Menstruasi Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah ”Studi ...

11 downloads 233 Views 3MB Size Report
ISRA' MI'RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI. (Studi Komparatif Penafsiran al-Râzi dan Thanthawi. Terhadap QS. Al-Isra': 1 dan QS. Al-Najm: 13-15). Skripsi. Diajukan ...
ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi Komparatif Penafsiran al-Râzi dan Thanthawi Terhadap QS. Al-Isra’: 1 dan QS. Al-Najm: 13-15)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh: Abdul Ghaffar NIM: 105034001196

Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1431 H./2010 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP QS. AL-ISRA’:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-15)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filasafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis. Jakarta, 15 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. M. Suryadinata, M.A NIP: 19600908 198903 1 005

Muslim, S.Th.I

Anggota, Penguji I

Penguji II

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A NIP: 19620624 200003 1 001

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A NIP: 19711003 199903 2 001

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A NIP: 19670213 199203 1 002

ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi komparatif penafsiran al-Razi dn Thantawi Terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

ABDUL GHAFFAR 105034001196

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, MA. NIP. 19670213 199203 1 002

Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1431 H. / 2010 M.

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Juli 2010

Abdul Ghaffar

KATA PENGANTAR

Berjuta puja, puji serta syukur aku haturkan kehadirat Allah SWT, Dia-lah yang melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan serta kesabaran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ISRA‟ MI‟RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP QS. AL-ISRA‟:1 DAN QS.AL-NAJM: 1315)” ini. Berjuta kangen yang meliputi cintaku kepadamu duhai Muhammad Kekasih Allah, selayaknya shalawat dan salam untukmu. Saksikanlah ummat-mu ini bershalawat kepadamu allahumma shalli ’ala sayyidina wa habibina Muhammad, kiranya engkau lihatlah lambaian tanganku yang sangat bangga menjadi bagian umat-mu yang mengemis syafaat darimu duhai Kekasih Allah. Terwujudnya tulisan dalam bentuk skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan pada segenap orang-orang terkasih yang berada di sekeliling penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini : 1. Bapak Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), serta para pembantu Dekan. 2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku ketua jurusan dan Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA. Selaku sekretaris jurusan. 3. Bapak Yusuf Rahman, MA selaku pembimbing yang tiada henti dan bosannya memberikan arahan, kritik membangun dan bimbingan kepada penulis hingga

i

mampu menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula kepada Bapak Eva Nugraha M.A. sebagai dosen akademik juga teman diskusi penulis dan tak ketinggalan Bapak Muslim yang telah banyak memudahkan urusan penulis. 4. Umi Wa Ode Zamani dan Abah A.Chodri Romli tercinta, serta kakak-kakakku yang layak untuk aku jadikan cerminan hidup: Mbak Anisatul Maliha, Mas Harisul Anas, dan Mas Khathibul Umam. Juga malaikat-malaikat kecilku yang selalu membuat tersenyum dengan tingkah polahnya: Amira, Rian, Nayla, dan Efal. Seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa, dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan skripsi ini. 5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah berkenan memberikan ilmunya, yang telah berkenan menemani dalam setiap langkah pencarian ilmu dan bersedia mengajar penulis dalam setiap jengkal kebodohan. 6. Juga kepada sejumlah karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an Lentera Hati, serta Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah bersedia membantu penulis. 7. Terima kasih kepada Murizky Gayo atas kesabaran dan pengertiannya. Teman-temanku; Mas Hafidin, Cak Beni, Kang Awang, Saomi, Chabibi, Muis, Rony dll. Juga Teman-teman seperjuangan di tafsir hadis angkatan 2005, Mas Labib, Kang Asep, Kiyai Rosyidi, Cak Salman, Syarif, Zee, Laily, Lili, Bedah, Itoh, Neneng, Syahid dsb, terima kasih untuk semua canda, tawa, kekonyolan, diskusi, pinjam printer, minta kertas, bantu terjemah, minta tolong foto copy dan yang terpenting adalah motivasinya dan telah bersedia menemani perjalanan penulis selama ini.

ii

Dari sangat kecilnya yang dapat penulis lakukan dengan karya ini, merupakan satu usaha kecil untuk berusaha ikut mengais sepercik air di hamparan samudra ilmu Allah yang teramat luas. Dengan keterbatasan yang dimiliki penulis, kekurangan pasti ditemui dalam banyak sisinya, karna kesempurnaan hanya milik Allah semata. Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT., amin. Selain itu semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 2 Juni 2010

Abdul Ghaffar

iii

MOTTO PENULIS

”Yang terbaik dari kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya” ”manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang lain” ”jangan mengejar bayangan karena kamu tidak akan mendapatinya. Tapi kejarlah cahaya maka bayangan akan mengejarmu”

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………….

i

MOTTO PENULIS………………………………………………..

iii

DAFTAR ISI……………………………………………………… .

iv

TRANSLITERASI…………………………………………………

vi

BAB I.

BAB II.

BAB III.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………..

1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………..

7

C. Tujuan Penelitian ……………………………….

9

D. Manfaat Penelitian ……………………………...

9

E. Tinjauan Pustaka ………………………………..

9

F. Metode Penelitian ……………………………….

11

G. Sistematika Penulisan ……………………………

12

TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RAJ A. Definisi Isra‟ Mi‟raj …….……………………….

13

1. Etimologi ………………………………..

13

2. Terminologi ……………………………..

14

B. Isra‟ Mi‟raj perspektif ahli tafsir ………………..

15

C. Isra‟ Mi‟raj perspektif Rasionalis ……………….

17

D. Pro-kontra atas Isra‟ Mi‟raj ..…..………………..

25

MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA TAFSIRNYA A. Fakhr al-Dîn al-Râzî .…………….……………….

29

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ..........

29

2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib ..........................................................

36

3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh

v

al-Ghaib ..........................................................

39

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib .............................................

39

B. Thanthawi Jauhari ………………………………..

41

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ...........

41

2. Selayang pandang tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 42 3. Latar belakang penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 43 4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an .............................................

BAB IV.

44

PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP ISRA’ MI’RAJ A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Isra‟: 1 ……… 47 B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15 .... 54

BAB V.

PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................

57

B. Saran-saran ............................................................

58

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ........................................................................................

vi

TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi arab-latin dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20062007.

I.

II.

Konsonan Arab

Latin

Arab

Latin

Arab

Latin

‫ا‬

tidak dilambangkan

‫ز‬

z

‫ق‬

q

‫ب‬

b

‫س‬

s

‫ك‬

k

‫ت‬

t

‫ش‬

sy

‫ل‬

l

‫ث‬

ts

‫ص‬

s

‫م‬

m

‫ج‬

j

‫ض‬

d

‫ن‬

n

‫ح‬

h

‫ط‬

t

‫و‬

w

‫خ‬

kh

‫ظ‬

z

‫هـ‬

h

‫د‬

d

‫ع‬



‫ء‬

,

‫ذ‬

dz

‫غ‬

gh

‫ي‬

y

‫ر‬

r

‫ف‬

f

Vokal Pendek

III.

Vokal Panjang

_َ_

:a

‫أا‬



-َ--

:i

‫ﺇي‬



_َ_

:u

‫أو‬



vii

IV. Vokal Rangkap

V.

‫أي‬

: ai

‫أو‬

: au

Singkatan Swt

: Subhanau wa ta‟ala

Saw

: Shalla Allah „alaihi wa Sallam

Ra

: Radhiya Allah „anhu

H

: Tahun Hijriyah

M

: Tahun Masehi

W

: Wafat

Tt

: Tanpa Tempat

Tth

: Tanpa Tahun

Tp

: Tanpa Penerbit

Ed

: Editor

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak dapat ditangkap oleh akal manusia yang penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai kemampuan penalarannya, Isra‟ dan Mi„râj itu sangat tidak rasional dan tidak sesuai dengan pengalaman hidup selama ini. Sangat mustahil seseorang dapat menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu, hanya dalam waktu kurang dari semalam : pergi dari Makkah ke Madinah dengan mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan menerobos perbatasan langit yang tujuh cacah.1 Namun para mufassir tidak mempersoalkan apakah Nabi Muhammad SAW memang ber- Isra‟ Mi„râj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan. Satu golongan mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ hanya dengan ruhnya saja dan golongan lain mengatakan Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ berikut jasadnya.2 1

Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti Prima Yasa, 1997), h. 252. 2 Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alRisalah, 2000M/1420H) menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isrâ‟ mirâj berikut riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa Nabi SAW ber-Isrâ‟ dengan jasadnya (jilid17 h. 335), pendapat kedua dengan jasad dan ruhnya (h. 348), pendapat ketiga dengan ruhnya saja dan tanpa jasad (h. 349). Lihat juga: KH. Moenawar Chalil, dalam bukunya berjudul Peristiwa Isrâ‟ dan Mi‟râj (Jakarta: Bulan bintang, 1975), yang telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini, ia menulis: “Tentang bagaimana terjadinya Isrâ‟ dan Mi‟râj yang dilakukan Nabi SAW. yakni apakah dengan tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya tubuh halus (ruhani) nya saja. Tentang ini antara para ulama, para cerdik pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga sekarang masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni: Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh serta jasad

1

Berlainan dengan permasalahan di atas, para mufassir berpendapat sama mengenai pengertian Isra‟ dan Mi„râj, yakni Isra‟ adalah perjalanan seorang hamba (Muhammad SAW) di malam hari3 dari Masjid al-Haram ke Masjid alAqsha. Dan Mi„râj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjid alAqsha menuju langit untuk melihat keajaiban besar4 dan bertemu dengan para nabi5 dan kemudian berhenti di Sidratul Muntaha.6 Hal yang penting untuk dikritisi adalah, bahwa ternyata tidak ada perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma‟tsur7 dan bi al-Ra‟yi8 berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra‟ dan Mi„râj. Misalnya saja dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-„Ulûm, yang hanya menjelasakan Isra‟ dan Mi„râj secara tekstual dan kemudian mengutip

Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh saja Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan jalan mimpi Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak dengan ruhani Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan wahdatul wujud Isra dilakukan dengan tubuh kasar serta ruhani, dan Mi‟rajnya dilakukan hanya dengan ruhani saja” 3 Lihat: Abu Laits al-Samarkandi, Bahr al-Ulûm, Juz 2, h. 43. Lihat juga: Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm (Dâr Thoyyibah li al-Nasyr, 1999), juz 5, h. 5. 4 Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405 H), juz 15, h. 12. 5 Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1997), juz 5, h.58 6 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alrisalah, 2000), juz 17, h. 333. 7 Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat tafsir. Yaitu menafsirkan alQur‟an dengan al-Qur‟an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Lihat: Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur‟an (Jakarata, Halim Jaya, 2007), h.482. Tafsir dengan sumber ini harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah (Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h.486). 8 Adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang di dasarkan pada ra‟yu (pemikiran) semata. (Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h. 488). Golongan salaf enggan dan berkeberatan untuk menafsirkan alQur‟an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui (h. 489). -

2

riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini 9. Demikian juga dengan penafsiran al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an yang setelah menjelaskan kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para tabi‟in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat-riwayat tersebut.10 Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi sebagai tafsir bi al-Ma‟tsur ini tidak bisa men-jenalisir bahwa tafsir bi al-Ma‟tsur demikian seluruhnya. Tidak berbeda jauh dengan kitab-kitab tafsir bi al-Ma‟tsur di atas, dalam tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi pun, misalnya penafsiran Abu Sa‟ûd al-„Imadi pada kitab Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm yang hanya menjelaskan ayat secara tekstual dan mengutip riwayat-riwayat terdahulu.11 Demikian juga dengan tafsir al-Nasafi dalam kitabnya Madârik al-Tanzîl wa Haqâ‟iq al-Ta‟wîl. Kedua tafsir ini pun tentu tidak dapat dijenalisir bahwa tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi demikian seluruhnya. Berbeda misalnya dengan penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam Mafâtîh al-Ghaib. Di samping menjelaskan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat

terdahulu,

menjelaskan

perbedaan-perbedaan

pemahaman

sahabat, tabi‟in dan para ulama terdahulu, al-Râzî juga berusaha memberikan penjelasannya dengan berbagai argumentasi rasional dengan dalil-dalil ilmiah (dengan memakai ukuran waktu itu) seperti fisika kuantum (prinsip ketidakpastian

9

Lihat: al-Samarkandi, Bahr al-„Ulûm, juz 2, h. 493-492. Lihat: Muhammad Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alRisalah, 2000M/1420H), juz 17, h. 331-351 11 Lihat: Abu Sa‟ud al-„Imadi, Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm, juz 4, h.169-170. 10

3

dan

indeterminisme),12

metafisika,

kosmologi.13

Ia

juga

menggunakan

matematika, kimia dan biologi dalam penafsiran ayat-ayat lainnya.14 Tak berbeda jauh dengan metodologi tafsir-tafsir di atas, ketika berbicara mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, M.Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbahnya yang notabene tafsir Indonesia dan bisa dikatakan sebagai tafsir „baru‟, ternyata juga lebih menitikberatkan penjelasan tekstual dan mengutip riwayatriwayat mengenainya.15 Terlepas dari itu semua, jika melihat kembali fungsi diturunkannya alQur‟an, maka para ulama sepakat bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk untuk manusia16 yang selalu relevan pada setiap zaman dan tempat. Di sisi lain, jika turut menekankan prinsip fungsi ke-hidayah-an al-Qur‟an untuk manusia, maka mau tidak mau harus menerima perkembangan tafsir al-Qur‟an sebagai monitoring pemahaman masyarakat yang juga berkembang. Hal ini tidak lain sebagai bentuk perwujudan relevansi al-Qur‟an tadi pada setiap zaman dan kondisi. Salah satu pemikir Muslim besar yang juga seorang mufassir, yakni Muhammad Abduh, banyak memberi warna dan inspirasi karena menitiktekankan perkembangan dalam dunia tafsir serta mengkritisi tafsir-tafsir yang telah ada sebelumnya, karena unsur hidayah pada tafsir-tafsir tersebut kurang 12

Setelah al-Râzî menjelaskan perbedaan ulama‟ mengenai Isra‟ Mi‟râj dan mengklasifikasikannya menjadi dua hal, yakni : 1) konfirmasi kebolehan akal (itsbât al-Jawâz al„Aql), dan 2) kenyataan (al-Wuqû‟) dari peristiwa tersebut, ia menjelaskan bahwa gerakan yang terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin, dan Allah Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya gerakan dengan kecepatan tersebut tidak ada halangan. Kemudian al-Razi menjelaskan secara rinci mengenai konfirmasi kebolehan akal ini. (Lihat: al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 494) 13 Lihat : al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 495) 14 Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti Prima Yasa, 1997), h. 81. 15 Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol.7, h. 9-19 16 Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah/2:185

4

dapat ditangkap oleh manusia. Hal ini tidak berlebihan karena pada kenyataannya banyak ahli tafsir yang jiwanya dikuasai oleh ilmu balaghah misalnya, maka dalam menafsirkan al-Qur‟an yang bersangkutan lebih menitik beratkan uraianuraiannya pada kaidah ilmu tersebut. Ada yang semangat dalam ilmu nahwu dan sharaf, maka ia memusatkan perhatiannya pada masalah kedudukan kata di dalam kalimat (I‟rab al-Kalimât) dan perubahan-perubahannya. Ada pula yang menguasai ilmu sejarah, sehingga ia mengutamakan kisah dan riwayat, bahkan ada

yang

berlebihan

sehingga

memasukkan

dongeng-dongeng

Yahudi

(Isrâ‟iliyyât) tanpa diteliti terlebih dahulu. Demikianlah seterusnya.17 Oleh karena itu berbagai cara tafsir yang dipengaruhi bermacam sikap dan pandangan seperti di atas, menyulitkan pembacanya untuk memperoleh petunjuk a-Qur‟an secara memuaskan hati. Dengan demikian fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk kurang dapat ditangkap. Di antara sekian sikap dan pandangan mufassir, al-Râzî misalnya menafsirkan al-Qur‟an dari kaca mata ilmu pengetahuan yang lebih condong ke arah sains. Terlebih ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang mengarah kepada alam, penciptaan, dan lain sebagainya seperti ayat yang menceritakan tentang peristiwa Isra‟ dan Mi„râj ini. Hal ini sebenarnya bukan hal yang berlebihan karena tafsir dengan corak seperti ini bertujuan untuk memudahkan manusia menangkap petunjuk al-Qur‟an. Namun tafsir corak ini tentu saja tidak terlepas dari kritik para ulama. Misalnya saja definisi yang diajukan oleh Amin al-Khûli mengenai tafsir bil „ilmi adalah: "Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Qur'an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu 17

Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 100.

5

dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."18 Demikian juga dengan definisi yang diajukan oleh Abdul Majid Abdul Muhtasib, yaitu : "Tafsir yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur'an ke bawah teori dan istilah-istilah sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."19 Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita berikan catatan dalam dua hal yaitu: yang pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir itu agar dihindari karena dinilai telah "menundukkan redaksi Al-Qur'an" ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Amin al-Khûli dan Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang kontra dan tak merestui corak tafsir ini.20 Kedua definisi tersebut tak mampu menggambarkan konsep yang sebenarnya diinginkan para pendukung tafsir bil „ilmi. Para pendukungnya tak pernah berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern kepada redaksi Al-Qur'an, atau menundukkan redaksi Al-Qur'an itu kepada teori-teori sains yang selalu berubah. Apa yang dimaksudkan para ulama pendukung corak tafsir ini adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur'an

18

Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), h. 309. 19 al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, h. 247. 20 Mengenai tafsir bil „ilmi, Amin Al-khûli mengkritik keras dalam bukunya, ia menulis : “Bagaimana mungkin prinsip-prinsip dasar kedokteran, astronomi, ilmu hitung, dan kimia disimpulkan dari al-Qur‟an dengan cara sebagaimana yang dikatakan tadi, sementara prinsipprinsip tersebut pada saat ini tidak ada seorangpun yang memberikan kaidah pasti. Setiap sarjana muncul merevisi prinsip tersebut dalam suatu waktu atau lebih. Apapun yang telah diformulasikan oleh sarjana terdahulu pastilah mengalami perubahan, kemudian mengalami perubahan yang lebih dahsyat untuk waktu berikutnya”. (Lihat: Amin al-Khûli, Metode Tafsir Sastra (Yogyakarta: Adab Press, 2004), h.41.

