olimpiade karya tulis inovatif 2009 | ppi perancis proceeding dan ...

8 downloads 12690 Views 19MB Size Report
Jadi, jika Pers. (9) diubah dalam bentuk logaritma, persamaan menjadi: ... Tebakan awal untuk a (konstanta struktur pore throat) dan b (eksponen geometri ...... onno.vlsm.org/ v09/ onno-ind-1/ physical/ voip/ ppt-kilasan-backbone-telkom- next-.
OLIMPIADE KARYA TULIS INOVATIF 2009 | PPI PERANCIS PROCEEDING DAN BUTIR REKOMENDASI Penyunting: Tim OKTI PPI Perancis Proofreader: Tim OKTI PPI Perancis Cetakan I, Oktober 2009 Diterbitkan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis Desainer sampul: Andreas Kusumahadi Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PROCEEDING DAN BUTIR REKOMENDASI

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

SAMBUTAN KETUA IKATAN ALUMNI PERANCIS INDONESIA (IAPI) PROF. DR. IR. MOHAMMAD NUH, DEA PADA OLIMPIADE KARYA TULIS INOVATIF (OKTI) 2009 PPI PERANCIS Paris, 10-11 Oktober 2009

Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi karena lahirnya Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) PPI Perancis 2009 sebagai bentuk buah karya para tunas bangsa Indonesia sekaligus kontribusi mereka terhadap berbagai isu dan permasalahan bangsa dan Negara Republik Indonesia Sebagai bangsa Indonesia, dimanapun kita berada, kita harus merasa bangga karena kita adalah bangsa terbesar keempat di dunia, negara kepulauan terbesar di dunia, dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun di sisi lain, permasalahan pembangunan juga masih nampak, misalnya angka pengangguran sebesar 14,1% pada Maret 2009, tingkat pengangguran sebesar 8,1% pada Februari 2009, dan jumlah daerah tertinggal sebesar 159 kabupaten pada 2008. Di tengah permasalahan bangsa ini, kita perlu merenungkan kembali, di mana para pelajar dan pemuda Indonesia harus menempatkan diri? Sejarah menunjukkan bahwa para pelajar dan generasi muda selalu berdiri di depan dan memegang peranan penting dalam menentukan transisi arah bangsa Indonesia, setidaknya pada tahun 1928, 1966, 1974 dan terakhir 1998. Untuk itu, dalam proses evolusi bangsa yang terus berlangsung ini, peran para pelajar di manapun berada menjadi tumpuan harapan banyak pihak. Harapan yang sama juga terletak di pundak para pelajar nusantara di luar negeri, khususnya Eropa. Dari sisi kuantitas dan kualitas terlihat bahwa para tunas bangsa tersebut merupakan kekuatan intelektual yang signifikan. Dari sisi kuantitas misalnya, jumlah pelajar Indonesia di Belanda mencapai 1.450 orang pada tahun 2007/2008, 2.557 orang di Jerman pada tahun 2004, dan hanya 200 an orang saja di Perancis. Sedangkan dari sisi kualitas, para pelajar tersebut telah menempa diri dengan ilmu pengetahuan dari Perancis dan negara-negara Eropa lainnya yang bertradisi keilmuan panjang. Ke depan, saya berharap agar adik-adik pelajar Indonesia di Perancis dan perwakilan PPI lain dari berbagai negara dapat terus berkarya nyata, serta terus berupaya untuk memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang : sains terapan dan teknologi serta dalam bidang sains sosial, hukum, politik dan ekonomi. Berbagai permasalahan bangsa bukan untuk menyurutkan semangat para pelajar, namun justru menjadi pemacu untuk berbuat lebih besar lagi walaupun dari kejauhan. Selanjutnya, saya berterima kasih kepada Bapak Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Paris beserta jajaran pimpinan yang telah mendukung seluruh tahapan penyelenggaraan OKTI PPI Perancis hingga lahirnya Proceeding ini. Saya juga berterima kasih kepada para pelajar Indonesia yang terhimpun dalam PPI Perancis yang tanpa kerja kerasnya, kegiatan OKTI ini tidak akan terwujud.

i

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Terakhir, saya juga memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para juri dari berbagai Negara yang telah bersedia menjadi reviewer untuk kegiatan OKTI ini. Terimakasih. Jakarta, 10 Oktober 2009

Prof Dr Ir Muhammad Nuh, DEA Menteri Komunikasi dan Informasi – Republik Indonesia Ketua Ikatan Alumni Perancis Indonesia

ii

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

SAMBUTAN KEPALA PERWAKILAN KBRI PARIS PADA OLIMPIADE KARYA TULIS INOVATIF (OKTI) 2009 PPI PERANCIS Paris, 10 – 11 Oktober 2009

Salam sejahtera, Pertama-tama perkenankan saya menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perkenan dan lindunganNya, PPI Perancis dapat menyelenggarakan Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2009 bertaraf internasional yang mengundang seluruh PPI di dunia. Pada kesempatan ini saya menyampaikan selamat datang di Paris kepada segenap para tamu undangan , para juri, perwakilan PPI dari berbagai negara dan khususnya para peserta tahap presentasi final kegiatan OKTI PPI Perancis 2009 ini. Kota Paris yang sering disebut sebagai pusat budaya dunia. Saudara-saudara sekalian. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi KBRI Paris dapat menjadi tuan rumah untuk sebuah kegiatan ilmiah berskala internasional, Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) yang diorganisir oleh PPI Perancis serta diikuti oleh pelajar Indonesia di 15 negara. Sebuah kegiatan ilmiah yang unik, yang cukup lama dinantikan dan dipersiapkan, bukan hanya di lingkungan pelajar Indonesia di Perancis, namun juga di belahan dunia yang lain. Selain itu OKTI juga merupakan sebuah kegiatan yang diselenggarakan dalam momen yang tepat menjelang lahirnya Kabinet yang baru dibawah Pemerintahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai hasil penelitian yang inovatif dan aktual yang terkumpul, ditambah dengan butir-butir rekomendasi hasil OKTI tentunya merupakan bahan-bahan yang layak untuk disampaikan kepada Pemerintah RI. Unik karena gagasan ini datang dari mahasiswa sendiri, khususnya PPI Perancis dan menjadi forum ilmiah antar mahasiswa sendiri untuk melahirkan karya-karya ilmiah yang berguna nyata bagi Indonesia. Bersama dengan itu, penyelenggaraan OKTI ini juga dilakukan dalam momen yang tepat menjelang lahirnya Kabinet yang baru dibawah Pemerintahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Perwakilan RI di berbagai negara yang telah mendukung secara penuh para pelajar Indonesia berpartisipasi dalam OKTI ini. Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pelajar Indonesia, khususnya penulis 28 karya ilmiah yang berhasil masuk ke tahap final OKTI 2009 ini, melalui ketatnya penilaian yang dilakukan oleh 41 orang juri spesialis yang berada di berbagai belahan dunia (Perancis, Australia, Inggris, Belgia, Malaysia, Jepang, dan Indonesia). Saya juga menyampaikan terima kasih kepada PPI Perancis atas semangat, keseriusan, dan jerih payah yang ditunjukkan sejak lahirnya ide kegiatan sampai penyelenggaraan yang sukses hari ini. OKTI 2009 bukan merupakan kegiatan pertama dan terakhir, namun merupakan tonggak sejarah untuk OKTI berikutnya yang dilakukan secara rutin oleh PPI Perancis setidak-tidaknya setiap 2 tahun. Dengan pengalaman OKTI 2009, maka OKTI 2011 diharapkan akan lebih baik lagi dan lebih berdampak nyata hasil-hasil karya ilmiahnya bagi iii

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

peningkatan kehidupan masyarakat Indonesia. Saya tidak lupa seluruh pejabat mendukung PPI mendukung PPI lainnya.

menyampaikan terima kasih kepada Atase Pendidikan, Sdr. Sudradjat dan dan staf KBRI Paris lainnya yang secara terus menerus mendorong dan Perancis untuk mewujudkan OKTI 2009 ini. KBRI Paris sepenuhnya terus Perancis untuk kegiatan yang sangat positif seperti ini dan kegiatan ilmiah

Hadirin sekalian, Perkenankan pula saya menyampaikan terima kasih kepada Ikatan Alumni Perancis Indonesia (IAPI) pada OKTI 2009 ini atas kehadiran dan bantuan moral serta material kepada PPI Perancis dalam penyelenggaraan kegiatan ini. Hal ini menunjukkan terus terpeliharanya rasa kekeluargaan yang erat antara KBRI Paris, IAPI dan PPI Perancis. Di akhir kegiatan ilmiah yang menarik ini, seyogyanya kita tidak melupakan untuk menikmati sejenak nuansa Paris, kota romantis yang tidak pernah kehilangan kehangatan dan keindahannya. Selamat berkompetisi, sukses untuk kita semua melalui OKTI 2009. Maju terus pelajar Indonesia ! Maju terus bangsa Indonesia ! Paris, 10 Oktober 2009

Maruli Tua SAGALA Kuasa Usaha Ad-Interim, KBRI Paris

iv

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

SAMBUTAN KETUA PPI PERANCIS PADA OLIMPIADE KARYA TULIS INOVATIF (OKTI) 2009 PPI PERANCIS Paris, 10 – 11 Oktober 2009

Assalamu’alaikum wr.wb, Salam sejahtera bagi kita semua, Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) PPI Perancis 2009 bertitiktolak dari sebuah ide sederhana untuk mengumpulkan berbagai pemikiran aktual dan inovatif yang berkembang diantara para pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi/riset S2 dan S3 di berbagai belahan dunia. Seiring dengan bergulirnya waktu, betapapun sederhana sebuah ide, ternyata tidak mudah untuk merealisasikannya ditengah kesibukan studi, keterbatasan dana dan personil. Dari 44 karya tulis yang dilombakan, ditambah dengan belasan paper lainnya yang masuk ke Panitia OKTI, setidaknya dari 16 negara, kita segera dapat menyimpulkan 2 (dua) hal : pertama, adanya antusiasme yang besar dari pelajar Indonesia untuk mengikuti OKTI, serta kedua, adanya intellectual reserve yang sangat kaya yang sudah seharusnya dikapitalisasi secara sistematis. Antusiame dan intellectual reserve dari para pelajar Indonesia di manapun berada , generasi muda harapan bangsa inilah yang kita yakini dapat meningkatkan proses dan produk pembangunan Indonesia yang lebih berkualitas pada masa mendatang. Untuk itulah kami memberanikan diri untuk menjadikan kumpulan karya tulis dalam Proceeding OKTI PPI Perancis 2009 sebagai pijakan dan sumber gagasan kreatif dan inovatif yang layak untuk direkomendasikan bagi kabinet pembangunan Republik Indonesia yang akan segera terbentuk. Proceeding ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya ungkapan terimakasih yang tulus kami sampaikan kepada KBRI Paris atas dukungannya yang penuh dan bulat, Ikatan Alumni Perancis Indonesia (IAPI) atas dorongan semangat, para juri spesialis yang berjumlah 45 orang sejak seleksi tahap awal hingga tahap final, para sponsor kegiatan, para perwakilan 16 PPI se dunia yang telah berpartisipasi secara aktif, serta Panitia OKTI yang penuh determinasi. Akhirnya, kami berharap bahwa Proceeding OKTI PPI Perancis dapat menjadi loncatan kecil yang akan terus bergulir sebagai bagian dari sebuah perubahan besar bangsa Indonesia di masa mendatang. Maju terus pelajar Indonesia, maju terus bangsa Indonesia! Paris, 10 Oktober 2009

Endra Saleh Atmawidjaja Ketua PPI Perancis 2008/2009 v

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Daftar Isi Sambutan Ketua IAPI…………………………………………………………………….…… i Sambutan KUAI KBRI Paris………………………………………………………………… iii Sambutan Ketua PPI Perancis……………………………………………….………..……… v Daftar Isi……………………………………………………………………………...……….vi Bab I……………………………………………………………………………...……..…..… 1 Sub Kategori : Sains Dasar (Paper yang Lolos Presentasi Final)…………………….….… 2 1. Metode Volume Hingga dan Terapannya pada Masalah Bendungan-Bobol………... 3 2. Protein Lectin yang Berkelimpahan pada Tanaman Model Arabidopsis thaliana sebagai Sistem Pertahanan Tanaman Melawan Patogenik Nematoda…………...……..14 3. Bioinformatika sebagai Ilmu Bantu pada Eksperimen Biologi Molekuler…….……..23 4. Superkritis Karbon Dioksida–Cosolvent sebagai Alternatif Media Pemrosesan Biopolimer Polilaktida dalam Menanggulangi Permasalahan Lingkungan................30 5. Analisis Fasies Hidroakustik di Cekungan Mentawai, Indonesia...................................65 Sub Kategori : Sains Dasar (Paper yang Tidak Lolos Presentasi Final)……………………81 1. Arus Lintas Indonesia: Proxy untuk Prediksi Perubahan Iklim Regional dan Global (Indonesian Throughflow (ITF): A Proxy for Regional and Global Climate Prediction).........................................................................................................82 Sub Kategori : Sains Terapan (Paper yang Lolos Presentasi Final).......................................90 1. Penerapan Sistem Komunikasi Gelombang Milimeter dengan Menggunakan Adaptive Coded Modulation dan Diversity Guna Memenuhi Kebutuhan Akses Data Kecepatan Tinggi di Indonesia................................................................................91 2. Karakteristik Energi dari Limbah Jarak Pagar (Jatropha Curcas) sebagai Pengembangan Produksi Bio-Coal................................................................................103 3. Ketersediaan Enzim Selulase Sumber Lokal Melalui Rekayasa Genetika untuk Mendukung Produksi Bioetanol dari Limbah Lignoselulosa Perkebunan.......109 4. Pengaruh Porphyrin terhadap Modifikasi Histon Post-Translasional Pengamatan Terhadap Termal Denaturasi di Tingkat Makromolekul Nukleosom dalam Kondisi Tanpa dan Irradiasi Cahaya Tampak................................121 5. Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Nasional dengan Menggunakan Material Ramah Lingkungan dari Sampah Industri Kelistrikan dan Logam Nasional.............137 6. Prediksi Permeabilitas Berdasarkan Model Kapiler......................................................146 7. Catatan Ringkas Tentang Hama Wereng Coklat dan Ganjur serta Metode Pengendalian Terpadu yang Ramah Lingkungan.........................................................163 8. Electrohydrodynamic (EHD) Inkjet Printing menjadi Pendukung Perkembangan Teknologi Nano (Nano Technology) dan juga Sistem Mikro (Microsystem) atau MEMs (Micro Electro Mechanic Systems) Terutama di Indonesia………………………………………………………………………….170 Sub Kategori : Sains Terapan (Paper yang Tidak Lolos Presentasi Final)………………..166 1. Menuju Administrasi Indonesia Berbasis Sistem Informasi Terintegrasi……………167 2. Perbandingan Algoritma Pencocokan Fitur untuk Stereo Terpolarisasi Cahaya……179 3. Robot Cerdas Pencari dan Pemadam Api…………………………………………..195 vi

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

4. Optimalisasi Telepon Berbasis VOIP Memanfaatkan Bandwidth Jaringan Internet Menggunakan CODEC G.729..........................................................................208 5. Prediksi Jakarta Composite Indices (JCI 2009) pada Struktur Hybrid Neural Network dan Fuzzy System dengan Inisial Parameter Menggunakan Teknik Clustering……………………………………...…………………………....…..…….218 6. Konsep Baru Desain Handphone Cerdas Masa Depan..............................................237 7. Bahan Deteksi Kebuntingan ”Deea Gestdect” : Alternatif Metode Deteksi Kebuntingan Ternak dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Ternak Kambing di Indonesia……………..……………………….…………..…….247 8. Strategi Pengembangan Prosesor Tertanam (Embedded Processor) VLIW di Indonesia dlm Aplikasi Pengolahan Signal Memanfaatkan Perangkat FPGA…...254 9. Sistem Identifikasi Pola Sidik Jari dalam Membangun Kedisiplinan……….……….278 10. INSPIRE : Sebuah Inisiatif Wahana Nano-Satelit untuk Penelitian dan Pendidikan Mahasiswa Indonesia………………………………………….………..278 Bab II…………………………………………………………………………………..…….287 Sub Kategori : Sains Sosial, Hukum, dan Politik (Paper yang Lolos Presentasi Final)……..288 1. Ruang Perkotaan, Mobilitas dan Keberlanjutan: Studi Kasus Bandung Metropolitan, Indonesia………………………………………………………….….290 2. Menuju Penyelesaian Sengketa Ambalat : Sebuah Kajian Teknis dan Yuridis.…..302 3. Menguatkan Literasi untuk Memajukan Peradaban Multikultural di Indonesia.….316 4. Penanganan Secara Dini Penderita Dysprasia Melalui Proses Pelatihan Produksi Handwriting (Tinjauan dari Sudut Neuropsikolinguistik bagi Anak Usia Dini)……………………………………………………………………………326 5. Penggunaan Jaringan Nirkabel untuk Layanan Internet Broadband di Daerah dengan Kepadatan Penduduk Rendah……………………………………………….351 6. Bedside Care From Indonesian Nurse Perspectives: “Holistic Health Just An Attention Away”………………………………………………………..…..364 7. Pemetaan Relativitas Kepentingan Stakeholder dalam Kebijakan Sistem Tiket Terintegrasi pada Transportasi DKI Jakarta Dengan Menggunakan Metode DANA (Dynamic Actor Network Analysis)..................................................371 8. Electoral Conflict And The Maturity Of Local Democracy: Testing The Modernisation Hypothesis…………………………………………..…287

Sub Kategori : Sains Sosial, Hukum, & Politik (Paper yang Tidak lolos Presentasi Final)..303 1. Perlukah Peraturan Zonasi untuk Kawasan Rentan Banjir pada Kota-Kota Indonesia ?..................................................................................................................304 2. Embodying Humanistic Rationalisation in Optimising the Utilization of Intellectual Property Products in Indonesia……….………..……………………...……306 3. Sistem Pengambilan Keputusan Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi di Indonesia………………………………………………….………………..……..328 4. Pengelolaan Kawasan Perbatasan Berbasis Teknologi demi Beranda Depan yang Ideal....................................................................................................................344 5. Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Pemersatu Masyarakat Indonesia di Eropa dan Usaha untuk Menjadikannya sebagai Salah Satu Bahasa Asing yang Dikenal di Eropa………………………………………………….…………………357 6. Urgensi Wawasan Kebangsaan Bagi Pelajar Indonesia di Luar Negeri vii

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

(Usulan Kurikulum Pembinaan Kepada Pemerintah RI)……….…..……….……363 7. Studi Kultural dan Feminisme terhadap Permasalahan Perempuan dalam Germinal Karya Emile Zola (Pengarang Termahsyur Prancis pada Abad XIX)…………………………………………………………….…….………378 8. Kontribusi Pelajar Indonesia di Eropa untuk Menjawab Tantangan Masa Kini dan Masa Depan…………………………………………………...…..………393 9. Ruang Terbuka Publik Kota Berkelanjutan Tropis yang Aksesibel bagi Seluruh Masyarakat Kota……………………………………………………………402 10. Kajian Kata Serapan Bahasa Inggris Studi Kasus di Korea Selatan………………411 11. Ganyang Malaysia: Sebuah Strategi Kebudayaan…………………………………419 12. The Cultural Heritage Conflict Resolution: Learn From Pendet Dance Case..…..426 Bab III………………………………………………………………………………….……437 Sub Kategori : Sains Ekonomi (Paper yang lolos Presentasi Final)…………………….…..438 1. Wakaf Tunai sebagai Bentuk Pengembangan Pasar Modal Sosial……………….440 2. Bersatu Kita Teguh (Bukit): Menggalang Relasi dan Membina Jiwa Kewirausahaan Sejak Dini………………………………………………………..451 3. Memikirkan Kembali Konsep Corporate Governance: Kajian Kritis atas Kode Corporate Governance Indonesia…………………………………….461 4. Entry Threshold Ratio di Industri Telekomunikasi Indonesia dan Rekomendasi Pengembangan Teknologi Seluler Berbasis CDMA ke Depan………………………………………………………………….470 5. Peningkatan Perdagangan antara Indonesia & Rusia Bertolak dari Analisa Perdagangan Rusia Tahun 2002 – 2006……………………………..……………496 6. Tuaian Banyak Namun Pekerja Sedikit (Diangkat dari Case Study Perdagangan Internasional Turkey)………………………………………………519 7. ”Gross National Happiness” sebagai Model Indikator Pengambilan Kebijakan Pembangunan yang Bermartabat, Humanis, &Berwawasan Lingkungan…………………………………………………………………….…..521

Sub Kategori : Sains Ekonomi (Paper yang Tidak Lolos Presentasi Final)…………..…….536 1. Menemukan DNA Kepemimpinan Efektif Model Indonesia: Sebuah Studi Kepemimpinan Indigenous di Perusahaan-perusahaan Papan Atas Indonesia……………………………………………………………..……….547 2. Instabilitas Finansial, Prospek dan Tantangan Ekonomi Masa Depan : Dari Eropa untuk Indonesia......................................................................................549 3. Reformasi Keuangan Indonesia dalam Upaya Mengatasi Krisis Global..................561

viii

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

1

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

SUB KATEGORI : SAINS DASAR (1A) PAPER YANG LOLOS PRESENTASI FINAL

No

Nama Penulis

1. Sudi MUNGKASI

Judul Paper Metode Volume Hingga dan Terapannya pada Masalah Bendungan-Bobol

2. Maria Prihtamala Protein Lectin yang Berkelimpahan pada Tanaman Model OMEGA, Bosjan KOBE, Arabidopsis Sistem Pertahanan Tanaman Melawan Peer SCHENK Patogenik Nematoda 3. Arli Aditya PARIKESIT

Bioinformatika sebagai Ilmu Bantu pada Eksperimen Biologi Molekuler

4. Purba PURNAMA

Superkritis Karbon Dioksida–Cosolvent sebagai Alternatif Media Pemrosesan Biopolimer Polilaktida dalam Menanggulangi Permasalahan Lingkungan

5. Teuku Reiza YUANDA

Analisa Fasies Hidroakustik di Cekungan Mentawai, Indonesia

2

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Sub Kategori : Sains Dasar (1A) Judul : Metode Volume Hingga dan Terapannya pada Masalah BendunganBobol Sudi MUNGKASI PhD Candidate Department of Mathematics The Australian National University Canberra, ACT 0200 Australia Telp.: +61 413160408 e-mail: [email protected]

Abstract : There are so many dams in Indonesia as an agricultural country. Dam-break may result in a catastrophic collapse around the dam. Understanding the behaviour of water if dambreak happens is then important. In this paper, we solve dam-break problems using finite volume methods in the one-dimensional case. The mathematical equations called the shallow water equations governing the water flows and the analytical solution to dam-break problem are presented. Central-upwind method, one of finite volume methods, is tested to solve dam break problem. Keywords : finite volume methods, dam-break problem, shallow water equations

1. PENDAHULUAN Sebagai suatu negara agraris, Indonesia memiliki banyak bendungan untuk membantu pengairan. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan, misalnya gempa bumi, tanggul bendungan bisa saja bobol dan menyebabkan kerusakan wilayah di sekitarnya. Oleh sebab itu, pemahaman aliran air apabila bendungan bobol sangatlah penting. Hal ini dapat membantu menjawab bagaimana sebaiknya pembangunan bendungan ditempatkan, sehingga kerugian dapat dibuat sekecil mungkin apabila terjadi kebobolan bendungan. Masalah bendungan-bobol dengan topografi rata sudah ditemukan penyelesaian analitisnya. Penyelesaian masalah tersebut dengan topografi rata datar telah ditemukan sejak 1892 oleh Ritter untuk kasus yang sederhana (Ritter, 1892), sedangkan penyelesaian untuk rata miring telah dipaparkan oleh Chanson (2006). Dalam praktek yang sebenarnya hampir tidak ada suatu masalah bendungan-bobol dengan topografi yang rata sempurna. Dengan demikian, suatu metode yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah ini dengan topografi sembarang sangatlah diperlukan. Makalah ini memaparkan persamaan gelombang air dangkal atau cukup disebut Persamaan Air Dangkal (PAD) serta suatu metode numeris yang disebut Metode Volume Hingga (MVH). PAD adalah suatu persamaan matematis yang menjelaskan masalah aliran air termasuk 3

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

masalah bendungan-bobol. MVH adalah suatu metode numeris yang dapat digunakan untuk menyelesaikan PAD dengan sembarang topografi. Agar sederhana, pembahasan dalam makalah ini terbatas pada masalah-masalah satu dimensi, yang artinya hanya vektor dengan arah ke kanan/kiri yang dimodelkan, sedang arah ke depan/belakang dan ke atas/bawah tidak ikut dimodelkan. PAD merupakan suatu model yang diperoleh berdasarkan perpindahan massa, momentum, dan energi, yang ketiganya merupakan kuantitas-kuantitas kekal. Persamaan ini membentuk suatu sistem hiperbolik nonlinier dan mampu memberikan penyelesaian diskontinu meskipun keadaan awalnya halus. Terapan PAD cukup banyak, meliputi: bendungan-bobol, perambatan tsunami, aliran air sungai, dan lain-lain. Untuk mendapatkan penyelesaian eksak secara analitis sering kali sangatlah sulit. Oleh karena itu, metode-metode numeris termasuk MVH telah dikembangkan. MVH didasarkan pada bentuk integral hukum kekekalan. Metode ini memecah-mecah domain menjadi banyak sel dan mengambil nilai pendekatan rata-rata kuantitas dalam setiap sel. Di setiap waktu, nilai-nilai tersebut diperbarui oleh pendekatan flux pada setiap ujung sel. Keakuratan metode ini sangat bergantung pada fungsi flux numeris yang memberikan pendekatan flux yang sesungguhnya sebaik mungkin. Tujuan makalah ini adalah untuk menerapkan MVH pada penyelesaian bendungan-bobol. Hukum kekekalan massa dan kekekalan momentum digunakan pada PAD dalam makalah ini untuk memodelkan profil air dangkal. Selain itu, metode central-upwind yang merupakan salah satu jenis MVH akan diuji untuk menyelesaikan masalah bendungan-bobol. Selanjutnya, penampilan metode numeris ini dianalisis secara kuantitatif dari kesalahan yang dihasilkan. Analisis kualitatif juga dilakukan dengan membandingkan grafik penyelesaian numeris dengan grafik penyelesaian analitis. Untuk selanjutnya, makalah ini tersisa empat bab, yaitu Bab 2 hingga Bab 5. Bab 2 memaparkan sistem persamaan air dangkal dan memberikan penyelesaian analitis masalah bendungan-bobol untuk topografi rata datar. Bab 3 menjelaskan bagaimana proses penurunan MVH. Hasil simulasi masalah bendungan-bobol selanjutnya diberikan dalam Bab 4. Sebagai penutup, kesimpulan dituliskan dalam Bab 5.

2. PERSAMAAN AIR DANGKAL DAN MASALAH BENDUNGAN-BOBOL Bab ini terdiri atas dua seksi. Seksi pertama menjelaskan notasi-notasi yang digunakan dalam persamaan-persamaan matematis serta menyatakan bentuk PAD. Seksi kedua membahas masalah bendungan-bobol. 2.1 Persamaan Air Dangkal Aliran air dangkal dapat digambarkan seperti tampak pada Gambar 1. Notasi yang digunakan adalah sebagai berikut: x mewakili jarak yang ditempuh aliran, t mewakili variabel waktu, z (x) adalah topografi di titik x, h( x, t ) adalah ketinggian air di titik x pada waktu t, w  z  h disebut dengan stage, dan u ( x, t ) mewakili kecepatan aliran di titik x pada waktu t. PAD yang juga terkenal dengan nama sistem Saint-Venant merupakan sistem dua persamaan 4

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

simultan yang terdiri atas hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum, secara berturut-turut diberikan sebagai berikut : ht  (hu ) x  0,  (1)  (hu ) t  (hu 2  12 gh 2 ) x   ghz x .  Dalam bentuk vektor, PAD (1) dapat ditulis sebagai qt  f (q ) x  S dengan kuantitas q, flux f (q ) , dan sumber S diberikan oleh hu    0  h  . q    , f (q )   2 1 2  , dan S   (2)  hu    ghz x   hu  2 gh 

Gambar 1. Aliran Air Satu Dimensi

Gambar 2. Keadaan Awal Suatu Bendungan dengan Dua Bagian yang Berbeda.

2.2 Masalah Bendungan-Bobol Menyelesaikan masalah bendungan-bobol artinya adalah menentukan aliran yang disebabkan 5

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

oleh bobolnya bendungan secara tiba-tiba. Penyebab bobolnya bendungan ini bisa karena usia bendungan yang sudah tua disertai tidak kuatnya tanggul bendungan menahan air dengan volume yang terlalu besar, atau bisa saja karena disertai gempa bumi. Diasumsikan bahwa suatu bendungan terdiri atas dua bagian dengan ketinggian air yang lebih rendah pada bagian kanan seperti tampak pada Gambar 2, dan diasumsikan pula bahwa air pada kedua sisi dalam keadaan diam pada saat awal ( t  0 ). Secara matematis, kondisi awal ini dapat dituliskan sebagai berikut  h1 jika x  x0 u ( x,0)  0 and h( x,0)   (3) h0 jika x  x0 dengan catatan bahwa h1  h0  0 . Pada saat t  0 , dinding dam secara spontan bobol dan menyebabkan mengalirnya air yang lebih tinggi ke sisi yang lebih rendah pada waktu berikutnya. Profil aliran dalam makalah ini terdiri atas ketinggian air, momentum dan kecepatan di titik x sembarang dan pada waktu t sembarang. Penyelesaian analitis masalah tersebut dengan x0  0 , h0  0 , dan h1  0 pertama kali ditemukan oleh Ritter (1892). Beberapa penulis misalnya Jakeman (2006), Mungkasi (2008) dan Stoker (1957) juga membahas penyelesaian masalah analitis bendungan-bobol, yang mana penyelesaiannya dapat dituliskan sebagai h1 , x  t gh1  2  h( x)  h3  94g gh1  2xt ,  t gh1  x  2t gh1 (4)  , x  2t gh1 0 dan 0 , x  t gh1  u ( x)  u3  23 gh1  xt ,  t gh1  x  2t gh1 (5)  , x  2t gh1 0 untuk setiap waktu t  0 . Lebih lanjut, penyelesaian analitis masalah di muka dengan x0  0 dan h1  h0  0 dapat dinyatakan sebagai









h1 ,  2 h3  4 gh1  x , 9 g 2 t  h( x )   2 h2  h20  1  8ghS20  1 ,    h ,  0 dan 0  u 3  23 gh1  xt  u ( x)   gh  8S 2  u 2  S 2  4 S02 1  1  gh20     0









x  t gh1



 t gh1  x  t u 2  gh2



 (6)



t u 2  gh2  x  tS 2 x  tS 2 ,

x  t gh1

,

 t gh1  x  t u 2  gh2

,

t u 2  gh2  x  tS 2

,

x  tS 2







 (7)

untuk setiap waktu t  0 . Di sini kecepatan gelombang shock S2 bernilai konstan dan 6

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

diberikan oleh persamaan 1

S 2  2 gh1 

gh0 4S2

1  1  8 S 22    2 gh 1  8 S 22  2 gh  2 .   0 0 gh0  gh0    

(8)

3. METODE VOLUME HINGGA Bab ini berisi tentang MVH untuk menyelesaikan PAD secara numeris. Rumusan pendekatan hukum kekekalan dipergunakan untuk menurunkan skema umum MVH. Perlu diketahui bahwa MVH dapat dipergunakan untuk menyelesaikan hukum kekekalan dan sistem hiperbolik secara umum. Dipandang PAD (1) dengan z x  0 . Suatu MVH didasarkan pada pemecah-mecahan domain ruang menjadi banyak sel, dan terus menerus memantau pendekatan integral kuantitas q pada setiap sel tersebut (LeVeque, 2004: pp. 64-65). Sel ke-i dinotasikan dengan Ci  ( xi 1 / 2 , xi 1 / 2 ) (9) yang merupakan suatu interval dari xi 1 / 2 hingga xi 1 / 2 . Nilai Qin mewakili pendekatan nilai rata-rata kuantitas q pada interval ke-i pada waktu t n , yaitu 1 Qin  q ( x, tn ) dx (10) x Ci dengan x  xi 1 / 2  xi 1 / 2 adalah panjang sel. Notasi Fi n1 / 2 digunakan sebagai pendekatan untuk rata-rata flux di titik x  xi 1 / 2 , yaitu 1 t n1 Fi n1 / 2   f q ( xi 1 / 2 , t )  dt (11) t t n dengan t  tn 1  tn merupakan satu langkah waktu.

Gambar 3. Pembaharuan Nilai Qin Disebabkan oleh Flux di Ujung-ujung Sel. Digambarkan dalam Ruang x-t. Karena massa total dalam sel ini berubah hanya bergantung pada flux di ujung-ujung sel seperti tampak pada Gambar 3, kita dapatkan persamaan

7

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

d q ( x, t ) dx  f q ( xi 1 / 2 , t )   f q ( xi 1 / 2 , t )  . (12) dt Ci Pengintegralan persamaan (11) terhadap variabel waktu dari tn hingga tn 1 menghasilkan



Ci

q ( x, t n 1 ) dx   q ( x, t n ) dx   Ci

t n 1

tn

f q ( xi 1 / 2 , t )  dt  

t n 1

tn

f q ( xi 1 / 2 , t )  dt .

(13)

Dengan sedikit manipulasi aljabar dan pembagian oleh x diperoleh bentuk t n 1 1 1 1  t n1 q ( x, tn 1 ) dx  q ( x, tn ) dx  f q ( xi 1 / 2 , t )  dt   f q ( xi 1 / 2 , t )  dt  , (14)     tn x Ci x Ci x  t n yang juga dapat ditulis t n Qin 1  Qin  Fi 1 / 2  Fi n1 / 2 (15) x menurut notasi yang diberikan oleh (9) dan (10). Bentuk (14) merupakan bentuk diskritpenuh; bentuk setengah-diskrit yang berkaitan dengan bentuk ini adalah d xi Qin  Fi n1 / 2  Fi n1 / 2  0 . (16) dt





4. SIMULASI MASALAH BENDUNGAN-BOBOL Bab ini menyajikan hasil simulasi berdasarkan teori yang diberikan dalam Bab 2 dan Bab 3. Terdapat dua seksi yang akan disajikan, yaitu hasil simulasi bendungan-bobol dengan topografi rata datar dan hasil simulasi dengan topografi tidak rata. Secara garis besar, flux-flux dalam semua simulasi dihitung menggunakan rumusan centralupwind menurut Kurganov, dkk. (2001). Sebagai tambahan, apabila ditemukan suatu topografi yang tidak rata, yaitu z x  0 , MVH yang terimbang dengan baik atau biasa disebut wellbalanced finite volume methods menurut Audusse, dkk. (2004) dan Noelle, dkk. (2006) diterapkan. Semua simulasi dilakukan menggunakan metode berorde dua dengan pembatas lereng minmod; air dengan ketinggian lebih rendah dari 10 6 m tidak dimasukkan dalam perhitungan flux; bilangan CFL  1.0 . Selain itu, stage w  z  h dan momentum p  hu dianggap kekal. Error dalam perhitungan dikuantifikasi dengan rumus 1 N E   qi  Qi (17) N i 1 dengan N adalah banyaknya sel, serta qi dan Qi secara berturut-turut adalah nilai eksak kuantitas dan nilai pendekatannya untuk sel ke-i. Satuan besaran yang digunakan adalah Sistem Internasional (SI). 4.1 Simulasi Bendungan-Bobol dengan Topografi Rata Datar Dipandang suatu masalah bendungan-bobol dengan keadaan awal 0 , jika 0  x  500  u ( x,0)  0 dan w( x,0)  10 , jika 500  x  1500 5 , jika 1500  x  2000 

(18)

dengan topografi rata datar seperti tampak pada Gambar 4. Dalam hal ini, z  0 dan h  w . Keadaan awal tersebut menyatakan bahwa terdapat dua tanggul bendungan, yang satu terdapat pada posisi 500 m dan yang satunya pada posisi 1500 m dari acuan. Ada tiga bagian dalam 8

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

gambar dengan tinggi air berbeda: sisi kiri adalah sisi kering, bagian tengah mempunyai ketinggian air 10 m dan sisi kanan mempunyai ketinggian air 5 m. Pada saat t  0 , kedua tanggul bobol. Selanjutnya simulasi dikerjakan untuk memperoleh gambaran gerak air di sembarang titik x dan sembarang waktu t. Gambar 5 menunjukkan hasil simulasi 20 detik setelah bendungan bobol dengan panjang sel seragam x  5 . Dalam simulasi ini didapatkan error untuk stage, momentum dan kecepatan secara berturut-turut sebesar 0,028; 0,260; dan 0,606. Nampak pada gambar bahwa ada gelombang yang bergerak ke kiri dan bergerak ke kanan menuju ke arah air yang lebih rendah. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa penyelesaian numeris terjadi penyebaran (difusi) pada batas antara wilayah kering dan wilayah basah. Selain itu, terjadi pula ketidak-akuratan penyelesaian numeris di sekitar sudut-sudut seperti nampak pada gambar. Hal-hal tersebut merupakan kekurangan metode numeris dalam menyelesaikan masalah.

Gambar 4. Keadaan awal bendungan topografi rata datar dengan tiga bagian yang berbeda. Tanggul dan topografi digambar dengan garis tebal, permukaan air dengan garis putus-putus.

9

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Gambar 5. Hasil Simulasi setelah 20 Detik Bendungan Bobol Topografi Rata Datar. Metode Menggunakan x  5 . Namun demikian, kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi dengan menetapkan panjang sel x yang lebih kecil dengan catatan perhitungan matematis menjadi lebih banyak sehingga simulasi menjadi lebih lama. Sebagai contoh adalah Gambar 6, yang menunjukkan hasil simulasi dengan panjang sel seragam x  1 . Error untuk stage, momentum dan kecepatan dalam simulasi ini secara berturut-turut adalah sebesar 0,006; 0,057; dan 0,497. Jelas bahwa error yang dihasilkan dalam simulasi ini jauh lebih kecil dibandingkan hasil simulasi sebelumnya. Tampak pula dalam gambar bahwa gelombang yang bergerak ke kanan dapat dikontruksi oleh penyelesaian numeris yang dihasilkan oleh MVH dengan tepat. Hal ini adalah kelebihan MVH yang dapat menghasilkan penyelesaian akurat untuk gelombang shock. Keakuratan ini disebabkan oleh penurunan MVH yang didasarkan pada bentuk integral hukum-hukum kekekalan sebagaimana dijelaskan dalam persamaan (8)-(15). Pada gambar ini juga tampak bahwa penyebaran penyelesaian numeris masih terjadi di sekitar perbatasan kering dan basah. Hal ini bisa terjadi karena flux yang diperhitungkan dalam simulasi adalah hanya flux dari sel-sel yang mempunyai ketinggian air minimum 10 6 m.

10

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Gambar 6. Hasil Simulasi setelah 20 Detik Bendungan Bobol Topografi Rata Datar. Metode Menggunakan x  1 . 4.1 Simulasi Bendungan-Bobol dengan Topografi Tidak Rata Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab 1, masalah bendungan-bobol dengan topografi rata, sudah ditemukan penyelesaian analitisnya. Akan tetapi, jika topografinya tidak rata, berlekuk-lekuk, atau bahkan diskontinu, masalah bendungan-bobol hanya mungkin dicari penyelesaiannya menggunakan metode numeris. Sebagai contoh masalah bendungan-bobol dengan topografi tidak rata adalah sebagai berikut. Dipandang suatu keadaan awal (18) dengan topografi diberikan oleh 1,6  10 5 x 2 , jika 0  x  500  z ( x)  4,5  10 3 x , jika 500  x  1500 (19)  1,2  10 5 x 2  3,6  10  2 x  24 , jika 1500  x  2000 .  Masalah ini diilustrasikan seperti tampak pada Gambar 7.

11

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Gambar 7. Keadaan Awal Bendungan Topografi Tidak Rata dengan Tiga Bagian yang Berbeda. Tanggul dan Topografi Digambar dengan Garis Tebal, Permukaan Air dengan Garis Putus-putus.

Gambar 8. Hasil Simulasi setelah 20 Detik Bendungan Bobol Topografi Tidak Rata. Metode Menggunakan x  1 . Topografi Digambarkan dengan Titik-titik. Setelah 20 detik bendungan bobol, hasil simulasi gerakan air menggunakan MVH dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil ini tentu saja berbeda dengan hasil pada Gambar 5 dan Gambar 6. Perbedaan mencolok adalah profil air di sekitar titik x  500 . Setelah air melalui titik x  500 , air bergerak lebih cepat dari pada gerakan pada topografi rata datar.

5. KESIMPULAN Makalah ini telah memaparkan Metode Volume Hingga (MVH) dan terapannya pada masalah 12

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

bendungan-bobol. MVH didasarkan pada bentuk integral hukum-hukum kekekalan sehingga cukup akurat dalam menyelesaikan Persamaan gelombang Air Dangkal (PAD) yang sering kali melibatkan gelombang shock. Keakuratan ini merupakan alasan utama mengapa MVH adalah metode yang cocok untuk menyelesaikan masalah bendungan-bobol. Dengan ditemukannya penyelesaian masalah tersebut, gerakan air dapat diprediksi sehingga dapat membantu perencanaan pembangunan bendungan dengan baik. Dengan demikian, apabila benar-benar terjadi bendungan-bobol, kerugian yang diakibatkan dapat diminimalkan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Assoc. Prof. Stephen Roberts (Australian National University) atas bimbingan yang diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Sebastian Noelle (RWTH Aachen University), John Jakeman (Australian National University), dan Hendra Gunawan Harno (University of New South Wales) atas diskusidiskusi yang sangat berguna dalam penelitian ini.

REFERENSI Audusse, E., Bouchut, F., Bristeau, M. O., Klein, R., and Perthame, B. (2004) A fast and stable well-balanced scheme with hydrostatic reconstruction for shallow water flows, SIAM Journal of Scientific Computing, Vol. 25 No.6, 2050–2065. Chanson, H. (2006) Analytical solutions of laminar and turbulent dam break wave, River Flow, Taylor & Francis Group, London, 465–474. Jakeman, J. (2006) Honours Thesis: On Numerical Solutions of the Shallow Water Wave Equations, The Australian National University, Canberra. Kurganov, A., Noelle, S., and Petrova, G. (2001) Semidiscrete central-upwind schemes for hyperbolic conservation laws and hamilton-jacobi equations, SIAM Journal on Scientific Computing, Vol. 23 No. 3, 707–740. LeVeque, R. J. (2004) Finite-Volume Methods for Hyperbolic Problems, Cambridge University Press, Cambridge. Mungkasi, S. (2008) Masters Thesis: Finite Volume Methods for the One-Dimensional Shallow Water Equations, The Australian National University, Canberra. Noelle, S., Pankratz, N., Puppo, G., and Natvig, J. R. (2006) Well-balanced finite volume schemes of arbitrary order of accuracy for shallow water flows, Journal of Computational Physics, Vol. 213, 474–499. Ritter, A. (1892) Die fortpflanzung der wasserwellen, Zeitschrift des Vereines Deutscher Ingenieure, Vol. 36, No. 33, 947–954. Stoker, J. J. (1957) Water Waves: The Mathematical Theory with Application, Interscience Publishers, New York.

13

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

Sub Kategori

: Sains Dasar (1A)

Judul : Protein Lectin yang Berkelimpahan pada Tanaman Model Arabidopsis thaliana sebagai Sistem Pertahanan Tanaman Melawan Patogenik Nematoda Maria-Prihtamala OMEGA PhD student School of Biological Science Faculty of Science University of Queensland St. Lucia Brisbane QLD Australia 4072 Tel: +61-07-38708673 e-mail: [email protected] om

Bosjan KOBE Professor in Structural Biology School of Chemistry and Molecular Science Faculty of Science University of Queensland St. Lucia Brisbane QLD Australia 4072 Tel: +61-07-33652132 e-mail: [email protected]

Peer SCHENK Senior Lecturer in Gene Biodiscovery School of Biological Science Faculty of Science University of Queensland St. Lucia Brisbane QLD Australia 4072 Tel: +61-07-33658817 e-mail: [email protected]

Abstract: Lectin adalah glikoprotein yang mengenali dan mengikat karbohidrat secara spesifik. Lectin ini berperan dalam berbagai fungsi biologis, seperti sistem pertahanan tanaman, penyimpanan protein, perkecambahan biji, dan interaksi antara tanaman dan mikroba. Lectin 3.1 (At3g15356) adalah protein yang ditemukan dalam tanaman model Arabidopsis thaliana, dan tersusun secara teratur dalam sistem imunitas tanaman, terutama dalam meresponi jalur metil ester jasmonate (MJ). Gen ini juga memiliki keterikatan homologis antara domain beta lectin dan protein ditemukan pada kacang-kacangan. Selanjutnya, tujuan dari proyek ini adalah untuk mengkarakterisasi struktur dan fungsi protein lectin ini menggunakan spektrum CD (circular dicroism) dan X-ray kristalografi. Rantaian asam deoksiribonuklat (ADN) dari lectin ini dimodifikasi secara genetika dengan promoter gen 35S untuk mendapatkan over-ekspresi dari gen lectin dan dapat menunjukkan fenotipe yang jelas. Dua protein yang diamati pada gel protein (SDS-PAGE dengan pewarnaan Coomassie) menunjukkan dua isoform dari lectin protein 3.1 yaitu dua protein yang sama karena memiliki rangkaian asam amino yang sama pada N-terminalnya namun protein yang berukuran lebih besar adalah protein yang terglikolisasi sedangkan yang lebih kecil adalah protein yang tidak terglikolisasi. Tanaman yang mengekspresikan lectin 3.1 memiliki resistensi terhadap penyakit cacing (nematode Meloidogyne incognita) dan dapat mengatasi kerugian hasil panen akibat penyakit cacingan ini sejumlah rata-rata 100 miliar dolar per tahun. Hal ini juga membuktikan bahwa tanaman yang mengekspresikan lectin 3.1 memiliki perlawanan terhadap infeksi cacing karena lectin 3.1 dapat mengikat gugus karbohidrat fukosa secara spesifik yang terdapat pada permukaan usus nematoda. Kata kunci : A. thaliana, struktur & fungsi lectin, resistensi

14

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

1. PENDAHULUAN Lectin adalah glikoprotein yang mengikat residu gula/karbohidrat secara reversibel dan spesifik, dapat ditemukan pada hewan, tumbuhan dan mikroorganisme (Hartmann, M. dkk., 2006). Kajian ilmiah yang terbaru menunjukkan bahwa lectin dalam tanaman sangat penting dalam interaksi dengan protein-protein lainnya melalui reseptor kinase dan ligan RGD (Gouget, A. dkk., 2006). Selain itu, mannose-lectin dalam intraselular terletak di dalam Golgi dan ER-mannose-fosfat reseptor tipe-P dan termasuk dalam keluarga lectin yang dapat mengikat ligan oligosakarida, serta protein ini dapat berfungsi jika berada di dalam pH asam agar dapat dilepaskan dalam lisosom yang juga berpH asam (Sharon, N. dan Lis, H., 2004). Sebuah studi lain melaporkan bahwa lectin dapat berfungsi sebagai anti-nematoda (Burrows, PR, et al., 1998). Percobaan lainnya telah menemukan akar tanaman tomat yang memiliki ekspresi lectin tipe Concanavalin A (Con A) atau Limax flavus agglutinin sehingga tomat tersebut memiliki resistensi tehadap cacing M. incognita (Marban-Mendoza, N., dkk., 1987). Namun, setelah bertahun-tahun, temuan ilmiah tentang peran lectin dalam perlawanan terhadap M. incognita masih terbatas. Selanjutnya, Urwin, PE, (1997) dan Sijmons, PC, (1991) telah menemukan interaksi antara lectin dengan beberapa spesies nematoda tanaman. Penelitian lainnya telah mengidentifikasi struktur lectin yang diekstrak dari 80 spesies tanaman dan hewan sehingga dapat ditentukan fungsi biologis dari lectin tersebut. Salah satu contohnya, de Oliveira, ML, dkk., (2003) mengungkapkan struktur sekunder dari lectin melalui circular dichroism, yaitu 10% α-helix, 38% β-sheet, 28% supercoil, dan 6% dari konformasi prolin. Kristal struktur tersier dari Album viscum menunjukkan bentuk heksagonal lectin yaitu pada 1.9 Ǻ, kristal lectin tersebut dapat mengikat substrat tertentu yakni adenine ribonukleat (Krauspenhaar, R., dkk., 2002) dan pada 2.8 Ǻ, kristal tersebut juga menunjukkan aktivitas glycosidase ribonukleat agar dapat mengikat galaktosa (Krauspenhaar, R. dkk., 1999). Namun, struktur dan fungsi lectin yang diekstrak dari Arabidopsis thaliana belum dapat diketahui. Oleh karena itu, percobaan ini dilakukan untuk memecahkan struktur protein dan mengetahui fungsi lectin protein dari Arabidopsis thaliana. Eksperimen ini juga mempelajar ttudi fungsional yang membandingkan fungsional lectin protein dari Arabidopsis thaliana yang dapat mengikat berbagai jenis residu gula serta interaksinya melawan cacing M. incognita.

2. BAHAN DAN METODE 2.1 Ekstraksi RNA dari Arabidopsis thaliana Sebuah protokol dari Promega (SV Sistem Isolasi ribonukleat/RNA) digunakan untuk menekstrak ribonukleat dari tanaman. RNA tersebut digunakan untuk polymerase chain reaction/PCR untuk menghasilkan rantaian deoksirobukleat/DNA. 2.2 Transformasi pada tanaman Produk PCR tersebut dimasukkan ke dalam plasmid pKEN dan dapat dipotong dengan enzim EcoR1 serta plasmid tersebut berisi promotor D35S sehingga dapat digunakan untuk cloning gen yang diperbanyak dalam bakteri E. coli. Gen tersebut lalu dimasukkan ke dalam Agrobacterium tumefaciens menggunakan metode elektroporasi, bakteri-bakteri itu kemudian 15

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

dikembangbiakkan dalam media LB. Agrobacterium tumefaciens yang telah dimasukkan gen lectin lalu dimasukkan ke dalam Arabidopsis thaliana dengan metode pencelupan bunga. Bunga A.thaliana yang telah berisi kloning (gen lectin) ditumbuhkembangkan sampai tumbuh dewasa selama 5 minggu. Tanaman Arabidopsis dikembangbiakkan dalam skala besar dengan atau tanpa induksi methyl jasmonate (MJ), tanaman tersebut dikembangbiakkan dalam laboratorium CSIRO di dengan di bawah sinar lampu selama 8 jam/hari. Setelah 5 minggu, tanaman A.thaliana yang dikembangbiakkan tanpa induksi MJ dipanen sehingga protein lectin dapat diekstraksi dan dimurnikan. Tanaman yang diinduksi dengan MJ dipanen 5 hari sebelum waktu panen alaminya (Chen, Y. dkk., 2002). 2.3 Sodium dodecyl sulfat/Polyacrylamide gel elektroforesis Elektroforesis gel protein lectin menggunakan 12% Polyacrylamide gel yang dilakukan pada sistem penyangga basa atau pracetak gel elektroforesis dengan menggunakan gel 4-12% dari NuPage (Invitrogen) serta dapat juga digunakan untuk menentukan ukuran molekul protein tersebut. 2.4 Circular Dichroism (CD) Hasil data CD diambil pada mesin Jasco J-710 menggunakan spectropolarimeter nitrogen terus-menerus berpendar. Hasil CD spektrum kemudian dianalisis dengan menggunakan program K2D dan dibandingkan dengan menggunakan program Psipred dan DSSP. 2.5 Kristalisasi lectin Kristalisasi lectin dilakukan dengan menggunakan drop difusi dengan metode penguapan (Kit yang digunakan adalah Hampton Indeks I, Hampton Indeks II, Emerald Wizard I, Emerald Wizard II dan Emerald Biosystems) pada suhu 4°C dan suhu ruang (untuk menentukan konsentrasi protein dan kondisi kristal). Kristal skrining dan optimasi (Mishra, V., dkk., 2004; Mishra, V., dkk., 2005) tersebut dilakukan selama 1-2 minggu sebelum x-ray kristalografi. 2.5.1 Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan pada kristalografi sinar-X di Institute of Molecular Bioscience, UQ. 2.6 Fungsional Assay Telur cacing M. incognita diperoleh dari Departemen Industri dan Perikanan Queensland, Australia. Telur tersebut dipanen dari tanaman tomat yang kemudian disimpan pada 10-11°C sebelum inokulasi ke akar Arabidopsis. Jumlah tanaman Arabidopsis yang digunakan adalah 90, yang terdiri dari tiga pengulangan dari tiga perlakuan. Kelompok pertama adalah tanaman liar (tanpa perlakuan), kelompok kedua adalah tanaman transgenik yang mengekspresikan gen lectin, dan kelompok ketiga adalah tanaman yang tidak mengekspresikan gen lectin (kontrol negative). Akar tanaman Arabidopsis diinfeksi telur nematode dengan menggunakan pipet. Jumlah telur yang dipilih adalah jumlah telur yang dapat menginfeksi tanaman, dan umumnya hanya setengah dari total jumlah telur tersebut yang akan menetas. Tanaman Arabidopsis yang diinfeksi telur nematode, harus berumur 2 minggu dan dikembangbiakkan dalam tanah dari University of California (UCmix), dalam sebuah kondisi cahaya inkubator selama 8 jam setiap hari. Selanjutnya, pemanenan telur nematoda dilakukan setelah satu siklus hidup cacing. enam minggu setelah infeksi. Akar tanaman dicuci dalam air mengalir dan diikuti oleh pencucian dengan 1% sodium hipoklorit (NaClO). Penghitungan nematoda telur-telur tersebut dilakukan di bawah mikroskop cahaya pada gelas kaca slides. 16

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

2.7 Real-Time PCR Sebuah protokol dari Promega (SV Sistem Isolasi ribonukleat/RNA) digunakan untuk menekstrak ribonukleat dari tanaman. RNA tersebut digunakan untuk menghasilkan rantaian DNA dan dilanjutkan dengan real-time PCR. 2.7.1 Sintesis cDNA dan real-time PCR Total jaringan yang diisolasi dari Arabidopsis adalah 100 mg, lalu diekstraksi dengan menggunakan Promega™ SV isolasi RNA kit. Real time-kuantitatif-PCR dan analisis dari sampel cDNA dilakukan di School of Chemistry and Microbial Siences, University of Queensland. Analisis dilakukan pada mesin ABI 384-ABI PRISM© 7900 HT (Applied Biosystems). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Berat Molekul Protein Lectin Berat molekul protein lectin dari Arabidopsis thaliana, yang termasuk dalam keluarga lectin yang berasal dari kacang-kacangan, disajikan di bawah ini.

Gambar 1. Gel protein (SDS-PAGE) yang menunjukkan berat molekul protein lectin Pada gambar 1, berat molekul dari kedua protein lectin yang terglikosilasi ini muncul dalam tanaman mengekspresikan lectin (baris/lines 17, 20, 22, 24, 29) dan dari tanaman yang diberi perlakuan dengan MJ (baris 8 dan 9). Pada E. coli (baris T), ditemukan gumpalan protein dalam bentuk inklusi (tidak larut dalam fraksi). Kedua protein tersebut menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul yang lebih besar adalah protein yang terglikosilasi sedangkan protein yang berukuran lebih kecil adalah protein yang tidak terglikosilasi namun kedua protein tersebut adalah protein sejenis karena memiliki rantaian asam amino yang sama pada N-terminalnya (VKFNDS).

17

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

3.2 Circular Dichroism (CD) CD spectra for Arabidopsis plant without MJ

50

30 20 10 0 28 0 27 4 26 8 26 2 25 6 25 0 24 4 23 8 23 2 22 6 22 0 21 4 20 8 20 2 19 6 19 0 18 4

CD values (absorbance)

40

-10 -20 -30

wavelength (nm)

Gambar 2. CD Spektrum Protein Lectin dari Tanaman Arabidopsis tanpa Induksi MJ Gambar 2 menunjukkan CD spektrum protein lectin yang menunjukkan struktur sekunder protein tersebut yaitu 6% α-helix, 44% dari β-sheet dan 50% random coil. CD spectrum tersebut berada dalam kisaran prediksi dari program PsiPred dan DSSP yaitu 5,5-7% α-helix, 43-44% β-sheet, dan 49-51,5% random coil, sehingga dapat dipastikan bahwa struktur sekunder protein tersebut dapat dilakukan dengan eksperimental CD spektrum. 3.3 Kristalisasi

Gambar 3. Kristal Lectin dari Arabidopsis Kristal lectin dari Arabidopsis tersebut dibentuk selama 1 minggu di ruang dingin (4°C) dengan teknik difusi uap (Gambar 3). Pada gambar 3, panjang masing-masing kristal adalah minimal 1 mm dan bentuknya adalah polyhedral, namun kristal tersebut adalah kristal tanpa difraksi dan lainnya adalah kristal garam. Salah satu kristal yang tanpa difraksi tersebut, tidak dapat digambarkan dalam difraksi sinar-X karena kristal tersebut bukanlah kristal garam atau protein, kristal tersebut terbentuk karena adanya residu gula yang melekat pada tempat terglikolisasinya protein lectin. Dengan demikian, percobaan selanjutnya harus dilakukan dengan menggunakan kromatografi afinitas yang mengikat karbohidrat secara spesifik untuk dapat memurnikan protein lectin dan enzim PGNase harus digunakan unruk memotong residu gula yang terikat pada N-glycosylation site dari protein lectin serta mengoptimalkan kondisi yang terbaik untuk membentuk presipitasi dari kristal lectin. Selain itu, deteksi cepat harus dilakukan untuk mengidentifikasi antara kristal garam dan kristal protein lectin menggunakan 18

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

seperti pewarna IZIT dari Hampton), atau menggunakan pendekatan lain dengan menggunakan SAIL-NMR yang lebih baik digunakan untuk menentukan struktur protein dengan pI tinggi (isolectrical point dari lectin = 8,00). 3.4 Prediksi Struktur Tersier Protein Lectin

Gambar 4 Prediksi Struktur Tersier Protein Lectin Gambar 4 menunjukkan prediksi struktur protein lectin dengan menggunakan program Swiss DSSP yaitu 7% β-sheet, 44% α-helix, dan 49% random coil. Selain itu, kami menemukan struktur tersier lectin yang dapat dilihat oleh Swiss model dan WebLab Viewer Lite yaitu menunjukkan muatan permukaan dari protein lectin. Sebagian besar muatan permukaannya bermuatan positif sehingga akan terikat pada kation kromatografi (kolom bermuatan negatif). Permukaan muatan positif ini adalah daerah aktif protein yang akan mengikat kation kromatografi. Selanjutnya, daerah aktif lain yang berada di tengah-tengah struktur protein tersebut (struktur β-sheet) dapat mengenali residu gula secara spesifik karena memiliki konfigurasi tunggal hidroksil pada atom karbon (C-2 dan / atau C-4). 3.5 Fungsional Assay 350

Number of eggs Rep 1 Average

300 250 200 150 100 50 0 WT

35S

L Insert

Gambar 5. Perbandingan antara jumlah rata-rata telur yang dihasilkan oleh M. incognita pada tanaman Arabidopsis jenis wild type, lectin 35S dan knockout/tanpa gen lectin (P = 0,3654).

19

Prosiding Olimpiade Karya Tulis Inovatif 2009 PPI Perancis

300

Number of eggs

Rep 2 Average 250 200 150 100 50 0 WT

35S

L Insert

T

Gambar 6. Replikan data kedua (P = 0,0064) menunjukkan bahwa tanaman yang mengekspresikan lectin 35S menunjukkan sistem pertahanan terhadap cacing M.incognita 350 Number of eggs

Rep 3 Average

300 250 200 150 100 50 0 WT

35S

L Insert Insert

Gambar 7. Replikan data ketiga (P 24 55—60 1.9 12 to 16 Sumber : Medical Plastics and Biomaterials Magazine Tg (oC)

Modulus (Gpa)

Polilaktida merupakan green polymer yang sangat dikenal, diproduksi dari sumber daya terbaharukan seperti tepung (starch), gula, jagung, dapat dikomposit, tidak beracun, dan aman untuk lingkungan. Struktur kimia laktida dan asam laktat adalah sebagai berikut :

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 1. (a) L-laktida; (b) Asam L-laktat; (c) D-laktida; (d) Asam D-laktat 32

Berikut ini adalah bagan proses pembuatan polilaktida dari bahan alami.

Gambar 2. Bagan Pembuatan Polilaktida dari Bahan Alami Aplikasi polilaktida sangat luas meliputi biomedik, kemasan makanan dan minuman, fiber, plastik otomotif, pakaian, plastik alat-alat elektronik. Perkembangan di masa depan polilaktida akan menggeser plastik konvensional karena alasan permasalahan degradasi dan sumber polilaktida yang terbaharukan. 2.2 Pemrosesan Polilaktida Polilaktida merupakan polimer yang relatif polar. Proses polimerisasi polilaktida dapat dilakukan melalui berbagai proses polimerisasi. Proses polimerisasi polilaktida yang biasa digunakan adalah dengan polimerisasi pembukaan cincin laktida (ring-opening polymerization) yang dipicu oleh katalis seperti Stannous(II)octoate (Sn(Oct)2). Mekanisme pembukaan cincin laktida terjadi melalui proses mekanisme koordinasi-insersi.

(a)

(b)

(c) Gambar 3. Skema Polimerisasi. (a). Pembentukan Senyawa Aktif Stannous (II) Alkoksida, (b). Proses Pembukaan Cincin Laktida, (c). Proses Pertumbuhan Molekul dan Terminasi. 33

Polimerisasi pembukaan cincin laktida dapat dilakukan dengan metode : 2.2.1 Bulk ring opening polymerization Bulk ring opening polimerization merupakan metode polimerisasi pembukaan cincin yang dilakukan tanpa adanya pelarut. Pada proses ini, kemurnian material sangatlah penting mengingat laktida merupakan material yang sangat sensitif terhadap uap air. Proses ini memiliki kelemahan dalam proses transfer panas terhadap molekul-molekul monomer dan memerlukan material dengan kemurnian tinggi. Keunggulan metode ini adalah biaya yang relative sangat murah karena hanya membutuhkan proses panas dan kondisi yang tertutup (Closed system). 2.2.2 Ring opening polymerization in supercritical fluids Metode ini yang paling efektif digunakan untuk menghasilkan polilaktida dengan berat molekul yang tinggi. Supercritical fluid/fluida superkritis adalah suatu fluida yang berada pada kondisi di atas titik kritisnya (temperatur kritis dan tekanan kritis). Media superkritis yang digunakan dalam proses polimerisasi ini adalah superkritis chlorodifluoromethane (R22) dan superkritis dimethylether (DME). Kedua media superkritis ini memiliki kemampuan yang sangat bagus untuk melarutkan polilaktida sehingga sangat mudah untuk mendapatkan polilaktida dengan berat molekul (Mn) yang tinggi . Namun, kedua media superkritis ini memiliki kelemahan yang berdampak pada lingkungan. Chlorodifluoromethane merupakan golongan senyawa Freon. Senyawa ini memiliki dampak negatif langsung terhadap lingkungan. Dampak utama chlorodifluoromethane terhadap lingkungan dan kesehatan manusia disebabkan melalui proses penipisan ozon dan efek rumah kaca (SCHER:2007). Dimethyl ether (DME) merupakan senyawa golongan ether dengan titik didih -23oC. Pada suhu kamar, senyawa ini berupa gas yang sangat mudah terbakar. Karena sifatnya sebagai gas yang sangat mudah terbakar dan eksplosif, penggunaan senyawa ini perlu perlakuan yang sangat hati-hati karena dapat membahayakan orang yang menggunakannya. Dalam proses polimerisasi laktida dengan DME, proses ini menggunakan suhu 110oC dan tekanan 200 bar. Dari kondisi aktual yang ada, kita menghadapi dilematis dalam pemrosesan polilaktida. Berikut perbandingan metode-metode polimerisasi polilaktida (di luar pertimbangan aspek lingkungan). Tabel 2. Perbandingan Metode Polimerisasi Polilaktida Aspek

Karakteristik Produk Biaya Proses Proses kontinyu

Polimerisasi Kondensasi

Polimerisasi Larutan

Bulk ring opening polymerization

Ring opening polymerization (superkritis media)



О

О

О

О ×

×

×





О О

◊ dapat diterima, О menguntungkan, × tidak menguntungkan 34

2.3 Superkritis Karbon Dioksida Karbon dioksida dipilih sebagai media polimerisasi karena senyawa ini ramah lingkungan, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan murah (DeSimone:2001). Keuntungan-keuntungan tersebut dikombinasikan dengan kemudahan mencapai parameter kritis (Tc = 31.1oC, Pc = 73.8 bar) membuat karbon dioksida menjadi pelarut pilihan untuk menggantikan pelarutpelarut yang kurang ramah lingkungan.

Gambar 4. Diagram Fase Suhu – Tekanan Karbon Dioksida Superkritis karbon dioksida memiliki karakteristik yang unik yaitu kemampuan difusi seperti gas dan berat jenis seperti cairan. Karakteristik ini dapat dengan mudah diatur dengan mengubah suhu dan/atau tekanan sehingga dikenal sebagai pelarut yang dapat diatur sesuai keinginan (tunable solvent). Polilaktida merupakan polimer dengan kelarutan sangat kecil dalam media superkritis karbon dioksida. Karena kondisi ini, aplikasi superkritis karbon dioksida dalam pemrosesan polilaktida lebih banyak berperan sebagai anti-solvent. Beberapa peneliti telah mencoba meneliti kemungkinan penggunaan superkritis karbon dioksida tetapi hanya dihasilkan polilaktida dengan bobot molekul kecil. Superkritis karbon dioksida sangat berpotensi untuk menjadi media polimerisasi polilaktida apabila daya pelarutnya dapat ditingkatkan sehingga mampu melarutkan polilaktida dengan bobot molekul besar. Hal ini akan berpengaruh juga pada proses pengolahan setelah polimerisasi.

3. SUPERKRITIS KARBON DIOKSIDA BIOPOLIMER POLILAKTIDA

SEBAGAI

MEDIA PEMROSESAN

3.1 Analisa Permasalahan Superkritis chlorodifluoromethane dan dimethylether merupakan media polimerisasi polilaktida yang paling dikenal dikalangan peneliti. Namun, dampak negatif terhadap 35

kehidupan manusia maupun lingkungan menuntut adanya suatu media baru yang polimerisasi polilaktida. Superkritis karbon dioksida merupakan salah satu alternatif untuk menjadi media polimerisasi dan pengolahan polilaktida. Kendala utama dari penggunaan superkritis karbon dioksida adalah daya pelarutan terhadap polilaktida yang sangat kecil. Sebagaimana diketahui proses polimerisasi yang sangat umum menggunakan prinsip solution polymerization atau polimerisasi dalam pelarut. Syarat utama dari prinsip polimerisasi ini adalah monomer dan polimer memiliki kelarutan yang sangat baik dalam media pelarut. Jika monomer larut sedangkan polimer tidak larut, maka akan terjadi precipitation polymerization atau polimerisasi pengendapan. Dalam hal ini, bobot polimer polimer akan terbentuk dalam batas kelarutan polimer dalam pelarut. Jika kelarutannya kecil, maka bobot molekul polimer yang dihasilkan adalah kecil. Jika dilihat dari karakteristik polilaktida dalam superkritis karbon dioksida, maka proses polimerisasi yang terjadi adalah polimerisasi pengendapan. Perbandingan proses polimerisasi dalam superkritis karbon dioksida, chlorodifluoromethane, dan dimethyl ether dapat dilihat dalam table berikut : Tabel 3. Perbandingan Polimerisasi Polilaktida dalam Media Superkritis Media Superkritis

[Lactide]/[Katalist]

Konversi

Chorodifluoromethane Dimethylether Karbon dioksida

406 2000 10000

71.2 84.4 N

Berat Molekul (Mn) 103 g/mol By GPC 172.6 161.0 3.5

Mn : number average molecular weight Sumber : Biomaterial Research Center Korea Institute of Science & Technology, 2003

Dari data perbandingan tersebut sangat jelas bahwa superkritis karbon dioksida tidak dapat berperan sebagai media polimerisasi polilaktida karena memilik daya larut polilaktida yang sangat kecil. Untuk meningkatkan kemampuan polimerisasi, daya pelarutan karbon dioksida perlu ditingkatkan. Banyak metode yang digunakan untuk meningkatkan daya larut karbondioksida terhadap polilaktida. Untuk meningkatkan kelarutan polilaktida dalam superkritis karbon dioksida, diperlukan pelarut lain yang memiliki kemampuan tinggi dalam melarutkan polilaktida dan dapat membentuk satu fasa dengan karbondioksida pada kondisi yang diinginkan. Byung-Chul Lee pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang perilaku polilaktida dalam campuran superkritis karbondioksida dan dichloromethane. Penelitian ini hanya menentukan titik awan larutan sebagai indikasi polilaktida dapat larut sempurna dalam media superkritis. Namun, penelitian yang dilakukan hanya pada polilaktida dengan berat molekul (Mn) rendah. Poin penting yang dapat diambil dari penelitian Lee adalah, suatu pembuktian dengan penambahan pelarut lain dapat meningkatkan daya larut superkritis karbondioksida. Proses penambahan pelarut lain dalam suatu media superkritis disebut supercritical cosolvent system atau sistem superkritis cosolvent. 36

3.2 Uji Coba/Penelitian Untuk mengetahui seberapa besar efektifitas sistem cosolvent dalam melarutkan polilaktida, Laboratorium Polimer Pusat Penelitian Biomaterial Korea Institute of Science and Technology melakukan penelitian terhadap kelarutan polilaktida dalam sistem superkritis cosolvent melalui proses pembentukan stereokompleks polilaktida. Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan besarnya peluang pengolahan polilaktida dalam media superkritis karbon dioksida dengan cosolvent. Penelitian ini melalui proses pembentukan stereokompleks polilaktida (pembentukan kristal poli D-laktida dan poli L-laktida) karena dalam proses ini memerlukan kelarutan yang sempurna dari polilaktida yg digunakan (D dan L). Material yang digunakan dalam penelitian ini antara lain poli L-laktida dengan bobot molekul Mn = 51.235, Mw = 95.791, Mw/Mn=1.87; poli D-laktida Mn = 87.431, Mw = 125.214, Mw/Mn = 1.432. Selain itu, penelitian ini menggunakan beberapa pelarut organik seperti : chloroform, dichloromethane, 1,4-dioxane, acetone, and diethylether. Proses pembentukan stereokompleks dilakukan dengan mencampur poli L-laktida dan poli D-laktida 1 : 1 ke dalam reaktor stainlessteel. Kemudian menambahkan cosolvent dan karbon dioksida ke dalam reaktor. Proses pembentukan stereokompleks dilakukan pada suhu 85oC dan tekanan 250 bar selama 5 jam. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan Differential Scanning Calorometer (DSC) untuk mengetahui persentase stereokompleks yang terbentuk.

Gambar 5. DSC Thermogram untuk Efek Jenis Pelarut sebagai Cosolvent dalam Superkritis Karbon Dioksida.

37

Gambar 6. Persentase Pembentukan Stereokompleks Polilaktida Menggunakan Beberapa Jenis Cosolvent Kedua gambar diatas menunjukkan bahwa adanya sedikit pelarut organik dalam superkritis karbon dioksida dapat meningkatkan kelarutan dari superkritis karbon dioksida. Pada kondisi suhu kamar, urutan kemampuan pelarutan dari pelarut organik dari kuat ke lemah adalah chloroform, dichloromethane, 1,4, dioxane, acetone, dan diethyl ether. Namun pada kondisi superkritis yang digunakan dalam penelitian di atas, urutan kemampuan cosolvent dari kuat ke lemah adalah dichloromethane, chloroform, 1,4 dioxane, acetone, dan diethyl ether. Secara umum, perubahan hanya terjadi antara chloroform dan dichloromethane. Kedua pelarut ini memiliki perbedaan titik didih, chloroform 61.2oC sedangkan dichloromethane 39.8oC yang secara awam dapat disimpulkan pada suhu 85oC kedua pelarut tersebut berada dalam fasa gas yang diharapkan dapat membentuk satu fasa dengan karbondioksida. Fenomena bertolak belakang antara chloroform dan dichloromethane terjadi karena polaritas chloroform relatif lebih besar daripada dichloromethane sehingga karbondioksida cenderung lebih mudah bercampur membentuk satu fasa bersama dichloromethane (karbon dioksida bersifat sedikit polar).

38

Gambar 7. Pengaruh Konsentrasi Cosolvent Dichloromethane Pembentukan Stereokompleks Polilaktida Dalam proses pembentukan stereokompleks, material polimer yang digunakan harus larut sempurna untuk menghasilkan produk yang bagus. Sedangkan pada proses polimerisasi, untuk menghasilkan polimer dengan bobot molekul tinggi diperlukan daya larut yang tinggi pula, sehingga media yang mampu menjadi media proses pembentukan stereokompleks secara langsung memiliki kemampuan sebagai media polimerisasi atau nanokomposit polilaktida. Dari pembuktian dengan beberapa pelarut organik di atas, maka superkritis karbon dioksida dengan cosolvent terbukti memiliki peluang untuk menjadi media pemrosesan polilaktida. Selain itu, dengan mengatur suhu, tekanan, dan waktu proses, maka kita bisa mendapatkan parameter ideal yang paling efektif untuk pemrosesan polilaktida.

4. PENUTUP Media superkritis chlorodifluoromethane dan dimethylether merupakan media yang paling banyak digunakan untuk proses polimerisasi pembukaan cincin laktida. Namun, penggunaan kedua media tersebut memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Terkait dengan permasalahan lingkungan, superkritis karbon dioksida merupakan pilihan yang paling aman dan ramah lingkungan. Dengan keterbatasan daya larutnya, maka superkritis karbon dioksida dapat dipadukan dengan sistem cosolvent untuk meningkatkan daya larut terhadap polilaktida. Superkritis karbon dioksida cosolvent dapat menjadi alternatif media untuk pemrosesan polilaktida yang relatif lebih aman dan menghasilkan karbon dioksida baru yang dapat menambah efek rumah kaca. Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam terbaharukan yang berlimpah. Banyak sumber daya alam agraris indonesia yang merupakan sumber untuk pembuatan polilaktida. 39

Hingga saat ini, banyak peneliti Indonesia yang sedang mengembangkan proses untuk membuat laktida. Kondisi tersebut jika dipadukan dengan pengembangan metode superkritis karbon dioksida cosolvent dapat mengurangi masalah-masalah lingkungan yang dihadapi sekarang dan masa mendatang. Permasalahan degradasi limbah plastik dapat dikurangi dengan mengganti plastik konvensional dengan plastik ramah lingkungan dari polilaktida. Mengenai permasalahan pemanasan global, penggunaan polilaktida sebagai plastik mengurangi emisi karbon dioksida dari pemusnahan plastik konvensional. Penggunaan karbon dioksida sebagai media juga mengurangi terjadinya penipisan ozon yang ditimbulkan dari penggunaan chlorodifluoromethane serta mengurangi pemanasan global yang diakibatkan oleh karbon dioksida.

REFERENSI Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H. (2003) Kinetic and Mechanistic Studies of l-Lactide Polymerization in Supercritical Chlorodifluoromethane, Macromolecules, Vol. 36 (24), 8923-8930. Gross, R. A. and Kaira, B. (2002) Biodegradable Polymers for The Environment, Journal of Green Chemistry, Science, Vol. 297, 803 – 807. Middleton, J. C. and Tipton, A. J. (1998) Materials : Synthetic Biodegradable Polymers as Medical Devices, Medical Plastics and Biomaterials Magazine. Tsuji, H. (2005) Poly(lacyide) Stereocomplexes: Formation, Structure, Properties, Degradation, and Applications, Macromolecular Bioscience, Vol. 5, 569 – 597. Urbanczyk, L., Ngoundjo, F., Alexandre, M., Jerome, C., Detlembleur, C., Calberg, C. (2009) Synthesis of polylactide/clay nanocomposites by in situ intercalative polymerization in supercritical carbon dioxide, European Polymer Journals, Vol. 45, 643 – 648. Fukushima, K. and Kimura, Y. (2006) Stereocomplexed polylactides (Neo-PLA) as highperformance bio-based polymers: their formation, properties, and application, Polymer International, Vol. 55, 626 – 642. Gregorowicz, J. (2008) Phase behaviour of L-lactide in supercritical carbon dioxide at high pressures, Journal of Supercritical Fluids, Vol. 46, 105 – 111. Stassin, F. and Jerome, R. (2005) Polymerization of (L,L)-Lactide and Copolymerization with ε-Caprolactone Initiated by Dibutyltin Dimethoxide in Supercritical Carbon Dioxide, Journal of Polymer Science:Part A: Polymer Chemistry, Vol. 43, 2777 – 2789. Scientific Committee on Health and Environmental Risks (SCHER) (2007) Risk Assessment Report on chlorodifluoromethane Environmental Part, European Commission, Health & Consumer Protection Directorate-General. Wells, S.L. and DeSimone, J.M. (2001) CO2 technology platform: an important tool for environmental problem solving, Angew Chem Int Vol. 40, 518 – 527. Kim, J.H. (2009) Supercritical Fluids Lecture : Polymerization of Lactide in SCF, Supercritical Fluid Laboratory. Lee, B. C. and Kuk, Y. M. (2002) Phase Behavior of Poly(L-lactide) in Supercritical mixture 40

of Dichloromethane and Carbon Dioxide, Journal of Chemical and Engineering Data, Vol. 47, No. 2, 367 – 370. Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H. (2005) Ring-Opening Polymerization of L-Lactide in Supercritical Chlorodifluoromethane, Macromolecules, Vol. 224, 85 – 91 Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H. (2004) Effect of Pressure and Temperature on the Kinetic of L-Lactide Polymerization in Supercritical Chlorodifluoromethane, Macromolecules, Vol.37, 3564 - 3568. Pack, J. W., Kim, S. H., Park, S. Y., Lee, Y. W., and Kim, Y. H. (2004) Ring-Opening Polymerization of L-Lactide and Preparation of Its Microsphere in Supercritical Chlorodifluoromethane, Macromolecular Bioscience, Vol. 4, 340-345. .

41

Sub Kategori

: Sains Dasar (1A)

Judul : Analisis Fasies Hidroakustik di Cekungan Mentawai, Indonesia Teuku Reiza YUANDA Ph.D. candidate at Section 1.3. GFZ German Research Centre for Geosciences, Telegrafenberg, 14473 Potsdam, Germany Telp: +49 1515 234 8383 e-mail: [email protected]

Abstract: In advanced geosciences contexts, the Mentawai forearc basin, trench-parallel elongated trends NW-SE, is relatively unexplored. However, acquired sub-bottom profile, bathymetric map, and deep sea sediment core data sets from R/V Sonne SO-184 cruise have afforded a more detailed investigation on the basin. Their integration and correlation give practical applications for submarine sediment transport and depositional processes interpretations. Six sub-facies types are identified and grouped into two main classes. They related to finely-layered drapes of hemipelagic areas in upper slope; chaotic of debrite areas in foot of slope; and high-reflective sediment sheets of basinal turbidites areas in basin floor. Meanwhile, mid-slope depicts the occurrences of wavy layers of slumping and creeping areas; rough surface of slopes; and hyperbolae of gully areas. The distribution patterns of sediment transport suggest slope failures and leads to creeps, slumps or debris flows. Turbidity currents continuously erode the steep slopes in the basin and inhibit sediment deposition through incised gullies to the southeastern end of the basin. The potential cause of slope failures is triggered by seismo-tectonic activities in Sunda Arc. It appears that seismo-tectonics in Sunda Arc also play a significant role in the basin expressing active faults near Mentawai Islands known as Mentawai Fault Zone; and compressing the basin. Yet, seismo-tectonics is not the only factor influencing the slope failure and sediment deposition. In particular, the sediment input discharged from Sumatra, geomorphology of the basin, and cyclic sediment load related to sea level oscillations are also becoming the important factors. Keywords : Mentawai basin, acoustic facies, sediment transport, slope failure, turbidity currents 1. PENDAHULUAN Tepian kontinen (continental marigin) adalah lokasi utama untuk suplai sedimen ke lingkungan batial, dimana landas kontinen (continental shelf) berperan sebagai tempat penyimpanan sementara untuk kemudian massa sedimen tersebut dimobilisasi ke lereng kontinen (continental slope) lalu dialirkan ke lingkungan batial melalui saluran-saluran yang tersedia (Henrich et.al., 2007). Untuk wilayah dengan tektonik aktif, seperti Indonesia yang berbatasan dengan zona subduksi, proses tersebut di atas ditentukan oleh interaksi antara suplai sedimen, proses pengendapan sedimen, aktivitas seismo-tektonik, variasi iklim, dan fluktuasi muka laut. Dari berbagai studi, tepian kontinen di wilayah tektonik aktif sering mengalami gangguan kestabilan lereng (slope failure), yaitu longsornya massa sedimen di 65

lereng kontinen yang diikuti dengan proses mobilisasi sedimen. Mobilisasi sedimen akibat gangguan kestabilan lereng, dikenal sebagai transpor sedimen bawah laut yang berperan dalam evolusi relief dasar laut di lingkungan batial (Loncke et.al., 2008). Karena sebarannya yang luas, transpor sedimen bawah laut merupakan komponen penting untuk merekam stratigrafi modern dan telah dipelajari dalam kaitannya dengan perubahan iklim global (Owen et.al., 2006).

Gambar 1. Peta Sistem Cekungan Busur Muka Sumatera. Peta ini Dibuat dengan Aplikasi GMT Berbasiskan GNU General Public License (Yuanda, 2009).

Sistem cekungan busur muka Sumatra (the Sumatran forearc basin system) adalah terminologi yang menunjukkan gabungan berbagai cekungan yang berperan sebagai perangkap sedimen yang dialirkan dari wilayah busur (arc region), yaitu Pulau Sumatera dengan jumlah 83 km²/juta tahun (Berglar et.al., 2008; Clift et.al., 2004; Einsele, 2000). Sistem busur muka Sumatra terdiri dari Cekungan Simeulue, Cekungan Nias, Cekungan Mentawai dan Cekungan Enggano yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera (Gambar 1). Tulisan ini akan menganalisis Cekungan Mentawai yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkarakterisasi berbagai mekanisme yang mengatur proses transpor sedimen bawah laut dan proses pengendapan sedimen. Keterbatasan hasil dan analisis dalam studi ini disebabkan oleh terbatasnya informasi pendukung mengenai Cekungan Mentawai, karena belum adanya studi komprehensif yang dilakukan sebelumnya.

66

2. TINJAUAN GEOLOGI

2.1 Geodinamika Busur Sunda Busur Sunda (Sunda Arc) terdiri dari Palung Sunda (Sunda Trench), tinggian busur luar (outer arc ridges), sistem cekungan busur muka, dan busur gunungapi (volcanic arc) aktif (Susilohadi et.al., 2005). Busur Sunda membentuk kesinambungan dari Burma s.d. Sumba sepanjang 5000 km (Einsele., 2000) dengan Palung Sunda sebagai bagian utama subduksi lempeng tektonik di Samudera Hindia (Gambar 2), yaitu tumbukan lempeng Indo-Australia berarah timurlaut yang tersubduksi di bawah lempeng Eurasia dan terkait dengan komponen regangan (strain) ortogonal yang tegak lurus Palung Sunda; dan komponen lateral kanan yang paralel dengan Palung Sunda (Samuel et.al., 1996). Komponen tegak lurus Palung Sunda melingkupi patahan (faulting) dan lipatan (folding), sedangkan komponen paralel Palung Sunda termanifestasi pada sistem sesar geser (strike-slip fault) yaitu sistem sesar geser Mentawai atau lebih dikenal sebagai MFZ (Mentawai Fault Zone), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 (Mosher et.al., 2008). Berdasarkan perhitungan geodetik, laju subduksi lempeng mencapai ~65 s.d. ~68 mm/tahun (Berglar, 2008) yang terjadi sejak pada umur Eosen (35-50 juta tahun lalu) (Mosher et.al., 2008).

Gambar 2. Peta yang Menggambarkan Proses Tektonik di Barat Sumatera (Susilohadi, 2005).

2.2 Arsitektur Cekungan Mentawai Sejarah sedimentasi dan struktur Cekungan Simeulue telah dipublikasikan pasca gempa bumi Aceh-Andaman Desember 2004 oleh beberapa peneliti (Berglar et.al., 2008; Mosher et.al., 2008; Tappin et.al., 2007; Susilohadi et.al., 2005). Penelitian oleh Tappin (2007) memperlihatkan gangguan kestabilan lereng di Cekungan Simeulue disebabkan oleh gempa 67

bumi yang direpresentasikan oleh berbagai proses transpor sedimen bawah laut. Namun proses pengendapan sedimen di Cekungan Mentawai masih belum terjawab. Evolusi geologi Cekungan Mentawai dapat dibagi menjadi tiga tahapan (Izart et.al, 1994; Karig et.al, 1980), yaitu: (a) Pengangkatan (uplift) dan erosi pada umur Oligosen (~28 juta tahun lalu); (b) Penurunan (subsidence) pada umur Miosen (7-20 juta tahun lalu); dan (c) Pemerangkapan sedimen pada umur Pliosen (~4 juta tahun lalu). Cekungan Mentawai terletak di MFZ dan hal ini menjelaskan proses segmentasi cekungan oleh kompresi akibat subduksi; dan pergeseran akibat sistem sesar geser (Izart et.al, 1994; Karig et.al, 1980). 2.3 Morfologi dan Batimetri Cekungan Mentawai Cekungan Mentawai terletak di koordinat ~0°15’S dan ~4°30’S dengan panjang ~600 km berarah baratlaut-tenggara dan lebar ~80 km berarah baratdaya-timurlaut. Cekungan Mentawai terdiri dari lingkungan batial, lereng cekungan dan landas cekungan yang berkedalaman dangkal. Lereng curam sebelah barat Pulau Sumatera dicirikan oleh kehadiran terban (graben) minor yang dipengaruhi oleh MFZ. Batas barat Cekungan Mentawai adalah Kepulauan Mentawai, yang merupakan tinggian busur luar. Kepulauan Batu merupakan batas alamiah antara Cekungan Mentawai dan Cekungan Nias. Berdasarkan bukti morfologis di Cekungan Simeulue, Mosher (2008) menyimpulkan bahwa proses deformasi dan tektonik aktif di sistem cekungan busur muka Sumatera menghasilkan ekspresi geologi dasar laut dan bawah dasar laut, serta disrupsi stratigrafi. Struktur geologi di dasar laut umumnya diperlihatkan oleh elemen tinggian batimetri, seperti tinggian busur luar, rangkaian gunung api bawah laut (chains of seamounts), dan zona fraktur (McCann et.al., 1989). Khusus untuk Cekungan Mentawai, seluruh elemen tinggian batimetri di sekitarnya, adalah ekspresi dari MFZ.

3. METODOLOGI Akuisisi data di Cekungan Mentawai melingkupi metode geologi-geofisika-geografi yang dilakukan pada pelayaran R/V Sonne SO-184 pada akhir tahun 2005. Tujuan akuisisi data geofisika yaitu profil bawah dasar laut (sub-bottom profile), adalah untuk menyediakan informasi mengenai struktur sedimen di lapisan teratas antara 10 meter s.d. 200 meter di bawah dasar laut. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui lokasi yang tepat untuk pengambilan inti sedimen. Refleksi sinyal Parasound, salah satu metode pemprofilan bawah dasar laut, berkisar antara 2-6 kHz melalui efek parametrik (Spieß, 1993). Pengolahan data Parasound menerapkan Butterworth Filter dengan rentang frekuensi 2,5-5,5 kHz untuk mereduksi kebisingan (noise) data. Data geofisika lainnya adalah peta batimetri dasar cekungan yang diperoleh melalui Simrad EM120 Multibeam Echosounder yang bekerja pada frekuensi 12 kHz. Data geografis diperoleh dari grid topografi GEBCO. Sedangkan akuisisi data geologi yaitu pengambilan inti sedimen di kedalaman tertentu bertujuan untuk merekonstruksi proses pengendapan di Cekungan Mentawai, serta untuk korelasi data geofisika. Inti sedimen kemudian disketsa untuk menghasilkan log litologi (lithological logs).

68

4. HASIL 4.1 Batimetri Peta batimetri Cekungan Mentawai diperlihatkan di Gambar 3. Batimetri cekungan mengikuti jalur survei profil Parasound, sehingga tidak menyediakan cakupan keseluruhan cekungan. Pada arah baratlaut-tenggara, bagian tengah lereng cekungan dicirikan dengan adanya bongkahan dan permukaan yang curam. Beberapa singkapan timbul di bagian kaki lereng (foot of slope), sebagai ciri erosi di lereng cekungan. Bagian atas lereng (upper slope) di sebelah timur mempunyai kedalaman ~500 meter di bawah permukaan laut yang lebih dangkal dibandingkan yang berada di sebelah baratlaut. Parit-parit (gullies) yang mengukir lereng mempunyai kedalaman ~1100 meter s.d. ~1500 meter di bawah permukaan laut. Daerah studi kemudian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: bagian utara, tengah, dan selatan.

Gambar 3. Peta Batimetri Cekungan Mentawai (Yuanda, 2009).

4.2 Fasies Hidroakustik Parameter untuk menentukan tipe fasies hidroakustik di bawah dasar laut adalah tekstur, komposisi, kekuatan refleksi, penetrasi sinyal, kemenerusan lateral, geometri dan spasi horison (Whitemore et.al., 1978; Damuth, 1980). Fasies hidroakustik yang teramati di Cekungan Mentawai dibagi menjadi enam tipe sub-fasies berbeda yang diklasifikasikan menjadi dua fasies utama (Gambar 4).

69

4.2.1 Fasies Tipe B Fasies B terdiri dari tiga sub-fasies:  Sub-fasies B1. Sub-fasies B1 mempunyai kemenerusan lapisan paralel (Gambar 5) dan terdapat di sepanjang bagian atas lereng dengan jangkauan penetrasi sinyal ~60 meter. Di bagian utara cekungan, sub-fasies B1 dicirikan oleh deformasi dasar laut.  Sub-fasies B2. Sub-fasies B2 memperlihatkan ketidakmenerusan lapisan, walaupun pelapisan sedimen masih terlihat (Gambar 6) dengan adanya perlipatan, dan pelapisan berombak. Sub-fasies B2 terdapat di bagian tengah lereng dengan jangkauan penetrasi sinyal ~40 meter di bawah dasar laut.  Sub-fasies B3. Sub-fasies B3 memperlihatkan kemenerusan pelapisan sedimen sama halnya seperti sub-fasies B1, namun mempunyai besaran amplitudo yang lebih tinggi. Sub-fasies B13 terdapat sepanjang dasar cekungan dengan jangkauan penetrasi sinyal mencapai ~40 meter di bawah dasar laut (Gambar 7). 4.2.2 Fasies Tipe R Fasies R terdiri dari tiga sub-fasies:  Sub-fasies R1. Sub-fasies R1 (Gambar 6, 7) menunjukkan dasar laut yang kesat dan kasar, dan lereng bagian tengah yang curam.  Sub-fasies R2. Sub-fasies R2 memperlihatkan minimnya penetrasi sinyal di bagian kaki lereng dengan jangkauan penetrasi sinyal ~25 meter. Sub-fasies ini dicirikan oleh irregularitas topografi yang acak dan tidak menerus (Gambar 5).  Sub-fasies R3. Sinyal hidroakustik sub-fasies R3 di bagian tengah lereng terlihat acak dan nyaris hampa. Hal tersebut disebabkan oleh sinyal yang tidak dapat melakukan penetrasi ke bawah dasar laut. Sub-fasies ini diperlihatkan oleh struktur hiperbolik irreguler yang merupakan manifestasi kecuraman lereng cekungan (Gambar 6, 7).

Gambar 4. Peta jalur survei Parasound di Cekungan Mentawai. Spasi kontur adalah 250 meter. Lo-R adalah reflektivitas rendah; Hi-R adalah refletivitas tinggi. Dalam tulisan ini, hanya Line 1, Line 4 dan Line 5 yang dianalisis (Yuanda, 2009).

70

4.3 Log Litologi Untuk merekonstruksi proses pengendapan sedimen yang terjadi di Cekungan Mentawai, log litologi inti sedimen dikorelasikan dengan profil Parasound di lokasi pengambilan inti sedimen tersebut (Hebbeln, et.al., 2006). Korelasi dilakukan dengan membandingkan lapisan sedimen di log litologi dengan horison Parasound pada kedalaman yang sama. Lapisan sedimen dengan kandungan batupasir lebih tinggi akan merefleksikan horizon berwarna gelap yang beramplitudo tinggi pada profil Parasound. Korelasi ini diperlukan untuk indentifikasi arus turbidit (turbidity current) yang terjadi. Arus turbidit secara umum dicirikan dengan perselingan antara lapisan kasar yang berukuran kerikil s.d. batupasir dengan lapisan sedimen lumpur (ooze) yang mengandung materi nanofosil.

Gambar 5. Tipe fasies hidroakustik pada Parasound line 1. GeoB 10022-4 adalah lokasi pengambilan inti sedimen yang dijelaskan di Gambar 8. Cuplikan gambar di masing-masing sub-fasies dijelaskan secara rinci di Gambar 10 (Yuanda, 2009).

Gambar 6. Tipe fasies hidroakustik pada Parasound line 4. GeoB 10029-4 adalah lokasi pengambilan inti sedimen yang dijelaskan di Gambar 9 (a). Cuplikan gambar di masing-masing sub-fasies dijelaskan secara rinci di Gambar 10 (Yuanda, 2009).

71

Gambar 7. Tipe fasies hidroakustik pada Parasound line 5. GeoB 10033-4 adalah lokasi pengambilan inti sedimen yang dijelaskan di Gambar 9 (b). Cuplikan gambar di masing-masing sub-fasies dijelaskan secara rinci di Gambar 10 (Yuanda, 2009).

Dalam tulisan ini, hanya ditampilkan tiga inti sedimen dari total empat inti sedimen yang dianalisis. Inti sedimen GeoB 10022-4 di bagian atas lereng timur laut Pulau Siberut memperlihatkan korelasi antara lapisan tipis debu vulkanik (ash layer) dengan horison berwarna gelap di profil Parasound (Gambar 8). Sedangkan lapisan tebal lumpur dengan puing cangkang (shell debris) berukuran mikro di bagian dasar inti sedimen memperlihatkan korelasi parsial dengan horison di profil Parasound.

Gambar 8. Cuplikan profil Parasound line 1 tempat pengambilan inti sedimen, yang dikorelasikan dengan log litologi inti sedimen GeoB 10022-4 untuk mengetahui mekanisme pengendapan sedimen yang terjadi. Inti sedimen GeoB 10022-4 diambil pada kedalaman 705 meter di bawah permukaan laut di bagian atas lereng dengan total panjang inti 5 meter di bawah dasar laut (Yuanda, 2009).

72

Pada Gambar 9 (a), tidak dapat dilakukan korelasi antara inti sedimen GeoB 10029-4 dengan profil Parasound sebelah timur Pulau Siberut. Hal ini disebabkan tampilan profil Parasound yang cenderung hampa akibat buruknya penetrasi dan refleksi sinyal Parasound di bagian tengah lereng. Di dasar cekungan sebelah tenggara Pulau Siberut pada Gambar 9 (b), terlihat korelasi yang cukup baik antara inti sedimen GeoB 10033-4 dengan horison berwarna gelap di profil Parasound. Inti sedimen tersebut memperlihatkan perselingan lapisan turbidit dengan lapisan lumpur. Hal ini menunjukkan bahwa arus turbidit merupakan peristiwa rutin yang terjadi di bagian selatan Cekungan Mentawai. a

b

?

Gambar 9. (a) Cuplikan profil Parasound line 4 tempat pengambilan inti sedimen, yang dikorelasikan dengan log litologi inti sedimen GeoB 10029-4 untuk mengetahui mekanisme pengendapan sedimen yang terjadi. Inti sedimen GeoB 10029-4 diambil pada kedalaman 522 meter di bawah permukaan laut di bagian tengah lereng dengan total panjang inti 4,3 meter di bawah dasar laut. (b) Cuplikan profil Parasound line 5 tempat pengambilan inti sedimen, yang dikorelasikan dengan log litologi inti sedimen GeoB 10033-4 untuk mengetahui mekanisme pengendapan sedimen yang terjadi. Inti sedimen GeoB 10033-4 diambil pada kedalaman 1756 meter di bawah permukaan laut di dasar cekungan dengan total panjang inti 8,3 meter di bawah dasar laut (Yuanda, 2009).

5. PEMBAHASAN 5.1 Distribusi Fasies Hidroakustik Identifikasi berbagai tipe fasies hidroakustik sepanjang jalur survei Parasound dan perbandingannya dengan log litologi inti sedimen memperlihatkan keterkaitan antara fasies hidroakustik dengan berbagai proses pengendapan sedimen. Keberagaman fasies hidroakustik di setiap lokasi yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 10. Bagian atas lereng, sebagian kecil bagian tengah lereng dan dasar cekungan dipolakan oleh pelapisan sedimen fasies tipe B, sementara fasies tipe R yang kesat membentuk sebagian besar bagian tengah lereng dan bagian kaki lereng Cekungan Mentawai. Inti sedimen GeoB 10022-4 yang terletak di bagian atas lereng, berkaitan dengan akumulasi 73

sedimen hemipelagik yang merupakan atribut utama sub-fasies B1 (Damuth, 1980). Ketika sub-fasies B1 menampilkan horison yang berombak dalam pelapisannya, maka diklasifikasikan menjadi sub-fasies B2. Loncke (2008) menyimpulkan sub-fasies B2 terbentuk akibat proses remobilisasi sedimen hemipelagik dan berhubungan dengan perpindahan/pergerakan massa (mass movement) seperti proses rambatan (creeping) dan longsoran slump (slumping).

Gambar 10. Cuplikan-cuplikan gambar di sebelah kiri memperlihatkan bahwa setiap tipe sub-fasies mempunyai interpretasi tersendiri yang terkait dengan lokasi dan tipe sedimen, oleh proses pengendapan tertentu. Untuk keterangan masing-masing cuplikan, dapat melihat Gambar 5 s.d. 7 (Yuanda, 2009).

74

Sementara itu, inti sedimen GeoB 10033-4 di dasar cekungan menunjukkan perselingan antara deposit turbidit dimana sub-fasies B3 teridentifikasi. Karakter sedimen pada sub-fasies B3 lebih berbutir kasar daripada karakter sedimen sub-fasies B1 (Domzig et.al., 2008). Sub-fasies R1 berkaitan dengan proses erosi dasar laut yang ditunjukkan dengan permukaan yang kesat dan kasar. Dalam studinya, Damuth (1980) menyimpulkan bahwa sub-fasies R2 bertalian dengan topografi irreguler dan juga permukaan yang kesat, yang disebabkan oleh aliran debris (debris flows). Namun tidak ada inti sedimen yang dapat diambil di lokasi dimana sub-fasies R2 terindikasi. Hiperbolik irreguler pada sub-fasies R3 diidentifikasikan di bagian tengah lereng yang kesat dan kasar dengan tutupan sedimen tipis. 5.2 Proses Transpor Sedimen Bawah Laut Setiap tipe sub-fasies di Cekungan Mentawai dapat dikaitkan dengan proses pengendapan sedimen tertentu. Cekungan Mentawai dibagi menjadi beberapa zona berdasakan proses dan deposit transpor sedimen bawah laut yang ditunjukkan pada Gambar 11, antara lain: (1) Zona Hemipelagik; (2) Zona Slump; (3) Zona Rambatan; (4) Zona Parit; (5) Zona Kesat; (6) Zona Debrit; dan (7) Zona Turbidit.

Gambar 11. Peta sintetik fasies hidroakustik Cekungan Mentawai dan interpretasinya dalam konteks proses pengendapan sedimen dan proses transpor sedimen bawah dasar laut (Yuanda, 2009).

5.2.1 Bagian Utara Cekungan Bagian utara menggambarkan sebagian besar proses transpor sedimen bawah laut yang terjadi di cekungan. Pada kedalaman ~750 meter di bawah permukaan laut, zona hemipelagik yang menutupi bagian atas lereng di bagian utara cekungan, dialirkan dari arah baratlaut Pulau 75

Siberut berarah baratlaut-tenggara. Sedimen hemipelagik tersebut bermuatan besar sehingga mampu memicu gangguan kestabilan lereng dan menginisiasi transpor sedimen. Proses longsoran slump di bagian tengah lereng diperlihatkan oleh pelipatan kompresional seperti terlihat pada Gambar 5. Longsoran slump dicirikan oleh perpindahan rotasional sedimen yang menyebabkan deformasi internal badan sedimen (Shanmugam, 2009). Proses rambatan di bagian tengah lereng yang berdekatan dengan Pulau Sumatera merupakan bukti bahwa minimnya kuantitas suplai sedimen yang memasuki cekungan dari Pulau Sumatera, sehingga tidak mampu memicu longsoran slump, aliran debris, ataupun arus turbidit. Hal tersebut didukung dengan informasi bahwa suplai sedimen dari pantai barat Sumatera terbatas pada beberapa sungai berukuran kecil yang mengalir ke landas cekungan, berbeda dengan pantai timur Sumatera (Gupta, 2005). Bagian tengah lereng juga dicirikan dengan kehadiran parit-parit yang mengukir lereng dan berkaitan dengan proses seismotektonik aktif di Busur Sunda. Di bagian kaki lereng cekungan pada kedalaman ~1400 meter di bawah permukaan laut, aliran debris terinisiasi. Aliran debris tersebut dipicu oleh longsoran slump di daerah atas bagian tengah lereng. Aliran debris menyebar secara luas sepanjang ~30 km. 5.2.2 Bagian Tengah Cekungan Di bagian tengah lereng berdekatan dengan Pulau Sumatera, profil Parasound menunjukkan lapisan yang berombak yang menandakan terjadinya proses rambatan. Proses tersebut terjadi sebelum parit-parit mulai mengukir lereng. Sementara itu, akumulasi hemipelagik yang menutupi area datar di bagian atas lereng pada kedalaman ~600 meter di bawah permukaan laut, dibawa oleh suplai sedimen daratan yang dialirkan melalui sungai kecil di Pulau Sumatera. Permukaan kesat dan kasar terjadi karena proses erosi yang disebabkan oleh aliran arus turbidit pada permukaan tersebut, sampai akhirnya arus turbidit berhenti dan depositnya terendapkan di dasar cekungan. Arus turbidit di Cekungan Mentawai diinisiasi oleh longsoran slump ataupun aliran debris, walaupun arus turbidit dapat terjadi karena muatan sedimen yang besar di landas dan lereng cekungan. Relief di dasar cekungan cenderung datar, karena topografi irreguler tertimbun oleh deposit turbidit (Haughton et.al., 2009). 5.2.3 Bagian Selatan Cekungan Sedimen yang berlapis lateral menutupi hampir keseluruhan bagian selatan cekungan yang dimulai pada kedalaman ~1600 meter di bawah permukaan laut. Di akhir cekungan berarah tenggara, terindikasi proses transpor sedimen pada kedalaman ~1250 meter di bawah permukaan laut yang terjadi di bagian tengah lereng. Kehadiran deposit turbidit di dasar cekungan menandakan bahwa partikel tersuspensi tersebut dialirkan ke dasar cekungan melalui lereng yang kesat dan kasar di bagian akhir cekungan untuk kemudian diendapkan di dasar cekungan. 5.3 Proses Pengendapan Sedimen Inti sedimen GeoB 10022-4 merupakan kombinasi antara deposit berbutir kasar dengan partikel hemipelagik yang lebih halus (Gambar 8). Fraksi kasar di inti sedimen tersebut dibawa dari batas landas cekungan ataupun daerah teratas bagian atas lereng. Sedimen di bagian atas lereng sebelah baratlaut Pulau Siberut dimana inti sedimen GeoB 10022-4 diperoleh (Gambar 11), terbawa ke bagian tengah lereng dan kemudian terdisintegrasi menjadi longsoran slump. Longsoran slump ini kemudian berkecepatan tinggi seiring dengan kecuraman lereng dan pada akhirnya berintegrasi dengan fluida dan berbagai mikstur plastis 76

lainnya (Shanmugam, 2009). Akibat integrasi ini, longsoran slump berubah menjadi aliran debris dan berhenti di bagian kaki lereng. Depositnya diendapkan sebagai deposit debrit. Inti sedimen GeoB 10029-4 di bagian tengah lereng dekat dengan Pulau Sumatera mengandung materi vulkanik (Gambar 9a, 11). Hal tersebut menjelaskan bahwa sedimen tersebut dibawa dari daratan akibat proses vulkanik dan berasal dari busur gunungapi Sumatera. Inti sedimen GeoB 10033-4 yang mengandung perselingan turbidit, menandakan bahwa arus turbidit merupakan peristiwa periodik sepanjang lereng s.d. dasar cekungan. Paritparit dan permukaan lereng yang kesat dan kasar di cekungan diyakini merupakan suatu sistem irigasi sedimen terpadu yang tersambung dari lereng sampai dengan dasar cekungan untuk mengalirkan berbagi proses transfer sedimen, terutama arus turbidit. Parit-parit dan permukaan kasar tidak teridentifikasi di baratdaya Pulau Siberut, sehingga diyakini parit-parit tersebut hanya berada di sepanjang lereng yang berdekatan dengan Pulau Sumatera. Berdasarkan analisis peta sintetik fasies hidroakustik di Gambar 11, proses pengendapan sedimen di Cekungan Mentawai dipengaruhi oleh:  Suplai sedimen dari arah baratlaut Pulau Sumatera yang dicirikan dengan serial proses transpor sedimen di sepanjang lereng dan tidak termobilisasi oleh parit-parit.  Suplai sedimen dari pantai Pulau Sumatera yang termobilisasi oleh parit-parit dan permukaan yang kesat dan kasar.  Suplai sedimen dari arah tenggara cekungan, namun mekanismenya memerlukan studi lebih lanjut. 5.4 Mekanisme Pemicu Pengendapan Sedimen Studi di Cekungan Mentawai menunjukkan bahwa pengendapan sedimen dihasilkan dari berbagai proses transpor sedimen bawah laut. Subduksi di Busur Sunda menekan, mengkompaksi dan mengkompres Cekungan Mentawai, yang menyebabkan terjadinya deformasi dan penyempitan di cekungan. Proses ini menyebabkan lereng-lereng terdepresi dan kemudian membentuk struktur parit-parit. Sebagai tambahan, Cekungan Mentawai terletak di zona seismisitas tinggi dengan patahan-patahan aktif di sekitarnya. Gempa bumi M7+ di Sumatera sejak abad ke-18 mendorong pergerakan permukaan yang kuat (strong ground motion) yang memainkan peran penting dalam gangguan kestabilan lereng cekungan. Mekanisme pemicu pengendapan sedimen lainnya adalah siklus suplai sedimen pada saat genang muka laut (high-stands sea levels) pada umur Holosen (~11700 tahun lalu sampai dengan saat ini). Pada rentang umur tersebut, daerah yang bergaris lintang dekat dengan ekuator mengalami kenaikan eustatik muka laut akibat mencairnya massa es di kutub utara (Owen et.al., 2006). Kenaikan muka laut menyebabkan sedimen yang terakumulasi di landas kontinen termobilisasi ke lingkungan batial dengan menyusuri lereng. Hal ini kemudian memicu gangguan kestabilan lereng dan terjadinya pengendapan sedimen yang tinggi. Sedangkan pada saat surut muka laut (low-stand sea levels), mulut dan muara sungai tersambung dengan parit-parit yang mengukir lereng, sehingga memudahkan transportasi sedimen dari daratan ke lingkungan batial (Gupta, 2005). Bagaimanapun, tidak adanya analisis paleo-seismik komprehensif dan penentuan umur setiap proses transpor sedimen yang tersedia untuk Cekungan Mentawai.

77

6. KESIMPULAN Data profil Parasound dan inti sedimen sepanjang Cekungan Mentawai telah dianalisis dalam tulisan ini. Tujuan utama tulisan ini adalah mendeskripsikan karakter fasies hidroakustik. Digabungkan dengan peta batimetri dan analisis log litologi, enam tipe sub-fasies telah diinterpretasikan berdasarkan konteks fisiografi pada profil Parasound. Tujuan sekunder adalah memprediksi mekanisme pengatur berbagai proses pengendapan sedimen di cekungan. Suplai sedimen di cekungan berasal dari lereng di sebelah baratlaut Pulau Sumatera, pesisir pantai Pulau Sumatera dan kemungkinan dari arah tenggara cekungan. Penyebab utama gangguan kestabilan lereng disebabkan oleh aktivitas seismo-tektonik di Busur Sunda. Aktivitas tersebut menekan dan mengkompres Cekungan Mentawai yang pada akhirnya menimbulkan ekspresi berupa patahan aktif di sepanjang Kepulauan Mentawai, yang dikenal sebagai MFZ. Penyebab gangguan kestabilan lereng lainnya adalah besarnya muatan sedimen yang mengalir ke cekungan dan terkait dengan fluktuasi genang-surut muka laut pada umur Holosen. Studi ini menunjukkan bahwa Cekungan Mentawai merupakan perangkap sedimen aktif di sepanjang pantai barat Sumatra dengan berbagai proses transpor sedimen yang terjadi. Cekungan Mentawai dapat menjadi lokasi studi lanjutan yang representatif untuk memahami berbagai proses geologi yang terjadi di berbagai cekungan busur muka di sepanjang Busur Sunda. Usulan tersebut sedang dalam pengkajian oleh MARUM (Center for Marine Environmental Sciences) Bremen dan apabila memenuhi syarat keilmiahan akan diajukan sebagai lokasi untuk pemboran IODP (Integrated Ocean Drilling Program) beberapa tahun mendatang. Pengetahuan mengenai transpor sedimen bawah laut cukup dibutuhkan dalam kajian kebencanaan geologi, seperti longsor bawah laut, gempa bumi dan tsunami di daerah lingkar gunung api pasifik (Pacific ring of fire), sehingga hal tersebut meningkatkan kemampuan dalam tata kelola dan mitigasi kebencanaan di Indonesia. Pertanyaan yang mengemuka saat ini dan menjadi tantangan para pelajar Indonesia di Eropa yang mendalami disiplin geoteknik kelautan adalah, (1) Apakah gempa bumi disebabkan hanya oleh subduksi lempeng, atau dapat juga disebabkan oleh gangguan kestabilan lereng? (2) Apakah tsunami dapat disebabkan oleh longsoran bongkahan sedimen berukuran masif (>1000 m³) yang menyebabkan pengisian kolom air laut secara mendadak? Pemahaman tentang transpor sedimen bawah laut juga merupakan elemen penting dalam melakukan kajian geoteknik perairan dangkal ataupun laut dalam. Terutama untuk instalasi jaringan kabel bawah laut, proses eksplorasi-eksploitasi sumber daya migas di laut dalam; dan proses konstruksi infrastruktur lepas pantai lainnya, seperti jembatan bawah laut (Loncke et.al., 2008; Dondurur et.al., 2006).

REFERENSI Berglar, K., et.al. (2008) Neogene subsidence and stratigraphy of the Simeuleu forearc basin. Marine Geology 253, pp.1-13. Clift, P., et.al. (2004) Control on tectonic accretion versus erosion in subduction zones: Implications for origin and recycling of the continental crust. Review of Geophysics 42, pp.1-31. Damuth, J.E. (1980) Use of high frequency (3.5-12 kHz) echograms in the study of near bottom sedimentation processes in the deep sea. Marine Geology 38, pp.51-75. 78

Domzig A., et.al. (2008) Deposition processes from echo-character mapping along the western Algerian margin (Oran-Tenes), Western Medditerranean. Marine and Petroleum Geology (article in press), pp.1-22. Dondurur, D., et.al. (2007) Acoustic structure and recent sediment transport processes on the continental slope of Yeşilırmak River fan, Eastern Black Sea. Marine Geology 237, pp.37-53. Einsele, G. (2000) Sedimentary basins: evolution, facies and sediment budget, 2nd edition. Springer, Germany. Gupta, A. (2005) The Physical Geography of Southeast Asia. Oxford University Press, p.246. Haughton, P., et.al. (2009) Hybrid sediment gravity flow deposits – Classification, origin and significance. Marine and Petroleum Geology xxx, pp.1-19. Hebbeln, D., et.al. (2006) Report and Preliminary Results of SO-184, PABESIA. Report 246, Department of Geoscience, University of Bremen, Germany. Henrich, R., et.al. (2007) Architecture and sedimenty dynamics of the Mauritanian Slide Complex. Marine and Petroleum Geology 25, pp.17-33. Izart, A., et.al. (1994) Seismic stratigraphy and subsidence evolution of the northwest Sumatra fore-arc basin. Marine Geology 122, pp.109-124. Karig, D.E., et.al. (1980) Structural framework of the fore-arc basin, NW Sumatra. J.Geol.Soc.London 137, pp.77-91. Loncke, L., et.al. (2008) Slope instabilities from echo-character mapping along the French Guiana transform margins and Demerara abyssal plain. Marine and Petroleum Geology (article in press), pp.1-13. McCann, W.R., et.al. (1989) Morphologic and Geologic Effects of the Subduction of Bathymetric Highs. Pageoph 129, pp.41-69. Mosher, D. C., et.al. (2008) Deformation of the northern Sumatra accretionary prism from high-resolution seismic reflection profiles and ROV observations. Marine Geology 252, pp.89-99. Noda, A. et.al. (2007) Characteristics of sediments and their dispersal system along shelf and slope of an active forearc margin, eastern Hokkaido, northern Japan. Sedimentary Geology 201, pp.341-364. Owen, M., et.al. (2006) Late Pleistocene submarine mass movements: occurrence and causes. Quaternary Science Review 26, pp.958-978. Samuel, M.A., et.al. (1996) Tectonic development of South East Asia, abstract. Geological Society 106, p.337. Shanmugam, G. (2009) Slides, Slumps, Debris Flows, and Turbidity Currents. The Encyclopedia of Ocean Sciences 2nd edition, pp.4509-4529. Spieß, V. (1993) Digitale Sedimentechographie Neue Wege zu einer hochaufl.osenden Akustostratigraphie. Report 35, pp.1-199. Faculty of Geosciences, University of Bremen, Germany. Susilohadi, S., et.al. (2005) Neogene structure and sedimentation history along Sunda foreac basin off southwest Sumatra and southwest Java. Marine Geology 219, pp.133-154. 79

Tappin, D. R., et.al. (2007) Mass wasting processes – offshore Sumatra. Submarine Movement and Their Consequences 3rd edition, pp.327-336. Whitmore G. P., et.al. (1999) Sedimentation in a complex convergent margin: the Papua New Guinea collision zone of the wester Solomon Sea. Marine Geology 157, pp.19-45. Yuanda, T.R. (2009) Acoustic facies and depositional processes of the Mentawai basin, Indonesia. Master Thesis. Faculty of Geosciences, University of Bremen, Germany.

