MAKALAH PENGEMBANGAN MODEL ... - WordPress.com

42 downloads 183 Views 107KB Size Report
MAKALAH. PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN. EKSPRESI ESTETIKA INOVATIF. UNTUK PENDIDIKAN DASAR. Disusun Oleh: Tim Peneliti ...
MAKALAH PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN EKSPRESI ESTETIKA INOVATIF UNTUK PENDIDIKAN DASAR

Disusun Oleh:

Tim Peneliti Balitbang Diknas

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL BALITBANG – PUSLITJAKNOV 2008

1

MAKALAH PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN EKSPRESI ESTETIKA INOVATIF UNTUK PENDIDIKAN DASAR Disusun Oleh: Tim Peneliti Balitbang Diknas A. Pendahuluan Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Apabila aspek sikap mental seseorang sudah terbina dan terbentuk dengan baik, maka aspek-aspek kehidupan lain yang dibutuhkan seseorang akan mengikuti terbina dengan baik. Termasuk tugas pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa seperti terkandung dalam pembukaan UUD 1945 akan dengan mudah dapat dicapai. Namun sebaliknya apabila sikap mental bangsa tidak terbentuk dengan baik, maka bangsa yang cerdas sulit terwujud atau apabila kecerdasan dapat diwujudkan tidak dapat dipakai untuk membentuk sistim kehidupan atau budaya masyarakat dan bangsa yang kokoh dan maju. Sejak lama sebenarnya kita sering mendengar perlunya pendidikan sikap mental atau watak. Bahkan dalam kumpulan surat-surat ibu Kartini yang dibukukan dengan judul ”Door Duisternis Tot Licht” menunjukkan bahwa hampir setiap tulisannya penuh dengan kata-kata perlunya pengembangan watak dan pembentukan watak di atas pendidikan otak, karena di dalam pembentukan watak ibu Kartini yakin manusia akan lebih mampu

2

untuk berdiri sendiri tidak tergantung dari kerabat dan dari siapapun. Berkali-kali ditekankan perlunya kepercayaan pada diri sendiri. (Summahamijaya, tanpa tahun: 66) Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.. Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas saat ini belum mendukung pencapaian hasil belajar penting seperti yang diuraikan di atas. Pembelajaran Seni Budaya masih dominan menggunakan metode ceramah dan metode drill yang berpusat pada guru. Metode tersebut diakui berhasil dalam kompetisi menghafal sejumlah informasi tapi gagal dalam menyiapkan siswa memiliki kemampuan kritis, apresiatif, kreatif, dan inovatif untuk mampu bersaing dan hidup kompetitif. Hasil penelitian yang dilakukan selama 25 tahun terakhir tentang otak manusia, menunjukkan bahwa metode drill yang dilakukan berpengaruh pada berkembangnya otak ”reptil” yaitu otak yang bertanggungjawab terhadap survivel dan pertahanan diri seperti melawan. Tidak berlebihan jika kita khawatir bahwa tidak mustahil metode ini akan berpengaruh pada pola perkelahian dan anarkhi yang akhir-akhir ini sering ditunjukkan oleh kelompok-kelompok siswa. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional yaitu “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah “maka Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil / Insan Paripurna) , yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis (Renstra Diknas 2005-2009). Pendidikan Seni Budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi atau sikap mental peserta didik yang harmonis, sebab pendidikan seni budaya memfokuskan diri pada kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai kecerdasan emosional dan

3

kecerdasan sosial . Kecerdasan emosional dicapai dengan beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Kecerdasan sosial dicapai melalui : membina dan memupuk hubungan timbal balik; demokratis; empatik dan simpatik; menjunjung tinggi hak asasi manusia; ceria dan percaya diri; menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara

Berdasar pengalaman di lapangan terdapat beberapa problem pendidikan seni budaya di sekolah, antara lain: 1) pendidikan ekspresi estetika masih belum dianggap penting oleh sebagian masyarakat maupun sekolah itu sendiri, seni budaya masih dipandang sebagai mata pelajaran pelengkap; 2) Guru-guru seni budaya terbawa arus oleh persepsi yang salah terhadap hasil pendidikan , sehingga menganggap bahwa siswa yang berhasil adalah siswa yang serba tahu tentang seni budaya, pandai melukis, pandai menyanyi, pandai menari dan seterusnya. Pada hal tujuan utama mata pelajaran ini sebenarnya adalah pembentukan sikap mental siswa. Dengan sendirinya model pembelajaran yang diterapkan sekarang ini jelas menjadi tidak sesuai dengan tujuan mata pelajaran seni buaya yang sebenarnya tersebut.

3) lingkup kompetensi yang harus

dicapai cukup banyak yang meliputi: seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni drama, sementara alokasi waktu sangat terbatas yaitu 2 jam per minggu; 4) terbatasnya kemampuan guru untuk menyampaikan ke empat bidang seni tersebut. Kondisi ini di perparah dengan banyaknya guru seni budaya yang bukan berlatar belakang pendidikan seni budaya sehingga terjadi miskonsepsi tentang pendidikan ekspresi estetika; 5) selama ini pendidikan seni budaya masih belum banyak diperhatikan, baik dalam aspek proses belajar mengajar, media dan bahan ajar maupun bentuk penilaiannya. Kondisi ini berdampak guru-guru tidak memiliki rujukan dalam pembelajaran ekspresi estetika; 6) Terbatasnya kemampuan guru untuk mampu memberdayakan potensi lingkungan budaya dan potensi sekolah untuk mendukung pembelajaran ekspresi estetika. Padahal setiap daerah memiliki potensi budaya dan kesenian yang sangat kaya ragam sebagai media pembelajaran. Berangkat dari berbagai kondisi di atas, mendesak dilakukan

4

pengembangan model pembelajaran ekspresi estetika yang berbasis budaya sebagai acuan bagi guru di sekolah. Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan saran dan kebijakan dalam peningkatan mutu pelaksanaan Wajar dikdas 9 Tahun yang berkaitan dengan model proses belajar mengajar ekspresi estetika agar terjadi iklim yang kondusif bagi berkembangnya minat dan bakat siswa pada ranah afektif. Secara khusus tujuan tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1) mengembangkan model pembelajaran inovatif yang sesuai dengan konsep-konsep teoretik dan memberdayakan lingkungan budaya lokal dan potensi sumberdaya sekolah, 2) mengembangkan perangkat pembelajaran yang meliputi: (1) silabus; (2) RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran); (3) buku Siswa, (4) LKS (Lembar Kegiatan Siswa), dan (5) Lembar Penilaian; dan 3) mengembangkan media pembelajaran pendidikan ekspresi estetika.

B. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian pengembangan, karena salah satu tujuan utama dari penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran inovatif, diikuti dengan pengembangan perangkat pembelajarannya sebagai kelengkapan penerapan di kelas yang terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (a) pengembangan model, (b) pengembangan perangkat pembelajaran yang relevan dengan model, dan (c) implementasi/ ujicoba di kelas. Strategi yang digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran dalam penelitian

ini

mengadaptasi

model

siklus

pengembangan

instruksional

yang

dikembangkan oleh Fenrich (1997). Pengembangkan model pembelajaran meliputi fase analisis, perancangan, pengembangan dan implementasi. Fase evaluasi dan revisi merupakan kegiatan yang berkelanjutan dilakukan pada tiap fase disepanjang siklus pengembangan tersebut. Kegiatan evaluasi diikuti dengan revisi sebagai rencana bagi kegiatan fase berikutnya. Untuk mencapai tujuan dan menghasilkan luaran ditempuh dengan menggunakan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut: 1) Kajian teoretik dan kajian empiric, 2) Penyusunan perangkat pembelajaran, 3) Validasi internal-eksternal, 4) Uji coba terbatas, 5) Perbaikan perangkat pembelajaran, 6) Rekaman Video pembelajaran