6

agar mudah difahami oleh manusia modern, terlebih di saat rasa dan cita kebahasaan Arab sudah sangat melemah, di kalangan orang Arab sekalipun.21 Apalagi kini, ilmu dan sains telah menyerbu seluruh sendi kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu kiranya, definisi yang lebih tepat untuk corak tafsir bil „ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: "Tafsir yang berbicara tentang istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur'an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah AlQur'an itu."22 Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi masalah ini. Untuk itu penulis mengajukan skripsi ini dengan judul: ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi komparatif penafsiran al-Razi dn Thantawi terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan lebih jelas dan terarah serta tidak menyimpang jauh dari pembahasan, penulis memberi batasan hanya pada pembagian Sayyid Muhammad

21

Dalam pandangan Muhammad Abduh, masyarakat amat membutuhkan petunjukpetunjuk guna mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Masyarakat tidak akan menanyakan hal-hal terkait kaidah bahasa, i‟rab, dan sebagainya, begitupula dengan Allah Swt. Masih menurut Abduh, hal-hal tersebut yang terdapat dalam beberapa kitab tafsir di masanya, dan masa-masa sebelumnya, justeru menjadikan kitab tersebut bagaikan pelajaran bahasa, dan kitab-kitab yang seolah hanya merupakan penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut makin menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Lihat: Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas alQur‟an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20. 22 Syaikh Bakri Amin, al-Ta'bir al-Fanni fi al-Qur'an, (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1980), h.125

7

Ali Iyâzî dalam kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum23 atas tafsir-tafsir dengan corak bil „ilmi dalam pembahasan Isra‟ Mi„râj. Dalam kitabnya, Ali Iyâzî membagi tafsir bil „ilmi menjadi dua bagian, Yakni, 1) Tafsir-tafsir bil „ilmi periode salaf terdiri dari Jawâhir al-Qur‟an karya al-Ghazâli, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, alBurhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya al-Zarkasyi, al-Itqân karya al-Suyûti. 2) Tafsirtafsir bil „ilmi periode khalaf terdiri dari Kasyf al-Asrâr al-Nûrâniyyah karya alIskandârâni dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an karya Thanthawi.24 Dari dua pembagian Ali Iyâzî atas tafsir bil „ilmi di atas, penulis hanya akan mengambil satu tafsir dari masing-masing periode untuk dibahas. Dari tafsir periode salaf yakni al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn alRâzî. Adapun dari periode khalaf yakni al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim karya Thanthawi. Sedangkan ayat yang akan dibahas hanyalah Q.S. al-Isrâ‟ :1 dan Qs. Al-Najm: 13-15. Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya rumusan permasalahan yang menjadi tema pokok yang dibahas dalam skripsi ini. Permasalahan tersebut adalah : 1. Bagaimana tafsir-tafsir dengan corak bil „ilmi memandang peristiwa Isra‟ dan Mi„râj ? 2. Apa perbedaan mendasar dari tiap tafsir dengan corak bil „ilmi terhadap pembahasan Isra‟ Mi„râj ? 23

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum, (Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212) 24 Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212), h. 94

8

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini, di samping ditujukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada program studi tafsir-hadis, fakultas ushuluddin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, juga ditujukan untuk menganalisis bagaimana bentuk saintifikasi al-Qur‟an pada tasir-tafsir dengan corak bil „ilmi yang selama ini ada, khususnya pada ayat-ayat mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan pada kajian tafsir umumnya, khususnya pada kajian tentang saintifikasi al-Qur‟an. Pada level akademik, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan kajian

akademik,

khususnya

tafsir,

dan

secara

umum,

penelitian

ini

dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi dunia pengetahuan di tengah-tengah masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka Kajian saintifikasi al-Qur‟an mulai menyentil rasa ingin tahu (sense of curiosity) penulis, saat membaca buku yang berjudul Terpesona di Sidratul Muntaha,25 sebuah buku karya Agus Mustofa. Dalam buku tersebut, dijelaskan bagaimana proses terjadinya peristiwa Isra‟ dan Mi„râj yang dialami Nabi SAW melalui perubahan materi ke anti-materi, relativitas waktu dan reduksiasi dimensi

25

Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, (Sidoarjo: PADMA Press, 2004)

9

ruang dan waktu. Kesimpulan pribadi penulis bahwa apa yang dijelaskan oleh Agus Mustofa dalam buku tersebut adalah sebuah penafsiran terhadap al-Qur‟an yang bercorak bil „ilmi, walaupun ia tidak memberi judul yang menandakan bahwa buku itu adalah tafsir al-Qur‟an. Rasa ingin tahu penulis ini tidak terpuaskan karena dalam bukunya, Agus Mustofa tidak menjelaskan hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang ia gunakan dalam penafsirannya untuk mengungkap Isra‟ dan Mi„râj dari sisi sains. Rasa penasaran pun berlanjut dengan menelusuri bagaimana kitab-kitab tafsir bil „ilmi menjelaskan peristiwa Isra‟ dan Mi„râj. Rasa ingin tahu tersebut tetap terpupuk hingga saatnya penulis menyusun skripsi. Dengan berpedoman antara lain pada kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum karya Ali Iyâzî yang dalam kitab ini Ali Iyâzî mengklasifikasi kitabkitab tafsir dan menjelaskan biografi singkat tentang penulisnya. Penulis mencoba menelusuri bentuk saintifikasi al-Qur‟an yang dijelaskan oleh para mufassir pada kitab-kitab tafsir bil „ilmi.

Untuk karya berupa skripsi yang berkaitan dengan topik yang penulis ketengahkan dalam penelitian ini, penulis menemukan skripsi dengan judul Kajian Isra‟ dan Mi„râj Menurut Pandangan Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam Tafsîr Mafâtîh al-Ghaib.26 Adapun skripsi kedua yang penulis temukan berjudul Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟râj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar.27

26

Adi Amir Zainun, “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi Dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003) 27 Ahmad Firmansyah, “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002)

10

Penulis menyadari, banyak karya yang telah membahas tafsir bil „ilmi, terlepas dari pro dan kontranya. Namun, penulis melihat peluang melakukan analisa untuk menjajaki kemungkinan pergeseran makna dalam tafsir-tafsir dengan corak bil „Ilmi. Penulis berharap kajian awal ini memotivasi rekan-rekan untuk lebih menggeluti kajian tafsir pada umumnya, khususnya tafsir kontemporer, dan lebih khusus lagi pada bidang kajian saintifikasi al-Qur‟an.

F. Metode Penelitian Setiap penulisan sebuah karya ilmiah haruslah menggunakan metode penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis gunakan untuk membahas masalah kisah Isra‟ dan Mi„râj adalah kepustakaan (Library Research), yakni dengan cara membaca, meneliti serta menganalisa dari bukubuku, majalah-majalah dan apa saja yang berkenaan dengan masalah yang penulis bahas, yakni mengklasifikasi tafsir-tafsir bil „ilmi dengan cara melihat bagaimana bentuk penafsiran pada ayat-ayat Isra‟ dan Mi„râj. Sedangkan data-data yang diperlukan itu berasal dari sumber utama, dalam hal ini yang menjadi sumber utama adalah kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn alRâzî dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim karya Thanthawi. Sedangkan mengenai teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press (CeQDA) cetakan ke-11, 2007.28

28

Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) (Jakarta: CeQDA, 2007)

11

G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi ke dalam beberapa bab, dan pada setiap bab terdapat beberapa sub-bab. Dengan sistematika sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan berisi pokok permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, metode pembahasan, dan sistematika penulisan. Bab II : Tinjauan umum mengenai Isra‟ Mi„râj, meliputi definisi, pandangan menurut para ahli tafsir dan ilmuan, serta pro-kontra yang meliputinya, Bab III : Mengenal al-Razi dan Thanthawi beserta tafsirnya, yang terdiri dari biografi singkat dan beberapa karya-karya mereka, selayang pandang tentang tafisr keduanya, latar belakang penulisan tafsir, metode, corak dan sistematika penulisan masing-masing tafsir. Bab IV : Penafsiran al-Razi dan Thanthawi mengenai Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, serta perbandingan antara kedua tafsir tersebut. Bab V : Penutup meliputi kesimpulan dan saran-saran.

12

BAB II TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RÂJ

A. Definisi Isra’ Mi’râj 1. Etimologi Kata-kata Isra‟ dan Mi‟râj yakni dua kata dalam bahasa Arab yang masing-masing mempunyai arti sebagai berikut: Isra‟ (‫ = اسزاء‬berjalan malam) adalah bentuk masdar dari kata asrâ yusrî (‫ يسزى‬- ‫ )اسزى‬yang secara etimologis berarti „berjalan pada malam hari‟, atau „membawa berjalan pada waktu malam‟. Kata asrâ sendiri adalah mazîd bi harf (‫ )مزيد بحزف‬kata kerja yang sudah mengalami penambahan satu huruf, yaitu alif. Dengan demikian, asrâ berasal dari sarâ yasrî saryan wa sirâyatan (‫)سزى يسزي سزيا و سزاية‬.1 Menurut Ibnu Manzur, di dalam bukunya Lisân al-„Arab, kedua kata tersebut (asrâ dan sarâ) mempunyai arti yang sama, yaitu: „perjalanan pada malam hari‟. Menurutnya, penambahan alif pada kata asrâ itu adalah menurut bahasa penduduk hijaz, dan sebagai buktinya al-Qur‟an menggunakan kedua kata tersebut dengan arti yang sama. Misalnya, di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 digunakan kata asrâ dan QS. Al-Fajr (89): 4 yang menggunakan kata sarâ yasrî.2 Menurut Abu Ishaq, makna kedua makna tersebut adalah „perjalanan yang dilakukan pada malam hari‟. Hanya saja, pada QS. Al-Isrâ‟ (17): 1, Allah SWT memperkuat atau ta‟kîd kata asrâ dengan al-Lail (malam). Pendapat lain, seperti yang dikutip oleh al-Raghib al-Asfahani di 1

Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid 1, h. 1. 2 Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dâr Shadir, tth), Juz 14, h. 377.

13

dalam Mu‟jam Mufradât li Alfâzi al-Qur‟an dan Mufradât fî Gharîb al-Qur‟an, menyebutkan bahwa kata asrâ tidak berasal dari kata sarâ yasrî, tetapi dari kata al-Sarâh (‫)السزاة‬, yaitu al-Irtifa‟ wa al-„Uluw, kenaikan dan ketinggian, yang kata dasarnya berasal dari saruwa sarwan wa sarâwatan (‫)سزو سزوا و سزاوة‬. Di samping itu, kata al-Sarâh juga berarti „ard wâsi‟ah (‫ = ارض واسعة‬bumi yang luas), sehingga makna firman Allah di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 adalah “Maha suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di tanah yang luas pada malam hari”.3 Adapun pengertian Mi‟râj adalah kata benda tunggal yang berarti alSullam wa al-Mas‟ad (‫ = السلم و المصعد‬tangga dan atau alat untuk naik). Secara bahasa, menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf „ain (‫)ع‬, ra‟ (‫)ر‬, dan jim (‫ )ج‬menunjukkan tiga arti: pertama, mail (‫ = ميل‬condong dan miring), seperti kata al-A‟raj (‫ )األعزج‬yang terdapat di dalam QS. Al-Nur (24): 61. Kedua, ia juga bisa menunjukkan kepada al-„Adad (‫ = العدد‬bilangan). Dan ketiga, ia berarti al-Irtiqâ‟ wa al-Irtifâ‟ ilâ al-Sama‟ yang berarti meningkat dan naik ke atas langit.4 2. Terminologi Isra‟ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan arah horizontal, yakni dari Masjid al-Haram di Mekkah sampai ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan dalam satu malam.5

3

Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid 2, h. 1. 4 Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid 2, h. 2. 5 Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4, h. 66.

14

Sedangkan Mi‟râj secara terminologi, menurut Ibnu Manzur berarti alTarîq al-Lazî tas‟udu fîhi al-Syai‟ (‫ = الطزيق الذي تصعد فيه الشيئ‬jalan yang digunakan padanya oleh sesuatu untuk naik).6 Lebih jelasnya adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban besar7 dan bertemu dengan para nabi8 dan kemudian berhenti di Sidratul Muntaha.9 Di sini Nabi menerima wahyu yang mengandung perintah mendirikan shalat lima waktu sehari semalam. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.10 Berdasarkan keterangan hadis Nabi, dapat difahami bahwa perjalanan malam itu berlangsung secepat kilat, dengan ditemani oleh malaikat Jibril dan memakai kendaraan Buraq (akar katanya: barq, yang berarti kilat).11

B. Isra’ Mi’raj perspektif ahli tafsir Peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj Rasulullah SAW telah banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Pengertian menurut para ahli tafsir sangat penting, karena peristiwa ini juga terdapat dalam al-Qur‟an. Di bawah ini penulis mengambil beberapa pendapat dari beberapa ahli tafsir. 6

Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 320. Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405 H), juz 15, h.12. 8 Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî‟, 1997), juz 5, h. 58. 9 Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alrisalah, 2000), juz 17, h. 333. 10 Ahsin W. al-Hafidz, M.A, Kamus Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2, h.125. 11 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 456. 7

15

1. Muhammad Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan : “Sesungguhnya Allah meng-isra‟-kan hambanya yakni Muhammad SAW. dari Masjid al-Haram hingga Masjid al-Aqsha, ini sebagaimana yang dikabarkan Allah kepada hamba-hambanya, dan sebagaimana kabar-kabar dari nabi yang sangat jelas, bahwa sesungguhnya Allah membawanya ke atas Buraq sehingga Dia mendatangaka nabi kepada-Nya.”12

2. Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan : “Isra‟ dan Mi‟râj terjadi setahun sebelum hijrah pada 17 Rabiul Awwal.. Cara keberangkatannya adalah dalam keadaan terjaga bukan tidur, dengan mengendarai buraq. Hal ini berdasarkan pada pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ayat tentang Isra‟ menegaskan bahwa Allah Swt telah memperjalankan hamba-Nya, sedangkan hamba itu adalah kumpulan dari ruh dan jasad. Oleh karena itu Isra‟ dan Mi‟râj pastilah terjadi dengan jasad dan ruh.”13

3. Muhammad

Ali

al-Shabuny

dalam

tafsirnya

Shafwat

al-Tafâsir

menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj pada pertengahan malam dan perjalanan tersebut dilakukan dalam keadaan sadar (tidak tidur) dengan ruh dan jasad.14

4. M. Husain Haikal berpendapat : “Rasulullah SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj hanya dengan ruhnya saja, karena pada saat itu seluruh alam semesta sudah bersatu ke dalam jiwanya. Haikal menyandarkan pendapatnya pada dua hal, pertama adalah hadits dari Muawiyah bin Abi Sofyan yang menyatakan bahwa Isra‟ dan Mi‟râj hanya dengan ruh saja. Kedua adalah dengan ilmu pengetahuan modern yang telah mengakui Isra‟ dan Mi‟râj itu dengan ruh, karena apabila tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benar itu akan memancar.15

12

al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an, juz.17, h. 350. Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, h.5. 14 Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Qur‟an al-Karim, 1980), jilid II, h. 151. 15 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978), h.170. 13

16

C. Isra’ Mi’râj perspektif Rasionalis Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj menjadi tanda tanya besar bagi akal manusia pada masa itu. Sebagai sebuah peristiwa supranatural Isra‟dan Mi‟râj menjadi isu sentral di kalangan terpelajar Quraisy, dan mungkin akan terus menjadi objek perdebatan pengetahuan yang aktual. Ada baiknya kita mencoba menguji teori-teori pengetahuan yang ada untuk melakukan tasdiq (assent; pembenaran) terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj. 1. Teori Rasional Teori rasional mempercayai adanya dua sumber konsepsi: pertama, penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan kita terhadap semuanya. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi sudah ada dalam lubuk fitrah. Indera adalah sumber pemahaman terhadap

konsepsi-konsepsi

dan gagasan-gagasan sederhana,

sementara fitrah adalah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal. Konsepsi Fitri itu adalah “ide Tuhan”.16 Menurut Descartes,17 agaknya keputusannya tentang ide fitri ini karena ia menemukan hanya matematikalah (ilmu pasti) yang merupakan kepastian, untuk satu hal yang irasional atau di luar jangkauan ilmu pasti ia hanya mengatakan: “Bagaimana saya tahu dan meyakini 16

Lihat: Sayyid al-Islam Ayatullah al-‟Udzma Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatunâ: Dirâsah maudlû‟iyah fî al-mu‟tarak al-Sira‟ al-Fikr al-Qa‟im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat alFalsafiyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-Markasiyyah), (Qum, Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), h. 29. 17 Rene Descartes (1596-1650) adalah filosof, matematikawan dan ilmuwan Prancis. Lahir di La Hume Tourine. Ia memulai filsafatnya dengan badai skeptisisme melalui dalilnya yang terkenal: cogito ergo sum (I think, therefore I am; Aku berfikir, maka Aku eksis) yang juga dikenal dengan imanensi Descartes. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. I 1995). h.76. Lihat juga: Siswanto, M. Hum, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat, (Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M), hal. 24-26.

17

tentang semua benda yang saya nyatakan saya ketahui?” doktrin rasionalitas guncang karena ia tidak bisa menembus alam metafisik.18 Adapun bagi Kant,19 semua bidang pengetahuan manusia adalah fitri, tetapi ia mengingkari adanya ide fitri –yaitu ide yang diketahui sebelum pengalaman indrawi apapun. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mempola pengalaman kita. Ini berarti bahwa kausalitas-kausalitas tertentu yang kita persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami sensibilitas dan pemahaman kita.20 Dalam peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, kedua teori di atas menjadi mentah. Sebab, pertama, peristiwa Isra‟ dan Mi„râj adalah sensasi Nabi seorang diri dan tidak bisa dicarikan pembuktiannya secara umum. Penginderaan Nabi berfungsi sebagaimana mestinya. Kedua, tidak ada ide fitrah atau penghayatan fitriah prakonsepsi Isra‟ dan Mi„râj. Ia menjadi pengalaman indrawi Nabi yang pure sensasional.

Jika kita mengikuti hukum rasio, maka harus ada pengalaman intuitif yang diakui secara umum kebenarannya. Ia adalah informasi primer, sementara pikiran manusia adalah informasi skunder. Jika kita melakukan penjajakan teoritis (melalui proses berfikir) tentang Isra‟ dan Mi„râj, maka kita akan menemukan dua 18

Lihat : Siswanto, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat, h.

27-28. 19

Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof Jerman, lahir di Konigsberg. Pada usia 10 tahun ia masuk Collegium Fredicianum dengan niat mempelajari teologi –ia tumbuh menjadi orang yang shaleh. Ketika ia masuk Universitas Konigsberg pada tahun 1740, ia mengembangkan minat pada matematika, geografi fisik, fisika, logika dan metafisika. Kemudian ia mengajar pada universitas tersebut. pada tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika. Lihat: Kamus Filsafat hal. 170. 20 Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 29.

18

hal: pertama, pelaku peristiwa, kedua, peristiwa itu sendiri. Karena Isra‟ dan Mi„râj bukan salah satu proporsi primer rasional, maka yang terjadi adalah aporia (kebingungan), maka, kita harus kembali kepada sumber-sumber pengetahuan yang ada yaitu nabi sendiri sebagai data primer (sedangkan rasio kita mau tak mau hanya berfungsi sebagai data sekunder). Allah SWT menjadi fungsionaris tunggal dalam rekayasa yang bernama Isra‟ dan Mi„râj ini.21

Kant juga menolak konsep a priori (pengalaman yang mendahului sebuah kausa dan independen)22 dan menciptakan teori a posteriori (kausa (sesuatu) datang sesudah pengalaman).23 Padahal keduanya sama-sama lemah. Semua proporsi menuntut pengetahuan pendahuluan yang primer, yang jika ia disingkirkan maka tidak akan pernah ada pengetahuan teoritis. Menyingkirkan peran Allah dalam peristiwa isra‟ dan Mi„râj berarti menutup kemungkinan untuk mengetahui Isra‟ dan Mi„râj sendiri. Isra‟ dan Mi„râj bukan peristiwa a priori nabi karena ia tidak punya konsepsi fitri tentang itu.

Ayatullah Baqir al-Shadr menyatakan bahwa tidak ada gagasan apapun dalam diri manusia pada saat lahir di muka bumi. Allah berfirman: “Dan Allah yang mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian. Kalian tidak mengetahui sesuatu pun. Dan ia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (QS. al-Nahl (16): 78). Isra‟ dan Mi„râj juga bukan peristiwa a posteriori, tidak mengakibatkan apapun. Pesan religius yang ada pada Isra‟ dan Mi„râj bukan pengangkatan status 21

Ini adalah metode Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr dalam membantah mutlaknya teori penginderaan. Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.37-38 22 Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 21. 23 Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 19.

19

nabi dari seorang hamba, tetapi adalah pengukuhan kehambaan melalui dialog transendental setelah ketakwaan dan kesadaran nabi membuahkan keterikatan yang immanent (tetap ada) sebelumnya.

