan Gel

Ekses Antigen KESEIMBANGAN

(PROZONE)

(POSTZONE) Sample

Reaktan R

Gambar 2. Imunodifusi Ganda (dikutip dari Nakamura)

Pemanenan Antiserum. Setelah 3 minggu kemudian dilakukan pengambilan sample darah kelinci (pemanenan) pada bagian telinga (pembuluh arteri) dengan masing-masing kelinci 1 ml antiserum (Antibodi protein babi). Setiap antiserum akan dipisahkan sesuai konsentrasi dan perlakuannya kemudian disentrifuge dingin dengan penyetelan suhu (4°C), kecepatan (10000rpm) dan waktu (10 menit) sehingga anti serum dan plasma darah dapat dipisahkan. Pengambilan Sample Kemudian dilakukan pengambilan sample bakso secara insidental yang ada di Kodya Malang, baik penjual bakso keliling maupun penjual bakso depot.

PKMP-6-20-5

Masing-masing sampel diekstrak dengan perbandingan konsentrasi 1 : 10 dan 5 : 10. Pengujian Dengan Imunodifusi Pembuatan agar gel presipitation dengan memasukkan 0,4 gr agarose; 1,2 polietilen glikol 6000 (PEG); 20 ml aquadest dan 20 ml buffer phospat Ph 7,2 kedalam erlenmeyer, kemudian ditutup dan dipanaskan dalam air mendidih sehingga seluruh materi larut secara homogen. Dengan menggunakan pipet 10 ml, agar cair dituang kedalam lempeng kaca yang diletakkan diatas meja horisontal dan dibiarkan hingga mengeras dan membentuk lapisan agar dengan tebal 1 mm, setelah mengeras dibuatlah lubang-lubang untuk sumur-sumur antigen/antiserum homolognya dengan puncher gel. Gel disimpan dalam suhu 25-30°C selama 18 jam pada kotak khusus yang kelembabannya terjaga. Apabila ada garis presipitasi pada antigen homolognya ini menandakan bahwa didalam serum yang diperiksa terdapat antigen yang relevan dengan antibodi yang dipakai (positif) dan apabila negatif tidak tampak adanya garis presipitasi. Setelah merujuk sebuah sumber dari ITB Central Library telah ditemukan standart antiserum yang sesuai untuk makanan hasil ternak olahan guna mencari standart kit yaitu pembuatan antiserum yang sesuai dengan antigen. Konsentrasi pengenceran yang digunakan adalah 1/256 untuk antigen (1 cc bagian ekstrak babi, 256 aquadest murni) dan 1/64 untuk antibodi (1 cc antiserum, 64 cc aquadest murni). Dimana bahan bakso yang diekstrak dianggap sebagai antigen. Penarikan kesimpulan dari hasil uji presipitasi kualitatif dengan melihat reaksi yang ditimbulkan antara antiserum dengan filtrate bakso. Bentuk reaksi yang ditimbulkan apabila mengalami presipitasi/berdifusi maka sample bakso tersebut dipastikan ada kandungan unsur babi dan apabila tidak terjadi reaksi maka bakso tersebut tidak ada kandungan unsur babi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Antiserum yang didapat dari penyuntikan daging babi dengan konsentrasi 1 : 10 dan 5 : 10, dengan pemanasan 50°C, 100°C dan tanpa pemanasan, ternyata hanya menunjukkan 2 sample saja yaitu sample 011 (tanpa pemanasan) dan sample 016 (tanpa pemanasan dan pemanasan 50°C) memberikan reaksi imunodifusi pada daging bakso sample yang diuji yang didapatkan dari penjual bakso keliling dan penjual bakso depot. Hasil menunjukkan bahwa belum terjadi keseimbangan / kesetaraan antara konsentrasi antigen dan antibodinya pada semua sample, kecuali sample 011 (tanpa pemanasan) dan sample 016 (tanpa pemanasan dan pemanasan 50°C) saja. (lihat table 1). Penelitian selanjutnya akan menggunakan konsentrasi baru yaitu dengan konsentrasi pengenceran antibodi 1 : 64 kali dan antigen 1 : 256 kali. Dimana penelitian sudah memperoleh antiserum dari antigen daging babi yang disuntikkan dengan konsentrasi 1 : 256 kali. Sampel sudah dipersiapkan dan hasil pengujian akhir sudah didapatkan. (lihat table 2). Tabel 1. Hasil Penelitian Deteksi Unsur Babi. Kode Perlakuan Sampel Tanpa Pemanasan Ag Pemanasan Ag Protein Babi

