Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian ...

269 downloads 49198 Views 13MB Size Report
8 Okt 2009 ... Seminar Nasional dengan tema “Optimalisasi Pekarangan untuk ... tanaman, ternak dan ikan, untuk men jamin ketersediaan bahan pangan yang ... Ketahanan Pangan: Peran Perempuan dan Pekarangan di Sulawesi Selatan ... Peningkatan Pendapatan dan Gizi Keluarga melalui Optimalisasi Lahan ...
BUKU 2

KERJASAMA

ISBN 978-602-17894-0-7

BUKU 2

Penerbit & Percetakan UPT UNDIP Press SEMARANG

Prosiding

SEMINAR NASIONAL 2012 Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis Semarang, 6 November 2012

KERJASAMA

Program Studi Magister Agribisnis Universitas Diponegoro Semarang Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Universitas Wahid Hasyim Semarang 2013

ISBN 978-602-17894-0-7 Penerbit & Percetakan UPT UNDIP Press SEMARANG

Prosiding

SEMINAR NASIONAL 2012 Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis Semarang, 6 November 2012

Editor Agus Hermawan Karno Bambang Sudaryanto Budi Hartoyo Forita Dyah A Vitus Dwi Yunianto Dewi Hastuti

Redaksi Pelaksana Wahyudi Hariyanto Ahmad Rifai Ariarti Tyasdjaja Indrie Ambarsari Anggi Sahru R

KERJASAMA

Program Studi Magister Agribisnis Universitas Diponegoro Semarang Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Universitas Wahid Hasyim Semarang 2013

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis/ Editor, Agus Hermawan ... [et al.].-- Semarang: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 2013. xxv; 955 hlm.; 21 cm. ISBN : 978-602-17894-0-7 1. Pekarangan, Agribisnis

I. Agus Hermawan 635

UNDIP PRESS

KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional dengan tema “Optimalisasi Pekarangan untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis” dapat diterbitkan. Prosiding ini memuat hasil hasil penelitian, pengkajian, ide gagasan dan alih teknologi pertanian dalam rangka mendukung model kawasan rumah pangan lestari untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan pengembangan agribisnis.Seminar Nasional ini dilaksanakan pada tanggal 6 November 2012 di Semarang dan merupakan kerjasama antara Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang dengan Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian / Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) Semarang. Mengapa pekarangan bisa menjadi tema sentral sebuah seminar? Pekarangan tidak hanya lansekap arsitektur yang bernilai seni, tetapi keberadaannya bila diolah juga memiliki bermacam nilai ekonomis tinggi. Seminar ini oleh karenanya diselenggarakan sebagai media untuk menjaring informasi dan inovasi teknologi penataan dan pemanfaatan pekarangan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Pekarangan dimanfaatkan dan dikelola melalui pendekatan terpadu dengan berbagai jenis tanaman, ternak dan ikan, untuk men jamin ketersediaan bahan pangan yang beranekaragam secara terus menerus, guna pemenuhan gizi keluarga. Seminar Nasional ini dihadiri sekitar 200 peserta baik dari kalangan akademisi, peneliti, penyuluh dan praktisi yang ada di masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Hasil seminar ini diharapkan dapat menjadi acuan dan bermanfaat pada pembangunan Agribisnis dan khususnya untuk Provinsi Jawa Tengah, dapat dijadikan salah satu acuan bagi pembangunan perdesaan dalam mendukung program : “Bali Ndesa Mbangun Desa”. Kami akui b a h w a dalam pelaksanaan kegiatan s e m i n a r dan penyajian proseding ini masih belum sepenuhnya sempurna, namun kami telah berupaya semaksimal mungkin dan kami harap prosiding ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pihakpihak yang memerlukan. Prosiding ini diharapkan dapat digunakan sebagai data sekunder dalam pengembangan penelitian di masa yang akan datang, serta dijadikan bahan acuan dalam pemanfaatan pekarangan untuk peningkatan perekonomian masyarakat . Akhir kata kepada semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan terima kasih.

Semarang, Maret 2013 Ketua Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana UNDIP

Prof. Ir. Vitus Dwi Yunianto BI., M.S,M.Sc., Ph.D. NIP : 19590615 198503 1 004

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

iii

UNDIP PRESS

DAFTAR ISI Hal

DEWAN REDAKSI

i

KATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

iv

SAMBUTAN

xvi

RUMUSAN

xxiv

Makalah Utama Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) sebagai Model Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat Dr. Ir. Haryono, MSc. (Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian)

1

Mengatasi Kemiskinan dengan Pekarangan Siswanto Imam Santoso (UNDIP)

3

Peran Otak Sehat terhadap Kemandirian dan Kesejahteraan Masyarakat Suhartono Taat Putra

6

Mengembangkan Inovasi Agribisnis Kreatif dalam Optimalisasi Lahan Pekarangan Agus Wariyanto (Kepala Balitbang Provinsi Jawa Tengah)

10

Bidang Sosial Ekonomi Budaya Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Perdesaan dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus Di Desa Ketakeja Kec. Atadei Kab. Lembata) Helena Da Silva, Amirudin Pohan dan Bambang Murdolelono

16

Peningkatan Pola Pangan Harapan Kelompok Tani Nelayan Melalui Model Kawasan Pangan Lestari di Desa Ujumbou Kabupaten Donggala Heni Sp Rahayu, Sumarni dan Sukarjo

23

Analisis Pola Pangan Harapan (PPH) di Lokasi MKRPL Desa Catur, Kintamani, Bangli Ida Ayu Parwati, IN. Suyasa dan IB.Arimbawa

29

Keterkaitan Implementasi Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Dengan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) dalam Perspektif Pemberdayaan Kemandirian Pangan Mohammad Ali Yusran, Dwi Setyorini dan Purwanto

36

Analisis Pola Pangan Harapan di Kawasan Rumah Pangan Lestari Kabupaten Sleman Nur Hidayat, Susanti DH, dan Heri Basuki

44

Keragaan Pola Pangan Harapan dan Pemberdayaan Rumahtangga Melalui Budidaya Sayuran di Pekarangan Di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Resmayeti

49

Ketergantungan Pola Konsumsi Berubah dari Pedagang Sayur ke Pekarangan Djoko Sediono, Nandang Sunandar dan Yanuar Argo

55

iv

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS Tingkat Konsumsi Sayuran Rumah Tangga di Desa Tawang Kec. Susukan Kab. Semarang Nur Fitriana, Sodiq Jauhari dan Samijan

59

Perspektif Gender dalam Implementasi Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kelurahan Talang Keramat Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Yanter Hutapea dan Suparwoto

63

Peran Wanita dalam Memanfaatkan Lahan Pekarangan Guna Mendukung Ketahanan Pangan Komalawati, Renie Oelviani, Agus Hermawan, dan Ahmad Rifai

70

Peran Wanita Tani dalam Pemanfaatan Pekarangan Sebagai Alternatif untuk Pemenuhan Pangan dan Gizi Keluarga Nia Rachmawati

77

Ketahanan Pangan: Peran Perempuan dan Pekarangan di Sulawesi Selatan Nurdiah Husnah, Fadjry Djufry, Andi Ella, Jamaya Halifah, dan A. Rifai

84

Peran Wanita dalam Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Kabupaten Tegal Qanytah dan A Choliq

89

Implementasi Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP) melalui Komoditas Hortikultura Sunjaya Putra dan Dian Histifarina

95

Membangun Motivasi Kelompok Wanita Tani “Situ Asri” Memanfaatkan Lahan Pekarangan Secara Arif Titiek Maryati S, Nandang Sunandar, Susi Mindarti

102

Pemanfaatan Lahan Pekarangan Sempit sebagai Wahana Ibu Rumah Tangga untuk Menghasilkan Sayuran dengan Metode Vertikultur Waluyo dan Suparwoto

107

Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani Menurut Pola Pendapatan dan Pengeluaran di Daerah Aliran Sungai Galeh, Kabupaten Semarang Ahmad Rifai dan Sarjana

113

Kajian Efisiensi Pengeluaran Harian Rumah Tangga Petani pada Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau Achmad Saiful Alim, Fahroji, dan Haryanto

119

Optimalisasi Lahan Pekarangan sebagai Mesin Penggerak Perekonomian Rumah Tangga Petani di Pedesaan Pulau Timor Bambang Murdolelono, Helena Da Silva dan Amirudin Pohan

125

Program Rumah Pangan Lestari Mampu Tekan Belanja Keluarga Rumah Tangga Masyarakat (Studi Kasus Kegiatan Pendampingan M-KRPL di Kabupaten Cianjur-Jawa Barat) Euis Rokayah, Fyannita Perdhana dan Aup Pahruddin

132

Strategi Peningkatan Pendapatan Rumahtangga Melalui Pengelolaan Pekarangan Berbasis Tanaman Buah Lokal Di Kediri Dan Magetan, Jawa Timur Kuntoro Boga Andri, Putu Bagus Daroini, Hanik Anggraeni Dewi dan Didik Harnowo

137

Kontribusi Pemanfaatan Pekarangan Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus Desa Ngaliyan, Limpung, Batang) Munir Eti Wulanjari dan Seno Basuki

145

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

v

UNDIP PRESS Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga dengan Pemanfaatan Lahan Pekarangan (Studi Kasus di Dusun Cancangan, Desa Wukirsari, Kec Cangkringan, Kab. Sleman) Nur Hidayat, Susanti DH, dan Murwati

149

Finansial Pekarangan dengan Sistem Rak dapat Menurunkan Pengeluaran Rumah Tangga Rachmiwati Yusuf

155

Peluang Usahatani melalui Pemanfaatan Pekarangan dalam Mendukung Perekonomian Rumah Tangga Sularno dan Intan Gilang Cempaka

159

Peran Wanita Tani pada Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Kemandirian Pangan RumahTangga di Desa Ngrombo Kabupaten Sragen Renie Oelviani, Abdul Choliq, Agus Hermawan,, dan Ahmad Rifai

164

Peningkatan Pendapatan dan Gizi Keluarga melalui Optimalisasi Lahan Pekarangan Eka Dewi Nurjayanti

170

Faktor Pendorong Keberhasilan dan Permasalahan dalam Implementasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Jawa Tengah Agus Hermawan

176

Potensi dan Masalah Pengembangan Lahan Pekarangan Pedesaan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga Chanifah dan Dewi Sahara

185

Strategi Penanganan Masalah dalam Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kota Yogyakarta Tri Joko Siswanto, W I Werdhany dan Gunawan

191

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Jawa Barat Nana Sutrisna, Susi Mindarti, dan Nandang Sunandar

199

Respon Stakeholder terhadap Kegiatan M-KRPL di Sumatera Barat: Kasus Kelurahan Tarantang Kota Padang dan Talawi Mudik Kota Sawahlunto Buharman B., Rifda Roswita, dan Nirmala

206

Persepsi Petani terhadap Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Boyolali Dwinta Prasetianti, Tri Reni Prastuti, Anggi Sahru Romdon

214

Respon Kooperator terhadap Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Kabupaten Bengkalis Fahroji, Marsid Jahari, dan Sukamto

219

Preferensi Masyarakat Kota Bengkulu dalam Budidaya Sayuran di Lahan Pekarangan Umi Pudji Astuti dan Bunaiyah Honorita

224

Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau Marsid Jahari dan Rachmiwati Yusuf

230

Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Dukungan Pemerintah Daerah di Kelurahan Talang Keramat Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Suparwoto, Yanter Hutapea dan Rudy Soehendi

235

Pemanfaatan Pekarangan Upaya Mendukung Desa Nglanggeran sebagai Desa Wisata Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta Kurnianita Triwidyastuti, Sarjiman dan Endang Wisnu Wiranti

242

vi

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS Pemberdayaan Petani Melalui Program Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Halmahera Utara Miskat Ramdhani, Yayat Hidayat, Herwan Junaidi

248

Partisipasi Masyarakat dalam Mendukung Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Kabupaten Pekalongan Selvia Dewi Anomsari dan Subiharta

255

Pemberdayaan Kelompok Tani melalui Pemanfaatan Pekarangan dengan Agribisnis Jambu Air Varietas Dalhari untuk Meningkatkan Pendapatan Petani dan Konservasi Plasma Nutfah Lokal Sinung Rustijarno

259

Partisipasi Kelompok Tani dalam Pengelolaan Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan Perekomian Masyarakat Sularno dan Bambang Supriyanto

265

Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari melalui Pendekatan Konsep Dasawisma Ani Suryani, Indah Nurhati, dan Susi Mindarti

271

Pola Penataan Lahan Pekarangan bagi Kelestarian Pangan di Desa Seboro Krapyak, Kabupaten Purworejo Cahyati Setiani, Iswanto, dan Endang Iriani

278

Pemanfaatan Pekarangan Berbasis Kawasan di Perdesaan dan Perkotaan dari Aspek Sosial Ekonomi Harmi Andrianyta, Dhani Suryaningtyas dan Dalmadi

284

Analisis Keragaan Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Wonosobo Komalawati dan Muryanto

292

Keragaan Implementasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) pada Pertanian Perkotaan di Sumatera Utara Nurmalia dan Ali Jamil

300

Analisis Finansial Beberapa Komoditas Sayuran: Budidaya Secara Organik di Pekarangan (Kasus Desa Tegalsari, Kecamatan Purwasari, Kabupaten Karawang) Anna Sinaga, Wage R. Rohaeni dan Susi Mindarti

304

Analisis Komoditas Pilihan dalam Pemanfaatan Pekarangan Rumah Tangga di Kota Bengkulu Herlena Bidi Astuti, Alfa Yanti dan Tri Wahyuni

309

Analisis Ekonomi Budidaya Selada di Pekarangan Studi Kasus: Desa Tanah Tinggi, Kec. Air Putih, Kab. Batu Bara, Prov. Sumatera Utara Siti Fatimah Batubara dan Ali Jamil

314

Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Menumbuhkan Kecintaan Anak pada Pertanian Atang Muhammad Safei, Budiman, dan Ratna Sari

318

Optimalisasi Curahan Tenaga Kerja Rumah Tangga Petani di Lahan Pekarangan, Kabupaten Purworejo Cahyati Setiani dan Iswanto

324

Strategi Sosialisasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Seborokrapyak Kecamatan Banyuurip Kabupaten Purworejo Iswanto dan Cahyati Setiani

331

Spectrum Disemination Multi Channel dalam Implementasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Bantul Sri Budhi Lestari dan Rahima Kaliky

337

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

vii

UNDIP PRESS Dukungan Inovasi Teknologi dalam Pemanfaatan Lahan Pekarangan (Studi Kasus di Desa Cijengkol, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang) Sri Murtiani, Susi Mindarti, dan Kiki Kusyaeri Hamdani

344

Peran Lembaga Sosial Budaya Terhadap Kelanggengan Kebun Bibit Desa (KBD) Wahyudi Hariyanto, dan Nur Fitriani

349

Kontribusi Lahan Pekarangan dalam Menyumbang Kebutuhan Pangan dan Gizi Keluarga Wahyudi Hariyanto, dan Shodiq Jauhari

354

Peluang Usaha Perbibitan Kelinci di Lahan Pekarangan Isnani Herianti

359

Analisis Nilai Tambah, Keuntungan, dan Titik Impas Pengolahan Hasil Rengginang Ubi Kayu (Renggining) Skala Rumah Tangga di Kota Bengkulu Andi Ishak dan Umi Pudji Astuti

366

Kinerja Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Desa Purwodadi, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan Sarjana, Ahmad Rifai dan Selvia Dewi Anomsari

372

Bidang Diversifikasi Pangan Konsumsi Pangan Lokal Non Beras yang Bersumber dari Pemanfaatan Pekarangan Alfayanti, Herlena Bidi Astuti dan Tri Wahyuni

377

Keragaan Pangan Lokal Pengganti Makanan Pokok di Kabupaten Donggala Caya Khairani dan A. Dalapati

383

Kajian Pengaruh Penambahan Jenis Kacang Terhadap Kandungan Gizi Beras Uwicang di Desa Nglanggran, Gunungkidul Yeyen Prestyaning Wanita, Purwaningsih, dan Sarjiman

389

Preferensi Konsumen terhadap Produk Olahan Berbahan Dasar Umbi Gembili dan Umbi Ganyong dengan Beberapa Teknik Pengolahan Erni Apriyati dan Retno Utami Hatmi

400

Pemanfaatan Pekarangan dengan Tanaman Umbi-Umbian di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo Heni Purwaningsih, Setyorini Widyayanti dan Irawati

404

Pengaruh Teknik Penyimpanan Ubijalar terhadap Kondisi Fisik dan Kandungan Gula Total dalam rangka Pengelolaan Hasil Pekarangan Retno Utami Hatmi dan Murwati

409

Menggali Potensi Pangan Alternatif Guna Mendukung Ketahanan Pangan di Sulawesi Selatan Novia Qomariyah dan Retno Endrasari

414

Peningkatan Kualitas Pascapanen Sayuran pada Lahan Pekarangan melalui Aplikasi Teknologi Prapanen Muhammad Taufiq Ratule dan Edi Tando

420

Kajian Teknologi Pascapanen Sawi (Brassica Juncea, L.) dalam Upaya Mengurangi Kerusakan dan Mengoptimalkan Hasil Pemanfaatan Pekarangan

425

Desy Nofriati dan Renie Oelviani

viii

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS Daya Dukung Teknologi Pasca Panen dalam Pemberdayaan Lahan Pekarangan Nugroho Siswanto, Sri Budhi Lestari dan Yeyen Prestyaning Wanito

432

Teknologi Pengemasan dan Penyimpanan Mendukung Agribisnis Sayuran Hasil Pemanfaatan Lahan Pekarangan Muhammad Taufiq Ratule dan Edi Tando

434

Kajian Usaha Pengolahan Hasil Sayuran Produksi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Kabupaten Boyolali Qanytah dan Trie Reni Prastuti

438

Upaya Perbaikan Gizi Keluarga melalui Pengembangan Sayuran Indigenous di Pekarangan Indrie Ambarsari, Sarjana dan Agus Hermawan

443

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Lokasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Provinsi Lampung Nasriati, Elma Basri, Alvi Yani

450

Potensi Olahan Gula Kelapa dalam Mendukung Pemanfaatan Pekarangan di MKRPL Kabupaten Magelang R. Endrasari dan D. M. Yuwono

457

Pengaruh Berbagai Cara Pengolahan Sari Kedelai terhadap Penerimaan Organoleptik R. Endrasari dan Dwi Nugraheni

468

Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Beberapa Getuk Pisang sebagai Hasil Pemanfaatan Pekarangan Petani Bejiharjo – Gunungkidul Retno Utami Hatmi, Sulasmi dan Mulyadi

476

Kandungan Total Phenol pada Beberapa Cara Pengeringan Sirih Merah (Piper Crocatum) Yeyen Prestyaning Wanita dan Sulasmi

482

Pengenalan Inovasi Teknologi dan Berbagai Resep Pengolahan Daging Kelinci (Oryctolagus Cuniculus) sebagai Pendorong Usaha Budidaya Ternak Kelinci di Pekarangan untuk Swasembada Daging D. Nugraheni dan S. Prawirodigdo

487

Optimalisasi Penanganan Pasca Panen untuk Peningkatan Nilai Tambah Ternak Itik di Pekarangan Nugroho Siswanto dan Murwati

495

Kajian Penggunaan Lipase Rhizopus Oryzae yang Diimmobilisasi sebagai Biokatalis Reaksi Transesterifikasi Lipid Terstruktur Kaya Asam Lemak Omega -3 Edy Supriyo, Wahyuningsih,Wisnu Broto

502

Bidang Budidaya Pertanian Optimalisasi Cabai di Pekarangan dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria untuk Memacu Pertumbuhan dan Menekan Penyakit Arlyna B. Pustika, Setyorini Widyayanti, dan Sutarno

507

Pengelolaan Kesuburan Biologi Tanah pada Pertanaman Cabe di Pekarangan melalui Penggunaan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Fibrianty dan Arlyna B.Pustika

514

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

ix

UNDIP PRESS

x

Identifikasi Hama-Hama Utama Tanaman Sayuran di Lokasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Kabupaten Banjarnegara Hairil Anwar dan Yulianto

517

Penyakit-Penyakit Utama Tanaman Sayuran pada Model Kawasan Rumah Pangan Lestari Kabupaten Banjarnegara Yulianto dan Hairil Anwar

521

Kehilangan Hasil Akibat Penyakit Virus Mosaik Ketimun (CMV) pada Cabai di Kabupaten Semarang Yulianto dan Tri Joko Paryono

528

Aplikasi Tanaman Sayuran Daun di Lahan Pekarangan pada Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Garut Endjang Sujitno, Kurnia dan Taemi Fahmi

534

Pemanfaatan Lahan Pekarangan dengan Tanaman Sayuran Pasca Erupsi Merapi di Dusun Kopeng, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Heni Purwaningsih, Murwati dan Tri Sudaryono

539

Budidaya Tanaman dalam Polybag School Garden: Alternatif Upaya Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Sekolah I B. Aribawa dan IK. Kariada

544

Pengembangan Pola Tanam Sayuran di Lahan Lingkungan Kantor sebagai Model Diseminasi Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Rumah Tangga I Ketut Kariada dan I Ketut Mahaputra

549

Prospek Budidaya Sayuran Sistem Wall Garden Mendukung Pemanfaatan Pekarangan di Perkotaan I.P. Lestari dan Yudi Sastro

555

Potensi Kebun Sayur Keluarga untuk Pemenuhan Konsumsi dan Gizi Rumahtangga Kuntoro Boga Andri, Evy Latifah, dan Joko Maryono

