NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU TASAWUF ...

35 downloads 778 Views 1MB Size Report
Tasawuf sebagai salah satu kajian dalam Islam sangat kaya akan nilai-nilai Islam ... nilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak dan ...
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

RINI SETIANI NIM.106011000156

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H

ABSTRAK Judul : Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka, Nama : Rini Setiani, NIM. 106011000156, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 M/1432 H, hlm. xi+75. Pendidikan Islam dewasa ini sangat mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan, hal ini terlihat pendidikan saat ini banyak mengalami modifikasi, transformasi bahkan metamorphosis ke dalam model atau bentuk pendidikan Islam formal. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang cerdas dan berakhlak mulia, memerlukan konsep yang matang. Ajaran Islam memiliki dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteris (batiniyah) yang seharusnya terintegrasi dalam pendidikan Islam. Hal yang bersifat esoteric dewasa masih relatif sering diabaikan dalam dunia pendidikan saat ini, oleh karena itu pembelajaran Islam hendaknya tidak hanya mementingkan aspek jasmaniyah semata, tetapi harus menyentuh ranah ruhani yang bisa membentuk peserta didik manjadi insan yang memahami hakikat kehidupan. Tasawuf sebagai salah satu kajian dalam Islam sangat kaya akan nilai-nilai Islam yang bisa diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam, terutama dalam bidang ruhani dan akhlak. Dengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf, pendidikan Islam akan lebih kaya makna, lebih dari itu peserta didik tidak hanya mengetahui pokok-pokok pendidikan Islam secara teoritis, tapi mereka juga dapat mengetahui ruh serta makna pendidikan Islam. Hamka adalah salah satu tokoh ulama Indonesia yang concern dalam kajian keislaman salah satunya dalam bidang tasawuf. Dari beberapa karyanya ia menulis tentang tasawuf, yang salah satu karyanya adalah buku Tasawuf Modern. Pada masanya buku Tasawuf Modern adalah buku yang fenomenal dan mendapat animo yang luar biasa dari masyarakat. Dalam buku Tasawuf Modern banyak ditemukan nilai-nilai yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya juga dalam dunia pendidikan Islam. Dari buku tersebut setidaknya terdapat tiga pokok pembahasan mengenai nilainilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak dan pendidikan spiritual. Memperteguh keimanan dengan cara memahami dan memperbanyak membaca Al Qur’an, memahami hadist Nabi, serta bertafakur kepada Allah adalah contoh nilai pendidikan keimanan yang dibahas dalam buku Tasawuf Modern. Nilai pendidikan akhlak terlihat dengan penjelasan Hamka tentang macam-macam akhlak terpuji diantaranya adalah malu, sidiq, qona’ah, amanat, iklhlas dan tawakal. Sementara mencegah penyakit hati dan mengobatinya serta menjadikan iman sebagai terapi untuk menjaga kesehatan jiwa mendidik kita untuk memperkuat spiritualitas. Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern buya Hamka. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriftif analisis dan kajian pustaka. Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses analisa dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan yang selanjutnya memberikan gambaran dan penjelasan serta diuraikan.

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karunia yang tidak terhingga, sehingga penyusunan skripsi dengan judul “ Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Buku Tasawuf Modern Hamka” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada nabi akhir zaman, suri tauladan yang paling baik, da’i

yang telah melakukan reformasi dari

kejahiliyahan kepada peradaban Islami, dengan menegakan ajaran Al Qur’an yang suci, melalui gerakan dakwah yang hakiki. Nabi Besar Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini merupakan proses yang panjang, diawali dengan niat dan tekad, serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini bisa selesai. Penulis menyadari keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag 3. Bapak Prof. Dr. H. M. Ardani dosen pembimbing yang telah tulus ikhlas memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Zaimudin, MA dosen penasehat Akademik yang telah melayani konsultasi dan memberikan arahan kepada penulis. 5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan penuh kesabaran dan keihklasan dalam mentransfer segala ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah 6. Kedua orang tuaku Bapak Nurrahman dan Ibu Juju Jubaedah serta adiku tercinta Rita hardianti dan Rian Hardiana

yang telah memberikan

dukungan moril dan materil serta doa restunya kepada penulis.

vi

7. Terima kasih penulis haturkan kepada kanda Rahmi syauqi Ilahi yang dengan sabar membimbing dan memberi motivasi kepada penulis. 8. Rekan rekan Mahasiswa PAI angkatan 2006 khususnya kelas D yang telah menemani penulis belajar di kampus peradaban selama empat tahun, serta kawan-kawan IMM Cabang Ciputat yang telah banyak memberikan pembelajaran kepada penulis, terutama Irma Tazkiyya, Tsauroh Arrisalati, Nursyakinah Nasution dan Mayang Maharani yang tinggal satu atap , terima kasih sudah bersedia menjadi tempat sharing dan berbagi cerita. Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon perlindungan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya penulis, dan umumnya pembaca. Amin. Jakarta, Februari 2011 Penulis

Rini Setiani

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................

i

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv ABSTRAK ............................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................

1

B. Penegasan Istilah ........................................................................

9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 10 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 10 E. Metodologi Penelitian ................................................................. 10

BAB II

TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam ...................................................... 13 B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam ...................................................... 18 C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam ............................................. 19 D. Tujuan pendidikan Islam ............................................................ 22

viii

BAB III

KAJIAN TERHADAP BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA A. Sekilas Biografi Buya Hamka .................................................... 25 B. Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern ...................... 28 C. Tasawuf dalam Persfektif Pemikiran Hamka ............................. 29 D. Bahagia Menurut Hamka ............................................................ 35

BAB IV

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA A. Nilai Pendidikan Keimanan ........................................................ 43 B. Nilai Pendidikan Akhlak ............................................................ 49 C. Nilai Pendidikan Spiritual .......................................................... 58 D. Relevansi Buku Tasawuf Modern dengan Nilai-Nilai ............... 66 E. Pendidikan Islam ......................................................................... 65

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 68 B. Saran ........................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72 LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 76

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam.

Harun

Nasution, Barmawi Umarie dan para ahli ilmu tasawuf lainnya, umumnya mengemukakan bahwa tasawuf berasal dari kata sufi, maknanya orang yang suci atau diliputi kesucian, tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah.1 Al-Junaid menyebutkan bahwa tasawuf ialah keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.2Dan seseorang yang mengamalkan tasawuf disebut sufi, dalam bahasa Arab , kata sufi berasal dari kata sufah, siffah, sofie dan suffah. Masing-masing kata memiliki makna yang berbeda, namun secara mendasar berarti “kesucian” dan “keikhlasan” menerima segala ketentuan Allah yang di ekspresikan dengan berbagai cara.3 Dalam perkembanganya tasawuf dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, Departemen Agama (Depag) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) seperti dikutip oleh Muhammad Solikhin dalam buku Tasawuf Aktual (2004), mengklasifikasikan tasawuf menjadi tiga

1

Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), h.

2

Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. 13. Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, (Malang: UIN Malang Press,2007), h. 7.

56. 3

1

2

macam, yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf amaly dan tasawuf falsafi.4 Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku. Taswauf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah, yang konotasinya adalah thariqoh. Sedangkan tasawuf falsafy adalah bentuk tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan visi rasional, baik dalam kerangka teoritis maupun praktis. Meskipun demikian, dalam prakteknya ketiganya tidak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana kasyaf yang dialami oleh sufi falsafy tetap melakukan latihan rohani dengan mengendalikan kekuatan syahwat serta menggairahkan ruh dengan jalan melakukan zikir. Para ilmuwan sejarah umumnya menyimpulkan bahwa tasawuf adalah sebagai dimensi mistik dalam Islam. Menurut mereka kemunculan tasawuf berawal pada abad ke-9 masehi, atau sekitar dua ratus tahun sesudah kelahiran Islam.5 Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis sudah muncul, pada saat itu ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan aspek batiniyah. Pengalaman dan pendalaman aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa.6 Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara jenis penghayatan keagamaan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Di kalangan umat Islam tidak sedikit yang menyebutkan bahwa tasawuf telah menyimpang dari ajaran Islam, bahkan ada para pemikir dan peneliti yang menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi sebab mundurnya umat Islam adalah tasawuf. 7 Hal ini dikarenakan ajaran tasawuf ada yang bercampur dengan mistis budaya lokal 4

Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual,(Semarang: Pustaka Nuun, 2004), h. 10. Khalil, Merengkuh…, h. 7. 6 Rosihon Anwar dan. Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 5

49. 7

SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1997), h. 18.

3

tertentu,

sehingga mereka meninggalkan kehidupan dunia dan banyak

menyimpang dari syari’at Islam. Padahal Islam tidak mengharamkan kedudukan dan kenikmatan dunia, bahkan memandang harta kekayaan dan pangkat atau kedudukan sebagai sarana ibadah

yang paling mulia. Selain itu ajaran-ajaran seperti

Manunggaling Kawula Gusti dan sejenisnya yang dipopulerkan oleh beberapa ahli sufi adalah salah satu ajaran tasawuf yang dianggap sesat oleh sebagian umat Islam. Namun demikian gerakan tasawuf juga mendapat sambutan luas dari kalangan umat Islam bahkan penyebaran Islam menjadi lebih mudah berkat dakwah yang dilakukan oleh para sufi. Buya

Hamka

adalah

seorang

intelektual

muslim

Indonesia

kontemporer yang concern dalam berbagai pemikiran Islam, salah satunya dalam bidang ilmu tasawuf. Salah satu karya Hamka dalam bidang ilmu tasawuf termaktub dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Modern (139). Tasawuf Modern merupakan karya Buya Hamka yang sangat fenomenal, sebelum dijadikan buku, “Tasawuf Modern” merupakan salah satu rubrik dalam majalah “Pedoman Masayarakat” (1937). Akan tetapi respon masayarakat sangat baik sehingga ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tasawuf modern merupakan obat yang bisa menentramkan jiwanya. Hamka juga memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf (klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah dipermodern. Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Tasawuf Modern Hamka sangat penting artinya bagi dunia saat ini, karena masyarakat telah terperangkap dalam pola pikir rasional dan mencampakkan dimensi batin, hingga melahirkan gaya hidup yang materialis dan hedonis, dalam arti masyarakat hanya berfikir kehidupan duniawi semata tanpa menghiraukan kehidupan ukhrawi.

4

Dari fenomena disorientasi paradigma kehidupan masyarakat tersebut, telah mengakibatkan lahirnya berbagai penyimpangan kemanusian yang terjadi di segala sektor kehidupan, seperti: korupsi, penindasan terhadap kaum lemah, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, eksploitasi sumberdaya alam hingga menimbulkan kerusakan lingkungan, dekadensi moral dan lain sebagainya. Di sisi lain ada sebagian orang yang terlalu terlena dengan tradisi sufisme mistik, mereka meyakini dengan meninggalkan kehidupan dunia akan mendapatkan kebahagian batin yang akhirnya menghantarkan mereka pada singgasana kemuliaan kelak di akhirat. Dengan pemahaman tersebut, mengakibatkan mereka tidak mau tahu terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka acuh terhadap hiruk pikuk keramaian zaman, karena mengurusi yang demikian dianggap sebagai kesiasiaan belaka. Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari ke-Islaman. Oleh karena itu, sangat tepat jika pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik diterimanya Islam di Indonesia. Lebih jauh lagi tasawuf telah meniupkan spiritnya ke dalam hampir seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi sebagai institusi terorganisasi, memiliki peran signifikan dalam matriks masyarakat muslim yang lebih besar, eksistensinya telah memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur masyarakat. Dalam refleksinya Hamka sering memperkenalkan konsep neo zuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proposional merupakan kenistaan. Dalam buku Tasawuf Modern, Hamka mengutip perkataan K.H Mas Mansur ”80 % didikan Islam kepada keakhiratan dan 20 % kepada keduniaan. Tetapi kita lupa memenangkan yang tinggal 20 % lagi itu sehingga menjadi hina”.8 Zuhud sendiri pada dasarnya berarti Manahan diri dari sesuatu yang mubah karena kekhawatiran kita terikat padanya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa alasan bagi perlunya zuhud terletak pada ketidakbolehan kita 8

Hamka, Tasawuf Modern, h. 16.

5

terikat pada sesuatu yang bersifat duniawi. Dengan kata lain tidak ada salahnya bila terlibat terhadap hal-hal yang bersifat duniawi selama masih bersifat proporsional.9 Hal ini dengan gamblang di dukung oleh firman Allah pada surat al Qasash ayat 77

                                 Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnhya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Karunia Allah di

dunia sangat banyak diantaranya, kesehatan,

kekuatan dan kesejahteraan. Manusia tidak dilarang untuk memiliki harta akan tetapi yang tidak boleh adalah terlalu sibuk dan tenggelam mengurus harta sehingga lupa kewajibannya sebagai makhluk kepada khaliknya. Jadi inti dari zuhud kuncinya adalah kata proposionalitas. Dalam memaknai pengertian tasawuf, Hamka sepakat dengan definisi tasawuf menurut Al Junaid yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk pada budi pekerti yang terpuji. Menurut Hamka tasawuf yang suci dan murni bukanlah lari dari gelombang hidup, tasawuf yang sejati adalah paduan dalam menempuh hidup. Tasawuf yang sejati bukanlah lari ke hutan, melainkan lebur ke dalam masyarakat, sebab masyarakat perlu akan bimbingan rohani. Tasawuf yang sejati bukanlah “khilafayah dan ikhtilafiyah” (ilmu berselisih).

9

Khalil, Merengkuh…, h. 67.

6

Hamka berpendapat, bertasawuf bisa dilakukan sambil melakukan aktifitas duniawi, bahkan sambil berdagang sekalipun kita dapat bertasawuf pada saat yang sama. Junaid Al Bagdadi yang bergelar “Syaikh at Thaifah” membuka kedai kain di tengah kota Bagdad, ia telah mempraktekan bertasawuf sambil berladang atau sambil bekerja.10 Hamka melihat bahwa tasawuf beroleh sumbernya yang otentik dari ajaran-ajaran islam sendiri, seperti telah dijelaskan di atas. Tapi aliran-aliran tasawuf yang ada sering menyimpang dari paham ortodoksinya. Sebagaimana diketahui bahwa Hamka memang berusaha membersihkan tasawuf dari unsur yang bertentangan dengan tauhid, namun demikian ia memang memilki apresiasi terhadap tasawuf dan berpandangan bahwa taswauf diperlukan oleh masyar akat. Terhadap taswauf yang telah menyimpang dan mengalami deviasi,yang mengajarkan sikap-sikap yang mengharamkan pada diri sendiri dan terhadap barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka mengatakan bahwa tasawuf yang demikian tidaklah berasal dari islam. Selanjutnya ia berkata bahwa zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan islam. Semangat Islam adalah semangat bekerja, berjuang bukan semangat malas, rapuh dan melempem. Menurut Hamka maksud dari tasawuf yang sebenarnya adalah membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi serta memerangi syahwat. Muhammad Solihin dalam bukunya Tasawuf Aktual mengutip pendapat Hasan Hanafi seorang pemikir Islam kontemporer tentang istilah tasawuf progresif yang mengarahkan orang untuk bersikap progresif, aktif dan produktif. Sebagai akibat dari pencerahan spiritualnya melalui aplikasi tasawuf setiap harinya. Sehingga tidak ada istilah tasawuf sebagai anti kemoderenan, penghambat krativitas dan penghalang kemajuan. Bahkan menurut Hasan Hanafi tasawuf aplikatif, jika operasionalnya dilaksanakan secara benar, akan mampu membangkitkan semangat revolusioner, dalam produk pemikiran maupun aksi seorang muslim.11 10 11

Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 49-50. M. Solihin, Tasawuf Aktual…., h. 20

7

Apabila tasawuf dimaknai dengan pemahaman yang lebih konstuktif, edukatif dan progresif sebagaimana telah diutarakan para pemikir muslim kontemporer di atas, maka tasawuf akan lebih memiliki peran signifikan dalam khazanah pendidikan Islam, yang bertujuan mencetak generasi muda yang cerdas, soleh dan berakhlak mulia. Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang terakumulasi dalam masyarakat. Dr. al A’la Afifi dalam studinya tentang tasawuf

klasik

memaparkan

bahwa

tasawuf

berperan

besar

dalam

mewujudkan sebuah revolusi moral spiritual dalam masyarakat. Bertasawuf yang benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual. Dan bukankah aspek moral –spiritual ini merupakan ethical basic atau al asasiatul akhlakiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan.12 Hal tersebut senada dengan definisi pendidikan Islam, seperti yang diungkapkan oleh

Mohamad Kanal

Hasan sebagaimana dikutip Taufiq

Abdullah Dan Sharon mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya disisi Tuhan sebagai hamba dan wakilnya di muka bumi. Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya. Seutuhnya dalam arti keutuhan antara jasmani dan rohani. Pendidikan yang merupakan derivasi (turunan dari) Education (inggris) , tarbiyah- ta’dib dan ta’lim (Arab) menunjuk adanya proses yang berkesinambungan bagi manusia. Proses meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Bila proses tidak berjalan secara simultan maka yang terjadi adalah split personality (diri yang terpisah) pada setiap orang.13

12

Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h.