5

& editing, 7) Uji coba secara lebih luas, 8) Perbaikan untuk menghasilkan perangkat final. Pengumpulan Data dilakukan menggunakan : 1) studi dokumen, 2) observasi: dilakukan oleh pengamat menggunakan lembar pengamatan: lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran, lembar pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, 3) Angket disebarkan kepada siswa setelah selesai pembelajaran untuk menjaring tanggapan mereka terhadap psoses belajar mengajar yang telah mereka jalani dan perangkat pembelajaran yang digunakan, 4) wawancara: dilakukan secara langsung dengan guru setetah proses belajar mengajar. Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif, dengan memaparkan karakteristik aspek-aspek model menurut pakar dan praktisi. Data tentang perngkat pembelajaran dianalisis secara deskriptif, dengan memaparkan karakteristik aspek-aspek perangkat. Data tentang keterlaksanaan pembelajaran dianalisis secara deskriptif dengan menghitung persentase keterlaksanaan tahapan pembelajaran, yaitu dengan jalan membagi banyak tahapan yang direncanakan muncul di dalam pembelajaran di bagi dengan semua langkah pembelajaran yang direncanakan. Data tentang respon siswa dianalisis dengan menghitung presentase setiap jenis respon yang diberikan siswa. C. Kajian Teori 1. Kecenderungan Baru dalam Pembelajaran Pembelajaran didefinisikan sebagai penciptaan kondisi sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara optimal. Sementara inovatif diartikan sebagai idea atau gagasan baru. Dengan demikian pembelajaran inovatif adalah implementasi idea atau gagasan baru dalam tataran mikro di kelas sehingga tercipta kondisi yang memungkinkan siswa belajar secara optimal. Berdasarkan pada batasan tersebut pembelajaran bukanlah penyajian informasi semata, di dalam pembelajaran inovatif, proses belajar mengajar tidak lagi menggunakan paradigma pembelajaran konvesional, peran guru dan siswa berubah. Paradigma pembelajaran yang semula Teacher centered, subject based, disipline based, hopital based, standardized di ubah ke arah model SPICES, yaitu Student Centered, Problem-based, integrated, Community oriented, Electives, Systematic, continuing.

6

Pada strategi pembelajaran inovatif guru tradisional dan peran siswa di ubah, tanggungjawab siswa untuk belajar harus ditingkatkan, memberi mereka motivasi dan arahan untuk menyelesaikan program belajarnya dan menempatkan mereka pada pola tertentu agar mereka sukses sebagai pembelajar sepanjang hayat. Pada pembelajaran yang inovatif itu guru akan berperan sebagai sumber belajar, tutor, evaluator, pembimbing dan pemberi dukungan dalam belajar siswa. Prinsip yang mendasari strategi pembelajaran inovatif antara lain: (a) pemahaman dibangun melalui pengalaman, (b) pengertian diciptakan dari usaha untuk menjawab pertanyaan sendiri dan memecahkan masalah sendiri, (c) pembelajaran seharusnya mengembangkan instink alami siswa dalam melakukan penyelidikan dan berkreasi; (d) strategi berpusat pada siswa akan membangun ketrampilan

berfikir

kritis,

penalaran,

dan

selanjutnya

kreativitas

serta

ketaktergantungan. a. Berpusat kepada siswa Student centered mengandung pengertian pembelajaran menerapkan strategi pedagogi mengorientasikan siswa kepada situasi yang bermakna, kontekstual, dunia nyata, dan menyediakan sumber belajar, bimbingan, petunjuk bagi pembelajaran ketika mereka mengembangkan pengetahuan tentang materi pelajaran yang dipelajarinya sekaligus keterampilan memecahkan masalah. Paradigma yang menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran dan siswa sebagai objek, seharusnya diubah dengan menempatkan sisswa sebagai subjek yang bernalar secara aktif membangun pemahamannya dengan jalan merangkai pengalaman yang telah dimiliki dengan pengalaman baru yang dijumpai. Pengalaman nyata dari negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi siswa dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat: mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah dimiliki atau mereka kuasasi (Direktorat PLP, 2000)

b. Berdasarkan masalah

7

Pembelajaran hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, otentik, relevan, dan bermakna bagi siswa. Pembelajaran yang berbasis subyek seringkali tidak relevan dan tidak bermakna bagi siswa sehingga tidak menarik perhatian siswa. Pembelajaran yang dibangun berdasarkan subyek seringkali terlepas dari kejadian aktual di masyarakat. Akibatnya siswa tidak dapat menerapkan konsep teori yang dipelajarinya di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan pembelajaran yang dimulai dari masalah maka siswa belajar suatu konsep atau teori dan prinsip sekaligus memecahkan masalah. Dengan demikian sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah (produk) dan cara memecahkan masalah (proses). Kemanapun tentang pemecahan masalah lebih dari sekadar akumulasi pengetahuan dan hukum/teori, tetapi merupakan perkembangan kemampuan fleksibilitas, strategi kognitif yang membantu mereka menganalisis situasi tak terduga dan mampu menghasilkan solusi yang bermakna. Bahkan Gagne mengatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang paling tinggi. Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.

c. Terintegrasi Seseorang yang belajar seharusnya tidak menggunakan “kaca mata kuda” yang hanya tahu secara mendalam disiplin ilmunya tapi sama sekali buta tentang kaitan ilmu yang dipelajari dengan disiplin ilmu lain. Seorang yang belajar seni wayang, dia tidak hanya harus belajar tentang seni sungging, tetapi juga harus tahu tentang seni sastra, seni pertunjukan dan aspek budaya. Di dalam inovasi pembelajaran pendekatan terintegrasi lebih diharapkan dari pada pendekatan disiplin ilmu. Kelemahan pendekatan disiplin ilmu adalah siswa tidak dapat melihat sistem, mereka akan terkotak pada satu disiplin.

d. Berorientasi masyarakat Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.

8

Pengalaman dari negara lain menemukan minat dan prestasi siswa dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat mereka diajarkan bagimana mereka memeplajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat dipergunakan di luar kelas. Mengajak siswa untuk mengimplementasikan apa yang dipelajari di dalam kelas ke konteks masyarakat atau sebaliknya mengambil masalahmasalah yang terjadi di masayarakat sebagai stater untuk belajar keterampilan dan pengetahuan yang lebih mendalam merupakan proses pembelajaran yang bermakna.

e. Menawarkan pilihan Setiap orang bersifat unik, berbeda dengan orang lain. Siswa yang belajar juga demikian. Mereka memiliki variasi pada gaya belajar, kecepatan belajar, pusat perhatian, dan sebagainya. Menyamaratakan siswa selama proses mengajar akan berdampak pada hasil belajar. Pembelajaran yang inovatif memberi perhatian pada keragaman karakteristik siswa itu. Atas dasar itu maka pembelajaran bukan dilakukan seperti yang diinginkan oleh guru tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh siswa. Untuk itu pembelajaran harus menyediakan alternatif yang dipilih oleh siswa. Proses belajar adalah proses aktif yang harus dilakukan oleh siswa. Keharusan menyediakan strategi yang digunakan terhadap retensi siswa. Keterampilan psikomotor,

keterampilan

kognitif,

keterampilan

sosial

serta

keterampilan

memecahkan masalah serta sikap memiliki strategi pembelajaran yang berebda-beda utnuk dapat mencapai tujuannya. Menyamaratakan siswa selama proses belajar mengajar mungkin akan berdampak pada hasil belajar. Pembelajaran yang inovatif memberi perhatian pada keragaman karakteristik siswa itu. Atas dasar itu maka pembelajaran bukan dilakukan seperti yang diinginkan oleh guru tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tingkat retensi siswa. Siswa yang hanya belajar melalui membaca saja retensinya hanya 10% siswa yang belajar melalui membaca dan mendengar saja retensinya 20 % sementara bila dia juga melihat retensinya bertambah menjadi 30 %. Siswa yang mengucapkan apa yang dilakukan dan