Pemanasan Ag Protein Babi

PKMP-6-20-6

001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030

Protein Babi Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

(50°C) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

(100°C) Negatif Nagatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Antiserum yang didapat dari penyuntikan daging babi dengan konsentrasi 1 : 64 kali dan 1 : 256 kali dengan pemanasan 50°C, 100°C dan tanpa pemanasan, ternyata jauh lebih bagus hasilnya dibandingkan dengan pemakaian konsentrasi 1 : 10 dan 5 : 10. Pada pemakaian konsentrasi 1 : 64 kali dan 1 : 256 kali menunjukkan adanya reaksi presipitasi yang lebih banyak terutama pada sample yang mengalami perlakuan tanpa pemanasan, dengan jumlah sample positif (23 sample) dan sample negatif (7 sample), Tabel 2. Hasil Penelitian Deteksi Unsur Babi. Kode Sampel

001

Tanpa Pemanasan Ag Protein Babi Positif

Perlakuan Pemanasan Ag Protein Babi (50°C) Positif

Pemanasan Ag Protein Babi (100°C) Negatif

PKMP-6-20-7

002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030

Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Negatif Positif Positif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif

Positif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Negatif

Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Pada perlakuan pemanasan antigen protein babi dengan suhu 50°C jumlah sample positif (14 sample) dan sample negatif (16 sample), sedangkan pada perlakuan pemanasan antigen protein babi dengan suhu 100°C jumlah sample yang positif (6 sample) dan yang negatif (24 sample). Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pemanasan protein babi (antigen) yang akan disuntikkan tidak mengalami kerusakan, sedangkan pada pemanasan protein babi (antigen) dengan suhu 50°C sudah mulai sedikit mengalami kerusakan, dan pada pemanasan protein babi (antigen) dengan suhu 100°C sudah banyak mengalami kerusakan (denaturasi). Karena daging babi merupakan jenis daging intermedier yang mana mudah mengalami kerusakan (denaturasi) apabila mengalami pemanasan yang berlebihan. Tidak menutup kemungkinan terdeteksinya adanya unsur babi bias juga disebabkan oleh faktor ketidaksengajaan, dimana terjadinya pencampuran dengan sisa daging babi yang masih menempel pada alat penggilingan yang baru digunakan untuk menggiling daging babi.

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antiserum yang didapat dari penyuntikan daging babi dengan konsentrasi 1 : 10 dan 5 : 10, dengan

PKMP-6-20-8

pemanasan 50°C, 100°C dan tanpa pemanasan ternyata kurang bias dijadikan sebagai standart kit dalam pendeteksian adanya unsur babi pada bahan pangan olahan (bakso). Namun dalam penelitian yang menggunakan konsentrasi penyuntikan 1 : 64 dan 1 : 256 dengan perlakuan yang sama, menunjukkan adanya kemampuan dalam hal mendeteksi adanya unsur babi pada produk bakso keliling dan depot di Kodya Malang. Namun dengan pengambilan 30 sample belum bisa mewakili atau belum bisa dijadikan acuan bahwa produk bakso baik yang berasal dari penjual keliling atau penjual bakso depot yang ada di Kodya Malang banyak mengandung daging babi. Oleh karena itu disarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut pada penambahan jumlah sample yang lebih banyak agar hasil penelitian dapat mewakili suatu daerah yang akan diteliti.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta. Darmadja, N.D. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gholib D, Subiyanto.1998. Pembuatan Antigen Dermatophillus Congoleasis dan Pengujiannya Dengan Uji Imunodifusi dan Elektroforesis. Jurnal ilmu ternak dan verteriner volume 3, no.3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. DEPTAN. Hardjosworo. 1998. Pengantar Imunologi Verteriner. Airlangga University. Surabaya. Ismet. 1986. Pemuliaan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lawrie R.A. 1995. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Sihombing M. 2001. http://digilib.litbang.depkes.go.id/xml.php?=jkpkbppk-gdlres-1999-marice-609-food. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Susanto E. 2004. Karakterisasi Fraksi Protein Bakso Babi Dengan Menggunakan SDS-Page. Skripsi THT. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang. Widyawati E.S. 1999. Studi Tentang Penggunaan Tapioka, Pati Kentang dan Pati Modifikasi dalam Pembuatan Bakso Daging Sapi. Tesis Program Studi Ilmu Ternak. Pasca sarjana Universitas Brawijaya. Malang. Winarno F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

PKMP-6-21-1

PENGARUH TEMPERATUR DAN KELEMBABAN TERHADAP KINERJA MATRIAL ISOLASI KOMPOSIT SILICONE RUBBER-FIBER GLASS Novalina Tarihoran Universitas Tanjungpura, Pontianak ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-6-22-1

MEKANISME SISTEM PENGATURAN JARAK AMAN PENGEREMAN TERHADAP BENDA YANG BERADA DI DEPAN MOBIL UNTUK MENGHINDARI TERJADINYA BENTURAN Himawan Hindrarto Universitas Kristen Petra, Surabaya ABSTRAK Kata kunci:

PKMP-6-23-1

PEMBUATAN BATU BATA DENGAN MENGGUNAKAN CAMPURAN TRAS, KAPUR, TOHOR DAN TANAH LIAT TANPA PROSES PEMBAKARAN Nodia Herman Universitas Bung Hatta, Jakarta ABSTRAK Kata kunci: