Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung dalam Kisah Adam (Kajian ...

156 downloads 261 Views 426KB Size Report
orang-orang jauh sebelum kita, sejak nabi Adam As, seperti kisah para nabi dan kaumnya, kisah ..... sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-A'raf:11-25). 2) Kisah ...
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul: “Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung dalam Kisah Adam (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Baqoroh 2:30-39)” diajukan kepada Fakultas ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosyah pada, 31 Maret 2008 dihadapan para penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama.

Jakarta, 31 Maret 2008 Panitia Ujian Munaqosyah Ketua Panitia ( Ketua Jurusan/Prodi)

Tanggal

Tanda Tangan

Drs. H. A. Fattah Wibisono, M. Ag NIP: 150 236 009

……….

………………

……….

………………

Penguji II Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi M.A

……….

………………

Penguji I Drs. Abdul Haris M. Ag

……….

………………

Sekretaris (sekretaris Jurusan/Prodi) Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag NIP: 150 299 477

Mengetahui: Dekan,

Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A

LEMBAR WISUDA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1. Nama 2. Tempat/Tanggal Lahir 3. NIM 4. Jurusan 5. Program 6. Judul Skripsi 7. Pembimbing 8. Penguji 9. Tanggal Lulus 10 . Nomor Ijazah 11. Indeks Prestasi/Yudisium 12. Jabatan dalam Organisasi Kemahasiswaan 13. Alamat Asal 14. Alamat Sekarang 15. Nama ayah 16.Pendidikan terakhir Ayah 17. Pekerjaan Ayah 18. Nama Ibu 19. Pendidikan Terakhir 20. Pekerjaan Ibu

: Habibillah : Bogor, 6 Januari 1982 : 103011026678 : Pendidikan Agama Islam : Reguler (S1) : Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung dalam Kisah Adam (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surah AlBaqoroh 2:30-39. : Prof. Dr. H. Salman Harun : Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A : Drs. Abdul Haris M. Ag : 31 Maret 2008-04-01 :: 2.96 :: Jl. Tegar Beriman Curug Pakansari Rt. 03/04 Cibinong Bogor : Idem : H. Yazid Bustomi : PGA : Guru : Hj. Amenah : M.I : Ibu Rumah Tangga

Jakarta, 31 Maret 2008 Calon Wisudawan

(Habibillah)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya

asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan

dalam penulisan skripsi ini

telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat 27 Maret 2008

Habibillah

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur bagi Allah, berkat pertolongan dan ridha-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga serta para sahabatnya yang senantiasa setia dan taat kepada beliau hingga akhir zaman. Penulis sangat menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak sekali kekurangan, meskipun waktu, tenaga, dan pikiran telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, demi terselesainya agar bermanfa’at bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Sebelumnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ayahanda dan ibunda tersayang, walaupun saat ini ayahanda sedang sakit, tapi beliau tetap memberikan cinta, kasih sayang dan perhatiannya

kepada ananda, semoga

penyakit beliau disembuhkan dan semua jasa yang telah beliau lakukan diterima Allah swt, serta dibalas dengan berlipat ganda, dan semoga Allah selalu memberikan taufiq dan inayah-Nya. Keberhasilan penulis selama belajar dan menyusun skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada: 1. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para pembantu dekan. 2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan beserta staf-stafnya. 3. Dosen pembimbing skripsi, terima kasih atas waktu, tenaga dan ilmu serta kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penulis, dalam menyusun skripsi. 4. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajarkan ilmunya selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat. 5. Kepala Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Tarbiyah beserta staf-stafnya yang telah membantu penulis dalam mencari referensi.

6. Kawan-kawan Pendidikan Agama Islam angkatan 2003 khususnya kelas B, yang selalu menemaniku selama belajar di kampus ini. 7. sahabat-sahabat terdekatku

(Pacet’s Community), Wilkin, Heru, Maulana,

Amiruddin dan Lukman terima kasih atas kekompakan dan motivasinya. 8. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini Semoga Allah swt. membalas kebaikan yang telah mereka berikan. Mohon ma’af apabila terdapat kesalahan, kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Dari sistematika, bahasa maupun dari segi materi, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan komentar, saran, dan kritiknya dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfa’at. Amin… Jakarta,

Maret 2008

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ………………………….………………………….i KATA PENGANTAR …………………………………….…………………….ii DAFTAR ISI ……………………………………………….…………………...iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………….…………………1 B. Masalah Penelitian …………………………………….……………...3 a. Identifikasi Masalah ……………………………….……………...3 b. Pembatasan masalah ……………………………….……………...3 c. Perumusan Masalah ………………………….………………...….3 C. Tujuan dan manfaat Penelitian ………………………………………4 D. Sistematika Penulisan ………………………………………………..4 BAB II KAJIAN TEORI ………………………………………………………...6 1. Pengertian Nilai ……………………………………..……………….6 2. Pengertian Pendidikan ……………………………...………………..6 a. Istilah Al-Tarbiyah ………………………………………………...7 b. Istilah Al-Ta’lim …………………………………………………..7 c. Istilah Al-Ta’dib ……………………………………………………8 3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam …...……………………………11 4. Kisah 1). Pengertian Kisah dalam Al-Qur’an …………………………….14 2). Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an ……………………….16 3). Faedah Kisah dalam Al-Qur’an …………………………………17 BAB III TAFSIR AL-QUR’AN SURAH AL-BAQOROH (2:30-39) …………19 I. Ayat dan Terjemah ……… ……..……………………………….19 II. Tafsir Ayat ……………………………………………………...22 III. Ikhtisar ……….………………………………………………….33 IV. Perbandingan …………………………………………………….34

BAB IV

NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM KISAH

ADAM AS………………………………………………………………36 A. Sikap dan Prilaku ……………………………………………….37 1. Rendah Hati ..………………………………………………..37 2. Larangan Sombong …………………………………………..38 3. Menjauhi Dengki …………………………………………….43 4. Sikap Pema’af dan Pengampun ..……………………………47 B. Aspek Pendidikan dan Pengajaran ………………………………50 1. Metode Kisah …………….…………………………………..50 2. Metode Tanya Jawab …………………………………………53 3. Mengapreasikan pikiran dan Perasaan ….……………………57 4. Metode Ganjaran dan Hukuman ………………………………62 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………….….……………………68 B. Saran-saran …..…………………………….……………………69 DAFTAR PUSTAKA ……………..……………………………………………71

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Kehadiran al-Qur’an

telah memberi pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya

berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Kaum muslimin sendiri dalam rangka memahaminya telah melahirkan beribu-ribu kitab yang berupaya menjelaskan makna pesannya.1 Didalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang pernah di alami orang-orang jauh sebelum kita, sejak nabi Adam As, seperti kisah

para nabi dan

kaumnya, kisah orang-orang Yahudi dan Nasrani, Shobi’in, Majusi dan lain sebagainya. Karena al-Qur’an pendidikan

adalah kitab pendidikan, maka kisah itu juga mangandung nilai

2

Dari berbagai macam kisah al-Qur’an, penulis hanya tertarik satu kisah, yaitu kisah tentang Nabi Adam a.s, karena dalam kisah tersebut Allah SWT sebagai Sang Khaliq langsung mendemonstrasikan metode dan tehnik pembelajaran serta proses transformasi ilmu pengetahuan kepada makhluknya yaitu Nabi Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan-Nya. Dengan cara memaparkannya dengan berbagai literatur, khususnya kajian tafsir dan pendidikan, apakah di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu dari latar belakang masalah diatas, penulis sangat berminat dan tertarik

untuk

mengambil

judul:

NILAI-NILAI

PENDIDIKAN

YANG

TERKANDUNG DALAM KISAH ADAM AS (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat AlBaqoroh 2:30-39)

1

Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), cet. 1,

hal.2

2

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 3, hal. 433

B. MASALAH PENELITIAN 1. Identifikasi Masalah Di dalam al-Qur’an

terdapat berbagai macam bidang ilmu pengetahuan,

pembahasan yang erat kaitannya dengan pendidikan sangat luas, begitu pula kisah-kisah yang terdapat didalamnya begitu banyak dan beragam. Kisah nabi Adam merupakan kisah yang sangat menarik dan mempunyai nilai yang amat berharga bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan khususnya pendidikan Islam. 2. Pembatasan Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi

manusia. Allah SWT

mengabadikan bermacam-macam kisah dan peristiwa yang terjadi dalam al-Qur’an sepanjang sejarah, diantaranya kisah tentang para Nabi dan kaumnya, kisah-kisah orang Yahudi dan Nasrani, dan lain sebagainya. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Baqoroh/2:30-39 dengan sendirinya telah memberikan batasan bahwa nilai-nilai pendidikan yang dimaksud penulis adalah nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam as. 3. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini yaitu: a. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam a.s dalam surat al-Baqoroh/2:30-39. b. Bagaimana menyesuaikan

kisah Nabi Adam a.s. dengan aspek-aspek

pendidikan Islam.

C. TUJUAN DAN MANFA’AT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian a.Ingin memperoleh pemahaman yang jelas tentang kisah Nabi Adam a.s. b. Untuk menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pendidikan Islam c.Untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an khususnya surat al-Baqoroh/2:30-39

Maka untuk memperoleh tingkat objektifitas penelitian yang bersifat refresentatif, dipilih data-data dan keterangan serta pengkajian tentang ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an melalui kisah Adam as. kontribusinya terhadap nilai-nilai pendidikan. 2. Manfa’at Penelitian Mengenai manfaat penelitian ada beberapa hal yang penulis inginkan dari penyusunan skripsi ini, antara lain: a.Diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis sebagai calon guru dan instruktur terjemah al-Qur’an sistem 40 jam (LPIQ) Nasional. b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi penulisan khususnya dalam dunia pendidikan Islam

D. Sistematika penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab setiap bab terdiri dari beberapa sub bab , secara rinci adalah sebagai berikut: BAB I

: Pendahuluan terdiri dari : Latar belakang masalah, perumusan

dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

langkah-

langkah penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Kajian Teori: Bagian Pertama memuat Nilai-Nilai Pendidikan, Pengertian Nilai, Pengertian Pendidikan, Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam. Bagian Kedua memuat Pengertian Kisah Dalam Al-Qur’an, Macammacam Kisah dalam al-qur’an, Manfaat kisah dalam al-Qur’an. BAB III : Kajian Tafsir al-Qur’an Surat al-Baqoroh ayat 30-39 : Tafsir alMisbah, Tafsir Maraghi, Tafsir Fi Zilalil Qur’an. BAB IV : Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an tentang

kisah

Nabi Adam a.s. Diantaranya yaitu: Pertama, Aspek Sikap dan Prilaku: Rendah Hati, Larangan Sombong, Menjauhi Dengki, Sikap Pema’af, dan Pengampun. Kedua,

Aspek Pendidikan dan Pengajaran: Metode Kisah,

Metode Tanya Jawab, Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan, Metode Ganjaran dan Hukuman.

BAB V

: Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran-Saran, Daftar

Pustaka dan Lampiran.

BAB II KAJIAN TEORI 1. Pengertian Nilai Menurut bahasa nilai artinya harga hal-hal yang penting atau berguna

bagi

kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.1 Secara filosofis

nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering

disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan prilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional, sedangkan nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai-nilai yang bersumber kepada al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat muthlak dan universal.2

2. Pengertian Pendidikan Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term altarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan term alta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan

padahal kedua istilah tersebut telah

digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.3 Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam. a. Istilah Al-Tarbiyah 1

Departemen Pendidikan Nasional, Kmus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2002), Edisi ke-3, hal. 783. 2 Prof.Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat, PT. Ciputat Press, 2005), hal.3 3 Ahmad syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: al-Kasyaf, 1954), h.213

Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan kata tumbuh, berkembang, memelihara, marawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.4 Penggunaan kata al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah:

.‫ﺻﻐِﻴﺮًا‬ َ ‫ب ا ْرﺣَ ْﻤ ُﻬﻤَﺎ آَﻤَﺎ َر ﱠﺑﻴَﺎﻧِﻲ‬ ‫ﻞ َر ﱢ‬ ْ ‫ﺣ َﻤ ِﺔ َو ُﻗ‬ ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮ‬ َ ‫ل ِﻣ‬ ‫ح اﻟ ﱡﺬ ﱢ‬ َ ‫ﺟﻨَﺎ‬ َ ‫ﺾ ﻟَ ُﻬﻤَﺎ‬ ْ ‫ﺧ ِﻔ‬ ْ ‫وَا‬ ”Dan rendahkanlah dirimu dengan mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. Al-Isra/17:24). b. Istilah Al-Ta’lim Allah SWT berfirman:

‫ﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ‬ ِ ‫ب وَا ْﻟ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ َو ُﻳ َﺰآﱢﻴ ُﻜ ْﻢ وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ رَﺳُﻮﻟًﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳَ ْﺘﻠُﻮ‬ َ ‫آَﻤَﺎ َأ ْر‬ .َ‫وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﺗﻜُﻮﻧُﻮا ﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬ Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Al-Baqoroh : 151) Kalimat wayu’allimu hum al-Kitaba wal al-hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum muslimin. Menurut Abdul Fatah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyath an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berprilaku. Kecendrungan Abdul Fattah jalal sebagaimana dikemukakan diatas, didasarkan argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah 4

Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtubiy, Tafsir al-Qurtuby, juz I, (Kairo: Dar al-Sya’biy, tt),h.120

adalah Nabi Adam a.s. hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S. Al-Baqoroh 2:31. pada ayat tersebut dijelaskan , bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan pengajaran kepada Adam a.s. memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki oleh para malaikat.5

c. Istilah al-ta’dib Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-ta’dib.6 Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi:

‫ﻦ َﺗ ْﺎ ِد ْﻳ ِﺒﻲ‬ َ‫ﺴ‬ َ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻲ رﱢﺑﻲ َﻓَﺎ‬ ْ ‫َا ﱠد َﺑ ِﻨ‬ Artinya: “Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (H.R. al-‘Askary dari Ali r.a). Kata addaba dalam hadis diatas dimaknai al-Attas sibagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsurangsur ditanamkan-Nya kedalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku kearah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian, serta –sebagai akibat nyaia telah membuat pendidikanku yang paling baik.”7 Berdasarkan hadits diatas, maka al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.8 Penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki arti 5

Abdul Fattah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Hary Nur Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), 29-30 6 Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1994), h. 60 7 al-Attas, Konsep Pendidikan, h.63 8 al-Attas, Konsep Pendidikan … h. 61

pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan tetapi digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari

bahasa latin

“educatio” atau dalam bahasa Inggris “education”. Kedua kata tersebut dalam batasan pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta’dib merupakan terma yang paling tepat dalam khasanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan al-Ta’lim sudah tercakup dalam terma al-Ta’dib. Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term diatas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam. Diantara batasan yang sangat variatif tersebut adalah: 1. al-Syaibaniy ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkahlaku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.9 2. Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik secara jasmani dan rohani pesrta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).10 3. Ahmad Tafsir: Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.11 5. Menurut Zakiyah Darajat pendidikan Islam adalah Pembentukan kepribadian muslim.12

9

Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam… h.399. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989),h. 19 11 Ahmad Tafsir , Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992), 10

h. 32

12

Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, dan Dirjen Binbaga Islam, 1992) hal 28.

6. Mortimer, J. Adler memberikan pengertian pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan adalah proses yang mana semua kemampuan manusia (bakat kemampuan yang diperolehnya) yang dapat dipengeruhi oleh pembiasaan disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu oreng lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”. 7. Kemudian Herman H. Horne berpendapat, pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar dengan sesama manusia dengan tabiat tertinggi dari kosmos. ”.13 Dari terminologi-terminologi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah yang bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik kearah pncapaian pendidikan . oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidika Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah (hadis). Menetapkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar yang dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai

13

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.12

pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan padanya (Q S. Al-Baqoroh/2:2). Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S. Ar-Ra’d/15:9), baik dalam pembinaan aspek spriritual maupun aspek budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran hadis sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara umum, hadis difahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, serta ketetapannya. Kepribadian Rasul sebagai uswat al-Hasanah yaitu contoh tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). Oleh karena itu, prilakunya senantiasa senantiasa terpelihara dan di kontrol oleh Allah SWT (Q.S. An Najm/ 53:3-4).14 Secara lebih luas dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali – sebagaimana dikuti Langgulung – terdiri atas 6 macam, yaitu ; al-Qur’an, Sunnah, qaul al-Shahabat, masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.15 Seluruh rangkaian dasar tersebut secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan sistem pendidikan Islam. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu; 1. Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. 2. Sifat-sifat dasar manusia 3. Tuntunan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan. 4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu: a) mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dimuka bumi. b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik. c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).16 Al-Syaibani dalam bukunya, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam ialah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.17 14

Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, h.47 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989),h. 35 16 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam… h. 120 15

Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.189 Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan yang sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya didunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: 1. membentuk akhlaq mulia 2. mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat 3. persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 4. menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik 5. mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19

4. Kisah 1). Pengertian Kisah dalam Al-Qur’an Al-Qur’an telah banyak menceritakan kisah orang-orang dahulu dari para nabi dan selain nabi, diantaranya mengenai kisah orang-orang mukmin dan kisah orang-orang kafir. Al-Qur’an telah membicarakan kisah-kisah yang disebutkannya. Ia menjelaskan hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya, episode-episode yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya, dan bagaimana cara berinteraksi dengannya. Manusia dituntut untuk

merenungi

pembicaraan al-Qur’an

tentang kisah-

kisahnya supaya renungannya menjadi pengantar bagi pembicaraan tentang kisah

17

Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam… h. 410 Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan…, h. 67 19 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 1-4 18

orang-orang dahulu dalam al-Qur’an dan sebagai pengantar bagi interaksi dengan kisahkisah itu.20 Menurut bahasa kisah artinya cerita, berita atau keadaan. Sedangkan menurut istilah ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul, serta peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.21 Imam ar-Raghib al-Ishfahani

mengatakan dalam kitab mufrodat-nya (al-

Mufrodat fi Gharib al-Qur’an-penj.) tentang kata ini (qashas), “Al-Qashasu berarti mengikuti jejak’. Dikatakan ‘Qashasu atsarohu’ saya mengikuti jejaknya’.’ Al-Qashas berarti ‘jejak’ (atsar). Allah ta’ala berfirman,