9

mengajarkan kepada orang lain akan memiliki tingkat retensi paling tinggi yaitu 9095%.

f. Sistematik Seringkali hasil belajar bersifat herarkhi, begitu pula substansi materi pelajarannya. Materi tertentu membutuhkan pengetahuan lain sebagai prasayarat yang harus dikuasasi terlebih dahulu sebelum seseorang dapat mempelajari materi tersebut. Begitu pula keterampilan-keterampilan trettentu terutama psikomotorik bersifat prosedural, memiliki langkah-langkah yang harus dilakukan secara sekuensial sebelkum dapat menuntaskannya dengan baik. Suatu pengetahuan prosedural mustahil dapoat dilakukan tanpa dilaksanakan secara berurutan. Setiap langkah pengetahuan prosedural merupakan prasarat bagi langkah berikutnya. Uraian di atas merupakan argumentasi mengapa pembelajaran harus dilakukan secara sistematik.

g. Berkelanjutan Berkelanjutan mengandung pengertian never ending proses. Setiap proses pembelajaran yang dilakukan meletakkan dasar bagi pembelajaran berikutnya. Setiap konsep yang diperoleh pada pembelajaran sebelumnya harus dirangkai secara ontunyu dengan konsep baru yang diperoleh sehingga membentuk jalinan konsep di dalam benak seseorang.

2. Pertimbangan dalam mengembangkan Model Pembelajaran Pemilihan strategi pembelajaran dalam rangka membelajarkan siswa harus di bangun atas dasar asusmsi bahwa tidak ada satupun model/metode/strategi atau apapun namanya yang dapat digunakan dengan baik untuk semua bahan kajian. Semua model/strategi memiliki keunggulan dan kekurangan. Model/strategi tertentu hanya baik untuk mencapai yujuan tertentu sementara model yang lainnya baik digunakan untuk mencapai tujuan lain. Beberapa pertimbangan lain yang mungkin perlu diperhatikan di dalam pemilihan model/metode/ strategi pembelajaran adalah sebagai berikut.

10

a. Pembelajaran ilmu sangat tepat dilakukan dengan cara seperti bagaimana sains itu ditemukan dan dikembangkan, siswa belajar melalaui hands-on activity dan minds-on activity. b. Karakteristik siswa sangat beragam, para pakar membagi siswa yang belajar menjadi 5 kelompok, yaitu giffted, Conceptual, Contextual, slow leaner, dan Disabilities. Penelitian Asian Development Bank (2000) menemukan 60 % pembelajaran di Indonesia adalah contextual. Siswa kontektual adalah siswa yang baru dapat belajar kalau guru membantu mengakitkan apa yang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari di sekitar pemebelajaran yang bersangkutan. Pembelajaran harus dilakukan dengan cara memberi kesempatan untuk mengalami sendiri dan berlangsung pada kondisi yang alami. c. Karakteristik topik kajian dan tujuan belajar yang harus dicapai sangat beragam. Unesco misalnya mencanagkan 4 tujuan belajar universal yaitu learning to be, learning to know, learning to do, and learning to live together. Keempat tujuan pemndidikan universal tersebut, sebenarnya sejalan dengan tujuan pendidikan nasional kita UU No. 20/2003 tentang SPN, PP Nomor 19/2005 tentang Standart Nasional Pendidikan) yaitu kognitif, psikomotorik, dan sikap, untuk mencapai tujuan tersebut pasti menggunakan model/metode/strategi yang berbeda-beda Sementara itu menurut Undang-undang Nomor 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional strategi pembelajaran harus dilakukan dengan jalan olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olahraga, sementara uraian yang lebih rinci dan spsifik dinyatakan di dalam Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Menurut PP tersebut, pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandiirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

3. Pendidikan Seni Kontekstual Secara kodrati, ekspresi estetis merupakan sifat fitrah dari manusia disamping sifat kodrat yang lain, yakni untuk mengetahui sesuatu yang benar dan menginginkan

11

sesuatu yang baik. Dalam sejarah kehidupan manusia ada tiga pokok nilai yang senantiasa ingin dicapai yakni kebenaran (truth), kebaikan (goodness), dan keindahan (beauty). Tiga nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan menjadi modal untuk menjadikan hidupnya lebih bermakna. Tanpa estetika hidup akan menjadi kering, hampa bahkan tidak bermakna. Belajar estetika hakekatnya adalah belajar menemukan dan memaknai nilai-nilai kehidupan. Hal ini seperti yang dikemukakan Jelantik (1999) yang menyatakan dengan belajar estetika akan memberikan banyak manfaat, antara lain: 1) memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian pada khususnya; 2) memperkokoh rasa cinta kepada kesenian dan kebudayaaan bangsa pada umumnya serta mempertajam kemampuan untuk mengapresiasi (menghargai) kesenian dan kebudayaan bangsa lain dan dengan demikian mempererat hubungan antar bangsa; 3) memupuk kehalusan rasa dalam diri manusia; 4) memperkokoh keyakinan dalam masyarakat akan nilai kesusilaan, moralitas, perikemanusiaan dan ketuhanan; dan 5) melatih diri untuk berdisiplin dalam cara berfikir dan mengatur pemikiran dengan sistematik, membangkitkan potensi untuk berfalsafah, yang akan memberikan kemudahan dalam menghadapi segala permasalahan, memberi wawasan yang luas dan bekal bagi kehidupan spiritual dan psikologis (AAM Jelantik, Hal. 13-14). Dijadikannya seni sebagai salah satu mata pelajaran dalam kegiatan pendidikan karena seni menawarkan “sesuatu” yang tidak dapat dipenuhi oleh mata pelajaran lain. Sesuatu tersebut adalah “pengalaman estetik”. Pengalaman estetik dianggap penting karena manusia merupakan makluk estetikus, yakni makluk yang berkeindahan. Karena pengalaman estetik yang ditawarkannyalah, maka pendidikan seni hadir. Dengan demikian dapatlah dikatan bahwa esensi pendidikan seni terletak pada pemberian pengalaman estetik. Sejalan dengan pemikiran di atas, tujuan pendidikan ekspresi estetika ialah membimbing pertumbuhan pribadi manusia, disamping membuat harmonis kepribadiannya dalam kelompok sosial. Dan untuk itu pendidikan estetika menjadi

12

sangat

fundamental.

menjaga/memelihara

Pendidikan kemampuan

estetis segala

hakaketnya

macam

persepsi

berfungsi dan

:

sensasi;

1) 2)

mengkoordinasikan berbagai cara persepsi dan sensasi, antara yang satu dengan yang lainnya dalam hubungannya kepada lingkungan; 3) mengekspresikan perasaan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan; 4) mengespresikan dalam wujud bentuk dari segala macam pengalaman mental (Katjik, 1973 hal 7). Ditinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifatsifat imaginasi dan permainan yang melekat pada seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal serta dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebabnya mengapa pendidikan seni ditempatkan sebagai bagian dalam pendidikan secara umum. Pendidikan seni adalah pendidikan yang akan membawa kebanggaan dan keangunggan jasmaniah dan rohaniah, dan oleh karena itu seni seharusnya menjadi dasar pendidikan: ‘that art should be the basic of education’, demikian kata Herbert Read mengutip thesis Plato (Tjejep R, 2000, hal 33-34). Pada tingkatan sosial, pendidikan ekspresi estetika seyogyanya mampu meyadarkan siswa bahwa bentuk-bentuk visual yang mereka cipta membantu mengungkapkan identitas mereka, juga keanggotaan mereka dalam suatu kelompok/ masyarakat. Bentuk-bentuk visual juga dalam banyak hal menandai peristiwaperistiwa penting dalam kehidupannya, sekaligus merefleksikan kebutuhan fisik dan ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru seni budaya adalah membantu peserta didik menjadi sadar tentang aneka ragam bentuk rupa, sehingga dengan demikian mereka mampu membentuk dan mengekspresikan perasaannya sesuai dengan potensi sumberdaya sosial dan budaya yang menjadi lingkungannya. Dalam perkembangan global saat ini, ada dua sisi dilematis yang sulit diakomodasi dalam pendidikan seni budaya sekarang ini. Di satu sisi adalah kuatnya minat masyarakat (lokal dan global) terhadap pentingnya memahami budaya setempat (lokal), dan diisi lainnya adalah sistem pendidikan seni yang berjalan belum