13

Abdurrahman, Meaningful Learning, (Yogyakarta: pustaka pelajar 2007), h.74.

53.

8

Pembelajaran bervisi spiritual diharapkan bisa mengantisipasi adanya split personality dan mereposisi pendidikan pada tempatnya sebagai jalan mencari hakikat esensial diri manusia. Ajaran Islam dapat di bagi dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteric (batiniyaniah). Dan seharusnya pendidikan Islam mementingkan kedua-duanya. Hal yang bersifat esoteric masih sering di abaikan dalam dunia pendidikan saat ini. Dalam mengajarkan ibdah misalnya, seperti shalat yang lebih ditekankan masih dalam tataran pengetahuan tentang syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkanya. Sementara aspek esoteric salat yaitu makna shalat untuk membentuk pribadi muslim yang baik masih kurang diperhatikan. Aspek esoteric dalam Islam di sebut tasawuf . Dengan lemahnya pengajaran aspek esoteris dalam Islam berarti juga bahwa pengajaran tasawuf dalam pendidikan Islam masih kurang. Padahal seharusnya pengajaran taswauf dilakukan secara seimbang dengan aspek eksoteris Islam. Karena tanpa ada pengajaran tasawuf yang seimbang, maka anak didik kurang menghayati makna ajaran Islam.14 Tasawuf modern Hamka adalah sebuah karya yang tidak hanya berisi pelajaran tentang kesucian batin, tetapi juga berisi tentang kekuatan iman dan jiwa yang merupakan pondasi dari pendidikan Islam. Buku Tasawuf Modern sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan islam yang bisa di aplikasikan dalam dunia pendidikan. Dalam karya yang monumental ini ia memaparkan secara singkat tentang tasawuf. Kemudian secara berurutan ia paparkan pula tentang makna kebahagiaan disertai pendapat para ilmuan, bahagia dan agama, bahagia dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qana’ah, kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah.

14

Sudirman Tebba, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari, (Ciputat: Penerbit pustaka Irvan: 2003), h.

9

Dari pembahasan sekilas di atas, penulis melihat bahwa begitu banyak nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern karya Hamka yang perlu dikaji lebih dalam. Maka dari itu dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “ NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU TASAWUF MODEREN BUYA HAMKA .”

B. Penegasan Istilah Agar mempermudah dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami penelitian kami yang berjudul: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern Buya Hamka, penulis menyertakan penegasan istilah dalam judul tersebut. 1. Nilai Pendidikan Islam Nilai, Inggris (value); Latin (valere) berarti: berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek kepentingan Pendidikan diartikan pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan latihan. Sedangkan Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan hasil pendidikan tertentu yang sesuai dengan ajaran Islam. 2. Tasawuf Modern Buku Tasawuf Modern adalah buku karya Buya Hamka tahun 1939 sebagai karangan bersambung dalam majalah pedoman masyarakat yang terbit di Medan. Atas permintaan pembaca tasawuf Modern diterbitkan sebagai sebuah buku pada tahun 1939. Dari penegasan istilah di atas maksud dari penilitian yang berjudul nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern Buya Hamka yaitu nilai pendidikan Islam adalah kualitas suatu hal yang menjadikan berguna, untuk mengubah cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam.

10

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah. Adapun batasan masalahnya adalah: 1. Tasauf dalam pandangan Buya Hamka 2. Makna nilai-nilai pendidikan Islam, landasan serta tujuan pendidikan Islam 3. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern, yaitu nilai pendidikan keimanan, akhlak dan spiritual Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran tasawuf dalam persfektif Hamka 2. Nilai-nilai pendidikan Islam apa yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern Buya Hamka.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilainilai pendidikan Islam dalam buku tasawuf modern Buya Hamka 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi tentang penentuan sikap-sikap yang seharusnya dimiliki manusia dan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan Islam. b. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat mengajarkan bahwa terdapat banyak pelajaran yang didapatkan dari buku Tasawuf Modern yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Teknik atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan atau study literature (library research) yaitu

11

dengan melakukan penelitian pada buku, artikel dan dokumen yang berhubungan dengan tema skripsi. Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk menelaah, mengkaji dan mempelajari berbagai literature yang erat kaitanya dengan masalah yang dibahas. Sebagai sumber data penulis menggunakan sumber data primer dan sekunder sumber data primer diperoleh dari buku Tasawuf Modern karya Hamka, sedangkan sumber data sekundernya yaitu buku-buku yang relevan dengan pembahasan baik karya Hamka seperti, Renungan Tasawuf, Pandangan Hidup Muslim, Tasawuf perkembangan dan pemurnianya, maupun karya orang lain yang berhubungan dengan penelitian ini. 2. Metode Analisis Data Penelitian yang penulis lakukan tergolong pada penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan cara berfikir secara induktif, artinya penelitian kualitatif bergerak dari bawah, peneliti mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang persoalan

penelitian,

kemudian data-data tersebut dicari pola, hukum dan prinsip-prinsip.15 Proses menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari tiga kegiatan, diantaranya adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Pertama, setelah pengumpulan data selesai, maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data yang telah diperoleh, yaitu dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data, dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan. Tahap kedua, data akan disajikan dalam bentuk narasi, kemudian tahap ketiga akan dilakukan penarikan kesimpulan dari data yang diperoleh. Kemudian penelitian ini menggunakan teknik analisis isi (Content analysis). Content analysis adalah teknik analisis terhadap berbagai sumber informasi termasuk bahan cetak dan bahan non cetak. 15

Prasetya Irawan, Penelitian kulaitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2007), Cet. 1, h. 10

12

3. Teknik Penulisan Teknik atau metode penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

BAB II TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan education. Menurut Frederick J. MC. Donald pendidikan adalah : “Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being”1 (pendidikan adalah proses yang berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah laku manusia). Istilah pendidikan sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani yaitu paedagogy yang dimaknai dengan seseorang yang tugasnya membimbing anak pada masa pertumbuhanya sehingga menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab.2 Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.3

1

Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD,1959), h. 4. 2 Dr. Zurinal Z dan Wahdi Sayuti S. Ag, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), h. 2. 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta:Balai Pustaka, 1994).

13

14

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam bukunya “ilmu Pendidikan” (2001) telah mengemukakan beberapa pengertian pendidikan, diantaranya; 1). John

Dewey,

mangartikan

pendidikan

sebagai

proses

pembentukan

kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. 2). SA. Bratanata dkk, mengartikan pendidikan sebagai usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembanganya menuju kedewasaan. 3). Kihajar Dewantara, mengartikan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.4 Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 tentang sisdiknas pada pasal satu menyebutkan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.5 Menurut H. M. Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.6 Dan menurut Prof Dr. Moh Ardani pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7 Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi 4

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001),

h.69. 5

Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003), h. 3. H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) h. 12. 7 Moh. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra cahayaUtama), h. 4. 6

15

pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama. Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang pendidikan Islam dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.8 Pendidikan Islam menurut Langgulung setidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al ta’lim al diny (pengajaran keagamaan), al ta’lim al islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah almuslimin (pendidikan orang-orang Islam), al tarbiyah fi al islam (pendidikan dalam Islam), al tarbiyah inda almuslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al tarbiyah al islamiyah (pendidikan Islami).9 Dalam bahasa arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, seperti kata ta’lim (‫)تعليم‬, tarbiyah (‫)تربيه‬, dan kata ta’dib (‫)تاديب‬. Ta’lim (‫)تعلىم‬, berarti pengajaran, seperti dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi:

                Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar." (QS. Al- Baqarah: 31).

8

Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 36. 9 Muhaimin, Paradigma…, h. 36.

16

Tarbiyah (‫ )تربيه‬berarti pendidikan, dengan kata kerja rabba (‫)ربى‬ berarti mendidik.10 Sebagaimana firman Allah SWT :              Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (al-Isra:24). Ta’dib (‫ )تاديب‬berarti pendidikan yang berhubungan dengan prilaku atau akhlak dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.11 Seperti sabda Rasul yang berbunyi : Dari abu Burdah Abu Musa al-Asy’ari ra Nabi saw bersabda: ‘’laki-laki manapun yang memiliki perempuan hendaknya ia mendidiknya….(HR. Bukhari). Apabila uraian di atas kita perhatikan, terdapat perbedaan pemaknaan di antara istilah-istilah tersebut. Ta’lim lebih bersifat informatif, yaitu usaha pemberian ilmu pengetahuan sehingga seseorang menjadi berilmu (tahu). Istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu kepada peningkatan martabat manusia. Sedangkan tarbiyah mengandung makna lebih luas, tercakup didalamnya pengertian ta’lim dan ta’dib. HAMKA memposisikan pendidikan sebagai proses ta’lim dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatanya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertical maupun horizontal. Prosesnya merujuk kepada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi fitrah peserta didik, baik jasmaniyah maupun rohaniyah. Misi pendidikan Islam menitikberatkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai 10

Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Lembaga Islam Depag RI, 1992), h. 25. 11 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 8.

17

khalifah dimuka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan Hamka tentang tarbiyah mengandung makna: 1). Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan. 2). Mengembangkan seluruh potensi yang dimilkinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya). 3). Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin. 4). Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan peserta didik.12 Hamka

membedakan

pengertian

pendidikan

dan

pengajaran.

Menurutnya pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik. Untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.13 Secara Terminologi pendidikan Islam menurut Ahmad D Marimba adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.14 Achmadi dalam bukunya Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (1992),

mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk

memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim.15 Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, 12

Samsul Nizar, Memperbincangkan dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Iislam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 109-110. 13 Nizar, Memperbincangkan …,h. 111. 14 Marimba, Pengantar Filsafat …., h. 21. 15 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media,1992), h. 14.

18

mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikiranya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.16 Dari beberapa pengertian pendidikan Islam di atas, pendapat yang lebih terperinci adalah hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan 11 Mei 1960, di Cipayung Bogor, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.17 Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli, namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik, pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan

hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia

ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Nilai adalah substansi, esensi atau sifat-sifat yang melekat pada sebuah hakikat atau objek. Dalam kajian filsafat, nilai adalah salah satu kajian dari aksiologi yang membahas tentang ada (being) dengan nilai (value), kalau dirumuskan ada = sesuatu + nilai. Tidak ada sebuah nilai apabila tidak ada sesuatu yang menyemat nilai tersebut, jadi sebuah nilai akan sangat tergantung pada penegembannya, yaitu sesuatu. Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha dalam Kapita Selekta Pendidikan (1996), Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang

16 17

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002), h. 3. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, cet.2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 16.

19

dikehendaki dan tidak dikehendaki.18 Sedang menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).19 Jadi nilai adalah sesuatu yang besifat objektif dan tetap, sesuatu yang menerangkan tentang baik, buruk, indah atau buruknya sesuatu yang terlebih dahulu telah diketahui. Nilai-nilai pendidikan Islam berarti sifat-sifat objektif Islam yang melekat pada sebuah system, model, metode ataupun aktifitas pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam . Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam seperti nilai keimanan, akhlak dan spiritual yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau sistem di dalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa peserta didik sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas.

C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan social yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus kita maknai secara rinci. Landasan Pendidikan Islam adalah fundamen atau asas agar pendidikan Islam dapat berdiri tegak dan tidak mudah roboh. Dasar Pendidikan Islam secara garis besar ada dua yaitu Al Qur’an dan sunnah.

18

HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61. 19 Thoha, Kapita Selekta…, h. 61.

20

1. Al Qur’an Al-Qur’an adalah kalam Allah (perkataan Allah) yang diturunkan sebagai wahyu dan merupakan mukjizat agung kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an ini juga dipandang sebagai keagungan (majid) dan penjelasan (mubin). Kemudian seringkali di sebut petunjuk (hidayah) dan buku (kitab).20 Kedudukan Al Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan surat Al Baqarah ayat 2 :

          Ialah Kitab (al-Quran) yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-baqoroh : 2). Selanjutnya firman Allah SWT dalam surat Asy Syura ayat 17 :              Allah SWT yang telah menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan neraca keadilan (QS. Asy Syura: 17). Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam sudah barang tentu harus dijadikan dasar pijakan atau asas bagi pendidikan Islam. Banyak sekali terma-terma tentang pendidikan yang dapat kita temukan di dalam AlQur`an baik secara eksplisit maupun implisit. Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa mendidik dan memelihara merupakan salah satu dari sekian banyak makna implisit yang terkandung di dalam kata rabb. Allah adalah rabbul alamin yang universal dan tiada batas. Karena manusia berkomunikasi dan menitikberatkan pendidikan bagi manusia yang ada di muka bumi ini, maka akan sangat relevan jika Allah diyakini yang telah mengajar manusia di muka bumi ini dengan nama-nama dari segala sesuatu yang ada.21

20

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an, (Jakarta:Rieneka Cipta, 2007), h. 17. 21 Abdullah, Teori-Teori …, h. 19.

21

Al-Qur’an

memberikan

pandangan

yang

mengacu

kepada

kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam apabila tanpa mengambil Al-Qur’an sebagai salah satu rujukan. Salah satu contohnya di dalam Al-Qur’an terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman yang mengajari anaknya dalam surat Luqman.22 Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang apabila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.23

2. Al-Sunnah Selain Al-Qur’an yang berfungsi sebagai dasar pijakan dan prinsip pendidikan Islam, Al-Sunnah sebagai tuntunan hidup rasulullah Saw adalah sumber ke dua yang sama-sama memiliki peranan vital dalam membangun dasar-dasar dan prinsif pendidikan Islam. Secara harfiah sunnah berarti jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana Al-Qur’an, al-sunnah berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan, al-sunnah memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu : 1). Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.

22 23

Daradjat, ,Ilmu Pendidikan…, h. 20. M. Qurais Shihab, wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 13.

22

2). Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan rasulullah Saw bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang dilakukannya. 24 D. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu hidup.25 Adapun tujuan pendidikan Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli, menurut Ahmadi, tujuan pendidikan Islam adalah sejalan dengan pendidikan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk Allah SWT yaitu semata-mata hanya beribadah kepada-Nya.26 Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:

        Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka menyembahku (QS. Adz-Dzariyat : 56).27 Al-Gazali sebagaimana dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada: a. Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT b. Membentuk insan purna yang untuk mendapat kebahagiaan hidup baik dunia dan akhirat.28

24

Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), h. 47. 25 Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995) h. 159. 26 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media,1992), h. 63. 27 RHA Soenardjo, et. al, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al Wa’ah, 1993), h. 862. 28 Fatiyah Hasan Sulaeman, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj. Fathurrahman, (Bandung : Al maarif, 1986), h. 24.

