Menjemput Mimpi - Smashwords

54 downloads 1134 Views 721KB Size Report
MENGGAPAI IMPIAN. *****. BEGINNING. “This way please,” Kata seorang petugas bandara. Mereka bertiga berjalan cepat, menuju sebuah gerbang yang  ...
Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Menggapai Impian By Rifqi Mahdi Saindra

SMASHWORDS EDITION

*****

PUBLISHED BY: Rifqi Mahdi Saindra on Smashwords

Menggapai Impian Copyright © 2014 by Rifqi Mahdi Saindra

Thank you for downloading this free ebook. Although this is a free book, it remains the copyrighted property of the author and may not be reproduced, scanned, or distributed for any commercial or non-commercial use without permission from the author. Quotes used in reviews are the exception. No alteration of content is allowed. If you enjoyed this book, then encourage your friends to download their own free copy. Your support and respect for the property of this author is appreciated. This book is a work of fiction and any resemblance to persons, living or dead, or places, events or locales is purely coincidental. The characters are productions of the author’s

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

imagination and used fictitiously.

*****

Many thanks to Willy Amosa who helped me edit this story. Also, thank you to all ‘Friends’ who have offered their support and have allowed me to practise my writing skills on them. Please note that I use Indonesian language throughout. This tale began as a short story but several people encouraged me to continue it. I hope you enjoy the story as much as I enjoyed writing it.

*****

MENGGAPAI IMPIAN

*****

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“This way please,” Kata seorang petugas bandara. Mereka bertiga berjalan cepat, menuju sebuah gerbang yang bertuliskan Exit. Banyak orang berjalan kearah yang sama, langkah mereka cepat sekali, lebih cepat daripada mereka bertiga. “Bandara ini besar sekali.” Kata pemuda berambut cepak. Dia mengenakan jaket hitam, karena saat itu musim semi, taman-taman di luar tampak indah. Dedaunan pohon yang hijau terkubur dibalik bunga-bunga yang bermekaran. Dia menyeret sebuah tas koper warna hitam bertuliskan POLO, yang masih ditempeli label GIA, Garuda Indonesia Airways. “Tentu saja. Bandara di luar negeri memang besar,” Kata pria kedua. “Selain itu, teknologinya juga sudah sangat canggih. Tidak seperti…” Perkataannya terputus, karena temannya yang berambut cepak melemparkan mimik muka yang bahkan bisa ditebak oleh anak kecil. Diam. Seorang petugas keamanan memeriksa tas mereka dengan detektor logam. Termasuk ketiga orang itu. Menggerakkan sebuah tongkat hitam seukuran legan bawah orang dewasa. Ketika ketiga tas sudah diperiksa, mereka bertiga dipersilakan untuk pergi. “Jadi, kemana kita harus mencarinya?” Kata pria berambut coklat. Yang tadi dibungkam oleh tatapan temannya. Dia juga memakai jaket. Hanya saja berwarna biru. Sepatu olahraga membungkus kakinya, berwarna seputih salju dengan lambang nike hitam. “Katanya kita harus menunggu di depan gerbang International Arrival.” Kata teman perempan mereka. Dia memakai jaket putih, celana seputih salju dan sepatu yang berwarna senada. Penutup kepala menutupi kerudung hijaunya. Parasnya sempurna. Cantik tanpa usaha, modis tanpa gaya. Matanya yang berwarna coklat

menatap tajam kedepan.

Mengamati sesuatu., atau mungkin malah seseorang. Tiba-tiba ekspresinya berubah. Persis seperti orang yang mendapat hadiah doorprize. Kedua temannya mengira si gadis terkenaserangan jantung mendadak. Sampai mereka melihat penyebabnya. “Akhirnya kalian tiba, sobat.” Kata orang itu. Dia menyalami ketiga temannya. “Semoga penerbangannya menyenangkan.” Senyum ramah muncul di bibir pemuda itu. “Ayo, kalian pasti lelah. Ikut aku, dan semoga kalian tidak terkena penyakit umum kita, mabuk udara.” Orang yang menyambut merekamengenakan jaket kulit. Celana jeans biru, dan sepatu olahraga.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dia berjalan sangat cepat , seolah bisa merasakan apa yang dirasakan oleh ketiga temannya. Mereka berempat berhenti di depan sebuah kedai minum teh. Dia memesan empat gelas teh hijau khas Jepang, yang dibayar dengan uang delapan Yen. Mereka berempat menikmati teh hijau itu. Menyesap aromanya yang khas. Bagi mereka, teh itu adalah sumber energi positif untuk dapat bertahan di tempat yang sama sekali asing bagi mereka ini. “Teh hijau disini memang enak,” Kata si cepak. “Aku bisa menghabiskan sepuluh gelas lagi.” Teman-temannya tersenyum. “Kamu haus atau rakus, Uki?” Teman rambut coklatnya berkomentar. “Bukan begitu, Fan.” Kata Uki. “Bukan rakus, tapi doyan.” Ketiga temannya tersenyum. “Oh kalian mau lagi? Kenapa tidak langsung bilang?” kata pria ketiga. Rambutnya dipotong rapi. Dia bangkit dan memesan beberapa gelas teh lagi. Si gadis ingin berkata jangan, tapi sudah terlambat. Beberapa gelas baru muncul di hadapan mereka. “Rifqi, kamu tahu kamu tidak semestinya repot seperti itu.” Kata si wanita muda. “Biarkan saja, Septi. Tidak usah dipikirkan. Selama kalian berada di Jepang, kesejahteraan kalian menjadi tanggung jawabku.” “Tapi….” Septi mencoba berkilah, namun Rifqi berbicara lebih cepat. “Lagipula, aku yakin, kalian pasti belum punya uang Yen. Benar kan?” Rifqi memandangi ketiga temannya. Menunggu salah satu dari mereka mengajukan bantahan. Tapi ternyata tidak ada. Septi hanya memandangnya, tapi Rifqi bisa membaca ekspresi di wajah temannya itu. Terima kasih. Mereka minum lebih cepat. Ketika teman-temannya puas, Rifqi mengajak mereka pergi. “Apakah kau tidak punya… eh, maaf, mobil?” Kata Irfan. “Aku punya. Tapi kutinggalkan di rumah.” Rifqi menyetop sebuah taksi. Dan mereka segera masuk. “Kau punya rumah di Tokyo?” Kata Septi kagum. “To Tokyo Hotel please,” katanya pada si supir. “Oh, maaf kawan,” kata Rifqi. “Aku belum memiliki rumah di kota ini.” Katanya sambil memandangi gedung yang menjulang. “Lalu, di mana rumahmu?” Kata Septi. Rasa kagumnya berubah jadi rasa sedikit kecewa. “Ada apa denganmu, Little Farmer? Apa kau mabuk?” Tanya Rifqi. Dia, dengan sedikit usaha berhasil membuat suaranya selembut sutera. “Tidak,” Kata Septi. “Tadinya kukira kamu punya rumah di Tokyo.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Oh, maaf. Aku juga sedang mencari…. Yah, bisa kita bilang tempat tinggal.” “Jadi, di mana rumahmu?” Kata Irfan. “Rumahku…. Di Sorbonne.” Katanya pelan. Mencoba bersikap biasa. UKi menyemburkan air mineral yang dia minum keluar taksi. “Dimana?” Katanya seolah pendengarannya bermasalah. “Sorbonne.” Katanya. “Aku dapat kabar kalian akan ke Tokyo kemarin. Makanya aku segera kemari.” “Tunggu,”Kata Uki. “Maksudmu… kau baru saja tiba dari Sorbonne?” “Ya. Kamu benar. Aku baru tiba.” Mereka meneruskan perjalanan dalam diam. Bagi Rifqi, hal itu lebih baik daripada harus mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Bukan berarti Rifqi bohong soal Sorbonne, tapi bagaimana caranya sampai disana. Itulah yang tidak ingin dijabarkan olehnya. Sampai waktunya tiba. “Kalau kalian ingin menikmati pemandangan,” Rifqi memperhatikan ketiga temannya, yang memandangi sudut kota Tokyo dengan tatapan takjub, seolah ibu kota Jepang itu terbuat dari emas 24 karat. “Aku punya tempat yang bagus. ” Septi memandangnya. “Lebih bagus daripada taman kota? Di mana?” Rifqi memandang keluar saat taksi berhenti. “Akan kita lihat sebentar lagi.” Rifqi tersenyum melihat Irfan dan Uki yang tertidur pulas. Septi memperhatikan mereka juga, yang mau tak mau mengikuti teladan temannya, tersenyum. Septi membangunkan mereka saat temannya yang satu lagi membayar ongkos taksi. “Di mana kita?” Kata Uki. “Apa ini Universitasnya?” Rifqi membasuh wajah Ukidengan air mineral botolan. “Sadar dong, kita baru tiba di hotel.” “Oh… oh… Kukira kita sudah tiba di kampus.” Irfan menyembunyikan rasa terkejutnya. “Hotel ini besar sekali.” Mereka mengambil barang. “Sekarang apa?” Kata korban hujan air mineral. “Haruskah…..” Pemandu mereka menarik tangan Uki. Menyeret koper yang sudah diturunkan dari taksi. “Ya. Kita harus menginap di sini.” Pemuda berkulit paling coklat itu menyewa empat kamar seharga 2500 Yen untuk 5 malam. Membuat ketiga temannya tersedak makanan. Namun dia hanya tersenyum. Mereka menyantap nasi dan telur dadar gulung, beberapa botol air mineral, dengan tambahan sedikit sake yang sama sekali tidak mereka sentuh.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Sepuluh ribu Yen?” Septi sangat terkejut mendengarnya. Baginya, itu adalah hal yang sangat mahal. Tapi sepertinya temannya sama sekali tidak menpedulikan hal itu. Baginya yang untuk hidup saja harus berjuang begitu keras, uang sejumlah sepuluh ribu Yen adalah sangat banyak sekali. Apalagi jika ditukar dengan mata uang Rupiah. Dara manis itu bisa membayangkan apa yang bisa dia beli dengan uang sebanyak itu. Rumah baru, TV, motor dan makanan yang menjulang bagai bukit. Yang penting, dia bakalan hidup enak. Rifqi tersenyum jahil. “Ada apa petani kecil?” “Rif, kamu… Orang Tua kamu pasti marah kalau mereka tau apa yang kamu lakukan.” Temannya mengangkat bahu. Tersenyum lebar sekali hingga menampakkan deret gigi yang putih. Kemudian dia memperbaiki posisi duduknya. ”Maksudmu uang itu? Maaf, aku belum cerita ya?” Rifqi meminum sedikit air putih. “Sebenarnya kamu ngomong apa sih?” Kata Uki. Mencoba mengorek informasi. “Kamu menyembunyikan sesuatu.” Tebak Irfan. Itu lebih baik. Pikir Rifqi. Sebenarnya memang ia tidak pernah cerita kepada satu pun temannya yang ada di Sorbonne tentang pekerjaan sampingannya selain kuliah. Tapi kalau di depan mereka bertiga, Rifqi harus bicara. Tidak boleh bohong. Tidak, dia akan mengatakan semua. Tapi bukan sekarang. Nanti. Ketika waktunya sudah tiba. “Perancis adalah negeri seni. Seni peran, seni suara dan, sastra.” “Lalu?” Irfan tidak sabaran. “Aku menjadi penulis novel juga. Yang tentunya bertema Indonesia dengan segala keajaiban alamnya. Ternyata buku itu laku keras. Aku dapat 400 Euro sehari sebagai royalty.” “Kamu pasti bercanda.” Kata Uki. “Tentu tidak sobat.” Dia membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah buku tebal berjudul Wonderful Indonesia. Dengan gambar Bukit Barisan, Danau Toba, Komodo, Candi Borobudur dan Tugu Monumen Naional. “Apa ini buku ensiklopedi?” Septi mengambil buku itu, membaca sinopsisnya dan membaca halaman depan buku itu. Dia melpas jumper jaketnya. Kepalanya dilapisi kerudung yang terpasang dengan rapi. Membuatnya pantas disebut Ratu Kecantikan muslimah versi Uki dan Irfan. “Sebenarnya itu novel. Mungkin memang tampak seperti buku ensiklopedi dengan ilustrasi seperti itu. Tapi itu adalah kisah perjalanan tiga pemuda, yang menjelajahi keindahankeindahan flora dan fauna yang ada di Indonesia.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Luar biasa.” Kata teman puteri mereka. Pemuda bermata segelap malam itu mengunyah makanannya perlahan. Ketahuan sekali dia sedang berfikir keras. Seolah sedang merencanakan sebuah acara penyerangan ke Tokyo Tower. Atau mungkin menyembunyikan sesuatu. Kata Septi dalam hati. “Dalam novel itu, ada tempat yang sudah kukunjungi.” Dia diam sebentar. “dan ada pula yang belum kukunjungi.” “Kau pasti bercanda.” Irfan menatap tatapan tajam temannya dan berubah pikiran. “Tapi bisa jadi sih.” “Maksudmu… kau belum pernah mengunjungi sebagian tempat dalam buku ini.” Tebak Uki. “Apakah itu benar?” “Ya. Itu benar. Aku mencari hal-hal itu dengan bantuan Google.” “Hebat.” Kata Irfan. “Kamu memang pemuda yang penuh kejutan.” Tambah Uki. Hatinya merongrong semakin keras, Ada yang Rifqi sembunyikan darinya. Sekarang Septi yakin. Tapi sebaiknya dia diam sekarang. Belum. Saatnya akan tiba. Bukan sekarang. Tapi dia harus mencari tahu. Secepatnya. Si dara manis menebarkan pandangan ke seisi ruangan. Tempat itu dipenuhi lusnan meja bundar, yang dilapisi kain linen putih, dan dipenuhi oleh orang-orang. Septi yakin mereka tidak hanya berasal dari Tokyo. Tapi juga dari daerah lain. Atau mungkin malah Negara lain. Para pengunjung di salah satu meja meminum sake, bir khas Jepang hingga wajah mereka merah karena mabuk. Di sisi lain, beberapa wanita Jepang berceloteh tentang suatu hal yang sama sekali tidak dia pahami. Di pojok ruangan, petugas keamanan berdiri tegap. Membelakangi dinding marmer yang megah. Septi menarik nafas dalam. Lalu menghembuskannya dengan kuat. Tapi temannya tidak memperhatikan. “Bagaimana kalian bisa sampai dapat beasiswa? Sampai kapan itu berlaku? ” Wajah Irfan jadi sedikit merona. “Sampai kami lulus.” “Cara mendapatkannya… ceritanya panjang.” Tambah Uki. “Lalu bagaimana caramu……” “Viera dapat beasiswa ke Sorbonne ya?” Itu dia. Itu yang dia sembunyikan. Pikir Septi. “Ya.” Kata Septi enggan. “kok kamu tahu?” “Aku mengantarnya dari bandara Charles sampai Sorbonne. Flat tempat tinggalnya dekat dengan rumahku.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Rifqi yakin Septi sudah bisa menebak apa yang dia sembunyikan. Gawat. Dia memikirkan satu-satunya cara. Membuang pertanyaan itu dari dalam hati mereka. “Ayo sobat. Kita kunjungi Tokyo Tower.” Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan Tokyo Tower. Bangunan itu dicat dengan warna merah dan putih. Seperti menara BTS yang ada di Indonesia. Tempat itu dipadati pengunjung. Tua, muda, anak sekolah dan mahasiswa universitas. Di observatorium, mereka berempat memandangi setiap sudut ibu kota Jepang itu. Menikmati saat-saat sunset yang indah, dengan hamparan bunga sakura dan taman kota yang memesona. Menarik mata untuk lebih mendekat pada teropong. Kali ini, mereka sudah berganti pakaian. Rambut mereka disisir ala kadarnya. Septi memakai baju tangan panjang dan kerudung hijau. Celana panjang hitam membalut kakinya, dia memakai sandal bermerk Bata. Uki mengenakan kaus bergambar pedang samurai, celana jeans tanggung dan sepatu kets. Sementara irfan tampak lebih formal, memakai kemeja putih tangan pendek, celana panjang hitam dari bahan halus dan sandal kulit berwarna coklat tua. Teman mereka, Rifqi, mengenakan kaus klub sepak bola Britania Raya. Manchester United berwarna putih. Celana panjang hitam membungkus kakinya. Angin berhembus perlahan. Membuat sunset lebih indah. Irfan dan Uki tiada henti mengambil gambar dengan kamera DSLR atau kamera handphone mereka. Dan terkadang berpose berdua dengan latar sunset, dan Rifqi-lah yang diminta mengambil gambar. Hal itu tidak dilakukan si gadis. Dia hanya menatap kedepan menggunakan teropong. Entah apa yang dia pandangi selain atap gedung dan rumah yang diselingi pertamanan yang indah. Dia merasa melayang menuju dunia manga. Keadaan Jepang yang dahulu hanya bisa dia nikmati dari serial anime atau komik, kini sudah dia saksikan sendiri. Lengkap dengan bunga Sakura yang bermekaran. Yes, it’s a dream come true… Akhirnya mengalir juga. Air mata yang muncul ini disebabkan luapan kegembiraan yang tidak terkira. Impian Septi akhirnya terwujud. Belajar di negeri Samurai Biru. Dia tidak memperhatikan temannya. Pemudi yang tinggal di daerah Gayam itu membiarkan air matanya terus mengalir. Membasahi pipi lesungnya, membasahi baju hijaunya. Pikiran Septi melayang, terbawa hembusan angin. Menuju masa lalu…….

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 1 SEPTI Kalau kamu kebetulan lewat di depan gerbang sekolahmu, dan mendapati temanmu berkelahi, apa yang akan kamu lakukan? Itulah yang akan aku lakukan. Aku berdiri di antara mereka berdua dan melerai. Masih membawa tas punggung penuh buku. “Hentikan!” Aku berusaha membuat suaraku terdengar. Aku menarik Uki menjauh dari Irfan, yang sekarang ditahan oleh Rimba. Mereka berdua meronta. Seperti kerbau, maaf. Karena mereka besar sekali.Yang ingin disembelih. Mencoba melepaskan cengkraman tangan kami. Untungnya, beberapa saat kemudian, Pak Rudi, wali kelas kami datang. “Ada apa ini!?” Suaranya menggelegar, melampaui keributan. “Uki, Irfan, ke kantor. Yang lain, cepat masuk kelas.” Pak Rudi meninggalkan kami dalam keheningan. Itulah kepala sekolahku. Tegas, lugas dan ganas. Pria itu bertubuh padat. Tidak gemuk, apalagi gendut. Hanya… padat.

Dia adalah guru yang paling disegani di sekolah ini.

Kepalanya ditumbuhi rambut hitam klimis. Tersisir rapi berkat ramuan untuk rambut yang terkenal zaman sekarang. Gatsby. Beliau memakai baju LINMAS dan sepatu pantopel hitam mengkilat. Kami berjalan bersama, sekitar selusin anak remaja yang baru saja menonton pertandingan tinju sesama teman sekelas. Hebatnya, yang menjadi wasitnya adalah aku. Mereka, termasuk aku, berjalan santai, sambil mencuri-curi pandang ke kantor Kepala Sekolah. Mencari tahu apa yang akan dilakukan Pak Rudi kepada kedua teman sekelasku. “Tadi itu hebat.” Kata Rimba. Anak laki-laki berkulit putih berbadan besar dengan rambut gondrong. Dia berusaha menyamai langkahku. “Apanya?” kataku. Mencoba mendatarkan suaraku. “Butuh nyali yang tidak kecil untuk melakukan itu.” Rimba menyisir rambut lebatnya dengan tangan. Dia memakai celana panjang berpotongan normal. Padahal, teman-temanku memakai celana panjang dengan model pensil. Sepatu hitam merek Tomkins melapisi kakinya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.” Aku berjalan lebih cepat dan meniggalkan pemuda itu. Di ruang kelas, aku duduk bersama Uki. Seharusnya. Tapi dia belum tiba sekarang. Di bagian pojok kelas, rival sekaligus sahabatku, Viera, duduk satu bangku bersama Rimba. Mereka berdua adalah dua sejoli yang… yah, sulit kujelaskan. Viera pintar dalam pelajaran Exact. Sedangkan Rimba, jago dalam bidang Sosial, pengetahuan umum dan bahasa inggris. Bisa kupastikan, mereka berdualah yang akan mengumpulkan tugas terlebih dahulu. Apalagi kalau sudah ada tugas kelompok. Ruang kelasku sendiri dicat dengan warna putih, dan dipenuhi berbagai daftar, mulai dari jadwal piket hingga jadwal nama pengajar. Semuanya dibuat dengan program Photoshop atau Corel Draw. Semua bangku diisi penuh, dua anak setiap meja. Dibuat seperti ganda campuran dalam pertandingan bulutangkis. Lakilaki harus duduk sebangku dengan perempuan. Itulah salah satu aturan yang dibuat Pak Rudi. Bukankah dalam Islam ada aturan main sendiri dalam pergaulan? Iya kan? Dilarang bersentuhan kalau bukan muhrim. Kalau dengan cara ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kami pasti bersentuhan. Namun tampaknya temanku tidak ada yang memperhatikan aturan agama Islam yang satu itu. Aneh, padahal mereka mengaku sebagai orang yang beriman kepada Allah. Tapi mereka tidak mengindahkan aturan Allah yang satu ini. Uki berjalan masuk. Dia tidak mengindahkan pandangan kawan yang hanya tertuju padanya, layaknya seorang target utama polisi. Dia langsung duduk di sebelahku. Dan mengeluarkan buku sejarah dari tas hitamnya. Tas punggung itu dibordir dengan gambar lingkaran merah ditengah bangun persegi panjang putih. Bendera Jepang. Negeri Matahari Terbit. “Apa yang sebenarnya terjadi?” kataku. “Ceritanya…. Rumit.” Dia mengeluarkan pulpen. “Baiklah, pertanyaan lain. Apa hukuman yang diberikan Pak Rudi padamu?” Wajah orang berambut kriting ini berubah drastis. Seolah dia bertambah tua sepuluh tahun. “Kamu… kamu tidak perlu tahu.” “Ayolah,” Kataku membujuk. “Semoga aku tidak menyesal telah memberi tahu kamu hal ini.” Uki menarik nafas. “Pak Rudi memanggil orang tua kami. ” Aku menelan ludah. Pemanggilan orang tua… itu adalah hukuman yang berat. Setingkat di bawah pengusiran dari sekolah. Kalau wali kelasku ingin hukuman yang satu ini dilimpahkan

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

pada mereka, berarti penyebab perkelahian mereka adalah hal serius. Seisi ruang kelas menjadi ramai. Semua orang memebicarakan headline news di kelas kami. Dua sahabat berkelahi dan sama-sama diberi hukuman berat. Panggil Orangtua. 15 menit berjalan cepat. Tapi beliau belum datang juga. Seolah memberi kami waktu untuk ribut. Kalau sudah begini, aku ragu urusannya bisa cepat selesai. Sebagian temanku yang lain mengerubungi Irfan. Seolah dia adalah gundukan gula murni, karena wajahnya memang putih. Dia sendiri tidak menyisir rambutnya seperti biasa. Membiarkannya tergerai tidak beraturan, berkilau diterpa hangatnya sinar matahari pagi. “Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh…” Akhirnya beliau tiba. Membawa sebuah map berwarna merah. Aku yakin dia membawa serta beberapa surat. Pak Rudi masih tampak marah. Tidak biasanya wali kelasku seperti ini. Dia… Dia… kelihatan seperti ingin mengamuk di depan kami. “Apa pelajaran kita pagi ini?” katanya berwibawa. “Sejarah….” Kami menjawab serempak. Pria 40 tahun itu meletakkan map diatas meja. “Baiklah, bapak akan memberi soal. Dengan selembar kertas pastinya. ” Kami merobek selembar kertas dan menyiapkan pulpen. “Soal Pertama, Siapa Presiden negeri Mesir yang didemo ?” beliau melihat handphonenya, membaca SMS mungkin. “Yang kedua.

Apa nama kabinet Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono pada kali pertama masa kepemimpinannya?”

Orang itu mengambil nafas.

“Selanjutnya. Siapa nama Gubernur Jendral VOC yang pertama? Yang keempat. Apa itu Gerakan 3A Jepang? Dan yang terakhir, Apa nama organisasi pergerakan nasional Indonesia yang tertua? Tulis jawaban di kertas dan segera kumpulkan!” Tidak perlu diperintah dua kali. Kami segera menulis jawaban di atas selembar kertas putih, secepat yang kami bisa. Untungnya, semua jawaban dari soal-soal itu sudah kuhafal. Jadi, pulpenku terus bergerak tanpa tersendat. Seakan benda mati itu memiliki pikiran sendiri. Sesekali, Uki melihat jawabanku. Aku tidak menyalahkannya. Aku tahu dia pusing. Dia sedang dalam masalah besar. Ditambah lagi, Uki tidak terlalu menyukai pelajaran Sejarah. Yang dia pikir terlalu sulit untuk dihafal dan dipahami. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah isi pikiran temanku saat ini. Viera dan aku berdiri bersamaan, maju berbarengan dan mengumpulkan kertas soal secara kompak. Seolah gerakan itu sudah kami latih sebelumnya. Kami duduk, juga bersamaan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kalau kami ada di sekolah luar, kami pastiakan dapat tepuk tangan meriah. Tapi disini, teman-teman kami bahkan tidak memperhatikan kami. “Kenapa kaian bisa kompak seperti itu?” Kata Uki setelah mengumpulkan kertas jawaban. “Aku tidak tahu soal itu. Mungkin karena kami terlalu sering melakukannya.” “Tapi yang tadi itu luar biasa.” “Aku tahu.” Kataku. “Apa kamu sudah memikirkan konsekwensinya?” “Konsekwensi apa? Hukuman itu?” “Iya. Orang tuamu pasti marah.” “Aku tahu. Sep, nanti malam aku menginap di rumah kamu ya?” “Apa maksudmu? Jangan salah tingkah gitu dong. Orangtuamu pasti….” “Mengusirku dari rumah. Kamu benar.” Aku diam sejenak. Menoba menyerap info itu. “Maksud kamu ayah dan ibumu akan mengusirmu dari rumah?” “Dan tidak akan mengizinkan aku kembali.” “Uki… ” Kataku lembut. “Ayah dan Ibumu tidak mungkin melakukan tindakan itu.” “Mengusirku dari rumah? Aku harap perkataanmu benar.” Pak Rudi berdiri di depan kelas. Kami berdua diam setelah Aldo yang duduk depanku memperingatkan. Beliau menatap kami. Mata coklatnya menatap lurus kedepan. Tepat menusuk mata kami. Seolah beliau sedang membca pikiran kami. “Kalian boleh membicarakan itu nanti. Ketika istirahat. Sekarang Bapak ingin bicara.” Beliau memasukkan kertas jawaban kedalam map merah itu. Ternyata dugaanku salah.”Apa yang teman kalian lakukan seharusnya tidak terulang lagi di kemudian hari. Berkelahi hanya gara-gara… hal sepele, ah sudahlah. Yang penting, bapak tidak mau hal serupa terjadi lagi. Paham?” “Paham.” Kata kami serempak. “Ada yang ingin bertanya?” Wajah beliau berseri, seolah beliau dapat rezeki nomplok. Aku mengangkat tangan. “Apa… apa bapak tidak marah?” Ia menggaruk dagu, seperti sedang berfikir. “Tidak. Memang kenapa nak?” “Tapi barusan, bapak seperti ingin mengamuk.” Kataku. “Kau ini bisa saja Septi. Tidak, bapak tidak mengamuk. Hampir. Apa yang dilakukan Irfan dan Uki hari ini benar-benar membuat bapak malu.” Beliau menarik nafas. “Apa kalian

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

belum sadar juga? Kalian adalah murid senior di sini. Seharusnya kalian menjadi contoh. Bukanya malah melakukan hal bodoh. Ada pertanyaan lain? Apa saja.” Viera mengangkat tangan. “Apa tujuan dari hukuman memanggil orang tua ke sekolah?” Pak Rudi berdehem, “pertanyaan bagus. Tujuannya adalah memberi tahu orang tua, dan atau wali murid yang bersangkutan, bahwa anaknya melakukan kesalahan. Dan tidak bisa diperingati oleh pihak sekolah. Oleh karena itu, pihak sekolah memanggil orang tua agar mereka bisa mengetahui perkembangan anak-anak mereka di sekolah. Dan bisa menasehati mereka secara langsung apabila mereka salah. Nah, ada pertanyaan lain?” Rimba mengangkat tangan. “Apa pihak sekolah memanggil orang tua hanya jika anak mereka melakukan kesalahan?” “Tidak, tidak demikian, tapi kebanyakan memang seperti itu. Sekolah juga memanggil orang tua apabila anak mereka berprestasi. Untuk mengucapkan selamat dan penyerahan penghargaan. Info lebih lanjut bisa kalian tanyakan pada teman kalian, Septi dan Viera.” Aku yakin wajahku merah padam. Jarang sekali Pak Rudi menyatakan hal seperti itu di kelas. Aku memandang Viera, wajahnya juga merah padam. Semua orang memandangi kami, seolah kami adalah artis Ibu Kota yang baru tiba dari Jakarta. Seperti CherryBelle gitu… “Kamu jarang dipuji pak Rudi di kelas ya?” Kata Uki. Dia tersenyum lebar. “Ya, memang kenapa?” “Tidak, wajahmu … seperti diberi pigment.” “Dengar ya, aku jarang dipuji dikelas. Jadi, tolong jangan meledekku!” “Ehm…” kata Aldo. “Bisakah kalian diam?” Semua orang memandang kami, bahkan Pak Rudi melakukan hal yang sama. Aku tahu pasti wajahku semakin menyala merah. Aku berfikir beginikah rasanya jadi artis terkenal. Setiap saat dikejar oleh penggemar, setiap saat ditatap oleh ratusan pasang mata yang meratap penuh harap. Berharap mendapatkan tanda tangan artis idolanya. Bel istirahat berbunyi. “Bapak rasa kalian sudah tidak sabar untuk ngobrol ya? Baiklah kalau begitu, silakan keluar. Kelas dibubarkan.” Seperti lebah, kami melangkah meninggalkan ruangan. Berdasarkan persetujuan yang tidak diucapkan, aku dan Uki bertemu di bawah pohon beringin. Entah kenapa, pohon beringin adalah tempat sempurna untukku. Tidak cuma untuk santai, lebih dari itu, pohon beringin adalah tempat yang tepat untuk berbagi rasa. “Sebenarnya apa yang kalian ributkan?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“…Dia menghinaku… dia memanggilku Negro.” “Pasti kamu yang kali memulai. Setahu aku, Irfan itu orangnya supel, dan bisa berteman dan bergaul dengan semua orang.” “Ya, semua orang, mungkin. Kecuali aku.” Gerutu Uki. “Karena kamu yang memulai. Kalau kamu tidak mulai duluan, tidak mungkin Irfan ingin menghinamu. Apa kamu masih tidak merasa bersalah?” “Ya, ya. Aku memang salah, kuakui itu. penyebab pertengkaran bodoh ini adalah kesalahanku.” “Apa kesalahanmu?” aku menyisir rambut dengan tangan. “Apa yang kamu katakan kepadanya?” “Bukan apa-apa. Hanya Kulit Putih. ” “Kamu hilang akal ya? Tentu saja Bule marah. Kamu memanggilnya seperti itu.” “Tapi kan aku Cuma bercanda. Tiba-tiba Irfan menerjang setelah memanggilku seperti itu.” “Ah, sudahlah, lebih baik kita ganti topik saja. Kalau kau merasa ini salahmu, aku salut sama kamu. Tapi apa kamu mau minta maaf sama Irfan?” “Mungkin. Jika waktunya tepat.” “Kapan?” kataku, lebih spesifik. “Tidak tahu, semoga saja lusa. Atau mungkin besok.” “Bagus. Semakin cepat kamu minta maaf, semakin cepat hubungan kamu sama si bule itu membaik.” “Hubungan? Hubungan apa?” Uki tertawa jahil. “Pertemanan. Sudah, aku tidak suka orang pintar berlagak bodoh. Terutama jika aku kenal orangnya.” “Santai dong, Ling-ling, aku masih bodoh. Kalau aku pintar, buat apa repot-repot masuk SMA?” Aku mengunci mulutku, menelan kekesalan. “Kalau yang itu beda, Uki!” “Apanya yan beda Septi?” Nada bicaranya meledek. “Kan sama-sama bodoh…” Uki melakukan kedipan cepat. Beberapa kali. “Nah, itulah aku,” katanya “Dapat musuh baru dalam waktu kurang dari lima menit. Hebat kan?” Aku menarik nafas, “Uki,” kataku. Aku menajamkan suara. Dia pun mengganti mimik wajahnya. Menjadi… apa ya? Serius, menahan tawa, kaget, ah, bukan. Ekspresinya sulit ditebak. “kalau kamu mendebat orang lain seperti ini, mereka akan membunuh kamu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku tahu.” Suaranya datar. “Tapi kamu kan temanku. Benarkan? Jadi tidak mungkin kamu akan melakukan itu padaku.” Aku diam sejenak. Inilah Uki. Laki-laki yang duduk sebangku denganku. Kadang dia bisa membuatku sebal, seperti sekarang ini. atau malah bisa membuatku tertawa terpingkalpingkal sambil memegangi perut. Karena dia juga bisa menjadi… pelawak. Untuk saat ini, Uki cukup membuat darahku naik hingga ubun-ubun. Jadi, kulakukan hal yang wajar. Meninggalkannya sendirian di sana. Di bawah pohon beringin. Karena bel masuk kelas sudah berbunyi. “Apa pelajaran kita sekarang?” Kata Uki setelah duduk di sampingku. Dia masih tersenyum jahil padaku. “Oh, bahasa Inggris? Baiklah, kali ini aku akan melihat bukumu lagi. Boleh ya?” “Enak saja!” Semburku. “Usaha sendiri dong! Buat apa kamu belajar setiap hari kalau masih melihat milik orang lain? Itu namanya tidak percaya diri!” “Aduh, Lingling, santai saja dong. Kasihan Aldo. Dia kan jadi terganggu.” “Cuma Aldo kan?” Tanyaku. Perasaan kesal lagi-lagi datang melanda hatiku. Penyebabnya? Siapa lagi kalau bukan Uki. Aku mulai bertanya-tanya, apa dia diciptakan hanya untuk memnggangguku. Karena itulah pekerjaannya. “Cuma Aldo? Kurang banyak. Coba lihat kedepan. Jangan memandangiku saja.” Aku melihat kedepan. Dan rasanya mataku ingin melompat dari tempatnya. Seluruh siswa memandangiku. “Eh, maaf.” Kataku akhirnya. “Aku akan coba untuk diam.” “Sebaiknya begitu.” Kata Viera di ujung ruangan. “Karena Bu Anjar sudah datang.” Seorang wanita paruh baya memasuki kelas. Rambut beliau hitam pendek. Buku Intermediate English ada di tangan kanannya. Sedangkan sebuah sepidol hitam bertengger di tangan satunya lagi. Guru bahasa Inggrisku memakai baju LINMAS hijau. Dia membawa tas tangan hitam mengkilap. Seulas senyum muncul di bibirnya. “Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…” “Wa Alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh…” “Good morning everybody, what is our lesson now?” “Our lesson now is English” “Good. Our lesson now is English, alright then, open your home work. I should like to see it.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kami semua mengeluarkan buku tulis dari laci. Bu Anjar memeriksa semua PR kami. Mulai dari nomor satu hingga sepuluh, lalu menunjuk Irfan dan Uki, meminta mereka untuk menulis pekerjaan rumah mereka di papan tulis. Mereka berdua maju dengan enggan. Mungkin karena mereka masih marah satu sama lain. Efek dari perkelahian tadi pagi mungkin. Bu Anjar memperhatikan tingkah mereka dan langsung mengetahui bahwa mereka bertengkar. Beliau menatapku. Dan aku dapat menangkap pesannya. Ada apa dengan mereka? Uki dan Irfan menulis dengan cepat. Seolah ada hal menakutkan mengejar mereka. Irfan selesai menulis bersamaan dengan Uki. Dan seperti yang kuduga, jawaban mereka tidak ada yang salah. Uki dan Irfan sama-sama mahir dalam penggunaan bahasa asing yang satu ini. Irfan berlogat American dan Uki British. Memang berbeda logat. Tapi tetep saja bahasa Inggris mereka fasih. Bu Anjar memeriksa pekerjaan mereka berdua, kemudian meminta mereka berdua duduk. Beliau memeriksa pekerjaan mereka berdua. Kemudian mengangguk. “Ada yang menemukan kesalahan?” Tidak ada yang mengangkat tangan. “Bagaimana menurut kalian, Viera? Septi?” “Tidak ada yang salah, Bu.” Kataku. “Jawaban mereka betul semua.” Tambah Viera. “Perfect. Now, submit your notebook please….” Seperti yang beliau minta, kami memgumpulkan buku tulis kami di meja guru, membiarkan halamannya terbuka, supaya Bu Guru tidak repot mencari-cari tugas itu. yang terakhir mengumpulkan buku tulis adalah Wulan. Dia tampak… apa? Kurang sehat.Tapi sepertinya tidak ada yang memperhatikan. Hanya Akbar teman sebangkunya yang kelihatan khawatir. Selain dia tak ada yang lain. Bu Anjar mengoreksi buku-buku kami. “Now, im sorry, I will speak Indonesian language.” Beliau menutup pulpen merah dan menatap kami. Memandangi seluruh penghuni kelas. Seolah dia bisa melihat apa yang tidak bisa kami lihat. Tiba-tiba matanya berhenti tepat di mata Wulan. “Wulan, ada apa denganmu nak? Apa kamu sakit?” “Tidak Bu.” Katanya, ketahuan sekali dia berbohong. “Lalu kenapa wajah kamu pucat?” “Aku…” “Sakit,” potong Bu Anjar. “Tapi kamu tidak jujur.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

‘Hanya tidak enak badan Bu.” “Apa kamu masih bisa belajar, Wulan?” Katanya lembut. “Bisa Bu.” “Tapi wajahmu pucat sekali.” “Tidak apa Ibu. Akan saya ushakan untuk belajar.” “Baiklah, kalau kamu masih mau belajar. Siapkan pulpen dan kertas. Ibu punya lagu baru untuk kalian.” Kami semua mengeluarkan apa yang beliau minta. Bu Anjar menulis dengan sangat cepat. Aku yakin Beliau sudah hafal lagu itu. Judulnya Love Story. Lagu milik penyanyi cantik Taylor Swift. Aku menulis teks lagu itu agak lebih cepat., karena, sejujurnya, aku suka lagulagu barat. Uki juga begitu. Dia menulis secepat bu Anjar, cepat sekali. Sesekali dia menulis lirik yang bahkan belum ditulis oleh guru kami. Aku memandangnya, kagum. “Kamu sudah hafal lagu itu ya?” Tebakku. “Belum.” Katanya polos. “Tapi aku sudah mengingatnya.” Aku mencubit lengannya, “Itu sama saja, Uki!” Dia tersenyum jahil. “Apapun katamu, Ling-ling. Judul lagunya…” “Love Story” Aku memotong ucapannya. “Benar. Judul albumnya…” “Fearless.” “Nah, itu kamu tahu.” Sekali ini, Uki terlihat kesal. “Kamu sudah menulisnya di buku tulis. Coba saja kamu lihat.” “Ya deh. Kamu menang. Ayo, lebih baik kita menulis lagi. Bu Anjar sudah selesai tuh.” Selanjutnya, kami meneruskan pekerjaan dalam diam. Uki benar-benar membisu, menulis secepat peluru dan akhirnya selesai menulis sebelulum aku. Dia menyimpan kembali pulpennya. Lalu menutup bukunya. Buku tulis itu bergambar mobil sport keren. Tulisan Lamborghini Gallardo tertulis jelas, mungkin itulah nama sedan itu. “Sebelum ibu keluar, mari kita bernyanyi bersama.” Beliau mengeluarkan sebuah telepon genggam. Yang biasa mereka bilang, apa? BlackBerry. Kemudian, dia memutar lagu itu. suara wanita yang merdu mengalir dari loud speaker. Mengalun ke sepenjuru ruangan, melenakan telinga kami. Dia berjalan kearah kami. Lagu itu kini terdengar lebih jelas di telingaku. Dan kemudian lagu itu berakhir. Lagu barat itu menceritakan kisah Romeo dan Juliet di era yang lebih modern. Aku bisa mengetehuinya dari teks yang aku tulis.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ada yang bisa menyanyikan lagu ini? ibu minta kalian maju. Dua orang. Laki-laki dan perempuan.” Aku mendorong Uki keluar dari temapat duduknya. Seketika, guruku menunjuknya. Uki menatapku. Ekspresinya terbaca. Awas kamu ya. Seisi kelas jadi ribut. Teman-temanku tahu ini. Uki pintar bernyanyi lagu barat. Dan hanya ada satu teman perempuanku yang bisa menandinginya. Viera mendorong Febri, yang akhirnya bernasib sama seperti Uki. Teman sebangkunya, Doni tersenyum geli. Tanpa menunggu lama, Bu Anjar memulai acara. Diiringi lagu itu, mereka berdua segera bernyanyi. Lomba lypsing dimulai, antara Uki melawan Febri. Luar biasa, suara mereka benar-benar persis sama. Tidak ada perbedaan nada sama sekali. Mereka berhenti bersamaan, menarik nafas dengan kompak, dan berhenti berbarengan, seolah mereka sudah latihan bernyanyi bersama sejak mereka bertemu. Bu Anjar pun dibuat terkesan oleh duet maut mereka berdua. Mereka berdua mengakhiri lagu pada detik yang sama. Fantastis. Teman sekelasku bertepuk tangan. Keributan disini pasti terdengar hingga keluar. Aku yakin itu. “Hebat. Itu baru namanya sing a song. It’s amazing. Ibu pastikan satu hal.” Dia menepuk punggung dua temanku itu. “Kalau kalian ingin membuat drama cinta, dua orang ini cocok jadi tokoh utama. Uki jadi Romeo dan Febri jadi Juliet. Silakan duduk nak.” Seisi kelas bersorak. Memandangi Uki dan Febri seakan mereka adalah superstar yang sudah mereka nantikan aksi panggungnya. Sorakan baru berhenti ketika Bu Anjar sudah keluar. Mereka menjadi artis dadakan. Ngetop lewat lagu pop, masyhur dengan cara yang cool. “Ayo adakan drama cinta buat pentas seni!” Kata Rimba. “Benar! Ayo kita adakan…” Suara Akbar terputus ketika Wulan yang berdiri disampingnya rubuh kearahnya. Akbar bergerak cepat. Menangkap teman sebangkunya itu dan langsung merangkulnya. Dia, dengan dibantu Irfan memapah Wulan ke ruang UKS. Kebetulan aku yang jadi petugas jaga. Bersama kawanku yang tadi pagi berkelahi. Irfan Wahyu Widodo. Kami bergerak cepat, pintu ruang UKS tidak dikunci. Untung sekali kami. Akbar dan Irfan membaringkan teman kami di atas matras.aku menyentuh pelipis Wulan. Ya Allah, suhu tubuhnya tinggi sekali. Untung Irfan tanggap. Dia mengambil segayung air dan meletakkan kain basah di atas pelipis teman kami yang sedang terbaring dan tidak sadarkan diri. Akbar berdiri di depan pintu. Khawatir setengah mati. Rasa cemas terpancar dari sorot matanya. Aku tidak menyalahkannya, apalagi memintanya pergi. Aku pasti akan melakukan

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

hal yang sama jika teman yang duduk satu bangku denganku tebaring lemah dan tak berdaya di depanku. Akhirnya Irfan mendekati Akbar. “Bar, kembalilah ke kelas. Kamu pasti lelah. Istirahat saja. Biarkan Wulan berbaring sebentar. Lagipula sekarang ada pelajaran pak Kadiran kan?” kata Irfan prihatin. “Tapi…” “Kami tahu kamu khawatir. Perasaanku juga sama. Tapi Wulan perlu istirahat.” Aku memotong kalimatnya. Bebicara selembut yang aku bisa. “Lebih baik kamu masuk kelas dulu, dan beritahu yang lain, Wulan akan baik-baik saja.” “Bagaimana kamu bisa seyakin itu Sep?” Kata Akbar. “Kita memang harus berfikir positif kan?” “Ya sudah,” katanya akhirnya. “aku akan kembali ketika bel pulang berbunyi. Dan akan kuajak yang lainnya.” Akbar mundur beberapa langkah. “Dan Sep,” “Ya?” “Semoga perkataan kalian benar. Aku percaya pada kalian.” Setelah mengutarakan hal itu, Akbar meninggalkan kami. Aku membuat teh panas, meletakannya di atas meja. Irfan duduk di atas bangku kayu panjang. Memperhatikan wulan secara seksama, kemudian, dia memintaku untuk mengusapkan minyak kayu putih di beberapa tempat. Dia masih tetap membisu. Memperhatikan seisi ruangan berukuran 10x10 meter itu. UKS berdinding putih. Kokoh dan padat. Poster-poster yang berhubungan dengan kesehatan ditempel di setiap sudut ruangan. Membuatnya lebih hidup. Ada dua matras kosong di ruangan itu. ada juga lemari obat di salah satu pojok ruangan. Aku duduk disamping Irfan. “Sebenarnya, apa sebab kalian berdua berkelahi?” Irfan menarik nafas, “Aku yakin Uki sudah cerita. Itulah yang terjadi. Dia memangilku kulit putih. Salah satu kata yang paling aku benci. Maksudku, memang kulitku putih, tapi aku kan orang Indonesia. Bukan orang asing. Kamu pahamkan apa maksudku?” “Ya. Aku paham. Lalu, pak Rudi memanggil orang tua kalian ke sekolah ya?” “Iya. Uki sudah cerita kepadamu, kan?” “Lalu, kalau sudah begitu, apa orang tuamu tidak marah?” Wajah Irfan menegang. Topik sensitif. “Orang tuaku… mereka pasti marah. Tapi aku justru khawatir sama kamu.” Wajahku terasa panas. “Kenapa?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kalau sudah begini, kita pasti pulang terlambat. Apa menurutmu mereka tidak akan khawatir?” “Tidak.” Kataku. Tapi Irfan tersenyum “Yakin? Lebih baik kamu telepon saja dulu ayahmu. Katakan pada beliau kamu pulang terlambat. Nanti aku antar kamu pulang.” “Aku… aku tidak membawa handphone.” Irfan mengeluarkan sebuah telepon seluler. Sebuah Black Berry Bold dan menyerahkannya padaku. Aku mengambil benda itu dan segera memasukkan nomor telepon ayah. Tapi sebelum panggilan itu tersambung, Wulan sudah sadar. “Di mana ini….” katanya. “Apa yang terjadi?” Irfan menyodorkan teh hangat. “Kamu pingsan.” Katanya selagi temannya minum. “Sekarang kita di UKS. Santai saja.” Wulan mengelus kepalanya. “Rasanya kepalaku sakit. Dan setelah itu semuanya gelap. Siapa yang membawa aku ke sini?” “Teman sebangku kamu.” “Akbar?” “Benar,” Kataku. “dia ketakutan setengah mati.” Wulan menatap keluar. Tapi tatapannya kosong, seolah dia sedang berkhayal “Aku lupa… aku bahkan belum sarapan.” “Biar kuambilkan.” Irfan bangkit dari kursi. “Septi, kamu di sini saja ya? Temani Wulan.” “Ya, tapi, handphone kamu…..” Irfan melesat pergi, meninggalkan kami berdua. Aku mengangkat bahu. “Begitulah Irfan. Selalu terburu-buru.” “Sep, sebenarnya apa yang terjadi? Maksudku, apa yang terjadi padaku?” Kata Wulan lemah. “Kamu kolaps. Rubuh begitu saja. Untung Akbar ada di samping kamu. Kalau tidak, mungkin wajahmu terbentur dinding” Wulan terlihat cemas, yang malah membuatku semakin khawatir. “Apa dia yang membawaku kemari?” “Ya. Irfan dan Akbar.” “Maaf sudah merepotkan kalian. Ini semua salahku.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tunggu, mana mungkin ini kesalahanmu? Dimana letak salahnya? Tidak. Kamu sama sekali tidak salah. Hal ini bisa terjadi pada setiap orang. Bahkan aku. Jadi berhentilah berfikir bahwa ini adalah kesalahanmu.” “Septi….” Katanya lirih. “Ya?” “Terima kasih, atas segalanya.” Irfan melangkah masuk. Dia membawa sepiring nasi uduk dan segelas air putih. Pemuda berambut coklat itu meletakkan nasinya di atas meja. Dengan enggan, teman kami si pasien melahap nasi itu. kami memperhatikan saat suap demi suap uduk hangat itu menghilang kedalam kerongkongan. Bel tanda pulang berbunyi nyaring, siswa berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Membuat lalulintas ribut dalam sekejap. Sepeda motor saling membunyikan klakson, mobil angkutan menginjak rem mendadak, kernet berteriak kepada semua siswa yang dia lihat, meneriakkan jurusan mobil masing-masing. Itulah aktifitas sehari-hari. Aku dan Irfan berdiri di depan pintu UKS. Memperhatikan Akbar yang membonceng Wulan. Akbar memaksa untuk mengantar Wulan sampai ke rumahnya, walau Wulan sudah berusaha menolak, Akbar tetap ingin mengantar, akhirnya, dengan senyum dipaksakan Wulan menerima tawaran itu. Aku berdiam membisu, terduduk kaku di atas bangku. Menatap kuyu ke segala penjuru. “Ayo pulang, Septi.” Suara Irfan mengembalikan pikirianku ke dunia nyata. “Jangan melamun.” Dia menyimpan handphonenya, keluar dari kelas dan menghidupkan sebuah motor di pelataran parkir, seunit Yamaha Vixion merah. Dia mengenakan dua tas punggung, dan salah satunya adalah tasku. Tas punggung warna hitam dengan bordiran love. Aku naik di belakang. Dan tanpa berkata apa-apa, Irfan melepas kopling dan kami meluncur cepat ditengah jalan raya. Pemberhentian selanjutnya, Gayam. Rumahku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 2 SEPTI Motor besar ituberhenti di depan rumahku. Setelah menurunkanku dan mengucap salam, Irfan pergi tanpa menengok ke belakang. Aku menatap rumah berwarna putih di depan. Halamannya dihiasi taman nan hijau lengkap dengan pohon mangga dan cemara yang rindang, membuat rumah itu asri. Di belakangnya, hamparan sawah luas tampak menguning. Siap untuk dipanen. Batang padinya sudah merunduk. Tanda bahwa tangkai padinya sudah penuh. Aku banyak belajar dari sawah yang menguning ini. contohnya, semakin berisi semakin merunduk, yang maksudnya, kita sebagai manusia harus semakin rendah hati kalau sudah memiliki banyak ilmu pengetahuan. Paling tidak, itulah yang dikatakan ibuku. Bangganya memyebut bangunan ini Rumahku. “Assalamu Alaikum….” Aku membuka pintu rumah dan masuk. “Wa Alaikum Salam…” Ibu sedang duduk di ruang tamu. Beliau sedang membaca buku novel berjudul Ranah 3 Warna terbitan Gramedia Pustaka Utama. Aku mencium tangan beliau. Putih dan bersih seperti biasa. “Kenapa pulang terlambat nak?” Aku meletakkan tas di atas kursi. “Maaf bu, tadi aku jaga UKS.” “Ooh, tapi kenapa lama sekali? Apa ada masalah?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ada.” Kataku polos. “Apa itu? Apa yang terjadi? ” “Temanku, Wulan, dia pingsan.” “Ya Allah. Memang kenapa nak?” “Dia belum sarapan bu.” “Lalu bagaimana keadaannya?” Ibu meletakkan buku yang tadi dia baca diatas meja. “Sekarang sudah baikan bu.” “Syukurlah kalau begitu. Nak, apa kamu sudah sholat? Ayo, rapikan barangmu, ganti pakaian dan cepatlah sholat.” “Ya bu.” Aku bangkit dari kursi dan segera membawa semua barang bersamaku. Sepatu dan tas pastinya. Aku mengambil air wudhu. Dinginnya air menembus kulitku. Seketika membersihkan tubuhku dari debu dan juga rasa lelah. Seluruh tubuhku segar kembali. Sepertinya, yang dikatakan ibu benar. Dulu, Beliau penah bilang, kalau ingin kita wajah kita putih berseri dan bersih, hendaklah kita mengambil air wudhu, minimal lima kali sehari. Dan aku setuju. Setelah makan dengan lauk ikan, aku melesat menuju sawah milik ayahku. Jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah. Melewati sungai besar dengan jembatan beton tua yang sekali waktu dilewati mobil truk yang mengangkut beragam hasil pertanian. Mulai dari beras, kopi, coklat hingga kelapa sawit. Namun mereka hanya lewat sesekali. Tidak sering dan tidak terlalu jarang. Air di sungai bening sekali, sampai-sampai aku bisa melihat bebatuan yang mengisinya. Ya, selain pasir sungai tentunya. Aku berlari saat melihat ayah. Beliau sedang beristirahat di gubuk berukuran 3x3 meter. Ayah menatap kedepan, matanya terpaku pada hamparan sawah yang kini sudah dipanen. Karung-karung besar dipenuhi gabah. Siap di bawa ke slep penggilingan padi terdekat. Milik pamanku, Rozak namanya. Ayah memanggilku ketika beliau menengok. “Sini, nak. Akhirnya kamu tiba. Duduklah.” Beliau menyodorkan sepiring singkong rebus. Aku duduk di samping beliau. “Apa kamu bisa mengambil pelajaran dari sawah ini, nak?” “Bisa, yah.” “Benarkah? Apa itu nak?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Batang padi, semakin berisi semakin merunduk. Hal itu mengajari manusia untuk bersifat rendah hati. Dan tidak sombong walaupun kita orang yang mampu, atau memiliki derajat tinggi.” “Bagus. Kamu sudah mulai mengerti. Itu berarti perkembanganmu positif nak.” “Banyak yang aku pelajari di tempat ini yah.” “Oh, begitu? Contohya, apa?” “Tidak semua yang berkilau itu emas.” “Maksudnya?” “Aku dapat satu hal bagus yah, padi pun berkilau, dari segi ekonomi, padi bisa semahal emas asalkan kualitasnya bagus dan kuantitasnya mencukupi. Dan dari segi manfaat, padi justru jauh lebih bermanfaat.” “Kenapa begitu, Septi?” “Karena, tanpa padi, takkan ada beras, tanpa beras, penjual emas takkan bisa berjualan.” Ayah membelai kepalaku. “Pribahasamu bagus nak. Tapi kamu kurang bisa memaknai artinya. Sayang sekali.” “Maksud ayah?” “Tidak semua yang berkiau itu emas. Pribahasa ini berkaitan dengan adab dan hati nak. Seseorang bisa menjadi mulia jika hatinya seindah emas. Berkilau indah. Dia akan berkilau di masyarakat. Bak emas di tengah sungai. Bisakah kamu menemukannya?” “Bisa yah.” “Nah, ayah ingin kamu seperti itu. bermanfaat bagi orang lain. Ingat, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling bermanfaat bagi manusia. Kamu mengerti maksud ayah kan?” “Iya ayah. Septi mengerti. Septi akan mencoba untuk menjadi orang yang berguna. Terutama bagi ayah dan ibu.” “Kamu memang selalu membuat ayah bangga nak. Oh iya, siapa yang mengantar kamu pulang?” Wajahku memerah. Aku yakin itu. “Irfan yah.” “Oh, ya, bukan si Uki ya?” “Bukan yah.” “Kenapa?” “Tadi aku piket UKS sama si Irfan. Dan akhirnya dia mengantarku pulang.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Lalu kenapa wajahmu merah? Apa kamu suka padanya? Atau dia yang menyukaimu?” Kiamat, pikirku. “Tidak tahu yah.” “Nak, berapa usiamu sekarang? 17 tahun? Usia yang sangat cukup untuk merasakan indahnya jatuh cinta.” Wajahku semakin terasa panas. “Kenapa? Kamu takut ayah melarang? Santai saja. Ayah pasti mendukung. Tapi, Septi harus pintar-pintar menjaga diri. Terutama kamu jarang pakai kerudung, kan? Kalau seperti itu terus, kamu akan diganggu oleh orang yang tidak bertanggung jawab.” “Ayah… tidak melarang?” Beliau tersenyum. “Tidak. Lagi pula, Irfan kelihatan baik.” “Ayah, apa menurut ayah aku cantik?” Ayah mengacak rambutku yang panjang. “Septi, Septi, apa kamu tidak punya peranyaan yang lebih berbobot?” Aku menunggu. “Nak, lebih baik kamu tanya ibu. Ayah tidak mengerti hal-hal seperti itu. setahu ayah, untuk menjadi cantik, tampan atau rupawan, kita harus menjadi diri kita sendiri. Dan tidak perlu menjadi orang lain. Menurut ayah itu cukup. Ayo, sudah jam empat. Ibu pasti menunggu kita di rumah.” Kami berjalan berdampingan. Sepasang mata yang aku miliki melirik ke kanan dan ke kiri. Menikmati indahnya sawah, ladang dan kebun yang dimandikan sinar keemasan matahari sore nan hangat. Kedua bilah bibirku tidak berhenti mengucap tasbih, tahmid dan takbir. Mensyukuri nikmat Allah yang tidak terkira. Mengingatkan aku pada salah satu ayat yang ada dalam Al-Qur’an. Maka nikmat tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan? Yang biasa kita sebut dalam bahasa inggris, Then Which Of Blessing Of Your Lord Will You Both (Men and Jinns) Deny? Kami berhenti di depan rumah. Di depan pintu, ibu menunggu. Ibu mengenakan mukenah, telah melaksanakan sholat ashar. Dia tersenyum lebar pada kami. “Ayo cepat sholat! Jangan biarkan lelah menghalangi kalian dari menyembah Allah.” Ayah tersenyum, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Aku mencium tangan ibuku dan mengikuti ayah. Setelah sholat ashar berjama’ah dengan ayah, kami berkumpul di meja makan. Mengobrol sambil menikmati hangatnya singkong rebus dan secangkir teh hangat. Meja makan terletak

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

di ruang keluarga. Bersamaan dengan ruang untuk menonton tv. Dinding dicat dengan warna abu-abu muda, dihiasi dengan kaligrafi Allah dan Muhammad. TV ukuran 21 inci bertengger di atas buffet kayu jati. Lantai di lapisi karpet tipis. Yang entah bagaimana masih sanggup memberikan kehangatan. “Bu, anakmu ini sudah dewasa.” Kata ayah. “Ya, ibu tahu. Septi kan sudah hampir kuliah. Iya kan?” “Ya, bu.” Kataku polos. “Bukan. Bukan itu maksud ayah. Tadi, di sawah, Septi bertanya pada ayah. Apakah dia cantik. Begitu katanya.” “Benarkah?” Ibu tersenyum. “Jadi sekarang kamu sudah mulai pacaran ya, nak?” “Tidak bu.” Wajahku panas sekali sekarang. Ibu menahan senyum. “Septi… yang namanya cantik itu, artinya menemukan kecocokan yang paling pas. Kecocokan yang paling natural. Untuk menjadi sempurna, kita harus merasa bahwa diri kita sempurna. Janganlah kamu menjadi orang lain. Jadilah dirimu sendiri. Ibu yakin ayah sudah memberi tahumu hal ini. benarkan?” “Benar bu.” “Nak, apa saja yang kamu lakukan hari ini? Kenapa tanganmu merah seperti itu? Apa ada yang menjahili kamu?” Aku melihat pergelangan tanganku. Sekarang ada garis merah muda, pudar. Tapi masih bisa dilihat.”Tidak bu. Tadi pagi Irfan dan Uki berkelahi. Aku memisahkan mereka. Bekas luka ini adalah cengkraman tangan yang aku bahkan tidak merasakannya.” “tapi apa tidak sakit?” kata ibu khawatir. “Tidak bu.” “Kalau begitu ayo kita bicarakan hal yang lebih penting.” Ayah memasang ekspresi serius. Kemudian beliau mengambil nafas. “Nak, sebentar lagi kamu kuliah kan?” “Iya, yah.” “Lalu kamu mau kuliah di mana?” “Belum tahu yah.” “Nah, kalau begitu ayo kita fikirkan bersama. Kamu tahu buku yang tadi dibaca ibu?” “Tahu yah.” “Nah, apa kamu tidak ingin seperti penulis buku itu?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku diam sejenak. Mencoba mencerna perkataan ayah barusan. “Maksud ayah, aku boleh belajar di luar negeri?” “Bukankah kamu mau? Kamu suka manga kan? Kenapa tidak belajar di sana saja?” “Ayah dan ibu mengizinkan aku belajar di Jepang?” “Iya.” Kata ibu. “Dengan beasiswa pastinya, kalau kamu mau.” “Aku mau!!” kataku bersemangat. “Tapi memangnya ada beasiswa ke Jepang bu?” “Ibu baru saja dapat kabar dari pak Rudi. Kepala sekolah kamu. Katanya, pemerintah Jepang menyediakan beasiswa penuh untuk orang Indonesia. Coba tunggu besok. Mungkin beliau akan membicarakannya. ” “Ya, bu. Tapi, bukankah ujian beasiswa itu diadakan di Jakarta?” “Benar” “Memangnya kenapa nak?” kata ayah. “Bagaimana cara aku ke sana?” “Nak. Penerima beasiswa ada banyak. Lagipula, kegiatan ini masih akan diadakan akhir tahun ini. bukan besok.” Ibu tersenyum penuh arti padaku. “Kamu pintar nak. Kamu pasti mengerti maksud ibu.” “Maksud ibu, aku boleh membawa teman?” “Benar. Seperti Uki.” Kata ibu “Atau Irfan.” Ayah menambahkan sambil tersenyum geli. “Berarti aku harus belajar ekstra keras dong.” “Tentu. Kita semua kan belajar.” Aku hampir tersedak singkong. “Maksud ibu, ibu juga masih belajar?” “Iya.” “Tidak mungkin.” Gumamku. “Ibu kan guru.” “Nak, kitasemua masih belajar.” Kata ayah. “Bahkan kehidupan sendiri adalah pelajaran.” “Maksud ayah?” “Belajar bersyukur meski tak cukup. Belajar ikhlas meski tak rela. Belajar taat meski berat. Belajar memahami meski tak sehati. Belajar bersabar meski terbebani. Kamu paham maksud ayah kan?” “Iya, ayah.” “Sep, ibu baru ingat. Bukannya kamu ada janji latihan bela diri sama Viera?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku terkejut. “Ya. Benar. Ibu benar. Septi hampir lupa. Tapi latihan itu diadakan malam hari. Nanti setelah isya.” “Bagaimana kalau ayah antar?” ayahku menawarkan diri. “Ayah ingin mengantar? Kalau memang ayah tidak sibuk, ya tidak apa-apa.” “Kalau begitu ayo siap-siap.” Aku dan ayahku tiba lebih dulu di gedung olah raga Kalianda. Gelanggang tarung sudah disiapkan sedemikian rupa. Penonton yang kebanyakan memakai baju putih memadati sekitar gelanggang. Pertandingan pembuka akan diadakan sepuluh menit lagi. Jadwal sudah dipasang. Hebatnya, namakulah yang terpampang paling atas. Melawan Viera. Sainganku di kelas. Entah bagaimana, kami selalu menjadi rival. Kapanpun, dimanapun. Aku punya firasat dia juga akan mengincar beasiswa pemerintah Jepang juga. Aku yakin itu. Kami berdua melangkah ke tengah gelanggang, diiringi sorak dan tepuk tangan meriah. Kami memakai body protector, yang menurutku justru membuat kami kesulitan bergerak. Pertandingan kami akan dipimpin oleh pak Muiz, guru beladiriku. Menurutku, beliau orangnya adil dan bisa dipercaya. Dan beliau sangat akrab denganku. Tapi, bukan berarti aku bisa berkomplot dengannya supaya aku bisa menang. Beliau selalu menjadi wasit yang baik. Tidak mungkin beliau mau di ajak untuk melakukan hal-hal negatif. “Para pesilat, maju ketengah gelanggang.” Pak Muiz sudah mulai. “Beri salam, dan… Fight!!!” Viera melancarkan pukulan, yang untungnya dapat aku hindari. Rupanya, rivalku belum mau berhenti. Dia melakukan gerakan menyapu yang dengan mudah aku hindari dengan gerakan melompat. Untungnya, aku sempat melancarkan tendangan yang rupanya tidak bisa dihindari oleh Viera. Pak Muiz menghentikan babak pertama. Poin penuh untukku. “Ready? Fight!!!” Kali ini Viera begerak cepat. Menghabisi ronde kedua dengan pukulan telak yang menembus tangkisan tanganku. Pak Muiz menghentikan pertandingan. Poin kami sama 1-1. “Final Round. Ready? Fight!!!” Aku menangkis tendangan Viera yang diarahkan ke wajah. Mundur beberapa langkah untuk menghindari pukulan-pukulannya yang bertenaga, dan bergeser tepat waktu hingga tendangannya yang berikutnya hanya berjarak satu sentimeter dari wajahku. Aku selamat. Untuk saat ini.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku butuh pengalih perhatian, namun ternyata tidak ada. Akhirnya, aku membiarkan instingku mengambil alih. Bekerja cepat menganalisis pola yang digunakan Viera. Yang intinya semuanya serangan. Tidak ada gerakan bertahan sama sekali. Seranganku ditangkis. Namun dengan gerakan menyerang. Gaya bertarung yang langka. Itu dia. Aku dapat. Aku harus menyerang ketika dia melakukan pukulan, yang memang cukup berbahaya. Tapi aku tdak punya pilihan lain. Aku harus mencoba. Sekarang atau kalah. Viera melakukan pukulan. Berbahaya memang. Seolah dia mencurahkan semua tenaganya. Aku menunduk. Tangannya memukul udara hampa. Aku maju selagkah dan melakukan bantingan. Poin penuh. Pak Muiz menghentikan pertandingan. Lalu beliau mengangkat tanganku. Skor 2-1. Aku menang. Luar biasa. Ternyata aku bisa melawan Viera. Dengan bantuan Allah pastinya. Tapi, aku ragu bisa mengalahkannya di kelas. Viera menjabat tanganku. “Luar biasa, Sep. Aku harus belajar banyak darimu.” “Ah, kamu ini bisa saja Viera. Serangan-seranganmu tadi berbahaya. Aku beruntung aku tidak apa-apa.” “Tapi tetap saja aku kalah.” “Besok kamu pasti membalasnya.” Kataku. “Di kelas.” Kami berdua tertawa. Namun aku terpaksa meninggalkannya lebih dulu. Aku tahu, ayah pasti sedang menunggu. Di tengah perjalanan menuju tempat parkir, Pak Muiz memanggilku. Rupanya beliau sedang berbicara pada ayah. Mereka berdua tampak senang sekali. Aku mencium tangan mereka. “Apa kabar pak Muiz?” “Tidak pernah sebaik ini, nak. Pertarunganmu tadi luar biasa. Terutama di ronde terakhir. ” “Aku hanya beruntung pak.” “bagaimana caramu membaca gerakan Viera? Itu hebat.” “Tidak tahu pak. Pikiranku bekerja sendiri. Menganalisis pola bertarung Viera.” “Lalu apa inti jurusnya?” “Serangan. Bahkan dia menagkis seranganku dengan serangan juga.” “Kamu benar. Viera sangat agresif. Dia menyerang dengan sangat cepat. Tapi sayang dia melupakan pertahanan. Memang benar, bertahan yang baik adalah dengan cara menyerang. Tapi justru disitulah titik lemahnya. Kamu hebat bisa menemukannya.” “Allah membantu.” Kataku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Pak,” kata Pak Muiz pada ayah. “Anak anda luar biasa. Saya sangat bangga karena dia jadi murid saya.” Ayah tersenyum lebar. “Saya sangat berterima kasih kepada anda. Pak Muiz adalah guru yang hebat.” “Bagaimana kalau kita minggir dulu? Ada mobil tuh.” Mobil berhenti di depan kami. Jendela belakang terbuka. Menujukkan wajah Viera di dalamnya. “Septi, Pak Muiz, aku duluan ya.” “Iya.” Kata Pak Muiz. “Silakan. Cepatlah pulang bapak masih harus menjadi wasit lagi.” “Assalamu Alaikum…” Kata Viera bersamaan dengan beranjaknya mobil Honda Jazz merah itu. “Apa benar bapak ingin jadi wasit lagi?” kataku kurang percaya. “Iya benar.” Kata beliau dengan logat sunda yang kental. “Pak, sebaiknya bapak dan Septi pulang duluan.” “Baik kalau begitu.” Ayah memakai helm dan megoperkan jumper hitam padaku, yang segera kupakai. “Kami duluan pak Muiz.” Pak Muiz tersenyum padaku. “Kalian berdua luar biasa.” Setelah bersalaman denganku dan ayah, pak Muiz kembali kedalam GOR. Kami memutuskan untuk pulang saat itu juga. Kami melesat dalam kesunyian sampai mereka datang. Motor kami dihentikan. Lima orang pemuda bersenjata tajam menghalangi jalan kami. Dua orang membawa golok, dua orang membawa pisau dan seorang lagi… dia membawa pistol jenis revolver. Ayah memungut sebongkah batu. “Serahkan motor kalian kalau kalian masih ingin hidup!” Bentak orang yang berdiri di tengah. Dia yang membawa pistol. Dia menodongkan pistol pada ayah, yang berdiri seteguh batu karang. “Tidak tanpa melawan.” Kata ayah dingin. “Baiklah kalau memang itu yang kalian inginkan.” Si pemuda menembak. Tapi bukan kearah ayah. Melainkan kearahku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku mendengar suara senjata meletus. Tapi aku tidak merasakan sakit. Kalau aku sudah mati, kenapa tubuhku masih bergetar hebat? Ayah menarik aku kebelakang. Menyentakkan aku ke dunia nyata. Golok preman berbaju hitam melesat satu inci di depanku. “Lawan!” Bentak ayah. “Kamu yang belakang, ayah yang di depan.” Ayah membelakangi aku. Punggung kami menempel. Sejak kapan ayah bisa bela diri? Aku menghadapi dua orang. Mereka menggunakan pisau. Salah satu dari mereka berlari menerjang. Tapi dengan mudah aku melakukan tendangan. Si preman terbungkuk. Tendanganku telak mengenai ulu hatinya. Pisaunya terlempar entah kemana. Aku menghadapi yang terakhir, yang menatapku dengan rasa takut murni. “Haruskah aku menghajarmu, atau kau ingin pakai rencana B?” Diluar dugaanku, dia melempar pisaunya, yang melenceng sekitar satu inci dari bahuku. Setelah itu dia melakukan tindakan pintar. Kabur. Aku melihat ke belakang. Ayah masih berdiri siaga. Lawannya yang memakai kaus putih berdiri kaku. Sebuah luka terlihat di dadanya. Dia tewas. Terkena lemparan pisau. Pisau milik temannya sendiri yang berhasil aku hindari. Ayah merangkulku. “Kamu hebat nak. Tapi lain kali kamu harus menyingkirkan rasa takutmu itu. menang dalam suatu pertandingan tidaklah berguna kalau kamu tidak bisa mengatasi rasa takut dan kaget.” Aku diam saja. Membiarkan informasi itu terserap. “Tapi tadi ayah… ayah tadi…” “Ya. Ayah berkelahi. Karena kamu terlambat mengatasi rasa takutmu.” “Tapi yang barusan itu… aku belum tahu ada gerakan silat, tae kwon do atau karate yang seperti itu. aku bahkan tidak tahu kalau ayah bisa bela diri.” “Itu namanya bela diri Thai Boxing. Seharusnya tidak ayah gunakan. Dan lebih baik kamu tidak tahu.” “Tapi yang tadi itu hebat. Dan kenapa seharusnya aku tidak boleh tahu? ” “Sudahlah. Ayo pulang. Ibumu pasti sangat khawatir.” Kami meneruskan perjalanan dalam diam. Aku tahu ayah tidak mau bicara sekarang. Atau bahkan nanti. Tapi yang penting kami baik-baik saja. Untuk saat ini. Motor Honda Revo yang dibawa ayah melesat dalam sunyi. Menerabas hawa dingin, menembus kabut kelam. Di jalan, aku terus memikirkan perkataan ayah. Percuma jadi juara kalau tidak bisa mengatasi rasa takut. Ayah benar. Seharusnya kita hanya takut kepada Allah.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Yang hanya kepadanyalah semua akan kembali. Kejadian barusan terus berputar di kepalaku. Bak angin puting beliung. Semua tergambar jelas. Bagaimana ayah melibas mereka dengan gaya bertarung yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Thai Boxing. Nama yang sama sekali asing di telingaku. Ayah melempar batu ke tangan si penembak. Dan pistol meletus saat moncongnya terarah ke udara. Itulah sebabnya peluru tidak mengenaiku. Benda yang terbuat dari timah itu melesat menembus angin. Mengarah ke udara kosong. Itu hanya pembukaan. Ayah menghajar dua preman bergolok dengan siku. Menggunakan dengkul untuk menerjang uku hati. Dan melakukan tendangan berputar seperi ingin menendang bola. Aku jadi kasihan kepada dua preman itu. Barusan, ayah terlihat berbeda. Lebih garang dan lebih, menyeramkan. Matinya suara motor menyadarkan aku. Kami sudah sampai. Seperti dugaan ayah, ibu menunggu di luar. Terlihat sangat khawatir. “Alhamdulillah kalian sudah Sampai. Keapa lama sekali? Ada apa?” Ayah langsung masuk ke kamar. Ketara sekali dia tidak mau bicara. “Ada apa nak?” aku bisa mendeteksi perasaan khawatir di suara ibu. “Tadi aku dan ayah diganggu preman di jalan.” “Ya Allah. Kalian tidak apa-apa kan? Apa kalian terluka? Apa yang terjadi?” kata ibu. Sekarang dia menjadi semakin takut. “Kami tidak apa-apa bu.” Kataku sambil mencoba menenangkan beliau. “Ayah dan aku melawan mereka.” “Syukurlah. Tapi nak… tadi kamu bilang, ayah melawan mereka? Berapa orang yang mengganggu kalian?” “Lima. Ayah melawan tiga. Aku melawan dua.” “Ayo masuk. Kamu pasti lelah.” Di dalam rumah, ibu memintaku untuk tidur. Dan aku mendengar mereka bercakap-cakap tentang… rahasia ayah? Apa sebenarnya yang ayah rahasiakan dariku? Fakta bahwa beliau bisa bela diri? Tapi, bukankah hal itu bagus? Aku berusaha agar tidak mengantuk. Tapi tubuhku merespon lain. Begitu aku menyentuh kasur, aku terlelap seketika. Masih mengenakan seragam Tae Kwon Do dan jaket hitam tebal. Adzan subuh berkumandang. Membangunkanku yang sudah terlelap berjam-jam. Aku segera melepas jaket dan mengganti pakaian. Dinginnya air wudhu membuang rasa kantuk seketika.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Airnya luar biasa dingin. Di kamar depan, ayah dan ibu sudah menunggu, siap untuk sholat berjamaah bersama anak mereka. Aku. Kami sholat dengan khusyu’. Semoga.Ayah membaca ayat kursi pada rakaat pertama, dan menghabiskan 20 ayat surat Al-Baqarah saat rakaat kedua. Setelah selesai berdoa, aku kembali ke kamar. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan adalah melanjutkan istirahatku. Aku berbaring di kasur, berharap cepat tidur agar otot-otot di tubuhku cepat mengendur. Tapi, sebelum aku sempat menutup mata, pintu kamarku diketuk. Ayah berdiri di depan pintu. Tatapan matanya yang lembut mengarah tepat ke arahku. Aku jadi berfikir aneh. Apa beliau sedang membaca pikiranku atau apa. Ayah tersenyum hangat. “Jangan tidur nak. Tidak baik tidur pagi. Kan sudah sering ayah beri tahu, tidur pagi menyebabkan kemiskinan. Benar kan?” ayah duduk di sampingku. “Benar yah.” Kataku. “Tapi kenapa miskin yah? Apa hubungannya?” “Banyak nak. Coba kita mengandai-andai. Ada seorang supir angkot, dia bangun kesiangan. Apa dia akan kebagian penumpang?” “Tidak.” Kataku. Sekarang aku paham apa maksud perkataan itu. orang yang tidur pagi tidak akan dapat rezeki. “Kamu paham nak?” “Paham yah.” “Bagus. Karena sekarang hari Ahad, bagaimana kalau kita latihan bersama?” “Aku dan ayah?” aku terkejut. “Berlatih berdua?” “Iya. Kalau kamu mau.” Ayah tersenyum hangat. “Jadi, kamu mau atau tidak?” “Tapi kenapa?” “Karena ayah ingin melihat sejauh apa kemampuan kamu. Lagi pula, ayah kan jarang melihat kamu latihan.” Aku melompat berdiri dari tempat tidur. Ayah menahan senyum. “Kamu kelewat semangat nak. Ayo, ayah janji hari ini kamu akan dapat pelajaran baru yang cukup berharga.” Aku dan ayah berdiri berhadapan. Para petani di sekitar kami jadi mengerubungi kami. Seakan kami adalah gula. Ayah melakukan gerakan menendang. Yang untungnya berhasil aku hindari. Aku juga melakukan tendangan. Ayah menangkisnya dengan kakinya. Sakit. Sakit sekali. Seakan aku menendang sebatang besi. Ayah tersenyum. Atau mungkin malah tertawa. Hebat. Orang-