80

SUB KATEGORI : SAINS DASAR (1A) PAPER YANG TIDAK LOLOS PRESENTASI FINAL

No

Nama Penulis

1. Agus ATMADIPOERA

Judul Paper Arus Lintas Indonesia: Proxy untuk Prediksi Perubahan Iklim Regional dan Global (Indonesian Throughflow (ITF): A Proxy for Regional and Global Climate Prediction)

81

Sub Kategori

: Sains Dasar (1A)

Judul : Arus Lintas Indonesia: Proxy untuk Prediksi Perubahan Iklim Regional dan Global (Indonesian Throughflow, ITF: A Proxy for Regional and Global Climate Prediction) Agus ATMADIPOERA PhD Candidate Laboratoire d’Océanographie et du Climat: Expérimentation et Approches Numériques (LOCEAN), IPSL (CNRS/IRD/MNHN/UPMC) Tour 44-45 4è étage Université Pierre et Marie Curie – Paris 6 4, Place Jussieu 75252, PARIS Telp : +33 1 44 27 70 74 e-mail: [email protected]; [email protected]

Abstract. Perairan laut Indonesia merupakan satu-satunya wilayah dekat ekuator di dunia yang memiliki koneksi antar-samudera, dari Pasifik ke Hindia, serta merupakan komponen penting dalam sirkulasi thermohaline global. Perpindahan bahang dan massa ke Hindia yang diangkut oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) berperan penting dalam mempengaruhi fluks bahang dan massa di Hindia, yang secara langsung akan berdampak terhadap perubahan iklim regional dan global. Pemahaman yang baik terhadap karakteristik Arlindo, transfer heat dan mass, serta variabilitasnya, sangat diperlukan untuk validasi model dalam memprediksi iklim regional dan global. Untuk maksud ini, program internasional INSTANT telah dilaksanakan tahun 2003-2006 antara Indonesia dan USA, France, Australia dan Netherlands. Transport Arlindo yang dipindahkan ke Hindia sebesar 15 Sv, yang masuk dari selat inflow Makasar dan Lifamatola, dan dipartisi melalui selat outflow di Lombok, Ombai dan Timor. Suhu yang dipindahkan sebesar 26.7°C yang berdampak terhadap penghangatan air Hindia. Peranan inflow sekunder, seperti Laut Jawa dan NW Australian shelf, sangat penting dalam menentukan struktur massa air Arlindo. Selat Lombok berpotensi untuk lokasi monitoring perubahan iklim, melalui pemantauan Arlindo, yang bisa diintegrasikan dengan aktivitas terkait penting lainnya, misalnya penyediaan energi terbaharukan, pertahanan, dan pemanfaatan air laut-dalam. Keywords : INSTANT, Indonesian Throughflow, Outflow/inflow straits, heat and mass transport, Lombok Strait.

1. PENDAHULUAN Hamparan wilayah Negara Indonesia yang berada di wilayah tropis nan subur, dengan matahari yang bersinar sepanjang waktu, terbentang dari barat (Sabang) sampai ke timur (Merauke) sepanjang 5345 km, dan dari utara (Talaud) sampai ke selatan (Ashmore) sepanjang 1919 km, dengan untaian 17589 pulau-pulau yang bertaburan di sepanjang khatulistiwa yang saling terhubungkan satu-sama lainnya oleh tautan laut, selat, dan basin yang terangkai sangat menakjubkan, menjadikan wilayah Negara Indonesia mendapat julukan 82

sebagai jamrud khatulistiwa yang terpatri di dalam wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI). Wilayah perairan BMI memiliki posisi yang sangat strategis dan menentukan karena dilingkupi oleh dua samudera (Pasifik dan Hindia) serta dua benua (Asia dan Australia). Karena diapit oleh dua samudera, maka wilaya perairan BMI memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan sirkulasi arus laut hangat global. Perairan Indonesia merupakan satu-satunya wilayah dekat ekuator di dunia yang memiliki koneksi antar-samudera (Gambar 1). Implikasinya adalah terjadinya perpindahan massa air yang lebih tawar dan lebih hangat dari samudera Pasifik ke Hindia. Transfer yang besar ini tentunya akan mempengaruhi fluks massa (freshwater) dan bahang (heat) permukaan samudera Hindia, yang selanjutnya, akan berdampak secara langsung terhadap perubahan atmosfer di atasnya, dan akhirnya terhadap iklim regional di wilayah samudera Hindia, serta samudera di dunia karena perairan BMI merupakan komponen penting dalam sirkulasi arus laut global.

Gambar 1. Skema sirkulasi pertukaran thermohaline antar-basin samudera di dunia. Air laut dalam yang dingin dan lebih asin yang terbentuk di Atlatik Utara (disebut NADW: North Atlantic Deep Water) mengalir kearah selatan sebagai arus laut dalam, dimana sekitar 30% diangkut oleh Arus Sirkumpolar Antartika (ACC) ke Samudera Pasifik dan Hindia. Arus dalam tersebut mengalir kearah utara di sepanjang tepi barat samudera dan sebagian terangkat ke dekat permukaan di bagian utara samudera. Hal ini mendorong arus-balik yang hangat dan dangkal yang berpindah dari Samudera Pasifik Utara melalui perairan Indonesia dan dari Samudera Hindia ke arah Samudera Atlantik Selatan melalui Semenanjung Afrika Selatan, dimana 70% sisanya bergabung, dan kembali ke arah Atlantik Utara (Broecker, 1987; Gordon, 1986).

Peranan penting dan strategis berikutnya, karena BMI diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), menjadikan wilayah ini merupakan salah satu wilayah monsoon yang sangat kuat dan dinamis di dunia. Dalam periode musim barat (Novembre-April) angin muson bertiup dari arah benua Asia menuju Australia karena pemanasan-lebih dari sang surya terjadi di Australia. Udara yang dibawa oleh angin muson barat ini memiliki sifat yang lebih hangat dan basah, sehingga memicu curah hujan yang tinggi selama musim barat ini. Sebaliknya, dalam periode muson timur, sifat udara yang dibawa oleh angin muson timur dari Australia ini adalah lebih kering dan dingin, sehingga di atas wilayah Indonesia curah hujan menjadi berkurang, dan dikenal sebagai musim kering. Di samping itu, wilayah atmosfer Indonesia terkenal sebagai wilayah yang memiliki sirkulasi atmosfer tropis yang sangat aktif, dikenal sebagai sirkulasi Hadley dan sirkulasi Walker. Kedua sirkulasi ini dianggap memiliki peran penting dalam memicu perubahan iklim antartahunan, yang dikenal sebagai fenomena El Nino dan La Nina. 83

Dalam tahun ‘normal’, sikulasi atmosfer aktif berada di atas wilayah barat ekuator Pasifik dan timur perairan Indonesia, serta ‘kolam air hangat’ (warm water pool) dan curah hujan yang tinggi terjadi di wilayah tersebut. Dalam tahun El Nino, yang dipicu oleh adanya anomali angin pasat samudera Pasifik, menyebabkan wilayah sirkulasi aktif atmosfer bergeser jauh ke arah timur dan tengah samudera Pasifik, yang diikuti oleh pergeseran wilayah curah hujan tinggi, yang sebelumnya di atas Indonesia bergeser jauh ke timur di samudera Pasifik. Dampak dari pergeseran wilayah curah hujan ini, menyebabkan terjadinya kekeringan hebat di wilayah Indonesia, dan wilayah regional lainnya, seperti bagian utara Australia. Kekeringan yang berkepanjangan tentunya akan memberikan dampak turunan yang dahsyat terhadap aspek ekologis, lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan sosial di wilayah Indonesia. Seperti kebakaran hutan, rentannya ketahanan pangan karena gagal panen, kekurangan air bersih untuk konsumsi domestik di sebagian wilayah Indonesia, pencemaran udara dari asap kebakaran hutan, meningkatnya penyakit infeksi saluran pernapasan dan paru-paru, serta dampak sosial lainnya. Kontras dengan tahun El Nino, dalam tahun La Nina wilayah sirkulasi atmosfer aktif yang lebih intensif terjadi di barat equator Pasifik dan wilayah timur Indonesia, berakibat melonjaknya curah hujan yang intensif dan melebihi kapasitas serap alami di sebagian wilayah Indonesia. Hal ini secara nyata telah menyebabkan bencana banjir besar di sebagian wilayah Indonesia. Banjir yang besar telah terbukti menyebabkan kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, serta menyisakan penyakit pencernaan setelah banjir usai. Seperti diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa fenomena alam El Nino, memberikan dampak negatif yang sangat besar terhadap kerugian berbagai aspek kehidupan di daratan wilayah Indonesia dan regional lainnya. Tapi sebaliknya, untuk wilayah perairan laut Indonesia, tahun El Nino justru memberikan dampak positif bagi para nelayan, karena melimpahnya ikan laut, sehingga dikenal sebagai panen raya ikan antar-tahunan (3-5 tahunan). Perairan timur Indonesia, perairan selatan Jawa-Bali, perairan barat Sumatera, merupakan sebagian dari wilayah laut Indonesia yang menikmati melimpahnya panen ikan selama tahun El Nino. Fenomena munculnya ikan yang melimpah ini diduga terkait dengan menyusutnya angkutan massa air Pasifik ke Hindia, sehingga memicu air di samudera Hindia untuk memasok kekurangan masukan itu melalu tarikan air-laut-dalam yang kaya nutrient dari lapisan bawah ke dekat permukaan. Meningkatnya unsur hara akan memicu organisme laut untuk berkembang biak secara pesat. Melalui proses rantai makanan, pesatnya perkembangbiakan organisme dasar akan memicu pertumbuhan organisme yang lebih besar lainnya, hingga kelompok ikan yang berkembang biak secara pesat. Mengingat pentingnya peranan perairan Indonesia, seperti diuraikan di atas, terhadap sirkulasi antar-samudera, serta sirkulasi atmosfer tropis dan kaitannya dengan perubahan iklim, maka program internasional tentang riset kelautan perlu dilaksanakan. Salah satu program riset yang sedang dilaksanakan adalah program INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport), suatu program riset kolaborasi antara lima Negara, yakni Indonesia, Perancis, USA, Australia, dan Belanda. Tujuan utama dari riset ini adalah mengkuantifikasi besarnya debit angkutan massa air, bahang dan massa yang dipindahkan dari Pasifik ke Hindia, serta memahami karakteristik massa air, dan variabilitas spasial dan temporalnya. Program INSTANT ini mulai 84

dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai 2008, sedangkan eksperimen lapangan dilakukan sejak akhir tahun 2003 dengan memasang 11 mooring arrays di selat utama, seperti Makassar, Lifamatola, Lombok, Ombai, dan Timor (Gambar 2). Berbeda dengan riset sebelumnya, di dalam program INSTANT, pengukuran arus, suhu dan kegaraman dilakukan secara serempak di selat inflow (Makasar dan Lifamatola) dan selat outflow (Lombok, Ombai, dan Timor). Beberapa hasil yang sudah diperoleh dari program INSTANT akan diuraikan di dalam tulisan ringkas ini.

Gambar 2. Skema lintasan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow). Inset adalah lokasi pemasangan mooring di selat inflow utama (Makassar, Lifamatola), serta selat outflow (Lombok, Ombai, dan Timor). Transport dari hasil pengukuran sebelum INSTANT (angka dengan warna hitam) dan hasil dari pengukuran INSTANT (angka merah). Besarnya total transport yang dipindahkan ke samudera Hindia adalah sekitar 15 Sv (1 Sv = 10 6 m3/s), yang dipartisi melalui selat keluaran Lombok (2.6 Sv), selat Ombai (4.9 Sv), dan selat Timor (7.5 Sv) (after Gordon et al., 2008; Sprintall et al, 2009; van Aken et al., 2009; Atmadipoera, 2009).

2. ESTIMASI TRANSPORT ARLINDO DARI HASIL EKSPERIMEN INSTANT Program riset INSTANT untuk pertama kalinya telah berhasil mengukur secara serempak besarnya debit air Pasifik yang dipindahkan ke samudera Hindia dengan memasang 11 rangkaian mooring di selat inflow dan outflow. Setiap mooring terdiri dari 12 rangkaian sensor arus, suhu dan salinitas yang dipasang sesuai dengan kedalaman perairan antara 1200 m sampai 3000 m. Pengukuran dilakukan secara otomatis setiap 5 menit selama 3 tahun dari 2003–2006. Berdasarkan hasil pengukuran itu, rerata transport yang diukur di Selat Makasar adalah 11.6 Sv, dan 2.5 Sv masuk dari Lifamatola (lihat Gambar 2). Melalui selat outflow, besarnya transport adalah 2.6 Sv, 4.9 Sv, dan 7.5 Sv, masing-masing untuk Lombok, Ombai dan selat Timor (Gambar 2). Dengan demikian besarnya total rerata transport yang keluar dari selat outflow adalah sekitar 15 Sv, yang lebih besar disbanding dengan hasil studi sebelumnya. Besarnya transport yang melewati selat tersebut berfluktuasi mulai dari skala intra-musiman sampai dengan antar-tahunan. Pada skala intra-musiman (30-60 harian), fluktuasi transport Arlindo dipengaruhi oleh dinamika atmosfer diatasnya, terkait dengan osilasi atmosfer 85

Maden-Julian. secara semi-tahunan, pengaruh gelombang Kelvin dari samudera Hindia ekuator berperan besar terhadap fluktuasi transport di selat outflow. Fluktuasi transport Arlindo secara musiman sangat ditentukan oleh dinamika muson Asia-Australia, dan variasi transport antar tahunan berkaitan erat dengan dinamika samudera Pasifik, melalui dinamika El Nino dan La Nina, serta dinamika di samudera Hindia, melalui fenomena Dipole mode Hindia (IOD). Estimasi besarnya bahang (heat) yang dipindahkan dari samudera Pasifik ke Hindia dari hasil pengukuran sebelum INSTANT bervariasi antara 0.41 – 1.15 PW (Tabel 1). Hasil estimasi fluks bahang dari program INSTANT masih dalam proses perhitungan, namun estimasi pendahuluan melalui metode perhitungan transport-weighted temperature, tercatat 17.6°C suhu yang dipindahkan ke Hindia dari Pasifik. Hal ini berarti fluks bahang dari samudera Pasifik ke Hindia berdampak terhadap pemanasan samudera Hindia yang memiliki rerata suhu lebih rendah dari pasifik. Tabel 1. Perbandingan estimasi transport bahang (heat) oleh Arus Lintas Indonesia, berdasarkan model dan data di Selat Makassar (Vranes et al., 2002).

Volume transport (Sv) Hirst and (1993)

Godfrey 17

Ref. temp. (°C)

Heat flux [HF] or heat transport (PW)

-

0.62 [HF]

Schneider and Barnett 13.8 (1997)

3.4

0.9

Schiller et al. (1998)

3.72

1.15

Gordon and McClean 12 (1999)

2.8

0.66

Lebedev and Yaremchuk 11.5 (2000)

2.8

0.83

Vranes et al. (2002)

9.8 (profile B)

3.4

0.45

8.9 (profile D)

3.4

0.41

16

3. PERANAN INFLOW SEKUNDER Program INSTANT telah berhasil mengukur besarnya transport yang melalui selat utama inflow dan outflow. Namun demikian program ini masih menyisakan ‘pekerjaan rumah’ karena tidak ada pengukuran di inflow sekunder, seperti yang masuk dari laut Jawa dan dari NW Australian shelf. Dari hasil kajian karakteristik mass air di selat outflow, terbukti bahwa inflow sekunder ini berperan penting dalam menentukan struktur massa air Arlindo, serta keragamannya (Gambar 3). Hal ini terkait dengan suplai freshwater yang sangat besar dalam musim barat, dari hasil curahan hujan selama musim ini. Program pengukuran transport yang melewati Laut Jawa sedang berlangsung antara Indonesia dan Cina. Pemasangan mooring di selat Karimata sedang berlangsung sejak tahun 2007 sampai sekarang. Kajian transport dengan model di NW Australian shelf dari hasil model menunjukkan 86

pentingnya suplai air laut yang lebih asin dari shelf ini terhadap massa air Arlindo yang keluar melalui selat Timor (Atmadipoera et al., 2009b).

Gambar 3. Hasil simulasi model perpindahan freshwater dari laut Jawa ke selat outflow, dan berlanjut ke samudera Hindia. Laut Jawa berperan penting dalam menentukan struktur dan keragaman massa air Arlindo yang diekspor ke samudera Hindia (Atmadipoera et al., 2009).

4.

PASCA PROGRAM INSTANT DAN PREDIKSI IKLIM REGIONAL DAN GLOBAL

Sekarang gambaran sinoptik tentang Arlindo selama tiga tahun (2004-2006) telah didapat. Di samping analisis akhir dari data INSTANT yang masih sedang dirampungkan, bersama dengan data regional lainnya yang diperoleh dari satelit dan sistem observasi samudera, dua kegiatan utama yang disarankan adalah: (1) mengevaluasi simulasi model Arlindo, dan (2) membangun sistem monitoring Arlindo yang hemat biaya. Evaluasi model. Perbandingan kuantitatif antara hasil pengamatan dan model output mutlak diperlukan. Bila hasil pengamatan sudah terbaharui yang mencakup skala spatial dan temporal yang lebih baik, dan konfigurasi fisik dan fluks dari model sudah lebih reaslistik, maka memungkinkan untuk melakukan perbandingan tersebut. Hasil pengukuran INSTANT menawarkan sebuah kesempatan dan tantangan yang sangat ideal untuk valiadsi hasil model 87

ini. Bila hasil validasi model sudah cukup realistik dan benar dibanding dengan hasil INSTANT, maka model memberikan alat riset yang bermanfaat untuk kajian peranan Arlindo terhadap iklim dalam skala regional dan global, serta kajian sistem iklim, termasuk kemampuan prediktabilitinya. Pengamatan Arlindo jangka panjang. Data INSTANT untuk pertama kalinya memberikan hasil pengukuran secara serempak di selat inflow dan outflow dari Arlindo. Namun demikian, pengamatan INSTANT mencakup hanya 3 tahun. Bagaimana karakteristik jangka panjang dapat tergambarkan dengan pengukuran selama 3 tahun tersebut? Bagaimana keterkaitan antara Arlindo terhadap variabilitas iklim skala yang lebih besar? Masih ada satu topic yang terkait dengan ekosistem kelautan regional, yang tergantung kepada Arlindo, seperti perikanan pelagis penting di wilayah timur Indonesia dan wilayah selatan Indonesia. Model ekosistem yang sudah divalidasi dengan hasil data INSTANT, diharapkan dapat membantu dalam memprediksi konservasi ekosistem kelautan regional tersebut. Program INSTANT dalam pengukuran Arlindo selama 3 tahun memberikan kesempatan untuk eksplorasi lebih dalam lagi keterkaitan antara Arlindo terhadap perairan laut Indonesia, dan terhadap samudera Pasifik dan Hindia skala besar, dan sistem iklim. Hasil kuantitatif dari validasi model output, akan meningkatkan hasil simulasi Arlindo dalam perairan laut regional dan global, dan iklim. Berdasarkan hasil INSTANT, besarnya angkutan massa air Pasifik yang dipindahkan ke Hindia melalui Arus Lintas Indonesia ternyata lebih besar dari perkiraan sebelumnya (10 Sv). Hal ini berimplikasi bahwa bahang (heat) dan massa yang ditransfer ke Hindia menjadi lebih signifikan dalam mempengaruhi fluks di samudera tersebut. Lebih lanjut, hasil INSTANT juga menjunjukkan bahwa partisi selat outflow cukup beragam, dimana selat Timor memberikan kontribusi yang signifikan (~50%) dari total transport Arlindo, sedangkan transport yang melewati selat Lombok sekitar 2.6 Sv. Ketiga selat keluaran tersebut memiliki korelasi yang signifikan dengan fluktuasi iklim El Nino maupun La Nina. Artinya, apabila kita bisa memantau fluktuasi Arlindo secara akuran, maka kita akan bisa memprediksi perubahan iklim antar-tahunan tersebut. Di antara ke-3 selat outflow, selat Lombok memiliki karakter yang cukup unik dengan arus permukaan yang sangat kuat (~2 m/s) dan dengan debit arus laut yang cukup besar (2.6 106 m3/s). Dengan karakter selat seperti itu, sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi lokasi percontohan untuk monitoring Arlindo dalam jangka panjang. Selain itu, untuk future program dengan debit sebesar 2.6 106 m3/s dan arus laut yang kuat dengan lebar selat sekitar 23 km, ini sangat luar biasa bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan energi terbaharukan melalui pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL), yang diperkirakan bisa mencukupi Bali dan Nusa Tenggara. Seandainya PLTAL ini bisa diintegrasikan dengan sistim monitoring Arlindo, pemanfaatan air laut-dalam, sistem pertahanan nasional, industri perikanan dan parawisata, maka beberapa isu nasional tentang kekurangan energi listrik, lewatnya kapal selam liar ke dalam wilayah dalam R.I., prediksi perubahan iklim, dan kekurangan air bersih bisa segera teratasi.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Perairan laut Indonesia merupakan satu-satunya wilayah dekat ekuator di dunia yang memiliki 88

koneksi antar-samudera, dari Pasifik ke Hindia, serta merupakan komponen penting dalam sirkulasi thermohaline global. Perpindahan bahang dan massa ke Hindia yang diangkut oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) berperan penting dalam mempengaruhi fluks bahang dan massa di Hindia, yang secara langsung akan berdampak terhadap perubahan iklim regional dan global. Pemahaman yang baik terhadap karakteristik Arlindo, transfer heat dan mass, serta variabilitasnya, sangat diperlukan untuk validasi model dalam memprediksi iklim regional dan global. Untuk maksud ini, program internasional INSTANT telah dilaksanakan tahun 2003-2006 antara Indonesia dan USA, France, Australia dan Nederlans. Transport Arlindo yang dipindahkan ke Hindia sebesar 15 Sv, yang masuk dari selat inflow Makasar dan Lifamatola, dan dipartisi melalui selat outflow di Lombok, Ombai dan Timor. Suhu yang dipindahkan sebesar 26.7°C yang berdampak terhadap penghangatan air Hindia. Peranan inflow sekunder, seperti Laut Jawa dan NW Australian shelf, sangat penting dalam menentukan struktur massa air Arlindo. Selat Lombok, merupakan salah satu dari tiga selat outflow, yang berpotensi dijadikan proyek percontohan untuk monitoring perubahan iklim, melalui pemantauan Arlindo jangka panjang. Dari besarnya transport air laut yang melewati selat ini, berpotensi dalam penyediaan energi listrik terbaharukan, yang dapat diintegrasikan dengan berbagai aktivitas terkait penting lainnya. REFERENSI ACIA, 2005. Arctic Climate Impact Assessment. Cambridge University Press. 1042p. http://www.acia.uaf.edu Atmadipoera, A., R. Molcard, G. Madec, S. Wijffels, J. Sprintall, A. Koch-Larrouy, I. Jaya, A. Supangat. 2009. Characteristics and variability of ITW at the outflow straits. Deep-Sea Research I. doi:10.1016/j.dsr.2009.06.004. Atmadipoera, A., R. Molcard, G. Madec, S. Wijffels, J. Sprintall, E. Durand. 2009. Inflow between Ashmore and Australian coast, and its impact to Timor throughflow. Submitted to Ocean Dynamics. Atmadipoera, A., R. Molcard, G. Madec, S. Wijffels, J. Sprintall, E., Durand. 2009. Remotely forced deep flow variability in Timor Passage from Data and NEMO numerical model. Submitted to Ocean Dynamics. Gordon et al., 2008. The Indonesian Throughflow, 3-year INSTANT composite view. Gordon A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W. Pranowo, S. Wirasantosa, (2008). Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophysical Research Letter, 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372. Sprintall, J., Wijffels, S., Molcard, R., and Jaya, I., (2009). Direct estimates of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004-2006. in press Journal of Geophysical Research. Van Aken, H.M., Brodjonegoro, I.S., Jaya I., (2008). The deep-water motion through the Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian throughflow. Deep-Sea Research I, doi: 10.1016/j.dsr.2009.02.001 89

SUB KATEGORI : SAINS TERAPAN (1B) PAPER YANG LOLOS PRESENTASI FINAL

No

Nama Penulis

Judul Paper

1. Muhyin DAUD

Penerapan Sistem Komunikasi Gelombang Milimeter dengan Menggunakan Adaptive Coded Modulation dan Diversity Guna Memenuhi Kebutuhan Akses Data Kecepatan Tinggi di Indonesia

2. N. Agung PAMBUDI, W. SUMBODO

Karakteristik Energi dari Limbah Jarak Pagar (Jatropha Curcas) sebagai Pengembangan Produksi Bio-Coal

3. Riza Arief PUTRANTO

Ketersediaan Enzim Selulase Sumber Lokal Melalui Rekayasa Genetika untuk Mendukung Produksi Bioetanol dari Limbah Lignoselulosa Perkebunan

4. Elrade ROFAANI, Katalin TÓTH, Maria MILDENBERGER

Pengaruh Porphyrin terhadap Modifikasi Histon PostTranslasional - Pengamatan Terhadap Termal Denaturasi di Tingkat Makromolekul Nukleosom dalam Kondisi Tanpa dan Irradiasi Cahaya Tampak

5. Atur P. N. SIREGAR

Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Nasional dengan Menggunakan Material Ramah Lingkungan dari Sampah Industri Kelistrikan dan Logam Nasional

6. Agus SUSILO

Prediksi Permeabilitas Berdasarkan Model Kapiler

7. Arya WIDYAWAN

Catatan Ringkas Tentang Hama Wereng Coklat dan Ganjur serta Metode Pengendalian Terpadu yang Ramah Lingkungan

8. Hadi Teguh YUDISTIRA

Electrohydrodynamic (EHD) Inkjet Printing menjadi Pendukung Perkemba ngan Teknologi Nano (Nano Technology) dan juga Sistem Mikro (Microsystem) atau MEMs (Micro Electro Mechanic Systems) Terutama di Indonesia

90

Sub Kategori

: Sains Dasar (1B)

Judul : Penerapan Sistem Komunikasi Gelombang Milimeter dengan Menggunakan Adaptive Coded Modulation dan Diversity Guna Memenuhi Kebutuhan Akses Data Kecepatan Tinggi di Indonesia Muhyin DAUD Double Degree Student FONTYS University of Applied Sciences Bakkerstraat 38A #11 5612EP Telp : +31 649267011 E-mail: [email protected]

Abstract : Demand for increasing channel capacity in the wireless communication system is a problem that cannot be avoided. Wireless broadband access service can be fulfilled with frequencies above 10GHz using LMDS system. However, this frequency is vulnerable to rain attenuation. Therefore, research is still needed, if the millimeter wave systems are to be implemented in Indonesia whose rainfall is very high. To reduce this influence, the research was conducted on the analysis of the performance of several methods to optimize the system performance, among others, namely the use of adaptive modulation, a duplex coding (Convotional Code and Reed Solomon) and adaptive techniques diversity. Where, especially diversity in Hybrid-Slection/Maximal Ratio Combining technique. All of these techniques will be combined to know the implementaion of milimeter wave systems in Indonesia. Observations on Adaptive Coded Modulation (ACM) System is made on the maximum BER of 10-6 and 10-11. This analysis will be performed on multilink (4 converging links) configuration with 450 spacing on 1km, 2km, 3km and 4km distances. Results of the analysis that was done shows that the observation on ACM System, the link 1km on the track multilink system has a value of link availability of 99.99%. Even the results of analysis, ACM system combined with the diversity technique has been able to achieve link avalability of 99.99% at the distance of 1km and 2km. Those techniques increased performance BER and bandwidth efficiency. Beside that, these techniques provide high speed data access with uplink rate 200 Mbps and downlink rate 1,5 Gbps. Keywords: LMDS system, Adaptive Modulation, Hybrid-Selection/Maximal Ratio Combining Diversity

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kebutuhan kapasitas kanal yang semakin meningkat dalam sistem komunikasi nirkabel merupakan masalah yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu terus dikembangkan sistem modulasi yang dapat menyediakan kapasitas bitrate tinggi dan ini dimulai dengan penggunaan 91

sistem FDMA, TDMA, dan CDMA, hingga teknologi 3,5G yang telah kita kenal saat ini. Kapasitas kanal kecil mengakibatkan rendahnya layanan kecepatan akses data di negara Indonesia. Hal ini mengakibatkan berbagai dampak rendahnya pertumbuhan information technology, dan juga tidak dimungkinkannya berbagai hal yang bersifat streaming seperti elearning mapun pengobatan medis via online. Di Amerika, Kanada dan Eropa telah diterapkan layanan akses nirkabel tetap bersifat broadband, yang biasa dikenal dengan istilah Local Multipoint Distribution Services (LMDS). LMDS beroperasi pada frekuensi antara 20–40 GHz, dengan menggunakan sistem akses seluler untuk arsitektur jaringannya, namun dengan receiver yang tetap. Sistem ini dapat mengirimkan sinyal dengan cepat pada bit rate 1,5 GBps saat downstream dan 200 MBps saat upstream serta sistem ini mendapati gangguan minimal. Sistem komunikasi dalam pita frekuensi tinggi seperti sistem LMDS sangat peka terhadap fade (pelemahan) yang disebabkan oleh hujan, sehingga bisa memberikan efek signifikan dalam keandalan sistem komunikasi di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Oleh karena itu, penerapan sistem LMDS di Indonesia akan menjadi permasalahan yang rumit mengingat besarnya redaman hujan yang terjadi. Dimana, semakin tinggi curah hujan rata-rata maka semakin besar pula redaman hujan yang terjadi. Pada frekuensi diatas 10 GHz, redaman hujan akan naik secara signifikan yaitu lebih dari 1 dB/km dan bahkan dapat mencapai 80dB pada link 5 km (Salehudin,1999). Redaman hujan ini akan memberikan dampak penurunan unjuk kerja dari sistem komunikasi radio yang beroperasi pada gelombang milimeter. Daerah tropis seperti Indonesia dengan curah hujan yang tinggi akan mengalami redaman hujan yang lebih dibandingkan daerah subtropis, dimana sistem LMDS sekarang diterapkan. Pada penelitian sebelumnya, sistem transmisi adaptif telah diterapkan untuk mengatasi Rayleigh fading dengan variasi laju data dan variasi daya M-QAM untuk mendapatkan efisiensi spektrum serta unjuk kerja yang optimum (Goldsmith,1997). Sedangkan pada penelitian lainnya, Teknik cell-site diversity juga telah terbukti sangat efektif untuk melawan pengaruh redaman yang diakibatkan oleh hujan (Hendrantoro,2002). Di samping itu, pada penelitian Win Moe tahun 1999 telah terbukti bahwa teknik hybrid diversity dapat meningkatkan unjuk kerja dari sistem yang sangat signifikan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, maka penelitian ini akan menganalisa kinerja dari sistem komunikasi dengan teknik transmisi adaptif yang mengkombinasikan modulasi M-QAM dengan pengkodean rangkap, serta penggunaan teknik hybrid diversity guna mengkompensasi pengaruh redaman hujan tropis. Pada makalah ini tersusun atas pendahuluan, metode penelitian, karakteristik sistem adaptive coded modulation dengan diversity, analisa hasil simulasi dan ditutup dengan kesimpulan dan saran 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh redaman hujan terhadap kinerja sistem LMDS multilink dan mengamati penerapan teknik hybrid-selection/maximalratio combining diversity yang dikombinasikan dengan modulasi adaptif. Di samping itu akan diketahui pula parameter kelayakan penerapan sistem komunikasi gelombang milimeter yaitu nilai link availability dan efisiensi bandwith.

92

2.

METODE PENELITIAN

2.1 Teori Penunjang 2.1.1 Parameter sistem LMDS Parameter – parameter sistem LMDS yang digunakan untuk perhitungan harga SNR pada jarak L Km adalah dengan menggunakan perhitungan yang bersumber dari Chu Y.C. Dalam penelitiannya Chu menggunakan parameter LMDS yang diproduksi oleh New Bridge Corporation Canada (Chu,2005). Parameter ini sangat penting keberaadaannya dikarenakan pada penelitian ini akan dianalisa nilai signal to noise ratio (SNR) yang masuk sistem berasal dari SNR dalam kondisi clear sky yang dikurangi dengan besarnya redaman hujan yang terjadi. Dimana nilai redaman hujan ini dapat diperoleh dari metode SST. Penelitian Chu ini mendapatkan nilai S/N clear-sky link budget untuk jarak 1-4 km secara berurutan adalah 44,8 dB, 38,8 dB, 35,3 dB dan 32,8 dB. Dimana nilai ini yang akan kita gunakan sebagai acuan analisa sistem komunikasi. Tabel 1. Parameter sistem LMDS (k=1,38.10-23 dan T0=298 K) Parameter Transmit Power into Antenna Transmit Antenna Gain

Units

Frequency

GHz

Path Length

Km

Field Margin

dB

Free Space Loss Total Path Loss Receiver Antenna Gain Effective Bandwidth Receiver Noise Figure Thermal Noise Systems Loss Received Signal Level Thermal Noise Power Spectral Density SNR Clear Sky

dB dB

dBW dBi

dBi MHz dB dBw/MHz dB dBW

dBW/MHz dB

Formula Ptx : transmit power per carrier Gt : Gant f : Transmit frequency d : Hub to Subscriber Station Range Lfm : Antenna Misalignment FSL = -92.4520*log(f)-20*log(d) Ltot = FSL + Lfm

Value 0 15 30

1 -1 -121.992 -122.992

Gr = Gant BRF = Receiver Noise Bandwidth NF : Effective Noise Figure 10*log(k*To*B) Lsys = Gt+Ltot+Gr

30

5 -143.85 -77.9924

RSL = Ptx+Lsys

-77.9924

40

No = 10*log(k*To*B)+NF -138.859 C/N = RSL-No- 44.83757 93

Parameter

Units

Formula 10*log(BRF)

Value

2.1.2 Pengukuran Curah dan Redaman Hujan Pengukuran curah hujan dilakukan di lingkungan kampus ITS Surabaya menggunakan alat ukur disdrometer optik. Data curah hujan ini diperoleh untuk periode Januari-Maret 2007 dan periode November 2007- Februari 2008 dengan waktu sampling T 10 detik. Pada synthetic storm technique (SST) (Mahmudah, 2006) angin bergerak dengan kecepatan terbatas (v) pada arah tertentu. Dari besarnya kecepatan angin dengan arah tertentu maka dapat ditentukan kecepatan angin dalam lintasan (vr) pada lintasan. Guna mendapatkan pembagi panjang lintasan (L) dari panjang lintasan efektif (L), maka akan digunakan rumus: (Km) (1) Data kecepatan dan arah angin diperoleh dari data Badan Meteorologi dan Geofisika Juanda Surabaya. Nantinya kita akan memperoleh total redaman hujan dalam satu event yang dapat dihitung dengan rumus: L  vr  T

n 1

Am   aR mb  j   L j (dB)

(2)

j 0

 L  n     L 

(3)

dimana, R adalah curah hujan, nilai a = 0.2403 dan b = 0.9485 diperoleh dari rekomendasi ITU-R P-838-3-tahun 2005. 2.1.3 Skenario Modulasi M-QAM Adaptif Data redaman hujan tersebar menurut fungsi waktu sehingga akan memiliki.berbagai variasi baik curah hujan rendah ataupun tinggi. Dalam rentang periode tertentu nilai redaman bernilai rendah, sehingga nilai SNR akan naik dan hal ini memungkinkan tingkat modulasi yang tinggi diterapkan (Goldsmith,1997). Sedangkan, apabila nilai redaman selama periode tertentu tinggi, maka nilai SNR akan menurun dan memaksa untuk menggunakan tingkat modulasi yang rendah agar BER terjaga. Skenario modulasi adaptif inilah yang menjadi kunci utama adanya peningkatan unjuk kerja sistem. Guna melakukan pengubahan mode transmisi, maka kita perlu mengetahui batasan parameter dari tiap level modulasi yang akan digunakan. Perhitungan teoritis dari BER untuk masing-masing skema modulasi dilakukan menggunakan persamaan (Cideciyan,1997):   rd SNR   1  free dfree  1,06 A exp   dfree 2 k      Pecc  log M 2 m m      1 2  1 j 2m  1 Pe j 1  Pe 2  1  j  log M P   2 cc  B  m   cc    2 1 j  t 1  j 

 

(4)

(5)

Perhitungan teoritis BER ini akan dilakukan yang akan menghasilkan batasan transisi modulasi, seperti yang ditunjukkan pada terlihat pada tabel 2 .

94

Tabel 2 Skenario ACM BER 10-6 dan 10-11 Modulasi Adaptif menjamin BER maksimal Interval SNR (BER Interval SNR (BER maks 10-6) maks 10-11) No Transmisi SNR< 1.179 SNR< 1.796 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 1.179< SNR spesifik /efisien?

Selulase komersial relatif mahal

Selulase produksi sendiri Identifikasi gen SELULASE (bisa dipisah)

Kloning & karakterisasi Modifikasi (Protein Engineering)

Ujicoba konstruksi dan ekspresi

Konstruk ekspresi untuk produksi enzim Selulase Produk Selulase

Gambar 4. Roadmap Produksi Selulase Rekombinan secara Enzimatis Menggunakan Pendekatan Rekayasa Biologis. 115

Pelet yang terbentuk dicuci menggunakan etanol 70% dingin dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm pada suhu 4°C selama 5 menit. Pelet kemudian dilarutkan menggunakan DEPC-dH2O sebanyak 750 μl atau lebih. RNA dipisahkan dari DNA dengan menambahkan LiCl 8 M sebanyak 250 μl hingga konsentrasi akhir 2 M, lalu campuran didiamkan selama 4-16 jam pada suhu 4°C. Setelah masa inkubasi selesai, sentrifugasi kembali dilakukan dengan kecepatan 13.000 rpm pada suhu 4°C selama 20 menit. Pelet RNA kembali dilarutkan menggunakan 50-100 μl DEPC-dH2O setelah pembilasan dilakukan menggunakan etanol dingin 70% yang dilanjutkan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. RNA yang diperoleh diuji kualitas dan kuantitasnya dengan elektroforesis pada gel agarose 0,8% dan mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. 4.2. Desain Primer Heterologous Gen SELULASE Pengumpulan data sekuen nukleotida selulase berbagai kapang diperoleh dari database di situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Konversi sekuen nukleotida menjadi sekuen asam amino dilakukan menggunakan program Bioedit 7.2, tetapi dapat juga menggunakan software lain seperti DNAstar, Biomanager, dan CLC Workbench, dengan memperhatikan adanya mekanisme splicing (penghilangan intron). Pencarian daerah konservatif (homologi tinggi) berdasarkan penjajaran sekuen asam amino, yang dianalisis menggunakan algoritma ClustalW. Setelah diperoleh output dari program ClustalW, sekuen asam amino kembali dikonversi menjadi sekuen nukleotida. Sekuen yang mengandung daerah konservatif, diproses dengan menggunakan program Primer3 dalam situs web (http:// www.biotools.umassmed.edu/) untuk mendapatkan output pasangan primer spesifik. 4.3. Amplifikasi Fragmen Gen SELULASE Menggunakan RT-PCR Amplifikasi fragmen daerah konservatif fragmen gen SELULASE dilakukan menggunakan RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction). Sintesis utas tunggal cDNA dilakukan menggunakan kit SuperScriptTM II First-Strand Synthesis System for RT-PCR Invitrogen dengan templat RNA total dari miselium kapang menggunakan primer heksamer acak yang tersedia di dalam kit. Utas tunggal cDNA selanjutnya dijadikan templat dalam sintesis utas ganda cDNA menggunakan primer heterologous yang telah dirancang. Analisis PCR dilakukan dengan total reaksi 25 μl, yang mengandung 1.5 μl MgCl2, 2.5 bufer ekstraksi 10X, 0.5 dNTPs 10μM, 0.5 μl Taq DNA Polymerase 5u/μl, 17 μl ddH2O, 2 μl primer (reverse dan forward). Program PCR terdiri dari pra denaturasi suhu 95°C selama 5 menit, dan 35 siklus reaksi yang terdiri dari denaturasi suhu 95 °C selama 30 detik, anealing suhu 50 °C selama 30 detik dan ekstensi suhu 72 °C selama 90 detik. Pada tahap akhir proses PCR dilakukan ekstensi akhir suhu 72 °C selama 5 menit. Sebanyak 5 μl hasil PCR di cek dengan elektroforesis gel agarosa 0,8 %. 4.4. Kloning dan Analisis Produk RT-PCR Fragmen DNA hasil RT-PCR dimurnikan dari gel menggunakan kit QIAquick Gel Extraction dari QIAGEN kemudian diligasi pada vektor pGEM-T (Promega). Hasil ligasi ditransformasikan ke E. coli kompeten sesuai prosedur yang tersedia dalam buku petunjuk. Seleksi sel transforman dilakukan pada media padat LB yang mengandung 50 mg/l kanamisin dan 40 mg/l X-Gal. Analisis adanya fragmen terklon pada koloni putih dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik. Kemudian hasil PCR koloni di cek dengan elektroforesis gel 116

agarosa 0,8 %. 4.5. Isolasi Plasmid dan Analisis Sekuensing Plasmid diisolasi dari sel E. coli menggunakan High Pure Plasmid Isolation Kit (Roche). Plasmid yang mengandung fragmen gen SELULASE dipisahkan dari sel dan diisolasi dalam pelarut. Plasmid dicek menggunakan gel elektroforesis. Keberadaan fragmen gen dalam plasmid dipastikan dengan cara digesti plasmid menggunakan enzim restriksi EcoRI. Sekuensing dapat dilakukan di beberapa institusi biologi molekuler di Indonesia seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta dengan menggunakan instrumen CEQ™ 8000 Genetic Analysis System Beckman Coulter. Sekuenser ini dapat melakukan analisis secara simultan menggunakan beberapa templat yang berbeda. Primer kit ditempeli komplemen dye terminator dan direaksikan pada templat. Hasil sekuensing secara simultan akan muncul secara otomatis dengan perkiraan ukuran sekuen. Analisis sekuensing plasmid kemudian dilakukan menggunakan BLAST. 4.6. Isolasi Daerah Ujung 5’ dan 3’ Gen SELULASE Menggunakan RACE (Rapid Amplification for CDNA ends) Amplifikasi daerah ujung 5’ dan 3’ dilakukan menggunakan kit GeneRacerTM. Tahapan kerja yang dilakukan meliputi (1) perancangan primer berdasarkan fragmen gen penyandi daerah konservatif SELULASE, (2) isolasi RNA menggunakan metode gabungan Chang dan Liu (Chang et al., 1993; Liu et al., 1998), (3) sintesis cDNA utas pertama dari transkrip dengan panjang minimum 10 kb menggunakan RT System III, (4) mengisolasi full-length ujung 5’ dan (5) karakterisasi produk RACE. 4.7. Kloning Full-Length Gen SELULASE Fragmen DNA hasil RACE-PCR dimurnikan dari gel menggunakan kit QIAquick Gel Extraction dari QIAGEN kemudian diligasi pada vektor pGEM-T (Promega). Hasil ligasi ditransformasikan ke E. coli kompeten sesuai prosedur yang tersedia dalam buku petunjuk. Seleksi sel transforman dilakukan pada media padat LB yang mengandung 50 mg/l kanamisin dan 40 mg/l X-Gal. Analisis adanya fragmen terklon pada koloni putih dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik. Kemudian hasil PCR koloni di cek dengan elektroforesis gel agarosa 0,8 %. 4.8. Konstruk Ekspresi Gen SELULASE Uji konstruksi ekspresi diawali dengan subkloning gen SELULASE dari vektor kloning ke vektor ekspresi. Subkloning ditempuh dengan mengamplifikasi gen tersebut dengan PCR menggunakan pasangan primer DNA spesifik, karena situs restriksi antara vektor kloning dan vektor ekspresi tidak langsung komplemen. Pasangan primer DNA tersusun dari 30 hingga 35 nukleotida yang terdiri dari 19 hingga 21 nt spesifik masing-masing ujung gen dan 5 komplemen dengan situs restriksi dari vektor dimana gen akan disisipkan. Hasil amplifikasi ini kemudian dipotong dengan enzim restriksi yang sesuai, demikian juga dengan vektor ekspresinya. Setelah hasil digesti didesalting, kemudian diligasikan menggunakan T4 Ligase selama 1 jam pada suhu kamar atau semalam pada 4C. DNA rekombinan hasil ligasi ini ditransformasikan untuk produksi enzim di dalam sel inang bakteri, yeast atau kapang. Untuk ekspresi di dalam bakteri dapat digunakan vektor ChampionTM pET System (Studier et al., 1990) ataupun variannya dari Invitrogen (Carlsbad, CA-USA). Dengan vektor ini, ekspresi level tertinggi dapat dilakukan dengan E. coli galur 117

BL21. Keunggulan sistem ini antara lain memiliki stabilitas RNA yang tinggi. Adanya tag histidin (6xHis) memudahkan proses permurnian menggunakan kromatografi kolom afinitas. Ekspresi gen dari kapang di dalam inang sesama eukariot memiliki keunggulan terutama kemungkinan mendapatkan protein rekombinan yang fungsional dan aktif sangat besar. Hal ini karena proses modifikasi pasca translasi (post translational modification) akan terjadi lebih sesuai jika dibandingkan dengan ekspresi gen eukariot seperti kapang, di dalam sel inang prokariot (Kohno et al., 1999). Produksi transformasi ke dalam yeast dilakukan dengan perantaraan Agrobacterium tumefaciens dengan metode baku atau metode transformasi yeast yang sederhana dan efisien (Hayama et al., 2002). Transformasi DNA rekombinan ke dalam sel kapang dapat dilakukan secara protoplas (Pentilla et al., 1987; Woloshuk et al., 1989). Alternatifnya, transformasi kapang dilakukan dengan metode baku melalui perantaraan Agrobacterium tumifaciens (de Groot et al., 1998). Dan secara umum kedua jenis sel mikroba tersebut dapat ditransformasi menggunakan elektroforasi. Seleksi sel inang yang membawa DNA rekombinan, dilakukan dengan mengkultur pada media tumbuh yang mengandung antibiotika selektif yang sesuai. Konfirmasi sel transgenik dilakukan dengan menguji adanya gen SELULASE rekombinan di dalamnya yang dapat ditempuh dengan PCR menggunakan primer spesifik DNA rekombinan.

5. KESIMPULAN Rekayasa genetika enzim merupakan salah satu pendekatan biologis dalam isu terbaru mengenai bioetanol di Indonesia. Pendekatan ini diharapkan memberikan tiga manfaat utama yaitu (1) capacity bulding: teknologi produksi enzim rekombinan, (2) ketersediaan enzim selulase lokal dalam jumlah memadai dan relatif ekonomis yang nantinya akan memberikan insentif dalam usaha untuk menghasilkan bioetanol berbahan baku limbah lignoselulosa, sekaligus membuka peluang industri, serta (3) pengayaan keanekaragaman hayati karena menggunakan isolat lokal. Realisasi penelitian dapat dilakukan melalui pendekatan runtut biologi molekuler, yang dapat diaplikasikan di Indonesia.

REFERENSI Chang, S., Puryear, J., and Cairney, J. (1993). A simple and efficient method for isolating RNA from pine trees. Plant Mol Biol Rep 11, 98-100. de Groot, M.J.A., Bundock, P., Hooykaas, P.J.J., and Beijersbergen, A.G.M. (1998). Agrobacterium tumifaciens-mediated transformation of filamentous fungi. Nature Biotechnology 16, 839-842. Deanda, K., Zhang, M., Eddy, C., and Picataggio, S. (1996). Development of an arabinosefermenting Zymomonas mobilis strain by metabolic pathway engineering. Nature Biotechnology 16, 839-842. Dien, B.S., Cotta, M.A., and Jeffrius, T.W. (2003). Bacteria engineered for fuel ethanol production : current status. . Appl. Microbiol. Biotechnol. 63, 258-266. 118

Eliasson, A., Christensson, C., Wahlbom, C.F., and Hahn-Hagerdal, B. (2000). Anaerobic xylose fermentation by recombinant Saccharomyces cerevisiae carrying XYL1, XYL2, and XKS1 in mineral medium chemostat cultures. Appl. Environ. Microbiol. 66, 33813386. Estebauer, H., Steiner, W., and Labudova, I. (1991). Production of Trichoderma cellulase in laboratory and pilot scale. Biores. Technol. 36, 51-65. Forster, J., Famili, I., Fu, P., Palssom, B.O., and Nielssen, J. (2003). Genome-scale reconstruction of the Saccharomyces cerevisiae metabolic network. Genome Res. 13, 244-253. Goldemberg, J., and Macedo, I.C. (1994). Brazilian alcohol program : An overview. Energy for Sustainable Development 1, 1. Gonzales, R., Ramon, D., and Perez-Gonzales. (1992). Cloning, sequence analysis and yeast expression of the egl1 gene from Trichoderma longibrachum. Appl. Environ. Microbiol. Biotechnol. 38, 370-375. Goyal, A., Ghosh, B., and Eveleigh, D. (1991). Characterisation of fungal cellulases. Biores. Technol. 36, 37-50. Hayama, Y., Fukuda, Y., Kawai, S., Hashimoto, W., and Murata, K. (2002). Extremely simple, rapid and highly efficient transformation method for the yeast Saccharomyces cerevisiae using glutathione and early log phase cells. J. Biosci. Bioeng. 94, 166-171. Hettenhaus, J. (1997). Commersializing A Major New Enzyme Market : Cellulase for Biomass. (USA: National Renewable Energy Laboratory). Ilmen, M., Saloheimo, A., Onnela, M.L., and Pentilla, M.E. (1997). Regulation of cellulase gene expression in the filamentous fungus Trichoderma reesei. Appl. Environ. Microbiol. 63, 1298-1306. Ingram, L.O., Conway, T., Clark, D.P., Sewell, G.W., and Preston, J.F. (1987). Genetic engineering of ethanol production in Escherichia coli. Appl. Environ. Microbiol. 53, 2420-2425. Jacquemard, J.C., Zaelani, H., and Dermawan, E. (2006). Pernanan bahan tanaman kelapa sawit dalam pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan/berkesinambungan, F.G. Discussion, ed (Jakarta: Kementrian Riset dan Teknologi RI). Koch, A., Weigel, C.T.O., and Schulz, G. (1993). Cloning, sequencing and heterologous expression of a cellulose-encoding cDNA (cbh1) from Penicillium janthinellum. Gene 124, 57-65. Kohno, M., Enatsu, M., Yoshiizumi, M., and Kumigiya, W. (1999). High-level expression of Rhizopus niveus Lipase in the yeast Saccharomyces cerevisiae and structural properties of the expressed enzyme. Proteon Expression and Purification 15, 327-335. Liu, J.J., Goh, C.J., Loh, C.S., Liu, P., and Pua, E.C. (1998). A method for isolation of total RNA from fruit tissues of banana. Plant Molecular Biology Reporter 16, 1-6. Lubis, A.U. (1992). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia (Bandar Kuala: Pusat Penelitian Perkebunan Marihat), pp. 55. Murooka, Y., and Imanaka, T. (1993). Recombinant microbes for industrial and agricultural applications. (Marcel Dekker Pub). 119

Paul, B. (2007). Future energy : How the new oil industry will change people, politics, and portfolios. (New Jersey: John Wiley & Sons). Pentilla, M., Nevalainen, H., Ratto, M., Salminen, E., and Knowles, J.K.C. (1987). A versatile transformation system for the cellulolytic filamentous fungus Trichoderma reesei. Gene 61, 155-164. Putranto, R.A., Santoso, D., Tri-Panji, Suharyanto, and Budiani, A. (2006). Karakterisasi gen penyandi Lipase dari kapang Rhizopus oryzae dan Absidia corymbifera. Menara Perkebunan 74, 1-5. Rabinovich, M.L., Melnik, M.S., and Bolobova, A.V. (2002a). Microbial cellulases : A review. Appl. Biochem. Microbiol. 38, 305-321. Saloheimo, A. (2004). Yeast Saccharomyces cerevisiae as a tool in cloning and analysis of fungal genes : Application for biomass hydrolysis and utilization. (Univ of Helsinski: Faculty of Biosciences). Shintawaty, A. (2006). Analisis ekonomi dan bisnis pada bank BUMN di Jakarta, E. Review, ed (Jakarta), pp. 9. Sims, P., James, C., and Broda, P. (1988). The identification, molecular cloning and characterization of a gene from Phanerochaete chrysosporium that shows strong homology to the exo-cellobiohydrolase I gene from Trichoderma reesei. Gene 74, 411422. Studier, F.W., Rosenberg, A.H., Dunn, J.J., and Dubendorff, J.W. (1990). Use of T7 RNA Polymerase to Direct Expression of Cloned Genes. Methods in Enzymology 185, 6089. Tempelaars, C.A.M., Birch, P.R.J., Sims, P., and Broda, P. (1994). Isolation, characterization and analysis of the expression of the cbhII gene of Phanerochaete chrysosporium. Appl. Environ. Microbiol. 60, 4387-4393. Walker, L.P., and Wilson, D.B. (1991). Enzymatic hydrolysis of cellulose : An Overview. Biores. Technol. 36, 3-14. Wang, J.R., Zhang, P., Huang, T., and Zhang, M.F. (1996). Molecular characterization of the cbh2 gene of Trichoderma viride. Mycol 88, 191-197. Woloshuk, C.P., Seip, E.R., Payne, G.A., and Adkins, C.R. (1989). Genetic transformation system for the aflatoxin-producing fungus Aspergillus flavus. Appl. Environ. Microbiol. 55, 86-90. Zhang, M., Eddy, C., Deanda, K., Finkestein, M., and Picataggio, S. (1995). Metabolic engineering of a pentose metabolism pathway in ethanologic Zymomonas mobilis. Science 267, 240-243.

120

Sub Kategori

: Sains Terapan (1B)

Judul : Pengaruh Porphyrin Terhadap Modifikasi Histon Post-Translasional – Pengamatan Terhadap Termal Denaturasi di Tingkat Makromolekul Nukleosom dalam Kondisi Tanpa dan Irradiasi Cahaya Tampak Elrade ROFAANI, ST Master Candidate Ecole Normale Superieure de Cachan 61, Avenue du President Wilson 94235 CACHAN Cedex Telp : +33 (0) 631 366 243 E-mail : [email protected]

Dr. Katalin TÓTH dan MILDENBERGER Biophysics of Macromolecules German Cancer Research Center DKFZ - B040 Im Neuenheimer Feld 580 D-69120 Heidelberg Telp : + 49 (0) 6221 42-3390 E-mail : [email protected]

Maria

Abstract : We studied an effect of the binding of tetracationic meso-tetrakis(4-Nmethylpyridyl)porphyrin (TMPyP) in chromatin as post-translational histone modification in dark-bound TMPyP and upon visible light irradiation. TMPyP was applied into HeLa normal and hyperacetylated mononucleosomes at various base pair/porphyrin ratios (r). Hyperacetylated mononucleosome was characterized in agarose and Triton-Acetic acid-Urea gel electrophoresis, which was shown by subspecies bands in all histones. The process of nucleosome denaturaion was observed by measuring the curve of thermal stability of the phase transition temperature with molar basepair ratio at r=50, r=25, and r=10. Within normal and hyperacetylated mononucleosomes, there are three phase transition temperatures, namely Tm1 and Tm2 related to the histone – DNA interaction, and Tm3 for dsDNA disruption. And each phase transition was analyzed into three following parameters : the midpoint temperature of denaturation (Tm), the absorbance amplitude, and a half-bandwitdh. The results reveal that hyperacetylated nucleosome has Tm1, which is higher shifted and Tm2’s amplitude which is reduced 50% compared to normal nucleosome. Dark-bound TMPyP destabilizes the conformation of DNA-histone interaction, which is shown by a lower thermal denaturation of both normal nucleosome (∆Tm1=50C; ∆Tm2=6.70C) and hyperacetylated nucleosome (∆Tm1=5.70C; ∆Tm2=00C). While dsDNA phase transition (Tm3) is quite stabil at around 80840C. Further, changes in amplitude of all Tm1, Tm2 and Tm3 could be observed in a manner consistent with the increasing molar basepair ratios as following results : 25%, 40%, 100% for normal and 4.8%, 37.5%, 100% for hyperacetylated nucleosomes. Last effect, which we obtained, is enlarger and broader the half-bandwidth of each phase transition temperatures. Thus, Upon visible light irradiation all changes relating to DNA/histone, histone octamer and dsDNA disruptions are more pronounced. Keywords : Porphyrin, hyperacetylated nucleosome, gel electrophoresis, phase transition temperature, visible light irradiation

121

1. PENDAHULUAN Porphyrin adalah grup senyawa kimia yang telah tersedia di alam, contohnya klorofil di daun hijau DAN sel darah merah (heme). Struktur kimiawi porphyrin berupa makro dan heterosiklik, yang terdiri dari senyawa utama porphin dan 4 pirol sebagai grup senyawa subsitusi, yang keduanya dihubungkan oleh karbon alfa melalui sambungan metin (=CH-). Secara geometri, porphyrin berupa struktur planar dan datar, yang terdiri atas empat nitrogen atom, yang terikat di rantai siklik karbon, yang berada di tengah-tengah molekul, dimana dua diantaranya terikat oleh hidrogen atom dan dua nitrogen atom lainya membentuk ikatan konjugasi rantai ikatan dua. Di alam, porphyrin sering ditemukan juga berikatan dengan ion metal dengan valensi dua, yang terletak di tengah-tengah molekul untuk membentuk interaksi komplek. Interaksi komplek porphyrin dengan besi (Fe2+) biasa ditemukan di myoglobin, hemoglobin atau sitokrom, yang biasa disebut juga sebagai heme dimana molekul dioksigen (O2) terikat ke besi. Interaksi komplek lainnya dibentuk oleh magnesium (Mg2+) yang terdapat di klorofil dan bakterioklorin, serta interaksi komplek yang dibentuk oleh kobalt (Co2+), biasa terdapat di kobalamin dan vitamin B12. Salah satu produk sintesa senyawa porphyrin, yang sering digunakan luas di laboratorium adalah 5,10,15,20(N-methyl-pyridinium-4-yl)-21H,23H-porphyrin atau tetracationic mesotetrakis(4-N-methylpyridyl)porphyrin (TMPyP, gambar.1). Kelarutannya di dalam air dan kemampuannya membentuk ikatan dengan DNA secara internal maupun interkalasi telah menarik perhatian para peneliti untuk terus mengembangkan dan melakukan penelitian tentang TMPyP dalam beberapa tahun ini, dalam rangka untuk mengeksplorasi senyawasenyawa agen fotosensitesa yang bisa dimanfaatkan untuk fotodinamik dan fotokemoterapi.

Gambar 1. Struktur molekul TMPyP Mekanisme porphyrin sebagai agen senyawa fotosensitesa yang distimulasi oleh cahaya, telah diperkenalkan oleh Chirvony, melalui mekanisme reaksi tipe I dan II, dimana porphyrin membentuk ikatan interkalasi diantara pasangan basa polinukleotida sintetik GC. Reaksi tipe I merupakan proses interaksi intermolecular transfer electron dari guanin ke porphyrin di level S1 excited state, yang bertanggung jawab atas proses quenching fluorensi TMPyP yang terinterkalasi. Mekanisme paling utama adalah proses reaksi tipe II, 122

yaitu terbentuknya singlet oksigen yang bersifat radikal, yang kemudian bisa menginduksi kerusakan di sistem makromolekul biologi, seperti polinukleotida. Beberapa aktivitas porphyrin sebagai fotodinamik agen dipaparkan ke dalam data berikut ini. Hal ini diawali oleh Fiel dkk pada tahun 1981 menyebutkan bahwa TMPyP dalam kondisi netral dan adanya cahaya tampak mampu menstimulasi pemutusan dan kerusakan ikatan dua dari CoIE1 supercoiled DNA. Villanueva dkk (1986) telah menguji kemampuan TMPyP untuk menstimulasi perubahan kromatid kembar (sister chromatid exchanges/SCE) di akar Allium cepa. TMPyP telah berhasil meningkatkan frekuensi perubahan kromatid kembar ketika diradiasi dengan cahaya biru. Spikes dan Jori dari Padova, Itali pada tahun 1987 mengkonfirmasi bahwa kemungkinan haematoporphyrin (HpD) dan dihaematoporphyrin eter or ester (DHE) berfungsi untuk sterilisasi sisa-sisa sel tumor setelah operasi neoplastik dengan fotodinamik menggunakan porphyrin dan cahaya merah (620-630 nm). Munson dan Fiel (1992) juga mengkonfirmasi bahwa cis- and transdicationic porphyrin menunjukkan sebagai agen fotosensitisa yang sangat aktif karena kemampuannya untuk memutus rantai ikatan hidrogen pada pasangan basa DNA, yang menggunakan porphyrin dan cahaya dengan dosis rendah, sementara tricationic, TMPyP, monocationic porphyrin, turunan hematoporphyrin dan metilin biru menghasilkan lebih sedikit pemutusan rantai ikatan hidrogen pada pasangan basa DNA. Sun Young Rha dkk menguji efek TMPyP di telomer, terutama aktivitas enzim telomerase di kultur sel tumor normal dan manusia. Hasil yang menjanjikan selanjutnya telah di paparkan oleh Trannoy dan rekan kerjanya di tahun 2004 tentang kemampuan tri- dan tetra-cationic porphyrin dalam aplikasinya sebagai agen fotosensitesa untuk sterilisasi patogen atau inaktifasi virus dalam sel darah merah (red blood cells/RBC). Bagaimana mekanisme kerja TMPyP terikat pada DNA masih menjadi pertanyaan, oleh karena itu para peneliti mencoba mengajukan berbagai model dengan sistem komputasi, pemodelan molekuler docking, dan analisa menggunakan x-ray kristalografi, circular dichroism, Nuclear Magnetic Resonance (NMR) spektroskopi, bahkan dengan pengukuran-pengukuran kualitatif dan kuantitatif dengan spektroskopi (spektra absorbansi dan fluoresensi) dengan tujuan untuk mengkarakterisasi sistem pengikatan TMPyP ke dalam pasangan basa DNA. Ford dkk (1987) mencoba mensimulasi sistem ini menggunakan pemodelan molekuler dan penghitungan minimum energi pada sisi dCpG dan dTpA. Struktur molekuler menunjukkan bahwa hanya sisi dCpG yang mampu membentuk ikatan interkalasi penuh dengan ligan, sementara grup tymine methyl menghambat pembentukan geometri tersebut pada sisi dTpA. Xiaowen Hui dkk (1990) juga mencoba pemodelan sistem ini menggunakan metode JUMNA, dan hasilnya menunjukkan bahwa TMPyP lebih cenderung membentuk komplek dengan cara ikatan interkalasi di antara sekuen DNA dari d(CGCGCG)2 dan membentuk komplek di sisi minor-groove sekuen DNA dari d(TATATA)2 dengan cara ikatan bukan interkalasi. Sementara, Bennett (2000) menganalisa stuktur kristal TMPyP-nikel, yang membentuk ikatan interkalasi pada tipe B-DNA duplex dengan sekuen 5’-d(BrCCTAGG), tetapi mereka membentuk ikatan stacking pada akhir dua duplex stack. Kemudian, Ohyama dkk di Universitas Tsukuba, Japan (2003), mengkarakterisasi struktur komplek TMPyP/d(GCTTAAGC)2 menggunakan intermolekuler Nuclear Overhauser effects (NOEs). Hasilnya menunjukkan bahwa TMPyP terikat pada sisi major groove dari DNA dengan sekuen poli(dAdT)2 yang berinteraksi secara elektrostatik antara muatan positif N123

methyl pyridinium porphyrin dan muatan negatif rangka phosphodiester. Penelitian ini kemudian dilanjutkan pada tahun 2004 menggunakan pemodelan molekuler docking untuk menggambarkan interaksi komplek tersebut. Hajime Mita dkk (2006) memaparkan bahwa TMPyP terinterkalasi pada sisi A3pG4 dari sekuen d(TTAGGG)4 karena stabilisasi oleh interaksi - stacking dari cincin porphyrin TMPyP dengan quartet G4 dan juga basa A3 dari G-quadruplex DNA. Kolaborasi antara devisi Biofisika Makromolekul – DKFZ, Heidelberg dan Institut Biofisika - Universitas Sammelweis, Budapest, Zupan dkk (2005) memaparkan bentuk ikatan komplek antara TMPyP dan DNA yang mempunyai variasi isian GC 42%, 50% dan 72% yang diisolasi dari Micrococcus luteus, T7 phage dan eritrosit ayam. Berdasarkan hasil analisa absorbansi, persentase ikatan komplek interkalasi meningkat dan ikatan komplek eksternal menurun sesuai dengan meningkatnya persentase muatan GC pada DNA tersebut. Penelitian selanjutnya oleh Zupan dkk yang mempelajari ikatan komplek antara DNA yang diisolasi dan yang masih di dalam phage virus dengan menggunakan analisa optik termal denaturasi dalam kondisi tanpa cahaya (2004), yang kemudian dilanjutkan dengan irradiasi (2007). Mereka menemukan bahwa termal denaturasi dari rantai ikatan hidrogen dalam DNA yang diisolasi maupun DNA yang masih di dalam phage virus meningkat, sementara termal denaturasi protein dari capsid phage virus tidak berubah. Dengan adanya irradiasi pada ikatan komplek tersebut memberikan efek yang lebih, sehingga termal denaturasi dari DNA phage turun ke suhu yang lebih rendah, yang hal ini tidak terdeteksi ketika dalam kondisi tanpa cahaya. Csik dkk (2009) membandingkan termal denaturasi antara phage virus dan nukleosom dengan menggunakan alat optik spektroskopi absorbansi yang dilengkapi dengan regulator temperatur dan hasilnya menunjukkan bahwa TMPyP tidak mempengaruhi termal denaturasi capsid phage virus, tetapi TMPyP mempunyai efek positif terhadap termal denaturasi stabilitas interaksi antar protein dan interaksi DNA-protein di dalam nukleosom. Dimana, kemungkinan besar TMPyP dapat berinteraksi dengan peptida dengan sekuen berikut ini His-Ala-Ser-Tyr-Ser. Kemampuan membentuk ikatan ini dikarenakan terbentuknya stacking dua aromatik asam amino dengan TMPyP, tetapi hasil penelitian mengenai hal ini masih sangat sedikit, terutama kemampuan TMPyP untuk membentuk ikatan komplek dengan nukleoprotein. Nukleosom, dimana oktamer histon (H2A-H2B dimer dan H3-H4 tetramer) yang dikelilingi oleh DNA dengan panjang 150 bp merupakan target makromolekuler untuk pengujian khasiat atau bioassay suatu senyawa. Metode ini untuk melakukan observasi bioassay interaksi suatu senyawa tertentu dengan makromolekul DNA dan histon. Interaksi tersebut melibatkan interaksi elektrostatik antara DNA, yang bermuatan negatif, dan peptida dalam oktamer histon, yang bermuatan positif. Senyawa yang diuji diharapkan mempunyai kemampuan membentuk ikatan interkalasi atau eksternal terhadap DNA, sehingga akan menggangu kestabilan konformasi nukleosom lebih lanjut. DNA sebagai pembawa informasi genetik bersama dengan oktamer histon sebagai kesatuan nukleosom, yang kemudian membentuk struktur tingkatan yang lebih tinggi sebagai kromosom di dalam nukleus. Setelah proses translasional RNA menjadi asam amino penyusun protein, ada beberapa proses modifikasi histon post-translasional yang menyebabkan distorsi dalam pembentukan struktur nukleosom. Asetilasi lisin merupakan salah satu proses modifikasi histon post-translational yang bisa mengakibatkan efek destabilisasi kromatin 124

karena ternetralisirnya muatan positif asam amino lisin yang terdapat dalam histon, dan hal inilah yang menjadi faktor penting dalam proses regulasi, aksesibiliti dan aktivitas gen. Nuklosom yg mengalami asetilasi lebih dari 5 disebut sebagai hiperasetilasi, yang merupakan salah satu faktor penstimuli terbentuknya sel kanker. Kemudian, keberadaan senyawa lain sebagai ligan yang mampu membentuk ikatan dengan DNA juga merupakan salah satu penyebab kerusakan dan ketidakstabilan struktur kromatin. Oleh karena itu, kami (Pusat Teknologi Farmasi dan Medika - BPPT, Indonesia bekerjasama dengan devisi Biofisika Makromolekul - German Cancer Research Center (DKFZ), Jerman melalui program Erasmus Mundus Molecular Bio- and Nano-Photonics for Biotechnology Application (MONABIPHOT)) yang dikoordinatori oleh Ecole Normale Superieure de Cachan, Perancis, mempelajari mekanisme molekuler interaksi TMPyP di dalam kromatin, khususnya efek asetilasi histon dalam mononukleosom sebagai salah satu proses modifikasi histon post-translational. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh TMPyP terhadap modifikasi histon post-translasional dengan menggunakan optikal spektroskopi absorbansi dalam kondisi tanpa dan dengan irradiasi cahaya tampak, yaitu pengamatan terhadap termal denaturasi nukleosom.

2. BAHAN DAN METODE 2.1 Porphyrin Meso-tetrakis(N-methyl-4-pyridiniumyl)porphyrin (TMPyP) di dapatkan dari Frontier Scientific, dalam bentuk serbuk yang disimpan di suhu 40C. Sebelum eksperimen stok dilarutkan ke dalam larutan buffer 20 mM Tris HCl dan 50 mM NaCl dengan pH=7.4. 2.2 Isolasi Mononukleosom Normal dan Hiperasetilasi Mononukleosom yang terdiri atas 150 bp DNA dan oktamer histon (H2A-H2B dimer dan H3H4 tetramer), diisolasi dari nukleus sel HeLa dalam kondisi non-asam dengan tujuan menjaga konformasi histon. Kultur sel HeLa. Sel HeLa ditumbuhkan di medium RPMI 1640 yang di beri tambahan nutrisi 10% fetal calf serum (FCS). Pertumbuhan sel di atur hingga mencapai 5 x 105 dan 106 sel/ml dengan cara melarutkannya ke dalam media baru setiap dua kali seminggu. Untuk isolasi mononukleosom hiperasetilasi, kultur sel HeLa distimulasi dengan 6 mM Sodium Butirat (NaBu) selama 24 jam, sebagai penghambat enzim deasetilasi. Sementara mononukleosom normal tidak distimulasi oleh NaBu. Isolasi mononukleosom. Untuk isolasi nukleus, selular dan nuklir membran dihancurkan dengan menggunakan Nonidet P40. Tahap pertama, sel kultur HeLa dicuci dengan buffer isotonik tris, hepes dan RSB. Tahap kedua, nukleus direaksikan dengan enzim MNase selama 50 menit pada suhu 370C untuk mendapatkan mononukleosom. Stop reaksi yang digunakan adalah 20 mM EDTA. Kemudian nuklir membran dihancurkan dengan Nonidet P40 10% dan sonifikasi selama 3 kali. Tahap ketiga, fraksinasi dilakukan menggunakan gradien sukrosa untuk memperoleh fraksi mononukleosom. Setiap fraksi yang didapat dikontrol di elektroforesis agar 2%, sementara hiperasetilasi protein dari histon oktamer dicek di 125

elektroferesis agar triton acetic acid urea (TAU) dan dikontrol kemurnian mononukleosom dengan cara mengukur spectrum absobansi DNA pada panjang gelombang 260 nm. 2.3 Elektroforesis Agar Elektroforesis agar 2%. Lodish dkk dan Pollard dkk menjelaskan tentang prinsip dasar dan tujuan penggunaan elektroforesis agar pada bab strategi penelitiannya. Elektroforesis agar adalah sebuah alat yang biasa digunakan untuk memisahkan asam nukleat berdasarkan dari berat molekulernya. Sebuah tekanan elektrik diaplikasikan dengan tujuan mendorong DNA melalui matrix agar ke arah katoda elektrik yang berlawanan. DNA bermuatan negatif, maka akan terdorong ke arah elektroda positif. Molekul-molekul yang lebih kecil akan terdorong lebih cepat. Buffer yang digunakan adalah 0.5M tris borate EDTA (TBE) pH=7.4 dengan elektrik 8 V/cm dan 200 mA diaplikasikan secara horizontal ke plat agar. Kemudian plat agar diwarnai dengan ethidium bromide (EtBr) dan difotografi di bawah radiasi ultraviolet. Elektroforesis agar triton acetic acid urea (TAU). Agar TAU digunakan untuk memisahkan protein seperti halnya histon oktamer. Prinsip dasarnya sama dengan elektroforesis agar, namun dalam hal ini agar TAU memisahkan protein berdasarkan ukuran berat molekul dan jumlah muatannya. Protein yang bermuatan positif akan melaju menuju elektroda yang bermuatan negatif, dan juga sebaliknya. 2.4 Pengukuran Absorbansi TMPyP, mononukleosom normal dan hiperasetilasi dikontrol kualitasnya berdasarkan analisa spektra absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dan 422 nm. Semua eksperimen dilakukan pada suhu 250C dengan buffer 20 mM Tris HCl dan 50 mM NaCl (pH=7.4). Konsentrasi TMPyP ditentukan secara spektroskopi dengan karakter koefisien molar absorbansi () = 3.17 x 105 M-1cm-1. Spektra absorbansi cahaya tampak di area 200-800 nm di ukur pada 1 nm dan 2 nm bandwidth menggunakan spektroskopi Cary-4E (Varian, Mulgrave, Australia), dengan tingkat akurasi 0.001. Konsentrasi rasio molar antara pasangan basa DNA dan TMPyP (r) dibuat pada r=50 (1/r=0.02); r=25 (1/r=0.04); dan r=10 (1/r=0.1). 2.5 Irradiasi dengan Cahaya Tampak Masing-masing sampel diiradiasi dengan cahaya tampak dengan dosis rendah (50 J cm-2) dan tinggi (500 J cm-2), menggunakan lampu halogen (Newport Oriel). Supply energinya dikontrol dengan menggunakan 10 A-P Nova laser power/energy monitor (Ophir, Optronix, Jerusalem, Israel), dengan detektor elektrik pryo. 2.6 Pengukuran Termal Denaturasi (Tm) Kurva termal denaturasi mononukleosom dan porphyrin-mononukleosom komplek diukur berdasarkan tingkat hipokromisiti (penurunan puncak maksimum kurva absorbansi relatif terhadap temperatur) DNA pada panjang gelombang 260 nm sebagai fungsi dari temperatur. Alat yang digunakan adalah spektofotometer Cary 4E (Varian, Mulgrave, Australia) yang dilengkapi dengan thermoregulator Peltier. Di dalamnya terdapat 6 kufet sample holder yang disusun secara paralel menggunakan pengubah sel otomatis. Temperatur discan antara suhu 25-950C dengan tingkat kenaikan 0.50C per menit. Kemudian data diolah dengan menggunakan program Kaleidagraph di komputer Macintosh. Kurva temperatur yang terdiri atas beberapa puncak maksimum, didekomposisi menjadi beberapa kurva bagian dengan mengunakan model Gaussian curve fitting sebagai berikut : Ax(λ) = m1*exp-(T0-T1)2/w12 + m2*exp-(T0-T2)2/w22+m3*exp-(T0-T3)2/w32........(1) 126

Total luasan area spektra adalah Ax, sementara dekomposisi spektranya sebagai berikut, yaitu spektra pertama (Tm1), spektra kedua (Tm2) dan spektra ketiga (Tm3). Ax : total luasan area spektra; T0: temperature maksimum; m1: amplitud maksimum Tm1; T1: temperatur maksimum Tm1; w1: half-bandwidth Tm1; m2: amplitud maksimum Tm2; T2: temperatur maksimum Tm2; w2: half-bandwidth Tm2; m3: amplitud maksimum Tm3; T3: temperatur maksimum Tm3; w3: half-bandwidth Tm3.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1

KARAKTERISASI MONONUKLEOSOME NORMAL DAN HIPERASETILASI

Sel HeLa ditumbuhkan ke dalam medium RPMI 1640 selama 5 hari, untuk memperoleh mononukleosom hiperasetilasi, kultur sel HeLa distimulasi dengan 6 mM Sodium Butyrate (NaBu) selama 24 jam. NaBu dikenal sebagai penghambat enzim deasetilasi dan dapat menstimulasi pemberhentian pertumbuhan, differensiasi dan apoptosis sel kanker. Mononukleosom terdiri atas histon oktamer dan DNA dengan panjang 150 bp. Berdasarkan analisa elektroforesis agar menunjukkan bahwa mononukleosom hiperasetilasi terdorong lebih lambat, karena berat molekuler hiperasetilasi lebih besar dibandingkan dengan yang normal. Hasil analisa mononukleosom ini ditunjukkan dengan garis pada area 150 bp, yang merupakan DNA, sedangkan 200-300 bp adalah oktamer histon dan terkadang terdapat garis yang dibawah 100 bp merupakan hasil degradasi DNA (gambar 2). Kemudian mononukleosom dianalisa dengan agar TAU (gambar 3). Mononukleosom hiperasetilasi akibat stimulasi dengan sodium butyrate (NaBu) ditunjukkan dengan adanya beberapa garis subspecies pada masing-masing histon.

1000 bp mononukleosom 100 bp

Free DNA degraded DNA 1 2 3

4

5

6

7

8

Figure 2. Agar electroforesis 2% nukleosom: 1) DNA ladder; 2) normal 0.3 ug; 3) normal 0.6 ug; 4) hiperasetilasi 0.3 ug; 5) hiperasetilasi 0.6 ug; 6) hiperasetilasi 0.3ug; 7) hiperasetilasi 0.6ug; dan 8) DNA ladder

127

H2A H3

H2B H4 1

2

3

4

5

6

Figure 3. Agar TAU mononukleosom (@6 ug) : 1) normal; 2) hiperasetilasi; 3) normal; and 4) hiperasetilasi; 5) rekombinan normal oktemer histon kontrol ; dan 6) rekombinan asetilasi oktamer histon kontrol. 3) dan 4) didenaturasi pada suhu 90 0C

3.2

SPEKTRA ABSORBANSI

Martin Gouterman memaparkan model empat orbital tentang teori spektra absorbansi porphyrin ditahun 1960. Sistem band spektra porphyrin terdiri atas transisi antara dua level HOMOs dan LUMOs. Kedua transisi ini akan mendistribusikan energi ke level yang berbeda, energi yang lebih besar dengan oscillator strength yang lebih besar pula, yang sering disebut dengan band Soret, sementara dengan oscillator strength yang lebih rendah disebut band Q. TMPyP menyerap cahaya ultraviolet dan tampak pada panjang gelombang maksimum 422 nm, disebut juga sebagai band Soret dengan koefisien molar absorbansi () sebesar 3.17x105 M-1 cm-1 (gambar 4a). Pengamatan terhadap termal denaturasi mononukleosom normal dan hiperasetilasi yang membentuk ikatan komplek dengan TMPyP dilakukan pada panjang gelombang tersebut (422 nm). Sementara mononukleosom baik normal dan hiperasetilasi dianalisa kemurniannya pada panjang gelombang 260 nm. Kurva optikal absorbansi termal denaturasi mononukleosom digambarkan sesuai dengan relativitasnya terhadap temperatur, yang kemudian di derivasi untuk mendapatkan nilai temperatur yang pasti terhadap kurva termal denaturasi, yang disebut juga sebagai Tm (gambar 4b dan 4c). Proses termal denaturasi mononukleosom digambarkan sesuai dengan proses denaturasi dari ikatan hidrogen pasangan basa DNA, interaksi DNA-histon, dan juga kemungkinan proses denaturasi dari peptidapeptida penyusun histon. a)

b)

c)

0,06

0,14

0,4

0,12

0,05 0,35

0,1 dOD /dT

0,03

OD

OD

0,04 0,3

0,02

0,06 0,04

0,25

0,01 0 200

0,08

0,02

300

400 500 600 The wav elengt h (nm)

700

0,2

30

40

50

60

Temperature (°C)

70

80

90

0 30

40

50

60

70

80

90

Tem perature (°C )

Gambar 4. Kurva absorbansi : a) TMPyP; b) termal denaturasi DNA; c) derivasi kurva termal denaturasi DNA

128

3.3

TERMAL DENATURASI NUKLEOSOM NORMAL DALAM KONDISI TANPA CAHAYA

Mononukleosom normal (NNS). Kurva termal denaturasi nukleosom normal diamati pada konsentrasi pasangan basa konstan dan konsentrasi TMPyP yang bervariasi. Analisa Gaussian curve fitting dari kurva derivasi mononukleosom normal menunjukkan bahwa terdapat proses denaturasi 3 tahap sebagai berikut : 2 kurva utama Tm1=58.80C dan Tm2=740C merupakan proses denaturasi interaksi antara DNA-histon, sedangkan kurva ketiga (Tm3=840C) merupakan proses denaturasi pasangan basa DNA (gambar 5a). Ketika terjadi interaksi komplek antara mononukleosom normal-TMPyP pada rasio pasangan basa r=50 (1/r=0.02), r=25 (1/r=0.04) dan r=10 (1/r=0.1), efek pada proses termal denaturasi nukleosom, dapat dilihat pada perubahan ketiga parameter berikut ini : stabilitas termal denaturasi itu sendiri (Tm), amplitud, dan half-bandwidth (gambar 5b). Ikatan komplek TMPyP - Mononukleosom normal (NNS). Ikatan komplek TMPyPmononukleosom normal pada semua rasio pasangan basa mengakibatkan destabilisasi konformasi nukleosom, yang ditunjukkan oleh adanya penurunan termal denaturasi. Analisa untuk Tm3 hingga r=10, ketiga parameter proses termal denaturasi DNA tidak terdeteksi lagi. Sementara Tm1 dan Tm2 mengalami penurunan termal denaturasi sebesar Tm1 = 50C dan Tm2 = 6.70C. Hal ini menunjukkan bahwa pada rasio pasangan basa 10, dimana setiap 10 M TMPyP yang membentuk ikatan komplek baik interkalasi maupun eksternal pada setiap 1 M pasangan basa telah mengakibatkan kerusakan penuh pada DNA dan mengakibatkan destabilisasi konformasi ikatan DNA-histon dalam nukleosom (gambar 5c). Lebih lanjut hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan pada amplitud puncak kurva absorbansi termal denaturasi (Tm3) pada masing-masing rasio pasangan basa r=50, r=25 r=10 yang turun hingga 25%, 40% dan 100% (gambar 5d). Sementara, interaksi komplek tersebut juga mengakibatkan proses difusi termal denaturasi dua kurva pertama, yaitu Tm1 dan Tm2, yang kemudian proses ini disebut sebagai termal denaturasi DNA-histon yang terdifusi, menjadi Tm2. Efek lain yaitu menyebabkan 1-20C pelebaran half-bandwidth untuk Tm2 dan Tm3 pada r=50 dan r=25 (gambar 5e).

a)

b) 0,06

0,06 NNS T m1

0,05

T T

0,05

m2 m3

0,04 dOD/dT

dOD/dT

0,04

0,03

0,03

0,02

0,02

0,01

0,01 0

0 30

40

50

60 Temperature (

c)

r r50 r25 r10

70

80

90

100

30

40

50

60

70

80

90

100

0

0

Tempe ratur e (C)

C)

d)

e)

129

100

0,06

NNS T

10

NNS A T

m1

NNS T 80

NNS A T

0,05

m2

NNS T

NNS A T

m2

8

The half-width ( )

m3 0

0,04

0

Temperature ( C)

m3

m1

dOD/dT

60

40

0,03 0,02

20

0

0,02

0,04

0,06 1/r

0,08

0,1

0

NNS W T

m1

NNS W T

m2

4

NNS W T

m3

2

0,01

0

6

0

0,02

0,04

0,06 1/r

0,08

0,1

0

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

1/r

Gambar 5. Kurva derivasi termal denaturasi : a) mononukleosom normal; b) ikatan komplek dengan TMPyP; c) perubahan parameter termal denaturasi (Tm); d) amplitud absorbansi; dan e) half-bandwidth

3.4 TERMAL DENATURASI NUKLEOSOM HIPERASETILASI DALAM KONDISI TANPA CAHAYA Mononukleosom hiperasetilasi (NNH). Hasil pengamatan dan analisa Gaussian curve fitting pada derivasi kurva termal denaturasi mononukleosom hiperasetilasi tampak berbeda jika dibandingkan dengan mononukleosom normal. Proses denaturasinya juga mengalami tiga proses, yaitu Tm1=64.70C merupakan proses denaturasi interaksi antara DNA-histon; Tm2=72.60C adalah kemungkinan termal denaturasi dari interaksi antara peptida di dalam oktamer histon, sedangkan kurva ketiga (Tm3=80.40C) merupakan proses denaturasi pasangan basa DNA (gambar 6a). Adanya interaksi komplek antara mononukleosom hiperasetilasiTMPyP pada rasio pasangan basa (r) 50 (1/r=0.02), 25 (1/r=0.04) dan 10 (1/r=0.1), mempunyai efek pada proses termal denaturasi nukleosom, dengan memberikan perubahan pada ketiga parameter berikut ini : stabilitas termal denaturasi itu sendiri (Tm), amplitud, dan half-bandwidth (gambar 6b). Hasil pengamatan lanjutan, terdapat dua analisa yang membedakan antara termal denaturasi mononukleosom hiperasetilasi dan normal. Pertama, termal denaturasi Tm1 nukleosom hiperasetilasi lebih tinggi 60C dibandingkan dengan nukleosom normal. Perbedaan tingkat stabilitas ini kemungkinan disebabkan oleh makin tingginya jumlah α-helix di inti partikel maupun di ujung histon. Kedua, berdasarkan analisa Gaussian curve fitting bahwa Tm2 yaitu termal denaturasi konformasi DNA-histon mempunyai kurva yang tidak berdiri sendiri atau juga kurva yang telah menyatu dengan Tm1 dan memiliki amplitud 50% lebih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sudah adanya efek dekonformasi DNA-histon karena proses hiperasetilasi pada lisin di H2B-H2A dimer dan H3-H4 tetramer, yang kemudian menyebabkan terbukanya dan dekompaksi struktur nukleosom, dan lepasnya pasangan basa DNA dari histon. Ikatan komplek TMPyP - mononukleosom hiperasetilasi (NNH). Ikatan komplek TMPyPmononukleosom hiperasetilasi mengakibatkan destabilisasi konformasi nukleosom, yang ditunjukkan oleh adanya penurunan termal denaturasi. Analisa untuk Tm1 mengalami penurunan termal denaturasi sebesar Tm1 = 5.70C, sedangkan Tm2 tetap stabil. Sementara, Tm3 hingga r=10, ketiga parameter proses termal denaturasi DNA tidak terdeteksi lagi. Hal ini juga dijumpai pada ikatan komplek nukleosom normal-TMPyP, yang berarti bahwa pada pasangan basa rasio 10, konsentrasi TMPyP terlalu jenuh, yang mengakibatkan termal denaturasi pasangan basa DNA sudah tidak bisa terdeteksi lagi (gambar 6c). Pengaruh lanjutan atas ikatan komplek mononukleosom hiperasetilasi-TMPyP juga ditunjukkan dengan adanya perubahan pada amplitud puncak kurva absorbansi termal denaturasi (Tm3) pada masingmasing rasio pasangan basa r=50, r=25 r=10 yang mengalami penurunan hingga 4.8%, 37.5% 130

dan 100% (gambar 6d). Proses difusinya terjadi pada dua kurva pertama, yaitu Tm1 dan Tm2, yang kemudian proses ini disebut sebagai termal denaturasi DNA-histon yang terdifusi, menjadi Tm2. Kemudian, efeknya terhadap half-bandwidth Tm3 pada r=50 dan r=25 juga tidak begitu signifikan (gambar 6e). Kemampuan denaturasi interaksi elektrostatik DNA-histon juga ditunjukkan oleh ethidium bromide (EtBr), yang membentuk ikatan secara interkalasi maupun eksternal pada pasangan basa DNA. McMurray dkk menyatakan bahwa terikatnya EtBr di partikel inti nukleosom mengakibatkan terdissosiasinya struktur tersebut dengan melepaskan salah satu kopi dari H2A-H2B dimer. Dissosiasi ini dilakukan oleh 14 molekul EtBr yang terinterkalasi pada partikel inti nukleosom. Begitu juga halnya dengan senyawa ligan lain yang terikat secara eksternal, seperti Hoechst 33258, distamycin, netropsin juga mempunyai efek yang sama dalam kemampuannya menginduksi kerusakan nukleosom dan penghambatan proses struktur pembentukan kromatin selanjutnya. a)

b)

0,06

0,06

NNH Tm1

0,05

r° r50 r25 r10

0,05

Tm2 0,04

Tm3 dOD/dT

dOD/dT

0,04 0,03

0,03

0,02

0,02

0,01

0,01

0

30

40

50

60

70

Temperature (

80

90

0 30

100

40

50

0

C)

60

70

80

90

100

Temperature (C)

Gambar 6. Kurva derivasi termal denaturasi : a) mononukleosom hiperasetilasi; b) ikatan komplek dengan TMPyP

c)

d)

e) NNH W T m1 NNH W T m2 NNH W T

NNH T

m1

0,06

NNH T

10

m2

NNH A T

NNH T

m3

80

NNH A T

0,05

m3

dOD/dT

40

0

0

Temperature ( C)

NNH A T

8

m2

0,04

60

m3

m1

0,03 0,02

20

0

0,02

0,04

0,06 1/r

0,08

0,1

0

6

4

2

0,01

0

The half-width ( C)

100

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

1/r

0

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

1/r

Gambar 6. Kurva derivasi termal denaturasi : c) perubahan parameter termal denaturasi (Tm); d) amplitud absorbansi; dan e) half-bandwidth

3.5 TERMAL DENATURASI MONONUKLEOSOM IRRADIASI CAHAYA TAMPAK

NORMAL

DENGAN

Ikatan komplek TMPyP-Mononukleosom normal dan hiperasetilasi diirradiasi dengan cahaya tampak pada dosis rendah (50 J cm-2) dan tinggi (500 J cm-2). Kemampuan induksi fotoreaksi atas irradiasi adalah karakteristik porphyrin. Oleh karena itu, ikatan komplek TMPyPnukleosom menjadi pertanyaan selanjutnya apakah hal ini bisa menimbulkan kerusakan struktur nukleosom lebih lanjut atau tidak. 131

Efek irradiasi cahaya tampak pada dosis rendah dan tinggi dapat dilihat pada gambar 7. Sebagaimana halnya hasil analisa menggunakan Gaussian curve fitting, ketiga parameter termal denaturasi, amplitud absorbansi dan half-bandwidth mengalamai perubahan lebih jika dibandingkan dengan dalam kondisi tanpa irradiasi. Kurva Tm1 dan Tm2 mengalami penyatuan menjadi Tm2. Pada r=50, efek TMPyP tanpa hingga irradiasi dengan dosis tinggi mengakibatkan konformasi pasangan basa DNA-histon (Tm2) mengalami stabilisasi, yang ditunjukkan dengan naiknya proses termal denaturasi pada suhu yang lebih tinggi, dengan perubahan sebesar ∆110C (gambar 8.1a). Perubahan selanjutnya ditunjukkan oleh adanya penurunan puncak absorbansi atau hipokromisiti absorbansi hingga 77% dan kenaikan halfbandwidth sebesar 2-60C. Sementara, efek irradiasi pada konformasi pasangan basa DNA tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada r=25, segala perubahan pada ketiga parameter termal denaturasi kelihatan lebih tampak dan signifikan, sebagaimana hal diatas yang menjelaskan sebelumnya bahwa dalam kondisi tanpa irradiasi, semakin sedikit rasio molar pasangan basa DNA maka semakin tampak efek TMPyP terhadap konformasi DNA-histon, peptida-peptida di dalam histon oktamer dan pasangan basa DNA. Dengan adanya irradiasi stabilisasi konformasi DNA-histon tercapai pada suhu yang lebih tinggi, dengan kenaikan sebesar ∆Tm2=150C dan mengakibatkan penurunan absorbansi (amplitud) sebesar 85% serta pelebaran half-bandwidth hingga 50C. Kemudian, efek irradiasi TMPyP terhadap konformasi pasangan basa DNA hanya mengakibatkan penurunan amplitud sebesar 47% dan sedikit pelebaran half-bandwidth 20C. Dengan demikian efek fotosensitisa dan/atau irradiasi TMPyP terhadap mononukleosom normal mengakibatkan perubahan stabilitas dan kerusakan konformasi DNA-histon dan juga kerusakan pada pasangan basa DNA. 3.6 TERMAL DENATURASI MONONUKLEOSOM HIPERASETILASI DENGAN IRRADIASI CAHAYA TAMPAK Efek irradiasi TMPyP terhadap mononukleosom hiperasetilasi hanya bisa diamati pada rasio molar pasangan basa r=50 (gambar 7c), sementara rasio di atas itu telah mengakibatkan total kerusakan konformasi nukleosom, yaitu pada interaksi DNA-histon dan DNA itu sendiri. Efektivitas TMPyP dalam nukleosom hiperasetilasi diperoleh karena struktur nukleosom yang telah mengalami hiperasetilasi. Hal ini yang telah mengakibatkan struktur nukleosom dalam kondisi dekompaksi dan tidak dalam struktur yang seharusnya. Hasil pengamatan pada r=50, tendensi stabilitas konformasi DNA-histon tampak pada suhu yang lebih tinggi, dengan kenaikan sebesar ∆Tm2=210C, penurunan amplitud hingga 80% dan pelebaran half-bandwidth kurva hingga mencapai 100%. Demikian juga efeknya terhadap DNA, meski dengan adanya irradiasi tidak mempengaruhi stabilitas (termal denaturasi) konformasi pasangan basa DNA, tetapi telah mempengaruhi amplitud atau puncak absorbansi yang turun hingga 65%. Dengan demikian, molar TMPyP yang diperlukan untuk mempengaruhi konformasi DNA-histon dan pasangan basa DNA dalam nukleosom hiperasetilasi lebih sedikit dibandingkan dengan nukleosom normal. Dan efek irradiasi TMPyP terhadap nukleosom juga mengakibatkan kerusakan lebih pada struktur kedua nukleosom, dimana hasilnya lebih efektif dan tampak pada nukleosom hiperasetilasi.

132

a)

b)

0,06

0,06

NNSr50 darkeffect

NNSr50 500 J cm

NNSr25 50 J cm

0,05

-2

NNSr25 500 J cm

0,04

NNHr50 dark effect -2

0,03

0,03

0,02

0,02

0,02

0,01

0,01

0,01

0

30

40

50

60

70

80

90

0

100

-2

NNHr50 500 Jcm 0,04

dOD/dT

0,03

-2

NNHr50 50 Jcm

0,05

-2

0,04

dOD/dT

dOD/dT

0,06

NNHr25 dark effect

-2

NNSr50 50 J cm

0,05

c)

30

40

Temperature(°C)

50

60

70

80

90

0

100

30

40

50

60

70

80

90

100

Temperature (C)

Temperature (°C)

Gambar 7. Kurva termal denaturasi a) mononukleosom normal r=50; b) mononukleosom normal r=25; dan c) mononukleosom hiperasetilasi r=50. Mereka dalam kondisi tanpa dan dengan irradiasi cahaya tampak dengan dosis rendah (50 J cm-2) dan tinggi (500 J cm-2)

1a)

1b)

1c)

NNSr50 T

m1

NNSr50 T

20

0,06 NNSr50 A T

m3

NNSr50 A T

0,05

80 Temperature ( C)

NNSr50 A T

NNSr50 W T

m1

m1

NNSr50 W T

m2

m2

0

0,04

dOD/dT

60

40

NNSr50 W T

15

m3

m3

0

m2

NNSr50 T

The half-width ( )

100

0,03 0,02

10

5 20

0

0,01

0

100

200

300

400

0

500

0 0

100

-2

200

300

400

500

0

100

200

300

400

500

-2

-2

Irradiation (J cm )

Irradiation (J cm )

Irradiation (J cm )

Gambar 8. Kurva derivasi termal denaturasi : 1) mononukleosom normal r=50; 2) mononukleosom normal r=25; dan 3) mononukleosom hiperasetilasi r=50. Yang pada masing-masing terdapat tiga parameter, yaitu : a) termal denaturasi; b) amplitud absorbansi; dan c) half-bandwidth

2a)

2b)

2c)

0,06

100

20

NNSr25 A T m1 NNSr25 A T m2 NNSr25 A T

0,05 80

m3

The half-width ( C)

15

dOD/dT

40 NNSr25 T NNSr25 T NNSr25 T 0

0,03 0,02

20

0

100

200

300

400

m3

0

0

Temperature ( C)

0,04 60

NNSr25 W T m1 NNSr25 W T m2 NNSr25 W T

10

5

m1

0,01

m2 m3

0

500

0

100

200

300

400

0

500

0

100

200

-2

-2

3a)

400

3b)

100

0,06

80

0,05

3c) 25 NNHr50 A T m1 NNHr50 A T m2 NNHr50 A T

NNHr50 W T m1 NNHr50 W T m2 NNHr50 W T

20

m3

0

The half-width ( )

0

0,04 dOD/dT

60

40

0,03 0,02

NNHr50 T m1 NNHr50 T m2 NNHr50 T

20

500

Irradiation (J cm )

m3

Temperature ( C)

300 -2

Irradiation (J cm )

Irradiation (J cm )

15

10

5

0,01

m3

0

0

100

200

300

400 -2

Irradiation (J cm )

500

0

0 0

100

200

300

400 -2

Irradiation (J cm )

500

0

100

200

300

400

500

-2

Irradiation (J cm )

Gambar 8. Kurva derivasi termal denaturasi : 1) mononukleosom normal r=50; 2) mononukleosom normal r=25; dan 3) mononukleosom hiperasetilasi r=50. Yang pada masing-masing terdapat tiga parameter, yaitu : a) termal denaturasi; b) amplitud absorbansi; dan c) half-bandwidth

4. KESIMPULAN 133

Berdasarkan analisa optikal spektra absorbansi proses termal denaturasi, ikatan komplek TMPyP dengan mononukleosom normal dan hiperasetilasi mengakibatkan kerusakan pada pembentukan struktur nukleosom karena terdistorsinya ikatan antara DNA-histon, peptidapeptida dalam histon dan pasangan basa DNA. TMPyP mengakibatkan kerusakan struktur nuklosom hiperasetilasi lebih efektif jika dibandingkan dengan nukleosom normal. Lebih lanjut, dengan adanya irradiasi cahaya tampak, efek distorsi, dekompaksi dan kerusakan struktur nukleosom ini lebih jelas terlihat baik pada dosis rendah (50 J cm-2) maupun tinggi (500 J cm-2). Ke depan, kami mengharapkan kerjasama ini tetap bisa dilanjutkan dan ditingkatkan pada level pengujian spesifikasi pengaruh TMPyP terhadap asam amino penyusun oktamer histon, analisa-analisa kuantitatif dan kualitatif spektra absorbansi dan fluorensi TMPyP serta kompleksitasnya dengan metal. Jangka panjang, penelitian ini bisa mengantarkan pada proses modifikasi lanjutan senyawa porphyrin itu sendiri dan juga modifikasi gen-gen yang bertanggungjawab pada proses pembentukan sel kanker, sehingga bisa diperoleh kontinyuitas informasi yang komprehensif dan akurat mengenai potensi TMPyP sebagai agen fotodinamik terapi dan keunggulan dari mekanisme sistem bioassay molekuler di tingkat makromolekul nukleosom.

REFERENSI Bennett, M., Alexander K., Frank W., Elspeth G., Robert M., Mark S., and Stephen N. (2000) A DNA-porphyrin minor-groove complex at atomic resolution: the structural consequences of porphyrin ruffling, PNAS, Vol. 97 No.17, 9476-9481. Brown, P.M. and Fox K.R. (1996) Minor groove binding ligands after the rotational positioning of DNA fragments on nucleosome core paticles, Journal of Molecular Biology, Vol. 262, 671-685 Chirvony, V.S., Victor A.G., Nicolai N.K., Boris M.D., and Pierre-Yves T. (1997) Photophysics of cationic 5,10,15 20-tetrakis-(4-N-methylpyridyl)porphyrin bound to DNA, poly(dAdT)2 and poly(dGdC)2:on a possible charge transfer process between guanine and porphyrin in its excited singlet state, Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology, Vol. 40, 154-162. Colombo, L.L., A. Juarranz, M. Canete, A. Villanueva, J.C. Stockert. (2007) Photodynamic therapy of the murine LM3 tumor using meso-tetra(4-N,N,Ntrimethylanilinium)porphin, Journal of Biomedical Science, Vol. 3, No.4, 258-261. Csik, G., Marianna E., Levente H., Zsuzsa M., Katalin T. (2009) Role of structure-protein in the porphyrin-DNA interaction, Journal of Photochemistry and Photobiology B. Fiel, R. J., Nirmalendu D.G., Ester H.M., and James C.H. (1981) Induction of DNA damage by porphyrin photosensitizers, Journal of Cancer Research, Vol. 41, 3543-3545. Fiel, R.J., James C.H., Ester H.M., and Nirmalendu D.G. (1979) Interaction of DNA with a porphyrin ligand: evidence for intercalation, Journal of Nucleic Acids Research, Vol. 6, No. 9 : 3093-3118. Ford, K.G., Laurence H.P., and Stephen N. (1987) Molecular modelling of the interactions of tetra-(4-N-methylpyridyl)porphin with TA and CG sites on DNA, Journal of Nucleic Acid Research, Vol. 15, 6553-6562. 134

Frank, F. (2002) Towards the stucture of hyperacetylated nucleosomes. Division of Biophysics of Macromolecules, Deutsches Krebsforschungszentrum, Heidelberg, Germany, 1-11. Gouterman, M., Georges H.W., and Lawrence C. Snyder. (1963) Spectra of porphyrins: Part II. Four orbital model, Journal of Molecular Spectroscopy 11, 108-127. Holde, K. E. (1988) Chromatin. Springer Series in Molecular Biology. Hui Xiaowen, Noad G., and Bernard, P. (1990) Modelling of the binding specifity in the interactions of cationic porphyrins with DNA, Journal of Nucleic Acid Research, Vol. 18, 1109-1114. Iacomino, G., Mario F.T., Claidia G., Mariarosaria T., and Gian L.R. (2001) Transcriptional response of human colon adenocarcinoma cell line to sodium butyrate, Journal of Biochemical and Biophysical research Communications, Vol. 285, 1280-1289. Lodish, H.A. Berk L.S. Zipursky, P. Matsudaira, D. Baltimore, and J. Darnell. (2000) Molecular Cell Biology: 4th Edition. W. H. Freeman and Company. Luger, K., Mäder A. W., Richmond R.K., Sargent D.F., Richmond T.J. (1997) Crystal structure of the nucleosome core particle at 2.8 Å resolution, Nature 389, 251-260. McCUE, P.A., Mary L.G., Michael I. S, and Bennett N.C. (1984) Sodium Butyrate induces histone hyperacetylation and differentiation of murine embryonal carcinoma cells, Journal of Cell Biology, Vol. 98, 602-608. McMurray, C.T., and K.E. van Holde. (1986) Binding of Ethidium Bromide causes dissociation of the nucleosome core particle, Journal of Proc. Natl. Acad. Sci, Vol. 83, 8472-8476. Mita, H., Takako O., Yoshiyuki T., and Yasuhiko Y. (2006) Formation of a complex of 5,10,1520-tetrakis(N-methylpyridinium-4-yl)-21H,23H-porphyrin with G-Quadruplex DNA, Journal of Biochemistry, Vol. 45, No.22, 6765-6772. Munson, B.R. and Robert J.F. (1992) DNA intercalation and photosensitization by cationic meso substituted porphyrins, Journal of Nucleic Acids Research, Vol. 20, No.6 : 13151319. Ohyama, T, Hajime M., and Yasuhiko Y. (2005) Binding of 5,10,15,20-tetrakis(Nmethylpyridinium-4-yl)-21H,23H-porphyrin to an AT-rich region of a duplex DNA, Journal of Biophysical Chemistry, Vol. 113, 53-59. Ohyama, T., Aya, S., Norifumi T., Hajime, M., and Yasuhiko Y. (2003) Study on interaction porphyrin with DNA, Journal of Nucleic Acid Research, Vol. 3, 189-190. Olins, D.E. and Olins A.L. (1974) Chromatin history: our view from the bridge, Nature 4, 809-814. Pollard, T.D. and Earnshaw W.C. (2004) Cell Biology. SAUNDERS Elsevier, 77-78. Rha, Sun Young, Elzbieta I., Richard L., Karen D., Daekyu S., Mary P.M., G. David R., Lawrence H., and Daniel von Hoff. (2000) Effect of telomere and telomerase interactive agents on human tumor and normal cell line, Journal of Clinical Cancer Research 6, 987-993. Selhuber, C. (2002) Studies on the thermal denaturation of DNA and mononucleosomes. 135

Biophysics of Macromolecules-German Cancer Research Center (DKFZ), 4-20. Spikes, J. D. and Giulio J. (1986) Photodynamic therapy of tumours and other diseases using porphyrin, Journal of Laser in Medical Science, Vol. 2, No. 3 : 1-15 Tóth, K., Nathalie B., and Jörg L. (2006) Chromatin compaction at the mononucleosome level, Journal of Biochemistry, Vol. 45, No. 6, 1591-1598. Trannoy, L.L., Johan W.M.L., Tom M.A.R. Dubbelman, Hans J. S., and Anneke, B. (2004) Positively charged porphyrins:a new series of photosensitizers for sterilization of RBC, Journal of Transfusion, Vol. 44 : 1186-1196. Villanueva, A., M.J. Hazen, and J.C. Stockert. (1986) Photodynamic effect of the porphyrin derivative meso-tetra(4-N-methylpyridyl)porphine on sister chromatid exchanges in merismatic cells, Experentia 42, 1269-1271. Wang, Xiaoying, Susan C.M., Mario L., and Juan A. (2000) Acetylation increases the Helical content of the histone tails of the nucleosome, Journal of Biological chemistry, Vol. 275, No. 45, 35013-35020. Wolffe, A. (1995) Chromatin : structure and function. National Institutes of Health, Bethesda, Maryland, USA, Academic Press. Zupan, K., Levente H., Katalin T., Zsuzsa M., and Gabriella C. (2004) Binding of cationic porphyrin to isolated and encapsidated viral DNA analyzed by comprehensive spectroscopic methods, Journal of Biochemistry, Vol. 43, 9159-9159. Zupan, K., Levente H., Katalin T., Marianna E., Gabriella C. (2005) Binding of cationic porphyrin to isolated DNA and nucleoprotein complex:quantitatively analysis of binding forms under various experimental conditions, Journal of Biochemistry, Vol. 44, 1500015006. Zupan, K., Marianna E., Katalin T., Andrea F., Levente H., Karoly M., and Gabriella C. (2007) Comparison of the efficiency and the specifity of DNA-bound and free cationic porphyrin in photodynamic virus inactivation, Journal of Photochemistry and Photobiology B, Vol. 90, 105-112.

136

Sub Kategori

: Sains Terapan (1B)

Judul : Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Nasional dengan Memanfaatkan Material Ramah Lingkungan dari Sampah Industri Kelistrikan dan Logam Nasional Atur P. N. SIREGAR PhD Candidate SMI, MMA Division, FEPS University of Surrey, Guildford Surrey GU2 7XH, United Kingdom Telp : +44 1483 689610 E-mail: [email protected]

Abstract : Nowadays, the use of environmentally friendly materials and energy saving is more urgent than ever. The utilization of cementitious and pozzolanic materials produced by thermal power plants and metallurgical industries is an opportunity to reduce the construction cost of healthy liveable house for un-wealthy people in Indonesia. Using composition of 20% fly ash and 5% microsilica to replace normal portland cement, which is the optimum amount to raise up the hardened concrete strength, will reduce concrete production cost approximately 36%. However, the concrete production cost could be reduced up to 56% if the hardened concrete strength is used only 22.50 MPa, which is suitable for general purpose building such as healthy liveable house. Eventually, by using this sustainable concrete technology will accelerate the realization of healthy liveable house every year in Indonesia. Keywords : substitusi semen, microsilica, abu terbang, beton

1. KEBUTUHAN PERUMAHAN NASIONAL Perumahan merupakan kebutuhan primer yang harus terpenuhi bagi masyarakat. Secara nasional yang didasarkan pada analisis statistik pertumbuhan penduduk dan rumah tangga, diperkirakan laju kebutuhan perumahan di Indonesia setiap tahunnya rata-rata sebesar 800.000 unit, jumlah tersebut belum termasuk kebutuhan rumah akibat kekurangan atau defisit rumah (backlog) yang belum terpenuhi hingga akhir tahun 2003 yang masih mencapai 5,93 juta unit (9,43% dari jumlah rumah yang ada), penanganan kawasan kumuh (54.000 ha), dan mengurangi jumlah rumah tidak layak huni (13 juta unit rumah) maka sampai dengan tahun 2020 diperkirakan rata-rata kebutuhan rumah pertahunnya mencapai 1,2 juta unit yang perlu dipenuhi baik melalui pasar perumahan, subsidi pemenuhan maupun oleh swadaya masyarakat (Lokakarya MP3I , 2003). Data Kementerian Negara Perumahan Rakyat bahwa tahun 2000 terdapat 70% atau sekitar 21,9 juta KK masih tergolong dalam penghasilan yang kurang dari Rp. 1,5 juta per bulan (Lokakarya MP3I, 2003). Dengan demikian kebutuhan perumahan tersebut kurang lebih 70% diperuntukan keluarga dalam lingkup kurang mampu. 137

2. LIMBAH HASIL INDUSTRI KELISTRIKAN Pemakaian batubara terus meningkat dalam lima tahun belakangan ini, jika pada 2003 total pemakaian batu bara hanya 15,2 juta ton maka pada 2007 mengalami peningkatan hingga 100% atau mencapai 31,4 juta ton (monthly report- Indonesian commercial newsletter , 2008). Pada tahun 2003, total kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN di Indonesia termasuk pembangkit listrik PT Indonesia Power, PT PJB, dan P3B pada tahun 2003 adalah sebesar 21,61 GW. Dari total kapasitas tersebut, 23% dari total kapasitas terpasang berasal dari PLTUBatubara, 5% berasal dari PLTU Minyak, 5% berasal dari PLTU-Gas, 13% berasal dari Combined Cycle minyak, 19% berasal dari Gas Combined Cycle, 5% berasal dari High Speed Diesel (HSD) Gas Turbin, 1% berasal dari Gas Turbin, 13% berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), 15% berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan 2% dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)(Wahid, 2008). Abu terbang (fly ash) sebagai limbah PLTU berbahan bakar batu bara dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya (B3). Di samping itu dengan meningkatnya jumlah pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia, maka jumlah limbah abu terbang juga akan meningkat yaitu pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1,66 juta ton, sedangkan pada tahun 2006 diperkirakan akan mencapai sekitar 2 juta ton (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batu Bara, 2009). Khusus untuk limbah abu dari PLTU Suralaya, sejak tahun 2000 hingga tahun 2006, diperkirakan ada akumulasi jumlah abu sebanyak 219.000 ton/tahun (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batu Bara, 2009). Jika limbah abu ini tidak dimanfaatkan akan menjadi masalah pencemaran lingkungan cukup serius. Oleh karena itu hal ini perlu penanganan/pemanfaatan guna mengurangi pencemaran lingkungan.

3. TEKNOLOGI BETON RAMAH LINGKUNGAN Pengaruh bangunan pada lingkungan menurut Peter Graham, harus memikirkan life cycle dari bangunan yang berpengaruh pada bahan bangunan yang digunakan (Graham, P. 2003). Sementara siklus bahan atau rantai bahan yang utuh menurut Heizn Frick, adalah melingkar tidak terputus, yang terputus berarti mengalami gangguan (Frick, H. 1997). Beton merupakan bahan konstruksi yang murah karena ketersediaan material utama yang mudah serta memiliki ketahanan yang relatif lebih baik terhadap lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan bahan yang lain. Nilai ekonomis dan daya tahan yang baik tersebut sehingga beton masih menjadi pilihan utama dalam pembangunan konstruksi di seluruh bumi pertiwi, Indonesia. Kekuatan beton tergantung pada material penyusunnya : pasir, kerikil, semen dan air. Kualitas material penyusun, gradasi material penyusun dan kualitas ikatan antar material penyusun merupakan faktor penting dalam menghasilkan kualitas beton pada akhirnya. Semakin rapat susunan dari material penyusunnya semakin baik kualitas beton yang dihasilkan.