.‫ﺼﺼًﺎ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ءَاﺛَﺎرِهِﻤَﺎ َﻗ‬ َ ‫ﻓَﺎ ْر َﺗﺪﱠا‬ ‘…Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula’. (al-Kahfi: 64)

َ‫ﺸ ُﻌﺮُون‬ ْ َ‫ﺐ َو ُه ْﻢ ﻟَﺎ ﻳ‬ ٍ ‫ﺟ ُﻨ‬ ُ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ت ِﺑ ِﻪ‬ ْ ‫ﺼ َﺮ‬ ُ ‫ﺧ ِﺘ ِﻪ ُﻗﺼﱢﻴ ِﻪ َﻓ َﺒ‬ ْ ‫ﺖ ِﻟُﺄ‬ ْ ‫َوﻗَﺎَﻟ‬ ‘Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ‘Ikutilah dia’…’(alQashas: 11) Al-Qashas ialah cerita-cerita yang dituturkan (kisah). Allah Ta’ala berfirman,

‫ﻖ‬ ‫ﺤﱡ‬ َ ‫ﺺ ا ْﻟ‬ ُ ‫ﺼ‬ َ ‫ن َهﺬَا َﻟ ُﻬ َﻮ ا ْﻟ َﻘ‬ ‫ِإ ﱠ‬ ‘Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…’(Ali Imran: 62)

َ‫ﻦ ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ِم اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴﻦ‬ َ ‫ت ِﻣ‬ َ ‫ﺠ ْﻮ‬ َ ‫ﻒ َﻧ‬ ْ ‫ﺨ‬ َ ‫ل ﻟَﺎ َﺗ‬ َ ‫ﺺ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺼ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َﻘ‬ َ ‫ﺺ‬ ‫َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ُﻩ َو َﻗ ﱠ‬ ‘….Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan menceritakan kepadanya cerita (tentang dirinya), Syuaib berkata, ‘Janganlah kamu takut…’ (al-Qashas: 25)

‫ﺺ‬ ِ ‫ﺼ‬ َ ‫ﻚ َأ ْﺣ َﺴ َﻦ ا ْﻟ َﻘ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬ َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬ ُ‫ﺤ‬ ْ ‫َﻧ‬ ‘Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik…’ (Yusuf: 3) Adapun qishas

adalah menuntut balas atas darah (pencedaraan fisik atau

pembunuhan) dengan balasan serupa.”22 Kisah al-Qur’an tentang orang-orang dahulu adalah suatu kisah yang benar dan periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allah 20

Shalah al-Khalidi, Kisah-Kisah al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid I, Cet. 1 h.21. 21 Ahmad Syadaly, Ahmad Rafi’I,Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hal. 27 22 Al-Ishfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an…, h.404

lah yang menceritakan kisah itu dan Allah benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, dan ia telah menakdirkannya; peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan, kehendak, dan takdir-Nya. Maka dari itu ucapan Allah tentang kisah itu tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan keraguan, dan siapakah yang lebih benar ceritanya daripada Allah? Dan, siapakah (pula) yang lebih benar perkataan daripada Allah? Tidak ada seorang pun!.23 2). Macam-Macam Kisah Dalam Al-Qur’an Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang dialami orang-orang jauh sebelum kita sejak Nabi Adam; seperti kisah para nabi dan kaumnya. Kisah orangorang Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majusi, dan lain sebagainya. Kisah-kisah al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: A.

Dari Segi Waktu Di tinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu: 1) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa lalu. Contohnya: a. Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi sebagaimana di jelaskan dalam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-34) b. Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-Furqon: 59, Qaf: 38) c. Kisah rentang penciptaaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di surga sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-A’raf:11-25) 2) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa kini , contohnya: a. Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar seperti di ungkapkan dalam (Q.S. Al-Qadar 1-5)) b. Kisah tentang kehidupan makhluk makhluk ghaib seperti setan, jin atau iblis seperti diungkapkan dalam (Q.S. Al-A’raf: 13-14) 3) Kisah ghaib yang terjadi pada masa yang akan datang , contohnya: a. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Qari’ah, surat al-Zalzalah, dan lainnya 23

Rafi’I,Ulumul Qur’an II…, h.23

b. Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat seperti yang diungkapkan dalam alQur’an surat al-Lahab c. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan kehidupan orang-orang yang hidup di dalam neraka seperti di ungkapkan dalam al-Qur’an surat alGhasyiah dan lainnya. B. Dari Segi Materi Di tinjau dari segi materi, kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu 1) Kisah-kisah para Nabi, seperti: a.

Kisah Nabi Adam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-39, Al-A’raf : 11) dan lainnya

b. Kisah Nabi Nuh (Q.S. Hud: 25-49) c. Kisah Nabi Hud (Q.S. Al-A’raf: 65, 72, 50, 58) d. Kisah Nabi Muhammad (Q.S. At-Takwir: 22-24, Al-Furqon : 4, Abasa: 1-10, At-Taubah 43-57, dan lainnya) 2).Kisah peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang tidak di pastikan kenabiannya. a. Kisah tentang Lukman (Q.S. Luqman: 12-13) b. Kisah tentang Dzul Qarnain (Q.s. Al-Kahfi: 83-98) dan lain sebagainya 3). Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa Rosulullah SAW a. Kisah tentang Ababil (Q.S. Al-Fiil: 1-5) 3). Faedah Kisah Dalam Al-Qur’an a. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang di sampaikan para nabi b. Memantapkan hati Rosulullah SAW. Dan umatnya dalam

mengamalkan

agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang akan datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang sesat. c. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa para nabi yang terdahulu adalah benar. d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. Dalam dakwahnya, dengan tepat beliau menerangkan keadaan umat terdahulu.

e. Menyingkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang murni dan mengoreksi pendapat mereka. f. Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia g. Menarik perhatian para pendengar yang di berikan pelajaran kepada mereka.24

24

Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-1, h. 30.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Kehadiran al-Qur’an

telah memberi pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya

berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Kaum muslimin sendiri dalam rangka memahaminya telah melahirkan beribu-ribu kitab yang berupaya menjelaskan makna pesannya.1 Didalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang pernah di alami orang-orang jauh sebelum kita, sejak nabi Adam As, seperti kisah

para nabi dan

kaumnya, kisah orang-orang Yahudi dan Nasrani, Shobi’in, Majusi dan lain sebagainya. Karena al-Qur’an

adalah kitab pendidikan, maka kisah itu juga mangandung nilai

pendidikan 2 Dari berbagai macam kisah al-Qur’an, penulis hanya tertarik satu kisah, yaitu kisah tentang Nabi Adam a.s, karena dalam kisah tersebut Allah SWT sebagai Sang Khaliq langsung mendemonstrasikan metode dan tehnik pembelajaran serta proses transformasi ilmu pengetahuan kepada makhluknya yaitu Nabi Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan-Nya. Dengan cara memaparkannya dengan berbagai literatur, khususnya kajian tafsir dan pendidikan, apakah di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu dari latar belakang masalah diatas, penulis sangat berminat dan tertarik

untuk

mengambil

judul:

NILAI-NILAI

PENDIDIKAN

YANG

TERKANDUNG DALAM KISAH ADAM AS (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat AlBaqoroh 2:30-39)

1

Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), cet. 1,

hal.2

2

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 3, hal. 433

B. MASALAH PENELITIAN 1. Identifikasi Masalah Di dalam al-Qur’an

terdapat berbagai macam bidang ilmu pengetahuan,

pembahasan yang erat kaitannya dengan pendidikan sangat luas, begitu pula kisah-kisah yang terdapat didalamnya begitu banyak dan beragam. Kisah nabi Adam merupakan kisah yang sangat menarik dan mempunyai nilai yang amat berharga bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan khususnya pendidikan Islam. 2. Pembatasan Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi

manusia. Allah SWT

mengabadikan bermacam-macam kisah dan peristiwa yang terjadi dalam al-Qur’an sepanjang sejarah, diantaranya kisah tentang para Nabi dan kaumnya, kisah-kisah orang Yahudi dan Nasrani, dan lain sebagainya. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Baqoroh/2:30-39 dengan sendirinya telah memberikan batasan bahwa nilai-nilai pendidikan yang dimaksud penulis adalah nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam as. 3. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini yaitu: c. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam a.s dalam surat al-Baqoroh/2:30-39. d. Bagaimana menyesuaikan

kisah Nabi Adam a.s. dengan aspek-aspek

pendidikan Islam.

C. TUJUAN DAN MANFA’AT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian d. Ingin memperoleh pemahaman yang jelas tentang kisah Nabi Adam a.s. e. Untuk menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pendidikan Islam f. Untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an khususnya surat al-Baqoroh/2:30-39

Maka untuk memperoleh tingkat objektifitas penelitian yang bersifat refresentatif, dipilih data-data dan keterangan serta pengkajian tentang ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an melalui kisah Adam as. kontribusinya terhadap nilai-nilai pendidikan. 2. Manfa’at Penelitian Mengenai manfaat penelitian ada beberapa hal yang penulis inginkan dari penyusunan skripsi ini, antara lain: c. Diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis sebagai calon guru dan instruktur terjemah al-Qur’an sistem 40 jam (LPIQ) Nasional. d. Diharapkan dapat memberikan kontribusi penulisan khususnya dalam dunia pendidikan Islam

D. Sistematika penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab setiap bab terdiri dari beberapa sub bab , secara rinci adalah sebagai berikut: BAB I

: Pendahuluan terdiri dari : Latar belakang masalah, perumusan

dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

langkah-

langkah penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Kajian Teori: Bagian Pertama memuat Nilai-Nilai Pendidikan, Pengertian Nilai, Pengertian Pendidikan, Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam. Bagian Kedua memuat Pengertian Kisah Dalam Al-Qur’an, Macammacam Kisah dalam al-qur’an, Manfaat kisah dalam al-Qur’an. BAB III : Kajian Tafsir al-Qur’an Surat al-Baqoroh ayat 30-39 : Tafsir alMisbah, Tafsir Maraghi, Tafsir Fi Zilalil Qur’an. BAB IV : Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an tentang

kisah

Nabi Adam a.s. Diantaranya yaitu: Pertama, Aspek Sikap dan Prilaku: Rendah Hati, Larangan Sombong, Menjauhi Dengki, Sikap Pema’af, dan Pengampun. Kedua,

Aspek Pendidikan dan Pengajaran: Metode Kisah,

Metode Tanya Jawab, Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan, Metode Ganjaran dan Hukuman.

BAB V

: Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran-Saran, Daftar

Pustaka dan Lampiran.

BAB II KAJIAN TEORI 1. Pengertian Nilai Menurut bahasa nilai artinya harga hal-hal yang penting atau berguna

bagi

kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.1 Secara filosofis

nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering

disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan prilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional, sedangkan nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai-nilai yang bersumber kepada al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat muthlak dan universal.2

2. Pengertian Pendidikan Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term altarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan term alta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan

padahal kedua istilah tersebut telah

digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.3 Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam. a. Istilah Al-Tarbiyah 1

Departemen Pendidikan Nasional, Kmus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2002), Edisi ke-3, hal. 783. 2 Prof.Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat, PT. Ciputat Press, 2005), hal.3 3 Ahmad syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: al-Kasyaf, 1954), h.213

Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan kata tumbuh, berkembang, memelihara, marawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.4 Penggunaan kata al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah:

.‫ﺻﻐِﻴﺮًا‬ َ ‫ب ا ْرﺣَ ْﻤ ُﻬﻤَﺎ آَﻤَﺎ َر ﱠﺑﻴَﺎﻧِﻲ‬ ‫ﻞ َر ﱢ‬ ْ ‫ﺣ َﻤ ِﺔ َو ُﻗ‬ ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮ‬ َ ‫ل ِﻣ‬ ‫ح اﻟ ﱡﺬ ﱢ‬ َ ‫ﺟﻨَﺎ‬ َ ‫ﺾ ﻟَ ُﻬﻤَﺎ‬ ْ ‫ﺧ ِﻔ‬ ْ ‫وَا‬ ”Dan rendahkanlah dirimu dengan mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. Al-Isra/17:24). b. Istilah Al-Ta’lim Allah SWT berfirman:

‫ﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ‬ ِ ‫ب وَا ْﻟ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ َو ُﻳ َﺰآﱢﻴ ُﻜ ْﻢ وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ رَﺳُﻮﻟًﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳَ ْﺘﻠُﻮ‬ َ ‫آَﻤَﺎ َأ ْر‬ .َ‫َو ُﻳ َﻌﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﺗﻜُﻮﻧُﻮا ﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬ Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Al-Baqoroh : 151) Kalimat wayu’allimu hum al-Kitaba wal al-hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum muslimin. Menurut Abdul Fatah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyath an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berprilaku. Kecendrungan Abdul Fattah jalal sebagaimana dikemukakan diatas, didasarkan argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah 4

Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtubiy, Tafsir al-Qurtuby, juz I, (Kairo: Dar al-Sya’biy, tt),h.120

adalah Nabi Adam a.s. hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S. Al-Baqoroh 2:31. pada ayat tersebut dijelaskan , bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan pengajaran kepada Adam a.s. memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki oleh para malaikat.5

c. Istilah al-ta’dib Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah al-ta’dib.6 Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi:

‫ﻦ َﺗ ْﺎ ِد ْﻳ ِﺒﻲ‬ َ‫ﺴ‬ َ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻲ رﱢﺑﻲ َﻓَﺎ‬ ْ ‫َا ﱠد َﺑ ِﻨ‬ Artinya: “Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (H.R. al-‘Askary dari Ali r.a). Kata addaba dalam hadis diatas dimaknai al-Attas sibagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsurangsur ditanamkan-Nya kedalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku kearah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian, serta –sebagai akibat nyaia telah membuat pendidikanku yang paling baik.”7 Berdasarkan hadits diatas, maka al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.8 Penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki arti 5

Abdul Fattah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Hary Nur Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), 29-30 6 Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1994), h. 60 7 al-Attas, Konsep Pendidikan, h.63 8 al-Attas, Konsep Pendidikan … h. 61

pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan tetapi digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari

bahasa latin

“educatio” atau dalam bahasa Inggris “education”. Kedua kata tersebut dalam batasan pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta’dib merupakan terma yang paling tepat dalam khasanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan al-Ta’lim sudah tercakup dalam terma al-Ta’dib. Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term diatas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam. Diantara batasan yang sangat variatif tersebut adalah: 4. al-Syaibaniy ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkahlaku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.9 5. Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik secara jasmani dan rohani pesrta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).10 6. Ahmad Tafsir: Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.11 5. Menurut Zakiyah Darajat pendidikan Islam adalah Pembentukan kepribadian muslim.12

9

Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam… h.399. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989),h. 19 11 Ahmad Tafsir , Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992), 10

h. 32

12

Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, dan Dirjen Binbaga Islam, 1992) hal 28.

6. Mortimer, J. Adler memberikan pengertian pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan adalah proses yang mana semua kemampuan manusia (bakat kemampuan yang diperolehnya) yang dapat dipengeruhi oleh pembiasaan disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu oreng lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”. 7. Kemudian Herman H. Horne berpendapat, pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar dengan sesama manusia dengan tabiat tertinggi dari kosmos. ”.13 Dari terminologi-terminologi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah yang bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik kearah pncapaian pendidikan . oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidika Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah (hadis). Menetapkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar yang dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai

13

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.12

pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan padanya (Q S. Al-Baqoroh/2:2). Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S. Ar-Ra’d/15:9), baik dalam pembinaan aspek spriritual maupun aspek budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran hadis sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara umum, hadis difahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, serta ketetapannya. Kepribadian Rasul sebagai uswat al-Hasanah yaitu contoh tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). Oleh karena itu, prilakunya senantiasa senantiasa terpelihara dan di kontrol oleh Allah SWT (Q.S. An Najm/ 53:3-4).14 Secara lebih luas dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali – sebagaimana dikuti Langgulung – terdiri atas 6 macam, yaitu ; al-Qur’an, Sunnah, qaul al-Shahabat, masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.15 Seluruh rangkaian dasar tersebut secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan sistem pendidikan Islam. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu; 5. Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. 6. Sifat-sifat dasar manusia 7. Tuntunan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan. 8. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu: d) mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dimuka bumi. e) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik. f) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).16 Al-Syaibani dalam bukunya, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam ialah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.17 14

Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, h.47 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989),h. 35 16 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam… h. 120 15

Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.189 Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan yang sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya didunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: 6. membentuk akhlaq mulia 7. mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat 8. persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 9. menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik 10. mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19

4. Kisah 1). Pengertian Kisah dalam Al-Qur’an Al-Qur’an telah banyak menceritakan kisah orang-orang dahulu dari para nabi dan selain nabi, diantaranya mengenai kisah orang-orang mukmin dan kisah orang-orang kafir. Al-Qur’an telah membicarakan kisah-kisah yang disebutkannya. Ia menjelaskan hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya, episode-episode yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya, dan bagaimana cara berinteraksi dengannya. Manusia dituntut untuk

merenungi

pembicaraan al-Qur’an

tentang kisah-

kisahnya supaya renungannya menjadi pengantar bagi pembicaraan tentang kisah

17

Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam… h. 410 Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan…, h. 67 19 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 1-4 18

orang-orang dahulu dalam al-Qur’an dan sebagai pengantar bagi interaksi dengan kisahkisah itu.20 Menurut bahasa kisah artinya cerita, berita atau keadaan. Sedangkan menurut istilah ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul, serta peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.21 Imam ar-Raghib al-Ishfahani

mengatakan dalam kitab mufrodat-nya (al-

Mufrodat fi Gharib al-Qur’an-penj.) tentang kata ini (qashas), “Al-Qashasu berarti mengikuti jejak’. Dikatakan ‘Qashasu atsarohu’ saya mengikuti jejaknya’.’ Al-Qashas berarti ‘jejak’ (atsar). Allah ta’ala berfirman,