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

orang di sekitar kami mulai berteriak. Menyoraki kami. Ayah melakukan sapuan. Aku dengan mudah melompat menghindar. Tapi melakukan sapuan yang kali ini telak mengenai lengan kiriku. Aku terlempar satu meter ke samping. Wah, tehnik serangan yang bahkan aku belum pernah tahu. Aku melakukan slip up. “Nak, kamu kurang waspada. Musuh kamu yang sesungguhnya tidak akan menyerang tangan. Ayo. Mulai!” Aku melakukan pukulan kearah dada. Lagi-lagi salah. Ayah menghindar dan langsung mendekat, lalu mendorong aku kebelakang. Aku menyerang lagi dan kali ini ayah mengunci seranganku. Aku kalah. Sama sekali tidak dapat poin. Padahal, dada ayah terbuka. Dan kuda-kuda beliau unik. Tegap, agak menyamping, tapi bergerak sangat cepat. Ayah memintaku duduk. “Kuda-kuda itu tidak perlu aneh-aneh. Yang penting kamu bisa menghindari atau menagkis serangan lawan. Sebisa mungkin menghindar. Terutama jika ruang gerakmu luas.” Ayah meminta temannya yang tadi menonton untuk pergi. “Atur nafasmu. Jangan bernafas lewat mulut. Baca gerakan lawan lewat matanya, dan Septi, jangan emosi. Kita belajar bela diri untuk menjaga diri. Bukan untuk hal-hal keji. Sebisa mungkin jangan sampai kamu tunjukkan kemampuan kamu di depan orang. Bela diri, bukan untuk dipamerkan.” Aku mendengarkan sambil menggosok kakiku yang sakit. “Nah, apa kamu masih bisa berjalan?” “Masih yah.” “Walau habis berlatih?” “Ya.” “Itu baru anak ayah. Ayo pulang.” Kami berjalan berdampingan. Ayah memberitahu bahwa dia ingin melatihku setiap minggu. Atau bahkan setiap sore. Aku memandangi sawah yang luas. Warna hijau terbentang sejauh mata memandang. Benar-benar asri. Hangatnya sinar matahari pagi yang kaya akan vitamin membakar kulitku. Memberi kehangatan. “Kamu baik-baik saja kan, Septi?” “Ya, ayah. Tapi, bagaimana cara ayah melakukan putaran 360 derajat sesempurna tadi?” “Berlatih pastinya.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku berlatih, tapi sampai sekarang aku tidak bisa.” “Bukan tidak nak, belum. Kalau kamu belum bisa, coba latihan dasarnya. Begini. Perhatikan dan pelajari.” Ayah melompat. Lalu beliau melakukan putaran sempurna, 360 derajat. Dan mendarat dengan mulus di atas kedua kakinya. “Nah, kamu bisa coba.” Aku melakukan yang ayah minta. Tapi aku hanya berputar 180 derajat. “Cukup bagus,” ayah senyum. “tapi masih harus di tingkatkan. Ayo pulang, hari ini ayah mau bersantai di rumah dulu. Sesekali… menonton tv dan berita.” Kami berjalan dalam bisu. Ayah dan aku sama diamnya seperti batu. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Langkah kakiku sama dengan langkah kaki ayah. Kedua bilah bibir beliau terus menyemburkan kata-kata dalam suara pelan yang tidak kudengar. Mungkin ayah sedang melafadzkan dzikir. Takbir, Tahmid dan Tasbih. Aku mengikuti. Ternyata hatiku menjadi semakin tenang. Tidak bimbang seperti barusan kalau begitu aku dapat pelajaran baru hari ini. berdzikir dapat menenangkan hati. Aku menancapkan kata itu dalam-dalam di hatiku, agar dia tidak berlari. Kami terus berjalan. Ternyata, ayah mengambil jalur berputar. Sedikit lebih jauh dari jalan kami berangkat. Dengan panorama yang menawan. Mungkin kali ini ayah ingin mengajakku untuk lebih mensyukuri nikmat Allah pada kami.

Ku terus mengikuti ayah. Jalan yang kami lalui

semakin menanjak dan semakin menanjak. Tapi ayah terus melangkah dengan pasti. Seolah beliau sudah sering melakukan ini. yang memang mungkin saja. Kami berdiri menghadap ke timur. Sawah, ladang dan kebun yang berwarna hijau kini berada sekitar 50 meter di bawah. Dari atas sini, keagungan Sang Pencipta Semesta semakin terasa. “Nak, apa kamu sadar? Kebanyakan manusia manusia hanya mensyukuri anugrah Allah yang besar. Namun mereka melupakan hal kecil.” “Maksud ayah?” “Coba Septi perhatikan. Manusia bersyukur kalau dia dapat rezeki. Tapi mereka lupa mensyukuri nikmat yang sudah lama Allah berikan.” “Maaf yah, Septi tidak paham.” “Mereka tidak bersyukur karena mereka bisa bernafas. Mereka tidak bersyukur mereka masih bisa melihat dan mendengar. Mereka tidak bersyukur mereka masih hidup.” “Ya. Ayah benar kataku. Ketika mereka ditanya soal keajaiban mereka pasti menyebutkan tujuh hal itu. yang berupa bangunan.” “Memangnya selain tujuh bangunan ada yang lain?” kata ayah. Rupanya beliau tertarik.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“tujuh keajaiban menurut Septi, pengelihatan, pendengaran, perasaan, kasih sayang, pengetahuan,

kehidupan dan kematian. Kita hanya menganggap hal itu biasa-biasa saja.

Tapi kalau menurut Septi, hal-hal itulah yang sebenarnya ajaib.” “Kamu hebat nak. Kamu sudah bisa mensyukuri hal-hal sepele. Kamu sudah dewasa. Kamu sudah harus bisa mengambil pelajaran sendiri. Pelajaran yang ada di sekitar kamu. Ayo pulang nak. Sudah jam Sembilan. Ibu pasti menunggu.” Aku berjalan di belakang ayah. Banyak hal yang harus aku pikirkan. Mulai dari jurus yang ayah ajarkan, nasihat-nasihat beliau, hingga… Ya Allah, PR geografi. Aku belum mengerjakannya. Bodoh sekali aku. Aku harus bergerak cepat. Aku berjalan lebih cepat “Ada apa nak?” kata ayah. “Kenapa terburu-buru?” “Aku punya PR yah.” “Oh, jadi kamu mau cepat sampai rumah? Bagaimana kalau kita berlari saja? Sekalian uji stamina?” “Ayo!” kami berlari, dengan kecepatan normal seorang pelari marathon. Aku hampir saja tersungkur, untungnya ayah menahanku. Dia tertawa. “Tidak biasa berlari ya?” “Tidak biasa berlari dalam hutan yah.” Kataku sambil mengatur nafas. “Kalau begitu ini pengalaman buat kamu. Hari minggu yang akan datang akan lebih seru.” “Iya deh.” Kataku tidak tertarik. “Ayo, ayah. Aku mau mandi.” Segarnya air menghilangkan rasa gerahku yang teramat sangat. Seperti baru bermain water boom saja. Ibu menungguku di ruang makan. Televisi di depannya hidup. Dia sedang menonton berita. “Berita apa ibu?” aku duduk sambil mengambil piring. “Berita tentang kamu tadi malam.” “Maksud ibu?” “Lihat saja sendiri nak.” TV menampakkan gambar seorang yang tidak memakai baju. Dadanya dipenuhi tato. Tangannya dibalut kain seperti keseleo. Dia membeberkannya. Kejadian yang menimpaku tadi malam. Tentang ayah yang melempar tangannya dengan batu, temannya yang tertusuk pisau dan tentang kami yang menghajar mereka. “Wah, gambarku juga ada!” aku hampir tersedak tulang ikan. “Sepertinya besok kamu akan di hujani jutaan pertanyaan.” Tebak ibu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Mungkin. Tapi untuk saat ini, Septi mau makan dulu.” Aku melanjutkan acara sarapanku. Lauk yang dimasak ibu pagi itu benar-benar lezat. Ikan simba goreng, sayur bening dan tempe goreng. Benar-benar makanan favoritku. “Oh iya nak, tadi teman kamu, Viera kesini.” Aku segera menelan nasi yang ada dalam mulutku. “Apa yang dia sampaikan bu?” “Dia ingin mengajakmu mengerjakan PR geografi bersama.” “Lalu?” “Karena kamu tidak ada, dia hanya menitipkan salam dan segera pulang. Ibu rasa dia agak sibuk.” Aku segera melahap sarapanku hingga yang tersisa hanyalah piring dan gelas kosong. Lalu aku segera mengeluarkan buku geografi, dan segera melihat PR itu. Ada lima soal. Yang untungnya sudah aku cari jawabannya sebelum aku pulang sekolah hari kamis kemarin. Yang pertama, ibukota provinsi Riau, Pekanbaru yang kedua mata uang negeri Jiran Malaysia, yang aku tulis Ringgit. Soal ketiga berhubungan dengan Negara Asia timur. Sebutan bagi Negara Jepang selain negeri sakura. Pastinya Negeri Matahari Terbityang keempat mengenai 3 lapisan bumi yang kami ketahui. Aku langsung menulis Inti, Mantel dan Kerak bumi. Dan soal terakhir, yang memintaku menyebutkan dua macam sensus penduduk. Yang dengan keyakinan seretus persen aku tulis sensus De Facto dan sensus De Jure. Setelah sholat Dzuhur bersama kedua orang tua, aku memilih untuk tidur siang.

CHAPTER 3 UKI Hari kemarin benar-benar mengecewakan. Bapak memarahiku habis-habisan. Ibu juga sama saja. Tidak mendukungku sama sekali. Yah, mungkin memang aku yang salah. Sesekali tidak

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

apalah. Bapak marah sekali waktu mendengar aku berkelahi dengan Irfan. Karena setahu bapak, kami harusnya bersahabat. Akhirnya jadi seperti ini. ayah menyuruhku mengunjal air lebih banyak setiap hari. Untung bapak tidak mengusirku dari rumah. Benar kata Septi. Lain kali lebih baik aku berbagi masalah dengannya. Selagi dia duduk sebangku denganku. “Jadi bagaimana?” kata Septi setelah upacara selesai. “Apa masalah kalian sudah selesai?” kami beralan beberapa langkah sebelum aku bicara. “Kamu benar Sep, bapak tidak mengusirku dari rumah.” “Bukan itu.” Septi tersenyum. “Maksud aku, masalah kamu yang kemarin.” “Oh, itu. Alhamdulillah lancar.” “Alhamdulillah.” Septi mengulangi. “Pak Rudi mengundang kami ke rumahnya kemarin. Om Nana serta Irfan juga datang.” “Apa kata pak Rudi?” “Beliau bilang, aku dan Irfan harus meminta maaf, kepada orang tua pastinya. Juga dia meminta kami bermaafan di depan orang tua kami.” “Benarkah? Bagaimana rasanya?” Aku diam sejenak. “Jangan Tanya deh, yang penting aku dan Irfan sudah berbaikan.” “Syukurlah. Ayo cepat!” Septi melangkah lebih cepat dan aku segera megikuti. Aku menyiapkan PR geografi. Yang tentunya sudah aku kerjakan bersama Rimba. Aku melihat ke depan. Aldo juga sudah, teman sebangku aku juga sudah. Hanya lima soal. Mudah, dan enak dikerjakan secara berkelompok. “PRmu sudah?” kata Septi. “Sudah dong.” “Tumben. Biasanya kamu melihat punyaku terus.” “Tidak. Tidak untuk saat ini. mungkin belum. Lagi pula rumah kamu jauh sih. lebih baik aku mengerjakannya dengan Rimba.” “Kamu mengerjakan PR dengan Rimba?” tampaknya temanku sedikit terkejut. “Ya. Dia mengerjakannya secepat kilat.” “Bu guru datang.” Kata Septi. Guru geografi kami, Bu Dewi datang. Dia memakai baju kelabu dengan rok berwarna navy blue. Beliau membawa beberapa lembar poster. Yang sepertinya bergabar bendera Negara Eropa. “Selamat pagi anak-anak. Bagaimana kabar kalian?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Baik bu…” kata kami bersamaan. Aku suka pelajaran geografi. Selain lebih mudah ketimbang sejarah, gurunya juga asik. Setiap hari, metode yang dipakai bu Dewi ketika mengajar pasti berbeda. Unik. Lain dari pada yang lain. Bu Dewi membaca absen. Kali ini, beliau membaca absen tanpa suara. Jadi, kami harus menebak nama kami berdasarkan gerakan bibirnya. Hal ini tentu membuat kami duduk lebih tegak. Lebih waspada. Beliau membaca nama Septi. Yang untungnya segera berkata ‘Hadir’. Kemudian beliau memanggil nama Akbar. Yang hanya diam saja. Dia tidak sadar namanya dipanggil hingga bu Dewi tersenyum dan seisi kelas bersorak padanya sementara dia tertawa. Namaku di panggil terakhir. Pembacaan absen selesai. Kami menunggu. Hal apa lagi yang akan dilakukan oleh guru kami ini. Beliau mengangkat sebuah poster bergambar bendera Amerika. “Apa nama negara ini?” “Amerika…” kata kami bersamaan. “Bagus. Kalau ini?” dia mengangkat poster bendera Inggris. Bendera putih dengan gambar tanda tambah merah. “Inggris…” “Kalau ini?” “Belanda.” “Yang ini? ” beliau mengangkat sebuah poster bergambar tiga garis. Biru, putih dan merah. “Perancis” kata kami semakin tidak sabaran. “Yang terakhir ini pasti kalian tahu. Apa nak?” “Jerman…” “Benar. Sekarang buat lima kelompok. Dengan satu ketua. Masing-masing enam orang.” Kami bergerak cepat. Membentuk kelompok masing-masing. Dalam waktu lima menit, aku sudah berkelompok dengan Septi, pastinya. Lalu, aku, Aldo, Risa dan Andri. Dan yang menjadi ketua adalah Septi. Kalau bukan dia siapa lagi? Aku melihat kelompok lain. Ada Rimba, Wulan, Doni dan Febri. Mereka semua pasti ketua kelompok. Bu Dewi membagikan poster. Kami dapat Inggris. Hebat. Apa tugas dari bu Dewi ya? Dia hebat, selalu saja dapat ide baru untuk memecahkan kebuntuan pikiran.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Nah, sekarang coba lihat bagian belakang poster itu.” kata beliau. Semua ketua kelompok membalik poster yang ada di tangan mereka. Ya Allah, ternyata ada soal. Dan ini benar-benar berhubungan dengan Negara bersangkutan. Untung kami dapat Inggris. Aku bisa memastikan temanku yang lain kecewa. “Sekarang, diskusikan soal-soal itu dan tulis jawaban kalian di atas selembar kertas.” Septi yang menjadi ketuakelompok segera menyiapkan alat tulis. Aldo membaca soal pertama. “Apa bentuk pemerintahan Negara ini?” “Kerajaan parlementer.” Sambut Andri. Yang segera ditulis oleh ketua kelompok kami yang cantik. “Selanjutnya, siapa kepala pemerintahannya?” “Raja atau ratu.” Kata Andri. “Bukan.” kataku cepat. “Perdana Menteri.” Kami memandang Septi. Menunggu keputusannya sebagai ketua sekaigus orang paling pintar diantara kami. “Kepala Negara Inggris adalah ratu. Tapi kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri.” “Ya sudah, soal selanjutnya.” Aldo melihat kami. “Apa nama mata uang negeri ini?” “Poundsterling.” Kata Aldo dan Andri bersamaan. Septi segera menulis. Aldo melihat soal terakhir dan menelan ludah. Tampaknya lebih sulit. “Apa nama salib yang ada di bendera nasional Negara ini?” Kami diam membisu. Tak ada yang menjawab. Bahkan Septi terlihat bingung. Soal ini tampak asing bagi mereka. Ya. Kecuali aku. “Ayo, anak-anak. Lima menit lagi.” Kata bu Dewi. Keadaan semakin menegangkan. Kami bekerja semakin cepat. Aku menarik nafas dalam. “Saint George Cross.” Kataku. “Apa!?” kata eman satu kelompokku. “Nama salib itu. Saint George Cross.” “Kenapa tidak bilang dari tadi?” kata Septi sambil nenulis. “Menunggu saat yang tepat.” Kataku, sambil diiringi sorakan teman satu kelompok. “Kamu memang ahli membuat orang kesal.” Kata Septi setelah mengumpulkan kertas. Aku mengangkat bahu. “That’s me. Itulah aku.” “Kamu bangga sekali.” Kata Aldo. “Uki, dari mana kamu tahu tentang salib itu?” Andri merubah topik pembicaraan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Dari buku. Salib itu sama dengan salib yang ada di lambang club sepak bola Barcelona. Salib yang ada di pakaian tentara Inggris ketika perang salib.” “Oh, perang yang ada di daerah Palestina kan?” tebak Risa. “Ya. Kamu benar. Yang… ”Saat itu kaum Muslimin dipimpin oleh Sultan Sholahuddin Al-Ayyubi. Sedangkan kaum kafir dipimpin oleh Charles the Lion Heart,” potong Septi. Gadis ini luar biasa. Pengetahannya luas sekali. “Si Hati Singa. Benar. Kalau kalian pernah menonton film Kingdom of Heaven, kalian pasti bakalan kagum. Film itu mengangkat kisah perang salib.” Bu Dewi berdiri di depan kelas. Kami kontan membisu. “Septi?” “Ya, bu?” “Kelompokmu luar biasa. Siapa yang menjawab tentang salib ini?” “Uki…” kata temanku bersamaan. “Hebat nak. Nilai sempurna.” Wah kami dapat nilai sempurna. Hebat sekali kami. Teman-teman kelompokku menepuk bahuku. “Selanjutnya, siapa Kanselir Jerman?” kata bu Dewi. “Angela Merkel” kata Septi dan aku bersamaan. “Benar. Siapa kepala Negara Perancis?” “Nicholas Sarkozy.” Kata kami lagi. “Kalian hebat. Ibu masih punya tebakkan lagi. Kalau ada yang tahu, satu kelompoknya ibu teraktir makan di kantin.” Bu Dewi mengambil selembar kertas. “Apa kepanjangan dari SWAT?” beliau memandang kami dengan mimik wajah menantang. Aku mengangkat tangan. “Special Weapon And Tactics.” “Lalu apa itu ST-6?” “SEAL TEAM 6. Sea Air Land. Sekarang lebih sering disebut… Apa?” “DEVGRU.” Septi menambahkan. “Kemudian, apa itu CIA?” “Central Intelligence Agency.” Kataku santai. “Apa yang kamu ketahui tentang FBI?” Sekarang Septi yang angkat tangan. “Federal BureauInvestigation, atau Biro Investigasi Federal.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apa nama tentara bayaran Amerika pada saat perang Afghanistan dan Irak?” “Black Water.” Aldo yang berkata. “Luar biasa.” Kata bu Dewi kagum. “Pengetahuan kalian di atas rata-rata…” Bel berbunyi dan orang yang duduk dalam kelompokku bersorak gembira. Sesuai janji yang beliau katakan, kami diajak makan nasi uduk di kantin sekolah. Memang bukan apa-apa dibandingkan restoran. Tapi nasi uduk di sini juara. Satu hal lagi yang aku suka dari orang ini. Dia selalu menepati janjinya. Kami duduk di satu meja. Seolah kami sudah memesan meja itu sebelumnya. Aku duduk di depan Septi, Risa duduk di depan Andri dan Aldo duduk di depan Bu Dewi. Namun setelah memesan lima piring nasi uduk komplit, dia segera beranjak. “Sep, kemarin kamu kenapa?” kata Risa tiba-tiba. “Kapan?” kata Septi. “Aku tidak tahu kapan. Tapi kamu ada di TV. Kamu dan ayahmu.” Mata Septi yang sipit seolah menjadi tambah besar karena kaget. ”Aku tidak pernah masuk TV.” Septi mencoba menghindar. “Si pengambil gambar memakai kamera tersembunyi.” Kataku akhirnya. “Kamu dan pak Rian dihadang preman kan? Waktu malam minggu.

Setelah kamu pulang dari GOR

Kalianda.Untung kamu bisa melawan.” Aku bisa merasakan ketegangan di sini. Aku harus mendinginkan suasana. “Ya. Kamu benar Ki.” Katanya mengakui. “Tapi dari mana kamu tahu?” “Mmm, dari berita.” “Jangan beri tahu aku bisa bela diri ya?” katanya. “Kenapa?” kata Aldo. “Bukankah itu bagus?” “Rahasia.” Andri meminum sedikit tehnya. “Seperti Spiderman yang tidak ingin diketahui identitasnya.” “Oh, kamu tidak ingin Irfan tahu kamu jago silat ya? Biar kalau kalian dirampok, si Irfan bisa melindungi kamu ya? Seperti Peter Parker dan Mary Jane?” Septi memukul lenganku. Keras sekali. Wajahnya mulai memerah karena malu. Kami semua tertawa. Dan perasaan khawatir hilang dalam sekejap. “Sudahlah,” kata Septi. “Lebih baik kita makan dulu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Setelah puas ditraktir dan mengobrol, aku, Septi, Andri, Risa dan Aldo segera melesat menuju kelas. Pelajaran kami selanjutnya adalah Agama. Atau lebih kerennya Akidah Akhlaq. Guru yang akan mengajar adalah ibu Jauhariah. Yang biasa kami panggil Bu Jo. Guru muda yang jelita. Lulusan pesantren pula. Mantap. “Baiklah anak-anak. Pagi ini kita akan mempelajari cara sholat dua gerhana. Ada yang bisa member contoh?” Irfan mengangkat tangan. “Saya, Bu.” “Baik, kemarilah.” Irfan melangkah maju. Kami semua memandangnya. “Bisakah kamu membedakan niatnya?” “Bisa bu. Kalau Kusuf untuk gerhana matahari. Kalau Khusuf untuk gerhana bulan.” Ibu Jo memandang kami. “Kamu benar. Nah, sekarang coba peragakan.” “Baik.” Irfan segera memberi peragaan. Dia sholat dua rakaat dengan dua rukuk. Memang benar, dalam sholat dua gerhana dilakukan dua rukuk dalam satu rakaat. Dan Irfan memprperaktekannya dengan sempurna. “Bagus. Kamu pintar. Yang lain, kalian sudah bisa membedakan kan? Mana yang niat sholat gerhana matahari dan yang mana yang bulan?” “Sudah.” Bu Jo meminta Irfan duduk. Aku melihat Septi, yang sedang memandangi Irfan tanpa berkedip. Mau tidak mau aku tersenyum. Tanpaknya si dara manis bermata cemerlang ini sedang dimabuk asmara. Aku mengagetkannya. Dan Septi hampir terlompat dari tempatnya duduk. Mata para hadirin langsung tertuju padanya. Termasuk Irfan yang hanya tersenyum geli. Juga Bu Jo. “Ada apa, Septi?” “Tidak ada apa-apa bu. Uki membuatku kaget.” “Kenapa Uki?” kata guruku. Suaranya selembut caranya memandang kami. “Dia melamun ibu. Pikirannya kosong. Aku hanya menepuk bahunya.” “Nak, pikiran kalian tidak boleh kosong. Atau pikiran-pikiran negatif akan mudah masuk dalam hati kalian. Paham?” “Paham.” “Ada yang ingin bertanya? Tentang apa saja.” Viera mengangkat tangan. “Apa hukum berpacaran?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Pertanyaan kamu sangat bagus. Berpacaran itu hukumnya haram. ” “Kenapa demikian?” kata Wulan. “Karena, berpacaran akan mendekatkan kalian pada zina. Yang tentunya dilarang oleh agama.” “Apa hukuman yang diberikan oleh agama Islam mengenai hal ini?” Septi juga semakin tertarik. Kalau ada hal lain yang bisa menarik perhatiannya, salah satunya adalah soal ini. rupanya dia sudah sedikit melupakan kejadian barusan. “Kalau dalam aturan agama, orang yang berzina, dan dia belum menikah, maka dia dan teman yang berzina dengannya harus dihukum cambuk. Seratus kali. Selain itu, dia tidak boleh menikahi orang, kecuali orang yang sudah berzina dengannya.” “Kalau yang sudah menikah?” kata Risa. “kalau yang sudah menikah,” kata bu Jo lembut. “Maka dia harus dihukum rajam.” “Apa itu rajam?” kata Aldo. “Ditimpuk batu sampai mati.” Kataku enteng. Bu Jo tertawa. “Itu bahasa kasarnya. Tapi, ya. Dia benar. Kurang lebihnya seperti itu.” “Bisa tolong jelaskan Bu?” Pinta Resti yang dari tadi diam “Ya, kita harus membuat lubang, lalu mengubur pezina dalam posisi berdiri. Dan menguburnya hingga yang tampak hanyalah kepalanya. Lalu kepala itu kita tutup dengan kain hitam. Masyarakat yang ada di sekitarnya, atau tetangganya, berbaris dalam satu barisan, lalu kemudian mulai melempari si pezina dengan batu. Sampai dia meninggal.” “Tapi itukan terlalu kasar.” Protes Raka. “Itu memang sudah diatur dalam Al-Qur’an. Kita hanya harus menjalankannya saja. Iya kan?” “Bu, apakah demokrasi diajarkan dalam Islam?” kata Septi. “Ya.” Kata guruku dengan penuh keyakinan. Seolah dia memang hidup di zaman dahulu. “Jadi hukum Islam tidak ditegakkan.” Pembicaraan Septi mulai ngelantur. “Kan ada penjara.” Guru kami tertawa. “Itu Cuma di Indonesia. Bukan di Arab sana. Kalau soal hukum syari’at, seperti mencuri, berzina, dan yang lainnya, mereka masih menggunakan Al-Qur’an dan AsSunnah sebagai pedoman.” “Kalau di Indonesia bagaimana ibu?” kata Viera. “Dulu demokrasi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Maksud ibu?” “Sekarang, yang demo dikerasisekali tembak, DOR, mati. Siapa yang teroris?” Kami semua tertawa. Yang dikatakan guru kami benar juga. Kami semua tertawa. Sampai lonceng pergantian pelajaran berbunyi. Hebat. Pembicaraan kami kali ini benar-benar membuka wawasan kami. Mantap. Guru pengajar kami datang. Bu Isna namanya. Tanpa membuang waktu, beliau memberi kami PR berupa tugas kelompok. Lagi-lagi, aku berada satu kelompok dengan Septi. Juga Irfan. Beliau meminta kami untuk membuat rumah dari sendok dan stik Es krim. Hebat. Seumur-umur aku tidak ingin jadi arsitek. Dan sekarang ada saja orang yang memberi tugas aneh. “Kenapa kamu diam saja?” kata Septi saat kami sudah pulang. “Karena…” aku menarik nafas. “aku sudah tahu tentang pembicaraan barusan.” “Maksud kamu apa?” “Ya, aku sudah tahu. Daripada aku ribut dan mengganggu kalian yang sedang asik bertanya, lebih baik aku diam kan? ” Kami menaiki angkot yang sama. Septi mengangkat alis. “Kamu mau kemana? Ke rumahku?” “Bukan.” Kataku saat mobil maju. “Ke pasar. Mungkin pamungkas. Aku mau beli stik es krim.” “Uangnya mana?” “Tadi Irfan memberiku uang untuk membelinya.” “Yang benar?” “Iya. Dia juga memintaku untuk…” aku mencoba menahan senyum. “Apa!?” bentak Septi. “Jangan marah ya?” “Cepat katakan!” “Iya, iya. Bule memintaku menjagamu sampai aku turun nanti.” Seperti yang kuduga, wajahnya menjadi semerah leci. “Benarkah?” “Iya. Irfan sepertinya jatuh hati padamu. Tapi, kalau aku boleh memberi saran, kamu harus hati-hati dalam pergaulan kamu. Aku yakin kamu juga suka padanya.” “Bagaimana kamu tahu?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku tertawa. “Matamu tidak mungkin berbohong.” “Iya deh. Aku percaya.” “Iya. Aku hampir lupa. Dia besok mengajak kita main ke rumahnya besok setelah pulang sekolah. Sekaligus mengerjakan tugas dari bu Is tadi.” Septi diam sejenak. Seakan sedang memikirkan busana apa yang hendak dia kenakan besok. “Jangan pikirkan busana dong.” Aku memberhentikan angkot di pinggir mini market. Temanku memukul punggungku keras sekali sebelum aku turun dari mobil angkutan. Setibanya aku di pasar, aku segera membeli barang-barang yang kami perlukan. Bahan dasar berupa stik dan sendok es krim, lem, cat dan kuas serta poster untuk jadi rujukan contoh rumah. Setelah itu, aku memutuskan untuk segera pulang. Karena aku yakin adik-adikku sudah menunggu. “Kakak pulang…” kata adikku, Dimas. Anak berusia 10 tahun. “Ya, Dimas. Kakak sudah pulang. Memang ada apa?” “Main ke pelabuhan yuk.” “Ya. Ayo.”kataku. “Tapi kakak ganti baju dulu. Tunggu ya.” Aku segera berganti pakaian. Kaus putih bergambar pistol dan celana pendek hitam kali ini kugunakan. Saat aku keluar kamar, ibu sudah ada di sana. Di depan pintu. Menunggu aku. “Kamu dari mana nak? Mau kemana lagi kamu?” kata ibu. Nada bicara beliau lembut seperti biasa. “Tadi aku dari Kalianda bu. Sekarang Dimas mengajakku bermain.” “Kemana nak?” “Pelabuhan bu.” “Oh, iya. Kamu boleh main setelah kamu menjawab pertanyaan ibu.” “Iya, ibu.” “Yang pertama, kenapa kamu pulang terlambat?” “Aku ke pasar bu. Beli stik dan sendok es krim, untuk membuat miniatur rumah. Bersama Irfan dan Septi.” “Kapan kamu mau mengerjakannya? Di mana?” “Besok bu. Setelah pulang sekolah. Di rumah Irfan.” “Yang kedua. Kamu sudah sholat belum?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku tidak menjawab pertanyaan ini. Aku kira tidak perlu. Aku langsung masuk kamar dan melaksanakan sholat Dzuhur setelah sebelumnya berwudhu. “Kenapa lama sekali?” kata Dimas setelah aku keluar dari rumah. Aku melihat jam. Jarum pendek menunjuk angka 3. “Sholat Dzuhur. Ayo.” Aku menaiki motor bapak yang tidak beliau pakai kerja. Honda Supra Fit. Dimas duduk di belakangku.seperti biasa, Dimas selalu meminta aku mengajarinya naik motor. Tidak kenal ampun. Baik pagi, siang sore atau malam. Dimas selalu begitu. Kami melesat cepat menuju pelabuhan. Yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari rumahku. Kami menunggang motor secepat angin. Menerabas lalu lintas yang lumayan lancar. Namun tetap sulit dipencar. Setelah melaju sekitar 10 menit, kami tiba di dermaga tiga yang saat itu lumayan sepi. Hanya ada beberapa truk kecil yang sedang mengantri. Melihat kesempan seperti ini, Dimas segera merebut posisi pengemudi dan langsung menancap gas. Seperti dugaanku sebelumnya, dia sudah bisa mengendarai motor dengan lancar. Adikku membawa motor itu dengan kecepatan lumayan. Cukup untuk membuatku terkena serangan jantung. Karena dia sering menginjak pedal rem secara mendadak saat kecepatan lumayan tinggi. “Jangan menginjak rem dengan cara seperti itu!” aku meninggikan suara agar suaraku tidak terbang dibawa angin. Dimas diam saja. Membuat aku semakin heran. Karena dia diam saja, aku jadi tidak tahu apa dia paham perkataanku atau tidak. Adikku melakukan belokan ke kanan, menghindari sebuah truk fuso besar yang kontan membunyikan klakson. Suaranya yang keras hampir membuat jantungku loncat dari tempatnya. “Kamu gila ya?” kataku pada Dimas. Namun dia hanya tertawa. Yang membuat aku semakin kesal. Dia memang selalu begitu. Tiap aku melarangnya untuk melakukan sesuatu, dia malah melakukan sesuatu itu. Dan aksi gila dia saat ini membuat aku ingat masa lalu. Dulu, waktu kami masih kecil. Aku masih SMP ketika itu, aku pernah melarang Dimas untuk naik pohon. 10 menit setelah itu, saat aku masuk rumah, dia malah memanjat pohon rambutan yang ada di depan rumahku. Parahnya, dia terjatuh. Alhamdulillah, adikku yang super nakal ini tidak mengalami luka, sama sekali. Di tengah keresahan hati, aku memanjatkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada kami. Motor itu sudah bergoyang. Terlalu cepat mungkin. Sekarang Dimas sudah masuk dermaga

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

empat. Tempat yang cukup jauh dengan jalan tanah. Cukup jauh dan sukar untuk dilalui. Dikarenakan lubang yang cukup dalam di hampir setiap titik. Dan biasanya, sore hari seperti ini, banyak sekali orang yang tidak bertanggung jawab berkeliaran. Aku berharap kami baikbaik saja. Tapi ternyata Allah menunda doaku. Karena Dimas dan aku, hampir menabrak seorang preman berbadan padat. Dengan wajah yang bisa dibilang lumayan tampan. Bencana dimulai dari sana. Dia mengejar kami. Satu unit motor Supra Fit dikejar seunit motor Ninja Double R. Rupanya adikku berbakat untuk jadi pembalap. Yang semoga saja benar. Kami melaju secepat angin. Aku tidak tahu kenapa motor Ninja merah di belakang kami sampai saat ini tidak bisa mengejar motor bebek kami. Mungkin karena si pengemudi sedang mabuk. Atau mungkin karena motor kami melaju amat sangat cepat sekali. Dimas membelokkan motor menuju jalan keluar pelabuhan. Mobil-mobil truk yang ada di depan kami seolah tidak bergerak saat kami melintas. Sementara si preman tampan dengan temannya dengan susah payah melewati truk-truk besar itu. seolah si pengemudi mobil tidak mengizinkan mereka lewat. Aku melihat speedo meter. Jarumnya menunjuk angka 120 tapi aku tidak merasakan getaran hebat seperti yang biasa terjadi. Rupanya aksi gila kami belum berhenti sampai di situ. Bocah SD di depanku menambah kecepatan. Yang tentunya diikuti oleh pengejar kami. Adikku berbelok tepat satu meter di depan plang bertuliskan ‘Awas ada pemasangan pipa gas’kami selamat sedangkan dua preman edan itu kurang beruntung. Mereka menabrak plang itu dan motor sport itu berubah menjadi motor yang biasa digunakan untuk balapan di atas pasir. Bunga api berserakan darimesin yang bergesekan dengan batu yang kasar. Kuduga mereka sudah berhenti mengejar. Tapi rupanya dugaanku salah. Mereka, entah bagaimana berhasil keluar dari lubang yang cukup dalam itu. Tapi sekarang motor keren itu tampak sangat membutuhkan reparasi. Lampu depannya pecah. Body kit yang menutupi mesin sekarang sudah lepas. Hanya menyisakan patahan pelastik dan fiber yang tidak rata, dengan mesin yang sudah pasti lecet-lecet. Kali ini, yang menunggang Ninja adalah si Rupawan. Dia mengemudi seperti kesetanan. Aku berfikir cepat. Bagaimana cara kami lolos dari mereka, yang sekarang mulai melempari kami dengan batu. Aku terpaksa menarik stir dari kendali adikku dan berbelok patah kea rah

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

perkampungan. Motor Ninja itu kini dipisahkan satu unit motor matik dari kami. Dan motor bobrok itu sudah melaju lebih pelan sebab ada puluhan lubang yang harus dihindari. Ternyata si pengemudi memang benar-benar maniak. Dia berdiri di motornya dan, aku tidak sedang bermimpi sepertinya. Semoga. Dia melompat kedepan. Persis seperti Superman. Dan mendarat di belakang pengemudi motor matik. Semoga aku sedang bermimpi. Aku hanya melihat sekali gerakan mengerikan itu. di salah satu film laga yang dibintangi Vin Diesel. Pemuda sinting itu menjatuhkan pengemudi dari motor dan mulai mengejar kami. Motor Ninja jatuh bersama penumpangnya. Hampir melindas si korban yang dijatuhkan dari kendaraannya. Akhirnya muncul. Ide yang dari tadi aku tunggu-tunggu. Aku meminta Dimas menambah kecepatan. Untung dia tidak menolak. Kami melesat lebih cepat di jalan cacat. Si supir matik edan sudah hampir menyamai laju motor kami. Aku, dari belakang Dimas, menarik rem depan. Motor kami berhenti seketika. Namun, pemuda yang mengejar kami terus melaju kedepan. Kami segera memutar motor dan melesat pergi. Tapi dengan kecepatan yang mengherankan dia berputar dan sudah mengikuti kami. Lagi. Hari sudah maghrib. Kami harus pulang. Dan tentu tanpa membawa orang gila. Aku dapat ide yang lebih seru untuk segera dicoba. Dimas melihat tatapan mataku yang menatap rumah orang kampong dari spion. Dan tampaknya dia mengetahui rencanaku. Karena supir motorku segera melajukan motor yang hampir kehabisan bensin ini ke belakang rumah warga yang berjajar. Dengan matik yang mengejar kami pastinya. Aku mengetuk jendela sebuah rumah yang terbuat dari kayu jati tebal. Si pemilik rumah membuka jendela di saat yang sangat tepat. Preman kesurupan itu menabrak daun jendela yang tiba-tiba terbuka. Dia terlempar dari motor. Terjengkang di tanah. Hidungnya meneteskan darah segar sedangkan dahinya sewarna anggur. Biru dan bengkak. Satu lagi aksi spektakuler yang luar biasa dibuat oleh Uki dan si adik pembalap, Dimas. Kami mengisi bensin sebelum pulang. Si penjaga pompa bbm kaget melihat kondisi motor kami yang sudah luar biasa lecet, kotor dan pastinya, sama sekali kehabisan bensin. Dia menanya kami penyebabnya. Kami menjawab dengan kompak. “Night Race.” Yang segera dimaklumi olehnya. Di rumah, bapak memarahi kami habis-habisan. Tapi, begitu dia mendengar bahwa kami baru lolos dari kejaran si preman tampan, dia segera memeluk kami. Seolah kami tiba-tiba berubah jadi tampan. Bapak segera menceritakan tentang si preman tampan ini. yang biasa dipanggil

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Marvel si Gila oleh orang-orang. Bapak bilang kami beruntung bisa selamat dari orang itu. Bapak juga memberi tahu bahwa, si Marvel ini adalah ketua sindikat pengedar obat-obatan berbahaya yang ada di Lampung. “Terima kasih pak.” Kataku saat Dimas sudah terlelap karena lelah. “Akan Uki ingat informasi ini.” “Sebaiknya begitu. Tapi, coba kamu ceritakan bagaimana kalian bisa dikejar oleh Marvel ini.” “Baik.” Kataku, aku mulai menceritakan pengalamanku hari itu, tanpa penambahan dan pengurangan. Bapak hanya menggelengkan kepala. Setelah diam sejenak, bapak menyuruhku sholat dan tidur. Aku ada di kamar. Sudah melaksanakan sholat dan siap untuk tidur. Tapi telepon selulerku bordering. Dari Septi. Ada apa gerangan? Kenapa pula dia meneleponku pada jam Sembilan malam? Aku tidak ingin kesabarannya habis, jadi aku angkat telepon itu walau enggan. “Halo, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum Salam. Apa kamu baik-baik saja?” kata Septi seketika. “Ya.” Kataku. “Aku baik-baik saja. Ada apa Sep?” “Apa benar kamu bermain kejar-kejaran dengan Marvel?” “Dari mana kamu tahu?” kataku kaget. “Berarti benar, itu memang kamu, dan Dimas ya?” “Dari mana kamu tahu?” kataku dengan nada memaksa. “Kamu masuk TV. Bagaimana kamu bisa dikejar oleh preman edan itu?” “Ceritanya panjang Sep. pulsa kamu takkan cukup untuk mendengar semua cerita hari ini.” “Ceritakan saja. Aku sudah mengaktifkan paket bicara sampai puas. Jadi tidak perlu takut soal pulsa.” “Ya. Iya.” Kataku. Akhirnya cerita itu mengalir juga. Semua kejadian pagi itu meluncur keluar dari mulutku. Dan pasti sekarang sudah di copy oleh Septi. “Orang yang berurusan dengan Marvel akan dibuat sulit.” Kata Septi memperingatkan. “Wah. Terima kasih sekali atas infonya.” Kataku. Benar-benar tidak tertarik. “Tapi kamu tidak harus meladeni Marvel sendirian. Masih ada aku dan Irfan.” “Kalau memang Marvel ingin aku, kalian tidak perlu repot-repot membantu. Ini akan merepotkan kalian.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu bercanda? Dan tertawa saat kamu, dengan gagahnya mencegah kejahatan? Enak sekali kalau bisa begitu. Kita ini sahabat Uki. Satu tim. Satu kesatuan. Kalau kamu bergerak, kami juga akan bergerak.” “Ya. Aku tahu. Tapi tidak perlu seperti itu. Kalau aku melompat dari jembatan, masa kalian mau lompat dari jembatan juga?” “Ya Allah Uki… Tentu saja tidak. Kami kan tidak bodoh. Kalau kamu melompat dari jembatan, kami berdua akan berada di bawah. Untuk menangkapmu.” “Iya, deh. Terserah kamu. Tapi, tolong. Aku mau menjemput mimpiki dulu. Aku lemah, letih, lesu dan lelah. Aku mau tidur.” “Ya sudah. Sampai besok di sekolah ya? Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum Salam.” Aku memutuskan hubungan dan langsung terjatuh di atas kasur. Menjemput mimpi yang lama tak kutemui. Saat aku tiba di sekolah keesokan harinya, Septi terus memperhatikan aku. Seakan dia adalah penjaga keamanan dan aku adalah benda paling berharga di dunia. Aku akui, aku memang suka mendapat perhatian lebih. Tapi yang seperti ini terlalu berlebihan. Dan aku sama sekali tidak menyukainya. “Kamu kenapa sih?” kataku pada Septi, dengan perasaan sedikit kesal. “Kenapa apa?” katanya tak acuh. “Kenapa kamu memandangi aku seperti itu?” “Karena kamu sahabatku. Dan juga Irfan. Privasi kamu adalah privasi kami juga.” “Oh, aku sangat tersanjung. Tapi berbahaya mengatakan hal itu.” “Kita memang berbahaya.” “Nah, kalau itu baru aku percaya.” “Kalau begitu, apa kamu tahu siapa Marvel ini?” “Aku tahu.” Kata Irfan saat dia berjalan mendekat. “Siapa dia? Apa hubungannya denganku?” “Dengan kita.” Koreksi Irfan. “Marvel bernama asli Ridwan Ishida. Dia merupakan keturunan Jepang dari pihak ayahnya yang bernama Muhammad Ishida.” “Dia muslim!?” kataku terkejut. “Jangan kaget seperti itu.” kata Septi. “Yang dikatakan Irfan benar. Ibunya bernama Amelia Iskandar. Seorang berkebangsaan Indonesia yang sudah lama bekerja sebagai penasehat hukum di Tokyo. Tapi mereka sudah bercerai.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Dia merasa broken home dan akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan yang dilarang agama. Seperti menjual obat-obat terlarang.” Kataku menambahkan. Kali ini itu semua terasa masuk di akal. “Dia memiliki sindikat perdagangan obat yang sangat rapi. Jaringannya tersebar dari Lampung hingga Bali.” Tambah Irfan. “Tidak luas memang. Tapi cukup untuk membuat polisi kerepotan.” “Dia juga tidak bakal melepas buruannya begitu saja. Sekali kita berurusan dengannya, masalah tidak akan mungkin cepat selesai.” Tambah Septi. “Kalau begitu, aku sudah menjerumuskan kalian ke dalam bahaya yang sangat besar.” “Tenang saja. Kita masih punya Allah.” Kata Irfan. “Lagi pula, kita kan punya teman yang jago silat.” Dia memandang Septi. “Iya, kan?” Kami semua tertawa. Senang rasanya bisa berkumpul seperti ini. Bersama sahabat, dengan teman dekat. Benar-benar aku butuhkan hal-hal yang seperti ini. Pak Rudi masuk kelas ketika jam pelajaran terakhir itu. Dia mengumumkan adanya beberapa orang dari kami yang bisa mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di Jepang dengan biaya kehidupan yang sudah dijamin. Tapi dengan hanya tiga kreteria nilai. Terra Cum Laude, Summa Cum Laude dan Cum Laude. Setelahnya, kelas menjadi semakin ribut. Sebagian ada yang tidak mempedulikan info ini. tapi, aku, Septi dan Irfan sangat membutuhkannya. Dan aku yakin, persaingan kami tidak akan mudah kalau kami tidak mau bersungguh-sungguh dari sekarang. “Biar aku cari infonya di internet.” Irfan menawarkan diri. “Itu mudah.” Aku memasukkan buku kedalam tas. “Lalu bagaimana dengan ini?” aku menunjukan stik es krim kepada mereka berdua. Yang, seperti yang sudah kuduga, hanya tertawa. “Tentu.” Kata si pemuda putih ini. “Kalian sudah bawa ganti kan? Kita langsung saja main ke rumahku setelah ini. Dan aku harap kalian tidak membawa kendaraan.” “Kami memang tidak pernah bawa kendaraan saat sekolah,” kata Septi. “Kenapa?” “Karena kita akan naik mobil.” “Angkot?” tebakku. “Bukan, tapi Toyota Fortuner. Ayo. Bel sudah berbunyi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kami terus melesat dalam mobil SUV mewah dan gagah itu. aku duduk di belakang, sedangkan Septi dan Irfan di depan. Persis seperti orang yang telah menikah, yang sayangnya masih lama sekali. Aku mengganti bajuku dan melihat isi bagasi. Ada beberapa macam bola. Bola Golf, bola Tenis, bola sepak bahkan kelereng. “Kenapa kamu membawa bola-bola ini?” “Karena sekarang kita diserang! Bersiaplah!” Irfan menambah kecepatan saat suara motor meraung makin keras di belakang kami.

CHAPTER 4 IRFAN Luar biasa. Kami melaju dengan diikuti motor-motor besar. Aku meminta Uki menyiapkan semua bola yang ada di dalam bagasi. Yang segera saja dia lakukan, Septi segera pindah ke belakang. Siap untuk membantu Uki. Untung mobilku sudah diberi tambahan sunroof lebar. Uki segera membuka sunroof dan melempar sebuah bola golf, yang melayang menuju ke bawah. Aku kira lemparannya meleset. Ternyata, bola golf padat itu menghantam ban depan sebuah motor besar dan membuat si supir kaget. Dia kehilangan kendali dan terjatuh. Sementara temannya yang lain sudah mulai melupakan formasi konvoi. Berusaha setengah mati agar tidak menabrak yang lain. Lemparan Uki memang selalu tepat sasaran. Rupanya mereka belum menyerah. Salah seorang diantara mereka mengeluarkan pistol rakitan. Ternyata Septi benci benda itu. karena dengan gerakan cepat dia melempar sebuah bola basket. Yang menghantam dada si supir hingga dia terpental dari motornya. Wah, dia benar-benar perempuan idamanku. Rambutnya yang panjang berkibar bak bendera karena ditiup angin. Pandangan matanya yang tajam menatap ke depan. Dia melempar sebuah bola basket lagi dan 2 motor terakhir keluar dari jalan, lebih memilih menabrak plang selamat jalan daripada di hantam sebuah bola dengan tenaga dorong 100 joules. “Ganas.” Kataku pada Septi, yang kini duduk di belakang. “Ya.” Kata Uki. “Juga sangar. Kamu bisa jadi pelempar lembing yang hebat.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Terserah kalian deh. Tapi aku tidak suka Pole Vaulting.” Septi merapikan rambut panjang hitamnya yang berantakan. “Kalian harus bersiap.” Kataku. “Apa maksudmu?” kata Uki” “Yang tadi itu baru permulaan. Mereka pasti datang lagi.” “Ya. Kamu benar.” Septi mendukung. “Mungkin Marvel sekarang menjadikan kita target yang selanjutnya.” “Kalau begitu kita harus menghentikannya.” “Tidak mudah.” Kata Septi. “Tapi kita pasti bisa.” Aku menutup sunroof. “Mobil ini keren. Berapa uang yang kamu habiskan?” kata Uki “Seluruh uang tabunganku selama tiga tahun.” Uki bersiul. “Kalau begitu tabunganmu pasti banyak.” “Tidak juga,” aku menambah kecepatan. Aku harus cepat sampai rumah dan mengerjakan tugas kesenian ini. bersama dua sobatku. Di rumah, Septi mengganti pakaiannya. Sekarang, dia persis seperti aktris dalam film laga. Rambut hitam lurus, kaus lengan pendek hitam, dan celana panjang jeans. “Ayo cepat. Keluarkan semua benda yang akan kita gunakan.” Kataku. Uki mengeluarkan stik dan sendok es krim, lem, cat, dan sebuah poster. “Sudah.” “Kalau begitu, ayo mulai.” Aku mengambil poster yang bergambar rumah, yang sudah pasti menjadi bahan rujukan kami. Hebat. Rupanya kami hanya membutuhkan waktu selama dua jam untuk mengerjakan hasta karya itu. bentuknya seperti rumah modern minimalis. Tidak terlalu besar, tapi lumayanlah. “Kamu hobi melukis ya?” kata Uki. Dia memperhatikan lukisan pantai yang menggantung di dinding. “Ya. Sedikit.” Iseng saja. Sekedar mengisi waktu luang. “Tapi lukisan ini indah.” Protes Uki. “Tapi tak seindah lukisan Leonardo Da Vinci.” “Jangan lihat ke atas. Lihatlah ke bawah.” Septi yang dari tadi menyendiri di luar rumah masuk. Dia membawa sebuah buku komik yang sama sekali asing bagiku. “Kalian meributkan apa sih?” “Lukisan itu.” kata Uki. Menunjuk salah satu lukisanku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu yang membuatnya?” kata Septi kaget. “Iya. Tapi jangan terlalu kaget seperti itu dong.” “Gambar itu indah. Aku bahkan tidak tahu kamu bisa melukis.” “Sebagian orang memang tidak tahu, itu lebih baik.” Aku melihat keluar, memperhatikan hasil kerja keras kami yang sekarang berada di bawah terik matahari. “Apa kalian mau mencoba melukis?” aku memandang Septi dan Uki. “Asal kamu yang mengajari.” Septi tersenyum manja. Sementara Uki tidak memperhatikan. Bibirku menyunggingkan senyum hangat. “Kalau begitu ayo.” Di bagian belakang rumahku, ada sebuah rangan yang cukup untuk bermain game sendirian. Tapi ruangan itu aku fungsikan sebagai sebuah work room. Tempat aku bisa dengan bebas melukis apa yang aku inginkan. Lengkap dengan kanvas dan alat-alat lainnya. “Tempat ini luar biasa.” Kata Septi. Dia melihat sebuah kanvas kosong dan langsung mengambil sebuah kuas. “Boleh aku coba?” “Iya, silakan. Tapi apa kamu bisa mencampur warna?” Septi tidak menjawab pertanyaanku, yang aku rasa memang tidak perlu. Dia dengan cepat mencampur tiga warna primer, merah, kuning dan biru. Dan membuat warna baru. Semua dia lakukan dengan cepat. Seolah dia sudah sering melakukannya, Temanku yang cantik jelita mulai melukis. Menggabungkan warna yang tadi dia campur. Dara manis ini menggambar pepohonan hitam dengan latar langit biru gelap. Seperti pemandangan yang biasa kita lihat di pegunungan pada malam hari. Pemandangan itu tampak biasa saja, sampai Septi menggambar garis-garis hijau seperti ombak, yang kemudian dilapisi garis vertikal merah keunguan. Rupanya perpempuan di depanku ini membuat lukisan Aurora Borealis yang sangat indah. “Perfect,” kataku tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Di ujung atas lukisan, Septi menulis kata ‘Azula’ dan membubuhkan tanda tangan. “Tampaknya kita memang berbakat jadi pelukis ya?” Uki kembali dari halaman belakang, dia membawa selembar karton ukuran 60X40 cm dan sebuah drawing pen serta sebuah pensil yang biasa kita gunakan untuk menggambar, “Aku menemukan objek yang bagus untuk digambar. Coba kalian lihat.” Dia memamerkan hasil karyanya. Lukisan kolam renang dan juga di lengkapi gambar wajah kami bertiga yang mengintip dari balik awan. Dengan wajah tersenyum. “Gambarmu keren.” Kata Septi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tidak seperti lukisan abstrak kamu.”Uki memberikan gambar itu pada si pelukis abstrak. “Dari mana kamu dapat gambar kolam renang ini?” katanya. “Ada di belakang rumah.” Kataku cepat. “Ayo. Di sana ada bangku. Sama persis seperti apa yang Uki gambar.” Dan disanalah kami saat ini. duduk bertiga sambil menikmati hembusan angin sore yang menyenangkan. Aku duduk di tengah. Uki di sebelah kiri dan Septi di kanan. Agak mmenjaga jarak. Yang menurutku bagus. “Hidupmu enak ya.” Kata Septi padaku. “Apanya?” aku protes. “Papa ke luar negeri. Mama ke luar kota, yang seperti itu kamu bilang enak Sep?” “Maaf. Kalau itu aku tidak tahu.” Katanya, tampaknya dia malu. “Kalau kamu bilang semua harta ini berharga kamu salah Sep.” kataku sedikit emosi. “Uki pasti tahu apa harta yang paling berharga.” “Keluarga.” Katanya singkat. “Mungkin kamu belum tahu kenapa aku mengantarmu pulang kemarin. Lebih baik aku beri tahu sekarang. Aku mengambil pelajaran.” “Maksud kamu?” kata Uki dan Septi bersamaan. “Gayam, tempat tinggal kamu, telah mengajarkan aku, bahwa aku ini miskin.” “Aku tidak tahu maksud kamu.” Kata Septi polos. “Lalu ini apa?” “Kesenangan dunia yang tidak akan dibawa sampai mati.” Aku mengambil nafas. “Dengar sobat. Aku punya kolam renang yang luasnya sampai ke tengah kebun. Sedangkan kamu, mempunyai sungai yang tidak memiliki ujung. Aku memasang lampu untuk menerangi kebun bungaku. Tapi kamu mempunyai bintang yang benderang di malam hari. Teras rumahku sampai ke halaman depan. Sedangkan kamu memiliki seluruh horizon. Aku memiliki tanah tempat tinggal yang kecil. Kamu memiliki halaman sejauh mata memandang. Aku memang memiliki pembantu. Yang tentu melayaniku. Tapi kamu, kamu memberikan pelayanan kepada orang lain, yang sungguh sangat sulit aku lakukan. Aku suka membeli bahan makanan. Tapi kamu bisa dengan mudah memetik sendiri makananmu. Aku memang punya pagar yang melindungi kekayaanku. Tapi kamu memiliki tetangga yang melindungi kamu. Terima kasih sudah mengizinkanku mengantarmu. Perjalanan kemarin benar-benar membuka mataku.” Setelah itu aku menunggu. Membiarkan mereka menyerap pidato inspiratifku barusan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Uki memandang langit yang sekarang sewarna dengan aurora yang dilukis Septi. Sedangkan si empunya aurora, hanya memandang hampa ke muka. Entah apa yang mereka pikirkan sekarang. Tapi aku lebih memilih untuk masuk ke dalam rumah, mengambil tiga potong jaket dan menyeduh teh manis hangat untuk mereka. “Such a beautiful words.” Kata Septi sambil bangun dari kursi. “Duduk saja dulu. Banyak hal yang perlu kita diskusikan.” Aku meletakkan gelas di atas meja dan memberikan jaket pada mereka. “Pakailah. Angin di sini akan lebih kencang pada malam hari.” Mereka dengan cepat mengenakan jaket itu. “Mengenai marvel ini. Aku mulai bertanyatanya, kenapa orang setampan dia bisa melakukan hal-hal gila semacam itu.” “Kita tahu bahwa dia kan broken home. Pasti itulah yang menyebabkan dia berbuat onar setiap saat.” Kata Uki. “Mungkin. Aku sungguh merasa kesepian kawan,” kataku akhirnya. “Aku ingin kehidupan lamaku kembali, mama, papa, kini mereka lebih mementingkan pekerjaan daripada aku. Aku ingin kalian mengerti bahwa aku tak ingin sendiri. Aku ingin hidupku seperti malam ini. bersama sahabat, seperti Tommy, Adit, Raka dan yang lain. Aku ingin kehidupanku yang lama.” Tiba-tiba, Septi terduduk tegak. Matanya menatap tajam kedepan. Tepat ke arahku. Sosoknya kini persis seperti srigala lapar. “Jangan jadi orang bodoh, kamu seperti orang yang terlena dengan kesepian dan kesendiriannya. Dan memilih untuk tetap tidur. Mau sampai kapan?” Septi diam sejenak. Kemudian setelah meminum sedikit air teh dia mulai lagi. “Semua orang juga tahu dunia ini gimana. Sadar atau tidak, kamu itu hanya perlu bangun. Lihat apa yang ada di depan kamu. Hadapi dengan cara kamu.” Dia menarik nafas. “Kamu bilang kamu kesepian. Berarti ada yang salah sama diri kamu sendiri. Masalah kamu sama diri kamu sendiri, jangan terlalu bergantung sama masa lalu. Manusia memang perlu orang lain. Tapi bukan untuk bergantung!!!” katanya berapi-api. Kami berdua diam membisu. Lidahku kelu. Hatiku pilu. Kata-kata barusan membunuhku dari dalam. Tapi semua itu benar. “Kamu berbakat untuk jadi motivator.” Uki meminum tehnya lalu memandang bintang yang bersinar. “Maaf.” Kata si calon motivator. “Aku kelewat emosi. Habisnya perkataan kamu terlalu berlebihan. Hidup itu ke depan bukan ke belakang. Maju dan takkan pernah mundur.” Dia