559

Upaya Meningkatkan Pertumbuhan Vegetatif Terung dalam Polibag melalui Pemberian Pupuk Pelengkap Cair Setyorini Widyayanti dan Arlyna Budi Pustika

568

Uji Produktivitas Semangka dengan Penanaman Sistem Turus pada Lahan Pekarangan Titiek Purbiati dan Destiwarni

573

Pengaruh Volume Media terhadap Pertumbuhan Sawi (Pakcoy) dan Selada yang Ditanam dalam Pot di Pekarangan Yudi Sastro, Indarti P. Lestari, dan Chery S. Amatila

576

Keragaan Hasil Implementasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Kendal (Studi Kasus di Desa Blimbing, Kecamatan Boja, Kebupaten Kendal) Joko Pramono, Muryanto, dan Agus Sutanto

580

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS Pemanfaatan Lahan Pekarangan Melalui M-KRPL di Kabupaten Batanghari-Jambi Jumakir, Kamalia dan Julistia Bobihoe

587

Keragaan Teknologi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Koyoan Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah Ruslan Boy, Hamka Biolan dan Caya Khairani

592

Pengembangan Tanaman Garut di Lahan Pekarangan dalam rangka Mendukung KRPL Murwati, Nurdeana Cahyaningrum dan Setyorini Widyayanti

598

Budidaya Temulawak dengan Pemupukan secara Organik sebagai Upaya Penyediaan Tanaman Obat Keluarga dan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Fibrianty, Utomo Bimo Bekti dan Agung Iswadi

603

Inovasi Teknologi Antisipasi Banjir untuk Pemanfaatan Pekarangan di Kabupaten Toli-Toli Sukarjo, Basrum dan Caya Khairani

607

Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Pembudidayaan Jamur Tiram (Pleurotus Spp.) Sutoyo

611

Keragaman Varietas melalui Pengelolaan Kebun Bibit Desa sebagai Upaya Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Vina Eka Aristya

618

Sistem Irigasi Tetes untuk Efisiensi Air Siraman pada Budidaya Krisan di Pekarangan Sarjiman, Budi Setyono dan Fibrianty

626

Optimalisasi Lahan Pekarangan di Dataran Tinggi melalui Budidaya Mawar Potong Yayuk Aneka Bety

630

Model-Model Pengembangan Ternak di Lahan Pekarangan Muryanto

636

Implementasi Inovasi Teknologi Budidaya Ayam Lokal Ramah Lingkungan di Lahan Pekarangan S. Prawirodigdo

643

Aplikasi Perlakuan Kombinasi Pakan Pada Usaha Penggemukan Sapi Bali Jantan di Lahan Pekarangan Salfina Nurdin Ahmad, Muryanto, Twenty Liana

651

Introduksi Sapi Potong dalam Mendukung Ketersediaan Kompos pada Program Model Rumah Pangan Lestari (Kasus Desa Purwodadi Kec. Sragi Kab. Pekalongan) Subiharta, Dewi Anom Sari dan Agus Hermawan

658

Pengaruh Takaran Blotong terhadap Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Tomat Setyo Budianto dan Nur Ciptono

663

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xi

UNDIP PRESS

Bidang Sumberdaya Tanean Lanjeng, Model Pekarangan Madura: Berfungsi untuk Mitigasi Pemanasan Global Eko Murniyanto

666

Pola Pemanfaatan Lahan Pekarangan Menuju Kemandirian Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Jeneponto Muh. Taufik, Maintang dan Abd. Rajab

670

Nilai Tambah Pekarangan dalam Mendukung Kemandirian Pangan Keluarga di Pedesaan Nia Rachmawati dan Rantan Krisnan

677

Lahan Pekarangan Mendukung Kemandirian Pangan: Studi Kasus di Pulau Aijima, Jepang R.D. Yustika

685

Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan melalui Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Kabupaten Gunungkidul Subagiyo, Kurnianita Triwidyastuti dan Suparjana

690

Kajian Pemanfaatan Lahan Pekarangan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani Perdesaan di Bulukumba Sulawesi Selatan Sunanto dan Darmawidah

695

Pemanfaatan Lahan Pekarangan dalam Menunjang Pola Konsumsi Pangan di Desa Mattoanging Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Eka Triana Yuniarsih, dan Rahmatiah

702

Penataan Lahan Pekarangan untuk Meningkatkan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (Desa Guntung Payung, Banjarbaru, Kalimantan Selatan) Rina D. Ningsih dan Agus Supriyo

707

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Untuk Mendukung Kecukupan Pangan Keluarga (Studi Kasus di Desa Olong Pinang, Kec. Paser Balengkong, Kab. Paser) Yossita Fiana dan M. Hidayanto

711

Peningkatan Produksi Pangan melalui Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Daerah Istimewa Yogyakarta Hano Hanafi, Sinung dan Sudarmadji

717

Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal Lahan Pekarangan Melalui Percepatan Diversifikasi Tanaman Sayuran Di Kabupaten Semarang Sodiq Jauhari, Wahyudi Haryanto dan Samijan

724

Keragaan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Jawa Barat Bebet Nurbaeti, Susi Mindarti, dan Nandang Sunandar

731

Keragaan Pelaksanaan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Kabupaten Kolaka Edi Tando dan Muhammad Taufiq Ratule

738

xii

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS Disain MKRPL Unit Rumah Perkotaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Kasus: Unit Rumah Perkotaan di Kadipaten, Kraton, Kota Yogyakarta) Endang Wisnu Wiranti, Tri Joko S., Anthony Marthon dan Wiendarti IW

742

Disain Model-Kawasan Rumah Pangan Lestari Tipe Perumahan di Bener Tegalrejo Kota Yogyakarta Wiendarti Indri Werdhany dan Gunawan

747

Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Perkotaan: Studi Kasus di Kabupaten Bogor R.D. Yustika, A. Dariah

755

Analisis Dampak Pemanfaatan Pekarangan melalui Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kota Tidore Kepulauan Chris Sugihono, H. Cahyaningrum, K. Mayasari, Moh. Ismail Wahab, Mardianah

761

Pemanfaatan Lahan Pekarangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari sebagai Tambahan Pendapatan Rumah Tangga di Kabupaten Kuantang Singingi Emi Sari Ritonga, Marsid Jahari, dan Rathi Prima Zona

766

Kajian Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan dan Peningkatan Pendapatan di Kampung Waroser, Kab. Manokwari- Papua Barat Entis Sutisna dan Abdul Wahid Rauf

770

Prospek Pemanfaatan Pekarangan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di NTB Melalui KRPL Eni Fidiyawati Titin Sugianti dan Moh. Nazam

776

Optimalisasi Pekarangan melalui Model Rumah Pangan Lestari (RPL) di Desa Pudak, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi Masito, Defira Suci Gusfarina, Renie Oelviani dan Syafri Edi

783

Optimalisasi Lahan Pekarangan melalui Program Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau Rachmiwati Yusuf

792

Upaya Pemanfaatan Pekarangan Terbatas dengan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Studi Kasus di Perumahan Sarimadu Permai Kabupaten Malang) Rohmad Budiono dan Kartika Noerwijati

797

Profil Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Konawe Utara Sri Bananiek, Zainal Abidin dan Edi Tando

802

Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Mendukung KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari) Spesifik Lokasi Kota Batu Titiek Purbiati, Martinus Sugiyarto dan Wigati Istuti

808

Optimalisasi Lahan Pekarangan melalui Program MKRPL di Desa Seboto, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali Tri Reni Prastuti, Dwinta Prasentyanti, Qanytah

813

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xiii

UNDIP PRESS Potensi dan Strategi Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Sumatera Utara Vivi Aryati dan Ali Jamil

819

Potensi Pelaksanaan M-KRPL di Kelurahan Talang Jambe Kodya Palembang Sumatera Selatan Yanter Hutapea dan Agus Suprihatin

827

Peluang Pengembangan Pertanian Perkotaan Berbasis Sayuran di Kota Bengkulu Dedi Sugandi, Tri Wahyuni, dan Wahyu Wibawa

833

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Usahatani Sayuran di Kabupaten Blora Forita Dyah Arianti, Sodiq Jauhari dan Eman Supratman

838

Model Pengembangan Sayuran Ramah Lingkungan di Areal Lahan Terbatas Sekolah di Kawasan Wisata Ubud Kabupaten Gianyar I Ketut Kariada

845

Prospek Benih Semai Sayuran Mendukung Kegiatan KRPL Intan Gilang Cempaka dan Sularno

853

Keragaan Coco Pot dan Jenis Tanaman Sayuran di Pekarangan Syafruddin, Soeharsono, Sumarni

857

Optimalisasi Pekarangan melalui Budidaya Tanaman secara Hidroponik Endah Nurwahyuni

863

Tantangan dan Peluang Pemanfaatan Pekarangan dalam Mendukung Pengembangan Agribisnis Buah Tropis di Provinsi NTB Eni Fidiyawati, Titin Sugianti, dan Moh. Nazam

869

Model Pemanfaatan Tanaman Pekarangan dengan Dominasi Komoditas Tanaman Obat Agus Nurawan dan Nandang Sunandar

874

Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui Pengembangan Tanaman Biofarmaka Untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat di Kabupaten Karanganyar Samanhudi, Bambang Pujiasmanto, Ahmad Yunus, Muji Rahayu, dan Amalia Tetrani Sakya

878

Alternatif Komoditas Tanaman Berkhasiat Obat dalam Optimalisasi Pekarangan Sri Hartati dan Deliana P. Agriawati

885

Pendayagunaan Lahan Pekarangan dengan Jarak Pagar untuk Memperkuat Kemandirian Energi Keluarga Daerah Tertinggal Machfud, Moch. dan Mastur

891

Peningkatan Produktivitas Tanaman dan Diversifikasi Produk Kapuk (Ceiba Pentandra (L.) Pada Lahan Pekarangan Mastur

896

xiv

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS Pemanfaatan Sumberdaya Lokal Lahan Pekarangan melalui Perbaikan Usaha Tani Ternak Kambing dan Domba di Pedesaan Budi Utomo dan Sodiq Jauhari

904

Kontribusi Ternak Kambing dalam Mendukung Budidaya Sayuran Ramah Lingkungan pada Implementasi M-KRPL di Desa Madukoro, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang Dian M. Yuwono, R. Endrasari, H. Kurnianto, dan Tri Reni Prastuti

911

Pemanfaatan Lahan Pekarangan sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak (HPT) di Daerah Lahan Kering Djoko Pramono

919

Daya Dukung Aneka Ternak Terhadap Keberlanjutan Kawasan Rumah Pangan Lestari Rini Nur Hayati dan Sarjana

925

Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Provitas Bayam Cabut pada Tanah Kering Masam di Lahan Pekarangan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan Agus Supriyo dan Sumanto