.‫ﺼﺼًﺎ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ءَاﺛَﺎرِهِﻤَﺎ َﻗ‬ َ ‫ﻓَﺎ ْر َﺗﺪﱠا‬ ‘…Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula’. (al-Kahfi: 64)

َ‫ﺸ ُﻌﺮُون‬ ْ َ‫ﺐ َو ُه ْﻢ ﻟَﺎ ﻳ‬ ٍ ‫ﺟ ُﻨ‬ ُ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ت ِﺑ ِﻪ‬ ْ ‫ﺼ َﺮ‬ ُ ‫ﺧ ِﺘ ِﻪ ُﻗﺼﱢﻴ ِﻪ َﻓ َﺒ‬ ْ ‫ﺖ ِﻟُﺄ‬ ْ ‫َوﻗَﺎَﻟ‬ ‘Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ‘Ikutilah dia’…’(alQashas: 11) Al-Qashas ialah cerita-cerita yang dituturkan (kisah). Allah Ta’ala berfirman,

‫ﻖ‬ ‫ﺤﱡ‬ َ ‫ﺺ ا ْﻟ‬ ُ ‫ﺼ‬ َ ‫ن َهﺬَا َﻟ ُﻬ َﻮ ا ْﻟ َﻘ‬ ‫ِإ ﱠ‬ ‘Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…’(Ali Imran: 62)

َ‫ﻦ ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ِم اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴﻦ‬ َ ‫ت ِﻣ‬ َ ‫ﺠ ْﻮ‬ َ ‫ﻒ َﻧ‬ ْ ‫ﺨ‬ َ ‫ل ﻟَﺎ َﺗ‬ َ ‫ﺺ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺼ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َﻘ‬ َ ‫ﺺ‬ ‫َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ُﻩ َو َﻗ ﱠ‬ ‘….Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan menceritakan kepadanya cerita (tentang dirinya), Syuaib berkata, ‘Janganlah kamu takut…’ (al-Qashas: 25)

‫ﺺ‬ ِ ‫ﺼ‬ َ ‫ﻚ َأ ْﺣ َﺴ َﻦ ا ْﻟ َﻘ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬ َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬ ُ‫ﺤ‬ ْ ‫َﻧ‬ ‘Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik…’ (Yusuf: 3) Adapun qishas

adalah menuntut balas atas darah (pencedaraan fisik atau

pembunuhan) dengan balasan serupa.”22 Kisah al-Qur’an tentang orang-orang dahulu adalah suatu kisah yang benar dan periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allah 20

Shalah al-Khalidi, Kisah-Kisah al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid I, Cet. 1 h.21. 21 Ahmad Syadaly, Ahmad Rafi’I,Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hal. 27 22 Al-Ishfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an…, h.404

lah yang menceritakan kisah itu dan Allah benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, dan ia telah menakdirkannya; peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan, kehendak, dan takdir-Nya. Maka dari itu ucapan Allah tentang kisah itu tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan keraguan, dan siapakah yang lebih benar ceritanya daripada Allah? Dan, siapakah (pula) yang lebih benar perkataan daripada Allah? Tidak ada seorang pun!.23 2). Macam-Macam Kisah Dalam Al-Qur’an Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang dialami orang-orang jauh sebelum kita sejak Nabi Adam; seperti kisah para nabi dan kaumnya. Kisah orangorang Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majusi, dan lain sebagainya. Kisah-kisah al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: B.

Dari Segi Waktu Di tinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu: 1) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa lalu. Contohnya: d. Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi sebagaimana di jelaskan dalam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-34) e. Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-Furqon: 59, Qaf: 38) f.

Kisah rentang penciptaaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di surga sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-A’raf:11-25)

2) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa kini , contohnya: c. Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar seperti di ungkapkan dalam (Q.S. Al-Qadar 1-5)) d. Kisah tentang kehidupan makhluk makhluk ghaib seperti setan, jin atau iblis seperti diungkapkan dalam (Q.S. Al-A’raf: 13-14) 3) Kisah ghaib yang terjadi pada masa yang akan datang , contohnya: d. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Qari’ah, surat al-Zalzalah, dan lainnya 23

Rafi’I,Ulumul Qur’an II…, h.23

e. Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat seperti yang diungkapkan dalam alQur’an surat al-Lahab f. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan kehidupan orang-orang yang hidup di dalam neraka seperti di ungkapkan dalam al-Qur’an surat alGhasyiah dan lainnya. B. Dari Segi Materi Di tinjau dari segi materi, kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu 2) Kisah-kisah para Nabi, seperti: a. Kisah Nabi Adam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-39, Al-A’raf : 11) dan lainnya e. Kisah Nabi Nuh (Q.S. Hud: 25-49) f. Kisah Nabi Hud (Q.S. Al-A’raf: 65, 72, 50, 58) g. Kisah Nabi Muhammad (Q.S. At-Takwir: 22-24, Al-Furqon : 4, Abasa: 1-10, At-Taubah 43-57, dan lainnya) 2).Kisah peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang tidak di pastikan kenabiannya. c. Kisah tentang Lukman (Q.S. Luqman: 12-13) d. Kisah tentang Dzul Qarnain (Q.s. Al-Kahfi: 83-98) dan lain sebagainya 3). Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa Rosulullah SAW a. Kisah tentang Ababil (Q.S. Al-Fiil: 1-5) 3). Faedah Kisah Dalam Al-Qur’an a. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang di sampaikan para nabi b. Memantapkan hati Rosulullah SAW. Dan umatnya dalam

mengamalkan

agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang akan datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang sesat. c. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa para nabi yang terdahulu adalah benar. d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. Dalam dakwahnya, dengan tepat beliau menerangkan keadaan umat terdahulu.

e. Menyingkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang murni dan mengoreksi pendapat mereka. f. Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia g. Menarik perhatian para pendengar yang di berikan pelajaran kepada mereka.24

24

Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-1, h. 30.

BAB III TAFSIR Al-QUR’AN SURAT AL-BAQOROH 2:30-39

I. Ayat dan Terjemah ‫ﺴ ُﺪ‬ ِ ‫ﻦ ُﻳ ْﻔ‬ ْ ‫ﻞ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻣ‬ ُ ‫ﺠ َﻌ‬ ْ ‫ﺧﻠِﻴ َﻔ ًﺔ ﻗَﺎﻟُﻮا َأ َﺗ‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ﻞ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬ ٌ ِ‫ﻚ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ِإﻧﱢﻲ ﺟَﺎﻋ‬ َ ‫ل َرﱡﺑ‬ َ ‫َوِإ ْذ ﻗَﺎ‬ ‫ﻋَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ ﻟَﺎ‬ ْ ‫ل ِإﻧﱢﻲ َأ‬ َ ‫ﻚ ﻗَﺎ‬ َ ‫س َﻟ‬ ُ ‫ك َو ُﻧ َﻘﺪﱢ‬ َ ‫ﺤ ْﻤ ِﺪ‬ َ ‫ﺢ ِﺑ‬ ُ ‫ﺴﺒﱢ‬ َ ‫ﻦ ُﻧ‬ ُ‫ﺤ‬ ْ ‫ﻚ اﻟ ﱢﺪﻣَﺎ َء َو َﻧ‬ ُ ‫ﺴ ِﻔ‬ ْ ‫ﻓِﻴﻬَﺎ َو َﻳ‬ ‫ل َأ ْﻧ ِﺒﺌُﻮﻧِﻲ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ َﻓﻘَﺎ‬ َ ‫ﺿ ُﻬ ْﻢ‬ َ ‫ﻋ َﺮ‬ َ ‫ﺳﻤَﺎ َء ُآﱠﻠﻬَﺎ ُﺛﻢﱠ‬ ْ ‫ﻋﱠﻠ َﻢ ءَا َد َم ا ْﻟَﺄ‬ َ ‫( َو‬30)‫ن‬ َ ‫َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬ ِ ‫ﻚ ﻟَﺎ‬ َ ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻧ‬ ُ ‫( ﻗَﺎﻟُﻮا‬31) ‫ﻦ‬ ‫ﻚ‬ َ ‫ﻋﱠﻠ ْﻤ َﺘﻨَﺎ ِإ ﱠﻧ‬ َ ‫ﻋ ْﻠ َﻢ َﻟﻨَﺎ إِﻟﱠﺎ ﻣَﺎ‬ َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴ‬ ْ ‫ﺳﻤَﺎ ِء َه ُﺆﻟَﺎ ِء ِإ‬ ْ ‫ِﺑَﺄ‬ ‫ل َأَﻟ ْﻢ‬ َ ‫ﺳﻤَﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ ﻗَﺎ‬ ْ ‫ﺳﻤَﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َأ ْﻧ َﺒَﺄ ُه ْﻢ ِﺑَﺄ‬ ْ ‫ل ﻳَﺎﺁ َد ُم َأ ْﻧ ِﺒ ْﺌ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ‬ َ ‫( ﻗَﺎ‬32)‫ﺤﻜِﻴ ُﻢ‬ َ ‫ﺖ ا ْﻟ َﻌﻠِﻴ ُﻢ ا ْﻟ‬ َ ‫َأ ْﻧ‬ ‫ن‬ َ ‫ن َوﻣَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻜ ُﺘﻤُﻮ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ ُﺗ ْﺒﺪُو‬ ْ ‫ض َوَأ‬ ِ ‫ت وَا ْﻟَﺄ ْر‬ ِ ‫ﺴ َﻤﻮَا‬ ‫ﺐ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻏ ْﻴ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ‬ ْ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ إِﻧﱢﻲ َأ‬ ْ ‫َأ ُﻗ‬ ‫ﻦ‬ َ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻜ َﺒ َﺮ َوآَﺎ‬ ْ ‫ﺲ َأﺑَﻰ وَا‬ َ ‫ﺠﺪُوا إِﻟﱠﺎ ِإ ْﺑﻠِﻴ‬ َ‫ﺴ‬ َ ‫ﺠﺪُوا ﻟِﺂ َد َم َﻓ‬ ُ‫ﺳ‬ ْ ‫( َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ا‬33) ‫ﺚ‬ ُ ‫ﺣ ْﻴ‬ َ ‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ َو ُآﻠَﺎ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ رَﻏَﺪًا‬ َ ‫ﻚ ا ْﻟ‬ َ‫ﺟ‬ ُ ‫ﺖ َو َز ْو‬ َ ‫ﻦ َأ ْﻧ‬ ْ ‫ﺳ ُﻜ‬ ْ ‫( َو ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ﻳَﺎﺁ َد ُم ا‬34).‫ﻦ‬ َ ‫ا ْﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ‬ ‫ﻋ ْﻨﻬَﺎ‬ َ ‫ن‬ ُ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬ ‫( ﻓَﺄَزَﱠﻟ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱠ‬35).‫ﻦ‬ َ ‫ﻦ اﻟﻈﱠﺎِﻟﻤِﻴ‬ َ ‫ﺠ َﺮ َة َﻓ َﺘﻜُﻮﻧَﺎ ِﻣ‬ َ‫ﺸ‬ ‫ﺷ ْﺌ ُﺘﻤَﺎ وَﻟَﺎ َﺗ ْﻘ َﺮﺑَﺎ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ‬ ِ ‫ض‬ ِ ‫ﻋ ُﺪ ﱞو َوَﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬ َ ‫ﺾ‬ ٍ ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ ِﻟ َﺒ ْﻌ‬ ُ ‫ﺧﺮَﺟَ ُﻬﻤَﺎ ِﻣﻤﱠﺎ آَﺎﻧَﺎ ﻓِﻴ ِﻪ َو ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ا ْه ِﺒﻄُﻮا َﺑ ْﻌ‬ ْ َ‫ﻓَﺄ‬ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِإﻧﱠ ُﻪ ُه َﻮ‬ َ ‫ب‬ َ ‫ت َﻓﺘَﺎ‬ ٍ ‫ﻦ َر ﱢﺑ ِﻪ َآِﻠﻤَﺎ‬ ْ ‫( َﻓ َﺘَﻠﻘﱠﻰ ءَا َد ُم ِﻣ‬36).‫ﻦ‬ ٍ ‫ع ِإﻟَﻰ ﺣِﻴ‬ ٌ ‫ﺴ َﺘ َﻘ ﱞﺮ وَﻣَﺘَﺎ‬ ْ ‫ُﻣ‬ ‫ﻦ َﺗ ِﺒ َﻊ‬ ْ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ ﻓَﺈِﻣﱠﺎ َﻳ ْﺄ ِﺗ َﻴ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻨﱢﻲ ُهﺪًى َﻓ َﻤ‬ َ ‫( ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ا ْهﺒِﻄُﻮا ِﻣ ْﻨﻬَﺎ‬37).‫ب اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ُﻢ‬ ُ ‫اﻟ ﱠﺘﻮﱠا‬ ‫ﻚ‬ َ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا َو َآ ﱠﺬﺑُﻮا ﺑِﺂﻳَﺎﺗِﻨَﺎ أُوَﻟ ِﺌ‬ َ ‫( وَاﱠﻟﺬِﻳ‬38).‫ن‬ َ ‫ﺤ َﺰﻧُﻮ‬ ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ وَﻟَﺎ ُه ْﻢ َﻳ‬ َ ‫ف‬ ٌ ‫ي ﻓَﻠَﺎ ﺧَ ْﻮ‬ َ ‫ُهﺪَا‬ (39). ‫ن‬ َ ‫ب اﻟﻨﱠﺎ ِر ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎِﻟﺪُو‬ ُ ‫ﺻﺤَﺎ‬ ْ ‫َأ‬ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"(QS. 2:30) Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!", (QS. 2:31) Mereka menjawab:"Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:32) Allah berfirman:"Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman:"Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan", (QS. 2:33) Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. 2:34)

Dan Kami berfirman:"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (QS. 2:35) Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman:"Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan". (QS. 2:36) Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:37) Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(QS. 2:38) Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QA. 2:39).”1

III. Tafsir Ayat 1. Ayat 30 Penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia dibumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia, ada yang bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas

memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan

sebagainya.2 Kedudukan yang tinggi dalam tatanan alam wujud diatas bumi yang luas ini. Dan, ini yang dikehendaki untuknya oleh Sang Pencipta Yang Maha Mulia. Semua ini adalah pengarahan dari ungkapan kalimat yang luhur dan mulia , ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi” ketika

1

Tim Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), Cet.10, h. 6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Cet. VII, h. 141 2

kita merenungkannya dengan perasaan sadar, mata hati yang terbuka, dan melihat apa yang terjadi dimuka bumi melalui tangan makhluk yang menjadi khalifah dalam kerajaan yang luas ini.3 Utarakanlah kepada kaummu Muhammad titah Tuhanmu kepada para malaikat, “Sungguh aku akan jadikan Adam sebagai pengganti dari jenis yang lain yang dulu pernah ada dibumi

kemudian binasa setelah berbuat kerusakan diatas bumi dan

menumpahkan darah, dan Adam ini akan menempati tempatnya itu.” Sejumlah ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud “khalifah” dalam ayat ini, yaitu tugas mewakili Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dikalangan manusia.4 “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dimuka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Apakah Engkau akan menjadikan makhluk yang suka membunuh jiwa yang terlarang, kecuali karena alasan yang benar, sebagai khalifah dibumi? Padahal kami ini adalah makhluk-Mu yang bersih dari kesalahan.?5 Perkataan malaikat ini memberi kesan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti keadaan atau berdasarkan pengalaman masa lalunya dibumi, atau dengan ilham pandangan batinnya, yang menyingkap sedikit tentang tabi’at makhluk ini atau tentang tuntunan hidupnya dimuka bumi,, dan yang menjadikan mereka mengetahui atau memprediksi bahwa makhluk (manusia) ini kelak akan membuat kerusakan dimuka bumi dan menumpahkan darah.6 Malaikat menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan tasbih dan tahmid, karena itu malaikat melanjutkan pertanyaan mereka, Sedang kami mensucikan, yakni menjauhkan Dzat, Sifat, dan perbuatan-Mu dari yang segala yang tidak wajar bagi-Mu, sambil memuji-Mu atas segala yang Engkau anugerahkan kepada kami, termasuk mengilhami kami mensucikan dan memuji-Mu.7 2. Ayat 31 3

Sayyid Quthb, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. Dari Tafsir Fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyharahil (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, h. 95 4 Syekh Mustafa al-Maraghi, Terjemah tafsir al-Maraghi, (Bandung: CV. Rosda, 1987), cet. 2, h. 73 5 al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi… h.74 6 Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an … h. 95 7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah… h. 141

Manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin, dan sebagainya. Dia juga diberi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu namanama. Ini papa, ini mama, itu pena, itu mata dan sebagainya. 8 Rahasia kekuasaan itu diisyaratkan pada nama-nama benda, serta pada penamaan orang-orang dan benda-benda yang berupa lafal-lafal yang terucapkan hingga menjadikannya isyarat-isyarat bagi orang-orang dan benda-benda yang dapat di indera. Kekuasaan yang memiliki nilai yang tertinggi dalam kehidupan manusia dimuka bumi.9 Kemampuan manusia merumuskan idea dan memberi nama bagi setiap sesuatu merupakan langkah bagi terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.10 Allah mengajarkan kepada Adam jenis-jenis ciptaa-Nya mengilhamkan kepadanya pengetahuan tentang dzat, karakteristik , sifat dan nama-nama ciptaan-Nya itu. Hikmah “mengajarkan” kepada Adam “dan memperlihatkan benda-benda kepada malaikat” adalah untuk memuliakan dan memilih Adam, agar para malaikat itu tidak sombong kepadanya karena ilmu dan pengetahuannya, dan untuk menampakkan rahasia-rahasia dan ilmu-ilmu yang tersimpan dalam alam keghaiban ilmu-Nya melalui lisan hamba yang dikehendakinya.11 3. Ayat 32

8

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah… h. 145-146 Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an … h.68 10 Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 147 11 Al-Maraghi, Tafsir al Maraghi... h. 76 9