23

Dari dua tujuan pendidikan Islam menurut Al Gahazali di atas dapat dipahami bahwa dalam merumuskan tujuan pendidikan Al-Ghazali tidak hanya mementingkan kehidupan ukhrowi semata akan tetapi juga kebahagiaan dunia. Sedangkan tujuan pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun terbagi menjadi dua yaitu: 1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang di wajibkan keatasannya. 2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang di ungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.29 Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al insan kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep di atas, maka setidaknya pendidikan Islam seyogyanya diarahkan pada dua dimensi yaitu: pertama, dimensi dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua, dimensi ketundukan vertical kepada Allah.30 Pada dimensi pertama pendidikan hendaknya mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya, sesama manusia, dan alam semesta. Akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap mental merupakan bekal utama pemahaman terhadap kehidupan. Sementara pada dimensi kedua memberikan arti bahwa pendidikan sains dan teknologi selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara dan melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan dalam mencapai hubungan yang abadi dengan sang pencipta. Untuk itu pelaksanaan ibbadah dalam arti seluas luasnya adalah merupakan sarana yang dapat menghantarkan manusia ke arah ketundukan vertical kepada khaliknya. Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, 29 30

126.

Ramayulis, Ilmu …, h. 71. A.M. Saepudin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islami, (Bandung: Mizan,1991), h.

24

serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya. Armai Arif dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan Islam” secara rinci menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia mengahabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasinal adalah tujuan praktis yang akan di capai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.31 Dari beberapa pemaparan dari para ahli tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam adalah bagian dari perjalanan hidup dan tujuan diciptakannya manusia yaitu semata-mata untuk beribadah (menghamba) kepada Allah Swt. Selain itu pendidikan Islam juga bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia paripurna (insan kamil), sesuai ajaran dan pribadi rasulullah Saw guna mendekatkan diri kepada Allah SWT demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

31

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 18-19.

BAB III KAJIAN TERHADAP BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

A. Sekilas Biografi Buya Hamka Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah “anak Minang” yang lahir di sungai Batang Maninjau (sumatera Barat) pada hari ahad, tanggal 16 februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang terkenal sangat taat beragama.1Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rasul bin syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo. Dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari data di atas dapat diketahui bahwa Hamka berasal dari keturunan yang taat beragama dan memilki hubungan dari generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dan memebaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun , ia kemudian dimasukan ke sekolah desa --yang hanya sempat dienyam sekitar tiga tahun-- dan malamnya Hamka belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Ketika berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika 1

HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), h. 9.

25

26

pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki minangkabau yang menikah lebih dari satu perempuan (poligami), sebab menurut Hamka hal tersebut sangat berpotensi untuk merusak ikatan dan keharmonisan rumah tangga.2 Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniah School Padang panjang, serta Sumatera Thawalib padang Panjang dan di Parabek.3 Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak punya ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain4 Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay El yunusi. Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari pergerakan pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia mendapat kursus pergerakan Islam dari H.O.S TJokroaminoto, H. Fakhrudin, RM suryo pranoto dan iparnya sendiri A.R. St. Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan.5 Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya adalah bernama “Khatibul Ummah”. Di awal tahun 1927 dia berangkat pula dengan kemauanya ke Mekkah, sambil menjadi koresponden dari harian Islam” Tanjung Pura Langkat”, dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta. Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur ia kemudian di ajak pulang ke Padang panjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukanya. Sesampainya di Padang Panjang, ia kemudian di nikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak mamaknya (anak paman) pada tanggal 5 april 1929. Pernikahan Hamka dengan Siti Raham berjalan harmonis dan bahagia. Dari perkawinanya dengan Siti Raham, Hamka memiliki beberapa putera dan peteri, yaitu: Zaki, Rusdy, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib. Stelah istrinya meninggal dunia, satu 2

HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, h. 63-74 HAMKA, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. xv. 4 HAMKA, Tasawuf…, h. 2. 5 HAMKA, Tasawuf…, h. 9. 3

27

setengah tahun kemudian, tepatnya tahun 1973, ia menikah lagi dengan perempuan asal Cirebon yaitu Hj. Siti Khadijah.6 Pada tahun 1928 keluarlah buku romanya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabarariyah. Waktu itu pula ia memimpin majalah “Kemajuan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Di tahun 1929 keluarlah buku-bukunya antara lain, Agama dan perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi‟raj dan lain-lain. Di tahun 1930 Hamka mulai menjadi penulis mengarang pada surat kabar “Pembela Islam” Bandung, dan pada saat itu pula mulai berkenalan dengan M. Natsir, A Hasan dan tokoh Islam lainnya. Ketika beliau pindah ke Makassar diterbitkanya majalah Al Mahdi.7 Pada tahun 1934 ia meninggalkan Makasar dan kembali ke padang panjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola kuliyatul mubalighin antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti ilmu usul fiqh dan mantiq, ilmu ikhtilaful mazahib, ilmu tafsir dan ilmu arudh. Akan tetapi karena honorarium tak cukup untuk menghidupi keluarganya, maka bulan januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan bersama M Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari H Asbiran Ya’kub dan Muhamad Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Meskipun banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat. Perkembangan majalah “Pedoman Masyarakat” yang cukup menggembirakan ini telah ikut meningkatkan ekonomi keluarganya. Melalui rubrik “Tasawuf Modern”, tulisanya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk menantikan dan membaca setiap terbitan pedoman masyarakat. 6

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka Panjimas: 1983) h. ix, 34 dan 107. 7 HAMKA, Tasawuf …, h. 10.

28

Pemikiran-pemikiranya yang cerdas yang dituangkan dalam majalah “Pedoman Masyarakat” merupakan alat yang menjadi penghubung anatara dirinya dengan kaum intelektual lainya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Ansari. Ketika zaman pendudukan Jepang banyak terjadi kejadian yang mengecewakan rakyat. Salah satu kekecewaannya yaitu diberangusnya majalah pedoman masyarakat. Namun kebijakan Jepang yang merugikan tersebut tidak membuat semangat HAMKA menjadi luntur, ia masih sempat menerbitkan majalah “Semangat Islam”. Namun demikian kehadiran majalah ini tidak dapat menggantikan majalah pedoman masyarakat yang telah demikian melekat di hati pembacanya. Hamka juga dipercaya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975. Namun dua bulan sebelum wafatnya, Hamka mengundurkan diri dari kepemimpinan MUI. Pengunduranya ini disebabkan adanya persepsi yang berbeda antara pemerintah dengan MUI tentang perayaan natal bersama antara umat Kristen dan umat Islam. Setelah pengunduran dirinya dari MUI, Hamka masuk rumah sakit karea serangan jantung yang cukup parah. Setelah kurang lebih satu minggu di rawat di rumah sakit pusat Pertamina, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka menghembuskan nafas terakhirnya dengan di kelilingi oleh orangorang tercintanya, istrinya khadijah, putranya Afif Amrullah dan sahabatsahabat terdekatnya. Hamka berpulang ke rahmatullah pada usia 73 tahun.8

B. Sekilas Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern Pada tahun 1936 ketika Hamka hijrah ke Medan, ia beserta M Yunan Nasution mendapat tawaran dari H Asbiran Ya’kub dan Muhamad Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan “Pedoman Masyarakat”. Pada majalah ini Hamka juga dipercaya menulis pada sebuah rubrik yang bertajuk “Tasawuf Modern”. 8

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1983), h. 195-196

29

Pada rubrik tersebut Hamka mulai menulis sebuah tulisan berseri sejak tahun 1937 dengan mengambil judul “Bahagia”.9 Tulisan Hamka yang berjudul “Bahagia” ini menerangkan tentang bentuk-bentuk dan cara-cara menggapai kebahagiaan menurut ajaran Islam dan diperkaya dengan mengutip dari para pemikir dan filosof barat dan kontemporer. Bagi Hamka, tulisannya tersebut selain sebagai kekayaan ilmu pengetahuan, tapi juga diharapkan dapat membantu setiap pembacanya yang mengalami kegundahan dan keresahan untuk menemukan ketentraman jiwa. Bahkan Hamka sendiri mengakui bahwa tulisannya tersebut kerap dibacanya sendiri guna menasihati dan menentramkan jiwanya. Jadi tulisan Hamka ini sesungguhnya lebih banyak bersifat tuntunan aplikatif dan mengambil permasalahan kehidupan sehari-hari sebagai objek kajiannya. Seiring berjalannya waktu, banyak dari pembaca majalah “Pedoman Masyarakat” yang sangat menaruh perhatian apresiatif kepada artikel berseri tersebut, bahkan setiap majalah “Pedoman Masyarakat” mengeluarkan edisi baru, maka hampir semua mata pembaca tertuju pada rubric “Tasawuf modern”. Dengan animo yang cukup tinggi dari para pembaca, maka setelah seri tulisan “Bahagia” ini berakhir pada tahun 1938 dengan edisi 43, banyak yang meminta supaya Hamka membukukan tulisannya tersebut. Berkat dukungan dari majalah “Pedoman Masyarakat” dan penerbit “As-Syura”, kumpulan tulisan tersebut terbit untuk pertama kalinya pada bulan Agustus 1939 dalam bentuk buku yang berjudul Tasawuf Modern yang diambil dari nama rubrik majalah “Pedoman Masyarakat” yang telah membesarkan dan mempopulerkan tulisan tersebut.

C. Tasawuf Dalam Persfektif Pemikiran HAMKA Secara etimologi pengertian tasawuf dapat dilihat dari beberapa pengertian, pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya 9

HAMKA, Tasawuf…, h. 1.

30

banyak berdiam diserambi –serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata shafa, kata shafa ini berbentuk fi‟il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya nisbah , yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan Tuhanya. Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shaf yang bermakna harfiah barisan. Makna shaf ini dinisbahkan kepada orangorang yang ketika salat selalu berada di shaf (barisan) yang paling depan. Keempat, ada yang mengatakan istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang bani shufah.10 Kelima , tasawuf ada yang menisbahkannya dengan kata dari bahasa Grik atau Yunani, yakni saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah. Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu domba atau wol.11 Pengertian tasawuf secara terminologi telah dikemukakan oleh beberapa

ahli. Al-Junaid

mengungkapkan

pengertian tasawuf

adalah

membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insthink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari‟at.12 Tasawuf menurut Hamka adalah seperti apa yang dikatakan oleh Al Junaid yaitu keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk pada budi 10

Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia, 2006 )

11

Anwar dan Solihin, Ilmu…, h. 10. Anwar dan Solihin, Ilmu…, h. 13-14.

h. 9. 12

31

perangai yang terpuji.13 Lebih lanjut Hamka mendefinisikan tasawuf dengan istilah membersihkan, yaitu membersihkan hati dari sifat khizit, khianat, loba. tamak, takabbur dan sifat tercela lainnya dan mengisi jiwa dengan sifat-sifat mulia.14 Sebagaimana diketahui bahwa Hamka bukanlah orang yang pertama kali memperkenalkan tasawuf di Indonesia, tatapi beliau memperkenalkan kembali tasawuf dalam bentuk yang berbeda, pemikiran tentang tasawuf Hamka bisa dilihat dalam buku-bukunya yaitu Tasawuf Modern, Renungan Tasawuf, Tasawuf Perkembangan dan Permunianya, dan Pandangan Hidup Muslim. Dalam majalah “Pedoman Masayarakat” yang dipimpinya dalam judul rubric “Tasawuf Modern” ia menulis tulisanya hampir dua tahun dan mendapat respon dari pembaca, karena dalam tulisanya itu dijumpai pembahasanpembahasan tentang soal-soal kesucian batin yang tadinya hanya dapat dijumpai dalam teosofi. Di sinilah

letak keistimewaan Hamka dibanding

ulama-ulama lain, ia lebih menggunakan pendekatan tasawuf dalam menyerukan Islam dari pada pendekatan fiqih atau hukum. Dalam perjalannya tasawuf sering dihadapkan atau dibenturkan dengan pendekatan fiqih yang legalistik. Dalam pendekatan fiqih, Islam digambarkan sebagai agama peraturan. Keterangan mengenai iman dan ibadah pun disajikan dalam logika dan argumen hukum, sehingga terkesan bahwa Islam adalah agama yang kering dan kaku yang mementingkan formalitas dan yang lahir , demikian M Dawam

Rahardjo menjelaskan dalam bukunya Intelektual

Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.15 Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah tentu Hamka mengambil resiko dalam memperkenalkan tasawuf.

Ia sudah tentu sadar tentang tujuan dan

kehadiran Muhammadiyah. Yaitu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur tradisi yang sering mengandung bid‟ah dan khurafat. Sasaranya adalah apa 13

HAMKA, Tasawuf…,h. 13. Hamka, Renungan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985) h. 21. 15 M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), h. 203. 14

32

yang kemudian dikenal sebagai ajaran kebatinan. Terutama kebatinan jawa. Selain adat istiadat dan nilai-nilai budaya setempat di daerah-daerah lain yang sering tercampur dengan kepercayaan dinamisme dan animisme. Islam seperti dikatakan Dawam Rahardjo yang mengutip dari berbagai ahli sejarah seperti prof. Dr Priyono, bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui India dengan membawa unsur-unsur tasawuf. Dengan pendekatan tasawuf ini, Islam jadi lebih mudah diterima, dengan konsekuensinya, Islam membiarkan dirinya tecampur dengan budaya lokal. Muhammadiyah datang untuk membersihkan dari unsur-unsur tersebut. Dengan keyakinan bahwa Islam yang demikian itu akan membawa umat ke arah kemajuan. Memperkenalkan tasawuf berarti melawan arus reformasi yang dibawa oleh Muhammadiyah.16 Hamka tidak seperti pembaharu-pembaharu Islam lain, karena beliau tidak menentang tasawuf sebagai ajaran yang menyimpang, sebab kebanyakan pembaharu beranggapan bahwa tasauf merupakan sumber kemunduran Islam, sehingga hampir kebanyakan dari pembaharu-pembaharu tersebut tidak banyak merespon ajaran-ajaran tasawuf. Terhadap tasawuf yang menyimpang, yang mengajarkan sikap-sikap yang mengharamkan pada diri sendiri barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka mengatakan bahwa tasawuf yang demikian bukanlah berasal dari ajaran islam. Selanjutnya Hamka mengatakan bahwa zuhud yang melemahkan bukanlah bawaan Islam. Semangat Islam adalah semangat berjuang, semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah rapuh dan melempem. Timbulnya tasawuf yang keliru tersebut menurut Hamka adalah karena perbuatan yang hendak menipu. Perbuatan ini disebut korupsi rohaniah. Kalau dalam perkara yang terang banyak penipuan, apalagi dalam soal batin yang tidak dapat di tangkap oleh panca indera.17 Dalam hal ini Hamka mengkritik agar tidak terjerumus kedalam ajaran tasawuf yang keliru dengan jalan menghimbau untuk kembali kepada pokok pangkal tasawuf yang sebenarnya, yaitu kembali kepada tauhid yakni 16

Raharjo, Intelektual…, h. 204. HAMKA, Pandanagn Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1960), h. 49.