2. Teori Empirikal

Teori empirikal mendasarkan diri pada eksperimentasi dan observasi sehingga sangat mengagungkan penginderaan karena ialah yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Eksperimen-eksperimen ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah sumber pokok konsepsi, dengan tidak menafikan kemampuan akal budi menghasilkan pengertian-pengertian baru.24 Kegagalan teori empirikal, bahwa ia tidak menjelaskan apa-apa dengan indera selain gejala yang beriringan dalam hukum kausalitas. Ilmu-ilmu eksperimental yang menjelaskan kausalitas menyatakan bahwa air akan semakin panas ketika diletakkan di atas api, dan kemudian mendidih, tetapi tidak menjelaskan keharusan mendidih pada suhu tertentu. Kalau eksperimen empirikal tidak mampu mengungkapkan konsep kausalitas, bagaimana pula konsep itu muncul dalam akal manusia. David Hume25 lebih akurat dalam menerapkan teori empirikal. Ia mendefinisikan bahwa kausalitas tak mungkin diketahui oleh indera. Semua adalah kebiasaan “pengasosiasian ide-ide”. Ia berkata: “Aku melihat bola bilyar bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tetapi dalam gerak bola yang pertama, tak ada yang menunjukkan kepadaku keharusan gerak bola yang 24

Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 31-34. David Hume (1711-1776) adalah filosof Scottish yang lahir di Edinburgh dan belajar di Edinburgh University. Ia adalah tokoh empirisisme yang konsisten, ditokohkan bersama Locke dan Barkeley. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 140.141. 25

20

kedua. Indera batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh mengikuti perintah kehendak. Tetapi itu tidak memberikanku pengetahuan langsung mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah.26 Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada keharusan yang mengikuti sebuah kausa dengan efeknya. Kausa dan efek dihubungkan dalam sebuah urutan temporal, keteraturan urutan, kesinambungan dan keterkaitan yang konstan. Semua itu hanya masalah asosiasi gagasan-gagasan kita, bukan masalah kekuatan produktif yang menghadirkan sebuah efek dari sebuah kausa, atau menyebabkan sebuah kausa menuntut efek tertentu.27 Ia mencontohkan bahwa cahaya yang keluar sebelum dentuman meriam bukan penyebab suara atau terlontarnya peluru. Jauh sebelum Hume, al-Ghazali telah menyatakan: “Ayam yang berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar”. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C dan dari C ke D tidak membuktikan bahwa pergerakan dari B ke C disebabkan oleh pergerakan dari A ke B”, kata Newton, penemu gaya gravitasi. Jika demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam adalah “a summary of statistical averages” (ikhtisar statistik pukul rata). Sehingga apa yang dinamakan “kebetulan” bukan tidak mungkin juga suatu kebiasaan atau hukum alam, kata Pierce, seorang ahli ilmu alam. Einstein menyatakan bahwa semua kejadian diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar alam yang superior). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firmanNya sebagai pengantar peristiwa Isra‟ dan Mi„râj: “Kepada Allah saja tunduk apa yang di langit dan apa yang di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, mereka tidak

26 27

Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.34-35. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 141.

21

menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan perintahnya” (QS. al-Nahl (16): 49-50).28

Jika pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi„râj maka pemaksaan pembuktiannya menyebabkan ia menjadi tidak ilmiah lagi. Apalagi jika diingat bahwa asas filosofis ilmu pengetahuan adalah trial and error (yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja), sedangkan peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj hanya terjadi sekali, tidak dapat diuji, diamati dan dilakukan eksperimentasi. Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard,29 tokoh salah satu eksistensialisme menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu”. Immanuel Kant juga berkata: “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah dan menyediakan waktu bagiku untuk percaya”.30

Kaum modernis, seperti M. Iqbal berpendapat, ketika membahas perjalanan ke langit itu, telah menunjukkan bahwa Nabi dapat berbicara dengan Allah dalam suatu hubungan “aku dan kau”. Bagi Iqbal hal ini merupakan suatu koreksi amat penting atau doktrin “wahdat al-wujûd” bagi kalangan sufi.31 Peristiwa pengalaman naik ke langit itu menegaskan bahwa Allah bukanlah suatu „prima causa‟ yang pasif lagi terpencil, namun benar-benar suatu 28

Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Mizan, cet. X, Muharram 1416 H./1995 M), h. 340-341. 29 Soren Aaby Kierkegard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah filosof dan penulis religous Denmark yang lahir di Copenhagen dan menempuh pendidikan di Unversitas Copenhagen. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 171. 30 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 342. 31 Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, (Bandung: Mizan, cet. IV, 1994), h. 225.

22

kekuatan personal yang dapat disapa dan dengan demikian membuktikan bahwa ada kemungkinan dialog person dengan person yakni antara pencipta dan makhluk. Adapun mengenai buraq, Bahauddin Mudhary berkata bahwa buraq itu mempunyai dua arti yaitu : Pertama, bagi ilmu pengetahuan eksakta buraq berarti aliran elektris yang keluar dari benda mati. Kedua, bagi ilmu pengetahuan abstrak buraq berarti aliran listrik yang keluar dari benda hidup, rohani. Buraq ialah merupakan kendaraan yang digerakkan oleh tenaga atau kekuatan rohani Rasulullahh SAW.32 Suatu peristiwa akan dikatakan masuk akal atau rasional oleh seseorang, apabila pada dasarnya ia sesuai dengan pengalaman orang itu.33 Misalnya jatuhnya sebuah benda yang terlepas dari tangan pemegangnya. Andaikan saya mengatakan dalam sebuah cerita kepada orang-orang yang digolongkan sebagai anggota suku terasing, bahwa ketika benda yang dipegang si Fulan terlepas dari tangannya ia tak jatuh melainkan membumbumg di udara, maka mereka tentu akan mengatakan bahwa saya berbohong, sebab mereka belum pernah melihat benda yang “jatuh ke atas”. Tentu saja sikap mereka itu gigih dan kita tak perlu heran sebab tak seorang pun diantara mereka pernah melihat membelikan anaknya sebuah balon berisi gas seperti yang banyak dijual di kota. Bagi mereka benda yang jatuh ke atas itu tidak ada, tidak masuk akal. Gejala semacam itu tidak

32

Bahauddin al-Mudhari, Menjelajah Angkasa Luar, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1989), jilid 1, h. 41. 33 Achmad Baiquni, al-Qur‟an dan Imu Pengetahuan Kealaman, (Jogyakarta: PT. Danabakti Prima Yasa, 1997), cet, 1, h. 247.

23

rasional menurut mereka karena berlawanan dengan pengalaman mereka seharihari, meskipun di kota kejadian semacam itu sudah biasa. Dari contoh di atas tampak bahwa kebenaran penilaian rasio seseorang itu terbatas hanya seluas pengalaman observasi atau ilmiahnya. Dan oleh karena itu, apabila seseorang hanya mengandalkan pada rasionya saja dan tidak mau mempercayai apapun kecuali yang dapat disesuaikan dengan pengalamannya, maka ia akan terbentur pada kesulitan yang tak akan dapat diatasinya. Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj memang merupakan suatu mukjizat yang sangat luar biasa yang dianugerahkan kepada Nabi SAW, sebagai tantangan bagi manusia yang disodorkan oleh Allah Swt setelah al-Qur‟an. Peristiwa mu‟jizat itu tidak sama dengan ilmu pengetahuan hasil olahan manusia, karena antara ilmu pengetahuan dan mu‟jizat itu bukan tandingannya. Hal tersebut karena ilmu pengetahuan apapun jenisnya masih tetap berpijak kepada hukum akal dan hukum alam, sementara mu‟jizat berada di luar itu. Namun kajian ilmu tersebut dan hasilnya dapat dipergunakan untuk memperkuat keyakinan terhadap sesuatu yang datangnya dari ke-Maha Kuasa-an Allah. Jadi peristiwa Isra‟ Mi„râj benar-benar terjadi dan kejadiannya adalah Mu‟jizat dari Allah sedangkan Rasul hanya pelakunya saja. Dari berbagai perbedaan pendapat yang ada, mengenai kisah ini, yang begitu sengit, penulis setuju dengan apa yang dikemukakan oleh M. Quraish

24

Shihab, jika peristiwa ini kita terima dengan dasar iman dan keyakinan penuh, maka tidak ada masalah apapun yang perlu diragukan.34

D. Pro-kontra atas Isra’ Mi’râj Ada tiga hal yang menjadi perdebatan ulama seputar peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, yaitu: 1. Tempat pemberangkatan Rasulullah pada malam Isra‟ dan Mi„râj.

Ada dua pendapat tentang tempat pemberangkatan Rasulullah pada saat Isra‟ dan Mi„râj, pertama, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Rasulullah pada saat Isra‟ dan Mi„râj berangkat dari rumah Ummu Hani‟ binti Abi Thalib. Pendapat kedua, bahwa rasulullah berangkat dari Masjid al-Haram, yaitu kawasan seputar Ka‟bah. Pendapat ini mendapat dukungan lebih kuat di kalangan ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa rasulullah keluar pada malam tersebut dari rumah Ummu Hani‟ menuju Masjid al-Haram dan memulai perjalanan Isra‟ dan Mi„râj dari Masjid.35

2. Kapan peristiwa tersebut terjadi? Karena peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak diinformasikan al-Qur‟an dalam satu kesatuan informasi ayat, dan juga karena sebagian hadis Nabi hanya menyebut kenaikan Nabi ke langit, tanpa menyebut perjalanan ke masjid al34

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XVII, h.338. Lihat juga buku Drs. H. Basri Iba Asghary, Solusi al-Quran tentang Problema Sosial, Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 76 35 Tanpa penulis, Hadza al-Habib Muhammad Rasul Allah Shallallahu „alaihi wa sallam ya Muhibb, (Jeddah: Maktabah al-Sawadi li al-Tauzi‟, cet. III 1409 H./1989 M. h. 135-136.

25

Aqsha, maka sebagian ulama‟ berkesimpulan bahwa Isra‟ dan Mi‟raj adalah dua perjalanan Nabi Muhammad SAW pada dua malam yang berbeda. Mereka cenderung menyimpulkan bahwa Mi„râj terjadi pada tahun ke-5 kerasulan (615/7 sebelum Hijrah), sedang Isra‟ pada tahun ke-11 atau 12 kerasulan (620 atau 621/622 sebelum Hijrah). Pada pihak lain, mayoritas ulama‟ berpendapat, berdasarkan sejumlah hadis lainnya, bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu terjadi dalam satu malam saja.36 3. Apakah Isra‟ dan Mi‟raj merupakan perjalanan jasmaniah dan ruhaniah Rasulullah?

Informasi-informasi yang bervariasi dari hadis-hadis Nabi, juga menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat tentang berbagai aspek lainnya di sekitar Isra‟ dan Mi„râj. Sebagian ulama berpendapat bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu berlangsung dalam keadaan mimpi, jadi pada saat tidur. Kesadaran Nabi dibukakan sedemikian rupa, sehingga beliau mengalami perjalanan yang luar biasa itu dan menyaksikan ayat-ayat keagungan Tuhan. Kebanyakan ulama cenderung memahaminya secara harfi: Nabi dibangunkan dari tidurnya, kemudian beliau dengan jiwa raganya dibawa oleh Jibril untuk menempuh perjalanan malam yang amat jauh itu. Kendati berbeda pemahaman, kedua pihak tetap sama-sama memandang bahwa pengalaman Isra‟ dan Mi„râj itu sebagai pengalaman luar biasa, yang merupakan anugerah dari Tuhan dan sekaligus untuk menunjukkan keluarbiasaan kualitas rohaniah yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.37

36

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 457. 37 Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 457.

26

Sebagian ulama salaf sepakat bahwa Isra‟ dan Mi‟raj Nabi Muhammad SAW. itu dengan ruh dan jasad serta dalam keadaan terjaga (tidak tidur) dengan alasan sebagai berikut: (a) kata „abd (hamba) menunjukkan manusia yang terdiri atas jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah mayat, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat disebut sebagai hamba atau manusia. Dan jika Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan dengan ruh saja, niscaya dalam QS. al-Isra‟ (17): 1 tersebut akan diungkapkan dengan bi rûhi „abdihi (dengan ruh hambanya); (b) dalam QS. al-Najm (53) : 11 disebutkan: Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar melihat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah Swt dengan segenap kesadarannya, sehingga tidak mungkin penglihatnnya keliru; (c) Jika Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan dengan ruh saja atau hanya sebuah mimpi, niscaya tidak akan muncul reaksi yang hebat dari orang-orang kafir Quraisy serta kemurtadan beberapa orang Islam yang lemah imannya setelah Nabi menyampaikan peristiwa tersebut, karena semua orang juga pernah bahkan sering mendapat mimpi yang luar biasa (yang tidak pernah dipercayai oleh akal manusia) dan mimpi yang bagaimanapun tidak pernah dibohongkan orang.38 Sedangkan

pendapat

yang

mengatakan

bahwa

Allah

hanya

memperjalankan ruh Rasulullah saja dengan dasar: pertama, Mu‟awiyah bin Abi Sufyan jika ditanya tentang Isra‟ dan Mi‟raj Rasulullah selalu mengatakan itu adalah mimpi dari Allah, dan mimpi dari Allah adalah benar adanya. Kedua, sebagian keluarga Abu Bakar menyatakan bahwa Aisyah tidak melihat Rasulullah pergi atau menghilang pada malam itu. Ia diperjalankan ruhnya saja. Ketiga, al38

Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4,

h. 67.

27

Hasan berpendapat bahwa maksud dari firman Allah: “Dan tidaklah Kami menjadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada Kamu sekalian kecuali fitnah bagi manusia” adalah penglihatan pada saat tidur (kalimat al-ru‟ya ditafsirkan mimpi, dan mimpi pasti hanya dialami oleh orang yang tidur). Namun ketiga pendapat ini mendapat kritik dan dianggap lemah, karena ketika terjadi peristiwa Isra‟ Mi‟raj Mu‟awiyah bin Abi Sufyan masih belum memeluk aga Islam, sehingga pendapanya ditolak. Adapun Aisyah masih kecil dan belum menjadi isteri Rasulullah SAW.

28

BAB III MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA TAFSIRNYA

A. Fakhr al-Dîn al-Râzî 1. Biografi Singkat dan Beberapa Karyanya Fakhr al-Dîn al-Râzi adalah seorang argumentator Islam yang mempunyai talenta besar. Gelar tersebut bukan hanya didapatkan begitu saja, melainkan dengan upaya yang keras karena penguasaannya dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan seperti: Ilmu filsafat, Kalam, Argumentasi (Jalal), Ilmu Fiqh dan Tasawuf.1 Bahkan ia juga disebut-sebut sebagai Hujjah Islam pada abad ke-7.2 Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Husain3 bin alHasan bin Ali al-Quraisi4 al-Bikri al-Taymi.5 Laqabnya adalah al-Imâm, Fakhr alDîn,6 al- Râzî, dan Syaikh al-Islâm7. Kunyah-nya adalah Abu „Abdullah, Abu alMa‟âny, Abu al-Fadhl, Ibnu Khatîb al-Râzî atau ibn al-Khatîb.8

1

Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta, Rajagrafindo Persala), cet-1,

2

Mahmud Ayyub, al-Qur’an dan para Mufassirnya, (Jakarta, Pustaka Firdaus), Cet-1,

h.30-34 h.10 3

Al-Umari menyebutkan perbedaan pendapat tentang nama kakek al- Râzî. Ada yang mengatakan bahwa kakeknya adalah al-Husain bin al-Hasan dan adapula yang membaliknya menjadi al-Hasan bin al-Husain. Lihat: Ali Muhammad al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, (Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah, 1969), cet. ke-3, h.28-29 4 Al-Râzî termasuk keturunan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Lihat: Imam al-Suyuthi, Tabaqât al-Mufassirîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h.99; Syamsu al-Dîn al-Dawuri, Tabaqât al-Mufassirîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), jilid 2, h.216 5 Al-Râzî berasal dari kabilah Tayyim Quraisi bukan kabilah Tayyim Tamimi. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari bani Tamimi. Lihat: Syaikh al-Islam ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma’a ‘Ardh Mujâz li Ittijâhat asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah Ibrahim bin Muhammad, (Tonto: Dâr al-Shahabah li al-Turats, 1988), cet. Ke-1, h.30 6 Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, (Haidar abad: Dâirah al-Ma‟arif al-Usmaniyah, 1979), jilid II, cet. Ke-1, h.81; Abi al-Fida‟ ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), jilid 5, juz 13, cet. Ke-3, h.60.

29

Ia Lahir di sebuah desa yakni Dhailam dekat kota Khurasan tepatnya di kota Rayy, dalam kobilah Arab Hijaz yang bermadzhab Syafi‟i dalam fiqihnya, serta dalam teologi mengambil aliran Asy„ariyah. Pada tanggal 25 Ramadhan, 534 H atau 544 H disini terdapat dua pendapat, pendapat pertama yakni 534 H ialah pendapat Ibn Subki, sedangkan pendapat kedua 544 H ialah pendapat Ibn Khulkan, seperti yang dikutip oleh al-„Umadi dalam kitabnya mendasarkan pada pendapat kedua karena banyaknya riwayat terpercaya di dalamnya.9 Orangtuanya bernama Diyâ‟ al-Dîn Umar (w.559 H)10, ia adalah salah seorang ulama besar di kota Rayy, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul. Sebagai ulama besar, ia terkenal ahli pula dalam bidang teologi. Kitabnya dalam bidang ini berjudul Ghayât al-Marâm yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini dalam jajaran kitab-kitab yang ditulis oleh kaum ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah merupakan kitab yang menduduki peringkat tertinggi. Di antara isinya yang penting di bagian akhir kitab ini adalah penjelasan mengenai kelebihan tokoh Abu Hasan al-Asy‟ary.11 Dia pernah belajar pada salah satu ulama hadis bergelar Muhy al-Sunnah Muhammad al-Baghawi, belajar filsafat dan ilmu kalam (teologi) pada salah seorang pemikir yang bernama al-„Alim al-Hakim al-Majd al-Jilli,12 ia adalah seorang pemikir yang terkenal pada zamannya dan telah menulis beberapa karya.