13

mengarah pada kepentingan tersebut. Ketidaksesuaian ini terjadi karena bahan ajar pendidikan seni sejak semula tidak didasarkan pada keberagaman budaya lokal yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Harus kita akui bahwa sistem pendidikan kita saat ini merupakan warisan pemerintah kolonial. Karena itu pendekatan yang digunakan berdasarkan persepsi Eropa Barat, kendatipun materinya berbeda. Dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum dan eksakta, hal ini tidak menjadi soal karena dasar ukuran keilmuannya berasal dari Barat dan tidak culture spesific. Akan tetapi, dalam bidang kebudayaan, persoalannya lebih sulit. Jika mata pelajaran seni budaya yang diajarkan di sekolah berdasarkan kaidah seni Barat Modern (yang salah kaprah sering dianggap ’universal’ atau ’standart’ seperti bidang ilmu), maka kaidah itu akan berhadapan dengan nilainilai spesifik yang terdapat dalam setiap budaya lokal. Hal ini dapat mengakibatkan kesenian lokal dianggap ’seni yang kurang bermutu’ atau bahkan dianggap bukan seni. Akhirnya banyak seni budaya kita yang adi luhung dan dapat dimanfaatkan dalam segala aspek kehidupan, tercerabut dari akarnya dan tumbang satu persatu. Untuk itu, pendidikan seni budaya harus didudukkan kembali sesuai tempat dan fungsi yang sebenarnya, didasarkan pada konteks kesenian dan kebudayaan masyarakatnya dimana sekolah itu berada agar anak didik tidak tercerabut dari ’akar budayanya’. Saat ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan jati diri karena tidak berkembang dari akar budaya yang kuat. Budaya-budaya lama sudah pudar, budaya baru belum terbentuk kokoh. Yang ada hanya budaya ngambang tanpa bentuk, kecualai budaya pop yang suka meniru (budaya imitasi dan konsumtif). Dengan sendirinya apabila hal ini tidak segera diatasi, dalam jangka panjang bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang rapuh. Gejala tersebut pada saat ini mulai tampak, terutama bangsa ini sudah mulai tertinggal dengan bangsa-bangsa berkembang disekitarnya. Secara substansial pendekatan pendidikan seni budaya dalam Kurikulum Nasional masih berdasar pada kaidah seni Barat. Titik tolak penggolongan seni,

14

seperti musik, tari, teather dan rupa adalah contoh mendasar. Ketika ketegori disiplin seni itu berhadapan dengan fenomena lokal, akan ditemukan ketidaksesuaian. Seni Wayang di Jawa (seni pertunjukan yang pemainnya mendongeng/ bercerita, kadang menyanyi, main musik gamelan, bergurau dengan penonton, dan didukung dengan karya wayang yang kaya dengan cita estetika), adalah salah satu contoh yang tidak dapat dikelompokkan pada keempat katregori tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan sinkronisasi antar cabang seni dalam pendidikan seni budaya melalui pendekatan secara terpadu melalui ’tema/ topik’ sehingga pemahanan seni dan budaya menjadi lebih utuh (holistik) dan bermakna. Bila kita cermati, sampai sekarang implementasi pendidikan seni dan budaya kita di sekolah masih jauh dari acuan budaya lokal, yakni budaya yang berdasarkan pada kenyataan. Karena kesenjangan itulah, perlu dilakukan terobosan pengembangan model pendidikan seni dan budaya yang berbasis budaya. Dalam pembelajaran ekspresi estetika, kontekstualisasi sangat mustahil dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah, mengingat seni merupakan salah satu produk budaya. Sebaliknya dengan pembelajaran ekspresi estetika yang berbasis budaya akan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, dan anak tidak tercerabut dari akar budayanya. Pentingnya pendidikan seni kontekstual tersebut juga dinyatakan oleh Kerry Freedman dalam artikelnya Artistic Developmen and Curiiculum: Sociocultural Learning Consideration yang menyatakan bahwa setiap pembelajaran terkait dengan konteks tertentu. Artinya, kegiatan pemberian pengalaman esetetik idealnya harus dikaitkan dengan konteks sosiokultural yang melingkupinya.

Pembelajaran seni budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi atau sikap mental peserta didik yang harmonis, sebab pembelajaran seni budaya memfokuskan

diri

pada

kebutuhan

perkembangan

anak

dalam

mencapai

multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional. 15

Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran seni budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni.

Karena itu, mata

pelajaran seni budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya. Dalam kontek inilah konsepsi tentang seni harus dibangun/ dikonstruk melalui bekal pengalaman anak yang dibentuk oleh konteks budayanya. Pendidikan seni budaya juga memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan

multikultural.

Multilingual

bermakna

pengembangan

kemampuan

mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya nusantara dan mancanegara. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang tertuang dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Ditinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifatsifat imaginasi dan permainan yang melekat pada seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal serta dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebabnya mengapa pendidikan seni ditempatkan sebagai bagian dalam pendidikan secara umum. Pendidikan seni adalah pendidikan yang akan membawa kebanggaan dan keangunggan jasmaniah dan rohaniah, dan oleh karena itu seni seharusnya menjadi dasar pendidikan: ‘that art

16

should be the basic of education’, demikian kata Herbert Read mengutip thesis Plato (Tjejep R, 2000, hal 33-34). Pada tingkatan sosial, pendidikan ekspresi estetika seyogyanya mampu meyadarkan peserta didik bahwa bentuk-bentuk visual yang mereka cipta membantu mengungkapkan identitas mereka, juga keanggotaan mereka dalam suatu kelompok/ masyarakat. Bentuk-bentuk visual juga dalam banyak hal menandai peristiwaperistiwa penting dalam kehidupannya, sekaligus merefleksikan kebutuhan fisik dan ekspresif dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru seni budaya adalah membantu peserta didik menjadi sadar tentang aneka ragam bentuk rupa, sehingga dengan demikian mereka mampu membentuk dan mengekspresikan perasaannya sesuai dengan konteks sumberdaya sosial dan budaya yang menjadi lingkungannya. Pendekatan kontruktivis dalam pembelajaran seni budaya sangat mustahil dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah, mengingat seni merupakan salah satu produk budaya. Sebaliknya dengan pembelajaran ekspresi estetika yang di konstruk berbasis budaya akan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, dan anak tidak tercerabut dari akar budayanya. Pentingnya konstruktivis atau kontekstualisasi pembelajaran seni tersebut juga dinyatakan oleh Kerry Freedman dalam artikelnya Artistic Developmen and Curiiculum: Sociocultural Learning Consideration yang menyatakan bahwa setiap pembelajaran terkait dengan konteks tertentu. Artinya, kegiatan pemberian pengalaman estetik idealnya harus dikaitkan dengan konteks sosiokultural yang melingkupinya. Karena pengalaman estetik yang dimiliki peserta didik akan dapat dijadikan modal awal bagi peserta untuk mengkonstruk pemahaman tentang seni. Dengan terlibat mengkonstruk sendiri sebuah konsep, anak akan lebih mudah memahami sesuatu konsep.