17

33

kepercayaan bahwa Tuhan hanya satu. Kita tundukan jiwa hanya kepada Allah tidak kepada guru atau syekh, tidak kepada benda dan berhala dan tidak kepada makam-makan keramat. Hendaklah kita isi pribadi kita dengan sifat-sifatNya yang dapat kita jadikan sifat kita menurut kesanggupan kita.18 Maka maksud Hamka menulis

tentang Tasawuf Modern adalah

meletakan tasawuf kepada rel-nya, dengan menegakan kembali maksud semula tasawuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan mempertinggi derajat budi pekerti.19 Dengan bukunya Tasawuf Modern para pembaca bisa meletakan di mana posisi Hamka di antara berbagai aliran tasawuf. Dia memang berusaha untuk mengembalikan tasawuf kepada Al-Qur’an dan sunnah. Tidak hanya itu dia berusaha membangun konsep baru tasawuf dalam kehidupan modern sekarang ini. Maka di sini kita bisa mendudukan Hamka sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah terpenting yang mermberikan sumbangan yang unik dalam pemikiran keagamaan. “Buya Hamka„s Revitalisation and Sufism and Relevance in Modern Indonesia” demikian pengakuan seorang pengagum Hamka, Yulia Day Howell, seorang sarjana Barat. Ia menyatakan bahwa pemahaman tasawuf Hamka relevan dengan perkembangan kehidupan modern saat ini. 20 Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Hamka berpendapat bertasawuf dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan tidaklah salah akan tetapi jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri tersebut tidak lain adalah ibadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama kita, jalan inilah yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabat beliau.21 Para sufi menurut Hamka dalam bermujahadah mempunyai kode-kode, istilah-istilah sendiri yang hampir mustahil dapat dimengerti oleh orang lain. Analisa Hamka terhadap huruf ja, ha, kha, adalah 18

HAMKA, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993

h. 235 19

HAMKA, Pandangan…, h. 205. Disampaikan di forum Seminar Internasional tentang Hamka, bertempat di Hotel Atlet Century Park, Jakarta Pusat, 8 April 2008. 21 Sobahussurur (e.d) Mengenang 100 Tahun Hamka,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008),h. 16. 20

34

bermakna : Takhalli=takhalli minal akhlak al madzmumah (lepaskan dirimu dari perangai yang tercela). Tahalli = Tahalli nafsaka bil akhlak al mahmudah (isilah akhlakmu dari jiwa yang terpuji). Tajalli = jelaslah Tuhan dihadapanmu.22 Takhalli diartikan secara umum sebagai upaya untuk membuang segala sifat tercela dalam diri manusia, dari maksiat lahir maupun bathin. Hal ini bisa dicapai dengan cara menjauhkan diri dari kemaksiatan dan melenyapkan dorongan hawa nafsu kotor dan sifat tercela. Sifat-sifat tercela itu antara lain, Hasad, Hiqd, Takabbur, Nifaq, Kikir, su‟ul Dzann, Riya, Ghadab, Ghibah. Tahalli artinya berhias. Maka berhiaslah diri dengan sifat-sifat yang terpuji, sehingga bertambah naiklah roh dan jiwa kita mencapai martabat yang lebih tinggi. Bersihlah batin dari seluruh pengaruh yang buruk. Maka menurut Hamka setelah huruf kha kemudian ha dan lama-lama titiknya turun kebawah menjadi huruf “jim” (‫)ج‬. Maka jadilah Tajalli artinya jelas dan nyatalah jalan kepada Tuhan. Karena Tajalli Tuhan dalm pandangan seorang hamba tidaklah mungkin kalau jiwa hamba itu masih belum kuat, dan kekuatan jiwa hanya di capai setelah dia dibersihkan.23 Hamka menyatakan bahwa nur ilahi dimasukan Allah ke dalam hati seseorang sehingga ia memperoleh ketentraman batin. Untuk mendapatkan nur kaum sufi mengadakan latihan jiwa yaitu berusaha mengosongkan dirinya dari sifat-sifat tercela, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi diri mereka dengan sifat terpuji, dan segala tindakanya selalu dalam rangka ibadah dengan cara memperbanyak dzikir, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri baik secara lahir maupun batin.24 Demikianlah pemikiran Hamka tentang bagaimana seorang sufi mendekatkan diri kepada Allah melalui mujahadah, yang pasti untuk mendekatkan diri kepada Allah ini harus melalui perilaku yang baik dan benar, atau

akhlak al karimah. Inilah yang merupakan titik tekan dari ajaran 22

Ridjalaludin F.N, Mengungkap Rahasia; Tasawuf versi Hamka (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2008), h.137. 23 HAMKA, Pandangan…, h. 53-54. 24 Sobahussurur, Mengenang…, h. 180.

35

tasawufnya, atau dengan kata lain bahwa corak pemikiran tasawuf Hamka adalah tasawuf akhlaki. Tentang posisi tasawuf dia berkata di akhir bukunya bahwa filsafat adalah penjelasan hidup, kesusastraan adalah nyanyian hidup, kesenian adalah perhiasan hidup, dan tasawuf adalah intisari hidup dengan ibadat sebagai pegangan hidup.25

D. Bahagia Menurut Hamka Sebagaimana diketahui bahwa buku Tasawuf Modern pada awalnya adalah sebuah rubrik di sebuah majalah

“Pedoman Masyarakat”. Pada

mulanya tulisan tersebut berjudul “Bahagia" yang menerangkan tentang konsep bahagia dalam perpektif Islam, akan tetapi nama rubrik “Tasawuf Modern” –di mana tulisan tersebut di muat-- pada majalah “Pedoman Masyarakat” tersebut pada waktu itu telah menjadi icon dan sudah sangat akrab dengan para pembaca, sehingga nama “Tasawuf Modern” dijadikan judul bagi kumpulan artikel “Bahagia” dalam versi buku.26 Hal yang menarik dari buku Tasawuf Modern adalah banyak dari para pembaca yang menggunakan buku tersebut sebagai penentram jiwa. Seorang dokter sahabat Hamka pernah menganjurkan kepada pasienya yang sedang di rawat untuk membaca buku Tasawuf Modern untuk menentramkan jiwanya. Beberapa suami istri yang sedang berbahagia mengatakan bahwa Tasawuf Modern adalah sebagai patri dari kehidupan bahagia mereka. Bagi Hamka buku Tasawuf Modern yang dikarangnya juga sebagai nasehat bagi dirinya sendiri. Tidak jarang Hamka membaca buku Taswuf Modern hasil tulisannya sendiri seagai cara menasehati dirinya sendiri dan untuk menentramkan jiwanya. Hamka mendefinisikan tasawuf sebagai upaya untuk membersihkan jiwa, mempertinggi derajat budi dan menekan kerakusan maka ia menguraikan tentang arti bahagia. Hidup bahagia menjadi tujuan hidup kita semua, hampir 25 26

Raharjo, Intelektual…, h. 207. HAMKA, TasawuF…,h. 3.

36

tanpa kecuali. Sukses meraih hidup bahagia menjadi impian dalam gerak hidup kita setiap hari. Para ilmuan sejak Aristoteles sampai psikologi William James menyetujuinya. Tidak ada perbedaan mendasar, tujuan hidup kita adalah bahagia.27 Namun faktanya banyak sekali orang yang sudah berkecukupan secara material akan tetapi tidak mendapat ketenangan jiwa dan kebahagiaan, bahkan pada sebagian masyarakat, karena tidak menemukan jalan yang benar untuk tujuan dan kebahagiaan itu, larilah mereka kepada hal-hal yang dilarang agama, seperti obat-obatan terlarang, minuman keras dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan jika bahagia tidak hanya cukup materi yang berlimpah, atau karir terus menanjak, namun dalam hal ini ada hal lain yang bisa membuat manusia tentram dan bahagia. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang abstrak, karena itu kebahagiaan bersifat relatif. Setiap orang, masyarakat atau bangsa mempunyai pandangan tersendiri tentang makna bahagia. Edward Spranger (Jerman) sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, menilai kebahagiaan hidup itu menggunakan pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup seseorang. Menurut Edward Spranger ada enam aspek yang mendasari pandangan hidup manusia yaitu:28 1. Manusia ekonomi adalah mereka yang menilai bahwa kekayaan harta benda sebagai sumber kebahagiaan. 2. Manusia sosial, adalah mereka yang menilai bahwa bakti dan pengabdian untuk kepentingan social sebagai puncak kebhaagiaan hidup 3. Manusia estetis adalah mereka kebahagiaan bersumber dari segala yang dapat memenuhi kepuasan akan rasa indah dan keindahan. 4. Manusia kuasa, adalah mereka yang menilai bahwa kebahagiaan sebagai kepemilikan terhadap kekuasaan 5. Manusia ilmu, yaitu yang menilai bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan mengembangkan kemampuan nalar semaksmal mungkin. 27 28

Suakidi, Kecerdasan Spiritual, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 103. Jalludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2001), h. 81.

37

6. Manusia susila, yaitu mereka yang menlai bahwa kebahagiaan akan diperoleh melalui cara hidup yang susila dan saleh. Dari pendapat Edward di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kebahagiaan itu bersifat relative, tergantung dari segi mana manusia menilai, karena setiap manusia, suku bangsa mempunyai pandangan dan penilaian tersendiri tentang arti kebahagiaan hidup. Hamka dalam

bukunya Tasawuf Modern memaparkan pengertian

bahagia dari beberapa ahli. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa bahagia itu adalah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan. Al ghazali berpendapat bahwa bahagia dan kelezatan sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah. Menurut Al Ghazali kesempurnaan bahagia itu tergantung pada tiga kekuatan yaitu kekuatan marah, kekuatan syahwat, dan kekuatan ilmu. Maka sangatlah perlu manusia berjalan ditengahtengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebih-lebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawanya kepada binasa. Jangan pula

berlebih-lebihan pada kekuatan

syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq yang membawa kerusakan. Setiap orang ingin bahagia dalam hidupnya, spiritualitas tasawuf dipelajari dan diparaktekan dalam rangka mencari kebahagiaan, hal itu karena ternyata harta benda, materi, dan kehidupan lahiriyah saja tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang dengan cara menumpuk harta, rumah indah, mobil mewah, segala keinginan terpenuhi tetapi kebahagiaan itu tidak ditemukan. Kehidupan spiritual yang mapan mampu memenangi peperangan melawan nafsu dan menahan kehendak yang berlebihan, itulah kebahagiaan, Demikian pendapat Imam Al Ghazali.29 Hamka juga menguraikan dalam bukunya tentang dari apakah tersusun bahagia, Dalam hal ini Hamka mengutip pendapat para filosof yaitu Phitagoras, Socrates dan Plato, yang menyatakan bahwa bahagia tersusun dari empat hal, yaitu hikmat, keberanian, iffah dan adil. 29 30

HAMKA, Tasawuf …, h. 25. HAMKA, Tasawuf …, h. 37.

30

Alasanya adalah bahwa

38

segala keutamaan bahagia itu hanya dirasai oleh diri dan nafsu. Mereka setuju bahwa barang siapa yang sudah terkumpul sifat yang empat itu maka tidak perlu lagi mempunyai sifat lain. Karena sifat-sifat yang lain itu hanya sebagai ranting saja. Sebab ke empat sifat tadi bukan sifat jasmani melainkan sifat rohani. Golongan ini mengemukakan bahwa bahagia itu akan lebih bersih dan suci jika jasmani telah berpisah dari rohani. Karena mereka berpendirian bahwa bahagia itu hanya perasaan jiwa. Sedangkan menurut Aristoteles bahagia itu tersusun karena badan sehat, cukup kekayaan, indah sebutan diantara manusia, tercapai apa yang dicita-citakan,

dan tajam pikiran.31Hal ini dikarenakan karena badan

merupakan salah satu bagian dari diri manusia. Sehingga kebahagiaan jiwa tidak akan sempurna jika tidak tercapai terlebih dahulu kesempurnaan badan. Tolstoy Membagi bahagia menjadi dua, yaitu bahagia untuk diri sendiri dan bahagia yang sejati yakni bahagia yang berguna bagi masyarakat. Bahagia yang sejati menurut Tolstoy adalah bahwa engkau cinta sesama manusia sebagaimana cinta terhadap dirimu sendiri. Islam pun menyokong pendapat filosof ini.32 Allah befirman dalam Al Qur’an:

                                       Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali agama Allah dan janganlah berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atasmu, seketika kamu bermusuh-musuhan, lalu telah dipersatukanya hati kamu semuanya, sehingga dengan segera kamu telah menjadi bersaudara dengan sebab NikmatNya.(Ali Imran 103). Kebahagiaan itu identik dengan kenikmatan, karena tidak mungkin orang bahagia tanpa merasakan sesuatu yang nikmat. Demikian sebaliknya penghayatan terhadap suatu kenikmatan, akan melahirkan kebahagiaan.

31 32

HAMKA, Tasawuf …, h. 37. HAMKA, Tasawuf …, h. 40-41.

39

Menurut Ibnu Maskawaih kabahagiaan setiap eksistensi ada pada inti perilakunya yang ia lakukan atas dasar kesempurnaan dan keutuhan, yaitu dalam kemampuan membedakan, berfikir dan mengambil hikmah. Untuk meraih kebahagiaan, Ibnu Maskawaih tidak lepas dari konsep hikmah yang ia rumuskan, yaitu hikmah teoritis dan hikmah praktis. Barang siapa menghendaki kebahagiaan, ia harus menyempurnakan kedua bagian hikmah tersebut. Hikmah teoritis dapat diperoleh melalui proses pembelajaran mengenal semua ilmu dan semua hal-hal yang maujud di alam ini, sehingga ia mmapu melihat titik akhir dari semua maujudat yaitu Tuhan. Sedangkan hikmah praktis dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak yang mendidik jiwa dan melahirkan sikap-sikap yang mencerminkan kesempurnaan akhlak. Jika manusia dapat menyempurnakan kedua hikmah tersebut, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna juga.33 Sedangkan Hamka mengungkapkan dalam bukunya Tasawuf Modern bahwa menurut agama untuk mencapai bahagia perlu empat hal yaitu: itikad yang bersih, yakin, Iman dan agama34Dengan agama, iman, yakin dan itikad yang bersih maka kebahagiaan batin akan tercapai. Sukidi dalam bukunya Kecerdasan Spiritual mengatakan bahwa faktor spiritual merupakan sumber bahagia . Hal ini diperkuat dengan survey-survey yang dilakukan oleh para peneliti yang dilaporkan oleh Howard C Cutler bahwa orang-orang spiritual lebih banyak melaporkan rasa bahagia dan puas dalam hidupnya daripada mereka yang religius.35 Hal tersebut karena bahagia muncul dari dalam diri sendiri berupa sikap hidup, bukan dari luar seperti kekayaan, uang, kekuasaan dan popularitas. Sikap hidup itu adalah sabar dan senang dengan keadaan hidupnya walau kurang beruntung, merasa cukup dan mensyukuri apa yang diperoleh, optimis dan mencintai kehidupanya. Semua sikap hidup itu diajarkan dalam tasawuf. 36

Misalnya bersabar dengan kondisi hidup disebut sabar, mensyukuri nikmat 33

HAMKA, Tasawuf …, h. 33-35. HAMKA, Tasawuf …, h. 55. 35 Sukidi, Kecerdasan …, h. 110. 36 Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Para sufi, (Jakarta:Pustaka Irvan, 2007), h. 1. 34

40

yang diperoleh di sebut syukur, senang dengan keadaan hidup walau sulit disebut ridha dan ikhlas, merasa cukup disebut qona‟ah, optimis disebut raja‟ dan rasa cinta di sebut mahabbah. Dalam buku Tasawuf Modern Hamka juga memaparkan beberapa sifat terpuji yang membuat hati menjadi tenang dan bahagia, diantaranya qona‟ah, ikhlas dan tawakal. Menurut Hamka

qona‟ah merupakan sebab kebahagiaan umat

terdahulu. Qona‟ah adalah menerima dengan cukup.