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

menatap mataku. “Yesterday is History. Bukankah kamu yang mengatakan itu padaku? Irfan Wahyu Widodo?” “Ya. Aku memang salah.” Kataku akhirnya. “Hey,” kata Uki tiba-tiba. “Apa kalian pikir Marvel akan mengganggu orang-orang terdekatku?” “Mungkin.” Kata Septi. “Tapi siapa? Kami semua sahabatmu. Kami di sini.” Uki menegang. “Bukan kalian.” Katanya. “Dimas.” Kami melesat dalam sunyi. Di dalam mobil, kami hanya berdiam diri. Menikmati isi pikiran kami. Gelapnya malam tidak menghalangiku untuk menginjak pedal gas lebih dalam. Sekarang kami melaju dengan kecepatan 120 km perjam di jalan raya yang tidak bisa dibilang sepi. Apapun akan aku lakukan demi kedua orang dalam mobilku ini. “Jadi, bagaimana kamu bisa tahu Marvel akan mendatangi rumahmu malam ini?” Kata anak perempuan yang duduk di belakang aku. “Firasat.” Kata Uki simpel, “Masih firasat.” Temanku yang satu ini memandang kedepan. Ke arah jalan yang kini lengang. Dia terlihat sangat khawatir. “Yang namanya firasat bisa terjadi dan bisa juga tidak. Tapi kami harus menginap di rumahmu malam ini. suka atau tidak, mau atau tidak.” Kata Irfan. “Tapi kalau mereka tidak datang bagaimana?” kata Uki. “Kalau begitu kami menginap di rumahmu.” Kata Septi. “Kamu mengulang perkataan Bule.” Kata Uki. “Memang.” Katanya polos. “Itu karena kami ingin membantu kamu Uki.” Kataku. “Kami tidak mungkin tertawa saat kamu merana. Sudahlah. Lebih baik kita perbaiki posisi duduk kita.” Kataku. “Aku akan menambah kecepatan.” Bersamaan dengan itu, aku menginjak pedal gas lebih dalam dan mobil besar ini serasa terbang. Kami tiba jam tujuh malam. Saat itu, Dimas dan orang tua Uki tidak ada di rumah. Rumah itu kosong. Dengan secarik kertas surat di ventilasi. Rumah Uki sangat simpel dan sederhana. Dinding diwarnai dengan cat biru cyan. Aku yakin, kalau matahari masih ada di luar, rumah itu akan tampak luar biasa cerah. “Dimas dan kedua orang tuaku pergi ke Tanjung Karang.” Uki mengumumkan. “Kekhawatiranmu berlebihan,” kata Septi. “Bisa dibilang lebay.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Hey,” kata Uki. “Sudahlah.” Kataku. “Kita kemari bukan untuk berkelahi. Lebih baik jika kita membeli makanan dan menunggu mereka kembali.” “Mereka menginap.” Kata Uki, dia menunjukkan surat itu padaku. “Kalau begitu, kita tidak boleh mengacak rumah ini.” “Anggap saja rumah sendiri.” Balas Uki. “Kalau begitu, ayo beli makanan.” Septi mendekati pintu. Aku menabrak bahunya karena dia berhenti mendadak. “Ada apa?” kataku heran. “Tunggu. Apa kalian tidak dengar?” katanya. “Apa?” kata Uki. “Suara.” Kataku. “Mereka datang!” Aku menarik tangan mereka berdua tepat sebelum pintu didobrak dari luar. Akhirnya, firasat Uki menjadi kenyataan. Kami berhadapan dengan lima preman yang semua memegang senjata tajam. Mereka menyeringai kegirangan karena mendapati kami yang bertangan hampa. Mereka menempelkan pisau ke leher kami. “Siapa yang bernama Uki?” bentak orang berbadan paling besar. Dia memakai baju dan celana panjang hitam. Serta penutup kepala. “Mengakulah atau kalian semua mati.” “Aku.” Kataku tegas. “Mau apa kalian?” “Oh, jadi kamu yang kemarin mengganggu bos kami?” dia menjentikkan jari dan dua temannya memukul perut Uki hingga dia tersungkur. Sedang yang satu lagi menampar wajah Septi keras sekali hingga ingin rasanya aku melawan. Dia menyeret aku kembali ke mobilnya. Sebuah Opel Blazer hitam. Setelah sebelumnya merusak Fortunerku. Aku kira aku akan terus sadar hingga aku dapat mendeteksi keberadaanku. Tapi ternyata dugaanku meleset. Mereka menempelkan sapu tangan basah di hidungku. Aku kenal baunya. Obat bius. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa lagi. Yang aku ingat adalah teman-temanku selamat. Karena itulah yang terpenting. Aku bermimpi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku berada di pinggir jurang sedalam belasan meter. Di belakangku, Marvel atau Ridwan atau siapa saja namanya, pokoknya dia, berada di belakangku. Sebuah pisau menggelitik punggungku. Marvel menekan pisaunya dan melukai punggungku. Lalu dia mengucapkan selamat tinggal dan menendangku tepat ke jurang. Pandanganku jadi gelap setelahnya. Aku terjaga. Akhirnya. Kepalaku sakit. Seolah ingin meledak. Sulit membedakan mana yang bukan mimpi. Karena keduanya sangat identik. Sekarang aku diikat dalam sebuah rumah kosong. Rumah itu benar-benar gelap. Aku tidak tahu ini di mana. Tapi pasti dekat dengan pantai. Karena aku mencium bau garam yang sangat pekat. Lantai rumah itu sendiri terbuat dari kayu. Cahaya bulan yang menjadi satu-satunya sumber peneranganku bersinar terang. Namun belum cukup untuk memberi cahaya. Aku tetap mensyukurinya. Aku diam sejenak. Bukan memikirkan di mana aku. Tapi di mana dua sobatku. Hal itu membuat kepalaku semakin sakit. Suara debur ombak terdengar dari balik dinding kayu reyot. Menambah keyakinanku bahwa mereka menawanku di dekat laut. Mungkin pantai. Aku berfikir sejenak. Akankah ini jadi akhir dari perjalanan hidupku selama 17 tahun? Ah. Aku segera mengenyahkan pikiran aneh itu. ketentuan hidup dan mati manusia adalah 100 persen milik Allah. Jadi aku menyerahkan semuanya pada-Nya. Tiba-tiba pintu yang berada tepat di depanku menjeblak terbuka. Marvel melangkah masuk diiringi dua orang pengawal. Pistolnya siap siaga. Mungkin akan langsung ditembakkan ke arah keningku. Orang keturunan Jepang ini mengarahkan senter tepat ke wajahku. Tentu aku langsung menutup mata. Dia lalu memelototi orang di sebelah kirinya. “Ini bukan dia bodoh!” teriaknya. Dan pistol berbunyi. Aku kira riwayatku betul-betul tamat. Tapi rupanya dia menembak temannya sendiri. Orang yang tadi menodongku dengan pisau. Marvel menyuruh temannya pergi. Meninggalkan kami. “Jadi kau temannya ya? Bagus. Ini lebih bagus. Dengan begitu, kedua teman kecilmu akan datang dengan kemauan mereka sendiri.” Dia tertawa terbahak-bahak. “Mereka akan menangkapmu Ishida!” kataku. Tangan dan kakiku diikat ke kursi. Alhasil aku sama sekali tidak bisa bergerak. “Oh, kau punya nyali, bocah. Tapi tidak. Teman-teman kecilmu tak mungkin bisa menangkapku.” Marvel meninju perutku. Kuat sekali. Aku kontan sesak nafas. “Sambil menunggu mereka, bagaimana kalau kita bermain?” dia meninju perutku lagi. Kali ini aku benar-benar tidak bisa nafas.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Marvel mengambil segulung kabel putih, lalu mulai mencambuki aku layaknya seekor kuda. Pedihnya luar biasa. Tapi aku harus bertahan. Hidup adalah pilihan. Memang benar. Jadi aku memilih untuk tetap bertahan dan hidup. “Kamu aneh.” Kataku dingin. “Apa maksudmu bocah?” “Kenapa kamu memukul aku sedangkan hal itu akan membuatmu lemah? Bukankah lebih baik kamu mencari Uki dengan tubuhmu sendiri? Daripada kamu harus mengandalkan anak buah yang selalu saja membuatmu kecewa? Dengan begitu akan lebih cepat untuk mendapatkan dia. Benarkan?” Marvel diam sejenak. “Jangan menceramahiku bocah!” dia menampar wajahku keras sekali. Hingga bibir bagian dalam dan pipiku berdarah. “Aku tidak menceramahimu, Ridwan. Aku hanya memberitahumu hal yang benar. Lagipula, aku hanya menjalankan sunnah Rasul. Beliau berkata ‘Katakanlah kebenaran walaupun pahit.’ Aku hanya mengamalkan salah satu sabda beliau. Karena aku salah satu pengikut beliau. Bukankah kamu juga demikian?” “Jadi, di depanku ada pemuda penceramah?” dia menampar wajahku. Lagi. “Apakah kau penceramah bocah?” “Bukan, aku hanya hamba Allah yang menyatakan kebenaran.” Dia menampar wajahku lagi. “Jangan sebut nama tuhan yang itu di depanku.” “Kenapa? Dia adalah tuhan semesta alam. Tuhanku dan tuhanmu.” “Diam atau kubunuh kau!” “Silakan.” Kataku. Entah kenapa aku berani mengucapkan itu. tapi kurasa hidupku memang belum saatnya berakhir. Marvel menjerit. Dia mengarahkan pistol keatas dan menembak. Ternyata peluru meleset satu inci dari wajahku. Subhanallah. “Sudah kubilang. Belum saatnya aku mati.” Perkataan itu kuucapkan dengan nada sangat dingin. Sehingga tampaknya Marvel sedikit takut. “Diam!” “Baik.” Aku menutup mulut dan menyaksikan saat dia pergi. “Kau pasti mati besok.” Katanya. Di sepanjang malam, bibirku tiada berhenti mengucap syukur pada Allah. Dan tentu diselingi doa untuk minta bantuan kepada-Nya. Marvel. Pemuda ini benar-benar gelap hati. Dari

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

caranya berbicara pun aku tahu bahwa hatinya tertutup. Aku tidak yakin cahaya hidayah Ilahi bisa menerangi hati gelapnya. Alhamdulillah, luka yang aku dapatkan hari ini sudah mulai hilang rasa sakitnya. Dan aku harap, Allah segera menolongku dengan perantara sahabatsahabatku. Karena hanya Dia lah yang Maha Menolong. Juga Maha Segalanya. Matahari bersinar terang. Tapi tubuhku tetap saja tegang. Sulit mata memandang, walau aku sudah berjuang. Tubuhku terbujur kaku. Hatiku terasa pilu. Aku memikirkan temanku di sekolah. Mereka pasti khawatir setengah mati. Terutama dia. Ya. Terutama perempuan itu. Septi Dian Anggraini. Oh, sungguh, aku berharap dia bersamaku saat ini. Pintu mendadak terbuka. Marvel melangkah masuk. Dia langsung menodongkan pistol ke arah wajahku. Pistol yang berhasil aku identifikasi setelah aku membaca tulisan yang ada di larasnya yang agak panjang. Nama pistol itu Desert Eagle. Wah, pistol itu akan memecahkan kepalaku. Mungkin beberapa detik lagi. “Siapa yang akan menolongmu bocah?” “Allah.” Kataku mantap. Dan bersamaan dengan itu, terdengar letusan pistol lain. Arahnya dari luar rumah. Marvel langsung berlari setelah sebelumnya dia memukul kepalaku hingga terluka. Semua komplotan Marvel berhasil diciduk. Aku bisa melihat dari sini. Dan sekejap kemudian Uki dan Septi muncul. Ditemani beberapa orang polisi berbadan kekar. Uki segera melepas ikatanku dengan pisau. Seorang petugas medis memberi obat di atas lukaku. Yg dibuat oleh Marvel dengan kabel. Aku baru saja bangkit saat Septi meninju perutku keras sekali. Aku membungkuk karena ulu hatiku sakit. Orang-orang kaget. Tapi lalu Septi melakukan hal yang bahkan membuatku lebih terkejut. Dia memelukku. Erat sekali, hingga aku kesulitan bernafas. “Dasar bodoh.” Katanya. “Jangan sampai kamu berbuat seperti ini lagi. Atau kalau tidak, aku sendiri yang akan menghajar kamu.” Dia melepaskan pelukan dan lalu bersama Uki, memapahku keluar. “Apa ada orang lain?” kata seorang polisi. Dia mengenakan pakaian resmi. “Tidak ada.” Kataku singkat. Septi dan Uki segera membawaku ke sebuah mobil ambulan milik RSUD Kalianda. Ada dua orang yang sudah menunggu kami di sana. Yang pastinya adalah dokter. “Di mana ini?” aku memandang Uki. “Kalianda.” Dia mendudukkan aku di atas sebuah ranjang dalam mobil itu. dan segera saja petugas kesehatan mengobati luka-lukaku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu berbohong.” Kata Uki, yang sama sekali aku tidak pahami maknanya. “Apa maksudmu?” aku menahan rasa sakit yang sangat. Tapi syukurlah aku tidak berteriak. “Kalau kamu tidak bohong saat mereka menyerang, dan menunjuk aku, kamu pasti tidak akan terluka seperti ini.” “Dan membiarkanmu terluka seperti ini? Tidak akan. Lebih baik aku berbohong demi kebaikan.” “Di mana orang yang menodongkan pisau kepadamu semalam?” Si rambut keriting melihat ke seluruh penjuru pantai. Lalu menyerah saat dia tidak menemukan apa yang dia cari. “Dia meninggal.” Kubilang. “Allah mencabut nyawanya tadi malam dengan tangan Marvel. Dia membunuh orang yang menyeretku.” “Oh, bagus itu.” katanya. “Itu cukup setimpal.” “Siapa Itu?” Septi menunjuk kantung berwarna kuning. Yang biasa kita gunakan untuk mengangkut jenazah dari tempat kejadian perkara. “Itu dia. Yang tadi kami bicarakan, Sep.” “Lalu di mana Marvel?” Kata anak perempuan yang duduk sebangku dengan Uki ini. “Sembunyi.” Kataku pasti. “Untuk saat ini. lebih baik kita bicarakan masalah sekolah.” “Jangan,” kata si petani kecil tiba-tiba. Yang tentu membuat kedua dokter kaget. “Ada apa, petani kecil?” “Tadi dia sudah menelepon pak Rudi.” Kata Uki. “Dia sudah memberi izin untuk kita bertiga.” Aku masih punya satu pertanyaan lagi. Untuk Uki “Apa yang mereka lakukan terhadap rumahmu?” “Mereka tidak melakukan apa-apa.” Dia mengambil nafas. “Mereka meninggalkan kami setelah mereka membawa kamu. Septi. Kamu seharusnya melawan.” Kata Uki. Suaranya dibuat-buat. Seakan dia sedang berpura-pura marah. Septi melakukan hal yang tidak kami duga. Dia melancarkan pukulan kearah Uki. Yang untungnya mengenai lengan kananku. Sakitnya menusuk tulang. “Aku tahu kenapa dia diam, Uki.” Aku menarik nafas. Semoga aku benar-benar tahu. “Aku terlambat bertindak.” Katanya polos. “Mungkin ini adalah salahku. Kalau aku bergerak lebih cepat, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.” “Hey, tunggu. Bagaimana mungkin ini salahmu?” kataku mencoba menghibur. “Aku tahu. Kamu pasti merasa takut. Aku juga merasakannya.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Wajah teman wanitaku tampak sangat sedih. “Tapi ini tetap jadi salahku.” Katanya nelangsa. Aku menarik nafas dan memandang Uki. “Kami memaafkanmu.” Kata kami bersamaan. Ambulans ini akhirnya bergerak. Aku harap kami cepat kembali ke Bakauheni. Karena aku ingin cepat istirahat. Ditemani Uki dan Septi pastinya. Dalam perjalanan, dua orang kepercayaanku ini menemaniku di belakang. Mengawasi keberadaanku seolah aku bisa saja kabur. “Bagaimana kalian bisa menemukan aku?” aku melihat wajah putih Septi yang kini diwarnai garis-garis merah. “Masyarakat membantu.” Kata Uki, dia kelihatan lebih baik daripada Septi. “Wajahmu kenapa? Bekas pukulan kemarin ya?” Si pelukis abstrak diam saja. Dia hanya memandang ke luar lewat jendela. “Ya.” Katanya singkat. Aku memperhatikan bekas luka itu. warnanya merah pudar. “Harusnya aku bertindak lebih cepat saat mereka mendobrak masuk.” Tampaknya hal itu mengembalikan konsentrasi sobatku ini. “Apa yang ingin kamu lakukan?” “Melawan. Aku seharusnya melawan. Mereka hanya berlima.” “Tunggu.” Kata Uki. “Apa maksud kamu kamu bisa bela diri?” “Tidak. Tapi pertempuran itu ada banyak jenisnya. Tidak harus dengan tangan kosong, iya kan, Sep?” Dia diam saja. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam. Entah kenapa, aku jadi merasa tidak enak. “Bagaimana kalau kita istirahat dulu. Ayo tidur, selagi masih ada waktu.” Aku memberi saran. “Daripada kita ribut seperti ini.” Rupanya mereka setuju. Karena setelah itu, mereka langsung terlelap. Aku masih saja berfikir. Orang yang menculikku, Marvel, saat ini masih ada di luar sana. Masih menunggu waktu yang tepat. Tentunya untuk menangkap kami lagi. Lebih dari itu. mungkin juga membunuh kami. Dalam hati aku bisa membayangkan dia menertawakan kami di tempat persembunyiannya. Pikiran-pikiran aneh lain masih saja menggelayuti hatiku. Apakah orangtuaku tahu tentang hal ini? Ya Allah, semoga saja tidak. Aku memikirkan rumah. Apa yang dilakukan Rif’at saat ini. Dia adalah teman yang menemaniku di rumah.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Mungkin dia luar biasa khawatir. Bayangan lain melintas cepat dalam benakku. Tugas hasta karya kami, aku meletakkannya di luar rumah. Dan kami membiarkannya di luar rumah. Dan segelintir bayangan yang membuat kepalaku sakit. Aku kira masih akan ada bayangan lain dalam otakku yang akan melintas untuk menambah deritaku. Tapi ternyata tidak. Tubuhku berkata lain dan akhirnya tubuhku tumbang. Bersandar pada bahu Uki yang sudah tertidur lebih dulu. Kejadian penculikan itu terjadi sekitar dua hari yang lalu. Saat ini kami sudah berada di lingkungan sekolah. Tapi tetap saja, aku selalu jadi bahan tontonan. Seolah aku adalah orang penting. Menreka selalu menanyakan bagaimana rasanya diculik dan ratusan pertanyaan lain. Mau tidak mau aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu “Kemana hasil PR hasta karya kalian?” kata Wulan. Setelah dua hari bersekolah, baru kali ini aku dihadapkan dengan pertanyaan lain. “Apa kamu sudah membawanya?” “Sudah.” Aku duduk di bawah pohon beringin. “Kamu bagaimana?” “Sudah. Sekarang sedang dibawa Akbar.” “Tapi kalau kamu menjadi korban dalam masalah kemarin, kapan kamu membuatnya?” “Aku membuatnya sebelum aku ditangkap.” “Ayo.” Kata Wulan. “Bel sudah berbunyi.” Bu Krisnawati, atau yang biasa kami panggil Bu Is berdiri di depan kelas. Seperti tebakan kami, dia meminta semua hasil kerajinan dikumpulkan. Dalam waktu kurang dari lima menit, sepuluh buah rumah hasil kerajinan bertengger di atas meja guru. Uki mengantarkan hasil kerajinan kami ke depan. Rumah dengan model modern minimalis. Aku kira kami akan dapat nilai sempurna, sampai aku lihat hasil kerajinan yang dibuat Viera. Rumah itu sangat persis dengan yang pernah aku lihat di dekat rumahku. Bangunan yang terletak di atas bukit. Dengan atap kuning membentuk Sembilan tanduk. Yang konon melambangkan Sembilan suku yang ada di Lampung. Viera, Rimba dan Resti membuat bangunan Siger Lampung. Persis seperti bangunan aslinya, luar biasa. Bu Is segera memberi nilai. Dan hebatnya, rumah modern minimalis kami dapat nilai tujuh. Sementara Siger buatan Viera dapat nilai delapan. Tiba-tiba Septi berdiri. Kedua tangannya mengepal. Seolah ingin mengajak guru kami berduel. Uki sudah memaksanya duduk. Tapi Septi mendorong Uki hingga dia terduduk kembali. “Ada apa nak?” kata Bu Is.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Nilai delapan.” Kata Septi dingin. “Itu seharusnya jadi milik kami.” “Apa maksud kamu?” Bu Is tidak memahami hal ini. “Nilai itu milikku…” Aku melihat Viera sedang memandang Rimba. Yang sepertinya sedang bertukar pikiran dalam diam. Dan seperti yang aku duga, Viera berdiri. Langsung saja semua orang memandangnya. “Aku paham maksud Septi Bu.” Viera melirik Septi sekejap. “Dia ingin karyanya diberi nilai sempurna.” Sesaat, Septi dan Viera saling beradu pelotot. Membuat suasana kelas makin tegang. Mereka masih memandang satu sama lain. Sama sekali tidak mendengarkan suara bu Is yang meneriaki nama mereka. Aku memandangi Uki. Juga Rimba. Meminta mereka menjinakkan dua bom nuklir yang sebentar lagi meledak ini. Rimba dan Uki berdiri bersamaan. Tapi mereka tetap langsung dijatuhkan oleh kedua teman sebangku mereka. Ternyata berbahaya juga kedua temanku ini. Kami tidak mungkin membiarkan mereka berkelahi di dalam kelas. Kalau hal ini sampai terjadi, ah aku tidak bisa membayangkan. Dan mungkin kalian juga tidak mau, kan? “Tunggu!” kataku mengangkat suara. Tanpa aku sadari, sekarang aku berdiri diantara Septi dan Viera. Dua orang ini sudah berdiri di depan kelas, sedangkan Bu Is sudah melakukan tindakan bagus. Pergi dari tempat ini. Semoga beliau mencari bantuan. “Ada apa dengan kalian?” kataku.“Apa kalian ingin saling bunuh?” “Minggir.” Kata Septi. Suaranya dingin dan menusuk. Tidak seperti dara manis yang biasa aku kenal. Kini dia lebih terlihat seperti srigala yang haus darah. “Biar kuberi tahu jawabannya.” Viera mengangkat kedua tangannya. Mereka akan benarbenar berkelahi. Jadi aku lakukan satu hal yang aku bisa. Aku merusak semua hasta karya. Kecuali rumah modern minimalis yang kami buat. “Ini!” aku memberikan rumah itu pada Septi. “Sekarang, hasta karya kamu pasti dapat nilai sempurna. Betul kan teman?” aku memandang semua teman sekelasku. Minta bantuan. “Betul!” kata mereka berbarengan. “Nah, sekarang tolong kembali ke tempat duduk kalian masing-masing dan hentikan perbuatan bodoh ini!” bentakku. Yang hebatnya dituruti oleh mereka.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku masih berdiri di depan kelas. Memandang tajam ke arah mereka berdua. Menilai dari ekspresi teman di kelasku, bisa kupastikan tatapanku lebih mengerikan jika dibandingkan dengan tatapan Septi atau Viera. Tidak lama berselang, bu Is dan pak Rudi serta beberapa guru lain muncul. Dan hebatnya, aku masih berada di depan kelas. Dan dengan tatapan buas. “Irfan!” kata pak Rudi. “Apa kamu berkelahi lagi?” “Tidak.” Kataku. “Bukan aku pak. Tapi orang lain.” “Siapa mereka?” kata beliau penasaran. “Bapak belum tahu? Mereka dua anggota kesayangan bapak. Yang seimbang dalam skill bela diri, yang sejajar dalam skill intelijensi. Mereka, Viera dan Septi.” “Tidak mungkin.” Rona menghilang dari wajah beliau. Beliau jadi tambah lemas kelihatannya. “Mereka tidak mungkin berkelahi.” “Tidak ada yang tidak mungkin. Kalau bapak masih belum percaya, coba bapak tanya semua yang hadir.” “Lalu apa ini?” dia menunjuk pecahan hasta karya di lantai. “Itu hasta karya yang aku pecahkan. Aku rasa lebih baik kita membersihkan pecahan rumahrumah itu daripada kita membersihkan pecahan kepala.” “Jaga bicaramu!” Bentak pak Rudi. “Aku minta maaf. Tapi sejujurnya, aku berkata benar. Coba bapak tanya mereka.” Dia mengelus dada. “Baiklah. Septi, Viera, ikut bapak ke kantor. Kamu juga. Sebagai saksi. Ayo!” Pak Rudi memintaku duduk di hadapan beliau dan meminta dua tersangka berdiri di samping kami. Mereka saling menjaga jarak. Tidak seperti biasanya. Mereka terus memandangi aku. Seolah setelah mereka keluar dari kantor mereka akan langsung menghajarku tanpa ampun. Tapi sebisa mungkin aku tidak memandangi mata buas mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi Irfan?” kata pak Rudi memulai pembicaraan. “Sulit menjelaskan apa yang terjadi kalau aku tidak mulai dari pertama pak.” “Kalau begitu ceritakan. Yang cepat.” “Bu Is meminta kami membuat hasta karya. Ternyata yang mendapat nilai terbesar adalah Viera kerena dia membuat miniatur Siger. Seperinya Septi tidak terima dan hampir memulai perkelahian.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Wali kelas kami diam sejenak. Lalu dengan tegas dia menyatakan bahwa beliau memanggil kedua orangtua mereka. Setelah itu meminta mereka pergi. Satu persatu. Yang menurutku bagus. Tujuan sebenarnya adalah mereka tidak berkelahi lagi. “Sepertinya bapak mendeteksi adanya perubahan dalam diri Septi.” Kata beliau saat kedua temanku pergi. “Iya pak. Aku tahu. Septi sedikit berubah. Aku sama sekali tidak tahu apa sebabnya. Tapi tampaknya perubahan ini bersifat negatif.” “Ya. Bapak tahu. Oleh sebab itu, bapak menugaskan kamu untuk mencegah perubahan negatif pada diri Septi. Juga mungkin Viera. Kalau ada prang yang bisa melakukan tugas ini, kalian bertigalah orangnya,” “Siapa yang dua orang lagi pak?” “Uki pastinya. Juga Rimba.” Aku memandang semua isi kantor. Ada lemari berisi piala, juga ada lemari berisi kit IPA dan seabrek barang lain. Semua guru di ruang itu tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masingmasing dan tidak menghiraukan kami, yang menurutku lebih baik. Untuk saat ini aku belum mau menjawab pertanyaan lain dari guru lain. “Nak,” kata pak Rudi. “Sekarang kamu akan menjadi juru damai diantara mereka berdua. Uki dan Rimba mungkin membantu. Tapi kamu yang pasti paling didengar oleh mereka.” “Cuma aku? Kenapa bukan yang lain?” “Karena… Septi suka sama kamu dan Viera pasti mengikuti kamu. Kamu memiliki bakat kepemimpinan alami.” Perkataan beliau yang barusan menembus dadaku dan menusuk jantungku. Dari mana dia bisa tahu kalau Septi seperti itu? Aku sendiri tidak pernah memikirkan hal itu. memikirkan bahwa srigala bertampang dara manis itu suka padaku yang jelek seperti ini? ah, hal itu terlalu manis untuk dipikirkan. Apalagi kalau sampai diharapkan. Bagai punuk merindukan bulan rasanya. “Kenapa kamu diam nak?” kata pak Rudi. “Yang bapak katakan benar ya?” Aku diam sejenak. Kata-kata beliau berputar dalam kepalaku.”Aku… tidak yakin pak.” “Wah, seprtinya bapak sudah memberi kamu terlalu banyak beban ya? Baiklah kamu boleh pulang sekarang.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku melangkah keluar dan mendapati Septi membawa tasku. Tapi dia meletakkan tas itu di atas bangku di pohon beringin dan langsung berlari menuju sebuah mobil angkutan umum berwarna kuning. Pesannya sudah jelas. Dia tidak ingin bicara.

CHAPTER 5 SEPTI Aku segera masuk ke dalam sebuah mobil angkutan umum yang untungnya langsung melaju meninggalkan SMA. Aku tidak mau berlama-lama di sekolah. Aku tidak ingin melihat wajah Viera. Lagi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku sudah muak melihat wajahnya. Aku bosan melihat dia tertawa dan aku bosan melihat tingkahnya yang selalu seperti itu. intinya, aku tidak ingin melihat wajahnya, titik. Akhirnya aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Nilai delapan itu harusnya menjadi milikku. Bukan miliknya. Aku pikir bu Is telah melakukan kesalahan fatal. Apa bagusnya sebuah miniatur Siger? Salah. Bu Is salah. Aku tadinya aku ingin menghancurkan benda itu sendiri. Tapi sayang Irfan melakukan itu lebih dulu. Tidak apa lah. Yang penting benda itu sudah hancur sekarang. Pemandangan desa yang indah tidak dapat membuat pikiranku tenang. Entah kenapa, harihari ini aku selalu saja merasa gerah dan pongah. Mulai dari guru yang salah memberi penilaian sampai rival yang mengajak berkelahi. Apa dia tidak sadar bahwa aku lebih kuat daripada dirinya? Apa dia lupa kalau kemarin aku mengalahkannya? Sepertinya dia memang tidak mau kalah. Aku turun saat mobil berhenti di depan rumah. Seperti yang aku duga, Ibu sudah menunggu di depan pintu. Aku mencium tangan beliau dan langsung masuk rumah tanpa mengucapkan salam. Setelah masuk kamar, aku segera meletakkan badanku di atas kasur. Mencoba menghapus semua penat yang menyayat, mengubur semua ingatan indah dengan Viera yang mulai kabur. Aku mau tidur. Tapi rupanya, dalam tidurpun wajah Viera masih mengejarku. Seakan aku adalah buronan nomor satu polisi di seluruh wilayah Lampung. Aku berada dalam GOR Kalianda. Aku sudah terpojok. Kepalaku terasa sakit. Punggungku menempel di dinding dan ulu hatiku terasa nyeri. Aku yakin dia telah melakukan tendangan hingga aku terpental dan menghantam dinding. Rupanya belum usai sampai di situ. Viera mendekat, lalu mencekik aku. “Mati kau!” Jeritan Viera membangunkan aku dari tidur siangku. Aku memijat wajah sebentar dan mendapati ibu ada di depanku. Wajahnya menampakkan seulas senyum. “Ada apa denganmu nak?” kata ibu. Suaranya lembut seperti biasa.”Apa kamu mimpi buruk?” “Iya ibu. Septi mimpi buruk.” “Kamu tahu kenapa kamu mimipi buruk?” Wah, suara ibu memang indah. Aku senang mendengarnya. “Tidak tahu. Apa ibu tahu?” “Tentu ibu tahu. Karena kamu belum sholat Dzuhur. Betul kan?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku malu sekali. Ternyata ibu tahu. “Iya, bu. Aku belum sholat Dzuhur. Sekarang sudah jam empat ya?” “Iya nak.” Ibu mengelus rambut panjangku. “Apa aku bisa sholat Dzuhur lagi?” “Seandainya bisa begitu nak. Tapi tetap tidak bisa. Kita tidak bisa membuat awal yang baru. Tapi kita masih bisa membuat akhir yang baru. Kamu paham maksud ibu kan?” “Iya ibu.” “Bagus. Kalau begitu lekas sholat. Ayah menunggu kamu.” Aku melaksanakan sholat Ashar. Tapi entah mengapa, pikiranku tetap saja kusut. Hatiku kalut dan mulutku serasa dipenuhi serabut. Pak Rudi memanggil ayah dan ibu. Tapi kali ini beda. Beliau memanggil mereka karena kesalahanku. Dan aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku segera melesat ke ruang tengah tempat ayah dan ibu menunggu. Sepertinya kedua orangtuaku akan menanyakan beberapa hal terkait masalah Irfan kemarin. “Ayah tahu kamu takut. Tapi kita hanya boleh takut kepada Allah. Yang menciptakan. Bukan yang diciptakan. Kan kasihan Irfan. Dia jadi korban karena kamu terlambat bertindak. Yah sudahlah. Kamu tentu sudah paham apa maksud ayah kan. Ayah memanggilmu kesini karena ayah ingin menanyakan satu hal padamu. Apa benar kamu berkelahi dengan Viera?” Jantungku terasa akan melompat keluar dari tempatnya. “Tidak, yah.” Kataku lemah. “Nak, kamu tahu kan? Ayah pasti memaafkan semua kesalahan. Kecuali berbohong?” “Iya ayah. Aku tidak bohong. Aku tidak berkelahi. Hanya hampir.” “Dan ayah tebak pak Rudi pasti memberikan hukuman setimpal. Ya kan?” “Iya.” Kataku lemas. “Benar.” “Panggil orangtua, kan?” “Iya.” Suaraku pecah. Mataku sudah berair, “Maaf yah, aku mungkin sudah membuat ayah kecewa.” “Tidak.” Kata ayah santai. “Ayah bangga kepadamu, nak.” “Benarkah?” “Apa ayah pernah berbohong?” “Tidak, tidak. Tapi kenapa ayah masih bangga dengan Septi? Sedangkan Septi hampir saja berkelahi?” “Ayah bangga, karena kamu berkata jujur.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku diam sejenak. Sambil mencerna perkataan ayah, aku membiarkan mulutku melahap sepotong pisang goreng buatan ibu, yang rasanya memang selalu juara. “Kalau masalah perkelahian itu sendiri bagaimana?” Ayah tertawa sejenak. “Ayah tahu. Kalian bisa saja saling bunuh ketika itu kan? Untung ada Irfan. Dia pemuda yang baik, ayah rasa. Dia juga rela berkorban kan?” “Iya, ayah benar.” Aku meminum seteguk air putih segar. “He is a perfect boy.” “For you.” Senyum hangat muncul di kedua bilah bibir ayah. “For all of his friend.” Aku suka ayahku, kadang dia bicara bahasa Lampung, terkadang Inggris dan bahkan Arab. “Kamu bilang kamu mau sekolah di Jepang. Apa kamu sudah mempelajari budaya dan bahasanya?” “Sedikit.” Aku tersipu malu. “Benarkah? Coba, ayah mau dengar.” Aku menarik nafas panjang. “Watashi Wa Septi San Desu.” “Anata Wa Gakusei Desu.” Ayah meneruskan. “Hai.” Aku hampir saja memuntahkan apa yang sudah aku makan. Ternyata ayah bisa bahasa Jepang! “Ayah bisa bahasa Jepang?” aku memandang beliau. Kagum setengah mati. “Sedikit. Tidak sefasih bahasa Lampung pastinya.” “Kenapa ayah tidak bilang dari dulu?” kataku. “Karena, ada beberapa hal yang lebih baik dirahasiakan.” “Seperti kelebihan-kelebihan ayah.” Kataku datar. “Ya. Seperti itulah.” “Ayah, apa menurut ayah aku berbakat?” kataku. “Maksud kamu apa?” “Maksud Septi, apa bakat yang Septi miliki?” “Apa saja hal-hal yang sering kamu lakukan? Itulah bakatmu.” “Septi tidak paham. Bukan begitu ayah, bakat yang Septi bawa dari lahir.” Ayah membelai kepalaku, dan sekujur tubuhku kontan menjadi hangat. “Nak, yang namanya bakat itu ada dua macam. Yang pertama, bakat yang dibawa sedari lahir, dan yang kedua, bakat yang bisa kau dapat.” “Bakat yang bisa di dapat? Contohnya?” “Nak, ayah tahu. Temanmu Irfan bisa melukis kan?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Iya, tapi aku masih tidak mengerti.” “Cobalah berfikir, nak. Kamu sudah dewasa. Seharusnya, dengan sedikit petunjuk, kamu bisa mengembangkan maksud dari petunjuk itu.” Punggungku seperti tersengat listrik. Aku terduduk tegap. “Aku paham. Irfan bisa melukis karena dia berusaha. Karena sebelumnya dia tidak bisa melukis.” “Sama sekali.” Ayah menimpali. “Tapi…” Kataku ragu. “Dari mana ayah tahu?” “Dari dia sendiri. Tadi siang, saat kamu tidur, dia datang kemari. Menanyakan kabarmu. Setelah dia tahu kamu tidur, dia segera pulang.” “Irfan datang ke sini? Lagi? Dan ayah atau ibu tidak membangunkan aku? Kenapa?” kataku. Melepaskan pertanyaan bertubi-tubi. “Karena, Irfan tidak mau. Dia tidak mau mengganggu istirahatmu. Dan dia juga berfikir, kamu masih marah, atas kejadian hari ini di sekolah. Jangan sampai kamu melakukan hal ini lagi nak. Ayah tahu Viera itu berhati baik.” Mendengar namanya, amarahku kontan kembali. “Viera? Berhati baik? Mungkin ayah tidak tahu. Tapi dia mengajakku berkelahi.” “Karena kamu yang memulai. Viera tadi datang ke sini juga. Bersama dengan Irfan.” Hatiku serasa ditembak dengan peluru senapan serbu M-16. Apa yang dilakukan Irfan dengan Viera? Apa dia juga mencintai Viera? Atau Viera yang jatuh cinta pada Irfan? “Kenapa dia datang ke sini?” kataku berapi-api. “Karena dia berhati baik. Dia ingin meminta maaf. Itulah sebabnya ayah bilang Viera berhati baik. Dia tahu ini salah kamu. Tapi dia tetap meminta maaf.” “Tapi kenapa dengan Irfan?” “Karena, Irfan tidak bodoh. Dia berfikir lebih baik dia yang jalan kaki daripada harus melihat sahabatnya sendiri berjalan kaki. Apalagi tempat yang ingin mereka tuju sama. Gayam. Rumah ini.” Ayah menarik nafas. Mencoba mengendalikan amarah. “Dan, karena Irfan ingin jadi mediator untuk menyelesaikan masalah sepele kalian berdua.” Aku diam sejenak. Irfan telah jauh-jauh datang ke rumahku sedangkan aku terlelap dalam mimpi nan gelap. Dan dia tidak ingin membangunkan aku? Luar biasa sekali kalau aku yang melakukan itu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Ayah mencengkram pundakku. Membawa aku kembali ke kenyataan. “Pemikiran selama satu abad akan terhapus oleh perbuatan satu saat. Percuma kamu berfikir lama-lama kalau kamu tidak mau bergerak dan terus menyalahkan orang lain.” “Tapi ayah, ini bukan salahku!” aku menampik tangan ayah dari pundakku. “Baiklah. Kalau memang bukan salahmu, ayah akan mengantar kamu ke rumah Viera, sekarang dan minta maaf lah padanya.” Aku memandang ayah kesal. Lalu aku bangkit dari kursi dan masuk kamar. Pintu yang berdebum aku biarkan saja. Karena pintu kamar berwarna coklat itu segera aku kunci dari dalam. Kenapa ayah membela Viera? Kenapa dia menyalahkan aku? Apa salahku? Apakah salah, ingin mendapat nilai sempurna? Apa itu salah? Kenapa Irfan datang ke sini dengan Viera? Kenapa bukan dengan Uki? Apa yang mereka lakukan? Kenapa harus ada mediator? Di mana letak kesalahan pendapatku? Semua pertanyaan itu terus terbayang dalam benakku. Menjadikan aku sulit berfikir jernih. Aku menutup mata. Tapi dalam sekejap bayangan Viera dan Irfan yang mengandarai Vixion muncul. Membuat mataku terbuka dalam sekejap. Aku harus menghilangkan bayangan mereka. Sekarang juga. Aku melesat keluar dari kamarku, membawa sebuah tas berisi pakaian. Tidak mempedulikan panggilan ayah. Baru saja aku berjalan ke depan, kira-kira baru satu atau dua kilometer dari rumah, aku melihat tiga preman sedang merampok seorang ibu muda yang berjalan sendirian. Tanpa berfikir panjang, aku langsung melempar sebongkah batu yang aku temukan di pinggir jalan. Batu hitam padat yang berukuran sedang itu melayang dalam kegelapan malam. Dan mengenai punggung preman yang ada di tengah. Dua temannya beserta si korban sangat terkejut dan langsung memandang sekeliling. Mencari aku, si pelempar batu. “Tunjukkan dirimu pengecut!” kata preman yang berbaju merah. Aku melangkah keluar dari semak-semak. Menampakkan diri. “Bocah tengik!” kata temannya. “Apa kau sudah bosan hidup, Hah?” “Tidak.” Kataku dingin. “Jangan ganggu dia!” “Hah, jadi kau sok jago? Rasakan ini!” si baju merah melesat ke arahku. Dia menghunus golok. Sebelum dia sempat menebas, aku menunduk dan melakukan sapuan. Dan si preman kontan terjatuh. Goloknya terpental entah kemana. Aku segera berlari kencang dan langsung menendang dada temannya, yang sama sekali belum bergerak. Aku bergerak mendekati si korban. “Tidak apa, anda sudah aman.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Si korban menatapku. Ekspresi wajahnya dingin. Yang lebih membuatku takut, dia malah tertawa. Pelan dan menakutkan. “Kau tertipu, gadis manis. Yang sesungguhnya jadi korban adalah kamu!” secepat ular kobra, dia menarik sebilah pisau dari pinggangnya dan langsung menodongkannya ke leherku. “Serahkan uangmu!” bentaknya. “Atau kau akan mati…” Aku melihat ke balik bahunya. Sekarang, jumlah gerombolan penipu itu menjadi semakin banyak. Tujuh orang jumlahnya. Tapi aku tetap tidak mau takluk tanpa melawan. Kemarin Irfan sudah menjadi korban karena aku terlambat bertindak. Tapi kali ini, ceritanya akan berjalan lain. “Tidak akan.” Aku mencengkram tangannya yang memegang pisau dan langsung menjejak perutnya, hingga si penipu terjengkang. “Maaf,” kataku. “Terlalu kuat ya?” “Tunggu apalagi bodoh!” katanya pada teman-temannya. “Bunuh dia!” Mereka menyerbuku. Aku harus berusaha ekstra keras untuk menghindari tusukan pisau dan tebasan golok. Aku berdiri di tengah. Mereka mengelilingi aku. Satu orang di antaara mereka melakukan tebasan yang kontan aku hindari dengan bergeser. Aku tidak mau takluk tanpa melawan. Kataku dalam hati. Aku menendang preman yang paling kanan. Menerbangkan dia tiga meter kebelakang. Tidak cukup sampai di situ, aku menerjang preman yang berdiri tepat di depanku, yang masih terkaget-kaget. Dia dengan pasrah menerima pukulan kuat itu. bagusnya, dia menunduk. Memegangi perutnya yang sakit. Aku melompat naik ke punggungnya. Dan menggunakannya sebagai pijakan untuk keluar dari kepungan orangorang. Sekarang aku lebih siap. Salah seorang dari mereka berlari ke arahku. Dan aku membiarkan insting mempertahankan diriku mengambil alih untuk sementara. Aku menjejak perutnya. Pisau tajam yang berkilat itu terjatuh dari genggamannya. Salah satu temannya datang dan ingin menolong, tapi usahanya gagal setelah aku menimpuknya dengan batu. Sekarang, aku sudah memasang kuda-kuda. Keringat sudah bercucuran. Aku menatap mereka satu per satu. Mereka sudah goyah. Aku yakin itu. tatapan mereka dipenuhi rasa takut dan keraguan. Aku harus melakukan satu gerakan lagi. Aku membiarkan salah satu dari mereka mendekat. Aku sudah melatih tendangan ini selama tiga bulan lebih. Sekaranglah saat untuk mencoba. Aku melompat, melakukan putaran ke muka. Salto ke depan yang tidak menggunakan tangan. Lalu aku julurkan kakiku dan menghantam kepala si preman sekuat yang aku bisa.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kedua kakiku menginjak tanah dengan mantap. Sementara kelinci percobaanku tergeletak di depanku, tak sadarkan diri.Aku pasang kuda-kuda. Lagi. Untung bagiku, mereka kabur kali ini. Ada yang salah pada badanku. Semua ototku kaku. Sakit yang tidak terkira menjalar secara tiba-tiba. Aku tidak bisa berjalan karena kaku. Entah apa yang terjadi. Jemari tanganku bergetar. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kenapa tubuhku terasa sekeras ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Disertai berjuta pertanyaan yang membuat dadaku sesak, tubuhku yang kaku dan lemah ini tumbang tertiup angin. “Bersandarlah di bahu ayah nak. Kamu pasti lelah.” Ternyata ayah menahan tubuhku. Jadi aku jatuh dalam pelukannya. Wah, malam ini akan jadi malam terbaik dalam hidupku. Ayah menggendong aku. “Rupanya kamu sudah berkembang. Ayah bangga. Tapi… itulah balasan karena kamu tidak mendengarkan ayah.” “Tapi…” “Diam dulu.” Kata ayah lembut. Seolah aku tidak melakukan kesalahan. “Kamu tahu kamu pergi waktu maghrib. Ayah memanggil kamu untuk mencegah kamu keluar. Karena, setiap malam, di sini sering terjadi hal-hal buruk. Mulai dari perampokan, penipuan, hingga pembunuhan. Ayah kira ayah terlambat. Tapi ternyata kamu bisa melawan. Itu baru anak ayah. Tapi jangan kamu ulangi lagi tindakan bodoh ini. Paham?” “Paham.” Aku memejamkan mata dalam gendongan ayah, berniat mengenang peristiwa itu dalam lubuk hati paling dalam. Tapi ternyata aku malah terlelap, terlena dalam gelap dan mulai berharap ini takkan berakhir hingga sang surya esok hari di timur hinggap. “Nak, ayo bangun. Kamu harus masuk sekolah hari ini.” Ibu membangunkan aku. Aku kira aku masih berada dalam pelukan ayah. Tapi ternyata aku sudah ada dalam kamarku. Aku melihat jam. “Masih jam lima.” Kata ibu. Seolah membaca pikiranku. “Lekaslah berwudhu dan sholat Subuh.” Tanpa berfikir panjang, aku melakukan apa yang ibu katakan. Segarnya air wudhu mengusir rasa kantuk yang hinggap dalam sekejap. “Apa yang ayah lakukan?” kataku pada ibu setelah selesai sholat. “Ayah menggendong kamu. Dari tempat kamu berkelahi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ayah menggendong Septi?” “Ya. Ayah menggendong kamu. Ayah tidak mugkin mengganggu tidurmu yang nyenyak. Kamu terlalu lelah tadi malam. Untung ayah datang tepat waktu.” “Tepat waktu apanya?” kataku protes. “Aku melawan mereka, sendirian.” “Ayah tepat waktu. Hingga kamu tidak terjatuh. Kau jatuh dalam pelukan ayah, kan?” “Iya.” Kataku. “Nah, kalau begitu, lekaslah bersiap. Ayah akan mengantarmu hari ini. kamu mendapat hukuman panggil orang tua kan?” “Iya. Tapi apa ibu dan ayah tidak marah?” “Maksud kamu?” “Ibu tahu kan, biasanya kalau pak Rudi memanggil ibu atau ayah itu karena prestasi Septi. Tapi sekarang pak Rudi memanggil karena aku salah. Apa ibu dan ayah tidak kecewa? ” Ibu tersenyum, senyuman beliau indah sekali. “Manusia tempat salah dan lupa nak. Sifat sempurna hanya milik Allah SWT. Kita manusia pasti memiliki kekurangan. Oleh sebab itu kita perlu orang lain untuk melengkapi hidup kita. Kamu pasti sudah tahu nak, manusia mahluk sosial. Saling membutuhkan dan saling melengkapi.” Aku meresapi perkataan ibu sambil membereskan buku juga merapikannya dalam tas punggungku. Tas itu merupakan hadiah dari kakekku untuk ulang tahunku yang ke 18. Lucu memang, sudah tua masih diberi hadiah. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin menolaknya. Apalagi aku sangat membutuhkan tas itu. “Ayah rasa kamu sudah siap.” Kata ayah setelah kami semua sarapan. “Ayo kita berangkat.” Kami membelah kemacetan lalu lintas dengan mudah. Ma’lum kami mengendarai motor. Bukan mobil. Ayah melajukan motor di antara mobil-mobil besar. Untung kami mengenakan helm. Karena kebanyakan mobil yang kami dahului adalah mobil truk yang knalpotnya menyemburkan asap sekelam malam. Kami berkendara selama beberapa lama dan akhirnya kami tiba. Kami segera berjalan menuju kantor kepalah sekolah di mana pak Rudi sudah menunggu. Dan setelah itu kiamat sughra menghantam benakku. Sesudah berbicara pada ayah, pak Rudi meminta mereka keluar. Meninggalkan aku di dalam. Bersama Irfan, Uki, Rimba juga Viera. Mereka seperti hendak menghakimi aku. Yang mungkin memang benar. “Bagaimana ceritanya dia bisa marah dengan Viera?” pak Rudi menatap Irfan. Meminta penjelasan lebih lanjut.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tadi saya sudah bilang pak, Viera dan kelompoknya membuat hasta karya berupa miniatur Menara Siger. Yang kemarin sudah saya hancurkan. Nah, Bu Is, sebagai guru kesenian kami, memberi nilai sempurna pada hasil karya itu. yang menurut saya memang pantas. Tapi setelah itu Septi marah.” “Viera, kamu tahu kenapa Septi bisa marah?” “Aku tdak….” Pak Rudi menghentikan aku. “Sekarang biarkan mereka bicara dulu, nak.” “Aku tidak tahu.” Kata Viera. “Aku tahu.” Kata Uki dan Irfan bersamaan, seolah mereka sudah berlatih. “Septi marah karena kami tidak dapat nilai sempurana.” Kata Uki. “Dia mengira, atau dia berpendapat bahwa yang berhak mendapat nilai sempurna hanya dirinya sendiri. Dan dia marah kepada Viera karena hanya dia yang bisa melampaui Septi dalam segala bidang pelajaran. Kadang, egonya juga terlalu besar. Dia tidak mau mengalah walau dia sudah kalah.” Aku memandang Irfan, aku tidak percaya pendengaranku. Dia… dia membuat hatiku remuk. Aku… aku tidak percaya dia akan berkata seperti itu. di depan begitu banyak orang. Semangatku layu. Dan mataku mulai berair, tapi akhirnya aku berhasil menahan tangis. “Sudah cukup.” Irfan berdiri dan memandang pak Rudi. Matanya menunjukkan bahwa dia marah. Sekaligus menyesal. “Aku tidak akan memberikan kesaksian konyol yang lain lagi. Yang aku tahu, Septi salah dan Viera benar.” Setelah mengucapkan salam, dia melesat pergi. Hebatnya, kepergian Irfan diikuti oleh Uki, Rimba juga Viera. Pak Rudi yang kesal segera masuk ke dalam ruangannya. Mungkin untuk mengambil sesuatu. Dan saat itulah aku keluar. Sesudah mengambil tas. Aku mengajak ayah pulang. Dia tidak banyak bertanya dan langsung melajukan motor dan meninggalkan sekolah. Tapi pesan dalam pandangan beliau yang tajam tidak mungkin salah dipahami. Jelaskan di rumah. Selama dalam perjalanan, air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Deras dan keras. Baju yang dipakai ayah pun basah karena air mataku. Keindahan perkebunan di kanan dan kiri jalan yang sangat indah tidak bisa menghentikan air mataku, yang seolah tidak mau berhenti mengalir. Aku baru berhenti mengangis ketika motor sudah berhenti di depan rumah. Setelah mencium tangan ibu, aku langsung masuk ke dalam kamar, tanpa mendengarkan jutaan pertanyaan yang beliau lemparkan padaku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Di dalam kamar, aku mencoba memutar ulang kejadian yang aku alami pagi ini. mulai dari bagaimana pak Rudi menjelaskan perkara yang aku alami kepada ayah, hingga membuat beliau amat sangat malu. Bagaimana Irfan, menghancurkan perasaanku hingga tidak bersisa. Aku tidak percaya orang sebaik itu melakukan ini padaku. Aku berharap semoga hari ini takkan terjadi. Yang sepertinya sia-sia. Pintu diketuk dari luar. Suara ayah memanggil namaku berulang kali. Memintaku untuk keluar dan menjelaskan. Akhirnya, mau tidak mau aku keluar. Tentu setelah mengganti pakaian. Ayah duduk disamping ibu di ruang tamu. Aku duduk di hadapan mereka berdua. “Kenapa kamu menangis nak?” kata ayah. “Apa kata pak Rudi? Apa dia memberimu hukuman tambahan?” Aku memandang ibu. Dia tampak amat khawatir. “Bukan pak Rudi yah.” Kataku lemah. “Irfan.” “Pemuda yang kamu taksir itu? Apa yang dia lakukan?” “Dia… menghancurkan perasaan Septi yah.” “Maksud kamu?” Kelihatannya ayah tertarik. “Memang apa yang dia katakana? Apa dia mengatakan dia membenci kamu?” “Tidak.” “Lalu, kenapa kamu yakin dia melakukan itu?” “Dia berkata aku memiliki ego yang terlalu besar dan juga tidak mau kalah walau sudah kalah.” Ayah dan ibu saling pandang, lalu tersenyum. “Itu kan memang sikap dan sifat kamu, nak. Lagipula, apa yang dikatakan Irfan tidak salah. Dalam perkara ini kamu memang salah. Ayah yakin Irfan berkata seperti itu.” “Bagaimana ayah tahu?” “Karena ayah dengar.” Beliau tersenyum. “Nah, apa Septi belum sadar juga? Apa yang Irfan katakan benar.” “Jadi ayah mendukung Irfan?” “Iya.” “Kenapa? Apa ayah benci aku?” “Hanya ayah yang bodoh yang melakukan itu.” “Lalu kenapa…”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ayah mendukung Irfan karena dia benar. Nak. Kita harus menyatakan kebenaran. Bukan membenarkan kenyataan. Irfan berkata jujur. Kamu tahu kan, ayah suka pemuda jujur. Terutama kalau pemuda ini berhubungan sangat dekat dengan kamu.” Aku yakin wajahku semerah semangka. “Ayah benarkan? Kamu suka pada dia.” “Aku… iya.” “Nah. Sudah terjepit seperi ini kamu masih saja mau menghindar. Benar kata pacarmu yang berbudi baik itu. kamu tidak mau mengalah walau sudah kalah. Kita boleh konsisten pada pendapat kita. Tapi kita tidak boleh keras kepala.” “Iya, ayah. Aku tahu.” “Iya. Ayah hampir lupa. Satu hal lagi, ayah kira kamu sudah tahu hal ini. Nak, cinta memiliki kekuatan gaib. Semakin kamu sembunyikan semakin tampak. Dan semakin kamu tekan dia akan semakin tumbuh.” Aku membiarkan statement ayah direkam oleh pikiranku. Semua perkataannya benar. Percuma aku sembunyikan. Dia akan semakin tampak. “Oh iya. Apa kamu sudah membuka tasmu?” “Belum. Memang kenapa?” “Tadi ayah melihat Irfan, pangeranmu itu memasukkan selembar kertas. Ayah kira isinya surat.” Aku segera melesat menuju kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Suara tawa ayah dan ibu terdengar dengan jelas walau sudah dihalangi dinding dan pintu. Aku mengeluarkan semua yang ada di dalam tas. Beberapa buku paket dan buku tulis, dan selembar kertas. Dengan beberapa patah kata yang sudah pasti ditulis tangan pemuda tampan itu. Isinya, Dibalik seorang wanita yang kuat, ada seorang pria yang pernah memperlakukannya salah dan membuat hatinya terluka. Patah hati dapat berlangsung selama yang kamu kehendaki. Dan meninggalkan luka sedalam yang kamu inginkan. Cinta bukanlah tentang menjadi seorang yang sempurna bagi orang lain, tapi tentang menemukan seseorang yang dapat membuatmu menjadi manusia paling baik sesuai kemampuanmu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku selalu ada di sini. Aku meresapi kata-kata itu. membiarkannya merasuk ke dalam hatiku. Lubang yang terbuka lebar seakan menutup rapat setelah kata-kata ini kubaca. Perasaan gundah gulana hilang seketika. Tak ada duka yang tersisa. Yang tinggal hanya hati bersih dengan senyum merona. Kutinggalkan kasur yang tadi kududuki, dan kuselipkan kertas putih itu ke dalam buku catatan harianku. Kini, aku berdiri lebih tegap dan lebih beersemangat. Semua pendapatku yang salah terpatahkan sudah. Dia tidak akan mungkin melukai hatiku. Aku yakin itu. Setelah membereskan buku yang tadi aku keluarkan, aku berbaring di ranjang dan menutup mataku. Membayangkan hal-hal indah yang sudah aku alami bersama Uki dan Irfan. Semua kejadian-kejadian itu berjalan perlahan dalam benakku. Entah karena ingatanku yang kuat atau karena semua kenagan itu baru terjadi kemarin. Kenangan itu tergambar begitu jelas. Hingga aku tidak bisa membedakan antara kenyataan dan kenangan. Aku melangkah keluar kamar. Berjalan lebih tegap. Tulang punggungku serasa menggunakan steroid. Kedua mataku menatap tajam ke depan. Buku catatanku ada padaku. Aku takut bila seseorang masuk kamar dan membacanya. Sepertinya ibu melihat perubahan pada gerakgerikku. Karena setelah pintu kamar tertutup di balik pundakku, ibu segera mengajakku duduk di halaman belakang rumah kami. Yang dihiasi kebun yang luas. “Jadi, apakah itu surat…” “Bukan.” Potongku. “Bukan itu. hanya untuk memompa semangat.” “Yah, terserah kamu saja deh. Tapi ibu yakin surat itu sangat berharga bagimu. Benar kan?” Aku diam saja. Aku yakin ibu sudah tahu jawabannya. “Baiklah. Kita ganti topik pembicaraan. Nak, secara instingtif, perempuan itu suka menyembunyikan rahasia. Apa kamu tahu hal ini?” “Iya, bu. Septi mengira hanya Septi yang suka menyimpan rahasia. Ternyata ibu juga ya?” “Tidak hanya kita. Tapi semua wanita. Kita melilih untuk mempercayai diri kita sendiri daripada orang lain.” Ibu menarik nafas. “Benar kan? Kamu merasa seperti itu kan?” “Ya.” “Tapi kita juga harus belajar mempercayai orang. Walau mungkin sulit, tapi kita harus melakukan itu.” “Iya, bu.” Aku menatap ladang yang seolah tidak berujung. “Tapi kenapa ibu membicarakan hal ini pada Septi?” “Suatu hari kamu pasti mengerti nak.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku berfikir sejenak. Kapankah kiranya aku akan memahami pesan ibu barusan. “Di mana ayah, bu?” “Ayah pergi ke sawah. Tadi ayah bilang kamu tidak boleh ikut dengannya dulu. Untuk hari ini. karena kamu tidak masuk sekolah.” “Iya, ibu, aku paham.” Aku memetik sebuah jeruk dari ladang. Dua buah. Satu untukku dan satu untuk ibu. Kami menghabiskan waktu di tempat itu. memetik apa yang kami mau, bergurau hingga malu dan bercengkrama dengan akrab. Kalau saja ayah ada di sini, suasananya pasti lebih hangat. Dan tentunya lebih membuatku bahagia. Aku benar-benar suka saat ini. saat di mana kami berkumpul bersama. Saat di mana kami berbagi. Sungguh indah. Kebersamaan keluarga yang takkan pernah bisa terganti. Setelah sholat Ashar, aku meminta ibu mengajari aku memasak. Hal lain yang aku suka dari ibu adalah dia jago memasak. Malam ini aku yang akan memasak makan malam. Untuk ayah khususnya dan kami umumnya. Sebenarnya ibu sudah mengajari aku banyak resep masakan. Mulai dari yang sederhana sampai yang luar biasa mewah. Kami tidak pernah memebeli semua bumbu yang kami butuhkan. Ya, benar, kami memetiknya dari halaman belakang rumah kami yang luas. “Apa kamu sudah mengambil semua bahan, nak?” “Sudah bu.” Aku membawa sebuah baskom berisi rempah-rempah yang baru saja aku petik. Dan tentu aku sudah mencuci bahan-bahan itu. “Sekarang kita akan memasak udang pedas saus tiram.” Wow, resep masakan baru. Aku harus menguasainya. Aku meletakkan baskom di meja. “Apa saja bahan-bahannya bu?” Ibu melihat selembar kertas. “Udang, bawang Bombay dan air.” “Bumbunya apa saja?” “Saus tomat, saus sambal, jahe, saus tiram, merica dan garam.” Aku segera menyiapkan apa yang ibu sebutkan barusan. Dan memperhatikan saat ibu mulai memasak. Dia memasak dengan cepat. Menumis udang berukuran sedang mungkin adalah kesukaan beliau. Karena beliau kelihatan sangat senang. Satu persatu bumbu yang ada dilempar ke dalam wajan. Juga saus tiram dan air. Semua diaduk mejadi satu oleh ibu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dan selesailah sudah. Ibu memindahkan hasil masakannya ke atas sebuah piring yang sebelumnya sudah aku siapkan. Aroma masakan ibu benar-benar menggoda. Asapnya menyesap melewati hidungku. Meninggalkan kesan yang mendalam akan kelezatan rasanya. “Ini. cepat bawa ke ruang makan. Ayah sudah datang. Lekaslah sholat Maghrib.” Tanpa berfikir panjang, aku segera melakukan apa yang ibu perintahkan. Tanpa banyak membantah. Karena aku juga tahu, sholat adalah suatu kebutuhan Ruhaniyah yang harus selalu terpenuhi layaknya kebutuhan jasmani yang memang harus dipenuhi juga. “Wah, hari ini kita makan enak. Memang ada apa?” kata ayah. “Apa berhubungan dengan Septi?” “Tidak.” Kataku. Ayah tertawa. “Kamu kenapa nak? Ada masalah?” “Tidak.” Ayah tertawa. Lagi. Yang semakin membuat aku sebal. “Ayah,” kata ibu akhirnya. “Septi miminta untuk diajarkan memasak. Jadi ibu ajarkan.” “Oh, begitu. Jadi ini hasil masakan Septi ya? Wah, kelihatannya menggoda sekali.” “Iya, yah. Septi ingin minta pendapat ayah.” Tambah ibu. Aku menatap ibu tidak percaya. Aku tidak mengharap yang seperti itu. lagipula, itu kan masakan ibu. Bukan aku. Ibu tersenyum. “Baguslah kalau begitu. Ayo makan. Ayah yakin masakan Septi enak, selama itu diajari oleh ibu.” Kami sekeluarga menikmati makanan itu. resep baru yang benar-benar sedap rasanya. Aku jadi ingin tahu dari mana ibu mendapatkan resep-resep itu. yang menurutku benar-benar luar biasa. Aku akan menayakan hal ini pada ibu. Tapi bukan sekarang. Bukan saat kami sedang menghabiskan waktu bersama. Saat-saat seperti ini adalah waktu yang sangat berharga untuk dilewatkan begitu saja. Hal seperti ini… pokoknya tidak mau aku lewatkan begitu saja. “Benarkan kata ayah,” ayah menikmati segelas teh hangat. “masakan ini benar-benar enak. Coba kalau setiap hari kita makan seperti ini.” “Kita akan bangkrut.” Potong ibu. “Tepat sekali. Oleh karena itu, jangan terlalu sering masak masakan yang mewah begini. Boleh masak seperti ini, tapi jangan terlalu sering.” Ayah menghabiskan tehnya. Beliau pasti sudah selesai. Karena dia memandangku dengan tatapan serius kali ini.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jadi akankah kamu masuk sekolah besok?” “Iya,” aku memperhatikan dengan tanpa berkedip. “Santai saja.” Ibu memberi support. “Kamu tidak akan bisa kabur dari masalah nak. Hadapi masalahmu. Dengan caramu sendiri. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Benar kan, ayah?” Ayah berdehem. “Apa yang ibu katakan benar adanya nak. Kita tidak bisa lari dari masalah. Kita harus menghadapinya. Dengan cara kita sendiri. Mintalah bantuan pada Allah. Karena hanya-Dia yang maha kuat lagi perkasa.” “Tapi bagaimana kalau aku tidak mampu?” kataku hampir putus asa. “Apa aku masih harus menghadapi masalah itu walau akhirnya menyakitkan?” “Nak, apa kamu sudah lupa firman Allah dalam Al-Qur’an? Allah tidak akan memberikan ujian kecuali jika mampu menghadapinya dan kuat untuk menanggung bebannya. Allah memberi menguji kita dengan ujian yang sudah pasti bisa kita lalui walau mungkin sulit.” “Aku benci kesulitan.” Kataku polos. “Tidak ada yang mudah di dunia ini nak.” Kata ibu. “Kita hanya perlu melangkah maju. Bukankah kamu suka komik? Tidak bisakah kamu mengambil pelajaran? Yang menjadi tokoh utama pasti memiliki sifat dan sikap pantang menyerah walau sebenarnya dia bodoh. Seperti komik Naruto yang suka kamu baca itu. benar, kan?” “Iya, ibu.” “Nak, ada satu hal lain yang harus kamu ketahui. Allah tidak melihat hasil…” “Tapi proses. Iya ayah. Aku tahu.” “Lalu kenapa kamu putus asa seperti ini?” “Tidak apa kok.” “Baguslah kalau memang tidak ada apa-apa. Sekarang, coba kamu fikirkan, apa yang akan ditanyakan oleh teman-temanmu besok. Terutama sahabat-sahabatmu. Uki, Irfan, Risa, Resti. Apa yang akan kamu katakan untuk menjawab jutaan pertanyaan mereka?” “Sahabat-sahabatku… kenapa ayah mengenal mereka semua?” kataku heran. Ayah memang penuh kejutan. Tapi kalau sampai dia mengetahui seluruh sahabatku, yah, aku tidak tahu efeknya baik atau buruk. “Karena mereka berharga. Sama seperti dirimu, nak. Kamu berharga. Maka hargailah dirimu. Gunakan potensi yang kamu punya sebaik mungkin.” “Tapi aku kan tidak punya potensi.” Kataku polos.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Bodoh.” Kata ayah. tidak biasanya beliau berkata demikian. Kecuali, aku melakukan kesalahan yang benar-benar fatal. “Kamu bisa melukis kan? Kamu juga bisa Tae Kwon Do. Kamu juga pintar bahasa Inggris kan? Apa itu bukan potensi namanya?” “I… Iya.” “Lalu kenapa kamu bilang kamu tidak punya potensi?” nada suara ayah tinggi. Sepertinya beliau bisa mengamuk kapan saja. “Sabar yah…” kata Ibu. Kalau sudah begini, aku jadi merasa serba salah. “Septi,” suara ayah sudah mulai kembali normal sekarang. Syukurlah. “Kamu punya banyak potensi. Kamu hanya perlu mengembangkannya. Dan, supaya potensi kamu berkembang, kamu harus berusaha. Sudahlah. Lebih baik kita sholat Isya dulu.” Dan bersamaan dengan itu, audiensi kami berakhir. Kami segera mengambil wudhu dan melaksanakan sholat secara berjamaah. Sisa malam itu aku habiskan untuk beribadah. Penyakit lamaku kambuh lagi. Orang zaman sekarang mungkin menyebutnya galau. Tapi kalau menurut aku, galau itu adalah singkatan dalam bahasa Inggris yang kepanjangannya, God Always Listening And Understanding. Jadi, kalau kita ingin benar-benar bicara pada Allah, ya kita harus beribadah. Dan itulah yang aku lakukan malam ini. Luar biasa. Malam ini hatiku kembali tenang. Fikiran-fikiran aneh yang selama ini melanda hatiku mulai sirna. Satu persatu. Aku mulai merenungi kejadian hari kemarin. Di saat aku bertengkar dengan Viera, prasangka aku yang buruk tentang dirinya, semua muncul dalam fikiranku. Membuat ibadahku terkadang jadi tidak khusyu’. Tapi aku tidak boleh batal di tengah sholatku. Memalukan sekali kalau sampai aku batal hanya karena fikiran-fikiran konyol seperti itu. Setelahnya, aku habiskan waktu yang tersisa untuk berdoa dan membaca Al-Qur’an. Pagi ini ayah bercerita bahwa beliau terkejut. “Kenapa?” kataku. “Karena tidak biasanya kamu bangun Tahajjud.” “Itu kan menurut ayah.” “Maksud kamu?” “Maaf, aku tidak bermaksud untuk Riya’ atau Sum’ah, ya. Tapi aku melakukan sholat Tahajjud setiap malam.” “Benarkah?” Ayah tampak terkejut.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Iya.” Kataku. “Lalu kenapa kamu tidak membangunkan ayah?” “Ayah pasti lelah. Lagipula, sholat Tahajjud kan Sunnah. Yang Wajib kan sholat Subuh. Iya kan?” “Ya. Septi benar. Tapi dari mana kamu tahu soal Riya’ dan Sum’ah?” “Dari… Uki. Juga Irfan.” “Baguslah.” “Nak,” kata ibu yang baru tiba dari pasar. “Kalau kamu sudah sarapan, lekaslah keluar. Bawa serta tas kamu.” “Kenapa?” aku menghabiskan nasi dan segera menghabiskan segelas susu putih. “Karena Irfan dan Uki sudah menunggu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 6 UKI Hari ini Septi dan Irfan tampak lebih akrab. Selain itu, Viera dan Septi juga sudah berhenti berseteru. Semoga. Kembali ke topik semula, pokoknya, Irfan dan dara pemarah itu jauh lebih dekat sekarang. Bahkan, selama pelajaran berlangsung, si bawel Septi terus menceritakan hal-hal yang berbau romantis. Semoga temanku ini tidak terkena penyakit mistis. Aku yakin ini adalah efek dari surat yang diberikan oleh Irfan kemarin. Yang membuat aku bingung adalah, apa iya Irfan yang memulai? Tapi itu saat di sekolah. Sekarang, kami sudah berada di rumahku. Untungnya, keluargaku sedang pergi ke Jakarta. Dan aku tidak mereka ajak. Jadi, kami bisa bernafas lega. Untuk berjaga-jaga, aku sudah menyiapkan linggis di belakang pintu utama. Kalau komplotan Marvel itu datang lagi, aku akan menggunakan benda itu sebagai senjata untuk membela diri. “Kenapa ada linggis di sini?” kata Irfan. Dia mengenakan kaus club sepak bola Barcelona dengan nomor punggung 18. “Sekedar berjaga-jaga. Aku khawatir Marvel gila itu datang lagi.” Septi datang mendekat. Dia membawa sebuah buku komik yang sama sekali belum aku kenal. “Marvel?” Tebaknya. “Kalau dia datang lagi kesini, aku yang akan menghajarnya lebih dulu.” “Sudahlah. Jangan bicarakan hal-hal aneh dulu. Kita datang kesini untuk belajar bahasa Jepang. Bukan membicarakan orang. Benar, kan? Aku yakin, kali lain Marvel datang lagi, kita pasti bisa melawan dia, termasuk anggotanya.” Setelah diskusi singkat itu, kami berkumpul di ruang belakang yang cukup luas. Aku dan

