Masalah Lingkungan: Mengelola Sumberdaya ... - RarePlanet

47 downloads 235 Views 97KB Size Report
Masalah Lingkungan: Mengelola Sumberdaya Bersama – Menghindari. “ Tragedy of the Commons”. (oleh: Ni Putu Sarilani Wirawan, 1 April 2011). Pada bagian ...
Masalah Lingkungan: Mengelola Sumberdaya Bersama – Menghindari “Tragedy of the Commons” (oleh: Ni Putu Sarilani Wirawan, 1 April 2011)

Pada bagian ini akan diulas mengenai pendekatan preventif dan promosi perilaku prososial di dalam konteks permasalahan lingkungan hidup, terutama terkait dengan ‘common goods’ sebagaimana yang diterangkan melalui konsep ‘tragedy of the common’ (Hardin, 1960, 1968, 1998). Suatu contoh dari program “Pengembangan Kepemimpinan Rare-Pride” yang dijalankan oleh Yayasan Orangutan Indonesia di dua desa di Kalimantan Tengah (RarePlanet), akan digunakan untuk memberikan ilustrasi mengenai beberapa bagian dari ulasan ini.

Terkait dengan pengelolaan sumberdaya bersama dan menghindari terjadinya ‘tragedy of the common’, Ostrom (1990, hal. 90) mendeskripsikan delapan prinsip-prinsip desain yang berisikan elemen-elemen/kondisi-kondisi penting yang perlu dipenuhi untuk mencapai kesuksesan keberlanjutan sumberdaya bersama dan menjamin ketaatan (compliance) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ke-delapan prinsip ini adalah: 1. Batas-batas didefinisikan dengan jelas: individu atau rumah tangga yang memiliki hak untuk mengakses sumberdaya didefinisikan dengan jelas termasuk pula batasbatas sumberdaya itu sendiri 2. Kongruens antara aturan-aturan yang membatasi dan kondisi-kondisi pemanfaatan dan kondisi lokal. Aturan penggunaan menyatakan pembatasan waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Aturan kondisi pemanfaatan menjelaskan tenaga kerja, material dan dana yang diperlukan. 3. Pengaturan pilihan kolektif (collective-choice): individu-individu yang dipengaruhi oleh aturan operasional mengenai sumberdaya ini dapat berpartisipasi untuk memodifikasi aturan yang ada. 4. Monitoring/Pengawasan: orang-orang yang terlibat dalam pengawasan dan secara aktif melakukan audit kondisi sumberdaya dan perilaku pengguna, bertanggung jawab terhadap pengguna atau merupakan pengguna itu sendiri. 5. Sanksi secara bertahap: pengguna yang melanggar aturan operasional yang ditetapkan secara bertahap dikenakan sanksi (sesuai dengan tingkat keseriusan dampak dan tingkat pelanggaran yang dilakukan) oleh pengguna atau pihak berwenang, atau oleh keduanya 6. Mekanisme resolusi konflik: pengguna dan pihak berwenang memiliki akses yang cepat terhadap area lokal yang berbiaya rendah untuk menyelesaikan konflik di antara para pengguna, dan atau antara pengguna dan pihak otoritas.