928

Peluang Pemanfaatan Pekarangan melalui Budidaya Lele di Kolam Terpal dan Sayuran di Kebun Percobaan Sidondo I Ketut Suwitra, Yogi P Rahardjo dan Sumarni

934

Optimalisasi Lahan Pekarangan Berbasis Ternak dan Tanaman untuk Mendukung Peningkatan Keragaman Hayati dan Pelestarian Lingkungan Sri Karyaningsih

940

Pemanfaatan Pekarangan Rumah Tangga untuk Pembuatan Pupuk Organik Ramah Lingkungan Dari Limbah Rumah Tangga Menggunakan Jaringan Komposter dan Fix Upplus sebagai Bioaktivator Wahyuningsih, Isti Pujihastuti

946

DAFTAR PESERTA

951

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xv

UNDIP PRESS

SAMBUTAN GUBERNUR JAWA TENGAH PADA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL “OPTIMALISASI PEKARANGAN UNTUK MENINGKATKAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS” SEMARANG, 6 NOVEMBER 2012 Assalamu’alaikum Wr.Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya sampaikan Selamat Pagi. Yth. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia; Ykh. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda Provinsi Jawa Tengah; Para Kepala SKPD Provinsi Jawa Tengah; Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) dan Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) Semarang beserta jajaran yang hadir; Para Narasumber dan Peserta Seminar; Hadirin yang berbahagia; Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, alhamdhulillah kita masih di-berikan nikmat kesehatan, sehingga hari ini dapat bersama-sama hadir mengikuti Seminar Nasional dengan tema: “Optimalisasi Pekarangan untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat dan Pe-ngembangan Agribisnis”, yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian Kementerian Pertanian RI bekerjasama dengan Universitas Diponegoro dan Universitas Wahid Hasyim Semarang. Kegiatan seperti ini sangat positif, sebagai wujud nyata Tri Dharma Perguruan Tinggi, utamanya kegiatan pengabdian masyarakat dalam pemberdayaan pekarangan, agar setiap jengkal tanah kosong di lahan pekarangan yang kurang pnoduktif dan pekarangan numah, dapat memberi manfaat bagi kehidupan keluarga dan masyarakat, syukur-syukur bisa meningkatkan ekonomi untuk pengembangan agnibisnis. Jadi ini sangat baik, satu sisi bisa men-dorong masyarakat sregep memberdayakan dan mendayagunakan pekarangan kosong yang kurang produktif serta pekarangan rumahnya masingmasing untuk ditanami tanaman pro-duktif, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga seharihari maupun untuk pengembang-an agribisnis yang bisa meningkatkan ekonomi keluarga dan masyarakat. Peserta Seminar dan hadirin yang saya hormati; Provinsi Jawa Tengah, dengan jumlah pen-duduk saat ini sudah mencapai 38,979 juta jiwa, kesemuanya membutuhkan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan yang me-madai. Khususnya kebutuhan pangan menjadi sangat vital, karena pangan menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Dengan potensi wilayah dan sumber daya alam di Jawa Tengah yang mayoritas agraris dan maritim, serta 65% penduduknya berdomisili di pedesaan dan mayoritas menjalani karya usaha di sektor pertanian dalam arti luas, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Industri Padat Karya, maka Kebijakan Pembangunan Jawa Tengah tahun 2008-2013 yang disemangati gerakan Bali nDeso mBangun Deso, memprio-ritaskan Misi ke-2 sebagai daya ungkit utama pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan 6 (enam) Misi untuk mencapai Vlsi: “Terwujudnya masya-rakat Jawa Tengah yang

xvi

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

semakin sejahtera, mandiri, berkemampuan, dan berdaya saing tinggi”. Dan faktanya, Misi ke-2, yaitu: “Pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan intensifikasi per-tanian dalam anti luas, UMKM, dan industri padat karya”, dalam kurun waktu 4 tahun lebih 2 bulan pelaksanaan gerakan Bali nDeso mBangun Deso, telah mampu memberi kontribusi sangat besar dalam pencapaian Visi. Pemberdayaan Pertanian arti luas yang men-cakup pertanian tanaman pangan dan hortikul-tura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan ke-hutanan, kesemuanya maju dan terus ber-kembang. Produksi beras Jawa Tengah saat ini surplus 3 juta ton, bahkan mampu memberi kontribusi memperkuat katahanan pangan nasio-nal 16%. Ketersediaan beras di gudang-gudang Bulog melimpah, prognosa sudah mencapai 110% dan bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga bulan Maret 2013, padahal bulan Januari dan Februari 2013, Jawa Tengah sudah panen raya. Sehingga yang namanya pangan, khususnya beras, sangat cukup. Belum lagi produk pertanian arti luas lainnya, seperti jagung, kacang hijau, hortikultura, daging dan ikan, sangat cukup, bahkan berlebih. Produk-produk hortikultura Jawa Tengah sudah semakin berkembang, bahkan sudah banyak komoditas hortikultura kita yang masuk pasar ekspor, apakah itu sayuran, buah, sampai bio farmaka untuk bahan jamu atau obat. Di Soropadan saya buatkan coolstorage untuk produk hortikultura dan Kabupaten/Kota se Jawa Tengah, dan setiap saat ekspor ke mancanegara. Maka, kalau pemerintah menugaskan kepada kita untuk bisa swasembada beras, swasembada gula, dan swasembada daging, bagi Jawa Tengah tidak terlalu sulit. Bahkan, kalau hanya untuk me-menuhi kebutuhan Jawa Tengah, kita sekarang ini sudah swasembada beras, gula, dan daging. Dan dari produk petanian dalam arti luas yang positif itu. Peta Ketahanan Pangan Jawa Tengah saat ini paling kuat dan paling tahan se Indonesia. Semua Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, Peta Ketahanan Pangan sejak tahun 2011 yang lalu sudah berwarna hijau tua, artinya ketahanan pangannya sangat kuat. Jadi, kalau hanya untuk memenuhi ke-butuhan pangan Jawa Tengah saja, kita ini sudah cukup, dan 3 (tiga) komoditas tadi, yaitu beras, gula, dan daging, sudah swasembada. Namun, Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi penyangga pangan nasional, harus terus meningkatkan kemampuan produksinya, sehingga bisa memberi kontribusi lebih besar untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dan 3 (tiga) komoditas tersebut. Mulai saat ini dan kedepan, pertanian arti luas di Jawa Tengah kita lakukan modernisasi alat pertanian, baik itu alat untuk mengolah lahan, alat tanam, maupun alat untuk panen. Jadi, modernisasi alat pertanian ini mutlak, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk, serta kontinuitas produksinya, agar hasilnya terus terjaga dengan baik. Demikian pula aktivitas dan produktivitas UMKM serta Industri Padat Karya kita di Jawa Tengah ini, perkembangannya sangat baik dan menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi ke-rakyatan kita. Alhamdhulillah, berkat pemahaman, kesa-daran, dan kesengkuyungan seluruh masyarakat Jawa Tengah, termasuk peran Perguruan Tinggi dan dukungan Pemerintah Pusat melalui Depar-temen terkait, gerakan Bali nDeso mBangun Deso yang sudah berjalan 4 tahun lebih 2 bulan ini, hasilnya sangat membanggakan kita semua dan Visi yang kita cita-citakan bersama, yaitu: “Masyarakat Jawa Tengah yang semakin sejah-tera, mandiri, berkemampuan, dan berdaya saing tinggi”, telah dapat kita capai. Indikator meningkatnya kesejahteraan masyara-kat, antara lain dapat kita lihat dan rasakan dan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan tahun ke tahun; inflasi stabil bahkan juga me-nurun dan rendah; dan pendapatan perkapita juga meningkat. Demikian pula kualitas pen-didikan meningkat; dan derajat kesehatan ma-syarakat terus membaik, sehingga saat ini Usia Harapan Hidup kita di Jawa Tengah sudah men-capai usia 72,01 tahun. Dengan kualitas pen-didikan meningkat dan derajat kesehatan yang semakin baik, maka ketersediaan tenaga kerja berkualitas, terampil, produktif dan siap kerja, juga menjadi potensi yang sangat baik, karena beragam investasi saat ini semakin berkembang di Jawa Tengah dan banyak membutuhan tenaga kerja. Belum lagi ditambah semakin berkembang-nya jumlah SMK, dengan target tahun 2013 sebanyak 70% SMK dan 30% SMA, serta aktivitas diklat ketrampilan kerja yang dilakukan BLK-BLK dan tempat-tempat kursus swasta lainnya, sangat membantu mengurangi pengangguran dan ke-miskinan. Sehingga, dan tahun ke tahun, jumlah

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xvii

UNDIP PRESS

pengangguran terbuka dan kemiskinan di Jawa Tengah juga terus menurun. Hanya saja yang saya masih sangat prihatin, dengan kemajuan berbagai sektor pembangunan yang kesemuanya hasilnya sangat baik dan kese-jahteraan masyarakat Jawa Tengah pada umum-nya juga sudah meningkat, namun angka ke-miskinan di Jawa Tengah masih cukup tinggi, yaitu 15% lebih. Dan memang ternyata, pe-ningkatan kesejahteraan masyarakat dengan indi-kator seperti telah saya uraikan tadi, memang tidak berbanding lurus dengan 14 indikator kemiskinan yang digunakan oleh BPS. Contohnya : ada satu keluarga punya 2 ekor sapi, punya sepeda motor, bekerja sebagai PNS, tapi rumahnya gedeg, lantainya tanah, masih tergolong miskin. Dan ternyata, soal kondisi rumah beserta sarana sanitasi serta produktivitas masyarakat menjadi salah satu tuntutan agar bisa me-ningkatkan pendapatan perkapita standar, serta elemenelemen indikator lainnya supaya me-ningkat, sehingga angka kemiskinan penurunan-nya bisa tajam. Oleh karena itu, Optimalisasi Pekarangan Untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis ini memang sangat penting, dan menjadi salah satu alternatif solusi untuk mencukupi kebutuhan pangan, serta me-ningkatkan pendapatan dan ekonomi keluarga. Apalagi lahan lestari untuk pertanian di Jawa Tengah yang idealnya 2 juta hektar, akibat alih fungsi lahan, saat ini sudah berkurang tinggal 1.700 hektar. Maka, memberdayakan dan men-dayagunakan pekarangan secara optimal menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dengan demikian setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, yaitu ketercukupan pangan, se-benarnya tidak terlalu sulit. Contoh : Apabila di setiap pekarangan di tanami pohon jagung, ubi, ketela rambat, kentang, tanaman sayuran lainnya seperti cabe, onclang, ledri, kangkung, bayam, maka itu semua sudah bisa menjadi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari. Belum lagi kalau mau memelihara ayam atau itik, maka telur dan dagingnya sudah bisa untuk lauk makan. Jadi, sebenarnya sangat sederhana dan mudah dilakukan, asalkan kita mau. Untuk peka-rangan rumah di daerah perumahan yang umum-nya sudah diplester atau diubin, juga bisa menanam dengan pot-pot dan ember bekas, atau dengan polybag. Mudah sebenarnya, yang penting niat dan open. Bapak-Ibu peserta Seminar dan hadirin yang saya hormati; Secara efektif, pelaksanaan Gerakan Bali nDeso mBangun Deso saat ini tinggal 8 bulan lagi, dan beberapa kegiatan pembangunan infra-struktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan investasi di Jawa Tengah, sudah dan sedang dibangun, dan baru akan selesai tahun 2013 dan 2014. Pembangunan infrastruktur yang sudah dan sedang jalan itu, yaitu: perluasan Bandara Ahmad Yani Semarang, Modernisasi Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo, pembangunan rel ganda/double track Kereta Api, pembangunan Waduk Jati-barang dan Normalisasi Kali Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur untuk mengurangi banjir dan menyediakan air bersih Kota Semarang, pem-bangunan energi listrik di Kab. Batang dan Cilacap, pembangunan Pabrik Gula di Blora, dan Pabrik Semen di Banyumas dan Rembang. Itu semua untuk memperkuat ekonomi Jawa Tengah agar semakin tumbuh, sehingga kesejah-teraan masyarakat meningkat. Sedangkan Untuk mendorong agar kemandirian wilayah dan ke-mampuan masyarakat dalam pengelolaan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya meningkat, maka di Jawa Tengah sudah dan hingga saat ini sedang terus dikembangkan Desa Mandiri Pangan dan One Vilage One Product (satu desa harus mampu menghasilkan satu produk unggulan yang mempunyai nilai jual tinggi). Dengan demikian, semua warga menjadi gumregah nyambut gawe, dan mampu mendayagunakan potensi sumber daya pembangunan yang banyak tersedia di desa-desa, untuk kemajuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Nah, kalau optimalisasi pekarangan ini bisa efek-tif, maka kebijakan pengembangan Desa Mandiri Pangan dan One Village One Product bisa me-rambah ke seluruh wilayah Desa di Jawa Tengah,