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Septi membawa buku tentang bahasa Jepang. Seperti bagaimana cara mempelajari grammarnya dan juga hal-hal lainnya. Sedangkan Irfan membawa laptop ASUS, yang sepertinya sudah dilengkapi software yang berhubungan dengan Jepang. “Wah, kamu selalu membawa barang elektronik ya?” kataku. “Eh, maaf kalau begitu.” Katanya sedikit malu. “Hey, tidak perlu seperti itu padaku. Pakai saja. Zaman sekarang kan sudah modern. Jadi kalau kita tidak bisa mengikuti perkembangan, maka kita-lah yang rugi.” “Benar kata Uki.” Septi menambahkan. “Perbuatanmu membawa laptop tidaklah berlebihan. Melainkan wajar.” “Tapi kalau begini kan aku jadi tidak enak hati.” Katanya datar. “Kalau begitu tidak usah diambil hati.” Aku menepuk pundaknya. Dan kami semua tertawa. “By The Way, buku apa itu Sep?” Aku memperhatikan buku komik yang dia genggam. Komik itu dihiasi sampul bergambar seorang pemuda yang membawa pedang samurai. “Ini… Samurai Deeper KYO. Mungkin kalian belum tahu.” “Ya.” Kataku singkat. “Itu karena selera kamu lain daripada yang lain.” Tambah Irfan. Kami semua tertawa karena ucapan itu. Septi memang memiliki selera yang lain daripada yang lain. “Inilah aku. Dengan segala kekurangan dan kelebihanku.” “Sep, kenapa cara bicara kamu jadi berubah begini?” aku merasakan sedikit perbahan pada nada bicaranya. “Maksud kamu?” “I mean, kenapa nada suara kamu menjadi agak lembut? Biasanya kan selalu bernada tinggi?” Septi diam sejenak, “itu karena…” “Karena kehadiran Irfan.” Aku meledek mereka berdua. Dan tiba-tiba perbuatan lama dara mengerikan ini muncul kembali. Dia menepuk pundakku. Seperti biasa. Yang membuat aku mengerang. Yang lebih parah, kali ini dia dibantu oleh Irfan. “Jangan bercanda!” kata Irfan dan Septi kompak. “Nah, sudah sejak kapan kalian berlatih berbicara bersamaan seperti itu?” aku tertawa sedikit. “Aku peringatkan kamu, Ahmad Fulki Mubarok, jangan main-main.” Septi mengancam. “Nah, itu baru namanya Septi Dian Anggraini yang aku kenal.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Cukup.” Pemuda yang memiliki rambut coklat itu menengahi. “Semakin cepat kita mulai belajar semakin baik.” Dia membuka sebuah folder. Judulnya, Japanese. Kemudian dia membuka sebuah folder lagi yang kali ini berjudul mp3. “Bagaimana kalau kita mulai dengan mendengarkan bagaimana cara mereka bicara?” Irfan membuka tas laptop dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Lalu membagikannya pada kami. “Ini hard copy dari percakapan yang akan kita dengarkan bersama.” Aku melihat teks percakapan. Ada tiga orang dalam percakapan itu. dan nama mereka membuatku tersedak. Irfan menggunakan nama kami sebagai tokohnya. “Kamu ada-ada saja Fan.” Kata Septi. “Kenapa? Apa ada masalah dengan nama-nama itu?” “Kenapa kamu tidak menggunakan nama yang lain?” “Dengan begitu, kita jadi lebih bisa menghayati tokoh yang ada, bukan?” “Iya. Tapi…” “Kalau begitu ayo mulai!” Dia menyalakan pemutar audio. Dan percakapan dimulai. Yang kurang lebihnya seperti ini. “Omiyage no mise ga ippai narande imasu ne.” Septi memulai percakapan ini. “Koko kara kinkakuji ni hairu tokoro made wa takusan mise ga arimasu. Septi san wa donna mono ga hoshii desu ka?” Irfan membalas perkataan itu. yang bagiku cukup sulit. Tapi kami pasti bisa. “Watashi wa kiihoruda toka washi ningyoo toka noren wo kaitai to omoimasu.” “Kabuto wa aru kanaa?” sekarang giliranku yang membaca teks ini. “Ten’in ni kite mimashoo… Sumimasen, kabuto wa utte imasu ka?” Irfan membalas. Dialognya menjelaskan kami sedang mencari oleh-oleh. Dan Irfan-lah yang menjadi kasir serta penjaga toko. “Hai, kochira desu.” Kali ini Irfan menjadi penjaga toko. Hebatnya, dia bisa merubah suaranya juga. “Oikura desu ka?” aku menanyakan harganya. “Nisen sanbyaku en desu.” Irfan bilang harganya 2.300 yen. “Hitotsu onegai shimasu.” Aku membaca bagian teks yang menunjukkan bahwa aku mau barang itu, walau harganya mahal. “Achira ni kakatte itu noren wa ikura desu ka?” Septi menanyakan harga suatu barang.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Akai mono to shiroi mono ga arimasu ga, dochira ni nasaimasu ka?” Irfan menyatakan bahwa benda yang diinginkan Septi tersedia dalam dua warna. Merah dan putih. “Shiroi hoo onegai shimasu. Hoka no gara wa arimasen ka?” teman kami yang perempuan ini mau yang warna putih dan dengan motif berbeda. “Mooshiwake arimasen ga kore shika arimasen.” Kata Irfan, mereka tidak menjual motif yang lain. “Soredewa, shiro wo sanmai aka wo nimai onegai shimasu.” Ternyata, dalam dialog ini, Septi membeli yang putih tiga lembar dan yang merah dua lembar. “Zenbu de gosen happyaku en desu.” Kali ini Irfan menjawab pertanyaan sebagai kasir. Katanya, semuanya seharga 5.800 yen. “Aku tidak suka cara ini.” aku menutup buku dan berbaring di atas karpet yang menutupi hamparan lantai. “Lalu kamu mau pakai cara apa?” kata Irfan. “Apa kamu punya gagasan lain?” “Mungkin Uki perlu refreshing.” Septi memberikan komiknya padaku. “Aku punya banyak komik.” Kataku lesu. “Apa kamu sakit?” kata Irfan. “Atau… apa namanya, yang kalian sebut sekarang? Galau?” “Bukan. Aku bosan.” Kataku polos. “I want to do something new.” “Oh, begitu. Kalau begitu ayo kita keluar. Sekedar refreshing. Supaya kita bisa menghilangkan bosan dan kembali belajar.” Irfan mematikan laptopnya dan berdiri. Aku dan Septi kontan mengikuti. Mobil Irfan terparkir di depan rumahku. Toyota Fortunernya yang kemarin lecet-lecet kini sudah kembali mulus seperti sedia kala. “Apa yang terjadi dengan mobilmu? Bukankah kemarin rusak akibat ulah Marvel?” “Ya. Kamu benar, Uki. Tapi perusahaan asuransi sudah memperbaikinya. Selain itu, aku juga menambah sedikit perlengkapan audio tambahan. Ayo naik.” Dalam perjalanan, Irfan memutar film The Expendable 2 yang diperankan oleh aktor Hollywood terkenal seperti Arnold Schwarzenegger, Jet Li, Bruce Wilis dan lainnya. Film itu benar-benar keren. Apalagi ditambah dengan sistem audio baru. Aku seperti menonton film di bioskop. “Apa kamu suka film laga?” aku memang bicara pada Irfan. Tapi mataku melihat saat dua orang dari mereka menghajar seorang pria berbadan besar hanya dengan sekali pukul. Hebat sekali mereka.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku suka banyak film.” Irfan membelokkan mobil ke kanan. Dan jalan aspal seketika berubah menjadi pasir. “The Expendable adalah salah satu film favoritku.” Sekarang, sisi kanan dan sisi kiri jalan dihiasi dengan pohon kelapa. “Apa kamu suka film komedi?” “Tentu. Menonton film komedi adalah salah satu caraku untuk menghilangkan rasa bosan.” “Film komedi apa yang biasanya kamu tonton?” “Johnny English.” “Jadi kamu suka Johnny English juga ya?” “Ya.” “Apa itu Johnny English?” Septi yang dari tadi diam sekarang mulai bicara. “Kamu tidak tahu film komedi itu?” “Aku kan bukan seorang yang sufi seperti kalian.” “Aku tidak sufi!” aku membantah tuduhan itu mentah-mentah. “Sufi adalah suka film. Itu maksudku.” Dia merapikan rambutnya. “Kamu tidak tahu film ini? ini adalah salah satu film yang diperankan oleh Rowan Atkinson!” “Kan tadi aku sudah bilang, Uki. Aku tidak terlalu suka film.” Kali ini aku yakin orang yang duduk di sampingku ini akan melempariku dengan sebuah CD holder kalau saja Irfan tidak melerai. “Apa kalian akan terus bertingkah seperti ini hingga kalian dewasa?” “Tidak…” kata Septi dingin. Aku tidak pernah mendengar dia berbicara sedingin itu kepada orang selain aku. Dia meletakkan CD holder. “Lalu kenapa kamu selalu bertingkah begitu? Tidak bisakah tanganmu diam dan tidak bergerak?” “I’ll do whatever I want.” Irfan mengangkat alis. “Tunggu!” kata Septi tiba-tiba. “Rowan Atkinson… bukankah dia Mr. Bean?” “Itulah dia.” Kata Irfan. “Jadi maksud kalian, film ini salah satu filmnya?” “Iya. Kita bisa melihat film ini saat pulang nanti. Ayo turun. Kita sudah sampai dari tadi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku dan Septi menghambur keluar. Di depan kami terhampar lautan sejauh mata memandang. Dilengkapi dengan sang raja hari yang sebentar lagi akan tenggelam. Kalau Irfan memilih tempat ini untuk refreshing, maka, pilihannya tidak salah. Dia yang terakhir keluar. Membawa kamera DSLR bersamanya. “Hmm… kita tidak akan berenang kan?” kata Septi was-was “Tentu tidak. Siapa yang mau berenang saat air mulai pasang?” Aku menanggapi. “Ayo, kalian berdua, berdirilah di sana! Aku akan mengambil gambar kalian berdua.” Kami segera mengambil pose. Berdiri tegap menghadap kamera, kami menyilangkan tangan di depan dada. “Sudah.” Kata Irfan. “Mana? Coba aku lihat!” Septi mengambil kamera itu dari tangan Irfan. “Not bad.” Septi mengembalikan kamera itu. “Ini sangat bagus.” Aku memberi komentar. Hasil foto itu hanya berupa siluet hitam kami berdua yang sedang menyilangkan tangan di depan dada. Lengkap dengan cahaya matahari yang bersinar seperti aura di sekitar tubuh kami. Seakan kami adalah salah satu tokoh dalam komik-komik Naruto atau Dragon Ball. “Boleh aku pinjam?” Irfan memberikan kameranya. “Nah, berdirilah menghadap selatan.” Irfan melakukan yang diminta. “Sekarang, angkat tanganmu sedikit.” Irfan melakukannya. Tampaknya dia tidak keberatan. “Bagus. Satu… dua… tiga…” Septi menekan tombol pelepas rana. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum lebar. “Gambarmu sudah jadi. Coba lihat” Aku dan dia melihat gambar hasil jepretan gadis berdarah Lampung itu. dan aku hampir terbatuk-batuk. Gambarnya luar biasa. Irfan sedang mengangkat tangannya, tepat di bawah matahari. Seakan dia sedang ingin melempar benda langit terbesar itu. hanya dengan satu tangan. “Apa kalian terkesan?” kata Septi mulai sombong. “Sedikit.” Irfan mengambil beberapa gambar lagi dan tidak mempedulikan Septi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku menepuk pundak Irfan dan aku mengangkat alis saat dia memandangku. Dan dia mengangguk. “Sep, apa kamu ingin mengambil beberapa foto?” “With pleasure…” Dia mengambil kamera itu, dan langsung pergi meninggalkan kami. “Ada apa?” kata Irfan. “Aku tahu ini terlalu menjurus ke masalah pribadi… tapi… apa kamu bisa merubah sikap dan sifatnya?” “Dia?” Irfan memandang Septi. “Ya. Dia.” “Aku sudah mencoba.” Kata Irfan apa adanya. “Tapi belum berhasil…” kataku membatin. “cara apa saja yang sudah kamu coba?” “Semua. Yang terpikir olehku. Tapi tetap saja dia begitu.” “Apa kamu sudah memberi tahu orangtuanya?” “Jangan. Jangan dulu. Aku yakin kita masih bisa menangani hal ini.” “Semoga.” Aku menarik nafas dalam. “Ganti topik. Akhir-akhir ini… aku lihat Septi menjadi lebih dekat denganmu. Terutama, setelah kamu memberinya surat itu. surat apa yang sebenarnya kamu berikan padanya?” “Yang penting bukan surat cinta. Isinya hanya perkataan sederhana. Bahwa aku akan membantunya kalau dia mendapat masalah. Atau bahasa gaulnya, selalu ada di sisinya.” “Oh, itu sebabnya? Pantas…” “Semoga tidak ada efek negatif yang ditimbulkan oleh perubahan ini.” “Semoga yang kamu ucapkan benar.” Aku melihat teman kami yang sedang asik mengambil gambar sunset dari berbagai sudut pandang. “Hei,” “Apa?” Irfan memandangku. Melupakan debur ombak yang baru saja mencuri perhatiannya. “Kamu sudah tahu kan?” “Apa?” “Dia tergila-gila padamu.” “Oh, iya. Dari dulu. Aku sudah mencoba menjaga jarak. Tapi dia tetap mendekat. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Apa kamu punya usul?” “Sejujurnya? Tidak. Maaf, aku belum bisa membantu.” “Tidak apa. Biasa saja.” “Aku takut terjadi hal-hal buruk pada dirinya.” Kata kami bersamaan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Seperti terjerumus dalam pergaulan bebas.” Kata Irfan. “Dan hal buruk lainnya.” Aku menambahkan. “Sepertinya kita punya pikiran yang sama.” Lagi-lagi kami bicara berbarengan. “Apa sih yang sebenarnya kalian bicarakan?” orang yang kami tinggal bicara berdua saja mulai mendekat. Dia terlihat puas. Juga penasaran. Puas karena berhasil menjepret foto-foto bagus, penasaran karena dia ditinggal sendiri saja dan tidak diajak mengobrol. “Hanya kamu yang bisa merubah sikap dan sifatnya. I truly believe that.” Aku meninggalkan Irfan. “Ayo pulang!” Irfan menghidupkan mesin mobil. “Atau semuanya akan terlambat.” Aku duduk di depan dan berbisik di telinganya. Di dalam perjalanan sampai Gayam, kami menonton film Johnny English seperti yang dijanjikan oleh pemilik mobil. Kami semua tertawa lepas. Terutama Septi. Yang sepertinya baru pertama kali nonton film ini. Secepat kami datang, secepat itulah kami pergi. Setelah menurunkan satu penumpang tepat di depan rumahnya, mobil besar itu melesat lagi. Menembus malam yang kelam. “Bukankah dia taat beragama?” aku kembali memlai pembicaraan. “Ya. Setahuku juga begitu. Dan jangan Tanya aku kenapa bisa begitu.” “Ya. Aku tahu. Karena kamu tidak tahu kenapa. Iya kan?” Irfan mengangguk. Matanya menatap tajam ke depan. “Apa kamu tidak punya cara lain? Septi mulai berubah sekarang. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku yakin kamu juga tidak mau.” “Percayalah padaku, Uki. Aku sudah mencoba semua cara. Tapi tetap saja gagal. Dan aku juga sudah tahu kok. Kalau seandainya dia berubah, maka, akulah yang pertama kali disalahkan.” “Hmm… satu pertanyaan lagi. Surat apa yang kamu kirim kemarin? Sepertinya aku sudah bertanya padamu.” “Kamu tahu pasti. Bukan aku yang memulainya. Dan itu bukan surat cinta. Kan aku sudah memeberi taku kamu.” “Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?” Irfan mengangkat bahu. “Seandainya aku tahu…” Selanjutnya kami berkendara dalam keheningan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Saat aku diantarkan pulang, ternyata bapak sudah ada di rumah. Sepertinya beliau memang menunggu aku datang. Di meja ruang tamu ada beberapa snack makanan ringan, minuman bersoda dan juga kue-kue basah. “Baguslah kamu sudah pulang. Kenapa bapak lihat ada linggis di belakang pintu?” Aku berdiri di depan bapak. “Uki takut Marvel datang lagi. Jadi aku meletakkan linggis di sana untuk berjaga-jaga.” “Jadi… apa dia datang?” ayah menatapku lembut. Sekaligus cemas. “Tidak pak. Alhamdu Lillah.” “Alhamdu Lillah… ayo. Minumlah dulu. Kamu suka minum minuman bersoda kan?” “Tidak terlalu. Terlalu banyak minum minuman bersoda bisa mengakibatkan osteoporosis.” “Begitu ya?” kata bapak. Beliau tersenyum jahil. “Tapi sesekali kan tidak apa.” Kami berdua tertawa. Kami minum minuman itu bersama. Sejenis coke. “Dari mana kamu nak?” “Kalianda. Pantai.” “Oh, kamu mau mencari hal baru ya?” “Kenapa bapak tahu?” Beliau senyum. “Karena bapak kan juga pernah muda” Kami tertawa lagi. “Di mana Dimas pak?” “Dia di belakang. Sedang berlatih menembak.” “Maksud bapak?” “Om Almas memberinya pistol mainan hari ini. Dan dia sedang berlatih menembak tutup kaleng biskuit sekarang.” “Aku mau ke belakang dulu pak.” “Ya. Tapi hati-hati. Pistol mainan itu cukup berbahaya.” Aku menemukan adikku di ruang belakang. Tempat di mana aku dan dua kawanku belajar. Saat Dimas menembak, aku melihat tutup kaleng itu terdorong satu sentimeter ke belakang. Aku bersiul. “Pistol kamu sepertinya bertenaga besar.” “Eh, kakak, dari mana?” “Kalianda. Apa benar om Almas memberimu pistol itu?” “Iya dong. Pistol keren ini dibuat dari besi.” “Benarkah? Boleh kakak pinjam?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ini.” Aku mengambil pistol itu. ternyata benar, beratnya seperti pistol sungguhan. Bentuknya pun sama. Seperti pistol jenis Night Hawk 50C buatan Israel dengan kaliber 50 Express. Muzzle Energynya melebihi tenaga dorong pistol biasa. Tapi itu yang asli. Kalau yang aku genggam ini hanya replica. Walaupun bentuk, ukuran dan beratnya sama, tetap saja masih menggunakan peluru pelastik. “Kakak boleh menembak tidak?” “Tentu. Silakan. Kalau bisa tembak tengahnya ya.” “Pasti.” Aku menarik pelatuk dan secepat menghilangnya suara pistol itu, di tengah kaleng sudah ada lubang yang berdiameter seperti diameter peluru pelastik itu. dengan kata lain, aku berhasil

melubangi

tutup

kaleng

hanya

dengan

sekali

tembak.

“Wah, kakak hebat.” “Benarkah? Itu biasa saja.” “Memangnya kakak punya trik lain? Coba praktekkan! Dimas mau lihat!” Aku mengucap bismillah. Dan meletakkan tangan kiriku di sisi atas pistol. Lalu membiarkan instingku mengambil alih gerakanku. Aku menembak. Dan Dimas pasti terkejut. Di tutup kaleng ada empat lubang baru. Semua tercipta dalam waktu kurang dari 10 detik. “Apa kakak baru saja… apa kakak menembak kaleng itu?” “Ya.” “Empat kali?” “Iya, Dimas.” “Dengan cara seperti itu?” “Iya…” “Keren… kenapa kakak tidak bilang padaku kalau kakak jago menembak?” “Karena ada banyak hal yang lebih baik tetap menjadi rahasia. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Dimas.” “Apa itu kak?” “Tidak ada yang tidak mungkin.” Aku meninggalkan Dimas yang masih terbengong melihat hasil karya yang baru saja aku buat dalam waktu kurang dari satu menit.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku mengajak adikku untuk melaksanakan sholat Isya berjamaah. Bagusnya, dia tidak menolak. Karena, bila dia menolak, maka aku akan memukulnya dengan sapu. Bapak dulu juga sering melakukan hal serupa padaku. Dan beliau tidak marah saat aku mempraktekkannya pada adikku yang aku banggakan ini. Saat sedang asik belajar menembak, nada dering handphone-ku berbunyi. Ternyata Irfan menelepon. “Assalamu Alaikum…” “Cepat serahkan Uang seratus juta. Atau anak ini mati…” kata si penelepon. “Malam ini kami tunggu. Bila Anda membawa polisi, anak Anda akan mati.” Telepon itu terputus. Aku menarik nafas dalam. Tanganku bergetar karena emosi. Ada apa lagi dengan orang kaya ini. hal bodoh apalagi yang dia lakukan hingga bisa diculik begini. “Ada apa kak?” kata Dimas. “Tidak. Kakak mau pergi. Apa kakak boleh pinjam pistol kamu?” “Kakak mau ke mana?” Dimas memberikan pistol bertenaga besar itu padaku. Aku memang tidak jago bela diri. Tapi dari dulu bapak sudah mengajariku menembak. Entah itu tikus atau burung. Bahkan bapak pernah mengajakku berlatih di lapangan tembak di Jakarta. Aku paham kenapa dia meminta bantuanku. Dia tidak bisa memberitahu orangtuanya yang super sibuk. Juga Septi. Bisa-bisa dia malah shock dan menjadi beban baginya. Ada pesan baru. Ternyata lokasi tempat itu. “Kakak ingin menjemput teman.” Aku memberhentikan motor di depan sebuah rumah tua bobok di daerah yang cukup jauh dari keramaian. Aku bisa mendengar kegaduhan dengan jelas. Mereka sedang meributkan sesuatu tentang nasib Irfan. “Lebih baik kita bunuh dia!” kata salah satu. Dia berkata dengan keras. Mungkin lebih tepatnya berteriak. Karena aku bisa mendengar suaranya dengan jelas dari sini. Semak belukar yang berjarak 50 meter. Satu-satunya penerangan berasal dari cahaya bulan yang sedang purnama. Aku mengecek pistol dan melihat jam. Jarum pendek hampir menyentuh angka 12. Sedangkan jarum panjangnya ada di angka 11. Lima menit lagi sebelum sahabatku ini dibunuh. Karena sejujurnya, aku tidak bawa uang walau cuma satu rupiah. “Tunggu lima menit lagi. Kalau memang ayahnya belum datang, kita bunuh dia!” Dari sini aku bisa melihat Irfan dengan jelas. Dia duduk di atas bangku dan diikat. Ada dua orang yang berdiri di depannya. Mereka juga membawa pistol.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Satu menit lagi dan semua berakhir. Aku butuh penarik perhatian. Aku menengok kesana kemari dan tidak menemukan apapun. Mereka menodongkan pistol rakitan tepat ke dahi Irfan. Hebatnya, raut wajahnya menunjukkan dia percaya diri. Aku kehabisan pilihan. Aku mengeluarkan pistol mainan itu dan menembak. Terdengar suara letusan senjata api dari dalam rumah. Aku mengira Irfan sudah tiada. Tapi saat aku perhatikan, ternyata si penembak sedang memegangi tangannya yang tertembak. Peluru dari pistolnya mengarah entah kemana. Tapi yang penting, Irfan selamat. Untuk saat ini. aku bersembunyi lagi saat dua orang muncul dari dalam rumah. “Keluarlah pecundang!” katanya. Sambil mendekat ke arahku. Temannya berputar ke arah belakang rumah.. saat jaraknya tepat, aku menembak pelipis orang itu. Dia menjerit kesakitan dan langsung melempar pistol rakitannya. Yang untungnya mendarat di pangkuanku. “Bocah sialan!” katanya. “Oh ya?” aku menodongnya. “Jaga mulutmu atau kau mati.” Aku mengancam. “Kau tidak mungkin membunuhku dengan air soft gun dasar tolol!” Aku mengarahkan moncongnya kedepan, dan agak jauh lima sentimeter dari pelipis orang itu yang sekarang berwarna ungu. Aku menarik pelatuk. Disertai bunyi keras, kaca jendela rumah itu pecah. “Sekarang, apa kamu percaya?” Dia terlihat pucat. Aku menembak kakinya dengan pistol Dimas. Membuatnya tidak bisa bergerak untuk sementara. Aku menggeledahnya dan menemukan beberapa magazine tambahan. Aku mengantongi benda berat itu dan melesat ke beranda. Aku menembak pelipis orang yang tadi berjalan ke arah belakang dan langsung melesat ke dalam rumah. Betapa terkejutnya aku. Rumah itu kosong. Kamar tempat Irfan diikat juga terbuka lebar. Aku segera masuk. Tapi Irfanberteriak-teriak. “Oh, kamu kepanasan?” aku membuka jendela dan melihat motorku di sana. Hanya berjarak 50 meter. Aku mengambil pisau yang sudah aku siapkan dan memotong tali, lalu membuka sapu tangan yang membekap mulut sobatku. “Aku tidak kepanasan Uki! Ini perangkap!” bersamaan dengan itu muncul empat orang yang semuanya membawa pistol rakitan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jadi, kamu yang menembak tanganku dengan air soft gun hah? Tampangmu kurang meyakinkan.” Aku mengganti magazine pistol mainanku, dan mulai membidik. “Ya. Aku tahu.” Aku memandang Irfan. “Aku suka kondisi seperti ini. menegangkan.” “Apa kau pikir kau bisa membunuh kami berempat dengan pistol mainan?” kata temannya yang ada di pojok. “Apa kamu sudah gila?” kata Irfan. “Mereka membawa pistol sungguhan tahu!” Mereka berempat sudah siap menembak saat aku menarik pelatuk. Dalam waktu kurang dari 10 detik, aku sudah menembaki pelipis keempat orang itu. yang kontan meringis menahan sakit. Bahkan salah satu dari mereka ada yang berdarah. “Oh, maaf,” kataku. “Aku tidak tahu kalau air soft gun bisa membuat pelipis seseorang berdarah. Ayo lari!” Irfan langsung melompat ke motorku dan menghidupkan mesin. Aku duduk menghadap belakang. “Kau sudah cukup gila barusan. Apa lagi yang mau kau lakukan sekarang?” “Cepat jalankan motornya! Mereka tidak mati. Mereka pasti mengejar!” Dan benar saja, mereka mengejar kami dengan seunit Toyota Kijang lama. “Kamu tidak akan menembak mobil itu dengan pistol mainan kan?” “Tentu tidak. Kali ini aku akan pakai pistol sungguhan!” “Kau punya?” “Aku ambil satu dari mereka saat ingin masuk.” “Aku tahu ini aneh. Tapi jangan bunuh mereka ya?” “Tentu tidak. Aku hanya akan…” Aku menarik pelatuk. Dan sebuah timah panas menembus ban depan mobil itu.membuatnya tergelincir ke kanan, hampir menabrak sebuah motor matic dan akhirnya berhenti di depan sebuah pohon jati. “…itu” “Kamu hebat!” Aku melihat ke depan. Ada sebuah warung yang masih buka. Untungnya kami sudah berada di luar kawasan yang tadi aku kunjungi. “Berhenti di sini.” “Apa kamu ingin…” Aku meninggalkan Irfan begitu saja. Dan memesan dua nasi ayam. Kami berdua menunggu di depan rumah makan Padang itu. “Ada apa denganmu?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Bodoh!” aku meninju perutnya hingga dia terbungkuk, lalu menegakan dia dan memeluknya sebentar. “Apa lagi yang kamu lakukan? Memancing mereka agar menangkapmu atau apa, hah? Apa yang akan di lakukan Septi kalau sampai dia tahu?” “Maaf. Maafkan aku. Mereka datang dan langsung membawaku pergi. Saat mereka meninta nomor papa, aku memberi mereka nomor telepon kamu.” “Kenapa aku?” “Kau sudah tahu jawabannya kan?” “Sudahlah.” Aku menepuk pundaknya. “Yang penting kita selamat.” “Terima kasih.” “Kembali.” Aku masuk ke dalam warung nasi itu saat nasi ayam sudah dihidangkan. “Maaf, aku agak lapar.” “Aku juga. Biar aku yang bayar.” Aku mengangkat bahu. “Kamu hebat. Sejak kapan kamu belajar menembak?” “Sudah lama.” “Dan kamu tidak cerita. Bahkan kepada kami.” “Ini top secret. Jadi aku pikir kalian belum perlu tahu. Tapi sekarang sepertinya sudah.” “Kamu tahu? Caramu menembak mereka berempat sama seperti cara Barney Ross menembak.” “Oh, maksudmu Sylvester Stallone?” “Iya. Dalam film The Expendables. Kapan kamu belajar menembak seperti itu? dulu? Sepertinya tidak mungkin. Itu kan film baru tayang beberapa tahun terakhir.” “Aku belajar setelah melihat film itu.” “Jangan bercanda. Kamu tahu itu tidak mungkin.” “Impossible is nothing.” “Ya sudah, tapi di mana kamu belajar?” “Di rumah. Di tempat kita belajar bahasa Jepang. Bersama Dimas.” “Kapan?” “Sebelum penculik itu menelepon.” Irfan mengangkat bahu. “Seprtinya ayamku sudah dingin.” Aku tertawa. Begitu juga dia. “Kamu tahu?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apa?” “Kamu memang penuh kejutan.” “Kalau itu aku tahu.” Kami berdua tertawa lepas dan mulai menyantap makanan, yang sepertinya memang sudah agak kurang panas. Esok harinya, setelah pulang sekolah, kami bermain di rumah Septi. Orangtuanya tidak ada. Katanya, ibunya sedang ada rapat guru dan ayahnya sedang sibuk di sawah. Kami belajar di halaman belakang. Aku suka ini. hawanya sejuk. Pemandangannya asri. Benar-benar cocok untuk berolah raga di sore dan pagi hari. “Apa kamu baik-baik saja?” “Iya,” kata Irfan. “Lalu kenapa tanganmu seperti ini?” dia menunjuk garis merah di lengan Irfan. Sedangkan dia menatapku, meminta bantuan. “Septi, dia terpeleset tadi malam. Aku menangkap tangannya. Tapi ternyata malah berbekas seperti itu.” “Apa itu benar?” Septi melihat pistol yang terselip di celanaku. “Iya. Itu benar.” “Lalu kenapa kamu membawa pistol mainan, Uki?” Celakalah aku. Yang aku bawa bukan pistol Dimas. Tapi pistol salah satu preman kemarin. “Untuk membela diri. Jika Marvel datang lagi.” “Kamu membawa pistol mainan?” Septi sepertinya terkejut. “Sebenarnya… aku salah membawa pistol. Ini pistol sungguhan. Baretta namanya. Berat sekitar dua kilogram.” “Apa kamu kira aku bodoh?” Irfan memandangku. Aku bisa membaca maksudnya dari mimik wajahnya. Jangan. Tapi aku tidak peduli. Aku menarik pistol dari balik kaus merahku dan menarik pelatuk. Suara letusannya yang keras mengagetkan Septi. Dia melihat ke belakang dan mendapati sebuah pohon mangga besar yang tertusuk peluru. Aku memutar pistol itu. Dan menyelipkannya kembali. “Aku harap kamu percaya Sekarang.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 7 IRFAN “Ya.” Kata Septi.“Aku percaya sekarang.” “Bagus. Itu lebih baik.” Kata Uki. Aku memperhatikan Septi. Tampaknya dia masih agak kaget dengan suara tembakan barusan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Dengar. Aku tidak bermaksud seperti itu.” Uki tampak sangat menyesali perbuatannya. “Aku terpaksa.” Septi memandang Uki. “Besok kamu harus mengajari aku cara menembak…” Aku yakin aku tidak salah dengar. “Kalian memang aneh.” Aku mengangkat bahu dan dua temanku tertawa. “Kita semua memang seperti itu.” Uki tersenyum senang. “Sebetulnya aku ingin membawa air soft gun. Tapi tampaknya aku salah bawa deh.” “Sejak kapan kamu belajar menembak?” Septi sudah tertarik sekarang. “Lama. Mungkin sejak SMP.” “Lalu kenapa kamu tidak bilang dari dulu?” “Karena, ada beberapa hal yang lebih baik jadi rahasia saja.” “Dari mana kamu dapat benda itu?” Aku meremas tangan Uki. Biar aku yang jawab. “Kami menemukannya. Tidak jauh dari tempat aku jatuh tadi malam.” “Jadi, apa kita akan langsung mulai sekarang?” Septi bangkit dari kursi. Dan kami mengikuti. “Ayo!” Uki menarik tanganku. Kami hendak mengambil buku yang ada di mobil. Aku membuka pintu dan mendapati ada banyak tamu yang tidak di undang. Aku cepat-cepat menutup pintu. Uki dan Septi melihatku keheranan. “Ada apa?” kata Uki khawatir. Dia memegangi pistolnya. “Kita punya masalah. Tiarap!” Kami semua menempelkan perut di lantai. Dan kaca-kaca pecah berhamburan. Ditembus peluru pistol rakitan. Kami semua merangkak menuju pintu belakang. “Ayo! Kita harus ke tempat yang tidak berpenghuni.” Kata Uki. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Septi berlari menuju sawah yang masih hijau. “Kita diserang! Marvel sepertinya benar-benar ingin membunuh kita.” Uki mengeluarkan pistolnya. “Kemana kita berlari?” Aku melihat ke belakang. Mereka sudah berada sekitar 10 meter. Beberapa orang mengejar kami dengan sepeda motor. Menghadang kami dengan menodongkan pistol mereka. Kami terkepung.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Empat orang berdiri di belakang, dan tiga lainnya ada di depan. Mereka semua menodongkan pistol. “Ada yang punya rencana?” kata Septi “Aku tidak bisa melawan kalau mereka berjarak 5 meter dariku.” Kami merapatkan bahu. “Uki, apa kamu punya?” Uki memangangi mereka. Tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia sudah mengeluarkan pistolnya. Sedangkan tujuh orang itu sudah semakin dekat. “Maaf, aku juga tidak punya. Tutup saja mata kalian dan berdoalah!” “Jangan bercanda!” kata Septi. Jelas-jelas panik. “Cepat lakukan!” bentak Uki. Kami melakukan yang dia minta. Walau enggan. Aku masih sempat melihat mereka mendekat. Tertawa semakin lebar dan semakin lebar. Sedangkan kami ketakutan setengah mati. Termasuk Uki. Satu-satunya yang memegang senjata diantara kami. Yah, inilah akhirnya. Tiga orang pemuda akan ditemukan tewas di tengah sawah pada esok hari. Aku memejamkan mata lebih rapat. Senjata meletus. Menebarkan bunyi yang pasti terdengar ratusan meter. Kalau aku tertembak, kenapa aku tidak merasakan sakit sama sekali? Aku membuka mata dan bola mataku hampir melompat keluar. Mereka semua terbaring di sawah. Memegangi lengan mereka yang kini berdarah. Aku melihat Uki. Dia berdiri tegap. Memandang kesal pada tiga orang yang berada di depan kami. Pistolnya masih mengeluarkan asap. Aku kira aku bermimpi. Tidak ada orang yang bisa menghabisi tujuh orang dalam tempo sesingkat itu. “Bagaimana kamu melakukannya?” kata Septi. Uki meniup moncong pistolnya dan menyelipkannya kembali. “Aku berdoa. Dan menarik pelatuk.” “Secepat itu? Aku pasti bermimpi.” “Segala puji bagi Allah yang telah membuat mimpimu jadi kenyataan. Ayo kita kembali. Aku khawatir mereka belum habis!”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kami menggunakan motor yang ada agar bisa kembali ke rumah secepatnya. Kerusakan di rumah Septi cukup ringan. Tapi bagian dalamnya jadi berantakan akibat pecahan kaca. “Hei, bukankah di depan rumahmu SD?” Uki memandang liar sekelilingnya. Kali ini dia sudah memiliki pistol tambahan. Yang lagi-lagi merupakan hasil rampasan. “Benar.” Kata si empunya rumah. “Kenapa?” “Kenapa aku tidak mendengar keributan?!” Uki benar. Keadaan yang tadi ramai kini senyap. Aku tahu ada yang tidak beres. Gawat. Tanpa ada yang memberi aba-aba, kami berlari ke halaman depan. Kosong. Kami tidak menemukan apa-apa. Jantungku berdegup kian keras. Sudah pasti ada yang tidak beres. “Aku harap kalian bisa menembak.” Uki menyerahkan pistol pada kami, yang langsung kami tolak. “Aku lebih memilih bertarung face to face.” Kata Septi. “Lagipula, kami tidak pandai menembak. Bisa-bisa peluru yang aku tembakkan ke arah kepala mengenai perut.” “Serius?” Uki melihatku. Tidak percaya akan apa yang aku ucapkan barusan. Aku mengambil sebuah tongkat yang berujung lancip. “Ya.” “Lalu untuk apa tongkat itu?” “Sekedar pegangan. Ada yang tahu kemana mereka?” “Jawabannya, ada di depan mata kita.” “Di sekolah dasar?” kata Septi. “Bagaimana kamu tahu?” “Karena mereka juga menawan dewan guru yang sedang rapat.” Aku memalingkan wajah dari jendela. “Jangan-jangan…” “Ayo kita cari tahu.” Aku memotong perkataan Septi dan melempar tongkat itu. seorang komplotan Marvel muncul dan perutnya terkena lemparan tongkat itu. Uki menggelengkan kepala. Tapi dia tersenyum. “Nice.” “Apa kubilang? Tadi aku ingin melempar kepalanya, tapi malah kena perutnya. Iya kan? Ayo, sobat. Aku butuh bantuan kalian.” Kami mendekati pemuda yang terkena lemparan asal barusan. Aku menariknya berdiri. “Berapa jumlah kalian?” Dia tidak menjawab. Jadi aku memukul perutnya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Totalnya 20 orang. Di belakang sepuluh dan di depan sepuluh.” “Apa Marvel ada di sini?” Aku memukul perutnya lagi dan baru dia mau menjawab. “Tidak. Tapi… kami bergerak atas perintahnya.” “Terima kasih.” Aku melepaskannya dan langsung menuju gerbang belakang. Dua sahabatku mengikuti. Langkahku berhenti tepat di depan gerbang. Aku mengintip ke dalam dan tahulah aku bahwa sekolah ini di serbu satu pasukan. “Kenapa berhenti?” kata Uki heran. “Jumlah mereka, lebih banyak dari apa yang dia katakan.” “Sudah aku duga.” Uki menyiapkan pistolnya. Kali ini dia menggenggam pistol di tangan kirinya. “Rupanya ada koboi di sini.” Septi berkomentar. “Diam. Bukan waktunya untuk bercanda!” Aku diam sejenak. Dan aku dapat ide. Aku segera mengintip ke balik dinding pagar dan mendapati lokasi itu tidak dijaga. “Kalau mereka tidak mau keluar, maka kita harus masuk.” “Kamu pasti bercanda.” Uki kelihatan ragu. “Aku tidak mungkin bercanda saat keadaan genting, Uki.” “Kalau begitu kamu gila.” Septi menambahkan. “If so, akulah satu-satunya orang gila yang jadi temanmu.” “Jadi bagaimana?” potong Uki. “Kita jadi masuk atau tidak?” Aku menarik nafas. “Tentu…” Setelah itu, keadaan jadi tambah kacau. Kami menyerbu ke dalam sekolah. Menyingkirkan apa yang menghalangi kami. Anak-anak sekolah berteriak, pistol meletus di setiap sudut. Keadaan yang tadi tenang berubah menjadi kacau dalam sesaat. Uki menembak paha beberapa anggota Marvel. Yang untungnya hanya melukai kaki mereka. Septi tampak lebih ganas dengan tongkat pramuka yang dia dapatkankan di gudang. Perhatian para penjahat itu sepenuhnya terarah pada mereka berdua. Yang artinya aku dapat dengan bebas bergerak. Aku segera berlari ke ruang kelas empat, dimana semua tawanan ditahan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku melangkah masuk saat lima orang datang mengepung. Salah satu diantara mereka menodongkan pistol tepat kearah kepala salah satu guruku saat SD. Beliau tampak takut sekaligus khawatir. “Menyerahlah. Atau orang ini mati!” dia meletakkan jarinya di depan pelatuk. Siap menembak. Baiklah aku sudah puas jadi pemuda lemah. Saatnya melawan. Atau mati dengan megah. “Tidak untuk saat ini, bung!” Aku berlari tepat ke muka. Menjejak perut si pemegang pistol, terus ke dadanya, dan akhirnya menjejak kepala orang kurang ajar itu. dia terdorong ke belakang dan kepalanya membentur dinding. Aku yakin semua orang yang ada di sini terkejut saat tubuhku melayang di udara. Dan dengan mulus mendarat dalam kepungan empat penjaga lain. Aku melangkah maju dan membanting satu orang. Salah satu dari mereka mencoba menembak, tapi aku berhasil menjauhkan pistolnya dari tangannya. Dan menjatuhkan yang satu ini dengan pukulan di ulu hatinya. Satu orang yang paling hitam menerjangku. Dan dengan mudah aku merubuhkannya dengan melakukan sapuan. Dia terlempar dan membentur papan tulis. Yang terakhir menembak. Untungnya tidak melukai siapa-siapa. Karena dia memegangi pistol sambil gemetaran. Tapi hal itu sudah cukup untuk membuat kesabaranku habis. Aku berlari ke depan dan menendang dagu penembak bodoh itu dengan dengkulku, dan dia terjengkang keluar. Berhenti di depan kaki Uki dan Septi yang baru saja tiba. “Apa kalian baik-baik saja?” Septi melihat sekitar. Mungkin memastikan keberadaan penculik lain atau apalah. Tapi begitu melihat semua baik-baik saja, dia segera memeluk ibunya, yang baru saja aku diancam dengan pistol. Aku dan Uki memilih untuk bersiaga di luar. Semua sudah terkendali sekarang. “Apa kamu baru saja… apa kamu…” “Menghabisi mereka? Iya.” “Aku pasti bermimpi.” “Segala puji bagi Allah yang membuat mimpi kamu menjadi kenyataan.” Kami berdua tertawa. Kalau mereka punya kelebihan dalam segi membela diri, maka, aku juga punya. Septi segera mendekati kami. “Apa itu benar?” dia menatapku tidak percaya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku mengangkat alis. “Apa?” “Kata ibu kamu menolong beliau, ya?” “Mereka. Karena ibumu tidak sendiri.” “Apapun itu. Mereka juga bilang…” “Aku menghajar mereka. Iya.” “Tidak. Bukan itu, Irfan.” “Lalu apa?” “Diam dulu. Mereka bilang, kamu… kamu…” “Ya? Mereka bilang aku apa?” “Melayang. Setelah menginjak wajah salah satu dari mereka! Apa itu benar?” “Benar. Tapi jangan minta aku untuk melakukan itu lagi.” “Kenapa?” kata Septi. Dia tampak putus asa. “Karena aku bukan pemain sirkus, tahu.” “Ayolah… aku mau lihat. Mereka juga ingin melihat.” Aku melihat sekeliling. Rupanya semua murid dan guru SD itu memandangku. Termasuk ibu Septi. Beliau hanya tersenyum geli. Aku melangkah ke lapangan. Aku memandang Septi kesal. “Sekali ini saja.” Aku melompat ke atas dan memutar badanku ke belakang. Jadilah sebuah gerakan salto. Orang-orang bertepuk tangan dan bersorak. “Lagi-lagi…” Aku mengambil nafas dalam-dalam. Aku melompat ke belakang. Lebih rendah dan melakukan salto. Tapi kali ini aku menggunakan tangan dan melakukan beberapa kali salto. Kalau tidak salah hitung, aku melakukannya lima kali. Setelah itu aku menutupnya dengan salto tanpa tangan. Banyak orang yang bilang aku baru saja melakukan salto beruntun atau apalah itu. aku tidak peduli. Aku berlari meninggalkan kerumunan. Termasuk Uki dan Septi yang mengejarku. Aku berhenti di depan mobilku. Septi dan Uki menarik tanganku. “Kalau kamu pergi, kami juga pergi.” Septi menggamit tanganku. Aku melepaskannya segera. “Begitu ya? Kalian memang sahabatku yang paling baik. Tapi aturan itu tidak berlaku sekarang.” Kataku dingin. “Ada apa?” Uki tampak prihatin. “Apa ada masalah?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ada. Pribadi. Jadi tolong, aku mau pergi sendiri.” Dua sahabatku memandangi aku. Si penembak jitu menepuk pundakku. “Kami akan selalu ada di sampingmu.” Mau tak mau aku tersenyum. Hampir tertawa. “Akan aku ingat itu baik-baik. Aku janji.” Sesudah itu, aku masuk ke dalam mobil dan segera melesat ke rumah. Menjemput ayahku yang pasti sudah tiba. Mungkin beliau akan marah padaku. “Di mana Rifat?” Papa duduk di sofa dan aku berdiri di depan beliau. “Aku meminta dia pulang untuk saat ini.” “Apa?!” bentak papa. “Bukankah papa sudah bilang, kamu tidak boleh meminta para pembantu itu pulang. Tanpa seizin papa!” “Irfan tahu, ayah.” “Lalu kenapa kamu masih melakukannya?” Aku diam seribu bahasa. “Jawab!” “Aku meminta mereka pulang,” “Kenapa?” Bentak papa. “Karena rumah ini di serang setiap saat ketika papa pergi!” aku berteriak pada beliau. “Apa papa tidak sadar kalau rumah ini diserbu puluhan kali? Tahukah papa kalau aku sempat diculik? Dua kali pa!” “Tahukah papa kalau aku hampir mati puluhan kali?” Papa diam sejenak. Beliau tampak kaget dan khawatir sekaligus. “…Tidak…” “Itu karena papa tidak pernah berada di rumah! Papa hanya memkirkan pekerjaan daripada aku! Benar kan? Mungkin lebih baik jika aku tidak menjadi anak papa saja!” aku mengambil nafas dalam-dalam. “Apa papa pikir aku bahagia dengan semua harta ini? Tidak pa! kebahagiaan itu dari dalam. Bukan dari luar!” Papa terlihat sedih. Mata beliau sudah mulai berakhir. “Papa mengaku salah. Mungkin papa tidak pantas mengaku sebagai orangtuamu. Papa mungkin sudah lancang karena tidak memenuhi kewajiban papa sebagai orangtua. Kamu boleh menganggap papa bajingan atau apapun itu yang kamu inginkan. Tapi papa melakukan semua ini demi kamu. Papa tidak ingin hidup kamu sulit seperti yang papa alami.” “Maksud papa?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Papa meninggalkan kamu di sini sendiri. Tapi dengan begitu kamu bisa membawa teman. Benar kan? Dulu, karena kakek terlalu sayang pada papa, papa di penjara dalam rumah. Tidak boleh keluar. Karena kakek takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada papa. Dan juga…” “Sudahlah. Aku sekarang tahu kenapa papa berbuat seperti itu.” Aku melangkah maju dan memeluk papa. Mendekapnya kuat-kuat dalam pelukanku. “Kalau begitu… akankah kamu memaafkan papa?” “Papa tidak perlu meminta maaf. Ini semua salah Irfan. Kalau saja Irfan menyadarinya dari dulu, Irfan tidak akan menyalahkan papa. Irfan minta maaf pa.” Ayah menepuk bahuku. “Papa bangga padamu nak. Ketahuilah, walaupun papa tidak berada di sisimu, papa pasti ada di hatimu. Telepon papa dan papa akan berada di samping kamu saat kamu menekan tombol untuk memutuskan sambungan teleponnya.” Aku melepaskan pelukan.”Kapan mama pulang pa?” “Malam ini nak. Mama sedang berada di bandara Branti.” “Ya sudah. Aku mau mencari udara segar.” “Ya sudah. Tapi setelah itu, kita harus bicara.” “Ya.” Aku membuka pintu depan rumahku lebar-lebar. Aku berdiri di depan mobil papa. Hummer. Aku tertawa sesaat. “Aku tahu kalian ada di sini! Keluarlah, Uki, Septi! Papa sudah menunggu kalian.” Aku berjalan ke luar gerbang dan mendapati mereka berdua. “Kena kalian!” aku tertawa. “Ayo! Papa sudah menunggu!” Uki dan Septi berdiri. Mereka berjalan di samping aku. Dan mereka tersenyum sendiri. “Bagaimana kamu bisa mengetahui keberadaan kami?” kata Uki penasaran. “Aku kan sudah bilang kemarin. Aku memiliki tembok yang melindungi semua harta kekayaan aku.” “Maksud kamu apa? Jangan bertele-tele sih.” Septi semakin penasaran. “Tidak mungkin aku tidak melihat orang yang bersembunyi tepat di bawah kamera CCTV!” Mereka berdua berbalik dan melihat ke atas. Dan mereka tertawa. “Ini bukan rumah.” Uki berargumen. “Lalu?” Aku mengangkat alis. “Benteng pertahanan.” Septi menimpali. Dan akhirnya kami masuk bersama.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jadi kalian baru saja lepas dari kejaran penjahat?” Kata papa. “Untuk yang kesekian kalinya?” “Iya.” Kata Septi. “Ternyata Irfan bisa gerakan akrobat ya?” Uki menikmati coklat panas yang ada di meja. “Ya.” Kata papa. “Itu benar. Tapi paman bisa menebak dia tidak menunjukkannya pada kalian ya?” “Iya, dia sangat rendah hati.” Septi melihatku. Dari atas ke bawah. “Baguslah kalau begitu. Memang itu yang paman inginkan.” Papa menepuk bahu Uki dan tersenyum hangat pada Septi. Tampaknya dalam sekejap mereka sudah akur. “Maaf.” Aku bangkit dari kursiku. “Aku ingin mengambil sesuatu. Aku meninggalkan mereka bertiga, yang kali ini sedang mengobrol dengan asyiknya. Aku berada di ruang kendali CCTV sekarang. Tepatnya di lantai dua. Ruangan itu dijejali banyak monitor. Juga sebuah meja yang cukup besar. Dikelilingi oleh kursi-kursi mewah. Aku memperhatikan mereka bertiga dari salah satu layar monitor. Untuk saat ini, aku masih punya waktu untuk berfikir sejenak. Aku me-rewind semua kejadian di SD tadi pagi. Bukan bagaimana hebatnya Uki menembak tujuh orang sekaligus. Atau juga Septi yang menghajar sekumpulan penjahat kelas kakap bersenjata dengan tangan kosong. Tapi yang ada dalam pikiranku saat ini adalah, bagaimana cara Marvel menemukan rumah Septi dan Uki, serta rumahku. Apa iya dia punya mata-mata? Tidak mungkin. Aku menikmati segelas susu coklat hangat sambil mencari info tentang beasiswa ke Jepang di internet. Sedangkan mereka berdua masih asik berbicara pada papa. Aku beruntung memiliki orangtua seperti mereka. Mama dan papa benar-benar melindungi aku dari rasa kesepian. Mereka berdua mungkin sudah lama meninggalkan aku sendiri. Tapi dengan demikian, aku dapat banyak teman karena aku sering pergi meninggalkan rumah yang seperti benteng ini. semestinya aku menyadari hal ini dari dulu. Segelas susu hangat tidak terasa sudah berpindah tempat ke dalam perutku. Setelah puas berselancar di dunia maya, aku segera mencetak semua hasil pencarianku tentang beasiswa ke Jepang. “Apa yang kamu cari?” Septi memandangi aku yang membawa beberapa lembar kertas. “Informasi beasiswa ke Jepang.” Aku membagi kertas itu pada kedua teman karibku. “Jadi, apa yang dikatakan Septi dan Uki benar ya, nak?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Iya, pa. Kami mau kuliah di Jepang. Tepatnya di Tokyo.” “Jurusan apa yang mau kalian ambil?” Papa tampak serius kali ini. beliau memandangi kami dengan matanya yang coklat. Menatap mata kami dengan tatapan beliau yang paling tajam. Seolah kami bakal lari atau menghilang kalau beliau tidak melakukan itu. coklat panas beliau tersisa setengah gelas. “Aku akan ambil jurusan kedokteran.” Aku menatap mereka dengan penuh keyakinan. Semula, papa tampak terkejut. Tapi perlahan, senyuman mulai merekah di kedua bilah bibirnya. “Kalau aku desain grafis. Atau graphic design.” Uki menghabiskan coklat panasnya yang tersisa. Septi memandang kami ragu. “Apa jurusan yang akan kamu ambil, Sep?” aku memperhatikan temanku yang satu ini. “Aku punya banyak jurusan yang bisa aku ambil. Misalnya desain grafis, sastra, dan juga kedokteran.” Mau tidak mau aku mengangkat alis. Seseorang yang memiliki banyak jurusan yang mau diambil pastilah orang yang aktif. “Lalu apa pelajaran yang paling kamu sukai?” Pemudi yang sekarang rambutnya diekor kuda ini diam sejenak. “Interior design, atau arsitektur.” “Pilihan yang bagus,” kata papa. “Jepang terkenal dengan bangunannya yang tahan gempa.” “Ada yang tahu sekarang jam berapa?” Uki menyelipkan pistol yang tadi sempat dia letakkan di atas meja. “Itu pistol rakitan ya?” Ayah memperhatikan pistol itu, benda logam yang berwarna hitam dan sedikit luntur. “Iya, paman.” “Dari mana kamu mendapatkannya, Uki?” “Aku mendapatkannya dari salah satu orang yang menembak rumah Septi tadi pagi.” “Oh. Apa kamu tahu jenis apa itu?” papa mengambil salah satu pistol Uki dan memperhatikannya dari depan sampai belakang. Dari atas sampai bawah. “Namanya Night Hawk 50C. kaliber 50 ekspress. Tenaga dorongnya sekitar 1650 joules. Cukup untuk melubangi dua lapis pintu kayu.” Uki menjelaskan dengan gamblang dan terperinci. Aku sendiri sedikit heran. Dia bisa menjelaskan tentang pistol yang dia pegang dengan sempurna.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Bukankah itu nama air soft gun milik Dimas?” aku mengingat-ingat nama itu. “Iya. Itu yang replika. Tapi ini juga masih barang tiruan.” “Maksud kamu palsu?” Septi menghabiskan minumannya. “Iya. Harga pistol yang dibuat Israel ini sekitar 650 sampai 700 Dollar. Tidak mungkin ada preman jalanan yang mampu membeli pistol semahal itu.” “Oh begitu…” “Ternyata pengetahuan kamu luas juga, Uki. Coba kamu keluarkan dulu magazine pistolmu.” Uki melakukan yang diminta papa. Dia mengeluakan magazine pistolnya. Benda hitam panjang dengan butir-butir peluru yang berwarna kekuningan. “10 peluru,” ayah membatin. “Benda ini tiruan.” “Kenapa paman tahu benda ini tiruan?” kata Septi. “Karena Night Hawk yang asli hanya bisa memuat tujuh peluru.” Uki menambahkan. “Uki benar. Night Hawk yang asli tidak mungkin bisa menampung sepuluh peluru.” “Hei, sudah maghrib. Bagaimana kalau kita Sholat dulu?” Uki merubah topik pembicaraan. “Iya. Uki benar.” Kata papa. “Cepat ambil wudhu dan kita sholat maghrib berjamaah.” “Paman jadi imam ya.” Uki mengikuti aku yang sudah berjalan ke kamar mandi lebih dahulu. Uki dan Septi sudah pulang saat mama tiba. Begitu mama tiba, mama langsung memeluk aku dengan erat. Mungkin aku sudah pingsan kalau mama tidak melepaskan pelukannya. Mama membawa banyak barang. Umumnya berupa pakaian. Tapi begitu melihat aku, mama langsung membuang barang-barang bagus itu. “Syukurlah kamu baik-baik saja nak.” Mama membelai rambutku. Aku mulai mengingatingat. Kapan ya, terakhir kali mama membelai kepalaku seperti ini. mungkin terakhir kali… ketika umurku 12 tahun. Saat aku jadi juara. Kelas enam SD. “Sudahlah ma. Lebih baik kita bereskan saja dulu barang-barang ini. setelah itu baru kita mengobrol lagi. Kita masih punya hari esok kan?” Aku membereskan pakaian-pakaian itu. meletakkannya di kamarku. Begitu aku keluar kamar, mama memeluk aku lagi. Kali ini, mama menangis. Aku memeluk beliau lebih erat lagi. “Jangan menangis ma.” “Mama minta maaf nak. Semua ini memang kesalahan mama.” Kata mama sambil terisak di bahuku. Kaus yang aku gunakan mulai basah oleh air mata. “Di mana letak kesalahan mama?” kataku dengan nada menghibur.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kalau saja mama lebih memperhatikan kamu, kamu pasti tidak akan pernah jadi korban penculikan. Korban pengejaran Marvel gila itu. Dan juga…” “Semua sudah berakhir, ma.” Aku memotong pembicaraan mama. “Mama tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja.” Beliau menghapus air matanya dan menciumku. Saat itu, pikiranku seolah terbang ke langit ke tujuh. Aku sangat menginginkan hal ini terjadi lagi. Keesokan harinya. Seperti yang sudah aku perkirakan, Septi sudah menunggu aku di depan pintu kelas. Aku menyapa perempuan cantik itu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Apa lagi?” Septi mengikuti aku. “Pasti menunggu kamu.” “Oh, begitu. Kalau begitu, sebelum aku lupa, aku ingin mengutarakan satu hal yang penting sama kamu.” “Apa itu?” Dia tampak antusias sekali mendengar itu.” Aku meletakkan tasku di bangku. “Aku ingin bicara sama kamu. Empat mata.” Septi menatapku tanpa berkedip. Aku tidak tahu dia kaget atau apa. “Empat mata? Di mana?” “Di pohon beringin. Setelah semua orang pulang. Termasuk Uki.” “Baiklah kalau kamu mau.” “Tapi… tolong jangan pikirkan hal aneh dulu ya.” “Iya. Aku tahu. Kamu tidak perlu menasehati aku. Terutama soal membela diri.” “Iya. Aku tahu kok. Pokoknya aku tunggu setelah pulang sekolah.” Di sanalah aku siang itu. duduk sendiri di bawah naungan pohon beringin yang rindang. Menunggu salah satu sahabat terbaikku. Ada yang harus aku bicarakan langsung dengannya. Terutama masalah penampilan dia sebagai seorang muslimah. Dan beberapa hal penting lainnya. “Jadi… apa sebenarnya yang ingin kamu katakan?” Septi duduk di sebelahku. Dia membawa tas seperti biasa. Kali ini rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Berkilau diterpa sinar matahari yang tidak begitu menyilaukan berkat dedaunan pohon yang rindang. “Ada beberapa hal.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Entah kenapa, bicara dengan orang ini selalu saja sulit. Terutama jika hanya berdua seperti ini. “Tapi tolong, jangan kamu bantah dulu.” “Iya, aku akan mendengarkan.” “Janji?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ya. Aku janji.” Septi tampak santai. “Yang pertama adalah soal berbusana.” Aku melirik ke samping. Memperhatikan temanku ini. dia tampak sangat memperhatikan cara bicaraku. “Kita kan seorang muslim. Jadi bagaimana kalau kita memperhatikan cara kita berpakaian? Selanjutnya. Bagaimana dengan aturan yang selama ini sudah di atur dalam agama kita. Tentang aturan bersentuhan antara muslim dan muslimah yang bukan muhrim.” Aku diam sejenak. Memberi Septi kesempatan untuk bicara. “Aku tahu kok maksud kamu.” “Bagus kalau kamu tahu.” “Soal berbusana… aku juga sudah tahu mengenai aturan-aturan itu. juga bahayanya untuk orang lain. Terutama untuk diriku sendiri.” “Nah, kamu sudah tahu kan? Lalu kenapa kamu tidak merubah cara berpakaian kamu?” “Mungkin nanti.” Aku mengangkat bahu. “Ya sudah lah. Lalu kalau soal pukul-memukul itu bagaimana?” Septi tertawa sebentar. “Yang ini lain. Aku hanya refleks.” “Tidak mungkin itu refleks Sep. itu namanya kebiasaan.” “Yah, itu bahasa kasarnya.” “Lalu apa kamu akan merubah kelakuan kamu yang satu ini?” Septi menatapku dengan bola matanya yang berwarna coklat. “Mungkin nanti. Intinya, I will act like always. And I will do everything I want.” Aku mau tanya hal lain lagi. Yang ini berhubungan dengan perasaan. Boleh?” “Silakan. Tapi jangan aneh-aneh ya.” “Tidak juga. Menurutku ini cukup aneh. Kenapa kamu yang se-perfect ini bisa menaruh hati padaku?” Dia tampak sedikit terkejut. Tapi dia bisa mengendalikan mimik wajahnya. Hebat. “Tidak. Kata siapa?” “Jangan bohong. Aku tahu semua yang kamu sembunyikan. Karena aku temanmu. Lagipula… matamu tidak mungkin berbohong kan?” “Iya sih.” “Jadi bagaimana? Iya atau tidak?” “Aku… iya.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Oh, begitu. Sudah aku tebak. Dengar. Intinya, aku tidak berharap akan menjadi orang paling penting dalam hidup kamu. Yang aku harap, suatu saat nanti, saat kamu dengar namaku, kamu akan tersenyum dan berkata, dia sahabatku.” Orang yang aku ajak bicara diam saja. Aku jadi tidak tahu apa dia mendengarkan atau tidak. “Ayo pulang.” Aku menunggunya. Menantinya berdiri. Rupanya dia tidak bangkit walau aku sudah menunggunya. “Ayolah. Ada apa lagi?” “Aku kehabisan ongkos.” Kata Septi polos. “Ya Allah. Kan ada mobilku. Lagipula, aku memang berencana mengantarmu pulang hari ini.” Akhirnya, senyumnya yang manis kembali. Aku benar-benar merindukannya. “Ayo.” Kami meluncur di keramaian lalu lintas kota Kalianda yang cukup ramai. Aku berhenti di sebuah minimarket untuk membeli sesuatu. Yang pastinya aku butuhkan untuk mengasah bakatku dalam soal lukis-melukis “Kenapa kamu beli banyak sekali?” “Cat air ini? atau minumannya?” “Cat air itu.” “Untukmu dan Uki. Sebagian.” “Aku kan tidak mau Irfan.” “Ini rezeki. Jangan kamu tolak.” “Ya sudahlah. Kamu memang boros.” Aku tersenyum sedikit. “As you say, I will do everything I want.” Septi melihatku dengan ekspresi kesal. “Iya. Terserah kamu.” Aku bersiap untuk menghindari pukulan tangannya, sampai dia menegurku. “Kamu kenapa?” “Aku baik-baik saja. Aku mengira kamu akan memukul tadi. Tunggu di sini ya.” Aku meninggalkan Septi dan mengambil dua bungkus es krim dari freezer. Dan lalu membayar semua barang yang sudah aku beli. Sebelum kami pulang, kami menghabiskan es krim itu. “Dasar boros.” Kata teman perempuanku ini. “Dasar judes!” aku membalas dan kami berdua tertawa. Kami berdua duduk berdekatan. Tapi tetap menjaga jarak. Ini lebih baik pastinya. Daripada kami bersentuhan, pada akhirnya akan menimbulkan pandangan negatif. “Ayo. Cepat. Kita harus pulang.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dia membuang stik es krimnya ke tempat sampah. Dan mengambil pelastik yang berisi barang-barang kami. “Ayo, lamban.” Aku bangkit dan membuka pintu mobil. “Ayo tuan puteri…” “Aku hanya bisa mengantarmu. Maaf.” Aku melajukan mobil dalam kecepatan sedang. “Kenapa? Kamu kan tidak salah, bule.” Aku tersenyum enggan. “Karena aku tidak bisa mampir.” “Begitu? Ya sudah. Tidak apa-apa kok. Lagipula aku kan juga sudah sangat merepotkanmu.” “Dengar, bukan berarti aku tidak mau. Tapi masih ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengan Uki.” “Kalau begitu, jangan buat dia menunggumu.” Septi memberikan senyum manisnya padaku. Akhirnya aku menambah kecepatan mobil gendutku ini, hingga jarum speedo meter menunjuk angka 100. Aku menghentikan mobilku di depan rumah Uki. Kali iini aku sudah mengganti pakaianku. Dengan yang lebih bagus tentunya. “Kakak, ada mas Irfan!” Dimas berteriak ke dalam rumahnya. Rumah sederhana yang dicat dengan warna putih bersih. Tidak terlalu luas, tapi memiliki halaman yang indah. Salah satu jenis rumah sederhana idamanku. Uki berjalan mendekat. Dia memakai kaus biru dengan gambar roket. “Ayo masuk. Jangan di luar, ah.” “Tidak perlu. Di sini saja cukup.” Aku mendudukkan diri di kursi rotan yang ada di halaman depan. Mau tidak mau Uki duduk di sampingku. “Pasti ada kabar. Kalau tidak kamu pasti akan memberi tahu aku kalau kamu mau mampir.” Aku tersenyum ramah. “Begitulah.” “Jadi, ada apa? Apakah ini menyangkut Marvel?” “Bukan, bukan dia. Septi.” “Oh, dia? Ada apa lagi? Apa dia merepotkan kamu lagi?” “Tidak. Tadi aku baru saja bicara dengannya. Mengenai penampilannya.” “Oh ya? Bagaimana hasilnya?” “Seperti biasa, Uki. Pasti kamu tahu.” “Biar aku tebak. Dia pasti berkata, ‘I will do everything I want.’ Juga ‘I will act like always.’ Benar kan?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“100 untukmu.” Aku menepuk bahu Uki. “Tapi bagaimana kamu tahu? Apa kamu mendengarkan juga?” “Tidak. Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain.” “Lalu bagaimana kamu bisa tahu?” “Mudah saja. Karena kata-kata itulah yang selalu dia ucapkan.” Aku tertawa sedikit. Uki ada benarnya juga. “Bagaimana persiapan kamu menghadapi ujian besok?” “Aku siap. Kamu?” “Pasti.” “Baguslah. Hey, aku pulang dulu ya. Masih ada yang harus aku persiapkan untuk UAS kita besok. Juga untuk UN.” “Ya sudah. Pasti kamu belum pulang ke rumah kan? Orangtuamu pasti khawatir.” “Yup. Bye…” dengan itu, aku meninggalkan Uki di depan rumahnya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 8 SEPTI Ujian sudah berakhir.Yang ada sekarang adalah libur. Antara dua hal. Cukup panjang, tapi kurang. Panjang karena memakan waktu dua minggu, tapi kurang lama karena kami pasti memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencari beasiswa ini. Semoga prosesnya cepat ya Allah. Aku mengakhiri doa dalam sholat Tahajjudku. Setelah itu, aku langsung membaca Al-Qur’an hingga waktu subuh tiba. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan hari ini?” “Masih ada kegiatan di sekolah. Seperti class meeting begitu.” “Begitu, apakah ayah perlu mengantarmu?” “Tidak yah. Nanti aku minta tolong sama Irfan atau Uki saja.” “Kamu memiliki teman yang sangat baik. Jagalah mereka. Jangan sekali-kali salah dalam berkata-kata, nak. Ingat pesan ayah, suatu perkataan yang melukai perasaan, hanya bisa dimaafkan. Tapi tidak bisa dilupakan.” “Baiklah. Akan aku ingat pesan ayah baik-baik. Aku janji.” “That’s my daughter. Cepat, bereskan apa yang harus kamu bereskan. Jangan sampai kamu buat kedua temanmu menunggu.” “Baik, ayah.” Begitu mobil pemuda itu tiba, aku langsung masuk dan duduk di kursi tengah bersama Uki. “Kenapa tidak duduk di depan, Sep?” Uki memperhatikan aku. Sementara Irfan tidak terlalu memperhatikan. Dia terus menatap ke depan. Berusaha agar mobil besar hitam ini tetap berada dalam kendalinya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku… menjaga jarak.”Aku melihat Irfan lagi. Dan kali ini dia tersenyum. Aku bisa melihat senyumannya dari kaca spion yang ada di dalam mobil. “Sepertinya pembicaraan kemarin memberikan efek positif.” Uki memberi komentar. “Semoga tahan lama.” Mobil hitam yang kami naiki melintas di atas jembatan yang cukup lebar. Tapi aku tidak mengurangi kecepatan. Bahkan aku tetap mempertahankan kecepatan saat ada perbaikan jalan. “Apa kamu sudah hilang akal?” Uki memegangi kursi penumpang depan. “Tidak.” Aku mendahului sebuah mobil angkutan. Dan mengembalikan mobilku ke jalan yang halus. “Lalu kenapa kamu tidak mengurangi kecepatan ketika melewati jalan rusak barusan?” Tambah Septi. “Hanya test drive. Kalian tidak terlalu merasakan getaran kan?” “Iya.” Uki memperbaiki posisi duduknya. “Bolehkah aku mengganti topik pembicaraan?” “Boleh.” Aku menjawab. “Hal apa yang ingin kamu bicarakan?” “Marvel.” Kata Uki. “Apa kalian sudah lihat berita tadi malam?” “Belum.” Irfan melihat Uki dari kaca spion. “Apa lagi yang dia lakukan kali ini?” “Dia membuat kerusuhan lagi. Atau setidaknya komplotannya. Mereka membakar sebuah rumah di daerah penengahan.” “Apakah ada korban jiwa?” Supir mobil kami tampak tertarik dengan berita kriminal hangat ini. “Tidak ada,” Uki meneruskan. “Tapi kerugiannya ditaksir mencapai jutaan rupiah.” “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” aku memberi pertanyaan lain. “Apakah kita harus melacak orang sinting bin gila ini?” “Tunggu dulu.” Kata Irfan tiba-tiba. “Aku agak bingung kemarin.”dia berhenti sejenak untuk mengambil nafas. “Apa kalian tahu, bagaimana cara Marvel menemukan lokasi rumah kita?” “Tidak tahu.” Aku dan Uki menjawab bersamaan. “Seperti dugaanku. Kalau begitu kita harus memikirkan hal ini dalam-dalam. Pertama, dia menyerang kita di rumah Uki.” Kata Irfan lagi. “Kemudian rumah kamu yang jadi sasaran setelahnya. Untung tidak ada korban jiwa.” Tambah Uki. “Jadi, kalau tidak salah, Marel beserta komplotannya juga akan menyerang rumah Irfan.” Aku mengakhiri statement itu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Benar.” Irfan berkata dengan tenang, seolah tidak ada yang akan terjadi pada rumahnya. “Kita tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Uki tampak optimis. Yang buatku sih oke-oke saja. “Lagipula, Marvel harus melewati pagar rumahku dulu.” “Jangan terlalu mengandalkan pagar rumahmu yang seperti tembok prtahanan,” aku memperingatkan. “Marvel akan melakukan segala macam cara. Mungkin dia akan meledakkan pagar itu. mungkin.” “Aku tahu.” Irfan tetap bisa mengendalikan emosinya. Inilah salah satu hal yang aku suka dari cowok ini. “Kita perlu memastikan rumahku kosong untung jangka waktu satu minggu kedepan,” dia membelokkan mobil ke kiri. “Dengan asumsi dia memang ingin melakukannya minggu ini.” “Itu pasti. Sekarang kan sudah hampir libur panjang.” “Itu dia Uki…” potong Irfan. “justru karena sebentar lagi liburan, kemungkinan Marvel tidak akan muncul.” Melihat mereka berdua terus ribut seperti ini, perasaanku jadi jengah sendiri. “Cukup!” akhirnya aku berkata. “Segala kemungkinan bisa saja terjadi.” Tiba-tiba mobil berguncang cukup keras. Tapi hanya sesaat. “Apa yang sebenarnya terjadi?” aku menuntut. “Lubang. Maaf.” Irfan, pemuda bertubuh proporsional untuk menjadi seorang atlet itu tersenyum jail lagi sarkastis. Membuat darahku mengalir makin cepat dalam tubuhku. Sejak kapan dia belajar tersenyum seperti itu? “Rem!” Teriak Uki mendadak. Dia menarik tuas rem tangan dan melintirlah mobil besar ini. “Ada apa?!” kataku keras-keras. “Itu! Kalau tadi kita tidak menarik re mini, kita pasti menabraknya.” Seorang pria berbadan besar berdiri di depan mobil yang kami tumpangi. Hanya satu inichi lagi sampai tubuhnya menempel di bumper depan. Dia memakai tudung kepala dan bersikap terlalu santai. Sehingga kami menyerbu keluar. “Wah, aku tidak mengira kalian akan menyambutku seantusias itu.” kepalanya sudah menghadap ke atas. Tapi wajahnya masih tertutupi bayang-bayang tudung kepalanya. “Bisa tolong turunkan pistolmu, Uki?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Uki mencengkram pistolnya makin kuat. Yang menurutku bagus. Hujan sudah mulai mengguyur. Aku jadi berharap aku juga punya jas hujan seperti yang dipakai orang misterius ini. “Eh, hujan loh. Apa kalian yakin akan berdiri di sini terus? Lagipula kalian menyebabkan macet tahu.” “Siapa kamu?” kata Irfan. “Kenapa suaramu sangat familier?” “Tentu saja. Dasar orang-orang aneh.” Dia melepas tudung yang menutupi kepalanya. Dan kami semua terkejut. “Maaf, bolehkah aku minta tumpangan? Sampai sekolah saja?” “Jadi kenapa kalian berjalan sampai jauh melebihi kalianda?” “Kami kebablasan.” Kata Irfan. “Ma’lum. Kami terlalu asyik mengobrol.” “Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan Rimba?” aku menatap pemuda gemuk itu. untungnya, tinggi badannya sesuai dengan besar perutnya. Jadi aku tidak perlu memanggilnya gendut” “Aku baru saja datang dari Bandar Lampung.” Rimba menarik nafas. “Tadinya aku naik motor. Tapi begitu melihat kalian, aku memutuskan untuk turun.” “Di tengah jalan.” Kata Uki. “Dengan tudung kepala. Tahu tidak, kami kira kamu salah satu komplotan Marvel.” “Oh, jadi itu alasanmu mengacungkan bedil ke arahku?” “Iya. Maaf soal itu. Aku tidak sengaja.” “Lupakan saja. Kalian memang tiga serangkai paling unik.” “Maksud kamu?” kataku penasaran. “Coba kita perhatikan. Ada kamu, Septi, yang jago bela diri. Juga ada kamu, Uki. Pemuda yang ahli menembak. Juga ada Irfan. Yang bisa gerakan akrobat.” “Lalu?” Irfan mendesah. “Seakan-akan tokoh-tokoh komik atau buku cerita yang aku baca muncul ke dunia nyata.” “Kalau begitu, selamat datang di dunia kami.” Pungkas Uki, dan kami semua tertawa. Irfan memberhentikan mobil di depan sekolah kami. Begitu kami keluar, Risa dan Andri muncul menemui kami secepat angin. Dan tahulah aku bahwa kami terjerumus dalam masalah. Atau mungkin malah terseret ke dalam sanjungan indah. Ya. Ini bergantung pada nilai Ujian Akhir kami tentunya. “Ada apa?” Aku kontan bertanya pada Risa. Yang hanya tersenyum saja.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kalian akan tahu, setelah kalian mengikuti kami.” Dia menoleh kepada Andri. Yang berdiri di antara Uki dan Irfan. “Rimba,” kata Irfan mendadak. “Kalau nanti aku tidak keluar kantor, tolong jaga tempat dudukku untukku ya.” “Dengan senang hati.” Rimba mengambil langkah ringan dan meniggalkan kami, yang seolah sedang berjalan menuju penjara. “Nah, kawan-kawan, apa yang dikatakan Risa benar. Just follow us and you’ll know.” Mau tidak mau kami mengikuti mereka berdua. Menuju kantor kepala sekolah. “Jadi, Risa dan Andri belum memberi tahu kalian ya?” Pak Rudi meminta kami duduk di sofa ruang tamu. Di sana sudah ada Viera. Duduk manis sambil tersenyum pada kami. Aku bersalaman padanya. “Apa kiranya yang membuat kamu datang ke sini? Apa kamu membuat masalah juga?” “Kamu benar-benar tidak tahu ya, Sep? pak Rudi memanggil kita kemari, karena kita termasuk empat besar yang akan mendapat beasiswa ke Jepang.” Aku menatap Viera tidak percaya. “Kamu pasti bercanda.” “Tidak, Septi.” Kata pak Rudi lembut. “Apa yang dikatakan Viera benar adanya. Kemarin, teman bapak di kedubes Jepang, bapak Nura namanya. Bilang, bahwa kalian berhak mengikuti tes penerimaan beasiswa Jepang.” “Kami berempat?” aku masih tidak percaya. “Aku, Viera,Uki dan Irfan?” “Iya. Kalian berhak. Karena kalian mendapat nilai tertinggi. Empat orang untuk mewakili SMA kita untuk memberikan yang terbaik. Bersaing dengan orang-orang terbaik. Untuk menjadi yang terbaik.” Aku gemetaran. Irfan menempelkan bahunya di bahuku. Membuatku jauh lebih baik. “Untuk info lebih lanjut, kalian bisa mengunjungi kedubes Jepang di Jakarta. Temui kepala bidang pendidikannya. Nama beliau Nura Rihyon. Biasa dipanggil pak Nura.” Aku menatap pak Rudi. Terkejut. Sangat terkejut. “Ada apa denganmu, nak?” kata beliau khawatir. “Dia kaget pak.” Irfan bicara mewakili aku. “Kenapa?” Beliau tampak terlalu heran. “Teman bapak, Nura Rihyon. Mirip dengan nama tokoh dalam serial manga yang disukai Septi.” Uki menimpali. “Oh, begitu. Ya sudah. Bapak kira kamu melihat hal-hal ghaib tadi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku baik-baik saja pak. Terima kasih.” Aku menatap Uki dan Irfan. “Tapi kenapa kalian bisa mengetahui nama tokoh di komik itu?” “Karena kami mengenalmu!” kata mereka berdua bersamaan. Tingkah kami tampaknya membuat sang kepala sekolah heran. “Apa mereka selalu seperti ini?” katanya pada Viera. Yang sedari tadi hanya senyum-senyum ringan. “Itulah mereka.” Kata Viera enteng.. “Tiga serangkai paling aneh yang pernah aku saksikan.” “Hey,” kata Uki. “Apa ada yang salah dengan kami?” dia memasang mimik wajah seram. Yang anehnya malah membuat kami tertawa. Begitu juga pak Rudi. Guru yang paling terkenal pendiam. Kalau dia bisa tertawa seperti ini, aku jadi ragu Uki memasang ekspresi wajah seram. “Kamu harus belajar seni teater nak,” kata pak Rudi. “Bapak bisa mengajarkanmu beberapa trik dasar untuk mengubah mimik muka.” Spontan kulit wajah Uki menjadi semerah rambutan masak. Irfan mengelus punggungnya. “Santai sobat. Jangan merusak hal-hal indah dengan amarah. Sepertinya kalian kan sudah tahu. Kata-kata marah, yang dalam bahasa Inggris kita sebut ANGER, sebenarnya adalah kalimat DANGER, atau bahaya. Hanya kekurangan satu huruf saja.” “Sudahlah.” Kata Uki, “Aku tahu kok, jadi tidak perlu kamu beri tahu lagi.” “Jadi, akankah kita mulai pembicaraan penting ini?” Kata pak Rudi akhirnya. “Bisa.” Kami berempat berkata bersamaan. “Bagus. Jadi, dengarkan. Masa pendaftaran calon mahasiswa baru akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei sampai pertengahan bulan Juni.” “Formulir pendaftarannya pak?” Tanya Irfan. “Formulir pendaftarannya,” pak Rudi mengeluarkan secarik ketas dari sebuah map warna biru. “Silakan buka link itu dan download formulir pendaftarannya di sana.” “Lalu?” Uki tampak kurang paham. “Lalu, kirim surat lamaran kalian via pos. atau kalian bisa mengunjungi bagian pendidikan kedutaan besar Jepang di Jakarta.” “Bisa tolong beri tahu kami alamatnya?” kata Viera yang dari tadi diam saja. “Aku tahu.” Kata Irfan. “Benarkah?” aku memandangnya sarkastis sekaligus kagum. “Di mana?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“di Jl. M.H.Thamrin 24 Jakarta.” “Bagaimana kita mengirimnya?”Uki melihat Irfan. “kita bisa mengirim formulir pendaftaran itu via pos, mudah kan?” “memangnya kamu tahu, kode posnya?” pertanyaan Viera masuk akal juga. Surat yang kita kirim tidak akan sampai ke tujuan kecuali ada kode posnya. “10350.” kata Irfan dengan pasti. “Nah, bapak kira kalian sudah tahu.” “Bagaimana dengan ijazah dan nilai rapot kami?” aku memandang pak Rudi. Dia memberikan setiap orang dari kami selembar map. “Semua nilai kalian sudah ada di sana. Fotokopi ijazah dan fotokopi rapot kelas tiga semester dua.” Kami mengambil map itu. akan tetapi kami tidak berani membukanya. Tidak di depan kepala sekolah sekaligus wali kelas kami ini. “Ada satu hal yang membuat bapak heran,” “Apa itu pak?” kata Viera. “Nilai kalian. Kenapa bisa hampir sama?” “Maksud bapak?” aku masih tidak paham. Tapi aku sudah menebak. “Nilai kalian sama besar. Apa kalian curang.” “Tentu saja tidak.” Kata Irfan. Suaranya meninggi. “Iya.” Kata pak Rudi. “Ya sudah. Santai saja. Tidak perlu meniggikan suara seperti itu.” Aku mengelus punggung Irfan. Berusaha menahan diriku sendiri agar tidak menghajarnya. “Maaf pak Rudi, apa saja fasilitas yang kita dapat kalau kita mendapatkan beasiswa?” Uki mengganti topik pembicaraan. Untungnya Irfan tertarik. Semoga. Pak Rudi berdeham. “Cukup banyak. Apa kalian mau tahu?” “Ya.” Kami berempat berkata bersamaan. Syukurlah. Irfan sudah agak baikan. Beliau mengambil selembar kertas lain. Yang ini masih terlipat. “Fasilitasnya, bebas biaya ujian masuk, biaya kuliah dan uang pendaftaran. Tiket kelas ekonomi pulang pergi Indonesia – Jepang. Tunjangan 117.000 Yen per bulan.” “Bapak tidak bohong kan?” Uki mencondongkan badannya ke depan. Seolah dia tdak mendengar perkataan pak Rudi sebelumnya. “Yah, begitulah yang tertulis di sini.” Beliau memberikan kertas itu padaku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Sepertinya memang begitu.” Aku memberikan kertas itu pada Uki. Kontan dia meletakkan kertas itu di meja dan melihat kertas itu lekat-lekat. Seolah dia terkena penyakit mata minus atau plus. “Banyak ya.” Kata Uki. “Tentu saja. Biaya hidup di Jepang kan mahal.” Irfan menepuk bahu Uki. “Iya sih.” Uki mengangguk. “Apa kalian tidak mau cepat sekolah di Jepang?” Pak Rudi mengompori. Memanas-manasi hati kami. Kami tertawa. “Semuanya perlu proses pak.” Kata Viera kalem. Pantas Rimba suka padanya. Walau dia jago bela diri, sifat dan sikapnya yang kalem begini pasti akan membangkitkan rasa protektif semua orang yang mengenalnya. Terutama, teman dekat. “Lebih cepat lebih baik.” Ujar pak Rudi. “Tapi…” kata Irfan tiba-tiba. “Bukankah melamar beasiswa itu hak semua orang?” “Iya.” Pak Rudi meminum tehnya yang tampak sudah dingin karena belum diminum. Asap yang tadi melayang dari dalam gelas kini sudah lenyap. “Lalu?” “Lalu kenapa hanya kami yang dapat kesempatan untuk melamar beasiswa ini?” Aku menatap Irfan tidak percaya. Aku tidak mengira orang pintar ini akan mengajukan pertanyaan bodoh. “Apa obatmu sudah habis? Tadi kan pak Rudi sudah bilang. Nilai kita adalah yang tertinggi di sini. Oleh karena itu, hanya kita berempat yang bisa mewakili sekolah ini.”Aku menarik nafas dalam. “Kalau sekolah lain punya lima orang, maka mereka pasti akan mengutus lima orang.” Irfan menatap kosong ke wajahku. Seolah dia tidak mendengar apa yang baru saja aku ucapkan. Emosi dalam hatiku semakin menjadi-jadi dibuatnya. “Maaf,” ujar pemuda berkulit putih itu akhirnya. Bisa tidak kamu berbicara pelan-pelan? Kita kan sedang di… kamu tahu kan? Kantor kepala? “Bisa tidak kamu tidak mengajukan pertanyaan bodoh seperti tadi?” Kami berdua beradu pelotot. Seolah kami adalah musuh yang sudah siap untuk saling bunuh. Hanya saja kami sedang menunggu saat yang tepat. “Cukup.” Viera menarik aku menjauhi anak laki-laki itu. sayangnya, walaupun Viera menarik aku menjauhi pemuda itu, jarak antara kami berdua tetap saja dekat. Karena Irfan duduk tepat