C. Hasil Penelitian Seperti diungkapkan di atas, sejauh ini penelitian ini telah berhasil menghasilkan satu model

pembelajaran

ekspresi

estetika

inovatif

dan

perangkat

pembelajaran

pendukungnya. Adapun urian secara rinci tentang hasil sebagai berikut. 1. Sosok Model

17

Sosok model yang telah dikembangkan diuarikan meliputi: dukungan teori tentang bagaimana siswa belajar, tujuan pengembangan model, asumsi yang mendasari model pembelajaran yang dikembangkan, sintaks, faktor pendukung, peran siswa dan guru dalam mengimplemntasikan model pembelajaran. a. Dukungan teori Model pembelajaran yang dikembangkan ini didukung oleh teori Bandura yang terkenal dengan teori belajar sosial. Menurut teori ini, seseorang belajar melalui pengamatan secara selektif perilaku orang lain (model) yang menarik. Di dalam model pembelajaran, model yang akan di tiru oleh siswa berasal dari fenomen atau proses atau perilaku masyarakat yang ada di sekitar siswa. Sifat integratif pembelajaran ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam melihat sistem, bawa semua proses yang terjadi pada dasarnya tidak sendiri, tapi kait mengkait satu sama lain. Dengan proses scaffolding siswa mampu

berkembang

dari

kemampuan

aktualnya

menjadi

kemampuan

potensialnya. Dengan menggunakan contoh-contoh yang ada di sekitar siswa sebagai model, pembelajaran menjadi bermakna, alami dan kontekstual dan sudah tentu relevan dengan konteks budaya setempat. Pembelajaran bersifat integrative, mengkait substansi yang akan dipelajari dengan nilai-nilai budaya dan kesenian yang ada. b. Tujuan pengembangan model Tujuan umum: eksplorasi, optimalisasi, dan pemberdayaan seluruh potensi siswa melalui olah hati, olah pikir, olahrasa, dan olah raga. Tujuan khusus adalah pengembangan kecakapan hidup dan mengefektifkan capaian akademik siswa (konsepsi, apresiasi, dan kreasi) penekanan pda kreasi c. Asumsi Asumsi yang mendasarsi model pembelajaran inovatif ini adalah: a) Siswa belajar melalui pengamatan selektif terhadap perilaku yang menyenangkan; b) Siswa belajar secara aktif merangkai pengalaman untuk membangun pengetahuannya sendiri; c) Siswa belajar tidak bisa dilepaskan dari konteksnya (budaya, lingkungan, kehidupan, sosial); d) siswa merupakan makluk sosial sekaligus makluk individu; e) Belajar merupakan proses sosial sekaligus proses individual;

18

f) Belajar bukan hanya kerja otak tapi juga merupakan kerja melalui multi indria; g) Belajar berlangsung dalam konteks menyenangkan;dan h) Belajar merupakan proses membangun makna dan berlangsung kontinyu d. Sintaks /langkah-langkah model ini adalah a) mengorientasikan siswa pada masalah; b) merancang proses pemecahan masalah atau menjawab pertanyaan; c) membimbing proses kreatif; d) mengkomunikasikan hasil; e) apresiasi dan konfirmasi; dan f) evaluasi dan refleksi e. Faktor pendukung Sistem pendukung adalah lingkungan belajar sekolah standar, SDM yang kreatif untuk mendorong siswa melakukan proses kreatif dan mengimplementasikan model-model serta mampu memberi contoh f. Peran guru Dalam mengimplementasikan model ini, peran siswa adalah sebagai subyek belajar yang aktif merangkai pengalaman, meniru model dan sebagai tutor bagi temannya yang lain. Sementara guru berperan sebagai model, memberi balikan, memotivasi, menciptakan kondisi agar belajar berlangsung secara optimal.

2. Kajian Empirik dan Penyusunan Perangkat a. Kajian empirik Kajian empirik dilakukan dengan metode Fokus Group Discution. Metode ini diterapkan untuk mengungkap bagaimana model-model pembelajaran ekspresi estetika /seni budaya yang dilakukan guru di lapangan, permasalahanpermasalahan yang dihadapi dan upaya penyelesaian yang telah dilakukan. Fenomena empiric di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran cenderung (1) lebih menekankan isi dari pada kompetensi (2) lebih menekankan kegiatan praktek berkesenian dari pada penguasaan konsep seni (3) dalam praktek berkarya lebih mengutamakan seni meniru alam dari pada pengembangan imajinasi (4) lebih mengutamakan seni tradisional yang konteksnya kurang dikenal siswa.

19

Kendala dalam pembelajaran (1) kurang didukung prasarana ruangan yang berkarakter seni (2) kesulitan memperoleh sumber belajar seni local/seni daerah setempat (3) mata pelajaran seni-budaya sebagai bidang marjinal yang kurang berwibawa karena non-Unas (4) masih banyak guru bidang seni yang berasal dari disiplin non-seni (5) sumber dan media pembelajaran seni sangat kurang.

b, Penyusunan perangkat pembelajaran Perangkat pembelajaran Ekspresi-Estetika (Seni-Budaya) yang harus disusun terdiri: (1) Silabus (2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran/RPP (3) Lembar Kegiatan Siswa/LKS (4) Lembar penilaian (5) Buku Siswa (6) Media Pembelajaran – masing-masing untuk kelas 1 – 9. Mengingat kompleksnya mata pelajaran seni budaya (meliputi bidang seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater) dan keterbatasan sumber daya, maka model pembelajaran yang dikembangkan dibatasi lingkupnya sebagai berikut: a) hanya mencakup satu semester yakni semester gasal tahun 2007/2008 sejalan dengan tahun ajaran di mana kegitan studi ini berlangsung; b) Tidak semua bidang, SK, dan KD dikembangkan secara utuh di seluruh kelas, namun dipilih bidang tertentu dengan mempertimbangkan aspek representasi dan pemerataan Hasil review internal merekomendasikan (1) perlunya solusi atas terjadinya overlapping Standart kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) pada beberapa kelas/semester.

Kesamaan SK/KD tersebut diatasi dengan

menyesuaikan tingkat kesulitan materi, kesulitan bahasa ungkap, dan contohcontoh kasus (2) perlu penyederhanaan bahasa disesuaikan dengan kemampuan siswa (3) perlu ilustrasi gambar yang cukup untuk mendukung pemahaman. Kegiatan validasi eksternal dilakukan oleh reviewer di luar tim studi inovasi pembelajaran Ekspresi-Estetika/Seni Budaya yang terdiri atas dua unsur, yakni unsur akademisi, atau para dosen bidang seni dan unsur praktisi, atau para guru pendidikan dasar. Materi yang divalidasi ialah (1) relevansi dengan KTSP (2) konsistensi antara silabus, RPP, buku siswa, LKS, dan lembar penilaian (3) proyeksi keterlaksanaan di lapangan/sekolah (4) aspek inovasi (5) keterbacaan.