xviii

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

sehingga akan lebih memaju pertumbuhan eko-nomi kerakyatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah. Itulah cara yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, kemampuan dan daya saing, yang terus membutuhkan adanya pendampingan dan dukungan dan kita semua, sesual tugas fungsi yang harus dijalankan secara sinergis, seperti kerjasama yang saat ini di-laksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian Kementerian Pertanian RI bekerjasama dengan Universitas Diponegoro dan Universitas Wahid Hasyim Semarang. Jadi, saya sangat berharap, pola-pola pem-berdayaan kerakyatan seperti ini perlu terus di-kembangkan dan ditindakianjuti dalam berbagai jenis aktivitas yang bisa mendorong meningkat-nya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, supaya menjadi lebih maju dan sejahtera. Sekali lagi, saya sampaikan “Terima Kasih” dan “Penghargaan Yang Tinggi” kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kemen-terian Pertanian RI bekerjasama dengan Univer-sitas Diponegoro dan Universitas Wahid Hasyim Semarang, atas prakarsanya menyelenggarakan kegiatan Seminar ini dengan tema “OPTIMALI-SASI PEKARANGAN UNTUK MENINGKATKAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANG-AN AGRIBISNIS”. Tema yang diangkat dalam Seminar ini sangat bagus, maka saya minta jangan hanya berhenti pada pembahasan Seminar ini saja, tapi harus mampu menghasilkan rekomendasi yang implementatif dan secara nyata dilaksanakan, sehingga hasilnya sangat bermanfaat untuk ke-majuan pembangunan dan peningkatan kesejah-teraan masyarakat Jawa Tengah. Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian langsung kepada masyarakat, dari semua Perguruan Tinggi yang ada di Jawa Tengah ini, bisa lebih ditingkatkan, sehingga keberadaan Perguruan Tinggi baik Negeri mau-pun Swasta, tidak hanya menghasilkan lulusan Sarjana yang pandai menguasai ilmu pengetahu-an dan teknologi saja, tetapi juga mampu mengimplementasikan untuk mendampingi ma-syarakat di desa-desa supaya semakin berdaya dan mampu mendayagunakan potensi sember daya pembangunan yang banyak tersedia di desa-desa dan masih banyak memerlukan pikiran cerdas, hati ikhlas, serta tangan-tangan terampil para Sajana lulusan Perguruan Tinggi. Sudah puluhan ribu tenaga Sarjana turun mengabdi bersama masyarakat Desa, namun dengan kondisi Jawa Tengah yang membentang sangat luas, masih diperlukan jutaan Sarjana masuk desa untuk membangun desa-desa di Jawa Tengah supaya semakin maju dan sejah-tera. Nah, kalau semua desa maju dan rakyatnya sejahtera, maka seluruh Kecamatan, Kabupatan/ Kota, Provinsi, bahkan Indonesia menjadi maju dan sejahtera. Itulah hakekat dan gerakan Bali nDeso mBangun Deso, yang mengedepankan rasa em-pati, sikap peduli dan saling berbagi untuk kemajuan pembangunan dan peningkatan kese-jahteraan masyarakat Desa, karena Desa meru-pakan miniatur negara. Jadi, negara terkecil kita itu ya Desa, maka Desa harus dimajukan agar sejahtera. Selamat melaksanakan Seminar, selamat mengabdi untuk rakyat, dan selamat berkarya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa ngayomi kita semua. Sekian dan terima kasih atas kebersamaan kita. Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb. GUBERNUR JAWA TENGAH

H. BIBIT WALUYO

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xix

UNDIP PRESS

LAPORAN PENANGGUNG JAWAB PANITIA SEMINAR SEMINAR NASIONAL “OPTIMALISASI PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS” SEMARANG, 6 NOVEMBER 2012 Yang kami hormati dan banggakan : • • • • • • • •

• •

Gubernur Jawa Tengah : Bapak H. Bibit Waluyo Rektor UNDIP atau yang mewakili dalam hal ini Dekan Fakultas Peternakan dan Pertanian : Bapak Prof. Dr. Ir. V. Priyo Bintoro M.Agr Rektor Univ. Wahid Hasyim : Bapak Dr. H. Noor Achmad, M.A. atau yang mewakili Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah: Bapak Dr. Ir. Tri Sudaryono, M.S. Bapak dan Ibu Kepala Dinas di lingkungan Provinsi Jawa Tengah Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro atau yang mewakili, ibu Prof. Ir. Dwi Sunarti,M.S., Ph.D. Keynote Speaker (Pembicara Kunci) : Bapak Dr. Ir. Haryono, M.Sc (Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian) atau yang mewakili Pemakalah utama : Bapak Dr. Ir. Siswanto Imam Santoso (UNDIP), Bapak Prof. Dr. dr. Suhartono Taat, M.S. (Ketua Umum Masyarakat Neurosains Indonesia) dan Bapak Ir. Agus Wariyanto, S.IP., M.M. (Kepala Balitbangda Prov. Jawa Tengah Bapak dan Ibu Tamu Undangan Para dosen, mahasiswa dan seluruh Peserta Seminar Nasional yang berbahagia yang berasal dari Sabang sampai Merauke

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita Semua, Pertama-tama perkenankanlah kami mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rakhmat dan karunia-Nya, kita semua dapat hadir bersama-sama dalam acara kegiatan Seminar Nasional “OPTIMALISASI PEKARANGAN Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”, yang diselenggarakan atas kerjasama antara Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah (BPTP Jawa Tengah), Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS)Semarang dengan Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Tujuan diselenggarakannya seminar adalah untuk menjaring informasi dan inovasi teknologi tentang penataan dan pemanfaatan pekarangan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga; serta mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian, pengkajian, ide gagasan dan alih teknologi pertanian dalam rangka mendukung model kawasan rumah pangan lestari untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan pengembangan agribisnis. Seminar Nasional 6 November 2012 yang diselenggarakan dalam sehari ini di bagi dalam 4 sesi, dan sebelum acara kegiatan Seminar Nasional dimulai kami mohon kepada Yth dan kami banggakan Gubernur Jawa Tengah Bapak H. Bibit Waluyo berkenan untuk memberikan kata Sambutan dan Sekaligus membuka rangkaian kegiatan Seminar Nasional. Bapak Gubernur dan hadirin yang saya hormati, Kami laporkan bahwa kegiatan Seminar Nasional dari pagi sampai sore hari akan dibagi dalam 4 sesi, yaitu :

xx

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Sesi I sebagai Keynote Speaker : Bapak Dr. Ir. Haryono, M.Sc (Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian) : “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Sebagai Model Kemandiriaan Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat”, atau yang mewakili • Sesi II Presentasi Panel dengan 3 pembicara / pemakalah : *)Bapak Dr. Ir. Siswanto Imam Santoso (UNDIP) : Optimalisasi Usaha Pekarangan Rumah, Tingkat Perdukuhan sampai ke Rumah di Daerah kota di Pulau Jawa, *)Bapak Prof. Dr. dr. Suhartono Taat, M.S. (Ketua Umum Masyarakat Neurosains Indonesia) : “Peran Otak Sehat Terhadap Kemandirian dan Kesejahteraan Masyarakat“ dan *)Bapak Ir. Agus Wariyanto, S.IP., M.M. (Kepala Balitbangda Prov. Jawa Tengah : “Mengembangkan Inovasi Agribisnis Kreatif dalam Optimalisasi Lahan Pekarangan di Jawa Tengah” • Sesi III Presentasi Poster yang akan disampaikan dalam 134 pemakalah • Sesi IV Presentasi Oral yang akan disampaikan oleh 40 orang pemakalah, merupakan sidang kelompok yang dibagi dalam 4 kelas yaitu : o Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya o Bidang Budidaya o Bidang Sumberdaya o Bidang Diversifikasi Pangan •

Bapak Gubernur dan hadirin yang saya hormati, Perlu kami laporkan bahwa peserta Seminar Nasional ini dihadiri sekitar 200 orang peserta baik dari kalangan akademisi, peneliti, penyuluh dan praktisi yang ada di masyarakat yang tersebar dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Pulau Sumatra sampai pulau Papua. Hasil Seminar ini diharapkan dapat dijadikan acuan dan bermanfaat pada pembangunan bidang Agribisnis dan meningkatkan sumbangsihnya bagi kemajuan masyarakat luas melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dan khususnya untuk Provinsi Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dan bermanfaat pada pembangunan Perdesaan dalam mendukung Program “Bali ndesa mbangun desa”. Kami pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang bersedia menjadi narasumber dan penyumbang naskah. Demikian pula kami sampaikan ucapan terima kasih kepada para Sponsor antara lain Balitbangda Prov. Jawa Tengah, Badan Ketahanan Pangan Prov. Jawa Tengah, Dinas Pertanian Pangan dan Hortikultura Prov. Jawa Tengah, PT Bayer, BPTP Jateng, UNWAHAS, Petrokimia dan para PANITIA SEMINAR semuanya serta semua pihak yang telah membantu sehingga terlaksananya Seminar Nasional ini. Akhir kata, kami memohon dengan sangat kepada Gubernur Jawa Tengah Bapak H. Bibit Waluyo untuk berkenan memberikan kata Sambutan dan sekaligus membuka Acara Seminar Nasional. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xxi