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

di samping aku. “Teman-teman, aku tahu kalian sangat hebat dalam hal saling sikut. Tapi, bisakah kalian tenang sejenak? Banyak hal yang harus kita bicarakan.” “Tidak. Sudah tidak ada lagi.” Kata pak Rudi. “Tapi pak…” Viera memelas. “Memang sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Begitu kalian lulus seleksi dokumen, kalian akan dihubungi pihak kedutaan.” Pak Rudi bangkit dan mengajak kami bersalaman. Walau beliau tampak sedikit kesal, beliau tetap tersenyum ramah. Seolah tidak terjadi ketegangan apa-apa. Beliau membolehkan kami pulang. Tentu untuk mempersiapkan segala sesuatunya sematang mungkin. Aku sedang berjalan meninggalkan sekolah sendirian. Saat sebuah mobil hitam gemuk berhenti tepat di sampingku. Pintu depan sisi kiri mobil terbuka. Dan tampaklah orang bodoh itu. dia tersenyum padaku. Senyuman jahil dan sarkastis. Yang sudah pasti menjadi ciri khasnya. Namun akhirnya malah aku sukai. Aku sudah terpikat senyuman yang satu ini sejak lama. Senyum yang tadinya sangat aku benci malah aku sukai akhirnya. “Serius nih, apa kamu mau jalan sampai rumah?” “Iya.” Ujarku tak peduli. Dia tertawa renyah. “Yang benar? Uki tidak ada loh.” Aku terpancing sepenuhnya. Uki tidak ada? “Kemana dia?” ucapku akhirnya. Mencoba menatap tajam mata Irfan yang sewarna dengan coklat Silver Queen atau Delfi. Yang manapun yang kalian suka. Bagiku sama saja. “Dia pulang sendiri.” Aku masuk dan menutup pintu. Irfan menekan tombol kunci dan terkuncilah keempat pintu mobil ini. “Kenapa begitu?” “Pakai dulu sabuk pengamanmu.” Irfan mulai menjalankan benda logam ini. dan secara perlahan menaikkan kecepatannya. “Uki berpendapat bahwa kita membutuhkan waktu berdua saja. Yang menurutku sangat konyol.” Tapi sangat bagus untukku. Pikirku. “Jadi, kamu tidak marah padaku?” “Marah?” ada perasaan terkejut dalam suaranya. “Kenapa aku harus marah padamu?” Irfan melirikku. Dan jelaslah bahwa dia keheranan “Atas kejadian yang baru terjadi?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jangan konyol.” Dia tertawa. “Aku malah khawatir jadinya.” “Kenapa?” aku menatapnya. Lebih kaget daripada dia tampaknya. “Aku khawatir Marvel akan mengganggumu. Sedangkan aku tidak bisa membantu.” “Aku bisa menjaga diri.” “Oh, begitu.” Dia tersenyum geli. Ada apa lagi dengannya? Apa dia benar-benar kehabisan obat? “Jangan meremehkan aku.” Senyumannya malah semakin lebar jadinya. “Aku tidak akan pernah meremehkan kamu, Sep.” “Lalu, kenapa kamu terlalu mengkhawatirkan aku? Apa kamu menganggap aku masih anak kecil?” “Tidak. Aku tidak menganggap kamu anak kecil, karena kamu sudah besar.” “Lalu? Apa sih yang kamu maksud?” aku berujar tak sabar. “Aku menganggapmu… yah, perempuan. Perempuan muda dan cantik yang harus dilindungi.” Aku rasa aku cocok disebut badut saat ini. karena aku bisa melihat wajahku merah membara dari kaca spion dalam. Aku sudah belajar bela diri dari kecil. Sudah banyak penjahat yang aku lawan. Sudah banyak pertandingan bergengsi yang aku menangkan. Semua temanku menganggap aku kuat. Bahkan oleh semua teman laki-laki yang aku miliki, yang jumlahnya cukup banyak. Baru kali ini aku dibilang lemah. Dan lebih parahnya lagi, harus dilindungi. “Ada apa dengan wajahmu? Oh, aku tahu. Perkataanku yang tadi berarti benar, kan?” Aku memutuskan untuk tidak meneruskan pembicaraan. Bisa-bisa wajahku semakin merah saja jadinya. Pemandangan di sini indah dan menawan. Walau hanya diisi dengan sedikit bunga yang bermekaran. Aku sudah hampir jatuh tertidur saat Irfan menginjak rem secara mendadak. “Apa kamu mau membunuhku?” Aku jadi berteriak karena kaget. “Untung kamu sudah bangun.” Dia tampak tidak memperhatikan ucapanku barusan. “Karena kalau kamu tidur, kamu akan melewatkan objek yang cukup keren.” “Kenapa macet sih?” kalau dia tidak memperhatikan ucapanku, maka, aku juga bisa. “karena ada pertunjukan bagus, Septi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apa maksudmu? Aku pusing akibat kamu menginjak pedal rem secara mendadak barusan. Jadi, jangan membicarakan hal aneh dulu. Sebelum kepalaku berhenti berdenyut.” “Ada kecelakaan.” Irfan menjalankan moilnya secara perlahan. “Dari mana kamu tahu?” “Aku baru menelepon Aldo. Katanya dia mau ke Tanjung Karang. Seperti yang aku duga. Dia sempat melihat apa yang ada di depan kita.” Dia menatapku santai. Sambil menyunggingkan senyuman khasnya. “Kamu harus belajar untuk tidak mengangkat suaramu terlalu tinggi.” “Ya. Aku tahu. Karena suaraku adalah salah satu dari aurat-ku.” Aku mengarahkan AC yang ada di dash board tengah ke kiri. Aku heran kenapa dia tampak santai-santai saja dalam cuaca panas begini. “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” Aku mulai menurunkan suaraku. “Kecelakaan beruntun. Menurut Aldo, ada sekitar tiga mobil yang remuk.” Aku jadi semakin khawatir. “Apa ada korban jiwa?” Dia mengangkat bahu. Dan menjalankan mobil. Kali ini sedikit lebih cepat. “Jadi, di mana kita akan berkumpul untuk mengisi formulir ini?” Aku mengubah topik untuk menepis rasa bosan yang sudah mulai menggelayut di hatiku. “Bagaimana kalau di tempat paling hijau, di antara rumah kita bertiga?” “Maksud kamu? Di rumahku?” “Ya. Kalau kamu mau. Bagaimana?” “Rumahku ya? Baiklah.” Kami melewati tempat kejadian perkara. Sebuah truk berbak coklat anjlok. Dan muatannya yang berupa kayu gelondongan tumpah ke jalan. Yang saat ini sedang disingkirkan oleh petugas. Tapi selain itu baik-baik saja. Di depannya, ada dua mobil lain. Kondisi keduanya jauh lebih parah. Menurut perkiraanku, mobil truk pembawa kayu ini menghindari tabrakan dengan membanting stir ke kiri. Sebuah bus berwarna putih hancur bagian depannya. Hanya bagian depannya saja. Tapi bagian belakangnya tampak baik-baik saja. Dan akhirnya, yang paling parah adalah sebuah mobil angkutan pedesaan berwarna kuning yang bagian depannya sudah rata akibat tumbukan. Banyak orang-orang terluka yang sudah diangkut oleh masyarakat. Ketika melihat bagian belakang minibus itu, Irfan tampak sangat terkejut dan dengan gerakan sangat cepat membelokkan mobil ke kiri. Berhenti di tempat yang agak kosong. “Ada apa?” aku mencoba mengorek informasi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Tanpa menjawab pertanyaanku lebih dulu, dia turun dari mobil dan meninggalkanku. Aku berlari menusulnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?!” aku berteriak melampaui keributan. “Itu mobil yang ditumpangi Uki.” Uki? Di dalam mobil itu? Aku berlari mendahului Irfan. Tapi dia menarik tanganku. “Tenang dulu. Jangan terlalu terburu-buru.” Irfan mengeluarkan handphone-nya dan seketika menepuk kepalanya. Dan ingatlah dia bahwa Uki dan Aku sama-sama tidak punya handphone. Akhirnya kami memutuskan untuk menembus keramaian. Kami menghampiri seorang petugas. Yang mengenakan pakaian merah menyala nan menyilaukan. “Dimana para korban pak?” kata Irfan sopan. “Di sana.” Kata si pemuda. Tangannya menunjuk entah ke mana. Tapi wajahnya bahkan tidak mengarah pada kami. Seolah wajah kami ini menakutkan atau apalah. “Di mana?” kata Irfan tidak sabar. “Di sana!” “Mana?”Irfan tampak semakin kalut. “Disana bocah!” orang itu memegang kepala Irfan seperti bola basket dan memutarkannya ke samping. Aku kaget dan hendak menendang tangan orang itu hingga temanku mencengkram lengan orang yang memegang kepalanya dan menendang orang itu. tepat di kepalanya. Orang itu jatuh terjerembab di tanah. Punggungnya membentur batu. Orang-orang semakin bertambah ribut. Rupanya Irfan belum selesai. Dia melakukan gerakan salto ke muka. Salto yang tidak menggunakan tangan. Dan mendarat dengan mulus dengan kedua kakinya. Satu kaki menjejak perut, dan satu lagi menekan dada orang yang baru saja dia rubuhkan. Aku baru tahu bahwa pemuda ini cukup agresif. “Di mana mereka?” “Di rumah besar itu.” dia tampak ketakutan setengah mati. Saat dia melihat ke samping, aku bisa melihat tato beerbentuk M besar di lehernya. Bukankah itu… Aku menarik Irfan menjauhi orang tersebut. Dan segera melangkah ke rumah besar itu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dalam perjalanan yang cukup dekat, aku melihat satu orang lagi. Dia juga memiliki tato M di lehernya. Kata seorang anak sebayaku, insan bertato yang aku lihat barusan adalah kenek bus yang rupanya selamat dari kecelakaan. Pantas saja dia diinterogasi polisi. Yang menurutku bodoh karena tidak tahu arti lambang itu. Ada banyak orang di tempat ini. sebagian menangis. Bahkan ada yang menjerit histeris Kami berdua berjalan bersisian. Langkah kami terhenti karena dua petugas mengangkat sebuah kantung jenazah yang bagian kepalanya terbuka. Dan yang di dalam kantung itu adalah…UKI Tidak. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin wafat dengan cara seperti ini. Irfan bersikeras untuk melihat.Orang itu mirip sekali dengannya. Aku ingin percaya bahwa yang kami lihat bukan Uki. Tapi tampaknya keinginanku mustahil. Irfan membuka kantung itu dengan tergesa-gesa. Air mata mengalir deras. Mungkin bisa memenuhi sebuah gayung. Rupanya, tanpa aku inginkan, air mataku juga mengalir. Irfan mengambil secarik kertas dari jasad Uki. Kertas itu sudah berlumur darah. Dia membuka lipatan kertas itu dan meletakkannya di lantai. M besar. Irfan menjerit secara tiba-tiba. Lalu, dengan badan ditegakkan dia merenggut kertas itu dan menatap langit-langit. “Aku bersumpah akan menghabisimu, Marvel!” semua orang menatapnya seakan dia sudah gila. Sampai aku merasa handuk dingin diletakkan di tengkukku. Aku seketika berpaling. Dan mendapati ada pemuda di dekatku. “Kalau aku sutradara, dia akan mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik sepanjang masa.” Yang berdiri disampingku adalah… ah, aku pasti gila. Uki. Dia masih hidup. Dan kini tertawa geli. Apakah ini… Aku menjerit histeris. Irfan berpaling. Dan mendapati Uki ada di sampingku. Irfan berlari mendekati Uki dan memeluknya kuat sekali. Jadi, dia memang bukan hantu. “Hei, aktingmu barusan benar-benar memikat.” “Ya Allah, Uki. Aku kira kamu sudah wafat! Syukurlah.” “Rupanya aku masih hidup ya? Maaf sudah membuatmu kecewa.” Aku dan Irfan sama-sama memukul orang itu kuat-kuat. “Uki, bagaimana caramu meloloskan diri dari kecelakaan ini?” Irfan sudah bisa mengendalikan emosinya. Dan tampaknya melupakan jenazah itu sama sekali.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Meloloskan diri? Aku bahkan tidak ada di sini saat kecelakaan terjadi.” “Tapi bukankah itu mobil yang kamu tumpangi?” “Iya. Memang.” “Lalu kenapa…” “Karena aku sudah turun di rumah. Mobil itu sedang melaju menuju kalianda. Bukan dari kalianda.” “Lalu, kenapa kamu masih di sini?” “Sama seperti kalian. Aku hanya ingin melihat-lihat. Aku kemari dengan motor.” “Ya, sudah. Tampaknya kamu akan pulang sendiri ya?” si pemilik mobil nan gagah itu merangkulkan tangannya di bahu Uki dan menyeretnya pergi. Aku lantas mengikuti. Aku berdeham. “Sepertinya ada yang kamu lupakan, Fan.” “Benarkah? Apa itu?” “Kantung jenazah itu. apa benar kamu mau meninggalkannya begitu saja?” “Oh, aku tidak peduli lagi. Yang penting teman-temanku masih hidup.” Kami tertawa dan akhirnya pulang bersama. Uki di depan kami. Dengan motornya. Setibanya kami di rumahku, sang penyetir mobil malah terdiam dan tidak kunjung keluar. Membuat aku cemas. Apa gerangan yang dia pikirkan? Sementara Uki berdiri di depan mobil. Aku bisa dengan mudah membaca pesan dalam tatapan matanya padaku. Kenapa dia? “Ada apa, Irfan?” aku mencoba melembutkan suaraku. “Tidak apa.” Dia membuka kunci pintu setelah terlebih dahulu mematikan mesin mobil. Seperti dugaanku, ayah dan ibu menyambut kedua kedua temanku dengan tangan terbuka. Pastinya mereka juga disambut dengan jamuan makan siang. Irfan dan Uki ada di halaman belakang. Yang kali ini sudah dilengkapi dengan beranda sebagai tempat untuk beristirahat. Juga dilengkapi dengan furnitur baru. Kedua bocah itu duduk berhadapan. Mereka dipisahkan dengan meja seukuran 100X50 sentimeter. Aku membawakan mereka nampan berisi tiga piring yang berisi nasi, juga lauknya. “Hei, tidak perlu melakukan ini.” Irfan mengambil dua piring, dan meletakkannya di atas meja. “Benar.” Uki menimpali. Sambil mengambil piring yang tersisa. “Ini hanya merepotkan kamu.” “Apa kalian tidak tahu? Menghormati tamu adalah salah satu perintah Nabi.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jadi,” Irfan meletakkan tas punggungnya di samping bangku. “kapan kiranya kita bisa mulai men-download file ini?” “Setelah kita makan siang.” Aku duduk di samping Irfan. Karena kebetulan meja itu dilengkapi dengan empat kursi yang bermotif sama dengan motif meja. Ukiran indah yang membentuk sulur-sulur daun serta bunga. “Apa sebaiknya kita tidak…” “Aku setuju dengan tuan rumah.” Uki memotong ucapan Irfan. “Karena sejujurnya, aku sudah lapar.” Irfan melemparkan tatapan galak pada Uki, yang sudah pasti membuatku menahan tawa. Tapi tampaknya orang yang dipelototi tidak ambil pusing sama sekali. Mungkin awalnya Irfan menolak tawaran makan siangku. Tapi rupanya dialah yang selesai lebih dahulu. “Kamu bilang tidak mau makan.” Kata Uki pada saat dia selesai menghabiskan jatahnya. “Yah, mau bagaimana lagi. Sayang kan, kalau tidak dihabiskan?” “Kapan kita mulai mencari data yang kita perlukan?” Irfan tampak senang dengan perubahan topik ini. sorot matanya menunjukkan dia sangat antusias. Dia meletakkan tas punggung yang tadi ada di bawah meja. Dia membuka benda itu dan mengeluarkan laptop Asus-nya.”Untung sudah aku hidupkan.” Dia membuka computer jinjing putih itu dan langsung membuka aplikasi yang sudah kukenal dengan baik. Google Chrome. Salah satu software untuk berselancar di dunia maya. Hebat. Dia mengetik link yang ada di kertas tanpa melihat keyboard. Kesepuluh jarinya seperti punya pikiran sendiri. Dalam hitungan detik, sebuah laman web sudah muncul di layar. Yang langsung di download oleh bocah akrobat ini. Sementara mereka asyik mengobrol, aku masuk ke dalam rumah, menemui ayah dan ibu. “Nak, katakan pada kedua temanmu itu untuk berkumpul di sana saja kalau mereka sudah menyelesaikan tugas.” “Kenapa, ayah?” “Karena, ayah ingin bicara pada mereka.” “Akan segera aku katakan.” Aku hendak berjalan keluar saat ayah menepuk pundakku. “Jangan buru-buru, nak.” Ayah memintaku duduk di hadapannya. “Jadi, kapan kalian akan berangkat?”’ “Mungkin lusa yah. Kalau tidak ada masalah yang mengganggu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ya sudah kalau begitu. Nak, ayah punya nasihat lain untukmu.” “Apa itu yah?” aku agak memajukan badan ke muka. Agar aku bisa mendengar ucapan ayah dengan lebih jelas. “Jaga dirimu baik-baik. Jaga hubungan persahabatan kalian baik-baik. Mereka berdua lebih dari sekedar teman kamu, ayah rasa. Benar kan?” “Iya, ayah. mereka sudah Septi anggap sebagai saudara Septi sendiri.” “Kalau begitu, jagalah mereka sebagaimana kamu menjaga diri kamu sendiri.” “Baik ayah.” “Nak, satu nasehat terakhir. Sebenarnya simpel. Kamu juga pasti sudah sering mendengarnya. Tapi maknanya sangat dalam. Arti teman lebih dari sekedar materi.” Ayah menatapku. “Kamu sudah sering dengar kan?” “Iya. Ada dalam lirik lagu sahabat sejati. Yang dipopulerkan oleh Sheila On 7.” “Benar. Nah, sekarang, panggil teman kamu. Ayah ingin bicara.” Seperti yang sudah aku duga, mereka sudah tidak lagi sibuk mendownload formulir itu. melainkan sedang menungguku dengan resah. Seolah aku baru saja diserang oleh tikus-tikus hama yang biasanya menyerang sawah. “Apa kalian sudah selesai mendownload?” “Apa kata ayahmu?” “Kuanggap itu iya. Ayah meminta kalian masuk. Beliau ingin bicara.” Irfan dan Uki mengangkat bahu. “Sudah kuduga. Ayo!” dua orang itu mengikuti aku ke rumah. Dalam waktu 10 detik, kedua bocah itu sudah akrab dengan ayahku. Mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari pertainian hingga siaran sepak bola tadi malam yang ditayangkan langsung oleh salah satu stasiun TV. Mereka seperti teman lama yang baru bertemu setelah satu dasawarsa terpisah. “Jadi kapan kalian akan berangkat?” “Insya Allah besok, paman.” Kata Irfan semangat. Aku bahkan tidak bisa merasakan keraguan dalam suaranya yang sangat maskulin. “Di mana kalian akan menginap? Sudahkah kalian memikirkan hal ini?” “Sudah.” Irfan menatapku sambil tersenyum. Seolah tiba-tiba aku berubah jadi cantik dalam sekejap. “Kami akan menetap di Jakarta Timur, Rawamangun. Kebetulan kami punya kenalan di sana.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Benarkah?” kata Uki. “Kamu bahkan belum cerita.” “Yah. Tadinya aku ingin membuat kejutan, sehingga kalian bisa tersenyum senang begitu kita tiba di sana. Dan- ah, sudahlah. Intinya aku punya saudara di sana.” “Ya, sudah. Tidak perlu diperdebatkan.” Ayah menengahi. “Yang penting kita tahu di mana kita tinggal.” “Iya, paman.” Kata kedua bocah bersamaan. “Lalu, Fan, apa kamu yakin keluarga kamu tidak akan keberatan dengan keberadaan kalian?” “Tentu tidak.” Kata Irfan, optimis seperti biasa. Dia terlihat lelah. Tapi dia bisa melenyapkan perasaan itu dalam satu detik dan memunculkan ekspresi lain dalam tempo yang sama. “Di sana ada dua kamar kosong. Aku dan Uki bisa tinggal dalam satu kamar. Sedangkan Septi bisa tinggal di kamar yang satu lagi.” “Apakah kamu sudah bilang pada mereka?” Akhirnya aku berkomentar. “Sudah sejak tiga hari yang lalu. Dan jangan pikirkan soal uang jajan.” “Aku punya.” Kata Uki. Hebatnya dia berkata seperti itu bersamaan denganku. Irfan mengangkat bahu. “Dengarkan dia dulu.” Ayah menatap Irfan lekat-lekat. Seolah ingin mencari sesuatu yang cacat pada tingkah laku Irfan yang kelewat sempurna. “Jadi, pamanku ada yang membuka galeri seni lukis. Dan lukisannya laku keras. Terutama jika beliau mengadakan pameran.” “Apa kamu bermaksud meminta kami membuat lukisan dan dijual di sana?” Uki menebak. “Kurang lebih seperti itu. Kalian, kan jago melukis. Coba saja. Septi membuat aurora borealis dan Uki membuat lukisan kaligrafi berbentuk bintang jatuh. Keren, kan?” “Kurang cocok.” Ucapku sarkastis. “Atau aku bisa saja melukis pemandangan pantai dan Uki menambahkan sketsa orang yang naik selancar. Semacam itu lah. Intinya, di sana kita bisa mengembangkan bakat melukis kita. Bahkan memanfaatkannya. Benar, kan?” dia mengambil nafas. “Dengan begitu, kita bisa mendapat peenghasilan.” “Sudahlah. Itu tidak terlalu penting. Aku punya hal lain yang perlu kita khawatirkan.” Aku jadi mengharapkan di ruang tamu ini ada penghangat udara. Karena suhu udara menjadi dingin. “Apa itu?” Irfan tampak cemas. Seolah hal ini bakal menunda keberangkatan mereka ke Jakarta besok lusa. Yang mungkin memang bisa terjadi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apakah ada hubungannya dengan tokoh penjahat paling kurang ajar di daerah ini?” Uki memandang tajam padaku. Seakan aku harus berkata iya. “Kalian benar. Ada hubungannya dengan Marvel. Dan ini bisa menghambat keberangkatan kita.” Aku benci jadi sumber perhatian. Tapi mereka temanku. Dan ada ayahku juga. “Aku menduga kecelakaan kemarin adalah ulah Marvel.” “Oh, iya. Bisa jadi.” Uki yang tadi tampak sedikit ragu malah sependapat denganku. Irfan mengangkat alis. “Kenapa kalian bisa begitu yakin?” “Kemarin, saat aku pulang dengan angkot,” Uki memulai ceritanya. “aku melihat seseorang yang memiliki tato M di lengan kiri-nya. Dia menunjuk-nunjuk mobil yang aku tumpangi. Seolah mobil itu harus dihancurkan.” “Yang memang begitu.” Aku terduduk tegak. Seolah punggungku tersengat listrik 100 volt. Tiga pasang mata tertuju padaku. “Apa orang yang diajak berbicara olehnya memakai kaus biru?” “Iya. Benar. Dia mempunyai tato serupa di lehernya.” Uki mengkonfirmasi. Aku menatap Irfan. Dan dia langsung paham. “Kenek bis yang diinterogasi polisi.” “Jadi ini memang rencana penjahat itu.” Ayah memberi kesimpulan. “Mungkin mereka mengira aku masih ada di mobil itu.” kata si rambut hitam. “Jadi mereka menabrak mobil malang itu.” “Kalau begitu kalian harus ekstra hati-hati.” “Pasti.” Obrolan kami terputus karena Adzan Ashar berkumandang. Sehingga kami memutuskan untuk menunaikan shalat Ashar terlebih dahulu. Yah, walau sebenarnya keputusan itu tidak kami ucapkan. Mereka semua, termasuk aku, meninggalkan tempat dan berjalan beriringan menuju tempat berwudhu. Kami melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Yang tentu saja ayah yang menjadi imamnya. Uki dan Irfan di baris kedua, serta aku dan ibu di baris terakhir. “Mana Irfan?” kataku saat melihat Uki menghampiriku. Dia duduk di sebrang meja. Di halaman belakang pastinya. Dia meletakkan pistol berwarna hitam di atas meja. “Apa itu…” “Ini air soft gun. Jangan khawatir. Benda ini kosong. Oh iya. Kalau soal Irfan, dia sedang membaca Al-Qur’an.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Wah, dia hebat ya.” Aku membuka laci meja. Dan mengeluarkan selembar karton. “Bukankah itu… lukisanku?” Uki merebut kertas karton itu dari tanganku, dan merentangkannya di atas meja. “Benar. Itu lukisan kamu. Aku yang membawanya dari rumah Irfan.” “Ambillah. Aku tidak perlu.” Dia diam sejenak. “Kamu benar.” Kata Uki akhirnya. “Dia pemuda hebat.” “Hebat apanya?” kata sebuah suara dari dalam rumah. Dia berlari dan dia melakukan itu lagi. Gerakan akrobat. Tapi kali ini lain. Dia melompat ke depan. Dan dalam waktu bersamaan, dia juga memutar tubuhnya ke belakang. Persis seperti aktor terkenal Tom Cruise. Dan gerakan itu sama seperti gerakannya pada film Mission Impossible. “Yang tadi itu apa?” aku heran. Dari mana sih dia bisa melakukan hal-hal aneh begitu? Siapa sih yang mengajarinya? Dengan santai dia duduk di kursi di sampingku. “Bukankah itu salah satu gerakan Tom Cruise dalam salah satu filmnya?” “Iya.” Kata si pemain akrobat kalem. “Gerakan itu aku sebut Impossible. Sama seperti judul film itu. karena dari situlah aku mengetahuinya.” “Tapi tidakkah kamu belajar terlebih dahulu?” kata Uki. Tampak tidak tertarik. “Harusnya kalian lihat.” “Apa?” Aku melihat cowok putih itu. “Saat aku terjatuh dengan dada terlebih dahulu. Rasanya sungguh menyakitkan. Ngomongngomong, di mana aku bisa mendapatkan printer? Aku mau mencetak dokumen-dokumen ini secepatnya.”()

CHAPTER 9 UKI Akhirnya hari itudatang juga. Hari di mana kami melangkahkan kaki untuk menggapai impian kami. Belajar di Jepang. Aku, Irfan dan Septi. Hanya bertiga. No parents of course. Saat di Bakauheni, sebelum kami naik kapal tepatnya, paman Nana memberikan sesuatu pada anaknya. Entah apa yang diberikan. Tapi tampaknya efeknya mantap. Karena setelah itu, Irfan tersenyum-senyum sendiri.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Saat ini, kami sedang mengapung di atas selat sunda. Berlayar menembus hujan dengan kapal ferry bernama Jatra II. Mobil menyesaki dek. Berbagai warna dan merk. Dari yang sudah lama hingga yang paling baru. Dari semua yang aku tahu, di sini ada Innova sampai Subaru. “Apa yang tadi diberikan ayahmu?” kata Septi pada Irfan. “Kita akan tahu begitu kita tiba di Jakarta.” Aku meraba pinggangku. Tempat di mana aku menyelipkan pistol air soft gunku yang baru. Dan sudah pasti aku membawa serta pistol sungguhan. Ada di dalam mobil Irfan. Selagi kedua temanku serius mengobrol, aku lebih memilih memandangi laut yang tampak brutal. Ombak setinggi dua meter lebih menghantam lambung kapal yang berwarna putih. Tapi untungnya kapal ini tidak terseret ombak. Bisa gawat kalau itu terjadi. Aku masih memandang ke bawah. dan mendapati beberapa ekor ikan terbang melayang ke permukaan. Seolah hendak meminta makanan. Penumpang yang lain tampaknya mengabaikan kawanan ikan yang sesekali melintas ini. Kapal berguncang sekali. Dan hilanglah rasa tertarikku pada laut dalam seketika. Hujan yang turun malah semakin deras. Tidak mengijinkan kami untuk berteriak ahoy keras-keras. Cerobong asap putih yang aku lihat menyemburkan asap senada. Tapi langsung pudar begitu hujan menyentuhnya. Tulisan ASDP berwarna orange basah kuyup. Hujan mengguyurnya tanpa ampun. Inilah yang aku benci dari hujan. Mereka tidak berani jatuh face to face. “Ada apa denganmu?” suara Irfan yang sudah sangat familier di telingaku menyentakkanku dari lamunanku yang seolah tak bertepi. Aku memandang Septi yang tersenyum geli. Irfan juga. Menilai dari raut wajah mereka, aku berpendapat bahwa mereka agak heran denganku. “Tidak ada apa-apa.” Ucapku akhirnya. “Kenapa kamu melamun saja, Uki?” kata Septi lembut. Curah hujan saat ini sangat tinggi. Tapi dia tidak memikirkannya sama sekali. Mungkin karena dia memakai mantel tahan air yang menutupi sekujur tubuhnya. “Aku… aku… Aku hanya berpikir sebentar tadi.” “Benarkah?” Irfan lebih tampak tertarik saat ini. “Apa yang kamu pikirkan?” “Ah, sebenarnya bukan apa-apa sih. Tidak perlu kalian pikirkan. Ayo cari tempat teduh. Aku kedinginan.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kami baru saja hendak masuk ke ruang eksekutif saat aku melihat seorang pemuda berjaket hitam menerobos ke luar. Beberapa saat kemudian seorang ibu paruh baya berteriak resah pada seorang petugas bahwa dia baru saja kehilangan dompetnya. Irfan menepuk bahuku. Dia mengangkat alis. Dan kami langsung berlari keluar. “Itu dia, di tengah kerumunan!” Septi menunjuk orang yang tadi berpapasan dengan kami di pintu masuk. Dia berada ditengah keramaian. “Bisakah kamu menembak tangannya? Usahakan agar orang-orang menunduk.” Irfan mundur beberapa langkah. “Apa kamu mau…” “Lakukan saja, Uki!” Aku melihat Septi mengobrol serius dengan si pemilik dompet. Dan benarlah dugaan kami. Dia di tengah sana. Membawa dompet coklat seperti yang di jelaskan. Dan, hebatnya, dia tidak tahu kalau kami mengincarnya. Aku melakukan yang diminta Irfan. Aku menembak tangan orang itu. semua penumpang di dek atas menunduk seketika. Takut setengah mati.dompet yang terlempar kini sudah ada di tangan Septi, yang segera dia berikan pada si pemilik. Dia mencoba kabur. Irfan melompat ke depan, melakukan tendangan dengan kaki kirinya. Menghempaskan orang itu ke depan. Wajahnya menghantam pintu depan mobil Avanza. Alarm otomatis mobil itu hidup seketika. Dan memancing petugas keamanan. “Ada apa ini?” kata seorang petugas kepolisian. Dia menggendong senapan serbu M-16 di punggungnya yang lebar. “Dia mencoba kabur setelah mencuri dompet.” Irfan memberi keterangan. “Benarkah?” kata si polisi tidak percaya. “Mana barang buktinya?” “Di sini.” Kata si korban. Dia menunjukkan dompet coklatnya. “Orang yang itu mencuri dompetku.” Dia menunjuk si pencuri yang sudah pingsan. “Lalu ketiga orang ini datang membantu. Apa kesaksianku masih kurang?” si korban memandangi pak polisi yang tampak ketakutan, dan tentunya tak berani mendebat. Ibu yang baru saja kami tolong terus memaksa kami agar kami mau menerima pemberian darinya. Yang susungguhnya tidak perlu. Akhirnya, setelah Septi berbicara padanya, barulah si ibu mau meninggalkan kami. Dan aku yakin mereka akan menceritakan kami bertiga kemanapun dia pergi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apa yang tadi kamu katakan padanya?” Irfan meletakkan tiga cangkir susu jahe hangat di atas buffet. “Bukan apa-apa. Aku hanya berkata, bahwa dia tidak perlu repot seperti itu.” “Oh, begitu.” Irfan memasukkan handphone hitamnya ke dalam saku celana. “Ayo. Kita minum dulu.” “Apapun katamu, bocah akrobat.” Septi menyambar sebuah gelas. Dan meminumnya seketika. Kami duduk berjajar di sofa yang berwarna biru. Senada dengan karpet yang menutupi lantai. Aku menurunkan tudung jaketku. Menikmati setiap tetes kehangatan yang mengalir ke dalam tubuhku. Rasa dingin yang aku rasakan perlahan hilang. Bisa jadi karena susu jahe yang sedang aku nikmati ini. “Boleh aku mengatakan sesuatu?” aku meletakkan cangkirku di atas buffet yang ternyata isinya adalah jaket pelampung. “Apa itu?” Sekarang dua pasang mata menatapku, seakan aku adalah top wanted kepolisian. “Apakah pak Rudi benar-benar menyuruh kita untuk menemui bapak Nura Rihyon?” “Iya.” Irfan menyibakkan rambut coklatnya ke samping. “Dia bahkan memberiku surat.” “Surat apa?” “Semacam surat pengantar, Uki.” Septi menjelaskan. Aku menarik selembar kertas dari kantung celanaku. Juga sebatang pulpen. Tangan kananku mulai bergerak sendiri. “Apa yang kamu gambar?” Irfan memperhatikan aku. “Lihat saja nanti.” Setelah itu, diam kembali menyapa kami. Bahkan versi yang ini bertahan lebih lama. Diam menyambangi kami sekitar sepuluh menit. Aku mempercepat gerakan tanganku. Aku tidak sanggup membuat mereka penasaran lebih lama lagi. Nah, akhirnya jadi juga lukisan penaku. Aku menunjukkan gambar itu. sebenarnya gambar itu simpel dan mudah dibuat. Hanya ada dua gambar. Irfan dan Septi. Pasti. Siapa lagi kalau bukan mereka. Lengkap dengan pakaian yang mereka kenakan dan juga semua yang ada di sekitar mereka. Buffet berisi life jacket, sofa yang berwarna biru, juga langit-langit yang dijejali lampu-lampu yang indah. “Kamu membuat lukisan seindah ini hanya dalam tempo sepuluh menit?” Septi tampak kaget. “Iya. Jangan terlalu kaget seperti itu dong, Ling-ling.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tapi dia benar, Ki. Tidak ada yang bisa melukis secepat dan seindah ini.” “Ini gambar.” Aku melipatnya dan melemparkannya ke atas sofa. “Bukan lukisan.” “Sesukamu lah.” Septi menyelipkan kertas itu ke dalam kantung celananya. “Kalau kamu mencari atau membutuhkannya, kertas ini ada padaku.” “Ya, sudah.” Aku mengembalikan pulpenku ke tempat semula. “Untuk sekarang, aku tidak membutuhkannya, mungkin belum.” “Kalau kemarin aku bilang kita bisa mencari uang dengan mudah lewat melukis, maka, Ukilah ahlinya.” “Jangan merendahkan diri seperti itu dong. Kalian kan juga bisa menggambar.” Aku menggerutu. Aku heran. Padahal, mereka juga bisa melukis dan menggambar. Tapi mereka selalu saja melebih-lebihkan aku. Apakah mereka tidak sadar kalau aku bosan? Semoga cepat. Kalau begini setiap hari, kalau setiap hari mereka mengucapkan, Uki hebat. Uki keren. Uki jago dan kata-kata yang lain, bisa-bisa tubuhku remuk di bawah pujian-pujian konyol itu. “Sep, kamu kan bisa melukis abstrak. Yang aku sendiri tidak bisa. Lalu,” aku melihat Irfan. “kamu, kan jago melukis pemandangan.” “Dan bukan lukisan sketsa.” Pungkas Irfan. “Oke.” Aku mengusap rambutku. “Kalian menang.” “Kalau kalian ingin menghasilkan lebih banyak penghasilan, kenapa kalian tidak menggabungkan bakat kalian?” Kata suara perempuan yang sangat familier. Kami bertiga berpaling ke sumber suara. Febri Andriani, teman sekelas kami, berdiri di pojok ruangan. Dia tersenyum geli. Septi menghampirinya secepat kilat dan menjabat tangannya. “Mau kemana, Bi?” Septi mengajaknya duduk satu sofa dengan kami. “Aku mau ke Depok. Aku ingin mencari informasi pendaftaran di salah satu universitas.” Irfan meletakkan empat botol pulpy orange di atas buffet. “Di mana?” “Universitas Indonesia. Jurusan kedokteran.” “Hebat.” Komentarku singkat. “Tidak sehebat kalian yang dapat beasiswa pemerintah Jepang.” Febri tampak tidak sombong. Ini salah satu sifat yang paling aku sukai dari temanku yanag satu ini. Pakaian yang dia gunakan juga sopandan serasi. Kerudung merah menutupi kepalanya, kaus lengan panjang merah tua, dan celana panjang hitam. “Tapi, terima kasih. Sobat.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ayo minum.” Irfan yang sejak tadi tidak bicara mengoperkan sebotol pulpy pada Febri. Yang menerimanya dengan senyuman lebar. “Aku minum duluan ya.” Dia meminum minuman jeruk itu secara perlahan. Menikmati tiap tetes minuman itu. “Jadi di mana kalian akan menetap selama di Jakarta?” “Rawamangun.” Irfan mengkonfirmasi. “Oh, Jakarta Timur?” “Iya. Katanya sih di tempat kakeknya.” Septi merangkul Febri. Wajar, mereka kan teman akrab. Untungnya, Septi sudah melepas jaket tebalnya yang lembab. Kalau tidak, aku berani menjamin orang yang dirangkulnya akan basah. “Kamu pergi ke Depok dengan siapa?” “Sendiri, Sep.” Septi menatap Irfan. Mereka sedang bercakap dengan pandangan. Kalau tidak salah begini. Fan, antarkan dia. “Bukankah itu berbahaya?” “Insya Allah aku bisa menjaga diri. Walau juga tidak sehebat kamu. Atau kalian berdua.” Dia menatap kami. Dengan tatapan yang sulit diartkan. Sebenarnya sih aku juga tidak mau mencari tahu. “Kalau begitu, biarkan kami mengantarmu.” Irfan menawakan jasa. “Ke Depok?” Febri terlihat kaget. “Kalau memang harus.” “Tidak perlu. Aku mau naik bus saja.” “Kalau begitu, biar kuantar sampai daerah Cikokol. Di sana, ada pool bus. Arimbi kalau tidak salah. Nah, di sana kamu bisa mencari bus dengan tujuan Depok dengan mudah.” Irfan menatap Febri. Tepat di kedua matanya. “Ya, sudah. Lagipula, di luar juga masih hujan.” Dia berterima kasih dengan senyumnya yang manis. Hujan berhenti bersamaan dengan turunnya kami dari kapal. “Kalau aku tahu begini aku tidak akan ikut dengan kalian.” Febri membetulkan posisi kerudungnya. Dia duduk di sampingku. Semoga dia tidak melihat pistol rampasan yang aku sembunyikan di samping tempatnya duduk. “Tapi kamu sudah memasang sabuk pengaman, kan?” Septi melihat ke belakang. “Ada polantas!” Irfan menegur Septi, yang segera saja membuang wajahnya ke depan. Irfan menambah kecepatan begitu kami melewati para polisi bertampang seram itu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Itu berarti kamu harus ikut dengan kami.” Septi melanjutkan. Kali ini dia melihat lewat kaca spion. “Kalau begini kan kamu bisa menghemat biaya.” Irfan memindahkan tuas persneling. Sementara mereka berdua bertukar pikiran mengenai banyak hal, aku lebih memilih untuk memperhatikan jalanan. Di sebelah kiri jalan ada berbagai macam bangunan kecil. Ada yang berupa rumah, warung makan, bengkel motor dan bahkan losmen. Semuanya berlalu begitu saja. Aku menyandarkan badan lebih dalam. Agar badanku bisa lebih rileks. “Kamu mau menetap di mana, Bi?” Febri menoleh padaku. Seolah dia tidak mendengar. “Di rumah pamanku. Di Jaksel.” “Kenapa kamu tidak mampir ke sana dulu?” “Aku sudah membuat janji pada seorang dosen di sana. Aku bilang, aku datang sore ini. Jadi, ya aku tidak mampir dulu dong. Aku akan mampir selepas aku pergi dari UI.” Irfan membuka kaca jendela dan memberikan sejumlah uang pada petugas yang menjaga di gardu tol Merak. “Berapa hari kamu akan tinggal di Jakarta Selatan?” “Kalau untuk survey, mungkin seminggu, Fan.” “Lama juga ya.” “Tidak.” Si kerudung merah menyangkal. “Satu minggu masih kurang.” “Kalau begitu, kenapa kamu tidak tinggal di sana saja?” Irfan menambah kecepatan. Hujan turun di sini. Cukup deras. “Aku memang ingin tinggal di sana. Setelah aku resmi jadi mahasiswi UI.” Kami semua tertawa. Temanku yang ini benar-benar optimis. “Baiklah nona optimis. Program studi apa yang mau kamu ambil?” “Mungkin kedokteran umum. Atau mungkin juga farmasi. Makanya aku mau survey dulu nih. Minta do’a-nya ya. Semoga lancar.” Kami mengamini do’a itu bersama. Di bangku depan, Septi tiba-tiba memekik kaget. Aku kira dia melihat kaki-tangan Marvel. Ternyata bukan itu. Sebuah mobil sport Porsche hitam melesat dari belakang kami. Melewati mobil kami yang sedang melaju dengan kecepatan 140 KM per jam begitu saja. “Mobil apa itu?” kata Septi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Itu Porsche Carrera GT.” Aku menatap mobil itu, kagum akan keindahan serta kecepatannya. “Porsche?” dia membeo. “Aku belum pernah dengar.” “Aku sudah.” Irfan tampak tidak tertarik. Mungkin karena mobil Fortuner besarnya didahului begitu saja. “Mobil itu dibuat di Stuttgart, Jerman.” Febri memandangi aku. Bukan. Bukan aku. Dia… dia menatap tanganku. Tapi dia tidak tampak kaget. Lebih kepada cemas. “Simpan pistolmu, koboi. Aku tidak ingin benda itu meletus tidak pada tempatnya. Walaupun itu hanya air soft gun.” Aku melempar benda itu ke bagasi. “Aman.” Dari arah belakang, sebuah mobil berbody besar lain muncul. Mungkin Chevrolet Captiva baru. Mobil itu sendiri diwarnai dengan cat merah gloss. Dan diberi sticker berbentuk huruf M besar. Mungkinkah itu… Mobil itu membanting stir ke kanan. Untung Irfan trampil mengemudi. Dia mengurangi kecepatan hingga kami berada di belakang mereka persis sebelum mereka melakukan aksi gila itu. Mobil itu menyenggol pembatas jalan. Tapi mereka tetap melaju. Bunga-bunga api beterbangan saat body mobil itu bergesekan dengan besi. “Siapa mereka?” Tuntut Febri. “Pernah dengar Marvel? Mereka itu anggotanya.” “Tidak bisakah kalian melakukan sesuatu?” “Aku bisa.” Mobil itu menabrak kami dari belakang. “Kalau begitu cepat lakukan!” Febri tampak khawatir. “Tenang dulu, ya? Jangan panik. Di sebelah kiri kamu ada sebuah kotak. Buka, ambil isinya.” Dia melakukan apa yang aku minta. Dan dia merengut ketika dia melihat isinya. “Air soft gun? Apa yang bisa dilakukan benda ini?” “Menghentikan mereka.” Aku melirik Irfan. Dia mengangguk dan membuka sun roof. Kemudian menambah kecepatan. Aku melepas sabuk pengaman dan langsung bangkit. Seperti yang aku takutkan, mereka juga membawa senjata api. Setelah membaca basmalah, aku menarik pelatuk. Ban depan mobil itu