20

Fakta empirik di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran cenderung (1) lebih menekankan isi dari pada kompetensi (2) lebih menekankan kegiatan praktek berkesenian dari pada penguasaan konsep seni (3) dalam praktek berkarya lebih mengutamakan seni meniru alam dari pada pengembangan imajinasi (4) lebih mengutamakan seni tradisional yang konteksnya kurang dikenal siswa. Kendala dalam pembelajaran (1) kurang didukung prasarana ruangan yang berkarakter seni (2) kesulitan memperoleh sumber belajar seni local/seni daerah setempat (3) mata pelajaran seni-budaya sebagai bidang marjinal yang kurang berwibawa karena non-Unas (4) masih banyak guru bidang seni yang berasal dari disiplin non-seni (5) sumber dan media pembelajaran seni sangat kurang. Rekomendasi yang dihasilkan antara lain: (1) KD memungkinkan untuk diubah disesuaikan sikon, karena terjadinya tumpang tindih KD, (2) Alternatif untuk mengatasi kesulitan sumber seni lokal ialah penyesuaian orientasi pada seni populer yang konteksnya sangat dekat dengan siswa (pluralis), (3) Perlu pengintegrasian pelajaran praktek dan teori, untuk lebih memahamkan siswa, (4) Dibutuhkan pemetaan dan identifikasi kesenian tradisional/lokal, dan (6) Kegiatan praktek perlu diarahkan ke eksplorasi (bentuk, bahan).

c. Hasil Implementasi Dalam tahapan Uji coba terbatas perangkat pembelajaran ini mencakup (A) persiapan (B) pelaksanaan dan hasil uji coba yang akan dipaparkan sebagai berikut: a. Persiapan Persiapan ujicoba perangkat pembelajaran meliputi (1 ) menentukan sekolah sasaran uji coba (2)

kordinasi dengan sekolah ujicoba (3) penyamaan

persepsi/pembekalan guru (4) penyusunan instrumen keterbacaan dan keterlaksanaan perangkat. 1. Penentuan sekolah sasaran ujicoba terbatas dengan mempertimbangkan kondisi/mutu sekolah di Indonesia yang beragam mendapatkan tiga sekolah, yakni SD Alam Insan Mulia untuk ujicoba mapel kelas rendah

21

(kelas 1, 2, 3); SD Laboratorium Unesa untuk uji coba mapel SD kelas tinggi (kelas 4, 5, 6). 2. Kordinasi dengan sekolah ujicoba dimaksudkan untuk memperoleh ijin dari kepala sekolah tentang pelaksanaan ujicoba dan memperoleh data guru terkait serta jadual pelaksanaan ujicoba. Berkenaan dengan ini diperoleh data nama guru dan jadual sebagai berikut: 3. Penyamaan persepsi antara peneliti/penyusun perangkat dengan guru berkenaan dengan Silabus, RPP, LKS, Buku Siswa, media pembelajaran, dan alokasi waktu. Di samping itu juga nuansa inovatif pembelajaran yang menekankan

(a) student centered (b) pendekatan kontekstual

yang

ditandai dengan pemanfaatan sumber belajar yang ada di sekitar siswa, pengembangan keterampilan bertanya yang mendorong siswa untuk mengeksplorasi penalarannya, pengembangan learning comunity dengan membentuk kelompok diskusi untuk memecahkan masalah, pemodelan dengan

menghadirkan

berbagai

media

belajar

yang

sesuai

(c)

mengembangkan soft skill dalam bentuk memaparkan hasil pengamatan/ diskusi di depan kelas (d) berbasis budaya yang bersifat plural, mencakup seni budaya tradisional, modern, kontemporer, populer – yang dekat dengan siswa (e) belajar dalam suasana yang menyenangkan (f) menyisipkan pesan moral tentang pentingnya menyadari perbedaan, terutama perbedaan pendapat sebagai modal untuk saling menghargai, bukan sebagai modal untuk saling membenci (f) mengembangkan sikap apresiatif, dengan cara sederhana yakni memberikan komentar dan penghargaan terhadap karya seni teman.

b. Pelaksanaan dan Hasil Uji Coba Ujicoba terbatas dan uji coba luas perangkat pembelajaran oleh guru disertai dengan pantauan peneliti/penyusun perangkat untuk meninjau kesesuaiannya dengan rancangan. Dalam tahap ini diperoleh masukan dari guru pelaksana ujicoba untuk penyempurnaan model pembelajaran.

22

Dalam uji coba model pembelajaran, secara umum guru menerapkan sesuai dengan rancangan, dalam arti mengikuti tahapan proses dan skenario yang tertuang dalam RPP. Uji coba model juga didukung dengan media pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran. Namun secara kasuistis, uji coba di kelas 7, 8, dan 9 menurut pengamatan peneliti dijumpai sejumlah kendala sebagai berikut: (1) Situasi kelas uji coba yang sering terganggu pengumuman-pengumuman sekolah, (2) Guru sulit meninggalkan budaya pembelajaran konvensional (teacher centered dan verbalistis), belum di setting untuk kelas CTL yang lebih bernuansa student centered, (3) Belum ada kelas khusus yang memiliki karakteristik bidang seni, (4) KTSP – yang didukung oleh program ini kurang dipahami baik oleh guru, (5) Guru kurang mampu mengkaitkan antara silabus, buku siswa, RPP, (7) Peran siswa sudah tampak diaktifkan, tetapi guru masih saja terlalu mendominasi kegiatan pembelajaran, (8) Guru masih terpaku pada skenario pembelajaran, meskipun sudah tampak ada inisiatif pengembangan, (9) Buku siswa belum dimanfaatkan

secara

optimal, dan (10) Alokasi waktu (dua jam pelajaran) untuk pelajaran praktek dan teori kurang mencukupi Sementara itu, penilaian/komentar/masukan guru berdasar angket tentang perangkat pembelajaran ( silabus, RPP, Buku Siswa) adalah sebagai berikut: 1. Secara umum silabus telah memenuhi harapan guru. Artinya, silabus telah memenuhi kriteria kedalaman cakupan, tingkat kesukaran, urutan materi dan kesesuaian dengan perkembangan pisik, intelektual, sosial, emosional siswa. Isi setiap komponen sudah saling terkait untuk menunjang kompetensi. Isi setiap komponen dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, kondisi lingkungan, perubahan dan tuntutan sekolah dan masyarakat. Cakupan indikator, materi pokok, KBM, sumber belajar, sistem penilaian sudah mengikuti perkembangn IPTEKS mutakhir dalam kehidupan dan peristiwa nyata dan sudah menunjang kompetensi dasar. Setiap komponen silabus sudah mencakup seluruh ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor). Isi setiap komponen sudah mengakomodasi

23

cakupan apresiasi dan kreasi yang menekankan pada multi kultural, multi tafsir , multi media, dan multi kecerdasan. Isi setiap komponen sudah dapat mengakomodasi pembentukan watak: meningkatkan kepekaan, apresiasi, kratifitas, kejujuran, keberanian, kepercayaan diri, dan sikap mental produktif. Setiap isi komponen sudah mengarah pada model pembelajaran yang lebih mementingkan proses dari pada produk. Silabus dapat dilaksanakan di lapangan. Aspek yang mendapat komentar negatif atau kurang ialah kesesuaian alokasi waktu dengan yang disediakan oleh kurikulum. 2.

Secara umum RPP telah memenuhi harapan guru (sangat baik/baik). Deskripsi lebih lanjut ialah :

tujuan/indikator sudah jelas, cakupan

kompetensi sudah lengkap, sesuai dan mendukung kompetensi dasar. Materi pembelajaran sesuai dengan indikator,

sesuai dengan

karakteristik siswa, runtut/sistematis/hirarkis. Sumber/media sudah mendukung pembelajaran,

indikator

hasil

sesuai

dengan

pembelajaran,

mendukung

kondisi/karakterisitik

siswa,

materi dapat

dioperasionalkan guru dengan mudah. Skenario pembelajaran sudah mendukung tercapainya idikator. Model pembelajaran sesuai dan mendukung penyampaian materidengan baik. Model pembelajaran sesuai dengan kondisi/karakteristik siswa. Langkah-langkah pembelajaran jelas, sistematis, hirarkis. Lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Mementingkan pembentukan watak dari pada sekedar penyampaian materi. Sudah mengadopsi model pembelajaran CTL. Evaluasi sudah mendukung tujuan/indikator, prosedurnya jelas, instrumen lengkap, menilai semua aspek, menggambarkan penilaian model assesment, menyertakan proses refleksi. 3.