7. Pengakuan minimal terhadap hak pengelolaan: hak para pengguna untuk mengembangkan institusi pengelolaan sumberdaya yang tidak mengalami tantangan dari pihak pemerintah yang berwenang. 8. Nested enterprises: penggunaan, pengaturan, monitoring, penegakan aturan, resolusi konflik, dan kegiatan-kegiatan governance, dikelola dalam beragam lapisan dari pengusahaan yang menetap. Selanjutnya, Ophuls (1973, 1977, dalam Gardner & Stern, 1996) mengidentifikasi empat tipe solusi dasar atau cara-cara untuk mendukung perilaku individual terhadap sumberdaya kepemilikan bersama. Keempat solusi dasar ini adalah: a. Penggunaan peraturan pemerintah, aturan-aturan, dan insentif Menurut Hardin ( 1960, dalam Gardner & Stern, 1996) kelemahan terbesar dari tragedy of the common adalah keinginan manusia untuk menguntungkan diri sendiri secara individual, yang dikombinasikan dengan sumberdaya yang bebas tapi tersedia terbatas dan akses yang bebas, berpotensi menghalangi konservasi sumberdaya dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hardin menyatakan hanya ada dua solusi untuk mengatasi hal ini, yaitu membatasi akses dan membuat sumberdaya menjadi mahal. Kedua solusi ini memiliki pendekatan yang serupa, yaitu merubah insentif yang diterima oleh individu. Insentif dijelaskan sebagai kondisi positif dan negatif yang meliputi perilaku. Insentif negatif sering juga disebut sebagai disinsentif. Teori belajar operan dari Skinner menjelaskan bahwa perilaku dipelajari melalui proses dimana perilaku berulang adalah fungsi dari konsekuensi-konsekuensi yang diterima. Di dalam tragedy of the common, perilaku memanfaatkan sumberdaya bersama dijelaskan melalui dua alasan: adanya reward yang diterima dari orang yang menggunakan sumberdaya , sementara biaya dikeluarkan oleh orang lain; serta rewards diterima lebih dekat dengan perilaku yang ditampilkan daripada biaya. Perlu untuk selalu diingat bahwa insentif juga dapat memberikan dampak yang tidak diharapkan, positif maupun negatif. Selain itu efektifitas insentif seringkali sangat tergantung pada strategi lain yang diterapkan pada saat bersamaan, terutama pemberian informasi. Terdapat beberapa prinsip dasar yang dapat diterapkan untuk merancang insentif yang efektif. Prinsip dasar (Gardner & Stern, 1996) ini adalah: • Buatlah insentif sebesar mungkin, sehingga orang-orang menganggapnya sebagai suatu hal yang serius. Namun jika melebihi ambang batas ini, memperbesar insentif hanya akan menghasilkan sedikit dampak. Jika insentif finansial sudah cukup besar, maka akan lebih efektif dari sisi biaya, jika dikombinasikan dengan mengurangi penghalang dengan strategi lain, misalnya dengan mempromosikan mengenai kemudahan perilaku baru . • Padankan insentif dengan penghalang yang mencegah perilaku baru • Buat usaha agar orang-orang mengenali insentif dan perilaku yang ingin diubah • Buatlah insentif layak/diakui (credible) • Temukan insentif yang diterima secara politis



Secara umum, insentif yang positif lebih mudah diterima daripada peraturan, kenaikan harga atau mekanisme lain yang memberikan biaya baru kepada individu atau organisasi. Peraturan dan biaya baru akan memiliki kemungkinan untuk diterima jika peraturan dan biaya baru dianggap adil – baik karena biaya terdistribusi merata kepada semua orang, maupun karena biaya terbesar ditanggung oleh mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan/manfaat. Rancang sistem insentif untuk menghindari penyalahgunaan

Prinsip-prinsip dasar ini menyediakan panduan dalam merancang insentif, namun demikian masih tetap sulit untuk diterapkan (misalnya: apa batasan dari besaran insentif? Bagaimana menemukan insentif yang mudah dikenali namun juga diterima secara politis? Dan sebagainya). Gardner & Stern (1996) kembali menegaskan bahwa orang-orang yang berbeda berespon berbeda terhadap insentif yang berbeda, selain itu orang juga mengalami perubahan, apa yang disukai sekarang belum tentu akan disukai di masa berbeda. Sebagai konsekuensi, siapa pun yang merancang program insentif perlu memasukkan ke dalam rencananya mengenai variasi individual dan mengelola program secara adaptif dengan bersiap memodifikasi program untuk memenuhi kondisi yang dinamis. Oleh karena itu, Gardner & Stern menyarankan dua prinsip tambahan untuk proses perancangan program: •