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

pecah seketika. Supir kehilangan kendali dan mobil menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan. Dua orang di bangku belakang, yang juga sudah mengeluarkan pistol terjungkal keluar. Aku segera duduk dan menutup sun roof. “Itu bukan air soft gun ya?” Febri memandang moncong pistolku yang berasap. “Memang bukan.” “Lalu kenapa kamu tidak memberi tahu aku?” “Karena,” aku mengambil nafas. “kalau aku memberi tahu kamu, bisa jadi kamu akan panik.” “Sepertinya ada yang lain lagi.” Ujar Septi. “Lihat!” dia menunjuk ke muka. Sebuah mobil pick up yang disesaki orang bersenjata melaju tepat ke arah kami. “Ada yang tahu kita harus melakukan apa?” kata Febri. “Kita harus menyusun rencana untuk menyerang!” kata Irfan. Dia melewati beberapa mobil truk. Membawa mobil ini begitu cepat seolah mobil ini adalah mobil Porsche buatan Stuttgart yang baru saja kami lihat. Mobil yang tadi ada di depan kami sekarang sudah berpindah posisi ke belakang. “Aku punya rencana.” Aku meyiapkan pistol dan membuka sun roof. “Serang.” Aku melepaskan beberapa tembakan. Mereka langsung membalas. Kaca belakang sudah tertembus peluru. Aku meminta Febri dan Septi supaya menunduk. Aku membalas. Tiga orang yang ada di bak terbuka terjatuh. Sisa tiga orang lagi. Aku masuk ke dalam mobil saat mereka membidik kepalaku. “Irfan, rem!” Alhamdulillah. Dia tahu rencanaku. Dia menginjak pedal rem dalam-dalam. Mobil berhenti mendadak dan si supir yang terkejut menyeruduk mobil kami dari belakang. Semua penumpang menjerit karena kaget. Pintu bagasi tertekan hingga beberapa inci ke dalam. Dua penumpang terlempar ke jalan. Supir mobil juga terluka. Gawat. Salah satu dari mereka, seseorang yang berambut sedikit putih mendarat di atas kap mesin. Dia tersenyum miring dan menodongkan pistol revolver hitam ke wajah Septi. Pistol meletup. Sekarang, di kaca depan ada lubang baru. Persis seukuran dengan diameter peluru. Orang yang tadi berdiri di datas kap mesin terlempar ke tepi jalan. Aku menembaknya lebih dulu. Untungnya, kaca mobil sudah pecah. Jadi suara yang dihasilkan pistol besar ini tidak terlalu memekakan telinga.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apa kamu baru saja…” “Mungkin.” Aku memotong ungkapan Septi. “Tapi aku terpaksa.” “Pasti. Tidak ada orang yang ingin membunuh. Kami mengerti kok. Terima kasih sudah menyelamatkan aku. Maksudku, kami.” Tanganku bergetar. Aku mengeluarkan magazine dan membuangnya ke jalan. Lalu melempar pistol itu ke luar. Mengenai sebuah pohon mangga. “Pistol apa itu?” Aku lega Irfan mengubah pokok pembicaraan. “Itu Desert Eagle. Pistol dengan tenaga sama dengan sniper rifle.” “Dari mana kamu dapat benda mengerikan itu?” Febri berusaha menutupi rasa takutnya. “Salah satu dari mereka.” “Jadi, itulah sebabnya kamu bisa membuat tiga orang tadi terpental walau kamu hanya menembak tangan mereka.” Pungkas Irfan. “Iya. Benar.” “Jangan terlalu khawatir akan polisi. Kan mereka yang memulai duluan.” “Aku tidak khawatir akan polisi.” Aku tidak tahu kenapa dia bisa mengetahui isi hatiku. Tapi polisi hanyalah salah satunya saja. Ada yang lebih aku khawatirkan. “Aku khawatir akan dosaku.” “Allah Maha Pengampun, Uki.” Irfan mengingatkan. “Aku tahu. Tapi aku jadi menyesal sekarang. Harusnya aku tidak menembak dia.” “Dan membiarkan Septi yang menjadi korban?” “Aku bisa saja melemparnya dengan pistol.” “Kalau pistol itu bisa menembus kaca. Sudahlah. Uki, yang kamu lakukan sudah benar.” “Tapi aku tetap merasa bersalah.” Aku bersikeras. “Hey, sobat.” Kata Septi akhirnya. “Kita tidak mungkin bisa membuat awal yang baru. Tapi kita pasti bisa membuat akhir yang baru.” “Ya. Aku mau istirahat dulu.” Belum sampai sepuluh menit aku istirahat, mobil bobrok ini menikung tajam ke kiri. Menyentakkan aku kembali dari mimpi nan sunyi. Aku menengok ke belakang dan mendapati sebuah mobil Outlander merah mengikuti kami. “Kemana kita pergi!?” aku menuntut jawaban. “Kabur dari mereka!” balas Septi tanpa menengok ke belakang.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tapi… ” aku melihat ke depan. Siang itu, tulisan sebesar itu pasti terlihat bahkan oleh orang yang menggunakan kacamata berlensa tebal. Supermal Karawaci. “Apa yang akan kita lakukan… kenapa kita ke mal?” “Kau pasti tahu setelah kita sampai. Nah, ayo turun!” Di dalam, kami bersembunyi dalam kerumunan orang. Mengamati saat mereka diperiksa oleh petugas keamanan karena ketahuan menembaki kami saat kami menuju ke tempat perbelanjaan ini. Mereka langsung digiring menuju sebuah mobil L-300 milik polisi yang sudah menunggu. “Jadi, ini tujuanmu membawa kita kesini?” Ucap Febri saat orang-orang edan itu dibawa pergi. “Itu alasan pertama. Aku punya alasan lain.” “Cara bicara kamu memang penuh teka-teki ya.” Ujar Septi. Irfan memalingkan wajah ke sebuah neon box bertuliskan Food Court. “Ayo makan dulu.” Tempat itu lumayan luas. Dilengkapi layar LED di sudut ruangan. Di sana sini juga bertebaran pohon palem yang dihiasi lampu dengan berbagai warna. Merah, kuning, biru dan bahkan merah muda. Kios-kios disana ada banyak. Mungkin puluhan. Dan semuanya menjual makanan yang berbeda satu sama lain. Yang lebih membuatku heran, food court ini juga dilengkapi arena bermain. Lengkap dengan Roller Coaster mini. Aku sempat melihat seorang gadis yang berteriak saat benda panjang itu bergerak. Dinilai dari wajahnya, aku cukup yakin benda itu menjanjikan pengalaman baru. Aku harus mencoba. Saking asyiknya memandangi roller coaster itu, aku sampai menabrak Irfan yang rupanya sudah berhenti berjalan. “Duduklah di sini.” Irfan menyembunyikan kedua tangannya di saku celana panjang hitamnya. Kami duduk tanpa protes. Tempat yang dipilih Irfan cukup bagus. Layar LED ada di sebelah kanan kami. Sedangkan area bermain itu sendiri ada di sebelah kiri. “Bukankah itu Michael Jackson?” Febri melirik layar besar itu. “Benar. Itu MJ.” Aku mengiyakan. “Apa judul lagu yang dia nyanyikan?” Septi menimpali. Aku melihat video klip yang diputar. MJ berjoget dengan beberapa orang berpakaian tuxedo hitam. Sedangkan dia sendiri memakai tuxedo putih. Mereka bergoyang moonwalk bersama. “Smooth Criminal.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Mereka mengamati video itu dengan tekun. Kalaupun Irfan sudah kembali, aku ragu mereka peduli. Wah, rupanya yang aku bilang barusan terjadi. Sekejap setelah itu, Irfan muncul dari salah satu sudut ruangan. Dia membawa satu nampan lebar di tiap tangan yang dia miliki. Satu berisi makanan, satu lagi minuman. Aku segera menghampiri anak itu untuk membantu. “Ayo.” Katanya setelah ia duduk. “Makan dulu. Kebetulan aku juga punya video MJ di mobil.” Kami mengambil jatah kami masing-masing. Irfan membeli menu makanan yang sama. Spageti. Dan dengan minuman dingin yang sama pula. Milo. “Sejak kapan kamu suka makanan Itali?” Septi meluncurkan komentar. “Sejak kita tiba di sini.” Kata Irfan cepat-cepat. “Ayo makan selagi masih panas.” Irfan menyantap pasta itu setelah dia membaca basmalah dan do’a sebelum menikmati hidangan. Sesudah itu, kami menghabiskan makan malam kami dalam diam. Tidak membicarakan apapun, dengan siapapun. Aku sendiri menikmati spageti itu. Pasta itu sangat tepat untuk dimakan saat ini. Aku rasa, tidak terlalu padat dan tidak terlalu ringan. Minum yang dipilih Irfan juga tepat, susu coklat itu menambah energi kami yang sudah terkuras seharian ini akibat ulah Marvel, para pesuruhnya atau siapapun mereka. “Maaf ya, Bi.” Kata Irfan setelah menghabiskan susu-nya. “Kenapa?” Febri menyeruput susu itu dengan pipet yang tersedia. Tapi mata beningnya yang memiliki iris hitam memandang Irfan. Lawan bicaranya. “Karena Rencana kamu untuk pergi ke Depok jadi terganggu.” “Oh, begitu. Tidak apa. Aku tidak akan marah. Atau keberatan.” “Kenapa begitu?” Irfan mengangkat alis. “Karena, sejujurnya ya. Perjalanan kalian hebat.” “Hebat apanya?” ujar Septi. “Berbahaya, tahu.” “Justru di situlah letak hebat-nya.” “Tapi nyawa kamu bisa jadi taruhannya.” Aku memperingatkan. Febri malah tertawa. “Aku tahu kok. Tidak apa-apa.” Aku mengangkat tangan, meminta jeda. “Boleh aku katakana dua patah kata untukmu, Bi?” “Apa itu?” dia tampak antusias. Mungkin dia menganggap aku akan memuji dia karena berani atau apalah. “Kamu aneh.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dia mengangkat bahu. “Yah, kadang aku juga merasa begitu.” “Sudah, sudah.” Irfan menengahi. “Bi, begini saja. Kami akan mengantar kamu ke Jakarta Selatan. Dengan begitu, kamu mungkin akan merasakan hal-hal lain yang pernah kami rasakan.” “Sering.”Septi mengoreksi. “Maksud kamu, kamu ingin diganggu oleh anak buah Marvel lagi?” aku menebak. “Dan kali ini kamu menambah korban lain?” Irfan menatapku dengan galak. Maksudnya sudah terbaca dari ekspresinya. Tidak ada pilihan lain. Aku akhirnya mengalah. Percuma mendebat, perdebatan tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada, dengan perdebatan, masalah kita pasti bertambah. Benar kan? Akhirnya, aku mengangkat bahu. Aku setuju. “Ya sudahlah.” “Ada perkara lain.” Kata Septi. Tiga pasang mata menyorot wajahnya secara bersamaan. Dia benci jadi pusat perhatian. Kalau itu aku tahu pasti. “Sebaiknya kita perbaiki mobil kamu dulu. Kalau dengan kondisi yang seperti ini, sindikat pengedar narkoba itu pasti akan dengan mudah mengetahui kita.” Meja itu berubah jadi sepi dalam sekejap. Aku jadi heran, apa di tempat ini ada penghangat ruangan? Kalau ada aku ingin pinjam. Karena udara di sekitar kami jadi dingin. “Nanti. Setelah kita mengantar Febri. Saat ini, prioritas utama kita adalah, mengantarnya sampai tujuan. Dengan selamat.” “Tapi Septi benar.” Aku angkat suara. “Dengan keadaan mobil yang seperti ini, mereka akan dengan mudah menemukan kita. Melakukannya juga penuh resiko.” “Kalau begitu, kita harus mengambil resiko itu.” Kata Irfan setelah lama terdiam. Aku tahu. Keputusan yang diambil Irfan sangat berat. Dia tidak mungkin menolak sebuah tawaran setelah menerimanya. Kalau aku jadi dia, aku pasti akan melakukan hal yang sama. “Kalau begitu, ayo jalan.” Suara Septi memecah keheningan. Satu pelajaran yang aku dapatkan hari ini. Jangan pernah berpenampilan mencolok kalau tidak mau jadi bahan tontonan. Karena, begitu kami keluar dari Supermal Karawaci, semua pengendara mobil memperhatikan kami. Empat bocah seumuran SMA berkeliaran di jalan raya dengan mobil yang bisa dibilang rusak berat. Atau malah bobrok. Keduanya punya arti yang sama. Jadi, terserah kalian mau menyebut yang mana. Aku tidak akan ambil pusing. Karena mobil ini sudah begitu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku penasaran. Apakah begini rasnya jadi orang terkenal.” Aku memandang keluar. Melihat sebuah mobil yang memperhatikan mobil ini. Bukan aku. “Bisa jadi.” Irfan menambah kecepatan. Tampaknya dia juga sudah bosan jadi bahan tontonan. “Jadi, di mana rumah kakekmu itu, Bi? Kita sudah sampai Jakarta Barat nih. Semoga lancar.” “Amin.” Ujarnya. “Di daerah Jagakarsa.” “Jagakarsa?” ulang Irfan. “Ya. Benar. kenapa, Fan?” “Tidak apa. Aku punya teman di daerah dekat sana. Namanya Darman. Dia tinggal di daerah Lenteng Agung.” “Boleh aku bertanya?” ujar Septi saat mobil berhenti. “Apa?” Irfan mencurahkan perhatiannya pada temannya yang satu ini. “Sebenarnya, ada berapa teman sih, yang kamu miliki?” Sambil menjalankan mobil, Irfan tersenyum. Bahkan hampir tertawa. “Apanya yang lucu?” Ujar Septi galak. Cahaya lampu jalan yang merambat masuk dari lubang bekas peluru menyorot wajahnya. Membuat wajah putih itu pucat dan menyeramkan. “Aku punya banyak teman. Kenapa? Tidak boleh?” “Aku tidak bilang begitu.” “Tidak perlu marah begitu dong. Nanti kamu tidak manis lagi.” Dia tersenyum jahil. Septi menatap Irfan. Ekspresinya dingin. Aku yakin tatapannya yang satu ini akan membuat orang yang dilihat olehnya diam tak berdaya. Sorot mata anak manis ini mengingatkan aku akan tokoh Medusa dalam mitologi Yunani kuno yang sempat aku baca dalam buku. Konon, tatapan Medusa bisa membuat orang yang dilihatnya berubah jadi batu. Nah, Septi tampak persis seperti itu. “Sudahlah, kalian berdua.” Akhirnya aku berucap. “Kasihan Febri. Dia, kan mau istirahat.” Aku memandang dirinya yang tampak lelah. Dia memandangi aku, tampak berterima kasih. Aku melepas jaket yang aku gunakan, dan menyampirkannya di bahu Febri. Aku tahu dia kedinginan. Karena udara dari luar yang tidak bersahabat dan juga kecepatan mobil ini yang tak bisa dibilang lambat. Perlahan tapi pasti, Febri menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku berusaha agar tidak bergerak. Jadi, aku usahakan agar pikiranku bekerja. Memikirkan apa saja yang bisa aku pikirkan. Mulai dari kelanjutan perjalanan kami ini hingga di mana kami akan menetap

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

malam ini. Aku melihat ke depan dan mendapati dua orang yang duduk di depan tersenyum geli. Aku mengangkat alis. “Ada apa? Apa kita sudah sampai?” ucapku perlahan takut kalau ternyata suara yang aku timbulkan mengganggu. “Apa kamu tidak merasa risih?” ujar Septi. “Ini? Aku sudah biasa.” “Masa?” Timpal Irfan. “Sepertinya kita bahkan belum pernah melihat dia tidur sebelumnya.” “Memang belum. Tapi Dimas sering bersandar di bahuku ketika kami berpergian.” “Iya, deh. Aku percaya.” Irfan menghentikan mobil. “Mengenai pertanyaan kamu yang tadi. Kita sudah sampai.” Irfan dan Septi keluar bersamaan. Mereka berdua memandangi sebuah rumah modern minimalis berlantai dua di sebelah kanan kami. Temboknya diwarnai dengan cat warna biru muda cerah. Pasti indah dan cerah kalau disinari dengan cahaya matahari di pagi hari. Sebuah mobil SUV silver terparkir di garasi yang dilindungi pagar besi berwarna putih susu. Taman menghiasi sebagian kecil halaman depan. Sebenarnya halaman yang ada juga sangat terbatas mengingat tempat ini adalah sebuah perumahan. Tapi, dibandingkan dengan rumah lain, rumah ini benar-benar terlihat elite. Aku masih berada di dalam mobil. Tidak enak rasanya, mengganggu orang yang sedang beristirahat. Septi mengintip ke dalam. Mau sampai kapan? Aku mengangkat bahu. Dan bersamaan dengan itu, Febri tersadar dari mimpi panjangnya. “Di mana kita?” Kata Febri. “Kita sampai.” Aku membuka pintu. “Ayo, turun.” Febri segera turun dari mobil dan menekan bel. “Kalian harus mampir,” ujar Febri. “Di dalam ada satu kamar kosong. Septi bisa tidur bersamaku.” Kami berdua memandangi Irfan yang baru kembali setelah menelepon. “Kami merasa terhormat untuk dapat menginap di sini, Feb. sungguh. Tapi, baru saja pamanku menelepon. Mereka menunggu kami di Rawamangun. Kami akan menginap. Aku janji. Tapi tidak untuk malam ini.” Febri tampak sedih tapi dia pintar menyembunyikan perasaan itu. Septi menepuk bahunya dan merangkul pemudi manis itu. Pintu gerbang berayun terbuka. Seorang pria paruh baya muncul. Dia mengenakan celana pendek hitam dan kaus katun hijau gelap. Tapi tampaknya Febri tidak mempedulikan orang itu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Nah, pamanmu sudah datang. Kami juga harus pergi.” Setelah mengucap salam, kami meniggalkan griya asri itu dengan lambaian tangan. “Terhormat?” Septi mengulangi perkataan Irfan barusan. “Itu hanya untuk sanjungan, Sep. Kadang kemampuan ini bisa sangat bermanfaat. ” “Seperti untuk menolak tawaran seseorang secara halus.” Aku menambahkan. “By the way,” ujar Irfan. “di mana jaketmu, Ki?” “Dia memakainya.” Ucapku rendah. “Febri?” dua temanku berucap bersamaan. “Iya. Lupakan saja. Hanya jaket. Kalian pasti akan melakukan hal yang sama kalau kalian jadi aku.” Irfan mengarahkan mobil ke Jakarta Timur. “Aku yakin besok dia akan menelepon.” Irfan menambah kecepatan. “Next Stop, Rawamangun.” Luar biasa. Kami tiba di rumah Irfan jam 10 malam. Rumah itu lumayan lebar. Di samping gerbang ada kotak pos dengan tulisan 12 hitam pudar. Dinding rumah itu diberi kelir hijau muda. Di depannya ada pohon mangga yang buahnya sedang masak. Hebat, semua rumah yang ada di sekitar sini berlantai dua. Termasuk rumah milik Irfan ini. Diluar ada sebuah neon box bertuliskan, NOENK’S Art Gallery. Mungkin inilah yang dikatakan Irfan kemarin. Ruangan itu tertutup. Embun melapisi salah satu sudut kaca. Aku bisa menduga ada AC di ruangan itu. Yang lebih keren lagi, di samping rumah megah ini, ada sebuah masjid. Juga berlantai dua. Jarak masjid itu hanya tiga langkah. Aku tidak bohong. “Adakah rumah di tempat ini yang tidak tingkat?” Ujar Septi. Matanya memperhatikan masjid itu. “Ada.” Balas Irfan singkat. “Ayo, kita ke samping. Di sana ada rumah.” Irfan membuka pagar secara perlahan. Takut membangunkan orang rumah pasti. Kami segera mengekor di belakangnya. Beberapa langkah dari halaman depan, berdiri sebuah rumah yang lebih kecil. Dengan taman berbentuk segitiga. Sebuah Jupiter MX biru terhenti di sana. Menunggu seseorang yang akan mengendarainya. Rumah itu dicat putih. Pintu dan daun jendela diberi warna hitam. Sangat kontras. Namun elegan. “Rumah ini…”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kosong.” Irfan memotong ucapanku di tengah jalan. Dia menarik sebuah kunci keluar dari saku celana-nya, lalu membuka pintu. Rumah itu hanya memiliki satu unit kamar. Selebihnya, bisa kita bilang, ruang keluarga. “Ada TV layar datar.” Septi menatap dinding. Benar. TV layar datar, menggantung dengan tenang di atas dinding. Di bawahnya ada… aku pasti mimpi. PS 3. “Nah, Uki, mulai malam ini dan seterusnya, kita tidur di sini.” “Cuma ada satu kamar!” “Di sini.” Irfan melirik lantai. “Biar Septi yang tidur di dalam. Di dalam ada spring bed. Juga kamar mandi dan kulkas. Termasuk AC.” “Tapi kan di sini…” “Ada kasur lipat di dalam. Dan, kita tidak akan merasa panas. Kamar ini tidak memiliki pintu. Jadi, udara dari AC pasti sampai ke sini.” Irfan menyalakan pendingin ruangan dan mengambil dua kasur busa. Meletakkannya di luar kamar. “Nah, Sep, kamarmu siap. Istirahatlah.” Setelah Septi masuk kamar dan membaringkan badan, Irfan ambruk begitu saja. Langsung terbang ke dunia minpi. Meninggalkan aku terdiam sendiri.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 10 IRFAN Suara adzan Shubuh mengembalikan aku ke kehidupan. Aku membuka mata secepat aku menutupnya. Di sampingku, Uki masih tampak tertidur. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia kuat untuk tetap tidur di tengah kerasnya suara adzan pagi ini. Aku hendak membangunkan Septi saat dia muncul di ambang pintu. Kami hampir saja bertabrakan. “Rupanya kamu sudah bangun.”Kataku. berusaha agar tidak gugup. “Iya. Sulit untuk tetap tidur di dalam kamar. Dingin sekali. Lagipula, suara adzan juga sangat keras di sini.” “Itulah enaknya tidur di rumah ini. Kita pasti tidak akan melewatkan shalat Shubuh.” “Kamu benar, Fan. Tapi tampaknya hal ini tidak berlaku baginya.” Septi melirik ke balik bahuku. “Dia sudah bangun,” ujarku. “benar kan, Uki?” “Dari mana kamu tahu?” Uki masih berbaring di kasur. Seolah kasur yang dia gunakan untuk tidur menarik tubuhnya untuk tetap berada pada posisinya. Aku membantunya berdiri. Wah, rupanya bocah ini lumayan berat juga ya. “Logika dedukatif.” “Logika dedukatif,” Uki membeo. “maksudmu menebak-nebak.” “Benar sekali.” Aku melipat kasur dan melemparnya ke kamar. Lalu mematikan pendingin ruangan. “Nah, karena sekarang kalian sudah bangun, bagaimana kalau kita ke masjid? Adzan sudah berakhir dari tadi nih.” “Kalau begitu, bawa mukena-mu. Kami tunggu di luar.” Begitu Septi keluar dari rumah, aku segera menutup pintu. Dan bersama kami melangkah ke rumah Allah yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumah utama.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kebetulan, saat itu yang menjadi imam shalat adalalah pamanku. Andin namanya. Paman membaca surah An-Nashr pada rakaat pertama, dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua. Menjadikan shalat Shubuh hari itu lebih cepat dari hari kemarin. Namun kelihatannya tidak ada jamaah yang protes. Mungkin karena setelah ini mereka bisa dengan segera membaca Al-Qur’an. “Eh, Irfan. Kapan kamu datang?” kata paman setelah beliau selesai berdzikir. “Tadi malam.” Aku mencium tangan beliau. “Aku juga membawa teman.” Aku memperkenalkan Uki pada pamanku. Juga Septi, yang sekarang berdiri di balik hijab. “Jadi, kalian ya, yang mau memburu beasiswa dari Jepang itu?” paman Andin menatap Uki. “Iya, paman.” Kata Uki gugup. “Santai saja, Uki. Anggap saja paman adalah pamanmu.” “Nah. Yang ini Septi ya?” mereka berdua bersalaman. “Iya, paman.” “Ya, sudah. Semoga kalian betah di sini. Kalau kalian ingin melukis, datang saja ke galeri.” Dua temanku tampak terkejut. Mungkin sekarang mereka sedang mengira-ngira dari mana pamanku mengetahui hal-hal remeh itu. “Jangan kaget begitu, dong. Irfan sudah mengkonfirmasi hobby dan segala sesuatu tentang kalian. Jadi, santai saja. Kalian bisa melukis kapan saja. Asal tidak mengganggu kegiatan kalian. Kalau begitu, paman duluan ya.” Dia meninggalkan kami setelah mengucap salam. “Kenapa kamu memberi tahu pamanmu?” Septi menatapku dengan galak. “Tidak apa kan.” Ucapku ringan. “Itu kan merepotkan, Irfan.” “Tidak apa kok. Aku jamin.” “Tapi kan…” “Hei.” Potong Uki. “Apakah kalian lupa kita ada di masjid?” “Ayo keluar kalau begitu. Mari kita lihat apakah Septi si galak bisa memasak atau tidak.” Aku tersenyum jahil. Uki tertawa. Septi hanya bisa menahan rasa sebalnya padaku. Sementara dia memasak, aku dan Uki menyiapkan piring. Pagi ini, menu yang dimasak Septi adalah nasi goreng. Sebenarnya sih biasa saja. Tapi karena yang memasak dia, rasanya jadi istimewa. Semoga. Ah, setahuku cara menilai masakan bukanlah dari faktor siapa yang membuat. Tapi faktor rasa. Benar, kan? Karena sibuk berfikir sendiri, aku jadi tidak sadar mereka berdua meninggalkan aku mematung di sana. Di meja permanen tempat aku meletakkan piring. Hingga akhirnya bibiku

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

menegurku. Dia tertawa sementara aku berjalan cepat meniggalkan tempat itu. Menabrak wajan yang diganung di samping pintu. “Aku kira kamu akan tetap mematung di sana” Uki mengoperkan piring padaku. “Lucu.”aku mengambil sendok yang sudah kami siapkan. “Makan dulu.” Septi menengahi. “Jangan makan sambil bicara. Nanti bisa-bisa kalian tersedak.” “Ya, bu.” Aku dan Uki berucap kompak. “Adakah pekerjaan lain yang bisa kalian lakukan selain membuat aku kesal?” “Makan dulu.” Ujarku membalas. “Jangan makan sambil bicara. Nanti bisa-bisa kalian tersedak.” Pungkas Uki. Dengan itu, kami bertiga diam sediam yang kami bisa. Yang terdengar hanyalah suara piring dan sendok yang saling beradu. Kami tetap diam bahkan setelah makan. Kami terlarut dalam pikiran kami masing-masing. Yang detik ini membebani otakku adalah prihal komunikasi. Yang paling utama adalah komunikasi jarak jauh antara kami bertiga. Aku sudah sejak lama memikirkan solusi untuk memcahkan masalah ini. Dan Alhamdulillah, waktunya akan tiba sebentar lagi. “Luar biasa.” Kataku memecah kesunyian. “Nasi goreng ini enak sekali!” “Aku sependapat.” Uki memberi komentar singkat. “Jadi, sekarang kalian memujiku.” Septi menumpuk piring jadi satu. “Mungkin begitu.” Aku membawa piring yang sudah ditumpuk ke dapur. “Itu lebih baik.” Septi duduk sambil bersandar di dinding. Aku melirik cermin yang tergantung di dinding dan mendapati wajahku buruk rupa. “Apanya?” “Kalian memujiku barusan. Itu lebih baik daripada kalian mengejekku.” “Siapa yang mengejekmu?” Aku mengangkat alis. “Tidak ada yang mengejekmu,” aku meyakinkan wanita muda berambut hitam panjang ini. “Kamu sempurna. Walau itu mungkin hanya menurutku.” “Sudahlah, jangan…” “Intinya,” aku memotong. “tidak ada yang menghina atau mencerca kamu, karena kamu bukan orang yang pantas untuk itu.” “Kenapa kamu memujiku?” Aku melirik Uki. “Kami memuji kamu karena kamu memang pantas mendapatkannya.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Apa yang dikatakan Irfan benar adanya. Kamu memang selalu pantas untuk dipuji.” Uki menimpali. “Apakah kalian benar-benar tidak bisa berhenti membuat wajahku jadi merah?” Septi memandangi cermin. Kami semua tertawa. “Baiklah, sekarang apa?” Uki mengganti rubrik pembicaraan. “Mandi.” Aku mengambil handuk yang ada dalam tasku. “Septi duluan.” “Kalian bagaimana?” Sang dara menyiapkan peralatan mandi yang dia miliki. “Jangan pikirkan kami.” Aku menyikut Uki. “Lagipula, kami masih mau bermain.” “Main?” Septi dan Uki melantunkan kata itu bersamaan. “PS3.” Pagi itu, kami bermain Winning Eleven versi terbaru. Tapi kami hanya bermain 2X45 menit. Karena kami sadar, waktu yang kami miliki sangat terbatas. Aku sudah menentukan rencana paagi itu. Setelah rencana pertama, kami akan menemui pak Nura untuk menyerahkan berkas lamaran beasiswa, sekaligus berkonsultasi. “Dia lama sekali.” Uki menggerutu. “Kapan giliran kita? ” “Kita tidak akan mandi di sini. Ada tempat lain kok.” “Bagus.” “Ikut aku kalau begitu.” Kami melangkah ke rumah sebelah. “Sudah kuduga. Kalian tidak akan mandi di sini.” Septi memakai kaus hijau tangan panjang dan celana panjang hitam. Penampilannya lebih baik dari kemarin. Aku rasa. Rambut panjangnya lebih lurus dan tersisir rapi. Poninya yang lebat menutupi dahinya. Dia amat sangat manis sekali. Namun masih ada satu hal yang sangat aku sayangkan, dia tidak memakai kerudung. Aku harap dia sadar dan memakainya suatu saat. Semoga. Karena aku tidak mau memaksa. “Karena kamu lama sekali!” kata Uki kesal. Kemeja biru garis-garis dikenakan Uki saat ini. Dia juga memakai celana panjang yang sewarna dengan oli motor. “Karena ada banyak kamar mandi di sini.” Aku mengeringkan rambut dengan handuk. Hari ini aku melapisi badanku dengan jemeja warna kelabu gelap. Celana yang aku pakai memiliki warna yang sama dengan celana dua sahabatku. Intinya, warnanya hitam. Uki menarik lenganku. “Kamu tidak ingin pergi ke kedutaan besar Jepang dengan mobil itu kan?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Mobil rusakku?” ujarku polos. “Tentu tidak. Tadi, selepas mandi aku sudah meminjam mobil paman.” Aku menepuk kantong celanaku. Untuk penekanan. Bahwa aku sudah dapat kuncinya. “Mobil pamanmu, Honda City hitam yang ada di depan itu ya?” Tebak Septi. “Yup. Ayo, kawan. Kita jelajahi Jakarta.” Seperti yang sudah aku duga. Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di jalan. Penyebabnya, apalagi kalau bukan macet. Aku menebarkan pandangan. Ke depan dan ke belakang. Aku sudah berada di jalan M.H. Thamrin. Bundaran Hotel Indonesia ada di depan kami. Sebentar lagi kami tiba di kedubes Jepang. Tapi aku masih punya satu tujuan. Yang memang harus aku capai. “Hei, bukankah itu tempatnya?” kata Uki. “Iya. Benar. Tapi aku akan mampir ke sana dulu.” Aku menunjuk sebuah gedung “Plaza Indonesia?” Kata Septi. “Benar. Aku mau beli sesuatu.” Kami berjalan ke lobby utama. Dan handphoneku bordering. Aku segera mengangkatnya. “Siapa…” “Febri.” Ujarku cepat-cepat. Memotong kalimat Uki di tengah jalan. “Irfan, kalian di mana? Bisakah aku mampir ke tempat kalian?” Febri menghajarku dengan pertanyaan. “Aku di Plaza Indonesia. Kalau kamu memang mau mampir, datang saja ke Rawamangun. Memang ada apa?” “Aku mau mengmbalikan jaket Uki.” Dia diam sejenak. “Kalian di Plaza Indonesia? Di mana?” “Di…” aku melirik ke atas dan mendapati dia ada di lantai empat. Di toko apparel ternama. Nike. “Nanti kutelepon lagi. Aku pergi dulu.” “Ayo!” aku menarik tangan Uki dan Septi. “Ada apa?” Uki memprotes. “Lebih cepat, lebih baik.” Aku berlari menyusuri lantai dasar. Tokonya ada di sebelah sana. Authorized dealer handphone Black Berry. Aku mau beli dua. Tapi aku tidak mau Uki dan Septi tahu. Aku memutuskan untuk melempar pandangan ke

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

sekitar tempat itu. Aku sendiri baru sekali ini datang ke mall ini. Cukup besar. Di dekat counter resmi itu ada plang yang menunjukkan arah ke kamar kecil. Aku duduk di kursi yang ada di dekat sana. “Tunggu di sini. Aku mau ke kamar kecil dulu.” Aku meninggalkan mereka dan melesat ke kiri. Begitu lepas dari pandangan mereka, aku segera ke counter itu. Untungnya tempat itu cukup luas. Jadi, aku bisa sembunyi dari mereka. “Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?” seorang petugas menghampiriku. “Dua BB Bold Dakota. Dan tolong Upgrade yang ini.” Aku menyerahkan Handphoneku. Yang juga sejenis. Si petugas menyerahkan dua unit BB yang masih di bungkus. “Termasuk kartu garansi di dalam.” “Berapa tahun?” Aku mengeluarkan kartu yang kemarin diberikan ayah. “Dua tahun pak. Dua Dakota berarti delapan juta, cash atau kredit?” “Cash. Tapi tolong cepat.” “Baik. Tapi pak, Dakota yang bapak miliki sudah up to date, jadi masih belum perlu di upgrade.” “Ya, sudah.” Aku mengeluarkan kedua hp dan memasukkan kartu SIM ke dalamnya, sambil men-charge kedua batrai dengan portable charger yang sudah aku siapkan. Memang aku bosan menunggu. Tapi mau bagaimana lagi. Dia lama sekali. Sisi positifnya, batrai yang sedang di charge mungkin akan cepat penuh. Tapi negetifnya, mereka pasti bosan menunggu. Dan mungkin Febri juga sudah lenyap. Aku memasukkan dua kardus hp ke dalam tasku. Dan cepat-cepat melesat begitu kartu kreditku kembali. “Kenapa lama sekali?” Septi protes. “Antri.” Kataku enteng. Aku duduk di samping Uki. Dia sedang memakan Bread Talk. Tas punggungnya tergeletak di lantai. Terbuka lebar. “Tidak mungkin selama itu.” Septi juga duduk. Mengikuti aku. “Memang begitu.” Aku menjatuhkan hp ke dalam tas. Untung mereka tidak sadar. “Nah, kita semua sudah di sini.” Uki menutup tasnya dan menyampirkannya di punggung. “Sekarang apa?” Aku lihat Febri masih di lantai dua. Di sisi lain, ada gerai Baskin Robbin. “Ke lantai dua. Kita beli es krim.” Jarak kami dengan Febri sudah cukup dekat sekarang.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kenapa kamu beli ini sih? Kan mahal.” Kata Septi. “Tidak apa kok.” Aku merangkul pinggangnya dan menarik dia mendekat. Kami duduk di bangku yang sudah diduduki Uki salah satu sudutnya. Tanpa Septi sadari, handphone sudah masuk ke dalam saku celananya. Mission Complete. “Tidak biasanya kamu merangkul Septi.” “Mungkin obatku habis.” Guyonan itu tampak segar. Dan tidak satu pun dari mereka menyadari perbuatanku. “Ayo.”Aku bangkit dari kursi. “Kenapa lagi, sih? Kita tidak mungkin makan sambil jalan, kan?” Uki tampak kesal. “Memang tidak,” aku sepakat. “ada yang ingin aku tunjukkan.” “Apa?” Kata Septi. “Itu.” Aku menunjuk Febri yang berdiri di depan toko. “Febri?” dua kolegaku berujar bersama. “Iya. Kita akan membuat dia terkejut. Ayo kawan!” Kami berjalan perlahan. Berniat memberi Febri kejutan. Febri memegang sebuah kantong pelastik. Entah apa yang ada di dalamnya. Karena, benda itu berwarna hitam dan tebal. Tapi aku tahu pasti isinya pakaian. Dia berdiri memunggungi kami. Dia sedang melihat-lihat ke bawah. Septi beraksi. Dia bergerak mendekat, dan menepuk bahunya. Seperti yang sudah aku duga, Febri yang kaget melempar barang bawaannya. Dan benda itu mendarat di tangan Uki dengan selamat. “Kalian memang benar-benar sahabatku yang paling penuh kejutan!” dia mengajak kami bersalaman. Febri kali ini menggunakan pakaian baju merah tangan panjang, celana hitam dan kerudung putih. Aku jadi membayangkan kalau Septi juga seperti ini. Pasti menggembirakan sekali melihatnya. “Dengan siapa kamu kemari?” Uki berujar. “Diantar paman.” “Mana pamanmu?” Ujarku. “Sudah pulang. Aku di tinggal di sini.” “Kok bisa-bisanya kamu datang ke sini?” Kata Septi. “Bukankah di Jakarta Selatan ada mall yang besar juga?” “Memang ada.” Ujar si Kerudung Merah singkat.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Lalu kenapa kamu sampai datang ke Bundaran HI segala?” Uki memberikan pelastik hitam itu. “Itu mililkmu.” “Maksud kamu?” Uki tampak bingung. “Tadinya, aku mau ke kedubes Jepang juga. Untuk menemui kalian. Sekalian mengembalikan jaketmu.” Febri menyeruput minuman dingin yang dia miliki. “Tapi sayangnya, jaketmu tertinggal di rumah. Aku jadi beli yang baru. Maaf ya.” “Tidak perlu. Kamu juga tidak harus membeli jaket baru. Merepotkan kamu saja.” Uki membuka tasnya dan menyimpan jaket itu. “Ya, sudah. Terima kasih. Aku akan memakainya di Jepang.” Kami semua tertawa. Ucapan Uki tadi benar-benar optimis. Semoga itu terjadi. Aamiin. “Kenapa kamu tidak menelepon Uki saja?” Aku memancing. “Benar juga ya. Uki, berapa nomor hp kamu?” “Irfan bercanda. Aku tidak punya hp.” “Feb, dia bohong. Ini nomornya.” Aku memberinya selembar kertas. Febri segera menyimpan nomor itu di hp-nya, dan menekan tombol panggil. “Itu bukan nomorku.” Kata Uki bersamaan dengan terdengarnya suara nada dering. Bunyinya berasal dari dalam tas punggungnya. Dia segera membuka tasnya, dan menemukan hpnya di sana. Melantunkan nada dering. Di layarnya yang lebar, terlihat tulisan, Incoming Call. Febri Andriani. “Ini bukan… ini milik…” Uki melirikku. “Milikmu.” Aku mengeluarkan milikku. Sama seperti miliknya. “Kalau punya Septi yang ini.” Aku memberikan kertas lain. Tidak lama kemudian dering lain berbunyi. Dan Septi-lah yang kali ini marah. “IRFAN!!” Mereka tampak ingin membunuhku. “Oh, kalian lapar? Ayo kita makan siang dulu.” Aku melangkah meniggalkan mereka bertiga, dua orang sedang marah-marah, dan yang seorang lagi sedang tertawa melihat tingkah kami. Kami melangkah ke Kafe Betawi. Tempat itu lumayan mewah. Dengan kursi kayu berwarna merah dan putih. Aku sangat yakin harga yang ditawarkan di sini cukup tinggi. Tapi semua resto di sini mewah. Aku yakin mereka menjual makanan yang sama mahalnya. Daftar menu berwarna coklat melapisi dinding, memaparkan jenis makanan yang ada di sini. “Duduklah, aku mau pesan dulu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jangan,” Septi menarikku ke belakang. Lalu menjatuhkan aku. Aku berdebum di kursi. Untungnya. Di samping Febri. “kali ini aku yang beli.” “Soto betawi saja.” Kataku pada Septi, lalu memandang Febri. “Kamu terlalu boros.” Katanya padaku. “Kamu yang beli handphone itu, kan?” “Iya.” “Itu kan uang orangtua kamu. Masa kamu hambur-hamburkan begitu saja, Fan?” “Kalau perintah itu datang langsung dari ayahku, aku akan langsung melakukannya.” “Maksudmu?” “Ayahku meminta aku untuk membeli handphone untuk mereka. Beliau bilang, kalau bisa yang merknya sama dengan milikku. Yah, mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang berbhakti, aku kan, hanya menurut.” “Oh, begitu. Aku kira ini semua kemauan kamu.” “Tapi, jangan bilang pada mereka ya.” “Kenapa?” “Rahasia. Ayahku memang begitu.” “Oh, begitu. Ini dia. Mereka datang.” Septi dan Uki sama-sama membawa nampan. Dia duduk di sampingku. Dan Uki disampingnya. “Coba tebak ada siapa?” Ujarnya sambil membagikan mangkuk. “Siapa?” Kataku cepat “Rivalku. Siapa lagi kalau bukan Viera dan Rimba.” “Di mana…” Dia menahanku. “Jangan berdiri. Dia belum melihat kami. Itu mereka di sana, di sudut kanan.” Aku

melihat.

Dan

di

sanalah

mereka.

Sedang

menikmati

hidangan.

Tidak terasa Black Berry yang aku punya sudah menempel di kuping. Rupanya, tanpa aku sadari aku menelepon Rimba, yang untungnya langsung diangkat. “Halo, ada apa Qi?” “Kamu ada di Plaza Indonesia ya?” “Dari mana kamu tahu?” “Karena aku melihatmu!”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Setelah itu, dia menegok ke segala penjuru. Seolah sedang mencari pencuri. Viera yang ada di depannya tertawa geli. Kemudian, dia menunjuk ke arah kami. “Bagaimana kalian bisa berkumpul di sini sih?” kata Rimba. “Ceritanya panjang.” Ucap Febri. Mewakili kami bertiga. “Apa kalian sudah ke kedutaan?” Septi mengubah topik pembicaraan. “Sudah. Kami baru saja dari sana. Kalian belum ke sana, ya?” “Belum.” Ujarku. “Lekaslah ke sana. Petugas di sana sangat disiplin. Mereka tidak akan melayani kalau kalian tiba bukan pada jam kerja mereka.” Viera mengkonfirmasi. “Begitu ya?” komentar Uki singkat. “Kalau begitu, kalian harus cepat.” Kata Febri. “Lalu, bagaimana denganmu?” Uki tampak khawatir. “Jangan pikirkan aku. Pikirkan saja beasiswa kalian.” “Tenang, sobat, masalah Febri serahkan saja padaku.” Kata Rimba menawarkan diri. “Bagus kalau begitu. Kami pergi dulu.” Kami tiba di kantor besar itu dalam waktu singkat. Dan yang lebih menguntungkan lagi, kami bertemu pak Nura di lobby utama. Tepat saat kami bertanya pada resepsionis. “Mereka mencari anda, pak.” Ujar si resepsionis. Dia berbicara dalam bahasa Indonesia. Tapi logat Jepangnya masih terdengar jelas. “Oh, ada tamu rupanya.” Kata pak Nura. Dia memakai jas hitam dan baju putih. Dasi merah mengikat lehernya. “Aku sangat senang bila ada pengunjung. Kebetulan aku sedang tidak punya kegiatan hari ini. Ayo, kita mengobrol di kantorku.” Jadi ini yang namanya pak Nura Rihyon. Beliau cukup bersahabat. Lelaki ini berumur sekitar 40 atau 45 tahun. Susah menentukan umurnya. Rambut hitamnya tersisir rapi. Dia berjalan penuh wibawa. Setiap bawahannya selalu memberi hormat ketika mereka bertemu. Akhirnya kami berhenti di depan sebuah ruangan yang cukup besar. Kedua pintunya yang lebar tertutup. Pak Nura segera membukanya dan meminta kami masuk. Di dalam, kantor itu terlihat rapi dan bersih. Lantai ditutupi karpet merah. Hiasan berupa bendera Jepang tergantung di salah satu sudut dinding. Di depannya terdapat sebuah meja. Seperti meja direktur utama. Di depannya ada sebuah kursi. Di kantor itu juga ada sofa yang berwarna hitam. Beliau meminta kami duduk di sana. “Jadi, apa yang bisa kubantu?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kami adalah calon pelamar beasiswa, pak.” Ujarku perlahan. Memisahkan setiap kata unuk memberi penegasan. “Daripada kami mengirimnya lewat pos, lebih baik kami langsung mengirimnya ke sini.” Timpal Septi. “Selain itu, kami juga membawa surat dari pak Rudi Khairi. Kepala sekolah SMAN 1 Kalianda.” Uki menunjukkan surat itu. Pak Nura mengambilnya. “Pak Rudi Khairi, ya? Beliau baru saja menelepon aku. Dia bilang, ada beberapa muridnya yang akan datang. Mungkinkah itu kalian?” “Benar. Itulah kami.” Pungkas Uki. “Baiklah,” pak Nura menggamit kedua tangannya di atas meja. “sebagai pemohon beasiswa, syarat yang paling mudah adalah, dokumen kalian harus lengkap. Termasuk nomor telepon yang dapat dihubungi. Apa kalian sudah membawanya?” “Iya, pak. Kami sudah membawanya.” Ujar Septi. Kami langsung meletakkan dokumen itu di atas meja. “Bagus. Dokumen kalian sudah lengkap. Dengan ini, kalian bisa menunggu sementara berkas ini di periksa kembali. Psycho Test dan wawancara dengan bahasa Indonesia akan kita lakukan hari Rabu, pada minggu yang akan datang. Artinya, kalian masih memiliki waktu satu minggu untuk bersiap. Kalau kalian lolos seleksi pengajuan berkas, aku sendiri yang akan menelepon kalian. Jadi bersiaplah.” “Kami pasti siap.” Ucapku penuh keyakinan. “Optimis. Sangat optimis. Aku suka itu. Kalian mengingatkanku pada kepala sekolah kalian. Beliau juga orang yang sangat optimis. Sama seperti kalian.” “Itulah kami.” Kata Septi. “Sebagai calon penerima beasiswa, kami kan harus semangat.” “Kamu pandai bicara, nak. Kemampuan untuk berbicara sangat esensial di Jepang.” “Pak, bolehkah aku bertanya?” Aku berucap. “Senang bisa menjawab pertanyaanmu, nak.” Aku mengambil nafas dalam-dalam. “Sudah berapa pelamar beasiswa yang berasal dari Indonesia?” “Aku tidak tahu pasti, nak. Aku belum memeriksanya lagi. Terakhir kali aku melihat, jumlahnya sekitar 100 orang.” “Apa mereka semua pasti mendapat beasiswa?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tidak semua nak.” Pak Nura mengakui. “Hanya pelamar yang memiliki dokumen lengkap dan lolos seleksi yang akan kami terima lamarannya. Jumlah kuota memang sedikit. Mengingat calon mahasiswa mancanegara yang melamar bukan hanya dari Indonesia saja.” “Oh, begitu…” Kami bertiga membeo. “Jangan terlalu khawatir. Aku yakin kalian lulus.” Beliau terlihat sangat yakin. “Terima kasih.” Kata Uki. “Tapi kenapa bapak bisa seyakin itu?” Ujar Irfan “Aku tahu, nak. Percayalah. Aku tahu.” Setelah itu, pak Nura mengantar kami sampai ke pelataran parkir. Bahkan beliau melambai pada kami saat kami meluncur meninggalkan kantor kedutaan. “Dia orang baik.” Komentar Uki. “Tidak sebaik teman kita yang sedang membawa mobil ini.” Septi menatapku dan aku melihatnya. Kami diam membeku sampai Uki berteriak di belakang. “REM!” Aku menginjak pedal rem dalam-dalam. Tepat di depanku, ada sebuah mini bus. Silver warnanya. Sejenis mobil angkutan door to door shuttle begitu. Jaraknya hanya satu inchi di depan mobilku. “Baik.” Kata Uki kesal. “Sangat baik. Sampai-sampai kita hampir menabrak.” “Aku kan tidak lihat.” Aku mencoba membela diri. “Makanya jangan bermesraan di tengah jalan!” katanya berapi-api. “Iya, deh. Aku mengaku salah.” Ucapku akhirnya. “Kenapa sih kamu membeli hp baru segala?” Septi mengubah topik pembicaraan. “Karena aku tahu kalian butuh. Oh iya. Aku sudah mengaktifkan BB Protect di device kalian.” “Apa gunanya?” Kata Uki. Dia sudah kembali normal. Untungnya. “Apa itu semacam Anti Virus?” “Gunanya. Untuk melacak handphone bila handphone itu hilang atau dicuri. Juga untuk melindungi data-data penting.” “Terlalu mewah.” Gumam Septi. “Fitur-fitur itu belum tentu ada gunanya.” “Kamu akan tahu, Sep.” Aku meyakinkan. “Semoga saja tidak.” “Aku tidak mau tahu, Fan.” Kata Septi pelan. Aku mengangkat bahu dan menambah kecepatan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Kami masih berada di daerah Jakarta Pusat saat itu. Setelah melaksanakan shalat Dzuhur, kami mengarungi jalan raya menuju Monas. Untuk melihat Jakarta dari puncaknya. “Itu Istana Negara ya?” Kata Uki. Dia melihat ke kiri. “Benar sekali. Ini jalan Medan Merdeka.” Saat kami melintas, Istana Negara berada di sebelah kiri kami. Sesaat kemudian, pemandangan berganti. Sekarang Masjid Istiqlal yang kami pandang. Di depannya ada Gereja Katedral. Letak keduanya yang begitu dekat adalah bukti toleransi keagamaan yang kuat di Indonesia. Begitu kami sudah masuk halaman Monas, Handphone Uki berdering. Aku segera memberhentikan mobil. “Siapa?” “Febri.” Dia segera menekan tombol angkat. “Ada apa?” “Maaf mengganggu. Di mana kalian? Masih di sana?” “Tidak. Kami di Monas. Ada apa?” “Monas ya? Kalau begitu tepat! Dengar, teman kita, Riski ada di Monas juga. Dia dapat masalah. Katanya ada yang mengganggunya.” “Baik. Kami akan segera ke sana.” Uki menutup telepon. “Kencangkan sabuk pengaman kawan.” Aku menginjak pedal gas sedalam mungkin. Dan mobil merespon. Dia melompat ke depan dan melesat seakan memiliki sayap. Rupanya info barusan tidak main-main. Aku lihat Riski di sana. Dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang menodongkan pisau lipat. Kalau begini caranya, bisa-bisa dia terluka. “Biar aku saja!” Kata Uki. “Tapi kan kamu tidak membawa itu!” aku berkomentar. “Benda itu tidak bisa menyelesaikan semua masalah!” Uki berkeras. “Tapi sekarang bisa…” Septi terlihat panik. “Setelah itu kita akan di tangkap polisi. Percayalah padaku. Aku punya rencana.” Dia menatap kami tepat di mata. Dan mau tidak mau kami membiarkan dia pergi. Aku dan Septi bersembunyi di taman. Tapi dia meminta kami mengikuti dia. Uki berjalan tepat ke tengah kerumunan preman, yang jumlahnya sekitar lima orang. Entah bagaimana caranya, mereka sama sekali tidak mengundang kehadiran polisi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“CUT!!!” Kata Uki tegas dan keras. Sehingga semua yang hadir terdiam. Termasuk si pemegang pisau. Juga Riski yang menjadi korban. “Nona Rai, dialog anda yang sebenarnya bukan seperti itu. Yang benar itu… Naskah!” “Yang benar, Tidak! Tolong! Teganya kau!” aku menyahut. Septi pun mengangkat alis karena heran. “Nah, itu dia. Dialogmu yang benar adalah, Tidak! Tolong! Teganya kau!” Aku pernah dengar tentang Rai. Atau Aishwarya Rai. Wah, selera Uki tinggi sekali. Mereka masih diam mematung. Tidak sadar akan apa yang sebenarnya terjadi. “Kalau anda, tuan Atkinson, anda seharusnya tidak menggunakan pisau ini.” Mendengar nama itu, komplotannya malah tertawa. Tentu kalian tahu siapa dia. Uki mengambil pisau lipat itu dari tangan orang itu. Wajahnya merah karena amarah. Bagusnya, dia tidak melawan. “Hey, kau yang di sana, berikan tuan Atkinson senjata yang tepat!” Uki melempar pisau itu padaku. Dan, Septi melempar sebatang kayu padanya. “Nah, ini dia senjata yang cocok buatmu, tuan Atkinson.” Bukannya memberikan, Uki malah memukul kepala Atkinson dengan kayu itu hingga patah. Dia langsung ambruk. Terdapat benjolan baru di kepalanya. Keempat temannya bengong. Kami membereskan mereka dengan mudah. Aku menghajar dua, dan Septi menghajar dua. Lima dikurang satu dikurang empat sama dengan nol. Kami segera masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Kali ini, aku dan Uki yang duduk di depan. Sementara Septi dan Riski yang duduk di belakang. “Terima kasih sudah membantu kawan-kawan.” Ujar Riski. “Jangan sungkan,”Septi menepuk bahu Riski. “berterima kasihlah pada Allah. Juga pada Febri.” “Iya, kamu benar Sep. Tapi aku cukup terkejut dengan cara kalian menghentikan mereka berlima tadi. Terutama Uki.” “Ada apa denganku?” Uki melirik ke belakang. “Sejak kapan kamu belajar jadi sutradara?” “Tidak pernah.” Ucapnya polos. “Tapi rencana kamu tadi benar-benar brilian. Yang kamu katakan juga benar, Uki. Pistol tidak bisa menyelesaikan semua masalah.” “Hmm… ngomong-ngomong, kita mau ke mana nih?” Aku mengganti topik pembicaraan. “Kalau kamu tidak keberatan, tolong antar aku ke Rawamangun. Jalan Gabus II nomor 11.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Efek dari ucapan Riski tadi seperti ledakan Flashbang. Mulut kami terbuka. Kalau rumahnya ada di jalan Gabus nomor 11, berarti dia tetanggaku! Rumahnya tepat berada di depan rumahku. “Ada apa?” Ujar Riski heran. “Tidak. Tidak apa. Lebih cepat kita tiba di sana, lebih baik.” Aku melajukan City hitam ini menembus keramaian Jakarta. Entah kenapa, malam datang lebih cepat malam itu. Kami tiba saat adzan Maghrib berkumandang. Kami turun bersamaan. Memandang ke masjid yang sekarang sudah dipadati jamaah. Kebanyakan memakai busana muslim. Namun demikian, ada juga beberapa orang yang memakai kemeja atau batik. Bercelana panjang atau berkain sarung. “Terima kasih sudah mengantarku.” Kata Riski. Matanya berbinar sekarang. Mungkin karena dia senang bukan kepalang. “Sama-sama.” Kata Septi, mewakili aku. “Setelah ini kalian mau ke mana?” “Setelah ini kami akan bermalam.” Aku menurunkan tas dari mobil. “Di mana? Bagaimana kalau di rumah pamanku saja?” “Tidak usah. Terima kasih. Aku... maksudku, kami akan bermalam di Gabus II nomor 12.” Riski mematung. Matanya menatap rumah yang ada di balik badanku. “Maksudmu… di rumah ini?” “Iya. Aku juga baru tahu kita ternyata bertetangga. Hebat.” “Ya, sudah. Aku mau sholat Maghrib dulu.” Aku mohon diri. Dua sobatku mengikuti. Maghrib itu, yang menjadi imam adalah aku. Entah kenapa, semua tetua di sana menunjuk aku. Alas an mereka sih, memberi kesempatan pada yang muda. Yah, pokoknya alasan semacam itu lah. Kau pasti paham kan, maksudku? Begitu kelula dari masjid, akumengeluarkan semua yang ada di dalam tas yang aku bawa. Dan, selain pakaian, juga dua kotak Black Berry Bold Dakota yang keduanya langsung aku lemparkan ke Uki dan Septi. Kami berkumpul di ruang utama. Membahas kejadian yang kami alami hari ini. “Jadi, kalau kita lulus pada step pengajuan dokumen, pak Nura, tokoh komik favorit Septi yang datang ke dunia nyata akan menelepon kita besok.” Aku melempar senyum jahil padanya. Tampaknya dia jadi lebih tertarik pada televisi yang ada daripada perkataanku. “Dan ujian lisan akan diadakan besok lusa.” Uki mengakhiri tema pembicaraan pertama.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kemudian,” aku membuka tema pembicaraan kedua. “yang tadi itu bukan antek-antek Marvel kan?” “Sepertinya begitu. Semoga.” ucap Septi datar. Mendengar nada suaranya yang seperti ini, aku jadi yakin dia sama sekali tidak tertarik membahas hal ini. Kalau kau tanya pendapatku, aku juga sama seperti dia. Tidak tertarik. Tapi aku tahu ini harus dibicarakan. Entah kenapa, aku merasa begitu. “Bukan. Aku tidak melihat tanda M yang tergambar di tubuh mereka.” “Itu bagus. Hal yang lain lagi, ini berkenaan dengan kamu, Uki.” Uki kontan menatapku. “Ada apa?” “Strategi yang kamu pakai tadi sore bagus. Tapi, apa tidak sebaiknya kamu juga membawa pistolmu? Untuk berjaga-jaga.” Jelas sekali Uki menahan emosi. “Mungkin nanti. Jika saatnya tepat.” Seperti diberi komando, setelah mengucapkan kata itu, pamanku datang ke rumah mungil yang menjadi Head Quarter kami itu. “Kalian sudah makan belum? Makan di rumah paman yuk.” Kata beliau. Memecahkan ketegangan di antara kami bertiga. Kami mengiyakan secara bersamaan. Lalu kami mengekor beliau ke rumahnya. Tempat kami bisa dengan bebas melukis apa yang kami inginkan. “Bagaimana hari kalian?” Paman Andin memulai pembicaraan. “Spektakuler.” Ujarku. “Luar biasa.” Kata Uki. “Unforgetable.” Ucap Septi. “Ya, baguslah. Intinya, kalian senang, kan?” Bibi Siti menimpali. Aku mengambil nasi secukupnya dan sepotong ayam. Kuah sayur bening membasahi nasi di atas piring putihku. Dua sobatku mengikuti, mereka mengambil lauk yang sama. “Hari-hari ini kan pendaftaran mahasiswa baru di beberapa universitas kan sudah dibuka. Apa kalian bertemu dengan teman sekolah kalian?” Tanya paman Andin “Kami bertemu empat orang hari ini. Tiga di Plaza Indonesia, dan satu di Monas.” “Tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, kan?” Bibi tampak khawatir. “Sayangnya itu terjadi, Bi.” “Ya Allah. Tapi kalian tidak terluka, kan?” “Tidak Alhamdulillah. Tapi kalau bibi melihat bagaimana cara Uki menghentikan mereka, bibi pasti tertawa.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Memang apa yang Uki lakukan?” Paman Andin tampak tertarik. “Dia berlagak jadi sutradara, paman.” Septi mengisahkan. “Iya?” paman tampak tidak percaya. “Lalu apa yang kamu lakukan setelah itu?” “Aku mengambil pisau lipatnya.” “Apa dia tidak melawan?” “Seorang aktor tidak mungkin melawan sutradara. Intinya, dia bahkan tidak bergerak.” “Dan?” “Dan sampailah kita pada bagian paling seru.” Aku menimpali. “Uki memukul kepalanya dengan kayu setelah dia melempar pisau lipat itu pada Septi.” “Yah, sudah adzan. Semoga hari esok lebih baik dari hari ini. Ayo sholat Isya.”

CHAPTER 11 SEPTI Sebenarnya mereka mau apa sih? Apa mereka memang hobby menculik? Apakah mereka ingin membunuh kami? Bukankah mereka sudah tahu, bahwa takdir itu di tangan Allah? Bukankah mereka tidak tahu, bahwa teman-temanku pasti akan datang menolong? Bukankah… ah, sudahlah, percuma mengeluh. Tidak akan memberi manfaat. Hanya akan membuang tenagaku saja. Lebih baik aku memikirkan bagaimana cara melepaskan ikatan kain yang menutup mulutku ini.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Uki berada di pojok ruangan. Berjarak sekitar 2 meter dariku. Tempat dimana kami ditahan kali ini tampak lebih luas. Rak-rak yang ada dipenuhi dengan pipa-pipa paralon. Ada juga yang disesaki dengan tumpukan kardus-kardus kecil. Ada yang berwarna hijau, juga biru. Beberapa sak semen tersebar di lantai. Ada juga etalase-etalase yang memuat berbagai macam benda. Paku, mur, baut dan aneka barang lain. Jadi, kalau aku diminta mengambil kesimpulan di mana aku ditahan, maka, aku pasti akan bilang di toko bangunan. Pasti. Hanya saja, aku dan Uki tidak tahu di mana letak toko butut ini. Yang lebih membuatku resah, sekarang Marvel sudah menyiapkan kamera CCTV tepat di atas kepala kami. Juga ada tambahan beberapa penjaga. Mereka besar. Dan tampak berpengalaman dalam membereskan dua remaja ingusan seperti kami. Mereka berdiri di samping pintu keluar. Ada juga yang berdiri tepat di sampingku. Memang peluang selamat kami kecil sekarang. Tapi, sebagai seorang yang beriman, aku tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Kaki dan tanganku sudah mulai mati rasa. Aku dan Uki sudah dipukuli dari kemarin. Rasa sakitnya pun tidak hilang sampai hari ini. Tapi kami harus tetap bersabar. Karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar. Akhirnya datang juga… Marvel datang. Tampangnya memang mengerikan. Persis seperti seorang egomaniak yang suka membunuh. Dia berjalan dengan santai. Beberapa bawahannya memberinya jalan begitu dia lewat. Marvel mencabut sebilah pisau berbilah lebar dari sabuk temannya. Dan dia berjalan tepat kepadaku. “Apa kabar manis?” Marvel menampar wajahku. Teriakanku hilang di balik kain yang menutup mulutku. Seolah tidak puas, Marvel menarik rambut panjangku, hingga aku meronta karena sakit yang sangat. Seolah setiap helai rambutku akan melompat dari tempatnya semula. Marvel menekankan pisaunya di leherku. Aku menatap Uki. Sungguh tak berdaya. Mungkin inilah akhirnya… Marvel melakukan tebasan. Dan seluruh helai rambutku berterbangan. Yang tersisa hanya sepanjang leher. Si bajingan ini tertawa terbahak-bahak. Dia menghapus air mata yang mengalir perlahan di pipiku dengan kasar. “Oh, jangan menangis manis,” dia menamparku sekali lagi. Orang ini benar-benar psikopat kelas kakap. “kau akan mati besok pagi.” Katanya setelah menamparku untuk yang ketiga kalinya saat itu. “Oh, jangan. Jangan besok. Aku akan membunuhmu sekarang juga!”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Tepat sebelum dia menempelkan mata pisaunya di leherku, salah satu anak buahnya muncul dari luar dengan tergesa-gesa, hingga Marvel menghentikan aksi gila-nya. Untuk sementara. “Ada apa, dasar bodoh?” bentaknya. “Apa kau tidak tahu aku sedang sibuk?” “Maaf, bos. Ada telepon dari nyonya besar. Katanya, beliau ingin bicara, sekarang.” Marvel tampak gusar. Dia melemparkan pisaunya ke bawah. Bilahnya yang berkilat tertancap hingga ke batang di antara kedua kakiku. Setelah itu dia pergi. Aku diam sejenak. Membiarkan semua air mata tumpah. Setelah itu, aku menatap salah satu penjaga dengan tatapan tajam. Mungkin seperti srigala yang lapar. Karena, penjaga yang aku lihat itu bergerak gelisah. Aku memanggil orang itu supaya mendekat. Seperti yang aku harapkan, dia datang menghampiri. “Ada apa?” ujarnya kasar. Dia mengangkat moncong bedilnya. Dan mengangkat kepalaku yang tertunduk ke bawah. Aku tersenyum bengis padanya. Dan saat dia tampak heran, aku menendang alat kelaminnya. Dia membuang pistolnya, menunduk karena sakit yang sangat. Aku melancarkan tendangan kedua. Kali ini, aku menendang dadanya hingga dia terlempar. Temannya yang lain tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka juga sangat kaget. Korbanku tergeletak di lantai. Tidak bisa bergerak. Aku melompat dan menjatuhkan diri. Punggung lebih dulu. Tepat di atas orang tersebut. Kursi yang mengikatku patah. Tali yang mengikatku pun putus. Aku menyambar pisau itu dan menjatuhkan dua penjaga terdekat. Ada beberapa sak semen di sana. Aku melirik Uki yang masih terikat namun jelas tampak senang. Angin masih bertiup kencang. Aku membiarkan mulut dan hidungku tertutupi oleh kain itu. Setelah merubuhkan tiga penjaga lain sambil menghindari peluru yang beterbangan, aku merobek dua sak semen yang ada di tumpukan paling atas. Seperti dugaanku, angin meniup semua bubuk semen. Ruangan jadi penuh debu dan para penjaga terbatuk-batuk. Aku menahan perih di mata sampai aku menemukan dua buah kacamata renang di sana. Entah kenapa ada benda semacam itu di sana. Aku juga tidak mengerti hubungan antara toko bangunan dan kacamata itu. Tapi aku sangat bersyukur benda ini ada di sini. “Sekarang aku berharap kamu mau menembak lagi.” Aku memberikan kacamata yang kedua padanya setelah aku memotong ikatan Uki. “Kamu… persis seperti srigala.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Itulah aku.” Sepucuk Baretta melayang dari tanganku. Aku memberikan benda itu padanya yang jago menembak. “Satu cukup?” “Tidak.”Uki mengambil pisto lain. “Sekarang baru cukup.” “Kalau begitu ayo. Kita harus mengejar Marvel. Tidak ada yang boleh memotong rambutku seperti itu. Kalau ada, orang itu harus masuk penjara.” “Haha. I do like it!” Bersama kami meninggalkan toko bangunan yang sudah dipenuhi debu ini. Seperti yang sudah aku duga, kami sudah dikepung. Toko bangunan tua itu di kepung oleh puluhan antek-antek Marvel. Dia sendiri ada di sebuah gedung berlantai tiga. Dia melambai padaku. Rupanya dia ingin mengajakku duel. Dan, kalau dia kalah, dia akan mudah untuk kabur. Aku yakin itu. Uki menarik aku kebelakang saat aku mendengar suara desingan peluru. Sebuah peluru menancap di tanah. Di tempat aku tadi berpijak. “Arah jam satu. Lantai tiga.” Aku tahu maksud Uki. Di atas, ada seorang penembak jitu yang sedang membidik kepalaku. “Hati-hati. Mundurlah.” “Jangan bercanda!” ucapku ragu. Tapi aku toh tetap mundur. “Serahkan padaku.” Kata Uki sedingin ucapanku barusan. Dia membidik. Suara ledakan terdengar pelan karena pistol yang dipakai Uki dilengkapi peredam. Dua penembak jitu jatuh sambil menjerit. “Ups, salah.” Dia meniup moncong pistolnya. Berlagak seperti koboi. “Aku harusnya menembak dada mereka. Sehingga mereka jatuh ke belakang. Bukan ke bawah.” Dia memimpin jalan. Kami masuk ke dalam wilayah rumah. Karena gudang bobrok dan rumah megah bin mewah itu dipisahkan oleh sebuah jalan lebar. Aku kagum pada Uki. Juga sedikit heran. Entah kenapa,dia bisa menjatuhkan dua penjaga dengan menggunakan pistol. Padahal jarak gudang dan bangunan utama rumah itu cukup jauh. Oke, baiklah. Ini bukan halaman. Tapi lapangan yang dihiasi rumput yang tinggi. Hampir seperti labirin. Aku menerjang seorang bapak paruh baya yang menghalangi jalan kami. “Maaf.” Kataku sambil lalu. Penjaga kedua merentangkan kakinya, dia menutup jalan sempit dan menodongkan pistol. Aku berlari menyongsongnya, dan melakukan sliding tackle. Dia rubuh. Terjerembab di tanah yang ditumbuhi rumput lebat. Pistolnya meletus di bawah dadanya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tempat ini cocok untukku. Pertarungan jarak dekat. Simpan pistolmu. Jangan sampai meletus di balik celana. Dan tetaplah di belakangku.” Walau sedikit enggan, Uki tetap melakukan apa yang aku minta. “Bagaimana cara kita keluar dari labirin bodoh ini?” “Mudah. Penjaga pasti datang dari satu arah. Semoga. ayo, cepat. Jangan biarkan tuan rumah menunggu.” Aku berlari memimpin Uki. Wah, gawat, rupanya perhitunganku salah. Kami berputar-putar di tempat aneh ini hingga matahari terbenam. Begitu kami sampai di pintu depan, lampu-lampu yang ada sudah menyala. “Yang paling banyak penjaganya. Bagus.” Uki mengatur nafasnya yang tidak menentu. “Ya, sudah. Yang penting, sekarang kita sudah sampai.” Aku membela diri. “Ayo masuk.” Kali ini, Uki tampak setuju pada pendapatku. Keren. Bagian dalam rumah ini sangat luas. Mungkin bukan rumah. Tapi lebih tepatnya, pusat perbelanjaan. Bakal butuh waktu lama untuk menjelajah tempat ini dan mencari Marvel. Ditambah lagi ada banyak orang di sini. Mereka semua menunduk. Beberapa orang ada yang sudah terbaring kaku. Sebagian dari mereka menatap kami takjub. Bisa jadi mereka mengira kami adalah bantuan dari polisi. “Berpencar.” Kataku pada Uki. “Kamu sudah tertular penyakit Marvel ya? Tidak di tempat ini. Aku harus menjagamu. Aku sudah berjanji pada Irfan.” Aku merona. Mungkinkah? Irfan selalu mengkhawatirkan aku. Apalagi di saat seperti ini. Tapi kami harus bertindak cepat. Atau kami tidak akan bisa ikut wawancara calon penerima beasiswa. “Jangan bawa nama Irfan dulu. Kita harus berpencar. Temukan Marvel dan tangkap dia. Jangan khawatirkan aku. Aku bisa jaga diri.” “Jadi kalian benar-benar ingin mencariku, bocah?” suara Marvel terdengar dari semua pengeras suara yang ada saat kami mulai berpencar. “Go ahead.” Setelah mengucap kata itu, suaranya lenyap begitu saja. Tidak lama kemudian, orang-orang berpakaian seragam mall itu muncul dari pintu yang ada. Mereka semua menghalangi jalanku. Semoga Uki bernasib lebih mujur daripada aku. Aku terus berharap demikian sampai aku mendengar suara letusan senjata api di balik pundakku. Dan sadarlah aku kami memang sudah terkepung.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku sekarang ada di toko buku. Aku mengambil sebuah kamus dan melemparkan buku tebal itu pada satu orang berbaju putih yang berlari ke arahku. Benda keras itu membentur perutnya, hingga dia terjerembab di lantai. Aku menghadapi empat orang sekaligus. Mereka tidak punya senjata api. Tapi mereka membawa tongkat bisbol yang sama mengerikannya. Aku melompati sebuah etalase kaca dan memungut sebuah bola basket, lalu melempar si kulit bundar pada musuh terdekat. Dadanya kena telak. Bola basket itu memantul ke atas dan mengenai atap beton. Bola kembali menghantam orang itu. Kali ini, kepalanya yang jadi korban. Dia masih berdiri. Tapi sempoyongan. Akhirnya dia ambruk juga. Kejatuhannya menyebabkan sebuah rak buku rubuh. Buku yang ada di rak paling atas jatuh dan menimpa kepala salah seorang temannya. Hebat. Sekali mendayung, dua pulau terlewati. Tapi tetap saja, aku terkepung. Satu orang di depanku siap melemparkan sebuah bola golf yang entah dia dapatkan dari mana. Sedangkan yang di belakang sudah siap memukul kepalaku. Aku bisa dengan mudah merubuhkan mereka, dengan senjata mereka sendiri. Tapi gerakanku harus cepat. Ini dia, orang di depan melempar bola golf dan orang yang di belakang melancarkan pukulan. Aku menunduk secepat yang aku bisa. Dan akhirnya rencanaku berjalan dengan lancar. Si pembawa tongkat memukul bola golf. Bola kecil nan keras itu malah mengenai empunya. Dia terpelanting dengan bekas luka membiru di sekitar mata kirinya. Aku memanfaatkan keterkejutan orang terakhir. Aku menendang dadanya hingga dia mendarat di salah satu etalase kaca. Aku hendak berlari meninggalkan tempat itu saat suara Marvel lagi-lagi terdengar keras dari pengeras suara. “Septi Dian Anggraini. Silakan menuju rintangan selanjutnya, J.Co.” suara itu hilang sesaat. Kemudian muncul kembali. “Wah, Rupanya Ahmad Fulki Mubarok terluka. Tapi dia lolos ke babak selanjutnya. Gudang sepatu.” Begitu suara itu hilang, aku mengumpat. Aku tahu sekarang. Marvel menjadikan kami mainan. Dia berusaha menguras tenaga kami dulu sebelum dia berhadapan dengan kami. Dasar psikopat licik. Aku berhenti sejenak. Mengatur nafas yang tidak teratur. Kalau benar Uki terluka, maka, aku harus bergerak cepat. Tadi apa katanya? J.Co? toko donat itu ada di lantai selanjutnya. Tepat di depan eskalator yang sudah menunggu di depanku.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku mendaki anak tangga tiga-tiga. Begitu aku sampai di lantai atas, aku sudah di sambut oleh satu loyang adonan yang melayang. Aku menghindar. Loyang itu mendarat di toko buku yang kini sudah tidak beraturan. Orang yang tadi melempar Loyang berlari menyongsongku. Aku menunduk dan mengangkat orang itu dengan punggung. Aku menggunakan tenaganya yang kuat untuk mendorongnya ke atas. Dia mendarat dengan menyakitkan di eskalator. Semoga saja dia tidak menderita patah tulang. Salah satu dari mereka membawa satu nampan penuh donat. Dia menggunakan topi koki. Aku duga dialah yang membuat semua donat ini. Aku langsung bergerak cepat. Menghabisi mereka semua dengan jurus-jurus mematikan. Menggunakan semua yang aku lihat sebagai senjata. Begitu semua orang di sini tergeletak di lantai, aku menyambar sekotak donat dan kembali berlari. Bukan ke lantai selanjutnya, tapi untuk mencari Uki. Gudang sepatu. Itulah kata Marvel di microphone. Jadi, aku mencari tempat terdekat dan tertepat. Apalagi kalau bukan Matahari Department Store. Aku mendobrak pintu gudang dan mendapati Uki terpojok di sana. Sangat ketakutan. Lengan kirinya berlumur darah. “Septi!” katanya gembira. “Kau masih hidup.” “Tentu saja, sobat. Memang siapa yang bilang aku sudah mati?” “Dia.” Uki menunjuk seseorang yang terbaring di lantai. “Aku menembaknya karena berkata seperti itu.” “Apa lenganmu…” “Tidak. Lenganku hanya tereserempet peluru.” Uki memotong ucapanku. Aku merobek pakaian orang itu, membersihkan luka Uki dengan air mineral, dan membebat lukanya dengan kain itu. “Tidak terlalu bagus, tapi pasti lebih baik.” “Terima kasih.” Uki berjengit. Hatiku teriris melihat ini. “Ini. Ambillah.” Aku menyodorkan donat pada Uki. “J.Co?” Uki mengambil yang rasa coklat dan melahapnya perlahan. “Kamu memang hebat. Sekarang apa? Haruskah kita berpencar lagi? Kalau memang iya…” “Tidak. Jangan. Lupakan soal berpencar. Maafkan aku karena sudah memintamu melakukan hal konyol itu. Kita masuk bersama. Kita juga harus keluar bersama. Ingat, kekuatan Allah ada dalam kebersamaan.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Manis sekali.” Suara Marvel membahana. “Tapi, apa kalian tidak mencium bau asap?” Kami mematung. Bau asap? Kenapa aku tidak menyadarinya? Aku membuka pintu gudang dan mendapati kedai J.Co itu terbakar. Aku segera membasahkan kain dan menempelkannya di hidungku. Juga di hidung Uki tentunya. Kami belari ke lantai selanjutnya tepat sebelum tangga berjalan habis dilalap si jago merah. Kami juga memecahkan semua kaca yang kami lihat. Tujuannya, agar asap bisa keluar dari gedung ini. Dan akhirnya, setelah kami dengan susah payah mendaki semua anak tangga, kami sampai di lantai teratas. Di sana, Marvel telah menunggu kami dengan senyum bengisnya. “Wah, aku sungguh tidak mengira kalian akan sampai di sini, kawan-kawan. Selamat datang di pesta.” Jujur, aku tidak suka dengan kata ‘pesta’ yang baru saja dia ucapkan. Karena maksudnya mungkin saja, dia akan merayakan kegagalan kami dengan bersenang-senang. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Walau aku harus mempertaruhkan nyawaku yang cuma satu. Uki mendekati Marvel. Aku menahannya. “Biar aku saja. Tidak ada yang boleh memotong rambutku seperti itu dan tetap bebas berkeliaran. Dia harus ditangkap.” “Coba kalau kalian bisa.” Dia menjentikkan jari. Dan seorang bawahannya yang lain muncul. Orang ini besar sekali. Berkulit coklat gelap dan kepalanya tidak ditumbuhi sehelai rambut pun. “Perkenalkan, kawan-kawan. Salah satu bawahanku yang paling kuat. Giant!” Aku melempar sebuah batu bata. Dia menangkap batu itu dan dengan mudahnya meremukkan benda keras itu di balik telapak tangannya. Dia benar-benar monster. Si Botak menyeringai. Aku melirik Marvel. Dia dengan senangnya mengarahkan pistol padaku. Mengancam Uki agar tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau dia macam-macam, maka, bisa dipastikan akulah yang pertama kali meregang nyawa. Si bongsor belum bergerak. Mungkin dia menunggu perintah dari Marvel. Tapi dia juga diam saja. Mungkinkah Marvel memberiku waktu untuk bicara? Mungkin tidak. Tapi apa salahnya mencoba? “Ridwan, kenapa kamu melakukan ini?” “Kenapa katamu?” Dia meludah. “Kalian bertiga telah menghancurkan bisnis obat-obatanku yang sudah kubangun dengan susah payah! Semua orang yang mengganggu bisnisku harus mati!” Dia menghidupkan rokok yang dari tadi dia genggam. Lalu dengan santainya