Secara umum Buku Siswa telah memenuhi harapan (sangat baik/baik). Deskripsi lebih lanjut ialah :

tujuan/indikator sudah sesuai dan

mendukung KD, cakupan kompetnsi sudah lengkap. Materi, sesuai dengan indikator, sesuai dengan karakterisitik siswa, runtut, sistematis, hirarkis, memenuhi kriteria kontekstual, sesuai dengan waktu yang disediakan oleh

24

kurikulum, setiap indikator diuraikan lengkap, mendalam sesuai dengan karakteristik siswa, mendukung student centered, mengutamakan proses dari pada hasil, dilengkapi rangkuman, KD, indikator, evaluasi, dan tugas kelompok/perorangan, dilengkapi gambar/ilustrasi yang sesuai. Beberapa catatan/komentar tentang buku siswa ialah (1) kurang jelas menunjukkan

materi pembelajaran yang bersifat multi kultural, multi

tafsir, multi media, dan multi kecerdasan (2) perlu penyerderhanaan bahasa yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa (3) penempatan gambar-gambar/ilustrasi sebaiknya berdekatan dengan teks yang terkait agar memudahkan pembacaan.

4. Rekaman video pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 3-8 September 2007, dengan terlebih dulu dilakukan latihan sebanyak tiga kali. Kegiatan ini dilakukan di dalam kelas nyata, dengan ruang kelas, jumlah siswa, serta guru sesuai yang sebenarnya. Rekaman video pembelajaran dipandu oleh naskah/skenario yang dissn oleh peneliti dengan durasi antara 30-45 menit. Kendala dalam kegiatan ini terutama dalam da hal. Pertama, sulitnya mengendalikan siuasi kelas nyata, yang tidak dikondisikan seperti ruang studio yang terbebas gangguan lingkungan, khususnya suara-suara yang tidak dinginkan. Kedua, editing yang waktunya sangat pendek dan tidak dapat melibatkan penulis skenario secara langsung, sehingga berdampak pada hasil penyuntingan video yang kurang sesuai dengan harapan penyusun skenario. Upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah ini ialah memperbaiki hasil suntingan dengan melibatkan penyusun

skenario

dan

menambahkan

teks

untuk

memperjelas

sintaks/tahap-tahapan kegiatan. 5. Replikasi Uji Coba di Mataram Secara umum, respon siswa dan guru dalam pembelajaran seni budaya sesuai dengan hasil pengamatan adalah menunjukkan suasana hidup, bersemangat dan menyenangkan. Analisis ini didasarkan pada pengamatan peneliti, isian angket guru (observer), dan angket siswa. Isian angket difokuskan pada (1) apakah pembelajaran yang diterapkan dapat dikatakan

25

baru (2) Dalam aspek apa nilai kebaruan tersebut (3) Apakah pembelajaran yang dimaksud menyenangkan (4) aspek mana yang menyenangkan (5) komentar terhadap pembelajaran dimaksud, baik yang positif maupun yang negatif. Dari angket siswa yang disebarkan secara acak di kelas 4 SD diperoleh data sebagai berikut :

1. Pembelajaran seni rupa yang dilaksanakan, 100 % siswa menjawab baru Hal-hal yang dirasakan baru adalah : a. lKS b. cara guru mengajar c. Alat mengajar d. Suasana pembelajarannya 2. Pembelajaran yang dilaksanakan menyenangkan anak, 100 % merasa senang dan hal-hal yang menyenangkan berkaitan dengan LKS, cara guru mengajar, alat mengajar dan suasanan pembelajarannya 3. Seluruh Siswa antusias dan ingin mengikuti pembelajaran seperti ini lagi 4. Komentar tertulis dari Siswa a. Senang sekali karena memakai alat-alat gambar yang lengkap, cat air, crayon dan pensil b. Saya sangat senang karena saya bisa menggambar dan melukis c. Suasana menyenangkan dan cara mengerjakannya merasa seru d. Merasa dapat pengalaman yang belum pernah dirasakan

5. lembar Kerja Siswa, bisa terisi dengan lengkap artinya anak tidak mengalami kesulitan, bahkan siswa mampu mengenal-nama-nama tumbuhan yang ada di sekitar lingkungan mereka, dari nama, bentuk, warna , permukaa, serta sifatnya.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa inovasi pembelajaran Seni Budaya (seni rupa) yang dilaksanakan berkategori baru dan menyenangkan anak. Mereka

26

melihat/merasakan bahwa nilai kebaruan pembelajaran dimaksud terletak pada beberapa aspek, yaitu LKS dan media atau , cara, dan suasana pembelajaran. Dalam option, aspek apa yang membuat siswa merasa senang mengikuti pembelajaran dimaksud, karena didukung oleh alat/media yang komplit dan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Meskipun demikian, ada seorang siswa yang berpendapat bahwa suasana ribut, penjelasan guru tidak didengarkan.

Dari angket siswa yang disebarkan secara acak di SMP, diperoleh data bahwa pembelajaran seni budaya yang diterapkan terkategori baru. Sejumlah 15 siswa hanya dua anak (14%) yang tidak menyebut baru. Tetapi dua siswa ini meskipun tidak menyebut sebagai pembelajaran baru, merasa senang mengikutinya. Bagaimana gambaran pendapat siswa tentang aspek kebaruan terpapar pada tabel berikut: Tabel Pendapat Siswa tentang Model Pembelajaran Yang diterapkan Aspek kebaruan

Frekuensi

LKS

1

LKS dan alat/media pembelajaran

1

Alat/media pembelajaran

3

Suasana

4

pembelajaran

Alat/Media dan Cara pembelajaran

2

Alat/Media, Cara, dan suasana pembelajaran

3

Cara dan suasana pembelajaran

1 15

Dari tabel tersebut diketahui bahwa sejumlah siswa memberikan lebih dari satu option.

Artinya mereka melihat/merasakan bahwa nilai kebaruan pembelajaran

dimaksud tidak hanya terletak pada satu aspek, melainkan pada dua atau lebih aspek. Misalnya aspek LKS dan media ata media, cara, dan suasana pembelajaran.

Sementara jika dilihat secara parsial aspek yang paling tinggi frekuensinya ialah alat, kemudian disusul secara berurutan oleh suasana pembelajaran, cara pembelajaran, dan LKS. Dalam hal ini LKS memperoleh angka terendah, karena LKS tersebut tidak

27

diterapkan, melainkan hanya diberikan secara terlampir dalam buku siswa. Kegiatan diskusi kelompok kecil, yang semestinya dipad dengan LKS, kurang dimanfaatkan secara baik oleh guru. Siswa menggunakan lembaran kertas miliknya sendiri.

Jika tabel di atas menunjukkan di mana letak kebaruan yang dapat dirasakan/dialami dalam pembelajaran seni budaya, gambaran yang serupa juga nampak dalam option aspek apa yang membuat siswa merasa senang mengikuti pembelajaran dimaksd. Artinya, siswa senang mengikuti pembelajaran seni budaya karena didukung oleh alat/media yang menarik dan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Meskipun demikian, ada seorang siswa yang berpendapat bahwa suasana pembelajaran ini terlalu santai kurang khusyuk. Di samping itu ada pula satu siswa yang berpendapat kurang tertarik dengan pembelajaran ini, karena tidak disertai praktek berkarya seni rupa. Dengan demikian siswa kurang memahami bahwa standar kompetensi yang dicapai ialah apresiasi, bukan ekspresi/berkarya. Berikut dituliskan komentar para siswa yang mayoritas: 1. Saya sangat menyukai pelajaran seni budaya, karena seni budaya itu pelajarannya gampang dan enak. 2. Menurut saya pelajaran seperti ini menarik, karena bisa membuat kita menjadi semakin aktif,sehingga dapat memahami pelajaran lebih cepat. 3. Dapat menambah wawasan saya sebagai seorang siswa. Memberikan contoh dan teknik cara pembuatannya. 4. Saya dapat mengetahui apa itu seni bdaya dan macam-macam seni lainnya. 5. Saya dapat mengetahui teknik-teknik pembuatannya dan tujuan pembuatan seni tersebut dan dapat menambah wawasan saya untuk berkarya, serta dapat mengasah pikiran saya. 6. Saya bisa cepat mengerti dan lebih jelas 7. Karena suasana mengajarnya menyenangkan dan alat-alatnya juga bagus-bagus. Dan pelajaran ini sangat menyenangkan apabila dilengkapi dengan alat-alatnya. 8. Saya lebih mengerti dan lebih jelas karena dapat melihat media secara langsung, juga mempresentasikannya menjadi lebih aktif.