Para malaikat pun mengakui akan kelemahan dan ketidak tahuannya dalam menjawab pertanyaan dan mengakui kesucian Allah SWT dalam segala macam kekurangan dan ketidak adilan. Ia menjawab, “apa yang Engkau tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami, bukan karena engkau tidak tahu, tetapi ada hikmah dibalik itu.12 Kita mengetahui nilainya ketika kita menggambarkan kesulitan yang besar, yang tidak dapat kita mengerti seandainya menusia tidak diberi Kekuasaan (kemampuan) terhadap isyarat nama-nama benda itu.13 Hal ini merupakan pengakuan Malaikat tentang kelemahannya menghadapi soal yang dibebankan kepada mereka yang menunjukan bahwa pertanyaan yang mereka ajukan kepada Allah itu minta penjelasan, bukan membantah, dan juga pernyataan pujian kepada Allah dengan patuh dan sopan atas ilmu yang telah ia limpahkan kepada mereka. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa sepatutnya manusia tidak mengabaikan kekurangannya, karunia dan kebaikan Allah kepadanya.14 4. Ayat 33 Pengetahuan Adam tentang nama-nama itu jelas , tidak perlu di uji lagi, dan dia patut mengajarkannya kepada yang lain, sehingga dia memiliki bakat pengajar yang berguna, sedangkan malaikat menjadi murid yang memperoleh faedah dari ilmunya. Dan supaya Adam tidak merasa takut karena mengajar orang yang sudah pandai berbeda dengan mengajar yang lain.15

12

Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 146 Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an… h. 68 14 Al-Maraghi, Tafsir al Maraghi... h. 78 15 Al-Maraghi, Tafsir al Maraghi... h. 78 13

Adam diperintahkan untuk “memberitakan”, yakni menyampaikan kepada malaikat, bukan “mengajar” mereka. Pengajaran mengharuskan adanya upaya dari yang mengajar agar bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajarnya, sehingga kalau perlu pengajar mengulang-ulangi pengajaran hingga benar-benar dimengerti.ini berbeda dengan penyampaian atau berita. Penyampaian tidak mengharuskan pengulangan, tidak juga yang diberitakan harus mengerti .16 Malaikat tidak memerlukan kekhususan ini, karena tidak ada urgensinya dengan tugas-tugas mereka. Oleh karena itu, mereka tidak diberi yang demikian ini, maka ketika Allah mengajarkan rahasia ini kepada Adam dan mengemukakannya kepada para malaikat apa yang telah dikemukakannya kepada Adam, mereka tidak mengetahui namanama itu. Mereka tidak mengetahui bagaimana menempatkan rumus-rumus (isyaratisyarat) lafal bagi sesuatu dan seseorang. Mereka menyatakan kelemahannya itu, dan mengetahui keterbatasan pengetahuannya. Padahal semua itu sudah diketahui dan dikenal oleh Adam. Kemudian didoronglah mereka untukmengetahui hikmah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.17 Walaupun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci yang tidak mengenal dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, Karena yang bertugas menyangkut sesuatu haruslah memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang bertugas dibumi haruslah mengenal apa yang dibumi, paling sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Ini tidak diketahui oleh malaikat, tetapi Adam As. mengetahuinya. Karena itu dengan jawaban para Malaikat

16 17

Shihab , Tafsir al-Misbah… h. 149 Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an…

sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang diciptakan Allah. Itu menjadi khalifah didunia.18 Kekhalifahan dibumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah SWT., yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian, pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengatahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal, walau seandainya dia tekun ruku, sujud, dan beribadah kepada Allah SWT. Serupa dengan ruku, sujud, dan ketaatan malaikat. Bukankah malaikat yang sedemikian taat tidak mampu mengelola bumi ini, bukan karena kurangnya ibadah mereka, tetapi karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang alam dan fenomenanya. Allah melalui kisah ini bermaksud menerangkan bahwa bumi tidak dikelola semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi dengan amal ilmiyah dan ilmu alamiyah.19 Ayat-ayat ini menunjukkan kelebihan manusia dari makhluk-makhluk Allah lainnya, dan keutamaan ilmu dari ibadah. Karena syarat menjadi khalifah adalah ilmu, bahkan ilmulah manjadi dasarnya. Adam lebih mulia dari malaikat ini, karena dia lebih berilmu, dan orang orang yang lebih mulia adalah orang yang lebih tinggi ilmunya.20 5. Ayat 34 Sujud secara lughah artinya: tunduk dan mengikut. Sujud kepada Allah ada dua macam: sujudnya makhluk berakal untuk beribadah dengan cara-cara yang ditentukan

18

Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 149 Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 151 20 Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 79 19

oleh syara’; dan sujudnya makhluk-makhluk lain dengan jalan ikut dan tunduk kepada ketetapan kehendak-Nya.21 Makna sujud yang diperintahkan Allah. dalam arti menampakkan ketundukan dan penghormatan kepada Adam as. Atas kelebihan yang dianugerahi Allah kepadanya. Dengan demikian,sujud yang dimaksud bukan dalam arti meletakkan dahi dilantai . ini adalah pendapat mayoritas ulama ahl as-Sunnah. Dengan demikian tidak ada alasan untuk berkata, bahwa iblis enggan sujud kepada Adam as. Karena ia enggan sujud kecuali hanya kepada Allah swt. Perintah sujud kepada Adam as. Jelas berbeda dengan perintah sujud kepada Allah swt.22 Sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi, maka Allah swt secara langsung memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam.23 Para malaikat menyadari bahwa perintah ini tidak boleh ditangguhkan, karena itu tanda ketaatan dan penyerahan diri kepadanya.24 Akan tetapi iblis menolak perintah Tuhannya untuk sujud, menunjukkan kesombongannya, dan menolak kebenaran, Karena merasa dirinya lebih baik unsurnya dari dari khalifah ini, lebih bagus pula hakekatnya.25 Oleh karena itu, dalam hal ini iblis bukan termasuk kedalam golongan malaikat, melainkan hanya ada bersama mereka pada waktu itu. Seandainya iblis itu termasuk kedalam golongan malaikat, niscaya dia tidak akan melanggar perintah Allah, sebab 21

Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 80 Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 22-23 23 Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 152 24 Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 152 25 Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 84 22

sifat mereka yang utama adalah : “tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (QS. At-Tahrim:6).26 Keengganan iblis untuk mentaati Allah dengan bersujud kepada Adam akhirnya menyebabkan diusir dari surga. Allah berfirman: “karena engkau angkuh dan membangkang, maka turunlah, yakni keluarlah dengan rendah lagi hina darinya, yakni dari surga, karena engkau dan siapapun tidak sepatutnya dalam keadaan apapun menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah dari surga sesungguhnya engkau dan siapapun yang menyombongkan diri termasuk orang-orang yang hina.27 6. Ayat 35 Ketika kami yakni Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui berfirman dengan menyatakan “Hai Adam diamilah dengan tenang, sebagaimana difahami dari makna kata “uskun” – engkau dan istrimu – berdua saja tidak dengan anak cucumu karena kamu tidak beranak cucu di surga ini dan makanlah sepuas kamu sebagian dari makanan-makanan-nya yang banyak lagi baik dimana dan kapan saja kamu sukai tanpa ada pembatasan kecuali satu hal yaitu, dan janganlah kamu berdua mendekati apalagi memakan buah pohon ini. Karena jika kamu mendekatinya kamu berdua akan terjerumus dalam bahaya, sehingga menyebabkan kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim” yakni menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.28 Semua buah-buahan disurga diperbolehkan bagi Adam untuk memakannya kecuali satu pohon, yang boleh jadi ini melambangkan akan adanya larangan dalam 26

Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69 Shihab, Tafsir al-Misbah… V.5, h. 31 28 Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 1 h. 156 27

kehidupan dimuka bumi. Karena tanpa adanya sesuatu yang dilarang, maka iradah tidak akan tumbuh. Dan, tidak ada bedanya manusia yang punya kehendak dengan binatang yang cuma digiring, serta tidak teruji pula kesabaran manusia untuk menunaikan perjanjian dan keterikatannnya dengan persyaratan-persyaratan. Orang-orang yang cuma bersenang-senang tanpa punya iradah, maka mereka termasuk makhluk binatang, walaupun wujudnya manusia.29 Allah melarang mendekati, bukan sekedar melarang memakannya. Larangan ini menunjukan kasih sayang Allah kepada Adam as. dan pasangannya serta anak cucu mereka. Allah swt. Maha Mengetahui bahwa ada kecendrungan manusia untuk mendekat, lalu mengetahui, dan merasakan sesuatu yang indah dan menarik. Disini langkah awal segera dilarang-Nya, agar tidak mengundang langkah berikutnya.30 Larangan ini karena suatu hikmah , seperti karena membahayakan, atau sebagai ujian Allah kepada Adam, guna menampakkan kesanggupan manusia yang berupa kecendrungan ingin mengetahui sesuatu; meskipun hal itu merupakan pelanggaran yang mengakibatkan bahaya.31 7. Ayat 36 Ungkapan azallahumaa’ setan menggelincirkan mereka’,” sebuah lafal (ungkapan) yang menggambaran adanya gerakan yang dilakukan . dan, anda hampir-hampir sedang menyaksikan setan yang menjauhkan Adam dan Hawa dari surga serta mendorong kaki mereka sehingga terpeleset dan jatuh.32

Ayat ini menunjukan bahwa mereka tidak sepenuhnya sadar ketika itu. Mereka tergelincir. Dalam ayat lain dinyatakan bahwa Adam lupa. “Sesungguhnya telah Kami 29

Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69 Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 157 31 Maraghi, Tafsir al-Maraghi... h. 87 32 Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69 30

perintahkan dauhulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS. Thaha 20:15).33 Yang diperintahkan turun adalah Adam, istrinya dan iblis, demikianlah riwayat yang dinukil dari Ibnu Abbas, mujahid dan kebanyakan ulama’ salaf.34 Sejak keistimewaan manusia diperlihatkan Allah kepada para malaikat, termasuk kepada iblis, maka sejak itu kebencian iblis kepada Adam as. tertancap jauh kedalam hatinya dan semakin menjadi-jadi, baik terhadap Adam as. maupun anak cucunya setelah ia terkutuk akibat keengganannya sujud. Bahkan setelah mengetahui ia mendapat kesempatan hidup sampai hari kebangkitan, maka tanpa segandan malu iblis berkata sambil bersumpah, disebabkan karena Engkau telah menyesatkan aku, yakni telah mewujudkan kesesatan dan kepercayaan menyangkut kebatilan dalam jiwa saya, maka aku benar-benar akan duduk berkonsentrasi selama masa penangguhan itu menghadapi dan menghalang-halangi mereka dijalan-Mu yang lurus.35 Dalam surat al-A’raf dijelaskan bahwa iblis akan menggoda manusia dari empat arah, yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri. Para ulama membahas, mengapa, ayat diatas hanya menyebut empat arah yang akan digunakan iblis, mengapa arah yang lainnya, yaitu atas dan bawah tidak disebutkan? Ada yang menjawab bahwa keduanya tidak perlu disebut, karena keempat arah itu, adalah arah yang biasa. Atau dahulu pada masa turunnya al-Qur’an digunakan musuh untuk menyerang lawannya. Penyebutan keempat arah itu, pada hakikatnya dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa iblis menggunakan segala cara, tempat dan 33

Shihab, Tafsir al-Misbah…, h.158 Maraghi, Tafsir al-Maraghi... h. 88 35 Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 35 34

kesempatan untuk menjerumuskan manusia. Jika demikian tidak tidak perlu lagi menyebut atas dan bawah.36 Ada juga yang berpendapat, bahwa tidak disebutnya arah atas dan bawah adalah untuk mengisyaratkan bahwa tidaka ada arah yang aman dari godaan setan kecuali arah atas yang menjadi lambang kehadiran ilahi dan arah bawah sebagai lambang penghambaan diri manusia manusia kepada Allah swt. Atau arah atas adalah arah turunnya rahmat atau malaikat dan arah bawah adalah arah siapa yang mengharapkan rahmat.37 8. Ayat 37 Adam sadar dari keterpelesetannya karena fitrahnya, dan ia segera disusuli oleh rahmat Tuhannya yang senantiasa menjemputnya bilamana ia kembali dan berlindung kepada-Nya.38 Ayat ini mengandung arti bahwa Allah swt mengilhaminya penyesalan dari dalam lubuk hatinya yang tulus, dan atau mengilhaminya kalimat-kalimat do’a yang terucapkan.39 Kalimat tersebut sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas adalah: “Wahai Tuhan kami, kami telah berbuat dzalim kepada diri kami sendiri. Dan jika engkau tidak mengampuni dosa kami dan tidak memberi rahmat kepada kami, niscaya kami benar-benar termasuk kedalam orang-orang yang merugi”. “Maha suci Engkau, ya Tuhan dan Maha Terpuji, Maha Mulia Asma-Mu, lagi Maha Agung MartabatMu. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku telah berbuat dzalim

36

Shihab, Tafsir, al-Misbah… V. 5, h. 36 Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 37 38 Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69 39 Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 162. 37

pada diriku sendiri. Maka ampunilah dosaku. Karena tidak ada yang mengampuni segala dosa, kecuali hanya engkau.40 Jika kita sependapat dengan para ulama yang menyatakan bahwa kalimat-kalimat ayat ini adalah

pengajaran Allah kepada Adam as. dan pasangannya untuk

memohonkannya kepada Allah, maka ini mengisyaratkan pula bahwa taubat yang diterima Allah adalah taubat yang benar-benar tulus dan yang oleh pelakunya disadari sebagai ancaman kesengsaraan bila tidak dikabulkan Allah. Ancaman ini tentu dirasakan oleh mereka yang menyadari bahwa pelanggaran yang dilakukannya itu tertuju kepada Tuhan Yang Maha Agung.41 Ayat ini merupakan salah satu perbedaan pokok pandangan Islam dan pandangan kristen tentang manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa Adam as. telah diampuni Allah SWT., dengan demikian ia tidak membawa dosa akibat mencicipi buah terlarang itu. Tidak ada dosa yang diwariskannya, bahkan kalau pun seandainya beliau tidak mendapatkan pengampunan, pewarisan dosapun tidak diakui oleh al-Qur’an

karena

secara tegas dinyatakan bahwa: “seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa seseorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Dosa Adam adalah dosa pribadi, taubatnya pun bersifat pribadi, tidak kolektif, dan pengampunan yang dianugerahkan Allah kepadanya pun demikian.42 Allah menerima taubat Adam dan pasangannya. Meskipun demikian, penerimaan taubat tersebut bukan berarti ia tidak dikeluarkan dari surga. Dalam QS. Al-A’raf 7:24 dijelaskan bahwa pengusiran

terhadap mereka dengan menggunakan bentuk jamak

ihbithu, sedang ayat QS. Thaha 29:123, menggunakan bentuk dual ihbitha. Apa yang dimaksud oleh ayat Thaha dengan menggunakan bentuk kata tersebut adalah dua pihak, yaitu satu Adam dan pasangannya, dan pihak kedua adalah setan. Ini untuk mengisyaratkan bahwa suami istri hendaknya menjadi satu keasatuan, satu langkah dan arah, saling mengingatkan dalam menghadapi dunia dan menghadapi setan. Adapun yang dimaksud dengan surah al-A’raf dengan bentuk jamak yang digunakannya adalah anggota 40

kedua kesatuan itu, yakni kesatuan pertama adalah manusia yang terdiri dari

Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 89 Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 162 42 Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 162 41

dua orang, yaitu Adam dengan pasangannya dan kesatuan kedua adalah iblis, sehingga mereka pada hakikatnya berjumlah tiga orang, sehingga dipilih bentuk jamak.43 Tamatlah sudah kalimat Allah yang terakhir dan janjinya yang abadi kepada Adam serta anak cucunya, yaitu janji untuk menjadikannya khalifah dan penentuan kebahagiaan atau kebinasaan dengan syarat-syaratnya.44 9. Ayat 38 Pengulangan ini dimaksudkan untuk menjelaskan dua hal yang berbeda. Perintah turun yang pertama mengisyaratkan turun kebumi tempat makan, minum, dan bermusuhan. Sedangkan perintah turun kedua untuk mengisyaratkan turunnya martabat keagamaan mereka, yakni martabat iblis akibat pembangkangan mereka dan godaannya kepada Adam dan istrinya, dan martabat Adam dan istrinya akibat mangikuti rayuan iblis dan memakan buah terlarang.45 Perintah ini untuk menerangkan bahwa periode kenikmatan dan ketenangan telah habis dan datang periode kerja. Dalam periode kerja ini ada dua jalan: jalan hidayah dan keimanan dan jalan kufur dan kerugian.46 Perjanjian yang diikat antara Allah dan Adam as. bahwa mereka akan mengikuti petunjuk Allah jika petunjuk itu tiba. Masing-masing mengikuti petunjuk yang tiba pada masanya.47

43

Shihab, Tafsir al-Misbah… V.5, h. 53 Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an… h. 99 45 Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 167 46 Maraghi, Tafsir al-Maragh…, h. 95 47 Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 168 44

Barangsiapa yang berpegang teguh kepada syari’at yang dibawa para Rasul dan mau mempertimbangkan kebenarannya dengan akal sesudah memikirkan dalil-dalil yang terdapat dalam cakrawala dan diri mereka sendiri.48 10. Ayat 39 Orang-orang kafir yang mendustakan ayat-ayat Allah dan enggan bertaubat, mereka itulah penghuni neraka yang kekal.49 Orang-orang yang tidak mau mengikuti petunjuk-Ku, yakni orang-orang yang dalam hatinya mengingkari ayat-ayat kami dan orang-orang yang yang dengan ucapan mendustakannya, balasan mereka kekekalannya dineraka, disebabkan mereka mengingkari ayat-ayat kami. Keingkarannya lantaran mengikuti bisikan setan. Hal ini sebagai imbangan dari firman yang sebelumnya.50

IV. Ikhtisar Potensi manusia sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran melalui kisah Adam dan Hawa (Q.S. 2:30-39) bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan dibumi. Untuk maksud tersebut Allah memberikan akal dan ruhani. Dengan akal dan ruhani inilan Allah memberikan potensi kepada manusia, diantaranya: 1. Potensi untuk mengetahui nama-nama dan fungsi benda-benda alam 2.

pengalaman hidup disurga, baik yang berhubungan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya.