Berinteraksi dengan orang-orang yang memahami penghalang kepada perilaku pro-lingkungan yang diharapkan Seperti kita ketahui, penghalang perilaku dan insentif yang paling menarik untuk menyingkirkan penghalang, bervariasi di antara perilaku dan di antara individu. Seringkali cara terbaik untuk memahami penghalang perilaku adalah dengan melakukan observasi, juga bertanya langsung kepada orang-orang yang menjadi target, baik dengan menggunakan kuesioner maupun wawancara mendalam. Tujuan dari interaksi antara perancang program dan kelompok target ini adalah untuk membantu perancang program menemukan paket insentif yang efektif untuk merubah perilaku tertentu dalam tempat dan waktu tertentu. Walaupun sudah ada pengalaman keberhasilan di tempat lain dalam menerapkan paket insentif, perancang program tetap perlu melakukan interaksi ini untuk menentukan hal-hal yang akan bekerja dengan baik pada waktu tertentu di dalam situasi lokal. Cara terbaik untuk mengkaji insentif apa yang akan bekerja dengan baik adalah dengan melibatkan beberapa orang yang menjadi target dari perubahan perilaku untuk secara langsung merancang programnya. Secara kontinu mengevaluasi program . Perancangan program, sebagaimana juga, program insentif, tidak dapat dihindari adalah proses’ trial and error’. Kita tidak akan mengetahui seberapa efektif program yang dirancang sampai ketika program tersebut dijalankan.

Karena itu merupakan sebuah prinsip umum, untuk: coba sistem yang terlihat baik lalu amati dengan seksama apa yang terjadi, dan bersiap untuk membuat penyesuaian. Seringkali penanggung jawab program merasa enggan melakukan evaluasi karena kuatir program akan dinilai secara negatif dan dihentikan. Namun demikian, perlu disadari bahwa evaluasi program dapat digunakan untuk memperbaiki rancangan program, terutama jika menggunakan usaha evaluasi yang sistematis. b. Program pendidikan Pendidikan yang dimaksud disini adalah intervensi pemberian informasi serta memperat hubungan antara sikap dan perilaku yang diharapkan, yang ditujukan untuk merubah perilaku dalam jangka pendek, dan tidak merujuk pada program pendidikan lingkungan umum yang bersifat jangka panjang seperti yang dilakukan di sekolah. Gardner & Stern (1996) mengkaji usaha-usaha pendidikan yang menyasar sikap dan keyakinan yang spesifik terhadap lingkungan , serta informasi mengenai tindakan ang dapat dilakukan dalam sikap pro-lingkungan. Pendidikan dapat merubah sikap (attitudes) dan keyakinan (beliefs), tetapi terdapat banyak penghalang – di dalam diri individu, maupun yang ada di lingkungan sosial dan ekonomi- yang menghalangi ekspresi sikap pro-lingkungan ke dalam tindakan nyata. Program pendidikan terbaik pun, tidak dapat menyingkirkan penghalang eksternal untuk bertindak, seperti biaya finansial yang harus dikeluarkan atau ketidaknyamanan yang serius. Lebih lanjut, halangan dan batasan eksternal merupakan batas sejauh mana perubahan perilaku dapat terjadi dengan merubah sikap. Semakin tinggi penghalang – biaya, ketidaknyamanan, kesulitan teknis – maka semakin rendah efek sikap pro-lingkungan terhadap perilaku. Merubah sikap menjadi pro-lingkungan hanya akan berpengaruh kecil pada perilaku yang mahal atau sulit kecuali penghalang eksternal dapat dikurangi. c. Proses-proses sosial (kelompok kecil/kelompok komunitas) yang informal Solusi ini sejalan dengan pemikiran dan prinsip-prinsip mengelola sumberdaya bersama yang dikemukakan oleh Ostrom di dalam bukunya “Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action” (1990). Ostrom menemukan bahwa keberhasilan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas yang berkelanjutan ditentukan oleh: karakteristik sumberdaya; karakteristik kelompok pengguna sumberdaya; aturan yang dikembangkan; dan tindakan-tindakan pemerintah di tingkat regional dan nasional. d. Penggunaan daya tarik moral, agama, dan/atau etika Pendekatan moral, agama, dan atau etika digunakan untuk mendorong perilaku yang tepat terhadap lingkungan.