Ada lima perkara yang

terkandung dalam sifat qona‟ah yaitu; menerima dengan rela apa adanya, memohon kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada Tuhan dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.37 Qona‟ah bertujuan supaya orang tidak berkeluh kesah kalau rizkinya kecil dan tidak terdorong berbuat curang atau korupsi. Selain itu qon‟aah juga bermanfaat supaya orang merasa tenang dan bahagia dengan apa yang diperoleh. Selain Qona‟ah sifat yang jika dimiliki oleh manusia akan membuat bahagia adalah tawakal. Tawakal menurut Hamka adalah menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Beliau menjelaskan bahwa bukanlah tawakal namanya, apabila ular hendak menggigit, binatang besar hendak menerkam, kala mengejar kaki, kemudian kita tidak menghindar. Orang yang bertawakal adalah orang yang keluar terlebih dahulu mengunci pintu

sebelum keluar rumah, menutup kandang

ayam sebelum hari senja,. Karena menurut sunnatullah, dengan maksud terkuncinya rumah baru maling tidak masuk, ditutupnya pintu kandang baru musang tak masuk mencuri ayam.38 Menurut Nurcholis Majid, dalam agama tawakal ialah sikap bersandar atau mempercayakan diri kepada Tuhan, karena mengandung makna mempercayakan diri

maka tawakal implikasi langsung dari iman. Allah

berfirman: 37 38

Hamka, Tasawuf Modern…, h. 219 HAMKA, Tasawuf…, h.

41

       Tawakal kepada Allah, jika kamu orang yang beriman. ( Al Maidah/5:23). Dr

Aid

Abdullah

al-Qarni

dalam

bukunya

“Berbahagialah”

menyatakan bahwa “jika Anda ditimpa musibah, maka bayangkan yang terburuk darinya. Kemudian siapkan diri Anda untuk menanggungnya dengan penuh tenang. Bertawakalah kepada Allah, karena sesungguhnya Dia telah memberikan kecukupan kepada Anda sebelumnya dan mencukupi Anda di masa depan.39 Menurut Ibnu Al-Qayim

Al-Jauziyah, tawakal ada beberapa

tingkatan;40Pertama, ialah makrifat kepada Tuhan beserta sifat-sifatnya. Kedua, adalah ikhtiar. Orang harus beriktiar dahulu sebelum berserah diri. Ketiga, adalah tauhid. Keempat, menyandarkan hati kepada Tuhan dan merasa tenang denganya. Kelima, adalah berprasangka baik kepada Tuhan. Keenam, adalah Istislam, yaitu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Dan ketujuh, ialah ridha terhadap apapun yang dialami. Dengan memenuhi tingkatan tawakal, maka orang tidak akan kecewa, marah frustasi stress, menggerutu, panik, gelisah, sedih atau menyalahkan orang lain kalau mengalami kegagalan

atau tujuanya tidak tercapai.

Demikianlah penjelasan salah satu sifat terpuji yang bisa membuat manusia yang memilikinya bisa merasakan kebahagiaan. Menurut Hamka penyakit jiwa seperti sombong akan memperhambat bahagia, oleh karena itu penyakit-penyakit jiwa tersebut harus segera diobati, maka menurut Hamka pendidikan dan pengajaran zaman sekarang harus memperhatikan bagian dalam (jiwa) dan bagian luar.41 Sebagai manusia kita juga harus menjaga kesehatan jiwa, Hamka menyatakan untuk menjaga kesehatan jiwa harus diperhatikan lima perkara yaitu; bergaul dengan orang-

39

Aid Al Qarni, Berbahagialah, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2006), h. 61-62. Teba, Hidup Bahagia …, h. 175-177. 41 Hamka,Tasawuf…, h. 270. 40

42

orang budiman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan memeriksa cacat diri sendiri42 Al Ghazali pun mengistilahkan mensucikan jiwa dengan “tazkiyatunnafs” yang secara singkat berarti membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, di samping ubudiyah yang sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui peneladanan kepada Rasulullah.43 Kebahagiaan adalah tujuan setiap manusia dalam menjalani hidup, sebagaimana dalam harapan setiap muslim yang selalu dikumandangkan dalam do’a yang artinya “ya Allah berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka”. Tidak heran kalau Hamka menitik beratkan kajiannya tentang tasawuf terhadap konsep “bahagia” yang hakiki, yaitu bahagia lahir dan batin.

42

Hamka, Tasawuf, h. 138. Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa (Konsep tazkiyatun nafs Terpadu: Intisari Ihya Ulumudin Al Ghazali, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 171. 43

BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya tentang nilai-nilai pendidikan Islam dan juga kajian singkat tentang kandungan buku Tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka, berikut ini penulis akan menguraikansecara spesifik tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku tersebut.

A. Pendidikan Keimanan (Aqidah Islamiyah) Kata Iman berasal dari bahasa Arab aamana-yu`minu-imaanan yang berarti percaya atau yakin. Abul a‟la al-Maududi mendefinisikan iman menurut bahasa yaitu mengetahui serta meyakini.1 Adapun menurut istilah, Abu A‟la al-Maududi mengatakan; iman ialah keyakinan yang mantap yang muncul dari pengetahuan dan kepercayaan.2 Dr. Yusuf Al-Qordhawi mengatakan iman adalah kepercayaan yang terhujam ke dalam hati dengan penuh keyakinan tak ada perasaan syak (raguragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas keseharian.3 Berarti bahwa iman di samping menuntut adanya pengetahuan, pemahaman

1

Abul A‟la Al- Maududi, Menuju Pengertian Islam, Terj. Amirudin Jamil, cet 1 (Bandung: CV. Sulita, 1967), h. 27. 2 Abu A‟la Maududi, Iman dan Ketaatan, Cet ke 1 (Darul Ulum Press, 1990), h. 40. 3 Yusuf Qordhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiyah, cet ke 2 (Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2000), h. 27.

43

44

dan keyakinan yang kuat, dia juga mensyaratkan adanya kepatuhan hati serta kesediaan dan kerelaan menjalankan perintah dan ketentuan Allah Swt. Dalam dunia pendidikan Islam, pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian paling utama dan harus mendapat perhatian khusus dari para pendidik. Allah SWT menggambarkan batapa pentingnya pendidikan keimanan sebagaimana dikisahkan dalam kisah Luqman dalam Al-Quran. Firman Allah dalam surat Luqman ayat 13:

                Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman: 13).

Adapun yang dimaksud pendidikan iman menurut Zakiyah Daradjat adalah proses belajar mengajar tentang berbagai aspek kepercayaan.4 Dalam konteks pendidikan iman dalam Islam, yang dimaksud dengan aspek kepercayaan tersebut tentu saja kepercayaan menurut ajaran Islam, dan bentuk kepercayaan itu terangkum dalam rukun iman. Namun menurut M. Ahmad Qadir Muhammad, bahwa pendidikan keimanan dapat pula dilakukan dengan membangkitkan orang agar berfikir tentang alam dan segala sesuatu tentang kebesaran Allah.5 Dalam buku Tasawuf

Modern, Hamka sepakat dengan beberapa

pemikir yang mendefinisikan iman sebagai perkataan dan perbuatan (qaulun wa amalun), yang berarti keselarasan antara perkataan hati dan lidah serta perbuatan hati dan anggota badan.

6

Allah SWT berfirman dalam surat al

Hujurat ayat 15:

4

Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 63. 5 M. Ahmad Qadir Muhammad, Metodologi Pendidikan Agama islam, (Jakarta: Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam, 1985) , h. 16. 6 Hamka, Tasawuf Modern…,h. 59

45

                    Bahwasanya orang yang beriman dengan Allah dan Rasulnya, kemudian tidak ada ragu-ragu lagi, dan mereka berjihad dengan harta benda dan diri mereka sendiri pada jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar pengakuanya (QS. Al-Hujurat: 15). Selanjutnya Hamka menerangkan definisi iman, Islam dan ihsan dengan mengutip hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sayidina Umar Bin Khatab ra, bahwa seketika Jibril datang dan bertanya kepada Nabi Saw: Jibril: “ Apakah Islam?” Nabi: “Islam ialah engkau ucapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa bulan ramadhan, naik haji jika mampu”. Jibril: “Apakah iman?” Nabi: “iman ialah engkau percaya kepada Allah, percaya adanya malaikatmalakatNYa, Kitab-kitabnya,

Rasul-Rasulnya, percaya dengan

kebangkitan sesudah mati, dan percaya dengan takdir”. Jibril: “Apakah ihsan?” Nabi: “ihsan ialah engkau beribadat kepada Allah seakan-akan engkau melihat Dia. Walaupun engkau tidak melihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau”.7 Menurut Hamka, Hadits di atas menerangkan bahwa iman merupakan akar, pohonnya adalah Islam, dan disiram supaya subur dengan ihsan. Karena tidak akan ada orang yang mengerjakan amal kalau hatinya sendiri belum percaya. Demikian analogi Hamka tentang iman.

7

Hamka, Tasawuf Modern…,h. 61

46

Hamka juga menjelaskan bahwa iman bisa subur dalam hati jika hati bersih dari sifat-sifat tercela seperti takabur, hasad, dan mencari kemegahan. Seperti ungkapanya: Iman itu bisa subur dalam hati, hendaklah tersingkir hati dari sifat-sifat takabur, hasad, dan mencari kemegahan.8 Kisah Firaun seorang raja yang takabur, iblis yang mempunyai sifat hasad kepada Adam, dan Heraclius yang mempunyai sifat gila akan kemegahan hingga ia tidak beriman, merupakan contoh dari sosok yang mengingkari Allah (tidak mengimani Allah) karena tertutup oleh sifat-sifat buruk yang diungkapkan dalam buku Tasawuf Modern. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan yang menyatakan agar anak selalu mengingat Allah, pada setiap perasaannya, hendaknya anak selalu mempelajari setiap perasaan yang bersih dan suci. Jangan sampai ia berbuat hasad, dengki, mengadu domba, dan senang dengan hal-hal yang kotor dan batil.9 Ada ungkapan menarik tentang iman yang ditulis Hamka di dalam buku Taswauf Modern yaitu: Hati itu hanya dapat membuat misalnya seratus benda, tidak dapat dilebihi dan tidak dapat dikurangi. Muatan yang seratus itu adalah iman dan ragu. Kalau telah dipenuhi oleh iman 25 % tandanya dipenuhi oleh ragu 75 %. Dan telah ada iman 50 % tentu ditempati oleh ragu 50%. Kalau iman cukup menjadi 100%, tentu tidak ada ragu lagi didalamnya. Oleh sebab itu maka hendaklah iman yang telah tumbuh di dalam hati itu dipupuk supaya subur dan bertambah, jangan dibiarkan begitu saja, takut dia menjadi lemah dan tumbang, tumbuh rumput sekelilingnya, rumput ya menyemakan, atau dikalahkan limau oleh benalu.10 Dari pernyataan Hamka di atas mengisyaratkan bahwa hati sebagai tempat pertama berlabuhnya iman sangat mudah untuk berpindah-pindah dan berganti antara iman dan ragu. Maka apabila iman telah tumbuh subur dalam diri seorang muslim hendaknya dijaga, karena keimanan bersifat fluktuatif pada setiap orang, kadang ia bertambah dan kadang berkurang. 8

Hamka, Tasawuf Modern…, h. 62 Abdullah nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam,…, ha. 169 10 Hamka, Tasawuf Modern….,h. 67

9

47

Untuk menjaga iman supaya terus bertambah dan meningkat, ada tiga syarat yang dijelaskan Hamka dalam buku Tasawuf Modern tersebut, yaitu: 1). Ditasdiqkan (diyakini ol;eh hati), 2). Diikrarkan (diucapkan), dan 3). Diikuti dengan amalan. Jika ketiga syarat tersebut tidak sempurna maka tidak akan sempurna pula iman seseorang. Kalau seseorang mengerjakan suatu amal pebuatan tapi tidak percaya maka orang tersebut adalah munafiq, jika lidah saja yang berucap, sementara hati dan perbuatanya tidak maka jatuhlah dia menjadi kafir zuhud. Apabila dia mengerjakan dan lidahnya pun mengakui, tetapi tidak megakui kaifiyatnya maka ditakutkan Imanya akan jatuh pada kesalahan.11 Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pendidikan keimanan merupakan pendidikan yang sangat fundamental yang harus ditanamkan kepada setiap peserta didik sejak dini, karena tanpa iman amal perbuatan manusia akan siasia. Maka seyogyanya selain peserta didik dibekali dengan ilmu keimanan, peserta didik pun harus dilatih dan mengetahui bagaimana cara menjaga iman supaya terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam hal ini Hamka mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk menjaga keimanan adalah dengan lebih banyak membaca Al-Qur‟an, menelaa‟ah hadits nabi, serta memperhatikan alam dan seisinya. Berikut adalah penjelasan Hamka tentang bagaimana menjaga keimanan: Selain dari kesudian membaca Al-qur’an, Hadits nabi, kata hikmat dan budiman, perhatikan pula alam dan seisinya, perhatikan manusia dengan kejadian badanya yang ajaib, perhatikan matahari yang memberi cahaya untuk manusia hidup, bulan yang timbul dan tenggelam, takjub atas kekuasaan pembikinannya. Takjub itu ialah pintu yang pertama dari iman. Di sana kelak akan aatang suara dari hati kita sendiri.12 Hamka juga menjelaskan bahwa kehidupan ini membuktikan bahwa Allah itu ada. Karena segala alam ini ada yang menjadikan, kehidupan ini bukan terjadi dengan tiba-tiba. Di waktu otak manusia jernih dan bersih, tidak tercampur dengan kesombongan dan tidak hanya percaya kekuatan diri sendiri,

11 12

Hamka, Tasawuf Modern…,h. 68 Hamka, Tasawuf Modern…, h. 69

48

timbulah dalam hatinya perasaan bahwa ada yang mengatur alam ini. Pengakuan atas adanya yang mengatur alam, adalah pengakuan asli manusia. Perasaan itu mesti timbul bilamana dia memperhatikan alam seisinya. Dari penuturan tersebut, Hamka ingin mennjelaskan bahwa ada fitrah akal yang sangat berpengaruh terhadap proses bertambah kuatnya keimanan seseorang. Dengan mengoptimalkan potensi akal yang hanif

untuk

merenungkan dan berfikir tentang penciptaan alam semesta, manusia dapat membuktikan kebenaran

agama, sekaligus memperkuat keimananya. Dan

dengan bertambah kuatnya iman seseorang atau peserta didik maka segala apa yang dilakukanya akan mengarah pada dua dimensi yaitu dimensi ketundukan vertical dan dialektika horizontal. Iman kepada Allah yang ditegaskan dengan ucapan La ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah) menimbulkan faham tauhid (montheis), yakni mengesakan Tuhan.13 Dan tauhid dalam pendidikan Islam berfungsi untuk mentransformasikan setiap individu anak didik menjadi “manusia tauhid” yang lebih ideal, dalam arti memiliki sifat-sifat mulia dan komitmen kepada penegakan kebenaran dan keadilan. 14 Prof. Dr. Ardani mengemukakan bahwa tauhid bukanlah semata-mata kepercayaan hampa akan wujud Allah yang maha Esa melainkan juga harus direalisasikan dalam kehidupan nyata, maka dengan sendirinya ia akan memberi pengaruh terhadap kehidupan itu sendiri, baik pengaruh yang bersifat aqliyah, nafsiyah, dan ijtimaiyah.15 Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa dalam buku Tasawuf Modern Hamka menjelaskan tentang masalah keimanan secara cukup terperinci. Hamka meletakan pembahasan tentang nilai-nilai dan pendidikan keimanan bagi manusia sebagai hal penting yang menjadi fondasi kehidupan manusia. Hal tersebut sejalan dengan semangat pendidikan Islam yang meniscayakan

13

Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 17. Muhammad Irfan, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigm Pendidikan Islam, (Friska Agung Insani, 2000), h. 109. 15 Prof. Dr. H. M. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia…, h. 117-118 14

49

adanya nilai-nilai keiman yang harus ditanamkan dalam pendidikan Islam sebagai salah satu upaya pemenuhan aspek afektif bagi peserta didik.