138

Raw material extraction, Material production

Disposal

Reuse & recycling

Production of construction products

Demolition Construction, Rebuilding Use & maintenance Gambar 1. Building life cycle (Frick, H. 1997). Semen merupakan komponen terpenting dan termahal dalam pembuatan beton. Oleh karena itu dengan mengurangi penggunaan material semen dalam bangunan akan mengurangi biaya konstruksi bangunan secara keseluruhan. Salah satu caranya adalah mengganti/substitusi sebagian semen dengan bahan lain yang masih bersifat sebagai pengikat (cement replacement). Material pengganti cement (cement replacement materials) umumnya memiliki sifat pozzolanic yang sangat menguntungkan hasil reaksi semen dan air untuk mengikat bahan penyusun lainnya. Adapun beberapa limbah industri yang dapat digunakan sebagai cement replacement materials adalah : 3.1. Abu Terbang (Fly Ash) Abu terbang merupakan hasil limbah industri listrik PLTU. Penggunaan abu terbang (fly ash) sebagai replacement cement material akan mencapai titik optimumnya hingga 15% (McCarthy, M. J. dan Dhir, R. K. 2005). Hal yang senada diperoleh pada penelitian Lam tahun 1998 bahwa performa beton yang disubstitusi semennya dengan abu terbang akan menurunkan kekuatan beton hanya sebesar 3.74% pada saat berumur 28 hari, tetapi performa beton akan meningkat sebesar 7.75% pada saat berumur 90 hari (Gambar 2). Penggunaan abu terbang dapat digunakan hingga 50% (Concrete society, 1991; Lam, et al.,1998) akan tetapi berdampak pada penurunan kekuatannya lebih dari 50% dibandingkan penggunaan semen secara normal (Gambar 2 dan 3). Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan jenis dan peruntukan bangunan yang akan digunakan pada akhirnya nanti. Dengan mensubstitusi semen sebesar 55%, kuat tekan beton yang dihasilkan masih mencapai 24 MPa (beton mutu K-240) pada umur 28 hari sedangkan untuk umur beton 90 hari kuat tekan yang dicapai hingga 41 MPa (K-410). Mutu beton yang masih dapat dipertanggungjawabkan untuk digunakan.

139

Kuat Tekan Beton (MPa)

70 60 50 40

PC+ 0FA

30

PC+15FA

20

PC+25FA PC+45FA

10

PC+55FA

0 0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Umur Beton (Hari)

Kekuatan Beton

Gambar 2. Penggunaan Abu Terbang sebagai Replacement Material terhadap Kuat Tekan Betonl (Lam, et al., 1998) 20% 10% 0% -10% -20% -30% -40% -50% -60%

P C + 15F A

P C + 25F A

P C + 45F A

P C + 55F A

S eries 1

-3.74%

-17.91%

-29.92%

-52.76%

S eries 2

-2.45%

-14.01%

-17.69%

-40.98%

S eries 3

7.75%

-7.57%

-6.88%

-28.74%

Gambar 3. Pengaruh Substitusi Semen dengan Abu Terbang pada Beton Berumur 28, 56 dan 90 Hari (Lam, et al., 1998)

3.2. Microsilica (Silica Fume) Microsilica merupakan limbah industri logam yang memiliki tingkat kehalusan 0.1 µm dan luas permukaan 20-25 m2/g (Mehta, P. K. 1986) yang melebihi kehalusan dan luas permukaan semen serta memiliki unsur SiO2 yang tinggi. Penggunaan silica fume sebagai bahan tambahan atau bahan substitusi semen akan mencapai nilai optimumnya pada kadar 8 – 17 % dan akan menghasilkan beton dengan kualitas tinggi (high performance concrete) dengan nilai kekuatan tekan hingga 98.5 MPa (Aitcin, P. C. 2003). Di samping itu durabilitas dan ketahanan beton terhadap gangguan unsur perusak bangunan pada lingkungan korosif pun dapat diminimalkan pengaruhnya. Pada gambar 4 terlihat bahwa perubahan tingkat porositas daerah transisi (interfacial transition zone) antara aggregat dan pasta semen tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan beton normal. Dengan perbaikan wilayah yang merupakan titik lemah dari beton, maka akan memperbaiki kemampuan mekaniknya berupa meningkatnya kuat tekan beton dan juga memperbaiki tingkat ketahanan beton terhadap unsur korosif yang akan merusak beton. Gambar 5 memperlihatkan ketahanan beton terhadap lingkungan korosif yang mengandung ion korosif 140

sulfat. Beton dengan menggunakan microsilica (label-30NP) mengalami ekspansi material yang terkecil akibat reaksi ion sulfat dengan unsur semen pada beton. Ekspansi material akan mengakibat retak pada beton yang sangat dihindari pada struktur beton karena akan merusak bangunan secara keseluruhan pada akhirnya.

Gambar 4. Pengaruh Silica Fume terhadap Tingkat Porositas pada Daerah Transisi Antara Aggregate dan Pasta Semen (GjØrv, O. E. 1994)

Gambar 5. Ekspansi mortar pada perendaman Na2SO4 dengan konsentrasi 5% (GjØrv, O. E. 1994)

141

3.3. Abu Terbang (Fly Ash) dan Microsilica (Silica Fume) Oleh karena prosentase penggunaan abu terbang yang relatif lebih banyak sebagai substitusi bahan semen walaupun pengaruhnya terhadap kekuatan mekanik beton yang relatif tidak besar, sedangkan penggunaan microsilica yang relatif sedikit sebagai substitusi semen namun akan menghasilkan perbaikan kekuatan mekanik beton yang tinggi, maka dilakukanlah kombinasi kedua material ini sebagai substitusi semen pada beton.

80 Kuat Tekan beton (MPa)

70 60 50 40

PC +0FA +0M

30

PC +0FA +5M

20

PC +20FA +5M PC +40FA +5M

10 0 0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Umur Beton (Hari)

Gambar 6. Penggunaan Abu Terbang dan Microsilica sebagai Replacement Material terhadap Kuat Tekan Beton (Lam, et al., 1998)

kekuatan B eton

20% 10% 0% -10% -20% -30%

P C + 0F A + 5M

P C + 20F A + 5M

P C + 40F A + 5M

28 Hari

12.80%

4.13%

-23.82%

56 Hari

4.38%

6.30%

-19.61%

90 Hari

15.83%

9.64%

-16.18%

Gambar 7. Pengaruh Substitusi Semen dengan Abu Terbang dan Microsilica pada Beton Berumur 28, 56 dan 90 hari (Lam, et al., 1998)

Dengan melihat gambar 6 dan 7 maka terlihat bahwa pengaruh kombinasi penggunaan abu terbang dan microsilica akan berpengaruh secara optimal pada kekuatan betonnya pada nilai 20% abu terbang dan 5% microsilica. Walaupun, pada umur 28 hari, peningkatan kekuatan 142

beton masih di bawah jika dibandingkan dengan beton yang hanya disubstitusi menggunakan microsilica, tetapi secara ekonomis akan lebih menguntungkan karena akan lebih banyak mengurangi penggunaan semen hingga 25%. Namun, pada umur 180 hari kekuatan betonnya akan lebih baik.

4. PENGGUNAAN BETON RAMAH LINGKUNGAN 4.1 Pemanfaatan terhadap perumahan rakyat kurang mampu Pembangunan rumah tipe 21 dengan standard RSS yang merupakan rumah populer dikalangan kurang mampu pada saat ini membutuhkan biaya pembangunan konstruksi sebesar Rp 45.000.000,-. Adapun biaya untuk penggunaan beton dalam pembangunan rumah lebih kurang 45% - 65% dari biaya total pembangunan konstruksi rumah tersebut. Dengan demikian penghematan penggunaan beton dalam suatu pembangunan rumah akan berdampak signifikan terhadap biaya pembangunan rumah secara keseluruhan. Penggunaan material beton sebagai bahan konstruksi pada konstruksi bangunan beton bertulang di Indonesia untuk bangunan standard (bangunan 1 hingga 3 lantai), umumnya, akan dipakai mutu kuat tekan beton berkisar 12.5 MPa – 25 MPa (K125 – K250). Penggunaan semen untuk memperoleh beton dengan mutu beton tersebut adalah sekitar 250 – 360 kg semen per m3. Dengan mensubstitusi semen dengan menggunakan material abu terbang dan microsilica dengan nilai optimum sebesar 25%, maka pengurangan penggunaan semen adalah sebesar 31,25 – 75 kg semen per m3. Dengan mempertimbangkan penggunaan mutu beton sesuai dengan peruntukan bangunan yang akan dibangun maka penggunaan material substitusi semen menjadi lebih besar/meningkat dibandingkan nilai optimumnya tanpa mengurangi keamanan struktur bangunan tersebut. Untuk mutu beton mutu 12,50 MPa (K 125) substitusi semen dapat dilakukan hingga 55%, sedangkan untuk beton mutu 22,50 MPa (K 225) dan 250 MPa (K250) sebesar 45% dan 25%. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai ekonomis penggunaan berbagai nilai substitusi material pada semen yang digunakan untuk konstruksi bangunan gedung, maka nilai ekonomis substitusi material semen akan mencapai nilai optimalnya pada bangunan yang menggunakan mutu beton 22,50 MPa (K-225) dengan besaran substitusi semennya sekitar 45%. Dengan menggunakan nilai substitusi ini, maka harga pembuatan beton dapat diturunkan hingga lebih dari 50%.

143

(%) 3

Penghematan Beton per m

70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0% 10

15

20

25

30

Mutu B eton (MP a)

Gambar 8. Pengaruh Substitusi Semen terhadap Biaya Pembuatan Beton pada Berbagai Mutu. 4.2

Dampak Penggunaan Beton Ramah Lingkungan terhadap Pemenuhan Perumahan Rakyat Dengan tersedianya limbah abu terbang yang demikian besar, yaitu 219000 ton/tahun (PLTU Suralaya), maka pemanfaatan sebaesar 75% limbah tersebut dapat mengurangi penggunaan semen pada pembangunan rumah rakyat sebesar 1.478.250 kg/tahun atau 29.565 zak per tahun. Dengan kata lain bahwa kemampuan pemenuhan pembangunan perumahan rakyat akan bertambah setiap tahunnya. Dilihat dari total biaya pembangunan perumahan rakyat terutama untuk kalangan kurang mampu, maka dengan pemanfaatan bahan/material limbah ini, harga pembangunan perumahan rakyat dapat diturunkan sekitar 20% - 30%, sehingga percepatan pemenuhan perumahan rakyat dapat lebih ditingkatkan. Di samping itu limbah industri pembangkit listrik dan metal akan terserap dan tidak langsung dibuang ke lingkungan yang tentunya akan mengakibatkan pencemaran lingkungan yang cukup signifikan.

5. KESIMPULAN Dengan melihat berbagai keuntungan dan manfaat dari penggunaan material limbah tersebut maka dapat ditarik beberapa kesimpulan : 1. Ditinjau dari segi ekonomis maka penggunaan optimum substitusi semen oleh material abu terbang dan microsilica adalah 55% abu terbang dan 0% microsilica dengan spesifikasi kekuatan terbatas, sedangkan dari segi kemampuan mekanik beton maka substitusi optimum oleh material tersebut adalah 20% abu terbang dan 5% microsilica. 2. Substitusi optimum semen dari sisi ekonomis tanpa mengurangi kekuatan mekanik betonnya akan mengurangi biaya pembangunan perumahan rakyat hingga 20% -30%. 3. Penurunan biaya pembangunan dengan pemanfaatan material ini, seyogyanya dapat mempercepat pemenuhan perumahan rakyat, khususnya rakyat pada kalangan bawah.

144

REFERENSI Lokakarya MP3I, Kementerian Negara Perumahan Rakyat, http://www.indonesia.go.id Monthly report - Indonesian commercial newsletter (2008). Jakarta. Wahid (2008) Perbandingan biaya pembangkitan pembangkit listrik di Indonesia. www.geocities.com/markal_bppt/publish/slistrk/slwahid.pdf Puslitbang Teknologi Mineral dan Batu Bara (2009) www.tekmira.esdm.go.id/kp Graham, P. (2003) Building ecology – first principle for a sustainable built environment. Blackwell Science Ltd., United Kingdom. Frick, H. (1997) Ilmu Bahan Bangunan. Kanisius, Jakarta. Lam, L., Wong, Y. L. dan Poon, C. S. (1998) Effect of fly ash and silica fume on compressive and fracture behaviors of concrete. Cement and Concrete Reasearch, Vol. 28, No. 2, 271-283. Concrete Society (1991) The use of GGBS and PFA in Concrete. Technical Report No. 40. McCarthy, M. J. dan Dhir, R. K. (2005) Development of high volume fly ash cements for use in concrete construction, Fuel No. 84, 1423–1432. Mehta, P. K. (1986) Concrete structure, properties and materials. Prentice-Hall Inc., New Jersey. Aitcin, P. C. (2003) The durability characteristic of high performance concrete: a review. Cement & Concrete Composites No. 25, 409-420. GjØrv, O. E. (1994) Durability. In Shah, S.P. and Ahmad, S. H. (1994), High Performance Concrete: Properties and Applications, McGraww-Hill, Inc., UK, 139-156.

145

Sub Kategori

: 1B

Judul : Prediksi Permeabilitas Berdasarkan Model Kapiler Agus SUSILO Master of Reservoir Geoscience and Engineering Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs (IFP-School) Residence Ecole IFP 11 Rue Maurice Berteaux 92500 Rueil Malmaison, Paris – France Telp. +33 643067867 E-mail : [email protected]

Abstract: Determining the correlation between permeability and porosity is very crucial in reservoir characterization and description. Generally, the correlation is utilized to predict a permeability value from porosity data which results from logging or coring for uncored zones and wells. Difficulty in building a general correlation between permeability and porosity became the developmental background of the hydraulic conductivity method. This method lies on the classification of the permeability and porosity relationship, based on pore size and geometry. The purpose of this study is to generate grouping of rock samples based on zonation of permeability and porosity correlation with characteristics of pore structure and geometry. The capillary pipe model is the basis for developing the method. This method can be used to determine permeability in positions only having porosity data from the log. This paper also presents a method to determine the value of effective hydraulic pore diameter dH, by employing the Gauss-Newton method. This study has used 145 core samples originated from multi-stacked sandstone reservoirs. The core samples have very wide ranges of porosity (0.042 – 0.46) and permeability (0.1 – 7442 mD). Analysis of both the data and the correlation generates new understanding about pore structure and geometry. Application of the developed method to all the core samples results in very good permeability prediction. Keywords : Hydraulic Conductivity, effective hydraulic pore diameter (dH), Gauss-Newton

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permeabilitas merupakan salah satu sifat batu yang penting kuantitasnya untuk mengukur kemampuan mengalir dari suatu batuan. Salah satu metode untuk menghitung permeabilitas, terutama di zona yang tidak memiliki data core, adalah dengan menggunakan hubungan empiris dengan porositas batuan (kemampuan batuan untuk menyimpan fluida). Metode klasik yang digunakan untuk menghubungkan permeabilitas dengan porositas adalah dengan menerapkan plot semilog permeabilitas terhadap porositas. Metode ini adalah metode empiris yang tidak memiliki teori dasar sehingga tidak dapat menunjukkan makna fisik dari pendekatan tersebut. Terlepas dari metode ini, ada banyak metode lain yang telah dikembangkan berdasarkan data lapangan daerah. Namun, metode yang ada untuk menggambarkan hubungan antara permeabilitas dan porositas masih belum mampu menghasilkan hasil yang representatif yang umumnya dapat digunakan dalam semua bidang. Pemahaman variasi kompleks struktur pori dan geometri melalui lithofacies adalah kunci 146

untuk perbaikan dalam metode menentukan korelasi antara permeabilitas dan porositas, yang akhirnya mempengaruhi karakterisasi dan deskripsi reservoir. Ukuran dan geometri pori mengungkapkan unit aliran dari suatu batuan yang merupakan suatu faktor yang berhubungan erat dengan permeabilitas batuan, sehingga diharapkan bahwa korelasi antara permeabilitas dan porositas dapat dikelompokkan berdasarkan unit aliran (flow unit). Pendekatan ini juga memperbaiki masalah pembentukan korelasi ketika data core dengan nilai porositas yang sama mungkin memiliki kumpulan data permeabilitas yang berbeda. Metode yang digunakan untuk menentukan korelasi antara permeabilitas dan porositas dalam makalah ini adalah pengembangan dari metode Hydraulic Flow Unit (HFU). Pada umumnya, flow unit dilambangkan oleh parameter Zone Flow Indicator (FZI) dari batuan yang mewakili ukuran dan geometri pori. Berdasarkan hasil yang terdapat dalam literatur yang ada, maka nilai yang diperoleh FZI menghasilkan nilai yang terlalu besar dan hal ini tidak sesuai secara teoritis. Inilah yang terjadi sebagai hasil dari FZI dipengaruhi oleh parameter seperti tortuosity, luas permukaan, dan faktor bentuk; yang semuanya cenderung memiliki nilai yang sangat kecil dan menghasilkan nilai yang terlalu besar dan tidak berhubungan FZI. Makalah ini menyajikan sebuah metode baru, yaitu metode Hydraulic Conductivity, yang merupakan hasil pengembangan dari metode HFU, sehingga diharapkan praktisi akan dapat meningkatkan akurasi dalam membangun korelasi antara permeabilitas dan porositas, khususnya untuk kategori formasi batu pasir (sandstone). 1.2 Tujuan Studi Tujuan dari studi ini adalah:  Untuk mengembangkan metode untuk mengelompokkan sampel batuan berdasarkan struktur pori-pori dan geometri dan memperkirakan permeabilitas berdasarkan model dasar pipa kapiler.  Untuk menerapkan metode yang dikembangkan pada kasus data lapangan.

2. TEORI DASAR 2.1 Metode Klasik Permeabilitas dan distribusinya adalah parameter penting dalam upaya untuk meningkatkan deskripsi reservoir. Permeabilitas dapat dipastikan langsung dari sampel core, jika dilakukan coring di sumur. Pada umumnya, coring dilakukan hanya untuk beberapa sumur di lapangan, karena harganya yang sangat mahal. Oleh karena itu, untuk menentukan permeabilitas sekitar sumur-sumur di mana tidak dilakukan coring, korelasi empiris antara permeabilitas dan porositas yang digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Pers. (1).

log k  a  b

(1)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, metode klasik ini tidak memiliki teori dasar apapun dan cenderung tidak mewakili permeabilitas yang sebenarnya. Bila metode ini digunakan, terutama pada perhitungan permeabilitas yang digunakan sebagai masukan data dalam simulasi reservoir, maka tidak akan mewakili kondisi sebenarnya di lapangan. Secara teoritis, nilai permeabilitas dipengaruhi oleh ukuran butir, tapi di sisi lain, porositas tidak dipengaruhi oleh ukuran butir. 147

2.1 Metode Hydraulic Flow Unit (HFU) Konsep HFU mencerminkan klasifikasi hubungan antara permeabilitas dan porositas berdasarkan ukuran pori-pori dan geometri, yang dibuat atas dasar persamaan umum Kozeny Carman, dengan asumsi bahwa batu reservoir terdiri dari pipa kapiler yang saling terhubungan. Persamaan Kozeny Carman berpendapat bahwa permeabilitas adalah fungsi dari porositas dan luas permukaan spesifik, sehingga metode ini dikembangkan berdasarkan persamaan Poisseuille dan Darcy. Persamaan Poisseuille untuk aliran pipa dalam n buah lingkaran adalah:

Q

n r 4 P 8 L

(2)

dengan unit Q (cm3/s), L (cm), r (cm), μ (cp), dan ΔP (dynes/cm2). Persamaan Darcy yang digunakan untuk aliran laminar adalah: Q

kAc P L

(3)

Substitusi Q dalam Pers. (2) dengan Pers. (3) menghasilkan:

nr 4 k 8 Ac

(4)

dengan mengasumsikan panjang pipa dan jari-jari atau ukuran pori-pori yang serupa, dan memasukkan efek tortuosity untuk mewakili aliran fluida (yang pada kenyataannya tidak linier tapi bergelombang), hasilnya adalah: r2  r k 2  2  8 2  2 

2

(5)

dimana diketahui bahwa luas permukaan internal per butir volume (Sgv) adalah:

2   Sg    r  1 

(6)

sehingga Pers. (5) menjadi: k

3 (1   ) 2

 1   2 2  2 S g 

(7)

Persamaan umum Kozeny Carman diperlihatkan oleh Pers. (8), dengan satuan k (μm2) dan  (fraksi).

148

 1  (8)  2 2  Fs S g  dimana Fs adalah faktor bentuk (dengan nilai 2 untuk silinder bundar). Parameter Fsτ2 yang biasanya disebut konstanta Kozeny. Menurut Carmen dan Leverett, konstanta Kozeny akan menghasilkan nilai 5 untuk batu pasir yang terkonsolidasi, seragam, dan ideal. Bahkan menurut Ros dan Bruce, mungkin juga konstanta Kozeny menghasilkan nilai 5 - 100. Jika kedua sisi dari persamaan umum Kozeny Carman dibagi oleh kuadrat dari porositas, maka hasilnya dapat dicapai dalam bentuk Pers. (9): 3 k (1   ) 2

 k    1     1     Fs  S g 

(9)

Sisi kiri persamaan dilambangkan oleh RQI (Reservoir Quality Index) digunakan sebagai ordinat dari plot metode HFU. Untuk persamaan dalam dimensi lapangan dengan permeabilitas dalam mD (millidarcies), maka RQI ditunjukkan oleh: RQI  0.0314

k 

(10)

Absis dari metode HFU dilambangkan oleh indeks normalisasi porositas ( z ):

   z     1 

(11)

Di sisi lain, dimensi lain dalam Pers. (9) yang dilambangkan oleh FZI (Flow Zone Indicator) dengan satuan μm:

FZI 

1 RQI  z Fs  S g

(12)

Jadi, jika Pers. (9) diubah dalam bentuk logaritma, persamaan menjadi:

log RQI  log  z  log FZI

(13)

Sampel yang memiliki nilai FZI serupa akan terletak di garis serupa yang nilai gradiennya sama sebagai suatu garis dalam log-log plot antara RQI dan z . Di sisi lain, sampel yang memiliki FZI berbeda akan terletak di atas garis-garis paralel lain. Nilai FZI sampel dapat dibaca dari perpotongan garis dengan z = 1 (intercept). Sampel yang memiliki nilai FZI serupa menunjukkan bahwa sampel memiliki ukuran dan geometri pori yang sama. 2.2 Metode Hydraulic Conductivity (HC) Metode HC ini telah diperkenalkan pada studi sebelumnya (Permadi, et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa permeabilitas sangat terkait dengan porositas dan diameter pori hidrolik efektif, 149

k  a   dH b

(14)

Untuk model kapiler media berpori, permeabilitas dapat ditulis sebagai (Scheidegger, 1957):

k  1014  C   3

(15)

di mana C adalah hydraulic conductivity. Penggabungan Pers. (14) dengan Pers. (15) ditunjukkan sebagai berikut:

a  d Hb C 1014   2

(16)

Pers. (16) kemudian dapat diubah dalam bentuk logaritmik menjadi: log d H 

2 1  1014C  log   log   b b  a 

(17)

pada log-log plot antara dH dan  , semua data yang memiliki konstanta struktur dan geometri pori memiliki kemiringan 2 / b. Sebaliknya, konstanta struktur dan geometri pori yang berbeda akan terletak di atas garis-garis paralel yang lain.

3. INFORMASI LAPANGAN X Lapangan X terdiri dari lebih dari 500 akumulasi atau reservoir pada batu pasir dengan lingkungan pengendapan delta yang secara struktural bertumpuk dan terkompartemen. Penelitian ini difokuskan pada zona utama yang terletak pada kedalaman antara 1500 hingga 2200 meter dpl (di bawah permukaan laut). Diagram skematik dari zona utama ditunjukkan pada Gambar 1. Zona utama yang bersih memiliki umur pengendapan antara Miosen atas hingga Miosen tengah. Reservoir adalah batu pasir yang telah terendapkan di distributary channel ataupun sebagai mouth bar. Fasies channel adalah sekelompok batuan yang terendapkan di wilayah sungai yang ditandai dengan butiran kasar di bagian bawahnya dan bergradasi hingga menjadi butiran yang sangat halus. Ketebalannya sesuai dengan suatu siklus yang membentuk delta, yaitu antara 30 sampai 50 meter.

4. DATA DAN PENGOLAHAN 4.1 Data Core Rutin Data yang digunakan diperoleh dari analisis core rutin yang dilakukan dalam pembentukan zona utama lapangan X. Data permeabilitas memiliki kisaran 0,1 – 7442 mD. Di sisi lain, harga porositas berada dalam kisaran 0,042 – 0,46. 145 set data permeabilitas dan porositas ini diambil dari lima sumur dengan kisaran kedalaman antara 1574,9 sampai dengan 2189,8 meter dpl. 4.2 Aplikasi Metode Yang Dikembangkan 150

Mula-mula crossplot (k/  )0.5 vs. C diperoleh dari modifikasi dari Pers. (15) menjadi Pers. (18) dengan menggunakan kumpulan 145 data permeabilitas dan porositas dari lima sumur yang ditampilkan pada Gambar 2. k (18) C 1014   3 Lalu berdasarkan karakter log Gamma Ray, Spontaneous Potensial, dan Resistivity, titik-titik data yang ditunjukkan pada Gambar 2 dapat berkumpul seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 di mana setiap kelompok juga dapat disebut sebagai Fasies Group (FG) yang terdiri dari dua jenis lingkungan pengendapan, yaitu delta front (bar) dan delta plain (channel). Satuan permeabilitas (k) adalah milidarcy (mD) dan satuan untuk porositas (  ) dalam fraksi. Tebakan awal untuk a (konstanta struktur pore throat) dan b (eksponen geometri pore throat) diambil berdasarkan suatu persamaan yang dikembangkan dalam studi sebelumnya (Permadi, et al., 2004), yaitu dengan nilai a = 20,464 dan b = 1,646. Porositas dan dH diplot dalam log-log plot dengan dH sebagai ordinat dan porositas sebagai absis. Metode HC dilakukan dengan menghitung nilai diameter pori hidrolik efektif (dH) berdasarkan Pers. (14) dengan permeabilitas dan porositas yang tersedia dari kumpulan data menjadi: 1

d Htry

1

 k b  kact 1.646   act      a     20.464   

(19)

Langkah berikutnya adalah mengelompokkan kumpulan data tersebut sehingga beberapa titik data akan benar-benar terletak di salah satu dari tujuh Hydraulic Conductivity Unit (HCU) yang mana pengelompokan unit dikembangkan berdasarkan metode umum untuk melakukan clustering, yaitu plot antara permeabilitas dan jumlah sampel yang ditunjukkan pada Gambar 4. Dari Gambar 4, terlihat jelas bahwa ada kemungkinan bahwa 145 titik data dapat berkumpul untuk membentuk tujuh kategori sehingga kategori ini juga secara tidak langsung mewakili jumlah HCU. Kemudian pada dua pasang data yang sepenuhnya terletak pada tiap garis HCU pada Gambar 6, akan digunakan untuk menghitung konstanta a dan b, yang akan dijelaskan kemudian. Sebagai contoh, pasangan data permeabilitas dan porositas dari kelompok fasies (FG) 1, 2, 3, 4, dan 5 yang digunakan untuk menghitung dH yang menggunakan nilai a = 20,464 dan b = 1,646 sehingga tebakan awal dari dH ini yang disebut dengan dHtry akan memberikan log-log plot dHtry vs.  seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Kemudian, berdasarkan Gambar 5 dapat diperkirakan bahwa hubungan antara dH dan  dapat dibuat sebagai:

log d H  m log   log y

(20)

log y  log d H  MAX 

(21)

log d H  m log   log d H  MAX 

(22)

d H  10

m log   log d H  MAX 

(23) 151

di mana y adalah sumbu pada ordinat dari log-log plot antara dH vs.  dengan m adalah kemiringan log-log plot antara dH vs.  , dH(MAX) adalah dH maksimum untuk log-log plot antara dH vs.  . Jadi, permeabilitas dengan masing-masing tebakan awal a, b, dan dH dapat diungkapkan berdasarkan Pers. (24):

k  a   10



b m log   log d H  MAX 



(24)

Kemudian, metode Gauss-Newton diterapkan untuk menentukan nilai a, b, dan dH untuk setiap kumpulan data permeabilitas dan porositas. Iterasi dilakukan hingga nilai-nilai mereka cukup konvergen dengan perbedaan antara nilai terakhir dan sebelumnya adalah 0,01%, yang mengakibatkan perbedaan antara permeabilitas yang diperoleh dari data core rutin dan permeabilitas yang dihitung berdasarkan Pers. (24) menjadi kurang dari 1%. Pertama-tama, anggap dugaan awal dari dHtrymax adalah 25 untuk setiap dua pasang data yang terletak di tujuh garis HCU yang dibuat seperti pada Gambar 5, dimana: b  m log   log d Htry MAX   f   10 a

(26) (27)

f  b 1  b 1  a  b  d Htry  MAX    d Htry MAX 

Kemudian, metode Gauss Newton dimulai seperti di bawah ini:  f1  a Z Z    f 2   a T

f1   f1 d Htry MAX    a  f1   f 2  d Htry MAX    d H try MAX 

f 2 a f 2

    d H try MAX  

(28)

k  kcore  k HC

(29)

a   1 T T  d    Z  Z    Z  k   Htry MAX  

(30)

a  a1   a0    d   d    d   Htry MAX 1   Htry MAX 0   Htry MAX  

(31)

Selanjutnya, iterasi diulang hingga a, dHtry(MAX), y, dan k memberikan nilai-nilai konvergen. Kemudian metode Newton Gauss ini dilakukan lagi hingga nilai-nilai b lain berada dalam kisaran 1,5 – 2,5 untuk setiap b dengan tambahan nilai 0,01 dan pada akhirnya hasil yang paling konvergen adalah pada perbedaan permeabilitas (k) terkecil. Hasil ini ditunjukkan di Tabel 2. Jadi, nilai-nilai a dan b didasarkan pada k yang terkecil antara permeabilizas core (kcore) dan permeabilitas yang diperoleh dari metode HC (kHC) dari tiap dua titik yang terletak tepat pada masing-masing HCU menunjukkan bahwa HCU 1 memiliki k terkecil dengan a = 15,856 dan b = 1,74, jadi nilai a dan b ini akan digunakan untuk menghitung dH untuk semua data. Perhitungan metode HC untuk semua titik dengan a dan b di Plot log-log antara dH dan  mewakili semua zona yang menghasilkan plot log-log antara nilai yang dihitung dH dan  dan berdasarkan pada lingkungan pengendapannya yang terekam 152

oleh karakter log yang diperlihatkan pada Gambar 6.

5. HASIL DAN ANALISIS Mula-mula dengan membandingkan Gambar 5, log-log plot dHtry vs.  , dan Gambar 6, loglog plot dH vs.  , terlihat jelas bahwa kedua plot memiliki kecenderungan yang sama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa cara memilih titik yang akan digunakan untuk perhitungan nilai yang dihitung dH oleh metode HC valid. Gambar 7 menunjukkan lebih banyak variasi dalam log Gamma Ray (GR). Titik 1 pada Gambar 7 menunjukkan lingkungan pengendapan yang mengasar ke atas (Upward Coarsening) dan delta bar yg membentuk funnel yang berisi gas dengan jelas dapat dianalisa dengan melihat nilai resistivitas Rt yang sedikit lebih besar dari ILM. Di sisi lain, titik 2 pada Gambar 7 menunjukkan sebuah log berbentuk blocky dari straight channel yang artinya bersih atau dengan kata lain, pori-pori pasir sepenuhnya diisi oleh minyak yang ditunjukkan dari nilai resistivitas ILM yang lebih besar dibandingkan Rt. Berdasarkan rekaman log yang ditunjukkan mengenai rekaman Gamma Ray (GR), Spontaneous Potensial (SP), dan tahanan / Resistivity (Rt). Seperti yang terekam, reservoir titik 1 diharapkan untuk menunjukkan kualitas yang lebih tinggi daripada reservoir titik 2, yang didasarkan pada reservoir titik 1 dengan nilai GR yang lebih kecil dan nilai SP dan Rt yang lebih besar. Namun pada kenyataannya malah sebaliknya, berdasarkan data core titik 1 dan 2, titik 2 mempunyai nilai porositas lebih rendah namun permeabilitasnya jauh lebih tinggi dari titik 1 atau dapat dikatakan bahwa titik 1 mempunyai ukuran pori yang lebih besar dan pore throat yang lebih kecil, sehingga dapat disimpulkan bahwa teori yang menyatakan bahwa permeabilitas adalah fungsi dari GR, SP, dan Rt tidak sepenuhnya benar. Dari sudut pandang ini, maka tersirat bahwa resistivitas adalah fungsi dari distribusi ukuran pori, fase hidrokarbon, dan lempung (clay). Selain itu, dapat dinyatakan bahwa paling tidak dalam beberapa kasus, nilai Rt yang nilainya tinggi mungkin tidak selalu menunjukkan permeabilitas tinggi. Berdasarkan dasar semua ekspresi ini, dapat disimpulkan bahwa karakter log GR, SP, dan Rt yang lebih baik tidak selalu mencerminkan kualitas reservoir yang lebih baik. Aspek ini didukung oleh penerapan metode HC yang akan dijelaskan di bawah ini. Ini juga menjelaskan mengapa selain deskripsi log, analisis core petrography sangat penting. Karena dalam hal fasies, tidak semua data mungkin memiliki karakteristik yang sama dalam deskripsi core. Alasan utama mengapa pada Gambar 4 dan Gambar 6, log-log plot antara dH vs.  menggunakan garis regresi 45o didasarkan pada metode HFU yang diterapkan pada log-log plot antara RQI dan  . Setelah klasifikasi flow unit dibuat dari kedua metode, jelas dari kedua metode tersebut bahwa ada kesamaan titik-titik yang merujuk ke tiap-tiap flow unit pada kedua plot. Alasan lain adalah pada Pers. (17), adalah jelas bahwa jika b = 2, maka log-log plot antara dH dan  dapat ditandai dengan garis regresi 45o. Juga mengacu pada nilai a dan b, jelas bahwa berbagai eksponen geometri pori (b) adalah antara 1,5 sampai dengan 1,74, yang cukup dekat dengan 2, yang berarti bahwa eksponen geometri pori jauh dari homogen dan tidak seperti yang pipa kapiler, di mana konstanta b untuk pipa kapiler adalah 2. Terlihat jelas bahwa metode HC memberikan tujuh HCU. Secara teoritis, jenis metode 153

pengelompokan ini didukung oleh data geologi terutama dari deskripsi log sehingga memberi arti fisik masing-masing HCU untuk mewakili masing-masing struktur dan geometri pori yang mempengaruhi aliran fluida di batuan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 9 – 13 yang mewakili lingkungan sedimen fasies yang ada di masing-masing kelompok. Menurut bentuk log GR, dapat disimpulkan bahwa bentuk bell dan blocky mewakili jenis lingkungan pengendapan distributary channel di delta plain (DP) dan saluran yang mewakili tipe bar di delta front (DF) yang memiliki persentase tersendiri pada Gambar 9 – 13 dan dapat diringkas dalam Tabel 4. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi metode HC untuk titik data cluster sesuai dengan lingkungan pengendapan dengan facies group 1 (FG1), yang berupa reservoir batu pasir yang bersih, dan terakhir dengan FG5 memiliki reservoir batu pasir yang memiliki banyak clay (shaly sandstone reservoir). Oleh karena itu, berdasarkan persentase endapannya, dapat disimpulkan bahwa FG dapat menunjukkan kualitas reservoir. Dengan mengacu pada Tabel 4, FG1 dan FG2 dapat dikategorikan sebagai reservoir dengan kualitas medium hingga tinggi dengan permeabilitas berkisar antara 35 – 7442 mD, yang juga didukung oleh karakter log yang menunjukkan bahwa kedua kelompok fasies jenis log GR berbentuk bell dan blocky pada umumnya mewakili bentuk lingkungan sedimen yang berasal dari DP sebagai reservoir batu pasir yang lebih bersih daripada sebagai lingkungan pengendapan DF. Atau sebaliknya, kelompok FG lainnya berisi kebanyakan jenis log GR berbentuk funnel yang mewakili bentuk lingkungan sedimen yang berasal dari DF sebagai reservoir batu pasir yang lebih shaly daripada lingkungan pengendapan DP. Mengacu pada Gambar 9 – 13, sebuah crossplot antara k /  vs. Hydraulic Conductivity (C), masing-masing kelompok fasies diwakili oleh persamaan regresi berpangkat yang diringkas dalam Tabel 5. Menurut Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa kemiringan ≥ 0,5 (kemiringan setengah satuan kapiler teoritis) menunjukkan reservoir dengan kualitas medium hingga tinggi, diameter pori hidrolik efektif yang lebih besar, dan geometri pori yang relatif sederhana. Di sisi lain, kemiringan setengah satuan kapiler teoritis yang kurang dari 0,5, menunjukkan reservoir dengan kualitas rendah, diameter pori hidrolik efektif yang lebih kecil, dan geometri pori yang relatif kompleks. Untuk melihat efektivitas metode HC dalam memprediksi permeabilitas, maka dilakukan perbandingan antara metode ini dan metode HFU. Dengan menggunakan jumlah tujuh buah flow unit yang sama, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 14. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa metode yang dikembangkan dalam studi ini memberikan titik-titik hasil yang tidak terlalu tersebar dibandingkan metode HFU terhadap garis 45o. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa porositas semakin kecil, semakin kecil pula diameter pori hidrolik efektif. Hal ini sesuai dengan teori yang mengindikasikan bahwa Hydraulic Conductivity (C) dikembangkan berdasarkan metode Gauss-Newton guna menemukan nilai hitung diameter pori hidrolik efektif (dH-try) yang valid. Selain itu, pengembangan metode HC yang berdasarkan metode Gauss-Newton dapat digunakan untuk memprediksi permeabilitas berdasarkan model analog kapiler yang mana uji Mercury Intrusion Capillary Pressure (MICP) tidak diterapkan. Jadi metode yang dikembangkan ini dapat meningkatkan pengelompokan korelasi-korelasi antara permeabilitas dan porositas dengan nilai C yang berdasarkan persamaan dasar dari media berpori dengan model pipa kapiler yang digunakan untuk menentukan nilai dH. Selain itu, metode yang dikembangkan ini menunjukkan bahwa permeabilitas diperkirakan menghasilkan hasil yang lebih baik daripada metode HFU, karena sangat dekat dengan nilai permeabilitas yang berasal dari core seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Terakhir, nilai a, b, dan dH dapat digunakan untuk menentukan permeabilitas 154

hanya dengan bergantung pada suatu nilai  . Namun, untuk menentukan lokasi titik porositas agar berada pada salah satu dari lima kelompok fasies dan untuk hasil klasifikasi yang lebih baik diperlukan analsis petrography pada umumnya dan mineralogi pada khususnya untuk membedakan antara satu fasies dan lainnya.

6. KESIMPULAN 



Metode Hydraulic Conductivity (HC) yang dikembangkan secara keseluruhan menghasilkan prediksi permeabilitas yang secara relatif lebih akurat dibandingkan dengan metode Hydraulif Flow Unit (HFU). Korelasi teoritis, k /  vs. Hydraulic Conductivity (C), menunjukkan bahwa kemiringan yang menyimpang dari kemiringan setengah unit teoritis (m = 0.5) mengungkapkan tingkat kualitas reservoir yang mana model teoritis ini bisa membedakan kualitas reservoir berdasarkan jenis lingkungan pengendapannya. REFERENSI

Amaefule, J.O., Altunbay, M., Tiab, D., Kersey, D.G.: “Enhanced Reservoir Description: Using Core and Log Data to Identify Hydraulic (Flow) Units and Predict Permeability in Uncored Intervals/Wells,” Paper SPE 26436 presented at the 1993 SPE Annual Technical Conference and Exhibition, Houston, TX, October 3-6. Leverett, M. C., (1941), “Capillary Behaviour in Porous Media,” Trans. AIME, Vol. 142, p. 341-358. Permadi, P., et al., (2004), “An Investigation of the Interrelation Among Pore Throat, Surface Area, Permeability, and NMR Log Data,” Final Study Report of ITB. Scheidegger, A. E., (1957), “The Physics of Flow through Porous Media,” University of Toronto Press. Sumantri, Y. and Permadi, P., (2007), “Kajian Anisotropi Permeabilitas Batupasir Melalui Analisis Distribusi Ukuran Pori dan Analisis Fraktal Sayatan Tipis,” Disertasi ITB

DAFTAR SIMBOL k  z P L μ Ac Q Fs R

= = = = = = = = = =

Permeabilitas (mD) Porositas (fraksi) Normalized Porosity Index (fraksi) Tekanan (psi) Panjang (cm) Viskositas (cp) Total Cross Sectional Area (cm2) KuantitasAliran (cm/s) Shape factor Jari-jari Pore Throat (μm) 155

C RQI τ Sg Sp a b dH

= = = = = = = =

Konstanta Pore Structure and Geometry Reservoir Quality Index (μm) Tortuosity Surface Area Per Grain Volume Surface Area Per Pore Volume Konstanta Struktur Pori Exponen Geometri Pori Diameter Pori Hidrolik Efektif Tabel 1 – TEBAKAN AWAL METODE GAUSS-NEWTON Hydraulic Conductivity Unit 5 (HCU5) 19-1aN 19-3aN Res 4 2 FG 0.115 0.214 Φ 6.2 34 kact (mD) 20.464 20.464 a0 1.646 1.646 b0 25 25 dHtry(MAX)0 2.875 5.35 dHtry 13.385 69.227 kcorr0 (mD) 0.654 3.383 δf/δa0 323.49 δf/δdHtry(MAX)0 116.388 Tabel 2 – NILAI a, b, and dH UNTUK 2 PASANG DATA PADA TIAP FLOW UNIT Hydraulic Conductivity Unit 15.856 a 1.74 b dH 2.021 3.76

Tabel 3 – DESKRIPSI LOG DAN CORE DESCRIPTION DARI RESERVOIR PADA FG2 & FG3 Deskripsi Core Deskripsi Log No. Depth (mSS) Φ (fraksi) k (mD) GR (GAPI) SP (mVolt) Rt (Ωm) 1 1975.99 0.224 30 25.5 -15 26 2 1982.41 0.205 108 37.5 -11 17

Tabel 4 – JENIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN PADA TIAP FASIES GROUP (FG) 97.5% of DP and 2.5% of DF FG1 61.3% of DP and 38.7% of DF FG2 38.1% of DP and 61.9% of DF FG3 12.5% of DP and 87.5% of DF FG4 50% of DP and 50% of DF FG5

Tabel 5 – PERSAMAAN REGRESI BERPANGKAT YANG DIWAKILI TIAP FG FG1

k /   7.7578  C 0.5697

FG2

k /   7.315  C 0.5016

FG3

k /   5.548  C 0.435 156

FG4

k /   4.0026  C 0.4236

FG5

k /   1.9364  C 0.421

Theoretical Capillaric Model

k /   Const.  C 0.5

Lapangan X SSW - NNE STRUCTURAL CROSS SECTION

ZONA UTAMA

Gambar 1 – Lapangan X 1000

(k/Phi)^0.5

100

10

1

0.1

0.01 0.01

0.1

1

10

100

1000

C

Gambar 2 - Log-log Plot (k/  )0.5 vs. C

157

1000

(k/Phi)^0.5

100

FG1 (97.5% DP & 2.5% DF) FG2 (61.3% DP & 38.7% DF)

10

FG3 (38.1% DP & 61.9% DF) FG4 (12.5% DP & 87.5% DF)

1

FG5 (50% DP & 50% DF)

0.1 0.01 0.01

1

100

10000

C

Gambar 3 - Klasifikasi Log-log Plot (k/  )0.5 vs. C Yang Dibedakan Berdasakan Karakter Log 10000

HCU1 HCU2

1000

HCU3

k (mD)

HCU4

100 HCU5

10

HCU6

1 HCU7

0.1 0

30

60 90 120 Sample Number

150

Gambar 4 - Plot Antara Permeabilitas dan Jumlah Sampel 100

FG1 (97.5% DP & 2.5% of DF)

dHtry

10

1

HCU1

FG2 (61.3% DP & 38.7% of DF)

HCU2 HCU3 HCU4

FG3 (38.1% DP & 61.9% of DF) FG4 (12.5% DP & 87.5% of DF) FG1 (50% DP & 50% of DF)

HCU5 HCU6 HCU7 0.1 0.01

0.1

1

Phi

Gambar 5 - Log-log Plot dH-try vs. 

158

100 Upper & Middle Blocky

10

Middle Blocky

Middle Bell Bell & Funnel

dH

Upper&Lower Bell Middle Funnel

1

Middle Blocky

Lowest Very Shaly Bell

Middle&Lower Bell Upper&Lower Funnel

Lower Funnel

Middle Funnel Upper&Lower Funnel

0.1 0.01

FG1 (97.5% DP & 2.5% DF) FG2 (61.3% DP & 38.7% DF) FG3 (38.1% DP & 61.9% DF)

0.1 Phi

1

FG4 (12.5% DP & 87.5% DF) FG5 (50% DP & 50% DF)

Gambar 6 - Log-log Plot dH vs.  Untuk Semua Titik-titik Data

1

2

Gambar 7 – Contoh Log Pada FG2 dan FG3

159

1 1 2 2 Gambar 8 – Deskripsi Log Pada Suatu Reservoir di FG2, FG3, dan FG4 1000

(k/Phi)^0.5

100 10

FG1 (97.5% DP & 2.5% DF) Middle Blocky

y = 7.7578x0.5697

1 Middle Bell

0.1 Upper & Lower Bell

0.01 0.01

0.1

1

10

100

1000

C

Gambar 9 – Jenis-jenis Lingkungan Pengendapan di FG1 1000

(k/Phi)^0.5

100 10

FG2 (61.3% DP & 38.7% DF)

y = 7.315x0.5016 1 Upper & Middle Blocky

0.1 Bell & Funnel

0.01 0.01

0.1

1

10

100

1000

C

Gambar 10 – Jenis-jenis Lingkungan Pengendapan di FG2

160

Middle Blocky

1000

Middle & Lower Bell

(k/Phi)^0.5

100 10 FG3 (38.1% DP & 61.9% DF)

y = 5.548x0.435 1 0.1 Upper & Lower Funnel

0.01 0.01

0.1

1

10

100

1000

C

Gambar 11 - Jenis-jenis Lingkungan Pengendapan di FG3 1000 Middle Funnel

(k/Phi)^0.5

100 10

FG4 (12.5% DP & 87.5% DF)

y = 4.0026x0.4236 1 0.1 Upper & Lower Funnel

0.01 0.01

0.1

1

10

100

1000

C

Gambar 12 - Jenis-jenis Lingkungan Pengendapan di FG4 1000 Lowest Very Shaly Bell

(k/Phi)^0.5

100 10 FG5 (50% DP & 50% DF)

y = 1.9364x0.421

1 Middle Funnel

0.1 Lower Funnel

0.01 0.01

0.1

1

10

100

1000

C

Gambar 13 - Jenis-jenis Lingkungan Pengendapan di FG5

161

10000

1000

kHC 100 & kHFU 10

k – Metode HC k – Metode HFU k – Garis

1

0.1 0.1

1

10

100

1000

10000

kcore Gambar 14 – Perbandingan Permeabilitas Hasil Perhitungan Metode HC dan HFU Terhadap Permeabilitas Core

162

Sub Kategori

: Sains Terapan (1B)

Judul : Catatan Ringkas Tentang Hama Wereng Coklat dan Ganjur serta Metode Pengendalian Terpadu yang Ramah Lingkungan Arya WIDYAWAN Master Student Plant Protection Department College of Food and Agricultural Sciences King Saud University, Po Box 2460 Riyadh, Saudi Arabia 11451 Telp: +966545241750 E-Mail: [email protected]

Abstract : Rice is the most important grain in Indonesia. Low productivity of rice is mainly due to insect infestations. Rice brown plant hopper Nilaparvata lugens and leaf gall midge Orseolia oryzae are the most destructive rice pests in Indonesia. Possible control management has been constructed to control the pests. The control is an integrated control method which is a combination between cultural control, biocontrol and chemical control. Application of this method not only will protect the plant from the pests, but also reduce the negative effects of pesticide on the environment. Pesticide may be applied if the population of the pests nearly reaches their economic injury level (EIL) Keywords : control, economic injury level (EIL), Nilaparvata lugens, Orseolia oryzae, rice

1. PENDAHULUAN Padi merupakan serealia pokok bagi masyarakat Indonesia. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengkonsumsi serealia tersebut sebagai makanan pokok. Selain sebagai bahan pangan pokok, jutaan masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada produksi beras, pengolahan beras, dan aktivitas pasca panen tanaman padi (Sidik, 2004). Karena beras sangat penting bagi masyarakat Indonesia, produksi beras dan hal-hal lain yang berkaitan dengan beras perlu mendapat perhatian. Dua faktor utama diketahui merupakan faktor penting yang mempengaruhi hasil produksi tanaman padi. Kedua faktor tersebut adalah faktor lingkungan yang tidak medukung seperti banjir, kekeringan, badai, dan serangan hama (Pathak & Khan, 1994). Kegagalan produksi tanaman padi yang dialami Indonesia pernah mencapai sekitar 1,32 juta ton. Kerugian tersebut disebabkan oleh serangan hama berupa serangga (77,1%) dan tikus (17,6%). Hama wereng coklat dan ganjur merupaka dua jenis hama yang sering mengakibatan kegagalan produksi. Kegagalan produksi yang ditimbulkan oleh dua jenis hama tersebut adalah sebesar 40% dan 14,6% (Supriatna, 2003). Metode pengontrolan hama secara terpadu dan ramah lingkungan merupakan salah satu metode yang perlu diterapkan guna mengurangi kegagalan produksi tanaman padi. Metode 163

tersebut menerapkan pola pengontrolan secara menyeluruh yang meliputi kontrol budidaya (kultural), kontrol biologi, dan kontrol kimia. Kontrol kultural meliputi pelaksanaan pertanian yang bersih, kontrol terhadap inang alternatif daripada hama, penanaman tanaman penjebak bagi hama, pergiliran tanaman, pengaturan waktu tanaman, dan pengontrolan dalam penggunaan pupuk. Beberapa jenis musuh alami dapat pula digunakan untuk mengontrol hama pada tanaman padi. Penggunaan pestisida baru dapat dilakukan apabila populasi hama hampir mencapai nilai tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level, EIL) (Supriatna, 2003).

2. HAMA TANAMAN PADI 2.1. Wereng coklat; Nilaparvata lugens (Homoptera: Delphacidae) Wereng coklat merupakan hama yang paling merugikan bagi petani padi di Indonesia sejak tahun 1970. Hama tersebut menjadi penting karena pelaksanaan program intensifikasi pertanian dan penggunaan pestisida yang tidak tepat. Hama wereng coklat dapat mengakibatkan kerusakan fatal pada semua fase pertumbuhan tanaman padi (Syam et al., 2007). 2.1.1 Gejala serangan hama wereng coklat Padi yang terserang wereng coklat menunjukkan gejala berupa layu, kerdil, dan hopperburn (Gambar 1). Gejala hopperburn disebabkan karena daun padi menjadi kering dan berwarna coklat. Gejala tersebut muncul sebagai akibat dari aktivitas hama wereng yang menghisap cairan tumbuhan (plant sap) dari jaringan pembuluh angkut. Wereng coklat biasa ditemukan pada bagian pangkal tanaman padi. Padi rentan terserang hama wereng coklat pada umur 2939 hari (CFOPR, 1976)

Gambar 1. Gejala hopperburn (Syam et al., 2007)

2.1.2 Siklus hidup Telur hama wereng coklat berwarna putih dan transparan. Wereng coklat betina memasukkan telur-telur pada tulang daun. Telur diletakkan berkelompok, ujung anterior telur berlekatan satu sama lain. Telur menetas setelah delapan atau sembilan hari. Telur yang menetas menjadi nimfa. Nimfa berwarna putih, memiliki panjang 0,6 mm pada waktu-waktu awal. Nifma kemudian tumbuh mencapai panjang 30 mm dan memiliki warna 164

coklat. Tahap nimfa membutuhkan waktu 12-13 hari (CFPOR, 1976). Wereng coklat dewasa biasa ditemukan pada bagian pangkal tanaman padi, sedangkan nimfa wereng coklat biasa ditemukan pada daun padi (Wyniger, 1962). 2.2 Ganjur; Orseolia oryzae (Diptera: Cecidomyiidae) 2.2.1 Gejala Serangan Hama Ganjur Rumpun padi yang terserang ganjur menampakkan warna perak dan menebal karena terbentuk bengkak (gall) pada padi. Gejela yang muncul biasa disebut gejala “daun bawang (onion leaf)” atau “gading gajah (elephant tusk)” (CFOPR, 1976).

Gambar 2. Gejala Gading Gajah (Elephant tusk) (Syam et al., 2007)

2.2.2 Siklus Hidup Ganjur membutuhkan kelembapan yang tinggi untuk menjalankan aktivitas hidupnya. Hama tersebut beradaptasi dengan musim kering dengan cara hidup pada rumput-rumputan yang tumbuh di daerah rawa. Ketika musim hujan tiba populasi ganjur mulai meningkat sehingga ketika musim tanam padi tiba, hama tersebut telah siap menyerang tanaman padi. Tanaman padi yang rentan serangan ganjur adalah tanaman padi pada masa vegetative atau fase sebelum berbunga. Siklus hidup ganjur yang menyerang tanaman padi adalah 9-26 hari. (CFOPR, 1976). Ganjur betina mampu menghasilkan 100-300 butir telur. Telur berbentuk tabung dengan ukuran panjang 0.5 mm dan lebar 0,125 mm. Warna telur bervariasi dari putih, merah jambu, merah, atau dapat juga kuning. Masa inkubasi telur-telur tersebut adalah tiga sampai empat hari atau bahkan lebih tergantung dari kelembapan. Kelebapan optimum untuk telur-telur tersebut adalah 82-88% (CFOPR, 1976). Telur menetas menghasilkan larva. Larva memiliki panjang satu mm. Setelah menetas, larva bergerak menuju titik tumbuh apikal atau kuncup tanaman padi. Waktu yang dibutuhkan oleh larva untuk mencapai titik tumbuh apikal adalah enam sampai 12 jam pada tanaman padi berumur dua minggu. Ketika sampai di kuncup, larva akan memakan bagian dasar dari titik tumbuh. Aktivitas tersebut memicu terbentuknya bengkak (gall) dan menghentikan proses pembentukan bunga (CFOPR, 1976). Fase setelah fase larva adalah fase pupa. Pupa terbentuk 15 sampai 20 hari setelah fase larva. Pupa memiliki ukuran panjang 2,0-2,5 mm dan lebar 0,6-0,8 mm. Pupa berwarna merah jambu pucat pada awal terbentuk kemudian berwarna merah jambu tua atau dapat pula merah. 165

Pupa memiliki beberapa baris duri yang terletak di bagian abdomen. Struktur tersebut memungkinkan pupa untuk bergerak menuju bagian ujung bengkak (gall). Sebelum hama dewasa muncul, pupa membuat lubang pada bagian atas bengkak (gall) dengan menggunakan duri yang ada padanya. Kulit pupa kemudian memisah sehingga ganjur keluar dari dalam pupa. Proses tersebut biasa terjadi pada malam hari (CFOPR, 1976).

3. METODE KONTROL 3.1 Kontrol budidaya (kultural) Kontrol kultural dilakukan sejak awal waktu tanam sampai dengan waktu panen. Pada awal waktu tanam, semua inang alternatif dari hama-hama tersebut seperti Cynodon dactylon, Pseudhomonylia fluitans, Panicum fluitans, dan Oryza barthii dimusnahkan dari daerah pertanian. Jenis padi tahan hama merupakan pilihan utama untuk ditanam. Jarak tanam antara tanaman diatur pada jarak 22 x 22 cm (Supriyatna, 2003). Jarak tanam yang terlalu dekat merupakan salah satu faktor pemicu perningkatan populasi hama wereng. Bagian bawah tanaman akan menerima sedikit sinar matahari sehingga sedikit lebih dingin dan lembab. Kondisi tersebut membentuk iklim mikro yang sesuai bagi perkembangan populasi hama wereng. Namun demikian, jarak tanam yang terlalu jauh tidak direkomendasikan karena akan mengurangi produksi secara singnifikan (Pathak & Khan, 1994). Selain pengaturan jarak tanam, kontrol kultural dapat pula dilakukan dengan menanam tanaman perangkap. Tanaman perangkap merupakan tanaman padi yang ditanam 20 hari sebelum tanaman padi lain ditanam. Padi yang ditanaman telebih dahulu berjumlah satu per empat dari jumlah seluruh padi yang akan ditanam (Pathak & Khan, 1994). 3.2 Kontrol biologi Kontrol biologi dengan menggunakan musuh alami merupakan salah metode yang perlu diterapkan dalam pengontrolan hama (tabel 1). Metode tersebut sangat cocok jika populasi hama masih di bawah nilai tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level, EIL). Efektivitas penggunaan musuh alami untuk mengontrol hama padi dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan populasi musuh alami pada awal masa tanam (Suzuki et al., 2006). Tabel 1 Beberapa Jenis Musuh Alami Hama Wereng dan Ganjur Hama Wereng; Nilaparvata lugens Ganjur; Orseolia oryzae

Musuh Alami Pardosa pseudoannulata Tetragnatha maxillosa Cyrtorhinhus lividipennis Amblyseius imbricatus Platygaster oryzae (platygasterid wasps) Obtusiclava oryzae Neanastatus oryzae Neanastatus cinctiventris Tetragnatha mandibulata (Spider) Argiope catenulata (spider) Neoscona theisi (spider)

Memangsa Hama pada Fase Nimfa Dewasa Telur Telur Larva Larva Pupa Pupa Dewasa Dewasa Dewasa 166

(Marheni, 2004; Pathak & Khan, 1994)

3.3 Kontrol Kimia Kontrol kimia harus dilakukan pada waktu yang tepat untuk menghindari dampak negatif pestisida pada ekosistem. Aplikasi pestisida baru dapat dilakukan jika hama telah mendekati nilai tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level, EIL). Tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level, EIL) dapat berubah tergantung dari tempat, waktu tanam, ukuran lahan pertanian dan bahkan harga pestisida dan harga beras. Lebih lanjut, tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level, EIL) juga berbeda apabila terdapat lebih dari satu jenis hama yang menyerang lahan pertanian(CFOPR, 1976; Kumar et al., 2008; Syam et al., 2007). Tabel 2 Tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level, EIL) Hama Wereng; Nilaparvata lugens Ganjur Orseolia oryzae

Tingkat kerusakan ekonomi 20 atau lebih wereng coklat dalam tiap unit sampling (rumpun padi) 5% rumpun menujukkan gejala daun berwarna perak atau 10% rumpun mengandung larva

Aktivitas pengontrolan hama wereng dan ganjur secara terpadu dilakukan sepanjang periode tanam padi. Beberapa aktivitas yang dilakukan adalah meliputi pembersihan lahan dari gulma, penanaman tanaman penjebak, pelepasan musuh alami, dan survei populasi hama (tabel 3). Tabel 3 Model aktivitas pengontrolan hama wereng dan ganjur Waktu Periode sebelum periode tanam

Aktivitas pengendalian hama  Pembersihan lahan pertanian dari beberapa gulma yang menjadi inang alternatif dari wereng dan ganjur seperti Cynodon dactylon, Pseudhomonylia fluitans, Panicum fluitans, and Oryza barthii,

Awal Periode tanam sampai dengan 20 hari setelah periode tanam

 Menanam padi sejumlah satu per empat dari jumlah padi yang hendak ditanam  Penanaman dilakukan pada jarak 22 x 22 cm  Pelepasan musuh alami

Periode tanam

 Pelapasan musuh alami (awal periode tanam; 1-3 minggu)  Survey populasi hama  Kontrol kimia jika populasi telah mendekati nilai ETL

Periode panen

 Memotong batang tanaman padi sedekat mungkin dengan permukaan tanah

Periode setelah panen

 Membanjiri lahan dengan air untuk memutus 167

Waktu

Aktivitas pengendalian hama siklus hidup hama

Pengambilan sampel merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan apakah aplikasi pestisida perlu dilakukan atau tidak. Berbagai metode telah dikembangakan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu metode pengambilan sampel yang mudah dan cepat dilakuakn adalah metode pengambila sampel berlanjut (sequential sampling method). (Shepard and Ferrer 1990). Tabel 4 Metode sampel berlanjut untuk hama wereng dan musuh alaminya

76 > 89 > 102 > 116 > 129 > 143 > 156 > 169 > 183 > 196 >

Aplikasi pestisida

Batas atas

Pengamilan sampel dilanjutkan

Tidak perlu aplikasi pestisida

Tanggal:……… Hari setelah tanam: ………… Lokasi: …………… Lahan no. :………… Varietas : ………….. Jumlah Sample Jumlah Kumulatif Batas musuh Koefisien no. wereng nilai Koefisien bawah alami 1 10 1 5 5 2 15 2 5 10 3 5 1 0 10 4 20 3 5 15 < 32 5 < 45 6 < 59 7 < 72 8 < 85 9 < 99 10 1 meter), maka restriksi yang ketat harus dapat diberlakukan. Bahkan bila diperlukan, kawasan tersebut dapat dibekukan untuk kegiatan pembangunan baru seperti layaknya model Perancis.

4. PENUTUP: DIBUTUHKAN PERATURAN ZONASI UNTUK KAWASAN RENTAN BANJIR Ke depan, kota-kota Indonesia tampaknya membutuhkan peraturan zonasi (PZ) khusus untuk kawasan rentan banjir karena risiko bencana yang tinggi dan dampaknya yang signifikan. Keberadaan PZ dimungkinkan karena payung hukumnya telah tersedia, yakni UU No.26/2007 yang memuat peraturan zonasi sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. Instrumen ini tentunya harus dipadukan dengan 3 (tiga) instrumen lainnya, yakni : pemberian insentif-disinsentif, perizinan dan pengenaan sanksi. Saat ini merupakan momen yang tepat, karena berbagai kota tengah merevisi RTRW nya untuk menjalankan amanat UU No.26/2007. 292

Tiga model berbeda yang dikembangkan di Inggris, Perancis dan Italia, dapat menjadi referensi dalam pengembangan peraturan zonasi bagi kawasan rentan banjir di kota-kota Indonesia. Namun demikian, skala persoalan yang dihadapi dan sistem penataan ruang yang berlaku tidaklah sama, sehingga upaya untuk meniru atau mengadopsi mentah-mentah salah satu dari 3 (tiga) model diatas tidak akan berjalan sukses. Dalam tulisannya mengenai kultur perencanaan, R. Cowherd (2005) dan D. Hudalah & R. Woltjer (2007) telah menegaskan pentingnya bentuk hibrid dalam praktek penataan ruang di Indonesia, dengan memperhatikan faktor desentralisasi (hubungan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota/Kabupaten), kultur lokal dalam pengambilan keputusan, dan penegakan hukum. Selain itu perlu dipertimbangkan pula skala penanganan yang tepat: kota individual (model Inggris), aglomerasi perkotaan (model Perancis), atau daerah aliran sungai (model Italia). Perubahan praktek penataan ruang Indonesia dari sistem discretionary menuju sistem regulatory dengan ambisi untuk menggantikan prosedur birokratis yang berbasis diskresi dengan prosedur zoning yang berbasis regulasi, tidak berlangsung serta-merta, melainkan sebuah proses yang panjang. Pada titik inilah Pemerintah Indonesia, pada berbagai tingkatan, diuji kesungguhan dan kemampuannya untuk dapat mengembangkan sistem penataan ruang yang lebih sensitif terhadap risiko bencana pada kawasan perkotaan, khususnya banjir. Tabel Rekapitulatif : Model Peraturan Zonasi pada Kawasan Rentan Banjir di 3 (tiga) Negara Eropa Elemen

Model Inggris

Model Perancis

Model Italia

Prinsip penataan ruang pada kawasan rentan banjir

Desentralisasi. Risk-based approach. Akomodatif terhadap kebutuhan pembangunan

Desentralisasi dengan intervensi Pemerintah Pusat sebagai penanggung jawab tertinggi keselamatan publik. Sangat ketat, seringkali disebut ‘hyper-protektif’

Didelegasikan ke otoritas pengelola DAS dan provinsi Integrated river-basin management approach

Peran Pemerintah Pusat

Tidak banyak campur tangan langsung (sudah termuat dalam PPG-25) ; Pemerintah Pusat bisa memberikan rekomendasi.

Peran Pemerintah Pusat dominan, sehingga dianggap terlalu jauh masuk ke kompetensi urbanisme lokal.

Tidak ada campur tangan Pemerintah Pusat ;

Pengambilan Keputusan dan Pemberian Izin Pembangunan

Negosiasi dalam pemberian izin untuk manfaat terbesar bagi publik (risk-benefitanalysis) karena local plan hanya memuat struktur.

Konsultasi dan angket publik dalam elaborasi PPR-I ; Tidak ada negosiasi lagi dalam pemberian izin, harus mengacu pada ketentuan PZ untuk kawasan rentan banjir.

Konsultasi (informal dan formal) dalam elaborasi PAI.

Instrumen dan Prinsip Dasar

Tidak ada instrumen khusus, prinsip-prinsip PPG-25 dimuat dalam

Terdapat instrumen khusus (PPR-I) yang disusun secara terpisah oleh Pemerintah

Terdapat instrumen khusus yang disusun secara terpisah oleh otoritas

293

Elemen

Skala Penanganan

Model Inggris

Model Perancis

Model Italia

rencana tata ruang (local plan)

Pusat ; yang lalu diadopsi ke dalam annex rencana tata ruang (PLU)

pengelola DAS bersama dengan provinsi dan kotakota terkait ; dijadikan referensi dalam penyusunan rencana kota.

Kota individual

Aglomerasi perkotaan melalui kerjasama antar-kota (interkomunal)

Daerah aliran sungai (DAS) melalui kerjasama dengan Provinsi

Sumber: E.S. Atmawidjaja Catatan : Sebagian dari materi tulisan pada bagian C digali dari hasil wawancara dengan Bpk. Siswoko (mantan Dirjen SDA – Dep PU) dan Bpk. Denny Zulkaidi (Sekolah Perencanaan dan Kebijakan Publik - ITB).

REFERENSI Endra Saleh ATMAWIDJAJA (2006), Le plan prevention du risque d’inondation (PPR-I) : Est-il un dispositif réglementaire adéquat et efficace dans le contexte intercommunal, Mémoire de recherche, Institut d’Urbanisme de Lyon – Université Lumière Lyon 2, France, 121p. Robert COWHERD (2005), Does Planning Culture Matter ?” Dutch and American Models in Indonesian Urban Transformations, Chapter 8 in « Comparative Planning Cultures », Edited by Bishwapriya Sanyal, Routledge, New York – London, p165 à 192 Delik HUDALAH and Johan WOLTJER (2007), Spatial Planning System in Transitional Indonesia, in « International Planning Studies », Vol.12, No.3, Routledge, London, 2007, p291 à 303 Patrick PIGEON (1996), La gestion des risques urbains, Chapitre 5 in « Risques naturels : risques de sociétés », Bailly A.S (dir.), Economica, Paris, p51 à 62 Claire RELIANT (2004), L’expertise comme outil de territorialisation d’une politique publique ? : Fonctions et usages de l’expertise socio-économique dans la politique d’aménagement des zones inondables en France et en Angleterre », Thèse Doctorat en Sciences et Techniques de l’Environnement, Ecole Nationale des Ponts et Chaussées, CEREVE, Paris, 472p Yvette VEYRET et Nancy Meschinet de RICHEMOND (2003), Les risques naturels en Europe : La diversité des réponses, Chapitre 9 in « Les risques», Veyret Y. (dir.), DIEM, SEDES, Paris, 2003, pp 147 à 160.

294

Sub Kategori

: Sains Soisla, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Embodying Humanistic Rationalisation in Optimising the Utilization of Intellectual Property Products in Indonesia Hayyan ul HAQ Centre for Intellectual Property Law Molengraaff Institute for Private Law Law Faculty - Utrecht University

Abstract: Evaluating the consequences of the existing creator and inventor doctrine on access to public goods, this paper investigates the ways of finding the most adequate legal protection that may bridge public interest and private interest in this respect. For that reason, this work will not only re-examine the status of exclusive intellectual property rights, but also the freedom of contractual exploitation and the implication thereof in Indonesia. This protection is meant to create an ideal legal framework not only for expanding broader public access to any essential product in the field of food, agriculture, health and education but also to embody humanistic rationalization in the intellectual property exploitation in order to maintain the sustainability of collective life. Keywords: Exclusive Right, Creator and Inventor Doctrine, Information and Technology (IT), Technology Transfer, Fundamental Right, Unity and Sustainability.

1. INTRODUCTION A deficiency in the creator and inventor doctrine is perceived as tending to provide unrestricted opportunities for capitalist potential and resources in exploiting and privatizing intellectual property products, i.e. information and technology, (hereinafter, IT) resulting in a scarcity of IT, particularly essential IT products in the public domain. By promoting the importance of the incentive theory, the protection of exclusive right is empowered and entrenched and is even manipulated by a few gigantic corporations to accumulate their profit interest. It was these corporations which to a much greater extent enjoyed and employed their exclusive rights to strengthen the accumulation of profits towards intellectual capitalism. The dramatic increase in the accumulation and concentration of intellectual property products controlled by a few gigantic corporations has hampered many developing countries including Indonesian stakeholders’ (universities, research and development centers, the government, public institutions, particularly in health and education, national industries, particularly small and medium-sized industries, society, NGOs) capacity to access and develop intellectual property products, i.e. essential IT, particularly through technology transfer in order to maintain the sustainability of collective life. The spirit of unrestricted exploitation has been embodied in various international (i.e. TRIPs Agreement, UPOV, etc) and national regulations (i.e. Indonesian Copyright and Patent Acts). 295

In the midst of the pros and cons of the implementation of the TRIPs Agreement, the developed world tries to force developing countries, including Indonesia, to accept and to introduce free trade agreements (US-FTA) that may restrict those developing countries in protecting their national or public interest in essential fields such as food, health and education. It is well known that the US-FTA introduces several stricter clauses than TRIPs clauses that may hamper developing countries in accessing IT through technology transfer, compulsory licensing, fair use, parallel imports, governmental use and so forth. Those problems are based on the absence of an appropriate legal framework to guarantee the just optimization of the production, dissemination and utilization of intellectual property rights in order to protect the public interest. In this divide, not surprisingly, the stronger parties, i.e. capitalists, may exploit the exclusive maximum right (unrestricted exploitation) by introducing various strict intellectual property protection regimes (Ove Granstrand, 1999:10, 278-280). At the global level, many scholars warn us about difficulties and conflicts of interest in this respect. For example, Heller, Eisenberg, and Boyle are concerned about the tragedy of the anti-commons (Heller, 111 HARV. L. REV. 3 [1998]) that threaten the sustainability of collective life. Granstrand analyses that the patent-based oligopolies and cartels of the twentieth century are likely to become the intellectual property-integrated ‘infogopolies’ and ‘biogopolies’of the twenty-first century. Clearly, the unrestricted exploitation of information and technology (IT) may fulfil only the interests of a few gigantic corporations (capitalism). (Granstrand, 1999:10, 278-280). The scarcity, difficulties and conflicts of interest in the utilization of IT have been extensively discussed at WIPO meetings related to the Geneva Declaration, or the Development Agenda. At the national level, this work has been inspired by the ultimate goal of the Indonesian 1945 Constitution, Arts. 28, 31, 32, 33 and 34, which emphasizes that social justice principles must be inherent in the implementation and management of public resources towards the greatest benefit for the greatest number of people. In this respect, public resources may cover not only natural resources, but also intellectual products which are pivotal components for maintaining and guaranteeing the sustainability of collective life. In addition, Indonesia has introduced a number of Acts and Government Regulations governing the utilization of intellectual products, such as UU No. 14/2001 on Patent, UU No. 18/2002 on the National System of Research and Development and the Application of Information and Technology, UU No 19/2001 on Copyright, and Government Regulation No.20/2005 on Technology Transfer and Products of Research and Development Activities by Higher Education and Other Research and Development Institutions. All of those legal resources emphasise the important role of the IT for national development. Unfortunately, they failed to provide positive law regulations that guarantee the protection of the public interest and social function, particularly in the field of food, health, and education. Consequently, Indonesia must face multiple collective threats stemming from the inability of the Indonesian government to interpret and implement the Indonesian 1945 Constitution for fulfilling of the fundamental rights enshrined in the Constitution. For that reason, Indonesia needs a strong and appropriate legal framework that may optimise the utilization of IT for the greatest benefit for the greatest number of people.

296

2. MAPPING PROBLEMS: THE CREATOR AND INVENTOR DOCTRINE AND ITS IMPLICATION The absence of an appropriate legal framework in regulating the production, dissemination and utilization of IT creates unlimited opportunities for stronger parties (capitalism) in exploiting their potential. This is because the creator and inventor doctrines have no internal norms to control or to limit the exploitation of the exclusive right embedded in the two doctrines. This will certainly create complexity and serious impacts on the appreciation and implementation of the creator and inventor doctrines, either at a dogmatic or a practical level. At the dogmatic level, even though the main mandatory provision of the Indonesian 1945 constitution is dedicated to attaining the greatest benefit for the greatest number of people based on social justice, there are still many ambiguities in appreciating and implementing the concept of the greatest benefit for the greatest number. This can be seen from various and contradictory positions of organic laws in the interpretation of the Indonesian 1945 constitution and other related Acts. At the practical level, disparities, difficulties and conflicts of interest in optimizing IT are particularly seen in the utilization of essential IT products, such as in health, food and education. Recently, Indonesia has been forced to face a dilemma regarding bird flu (H5N1) control and management. The dilemma stemmed from a conflict of interest between private (corporations, capitalism) and public interests. Even though Indonesia has been suffering from bird flu, it has no access to IT to improve its capability to produce H5N1 vaccine independently. This is because access has been obstructed by a conflict of interest between private and public interests. Many scholars predict that if the H5N1 develops into a real pandemic, it will kill millions of people. Even if all the large pharmaceutical corporations are simultaneously forced to produce the necessary vaccine, they can never be able to use it effectively. This is because the pandemic’s effect is much more rapid than the corporations’ capacity to produce H5N1 vaccines. Other similar cases which visualise the conflict of interest between private (corporations) and public interests in Indonesia can be seen from various cases in education (Microsoft and the Indonesian government vs. the Indonesian Antitrust Committee), and in food and agriculture (Charoen Phokpand Indonesia and PT. BISI vs. Farmer). In the long term, this condition will impact on the accessibility of scientist and technological experts to develop intellectual products, which in turn bring about the tragedy of the anti-commons that threatens the sustainability of human life. From time to time, the issues concerning the optimization of IT become crucial problems, and now they are becoming some of the hottest issues in the actual public debate, particularly in developing countries, including Indonesia. All social components, not only in developing countries, but also in developed countries, need an ideal legal framework to anticipate the serious collective threats. For that reason, the exclusive rights principle in intellectual property should be re-examined in order to create an ideal and proportional legal framework for the greatest benefit of mankind. In this case, how can one explore an ideal alternative approach in bridging the right to profit and public interest or how can the exclusive right be transformed into the greatest benefit for the people?

297

3. FINDING ROOT CAUSE: CONCEPTUAL AND STRUCTURAL FALLACY The above problems derive from conceptual and structural fallacy that not only impact on the conceptual and institutional level, but also the practical level. At the conceptual level, several authors have signified that the exclusive nature of intellectual property suffers from internal logic (Drahos,P., 1996; Moore, A.,1997:65-108). Hettinger has provided an insightful critique of the main arguments used to justify intellectual property. He begins by mentioning that intellectual products are social products. This means that an intellectual work does not exist in a social vacuum. (Hettinger, 1989:31-52). So, first, exclusivity creates self-interest. In a market context, intellectual property rights create distinctive kinds of opportunities. Then, rational self-interested actors take those opportunities. By doing so, they defeat the social interest that provided the justification for having the rights in the first place. This inconsistency is caused by what Drahos called the “danger of the inner logic” of the exclusive right (Drahos, 1996:119). Consequently, the articulation of capitalist interests without an appropriate legal framework may ignore and threaten the public interest which is one of the constitutional reasons (UUD 1945; UDHR, Art. 27; ICESCR, Art. 15. 1 [c]) to justify the existence of intellectual property rights. Several studies show that the unrestricted exploitation of intellectual property brings about injustice in the distribution and the optimization of global resources, i.e. IT. The accumulation of power by the owner of intellectual property rights is made possible by an inappropriate legal framework. In that respect, the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) is the most controversial international intellectual property convention. (Drahos and Braithwaite, 2002). Drahos identifies three lines of criticism aimed at it. First, it was the product of duress (undue influence) by powerful states against weak states rather than a bargain struck by equal sovereign parties. The second line of criticism is that TRIPs is part of a hard bargain in which developing states received very few reciprocal gains. The economic gains of the standards contained in TRIPS are most likely to be captured by companies committed to radical innovation and with large economies of scale. It was generally recognized that not many countries in the world have robust valleys of innovation like Silicon Valley in US. So the benefits of TRIPS remain something of a distant promise to most developing countries. For the impacts of TRIPS Patent Changes on International Flows of Economic Activity for Selected Countries, see: Maskus, Keith, 2000; Krishna VR., 1996. A third line of criticism focuses on the adverse consequences for developing countries of implementing the TRIPs agreement. The debate over the impact of TRIPS standards on access to essential resources for the sustainability of collective life, such as access to food, health and education is one example of this type of criticism. Clearly, each of those criticisms show how the options of certain international business are manipulating socio-economic life. For example, the use by the U.S. of its trade enforcement mechanisms (section 301 of its Trade Act of 1974 and the Generalized System of Preferences under Title V of that Act) against developing countries was triggered in many cases by petitions by U.S. companies or business organizations. By way of an example, the section 301 action initiated by the USTR against Indonesia in 1988 was in response to a petition brought by the Pharmaceutical Manufacturers Association (PMA). The PMA also filed a petition in 1987 and 1988 against Brazil and Argentina respectively, on the issue of patent protection that triggered an USTR investigation. (USTR, at http://www.ustr.gov.) 298

Again, due to the absence of an appropriate legal framework in maintaining a balanced relationship between the individual or group and public interests, the spirit of capitalism allows and even strengthens individual or group readiness to put the public interest aside. The above description demonstrates the structural difficulties in appropriately utilizing intellectual property to fulfill and protect peoples' interests in optimizing IT. The indicated state of affairs is interdependent with other complex problems in the fields of sociology, economics, politics, and culture. In the context of the distribution of IT, the ‘weakest link’ (Dettmer, W., 1997) is likely to be the unrestricted exploitation of exclusive rights in an IP regime. Now, under the TRIPs agreement, the strong exploitation of exclusive rights brings about disparity and inappropriate optimization concerning IT. The TRIPS Agreement is deemed to be protectionist, a legal infrastructure to promote monopolistic practices and profits, and almost exclusively benefits developed countries. The agreement has no instrument to protect public interests, particularly for poor people or weak groups/parties. Related to public health issues, Shah mentioned several points: (i) TRIPS aims to prevent the imitation of products (which is ironic, given that this would allow further competition and better prices for drugs and other products); (ii) The effect of the 20-year period of a patent protection is to basically deny others (such as developing countries and their corporations) from developing alternatives that would be cheaper; (iii) Technology transfer is prevented; (iv) Some provisions, such as compulsory licensing to allow the creation of alternatives in cases of emergency and parallel importing to effectively permit shopping around the international market for the cheapest price for the same product, do not go far enough as many nations have faced pressure from the likes of the United States when they have used these measures; (v) TRIPS, WTO and general international trade-related agreements do not take public health needs into account. Instead, commercial interests are promoted. (See: http://www.twnside.org.sg/title/ twr120a.htm). Recently, the US has started to impose an extremely high standard of IP protection, (Correa, C.M., 2004, GRAIN,at: http://grain.org/briefings/?id186 , retrieved on: 24 January 2005) to bring Indonesian IP laws into line with US national IP laws (Soesastro,Hadi, 2004:23). Not surprisingly, the difficulty in accessing IT becomes more widespread, where right-owner groups control the optimization, i.e. production, distribution and utilization of IT, either at the policy, legislative or practice level. At the policy and legislative level, in pharmaceutical industries Graham Dutfield identified that Germany, Switzerland, France and Great Britain had designed their patent law with respect to the patenting of products and processes and were strongly influenced by the strengths of their respective chemical industries. (Graham Dutfield, in Drahos, 2005). At the practical level, patent-based cartels were most strongly present in the chemical and pharmaceutical fields. Over two or three decades, the cartels involved German companies (IG Farben, Bayer, Badische, Kalle, and Hochst), Swiss companies (Ciba, Sandoz and Geigy), the British company ICI and the American Du Pont and the National Aniline Chemical companies. These right-owner groups, i.e. corporations, experienced a period of enormous expansion based on the abnormal profits they had obtained by means of the patent system. However, the profits of each individual company tended to come from only one or two drugs. For example, in 1960 terramycin and tetracyn accounted for 33% of Pfizer's sales; chloramphenicol accounted for 45% of Parke Davis' sales and Merck saw Divril account for 39% of its sales. (Peter Temin, 1979: 429, 442). When these patents ran out, the companies would be thrown back on to the competitive markets. (Peter Drahos and John Braithwaite, 2001-2002: 462) 299

4. TOWARDS AN IDEAL LEGAL FRAMEWORK FOR THE UTILIZATION OF THE INTELLECTUAL PRODUCTS In this section, I will elaborate and offer some alternative solutions in optimizing the utilization of IT under the Indonesian legal paradigmatic view. It refers to the Pancasila and the Indonesian Constitution of 1945 as grand norms of the Indonesian positive laws which are linked to and match with the universal values embodied in the Universal Declaration of Human Right (UDHR), the International Convention on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR), and the European Convention on Human Right (ECHR). 4.1. Defending Unity and Sustainability as Meta Values Theoretically, under the systems theory and the circularity principle, the balance of interaction (structural coupling) (Maturana and Varela’s Works) between the human being and nature will produce several second-order phenomena, such as: science, knowledge, and technology, and concepts of property rights. It should be noted that the second-order products are instruments to support the sustainability of a system. As complementary instruments, their values are hierarchy lower than unity and sustainability. Thus, the values of science, technology, art, and natural resources are merely instrumental. Therefore, their legitimating cannot surpass the need to maintain unity and sustainability. Ideally, as subordinate or instrumental rights, intellectual property should serve the interest and needs that citizens can identify, through the language of human rights, as being fundamental right. (Drahos, 1998). At the dogmatic level, all of the components of fundamental rights are embodied in the Pancasila and the Indonesian Constitution of 1945 as the grand norm of Indonesian positive laws. Thus, the management and implementation of patent law and other laws concerning IT should be in line with the interpretation and implementation of the fundamental rights enshrined in the Pancasila and the Indonesian Constitution of 1945, Art 28). This concept contains several principles: (i) the principle of the State’s authority; (ii) the principle of the utilization of IT for the greatest benefit of the people; and (iii) the principle of social justice as contained in the Pancasila. To simplify the concept, the first principle relates to the status of IT in Indonesia, and the second and the third principles concern the utilization and optimization of IT, which are measured by two determinant indicators: (i) for the greatest benefit of the people; and (ii) social justice. Those principles limit the state’s authority to control (master) the utilization of IT. The term mastery implies the state’s authority in using and optimizing INT. With regard to the concept of mastery, the State, as the sovereign organization, should be considered as the organization representing the people’s power. Therefore, it is not relevant to assume the state’s authority in terms of ownership theory. The state, as the organization representing sovereign people, has authority to regulate: (i) the availability, utility, and optimization of IT; (ii) the determination and regulation of the legal relationship between individuals or institutions (legal subjects) and information, knowledge and technology (legal objects). An indicator that can be used to measure the limits of the legal subjects in utilizing these legal objects is the term ‘the greatest benefit of the people’. Therefore, the concept of the utilization and optimization of intellectual products for the greatest benefit of the people should be embodied in a concrete statement. It requires that: (i) any grant, utilization, and optimization of IT; (ii) any 300

determination and regulation of the legal relationship between individuals and IT; and (iii) any regulation and legal relationship between individuals and legal action concerning IT, should be dedicated to achieving the greatest degree of benefits for the people. (UU No.18/2002, Considerans: (a) and (b). For that reason, this paper elaborates and offers an ideal legal mechanism for managing the utilization of IT in order to maintain a balanced interest between private and public, which, in turn guarantees the unity and sustainability of collective life.

Maintaining A Balanced Interest towards Sustainable Justice

Co-ordinated Structure CONTRACT Exclusive Rights, Fundamental Rights, Social Function and Public Interest for the Greatest Benefit for the Greatest Number

STRUCTURE: JUSTICE, BALANCE

UNITY AND SUSTAINABILITY

FUNCTIONING/ CAPABILITIES

IDEAL CREATIVITY AND PRODUCTIVITY

Catalist in Creating a Blalanced Interest

Constitutionalisation of Contracts for the Transfer of Technology based on Fundamental Rights (rights to food, health, and education)

Scheme 1. Maintaining a Balanced Interest towards Sustainable Justice

The above scheme shows a legal mechanism that guarantees the sustainability of a balanced interest in optimizing intellectual products, particularly post pactum. In this respect, my argument stems from the importance of unity and sustainability which characterize our living system. Unity and Sustainability contain some constitutive elements such as public interest, social function and fundamental rights, which are meta-values of any legal policy and products, including contracts for the transfer of technology. Therefore, all clauses in the contract for the transfer of technology must not contradict and threaten the unity and sustainability of the social system. In this context, the optimization of exclusive rights should consider fundamental righ ts, public interest and the 301

social function so that this rule can strengthen collective capabilities towards creativity and productivity which, in turn, create a just and balanced structure in our collective life. The failure to achieve a just and balanced structure may threaten the unity and sustainability of collective life. Therefore, this work offers not only a legal mechanism by which to maintain unity and sustainability at the pre-contract level but also at the post-contract stage. At this point, the legal mechanism at the post-contract stage can be initiated by recontrolling, and reexamining any contracts that may threaten unity and sustainability. Then, the government, by virtue the Pancasila, the 1945 Indonesian Constitution articles 28, 31, and 33, and the Universal Declaration of Human Rights, may constitutionals those non-conforming contracts. To visualize the implementation of this idea, the Indonesian government and parliament may provide a broader authority and competencies to the Indonesian Co nstitutional Court in controlling and examining the private issues that may influence the public interest and the constitutional rights of the people. 4.2. Optimising the Utilization of Intellectual Products in Indonesia Principally, the optimisation of information and technology (IT) can be achieved by ensuring that the common good, i.e. IT is shared. For this purpose, at a global level, some strategic interrelated steps can be established in order to create the ‘common good’, i.e. for the SouthNorth flow of information: (i) the establishment of a sustainable global knowledge society (Weiser, 2002:3; Allan S. Gutterman, 1993:89-139); and (ii) determining how people from the developing world, e.g. Indonesian people, are understood and perceived by the North. It is common knowledge that the current view of the developing world is primarily based on a North-South flow of information. What is needed is a free flow of information between the South and the North that will enhance a mutual understanding. To use the notion of Habermas: a ‘public sphere’ must be created in the world, where people can have the opportunity freely to share ideas and understand one another. Shared information between the South and the North is the core of such a public sphere, and it is therefore an imperative that the South must have a voice to make its views clear. This can only be done when the communication channels are in place to ensure an effective South-North flow of information. (Habermas, J. 1989). To concretise these channels, all parties, particularly international and national public institutions, i.e. governments or NGO, should be involved in developing and promoting indigenous technology and technology assessment. Some workable, manageable and promising programmes that can be implemented are: (i) establishing a collaborative network of research centres; (ii) strengthening programmes of cooperation and assistance in developing technology; (iii) promoting long-term partnerships between the holders and users of technologies, and between companies in developed and developing countries, and so forth. 4.2.1. Visualising the Legal framework at Pre-Grant and Post-Grant Levels At the national level, in creating an alternative appropriate legal framework for optimalizing the utilization of IT in Indonesia, this work offers several solutions which are classified in two 302

stages: (i) pre-grant and (ii) post-grant. At the pre-grant level, this work suggests a tailor-made creator and inventor doctrine for Indonesia. The tailor made system could be designed and constructed by exploring the Pancasila principles as the grand norm of Indonesian positive laws. In this respect, the Indonesian government can identify and embody Indonesian laws which link and match universal values into the Indonesian legal system. As a legal consequence, the Indonesian government must integrate exclusive rights, the social function and the public interest for the greatest benefit for the greatest number of people based on the principle of social justice. In this respect, the government may integrate essential intellectual products into the Indonesian intellectual property regime. In line with the above description, this work also offers a coordinated structure for the contract for the transfer of technology that may integrate and accommodate all interests, either private or public. It can be implemented through various methods: (i) modifying the significant or essential legal icons and institutions of common law in accordance with the Indonesian legal system; (ii) enacting local laws which contain general legal principles in the existing intellectual property law systems; (iii) amending the existing intellectual property laws (legal amendments) through sui-generis and optimising contract law. Then, at the post-grant level, for the ideal optimal utilization of intellectual products this work advocates the constitutionalisation of intellectual property and technology transfer contract by widening the role of the Indonesian Constitutional Court. At the institutional level, this substantial reformation should be followed by a structural adjustment through the creation of an equal distribution of justice in managing IT. This structural adjustment can be manifested by preparing appropriate mechanisms for sharing the benefits, and establishing a global institution for managing and distributing sensitive and essential intellectual products to most people. (Overwalle, G.v., 2006). In this case, the Indonesian government must independently and creatively initiate and advocate the establishment of global, national and local institutions for optimising the utilisation of essential intellectual property products to guarantee the fulfilment of public interest, particularly in the field of food, health and education. 4.2.2. Embodying Humanistic Rationalisation and the “Universal Principle in Longitudinal Contracts” The above ideas can be embodied in various efforts to optimise the production and dissemination of IT, for example through fair contracts in technology transfer. In optimising contracts, at the philosophical and theoretical level, this work suggests the embodiment of humanistic rationalisation in contracts, particularly in longitudinal contracts that may impact on public interest, such as contracts for the transfer of technology. The implementation of the humanistic dimension in the IP regime will be a significant contribution for developing countries, particularly in fulfilling their fundamental rights, such as rights to food, health and education. Indeed, these humanistic dimensions can normally be seen in the substantial links between human rights and TRIPs. These links can be analysed from the point of view of granting rights, the duration of protection, and the methods for the enforcement of IPR that take into consideration public interest and humanistic issues. Those links are indicated by Articles 7, 8, 29 and 31 which emphasise the public interest and the humanistic dimension. For example, the TRIPs Agreement, Art.7, regulates the importance of promoting technological innovation and transferring and disseminating technology in a 303

manner which is conducive to social and economic welfare (TRIPs, Art.7); then, Arts. 8 (1, 2) and 31 (k) encourage TRIPs (member) states to: (i) protect public health and nutrition (TRIPs, Art.8(1)); (ii) to promote public interest in pivotal sectors of socio-economic and technological development (TRIPs, Art.8(1)); (iii) to prevent the abuse of IPR (TRIPs, Art.8(2)); (iv) to restrict practices which unreasonably restrain trade or adversely affect the international transfer of technology, and (v) to take action against anti-competitive practices (TRIPs, Art.31(k)). Regarding the protection of humanistic values, the TRIPs Agreement, Article 27(1 and 2) allows member States to exclude any creation or invention, including diagnostic, therapeutic and surgical methods for the treatment of humans or animals (TRIPs, Art.27(3)(a); which contradict public order or morality (TRIPs, Art.27(2)), or at least in theory may hamper or obstruct the promotion and protection of human rights as stipulated in Article 27 of UDHR and Article 15 of ICESCR. Unfortunately, the adoption of a declaration on the right of access to medicines by the UN Commission of Human Rights remains merely symbolic if the IPR system remains unclear as to the appropriate balance between rights and interests. It is not surprising that many commentators point to indicate ambiguities and difficulties in implementing ‘humanistic’ provisions in the TRIPs agreement. These difficulties frequently give rise to tension between rules that protect the creators of information and those that ensure the use and diffusion of information (Drahos, 1999).3 For example, the UDHR, Article 27, contains tension between protection and participation (G.A. Res. 217A, U.N. GAOR, 3d Sess., Supp. No. 13, at 48, U.N. Doc. A/81O (1948).4 Similarly, Article 15 of ICESCR identifies the need to balance the protection of both public and private interests in intellectual property (See: ICESCR, Art.15(1)(c)); See also: G.A. Res. 2200A, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, at 49, U.N. Doc. A/6316 (1966).5 The article obliges States to design intellectual property systems that strike a balance between promoting general public interests by easily granting access to new intellectual products, while at the same time protecting the interests of authors and inventors in such intellectual products (TRIPs, Art. 31). The above description shows that many of the TRIPs’ provisions that provide public opportunities to defend humanistic values are frequently ineffective and impracticable. This is not only the result of ambiguities, but also of capitalist manoeuvres that hamper and block the implementation of those humanistic provisions (See: EU Commission vs Drug Companies concerning the blocking of generic drugs). Therefore, it is necessary to elaborate an alternative legal mechanism for embodying humanistic rationalisation. The recognition of access to food, medicines, and education as a human right was seen as a first step in formulating humanistic policy and rationalisation in the IP regime.

3

See: Drahos, P., Intellectual Property and Human Rights, Intell. Prop. Q. No.3 349, 356 (1999) This is because even though the UDHR does not directly address intellectual property rights, Article 27.2 states that "everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author." Clause 1 in Article 27 also states, however, that everyone has "the ri ght freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits." See: G.A. Res. 217A, U.N. GAOR, 3d Sess., Supp. No. 13, at 48, U.N. Doc. A/81O (1948). 5 This is because, on the one hand, this article recognizes the right of everyone to take part in cultural life, and to enjoy the benefits of scientific progress and its applications (ICESCR, Art.15(1)(a-b)), and, on the other hand, it also recognizes the right of everyone to benefit from the protection of moral and material interests resulting from any scientific, literary, or artistic production of which he or she is the author. ( ICESCR, Art.15(1)(c)); See: G.A. Res. 2200A, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, at 49, U.N. Doc. A/6316 (1966). 4

304

At the contractual level, this humanistic policy and rationalisation should be embodied in fair contracts, for example a contract to transfer of technology. In optimising contracts, this work suggests the embodiment of humanistic rationalisation in contracts, particularly in longitudinal contracts, such as contracts for the transfer of technology, or contract of work that may impact on and damage the public interest and fundamental rights. Humanistic rationalisation deals with the appreciation of fundamental rights, the social function and public interest that may preserve the unity of the social system in order to guarantee the sustainability of collective life. In determining more workable and measurable humanistic rationalisations, James Boyle emphasises the important role of the WIPO and offers several principles that should be adopted: (i) a balance; (ii) proportionality; (iii) developmental appropriateness; (iv) participation and transparency; (v) openness to alternatives and additions; (vi) neutrality (James Boyle, 2004).6 All humanistic rationalisation components must be continually achieved. This is because humanistic rationalisation is the core element of the sustainability of collective life. Humanistic rationalisation refers to the components of fundamental rights, such as rights to food, health and education, as enshrined in the UDHR, ICESCR, ECHR, and the Indonesian Constitution of 1945, as well as in other national regulations in Indonesia, such as UU.No.18/2002 on the National System of Research and Development and the Application of Information and Technology, Law No. 20/2003 on the National Education System, Law No. 23/1992, Law No. 39/1999 on Human Rights, and the Government Regulation on Technology Transfer. Those international conventions and national regulations show that humanistic rationalisation (as a fundamental right) is a universal concept. Thus, by the law, the fulfilment of fundamental rights should be construed as an ultimate goal. In order to continually manifest the ultimate goal, this work introduces the Habermasian U Principle as a fundamental reason to challenge and to re-examine any contract or agreement which is no longer in coherence with social justice, or the public interest or fundamental rights. The U Principle emphasises the validity of norms which are based on sustainable justice that can be embodied or applied in various contracts, including the contract for the transfer of technology. Conceptually, this sustainable justice is visually reflected by Habermas’ concept of the U Principle: “A norm is valid when the foreseeable consequences and sideeffects of its general observance for the interests and value-orientations of each individual could be jointly accepted by all concerned without coercion”. (Habermas, J., 1993, Justification and Application: Remarks on Discourse Ethics, (translated by Ciaran P. Cronin), the MIT Press. See also: Habermas, J., 2001, Moral Conciousness and Communicative Action, (translated by Christian Lenhard and Sierry Weber Nicholsen), the MIT Press; Kenneth L., 1997, ‘Constitutional Contract and Discourse Ethics: The Agreement Theories of James Buchanan and Jürgen Habermas’, Journal of Theoretical Politics, Vol. 9, No. 4, 533-553 (1997). The Habermasian U Principle is required to provide protection for contracts, particularly longitudinal contract, e.g., a contract for the transfer of technology, a contract of work, and so forth. Longitudinal contracts should be evaluated and controlled from time to time in order to ascertain whether they contain fair conditions that guarantee the protection of the public interest and fundamental rights. In Indonesia, this Habermasian U-Principle could be an alternative solution for various 6

James Boyle, 2004, A Manifesto on WIPO, Note 65.

305

longitudinal contracts that have been implemented based on a linier pattern. This linier pattern leaves many loopholes for contracting parties in exploiting their interests without considering the actual condition that may damage public interest and fundamental rights. In practice, many contracts are strictly implemented and obeyed by contracting parties based on what they agreed and signed in a written contract. Frequently, this kind of contract is abused by the stronger parties (See: TEMPO-interaktif, 6 January 2006; See also: Kloppenburg, Jr., Jack. 1992. “Conservationists or corsairs?” Seedling June/July: 12-7). Ideally, in order to accommodate the public interest, the contract should be open to a re-examination based on the actual public conditions which are affected by the implementation of that contract. For that reason, in order to guarantee sustainable justice in the case of a contract, we have to appreciate and to posit the process and the implementation of a contract in a circular pattern, not in a linier one. In this respect, it is relevant to propose that we should shift our appreciation of the implementation of a contract from a linier pattern to a circular one. From a Linier Pattern

PreConract

Conract

PostContract

TO Circular Pattern PreContract

Universal Principle PostContract

Contract

Scheme 2. Towards an Ideal Appreciation of Contract From Linier to Circular Pattern The above scheme is an alternative model which is offered to provide a more convincing model of contract implementation. This is because the shifting model from a linier to a circular pattern allows not only contracting parties, but also third parties, i.e. public, to control any contract that may impact on fundamental rights or the public interest. The circular pattern will open up any contract that may impact on public interest and fundamental rights in an ‘open state’ in order to invite and to involve public participation in controlling and continually providing feedback for the creation of an ideal contract that is in coherence with the 306

sustainability of collective life. For that reason, in order to nurture, to defend and to protect fundamental rights, all steps in the process of entering into a contract, such as: (i) the precontract stage; (ii) the contract itself; and (iii) the post-contract stage could be subject to interventions not only by contracting parties, but also by other third parties or the public. Thus, within this pattern, any contract will continually function as a tool to maintain a balance and justice not only for contracting parties, but also for other third parties or the public. In addition to looking at other or higher legal principles like the public interest and fundamental human rights to create humane IPR policy, then embodying them through the implementation of the Habermasian “U” Principle, the humane IPR policy needs to internalise the recognition of the interests of all stakeholders. For that reason, adequate structural and institutional approaches are continually required to strengthen and to fulfil the public interests and fundamental human rights. 4.2.2.1. Technical Level At the technical level, in order to employ humanistic rationalisation for guaranteeing fair and just transactions for contracting parties and public interest, those fundamental rights components can be manifested in an integrated and planned law reform, either at the level of substance, structure or the culture of law. Again, at the substance level, the reform of the copyright and patent system and other related legislation should integrate humanistic rationalisations (fundamental rights, the social function and public interest) that have been embodied and nurtured in Indonesian traditions and values. Hence, any legislation or organic regulation must consider the local socio-economic context because, historically, intellectual property rights –copyright and patent- have developed as a response to local needs. Thus, it is wise to formulate the copyright and patent provisions by considering local values. This should be compared with other countries, -the UK, the EU, the US- that have introduced, embodied and integrated exclusivity, individualism, materialism, efficiency, and rationalism into various pieces of legislation to protect technology such as confidentiality obligations in respect of know-how, data exclusivity for medical products, Orphan Drug Status in the USA, Contractual rights, trademark and passing off. Those regulations protect not only patented technology products, but also the market system of technology and consumers who use that technology (Anderson, Mark, 1996:153-154). Even though most provisions of the Indonesian laws are abstract and stem from the ethical domain, theoretically they can be embodied in positive laws. For embodying the concept of wisdom, it is interesting to note the importance of ethics in the law, like Radbruch’s illustration in his Social Theory of Ownership emphasising the importance of ethical reasons which place the social function within positive law (Radbruch, Gustav, 1950). In this case, the core values of Indonesian laws, such as those on sustainability (keberlanjutan), unity (keutuhan), harmony (kehamonisan, keserasian, keselarasan), equality (keseimbangan), equity (kepatutan), may be embodied in related legislation and their implementation regulations, such as the Patent Act, Antitrust Act, Consumer Protection Act, Confidentiality Obligations in Respect of Know-How, Contract Law, Civil Code, and Investment Law. Undoubtedly, those Indonesian values require the embodiment of humanistic rationalisation (fundamental rights) as a core reason to formulate certain provisions in protecting the public interest, the social function, the national interest and in maintaining a 307

balanced position among contracting parties in optimising the production and dissemination of IT, especially through the transfer of technology. 4.2.2.2. Structural and Institutional Level At the structural level, humanistic rationalisation must be nurtured and developed by reforming the institutional role and function of the intellectual property (IP) regime. The IP regime must be able to accelerate the progress of science and technology by stimulating public creativity and productivity, but also to bridge humanistic transformations. For that reason, as noted in the section 3.2.1., the Indonesian government needs to establish supporting institutions (a collecting society for essential IT) to optimise the production and dissemination of IT. In this case, it can build a kind of global, national or local institution which will distribute essential intellectual products to maintain the sustainability of collective life. The institutions might be in the form of a patent pool, clearing house or combination between patent pool and clearing house model (Geertrui, 2006, Hayyan ul Haq, 2007). The establishment of this institution requires public policy (public participation) to determine the category of and the criterion for essential intellectual products for people’s survival. At this point, the institution can find a new and innovative role as a humanistic transformation agency which holds and manages intellectual property products for the greatest benefit of mankind.