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

menghembuskan asap ke udara bebas. Asap rokok itu bergabung dengan asap dari kebakaran di lantai bawah. “Begitu juga kalian.” “Kamu orang Muslim kan? Ridwan, sesama Muslim itu bersaudara!” “Bah! Jangan bicara tentang agama padaku, manis. Karena aku tidak punya agama. Dan namaku bukan Ridwan Ishida lagi. Namaku Marvel.” “Apa kata orangtuamu yang tadi menelepon?” Dia tertawa lagi. “Jadi, kau ingin tahu? Maka, bicaralah pada mereka di surga!” Marvel menyuruh algojonya menyerang dan aku sadar mungkin sebentar lagi riwayatku tamat. Aku membiarkan instingku mengambil alih. Kaki dan tanganku seolah memiliki pikiran sendiri. Algojo edan itu membawa tongkat besi yang cukup panjang. Menikam kearahku kapanpun ada kesempatan. Kini, aku masih terjengkang di tanah. Dia hampir saja membunuhku dengan tongkat super jumbo itu. Tapi untungnya aku terpeleset. Dia menikam ke bawah. Tiang berwarna biru itu berdebum dengan keras. Menghasilkan lubang di antara kedua kakiku. Giant mencekik leherku dan melempar tubuhku yang sudah tidak berdaya ini. Punggungku menabrak tumpukan karung berisi pasir. Lebih baik daripada pagar beton pastinya. Aku bisa mendengar Uki meneriakkan namaku. Tapi rasanya sangat jauh sekali. Giant berdiri menjulang di depanku. Tubuhnya yang besar menghalangi cahaya rembulan. Kakinya terbuka lebar. Dia sudah siap dengan tongkatnya. Ketika kunang-kunang sudah menghilang dari pandanganku, sadarlah aku bahwa dia akan segera membuat sate Septi. Tunggu, aku melihat rantai di balik badannya. Cukup besar dan panjang. Dan ide gila terbesit dalam pikiranku. Saat dia mengangkat tombak, aku mendorong badanku ke depan. Menyambar rantai itu. Tombak berdebum di lantai beton. Menancap dalam sekali. Ketika monster itu susah payah ingin mencabut tombaknya, aku membelitkan rantai itu ke seluruh tubuhnya. Memang badannya besar. Tapi rantai sebesar lengan orang dewasa yang tebal dan berat pasti bisa membuatya diam. Dia hanya bisa meronta. Marvel dan Uki tampak sama kagetnya. Dan, untuk memberikan sentuhan akhir, aku memungut sebongkah beton yang sudah pecah. Aku melompat ke depan, seperti ancang-ancang untuk melakukan slam dunk dalam permainan basket, dan menghantamkan benda padat itu di kepala Giant yang tidak ditumbuhi rambut. Raksasa itu rubuh. Uki melompat karena senang. Dia menghantam dagu orang yang menjaganya dengan tinjunya. Orang itu jadi tak sadar diri ketika kepalanya membentur lantai. Kami menatap Marvel. Kini, dia terpojok. Punggungnya sudah menempel pada pagar beton.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu tidak akan lolos.” Kami berkata bersamaan. “Oh, aku pasti lolos, sayangku.” Dia menembak ke bawah. Sial, dia berhasil membuat kami terkejut. dia melompati pagar. Tapi Uki sempat melukai kakinya. Aku menyangka dia sudah mati. Tapi rupanya dia lolos dengan menggunakan alat yang digunakan para pekerja untuk membersihkan kaca pada gedung pencakar langit. “Tidak apa.” Kataku, yang sebenarnya hanya bermaksud untuk menghibur diri sendiri. “Luka itu akan mengingatkan Ridwan bahwa kita akan selalu menghentikan dia.” “Ya. Semoga ucapanmu benar.” Tiba-tiba, pintu loteng terbuka secara paksa. Beberapa polisi dari satuan anti terror masuk secara bersamaan. Mereka menanyakan apa yang terjadi pada kami berdua. Pertanyaan mereka membuat aku semakin pusing. Beberapa menit kemudian, seseorang muncul dari dalam gedung. Orang itu membuat medan pengelihatanku menyempit. Itu dia. Irfan tersenyum bangga dan lari menghampiri aku. Dia memelukku dan aku memeluknya. Irfan mengecupku. Seandainya gedung itu ambruk sekalipun, aku tidak akan ambil pusing. Selama dia ada dalam pelukanku. Setelah itu, pandanganku jadi buram dan aku berharap Irfan akan selalu ada di sisiku. Aku mendengar suara Irfan yang memanggil-manggil namaku. Kepalaku serasa ingin meledak saking sakitnya. Aku membuka mata perlahan. Aku melihat Irfan di sana. Juga Uki, Rimba, Febri, Riski, dan Viera. Ah, aku pasti berhalusinasi. “Hey, Lingling sudah bangun.” Uki memberi tahu yang lain. Rupanya ini memang bukan mimpi. Wajah semua yang hadir berpaling padaku. “Syukurlah kamu sudah sadar, Sep.” Kata Viera. Aku bisa mendengar rasa khawatir yang perlahan lenyap dari suaranya. “Kami sangat khawatir.” Timpal Febri. Dia memakai baju dan kerudung orange. Juga mengenakan celana dan jas hitam. Di atas saku jas itu ada logo FKUI. “Apalagi Irfan.” Uki tertawa jahil. Aku sangat benci senyuman itu. Tapi untuk saat itu aku memilih untuk tersenyum. “Uki ada benarnya, Sep. dibandingkan dengan mereka, akulah yang paling khawatir. Syukkurlah kamu sudah sadar.” Irfan duduk di samping ranjang. Dia menatapku dengan cemas. “Di mana aku?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu, atau kita, ada di RSCM.” Rimba berdiri di samping Viera. Dia mengenakan kemeja hitam dengan garis putih melintang di dada. Seperti seragam sepak bola. “Di…

RSCM?” Aku mungkin sudah bangkit kalau saja Irfan tidak menahan tubuhku.

“Berapa hari?” “Baru kemarin malam.” “Berarti aku sudah dua malam di sini?” Irfan mengangkat bahu. “Begitulah. Seharian kemarin kamu sama sekali tidak sadarkan diri.” “Lalu, bagaimana dengan pak Nura? Bagaimana soal wawancara kita?” “Aku sudah mengaturnya. Tenang saja.” “Lalu, ayahku, apa beliau tahu?” “Tenang saja, Sep. ayahku, ayahmu ataupun ayahnya Uki tidak ada yang tahu.” Dia membelai kepalaku perlahan. Dan pikiranku serasa melayang. Terbang tinggi menembus angan yang seperti awan. “Yang harus kamu lakukan sekarang adalah istirahat. Bukan yang lain.” Uki bersiul. “Happy Ending.” Semua yang ada di sana tertawa. Senang sekali rasanya. Bisa berkumpul di satu tempat bersama teman-teman. “Biaya rumah sakit ini bagaimana?” “Free.” Ujar Febri. Kini dia duduk di kursi. Menggantikan Irfan. Sayang sekali. Harusnya Irfan yang ada di kursi itu. Tapi begitu aku sadar bahwa itu konyol, aku segera melenyapkan pikiran itu. “Bagaimana bisa?” Aku mengerutkan kening. Aku menatap logo FKUI itu. “Dokter yang merawatmu? Dia pamanku. Beliau dengan senang hati membebaskan biaya perawatanmu.” Aku menatapnya tidak percaya. “Terima kasih.” “Kembali.” “Bi…” “Ada apa, Sep?” “Bukankah jas almamater FKUI warna kuning?” “Benar. Aku menyimpan yang itu di rumah. Lagipula, aku tidak mau terlihat konyol.” Beberapa detik setelah itu, seorang perawat datang. “Maaf, saudara. Jam jenguk untuk malam ini sudah habis. Agar pasien bisa beristirahat dengan nyaman, saya sarankan agar yang menunggu satu orang saja.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Febri menarik lengan Irfan yang hendak meninggalkan ruangan “Bukan aku. Tapi kamu.” Setelah berpamitan, semua temanku menghilang di balik pintu. Yang terakhir kali keluar adalah Uki, setelah Irfan memeberinya kunci. Dia mengangkat bahu. “Aku?” “Iya, Jumper. Kamu. Sini, duduklah di kursi ini. Temani aku.” “Hey, maafkan aku karena memintamu pergi lebih dulu kemarin.” “Itu bukan salahmu. Tidak ada yang patut disalahkan dalam perkara ini.” Irfan menyapukan pandangan matanya ke atas. “Rambutmu… Apa benar, Marvel memotongnya dengan pisau?” “Kalau Uki yang memberitahu kamu, kamu harus percaya. Sudahlah. Hanya rambut. Nanti juga tumbuh lagi.” “Tapi perbuatan ini tidak bisa dimaafkan.” “Tidak apa jagoan. Santai saja.” “Maaf jika aku salah. Tapi bukankah perhiasan paling berharga untuk seorang perempuan adalah rambutnya?” “Iya sih. Kamu benar. Tapi, ini kan hanya rambut. Satu bulan kedepan juga tumbuh.” “Ya, sudah. Kamu masih tetap cantik kok.” “Kamu memang pandai merayu perempuan, ya.” “Yup. Itulah aku. Nah, sekarang istirahatlah. Kamu membutuhkannya.” “Satu pertanyaan lagi. Boleh kan?” Si tampan itu tersenyum manja. “Apa itu?” “Apa saja yang diceritakan Uki padamu?” “Semua.” “Semua?” “Iya. Semua. Dari bagaimana kamu meledakkan gerai donat J.Co, hingga bagaimana kamu membuat si raksasa rubuh dengan aksi Slam Dunk. Keren.” Dia berpaling. Menyodorkan air putih padaku. Aku meminumnya perlahan. “Uki juga bilang, Pacarmu Memang Serigala.” Aku menyemprotkan air yang sedang aku minum. Sayangnya, air itu membasahi Irfan. “Maaf.” Gumamku. “Tidak apa. Kamu memang tahu bagaimana caranya mengusir kantuk ya.” Aku tertawa. Sedikit. “Iya. Bagaimana dengan pamanmu?” Dia menggeleng. “Satu pertanyaan.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ayolah. Satu lagi.” Aku merayu. “Satu.” Dia tersenyum jahil. “Kamu memang menyebalkan.” Aku menggeram. “Memang. Tapi kamu tetap suka kan?” Irfan menarik sebuah kasur lantai dari bawah ranjang. Aku menutup mata. “lebih baik aku tidur saja.” “Nah, itu baru bagus. Tidurlah. Aku juga sudah mengantuk.” Dia melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Mengecup keningku. Seperti ciuman untuk saudara. “Have a nice dream. Good night.” Entah aku yang tidur dengan nyenyak, atau pagi datang lebih cepat pagi itu. Intinya, saat aku membuka mata, Irfan sudah tidak ada di kursi. Yang ada sekarang adalah Uki. Juga Febri. “Selamat pagi.” Kata Febri ceria. Dia mengenakan kerudung orange lagi. Kali ini, motifnya berbeda. Dia memakai kemeja orange tangan panjang yang desesaki degan gambar jeruk. Celananya? Warna apalagi selain hitam? Coba? “Kamu… suka warna orange ya, Bi?” “Iya.” Dia tersenyum lebar. “Orange adalah warna favoritku.” “Maaf mengganggu,” kata Uki. “Irfan menitipkan handphone kamu padaku.” Uki menyerahkan benda hitam itu padaku. “Dia juga menitipkan surat.” Aku mengambil surat itu dan membukanya. Aku kira isinya panjang. Tapi ternyata hanya beberapa kata. Maaf aku tidak hadir pagi ini. Aku akan datang jam Sembilan. Bersama paman Andin dan bibi Siti. “Dia telah berkorban banyak untuk kita, Sep.” ujar Uki. “Terutama untukmu.” “Aku tahu. Jam berapa sekarang ini?” “Jam delapan.” Febri memandangi jam tangannya. Aku menebak warnanya orange juga. Tapi rupanya tebakanku salah. Warna jamnya hitam. “Dia tidak tidur semalaman.” Uki melanjutkan. Aku hendak duduk. Tapi Febri menahanku. “Badan kamu masih lemah. Kalau mau bangun, bangunlah pelan-pelan.” “Aku tahu ini mungkin memang berlebihan. Tapi dia memang seperti itu. Irfan memang sangat setia kepada sahabatnya. Dia memang mungkin suka marah-marah seperti ayahmu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Atau juga perhatian seperti ibuku dan ibumu. Dia juga kadang menyebalkan. Iya, kan? Seperti adik. Itulah sahabat. Sulit didapat. Dan lebih berharga dari apapun. Menurutku.” “Dalam bahasa yang lebih formal sih, arti teman lebih dari sekedar materi. Begitu.” Febri menimpali. Aku memandang BB Dakota yang ada di tanganku. Kedua mataku yang mulai sembab ini terarah ke bawah. Tapi pikiranku melayang entah kemana. Aku juga tidak tahu. Aku melihat pendar merah dari lampu LED. Biasanya, kalau yang berpendar warna merah berarti ada pesan yang belum dibaca. Aku segera mengeceknya dalam diam. Ada pesan broadcast dari Irfan. Aku segera membukanya. Bawa benda ini bersamamu. Agar kami bisa dengan mudah berkomunikasi denganmu di saat kita jauh. Lebih bagus lagi, menemukan kamu kalau psikopat itu datang lagi. Pintu kamarku diketuk dari luar. Aku berharap itu Irfan, atau Rimba, atau temanku yang lain. Tapi rupanya yang datang adalah suster yang membawa sarapan. “Aku keluar dulu.” Uki bangkit dari kursi setelah si suster keluar. “Aku mau menelepon Rimba dan Viera. Juga Riski. Minta mereka agar datang ke sini. Aku yakin kamu kesepian.” Uki meninggalkan Febri bersamaku di ruang ini. “Makan dulu.” Katanya. “Aku bisa makan sendiri.” “Iya.” Febri meletakkan nampan di atas selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku. “Nah, makanlah.” “Bi, jawab secara jujur ya.” “Apa?” “Apa dia juga menitipkan pesan padamu?” “Hmm… Bagaimana ya, Sep. Dia memintaku untuk menjagamu. Hanya itu. Tidak lebih.” “Kamu pasti repot.” “Tidak. Tidak sama sekali. Irfan teman yang baik.” “Dia berbakat untuk mencari teman baik.” “Itulah dia. Dan dia sangat perhatian padamu.” “Aku tahu. Terima kasih.” Aku menikmati sarapan pagi itu. Walau rasanya hambar. Febri mengamati aku. Wajahnya sulit ditebak. Senang? Sedih? Sulit membedakannya. “Kamu hanya lelah. Kamu bisa pulang ketika kamu sudah agak baikan.” Kata Febri.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Dari mana kamu tahu?” Aku memandangnya sambil menikmati segelas susu hangat. “Aku, kan analis kesehatan.” Ekspresi wajahnya mengeras. Lebih kepada sombong. Kemudian dia tertawa. “Tidak, tidak. Pamanku yang memberi tahu.” “Kapan kamu berlatih mengubah mimik wajah dengan begitu cepat?” “Dulu aku sempat berlatih drama. Walau hanya beberapa kali.” Uki muncul dari balik pintu. “Mereka datang.” Kamar pasien itu disesaki banyak orang sekarang. Bahkan paman Febri, Dr. Haris Falah datang. “Nak Septi, kamu tidak perlu cemas.” Kata beliau di kamar. “Biaya pengobatan kamu biar paman yang menangani.” “Terima kasih, paman Haris.” Ujarku perlahan. “Berterima kasihlah pada Allah, nak. Paman hanya perantara.” “Paman,” Febri menarik tangan pamannya. “Ada apa, Bi?” “Kapan Septi boleh pulang?” “Pulang?” Dr. Haris tampak kaget. Tapi kemudian ekspresinya melembut. “Benar juga. Kalian ikut program beasiswa pemerintah Jepang ya?” “Benar, paman.” Kata Febri. Entah bagaimana aku harus berterima kasih padanya. Aku tidak tahu. “Septi boleh pulang. Hanya kalau dia siap.” Tulang ekorku seakan tersengat aliran listrik. Aku sudah boleh pulang. Sekarang. “Kawan-kawan, ada yang mau wawancara?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 12 UKI Hebat. Kami lolos. Alangkah bahagianya kami. Lulus di Jepang, dapat beasiswa lagi. Luar biasa sekali. Berkali-kali kami sujud syukur. Pak Nura juga sering membantu kami. Beliau bahkan membebaskan kami dari aturan. Begini, setiap mahasiswa asing yang baru tiba di Jepang harus berkumpul di kedutaan Negara masing-masing. Tapi kami lain. Beliau sudah menelepon temannya di KBRI Jepang agar membiarkan kami berkeliling terlebih dahulu untuk jangka waktu seminggu. Keren. Aku, Septi, Irfan Dan Viera berada di Bundaran Hotel Indonesia saat itu. Viera memberi kami sebuah kabar yang menurut dia sangat baik. Namun bagi kami buruk. Sangat buruk. “Kamu bercanda kan, Viera? Kamu tidak serius kan?” Septi tampak sedih. “Aku tidak bercanda Septi. Aku serius.” Viera menatap air mancur dan tugu selamat datang, yang tangannya terangkat ke atas seperti sedang menyambut seseorang. “Aku mau melanjutkan studi di Sorbonne.” “Tapi dulu… dulu kamu mengikuti tes di sekolah untuk ikut beasiswa ke Jepang kan?” Viera diam saja. Dia tampak sedih. Tapi dia menyembunyikan kesedihannya dengan ekspresi tegar. Irfan yang dari tadi diam membisu dan memandangi mereka berdua akhirnya bangkit. Dia berdiri menjulang di belakang Septi. “Sep, apa kamu tidak sadar? Tujuan Viera waktu itu adalah, menjadi lawan yang sepadan bagimu. Karena Viera tahu, kalau dia tidak ikutan, kamu pasti akan malas karena menganggap semua saingan dapat kamu kalahkan degan mudah. Nah, dengan kehadiran Viera, yang notabene-nya adalah saingan terberat kamu, kamu jadi terpacu untuk belajar dengan lebih giat.” Septi menatap Irfan dengan ekspresi heran. Seakan dia baru saja berbicara dengan bahasa planet Mars. “Benar begitu kan, Viera?” Irfan meneruskan. “Septi, apa yang dikatakan Irfan benar. Aku ikut ujian semata-mata agar aku bisa memancing niat belajar kamu. Karena, sebagai rival kamu, aku tahu kalau kamu sangat ingin belajar di sana. Terbukti kan, nilai kamu 8,7.” “Tapi nilai kamu kan juga 8,7. Kalau kamu hanya memancing, kenapa kamu berusaha begitu keras?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“karena, dengan nilai itu aku bisa melamar beasiswa di tempat lain. Tempat yang aku suka. Lagipula, kalau aku tidak serius, kamu pasti akan curiga padaku.” “Sudahlah, Sep. Jangan terlalu sedih begini.” Aku berusaha menengahi. “Karena kalau kamu terus begini, akan sulit bagi Viera untuk meninggalkan kamu. Kan Viera juga punya impian yang mau dia capai. Sama seperti kamu. Sama seperti aku. Sama seperti Irfan, sama seperti kita.” “Benar kata mereka.” Akirnya Viera berkata. “Begini saja. Kalau kamu masih merasa kita adalah rival, maka aku akan menunggumu di sini. Di tugu selamat datang. Lima tahun lagi. Kita akan lihat, siapa yang akan dapat nilai cum laude. Apakah kamu dalam bidang pertanian, atau aku. Dalam bidang kedokteran. Bagaimana?” Mendengar itu, semangat Septi meninggi. Dia berdiri tegak sekarang. Air mukanya berubah. Rasa sedih Septi sudah lenyap sekarang. Digantikan dengan rasa semangat yang membara. Aku bisa melihat itu dari sorot matanya. “Baiklah, rival. Tunggu aku di sini. Aku pasti mengalahkanmu. Sebagaimana kemarin aku mengalahkan kamu di GOR Kalianda.” “Kalau memang itu yang kamu mau, maka biarkan aku pergi.” Viera mengulurkan tangan. Septi menjabat tangannya. “Pergilah, Viera. Doaku bersamamu.” “Terima kasih. Aku juga akan selalu mendoakan kalian. Baiklah. Sampai ketemu lima tahun lagi.” Dia berpaling bersamaan dengan hidupnya lampu di bundaran ini. Kemudian hilang di balik keramaian jalan raya ibu kota yang padat. “Happy ending ya.” Ujarku. “Drama tadi benar-benar memukau.” Irfan menimpali. “Bolehkah aku menambahkan komentar lain?” Aku dan Septi berpaling padanya. “Aku lapar. Ayo makan.” Dan di sanalah kami. Duduk bertiga di Kafe Betawi. Tempat di mana kami bertemu Viera dan Rimba kemarin. Sebelum aku dan Septi diculik. Kursinya yang berwarna merah dan putih mengingatkan aku bahwa Betawi adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Yang kebanyakan ada di daerah Jakarta dan sekitarnya. Septi memanggil pelayan. Kami memesan tiga soto Betawi dan es teh manis. Dia duduk di depan Irfan yang duduk di sampingku. Dia menatap kami silih berganti. “Ada apa?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tidak ada apa-apa.” Aku berkata. Bersamaan dengan Irfan. Septi menjadi tertarik pada Black Berry-nya. Yang sekarang sudah dilapisi chasing pelindung warna merah. Sekarang Septi jadi lebih pendiam. Tapi tetap asyik di ajak bicara. Dia juga sudah tidak suka memukul lagi. Aku membayangkan Septi yang dulu. Dia yang dulu sangat berbeda dengan dia yang sekarang. Satu hal yang paling aku suka adalah, sekarang, dia sudah mengenakan kerudung. Selain itu, dia jadi tambah cantik. “Yang kami bicarakan adalah, perubahan positif pada dirimu, Sep.” Ujarku akhirnya. “Oh, itu. Pantas saja tadi kalian berkata bersamaan. Rupanya isi pikiran kalian sama.” “Itulah kami.” Irfan menambahkan. “Maukah kamu bercerita, mimpi apa yang kamu dapat kemarin hingga kamu berubah 180 derajat seperti ini?” Senyum manisnya muncul. Senang sekali aku bisa melihat senyum itu lagi. “Aku tidak bermimpi apa-apa. Kecuali tentang Marvel yang memotong rambutku. Dasar orang gila.” “Sebenarnya yang kami bicarakan adalah perubahan kamu. Itu saja.” Irfan mempersilakan pramusaji meletakkan hidangan di atas meja. “Oh, begitu.” Septi tampak tidak acuh. “Aku mengira kalian membicarakan hal yang lebih penting.” “Bagi kami, hal itu penting.” Ujarku bersemangat. Sikapnya benar-benar sempurna. “Iya kan, Irfan?” “Hmm… Kurang lebih begitu.” “Aku tahu.” Septi menjentikkan jari. “Sebenarnya kalian ingin bertanya alasanku memakai kerudung, kan?” “Itu dia!” Ucapku. Tapi Nampaknya ucapanku itu terlalu keras. “Sst…” Irfan menikmati soto Betawi miliknya. Dia tampak sangat santai. “Uki, kecilkan suaramu. Itu mengerikan tahu.” Irfan menatap Septi. “Jadi, bagaimana ceritanya?” “Tunggu dulu.” aku memelankan suaraku sekarang. “Maksudmu, kamu juga tidak tahu, Fan?” Dia mengangkat bahu. “Tentu kalian belum tahu. Aku kan belum cerita.” Septi menyeruput teh manisnya. “Kamu mau cerita tidak?” Aku memancing.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Aku memakai kerudung karena aku ingin berubah. Karena Allah. Itu poin pertama.” “Alhamdulillah…” Irfan berkata. “Bukan karena rambut?” Aku bercanda. “Iya. Kamu benar. Tapi itu adalah alasan terakhir.” Kami mendengarkan. “Ketika Marvel menahan kita kemarin, aku mengintrospeksi diri. Apakah ada hubungannya dengan semua perbuatanku. Aku juga berfikir, kalau aku orang yang beriman, kenapa aku tidak melaksanakan perintah Allah? Menutup aurat adalah salah satu perintah Allah. Selama ini, aku tidak pernah melaksanakannya. Jadi mungkin, itulah sebabnya Allah mengujiku terus dengan perantara Marvel ini.” Septi menikmati beberapa teguk minumannya. “Intinya, aku berubah karena Allah. Karena kesadaran. Bukan paksaan. Sekian dan terima kasih.” Aku dan Irfan berdiam diri. Sama seperti patung. Mungkin Septi telah diberikan Hidayah oleh Allah. Subhanallah. Memang, Hidayah itu datang kepada orang-orang yang dipilih oleh Allah. Semoga temanku ini termasuk salah satunya. “Kalian kenapa?” Septi terlihat bingung. “Tidak apa.” Aku memperhatikan cara dia berbusana sekarang. Kerudung putih, baju warna senada dan celana panjang hitam. Dia juga membawa tas kecil, atau dompet. Semacam itulah. Aku melihatnya menyimpan handphone di sana. Tas kecil itu sekelam langit malam. Dengan gambar outline bunga yang dijahit dengan benang warna putih. “Apa kamu serius ingin membandingkan nilai kamu dengan nilai Viera?” Irfan segera menghabiskan makan malamnya. “Tentu saja. Apa kalian pikir aku bercanda?” “Tapi kalian, kan berbeda jurusan.” “Bukan jurusan yang kami bandingkan. Tapi, nilai rata-rata setiap semester.” “Oh, begitu.” “Aku yakin nilai kami sama besar walau jurusan kami berbeda.” “Ya, sudah. Ada yang mau pulang?” Kami tiba di rumah lebih cepat kali ini. Karena kebetulan kami tidak terjebak macet. Syukurlah. “Wah, kalian sudah datang ya?” Kata paman Andin. “Bagaimana hari kalian?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Pak Nura akan memberi kami briefing besok pagi. Jam 10 di kantornya.” Aku memberi tahu paman. “Kapan kalian akan pergi ke Jepang?” “Coba aku lihat dulu. Waktu berjalan cepat sekali. Kami akan ke Jepang sekitar satu sampai dua minggu lagi. Tergantung pemerintah.” “Nah, sebelum kalian pergi, bisakah paman minta tolong?” “Apa itu?” aku, Irfan dan Septi berucap berbarengan. “Melukis. Kalian baru melukis beberapa kali, kan?” “Tapi, bagaimana kalau menggambar, paman?” Kataku. Sedikit ragu. “Kalau begitu, gambarlah di karton.” “Paman, ada yang memesan lukisan ya?” Irfan tersenyum pada pamannya. “Tepat! Itulah alasan paman meminta kalian untuk memulai.” “Lukisan apa yang pemesan inginkan?” kali ini Septi yang berbicara. “Satu buah lukisan Aurora Borealis ukuran 2X1 meter. Sebuah lukisan bunga mawar. Ukuran 100X50 sentimeter. Dan satu buah gambar Wing Gundam. Dengan ukuran sama seperti lukisan bunga mawar.” “Wing Gundam?” Aku memandang paman Andin. Tidak berkedip. “Iya. Mungkin itu untuk anaknya.” “Baiklah. Kapan lukisan ini diambil?” “Secepatnya.” Irfan memandang aku dan Septi bergantian. Kami mengangguk. “Suruh orang itu mengambil lukisannya besok.” Begitulah. Malam itu kami habiskan untuk melukis. Aku menggambar Wing Gundam, Irfan sibuk dengan bunga mawarnya dan Septi mencampur warna yang cocok untuk lukisan Aurora-nya yang katanya, akan berwarna hijau. Paman Andin sangat memperhatikan kami. Beberapa kali dia mengantarkan makanan kepada kami. Mulai dari pisang goreng murah hingga satu loyang pizza ukuran large. Lezat. Begitu kami selesai, dia memuji kami habis-habisan. “Kalian tadi mulai jam Sembilan. Sekarang masih jam sebelas. Kalian melukis lukisan seindah ini hanya dalam waktu dua jam?” dia menatap ketiga lukisan bergantian. “Iya.” Kata Irfan polos. “Benar.” “Kalau begitu, apa yang bisa berikan pada kalian?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Waktu untuk tidur.” Ucapan itu membuat kami tertawa. Setelah itu, kami membubarkan diri. Kami menghabiskan pagi itu di kantor pak Nura Rihyon. Beliau memberi tahu kami kebudayaan yang ada di Jepang. Seperti, upacara minum teh pada saat-saat tertentu. Juga tentang larangan untuk memetik bunga sakura yang ada di sana. Walau beliau tidak menjelaskan apa sebabnya, larangan itu sudah cukup jelas bagi kami. “Masih ada yang ingin ditanyakan?” Pak Nura membuka buku yang dari tadi dia bawa. Judulnya Japanese Culture. “Nanti, ketika kami sudah resmi bersekolah di sana, dimana kami tinggal?” Aku mengajukan pertanyaan lain. “Kalian bisa tinggal di flat atau asrama yang tersedia.” “Mana yang lebih baik? Asrama atau flat?” Irfan menimpali. “Keduanya sama baiknya. Hanya saja, biasanya kalau kalian tinggal di asrama, kalian akan memiliki banyak teman. Juga lebih dekat ke kampus. Ditambah dengan berbagai macam kegiatan seru lain.” “Kalau kami tinggal di flat?” Septi melihat pesan di handphone-nya. “Kalau kalian tinggal di flat? Kalian akan terbebas dari semua kegiatan. Itu buruk. Yang lebih buruk lagi, kalian mungkin akan ketinggalan berita atau info penting. Jadi, mana yang kalian pilih?” “Asrama!” “Sudah kuduga. Asrama memang lebih baik. Dan kalian tidak perlu pusing dengan aturan yang ada. Ikuti saja. Dan kalian akan tahu bahwa semuanya itu berpendidikan.” “Iya, pak.” “Nah, ada yang lain?” “Apa bapak sudah memberi tahu pak Rudi perihal kelulusan kami ini?” pertanyaan yang diajukan Irfan masuk akal juga. Kami belum memberi tahu beliau sama sekali. Celaka.” Bapak Nura tertawa. “Aku sudah memberi tahu dia sejak dua hari sebelum nama kalian diumumkan ke publik. Dan beliau berpesan agar kalian menghubungi beliau secepat mungkin.” Beliau menutup buku tebalnya. “Nah, sekarang. Apa kalian sudah memberi tahu orangtua kalian soal ini?” “Sudah sejak lama pak.” Aku memberi kabar. “Bagus, bagus sekali. Nah, biar kutebak. Pasti mereka datang untuk melepas kalian, kan?” “Tentu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Nah, sekarang sudah jam makan siang. Ayo, kita makan siang dulu.” Kami berempat menikmati santap siang di sebuah resto Jepang di Plaza Indonesia. Tepatnya di lantai empat. Kami mencoba Udon dan Ramen. Sejenis mie yang terkenal di negeri Samurai Biru itu. Rasanya lumayan enak. Tapi menurut lidahku, kedua jenis mie itu sama saja. Tapi aku puas. “Selanjutnya apa?” hari ini Septi memakai baju dan kerudung orange. Dia membersihkan mulut dengan tissue yang dia keluarkan dari tas tangannya. “Selanjutnya?” Pak Nura meliat nota yang sudah diletakkan pelayan di atas meja. “Pulanglah. Persiapkan diri kalian. Jasmani dan Rohani. Ingat, begitu kalian tiba di sana, cari orang Indonesia. Kalian pasti akan rindu rumah. Obat yang paling manjur adalah, berkumpul dengan mahasiswa Indonesia yang sudah ada di sana. Dengan kata lain, senior kalian. Nah, pergilah. Aku masih punya urusan lain.” Mobil hitam yang dibawa Irfan melesat cepat dan tidak terhambat. Kami mengisi bahan bakar terlebih dahulu. Setelah itu, kami dibawa ke Rawamangun olehnya. “Kamu, suka warna apa sih?” aku berkomentar. Aku dan Septi duduk di belakang sekarang. Kursi di samping pengemudi memang sengaja kami biarkan kosong. “Hitam. Kenapa?” “Kenapa kamu tidak memakainya?” “Uki, pakaian berwarna hitam aku tidak punya. Bukan berarti aku tidak mau memakainya.” “Lagipula, kalau kita memakai warna hitam, orang mungkin mengira bahwa kita sedang berduka.” Irfan menambahkan. “Pak supir, bisakah kamu menambah kecepatan?” Kata Septi. “Aku kehabisan waktu.” “Kalau memang itu maumu, nona. Kencangkan sabuk pengaman.” Detik-detik menuju hari keberangkatan sudah semakin dekat. Pak Nura bahkan sudah memberikan tiket pesawat dengan tujuan Tokyo hari ini. Dengan jasa pos. kami juga sudah memberi tahu pak Rudi. Kami mengobrol lama sekali waktu itu. Rupanya dia juga sudah tahu soal Viera. Ibu dan bapak juga sudah menambah uang saku yang aku miliki. Begitu juga Irfan dan Septi. Akhirnya kerja keras kami selama ini membuahkan hasil yang sangat positif. Alhamdulillah. “Selamat ya. Kalian akan cita-cita kalian sebentar lagi tercapai.” Riski tampak sangat senang. “Terima kasih.” Ucapku. “Hai, Sep. kamu jadi tambah cantik saja dengan kerudung hijau itu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu ini bisa saja.” Septi memeluk temannya ini. “Sampai jumpa tahun depan. Ketika liburan tiba, aku pasti datang ke sini.” “Itu bisa diatur. Pintu rumah kakekku akan aku buka 24 jam. Khusus untuk kalian.” “Bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku juga?” Febri bersandar dip agar. Entah kapan dia datang. Aku tidak tahu. “Pasti.” Kataku mantap. “Jangan lupa bawa jaketmu.” Ujarnya padaku. “Iya, Bi. Jangan khawatir. Jaket pemberianmu akan aku kenakan selama aku di Jepang.” “Bagus.” Febri menyerahkan selembar foto padaku. “Tahun depan. Aku menunggumu. Di sini.” Aku yakin aku merona. Tapi ekspresi Febri membuat aku lebih kaget lagi. “Uki.” “Apa?” “Orangtua kamu.” Aku berpaling dan menemukan mereka di sana. Tersenyum senang padaku. Aku segera menghampiri mereka dan memeluk mereka erat-erat. Aku, Septi dan Irfan berbincang lama dengan orangtua kami. Banyak yang kami bicarakan. Terutama ucapan selamat dan semangat. Rumah kakek Irfan ini dipadati dengan sanak famili kami. Juga teman-teman yang dulu pernah bersamaku di SMA. Termasuk pak Rudi Khairi. Aku sempat melihat ayah Septi. Beliau tampak terkejut melihat anaknya memakai kerudung. Cool. “Nah, kawan-kawan. Ayo berangkat.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

CHAPTER 13 IRFAN Aku berdiri di belakang Septi. Dia masih berdiri di belakang teropong. Aku, dengan senang hati menunggunya setelah puas mengambil gambar. Dari dulu dia sudah sangat menyukai manga. Serial kartun Jepang. Bahasa gaulnya komik. Dia mungkin masih tidak percaya semua yang dilihatnya di semua buku itu bisa dia lihat dengan kedua matanya. Jepang yang asli memang sangat mempesona. Lebih indah daripada yang bisa aku bayangkan. Rifqi menarik aku menjauh. “Dia perlu waktu. Berikanlah.” Rifqi ada benarnya. Aku menjauhkan diri. Memilih untuk mengobrol dengan kedua sobatku. “Kamu perhatian sekali padanya.” Rifqi mengajak aku melihat ke bawah. Saat semua lampu di kota menyala hampir bersamaan. Bagus sekali pemandangannya. “Iya. Aku hanya berdiri di sana.” “Jurusan apa yang kamu pilih?” Rifqi merangkul aku dan Uki. “Kedokteran.” Kataku singkat. “Cocok buatmu. Kalau kamu, Uki?” “Graphic design. Kamu di sana mengambil program studi apa?” “Sastra. Kalau dia?” Rifqi melirik Septi. “Aku jurusan Pertanian.” Septi menyeka air mata yang masih mengalir. “Nah, waktu yang kalian berikan sudah cukup. Sekarang, kemana kita pergi?” “Sebelum kita melanjutkan,” Rifqi berlagak seperti tour guide. “Ada satu pertanyaan yang harus aku ajukan.” “Apa itu?” Aku memandangnya heran. Gayanya memang seperti pemandu wisata. “Di mana kalian akan tinggal? Flat atau asrama?” “Asrama.” Kata Septi. “Kalau begitu, kita harus istirahat sekarang. Besok kita akan ke tempat kalian sekolah. Juga ke Osaka.” Aku menepuk bahu Rifqi. “Katakan, apa kamu sudah pernah ke Jepang sebelumnya?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Sebelum ini? Sudah. Alhamdulillah. Ini adalah perjalananku yang ketiga kalinya.” Dia memandu kami untuk keluar dari observatorium. “Tiga kali?” Uki tampak tidak percaya. “Apa artinya tiga kali? Kalian akan tinggal di Jepang selama lima tahun. Dengan biaya asrama yang free. Kemudian kalian dapat uang saku juga kan?” “Dari mana kamu tahu?” kata Septi. Nada bicaranya penuh selidik. “Karena aku juga sama. Viera juga sudah menceritakan semuanya.” “Bagaimana caranya kamu bisa pergi ke Jepang tiga kali?” Aku mengubah bahan pembicaraan. “Cultural Survey. Aku ikut dua kali. Dan keduanya di Jepang. Yang pertama di Osaka. Dan yang kedua di Tokyo.” Dia memberhentikan taksi dan meminta si supir membawa kami ke tempat kami menginap. Malam itu, kami berkumpul di lobby hotel. Kami berempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar. Versi KMB dengan sedikit penyesuaian. Kami memakai pakaian santai saat itu. Hanya Uki yang memakai jaket. Tampaknya dia sudah terserang penyakit demam. Di depan setiap anggota konferensi sudah tersedia secangkir teh hijau hangat. Karena sekarang aku sudah punya uang Yen, aku membeli Koran dalam bahasa Inggris. “Kalian ini sama borosnya.” Septi memandangi aku dan Rifqi bergantian. “Lihat ini.” Aku merentangkan koran di tengah meja. “Japanese Government Will Open New Academic Year Next Monday.” “Sekarang masih hari Rabu. Kita masih punya waktu untuk berjalan-jalan.” Kata Uki. Dia menikmati teh hangatnya. “Jalan-jalan?” Kata Septi. “Lebih baik kita menyiapkan diri untuk kuliah. Semua mata kuliah yang akan kita jalani akan menggunakan bahasa Jepang, tahu.” Septi tampak sangat memperhatikan teman-temannya. “Septi benar, Uki. Kita ada di sini bukan untuk berjalan-jalan.” Aku merapikan kerah kemejaku. “Mungkin kata yang tepat adalah kami.” Rifqi yang tadi sibuk membaca koran sekarang menatap kami. “Maksudmu?” Septi mengangkat alis. “Aku hanya bisa menemani kalian sampai hari Ahad. Kecuali ada hal yang tidak terduga. Aku harap kalian mengerti.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kami mengerti. Waktu yang kamu miliki terbatas. Iya kan?” Aku menggamit kedua tanganku di atas meja. “Kalau begitu, jangan biarkan dada kami sesak oleh hal-hal yang kamu sembunyikan.” Septi tampak marah pada Rifqi. “Bagaimana cara kamu bisa sampai ke Perancis? Kamu menutupinya dari kami, Rif.” Rifqi mengangkat tangan. Seperti seorang buronan yang diancam akan ditembak bedil polisi. Tapi wajahnya tetap tersenyum. Seolah dia sudah tahu hal ini akan terjadi. “Tidak adil rasanya, kalau aku tahu tentang kalian tapi kalian tidak tahu tentang aku.” Dia memperbaiki posisi duduknya. “Aku bersekolah satu tahun lebih cepat daripada kalian. Seperti Eko. Harusnya aku menghabiskan pendidikan selama enam tahun. Tapi karena waktu kelas satu SMP nilaiku besar, aku langsung dinaikkan ke kelas tiga. Tanpa harus merasakan bangku kelas dua terlebih dahulu. Kecuali mungkin hanya satu minggu.” “Hebat.” Uki memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam kantung jaketnya. Mungkin dia kedinginan. “Septi saja yang mendapat nilai terbesar satu sekolah saat SMP tidak seperti itu.” “Itulah sekolahku. Sedikit… Rumit. Tidak bisa dijelaskan. Hanya bisa dilihat dan dirasakan. Nah, langsung saja. Aku kebetulan masuk jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas negeri yang ada di Depok. Nah. Di sana, aku dapat kesempatan menjadi peserta program pertukaran pelajar ke Inggris. Tepatnya ke University of Manchester. Tempat salah satu guruku bersekolah dulu.” “Tapi bukannya kamu sekolah di Perancis?” Aku merasa ada yang aneh. “Dengar dulu. ternyata, di Inggris aku bertemu dengan sastrawan Perancis. Namanya Charles de Lyon. Dia meminta aku belajar di Universitasnya. Entah kenapa. Mungkin karena nilai yang aku miliki cukup besar.” Aku ingin tidak percaya pada cerita ini. Tapi sepertinya Rifqi tidak bohong. Aku bisa membaca gerakan Rifqi kalau dia bohong. “Maaf karena tidak menceritakan ini lebih dulu pada kalian.” Rifqi menutup pembicaraan. “Kamu juga pernah ke Inggris ya?” Septi tampak lebih tertarik. “Iya. Aku tinggal di salah satu daerah di Manchester.” “Berarti kamu sudah pernah berkunjung ke…” “Belum.” Rifqi memotong ucapan Uki begitu saja. “Kalau yang kamu maksud adalah berkunjung ke markas United atau City.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kenapa kamu bisa tahu pertanyaanku?” Uki tampak heran. “Karena sudah banyak orang yang menanyakan hal itu. Sebenarnya, aku ingin berkunjung ke sana. Tapi sayangnya aku tidak punya waktu. Mau bagaimana lagi.” “Apakah di Perancis sudah liburan?” Septi meminjam koran dariku. Koran ini cukup tebal. 50 halaman. Judulnya, Tokyo Daily. “Aku cuti satu minggu. Untuk, kalian tahu kan? Menemui kalian. Sahabat-sahabat terbaikku.” “Aku sangat tersanjung. Tapi sebenarnya, itu berlebihan.” “Tapi itu jujur. Aku, kan belum pernah bertemu kalian. Selama… yah. Enam tahun lah.” “Kalau begitu, kenapa kamu tidak datang saat kita reuni kemarin?” “Aku ingin datang. Tapi aku sedang sibuk mengurusi surat-surat izin tinggal dan lain sebagainya itu.” “Ya, sudah. Lupakan.” “Aku masih punya satu pertanyaan lagi. siapa itu Marvel?” Rifqi mencondongkan badan ke depan. Aku jadi bertanya-tanya, apakah di luar salju sedang turun dengan deras. Sebab suhu udara serasa menurun, “Apakah dia Marvel yang itu, yang nama aslinya Ridwan Ishida?” “Dari mana kamu tahu? Viera?” Aku menyeruput sedikit teh hijauku. “Kalau yang ini bukan. Aku mengenalnya, karena aku juga pernah berurusan dengannya.” “Bagaimana bisa?” Uki menegakkan badannya. Aku bisa mengerti kenapa dia begitu tertarik. Karena di antara kami bertiga, dia-lah yang paling pertama berurusan dengan kriminal psikopat ini. “Rupanya kamu tertarik ya? Kemarin, saat aku masih di Jakarta, aku sempat menggagalkan transaksi ganja yang dia lakukan.” “Bagaimana caranya?” “Aku melajukan motorku di anrata dia dan konsumennya. Karena dia sangat terkejut, dia melempar ganja itu. Ke tengah jalan. Dan bagusnya sebuah mobil polisi berhenti dan mengambil benda haram itu. Marvel tidak punya pilihan selain kabur.” “Lantas, dia sering mengejarmu?” Aku melipat koran yang sudah tidak dibaca. “Untungnya tidak. Mungkin karena dia tidak melihat wajahku yang memakai helm.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Beruntung sekali.” Septi merapikan kerudung biru navy-nya. “Dia sudah berulang kali membuat kami repot. Dia sudah pernah menculik kami. Tapi untunglah kami selamat.” “Aku menyesal karena mendengarnya.” Teman kami bersimpati. “Tapi Alhamdulillah kalian selamat.” “Alhamdulillah.” Kata kami bertiga bersamaan. “Dia orang Jepang, kan? Berarti secara tidak langsung kalian telah masuk ke dalam teretori yang dia kenal dengan baik.” “Itu sudah kami pikirkan Rif. Semoga dia tidak datang kemari.” “Aku ikut mendoakan. Semoga harapan itu terwujud dan doa kalian terkabul.” “Aamiin. Tapi kalau saja yang kamu ucapkan benar terjadi, kami harus melawan. Dia benarbenar psikopat.” “Kalau itu terjadi, maka aku pasti berdiri di pihak kalian.” “Bagus.” Aku mengapresiasi. “Kami memang sangat membutuhkan bantuan.” “Aku tahu. Jadi, kapan kalian bisa mampir ke rumahku?” “Mungkin nanti. Kami kan masih mau sekolah.” Kata Septi. “Ngomong-ngomong, bagaimana sekolahmu?” “Tidak terlalu buruk.” Septi mengangkat alis. Jarang aku lihat dia seheran ini. “Berarti cukup buruk ya?” “Mereka semua berbicara dengan bahasa Perancis. Aku? Inggris.” “Lalu bagaimana kamu bisa memahami pelajaran?” Uki melepas jaket birunya. “Setelah guru selesai menjelaskan, aku menanyakan apa maksudnya. Aku punya seorang teman baik di sana. Namanya, Frank. Dia orang Perancis keturunan Inggris. Dia berbicara dengan basic language. Logatnya juga British.” “Sayang sekali. Padahal aku suka logat American.” Uki jadi tidak tertarik. “Semua orang punya selera, Uki.” Aku memperhatikan jaket Nike hitamnya. List biru mengalir dari bagian punggung ke arah dua lengan. Jaket itu cukup tebal. “Itu jaket yang diberikan Febri kemarin, ya?” “Iya. Jaket ini sagat keren.” “Lalu, di mana jaket birumu?” “Jaket biru itu, aku sedang memegangnnya.” “Maksudmu?” “Maksud Uki, Jaket itu memiliki dua sisi. Luar dan dalam. Benar, kan. Sobat?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Nilai seratus untukmu. Tapi, kalau aku memakai jaket ini, aku jadi rindu rumah.” “Semua pelajar asing juga pasti begitu, Uki,” Septi kembali duduk setelah dia melihat ke luar sebentar. Rifqi memesan empat gelas teh lagi. “Maaf, siapa yang memberimu jaket itu?” “Febri.” Ujar Uki singkat. “Febri Andriani?” Rifqi memastikan. “Siapa lagi?” “Di mana dia sekolah sekarang?” “Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia.” Kata Uki lagi. “Keren. UI adalah Universitas yang sangat bagus.” “Tidak sebagus kita yang bisa bersekolah di luar negeri, kan?” “Semua universitas punya kelebihan.” Septi tampak kaget. Karena barusan dia berkata bersamaan denganku. “Kalian berdua memang kompak. Lalu, bagaimana dengan Risa?” “Dia melanjutkan ke STIE Kalianda,” kali ini Septi yang menjawab. “sebenarnya kemana kamu melanjutkan sih? Kabar tentangmu hilang begitu saja ketika kita lulu dari Bhakti Ibu.” “Aku bersekolah di Pondok Modern Kalianda. Di Tajimalela.” “Dari simpang Fajar belok kiri,” tebakku. “benar, kan?” “Yup. Aku lebih suka orang lain tidak mengetahui keberadaanku. Tapi aku juga senang kalau bisa mengetahui kabar tentang teman-temanku. Terutama kalian bertiga.” “Kamu memang pemuda yang banyak menyimpan rahasia.” Septi mengambil nampan dari pelayan. Rifqi segera menyerahkan uang padanya. “Lebih baik begitu.” “Sesukamulah. Irfan, Rifqi,” Kami berpaling ke sumber suara. “bisakah kalian tidak boros?” Senyum lebar tersungging di wajah kami. “Tidak bisa.” Kata Rifqi. Dia tampak biasa saja. “Aku juga.” “Ya, sudah. Aku tidak peduli lagi. oh, iya. Tadi kamu bilang, kamu akan mengajak kami ke Osaka. Memangnya ada apa di sana?” “Di sana ada Osaka Castle.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Maksud kamu, bangunan yang tampak seperti kuil itu? Yang atapnya berundak-undak? Yang halamannya dihiasi dengan banyak bunga sakura?” Septi menembakkan pertanyaan bertubi-tubi. “Kamu bersemangat sekali, Sep, iya, memang itu. Apalagi sekarang, kan musim semi. Pasti sangat indah. Biasanya, banyak turis yang datang ke sana pada saat-saat seperti ini. Tapi, kita juga harus hati-hati. Banyak orang yang tidak bertanggung jawab berkeliaran di sana. ” “Benarkah? Bukankah di sana ada banyak polisi?” Aku menatap bocah itu. “Memang. Tapi kita kan harus berjaga-jaga. Tapi aku yakin, kalian sudah sering melewati bahaya bersama, kan?” “Bagaimana kamu tahu?” Kata Uki. “Karena aku mengenal kalian. Tidak ada alasan lain.” “Sepertinya Viera juga sudah bercerita tentang ini ya?” “Kamu benar. Seratus untukmu.” “Oh, iya,” Septi melihat Rifqi. “masih ada yang mau aku tanyakan, nih.” “Apa itu, Nona Manis?” “Bagaimana keadaan kelas di Universitas di Perancis?” Septi tidak mendengarkan pujian Rifqi mentah-mentah. Dia memang begitu. Jarang mengapresiasi pujian orang. Bahasa kasarnya, suka menolak pujian orang mentah-mentah. “Keadaan kelas di sana?” Rifqi, hebatnya tampak biasa saja. Tidak menunjukkan ekspresi kecewa sama sekali. “Seperti podium. Guru berada di bawah dan kita duduk di meja yang berundak-undak.” “Mungkin maksudmu teater.” Aku mengoreksi. “Semacam itulah.” Kami tertawa. Yang sebenarnya mungkin kurang sopan karena saat itu hari sudah malam. Kami diam saat semua orang yang ada di sana memandangi kami. “Hey, sekarang sudah tengah malam. Ayo. Lebih baik kita istirahat. Besok kan, kita mau ke Osaka.” “Septi benar, kawan-kawan. Ayo istirahat. Sampai besok.” Seperti diberi aba-aba, kami bangkit bersamaan dan meninggalkan meja bersamaan juga. Pagi itu kami berkumpul di salah satu resto yang ada di sana untuk sarapan. Rifqi dan Septi juga sudah datang. Sekarang kami tinggal menunggu Uki. Entah dimana dia berada sekarang. Tapi aku yakin kedua temanku juga sudah tidak sabar.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Biar aku jemput.” Rifqi tampak tenang. Dia menarik tanganku. “Jangan. Tunggulah di sini. dia pasti punya alasan.” Untung dia menarik lenganku. Karena tiga detik setelah itu dia muncul. “Maaf aku terlambat, kawan. Sistem pencernaanku sedikit bermasalah.” “Coba kalau Rifqi tidak menahan kamu. Pasti sekarang kami akan menunggumu.” “Kalian bicara apa sih?” Kata Uki tidak mengerti. “Aku hendak menjemput kamu barusan. Tapi untung saja Rifqi menahanku.” Aku berpaling. Mencari pemuda itu. Rupanya dia sudah duduk di salah satu kursi yang tersedia. “Siapa lagi yang kita tunggu? Ayo lekas sarapan. Nanti Teriyaki ini dingin.” Kami segera menyantap makanan itu. Daging sapi yang diiris kecil dengan lapisan bumbu berwarna coklat. Ditaburi dengan bawang Bombay dan wortel. Tidak hanya sampai di situ, di lapisan paling atas ada topping salad. Enak. Ini baru makanan Jepang. Semua lauk itu diletakkan di atas hot plate. Makanan pokoknya? Apa lagi kalau bukan semangkuk nasi putih? “Mungkin menurut orang beras Jepang lebih enak daripada beras lokal kita. Tapi bagiku sama saja.” Uki mengakhiri sarapannya dengan segelas air putih. “Kenapa, ya?” “Aku tahu kenapa,”Rifqi membersihkan mulutnya dengan tissue. “karena kamu lapar.” “Aku setuju dengan Rifqi.” Ujar Septi. Dia mengenakan baju hitam dengan garis coklat, dan kerudung sewarna coklat Cadbury. Kali ini dia menggunakan rok berwarna kelabu. Entah bagaimana, rasanya cocok saja. “Kalian ini mau pergi ke Osaka atau ingin menjatuhkan Uki, sih?” Aku mengakhiri pembicaraan konyol itu. “Irfan benar. Lebih baik kalian bergegas cari taksi. Aku akan melapor pada resepsionis dulu.” Setelah ucapan Rifqi itu, kami bertiga keluar. Taksi yang kami tumpangi melesat cepat di tengah jalan raya. Ok. Baiklah, sebenarnya taksi ini bisa melaju lebih cepat kalau aku yang membawanya. Karena sejujurnya, mobil ini melaju kurang cepat. Tapi, jika dibandingkan dengan mobil lain, maka mobil ini adalah yang paling cepat. Kurasa. Kami segera turun begitu taksi tiba di stasiun. Entah stasiun apa namanya. Aku tidak tahu.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku, Rifqi, Septi dan Uki kebagian empat tiket terakhir waktu itu. Tapi aku masih tidak paham, apa itu Tokaido Shinkansen, juga Nozomi Train. Aku harap pemandu wisata kami tahu tentang hal ini. Kami kebagian tempat duduk di deret paling belakang. Mungkin karena kami terlambat. Septi, aku dan Uki duduk pada satu seat di sebelah kanan. Sedangkan Rifqi sendiri di seat sebelah kiri. Semua yang ada di dalam kereta bermoncong lancip itu berwarna biru. Karpet, tempat duduk, semuanya biru. “Apa itu Nozomi?” Aku bertanya pada Rifqi. “Nozomi adalah nama kereta ini.” “Kalau Tokaido?” “Tokaido, adalah nama jalur kereta, yang menghubungkan Tokyo dan Osaka. Seperti koridor kalau bahasa Buswaynya.” “Oh, begitu. Selain Nozomi apa ada jenis kereta lain?” Uki berkomentar. “Ada. Namanya Hikari dan Kodama.” “Kenapa kita tidak naik yang itu saja?” Septi berkomentar. “Karena, kereta ini adalah yang paling cepat. Kereta ini adalah jenis Nozomi N700.” “Septi. Ini, kan impianmu yang paling besar. Dan ini sudah jadi kenyataan. Tidakkah kamu merasa senang?” Aku menengok ke samping. “Kesenangan dan kebahagiaanku tidak bisa diukur dengan kata-kata.” “Jarak dari Tokyo ke Osaka, kira-kira seberapa jauh, Qi?” Uki memperhatikan pemandu kami. “Sekitar 515 KM.” “Berapa lama? Aku ingin segera melihat bunga sakura itu.” Septi tampak bersemangat. “Kalau dengan Shinkansen, bisa ditempuh dengan waktu 2,5 jam. Karena kecepatan kereta peluru ini sendiri 300 KM per jam.” Dalam waktu kurang dari lima menit, kereta peluru ini sudah meninggalkan Tokyo. Aku melihat tiket yang tadi diberikan oleh petugas di stasiun. Waktu departure nya benar-benar sama seperti yang tertulis di sini. sekarang pukul delapan lewat sepuluh. Maka, kalau begitu, kami sampai di Osaka sekitar pukul sepuluh lebih setengah jam. “Orang Jepang sangat tepat waktu.” Rifqi tidak mungkin bisa membaca pikiranku. Tapi hal yang dia bicarakan pas sekali dengan apa yang aku pikirkan saat ini. “Apa lagi dalam

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

penjadwalan kereta. Kalau di tiketmu tertulis Arrival time pukul 10 misalnya, maka kereta itu akan tiba mungkin lima menit sebelum itu.” “Bisa dimaklumi. Itu karena penduduk Jepang menjadikan kereta sebagai sarana transportasi utama mereka.” Septi memberi komentar. “Kamu benar, Sep.” Aku memandang Uki. Dari tadi dia hanya menikmati pemandangan yang senantiasa berganti. “Rif, apa kamu tahu, apa nama badan perkereta-apian Jepang?” “Tidak juga Sep. aku hanya mengetahui satu perusahaan. Namanya JR. yang mengoprasikan kereta ini.” “Apa itu JR?” Dia mengangkat alis. “Junior?” “Bukan.” Rifqi tersenyum geli. “Lalu?” “Japan Railway.” Setelah itu kesunyian melanda. Cukup lama. Kami sibuk memandangi pemandangan yang melesat begitu saja. Naik Shinkansen adalah pengalaman terbaik dalam hidupku. Tidak lama setelah itu, pemandangan yang kami tunggu muncul. Gunung Fuji berdiri dengan gagah. Puncaknya, sebagaimana kita ketahui bersama, tertutup putihnya salju. Gunung itu indah sekali. Banyak orang yang bilang, bahwa kita belum dianggap pergi ke Jepang kalau kita belum melihat gunung Fuji. Dulu aku mengira itu konyol. Tapi kini kurasa ungkapan itu ada benarnya juga. Setelah itu, rasa kantuk mulai menguasai aku. Dan akhirnya aku menyerah. Tertidur di samping Septi. “Irfan, bangun.” Septi menepuk bahuku. “Stasiun Osaka sebentar lagi terlihat.” Begitu kami meninggalkan kereta, Rifqi mengajak aku ke toilet. Untuk mencuci muka tentunya. Katanya, wajahku seperti kertas yang terlipat. Mungkin humor itu cukup lucu. Aku bisa melihat Septi tertawa. Tapi aku tidak peduli. Karena aku masih mengantuk. “Setelah ini kemana?” Setelah mencuci muka barusan, wajahku jadi segar kembali. Rasa kantuk yang melanda juga hilang dalam sekejap di stasiun ini. Karena sejujurnya, stasiun ini mewah. “Ini daerah Yodogawa. Kita masih harus pergi ke Kansai. Karena Osaka Castle ada di sana.” “Masih jauh? ” Septi memandang Rifqi lekat-lekat. Di antara kami berempat, hanya dia-lah yang paling tidak sabar untuk bisa sampai ke sana.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Lumayan. Kita masih harus naik taksi terlebih dahulu. Mungkin ongkosnya bisa mencapai 100 Yen.” “Ya, sudah.” Septi memadamkan api semangatnya. Kami tiba di Kansai dalam sekejap. Karena jalan ini sendiri tidak macet. Osaka Castle sudah terlihat dari sini. Aku mengambil gambarnya dari sini. dengan kamera DSLR yang sudah dari tadi aku bawa. “Bukankah itu stasiun kereta?” Kata Uki. “Benar.” Kata Rifqi enteng. “Kenapa kita tidak berhenti di sana?” “Karena jalur itu tidak dilintasi Shinkansen.” Rifqi menutup pembicaraan. Begitu kami turun dari taksi, bunga sakura yang bermekaran menyambut kami. Septi girang bukan kepalang. Tadinya dia mungkin akan memetik satu tangkai bunga itu, kalau saja Rifqi tidak menariknya menjauh. “Ada beberapa aturan yang harus kita patuhi.” Kata Rifqi selaku pemandu kami. “Kalau begitu cepat katakan.” Semangat Uki terlalu membara. “Yang pertama, kita dilarang untuk memetik bunga-bunga itu.” “Kenapa begitu?” Uki dan Septi tampak sangat kecewa. “Karena, bagaimana ya, cara menjelaskannya… begini sajalah. Bunga sakura dianggap bunga keramat oleh penduduk Jepang. Kita boleh berfoto di sana, atau bahkan menggelar karpet untuk piknik di bawah salah satu pohon. Tapi kita dilarang untuk memetiknya.” “Ya, sudah.” Kata Septi akhirnya. “Itu ada tikar kosong. Bagaimana kalau kita duduk di sana? “Ayo, kalau begitu.” Aku menghabiskan satu giga dari total delapan giga kapasitas memori kameraku untuk mengambil gambar kami yang berpose di bawah pohon bunga sakura. Mungkin mengambil bunga itu memang dilarang. Tapi kalau hanya berfoto tidak apa, kan? “Ayo kita berkeliling. Percuma kalau kita sudah jauh-jauh datang ke sini dan tidak mendapat apa-apa.” Rifqi menarik Uki dan aku hingga kami berdiri. “Jangan buru-buru.” Aku berkomentar. “Septi masih mau menikmati pemandangan bunga sakura di sini.” Aku melihat perempuan manis itu sedang merapikan kerudungnya dan menepuk rok kelabunya yang sampai menyentuh pergelangan kaki.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kalau kita memang harus pergi. Kita juga tidak bisa berlama-lama di sini. Waktu kita terbatas. Benar kan, Rifqi?” “Kamu benar. Kita bahkan belum melihat pintu masuk istana ini. Ayo!” Rifqi membawa kami ke sebuah pintu gerbang. “Ayo, kawan. Yang ini adalah gerbang Aoyamon.” “Kenapa ada parit di sini?” Kata Uki setelah kami berjalan beberapa meter ke dalam. “Dulunya tempat ini kan istana. Mungkin ini adalah parit pertahanan. Atau apalah. Sama seperti tembok-tembok tebal ini.” Aku mengambil pose mereka bertiga di gerbang dan di dekat pagar parit. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan. Septi berhenti di tengah jembatan yang menghubungkan kedua sisi parit. Istana Osaka berada di sisi yang satu lagi. “Kenapa berhenti?” ujarku. “Menikmati pemandangan. Tolong ambil gambarku.” Uki dan Rifqi menjauh. Memberi Septi ruang yang lebih luas lagi. “Sudah.” Ujarku. “Kalau begitu ayo kita lanjutkan.” “Dengan senang hati.” Rifqi mulai berjalan lagi. “Jembatan ini bernama Gokurakubashi Bridge.” “Apa artinya?” kata Septi. “Artinya?” Rifqi membeo. “Jembatan Surga.” Aku memperhatikan Uki. Dari tadi dia hanya diam saja. “Uki, apa kamu baik-baik saja?” “Iya. Aku baik-baik saja. Kenapa?” “Aku kira kamu sakit. Kenapa kamu tidak bicara?” “Karena aku sendiri tidak tahu harus bicara apa.” Tidak terasa, tanganku mengarahkan lensa kamera ke semua sudut. Pemandangan di sana indah sekali. Kami berempat tidak henti-hentinya mengucap Tasbih. Tangga yang kami tapaki sekarang tidaklah terlalu tinggi. Tapi mendakinya cukup melelahkan. Rifqi mengajak kami melihat sebuah patung emas. “Apa itu?” Septi menunjuk patung tersebut. “Shachihoko. Patung hewan berkepala harimau dan berbadan ikan. Semacam hewan keramat, lah. Ayo. Kita harus melihat bagian dalam.” Setelah sepuluh menit meniti anak tangga, kami sampai di halaman utama istana Osaka.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Pemandangannya benar-benar membuat kami semakin kencang bertasbih. Luar biasa indahnya. Bagian eksterior bangunan itu dihiasi ornamen dan lukisan yang dibuat dengan emas. Tidak tahu dengan tinta atau dengan emas murni. Tapi pokoknya ornamen itu berkilau bermandikan sinar matahari. “Menara utama ini disebut Tenshukaku.” Rifqi menunjuk bangunan megah itu. “Atau bisa kalian sebut Donjon. Bangunan ini dibangun tahun 1583 oleh Toyotomi Hideyoshi. Dia membangun bangunan ini sebagai tempat untuk menyimpan harta benda, persenjataan dan tempat penelitian. Tapi sayangnya, bangunan ini terbakar pada perang sipil tahun 1615.” Rifqi meminum sedikit air putih yang sudah dari tadi dia bawa. “Pada zaman kekaisaran Tokugawa, bangunan ini dibangun kembali tahun 1626. Sangat disayangkan, bangunan ini kembali runtuh tahun 1665.” “Kenapa?” kami berucap bersamaan. “Tersambar petir.” “Apa? Kamu tidak bercanda, kan?” Kata Septi. “Setidaknya, itulah kabar yang aku ketahui. Nah, bangunan yang kita lihat ini dibangun tahun 1931. Dan difungsikan sebagai musium sejarah. Atau bahasa kerennya, Historical Museum.” Setelah penjelasan panjang lebar itu, Rifqi mengajak kami membeli tiket. Harganya lumayan mahal. 600 Yen untuk bisa masuk ke dalam musium yang ada di dalam istana ini. Dan Rifqilah yang membeli semua tiketnya. Teman kami ini memang hebat. Sebelum kami sempat melangkah ke pintu masuk, dia mengajak kami melihat sebuah sumur di dekat sana. Tempat itu dipadati pengunjung. Tapi untungnya kami bisa melihat dengan jelas. “Sumur ini bernama Kinmeisui. Dalamnya sekitar 33 meter.” Rifqi mengumumkan. Sumur itu sendiri dilindungi pagar batu dan dinaungi atap. “Sungai ini juga biasa disebut Ogonsui Well.” “Artinya?” Kata Septi. “Sumur Emas. Dulu, sumur ini adalah salah satu sumur terpenting di sini. sumur ini sendiri digali pada tahun 1624. Dan atapnya tahun 1626.” Di samping pintu masuk ada sebuah meriam berwarna hijau kecoklatan. Kalau ada yang tahu seluk-beluk tentang benda itu, Rifqi-lah orangnya. Dia memang benar-benar pemandu wisata. “Meriam ini berasal dari zaman Tokugawa. Dia dikenal sebagai Marker Gun.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Pistol Spidol?” Kata Uki tidak percaya. Kami tertawa dibuatnya. “Tentu bukan, sobat. Meriam ini biasa ditembakkan untuk menandakan jam siang. Atau Noon Hour.” Di lantai satu terdapat teater kecil, toko oleh-oleh dan pusat informasi. Di sana kami ditunjukkan jalan menuju lantai dua. Di lantai dua terdapat berbagai barang antik. Mulai dari lukisan hingga patung dan pakaian. “Bisa kalian lihat,” kata Rifqi. “ini adalah salah satu lukisan yang menggambarkan tokoh Toyotomi Hideyoshi.” Ekspresi Rifqi berubah seketika. Dia tampak sangat terkejut. Aku berbalik dan mendapati Septi sedang menggunakan replika jubah dan helm dari zaman Toyotomi Hideyoshi. Dia meminta aku mengambil gambarnya yang berpose di depan Shachihoko dan sebuah patung harimau yang juga terbuat dari emas. Dia tampak sangat gembira. Terutama setelah Uki dan Rifqi bergaya layaknya pengawal di kanan dan kirinya. “Kamu mau mencoba?” Rifqi menawarkan diri. “Iya. Tapi tidak perlu pakai jubah itu. Cukup ambil gambarku di depan dua patung itu, ya.” “Siap Boss…” “Apa tidak ada larangan untuk memakai jubah itu?” ujarku setelah Rifqi mengambil gambar. “Tidak. Tidak ada.” “Itu patung apa namanya?” Septi sudah kembali ke wujudnya yang semula.