3. Petunjuk-petunjuk Agama Mengajarkan semua nama benda kepada adam membuktikan bahwa manusia mempunyai kesediaan untuk mengetahui serta memanfaatkan segala sesuatu dibumi dan memakmurkannya. 48

Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 95. Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 167 50 Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 96 49

Memperlihatkan

benda-benda kepada malaikat dan mempertanyakan nama-

namanya serta ketidak mampuan mereka menjawab merupakan ilustrasi bahwa persepsi roh dikuasakan mengatur alam adalah terbatas, tidak melampaui tugasnya. Adam lebih mulia dari malaikat, karena dia lebih berilmu, dan orang orang yang lebih mulia adalah orang yang lebih tinggi ilmunya. Sujudnya malaikat kepada Adam menunjukkan tentang ketundukkan roh dan kekuatan ghaib

kepadanya untuk dimanfaatkan

memajukan dunia ini berdasarkan

pengetahuan tentang hukum-hukum Allah dialam semesta. Keengganan

iblis

dan

kesombongannya

untuk

sujud

kepada

Adam

menggambarkan kelemahan manusia menundukan roh jahat dan mengalahkan ajakan pikiran jahat yang merupakan sumber pertentangan, permusuhan, pelanggaran dan pengrusakan dibumi. Sekiranya tidak demikian niscaya manusia akan mengalami suatu masa yang orang-orangnya seperti malaikat, bahkan lebih dari itu, atau justru mereka sudah bukan jenis manusia

V. Perbandingan Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sungguh aku akan jadikan seorang khalifah di bumi” Dalam tafsir al-Misbah dikatakan para malaikat dibebani tugas yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, sedangkan dalam tafsir sayyid Quthb ini adalah suatu pengarahan dari kalimat yang mulia, dalam tafsir al-maraghi penjelasannya

lebih

menekankan pada substansi pelajaran yang diambil dengan memaparkan perintah Allah kepada nabi Muhammad untuk mengutarakan kepada kaumnya tentang perihal yang Allah firmankan kepada malaikat. Allah “Mengajarkan kepada Adam”. Dalam tafsir al-Mibah dijelaskan bahwa Allah swt menganugerahkan kepada manusia potensi untuk mengetahui

nama atau

fungsi dan karakteristik benda-benda. Sedangkan dalam tafsir fizilalil Qur’an dijelaskan bahwa ini merupakan penyerahan kunci-kunci kekhalifahan dan merupakan rahasia kekuasaan yang diisyaratkan pada nama-nama benda. Dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan

bahwa selain mengajarkan Allah juga mengilhamkan kepadanya pengetahuan tentang dzat, karakteristik, sifat dan nama ciptaannya. "Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini" Tafsir al-Maraghi menjelaskan dan memposisikan bahwa Adam sebagai pengajar yang mengajarkan kepada para malaikat nama-nama benda yang telah Allah ajarkan dan ilhamkan kepadanya. Dalam tafsir al-Misbah Adam hanya memberitakan kepada malaikat bukan mengajarkan mereka, dengan alasan bahwa proses pengajaran mengharuskan adanya upaya dari yang mengajar agar bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajar. Tentang makna sujud yang Allah perintahkan kepada malaikat kesemuanya (Tafsir al-Misbah, Tafsir Fizilalil Qur’an dan Tafsir al-Maraghi) memahaminya dengan sujud dalam arti sebagai penghormatan kepada Adam, bukan sebagai ibadah. Allah swt melarang Adam untuk mendekati pohon dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa larangan ini menunjukan kasih sayang Allah kepada Adam as. Dan pasangannya serta anak cucunya. Dalam tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa larangan ini

terdapat hikmah dan merupakan ujian kepadanya. Dalam tafsir fizilalil Qur’an

bahwa larangan ini merupakan gambaran dan melambangkan akan adanya larangan dalam kehidupan kelak dimuka bumi. pada intinya kesemua pendapat ini adalah menunjukan

kasih sayang Allah

kepada makhluknya dan demi untuk keselamatan dan kemaslahatan mereka. Perintah turun pada ayat 38 dalam tafsir al-Misbah dikatakan bahwa ini mengisyaratkan

turunnya martabat keagamaan mereka, akibat pelanggaran mereka

sedangkan dalam tafsir al-Maraghi dikatakan bahwa ini merupakan periode kenikmatan dan ketenangan telah habis dan datang periode kerja.

BAB IV NILAI –NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM KISAH ADAM A.S Kejadian Adam a.s. suatu peristiwa yang besar, sebagai penyempurna alam dan sekaligus sebagai pewaris alam sekeliling, Allah SWT menghendaki untuk meramaikan dunia, dengan itulah Allah menjadikan Adam, untuk merawat dunia, mengemban alam sekeliling, sehingga bermunculan beraneka ragam yang telah ditemukan anak-anak cucu Adam, sebagian rahasia bumi dan langit, dan sampai hancurnya sebagian bumi karena sebab tangan-tangan anak cucu Adam1

Marilah kita perhatikan kisah nabi Adam, sebagaimana disebutkan disini, dan dengan bingkai penjelasan ini. Konteksnya sebagaimana penjelasan dimuka adalah menampilkan parade kehidupan, bahkan parade alam wujud secara keseluruhan. Kemudian membicarakan bumi, dalam rangka menampakkan nikmat-nikmat Allah kepada manusia, dan menetapkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu yang ada dibumi ini untuk manusia. Disini, dalam suasana ini, datanglah kisah penciptaan Adam untuk menjadi khalifah di bumi, dan diberikan kepadanya kunci-kuncinya menurut perjanjian dan dan persyaratan dari Allah, serta diberinya pengetahuan untuk menjalankan kekhalifahan ini.2 Allah telah memberikan contoh yang sangat kongkrit dan praktis yaitu ketika Allah SWT secara langsung mengajarkan kepada Nabi Adam a.s nama-nama benda yang tercantum dalam ayat 30 sampai dengan 39. Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dalam kisah Adam a.s diantaranya adalah :

1

Jefrey lang, Bahkan Malaikat pun Bertanya, Membangun sikap berislam yang Kritis, (jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2001, h. 177 2 Sayyid Quthb, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. Dari Tafsir Fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyharahil (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, h. 67

A. SIKAP DAN PRILAKU 1.

Rendah Hati ketika malaikat berkata, “Maha suci Engkau tidak ada pengetahuan bagi kami

kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami”

ini merupakan salah satu

ungkapan atau pengakuan malaikat akan keterbatasannya dan ini juga merupakan suatu pernyataan sikap kepatuhan dan kerendahan hatinya. Lawan takabbur adalah tawadhu (rendah hati). Setiap mukmin hendaknya rendah hati, tunduk kepada perintah Allah. Maka derajatnya akan diangkat Allah dan ditempatkan disisinya. Rasulullah saw menjelaskan :

‫ﺣ ٌﺪ ِﻟﱠﻠ ِﻪ إِﻟﱠﺎ َر َﻓ َﻌ ُﻪ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ‫ﺿ َﻊ َأ‬ َ ‫ل ﻣَﺎ َﺗﻮَا‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬ ِ ‫ﻦ َرﺳُﻮ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة‬ ْ‫ﻋ‬ َ 3

Dari Abu Huraiarah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda: “Tidaklah seseorang merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim)

‫ن‬ ْ ‫ﻲ َأ‬ ‫ن اﻟﻠﱠﻪَ َأ ْوﺣَﻰ ِإَﻟ ﱠ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِإ ﱠ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺣﻤَﺎ ٍر َأﻧﱠ ُﻪ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻦ‬ ِ ‫ض ْﺑ‬ ِ ‫ﻋﻴَﺎ‬ ِ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ 4 ‫ﺣ ٍﺪ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ َأ‬ َ ‫ﺣ ٌﺪ‬ َ ‫ﺨ َﺮ َأ‬ َ ‫ﺣ ٍﺪ وَﻟَﺎ َﻳ ْﻔ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ َأ‬ َ ‫ﺣ ٌﺪ‬ َ ‫ﻲ َأ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﻟَﺎ َﻳ ْﺒ ِﻐ‬ َ ‫ﺿﻌُﻮا‬ َ ‫َﺗﻮَا‬ Dari iyad bin himar sesungguhnya Rosulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu, sehingga setiap kamu tidak angkuh terhadap yang lain, dan tidak saling menindas” (HR. Abu Daud) Selama hidupnya Rasulullah SAW selalu bersikap rendah hati, kasih sayang lemah lembut dan toleransi. Sekalipun terhadap anak-anak kecil. Sifat kenabian dan kedudukan tinggi beliau tidak menghalanginya berbuat baik dan berakhlak mulia yang

3

Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Birr al-Shilah wa al-Adab bab Istihbab al-‘afw wa alTawadhu’ no. 4689 4

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab bab fi al-Tawadhu’ no. 4250

khusus diberikan Allah. Beliau selalu memberikan salam kepada anak-anak, bermuka manis kepada mereka, dan meluangkan waktu sekedar untuk menyenangkan mereka.5 Salah satu dasar terpenting adalah sifat tawadhu. Ketika Allah swt menjelaskan sifat dan keistimewaan hamba-hambanya yang khusus, salah satu sifat terpenting yang Allah terangkan adalah sifat tawadhu dan rendah hati.6 Rasulullah saw telah berhasil menanamkan akhlak Islam kepada diri para sahabatnya untuk bersikap tawadhu (rendah hati) dibangun atas dasar toleransi, lembut tutur kata dan perangai.7 Di suatu ketika beliau mengatakan:

‫ع‬ ٍ ‫ﺖ ِإﻟَﻰ ِذرَا‬ ُ ‫ل َﻟ ْﻮ ُدﻋِﻴ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ‫ﻋ‬ َ 8

‫ﺖ‬ ُ ‫ع َﻟ َﻘ ِﺒ ْﻠ‬ ٌ ‫ع َأ ْو ُآﺮَا‬ ٌ ‫ﻲ ذِرَا‬ ‫ي ِإَﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺖ َوَﻟ ْﻮ ُأ ْه ِﺪ‬ ُ ‫ﺟ ْﺒ‬ َ ‫ع َﻟَﺄ‬ ٍ ‫َأ ْو ُآﺮَا‬

Dari abu Hurairah r.a, Rosulullah saw bersabda: “Andaikan aku diundang makan dengan suguhan kaki kambing aku akan memenuhinya, dan andaikan aku diberi hadiah kaki kambing pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari). Sifat tawadhu menimbulkan rasa persamaan, penghormatan terhadap orang lain, toleransi, rasa senasib, dan cinta kepada keadilan. Tetapi sebaliknya takabbur membawa seseorang kepada budi pekerti yang rendah seperti dengki, marah, mementingkan diri sendiri, serta menguasai orang lain. Orangorang yang berakal sudah barang tentu menjauhi diri dari sifat takabbur dan sombong.9 Seorang alim hendaklah menggeluti ilmunya secara terus menerus, tetapi juga mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Seorang alim kalaupun telah banyak memiliki ilmu tetapi tetap harus merendahkan diri.10 Supaya tingkah laku anda menjadi bijaksana, maka sebesar apapun harta, ilmu, akhlak, dan kesejahteraan yang anda miliki, anda harus bersifat tawadhu (rendah hati) tidak sombong seperti burung merak, dan tidak besar kepala seperti ayam jago. 5

Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), cet. 9 hal. 85 6 Ilyas Abu Haidar, Etika Islam Dari Kesalehan individual Menuju Kesalehan Sosial, (Jakarta: AlHuda, 2003), Cet. I, h. 61 7 Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim…, h. 86 8 Bukhari, Sahih Bukhari, kitab al-hibah wafadhluha bab al-qalil min al-hibah no. 2380 9 Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw keluhuran dan kemuliaannya, terj. Masdar Helmi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) cet. 2, h. 387 10 al-Ghazali, Adab Orang Alim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. 3, h. 18

Ketahuilah bahwa manusia membenci orang yang bersikap sombong kepadanya, dan mencintai orang yang bersikap rendah hati kepadanya, sebagaimana aliran air mencintai tempat yang merunduk kepadanya, jadilah anda tangkai gandum yang berisi, yang merunduk karena banyak isi.11 2. Larangan Sombong Iblis terkutuk telah mengucapkan kata-kata ketika Allah memerintahkan kepada malaikat dan iblis untuk sujud kepada Adam. 12 Sebagaimana tertera dalam ayat 34 :

‫ﻦ‬ َ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻜ َﺒ َﺮ َوآَﺎ‬ ْ ‫ﺲ َأﺑَﻰ وَا‬ َ ‫ﻻ ِإ ْﺑﻠِﻴ‬ ‫ﺠﺪُوا ِإ ﱠ‬ َ‫ﺴ‬ َ ‫ﻷ َد َم َﻓ‬ َ ‫ﺠﺪُوا‬ ُ‫ﺳ‬ ْ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ا‬ َ ‫َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ِﻟ ْﻠ َﻤ‬ .‫ﻦ‬ َ ‫اﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ‬ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. 2:34)

Kemudian Iblis berkata:

.‫ﻦ‬ ٍ ‫ﺧَﻠ ْﻘ َﺘ ُﻪ ﻣِﻦ ﻃِﻴ‬ َ ‫ل أَﻧَﺎﺧَ ْﻴ ٌﺮ ﻣﱢ ْﻨ ُﻪ ﺧَﻠَ ْﻘﺘَﻨِﻲ ﻣِﻦ ﻧﱠﺎ ٍر َو‬ َ ‫ﻚ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﺠ َﺪ ِإ ْذَأ َﻣ ْﺮ ُﺗ‬ ُ‫ﺴ‬ ْ ‫ﻻ َﺗ‬ ‫ﻚ َأ ﱠ‬ َ ‫ل ﻣَﺎ َﻣ َﻨ َﻌ‬ َ ‫ﻗَﺎ‬ “Aku lebih baik dari Adam itu, Engkau ya Tuhan telah menjadikanku dari api, sedang Adam Engkau jadikan dari tanah”. (al-A’raf:12). Seorang muslim yang benar hendaknya tidak berlaku sombong tidak memalingkan mukanya dihadapan orang lain, dan tidak angkuh terhadap mereka. Petunjuk al-Qur’an telah memenuhi pendengarannya, hatinya, dan ruhnya, sehingga ia sadar bahwa kesombongan hanya akan merugikan dirinya didunia maupun diakhirat. Allah SWT telah berfirman:

11

Khalil al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), cet. 2, h. 38 12 Imam al-Ghazali, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertaqwa, (Jakarta: Angkasa Raya, 1996) Cet. 1, h. 116.

‫ض وَﻟَﺎ َﻓﺴَﺎدًا وَا ْﻟﻌَﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ‬ ِ ‫ﻋﻠُﻮًّا ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬ ُ ‫ن‬ َ ‫ﻦ ﻟَﺎ ُﻳﺮِﻳﺪُو‬ َ ‫ﺠﻌَُﻠﻬَﺎ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬ ْ َ‫ﺧ َﺮ ُة ﻧ‬ ِ ‫ﻚ اﻟﺪﱠا ُر اﻟْﺂ‬ َ ‫ِﺗ ْﻠ‬ .‫ﻦ‬ َ ‫ِﻟ ْﻠ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ‬ Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Qoshos:83)

Ia tahu bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri, berjalan dengan angkuh dan memalingkan muka (karena sombong) dihadapan orang lain.13 Seorang yang takabbur, merasa dirinya lebih tinggi lebih mampu dan lebih sempurna daripada orang lain, sehingga tertanamlah dalam hatinya bahwa dia benarbenar demikian. Karena itu dia selalu menghina orang lain, menganggapnya enteng dan menjauhkan orang itu daripadanya. Dia enggan duduk bersama orang lain dan enggan bergaul, dia tidak suka pendapatnya ditentang orang, dia tidak senang diberi nasehat. Bila ada orang yang berani menentang pendiriannya atau menasehatinya, maka dia menjadi marah dan menghardik. Seorang yang tekabbur bila mengajar dia bersikap menghina terhadap orang-orang yang diajarnya, dia suka membentak, suka menonjolkan jasajasanya. Bila dia bergaul dengan orang banyak, maka orang-orang lain dianggapnya bodoh, hina dan bila dia memegang suatu pekerjaan dia berlaku sewenang-wenang dan sebagai seorang diktator.14 Takabbur adalah penyakit hati dan bisa merusak iman seseorang. Takabbur merupakan sikap mental yang merasa diri lebih besar, lebih kaya dan lebih pandai, tanpa merasa ada bimbingan dan petunjuk dari Allah. Karena ia merasa serba mampu, orang lain dianggap rendah.15

13

Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, terj. Salim Bsyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet. 9. h. 82 14 al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw… h. 386 15 Jejen Musfah, Bahkan Tuhan pun Bersyukur: Memahami Rahasia Hati, (Jakarta, Hikmah, 2003) cet. 1, h.89

Menganggap remeh orang lain akan menimbulkan sakit hati, sehingga tidak mustahil berlanjut pada permusuhan dan kebencian. Acap kali orang yang takabbur tidak merasa bahwa perbuatannya bisa menyakiti dan menyinggung saudaranya. Kesadaran untuk mengubah sikap ini juga terkadang sulit, bahkan setelah dijauhi masyarakatnya. Memang orang yang takabbur akan terasing dalam pergaulan masyarakat, bahkan mungkin dikucilkan.16 Anwar Masy’ari menyatakan dalam bukunya Akhlak al-Qur’an Yang dikutip oleh Prof. Dr. Moh. Ardhani yaitu: Takabbur ada tiga macam, Pertama : takabbur kepada Tuhan, berupa sikap tidak mau

memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. Takabbur kepada Rasul-Nya, berupa sikap

dimana orang merasa rendah dirinya kalau mematuhi dan mengikuti rasul tersebut. Dan takabbur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain.17 Kesombongan adalah titik paling rawan dalam diri manusia. Bisa mengundang berbagai macam kesalahan dan mengantar kita kepada kemaksiatan. Kata Nabi saw dalam penuturan Ibnu Mas’ud ra., “Tiga hal yang menjadi akar semua dosa, jagalah dirimu dan waspadalah terhadap kesombongan (kibr), sebab ia menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam. Waspadalah kepada kerakusan (hirsh), yang menyebabkan Adam memakan buah terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki (hasad) membuat anak Adam membunuh saudaranya.” 18 Ciri-ciri dan gejalanya antara lain sebagai berikut: a. Riya, suka memuji diri dan membanggakan kemuliaaan dirinya, hartanya, ilmunya dan keturunannya. b. Meremehkan orang lain. c. Keji mulut, suka mencela. d. Memalingkan muka ketika bertemu dengan seseorang. e. Berlenggak-lenggok ketika berjalan. f. Berlagak dalam berbicara. g. 16

Mubazzir dalam harta benda.