5. CLOSING REMARKS This work shows the importance of the embodiment of humanistic rationalisations (fundamental rights) in the utilization of IT to guarantee public interest and the social function as well as to anticipate the tragedy of the anti-commons, which, in turn preserve the unity and sustainability of collective life. This concept requires a strong political commitment by the Indonesian government to integrate and accommodate exclusive rights, the social function and public interest by (i) creating a tailor-made creator and inventor doctrine for Indonesia which matches universal values; (ii) developing a coordinated structure for contracts for the transfer of technology; (iii) constitutionalising any contract that may deprive Indonesians of the right to access essential intellectual products. The successful integration between private and public interests can strengthen Indonesian stakeholders’ (industries, universities, research and development centres, the government, public institutions, society, NGOs) capacity to access information and technology, particularly through technology transfer in order to maintain the sustainability of collective life for the greatest benefit for the greatest number of people.*** BIBLIOGRAPHY A Manifesto On Wipo And The Future Of Intellectual Property, Duke Law and Technology Review. 0009, Available at: http://www.law.duke.edu/journals/dltr/articles/2004dltr0009.html Anderson, Mark, 1996, Technology: The Law of Exploitation and Transfer, Butterworths. 308

Correa, C.M., (2004) ‘Bilateral Investment Agreements: Agents of New Global Standards for the Protection of Intellectual Property Rights?’, GRAIN, available at: http://grain.org/briefings/?id186 , retrieved on: 24 January 2005. Daniel Gervais, The TRIPs Agreement: Drafting History and Analysis (1998). Dettmer, William H., Goldratt's Theory of Constraints: A Systems Approach to Continuous Improvement, ASQ Quality Press, 1997; Drahos, P., Intellectual Property and Human Rights, Intell. Prop. Q. No.3 349, 356 (1999) Drahos, Peter, “Global Property Rights in Information: The Story of TRIPS at the GATT”, 13 PROMETHEUS 6 (1995) Drahos, Peter, 1996, A Philosophy of Intellectual Property, Dartmouth. Drahos, Peter, 1998, ”The Universality of IPR” paper in Panel discussion on Intellectual property Right and Human Rights”, Geneva November 9, 1998 in http://www.wipo.int/tk/en/hr/paneldiscussion/biographies/drahos.html. Drahos, Peter, and John Braithwaite, “Intellectual Property, Corporate Strategy, Globalisation: Trips in Context”, 20 Wis. Int'l L.J. 462, 2001-2002 Dutfield, Graham, 2005, “Is the World Ready for Substantive Patent Law Harmonisation?” in Drahos, Peter Drahos, Death of Patents, Perspectives on Intellectual Property Law and Policy, Queen Marry Intellectual Property Institute and Lawtext Publishing Limited, London. Friedman, L. M. American Law: An Introduction (New York: W.W. Norton & Co., 1984) G.A. Res. 217A, U.N. GAOR, 3d Sess., Supp. No. 13, at 48, U.N. Doc. A/81O (1948). G.A. Res. 2200A, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, at 49, U.N. Doc. A/6316 (1966). GRAIN, at: http://grain.org/briefings/?id186 , retrieved on: 24 January 2005 Habermas, J., 1993, Justification and Application: Remarks on Discourse Ethics, (translated by Ciaran P. Cronin), the MIT Press. Habermas, J., 2001, Moral Conciousness and Communicative Action, (translated by Christian Lenhard and Sierry Weber Nicholsen), the MIT Press; Habermas, Jurgen, 1989, The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of the bourgeois society, translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence. Cambridge: Polity Hayyan ul Haq, 2005, “Requestioning The Existence of the Indonesian Copyright Regime in Protecting Cultural Property”, in Grosheide, F.W., 2005, Intellectual Property: Articles on Crossing Borders between Traditional and Actual, MOLENGRAFICA SERIES Vol.15, Intersentia, Oxford, Antwerpent. Hayyan ul Haq, 2007, ‘Constructing A Coordinated Structure in the Contract for the Transfer of Technology’, International Journal of Technology Transfer and Commercialisation, Vol.6, No.1., 2007, at 24-39. Hettinger, Edwin C. Winter, 1989, “Justifying Intellectual Property,” Philosophy and Public Affairs 18(1):31-52. 309

Iyer, VR Krishna, et al., Peoples' Commission On GATT, Centre for Study of Global Trade System and Development (New Delhi, 1996). Jacques J. Gorlin, An Analysis of the Pharmaceutical-Related Provisions of The WTO, TRIPs, Intellectual Property Institute, 1999; James Boyle, 2004, A Manifesto on WIPO. Jay Ashree W A Tal, Intellectual Property Rights in The WTO and Developing Countries, Qup, New Delhi, 2001. Joseph E. Stiglitz, “Towards A Pro-Development and Balanced Intellectual Property Regime,” available at: http://www2.gsb.columbia.edu/faculty/jstiglitz/download/2004_TOWARDS_A_PRO_D EVELOPMENT.htm, retrieved on: 16 June 2006; Julie. Cross & Jessica A. Wasserman, Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, in Terence P. Stewart (ed.), 2 THE GATT URUGUAY ROUND: A Negotiating History (1986-1992) 2241 (1993); Kamperman, Anselm. S., 2005, “The Development Agenda for Intellectual property: Rational Humane Policy or “Modern-day Communism”, Inaugural Lecture, Delivered on the Occasion of the Acceptance of the Chair of European and International Intellectual Property Law, University of Maastricht, at 5. Keith E. Maskus, Intellectual Property Rights and Economic Development, 32 CASE W. RES. J.1NT'L L. 471, 503 (2000). Keith Maskus and Jerome H. Reichman, eds., International Public Goods and Transfer of Technology under a Globalised Intellectual property, Cambridge Univ. Press, 2005. Kenneth L., 1997, ‘Constitutional Contract and Discourse Ethics: The Agreement Theories of James Buchanan and Jürgen Habermas’, Journal of Theoretical Politics, Vol. 9, No. 4, 533-553 (1997) Mark A. Lemley, ‘Property, Intellectual Property, and Free Riding’, John M. Olin Program in Law and Economics, Working Paper No. 291, August 2004, Social Science Research Network Electronic Paper Collection: http://ssrn.com/abstract=582602. Retrieved: 18 December 2005 Maturana and Varela’s works (1975, pp.322-326; 1981, pp. 23-29); Maturana & Varela (1980, pp. 78-82; pp. 98-99); 1987, pp. 75-80); and Varela (1979, pp. 32-33); p. 48ff.). Maturana, HR, Autopoiesis, Structural http://www.isss.org/maturana.htm,

Coupling

and

Cognition,

at

Maturana, Humberto, and Francisco Varela, The Tree of Knowledge: The Biological Roots of Human Understanding, Boston: Shambhala / New Science Press, 1987. Revised paperback edition released in 1992. Moore, Adam, D. "A Lockean Theory of Intellectual Property." Hamline Law Review, (Fall 1997) 21: 65-108. Noff, M. (2001), TRIPs , PCT and Global Patent Procurement, The Netherlands: Kluwer Law International. 310

OECD (1970); OECD (1984); UNDP (1999); World Bank (1999) Knowledge for Development, World Development Report 1998/99, Oxford University Press Ove Granstrand, The Economics and Management of Intellectual Property: Towards Intellectual Capitalism, Edward Elgar, Cheltenham, UK, 1999; Overwalle, Geertrui van, et.al., Model for Facilitating Accessto Patents on Genetic Inventions, NATURE REVIEWS, Vol. 7, February 2006, at 143-148; presented and discussed in an Internal Discussion, Centre for Intellectual Property Rights (CIER), Molengraaff Institute for Private Law, Utrecht University, February 2006. Peter Temin, Technology, Regulation, and Market Structure, 10, ECON. 429, 442 (1979) Pugatch, Meir Perez, 2004, The International Political Economy of Intellectual Property Rights, Edward Elgar. Radbruch, Gustav, 1950, Grundzuge der Rechsphilosophie, Outlines of Legal Philosophy, translated by Kurt Wilk, in The Legal Philosophy of Lask, Radbruch and Dabin, 20th Century Legal Philosophy Series, Vol. IV, Harvard University Press, Cambridge – Massachusetts. Ricketson, Sam., 1992, “New Wine into Old Bottles: Technological Change and Intellectual Property Rights. Prometheus 10(1):53-82; Ryan, Michael, 1988, Knowledge Diplomacy: Global Competition and the Politics of Intellectual Property, the Brookings Institution, Washington. Sherwood, Robert M., Intellectual Property and Economic Development, Westview Special Studies in Science, Technology and Public Policy, Westview Press, 1990, at 28. Soesastro, H., Toward a U.S. Indonesia Free Trade Agreement, CSIS Working Paper Series No. WPE 085, CSIS, Jakarta, 2004, at 23 The TRIPS Agreement and Developing Countries, UNCTAD, United Nations, New York and Geneva, 1996

311

Sub Kategori

: Sains Soial, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Sistem Pengambilan Keputusan Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi Di Indonesia Spits Warnars Harco Leslie HENDRIC Department of Computing and Mathematics, Manchester Metropolitan University John Dalton Building, Manchester M15 6BH, United Kingdom, Tel +44(0)1612472000 Fax +44(0)1612476390 E-mail : [email protected]

Abstract: After Aceh’s quake many earthquakes have struck Indonesia alternately and even other disasters have been a threat for every citizen in this country. Actually an everyday occurrence on earth and more than 3 million earthquakes occur every year, about 8,000 a day, or one every 11 seconds, and in Indonesia there are 5 to 30 quakes prediction everyday. Government’s responsibility to protect the citizen has been done by making National body of disaster management. Preparing, saving and distribution logistic become National body of disaster management’s responsibility to build information management. Many law’s products have been producing as a government’s responsibility to give secure life for the citizen. We can not prevent them totally, we have to learn to live with them and need to be prepared all the time, need to learn how to mitigate risk of losses in such events by managing crisis and emergencies correctly. After disaster happens respond must be rapidly and at an optimal level to save lives and help the victims. Decision Support System is information technology environment which can be used to help human in order to learn from past earthquakes, record it, learn and plan for future mitigation and hope will reduce the disaster risk in the future. Using web technology for Decision Support System will give value added where not only make a strategic decision for the decision maker, but for others who need national earthquake information like citizen, scholars, researches and people around the world. Kata Kunci: Sistem Pengambilan Keputusan, Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi, EGovernment, Data Warehouse 1. PENDAHULUAN Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia pada tanggal 2 september dikagetkan dengan gempa bumi yang berkekuatan 7.3 pada skala righter yang terjadi yang merusak Jawa Barat dan sekitarnya dengan isu adanya ancaman Tsunami namun tidak terbukti, telah memakan korban jiwa sebanyak hamper 80 orang. Bandingkan dengan gempa yang terjadi baru-baru ini di provinsi Sichuan, China yang berkekuatan 7.9 pada skala righter pada 12 Mei 2008 yang memakan korban 40000 orang lebih. Jika anda mampir ke www.bmg.go.id anda akan mendapatkan data-data gempa per hari yang terjadi di seluruh Indonesia. Belum juga hilang 312

dari ingatan kita dengan kejadian-kejadian bencana alam gempa bumi sebelumnya yang menghantam Indonesia: 1. Di Aceh dan sekitarnya yang berkekuatan 9.1 pada skala righter yang menyebabkan gelombang Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 memakan korban jiwa lebih dari 170 ribu jiwa. 2. Di Pulau Nias dan sekitarnya yang terjadi pada 28 Maret 2005 yang berkekuatan 8.7 pada skala righter memakan korban jiwa lebih dari 1000 orang. 3. Di Yogyakarta pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 yang berkekuatan 5.9 pada skala righter dimana gempa mulai terjadi selama kurang lebih 1 menit pada pukul 05.53 pagi telah memakan korban jiwa lebih dari 5000 jiwa. Banyak orang yang memberikan pendapatnya berkenaan dengan bencana alam gempa bumi ini. Menurut pendapat beberapa orang bencana alam ini merupakan karya ajaib sang Maha kuasa dan tanda-tanda alam yang tidak dapat kita tolak. Bagi beberapa orang ini merupakan peringatan dari yang Maha Kuasa agar manusia di muka bumi ini selalu mengagungkan Namanya dan menjauhi perbuatan jahat. Ada juga yang berpendapat bahwa ini semua adalah hukuman bagi orang jahat. Semua pendapat diatas tentang bencana alam gempa bumi yang selalu dikaitkan dengan ilmu agama dan KeTuhanan tersebut sah-sah saja. Namun terlepas dari semua pendapat diatas tersebut bencana alam gempa bumi ini janganlah membuat kita sebagai makhluk yang diciptakan cerdas dan serupa dengan gambaranNya hanya bisa diam saja dan menerima apa yang merupakan kehendakNya. Walaupun tepat dari sudut pandang keTuhanan kita harus hidup lebih baik lagi dan merupakan sebagai peringatan bagi yang masih hidup, namun tidak tertutup kemungkinan yang Maha Kuasa telah memberikan kepada kita otak yang harus dapat digunakan dan lagi cerdas adanya. Baik secara langsung atau tidak langsung dan pasti yang Maha Kuasa ingin agar kita menggunakan tingkat kecerdasan otak kita untuk membantu sesama kita. Bencana alam gempa bumi ini merupakan hak dari sang Maha Kuasa dan kewajiban kita adalah bagaimana memanfaat kan kecerdasan yang telah diberikanNya untuk dapat menyelamatkan hak hidup manusia terlepas dari takdir yang mengatakan nyawa manusia berada dalam tangan yang Maha Kuasa. Saat ini yang namanya bencana alam gempa bumi ini belum ada ilmu pengetahuan yang dapat memprediksi kapan gempa akan terjadi dan dimana akan terjadi. Kalapun prediksi yang ada saat ini berdasarkan bencana alam yang merupakan bencana alam yang terjadi secara periodik dan dapat dibaca dari pergerakan arah angin. Saat ini yang dapat diprediksi adalah bagaimana penanganan akibat dari yang ditimbulkan oleh bencana alam, seperti akan timbulnya bencana tsunami jika gempa terjadi di lautan. Ilmu untuk memprediksi ini dapat digunakan untuk membantu penanganan paska gempa dalam rangka mengurangi kerugian,baik kerugian nyawa maupun kerugian harta benda. Dalam dunia komputer ilmu untuk memprediksi dapat dibuatkan sebuah sistem informasi yang disebut sebagai Decision Support System atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sistem penunjang keputusan. Penting bagi bangsa Indonesia untuk dapat menggunakan kecerdasan yang telah diberikan oleh yang Maha Kuasa untuk membantu sesama dan mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam gempa bumi. 313

Tulisan ini akan mencoba membahas bentuk DSS yang paling cocok dan sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Membicarakan aspek-aspek pendukung terwujudnya DSS dan mencoba melihat dari riset-riset atau benchmark yang telah ada dan berkorelasi dengan tulisan ini. Diharapkan dengan ide dibuatnya DSS ini bangsa Indonesia akan mempunyai sebuah sistem yang akan membantu bangsa ini untuk tetap melanjutkan pembangunan negara dan terus bangkit dari keterpurukan. DSS ini diharapkan dapat dipakai oleh semua tingkatan level masyarakat,mulai dari masyarakat kecil sampai pejabat menteri hingga presiden. Dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh gempa bumi dapat diminimalisasi. Yang salah dari bangsa ini adalah kita tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan dan dari knowledge yang telah ada. Knowledge penanganan baik korban jiwa maupun kerugian material gempa bumi mulai dari Aceh, Nias dan Yogya bahkan mulai dari bencana alam terdahulu tidak pernah terdata secara terpusat. Sehingga kita selalu melakukan kesalahankesalahan yang sama, korban jiwa dan kerugian material yang selalu sama bahkan meningkat. Ide dari korban jiwa yang banyak dari korban gempa Yogya adalah kurangnya tenaga medis yang turun ke lapangan saat setelah terjadi gempa. Banyak korban yang tidak sempat tertolong karena kurangnya tenaga medis dan ini merupakan point paling penting yang harus dicermati dengan dibuatnya DSS ini. Diharapkan dengan dibuatnya DSS ini pengambil keputusan dalam hitungan menit dapat menentukan luas area terkena bencana gempa bumi, berapa kemungkinan korban yang ada, berapa tenaga medis yang ada di sekitar bencana gempa bumi tersebut yang dapat dilibatkan ? Kalau kurang maka dalam hitungan menit tersebut kita dapat menyampaikan SOS kepada dunia internasional. Sampai saat ini para pengambil keputusan di level pemerintah tidak didukung dengan informasi yang terpusat dan dapat dipercayai oleh semua orang. Kalaupun ada didapatkan dari berbagai sumber yang tidak bisa dipastikan dari mana asalnya dan akhirnya keputusan yang diambil hanya asal tebak. Sehingga tidak ada lagi seorang menteri ketika ditanya kapan makanan untuk para pengungsi akan sampai dan dijawab setidaknya 3 sampai 4 hari. Jawaban seperti ini adalah jawaban yang tidak manusiawi, bagaimana jawaban 3 sampai 4 hari itu didapatkan itupun kalau sesuai, yang terjadi di lapangan kadang melebihi waktu tersebut. Tidak masuk akal juga jika bantuan dilakukan dalam tempo waktu yang sangat lama tersebut, jarak Yogya dari pusat pemerintahan negara Indonesia jika kita naik bis malam hanyalah 7 jam dan apabila naik pesawat terbang hanya 1 jam. Bagaimana waktu 1 atau 7 jam tersebut dibandingkan dengan 3 sampai 4 hari sangatlah tidak masuk akal. Seharusnya pemerintah mempunyai sebuah sistem DSS penanganan gempa yang dapat mengatur distribusi dalam waktu sesuai dengan waktu jarak transportasi standar dan tidak dilebih-lebihkan. Sudah saatnya pola pikir para pengambil keputusan di negara kita ini berpihak kepada rakyatnya dan sayang kepada rakyatnya dan tidak selalu menyiksa rakyatnya. Yang hanya bisa dilakukan oleh para pengambil keputusan di negara kita ini hanyalah menaikkan harga yaitu : 1. Menaikkan harga minyak bumi, gas. 2. Menaikkan harga bayar alias gaji para pengambil keputusan. 3. Menaikkan harga pinjaman alias berhutang. Bagaimana negara ini mau maju dengan pola pikir para pengambil keputusan yang jelas-jelas 314

berkelakuan monopoli. Bandingkan dengan harga pulsa handphone yang dari waktu ke waktu semakin turun harganya. Dengan banyaknya provider nomor handphone ini maka satu provider akan bersaing dengan provider lainnya untuk dapat merebut hati konsumen. Bahkan mungkin ke depan konsumen tidak perlu membayar jika menggunakan pulsa handphone ini. Kembali ke soal monopoli, jelas tidak adanya iklim persaingan menyebabkan yang hanya bisa dilakukan hanyalah menaikkan harga dan karena monopoli mau tidak mau rakyat dengan sangat sangat terpaksa dan bercucuran air mata menerima keputusan tersebut. Rakyat tidak ada pilihan lain beda dengan iklim persaingan, orang dapat memilih sesuai dengan selera apakah dimulai dari harga murah baru bicara kualitas ataukah dimulai dari kualitas baru bicara harga. Kebijakan menaikkan hutang jelas-jelas tidak masuk akal dan terlalu berlebihan. Jelas-jelas rakyat diajarkan untuk hidup berhutang dan berhutang itu biasa-biasa saja. Tuduhan beberapa politisi bahwa pemerintahan SBY-JK hanya memberantas korupsi hanyalah sebatas ”show performance” dan terkesan tidak menyeluruh menjadi benar. Masih banyak uang rakyat yang dipungut ”paksa” dari rakyat setiap bulannya tidak jelas kemana ! Makanya banyak orang enggan untuk membayar pajak dengan benar karena tahu uang pajaknya tidak dimanfaatkan dengan benar. Sudah jadi hal umum di masyarakat kita bahwa korupsi adalah hal yang biasa dan merupakan kekhilafan manusia. Sudah jadi hal umum di masyarakat kita kalau mau beres harus ada uang pelicin, kalau tidak maka akan dipersulit, beda dengan maling ayam atau sendal yang harus meninggal dihakimi oleh massa karena mencari sesuap nasi. Tidak mungkin sebuah keluarga dapat hidup tenang kalau kehidupan ekonominya ditunjang oleh hutang, makan tidak tenang, tidur tidak tenang memikirkan bunga hutang yang makin meningkat. Tapi hal ini berbeda dengan apa yang dialami oleh para pengambil keputusan negara ini, ciri-ciri rumah tangga yang berhutang tidak terlihat pada para pengambil keputusan negara ini. Manusia yang lahir di negara ini lahir menjadi seorang budak yang mempunyai hutang, karena mempunyai hutang jelas manusia yang lahir di negara ini adalah budak yang tidak dapat secara bebas menentukan hidupnya karena dibatasi oleh hutang-hutangnya. Sampai berapa lama lagi generasi berikutnya akan membayar hutang-hutang negara ini. Jangan salahkan sebagian rakyat negeri ini yang melirik ke tempat lain yang tidak melahirkan anak-anaknya sebagai manusia yang berhutang. Jangan Salahkan sebagian rakyat Papua yang lari ke Australia, karena mereka sebagai manusia mempunyai hak hidup dasar untuk tidak menjadi manusia yang mempunyai hutang.

2. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyatakan keadaan darurat dimulai dari sebelum bencana, pada saat bencan dan setelah bencana [Pelaksana 2007, Presiden 2007]. Setiap kejadian bencana alam gempa bumi menciptakan ancaman baik untuk kehidupan dan harta benda dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melakukan penanggulangan sebagai hak setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan perlindungan. Belajar dari bencana gempa bumi yang lampau, merekamnya, pelajari dan rencanakan untuk prediksi penanggulangan dan berharap akan mengurangi resiko ancaman di masa yang akan datang. Pemerintah sebagai pengambil keputusan yang

menentukan tingkat dan status bencana 315

[Presiden 2007, Presiden 2008b] tidak pernah didukung dengan bantuan teknologi informasi yang dapat membantu dalam membuat keputusan yang baik dan cepat dengan informasi yang benar dan dapat dipercaya. Penundaan pembuatan keputusan akan menambah jumlah korban yang terlantar terutama orang tua, perempuan dan anak-anak. Jika pemerintah mendapatkan informasi sebagai masukan untuk keputusan, apakah itu informasi yang benar dan dapat dipercaya atau seakan-akan hanya informasi yang hanya menyenangkan pemerintah ? Bagaimana dengan data-data bencana alam gempa bumi yang sudah pernah terjadi, apakah data-data tersebut diabaikan saja dan tidak menjadi pelajaran untuk kedepan ? Bagaimana dengan kegagalan dan keberhasilan bencana alam yang lampau ? Apakah kita sudah belajar dari sejarah yang kadang-kadang menjadi hal yang menarik dan informative dan membuat kita semakin tahu mana yang kurang berhasil dan apa yang sudah berhasil ? Keberhasilan penanganan Gempa Bumi yang lampau

Keputusan yang Cerdas ?

? Informasi Kegagalan penanganan Gempa Bumi yang lampau

Pemerintah

??? Keputusan

Warga Negara

Informasi yang akurat dan dapat dipercaya ?

Gambar 1. Pemerintah Ketika Membuat Keputusan Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi Apakah setiap warga Negara mengetahui data-data tentang bencana alam gempa bumi dari satu sumber yang sama dan dapat dipercaya atau hanya berdasarkan isu-isu yang ada di majalan dan surat kabar ? Pemerintah kita mempunyai sebuah website yang mengarah kesana yaitu www.bakornaspb.go.id, namun jadi pertanyaan apakah situs ini masih dipelihara atau tidak ? Sekalipun situs ini didukung dengan fasilitas forum sebagai komunikasi untuk warga, namun jika melihat isi forum di situs, maka hany akan didapatkan sebuah pesan dari seorang warga Negara yang putus asa dengan informasi yang selalu dan tidak akan pernah didapat ! Jika begitu ada apa, apakah badan penanggulangan bencana menjalankan tugas mereka untuk memberikan tanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana mereka sebagai pegawai negeri yang mendapatkan gaji dari pajak yang dipungut dari warga ? [Presiden 2008b] Dimana tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga, mendidik dan melatihnya dan menanggulangi bencana alam gempa bumi ?[Presiden 2007] Teknologi informasi dapat dan harus digunakan oleh pemerintah untuk menjamin hak-hak warga negara untuk dilayani oleh pemerintah dan tidak hanya menghukum ketika tidak atau telat membayar pajak. EGovernment sebagai hal yang telah lama didengungkan tidak jelas kemana arahnya, walaupun ada juga sebagian departemen dan pemerintah daerah menggunakannya sebagai alat komunikasi untuk warga yang dilayaninya. Pelaksanaan EGovernment harus transparan dan dapat dikembangan menjadi Government to citizen (G2C), Government to business (G2B) dan government to government (G2G)[Turban 2005]. Harus ada keseriusan dari pemerintah untuk membentuk sebuah sistem yang dapat membantu mereka sebagai pengambil keputusan, warganya, generasi yang akan datang dengan transparansi dan dapat dipertanggungjawabkan. Jangan biarkan ilmu dan pengetahuan tentang 316

bencana alam gempa bumi hanya tersimpan di dalam isi kepala aparat pemerintah dan tidak diinformasikan dan dilaksanakan di masyarakat sebagai pertanggung jawaban aparat pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Warga harus dapat mengakses informasi setiap saat mereka butuhkan, dimana saja dan bahkan dunia internasional dapat mengaksesnya secara detail dan lengkap. Sistem pengambilan keputusan adalah pendekatan yang dapat dipakai sebagai dukungan teknologi informasi yang dapat membuat keputusan yang cepat dan akurat [Coskun 2006]. Sistem pengambilan keputusan dapat menyimpan data lampau,mengelolanya dan menggunakannya sebagai bagian untuk membuat keputusan dan dapat digunakan untuk sistem pengambilan keputusan yang cerdas. Sistem pengambilan keputusan tidak hanya untuk pengambil keputusan, namun dapat digunakan untuk semua warga negara, ilmuwan, peneliti dan seluruh dunia dapat mengaksesnya dengan data yang benar dan akurat, sesuai dengan batasan-batasan data yang dapat diakses.

Pemerintah Informasi Data

Sistem Pengambilan Keputusan Bencana alam GEMPA BUMI

Warga Negara

Internasional Gambar 2. Sistem Pengambilan Keputusan untuk Semua Personal

Sistem pengambilan keputusan sebagai EGovernment implementasi dapat memuaskan warga sebagai pembayar pajak sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi keselamatannya, hidup dan bisnis yang dijalankan. Setiap warga dapat mengetahui standar keselamatan yang ada dan akan atau yang telah dinyatakan oleh pemerintah dalam membantu warga untuk melindungi nyawa, harta benda dan bisnis yang dijalankan. Dengan jelasnya standar yang ada maka warga dapat menjalankan perekonomian dengan tenang dan keadaan bencana alam gempa bumi diharapkan tidak akan mengganggu perekonomian yang ada. Dalam keadaan bencana alam gempa bumi, perekonomian lokal yang terhimbas bencana tersebut dapat cepat teratasi dalam waktu singkat dan bahkan bisa diharapkan tidak mempengaruhi perekonomian yang ada. Didalam penanganan perekonomian penanganan isuisu buruk diharapkan tidak mempengaruhi dikarenakan adanya isu-isu positip yang dapat dipercaya, satu sumber dan dikelola dengan benar oleh pemerintah dan diterima masyarakat luas bahkan dunia internasional. Sehingga perekonomian Indonesia tetap stabil dan tidak terpengaruh oleh isu-isu negatip berkenaan dengan bencana alam gempa bumi.

3. ARSITEKTUR SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi ini adalah kombinasi software, hardware dan teknologi yang menyediakan informasi sebagai dukungan 317

untuk membuat keputusan. Sistem pengambilan keputusan penanggulangan gempa bumi dapat diimplementasikan sebagai EGovernment aplikasi yang dibuat dengan web teknologi. Dengan web teknologi untuk pembuatan EGovernment maka sistem dapat diakses online, dari mana saja, kapan saja dengan transparansi dan dapat dipercaya. Sistem pengambilan keputusan penanggulangan gempa bumi dapat diimplementasikan dengan: 1) Pemrograman client seperti HTML, Javascript or Jscript, Code Style Sheet, and Java Applet. 2) Pemrograman Server seperti ASP, PHP, JSP, coldfusion or CGI 3) Database dapat menggunakan MySQL, Oracle, SqlServer, atau postgrace. Pemilihan pemrograman server dan teknologi database tergantung pada kesepakatan, pilihan antara free open software atau license software. Untuk pelayanan web hosting service banyak ISP (Internet Service Provide) yang dapat dipilih dengan berbagai macam harga dan fasilitas yang disediakan dan pasti tergantung teknologi software yang digunakan dan budget yang disiapkan. Multimedia informasi akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan tampilan sistem, semua multimedia informasi seperti teks, bunyi, gambar, video dapat disertakan. Aplikasi dan database akan dibagi menjadi 2 server untuk meningkatkan performance dan untuk keamanan akan dibutuhkan firewall untuk mengawasi setiap akses. Khususnya untuk server database akan mempunyai 2 macam database yaitu database transaksi dan data warehouse sebagai struktur database yang tidak normal untuk analisa multi dimensi, menyimpan informasi, data histori, data eksternal sebagai hypercubes [Ponniah 2001].

Http

Firewall

ETL

Graphic art Video Text

Sound

Multimedia Animation

picture

ttp

Clients

Datawarehouse

H

H ttp

p Htt

Transactional

Databas e Server

Pem rogram an Client Pem rogram an s erver ServerAplikas i

Gambar 3. Arsitektur Sistem Pengambilan Keputusan Penanggulangan Gempa Bumi

Penyampaian laporan di client akan diberikan baik dengan teks atau grafik dan dapat dilihat dengan bermacam variasi dan multi dimensi. Teknik Drill-down, Roll up, slice dan dice akan dipergunakan untuk menampilkan multi dimensi pada hypercubes. ETL (Extraction, Transformation and Loading) aplikasi dapat diletakkan pada server database yang otomatis akan mengekstrak data dari transaksi database dan sumber eksternal kedalam Data Warehouse. 318

Untuk peningkatan performance dan tidak mengganggu proses maka data akan ditangkap dengan metode Deferred data extraction base on Date and time stamp [Ponniah 2001]. Untuk Data Warehouse dimensi model akan digunakan snowflake skema. Jenis user seperti miners, explorers, farmers, tourists and operators dapat menggunakan fasilitas Data Warehouse ini [Ponniah 2001]. Data Warehouse untuk sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi ini akan merekam lokasi bencana, jumlah korban, infrastruktur dan property yang hancur [Presiden 2008b]. Tabel Quake adalah fact tabel yang akan merekam tanggal, waktu, longitudinal, latitude, magnitude, epicenter, length, dan are gempa. Tabel lainnya adalah dimensional tabel. Tabel Quake akan mempunyai koneksi dengan tabel Stasiun Quake sebagai tabel yang mendaftar earthquake station[Geophysics]. Untuk mempermudah perekaman data area gempa bumi maka tabel quake akan dihubungkan dengan tabel regency dan provinces tabel sebagai data kabupaten dan propinsi di Indonesia. Untuk merekam jumlah korban maka tabel dead akan dihubungkan dan juga jumlah korban luka akan direkam pada injured tabel. Tabel dead dan injured akan dihubungkan ke tabel medic sebagai daftar team kesehatan yang bertanggung jawab pada korban meninggal dan luka. Tabel dead, injured dan medic akan dihubungkan ke tabel people sebagai database warga Negara. Tabel people adalah sebagai sebuah improvement untuk kemudahan perekaman dan pengelolaan data warga Negara. Saatnya Indonesia harus mempunyai sebuah database terpusat dan setiap data mewakili seorang warga Negara dan tidak boleh seorang warga memiliki lebih dari satu identitas. Satu identitas untuk satu warga akan mempermudah pemerintah mengontrol warganya, mudah mengontrol orang-orang jahat, teroris yang merusak nama baik bangsa dan tidak akan pernah lagi seorang warga mempunyai lebih dari satu identitas. Pemerintah lebih mudah mengenali warganya, dimana mereka saat ini, dulu dan dimana mereka lahir, kapan dan diman mereka meninggal, tingkat pendidikan, siapa yang berhak untuk mendapatkan tunjangan. Siapa yang layak untuk menjadi anggota wakil rakyat, siapa yang curang dan mempunyai dua suara dalam pemilihan umum. Banyak hal yang dapat dilakukan akan tetapi pelaksanaannya adalah tergantung pemerintah sendiri.

319

Gambar 4. Desain Entity Class Diagram Data Warehouse Tabel building adalah tabel yang menggambarkan kerusakan infrastruktur, rumah, kantor, sekolah, rumah sakit dan puskesmas, tempat-tempat umum dan semua tipe peruntukan bangunan. Tabel Quake, Dead, Injured dan Building merupakan Data Warehouse utama untuk sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi dan tabel lainnya sebagai eksternal tabel yang berasal dari institusi pemerintah seperti pemerintah daerah dan departemen. Tabel Stasiun Quake didapat dari sistem informasi BMG, tabel regency dan province dari sistem informasi administrasi nasional. Tabel people sebagai data warga negara berasal dari sistem informasi national demographi dan tabel medic berasal dari sistem informasi departemen kesehatan. Kesimpulannya sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi ini akan dihubungkan dengan sistem informasi sub pemerintah lainnya seperti departemen dan pemerintahan daerah.

IdProv provName 320

Province

Gambar 5. Data Warehouse dan Konektivitasnya dengan Institusi Sub Pemerintah Lainnya Data Warehouse sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi akan menjadi Data Mart jika ada Data Warehouse lainnya di institusi sistem informasi sub pemerintah lainnya dan tentu saja untuk kebaikan bersama akan lebih baik jika setiap sub institusi pemerintahan mempunyai masing-masing Data Warehouse dan menjalankan fungsi EGorvernment sebagai penghargaan dan pelayanan kepada masyarakat. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi akan lebih solid juga jika ada sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam lainnya yang tergabung dalam sistem manajemen penanggulangan bencana nasional. Sebagai contoh sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam lainnya seperti: 1. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam Tsunami. 2. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana kegagalan Teknologi. 3. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam kebakaran hutan. 4. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam angin puyuh dan badai. 5. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam letusan gunung berapi. 6. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam kekeringan. 7. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam longsoran. 8. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam gelombang pasang. 9. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana alam banjir. 321

10. Sistem pengambilan keputusan untuk penanggulangan bencana penyakit menular. 11. Dan lain-lain. Manajemen penanggulangan bencana alam nasional akan mempunyai hubungan dengan sub institusi pemerintah lainnya, dengan dunia internatsional dan bahkan dengan pemerintah luar.

National Health information System International Disaster Management

National Administration

Earthquake

information System

Disaster

Tsunami

Epidemic

DSS

Disaster

Disaster

DSS

DSS

Technology Failure

Flood

Disaster

Disaster

DSS

DSS

National

National

Demography

Disaster

information System

Forest Fire

Other Country Wave

Management

Disaster

Disaster

DSS

DSS

Disaster Management

BMG information System

Hurricane

Landslide

Disaster

Disaster

DSS

DSS Eruption

Drying

Others

Disaster

Disaster

Internal

DSS

DSS

Others External …



Gambar 6. Manajemen Penanggulangan Bencana dan Hubungannya dengan Internal dan Eksternal Aktor.

4. SKENARIO SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK PENANGGULANGAN BENCANA ALAM GEMPA BUMI

322

Sistem Informasi Kesehatan Nasional

Sistem Informasi National Demography

Sumber Nasional propinsi terdekat

S

Data histori gempa Internasional

Data histori gempa Indonesia BMG Prediksi Gempa

a

m

ta

r pe

SO

Sistem Pengambilan Keputusan penanggulangan Bencana alam Gempa Bumi SO

Tingkat dan Status Bencana Warga

S

se

la

nj

ut

ny

a

Sistem Peringatan Dini Dunia Internasional

Gambar 7. Skenario Sistem Pengambilan Keputusan untuk Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi

Pertanyaan lanjutan bagaimana kira-kira Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi ini akan dijalankan? Skenarion dibawah ini akan menjelaskan apa yang tergambar pada gambar 7 diatas bagaimana Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan dijalankan. 1. Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan peringatan sesuai dengan keluaran dari sistem peringatan dini dari BMG prediksi gempa. Peringatan akan diberikan oleh BMG berdasarkan gempa yang beresiko besar, yang mempunyai skala righter yang tinggi atau gempa yang akan menghantam lokasi-lokasi strategis dan berpenduduk banyak. 2. Berdasarkan prediksi gempa BMG, Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan data-data dari histori gempa bumi di Indonesia dan internasional dan membuat perbandingan. Berdasarkan informasi tersebut dan perbandingannya maka Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan memberikan prediksi status dan tingkatan bencana. Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan memprediksi beberapa hal pertanyaan berikut ini: a. Berapa banyak tenaga kesehatan nasional yang dibutuhkan ? b. Berapa banyak tenaga kesehatan internasional yang dibutuhkan ? c. Berapa banyak kira-kira korban meninggal dunia berdasarkan data-data lampau ? d. Berapa banyak kira-kira korban luka-luka berdasarkan data-data lampau ? e. Berapa banyak tenaga sukarela nasional yang dibutuhkan ? f. Berapa banyak tenaga sukarela internasional yang dibutuhkan ? g. Berapa tenda-tenda yang dibutuhkan ? h. Berapa banyak lokasi pengungsian yang dibutuhkan untuk menghindarkan kepadatan pengungsi dalam sebuah lokasi ? i. Lokasi mana yang strategis sebagai tempat pengungsian ? 323

j. Berapa banyak tempat sanitasi yang harus dibangun ? k. Berapa banyak tempat dapur umum yang harus dibangun ? l. Berapa banyak kilogram beras yang harus disediakan ? m. Sumber-sumber makanan mana dan yang terdekat yang dapat diakses ? n. Berapa banyak makanan bayi yang harus disediakan ? o. Berapa banyak selimut yang harus disediakan ? p. Berapa total biaya yang dibutuhkan ? q. Perkiraan total kerugian dan kerusakan dalam satuan angka bangunan ? r. Perkiraan total kerugian dan kerusakan dalam satuan mata uang ? s. Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan diantaranya hal-hal yang harus mendapatkan perhatian lebih adalah [Presiden 2008b] adalah makanan, pakaian, air, sanitasi, team penyelamat, pelayanan kesehatan dan pelayanan psikologi. 3. Berdasarkan prediksi gempa BMG, Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan informasi mengenai prediksi jumlah masyarakat pada area gempa dari sistem informasi demograpi nasional. Untuk kepentingan rumus maka satuan W= Jumlah warga pada area gempa. 4. Berdasarkan prediksi gempa BMG, Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan informasi mengenai prediksi jumlah tenaga kesehatan pada area gempa dari sistem informasi kesehatan nasional. Berdasarkan data standar nasional penanganan maksimal warga untuk setiap tenaga kesehatan pada waktu bencana yang dikeluarkan oleh sistem informasi kesehatan nasional. Tenaga kesehatan yang dibutuhkan akan didapatkan dari jumlah warga pada area gempa (W) dan dibagi dengan standar nasional maksimal penanganan warga per setiap tenaga kesehatan pada waktu bencana. Untuk kepentingan rumus maka Sn = standar nasional maksimal penanganan warga per setiap tenaga kesehatan pada waktu bencana, Tk= Tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan Jtk=Jumlah tenaga kesehatan pada area gempa Rumus : Tk = W / Sn (1) 5. Jika tenaga kesehatan yang dibutuhkan (Tk) lebih dari jumlah tenaga kesehatan pada area gempa (Jtk) maka kekurangan tenaga kesehatan akan didapatkan dengan mengurangkan tenaga kesehatan yang dibutuhkan(Tk) dengan jumlah tenaga kesehatan pada area gempa(Jtk). Untuk kepentingan rumus maka Ktk=Kekurangan tenaga kesehatan. Rumus: if (Tk>Jtk) Ktk = Tk -Jtk (2) 6. Jika Kekurangan tenaga kesehatan (Ktk) lebih dari 0 maka Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan menyatakan SOS pertama sebagai tanda permintaan untuk permintaan bantuan dari sumber dan cadangan nasional, propinsi atau pemerintahan daerah yang terdekat [Presiden 2008b] yang dapat membantu menyediakan tenaga kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang dapat disediakan pada waktu bencana dari setiap propinsi dan kabupaten akan distandarisasikan di sistem informasi kesehatan nasional yang dikelola oleh departemen kesehatan. 7. Setelah mendapatkan jumlah tenaga kesehatan yang dapat membantu dari sumber dan cadangan nasional seperti propinsi dan pemerintahan daerah yang terdekat dan jika masih saja minus maka Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mengirimkan SOS kedua sebagai tanda permintaan bantuan kepada dunia internasional [Presiden 2008c]. Seperti pada bencana alam gempa bumi yang sudah324

sudah, korban bertambah karena pemerintah telat untuk menyatakan permintaan bantuan kepada dunia internasional sebagai bentuk gengsi pemerintah untuk menadahkan tangan, padahal rakyat sangat membutuhkan dan lagipula banyak dunia internasional sudah terlebih awal menawarkan bantuan terlepas dari kepentingan masing-masing organisasi internasional tersebut. Dengan membuat Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi lebih jelas dan terorganisasi maka akan membantu pemerintah untuk dapat cepat dan cakap dalam membuat keputusan penanggulangan bencana alam gempa bumi didukung oleh informasi dan data yang akurat dan dapat dipercaya. Semakin lengkap data-data yang disediakan maka keakuratan informasi sebagai masukan untuk membuat keputusan akan lebih terjamin.

5. KESIMPULAN Tulisan ini merupakan sebagian dari apa yang diamanatkan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah bahwa pada waktu tidak ada bencana maka riset dan penelitian yang berhubungan dengan manajemen bencana dapat dilakukan untuk mendukung manajemen bencana [Presiden 2008b]. Sulit dilakukan implementasi jika tidak adanya dukungan dan keinginan pemerintah untuk melaksanakannya dan pemerintah yang bersih, transparansi dan bertanggung jawab akan sangat besar pengaruhnya. Penelitian untuk bencana-bencana lainnya akan sangat dibutuhkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem manajemen bencana nasional. Simulasi dengan pendekatan komputer game akan lebih meningkatkan minat dan nilai tambah untuk Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi didalam mendidik pembuat keputusan, para peneliti dan warganya. Dengan adanya unsur komputer game sebagai hal yang menarik akan dapat menarik juga penelitian tambahan dan minat dari kaum muda yang senang dengan game sebagai hal yang menyenangkan, menghibur dan tidak membosankan. Implementasi sistem informasi geographi pada Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan menyedikan alat yang ampuh untuk pemecahan permasalahan tertentu dan masalah-masalah yang menarik di bidang seismologi [Phuong 2004]. Penelitian tentang pengenalan wajah (‘face recognition’) dapat dikembangkan untuk sebuah sebuah satu identitas untuk setiap warga negara, dimana setiap orang dapat dikenal dari wajahnya, dimana wajah manusia akan disimpan didalam database dan dapat dikenal pada waktu dilakukan pencarian berdasarkan data-data gambar/video yang berisi wajah manusia. Pengenalan dengan wajah manusia akan lebih menjamin satu identitas untuk setiap warga negara. 325

REFERENSI Aqil M., Kita I.,Yano A, & Soichi N. (2006) Decision Support System for flood crisis Management using Artificial Neural Network, International Journal of Intelligent Technology, Vol 1, No. 1, 70-76. Clark, A.(2006) Early warning decision support system for the national disaster warning center, Thailand, International Disaster Reduction Conference, Early warningdevelopment, implementation and Innovation, August 31, 2006, Davos, Switzerland. Coskun, E.,Ozceylan D. & Cilan C.A. (2006) Decision Support Systems in Crisis Response and Emergency Management: A proposal for Turkish emergency Management and crisis Response System, Proceedings of 5th International Symposium on Intelligent Manufacturing Systems, May 29-31, 2006, 1295-1303. Earthquake, Wikipedia the free encyclopedia. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Earthquake Geophysics. Diunduh 1 Desember 2008 dari : www.bmg.go.id Harris, Tom (2001) How Earthquakes Work,HowStuffWorks.com. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://science.howstuffworks.com/earthquake.htm Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (BAKORNAS PB) (2007) Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, Edisi II, Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://www.bakornaspb.go.id/website/documents/publikasi/BUKU_KARAKTERISTIK _BENCANA_edisi2.pdf Phuong, N.H.(2004) Development of a Decision Support System for Earthquake Risk Assesment and loss mitigation : The Hanoi Case study, International Symposium on Geoinformatics for Spatial Infrastructure Development in Earth and Allied Sciences, Sept 16-18, 2004, Hanoi, Vietnam. Ponniah, P.(2001) Data Warehousing Fundamentals, John Willey & Sons, Inc, New York, USA. Power, D.,J., Decision Support System Web Tour. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://dssresources.com/tour/ Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (2007) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Jakarta, Indonesia. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://www.bakornaspb.go.id/website/documents/produk_hukum/uu/UU242007(inggris) .pdf Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (2008) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, Indonesia. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://www.bakornaspb.go.id/website/documents/produk_hukum/perpres/PP082008.pdf Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (2008) Peraturan Pemerintah 326

Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Jakarta, Indonesia. Diunduh 1 Desember 2008 dari :http://www.bakornaspb.go.id/website/documents/produk_hukum/pp/PP21_2008PENY ELENGGARAAN.pdf Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (2008) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing Non pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana, Jakarta, Indonesia. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://www.bakornaspb.go.id/website/documents/produk_hukum/pp/PP23_%202008PE RANSERTA.pdf The Editors of Publications International, Ltd. (2007), HowStuffWorks.com, 12 of the most destructive earthquakes. Diunduh 1 Desember 2008 dari : http://science.howstuffworks.com/12-of-the-most-destructive-earthquakes.htm Turban, E., Aronson, J.E. & Liang, T.P.(2005) Decision Support Systems and Intelligent Systems, 7Th,Pearson Education, Inc, New Jersey, USA. Vaughan, T.(2004) Multimedia; Making it Work,6th , McGraw-Hill Inc, USA.

327

Sub Kategori

: Sains Sosila, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Pengelolaan Kawasan Perbatasan Berbasis Teknologi Demi Beranda Depan yang Ideal Sora LOKITA Visiting Fellow Australian National Centre for Resources and Security (ANCORS) University of Wollongong Wollongong, NSW, Australia Telp : +61421550779 E-mail: [email protected]

I Made Andi ARSANA PhD Candidate Ocean Australian National Centre for Resources and Security (ANCORS) University of Wollongong Wollongong, NSW, Australia Telp : +61421116758 E-mail: [email protected]

Ocean

Abstract: Being the largest archipelagic State in the world with ten or potentially eleven neighbouring States, Indonesia is faced with a great responsibility in managing its border area. There is an ideal that border areas should be a nice front page of Indonesia. However, this ideal has not seemed to be achieved, yet. The fact that border areas are usually remote and excluded from centers of economic activities makes the situation worse. It requires a good and reliable strategy to manage those border areas considering the aforementioned characteristics. This paper analyses the need of technology-based border areas management in Indonesia, which is applied in every critical step: allocation, delimitation, demarcation, and management. Keywords: boundary, border area, management, technology.

1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan berciri nusantara yang terletak di antara Benua Australia dan Benua Asia serta diapit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Posisi geografis ini membuat Indonesia dikelilingi oleh banyak negara tetangga (lihat Ilustrasi 1). Pada jarak kurang dari 200 mil laut (M) dari sisi terluarnya, Indonesia memiliki 10 negara tetangga, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Dari sepuluh negara tetangga tersebut, Indonesia berbatasan darat dengan tiga negara, yaitu dengan Malaysia di Pulau Borneo (Kalimantan), dengan Papua Niugini di Pulau New Guinea, dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Sedangkan untuk batas maritim, Indonesia berbatasan dengan semua negara tersebut di berbagai segmen, tidak hanya batas laut wilayah, namun juga batas wilayah hak-hak berdaulat (UU No. 43 tahun 2008). Perlu pula dicatat bahwasannya Indonesia memiliki kemungkinan untuk bertetangga dengan 11 negara, yaitu dengan Federated State of Micronesia (FSM) apabila suatu waktu nanti Indonesia dan FSM mengajukan batas terluar landas kontinen melebihi 200 M dari garis pangkal di utara Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bila pengajuan dari kedua negara direkomendasi oleh United Nations Commisiion on the 328

Limit of the Continental Shelf (UN-CLCS), maka kemungkinan besar kedua negara harus menentukan garis batas landas kontinennya di utara Papua tersebut (Arsana dan Schofield, 2009). Dengan sepuluh atau bahkan kemungkinan sebelas negara tetangga, Indonesia memiliki kawasan perbatasan yang sangat luas dengan kondisi yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Di satu sisi, wilayah adalah adalah salah satu unsur penting berdirinya suatu negara. Wilayah ini akan jelas keberadaannya jika batas wilayah telah ditetapkan dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pengelolaan batas wilayah dan wilayah perbatasan menjadi sebuah pekerjaan yang tiada akhir selama negara itu berdiri (Lokita dkk., 2008). Penglolaan wilayah perbatasan tentu saja tidak sesederhana memilihara patok-patok batas dengan koordinatnya yang harus teliti atau memastikan tidak adanya pelintas batas yang ilegal. Pengelolaan wilayah perbatasan melibatkan banyak aspek dan dimensi. Selain itu, harus dipahami bahwa persoalan di tiap lokasi perbatasan adalah unik, berbeda satu sama lain. Fenomena ini memotivasi perlunya sebuah mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan yang dapat menyentuh permasalahan secara rinci sekaligus tepat guna/sasaran untuk masing-masing kasus/lokasi sehingga tidak menggeneralisir seluruh kawasan perbatasan.

Ilustrasi 1 . Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menunjukkan batas wilayah dan wilayah yurisdiksi Indonesia. (sumber: PPBW Bakosurtanal, 2009) Menurut Jones (1945), pengelolaan perbatasan dapat dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. Setiap permasalahan yang timbul di dalam pengelolaan perbatasan harus dikaji dan diidentifikasi kaitannya dengan salah satu tahapan pengelolaan tersebut. Hal ini sangat menentukan perlakuan yang perlu dan terbaik dilakukan untuk menyelesaikannya (Lokita, 2008). Mengingat tingginya kompleksitas pengelolaan perbatasan di Indonesia, mulai dari kondisi geografis yang beragam, banyaknya segmen perbatasan, serta masalah-masalah lain yang 329

terkait, maka penulis melihat bahwasannya pengelolaan perbatasan harus didekati dengan berbagai disiplin. Pengelolaan wilayah perbatasan berbasis teknologi dipandang sebagai satu pendekatan yang wajib dilakukan. Semua ini dalam kerangka piker untuk menciptakan sebuah beranda depan yang ideal. Bagian pertama dari tulisan ini akan membahas kondisi perbatasan Indonesia, termasuk kompleksitas dalam pengelolaannya, baik darat maupun laut. Di bagian selanjutnya dibahas mengenai peran teknologi dalam setiap tahapan pengelolaan perbatasan di Indonesia.

2. KAWASAN PERBATASAN DARAT Perbatasan darat kompleksitasnya sangat ditentukan oleh tutupan dan penggunaan lahan (land cover dan land use) serta dinamika pergerakan (migrasi) masyarakat yang tinggal di sekitar garis batas yang tentunya terkena dampak langsung dari kehadiran garis batas. Berdasarkan kriteria ini, masalah yang dihadapi di perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan, dengan Papua Nugini di Papua dan dengan Timor-Leste di Pulau Timor jelas memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Di perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan, masalah kesenjangan ekonomi dan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam menjadi isu yang utama. Masyarakat di sisi Indonesia, secara ekonomi dan infrastruktur pembangunan masih tertinggal jauh dibandingkan masyarakat Malaysia di seberang garis batas (lihat Ilustrasi 2). Secara geografis dan ekonomi, masyarakat Indonesia di dekat garis batas secara umum terisolasi, jauh dari sentra ekonomi dan pembangunan di Indonesia karena minimnya infrastruktur. Kondisi ini berakibat kepada ketergantungan kebutuhan ekonomi dan hubungan sosial mereka kepada fasilitas yang ada di seberang garis batas (Sutisna, 2006).

Ilustrasi 2 . Foto di Sebelah Kiri Adalah Jalan di Sisi Indonesia dan di Sebelah Kanan Adalah Jalan di Sisi Malaysia di Sekitar Daerah Kecamatan Sajingan, Kalimantan Barat (Sumber: Dokumentasi Penulis) Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini ataupun 330

Timor-Leste. Di kedua kawasan perbatasan tersebut, kondisi perekonomian dan pembangunan di sisi Indonesia, meskipun masih perlu banyak peningkatan, masih lebih baik daripada kondisi di Papua Nugini ataupun Timor-Leste. Meski demikian, konsidi ini kadang membuat kita terlena. Kenyataannya, banyak isu di luar perihal ekonomi yang berpengaruh signifikan dan bakhkan dominan seperti isu-isu politik lokal yang kemungkinan dapat mencuat ke tingkat global (Lokita dkk., 2008). Di perbatasan darat dengan Papua Nugini serta Timor Leste, permasalahan yang paling menonjol dan patut dicermati adalah yang terkait politik. Kondisi politik dan keamanan di Timor Leste yang belum stabil seringkali juga berimbas kepada situasi di perbatasan. Eksodus masyarakat Timor Leste ke perbatasan seringkali terjadi saat terjadi kekacauan politik atau keamanan di Timor Leste. Nuansa politik juga menonjol di perbatasan dengan Papua Nugini. Isu separatisme masih seringkali memerlukan perhatian, terutama terkait pergerakan simpatisan kelompok separatis yang mungkin memanfaatkan perbatasan dua negara. Lebih lanjut, kerjasama perbatasan dengan Papua Nugini juga sering menghadapi kendala terkait situasi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki Papua Nugini.

3. KAWASAN PERBATASAN MARITIM DAN PULAU-PULAU TERLUAR

Pada umumnya masalah perbatasan maritim kompleksitasnya terjadi pada tahapan penentuan garis batas atau delimitasi. Hal ini terjadi karena sebagian besar batas maritim Indonesia masih perlu dirundingkan dengan negara tetangga, diantaranya adalah batas sebagian laut wilayah (lat teritorial) di Selat Singapura dan perairan di sekitar Pulau Sebatik dan Ambalat. Untuk segmen-segmen yang belum selesai ditetapkan, UU tentang Wilayah Negara dan juga UU tentang Perjanjian Internasional mengamanatkan agar segmen tersebut diselesaikan melalui jalur perundingan. Hal ini tentunya juga sejalan dengan hukum internasional.

Sampai dengan saat ini, Pemerintah Indonesia telah menyepakati 17 perjanjian batas maritim, baik untuk laut teritorial ataupun zona-zona maritim lainnya. Perjanjianperjanjian tersebut memiliki arti penting, tidak hanya memperjelas batas maritim di segmen yang diperjanjikan, namun juga memiliki arti pengakuan negara tetangga terhadap pulau-pulau terluar Indonesia, karena sebagian pulau-pulau tersebut digunakan sebagai dasar penentuan garis batas yang disepakati. Dari sisi hukum sendiri, seluruh pulau-pulau terluar Indonesia statusnya sudah sangat jelas berada di bawah kedaulatan Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, menegaskan tidak ada pulau yang statusnya dalam sengketa (Tempo, 2002). Lebih lanjut, seluruh pulau terluar Indonesia sudah tercantum di dalam Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia yang diatur melalui PP No. 38 tahun 2002 dan PP No. 37 tahun 2008 (lihat Ilustrasi 3). Daftar koordinat tersebut juga telah disampaikan Pemerintah RI kepada PBB pada tanggal 11 Maret 2009 (Schofield dan Arsana, 2009). 331

Sampai dengan saat ini, tidak pernah ada keberatan atau nota protes dari negara lain tentang status kedaulatan pulau-pulau terluar Indonesia ataupun pulau-pulau lainnya yang berada di sebelah dalam dari garis pangkal kepulauan Indonesia tersebut. Memang harus diakui bahwa masih ada pemberitaan yang terkait dengan kedaulatan Indonesia atas beberapa pulau terluar. Isu tentang pulau yang dijual, pulau yang diklaim negara lain dan pulau yang dikelola pihak asing cukup sering muncul dalam berita di media massa. Meski demikian, tidak pernah ada klaim atau protes yang bersifat resmi dan mewakili satu negara. Semua isu yang diberitakan media massa terkait dengan ketidakakuratan informasi di internet atau kesalahan pemberitaan. Intinya, secara hukum, kedaulatan Indonesia atas pulau-pulau terluar tidak perlu diragukan meskipun itu tidak berarti tidak perlu melakukan pengelolaan dan meliharaan (Arsana, 2009 dan Lokita 2009).

Ilustrasi 3 Peta titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Sumber: PPBW Bakosurtanal)

4. TEKNOLOGI SEBAGAI SOLUSI PENGELOLAAN PERBATASAN Bila dilihat dari sisi angka, maka akan terlihat betapa besar dan beratnya bagi Indonesia untuk mengelola wilayahnya, darat dan laut. Luas total darat dan laut Indonesia, termasuk zona maritim hak berdaulat mencapai kurang lebih 8.283.000 km² (PPBW Bakosurtanal). Angka tersebut adalah lebih dari 4/5 total luas benua eropa yang hanya seluas sekitar 10.000.000 km² (World Atlas, 2009). Dari fakta betapa luasnya Indonesia, panjangnya garis batas, pulaunya yang ribuan jumlahnya dan tingkat kesulitan akses geografis yang tinggi, maka pengelolaan kewilayahan, termasuk masalah perbatasan bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk dapat melakukan pengelolaan yang yang efisien dan optimal, sudah seyogyanya pengelolaan dilakukan berbasis teknologi. Penggunaan teknologi dapat diterapkan di setiap tahan pengelolaan, yaitu alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. 332

4.1 Alokasi Tahapan Alokasi di dalam pengelolaan perbatasan adalah tahapan untuk mengidentifikasi cakupan wilayah dari suatu negara. Dalam konteks ini, maka alokasi wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip hukum Internasional, uti possidetis juris yang menyatakan wilayah suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya. Terkait dengan wilayah maritim, maka alokasinya mengacu kepada ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982) dimana Indonesia sebagai negara kepulauan berhak atas perairan kepulauan disamping perairan pedalaman, laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Data yang terkait untuk menunjang alokasi wilayah Indonesia ini tentunya tidak sedikit, dan harus terdiri dari berbagai data yang asalnya mungkin harus sejak sebelum jaman penjajahan Hindia Belanda sampai dengan data yang terkini. Seluruh data tersebut pastinya akan sangat berguna, tidak hanya untuk sebagai arsip, namun juga sebagai data pendukung bila suatu waktu dibutuhkan untuk mempertegas kewilayahan NKRI. Sebagai contoh adalah ketika adanya indikasi klaim dari Timor Leste atas kepemilikan Pulau Batek di utara Pulau Timor. Pemerintah Indonesia dapat mementahkan indikasi klaim tersebut dengan sebelumnya mencari data arsip pada jaman penjajahan dahulu yang tentunya tidak mudah dan memakan waktu serta biaya yang tidak sedikit. Hal ini karena data yang dicari tersebut berada di Belanda dan Portugal. Merujuk kepada arti penting dari berbagai data terkait alokasi ini, maka menjadi ideal bila dibuat sebuah database interaktif yang bersifat digital yang dapat merangkum seluruh data kewilayahan Indonesia dari sebelum penjajahan sampai data yang terkini. Penulis melihat bahwa sampai dengan saat ini, data kewilayahan Indonesia masih tersimpan secara parsial di berbagai tempat, bahkan banyak yang masih berada di luar negeri. Apabila dibutuhkan, maka data akan dicari secara manual. Dari pengalaman penulis pula ketika ingin menelusuri berbagai informasi penting kewilayahan yang diterbitkan pada masa penjajahan Hindia Belanda, maka penulis harus menelusuri ratusan dokumen cetak statsblad (perundangan pada jaman Hindia Belanda) yang tersedia di Arsip Nasional Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Departemen Luar Negeri telah memulai membangun sistem database terkait dengan hal ini, yaitu mendigitalisasi semua perjanjian Internasional yang terkait serta memasukkannya dalam sebuah database tersediri. Meski demikian. database tersebut hanya memuat Perjanjian Internasional, sehingga masih perlu dilangkapi dengan data dan informasi terkait lainnya. Teknologi penyimpanan data yang terintegrasi dengan pengarsipan tentunya sudah berkembang sangat maju di dunia ini. Kiranya hal ini dapat mulai diaplikasikan di dalam pengelolaan perbatasan Indonesia, terutama di tahapan alokasi ini. 4.2 Delimitasi Tahapan delimitasi adalah tahapan untuk menentukan tumpang tindih klaim (overlapping claims) antar dua negara tetangga yang didasarkan pada alokasi kewilayahan tadi. Tumpang dindih ini menjadi dasar bagi para pihak untuk menetapkan batas-batas wilayah diantara mereka melalui mekanisme yang diatur di dalam hukum internasional. Sebagai contoh adalah 333

ketentuan UNCLOS 1982 menyatakan bahwa setiap negara pantai berhak memiliki laut teritorial sampai dengan 12 mil laut. Untuk area di Selat Singapura, yang lebarnya kurang dari 24 mil laut, bila masing-masing negara pantai (Indonesia, Malaysia dan Singapura) mengklaim laut territorialnya selebar 12 mil laut, maka pasti terjadi tumpang tindih klaim. Untuk itulah negara pantai perlu berunding untuk menetapkan batas laut territorial di selat Singapura tersebut. Khusus untuk batas darat, dimana Indonesia mewarisi wilayah jajahan Hindia Belanda, maka tahapan delimitasi ini telah dilaksanakan oleh pihak penjajah pada waktu lampau, yaitu antara Hindia Belanda dengan Inggris untuk batas di Kalimantan dan Papua, serta antara Hindia Belanda dengan Portugis untuk batas di Pulau Timor. Menetapkan batas tentunya tidak hanya melulu masalah diplomasi atau masalah hukum. Masalah teknis menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Di dalam penetapan batas maritim, setiap tahapannya diperlukan penyajian data teknis yang akurat. Sebagai contoh adalah adalah fakta bahwa hukum internasional mensyaratkan zona-zona maritim diukur dari garis pangkal suatu negara pantai (Arsana, 2007). Untuk menentukan garis pangkal itupun diperlukan sebuah survei lapangan yang sangat teknis dan melibatkan berbagai bidang keilmuan, diantaranya adalah, hukum, hidrografi dan geodesi. Data-data teknis yang dibutuhkan biasanya akan tersaji di dalam sebuah peta laut yang digunakan untuk penetapan batas tersebut. Selain peta laut, diperlukan sebuah kajian-kajian teknis terkait metoda penarikan garis batas yang paling dapat diterima oleh para pihak negara pantai. Tahapan ini pun memerlukan dukungan argumentasi hukum dan juga argumentasi teknis yang pada masa sekarang ini dapat ”dikawinkan” di dalam sebuah software komputer khusus untuk delimitasi batas maritim, contohnya adalah Caris LOTS. Melihat kompleksnya data teknis dalam tahapan delimitasi ini, bisa dihahami bahwa diperlukan berbagai sarana teknologi terkini yang mumpuni. Hal ini tentunya membawa konsekuensi perlu hadirnya tenaga-tenaga ahli di bidang ini. 4.3 Demarkasi Demarkasi adalah sebuah tahapan pasca delimitasi yang bertujuan untuk memberikan tanda batas secara fisik di lapangan. Hal ini diperlukan selain untuk meralisasikan batas hasil delimitasi di atas peta menjadi batas di lapangan, juga untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang aktif secara fisik di sekitar garis batas, contohnya adalah penduduk sekitar garis batas ataupun pasukan pengaman perbatasan. Tahapan demarkasi ini lebih banyak dilakukan untuk perbatasan darat dengan cara memasang pilar batas. Untuk perbatasan laut, sangat jarang sekali, meskipun bukan tidak mungkin, dilakukan tahapan demarkasi batas ini. Seandainya pun dilakukan, biasanya garis batas di laut hanya dipasangi buoi dalam interval jarak tertentu, dan itupun pada kawasan laut yang tidak terlalu dalam. Dewasa ini, titik-titik yang membentuk garis batas antarnegara ditetapkan dengan koordinat yang memiliki spesifikasi teknis tertentu. Dengan demikian, pilar batas sesungguhnya hanyalah sebagai ”pelengkap” dan sarana bantu di lapangan. Meski demikian, keberadaan pilar ini sangat penting dan menjadi patokan secara fisik bagi masyarakat di sekitar 334

perbatasan. Pemasangan pilar pada posisi yang akurat memerlukan teknologi penentuan posisi yang memadai sesuai dengan term of reference (TOR) yang disepakati. Teknologi survei dan pemetaan yang memadai menjadi sarana yang wajib dalam tahapan demarkasi batas ini. Beberapa contoh dari perlunya teknologi di dalam tahapan ini terkait perlunya peta perbatasan yang dapat digunakan oleh semua stakeholders di kawasn perbatasan, seperti pasukan pengamanan, pemda setempat, pemerintah pusat ataupun untuk tujuan pemeliharaan dari pilar-pilar batas yang ada.

Ilustrasi 4. Teknologi penentuan posisi (GPS) digunakan di dalam demarkasi batas darat Indonesia-Timor Leste (kiri) dan Indonesia-Malaysia (kanan) (Sumber: PPBW Bakosurtanal) Peta perbatasan dan juga berbagai data koordinat terkait batas dan pilar batas menjadi salah satu elemen dasar dari pengelolaan perbatasan. Pengelolaan kawasan di sekitar garis batas tentunya akan sangat tergantung kepada data-data tersebut. Sebagai contoh adalah adanya kabar yang meberitakan bahwa pilar batas dipindah, dirusak ataupun hilang akibat ulah pengusaha perkebunan Malaysia (Telematika, 2009). Hal ini sesungguhnya sangat mudah diselesaikan, tentunya dengan merujuk kepada peta dan data koordinat tersebut. Secara teknis, pilar-pilar batas yang memang rusak, ataupun berpindah akan dengan mudah bida diperbaiki dan dikembalikan pada posisi aslinya. Dalam bahasa teknis, proses ini disebut dengan stake out. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang adalah bahwa garis batas tidak bisa diubah/dipindah tanpa melalui kesepakatan para pihak terkait. 4.4 Manajemen Tahapan manajemen adalah tahapan pengelolaan garis batas dan kawasan perbatasan itu sendiri, termasuk di dalamnya pengembangan, eksplorasi dan eksploitasi kawasan perbatasan. Tahapan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan tahapan delimitasi ataupun demarkasi. Dalam pandangan penulis, di tahapan inilah sebenarnya sebagian besar masalah pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia berada, termasuk masalah ekonomi, sosial, budaya, hankam dan hukum. 335

Seringkali kita lihat dan dengar di media massa perihal kondisi perbatasan Indonesia yang sangat tertinggal, bukan hanya dari sisi ekonomi pembangunan, namun juga dari sisi pantauan pengamanan dan pertahanan. Patut diakui bahwa pembangunan kawasan perbatasan baru difokuskan oleh pemerintah sejak beberapa tahun belakangan ini. Itupun setelah sebagian elemen bangsa meneriakkan ketakutan hilangnya kawasan perbatasan apabila pemerintah tidak mengelolanya dengan sungguh-sungguh. 4.4.1 Teknologi Komunikasi Sebagai ”Penyambung Lidah” Pemerintah Pusat Salah satu hal yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah fakta bahwa sebagaian besar masyarakat di kawasan perbatasan lebih terbiasa menikmati informasi dari negara tetangga, baik itu siaran radio ataupun televisi. Masyarakat di sana tentunya tidak dapat disalahkan, karena memang siaran radio dan televisi nasional tidak dapat tertangkap di daerah perbatasan, kecuali bila masyarakat setempat memiliki antena parabola yang tentu harganya tidak murah. Sudah saatnya pemerintah membenahi/meningkatkan keberadaan sarana komunikasi di kawasan perbatasan, baik itu dengan cara membangun stasiun-stasiun relay siaran radio dan televisi ataupun membangun Base Transceiver Station (BTS) untuk jaringan telepon selular. Kedua hal tersebut sangat penting artinya untuk membuka keterisolasian kawasan perbatasan dari sumber informasi. Di dalam beberapa kali perjalanan ke beberapa kawasan perbatasan, penulis melihat perbedaan yang menyolok dari sisi perkembangan pembangunan kawasan, antara kawasan perbatasan yang terjangkau jaringan telepon selular dengan yang tidak. Kawasan yang terjangkau, perkembangannya sangat pesat, karena hal ini sangat memudahkan masyarakat disana untuk berinteraksi dengan wilayah lainnya, terutama kawasan-kawasan sentra ekonomi terdekat. Sarana komunikasi yang baik tentunya juga akan terus menjadi sumber informasi yang memadai bagi masyarakat perbatasan terkait perkembangan terkini dari tanah airnya sendiri. Hal ini akan sedikit banyak menjaga nasionalisme masyarakat perbatasan karena mereka akan merasa tidak terisolir dari Indonesia yang notabene adalah negaranya sendiri. 4.4.2 Teknologi Transportasi Menjangkau Perbatasan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa pada umumnya kawasan perbatasan adalah daerah yang sangat terpencil dan sulit dijangkau. Hal ini tentunya juga menjadi salah satu kendala sulit berkembangnya sentra-sentra ekonomi penduduk di perbatasan. Teknologi transportasi tentunya juga dapat memiliki peranan untuk membangun perbatasan. Teknologi transportasi yang dimaksudkan disini termasuk infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi terdekat dengan kawasan perbatasan. Apabila jalanjalan tersebut tersedia, maka interaksi ekonomi dan pembangunan kawasan perbatasan tentunya akan dapat berjalan lebih lancar dan terus menerus. Memang harus diakui bahwa membangun infrastruktur transportasi mungkin tidak akan menguntungkan secara ekonomi. Meski demikian, keuntungan ekonomi ini tidak hanya bisa dinilai keuntungan langsung/instan yang dihasilkannya tetapi dari nilai investasi jangka panjang. Dari beberapa kali wawancara penulis dengan penduduk Indonesia di sekitar perbatasan darat Indonesai dan Malaysia di Kalimantan, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya penduduk 336

membutuhkan sarana jalan untuk berinteraksi dengan wilayah lainnya di Indonesia. Bila selama ini banyak pihak yang menyesalkan kenyataan masyarakat perbatasan lebih sering berinteraksi dengan negara tetangga, termasuk dalam hal perniagaan ataupun kesehatan, hal ini pada dasarnya terjadi karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Sebagai contoh, petani di kecamatan Sajingan, Kalimantan Barat, memilih untuk menjual hasil kebunnya ke penadah di seberang garis batas (Malaysia) daripada mereka harus menjualnya ke kota Sambas yang merupakan sentra ekonomi terdekat di wilayah Indonesia. Mereka melihat hal ini lebih mudah, lebih cepat dan lebih ekonomis. Patut digaris bawahi pula bahwasannya tidak di semua kawasan perbatasan dapat dibangun sarana jalan. Hal ini karena kondisi geografis wilayah yang bersangkutan, baik untuk perbatasan darat ataupun untuk pulau-pulau terluar Indonesia. Teknologi transportasi yang harus dikembangkan adalah pengembangan pesawat-pesawat yang dapat melayani penerbangan perintis yang tidak memerlukan landasan pacu panjang serta tanggung untuk medan yang sulit dijangkau. Selain teknologi penerbangan yang lewat udara, perlu juga dikembangkan teknologi pelayaran yang secara reguler dapat melayani berbagai sentra penduduk di pulau-pulau terluar. Keterisolasian pulau terluar, salah satunya, disebabkan oleh minimnya sarana transportasi yang mencapai lokasi mereka. 4.4.3 Teknologi Pembangkit Listrik Teknologi lainnya yang tidak kalah penting untuk diadakan di kawasan perbatasan adalah teknologi pembangkit listrik. Suatu kawasan akan sulit dikembangkan atau diberdayakan ekonominya ketika tidak memiliki energi listrik yang memadai. Setidaknya dengan adanya aliran listrik, maka teknologi informasi juga akan lebih mudah mencapai kawasan perbatasan. Dari sisi pemberdayaan ekonomi, aliran listrik tentunya bisa sangat mendukung hal ini. Sebagai salah satu contoh adalah di sentra penduduk pulau-pulau terluar, salah satu kendala utama para nelayan adalah tidak adanya sarana pendingin untuk mengawetkan ikan segar ataupun produksi es. Hal ini tentunya berimbas kepada tidak berkembangnya perekonomian para nelayan disana. Sarana listrik juga berguna untuk pengembangan peternakan, perdagangan dan sumber perputaran ekonomi lainnya, selain berguna pula untuk sarana pendidikan. Sama halnya dengan pembangunan infrastruktur transportasi, pengadaan atau peningkatan kualitas energi listrik ini mungkin tidak akan menguntungkan jika dilihat dari segi keuntungan instan yang diperoleh. Meski demikian, sekali lagi, semua ini harus dilihat dari perspektif jangka panjang. Beberapa waktu lampau, penduduk di kawasan perbatasan di Kalimatan memutuskan untuk membeli pasokan listrik dari Malaysia. (Kompas, 2008) Hal ini membukti bahwasannya masyarakat di sana sangat membutuhkan energi listrik dan pemenuhannya dirasa lebih ekonomis dengan cara membeli dari Malaysia. Hal ini tentu menjadi satu pertanyaan penting bagi pemerintah dan pihak lain yang terkait. Untuk kawasan perbatasan lainnya, mungkin hal ini bisa disikapi dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga sinar matahari ataupun tenaga angin bagi yang ada di kawasan pulau terluar. Teknologi ini tentunya dapat mengoptimalkan sumber daya alam yang ada sehingga dapat menekan ongkos operasional yang mungkin timbul. Gagasan ini memang masih umum sifatnya dan tentunya memerlukan langkah lebih lanjut berupa penelitian, ujicoba, kajian kelayakan dan sebagainya. 4.4.4 Teknologi Pengawasan Keamanan dan Pertahanan 337

Salah satu isu penting di dalam masalah pengelolaan kawasan perbatasan adalah masalah keamanan dan pertahanan. Dari sisi keamanan, tidak dapat dipungkiri bahwasannya kawasan perbatasan sangat rawan dijadikan perlintasan kegiatan kejahatan Internasional, termasuk terorisme, penyelundupan, trafikking dan sebagainya. Semua ini terjadi karena kondisi geografis perbatasan yang sulit dijangkau sehingga pengawasannyapun sangat sulit dilakukan. Terkait dengan hal ini, pemerintah Indonesia perlu mulai mempertimbangkan penggunaan teknolgi pengawasan keamanan dan pertahanan guna mengamankan dan mempertahankan kawasan perbatasan. Hal ini kiranya dapat lebih mudah dan efisien dijalankan dibandingkan dengan menempatkan personil pengamanan di kawasan perbatasan ataupun pulau-pulau terluar yang terpencil. Teknologi pengawasan yang dimaksud adalah dengan memasang kamera pengawas di berbagai titik perbatasan dan pulau terluar yang terhubung dengan media transmisi satelit sehingga dapat memberikan data yang real time secara terus menerus. Hal ini juga bisa dilengkapi dengan sarana pengawasan melalui citra satelit yang tersedia. Teknologi lainnya yang dapat digunakan adalah penggunaan pesawat tanpa awak yang mampu melakukan patroli secara terus menerus dan memberikan informasi penting kepada pos-pos komando pengamanan dan pertahanan untuk selanjutnya dapat ditindakjuti. Gagasan ini, sekali lagi, masih memerlukan pengkajian lebih rinci dari berbagi aspek terkait. Pengembangan dan aplikasi teknologi seperti itu tentunya tidak akan mudah dan murah. Namun hal ini seyogyanya harus mulai dipikirkan untuk digunakan, mengingat tidak semua kawasan perbatasan dan pulau terluar di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau sarana transportasi. Bahkan banyak pulau terluar yang kurang layak ditinggali oleh manusia karena faktor cuaca, air bersih dan sebagainya.

5. KESIMPULAN Indonesia memiliki kawasan perbatasan yang sangat luas akibat dari posisi geografis Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara tetangga. Pada umumnya kawasan perbatasan tersebut tertinggal dari sisi pembangunan. Bahkan di beberapa segmen perbatasan, masih perlu diselesaikan tahapan delimitasi dan demarkasinya. Di dalam usaha untuk menciptakan kawasan perbatasan sebagai beranda depan Indonesia yang ideal, pemanfaatan teknologi di setiap tahapan pengelolaan perbatasan menjadi mutlak dan tidak dapat ditinggalkan. Di tahapan alokasi, delimitasi dan demarkasi, pada umumnya teknologi diperlukan untuk menunjang penetapan dan keberadaan garis batas itu sendiri. Sedangkan pada tahapan manajemen, teknologi sangat diperlukan untuk membangun kawasan perbatasan dan masyarakat yang hidup disana. Pemanfaatan teknologi di dalam pengelolaan perbatasan tentunya tidak akan murah dan murah, namun demi terciptanya pengelolaan perbatasan yang optimal, teknologi wajib dilibatkan.

8.

PERNYATAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH 338

Makalah ini adalah hasil kajian individu dan tidak mencerminkan pandangan insititusi tempat penulis bekerja ataupun belajar. Pendapat yang ada di sini adalah sebuah kajian dan tidak merepresentasikan pandangan Pemerintah Indonesia.

REFERENSI APKASI, (2008) Pulau Terluar Harus Diberi Tanda, Pulau Terluar Harus Diberi Tanda, diaksies dari http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=359 pada tanggal 16 september 2009 Arsana, I M.A. dan Sumaryo (2008) Aspek Geospasial Batas Maritim Internasional Indonesia dalam Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Seminar dan Workshop “Pengelolaan Wilayah Perbatasan” Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta Arsana, I MA. (2007) Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia Arsana, I MA. (2009). iangas Island? No Worries, The Jakarta Post, 3 March 2009, Jakarta. Diakses dari tanggal 17 September 2009. Arsana, I MA. dan Schofield, C. (2009), Extending Indonesia? Opportunities and Challenges Related to the Definition of Indonesia’s Extended Continental Shelf Rights, in Indonesia Beyond the Water's Edge – Managing an Archipelagic State, disunting oleh Cribb, R. and Ford, M., ISEAS, Singapore Bakosurtanal (2009) Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, Cibinong Bakosurtanal, (2009) Legalitas Kawasan Perbatasan dan Pulau-Pulau Terluar NKRI, Disampaikan pada Rapat Koordinasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Sekretariat NBCInterpol Indonesia, Mabes POLRI, Jakarta 12 Februari 2009 Depnakertrans, (2007), Transmigrasi ke Pulau Terluar, diakses http://bto.depnakertrans.go.id/trans_update/artikel.php?aid=323 pada tanggal September 2009

dari 16

Jones, S.B, (1945) A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners Koh, TTB. (1982). A Constitution for the Oceans. Diakses dari http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/koh_english.pdf tanggal 15 Oktober 2008 Kompas, (2008), Kalbar akan Beli Listrik Malaysia, diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/20/16172227/kalbar.akan.beli.listrik.malaysia pada tanggal 16 September 2009 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71 (2002) Peraturan Pemerintah No. 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 (2008) Peraturan Pemerintah No. 37/2008 339

tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. Lokita, S, Sutisna, S dan Soemaryo (2008) Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan di Indonesia, Seminar dan Workshop “Pengelolaan Wilayah Perbatasan” Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta Lokita, S. (2009). Pemilik yang Ragu, Kompas, 17 September 2009. Diakses dari tanggal 17 Septermber 2009. Schofield, C. and Arsana, I MA. (2009) Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines system, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs, Vol. 1 No.2 Sumaryo, Arsana, I MA. and Sutisna S. (2007) The Strategic Value of Maritime Boundaries to Ocean Resource Exploration, Proceeding - Indonesian Petroleum Association Thirty First Annual Convention & Exhibition, Jakarta, 14-16 May Sutisna, S (2004b) (editor), Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL Sutisna, S (2006a) (editor), Pandang Wilayah Perbatasan: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, BAKOSURTANAL Telematika, (2009), Pangdam: Pengusaha Malaysia Geser Patok Perbatasan RI, diakses dari http://kaltim.polri.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1985&Itemid=42 7 pada tanggal 16 September 2009 Tempo (2002) Hassan Wirajuda: “Tak Ada Lagi Pulau yang Menjadi Sengketa”. Diakses dari http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/waw-HasanWirayuda01.html tanggal 20 Juni 2009 United Nations (1982a) The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective). Diakses dari http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_historical_perspective.ht m#Historical%20Perspective tanggal 4 Mei 2009 United Nations (1982b). United Nations Convention on the Law of the Sea. Diakses dari http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf tanggal 10 Maret 2004. WorldAtlas.com, Continents, diakses dari http://www.worldatlas.com/aatlas/infopage/contnent.htm pada tanggal 16 september 2009

340

Sub Kategori

: Sains Sosial, Hukum, dan Politik ( 2A)

Judul : Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Pemersatu Masyarakat Indonesia di Eropa dan Usaha untuk Menjadikannya Sebagai Salah Satu Bahasa Asing Yang Dikenal di Eropa Dina MARDIANA Master Erasmus Mundus en Cultures Littéraires Européennes Université de Strasbourg Résidence Universitaire Les Flamboyants 140A 8, rue Jean-Henri Schnitzler 67000 Strasbourg Telp : 0688618493 e-mail : [email protected] Abstract : This scientific paper exposes the existence of bahasa Indonesia as an integrating identity among the Indonesian students and workers abroad, particularly in Europe. Herein, the definition of identity from a literary figure, Amin Maalouf, is described. The necessity to introduce bahasa Indonesia and establish it as one of well-known languages in Europe is by reflecting the manifest campaigned by group of La Pléiade in France in the period of Renaissance (16th century). Possible ways to achieve this purpose are among other the making of bilingual dictionaries—bahasa Indonesia and other languages than English— comprehensively, establishment of Indonesian studies center in Europe with emphasize on Indonesian language teaching as well as translation studies from and into Indonesian language. Kata kunci: language, history, translating/translation, dictionary

1. PENDAHULUAN 1.1 Identitas dan Definisinya Amin Maalouf, sastrawan berdarah Libanon, dalam bukunya mengenai perilaku manusia berjudul « Les identités meurtrières » (1998) mengemukakan definisi identitas sebagai berikut : « … L’identité de chaque personne est constituée d’une foule d’éléments qui ne se limitent pas à ceux qui figurent sur les registres officiels. Il y a, pour la grande majorité des gens, l’appartenance à une tradition religieuse ; à une nationalité ; à un groupe ethnique ou linguistique ; à une famille plus ou moins élargie ; à un certain milieu social… » (hlm 16-17) Identitas masing-masing individu merupakan kumpulan dari berbagai elemen yang tidak terbatas pada apa yang terdaftar dalam catatan sipil. Identitas, bagi kebanyakan orang, berarti rasa kepemilikan terhadap suatu tradisi relijius ; terhadap suatu kebangsaan ; terhadap suatu kelompok etnis atau linguistik (bahasa) ; terhadap keluarga besar atau kecil ; terhadap suatu lingkup sosial tertentu. 341

Maalouf menyatakan bahwa perasaan yang timbul ketika seseorang datang dan tinggal di sebuah negara memiliki ambiguitas yang sama dengan apa yang dirasakannya saat ia meninggalkan tanah airnya, seperti rasa tidak nyaman, tertekan, kehilangan atau kekosongan perspektif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kembali kenyamanan, mengurangi tekanan serta mencapai visi yang diinginkannya ketika seseorang tersebut berada di negara yang bukan tanah airnya, ia cenderung mencari orang-orang atau kelompok orang yang memiliki identitas yang sama, atau setidaknya serupa. Identitas di sini salah satunya berupa kesamaan atau kemiripan berbahasa. 1.2 Manifesto Kelompok La Pléiade Pada dimulainya masa Renaissans di Eropa (akhir abad XV), bahasa Latin dan Italia dianggap sebagai identitas bahasa kalangan kaum berpendidikan Eropa. Buku-buku dan karya-karya sastra zaman Antiquité—periode keemasan Yunani dan Romawi—dalam bahasa Latin dianggap sebagai karya agung sehingga dijadikan kiblat kalangan sastrawan Eropa pada masa itu, termasuk di Prancis. Kemudian, pada tahun 1549, sekelompok tokoh sastra humanis Prancis yang tergabung ke dalam La Pléiade—dipimpin oleh Ronsard dan du Bellay—mencetuskan sebuah gagasan baru untuk dunia kebahasaan dan kesusasteraan Prancis. Gagasan baru itu bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya mengembangkan dan memperkaya bahasa Prancis di kalangan masyarakat Prancis sendiri. Kelompok ini menuangkan gagasan tersebut ke dalam sebuah manifesto yang diberi nama La Défense et l’Illustration de la Langue Française. Salah satu isi manifestonya adalah sebagai berikut : « … le français n’est ni ‘barbare’, ni inférieur aux langues anciennes ou à l’italien, mais notre peuple s’est trop soucié du « bien-faire » au lieu du « bien-dire » ; il faut cesser de négliger la langue … » (Livre I) (bahasa Prancis tidak kampungan, tidak pula inferior terhadap bahasa-bahasa kuno maupun bahasa Italia, akan tetapi masyarakat kita terlalu mementingkan ‘cara bertata-krama’ ketimbang cara ‘bertutur kata’ ; perilaku mengabaikan bahasa harus dihentikan…) (Buku I)

2. PERMASALAHAN Seorang individu yang pergi keluar dari tanah airnya dalam jangka waktu tertentu pada umumnya merasakan ketidaknyamanan, tekanan bahkan kekosongan arah atau perspektif. Ia akan mencari orang atau kelompok orang yang memiliki rasa ketergantungan pada suatu hal atau nilai yang dijunjung bersama-sama, salah satunya adalah bahasa. Oleh sebab itu, eksistensi bahasa sang individu menjadi penting. Ia dapat menjadi salah satu dari sekian banyaknya bahasa yang dikenal atau bahkan diakui di negara baru yang ditinggalinya. Namun, fasilitator atau penunjang eksistensi bahasa yang memadai agar ia menjadi bahasa yang dikenal dan bahkan diakui di suatu tempat, dalam hal ini negara yang bukan merupakan asal-usul bahasa tersebut perlu diperhatikan, seperti keberadaan kamus dwibahasa, tersedianya para penerjemah dari dan ke bahasa yang dimaksud. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah 342

pentingnya menaikkan derajat bahasa tersebut di kalangan penuturnya sendiri. 2.1 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup dari permasalahan yang dikemukakan di atas dibatasi pada pemakaian bahasa Indonesia dan para penggunanya di Eropa.

3. PEMBAHASAN 3.1 Dampak Manifesto La Pléiade terhadap Perkembangan Bahasa Prancis Manifesto bahasa yang digagas kelompok La Pléiade menimbulkan semangat baru dalam dunia kebahasaan dan kesusasteraan Prancis. Bahasa Prancis sebagai salah satu identitas bangsa dan masyarakat Prancis mulai diperhatikan dan ditingkatkan penggunaannya. Leksikon bahasa Prancis menjadi terus berkembang karena banyak kata baru yang diambil dari bahasa Latin dan Italia lalu dicari padanannya dalam bahasa Prancis. Hal ini merupakan salah satu butir yang tercantum dalam manifesto: « … Il faut enrichir la langue de mots nouveaux. » (Livre I : VI) (… Bahasa harus diperkaya dengan kata-kata baru…) (Buku I: Bab VI) Oleh sebab itu, setiap tahunnya Le Robert dan Larousse, dua rumah penerbitan kamus terbesar di Prancis, mengeluarkan edisi terbaru kamus bahasa Prancis dan ensiklopedi bahasa Prancis dalam berbagai varian: dictionnaires généralistes (kamus umum), grands dictionnaires (kamus besar), dictionnaires thématiques (kamus tematik), dictionnaires scolaires (kamus untuk anak sekolah), dictionnaires bilingues (kamus dwibahasa). Tercatat hingga saat ini rumah penerbitan Le Robert telah menerbitkan kamus bahasa Prancis Le Petit Robert edisi tahun 2010, yang diluncurkan pada bulan Juni 2009. Selanjutnya, butir berikut menyatakan tentang pentingnya penerjemahan untuk memperkaya bahasa Prancis: « Les traductions, certes, sont utiles : elles prouvent l’habileté du français… » (Livre I : IVVIII) (Penerjemahan, mutlak bermanfaat : ia membuktikan kelenturan bahasa Prancis…) (Buku I: Bab IV-VIII) Selain pembuatan kamus, perkembangan dan kemajuan bahasa Prancis juga didukung oleh pendidikan dan profesi penerjemahan yang dianggap setara dengan ilmu dan profesi lainnya, seperti ilmu hukum dan ilmu kedokteran, atau profesi notaris dan profesi ahli bedah. Hak-hak dan kondisi kerja penerjemah secara permanen selalu diperjuangkan dan ditingkatkan oleh himpunan-himpunan atau asosiasi-asosiasi penerjemah, di antaranya SFT (Société Française des Traductions), ATLF (Association des Traduction Littéraires de France), ATAA (Associaion des Traducteurs /Adaptateurs Audiovisuels). Kondisi ini secara otomatis memicu rasa kesadaran profesionalisme dan kualitas kerja para penerjemah.

343

3.1 Eksistensi Bahasa Indonesia di Eropa Kasus klasik yang dialami oleh para pelajar dan pekerja asing di luar negeri adalah kecenderungan mereka untuk mencari komunitas atau kelompok pelajar dan pekerja yang berasal dari tanah air yang sama. Begitu pula dengan para pelajar dan pekerja Indonesia di Eropa. Apalagi, secara geografis Eropa terletak ribuan mil jauhnya dari Indonesia. Kecenderungan mencari komunitas atau kelompok yang berasal dari tanah air dilakukan antara lain untuk mengatasi kerinduan akan berbicara dalam bahasa ibu sebagai identitas yang sama di kalangan pelajar dan pekerja Indonesia. Tujuan lainnya adalah untuk mengharapkan adanya bantuan dari antarsesama warga Indonesia dalam menyelesaikan kerumitan urusan administrasi di negara baru yang ditinggali di Eropa. Namun kebutuhan akan bahasa Indonesia di Eropa belum setara dengan kebutuhan akan bahasa asing lainnya selain bahasa Inggris. Padahal keberadaan orang-orang Indonesia yang tersebar di berbagai negara di Eropa dapat menjadi suatu alat pemicu untuk memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari sulit ditemukannya kamus-kamus dwibahasa—bahasa Indonesia dan bahasa lokal setempat. Meskipun di Indonesia sudah atau pernah diterbitkan kamus dwibahasa selain Inggris-Indonesia : seperti kamus bahasa JermanIndonesia, kamus bahasa Prancis-Indonesia, kamus bahasa Belanda-Indonesia ; atau kamus bahasa-bahasa asing Eropa lainnya yang kurang awam seperti kamus bahasa Italia-Indonesia, kamus bahasa Rusia-Indonesia, kamus bahasa Turki-Indonesia ; kamus-kamus tersebut lebih mudah didapatkan di dalam negeri dan memiliki jumlah leksikon terbatas. Di samping itu, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional masih dijadikan bahasa andalan bagi para pelajar dan pekerja Indonesia di negara Eropa yang bukan penutur bahasa Inggris. Sehingga, sebagai alternatifnya, dipilihlah kamus dwibahasa—bahasa Inggris dan bahasa lokal setempat—untuk memudahkan mereka dalam memahami bahasa setempat. 3.3 Pentingnya Ilmu dan Studi Penerjemahan Bahasa Indonesia di Eropa Tahar Ben Jelloun, seorang tokoh sastrawan Prancis berdarah Maroko, menyebutkan tentang pentingnya bahasa dan penerjemahan sebagai salah satu ciri manusia berbudaya: « … Traduire, il s’agit de transmettre l’équivalent de ce qui est écrit dans une langue à une autre langue. La traduction est souvent le signe d’une curiosité. Le véritable homme de culture est celui qui dit qu’on apprend toujours des autres. Ils voulaient savoir ce que les peuples […] pensaient et ce qu’ils faisaient dans le domaine des sciences et des lettres, de l’architecture, du commerce… » (… Menerjemahkan, artinya menyampaikan apa yang ditulis dalam suatu bahasa ke dalam bahasa lain dengan setara. Penerjemahan merupakan suatu tanda akan rasa keingintahuan. Manusia berbudaya yang sesungguhnya adalah ia yang mengatakan selalu belajar dari orangorang lain. Mereka ingin tahu apa yang orang-orang pikirkan dan lakukan dalam bidang ilmu sains dan kesusasteraan, arsitektur, perdagangan…) Bidang ilmu yang berkepentingan untuk mengenalkan dan mengembangkan suatu bahasa ke negara yang bukan asal-muasal bahasa tersebut adalah linguistik, kesusasteraan, dan penerjemahan. Ketiga bidang ilmu ini biasanya bernaung di bawah satu departemen, disebut Departemen Humaniora, atau ada juga yang menyebutnya Departemen Susastra dan Ilmu Budaya. Di dalam departemen-departemen inilah terdapat pusat studi atau pusat kajian budaya 344

suatu negara. Di sini, peran diplomatik diperlukan agar pusat studi atau pusat kajian negara tertentu dapat didirikan.

Di Eropa, pusat studi atau pusat kajian budaya dan bahasa Indonesia dapat ditemukan antara lain di Université de la Rochelle, Prancis, dan Università degli Studi di Napoli, Italia. Di Université de la Rochelle, kajian budaya dan bahasa Indonesia bernaung di bawah Fakultas Sastra, Bahasa, Seni dan Humaniora, dalam sebuah lembaga yang disebut Maison du Monde Malais (Wisma Dunia Melayu). Di Università degli Studi di Napoli, kajian budaya dan bahasa Indonesia bernaung di bawah kajian studi orientalis—studi orientali—di dalam Fakultas Bahasa dan Sastra Asing. Dengan adanya pusat kajian budaya dan bahasa Indonesia, ilmu penerjemahan dari bahasa negara setempat ke bahasa Indonesia dan sebaliknya dapat diikutsertakan ke dalam cabang ilmu penerjemahan bahasa lainnya yang telah ada. Hal ini juga merupakan cara untuk memperkenalkan dunia kesusasteraan Indonesia di benua Eropa. Sejauh ini, karya sastra Indonesia yang dapat ditemukan di Eropa adalah buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, seperti Le Monde des Hommes (Bumi Manusia), La fille du rivage (Gadis Pantai). Upaya pendirian pusat studi atau pusat kajian budaya dan bahasa Indonesia, khususnya di negara-negara Eropa lainnya yang memiliki latar belakang historis, atau negara-negara Eropa yang memiliki kerjasama diplomatik dengan Indonesia, juga perlu dilakukan. Negara-negara Eropa yang dimaksud antara lain seperti Portugal, Spanyol, Turki. Selain pendirian pusat kajian budaya dan bahasa Indonesia, usaha pembuatan kamus dwibahasa—bahasa Indonesia dan bahasa asing Eropa non-Inggris—telah dan atau sedang diupayakan. Kamus bahasa Prancis-Indonesia karangan Pierre Labrousse atau Farida Soemargono telah dikenal luas di Indonesia dan di kalangan pelajar Indonesia di Prancis. Sementara itu, kamus bahasa Italia-Indonesia, kamus bahasa Jerman-Indonesia, kamus bahasa Belanda-Indonesia, kamus bahasa Spanyol-Indonesia, kamus bahasa Rusia-Indonesia, kamus bahasa Turki-Indonesia, sebaiknya terus diperbarui dan diperbanyak leksikonnya. Perlu juga diusahakan penambahan kamus-kamus bahasa asing Eropa non-Inggris lainnya seperti kamus bahasa Portugis-Indonesia, kamus bahasa Latin-Indonesia, kamus bahasa Yunani-Indonesia, terutama melihat adanya pelajar dan pekerja Indonesia yang bermukim di negara-negara tersebut.

4. KESIMPULAN Salah satu identitas pemersatu para pelajar dan pekerja Indonesia di Eropa adalah identitas bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Eksistensi bahasa Indonesia di Eropa belum setara dengan bahasa-bahasa asing minor lainnya, sehingga berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan eksistensi tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kerjasama diplomatik dalam bidang pendidikan antara Indonesia dengan negara-negara di Eropa di mana terdapat para pelajar dan pekerja Indonesia. Kerjasama diplomatik dalam bidang pendidikan ini akan memudahkan pendirian pusat studi atau pusat kajian bahasa dan budaya Indonesia, sehingga berbagai proyek untuk lebih gencar mengenalkan dan mengembangkan bahasa Indonesia di Eropa dapat diwujudkan. Proyekproyek tersebut antara lain adalah pembuatan kamus dwibahasa : bahasa lokal setempat ke 345

bahasa Indonesia dan sebaliknya, penambahan cabang ilmu terjemahan dari dan ke bahasa Indonesia untuk menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke bahasa setempat. Dengan adanya pusat kajian budaya dan bahasa Indonesia, serta cabang ilmu terjemahan dari dan ke bahasa Indonesia, karya-karya sastra Indonesia dapat dikenal di Eropa. REFERENSI Ben Jelloun, Tahar. (2002) 5e jour: l’Islam expliqué aux enfants. Cideb Editrice, Genova. Bonnetto, Mimi (2009). Seluk-Beluk Dunia Penerjemahan di Prancis: Blog Bahtera. (http://bahtera.org/blog/2009/08/seluk-beluk-dunia-penerjemahan-di-prancis) Darcos, Xavier. (1992) Un manifeste : la Défense et l’Illustration de la langue française : Histoire de la littérature française. Hachette Livre, Paris. Joubert, Jean-Louis. (2006). Maghreb : Petit Guide des littératures francophones. Nathan, Paris. Maalouf, Amin. (1998) Les identités meurtrières. Collection Livre de Poche, Ed.Grasset, Paris.

« Un homme peut vivre sans aucune religion, mais évidemment pas sans aucune langue » Amin Maalouf

346

Sub Kategori

: Sains Sosial, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Urgensi Wawasan Kebangsaan Bagi Pelajar Indonesia di Luar Negeri (Usulan Kurikulum Pembinaan Kepada Pemerintah RI) Muladi MUGHENI L,LM. Candidate International Islamic University (IIU) Islamabad. H- 10 New Campus Islamabad-Pakistan. Telp : : +623345169179 E-mail: [email protected]

Muhammad Niam SUTAMAN PhD. Candidate International Islamic University (IIU) Islamabad. New Abpara H-8 St. 48 G-6/1-1 Islamabad Pakistan Telp : +623458552128 E-mail: [email protected]

Abstract: This paper will discuss the urgency of national insight (Wawasan Kebangsaan) for Indonesian Students Abroad. There are several reasons why National Insight is very important. One of reasons is that not all of those who study abroad can wisely interact with the reality of the country, following a myriad of its Problems. Access to the country dynamics is not as easy as much as those who are in the country, and even if such access it depends on the individual willingness and awareness. Returning to their country means facing new dilemma where they will be facing the real problems of their nation. The lack of readiness to return to their hometown basically due to a psychological burden in their minimum perspective on national problems and realities. But it will not be that much problematic, where unfortunately, for many of them after returning from abroad to Indonesia, they become 'prisoners of locality'. This syndrome is likely bringing the student think of what he received in the study, and saw that every problem of the nation can only be resolved from the above perspective. This paper will emphasis on the role of students in the state which is expected to return to their country to work together to build a prosperous and beloved nation. The problem of locality is therefore as a foothold that the author will trying to initiate, why such insight training is necessary for their national awareness, where multi dimension problems should be treated according to the particularity of our national mindset, such as the problem of integrity, the transnational challenge of global terrorism, people welfare and human empowerment. Key words: students, studying abroad, national insight, prisoners of locality.

1. PENDAHULUAN Berbagai penafsiran terhadap wawasan kebangsaan, pada hakikatnya adalah sama, yaitu tentang kesamaan cara pandang ke dalam (inward looking) dan cara pandang ke luar (outward looking) sebuah bangsa terhadap berbagai permasalahannya di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi, dan pertahanan-keamanan. Sejarah telah membuktikan, bahwa jatuh dan 347

bangunnya sebuah bangsa sangat tergantung kepada konsep wawasan kebangsaan yang mereka anut serta ideologi yang mendukungnya. Semua itu berkaitan dengan konsep sebuah bangsa dalam mensejahterakan rakyatnya, dan tergantung kepada kemampuannya - melalui pemudanya - dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang selalu terjadi. Kualitas atau kadar rasa kebangsaan seseorang sangat dipengaruhi diantaranya oleh faktor “mental kebangsaan” dan “intelektual kebangsaan”. Mental kebangsaan yaitu memuat nilainilai yang sangat manusiawi, seperti peduli terhadap masa depan pemuda dan mencintai generasi penerus bangsa. Selanjutnya, intelektual kebangsaan memuat nilai kreatif untuk memikirkan dan menemukan solusi terbaik bagi permasalahan generasi bangsa, selalu berpikir jernih dan berpikir pembaharuan ( Rahmadhany, 2007). Tulisan ini akan memberikan penekanan pada peran yang akan dimainkan oleh generasi muda yang tengah belajar di Luar Negeri yang nantinya diharapkan kembali ke tanah air untuk bersama-sama membangun dan mensejahterakan bangsa tercinta. Aspek lokalitas “Luar Negeri” menjadi penting sebagai pijakan penulis dalam menggagas, kenapa kurikulum wawasan kebangsaan diperlukan bagi mereka. Apa kolerasi gagasan tersebut dengan problematika kebangsaan kita, seperti masalah keutuhan NKRI, tantangan terorisme dan kesejahteraan rakyat, sekarang dan di masa mendatang.?

2. PELAJAR LUAR NEGERI DAN TAWANAN LOKALITAS Menjadi pelajar di luar negeri sesungguhnya tidak selalu mengasyikkan, sebagaimana yang dibayangkan oleh banyak orang. Banyak suka duka dan problematika hidup yang justru mungkin lebih besar ketimbang mereka yang berada di dalam negeri. Dalam konteks kebangsaan umpamanya, bisa dibilang mereka yang berada di luar negeri, - apalagi jika telah puluhan tahun meninggalkan tanah air - jelas pengetahuan atas problematika riil bangsa tidak seluas mereka yang di dalam negeri. Interaksi dengan realitas masyarakat yang menjadikan pelajar dapat secara langsung memerankan fungsi sosialnya, juga lebih dapat dijalankan oleh mereka yang berada di dalam negeri. Maka peran yang tampak dominan pada gerakan pelajar di luar negeri, sejatinya adalah hampir sebatas intelektual, dan jika pun menyentuh aspek sosial, ia cenderung teraktualisasi melalui wacana transformatif an sich. Namun, sekalipun demikian beberapa perbedaan yang penulis sebut di atas, tidak dalam rangka mengecilkan fungsi dan peran salah satu kelompok pelajar atas yang lainnya, melainkan guna memetakan persoalan dilematis yang dihadapi oleh para pelajar tersebut – khususnya yang berada di luar negeri - dikarenakan kenyataan geografis yang memisahkan mereka dengan entitas tanah airnya. Salah satu persoalan mendasar dalam ranah dilema ini adalah, apakah mereka yang di luar negeri tersebut masih memiliki pengetahuan yang cukup tentang wawasan kebangsaan sekembalinya mereka ke tanah air,? Ataukah justru mereka telah tertawan oleh wawasan kelokalan tempat mereka belajar.? Sebab yang berlaku umum selama mereka di luar adalah, akses terhadap “wajah” tanah air tidak selalu berjalan dua arah, melainkan sangat bergantung kepada seberapa besar kepedulian mereka dalam menghadirkannya secara suka rela, dan juga kepada kemudahan fasilitas yang masing-masing mereka dapatkan. Sehingga paradigma (mind-set) kelokalan selalu menjadi katalog dari kerangka perubahan yang akan mereka 348

terapkan. Persoalan ini menjadi lebih serius, jika seandainya banyak dari kelompok pelajar ini setelah berkiprah di masyarakat ternyata tidak memberikan solusi atas pelbagai permasalahan sosial yang terjadi, namun justeru menjadi bagian dari masalah tersebut. Hal ini kerap terjadi sebab kekeliruan mereka dalam menggunakan pisau analisis dalam melihat persoalan kebangsaan melalui kacamata kelokalan tadi. Sehingga pendekatan yang digunakan terasa tidak sesuai dengan framework bangsa kita yang telah memiliki pandangan atau falsafah tertentu terhadap persoalan ras, etnis, agama, kekayaan alam, wilayah, tekad bersatu, dan ideologi. Sebagai contoh dari fenomena ini, bagi sekelompok pelajar yang mengenyam pendidikan di Barat, yang secara ideologi menerapkan paham kapitalisme dalam bidang ekonomi atau liberalisme dalam politik dan sosial, tentu setelah melihat berbagai kesuksesan pembangunan yang dicapai oleh Barat, dan jika tanpa dibekali dengan wawasan kebangsaan yang memadai, sangat memungkinkan mereka menjadi tawanan lokalitas dengan selalu ingin menyelesaikan persoalan bangsa melalui pengalaman kelokanannya tersebut (baca; Barat oriented). Padahal yang seharusnya mereka ingat adalah bahwa bangsa kita memiliki ideologi yang telah digariskan melalui semangat kebangsaan yang tertuang dalam UUD ’45 dan Pancasila, maka dari sanalah seharusnya ia mulai bertolak, lalu inspirasi penerapannya boleh mengacu dari mana saja selama tidak bertabrakan dengan mainstream kebangsaan tadi. Sementara bagi sekelompok pelajar lainnya yang belajar di belahan dunia Timur, yang secara ideologi negara-negara tersebut mengembangkan paham sosialisme atau komunisme, dapat saja mereka langsung menjadikan paham tersebut sebagai rujukan atau panglima dalam mengatasi persoalan ekomoni bangsa saat ini. Sehingga pijakan yang mereka ambil tidak lagi mengindahkan konsep kebangsaan yang telah memiliki paham khusus mengenai arah kebijakan ekonomi. Demikian pula, bagi pelajar lainnya yang belajar di Timur Tengah dengan identitas studi keislamannya yang kental dan has, tentu pengamalan ritual keagamaan masyarakat serta budaya bangsa di Timur Tengah juga dapat mempengaruhi pola pikir dan pandangan mereka tentang persoalan sosial, politik, ekonomi dan keagamaan di tanah air. Sehingga kerap pendekatan lokalitas selalu menjadi referensi atau acuan mereka dalam upaya mewujudkan perubahan dan perbaikan pada berbagai ranah. Menilik kondisi yang demikian, tidak mustahil akan muncul gejolak sosial atau hasil pembangunan yang kontra-produktif. Denganya perlu dilakukan upaya-upaya pemahaman yang benar, mendalam dan komprehensif mengenai wawasan kebangsaan bagi pelajar Indonesia di luar negeri oleh pemerintah, sebagai usaha pembinaan yang terstruktur dan berkesinambungan. Di mana dalam tataran ini pembinaan wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungan yang aslinya. (Hadi , 2007).

3. SKETSA LOKALITAS TIMUR TENGAH DAN PAKISTAN; SEBUAH CONTOH Pengiriman atau perginya pelajar Indonesia ke Timur Tengah dan sekitarnya untuk tujuan belajar sudah berlangsung cukup lama sebelum Indonesia merdeka. Orang Indonesia 349

menyebut Timur Tengah dahulu dengan tanah Arab. Tepatnya di semenanjung Arabia di kota Makkah. Rata-rata mereka mempelajari ilmu-ilmu agama kepada para syeikh atau para alim ulama dari bangsa Arab. Sekembalinya mereka ke tanah air, banyak yang langsung terjun ke dunia dakwah atau pendidikan. Dan banyak pula yang mendirikan lembaga-lembaga dakwah seperti pesantren ataupun sekolah setarap madrasah. Sebut saja, dua tokoh pendiri ormas terbesar di Indonesia, KH. Hasyim Asy'ari (NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) merupakan jebolan atau keluaran pelajar dari tanah Arab tersebut. Sekalipun keduanya adalah lahir dari tradisi keilmuan Arab yang sama, namun sekembalinya ke tanah air, memiliki perbedaan dalam menerjemahkan praktik beragama (keislaman). KH. Hasyim Asy'ari lebih cenderung menggabungkan ajaran-ajaran Islam yang dapat bergandengan dengan tradisi lokal masyarakat Indonesia (Jawa ketika itu), sedangkan KH. Ahmad Dahlan lebih memilih untuk mengambil jarak demarkasi yang tegas antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi masyarakat yang menurutnya tidak Islami. Perbedaan pandangan ini sama-sama didasari oleh pemahaman mereka atas apa yang mereka ambil dan pelajari ketika di tanah Arab. Namun saat kembali ke tanah air dalam menjalankan misi dakwahnya, yang satunya lebih menggunakan pendekatan konvergensif, sedang yang lain memilih pendekatan divergensif. Terlepas dari manakah yang lebih tepat untuk konteks kebangsaan, yang pasti kedua organisasi ini masih tetap eksis sampai saat ini, dan keduanya selalu terlibat dalam berkontribusi bagi pembangunan bangsa. Saat ini jumlah pelajar yang di Timur Tengah sudah sangat banyak. Menurut data, di antara negara di Timur Tengah jumlah terbanyak pelajar Indonesia terdapat di Mesir dengan jumlah sebanyak: 3.995 pelajar (Adikbud Cairo: 2009). Setelah itu di Yaman sebanyak 1.400 (PPI Yaman: 2009) lalu Saudi Arabia sebanyak 349 (Atdikbud Riyadh: 2009). Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan dan tuntutan kepada mereka yang belajar di Timur Tengah pun berbeda dengan mereka yang di era sebelum kemerdekaan. Perubahan sosio-politik negara di Timur Tengah dan arus informasi yang begitu cepat pun semakin menambah kompleksitas permasalahan dan in put para pelajar tersebut. Salah satu contoh yang sering didapati adalah, pergulatan para pelajar tersebut dengan isu-isu kebangkitan Islam, hal ini mengingat mayoritas mereka mengambil jurusan Islamic studies di bangku kuliahnya dan tidak sedikit dari mereka yang juga aktif dalam kegiatan ekstra kulikuler yang memiliki nafas dan misi menghadirkan kebangkitan Islam dalam segala aspek, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tren kebangkitan Islam yang sangat marak ini, tidak terlepas dari kondisi sosio-politik di Timur Tengah yang memang secara de facto pernah mengalami ekspansif atau jajahan dari negara-negara Barat. Sementara itu trauma runtuhnya kejayaan Islam dengan dibubarkannya sistem kekhilafahan Islam Turki Ottoman oleh Kemal at-Tarturk pada 1924, manjadi titik tolak bagi para penyeru kebangkitan Islam modern untuk mencari formasi baru dalam menawarkan sistem Islam yang dapat diterima oleh masyarakat modern. Maraknya kesadaran beragama bagi para pemeluk Islam akhir-akhir ini, merupakan sebuah indikasi kebangkitan Islam modern yang menampakkan perwajahannya yang berbeda dengan era masa lalu itu. Kesadaran beragama yang disebut di atas dapat dilihat di antaranya dari marakya penggunaan simbol-simbol keislaman, dari mulai bentuk organisasi massa, nuansa 350

media, model pakaian, cara pergaulan, aktifitas dakwah dan lain-lain. Fenomena ini tentu suatu hal yang patut disyukuri dan tentunya tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh mereka yang terdidik dari Timur Tengah, namun di lain sisi hal tersebut dapat menimbulkan beberapa permasalahan (ketegangan) pada tingkat aktualisasinya. Di suatu negara yang cukup terbuka dengan akses dunia luar, ataupun mampu menyerap demokrasi sebagai pilihan politiknya seperti di Indonesia, tarik menarik antara kesadaran beragama umat Islam di atas akan menghadapi tantangan yang tidak sedikit dari kalangan yang menghendaki tata hidup yang modern atau dalam hal ini lebih memilih cara pandang dan hidup ala Barat. Sehingga pada perjalanan selanjutnya, hampir dipastikan terjadi vis a vis antara mereka yang setia dengan jalan hidup dan pola Islami yang diyakini masih terjaga kemurniannya, dengan mereka yang melihat Islam atau agama apapun tidak dapat lagi menjadi jawaban bagi kebangkitan yang diharapkan. Bagi para penyeru Islam murni yang tidak bisa lepas dari simbol-simbol keagamaan tersebut akan semakin menampakkan sikap radikal dari setiap kali menghadapi serangan ataupun kritikan kalangan modernis. Dan tak sedikit pula dari mereka yang menggunaan cara-cara kekerasan (terror) dalam menghadang arus liberalisme kalangan modernis tersebut. Bagi kalangan modernis-liberal, para penyeru Islam simbolik hanya akan menghambat lajunya proses menuju kebangkitan Islam itu sendiri, dengan dipakainya cara dan pola hidup yang telah usang sekian abad lalu, terlebih lagi dengan pendekatan tafsir keagamaan mereka yang tekstualis semakin mempersempit fleksibilitas dialektika umat Islam dengan modernitas. Dan yang lebih memperihatinkan bagi mereka adalah, kalangan Islam simbolik ini tidak terlalu percaya dengan segala hal yang bersifat impor, baik hal tersebut dalam bentuk ideologi, sistem, tatakelola, prosedur, mekanisme, dan penemuan-penemuan material lainnya. Dengan dalih apa yang terdapat dalam Islam telah lebih sempurna dari segala apa yang diciptakan oleh orang-orang luar non-Islam. Sedang menurut penyeru Islam simbolik, kemajuan material yang menjadi harapan kalangan modernis-liberal tersebut, sungguh bukan suatu hal yang bakal mendatangkan keberkahan hidup ataupun kesejahteraan yang hakiki. Bahkan kebangkrutan di segala dimensi yang terjadi di dunia Islam saat ini dikarenakan umat Islam sudah tidak lagi menegakkan hukum Tuhan di dalamnya. Akhir-akhir ini 'pertikaian' dua arus pandang seperti di atas begitu terasa dalam dunia Islam. Negara di Timur tengah adalah lokasi yang mengalami problema tersebut. Di negara-negara ini pun tengah direpotkan dengan berbagai aksi terrorisme yang membuat kerugian moril dan materil yang sangat banyak. Upaya 'kasar' (hard) dalam menangani aksi terorisme ini telah sama-sama ditempuh, seperti dengan pendekatakan keamanan dan pertahanan. Namun upaya 'lunak' (soft) yang lebih menekankan apsek pendidikan dan agama masih belum memadai. Peran pendidikan dan agama dalam membantu mencegah aksi terorisme masih belum optimal. Hal ini bisa disebabkan dua hal, yang pertama; kurangnya dukungan atau keterbukaan aparatur untuk sedianya bersinergis menanggulangi aksi terorisme ini. Kedua, masih adanya anggapan bahwa sebagian lembaga atau organisasi pendidikan tersebut merupakan sumber atau sarang daripara terorisme, yang tidak patut dilibatkan dalam menumpas terorisme, 351

melainkan dijadikan sebagai target penumpasan terorisme tersebut. Di tempat penulis saat ini menimba ilmu pun (Pakistan) probematika ini sangat tampak menganga. Sekalipun asas negara Pakistan adalah Islam, namun sistem pemerintahan yang dicontoh adalah berkiblat kepada kerajaan Inggris dengan sistem parlementarnya. Problem tarik menarik kepentingan antara kalangan islamis dan modernis-liberalis sangat tampak dalam dinamika kehidupan berbangsa di sini (Tarik Jan, 2004: 3). Munculnya Pakistan sebagai tujuan belajar bagi pelajar Indonesia tidak selama seperti di Timur Tengah. Diperkirakan masuknya pelajar Indonesia ke Pakistan baru pada akhir tahun 50-an. Di antaranya mantan Menteri Agama RI Mukti Ali pernah mengambil program masternya di Universitas Karachi Pakistan sebelum setelah itu ia berpindah ke Kanada. Kondisi politik dan keamanan Pakistan yang sangat tidak stabil, lebih-lebih pasca berakhirnya perang antara Uni Soviet dengan Afghanistan di tahun 1984-1990 yang mendapat sokongan Amerika dan kalangan Mujahid dari dunia Islam. Menempatkan Pakistan sebagai negara sentral bagi sekutu Amerika dalam mengalahkan Uni Soviet. Namun setelah runtuhnya Uni Soviet, khususnya setelah tragedi serangan teroris 11 September 2001 di America, Pakistan kembali dijadikan sebagai sekutu Amerika dalam menumpas terorisme (war on terrorist) yang dulunya adalah para mujahid kawan politik amerika dalam mengalahkan Uni Soviet. Sampai sekarang potret ketegangan antara pemerintah adi kuasa Amerika, Pakistan dengan para kalangan islamis eks-Mujahid masih terus berlangsung. Pemandangan aksi balas serang antara tiga kubu tersebut selalu menjadi santapan media setiap harinya. Setiap aksi yang berhujung pada penyerangan umat Islam garis keras selalu didahului dengan justifikasi adanya keterlibatan mereka dengan terorisme atau semisalnya. Sebut saja contoh penyerangan aparat terhadap Masjid Merah (Lal Masjid) di jantung Ibu kota Islamabad tahun 2007 yang banyak menewaskan para pelajar (santri) yayasan tersebut dan juga polisi termasuk imam masjid (Sheikh Abdu Rashied). Dikarenakan motif yang sama, yaitu adanya perlawanan bersenjata dari pihak muslim masjid merah yang diduga mendapat dukungan kalangan mujahid penegak syariat yang tidak senang dengan rezim pemerintah yang memang sangat pro- Amerika untuk menjalankan operasi ganyang terorisme di Pakistan saat itu. Nah, di saat kondisi negara seperti di atas, dan para pelajar Indonesia berada di dalamnya, sedikit banyak akan mempengaruhi sudut pandang dan pola pikir mereka, khususnya dalam melihat relasi negara dan agama. Dan pada tahap tertentu dapat mempengaruhi padangannya terhadap permasalahan serupa yang terjadi sekembalinya ia ke tanah air. Tentunya bagi mereka yang bersimpatik terhadap garis yang ditempuh oleh kalangan islamis yang dianggapnya sebagai kaum yang tertindas dan tumbal dari kejahatan politik negara adi kuasa, mereka akan semakin fundamentalis dan membenci sikap negara-negara Barat yang tidak adil itu termasuk kepada negara-negara yang bersahabat dengan Barat. Sebaliknya bagi mereka yang bersimpatik terhadap tindakan yang diambil oleh pemerintah dan kebijakannya untuk menumpas segala bentuk terorisme termasuk yang berlindung di bawah jubah agama, maka ia akan semakin yakin bahwa benih-benih radikalisme dalam agama yang ditebarkan oleh para pemeluk agama adalah sesuatu yang membahayakan dan dapat mengusik keutuhan negara. Sehingga pada sisi mana para pelajar itu terbentuk oleh in put atau pengalaman situasinya, maka pada sisi itu pula out put yang akan diberikan kepada masyarakatnya di kemudian hari. 352

4. GERBANG INFILTRASI ISLAM TRANSNASIONAL Salah satu buah dari tawanan lokalitas di atas adalah infitrasi ideologi Islam transnasional. Wacana Islam transnasional akhir-akhir ini telah mewarnai berbagai media-media Islam di tanah air. Dan uniknya fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari pada keterlibatan mereka yang belajar atau terpengaruh doktrin dan paham Islam yang berkembang di Timur Tengah termasuk Pakistan. Doktrin dan paham yang dimaksud adalah paham-paham Islam yang keras, intoleran, radikal dan tekstualis dan memiliki target politik mendirikan kekhilafahan Islam internasional (Wahid, 2009: 34). Telah disinggung di atas, bahwa memang kenyataanya pembaharuan pemikiran Islam di tanah air, tidak lepas dari pengaruh mereka yang pernah bersentuhan dengan tradisi intelektual dari Timur Tengah. Selain KH. Hasyim asy'ari dan KH, Ahmad Dahlan, yang mengawali pembaharuannya setelah mereka kembali dari tanah Arab (Makkah), terdapat juga para pembaharu di tanah air yang lebih terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh. Sebut saja Sukarti, Buya Hamka, dan Harun Nasution, mereka mengambil serpihan gagasan dan ide-ide pembaharuan yang cukup fenomenal dari Muhammad Abduh di Mesir pada dekade awal abad ke-19 baik secara langung ataupun tidak (seperti melalui murid Muhammad Abduh). Track atau jalur pembaharuan yang diperoleh dari pemikiran Muhammad Abduh realitanya juga menghasilkan penampakannya yang berbeda satu sama lainnya. Bagi mereka yang bersimpatik terhadap pemikiran salafi (ulama dahulu) Muhammad Abduh dengan spirit pembebasan tauhid dari hal-hal yang merusaknya seperti yang tertuang dalam karya monumentalnya "Risalatu at-Tauhid", cenderung memahami dan menjalankan pembaharuan itu ke dalam sebuah gerakan atau lembaga yang memiliki misi membersihkan ajaran Islam dari praktikpraktik bid'ah dan tahayul sebagaimana yang dipraktikkan oleh organisasi al-Irsyad bentukan Sukarti. Sedang bagi mereka yang bersimpatik terhadap Muhammad Abduh dalam gagasangagasan kemodernannya yang selalu tidak pernah lepas dari akar tradisi Islam, lebih memahami dan menerjemahkan pembaharuan Islam di tanah air dengan perlunya membangkitkan lembaga pendidikan dan pemikiran yang moderat, seperti yang tercermin dalam sosok Buya Hamka. Sedang ada pula yang bersimpatik terhadap gagasan dan ide-ide pembahruan Muhammad Abduh sebagai tokoh yang selalu menggunakan rasional dan interpretasi logika dalam melihat perubahan kasus dan zaman, maka mereka menerjemahkan makna kemajuan Islam di Indonesia baru akan tercipta sekiranya ummat Islam berlaku rasionalis dan tidak terpaku pada teks-tekas yang kaku, sebagaimana yang difahami oleh tokoh semisal Harun Nasution dan pembaharuannya selama ia menjadi Rektor UIN Jakarta (dahulu IAIN). Pengaruh dari pemikiran yang berkembang di Timur Tengah dari dulu memang selalu ada, dan tidak berlebihan jika dibilang akan terus berlangsung hingga saat ini. Tentunya pengaruh yang dimaksud dapat bermakna dua, yaitu pengaruh positif dan negatif. Pengaruh tersebut dapat dikatakan positif jika kerangka pijak yang diambil ditujukan untuk perubahan ke arah yang lebih baik dan didasari oleh pemahaman terhadap realitas masyarakat dan tradisi lokal yang hidup di Indonesia. Sebaliknya pengaruh tersebut akan bermakna negatif sekiranya kerangka pijak yang diambil tidak diarahkan untuk perbaikan menuju yang lebih baik, tetapi sekedar meniru sesuatu yang baru dari luar dan tanpa mengindahkan realitas masyarakat dan tradisi kelokalan tersebut. 353

Pada konteks ini merambahnya paham Islam transnasional menjadi sebuah pertanyaan akademik yang menarik. Apakah fenomena ini mengindikasikan sebuah kebangkitan dan pengaruh yang membawa positif ataukah sebaliknya. Apakah gerakan dan paham tersebut berangkat dari pemahaman terhadap realitas masyarakat dan tradisi yang hidup di dalamnya. Kita akan mengetahui dari dampak dan persentuhannya dengan problematika sosial selama ini. Ideologi Islam transnasional sendiri diartikan sebagai kelompok Islam yang berkeyakinan bahwa Islam merupakan ajaran Universal menembus/menegasi batas-batas ruang dan negara, sehingga perlu adanya “satu kepemimpinan Islam” bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Laiwannya adalah Islam Kebangsaan yaitu Organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang mengakui keberadaan dan menjaga keutuhan NKRI, serta memperjuangkan diterapkannya syariat Islam dalam kerangka Negara-Bangsa (Nation State) Indonesia. Sementara Ideologi Islam Transnasional hakekatnya hanyalah nama lain dari istilah Globalized (globalisasi) Islam, Fundamentalisme, Islam Kanan, dan Islam Radikal. Gerakan Islam transnasional merupakan pola pergerakan Islam mondial yang hendak membenamkan cita-cita Islam di pelbagai negara. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menyebut Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan al-Qaedah sebagai bagian dari gerakan politik dunia (Islam transnasional). Ketiga organisasi ini menurutnya tidak memiliki pijakan kultural yang kuat, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup. Ikhwanul Muslimun (IM) didirikan oleh Hasan al-Banna (13241368 H/ 1906-1949 M) di Mesir tahun 1928. Doktrin yang menjadi inspirasi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah pertama, gerakan ikhwan adalah gerakan Rabbaniyyah (ketuhanan). Kedua, gerakan ikhwan bersifat 'alamiyah (internasional). Arah gerakan ditujukan kepada semua umat manusia. Ketiga, gerakan ikhwan bersifat Islami. Orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam. Dalam praktiknya, pola yang diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin tidak tersentral dalam satu markas dan satu komando, suatu hal yang membedakan dengan pola Hizbut Tahrir. Karena Ikhwanul Muslimin tidak memimpikan khilafah islamiyah internasional. Oleh sebab itu, masing-masing daerah punya kewenangan sendiri untuk mengembangkan Ikhwanul Muslimin sesuai dengan kultur dan politik negara di mana ia berkembang. Dan bisa diberi label apa pun. Kalau di Indonesia bisa bernama Partai Keadilan Sejahtera, di Turki bisa memakai Partai Kesejahteraan dan Keadilan, di Malaysia bisa pakai PAS. Meski namanya berbeda, tapi ideologi, manhaj dan pola-polanya itu memiliki kesamaan antara Ikhwanul Muslimun di daerah satu dengan daerah yang lainnya. Sementara Hizbu Tahrir yang dibentuk oleh Taqiuddin an-Nabhany berkembang di Suriah, Lebanon dan Yordania. Hizbut Tahrir adalah partai pembebasan, maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkeraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel. Konsep utama dari gerakan Hizbut Tahrir adalah khilafah Islamiyah. Di luar dua kelompok tersebut, hadir pula gerakan transnasional dalam faksi yang paling radikal oleh Al Qaedah. Meskipun tidak ada hubungan organisasi secara langsung, tapi pengaruh Al Qaedah ini begitu luar biasa bagi kelompok-kelompok kecil yang menggunakan teror sebagai sarana perjuangan. 354

Dari ketiga corak ideologi Islam transnasional tersebut, jelas-jelas merupakan fakta mutakhir dari beberapa model gagasan yang dapat saja diikuti, ditiru, dan dikembangkan oleh mereka yang belajar di Timur Tengah termasuk di Asia Selatan. Serta pola pergerakkannya sangat memungkinkan untuk ditransformasikan sekembalinya mereka ke tanah air. Melihat dari watak dasarnya, gerakan Islam transnasional ini kurang dapat mengadopsi nilai-nilai kelokalan (nusantara), dan memiliki target politik tertentu khususnya dalam hal formalisasi agama Islam dalam institusi negara. Maka tentu tantangan yang dihadapi oleh mereka yang menyerukan ideologi tersebut akan mendulang resistensi dan tabrakan dengan kalangan yang mengususng ideologi Islam kebangsaan atau nasionalis seperti NU dan Muhammadiyyah. Termasuk benturan akan terjadi pada ranah negara, oleh sebab yang menjadi sasaran bukan hanya pada perubahan masyarakat an sich namun juga pada perubahan institusi negara. Maka penanaman wawasan kebangsaan bagi pelajar di luar negeri dalam konteks permasalahan yang ada di atas, dapat menjadi upaya preventif dalam mencegah infiltrasi ideologi transnasional melalu mereka yang note bene terdidik dan belajar di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya (termasuk Pakistan).