UNDIP PRESS

SAMBUTAN SELAMAT DATANG PADA SEMINAR NASIONAL “OPTIMALISASI PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS” SEMARANG, 6 NOVEMBER 2012 Assalamu’alaikum wr wb Salam sejahtera bagi kita semua Yth. Gubernur Jawa Tengah Bapak. H.Bibit Waluyo Rektor Universitas Diponegoro Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah Ketua Program Studi, Program Magister Agribisnis Pascasarjana UNDIP Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UNWAHAS Seluruh Narasumber dan Seluruh Tamu Undangan, Peserta Seminar Nasional yang Berbahagia Segala puji syukur kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT, atas limpahan nikmat, rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, keluarga serta sahabatnya, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Saya ucapkan terimakasih yang sebesar besarnya pada panitia dari UNDIP, BPTP dan UNWAHAS serta dukungan dari SKPD SKPD yang telah bekerjasama menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “ Optimalisasi Pekarangan untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”. Tidak lupa terimakasih yang sedalam dalamnya dan selamat datang, sugeng rawuh kepada : 1. Bapak Gubernur Jawa Tengah H. Bibit Waluyo 2. Bapak Dr. Ir. Haryono, M.Sc (Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian) 3. Bapak Prof. Dr. dr. Suhartono Taat Putra, MS (Ketua Umum Masyarakat Neurosains Indonesia) 4. Bapak Ir. Agus Wariyanto, S.IP., M.M (Kepala Badan Litbang Provinsi Jawa Tengah 5. Bapak ibu tamu undangan dan seluruh peserta seminar Pada seminar nasional ini untuk berbagi ilmu baik menjadi pembicara, pemakalah dan peserta dalam seminar ini. Tidak dapat saya sebutkan satu persatu, tapi dapat dikatakan “Indonesia ada di sini”. Hampir semua provinsi terwakili di sini, dalam seminar nasional dengan tema yang sedang hangat dibicarakan dan didiskusikan oleh semua pihak. Baik dari dunia pendidikan, instansi pemerintah, lembaga lembaga penelitian maupun lembaga swata lain. Dengan tujuan yang mulia yaitu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui rumah tangga dengan mengembangkan potensi agribisnis di pekarangan. Pekarangan memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam sebuah rumah tangga, terutama di perdesaan, dimana pekarangan selain sebagai fungsi sosial juga mempunyai fungsi ekonomi. Di daerah perdesaan hampir setiap rumah memiliki pekarangan, tidak hanya di depan, tapi mengelilingi setiap rumah. Belum semua rumah tangga memanfaatkan pekarangan sebagai sumber ekonomi bagi keluarga. Apabila pekarangan ini dapat di optimalkan fungsi ekonominya dengan keyakinan yang sungguh, saya yakin ketahanan pangan dapat ditingkatkan. Ketahanan pangan yang tinggi berasal dari tingkat yang paling rendah yaitu rumah tangga. Ini akan

xxii

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

menopang tingkat ketahanan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat ketahanan pangan yang rendah tidak dapat diatasi hanya dengan impor, tapi dengan menguatkan ketahanan pangan dari dalam rumah tangga itu sendiri. Dengan Kemandirian pangan, yang dapat diakses langsung oleh rumah tangga, melalui pengoptimalan pemanfaatan pekarangan. Dari hal ini tentunya sangat mengena dan semoga membawa hasil yang bermanfaat dan memberikan solusi yang tepat terhadap berbagai permasalahan tentang hal tersebut melalui seminar nasional “Optimalisasi Pekarangan untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”.” Kita harus melaksanakan kegiatan dengan etos kerja yang “Ethes” cepat, sigap, cermat, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Gubernur. Oleh karena itu saya cukupkan sekian, sekali lagi saya ucapkan selamat datang selamat mengikuti seminar nasional ini sampai akhir. Semoga Allah SWT menjadikan seminar nasional ini bermanfaat dan mendapat barokah serta dijadikan ikhlas semata karena Allah SWT. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan, Wallohul Muwafik Illa Aqwamithariq Wassalamu’alaikum Wr wb. Semarang, November 2012 Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang

Dr. H. Noor Achmad, M.A

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xxiii

UNDIP PRESS

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL “OPTIMALISASI PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS” SEMARANG, 6 NOVEMBER 2012 Setelah mengikuti arahan dari Gubernur Provinsi Jawa Tengah, makalah kunci dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, presentasi dan diskusi dari makalah panel, sidang komisi, serta presentasi poster, sejumlah rumusan penting dalam Seminar Nasional adalah sebagai berikut: •

Komitmen pemerintah provinsi Jawa Tengah untuk membangun pertanian dan perdesaan sangat tinggi. Namun demikian masih dipandang perlu adanya regulasi dan kebijakan dari pemerintah pusat yang berpihak pada rakyat dan menghindari kebijakan yang kontradiktif dengan aspirasi masyarakat dan program pembangunan daerah.



Salah satu kebijakan pemerintah yang pro rakyat dan meningkatkan ketahanan pangan berbasis masyarakat adalah Optimalisasi Pekarangan. Optimalisas pekarangan menjadi penting karena tingginya laju alih fungsi lahan dan adanya ancaman terhadap sistem produksi pangan. Upaya ini merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengacu kepada tingginya potensi lahan pekarangan serta masih tersedianya potensi tenaga kerja keluarga yang belum termanfaatkan.



Optimalisasi pekarangan, salah satu diantaranya adalah Model Kawasan Rumah Pangan Lestari, memberikan berbagai nilai tambah dan dampak positif bagi masyarakat. Dampak langsung yang diperoleh adalah terjadinya peningkatan ketahanan pangan rumah tangga dan diversifikasi pangan dengan indikator peningkatan skor Pola Pangan Harapan. Melalui diversifikasi pangan, kesehatan masyarakat dapat ditingkatkan. Peningkatan kesehatan masyarakat juga dimungkinkan oleh meningkatnya kebahagiaan anggota keluarga selama merawat berbagai komoditas yang diusahakan. Kebahagiaan terbukti dapat menurunkan serangan penyakit.



Sebagai suatu upaya pemberdayaan masyarakat, melalui optimalisasi pekarangan, pengeluaran belanja untuk pangan juga dapat dihemat sehingga pada gilirannya pendapatan masyarakat dapat meningkat dan angka kemiskinan dapat ditekan. Nilai tambah juga dapat diperoleh masyarakat dengan terbukanya peluang usaha pengolahan produk pertanian dan tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat.



Untuk menjaga kelestarian implementasi optimalisasi pekarangan,perlu ditumbuhkan kebun bibit desa yang dikelola oleh masyarakat dan didukung sepenuhnya oleh lembaga teknis pemerintah daerah.



Sesuai dengan arahan Presiden RI, optimalisasi pekarangan perlu didorong agar menjadi gerakan yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Dukungan seluruh pemangku kepentingan yang sudah ada saat ini perlu ditingkatkan, khususnya dari unsur aparat pemerintah, Gerakan Orgaanisasi Wabnita, kepemudaan, perguruan tinggi, serta lembaga organisasi masyarakat lainnya untuk mendorong kepeberlanjutan gerakan Optimalisasi Pekarangan.



Pola pendekatan dan komoditas yang dikembangkan untuk optimalisasi pekarangan sangat fleksibel, tergantung kepada kebutuhan dan preferensi masyarakat, serta kesesuaian agroekologi setempat. Sumberdaya genetik lokal yang ada di daerah masing-masing perlu digali, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai bagian dari optimalisasi pekarangan.



Untuk mendukung percepatan pengembangan optimalisasi pekarangan, lembaga penelitian dan perguruan tinggi perlu bersinergi untuk mengembangkan teknologi siap terap di masyarakat. Teknologi yang perlu dikembangkan khususnya yang terkait dengan sistem irigasi hemat air dan

xxiv

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

hemat tenaga kerja,pengembangan media non tanah, pengolahan hasil produk pekarangan, dan pengendalian OPT serta teknik budidaya tanaman dan ternak. •

Masyarakat juga perlu didorong untuk melakukan transformasi pola pikir agar secara kreatif mengembangkan inovasi dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang dimiliki untuk mengoptimalkan pekarangannya. Rekayasa sosial kelembagaan juga perlu digerakkan agar sistem transfer teknologi dapat berjalan lebih lancar.

Tim Perumus

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

xxv

UNDIP PRESS

MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) SEBAGAI MODEL KEMANDIRIAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DR. Ir. Haryono, MSc. PENDAHULUAN 1. Potensi lahan pekarangan nasional 10,3 juta ha (14% dari total luas lahan pertanian) 2. Ketersediaan Sumber Daya Hayati Melimpah Ø Tanaman pangan (padi, umbi-umbian) Ø Pangan hewani (ternak, ikan) Ø Tanaman hortikultura (sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman rempah & obat PERMASALAHAN • • • • •

Realisasi konsumsi masyarakat masih di bawah anjuran pemenuhan gizi (PPH 75,7) Perhatian terhadap pemanfaatan lahan pekarangan relatif masih terbatas Pernyataan Presiden saat Konferensi Dewan Ketahanan Pangan (JICC, Oktober 2010) Ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumahtangga Pemanfaatan pekarangan salah satu alternatif mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga

KONSEP KEMENTERIAN PERTANIAN • Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) : Pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dalam suatu kawasan, untuk: Pemenuhan kebutuhan pangan & gizi keluarga, peningkatan pendapatan keluarga, meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat PENGEMBANGAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) Tujuan Pengembangan M-KRPL • • • • •

Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran, toga, ternak, ikan, pengolahan hasil, dan kompos Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan Melestarikan tanaman pangan lokal untuk masa depan Mengembangkan ekonomi produktif keluarga, hingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan lingkungan hijau, bersih dan sehat secara mandiri. Prinsip M-KRPL

• • • •

Ketahanan dan mandirian pangan rumahtangga Diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal Konservasi sumberdaya genetik tanaman pangan untuk masa depan Peningkatan Kesejahteraan rumahtangga dan masyarakat M-KRPL Plus :

• • • •

Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan dan Gizi Masyarakat Modal dan Pasar Antisipasi perubahan iklim

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

1

UNDIP PRESS

Pendekatan M-KRPL • • • •

• • •

Pemanfaatan pekarangan rumahtangga (RPL) Perkotaan vs Perdesaan Strata (luas lahan pekarangan): sempit, sedang, luas Komoditas yang diusahakan (memenuhi PPH 93,3 tahun 2014): tanaman pangan (non padi), hortikultura (sayuran dan buah-buahan), tanaman obat keluarga (toga), budidaya ternak dan ikan, yang terintegrasi dan berkesinambungan. Pengembangan Kebun Bibit Desa (KBD) Penumbuhan/pengembangan kawasan (KRPL) Basis Komoditas dan Contoh Model Budidaya Rumah Pangan Lestrasi di PERKOTAAN