Gardner & Stern (1996) mengadvokasi bahwa tidak ada satu di antara keempat solusi ini yang efektif jika dijalankan secara terpisah. Jika diterapkan tersendiri, tidak ada satu pun solusi yang akan berhasil mencegah ‘tragedy of the commons’, dan masalah berkurangnya sumberdaya, polusi, dan masalah lingkungan lainnya. Kesuksesan suatu strategi intervensi, hanya dapat terjadi jika keempat solusi dasar ini diterapkan secara terintegrasi, atau setidaknya sebagian besar dari strategi dasar tersebut.

Ilustrasi Kasus: Kampanye Pride untuk penyelamatan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah Kampanye Pride adalah sebuah program konservasi yang difokuskan pada perubahan perilaku dengan menerapkan metodologi sosial-marketing (Rare Conservation). Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) yang berpusat di Palangkaraya menjalankan program ini pada periode tahun 2008 – 2010. Kampanye yang dijalankan oleh Yayorin, dengan program manajer Eddy Santoso, ditujukan untuk mengurangi praktek perladangan berpindah di hutan sekitar Suaka Margasatwa Sungai Lamandau yang mengancam keberlangsungan kediaman penting orangutan Kalimantan (RarePlanet). Usaha intervensi ini dilakukan dengan mendorong petani untuk mau mengadopsi perilaku pertanian menetap dan sistem agroforestri yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan dan meningkatkan ekonomi. Petani lokal dari Desa Tempayung dan Desa Babual Baboti (175 KK) yang menjadi kelompok target dari progam ini diberitahukan juga tentang fungsi area hutan selain untuk kediaman orangutan Kalimantan dan keuntungan-keuntungan mengadopsi pertanian menetap dan sistem agroforestri. Para petani diperkenalkan kepada konsep sistem pertanian menetap, menerima pelatihan dan bantuan teknis untuk menggunakan teknik dan akhirnya mengadopsi dan mempraktekkan pertanian menetap sistem agroforestri. Berdasarkan studi baseline, pada saat perencanaan program, ditargetkan bahwa setidaknya 88 KK telah beralih pada pertanian menetap, di akhir periode program. Pada akhir program, di tahun 2010, hasil yang dicapai (hingga April 2010) adalah sebanyak 157 KK (77,72%) dari 202 KK yang tercatat ulang1. Capaian ini berkontribusi terhadap menurunnya pembukaan lahan pertanian baru (yang biasanya area berhutan atau yang sedang proses suksesi sempurna) seluas 314 hektar (157 KK x 2 hektar/tahun) serta secara nyata mengurangi kejadian kebakaran hutan dengan tidak ditemukannya titik panas api (hotspot) di dalam dan di sekitar kawasan (Santoso E. , 2010). Dengan mengkaji konsep-konsep pencegahan dan promosi dalam kesejahteraan terutama terkait lingkungan, dapat dianalisa terdapat beberapa kunci penting di dalam rancangan dan implementasi program yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan Yayorin dalam bekerja dengan kelompok petani lokal. Poin-poin penting ini antara lain adalah:

1

Di awal kampanye jumlah petani peladang berpindah tercatat sebanyak 175 KK akan tetapi dalam perkembangannya ternyata diidentifikasikan bahwa jumlah sebenarnya adalah 202 KK