7

„Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr al-Hadhr, (t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986), jilid 2, cet. Ke-2, h.596. 8 „Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufassirîn, h.596. 9 Ali Muhammal Hasan al-„Umadi, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, Majlis al-Syu‟un alIslamiyah, cet-3, h.17. 10 Ia adalah Umar bin al-Husein bin al-Hasan al-Imam Diya‟ al-Dîn Abu al-Qasim alRâzî. Lihat: Ibn Qhadi Syaihbah al-Dimasyqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, h. 82. 11 Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi’iyah, h.23 . 12 al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, h.19

30

Di samping itu, al-Râzî juga mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqh dengan sanad yang tersambung sampai Imam Syafi‟i dan ilmu kalam dengan sanad yang bersambung sampai Imam al-Asy‟ary.13 Al-Râzî mengembara dan berkelana ke daerah-daerah bertetangga dengan kawasan Rayy. Khawarizmi sebagai daerah yang mayoritas penduduknya beraliran Mu‟tazilah merupakan daerah tujuannya untuk berdialog dan bertukar fikiran. Daerah Transoksania (mâ wara al-Nahr) juga merupakan daerah tujuan al-Râzî untuk berdialog dengan lawan-lawannya.14 Dialog yang dilakukannya tidak hanya terbatas dengan golongan-golongan yang ada dalam Islam, akan tetapi, diskusi-diskusi itu berkembang sampai dengan pemuka-pemuka agama lain. Adapun dialog yang terpenting antara al-Râzî dengan tokoh-tokoh agama lain adalah yang terjadi dengan salah seorang pendeta agama Nasrani di Khawarizmi.15 Sayangnya dialog-dialog yang pernah berlangsung antara al-Râzî dengan pemuka-pemuka golongan yang dinilainya sesat tidak memberikan keberuntungan bagi dirinya. Karena itu ia terpaksa harus meninggalkan daerah Khawarizmi. Peristiwa ini terjadi atas al-Râzî karena persekongkolan dan kerja sama antara pihak lawan dan penguasa setempat untuk mengusirnya dari daerah tersebut.16 Karena ketajaman penalaran dan kuat argumen yang dibawa al-Râzî dalam mempertahankan pendapatnya, maka perbedaan pendapat antara al-Râzî dan

13

Abd Aziz al-Majdub, al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl Tafsîrih, (Libya, Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M), cet. ke-2, h.76 14 al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu, h.32 15 Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), jilid 1, h. 5 16 al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.32

31

lawannya menjadi bertambah jelas dan serius. Pada tahun 599 H, saat ia berada di kota Farrukh terjadi perdebatan yang sangat seru dan tajam. Di antara mereka ada yang menuduhnya sebagai seorang yang telah merusak ajaran dasar agama Islam. Di samping menuduh, intimidasi dan penekanan terhadap dirinya, baik dengan cara menuduhnya sebagai seorang kafir ataupun dengan membawa fitnah terus berlangsung.17 Tujuh tahun setelah peristiwa berdarah tersebut, tepatnya pada tahun 606 H, al-Râzî menderita sakit keras dan merasa umurnya tidak panjang lagi, ia memutuskan untuk memberi pesan kepada salah seorang muridnya yang setia, Ibrahim bin Abu Bakar al-Istifhani. Pesan tersebut diberikan pada tanggal 21 Muharram 606 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1209 M.18 Delapan bulan setelah wasiat itu disampaikan al-Râzî wafat di Herat pada hari Senin 1 Syawal (Hari Raya Idul Fitri) tahun 606 H pada usia 62 tahun 6 hari.19 Perihal meninggalnya terjadi perbedaan pendapat, sebagian pengamat menyatakan bahwa meninggalnya disebabkan ia mencela Aliran Karramiyah dan telah membeberkan kesalahan-kesalahan mereka sehingga kemudian mereka menculik dan meminumkan racun kepadanya.20 Ada juga yang mengatakan perihal terbunuhnya al-Râzî ini disebabkan oleh pengikut aliran Mu‟tazilah yang melakukan tipu daya serta pada akhirnya

17

al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.109 al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.111 19 al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa ‘Asaruhu, h.6 20 Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir , h.31 18

32

meminumkan racun padanya. Akan tetapi ada juga yang mengatakan ia wafat karena sakit keras yang dideritanya.21 Sebagai salah seorang ulama besar pada abad ke 7 H tentunya menguasai ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat luas terutama pada ilmu Naqli (akal). Sebagaimana yang terdapat dalam karangan al-„Umadi ada beberapa karya yang dihasilkannya, akan tetapi ini semua tidak dicetak keseluruhan kurang lebih ada dua ratus karangan, di antaranya :22 (1). Bidang Tafsir diantaranya : a. Tafsîr Mafâtih al-Ghayb (Kitab tafsir yang terkenal dengan sebutan tafsir al-Râzî atau tafsir al-Kâbîr). b. Tafsîr Sûrat al-Fâtihah23 c. Tafsîr Sûrat al-Baqarah ‘ala al-Wajh al-’Aql wa al-Naqli d. Tafsîr Asmâ’ al-Husna (menjelaskan sifat-sifat Allah yang 99 dengan penjelasan yang berdasarkan teologi Asy‟ariyah). e. Asrâr Tanzîl wa anwâr al-Ta’wîl f. Tafsîr sûrat al-Ikhlâs (2). Bidang Ilmu Fiqh a. Ahkâm al-Ahkâm b. Kitab al-Mahsûl fî al-Fiqh c. Kitab Syarh al-Wajiz fî al-Fiqh li al-Ghazâli

21

Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, h.31 Untuk lebih lengkapnya, lihat: al-„Umadi, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, h.209 23 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar alHadits,2005), Jilid I, h. 249. 22

33

(3). Bidang Ushul Fiqh a. Kitab al-Ma’âlim fî Ushûl al-Fiqh b. al-Muhâsabah fî Ushûl al-Fiqh c. Kitab al-Mahsûl fî Ushûl al-Fiqh d. Kitab al-‘Arba’în fî Ushûl al-Fiqh Pada karyanya mengenai hal yang berkaitan dengan fiqih dan ushul, ia banyak mengutip pada pendapat Imam Syafi‟i. (4). Bidang Biografi dan Zuhud a. Fadhl al-Shahâbah al-Râsyidah b. Manâqib al-Imâm al-Syâfi’i c. Kitab Fî Damm al-Dunya (karya yang membahas masalah Tasawuf) (5). Bidang Ilmu Kalam a. Mahassal Afkâr al-Mutakallimîn wa al-Mutaakhirîin min Hukamâ’ wa alMutakallimîn fî Ilm Kalâm b. Kitab al-Mahsûl fî Nihâyah al-Uqûl fî Ilm al-Ushûl c. Kitab al-Bayân wa al-Burhân fî al-Radd ‘ala Ahl Zhaigh wa al-Tughyân d. Kitab al-Muhassal fî ‘Ilm al-Kalâm e. Kitab al-Qadha wa al-Qhadir f. al-‘Arba’în fî Ushûl al-Dîn

34

(6). Bidang filasafat a. Ta’jiz al-Falâsifah b. Mabâhits al-Masyriqiyah c. al-Mathâlib al-‘Aliyah fî al-Hikmah d. al-Mulakhkhas fî al-Falâsifah (7). Bidang kedokteran a. al-Tasyrîh fî al-Ra’s ila al-Haq b. al-Jâmi’ al-Kabîr fî al-Thib / Athib al-Kabîr c. Masâ’il fî al-Thibb (8). Bidang ilmu Mantiq: Kitab Mabâhits al-Jadl (9). Bidang ilmu bahasa dan balaghah: a. Syarh al-Mufashshal fî al-Zamakhsari fî al-Nahw (menjelaskan tentang kaidah nahwu yang terdapat dalam tafsir al-Kasyâf) b. Nihâyah al-‘Ijaz fi Dirâyah al-I’jaz c. Syarh Nahj al-Balâghah (Menjelaskan keindahan dalam bahasa Arab terutama al-Qur‟an. (10). Bidang Ilmu Kealaman a. Mashâdir al-Iqlidas b. Kitab fî al-Handatsah (11). Bidang ilmu musik: Mausû’ah al-‘Ulûm

35

(12). Kitab-kitab lainnya: a. Syarh al-Isyârah wa al-Tanbîhât li Ibn Sina b. Ibthal al-Qiyâs (menolak qiyas yang diutarakan oleh pihak Mu‟tazilah) c. Risâlah al-Jauhâr d. Risâlah al-Hudûts

2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ‟ saja).24 Seperti yang dituturkan alDzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu Khalkân, bahwa yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w. 639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar al„Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.25 Sayyid Muhammad Alî Iyâzî, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhr al-Dîn al-Râzî secara

24

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar alHadits,2005), Jilid I, h. 250. 25 al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-250.

36

utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak bisa dijadikan pegangan.26 Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi al-Ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an. Sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur‟an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (al-Râzî) menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur‟an, membersihkan dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.27 Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur‟an beserta segala isinya dari kecenderungankecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur‟an); Kedua, pada sisi lain, al-Râzî meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat” dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam bentuk al-Qur‟an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, al-Râzî ingin menegaskan bahwa sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan

26

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1212 H), h. 652. 27 Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, h. 253.

37

untuk menakwil ayat-ayat al-Qur‟an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.28 Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya (Tafsir al-Râzî) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu Hayyan menegaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir.29 Dalam hal ini, wajar kiranya bila al-Dzahabi menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu pengetahuan alam.30 Fakhr al-Dîn al-Râzî sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat alQur‟an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang tata bahasa (gramatika).31 Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalanpersoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi, perbintangan, langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian tubuh manusia.

28

http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-253. 30 al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 31 al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 251. 29

38

Tafsir ini merujuk pada kitab al-Zujâj fi Ma’âni al-Qur’an, Al-Farrâ’ wa al-Barrâd, dan Gharîb al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika. Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu „Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa‟id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir atThabari (Jâmi’ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa‟labi (al-Kasyf wa al-Bayân), juga berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi‟in. Sedangkan Tafsir bi al-Ra’yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba‟i, Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu al-Futuh alRazi.

3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb Menurut

Cyril Classe, penamaan tafsir ini dengan Mafâtîh al-Ghaib

diilhami oleh sebuah ayat dalam al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 59 yang berbunyi: “Pada sisi Allah terdapat kunci-kunci semua yang gaib (Mafâtîh al-Ghaib) dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (Allah) sendiri.”32

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh alGhaib Komponen internal tafsir ini berbentuk bi al-Ra’yi sekaligus bi al-Ma’tsur, dengan metode ijmali dan bercorak bil ‘ilmi. Sebagai seorang penafsir yang

32

Cyril Classe, “ar-Razi Fakhr ad-Din”, Ensiklopedi Islam (Ringkas), terj. Ghufran A. Mas‟adi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), cet. ke-1, h. 337

39

jenius, Fakhr al-Dîn al-Râzî menggunakan metode-metode yang berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Beberapa metode yang digunakan antaranya adalah : a. Menjelaskan masalah-masalah fiqh Dalam menjelaskan ayat ahkam (ayat-ayat hukum), al-Râzî cenderung kepada madzhab Syafi‟i. Ia mengemukakan pendapat-pendapat dari berbagai madzhab mengenai istinbath hukum fiqh, kemudian melakukan pentarjihan. Namun ia sering mengemukakan bahwa pendapat Imam Syafi‟I lebih rajih (unggul) daripada madzhab lain.33 b. Menjelaskan masalah qira‟at Qira’at adalah cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an sebagaimana yang diucapakan

Nabi

Saw, lalu beliau mentaqrirkannya.34

al-Râzî

banyak

memaparkan tentang perbedaan qira’at yang terjadi di kalangan ahli qira’at. Terkadang ia mengungkapkan arti dari setiap qira‟at tersebut atau meng-i’rab ayat-ayat ditinjau dari segi qira’at tersebut kepada ucapan para ahli ilmu nahwu.35 c. Menjelaskan tentang ilmu kalam Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu kalam, al-Râzî lebih menonjolkan dirinya sebagai penganut al-Asy’ariyah yang kontra terhadap golongan lain, terutama Mu’tazilah. Ia sering memaparkan pendapat-pendapat Mu’tazilah kemudian pendapat-pendapat tersebut disanggah dan dipaparkan

33

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ke-1, h.113 35 al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 11, h. 110. 34

40

kelemahan-kelemahannya,

walaupun

terkadang

argumennya

tidak

cukup

memadai dan memuaskan. 36

B. Thanthawi Jauhari 1. Biografi singkat dan beberapa karyanya Thanthawi Jauhari lahir di Mesir pada tahun 1280 H / 1870 M. dan wafat pada tahun 1358 H/1940 M.37 Thanthawi Jauhari adalah seorang yang menyukai sastra, sehingga mendapat julukan Pujangga Mesir. Beliau juga tertarik akan keajaiban serta fenomena alam dan ilmu pengetahuan. Mengenai karya-karya Thanthawi Jauhari antara lain: Jawâhir al-Ulûm (mutiara-mutiara ilmu); Nizhâm al-Âlam wa al-Umam (tata dunia dan umat manusia); al-Tâz al-Arsy (mahkota yang bertahta); Jamâl al-Âlam (keindahan alam); al-Islâm wa al-Nizhâm (Islam dan sistem); al-Hikmah wa al-Hukamâ’ (kebijaksanaan dan orang-orang yang bijaksana) dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm (Mutiara-mutiara dalam tafsir al-Qur‟an yang mulia). Kitab ini merupkan karyanya yang terbesar dalam bidang tafsir al-Qur‟an.38 Di Universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seorang pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir. Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan.

36

al-Razi, Mafatih al-Ghayb, jilid 11, h. 110. al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 441. 38 al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 442. 37

41

Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir. Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.39 al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm adalah bentuk dari kepedulian dan kecintaannya

terhadap

al-Qur‟an.

Dengan

kemampuannya

ia

berusaha

menafsirkan al-Qur‟an yang bercorak ilmu pengetahuan yang memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam saat ini. Thanthawi Jauhari memulai penulisan kitab tafsir ketika menjadi pengajar pada perguruan tinggi Dâr al-Ulûm, Mesir. Dari hasil mengajar, kemudian ia membuat sebuah kitab tafsir yang terdiri atas dua puluh lima juz. Thanthawi Jauhari sebagai muallif (pengarang dan penyusun) menamakan kitab tafsirnya dengan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm.40

2. Selayang Pandang Tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim Kitab al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an yang terdiri dari dua puluh lima juz tersebut lebih banyak menyoroti tentang ayat-ayat Kauniyah yang identik dengan kajian keilmuan dan sains. Maka oleh para mufassir kitab ini digolongkan sebagai kitab tafsir bil ‘ilmi, yaitu kitab tafsir yang lebih cenderung membahas ayat-ayat

39 40

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 442.

42

al-Qur‟an dari segi ilmu pengetahuan. Dalam penafsirannya ia menggunakan teori-teori ilmiah.41

3. Latar Belakang Penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufassir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, evolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya. Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqalâ') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulamâ') tentang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau

berpikir

tentang

kejadian

alam

dan

keanehan-keanehan

melingkupinya".

41

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 2, h. 443.

43

yang

Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.42

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an Thanthawi Jauhari dalam menyusun kitab tafsir al-Jawâhir menggunakan metode Tahlily, yakni menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab alNuzul, Munâsabah, dan kandugan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir tersebut.43

Hal

ini dapat

dilihat dari bentuk

penyusunannya yang dimulai dengan penafsiran Basmalah sebagai ayat pertama dalam surat al-Fatihah kemudian surat al-Baqarah dan surat-surat selanjutnya. Dalam lembaran mukaddimah kitab tafsirnya ia menyebutkan “Kami memulainya dengan surat al-Fatihah dan pertama-tama adalah Basmalah, demikianlah hingga surat demi surat”.44 Ia memulai menafsirkan lafadz ayat-ayat yang ia kemukakan, lalu dibacanya dengan syarah (penjelasan) dan penelitian. Cara yang digunakan dalam penyusunan dan penafsiran dalam kitab al-Jawâhir antara lain, ia menulis beberapa atau keseluruhan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan urutan surat dan ayat. Setelah itu dijelaskan tafsir al-Lafadzh berupa kata-kata dan kalimat dari seluruh ayat yang ditulisnya. Dilanjutkan dengan Syarh Idhah (penjelasan 42

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html Definisi tersebut sesuai yang ada pada buku yang membahas ilmu al-Qur‟an. Lihat: antara lain Azumardi Azra, Sejarah Ilmu Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 172 44 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi, Tth), juz 1, h. 2. 43

44

ringkas) yang terkandung disertai pernyataan al-Qur‟an yang lain dan Hadis Nabi Saw. Analisa penafsiran ilmiahnya dimasukkan pada sebuah penjelasan tersendiri. Pada tahap berikutnya Thantawi Jauhari berupaya menafsirkan ayat-ayat dari tiap surat yang ditulisnya dengan beberapa penjelasan dalam bentuk alMaqâm al-Fashl (dari tiap-tiap al-Fashl terdapat beberapa Maqâshid yang menafsirkan kalimat dari tiap-tiap ayat yang tersebar di dalam al-Qur‟an secara ringkas). Untuk mendukung metodologinya Thantawi Jauhari memasukkan dalam tafsir al-Jawâhir penjelasan-penjelasan berupa gambar tumbuh-tumbuhan, hewan, pemandangan alam, manusia, eksperimen ilmiah, dan tabel-tabel ilmiah spesialis dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparan yang menjadikan fakta-fakta tersebut benar-benar riil, layaknya fakta empiris.45 Dengan maksud menghindarkan dari kealfaan dalam penyusunan maupun penjelasan, ia menggunakan lampiran pada akhiran juz, dengan kata lain ia merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam. Dalam lembaran mukaddimah kitab tafsir al-Jawahir ia menyatakan: “Amma ba’d. Sesungguhnya kami telah berketetapan dalam beberapa penjelasan kita al-Jawâhir fî tafsîr a-Qur’an al-Karim, bahwa kami menyertainya dengan lampiran yang akan menjelaskan beberapa hal yang lupa kami bahas dalam tafsir tersebut…. dan, insya Allah kami akan mengemukakan hal-hal yang kami anggap urgen untuk memperluas wawasan umat Islam”.46 Pemikiran metodologi yang dilakukan oleh Thantawi Jauhari tidak lepas dari pengaruh dan tendensi Muhammad Abduh, yang sama-sama mufassir dan

45 46

Lihat: Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 1, h.209 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 1, h.2

45

juga satu almamater di Dâr al-Ulûm sebagai guru, cendikiawan muslim serta memiliki i‟tikad baik untuk memajukan dan membangkitkan pemikiran kaum muslimin dari kemundurannya. Sebagaimana yang ia katakan dalam mukaddimah tafsirnya : “Banyak orang yang terpaku dengan lafadz-lafadz ayat, banyak menghafal namun miskin berpikir. Akhirnya kreatifitas menjadi stagnan dan ilmuilmu pun menjadi mati, sehingga ilmu lari ke barat, dan pihak timur (Islam) kehilangan dasar dari atasnya secara cepat. Para ulama pasca kami harus memikirkan pada apa yang telah kami ketengahkan dengan cerdas. Mereka juga seharusnya mengkaji al-Qur‟an dengan metode seperti yang telah kami jelaskan, hendaknya pandangan mereka menjadi terbuka”.47

Orientasi serta motivasi yang diambil oleh Thantawi Jauhari dalam menyusun metodologi tafsir al-Jawâhir dilandasi pada suatu sikap bahwa tafsir adalah sebagian anjuran dalam melakukan reformasi sosial, membersihkan agama dari bid’ah, wahm (asumsi-asumsi keberagamaan tanpa pijakan metodologis), khurafât, dan taklid. Ia pun berkeyakinan bahwa menafsirkan al-Qur‟an merupakan tiupan rabbani dan isyarat-isyarat suci. Menurut Thantawi jauhari ayat-ayat yang membahas masalah fiqh tidak lebih dari seratus lima puluh ayat, sedangkan dalam ilmu alam terdapat tujuh ratus lima puluh ayat.

48

Tanpa menghilangkan rasa hormatnya kepada seorang imam

dan mufassir klasik sebelumnya, ia mengeluhkan begitu banyak para mufassir belomba-lomba menyusun kitab tafsir fiqh dibanding menyusun tafsir ‘ilmi.

47 48

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 2, h.203 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 25, h.53

46

BAB IV PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP ISRA’ MI’RÂJ

Bab ini berisi penjelasan QS. al-Isra‟: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15 mengenai Isra‟ Mi„râj dalam karya al-Râzî dan Thanthawi serta perbandingan atas keduanya. Alasan kami memasukkan terjemah tesebut agar memudahkan pembaca untuk mengikuti alur dari diskusi ini dan supaya lebih mengkerucutkan persoalan yang akan dibahas di sini. Terjemah ini kami terjemahkan langsung dari kitab aslinya dan telah kami edit. Namun berbeda dengan terjemah Tafsir Mafâtîh al-Ghaib, mengingat al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’an ketika menjelaskan surat alIsrâ‟ membagi menjadi beberapa lathîfah, maka kami hanya menerjemahkan lathîfah pertama yang memang menjelaskan ayat pertama dari surat al-Isrâ‟ ini.

A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. al-Isra’: 1 Bila dilihat dari sisi sistematika penafsirannya, Thanthawi lebih teratur dalam penulisannya, ini dapat dilihat dari bagaimana Thanthawi memberikan sub bab pada penjelasannya, baik itu terdiri dari tafsir lafdzi, riwayat-riwayat, penjelasan global, pembahasan masalah, dilanjutkan dengan hikmah yang dapat diambil. Berbeda dengan al-Râzi yang tidak memberikan batas dan atau sub bab pada penjelasannya, sehingga hal ini membuat pembacanya memetakan atau mengklasifikasikannya sendiri mana bagian-bagian tafsirnya.