MODEL KRPL UNTUK KEMANDIRIAN PANGAN KRPL vs Diversifikasi Pangan • • •

KRPL untuk peningkatan diversifikasi (horizontal) pangan berbasis sumber daya lokal Aneka umbi potensial dikembangkan dalam KRPL: talas, kimpul, ganyong, garut, gembili, uwi, suweg, dan gadung KRPL untuk peningkatan diversifikasi (vertikal) pangan berbasis sumber daya lokal KRPL dan PPH

• •

KRPL meningkatkan Pola Pangan Harapan (PPH) Kasus KRPL Pacitan : dalam waktu kurang dari 1 tahun, PPH meningkat dari 73,5% menjadi 86,3%

MODEL KRPL MASYARAKAT

UNTUK

PENINGKATAN

PENDAPATAN

DAN

KEEJAHTERAAN

KRPL dan Keuntungan Ekonomi • •

Kasus KRPL Pacitan : mengurangi pengeluaran keluarga Rp. 195.000-715.00,-/KK/bulan Di beberapa daerah (Sumsel, DKI, dll) KRPL mampu meningkatkan pendapatan masyarakat/petani PENUTUP

• • •

2

KRPL sangat potensial untuk mewujudkan kemandirian pangan KRPL sangat strategis dikembangkan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Model KRPL perlu didiseminasikan lebih intensif dan replikasi oleh pemerintah daerah sangat diharapkan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

MENGATASI KEMISKINAN DENGAN PEKARANGAN Siswanto Imam Santoso Universitas Diponegoro HIPOTESIS • Kemiskinan Ekonomi disebabkan SDM yang rendah • SDM yang rendah akibat dari Kemiskinan Ekonomi • Kemiskinan Ekonomi dan SDM yang rendah akibat Sarana Prasarana yang tidak memadai

SASARAN PEMBANGUNAN NASIONAL 1. Mengurangi tingkat PENGANGGURAN 2. Menurunkan tingkat KEMISKINAN 3. Meningkatkan PERTUMBUHAN EKONOMI KONDISI OBYEKTIF • Penduduk miskin pada tahun 2011 berjumlah 29,89 juta jiwa atau 12,36%, turun 0.13 juta jiwa atau 12,49 % dari jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 sebanyak 30.02 juta jiwa atau 12,49% dari total penduduk (BPS-BPS, 2011). • Terdapat 14,8 juta jiwa Fakir Miskin dan 19,2 juta rumah tangga miskin (PUSDATIN, 2005). • Kawasan kumuh dan kantong kemiskinan di 110 kota dan 42.000 desa serta 6,5 juta unit rumah tidak layak huni (PUSDATIN, 2005). • Pengangguran terbuka 10,24 % dari total angkatan kerja (BAPPENAS, 2005). PENANGGULANGAN KEMISKINAN • Strategi Penanggulangan Kemiskinan: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT • Langkah Operasional: 1. Pengurangan beban pengeluaran penduduk miskin melalui penyediaan pelayanan dasar (pangan, pendidikan, dan kesehatan). 2. Peningkatan produktivitas melalui penciptaan kesempatan kerja dan berusaha

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

3

UNDIP PRESS

PARADIGMA • PEMBERDAYAAN SOSIAL menjadi Gerakan Nasional untuk mengatasi kemiskinan PENDEKATAN TRIDAYA: 1. Pemberdayaan Manusia 2. Pemberdayaan Usaha 3. Pemberdayaan Lingkungan/Prasarana FOKUS

4

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

BENTUK INTERVENSI

PROSES TRANSFORMASI KELOMPOK USAHA MASYARAKAT MENUJU USAHA MAJU, MANDIRI, DAN BERDAYA SAING

HARAPAN KE DEPAN 1. 2. 3. 4.

Mengoptimalkan Forum Kepedulian dan mendukung KESETIAKAWANAN SOSIAL Mengembangkan POLA KEMITRAAN untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Meningkatkan dukungan terhadap skema PENDAMPINGAN masyarakat. Memperluas advokasi yang difokuskan pada aspek WAWASAN KEBANGSAAN

PENUTUP Setiap KK yang Bertempat tinggal di Desa/Kota memiliki 1. Usaha sampingan di halamannya 2. Mendapatkan Pendapatan tambahan harian 3. Kegiatan Ekonomi lokal dan Nasional meningkat di sektor2 tradisional melalui kegiatan Agribisnis.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

5

UNDIP PRESS

PERAN OTAK SEHAT TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Suhartono Taat Putra Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Ketua Komtek Kesehatan dan Obat Dewan Riset Nasional Kemenristek RI Ketua Umum Masyarakat Neurosain Indonesia email [email protected] HP 08123031875 MANUSIA INDONESIA DIUNTUNGKAN • SDM (akal) • SDA (kekeayaan alam) • GEOGRAFI (strategis) FAKTA YG MEMPRIHATINKAN 1. Luas lahan pekarangan secara nasional diprakirakan 10,3 juta ha (14% seluruh lahan pertanian) belum termanfaatkan untuk kebutuhan hidup 2. Hidup rerata dicapai hanya smp 70 th (diperpendek 50 th dari umur seharusnya, 120 th 3. Perilaku anarkis banyak dilakukan oleh masyarakat 4. Saat ini orang mulai tidak sehat di umur 40 th yg seharusnya sehat sampai umur 70 th 5. Pasar Indonesia (negara agraris) didominasi sayur-mayur dan buah impor 6. Produsen, pengedar dan penggunaan narkoba semakin merajalela 7. Perbuatan korupsi membudaya 8. Sebagai bangsa relijius namun perilaku imunoral banyak terjadi 9. Percepatan menyebaran HIV-AIDS terbesar didunia 10. Bangsa semakin tidak berjatidiri dan tidak percaya diri 11. dll Mungkinkah semua ini sebagai akibat perang asimetri? Kita tetap optimis masih banyak manusia Indonesia yang baik namun tidak boleh terlambat bertindak DRN KEMENRISTEK RI – MNI - KKNS BP RSIJ Pada tanggal 21 Mei 2012 mendeklarasikan DASA WARSA OTAK INDONESIA (2012-2022) MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) MP3EI bertujuan mendorong Indonesia menjadi negara maju termasuk 10 negara maju dunia di tahun 2025 tetapi “kesehatan” tidak terdapat di program utama MP3EI. Dalam melaksanakan MP3EI diperlukan Kapasitas SDM dan Iptek Nasional àPerlu otak sehat MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)

(Komtek Kesehatan-Obat DRN Kemenristek RI)

6

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PREFRONTAL CORTEX Through evolution, humans have acquired 'higher' cognitive skills — such as language, reasoning and planning — and complex social behaviour. OTAK NORMAL DAN OTAK SEHAT 1. Otak Normal adalah otak yang secara neuroanatomi tidak ditemukan kelainan struktur dan fungsi. 2. Secara psikoneuroimunologis, Otak Sehat adalah otak yang secara neurobehavior mampu berkinerja menyehatkan individu secara holistik sehingga mampu berperilaku sehat 3. Secara filosofis, Otak Sehat adalah otak yang neurobehavior mampu berkinerja menyejahterakan alam seisinya KECERDASAN OTAK SEHAT Kecerdasan Intelektual................... IQ Kecerdasan Emosional................... EI Kecerdasan Spiritual...................... SI Kecerdasan Adversitas................... AI Kecerdasan Intelejen Ganda.......... MI TUA PASTI, DEWASA PERLU DIUPAYAKAN. OTAK SEHAT – UMUR MANUSIA 1. 70º C dan tidak stabil pada sap tanaman sehingga infektivitasnya cepat menurun. Penyakit CMV ditularkan secara nonpersisten oleh lebih dari 80 spesies aphis, terutama Myzus persicae, melalui biji, bibit, melalui sap, atau bagian vegetatif tanaman (Cerkauskas 2009, http://www.acdiainc.com/2009/05/cmv-tas.htm ). Ali dan Kobayashi (2010) melaporkan bahwa CMV pada tanaman cabai dapat ditularkan melalui biji yang kisarannya dari 95 hingga 100%. Penyebaran sekunder terjadi melalui vektor dan oleh petani yang memegang tanaman sakit kemudian memegang tanaman sehat. Kedekatan jarak gulma atau tanaman inang alternatif CMV ke pertanaman cabai dan kecepatan perkembangan aphis menentukan kecepatan tanaman cabai menjadi tertular CMV. Beberapa gulma telah diketahui dapat menjadi inang virus dan aphis. Vektor aphis dapat menularkan virus setelah menghisap (afp) hanya 5 – 10 detik kemudian waktu pemindahan (ifp) virus dapat terjadi < 1 menit, tetapi kemampuan menularkan virus cepat menurun. Infektifitasnya menurun setelah 2 menit dan tidak infektif setelah 2 jam http://weekendgardener.net/plantdiseases/2009/10/cucumber-mosaic-virus070707.htm. Patogen virus CMV sangat sulit dikendalikan, karena virus hidup sebagai parasit obligat di dalam sel tanaman. Sehingga usaha untuk mematikan virus hanya bisa dilakukan dengan mematikan sel atau jaringan tanaman inangnya. Sampai saat ini belum ada pestisida yang efektif mengendalikan patogen virus (Siregar 2005). Cara pengendalian penyakit CMV pada cabai menurut Barbadoost (1999), ialah: • Menanam varietas resisten atau toleran. • Eradikasi gulma inang dan sisa-sisa tanaman terinfeksi. • Fumigasi greenhouse tempat pesemaian dan perbibitan. • Aplikasi insektisida di greenhouse dan lahan atau kebun untuk mengurangi atau membasmi aphis, sebelum dilakukan penanaman. • Menanam bibit bebas CMV. • Tidak menanam cabai dekat pertanaman terinfeksi CMV.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

529

UNDIP PRESS

Cabut tanaman yang pertama terlihat terinfeksi kemudian diaplikasi insektisida untuk membasmi aphis di sekitarnya. • Hindari menyentuh tanaman sehat setelah mencabut tanaman sakit sebelum mencuci tangan dengan sabun atau air hangat. • Tanam gandum sebagai tanaman perangkap di sekitar pertanaman cabai. Gandum tidak menaungi cabai, menarik bagi aphis, sebagai pencuci virus CMV (nonpersisten), tidak sebagai inang yang menjadi tempat perbanyakan aphis, bukan inang CMV, dan mudah dimusnahkan. • Perlakuan benih dengan insektisida, rotasi tanaman, dan aplikasi fungisida tidak efektif untuk pengendalian CMV. Selain itu, dianjurkan untuk: • Menyungkup pesemaian dengan kasa 32 mesh atau lebih untuk mencegah aphis. • Menanam tanaman perangkap aphis, kemudian disemprot insektisida kontak. • Menanam barrier crop (tanaman pagar penghalang) bukan inang CMV seperti jagung dan memasang perangkap kuning berperekat. • Tidak tanam tomat dekat tanaman utama yang rentan seperti cabai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehilangan hasil tanaman cabai akibat infeksi CMV berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui arti penting CMV pada pertanaman cabai dan dihasilkan informasi cara pengendalian CMV yang sesuai untuk tanaman cabai di Kabupaten Semarang. •

BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan petani Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, pada ketinggian tempat ± 700 m dpl. Cabai merah varietas TM 99 ditanam setelah umur bibit 1 bulan di pesemaian. Penanaman menggunakan mulsa plastik hitam perak, dengan jarak tanam 50 x 60 cm ditanam berpasangan (double row) pada tiap guludan, serta jarak antar guludan mulsa plastik 40 cm. Sebagai pupuk dasar diaplikasikan pupuk kandang sapi 20 t/ha + pupuk majemuk NPK (15:15:15) dosis 500 kg/ha. Untuk menopang tanaman cabai digunakan ajir 1 m dan tali rafia.