28

9. Pertama menyenangkan apabila diikuti dengan praktek. Bila tidak diikuti dengan praktek akan membosankan. 10. Saya berharap agar pembelajaran ini sering dilakukan karena dapat menambah wawasan kita semua. 11. Saya merasa lebih senang, lebih mengerti yang telah diajarkan sama guru tersebut. Supaya kita lebih mengenal akan seni budaya, karena guru saya memperkenalkan budaya di sekitar saya.

D. Simpulan

1. Hasil Pengembangan

Penelitian ini telah berhasil mengembangkan (1) model pembelajaran ekspresi estetika inovatif untuk menumbuhkan sikap apresiatif dan kreatif anak disamping belajar kornitif dan psikomotorik; (b) Contoh perangkat pembelajaran; (c) Contoh implementasi model dalam kelas; (e) Instrumen pengamatan belajar

2. Kesimpulan

Ada kecenderungan bahwa pembelajaran inovatif ekspresi estetika yang dikembangkan ini telah mampu menimbulkan atmosfer pembelajaran yang lebih kondusif dan baik dari pada pembelajaran sehari-harinya. Ini terlihat dari antusiasme dan peran aktif seluruh siswa dalm kelompok-kelompok kerja pada saat proses pembelajaran seni. Para siswa merasakan belajar ekspresi estetika yang jauh lebih menyenangkan, bermakna dan merasakan keguanaannya dalam kehidupan. Terlebih sentuhan afeksi yang ikut menunjang perwujudan penanaman perilaku. Penilaian kognitif dan portofolio pada siswa peserta uji coba menunjukkan hasil signifikan terhadap pencapaian indikator pembelajaran. Selain itu kegiatan apresiatif dan kreatif secara berkelompok telah mampu menumbuhkan sikap kebersamaan, saling menghargai, saling berbagi tangggungjawab. Kondisi ini terlihat sejak awal kegiatan dalam kegiatan kerja kelompok maupun saat presentasi hail kerja kelompok. Secara umum perangkat (silabus, RPP, media) telah memenuhi harapan guru (sangat baik/baik). Artinya, perangkat telah memenuhi kriteria kedalaman cakupan,

29

tingkat kesukaran, urutan materi dan kesesuaian dengan perkembangan pisik, intelektual, sosial, emosional siswa. Isi setiap komponen sudah saling terkait untuk menunjang kompetensi yang akan dicapai. Beberapa pengalaman dan temuan saat ujicoba di sekolah dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Respon siswa secara umum sangat baik terhadap proses, strategi, dan materi pembelajaran. 2. Sebagian siswa bersedia dan merasa senang bila diberikan proses pembelajaran sejenis ini pada materi lainnya 3. Perangkat pembelajaran yang digunakan pada ujicoba disambut baik dan sangat membantu pemahaman konsep utama dalam pelajaran ekspresi estetika.

E. Saran-Saran Pembelajaran eksresi estetika mengukur dampak pembelajaran terhadap perubahan kemampuan psikomotorik dan sikap kreatif kerena secara teoretis hasil belajar yang demikian memerlukan waktu yang lama dalam pembentukannya. Hasil belajar tersebut dicapai melalui perubahan perilaku dan perubahan sikap. Penelitian ini baru sampai pada pengecekan apakah guru mampu mengeksplorasi kemampuan ekspresi anak dan belum menjadikan kemampuan tersebut akan menjadi sikap anak. Atas dasar itu perlu dilakukan penelitian yang sama dalam rentang waktu yang lebih lama kemudian dapat mengukur dampak pembelajaran terhadap perubahan sikap positif anak. Guru disarankan dilatih terlebih dahulu untuk mengoperasionalkan perangkat yang sudah dikembangkan mengingat ini model yang baru. Untuk melengkapi contoh-contoh perangkat yang sudah ada perlu di kembangkan contoh lain yang lebih kaya.

Rekomendasi

30

Dari hasil data dapat dianalisis,

kecenderungan bahwa pembelajaran inovatif

ekspresi estetika/seni budaya yang dikembangkan ini telah mampu menimbulkan atmosfer pembelajaran yang lebih kondusif dan baik dari pada pembelajaran sehariharinya. Ini terlihat dari antusiasme dan peran aktif seluruh siswa dalam kelompokkelompok kerja pada saat proses pembelajaran seni. Para siswa merasakan belajar ekspresi estetika/seni budaya yang jauh lebih menyenangkan, bermakna dan merasakan kegunaannya dalam kehidupan. Terlebih sentuhan afeksi yang ikut menunjang perwujudan penanaman perilaku. Pembelajaran ekspresi estetika/seni budaya, melatih anak mengkatualisasikan diri lewat olah rasa hal ini akan meningkatkan sensitifitas dan apresiasi akan kehalusan, dan bila hal ini dilatihkan secara terus menerus maka akan mencerdaskan emosional dan sosial anak. Selain itu model ini juga

mengukur dampak pembelajaran terhadap

perubahan kemampuan psikomotorik dan sikap kreatif. Secara teoretis hasil belajar yang demikian memerlukan waktu yang lama dalam pembentukannya. Hasil belajar tersebut dicapai melalui perubahan perilaku dan perubahan sikap. Penelitian ini baru sampai pada pengecekan apakah guru mampu mengeksplorasi kemampuan ekspresi anak dan belum menjadikan kemampuan tersebut akan menjadi sikap anak. Atas dasar itu perlu dilakukan penelitian yang sama dalam rentang waktu yang lebih lama kemudian dapat mengukur dampak pembelajaran terhadap perubahan sikap positif anak. Guru disarankan dilatih terlebih dahulu untuk mengoperasionalkan perangkat yang sudah dikembangkan mengingat ini model yang baru. Sarana-prasarana minimal perlu disediakan untuk memberi pengalaman seni pada anak, baik berupa ruangan yang memadai, bahan-bahan yang dibutuhkan atau media audio visual, Untuk melengkapi contoh-contoh perangkat yang sudah ada perlu di kembangkan contoh lain yang lebih kaya. E. Daftar Pustaka

AAM Jelantik, Estetika: Sebuah Pengantar, 1999, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.

31

Bliss, Joan., Martin Monk and Jon Ogborn. 1983. Quatitative Data Analysis for Educational Research. London: Croom Helm. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Analisa Situasi dan Kondisi Pendidikan Untuk Semua Tahun 2002. Jakarta: Sekretariat Forum Koordinasi Nasional. Dickie, George. Aesthetics an Introduction. Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, Inc, 1971. Hartoko, Dick. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984 Isaac, Stephen & William B Michael. 1983. Handbook in Research and Evaluation. Second Edition. San Diego, California: Edits. Johnson. E.B. (2000). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Kennick. W.E. 1979. Art and Philosophy Readings in Aesthetics. New York: St.Martin’s Press, Inc. Krathwohl, David R. 1998. Methods of Educational & Social Science Research: An Integrated Approach. New York: Longman. Liang Gie, 1976, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Fakultas Filsafat Universitas gajah Mada, Yogyakarta. Rohendi R, Tjejep, 2000, Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan, STSI, Bandung. Summahamijaya, Suparman. tanpa tahun. Pembangunan Masyarakat Pancasila Melalui Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia dengan Sistim Pendidikan Sikap Mental Wiraswasta. Jakarta: Lembaga Bina Wiraswasta. Sutrisno, Muji, 1993. Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius. Sutjipto, Katjik, 1973, Seni Rupa sebagai Alat Pendidikan, sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran, IKIP Malang. Undang-Undang Nomor 20, tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan.

32