47

Walaupun sumber yang digunakan adalah bi al-Ra’yi, sebuah tafsir tetap harus menggunakan syarat-syarat tertentu. Untuk menjaga ke-Ma’tsur-annya, tentu saja dalam sebuah tafsir harus terdapat tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an dan riwayat-riwayat hadis, perkataan sahabat dan para tabi‟in.1 Mengenai ini nampaknya baik Mafâtîh al-Ghaib ataupun al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’an keduanya sama-sama menggunakan tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an dalam penafsirannya. Ini dapat dilihat misalnya ketika al-Râzî mengutip firman Allah: “yang perjalananya itu di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalananya di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)” untuk membandingkan serta menjelaskan betapa maklumnya apa yang terkandung dalam QS. Al-Isra‟ ayat 1 ini.2 Contoh lain bagaimana al-Râzi menafsirkan potongan ayat Li nuriyahu Min Âyâtinâ merujuk kepada ayat lain dalam alQur‟an, yakni QS. al-An‟âm ayat 75 yang berbunyi wa kadzâlika Nurî Ibrâhîm Malakûta al-Samâwât wa al-Ardh.3 Sedang Thanthawi merujuk pada QS. Fushilat ayat yakni Sanurîhim âyâtinâ fî al-Afâqi wa fî Anfusihim.4 Sebagaimana kitab tafsir pada umumnya, pada permulaan tafsirnya al-Râzi dan Thanthawi juga menggunankan Tafsir lafdzi (Mufradât) untuk menjelaskan secara bahasa makna dari kata per kata pada ayat secara keseluruhan. Dalam hal

1

Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an (Jakarata, Halim Jaya, 2007), h.482. Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), jilid 9, h. 496. 3 al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 494. 4 Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi, Tth), juz 9, h. 14. 2

48

ini keduanya tidak berbeda jauh dalam memberi makna tiap-tiap kata pada ayat ini. Namun keduanya sedikit berbeda ketika menjelaskan makna Min al-Masjid al-Harâm. Thanthawi menjelaskan bahwa kata ini menunjukkan pengertian masjid dengan makna masjid yang sebenarnya, bukan dalam artian Tanah Haram secara keseluruhan.5 Ini berdasarkan hadis Nabi SAW: “Ketika saya tidur di Masjid alHaram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka’bah) antara tidur dan terjaga, datang kepada saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah buraq denganku menuju langit pada malam itu”. Sedangkan al-Râzi setelah menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat ulama‟ mengenai hal ini, pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah Masjid al-Haram sesungguhnya, dan pendapat lain berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW Isra‟ dari rumah Hani bint Abi Thalib mengatakan bahwa yang dimaksud Masjid al-Harâm pada ayat ini adalah Tanah Haram keseluruhannya, ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas bahwa Tanah Haram keseluruhannya adalah masjid. Di sini nampaknya al-Razi lebih menjatuhkan pilihannya kepada pendapat yang terakhir, yakni maksud dari ayat Min al-Masjid al-Harâm di sini adalah Tanah Haram keseluruhannya (tidak sebatas Masjid al-Haram saja).6

5 6

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 5. al-Razi, Mafâtih, jilid 9, h. 493-494.

49

Keduanya sama-sama tidak menjelaskan asbâb al-Nuzûl seperti ketika mereka membahas ayat lain. Ini dapat dimaklumi karena memang tidak semua ayat dalam al-Qur‟an terdapat asbâb al-Nuzûlnya, termasuk surat al-Isrâ‟ ayat pertama ini. Mengenai munâsabah (korelasi), Thanthawi lebih unggul karena pada Lathifah pertama ia menjelaskan munâsabah antar surat, yakni dua surat sebelum surat al-Isra‟; surat al-Hijr dan al-Nahl. Dalam munâsabah dengan surat al-Hijr, ia menyimpulkan bahwa dalam surat ini berisi penjelasan mengenai awal hingga akhir proses penciptaan, kemudian proses ini diulang lagi. Dan dari kedua proses ini ada metode penengah yang dapat menjelaskan tentang keajaiban-keajaiban.7 Disusul kemudian dengan munâsabah dengan surat al-Nahl yang menjelaskan tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW beserta sifat-sifat mereka berdua yang terpuji. Kemudian surat ini ditutup dengan ayat yang menegaskan bahawa Dia menyertai orang-orang bertakwa dan orang-orang baik. Sehingga layaklah bila awal surat al-Isra‟ mengatakan Maha Suci Allah SWT. Yang membawa berjalan hambanya-Nya. Karena hal yang akan disampaikan berikutnya adalah peristiwa luar biasa yang menimbulkan ketidakpercayaan banyak orang, maka pada surat sebelumnya Allah menegaskan bahwa Dia

7

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 12.

50

bersama dengan Nabi SAW, karena beliau adalah termasuk orang yang bertakwa dan terpuji.8 Adapun mengenai substansi pokok isi penafsirannya, nampak jelas sekali al-Râzi memberikan porsi besar penafsirannya dengan pendekatan fisika dan kosmologi untuk menjelaskan betapa logisnya perjalanan Isra‟ dan Mi‟raj ini. Ini dapat dilihat ketika al-Râzi menjelaskan perbedaan pendapat mengenai bentuk perjanan Nabi SAW, ia membaginya menjadi dua hal, yakni 1) Konfirmasi kebolehan akal, dan 2) Kenyataan dari peristiwa. Pada poin pertama, yakni konfirmasi kebolehan akal al-Râzi mengatakan : “Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai akhir malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus geometri (ilmu ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara satu diameter (garis tengah suatu lingkaran) dengan satu lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu berbanding tiga satu pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah diameter) dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran ketikan Rasulullah SAW Isra‟ dari Makkah hingga Mi„râj ke „Arsy di atas planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak hanya setengah diameter (satu jari-jari). Ketika gerakan setengah lingkaran dapat di tempuh dalam ukuran waktu tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter (satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh dalam ukuran waktu yang sama.”9 Berbeda dengan Thanthawi yang sama sekali tidak menggunakan hitungan-hitungan sebagaimana dalam ilmu exact, Thanthawi memberikan porsi besar dalam penafsirannya dengan menggunakan ilmu jiwa (dalam arti ilmu yang

8 9

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 13. al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.

51

berbicara mengenai hakekat jiwa dan ruh). Misalnya ketika thanthwai mengatakan: “Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yang seharusnya memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka bagaimana dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang yang mengalaminya. Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah SAW Nabi Adam, Isa, Idris, Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah orang paling mirip dengan Rasulullah”. Dengan dua kacamata ilmu pengetahuan yang berbeda inilah sehingga ketika mereka ikut masuk dalam perdebatan mengenai apakah Isra‟ dan Mi‟râj dilakukan dengan ruh (rohani) saja atau dengan jasad (jasmani) juga, mereka menjatuhkan pilihan sebagaimana pendapat mayoritas, yakni Isra‟ Mi‟râj Nabi SAW terjadi dengan jasad dan ruh, tidak dalam keadaan tidur atau sebagaimana mimpi. Namun alasan al-Râzi dan Thanthawi berpendapat demikian tidaklah sama. Al-Râzi beralasan bahwa jasad Nabi sangat mungkin sekali mengalami peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj dengan kecepatan yang tinggi. Ini sebagaimana yang ia katakan: “Berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran matahari sama dengan 160 kali bola bumi. Kemudian kita menyaksikan bahwa tebit matahari berjalan secara cepat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai batas seperti disebutkan adalah sesatu yang mungkin pada dirinya”.10

10

al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 495.

52

Sedangkan Thanthawi tidak membedakan antara Jasmani dan Ruhani mengenai hal ini. Ia menggunakan dua istilah antara jasad lahiriyyah dan jasad barzakhi (ruh) sebagaimana yang ia katakan: Kalau kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy maka pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut menjadi satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan ruhnya saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah jasadiyah (lahiriyah) secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda benar, karena menurut ahli ruh tidak ada perbedaan antara jasad barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad barzakhyah adalah jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka barangsiapa berkata bahwa nabi Isra‟' dengan ruhnya saja berarti dia mendekati hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan jasadnya maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh) adalah kondisi pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan mimpi, dan gambarannya menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan terbang lebih cepat dari pada kilat bahkan kecepatanya seperti kecepatan lintasan pikiran, bukankah anda melihat bahwa seseorang dalam kamarnya berada di timur dengan lintasan pikirannya kemudian berpindah ke barat lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti keadaan yang biasa terjadi di alam ruh sana.

Perbandingan antara kedua penafsiran ini berikutnya adalah bagaimana penafsiran mereka berupaya semudah mungkin bila dibaca oleh orang awam maka unsur hidayahnya dapat mudah ditangkap. Ini sebagaimana yang dijelaskan pada BAB I mengenai kritik Muhammad Abduh mengenai tafsir-tafsir yang telah ada sebelumnya, yang menjelaskan terlalu panjang lebar berdasarkan ilmu yang paling menonjol pada masing-masing mufassir sehingga terkadang susah menangkap hikmah atau hidayah ayat yang dijelaskan.

53

Mengenai ini, al-Razi memang tidak mencantumkan hikmah dari penafsirannya mengenai Isra‟ dan Mi‟raj secara khusus, sehingga pembaca harus berupaya sendiri untuk menangkap hikmah apa yang tersirat dari penafsiran alRazi. Berbeda dengan Thanthawi yang justru membuat sub bab tersendiri untuk menjelaskan hikmah dan tujuan dari apa yang ditafsirkannya. Ia mengatakan bahwa tujuan dari diturunkannya ayat yang berbicara mengenai Isra‟ dan Mi‟raj ini bukanlah hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui mengenai keadaan Rasulullah SAW semata, tetapi agar kita mengikuti syari‟at yang dibawa Nabi dan ikhlas untik berdakwah kepada manusia sebagaimana dakwah Nabi SAW.11 Thanthawi juga mengatakan dari peristiwa ini seyogyanya kita harus membersihkan jiwa (ruh) kita dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Nya yang sebenarnya diperlihatkan kepada kita.

B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15 Sebagaimana pada perbandingan penafsiran al-Razi dan Thanthawi pada Qs. al-Isra‟ : 1, penafsiran keduanya pada Qs. Al-Najm: 13-15 pun bila dilihat dari sistematika penulisannya penafsiran Thanthawi lebih unggul. Ini dikarenakan pada

penafsirannya,

11

Thanthawi

memberikan

sub-bab

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 9, h. 13.

54

pada

penjelasan-

penjelasannya mulai dari menulis ayat-ayat yang akan dibahas, penjelasan surat, membagi tiap ayat pada beberapa penjelasan dan lain sebagainya. Dan dalam hal ini Thanthawi memasukkan ayat 13 – 15 pada penjelasan mengenai diberikannya wahyu kepada Nabi Saw dan proses taqarrub Nabi Saw kepada Allah.12 Pada sub-bab tafsir lafdzi, baik penafsiran al-Razi maupun penafsiran Thanthawi keduanya langsung menjelaskan ayat yang dimaksud dengan panjang lebar.13 Hal ini berbeda ketika keduanya pada ayat lain seringkali membedakan sub-bab tersendiri antara tafsir lafdzi dan penjelasan ayat yang dimaksud. Mengenai munasabah, penafsiran al-Razi nampaknya lebih jelas menerangkan korelasi surat atau munasabah bayna al-surah. Al-Razi menjelaskan bahwa munasabah surat al-Najm dengan surat sebelumnya yakni surat al-Thur sangat kuat sekali. Menurutnya ini dapat dilihat pada bagaimana al-Razi menjelaskan huruf wawu qasam yang ada pada awal surat al-Najm. Sedangkan munasabah surat pada penafsiran Thanthawi walaupun menuliskan sub-bab munasabah tersendiri, namun penjelasannya Nampak tidak sejelas penjelasan munasabah al-Razi. Mengenai substansi pokok penafsirannya, al-Razi pada ayat 13 dan 14 nampak lebih menekankan pengertian roâ hu (melihat-Nya) dan lafadz nazlatan

12

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 23, h. 227.

13

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz 23, h. 227.

55

(turun). Sedangkan Thanthawi lebih menekankan pada pengertian lafadz roâ hu (melihat-Nya). Pada penjelasan ayat 15, al-Razi lebih menekankan penjelasan pengertian lafadz jannah (surga). Menurutnya ada dua pendapat pengertian jannatu alMa’wa, sebagian mengatakan itu adalah surge untuk orang-orang yang bertakwa, sebagian berpendapat itu adalah surge bagi para syuhada‟. Al-Razi juga menjelaskan bahwa ada sebagian yang membaca lafadz jannah dengan Jinnah (tersembunyi). Kedua penafsiran terhadap Qs. al-Najm : 13-15 nampak tidak menjelaskan mengenai Mi‟raj Nabi Muhammad Saw dengan detail. Berbeda ketika keduanya menjelaskan Qs. al-Isra‟: 1 yang selain menjelaskan Isra‟ Nabi Saw, juga menjelaskan Mi‟raj Nabi Saw dengan detail dan jelas.

56

BAB V PENUTUP

Penutup mengandung kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan poinpoin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap masalah. Sedangkan saran adalah usul atau saran dari penulis seputar penelitian dan faktor-faktor pendukungnya, baik faktor akademis maupun non-akademis.

A. Kesimpulan Dari uraian di atas, penulis dapat berkesimpulan bahwa tafsir bil ‘ilmi tdak sepenuhnya selalu memandang Isra’ Mi’râj dengan teori-teori ilmu pengetahuan modern yang bersifat exact dan kerap ditakutkan oleh para penolak tafsir bil ‘ilmi karena teori-teori itu akan berubah-ubah di lain masa. Ini terbukti bagaimana Thanthawi menjelaskan Isra’ Mi’râj jauh dari hitungan-hitungan saintis sebagaimana al-Râzi. Tafsir dengan corak bil ‘ilmi tidak berbeda dalam memandang pengertian Isra’ dan Mi’raj, yakni adalah perjalanan Nabi SAW pada malam hari dari Masjid al-Harâm ke Masjid al-Aqsha dan kemudian dilanjutkan menuju Sidrat alMuntaha di langit ke tujuh. Adapun perbedaan mendasar antar tafsir bil ‘ilmi, dalam hal ini yakni tafsir al-Râzî dan Thanthawi dalam penafsirannya mengenai Isra’ Mi’raj adalah cara pandang dengan ilmu apa mereka melihatnya. Al-Râzi lebih banyak menjelaskan hal ini dari sisi ilmu pengetahuan yang bersifat saintis seperti fisika

57

dan kosmologi. Sedangkan Thanthawi dalam penafsirannya mengenai ini lebih tertarik melihatnya dari kaca mata ilmu jiwa yang menerangkan tentang hakekat ruh.

B. Saran-saran Berdasarkan apa yang telah penulis alami dan rasakan dalam penelitian ini, dengan harapan perbaikan kualitas penelitian ini selanjutnya, penulis menyampaikan beberapa usul dan saran sebagai berikut: 1. Penelitian mengenai saintifikasi al-Qur’an yang terjadi pada tafsirtafsir bil ‘ilmi perlu terus dilakukan dan dikembangkan untuk memonitor apa yang ditakutkan oleh ulama’-ulama’ yang tidak setuju dengan tafsir dengan corak bil ‘ilmi; yang beralasan bahwa teori-teori sains selalu berubah mengikuti perkembangan. 2. Penelitian penulis masih terbatas pada perbandingan antara dua tafsir bil ‘ilmi yang berlainan periode. Untuk penelitian selanjutnya, mungkin bisa dikembangkan dalam tafsir-tafsir yang lain. 3. Penelitian dibatasi oleh beberapa hal, seperti waktu, dana, dan sumber rujukan. Oleh karena itu, dibutuhkan persiapan yang lebih dini, terutama dalam pencarian dan pengolahan data. 4. Dalam penelitian yang rujukan utamanya berupa buku-buku berbahasa asing, penguasaan atas bahasa mutlak diperlukan demi kelancaran penelitian.

58

DAFTAR PUSTAKA

al-„Aridhl, Ali Hasan. Sejarah Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajagrafindo Persala. Ayyub, Mahmud. al-Qur’an dan para Mufassirnya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Azra, Azzyumardi. Sejarah Ilmu Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain. Ma‘âlim al-Tanzîl. T. tp: Dar Thayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi‟, 1997. al-Baghdadi, Al-Alusi. Tafsir Rûh al-Ma‘âni. Beirut: Dar ihyaa‟ al-Turats al„Arabi, 1405. Baiquni, Achmad. Al-Qur’an dan Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: Prima Bakti Yasa, 1997. Chalil, Moenawar. Peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Classe, Cyril. Ensiklopedi Islam (Ringkas). terj. Ghufran A. Mas‟adi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996. cet. 1. al-Dawuri, Syamsu al-Dîn. Tabaqât al-Mufassirîn. Beirut: Dâr al-Kutub alIlmiyah. t.th. Jilid 2. al-Dimasqi, Ibn Qadhi Syaihbah, Tabaqât al-Syafi’iyah. Haidar abad: Dâirah alMa‟arif al-Usmaniyah. 1979. Jilid II, cet. 1. al-Dzahabi, Muhammad Hussain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo, Dar alSyuruq al-Mishriyyah, 1998. Firmansyah, Ahmad. “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir alAzhar”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002. al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Amzah. 2006. cet ke-2. Haikal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya. 1978. Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. cet. 1. Hidayat, Rachmat Taufiq. Khazanah Istilah al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1996. cet.4.

al-„Imadi, Abu Sa‟ud. Irsyâdu al-‘Aqlu al-Salîm li mizâyan. T. tp: al-Kitâb alKarîm, t. th juz 4. Ibn Katsir, Abi al-Fida‟, al-Bidâyah wa al-Nihâl. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1987. Ibn Manzur, Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir. T.th. Iyâzî, Sayyid Muhammad Ali. al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum. T. tp: Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr. 1212. Jauhari, Thanthawi. al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an. Kairo: Mathba‟ah al-Bab alHalabi, Tth. al-Khûli, Amin. Metode Tafsir Sastra. Yogyakarta: Adab Press, 2004. al-Majdub, Abdul Aziz. al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl Tafsîrih. Libya: Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M. cet. 2. al-Maraghi, Mustafa. Tafsir al-Maragi. Beirut: Dar al-Fikr. Tth. julid 5. Moh. Rathomi, Abdai. Muhammad beraudiensi dengan Tuhan. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Mudhari, Bahauddin, Menjelajah Angkasa Luar. Surabaya: Pustaka Progresif. 1989. Mudhary, Bahauddin. Setetes Rahasia Alam Tuhan. Surabaya: Pustaka Progresif, 1996. al-Muhtasib, Abdul Majid. Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts. Beirut: Dâr alFikr, 1973. Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Mustofa, Agus. Terpesona di Sidratul Muntaha. Sidoarjo: PADMA Press. 2004. Nawawi, Rif‟at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. Jakarta: Paramadina. 2002. Nuwaihid, „Adil. Mu’jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr alHadhr. t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986. Jilid 2, cet. 2. al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarata: Halim Jaya, 2007. al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad, Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr. 1414 H/1993 M. al-Sabuni, Muhammad Ali. Safwat al-Tafâsir. Beirut: Dar al-Qur‟an al-Karim. 1980. Jilid II.

Sa‟id Mubayyadh, Muhammad. Kisah Di Balik Isra’ Mi’raj. T. tp: PSIA, t. th. al-Samarkandi, Abu Laits. T. tp Bahru al-‘Ulûm. T. th juz 2. Schimmel, Annemarie. Dan Muhammad Adalah Utusan Allah. Bandung: Mizan, cet. IV, 1994. al-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna: Dirasah maudlu’iyah fi al-mu’tarak alSira’ al-Fikr al-Qa’im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat al-Falsafiyah wa al-Falsafah al-Islamuyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (alMarksiyyah). Qum: Daar al-Kutub al-Islamiyyah. 1981. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1995. ------------------------. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009 vol.7. -------------------------. Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar. Jakarta: Lentera Hati, 2006. Siswanto, M. Hum. Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat. Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M. al-Suyuthi, Imam. Tabaqât al-Mufassirîn. Beirut: Dâr al-Fikr. 1980. Taimiyah, Ibnu, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma’a ‘Ardh Mujâz li Ittijâhat asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah Ibrahim bin Muhammad. Tonto: Dâr alShahabah li al-Turats. 1988. cet. 1. Al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’an. T, tp: Muassasah al-risalah, 2000 juz 17. Tanpa Penulis, Hadza al-Habib Muhammad Rasul Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ya Muhibb. Jeddah: Daar al-Syuruq. 1989. Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA, 2007. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1992. Tim penulis Rosda. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya. cet. I. 1995. Al-Umari, Ali Muhammad. al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa ‘Asaruhu. Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah. 1969.