Musfah, Bahkan Tuhanpun Bersyukur,…h. 90 Moh. Ardhani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlah dan Budi Pekerti, dalam Ibadah dan Tasawuf, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005) cet. I, h.59 18 Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan: Risalah Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Triyana Sjam’un Corp, 2001) Cet. 4, h. 151 17

h. Berlebih-lebihan dalam berpakaian.19 Adapun kerugian dan bahaya yang dikandung oleh sifat takabbur ialah: a. Merusak pergaulan manusia, merenggangkan

hubungan silaturrahmi dan

menghalangi kasih sayang dan sikap saling tolong menolong, orang yang sombong sudah pasti dibenci oleh karena kesombongannya itu. b. Hilangnya usaha-usaha melakukan perbaikan-perbaikan terhadap dirinya, karena dianggap dirinya sudah baik dan sempurna. c. Menghalangi masuk surga sesuai dengan sabda rasulullah saw. 20

‫ن ﻓِﻲ‬ َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ َﻣ‬ َ ‫ﻞ ا ْﻟ‬ ُ‫ﺧ‬ ُ ‫ل ﻟَﺎ َﻳ ْﺪ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺴﻌُﻮ ٍد‬ ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ْﺑ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ 21

.‫ﻦ ِآ ْﺒ ٍﺮ‬ ْ ‫ل َذ ﱠر ٍة ِﻣ‬ ُ ‫َﻗ ْﻠ ِﺒ ِﻪ ِﻣ ْﺜﻘَﺎ‬

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Rosulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk syurga yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar zarrah.” (HR. Muslim) Menurut Said Hawwa, kecongkakan merupakan anak kandung dari ujub. Jadi keduanya berbeda. Pada ujub tidak perlu ada orang yang di ujubi, sedang pada kecongkakan biasanya ada orang yang di congkaki. Takabbur merupakan penyakit hati, karena itu tercela.22 Seperti halnya lain-lain penyakit rohani, maka untuk menghilangkan penyakitpenyakit tersebut ialah dengan jalan muroqobah, berani mawas diri memungkinkan terungkapnya penyakit itu, sebagai suatu tindak permulaan dalam membetulkan sikap yang baik. Apabila berhasil ditemukan, maka hendaklah segera bertaubat dan memohon ampun (istighfar) kepada Allah SWT, memohon dijauhkan (berta’awwuz) daripadanya. Berbarengan dari pengosongan jiwa dari takabbur, dilakukan pula pengisian jiwa dengan sikap-sikap mahmudah yang merupakan lawan dari sikap takabbur, seperti sifat rahmah (kasih sayang), tawadhu (rendah hati) dan sopan, cinta (mahabbah), tolong menolong dan sebagainya.23 19

Hamzah Ya’kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin: Tasawwuf dan Taqarrub, (Jakarta: Putaka Atisa, 1992) cet. 4, h.143. 20 Ya’kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, h. 145 21 Imam Muslim, Sahih Muslim Kitab al-Iman bab Tahrim al-Kibr wa Bayanuh no. 131 22

Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin: HandBook Bagi Pendamba Kesehata Holistik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. I, h.180 23 Ya’kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin… h. 146

Sebelum penyakit ini melekat kuat dalam hati manusia, secepatnya ia sadar dan berusaha mengubahnya kearah yang baik. Pertama,

manusia harus mengingat asal

kejadiannya. Siapa yang menciptakannya, darimana ia dilahirkan dan untuk apa ia dilahirkan kedunia ini. Kedua, Mensyukuri nikmat. Bahwa apa yang diterimanya saat ini adalah pada hakikatnya pemberian Tuhan. Harta dan jabatan yang dimilikinya merupakan titipan Allah yang harus dijalankan dengan baik. Ketiga, mengingat kematian. Sekuat apapun manusia, sebesar apapun kekuasaannya, dan sebanyak apapun harta bendanya, semuanya akan ditinggalkannya saat tali kematian merenggutnya. Kematian akan datang kapan dan dimanapun, dalam keadaan sehat maupun sakit, tua maupun muda. Saat itulah manusia takabbur sadar, bahwa dirinya makhluk yang lemah dan tidak berdaya.24 Kecongkakan hanya layak bagi yang Maha Kuasa. Manusia yang lemah dan tidak berkuasa apa-apa tidak layak bersikap congkak. Kalau manusia bersikap congkak maka dia berarti telah menentang Tuhan. Inilah yang dimaksud firman Allah dalam sebuah tradisi Qudsi: “kebesaran adalah sarung-Ku dan kecongkakan adalah selendang-Ku. Barang siapa melawan Aku pada keduanya niscaya Aku menghancurkannya.”25

3. Menjauhi Dengki Menurut al-Qur’an hasud adalah dosa pertama yang muncul dipermukaan bumi ini. Penyebabnya adalah iblis sampai dikeluarkan dari surga, pertama kali lantaran dengki terhadap Adam as. setelah itu dengki menyebabkan Qabil membunuh Habil saudara kandungnya, maka tumpahlah darah untuk pertama kalinya dimuka bumi ini.26 Sifat buruk yang harus di waspadai oleh seorang muslim ialah sifat hasad (dengki). Sifat ini tidak pantas menyertai seorang muslim yang beriman kepada Allah, Rasul dan hari akhir. Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya agar selalu waspada kepada sifat dengki ini.27 Beliau bersabda:

24

Musfah, Bahkan Tuhanpun Bersyukur…, h. 92 Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin…, h.184 26 Haidar, Etika Islam…, h. 248 27 Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 16 25

‫ﺴ َﺪ َﻳ ْﺄ ُآ ُﻞ‬ َ‫ﺤ‬ َ ‫ﺴ َﺪ َﻓِﺈ ﱠن ا ْﻟ‬ َ‫ﺤ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل ِإﻳﱠﺎ ُآ ْﻢ وَا ْﻟ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﻲ‬ ‫َﻋ ْﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َأ ﱠن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬ ‫ﺐ‬ َ ‫ﺸ‬ ْ ‫ﺐ َأ ْو ﻗَﺎ َل ا ْﻟ ُﻌ‬ َ ‫ﻄ‬ َ‫ﺤ‬ َ ‫ت آَﻤَﺎ َﺗ ْﺄ ُآ ُﻞ اﻟﻨﱠﺎ ُر ا ْﻟ‬ ِ ‫ﺴﻨَﺎ‬ َ ‫ا ْﻟ َﺤ‬

28

Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah saw bersabda: “Hati-hatilah kamu sekalian terhadap hasad, karena sesungguhnya hasad, akan memakan habis seluruh kebaikan sebagaimana api melahap habis kayu bakar.” (H.R. Abu Daud) Manusia yang berjiwa besar tidak mungkin memiliki sifat dengki ataupun ber iri hati, sebab dengki hanyalah sifat yang dipunyai golongan manusia yang berjiwa kecil, berdaya iradah yang sangat lemah, lagi berwatak jahat dan amat buruk, oleh karenanya, maka setiap orang besar, namanya tersohor keseluruh penjuru dunia, berjiwa agung serta enggan kalau cita-citanya patah ditengah jalan, sudah dapat dipastikan bahwa jauh sekali jaraknya antara pribadinya sendiri antara akhlak dan budi pekerti dengan akhlak dan budi pekerti yang rendah, hina dina dan benar-benar tercela itu.29 Apakah perasaan dendam itu? Apakah kedengkian itu? Yang membangkitkan seseorang untuk tidak meyukai kesenangan dan kebahagiaan orang lain serta berhasrat merenggutnya?

Orang semacam itu tidak berfikir untuk memiliki kebahagiaan itu

sendiri. Rasa iri orang sehat selalu menjadikannya mengutamakan tujuannya sendiri, dan ini bukan masalah, tetapi menghasratkan kerugian dan bencana bagi orang lain, itu adalah penyakit. Anda dapati orang semacam itu sedia menyakiti dirinya sendiri sematamata untuk menyakiti orang-orang yang didengkinya.30 Anda ketahui bahwa sifat-sifat tercela yang bersemi dalam hati banyak macamnya, membersihkan hati dari kotoran itu membutuhkan waktu yang lama, cara penyembuhannya pun sulit dan rumit. Pengetahuan tentang pengobatannya secara tuntas, serta cara melaksanakannya selalu saja samar dan tidak mendapat perhatian, karena kelalaian orang pada dirinya sendiri dan kesibukannya mengejar kemilau dan pesona kehidupan dunia.31 28

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab Bab fi al Hasad, no. 4257 Syekh Mustafa Ghalayini, Bimbingan Menuju keakhlak yang luhur, (Semarang: CV. Toha Putra, 1976) Cet. 1, h. 212. 30 Murtadho Mutahhari, Manusia Sempurna, (Jakarta: Lentera, 1994), cet. 2, h. 6 31 Imam al-Ghazali, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertaqwa, (Jakarta: Angkasa Raya, 1984), cet. I, h. 112 29

Dengki itu ialah sikap tidak senang atas atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain tersebut, baik dengan maksud supaya kenikmatan itu berpindah ketangan diri sendiri atau tidak.32 Memang, diantara berbagai penyakit hati, dengki atau hasad ialah salah satu yang sangat berbahaya untuk kehidupan manusia. Kita disebut dengki kepada seseorang jika kita tanpa alasan yang jelas apalagi alasan yang adil, serta merta merasa tidak senang dengan segala kelebihan dan keutamaan yang dimiliki orang lain. Kelebihan itu dapat bersifat kebendaan, seperti kekayaan atau harta, dapat juga tidak bersifat kebendaan, seperti kedudukan, kehormatan, prestise,

kecakapan dan sebagainya. Jika kita

menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya juga diamdiam dalam hati kita menginginkan orang itu celaka, dan kalau sudah begitu besar kemungkinan kita langsung atau tidak langsung berusaha mencelakakannya.33 Orang yang dengki disebut “hasid”, yang bekerja dan berusaha menghilangkan kesenangan dan kemuliaan seseorang dan mengharapkan kesenangan dan kemuliaan itu beralih ketangan dirinya.34 Kedengkian dapat menjadi pangkal

kesengsaraan si pendengki sendiri. Dan

memang tidak ada orang dengki yang tidak menanggung jenis kesengsaraan tertentu. Sebab, perasaan dengki kita kepada seseorang yang menjadi sasaran kedengkian kita ialah justru karena “kebahagiaan” orang itu. Apakah betul orang yang menjadi sasaran kedengkian itu bahagia ataukah kebahagiaannya itu hanyalah ilusi kita akibat merasa diri sendiri kurang bahagia, sehingga membuat kita mempunyai gambaran terlalu besar tentang orang lain

dan terlalu kecil tentang diri kita sendiri.

Ini berarti bahwa

“kebahagiaan” orang lain itu hanyalah hasil refleksi atau pantulan kaca situasi batin kita sendiri yang merasa tidak bahagia.35 Sifat dengki bisa timbul pada diri manusia karena beberapa sebab: Pertama, Rasa permusuhan dan kebencian. Ketika seseorang merasa dirinya dimusuhi dan dibenci, maka secara manusiawi orang itu akan merasa dengki terhadap musuhnya itu. Ia akan menyumpahi musuhnya dengan kemelaratan, ketidak senangan 32

Moh. Ardhani, Akhlak Tasawwuf…. h. 59 Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin…, h. 186 34 Ya’kub, Tingkat ketenangan dan kebahagiaan Mukmin…, h.126 35 Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin…, h. 188 33

dan kehancuran. Jika ia merasa mampu, ia akan melakukan upaya untuk menghilangkan kebahagiaan musuhnya itu. Kedua, perasaan dengki bisa terjadi karena diri merasa lebih tinggi, lebih mulia, lebih kaya dan lebih berharga dari orang lain. Kerap terjadi dalam hati dan jiwa manusia bahwa dirinya merasa yang paling terhormat, lebih pintar (tahu), lebih suci, lebih berhak dan seterusnya. Ketiga, gemar kepemimpinan dan kedudukan. Ada orang yang suka sekali menjadi pemimpin, ini bagus. Tapi ada juga orang yang hanya mau menjadi pemimpin, dan tidak mau dipimpin, ini bagus sebab yang terakhir ini targetnya adalah kedudukan, bukan tanggung jawab memegang amanah sebagai pimpinan. Keempat, jiwa yang buruk dan sifat kikir. Yakni jiwa yang selalu tidak senang dan merasa gelisah melihat keberhasilan orang lain, sebaliknya jika ada orang lain ditimpa musibah dan kesusahan ia merasa senang. Jiwa semacam ini menimbulkan sifat kikir dalam berbuat baik.36 Pencegahan dan pengobatannya ialah dengan jalan: a. Mawas diri (muroqobah), mengakui dalam diri sendiri bahwa penyakit hasad itu merusak. b. Pandai mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah, betapapun keadaannya. c. Jika melihat orang lain memperoleh ni’mat atau kelebihan, maka hendaklah menyadari bahwa mereka perolehnya berkat usaha dan perjuangannya dan berkat karunia yang dianugerahkan Allah kepada mereka. d. Rajin bekerja mencari karunia yang disediakan Allah bagi jamba-hambanya. e. Jangan membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang lebih tinggi keadaannya, melainkan hendaklah memeandang mereka yang lebih rendah keadaannya. f. Do’a, memohon perlindunngan kepada Allah dari sifat hasad. g. Jika memang didapati hasad dalam diri sendiri, maka hendaklah bertaubat dan memohon ampun.37 4. Sikap Pema’af dan Pengampun ketika Allah swt mengilhamkan kepada Adam beberapa kalimat, dan ketika itu pula Adam memohon ampun kepada-Nya, seraya Allah mema’afkan dan mengampuni

36 37

Musfah, Bahkan Tuhanpun Bersyukur…, h. 30 Ya’kub, Tingkat ketenangan dan kebahagiaan mukmin…, h. 128

kesalahan yang telah dilakukan Adam, sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. Sikap pema’af merupakan bagian akhlak yang luhur,

yang harus menyertai

seorang muslim yang bertaqwa, nas-nas al-Qur’an dan dan contoh-contoh perbuatan Nabi saw banyak menekankan keutamaan sifat ini. Bahkan sifat pema’af merupakan sifat utama orang-orang muhsin yang dekat dengan cinta dan keridaan Allah. 38 Allah swt berfirman:

‫ﺤﺐﱡ‬ ِ ‫س وَاﻟﻠﱠ ُﻪ ُﻳ‬ ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬ ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ‬ َ ‫ﻆ وَا ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬ َ ‫ﻇﻤِﻴ‬ ِ ‫ﻀﺮﱠا ِء وَا ْﻟﻜَﺎ‬ ‫ﺴﺮﱠا ِء وَاﻟ ﱠ‬ ‫ﻦ ُﻳ ْﻨﻔِﻘُﻮنَ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬ َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬ . ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﺤ ِﺴﻨِﻴ َﻦ‬ (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 134) Sikap pema’af adalah memberi ma’af, memberi ampun terhadap kesalahan orang tanpa ada rasa benci terhadap orang yang bersalah atau sakit hati atau ada keinginan untuk membalas padahal dia mampu membalas.39 Qur’an suci

telah memberikan jalan

dengan metoda yang cermat dalam

mengangkat jiwa kemanusiaan menuju puncak keindahan. Qur’an menetapkan bahwa seorang yang diperlakukan secara zalim di izinkan membela diri dan membalasnya, kejahatan dibalas dengan kejahatan yang setimpal. Tetapi pembalasan hendaknya bukan atas balas dendam, juga tidak wajib membalas perlakuan zalim itu. Cara yang lebih baik menurut Ialam adalah bila mau membalas, melakukan pembalasan itu dengan penuh simpatik sekedar membela diri

bahkan dianjurkan untuk menunjukkan keluhuran

perangai, bersabar mema’afkan, dan toleran, yang demikian lebih toleran dan mengundang simpatik.40 Seorang guru harus bersifat pema’af terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebabsebab yang kecil. Berkepribadian dan mempunyai harga diri.41 38

Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 40 Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw, Terj. Mashdar helmy, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), cet. 1, h. 257 40 Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 41 41 Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami, A. Ghani dan johar bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), cet. 1, h. 141 39

Al-Qur’an adalah menjadi sumber budi pekerti Nabi, sifat-sifat beliau adalah pema’af , banyak memberi ma’af, dan pemaafannya itu disaat beliau mampu membalas, sifat ma’af beliau timbul dari jiwa yang pemurah. Aisyah berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat Rasulullah membalas karena beliau dianiaya selam tidak dilanggar larangan-larangan Allah, tetapi apabila larangan-larangan Allah dilanggar, beliau amat keras amarahnya. Beliau memaafka kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena mema’afkan adalah sifat yang utama, tetapi beliau tidak memberi ma’af terhadap sesuatu yang menyinggung agama dan berhubungan dengan hak-hak Allah.42 Mema’afkan orang yang dibawah peengaruhnya adalah bersikap mendidik, namun demikian seorang muslim dituntut juga untuk menampakkan keberanian dan kekuatannya, agar disegani dan ditakuti oleh orang-orang yang hendak menjatuhkan martabatnya.43 Seorang Muslim yang memelihara hukum-hukum agama selalu bersikap toleran karena ilmunya, menyebarkan kasih sayang dan memancarkan sumber kasih sayang dari hatinya. Ia sadar bahwa kasih sayang seorang hamba dibumu menjadi sebab datangnya rahmat dari langit. 44