5. WAWASAN KEBANGSAAN MENCEGAH EKSTREMISME AGAMA Kembali yang menjadi titik tolak penulis adalah kasus pelajar yang berada di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya. Hal ini bukan berarti kalangan pelajar yang berada di luar kawasan tersebut menjadi tidak penting untuk dilibatkan atau dikaji. Sebab hakekatnya permasalahan yang dihadapi oleh sekelompok pelajar yang berada di luar kawasan ini seperi di Eropa ataupun Amerika, juga Australia cukup memiliki perbedaan sosiologi termasuk dalam soal kesejahteraan. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya penerima beasiswa bagi pelajar di Timur Tengah, bahkan dapat dikatakan mayoritas mereka yang terjun menimba ilmu di Timur Tengah adalah bertumpu pada self finance (atas ongkos sendiri). Hal ini berbeda dengan mereka yang di luar Timur Tengah dan sekitarnya. Kemudian bidang studi yang ambil oleh mereka yang di Timur tengah mayoritas adalah bidang islamic studies, sedangkan yang di Barat lebih kepada bidang sains atau humaniora. Dari beberapa perbedaan karakter ini, maka permasalahan yang dihadapi oleh mereka yang studi di Timur Tengah jelas lebih kompleks dan rentan terhadap infitrasi isme-isme yang berkembang di kawasan tersebut. Terdapat beberapa karakteristik ekstremisme agama, baik dalam bentuknya sebagai sebuah organisasi atau pergerakan maupun sebagai fenomena sosiologis. (Lihat: al-Badry, 27). Pertama, kecenderungan mengisolasi diri (uzlah) atau memilih bercerai dengan masyarakat, yang dengan begitu dapat mengantarkan jiwa mereka kepada suatu penemuan makna spiritual yang hakiki. Kedua, fanatik (monolitik, dan monologis) terhadap satu pandangan yang dimilikinya dan secara ideologis menolak segala bentuk penafsiran baru yang datang dari luar. Ketiga, self of superiority, sebagai konsekuensi dari fanatisme sekte di atas, dan sering menganggap kelompok yang berada diluarnya salah maka perlu diajak kejalannya dengan 355

dakwah sekalipun terkadang dengan cara-cara kekerasan (al-‘unfu).

Keempat, reaksioner (haroki) dan percaya diri dalam berusaha mewujudkan cita-cita dari pandangan hidup dan keagamaan yang mereka anut, jika memungkinkan partai politik adalah sarana yang paling diincar. Kondisi yang membedakannya dengan gerakan tasauf yang lebih menekankan pendekatan kalbu dari pada politik. Kelima, otoritarianistik (istibdad), kelompok Islam fundamentalis memiliki kecenderungan untuk berlaku otoriter baik dalam pandangan ataupun kelakuan, oleh karena itu organisasi semacam ini selalu melakukan aksi-aksi yang radikal dalam artian merusak (destruktif). Keenam, idealistik, kelompok Islam fundamentalis selalu mengganggap hanya kelompoknya lah satu-satunya atau yang benar-benar sah mewakili Islam. Cara pandang idealistik ini juga tentunya merupakan konsekwensi logis dari self superiority yang mereka anut (Al-Qaradlawi, 1982: 32). Ketujuh, pemberang dan terkadang nekat, maka tak jarang dijumpai seseorang dari kalangan mereka nekat melakukan suatu aksi amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun tanpa diimbangi dengan persiapan dan kapasitas yang memadai. Kedelapan, totalistik dalam ketaatan terhadap seorang amir (pemimpin kelompok), hal ini dapat dikatakan sebagai rukun asasi dari sebuah relasi yang harus ada dalam setiap gerakan Islam fundamentalis.( Al-Qaradlawi,1982: 32). Dari kedelapan faktor di atas, dapat kita tarik benang merah, bahwa kelompok ekstremis ini, tidak hanya berkutat pada pergumulan wacana an sich, melainkan juga pada aspek implementasi gagasan-gagasan tadi menjadi sebuah aksi yang kerap menggunakan logika kekerasan. Stigma kekerasan dalam mencapai tujuan yang hendak di capai inilah yang telah begitu melekat pada gerakan ekstremisme ini. Mereka hanya percaya bahwa hanya dengan perubahan secara radikal lah Islam akan menemukan kejayaannya. Mereka tidak yakin bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lainnya. Dan ironisnya logika kekerasan ini mereka gunakan untuk sebuah cita-cita menegakan syariat Tuhan. Adagium yang cukup pas bagi mereka barangkali adalah “ al Ghayah Tubabarriru al Wasilah” (menghalalkan segala cara). Dalam bentang sejarahnya begitu banyak ketegangan terjadi bahkan memakan jumlah korban nyawa yang tak sedikit baik dari kelompok mereka ataupun yang menjadi lawannya, semasa perjuangan mewujudkan formalisasi Islam ini. (AlBadry: 242.) Paham dan aliran semacam ini pun begitu menjamur di tempat dimana para pelajar dan kita berada, khususnya di Timur Tengah dan sekitarnya. Terlebih lagi, kebanyakan tempat belajar, atau mengaji para pelajar tersebut selalu menyediakan fasilitas hidup secara cuma-cuma. Seperti halnya pelajar di madrasah (pesantren) di Pakistan. Seluruh fasilitas dari sandang, pangan dan papan dapat dinikmati dengan gratis. Sementara bantuan studi atau beasiswa dari pemerintah kita kepada mereka tidak ada sama sekali. Tentu sangat wajar jika loyalitas pelajar tersebut lebih berat kepada pihak penyantun dan penanggug jawab madrasah ketimbang 356

kepada Negara kita. Sebenarnya, nilai negatif dari terus berkembangnya pola studi pelajar di pesantren Pakistan (contohnya) yang seperi itu cukup banyak. Jika tidak dikawal dengan pembekalan wawasan kebangsaan yang bisa mengisi ruang intelektual para pelajar tersebut, serta menggugah kembali jiwa kebangsaan yang lama kelamaan bisa pudar. Tanggung jawab pemerintah perwakilan (KBRI) harus terus ditingkatkan dalam melakukan pemantauan sekaligus pembinaan. Hendaknya tanggung jawab ini tidak hanya sebatas rutinitas kepentingan administratif seperti kewajiban lapor diri atau pengurusan paspor mati saja. Namun yang lebih terpenting dari itu ialah, bagaimana sekiranya pemerintah yang nota bene masih belum sanggup untuk memberikan bantuan kesejahteraan kepada mereka, paling tidak pada sisi pembinaan yang memiliki orientasi intelektual, seperti pada aspek penguatan wawasan kebangsan mereka. Strategi dan formatnya bisa sangat kondisional dan pleksibel dengan menyesuaikan pada masing-masing kondisi negara yang bersangkutan. Selama ini penulis bukan menafikan upaya sebagian perwakilan pemerintah yang telah melakuan hal serupa. Namun yang menjadi stressing penulis adalah, pada upaya pemerintah pusat dalam hal ini departemen luar negeri atau departemen terkait untuk menjadikan pemahamanan wawasan kebangsaan sebagai suatu kurikulum wajib yang harus diberikan kepada pelajar dan pelajar yang di luar negeri.

6. MODEL PEMBINAAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PAKISTAN Terpanggil akan pentingnya penanaman wawasan kebangsaan yang penulis paparkan di atas, sebuah gagasan cerdas lahir dalam merespon berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pelajar Indonesia di Pakistan dalam bentuk promosi (memasarkan) wajah Islam Indonesia yang moderat. Gagasan ini dilandasi oleh Potret suram relasi pemerintah dengan ulama, militer dengan sipil, kalangan islam ektremis dengan moderat yang terjadi di Pakistan. Di mana jika tidak diantisipasi akan banyak menimbulkan pengaruh negatif kepada warga Indonesia yang tinggal di Pakistan khususnya kalangan pelajar. Situasi demikian sangat tidak mustahil akan dapat membentuk mentalitas dan mind-sett mereka dalam melihat fenomena keumatan di kemudian hari. Suatu kekhawatiran yang muncul dari merebaknya wajah Islam yang 'garang', keras dan intoleran dapat saja ditiru dan diamalkan oleh mereka yang belajar di lingkungan seperti itu. Adalah sebuah simposium internasional yang akan diselenggarakan pada awal bulan November 2009 tahun ini, merupakan upaya mengejawantahkan kesadaran akan pentingnya sebuah wawasan kebangsaan bagi masyarakat Indonesia yang berada di Pakistan. Simposium yang diprakasai oleh KBRI bekerjasama dengan pelajar Indonesia di Pakistan selain menghadirkan para tokoh pendidikan dan agama juga birokrat pemerintah dari dua negara (Ina-Pak), merupakan bentuk penafsiran dari penanaman wawasan kebangsaan yang dimaksud. Dimana sasaran dari penyelengaraan acara ini adalah berusaha menjembatani terbangunnya kesefahaman dan kerjasama antara dua negara (Ina-Pak) dalam persoalan agama dan pendidikan. Dari titik tolak acara ini akan diupayakan terbentuknya semacam badan yang di dalamnya duduk para tokoh masyarakat, pemimpin agama, tokoh pendidik dan pemerintah yang berfungsi sebagai penasehat (advisers) persoalan-persoalan pendidikan dan keagamaan di dua negara tersebut. 357

Pembentukan badan semacam advisory councils ini selain sangat penting juga mendesak, mengingat secara sosio-kultural cukup banyak kemiripan yang terdapat antara Indonesia dan Pakistan, Paling tidak hal itu dapat dilihat dari, tingginya tensi keberagamaan massif dan membudayanya pendirian pusat-pusat kajian Islam modern ataupun tradisionil (pesantren). Permasalah serupa lainnya, dua Negara ini pun tengah direpotkan dengan berbagai aksi terrorisme yang membuat kerugian moril dan materil yang sangat banyak. Di samping secara geografis juga berada di Asia. Upaya 'kasar' (hard) dalam menangani aksi terorisme ini telah sama-sama ditempuh, seperti dengan pendekatakan keamanan dan pertahanan. Namun upaya 'lunak' (soft) yang lebih menekankan apsek pendidikan dan agama masih belum memadai. Terlebih lagi, hangatnya pemberitaan media bahwa pelaku teror pengeboman di Kuningan Jakarta baru-baru ini salah satunya terkait dengan jaringan islam garis keras dari Pakistan dan konon pernah menjadi pelajar di salah satu lembaga pendidikan di Pakistan. Sungguh merupakan satu momen yang tepat untuk sesegera mungkin dibentuk badan dan lembaga yang salah satu tugasnya nanti adalah memberikan saran dan melakukan pemahaman, pemantauan, pembinaan dan pencegahan hal-hal yang terkait isu-isu kekerasan atas nama agama yang ramai diperbincangkan oleh publik. Selain dari pada tujuan ini, kegiatan ini juga dalam rangka menjajaki kerjasama-kerjasama lainnya dalam bidang pendidikan seperti antar lembaga madrasah (pesantren) atau universitas guna saling tukar menukar informasi dan akses dalam memasarkan ajaran Islam yang damai, moderat dan menebar rahmatan lil 'alamin. Dari sini, akan hadir kesadaran kerinduan dan kepercayaan diri para pelajar yang di Pakistan untuk melihat Islam Indonesia sekaligus keberagamaan para pemeluknya secara kritis dan apresiatif. Sehingga mereka tidak perlu merubah pola keberagamaan mereka seperti layaknya masyarakat pribumi Pakistan, semisal harus menjadi muslim tablighi (jamaah tabligh), atau salafi (pengikut aliran di Saudi), atau Brelvi (sufi), Ahmadiyah, Syi'ah dan lain-lain yang mereka kenal selama berada di Pakistan.

7. WAWASAN KEBANGSAAN DAN CITA-CITA MENUJU KESEJAHTERAAN RAKYAT Cita-cita untuk menyejahterakan rakyat atau warganegara sebenarnya telah ada pada abad ke19, yaitu ketika Bismark memperkenalkan kebijakan yang mewajibkan asuransi nasional untuk sakit, kecelakaan, usia tua, dan cacat (Wibowo: 274). Dan pada awal abad ke-20 di Eropa muncul semacam kesepakatan di antara kaum liberal, konservatif, maupun sosialis untuk mengharuskan negara mengambil peranan menyediakan kebutuhan minum kepada warga negaranya, pendidikan, kesehatan, dan perawatan orang tua. Dan nyatanya tidak ada satu model negara kesejahteraan (walfare state) ketika itu, Jerman mempunyai modelnya sendiri, demikian pula Prancis, Inggris, Finlandia, Swedia, dan sebagainya. Tapi ada sebuah tolak ukur yang menggabungkan mereka bersama, yaitu pengeluaran pemerintah (government spending) yang dipakai untuk mengongkosi kesejahteraan tersebut. Bahkan negara Cina pun sebagai negara yang menganut ideologi komunisme juga pernah menempuh jalan yang sama dengan negara-negara Eropa itu. Di Cina ada sebuah istilah yang sangat pas untuk melukiskan sistem kesejahteraan yang disediakan oleh negara, yaitu tie fanwan atau “mangkok besi”. Sebuah peristilahan yang digunakan negara dalam aspek 358

penyediaan fasilitas kesejahteraan bagi rakyat Cina dari lahir hingga mati, bukan hanya bagi buruh tapi juga petani (Wibowo: 275). Sedang untuk Indonesia, terdapat beberapa hak dasar masyarakat sebelum yang lain-lainnya dipenuhi, yang mutlak diwujudkan dalam rangka mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang sejahtera, maju, mandiri dan bermartabat. Hak-hak dasar tersebut meliputi: hak pangan, hak pendidikan, hak kesehatan, hak rasa aman, dan hak penguatan wawasan kebangsaan, kebudayaan, keagamaan dan etika bangsa. Dahulu memang negara masih mempunyai otonomi dan kapasitas jauh lebih besar daripada sekarang, memasuki milineum ketiga yang dibentuk oleh globalisasi dengan sendirinya terjadi pergeseran dari otoritas negara kepada otoritas pasar, sehingga mau tidak mau dunia saat ini tengah memasuki babak baru yang lebih dominan ditentukan oleh aspek pasar global (global market). Apa yang terjadi di tanah air kita saat ini merupakan contoh yang paling dekat, dan paling ekstrem dari dampak global market ini. Karena ekses globalisasi dan ketidaksiapan kita mengahadapinya, Investor-investor, asing maupun lokal, menjauhi Indonesia. Pemerintah tidak mempunyai strategi lain kecuali merayu dan memberikan konsesi. Kecuali itu, IMF atau World Bank sama-sama mendikte Indonesia melalui policy hutangnya. Indonesia harus menandatangani berlembar-lembar “letter of intents” yang memuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh tim IMF yang harus dijalankan oleh Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, jangankan kita berharap kepada negara untuk memberikan kesejahteraan yang lebih kepada rakyat, sedang untuk melunasi beban hutang berikut bunganya saja, negara masih belum mampu. Tentu bagi pelajar yang telah cukup dibekali dengan wawasan kebangsaan –nantinya- dalam melihat fenomena ini tidak menjadi lekas putus asa, atau langsung memutuskan pindah negara, atau jika ia terbilang golongan sukses berkarir di luar negeri, ia tidak enggan untuk balik ke tanah air. Namun, demi kepentingan masa depan bangsa, mereka berusaha menemukan solusi yang pragmatis, kreatif, dan segera. Pragmatis dalam arti solusi tersebut betul-betul mengatasi masalah pembiayaan yang dibutuhkan sektor-sektor riil nasional. Kreatif dalam arti solusi tersebut tidak boleh lagi-lagi membebani keuangan negara yang sudah hampir lumpuh dibebani utang. Segera dalam arti solusi tersebut ada di sekitar kita dan dapat segera diciptakan, diterapkan, dan disempurnakan terus- menerus. Dan semua ini berarti bahwa dengan wawasan kebangsaan yang kita miliki, betapa pun berat problem dan masa depan bangsa yang kita alami, selalu kita hadapi secara optimis, dengan keyakinan akan selalu ada jalan keluar bagi setiap persoalan. Wawasan kebangsaan meretas keyakinan alam sadar kita akan pentingnya mencintai bangsa betapapun ia tengah terkoyak, maka dengan sendirinya bangsa pun akan memberikan segalanya, termasuk kesejahteraannya kepada kita.

8. MODEL KEMITRAAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY Salah satu cara yang dapat diusulkan adalah dengan melibatkan dan mengarahkan pihak civil society (dunia usaha) untuk ikut memikirkan kesejahteraan rakyat. Perusahaan swasta, terutama multinasional, memiliki kemampuan dan kepentingan untuk membiayai peningkatan 359

kualitas kesejahteraan juga taraf hidup rakyat. Maka pola yang harus dibangun adalah – meminjam istilah Anthony Giddens- model kerekanan antara negara dan civil society (Giddens, 1998: 79). Kerangka kerekanan ini sudah mutlak diwujudkan, mengingat banyak hal yang tidak dapat diselesaikan oleh civil society sendiri, tanpa negara. Demikian pula sebaliknya, banyak hal yang dapat dilakukan oleh civil society tanpa intervensi negara, namun ternyata dapat mendukung negara. Hal ini tentu tidak menyampingkan peran penyelenggara negara untuk tetap memfasilitasi dan meregulasi sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang membuka seluasluasnya aksesibilitas setiap warga untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dengan imbalan kompensasi yang meningkat. Namun yang diperlukan oleh negara adalah mensuport keterlibatan civil society (dunia usaha) untuk mengatasi solusi kesejahteraan rakyat ini secara kemitraan. Contohnya adalah kegiatan “Berbagi 1.000 Kebaikan” yang diadakan oleh PT Unilever Indonesia (ULI) melalui merek es krim Walls yang akan menyumbangkan Rp 1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya terjual. Dana yang terkumpul dari konsumen Vienneta Kurma akan disumbangkan kepada anak-anak putus sekolah melalui Dompet Dhuafa ( Hidayat, 2007). Kegiatan sosial semacam ini layak untuk dicontoh dalam konteks usaha praktis menyejahterakan rakyat, dan yang terpenting harus diberi beragam insentif oleh negara. Contoh lain yang dilakukan oleh pelajar yang di Luar negeri adalah seperti yang tengah dilakukan oleh ICMI Orsat-London, yaitu mereka menjadi Jembatan kemitraan antara pengusaha Indonesia dan Inggris. Dengan berupaya memanfaatkan peluang keberadaan masyarakat Indonesia di Inggris, baik pelajar, professional, pengusaha maupun pegawai pemerintahan untuk menjadi duta ekonomi bangsa (ICMI, 2007). Di mana espektasi dari langkah tersebut adalah menciptakan peluang-peluang bisnis baru yang akhirnya dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Yang menariknya, langkah cerdas ini mendapatkan apresiasi tinggi dari pemerintah kita melalui kedutaan Besar setempat.

9. KESIMPULAN Tentu masih banyak lagi usaha-usaha kreatif lainnya yang dapat kita lakukan untuk memberikan kontribusi dan memikirkan masa depan bangsa selain daripada yang penulis sebut tadi. Namum sebelum hal itu terwujudkan, mau tidak mau, perlu diretas kondisi ke arah penciptaan, perlindungan, dan penerapan kemampuan intelektual atau human capital pada sistem bangsa kita. Siapkah kita untuk itu?. Jawabannya adalah, pemerintah bersama pihak civil society harus bersama-sama memprioritaskan pendidikan generasi muda bangsa, diantaranya adalah dengan menggiatkan pelatihan, pembekalan, pembinaan, pencerahan, tentang wawasan kebangsaan –termasuk bagi yang di luar negeri-, agar tertanam dalam jiwajiwa generasi muda sikap pengabdian dan kecintaan yang tulus serta totalitas, bagi agama, nusa dan bangsa. Yang penulis paparkan hanya sekedar sebagian masalah yang dihadapi oleh pelajar yang 360

berada di Timur Tengah dan khususnya Pakistan, sehingga materi pembinaan wawasan kebangsaanpun disesuaikan dengan kondisi dan lokalitas masalah setempat. Tentu bagi mereka yang belajar di dunia Barat, masalah dan kondisinya berbeda, sehingga sebelumnya perlu dirumuskan permasalahan dan tantangan beserta isu-isu sensitif yang dianggap dapat membentuk paradigma pelajar yang tengah menimba ilmu di sana. Titik tolak dari wawasan kebangsaan yang penulis maksud sangat jelas, sebagaimana yang telah dibahas di awal, yaitu falsafah hidup bangsa yang tertuang dalam UUD '45 yang telah diberkati oleh semangat reformasi. Denganya penanaman paham wawasan kebangsaan bagi pelajar di luar negeri ibarat ‘way of life’ atau kerangka pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungan yang aslinya.

REFERENSI Al-Badry, Gamal, (2002), Assaiful Akhdor; dirasah fi al Ushuliyyah al Islamiyah al Muashirah, Daar Quba lit Taba’ah wa al Nasr wa at Tauzi’, Kairo, cet I. Al-Qaradlawi, Yusuf, (1982), Sittu Alaamaat li at-Tatharruf al-Dini, Majalatul Araby – alKuwait, Kanun al-Tsani/Januari. Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Problematika Kemiskinan di Aceh dan Langkah-langkah Pengentasannya, Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Giddens, Anthony,(1998), The Third Way. The Renewal of Social Democracy, Cambridge: Polity Press. H. Hadi, Otto, (2007), Nation and Character Building Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan, makalah dalam diskusi reguler Direktorat Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas. I. Wibowo, Dicari: Pimpinan Proyek Sosialis; Masalah Peranan Negara dalam Mengatasi Ketimpangan Kaya-Miskin, artikel yang dimuat dalam buku, Etika Politik dalam Konteks Indonesia, Eddy Kristiyanto (Ed.), Penerbit Kasinius. Jan, Tarik (et. al), (2004), Pakistan Between Secularism and Islam, Institute of Policy Studies. R. Rahmadhany MBA. MSc., (2007). Wawasan Kebangsaan Perekat Persatuan Pemuda Kepri, di situs Gerbang Informasi Kota Batam. www.kompas.co.id, (2007), Komaruddin Hidayat, Kesejahteraan Sosial, Pendidikan dan Karakter Kebangsaan. www.icmi-london.org, (2007), ICMI London Jadi Jembatan Pengusaha Indonesia dan Inggris.

361

Sub Kategori

: Sains Sosial, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Studi Kultural dan Feminisme terhadap Permasalahan Perempuan dalam Germinal Karya Emile Zola (Pengarang Termahsyur Prancis pada Abad XIX) Tri Wahyu Retno NINGSIH Okki Nur Hamida Master 2RCognition, Développement et Psychopatologie, LEAD –CNRS6CMR 5022 Université de Bourgogne –POLE AAFE – Esplanade Erasme BP 26513 21065 DIJON CEDEX FRANCE E-mail :[email protected], [email protected]

Abstract: Gender relations are power relations between men and women. The ideology that gender differences between men and women are shaped by the exercise of power by men over women underpins this definition. In the Germinal has been found concept of culture study, concept gender, and concept of feminism. Germinal (1885) is the thirteenth novel in Émile Zola's twenty-volume series Les Rougon-Macquart. This article identifies and analyses the dominant stories that academics tell about the study of cultural and feminism of Germinal. In particular, I am critical of an insistent narrative that sees the development of feminist thought as a relentless march of progress or loss. This dominant approach oversimplifies the complex story of Germinal by Emile Zola. Finally, people have opted for gender mainstreaming as a reaction to a sustained period of women being excluded or disadvantaged in relation to resources and decision-making. Past imbalances do need to be redressed and effort made in order to focus on women’s situations and women’s views. However, it is increasingly recognized that focus must also be on men as well as women, and the relations between men and women in order for real and meaningful mainstreaming of gender concerns to occur. Kata kunci: Feminisme, Studi Kultural, Germinal

1. PENDAHULUAN Belajar di negara Napoleon tentunya tak akan pernah lepas dari berbagai ritme dan nafas negara ini, termasuk mengamati sejarah, hasil karya seni, kultur, ideologi dan politik bangsa Perancis. Seperti halnya salah satu karya Emile Zola sebagai subjek penelitian, yang bercerita tentang sejarah, peradaban dan menggambarkan perkembangan aliran feminisme saat itu. Émile Zola adalah salah seorang pengarang termahsyur dari Prancis pada abad XIX, sebagai penulis novel yang sering bercerita tentang peristiwa-peristiwa di sekitarnya, salah satunya adalah cerita di neraka pertambangan yang dialami oleh kelompok buruh pada zamannya Rata-rata karya Zola beraliran naturalis, yang terinspirasi oleh situasi dan kondisi sosioekonomi-politik pada waktu itu. Serangkaian roman sukses terdiri dari dua puluh buku yang menceritakan tentang sebuah keluarga yang hidup pada masa kekaisaran II (La Seconde 362

Empire), meliputi seluruh aspek sosial dan sejarah, tertuang dalam karya besarnya Les Rougon-Macquart. Roman tersebut cukup menarik diperbincangkan karena mengandung unsur sejarah dan juga berbicara tentang sistem patriarki yang marak pada zamannya. Penelitian terhadap roman Germinal karya Zola pernah dilakukan oleh Sukmaning Dwiaryanti pada tahun 1998 dengan judul Roman Germinal, Sebuah Tinjauan Sosiologis, dapat disimpulkan bahwa keterkaitan latar sosial masyarakat begitu berpengaruh dalam roman ini. Latar waktu, latar sosial, pertentangan antara klas sosial dan pandangan dunia yang tertuang melalui tokoh roman, terlihat sangat berkaitan erat dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Roman ini pernah juga difilmkan. Jean Pierre de Beaumarchais (1994) dalam Dictionnaire des Ouvres Littéraires de Langue Française (A-C) dalam artikel roman Les Bouts de Bois de Dieu, melihat adanya kesamaan tema antara Germinal karya Émile Zola dengan Les Bouts de Bois de Dieu karya Ousmane Sembene. Kemiripan tema tersebut adalah humanis dan revolusi, mengangkat fenomena dan cerita para buruh. Berkaitan dengan istilah patriarki tentu tidak bisa lepas dari konsep feminisme. Menurut wikipedia, pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masamasa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Sementara di Indonesia, isu tentang feminisme radikal yaitu aliran yang menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Sehubungan dengan perkembangan feminisme, di Indonesia sendiri telah memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Berbicara tentang perkembangan pemikiran feminisme berupa proses kontekstual, memberikan penjelasan bahwa definisi feminisme menjadi multifaces, beragam dan dinamis sesuai realitas sosial, kultural dan situasi politik sebuah pembacaan toleran terhadap dinamika dan pluralitas zaman. Seperti halnya salah satu karya besar Emile Zola yang berjudul Germinal sebagai salah satu pencerminan pergerakan dan perkembangan feminis pada zamannya. Dalam perkembangannya feminisme mempunyai proses paradigma, teori dan analisis dari ideologi banyak aliran feminisme berbeda-beda, tetapi memiliki titik kesamaan spirit dan kesadaran: kepedulian memperjuangkan nasib perempuan yang kalah. Keberagaman aliran feminisme tentunya berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokohtokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dan lain-lain, yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Dalam pandangan Elain Showalter, ada sejumlah tahapan yang terjadi dalam perkembangan kritik 363

sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra feminis, menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis. Tahap kedua, perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perempuan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra oleh kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan masalah-masalah teoritis, merevisi pelbagai asumsi teoritis yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki.

2. FEMINISME DALAM KARYA SASTRA Feminisme yang berarti hal-ihwal tentang perempuan, atau berarti paham mengenai perempuan. Secara historis, istilah tersebut muncul pertama kali pada tahun 1895; sejak itu pula feminisme dikenal secara luas. (Lisa Tuttle:1986). Feminisme sebagai sebuah gerakan, hadir pertama kalinya di Amerika akhir abad ke-19 Ada banyak aliran bermunculan di panggung sejarah, dengan corak paradigma yang tentu berbeda, yaitu aliran Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Sosialis, Feminisme Multikultural, Feminisme Agama atau Teologi Feminis dan eco-feminisme. Dalam perkembangannya, dinamika perjuangan kaum perempuan dengan serta merta menerima penolakan, resistance dari kemapanan ideologi yang ada. Di lain hal, para feminis menjadi sebuah bantahan sekaligus kritik yang konsisten terhadap ketidakadilan gender (genderinequalities), dari sebuah konsensus seksis masyarakat yang menyakini hal berupa kodrat, sakral, dan mutlak Salah satu tujuan dari aliran ini untuk membakukan sebuah stereotype yang tajam bahwa lelaki superior dan perempuan inferior, sepanjang sejarah. Karya sastra dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika ia mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial. Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis perempuan di masa silam dan untuk menunjukkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis lelaki yang menampilkan perempuan sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal, seorang penulis perempuan dapat menciptakan tokoh-tokoh perempuan dengan stereotipe yang memenuhi persyaratan masyarakat patriarkal. Sebaliknya, kajian tentang perempuan dalam tulisan penulis laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan justru mendukung nilai-nilai feminis (Djajanegara, 2000:27-28). Menurut Djajanegara (2000:28-39), ragam yang termasuk kritik sastra feminis adalah sebagai berikut: (1) Kritik Ideologis adalah kritik sastra feminis yang paling banyak digunakan oleh para peneliti. Kritik ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Hal yang menjadi pusat perhatian pembaca perempuan adalah citra serta stereotipe perempuan dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebabsebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali 364

dalam kritik sastra. (2) Gynocritics atau Ginokritik merupakan jenis kritik sastra feminis yang mengkaji tentang penulis-penulis perempuan, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre dan struktur tulisan perempuan. Selain itu, dikaji pula kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan. Ginokritik berbeda dari kritik ideologis karena yang dikaji dalam ginokritik adalah masalah perbedaan yang membutuhkan suatu pembanding, seperti perbedaan antara tulisan penulis perempuan dan tulisan penulis laki-laki. Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis perempuan merupakan kelompok khusus dan apa perbedaan antara tulisan penulis perempuan dan penulis laki-laki. (3) Kritik Sastra Feminis-Sosialis atau Kritik Sastra Feminis-Marxis meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas dalam masyarakat. Kritik Sastra Feminis-Sosialis atau Marxis ini mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran. (4) Kritik Sastra Feminis-Psikoanalitik, kritik ini cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedangkan si tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Ragam ini berawal dari penolakan para feminis terhadap teori kompleks kastrasi Sigmund Freud yang menyatakan bahwa wanita iri pada laki-laki karena tidak mempunyai penis (penis-envy). Namun perempuan melahirkan bayi yang dianggapnya sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang. Maka secara alami atau menurut kodratnya, perempuan memiliki ciri-ciri watak affectif (kasih sayang), emphatik (turut merasakan perasaan orang lain) dan nurturant (kehendak untuk merawat dan mengurus orang lain). (5) Kritik Feminis-Lesbian hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kritik ini ingin mengembangkan suatu tradisi menulis sastra lesbian dan strategi membaca dari sudut pandang lesbian, yang dapat diterapkan pada teks-teks lama maupun pada teks-teks baru. Namun ragam kritik ini masih terbatas kajiannya karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai kaum feminis radikal. Sebaliknya, kelompok lesbian menyesalkan sikap kaum feminis moderat yang hanya mengakui heteroseksualitas sebagai satu-satunya cara alami dalam pengungkapan emosi dan hasrat seksual yang normal. Kedua, ketika tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal-awal tahun 1970an, jurnal-jurnal kajian perempuan untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, adalah kendala yang dihadapi pengkritik sastra lesbian, yakni sikap antipati dari masyarakat. (6) Kritik Sastra Feminis-Ras atau Kritik Sastra Feminis-Etnik. Pengkritik sastra feminis etnik ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis-etnik beserta karya-karyanya. Mereka berusaha untuk mendapatkan pengakuan bagi penulis wanita etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis.

365

3. NOVEL GERMINAL KARYA EMILE ZOLA Germinal, salah satu karya besar Zola, adalah roman ketiga belas dari serangkaian Les Rougon-Macquart, dan merupakan karya fiksi yang penting dari abad XIX. Para tokoh sering disebutkan berulang di beberapa buku dan dihubungkan dengan tokoh-tokoh di buku-buku yang lain. Etienne Lantier, misalnya, dilahirkan di tengah-tengah orang tua pemabuk dalam L’assommoir (1877), menjadi seorang pemimpin kebangkitan radikal dalam La débâcle (1892), dan saudara laki-laki san tokoh protagonis dalam Nana (1880). Oleh karena itu, Zola menyebut keseluruhan rangkaian cerita ini semacam dua keluarga yang warisan genetisnya menentukan nasib anggota-anggota mereka : Rougon-Macquart. Karya ini merupakan gambaran serius yang mencerminkan ide-ide gerakan buruh serta cerita kehidupan kaum buruh di pertambangan pada masa Kekaisaran II. Pendapat ini tampaknya disetujui oleh Goncourt dengan menuliskan sebuah catatan bagi Zola, ia punya ide « faire quelque chose se rapportant à une grève dans un pays de mine » menulis sesuatu yang berhubungan dengan pemogokan di pertambangan. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Goncourt menilai Germinal sebagai suatu dokumentasi hidup peristiwa pemogokan di kota Anzin. Pada tanggal 19 Februari 1884, pemogokan besar-besaran berlangsung selama 56 hari, melibatkan sekitar 12.000 buruh yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa serta anakanak. Sebenarnya Zola sudah mempunyai ide untuk menulis Germinal sejak 16 Januari 1884. Hal ini diawali ketika musim panas 1883, Zola bertemu dengan Valenciennes, seorang anggota parlemen sayap kiri yang memberinya ide untuk menciptakan karya tentang pemogokan di sebuah pertambangan. Setelah itu ia turun langsung ke lorong-lorong pertambangan dan mengambil beberapa catatan rinci mengenai pengalamannya. Ide yang diangkat Zola dalam Germinal sangat menarik sehingga karya sastra ini pernah juga difilmkan dan telah beredar pada 29 september 1993, oleh Claude Berri, skenarionya ditulis oleh Arlette Langmann, bekerja sama dengan Jean-Louis Roques sebagai komponisnya. Dalam Germinal, Zola menceritakan kehidupan keluarga yang seluruh anggota keluarganya berprofesi sebagai buruh tambang. Karya ini mengksplorasi sebuah protes terhadap kondisi kerja yang tidak manusiawi dengan menggambarkan peristiwa-peristiwa di neraka pertambangan batu bara yang dialami kelompok buruh yang umum terjadi di pabrik-pabrik dan penambangan Eropa abad XIX. Termasuk di dalamnya adalah anak gadis berusia belasan tahun, Catherine, yang ikut bekerja membantu ayahnya untuk menghidupi keluarga dan sang ibu, La Maheude, yang terus berusaha keras untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari dengan uang seadanya. Kondisi yang demikian keras telah menyeret mereka dalam keputusasaan dan menenggelamkan mereka dalam sebuah aktivitas ˝pelarian˝ yang absurd dan biadab. Hal yang paling kejam dan menjijikkan adalah yang dialami kaum perempuan. Hal demikian dialami pula oleh Catherine, dimana beberapa kali dia menjadi tumpahan caci-maki dan pukulan kasar dari Chaval, pacarnya. Bahkan terkadang dia juga menjadi tempat Chaval meluapkan nafsu birahinya, demikian juga yang dialami oleh La Maheude terhadap suaminya. Inilah realitas yang harus dihadapi, terutama oleh kaum perempuan di bawah penindasan dua struktur sekaligus. Pertama, kalipitalisme di fase awal perkembangannya yang sekaligus merupakan bentuk penindasan yang paling brutal dan primitif dengan upah yang rendah, waktu kerja yang sangat panjang tanpa disertai dengan jaminan atas hak-hak fundamental atau 366

normatif seperti tunjangan dan jaminan keselamatan. Kedua, struktur sosial patriarkal dimana relasi perempuan terhadap laki-laki adalah subordinat. Secara historis realitas tersebut merupakan produk khas masyarakat berkelas (class society) dimana berlangsung domestifikasi terhadap peran perempuan dalam proses produksi.

4. STUDI KULTURAL FEMINISME DAN GENDER Hubungan antara studi kultural dengan feminis dan gender terjadi sebagai akibat kondisi perempuan yang tersubordinasi atas kebudayaan. Artinya, kebudayaanlah yang menyebabkan perempuan dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki, bukan sematamata kondisi biologis karena kenyataan menunjukkan bahwa perempuan juga mampu untuk melakukan pekerjaan sebagaimana dilakukan oleh laki-laki (Ratna, 2005:226). Menurut Sumiarni (2004:58) feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi upaya pembebasan diri kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminisme. Meskipun feminisme sebagai gerakan sudah tua, namun baru tahun ’60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan tersebut (Fakih, 2004:106). Secara historis, menurut Simone de Beauvoir (via Miriam Schneir, ed.,1972:xii via Ratna, 2005:226-227), awal gerakan kaum perempuan dapat ditelusuri pada abad XV, ketika Christine de Pizan pada periode tersebut telah menulis masalah penindasan yang dialami oleh kaum perempuan. Gerakan yang lebih berarti, ditandai dengan ciri-ciri politis yaitu perjuangan untuk memilih. Menurut Teeuw, beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan lelaki. (2) Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam. (3) Lahirnya gerakan pembebasan di ikatan-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa. (4) Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan. (5) Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh kaum perempuan. (6) Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxis. (Ratna, 2004:184). Gerakan feminis mengalami perkembangan tahun 1960-an dengan konsep yang beragam, meliputi hampir seluruh bidang kehidupan. Dikaitkan dengan sejarah perkembangan tersebut, maka fase pertama dapat disebut sebagai emansipasi, sebagai perjuangan hak, sedangkan fase kedua termasuk gender, perjuangan dalam kaitannya dengan degradasi perempuan sebagai akibat struktur sosiokultural, yang kemudian diikuti oleh fase dengan disertai teori sebagai feminis (Ratna, 2005:227). Meskipun demikian, menurut Rosemarie Tong (via Ratna, 2005:228), pada umumnya feminis dapat dibedakan menjadi tiga periode, yaitu: 367

(1) Periode awal, diperkirakan telah menggejala sejak tahun 1800-an, diawali dengan adanya gerakan feminis yang dikaitkan dengan terjadinya revolusi Prancis (1789). Periode awal inilah yang menampilkan tiga aliran, yaitu: (a) feminis liberal, (b) feminis radikal, (c) feminis sosialis-Marxis. (2) Periode kedua, mulai tahun 1960-an dengan memunculkan dua aliran, yaitu: (a) feminis eksistensial, mempersoalkan sekaligus menolak keberadaan perempuan sebagai sematamata mengasuh anak, (b) feminis gynocentric, dengan konsentrasi perbedaan antara lakilaki dan perempuan. (3) Periode ketiga, mulai dipengaruhi oleh postmodernisme yang mengabaikan sejarah, menolak humanisme dan kebenaran tunggal, melihat yang terpinggirkan. Periode ini melahirkan empat aliran, yaitu: (a) feminis postmodern, (b) feminis multikultural, dengan ciri yang hampir sama dengan feminis postmodern tetapi dengan memberikan intensitas pada keberagaman sosial, (c) feminis postkolonial, perempuan dianggap sebagai memikul beban ganda, laki-laki penjajah dan pribumi, (d) ekofeminisme yaitu dengan memperhatikan keterjalinan semua bentuk penindasan. Feminisme, apapun alirannya dan di manapun tempatnya, muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan (Sugihastuti & Suharto, 2002:63). Prasangka gender timbul akibat adanya anggapan yang salah terhadap jenis kelamin dan gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu dan merupakan kodrat Tuhan. Pengertian gender yakni sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2004:7-8). Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Perhatikan bagan di bawah ini:

Catatan : Bagan dikutip dari modul Apa itu Jender?, Jakarta : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2001. 368

Dalam konsep psikologi, gender definisikan sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan (Sahrah, 1996). Suatu kepribadian dan perilaku yang dibedakan atas tipe maskulin dan feminin (Whitley dan Bernard dalam Kuwato, 1992), seperangkat peran gender tentang seperti apa seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin (Santrock, 1998., Berry, dkk., 1999). Menurut Sandra Bem (1981a), tokoh sentral psikologi gender, gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Bem (1981a) mengelompokkannya menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seorang individu, individu dengan peran gender feminin misalnya berbeda perilaku prososialnya dengan realitas kehidupan sosial bila dibandingkan dengan peran gender maskulin, hal ini disebabkan karena individu dengan peran gender feminin memiliki karakteristik seperti: hangat dalan hubungan interpersonal, suka berafiliasi, kompromistik, sensitif terhadap keberadaan orang (Pendhazur dan Teenbaum, 1979), suka merasa kasihan, senang pada kehidupan kelompok (Sahrah, 1996), sebaliknya maskulin, yaitu kurang hangat dan kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap halhal yang berhubungan dengan emosi (Bakan dalam Sahrah, 1996). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney, ed : 153), sedangkan Hillary M. Lips (1993: 4) mendefinisikan gender sebagai “cultural expectations for women and men” (harapan-harapan budaya terhadap perempuan dan laki-laki). Pengertian ini relevan dengan yang dikemukakan Linda L. Lindsey (1990 : 2), bahwa “what a given society defines masculine or feminin is a component of gender” (semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender). Selanjutnya Wilson (1998 : 2) mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan dan kehidupan bersama, sebagai akibatnya mereka/menjadi laki-laki dan perempuan. Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa gender adalah sebuah konsep yang digunakan untuk memberikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial budaya dan dari segi non kodrati. Teori feminis bukan hanya mempolitisi seksualitas dan domestikasi, namun juga mengaitkan politik gender di kehidupan domestik dengan politik gender di dunia kerja upahan dan kehidupan publik (Agger, 2005:201). Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang pengarang perempuan atau pun kritik tentang perempuan. Kritik sastra feminis pada dasarnya merupakan suatu kritik yang memandang sastra dengan kesadaran bahwa perempuan masih ditindas dan disalahtafsirkan oleh tradisi patriarkal yang dominan.

5. PERMASALAHAN PEREMPUAN DALAM ROMAN GERMINAL Menurut Tong (1998:15) feminisme pada abad XIX termasuk dalam kategori jenis feminisme liberal dan feminisme radikal. Kedua jenis feminisme tersebut terbagi menjadi beberapa tema 369

perjuangan atau bagian sesuai dengan sistem sosial yang dikritik atau didekonstruksi. Feminisme radikal menentang sistem patriarki yang berlaku di dalam masyarakat dan menganggap bahwa kategori sosial berdasarkan seks dalam masyarakat merupakan penyebab utama tumbuhnya sistem patriarki. Sebab lain adalah perbedaan yang disebabkan oleh kelas dan ras. Isu-isu yang mendapatkan perhatian feminis radikal yaitu kekerasan terhadap perempuan (baik fisik maupun seksual), lesbianisme, androgini dan tekanan pada budaya dan ruang gerak perempuan. Feminisme radikal dalam roman Germinal terbagi atas lima bentuk yang berupa ide dan perjuangan kaum feminisme radikal. Keempat bentuk ide dan perjuangan kaum feminisme radikal tersebut adalah: (a) pengalaman seksualitas perempuan, (b) permasalahan virginitas, (c) kebebasan reproduksi, (d) pembagian kerja seksual. Feminisme liberal menitikberatkan perjuangannya pada penghapusan ketidakadilan gender, pembaharuan undang-undang yang berbau eksis. Asumsi dasar yang dikembangkan adalah persamaan (égalité) dan kebebasan (liberté). Cerita yang terdapat dalam Germinal, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh perempuan cenderung merupakan sebuah harapan tentang tatanan masyarakat yang akan terjadi kemudian. Tatanan masyarakat yang dimaksud adalah sebuah tatanan masyarakat matrilineal yang mengikutsertakan pengalaman-pengalaman perempuan dalam pembentukannya sehingga tidak mereduksi dan merugikan perempuan dalam implementasinya. Kondisi sosial masyarakat patriarki dalam roman Germinal memunculkan permasalahan yang dihadapi kaum perempuan. Wujud permasalahan yang dihadapi perempuan dalam roman Germinal dapat dikategorikan menjadi: (1) pengalaman seksualitas perempuan, (2) permasalahan virginitas, (3) kebebasan reproduksi, dan (4) pembagian kerja seksual. 5. 1. Pengalaman Seksualitas Perempuan Konstruksi masyarakat patriarki tidak memberi kebebasan dan keleluasaan bagi perempuanperempuan untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam bidang seksualitas. Konstruksi sosial telah mereduksi hak-hak seksualitas perempuan. Seperti pada kutipan dalam roman berikut: Catherine était restée à terre, sur son séant, Chaval l’empoigna par les épaules, lui renversa la tête, lui écrasa la bouche sous un basier brutal. Catherine s’était révoltée. - Laisse – moi, entends-tu! Chaval lui maintenait la tête, il la regardait au fond des yeux. (Zola, 1885 :71).

-

Catherine masih rebahan di tanah, tiba-tiba Chaval memegang pundaknya, membalikkan kepalanya, melumat bibirnya dengan kasar. Catherine memberontak. Lapaskan aku, tulikah kau! Chaval tetap menahan kepalanya dan menatap Catherine dengan tajam.

Ketidakadilan konstruksi sosial dalam masyarakat patriarki telah memberi ekses yang terlalu luas kepada laki-laki di satu pihak dan mereduksi ekses perempuan di pihak lain. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak seimbang, baik antara manusia dan manusia (laki-laki dan perempuan) maupun manusia dan lingkungan alam. Kata ˝manusia˝ selalu dianalogikan dengan laki-laki, sedangkan perempuan dianalogikan dengan alam (Tong, 1998:268). Pada sistem budaya patriarki, hampir semua peraturan dibuat berdasarkan pengalaman laki-laki sehingga peraturan tersebut cenderung mengikat perempuan. Artinya, peraturan tersebut lebih banyak ditujukan kepada perempuan. Dalam bidang seksualitas, 370

seperti telah diungkap di atas, pun dalam keadaan ekonomi yang serba kepayahan dan terjepit, istri harus melayani, memahami dan memenuhi kemauan suaminya, seperti yang dialami oleh La Maheude: La Maheude l’empoigna de nouveau, et cette fois ne la laçha plus. Toujours le bain finissait ainsi, elle le regaillardissait à le frotter si fort, puis à lui chatouillaient les poils des bras et de la poitrine. Lorsqu’il se fut relevé, Maheu passa simplement une cullote séche. Son plaisir, quand il était propre et qu’il avait rigolé avec sa femme, était de rester un moment le torse nu. Sur sa peu blanche. (Zola, 1885 :133) La Maheude kembali memeluk, dan kali ini tidak dilepaskan. Mandinya tentu saja sudah selesai, dia merangsangnya dengan menggosok lebih keras, kemudian dia menggelitik bulu dada suaminya. Begitu ia bangun, Maheu melepaskan celananya. Dengan senang hati ia bertelanjang, lalu ia tertawa bersama istrinya, membiarkan sesaat badannya yang telanjang. Di atas kulitnya yang putih. Dalam roman Germinal, seksualitas menjadi media laki-laki untuk mendapatkan yang diinginkan, hal ini dialami oleh La Philomene yang dipaksa Zacharie supaya memberikan uangnya. Setelah Zacharie mendapatkannya, ia kemudian membalasnya dengan mengajak La Philomene bermesraan di sekitar sumur tambang. Philomene parlait de sa voix molle de grande fille maladive, sans passion, simplement lasse de son existence. Zacharie, jura, cria que c’était une chose promises, sacrée ; puis, lorsqu’il tint les trois pièces, il la baisa, la chatouilla, la fit rire, et il aurait poussé les choses jusqu’au bout, dans ce coin du terri qui était la chambre d’hiver de leur vieux menage. (Zola, 1885 :139). Philomene bicara dengan suara pelan, suara perempuan yang sakit-sakitan, tanpa ambisi. Zacharie, kemudian bersumpah bahwa ini bukanlah suatu janji suci. Kemudian setelah mendapat tiga keping uang, ia mengecupnya, menggelitik dan membuatnya tertawa, dan ia menekan sesuatu hingga ke ujung, dalam suatu gundukan yang bagaikan sebuah kamar dalam musim dingin bagi pasangan suami istri. Sistem patriarki menimbulkan subordinasi perempuan hampir dalam segala bidang kehidupan, terutama dalam bidang seksualitas perempuan. Tradisi patriarki membuat objektivikasi terhadap seksualitas perempuan dan budaya ini mendapat legitimasi dari kitab suci (perjanjian lama). Sebagai objek seksual, secara otomatis keberadaan perempuan sebagai manusia tidak diperhatikan sehingga hak-hak perempuan dalam bidang seks tereduksi, seperti tampak yang dialami Catherine dalam kutipan berikut: - Non, non, je ne veux pas! je te dis que je suis trop jeune.. Vrai ! Plus tard, quand je serai faite au moins. Chaval grogna sourdement : - Bête! rien à craindre alors.. Qu’est-ce que ça te fiche? Mais il ne parla pas davantage. il l’avait empoignée solidement, il la jetait sous le hangar. Et elle tomba à la renverse sur les vieux cordages, elle cessa de sa défendre, subissant le mâle avant l’âge, avec cette soumission héréditaire, qui dès l’enfance, culbutait en plein vent les filles de sa race. Ses bégaiements effrayés s’eteignirent, on n’entendit plus que le 371

souffle ardent de l’homme. (Zola, 1885 :146).

-

Tidak, tidak, aku tak mau! aku masih terlalu muda.. Sungguh! Jangan sekarang! Chaval menggeram : Bodoh! Tak ada yang perlu dikhawatirkan! Kau bodoh! Tapi ia tak bicara lagi, ia memeluk Catherine dengan kuat, lalu mendorongnya ke dalam gudang. Dan dia jatuh di atas tali-tali, dia tidak mampu bertahan di tengah ancaman kejantanan seorang laki-laki sebelum waktunya, yang terdengar hanyalah nafas bergairah seorang laki-laki.

Hal seperti yang dialami Catherine dan Chaval juga terjadi pada La Mouquette dan Etienne namun bedanya, La Mouquette menginginkannya sudah sejak lama karena memang dia mengagumi Etienne. Ini dapat juga dipandang perempuan sebagai objektivikasi laki-laki karena Etienne menyadari bahwa sebenarnya ia tidak menyukai La Mouquette tetapi bersedia melakukannya karena memenuhi hasratnya sebagai laki-laki. Alors, devant ce don si humble, si ardent, Etienne n’osa plus refuser. - Oh! tu veux bien, balbutia La Mouquette, ravie, oh! tu veux bien! Et elle se livra dans une maladresse et un évanouissement de vierge, comme si c’était la première fois, et qu’elle n’êut jamais connu d’homme. Puis, quand il la quitta, ce fut elle qui déborda de reconnaissance : elle lui disait merci, elle lui bassait les mains. Etienne demeura un peu honteux de cette benne fortune. (Zola, 1885:259).

-

Akhirnya Etienne tidak berani menolak pemberian yang begitu ikhlas dan bergairah itu. Oh! kau betul-betul menginginkannya, gumam La Mouquette, alangkah senangnya, oh! kau memang menginginkannya! Dan gadis itu menyerahkan keperawanannya. Dia melakukannya untuk pertama kalinya karena sebelumnya dia tak pernah mengenal lelaki. Ketika lelaki muda itu meninggalkannya, dia merasa perlu berterimakasih : dia mencium tangan Etienne. Etienne masih sedikit membayangkan kemujuran itu.

Pengalaman seksualitas yang dialami oleh para tokoh perempuan dalam Germinal ini menunjukkan bahwa masyarakat buruh baik laki-laki dan perempuan dewasa maupun anakanak pada abad XIX telah mengenal dan menunjukkan kedewasaan, salah satunya dengan mulai berhubungan layaknya suami-istri. Hal ini juga membuktikan bahwa pada masa itu seksualitas bukan lagi dipandang sebagai hal yang tabu karena dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja tanpa pandang bulu karena yang tampak dalam Germinal adalah untuk mendapatkan kenikmatan sebuah seksualitas tidak perlu terikat dengan mahligai pernikahan. Yang menonjol disini adalah peran perempuan sangat kecil bahkan hampir tidak ada, sehingga hak-hak perempuan menjadi tereduksi. 5. 2. Permasalahan Virginitas Virginitas adalah sesuatu yang bersifat alami, ada tanpa dikehendaki oleh perempuan maka kemudian dikatakan bahwa virginitas menjadi sesuatu yang sangat penting pada diri seorang perempuan (gadis). Pada masyarakat patriarki kebanyakan, virginitas justru penting untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Hal ini seperti yang dialami keluarga Maheu: Le lendemain, toujours personne; et, l’après-midi seulement, au retour de la fosse, les 372

Maheu apprirent que Chaval gardait Catherine. Il lui faisait des scènes si abominable qu’elle s’était décidée à se mettre avec lui. (Zola, 1885:204). Esok harinya, banyak orang; dan, sekitar sore, mengelilingi lubang galian, Maheu mendengar bahwa Chaval menjaga Catherine. Ia marah pada Catherine yang memutuskan pergi bersama lelaki itu. Sedemikian besar pengaruh virginitas bagi kehidupan masyarakat berbudaya patriarki sehingga La Maheude pun tetap tidak sanggup menahan malu atas apa yang dilakukan Catherine terhadap keluarganya, maka ketika Catherine yang sayang dan perhatian terhadap keluarganya teringat akan kejadian di Voreux datang ke rumah membawakan kopi dan gula, seperti masih tidak terima dengan kelakuan memalukan Catherine, La Maheude kembali memarahi Catherine: La Maheude l’accabla, elle se soulagea, en lui jetant à la face tout ce qu’elle répétait contre elle, depuis un mois. Filer avec un homme, se coller à seize ans, lorsqu’on avait une famille dans le besoin! Il fallait être la dernière des filles dénaturées. On pouvait pardonner une bêtise, mais une mère n’oubliait jamais un pareil tour. Et encore si on l’avait tenue à l’attache! Pas du tout, elle était libre comme l’air, on ui demandait seulement de rentre coucher. (Zola, 1885:237). La Maheude menyemprotnya, dia lupa diri, dia menumpahkan segala yang dipendamnya, selama satu bulan. Kabur dengan seorang lelaki, dengan umur 16 tahun, di saat keluarganya sedang membutuhkannya! Dia harus menjadi gadis terakhir yang tercemar namanya. Orang-orang mungkin akan memaafkan satu kebodohan, tapi seorang ibu tak akan pernah melupakannya. Itu pun kali dia diikat! Sama sekali tidak, dia bebas semaunya seperti angin, hanya diminta untuk tidur di rumah. Dengan dikembalikannya virginitas di bawah otoritas perempuan, diharapkan terbentuk satu konvensi baru dalam masyarakat yang bersifat netral tentang pandangan virginitas perempuan. Perempuan (gadis) dilihat secara utuh sebagai manusia atas dasar keseluruhan (wholeness) yang terdapat pada dirinya, bukan didasarkan pada perawan atau tidak perawan. Pandangan tersebut dalam masyarakat patriarki selama ini hanya ditujukan kepada laki-laki. 5. 3. Kebebasan Reproduksi Perempuan sebagai individu yang berkaitan secara langsung dengan proses reproduksi ternyata tidak mempunyai hak-hak untuk menentukan proses tersebut. Seperti halnya Germinal, peristiwa yang dialami oleh La Maheude dan memicu keheranan bagi keluarga borjuis La Piolaine, secara kondisi keuangan mereka amat sangat terbatas namun masih juga memuliki banyak anak. - Vous n’avez que ces deux – là? demanda Mme Grégoire, pour rompre le silence - Oh! Madame, j’en ai sept. - M. Grégoire, qui s’était remis à lire son journal, eut un sursaut indigné. - Sept enfants, mais pourquoi? bon Dieu! - C’est imprudent, murmura la vieille dame.(Zola, 1885: 112). -

Kau hanya punya dua anak ini ? tanya Nyonya Grégoire, untuk memecah keheningan. Oh ! Nyonya, saya punya tujuh anak. Tuan Grégoire, yang sedang akan meletakkan kembali setelah membaca korannya, 373

langsung tersentak kaget seakan mendengar hal yang tak pantas. - Tujuh anak, tapi mengapa? Ya Tuhan! - Itu kecelakaan, bisik si perempuan tua itu. Masalah kebebasan reproduksi masih menjadi hal yang sangat pelik di mata masyarakat. Karena laki-laki terkadang masih menganggap perempuan sebagai objek yang bisa diatur seenaknya, ini tidak lepas dari bagian opresi laki-laki terhadap perempuan. 5. 4. Pembagian Kerja Seksual Roman Germinal melalui tokoh-tokoh perempuannya diwakili oleh La Maheude, Catherine dan La Mouquette, menentang segala pembagian urusan/pembagian kerja yang berbau seksis. Mereka dapat membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki yang bisa bekerja di sumur/tambang dan menghasilkan uang. keluarganya, baik laki-laki dan perempuan, bahkan orang tua dan anak-anak : - Oh! neuf francs! se récria Maheu. Moi et Zacharie, trois : ça fait six.. Catherine et le père, deux : ça fait quatre ; quatre et six, dix.. Et Jeanlin, un, ça fait onze. (Zola, 1885 :45). - Oh! sembilan franc! tandas Maheu. Aku dan Zacharie, masing-masing tiga : berarti enam.. Catherine dan Ayah, dua : berarti empat ; empat tambah enam, sepuluh.. Dan Jenlin, satu, berarti sebelas. Banyak cara untuk mendapatkan uang demi memperbaiki ekonomi keluarga para buruh. Seperti Catherine yang telah diusir dari tempat Chaval, harus berjuang dan bertahan demi tetap hidup. Sampai akhirnya pasca kematian sang ayah, Maheu, dia diterima kembali di rumahnya oleh La Maheude. Catherine yang tidak dapat hanya berdiam diri di rumah tidak mengerjakan apa-apa sedangkan kenyataan mengatakan bahwa mereka butuh uang untuk hidup akhirnya memutuskan untuk diam-diam kembali bekerja tanpa sepengetahuan ibunya, namun ketika Etienne memergokinya, ia pun akhirnya memutuskan untuk ikut kembali bekerja di tambang. Très ému, Etienne dut s’asseoir au bord de la paillasse, pendant que Catherine lui expliquait ses raisons. Elle souffrait trop de vivre ainsi, oisive, en sentant peser sur elle de continuels regards de reproche; elle aimait mieux courir le risque d’être bousculée là-bas par Chaval; et, si sa mère refussait son argent, quand elle le lui apporterait, eh bien! elle était assez grande pour se mettre à part et faire elle-même sa soupe. (Zola, 1885:443). Etienne memandang Catherine dengan heran, kemudian ia duduk di tepi kasur jerami, sememtara itu Catherine mengatakan alasannya. Katanya dia lebih baik menanggung beban hidup bersama Chaval di sana daripada hanya berdiam diri; dan, jika dia kembali bekerja dan ibunya menolak uang yang dia berikan, maka dia memilih untuk hidup mandiri, terlepas dari orang tuanya. Dalam hal ini tampak jelas bahwa pada masa itu karena kehidupan sudah sedemikian sulit bagi kaum buruh sehingga mereka seakan tidak dihadapkan lagi pada pilihan yang lebih baik selain harus kembali bekerja di tambang demi kelangsungan hidup mereka. Baik laki-laki maupun perempuan atau dewasa maupun anak-anak. Ini menunjukkan bahwa tidak didapati pembagian kerja berdasarkan seks/gender di Germinal karena hal ini berlaku untuk umum terutama bagi kaum buruh. 374

6. KESIMPULAN Permasalahan pengalaman seksualitas perempuan dalam Germinal terutama dipicu oleh adanya pandangan kritis para tokoh perempuan terhadap sistem budaya patriarki. Konstruksi masyarakat patriarki dipandang tidak memberi kebebasan dan keleluasaan bagi perempuan dalam bidang seksualitas sehingga hak-hak seksualitas perempuan telah direduksi. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dalam novel Germinal adalah : 1. Permasalahan yang dihadapi perempuan dalam Germinal yaitu pengalaman seksualitas perempuan, permasalahan virginitas, kebebasan reproduksi, dan pembagian kerja seksual. 2. Konstruksi sosial pada masyarakat patriarki telah memberi ekses luas terhadap laki-laki yang mengakibatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang, terutama dalam bidang seksualitas. Hal seperti ini dialami pula oleh para tokoh perempuan dalam Germinal yang diwakilkan oleh Catherine, La Mouquette dan La Philomene. 3. Dalam Germinal kepribadian tokoh perempuan didominasi oleh kepribadian yang bersifat inferior. Hal ini ditunjukkan oleh adanya bentuk-bentuk kepribadian yang disandang oleh ketiga tokoh perempuan yang ada dalam Germinal yaitu La Maheude, Catherine dan La Mouquette. Dengan kata lain kepribadian itu tampak pada sikap, cara pandang dan penampilan tokoh.

REFERENSI Barry, B. (2001) Culture and Equality. Cambridge: Polity Press. Coping with the Demand to be a Virgin’, Journal of Community and Applied Social Psychology 6(5): 329–34. Code, L. (1991) What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge. Ithaca, NY: Cornell University Press. Hall, Catherine, “Gender, Nationalisms and National Identities”, Feminist Review No 44, Summer, 1993. Jayawardena, Kumari, Feminism and Nationalism in the Third World in the 19th and Early 20th Centuries, The Hague: Institute of Social Studies, 1982. Kelly, P., ed. (2002) Multiculturalism Reconsidered: ‘Culture and Equality’ and its Critics. London: Polity Press. McClintock, Anne, “Family Feuds: Gender, Nationalism, the Family”, dalam Feminist Review No.44, Summer, 1993, hal.61-80. Meyers, D. Tietjens (2000) ‘Feminism and Women’s Autonomy: The Challenge of Female Genital Cutting’, Metaphilosophy 31(5): 469–91. Mansour Fakih. Membincang feminisme : Diskursus Gender Perspektif .Surabaya : Risalah Gusti, 1966. Mansour Fakih Analisis Gender & Transformasi Sosial Surabaya : Risalah Gusti, 1999. 375

Norbu, Dawa. Culture and the politics of Third World nationalism. Routledge, NY, 1992. Soenarjati Djajanegara (2000) Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar Penerbitan : : Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Soenarjati-Djajanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, 1995 Sumiarni, M. G. Endang. Jender dan feminisme Edition. Description Jakarta:Wonderful Publishing Company, 2004. Kelly, P., ed. (2002) Multiculturalism Reconsidered: ‘Culture and Equality’ and its Critics. London: Polity Press. McClintock, Anne, “Family Feuds: Gender, Nationalism, the Family”, dalam Feminist Review No.44, Summer, 1993, hal.61-80. Norbu, Dawa. Culture and the politics of Third World nationalism. Routledge, NY, 1992. Meyers, D. Tietjens (2000) ‘Feminism and Women’s Autonomy: The Challenge of Female Genital Cutting’, Metaphilosophy 31(5): 469–91.

376

Sub Kategori

: Sains Sosial, hukum, dan Politik (2A)

Judul : Kontribusi Pelajar Indonesia di Eropa untuk Menjawab Tantangan Masa Kini dan Masa Depan Chrysta Coryna PRATIWI Master in Finance & Management Tula State University Lenin Prospekt № 84-G, Hostel №.5, Room № 308 300600, Tula Telp : +7 920 2788133 E-mail: [email protected]

Abstract: This paper presents the general role of Indonesian students as well as their particular significance in knowledge distribution during the globalization era. One proposal that the author suggested is to arrange a traffic lights automation system with the purpose of managing transportation flow. This would become the main idea in order to ultimately improve the economic level of Indonesia. Kata kunci: ekonomi, globalisasi,inovasi, lalu lintas, macet, pelajar, transportasi

1. PENDAHULUAN Eropa, daratan yang kaya akan budaya dan peradaban. Negara-negara yang termasuk dalam daratan Eropa mayoritas memiliki tingkat perekonomian yang tinggi selain juga memegang peran besar dalam mempengaruhi tingkat globalisasi maupun perekonomian dunia. Eropa sendiri masih merupakan eksportir terbesar dunia, investor terbesar dunia, dan pasar terbesar dunia untuk investasi asing. Pasar global masih didominasi oleh Eropa untuk barang-barang berkualitas tinggi. Sebagai contoh, banyak orang di Jepang memakai sepatu buatan Italia, tetapi tidak cukup umum sepatu buatan Jepang dipakai oleh orang-orang di Italia. Globalisasi – refleksi dimana kualitas hidup masyarakat di berbagai belahan bumi semakin lama tergantung satu sama lain. Perekonomian dan pembangunan di Eropa adalah salah satu hal yang dominan dalam proses globalisasi dan wajib kita antisipasi. Di tahun 2011 saja, Uni Eropa diperkirakan memiliki kontribusi 4 kali lebih besar terhadap ekonomi dunia dibandingkan Cina. Oleh karena itu, agenda dan tantangan yang dekat dengan kita sekarang adalah, bagaimana menciptakan globalisasi yang memungkinkan adanya kemajuan sejajar bagi negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Saat ini, tidaklah cukup bagi seorang pelajar untuk mempelajari sesuatu di belahan bumi lain dengan hanya membacanya lewat buku. Untuk mencapai nilai kebangsaan dan kesuksesan, 377

pelajar juga perlu untuk hidup, bergaul dan bekerjasama dengan orang-orang lain dari mancanegara. Globalisasi tidak hanya ditekankan pada manfaat ekonomis yang diperoleh dari pasar bebas, tetapi juga perlu ditekankan pada unsur penyerapan infrastruktur, ilmu dan ketrampilan masyarakatnya. Misi penyerapan ilmu dan ketrampilan inilah yang tengah diemban oleh pelajar-pelajar Indonesia di luar negeri. Karakteristik dari sosok pelajar antara lain adalah bekerja keras, pantang menyerah dan inovatif. Kerja keras bukanlah faktor yang ditentukan oleh hasil akhir, namun lebih cenderung pada pembentukan mental individu untuk berjuang (achievement ideology). Karakter pantang menyerah adalah hasil dari tempaan hidup sehari-hari. Dalam proses pembelajaran, haruslah diyakini bahwa pelajar berhak untuk mengalami kegagalan, dan oleh karena itu tidaklah ada kata menyerah dalam belajar. Sementara inovatif, adalah karakter yang dituntut dari diri setiap pelajar. Karena dengan adanya inovasi pelajar dapat secara konkrit memberikan kontribusi besar terhadap masyarakat sekitarnya, terlebih lagi masyarakat dunia. Salah satu pemikiran inovasi sederhana yang dapat kita ambil dengan mencontoh Eropa adalah usaha perbaikan sistem perekonomian dengan mengurangi kemacetan. Seperti yang kita ketahui, Jakarta sebagai ibukota dan pusat kegiatan perekonomian Indonesia telah bertahun-tahun mengalami masalah kemacetan yang kompleks. Padahal dengan mengurangi kemacetan, peredaran barang dan jasa akan menjadi lancar, pengeluaran biaya, waktu dan tenaga dapat ditekan, serta kenyamanan dan kualitas hidup masyarakat akan terjaga.

2. MASALAH Lalu lintas merupakan tulang punggung perekonomian suatu bangsa. Tanpa struktur lalu lintas yang baik, perekonomian bangsa akan sangat sulit untuk berkembang. Salah satu permasalahan utama yang hampir pasti ditemukan di setiap sudut kota besar adalah kemacetan. Meningkatnya jumlah kendaraan, meningkatnya jumlah persimpangan pada suatu jalan serta sistem pengaturan lalu lintas yang kurang baik merupakan sumber utama kemacetan. Persimpangan merupakan titik penting dalam menentukan lancarnya perpindahan arus kendaraan antar jalan raya karena pada titik tersebut terjadi konflik antara kendaraan yang ingin melewati persimpangan dari arah yang berbeda. Semakin banyak persimpangan yang ada, semakin besar kemungkinan kemacetan bisa terjadi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa masalah kemacetan ini sudah sampai pada level yang mengkhawatirkan. Dampak yang berkaitan selain yang terurai di atas adalah bahan bakar dan polusi. Pada akhirnya akumulasi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap lingkungan yang bebas macet dan polusi bermanifestasi pada dorongan mobilisasi sumber daya manusia ke daerah atau negara yang memberikan infrastruktur transportasi yang solid. Hal ini tentu saja bukanlah faktor yang dominan, tetapi sampai kapankah masyarakat Indonesia akan bertahan untuk jangka panjang? Banyak cara untuk mengatasi permasalahan kemacetan di persimpangan jalan. Salah satunya adalah dengan membuat fly over sehingga kendaraan dapat langsung berjalan untuk melewati persimpangan. Tetapi cara ini tidak bisa berlaku di jalan-jalan sempit yang padat penduduk. Selain itu cara tersebut juga tidak efektif dan membutuhkan banyak biaya dalam 378

penerapannya. Dibutuhkan suatu cara lain untuk mengefektifkan penggunaan lalu lintas. Sebuah cara lain yang sebaiknya bukan dengan menambah infrastruktur seperti pembuatan fly over, tetapi dengan memaksimalkan infrastruktur yang sudah ada. Salah satu caranya adalah dengan pemanfaatan lampu lalu lintas secara maksimal. Lampu lalu lintas merupakan sebuah sinyal yang diberikan kepada pengemudi kendaraan. Dengan adanya lampu lalu lintas, pengemudi dapat mengetahui apakah mereka harus berhenti dahulu di persimpangan tersebut sehingga kendaraan yang menuju arah berlawanan dapat lewat, atau dia dapat langsung jalan karena kendaraan dari arah lain sedang berhenti. Jika pengaturan ini dapat diatur seefektif mungkin, arus kendaraan dapat ditingkatkan sehingga resiko kemacetan dapat berkurang. Perubahan antara lampu merah dan lampu hijau pada sebuah persimpangan harus diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan arus kendaraan dapat melaju dengan lancar. Pengaturan ini melipusi offset, green split, dan cycle time. Offset merupakan selisih antara nyala lampu hijau pertama dengan nyala lampu hijau berikutnya. Green split merupakan perbandingan waktu antara lampu hijau dengan lampu merah. Perbandingan ini memungkinkan arus lalu lintas padat mendapatkan lampu hijau yang lebih lama dibandingkan dengan arus lalu lintas yang kurang padat. Cycle time merupakan total waktu yang diperlukan oleh satu lampu lalu lintas untuk menyelesaikan satu putaran perubahan. Dengan kata lain, cycle time adalah lamanya lampu merah ditambah dengan lamanya lampu hijau. Pada suatu persimpangan, kendaraan harus berhenti jika lampu lalu lintas berwarna merah. Ketika lampu lalu lintas sudah berwarna hijau, kendaraan tersebut pasti langsung melaju dan berharap di persimpangan berikutnya tidak akan terkena lampu merah lagi. Namun jika tidak ada pengaturan untuk hal tersebut, maka kendaraan tersebut memiliki kemungkinan untuk terkena lampu merah lagi di persimpangan berikutnya. Jika kendaraan selalu terkena lampu merah pada setiap persimpangan, kondisi lalu lintas dapat berubah menjadi tidak lancar dan berujung kepada kemacetan. Hal ini akan membuat fungsi lampu lalu lintas tidak efektif dan akan menambah stop and go cost. Dibutuhkan adanya sistem yang dapat mensinkronisasi lampu lalu lintas tersebut sehingga terjadi green wave (lampu hijau berturut-turut) pada setiap persimpangan lalu lintas. Dengan adanya green wave ini, waktu tunda karena berhenti saat kemungkinan kendaraan mendapatkan lampu merah dapat diperkecil sehingga dapat memperlancar lalu lintas.

3. PENGUMPULAN DATA 3.1 Kondisi Lalu Lintas di Jakarta Menurut Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), kondisi lalu lintas di kotakota besar seperti Jakarta sudah mencapai tahap kritis dimana perbandingan perkembangan jumlah kendaraan dan penyediaan fasilitas jalan sudah tidak sehat lagi.

379

Tabel 3. Perbandingan Perkembangan Jumlah Kendaraan dan Penyediaan Fasilitas Jalan di Jakarta

Tahun 1985 1990 1995 2000

Perkembangan Jumlah Kendaraan 300.000 500.000 850.000 1.100.000

Perkembangan Penyediaan Fasilitas Jalan 305 km 442.5 km 429 km 585 km

Sumber: Kajian Staf: Ir. Ruchyat Deni, M.Eng. 2003

Jika melihat data statistik perbandingan pertumbuhan kendaraan dibandingkan luas jalan, pada tahun 1995 masih sangat leluasa. Namun jika rasio penambahan jumlah kendaraan dan penambahan luas masih seperti ini, maka diperkirakan tahun 24 akan terjadi kelumpuhan total. Tabel 4. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Jenis Kendaraan Mobil Penumpang Mobil Beban Mobil Bus Sepeda Motor TOTAL

1998 2.772.531 1.592.572 627.696 12.651.813 17.644.612

1999 2.897.803 1.628.561 644.667 13.053.148 18.224.179

2000 3.038.913 1.707.134 662.280 13.563.7 18.975.344

20 2002 3.261.807 3.862.579 1.759.747 2.5.347 687.570 731.990 15.492.148 18.061.414 21.2.272 24.671.330

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat

380

Gambar 14. Kondisi Pertumbuhan Kendaraan Dibandingkan Dengan Luas Jalan di Jakarta Sementara jumlah kendaraan semakin bertambah banyak, peningkatan infrastruktur lalu lintas dilakukan dengan langkah yang minim. Jika perkembangan kondisi lalu lintas akan selalu seperti ini setiap tahunnya, kemacetan merupakan hal yang sudah tidak bisa terhindari lagi. Penggunaan jalan raya menjadi hal yang sangat dominan bagi masyarakat yang berada di kota besar. Ketersediaan infrastruktur lalu lintas yang baik menjadi hal yang sangat menentukan kelancaran mobilitas masyarakat. Perkembangan jumlah kendaraan yang meningkat sangat pesat ini menyebabkan kemacetan lalu lintas hampir terjadi di sepanjang jalan. Kemacetan semakin parah pada jam-jam sibuk, yaitu pada pagi hari saat berangkat kantor, siang hari pada saat jam makan siang, dan sore hari pada saat jam pulang kantor. Kemacetan ini membawa akibat yang buruk, yaitu waktu tempuh dari suatu tempat ke tempat lain menjadi semakin lama.

381

Gambar 15. Lokasi Rawan Macet di Jakarta 3.2 Sistem Koordinasi Lalu Lintas di Indonesia Lampu lalu lintas merupakan alat pemberi sinyal yang ditempatkan di persimpangan. Sinyal yang digunakan adalah merah untuk berhenti, kuning untuk hati-hati, dan hijau untuk melaju. Sinyal ini sudah digunakan untuk semua lampu lalu lintas secara universal. Ada beberapa lampu lalu lintas yang hanya menggunakan 2 sinyal saja, yaitu sinyal merah dan hijau. Biasanya, pada lampu merah ditambah sedikit warna oranye dan warna hijau ditambah sedikit warna biru supaya tidak menyulitkan pengguna jalan yang mempunyai permasalahan buta warna. Lampu lalu lintas yang digunakan di jalanan saat ini merupakan peninggalan jaman dahulu dimana kepadatan lalu lintas belum seperti sekarang. Pengaturan lampu lalu lintas tersebut masih belum menggunakan alat kontrol yang baik. Hal ini yang menyebabkan masih seringnya terjadi kemacetan di ruas-ruas jalan kota besar di Indonesia. Saat ini, Indonesia menerapkan 3 metode untuk melakukan koordinasi pada lampu lalu lintasnya. Ketiga metode berikut adalah: 1. Fixed Time Control Kontrol seperti ini biasanya digunakan pada lalu lintas yang hanya memiliki satu jalur saja. Cara seperti ini merupakan cara yang paling banyak digunakan pada lampu lalu lintas di Indonesia karena merupakan cara yang paling mudah dan tidak perlu tambahan koordinasi dalam penggunaannya. Warna lampu akan berubah dalam jangka waktu tertentu dan dilakukan berulang-ulang. Kontrol seperti ini akan membawa masalah jika diterapkan pada jalan dengan 2 jalur atau pada lalu lintas yang rawan kepadatan. 382

2. Dynamic Control Kontrol ini menggunakan semacam sensor yang ditaruh dibawah jalan untuk mendeteksi jumlah kendaraan yang berada pada jalur tersebut untuk mencegah pemberian lampu hijau pada jalanan yang kosong. Selain sensor tersebut, kontrol ini juga memakai sebuah timer untuk mencegah terjadinya kemacetan jika sensor yang dipakai ternyata rusak. Sensor kendaraan umumnya terdiri dari: 1) Loop Detector Sensor ini berupa kawat atau kabel yang ditanam di jalanan. Sensor ini menggunakan prinsip induksi magnetik yang mendeteksi keberadaan kendaraan yang terbuat dari bahan logam. 2) Overhead Detector Sensor ini biasanya dipasang di atas jalanan. Sensor ini mengeluarkan suara ultrasonik atau inframerah yang akan dipantulkan jika terkena kendaraan yang menunggu di persimpangan. 3. Coordinated Control Kontrol seperti ini dapat dibagi menjadi 2 macam, tergantung kepada cara koordinasi yang digunakan. 1) Menggunakan sensor seperti video kamera atau untuk diperiksa secara centralized oleh dinas lalu lintas. Cara seperti ini sulit digunakan jika lampu lalu lintas yang ditangani sangat banyak. Butuh bandwith yang sangat tinggi untuk dapat menangani sistem yang tersentralisasi seperti ini. 2) Menggunakan Algoritma Sinkronisasi untuk mendapatkan timing yang akurat supaya dapat terjadi green wave pada setiap persimpangan. Cara kontrol seperti ini yang akan dibahas lebih lanjut pada penelitian penulis.

4. PEMODELAN Pemodelan ini digunakan untuk menentukan kendaraan dari arah mana yang dapat melintasi persimpangan jika lampu lalu lintas berubah warna. Satu cycle time didefinisikan sebagai perpindahan warna lampu dari hijau ke merah lalu ke hijau lagi seperti gambar berikut ini:

383

Gambar 16. Satu Cycle Time Nilai split time menyatakan berapa lama lampu hijau akan menyala. Sedangkan sisanya yaitu (nilai cycle time – nilai split time) merupakan lamanya lampu merah menyala. Perputaran ini akan berulang terus menerus. Jika suatu cycle time direntangkan, maka akan menjadi gambar seperti ini:

Gambar 17. Satu Cycle Time Yang Direntangkan Gambar tersebut mempunyai nilai cycle time dan split time yang sama dengan gambar berikut:

Gambar 18. Satu Cycle Time Dengan Nilai Offset Yang Berbeda Perbedaan dari kedua gambar diatas hanya terletak pada nilai offset-nya yang menggeser lamanya lampu merah pada Gambar 3. Lebih lanjut lagi, untuk mendapatkan suatu konsep yang optimal dan dapat menyesuaikan dengan keadaan, maka nilai dari cycle time, split time dan offset harus dapat berubah sesuai dengan keadaan saat itu, dengan melihat kemungkinan 4 (empat) buah skenario, yaitu: lalu lintas padat dan seimbang, lalu lintas padat dan tidak seimbang, lalu lintas sepi dan seimbang, lalu lintas sepi dan tidak seimbang. Dengan mempertimbangkan keempat skenario ini, pengaturan lalu lintas diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada pengaturan lalu lintas yang dilakukan secara random.

5. KESIMPULAN DAN SARAN Globalisasi dan efek yang ditimbulkannya telah menarik perhatian seluruh penduduk dunia. Hal ini harus menjadi motivasi agar kita semakin terpacu untuk bersaing dengan negaranegara lain. Para pelajar Indonesia di Eropa memiliki kesempatan lebih besar dalam menggali manfaat-manfaat teknologi, ekonomi dan sosial politik yang dapat dipersembahkan untuk ibu pertiwi. Tahapan awal yang dapat dilakukan adalah konsep pengaturan lampu lalu lintas sebagai upaya untuk mengurangi kemacetan. Kemacetan sebagai momok masyarakat dan batu sandungan besar dalam dalam aktifitas perekonomian perlu ditanggulangi sesegera mungkin. Masalah optimisasi lalu lintas merupakan masalah yang multidisiplin. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keadaan lalu lintas. Pemanfaatan sistem pengaturan lampu lalu lintas 384

merupakan salah satu upaya untuk menuju ke arah lalu lintas yang lebih baik sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Namun demikian, ide tersebut di atas tidaklah seberapa dan belum tepat jika kesadaran masyarakat untuk menjaga sarana dan prasarana transportasi belum tertanam. Untuk itulah, peran pelajar di Eropa akan menjadi signifikan apabila sepulang dari menuntut ilmu mereka mampu berbagi, tidak hanya pengetahuan dan wawasan, namun juga budaya serta etos hidup. Dengan menerapkan disiplin dan tertib yang telah menjadi keseharian pelajar selama di luar negri, terlebih di lingkungan Eropa yang serba teratur, mereka telah banyak menimba pengalaman. Hikmah positif inilah yang kemudian harus diamalkan di skala nasional, yaitu memanfaatkan dan memelihara sarana serta prasarana umum yang sudah ada.

REFERENSI Takagawa, Isao., et al. 20. “Self-Organizing Control of Urban Traffic Signal Network”. Systems,Man, and Cybernetics. IEEE International Conference on Volume 4. Susilo, Djoko. 2006. “Lalu lintas Jakarta, Dari Metropolitan Menuju Megapolitan. Direktorat Lalu lintas Polda Metropolitan” Jakarta. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan”.< http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/1993/43-1993.htm>.

385

Sub Kategori

: Sains Sosial, hukum, dan Politik (2A)

Judul

:

Ruang Terbuka Publik Kota Berkelanjutan Tropis yang Aksesibel Bagi Seluruh Masyarakat Kota (Accesible Tropical City Public Open Space for All Citizen) Soni PRATOMO Lecturer Fakultas Teknik Universitas Batanghari Jl. Slamet Riyadi, Broni JAMBI, INDONESIA Telp: +62741668280, +628127477535 E-mail: [email protected]

Budi Arlius PUTRA PhD Candidate Department of Architecture Seoul National University SEOUL, KOREA Telp. +821028922401 E-mail : [email protected]

Abstract: Urban planning and design process is not a simply thing. It has long and complicated thought from many disciplines and compromise from many things. To restore and gain good cityscape the sustainable city method is a right choice. This approaching method must reach of all citizens, even the people with different ability. There are three basic biggest questions will be discussed here. What exactly the meaning of sustainable city approach? What is the tropic city? And how could a city become more accessible within the two concepts above? The word sustainable development became more popular since 1987; it was used by environmental and development terminology. Sustainable city is adopted from sustainable development and it’s understanding that the city grow up with ecological approach. To provide resources for further generation is the sustainable city’s main concern. Tropic city has a unique climate. As the other place from another tropical area, in tropic city, the sun is always shiny all day long in full year. It has twelve hours a day and so as the night. Warm temperature, bright sunlight, rainy day could more enjoyable if the city can react in the right form. As the citizen of a city, the diffable people, people with different ability have the same right with other people in the city. Most cities do not appreciate this minority. The research carried out in the study is a qualitative research applying rationalistic approach methods. Key words: diffable people, accessibilty, tropical city, public open space

1. PENDAHULUAN Sebagai negara yang memiliki iklim tropis, Indonesia cukup diuntungkan dengan adanya keanekaragaman flora dan fauna. Musim yang dimiliki negara tropis pun hanya dua, musim penghujan dan musim kemarau dengan perbedaan yang tidak terlalu ekstrim, berbeda dengan iklim sub tropis yang memiliki musim empat dengan perbedaan yang cukup besar. Pada sisi lain iklim tropis memerlukan beberapa perhatian khusus. Kondisi yang demikian menuntut penataan kota di Indonesia lebih memperhatikan kondisi iklim yang ada. 386

Penataan kota, dalam artian perencanaan dan perancangan kota termasuk pula perawatannya bukanlah hal yang sederhana. Penataan kota merupakan akumulasi dari berbagai pendekatan, kalau tidak bisa dikatakan kepentingan, antara ekologis, estetika, komersial dan lain sebagainya. Kota yang baik adalah kota yang dapat memberikan kenyamanan, keindahan, kemanan serta beragam indikator lainnya bagi warga kota itu sendiri. Kota tidak dapat dipisahkan dari warga kotanya, dalam bahasa asing warga kota adalah citizen, yang dekat sekali dengan kata kota itu sendiri, city. Permasalahan utama yang sering dihadapi oleh kota modern saat ini, termasuk kota-kota di Indonesia dan tidak ketinggalan pula Kota Jambi, adalah secara morfologis kota tidak dapat menampung perkembangan yang demikian dahsyat, akibatnya wajah kota tidak ramah terhadap warga kota. Pada sisi lain ekologi kota merupakan hal yang menjadi masalah yang turut pula harus dicari jalan keluarnya. Penataan dan pembangunan kota selayaknya memperhatikan aspek-aspek khas yang muncul dan ada di kota tersebut. Penggalian dan pengkayaan genius locy dapat memberikan nilai lebih bagi kota yang bersangkutan. Selain itu pembangunan perkotaan masa sekarang seharusnya tidak hanya menggunakan paradigma city beautification tetapi juga sustainable city atau kota berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kota berkelanjutan merupakan kota yang didesain dengan memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kota Jambi sebenarnya telah berupaya untuk melakukan pembangunan kota berkelanjutan yang indah. Secara tidak langsung Kota Jambi telah mengupayakan hal tersebut diatas dalam paparan misi Kota Jambi. Sesuai dengan misinya maka Kota Jambi dibangun menjadi kota hutan tropis dengan melibatkan masyarakat sebanyak mungkin. Pada sisi implementasi dan penjabaran misi tersebut memang banyak hal yang harus turut pula dipertimbangkan. Pada sisi lain kota sering terasa kering dengan tidak adanya ruang terbuka kota yang tidak hanya menjadi paru-paru kota tetapi juga menjadi wadah ekspresi warga kotanya. Ruang terbuka kota yang adaptif terhadap kondisi iklim dan masyarakat merupakan paradigma yang tidak dapat ditawar lagi. Sebagai bagian dari lingkungan alam, ruang terbuka juga memiliki sifat terbatas dalam artian sumber yang tersedia tidak dapat diperbaharui, sehingga dalam pengelolaan dan pemanfaatannya harus dilakukan dengan seksama agar tidak terjadi degradasi kualitas lingkungan. Ruang terbuka kota seharusnya mampu menaikkan kualitas lingkungan kota. Ruang publik adalah elemen terpenting dalam peradaban kota. Ia menjadi wadah lahirnya kerekatan sosial yang bisa membawa kota menuju masyarakat madani atau civil society. Dalam sejarahnya, seperti diwacanakan Habermas, ruang publik atau offentlichkeit ini menjadi wadah dari institusi kelas menengah yang punya pengaruh kuat dalam proses revolusi sosial. Ruang terbuka publik kemudian menjadi ruang yang demokratis pula, sebagai tempat berkumpulnya semua lapisan masyarakat kota. Penataan ruang terbuka kota itu sendiri tidak terbatas pada pengertian-pengertian pembangunan fisik lingkungan binaan. Dalam penataan kota termasuk ruang terbuka kotanya terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan. Penataan kota harus mempertimbangkan dan 387

memperhatikan warga kotanya itu sendiri. Sehingga ruang kota yang direncanakan dan dirancang harus dapat memberikan tempat hidup yang layak bagi penghuninya. Dari sisi ini dapat dilihat bahwa kota sebagai suatu wadah harus ditata sedemikian rupa secara berkelanjutan agar dapat terus tumbuh serasi dengan penghuninya.

2. KONSEP DASAR KOTA BERKELANJUTAN Kota yang berkelanjutan merupakan kota yang menitikberatkan pembangunan lingkungan binaan yang ditata dalam rangka pemenuhan kebutuhan warga kota dalam banyak aspek dalam suatu wawasan lingkungan hidup sehingga pada masa mendatang kota tersebut masih dapat memberikan wadah kehidupan bagi warga kota di zaman mendatang itu. Konsep dasar yang ingin diketengahkan di sini adalah kota berkelanjutan merupakan pula kota yang ekologis. Kota ekologis merupakan kota yang lebih memperhatikan keseimbangan antara masyarakat penghuni kota, citizen, dengan kotanya, city. Penataan kota yang berkelanjutan memperhatikan aspek-aspek (Eko Budihardjo, 1998) lingkungan hidup, ekonomi, pemerataan, peranserta, energi, etika, dan estetika. Selain daripada hal tersebut penulis juga mengemukakan bahwa terdapat aspek lain yang juga penting, sehingga sapta e yang dikembangkan dari panca e menjadi dasa e, yaitu entreprenuership, educated dan efficient. Kewirausahaan merupakan aspek yang penting pula dalam pembangunan perkotaan. Mengingat bahwa kota merupakan suatu ekosistem terbuka yang menyebabkan sebenarnya tiada kota yang dapat dikatakan mandiri dan akan tetap berkantung kepada kota lain atau satuan konsentrasi permukiman lain di luar kota itu sendiri, maka sangat diperlukan adanya urban manager alias para pengambil kebijakan di kotapraja untuk dapat melakukan terobosan-terobosan dalam pengelolaan kotanya. Hal lain yang tidak kalah penting adalah suatu kota juga merupakan wadah pendidikan dan dapat pula mendidik warga kotanya untuk taat azas dan peraturan. Perencanaan dan Perancangan kota hendaknya dapat menjadikan warga kotanya lebih pintar dan cerdas sehingga sumber daya yang sangat terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan dan manajemen yang efesien sudah menjadi tuntutan kota maju masa sekarang. Pada panca e juga telah dikemukakan bahwa pengelolaan energi yang efektif dan efesien merupakan ciri kota berkelanjutan, tetapi sebenarnya pengelolaan yang benar dan tepat merupakan kunci lain menciptakan kota berkelanjutan, kota yang ramah, friendly city. Pengelolaan sumber daya yang tepat akan dapat mengurangi beban dari daya dukung lingkungan yang terbatas. Pengelolaan kota yang efektif dan efesien akan berarti banyak bagi kelangsungan hidup kota. Macet bukan hanya karena jumlah kendaraan yang terus bertambah sementara laju pertambahan ruas jalan rendah, sampah yang menumpuk tidak hanya karena rumah tangga atau pasar membuang limbah secara berlebihan, angka kriminalitas yang tinggi bukan hanya karena banyaknya bandit dan pencoleng yang berkeliaran, tetapi juga karena kesalahan urban manager. Sebagai komponen penting dalam kota yang berkelanjutan maka penduduk termasuk pula 388

warga diffabel harus mempunyai arahan dalam mangatasi permasalahan dengan mengetahui potensi pengembangan dan penataan lingkungan binaan dengan memperhatikan aspek terdahulu agar dapat menghasilkan suatu lingkungan binaan terutama ruang terbuka publik (public open space) yang berkelanjutan. Kota berkelanjutan sangat diperlukan mengingat daya dukung lingkungan dan sumber alam yang makin terbatas. Pendekatan penataan kota dengan wawasan lingkungan dan visi masa depan yang berlanjut dengan kemampuan meningkatkan dan memberdayakan masyarakat agar dapat lebih mempu dan mandiri secara ekonomi merupakan ciri yang dapat disimpulkan dari kota berkelanjutan. Pendekatan penataan kota secara berkelanjutan merupakan pendekatan multi disiplin yang melibatkan banyak pihak bukan hanya dari pihak akademisi maupun profesional tetapi juga terutama dari kalangan penduduk kota yang akan terus merasakan akibat baik langsung ataupun tidak langsung dari perubahan kebijakan penataan kota. Penataan dengan pendekatan kota berkelanjutan menuntut pula suatu paradigma perencanaan secara trend oriented dan open ended. Hal ini memungkinkan untuk tetap dapat menerima perubahan-perubahan dan dinamika termasuk yang tidak diperhitungkan dalam suatu tahapan perencanaan kota. Kota merupakan benda mati yang terus tumbuh dikarenakan unsur-unsur yang ada dalam kota bukanlah benda mati. Para penghuni alias warga kota merupakan makhluk yang mempunyai akal budi dan juga kepentingan serta usaha untuk bertahan hidup sehingga kota akan terus menggeliat dan berubah serta tumbuh.

3. PERTIMBANGAN IKLIM PADA KOTA TROPIS Secara umum Indonesia masuk dalam kategori negara beriklim tropis – tropika basah, dengan kelembaban udara dan curah hujan yang relatif tinggi. Sebagai negara yang memiliki iklim tropis, Indonesia memiliki musim hanya dua, yaitu musim penghujan dan musim kemarau dengan perbedaan yang tidak terlalu ekstrim, berbeda dengan iklim sub tropis yang memiliki musim empat dengan perbedaan yang cukup besar. Di daerah beriklim tropis terutama pada wilayah yang dilalui garis khatulistiwa dengan matahari bersinar sekitar 12 jam setiap harinya sengatan dan radiasi matahari merupakan masalah yang penting dan harus diperhatikan. Iklim tropis berada pada daerah di sekitar lingkar khatulistiwa pada lintang 15 o Utara dan Selatan. Selain Indonesia termasuk pula negara-negara Brunei, Singapura, dan Srilanka. Karakter iklim yang dimiliki iklim tropis antara lain: 1. Suhu udara maksimum 27-32 o C 2. Suhu udara minimum 21-27 o C 3. Kelembaban rata-rata- 75% 4. Curah hujan tinggi 2000-5000 mm 5. Radiasi matahari langsung 6. Kecepatan angin rendah Pada sisi lain iklim tropis memerlukan beberapa perhatian khusus. Kondisi yang demikian menuntut penataan kota di Indonesia lebih memperhatikan kondisi iklim yang ada. Matahari adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan ketidaknyamanan tinggal dalam suatu bangunan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pengaruh sinar matahari terhadap bangunan, 389

antara lain :   

refleksi sinar matahari. penyinaran panas. penetrasi panas.

Suatu lingkung bina dalam perencanaannya memasukkan aspek-aspek perancangan bangunan yang merespon kondisi lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan penghuninya.

4. RUANG TERBUKA PUBLIK HIJAU BAGI KOTA BERKELANJUTAN Kota sebagai suatu panggung sandiwara besar sebagaimana yang diungkapkan Aldo Rossi, harus direncanakan sedemikian rupa. Pendekatan yang kaku dan tidak kontekstual haruslah dihindari. Sebagimana telah diungkapkan terdahulu suatu pendekatan penataan secara trend oriented dan open ended merupakan cara yang dapat ditempuh selain dari luasnya wawasan perencana dan perancang kota terhadap permasalahan pada kota yang ditata mereka. Pendekatan demikian mengisyaratkan bahwa sebenarnya suatu kota tidak dapat direncanakan dan dirancang, karena perencanaan dan perancangan kota memang tidak bisa dibuat melainkan dijaga perkembangannya. Ruang publik terbuka hijau kota merupakan elemen penting dari kota berkelanjutan. Sebagai ruang terbuka publik dalam skala kota maka fungsi yang dijalankan adalah tempat bertemu dan berkumpulnya beragam penduduk kota. Aktivitas yang terjadi mungkin akan sangat variatif dan kompleks di ruang terbuka tersebut. Pada sisi ini ruang terbuka merupakan wadah bagi para penduduk kota untuk melakukan interaksi sosial dan komunal dengan warga kota lainnya. Pada pendekatan penataan kota berkelanjutan ruang terbuka hijau ini menjadi penting sebagai penyedia kebutuhan udara segar, konservasi lingkungan serta menjaga iklim mikro sekitarnya. Ruang terbuka hijau kota memberikan manfaat: 1. Estetis, pengaturan tanaman dalam tata letak yang dirancang sedemikian rupa dapat memberikan keindahan bagi ruang kota yang telah banyak dipenuhi oleh elemen beton 2. Orologis, pepohonan yang tumbuh di atas tanah akan mengurangi aliran permukaan, dengan demikian akan mengurangi tingkat kerusakan tanah dan menyangga kestabilan tanah. 3. Hidrologis, struktur akar tanaman mampu menyerap kelebihan air apabila turun hujan sehingga tidak mengalir dengan sia-sia melainkan dapat terserap oleh tanah. 4. Klimatologis, keberadaan tanaman dapat menunjang keadaan iklim setempat Sebagai ruang publik, ruang terbuka hijau kota akan memberikan manfaat bagi warga kotanya dalam mengekspresikan dirinya.

5. MENUJU RUANG KOTA YANG AKSESIBEL Penataan kota berkelanjutan juga lebih memperhatikan kepentingan warga kotanya. Diantara 390

sekian lapis dan golongan masyarakat kota terdapat golongan yang terganggu kemampuan mobilitas. Kaum difabel merupakan warga kota yang lama dilupakan yang mungkin karena masalah jumlah banyak dari kita menganggap mereka bukan hal penting dan tidak dimasukkan sebagai salah satu faktor yang diperhitungkan dalam perencanaan dan perancangan kota. Orang tua dan lanjut usia, penderita penyakit kronis termasuk cebol dan gigantisme bersama difabel dapat dikatakan kelompok yang mengalami gangguan mobilitas secara permanen. Wanita hamil, obesitas serta anak-anak juga dapat dimasukkan kepada golongan yang mengalami gangguan mobilitas walaupun dapat dikatakan kelompok yang tersebut dapat dikatakan sifatnya sementara. Kata diffabel sendiri berasal dari kata diffable yang jika diturunkan menjadi different ability. Kata ini merupakan pengganti dari kata disable people atau pun handicap, sehingga difable dapat dibaca sebagai people with different ability atau orang yang memiliki kemampuan berbeda. Selanjutnya kemudahan pencapaian atau aksesibilitas kepada semua anggota kelompok warga masyarakat di setiap bagian lingkungan terutama ruang-ruang publik dapat dikatakan sebagai kebutuhan dasar dari penataan kota modern atau dewasa ini, walau pun sebenarnya terdapat pula keterbatasan-keterbatasan lain dengan syarat-syarat tertentu pula. Pemikiran demikian karena setiap warga kota haruslah mampu memasuki ke dalam seluruh ruang kota terutama ruang publik dan menggunakan fasilitas yang ada di dalamnya. Pada sisi lain para difabel dengan alasan kemanan juga harus dibatasi jika mengingat keberadaan mereka di suatu tempat dapat membahayakan keselematan diri pribadi mereka sendiri. Selain daripada itu beberapa kondisi bangunan dan ruang yang spesifik juga menjadi sebab pembatasan atau bahkan tidak dianjurkan adanya ruang yang aksesibel. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa aksesibilitas tidak dapat disamaratakan karena terdapat beberapa kendala seuai dengan tingkat kesulitannya. Derajat aksesibilitas haruslah secara hati-hati disesuaikan dengan kebutuhan dari warga kota yang menggunakan ruang dan fasilitas kota. Beberapa aspek aksesibilitas bila ditangani dengan baik tidak hanya bermanfaat bagi difabel tetapi juga mendatangkan kenyamanan bagi semua warga kota. Keputusan Menteri Kimpraswil no 468 tahun 1998 merupakan pedoman yang mengatur mengenai bangunan dan lingkungan yang aksesibel bagi penyandang keterbatasan mobilitas semestinya merupakan arahan bagi para urban manager dan urban designer untuk dapat melakukan terobosan-terobosan dalam menciptakan ruang dan fasilitas kota yang aksesibel bagi semua. Meskipun telah ada kebijakan dari pusat yang demikian belum berarti bahwa serta merta upaya pengadaan fasilitas ruang kota terutama ruang terbuka yang aksesibel bagi semua akan dengan mudah terwujud, apalagi jika mengingat keputusan tersebut hanya setingkat menteri dan lebih mengarah pada petunjuk teknis dan belum ada payung yang lebih tinggi sebagi pengikatnya. Setidaknya perlu diupayakan untuk bangunan-bangunan atau lingkung bina baru lebih diprioritaskan penyediaan ruang dan fasilitas kota yang aksesibel. Ruang dan fasilitas kota termasuk ruang terbuka kota yang aksesibel sering dianggap oleh urban manager sebagai hal yang dianggap dapat ditinggalkan karena masalah jumlah atau pun nilai tambah akibat pembangunannya dismaping niat baik dan perilaku tidak diskriminatif. Masalah efesiensi dan efektivitas lebih dikedepankan dari pada masalah kesamarataan hak setelah kewajiban dasar dipenuhi oleh warga kota difabel. Jika pajak yang dibayar sama besarnya dengan warga kota yang tidak terganggu secara fisik mengapa hak yang didapat 391

berbeda? Mungkin hal selanjutnya adalah belum adanya, atau bahkan mungkin ketidaktahuan, para perencana dan perancang lingkungan binaan mulai dari skala yang paling kecil berupa bangunan tunggal hingga pada skala kota termasuk pula didalamnya para pemilik ruang dan lingkungan binaan serta fasilitas yang ada di dalamnya. Selanjutnya disinilah mulai diletakannya ketrampilan, nurani dan niat baik para profesional perencana lingkungan binaan.

6. PERENCANAAN AKSESIBILITAS PADA RUANG TERBUKA KOTA TROPIS Aspek iklim merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia dan pengguna bangunan. Faktor ini antara lain adalah nilai fluktuasi temperatur, kelembaban, kondisi atmosfir, jumlah serta intensitas hujan dan gerakan udara. Faktor-faktor ini baik secara sendiri-sendiri mau pun bersama-sama akan berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pengguna bangunan tadi. Secara lebih umum kondisi iklim termasuk juga jenis dan intensitas vegetasi yang ada, karena walaupun vegetasi tergantung pada iklim tetapi vegetasi dapat juga mempengaruhi iklim disekitarnya. Vegetasi baik dalam wujud penutup tanah yang berupa rerumputan, tanaman peneduh atau pun tanaman pengarah dapat berperan sebagai pelindung dari matahari. Vegetasi juga menjadi pembentuk iklim mikro. Untuk suatu perencanaan dan perancangan lingkung bina yang baik perlu diperhatikan kondisi-kondisi iklim setempat antara lain : 1. radiasi matahari Kekuatan efektif radiasi matahari ditentukan oleh insulasi matahari, pemantulan pada permukaan bumi, berkurangnya radiasi oleh penguapan dan arus radiasi di atmosfir yang semuanya membentuk keseimbangan thermal pada bumi 2. kesilauan Intensitas cahaya matahari dan pantulan cahaya matahari yang kuat merupakan gejala dari iklim tropis. Cahaya yang terlalu kuat dan kontras yang terlalu besar umumnya dirasakan tidak menyenangkan 3. temperatur dan perubahan temperatur Daerah yang paling panas adalah daerah khatulistiwa. Pengurangan temperatur di khatulistiwa ke kutub tidak seragam karena beberapa faktor yaitu :  derajat lintang dan musim. Maksimum penyinaran matahari harian terjadi di lintang 30o dan 45o. Untuk nilai rata-rata, berpengaruh juga musim dingin sehingga penyinaran tahunan tertinggi berada di sekitar garis lintang 15o .  atmosfir. Sekitar 15 % radiasi matahari hilang saat menembus atmosfir. awan, asap, debu dan partikel air banyak mengurangi radiasi matahari.  daratan dan air. Temperatur udara sebagian besar ditentukan oleh sentuhan udara dengan permukaan tanah. Pada garis lintang yang sama dan waktu musim panas yang sama, temperatur terendah terjadi di atas permukaan air dan temperatur tertinggi diatas benua. Pada musim dingin terjadi kebalikannya. 4. presitipasi (curah hujan) Terbentuk oleh kondensasi atau sublimasi uap air. Presitipasi jatuh berupa hujan, hujan gerimis, hujan es atau hujan salju, sedangkan di permukaan bumi terbentuk embun atau embun beku. 5. kelembaban udara Kadar kelembaban udara berbeda dengan unsur-unsur yang lain, dapat mengalami 392

fluktuasi yang tinggi dan tergantung pada perubahan temperatur udara. Semakin tinggi temperatur semakin tinggi kemampuan udara menyerap air. 6. gerakan udara (angin) Terjadi oleh pemanasan lapisan-lapisan udara uang berbeda-beda. Mulai dari angin sepoisepoi sampai angin topan dengan kekuatan angin 0 sampai 12. Faktor yang mempengaruhi kenyamanan dalam ruangan adalah temperatur udara, kelembaban udara, temperatur radisi rata-rata dari dinding dan atap, kecepatan gerakan udara, tingkat pencahayaan dan distribusi cahaya pada dinding pandangan. Pertimbangan terhadap aksesibilitas menjadi penting karena: 1. Semakin banyak warga berusia lanjut yang harus dibuatkan fasilitas yang aksesibel. 2. Bangunan dan fasilitas umum serta lingkungan yang aksesibel segera dibangun untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh warga yang memiliki kemampuan berbeda. 3. Sebagai upaya perubahan sikap, perilaku, dan norma masyarakat. 4. Usaha peningkatan kualitas lingkungan yang aksesibel baik secara fisik maupun non fisik Warga difabel atau masyarakat yang memiliki kemampuan berbeda pada dasarnya bukanlah warga yang ingin dimanja. Perencanaan dan perancangan lingkung bina bagi warga difabel diarahkan untuk meningkatkan kemandirian warga difabel dalam pola pikir persamaan hak atas pemanfaatan ruang dan lingkung bina. Ruang dan lingkung bina yang tecipta sedikit sekali yang mendukung ke arah pemikiran ini. Perencanaan dan perancangan ruang terbuka kota kerap kali melupakan masyarakat difabe alias warga dengan kemampuan berbeda. Beberapa elemen penting dalam ruang terbuka hijau kota tidak diarahkan untuk dimanfaatkan warga difabel. Dalam Kepmen PU 468 sebagai petunjuk teknis aksesibilitas jelas diarahkan bagaimana merancang ruang terbuka. Petunjuk teknis mengenai kelandaian ramp untuk pengguna kursi roda dan penggunaan penutup lantai bagi penyandang netra sebagai suatu contoh, jelas diberikan pada petunjuk tersebut. Besaran anak tangga yang biasa terdapat pada taman kota atau pun plaza dengan ukuran tidak untuk warga difabel sehingga sulit untuk digunakan, pada petunjuk teknis tersebut pun telah diatur sedemikian rupa.

7.

PENUTUP

Penataan kota pada dewasa ini merupakan tanggung jawab banyak pihak tidak hanya pemerintah tetapi semua pihak yang peduli dan tinggal di kota sudah selayaknya meyumbangkan pemikiran bagi kota yang lebih baik lagi. Penataan kota juga merupakan hasil kompromi banyak pihak dengan leading sector para pengambil keputusan yang bijak yang merupakan sebenarnya urban manager. Selain itu sudah saatnya pula dalam proses penataan para difabel lebih mendapat porsi perhatian mengingat difabel juga warga kota yang mempunyai hak sama dengan warga kota lainnya. Merupakan tanggung jawab bersama untuk dapat menciptakan lingkung bina terutama ruang terbuka yang aksesibel bagi semua masyarakat kota. 393

REFERENSI Budihardjo, Eko. (1998). Kota yang Berkelanjutan. Ditjen Dikti Debdikbud, Jakarta C. P. Kukreja. (1978). Tropical Architecture. Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. New Delhi Darmawan, Edy. (2003). Teori dan Implementasi Perancangan Kota. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang Frick, Heinz, et. al. (1998). Dasar-dasar Eko-arsitektur. Penerbit Kanisius dan Soegijapranata University Press. Yogyakarta Hariyono, Paulus. (2007). Sosiologi Kota untuk Arsitek. PT. Bumi Aksara. Jakarta Klein, Donald C. (2005). Psikologi Tata Kota: Psikologi Pengembangan Ruang Publik dalam Perencanaan Kota Baru. Penerbit Alenia. Yogyakarta Ley, David, (1983). A Social Geography of the City. Harper and Row. New York Lippsmeier, Georg. (1994). Bangunan Tropis. Erlangga. Jakarta Mangunwijaya, Y.B. (1994). Pengantar Fisika Bangunan. Djambatan. Jakarta Pearson, Michael Parker and Collin Richards (ed.). (1994). Architecture and Order Approaches to Social Place. Routledge. London Rossi, Aldo. (1984). The Achitecture of the City. The MIT Press. Cambridge Rutz, Werner. (1987). Urbenization of the Earth 4: Cities and Town in Indonesia. Gebruder. Berlin Santoso, Jo. (2006). (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Penerbit KPG dan Centropolis. Jakarta Suparlan, Parsudi. (1996). Antropologi Perkotaan. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Jakarta Suparlan, Parsudi. (2004). Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaan. Penerbit YPKIK. Jakarta Vermeulen, Paul. (1986). Text on Architecture and The City: an Onthology Overviewing A Current Debate in Architecture. Khatolieke Univerditeit Leuven. Leuven Wiryomartono, A. Bagoes P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia. Gramedia. Jakarta Yeang, Ken.(1992). Tropical Urban Regionalism. Concept Media Pte. Ltd. Singapore Yunus, Hadi Sabari. (2005a). Klasifikasi Kota. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Yunus, Hadi Sabari. (2005b). Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Yunus, Hadi Sabari. (2006). Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Zeidler, Eberhard H. (1985). Multi - Use Architecture in the Urban Context. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

394

Sub Kategori

: Sains Sosial, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Kajian Kata Serapan Bahasa Inggris Studi Kasus di Korea Selatan Prihantoro Undip Semarang, Indonesia Hankuk University of Foreign Studies, Korea

Abstract: The aim of this paper is to make Indonesian government be more aware of language policy In Indonesia. As we understand, In Indonesia, the number of English loanwords is increasing rapidly, but seems to be uncontrollable. In fact, the vast usage of English loanwords takes place not only in Indonesia, but also in various countries, including South Korea. Since there are already some papers discussing English loanwords in Indonesian, the writer is focusing more on Korean to provide an insight of the existence of English loanwords in Korean language for Indonesian to understand the language situation in Korea and hopefully be able to compare them with the language situation in Indonesia. Data is obtained purposive sampling method from direct observation and phonetically transcribed by Korean electronic dictionary, which has IPA Standard. The writer will provide word-formation rules of English loanwords in Korea and their classification. Finally, the writer comes to the conclusion that the existence of loanwords in general has strong and weak points. One question that needs to discuss further is whether there is a relation between loanwords and social attitude change and losing of national identity. Is it loanwords that change attitude? Or attitude that create loanwords? Keywords: English Loanwords, Word Formation, Korean Language

1. LATAR BELAKANG Kehadiran media masa, telpon dan internet membuat kita dapat berkomunikasi dan memperoleh informasi secara nyaman. Tidak hanya di Indonesia, atau negara tempat kita berasa sekarang, kita juga dapat memperoleh informasi tentang apa yang terjadi di negara lain melalui media masa. Sangat mungkin sekarang untuk berkomunikasi dengan sanak saudara kita di Indonesia dari Perancis, Korea, Jerman atau negara lain. Tanpa kita sadari, seiring dengan derasnya arus informasi dan komunikasi tadi, batas batas bahasa sedikit demi sedikit mulai menjadi kabur. Inilah salah satu asal muasal timbulnya kata kata serapan. Padahal, ketika telpon belum diciptakan atau system transportasi belum sebaik sekarang, batas batas ini sangat sulit ditembus. Akibatnya, diversitas linguistik menjadi sangat tinggi. Berbanding terbalik dengan sekarang, dimana ada beberapa bahasa yang sudah punah, atau dalam kategori membahayakan sehingga perlu didokumentasikan. 395

“Yes, halo… Yo, what’s up, Nyak!...yah, alhamdulillah. don’t worry. Kita khan udah cincay. OK deh, ntar I kirimin. Yaa… supaya nggak BT. Tapi tolong bilangin daddy, nuwun sewu, a little bit late dikit lah. Gitu dulu, Nyak. Bye….” Cukup unik jika kita perhatikan transkrip pembicaraan telpon tadi. Bahasa yang digunakan oleh si pembicara umumnya adalah Bahasa Indonesia, tetapi bercampur dengan bahasa bahasa lain seperti bahasa jawa, logat betawi, sedikit bahasa Cina dan, banyak Bahasa Inggris. Hal seperti ini sudah jamak terjadi dan sering kita dengar baik dalam situasi formal atau informal. Dalam kajian lingustik, fenomena in disebut kata serapan. Jumlah kata serapan dalam Bahasa Indonesia sendiri sebenarnya cukup banyak, dan berasal dari berbagai macam bahasa: sansakerta, arab, china, belanda, sampai bahasa inggris. Maraknya penggunaan kata serapan dari bahasa inggris sendiri sudah mulai semenjak Indonesia merdeka dan membuka diri terhadap sistem perekonomian dan budaya barat. Namun ternyata, maraknya kata serapan dari bahasa inggris ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Korea Selatan, sesama negara Asia. Bagaimanakah bentuk kata serapan bahasa inggris yang digunakan dalam bahasa Korea? Inilah pertanyaan utama yang penulis coba jawab dalam paper kecil ini.