Zainun, Adi Amir. “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi Dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html

Lampiran 1: Terjemahan Tafsir Mafatih al-Ghayb atas Qs. al-Isra :1

Surat al-Isra’atau Banî Israil (Makkiyah, 111 ayat) (kecuali ayat 26,32,33,57 dan 73-80 adalah madaniyah) Bismillahirrahmanirram “Maha suci allah SWT. Yang membawa berjalan hambanya-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. al-Isra‟/17:1)

Menurut ibn „Abbas, surat ini adalah Makkiyah, kecuali mulai ayat “wa in kâdû layastafizzûnaka min al-ardh ”(ayat 76) sampai “wa ij‟al lî min ladunka sulthânan nashîran” (ayat 80) adalah madaniyyah, yang diturunkan pada saat datangnya perutusan dari Tsaqif. Dalam ayat ini terkandung beberapa persoalan: 1. Menurut kalangan ahli bahasa (nahwiyyûn), kata subhâna adalah ism „âlam, sedangkan kata al-tasbîh adalah mashdar (kata benda). Maksud kata tersebut adalah mensucikan Allah dari segala keburukan. Menurut shâhib al-nazhâm, kata al-sabh secara etimologi adalah “al-taba‟ud” (menjauhkan) yang ditunjukkan oleh firman Allah: Inna laka fi al-nahâr sabhan (sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan). Sedangkan pengertian: sabbaha Allahu Ta‟âla adalah menjauhkan-Nya dan membersihkan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Kata al-tasbîh mengandung beberapa pengertian: (1) Shalat, diantaranya adalah firman Allah: “Fa lawla annahu kâna min al-musabbihîn.” Al-musabbih dalam ayat ini berarti orang yang shalat disebut sebagai musabbih adalah karena ia mengagungkan Allah melalui shalatnya dan mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. (2) pengecualian, sebagaimana pada ayat “Qâla awsathuhum alam aqul lakum lawlâ tusabbihûn.” Atau mengecualikan, tapi takwilnya juga kembali pada pengagungan Allah dalam pengecualian dengan kehendak-Nya. (3) Cahaya, seperti disebutkan dalam hadits “la ahraqat sabhâtu wajhihi mâ adrakat min syay‟.” Sabhâtu wajhihi berarti cahaya wajahnya, yaitu cahaya wajah yang menyebabkan orang yang melihatnya mengucapkan: Subhânallah (Maha Suci Allah). Kata asrâ menurut ahli bahasa sama dengan kata sarâ yang berarti “berjalan di malam hari”. Sedangkan kata bi‟abdihi, para ahli tafsir sepakat bahwa maksudnya adalah Muhammad SAW. Saya mendengar Syaikh Imam al-Walid „Umar ibn al-Husayn mengatakan: “Saya mendengar Syaikh Imam Abu Qasim Sulayman al-Anshari berkata: Ketika Muhammad SAW sampai pada langit yang tertinggi, Allah berfirman kepadanya: Wahai Muhammad,

dengan apa aku memuliakanmu?” beliau menjawab: “Wahai tuhanku, agar Engkau menisbatkan aku kepada diri-Mu dengan ibadah (menyembah kepadaMu)”. Maka Allah menurunkan ayat ini (Subhâlladzî asrâ bi‟abdihi laylan). Kata laylan adalah keterangan waktu. Jika dikatakan bahwa Isra‟ adalah berjalan di waktu malam, jadi perjalanan itu hanya dilakukan pada malam hari, lalu apa urgensi disebutkanya kata laylan (malam) dalam ayat ini?. Maksud dari ungkapan kata laylan (malam) dengan lafadz nakirah (abstrak) adalah sebagian kecil dari perjalanan di waktu malam, yaitu bahwa Allah memperjalankan hamba-Nya dari Makkah ke Syam, suatu perjalanan yang memakan waktu empat puluh malam, hanya sebagian dari waktu malam. Dipergunakanya bentuk nakirah (abstrak) pada kata laylan menunjukkan makna “sebahagian”. Para ulama berbeda pendapat mengenai malam tersebut. Muqatil berpendapat bahwa malam itu adalah satu malam sebelum hijrah. Penulis al-Kasysyâf mengutip dari Anas dan al-Hasan menyebutkan bahwa malam itu adalah sebelum bi‟tsah (kenabian). Firman Allah: “Min al-Masjid al-Harâm”, para ulama berbeda pendapat mengenai tempat bertolaknya perjalanan Isra‟. Sebagian berpendapat bahwa tempat itu adalah Masjid al-Haram itu sendiri, yaitu sebagaimana yang ditunjukkan oleh zhahir ayat tersebut. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Ketika aku berada di Masjid al-Haram pada Hijr dekat Ka‟bah antara bangun dan tidur, tiba-tiba Jibril datang kepadaku dengan buraq”. Pendapat lain menyebutkan bahwa perjalanan Isra‟ dimulai dari rumah Umm Hani binti Abi Thalib. Adapun maksud dari ungkapan al-Masjid al-Haram adalah tanah suci, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn‟Abbas bahwa tanah suci seluruhnya adalah Masjid (tempat sujud). Ini adalah pendapat mayoritas. Mengenai al-Masjid al-Aqshâ para ulama sepakat bahwa itu adalah Bait al-Maqdis (Yerussalem). Disebut al-Aqsha adalah karena jaraknya yang jauh antara Bait al-Maqdis ini dengan Masjid al-Haram. Maksud ungkapan “al-ladzî bâraknâ hawlahu” adalah berkah dari buah-buahan dan bungabunga. Pendapat lain menyebutkan bahwa hal itu disebabkan karena tempat tersebut merupakan tempat tinggal para Nabi dan tempat turunya para malaikat. Perlu diingat bahwa kata ilâ (ke) dimaksudkan pada tujuan akhir. Maka makna tersebut tersurat dari ilâ al-Masjid al-Aqshâ berarti benar-benar sampai batas masjid tersebut. Tidak ada petunjuk yang jelas dalam ayat ini adapun ungkapan “linuriyahu min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami) berarti adalah keajaiban-keajaiban dan tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT yang diperlihatkan-Nya kepada Nabi SAW pada malam itu. Sebagian orang berpendapat bahwa ungkapan “Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami” menunjukkan bahwa Allah hanya memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW, karena kata “min” berarti “sebahagian”, sedangkan tentang Ibrahim Allah berfirman: “Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim para malaikat, langit dan bumi”, maka Mi„râj Ibrahim lebih utama dari pada Mi„râj Muhammad SAW”.

Menurut kami, yang dilihat Ibrahim alaihissalam adalah para malaikat langit dan bumi, sedangkan yang dilihat Muhammad SAW adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah (tidak terbatas pada malaikat). Maka tidak diragukan lagi bahwa tanda-tanda tersebut adalah lebih utama. Kemudian Allah berfirman: “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Maksudnya adalah bahwa Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari adalah Maha medengar pada perkataan Muhammad dan Maha melihat pada perbuatan-perbuatan beliau. Dia Maha mengetahui bahwa seluruh perbuatan beliau adalah terpuji dan terhindar dari segala keriyaan, disertai kejujuran dan kesucian. Oleh karena itu pulalah, Allah mengistimewakan beliau dengan kemulian-kemulian tersebut. Sebagian pendapat menyebutkan bahwa maksudnya adalah Allah Maha Mendengar apaapa yang diucapkan mereka kepada Rasulullah SAW berkenaan dengan perkara ini dan Maha Melihat apa-apa yang mereka lakukan terhadap peristiwa ini. 2. Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk perjalanan (Isra‟) tersebut. Mayoritas kelompok kaum muslimin berpendapat bahwa perjalanan itu adalah dengan jasad Nabi SAW. Sebagian kecil yang lain berpendapat bahwa perjalanan itu dengan ruh beliau. Diriwayatkan dari Muhammad ibn Jarir alThabari dalam tafsirnya dari Hudzayfah, menurutnya hal itu seperti mimpi dan jasad Rasulullah SAW tidak hilang, akan tetapi beliau melakukan perjalanan dengan ruhnya. Riwayat ini juga diceritakan dari „Aisyah RA dan Mu‟awiyah RA: ketahuilah bahwa perkara ini menyangkut 2 hal, yaitu: (1) konfirmasi kebolehan menurut akal, dan (2) kenyataan dari peristiwa tersbut. 3.1. Yaitu konfirmasi kebolehan menurut akal, menurut kami bahwa gerakan yang terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin pada dirinya, dan Allah Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal itu menunjukkan bahwa tercapainya gerakan dengan kcepatan tersebut tidak ada halangan. Untuk menjelaskan hal ini, kami perlu mengemukakan dua perspektif, yaitu: 3.1.1. Bahwa gerakan yang terjadi secara cepat pada peristiwa Isra‟ Mi‟râj dapat di tunjukkan dari beberapa aspek berikut:

3.1.1.1. Bahwa planet tersebut (bumi) bergerak dari permulaan sampai akhir malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus geometri (ilmu ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara satu diameter (garis tengah suatu lingkaran) dengan satu lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu berbanding tiga satu pertuju). Maka perbandingan jari-jari (setengah diameter) dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran ketikan Rasulullah SAW Isra‟ dari Makkah hingga Mi„râj ke „Arsy di atas planet ini (bumi) adalah bahwa beliau bergerak hanya setengah diameter (satu jari-jari). Ketika gerakan setengah lingkaran dapat di tempuh dalam ukuran waktu tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter

(satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh dalam ukuran waktu yang sama. Ini adalah petunjuk yang nyata bahwa perjalanan dari Makkah ke atas „Arsy dalam ukuran sepertiga malam adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Jika demikian, perjalanan tersebut dapat terjadi setiap malam dan itu lebih memungkinkan. Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui.

3.1.1.2. Aspek kedua, berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran matahari sama dengan 160 kali bola bumi. Kemudian kita menyaksikan bahwa tebit matahari berjalan secara cepat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai batas seperti disebutkan adalah sesatu yang mungkin pada dirinya. 3.1.1.3. Jika kenaikan jasad kasar dari pusat bumi ke atas „Arsy tidak dapat diterima oleh akal, maka turun ruh halus dari atas „Arsy ke pusat bumi tidak dapat diterima pula oleh akal. Maka, jika pendapat yang menyatakan bahwa Mi‟raj Nabi Muhammad SAW dalam satu malam tidak mungkin menurut akal, maka pendapat yang menyatakan bahwa malaikat jibril turun dari „Arsy ke Makkah dalam sekejap adalah tidak mungkin pula. Jika kita memegang ketidak mungkinan ini, maka hal ini merupakan penolakan atas kenabian seluruh nabi-nabi AS. Sementara itu, pendapat menetapkan Mi‟raj ini merupakan cabang dalam penerimaan kemungkinan dari asal kenabian. Dengan demikian, dapat di pastikan bahwa orang-orang yang berpendapat tidak mungkin terjadi gerakan yang cepat sampai batas tersebut, mengharuskan mereka berpendapat pula ketidakmungkinan turun malaikat Jibril dalam sekejap dari „Arsy ke Makkah. Jika hal itu tidak benar, maka pendapat inipun tidak benar. Jika mereka berkata: kami tidak berpendapat bahwa Jibril adalah jasad yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kami berpendapat bahwa maksud dari turun jibril adalah hilang tirai jasmani dari ruh Muhammad SAW sehingga tampak jelas bagi beliau sebagian dari hal-hal yang ghaib dan yang nyata, yang sebagianya hadir secara nyata pada zat Jibril. Menurut kami, tafsir al-Qur‟an dengan cara demikian adalah pendapat para ahli hikmah (failasuf). Sedangkan mayoritass kaum muslimin berketetapan bahwa Jibril adalah jenis makhluk dan turunnya ke bumi adalah gambaran dari perpindahannya dari alam bintang ke Makkah. Jika demikian maka pendapat yang disebutkan adalah kuat. Diriwatkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan kisahnya tentang Mi‟râj tersebut, semua mendustakanya. Kemudian mereka datang kepada Abu Bakar dan mereka berkata: “Sahabatmu

berkata begini dan begitu.” Abu Bakr menjawab: “Jika beliau telah mengatakan demikian, maka itu adalah benar.” Kemudian Abu Bakr datang kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menyebutkan perincian itu kepada Abu Bakr. Setiap beliau menyebutkan sesuatu, Abu Bakr berkata: “Engkau benar”. Ketika beliau selesai bercerita, Abu Bakr berkata: “Aku bersaksi sesungguhnya engkau adalah benar-benar Rasulullah”. Rasulullah berkata kepadanya: “Aku pun bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar orang yang membenarkan (alShiddîq)”. Hasil perbincangan itu adalah bahwa Abu Bakr seakan-akan mengatakan, Ketika aku menerima risalahnya, Aku pun telah membenarkannya dalam perkara yang lebih besar dari ini, jadi bagaimana mugkin aku mendustakan perkara ini?. 3.1.1.4. Orang-orang yang beragama dan sistem kepercayaan menerima keberadaan iblis dan mereka juga menerima bahwa iblis adalah yang menghembuskan godaan kedalam hati manusia. Mereka juga percaya bahwa iblis dapat berpindah-pindah dari Timur ke Barat untuk menyebarkan godaan ke dalam hati manusia. Ketika mereka menerima kemungkinan gerakan cepat iblis seperti ini, maka penerimaan mereka atas kemungkinan tersebut pada nabi-nabi besar adalah lebih utama. Kesan ini kuat bagi orang yang menerima kenyataan bahwa iblis adalah makhluk yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun orang-orang yang berpendapat bahwa iblis adalah bagian dari ruh-ruh kotor yang jahat meyakini iblis bukanlah jasad dan tidak pula bersifat jasmani. Penetapan ini bukan berasal dari mereka, hanya saja mayoritas pemeluk agama dan orang yang berkepercayaan sepakat bahwa iblis adalah makhluk halus yang berpindah. Jika dikatakan: Malaikat dan iblis dapat melakukan gerakan cepat seperti itu karena mereka makhluk-makhluk halus dan mereka tidak memiliki halangan apapun untuk mencapai hal itu, sedangkan manusia, ia adalah makhluk kasar, jadi bagaimana rasionalisasi terjadi gerakan yang cepat seperti itu bagi manusia? Kami menanggapi pernyataan demikian melalui keadaan malaikat dan setan hanya untuk menunjukkan bahwa gerakan yang ekstra cepat seperti demikian adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Adapun penjelasan mengenai kemungkinan terjadi gerakan cepat itu berlaku juga bagi jasad manusia, maka hal itu adalah persoalan lain dan kami akan menjelaskanya nanti insya Allah.

3.1.1.5. Disebutkan di dalam al-Qur‟an bahwa angin membawa terbang Nabi Sulaiman AS ke tempat-tempat yang jauh dalam waktu yang singkat. Dalam menjelaskan perjalanan Sulaiman bersama angin, Allah Ta‟âlâ berfirman: “yang perjalananya itu di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalananya di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)”. Bahkan menurut kami, indera menunjukkan bahwa ketika angin berhembus sangat kencang sampai puncak kecepatanya, ia dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat yang jauh sekali dalam sesaat. Hal demikian juga menunjukkan bahwa gerakan cepat seperti itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada dirinya.

3.1.1.6. Al-Qur‟an menunjukkan bahwa seorang yang memiliki ilmu dari al-Kitab dapat menghadirkan istana ratu Balqis dari ujung Yaman ke ujung Syam (Syiria) dalam hitungan kedipan mata (sebelum mata berkedip). Hal ini berdasarkan firman Allah: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Jika hal demikian dapat terjadi pada sebagian orang, maka kami mengetahui bahwa hal itu dapat terjadi pada dirinya.

3.1.1.7. Sebagian orang berpedapat bahwa hewan hanya dapat melihat benda-benda karena adanya cahaya keluar dari kedua matanya dan berhubungan dengan benda yang dilihatnya. Kemudian, jika kita membuka mata kita dan kita melihat kepada seseorang yang kita lihat, maka berdasarkan teori di atas, cahaya mata pindah dari mata kita kepada orang itu dalam waktu yang singkat. Itu menunjukan bahwa gerakan nyata yang terjadi dalam batas kecepatan ini merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Berdasarkan hal itu, maka gerakan yang mencapai puncak kecepatan adalah perkara yang mungkin terjadi pada dirinya.

3.1.2. Dalam menjelaskan perkara gerakan yang mungkin terjadi pada dirinya, maka adalah sesuatu yang wajib pula bahwa gerakan tersebut dapat terjadi pada jasad Muhammad SAW (pencapaian gerakan yang sangat cepat oleh Muhammad SAW bukan sesuatu yang tidak mungkin). Yang menunjukkan hal itu adalah bahwa kami telah mengemukakan dali-dalil yang pasti (qath‟i) bahwa setiap jenis saling menyerupai dalam kesempurnaan esensinya. Maka, jika gerakan cepat seperti itu terjadi pada sebagian jenis, hal itu wajib pula kemungkinan terjadi bagi seluruh jenis. Hal itu meniscayakan kemutlakan bahwa terjadi gerakan cepat

tersebut bagi jasad Muhammad SAW adalah sesuatu yang mungkin terjadi padanya. Jika hal itu dapat di tetapkan, kami berpendapat: hal itu ditetapkan berdasarkan bahwa pecipta alam semesta Maha Kuasa atas segala kemungkinan-kemungkinan, dan ditetapkan pula bahwa terjadi gerakan yang mencapai batas kecepatan tersebut bagi Muhammad SAW adalah sesuatu yang mungkin. Maka merupakan sesuatu yang wajib (niscaya) bahwa Allah Maha Kuasa atas hal itu dan saat itu, dan berdasarkan penjelasan-penjelasan terdahulu, selayaknya kita berpendapat bahwa ketetapan mengenai terjadi Mi‟râj adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada dirinya. Lebih jauh lagi dari persoalan ini adalah hal itu menyisakan keajaiban, hanya saja keajaiban tersebut tidak dikhususkan bagi perkara ini, tetapi hal itu terjadi pada seluruh mukjizat. Berubah tongkat menjadi ular yang panjangnya mencapai 70.000 tali dan tongkat itu kemudian kembali lagi menjadi tongkat yang kecil seperti semula adalah sesuatu keajaiban. Keluar unta besar yang dari gunung al-„Asham dan bayang-bayang gunung yang besar di angkasa adalah suatu keajaiban. Demikian pula dengan semua mukjizat, jika hal itu semata-mata keanehan, maka hal itu harus di ingkari dan di bantah, pandangan yang salah dalam menetapkan mukjizat perlu dipatahkan. Sementara itu penetapan mukjizat adalah satu bagian dalam penerimaan dasar kenabian, meskipun hal itu semata-mata sebagai keajaiban, hal itu tidak harus diingkari dan dibatalkan. Demikian pula dengan peristiwa Mi‟râj adalah sesuatu yang mungkin terjadi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Allahu A‟lam.

3.2.