a. Penerapan prinsip-prinsip bekerja dalam komunitas (berdasarkan data penelitian, partisipasi, sense of community, dan menghargai keragaman manusia) secara konsisten oleh keseluruhan tim Yayorin, baik pada saat pengumpulan data dasar, perancangan program, hingga implementasi dan evaluasi dampak. b. Menggunakan proses pengumpulan data dasar yang intensif (survey, FGD, wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan) untuk memahami kondisi awal kelompok target terhadap ancaman lingkungan yang dihadapi, persepsi dan sikap terhadap ancaman, penghalang perubahan perilaku juga perilaku yang diharapkan berubah; serta persepsi terhadap paket insentif yang ditawarkan bagi pengadopsi perilaku baru. c. Menerapkan konsep kekuatan (strengths) dengan fokus pada aksi-aksi yang mungkin dan bisa dilakukan oleh kelompok target terkait dengan perilaku baru yang ditawarkan. Selain itu, juga menyediakan perlindungan (protection) melalui disediakannya kebun belajar untuk berlatih ketrampilan baru di dalam lingkungan yang aman dan tersedianya penyuluh yang siap membantu d. Menggunakan pendekatan solusi yang integratif: • Mendapatkan dukungan pemerintah kabupaten (Pemerintah Daerah dan BKSDA SKW II, juga Pemerintah Desa) dan lembaga lain (Proyek Uni Eropa) • Menawarkan paket insentif untuk menghilangkan penghalang perubahan perilaku, serta membuat paket insentif dikenal kelompok target juga diterima secara sosial, budaya, dan politis (pelatihan teknis, kebun latihan, menyediakan pembiayaan untuk proses pembelajaran perilaku baru) ; • Pendidikan (mengemas pesan dengan kesesuaian terhadap khalayak target; menyediakan berbagai informasi spesifik mengenai perilaku yang diharapkan dengan berbagai media cetak dan audio visual; menggunakan pengingat dan prompts: “Hemat di Lahan Sendiri”, “Berladang menetap lebih menguntungkan”, dan “Hutan tetap terjaga, panen lebih maksimal”) • Bekerja melalui kelompok sosial/kelompok masyarakat informal yang ada di kawasan kerja (pertemuan kelompok petani menggunakan teknik-teknik fasilitasi proses secara partisipatif untuk membuat rencana kegiatan bersama maupun proses umpan balik) Tantangan terbesar dalam setiap program intervensi adalah mempertahankan perubahan perilaku yang sudah terjadi serta meningkatkan jumlah pengadopsi perilaku baru sehingga dapat merubah seluruh populasi target. Saat ini Yayorin masih terus melakukan tindak lanjut untuk menjawab tantangan ini (Santoso E. , Teori Perubahan Tindak Lanjut Kampanye SM Sungai Lamandau). Beberapa ruang bagi peningkatan efektifitas program ini dapat dilakukan dengan mulai menerapkan beberapa prinsip yang dikemukakan oleh Ostrom (1990) terutama kongruensi antara aturan-aturan yang membatasi dan kondisi-kondisi pemanfaatan dan kondisi lokal, serta pengaturan pilihan kolektif (collective-choice). Selain itu paket insentif yang disediakan tetap harus menyediakan daya tarik yang cukup besar sehingga perubahan perilaku tetap terpelihara dan dampak penyelamatan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau dapat tercapai.

Daftar Pustaka Dalton, J. H., Elias, M. J., & Wandersman, A. (2001). Community Psychology: Linking Individuals and Community. Stamford: Thomson Learning. Gardner, G. T., & Stern, P. C. (1996). Environmental Problems and Human Behavior. Boston: Allyn and Bacon. Hardin, G. (1998). Extensions of "The Tragedy of the Commons". Science , 280 (5364), 682-683. Hardin, G. (1960). The Competitive Exclusion Principle. Science , 131 (3409), 1292-1297. Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science , 162, 1243-1248. Orford, J. (1992). Community Psychology: Theory and Practice. New York: John Wiley & Sons, Inc. Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press. Ostrom, E., Burger, J., Field, C. B., Norgaard, R. B., & Policansky, D. (1999). Revisiting The Commons: Local lessons, global challenges. Science , 284, 278-282. Rare Conservation. (n.d.). Retrieved Maret 2011, from http://www.rareconservation.org RarePlanet. (n.d.). Retrieved Maret 2011, from Campaign for Sustainable Forest Management: http://www.rareplanet.org/en/campaign/campaign-sustainable-forest-managementlamandau-riverwildlife-reserve-central-kalimantan-bo Santoso, E. (2010). Laporan Akhir Proyek Kampanye Bangga Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Bogor: Yayorin & RARE. Santoso, E. (n.d.). Teori Perubahan Tindak Lanjut Kampanye SM Sungai Lamandau. Retrieved Maret 2011, from http://www.rareplanet.org/en/campaign-blog/teori-perubahan-tindak-lanjut-kampanyesm-sungai-lamandau?type=campaign