‫ﺣ ُﻢ ﻟَﺎ‬ َ ‫ﻦ ﻟَﺎ َﻳ ْﺮ‬ ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻣ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﱠﻠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬ َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬ ْ ‫ﻦ َا ِﺑ‬ ْ‫ﻋ‬ َ 45

‫ﺣ ُﻢ‬ َ ‫ُﻳ ْﺮ‬

Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah saw bersabda: “barang siapa yang tidak menaruh belas kasih kepada sesama manusia Allah pasti tidak akan menaruh belas kasih kepadanya (HR. Bukhari). Seorang guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti

perlakuan terhadap anak sendiri. Rasulullah s.a.w.

bersabda, “Sesungguhnya saya bagi kamu adalah ibarat bapak dengan anak”. Oleh karena itu siguru melayani murid seperti melayani anaknya sendiri.46

42

al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw…h. 260 Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 45 44 Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 36 45 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab al-Adab Bab Rahmat al-walad… no. 553 46 Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami… h. 152 43

Inilah sifat-sifat yang lazim dirasakan oleh seorang murid oleh gurunya disamping merasakan kecintaannya dan sumbangsihnya dalam membimbing untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan menanamkan kecintaan

di dunia dan akhirat. Seorang gurupun lazim untuk

rasa persaudaraan diantara murid-muridnya seperti ia menanamkan

diantara anak-anaknya sampai mereka saling menyayangi dan saling

mencintai, tidak saling membenci dan saling menghasud, seperti itulah sikap para ulama salaf dalam membina hubungan dengan murid-murid mereka.47

B. Aspek Pendidikan dan Pengajaran 1. Metode Kisah Cerita tentang kejadian, terutama peristiwa sejarah, merupakan metode yang banyak diketemukan di dalam al-Qur’an. Banyak bagian-bagian al-Qur’an yang berisi kisah

kesejarahan atau

peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau setidak-tidaknya

merupakan bagian-bagan yang dianggap kisah. a. Pengertian Metode Kisah Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu hal yang baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja.48 Oleh karena itu Islam sebagai agama yang berpedoman kepada al-Qur’an dan alHadis menepis image adanya kisah bohong, karena Islam selalu bersumber dari dua sumber yang dapat dipercaya, sehingga cerita yang disodorkan terjamin kesahihan dan keabsahannya. Dalam mengaplikasikan metode ini pada proses belajar mengajar (PBM), metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan yang masyhur dan terbaik, sebab kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan hati yang mendalam.49

47

1, h. 38.

48

Yusuf Qardhawi, Konsefsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994), cet.

W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: bali pustaka, 1984), Cet. Ke-7, h. 202 49 Muhammad Fadhil al-Jamil, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995) Cet. I, hal 125

Kemasyhuran dan

kebaikan metode ini dapat

dilihat dari perkembangan

penggunaannya oleh para pujangga India, Persia, dan Yunani sejak zaman dulu.50 Metode kisah diisyaratkan dalam al-Qur’an :

‫ﻦ‬ َ ‫ﺖ ﻣِﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ َﻟ ِﻤ‬ َ ‫ن َوإِن آُﻨ‬ َ ‫ﻚ َهﺬَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬ َ ‫ﺣ ْﻴﻨَﺂ ِإَﻟ ْﻴ‬ َ ‫ﺺ ﺑِﻤَﺂ َأ ْو‬ ِ ‫ﺼ‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻘ‬ َ‫ﺴ‬ َ‫ﺣ‬ ْ ‫ﻚ َأ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬ َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬ ُ‫ﺤ‬ ْ ‫َﻧ‬ ‫ﻦ‬ َ ‫ا ْﻟﻐَﺎ ِﻓﻠِﻴ‬ “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu. Dan sesungguhnya kmu sebelum (aku mewahyukan) adalah termasuk orang-orang yang lalai.” (Q.S. Yusuf/12:3). Kandungan ayat ini mencerminkan bahwa merupakan cerita-cerita pilihan yang

cerita yang ada dalam al-Qur’an

mengandung nilai paedagogis. Ayat diatas

diperkuat oleh ayat lain yang berbunyi:

‫ب‬ ِ ‫ﻋ ْﺒ َﺮ ٌة ِﻟﺄُوﻟِﻲ ا ْﻟَﺄ ْﻟﺒَﺎ‬ ِ ‫ﺼ ِﻬ ْﻢ‬ ِ ‫ﺼ‬ َ ‫ن ﻓِﻲ َﻗ‬ َ ‫َﻟ َﻘ ْﺪ آَﺎ‬ “Sesungguhnya didalam kisah-kisah mereka terdapat ibarat bagi orang yang berakal”. (Q.S. Yusuf/ 12:111) Cerita nabi Yusuf As. Misalnya, dapat memberikan pelajaran bahwa betapa mulianya orang-orang yang istiqomah dengan kebenaran yang ia imani walaupun dirayu oleh Siti Julaiha dengan getaran syahwatnya, namun Nabi Yusuf As. Tidak terjebak. Kemudian dalam hadis Nabi Saw. Pun dapat diambil pelajaran cerita tiga orang yang terjebak

dalam sebuah gua yang ditutupi batu besar, lalu ketiga orang itu berdo’a

disesuaikan dengan amalnya masing-masing, akhirnya sedikit demi sedikit pintu itu dapat digeser. Cerita Nabi Adam misalnya, yang sedang dibahas oleh penulis merupakan pelajaran yang sangat berarti bagi manusia karena selain sebagai awal mula adanya proses transpormasi ilmu pengetahuan yaitu ketika Allah SWT secara langsung mengajarkan kepada Adam nama-nama benda, juga terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik darinya. Dari contoh diatas dapat difahami, bahwa metode kisah didunia pendidikan dikenal ada dua macam; yaitu kisah Qur’ani dan kisah nabawi. Namun walaupun secara substansial keabsahan 50

keduanya tidak diragukan, bukan berarti ia terlepas dari

al-Jamil, Filsafat Pendidikan Dalam al-Qur’an…, h.126

kelemahan, karena yang menyampaikan metode tersebut dengan metode kisah adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan ketidak sempurnaan, oleh karena itu kita biasa melihatnya dari dua sudut; yaitu kekurangan dan kelebihannya. Tujuan yang hendak dicapai dari metode ini adalah untuk memberi dorongan psikologis kepada peserta didik.51 b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Kisah. a) Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat siswa. Kaarena setiap anak didik

akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti

berbagai situasi kisah, sehingga anak didik terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut. b) Mengarahkan semua emosi hingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. c) Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengaran untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya.52 d) Dapat mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela, senang, sungkan, atau benci sehingga bergelora dalam lipatan cerita. c. Kekurangan Metode Kisah a) Pemahaman siswa menjadi sulit ketika

kisah itu telah terakumulasi oleh

masalah lain. b) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan siswa. c) Sering terjadi ketidak selarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud sehingga pencapaian tujuan sulit diwujudkan. d. Alternatif yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Kekurangan Metode Kisah a) Guru harus mengetahui dan paham benar alur cerita yang disampaikan. b) Guru harus menyelaraskan tema materi dengan dengan cerita atau tema cerita dengan materi. c) Anak didik harus lebih berkonsentrasi terhadap cerita yang disampaikan guru sehingga menimbulkan sugesti untuk mengikuti alur cerita itu sampai selesai. 51

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. 3, h. 68 Ahmad Arifin, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), Cet. Ke-2, h. 140 52

e. Tinjauan Kritis Terhadap Penggunaan Metode Kisah Mungkin telah menjadi tabiat dan warisan sejarah yang sulit dihilangkan dalam dunia pendidikan kita, terutama ditingkat SLTP dan SLTA, bahwa kisah atau cerita digunakan hanya mengisi kekosongan

waktu saja

dan tanpa mengadakan analisa

terhadap alur cerita tersebut. Maka kalau hal tiu terus berlanjut tidak menutup kemungkinan SDM kita hanya bias mendengan dan mendengan saja.53 2. Metode Tanya Jawab Mempertanyakan hal-hal merupakan metoda lain didalam al-Quran. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan mungkin dalam rangka pengajuan kepada statemen atau mungkin diajukan sebagai titik permulaan. Dalam surat al-Baqoroh 2 : 30 pertanyaan malaikat, “apakah Engkau hendak menciptakan makhluk yang akan membuat kerusakan dimuka bumi?” pertanyaan ini merupakan respon malaikat atas pemberitahuan Allah tentang akan diciptakan khalifah dimuka bumi. Maka hadirlah pertanyaan kepada iblis setelah menolak bersujud menghormati Adam sebagai khalifah.54 a) Pengertian Tanya Jawab Metode Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode didalam pendidikan dimana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya.55 Pengertian lain dari metode tanya jawab adalah: cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan

yang harus dijawab, terutama dari guru kepada murid atau dapat

juga dari murid kepada guru.56 Dalam sejarah perkembangan Islam pun dikenal dikenal metode tanya jawab, karena metode ini sering dipakai oleh para Nabi dan Rosul Allah dalam mengajarkan ajaran yang dibawanya kepada umatnya. Metode ini termasuk metode yang paling tua disamping metode ceramah, namun efektifitasnya lebih besar daripada metode lain. Karena, dengan metode tanya jawab, prngertian dan pemahaman dapat diperoleh lebih 53

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat pers, 2002), Cet. 1, h. 163 54 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, (, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), Cet. 2, h. 212 55 Zuhairini dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), Cet. Ke 8, h. 86 56 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Jaini, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.), Cet.I, h. 107.

mantap.

Sehingga segala bentuk

kesalah pahaman dan

kelemahan daya tangkap

terhadap pelajaran dapat dihindari semaksimal mungkin. Firman Allah yang berkaitan dengan metode Tanya jawab adalah:

َ‫ﻞ اﻟ ﱢﺬ ْآ ِﺮ إِن آُﻨ ُﺘ ْﻢ ﻻَﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬ َ ‫ﺴ َﺌﻠُﻮا َأ ْه‬ ْ ‫َﻓ‬ “…Bertanyalah kalian kepada ahlinya jika kalian tidak mengetahui”. (Q.S. al-Nahl /16:43) Dalam ajaran Islam, orang yang berilmu apabila ditanya tentang ilmu pengetahuan ia wajib

menjawab sebatas kemampuannya, bila tidak,

maka Allah

mengancamnya dengan siksa yang amat pedih. Sebagaimana sabda Nabi saw:

‫ﻦ َآ َﺘ َﻢ ﻋِ ْﻠﻤًﺎ ﻣِﻤﱠﺎ‬ ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻣ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل َﻗﺎ‬ َ ‫ي ﻗَﺎ‬ ‫ﺨ ْﺪ ِر ﱢ‬ ُ ‫ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ا ْﻟ‬ َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ‬ ْ‫ﻋ‬ َ 57 ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎر‬ ْ ‫ﺠ َﻤ ُﻪ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ِﺑِﻠﺠَﺎ ٍم ِﻣ‬ َ ‫ﻦ َأ ْﻟ‬ ِ ‫س َأ ْﻣ ِﺮ اﻟﺪﱢﻳ‬ ِ ‫َﻳ ْﻨ َﻔ ُﻊ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ ﻓِﻲ َأ ْﻣ ِﺮ اﻟﻨﱠﺎ‬ Dari Abî Saîd al-Khudry berkata, telah bersabda Rasullah saw, Barang siapa ditanya tentang ilmu dalam urusan manusia dan agama, lalu ia menyembunyikannya, maka Allah akan mengekangnya pada hari kiamat dengan kekangan api neraka.(HR. Ibnu Mâjah) Metode Tanya jawab berbeda dengan evaluasi. Metode tanya jawab merupakan salah satu tehnik penyampaian materi, sedangkan evaluasi adalah alat ukur untuk mengukur hasil belajar siswa. b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Tanya Jawab Metode Tanya jawab juga memiliki kekurangan dan kelebihan antara lain: 1. Kelebihan: a) Situasi kelas akan hidup karena anak-anak

aktif berfikir dan

menyampaikan buah pikirannya dengan berbicara/menjawab pertanyaan. b) Melatih anak agar berani mengungkapkan

pendapatnya dengan lisan

secara teratur. c) Timbulnya perbedaan pendapat diantara anak didik akan menghangatkan proses diskusi di kelas.

57

Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Majah, Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Man Sa’ala ‘An ‘Ilmin Fakatamahu, No. 261

d) Mendorong murid lebih aktif dan bersungguh-sungguh, dalam arti murid biasanya segan mencurahkan perhatian, maka dengan diskusi ia akan lebih berhati-hati dan aktif mengikuti pelajaran. e) Walau agak lambat, guru dapat mengontrol pemahaman atau pengertian murid pada masalah-masalah yang dibicarakan.58 f) Pertanyaan dapat memusatkan perhatian siswa sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, dll. Jadi metode Tanya jawab berbagai kondisi khususnya dalam situasi

bisa digunakan dalam

dimana

konsentrasi murid

melemah. g) Merangsang

siswa untuk melatih

dan mengembangkan daya pikir,

termasuk daya ingatan . h) mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapatnya. 2. Kekurangan: a) Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam diskusi, bisa makan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. b) Kemungkinan akan terjadi penyimpangan perhatian anak didik, terutama apabila mendapat jawaban yang menarik perhatiannya. c) Tidak dapat secara tepat merangkum bahan bahan pelajaran.59 d) Siswa merasa takut apabila guru kurang mampu mendorong siswanya untuk berani menciptakan suasana yang santai dan bersahabat. e) Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berfikir siswa. f)

waktu sering terbuang, terutama apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang .

g) Dalam jumlah siswa yang banyak tidak mungkin melontarkan petanyaan kepada setiap siswa.60 c).

Syarat-Syarat Penggunaan Metode Tanya Jawab. 58

Zuhairini, Metode Khusus Pendidikan Agama…., h. 87 Djamarah dan Aswan Jaini, Strategi Belajar Mengajar…, h. 87 60 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam…, h. 107 59

a) Pertanyaan hendaknya dapat membangkitkan minat dan mendorong inisiatip anak didik sehingga mereka dapat terangsang

untuk bekerja

sama. b) Perumusan pertanyaan harus jelas dan terbatas serta harus ada jawaban. c) Pemakaian metode Tanya jawab adalah untuk materi yang yang sudah disampaikan. d) Pertanyaan hendaknya diajukan kepada seluruh siswa dikelas. d). Langkah-Langkah Penggunaan Metode Tanya Jawab a) menentukan tujuan yang akan dicapai b) merumuskan pertanyaan yang akan diajukan. c) Pertanyaan diajukan kepada siswa secara keseluruhan, sebelum menunjuk salah satu siswa untuk menjawab. d) Membuat ringkasan hasil Tanya jawab, sehingga diperoleh pengetahuan secara sistematis.

3. Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan ketika Allah berfirman memerintahkan kepada malaikat untuk menyebutkan namanama benda yang telah Dia ajarkan kepada Adam, sebagaimana tertera dalam surat alBaqoroah ayat 31 akan tetapi malaikat tidak mampu untuk menyebutkan nama-nama tersebut.

Kemudian pada ayat berikutnya, Allah SWT memerintahkan Adam untuk

memberitakan dan memberitahukan kepada malaikat seluruh nama-nama benda yang telah Allah ajarkan, lalu seketika itu pula Adam memberitahukan nama-nama benda tersebut. Dalam kisah ini Allah memberikan gambaran akan ketidak mampuan malaikat dalam mengungkapkan pikiran dan perasaanya karena malaikat tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, namun kondisi yang dialami malaikat berbeda dengan Adam yang dengan mudah mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya hal itu dikarenakan Adam telah memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang telah Allah ajarkan kepadanya.