B. Pendidikan Akhlak Sebagaimana diketahui bahwa “tasawuf” Hamka termasuk kepada tasawuf akhlaki, Hal ini tercermin dalam pemaknaan tasawuf menurut Hamka yang sependapat dengan definisi tasawuf yang dikemukakan al-Junaid, bahwa tasawuf adalah membersihkan jiwa dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala kerakusan dan memerangi syahwat. Tasawuf akhlaki berorientasi pada pembinaan akhlak yang mulia. Terlebih Hamka menjelaskan bahwa tujuan dari tasawuf adalah untuk membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi. Hal ini tentu saja sangat relevan dengan definisi dan tujuan pendidikan akhlak yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik melalaui proses pengajaran, pembinaan, pelatihan, pengasuhan dan tanggung jawab untuk diarahkan kepada suatu arah dan kebiasaan yang baik dan mulia, baik aspek jasmani maupun rohani. Pada buku yang sama, Hamka juga menjelaskan bahwa keutamaan budi ialah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat istiadat yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan mana yang mesti di buang dan mana yang mesti dipakai. Serta dibiasakan perangai-prangai yang terpuji, yang mulia, berbekas di dalam pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang adat yang mulia itu.16 Menurut Hamka kalau kita menjauhi apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintahkan tetapi karena terpaksa dan bukan karena ketulusan, maka yang demikian itu tandanya belum naik kepada tingkatan budi. Oleh sebab itu hendaklah diri berperang dengan diri dan dalam perjuangan yang hebat itulah kita dapat mencapai tujuan yang mulia. Menurut Hamka, untuk mencapai keutamaan budi harus ada tiga rukun yang perlu

16

Hamka, Tasawuf Modern…, h. 117

50

dicapai, yaitu: 1). Dengan tabi’at, 2). Dengan pengalaman, 3). Dengan pelajaran.17 Ketiga rukun di atas harus dilaksanakan, apabila hanya salah satu saja yang dilaksanakan maka akan pincang keutamaannya. Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa banyak orang yang dari kecil bergaul dalam kalangan yang utama, tetapi pengalaman tidak ada atau ilmu tidak ditambah, maka keutamaan budi tidak akan tercapai. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Sidi Gazalba, bahwa Kepribadian muslim sebagian besar berasal dari kapasitas atau predisposisi tertentu yang dikuasai oleh keturunan, sebagian dari keadaan individu yang diperolehnya selama hidupnya, dan sebagian lagi dari kebiasaan-kebiasaan yang diberikan kepadanya oleh kebudayaan tertentu.18 Maka ketiga rukun yang dikemukakan Hamka tersebut sangat baik untuk mendidik akhlak manusia supaya budi semakin baik dan menjadi yang utama. Selanjutnya Hamka menyatakan bahwa musuh yang senantiasa menghalangi manusia mencapai keutamaan ialah hawa nafsu yang menyebabkan marah, dengki, loba dan kebencian.19 Maka hawa nafsu yang bisa menyebabkan kerusakan akhlak tersebut harus diperangi dan dihilangkan. Dalam hal ini Hamka juga menjelaskan tentang hawa dan akal, menurut Hamka hawa membawa sesat dan tidak berpedoman, dan akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Untuk membedakan antara mana kehendak akal dan hawa amatlah sulit, maka untuk dapat membedakannya perlu ilmu hakikat yang dalam. Akan tetapi, meskipun pedoman itu telah ada, namun manusia masih sangat berpotensi menjadi sesat, karena semua itu bergantung kepada taufiq dan hidayat Ilahi, karena itu hendaklah lekas-lekas lari kepada Allah di waktu hati

17

Hamka, Tasawuf Modern….,h. 119 Sidi Gazalba, masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, jilid 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.53. 19 Hamka, Tasauf Modern..,h. 119 18

51

telah mulai ragu. Minta pertimbangaNya, bentangkan kitabNya. Demikian menurut Hamka.20 Dalam buku yang sama Hamka juga menyebutkan beberapa sifat yang termasuk ke dalam keutamaan budi pekerti, yaitu syaja’ah, adil, iffah dan hikmat. Dalam hal ini sepertinya Hamka sependapat dengan imam Al Ghazali bahwa syaja’ah, adil, iffah dan hikmat adalah induk akhlak mulia, yang denganya dapat diketahui mana yang benar dan mana yang salah. 21 Selain itu, Hamka juga menjelaskan secar spesifik tentang beberapa perilaku terpuji yang ada dalam buku Tasawuf Modern, di antaranya yaitu malu, amanat, sidiq, ikhlas, qona’ah dan tawakal. Pertama, malu. Perasaan malu menurut Hamka sangat berpengaruh terhadap pergaulan hidup. Dengan malu, orang yang berakal akan enggan untuk mengerjakan perbuatan jahat. Sebelum orang menggunakan undangundang lebih dahulu orang telah dilindungi oleh hukum malu yang telah melekat dalam budi pekertinya. Lebih lanjut Hamka mengatakan bahwa rasa malu tidak akan hidup dalam hati dan budi pekerti seorang manusia, kalau dia tidak merasakan rasa kehormatan diri.22 Sifat malu membawa seseorang mengarungi lautan besar, memasuki rimba belantara, ditimpa susah dan kepayahan untuk mencapai keutamaan. Sifat malu menyebabkan manusia sanggup menahan hawa nafsu, mengekang dirinya dan menempuh halangan lantaran menghindarkan diri dari perangai yang durjana. Kedua, amanat. Bisa dipercaya (amanat) adalah tiang kedua dari masyarakat yang utama. Hamka mengutip pendapat Herbert Spencer yang berpendapat bahwa hidup itu ialah kelancaran hubungan diri dengan luar diri23. Sedang nasi sesuap, tak bisa masuk ke dalam mulut kalau tidak beribu bahkan bermiliun orang yang mengerjakan. Dia mesti ditanam oleh para petani yang

20

Hamka, Tasauf Modern….,h. 124 Ahmad Muhammad Al Hufy, Akhlak Nabi Muhammad SAW;Kemuliaan dan Keluhuranya, (Jakarta: Bulan Bintang) h. 28. 22 Hamka, Tasawuf Modern..,h. 103 23 Hamka, Tasawuf Modern...,h. 105 21

52

begitu banyaknya, mesti ditumbuk oleh mesin penumbuk padi yang mempunyai buruh beribu-ribu orang, semua itu dikerjakan oleh bermiliunmiliun orang. Menurut Hamka, amanat adalah salah satu sifat yang harus dimiliki terutama dalam konteks hubungan diri dengan luar diri atau sesama manusia (hablum minannas). Kebalikan dari sifat amanat adalah sifat khianat, yaitu menyia-nyiakan kepercayaan atau tidak dapat dipercaya, yang demikian itu termasuk ke dalam salah satu tanda orang munafiq. Hamka mengatakan, supaya masyarakat dapat hidup secara teratur, perlu berdiri pemerintah yang bisa mengatur Negara, sedangkan negara hanya dapat tegak di atas amanat. Kalau amanat telah runtuh atau para pemimpinnya khianat, maka runtuhlah pemerintah,berarti runtuh pulalah masyarakat dan umat. Ketiga, sidiq. Sidiq yang berarti jujur atau benar merupakan dasar pembinaan akhlak yang sangat penting dalam ajaran Islam. Dan bersikap seperti ini memerlukan perjuangan yang tidak ringan, karena banyaknya godaan dilingkungan sekitar yang menggoda kita untuk tidak bersikap jujur (sidiq). Hamka menjelaskan bahwa sidiq adalah tiang ketiga dari masyarakat. Karena kejujuran sangatlah penting artinya bagi masyarakat. Dalam hal ini Hamka mengilustrasikan seorang manusia yang diciptakan dimuka bumi, yang awalnya tidak tau ke mana dia akan dibawa, hanya mempunyai panca indra yakni penciuman, pendengaran, penglihatan, perasaan lidah dan kulit. Dan manusia perlu pertolongan, baik pertolongan ilmu maupun akal. Dan semua tidak akan tercapai kalau pertolongan itu tidak diterima dari sumber yang benar.24 Keempat, ikhlas. Sifat ikhlas merupakan salah satu sifat terpuji yang harus ditanamkan kepada peserta didik, Dalam ibadah misalnya, peserta didik selain diajarkan tentang syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan ibadah, juga perlu diajarkan tentang ruh ibadah yakni keikhlasan melaksanakan 24

Hamka, Tasawuf Modern…., h. 107

53

ibadah. Ikhlas ialah melaksanakan sesuatu amal semata-mata karena Allah, yakni semata-mata karena iman kepada yang maha pencipta, dan semata-mata mengharap Ridhanya. Sesungguhnya ikhlas itu adalah ruh suatu amalan. Sabda nabi : Allah tiada menerima amalan, melainkan amalan yang khalis bagiNya dan dituntut denganya keridhaan Allah (HR. Ibnu Majah). Dalam buku risalah Al Qusairy karangan Qusyairy an naisabury, dijelaskan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah SWT, sebagai satu-satunya sesembahan. Sikap taat yang dimaksud adalah taqarrub kepada Allah, mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia. Dapat dikatakan, “keikhlasan berarti menyucikan amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga, “keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia.25 Adapun ikhlas menurut Hamka adalah pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu . Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa Ikhlas dalam hal ini tidak hanya berlaku untuk Allah, tetapi untuk siapa saja. Dalam penjelasanya bila seseorang melakukan sesuatu untuk dipuji majikanya, maka ia berlaku ikhlas untuk majikanya atau bila manusia berlaku sesuatu untuk kepentingan perutnya, maka iapun ikhlas untuk perutnya.26 Orang yang melakukan sesuatu untuk yang ditujunya, bila ia melakukan sesuatu untuk Allah semata berarti ia ikhlas karena Allah. Oleh karena itu Hamka menjelaskan dalam buku Tasawuf Modern tentang ikhlas kepada Allah, kitabullah, Rasulullah, dan ikhlas kepada kaum muslimin. Berikut penjelasanya: 1. Ikhlas kepada Allah Ikhlas kepada Allah maknanya adalah hanya semata-mata percaya kepadanya.Ia tidak boleh dipersekutukan dengan yang lain, pada zat sifat dan

25 26

pada

kekuasaanya.Hadapkan

kepadanya

segala

sifat-sifat

Imam Qusyairi An Naisabury, risalah Qusyairiyah induk ilmu tasawuf, h. 243. Hamka, Tasauf Modern …,h. 127

54

kesempurnaan yang penuh, hindarkan dari pada persangkaan sifat-sifat kekurangan. 2. Ikhlas kepada kitabullah Ikhlas kepada kitabullah adalah percaya dengan sungguh-sungguh bahwa kitab itu ialah kalamullah, yang tiada serupa dengan kalam makhluk. Tidak seorangpun yang sanggup membuat kitab semacam ini, kitabullah adalah kitab yang diturunkan Allah kepada rasulnya untuk menjadi tuntunan kita sekalian. Kita baca dan kita fahamkan isinya, kita junjung dan kita sucikan, kita perhatikan dengan hati yang khusu‟. 3. Ikhlas kepada Rasulullah Ikhlas kepada Rasulullah adalah mengakui dengan sungguh-sungguh risalahnya, percaya dengan segala yang dibawanya. 4. Ikhlas kepada imam kaum muslimin Ikhlas kepada imam atau raja-raja dan pemerintah muslim ialah dengan jalan membela dalam kebenaran, taat kepada mereka di dalam agama. Hamka mengemukakan bahwa lawan dari ikhlas adalah isyrak, isyrak artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Sedangkan tempatnya ikhlas dan isyrak adalah hati.27 Maka jika seseorang berniat mengerjakan sesuatu pekerjaan, mulai dari melangkah sudah dapat ditentukan ke mana arah dan tujuannya, apakah niat karena faktor lain ataukah karena Allah SWT. Ikhlas tidak dapat dipisahkan dari jujur atau dalam bahasa lainya tulus.28 oleh sebab itu banyak orang mengatakan tulus ikhlas, padahal ketulusan itu bukanlah dibuktikan oleh lidah saja, tetapi lebih dari itu adalah hati. Ada sebuah syair yang diungkapkan oleh Hamka; Jangan terpedaya oleh seorang ahli pidato lantaran pidatonya, sebelum kelihatan bukti pada perbuatanya. Karena perkataan itu sumbernya adalah hati. Lidah hanya dijadikan sebagai tanda dari hati. Dalam menjelaskan tentang ikhlas Hamka merujuk surat Al Baqarah ayat 177:

27 28

Hamka,Tasawuf Modern…, h. 127 Hamka, Tasawuf Modern.., h. 129

55

                                                           Tidaklah jasa dan kebaikan itu, bahwa engkau palingkan mukamu ke timur dan ke barat, tetapi jasa kebaikan ialah beriman kepada Allah dan hari akhirat, dengan malaikat dan Nabi; dan memberikan harta kepada yang berhak menerima dari kaum kerabat, anak yatim, orang miskin, orang yang tak tentu rumah tangganya, budak yang ada harapan akan dimerdekakan dan mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang menempati perjanjian bilaman mereka berjanji, dan orang yang sabar di waktu kesusahan dan kesempitan, serta kesusahan yang tiba-tiba. Mereka itulah orang-orang yang benar dan (tulus) dalam pengakuanya, dan mereka itulah orang-orang yang muttaqin. (QS. AlBaqarah ayat 177). Kelima, qona’ah dan tawakal. Dewasa ini banyak sekali manusia yang saling berebut jabatan dan kekayaan dengan saling menjatuhkan satu sama lain, tentu saja hal ini

sangat mengkhawatirkan. Selain budaya rebutan

jabatan, budaya korupsi juga kian merajalela dewa ini yang membuat bangsa ini semakin hancur. Para koruptor bukanlah orang yang tidak memiliki cukup uang, bahkan kekayaan mereka relatif berlimpah, namun mereka tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah mereka miliki, karena mereka mengedepankan sifat tamak daripada sifat qona’ah. Qona’ah dan tawakal merupakan salah satu materi dalam Pendidikan Islam, Sifat qona’ah dan tawakal hendaknya dimiliki oleh peserta didik, karena Dengan sifat qona’ah orang tidak akan tergila-gila untuk menindas yang lain guna mendapatkan jabatan dan kekayaan, karena mereka yakin bahwa rizki telah diatur oleh Tuhan, tugas manusia adalah berikhtiar. Maka

56

Dzu Nuun al Mishry mengatakan bahwa orang qona’ah selamat dari orangorang semasanya dan berjasa atas semua orang. Qona’ah menurut Abu Abdullah bin khafif adalah

meninggalkan

keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki. Muhammad bin Ali at Tirmidzi menegaskan, qona‟ah adalah kepuasan jiwa terhadap rizki yang diberikan.29 Rasulullah SAW bersabda:“qona’ah itu adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap” Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern menjelaskan bahwa qona’ah adalah menerima dengan cukup, dan qona’ah mengandung lima perkara: 1. Menerima dengan rela apa yang ada 2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha 3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan 4. Bertawakal kapada Tuhan 5. Tidak tertarik oleh tipu daya manusia30 Qona’ah bukan berarti menerima saja apa yang ada, sehingga tidak ada ikhtiar. Karena sejatinya agama menyuruh untuk qona’ah hati bukan qona’ah ikhtiar. Rasulullah bersabda: “Qona’ah itu adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap.” Hamka menjelaskan bahwa qona’ah maknanya sangatlah luas. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita., menyuruh sabar akan ketentuan ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur akan dipinjaminya Nikmat. Maka bekerja, berusaha, bergiat sehabis tenaga adalah kewajiban manusia.31 Jadi qona’ah bukan untuk melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qona’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup.