Rifqi berputar ke arah yang ditunjuk Septi. “Itu patung Fusetora. Sejenis patung harimau yang sedang mengincar mangsa. Ayo, kita ke lantai berikutnya.” Lantai tiga dan empat dipenuhi dengan sejenis maket istana ini pada zaman Toyotomi Hideyoshi. Skalanya 1:350. Juga ada layar-layar yang bisa dilipat. Biasa dibilang fold screen. Gambar yang ditunjukkan adalah keadaan perang. “Namanya Osaka Summer War.” Rifqi menjelaskan tanpa diminta. “Ada lagi yang kamu ketahui tentang benda ini?” ujarku penasaran. “Hmm… katanya, lukisan ini dibuat atas perintah Nagamasa Kuroda.” Di sini juga ada berbagai jenis baju zirah yang sudah tampak kuno tapi masih terawat. Salah satu baju zirah yang menarik perhatianku adalah yang ada di depanku saat ini. Di baju zirah itu ada gambar matahari, bulan dan naga. “Apa kamu tahu asal-usul baju zirah ini?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Katanya, baju zirah itu pernah dipakai oleh Matabee Goto. Seorang kepala punggawa bawahan Yoshitaka Kuroda. Ahli strategi zaman Toyotomi Hideyoshi.” Kami langsung melesat ke lantai delapan. Di tempat itu ada semacam tempat pengamatan. Dan di sana kami bisa dengan mudah menyentuh Shachihiko yang ada di setiap sudut atap. “Inilah akhirnya, sobat. Osaka Castle. Bagaimana? Puas?” Rifqi berdiri santai. Menghadapkan wajahnya pada kami. Dia tersenyum senang. Amarah yang tadinya ingin Septi luapkan saat kami sampai di sini hilang dalam sekejap. Aku bisa mengetahui itu dari sorot matanya. “Sekarang sudah sore. Ayo pulang. Kalian pasti lelah.” Setelah puas membeli buah tangan, kami segera melesat menuju Shin-Osaka Station dan membeli tiket Shinkansen menuju ke Tokyo. Hari ini kami benar-benar lelah. Tapi kami puas karena dahaga kami akan pemandangan Osaka Castle yang terkenal sudah lenyap. Hari ini tidak akan pernah aku lupakan. Berkumpul bersama sahabat, mengambil ratusan foto, dan juga membeli oleh-oleh. Salah satunya harus aku kirim ke Indonesia. Bagaimanapun caranya.

CHAPTER 14 SEPTI

Suasana pagi hari kota Tokyo memang sangat mempesona. Kami berempat memandangi bersama. Bagaimana indahnya matahari terbit dari hotel ini. Benar-benar menakjubkan. Cahaya mentari yang lembut menerangi seisi kota secara perlahan. Aku tidak bisa berhenti memandang kejadian yang biasa terjadi ini. Walaupun sudah sering melihat matahari terbit, aku tetap saja senang. “Jepang memang benar-benar indah.” Tak sadar mulutku berucap. “Itulah Jepang.” Rifqi mengkonfirmasi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Jadi, hari ini kita mau ke mana?” Kata Irfan. Dia mengenakan kaus berwarna hitam. Tulisannya 18. Seperti kaus yang biasa dipakai penyanyi R&B. Sekarang dia juga memakai sepatu. Atas saran Rifqi pastinya. “Kita akan menyambangi pusat perbelanjaan yang ada di Tokyo sekarang.” Kata Rifqi. Dia sendiri memakai kaus yang sama seperti Irfan. Hanya saja, kausnya berwarna biru navy. Dan angkanya 47. Sedangkan aku, sebagaimana biasa, memakai celana panjang hitam, baju lengan panjang warna krem dan kerudung hitam. Entah kenapa aku merasa harus memakai pakaian seperti ini sekarang. “Di mana pusat perbelanjaan ini?” Uki merapikan kaus putihnya yang bergambar Bull’s Eye. “Shibuya. Ayo kita turun.” Kami tiba di pusat perbelanjaan Shibuya 109. Gedung itu amat sangat tinggi sekali. Lebar dan panjang. Semuanya berwarna abu-abu. Di puncak menara tertinggi ada tulisan Shibuya 109 berwarna merah. Tempat itu juga dipadati oleh orang-orang. Baik itu pengunjung mancanegara atau pengunjung lokal. “Apa itu?” Aku menunjuk sebuah patung berbentuk anjing, yang berdiri di atas sebuah landasan kokoh yang cukup tinggi. Warnanya hitam kecoklatan. “Itu Hachiko.” Rifqi selaku pemandu wisata mengabarkan. “Maksudmu, anjing yang meninggal saat menunggu tuannya itu?” Aku meyakinkan. “Itulah dia. Ayo segera masuk. Patung itu tidak akan lari dari tempatnya.” Hanya ada satu kata yang cocok untuk menggambarkan situasi di dalam pusat perbelanjaan itu. Ramai. Tidak ada yang lain. Itu saja. Ramainya luar biasa. Mungkin tempat ini akan meledak sesaat lagi. Semoga saja tidak sih. Tidak saat kami masih ada di sini. bagian dalam toko supermall ini dijejali puluhan toko. Macam-macam. Kebanyakan menjual pakaian dan berbagai bentuk souvenir. Semuanya ditata dengan rapi dan teratur. Membuat mata tidak bisa berhenti memandang. Di sini juga banyak kaum hawa yang tidak menutup auratnya. Mungkin hal ini terjadi karena di sini tidak ada aturan yang mewajibkan mereka untuk menutup aurat. Akan tetapi, aku juga menemukan beberapa pemudi yang memakai pakaian muslimah. “Kamu tidak boleh membeli baju.” Kata Irfan padaku. “Beli apa saja. Asal jangan baju.” Rifqi tampak mendukung. “Kalian kenapa?” Kata Uki. Dia tampak heran.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kami hanya perhatian.” Ujar Irfan. “Karena pakaian di sini juga tidak ada yang cocok untuk muslimah.” “Ya, sudah. Terima kasih atas perhatian kalian kawan. Tapi boleh kan, aku membeli sebuah tas?” “Silakan.” Kata mereka berdua. “Lalu kenapa kamu membawa kami kesini, Rif?” Ujar Uki. “Karena, ada hal lain yang akan aku tunjukkan pada kalian.” “Apa itu? Patung Hachiko? “Bukan, Uki. Tapi, Shibuya street dancer.” “Street dancer?” Kami bertiga membeo. “Yups. Itu dia. Shibuya Street Dancer sangat terkenal di Tokyo.” “Kapan biasanya mereka beraksi?” Irfan jadi tertarik. Aku bisa memaklumi, dia memang jago melakukan hal-hal seperti ini. “Malam. Ketika semua gedung perkantoran tutup pada jam malam, mereka muncul. Aku bahkan kenal salah seorang dari mereka. Namanya Reiji.” “Bagaimana kamu bisa menemukan temanmu itu? Street dancer di sini kan banyak.” Ujarku sedikit ragu. “Kami sudah membuat janji pertemuan. Di sini, ketika tempat megah ini sudah tutup.” “Kemudian?” kata Uki. “Kemudian? Dia akan membawa kita menemui teman-temannya.” “Bagus kalau memang begitu.” Aku menyilangkan tangan di depan dada. “Sekarang, apa yang akan kita lakukan disini?” “Banyak.” Kata Rifqi. “Terutama, membeli tas dan pakaian.” Dia melangkah cepat meninggalkan kami di belakangnya. “Maksudmu, kamu ingin membeli tas untukku?” Aku meninggikan suara. “Mungkin. Jika kamu mengijinkan.” “Jika tidak?” ujarku dengan tenang. “Jika tidak?” Rifqi mengangkat alis. “Ya, sudah. Mungkin dengan begitu aku bisa menghemat pengeluaran.” “Itu lebih baik. Aku senang kamu mengatakannya.” “Maksudmu?” “Sudahlah. Tidak penting.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Pemandu nyentrik ini membawa kami tepat ke depan sebuah toko. Toko itu menjual pakaianpakaian distro. Semoga harganya murah. Karena aku yakin, Rifqi, Irfan dan Uki ingin segera membelinya. Karena si penjaga toko tidak bisa berbahasa Indonesia, kami memutuskan untuk berbicara dalam bahasa internasional yang sangat terkenal. Inggris. Harga yang ditawarkan untuk tiga buah jaket adalah 300 yen. Aku hampir saja mengamuk saat mendengarnya. Tapi aku tahu bahwa itu tidak berguna. “Kalian kan kalian sudah tahu, harganya mahal. Lalu kenapa kalian masih membelinya? Apa kalian tidak ingin berhemat?” Aku berkomentar. “Kami membelinya sebagai kenang-kenangan.” Kata Irfan. “Apa sih bagusnya jaket itu?” aku memandang jaket hitam itu. Di bannya ada garis biru pudar di bagian jaket sebelah kiri, dan garis kuning pudar di bagian kanan. “Nanti malam kamu akan tahu fungsinya. Nah, saatnya ke toko tas.” Rifqi mengajak kami untuk berbelanja di sebuah toko yang menjual tas. Semuannya dibuat dari kulit. Aku menelaah seisi tempat itu, dan mendapati sebuah tas tangan berwarna hitam polos. Aku segera membelinya meskipun harganya 150 Yen. “Apa sih bagusnya tas itu?” Kali ini Irfan yang berkomentar. “Tidak tahu.” Ujarku jujur. “Lalu kenapa kamu membelinya?” Irfan tampak heran mendengar jawabanku. Begitu juga dua pemuda lainnya. “Karena aku butuh, Irfan. Aku kan, tidak seperti kalian, yang hanya membeli barang yang tidak berguna.” “Kamu akan tahu gunanya malam ini.” Irfan bersikeras. “Hey,” Rifqi menengahi. “kalau kalian sudah selesai beradu argument, aku ingin mengajak kalian untuk makan sushi.” “Benarkah?” Aku melupakan emosi yang aku rasakan dalam dua detik. Mungkin juga kurang. “Di mana?” “Di dekat sini. nah, aku rasa kalian sudah selesai berdebat. Ayo, tuan dan nyonya. Ikut aku.” Kali ini dia membawa kami ke sebuah kedai yang menjual berbagai jenis sushi. Di dalam tempat itu, ada sebuah meja panjang. Seperti buffet. Tempat duduk kecil disusun berurutan

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

dengan rapi. Di atas meja itu, piring-piring yang memuat berbagai jenis sushi meluncur cepat. Orang-orang yang ada di sana mengambil sushi itu dan kemudian menyantapnya. “Aturan pertama.” Rifqi mengajak kami duduk di tempat yang kosong. “Sushi-sushi ini sudah ada yang memesan. Jadi kalian tidak bisa mengambil seeknaknya saja, ya.” “Iya, pak guru…” Uki bercanda. “By The Way, apa nama restoran ini?” Aku mengganti bahan yang dibicarakan. “Kamu tahu kan, Rif?” “Pasti. Namanya YO! Sushi Restaurant.” “Dari mana kamu tahu?” Uki terlihat heran. “Apa karena kamu tahu karena sudah pernah pernah kemari?” “Sebenarnya aku juga baru datang ke sini hari ini. Bersama kalian bertiga.” “Lalu, bagaimana kamu bisa tahu?” “Karena, sobatku Uki yang aku banggakan, nama resto ini terpampang jelas di atas pintu masuk.” Nada bicara Rifqi membuat kami tertawa. “Nah, untuk memesan jenis sushi, silakan tekan tombol yang ada di sini.” Rifqi menjelaskan. Lalu dia menekan sebuah tombol. Tidak lama kemudian, satu piring sushi dengan topping berwarna merah muncul. Rifqi mengambilnya. “Tuna.” Kami segera mengikuti teladan yang dia perbuat. “Banyak sushi yang dibuat dengan bahan dasar ikan. Biasanya salmon dan tuna.” Rifqi menikmati sushi-nya. Dia makan begitu perlahan. Seolah menikmati setiap senti sushi yang dia gigit. “Kenapa? Aku makan terlalu lama ya?” katanya. Rupanya dia melihatku. “Tidak, tidak. Makan memang harus dinikmati.” Aku mulai menikmati makananku. “Kapan kedai ini tutup?” kata Irfan. Dia menikmati sushi yang bertopping orange. Kalau ada Febri, pasti dia akan sangat menyukainya. “Biasanya? Jam 10 malam. Aku selesai.” “Tapi, kamu baru makan satu potong.” “Aku tahu. Aku tahu. Aku ingin menghubungi Reiji. Untuk memastikan acara kita malam ini.” Dia meninggalkan kami dan mulai menekan keypad handphone-nya. Kami melahap beberapa potong sushi sementara Abang Pemandu Wisata sibuk menghubungi kolega-nya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ayo. Kalian sudah selesai, kan?” Rifqi menarik Uki dan Irfan. Mereka meninggalkan aku di belakang. “Kenapa kalian meninggalkan aku?” Aku berusaha memprotes. “Ada rencana untuk nanti malam.” Kata Irfan. “Apa itu?” “Intinya, kita… maksudku, Irfan, harus membuat mereka terkejut.” “Jadi, kita memang benar-benar ingin main bersama Reiji ini?” Aku memastikan. “Yups. Begitulah. Dan kita harus membuat kesan yang baik.” “Di mana kalian bertemu?” Uki bertanya. “Di perancis. Paris tepatnya.” “Bagaimana kalian bisa bertemu?” “Dia mencari street dancer Paris. Jadi aku hanya menunjukkan.” “Apakah sebelum ini kalian pernah bertemu?” “Belum. Dia sudah berkali-kali mengajakku mampir ke Shibuya. Tapi baru kali ini aku bisa berkunjung. Terima kasih, sob.” “Kenapa kamu berterima kasih pada kami?” ujarku tidak percaya. Harusnya kan kami yang berterima kasih. Bukan dia. “Karena berkat kalian, aku bisa bermain sampai ke Shibuya.” Dia tersenyum penuh terima kasih. “Apa kamu sudah pernah melihat dia beraksi sebelumnya?” “Sudah, Sep. Satu kali. Dia adalah street dancer yang sangat piawai.” “Jadi tujuanmu mengajak kami ke sana adalah untuk menunjukkan aksi mereka pada kami?” Uki menarik kesimpulan. “Tepat sekali.” Rifqi menjentikkan jari. “Selain itu, juga untuk menunjukkan kebolehan kita pada mereka.” “Apakah pekerjaan ini tidak akan mengundang kemunculan polisi?” Kata Irfan hati-hati. “Semoga tidak. Aku juga tidak tahu.” Kami terus melangkah menembus keramaian. Entah kemana lagi Rifqi akan membawa kami. Malam sudah datang. Tapi Rifqi belum juga kembali. Kami menunggu di sebuah gang kecil. Aku jadi merasa sedikit khawatir. Aku jadi takut ada hal buruk yang terjadi padanya. Berulang kali Irfan menenangkan aku. Tapi aku malah

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

semakin khawatir jadinya. Rupanya rasa khawatirku memang berlebihan. Karena setelah itu, Rifqi muncul bersama satu orang lain. “Sorry to keep you waiting, sobat.” Kata Rifqi. Dia tersenyum minta maaf. “Reiji, temanku. Septi Irfan dan Uki.” Teman Rifqi yang satu ini berkulit putih. Wajahnya rupawan, rambutnya hitam gondrong. Dia memiliki wajah khas orang Jepang. Mata sipit dan kulit agak kekuningan. Rambut hitamnya juga lurus. Kalau aku bertemu orang seperti ini di pusat perbelanjaan, mungkin aku akan menganggapnya pemuda yang bermasalah, maniak skate board tapi cakep. Ada satu hal yang membuatku sangat terkejut. dia berbicara dengan bahasa Indonesia. “Kamu bisa berbicara bahasa Indonesia?” Ujarku pada Reiji. “Aku bisa. Sedikit.” Kata Reiji. Dia memang berbicara dalam bahasa nasional kita. Tapi tetap saja, logat Jepangnya masih terasa kental. “Kalian teman Rifqi ya? Rifqi sudah menceritakan banyak hal tentang kalian. Ayo. Sebentar lagi showtime.” Teman baru kami mengajak kami berjalan ke sebuah kantor yang kebetulan sudah tutup. Tempat itu sangat besar. Mirip seperti Shibuya 109. Tapi yang ini tampak lebih formal. Mungkin Karena tempat ini bukan pusat perbelanjaan seperti Shibuya 109. Di sana sudah berkumpul beberapa orang. Mungkin enam atau tujuh. Semua memandangi kami. Reiji segera berbicara pada mereka. Dalam bahasa Jepang yang sama sekali belum aku pahami. “Tenang saja, sis. Mereka semua bersahabat kok.” Kata Reiji padaku. Dua orang perempuan di antara mereka tersenyum ramah padaku. Suara musik mengalun dari mp3 player yang ada di sudut lapangan. Lagunya memang sangat cocok untuk dipakai sebagai musik street dance. Reiji memulai dengan gerakan break dance. Dia menggunakan pundak dan bahu untuk berputar. “Namanya Windmills.” Rifqi mengabarkan. “Kalau yang itu?” Aku menunjuk Reiji yang sekarang berputar dengan kepalanya yang ditutupi skull cap hitam. “Headspins.” Kali ini Irfan yang memberi tahu aku. Dia terus memandangi Rifqi. Seolah sedang menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu. Semoga saja tidak. Mereka masih saling pandang. Bahkan aku tidak dihiraukan. Wah, kalau begini caranya aku jadi sedikit khawatir jadinya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dua bocah itu mengenakan jaket yang tadi mereka beli. Rupanya, garis biru dan kuning-nya berpendar saat tidak ada cahaya. Seperti fosfor. Aku jadi ingat film Tron Legacy 3D yang pernah aku saksikan di TV. Ini dia. Bencana dimulai. Rifqi dan Irfan yang sudah mengambil ancang-ancang berlari dari arah yang berlainan. Tepat ke tengah lapangan. Mereka berdua melakukan gerakan salto. Tapi ini sedikit lebih rumit. Seperti gerakan yang dilakukan Tom Cruise dalam film MI. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Tapi jelas-jelas luar biasa. Mereka berdua melayang di udara. Yang terlihat hanya garis jaket mereka yang berpendar. Semua orang yang ada disana memberi tepuk tangan meriah. Termasuk Reiji. Dia menaikkan volume mp3 player. Belum selesai sampai disitu, Rifqi dan Irfan melakukan shuffle dance layaknya professional dancer. Jangan tanya aku bagaimana gerakan mereka. Karena aku tidak bisa menjelaskan. Pokoknya, gerakan mereka cool. “Ini, pakailah.” Rifqi memberikan sebuah jaket padaku. “Shibuya dingin kalau sudah malam.” Dengan senang hati aku mengenakan jaket itu. Rupanya modelnya sama persis seperti jaket mereka. Hitam legam dengan list biru dan kuning. “Kenang-kenangan untukmu.” Setelah mengucapkan kata itu, Rifqi kembali bergabung dengan kawan-kawannya. Mereka semua berjoget bersama. Bahkan ada yang melakukan gerakan Moonwalk. Seperti yang selalu dilakukan MJ. Sekitar 10 menit setelah itu, Rifqi kembali. Dia tampak menyesal. “Ada apa?” Ujarku heran. “Aku memang bodoh.” Kata Rifqi tiba-tiba. “Tunggu dulu, Rif. Jangan langsung menyalahkan diri sendiri dulu. ada apa?” “Aku harusnya menemani kalian. Bukan malah meninggalkan.” “Ya, sudah. Aku dan Uki baik-baik saja. Bersenang-senanglah.” “Aku sudah senang sekarang. Aku sudah senang dari kemarin. Aku senang karena bisa bertemu kalian di sini.” Ketika aku hendak bicara, sebuah suara lain berteriak di belakangku. Seperti suara ibu-ibu. Aku berpaling bersamaan dengan Rifqi. “Kau tahu kan, harus berbuat apa?” Katanya. “Tentu.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Seorang pemuda berambut cepak lari tepat kearahku. Dia membawa sebuah tas hitam kecil. Di belakangnya, ada seorang wanita yang mengejar. Berteriak dengan kalut. Menurut pendapatku, si pemuda adalah pencuri dan si wanita adalah korbannya. Tanpa banyak berkata-kata, ternyata Uki sudah menyiapkan pistolnya. “Jangan. Simpan saja air soft gunmu. Ayo lihat jurus maut Septi.” Kurang ajar. Mereka mengandalkan aku. Saat si pencuri sudah dekat, aku menunduk dan melakukan sapuan. Dia yang tidak melihat kakiku terlempar begitu saja ke tengah kerumunan orang, yang kontan langsung membawanya ke kantor polisi terdekat. Reiji memberikan tas itu pada empunya. “Terima kasih, sis. Tidak biasanya ada perampokan di sini. Tapi gerakanmu tadi lumayan keren. Karateka?” “Tae kwon doin.” Ujarku tanpa semangat. Dia berpaling pada Irfan dan Rifqi. “Shuffle dance kalian tadi keren. Apalagi ditambah dengan gerakan salto yang luar biasa itu.” “Terima kasih.” Kata mereka. “Sis,” Reiji berpaling padaku. “kamu punya sahabat-sahabat yang hebat. Jaga mereka.” “Pasti.” Ujarku padanya. Setelah puas berbicara, Rifqi akhirnya berpamitan pada sahabatnya itu. Kami akhirnya pulang ke hotel dengan taksi yang kebetulan melintas. Jaket kami yang menyala dalam gelap mungkin membuat dia takut atau malah senang. Aku tidak begitu peduli. Yang penting aku lelah dan aku ingin cepat kembali ke hotel untuk tidur. Kami menghabiskan sisa pagi itu untuk mengobrol. Tadinya, Rifqi bersikeras untuk mengantar kami ke kampus tempat kami kuliah besok. Aku sendiri juga tidak tahu kapan. Tapi Irfan menolak ajakan itu dengan cara yang sopan. Akhirnya, pagi itu kami habiskan untuk mengobrol masalah masa lalu. “Kalau menurut aku, hal yang paling membuat aku terkesan adalah saat aku SMA.” Kata Rifqi. “Pasti.” Irfan tampak sependapat. “Tapi yang paling aku ingat adalah saat-saat SD.” Uki menikmati segelas cappuccino dingin. “Kenapa?” Aku mencoba mencari alasan pemuda itu. “Karena, ya hanya itu yang kupandang indah. Masa lalu yang seru.” “Terserah kalian lah. Tapi masa-masa itu hanya bisa kita kenang sekarang.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kalau begitu jangan sampai kenangan itu hilang dari kepalamu.” Ujar Irfan. “Nah, kalau hal yang satu ini, aku berani menjamin.” “Menjamin apa?” Rifqi meneguk milk shake yan ada di depannya. “Aku jamin, semua memori yang bersangkutan dengan masa sekolah kita tidak akan hilang.” “Bagus.” Kata Irfan. “Bagus untuk kalian.” Kata Rifqi. “Maksudmu?” Aku mengangkat alis. “Maksud Rifqi, bagus untuk kita bertiga. Karena pengalaman yang dia rasakan berbeda dengan pengalaman kita. Benar kan?” “Kurang lebih begitu.” “Rifqi, setiap orang pasti memiliki pengalaman yang berbeda. Nah, sekarang, yang jadi masalah bukanlah apa saja pengalaman yang sudah kita rasakan. Tapi seberapa banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari setiap kejadian.” “Terima kasih atas saranmu. Aku akan terus mengingat itu.” “Lagipula, aku yakin pengalaman yang kamu rasakan lebih banyak daripada pengalaman yang kami rasakan.” Rifqi tersenyum. “Aku senang mengatakan ini. Kamu benar lagi.” “Terima kasih. Itulah salah satu tugasku sebagai temanmu.” Aku mencicipi secangkir teh hijau. Sejak aku tiba di Jepang, aku jadi sangat menyukai teh. Kali ini, aku mencampur minuman tradisional jepang itu dengan madu. “Di mana Viera bersekolah?” “Di University of Sorbonne. Jurusan kedokteran. Kenapa?” “Tidak apa. Dia adalah rival terberat sekaligus sahabat terbaikku.” “Kalau begitu, kalian pasti sering terlibat berbagai hal bersama. Benar, kan?” Dia menebak. “Kamu benar. Kami sudah berjanji untuk bertemu di tugu Selamat Datang. Untuk melihat nilai siapa yang paling besar.” “Kalian memang sudah jadi rival sejak dulu. yang membuatku kagum adalah, rivalitas kalian yang tahan lama.” “Aku akan mencoba untuk menjaga rivalitas kami tetap berjalan pada jalannya.” “Aku akan membantu untuk menjaga rivalitas kalian. Tapi yang paling bertanggung jawab untuk hal ini adalah kalian berdua.” Rifqi menatap Irfan dan Uki tepat di mata. “Jangan terlalu khawatir begitu. Serahkan saja semua hal pada kami. Termasuk menjaga putri cantik ini.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Irfan kini mulai tertarik dengan coklat panas yang tadi dia pesan. “Terima kasih atas perhatianmu, Rif. Tapi aku bisa menjaga diri.” “Hey,” Uki mengangkat tangan. Seperti meminta minum. “bagaimana caramu menemukan kami?” Uki bicara pada Irfan. “Saat kejadian dramatis kemarin?” “Iya.” “Ingat saat Marvel menerima telepon kemarin? Ketika itu, kami mulai melacak keberadaan kalian. Kalian harusnya berterima kasih pada Viera. Karena pamannya adalah orang yang melacak keberadaan kalian.” “Kejadian dramatis apa?” Rifqi tampak bingung. “Kenapa Viera belum cerita?” “Marvel sempat mengurung kami di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.” Ujarku sambil berusaha mengingat kembali detil kejadian itu. “Saat itu, Irfan sangat kebingungan. Mencari di mana sebenarnya kami berada.” “Dan paman Viera membantu kami melacak keberadaan Uki dan Septi.” “Kami?” Rifqi mengulangi. Seolah dia salah dengar. “Piihak kepolisian.” Aku menerangkan. “Tapi kenapa Viera tidak bercerita?” “Karena kami meminta agar semua pihak yang terlibat merahasiakan hal ini.” Uki menimpali. Rifqi memasang wjah memelas. “Oke, itu berarti kalian juga akan merahasiakan hal itu dariku?” Aku memandang dua cowok lainnya. Dan kami bersepakat dalam diam. “Untukmu ada pengecualian.” Beberapa tetes teh madu itu berpindah dari gelas ke kerongkonganku. “Sebelum kami mengikuti wawancara kemarin, kami sempat jadi tawanan Marvel dalam tempo beberapa hari. Dan akhirnya kami berhasil meloloskan diri.” “Septi bahkan meledakkan sebuah gerai penjual makanan.” Uki menambahkan. “Uki, Rifqi tidak akan percaya.” “Aku percaya, kok Sep.” “Benarkah? Kenapa?” “Karena kamu memang cewek yang berbahaya.” Kami semua tertawa mendengar ucapan bocah gokil ini. “Jadi, apakah kamu akan meneruskan?” “Baiklah. Aku akan teruskan.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Aku meneruskan cerita itu. Yang membuat aku heran, Rifqi memperhatikan setiap detail cerita itu. Sampai ke bagian-bagian yang paling sepele sekalipun. “Jadi, dia memotong rambutmu dengan pisau?”Kali ini rifqi tampak tidak percaya. “Iya. Dia melakukannya.” “Dia memang psikopat.” “100 persen.” Irfan menimpali. “Jadi kenapa sih, Marvel hobi menculik kalian?” “Rifqi, Marvel ingin membunuh semua orang yang menghalangi perkembangan bisnis haramnya.” Kata Irfan lagi. “Kalau begini caranya, aku harus membantu kalian.” “Jangan repot-repot.” Ucap kami bertiga bersamaan. “Lebih baik kamu mengurusi kuliahmu.” Kata Uki. “Uki benar Rif. Kuliahmu kan lebih penting.” Irfan menambahkan. “Mereka berdua benar, Rifqi. Kami tidak ingin kuliahmu terganggu hanya karena urusan kami.” Aku tidak mau kalah. “Urusan kalian adalah urusanku juga. Tidak perlu khawatir.” Kami menghabiskan hari itu dengan berdiskusi. Hingga aku tidak menyadari handphoneku berdering beberapa kali. Begitu aku melihatnya, tahulah aku bahwa yang menelepon adalah ayah. Aku meninggalkan mereka. Mencari tempat yang cocok untuk melakukan panggilan pribadi ini. “Assalamu Alaikum…” Suara ayah terdengar dari seberang sana. “Wa Alaikumussalam…” Aku membalas salam ayah. “Nak, apa kabar?” “Sangat baik ayah.” “Kamu terdengar bersemangat nak. Bagaimana kuliah kamu?” “Kuliah dimulai minggu depan yah.” “Di mana kamu sekarang, nak?” “Aku di Tokyo, yah.” “Wah, kamu hebat nak. Di mana kamu tinggal di mana sekarang?” “Di hotel yah.” “Di hotel? Apa tidak terlalu mahal?” Ayah terdengar sangat cemas. “Tidak yah. Di sini aku juga bertemu teman lama.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Teman lama? Siapa, nak?” “Rifqi yah.” “Oh, Rifqi. Memang dia sekolah di Jepang juga?” “Tidak yah. Dia bersekolah di Perancis.” “Lalu kenapa dia bisa sampai di Tokyo?” “Dia sengaja cuti untuk menemui kami di sini, yah. Istilahnya menjadi guide.” “Guide? Pemandu?” “Yah, bukan sih yah. Tapi, selama kami di sini, dialah yang memandu kami. Kami diajak berkeliling. Ke Kansai, Osaka, Shibuya dan Tokyo yah.” “Terserah kamu lah nak. Ayah tidak tahu nama-nama kota di Jepang.” Aku tertawa. “Rifqi adalah pemuda yang setia pada kawan-kawannya nak. Kamu harusnya bersyukur dia menjadi kawanmu.” “Sudah sejak lama yah.” “Ya, sudah. Yang penting kamu baik-baik saja kan nak?” “Iya, yah.” “Ya, sudah. Sudah dulu ya. Nanti ayah telepon lagi.” “Iya.” “Assalamu Alaikum…” “Wa Alaikumussalam…” Aku segera kembali ke tempat mereka bertiga. “Bagaimana?” Ucap Irfan. “Bagaimana apanya?” “Kabar ayahmu. Apa beliau baik-baik saja?” “Oh, iya. Ayah baik-baik saja.” “Alhamdulillah.” Ujar ketiga cowok keren itu. “Sudah siang. Ayo kita istirahat dulu.” Rifqi menyarankan. Setelah mendengar kata istirahat, semua sendi-sendi yang ada dalam tubuhku jadi lemas. Dan aku, Irfan dan Uki memutuskan untuk menyetujui saran Rifqi ini. Sore harinya kami berkumpul di lantai sepuluh hotel ini untuk menikmati matahari terbenam. Kami berdiri di depan jendela yang lebar. Yah, walaupun di kota ini banyak gedung pencakar langit yang tinggi, tapi matahari terbenamnya cukup Indah sih.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kapan kamu akan kembali ke Sorbonne?” “Mungkin lusa, mungkin minggu depan.” “Kenapa minggu depan?” Ujarku penuh selidik. “Untuk menemani kami selama seminggu lagi?” “Jangan terlalu percaya diri.” Rifqi tertawa. “Aku akan pergi ke Paris dulu. Untuk mengunjungi temanku.” “Kalau begitu, pertanyaannya aku ganti.” Kataku sedikit malu. “Kapan kamu akan meninggalkan Tokyo?” “Kalau tidak ada perubahan, lusa aku akan pergi.” “Bukan sekarang kan?” Kata Irfan. “Tentu bukan. Hey, by the way shuffle dance-mu kemarin keren. Siapa yang mengajarimu?” “Kamu.” “Jangan bercanda.” Rifqi tertawa sedikit. “Kamu juga sudah bisa sebelum aku mengajarkanmu kemarin.” “Nah, sekarang baru kamu mengakuinya.” Aku tersenyum geli. Mereka berdua memang tidak suka dipuji. “Nah, apa kalian akan mengajarkan aku sekarang?” Kata Uki. Dia jadi pendiam sekarang entah kenapa. “Kapan kamu mau belajar?” Kata Irfan berapi-api. “Kami akan segera mengajari kamu.” Rifqi segera menimpali. “Mungkin bukan sekarang.” “Ada apa denganmu, Uki?” Ujarku penuh perhatian. “Aku tidak apa-apa.” Ucapnya singkat. “Kamu jadi lebih pendiam semenjak kita tiba di sini. Kenapa?” “Karena, aku merasa memang harus seperti itu. Entahlah.” “Lebih baik kita berikan Uki waktu untuk berfikir.” Irfan menyarankan. “Jangan. Tidak perlu. Aku punya sangat banyak waktu. Dalam diamku aku berfikir.” “Apa yang kamu pikirkan?” Kata Irfan. “Rumahku. Juga rumah kalian.” “Kita semua rindu rumah, Uki.” Aku mengingatkannya. “Bukan cuma rindu rumah, Sep. aku agak khawatir. Akankah Marvel akan menyerang rumah kita selagi kita berada di sini? Bisakah kamu menjawabnya?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Tidak.” Aku mengakui. “Hey, aku tahu siapa yang bisa.” Kata Rifqi bersemangat. “Siapa?” Uki tidak tertarik sama sekali. “Orangtuamu. Tapi sebelum itu, ayo kita mandi air hangat dulu.” Kami sangat mengapresiasi pendapat ini. Akhirnya kami kembali ke kamar kami masingmasing dan menutup pintu bersamaan. Di dalam kamar, aku membuka kerudung dan melihat rambutku lewat bayangan yang terpantul dari cermin. Sudah lebih baik daripada hari kemarin. Alhamdulillah. Bagian yang terburuk adalah mimpi buruk. Sudah beberapa kali aku bermimpi buruk tentang rambut ini. Terutama saat Marvel menekan pisaunya di atas kulit leherku. Aku mengusap titik di mana dia menekankan pisaunya. Tidak ada apa-apa di sana. Aku menarik nafas dalam-dalam. Hari sudah mulai gelap. Aku akhirnya membaringkan diri di atas kasur putih yang tebal. Aku jadi membayangkan apa yang sedang dilakukan ayah dan ibu di rumah sekarang. Apakah mereka juga merasakan apa yang aku rasa? Rasa rindu yang amat sangat? Sudah kuputuskan untuk membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku yakin ayah dan ibu juga merasakan hal yang sama denganku. Aku membulatkan tekad sekali lagi. Aku tidak boleh gagal. Ketika pikiranku sudah kembali tenang, aku segera menceburkan diri ke dalam bath tube. “Orang Jepang memang tahu bagaimana cara mandi yang enak.” Aku memulai pembicaraan kami malam itu. “Orang Jepang juga memiliki budaya yang unik. Mereka biasanya mandi pagi dengan air dingin.” Ujar Rifqi. “Mereka berpendapat, mandi pagi dengan air dingin dapat menghilangkan lelah seketika.” “Memang benar.” Ujar Uki. “Para ahli juga berpendapat bahwa mandi dengan air dingin di pagi hari sangat bermanfaat bagi tubuh.” “Rupanya Uki sudah mulai bicara kembali.” Irfan tampak senang. “Kelihatanya pembicaraanmu dengan orangtuamu berbuah manis ya?” kata Rifqi. “Iya. Kamu benar.” “Ada kabar apa dari Lampung?” kataku penasaran. “Marvel tidak menyerang. Setidaknya belum.” “Alhamdulillah…” Ujar kami bertiga.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Rifqi memandang kami semua satu-persatu. Aku jadi berfirasat buruk sekarang. “Nah, kawan-kawan,” katanya tenang. “siapa yang mau menemaniku ke bandara besok pagi?”

CHAPTER 15

UKI

Hari ini akhirnya tiba. Rifqi sudah menyiapkan semua yang dia butuhkan. Mulai dari tas berisi baju hingga tas berisi makanan ringan. Hebatnya, sebelum dia hendak pergi, mengajak kami duduk-duduk di lobby utama. Dan disanalah kami pagi ini. “Kamu bilang kamu akan pergi ke Paris pagi ini.” Septi memprotes. “Kok jadi ke sini lagi?” “Karena pesawatku di delay.” “Delay kan biasanya hanya satu atau dua jam.” Kata Septi. “Tidak mungkin lebih dari itu.” Irfan mendukung. “Bagaimana jadinya kalau pesawat yang akan kamu tumpangi tiba-tiba mengalami gangguan dan tidak jadi take off?” “Nah, kalau itu lain ceritanya.” Rifqi mengambil empat gelas mie ramen cup dan membawa kami keluar. “Ada satu hal lagi yang mau aku tunjukkan pada kalian.” “Apa lagi? Kamu sudah menunjukkan banyak hal pada kami.” Septi hendak menolak. Tapi Irfan menahannya. “Kalian akan lihat nanti.” Rifqi memberhentikan sebuah taksi. “Rainbow Bridge, please.” Katanya pada si supir. “Kalian tahu jembatan yang kita lihat dari Tokyo Tower?” Kata Rifqi saat mobil mulai bergerak. “Jembatan putih itu?” Aku memastikan. “Benar. Kamu sudah bawa kamera, kan?” Rifqi melihat Irfan. “Selalu kubawa.” “Bagus. Rainbow Bridge, jembatan yang akan kita tuju ini adalah objek foto yang amat sangat menarik dan indah sekali.” “Aku pernah dengar tentang Odaiba.” Ujarku. “Apa itu?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Odaiba adalah tempat yang akan kita tuju sekarang. Aku akan menjelaskan semua yang aku ketahui tentang tempat itu begitu kita tiba di sana.” “Apa nama daerah yang akan kita tuju sekarang?” Kata Septi. “Teluk Tokyo. Dermaga Shibaura.” Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan Rainbow Bridge. Rifqi meminta kami turun dan berjalan mulai dari sana. “Sekarang, kita bisa mengambil foto sampai puas.” “Apa kamu yakin, kita akan berjalan sampai ujung sana?” ucapku ragu. “Dengan mengobrol, kita akan sampai di sana tanpa merasa lelah. Apalagi dengan pemandangan seindah ini.” “Lalu bagaimana cara kita menyebrang?” Kata Irfan. “Mudah. Mudah sekali. Ayo, ikut aku.” Rifqi membawa kami menuju sebuah elevator, yang membawa kami ke atas jembatan dengan cepat. “Ayo. Ini adalah tempat di mana kita bisa mengambil foto sampai kita puas. Kita juga bisa membeli minuman. Tunggu sebentar.” Rifqi pergi mendekati sebuah mesin penjual minuman otomatis. Dia kembali dengan membawa empat botol Pocari Sweat dingin. Kami hampir lupa bahwa kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Odaiba. Untung saja Rifqi mengingatkan. Kalau tidak, aku bisa menjamin kami bakal menghabiskan semalam penuh di sana. “Jembatan Pelangi ini memiliki dua dek.” Kata Rifqi. “Maksudmu dua tingkat?” Irfan seolah tidak percaya dengan ucapan Riqi barusan. “Ya, begitulah. Ingat, kita harus tetap berada di balik pagar ini.” “Memang kenapa?” Hari ini Septi mengenakan baju hijau, celana jeans dan kerudung putih. Entah kenapa, apa saja pakaian yang dia kenakan terlihat sangat serasi. “Lihat.” Rifqi menunjuk salah satu sudut jembatan. Dan beberapa saat kemudian sebuah Mitsubishi Lancer Evolution merah meluncur membelah angin. “Itulah kenapa aku meminta kalian tetap berada di balik pagar ini. Pemuda Jepang sangat suka balapan.” Saat kami tiba di sebrang, di pulau Odaiba, hari sudah hampir sore. Irfan tidak berhenti mengambil foto. Dia mungkin memang penggila fotografi. Tapi aku belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Pemandu kami mengajak kami menepi dan bersantai di salah satu café yang ada di sana. Dia memesan empat gelas milk shake. Tapi kali ini, yang membayar adalah Irfan. Rifqi memang sudah menghabiskan banyak uangnya untuk kami. Aku sendiri merasa tidak enak hati jadinya. “Kamu sudah banyak menghabiskan uangmu. Sekarang giliran aku, ya.” “Terserah kamulah.” “So, kamu pasti punya info menarik tentang tempat ini, kan?” ujar Septi. Dia duduk di depan Rifqi. Di samping Irfan yang kali ini mengenakan jaket Tron hitam. “Pasti. Pertama, yang itu.” Rifqi menunjuk sebuah gedung yang sangat besar. Dengan bola di salah satu sisinya. “Itu namanya Fuji TV building. Unik kan?” “Sangat.” Sepertinya Septi sudah melupakan amarahnya pada Rifqi pagi ini. “Kalian bahkan bisa masuk ke bola itu. Sebenarnya itu adalah tempat umum. Seperti observatoriumlah.” “Kalian?” Rupanya dia juga memperhatikan ucapan si pemandu baik-baik. “Maksud kamu, kamu tidak bisa ikut?” Lawan yang dia ajak bicara mengangkat bahu. “Aku kan juga harus pulang ke Sorbonne sob.” “Yang penting sekarang dia masih di sini, Sep. Makanya, kamu tidak perlu marah. Kita hanya perlu menikmati saat-saat seperti ini.” “Nah. Sekarang coba lihat gedung di sampingnya.” Rifqi menunjuk sebuah gedung lain. Yang ada di samping tempat itu. Tulisan Odaiba Aquacity yang ada di puncak gedung terlihat sangat jelas dari sini. “Nanti malam kita harus main ke tempat itu.” Rifqi mengganti topik pembicaraan. “Apa itu?” Aku menunjuk sebuah patung. Dia memegang buku dan obor. “Patung Liberty?” “Tiruannya. Benar.” “Ceritakan apa yang kamu ketahui tentang pulau ini.” Pintaku. Aku sebenarnya ingin cepatcepat ekspresi sedih sekaligus getir yang ada di wajah Septi sekarang. Kalau pemandangan pulau yang sangat indah ini saja tidak bisa membuat Septi ceria, maka masalah ini pasti tidak akan selesai dalam waktu yang relatif singkat. “Dengan senang hati. Odaiba adalah pulau buatan.” “Siapa yang membuatnya?” “Egawa Hidetatsu. Tahun 1853.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Untuk apa pulau ini dibuat? Apa memang hanya untuk rekreasi?” “Bukan.” Rifqi tersenyum. “Lalu untuk apa?” Septi jadi tampak tertarik sekarang. Baguslah. “Rupanya kamu tertarik juga. Pulau ini dibangun untuk melindungi kota Edo dari serangan laut. Terutama dari serangan komodor Matthew Perry. Yang datang pada tahun yang sama.” “Tahu tidak, apa arti Odaiba?” Pandangan Septi tampak melembut. “Odaiba, berasal dari kata Daiba. Yang secara harfiah artinya benteng atau meriam.” “Tadi kamu bilang apa, Rif? Edo?” Irfan ikut serta dalam pembicaraan. “Iya. Edo. Kenapa?” “Bukankah Edo adalah nama salah satu kota di Jepang?” “Edo adalah Tokyo. Dulu, sebelum Edo menjadi Tokyo, ibu kota Jepang berada di Kyoto. Kemudian, pada saat Restorasi Meiji, ibukota kerajaan dipindahkan ke kota Edo. Dan Edo diganti namanya jadi Tokyo. Tokyo juga sempat hancur saat gempa sekitar tahun 1923 dan juga saat serangan udara tahun 1945.” Septi menggamit kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja. Dia menatap Rifqi penuh kekaguman. Entah karena apa. “Apakah ada hal yang tidak kamu ketahui?” Kami tertawa renyah. Tapi Rifqi yang menjadi bahan pembicaraan hanya tersenyum. “Mungkin memang banyak yang aku ketahui. Tapi, hal yang tidak akku ketahui lebih banyak lagi.” Rifqi berpaling sejenak dan senyuman baru muncul dari wajahnya. “Lihat! Lampu jembatan sudah dinyalakan.” Dia benar, dua menara yang menopang dua dek jembatan tidak lagi berwarna putih. Sekarang menara-menara itu menjadi lebih indah dengan sorotan lampu berwarna merah, biru dan hijau. Benar-benar seperti pelangi. “Aku hanya punya satu komentar.” Irfan menurunkan kamera yang tadi dia gunakan untuk mengambil gambar. “Amazing.” “Setuju.” Septi tampak sangat gembira. Setelah itu, Irfan meminta kami berdiri di samping jalan. Mengambil gambar kami beberapa kali dengan latar keindahan Rainbow Bridge di malam hari. “Puas?” Rifqi mengencangkan jaket yang menutupi kau putihnya. Kaus itu bergambar menara Eiffel. “Puas…” kami bertiga berujar bersamaan. “Kalau begitu, kita harus ke sana.” Rifqi menunjuk bangunan besar Aquacity.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Mungkin gedung megah ini tidak setinggi gedung Fuji TV yang ada di sampingnya. Tapi aku yakin untuk menjelajah seluruh tempat ini dibutuhkan waktu seharian. Bahkan mungkin lebih. “Itu toko apa?” Septi melirik sebuah toko dengan nama Toys R Us. “Toko mainan?” “Benar. Kamu bisa menemukan mainan apa saja yang kamu suka di sana. Barbie misalnya.” “Barbie? Aku tidak terlalu menyukainya. Lalu itu toko hewan peliharaan ya?” “Iya. Ayo, kita ke lantai tiga.” Lantai tiga tidak memiliki perbedaan yang mencolok dengan lantai dasar. Sama-sama disesaki puluhan toko. Menurut kabar yang diucapkan oleh petugas keamanan, di tempat ini ada sekitar 80 toko. Yang menjual berbagai macam barang. Tapi tetap saja aku tidak percaya. Aku jadi berpikir, 80 toko di seluruh gedung ini atau ada 80 toko di setiap lantai. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri hingga aku menabrak punggung Irfan. Rupanya mereka sudah berhenti. Tepat di depan toko dengan nama Lush. Aku juga sempat meliat tag line-nya. Hand Made Cosmetics “Kenapa kita berhenti di sini? Bukankah ini toko kecantikan?” “Ya.” Kata Irfan. “Rifqi ingin membeli sesuatu katanya.” “Septi di mana?” “Dia ikut. Karena memang dia yang mengajak.” “Kamu tidak ikut?” “Aku tidak butuh pembersih wajah. Cukup dengan air wudhu.” “Rifqi ikut supaya dia tidak tersesat ya?” “Ya. Itu mereka. Ayo cepat.” Irfan mengejar Rifqi dan Septi yang sudah lebih dulu pergi. Aku segera mengikuti. “Kalau aku jadi kamu, Sep.” Kata Rifqi. “Aku tidak akan beli.” “Memang kenapa?” Irfan tampak sangat penasaran. “Dia beli sabun. Harganya mencapai 780 Yen.” “Apa?” Mulut Irfan menganga. “Kamu pasti bercanda.” “Tidak, aku tidak bercanda.” “Sep, itu kan harga yang sangat mahal. Hampir sama dengan harga kamar kita.” “Sudahlah, Fan.” Rifqi menengahi. “Yang berlalu biarlah berlalu. Mungkin kalau kamu jadi Septi kamu akan melakukan hal yang sama.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Ya, sudah. Sekarang kita mau ke mana?” “Minum kopi.” Rupanya dia membawa kami tepat ke depan kedai Starbucks Coffee. “Dan makan malam.” Ada satu hal yang membuat aku terkejut. Nama resto itu adalah Sura Baya. Dengan gambar Buaya dan Hiu. Hebat sekali. Kami juga dengan mudah bisa mengenali beberapa orang Indonesia di sana. Bahkan kami juga bertemu dengan kepala resto itu. Dia memang benarbenar orang Indonesia asli. Namanya Jamiluddin. “Senang bisa bertemu kalian anak-anak.” “Terima kasih pak,” kata Rifqi. “seperti janjiku kemarin, aku kembali.” “Kamu bisa kembali ke sini kapan saja, nak.” Kata pak Jamiluddin. “Kalian sedang liburan ya?” “Sebenarnya tidak juga, pak.” Kata Septi. “Jadi yang benar apa?” pak Jamiluddin senyum. “Kami sebenarnya ingin sekolah. Tapi karena tahun ajaran baru belum dimulai, ya kami menggunakan waktu yang kami miliki untuk jalan-jalan.” Aku mengkonfirmasi. “Oh, begitu. Iya. Bapak mengerti. Tempat apa saja yang sudah kalian kunjungi?” “Rainbow Bridge, Osaka Castle, Shibuya 109, Tokyo Tower dan Tokaido JR line.” Kali ini Irfan yang berbicara. “Shinkansen?” Pak Jamiluddin memanggil beberapa pelayan. “Benar.” Rifqi menimpali. Beberapa piring sate dan nasi goreng muncul di hadapan kami. “Pak, bagaimana Rifqi dan anda bisa saling mengenal?” Kata Septi. “Ceritanya panjang.” Kata Rifqi. “Benar. Tapi bapak bisa membuatnya jadi singkat.” “Terserah bapak sajalah.” “Baiklah. Bapak akan cerita. Dulu, nak Rifqi pernah membantu bapak saat bapak berada di Shibuya 109.” “Membantu bagaimana, pak?” kata Septi lagi. “Rifqi sempat menolong bapak saat bapak dirampok. Rifqi berhasil mengambil kembali uang yang sempat dicuri itu.” “Oh, begitu.” “Bagaimana kamu bisa mengambilnya kembali?” Aku yang bertanya kali ini.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Sangat mudah. Dia berlari tepat ke arahku. Jadi aku hanya menjegalnya hingga dia jatuh. Itu saja. Sama seperti yang Septi lakukan kemarin.” “Ya, sudah. Bapak tinggal dulu ya.” Kata pak Jamiluddin. “Nanti kita bicara lagi.” Dia meninggalkan kami setelah melempar senyum ramah. “Kamu memang luar biasa.” Kata Irfan. “Berapa banyak sih, teman yang kamu miliki?” “Tidak begitu banyak.” “Tapi tersebar di seluruh dunia.” Septi menambahkan. “Tidak juga.” Katanya polos. “Ya, sudah. Kalau begitu, ayo kita makan.” Tadinya, aku mengira aku tidak akan menemukan masakan Indonesia di Jepang. Tapi rupanya perkiraanku salah. Masakan Indonesia yang ada di sini benar-benar persis seperti di tempat asalnya. Enak sekali. Benar-benar Indonesia. Nasi goreng ayam, ditambah daging rendang yang so spicy. Wow, delicious banget. “Rif, memang biasanya kalau kamu makan kamu selalu seperti ini?” Kata Irfan. Dia sangat menikmati makan malam ini. Rifqi menyeka keringat yang bercucuran dengan sapu tangan hitam yang memang sudah dia siapkan. “Ini berarti makanan ini enak.” Katanya beralasan. “Alasanmu boleh juga.” Kata Septi. “Bukankah sudah kebiasaanmu berkeringat kalau makan sesuatu yang pedas?” “Itulah aku.” “Huh, dasar.” “Hey, walau aku jelek begini, aku tetap edisi terbatas tahu.” “Ya,” kata Irfan. “Kami sudah tahu sejak dulu.” Begitu kami selesai bersantap, Irfan berbisik pada Rifqi. “Cepat panggil pelayannya. Biar aku yang bayar kali ini.” Rifqi mengangkat bahu. Sebelum dia sempat memanggil, pak Jamiluddin muncul entah dari mana. Dia juga membawa sesuatu kali ini. Aku yakin. “Tidak. Jangan dibayar.” Dia menarik sebuah kursi kosong dan duduk di samping Rifqi. “Anggap saja kalian berada di rumah kalian sendiri.” “Oh, kami sungguh merasa terhormat dengan semua yang anda berikan pada kami.” Kata Rifqi.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Teman kalian ini memang pintar bicara.” Pak Jamiluddin menepuk bahu bocah itu beberapa kali. “Kemampuan berbicara sangat esensial di Jepang.” Septi terduduk tegak. Seakan tulang punggungnya baru saja tersengat listrik beberapa volt. “Ada apa?” Kami semua berkata bersamaan. “Aku jadi ingat.” Katanya. “Kemarin ada yang berkata demikian pada kita. Iya kan?” “Iya. Pak Nura Rihyon. Kenapa?” “Tidak apa, rupanya yang beliau katakan benar.” “Bapak siapa?” Tanya Rifqi padaku. “Nura Rihyon.” Ujarku singkat. “Oh, duta besar Jepang untuk Indonesia itu ya?” “Iya. Kamu tahu ya?” “Tentu. Aku tebak dia telah membantu kalian. Benar kan?” “Benar.” Pak Jamiluddin yang tadi mengobrol dengan Irfan dan Septi kini memalingkan wajah pada kami. “Senang bertemu kalian, anak-anak. Mainlah ke Sura Baya kapanpun kalian bisa. Bapak mohon diri dulu ya. Semoga hari kalian menyenangkan.” Kami bersalaman dengan pak Jamiluddin. Begitu kami keluar, dia memanggil Rifqi. Kami bertiga menunggu bocah itu di halte bus terdekat. Aku sudah sangat lelah. Tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain tidur. Aku ingin hari esok cepat datang. Tapi ketibaan hari esok berarti kepergian Rifqi. Sebagian dari hatiku ingin agar malam tidak kunjung berakhir dan hari esok tak kunjung tiba. Tapi aku tahu itu konyol. Seseorang menarik punggungku dari belakang. Tahulah aku bahwa itu Rifqi. “Ada apa?” Ujuarku. “Untukmu. Dari pak Jamil.” Rifqi menyelipkan selembar kertas di dalam saku celana panjangku. Saat aku melihatnya, rupanya itu uang 100 ribu Yen. “Kamu juga dapat?” Kupandangi mereka bertiga. Sepertinya mereka juga mendapatkan apa yang aku dapatkan. “Kita semua dapat,” Rifqi duduk di kursi halte yang kami kunjungi. “duduk dulu. Lebih baik kita menunggu bus di sini.” “Aku punya masalah.” Ujarku. “Setelah lama waktu berselang, barulah aku tahu bahwa masalah yang aku hadapi hanya bisa aku atasi dengan bantuan Allah.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kamu benar, Uki. Jarak paling dekat antara problem dan solusi adalah sejauh jarak antara lutut dengan lantai untuk bersujud.” Irfan mengingatkan. “Yang penting masalahnya sudah selesai, kan?” Kata Septi. “Hey, aku boleh curhat, kan?” Rifqi menatap kami bertiga tepat di mata. “Silakan.” Kataku. “Aku mendengarkan.” Imbuh Irfan. “Bahkan sampai pagi menjelang.” Septi menimpali. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih. Aku tidak butuh waktu sampai pagi menjelang. Karena besok pagi aku sudah harus pergi ke Paris. Cukup sampai bus yang kita tunggu tiba.” “Aku sangat berterima kasih pada kalian, sobat. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi selain itu. Tapi aku benar-benar berterima kasih. Karena kalian, aku jadi ingat kembali kenangan yang dahulu pernah kita lewati bersama.” “Harusnya kami yang berterima kasih padamu.” Kata Irfan. “Dia benar, Rif. Yang harusnya berterima kasih adalah kami. Bukan kamu.” Septi meyakinkan. “Oh, iya. Maaf jika selama ini aku sering protes.” “Tidak apa Sep. Aku tahu maksudmu baik. Boros memang sifat yang kurang baik. Sudah sejak lama aku berusaha untuk hemat. Tapi aku tidak bisa.” “Kami akan sangat merindukanmu.” Kata Septi lagi. “Aku juga. Dan kamu,” dia berbicara padaku sekarang. “jangan keluarkan pistol kecuali jika sudah terpaksa.” “Akan kucamkan itu baik-baik.” “Tapi jangan sampai kamu lupa untuk berlatih.” “Pasti.” Ujarku mantap. Kami terus saja mengobrol hingga tidak terasa malam semakin larut. “Hey, maaf mungkin ini mengganggu.” Ucapku hati-hati. “Tapi bus yang kita tunggu sudah datang, nih.” Bus besar berwarna putih itu segera melesat meninggalkan halte begitu kami masuk.()

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Septi, Irfan, Rifqi dan Uki sedang duduk-duduk di lobby departure terminal Narita International Airport. Mereka sedang menunggu pesawat yang akan membawa teman mereka, Rifqi kembali ke Paris. Tentu dengan selamat. “Apa nama pesawatmu, Rifqi?” Kata Septi. Dia memperhatikan sobatnya itu. Di tangannya sekarang ada buku Wonderful Indonesia pemberian Rifqi. Dia memberikan buku itu pada ketiga temannya. “Pesawat yang akan aku tumpangi adalah Air France.” Dia tidak menatap Septi. Mungkin karena malu. Atau mungkin karena sedih. “Berangkat dari terminal mana?” Irfan berhenti membaca bab satu buku itu. “Terminal dua.” “Gate?” Uki menimpali. “92.” “Kapan pesawatmu akan berangkat?” Kata Septi lagi. “Jam 12 siang ini.” “Jam 12? Apakah sebaiknya kamu tidak mencari yang berangkat lebih sore lagi?” ekspresi wajah Septi sulit diartikan. Apakah itu sedih atau kecewa. Atau malah dua-duanya, tidak ada yang tahu pasti. “Tadinya aku juga ingin mencari penerbangan sore. Tapi rupanya inilah yang terakhir.” “Kamu tahu,” ujar Septi. “sebenarnya aku tidak ingin hari ini tiba.” “Begitu ya? Sama denganku kalau begitu. Tapi kamu tahu hal itu tidak mungkin. Kecuali ada suatu hal yang membuat aku menetap lebih lama di sini.”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Kalau begitu, semoga hal itu terjadi.” Mereka tertawa renyah. “Sep, yang namanya pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan.” Kata Irfan mengingatkan. “Aku tahu, aku tahu. Aku hanya ingin, perpisahan itu datang lebih lama lagi.” “Sekarang kan, masih jam tujuh pagi.” Kata Uki. “Apa waktu enam jam juga masih kurang?” “Sejujurnya? Kurang.” “Kalau begitu, berdoalah agar keberangkatan pesawatku di delay lagi.” kata Rifqi akhirnya. “Hey, ngomong-ngomong, sekarang, kan masih jam tujuh pagi. Bagaimana kalau kita jalanjalan ke arrival terminal dulu?” Irfan akhirnya bicara. “Aku kira kamu takkan bertanya. Ayo.” Uki bangkit paling dulu. Di lobby International Departure, mereka berempat menikmati sarapan khas Jepang. Apalagi kalau bukan mie ramen, beef teriyaki dan semangkuk nasi putih hangat. “Aku akan merindukan masakan ini.” Kata Rifqi. “Bukankah di Perancis ada restoran Jepang?” Tanya Irfan. “Memang ada. Tapi harganya mahal.” “Mana alamat rumahmu? Akan kukirim via pos.” Kata Septi. Dia memang pintar bercanda. “Tidak perlu, nona manis.” Kata Rifqi. “Lebih baik aku beli di sana saja.” “Memangnya siapa yang mau mengirim?” Septi bercanda. Dia merapikan pakaian yang dia kenakan. Kemeja tangan panjang putih dengan motif garis, kerudung ungu gelap dan celana jeans biru, semua atribut lain yang dia kenakan tertutup oleh jaket hitam yang mereka beli di Shibuya 109 kemarin. Termasuk kemeja putih itu sendiri. “Sobat, bagaimana kalau besok kita main ke Paris?” Kata Irfan. “Itu mudah.” Kata Uki. “Sekarang lebih baik kita menikmati santapan kita dahulu.” Ketiga temannya bersorak. Walau sepertinya mengganggu, mereka tampak tidak peduli. “Apa sih yang ada di pikiranmu selain makan?” Ucap Irfan. “Menembak.” Katanya ringan. “Teman-teman, apa yang dikatakan Uki ada benarnya juga.” Kata Rifqi. “Sedikit.” Irfan menimpali. “Apa kalian tidak tahu, kita jadi bahan tontonan. Lebih baik sekarang kita diam dan makan. Setelah itu kita bicara lagi. Sampai pesawatku tiba.” “Jadi… kapan kalian mau datang ke Paris?” Kata Rifqi. “Rahasia.” Kata Irfan. “Benar kan teman-teman?”

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

“Benar…” Kedua teman mereka. “Oh, begitu. Ya sudah. Itu sih masalah kalian.” Rifqi memperhatikan Septi yang terlihat getir. “Kamu sudah berdoa belum?” Orang yang diajak bicara tampak kaget. “Maksudmu?” “Tadi kamu bilang, kamu mau agar kepergianku di tunda. Bagaimana?” “Aku sudah berdoa dari tadi.” Supaya kamu cepat pergi. Kami tidak ingin merepotkanmu. Pikirnya dalam hati. “Sekarang sudah jam Sembilan.” Kata Uki mengalihkan pembicaraan. “Benar. Tiga jam sebelum keberangkatanku.” “Kalau begitu, sudahkah kamu menyiapkan barang bawaanmu?” Kata Irfan. “Semuanya ada di sini. tidak ada yang tertinggal.” Rifqi merapikan batik yang dia kenakan. “Serius?” “Serius. Memang apa yang aku lupakan?” “Kamu memang lupa.” Ucap Irfan. “Ini.” Dia memberinya selembar kertas. “Apa ini?” Dia memasukkan kertas itu ke dalam tasnya. “Nomor telepon kami. Sudah termasuk kode internasional. Juga termasuk PIN. Kalau kamu memang memakai Black Berry. Kamu bisa memeriksanya setibanya kamu di Sorbonne.” Mereka bangkit dan meninggalka kedai makanan kecil itu. “Salam untuk Viera.” Kata Septi. “Pasti, Little Farmer. Ada yang lain?” “Tidak.” Katanya. “Yah, mungkin Selamat Tinggal. Sampai ketemu beberapa tahun lagi.” “Aku tidak akan tahan.” Kata Rifqi polos. “Kami juga.” Ujar Irfan. Dia terlihat sangat tenang. “Jaga dirimu baik-baik sobat.” Kata Uki. “Kalian juga.” Rifqi mengenakan jaket yang dia kenakan saat shuffle dancing bersama Irfan di Shibuya kemarin. “Keep your sword sharp. Guys. Sayonara.” Rifqi melambai dan berjalan ke arah departure terminal. Sendirian. Belum sempat Rifqi meninggalkan lobby international arrival, langkahnya berhenti secara tiba-tiba. Tepat beberapa meter di depannya, ratusan penumpang berhamburan dari garbarata. pesawat Garuda Indonesia rupanya baru saja menurunkan penumpang. Sesungguhnya Rifqi tidak mengenal satu pun dari antara mereka semua. Tapi pikirannya bekerja lebih cepat dari refleks tubuhnya yang segera menyempitkan medan pengelihatan.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra

Dia teringat foto yang diberikan Irfan sebelum dia meninggalkan hotel tadi pagi. Dan orang yang ada di foto itu sekarang ada di depannya. Berjalan tepat ke arahnya. Bahkan orang itu tersenyum. Seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. MARVEL. Rifqi mengambil handphone dari saku celananya. Mungkin doa Septi terkabul. Pikirnya. Dia segera menghubungi satu nomor telepon yang sangat penting untuknya. Pak Charles. Rektor University of Sorbonne yang sudah sangat akrab dengannya. “Halo, Rifqi? Ada apa?” “Pak, aku mohon. Aku minta izin cuti. Satu minggu lagi. atau kalau tidak, aku menunda kuliahku untuk tahun ini.” “Tapi…” Rifqi memutuskan sambungan telepon. THE END

THANK YOU FOR

TAKING THE TIME TO READ MY BOOK.

THE SITE FROM WHICH YOU DOWNLOADED.

PLEASE

TAKE A MOMENT TO LEAVE A COMMENT AT

THIS BOOK IS FREE; FEEDBACK IS THE ONLY PAYMENT I REQUEST!

IF YOU FEEL A GREAT NEED TO SPEND YOUR MONEY, PLEASE CONSIDER MAKING A DONATION TO YOUR LOCAL ANIMAL SHELTER OR FOOD BANK.

IT WOULD BE GREATLY APPRECIATED BY THOSE IN NEED.

Menggapai Impian Rifqi Mahdi Saindra