2. KATA SERAPAN Dalam istilah linguistik, kata serapan sering dikenal dengan istilah loanwords, atau borrowing yang maknanya adalah meminjam. Kata serapan ini adalah, kata kata berasal dari bahasa lain, yang telah diadopsi menjadi bahasa sasaran. Istilah ‘meminjam’ sebenarnya timbul, untuk merefleksikan proses mengambil bahasa tersebut dari bahasa sumber untuk digunakan sebagai bahasa sasaran(Haugen, 1950: 210). Tentu saja istilah meminjam ini tidak sama dengna istilah pinjam yang kita temukan pada kata ‘simpan pinjam’ karena tidak ada proses jelas, tentang akte peminjaman, atau kapan kata kata tersebut dikembalikan. Kata kata ini digunakan begitu saja oleh komunitas tertentu tanpa ada perjanjian dan terjadi begitu saja. Kata kata serapan adalah konsekuensi dari akulturasi (Weinreich, 1953) antara dua komunitas budaya yg berbeda bahasa. Interaksi yang terjadi menimbulkan kontak bahasa yang memungkinkan satu bahasa masuk ke bahasa lainya. Biasanya, si pengguna kata kata serapan juga mengetahui bahasa sumber dari kata kata serapan tersebut walau dengan level pemahaman yang cukup. Sejah ini, karena bahasa inggris merupakan bahasa yang paling banyak penuturnya, maka hampir di tiap tiap bahasa, ditemukan kata kata serapan bahasa inggris, termasuk juga Korea. 3. PEMBENTUKAN KATA SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA KOREA Bahasa Korea adalah bahasa yang resmi digunakan di Korea Selatan dan Utara. Meski demikian, ada kecenderungan kata serapan bahasa inggris dapat hidup lebih bebas di Korea Selatan daripada di Korea Utara. Hal ini disebabkan sistem politik korea utara yang cenderung lebih tertutup. Di Korea utara, bahasa asing yang diajarkan bukanlah bahasa inggris, namun sebagian besar adalah bahasa Rusia. Jadi perlu diinformasikan kembali bahwa konteks kata 396

serapan dalam bahasa inggris di paper ini adalah di Korea Selatan. Setelah bebas dari jajahan jepang dan membuka diri terhadap kebudayaan barat, Korea mulai menggunakan kata kata serapan bahasa inggris. Apalagi dengan kebijakan presiden Korea sekarang, Lee Myung Bak, yang mencanangkan penguasaan bahasa inggris dalam kebijakan politiknya. Sebelum memulai pembahasan tentang kata serapan bahasa inggris dalam bahasa korea, kan dijelaskan sedikit tentang aksara korea, yang memberikan ciri khusus pada kata serapan bahasa inggris dalam bahasa korea.

397

B.3 Singkatan dan Akronim Mirip seperti coining hanya saja dalam Singkatan dan Akronim, pembentukan kata kata baru dilakukan dengan mengambil huruf depan dari kata kata yang dipersingkat, misalnya Laser (lightwave amplification by stimulated emission of radiation), atau VIP. (very important person〕. Dalam bahasa Indonesia, kata kata tersebut hanya disesuaikan pelafalanya saja. Namun keberadaan aksara korea, menyebabkan timbulnya entitas unik. Sistem penulisan korea disebut cuga sistem penulisan yang silabis. Tidak seperti huruf yang disusun berurutan (1,2,3,4) seperti bahasa indonesia dan bahasa inggris, penulisan bahasa korea menggunakan sistem ruas seperti berikut. Misalnya kata ‘tak’ yang dalam bahasa indonesia berarti tidak dan 닭 yang juga dilafalkan sama, namun artinya adalah ayam

398

Dalam sistem penulisan bahasa korea, balok no 1 adalah konsonan (opsional), lalu balok kedua adalah vokal (wajib), dan balok ke tiga dan empat disediakan untuk konsonan. Formasi ini berbeda denagan bahasa Indonesia yang memungkinkan kita menyusun satu blok huruf dari kiri ke kanan, sehinggal kata Laser atau VIP dapat diserap secara utuh. Pelafalan dan penyesuaian sistem penulisan dilakukan sebagai berikut

B.5 Compounding Compounding, Wisniewsky (2007), adalah proses pembentukan kata dimana dilakukan penggabungan dua kata sekaligus. Dalam kasus kata serapan bahasa inggris, beberapa kata ada yang murni diambil dari bahasa inggris, namun ada juga yang merupakan kombinasi antara bahasa korea-inggris atau inggris-korea.

399

4. KLASIFIKASI KATA SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA KOREA Dari sampel diatas, paling tidak kata serapan bahasa inggris dalam bahasa korea adapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan bentuk dan makna. Yang pertama adalah berdasarkan bentuk, yaitu kata serapan yang bentuknya sederhana atau kombinasi. Pada bagian B.1 sampai B.4, kata serapan yang ada pada daftar dapat digolongkan sebagai kata serapan yang sifatnya sederhana atau tunggal. Namun pada bagian B.5, kata serapan yang ada bertipe gabungan atau compound

5. DUA SISI MATA UANG KATA SERAPAN Dari sisi pembelajaran bahasa kedua, kehadiran kata serapan ini jelas positif. Repetisi yang terjadi, memungkinkan proses resepsi input menjadi lebih cepat. Namun ancamanya juga ada, yaitu terjadinya fosilisasi dari bentuk serapan yang dipersepsikan benar tapi pada kenyataanya salah dalam bahasa asal. Setiap kata kata yang diserap dari bahasa asing mengalami proses filterisasi bentuk (fonetik, morfologis, sintaksi, ortologis) atau filterisasi makna. Masalah utama dalam bahasa korea, selain ortografis juga pelafalan. Ini dikarenakan beberapa fonem dalam bahasa inggris, tidak tersedia dalam bahasa korea. Misal kata ’pig’ dan ’big’. Dalam konteks kalimat, ’ i am big’’, penutur asli korea yang termasuk kategori pembelajar awal mungkin mengalami kesulitan, karena fonem /p/ dan /b/ direpresentasikan dengan huruf yang sama Ambil contoh dalam bahasa indonesia kata ’pos’ yang berasal dari bahasa inggris ’post’. Selain mengalami filterisasi ortologis, kata ini juga mengalami filterisasi fonetik. Dengan menhilangkan fonem ’t’. Kemudian, perubahan kelas kata juga terjadi. ’ to post’ yang merupakan kata kerja, tidak bisa diserap mentah mentah. Untuk menjadikanya kata kerja, 400

ditempelkanlah prefiks me- yang menandakan kata kerja aktif, dan sufiks –kan yang merupakan penanda kalimat transitif, sehingga kata tersebut menjadi. Kemudian, fonem /p/ menjadi luluh dan berganti menjadi / ŋ/. Sehingga produk akhir adalah ‘mengeposkan’. Dari sisi identitas bahasa, kehadiran bahasa kedua dimana mana merupakan ancaman terhadap bahasa pertama. Termasuk ancaman bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia. Namun perlu kita sadari, bahwa bahasa Indonesia sendiri tidak sepenuhnya merupakan bahasa pertama bagi para penuturnya. Bahasa Indonesia merupakan perkembangan dari bahasa melayu, yang digunakan sebagai bahasa pemersatu dari bebagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia . Sehingga sebenarnya, kehadiran bahasa lain (Jawa, Sunda, Padang, dll) turut menunjang perkembangan bahasa indonesia. Apalagi dengan derasnya arus informasi sekarang, sulit sekali mencegah masuknya kata kata serapan dari bahasa lain. Justru dibandingkan Korea yang merupakan negara monolingual (hanya bahasa Korea), indonesia yang memiliki berbagai macam bahasa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengelola kata kata serapan itu. Dengan kehadiran bahasa bahasa daerah, sangat mungkin diambil kata dari bahasa daerah tersebut, lalu dijadikan bahasa Indonesia. Misalnya saja kata ‘download’ dalam bahasa inggris, yang dulunya dipertahankan, apa adanya, sekarang mulai digantikan dengan kata ‘unduh’ yang berasal dari bahasa jawa. Dengan demikian identitas bahasa tetap dapat dipertahankan karena jawa juga adalah bagian dari Indonesia. Hal ini butuh dukungan dari semua pihak. Memang sudah ada balai bahasa dan Kamus Besar Bahasa Indoensia yang membuat standarisasi bahasa Indonesia,. Namun, mereka juga harus didukung oleh negara, media masa dan tokoh masyarakat yang sering di ekspos di media masa.

6. KATA SERAPAN DAN PERUBAHAN PRILAKU SOSIAL Apakah ada hubungan antara masuknya kata-kata serapan dan perubahan prilaku sosial? Misal, apakah tingkah laku yang kebarat-baratan beberapa pemuda dan pemudi indonesia sekarang merupakan efek dari masuknya kata-kata serapan? Berikut hipotesis penulis. Untuk menjawab pertanyaan tadi, ada baiknya kita lihat dulu, bagaimana kata serapan itu masuk. Sejatinya penggunaan kata kata serapan hanya untuk kata kata yang tidak ada padananya dalam bahasa asal. Misalnya, takwondo, olahraga beladiri korea, yang memang tidak ada padananya dalam bahasa indonesia. Atau ’duren’ yang tidak ada padananya dalam bahasa ’korea’. Selain tidak ada padananya, bisa juga padanan dalam bahasa Indonesia tidak 100 persen sama. Atau bahasa yang digunakan bersifat teknis. Maka dari itu dalm kasus penerjemahan bahasa bahasa ilmiah, istilah istilah teknis tidak diterjemahkan, karena jika diterjemahkan dapat mengalami pergeseran makna. Ini adalah penyebab yang pertama. Penyebab kedua adalah telah terciptanya satu persepsi sosial dari satu entitas tertentu. Misalnya, negara A lebih unggul daripada negara B. Maka ada usaha dari orang orang di negara B untuk mencitrakan diri seperti orang orang yang ada di negara A dengan menggunakan atribut atribut sosial yang melekat pada orang orang yang ada di negara A, baik atribut fisik maupun non fisik. Misal, orang dari negara A memiliki rambut kuning. Maka orang yang ada di negara B, ikut ikutan mengecat rambutnya menjadi kuning, cara berpakaian dan lain lain. Ini atribut fisiknya. Atribut non-fisik, misalnya kebudayaan. Disinilah prilaku sosial bisa berubah. Misal, tradisi pesta-pesta tertentu di Indonesia, yang asalnya bukan dari 401

Indonesia. Termasuk penggunaan kata-kata serapan tadi. Misalnya, karena orang orang di negara A terkenal pintar-pintar, berbudaya dan berteknologi tinggi, maka digunakanlah bahasa, termasuk kata-kata serapanya. Tujuanya adalah agar dirinya dapat tercitra sebagai sosok orang di negara tersebut. Jadi, sebenarnya, dalam kasus ini, penggunaan kata kata serapan adalah merupakan efek dari perubahan prilaku sosial.

REFERENSI

(http://world.kbs.co.kr/english/news/news_Cu_detail.htm?No=65608). http://www.etymonline.com/index.php? O'Grady, et al. 1996 – 755 (2001) Contemporary Linguistics: An Introduction, 4th ed Bedford/St. Martin's Press, Katamba, Francis (1993) Morphology: New York : St. Martin's Press, Bauer, Laurie (2002) Cambridge English Word Formation. [u.a.] Cambridge Univ. Pr. Haugen, Einar (1950): “The analysic of linguistic borrowing”. Language 26, 210-231 Weinreich, Uriel (1953): Languages in contact: findings and problems. The Hague: Mouton..

402

Sub Kategori

: Sains Sosial, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : GANYANG MALAYSIA: Sebuah Strategi Kebudayaan Khoirul ROSYADI Phd Candidate People Friendship University Moscow Rusia Miklokha Malkaya Dom 13 Moscow Rusia Tlp: +7 926 945 01 05 + 62 81 330 72 66 00 E-mail : [email protected] [email protected]

Abstract: The relationship of Indonesia-Malaysia revert to bad. Indonesian culture was claimed by Malaysia revert to happen. Emotional reaction of our nation more to violence. However, is that strategy correct? Actually, we need clever, rational and realistic strategy. These cultural strategy are we need for devour to Malaysia. Kata Kunci: Hubungan Indonesia-Malaysia, Strategi Kebudayaan, Mengganyang Malaysia

1. INDONESIA DAN MALAYSIA DI RUSIA: SEBUAH CITRA Moskow, 2009. Musim panas belum datang penuh. Namun, Moskow sudah terlihat terang; salju berpamitan, cuaca bersahabat, dan matahari terkadang datang menyapa. Singkatnya, Minggu awal di bulan Juni itu sungguh menyenangkan. Kami, tiga mahasiswa dari Indonesia, pergi ke toko buku Dom Knigi, Moskow. Dalam perjalanan, di stasiun Metro, kereta api bawa tanah, kami di sapa penumpang lain, orang Rusia, “ Dari Malaysia, ya,” katanya. “Bukan, kami dari Indonesia,” kataku spontan. Kami pun pergi sambil menggumam, “Malaysia dari mana.” Tidak lama kemudian, kami sampai di toko yang dituju. Di depan pintu kembali kami di sapa pengunjung toko buku yang berkebangsaan Rusia, “Kalian dari mana, Malaysia, ya,” tanyanya. “Bukan, kami dari Indonesia,” jawabku. Sepulang dari toko buku, dalam perjalanan di atas Metro, kami pun tak kuasa untuk tidak tergoda dengan pertanyaan apakah kami dari Malaysia? Karena pertanyaan apakah kami orang Malaysia juga terjadi pada kawan-kawan Indonesia lain ketika ditanya oleh orang Rusia. Pertanyaan bahwa kami dari Malaysia tiba-tiba menjadi tema yang menggoda untuk kami perbincangkan; mengapa orang-orang Rusia menganggap kami orang Malaysia? Mengapa mereka lebih tahu Malaysia dari pada Indonesia? Bukankah secara historis, justru Indonesia yang lebih memiliki kedekatan, tatkala Bung Karno masih berkuasa? 403

Seorang kawan mencoba menegaskan, apa yang menarik dari pertanyaan apakah kita orang Malaysia atau orang dari Indonesia? Barangkali, kawan saya benar bahwa pertanyaan itu tidak terlalu penting untuk dipikirkan. “Itu lumrah, pertanyaan hanya ingin tahu dari mana kita berasal, apalagi Malaysia dan Indonesia masih serumpun,” katanya. Tapi bagi saya, pertanyaan itu menarik untuk dicermati. Bagi saya itu bukanlah sekedar pertanyaan biasa, tapi ada kepentingan yang menggoda rasa penasaran saya mengapa Malaysia begitu dikenal di Rusia, dibandingkan Indonesia yang secara historis punya hubungan dekat dengan mereka (baca; Rusia). Dalam rasa penasaran yang dalam, seminggu kemudian saya dan seorang kawan jalan-jalan berkendara mobil mengelilingi kota Moskow. Kebetulan kawan saya ini cukup paham betul dengan jalan di Moskow, karena memang ia lahir di Moskow; bapaknya orang Medan dan ibunya orang Belarusia. Dalam perjalanan, kami melintas di depan Kremlin, di Lapangan Merah. Saat melintas, mata saya dibuat terkejut oleh sebuah spanduk iklan mobil. “Welcome to Proton, Malaysian Car,” demikian bunyi iklan tersebut. Iklan tersebut begitu kokoh dan mewah, gambaran sebuah karya dari negara Asia, Malaysia. Sepontan saya langsung berpikir, hebat banget Malaysia. Bagi saya bukan Protonnya yang hebat. Tapi bagaimana mereka memasang spanduk di pelataran Lapangan Merah, yang secara politik dan ekonomi memiliki makna yang sangat dalam; keberhasilan sebuah negara, modernitas, dan promosi akan sebuah negara. Saat itu juga kawan saya berbicara, “Hebat nggak Malaysia, Bung,” katanya. “Itu belum seberapa, di beberapa stasiun televisi Rusia, Malaysia juga beriklan tentang pariwisata mereka,” lanjut kawan saya. Informasi kawan saya itu seolah memberi jawaban atas penasaran saya, mengapa orang-orang Rusia generasi sekarang lebih tahu dan mengenal Malaysia dari pada Indonesia. Rupanya iklan mobil Proton dan Iklan Pariwisata Malaysia di beberapa stasiun televisi Rusia membuat masyarakat Rusia lebih ‘dekat’ dengan nama Malaysia dari pada Indonesia. Langkah iklan pariwisata Malaysia di beberapa stasiun televisi Rusia dan pemasangan iklan mobil Proton di simbol kekuasaan Rusia membuat masyarakat Rusia mulai merekam ingatan akan Malaysia. Disinilah kerja media telah membentuk hegemoni sebuah masyarakat terjadi (Idi Subandy Ibrahim; 1997). Dua iklan tadi membentuk citra akan sebuah negera Malaysia yang kuat, maju, modern sekaligus eksotis. Tentu, di mata rakyat Rusia. Dalam perjalanan di atas mobil itu, kami pun mendiskusikan dan mempertanyakan, mengapa pemerintah Indonesia tidak melakukan hal yang serupa; memasang iklan wisata di stasiun televisi Rusia – yang memang secara efektivitas memiliki dampak yang luar biasa -- untuk mempromosikan budaya dan menarik wisatawan datang ke Indonesia. Tentu, langkah tersebut membutuhkan biaya ekonomi tinggi. Namun, bila dibandingkan dengan efek yang lahir dari iklan, yakni adanya peningkatan kunjungan turis yang datang ke Indonesia dan pembentukan citra bangsa Indonesia di mata internasional (baca; Rusia), biaya 404

tinggi itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan promosi gaya tradisional; mendatangkan menteri pariwisata dan rombongan yang secara akomodasi membutuhkan biaya mahal. Pada tahun 2008, saat pariwisata Indonesia mengusung visi Visit Indonesia Year untuk memperkenalkan budaya Indonesia, Rusia pernah kedatangan menteri pariwiwsata kita. Tentu bapak menteri kita datang tidak sendiri, ada rombongan pejabat terkait yang lain dan sejumlah penari yang bila dijumlah kurang lebih 25 orang. Kalau dihitung dengan biaya pesawat perorang Rp. 20.000.000 saja, maka biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan mereka bisa mencapai setengah milyar rupiah. Belum nanti dihitung biaya sewa gedung, hotel, dan yang lainya. Tetapi efeknya, Indonesia dikenal hanya sebatas para tamu undangan. Dalam sebuah diskusi santai dengan salah satu pejabat KBRI untuk Rusia, metode promosi budaya seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia itu, pernah saya tanyakan. Tapi jawaban yang saya peroleh sungguh mengejutkan, “Sampeyan ini kaya tidak tahu pejabat kita saja. Kalau promosi hanya lewat iklan di tv saja kan mereka tidak bisa jalan-jalan,” jawab salah seorang pejabat KBRI tadi. Jawaban itu membuat saya akhirnya bisa memahamai bahwa di Indonesia, promosi kebudayaan tidak saja dimaknai sebagai kerja profesionalitas, tapi juga berarti jalan-jalan bersama keluarga. Saya pun kemudian memahaminya mengapa hampir masyarakat Rusia sekarang bila bertemu saya selalu menanyakan apakah saya orang Malaysia atau bukan. Selanjutnya, disamping metode promosi kebudayaan yang berbeda, Malasyia lebih dikenal di Rusia, karena jumlah mahasiswa Malaysia yang ada di Rusia jauh lebih banyak dibanding mahasiswa Indonesia. Dalam catatan buku saku mahasiswa Indonesia yang dikeluarkan KBRI untuk Rusia (2009), jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia sekarang masih berkisar diangka seratus, bahkan kurang. Itu pun mereka kuliah dengan biaya sendiri. Bandingkan dengan mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Rusia yang bisa menembus angka sampai ribuan. Rata-rata mereka kuliah dengan beasiswa pemerintah Malaysia yang sebulanya konon berkisar 800 sampai 1000 dolar AS (KBRI; 2009). Hebatnya, mereka hampir semuanya mengambil spesialisasi kedokteran, selain juga sastra Rusia. Bagi saya, fenomena mahasiswa Malaysia yang ada di Rusia tersebut, mengabarkan bahwa Malaysia, dengan segala kekuatan ekonominya, terus berbenah dengan melakukan infestasi di dunia pendidikan dan kesehatan. Sungguh sebuah infestasi yang tepat dan cerdas. Dan itu semakin membentuk citra Malasyia di mata Internasional (Rusia). Maka saya pun semakin paham, paham, dan paham mengapa setiap orang Rusia yang ketemu dengan saya menanyakan apakah saya dari Malaysia atau bukan. Jujur, saya sakit hati.

2. PENDET DAN RENDANG: HUBUNGAN MEMBARA INDONESIA-MALAYSIA Tiba-tiba, medio 2009 ini, hubungan Indonesia–Malaysia kembali membara. Gara-garanya, tari Pendet, yang merupakan tari klasik Bali, telah di klaim oleh Malaysia sebagai karya budaya mereka.

405

Kontan saja, pengklaiman tersebut menimbulkan amarah yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Karena klaim Malaysia terhadap budaya Indonesia ini bukanlah kali pertama. Jauh sebelumnya Malaysia juga mengklaim Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, pakaian batik, dan yang lainya adalah milik mereka. Peristiwa itu tentu saja membuat Menteri Pariwisata kita marah-marah. Sang menteri, yang kebetulan juga dari Bali, minta Malaysia untuk minta maaf. Bahkan presiden pun meminta kepada Malaysia untuk lebih bijak dan tidak menyinggung perasaan bangsa Indonesia dengan selalu mengklaim kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak hanya para pejabat negara Indonesia yang marah. Masyarakat di bawah pun ramai-ramai marah dan menghujat Malaysia sebagai maling. Demonstrasi pun semarak dimana-mana, mereka minta Indonesia mengganyang Malaysia, seperti dulu yang diserukan oleh Bung Karno, presiden pertama Indonesia. Maka sweping terhadap Malaysia pun dilakukan di beberapa kota. Bahkan salah satu universitas negeri ternama di semarang, Undip, tidak lagi menerima mahasiswa dari Malaysia (Jawa Pos, 11/9/2009). Tidak cukup dengan itu, pembakaran bendera dan atribut Malaysia oleh warga kita juga terjadi dimana-dimana. Bahkan di Jogjakarta, ada kasus rumah kontrakan mahasiswa Malaysia dilempari dengan telur busuk (Kompas, 12/9/2009) Sungguh sebuah reaksi patriotik, untuk tidak mengatakan, emosional. Tiba-tiba, kita merasa orang yang paling nasionalis dan tidak rela bangsa kita dicurangi dan oleh bangsa tetangga. Bahkan secara kuliner pun kita seolah tidak rela bahwa makanan kita, rendang, di klaim Malaysia. Tiba-tiba, secara kolektif kita merasa memiliki pusaka (heritage). Namun, mengapa kita ingat bahwa kita punya pusaka hanya ketika tetangga kita ‘’memamerkan’’ pusaka mereka yang mirip dengan punya kita? Mengapa bila tetangga kita diam-diam saja kita tidak pernah sadar bahwa sesungguhnyalah kita punya sangat banyak pusaka? Barangkali, justru itulah masalah kita. Kita marah karena rendang daging dinyatakan sebagai masakan khas dari Pahang. Namun, apakah kita pernah mencicipi rendang daging dari Pahang itu? Bagi saya, rendang daging dari Malaysia ini bila di Ranah Minang justru disebut kalio, yaitu rendang yang masih “setengah matang”. Kalio cukup dimasak dua jam. Kalau diteruskan memasak dua jam lagi – sehingga kuah santan kentalnya tereduksi menjadi endapan lezat – kita akan mendapati rendang yang gurih dan sangat tekstur maupun citarasanya dengan kalio (Bondan Winarno; 2009). Nah, loe. Cerita tentang kuliner tersebut, seharusnya membuat kita merenung, bahwa dalam dunia kuliner, kemiripan itu merupakan hal yang wajar. Bondan (2009), menuliskan di dalam dunia kuliner, kesamaan bukanlah ikhwal yang jarang terjadi. Jangankan antara negara yang bertetangga atau yang berdekatan. Antara Indonesia dan Belanda saja terdapat shared culinary heritage yang cukup signifikan. Rijsttafel misalnya, adalah tradisi Belanda dalam menyajikan masakan khas Indonesia. Harus kita akui bahwa rijsttafel adalah cara Belanda untuk mengagungkan kuliner nusantara. Buktinya, rijsttafel bukanlah terjemahan dari bahasa Jawa karena di Jawa sendiri cara menyajikan seperti rijsttafel ini dulunya tidak ada. Rijsttafel adalah shared culinary heritage Indonesia-Belanda.

406

Tapi penjelasan antropologi makanan (kuliner) tersebut, bagi bangsa Indonesia dianggap belum cukup. Gelora kebencian dan ganyang Malaysia sampai sekarang masih terasa. Seolah kita lupa, atau menutup mata, bahwa tetangga negara kita tersebut menjadi tujuan pertama bagi tenaga kerja indonesia. Hasrat mengganyang negara jiran kali ini jelas berbeda dari versi tahun 1960-an; ia tidak terlontar dari mulut pemimpin negara, tetapi dari kegeraman orang-orang yang sudah tidak tahan pada dua hal. Pertama, tidak tahan dengan perilaku tetangga sebelah. Kedua, tidak tahan menunggu apa yang dilakukan oleh pemerintah (A.S. Laksana; 2009). Namun, sepanas apapun, semestinya kita sebagai bangsa yang cerdas dan beradab, tentunya harus lebih dingin dan rasional dalam menyikapi persoalan hubungan Indonesia-Malaysia. Sesakit hati apapun kita, selayaknya kita tetap jangan terjebak oleh ketidarasionalan. Memalukan! Kalau dicermati, ganyang Malaysia yang dilontarkan oleh Bung Karno saat itu, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh imperialisme Inggris yang menduduki Malaysia saat itu. Bung Karno, yang memang terkenal anti imperalisme, tidak ingin Malaysia menjadi boneka bagi Inggris, yang saat itu habis di usir dari Indonesia. Tidak lama setelah itu, terbukti Inggris pun pergi meninggalkan Malaysia (Frans Magnis Suseno; 2009). Tentu sejarah ini semestinya membuat kita lebih arif dalam menyikapi hubungan kedua negara. Hubungan dua negera yang serumpun semestinya menjadi sebuah sinergi yang lebih menghasilkan sebuah karya yang lebih produktif baik ekonomi maupun sisi lainya. Bukan hubungan yang mengarah pada kontra produktif. Akan tetapi, hubungan kedua negara sudah terlanjur irasional, sulit, dan pelik. Hubungan bilateral Indonesia-Malaysia kini memang memasuki babak rumit. Sekarang ini mengelolah hubungan kedua negara memang sulit. Komunikasi politik yang kita lakukan sudah bagus. Namun, tetap perlu kajian sosiologis bersama tentang hubungan antar kedua negara ini (Teuku Faizasyah; 2009). Dan itu dibutuhkan sebuah jalan keluar yang rasional.

3. MELAWAN DENGAN CERDAS: JALAN KELUAR Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia, agar tidak terus menerus terjadi pengklaiman oleh Malaysia? Kita memamg harus mengganyang Malaysia. Tapi mengganyang dengan cerdas dan bermartabat. Bagi saya yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah bukan dengan membakar simbol negara tetangga, Malaysia. Atau mensweping warga negara Malaysia yang ada di Indonesia. Atau pula mengirim pasukan berani mati ke Malaysia. Namun, yang dibutuhkan Indonesia hari ini adalah berpikir cerdas dan rasional dalam mensikapi kekayaaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Artinya, kalau memang bahwa kita adalah bangsa dengan sejuta budaya, sudah saatnya kita tidak hanya bicara, melainkan bertindak konkrit dengan mendaftarkan kekayaan kebudayaan kita ke badan internasional, semacam PBB. Pada fase ini, sebenarnya kita kalah dengan Malaysia. Pada tahun 2005, Malaysia mencanangkan Undang-Undang tentang Warisan (Heritage Act). Ketika mereka memperingati 407

ulang tahun ke-50 kemerdekaan pada tahun 2007, mereka mencanangkan 50 Warisan Nasional Malasyia. Dalam senarai itu tercantum, antara lain: lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, naskah kemerdekaan, pakaian nasional, hikayat Hang Tuah, kitab undang-undang dan hukum pidana, bunga sepatu, beberapa gedung bersejarah, dan beberapa taman nasional (Bondan Winarno; 2009). Tidak hanya itu, pada seni tradisional Melayu, mak yong, Malaysia sudah mendaftarkan ke badan PBB. Dan mak yong yang berciri Malaysia itu, telah diterima badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) tahun 2005 lalu (Kompas, 16/9/2009). Sungguh, fakta yang seharusnya membuat kita malu, karena seni tradisional mak yong, merupakan seni tradisional yang lama dipentaskan saudara kita di tanah Riau. Langkah Malasyia untuk mendaftarkan warisan budaya ke wadah PBB, tidak hanya sampai di sebatas itu. Pada tahun 2009 ini, senarai Warisan Nasional Malaysia yang didaftarkan ke PBB sudah mencakup 172 items, antara lain: kuetiau goreng, barongsai tiang, dan berbagai tradisi budaya (cultural practices) yang lain (Bondan Winarno; 2009). Langkah maju dan cerdas yang dilakukan Malaysia tersebut seharusnya membuat kita semua sadar dan belajar, bahwa dalam dunia sekarang yang penuh rasionalitas dan legalitas, klaim sebuah budaya tidak hanya dilakukan dengan teriak-teriak dan marah, namun harus ditempuh dengan jalur legal dan promosi kebudayaan yang elegan dan realistis. Dalam konteks itu pula, maka, sudah saatnya promosi kebudayaan yang selama ini ditempuh oleh pemerintah kita dengan jalan konservatif; mendatangkan penari dan bapak menteri beserta rombongan ke dunia internasional kemudian mengundang segelintir undangan untuk menyaksikan kekhasan Indonesia di sebuah panggung, sudah saatnya dibarengi keberanian untuk promosi melalui media iklan; televisi atau yang lainnya di dunia internasional yang memiliki potensi ekonomi dan politis, yang memang secara efektivitas memiliki pengaruh yang luar biasa untuk membentuk citra sebuah bangsa dan negara. Selanjutnya, disamping pendekatan legalitas dan media iklan, jalan yang bisa ditawarkan adalah memberi kesempatan anak bangsa dengan memberi beasiswa untuk bisa menempuh pendidikan ke luar negeri. Seperti yang kita yakini bahwa pendidikan adalah ruang budaya yang paling strategis untuk melakukan promosi kebudayaan ke dunia internasional. Karena dengan pendidikan akan melahirkan pertahanan kebudayaan sekaligus infestasi jangka panjang sebuah bangsa. Karena dengan pendidikan akan lahir pemikiran-pemikiran cerdas yang akan mampu menjaga dan menemukan terobosan budaya ke depan. Barangkali strategi kebudayaan seperti itulah yang kita butuhkan untuk menjawab klaimklaim dari bangsa lain atas kekayaan budaya kita. Bukan strategi kebudayaan yang mengedepankan kekerasan; bakar bendera, sweping, lempar telur busuk, dan seterusnya. Strategi kebudayaan semacam itulah yang kita perlukan untuk menjawab problem hubungan Indonesia-Malaysia sekarang yang oleh juru bicara Departemen Luar Negeri kita, Teuku Faizasyah, mengalami persoalan mendasar, yakni adanya fakta hari ini bahwa kedua negara berada dalam sebuah generasi yang berbeda. Generasi baru (generasi sekarang) lebih melihat hubungan itu lebih rasional. Sedangkan generasi lama, para orang tua, lebih melihat sebuah 408

hubungan yang lebih menekankan pada kedua negara sebagai serumpun. (Kompas, 16/9/2009). Inilah strategi kebudayaan yang dibutuhkan untuk mengganyang Malaysia.

REFERENSI A.S. Laksana. (2009). Ganyang Mengganyang, Jawa Pos, Surabaya. Bondan Winarno (2009). Pameran Pusaka Bersama, Kompas, Jakarta. Frans Magnis Suseno (2009). Mengganyang Malaysia?, Kompas, Jakarta Idi Subandi Ibrahim, (1997), Hegemoni Budaya, Bentang, Jogjakarta KBRI Rusia,(2009), Buku Saku Mahasiswa Indonesia di Rusia,Moskow, Rusia. Teuku Faizasyah (2009), Hubungan RI-Malaysia Sulit, Kompas, Jakarta. Kompas, 16/9/2009). Jawa Pos, 11/9/2009).

409

Sub Kategori

: Sains Sosial, Hukum, dan Politik (2A)

Judul : Penyelesaian Konflik Warisan Budaya: Belajar dari Kasus Tari Pendet Mahmud SYALTOUT Centre de Droit International, Européen et Comparé - Université Paris 5 e-mail: [email protected]

Abstract: In fact, the cultural heritage conflict is a classic problem, but it raises in recent years, especially because of the competition between parties about how to be more attractive for the tourists. Several times, this conflict is abandoned without a clear resolution. This paper will answer how this conflict should be resolved in international law’s point of view. K ata K unci: Conflict; Cultural Heritage; Intellectual Property Rights; International Law.

1. PENDAHULUAN Secara etimologis, konflik berasal dari kata kerja bahasa Latin «confligere» yang berarti saling pukul, karena terbentuk dari gabungan kata «con» yang berarti bersama atau saling dan kata «fligere» yang berarti pukul.7 Sedangkan dalam tinjauan hukum internasional, konflik merupakan suatu situasi sosial dimana para aktor interdependence, mengikuti tujuan-tujuan yang berbeda, mempertahankan nilai-nilai yang kontradiktif, memiliki kepentingan yang divergen atau berlawanan, atau meraih secara simultan dan kompetitif satu tujuan yang sama.8 Dari sini, dapat dilihat bahwa penyebab konflik yang terutama adalah perbedaan (pelaku, tujuan, kepentingan atau ego). Ketidakmampuan memahami dengan baik «yang lain» atau «bukan kita» mengarahkan suatu pandangan bahwa sesuatu yang lain dan bukan kita itu adalah sesuatu yang asing, aneh atau tidak normal, seperti yang ditulis oleh Jacques DERRIDA, «l’étranger, c’est les autres» - orang asing, aneh atau tidak normal itu mereka (orang lain dan bukan kita), dalam Politiques de l’amitié. Dari pandangan keterasingan, keanehan atau ketidaknormalan inilah muncul suatu ketidaksepakatan atau konflik. Konflik atau hubungan infernal, sekali lagi terjadi karena yang lain dan bukan kita, seperti yang diungkapkan oleh Jean-Paul SARTRE dalam Naskah Teaternya Huis Clos, menyatakan bahwa «l’enfer c’est les autres» - neraka itu mereka (orang lain atau bukan kita). Dalam sejarah hubungan internasional, Perang Dunia (PD) I maupun II merupakan konflik atau hubungan infernal terbesar yang pernah dialami oleh umat manusia. Selama PD ini, dapat 7

John SIMPSON, Oxford English Dictionnary (Oxford: Oxford University Press, 2009).

8

Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian dan tipologi «Konflik» dalam hukum internasional, bisa dilihat di Jean-François GUILHAUDIS, Relations internationales contemporaines (Paris: LexisNexis, 2005), p. 549-700; Pierre-Marie DUPUY, Droit international public (Paris: Dalloz, 2000), p. 432 -452 ; Anthony AUST, Handbook of International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 251-262.

410

disaksikan bencana kelaparan, puluhan juta rakyat sipil tewas atau cacat, ratusan ribu tentara gugur, tak terhitungnya infrastruktur publik yang hancur dan ketidakstabilan ekonomi. PD merupakan sebuah trauma terbesar dalam sejarah manusia. Dari trauma PD ini pula, banyak pakar dan tokoh yang berpikir serta berusaha keras agar bencana kemanusiaan itu tidak terulang lagi di kemudian hari, salah satunya yang terkenal dalam hukum internasional adalah rumusan Piagam Atlantik9 yang dirundingkan dan ditandatangani di tahun 1941, sebelum PD II berakhir. Piagam ini pula yang menjadi dasar rujukan lahirnya kesepakatan-kesepakatan multilateral dan organisasi-organisasi internasional pasca perang, seperti Piagam PBB, Deklarasi HAM, PBB dan institusi Bretton Woods (IMF, World Bank dan GATT). Asia Tenggara, dari sudut pandang sejarah hubungan internasional, juga tak luput dari konflik atau hubungan infernal ini. Bahkan, Hugues TERTRAIS, dalam bukunya Asie du Sud-Est: enjeu régional ou enjeu mondial?, menuliskan bahwa resiko perang (konflik bersenjata) di Asia Tenggara merupakan suatu «problèmes classiques» - permasalahan klasik10, setidaknya dari sejarah perlawanan para petani Siam melawan invansi bangsa Birman di akhir abad XVIII, Perang Indochina, sengketa Selat Taiwan (Formosa), sengketa Kepulauan Spratleys di Laut China Selatan dan tentu saja Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia11. Lebih khusus mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia, Hugues TERTRAIS dalam buku yang sama menjelaskan bahwa konflik yang terjadi sebenarnya merupakan suatu sengketa atas satu masa lalu yang sama, warisan kerajaan-kerajaan quasi-mythiques Sriwijaya dan Majapahit, sejak mereka (Indonesia dan Malaysia) berbicara mengenai identitas nasional dan regional di awal pembentukan negara-bangsa.12 Jadi sengketa atas satu masa lalu yang sama, bukanlah sebuah fenomena yang baru saja terjadi sejak Malaysia melansir slogan «Malaysia, Trully Asia» dalam iklan pariwisatanya di tahun 2004, seperti yang diberitakan oleh beberapa media Indonesia.

9

Piagam Atlantik adalah sebuah deklarasi bersama yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada tanggal 14 Agustus 1941 di atas kapal perang Kerajaan Inggris HMS Prince of Wales di perairan Samudera Atlantik, tepatnya di wilayah Argentia, Newfoundland, Kanada. Dalam Piagam Atlantik terdapat 8 poin penting mengenai: tidak ada lagi wilayah yang dicari oleh Amerika Serikat atau Inggris; pengaturan sebuah wilayah harus sesuai dengan kehendak masyarakat bersangkutan; hak untuk menentukan nasib sendiri; pengurangan rintangan perdagangan; memajukan kerjasama ekonomi dunia dan peningkatan kesejahteraan sosial; kebebasan berkehendak dan bebas dari kekhawatiran; menciptakan kebebasan di laut lepas; dan pelucutan senjata di seluruh dunia pasca perang. Untuk mengetahui secara rinci mengenai jalannya perundingan dapat dibaca Douglas A. IRWIN, Petros C. MAVROIDIS et Alan O. SYKES, The Genesis of the GATT (New York: Cambridge University Press, 2008), p. 12-22. 10

Hugues TERTRAIS, Asie du Sud-Est : enjeu régional ou enjeu mondial? (Paris: Gallimard, 2002), p. 178-183.

11

Dari sudut pandang hubungan internasional, sebenarnya Konfrontasi tidak hanya melibatkan antara Indonesia dan Malaysia saja, namun juga melibatkan pihak-pihak lain, seperti Philippina, Singapura dan Kerajaan Inggris. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di Bernard GORDON, The Dimensions of Conflict in Southeast Asia (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966), p. 162-182. Bahkan Konfrontasi ini bukan hanya menjadi sebuah konflik regional, saat terjadi perdebatan dan pengusiran Delegasi Malaysia dalam persidangan GATT di Jenewa tanggal 29 Oktober 1963, untuk lebih jelasnya lihat Dokumen GATT nomor L/2076, tanggal 29 Oktober 1963 tentang keberatan Indonesia atas pembentukan Negara Federal Malaysia. Keberatan dari Indonesia ini pun mendapat tanggapan Kerajaan Inggris dan Malaysia melalui Dokumen GATT nomor L/2077 tanggal 30 Oktober 1963 tentang Komunisikasi Kerajaan Inggris dan Malaysia sehubungan dengan subjek pembentukan Negara Malaysia. 12

Lihat TERTRAIS, op. cit. p. 94-95.

411

Namun adalah benar sejak tahun 2004, pariwisata Malaysia terus mendapatkan peningkatan secara signifikan jumlah wisatawan dan jumlah pemasukan kas negara, seperti yang ditunjukkan oleh Grafik Tourists Arrival to Malaysia yang disusun oleh Malaysia Tourism Board di samping ini:13 Jika dilihat dari grafik di samping, antara tahun 2003 dan 2004, terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebesar 5,2 Juta orang dan pemasukan 8,4 Milyar Ringgit Malaysia. Kecenderungan grafik itu terus meningkat, bahkan jika dibandingkan dalam kurun waktu 5 tahun (2003-2008), Malaysia berhasi meningkatkan lebih dari dua kali lipat jumlah pemasukan kas negara dari jalur pariwisata dan jumlah wisatawan yang mengunjunginya. Beberapa pihak menduga bahwa kesuksesan pariwisata Malaysia selama 5 tahun terakhir ini tak terlepas dari slogan «Malaysia, Trully Asia», setidaknya seperti yang ditulis oleh Ellen NG untuk Associated Press, Kantor Berita Amerika Serikat, tanggal 2 Juni 2002, dengan judul 'Truly Asia': Malaysia melds modern, ancient and natural wonder.14 Atas nama «Malaysia, Trully Asia» ini pula Malaysia mencoba menampilkan beberapa budaya yang ada di Malaysia dalam iklan pariwisata. Namun, seperti yang diduga, penampilan beberapa budaya, seperti Angklung, Lagu Rasa Sayange, Wayang dan Reog dalam iklan Visit Malaysia Year tahun 2007, ternyata menuai protes dari pihak Indonesia, dari komentar pedas para politisi, beritaberita menyudutkan (dengan tuduhan Malaysia telah mencuri atau merebut kekayaan Indonesia15) sampai perang antar blogger di dunia maya16. Konflik warisan budaya tahun 2007 itu akhirnya selesai dengan sendirinya tanpa kesepakatan dan resolusi. Kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia) saling menurunkan tensi dan memahami suatu warisan kebudayaan bersama, Budaya Melayu. Namun, «bara dalam sekam» itu akhirnya muncul kembali ke permukaan di tahun 2009, saat Tari Pendet muncul dalam iklan pariwisata Malaysia di Discovery Channel. Saat ini, reaksi 13

Sumber: http://www.tourism.gov.my/

14

Bisa dilihat di http://www.usatoday.com/travel/destinations/2007-02-06-malaysia_x.htm

15

Bisa dilihat berita SCTV dengan judul Malaysia «Merebut» Kekayaan Indonesia di http://berita.liputan6.com/sosbud/200710/149842/Malaysia.Merebut.Kekaya an.Indonesia 16

Setidaknya dapat dicatat ada dua blog yang merujuk pada perang di dunia maya ini, yaitu http://ihateindon.blogspot.com dan http://malingsia.com.

412

yang terjadi pun tak tanggung-tanggung, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, yang sebelumnya cenderung diam, kini ikut bicara bahkan tampak emosional dengan menyatakan, «Belum menerima maaf Malaysia, jika mereka (Malaysia) tidak datang»17. Bahkan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pun tak urung melontarkan teguran agar Malaysia bisa menjaga sensitivitas rakyat Indonesia18. Reaksi dari pihak Indonesia ini tak terhenti hanya sebatas teguran dari Presiden RI terhadap Malaysia, tetapi juga berupa penolakan mahasiswa Malaysia ke salah satu Universitas Negeri di Indonesia19, penyapuan (sweeping) warga Malaysia di Indonesia20, sampai penggalangan massa dalam Aliansi Ganyang Malaysia21 serta suara-suara yang menyerukan Konfrontasi jilid II dan pemutusan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Malaysia. Bukan suatu yang tidak mungkin, jika konflik warisan budaya ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian, justru akan menjadi «le spectre de la stabilisation» - hantu terhadap stabilisasi nasional, regional maupun dunia, yang akan muncul kapan saja dalam intensitas lebih besar, seperti yang dikhawatirkan oleh Hugues TERTRAIS22. Oleh karena itu, sebuah tulisan yang membahas penyelesaian konflik warisan budaya dan lebih khusus lagi mengenai penyelesaian kasus Tari Pendet dari tinjauan hukum internasional23, menjadi sangat penting terutama untuk mencegah konflik ini tidak terulang lagi dan membesar di kemudian hari. Tulisan singkat ini, hadir untuk tujuan tersebut.

17

Dapat dibaca pernyataan Jero Wacik ini dalam berita di beberapa media, antara lain Kompas, tanggal 27 Agustus 2009, yang menampilkan judul, «Jero Wacik: Saya Belum Terima Maaf Malaysia». 18

Seperti yang diberitakan oleh beberapa media, antara lain Kompas, tanggal 26 Agustus 2009.

19

Tindakan penolakan mahasiswa Malaysia ini dapat dilihat dalam berita di ANTARA, tanggal 26 Agustus 2009, dengan judul «Undip Tolak Calon Mahasiswa asal Malaysia». Tindakan UNDIP ini pun mendapatkan balasan dari pihak Malaysia, dengan mengeluarkan nama Universitas di Indonesia yang menolak mahasiswa Malaysia tersebut dari daftar Universitas yang direkomendasikan, untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam berita di Vivanews, tanggal 4 September 2009, di http://nasional.vivanews.com/news/read/87834gantian_malaysia_keluarkan_undip_dari_daftar. 20

Mengenai sweeping, dapat dilihat dari berita yang ditampilkan di beberapa media, antara lain di SCTV tanggal 8 September 2009 dengan judul berita Puluhan Orang «Sweeping» Warga Malaysia, di http://berita.liputan6.com/politik/200909/243512/Puluhan.Orang.quotSweepingquot.Warga.Malaysia.Selengkapn ya%20simak%20video%20berita%20ini. Bahkan sweeping terjadi di beberapa jalan protokol di Ibukota. 21

Mengenai Aliansi Ganyang Malaysia ini dapat dilihat dari berita di berbagai media, salah satunya di SCTV tanggal 2 September 2009, dengan judul berita Aliansi Ganyang Malaysia Akan Mendemo Kantor Petronas, di http://berita.liputan6.com/ibukota/200909/242806/Aliansi.Ganyang.Malaysia.Akan.Mendemo.Kantor.Petronas 22

TERTRAIS. op. cit. p. 172-178.

23

Mengapa dari tinjauan hukum internasional ? Karena dalam konflik warisan budaya ini mengatur hubungan dua negara atau lebih yang tidak menganut sistem hukum nasional yang sama, maka dibutuhkanlah hukum internasional. Seperti yang ditulis oleh Anthony AUST dalam Handbook of International Law, bahwa The raison d’être of international law is that relations between states should be governed by common principles and rules – Alasan keberjadian dari hukum internasional adalah agar hubungan antar negara diatur oleh prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang sama. Lihat Anthony AUST, op. cit. p. 1-4.

413

2. PERMASALAHAN Dari Pendahuluan di atas, permasalahan-permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:  Bagaimana penyelesaian konflik warisan budaya dari tinjauan hukum internasional?  Bagaimana kasus Tari Pendet diselesaikan secara hukum internasional?  Agar konflik ini tidak terulang, bagaimana strategi pencegahannya?

2. METODE PENYELESAIAN Seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Pendahuluan di atas, bahwa konflik warisan budaya ini melibatkan dua negara, maka penyelesaiannya adalah melalui pendekatan hukum internasional dan bukannya hukum nasional suatu negara tertentu secara unilateral. Dalam hukum internasional, dikenal sebuah metode khusus untuk menyelesaikan konflik yang digunakan secara standar oleh PBB, yang dikenal dengan Fiche de conflictualité - Schème des Nations Unies. Menurut Hervé Cassan, Profesor Hukum Internasional di Université Paris 5 dan Duta Besar Perancis untuk PBB, metode ini meliputi analisis 3 aspek, yaitu :24  Identification de la crise (identifikasi krisis) meliputi identifikasi elemen-elemen internal dan internasional dari krisis atau konflik yang terjadi.  Actualité de la crise (aktualitas krisis) yang meliputi observasi terhadap manifestations immédiates - dampak yang bersifat segera dan manifestations à long terme – dampak yang bersifat jangka panjang.  Résolution de la crise (resolusi krisis) meliputi analisis terhadap solutions existantes – solusi yang (telah) ada baik dari tokoh ataupun intelektual, dari negara-negara yang terlibat dan dari institusi internasional (baik tingkatan regional maupun multilateral) dan proposition personnelles – tawaran solusi pribadi (penulis).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam tulisan ini, untuk point ke-2 dalam metode fiche de conflictualité – Schème des Nations Unies analisis mengenai actualité de la crise (aktualitas krisi) telah dibahas dalam Pendahuluan, seperti pemaparan beberapa reaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia) serta kemungkinan konflik ini menjadi le spectre de la stabilisation – hantu terhadap stabilisasi nasional, regional maupun dunia dalam jangka panjang. Oleh karena itu, dalam bagian Hasil dan Pembahasan ini, analisis hanya difokuskan pada point pertama dan ketiga (identifikasi krisis dan resolusi krisis). 1. Identifikasi Krisis Identifikasi krisis merupakan sebuah tahapan awal untuk mengetahui suatu penyelesaian dan pencegahan konflik. Seperti yang dituliskan dalam Metode Penyelesaian dalam bagian 3 tulisan ini, identifikasi krisis meliputi dua hal, yaitu identifikasi elemen-elemen internal dan internasional yang membentuk atau mendorong terjadinya krisis. 24

Hervé CASSAN, «Relations diplomatiques et culturelles internationales» (Paris: ORIDEF - Université Paris 5, 2004).

414

1. 1. Elemen-elemen Internal Dalam tulisan ini yang dimaksud sebagai internal adalah Indonesia, karena dalam konflik ini, yang merasakan dampak dari krisis atau menganggap penggunaan warisan budaya tertentu oleh negara tertentu (dalam hal ini, Malaysia) sebagai masalah adalah Indonesia. Sedangkan di pihak lain (Malaysia), penggunaan warisan budaya tertentu bukanlah merupakan suatu masalah. Secara singkat, elemen-elemen internal pembentuk krisis adalah sebagai berikut: 

4. 1. 1. A. Ketidakpahaman akan Nalar Budaya. Hal ini terlihat saat menempatkan budaya seperti suatu properti tertentu, yang bisa dimiliki, dikuasai dan juga direbut atau dicuri, terlihat dari penggunaan kata-kata « claim », « rebut », « curi » atau « maling », saat Malaysia menggunakan atau menampilkan beberapa kebudayaan tertentu, seperti angklung, reog, lagu rasa sayangé, dan sebagainya dalam iklan pariwisatanya. Sebenarnya ketidakpahaman ini terjadi saat mengaitkan antara budaya yang secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta budayyah – jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau intelektual dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). HAKI atau Intellectual Property Rights dalam bahasa Inggris, sama halnya seperti properti yang lain, memberikan hak kontrol dan monopoli kepeda pemegangnya maupun ahli warisnya. Hukum melindungi hak-hak ini dari pemakaian yang tidak berhak, tanpa izin atau pencurian. Menurut Ha-Joon CHANG dalam beberapa tulisannya25, HAKI pada awalnya merupakan sebuah « alat » dari negara-negara maju untuk menjaga privelege atau menciptakan suatu monopoli atas suatu pengetahuan atau teknologi tertentu, agar tidak mengalir ibarat air ke negara-negara yang kurang maju atau sedang berkembang. Bahkan dalam catatan sejarah, Belanda pernah menolak penerapan hukum paten hingga tahun 1912 dan Swis hingga 1907, dengan alasan hukum paten atau HAKI menciptakan suatu monopoli artifisial tertentu dan sangat bertentangan dengan semangat free trade – perdagangan bebas.26 Sedangkan budaya, yang dalam bahasa Perancis disebut la culture yang berasal dari bahasa Latin colere yang berarti “habiter” (menempati/meninggali), “cultiver” (menanam) atau “honorer” (memuliakan), merujuk secara umum pada aktivitas manusia untuk menumbuhkembangkan sesuatu. Di sini, budaya diibaratkan tanaman untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, budaya perlu kebebasan gerak dan ruang. Seperti yang ditulis oleh Fons TROMPENAARS, dalam bukunya L’entreprise multiculturelle, perusahaan multibudaya; pernah menulis bahwa “La culture, c’est la manière dont un groupe de personnes résout ses problèmes”, budaya adalah cara sekelompok manusia (masyarakat) menyelesaikan masalah-masalahnya. Karena sebab ini lah, budaya akan selalu melekat dan terbawa

25

Ha-Joon CHANG, Bad Samaritans: Rich Nations, Poor Policies and the Threat to the Developing World (Londres: Random House Business Books, 2007), p. 122-144 ; Ha-Joon CHANG, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (Londres: Anthem Press, 2002), p. 83-85 ; Ha-Joon CHANG et Ilene GRABEL, Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy (Londres et New York: Zed Books, 2004), p. 92-105. 26

Eric SCHIFF, Industrialisation without National Patents - the Netherlands, 1869-1912 and Switzerland, 18501907 (Princeton: Princeton Universty Press, 1971).

415

berdiaspora bersama sekelompok manusia (masyarakat) tersebut serta tak bisa dihalangi atau dibatasi oleh sekat-sekat batas negara.27 Definisi relatif komprehensif mengenai budaya atau kebudayaan dapat ditemukan pada Deklarasi Meksiko tentang Politik Kebudayaan pada konferensi internasional yang diselenggarakan oleh UNESCO di Mexico City, pada tanggal 26 Juli sampai 6 Agustus 1982. UNESCO, sebagai organ PBB yang menangani kebudayaan, mendefinisikan budaya atau kebudayaan sebagai kesatuan karakteristik distinktif, spiritual, material, intelektua dan afektif yang membedakan satu masyarakat atau satu kelompok sosial. Kebudayaan meliputi seni, sastra, gaya hidup, hak-hak dasar manusiawi, system nilai, tradisi dan kepercayaan.28 Selanjutnya mengenai pengertian warisan budaya, dapat ditemukan pada Konvensi UNESCO tahun 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Warisan Alam Dunia. Konvensi yang dilakukan pada tanggal 16 November 1972 saat General Conference UNESCO itu mendefinisikan warisan (budaya) yaitu sebagai berikut, “Warisan dari masa lampau, yang kita nikmati saat ini dan akan kita teruskan kepada generasi yang akan datang”.29 Penerapan HAKI atas (warisan) budaya akan merubah nalar budaya dari yang asalnya bebas menjadi harus melalui izin (from free culture to permission culture). Dengan nalar baru ini, suatu budaya hanya bisa dicipta dengan izin dari otoritas berwenang atau dari pencipta budaya sebelumnya. Budaya izin (permission culture) ini justru mengunci budaya dan menghambat kreativitas.30 Di samping itu, jika melihat kembali lebih mendalam pada Pasal 32 UUD 1945, maka dapat dijumpai bahwa para Pendiri Negara Indonesia (founding fathers) telah mengamanatkan kepada Pemerintah untuk “memajukan” kebudayaan nasional Indonesia. Pemilihan kata “memajukan” dan bukan kata-kata yang lain (semisal melindungi, memagari, atau memproteksi) dalam pasal tersebut menandakan kearifan dan kedalaman berpikir serta keluasan nalar pembuatnya. 4. 1. 1. B. Kesalahpahaman akan HAKI Dalam konflik warisan budaya ini, sering terjadi salah paham akan HAKI, khususnya penggunaan kata « paten » atas warisan budaya31. Namun apakah benar warisan budaya dapat dipatenkan?

27

Fons TROMPENAARS, L'entreprise multiculturelle (Paris: Maxima, 1993).

28

UNESCO. «Déclaration de Mexico sur les politiques culturelles.» Conférence mondiale sur les politiques culturelles. Mexico City: UNESCO, 1982. 29

UNESCO. Convention Concernant la Protection de l'Héritage Culturel et Naturel Mondial. Convention, UNESCO, Paris: UNESCO, 1972. 30

Lawrence LESSIG, Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity (New York: The Penguin Press, 2004). 31

Hal ini dapat dibaca dari berita-berita di media, baik cetak maupun televisi, antara lain seperti yang dimuat oleh ANTARA, Rakyat Merdeka, tanggal 3 September 2009 dengan judul berita Takut diklaim Malaysia, Pemda Patenkan Budaya Banjar. Karena itu pula, Andy Noorsaman Sommeng, Direktur Jendral Hak Kekayaan Intelektual, merasa bertanggung jawab untuk meluruskan hal ini dengan melakukan Konferensi Pers tanggal 1 September 2009, bahwa karya bangsa atau budaya tak bisa dipatenkan, seperti yang diberitakan di Metro TV di http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/09/01/89426/Dirjen-HaKI-Karya-BangsaTidak-Bisa-Dipatenkan

416

Jika berdasarkan Pasal 27 Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) - Annexe 1 C Agreement Establishing World Trade Organization (WTO), jo. Pasal 1 (1) Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, maka Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Suatu barang atau proses dapat dimintakan hak patennya, jika memenuhi tiga syarat berikut: baru (new), penemuan (inventive) dan berguna (useful) atau dapat diterapkan secara industri (industrially applicable). Maka dalam konteks ini, tampak jelas, bahwa warisan budaya tidak dapat dimintakan hak paten, karena setidaknya dua alasan. Pertama, karena warisan budaya merupakan warisan dari masa lampau, maka jelas bukanlah sesuatu yang baru (new). Kedua, karena warisan budaya merupakan sesuatu yang telah ada sejak masa lampau, dinikmati masa kini dan diteruskan pada masa dating, maka jelas bukanlah suatu penemuan (inventive). Suatu budaya tak pernah seutuhnya ditemukan dari sesuatu yang tidak ada (invention), tapi dia ditemukan, dipungut atau digali dari timbunan sejarah dan peradaban (discovery). 4. 1. 1. C. Kekurangsempurnaan Hukum HAKI di Indonesia Sebenarnya, jika merujuk pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, negara adalah pemegang Hak Cipta atas atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Di Ayat (3) Pasal tersebut sebenarnya diatur bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak warisan budaya Indonesia tersebut, pihak atau orang asing (bukan warga negara Indonesia) harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait. Namun sayangnya, Ayat tersebut tidak menjelaskan siapa saja yang dimaksud instansi yang terkait, bagaimana mekanisme mendapat izin dan apa sanksi bila pihak asing tidak mendapat izin namun telah mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut, di bagian Penjelasan I hanya tertulis « Cukup jelas ». Ayat (4) dari Pasal ini sebenarnya mengamanatkan agar ketentuan atau aturan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), namun sekali lagi sayangnya, setidaknya sampai tulisan ini dibuat PP yang dimaksud belum juga ada. Hal-hal ini, tentu memberikan satu celah hukum, agar aturan tersebut disimpangi. 4. 2. Elemen-elemen Internasional Elemen-elemen internasional dalam krisis konflik warisan budaya ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 4. 2. 1. A. Asia Tenggara sebagai Tempat Persilangan Budaya Dalam suatu analisis kasus hukum, unsur “locus delicti” adalah suatu elemen penting yang perlu dibahas, selain substansi hukum itu sendiri. Locus delicti dalam konflik warisan budaya, ini bearada di Asia Tenggara. Asia Tenggara merupakan suatu tempat di mana terjadi pertemuan dan persilangan budaya, agama, barang, jasa, manusia dan kepentingan. Di sini, dapat dijumpai hampir semua agama yang ada di dunia, dari Kristen, Katolik, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, sampai Konghucu. 417

Bahasa yang digunakan di wilayah ini pun sangat beragam, dari melayu, jawa, cina, thai, tagalog dan ratusan bahasa lokal tiap suku serta jangan pula lupakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi yang digunakan ASEAN. Beragam bentuk tulisan pun dapat dijumpai, dari tulisan birman di Myanmar, tulisan sansekerta India di daerah Mekong (Thailand, Laos, Kamboja), tulisan romawi di lain pihak (Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Philippina), tulisan idiogram cina di daerah diaspora cina tak lupa dihitung tulisan arab atau pégon di pesantrenpesantren serta tulisan hanacaraka jawa di nama-nama jalan di Yogyakarta. Maka bukanlah suatu hal yang berlebihan, jika Hugues TERTRAIS, Guru Besar Sejarah Hubungan Internasional Kontemporer, Université Paris 1 – Panthéon Sorbonne, dalam bukunya Asie du Sud-Est: enjeu régional ou enjeu mondial? – Asia Tenggara : pertarungan régional atau pertarungan global ?; menulis “l’Asie du Sud-Est apparaît comme un microcosme de l’Asie, voire du Monde” - Asia Tenggara merupakan mikrokosmos Asia bahkan dunia.32 Di tempat persilangan ini dapat ditemukan atau dipungut berbagai macam budaya, dari seni rupa, seni tari, seni musik, sastra, sampai seni bela diri. Di tempat ini, setiap orang, kelompok masyarakat dan atau bangsa dapat mempengaruhi yang lainnya, dan begitu sebaliknya, layaknya pertukaran barang dan jasa antar mereka. Kebudayaan pun berdiaspora dengan baik di wilayah ini mengikuti diaspora dan mobilitas manusia. 4. 2. 1. B. Persaingan tidak Sehat di Era Globalisasi dan Perdagangan Bebas Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya konflik warisan budaya merupakan dampak buruk persaingan tidak sehat dari era globalisasi perdagangan bebas. Karena pada masa ini, hampir segala sesuatu yang bernilai “marketable” akan selalu dijual dan diperdagangkan di pasar global. Jika mengacu pada sistem hukum WTO, maka perdagangan sebenarnya hanya meliputi dua hal, yaitu barang (diatur oleh GATT) dan jasa (diatur oleh GATS). Dalam konteks ini, Negara-Bangsa memanfaatkan budaya sebagai kemasan produk (image of product) barang dan jasa untuk meningkatkan daya tarik dan nilai jual. Bahkan tak jarang pula, dilakukan pseudo advertising atau iklan palsu di mana ditampilkan suatu budaya yang diperagakan oleh warga Negara lain di luar Negara yang mengiklankan, seperti yang terjadi dalam kasus Tari Pendet, di mana para penarinya adalah warga Negara Indonesia, dan lokasi pengambilan gambarnya juga di Indonesia (bukan Malaysia). 4. 2. 1. C. Ketiadaan Hukum Internasional yang Mengatur HAKI atas Warisan Budaya Sampai saat ini, Kesepakatan Hukum Internasional mengenai HAKI baru sebatas paten, hak cipta dan merk seperti yang diatur oleh Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) - Annexe 1 C Agreement Establishing World Trade Organization (WTO), sedangkan upaya perlindungan HAKI atas warisan budaya masih belum ada. Untuk sementara ini, baru ada sebuah Forum Genetic Resources Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF) di Jenewa – Swiss tahun 2009 ini, yang bertujuan mencapai kompromi perlindungan HKI berupa hak cipta atas pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional (folklor) yang berkembang di setiap Negara, setidaknya perlindungan hukum atas Hak Cipta ini bisa dicapai pada tahun 2011. Namun, Traktat yang akan dirumuskan ini beresiko ditolak oleh banyak negara dan banyak pihak, dengan alasan bahwa warisan budaya berupa pengetahuan 32

TERTRAIS, op. cit. p. 12-24. 418

dan ekspresi budaya tradisional merupakan karya komunal yang tidak dapat diinvidualisasikan dan memiliki Hak Cipta. Andy Noorsaman Sommeng, Diretur Jenderal HKI, melihat bahwa selama belum ada traktat internasional untuk perlindungan pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional, kesalahan seperti yang dilakukan Malaysia belum ada sanksi hukumnya.33 4.2.Resolusi Krisis Seperti yang dijelaskan dalam bagian 3 tulisan ini, bahwa analisis resolusi krisis meliputi 2 aspek, yaitu solusi-solusi yang telah ada dan tawaran solusi pribadi (penulis). 4.2.1. Beberapa Solusi yang Telah Ada Agus Sardjono, Guru Besar HKI Universitas Indonesia, menawarkan strategi pengenalan budaya dan kepemilikan basis data mengenai seni budaya tradisional untuk menyelesaikan konflik ini.34 Namun, jika dianalisis lebih lanjut tawaran ini, lebih berbentuk suatu tindakan pencegahan daripada suatu penyelesaian konflik. Selanjutnya, Achmad Zen Umar Purba, mengusulkan penyelesaian unilatéral dengan finalisasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pengetahuan Tradisional (PT) dan Pemanfaatan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT).35 Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, solusi ini tidak bisa menyelesaikan masalah, seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, karena yang terlibat dalam kasus ini adalah dua Negara yang tidak memiliki satu hukum nasional yang sama, maka sangat tidak tepat, jika penyelesaian masalahnya hanya mengikuti satu hukum nasional tertentu. Bahkan, solusi ini dapat menciptakan suatu benturan hukum, andaikan Malaysia membuat aturan serupa dengan isi yang jauh berbeda. Kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia yang diwakili oleh para Menteri Luar Negeri dari kedua belah pihak untuk menghindari isu klaim warisan budaya, seperti yang disampaikan dalam Konferensi Pers di Jakarta tanggal 17 September 2009. Bahkan dalam kegiatan tersebut, Hassan Wirajuda dan Anifah Aman, sebenarnya sama-sama memiliki kesepemahaman bahwa sebagai negara yang bertetangga dekat, Indonesia dan Malaysia banyak berbagi produk budaya dan seni yang sama akibat hubungan dekat masyarakatnya baik secara historis maupun geografis sejak bertahun-tahun yang lalu. Oleh sebab itu, masyarakat dua negara tidak perlu terlalu sensitif dalam hal sebaran budaya ini karena ada beberapa produk-produk sejenis yang sifatnya milik bersama atau universal. Namun, jika dilihat lebih cermat ternyata kesepakatan ini, menjadi berbeda dengan pernyataan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 26 Agustus 2009, agar Malaysia menjaga sensitivitas rakyat Indonesia. Kesepakatan ini harus diakui merupakan suatu cara efektif agar konflik warisan budaya dapat dicegah untuk tidak terulang, namun masih belum menjawab sepenuhnya mengenai penyelesaian konflik. 4.2.2. Tawaran Penyelesaian dan Pencegahan Konflik Warisan Penyelesaian Konflik Jika melihat Pasal 33 Piagam PBB dan Pasal 13 Treaty of amity and cooperation in Southeast Asia, 1976, maka Indonesia dan Malaysia diwajibkan menyelesaikan konflik dengan jalan

33

Lihat Kompas, 2 September 2009, Promosi Budaya Bisa Mencegah Klaim Asing.

34

Lihat Ibid.

35

Lihat Achmad Zen Umar Purba, “Tari Pendet dan Pengelolaan Aset”, Kompas, 1 September 2009.

419

damai, baik dengan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian sengketa secara hukum, penyelesaian melalui organisasi regional atau dengan cara damai yang lain. Penyelesaian konflik tanpa diskusi, seperti perang atau konfrontasi harus dihindari. Dalam kasus Tari Pendet, setelah diadakan pemeriksaan yang tepat sekaligus pembuktian awal keterlibatan Malaysia, selain melalui mekanisme diplomasi seperti negosiasi, penyelidikan, mediasi, dan konsiliasi, maka Indonesia juga dapat menyelesaikannya melalui jalur yuridis seperti di bawah ini. Pertama, berdasarkan Pasal 64 Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), Indonesia dapat menggugat Malaysia ke WTO dengan gugatan telah melanggar Pasal 14 TRIPs karena telah mempublikasikan video Tari Pendet tanpa izin para penari dan perusahaan rekaman (Bali Record). Kedua, berdasarkan aturan PBB dan ASEAN tersebut di atas, selain menggunakan institusi regional ASEAN untuk menyelesaikan konflik, khususnya melalui ASEAN Tourism Forum. Ketiga, Indonesia dapat mengadukan Malaysia ke UNWTO, Organisasi Pariwisata Dunia di bawah PBB, dengan dugaan telah melanggar Pasal 6 Global Code of Ethics for Tourism UNWTO, karena Malaysia telah melakukan iklan tidak jujur (pseudo advertising) dengan menampilkan rekaman Tari Pendet yang dilakukan oleh para penari Indonesia dengan lokasi syuting di Indonesia. Selanjutnya, konflik warisan budaya ini sebenarnya dapat dicegah dengan promosi budaya. Secara diplomasi, promosi budaya dapat dilakukan dengan beberapa strategi berikut ini selain melalui iklan di berbagai media. Pertama, pendaftaran budaya Indonesia menjadi Warisan Budaya Dunia ke UNESCO. Ini artinya Indonesia mengikhlaskan budayanya diwariskan kepada seluruh umat manusia. Indonesia dan para penggiat budaya mendapat keuntungan dengan bantuan dana dan teknis yang diberikan UNESCO untuk pelestarian budaya tersebut. Kedua, pembentukan Pusat Kebudayaan Indonesia di Luar Negeri. Dengan struktur organisasi dan program yang baik, promosi budaya akan lebih efektif dan berkelanjutan. Ketiga, pemberian beasiswa kepada mahasiswa asing untuk belajar budaya Indonesia, dengan harapan jika mereka kembali ke negara asalnya kelak bisa menjadi avant-garde dan Duta Budaya Indonesia untuk negaranya. Keempat, pengajaran budaya Indonesia di institusi pendidikan di Indonesia, agar budaya Indonesia dikenal sejak dini dan tidak menjadi tamu di negerinya sendiri. 5. KESIMPULAN Untuk bisa menyelesaikan dan mencegah konflik warisan budaya ini dengan baik, kita harus mengubah pendekatan Total War menjadi Total Diplomacy. Di mana dalam Total Diplomacy mensyaratkan dua hal yaitu smart diplomacy yang berupa sinkronisasi kebijakan dan strategi kebudayaan, intensifikasi promosi budaya lewat Centre Culturel dan kegiatan-kegiatan lain, 420

«mewakafkan» warisan budaya Indonesia menjadi warisan budaya dunia, serta penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur-jalur hukum internasional dan regional; dan multitrack diplomacy - yang mensyaratkan peran aktif semua elemen bangsa (dari diplomat, akademisi, LSM, pengusaha, media, agawaman, mahasiswa dan perhimpunan pelajar) dalam diplomasi dan penyelesaian sengketa. REFERENSI AUST, Anthony. Handbook of International Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. CASSAN, Hervé. «Relations diplomatiques et culturelles internationales.» Paris: ORIDEF Université Paris 5, 2004. CHANG, Ha-Joon. Bad Samaritans: Rich Nations, Poor Policies and the Threat to the Developing World. Londres: Random House Business Books, 2007. —. Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. Londres: Anthem Press, 2002. CHANG, Ha-Joon, et Ilene GRABEL. Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy. Londres et New York: Zed Books, 2004. DERRIDA, Jacques. Politiques de l'amitié suivi de L'oreille de Heidegger. Paris: Galilée, 1994. DUPUY, Pierre-Marie. Droit international public. Paris: Dalloz, 2000. GORDON, Bernard. The Dimensions of Conflict in Southeast Asia. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. GUILHAUDIS, Jean-François. Relations internationales contemporaines. Paris: LexisNexis, 2005. IRWIN, Douglas A., Petros C. MAVROIDIS, et Alan O. SYKES. The Genesis of the GATT. New York: Cambridge University Press, 2008. LESSIG, Lawrence. Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity. New York: The Penguin Press, 2004. SARTRE, Jean-Paul. Huis Clos. Paris: Gallimard, 1947. SCHIFF, Eric. Industrialisation without National Patents - the Netherlands, 1869-1912 and Switzerland, 1850-1907. Princeton: Princeton Universty Press, 1971. SHIVA, Vandana. Protect or Plunder? Understanding Intellectual Property Rights. Londres: Zed Books, 2001. SIMPSON, John. Oxford English Dictionnary. Oxford: Oxford University Press, 2009. SYALTOUT, Mahmud. «Penyelesaian Konflik Warisan Budaya.» Jurnal Nasional, 17 9 2009: http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=105866&det ail=Opini. TERTRAIS, Hugues. Asie du Sud-Est : enjeu régional ou enjeu mondial? Paris: Gallimard, 2002. TROMPENAARS, Fons. L'entreprise multiculturelle. Paris: Maxima, 1993. 421

422

SUB KATEGORI : ILMU EKONOMI (2D) PAPER YANG LOLOS PRESENTASI FINAL

No

Nama Penulis

Judul Paper

1. M Fadlillah FAUZULHAQ

Wakaf Tunai sebagai Bentuk Pengembangan Pasar Modal Sosial

2. Ottavia HUANG

Bersatu Kita Teguh (Bukit): Menggalang Relasi dan Membina Jiwa Kewirausahaan Sejak Dini

3. Miko KAMAL

Memikirkan Kembali Konsep Corporate Governance: Kajian Kritis atas Kode Corporate Governance Indonesia

4. Ibrahim Kholilul ROHMAN

Entry Threshold Ratio di Industri Telekomunikasi Indonesia dan Rekomendasi Pengembangan Teknologi Seluler Berbasis CDMA ke Depan

5. Victoria Lelu SABON

Peningkatan Perdagangan antara Indonesia & Rusia Bertolak dari Analisa Perdagangan Rusia Tahun 2002 – 2006

6. Albertus Pinondang SITANGGANG

Tuaian Banyak Namun Pekerja Sedikit (Diangkat dari Case Study Perdagangan Internasional Turkey)

7. Andrie Kisroh SUNYIGONO

”Gross National Happiness” sebagai Model Indikator Pengambilan Kebijakan Pembangunan yang Bermartabat, Humanis dan Berwawasan Lingkungan

423

Sub Kategori

: Sains Ekonomi (2D)

Judul : WAKAF TUNAI SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN PASAR MODAL SOSIAL M Fadlillah Fauzulhaq PhD student in Finance, Money and Credit Faculty of Economics and Law Tula State University Lenin Avenue, No 92, Tula, 300600 Russian Federation Telp: +7 9207655036 e-mail: [email protected] Abstract : Conceptually, the Islamic charitable organization known as the source of assets that provide benefit of all time. In Muslim countries, endowments have been arranged in such a way that has a significant role in order to create welfare for the society. While in Indonesia, the management and utilization of charitable assets (productive) is still far behind compared to countries other Muslims. Once any charitable studies in Indonesia is still focused on the legal aspects of jurisprudence and has not touched the waqf management areas. And should, endowments can be used as a source of funds and economic assets that can always be managed in a productive and provide results to the community, thereby waqf property was a source of public funding for the community. Kata kunci: wakaf, pembiayaan,dana umat

1. PENDAHULUAN Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan social, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan, institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas pemerintah. Berbagai bukti mudah kita temukan bahwa sumber-sumber wakaf tidak saja digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa (boarding), riset, jasajasa photo copy, pusat seni, usaha-usaha produktif dan lain-lain. Keberadaan wakaf juga terbukti telah banyak membantu bagi pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas publik di bidang kesehatan dan pendidikan. Penghasilan wakaf bukan hanya digunakan untuk mengembangkan obat-obatan dan menjaga kesehatan manusia, tetapi juga obata-obatan untuk hewan. Mahasiswa bisa mempelajari obat-obatan serta penggunaannya dengan mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari dana hasil pengelolaan asset wakaf. Bahkan pendidikan medis kini tidak hanya diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas seperti Al-Azhar Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil pengelolaan asset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang didirikan di Istambul (Turki) dananya berasal hasil pengelolaan asset wakaf. Di Spannyol, fasilitas rumah sakit yang melayani baik muslim meupun non muslim, juga berasal hasil 424

pengelolaan asset wakaf. Dan pada periode Abbasyiah, dana hasil pengelolaan asset wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan Pusat Seni dan telah sangat berperan bagi perkembangan arsitektur Islam terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit. Turki mempunyai sejarah terpanjang dalam pengelolaan wakaf, mencapai keberhasilannya di jaman Utsmaniyah dimana harta wakaf pada tahun 1925 diperkirakan mencapai ¾ dari luas tanah produktif. Pusat Administrasi Wakaf dibangun kembali setelah penggusurannya pada tahun 1924. Sekarang, Waqf Bank & Finance Corporation telah didirikan untuk memobilisasi sumber-sumber wakaf dan untuk membiayai berbagai macam proyek joint venture. Pada pertengahan abad ke-19, sekitar ½ dari luas tanah produktif di Aljazair disumbangkan sebagai wakaf. Demikian di Tunisia pada tahun 1883, Wakaf Tanah di sana mencapai jumlah 1/3, di Turki (1928) mencapai ¾, di Mesir (1935) mencapai 1/7, Iran (1930) mencapai 15%.

2. PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Wakaf secara etimologi berasal dari bahasa Arab ‫ ﺍﻟﻮﻗﻒ‬bentuk masdar dari ‫ﻭﻗﻔﺎ‬-‫ ﻳﻘﻒ‬-‫ ﻭﻗﻒ‬Kata alwaqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari ‫ ﺣﺒﺴﺎ–ﺣﺒﺲ – ﻳﺤﺒﺲ‬artinya menahan (Sayyid Sabiq, h. 515). Dalam bahasa Arab terdapat tiga kata-kata yang mempunyai makna sama yaitu ‫ﺍﻟﺘﺴﺒﻴﻞ‬-‫ﺍﻟﺘﺤﺒﻴﺲ‬-‫ ﺍﻟﻮﻗﻒ‬Semuanya berarti menahan (Muhammad al-Khatib, h, 26). Sedangkan secara terminologi wakaf yaitu: ‫ﺣﺒﺲ ﻣﺎﻝ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻻﻧﺘﻔﺎﻉ ﺑﻪ ﻣﻊ ﺑﻘﺎء ﻋﻴﻨﻪ ﺑﻘﻄﻊ ﺍﻟﺘﺼﺮﻑ ﻓﻰ ﺭﻗﺒﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺼﺮﻑ ﻣﺒﺎﺡ ﻣﻮﺟﻮﺩ‬

Artinya: “Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya, disalurkan kepada yang yang mubah (yang tidak terlarang) dan ada” (Asy-Syarbini, h. 376) Jadi pada dasarnya menurut hukum Islam yang terdapat dalam buku-buku klasik (para imam mazhab) dan Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa semua barang yang bermanfaat boleh diwakafkan, adapun sifat fisik barang bukanlah sesuatu yang prinsipil. Memang barang yang sifat fisiknya dapat bertahan lama, apalagi bisa “kekal” akan lebih baik agar pahalanya tetap “kekal” dan berlangsung secara terus menerus. 2.2 Landasan Syar’i 1. Al Qur’an al Karim Landasan hukum yang menganjurkan wakaf ialah firman Allah SWT. Surat Ali Imran ayat 92:

ْ‫ﻟَﻦْ ﺗَﻨَﺎﻟُﻮﺍ ﺍﻟﺒِﺮﱠ ﺣَﺘﱠﻰ ﺗُﻨْﻔِﻘُﻮْﺍ ﻣِﻤﱠﺎ ﺗُﺤِﺒﱡﻮْﻥَ ﻭَﻣَﺎ ﺗُﻨْﻔِﻘُﻮْﺍ ﻣِﻦ‬ ٌ‫ﺷَﻲْءٍ ﻓَﺈِﻥﱠ ﺍﷲَ ﺑِﻪِ ﻋَﻠِﻴْﻢ‬ Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Q.S., 3 :92) 425

Serta ayat yang menganjurkan untuk mensedekahkan harta yang paling dicintai (QS. Ali Imran (3): 92) dan (Q.S., 22: 77) 2. Al Hadits Di dalam hadits ada banyak hadits tentang wakaf. Menurut Djatnika terdapat 6 (enam) hadit yang menjelaskan wakaf yang tidak berulang. Di antaranya Sabda Rasulullah saw. :‫ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺻﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬ (‫ ﺃَﻭْ ﻭَﻟَﺪٌ ﺻَﺎﻟِﺢٌ ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻪُ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬.ِ‫ ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻢٌ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪ‬.ٌ‫ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﺑْﻦُ ﺃَﺩَﻡَ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻻﱠﻣِﻦْ ﺛَﻼَﺛَﺔٍ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔ‬ Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila manusia wafat terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah (wakaf), atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim). 2.3 Tentang Wakaf Tunai Akhir-akhir ini terdengar di Indonesia sebuah istilah baru yaitu Cash Waqf, ada yang menerjemahkan dengan wakaf tunai. Sebenarnya inti persoalan dalam Cash Waqf terletak pada obyek wakafnya, yaitu uang, oleh sebab itu terjemahan yang tepat adalah wakaf uang. Dalam usaha memberikan ruang gerak kegiatan perwakafan dalam era globalisasi maka Bank Indonesia memberikan definisi wakaf tunai sebagai penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi atau menghilangkan jumlah pokoknya (Bank Indonesia, Biro Perbakan Syari’ah). Wahbah Zuhaili juga menyebutkan bahwa mazhab Hanafi memperbolehkannya sebagai pengecualian karena sudah banyak dilakukan di masyarakat. Sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi: ‫ﻣﺎ ﺭﺍﻩ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﺣﺴﻦ‬

“Apa yang dipandang oleh kum Muslimin itu baik, dipandang Allh SWT juga baik” Menurut mazhab Hanafi bahwa uang yang diwakafkan dapat dijadikan modal usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil itu diberikan untuk kepentingan umum (Wahbah Zuhaili, h. 7610). Meski beberapa ulama tidak menyetujui wakaf tunai dengan uang, seperti Ali Abidin (Anwar Ibrahim, 2002), Didin Hafidhuddin berpendapat bahwa wakaf tersebut tetap terjaga dan terpelihara, misalnya disimpan di Lembaga Keuangan Syariah yang amanah dan profesional (Didin Hafiduddin, h. 125). Banyak sasaran yang dapat dicapai dengan wakaf tunai, seperti dikemukakan A.A Mannan (2001) yang telah berhasil mengembangkan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh. Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf. Membantu mobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang telah meninggal, anak-anak, dan bentuk jaminan sosial lainya serta mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya dengan orang miskin. 426

Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal. Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya. Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat. Membantu pengembangan Social Capital Market. Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum, dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang ekonomi termasuk bidang keagamaan, pendidikan dan pelayanan sosial. Bank-bank syari’ah dapat menghimpum dana dari anggota masyarakat yang berpenghasilan tinggi yang akan memberikan wakaf tunainya dengan menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT). Selanjutnya pendapat dana yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai tersebut dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda di antaranya untuk pemeliharaan harta-harta wakaf itu sendiri serta pengeluaran-pengeluaran investasi ekonomi lainnya. Penerbitan SWT akan membuka peluang penggalangan dana yang cukup besar karena: 1. Lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (pewakit) bisa menjadi sangat luas dibandingkan dengan wakaf biasa. 2. SWT dapa dibuat dalam berbagai pecahan, yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju, yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp. 10.000, Rp. 25.000, Rp. 50.000, dan Rp. 100.000. Muslim kelas menengah sebenarnya memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal. Namun karena sarana beramal yang sesuai dengan penghasilan mereka yang sangat terbatas, maka akhirnya mereka hanya beramal pada sektor-sektor tradisional, seperti masjid, pembangunan mushollah Menurut Abu As-Suud Muhammad, Imam Az-Zuhri ( w. 124 H) berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham, caranya yaitu menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf (Abu As-Suud Muhammad, h. 20-21). Mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai karena sudah banyak dilakukan masyarakat untuk modal usaha (Wahbah Zuhaily, h. 7610). Wakaf Tunai bermanfaat dari berbagai sisi, yaitu: a. Bagi Wakif: tidak lagi memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelikan tanah atau bangunan guna diwakafkan b. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Umer Chapra, 2001, h. 331) c. Meningkatkan pemerataan ekonomi 2.4 Model Pembiayaan untuk Proyek Wakaf Tunai Tujuan membiayai proyek wakaf adalah untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sumber daya insani. Menurut Mozer Kahf sebagaimana yang diungkapkan oleh Karnaen A. Pewawataatmaja, gagasan menyisihkan sebagian pendapatan wakaf untuk merekontruksikan harta wakaf atau untuk meningkatkan modal harta tetap wakaf tidak dibahas dalam kitab fikih klasik. Oleh karena itu, 427

Kahf (March 2-3, 1998) membedakan pembiayaan proyek wakaf ke dalam model pembiayaan harta wakaf tunsi secara tradisional dan model pembiayaan baru harta wakaf produktif secara institusional. 2.4.1 Model-model Pembiayaan Proyek Wakaf Dalam model pembiayaan harta wakaf tradisional, buku fikih klasik mendiskusikan lima model pembiayaan rekontruksi harta wakaf, yaitu : Pinjaman, Hukr (kontrak sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang cukup besar di muka), Al-Ijaratain (sewa dengan dua pembayaran), menambah harta wakaf baru dan penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas produksi. Sedang empat model yang lain banyak kepada membiayai operasional dan mengembalikan produktifitas semua harta wakaf yaitu: a. Pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf yang lama.Contoh pertama dari pembiayaan dengan menciptakan harta wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf yang lama adalah wakaf air minum yang dilakukan oleh Usman bin Affan kepada Rasulullah saw. Dimotivasi oleh Rasulullah saw, Usman mampu membeli sumber air Ruma yang semula hanya diberikan sebagian, tetapi kemudian pemiliknya setuju menjual lagi sebagian yang lain. Contoh lainnya adalah perluasan masjid Nabawi di Madinah yang diperluas selama periode pemerintahan Khalifah Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani abbasiyah. Setiap perluasan memiliki penambahan harta wakaf yang lama. Contoh lain dari penambahan harta wakaf terlihat pada penyediaan fasilitas baru berupa air, listrik dan system pendingin atau pemanas. b. Pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan operasional harta wakaf Pinjaman untuk membiayai operasional dan biaya pemeliharaan untuk mengembalikan fungsi semula wakaf sudah biasa dilakukan. Syarat yang biasanya harus dipenuhi sebelumnya untuk dapat melakukan pinjaman adalah mendapat ijin dari Hakim Pengawas. Kita jumpai dalam buku fikih misalnya pembahsan tentang pinjaman untuk membeli benih dan pupuk serta upah pekerja yang diperlukan. Juga tentang pinjaman yang dilakukan untuk merekontruksikan atau membangun kembali harta wakaf yang telah rusak atau terbakar. c. Penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf Model substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf yang satu dengan yang lain, paling tidak memberikan pelayanan atau pendapatan yang sama tanpa perubahan peruntukan yang ditetapkan pemberi harta wakaf (wakif). Oleh karena itu secara prinsip substitusi tidak menimbulkan peningkatan harta wakaf dalam kondisi pasar normal. Konsekuensinya, substitusi bukanlah model pembiayaan. Namun karena karakter yang unik dari harta wakaf, dimana khususnya tidak dapat dijual maka kadang-kadang substitusi berakhir dengan peningkatan pelayanan yang disediakan. Contoh klasik dari hal ini adalah pertukaran bangunan sekolah di wilayah yang jarang penduduk dengan bangunan sekolah yang padat penduduk. Lebih lanjut apabila sebagian substitusi telah ditentukan sebagai suatu cara pembiayaan terutama bagi tanah di perkotaan yang harganya untuk sebagian harta wakaf saja telah 428

mencukupi untuk mendirikan sebuah gedung di atas sebagian tanah yang lain, maka substitusi ini dapat meningkatkan pendapatan. Model substitusi secara mudah dapat menyediakan dana likuid yang diperlukan untuk kegiatan operasional harta wakaf. Pada kasus tertentu, substitusi juga dapat meningkatkan pelayanan dari harta wakaf, khususnya apabila penggunaan harta wakaf yang baru terjadi karena adanya perubahan teknologi dan atau demografi. d. Model pembiayaan Hukr (sewa berjangka panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar) Model pembiayaan ini diciptakan oleh fukoha (ahli fikih) untuk mensiasati larangan menjual harta wakaf. Dari pada menjual harta wakaf, Nadzir (pengelola) dapat menjual hak untuk jangka waktu sewa dengan suatu nilai nominal secara periodic. Hak dijual untuk suatu jumlah lump sum yang besar dibayar di muka. Pembeli dari hak sewa berjangka panjang dapat membangun tanah wakaf dengan menggunakan sumbernya sendiri atas resiko sendiri sepanjang ia membayar sewa secara periodik kepada pengelola. Istilah Hukr berarti monopoli secara eksklusif. Hak eksklusif ini mungkin untuk suatu periode yang lama yang biasanya melebihi ukuran hidup normal alami manusia atau mungkin juga bersifat tetap. Ini merupakan salah satu contoh dari hak keuangan yang dapat dipasarkan, misalnya: dijual lagi, diwariskan, dihadiahkan dan lain-lain. Model pembiayaan Hukr bisa mungkin salah apabila harga eksklusif dipergunakan untuk biaya operasional karena Hukr mengurangi pendapatan wakaf di waktu yang akan datang. Namun demikian apabila harga lump sum eksklusif dipergunakan untuk membeli harta produktif baru sebagau suatu wakaf, maka liran pendapatan akan tetap seperti semula atau bahkan meningkat. Dengan kata lain, modelnya sendiri netral sedang aplikasinya dapat memberikan akibat negatif dari sudut pandang tujuan wakaf. Jika model Hukr dipergunakan dalam kondisi pasar normal dan jika harga eksklusif dipergunakan sedemikian rupa sehingga mempertahankan semangat keabadian harta wakaf, maka model ini harus dianggap netral dan dapat dipergunakan untuk menjamin perolehan likuiditas yang diperlukan untuk membangun suatu harta wakaf. Karena itu kriteria untuk dapat diterimanya model ini tidak tergantung pada jumlah sewa periodiknya, berapapun kecilnya tetapi pada keadilan dalam praktek dan pemanfaatan akhir dari lum sum yang dihasilkan dengan menjual hak eksklusif. e. Model pembiayaan Ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran) Model ijaratain menghasilkan sewa jangka panjang yang terdiri dari dua bagian, yaitu : bagian pertama, berupa uang muka lump sum yang besar untuk merekontruksikan harta wakaf yang bersangkutan, dan bagian kedua, berupa sewa tahunan secara periodik selama masa sewa. Model ini hampir serupa dengan Hukr, bedanya pada ijaratain uang muka hanya boleh dipergunakan untuk merekontruksi harta wakaf yang bersangkutan. Pada ijaratain jelas bahwa harta wakaf dikontrakkan setelah direkontruksikan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam kontrak. 2.4.2 Model-model Pembiayaan Baru untuk Proyek Wakaf Produktif secara Institusional Ada empat model pembiayaan yang membolehkan pengelola wakaf (produktif) memegang 429

hak eksklusif terhadap pengelolaan, seperti Murabahah, Istisnaa, Ijarah dan Mudharabah. Sebagai tambahan ada juga yang disebut berbagi kepemilikan atau Syari’atul al-Milk, dimana ada beberapa kontraktor yang berbagi manajemen, atau menugaskan manajemen proyek pada pihak penyedia pembiayaan, disebut model berbagi hasil (output sharing) dan model Hukr atau sewa berjangka panjang. a. Model Pembiayaan Murabahah Penerapan pembiayaan murabahah pada harta proyek mengharuskan Pengelola Harta Wakaf (Nadzir) mengambil fungsi sebagai pengusaha (enterprenueur) yang mengendalikan proses investasi yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui surat kontrak Murabahah, sedangkan pembiayaannya datang dari satu bank Islami. Pengelola harta wakaf menjadi penghutang (debitor) kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan dan material yang dibeli ditambah mark up pembiayaannya. Hutang ini akan dibayar dari pendapatan hasil pengembangan harta wakaf. b. Model Istisnaa Model Istisnaa memungkinkan pengelola harta wakaf untuk memesan pengembangan harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu kontrak Istisnaa. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga pembiayaan itu. Menurut Resolusi Islamic Fiqh Akademi dari OKI, Istisnaa adalah sesuai dengan kontrak Syari’ah dimana pembayaran dapat dilakukan secara ditangguhkan atas dasar kesepakatan bersama. Model pembiayaan Istisnaa juga menimbulkan hutang bagi pengelola harta wakaf dan dapat diselesaikan dari hasil pengembangan harta wakaf dan penyedia pembiayaan tidak mempunyai hak untuk turut campur dalam pengelolaan harta wakaf. c. Model Ijarah Model pembiayaan ini merupakan penerapan Ijarah dimana pengelola harta wakaf tetap memegang kendali penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya, pengelola harta wakaf memberikan ijin yang berlaku untuk beberapa tahun saja kepada penyedia dana untuk mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut untuk jangka waktu yang sama dimana pada periode tersebut dimiliki oleh penyedia dana (financer), dan digunakan untuk tujuan wakaf, apakah sebuah rumah sakit, atau sebuah sekolah, atau ruang sewa kantor, atau apartemen. Pengelola harta wakaf menjalankan manajemen dan membayar sewa secara periodic kepada penyedia dana. Jumlah sewa telah ditetapkan sehingga menutup modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki penyedia dana. Pada akhir periode yang diijinkan, penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang dikehendaki dan setelah itu penyedia dana tidak dapat memasuki lagi harta wakaf. Jenis Ijarah ini jelas, yaitu kasus khusus Ijarah yang berakhir dengan penyewa memikili bangunan dengan kebaikan menjadi pemilik tanah yang dibangun. Ijin yang diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia proyek, misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek, pengelola harta wakaf menggunakan sebagian pendapatan jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa kepada penyedia sewa.

430

d. Mudharaba oleh Pengelola Harta Wakaf dengan Penyedia Dana Model Mudharabah dapat digunakan oleh pengelola harta wakaf dengan asumsi peranannya sebagai pengusaha (mudharib) dan menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan untuk mendirikan bangunan di tanah wakaf atau untuk mem-bor sebuah sumur minyak jika tanah wakaf itu nmenghasilkan minyak. Manajemen akan tetap berada d tangan pengelola harta wakaf secara eksklusif dan tingkat bagi hasil ditetapkan sedemikian rupa sehingga menutup biaya usaha untuk manajemen sebagaimana juga penggunaan tanahnya. IDB telah mengembangkan model ini dalam bentuk penyertaan modal (musyarakah) yang semakin berkurang (declining participation) dari dana wakafnya. Contoh declining participation project IDB adalah pembangunan At-Ta’awoon Commercial Center Project di United Emirates Arab (UEA) sebesar US 18,34 juta dolar dan gedung bertingkat tinggi untuk komersial di atas tanah wakaf di Kuwait yaitu Awqaf Commercial Building senilai 12,35 juta dolar dengan system bagi hasil. 2.4.3 Model Pembiayaan Berbagai Kepemilikan Model pembiayaan kepemilikan dapat dipergunakan apabila dua pihak secara individual dan bebas memiliki dua benda yang berkaitan satu sama lain, seperti, misalnya masing-masing memiliki separoh dari sebidang tanah pertanian tanpa mempunyai perjanjian kemitraan secara formal. Berbagi kepemilikan bukanlah suatu model kemitraan karena di dalam kemitraan kedua pihak secara umum memiliki harta di dalam kemitraan sesuai dengan bagian mereka dalam modal pokok. Sedang pada berbagi kepemilikan kita berhadapan dengan kekayaan yang berbeda masing-masing dimiliki secara utuh dan individual oleh suatu pihak yang bebas, dan hubungan mereka ditentukan dalam fikih oleh apa yang disebut Syarikat Al-Milk yang sangat berbeda dengan Syarikat Al-Aqd yang diterapkan pada kemitraan. Operasionalisasi formal dari berbagi kepemilikan adalah sebagai berikut: Pengelola harta wakaf mengijinkan lembaga pembiayaan untuk mendirikan sebuah gedung (atau menggali sebuah sumur minyak dan memasang alat penyuling). Masing-masing pihak memiliki secara bebas dan terpisah kekayaan dan mereka setuju untuk membagi hasil yang diperoleh di atara mereka. Fiqh dari Syarikat Al-Milk menyatakan bahwa masing-masing pihak bertanggung jawab untuk mengelola kekayaannya sendiri. Oleh karena itu di dalam model pembiayaan ini pengelola harta wakaf dan lembaga pembiayaan dapat bersepakat berbagi manajemen atau menugaskannya kepada pihak lain. Jelas di dalam menentukan rasio pembagian hasil (output), pihak yang mengelola diberikan tambahan prosentase sebagai kompensasi dari usahanya. Pada model pembiayaan ini, kompensasi manajemen dapat ditetapkan dalam jumlah uang tertentu atau suatu proporsi hasil (output), dan pemilik juga sepakat atas pembagian pendapatan kotor atau bersih di antara mereka secara proporsional dengan kepemilikan mereka. Lebih lanjut, karena lembaga pembiayaan kerap kali menghendaki keluar dari kepemilikannya pada saat tertentu di masa depan, para pihak dapat menyetujui penjualan kekeyaan penyedia dana pada wakaf dan menggunakan sebagian dari hasil bagian wakaf sebagai pembayaran untuk harganya.

431

2.4.4 Model Bagi Hasil (Output) Model bagi hasil adalah suatu kontrak dimana satu pihak menyediakan harta tetap seperti tanah untuk yang lain dan berbagi hasil (output) kotor diantara keduanya atas dasar rasio yang disepakati. Model pembiayaan ini didasarkan atas Muzara’ah dimana pemilik tanah menyediakan tanah (dan mungkin juga mesin) kepada petani. Dalam bagi hasil, tanah dana manajemen tidak dapat disediakan oleh pihak yang sama. Dalam model pembiayaan bagi hasil, wakaf menyediakan tanah dan harta tetap lainnya yang dimiliki wakaf, sedang lembaga pembiayaan menyediakan biaya operasional dan manajemen. Lembaga pembiayaan dapat juga menyediakan sebagian atau seluruh mesin sepanjang tanah disediakan oleh pihak non-manajeman sesuai dengan persyaratan Muzara’ah. Model ini dengan demikian cocok untuk lembaga pembiayaan yang menghendaki mengambil tanggung jawab manajemen, sedang pengelola harta wakaf mengambil posisi sebagai mitra tidur. Ini menjadi salah satu dari model dimana manajemen secara eksklusif akan berada di tangan lembaga pembiayaan. IDB telah mengembangkan model ini dalam bentuk bagi hasil (profit sharing) dari dana wakafnya. Contoh profit sharing project IDB adalah pembangunan Waqf Commercial Complex di Somalia sebesar US 4,35 juta dolar, dan pembangunan Waqf of King Abdul Aziz Mosque di Jeddah, Saudi Arabia sebesar US 15,80 juta dolar. 2.4.5 Model Sewa Berjangka Panjang dan Hukr Model pembiayaan kelembagaan yang terakhir adalah salah satu dimana manajemen juga berada di tangan lembaga pembiayaan yang menyewa harta wakaf untuk periode jangka waktu panjang. Penyedia dana mengambil tanggung jawab kontruksi dan menejemen serta membayar sewa secara periodic kepada pengelola harta wakaf. Dalam sub-model Hukr, suatu ketentuan ditambahkan dalam kontrak atas dasar mana lembaga pembiayaan memberikan suatu pembayaran lump sumtunai sebagai tambahan dari membayar sewa secara periodic. Namun demikian di bawah kondisi pasar yang adil, nilai total sekarang (total present value) dari hasil (return) kepada wakaf dalam Hukr dan dalam sewa berjangka panjang harus kurang lebih sama. 2.6 Wakaf Tunai sebagai Dana Masyarakat Pengelolaan dana wakaf harus mempunyai budaya professional, transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini, maka lembaga apapun yang telah memiliki budaya tersebut, sesungguhnya merupakan lembaga yang paling siap di dalam mengemban pengelolaan wakaf tunai (Idris Toha, 2003, h. 228). Pentingnya budaya ini ditegakkan karena di satu sisi hak wakif atas asset (wakaf tunai) telah hilang, sehingga dengan adanya budaya pengelolaan yang professional, transparansi dan akuntabilitas, maka beberapa hak konsumen (wakif) dapat dipenuhi, yaitu : 1) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 2) Hak untuk didengar dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 3) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. Untuk itulah, agar wakaf tunai dapat memberikan manfaat yang nyata kepada masyarakat seluas-luasnya, maka diperlukan system pengelolaan (manajemen) yang berstandar 432

professional. Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga (3) pihak utama, yaitu : (1) pemberi wakaf (wakif), (2) pengelola wakaf (Nadzir), sekaligus akan bertindak sebagai manajer investasi, dan (3) beneficiary (mauquf alaihi). Wakif akan memberikan wakaf kepada pengelola dan benefitnya akan didistribusikan kepada mauquf alaihi. Dalam melakukan pengelolaan wakaf ini diperlukan sebuah institusi yang memenuhi criteria sebagai berikut : i. Kemampuan akses kepada calon wakif ii. Kemampuan melakukan investasi dana wakaf iii. Kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary iv. Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf v. Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat. Sebenarnya Lembaga Investasi yang bergerak di bidang pasar modal dapat menjalankan fungsi Nadzir. Namun di lihat dari kenyataan yang ada bahwa pasar modal cenderung volatile, maka yang lebih tepat adalah bank (khususnya bank Syari’ah) 2.6.1 Investasi Dana Wakaf Investasi wakaf tunai dapat dilakukan dengan berbagai jenis investasi, yaitu : 1. Investasi Jangka Pendek : yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah untuk menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank Indonesia (BI) 2. Investasi Jangka Menegah : yaitu industri / usaha kecil. Dalam hal ini Bank di Indonesia telah terbiasa dengan adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP dan KUK (sesuai ketentuan BI). 3. Investasi Jangka Panjang : yaitu untuk industri manufaktur, industri besar lainnya. Bank mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan. Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi besar. Selain penentuan tipe investasi dilihat dari jangka waktu investasi, dana wakaf harus diinvestasikan dengan pertimbangan keamanan investasi dan tingkat profitabilitas usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama dalam melakukan : 1. Analisis sektor investasi yang belum jenuh, melakukan “spreading risk” dan “risk manajemen” terhadap investasi yang akan dilakukan; 2. “Market survey” untuk memastikan jaminan pasar dari output/produk investasi; 3. Analisa kelayakan investasi; 4. Pihak yang akan bekerjasama untuk mengelola investasi tersebut; 5. Monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan 6. Monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi tersebut. Kemampuan tersebut dimiliki oleh bank, karena memang sifat bisnis bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi maupun modal kerja. 2.6.2. Kemampuan Melakukan Adminstrasi Rekening Beneficiary Pihak yang menerima benefit atas investasi wakaf ditentukan oleh wakif. Nadzir sebagai pihak yang diberikan amanah oleh wakif untuk mengelola dana wakaf sekaligus memberikan benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan administrasi yang cukup memadai, yang 433

menjamin bahwa setiap beneficiary mendapatkan benefit atas dana wakaf tersebut. Administrasi ini membutuhkan teknologi dan kemampuan SDM yang handal. Kemampuan SDM dan kecukupan teknologi tersebut dimiliki oleh bank, yang memang “nature” bisnisnya adalah mengelola rekening-rekening nasabah. Teknologi bank juga cukup memadai untuk menampung banyak data base beneficiary ayang akan mendapatkan benefit. 2.6.3. Kemampuan Melakukan Distribusi Hasil Investasi Dana Wakaf Benefit hasil investasi dana wakaf harus didistribusikan kepada beneficiary. Pendistribusian ini mengacu kepada persyaratan yang diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pihak pengelola dana wakaf harus memastikan berapa besar benefit yang diterima. Hal ini menuntut kemampuan administrasi dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan tersebut. Bank Syari’ah juga sudah mempunyai system profit distribution, baik dengan konsep “pool of fund” maupun “special invesment” (mudharabah muqayyadah) yang tidak dimiliki oleh bank konvensional. Dimana system ini akan mem-back up pengelolaan dana wakaf tunai dengan menggunakan system “voluntary pool of fund”. Benefit atas dana wakaf jika diijinkan oleh wakif dapat digunakan sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi lemah. Hal ini sudah pernah oleh Bank Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Depkop & PKM dan bentuk program P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan binaan berupa Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dan Koperasi Pondok Pesantren (KOPONTREN) di berbagai propinsi. Pengusaha kecil yang dibina bank suatu saat akan bankable sehingga mampu mendapatkan akses permodalan dari bank. 2.6.4. Mempunyai Kredibilitas di Mata Masyarakat, dan Harus Dikontrol oleh Hukum/Regulasi yang Ketat. Nadzir haruslah mempunyai kredilitas di masyarakat karena ia harus mampu menjalankan amanah melakukan investasi dan mendistribusikan benefit atas investasi dana wakaf. Lembaga investasi yang saat ini secara luas dikenal masyarakat dan merupakan lembaga kepercayaan adalah bank. Dalam hal regulasi jelas, bahwa bank merupakan lembaga yang “high regulated” yang diatur secara ketat oleh otoritas moneter (BI), dimana otoritas moneter juga menjamin deposit masyarakat di bank, termasuk deposit wakaf. Kelebihan bank Syari’ah dibanding dengan bank konvensional adalah bahwa bank Syari’ah merupakan lembaga yang “Syari’ah high regulated”, dimana Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) senantiasa memantau, apakah opersional dan produk bank Syari’ah sudah sesuai dengan ketentuan Syariah atau tidak. Dalam hal “benefit spending/distribution” atas investasi dana wakaf bank Syari’ah dapat melakukan aliansi dengan lembaga-lembaga sosial atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam rangka melakukan sinergi perberdayaan lembaga-lembaga umat. Jaringan LAZ yang sudah terbangun dapat dioptimalisasikan, dan di sisi lain diharapkan dapat meningkatkan efesiensi biaya bank dalam hal “product delivery channel”. Berdasarkan hasil penelitian McKinsey & Company, tahun 2000, efesiensi biaya bank Syari’ah dalam hal “product delivery channel” sedang dibutuhkan oleh bank Syari’ah di Indonesia pada khusunya dan Asia Tenggara pada umumnya. Kedudukan bank sebagai pengelola dana wakaf (Nadzir) merupakan manifestasi dari fungsi keharusan bank Syari’ah yang mengelola 3 sektor pelanggan/ekonomi, yaitu corporate, non434

formal dan voluntary sector. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang mengelola sektor pelanggan/ekonomi, yaitu corporate, non-formal dan private sector. Pengelolaan 3 sektor pelanggan/ekonomi tersebut, khususnya pada “voluntary sector”, akan memperluas stake holder yang akan menerima benefit atas usaha perbankan. Stake holder baru yang akan mendapat benefit yaitu para beneficiary dana wakaf.

3. KESIMPULAN dan PENUTUP Dari uraian di atas wakaf tunai merupakan bentuk social capital market yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan menjadikannya sebagai modal usaha, serta sebagai salah satu sumber modal bagi perusahan investasi untuk mengelola dana tersebut sehingga menghasilakan keuntungan yang dapat digunakan untuk kesahteraan masyarakat sebagai pemilik modal tersebut, dan tentunya tata cara penggunannya harus diatur sedemikian rupa agar terjaminnya dana wakaf, pemanfaatan dan distribusi keuntungannya. Wakaf tunai membuka peluang yang unik untuk menciptakan investasi guna memberikan pelayanan ekonomi, permodalan, keagamaan, pendidikan dan layanan sosial lainnya. Wakaf tunai ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia sebagai bentuk social capital market pada saat perekonomian Indonesia yang kian tidak menentu. Walaupun berbagai prangkat untuk mengembangkan wakaf produktif sudah disiapkan namun berhasil tidaknya pengembangan wakaf tersebut juga sangat tergatung politicall will pemerintah dan komitmen dari seluruh umat Islam.

REFERENSI Abu As-Suud Muhammad, Risalatu fi Zawaji waqfi an-Nuqud, Beirut: Ibn Hazm, tt al Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhu alIslami wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, al-Muasyhir, juz X Al-Bakri, ‘Ianatu Athalibin, Kairo: Isa arabi, tt al-Khatib, Muhammad, al-Iqna, Berut: Dar al-Ma’rifah, t.t. Asy-Syarbiny, Mughni AI-Muhtaj, Kairo : Musthafa Al-Halaby Chapra, Umer, The Future of Economics, an islamic perspective, Jakarta: SEBI, 2001 DEPAG, Fiqih Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimbaga, 2003 DEPAG, Pedoman Pengelolaan dan Pemberdayaan, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 2003 DEPAG, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimbaga, 2003 Ibrahim, M. Anwar, Wakaf alam dalam Syariah Islam, Batam: makalah Workshop International “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, 7-8 Januari 2002 Muhammad, Abu As-Suud, Risalatu fi Zawaji waqfi an-Nuqud, Beirut: Ibn Hazm, tt Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, tt. 435

ِRawas Qal’ah Jay, Muhammad, Mausu’ah Fiqh ‘Umar ibn al-Khattab, Beirut: Dar al-Nafais, 1409 H/1989 M Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al-Akhyar, Juz 1, Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, tt al-Qazwiny, Al- Kazimy, al-Syi’ah fi Aqaidihim wa Ahkamihim, Beirut; Dar al-Zahra, 1379H/ 1977M al-Ansari, Abi Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988 al-Dimyati, Sayyid Bakri, I anah al-Talibin, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, tt M.A. Manan, Sertifikat Wakaf Tunai Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, alih bahasa : Tjasmijanto dkk, Jakarta : PKTTI-UI, 2001 Anwar Ibrahim, Wakaf Dalam Syariat Islam, Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif di Batam tanggal 7 Januari 2002. Едронова. В. Н, Новожилова. Рынок Ценных Бумаг, Москва: Магистр, 2007 Райзберга. Б. А. Курс Экономики, Москва: Инфра, 2006

436

Sub Kategori

: Sains Ekonomi (2D)

Judul : BERSATU KITA TEGUH (BUKIT): MENGGALANG RELASI DAN MEMBINA JIWA KEWIRAUSAHAAN SEJAK DINI Ottavia (PPI – Tainan) National Cheng Kung University Institute of Creative Industry Design 1 University Road, Tainan 70101 Taiwan [email protected]

Abstract : As a developing country, Indonesia faces high unemployment rate, poverty, and heavy burden of external loan. These ongoing setbacks have caused a chain of unresolved problems which pulled Indonesia far behind compared to other countries. How to escape from this continuous rat-race? What could be our contributions as students toward this matter? This paper is proposing “BUKIT”; an online entrepreneurship forum for Indonesian students all over the world which gathers all social capital. It will work under the supervision of government, business society, public figures, financial institution and academic world. As students living local in many areas in the world, they can gather the most accurate, specific, and in-depth information about the local specialties to eliminate information asymmetry. BUKIT is hoped to give a real-life business experience as early as possible and encourage entrepreneurship among students. As a result, the increment of entrepreneurial activities will create new employments, and finally, serves its purpose to bring Indonesian economy to a higher surface in the international competitive market. BUKIT will be the joint-effort from all sides to make a better Indonesia. Kata kunci: Kewirausahaan, Social Capital, Forum Bisnis Online, Pelajar Indonesia.

1.