29

Abul Qasim Al Qusyairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, induk ilmu Tasawuf, Terj. Dari Arrisalatul Qusyairiyah fi’ilm At Tashawwufi oleh Muhammad Luqman Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), cet: 2, h. 174 30 Hamka,Tasawuf Modern…, h. 219 31 Hamka, Tasawuf Modern…, h. 221

57

Dalam pendidikan Islam sifat qona’ah merupakan sifat yang terpuji yang tentunya harus dimiliki oleh peserta didik, dengan sifat qona’ah yang mempunyai makna yang sangat luas maka peserta didik tidak akan malas dalam berusaha dan belajar, karena sebagaimana dijelaskan Hamka bahwa qona’ah yang dimaksud adalah qona’ah hati bukan qona’ah ikhtiar. Sejatinya qona’ah adalah tiang kekayan yang sejati. Dan lawan qona’ah adalah gelisah, gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya.32 Agar manusia tidak salah paham tentang qana’ah yaitu merasa puas dengan yang telah dimiliki. Maka Hamka membedakan qona’ah dengan malas, karena malas dan qona’ah perbedaanya sangat tipis. Qona’ah adalah berikhtiar semaksimal mungkin untuk mendapatkan rizki dan merasa puas dengan rizki yang telah dimilikinya, sedangkan malas adalah merasa puas dengan rizki yang dimiliki tanpa melakukan ikhtiar. Di dalam qona’ah seperti yang telah dijelaskan di atas tersimpulah tawakal, yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan

semesta alam. Syekh Muhammad Shalih al Muajjid

berpendapat bahwa tawakal merupakan tingkatan akhlak yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi pelakunya. Tawakal adalah bagian dari hasil keimanan yang terbesar, amalan dan ibadah yang paling utama yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah SWT.33 Menurut Hamka tawakal bukan semata-mata menyerahkan seluruhnya kepada kehendak Allah tanpa berusaha sama sekali, tapi tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan Allah setelah manusia melakukan ikhtiar semaksimal mungkin. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Hamka yaitu: Maka orang yang menutup kandangnya, takut ayamnya ditangkap musang, orang yang mengunci rumahnya takut maling masuk, orang yang mengikat untanya takut akan dilarikan orang; mereka itulah mutawakil, bertawakalh yang sejati, tawakal dalam teori dan praktek.34

32

Hamka, Tasawuf Modern…, h. 222 Syekh Muhammad Shalih Al Munajjid, Jagalah Hati Raih Ketenangan, penerjemah: Saat Mubarak, cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006), h. 35. 34 Hamka, Tasawuf Modern…, h. 233-234 33

58

Kritikan Hamka tentang tawakal tersebut sejalan dengan pendirianya tentang adanya kebebasan manusia dalam memilih takdir hidupnya. Keterangan tawakal yang demikian mendorong orang untuk berusaha, tidak hanya pasrah terhadap keadaan dengan dalih tawakal kepada Allah SWT.

C. Pendidikan Spiritual (Tazkiyatunnafs) 1. Pengertian Pendidikan spiritual Pendidikan spiritual merupakan bagian pokok dalam pendidikan Islam. Pendidikan ini berlandaskan pada kaidah-kaidah yang kuat dan dasar-dasar yang kokoh yang berperan sebagai penguat dan pengokoh relasi antara seorang muslim dengan Tuhanya, Allah SWT, serta sebagai penghubung antara faktor-faktor yang bersifat duniawi dan factor-faktor yang bersifat ukhrowi. Menurut Said Hawwa pendidikan spiritual dalam Islam merupakan pembersihan jiwa atau perjalan (al sair) menuju Allah SWT. Adapun dalam buku-buku pendidikan spiritual, secara umum seluruhnya dituangkan ke dalam satu wadah yang sama yakni perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih (al muzakka); dari akal yang belum tunduk kepada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat, dari roh yang jauh dari Allah, lalai dalam beribadah dan tidak sungguh-sungguh melakukanya, menuju roh yang mengenal (arif) Allah SWT, senantiasa melaksanakan hak-hak untuk beribadah kepadaNya, dari fisik yang tidak mentaati aturan syariat menuju fisik yang senantiasa memegang aturanaturan syariat Allah SWT. Singkatnya dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna dalam kebaikan dan mengikuti Rasulullah Saw baik perkataan, tingkah laku dan keadaanya.35 Selanjutnya pendidikan spiritual erat sekali kaitanya dengan istilah tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Perlu dicatat bahwa istilah tazkiyatun 35

Sa‟id Hawwa, Tarbiyatuna Al Ruhiyah, (Kairo; Maktabah al wahbah,1992), h.69.

59

nafs adalah istilah yang paling umum dengan istilah pendidikan (al Tarbiyah), apalagi istilah ini telah disebutkan dalam beberapa ayat alQur‟an yang menunjukan makna pendidikan, dan istilah ini menunjukan pada introspeksi jiwa (muhasabah al nafs). Said

Hawwa menyatakan bahwa “kata

Tazkiyyah secara

terminologis punya dua makna, yaitu pensucian dan pertumbuhan.36Hal itu ditegaskan pula oleh Muhammad al Ghazali, ia mengatakan bahwa tazkiyah merupakan kata yang terdekat dari makna pendidikan (tarbiyah); bahkan kata tarbiyah dan tazkiyah hampir sinonim dalam upaya perbaikan jiwa dan pendidikan tabi’at.37 Mir Valiuddin menyatakan bahwa tazkiyah an nafs atau penyucian jiwa ini berarti menghiasi sifat-sifat terpuji dan malakuti, sesudah membersihkanya dari sifat-sifat tercela dan hewani.38 Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern membahas tentang kesehatan jiwa. Menurut Hamka jiwa adalah harta yang tiada ternilai harganya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin, maka itulah kekayaan sejati. 39 Hamka mengatakan, bahwa orang yang takut mengahadapi kehidupan dan tidak berani menggosok dan mensucikan batinya, tidak akan kenal arti lezat. Seorang pahlawan, mencapai titel pahlawan dengan darah dan pedang. Seorang penganjur bangsa alim ulama dan sebagainya, mereka duduk di singgasana kemuliaan dengan senangnya, padahal mereka mencapai itu dengan susah payah. Demikianlah mencapai kemuliaan batin. 40 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mensucikan jiwa dan menuju ketenangan jiwa bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk dilakukan, perlu latihan serta pendidikan mental yang panjang, banyak 36

Said Hawwa, Mensucikan jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu, Cet. Ke-25 (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 2. 37 Muhammad Al Ghazali, Nazhariyah al Tarbiyah al-Islamiyah li al Fard wa al Mujtama‟, (Makkah al Mukarramah; Jami‟ah Umm al Qura, 1400 H), h. 1. 38 Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam tasawuf, Cet. 2, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1997) h. 45. 39 HAMKA, Tasawuf…, h. 145. 40 HAMKA, Tasawuf…, h. 146.

60

sekali pengorbanan yang harus dilakukan, dan dengan pengorbanan susah payah maka manusia akan merasakan ketenangan jiwa. Selanjutnya Hamka menjelaskan bagaimana cara mengobati jiwa yang sakit. Jiwa yang sehat tercermin dalam dirinya sifat syaja’ah (berani pada kebenaran, takut pada kesalahan), iffah ( pandai menjaga kehormatan batin), Hikmah (Tau rahasia dari pengalaman hidup) dan adaalah (adil). Dan sebaliknya jiwa yang sakit timbul dalam dirinya sifat tahawur, jubun, marah yang tercela, ujub dan takut.

2.

Penyakit Jiwa dan Obatnya a. Tahawur Lawan sifat syaja’ah (berani) adalah tahawur (nekad/gegabah) yang berarti keberanian manusia menempuh suatu hal, padahal menurut pertimbangan akal hal tersebut tidak bisa ditempuh. Maka untuk mengobati penyakit tahawur, hendaklah orang yang telah terjangkit penyakit ini, sadar akan akibat yang ditempuh jika melakukan tahawur. Sadari bahayanya dan paksa diri surut ke belakang, maka hati tidak akan merasa kecewa lagi jika ditimpa malapetaka dan tidak tercengang melihat keganjilan kebenaran.41 b. Jubun Jubun adalah penyakit yang di bawah derajat pertengahan. Tabiat ini amat dingin. Sebab kematian hati ini karena tidak ada martabat, tidak ada gengsi. Hal ini karena kurang kesabaran, kurang kemauan, sehingga jadi pemalas. Orang yang mempunyai sifat jubun suka saja menerima kehinaan, asal kesenangan jasmani jangan terganggu. Menurut Hamka mengobati penyakit jiwa yang berbahaya ini, ialah dengan jalan menimbulkan watak-watak yang ada dalam diri. Karena sebenarnya perangai atau sifat sifat masih belum hilang dalam jiwa.42 41 42

Hamka, Tasawuf …, h. 150. Hamka, Tasawuf …, h. 151.

61

c. Marah Marah berasal dari bahasa Arab amarah yaitu bersifat memerintah atau mendorong.

43

Marah merupakan emosi dasar yang

tampak ketika salah satu motif dasar atau penting yang harus dipenuhi terhambat. Menurut Hamka Marah ada yang terpuji dan ada yang tercela. Marah yang terpuji

ada dua macam yaitu marah karena

mempertahankan kehormatan dan mempertahankan agama. 44 Allah Berfirman dalam Al-Qur‟an: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku, sesungguhnya Rabbku maha pengampun lagi maha penyayang.(Qs. 12:53),45 Ayat di atas menjelaskan bahwa nafsu yang ada pada diri manusia memang selalu condong untuk melakukan perbuatan yang jahat. Nafsu yang baik adalah nafsu yang diberi rahmat oleh Allah. Marah yang tidak boleh dan menjadi penyakit bagi jiwa atau marah yang terlarang adalah marah yang terbit dari takabur dan sombong, congkak dan kebanggaan. Marah ini terjadi karena untuk kepentingan diri sendiri bukan untuk agama dan dunia. Maka untuk mengobati sifat ini perlu banyak maaf (hilm) dan banyak menahan hati ( Tahallum).46 d. Ujub dan Bangga Ujub ialah merasa puas dengan diri sendiri. Ujub atau sombong adalah sikap merasa lebih tinggi dari orang lain sekaligus merendahkan mereka. Sedangkan bangga menurut Hamka adalah sifat suka membanggakan kemuliaan diluar badan.47 al-Qur‟an juga mencela dan mengecam sikap berbangga diri sebagaimana dijelaskn dalam surat Luqman ayat 18: 43

Sudirman Tebba, Sehat lahir batin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 96. HAMKA, Tasawuf …, h. 154. 45 Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Tajwid dan Terjemah, (Jakarta Khairul Bayan,2005), h. 42. 46 HAMKA, Tasawuf …, h. 157. 47 HAMKA, Tasawuf…., h. 158 44

62

                     Dan janganlah kamu memalingkan muka kamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membenggakan diri. (QS. Luqman: 18). e. Takut Sebenarnya rasa takut bermanfaat dalam kehidupan manusia. Ia mendorong manusia untuk menjauhi situasi bahaya dan menghindari sesuatu

yang

menyakiti

dirinya.

Penelitian

empiric

mutakhir

menunjukan bahwa takut yang seimbang dan tidak berlebihan, justru bermanfaat dalam mendorong manusia untuk melakukan pekerjaanya dengan baik. Sedangkan takut yang berlebihan, akan menimbulkan keguncangan dan keresahan jiwa. Menurut Hamka takut yang berlebihan adalah penyakit yang timbul dari jubun. Hawa kemarahan badan sudah terlalu dingin dan beku. Oleh sebab itu timbulah ketakutan. Misalnya ada Orang yang enggan berniaga karena takut rugi, hendaklah diobati dengan perasaan, bahwa jatuh miskin itu bukanlah penyakit, yang jadi penyakit disini adalah ketakutan. 48

3. Menjaga Kesehatan jiwa Gangguan kesehatan jiwa sebagian besar disebabkan oleh tekanan, pengalaman-pengalaman emosional dan konflik batin. Penyakit jiwa yang telah dijelaskan di atas apabila tidak diobati maka akan berakibat tidak baik bagi perkembangan psikologis. Oleh karena itu sangat perlu adanya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dari sifat-sifat tercela kemudian dihiasi dengan sifat-sifat terpuji. Sebagaimana yang telah dijelaskan Hamka di atas. 48

HAMKA, Tasawuf …, h. 161.

63

Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa menjaga kesehatan jiwa yang paling utama adalah dengan beriman kepada Allah. Berikut adalah ungkapan Hamka tentang menjaga kesehatan jiwa dalam bukunya taswauf Modern. Rukunya yang pertama adalah beriman dengan Allah. Tetapi iman itu tidak ada artinya kalau tidak kelihatan bayanganya, padahal ehwal setiap hari, atau pada hubungan antara kehidupan dengan alam. Tampak alamatnya pada kerinduan yang terbit dari cinta dan cinta yang memperhubungkanya dengan hayat, dan dengan cita-cita yang menghubungkan engkau dengan alam.49 Hal ini diperkuat oleh pendapat

Dr. M Usman Najati dalam

bukunya EQ dan SQ dari Sunnah Nabi yang mamaparkan bahwa iman dapat memperkuat sisi ruhaniyah manusia. Iman, tauhid dan ibadah kepada Allah menimbulkan sikap istiqomah dalam perilaku. Di dalamnya terdapat pencegahan

dan

terapi

penyembuhan

terhadap

penyimpangan,

penyelewengan serta penyakit jiwa. 50 Belakangan sejumlah psikolog kontemporer seperti William James, Carl G. Jung, A.A Brill, Henri Link, mulai menyadari pentingnya memasukan

aspek

agama

dalam

kesehatan

jiwa.

Mereka

juga

mengisyaratkan peranan penting yang dilakukan oleh iman dalam memberikan kedamaian dan ketenangan dalam jiwa dan dalam menghancurkan perasaan gelisah serta keguncangan jiwa.51 Allah berfirman:

            Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk (Q.S Al An „am: 82). 49

HAMKA, Tasawuf …, h. 275. M Utsman Najati, Belajar SQ dan EQ dari sunah Nabi, Cet VI, (Jakarta: Hikmah, 2003) h. 100. 51 Najati, Belajar SQ dan EQ …, h. 4. 50

64

Selanjutnya Hamka berpendapat bahwa untuk menjaga kesehatan jiwa perlu diperhatikan lima perkara: 1. Bergaul dengan Orang-orang Budiman Hamka menegaskan dalam buku tasawuf modern untuk menjaga kesehatan jiwa, hendaklah begaul dengan orang-orang yang berbudi. Orang-orang yang dapat dikutip manfaat daripadanya. Jangan bergaul dengan orang-orang yang durjana, akan tetapi jika suatau saat kita terpaksa bergaul dengan golongan itu, maka hendaklah membuat isyarat yang bisa dipahamkan mereka, bahwa kita tidak setuju dengan perbuatan dan kelakuan mereka. Karena biasanya kotoran budi yang kita saksikan akan melekat kepada kita, dan amat susah buat membasuhnya sekaligus, Bahkan kadang-kadang orang yang utama bisa tertarik oleh orang yang tidak utama, apalagi bila keutamaan baru saduran, belum lekat sampai ke sanubari. Dari penjelasan Hamka diatas dapat dipahami bahwa menjaga pergaulan amatlah penting untuk menjaga kesehatan jiwa, karena pergaulan yang baik akan membawa kita baik, tapi jika bergaul dengan orang yang tidak baik maka akan terbawa kepada hal yang buruk. 2. Membiasakan Pekerjaan Berfikir Untuk menjaga kesehatan jiwa, maka perlu pengasahan otak setiap hari, karena jika dbiarkan menganggur berfikir, akan ditimpa sakit dan menjadi bingung. Orang yang kuat berfikir akan menjadi hikmat. Jika besar kelak ia akan menjadi bintang pergaulan yang gemerlapan. Demikian pendapat Hamka. 3. Menahan Syahwat dan Marah Nafsu manusia tidak ubahnya seperti binatang tunggangan yang tidak patuh yang hendak menguasai dan membangkang kepada penunggangnya. Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa supaya batin sehat, hendaklah dikungkung jangan sampai terpengaruh oleh kekuatan syahwat dan marah.