Dalam pembahasan mengenai Mi‟raj, para peneliti berpendapat bahwa,petunjuk ynag mengisyaratkan bahwa Allah yang memperjalankan ruh Muhammad SAW beserta jasadnya dari Makkah ke Masjid al-Aqsha adalah al-Qur‟an dan khabar. Dalil dari al-Qur‟an adalah ayat al-Isra‟ yang menggunakan kata al-„Abd (hamba), yaitu bahwa kata tersebut merupakan sebuah sebutan bagi jasad dan ruh. Ketahuilah bahwa indikasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah ruh saja atau jasad saja atau juga jasad dan ruh. Sedangkan orang-oarang yang berpendapat bahwa manusia adalah semata-mata ruh, mereka berargumentasi dengan beberapa aspek berikut. Pertama, bahwa manusia adalah suatu kesatuan yang tetap sejak awal sampai akhir, sedangkan pertikel-partikel dari jasad dalam keadaan berubah dan berpindah-pindah, adapun yang lainya tidak berubah. Maka manusia berubah karena badan tersebut. Kedua, bahwa manusia kadang-kadang mengetahui dzatnya yang khusus ketika ia tidak mengetahui sebagian dari partikel-partikel jasadnya. Jadi sesuatu yang diketahui mengubah sesuatu yang terlupakan. Karena itu, manusia berubah karena badan tersebut. Ketiga, sesuai dengan fitrahnya yang sehat, manusia mengatakan: “tanganku”, ”kakiku”, ”jantungku”, atau “hatiku”. Demikian juga

ungkapan mengetahui bagian-bagian tubuh yang lain. Ia menisbatkanya kepada dzatnya yang khusus. Sedangkan yang mendapat penisbatan berbeda dari yang dinisbatkan kepadanya. Maka, dzat manusia yang khusus harus mengikuti perubahan setiap anggota tubuhnya. Jika ditanyakan: Bukankah ia menisbatkan dzatnya kepada dirinya sendiri, sehingga ia mengatakan, “dzatku” dan “diriku”, sehingga hal itu mengharuskan “dirinya” berubah karena “dzatnya”, dan ini tidak mungkin. Kami menjawab bahwa kami tidak hanya berpedoman pada lafadzh saja sehingga apa yang anda katakan demikian adanya. Tetapi kami berpedoman pada akal saja, karena petunjuk akal menunjukan bahwa manusia adalah wujud yang satu. Seuatu yang satu ini mengambil dengan alat tangan, melihat dengan alat mata, dan mendengar dengan alat telinga. Maka manusia adalah sesuatu yang satu. Anggota-anggota tersebut adalah alat-alat dalam melakukan berbagai aktifitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sesuatu yang berubah karena anggota-anggota tubuh dan alat-alat tubuh tersebut. Berdasarkan perspektif ini, dapat ditetapkan bahwa manusia adalah sesuatu yang berubah karena struktur tersebut dan karena jasadnya. Jika ditetapkan demikian, maka kami berpendapat bahwa firman Allah: “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, maksud dari “hamba” disini adalah esensi ruh. Berdasarkan pandangan ini, maka dalam ayat tersebut tidak terdapat petunjuk yang mengarah pada terjadi Isra‟ tersebut dengan jasadnya. Jika ditanyakan: Isra‟ dengan ruh bukanlah sesuatu yang diluar kebiasaan, karena itu tidak selayaknya dikatakan: “ Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. Menurut kami, hal ini juga tidak mungkin, karena tidak ada halangan untuk dikatakan bahwa ruh dapat mencapai (mengetahui) hal-hal ghaib dan nyata yang tidak sama sekali dapat diketahui oleh yang lainya. Jadi tidak ada halangan jika ada ungkapan ayat tersebut sesuai bagi-Nya. Ini merupakan penentuan dari aspek pertanyaan berdasarkan penggunakan ayat ini. Sebagai dalil untuk menetapkan bahwa Mi‟râj itu terjadi dengan ruh dan jasad secara bersamaan. Jawabanya adalah bahwa lafadz “hamba” disini mencakup ruh dan jasad. Dalilnya adalah firman Allah SWT : “bagaiman pendapatmu tentang orang yang melarang seseorang hamba ketika ia mengerjakan shalat”. Tidak diragukan lagi bahwa kata “hamba” disini mencakup ruh dan jasad. Allah SWT juga berfirman dalam QS. alJinn ayat 19: “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desakmendesak mengerumuninya”. Yang dimaksud dengan kata “hamba” pada ayat ini juga ruh dan jasad. Sedangkan petunjuk dari khabar adalah hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab shahih dan derajatnya masyhur, yaitu yang menunjukkan kepergian dari Makkah ke Bait al-Maqdis ke langit. Orang-orang yang

mengingkari hadis ini berargumen dengan mengemukakan beberapa perspektif berikut: 3.2.1. Dari perspektif akal, mereka mengemukakan tiga perkara: (1) gerakan yang sangat cepat tesebut adalah sesuatu yang tidak masuk akal; (2) kenaikan benda yang berat ke langit juga merupakan sesuatu yang tidak masuk akal; (3) naik benda tersebut ke langit harus menembus atmosfir (orbit planet-planet lain), dan itu sesuatu yang tidak mungkin.

3.2.2. Jika pengerian ini benar, maka hal itu merupakan mu‟jizat yang paling besar dan itu mengharuskan diperlihatkanya kepada seluruh manusia sehingga mereka dapat menjadikanya sebagai petunjuk untuk membenarkanya dalam pengakuan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi. Adapun tejadi peristiwa tersebut tanpa dilihat dan tidak pula disaksikan oleh siapa pun, maka hal itu adalah siasia, dan tidak layak bagi Allah yang Maha Bijaksana.

3.2.3. Mereka perpegang pada firman AllahSWT: “Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perliahatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia”. Kata “mimpi” yang dimaksud dalam ayat ini tidak lain adalah peristiwa Isra‟ Mi‟râj Nabi SAW, ketika mendengar peristiwa ini, mereka mendustakannya dam mengingkarinya, sehingga peristiwa Mi‟râj itu menjadi sebab terjadi bencana bagi manusia. Karena itu, ditetapkan bahwa “penglihatan” itu dilihatnya pada saat tidur (mimpi).

3.2.4. Bahwa peristiwa Mi‟râj ini mencakup perkara-perkara yang tidak mungkin. Di antaranya riwayat yang menceritakan bahwa perut Nabi SAW dibedah dan disuciakan oleh air Zamzam, dan itu jauh, karena yang mungkin dicuci oleh air adalah najis-najis yang tampak, dan dalam hal itu tidak ada pengaruhnya pada pembersihan hati dari keyakinan-keyakinan yang bathil (salah) dan perilakuperilaku yang tercela. Riwayat lain adalah Buraq yang dikendarainya dan itu juga jauh, sebab ketika Allah memperjalankan Nabi SAW ke ruang angkasa, apakah itu memerlukan Buraq. Kemudian riwayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT mewajibkan 50 waktu shalat, lalu disebutkan bahwa Muhammad SAW masih terus mondar-mandir antara Allah dan Musa AS, kewajiban shalat itu menjadi lima waktu shalat karena belas kasihan Musa. Al-Qadli mengatakan: Hal ini menuntut penghapusan hukum sebelum pemberlakuannya dan itu juga mengharuskan adanya permulaannya. Hal demikian adalah tidak

mungkin bagi Allah. Karena itu, peristiwa tersebut mencakup suatu perkara yang tidak dapat diterima dan karenanya hal itu ditolak. Jawaban atas argumentasi yang berdasarkan perspektif akal telah kami kemukakan sebelumnya dan kami tidak perlu mengulangnya. 3.2.1.1. Jawaban atas keraguan yang kedua adalah: Firman Allah SWT yang menyebutkan: “Supaya Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami” adalah ungkapan global. Perincianya dan penjelasanya mengandung beberapa aspek : 3.2.1.1.1. Bahwa kebaikan-kebaikan surga adalah besar dan keburukan-keburukan neraka adalah keras. Seandainya Nabi SAW tidak menyaksikan keduanya di dunia, kemudian menyaksikannya pada permulaan hari kiamat, mungkin beliau akan menyukai kebaikan-kebaikan surga dan takut akan keburukan-keburukan neraka. Tetapi ketika beliau menyaksikan keduanya didunia pada malam Mi‟râj, maka kenyataan kedanya tidak akan menggelisahkan hati beliau pada hari kiamat, dan ketika itu beliau akan mencurahkan seluruh perhatianya untuk memberikan syafa‟at.

3.2.1.1.2. Tidak ada halangan bagi para nabi dan malaikat untuk menyaksikan pada malam Mi‟râj, yang mana hal itu menjadi sebab kesempurnaan kemaslahatan beliau atau kemaslahatan mereka.

3.2.1.1.3. Adalah suatu kemungkinan beliau naik ke angkasa dan menyaksikan keadaan langit, kursi Allah dan „Arsy-Nya, sehingga menyaksikan keadaan dunia dan keburukan-keburukanya menjadi sesuatu yang kecil dimatanya. Hal itu akan menambah kekuatan dalam hatinya yang mana dalam kekuatan tersebut, perjalanan beliau dalam melaksanakan dakwah menjadi lebih sempurna serta tidak gentar menghadapi musuh-musuh Allah. Hal itu menjelaskan bahwa orang yang menyaksikan kekuasaan Allah SWT dalam konteks ini, keadaanya akan berlipat ganda, begitupun kekuatan jiwanya dan

keteguhan hatinya dalam menghadapi setiap tantangan dan dalam berjihat dan lain-lain ketimbang orang yang tidak menyaksikanya. Ketahuilah bahwa firman Allah: “Supaya Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami” adalah sebagai dalil yang menunjukkan bahwa manfaat Isra‟ tersebut adalah dikhususkan bagi beliau dan kembali kepada beliau secara khusus.

3.2.1.2. Jawaban atas keraguan ketiga adalah bahwa ketika kami sampai pada akhir penafsiran dari ayat ini, kami menjelaskan bahwa “penglihatan” itu adalah “penglihatan yang nyata” dan bukan mimpi.

3.2.1.3. Jawaban atas keraguan keempat adalah bahwasanya tidak ada kesulitan apapun bagi Allah SWT dalam melakukan perbuatan-perbuatan-Nya, sesungguhnya Dia memperbuat apa yang dikehendaki-Nya dan menentukan apa yang dikehendaki-Nya pula. Wallahu A‟lam.

Lampiran 2: Terjemahan Tafsir Jawahir al-Qur‟an atas Qs. al-Isra :1

(Tafsir Lafdzhi) Mensucikan (Subhâna –Maha Suci-) Allah, atau menjauhkan-Nya (dari sifat-sifat buruk). Maka Subhâna adalah Ism yang bermakna al-Tanzih (yang suci/jauh dari sifat-sifat buruk), maksudnya Allah membersihkan mukjizat yang akan disebutkan setelah ini. (al-ladzî asrâ bi „abdihi –yang meng-Isra‟-kan hambaNya-) yakni Muhammad SAW, adapun sarâ dan asrâ adalah dua bahasa yang sama. (Laylan –malam hari-) pada masa yang sedikit, dan ini menunjukkan malam yang tidak diketahui/nakirah. (Min al-Masjid al-Harâm –dari Masjid al-Haram-) itu adalah Masjid yang sesungguhnya, bukan tanah Haram seluruhnya, ini berdasarkan sabda Nabi Saw: Ketika saya tidur di Masjid al-Haram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka‟bah) antara tidur dan terjaga, datang kepada saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah buraq denganku menuju langit pada malam itu. Dan adapun Mi‟rajnya dari Bait al-Muqaddas. Dan Nabi mengabarkan kepada kaum Qurays tentang kafilah mereka, jumlah unta mereka beserta keadaan mereka. Nabi juga menceritakan tentang keajaiban-keajaiban yang dilihatnya di langit. Nabi juga bertemu dengan para Nabi dan ia sampai di Bait al-Ma‟mur dan Sidrat al-Muntaha. Dan adapun Isra‟ ini terjadi sebelum Hijrah. Dan perbedaan pemahaman yang banyak terjadi adalah apakah ini terjadi dalam keadaan terjaga atau tidur (mimpi). Adapun Sayyidah „Aisyah berpendapat bahwa ini terjadi dengan ruh saja. Sedangkan mayoritas pendapat berpendapat dengan jasadnya. Dan firman Allah (Ilâ al-Masjid al-Aqshâ –ke Masjid al-Aqsha-) maksudnya adalah Bait al-Muqaddas. (al-ladzî bârakna haulahu –yang telah Kami berkahi sekelilingnya) dengan keberkatan-keberkatan agama dan dunia karena ia adalah tempat turunnya wahyu dan tempat ibadah para nabi sejak masa Nabi Musa as. Di sekitarnya terdapat pepohonan berbuah dan sungai-sungai yang mengalir. (Li Nuriyahu –agar Kami perlihatkan kepadanya-) yakni kepada Nabi Muhammad SAW. (Min Âyâtinâ –sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami-) dari keajaiban-keajaiban dalam ukuran kita, seperti kepergiannya dalam sekejap malam pada jarak perjalanan satu bulan, dan ditampakkan Bait al-Muqaddas kepadanya, dan para nabi mempercontohkan (shalat) kepadanya, dan berhentinya beliau pada tempat-tempat mereka, serta penglihatannya kepada keajaibankeajaiban langit serta keanehan-keanehan para makhluk di dalamnya. (Innahu Huwa al-Samî‟ –sesungguhnya Dia Maha Pendengar-) pada perkataan-perkataan Nabi Muhammad SAW. (al-Bashîr –Maha Melihat-) dengan perbuatan-perbuatannya dan Dia memuliakan dan mendekatkannya atas bilangan yang tidak ia perkirakan.

(Lathifah pertama mengenai firman Allah SWT: Subhâna al-ladzî asrâ- hingga akhir ayat) Ketahuilah bahwa surat ini berhubungan dengan (surat) sebelumnya yang susunannya mempunyai arti sesuai. Sesungguhnya (ayat ini) menerangkan apa yang terdapat dalam surat al-Hijr dan al-Nahl yang susunannya memberikan pengertian tentang awal mula penciptaan makhluk hingga akhir sebuah penciptaan dan dari penjelasan ciptaan hingga proses perwujudannya, dan itu semua adalah yang terdapat dalam surat al-Hijr. Kemudian diulang kembali menurut urutannya yaitu dimulai dari yang lebih tinggi hingga ke yang lebih rendah. Dan kemudian menyebutnya melalui metode penengah dari kedua pembahasan di atas, yang apabila dilihat dari susunannya agar menjadi penentu terhadap beberapa kejaibankeajaiban untuk diketahui melalui metode penengah ini. Dan al-Jahir mengatakan bahwa sesungguhnya keadilan, kebaikan, bersedekah dan sebagainya, merupakan hal yang menyebabkan hidup yang berbahagia. Kemudian surat sebelumnya menyempurnakan dengan menyebut Ibrahim dan hartanya dari kemuliaan dan sifatnya yang terpuji. Dan kami berpendapat sesungguhnya ia disifati dengan empat puluh sifat yang telah berlalu keterangannya dalam surat al-Baqarah yang menukil dari beberapa mufassir tentang konsep yang menjadi sebuah pandangan, karakter untuk dipelajari, dan keutamaan untuk menjadi pegangan, dan pengetahuan untuk dijaga, dan Allah untuk disembah, manusia untuk menjadi penunjuk dan pengarah menuju jalan yang lurus dan persatuan umat. Lalu menyebutkan Nabi Muhammad dengan semua sifat-sifat terpujinya. Kemudian surat (al-Nahl) ini ditutup dengan menjelaskan keadaan dakwah yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan merendahkan selain Nabi Ibrahim, lalu Allah memerintahkan untuk patuh kepada orang-orang pilihan Allah dan memberikan nasehat kepada orang awam dan berdebat dengan orang yang ingkar. Semua itu terdapat dalam surat al-Nahl yang akhir surat tersebut berbunyi: Inna Allah ma‟a al-ladzi al-Taqaw wa al-ladzina hum muhsinun. Dan apabila para nabi itu orang-orang yang baik, lalu siapa lagi?. Dan Allah mempredikatkan Nabi Saw. sebagai seutama-utamanya orang yang baik, dan beliau bersama Allah, dan Allah bersamanya. Maka surat setelahnya (yakni surat al-Isra‟) itu diawali dengan hal yang memberikan pengertian yang sama, dan apakah itu bersifat jismiyyah atau ma‟nawiyah, yaitu ayat yang berbunyi: Subhana alladzi asra bi‟abdihi. Allah berfirman sesugguhnya Ibrahim dan Muhammad Alaihumâ al-Salâm naik ke langit dan ke tempat yang sempurna dan mereka sampai ke tempat yang belum pernah sama sekali dicapai oleh semua orang. Dan hal itu tidak memberikan pernyataan bahwa mereka berdua dan beberapa nabi bertemu Allah secara hakekat, karena sesungguhnya Allah menyanjung dan memprioritaskan (mereka berdua) dari makhluk (yang lain). Bahwa sesungguhnya Allah menjalankan hambanya di malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha bukanlah sebagaimana arti kebersamaan (antara Allah dan Muhammad –Penj) yang kalian ketahui. Kedekatan para nabi dan para auliya‟ merupakan kedekatan

mengenai hidayah, irsyad dan tingginya pengetahuan –untuk menjelaskan ayatayat Allah- dan memperlihatkan keajaiban-keajaiban Allah. Kemudian lihatlah pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai hal itu bahwa Rasulullah Saw. suatu malam berjalan dari Masjid al-Ka‟bah, ada tiga orang yang mendatangi beliau sebelum diwahyukan kepadanya tentang Isra‟, sementara itu beliau dalam keadaan tidur di Masjid al-Haram. Kemudian pada suatu malam yang lain mereka mendatangi beliau (lagi), dalam keadaan beliau melihat dengan hatinya dan matanya tertidur sedangkan hatinya tidak tidur. Begitulah para Nabi, mata mereka tidur dan hati mereka tidak tidur. Lalu mereka (tiga orang tadi -penj) tidak berbicara apapun kepada beliau sehingga beliau bermimpi dan mereka membawa beliau dan meletakkan beliau di sisi sumur Zamzam, dan beliau mengetahui salah satu dari mereka adalah Jibril. Dan di sini diceritakan bagaimana Jibril membelah antara sebelah atas dada hingga perut bagian bawah sehingga dada dan perutnya kosong. Kemudian dengan tangan Jibril dibasuh menggunakan air zamzam hingga bersih perutnya. Dan diceritakan juga tentang bejana dari emas yang di dalamnya ada tempat dari emas yang berisi iman dan hikmh, maka diisilah dada beliau dengannya. Kemudian beliau naik ke langitnya dunia, dan disini diceritakan pertanyaan para penghuni langit kepada beliau, Jibril mengatakan : Muhammad bersamaku, lalu mereka bertanya: Sudah diutuskah dia (menjadi rasul)?, Jibril menjawab: Ya. Lalu mereka berkata: Selamat datang. Dan diceritakan tentang pertemuannya di langit dunia dengan Nabi Adam, dan sesungguhnya di sana terdapat dua sengai, dan Jibril berkata bahwa dua sungai itu adalah sungai Nil dan Furat, Lalu Nabi melihat sebuah sungai lain yang di atasnya terdapat istana dari mutiara dan zabarjad (batu permata), lalu beliau menyentuhnya maka jadi harum, maka nabi bertanya kepada Jibril (tentang hal ini), ia menjawab: ini adalah al-Kautsar yang mana tuhanmu menyembunyikannya darimu. Dan sesungguhnya di langit dunia, di sebelah kanan Adam ada hitamhitam dan di sebelah kirinnya ada hitam-hitam, dan bila ia melihat sebelah kanannya maka ia tertawa, dan bila ia meliahat sebelah kirinya maka ia menangis. Lalu Jibril menjelaskan kepada Nabi bahwa hitam-hitam yang ada di sebelah kanan dan kirinya adalah anak cucunya, dan di sebelah kanan adalah penghuni surge, di sebelah kiri adalah penghuni neraka. Kemudian di langit kedua bertemu dengan Yahya dan Isa, mereka berdua adalah anak-paman, maka nabi mengucpkan salam kepda mereka berdua dan mereka membalas dan mengucapkan selamat datang. Dan di langit ketiga beliau bertemu dengan Yusuf. Dan di langit ke empat bertemu dengan Idris. Dan di langit ke lima bertemu dengan Harun. Dan di langit ke enam bertemu dengan Musa, dan ia sedang menangis. Maka nabi bertanya, dan Musa menjawab : Saya menangis karena seseorang diutus setelahku dan ia bersama umatnya masuk surga lebih banyak daripada umatku yang masuk surga. Dan di langit ke tujuh beliau bertemu dengan Ibrahim. Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha maka nampaklah tiang-tiang indah dan dedaunan yang lebar seperti telinga gajah. Kemudian Jibril berkata: inilah Sidratul Muntaha. Maka ketika nabi melihat empat sungai, dua sungai terlihat samar dan dua sungai terlihat jelas, lalu Jibril menjelaskan kepada beliau bahwa dua sungai yang jelas adalah sungai Nil dan Furat, dan dua nilai yang samar adalah dua sungai di surga. Kemudian beliau naik ke Bait al-Ma‟mur, dan didatangkan kepadanya sebuah tempat berisi khamr, susu dan madu, maka aku mengambil susu. Lalu Jibril berkata: itu adalah fitrah, kamu dan umatmu berada