LATAR BELAKANG: TANTANGAN BAGI INDONESIA

Sebagai negara yang berkembang, Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Saat ini, permasalahan yang paling menonjol adalah tingginya tingkat pengangguran, yaitu tercatat sebesar 8,4% pada tahun 2008, menduduki peringkat 116 di dunia ("The world factbook," 2009). Dengan jumlah penduduk 230,79 orang ("Indonesia," 2009), sedikitnya ada 19,39 juta orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Selain itu, sebesar 17,8% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan ("The world factbook," 2009) , sebanyak 41.08 juta orang. Walaupun Gross Domestic Product (GDP) kita tercatat sebagai peringkat 16 dunia, sebesar USD 914,6 milyar ("Indonesia," 2009), tetapi bila dilihat dari GDP/kapita, Indonesia hanya menduduki peringkat 155 dunia dengan GDP/kapita sebesar USD 3.900/tahun ("The world factbook," 2009). Selain tingginya angka pengangguran, tingkat kemiskinan, dan rendahnya pendapatan per kapita; hutang luar negeri yang masih belum terselesaikan sebesar USD 140,7 milyar juga semakin membebani negara kita. Jika kita melihat bangsa kita sebagai sebuah perusahaan; pendapatan kotor per tahun Indonesia adalah USD 23 milyar; didapat dari nilai ekspor (USD 437

139,3 milyar) dikurangi dengan nilai impor (USD 116 milyar) ("The world factbook," 2009). Perputaran roda ekonomi negeri kita sepertinya tidak dapat mengimbangi pembayaran kembali pokok pinjaman dan bunga luar negeri tersebut. Masalah negara tersebut dirasakan oleh semua lapisan penduduk Indonesia, termasuk kita yang berstatus pelajar. Secara langsung maupun tak langsung, kita semua mengemban beban ini melalui tingginya tingkat inflasi, turunnya nilai mata uang Rupiah, maupun harga barang kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi. Walaupun masih belum terjun secara langsung di masyarakat, para pelajar Indonesia telah dihantui oleh dampak negatif kondisi ekonomi bangsa. Tercatat sebanyak 1.1 juta orang pelajar yang lulus dari universitas di Indonesia menjadi pengangguran pada akhir tahun 2008 (Waluyo, 2009). Dari sudut pandang perusahaan penyedia lapangan pekerjaan, sebagian pelajar yang baru lulus dari universitas masih belum “siap pakai” karena minimnya pengalaman kerja praktek selama duduk di bangku perkuliahan. Selain itu, minimnya modal dan jaringan/koneksi dan kurangnya dukungan dari pemerintah juga menjadi batu sandungan para pelajar kita untuk terjun ke dalam dunia kewirausahaan. Sepertinya bukan rahasia lagi bahwa di dalam benak para pelajar kita selalu ada harap-harap cemas, “Setelah lulus, harus bagaimana ya? Dapat kerja tidak ya? Kok makin banyak rekan yang habis lulus malah jadi pengangguran ya?” Permasalahan ini akan selalu membayangi kita semua. Untuk itu, sebagai pihak yang berkepentingan, kita harus mencari solusi untuk bisa keluar dari libatan permasalahan yang sepertinya tidak ada habis-habisnya ini. Salah satu cara untuk mengurangi nilai pengangguran dan menggerakkan ekonomi bangsa adalah dengan meciptakan lapangan kerja baru, yaitu dengan pembekalan pengetahuan entrepreneurship (kewirausahaan) secara sistematis pada para pelajar. Sehingga para pelajar dapat menjadi pengusaha yang mandiri setelah lulus dari bangku kuliah dan membuka lapangan kerja mereka sendiri. Makalah ini bercerita tentang kewirausahaan di Indonesia dan memperkenalkan sebuah solusi bagaimana cara menggalang pengetahuan dan know-how para pelajar dengan cara yang sederhana, efektif, dan masuk akal tetapi di lain sisi akan memberikan pengaruh positif yang besar terhadap perkembangan ekonomi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

2.

PEMBAHASAN MASALAH

2.1 Kewirausahaan di Indonesia Kewirausahaan di Indonesia terbilang masih belum mencapai tingkat yang optimal. Tercatat bahwa aktivitas kewirausahaan di Indonesia masih mencapai 19,3% pada tahun 2006 ("Entrepreneurship in Indonesia," 2009). Sebagian besar perusahaan yang aktif di Indonesia adalah perusahaan menengah kecil (Small Medium Enterprises/SME). SME inilah yang mempunyai pengaruh dinamis yang besar dalam perekonomian Indonesia. Walaupun skalanya termasuk dalam kategori usaha kecil, SME mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi bangsa kita. SME adalah bibit awal dari perusahaan besar. Umumnya pertumbuhan bisnis SME sangatlah cepat dan pada akhirnya akan menjadi perusahaan besar (Berry, Rodriguez, & Sandee, 2002). Kegiatan usaha SME dapat meningkatkan efisiensi ekonomi Indonesia. Besarnya peranan SME di Indonesia dapat 438

dirasakan dari banyaknya perusahaan SME (42.4 juta perusahaan), kontribusi signifikan pada GDP negara (56,7% GDP), peranan SME dalam kegiatan ekspor negara (19,4% dari total ekspor), dan penyerapan tenaga kerja sebesar 79 jutaSDM Indonesia ("Entrepreneurship in Indonesia," 2009), sebesar 70,59% dari total tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah 112 juta orang ("The world factbook," 2009). Sebagai penggerak utama roda perekonomian Indonesia, perusahaan SME yang sukses dan berkembang pesat akan memberikan kontribusi yang besar pada kegiatan perdagangan dan strategi ekspor negara kita; dan pada akhirnya mendukung perkembangan negara secara keseluruhan. Tetapi kegiatan kewirausahaan di Indonesia masihlah belum mencapai tingkat maksimal. Kurang maraknya kegiatan kewirausahaan ini sedikit banyak disebabkan karena banyak halangan yang dialami para pemula, termasuk di dalamnya pelajar yang berkeinginan untuk membangun usahanya sendiri. Halangan tersebut antara lain adalah: 1. Kurangnya pembekalan kerja praktek saat duduk di bangku perkuliahan. Pelajar lebih dekat pada teori dan idealisme ilmu manajemen; 2. Minimnya bimbingan dari pihak yang berpengalaman, baik dari bidang akademis ataupun pengusaha, bagaimana memulai usaha baru; yang akhirnya menyurutkan keinginan untuk memulai usaha. Selain itu tingkat keberhasilan para pemula sangatlah rendah; 3. Kurangnya modal. Pada umumnya para pelajar yang baru lulus tidak mendapatkan permodalan yang cukup untuk memulai usaha yang baru. Pembiayaan dari perusahaan finansial pun sangat sulit didapat karena permodalan untuk membangun usaha baru dinilai sangat riskan. 4. Terbatasnya jaringan relasi bisnis. Jaringan relasi terbilang sangat penting dalam keberhasilan kegiatan usaha. Pada umumnya para pelajar yang terhitung masih pemula di bidang bisnis harus mulai membangun jaringan dari nol. Penjabaran di atas menggambarkan kondisi kontradiktif yang dialami bangsa Indonesia. Di satu sisi, ekonomi negara kita membutuhkan katalis, dengan pembentukan usaha baru. Tetapi di lain sisi, bibit usaha baru ini bukannya mendapatkan dukungan, baik dari badan keuangan maupun pemerintah, malah mendapatkan tekanan dari persaingan dan perusahaan-perusahaan yang telah ada. Kondisi ini sangatlah disayangkan karena sesungguhnya potensi perkembangan kewirausahaan di Indonesia masihlah sangat besar. 2.2 Pelajar Indonesia Peranan pelajar Indonesia di forum internasional bisa dikatakan cukup besar (Bhandari & Koh, 2007). Sebagai sekilas gambaran, menurut data 2009, sebanyak kurang lebih 7.000 mahasiwa Indonesia belajar di Amerika Serikat ("Jumlah mahasiswa Indonesia menurun," 2009), 3.995 di Mesir ("Data perkembangan pendidikan mahasiswa Indonesia di Mesir," 2009), 2.573 orang di Jerman (Setyarini, 2009), 1.450 orang di Belanda ("Jumlah mahasiswa Indonesia nomor lima di Belanda," 2009), lebih dari 1.000 orang di Perancis ("Mahasiswa Indonesia kuliah di Perancis meningkat," 2009), dan 1.791 di Jepang ("Jumlah mahasiswa yang belajar di Jepang meningkat," 2009). Jika semua dijumlahkan sedikitnya 17.809 pelajar Indonesiabelajar di seluruh penjuru dunia. Angka tersebut masih belum mewakili jumlah pelajar internasional Indonesia yang belajar di luar negeri secara keseluruhan. Sedangkan di dalam negeri sendiri, terdaftar hampir 5 juta pelajar belajar di tingkat perguruan tinggi di Indonesia dan setiap tahunnya menghasilkan sebanyak 292.485 sarjana yang terjun ke dunia kerja ("Gambaran umum keadaan perguruan tinggi (PT) menurut status," 2008). Jika digabungkan secara keseluruhan, dapat dibayangkan betapa luasnya jaringan yang dapat 439

dibentuk dan betapa banyaknya tenaga intelektual bangsa kita yang dapat dibina menjadi calon pengusaha.

Gambar 1. Pembentukan Jaringan Pelajar Indonesia yang Tersebar di Seluruh Dunia Para pelajar dapat dinilai sebagai aset yang potensial, karena: 1. Jika disatukan akan menjadi gabungan banyak sumber daya manusia sebagai tenaga pemikir, pencari informasi dan rekan berbagi pengetahuan; 2. Tersebarnya para pelajar di seluruh penjuru dunia, di mana di tiap daerah terdapat komoditi yang unik dan bersaing; 3. Para pelajar hidup secara lokal di kota tempat mereka mengemban ilmu. Sebagai penduduk di daerah masing-masing, mereka hidup secara lokal dan dengan sangat cepat mendapatkan informasi dan kondisi pasar riil di daerah mereka. Dapat dibayangkan bagaimana jika semua tenaga ini dapat digalang, seberapa besar pengaruh yang akan timbul terhadap kondisi ekonomi bangsa kita secara menyeluruh. 2.3 Pelajar Indonesia sebagai Social Capital Membangun dan membina usaha baru adalah sebuah proses yang melibatkan nalar terbatas, pengambilan kesempatan, ketidakpastian, dan kompleksitas lingkungan sekitar (Smith & Lohrke, 2007). Situasi yang penuh ketidakpastian ini mendorong para wirausaha untuk membangun social capital atau social relationship (relasi sosial) dan trust (rasa saling percaya) untuk dapat mengakses informasi yang terkait dengan bisnis yang bersangkutan dan mengeliminasi besarnya ketidakseimbangan informasi. Social capital sangatlah penting dalam proses mendapatkan, menggabungkan, dan melepaskan sumber daya yang ada, sebuah proses yang umum dalam kegiatan bisnis (Blyler & Coff, 2003). Jaringan bisnis yang kuat dapat memberikan sumber daya maupun informasi, membantu dalam pencarian klien, pemasok, dan investor (Batjargal & Liu, 2004, p. 605); dan juga mengurangi biaya transaksi (Welter & Smallbone, 2006) supaya usaha tersebut mempunyai keunggulan dalam bersaing dan bertahan di dalam lingkungan bisnis yang kompetitif. Pada umumnya, social capital adalah sumber 440

yang sangat penting bagi kegiatan usaha, yang akhirnya akan menambah tingkat keberhasilan sebuah usaha baru (Bandiera, Barankay, & Rasul, 2007; Smith & Lohrke, 2007). Jika kepercayaan telah terbentuk antara insan bisnis, maka resiko dan beban biaya yang timbul karena ketidakpastian dalam menjalankan usaha akan berkurang secara drastis. Social capital dapat menjadi pondasi dalam mengembangkan dan pemakaian tenaga dan pikiran indvidual secara maksimal (Saffer, 2007). Dapat dipastikan bahwa kepercayaan (trust) dan ikatan sosial (social tie) adalah dua elemen yang paling penting dalam social capital (Adler & Kwon, 2002; Aherna & Hendryx, 2003; Chou, 2006; Crudeli, 2006; Currall & Inkpen, 2002; Kaasa & Parts, 2007; Li, 2007; Putnam, 1993; Sobelsa, Curtisa, & Lockie, 2001; Welter & Smallbone, 2006). Jika rasa saling percaya telah timbul di antara semua pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan bisnis akan berdampak pada semakin kuatnya ikatan sosial dan semakin besarnya keinginan untuk bekerja sama secara kooperatif. Jika proses ini berjalan terus, rasa saling percaya tersebut akan terbentuk semakin kuat seiring dengan berjalannya waktu (Fukuyama, 1995). Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya rasa percaya dan ikatan sosial, maka social capital akan membawa dampak positif pada kegiatan wirausaha; antara lain: 1. Mendapatkan dan melepaskan sumber daya (Blyler & Coff, 2003) dan informasi bisnis (Adler & Kwon, 2002; Cope, jack, & Rose, 2007); 2. Mengurangi resiko akan ketidakpastian (Bowey & Easton, 2007); 3. Mengurangi biaya transaksi dan menjalankan usaha (Bowey & Easton, 2007) 4. Mempercepat proses pengambilan keputusan dan pengolahan informasi bisnis yang kompleks dan menambah tingkat kepastian (Uzzi, 1996); 5. Meningkatkan performa keuangan melalui penggabungan informasi, kerja sama, dan adaptasi pada pasar. Dari penjabaran di atas, dapat dipastikan bahwa social capital dapat memberikan motivasi untuk menjadi pengusaha, memarakkan kewirausahaan, dan mendukung kesuksesan usaha baru (Bandiera et al., 2007; Smith & Lohrke, 2007).

3.

SOLUSI YANG DITAWARKAN

3.1

Bersatu Kita Teguh (BUKIT): Forum Bisnis Online yang Menggalang Social Capital Untuk mengatasi semua hambatan dan tantangan di atas dan menggalang tenaga pemikir muda bangsa Indonesia, saya mengusulkan pembentukan sebuah forum bisnis untuk pelajar Indonesia, dengan nama “Bersatu Kita Teguh” (BUKIT). Forum ini berwujud website database di dunia maya yang menghubungkan semua pelajar Indonesia dari dalam maupun luar negeri yang mempunyai visi untuk menjadi wirausahawan. Selain kalangan pelajar, forum ini juga melibatkan beberapa pihak berpengaruh di dunia bisnis, antara lain: 1. Departemen Perdagangan Indonesia – wakil pemerintahan sebagai sumber informasi tentang kegiatan ekspor dan impor Indonesia; juga sebagai pembimbing para para wirausahawan baru supaya dapat mengembangkan usaha secara berkesinambungan dan sesuai dengan hukum perdagangan yang ada.

441

2. Dirjen Perpajakan – berfungsi sebagai konsultan, pemberi informasi, dan pengawasan perpajakan. Dukungan dari pemerintah dapat direalisasikan dalam bentuk pajak khusus (special tax rate) bagi para wirausahawan baru di bawah forum BUKIT. 3. Kalangan pengusaha – sebagai pembimbing, sponsor, social capital, dan pemberi masukan tentang kondisi pasar riil, bagaimana menjalankan usaha, dan bagaimana bertahan dalam persaingan yang ketat di dunia bisnis. Contoh paling nyata adalah Ir. Ciputra, pengusaha properti yang telah berhasil dan saat ini giat menjalankan pelatihan kewirausahaan kepada para pendidik/dosen dan pelajar. 4. Pihak akademis – membekali pelajar dengan teori manajemen, keuangan, pemasaran, akuntansi, maupun pengetahuan manajerial secara umum bisnis. 5. Pihak bank/instansi finansial – memfasilitasi semua kegiatan pembayaran. Transaksi dapat dilakukan melalui bank lokal Indonesia (eg. Bank Mandiri, Bank Central Asia) yang mempunyai fasilitas internet banking yang dapat diakses dari segala penjuru dunia. Pihak bank akan mendapatkan keuntungan dari tiap transaksi yang dijalankan. 6. Publik figur – pembekal nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, membimbing bagaimana membina relasi. 3.2 BUKIT – Proses Kerja BUKIT, yang berfungsi sebagai forum bisnis dunia maya bagi para pelajar, berlaku sebagai sumber informasi dari dan untuk para pelajar sebagai calon wirausahawan. Forum ini berada di bawah pengawasan Departemen Perdagangan. Ditujukan untuk memarakkan jiwa kewirausahaan dan sebagai sarana penerimaan pelatihan dari pihak usahawan dan akademis. PEMERINTAH Departemen Perdagangan  Dirjen Perpajakan  Sponsor 

PENGUSAHA Mentor bisnis Informasi tentang pasar riil  Sponsor

FIGUR PUBLIK  Pembekalan nilai-nilai sosial

 

 

INSTANSI KEUANGAN  Media transaksi  Sumber modal

PELAJAR Wirausahawan muda Penggalang informasi

AKADEMIS Pembekal ilmu pengetahuan dasar dan teori bisnis  Mentor 

BUKIT – JARINGAN SOCIAL CAPITAL Gambar 2. Pihak Pendukung Kewirausahaan yang Ternaung di Bawah BUKIT

442

Anggota BUKIT adalah para pelajar Indonesia yang tersebar di seluruh pelosok dunia, baik di dalam dan luar negeri. Mereka akan berfungsi baik sebagai informan sekaligus pedagang yang mewakili daerah masing-masing. Contohnya: seorang pelajar yang tinggal di Swiss dapat memberikan informasi lengkap tentang komoditi yang terkenal di daerahnya, seperti keju, coklat, maupun jam tangan. Atau, pelajar di Perancis dapat memperkenalkan produk anggur ataupun parfum sebagai komoditi yang menjanjikan.

Gambar 3. Menciptakan Jalur Perdangangan Aneka Ragam Komoditi di Seluruh Pelosok Dunia Informasi produk yang diwajibkan antara lain: 1. Deskripsi dan spesifikasi produk; 2. Daerah asal; 3. Harga dan minimum pemesanan; 4. Kemasan (packaging) dan pengiriman (delivery) melalui jalan darat, laut, ataupun udara; 5. Ongkos pengiriman; 6. Beban pajak; 7. Informasi lain yang dapat memperlancar hubungan perdagangan. Dalam forum BUKIT ini, semua anggota dapat berperan sebagai pemasok maupun pembeli yang dapat bertransaksi secara riil. Sistim perdagangan yang diterapkan adalah persaingan bebas (free competition) untuk menjaga efisiensi pasar dan menjadi invisible hand yang mengkontrol harga pasar. Untuk menghindari adanya kecurangan, maka semua anggota wajib memberikan identitas diri secara lengkap sebagai syarat mutlak untuk menjadi anggota. Semua aktivitas komunikasi perdagangan harus dilakukan melalui forum BUKIT supaya dapat termonitor dengan baik. Departemen Perdagangan berfungsi sebagai pengawas untuk meminimkan terjadinya kegiatan ilegal ataupun fraud yang melanggar hukum perdagangan. Untuk mendorong para anggota 443

dalam usaha mereka mengumpulkan informasi tentang produk lokal di wilayah yang mereka tempati, disediakan insentif khusus dari Departemen Perdagangan Indonesia berupa suntikan modal minimal untuk melakukan kegiatan usaha. Dengan adanya penggalangan dan pengumpulan para pemikir dan wirausahawan muda, dan didukung oleh pihak pemerintah, kalangan pengusaha, akademisi, dan instansi keuangan; diharapkan forum ini dapat: 1. Memfasilitasi dan memarakkan munculnya pengusaha baru; 2. Memberikan jaringan social capital yang kuat yang dapat dipercaya; 3. Menggairahkan kegiatan ekspor-impor dan perdagangan di Indonesia, yang akan berujung pada semakin cepat berputarnya roda perekonomian negara secara keseluruhan. BUKIT, sebagai ajang “Entrepreneurial Real-Life Experience” diharapkan dapat membekali para pelajar sebagai wirausahawan baru untuk mengatasi tantangan dan kompetisi di pasar, memasarkan dan promosi produk lokal masing-masing daerah, mendapatkan informasi dan pengetahuan pasar, menggalang relasi bisnis yang solid, dan meningkatkan kemampuan berpikir secara kreatif dan inovatif yang pada akhirnya akan menjadi dasar yang kuat sebagai wirausahawan yang berhasil di masa depan.

4.

KESIMPULAN

Diharapkan penggalangan usaha dan know-how-pooling ini dapat memperkuat jiwa kewirausahaan dan mendorong berlipatgandanya perusahaan baru. Forum BUKIT diharapkan dapat mendukung para pengusaha baru supaya dapat melakukan transaksi perdagangan yang relatif lebih aman dengan adanya pengawasan dari pihak pemerintah dan usahawan. Para pelajar dapat mulai berwirausaha sejak awal sehingga dapat memperoleh pengalaman dagang lebih dini di bawah naungan Departemen Perdagangan. Ikatan jaringan network yang kuat dapat mendukung bertambahnya pengusaha muda baru dari Indonesia. Semua ini akan berimbas pada: 1. Maraknya usaha baru di tanah air; 2. Menciptakan lapangan kerja baru; 3. Menyerap sumber daya manusia Indonesia; 4. Menekan tingkat pengangguran dalam negeri; 5. Mempercepat perputaran roda ekonomi bangsa Indonesia. Untuk menjamin kesuksesan program ini, selain dari pihak pelajar sebagai wirausahawan aktif, dibutuhkan juga komitmen dari semua pihak terkait: pemerintah, akademis, pengusaha, serta dukungan dari para figur public Indonesia. Sinergi semua pihak ini harus sejalan dengan misi yang telah ditetapkan, yaitu menciptakan atmosfir kondusif dan ‘tanah’ yang subur untuk menanamkan jiwa kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja baru. Selain itu dukungan keuangan dari pemerintah, program pendidikan riil tentang kewirausahaan dari pihak akademis, dan bimbingan dari pihak bisnis dan arahan tentang nilai-nilai sosial dari figur publik sangatlah krusial untuk menjamin keberhasilan forum kewirausahaan ini (Waluyo, 2009). Seperti kata Ir. Ciputra dalam salah satu forum kewirausahaannya, “Budayakan entrepreneurship dan semangat entrepreneurship” (Ciputra, 2009).

444

REFERENSI

Adler, P. S., & Kwon, S.-W. (2002). Social capital: prospects for a new concept. Academy of Management Review, 27(1), 17-40. Aherna, M. M., & Hendryx, M. S. (2003). Social capital and trust in providers. Social Science & Medicine, 57(2003), 1195–1203. Bandiera, O., Barankay, I., & Rasul, I. (2007). Social capital in the workplace: evidence on its formation and consequences. Labour Economics, xx(2007), 1-25. Batjargal, B., & Liu, M. M. (2004). Entrepreneurs’ access to private equity in China: the role of social capital. Organization Science, 15(2), 159-172. Berry, A., Rodriguez, E., & Sandee, H. (2002). Firm and group dynamics in the Small and Medium Enterprise sector in Indonesia. Small Business Economics, 18(1-3), 141. Bhandari, R., & Koh, H.-K. (2007). International students in the United States: The current picture Retrieved 2009-09-09, from http://www.bc.edu/bc_org/avp/soe/cihe/newsletter/Number47/p9_Bhandari_Koh.htm Blyler, M., & Coff, R. W. (2003). Dynamic capabilities, social capital, and rent appropriation: ties that split pies. Strategic Management Journal, 24(2003), 677-686. Bowey, J. L., & Easton, G. (2007). Entrepreneurial social capital unplugged: an activity-based analysis. International Small Business Journal, 25(3), 273-305. Chou, Y. K. (2006). Three simple models of social capital and economic growth. The Journal of Socio-Economics, 35(2006), 889–912. Cope, J., jack, S., & Rose, M. B. (2007). Social capital and entrepreneurship. International Small Business Journal, 25(3), 213-219. Crudeli, L. (2006). Social capital and economic opportunities. The Journal of SocioEconomics, 35(2006), 913-927. Currall, S. C., & Inkpen, A. C. (2002). A multilevel approach to trust in joint ventures. Journal of International Business studies, 33(3), 479-495. Data perkembangan pendidikan mahasiswa Indonesia di Mesir. (2009). Retrieved 2009-0909, from http://indo.dikbudcairo.org/data-pendidikan/cek-data-lapor-pendidikan.html Entrepreneurship in Indonesia. (2009). Retrieved 2009-09-09, from http://www.internationalentrepreneurship.com/asia_entrepreneur/Indonesia_entrepreneur .asp Fukuyama, Y. F. (1995). Trust: social virtues and the creation of prosperity. New York: Free Press. Gambaran umum keadaan perguruan tinggi (PT) menurut status. (2008). Retrieved 2009-0909, from http://www.depdiknas.go.id/statistik/0708/pt_0708/tbl_01.pdf Indonesia. (2009). from http://www.imf.org/external Jumlah mahasiswa Indonesia menurun. (2009). Retrieved http://www.infoanda.com/id/link.php?lh=BwgDBVQFAAMA

2009-09-09,

from

445

Jumlah mahasiswa Indonesia nomor lima di Belanda. (2009). Retrieved 2009-09-09, from http://studidibelanda.com/tag/mahasiswa-indonesia/1 Jumlah mahasiswa yang belajar di Jepang meningkat. (2009). Retrieved 2009-09-09, from http://www.nusantara-news.com/2009/04/jumlah-mahasiswa-indonesia-yang-belajar-dijepang-meningkat.html Kaasa, A., & Parts, E. (2007). Individual-level determinants of social capital in Europe: differences between country groups. University of Tartu. Li, P. P. (2007). Social tie, social capital, and social behavior: toward an integrative model of informal exchange. Asia Pacific Journal of Management, 24(2007), 227-246. Mahasiswa Indonesia kuliah di Perancis meningkat. (2009). Retrieved 2009-09-09, from http://beritasore.com/2009/07/31/mahasiswa-indonesia-kuliah-di-perancis-meningkat/ Putnam, R. D. (1993). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton, NJ: Princeton University Press. Saffer, H. (2007). The demand for social interaction. The Journal of Socio-Economics, xx(2007), 1-14. Setyarini, L. (2009). Mengapa Jerman? Retrieved 2009-09-09, from http://www.dwworld.de/dw/article/0,,3071063,00.html Smith, D. A., & Lohrke, F. T. (2007). Entrepreneurial network development: trusting in the process. Journal of Business Research, xx(2007), 1-8. Sobelsa, J., Curtisa, A., & Lockie, S. (2001). The role of Landcare group networks in rural Australia: exploring the contribution of social capital. Journal of Rural Studies, 17(2001), 265–276. Uzzi, B. (1996). The sources and consequences of embeddedness for the economic performance of organizations: the network effect. American Sociological Review, 61(4), 674-698. Waluyo, A. (2009). Entrepreneurship makes new job creation possible. Retrieved 2009-0909, from http://www.ciputra.org Welter, F., & Smallbone, D. (2006). Exploring the Role of Trust in Entrepreneurial Activity. Entrepreneurship: Theory & Practice, 30(4), 465-475. The

world factbook. (2009). Retrieved 2009-09-09, https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html

from

446

Sub Kategori

: Sains Ekonomi (2D)

Judul : Memikirkan Kembali Konsep Corporate Governance: Kajian Kritis atas Kode Corporate Governance Indonesia Miko KAMAL PhD Candidate Business Law Macquarie University, Sydney Australia Telp: +61298507019 Fax: +61298509952 Email: [email protected] or [email protected]

Abstract : In Indonesia the concept of corporate governance has been formally introduced in 1999 when the Government established the National Committee on Corporate Governance (NCCG). As other countries Indonesia through the NCCG created its national code of corporate governance in 2000 which was revised in 2006. The code is reference points for all companies in Indonesia include State-owned Enterprises (SOES) regardless of types. Indonesian SOES is regulated under Law No. 19 of 2003 concerning State-Owned Enterprises. According to the law there are two types of SOES; public and non-public SOES. While the former is SOES listed companies or companies with shares are fragmented, the latter is companies with shares are concentrated in the hand of government as a sole shareholder. Consequently, the Indonesia’s code of good corporate governance applies to nonpublic SOES as well. As companies owned by State, the primary characteristic of non-public SOES is concentrated ownership. The article examines the applying of Indonesia’s code of corporate governance to Indonesian non-public SOES; whether the code is suitable for Indonesian non-public SOES means the code can be a tool in puzzling out the existing problems of non-public SOES. The code is sacred to be discussed since a national code of code of corporate governance is the soul of implementation of a country corporate governance regime. Keywords: corporate governance, code of corporate governance and state-owned enterprises

1. PENDAHULUAN Meskipun banyak ahli membedakan model corporate governance ke dalam dua bentuk – outsider/arm’s-lenght dan insider/control oriented (Cheffin 2003: 3), terminologi corporate governanca pada umumnya dipergunakan untuk menggambarkan the Anglo-American corporate governance model. Dari perspektif model ini, corporate governance hadir untuk menyelesaikan agency problem yang eksis dan berkembang di the United Kingdom dan the United States dimana sebagian besar saham perusahaan-perusahaan besar dimiliki oleh institusional investor (Talbot 2008: 107). Dengan kata lain, the agency problem pada umumnya eksis pada perusahaan-perusahaan dengan ciri pemegang sahamnya yang menyebar 447

(the widely dispersed shareholders), sebagai dasar dari konsep corporate governance. Di Indonesia, corporate governance telah diperkenalkan secara resmi pada tahun 1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance. Sebagaimana yang berlaku di negara lain, komite ini kemudian melahirkan kode corporate governance Indonesia, yang direvisi pada thun 2006. Kode ini adalah referensi bagi seluruh perusahaan Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN diatur melalui UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang undang ini membagi tipe BUMN menjadi dua, yakni BUMN terbuka dan BUMN tertutup. BUMN terbuka adalah BUMN yang sahamnya dijual di bursa efek atau sahamnya terbagi dalam penguasaan banyak orang (fragmented), sedangkan BUMN tertutup adalah BUMN yang sahamnya terkonsentrasi pada tangan Pemerintah sebagai pemegang saham tunggal. Konsekuensinya, kode corporate governance Indonesia juga berlaku untuk BUMN tertutup. Sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara, ciri utama BUMN tertutup adalah kepemilikan yang terkonsentrasi. Pertanyaan yang, kemudian, muncul apakah konsep corporate governance sekarang ini mengadopsi the Anglo-American corporate governance model. Pertanyaan yang lain, apakah kode corporate governance yang berlaku sekarang dapat menjawab persoalanpersoalan yang dihadapi perusahaan tertutup, disamping perusahaan terbuka. Artikel ini membahas penerapan kode corporate governance Indonesia terhadap BUMN tertutup; apakah kode cocok bagi BUMN tertutup dalam artian dapat menjadi alat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi. Kode corporate governance ini penting didiskusikan karena kode corporate governance nasional merupakan ruh dari penerapan corporate governance di suatu negara. Artikel ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap tatakelola BUMN di masa yang akan datang, sebagai masukan bagi kabinet Republik Indonesia di bawah pimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono yang segera dibentuk. Artikel ini terbagi dalam beberapa bagian. Bagian selanjutnya (bagian 2) membahas tentang perkembangan teori corporate governance, termasuk mendiskusikan akar keilmuan corporate governance dan corporate governance modern. Bagian ke 3 membahas corporate governance di Indonesia, diantaranya sejarah singkat corporate governance di Indonesia dan kelahiran komite nasional corporate governance. Persoalan-persoalan BUMN dibahas di bagian 4. Bagian 5 membahas tentang overview kode corporate governance Indonesia yang terbaru. Bagian ke 6 mengungkapkan ketidakcocokan kode corporate governance yang ada sekarang bagi kepentingan penyelesaian persoalan BUMN, tertutama yang berjenis tertutup. Bagian 7 adalah penutup.

2. PERKEMBANGAN TEORI CORPORATE GOVERNANCE 2.1 Akar Corporate Governance Adolf Berle and Gardiner Means, melalui tulisan fundamental mereka tentang pemisahan pemilik dan pengelola perusahaan (Berle and Means 1931), dianggap sebagai dua diantara ilmuan berpengaruh dalam bidang corporate governance. Dengan melakukan studi tentang perusahaan-perusahaan besar Amerika –setelah the Wall Street Crash of 1929, mereka meyimpulkan bahwa pemisahan antara kepemilikan dan kontrol perusahaan disebabkan oleh 448

kepemilikan perusahaan yang menyebar (Talbot 2008: 109). Pemegang saham yang menyebar itu (principals) tidak memiliki pilihan selain menyewa orang lain atau menejer (agents) untuk mengelola perusahaan, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan hubungan principals-agents. Kenyataannya, agency problem muncul dari hubungan principals-agents tersebut (Cheffin 2003: 4) dimana para menejer yang menjalankan perusahaan cenderung menyelewengkan uang pemilik perusahaan. Hal itu dapat terjadi karena para menejer memegang informasi dan pengetahuan lebih tentang kondisi perusahan ketimbang pemilik (Wei 2003: 43). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fokus studi Berle dan Means adalah tentang penyimpangan investasi milik pemilik atau pemegang saham perusahaan oleh para menejer sebagai konsekuensi dari pemisahan kepemilikan dan kontrol sebuah perusahaan (Bhasa 2004: 7). Pendapat Jensen dan Meckling (1976: 305-360) sejalan dengan hasil studi Berle dan Means yang menyatakan bahwa “the aim of all governance mechanism is to reduce the agency costs that exist due to the separation of ownership and control especially in large public corporation” (Padgett 2005). Juga, Fama dan Jensen (1983: 301-325) menyatakan hal serupa bahwa “the problem of corporate governance mainly arises in large organizations such as publicly held, listed corporations whose ownership and controls are typically separated” (Goncharov, Werner dan Zimmermann 2006: 434). Dengan kalimat yang lain dapat dirumuskan bahwa agency problem melekat di tubuh perusahaan-perusahan dengan pemegang sahamnya yang menyebar, termasuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal. La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer and Visny (LLSV) membenarkan hasil studi Berle dan Means, Jensen dan Meckling dan Fama dan Jensen. Dengan melakukan serial studi empirik tentang proteksi terhadap investor, LLSV berpendapat bahwa konsep dasar corporate governance adalah untuk melindungi investor luar (outsiders) dari penyelewengan aset-aset mereka oleh insiders (Djankov, La Porta, Lopez-de-Silanes dan Sheilfer 2008: 430). LLSV mengklasifikasikan pemegang saham mayoritas (controlling shareholders) dan menejer sebagai insiders, sedangkan investor dan pemegang saham minoritas mereka sebut sebagai outsiders. Penyelewengan uang outsiders oleh insiders terjadi karena terdapat ketimpangan informasi antara insiders dan outsiders. Oleh karena itu, adalah sangat dapat dipahami manakala LLSV mendefinisikan “corporate governance is, to a large extent, a set of mechanisms through which outside investors protect themselves against expropriation by the insiders” (La Porta, Lopez-de-Silanes dan Sheilfer dan Visni 2000: 4). Selain dari hasil-hasil studi di atas, sebuah studi terhadap 52 (lima puluh dua) kode corporate governance nasional di beberapa negara, termasuk Indonesia, oleh Steen Thomsen membenarkan hasil-hasil studi di atas yang menyimpulkan bahwa kode-kode corporate governance di dunia secara khusus didisain untuk mengisi jurang ketidakseimbangan informasi antara investor dan perusahaan (Thomsen 2006: 848) agar insiders tidak semenamena mengalihkan modal outsiders untuk kepentingan pribadi mereka. Kesimpulannya, konsep corporate governance secara sengaja tidak ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang melilit perusahaan-perusahaan yang pemegang sahamnya terkonsentrasi di satu tangan seperti BUMN tertutup karena ada perbedaan masalah perusahaan terbuka dengan perusahaan tertutup. 449

2.2 Modern Corporate Governance Kebangkrutan beberapa perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, Tyco International, dll diakhir tahun 2001 dianggap sebagai fondasi penting era baru corporate governance di penjuru dunia. Bencana itu terjadi meskipun perusahaan-perusahaan telah menerapkan konsep corporate governance di masing-masing perusahaan. Enron dan WorldCom, contohnya, memiliki non-eksekutif direktur ketika bencana itu datang. Maknanya, konsep lama corporate governance Amerika tidak berdaya melindungi perusahaan-perusahaan tersebut dari kebangkrutan (Atkins 2003). Beberapa saat setelah tragedi, 30 Juli 2002, Kongres Amerika mengesahkan undang undang baru, the Sarbanes-oxley Act of 2002 (SOX) yang dikenal sebagai the Public Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002. Ini adalah reformasi undang-undang yang paling penting berkenaan dengan corporate governance di Amerika (Ribstein 2002: 3), yang mewajibkan seluruh perusahaan yang terdaftar di bursa efek yang tunduk kepada aturan the Security and Exchange Commission (SEC) untuk mematuhinya. Maksudnya, seluruh perusahaan-perusahaan terdaftar (listed companies) harus mematuhi seluruh persyaratanpersyaratan yang termaktub di dalam SOX; yang disebut dengan mandatory model. Mandatory corporate governance adalah setiap perusahaan harus memenuhi semua aturan yang dipersyaratan undang undang, diikuti penjatuhan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhinya (Anand 2005: 4) Para pendukung mandatory sistim mengatakan bahwa SOX merupakan jalan cepat dalam penyelesaian persoalan yang sedang dihadapi perusahaan-perusahaan Amerika. Paul Atkins, komisioner SEC mengatakan bahwa dunia saat ini membutuhkan sistim corporate governance yang keras yang mampu mengeliminasi kecurangan, korupsi dan praktik-praktik penyimpangan lainnya. Lebih jauh, Atkins menjelaskan bahwa dengan hanya mempergunakan soft law dan mewajibkan sebuah perusahaan mempekerjakan, contohnya, sejumlah noneksekutif direktur tidak dapat menghalangi terjadinya bencana tersebut. Dengan kata lain, bencana besar itu tak terhambat meskipun Enron dan WorldCom mempekerjakan sejumlah non-eksekutif direktur sebagaimana yang dipersyaratkan prinsip corporate governance (Atkins 2003). Tidak sebagaimana Amerika, Australia adalah salah satu negara yang mempergunakan sistim voluntary corporate governance. The Australia Stock Exchange Corporate Governance Council secara eksplisit menyatakan bahwa the Principles of Good Corporate Governance and the Best Practice Recommendation mempergunakan voluntary sistim, yakni perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listed companies) boleh tidak memenuhi ketentuan yang dimanatkan oleh kode corporate governance tapi harus memberikan alasan yang tepat perihal mengapa perusahaan tersebut tidak mematuhinya. Sistim Australia berlandaskan kepada prinsip dasar “if not why not”, kebalikan dari pendekatan “one size fits all” yang berlaku di Amerika (2nd ASX Corporate Governance Council 2007). Yang mendasari konsep corporate governance Australia adalah kebebasan pasar dalam menentukan pilihan; penting atau tidaknya perusahaan-perusahan mengikuti aturan yang dipersyaratkan dengan pertimbangan kondisi masing-masing perusahaan (Barholomeusz 2003). Dengan kata lain, para pembuat kode Australia kelihatannya memberikan kebebasan kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek untuk membangun sistim mereka sendiri dalam menjalankan bisnis sepanjang mereka dapat memberikan alasan yang logis 450

mengapa mereka tidak mematuhi prinsip yang tertuang dalam kode. Model Australia ini barangkali diadopsi dari model Inggris yang dapat dilihat di the 2000 code on corporate governance of the UK, yang sering disebut dengan the combined code on corporate governance. Pelaksanaan voluntary sistim corporate governance di Inggris dapat dipelajari pada paragrap 4 pembukaannya yang menyatakan dua hal: Pertama, perusahaan terdaftar (listed companies) diberikan kebebasan untuk membuat formulir pernyataan keterbukaan (disclosure statement) sebab komite tidak menyediakan perusahaan-perusahaan tersebut formulir khusus untuk itu. Kedua, tidak ada kewajiban bagi seluruh perusahaan terdaftar untuk menjalankan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam kode. Apabila perusahaan tidak mematuhi atau tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip, maka perusahaan tersbut harus menjelaskannya, ini dikenal dengan pendekatan “comply or explain” (The Combined on Corporate Governance 2003). Sebagaimana Australia, filosofi pelaksanaan pendekatan “comply or explain” di Inggris adalah untuk memberikan perhatian kepada kepada perusahaan-perusahaan kecil. Nampaknya pembuat kode sadar bahwa banyak perusahaan-perusahaan kecil di Inggris yang mungkin saja tidak cocok apabila dipaksa untuk tunduk kepada substansi dari kode tersebut. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan kecil terdaftar itu diizinkan menjalankan bisnis mereka di bawah model lain dengan memberikan alasan yang substantif (Ibid). Dengan kata lain, the UK Combine Code sadar bahwa tidak semua perusahaan terdaftar membutuhkan model tunggal dalam mengoperasionalkan perusahaan. Bagaimanapun, kedua model (mandatory dan voluntary) didisain untuk memperkuat posisi perusahaan-perusahaan dengan pemilik saham yang tersebar ketimbang perusahaanperusahaan dengan kepemilikan yang terkonsentrasi. Perdebatan tentang mandatory dan voluntary secara esensial bukanlah tentang sistim mana yang lebih cocok diterapkan kepada perusahaan secara umum. Akan tetapi ini adalah dua perspektif yang bermaksud menyelesaikan agency problem yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan dengan pemegang saham yang tersebar dan dalam pandangan pendukung mandatory model, hukum mempunyai peranan penting atau dibutuhkan dalam hal itu. Pendukung mandary model corporate governance juga sering dikategorikan sebagai pendukung “law matters” tesis. Dalam pandangan pratis, SOX adalah produk dari “law matters” tesis yang secara esensial menyatakan bahwa hukum berperanan penting dalam melindungi pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas dari kecurangan para insider. Tujaun akhir dari “law matters” tesis adalah untuk mempromosikan pasar modal dan pertumbuhan ekonomi yang akan dapat dicapai melalui peningkatan hak-hak pemegang saham (Parades 2004: 1057), yakni pemegang saham minoritas sebagai pemain utama pasar modal. Oleh karena itu adalah wajar menyimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pasar modal dan corporate governance. Kenyataanya, corporate governance mulai eksis sepanjang tahun 1990-an manakala deregulasi dan internasionalisasi pasar modal mulai bergerak tumbuh (Thomseen 2006: 850-851), dan pada saat yang bersamaan institusional investment melalui dana pensiun mulai berkembang di Amerika dan Inggris. Oleh karena itu, meminjam istilah Thomsen, cukup fair menyatakan bahwa corporate governance adalah agenda utama para pemegang saham institusi (institutional shareholder) (Ibid: 848)

451

3. CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA 3.1 Sejarah Singkat Sejarah corporate governnace Indonesia berhubungan erat dengan krisis finasial Asia Selatan 1997. Krisis mulai dari Thailand, terus menyerbu Philipina, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan (Kingsley 2004: 501). Krisis ini merupakan bencana yang sungguh tidak terduga. Krisis terjadi hanya beberapa bulan setelah the World Bank mengeluarkan laporannya yang menyimpulkan bahwa macan ekonomi Asia merupakan inspirasi bagi negara berkembang lainnya (Ibid: 500). Seorang pengamat mengatakan bahwa krisis Asia 1997 adalah tonggak sejarah perkenalan konsep Anglo-American corporate governance sistim di Indonesia. Dia menggambarkan bahwa keadaan keuangan Indonesia tahun 1997 sangat mengenaskan dimana nilai rupiah pada pertengahan Agustus 1997 terjun bebas sampai 27% terhadap dollar Amerika (Tabalujan 2002: 4). Dengan nada yang sama, seorang ahli mengatakan bahwa krisis Asia Selatan berdampak besar terhadap sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada saat itu mata uang Indonesia mengalami deprisiasi hampir 80% dan beberapa bisnis terutama sektor perbankan bangkrut (Daniel 2003: 318). Untuk menghadapi kondisi yang buruk itu, pemerintah Indonesia membutuhkan suntikan dana segar. Pada saat itu the International Monetary Funds (IMF) datang menawarkan bantuan. Lembaga ini menawarkan bantuan bersyarat dimana mereka akan memberikan pinkaman kepada pemerintah Indonesia dengan catatan Indonesia sanggup memenuhi beberapa persyaratan. Satu diantara persyaratan itu adalah perbaikan teradap sistim corporate governance (Kurniawan dan Indrianto 2000: 9). Di mata IMF sistim corporate governance Indonesia pada saat itu merupakan salah satu faktor penting lemahnya perekonomian Indonesia. Akhirnya, dari 5 Letters of Intent pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto dapat dipelajari bahwa Indonesia setuju dengan seluruh persyaratan yang diajukan IMF. Dana segarpun mengucur deras. Dari perspektif sejarah, kelahiran corporate governance di Indonesia tidaklah berdasarkan inisiatif lokal. Konsep itu lahir di Indonesia karena perintah orang luar (IMF); Indonesia mengadopsi corporate governance ala IMF sebab tidak ada opsi lain untuk dapat keluar dari krisis keuangan kala itu. 3.2 Pembentukan Kode Hasil studi dari Aguilera dan Cuervo-Cazurra tentang kode corporate governance di dunia menyimpulkan bahwa ada enam jenis pembuat kode: stock exchange yakni sebuah kode dibuat oleh lembaga pasar model; government, maksudnya apabila pemerintah secara langsung bertindak sebagai kreator pembuatan kode; asosiasi direktur, yakni kode dibuat oleh asosiasi direktur; asosiasi menejer, apabila kode dihasilkan atas kerja asosiasi menejer; asosiasi professional, yakni apabila kode dibentuk atas inisisasi para professional yang tergabung dalam satu organisasi seperti asosiasi pengacara, akuntan dll; dan tearkhir asosiasi investor, yaitu asosiasi investor memprakarsai pembentukan kode (Aguilera dan CuervoCazurra 2004: 423). Indonesia tidak memilih satu dari enam jenis tersebut, tapi memilih jalan lain. Kode Indonesia untuk pertama kalinya dikelaurkan oleh Komite Nasional Corporate Governance. Komite ini dibentuk pemerintah Indonesia melalui Mentri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri 452

pada tahun 1999. Komite ini memiliki dua tugas utama yakni melakukan kodifikasi prinsipprinsip corporate governance dan mengembangkan sebuah kerangka institusi untuk mengimplementasikan kode (Keputusan Mentri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri No. 1/M.EKUIN/08/1999 tanggal 9 Agustus 1999). Selanjutnya, pada bulan Maret 2000 Komite sukses membentuk Code for Good Corporate Governance (Daniel 2003: 360). Kode ini berlaku bagi seluruh BUMN dan perushaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek Jakarta (Lukviarman 2004: 6-7). Pada tahun 2004, pemerintah merubah Komite Nasional Corporate Governance menjadi Komite Nasional tentang Governance yang terdiri dua sub-komite yakni sub-komite public governance dan sub-komite corporate governance. Pada tahun 2006, Komite merevisi kode yang lama menjadi Indonesia’s Code of Good Corporate Governance atau Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (Komite Nasional Governance 2006: i).

4. MASALAH DAN KONDISI BUMN INDONESIA Secara umum, conflicting objectives, agency issue (political interference) dan lack of transparency adalah tiga problem utama badan usaha milik negara di dunia (Wicaksono 2009: 149-143) dimana Indonesia juga menghadapi masalah yang sama. Conflicting objectives maksudnya badan usaha milik negara tidak hanya memiliki tujuan komersial tapi juga memikul beban pemenuhan kepentingan sosial seperti penyediaan lapangan kerja, pelayanan kepentingan masyarakat dan menyediakan kebutuhan dasar (Ibid: 149). Dengan kata lain, tidak sebagaimana perusahaan pribadi, badan usaha milik negara memiliki tanggung jawab memenuhi kepentingan masyarakat banyak di samping tugas mencari keuntungan. Disebabkan oleh multi tugas tersebut, BUMN berada pada posisi yang kurang baik untuk berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan swasta murni dalam meraup keutungan. Meskipun negara yang diwakili oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan masyarakat awam dapat diklasifikasikan sebagai pemilik BUMN, dilihat dari sisi agency teori, kepemilikan BUMN adalah kabur. Pemerintah disebut sebagai pemilik karena pemerintah adalah penyedia modal; sedangkan masyarakat dianggap sebagai pemilik karena mereka memberikan uang kepada pemerintah sebagai pembayar pajak (tax payers). Dalam praktiknya, politisi dan birokrat adalah wakil dari pemerintah dan juga masyarakat awam dalam menjaga operasional BUMN (Ibid). Konsekuensinya, sejumlah politisi dan birokrat menjabat sebagai anggota dewan BUMN, terutama dewan komisaris. Menurut Wicaksono, kekaburan pemilik BUMN menyuburkan terjadinya intervensi politik (Ibid: 150-151). Berkenaan dengan lack of transparency, persoalannya adalah kecendrungan BUMN menutup informasi-informasi penting kepada masyarakat umum. Oleh karena itu, masyarakat sebagai pemilik ril BUMN tidak bisa melakukan kontrol sosial (Ibid: 152-153). Lack of transparency nampaknya merupakan agenda terencana yang dirancang para pemilik aktual BUMN (politisi dan birokrat). Diduga, hal ini terjadi karena mereka berusaha menutupi agenda-agenda pribadi di bisnis BUMN (Ibid: 153). Lack of transparency juga menyebabkan BUMN menjadi perusahaan yang tidak efisien. Laporan terbaru dari Kementrian Negara BUMN mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2008 BUMN meraih keuntungan sebesar 78.684.108 trilyun rupiah dimana 79% dari keuntungan itu (62.235.115 trilyun rupiah) berasal dari sumbangan 10 perusahaan. Dan lebih 453

dari 38% dari total keuntungan (30.195.140 trilyun rupiah) berasal dari satu perusahaan, PT Pertamina. Malangnya, laporan itu juga mengungkapkan bahwa ada 23 dari 141 BUMN yang merugi sepanjang tahun 2008 dengan jumlah 14.507.391 trilyun rupiah (BUMN Track 2009: 25). Dari data Kementrian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran, diantaranya: Pertama, total keuntungan yang berhasil diraih BUMN tidak merata karena sebagain besar dari keuntungan itu menumpuk pada 10 dari 141 BUMN. Bahkan, sebagaimana yang disebutkan di atas, sebagian keuntungan juga hanya tertumpuk pada satu perusahaan, PT Pertamina. Artinya, masih banyak BUMN yang belum menyumbangkan keuntungan kepada pemegang saham atau pemerintah. Kedua, BUMN yang memegang beberapa fasilitas kemudahan seperti hak monopoli kelistrikan yang digenggam PT PLN, tidak mampu meraih keuntungan, sebaliknya malah merugi. Hal itu semakin menguatkan bahwa BUMN sedang menghadapi persoalan yang cukup serius. Dan karenanya, sungguh beralasan apabila ada yang mengatakan bahwa kondisi ril BUMN itu disebabkan oleh tiga problem utama tersebut; conflicting objectives, agency problem (political interference) dan lack of transparency. Dalam konteks ini, sungguh beralasan untuk berharap kepada kode corporate governance sebagai salah satu alat yang dapat menyelesaikan atau paling tidak meminimalkan persoalan tersebut.

5. OVERVIEW KODE CORPORATE GOVERNANCE INDONESIA Bagian ini membahas kode corporate governance Indonesia untuk memastikan apakah kode ini didisain sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi BUMN. Versi terakhir dari kode corporate governance Indonesia yang telah dipublikasikan oleh Komite Nasional Governance pada tanggal 17 Oktober 2006 (National Committe on Governance 2006), terdiri dari 8 bab, yakni Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate Governance; Asas Good Corporate Governance; Etika Bisnis dan Etika Perilaku; Organ Perusahaan; Pemegang Saham; Pemangku Kepentingan; Pernyataan tentang Penerapan Pedoman GCG; dan Pedoman Praktis Penerapan GCG. Kode ini merupakan prinsip dasar pelaksanaan corporate governance di Indonesia, yang berlaku bagi seluruh perusahaan, tidak tergantung tipe dan ukurannya. Ini merupakan standar minimum corporate governance Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan penjabaran lanjutan oleh Komite untuk membuat kode yang lebih spesifik bagi perusahaan industri tertentu dan kemudian mesti diikuti oleh perusahaan-perusahaan dengan membuat kode di masing-masing perusahaan sebagai manual perusahaan. 5.1. Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate Governance Kode ini memperkenalkan apa yang disebut dengan inter-related pillars, yakni pemerintah sebagai regulaor atau pengambil kebijakan, komunitas bisnis sebagai pelaku pasar dan masyarakat sebagai pengguna hasil produk dan layanan dari komunitas bisnis. Oleh karena itu, kode ini mewajibkan pemerintah, komunitas bisnis dan masyarakat bekerja secara simultan sebagai governance tripod. Peran pemerintah sebagai regulator atau pengambil kebijakan telah diakomodasi di dalam kode yang menjelaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab melahirkan hukum dan 454

aturan-aturan lainnya yang relevan yang mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, disamping menegakkan hukum dan aturan yang dibuatnya. Berkenaan dengan kewajiban komunitas bisnis, kode ini menyatakan bahwa komunitas bisnis mesti mengimplementasikan prinsip-prinsip corporate governance sebagai dasar dalam setiap aktivitas bisnis dalam rangka mencapai iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan. Juga, kode meminta pelaku bisnis untuk mematuhi hukum dan regulasi dalam menjalankan bisnis dan menghindari perilaku-perilaku menyimpang seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai bagain ketiga dari pilar good governance, kode ini meminta masyarakat menjalankan kontrol secara objektif dan bertanggung jawab. Berkenaan dengan pelaksanaan sosial kontrol, kode ini meminta masyarakat mengkomunikasikan semua pendapat dan atau keberatan kepada komunitas bisnis dan pemerintah. 5.2. Asas Good Corporate Governance Transparansi, akuntabiliti, responsibiliti, independensi dan kesetaraan (fairness) adalah prinsip umum kode ini. Kecuali prinsip kesetaraan, prinsip-prinsip umum kode Indonesia tidak berbeda dengan prinsip-prinsip umum corporate governance negara lainya, contohnya prinsip corporate governance OECD (OECD 2004). Kode ini menyarankan perusahaan dalam menjalankan aktifitas perusahaan untuk memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan laninnya berdasarkan prinsip kesetaraan. Kesetaraan maksudnya adalah sebuah perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk menyatakan pendapatnya demi kepentingan perusahaan dan perusahaan harus memberikan pelayanan yang setara kepada seluruh pekerja tanpa melakukan diskriminasi. 5.3. Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku Kode ini menyarankan perusahaan untuk memiliki separangkat pedoman perilaku yang akan menjadi acuan bagi organ perusahaan dan karyawan dalam mengimplementasikan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis, yang diharapkan menjadi bagian dari budaya perusahaan. Kode ini kemudian juga merincikan prinsip dasar yang mesti dibuat oleh sebuah perusahaan yakni nilai-nilai perusahaan, etika bisnis, dan kode perilaku. 5.4. Organ Perusahaan Sebagai salah satu pengikut tradisi civil law, Indonesia menjalankan struktur two-tier. Konsekuensinya, tiga entitas –rapat umum pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi, eksis dalam sebuah perusahaan. Pembuat Kode percaya bahwa masing-masing organ memiliki peran penting dalam mengimplemntasikan corporate governance. Rapat Umum Pemegang Saham Kode menjelaskan bahwa rapat umum pemegang saham (RUPS) merupakan forum untuk membuat keputusan strategis berkenaan dengan investasi pemegang saham. Oleh karena itu Kode menyarankan agar keputusan RUPS mempertimbangkan kepentingan jangka panjang perusahaan. Akan tetapi, bukan berarti RUPS bisa seenaknya melakukan intervensi terhadap komisaris dan direksi. Kode juga meminta RUPS untuk menjalankan tugasnya secara tepat dan transparan. Dalam hal penunjukan anggota komisaris, contohnya, RUPS mesti memperhatikan kualitas dari kandidate yang potensia l.

455

Selain dari itu, tentang pembagian bonus, gratifikasi dan dividen, Kode menyarakan agar pengambil keputusan mempertimbangkan keadaan keuangan perusahaan.

Dewan Komisaris Kode memberikan tugas tambahan kepada dewan komisaris dalam hal pelaksanaan corporat governance disamping tugas lainnya sebagai pengontrol dan pemberi masukan sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Komisaris profesional adalah satu isu penting yang dibangun oleh para pembuat Kode. Yang disebut komisaris profesional adalah komisaris yang memiliki integritas dan kemampuan. Kode menegaskan

bahwa posisi seluruh anggota dewan komisaris adalah sejajar dan ketua dewan komisaris hanyalah sebagai koordinator anggota komisaris lainnya. Untuk kepentingan perusahaan, Kode (sebagaimana UU Perseran Terbatas) juga memberikan hak memberhentikan sementara para anggota dewan direksi. Aksi lanjutan dari pemberhentian semantara itu diserahkan kepada RUPS. Dalam hal ketidakadaan anggota direksi, Kode memberikan hak kepada komisaris untuk menjalankan semantara fungsi direksi. Dewan Direksi Berkenaan dengan dewan direksi, Kode menyatakan bahwa masing-masing anggota direksi, termasuk presiden direktur, berposisi sejajar dimana posisi presiden direktur adalah mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan direktur lainnya. Sebagaimana Komisaris, profesionalitas adalah satu isu penting dituliskan oleh pembuat kode yang menyatakan bahwa masing-masing direksi mesti memiliki integritas dan kemampuan dalam menjalankan fungsi menejemen. Tugas-tugas dewan direksi diatur di dalam Kode, yakni 5 tugas utama: kepengurusan perusahaan, menejemen resiko, kontrol internal, komunikasi dan tanggung jawab sosial.

5.5. Pemegang Saham Secara umum, Kode menyatakan bahwa sebagai pemilik perusahaan, pemegang saham mesti memperhatikan hak dan tanggung jawabnya dalam perusahaan sesuai dengan hukum dan aturan lainnya serta anggaran dasar perusahaan. Menurut Kode, pemegang saham dalam mengoperasionalkan hak dan tanggung jawab mereka harus memperhatikan keberlanjutan perusahaan dan sebaliknya perusahaan juga harus menjamin terpenuhinya seluruh hak-hak dan kewajiban pemegang saham berdasarkan penanganan yang setara sesuai dengan hukum, regulasi dan anggaran dasar perusahaan. 5.6. Pemangku Kepentingan Isu pemangku kepentingan juga diatur oleh Kode, dimana yang disebut sebagai pemangku kepentingan adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan mendapatkan pengaruh secara lansgung oleh keputusan strategis dan operasional perusahaan, termasuk di dalamnya karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat tempatan. Kode menegaskan bahwa tidak boleh ada tindakan diskriminatif terhadap karyawan berdaarkan suku agama, golongan dan gender. Di samping itu, Kode menyarankan agar antara perusahaan dan mitra bisnis menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Juga, perusahaan peduli dengan kepetingan masyarakat, terutama masyarakat tempatan serta masyarakat pengguna produk dan jasa perusahaan. 456

5.7. Pernyataan tentang Penerapan Pedoman GCG Kode ini menganut sistem voluntary. Sebagaimana yang disampikan di bagian atas, voluntary model adalah dimana perusahaan dibolehkan untuk tidak mematuhi prinsip yang disediakan oleh pembuat Kode asal saja perusahaan tersebut menjelaskan pilihannya itu. Secara rinci Kode menjelaskan bahwa dalam laporan tahunan perusahan mesti dimuat pernyataan tentang implementasi corporategovernance yang mesti didukung oleh laporan yang menjelaskan tentang struktur perusahaan, mekanisme kerja, di samping informasi lainnya tentang penerpan corporate governance. 5.8. Pedoman Praktis Penerapan GCG Kode mendeklrasikan bahwa pelaksanaan corporate governance perlu dilakukan secara sistimatis dan berkesinambungan. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan membutuhkan pedoman praktis sebagai acuan dalam menerapkan corporate governance oleh perusahaan. Menurut pembuat Kode, pedoman praktis tersebut setidaknya memuat: visi, misi dan nilainilai perusahaan; kedudukan dan fungsi organ perusahaan; kebijakan untuk memastikan fungsi setiap organ perusahaan berjalan efektif; kebijakan untuk memastikan terlaksananya akuntabilitas, pengendalian internal yang efektif dan pelaporan keuangan yang benar; pedoman perilaku yang berdasarkan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis; sarana pengungkapan informasi untuk pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya; dan kebijakan penyempurnaan berbagai peraturan perusahaan dalam rangka memenuhi prinsip good corporate governance.

6. DISKUSI Bagian 3 artikel ini telah mengungkapkan tiga problem utama BUMN Indonesia: confliecting of objectives, agency problems (political interference) dan lack of transparansi. Sebagaimana yang dirumuskan Thomsen, “corporate governance codes are sets of recommendation on good corporate governance, primarily concerning the structure, organization, and decision processes of the board, but also to same extent dealing with executive pay, information disclosure and investor relations” (Thomsen 2006: 847). Oleh karena itu, adalah beralasan kalau kita berharap kode Indonesia berusaha mencarikan jalan untuk keluar dari persoalan yang melilit itu dengan cara memuatnya dalam kode. Tapi dari brief overview kode di atas, kita tidak menemukan solusi itu. Berkenaan dengan conflicting objective, sebagai contoh, kode semestinya membuatkan prinsip yang menyatakan bahwa administrasi BUMN harus dipisahkan dengan tegas antara fungsi sosial dan bisnis. Sebagaimana yang diungkapkan pada bagian atas, kode hanya membatasi peran inter-related pillars, yakni peran pemerintah, komunitas bisnis dan masyarakat yang tidak berhubungan sama sekali dengan isu conflicting objectives. Prinsip ini hanyalah sebuah dorongan agar pemerintah melahirkan hukum dan aturan lainnya yang memproteksi hak-hak investor. Kode Indonesia juga tidak mencarikan solusi atas persoalan political interferrence yang sedang dihadapi oleh BUMN. Kenyataannya, political interference adalah persoalan paling serius yang dihadapi oleh BUMN, khususnya BUMN tertutup. Political interference menghalangi BUMN menjadi perusahaan yang profesional. 457

Penunjukan beberapa orang dekat penguasa atau pendukung salah satu partai politik yang sedang berkuasa menjadi komisaris di beberapa BUMN merupakan contoh paling tepat untuk membuktikan political interference benar-benar eksis. Sebuah hasil investigasi report yang dimuat di dalam OkeZone.com menemukan 11 orang dekat Presiden dan Wakil Presiden yang duduk sebagai komisaris di beberapa BUMN, sebagaimana yang dapat dilihat di tabel berikut ini.

No 1 2

Nama Perusahaan Yahya Ombara PT Kereta Api Indonesia Mayjend (Purn) PT Indosat Soeprapto

Catatan Mantan anggota tim sukses SBY-JK Mantan ketua tim sekoci pemenangan SBY

3

Maj. General (Ret.) Samsoeddin

Mantan sekretaris tim nasional kampanye SBY-JK

4

Leutenant M. Yasin

5

Andi Arif

PT Pos Indonesia

Sekjen Jaringan Nusantara, jaringan pendukung SBY

6

Syahganda Nainggolan

PT Pelindo

Aktivis, mantan direktur eksekutif CIDES dan anggota tim kampanye SBY-JK

7

Aam Sapulete

PT Perkebunan VII

8 9

Dino Patti Djalal Saifullah Yusuf

PT Danareksa PT Bank Indonesia

10

Tanri Abeng

11

Syukur Sarto

PT Telkom (Indonesian Orang dekat Jusuf Kalla Telecommunication Company) PT Jamsostek (Indonesia Bendahara SOKSI, organisasi Employees Insurance Partai Golkar Company)

PT Jasa Marga

General PT Rajawali Nusantara Orang dekat SBY Indonesia sebuah

Mantan aktivis 1998 dan mantan tim sukses SBY-JK Juru bicara Presiden Rakyat Mantan Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal

sayap

6.1. Kata Profesional yang Kehilangan Makna Harus diakui bahwa pembuat kode telah berusaha mencoba mencarikan jalan keluar atas persoalan yang sedang dihadapi BUMN, misalnya sebagai yang tertulis di dalam bab IV, pon C 2, sebagaimana yang dikutip di bawah ini: 2. Anggota Komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa Direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan.

Integritas dan kapabilitas merupakan dua karakteristik utama dalam terminlogi apa yang disebut dengan komisaris profesional. Pembuat kode nampaknya beranggapan bahwa masalah BUMN, misalnya political interference dapat diselesaikan dengan “memaksa” BUMN mengangkat komisaris profesional yang memiliki integritas baik dan berkemampuan atau ahli di bidangnya. Hal itu terlihat di dalam kode tersebut, dimana integritas dan kapabilitas sengaja 458

dimasukkan sebagai karakteristik komisaris profesional karena asumsinya komisaris yang berintegritas dan bertanggung jawab tidak akan mempergunakan hak milik perusahaan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan pihak lainnya. Juga, pembuat kode percaya bahwa seorang komisaris profesional dengan integritas dan kemampuan yang baik akan patuh dengan hukum, peraturan lainnya serta anggaran dasar perusahaan. Benar, salah satu isu kontemporer perusahaan-perusahaan di Indonesia secara umum adalah komisaris yang tidak profesional. Buruknya kinerja perusahaan-perusahaan Indonesia diduga disebabkab oleh tidak profesionalnya komisaris dalam menjalankan tugas-tugasnya (Kamal 2008: 5). Komisaris profesional tidak eksis di Indonesia, khususnya di BUMN tertutup, karena sebagian besar komisaris adalah orang-orang sibuk seperti politisi, pensiunan tentara atau polisi, mantan mentri dan pejabat tinggi negara semisal sekretaris atau direktur jendral di sebuah kementrian –tabel di atas merupakan bukti sederhana untuk membenarkan pernyataan ini. Oleh karena, sudah dapat diduga, mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena mereka tidak punya waktu untuk melakukannya. Orang-orang sibuk di dewan komisaris berhubungan langsung dengan political interference, maknanya sebagian besar anggota dewan komisaris di BUMN tertutama yang tertutup dipilih tidak memperhatikan logika ketersedian waktu. Padahal, masalah BUMN sekarang terutama yang berjenis tertutup tidak hanya soal kekurangan integritas dan kemampuan tapi juga masalah ketersediaan waktu dari komisaris yang ditunjuk itu. Banyak komisaris yang mungkin integritas dan kemampuan mereka tidak diragukan lagi, tapi mereka tidak punya waktu menjalankan tugasnya sebagai komisaris di BUMN karena banyak jabatan-jabatan lain yang disandangnya. 6.2. Pemegang Saham Minoritas Sebagaimana kode corporate governance di negara lain, kode Indonesia juga menfokuskan diri memberikan proteksi maksimal kepada pemegang saham minoritas, yang dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini: 1.2. Dewan Komisaris dapat terdiri dari Komisaris yang tida berasl dari pihak yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal dengan Komisaris Independen dan Komisaris yang terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali,... 1.4. ...Pemilihan Komisaris Independen harus memperhatikan pendapat pemegang saham minoritas yang dapat disalurkan melalui Komite Nominasi dan Remunerasi

Komisaris independen, kontroling dan pemegang saham minoritas merupakan tiga kata krusial yang termaktub di dalam dua prinsip di atas. Pembuat kode mendefiniskan komisaris independen sebagai seseorang yang bebas dari hubungan bisnis dan keluarga dengan pemegang saham pengontrol di samping tidak memiliki hubungan dengan anggota direksi dan komisaris lainnya. Pembuat kode secara tegas merekomendasikan sebuah perusahaan mesti memiliki komisaris independen disamping komisaris yang terafiliasi. Asumsi dasar dari komisaris independen, sepertinya, sebuah upaya dalam menyelesaikan agency problem di perusahaan-perusahaan Indonesia, oleh karenanya kode ini membedakan pemegang saham menjadi dua, yakni pemegang saham mayoritas dan minoritas. Untuk BUMN terbuka, barangkali prinsip ini amat cocok karena memang di BUMN terbuka terdapat lebih dari satu jenis pemegang saham. Akan tetapi, prinsip ini mejadi juga tidak bermakna manakala kita membicarakan BUMN tertutup, 459

karena ada satu jenis pemegang saham di BUMN tertutup yakni pemerintah. Prinsip yang dikutip di atas sangat umum di perusahaan-perusahan dengan pemegang saham yang terfragmentasi, sebab prinsip ini amat dibutuhkan untuk menyelamatkan modal pemegang saham minoritas dari kecurangan orang dalam (insider). Tidak sebagaimana halnya perusahaan dengan pemegang saham yang tersebar, BUMN tertutup tidak menghadapi agency problem seperti penyelewengan aset pemegang saham minoritas oleh pemegang saham pengontrol. Sebagaimana yang disebutkan di bagian atas, agency issue yang ada di BUMN terutama yang berjenis tertutup tidak lain adalah political interference. Dan anehnya, jangankan berusaha menyelesaikan political interference, kode corporate governance justeru menyediakan peluang baru terjadinya political interference dengan menuliskan di salah satu prinsipnya bahwa BUMN boleh memberikan bantuan kepada partai politik, calon anggota legislatif dan eksekutif (Bab III poin 3.3. Kode Corporate Governance Indonesia). 6.3. Mestinya Fokus pada Tatakelola Dalam sebuah tulisannya bersama dengan Prasetyantoko, Ketua Komite Nasional Governance, Ahmad Daniri, mengatakan bahwa persoalan serius yang sedang dihadapi oleh BUMN Indonesia –termasuk yang berjenis tertutup, adalah masalah tatakelola, bukan yang lainnya seperti kaburnya kepemilikan BUMN. Lebih jauh Daniri dan Prasetyantoko mengatakan bahwa intervensi yang berlebihan dari politisi dan birokrat terhadap BUMN menyebabkan BUMN menjadi perusahaan yang tidak efisien (Daniri dan Prasetyantoko 2008: 3). Mereka berdua yakin bahwa dalam banyak kasus persoalan tatakelola BUMN tidak berhubungan langsung dengan isu kepemilikan. Dengan penuh percaya diri, bahkan, mereka berdua menyampaikan bahwa meskipun dimiliki oleh negara, BUMN akan bisa dimenej dengan baik untuk dapat bersaing dengan perusahaan swasta (Ibid). Daniri dan Prasentyatoko mungkin ada benarnya. Akan tetapi, sayangnya rumusan kata-kata Ketua Komite tersebut tidak tercermin di dalam Kode corporate governance yang disusun lembaga yang dipimpinnya. Komite tersebut, justeru sama sekali tidak concern dengan isu yang disampaikan ketuanya. Menurut saya, setuju dengan pendapat Daniri dan Prasetyantoko, semestinya kode corporate governance Indonesia menjadikan isu tatakelola sebagai isu penting dengan merumuskan prinsip-prinsip yang menjauhkan BUMN dari intervensi kepentingan politik tertentu.

7. KESIMPULAN Artikel ini telah mendiskusikan konsep dasar corporate governanance, dimana terungkap bahwa secara substansial mainstream corporate governance atau sistim Anglo-American corporate governance dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan yang membelit perusahaan dengan ciri kepemilikan yang menyebar (widely dispersed ownership). Karena, agency problems muncul manakala terjadi pemisahan antara pemilik dan pengontrol perusahaan (separation of ownership and control) dan pemisahan itu tidak terelakkan ketika saham perusahaan tidak tertumpuk pada satu tangan. Artikel ini juga telah memaparkan sejarah singkat corporate governance Indonesia, dimana terungkap bahwa lembaga internasional (IMF) berperan penting dalam pemberlakuan konsep corporate governance di Indonesia. Persoalan utama BUMN Indonesia juga telah diuraikan dalam artikel ini, yakni conflicting objectives, political interference dan lack of transparansi. Dari ketiga persoalan 460

utama BUMN itu, hanya satu diberikan jalan keluar oleh Kode, yakni lack of transparansi; jalannya keluarnya termuat dalam prinsip Transparasi sebagai salah satu azas Kode. Artikel ini juga telah menggambarkan corporate governance Indonesia di bawah Kode yang dibuat oleh Komite Nasional Governance. Sebagaimana yang juga berlangsung di banyak negara, Kode Indonesia merupakan tawaran solusi bagi perusahaan-perusahan yang pemegang sahamnya terbagi di tangan banyak orang. Sebaliknya, Kode Indonesia tidak sedikitpun memuat solusi atas persoalan yang dihadapi oleh perusahaan dengan pemegang saham tunggal seperti BUMN tertutup. Dari hal-hal tersebut di atas, artikel ini layak menyimpulkan bahwa Kode corporate governance Indonesia secara konseptual tidak memberikan dukungan berkembangnya BUMN tertutup. Dengan Kode yang ada sekarang, cuma tersedia satu pilihan untuk memperbaiki kondisi BUMN tertutup, yakni sebarkan saham-sahamnya untuk dimiliki oleh siapa saja. Padahal, sudah banyak ahli melakukan studi tentang hal ini bahwa menyebarkan kepemilikan bukanlah satu-satunya jalan memperbaiki wajah BUMN. Posisi saya, tatakelola (governance) perusahaan-perusahaan Indonesia perlu ditata sedemikian rupa tanpa harus memaksakan satu bentuk tunggal. Biarkan perusahaan-perusahaan itu tetap dengan modelnya masing-masing – perusahaan dengan pemilik yang menyebar atau menumpuk, yang penting mempersembahkan manfaat lebih kepada masyarakat.

REFERENSI Aguilera and Cuervo-Cazurra, Codes of Good Governance Worldwide: What is the Trigger? 2004, 25 Organization Studies Anand, Voluntary vs. Mandatory Corporate Governance: Towards and Optimal Regulatory Framework, (March 29, 2005) bepress Legal Series. Working Paper 566, at 16 April 2008 Atkins,P., Speech by SEC Commissioner: The Sarbanes-Oxley Act 2002:Goals,Content,and Status of Implementation, (February 5,2003) at 20 March 2008 Barholomeusz, Governance changes may have unforeseen effects on boards, (April 5, 2003) at 20 March 2008 Berle, A., and Means, G., The Modern Corporation & Private Property (1932) Bhasa, M. P., Global Corporate Governance: Debates and Challenges, 4 Corporate Governance: The International Journal of Business in Society (2004) BUMN Track, 10 BUMN Laba Terbesar :Hari ini Lebih Baik dari Kemarin”, 21 BUMN Track (Tahun II April 2009) BUMN Track, 10 BUMN Rugi Terbesar, Tergerus Rugi Kurs, 21 BUMN Track (Tahun II April 2009) Cheffins, B.R., Law as Bedrock: The Foundations of an Economy Dominated by Widely Held Companies, (2003) 23 Oxford Journal of Legal Studies 461

Daniel, Corporate Governance in Indonesian Listed Companies – A Problem of Legal Transplant, (2003) 15 Bond Law Review Djankov, S., La Porta, R., Lopez-de-Silanez, F., and Shleifer, A., The law and economics of self-dealing, 88 Journal of Financial Economics, (2008) Fama, E., and Jensen, M., Separation of Ownership and Control, 26 Journal of Law and Economics, (1983) Goncharov, I., Werner, J. R., and Zimmermann, J., Does Compliance with the German Corporate Governance Code Have an Impact on Stock Valuation? An empirical analysis, 14 Corporate Governance, 2006 Jensen, M., and Meckling, W., Theory of the firm: managerial behaviour, agency costs and ownership structure, 3 Journal of Financial Economics (1976) 305-360 Kamal, M., The Indonesian Company Law: Does it Support Good Corporate Governance? Macquarie Law WP 2008-24, (2008) http://ssrn.com/abstract=1215867 at 24 August 2009 Kingsley, J. J., Legal Transplantation: Is this what the doctor ordered and are the blood types compatible? The application of interdisciplinary research to law reform in the developing world – A case study of corporate governance in Indonesia, 21 Arizona Journal of International & Comapartive Law, (2004) Kurniawan and Indrianto, Corporate Governance in Indonesia, (31 May – 2 June 2000) Paper on The Second Asian Roundtable on Corporate Governance La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., and Vishny R. W., Legal Determinant of External Finance, 52 Journal of Finance (1997) La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., and Vishny R. W., Law and Finance, 106 Journal of Political Economy (1998) La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., and Vishny R. W., Corporate Ownership around the World, 54 Journal of Finance (1999) La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., and Vishny R. W., Agency Problem and Dividend Policies around the World, 55 Journal of Finance (1999). La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., and Vishny R., Investor protection and corporate governance, 58 Journal of Financial Economics, (2000) Letters of Intent dated October 31, 1997; July 29, 1998; May 14, 1999; July 22, 1999; and January 20, 2000. Lukviarman, N., Kendala Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia, (2004) National Committee on Governance, Indonesia’s Code of Good Corporate Governance, (2006) http://www.governanceindonesia.com/donlot/Pedoman%20GCG%20Indonesia%202006.pdf> at 22 April 2008 OECD, OECD Principles of Corporate Governance, 2004 Okzone.com, Duduk Manis di Kursi Komisaris, (18 June 2008) http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/06/17/20/119674/duduk-manisdi-kursi-komisaris at 27 August 2009 462

Padgett, C., and Shabir, A., The UK Code of Corporate Governance: Link between Companies and Firm Performance, ICMA Centre Discussion Papers in Finance DP2005-17, 2005 Parades, T. A., A Systems Approach to Corporate Governance Reform: Why Importing U.S. Corporate Law isn’t the Answer, 45 Wm. And Mary L. R., (2004) Ribstein, Market vs. Regulatory to Corporate Fraud: A Critique of the Sarbanes-Oxley Act of 2002, (2002) Journal of Company Law Tabalujan, Why Indonesian Corporate Governance Failed – Conjectures Concerning Legal Culture, (2002) 15 Columbia Journal of Asian Law Talbot, L.E., Critical Company Law, (2008) Routledge-Cavendish the United Kingdom, The

Combined Code on Corporate Governance (July 2003), at 15 April 2008

The Decree of the Coordinator Minister of the Economic, Finance and Industry No. 1/M.EKUIN/08/1999 dated 9 August 1999. Thomsen, S., The Hidden Meaning of Codes: Corporate Governance and Investor Rent Seeking, 7 European Business Organization Law Review, (2006) Wicaksono, A., Corporate Governance of State-owned Enterprises: Investment Holding Structure of Government-Linked Companies in Singapore and Malaysia and Applicability for Indonesian State-owned Enterprises, (2009) Unpublished Doctoral Dissertation at the University of St. Gallen, Graduate School of Business Administration, Economics, Law and Social Science (HSG) Wei, Y., Comparative Corporate Governance A Chinese Perspective, 2003 2nd

ASX Corporate Governance Council, Corporate Governance Principles Recommendations, (August 2007) at 15 April 2008

463

Sub Kategori

: Sains ekonomi (2D)

Judul : ENTRY THRESHOLD RATIO DI INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA DAN REKOMENDASI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SELULER BERBASIS CDMA KE DEPAN36 Ibrahim KHOLILUL Rohman PhD Student Division of Technology and Society, Department of Technology, Management and Economics Chalmers University of Technology Vera Sandbergs Alle 8, Gothenburg, SE-41520 Telp : +46 31 7723768, +46762887202 E-mail: [email protected], [email protected]

Abstract: Telecommunications liberalization has typically involved lowering the entry barriers and promoting the new entrants to the industry, in order to create a more level of playing field. A basic analysis of market structure shows that as the number of firms increases, the price tends to decrease where only the marginal costs are covered. However, different characteristics of the market create different roles for new entrants. A particular sector given higher fixed and entry barriers may not require any entrants since the existing incumbents are efficient. Therefore, the entry threshold ratio is high suggesting that the entrants can only enter the market if they have an efficient level of cost structure as well as enough customers. In addition, if entrants are preferred, the further question is what will the type of entrants be? Thus, this study is aimed to investigate the entry threshold ratio of the telecommunication industry in Indonesia to test whether the additional entramt is justified from a competition standpoint. The second part of the study estimates the market demand based on two main cellular technologies in Indonesia: the GSM and CDMA standards and to forecast future characteristics of demand. The demand estimation applies the Logit model to measure the likelihood ratio given different characteristics of respondent in terms of income, ages, education and sex. The forecast study is done by applying scenario analysis based on an expected utility model. The study suggests that the CDMA market has a brighter possibility to develop since it has larger income sensitivity; thus in the future as people become wealthier, their demand for services will grow even faster. Hence, it recommends additional entrant of CDMA operators to achieve better level of market efficiency compared to the GSM one Key words: demand, competition, firm behavior

1.

PENDAHULUAN

Mengikuti perkembangan sektor telekomunikasi saat ini, terlihat bahwa dengan semakin 36

The author thanks to Dedy Sushandoyo of Linkoping University for great support and Riana Garniati Rahayu of Chalmers University of Technology for exceptional writing assistant.

464

majunya teknologi, variasi jenis layanan telekomunikasi semakin banyak ditemukan. Laffont dan Tirole (2000) menjelaskan fenomena ini dengan membagi layanan modern telekomunikasi sebagai "PANS" (Pretty Amazing New Services). Sebagai contoh, saat ini kita dapat menemukan jenis layanan seperti calling cards, toll-free atau paying-numbers-to-callbusinesses, name or number identification, voice messaging, routing of calls, faksimili, data transfer, home banking, video on demand, teleconference video, dan internet dengan mudah. Sementara jenis layanan tradisional telekomunikasi disebut dengan “POTS" (Plain Old Telephone Services). Jasa ini hanya meliputi jasa-jasa primer, seperti telepon lokal, Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), serta sambungan internasional. Selain itu layanan telekomunikasi juga semakin terhubung dengan jenis jasa yang lain, seperti TV kabel, industri penyiaran dan komputer. Karenanya, persaingan dalam industri telekomunikasi modern tidak dapat hanya dilihat dari sektor telekomunikasi itu sendiri namun juga harus memperhatikan sektor-sektor terkait lainnya. Ada dua konsekuensi dari hal ini yang harus diperhatikan, (1) keputusan suatu perusahaan untuk memasuki pasar akan sangat tergantung dari karakteristik sektor-sektor terkait lainnya (2) dengan variasi jasa yang tersedia, pola permintaan jasa telekomunikasi akan sangat personal (Ling, 2002), sehingga diperlukan pendekatan dari sudut pandang behavioral economics. Sebagai contoh, remaja memiliki tipe konsumsi yang berbeda dengan orang paruh baya Dengan kata lain, proyeksi pola permintaan dengan trend pertumbuhan berdasarkan data masa lalu tidak lagi relevan untuk prediksi ke depan. Konsekuensinya, model permintaan menggunakan data-data primer dan survey akan lebih bisa menggambarkan pola permintaan masyarakat yang sesungguhnya. Dalam bidang telekomunikasi, salah satu variable yang sangat mempengaruhi keputusan untuk memasuki pasar (entry policy) adalah access pricing. Dalam hal ini, menurut Stennek dan Tangeras (2008), operator harus melihat bahwa access price memiliki aspek game theory yang harus dicermati secara hati-hati. Sebagai gambaran, ketika access price terlalu tinggi, frekuensi panggilan menjadi sedikit sehingga akan mengurangi jumlah pendapatan operator. Sebaliknya, jika access price terlalu rendah, jumlah frekuensi akan meningkat namun juga dibarengi dengan transfer pendapatan lebih besar ke operator rival (unbalanced transfer). Akibatnya, pendapatan operator akan menurun dan justru akan memperbesar pendapatan rival. Sehingga, dapat dikatakan bahwa salah satu syarat agar pemain baru bias bertahan dalam industri telekomunikasi adalah keharusan untuk memiliki coverage area yang menyeluruh (Laffont, Tirole dan Rey, 2008) untuk mengantisipasi perlunya subsidi silang. Pertanyaan selanjutnya adalah : mengapa estimasi permintaan masyarakat begitu penting? Dengan adanya fungsi permintaan maka akan didapatkan besaran yang menggambarkan responsiveness dan kontribusi sektor telekomunikasi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan pola permintaan pada beberapa tahun terakhir, Cette, et al (2004) menjelaskan bahwa peranan sektor ICT di Asia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, Varian, et al (2003) juga menjelaskan bahwa pola permintaan masyarakat akan menghasilkan efek multiplikasi dari apa yang disebut dengan network externalities yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukan PDB. Peranan sektor telekomunikasi sendiri di Indonesia tumbuh dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kontribusi subsektor telekomunikasi nasional terhadap PDB selama periode 2005-2006 berada pada kisaran 3% dari PDB. Pada periode yang sama, pertumbuhan sektor 465

telekomunikasi adalah sebesar 24%, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 5-6%. Pertumbuhan yang sangat pesat tersebut terutama dialami oleh jasa telekomunikasi telepon seluler. Peningkatan teledensitas telepon seluler selama periode 19992005 meningkat dari hanya 1,1 per 100 penduduk menjadi 23,1 per 100 orang. Jumlah pelanggan meningkat dari 2,1 juta pada tahun 1999 menjadi 46.9 juta pada tahun 2005. Gambaran tentang perkembangan telepon seluler menunjukkan bahwa pada tahun yang sama, jumlah pelanggan telepon di Indonesia telah mendekati jumlah pelanggan seluler di negaranegara maju, seperti Prancis dengan 48 juta pelanggan (ITU, 2005). Pada tahun 2004 dan 2005, penerimaan dari industri telekomunikasi seluler di Indonesia masing-masing sebesar US$2,5 milyar dan US$2,8 milyar yang berarti bertumbuh 14% selama periode tersebut. Di Asia, pangsa pasar Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di bawah China, Korea dan Malaysia. Berdasarkan paparan di atas, studi ini memiliki dua tujuan utama (i) melihat bagaimana dampak masuknya pelaku usaha baru (entrants) dalam industri telekomunikasi di Indonesia, serta (ii) merekomendasikan operator baru seperti apa (CDMA vs. GSM) yang akan memberikan kontribusi terbesar terhadap efisiensi dalam industri telekomunikasi Setelah pembahasan pada bagian pendahuluan ini, selanjutnya akan dipaparkan literature review yang digunakan dalam keseluruhan studi yang mencakup teori mengenai decision to entry, entry dalam industri telekomunikasi, teori permintaan dalam industri telekomunikasi, proyeksi ke depan berdasarkan utility theory dan proyeksi teknologi. Kemudian pada bagian ketiga, studi ini akan menjelaskan data primer dan data sekunder yang digunakan. Bagian ke empat akan menjelaskan hasil analisa yang secara umum membahas tiga hal pokok : gambaran entry threshold ratio industri telekomunikasi di Indonesia , pola permintaan serta proyeksi ke depan. Bagian terakhir dari studi akan membahas kesimpulan, saran kebijakan dan keterbatasan studi.

2.

STUDI LITERATUR

2.1. Keputusan untuk Masuk ke dalam Pasar Bagian ini akan membahas landasan teori utama yang digunakan dalam studi, yaitu Bresnahan dan Reiss (1991) dan menurunkan suatu formula yang relevan digunakan untuk mendeteksi dampak dari entry policy di sektor telekomunikasi. 2.1. 1. Entry Threshold Ratio Pada dasarnya, terdapat dua kutub pandangan dalam mendeteksi bagaimana dampak entry policy terhadap competitive conduct37. Pandangan contestable market theory menyatakan bahwa adanya pemain baru di pasar akan mengurangi kekuatan monopoli yang berimplikasi pada efisiensi. Pandangan kedua disebut dengan the entry-barriers model menyatakan bahwa hanya entrants yang benar-benar efisien yang bisa merubah competitive conduct. Implikasinya entrants yang tidak memiliki tingkat efisiensi sebagaimana incumbent tidak akan memiliki dampak yang signifikan mengubah competitive conduct. Adanya pelaku usaha baru pada suatu industri digambarkan dengan pergesarn kurva permintaan (demand) secara terus menerus sampai dengan suatu titik dimana kurva permintaan berpotongan dengan Marginal Cost (MC) dan Average Cost (AC) secara bersama-sama. Pada kondisi ini, hanya normal profit yang akan diperoleh oleh para pelaku pasar. Model ini mengasumsikan zero profit, artinya 37

Conpetitive conduct mencakup perubahan pada harga, kuantitas dan laba/profit yang diperoleh oleh perusahaan

466

mendeteksi berapa jumlah pelaku usaha baru yang menjamin industri berada pada minimal zero profit. Penurunan modelnya dijabarkan sebagai berikut (1) Persamaan (1) di atas menggambarkan fungsi profit, dimana akan tergantung dari selisih operating profit (selisih antara harga dan biaya variabel rata-rata). Sementara S menggambarkan jumlah konsumen, Z menggambarkan variabel-variabel demografi, q menggambarkan level output, F menggambarkan biaya tetap (fixed cost) dan W menggambarkan variabel yang lain yang bisa mempengaruhi harga. Dengan membalik persamaan (1) untuk melihat minimal jumlah konsumen (S) yang dibutuhkan untuk menjamin zero profit, didapatkan persamaan (2) sebagai berikut (2)

Persamaan (2) menggambarkan bahwa semakin tinggi fixed cost akan membuat jumlah tambahan konsumen yang dibutuhkan semakin besar dengan kata lain menunjukkan entry threshold yang semakin tinggi. Namun demikian, dengan adanya keterbatasan data yang ada dari database International Telecommunication Union (ITU), misalnya ketiadaan data mengenai fixed cost, persamaan di atas didekati dengan persamaan (3), yang mengestimasi entry threshold dengan menentukan berapa jumlah tambahan konsumen yang dibutuhkan untuk menutup biaya investasi berdasarkan rata-rata penerimaan per konsumen, sebagaimana dalam persamaan (3) berikut (3)

Sedangkan entry threshold ratio(ETR) mengukur perubahan pada (3) sepanjang waktu. 2.1.2. Entry di industri telekomunikasi Economides (1994) menjelaskan bagaimana dampak decision to entry pada industri telekomunikasi sebagaimana tampak dalam model di bawah ini. (4) Persamaan (4) adalah inverse demand yang memasukkan fungsi f(S) sebagai proyeksi network externality. Variabel ini dibuat berdasarkan tingkat keyakinan pelaku pasar sejumlah tambahan koneksi pelanggan baru akibat masuknya entrants. Dengan demikian tingkat laba yang diperoleh per unit perusahaan dapat durunkan dari persamaan (4) (5) Persamaan (5) di atas menggambarkan dua efek yang terjadi jika jumlah pelaku usaha (n) bertambah. Pertama, tambahan pelaku usaha baru akan mengurangi profit karena perusahaan akan saling bersaing. Hal ini disebut dengan competition effect. Sementara itu, tambahan pelaku usaha baru juga akan meningkatkan ekspektasi tambahan jaringan di masa depan sehingga justru akan lebih memperluas pasar dan meningkatkan profit perusahaan. Dampak ini disebut dengan network effect. 467

2.2. Teori Permintaan dalam Industri Telekonunikasi Model fungsi permintaan yang digunakan dalam studi ini menggunakan Limited Dependent Variabel (LDV) Logit Model. Model serupa digunakan oleh Marinucci dan Perez Amaral (2005), namun studi ini lebih berfokus pada perbedaan pola permintaan jasa telekomunikasi di level perusahaan. Sementara untuk estimasi permintaan konsumen, model ini digunakan oleh Zong dan Anderson (2006) pada kasus permintaan rumah tangga di Inggris. Persamaan pada logit model dapat digambarkan sebagai berikut Li=Ln(Pi/1-Pi) = f(pendidikan, pendapatan, umur, jenis kelamin)

(6)

Persamaan (6) menggambarkan likelihood dan probabilitas permintaan yang dipengaruhi oleh karakteristik individu baik tingkat pendidikan, pendapatan, umur maupun jenis kelamin. Selanjutnya, jika persmaan di atas di paparkan dalam bentuk persamaan regresi, akan didapatkan bentuk sebagai berikut Li=Ln(Pi/1-Pi)=β1+β2*Pendidikan+ β3*Pendapatan2 + β4*Pendapatan3 + β5*Laki-laki+ β6*Umur1+ β7*Umur2 (7) Persamaan (7) di atas menggambarkan bahwa likelihood permintaan jasa telekomunikasi akan ditentukan oleh karakteristik masing-masing individu. Namun demikian parameter β dari persamaan di atas tidak bias langsung diterjemahkan, sehingga diperlukan suatu besaran yang disebut dengan marginal effect yang dapat dituliskan sebagai berikut Marginal effect = prob[Y=1|

(d),d=1

-prob[Y=1|

((d),d=0]

(8)

Persamaan (8) menggambarkan nilai marginal effect dari masing-masing parameter β dari persamaan sebelumnya. Marginal effect untuk suatu variabel adalah perubahan probabilitas atau likelihood dari satu individu dibandingkan dengan basis dummy yang digunakan. Misalnya jika marginal effect dari laki-laki=15%, hal ini mengindikasikan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan memiliki pengeluaran untuk keperluan telekomunikasi sejumlah Rp X tertentu, dengan probabilitas atau likelihood 15% lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (basis dummy). 2.3. Proyeksi Permintaan ke Depan 2.3.1.Proyeksi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Untuk keperluan proyeksi pada studi ini akan digunakan analisa skenario berdasarkan expected utility of consumption overtime (Johansson-Stennan, 2009). Jika individu dihadapkan dengan kemungkinan hidup selama T tahun dengan instantaneous utility u (ct) pada waktu t, maka maksimisasi utilitas akan dilakukan dengan memaksimalkan present value dari expected utility berdasarkan (subject to) present value dari expected income, sebagaimana terlihat pada persamaan (9) sebagai berikut: (9) Persamaan(9) di atas menjelaskan objective function maksimisasi utilitas dengan kendala pendapatan. First Order Condition (FOC) dari persamaan di atas dapat digambarkan pada persamaan (10) sebagai berikut 468

(10) Sehinngga, dalam kasus dimana =r, akan berlaku (11) Implikasinya adalah bahwa bersadarkan persamaan (11) marginal instantaneous utility of consumption akan konstan, sehingga sepanjang waktu juga akan konstan. Selanjutnya, teori kedua yang akan digunakan untuk membangun simulasi ke depan diturunkan dari Aronsson dan Johansson-Stenman (2008) yang menjelaskan bahwa konsumsi individu ke depan dipengaruhi secara relatif konsumsi dari individu yang lain. Asumsi modelnya diturunkan sebagai berikut : (i) konsumsi individu adalah sebesar, , (ii) leisure yang dimiliki individu sebesar , berdasarkan jumlah total waktu tersedua H, dikurangi dengan jumlah waktu untuk bekerja, , (iii) komposisi barang lain yang dikonsumsi adalah, barang publik sebesar G, (iv) konsumsi relatif individu i adalah adalah sebesar , di mana rata-rata pendapatan dalam masayarakat. Maka, persamaan utilitas dari penggabungan variabel-variabel di atas dapat digambarkan dalam persamaan (12) sebagai berikut (12) Persamaan (12) menjelaskan utilitas seorang individu berdasarkan konsumsi relatif yang dilakukan dengan melihat konsumsi orang lain. Sehingga dengan kondisi di mana meningkat sepanjang waktu, maka menurun berdasarkan . Dengan kata lain, individu akan berusaha memaksimalkan utilitasnya sedapat mungkin dengan mengkonsumsi relatif lebih banyak dibandingkan konsumsi individu yang lain 2.3.2.Proyeksi Berdasarkan Teknologi Gambaran teknologi telekomunikasi ke depan dapat dirujuk dalam studi Wolter (2009), yang mengklasifikan perbedaan karakteristik teknologi antara negara maju dan berkembang. Negara maju dicirikan memiliki karakteristik di mana menyediakan layanan fixed broadband dengan kecepatan yang jauh lebih cepat; deployment dari mobile broadband pada harga yang lebih murah. Selain itu, broadband menjadi komoditas didukung dengan penyediaan fiber deployment, IP-based voice, aplikasi video dan 3G mobile. Karakteristik ini juga digambarkan dengan hubungan teknologi jaringan tetap (fixed-line) dan seluler yang saling komplementer. Sebaliknya di negara berkembang akan ditemukan ciri-ciri di mana seluler masih menjadi substitusi jaringan tetap dan jaringan broadband. Penggunaan seluler bahkan masih menjadi sarana primer akses ke internet. Selain itu, umumnya 16 years) 19%

Gambar 2. Profil Responden: Pendidikan dan Jenis Kelamin Dari Gambar 2 di atas, dapat dijelaskan bahwa dari sisi pendidikan, mayoritas responden survey ini adalah lulusan S1 (36%) dan SMA (34%). Sementara itu, dari sisi jumlah kelamin dapat dijelaskan bahwa 65% dari responden adalah laki-laki dan sisanya 35% adalah perempuan. 13%

38% 30 years< 30-50 years 50 years
700 ribu rupiah) dan total pengeluaran terkecil. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan bahwa pada GSM total pengeluaran terkecil kelas kedua menjadi kelompok responden paling dominan, sedangkan pada CDMA kelompok responden terendah dan tertinggi yang mendominasi. Untuk lebih memudahkan analisa pada estimasi LDV, maka dalam studi ini total pengeluaran dikelompokkan menjadi dua kelompok dengan titik potong (cutting value) kelas median, Rp 400.000. Dengan demikian dikatakan bahwa responden dibagi menjadi dua kelompok : responden yang aktif memiliki pengeluaran rata-rata per bulan lebih besar dari Rp 400.000, dan responden yang pasif memiliki pengeluaran rata-rata per bulan kurang dari Rp 400.00038

4.

HASIL

4.1. Entry Threshold Ratio (ETR) Berdasarkan perhitungan pada persamaan (2) dan (3) di atas, Gambar 5 berikut menjelaskan bagaimana perubahan entry threshold ratio baik akibat masuknya pelaku pasar baru (entrants) maupun akibat diperkenalkannya teknologi baru dalam industri telekomunikasi di Indonesia. Perhitungan ini menggunakan data ITU sampai dengan tahun 2004 meliputi data total investasi, total penerimaan dan total pelanggan di sektor telekomunikasi. Dari Gambar 5 terlihat bahwa entry threshold ratio (ETR) di Indonesia menurun secara tajam sejak diberlakukannya diregulasi pada sektor telekomunikasi sepanjang tahun 1993-1996. Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa masuknya pemain baru pada CDMA pada tahun 2002-2003 gagal mengulang keberhasilan masuknya operator seluler GSM pada tahun 1995an. Dengan kata lain, masuknya operator seluler CDMA justru membuat ETR meningkat yang mengindikasikan kurang efisiennya pemain baru dalam industri ini.

38

Ke depan dengan menggunakan multinomial logit akan dimungkinkan penggunaan seluruh kelompok pengeluaran pada sisi kiri persamaan yang diestimasi. Pada studi ini model permintaan disetimasi dari junlah pengeluaran (expenditure function).

473

Ratelindo memasuki pasar fixed wireless market (1993) Indosat masuk ke pasar seluler (1994) Telkomsel menjadinew entrants (1995) XL entered the market (1996) Sistem GPRS diperkenalkan 2002

Masuknya operator-operator berbasis CDMA (2002-2003)

Berakhirnya monopoli pada fixed line dan panggilan internasional (2001-2002)

Gambar 5. Perubahan ETR Secara lebih terperinci, gambaran deskripsi perubahan ETR terlihat pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Perubahan Entry Threshold Ratio di Indonesia No Aspek 1. Umum

2.

Pasar Seluler

5.

Teknologi

Faktor Dampak terhadap ETR Liberalisasi sektor ETR berkurang secara gradual 3% telekomunikasi pertahun dalam periode 2 tahun berdasarkan UU 1999 sesudahnya. Mengindikasikan competitive conduct yang semakin baik Masuknya pelaku pasar ETR berkurang 30% rata-rata pertahun seluler berbasis GSM meskipun dalam masa krisis. (1993-1996) Masuknya pelaku pasar ETR justru meningkat CDMA (2002-2003) GPRS diperkenalkan pada Tidak terlihat dampaknya tahun 2002

Dari Tabel 4 di atas, secara umum ETR di Indonesia berkurang dari waktu ke waktu terutama dengan masuknya pemain baru dan liberalisasi sektor telekomunikasi. Hal ini mengindikasikan pasar yang semakin efisisn. Dengan kata lain, masuknya pemain baru ke depan masih dimungkinkan. Namun demikian, hasil ini sedikit bias karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, operator dengan basis teknologi GSM telah memiliki early mover advantage di mana mereka telah mendominasi pasar sejak 10 tahun sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan analisa yang lain untuk menjustifikasi apakah operator CDMA memiliki peluang untuk dikembangkan ke depan

474

4.2. Analisa Permintaan dan Proyeksi ke Depan Bagian ini akan membahas pola permintaan oleh individu berdasarkan survey rumah tangga tahun 2004 dan proyeksi pola permintaan ke depan berdasarkan simulasi yang diturunkan menurut expected utility theory. 4.2.1 Hasil spesifikasi model logit Sebelum pembahasan hasil spesifikasi model logit berdasarkan persamaan (6), (7) dan (8), akan terlebih dahulu dipaparkan spesifikasi variabel terikat dan bebas yang digunakan dalam model Logit Tabel 5 Spesifikasi Variabel Variabel Variabel terikat Total pengeluaran bulanan untuk seluler Variabel bebas Pendidikan Pendapatam

Jenis kelamin Umur

Klasifikasi

Definisi

1. Responden yang aktif

Pengeluaran > 400.000/bulan Pengeluaran < 400.000/bulan

2. Responden yang pasif

1. Pendidikan tinggi 2. Pendidikan rendah 1. Pendapatan rendah 2. Pendapatan menegah 3. Pendapartan tinggi 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. Usia muda 2. usia menengah 3. Usia tua

Basis Dummy Rp Alasan : cutting value dari median Rp

Lebih tinggi dari SMA Sampai dengan SMA < 1 juta rupiah 1-3 juta rupiah > 3 juta rupiah

Sampai dengan SMA Pendapatan rendah

Perempuan < 30 tahun 30-49 tahun  50 tahun

Usia muda

Hasil perhitungan marginal effect dari model logit persamaan (8) menghasilkan output sebagai berikut Tabel 6. Marginal effect Logit Model: CDMA dan GSM

Variabel Age2 Age3 Male Income2 Income3 Edu1

Marginal Effect CDMA GSM -3.42% 0.292% -9.33% -5.328% 2.74% 0.877% 9.85% 3.860% 15.30% 11.144% 0.26% 1.872%

475

Dengan membandingkan hasil temuan untuk kedua kelompok sample pada Tabel 8 di atas, dapat disimpulkan bahwa CDMA lebih disukai oleh pelanggan berusia muda. Pada kelompok sample CDMA, usia muda memiliki likelihood untuk menjadi pelanggan aktif lebih besar 3.4% dibandingkan dengan usia menengah dan 9.33% dibandingkan dengan usia tua. Sebaliknya pada kasus GSM, tidak terdapat perbedaan yang mencolok antar umur. Dilihat dari sisi jenis kelamin, pelanggan CDMA laki-laki memiliki likelihood lebih besar untuk menjadi pelanggan aktif. Pola perbedaan ini tidak tampak pada sample GSM dimana laki-laki hanya memiliki 0.87% kelebihan likelihood. Artinya pelanggan GSM laki-laki dan perempuan relatif memiliki karakteristik pengeluaran bulanan yang sama. Hal yang paling menonjol adalah variabel pendapatan. Ketika pendapatan pelanggan meningkat, likelihood untuk pelanggan CDMA jauh lebih besar dibandingkan dengan GSM. Pada pelanggan CDMA, ketika pendapatan meningkat menjadi lebih besar dari 3 juta, maka likelihood untuk menjaadi pelanggan aktif 15% lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan kurang dari 1 juta. Sebaliknya, pada pelanggan GSM ketika pendapatan lebih besar dari 3 juta, perubahan likelihood yang dihasilkan hanya 11% dibandingkan dengan kelompok pelanggan dengan penghasilan kurang dari 1 juta. Dengan kata lain, pola pengeluaran untuk layanan CDMA lebih income elastis. Sedangkan variabel pendidikan tidak menjadi faktor yang dominan menentukan perbedaan likelihood antar sample. Namun demikian dapat dijelaskan bahwa pendidikan lebih elastis pada kelompok sample GSM dibandingkan dengan CDMA 4.2.2 Proyeksi Permintaan ke Depan Poyeksi berikut dilakukan berdasarkan skenario dari persamaan (10), (11) dan (12) memanfaatkan temuan pada regresi model logit pada persamaan (8). Hasil skenario mengindikasikan bahwa : (i) Jika preferensi waktu sangat dinamis dan masyarakat ke depan sangat memperhatikan gaya hidup, dengan kata lain  > r, maka konsumsi pada kelompok GSM dengan basis jumlah pelanggan saat akan menyumbang permintaan terbesar ke depan (proportional growth). (ii) Namun berdasarkan persamaan (9), dimana konsumsi ke depan akan tergantung pendapatan, maka pelanggan CDMA akan memiliki pertumbuhan permintaan yang lebih besar karena pola pengeluaran pelanggan lebih income elastic. Sementara itu, berdasarkan persamaan (12) tentang konsumsi relatif, prediksi ke depan menjelaskan bahwa secara rata-rata pengeluaran untuk CDMA lebih kecil dibandingkan dengan kelompok GSM. Selain itu, kelompok responden CDMA juga memiliki standar deviasi yang lebih lebar. Sehingga, jika diasumsikan bahwa pengeluaran ke depan berbanding terbalik dengan gap pengeluaran antar individu, maka pengeluaran CDMA ke depan akan memiliki pertumbuhan yang lebih besar. Dengan kata lain, pasar GSM sudah mulai jenuh dengan karakteristik pola permintaan individu yang seragam, sementara pada CDMA masih memiliki banyak celah untuk jenis jasa layanan yang lain

5.

KESIMPULAN SARAN DAN KETERBATASAN STUDI

5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisa entry threshold ratio terlihat bahwa secara umum liberalisasi telah membuat competitive conduct yang lebih baik di pasar telekomunikasi Indonesia. Hal ini terlihat dari semakin turunnya entry threshold ratio yang mengindikaskan pasar dan industri 476

yang semakin efisiein. Dengan kata lain masuknya pemain baru di industri telekomunikasi menghasilkan network effect yang lebih besar dibandingkan dengan competition effect. Selanjutnya, entry decision dari dua jenis platform teknologi GSM dan CDMA di Indonesia memiliki dua cerita yang saling berkebalikan. Masuknya pemain-pemain baru GSM berhasil menciptakan efisiensi pasar yang lebih baik sementara pada CDMA efisiensi tersebut belum terlihat. Namun demikian temuan ini dimungkinkan terjadi karena GSM memiliki early moving advantage sehingga berhasil me-lock-in pelanggan yang ada saat ini. Dari analisa permintaan berdasarkan model Logit terlihat bahwa ke depan pengembangan teknologi seluler berbasis CDMA akan memliki prospek yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan sensitivitas pengeluaran responden yang lebih besar terutama pada segmen pasar yang dianggap potensial, yaitu pangsa pasar usia muda, jenis kelamin laki-laki dan pendapatan tinggi. Hal ini menggambarkan difusi teknologi yang lebih cepat pada CDMA dibandingkan dengan GSM. Dengan demikian, jika CDMA mampu memberikan layanan yang lebih variatif ke depan dengan asumsi kedua platform teknologi memiliki kemampuan dan kecepatan yang sama dalam proses konvergensi menuju Long Term Evolution (LTE), maka pertumbuhan permintaan jasa seluler CDMA dimungkinkan akan lebih tinggi 5.2. Saran Rekomendasi kebijakan dari studi ini antara lain adalah bahwa pemerintah harus lebih membuka pasar telekomunikasi khususnya telekomunikasi seluler mengingat pangsa pasar di Indonesia masih terus berkembang dengan network effect yang masih dominan. Masuknya investor baru dan pemain baru dimungkinkan akan lebih memperbaiki competitive conduct di antaranya ditandai dengan semakin murahnya tarif dan semakin bervariasinya layanan. Selain itu, regulator dan instansi pemerintah terkait harus memberikan prioritas pengembangan CDMA ke depan, di antaranya dengan memperluas spektrum frekusensi yang saat ini masih terbatas. Dengan ini diharapkan CDMA akan bisa memberikan jenis layanan yang lebih bervariasi, sebagaimana di China, Jepang dan Korea. Langkah ini perlu dilakukan karena selama ini kepemilikan CDMA masih dianggap sebagai secondoray subcription di mana pelanggan hanya mengejar tarif bicara yang lebih murah dan memiliki nomor pelanggan GSM sebagai primary subscription-nya. Sementara keunggulan packet data yang lebih cepat pada GSM belum banyak dikembangkan di Indonesia. Selain itu, dengan kondisi entry threshold ratio dan network effect yang tinggi, operator di Indonesia secara umum masih menikmati profit di atas rata-rata industri. Hal ini memungkinkan bagi mereka untuk lebih membuka layanan dan features baru yang tidak hanya leasure based services : facebook, email, dsb, namun juga jasa layanan produktif seperti mobile-ticket, mobile-travel, mobile-banking, dsb . Pengalaman di Afrika Selatan yang memberikan layanan m-financial di mana petani dan pedagang kecil bisa membuat laporan keuangan sederhana dari fitur seluler bisa dicoba untuk dikembangkan di Indonesia. 5.3. Keterbatasan Studi Keterbatasan dari studi ini dapat bersumber baik dari metode maupun data. Pada pembahasan mengenai entry threshold ratio analisis deskriptif di atas harus diikuti dengan pembahasan dengan inferensia statistik. Sehingga lebih menggambarkan magnitude dari variabel-variabel tertentu terhadap perubahan ETR. Berkaitan dengan analisa permintaan dan proyeksi ke depan, keterbatasan studi antara lain 477

meliputi, (i) Survey yang dilakukan oleh LPEM FEUI dan PT TELKOM pada tahun 2004 bersifat jointly dependent, artinya sample GSM tidak dipilih secara acak. Karena tujuan studi lebih mengarah pada preferensi pemilik TELKOM Flexi, maka sample GSM yang terpilih harus memenuhi syarat jika-dan-hanya-jika responden juga merupakan pelanggan TELKOM Flexi. Hal ini juga memungkinkan timbulnya bias penilaian terhadap performance layanan TELKOM Flexi. (ii) Secara statistik, beberapa variabel bebas pada model Logit ditemukan statistically insignificant sehingga diperlukan jumlah observasi yang lebih banyak serta survey yang baru karena karakteristik tahun 2004 kurang relevan untuk bisa mendeteksi kondisi saat ini dan ke depan. (iii) Secara metodologi dengan adanya survey yang baru memungkinkan digunakannya metode dynamic panel data yang lebih bisa menangkap dinamika perubahan preferensi dari individu.

REFERENSI Aronsson, T., and Johansson-Stenman, O., (2008), “When the Joneses’ consumption hurts : optimal public good provision and nonlinear income taxation”, Journal of Public Economics 92.pp 986-997 Bresnahan, T.F., and Reiss, P.C. (1991), “ Entry and Competition in Concentrated Market”, Journal of Political Economy, Vol.99, No.5. Cette, G., Jacques, M. and Yusuf, K. (2004), “ICT diffusion and potential output growth.” Banque de France Working paper NER#112. Economides, N. (1994), “A monopolist incentive to invite competitors to enter in telecommunication services”, in Global Telecommunication Strategies and Technological Changes, edited by Pogorel, G., Elsevier Science. ITU, (2006), “World Telecommunication Indicator”, Geneva. Johansson-Stennan, O. (2009), ”Risk aversion and expected utility of consumption over time”, Games Econ. Behav.www.elsevier.com/locate/geb Laffont, J.J., and Tirole, J. (2000), “Competition in telecommunications”, MIT Press. Laffont, J.J., Tirole, J., and Rey, P. (1998), “Network Competition: II Price Discrimination”, Blackwell Publishing: RAND Journal of Economics, Vol. 29. Ling, R. and Yttri, B. (2002). “Hyper-coordination via mobile phones in Norway.” In Katz, J. and Aakhus, M. (eds.), Perpetual contact: mobile communication, private talk, public performance. Cambridge University Press, Cambridge. Marinucci, M and Perez-Amaral,T., (2006) “Econometrics modeling of business telecommunications demand using retina and finite mixtures,” UCM. Instituto Complutense de Análisis Económico Stennek, J., and Tangeras, T. (2008). “Competition vs. Regulation in Mobile Telecommunication”, Working Paper #08-09, NET Institute. Varian, H.R., Farrel, J., and Saphiro, C. (2004), “The Economics of Information Technology”, Cambridge: Raffaele Mattioli Lectures

478

Wolter,D., (2009), ”The challenges of wireless broadband in emerging market”, paper presented at ITU-D Regional Development Forum for the Asia Pacific Region “NGN and Broadband, Opportunities and Challenges” Yogyakarta, Indonesia Zong, P and B. Anderson,B. (2006), “Modelling and forecasting UK telecommunications expenditure using household microdata,” Chimera Working Paper Number: 2006-14, pp.1-5

479

Sub Kategori Judul

: Sains ekonomi (2D) :

Peningkatan Perdagangan antara Indonesia & Rusia bertolak dari Analisa Perdagangan Rusia tahun 2002 – 2006

Victoria Lelu Sabon Commerce & Trading Specialist Student Faculty of Commerce & Marketing Rostov State Economical University St. 2nd Krasnodarskaya no. 113 Rostov-on-Don, Russian Federation Telp : +7-929-813-9885 E-mail: [email protected]

Abstract : Trading relationship between Indonesia & Russia increases from year to year. Russia, which is now as a rich country after having a large income from the international increasing price of oil, want to increase trading relationship with Indonesia. Russia, as the larger countries of ex-Soviet Union's, has rich of natural resources and potential in domestic market, so it would be good for Indonesia and Russia to continually establish and develop trading relationship in the future. Kata Kunci : ekspor, impor, total perdagangan, neraca perdagangan

I

PENDAHULUAN

Secara umum hubungan perdagangan Indonesia dan Rusia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terutama terlihat dari meningkatnya ekspor Indonesia ke Rusia, bahkan pada periode Januari hingga September tahun 2008 total perdagangannya telah mencapai lebih dari US$ 1 Milyard atau sesuai target yang diinginkan oleh kedua negara. Saat ini, Rusia memiliki potensi yang besar untuk berinvestasi karena memiliki cadangan devisa yang besar antara US$300-US$400 miliar, dan di samping itu, Rusia memiliki dana stabilisasi dari keuntungan fluktuasi harga minyak dunia sekitar US$52 miliar. Peran Rusia dalam perdagangan energi dunia sangat penting, mengingat posisi Rusia sebagai salah satu negara yang kaya sumber daya energi serta terus meningkatnya produksi dan ekspor minyak mentah dan gas bumi dalam beberapa tahun terakhir. Dengan tingkat produksi minyak rata-rata 9,9 juta barel perhari, Rusia merupakan produsen terbesar kedua di dunia setelah Saudi Arabia. Rusia juga merupakan kekuatan non-OPEC yang sangat penting dalam turut menstabilkan harga minyak dunia. Pentingnya meningkatkan kerjasama di bidang energi khususnya minyak dan gas bumi mengingat Indonesia merupakan eksporter LNG terbesar di dunia, sedangkan Rusia merupakan eksporter gas bumi terbesar di dunia. Selama ini, Indonesia mengimpor barang dari Rusia berupa mesin dan peralatan militer, dan mengekspor ke Rusia antara lain produk perikanan, kakao, teh, produk turunan CPO (crude 480

palm oil/minyak mentah sawit), tembakau, kayu dan furnitur. Total perdagangan pada tahun 2006 sekitar US$590 juta. Nilai perdagangan ini masih rendah jika dibandingkan dengan kerjasama perdagangan Rusia dengan Malaysia dan Thailand yang mencapai US$600 juta. Namun demikian kerjasama perdagangan Indonesia & Rusia masih potensial untuk dikembangkan.