65

Supaya nafsu terpelihara, hendaklah orang berjuang menyingkirkan perangai yang rendah. Biasakan tidak menyetujui jika orang lain mengerjakanya, biasakan membentuk diri dalam keutamaaan. Menurut Hamka yang paling berbahaya untuk kesehatan rohani adalah memandang murah kejahatan yang kecil, karena kejahatan yang kecil merupakan pintu bagi kejahatan yang besar. 4. Memeriksa Cacat-cacat Diri Sendiri Memeriksa cacat-cacat diri sendiri atau yang lebih dikenal dengan introspeksi adalah salah satu bentuk penghitungan diri, dan merupakan alat yang penting bagi manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahanya.Bila orang tidak mempunyai penasihat dari dalam dirinya, maka nasihat apapun tidak bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau menerima kritikan dari nuraninya sendiri, maka ia tidak akan dapat menerimanya dari orang lain. Dialah yang lebih mengenal dirinya jauh dari siapapun.52 Hamka berpendapat tiap-tiap orang takut akan cacat dirinya. Di sini nyata bahwa manusia tidak ingin kerendahan, semua suka kemuliaan. Tetapi jarang orang yang tidak tahu akan aibnya, dan tidak tahu akan aib diri sendiri menurut Hamka adalah aib yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu introspeksi adalah hal yang penting untuk dilakukan guna mendidik diri dan membersihkan jiwa, Allah SWT berfirman di dalam surah al-Qiyamah ayat 14-15 Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasanya. 5. Tadbir, menimbang sebelum mengerjakan (bekerja dengan teratur) Sebelum masuk kepada pekerjaan hendaklah difikirkan dahulu manfaat dan madhorotnya, akibat dan natijahnya. Hamka berpendapat pekerjaan yang tidak dimulai dengan pertimbangan bisa menghabiskan masa dan umur. Maka jika mengerjakan pekerjaan yang tidak berfaedah, hendaklah hukum diri atas kesalahan tersebut. Dalam hal ini Hamka 52

Khalil Al Musawi, Bagimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-Resep Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, penerj. Ahmad Subandi (Jakarta: Lentera, 1999), h. 67.

66

mencontohkan jika terdorong sembahyang terlalu cepat, sehingga menghilangkan khusu‟ hukumlah diri supaya sembahyang lebih lambat dari yang biasa.

53

Demikian Hamka menjelaskan tentang kesehatan jiwa dan obatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang kemudian dikenal dalam dunia tasawuf dengan istilah takhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat buruk), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia) dan tajalli (membuka hijab dengan Allah Swt), meskipun dalam hal ini buku Tasawuf Modern belum terlalu menyentuh ke dalam ranah tajalli. Jiwa (nafs) dalam diri manusia bersifat tidak tetap, sebagaimana hati yang juga bias berubah-ubah, ia bisa menjadi nafsul muthmainnah (jiwa yang bersih) atau nafsul lawwaamah (jiwa yang kotor). Supaya jiwa tetap suci, maka manusia perlu menjaga kesehatan jiwanya. Pendidikan spiritual yang lebih dikenal dengan istilah tazkiyyatun nafs adalah salah satu cara untuk menjaga dan mensucikan kembali jiwa dari penyakitnya. Meskipun dalam penjelasannya tentang tazkiatun nafs Hamka hanya menyebutkan iman dan lima perkara sebagai cara untuk menjaga kesehatan jiwa, tapi tentu saja dengan keimanan yang teguh kepada Allah seorang manusia akan terus menghiasai dirinya dengan taat kepada Allah dengan cara beribadah, dan dari ibadah yang ikhlas maka akan tercermin pada dirinya sifat-sifat yang terpuji dan mulia.

D. Relevansi Buku Tasawuf Modern dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam Buku Tasawuf Modern karya Hamka yang pertama kali dibukukan pada tahu 1939 ini memang tidak membahas tetang pendidikan secara spesifik. Tidak ada bab ataupun sub bab yang menerangkan tentang teori pendidikan, metode pendidikan ataupun hal lainnya yang berkaitan dengan pendidikan formal secara eksplisit. Buku yang pada awalnya adalah kumpulan tulisan pada sebuah rubrik majalah “Pedoman Masyarakat” ini secara umum membahas tentang masalah53

Hamka, Tasawuf Modern…., h. 142

67

masalah tasawuf dengan tema-tema seperti, iman, akhlak, bahagia, jiwa dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kajian tasawuf. Dalam bukunya ini, Hamka memotret tentang fenomena banyaknya ummat Islam yang mengalami kekeringan spiritual dan kebingungan dalam menghadapi kehidupan dan cara menggapai kebahagiaan, meskipun secara formal mereka mengaku sebagai penganut Islam. Di sisi lain banyak praktekpraktek spiritual atau tasawuf yang disinyalir berbenturan dengan syariat dan ubudiah Islam. Maka dengan tulisan Tasawuf Modern yang banyak membahas kehidupan keseharian mayoritas masyarakat ini Hamka bermaksud meluruskan dan menyuguhkan Tasawuf yang “sesungguhnya” yang tidak berbenturan dengan syariat. Hamka mendefinisikan tasawufnya dengan mengutip definisi tasawuf dari al-Junaidi, yaitu “keluar dari budi, perangai tercela dan kepada budi, perangai terpuji”.54 Sebagaimana penulis telah jelaskan pada bab I tentang perumusan dan pembatasan masalah, penulis telah membatasi dan merumuskan penyusunan skripsi ini seputar nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern karya Hamka.

Maka dari itu penulis melihat adanya

relevansi yang signifikan antara isi buku Tasawuf Modern dalam konteks nilainilai pendidikan Islam. Sebagaimana kita ketahui, pendidikan Islam memiliki misi untuk membentuk peserta didiknya menuju manusia paripurna (insan kamil), ialah protope pribadi mulia secara lahir dan batin seperti pribadi Muhammad Saw. Sebagai upaya mewujudkan misi besar tersebut, maka dalam prosesnya setidaknya pendidikan Islam harus memiliki dua dimensi, yaitu pertama, dimensi dialektika horizontal

terhadap sesama manusia. Kedua, dimensi

dialektika vertical (ketundukan kepada Allah).55 Selain itu, pendidikan Islam juga memiliki tujuan untuk semata-mata hanya beribadah kepada Allah, sesuai dengan tujuan dan peranan hidup

54

HAMKA, Tasawuf …, h. 13. Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,2008), h. 116. 55

68

manusia di sisi Allah.56 Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat AdzDzariyat ayat 56 yang artinya: “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka menyembahku”. Dari keterangan di atas, maka menjadi sebuah konsekuensi bahwa dalam kerangka ideal pendidikan Islam, baik dalam materi, metode ataupun proses pendidikannya harus memiliki muatan nilai-nilai Islam, sebagai upaya mewujudkan misi dan tujuan pendidikan Islam. Terlebih Hamka banyak mengutarakan metode bagaimana caranya memperkuat keimanan, akhlak dan spiritual dalam bukunya Tasawuf Modern. Dalam konteks tersebut, buku Tasawuf Modern sebagaimana telah dibahas secara singkat pada bab sebelumnya mengandung penjelasan dan pembahasan yang cukup eksplisit terhadap kajian nilai-nilai Islam. seperti telah diuraikan sebelumnya, penulis mengklasifikasikan pembahasan nilainilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern ke dalam tiga pokok pembahasan, yaitu penidikan keimanan (aqidah Islamiah), pendidikan akhlak dan pendidikan spiritual (tazkiyatun nafs). Penjelasan mengenai bahagia, keimanan, akhlak dan spiritual sebagaimana telah penulis bahas pada bab ini dan bab sebelumnya adalah beberapa tema yang merefresentasikan nilai-nilai pendidikan Islam, dan hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia.57

56

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media,1992), h. 14. 57 HAMKA, Lembaga Hidup, h. 190.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Sebagaimana telah dibahas oleh penulis pada bab-bab sebelumnya, dalam buku Tasawuf Modern Hamka menjelaskan beberapa nilai-nilai Islam yang penting untuk dilaksanakan dan diajarkan, dan hal-hal tersebut secara prinsip memiliki kesamaan dengan nilai-nilai dalam pendidikan Islam. Adapun nilai-nilai tersebut adalah: 1. Pendidikan Keimanan (aqidah Islamiyah) Nilai pendidikan keimanan terlihat dalam pemaparan Hamka dalam bab al-Iman, Hamka menjelaskan pengertian al-Iman dan bagaimana cara untuk menjaga serta meningkatkan iman kita kepada sang khalik diantaranya adalah dengan banyak membaca al qur’an, menela’ah hadits Nabi dan merenungkan penciptaan Allah yaitu alam semesta. Selain itu Hamka juga memaparkan tentang inayat ilahi yang bisa membangkitkan keimanan kita kepada Allah SWT. 2. Pendidikan Akhlak Tasawuf Hamka merupakan tasawuf akhlaki, banyak sekali nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku ini. Hamka sependapat dengan imam Al Ghazali bahwa syaja’ah, iffah, adil dan hikmat adalah induk budi pekerti, Kemudian hamka menyebutkan bahwa untuk mencapai keutamaan budi harus memenuhi tiga rukun yaitu dengan tabi’at,

69

70

pengalaman dan pengajaran. Menurut Hamka Hawa nafsu yang bisa merusak akhlak harus dikungkung dan diperangi. Di dalam buku ini juga kaya dengan penjelasan macam-macam akhlakul karimah seperti, malu, sidiq, amanat, ikhlas, qona’ah dan tawakal yang bisa dijadikan sumber dan memperkaya khazanah pendidikan Islam. 3. Pendidikan Spiritual Buku Tasawuf Modern terkenal dengan pengobat dan penentram jiwa, menurut Hamka jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Pendidikan spiritual dalam buku Tasawuf Modern terlihat dalam pembahasan tentang kesehatan jiwa, meskipun penjelasan Hamka tidak selengkap dan sejelas ulama-ulama terdahulu dalam menjelaskan tazkiyatun nafs, tapi penjelasan Hamka tentang kesehatan jiwa ini mudah dipahami dan mudah diaplikasikan, karena uraianya mudah dimengerti dan sederhana. Disini Hamka memaparkan bagaimana cara menjaga kesehatan jiwa, serta tentang penyakit hati dan obatnya. Hamka juga menjelaskan bahwa untuk menjaga kesehatan jiwa salah satu caranya adalah dengan memperteguh keimanan kepada Allah SWT, bergaul dengan orang budiman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan memeriksa cacat diri sendiri. Dari semua pembahasan pada skipsi ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa buku Tasawuf Modern karya Hamka sangatlah kaya dengan nilai-nilai Islam yang relevan dengan prinsip nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam, atau dengan kata lain terdapat nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern. Selain itu, buku tersebut juga disuguhkan secara sederhana, sehingga sangat applicable untuk dipraktekan oleh siapapun, termasuk bagi anak didik yang rata-rata berusia dini dan muda.

71

B. Saran Sebagaimana tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya, penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pendidikan Islam saat ini hendaknya tidak hanya mementingkan aspek jasmaniyah tetapi juga harus memperhatikan sisi rohaniyah, sehingga pendidikan yang bervisi spiritual bisa terwujud. 2. Kepada para pendidik diharapkan tidak hanya mengajarkan nilai yang bersifat teoritis, yang menekankan pada hafalan dan pemahaman saja, tetapi lebih dari itu pendidik seharusnya mengajarkan nilai yang esensial tentang makna serta ruh dari pembelajaran pendidikan Islam itu sendiri. Maka perlu konsep serta perencanaan yang matang dari para pendidik. 3. Standar akhir dari sebuah proses pendidikan sudah selayaknya tidak lagi diukur dari standar kuantitatif semata, tapi juga harus dilihat dari standar kualitatif, yang salah satunya dari sejauh mana peserta didik dapat menginternalisasi nilai-nilai pendidikan Islam ke dalam setiap individunya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Meaningful Learning, (Yogyakarta: pustaka pelajar 2007). Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an, (Jakarta:Rieneka Cipta, 2007). Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media,1992). Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001). Al-Ghazali, Muhammad, Nazhariyah al Tarbiyah al-Islamiyah li al Fard wa al Mujtama’, (Makkah al Mukarramah; Jami’ah Umm al Qura, 1400 H). Al-Hufy, Ahmad Muhammad, Akhlak Nabi Muhammad SAW;Kemuliaan dan Keluhuranya, (Jakarta: Bulan Bintang) . Al-Maududi, Abul A’la, Menuju Pengertian Islam, Terj. Amirudin Jamil, cet 1 (Bandung: CV. Sulita, 1967). Al-Munajjid, Syekh Muhammad Shalih, Jagalah Hati Raih Ketenangan, penerjemah: Saat Mubarak, cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006). Al-Musawi, Khalil, Bagimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-Resep Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, penerj. Ahmad Subandi (Jakarta: Lentera, 1999). Al Qarni, Aid, Berbahagialah, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2006). An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992). An-Naisabury, Imam Qusyairi, risalah Qusyairiyah induk ilmu tasawuf, Anwar, Rosihon dan. Solihin, Mukhtar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Aqil Siroj, Said, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006). Ardani, Moh, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra cahayaUtama) Arief, Armai Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).

72

73

Arifin, H.M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976). Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Lembaga Islam Depag RI, 1992). -------, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Tajwid dan Terjemah, (Jakarta Khairul Bayan,2005). F.N, Ridjalaludin, Mengungkap Rahasia; Tasawuf versi Hamka (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2008). Gazalba, Sidi, masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, jilid 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979). -------, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992). -------, Renungan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985). -------,Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993). -------, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987). Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka Panjimas: 1983) . Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa (KOnsep tazkiyatun nafs Terpadu: Intisari Ihya Ulumudin Al Ghazali, (Jakarta: Rabbani Press, 1998). -------, Said, Mensucikan jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu, Cet. Ke-25 (Jakarta: Robbani Press, 2000). -------, Sa’id, Tarbiyatuna Al Ruhiyah, (Kairo; Maktabah al wahbah,1992). Ihsan, Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, cet.2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigm Pendidikan Islam, (Friska Agung Insani, 2000). Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2001). Khalil, Ahmad, Merengkuh Bahagia, (Malang: UIN Malang Press,2007).

74

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif, 1989). Maududi, Abu A’la, Iman dan Ketaatan, Cet ke 1 (Darul Ulum Press, 1990). MC. Donald, Frederick J, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication LTD,1959). Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004). Muhammad, M. Ahmad Qadir, Metodologi Pendidikan Agama islam, (Jakarta: Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam, 1985). Nasution, Harun, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973). Najati, M Utsman, Belajar SQ dan EQ dari sunah Nabi, Cet VI, (Jakarta: Hikmah, 2003). Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997). Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,2008). Qordhawi, Yusuf, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiyah, cet ke 2 (Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2000). Raharjo, M. Dawam , Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993). Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002). Saepudin, A.M, Desekularisasi Pemikiran Mizan,1991).

Landasan Islami, (Bandung:

Shihab, M. Qurais wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1997). Sobahussurur (e.d) Mengenang 100 Tahun Hamka,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008). Soenardjo, RHA, et. al, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al Wa’ah, 1993). Solikhin, Muhammad, Tasawuf Aktual,(Semarang: Pustaka Nuun, 2004).

75

Suakidi, Kecerdasan Spiritual, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002). Sulaeman, Fatiyah Hasan, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj. Fathurrahman, (Bandung : Al maarif, 1986). Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Seharihari, (Ciputat: Penerbit pustaka Irvan: 2003). Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta:Balai Pustaka, 1994). Tebba, Sudirman, Hidup Bahagia Para sufi, (Jakarta:Pustaka Irvan, 2007). -------, Orientasi Sufistik Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2004). -------, Sehat lahir batin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004). Thoha, HM. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003). Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam tasawuf, Cet. 2, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1997). Z, Zurinal dan Sayuti, Wahdi, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press). Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995).