Berkomunikasi pada hakikatnya adalah berbahasa. Tetapi, pemahaman dan penghargaan kita akan bahasa dan peranannya itu seringkali dangkal dan biasa-biasa saja. Orang dapat berbahasa seperti halnya orang dapat berjalan.61 Bahasa mempunyai kepentingan yang eksklusif dalam proses humanisasi pikiran; hal itu dibuktikan tidak hanya oleh kejadian-kejadian manusia yang terampas dari bahasa, tetapi juga oleh penelitian psikologi; psikologi obyektif ini menggunakan tes-tes intelijensi

praktis,

yaitu

intelijensi

yang

tidak

terbahasakan,

yang

tidak

terverbalisasikan.62 Bahasa tidak hanya merasuki pikiran, tetapi juga perasaan kita. Cetusan-cetusan perasaan kita selalu merupakan cetusan-cetusan bahasa. Maka dari itu bila perasaan hati kita sudah tercetus, terungkap, kita puas, kita lega, atau kita bebas dari tekanan-tekanan yang mengganggu keseimbangan jiwa kita. Kita kenal terapi kejiwaan yang berusaha untuk membawa perasaan-perasaan gelap didalam diri penderita kejiwaan kepada terang bahasa. Sebenarnya terang bahasa ini adalah terang pikiran. Perasaan dapat dibahasakan karena diterangi oleh pikiran, karena ditangkap oleh pikiran, karena kita ketahui.63 Dengan bahasa manusia telah belajar berfikir; dari satu sudut kecerdasannya manusia telah menemukan bahasa, dari sudut lain

bahasa aalah alat

dan cara

mengembangkan kecerdasannya; dari pengetahuan praktis tentang alam ia telah dapat membangun pengetahuan teoritis dan kesadaran diri yang penuh. Manusia dekat sekali dengan binatang, dan tiba-tiba dia tampak berbeda

sekali berkat bahasa . tetapi

sesungguhnya perbedaan itu telah tersurat sejak semula: otak manusia lebih besar, maka kemungkinan-kemungkinannya lebih banyak. Kera, burung nuri dan burung beo tidak akan menemukan bahasa yang sebenarnya.64 Memamerkan apa yang kita ketahui, memperlihatkan dan mendemonstrasikan apa yang telah kita pelajari, adalah ketika kita memulai menemukan kalau kita telah sukses menerapkan dari hal-hal yang ada dibawah ini: 1. mendapatkan kerangka pikiran (mind) yang benar-benar relaks, percaya diri dan siap untuk belajar. 61

Paul Chauchard, Bahasa dan pikiran, Terj. A. Widiyartaya, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1983), cet. 1, h. 3 62 Chauchard, Bahasa dan pikiran… h. 39 63 Chauchard, Bahasa dan pikiran…, h. 4 64 Chauchard, Bahasa dan pikiran…, h. 95

2. Memperoleh (acquiring) informasi dalam cara-cara yang sesuai dengan diri kita. 3. Menyelidiki (searching out) makna, implikasi dan arti personalnya. 4. Mampu memicu (trigger) memori tentangnya ketika kita membutuhkan.65 Dalam bukunya A. Widiyamartaya mengungkapkan bahwa Manusia adalah “pengada yang berfikir”. (Dengan kata “pengada” kita hendak menyebut apa yang disebut dalam kata asing dengan kata “ens” (Latin) atau “being” (Inggris). Pengada berfikir, dari hakikatnya menghasilkan ide-ide atau gagasan-gagasan, maka manusia menciptakan segala sesuatu didunia ini. Semakin baik cara berfikirnya dan semakin cemerlang gagasan-gagasan yang dihasilkannya,

maka akan semakin gemilang dan

bermutu hasil-hasil ciptaannya.66 Buah-buah gagasan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis : Pengertian, keputusan, dan kesimpulan. Pengertian adalah sesuatu yang timbul dalam pikiran kita sebagai tanggapan atas serapan panca indera kita menghadapi realitas yang mengelilingi kita. Tanggapan kita menyebabkan kita faham atau tahu tentang sesuatu. Pengertian meliputi makna (kata, tanda, lambang, dsb), konsef, definisi dan sebagainya.67 Menerjemahkan apa yang kita dengar atau baca, kedalam kata-kata kita sendiri bukan hanya membuktikan bahwa kita mengetahui subjek yang bersangkutan, namun juga berarti bahwa kita kemungkinan besar dapat mengingatnya dalam jangka panjang.68 Pada manusia sudah ada

tanda-tanda (manifestasi-manifestasi) didikan dan

kecerdasan, bahkan dalam taraf sebelum otak matang dengan sempurna; hal ini disebabkan oleh bahasa yang dipelajarinya, bahasa yang membuat dia menjadi manusia penuh, yaitu mampu mencapai kemajuan-kemajuan tak terbatas. Meskipun bahasa itu sudah dimilikinya.69 Kata-kata tidaklah sangat penting atau perlu dari dirinya sendiri. Yang penting adalah arti dan makna dari kata-kata itu, atau kata-kata penting oleh karena arti dan makna yang diwahanainya. Fungsi kata ialah bertindak sebagai lambang untuk sesuatu 65

Dedy Ahimsa, Cara belajar cepat abad XXI, (Bandung: Nuansa, 2002), cet. 3, h.206 A. Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna (Bagaimana mengapresiasi daya pikir secara kreatif), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), cet. 1, h.13 67 Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna… h. 14 68 Ahimsa, Cara belajar cepat abad XXI… h.161 69 Chauchard, Bahasa dan pikiran…, h. 4 66

yang lain dari kata itu sendiri. Kata-kata dapat dimisalkan lembar-lembar cek bank: cekcek itu tidak ada harganya sebagai kertas, tetapi berharga bila mewakili uang tunai yang ada di bank. Kata-kata “tunai” bila membawa kita pada hal-hal atau peristiwa yang mereka wakili (lambangkan).70 Dengan berfikir secara logis logis dan benar, manusia menjadi pintar, jujur dan berdisiplin

dalam membuahkan gagasan-gagasannya dan menghasilkan ciptaan-

ciptaanya.71

4. Metode Ganjaran dan Hukuman a. Ganjaran

Ketika Allah SWT. Berfirman memerintahkan kepada malaikat untuk sujud (memberikan penghormatan) kepada Adam kemudian ayat berikutnya Allah SWT. Berfirman dengan menyatakan “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai”. Hal ini merupakan ganjaran yang Allah anugerahkan kepada Adam karena keberhasilan dan kesuksesannya, namun hal tersebut tidak terlepas dari izin Allah SWT. Ini merupakan anugerah yang sangat agung, yang Allah persembahkan kepada Adam setelah Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda lalu atas perintah Allah Adam menyodorkan serta memberitahukan kepada malaikat nama-nama benda yang telah Allah ajarkan kepadanya. Istilah tsawab; ganjaran, didapat dalam al-Qur’an dalam menunjukkan apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau diakhirat kelak perbuatan yang baik.

karena amal

72

Memberikan dorongan kepada anak merupakan

hal yang penting dengan

memperhatikan kesimbangan antara pemberian dorongan yang bersifat materi dengan dorongan yang bersifat moral (non materi). Salah apabila kita membatasi pemberian dorongan pada hadiah-hadiah yang bersifat materi saja. Karena, hal itu dapat menjadikan

70

Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna… h. 74 Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna… h. 16 72 Abdurrahman, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an…, h. 221 71

anak tumbuh menjadi seorang yang

selalu mencari keuntungan, dimana ia selalu

mendapatkan imbalan dari semua yang dilakukannya.73 Memberikan sugesti kepada yang benar dan bagus serta memberikan pujian baginya agar bertambah kesemangatannya dalam kebaikan dan bertambah pula kebaikannya terhadap ilmu

dan amal. Demikian yang dilakukan oleh Nabi SAW,

menambah kebaikan kepada yang baik.74 Shalahuddin al-Ayubi ketika berada dalam suatu pertempuran

mengelilingi

pasukannya, ia melewati seorang anak kecil yang berada didepan ayahnya membaca alQur’an. Shalahuddin melihat anak itu membaca dengan baik, maka ia pun mendekatinya dan memberikan kepadanya makanan khususnya serta mewakafkan kepadanya sebidang tanah miliknya.75 Ganjaran yang bersifat moral sepeti pujian didepan orang-orang lain memiliki peran yang besar pula dalam memberikan dorongan kepada anak. Kami akan Tidak diragukan lagi bahwa dalam sebuah pujian terdapat suatu kekuatan yang dapat mendorong anak

untuk melakukan

kebaikan karena dengan pujian, anak

merasakan bahwa perbuatan baiknya yang telah ia lakukan, membuatnya semakin dihormati dan disayangi orang lain.76 Berangkat dari situ, lazimlah kiranya bagi setiap guru untuk senantiasa memanfaatkan setiap kondisi baik murid-muridnya, mengangkat (menjunjung) setiapkelebihan dan kemampuan yang dimiliki muridnya, berlomba-lomba dalam keadilan serta mengabarkan kepada yang lainnya tentang kelebihan murid-muridnya, sehingga mereka berusaha untuk menyainginya dalam kebaikan

jika mampu, atau

mengakui kelebihan jika tidak mampu menyaingi.77

b. Hukuman Ketika Adam dan istrinya tergelincir dengan melakukan suatu pelanggaran akan larangan yang telah Allah berikan kepadanya, adalah merupakan kelalaian dan kesalahan 73

Muhammad Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, Terj. Ali Yahya, (Jakarta: Cendikia Centra Muslim, 2001), Cet. 1, h. 97. 74 Yusuf Qardhawi, Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, Terj. Amir Hamzah Fahruddin, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994), cet. 1, h. 69 75 Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah… h. 94. 76 Abdul Hafizh, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Nabawiyyah Li Al-Tifl, terj. Kuswandari…, h. 312 77 Qardhawi, Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah… h. 72

yang telah mereka lakukan, lalu seketika itu Allah memerintahkan mereka yang berada di surga untuk turun kebumi, hal tersebut dapat dikatakan bahwa Allah swt memberikan hukuman kepada Adam atas kelalaiannya. Hukuman, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan dengan Siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.78 Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan Islam hukuman berarti: a. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan. b. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik.79 Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan, ada orang-orang baginya teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali. 80 Prinsip pokok dalam pemberian hukuman, yaitu, bahwa hukuman adalah jalan yang terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.

menyadarkan peserta didik

dari

81

Maksud hukuman dalam pendidikan Islam ialah, sebagai tuntunan dan perbaikan, bukan sebagai hardikan atau balas dendam. Oleh karena itu juru didik mempelajari dulu tabiat dan sifatnya sebelum diberi hukuman, bahkan mengajak supaya si anak itu sendiri turut serta dalam memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian lupakanlah kesalahan-kesalahan dan kekeliruan setelah ia turut memperbaiki.82 Pendidikan yang halus, lembut, dan menyentuh perasaan seringkali berhasil dalam mendidik anak-anak untuk jujur, suci dan lurus, tetapi pendidikan terlampau halus, terlampau lembut dan terlampu menyentuh perasaan akan sangat berpengaruh jelek, karena membuat jiwa tidak stabil.83 Syarat-syarat dalam pemberian hukuman, yaitu:

78

Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi ke-2, cet. 4, h. 360 79 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 130 80 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salman Harun, (Bandung: PT. AlMa’arif, 1984), Cet. 1, h. 341 81 Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofik dan Krangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trugenda Karya, 1993), Cet. 1, h. 273 82 Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam… h. 155 83 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salman Harun… h. 343

a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang. b. Harus didasarkan kepada alasan “keharusan” c. Harus menimbulkan kesan dihati anak. d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. e. Diikuti dengan pemberian ma’af dan harapan serta kepercayaan.84 Kelebihan dan kekurangan a. Kelebihan Pendekatan hukuman dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan dengan benar, yaitu: 1). Hukuman akan menjadi perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid. 2). Murid tidak lagi melakukan kesalahan yang sama 3). Merasakan akibat perbuatannya sehingga dia akan menghormati dirinya. b. Kekurangan Sementara kekurangannya

adalah apabila hukuman yang diberikan

tidak

efektif, maka akan timbul beberapa kelemahan antara lain: 1. Akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya diri 2. Murid akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum) 3. Mengurangi keberanian anak untuk bertindak85 Efektifitas metode hukuman dan ganjaran berasal dari fakta yang menyatakan, bahwa metode ini secara kuat berhubungan dengan kebutuhan individu. Seorang pelajar yang menerima ganjaran akan memahaminya sebagai tanda penerimaan kepribadiannya yang membuat merasakan aman. Keamanan atau rasa aman merupakan salah satu kebutuhan psikologis, sementara hukuman berkaitan dengan

hal-hal yang tidak

disukainya akan dapat menguatkan rasa aman tersebut.86

84

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 131 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 133 86 Abdurrahman, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an…, h. 220 85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Dari pembahasan tentang Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Kisah Adam as. Surat al-Baqoroh Ayat 30-39 pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:

1. SIKAP DAN PRILAKU a. Rendah Hati Lawan takabbur adalah tawadhu (rendah hati). Setiap mukmin hendaknya rendah hati, tunduk kepada perintah Allah. Maka derajatnya akan diangkat Allah dan ditempatkan disisinya b. Larangan Sombong Takabbur ada tiga macam, Pertama : takabbur kepada Tuhan, berupa sikap tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. Kedua: Takabbur kepada Rasul-Nya, berupa sikap dimana orang merasa rendah dirinya kalau mematuhi dan mengikuti rasul tersebut. Ketiga: takabbur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. c. Menjauhi Dengki Menurut al-Qur’an hasud adalah dosa pertama yang muncul dipermukaan bumi ini. Penyebabnya adalah iblis sampai dikeluarkan dari surga, pertama kali lantaran dengki terhadap Adam as. setelah itu dengki menyebabkan Qabil membunuh Habil saudara kandungnya, maka tumpahlah darah untuk pertama kalinya dimuka bumi ini. d. Sikap Pema’af dan Pengampun Sikap pema’af adalah memberi ma’af, memberi ampun terhadap kesalahan orang tanpa ada rasa benci terhadap orang yang bersalah atau sakit hati atau ada keinginan untuk membalas padahal dia mampu membalas.

2. ASPEK PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN 1. Metode Kisah Metode kisah ialah suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu hal yang baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja. 2. Metode Tanya Jawab Metode Tanya jawab ialah penyampaian

pelajaran dengan cara guru

mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode didalam pendidikan dimana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya 3. Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan Buah-buah gagasan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis : Pengertian, keputusan, dan kesimpulan 4. Metode Sorogan Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya 5. Metode Ganjaran dan Hukuman Memberikan dorongan kepada anak merupakan hal yang penting dengan memperhatikan kesimbangan antara pemberian dorongan yang bersifat materi dengan dorongan yang bersifat moral (non materi) Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan Islam hukuman berarti: a. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan. b. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik B. Saran 1. Al-Qur’an selain merupakan pedoman bagi umat Islam, juga merupakan sumber ilmu pengetahuan, oleh karena itu dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam dalam setiap pembahasan dan kajiannya hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an. 2. Hendaknya pendidikan agama Islam dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk kepribadian muslim yang bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an.

3. Kajian-kajian yang berkenaan dengan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam dalam skripsi ini belum dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan dalam ayat-ayat lain mengenai hal tersebut.

DAPTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Ibn bin Ahmad al-Anshary al-Qurtubiy, Tafsir al-Qurtuby, juz I, Kairo: Dar al-Sya’biy. Adnan, Taufik Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005 Attas, Muhammad Naquib, Konsef Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1994 Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995 Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Khalidi, Shalah, Kisah-Kisah al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Adlany, A. Nazri Hanafie, Tamam, A. Faruq Nasution, Al-Qur’an Terjemah Indonesia, , Jakarta: Sari Agung, 1995. Ali Hasyimi, Muhammad, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1994 Ardhani, Moh., Akhlak Tasawuf: Nilai-Nilai Akhlah dan Budi Pekerti, dalam Ibadah dan Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005 Al-Jamil, Muhammad Fadhil, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka alKautsar, 1995 Arifin, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994 Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat pers, 2002 Abdullah, Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Ahimsa, Dedy, Cara Belajar Cepat abad XXI, Bandung: Nuansa, 2002 Bukhari, Sahih Bukhari, kitab al-hibah wafadhluha bab al-qalil min al-hibah no. 2380 ______, Sahih Bukhari, Kitab al-Adab Bab Rahmat al-walad… no. 553 Chauchard, Paul, Bahasa dan pikiran, Terj. A. Widiyartaya, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1983

Dawud Abu, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab bab fi al-Tawadhu’ no. 4250 ______, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab Bab fi al Hasad, no. 4257 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 2002 Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi aksara, dan Dirjen Binbaga Islam, 1992. Djamarah, Syaiful Bahri dan Jaini Aswan, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan hidup kiyai, Jakarta: LP3ES, 1994 Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995 Ghalayini, Mustafa, Bimbingan Menuju Ke Akhlak yang luhur, Semarang: CV. Toha Putra, 1976 Ghazali, Adab Orang Alim, Jakarta: Gema Insani Press, 1992 _____, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertaqwa, Jakarta: Angkasa Raya, 1984 Haidar, Ilyas Abu, Etika Islam Dari Kesalehan individual Menuju Kesalehan Sosial, Jakarta: Al-Huda, 2003. Hasyimi, Muhammad, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, terj. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Hufy, Ahmad Muhammad, Akhlak Nabi Muhammad saw Keluhuran dan Kemuliaannya, terj. Masdar Helmi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) cet. 2, h. 387 Jalal, Abdul Fattah, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Harry Nur Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1988 Khallaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta : Majlis al-a’la al-Indonesia li alDa’wah al Islamiyah, 1392 H./1972 M Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994 Maraghi, Mustafa, Terjemah tafsir al-Maraghi, Bandung: CV. Rosda, 1987. ________, Terjemah tafsir al-Maraghi, Bandung: CV. Rosda, 1987.

Mursi, Muhammad Sa’id, Melahirkan Anak Masya Allah, Terj. Ali Yahya, Jakarta: Cendikia Centra Muslim, 2001. Mujib, Muhaimin Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofik dan Krangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trugenda Karya, 1993 Mutahhari, Murtadho, Manusia Sempurna, Jakarta: Lentera, 1994 Musfah, Jejen, Bahkan Tuhan pun Bersyukur: Memahami Rahasia Hati, Jakarta, Hikmah, 2003. Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Birr al-Shilah wa al-Adab bab Istihbab al-‘afw wa alTawadhu’ no. 4689 ______, Sahih Muslim Kitab al-Iman bab Tahrim al-Kibr wa Bayanuh no. 131 Mâjah Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Man Sa’ala ‘An ‘Ilmin Fakatamahu, No. 261 Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1989 Munawwar, Said Agil Husin

, Aktualisasi Nilai-Nilai al-Qur’an, Dalam Sistem

Pendidikan Islam, Ciputat, PT. Ciputat Press, 2005. Musawi, Khalil, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, Jakarta: Lentera Basritama, 1999), cet. 2, h. 38 Poerwadarminta W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: bali pustaka, 1984 Quthb, Sayyid, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. Tafsir Fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyharahil Jakarta: Gema Insani Press, 2000. ______, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salman Harun, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984 Qardhawi, Yusuf, Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, Terj. Amir Hamzah Fahruddin, Jakarta: CV. Firdaus, 1994 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002. Shihab, M. Quraish

, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

Jakarta: Lentera Hati, 2006 _______, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996 Syadali, Ahmad, Rofi’I,Ahmad, Ulumul Qur’an II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.

Sudrajat, Suryana Menimba Kearifan: Risalah Tasawuf Kontemporer, Jakarta: Triyana Sjam’un Corp, 2001 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2005. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992 Tebba, Sudirman, Sehat Lahir Batin: HandBook Bagi Pendamba Kesehata Holistik, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004 Widiyamartaya, A.,

Seni Mencipta Makna Bagaimana

Mengapresiasi Daya Pikir

Secara Kreatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993 Ya’kub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin: Tasawwuf dan Taqarrub, Jakarta: Putaka Atisa, 1992 Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1983