di atas fitrah. Dan di sini diceritakan mengenai permasalahan shalat, dan telah ada pada riwayat Muslim tentang sifat Bait al-Ma‟mur sesungguhnya setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat yang memasukinya. Dan mengenai sifat Sidratul Muntaha adalah perkara yang mana Allah menutupinya dan tidak seorang pun dari makhluk-Nya yang dapat menceritakan sifatnya dengan baik. Dan Sidratul Muntaha ini disebut sebagai isim karena pengetahuan para malaikat berhenti mengenainya. Dan telah ada beberapa riwayat lain, sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda : Para Nabi-Semoga rahmat dan salam atas mereka- mempercontohkan (solat) kepadaku, lalu aku shalat bersama mereka, kemudian nabi keluar ke Masjidil Haram dan mengabarkannya kepada kaum Quraisy, maka terkejutlah mereka dan orang-orang yang beriman murtad, kemudian beberapa orang mendatangi Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata: Kalau nabi mengatakan demikian maka itu benar, orang-orang tersebut bertanya: apakah kamu membenarkan nabi akan hal itu?, Abu Bakar menjawab: Ya, aku membenarkannya. Maka dari itulah Abu Bakar mendapat gelar al-Shiddiq (orang yang percaya). Dan ada seseorang pada suatu kaum yang pernah datang ke Masjid al-Aqsha, kemudian mereka bertanya kepada Nabi Saw.: Apakah kamu dapat menceritakan sifat-sifat Masjid al-Aqsha kepada kami. Maka aku menceritakan sifat-sifat masjid itu. Dan Nabi melihat Masjid al-Aqsha seakan-akan masjid itu diletakkan di seberang rumah Aqil. Kemudian kaum tersebut berkata: Sungguh ceritamu kamu benar. Kemudian kaum tersebut bertanya kepada Nabi Saw. tentang kafilah-kafilah mereka. Nabi menjawab: Saya telah melewati kafilah bani Fulan, dan mereka kehilangan seekor unta yang sedng mereka cari. Dan pada pelana mereka ada segelas air. Saya kehausan. Maka saya ambil air itu dan saya minum kemudian saya letakkan lagi di tempat semula. Tanyakanlah kepada mereka apakah mereka menemukan air itu nanti bila mereka pulang. Kemudian nabi juga berkata: Saya juga melewati kafilah bani fuln dan fulan dan fulan yang sedang duduk di atas kendaraannya. Ketika seekor unta lari menghindariku, maka patahlah unta itu. Tanyakanlah hal itu kepada kafilah tersebut. Nabi Saw juga berkata: mereka akan datang di awali dengan seekor unta coklat tua, di atasnya ada permadani hitam dan dua karung hitam, mereka akan tiba pada saat terbit matahari. Maka keluarlah mereka untuk menyaksikan berita dari Nabi. Akhirnya datanglah kafilah itu didahului oleh unta yang dikatakan oleh nabi tadi. Kemudian mereka berkata: Ini adalah sihir. Kemudian diceritakan pula tentang para Nabi dalm keadaan shalat, diceritakan bahwa Nabi Musa seperti laki-laki suku Sanu‟ah, dan Nabi Isa seperti Urwah bin Mas‟ud al-Tsaqafi, dan Nabi Ibrahim yang mirip dengan Nabi Saw. sendiri. Kemudian a berkata bahwa ia melihat Malaikat penjaga neraka.. Dan adapun shalat nabi Saw bersama para nabi itu terjadi di Bait al-Muqaddas. Kemudian diceritakan juga tentang bahwa sesungguhnya Buraqlebih rendah daripada bughal dan lebih tinggi daripada keledai, ia meletakkan langkahnya pada pandangannya yang paling jauh. Aku ditunggangkan di atasnya. Lalu kami berangkat hingga ke langit. Dan apakah itu semua terjadi sebelum tahun Hijrah?. Dan apakah itu terjadi dalam keadaan tidur atau terjaga?. Dengan ruhnya atau jasadnya?. Dan mayoritas berpendapat bahwa beliau isra‟ dengan jasadnya hingga sampai ke Bait

al-Muqaddas, lalu naik ke langit hingga berhenti di Sidrat al-Muntaha. Dalam surat ini tidak disebutkan mengenai naiknya ke langit, namun hanya menyebutkan mengenai isra saja hingga ke Masjid al-Aqsha. Adapun mengenai Mi‟râj tidak disebutkan kecuali dalam hadis.

(Mendudukkan Permasalahan) Sesungguhnya perkara-perkara ghoib ini tidak boleh kita pahami hanya sebatas mengandalkan akal pikiran kita, karena akal manusia terlalu sempit untuk mengetahuinya. Lalu bagaimana cara kita memahami Mu'jizat kenabian tersebut (Isra‟ dan Mi„râj), Allah Swt berfirman: ‫اق َوف ًِ أَ آوفُس ِ ِه آم‬ ِ َ ‫( س َ ىُ ِرٌ ِه آم آٌَاتِى َا ف ًِ آاَف‬akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri). Maka ada baiknya kita simak penjelasan para ulama' ahli ruh berikut ini: “Sesungguhnya jasad manusia itu tersusun dengan ruhnya, dan setiap jasad terdapat didalamnya jasad lain semisalnya yaitu nurani atsiry (other material), jasad ini sangat selaras dengan jasad lahiriyah kita. Maka jika manusia terlepas dari jasad ini, baik melalui kematian, riyadloh atau melalui cara buatan lainnya, dia akan melihat dalam dirinya sesuatu seperti dirinya, tidak ada perbedaan antara dua jasad tersebut. Para ulama banyak menulis kitab-kitab untuk menjelaskan masalah ini, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: Manusia sesudah kematian, dia mengira dirinya masih hidup dan dia tidak tahu bahwa dirinya sudah mati, kemudian dia akan sadar setelah dijelaskan kesalahanya ". Berikut ini kisah Oliver Loudg, dan anaknya Raymond yang meninggal dalam perang Jerman, dia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku! Sesungguhnya jasad kami disini (barzah) seperti jasad kalian, anggota tubuh kita juga sempurna (seperti kalian) tetapi ini adalah jasad di alam lembut (barzah), kami melihat jasad disini seperti jasad di alam kalian. Jika anda memahami hal ini, maka tidak ada bedanya apakah Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad lahiriyah atau dengan jasad atsiry yang lembut (ruh), hal itu bukanlah mustahil, karena keduanya berada dalam kekuasaan Allah. Adapun jasad lahiriyah, maka pergerakan bintang-bintang menampakkan keajaibannya dalam kecepatan perjalanannya, sebagaimana yang anda ketahui dalam tafsir yg lalu. Begitupun jika kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy (ruh), maka itu bukan sesuatu yang aneh. Jasad ini akan berjalan lebih cepat dari kedipan mata bahkan seperti kilauan kilat menuju ke penghujung alam. Dan alam barzakh ini disebut ulama kita sebagai 'âlam almitsâl, sebagaimana yg dikatakan oleh Plato, ini adalah alam yang ditampakkan didalamnya bahwa para nabi shalat bersama Rasulullah SAW dan beliau melihat mereka di atas langit sesuai dengan tingkatan kedudukan mereka. Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yg seharusnya memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka bagaimana

dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang yang mengalaminya. Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah SAW Nabi Adam, Isa, Idris, Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah orang paling mirip dengan rasulullah. Bukankah anda melihat bahwa penyebutan kemiripan Nabi Ibrahim dengan rasulullah itu sangat sesuai dengan penyebutan yang terdapat di akhir surat alNahl, bahwa rasulullah SAW diperintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim, maka dari itu beliau melihat Nabi Ibrahim di langit yang ketujuh bahwa beliau mirip dengannya. Kalau kita katakan bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu dengan jasad barzakhy maka pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal ini akan mengerucut menjadi satu. Jika Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan ruhnya saja, kita katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah jasadiyah (lahiriyah) secara mutlak. Dan jika selain beliau berkata bahwa nabi di-Isra‟ Mi„râj-kan dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda benar, karena menurut ahli ruh tidak ada perbedaan antara jasad barzakhyah dan jasad lahiriyyah, karena jasad barzakhyah adalah jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah. Maka barangsiapa berkata bahwa nabi Isra‟' dengan ruhnya saja berarti dia mendekati hakekat kebenaran, dan barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan jasadnya maka dia juga mendekati hakekat kebenaran, karena ini (ruh) adalah kondisi pertengahan yang mana kecepatanya seperti kecepatan mimpi, dan gambarannya menyerupahi gambaran jasad lahiriyah, ia akan terbang lebih cepat dari pada kilat bahkan kecepatanya seperti kecepatan lintasan pikiran, bukankah anda melihat bahwa seseorang dalam kamarnya berada di timur dengan lintasan pikirannya kemudian berpindah ke barat lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti keadaan yang biasa terjadi di alam ruh sana. Para ahli ruh berkata: sesungguhnya ruh itu berada di belakang jasad barzakhy, bahkan mereka membagi tingkatan jasad itu menjadi tujuh dan ruh berada di belakang semua itu. Sesungguhnya saya sebutkan semua ini untuk membuka pintu analisa bagi orang-orng yang mempunyai jiwa yang mulia sesudah kita supaya mereka mau berfikir dan mengetahui hakekat diri mereka.

(Apa Tujuan dari Peristiwa Isrâ’ Bagi Kita) Hendaklah manusia mengetahui bahwa Allah tidaklah menurunkan kisah Isra‟ dalam al-Qur'an hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui kondisi rasulullah semata. Akan tetapi Allah menginginkan dari kita agar kita mengikuti agama dan syariatnya, supaya kita ikhlas dan berdakwah kepada manusia sebagaimana dakwah Rasulullah SAW –yang mana Allah Swt berfirman kepadanya: ‫سى أَنآ ٌَ آب َعثَ َك َرب ُّ َك َمقَام ً ا َم آحم ُ ىدًا‬ َ ‫ َع‬-Semoga tuhanmu memberikan kedudukan yang mulia kepadamu,- Allah berfirman dipertengahan surat al-Isra‟ dan memerintahkan kepada beliau untuk bertahajjud agar meraih kedudukan tersebut, dan di awal dikisahkan bahwa beliau di-Isra‟-kan, kemudian di akhir disebutkan bahwa beliau mendapatkan kedudukan yang mulia tersebut dengan tahajjud.

Dan disebutkan pula bahwa ruh adalah urusan tuhan dan kita tidak diberi pengetahuan dalam hal ini kecuali sedikit, hal ini menunjukkan bahwa masalah ruh berada diluar pengetahuan kita, tetapi telah datang firnan Allah Swt yang lain di surat Thoha: ‫ َوق ُ آل َر ِّب ِزدآو ًِ ِع آلم ً ا‬-Dan katakanlah: (wahai) tuhan tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan- maka ini adalah tambahan (pengetahuan) yang dimohonkan. Maka kita tidak akan diam dalam satu batasan saja agar kita tidak menjadi orang yang taklid, bahkan kita harus semkin giat dalam mengkaji dan menganalisa, karena Allah berfirman: ‫ َوم َ ا أُوتِ ٍتُ آم م ِ هَ ا آل ِعل آ ِم إ ِال قَلِ ٍال‬-Dan kalian tidak diberi pengetahuan dalam hal ini kecuali sedikit. Maka wajib bagi kita untuk membersihkan jiwa kita dan memberikan petunjuk kepada manusia dari kegelapan agar jiwa kita menjadi tinggi. Jika rasulullah di-Isra‟-kan, bukan berarti supaya kita juga di-Isra‟-kan, akan tetapi maksud dari semua itu agar jiwa kita tinggi, agar Allah juga merperlihatkan kepada kita tanda-tanda kebesarannya. Maksud dari pembahasan ini di dalam al-Qur'an adalah untuk membuka pintu pemikiran kita tentang alam arwah supaya kita memahami bagaimana cara kita membersihkan jiwa kita dan menjadikan jiwa kita di ufuk yang paling tinggi. Dan hal itu tidak akan terwujud, kalau kita tidak mengerti hakikatnya dan tidak mncari ilmunya yang mana dengan ilmu itu kita akan mencium aroma arwah. Ilmu tentang arwah ini telah tersebar di seluruh penjuru Eropa, ilmu ini tidak ada bedanya dengan ilmu yang kita warisi dari para pendahulu kita. Sesungguhnya seluruh arwah manusia berada di tempat yang tinggi, dan dengan cara-cara tertentu manusia nantinya kan melihat hakekat semua ini – ‫وهللا ٌَ هدي م َ هآ‬ ‫ ٌَ شاء إ لى ص َراط م ستقٍم‬-Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.– Selaras dengan pembahasan kita ini, riwayat dari Imam Bukhari dalam bab ta'bir mimpi, meskipun tidak menyebutkan tentang malam Isra‟ tetapi didalamnya terdapat ilmu yang berharga yang tidak diketahui kecuali oleh para peneliti yang cermat. Rasulullah diperlihatkan alam barzakh dalam mimpinya dengan gambaran yang nyata, sampai-sampai para ahli filsafat terdahulu menghabiskan umurnya dalam memikirkannya, seperti Qabs seorang filosof Yunani yang telah kita sebutkan perkataannya dalam surat al-Baqarah. Adapun Rasulullah SAW, beliau yang tidak bisa membaca dan menulis telah melihat gambaran-gambaran yang menakjubkan, beliau ditampakkan permisalan kejelekan dan kemuliaan yang mana itu menunjukkan bukti-bukti kenabiannya, pada malan Mi„râj beliau juga melihat Adam tertawa kemudian menangis. Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan al-Bukhari dari Samuroh bin Jundab Ra. dia berkata: “Rasulullah SAW sering berkata kepada para sahabatnya: Apakah salah satu diantara kalian ada yg bermimpi?. Kemudian diceritakan kepada beliau sebuah mimpi. Setelah itu Rasulullah SAW berkata kepada kami: Tadi malam aku didatangi dua orang laki-laki kemudian mereka membangkitkan diriku, dan berkata kepadaku: Berangkatlah (pergilah), maka aku pergi bersama

mereka, kemudian kami menjumpai seorang laki-laki berbaring dan diatasnya ada seseorang dengan membawa batu besar kemudian batu besar itu ditimpakan diatas kepala orang berbaring tadi sampai kepalanya terbelah…… kemudian kepala orang itu kembali seperti semula, lalu orang yang berdiri tadi melakukan hal yang sama kepadanya, kemudian nabi berkata kepada dua orang yang membawanya: Subhanallah ada apa dengan dua orang ini, lalu mereka berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai seseorang yang terlentang diatas tengkuknya, dan berdiri di atasnya seorang laki-laki dengan membawa besi bengkok, kemudian dia mendatangi salah satu bagian wajahnya lalu memotong sudut mulutnya hingga ke tengkuknya, dan memotong sudut hidungnya hingga ke tengkuknya, dalam riwayat lain disebutkan kemudian dia membelahnya, kemudian dia pindah ke sisi wajahnya yan lain dan melakukan hal yang serupa, kemudian wajahnya kembali seperti semula dan orang tadi melakukan hal yang serupa pula, lalu aku (nabi) berkata: Subhanallah ada apa dengan dua orang ini?. Dua orang yang membawaku berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai perapian dan di dalamnya ada suara gaduh setelah kita amati ternyata di dalamnya ada laki-laki dan wanita-wanita yang telanjang, kemudian datanglah kobaran api dari arah bawah menghampiri mereka, sehingga mereka berteriak keras, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan mereka ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sungai merah seperti darah dan didalamnya ada orang yang berenang kemudian di tepi sungai ada laki-laki yang membawa batu yang banyak. Dan tatkala orang itu berenang menghampirinya, maka dibukalah mulutnya dan dimasukkan batu-batu itu kedalamnya, kemudian orang itu berenang lagi, dan setiap orang itu berenang menghampirinya, maka dibukalah mulutnya dan dimasukkan batu-batu itu ke dalamnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan dua orang ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai seorang laki-laki yang jelek dan ia menyalakan api yang ada disampingnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan orang ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sebuah taman yang didalamnya ada cahaya yang bersemi di sekitarnya, dan di tengah taman itu ada seorang laki-laki yang tinggi, aku hampir tidak bisa melihat kepalanya yang ada di langit, dan di sekitar laki-laki itu ada banyak anak-anak kecil yang belum pernah aku menyaksikan semisalnya, lalu aku (nabi) berkata: Ada apa dengan orang ini? dan ada apa dengan anak-anak kecil ini? Dua orang yang membawa beliau berkata: Pergilah pergilah!, kemudian kami pergi, lalu kami menjumpai sebuah taman yang luas, belum pernah aku melihat taman seluas dan seindah itu, kemudian dua orang yang membawaku berkata: Naiklah! Maka kami naik di dalamnya, kemudian kita menjumpai kota yng dibangun dengan batu bata emas dan perak, kemudian kami mendatangi gerbang kota, kami meminta dibukakan pintu, kemudian pintu dibuka dan kami menjumpai orang-orang yang mukanya bagus setengah dan jelek setengah, kemudian dua orang yang membawaku berkata kepada mereka: Pergilah dan terjunlah ke sungai itu!, ternyata sungai itu panjang mengalir dan airnya sangat putih, kemdian mereka terjun ke sungai itu, setelah itu mereka kembali kepada kmi dalam keadaan sebagus-bagusnya rupa dan telah hilang kejelekan dari mereka, kemudian dua orang yang membawaku berkata kepadaku ini adalah surga Aden, dan itu adalah rumahmu, kemudian aku lihat ke

atas, dan aku dapati istana seperti awan putih, kemudian dua orang yang membawaku berkata kepadaku ini adalah rumahmu, lalu aku berkata kepada mereka: Semoga Allah memberkahi anda berdua, tolong biarkan aku memasukinya! Mereka berkata: Bukan sekarang waktunya, lalu aku berkata kepada mereka: Sungguh aku melihat dari tadi malam hal-hal yang menakjubkan, apa maksud dari semua yang aku lihat ini?. Mereka berkata: Sekarang sudah saatnya kami beritahukan kepadamu. Adapun orang pertama yang dipecahkan kepalanya ia adalah orang yang mengerti al-Qur'an tapi menolaknya dan dia tidur (lalai) dari sholat wajib. Adapun orang yang dipotong sudut mulutnya hingga ke tengkuknya, dan dipotong sudut hidungnya hingga ke tengkuknya dan matanya, ia adalah orang yang keluar dari rumahnya dan suka menyebarkan kebohongan. Adapun laki-laki dan wanita-wanita yang telanjang mereka adalah para pezina. Adapun orang yang berenang di sungai yang dibuka mulutnya dan dimasukkan batu-batu kedalamnya, dia adalah pemakan harta riba. Adapun seorang laki-laki yang jelek dan ia menyalakan api yang ada disampingnya, dia adalah Malik penjaga neraka. Adapun seorang laki-laki yang tinggi di tengah taman itu adalah Ibrahim alaihissalam. Adapun anak-anak kecil yang ada di sekitarnya, mereka adalah anak kecil yang mati dalam fitrah, kemudian sebagian sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah anak-anak kaum musyrikin juga termasuk? Beliau menjawab: Ya. Adapun orang-orang yang mukanya bagus setengah dan jelek setengah, mereka adalah orang-orang yang mencampur amal kebajikan dengan amal kejelekan dan Allah mengampuni mereka”.