II.

ANALISA PERKEMBANGAN PERDAGANGAN RUSIA

a) Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1997 telah terjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia termasuk Federasi Rusia. Dampak krisis ekonomi dunia ini ternyata berdampak terhadap kegiatan perdagangan di Rusia, dimana terjadi penurunan impor Rusia dari Indonesia pada masa tersebut. Namun, sejak tahun 2000, impor Rusia dari Indonesia telah mengalami peningkatan kembali setiap tahunnya hingga tahun 2007. b) Meskipun saat ini terjadi krisis ekonomi yang tengah melanda seluruh dunia termasuk Rusia, pemerintah Rusia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis ekonomi di Rusia dan membantu para pengusahanya dalam masalah keuangan. Untuk mengatasi krisis keuangan internasional terhadap perekonomian domestik, pemerintah Rusia telah menetapkan pengeluaran sebesar US$ 36 milyar dari dana stabilisasi. Dengan adanya kebijakan pemerintah Rusia ini, diharapkan nilai perdagangan dengan dunia pada umumnya dan dengan Indonesia pada khususnya akan tetap mengalami peningkatan di tahun mendatang. c) Kebijakan pemerintah Rusia untuk menjadi anggota WTO. Dalam kebijaksanaan perdagangan luar negeri, pemerintah Rusia telah menetapkan aksesi keanggotaan WTO sebagai prioritas. Adanya komitmen tersebut dinilai telah membantu mempercepat diakuinya Rusia oleh dunia termasuk USA maupun EU, sebagai negara yang menganut atau mengarah pada regim ekonomi pasar terbuka yang merupakan syarat utama untuk menjadi anggota penuh WTO. Beberapa kebijakan yang dinilai masih menghambat diakuinya Rusia sebagai anggota penuh WTO adalah masih banyaknya kebijaksanaan yang cenderung bersifat “barrier to entry”, seperti keharusan untuk mendapatkan terlebih dahulu berbagai sertifikat antara lain dari State Veterinary Commmittee, Biro Pusat Standardisasi, Kantor Sanitasi dan Epidemologi, meskipun produk yang akan diimpor telah memenuhi standard internasional dan telah proven di negara-negara yang dikenal sangat ketat atau concern terhadap standard mutu. Selain itu, Rusia masih menerapkan kebijakan perdagangan luar negerinya, baik berupa quantitative restriction, bans on expor & impor, maupun untuk alasan perlindungan pasar dalam negeri. Diharapkan pada tahun ini Rusia telah dapat secara resmi menjadi anggota WTO, sehingga hal ini akan lebih mempermudah bagi eksportir Indonesia untuk mengekspor barangnya ke Rusia, dan sekaligus akan meningkatkan nilai perdagangan, karena dengan masuknya Rusia sebagai anggota WTO, tentunya aturan perdagangan internasional yang akan 481

III

digunakan oleh Rusia harus berpegang pada aturan yang berlaku di WTO. IMPOR & EKSPOR RUSIA - INDONESIA

III.1 Impor Rusia dari Indonesia Total Impor Rusia dari Indonesia meningkat dari tahun 2002 hingga 2006. Produk yang selama ini diimport merupakan produk non migas sbb.: 10 Produk Unggulan Utama Indonesia (lih. Tabel 1): 1. Shrimps 6. Textile and Apparels 2. Kopi 7. Shoes & Footwear 3. Palm Oil 8. Electronics 4. Kokoa 9. Spare parts 5. Rubber & its dervatives 10. Furniture 10 Produk Potensial Indonesia (lih. Tabel 2): 1. Handycraft 6. Jewelry 2. Fish and Fish Product 7. Essential Oils 3. Medical Herbs 8. Spices 4. Leather and Leather Products 9. Stationary non Paper 5. Processed food 10. Medical Instruments & Appliances Komoditi ekspor non migas utama Indonesia ke Rusia di tahun 2006, yang meningkat nilainya dibanding tahun 2005, antara lain (lih. Tabel 1 & 2):  Udang sekitar US$794 ribu, naik 59%  Palm oil sekitar US$1,5 juta, naik 600%  Textile & Apparels sekitar US$30,6 juta, naik 19,78%  Shoes & Footwear sekitar US$12,9 juta, naik 16%  Electronics sekitar US$ 92,3 juta, naik 69%  Furniture sekitar US$7,4 juta, naik 69%  Handycraft sekitar US$ 4,3 juta, naik 13,73%  Fish & Fish Product sekitar US$2,6 juta, naik 82,5%  Stationary non Paper sekitar US$129 ribu, naik 421%  Medical Instruments & Appliances sekitar US$5,8juta, naik 68,75% Sedangkan beberapa komoditi ekspor tahun 2006 yang mengalami penurunan dari tahun 2005 antara lain (lih. Tabel 1 & 2)::  Kopi sekitar US$3,2juta, turun 3%  Rubber & its derivatives sekitar US$3,3juta, turun 22,76%  Spare parts sekitar US$450 ribu, turun 36%  Processed food sekitar US$247 ribu, turun 20,5%  Jewelry sekitar US$5 ribu, turun 92,57%  Essential Oils sekitar US$71 ribu, turun 10%  Spices sekitar US$151 ribu, turun 71%

482

Tabel 1

Tabel 2 Tabel 2

Sumber : Diolah Dari Kantor Bea Cukai Federasi Rusia

483

Nilai Impor Rusia dari Indonesia pada tahun 2006 sekitar US$406 juta, naik 16,65% dibanding tahun 2005 sekitar US$348 juta. Sedang nilai impor Rusia dari Dunia sekitar US$129 milyar, naik 39% dibanding tahun 2005 sekitar US$93 milyar, dengan total impor non migas lebih besar dibanding impor migas. Rusia mengutamakan impornya pada produk – produk kebutuhan primer (pangan) & sekunder (mesin & peralatan). Kebutuhan akan impor makanan yang semakin meningkat disebabkan karena keadaan tanah Rusia yang tidak cocok untuk lahan pertanian & perkebunan, sedang kebutuhan masyarakat untuk pangan kian meningkat mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk Rusia. Namun untuk menerima produk impor yang berkualitas, Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang keharusan adanya sertifikat mutu untuk barang-barang impor. Di sisi lain peraturan Pemerintah dibuat untuk memudahkan pemasukan barang kebutuhan pokok ke dalam negeri dan diarahkan untuk meliberalisasikan perdagangan luar negeri, meningkatkan pemasukan devisa negara, dan mendorong pengusaha asing untuk memasuki pasar Rusia. Berdasarkan data kantor Bea Cukai Rusia, Indonesia berada pada posisi ke-41 sebagai pengekspor barang ke Rusia dengan pangsa pasar di Rusia pada tahun 2006 sebesar 0,31%. Selama tahun 2002 – 2006 Rusia paling banyak mengimpor dari Jerman (pangsa pasar 2006: 13,50% & China (pangsa pasar 2006: 9,69%). Salah satu perusahaan Rusia pengimpor komoditi Indonesia adalah PT. Olimar yang mengimpor hasil kerajinan tangan dari rotan Indonesia. PT. Olimar telah menjalani usahanya sejak tahun 1996 dengan memberikan pelayanan penjualan kepada kliennya baik secara grosir maupun eceran di pasar Rusia dengan style produk disesuaikan dengan pesanan yang diinginkan. Menurut PT. Olimar, rotan dari Indonesia memiliki tingkat kualitas rotan yang sangat baik dan kuat, namun untuk design disesuaikan dengan keinginan pasar Rusia, sehingga PT. Olimar mendatangkan designer dari Eropa & Asia ke Indonesia. Semua produk-produk rotan tersebut diproduksi di pabrik-pabrik Indonesia kemudian diekspor ke PT. Olimar dalam bentuk mebel jadi. Hasil jadi mebel rotan tersebut antara lain: Meja, kursi, tempat tidur, lemari, rak, hiasan meja, lampu, nampan, vas dan lainnya, yang dikelompokan ke dalam koleksi–koleksi: Classic, Mexico, Ribbon, Croco, Yamakawa, Marina, Albany, Calamus, Country, Princess, Spa, dan Victoria.

III.2 Ekspor Rusia ke Indonesia Selama tahun 2002 – 2006 Rusia lebih banyak mengekspor ke Indonesia produk-produk non migas dibanding produk migas. Produk-produk tersebut diantaranya: 1. Kawat dipilin, kabel 2. Pulp kayu kimia, soda atau sulfat 3. Oscilloscops, penganalisa spektrum

11. 12. 13.

Perkamen nabati Asbes Jangkar, jangkar kesil dan bagiannya 484

4. Pupuk Mineral atau Kimia (kalium) 5. Keran, klep, katup pipa 6. Mesin sentrifugal 7. Strip aluminium 8. Kromium oksida & hidroksida 9. Kendaraan udara (luar angkasa) 10. Kemasan gas dibawah tekanan

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Poros transmisi dan angkol Gandum dan meslin Ragi, mikro organisme bersel tunggal Karet Sintetik dan Factice Derek kapal, crane termasuk crane kabel Aluminium tidak ditempa Produk canai lantaian dari besi atau baja

Nilai ekspor Rusia ke Indonesia selama tahun 2002 – 2006 mengalami fluktuasi naik turun. Ekspor Rusia ke Indonesia meningkat 6,7 kali lipat pada tahun 2003 sekitar US$235 juta dibanding tahun 2002. Pada tahun 2004 nilai ekspor turun 38% yaitu sekitar US$145 juta, disebabkan karena budget anggaran belanja Indonesia berkurang setelah adanya pembelian pesawat sukhoi Rusia di tahun 2003. Kemudian pada tahun 2005 ekspor rusia ke Indonesia kembali meningkat 40% sekitar US$202 juta, dan pada tahun 2006 turun kembali 6% sekitar US$191 juta. Berdasarkan data kantor Bea Cukai Rusia, pada tahun 2006 Rusia paling banyak mengekspor ke Belanda sekitar US$34 milyar, selain itu juga ke Jerman & Italy dengan nilai masingmasing sekitar US$21 milyar.

IV

NERACA PERDAGANGAN INDONESIA – RUSIA (lih. Tabel 3)

Sesuai data dari Kantor Bea Cukai Rusia, Neraca perdagangan Indonesia & Rusia tahun 2002 – 2006 surplus untuk Indonesia, kecuali pada tahun 2003 defisit sekitar US$55juta. Hal ini disebabkan karena pembelian 6 pesawat sukhoi Rusia di tahun 2003. Pada tahun 2006 neraca perdagangan meningkat 47,90% yaitu sekitar US$214 juta dibanding dengan tahun 2005 sekitar US$145 juta. Total perdagangan Indonesia - Rusia selama tahun 2002 – 2006 selalu meningkat. Namun pada tahun 2004 nilai perdagangan sempat menurun 12% dari tahun 2003 karena adanya penurunan ekspor Rusia ke Indonesia. Nilai perdagangan pada tahun 2006 tercatat sekitar US$597 juta naik 8,41% dibanding tahun 2005 sekitar US$551 juta.

Tabel 3 PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR RUSIA DENGAN DUNIA DAN INDONESIA TAHUN 2002 S/D 2006 (dalam ribu USD) URAIAN

2002

2003

2004

2005

2006

PERUB (%)

TREND (%)

USD

USD

USD

USD

USD

05/06

2002 – 2006

T OTAL E K S PO R

99,631,454

116,830,19 4

153,880,63 4

286,292,408

23.56

32.26

Migas

56,754,535

71,964,265

91,748,478

231,697,56 3 148,350,69 5

199,656,034

34.58

38.25

Non Migas

42,876,920

44,865,929

62,132,156

83,346,868

86,636,375

3.95

22.46

T OTAL I M PO R

44,016,861

52,000,417

68,583,373

92,729,983

128,965,504

39.08

31.37

DENGAN DUNIA

485

Migas

2,775,457

2,964,899

1,500,716

1,597,422

3,199,594

100.30

-3.29

Non Migas

41,241,405

49,035,518

67,082,657

91,132,560

125,765,910

38.00

32.97

TOTAL PERDAGANGAN

143,648,31 6

168,830,61 1

222,464,00 7

415,257,912

28.00

32.00

Migas

59,529,991

74,929,164

202,855,628

35.28

36.97

Non Migas

84,118,324

93,901,447

93,249,194 129,214,81 3

324,427,54 6 149,948,11 8 174,479,42 8

212,402,284

21.73

28.04

NERACA PERDAGANGAN

55,614,593

64,829,776

85,297,261

157,326,904

13.21

32.87

Migas

53,979,078

68,999,366

90,247,762

138,967,58 0 146,753,27 3

33.87

39.63

1,635,515

(4,169,590)

(4,950,502)

(7,785,693)

196,456,440 (39,129,535 )

402.58

-

30,671

235,183

145,116

202,848

191,242

10

113

4,974

27

327

30,661

235,070

140,143

202,820

161,988

179,367

220,486

348,072

Non Migas DENGAN INDONESIA T OTAL E K S PO R Migas Non Migas T OTAL I M PO R Migas

0

Non Migas

0

0

0

161,988

179,367

220,486

348,072

TOTAL PERDAGANGAN

143,648,31 6

168,830,61 1

222,464,00 7

Migas

59,529,991

74,929,164

Non Migas

84,118,324

93,901,447

93,249,194 129,214,81 3

324,427,54 6 149,948,11 8 174,479,42 8

NERACA PERDAGANGAN

55,614,593

64,829,776

85,297,261

Migas

53,979,078

68,999,366

90,247,762

138,967,58 0 146,753,27 3

1,635,515

(4,169,590)

(4,950,502)

(7,785,693)

Non Migas

-5.72

42.08

1098.62

74.55

190,915

-5.87

42.05

406,035

16.65

28.41

432

-

-

405,603

16.53

28.39

415,257,912

28.00

32.00

202,855,628

35.28

36.97

212,402,284

21.73

28.04

157,326,904

13.21

-

196,456,440 (39,129,535 )

33.87

-

402.58

-

Sumber : Diolah Dari Kantor Bea Cukai Federasi Rusia

V

KENDALA-KENDALA EKSPOR-IMPOR INDONESIA & RUSIA

1. Mekanisme ekspor yang melalui negara ketiga (seperti melalui Belanda, Jerman, Polandia) dan tidak langsung ke Rusia menyebabkan realisasi nilai perdagangan kedua negara berbeda catatan dalam data statistik, yang dampak langsungnya terlihat dalam perbedaan nilai perdagangan & neraca perdagangan Indonesia – Rusia dalam pencatatan di kantor Bea Cukai baik di Jakarta maupun di Moscow. 2. Hubungan Indonesia dan Rusia masih mengalami hambatan dari segi pembayaran karena pihak Rusia tidak terbiasa dengan sistem L/C. 3. Kurang aktifnya para pengusaha Indonesia untuk memperkenalkan produk – produknya di pasar Rusia, terlihat dari minimnya perusahaan Indonesia yang ikut serta dalam pameran 486

dan Pekan Raya di kawasan Rusia, sehingga produk – produk Indonesia belum banyak dikenal oleh masyarakat Rusia. 4. Letak antara Indonesia & Rusia yang cukup jauh menuntut penggunaan transportasi pengiriman antara kedua negara cenderung melalui laut, yang efeknya membuat daya saing menurun karena proses pengiriman barang yang memakan waktu lama, dan bila menggunakan pesawat udara membuat harga produk menjadi lebih mahal. Namun ada rencana penerbangan langsung Garuda ke Rusia yang bekerjasama dengan pihak penerbangan di Rusia. 5. Faktor bahasa Indonesia dan bahasa Russia. Hal ini terjadi seperti dalam “Indonesia Russia Business Forum” di Ritz Carlton, Jakarta, Kami 6 September 2007, yang digelar bersamaan dengan kedatangan Presiden Russia Vladimir Putin. Sebagian besar pembicara Rusia menggunakan bahasa Rusia, sementara semua pembicara dari Indonesia menggunakan bahasa Inggris. Meski ada penerjemah, namun tetap saja suasananya menjadi kurang klop. Kendala bahasa antara kedua Negara tersebut memang mengganggu masalah perdagangan. 6. Budaya masyarakat Russia yang sifatnya cenderung tertutup pada pertemuan-pertemuan awal. Mereka baru terbuka & terasa kekeluargaan yang hangat, setelah ada pendekatan. 7. Kunjungan kerja ke berbagai daerah/region Rusia masih belum dapat dilaksanakan secara keseluruhan dan perlu dilanjutkan dalam rangka penyusunan peta dasar Rusia secara lebih komprehensif, per-wilayah dan per-produk khususnya yang berkaitan dengan produkproduk unggulan ekspor non migas Indonesia. Untuk mengurangi kendala – kendala tersebut diatas, salah satu jalan yang dilakukan Indonesia dan Rusia adalah dengan mengadakan kerjasama Trading House. Indonesia dan Rusia telah sepakat untuk mendirikan trading house yang berlokasi di tiap negara sebagai lembaga yang menampung bisnis antara keduanya. Nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara telah ditanda tangani di Kantor BKPM, Jakarta, tanggal 28 April 2006. Pihak Rusia diwakili oleh Presdir perusahaan importir rotan Olimar yakni Andrey Zubkov, sedangkan Indonesia diwakili oleh Presdir PT. Sarana Fajar Bersama, Suryo Susilo.

VI

REKOMENDASI BAGI PENINGKATAN PERDAGANGAN INDONESIA RUSIA

Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam rangka memanfaatkan peluang pasar untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke Rusia antara lain: a) Diversifikasi/pengembangan produk ekspor melalui nilai tambah produk seperti produk teh, kopi, coklat, yang saat ini hanya diekspor berupa bahan bakunya saja, agar dapat ditingkatkan menjadi produk jadi atau akhir dengan menggunakan merek dagang Indonesia. b) Pemanfaatan system atau jaringan distribusi melalui Trading House yang telah dibentuk atau diprakarsai antara Pemda Moscow dan Pemda DKI Jakarta. 487

c) Para pengusaha Indonesia yang belum memanfaatkan sarana promosi yang telah berjalan efektif khususnya pameran-pameran dagang internasional yang berlangsung sepanjang tahun di Moscow maupun di berbagai wilayah regional Rusia (*seperti World Food Exhibition), perlu memanfaatkan sarana promosi tersebut. d) Perlu secara terus menerus dilakukan penjajagan peluang pasar sekaligus pembinaan hubungan dengan aparat pemerintah dan dunia usaha di Rusia melalui penyelenggaraan forum bisnis dan temu wicara dengan pejabat pemerintah dan Kadin di Moscow maupun di daerah-daerah Rusia lainnya. e) Dalam rangka mewujudkan kerjasama bilateral di bidang perdagangan bagi pengusaha Rusia yang sering berkunjung dalam rangka kerjasama dengan partner-nya di Indonesia, maka kepada yang bersangkutan perlu diberikan visa multiple untuk 1 tahun. f) Perlunya diadakan misi dagang baik yang dilaksanakan di Rusia maupun di Indonesia setiap tahun. g) Rencana penerbangan langsung Garuda ke Rusia dapat dipercepat pelaksanaanya, agar dapat dimanfaatkan oleh pebisnis kedua negara. h) Dalam rangka lebih mengefektifkan kontak dagang antara eksportir Indonesia dengan Importir Rusia, serta lebih mengefektifkan keberadaan travel biro di Rusia, maka perlu lebih diintensifkan kegiatan promosi untuk memperkenalkan dan lebih memasyarakatkan barang-barang produksi Indonesia di Rusia melalui tayangan film termasuk kegiatan pariwisata di Indonesia. Untuk itu, perlu diadakan Business Lunch secara rutin, tahap awal dapat dilakukan sebulan sekali. Kegiatan Business Lunch ini akan mengundang para importir untuk produk sejenis dan para pengusaha travel biro. Kemudian para importir dan pengusaha travel biro tersebut akan diberikan tayangan film yang dikemas dalam DVD tentang produk tertentu, mulai dari kegiatan proses produksinya dari pabrik hingga ke distribusinya; serta tentang pariwisata Indonesia; sehingga para importir tersebut dapat melihat langsung melalui DVD bentuk atau wujud produk yang diproduksi oleh pengusaha Indonesia. Dan pada waktu yang bersamaan para importir tersebut juga dapat melihat film tentang pariwisata di Indonesia, sehingga kegiatan ini akan berjalan secara terpadu. Melalui kegiatan terpadu ini, para importir dan pengelola travel biro di Rusia dapat bersama-sama menyaksikan tayangan film dari mulai gambaran umum Indonesia, kemudian proses produksi produk Indonesia, serta film pariwisata Indonesia. Diharapkan melalui kegiatan ini, ekspor Indonesia dan kunjungan wisata ke Indonesia akan lebih meningkat.

488

REFERENSI DEPDAG, Indonesia to take part in the World Food Moscow 2006, September 5th, 2006. www.depdag.go.id/files/publikasi/.../2006/Nafed20060905.doc DEPDAG, Perkembangan Ekspor Non-Migas menurut Negara Tujuan, Badan Pusat Statistik, 2008. http://www.depdag.go.id/index.php?option=statistik&task=detil&itemid=06010206 DISPERINDAG-JABAR, Daya saing furniture RI makin lemah, 10 September 2007. http://disperindag-jabar.go.id//?pilih=lihat&id=2579 Bank Mandiri, Kerjasama dengan Bank Swasta Terbesar Rusia, 6 September 2007. http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/news-detail.asp?id=HIJL49393311 Presiden SBY, Pernyataan Pers Bersama Presiden RI dan Presiden Federasi Rusia, 6 September 2007. http://www.presidensby.info/index.php/pers/presiden/2007/09/06/283.html Mineral, Горнодобывающая промышленность Индонезии и место в ней никелевой отрасли, информационно-аналитический центр "МИНЕРАЛ", 2009. http://www.mineral.ru/Analytics/worldtrend/132/309/index.html PT Aneka Tambang Tbk. Annual Report 2003. http://www.antam.com/News/Publications/AR/annual%20report%202003/AR2003.pdf.2 8.04.2004 USGS. The Mineral Industries of Indonesia and East Timor 2002. http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/country/2002/idttmyb02.pdf.2003 OLIMAR, The new shop of OLIMAR has opened, March 25, 2005. http://www.olimar.ru/news_en.asp WTO, Russia calls for flexibility as chair expresses concern about amount of work left, 27 June 2005. http://www.wto.org/english/news_e/news05_e/acc_russia_june05_e.htm WTO-Russia, Вступление России во Всемирную торговую организацию, ПРОГРАММА СОТРУДНИЧЕСТВА ЕС-РОССИЯ, 2005. http://www.wtorussia.org/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=34 VII LAMPIRAN

PERNYATAAN PERS BERSAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Y.M. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DAN PRESIDEN FEDERASI RUSIA, Y.M. TUAN VLADIMIR PUTIN, ACARA INDONESIA-RUSSIA BUSINESS FORUM, DI ISTANA NEGARA, JAKARTA TANGGAL 6 SEPTEMBER 2007

Bismillaahirrahmaanirrahiim, Yang Mulia Presiden Putin, Saudara-saudara, 489

Hari ini Indonesia mendapat kehormatan kunjungan Presiden Rusia, kunjungan yang bersejarah, karena baru pertama kali inilah Presiden Rusia berkunjung ke Indonesia, Indonesia mendapatkan kehormatan yang tinggi atas kunjungan ini. Kita semua berharap dan yakin, kunjungan beliau kali ini akan dapat meningkatkan kerja sama, kemitraan, dan hubungan baik antara Indonesia dan Rusia di waktu yang akan datang. Kami baru saja melaksanakan pertemuan bilateral dan telah membahas sejumlah agenda baik bilateral, regional, maupun internasional secara konstruktif, dan menghasilkan beberapa kesepakatan-kesepakatan. Dibidang ekonomi, kami bersepakat untuk meningkatkan lagi kerja sama di bidang investasi, perdagangan, dan energi. Perdagangan bilateral terus meningkat. Tahun lalu jumlahnya hampir 700 juta dolar Amerika Serikat dan kita sepakat untuk meningkatkan menjadi 1 milyar dolar Amerika Serikat dalam waktu dekat. Di bidang investasi, investasi Rusia beberapa waktu yang lalu relatif kecil dan kita akan segera meningkatkan kerjasama ini, karena Rusia akan melakukan investasi di bidang pertambangan, khususnya bauksit dan aluminium dan juga di bidang minyak dan gas yang jumlahnya lebih dari 4 milyar dolar Amerika Serikat nantinya. Kerjasama di bidang pertahanan akan terus kita tingkatkan untuk memodernisasi persenjataan dan perlengkapan militer kita, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara dengan scheme state creative yang telah kita sepakati bersama yang berjumlah 1 milyar dolar Amerika Serikat. Kerjasama di bidang pariwisata juga akan kita lanjutkan. Wisatawan Rusia yang datang ke Indonesia, khususnya di Bali makin besar, mereka sangat disenangi oleh warga Bali, waktu tinggalnya lama, belanjanya banyak, dan bahkan sekarang ada Rumah Makan Rusia pertama di Bali. Dengan pemberian visa on arrival, kita berharap lebih banyak lagi Yang Mulia, wisatawan Rusia yang berkunjung ke Indonesia. Kerjasama di bidang olaraga akan kita lanjutkan. Saya meminta Yang Mulia, untuk pelatih-pelatih catur dan pelatih judo Rusia bisa melatih para atlet Indonesia di cabang olahraga itu. Demikian juga kerjasama yang lain kami bahas di bidang menghadapi terorisme dan kejahatan transnasional, dalam rangka mengatasi climate change, maupun kerjasamakerjasama bilateral yang lain. Kami juga membahas berbagai perkembangan situasi di dunia, di Timur Tengah, khususnya di Palestina, di Irak, nuklir Iran, isu nuklir di Semenanjung Korea dan juga 490

permasalahan Kosovo secara konstruktif dan posisi Rusia banyak yang sama dengan posisi Indonesia. Saya juga mengucapkan terima kasih atas berbagai bantuan dan kerjasama Rusia pada forum-forum global, termasuk kerjasama di Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena banyak sekali kegiatan saling mendukung antar pihak Indonesia dan Rusia dalam forum global tersebut. Sore ini, Presiden Putin dan saya akan berbicara di depan forum bisnis, bisnis Indonesia dan Rusia, karena banyak sekali peluang kerjasama yang dapat kita kembangkan sekarang dan ke depan, menyusul kerjasama kita yang makin meningkat pada tahun-tahun terakhir ini. Demikianlah penjelasan saya. Saya persilakan Yang Mulia Presiden Putin untuk memberikan penjelasan kepada para wartawan.

Presiden Federasi Rusia Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang terhormat, Perundingan kami dengan Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono baru selesai. Dan saya dengan senang hati ingin catat, bahwa kita sangat senang dan sangat puas dengan hasilnya dan dengan hasilnya kunjungan ini secara menyeluruh. Indonesia adalah salah satu negara yang paling dinamis dan paling berpengaruh di kawasan Asia Pasifik. Dan Rusia sangat berminat untuk memperdalam dan mengembangkan kerjasama yang majemuk dengan negara yang begitu perspektif dan mitra terbaik di dunia. Saya ingin mengucapkan selamat Yang Mulia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kepada seluruh Pimpinan Indonesia atas prestasi-prestasi di bidang ekonomi yang tercapai dalam tahun-tahun belakangan ini. Martabat Indonesia di gelanggang internasional semakin tinggi. Dalam pertemuan tadi ini, kita sempat membahas banyak persoalan internasional. Salah satu pokok pembicaraan pada pertemuan saya adalah perkembangan kerjasama di bidang ekonomi. Dan jalan-jalan dan cara-cara untuk mewujudkan proyek-proyek bersama di bidang ini. Kita sudah sepakat untuk mengembangkan kerjasama di bidang-bidang yang dianggap paling penting untuk kedua negara kita, antara lain di bidang energi, di bidang pertambangan, di bidang penerbangan, di bidang telekomunikasi dan lain-lainnya. Ada perspektif yang sangat baik untuk bekerja sama di bidang militer dan teknik. Saya ingin menggarisbawahi bahwa yang ditandatangani tadi adalah persetujuan antar Pemerintah di bidang penanaman modal. Dan kami lihat persetujuan ini sebagai suatu dasar hukum yang sangat penting untuk mendorong perkembangan kontak-kontak antara kalangan pengusaha kedua negara kita. 491

Selama pertemuan yang tadi pagi ini juga dibahas kerjasama di bidang kemanusiaan, serta di bidang ilmu, kebudayaan, dan olahraga. Kami sangat berterima kasih kepada Pimpinan Indonesia, karena memberikan peluang kepada para wisatawan dari Rusia untuk dapat visa on arrival waktu datang di Indonesia. Saya yakin bahwa langkah ini akan mendorong kerjasama antar kedua negara kita di bidang pariwisata. Pada perundingan tadi, juga secara konstruktif diadakan pertukaran pendapat dengan Yang Mulia Presiden Republik Indonesia mengenai berbagai-bagai masalah internasional. Dalam pernyataan bersama yang sudah diterima, digarisbawahi bahwa pendekatan, baik Rusia maupun Indonesia terhadap isu-isu global dan internasional sangat mirip. Kedua negara kita mendukung hubungan-hubungan antar negara-negara di dunia berdasarkan asas-asas yang adil. Mendukung perkembangan saling pengertian antar negara dan pemecahan konflik-konflik dengan cara damai. Prioritas utama juga diberikan pada pembahasan soal-soal tradisme internasional dan kedua belah pihak kita setuju, bahwa dalam hal ini peran utama dimainkan oleh PBB. Kami sangat menghargai kerjasama dengan pihak Indonesia di kawasan Asia Pasifik. Kerjasama kita dalam rangka forum-forum internasional memberikan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan kerjasama juga di bidang dialog antar budaya dan antar agama. Dan sebagai penutup saya sekali lagi ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Yang Mulia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas keramahtamahannya dan kehangatan terhadap saya. Ingin saya sampaikan, bahwa saya mengundang Yang Mulia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk berkunjung ke negara saya pada tahun depan. Dan saya sangat berharapkan, bahwa Yang Mulia Presiden akan sempat meluangkan waktu untuk datang ke negara saya. Saya juga yakin bahwa kerjasama antara kedua negara kita, juga akan membantu dan mendorong perkembangan-perkembangan yang positif dalam rangka regional, antara lain dalam kawasan Asia Pasifik secara menyeluruh. Terima kasih atas perhatian. Presiden Republik Indonesia Terima kasih Yang Mulia.

***** Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan

492

Sub Kategori

: Sains ekonomi (2D)

Judul : Tuaian Banyak Namun Pekerja Sedikit (Diangkat dari Case Study Perdagangan Internasional Turkey) Albertus Pinondang SITANGGANG PhD Candidate Istanbul Üniversitesi Erkek Öğrenci Yurdu Hürriyet-i Ebediye Öğrenci Yurdu Müdürlüğü Kaptanpaşa Mahallesi, Halit-Ziya Türkan Sokak No 8 Şişli 34384 İstanbul. TÜRKEY E-mail: [email protected]

Abstract : Supposed we are a solid fisherman team in an ocean. The ocean contains a lot of kind of fish and we have opportunity netting the fishes as many as we want to till sink. By this condition do you think that we need to leave the ocean without any fish at all but going back and sailing then netting tiny sea fishes on the beach? Such was the paradigm I would like to convey for describing the main idea on my paper. The paradigm was inspired by achievement of Indonesia in international trade comparing to Malaysia and Thailand. They increased their export into Turkey in two digits but Indonesia increased 3,6% only. The figure annoyed me most since our neighbors grew in such fantastic number but we got small piece of cake. At the same time Turkey’s import growth was 18,76%. It meant that market grew larger than our ability to reach the “cake” on the other side our neighbors grab the opportunity well than us. What’s wrong with the figure? Was it real and correct data? Supposed it was real and correct one what we can do. What was the main reason so we did not have competitive and comparative competition comparing to our neighbors? I wish the paper I wrote inspiring Indonesia bureaucrats especially in Foreign Affair Department most Kata kunci: Achievement Indonesia in International Trade

1. PENDAHULUAN Bila kita berperan sebagai nelayan di laut lepas yang kaya hasil tangkapan, masihkah kita terpikir untuk berlayar ke tepian dan melempar jala di perairan dangkal guna menjala teri? Demikianlah satu perumpamaan yang saya angkat guna menggambarkan isi tulisan secara keseluruhan. Perumpamaan tersebut terinspirasi pada saat pembuatan tugas salah satu mata kuliah, Ekonomi Internasional dengan bahasan Perdagangan Internasional. Berdasarkan data amatan dalam kurun waktu antara 1996-2008 prestasi Indonesia dalam perdagangan internasional antara Turkey dengan beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara secara fluktuatif berada dalam urutan 2 besar, namun di tahun 2008 justru berada di bawah Malaysia dan Thailand dengan tingkat pertumbuhan satu digit, sementara Malaysia dan Thailand mampu meningkatkan perdagangannya ke Turkey dengan angka 2 digit. Usulan apa yang bisa 493

kita lakukan untuk meningkatkan perdagangan tersebut? Semoga tulisan ini dapat menjadi pemicu awal perubahan mindset aparat pemerintah pada umumnya dan di lingkungan Departemen Luar Negeri pada khususnya. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) ataupun Konsulat Jenderal adalah bagian dari Departemen Luar Negeri yang merupakan perwakilan Pemerintah Indonesia di setiap Negara penempatan. Banyak hal yang menjadi tugas seorang Duta Besar beserta jajarannya, mulai dari hal hal yang bersifat administratif, membangun dan menjaga hubungan baik dengan pemerintah setempat, membangun dan menjaga eksistensi serta image Pemerintah, juga berperan sebagai “mata” bagi Pemerintah dalam hal meningkatkan kerjasama baik dalam hal perdagangan, investasi, pendidikan, kebudayaan dan berbagai hal lain yang diharapkan dapat menjadi pemicu bagi perkembangan, kedaulatan dan kesejahteraan kehidupan bernegara. Bila melihat begitu banyaknya peran dan tugas yang diemban oleh KBRI tulisan ini akan sangat luas dan menjadi kurang fokus. Untuk itu penulis bermaksud mengangkat tema dengan amatan inti yang terkait dengan Perdagangan Internasional. Hal ini sangat menarik diangkat karena berdasarkan data amatan dalam hal perdagangan yang dilakukan oleh Turkey dengan berbagai Negara, Indonesia hanya memperoleh “teri” sementara beberapa Negara lain mampu memperoleh “kakap” dalam perdagangan tersebut. Dengan tidak bermaksud mengabaikan peningkatan nilai perdagangan antara Indonesia dengan Turkey, dalam data amatan tersebut nilai perdagangan antara Indonesia dan Turkey memang meningkat, namun peningkatan tersebut jauh di bawah pertumbuhan nilai perdagangan yang dilakukan oleh Negara lain. Mengapa prestasi kita tertinggal dari beberapa Negara tetangga? Apa yang bisa kita lakukan untuk memperoleh nilai perdagangan yang lebih tinggi mengingat nilai perdagangan Turkey dengan berbagai Negara cukup besar namun kita hanya membukukan 0,7% dari total import yang dilakukan Turkey pada tahun 2008?

2.

BENANG MERAH ANTARA PERUSAHAAN DENGAN PEMERINTAHAN

Sebelum menjawab beberapa pertanyaan di atas, terlebih dahulu penulis menggambarkan benang merah antara Perusahaan dengan Pemerintahan. Dalam menjalankan perputaran bisnis, perusahaan mengenal istilah cost oriented unit dan profit oriented unit. Sebagai contoh, divisi penelitian dan pengembangan sering disebut sebagai cost oriented unit sementara divisi pemasaran sebagai profit oriented unit. Divisi penelitian dan pengembangan layak disebut sebagai cost oriented unit karena divisi ini lebih ditekankan untuk mengadakan penelitian yang terkait dengan penciptaan dan pengembangan produk. Dalam melakukan penelitan tersebut divisi ini menggunakan anggaran dalam jumlah tertentu guna melakukan aktivitas yang sering kerap identik dengan uji coba sehingga akhirnya menghasilkan prototype produk yang layak jual dan bisa diterima pasar. Kinerja divisi ini dilihat dari seberapa besar keberhasilan menciptakan dan menghasilkan inovasi produk dari sejumlah anggaran yang telah digunakan. Divisi pemasaran ditekankan untuk mencapai target penjualan sehingga perusahaan memperoleh pemasukan dan mampu mengembalikan biaya investasi yang telah dilakukan, menutup seluruh biaya yang telah dikeluarkan sekaligus menghasilkan tingkat laba tertentu sehingga perusahaan dapat terus hidup dan berkembang serta menghasilkan dividend bagi pemilik modal. Hal lebih mendalam mengenai profit and cost oriented unit bisa dipahami lebih jauh dalam buku yang membahas Management Control System. 494

Dengan semakin berkembangnya aktivitas bisnis serta semakin tingginya tingkat persaingan maka divisi Pemasaran perlu didukung oleh divisi Customer Relation ataupun Public Relation yang mampu berperan sebagai “keranjang sampah” dan “cleaning service” dalam hal menerima keluhan dari para pelanggan. Keluhan tersebut sebenarnya merupakan unpan balik yang cukup berharga bagi perusahaan untuk memperbaiki mutu dan kualitas produk maupun layanan jasa serta menjadi masukan bagi divisi pengembangan dan penelitian untuk dikaji lebih lanjut guna memunculkan produk baru yang sesuai dengan minat pasar. Peran lain Customer Relation ataupun Public Relation adalah menciptakan, memperbaiki serta mempertahankan citra positif perusahaan di mata para pelanggang maupun kalangan bisnis dan pemerintah. Penyelenggaraan pemerintah dapat diibaratkan layaknya sebuah perusahaan, dimana terdapat post pendapatan dan post pengeluaran. Dalam hal ini penulis tidak mengupas post yang terkait sebagai pengeluaran dalam penyelenggaraan pemerintahan namun lebih menekanan post pendapatan. Dalam lingkup penyelenggaraan bernegara post yang menjadi sumber pendapatan antara lain berupa penerimaan dari sektor pajak dan non pajak. Dalam hal ini penulis juga tidak mengupas lebih jauh mengenai penerimaan dari sektor pajak melainkan dari sektor non pajak yang terkait dari sektor perdagangan. Sesuai dengan aktivitasnya, perdagangan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu perdagangan yang bersifat fisik maupun perdagangan non fisik. Perdagangan fisik adalah perdagangan barang yang bersifat tangible atau nyata, baik berupa hasil tambang dan kekayaan hasil alam lainnya maupun berupa barang hasil produksi. Perdagangan non fisik adalah perdagangan barang yang bersifat intangible seperti jasa maupun pariwisata. Dalam tulisan ini perdagangan yang dimaksud difokuskan pada perdagangan barang yang bersifat tangible. Bagaimana aplikasi Management Control System dapat diaplikasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan? Dalam hal ini kita lebih membahas departemen apa dalam lingkup pemerintahan yang bisa difungsikan sebagai profit oriented unit sehingga mendorong meningkatkan pemasukan bagi pemerintah. Pemasukan pemerintah melalui pajak bukan hal baru dan inovatif. Dalam hal ini sudahkah terpikir bahwasannya Departemen Luar Negeri merupakan departemen yang bisa lebih berperan sebagai Public Relation atau Marketing? Mengapa? Karena departemen ini berada di wilayah sesuai dengan negara penempatan masing masing yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan berbagai pihak di negera setempat. Dengan demikian para diplomat yang ditempatkan di sini memiliki kesempatan lebih luas untuk mengetahui potensi pasar, pola bisnis penduduk setempat serta peluang bisnis yang bisa dikembangkan antara Indonesia dengan negara setempat. Tentunya aktivitas ini tidak bisa dibebankan ke Departemen Luar Negeri semata namun terkait dengan Departemen Perdagangan. Peran tersebut tentunya tidak akan tumpang tindih dengan Departement Perdagangan bila dilakukan koordinasi berdasarkan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang baku dan jauh dari unsur birokratis namun user friendly dan memiliki tingkat keamanan. Yang menjadi pertanyaan apakah di Departemen Luar Negeri sudah ada SOP yang menyangkut aktivitas ini? Bila ada, pertanyaan lebih lanjut adalah apakah diplomat yang ditempatkan di berbagai KBRI sudah memahami SOP ini dengan baik dan bisa mengaplikasikannya? Lantas apakah ada reward and punishment terkait dengan kinerja para diplomat di setiap KBRI yang terkait dengan penilaian kinerja seperti kenaikan pangkat dan 495

bonus akhir tahun? Bila selama ini unit yang berperan sebagai Public Relation ataupun Marketing belum diberi target untuk menumbuhkan atau memfasilitasi tingkat perdagangan antara pelaku bisnis di Indonesia dengan pelaku bisnis negara setempat, di masa mendatang pentargetan ini bisa dijadikan salah satu ukuran kinerja diplomat di setiap KBRI bahkan Duta Besarnya yang aturan mainnya dibuat secara tertulis oleh Departemen Luar Negeri. Salah satu contoh nyata mengenai reward and punishment ini secara nyata diterapkan dalam bisnis perbankan yang diterapkan secara berjenjang mulai dari Kepala Divisi, Kepala Wilayah, Kepala Cabang bahkan sampai ke staff marketingnya. Sebagai ilustrasi, setiap kepala cabang sebuah bank salah satu fungsinya adalah bertanggung jawab untuk mencapai tingkat pertumbuhan penjualan dan meningkatkan asset cabang. Salah satu penilaian keberhasilan seorang Kepala Cabang adalah pencapaian target penjualan. Dengan demikian Kepala Cabang terpicu untuk mengerahkan tim marketingnya mencapai target, baik dari sisi volume penjualan maupun tingkat kepuasan pelanggan. Orientasi bisnis saat ini bukan lagi semata mencapai target penjualan namun lebih mengarah pada keseimbangan antara target penjualan sekaligus tingkat kepuasan konsumen. Aplikasi sistem tersebut dapat diterapkan di Departemen Luar Negeri. Dalam hal ini kepuasan mitra kerja perdangangan di luar negeri menjadi hal penting demi kelangsungan perdagangan yang berkelanjutan. Dengan demikian mindset ambil untung sebesar besarnya dalam jangka pendek atau yang biasa dikenal dengan istilah short and run bisa diminimalisir. Pemangku jabatan atau yang biasa dikenal dengan istilah Person in Charga (PIC) di KBRI yang bertugas harus berperan sebagai filter guna menghindari “pebisnis nakal” dari luar negeri yang berpotensi merugikan pebisnis Indonesia. Demikian pula PIC tersebut berperan sebagai filter guna menghindari “pebisnis nakal” dari Indonesia yang berpotensi mencoreng nama baik pelaku bisnis Indonesia. Namun pada dasarnya dalam mekanisme perdagangan internasional, hal tersebut dapat diantispasi melalui berbagai sistem seperti Bank Garansi, asuransi, dan lain sebagainya.

3.

“KUE” DI TURKEY

Data Import and Export by Countries yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik Turkey (TUIK) menyebutkan nilai impor Turkey tahun 2008 dari berbagai negara berjumlah US$ 201.963 million di mana Indonesia hanya membukukan nilai expor ke Turkey sebesar US$ 1.408 million atau setara 0,7% dari total nilai impor Turkey. Impor terbesar Turkey berasal dari Rusia dengan nilai US$ 31,364 million atau 15,5% dari total nilai impor. Dari data tersebut terdapat 2 negara Asean lainnya yaitu Malaysia dan Thailand yang masing masing membukukan nilai ekspor ke Turkey sebesar US$ 1,512 million dan US$ 1,473 million seperti terlihat di table 1. Prosentase perubahan nilai impor Turkey dari Indonesia, Malaysia dan Thailand di tahun 2008 sangat mencolok yaitu 3,6%; 20,7% dan 19,8%, sementara tingkat pertumbuhan impor Turkey pada tahun 2008 sebesar 18,7% seperti terlihat di grafik 1. Apa makna prosentase tersebut? Terlihat bahwa pelaku bisnis dari Malaysia dan Thailand mampu meningkatkan expor ke Turkey lebih baik daripada pelaku bisnis di Indonesia. Selain itu tingkat pertumbuhan impor Turkey dari Indonesia jauh dibawah tingkat pertumbuhan impor Turkey secara keseluruhan pada tahun 2008. Dalam hal ini sebenarnya pelaku bisnis Indonesia memiliki peluang yang 496

sama karena berdasarkan data Top Thirty Chapters in Import yang dikeluarkan oleh TUIK, items yang menjadi impor Turkey sebagian besar bisa dihasilkan Indonesia Tabel 1 Nilai Impor Turkey dari Tujuh Negara Amatan Negara

Nilai Impor tahun 2008 dlm $ 000

Total

Share %

201 963 574

Nilai Impor tahun 2007 dlm $ 000

100

Share %

170 062 715

100

Incremental % 18.76

Jerman

18 687 197

9.25

17 539 955

10.31

6.54

Rusia

31 364 477

15.53

23 508 494

13.82

33.42

Amerika Serikat

11 975 929

5.93

8 166 068

4.80

46.65

Thailand

1 473 405

0.73

1 229 444

0.72

19.84

Indonesia

1 408 895

0.70

1 359 928

0.80

3.60

Malaysia

1 512 361

0.75

1 253 030

0.74

20.70

15 658 210

7.75

13 234 092

7.78

18.32

China

Sumber: TUIK (Biro Pusat Statistik Turkey)

Incremental % 3.60

19.84

20.70

Jerman 18.32

Rusia Amerika Serikat Thailand Indonesia

46.65

6.54 33.42

Malaysia China

Sumber: TUIK

Grafik 1 Pertumbuhan import Turkey dari 7 negara amatan

Dalam kurun waktu 1996 – 2008 seperti terlihat di Grafik 2 terlihat bahwa impor utama Turkey dari Negara di kawasan Asean adalah berasal dari Indonesia, Malaysia dan Thailand. Nilai ekspor Indonesia, Malaysia dan Thailand senantiasa memiliki kecenderungan peningkatan dengan tingkat kemiringan yang tidak jauh berbeda. Namun pada tahun 2007 – 2008 terlihat bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia sangat landai dan bertumbuh hanya dengan angka 3,6% sementara pertumbuhan Malaysia dan Thailand bertumbuh dengan angka 20,7% dan 19,8% sehingga nilai ekspor Indonesia ke Turkey berada di bawah nilai ekspor Malaysia dan Thailand.

497

1 600 000 1 400 000 1 200 000

Thailand Vietnam

1 000 000

Indonesia

800 000

Malaysia

600 000

Singapura Philipina

400 000 200 000 0 1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

Sumber: TUIK

Grafik 2. Nilai impor Turkey dari beberapa negara ASEAN, 1996 – 2008 ($000) Bagaimana pelaku bisnis di Indonesia bisa meningkatkan nilai ekspor ke Turkey dengan prosentase seperti Malaysia dan Thailand? Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menumbuhkan mindset bisnis dalam arti positif bagi pejabat yang ditempatkan di KBRI. Maksudnya adalah pejabat di KBRI harus bisa melihat peluang bisnis yang dapat dikembangkan antara Indonesia dengan Negara setempat. Dalam hal ini pejabat tersebut menjadi fasilitator antara pelaku bisnis di Indonesia dengan Negara setempat. Pejabat di KBRI bukan saatnya lagi berkutat dengan kebijakan yang berorientasi pada pendapatan “kelas teri” namun lebih pada berbagai hal yang bisa mendorong peningkatan perdagangan antara Indonesia dengan Negara setempat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh TUIK, terdapat 97 items barang yang diimpor Turkey dari berbagai Negara. Secara lengkap ke-97 items barang yang diimpor Turkey dapat di lihat di lampiran 3. Berdasarkan pengamatan penulis seperti yang tertera di Tabel 2, beberapa items yang bisa memberikan andil besar dalam memperbesar ekspor Indonesia ke Turkey antara lain mineral fuels and oils, paper and paperboard, rubber and articles thereof, wood and articles of wood serta furniture. Selama penulis tinggal di Istanbul terlihat bahwa harga barang barang konsumsi di Turkey relatif lebih mahal dibanding harga barang barang konsumsi sejenis yang biasa dijual di Indonesia. Hal ini bisa menjadi peluang ekspor Indonesia ke Turkey karena Indonesia mampu memproduksi barang konsumsi tersebut. Efek domino perdagangan internasional ini adalah bergeraknya sektor produksi di Indonesia baik yang terkait dengan produk bersangkutan, industri hulu yang menyediakan bahan baku dan bahan penolong.

498

Tabel 2 Top 30 Produk Impor Turkey Imports by chapters Value: 000 $ Year Yıl 2008 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Total Toplam 201 963 574 48 281 193 23 160 241 22 539 348 13 892 260 12 789 717 9 385 517 5 653 782 4 421 328 4 360 581 3 444 912 3 275 974 2 605 213 2 543 704 2 331 906 2 227 429 2 219 509 2 137 329 1 732 921 1 695 924 1 684 704 1 657 560 1 582 609 1 579 244 1 494 492 1 481 756 1 464 812 1 230 924 1 159 347 1 114 284 874 124

Chapters Fasıllar Total Mineral fuels and oils Iron and steel Machineries, mechanical appliances, boilers and ; parts thereof Electrical machinery and equipment Vehicles other than railway Plastics and articles thereof, Pearls, precious stones, coin Organic chemicals Pharmaceutical products Optical instruments and apparatus Copper and articles thereof Paper and paperboard Aluminium and articles thereof Cotton. cotton yarn and cotton fabric Articles of iron and steel Rubber and articles thereof Cereals Miscellaneous chemical products Man-made staple fibres Inorganic chemicals Animal or vegetable fats and oils Aircraft Tanning or dyeing extracts Man-made filaments Fertilizers Oil seeds and oleaginous fruits Articles of apparel and clothing acc. not knitted Wood and articles of wood Furniture Ships, boats and floating structures

Sumber: TUIK

Untuk memperoleh kakap dalam jumlah besar di lautan lepas tidak bisa dilakukan hanya dengan sampan serta pancing ala kadarnya dan dilakukan oleh nelayan yang kurang terlatih dengan mindset “nerimo”, sebaliknya dibutuhkan beberapa hal berikut:  Tersedianya Nahkoda serta Anak Buah Kapal yang pandai dan cekatan,tim kerja yang kompak, sehat dan memiliki semangat pencapaian prestasi yang tinggi.  Pengetahuan dan ketrampilan menggunakan peralatan dan perkapalan dengan baik.  Kemampuan mencari hotspot serta membaca fenomena alam dan navigasi yang prima.  Tersedianya armada perkapalan dan peralatan yang baik serta layak

499



Tersedianya mekanisme tertulis yang jelas, user friendly, applicable namun tetap memiliki unsur keamanan dalam bentuk SOP sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait di dalamnya

4. USULAN Analogi di atas merupakan gambaran real yang menjadi saripati dari benang merah antara Perusahaan dengan Pemerintahan. Berikut masukan yang penulis usulkan guna meningkatkan perdagangan melalui kinerja para diplomat di setiap KBRI:  Bila di Departemen Luar Negeri sudah ada SOP mengenai reward and punishment bagi para diplomat terkait dengan pencapaian perdagangan internasional di negara penempatan masing masing maka penerapan SOP tersebut perlu diberdayakan dan dijadikan salah satu items dalam hal kenaikan pangkat, pemberian bonus ataupun demosi.  Bila di Departemen Luar Negeri belum ada SOP mengenai reward and punishment bagi para diplomat terkait dengan prestasi perdagangan internasional di negara penempatan, maka Departemen Luar Negeri selaku Induk KBRI bisa berkoordinasi dengan institusi lain seperti Departemen Perdagangan, Perpajakan, Departemen Perindustrian ataupun departemen terkait lainnya sehingga diperoleh SOP yang bersifat comprehensive, lintas departemen dan memiliki acceptability di dalam operasional dan pelaksanaannya serta memiliki unsur sinergis dalam mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin timbul.  SOP point 1 ataupun point 2 disosialisasikan ke seluruh diplomat terkait dengan memaparkan dampak dan keuntngan nilai perdagangan internasional bagi pendapatan Negara. Selain itu dipaparkan juga bentuk dan sistem reward and punishment SOP tersebut sehingga para diplomat semakin menyadari bahwasannya SOP tersebut adalah aturan main yang jelas berdampak terhadap jenjang karir dan bukan hanya sekedar SOP yang bisa diabaikan begitu saja.  Departement Luar Negeri secara berkala mengadakan pelatihan mengenai pola bisnis business mindset, public relation, problem solving dan berbagai pelatihan yang intinya menumbuhkan kepekaan berbisnis bagi para diplomat  Dalam proses perekrutan calon diplomat yang akan menjadi Pegawai Negeri Sipil di jajaran Departemen Luar Negeri, kepekaan berbisnis dijadikan salah satu parameter utama dalam proses seleksi sehingga didapatkan calon diplomat yang bukan hanya pandai secara akademis dan memiliki akhlak baik dengan pengetahuan Pancasila semata namun juga memiliki “jiwa dagang” sehingga mampu membaca peluang bisnis yang bisa dikembangkan antara Indonesia dengan Negara setempat Selain kelima items usulan tersebut, tentunya Pemerintah juga harus menciptakan iklim usaha yang sehat dan mendorong pengusaha dari berbagai kalangan untuk dapat berusaha dan berproduksi dengan aman dan berkesinambungan.

5. KESIMPULAN Kasus perdagangan internasional antara Turkey – Indonesia hanyalah salah satu gambaran betapa sebenarnya masih banyak peluang yang dapat dilakukan dan dikembangkan oleh para diplomat di KBRI di setiap Negara penempatan. Usulan di atas nampaknya mudah untuk dilaksanakan namun yang utama dalam aplikasinya bukan masalah mudah ataupun sulit, 500

melainkan kesungguhan Menteri Luar Negeri untuk membuat aturan main berupa SOP dan melakukan kontrol sejauh mana pelaksanaan SOP tersebut bisa diterapkan sehingga berdampak secara significant terhadap peningkatan perdagangan internasional Indonesia. Hendaknya SOP tersebut harus jelas, user friendly dan applicable sehingga mudah dipahami dan memiliki acceptability yang tinggi oleh semua pihak yang terkait di dalamnya.

REFERENSI Robert N. Anthony and John Dearden (1972), Revised Edition, Management Control System, Richard D. Irwin Inc. Paul R. Krugman and Maurice Obstfeld (2005), 7th Edition, International Economic, Theory and Practice, Addison – Wesley, Boston. Customer Satisfaction and Customer Handling (2007), System Operating and Procedure jilid 1 s/d 4, Customer Relation Department, PT. Indomobil Trada Nasional. Turkish Statistical Institute, Turkstat; http://www.turkstat.gov.tr/

LAMPIRAN Lampiran 1 Nilai perdagangan Turkey periode 1996 - 2008 Foreign trade by years Value 000 $ Exports

Yıllar Years 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008***

Value '000 $ 23 224 465 26 261 072 26 973 952 26 587 225 27 774 906 31 334 216 36 059 089 47 252 836 63 167 153 73 476 408 85 534 676 107 271 750 132 027 196

Balance

Imports

Change % 7.3 13.1 2.7 -1.4 4.5 12.8 15.1 31.0 33.7 16.3

Change % 22.2 11.3 -5.4 -11.4 34.0 -24.0 24.5 34.5 40.7 19.7

25.4

Value '000 $ 43 626 642 48 558 721 45 921 392 40 671 272 54 502 821 41 399 083 51 553 797 69 339 692 97 539 766 116 774 151 139 576 174 170 062 715

23.1

201 963 574

18.8

16.4

Foreign Trade Value '000 $ -20 402 178 -22 297 649 -18 947 440 -14 084 047 -26 727 914 -10 064 867 -15 494 708 -22 086 856 -34 372 613 -43 297 743

Volume of Foreign Trade Value '000 $ 66 851 107 74 819 792 72 895 344 67 258 497 82 277 727 72 733 299 87 612 886 116 592 528 160 706 919 190 250 559

-54 041 498 -62 790 965

225 110 850 277 334 464

of

19.5 21.8

- 69 936 378

333 990 770

Proportion of Imports covered By Exports % 53.2 54.1 58.7 65.4 51.0 75.7 69.9 68.1 64.8 62.9 61.3 63.1 65.4

*** 2008 yılı rakamları geçicidir. *** Data for 2008 is provisional. Sumber: TUIK

501

Lampiran 2 Grafik Nilai Perdagangan Turkey periode 1996 – 2008 ($000) 250 000 000 200 000 000 150 000 000 Exports 100 000 000 Imports 50 000 000

19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 0 20 7 08 ** *

19 96

0

Sumber: TUIK

Lampiran 3. Items dan Nilai Barang Impor Turkey tahun 2008 Imports by chapters Değer / Value: 000 $

Year Yıl 2008

Total

Chapters

Toplam

Fasıllar

201 963 574

Total

1

48 281 193

Mineral fuels and oils

2

23 160 241

Iron and steel

3

22 539 348

Machineries, mechanical appliances, boilers and ; parts thereof

4

13 892 260

Electrical machinery and equipment

5

12 789 717

Vehicles other than railway

6

9 385 517

Plastics and articles thereof,

7

5 653 782

Pearls, precious stones, coin

8

4 421 328

Organic chemicals

9

4 360 581

Pharmaceutical products

10

3 444 912

Optical instruments and apparatus

11

3 275 974

Copper and articles thereof

12

2 605 213

Paper and paperboard

13

2 543 704

Aluminium and articles thereof

14

2 331 906

Cotton. cotton yarn and cotton fabric

15

2 227 429

Articles of iron and steel

16

2 219 509

Rubber and articles thereof

17

2 137 329

Cereals

18

1 732 921

Miscellaneous chemical products

19

1 695 924

Man-made staple fibres

20

1 684 704

Inorganic chemicals

21

1 657 560

Animal or vegetable fats and oils

22

1 582 609

Aircraft

502

23

1 579 244

Tanning or dyeing extracts

24

1 494 492

Man-made filaments

25

1 481 756

Fertilizers

26

1 464 812

Oil seeds and oleaginous fruits

27

1 230 924

Articles of apparel and clothing acc. not knitted

28

1 159 347

Wood and articles of wood

29

1 114 284

Furniture

30

874 124

Ships, boats and floating structures

31

844 665

Essential oils and resinoids

32

843 753

Ores, slag and ash

33

772 971

Waste from the food industries, animal fodder

34

761 127

Articles of apparel and clothing acc.knitted

35

709 225

Miscellaneous articles of base metal

36

672 917

Footwear and the like

37

640 619

Soap

38

593 915

Glass and glassware

39

584 863

Tools of base metal

40

537 423

Articles of leather

41

518 293

Raw hides, skins and leather

42

504 282

Salt, sulphur, earth, plaster.materials, lime,cement

43

472 991

Pulp of cellulosic material and waste of paper

44

456 322

Wool

45

416 588

Wadding, felt and nonwovens

46

407 172

Ceramic products

47

404 908

Toys, games and sports equipment

48

402 038

Articles of stone, plaster or similar materials

49

400 250

Vegetables

50

391 694

Tobacco and manufactured tobacco substitutes

51

391 630

Other products

52

387 176

Miscellaneous edible preparations

53

381 394

Miscellaneous manufactured articles

54

371 630

Albuminoidal substances

55

345 986

Railway or tramway locomotives

56

342 545

Zinc and articles thereof

57

319 241

Fruit

58

284 166

Cocoa and cocoa preparations

59

253 841

Impregnated, coated etc fabrics

60

239 282

Knitted or crocheted fabrics

61

238 512

Clocks

62

234 438

Photographic or cinematographic goods

63

211 975

Nickel and articles thereof

64

210 302

Carpets and other floor coverings

65

203 381

Lead and articles thereof

66

186 693

Special woven fabrics

67

181 819

Paper yarn and woven fabrics

68

169 591

Printed books, newspapers etc

503

69

151 282

Preparations of cereals, flour, starch or milk

70

130 475

Other made-up textile articles

71

127 031

Dairy produce, eggs, honey

72

119 769

Fish

73

111 785

Beverages, spirits and vinegar

74

110 021

Other base metals, cermets, articles thereof

75

102 275

Furskins and artificial fur

76

87 947

Preparations of vegetables and fruits

77

86 840

Sugars and sugar confectionery

78

72 744

Coffee, tea, spices

79

60 195

Arms and ammunition

80

57 750

Live trees and other plants

81

55 645

Tin and articles thereof

82

44 539

Silk

83

41 448

Live animals

84

36 058

Headgear and parts thereof

85

34 522

Explosives

86

32 739

Feathers and down and artificial flowers

87

31 232

Musical instruments

88

28 540

Other products of animal origin

89

27 439

Umbrellas, walking-sticks, whips

90

25 679

Vegetable saps and extracts

91

25 232

Products of the milling industry

92

22 682

Works of art and collectors pieces

93

12 291

Manufactures of plaiting materials

94

6 855

Cork and articles of cork

95

4 920

Vegetable plaiting materials

96

2 474

Preparations of meat, of fish and of molluses

97

906

Meat

504

Sub Kategori

: Sains Ekonomi (2D)

Judul : ”Gross National Happiness” Sebagai Model Indikator Pengambilan Kebijakan Pembangunan Yang Bermartabat, Humanis dan Berwawasan Lingkungan Andrie KISROH SUNYIGONO PhD Candidate Department of Agricultural Economics University of the Philippines Los Banos 10122, Sierra Madre, ST. Umali Sub Division, Los Banos Telp : +63 9085550182 E-mail: [email protected]

Abstract : Since Gross National Product (GNP) has become an indicator of development in 1950s, so many critiques appear on that policy because the GNP only has single dimension and it cannot capture all aspects in society such as cultural, social, politic and other aspects that actually done by people. As the result, the objectives of the development policy are improper and causing many negative impacts. Gross National Happiness (GNH) has been assumed to be able to make perfectness of the above weaknesses, because GNH has five dimensions, as follows: human resourses capital, social capital, ecological capital, economic capital, and cultural capital. Furthermore, GNH has also considered nine values in society: psychological well-being, time use, community vitality, culture, health, education, environment diversity, living standard, and governance. There are many stimulators and opportunity factors in implementing GNH in Indonesia, because the social values has been already implemented since our ancestors, such as cooperation/helping one another, bearing together of expenses, and tolerance, etc. Aside from that, there are many threats should be faced such as high population with, of course, high heteroginity and geographic conditions as an archipelago are also considered to be difficulties in making and implementing GNH indicator. Key words : Gross National Product, Gross National Happines, Happiness

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Visi pembangunan nasional adalah: terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai; terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak azasi manusia; serta terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan kehidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. (www. indonesia. go.id, 2009). Memperhatikan pernyataan diatas, visi pembangunan nasional kita dapat 505

dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu visi pembangunan pada aspek material dan visi pembangunan pada aspek spiritual (non material). Sebagai proses yang harus dilakukan secara terus menerus, terarah dan berkesinambungan, maka hasil-hasil pembangunan harus selalu dievaluasi tingkat keberhasilan dan kesesuaiannya dengan rencana pembangunan yang telah ditetapkan. Salah satu indikator utama yang digunakan oleh banyak negara termasuk Indonesia dalam mengukur tingkat keberhasilan pembangunan adalah Gross National Product (GNP). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan pada tahun 1950an, banyak para ahli ekonomi yang mengkritik terhadap kelemahan GNP. Haq (1995), menyatakan bahwa GNP hanya mereflesikan harga pasar, sebagai faktor yang sangat menentukan dalam kegiatan ekonomi, tapi GNP tidak mampu menjelaskan tentang aspek distribusi, kualitas pertumbuhan ekonomi. GNP juga mengabaikan semua aktivitas yang tidak dapat diukur dengan uang seperti: kontribusi ibu rumah tangga, pertanian subsisten, dan kontribusi dari pekerja sukarela. Yang paling serius adalah GNP hanya berdimensi tunggal dan tidak mampu memotret aspek budaya, sosial, politik dan aspek-aspek lain yang sebenarnya dikerjakan oleh manusia. Kondisi di atas menjadi permasalahan serius dalam upaya pembangunan kedepan, karena mayoritas kebijakan pembangunan yang diambil hanya didasarkan pada indikator GNP dan beberapa indikator ekonomi lainnya. Akibatnya arah kebijakan pembangunan salah sasaran dan justru menimbulkan dampak negatif. Contoh dampak negatifnya adalah: tindak kejahatan karena ketimpangan sosial, polusi, pergusuran fasilitas umum dengan alasan pembangunan serta polusi dan kerusakan lingkungan. Memperhatikan uraian diatas, perlu kiranya dipikirkan salah satu alternatif indikator pembangunan yang lebih humanis, bermartabat dan berwawasan lingkungan. Yang terpenting lagi bahwa indikator tersebut mampu mengukur dampak pembangunan ditinjau dari aspek non material dan spiritual. Konsep “Gross National Happiness” yang telah disesuaikan dengan tata nilai nusantara, kiranya layak untuk dikaji dan dipertimbangkan. 1.2 Perumusan Masalah Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa pelaksanaan pembangunan harus dilakukan secara komprehensif, terarah dan terukur. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan juga harus meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga benar-benar dapat diketahui dampak dari pembangunan yang dilaksanakan. Disamping itu pemerintah dapat melakukan perencanaan pembangunan ke depan dengan lebih baik dan tepat sasaran. Permasalahan yang akan dikaji dalam karya ilmiah ini adalah analisis terhadap efektifitas Gross National Product (GNP) sebagai indikator pembangunan. Dari kajian pustaka yang dilakukan terdapat beberapa-beberapa permasalahan yang ditemui dan menjadikan karya ilmiah ini penting: a. GNP hanya bersifat satu dimensi yaitu lebih difokuskan pada dimensi ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti sosial, budaya, politik dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita perhatikan dari berbagai kebijakan pemerintah yang selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama.

506

b. Pelaksanaan pembangunan justru banyak menimbulkan permasalahan dengan masyarakat “bawah”. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pelaksanaan pembangunan masih belum benar-benar hasil aspirasi dan partisipasi dari semua komponen bangsa. c. Metode pengukuran hasil pembangunan masih berpijak pada outcome indicators sehingga belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika masyarakat. Misalnya, si miskin dilihat hanya sebagai “korban pasif” dan objek pendertia, bukan sebagai “manusia” (human being) yang memiliki “sesuatu” yang dapat digunakannya baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan mereka sendiri (Suharto, 2009). d. Aspek-aspek keberfungsian sosial dalam masyarakat belum dikembangkan sebagai paradigma baru dalam mengkaji permasalahan pembangunan. 1.2.1 Tujuan dan Kegunaan 1.2.2 Tujuan 1. Mengkaji dan menganalisis efektifitas Gross National Product (GNP) sebagai indikator utama pembangunan. 2. Mengidentifikasi dan mengekplorasi Gross National Happiness (GNH) sebagai indikator pembangunan yang lebih holistik dan mampu disinergikan dengan GNP. 3. Mengindentifikasi dan menganalisis peluang dan tantangan penerapan GNH di Indonesia. 1.2.3 Kegunaan 1. Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan/rekomendasi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan Gross National Happiness (GNH) dalam pengukuran dampak dari pelaksanaan pembangunan. 2. Sebagai tambahan referensi bagi kalangan akademisi dan stakeholder terkait yang interest terhadap topik yang dikaji.

2.

PENDEKATAN TEORITIK

2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Todaro (dalam Lepi T. Tarmidi, 1992:11) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses multi dimensional yang menyangkut perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan nasional maupun percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan penghapusan dari kemiskinan mutlak. Menurut Schumpeter pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis atau gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan tidak terputus-putus. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan industri dan perdagangan (Suryana, 2000). Tujuan utama pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyat menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif. Hal ini nampaknya sederhana. Tetapi seringkali terlupakan oleh kesibukan jangka pendek untuk mengumpulkan harta dan uang (UNDP, 2000). Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat empat komponen pembangunan manusia, yaitu: produktifitas, pemerataan, keberlanjutan dan pemberdayaan. 507

2.2 Gross National Product sebagai Indikator Pembangunan Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya (Inggris) pada tahun 1665. Sejak tahun 1950-an, Gross National Product (GNP) mulai dijadikan sebagai indikator pembangunan. Adapun definisi Gross National Product (GNP) adalah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut (Dornbush dan Fisher, 1992). Unsur pembentuk dari GNP adalah sebagaimana dalam formula dibawah ini: Y  C I GEM

(1)

Dimana: Y = Tingkat GNP tiap tahun; C = Tingkat konsumsi tiap tahun, I = Tingkat investasi yang terealisasi tiap tahun; G = Tingkat Belanja Pemerintah (APBN) tiap tahun; E = Tingkat Ekspor tiap tahun; M = Tingkat Impor tiap tahun 2.3 Konsep Gross National Happiness Pada 2005, Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia, “Model Bhutan” ciptaannya, teori Gross National Happiness (GNH) yang diusulkan memperoleh perhatian seksama masyarakat internasional. Yang disebut “Model Bhutan” ialah mementingkan perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan tradisional diletakkan di atas perkembangan ekonomi, standar untuk pengukuran perkembangan ialah Gross National Happiness (GNH) (Mancall, 2004). Karma (2005) menyatakan bahwa GNH bertujuan untuk menyeimbangkan nilai-nilai dari pengembangan materi dan spiritual agar saling mendukung satu sama lain, menciptakan masyarakat yang harmonis. Kebahagiaan dicapai bukan dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya saja, tetapi juga faktor kebahagiaan individu dan keadilan harus diperhatikan. Empat pilar yang menjadi semacam aturan dasar dari GNH adalah: 1. Mempromosikan pembangunan ekonomi yang adil dan ramah lingkungan. 2. Pelestarian dan promosi nilai-nilai budaya. 3. Melindungi (konservasi) lingkungan alami. 4. Menciptakan pemerintahan yang sehat. Sehingga dalam melaksanakan sebuah proyek pembangunan, akan lebih mempertimbangkan sembilan nilai yaitu (Anonymous, 2008): 1. Psychological Well-being 2. Time Use 3. Community Vitality 4. Culture 5. Health 6. Education

dulu

508

7. Environmental Diversity 8. Living Standard 9. Governance Apabila salah satu dari kesembilan nilai ini ada yang terganggu maka proyek tersebut harus dipertimbangkan kelanjutannya. Sangat menarik, karena mereka tidak hanya semata-mata mempertimbangkan berapa banyak uang yang bisa didatangkan dari suatu proyek.

3.

PEMBAHASAN

3.1 Tinjauan Kritis terhadap Gross National Product (GNP) Proses transaksi ekonomi dalam suatu Negara seringkali menggunakan Gross National Product (GNP) sebagai indikator utamanya. GNP bisa dikatakan sebagai total kontribusi nasional untuk masyarakat. Yang dimaksud “product” dalam hal ini adalah “goods” atau biasa disebut komoditi. Ada 2 macam komoditi, yaitu barang dan jasa. Secara skematis mekanisme kerja Gross National Product dapat dilihat pada Gambar 1.

Nilai Tambah

Konsumsi

MNT Sektor Hulu

Input

BL

MTK

Agroindustri

MI

MO

DKE

Household

Output

FL

Sektor Hilir

MEO

Ekspor METK

Gambar 1. Mekanisme Kerja Gross National Product dalam Suatu Perekonomian. Sumber: Sunyigono, 2006 Kelemahan GNP sebagai tolok ukur kualitas hidup masyarakat misalnya mengenai jam kerja. Bila jam kerja panjang, akan cenderung meningkatkan GNP, namun hal ini sebetulnya bisa dianggap menurunkan kualitas hidup karena berkurangnya “leisure time”. Hal ini tidak menjadi pertimbangan dalam GNP. Kelemahan lain misalnya bila TV yang dijual dengan harga sama, namun yang satu gambarnya kurang jelas (sehingga kualitas hidup kurang baik), sedangkan yang lain sangat jelas (sehingga kualitas hidup lebih baik), hal ini juga tidak dibedakan oleh GNP. Kelemahan lain lagi, GNP tidak membedakan apakah 1 milyar rupiah itu merupakan produksi senjata atau 1 milyar produksi makanan atau jasa hiburan, yang seharusnya membawa efek yang lain terhadap kualitas hidup masyarakat. Selain itu, hal-hal yang tidak diperjualbelikan secara resmi tidak dianggap sebagai kontribusi masyarakat. Artinya kontribusi sektor informal dan juga hal-hal yang diproduksi dan dipakai 509

sendiri juga tidak terlihat dalam GNP meskipun hal-hal tersebut bersifat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, kelemahan-kelemahan di atas barulah yang kecil-kecil saja. Ada kelemahan yang lebih parah, yaitu para ahli ekonomi tidak mendata “bads” yang dihasilkan, dan hanya mendata “goods” saja. Ada berbagai hal yang bisa dikatakan sebagai “bads”: 1. “Goods” dengan jumlah terlalu banyak akan berubah menjadi “bads” Contoh yang gampang adalah air. Manusia membutuhkan air, dan mau membeli air bila kesulitan memperoleh air. Namun, bila seluruh kota dipenuhi air, itu namanya banjir dan sangat menyusahkan orang. Demikian juga dengan berbagai “over production” yang lain, ada juga yang dimusnahkan agar tidak mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. 2. Polusi dan kerusakan alam. Berbagai perusahaan menimbulkan polusi, dan selama ini tidak pernah dihitung secara nasional berapa tiap tahun kerusakan yang ditimbulkan oleh polusi. Selain itu kerusakan alam akibat kemajuan teknologi dan keperluan-keperluan industri lainnya tidak didata. Hal ini juga sering dikatakan sebagai “bads”. 3. Efek negatif “goods” Hal ini sebetulnya yang paling parah, misalnya kecelakan kecelakan lalu lintas yang terjadi, merupakan “bads” yang sangat besar. Nyawa orang yang melayang karena kecelakaan tentu tidak bisa diperkirakan berapa rupiah yang hilang, karena sangat subyektif. Namun tentu anda sekalian setuju bahwa nyawa sangat berharga, dan biasanya orang tidak mau dibayar berapapun untuk dibunuh. Demikian juga dengan “industrial accident” (kecelakaan kerja), yang sering terjadi di perusahaan-perusahaan, juga tidak pernah dihitung secara nasional berapa kerugian yang dialami (tangan/jari/kaki terpotong, mata buta, dan cacat- cacat yang lain bahkan juga meninggal). Dan yang paling parah adalah bahan- bahan peledak dan senjata, yang seringkali digunakan untuk membunuh banyak orang, seharusnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa peralatan itu “bads” dan bukan“Goods”, namun tetap dicatat sebagai “goods”. 3.2 Gross National Happiness sebagai Indikator Pembangunan yang Humanis, Bermartabat dan Berwawasan Lingkungan Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Negara Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia, lantaran teori Gross National Happiness (GNH) yang dusulkan memperoleh perhatian seksama masyarakat internasional dan diyakini dapat menjadi indikator pembangunan yang lebih komprehensif. Empat pilar yang menjadi semacam aturan dasar dari GNH adalah (Karma, 2005): 1. Mempromosikan pembangunan ekonomi yang adil dan ramah lingkungan. 2. Pelestarian dan promosi nilai-nilai budaya. 3. Melindungi (konservasi) lingkungan alami. 4. Menciptakan pemerintahan yang sehat. Fokus dari GNH adalah bagaimana kebahagian dapat tercapai. Definisi kebahagian sangat luas dan dalam konsep GNH kebahagian didefinisikan sebagai berikut (Karma, 2009) : 1. Memperlakukan barang publik sebagaimana barang miliknya pribadi, sehingga semua yang ada selalu dirawat dan dijaga dengan baik 2. Kebahagian tergantung pada karangka kehidupan dan bersifat relatif. 3. Kebahagian berhubungan dengan karakteristik masing-masing individu. 4. Kebahagian timbul dari dua sumber stimulus yaitu rangsangan eksternal dan metode kontemplatif batin. 510

5. Kebahagian berkaitan dengan kepekaan dan pemahaman saling ketergantungan. 6. Kebahagian adalah tujuan akhir dari semua umat manusia. Memperhatikan konsep dan definisi dari kebahagian, indikator yang digunakan dalam mengukur dampak hasil pembangunan tidak boleh hanya berdimensi tunggal seperti Gross National Product (GDP) yang selama ini digunakan. Akan tetapi harus multi dimensional dan mencakup setidaknya semua konsep yang ada dalam definisi kebahagian. Gambar 2 menunjukkan bahwa pengukuran hasil pembangunan dengan menggunakan metode Gross National Happiness (GNH) mempunyai lima dimensi yaitu: 1. Modal sumberdaya manusia - Mengukur tingkat kesehatan masyarakat - Mengukur dan mengevaluasi tingkat pendidikan dari aspek kualitas dan kuantitas. - Mengukur kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tertier. 2. Modal sosial - Melakukan identifikasi terhadap pranata sosial yang ada di dalam masyarakat. - Mengukur kohesi dan interaksi sosial antar kelompok masyarakat 3. Modal ekologi - Mengevaluasi keberadaan lingkungan flora dan fauna - Mengukur tingkat kerusakan lingkungan - Mengevaluasi dampak konservasi lingkungan yang dilakukan. 4. Modal ekonomi - Mengukur dampak dan nilai dari aktifitas ekonomi - Menganalisis distribusi kesejahteraan dan kesenjangan sosial 5. Modal budaya - Menganalisis perkembangan budaya yang ada di dalam masyarakat - Mengamati internalisasi dan implementasi budaya dalam realita kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pengukuran kelima dimensi dalam GNH harus mencakup kesembilan tata nilai yang ada. Berikut diuraikan secara rinci kesembilan tata nilai tersebut (Zilberg 2005). 1. Psychological well-being - Keseimbangan emosi (emosi positif dan negatif) - Kesehatan mental - Spiritualitas (keyakinan dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari) - Kualitas hidup 2. Time use - Alokasi waktu untuk bekerja (bekerja di rumah, bekerja dan mendapatkan gaji, pendidikan) - Alokasi waktu untuk tidur dan istirahat (sleep and leisure) - Alokasi waktu untuk tidak bekerja (aktifitas keagamaan dan budaya, perjalanan dan piknik) 3. Community vitality - Solidaritas sosial (adanya solidaritas sosial, kesediaan tetangga untuk saling membantu satu sama lainnya) - Kejujuran - Rasa untuk memiliki 511

4.

5.

6.

7.

8.

9.

- Resiprocity (pertukaran tenaga kerja, hari libur, donasi dan bantuan) - Keamanan (permusuhan, kejahatan, gangguan) - Hubungan dengan sesama (keluarga, teman) Culture - Bahasa - Cultural events (festival budaya, rekreasi tradisional) - Pemahaman terhadap budaya (pemahaman terhadap jenis budaya dan artis) - Nilai-nilai personal (sikap terhadap kebohongan, pencurian, pemerkosaan dan kejahatan lainnya) - Societal values (Disiplin, resiprocity, impartiality) Health - Kesehatan fisik (laporan kesehatan pribadi, kesehatan sehari-hari) - Pengetahuan terhadap kesehatan (breastfeeding, HIV/AIDS) - Perilaku sehat (alkohol, merokok) - Pelayanan kesehatan (keahlian dan keterampilan) - Rintangan (dimensi ruang dan waktu) Education - Personal education - Penguasaan bahasa (lokal, nasional dan asing) - Sistem pendidikan (kualitas pendidikan dan infrastruktur) Environmental diversity - Perilaku ramah lingkungan (membuang sampah pada tempatnya, penghijauan) - Pengetahuan tentang ekologi - Kebijakan tentang lingkungan hidup - Polusi dan degradasi kualitas tanah Living standard - Food security - Material hardship - Financial security - Kepemilikan rumah - Rasio luas rumah per rumah tangga Governance - Pengurangan ketimpangan - Pemberantasan korupsi - Kebebasan berbicara dan berpendapat - Kebebasan dari diskriminasi

512

Psychological Well-being Community Vitality

Time Use Economic Capital

Ecological Capital

Cultural Capital

Culture

Health

GNH Social Capital Education

Environmental Diversity

Human Capital

Living Standart

Governance

Gambar 2. Mekanisme Kerja Gross National Happiness dalam Suatu Perekonomian. Sumber: Karma Ura, 2009 3.3 Peluang dan Tantangan Penerapan Gross National Happiness (GNH) di Indonesia 3.3.1 Peluang Penerapan Gross National Happiness (GNH) di Indonesia Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunyigono (2007) terhadap karakteristik sosial atau ciriciri masyarakat di pedesaan, didapat beberapa karakteristik utama yang diharapkan mempunyai keterkaitan positif dengan Gross National Happiness (GNH). Adapun karakteristik tersebut adalah: 1. Sikap Saling Membantu dan Tepa Selira Masyarakat pedesaan pada umumnya selalu menghormati/menjunjung tinggi orang yang status sosialnya lebih tinggi, misalnya; pejabat, kepala desa, tokoh masyarakat, orang berpendidikan, orang kaya, dan yang paling dihormati/dijunjung tinggi adalah kalangan ulama. Hubungan dengan tetangga juga sangat kental, mereka saling menyapa, menghormati, dan mencari tahu kondisi tetangganya. Suasana kekeluargaan memang sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka. Sehingga apabila terjadi sesuatu/ada perubahan dalam terhadap salah satunya, maka yang lain cepat akan mengetahuinya. Hubungan persaudaraan yang tinggi dapat ditunjukkan pada acara-acara adat yang dapat dikatakan sebagai rutinas misalnya; ngelayat, tahlilan, pernikahan, dan kondangan. Hampir setiap acara tersebut partisipasi dari masyarakat sangat tinggi, walaupun tanpa dibayar dan dipaksa. Mereka juga berbicara apa adanya dan tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain, dan memang kejujuran itulah yang mereka miliki. 513

2. Balas budi Yang paling menarik dan menyenangkan dari masyarakat pedesaan adalah mereka sangat memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya. Pemberian itu dijadikan sebagai “patokan”yang nantinya akan dibalas oleh mereka. Mereka sudah tidak memperhitungkan bentuk balasannya apakah lebih lebih besar dari pada apa yang diterima. Mereka hanya ingin membalas dan membalas budi baiknya dengan sesuatu yang lebih. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial misalnya; guru/ustadz yang pernah berjasa mengajarkan putranya, seseorang yang pernah memberikan bantuan pinjaman uang, sesorang yang membantu mencarikan pekerjaan, yang memberi bantuan sapi, pelatihan jamu dan lain-lain. 3. Kejujuran Sifat masyarakat pedesaan yang selalu jujur dan berbicara apa adanya. Selalu menyikapi orang lain dengan kejujurannya pula. Jadi apa yang telah menjadi kesepakatan dengan orang lain akan selalu diingat dan ditanggapinya dengan serius tanpa mengurangi rasa curiga. Mereka akan mengharap hal itu akan terwujud misalnya terhadap janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu, apalagi terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Sekarang kejujuran, kepercayaan mereka sudah mulai berkurang, dan bahkan selama ini pula mereka sering trauma dan terjadi “luka dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit dihapuskannya. khususnya terhadap janji-janji para birokrasi yang ada. Seperti halnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kurang merata, raskin yang tidak terdistribusikan sesuai porsi dan jadwal, dan perbaikan jalan. 4. Loyalitas dan Gotong Royong Suka gotong-royong merupakan ciri khas masyarakat pedesaan. Uniknya tanpa harus dimintai pertolongan dengan serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya hajatan, misalnya; perbaikan jalan, pembangunan sekolah madrasah, dan bongkar atap langgar/rumah. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil atau balasan atas apa yang mereka perbuat untuk membantu orang lain. Prinsipnya adalah mencari pahala dan menambah saudara. 5. Pengambilan keputusan Proses penyelesaian masalah sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa. Pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini semua elemen masyarakat khususnya Ulama, Pemerintah Desa, dan “kalangan blatir” mempunyai peranan penting yang perlu dilibatkan. Tiga pasangan emas ini ternyata memang orang-orang terkemuka yang paling dipercayai dan bahkan dijadikan sebagai panutannya. Kalangan “blatir” adalah orang yang netral tidak berpihak atau memperhatikan pada satu pihak bahkan mereka cenderung bergaul lebih komprehensif ke semua lini atau kalangan dan kalau dibandingkan dengan yang lain mereka lebih bergaul dengan masyarakat. Sehingga masyarakat memang lebih mempercayainya. Kalau orang-orang bilang “kalangan blatir” ini adalah semacam bajingan atau preman perbedaannya adalah mereka lebih cenderung menghargai dan memperhatikan nasib masyarakat kalangan bawah atau bisa dibilang para aktivis-aktivis desa. 6. Kegamaan Kegiatan yang paling tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat pedesaan adalah kalau kegiatannya berhubungan dengan agama. Hampir semua kegiatan parameternya diukur dengan itu seperti; kerja, kegiatan sosial, dan bahkan yang paling dominan adalah kegiatan adat agama. Pada umumnya mereka mereka memang identik dengan hal yang berbau dosa dan pahala. Mereka taat menjalankan ibadah agamanya baik secara individu maupun 514

kelompok. Aktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan sering dilakukan misalnya: tahlilan, kondangan, tarawih, rajaban, jumat kliwonan, dan lain-lain. Disamping karakteristik masyarakat yang mempunyai relevansi terhadap penerapan Gross National Happiness, terdapat beberapa aktivitas ekonomi masyarakat desa yang juga mempunyai semangat lebih dari hanya sekadar motif ekonomi. Adapun aktifitas-aktifitas tersebut (Sunyigono, 2008) adalah: 1. Sistem Saling Pinjam Meminjam Sistem pertukaran lokal yang relatif berkembang adalah sistem saling pinjam meminjam. Sistem pertukaran lokal ini adalah sebuah sistem yang mana membiarkan pengguna pinjaman untuk menyampaikan dan megelola keuangannya sendiri, yang digunakan dengan cara mengadakan hubungan dengan para pedagang/penjual. Maksud dari sistem ini adalah untuk menyediakan bahan pertukaran yang cukup memadai, yang disebut “Pertukaran Keuangan Internal” yang mana dilakukan dengan cara mengadakan hubungan dengan para penjual lainnya. Peredaran uang yang digunakan dalam sistem pinjammeminjam yaitu adanya bebas minat atau melalui suatu kesepakatan harga (kemauan atas harga positif yang seimbang), yang mana telah terhitung untuk memenuhi biaya administrasi dan harus diyakinkan adanya pemenuhan pertukaran keuangan internal. Dengan dasar ini dapat membuat biaya administrasi menurun. Pemeliharaan status bebas minat ini disebut “Keseimbangan nol”. Sistemnya mulai dari nol, penjumlahan juga dari nol dan ditutup dengan jumlah nol. Harus diketahui bahwa sistemnya selalu seimbang. Biaya administrasi jangan sampai mengeluarkan uang terlalu banyak. Jumlah keseimbangan positif dikurangi jumlah negatif sama dengan nol. Aturan main sistem saling pinjam-meminjam yang terpenting adalah: sistem saling pinjam-meminjam menyediakan keanggotaan dengan pertukaran informasi yang mendukung usaha perdagangan, mencatat transaksi dan penyimpanan pembukuan sebagai pemenuhan anggota. 2. Sistem Arisan Tradisional Kebanyakan masyarakat di pedesaan tidak memahami dasar-dasar perdagangan untuk mampu memfasilitasi perdagangan barang dan jasa produksi lokal. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan memperkenalkan Sistem Pertukaran Komunitas. Lebih lanjut, banyak masyarakat yang kekurangan modal untuk memulai usaha, yang sebenarnya bisa dibantu dengan Program Usaha Kecil. Tetapi, hal ini biasanya juga melibatkan pinjaman dana dari luar untuk digunakan sebagai pinjaman dasar dan biasanya dikenakan tingkat bunga yang tinggi. Salah satu solusinya adalah dengan implementasi Asosiasi Simpan Pinjam Dana Bergulir (Revolving Savings and Credit Association/ROSCA), yaitu sebuah sistem untuk mengumpulkan simpanan dari para anggota dan mendistribusikan dana tersebut melalui metode khusus. Sistem Arisan+ ini akan mengumpulkan dana dari partisipan yang mengharapkan dapat menerima pinjaman untuk memulai usaha kecil atau koperasi. Anggota dapat memohon pinjaman dengan mempresentasikan ide usaha mereka. Berdasarkan dari daftar anggota maka secara bergiliran para anggota memperoleh pinjaman dan membayar kembali pinjaman dengan bunga tetap 15% dari jumlah pinjaman. Setiap anggota bertanggungjawab untuk menjaga setiap usaha yang dimulai dari dana pinjaman ini agar berjalan dengan sukses 515

sehingga mampu membayar kembali pinjaman tersebut. Setelah beberapa kali putaran maka dana pinjaman akan semakin besar untuk menjangkau peminjam usaha kecil lain, atau memberikan jumlah pinjaman yang lebih besar, tergantung pada situasi ekonomi lokal. Sistem arisan di pedesaan secara umum dikenal sebagai “undian berhadiah” bagi kaum wanita. Tiap minggu, biasanya sore hari, sekelompok wanita berkumpul dan menyetorkan masing-masing Rp. 1,000. Nama setiap anggota ditulis pada selembar kertas yang kemudian digulung dan dimasukkan kedalam wadah botol. Satu nama diambil setiap minggu hingga seluruh anggota pernah menang, pada saat putaran berakhir akan diputuskan untuk dilanjutkan atau tidak. Tiap minggu, satu pemenang akan membawa pulang uang sejumlah Rp. 20,000 hingga Rp. 100,000. Tiap anggota harus menyetorkan dana Rp. 1,000 per minggu hingga permainan selesai. Acara ini dilakukan bersamaan dengan pengajian/dibaan setiap minggu. Waktu itu adalah kesempatan untuk berkumpul, berdoa bersama serta membahas permasalahan lokal, dan salah satu dari mereka akan membawa pulang dana arisan tersebut sebagai pemenang. Tetapi, acara Arisan tipikal ini tidak bisa mengumpulkan dana yang memadai untuk modal membuka usaha kecil. Pemenang biasanya akan memakainya untuk hal-hal temporer seperti membeli makanan mahal atau membayar utang.





 

Adapun keuntungan dari sistem arisan tradisional adalah: Para anggota mengumpulkan sendiri dana pinjaman, dengan bunga pinjaman yang lebih rendah dari bank karena resiko utamanya kecil dan dana pinjaman tidak dikembalikan ke pemberi dana melainkan untuk memperbesar jumlah dana yang bisa dipinjam. Untuk bisa mengembalikan dana yang dipinjam, setiap usaha kecil itu harus sukses dan semua anggota harus ikut membantunya. Setiap anggota berhak pula untuk mengusulkan jenis usahanya. Jadi anggota kelompok (masyarakat) itu terlibat aktif dalam membicarakan ide-ide jenis usaha dan mempertimbangkan kemungkinan jenis usaha tersebut bisa berhasil. Setiap individu maupun kelompok dapat bekerjasama membangun rantai usaha kecil lokal serta mendukung pertukaran di tingkat lokal melalui Sistem Perdagangan Komunitas sehingga sumberdaya lokal dapat memenuhi kebutuhan lokal itu sendiri.

3. Sistem Gotong Royong Di dalam penelitian di lapangan, sistem tradisional saling berbagi tugas (gotong royong) melalui kerja bersama sekarang mengalami penurunan. Dengan sistem ini, seseorang bisa meminta bantuan dari temannya untuk penyempurnaan proyek, biasanya membuat rumah. Sebelumnya, setiap orang diharapkan untuk memberikan 5 hari kerja terhadap proyek ini, yang mana hasilnya sama dengan apa yang mereka harapkan. Akan tetapi, sekarang ini orangorang hanya mau untuk memberikan 2 hari kerja saja. Alasan utama mereka mengusulkan seperti itu karena orang-orang merasa telah memberikan terlalu banyak, tetapi hasil yang didapatnya kurang memuaskan, atau karena mereka tidak lagi membutuhkan pelayanan mereka untuk waktu sekarang. Gotong Royong, sistem tradisonal Indonesia berbagi tugas, adalah struktur sosial jaman dulu yang masih tersebar di desa-desa di seluruh Jawa dan di sebagian besar Indonesia. Ini serupa dengan kegiatan “membuat gudang” di komunitas pertanian, dimana semua masyarakat atau sebuah grup akan membantu sebuah keluarga untuk membangun sebuah rumah baru atau 516

gedung di tanah milik mereka. Ini juga dapat digunakan untuk membantu penanaman, mengambil panen atau kegiatan tahunan yang lain. Itu semua yang datang diperlakukan dengan biasa, mungkin juga dihibur. Di beberapa wilayah, Gotong Royong masih suatu kewajiban sosial yang kuat. Akan tetapi, di beberapa area yang lain, ini menjadi penurunan yang drastis, digantikan sematamata sebagai cara untuk mengumpulkan orang dengan memberikan uang agar dapat berkumpul bersama. 3.3.2 Tantangan Penerapan Gross National Happiness (GNH) di Indonesia Sunyigono (2007) juga menyatakan beberapa karakteristik masyarakat yang kemungkinan menjadi hambatan dalam penerapan Gross National Happiness (GNH), yaitu: 1. Sifat Curiga Masyarakat pedesaan sebagian besar menaruh curiga pada seseorang/kelompok dan halhal baru/asing yang belum dikenali dan dipahami. Mereka sering curiga kepada orang asing yang baru misalnya saja melakukan penelitian. Kadang kala tidak langsung disapa meskipun datang langsung ke halaman rumahnya dan sering yang bersangkutan akan dibiarkan dahulu. Tapi kalau macam-macam akan digerebek. Mereka menaruh khawatir dan curiga orang tersebut melakukan hal-hal yang buruk dan merugikanya, misalnya; mencuri, membunuh warga, dan yang sifatnya merugikannya. Misalnya lagi seperti program pendataan atau mungkin penelitian oleh pihak-pihak terkait seperti swasta, apalagi pemerintah. Mereka menyangka ada sesuatu atau bantuan-bantuan khusus. 2. Sikap Tertutup Hal yang paling tidak ingin diketahui dan bahkan bisa jadi sangat tertutup dari beberapa karakteristik yang ada adalah mengenai keuangan. Masyarakat pedesaan selalu menutup diri untuk ditanyai keterangan tentang pengeluaran dan penerimaan khususnya dari sisi usahanya. Apalagi orang yang bertanya masih belum dikenali/asing. Mereka sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut. Karena takut suatu saat usaha akan diimitasi dan disaingi orang lain. Dan tidak hanya sepintas kuangan saja tetapi mengenai sumberdaya lain yang digunakanpun tidak transparan seperti halnya; bahan baku yang dibeli, alat, tenaga kerja, dan lain-lain. 3. Perasaan Rendah Diri Masyarakat pedesaan sering merasa “minder” terhadap orang yang pakaiannya agak kekotaan. Masyarakat juga terasa gugup dan malu ketika diwawancarai. Tantangan lain dalam penerapan GNH di Indonesia adalah: 1. Jumlah penduduk yang banyak dan mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi cenderung sulit untuk mendapatkan kebahagiaan. Menurut Handrian (2006), negara yang memiliki jumlah penduduk banyak cukup sulit untuk bahagia, yaitu China di urutan ke-82, India di urutan ke-125 dan Russia di urutan ke-167. 2. Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan cukup menyulitkan dalam penyusunan indeks GNH dan dibutuhkan dana, tenaga dan waktu yang lama untuk melakukan survey GNH. 3. Indikator yang digunakan dalam GNH tidak bisa diseragamkan karena beragamnya budaya dan tata nilai lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Implikasinya adalah penerapan GNH harus spesifik lokal. 4. Berkaitan dengan diatas dibutuhkan dana yang relatif besar dan waktu yang cukup lama untuk persiapan sampai dengan pelaksanaan GNH sebagai indikator pembangunan,

517

4.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan 1. Penerapan Gross National Product (GNP) sebagai indikator pembangunan sejak tahun 1950-an, banyak menuai kritik, karena GNP hanya berdimensi tunggal dan tidak mampu memotret aspek budaya, sosial, politik dan aspek-aspek lain yang sebenarnya dikerjakan oleh manusia. Akibatnya arah kebijakan pembangunan salah sasaran dan justru menimbulkan dampak negatif. 2. Gross National Happiness (GNH) diyakini mampu untuk menyempurnakan kelemahan diatas, karena GNH mempunyai lima dimensi yaitu: modal sumberdaya manusia; modal sosial; modal ekologis; modal ekonomi: dan modal budaya. Disamping itu GNH juga mempertimbangkan sembilan tata nilai: psychological well-being, time use, community vitality, culture, health, education, environmental diversity, living standard, governance. 3. Terdapat beberapa faktor pendorong/peluang dalam penerapan GNH di Indonesia, karena tata nilai diatas sudah diterapkan sejak zaman nenek moyang kita, seperti gotong royong, tanggung renteng, tepa selira dll. 4. Disamping itu ada juga beberapa tantangan yang harus dihadapi yaitu: jumlah populasi yang sangat besar dengan tingkat heterogenitas yang tinggi; kondisi geografis ini sebagai Negara kepulauan juga menyulitkan dalam pembuatan indikator GNH. 4.2 Rekomendasi Pemerintah Republik Indonesia hendaknya segera mengambil langkah yang cepat dan tepat untuk menyempurnakan indikator pengukuran keberhasilan pembangunan. Sehingga pembangunan yang selama ini masih bersifat ekonomi-sentris dapat segera disempurnakan dengan indikator yang lebih humanis, bermartabat dan berwawasan lingkungan.

REFERENSI Anonymous. (2008) Gross National Happiness (GNH) http:// www.grossnationalhappiness.com/. Last Updated: 8 September 2009.

Index.

Dornbush, R. and S. Fisher. (1992) Macro Economics, sixth edition, Harper International Edition. Handrian (2006) World Happiness Map. Jurnal Psikologi. September.. Haq, Mahbub Ul. (1995) Reflections on Human Development, New York: Oxford University Press Karma, Ura. (2005) Gross National Happiness (GNH) Origin, http:// www.grossnationalhappiness.com /gnhIndex /intruductionGNH.aspx. Last Updated: 10 September 2009. Karma, Ura. (2009) Gross National Happiness (GNH) as a Larger Context for Healing ang Global Change, ICTAM VII International Congress http://www.grossnationalhappiness.com/PowerPoints/gnhppt.pdf. Last Updated: 10 September 2009. Mancall, Mark (2004) Gross National Happiness and Development: an EssayThe Proceedings of the First International Conference on Gross National Happiness, Bhutan. 518

Suharto, Edi. (2009) Pekerjaan Sosial dan Paradigma Baru Kemiskinan. Departemen Sosial Republik Indonesia. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_24.htm. Last updated: 8 September 2009. Sunyigono, Andrie Kisroh. (2006) Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Agroindustri di Jawa Timur (Kajian Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi). Jurnal Agritek, Volume 14 No 2, Mei 2006 (Acreditation: 026/Dikti/Kep/2005 ISSN: 0852-5426). Sunyigono, Andrie Kisroh. (2007) Model Penguatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Bendungan Nipah Kabupaten Sampang Madura dengan Pola Grameen Bank. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun ke-1 DP2M Dirjen Dikti Depdiknas, Jakarta. Sunyigono, Andrie Kisroh. (2008) Model Penguatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Bendungan Nipah Kabupaten Sampang Madura dengan Pola Grameen Bank. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun ke-2 DP2M Dirjen Dikti Depdiknas, Jakarta. Suryana. (2000) Ekonomi Pembangunan Problematika dan Pendekatan. Jakarta: Salemba Empat. T. Tarmidi, Lepi. (1992) Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. UNDP. (2000) Human Development Report. Zilberg, Jonathan. (2005) Moving From GDP towards GNH: Beyond The World Bank’s Quality of Growth Model for Achieving Sustainable Development. http://www.grossnationalhappiness.com/ArticlesonGNH. Last Updated: 11 September 2009.

519

SUB KATEGORI : ILMU EKONOMI (2D) PAPER YANG TIDAK LOLOS PRESENTASI FINAL

No

Nama Penulis

Judul Paper

1. Ivan D. BUTARBUTAR

Menemukan DNA Kepemimpinan Efektif Model Indonesia: Sebuah Studi Kepemimpinan Indigenous di Perusahaanperusahaan Papan Atas Indonesia

2. Wahyoe SOEDARMONO

Instabilitas Finansial, Prospek dan Tantangan Ekonomi Masa Depan : Dari Eropa untuk Indonesia

3. Hendri TANJUNG, Adam BAKHTIAR

Reformasi Keuangan Indonesia dalam Upaya Mengatasi Krisis Global

520

Sub Kategori

: Sains Ekonomi (2D)

Judul : Menemukan Dna Kepemimpinan Efektif Model Indonesia: Sebuah Studi Kepemimpinan Indigenous Di Perusahaan-Perusahaan Papan Atas Indonesia Ivan D. BUTAR BUTAR Doctoral Candidate Departement of Management, Monash University Robert Menzies Building Level 5 Room E573 Wellington Road, Clayton 3168 AUSTRALIA Phone: +61 3 99020169 Email: [email protected]

Abstract : National culture is an important lens through which effective leadership in a local context can be accurately understood. The behaviours of leaders and employees in organizations are clearly influenced by their cultural backgrounds. Since leadership theories are predominantly products of Western cultures, many are developed on key underlying assumptions which are partially or entirely irrelevant to other parts of the world. Hence leadership approaches that are effective in Western countries may be inappropriate and even counterproductive in other cultures. The current study uses indigenous approach to explore effective leadership in Indonesia. This study also examines the cultural fitness of transformational, servant and paternalistic leadership in the sample comprised of Indonesian leading organisations. Organizations involved in this study are 15 top companies listed on the Indonesian Stock Exchange (IDX). Keywords: Pendekatan Kepemimpinan Efektif (PKE); Budaya nasional; Pendekatan indigenous; Kepemimpinan transformational, servant dan pateralistic; Perusahaan unggulan

1. PENDAHULUAN Riset terkini dalam area kepemimpinan perusahaan (Corporate leadership) menunjukkan bahwa pendekatan kepemimpinan yang efektif di Dunia Barat (Western world) - yang selama ini diyakini bersifat generik dan universal - ternyata tidak otomatis efektif dalam penerapannya di belahan dunia lain. Bahkan dalam beberapa konteks, pendekatan kepemimpinan model Barat didapati kurang efektif dan kontra-produktif dalam aplikasinya di negara-negara dengan budaya nasional yang berbeda jauh dengan Budaya Barat (Western cultures). Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan teori kepemimpinan memang berasal dari, atau setidaknya dipopulerkan, Barat. Sebagian besar merupakan produk kreasi para praktisi dan akademisi di Amerika Serikat yang bak virus menyebar ke belahan dunia lain termasuk ke 521

negara-negara berkembang. Secara tidak sadar, jalur pendidikan maupun pelatihan formal (contohnya program MBA), best-practices dari perusahaan-perusahaan Barat kelas dunia, ataupun buku-buku akademik dan kontemporer tentang pengelolaan bisnis telah menjadi ’alat transportasi’ masuknya pemikiran Barat tentang konsep kepemimpinan. Nahasnya lagi, kepemimpinan ala Barat telah terlanjur dianggap sebagai ’gold standard’ untuk urusan memimpin perusahaan. Penerapan pendekatan kepemimpinan dari Barat secara kurang kritis dan seringkali kurang mempertimbangkan aspek kontekstual masyarakat setempat seperti budaya lokal, organisasi, orang-orang dalam organisasi, bahkan industri dimana perusahaan bersaing, tak pelak telah mengurangi efektivitas relasional antara pemimpin (Leaders) dan yang-dipimpin (Followers). Pada gilirannya, kinerja optimal organisasi secara finansial dan non-finansial pun dapat terpengaruh.

2. KEPEMIMPINAN EFEKTIF DAN BUDAYA NASIONAL Budaya tidaklah sesederhana yang selama ini banyak dipikirkan oleh kebanyakan orang. Budaya merupakan sebuah konsep yang dinamis dan kompleks (Kwok, Bhagat, Buchan, Erez & Gibson, 2005; Tung, 2008). Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, House dan Aditya (1997) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang efektif sangat ditentukan oleh dimensi budaya di tempat seorang pemimpin mengemban peran kepemimpinannya. Studi yang membahas keterkaitan antara pendekatan kepemimpinan efektif (PKE) dan budaya nasional telah dilakukan oleh banyak akademisi. Hampir semua studi mengkonfirmasi adanya pengaruh yang signifikan dari budaya nasional terhadap PKE yang cocok dalam organisasi. Namun kebanyakan studi masih berkutat pada upaya membandingkan seberapa applicable dan acceptable model kepemimpinan Barat pada konteks organisasi dalam budaya tertentu. Studi yang secara langsung membandingkan dan memetakan budaya nasional antar negara telah dilakukan oleh banyak peneliti. Namun hingga saat ini, hanya ada 2 studi yang sering dijadikan acuan dalam riset lanjutan. Kedua studi tersebut dilakukan oleh Geert Hofstede dan Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness (GLOBE). Hofstede merupakan pionir dalam studi budaya nasional yang terefleksi dalam perilaku organisasi orang-orang di dalam perusahaan. Studi Hofstede tersebut mengambil sampel karyawan di perusahaan teknologi informasi IBM (1980, 1991). Awalnya, Hofstede merumuskan dan menggunakan 4 Dimensi Budaya (Cultural dimensions) untuk membandingkan profil budaya negara-negara yang disurvei. Keempat dimensi tersebut adalah power distance, individualism - collectivism, uncertainty avoidance, dan masculinity - feminity (1980). Pada riset terkininya, Hofstede menambahkan dimensi budaya ke-5 yaitu long-term orientation (1991). Hasil penelitiannya ini kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku yang fenomenal di bidang cross-culture study berjudul ‘Culture’s consequences: Comparing values, behaviours, institutions and organizations across nations’ (1991). Sementara itu, studi selanjutnya yang juga menjadi landmark dalam studi lintas-budaya dan budaya organisasi dilakukan oleh para peneliti yang tergabung dalam GLOBE Study. Tim yang dibentuk oleh Thunderbird School of Global Management berbasis di Arizona, Amerika Serikat ini diyakini oleh banyak akademisi sebagai studi yang lebih advanced dari sisi cakupan negara, metode riset dan analisis statistik yang digunakan. Studi ini berhasil memetakan 62 negara di dunia dengan menggunakan 9 dimensi budaya yaitu power distance, family collectivism, institutional collectivism, uncertainty avoidance, gender egalitarianism, 522

future orientation, human orientation, performance orientation dan assertiveness orientation. Dalam studi ini, GLOBE membandingkan dimensi budaya yang terjadi nyata dan praktis dalam organisasi (As Is atau Practices) dan yang masih bersifat nilai yang dipersepsi oleh masyarakat setempat (Should Be atau Values). Menarik bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang juga diikutsertakan dalam survei GLOBE yang dilakukan pada tahun 1994 hingga 1997 tersebut. Dalam publikasinya, GLOBE menemukan bahwa negara-negara dalam Kluster Asia Selatan termasuk di dalamnya Iran, India, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Filipina, diidentifikasi sebagai negara dengan masyarakat yang berorientasi pada kelompok (Group-oriented society) (Tabel 1). Sebagai catatan, kluster ini oleh para peneliti GLOBE sengaja dibedakan dari Kluster Timur-Jauh yang terdiri dari China, Singapore, Jepang dan Korea Selatan yang memang memiliki budaya agak berbeda. Tabel 1. Dimensi Budaya Kluster Asia Selatan Iran

India

Thailand

Malaysia Indonesia Philippines

Cluster

As Is Uncertainty avoidance future orientation Power distance Institutional collectivism Humane orientation Performance orientation Group and family collectivism Gender eegalitarianism Assertiveness

3.67 3.70 5.43 3.88 4.23 4.58 6.03 2.99 4.04

4.15 4.19 5.47 4.38 4.57 4.25 5.92 2.9 3.73

3.93 3.43 5.63 4.03 4.81 3.93 5.7 3.35 3.64

4.78 4.58 5.17 4.61 4.87 4.34 5.51 3.51 3.87

4.17 3.86 5.18 4.54 4.69 4.41 5.68 3.26 3.86

3.89 4.15 5.44 4.65 5.12 4.47 6.36 3.64 4.01

4.1 3.99 5.39 4.35 4.72 4.33 5.87 3.28 3.86

Should Be Uncertainty avoidance future orientation Power distance Institutional collectivism Humane orientation Performance orientation Group and family collectivism Gender eegalitarianism Assertiveness

5.36 5.84 2.8 5.54 5.61 6.08 5.86 3.75 4.99

4.73 5.6 2.64 4.71 5.28 6.05 5.32 4.51 4.76

5.61 6.2 2.86 5.1 5.01 5.74 5.76 4.16 3.48

4.88 5.89 2.97 4.87 5.51 6.04 5.85 3.78 4.81

5.23 5.7 2.69 5.18 5.16 5.73 5.67 3.89 4.72

5.14 5.93 2.72 4.78 5.36 6.31 6.18 4.58 5.14

5.16 5.86 2.78 5.03 5.32 5.99 5.77 4.11 4.65

Sumber: GLOBE Study (2001)

Secara khusus, Indonesia juga ditandai dengan semangat kebersamaan (Spirit of collectivism) dan orientasi kepada sesama manusia (Human orientation) yang tinggi (Gupta, Surie, Javidan & Chhokar, 2002). Dalam budaya yang sedemikian, budaya saling memperhatikan dan menolong seperti halnya bergotong-royong diperkirakan menjadi budaya yang kental terlihat. Lebih lanjut, penelitian GLOBE Study juga menemukan bahwa bahwa Indonesia memiliki tingkat power distance yang tinggi (Tabel dan Gambar 2). Dalam budaya yang sedemikian, terdapat jarak yang relatif lebar antara pemimpin (atasan) dan yang-dipimpin (bawahan). Hal ini umumnya terwujud dalam sistem sosial dan struktur hirarki yang tinggi dalam organisasi. Tidak mengherankan jika keadaan ini terlihat nyata lewat sikap hormat ketika seseorang sedang berbicara dengan pimpinan atau kalangan yang berasal dari ‘kelas’ yang lebih tinggi atau atas. Penggunaan prefix Bapak atau Ibu untuk mereka yang lebih tua atau dihormati misalnya sangatlah ditekankan dalam budaya Indonesia. Belum lagi adanya pemisahan jenis bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak yang berbeda level atau posisinya seperti halnya dalam Budaya Jawa dan banyak budaya etnis lainnya di Indonesia. 523

Tabel dan Gambar 2. Dimensi Budaya Indonesia Dimension of culture

Practices

Values

Uncertainty avoidance (UAI)

4.17

5.23

Future orientation (FOR)

3.86

5.7

Power distance (PDI)

5.18

2.69

Institutional collectivism (INS)

4.54

5.18

Humane orientation (HUM)

4.69

5.16

Performance orientation (PFO)

4.41

5.73

Group and family collectivism (GFC)

5.68

5.67

Gender egalitarianism (GEN)

3.26

3.89

Assertiveness (AST)

3.86

4.72

UAI

Practices

7 6 5 4 3 2 1 0

AST

GEN

Values FOR

PDI

GFC

INS

HUM

PFO

Sumber: GLOBE Study (2001)

Studi GLOBE juga telah berhasil memetakan PKE di tiap negara, termasuk untuk Kluster Asia Selatan dan Indonesia (Tabel 3; Tabel dan Gambar 4). Dalam hasil studinya, GLOBE menyimpulkan bahwa pendekatan kepemimpinan secara charismatic, team-oriented, humane dan participative berlaku secara universal sebagai pendekatan yang efektif dalam memimpin. Tabel 3. Profil PKE di Kluster Asia Selatan

Charismatic Team-oriented Self-protective Participative Humane Autonomous

Iran 5.81 5.90 4.34 4.97 5.75 3.85

India 5.85 5.72 3.77 4.99 5.26 3.85

Thailand 5.78 5.76 3.91 5.29 5.09 4.28

Malaysia 5.89 5.80 3.49 5.12 5.24 4.03

Indonesia 6.15 5.92 4.12 4.60 5.43 4.19

Philippines 6.33 6.06 3.31 5.40 5.53 3.75

Cluster 5.97 5.86 3.82 5.06 5.38 3.99