530

Penelitian dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap, dengan perlakuan 4 tingkat keparahan CMV, diulang 4 kali. Pertanaman dikelompokkan berdasar keparahan penyakit, yang meliputi: a. tanaman sehat, b. sakit CMV ringan, c. sedang, d. berat. Setiap kelompok terdiri atas 10 tanaman sampel yang diambil secara acak. Pengamatan dilakukan sejak tanaman mulai dipanen (± 55 hari) hingga selesai panen, terhadap (1) jumlah buah sehat, (2) jumlah buah sakit, (3) bobot buah sehat, (4) bobot buah sakit per pohon, (5) bobot tiap buah sehat, dan (6) bobot tiap buah sakit. Kriteria keparahan penyakit CMV pada tanaman cabai merah, adalah: 1. Tanaman sehat : tidak memperlihatkan gejala terinfeksi CMV, pertumbuhan tanaman normal. 2. Keparahan ringan : pada daun-daun bagian atas kanopi tanaman terinfeksi CMV < 25% dengan gejala daun khlorosis dan mosaik. Daun-daun lain tumbuh normal. 3. Keparahan sedang : daun-daun bagian atas kanopi tanaman terinfeksi CMV 25 – 60% dengan gejala daun khlorosis, mosaik, dan malformasi. Daun-daun lain tumbuh normal. 4. Keparahan berat: daun-daun bagian atas kanopi tanaman terinfeksi CMV > 60% dengan gejala daun khlorosis, mosaik, dan malformasi. Gejala mosaik telah berkembang ke daun-daun bagian tengah kanopi. Pengamatan pengaruh keparahan CMV dilakukan juga terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah dengan cara mengamati tinggi tanaman sakit dibandingkan tanaman sehat pada akhir panen. Data dianalisis setelah seluruh hasil panen disatukan, dengan uji pembeda menggunakan DMRT 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Infeksi CMV dengan keparahan ringan, tidak berpengaruh pada tinggi tanaman (Gambar 1). Tinggi tanaman yang terinfeksi ringan tidak berbeda nyata dengan tanaman sehat. Pengaruh terhadap tinggi tanaman mulai nyata jika terjadi pada tanaman yang mengalami infeksi dengan tingkat keparahan sedang. Tinggi tanaman yang terinfeksi dengan tingkat keparahan sedang berbeda nyata terhadap tanaman sehat. Pada tingkat keparahan yang berat, pertumbuhan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

tinggi tanaman sangat terhambat, dan tanaman menjadi kerdil dengan daun-daun mengecil, meruncing, melengkung ke bawah, dan khlorosis.

%. Namun jumlah buah yang mengalami malformasi per pohon pada tanaman sakit berat menjadi sangat sedikit, yaitu 0,2 % (Gambar 3).

Gambar 3. Jumlah Buah Malformasi Per Pohon Gambar 1. Tinggi Tanaman Cabai Akibat Infeksi CMV Semakin parah tanaman cabai terinfeksi CMV, persentase jumlah daun khlorosis dan daun malformasi semakin banyak. Tanaman yang daun-daunnya mengalami khlorosis dan malformasi dengan tingkat keparahan penyakit CMV sedang dan berat hanya menghasilkan buah normal per pohon dalam jumlah sedikit (Gambar 2). Daun-daun yang khlorosis mengalami kerusakan khlorofil, sehingga proses fotosintesis terganggu. Akibatnya hasil fotosintesis yang dialirkan ke seluruh jaringan tanaman khususnya untuk pembentukan buah menjadi sangat berkurang.

Di Taiwan, CMV menyebabkan kerugian ekonomi yang berarti pada paprika, tomat, gladiol, dan pisang (http://www.semena.org/agro/diseases2/ 2009/07/ cucumber-mosaic-e.htm). Bobot buah normal per pohon makin ringan dengan makin berat keparahan penyakit CMV (Gambar 4).

Gambar 4. Bobot Buah Normal Per Pohon

Gambar 2. Jumlah Buah Normal Per Pohon Pada tanaman sehat juga dihasilkan buah yang mengalami penyimpangan bentuk (malformasi) namun jumlahnya tidak banyak. Jumlah buah-buah yang mengalami malformasi semakin banyak terbentuk pada tanaman cabai yang terinfeksi CMV semakin parah, dari tanaman sehat, sakit ringan, hingga tanaman sakit sedang, masing-masing 1,6 , 2,0 , dan 2,8

Gambar 5. Bobot Buah Malformasi Per Pohon

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

531

UNDIP PRESS

Bobot buah normal per pohon pada tanaman cabai dengan tingkat keparahan berat hanya 14,6 g/pohon. Hal ini tejadi karena jumlah buah normal yang terbenuk sedikit dan ukurannya kecil-kecil. Bobot buah malformasi per pohon juga semakin ringan dengan semakin parah tanaman yang terinfeksi CMV (Gambar 5).

KESIMPULAN 1. Pertanaman cabai di Kabupaten Semarang yang sakit CMV mengalami hambatan pertumbuhan. Tanaman menjadi pendek, daun-daun khlorosis, kecil-kecil, dan mengalami malformasi. 2. Akibat penyakit CMV, jumlah buah cabai per pohon berkurang. Semakin parah penyakit CMV, semakin sedikit buah yang dihasilkan. 3. Penyakit CMV pada tanaman cabai mengakibatkan bobot buah per pohon, baik buah normal maupun buah malformasi yang dihasilkan berkurang. Bobot buah per pohon yang dihasilkan semakin ringan jika penyakit CMV semakin parah. DAFTAR PUSTAKA

Gambar 6. Bobot Tiap Buah Normal Per Pohon

Agrios G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition, Elsevier Academic Press, London, UK. Ali, A. and M. Kobayashi. 2010. Seed Transmission of Cucumber Mosaic Virus in Pepper. Journal of Virological Method. 163(2):234-237. Barbadoost, M. 1999. Mosaic Diseases of Cucurbits. Department of Crop Sciences. University of Illinois. Urbana-Champaign. RPD No. 926. 9 p.

Gambar 7. Bobot Tiap Buah Malformasi Per Pohon Ukuran buah yang terbentuk pada tanaman terinfeksi CMV semakin mengecil dengan semakin parahnya penyakit CMV. Bobot tiap buah yang menggambarkan ukuran buah menjadi semakin rendah dengan semakin parah penyakit CMV. Penurunan ukuran buah tidak hanya terjadi pada buah yang bentuknya normal, tetapi juga tejadi pada buah yang bentuknya mengalami malformasi (Gambar 6 dan 7). Buah dalam bentuk normal yang dihasilkan dari pohon sehat bobotnya 13,1 g per buah. Sedangkan buah berbentuk normal yang dihasilkan dari pohon yang sakit CMV dengan keparahan berat bobotnya 4,93 g per buah. Bobot setiap buah malformasi yang dihasilkan dari pohon sehat 2,48 g sedangkan bobot setiap buah malformasi dari pohon sakit berat 1,78 g.

532

Cerkauskas, R. 2009. Cucumber Mosaic Virus, Aphid-Transmitted Cucumovirus. AVRDC – The World Vegetaqbles Center. Taiwan. Chupp, C., and C.Sherf. 1960. Vegetable diseases and their control. Pp.267-269. The Ronald Press Company. New Rork. Duriat, A.S. dan S. Sastrosiswojo. 1999. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu Pada Agribisnis Cabai. Dalam Santika, A. (Editor). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Douine, L., J.B. Quiot, G. Marchoux, and P. Archange. 1979. Recensement Des Especes Vegetale Sensibles Au Virus De La Mosaique Du Comcombre (CMV). Ann. Phytopathol. 11: 439-475. http://en.wikipedia.org/2010/04/wiki/Cucumber_ mosaic_virus http://www.acdiainc.com/2009/05/cmv-tas.htm

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

http://weekendgardener.net/plantdiseases/2009/10/cucumber-mosaic-virus070707.htm http://www.semena.org/agro/diseases2/2009/07/c ucumber-mosaic-e.htm Kaper, J.M. 1983. Perspective on CARNA 5, cucumber mosaic virus-dependent replicating RNA 5 capable of modifying disease expression. Plant Mol. Biol. Rep. 1:45-54. Lapidot, M., I. Paran, R. Ben-Joseph, S. BenHarush, M. Pilowsky, S. Cohen, and C. Shifriss. 1997. Tolerance to cucumber mosaic virus in pepper. Development of

advanced breeding lines and evaluation of virus level. Plant Dis. 81(2):185-188. MacNab, A.A., A.F. Sherf, and J.K. Springer. 1983, Identifying Diseases of Vegetables. Pennsylvania State Univ., pennsylvania, 62 p. Siregar, E.B.M. 2005. Uji Virulensi Isolat CMV Asal Sumatera Utara Pada Tanaman Cabai. Universitas Sumatera Utara. 17 p. Zitter, T.A. and D. Florini. 1984. Virus Disease of Pepper. Plant Pathology Cornell University. New York State Agricultural Experiment Station. Geneva.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

533

UNDIP PRESS

APLIKASI TANAMAN SAYURAN DAUN DI LAHAN PEKARANGAN PADA KAWASAN

RUMAH PANGAN LESTARI DI KABUPATEN GARUT Endjang Sujitno, Kurnia dan Taemi Fahmi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jl. Kayuambon 80 Lembang, Bandung Barat, 40791

ABSTRAK Pemanfaatan lahan pekarangan di Indonesia, sampai sejauh ini belum tersentuh dengan baik. Di sisi lain, pekarangan rumah dapat mendatangkan pendapatan keluarga, bila dikelola dengan baik. Penelitian dan inventarisasi keanekaragaman tanaman pekarangan dilakukan di Kelurahan Cimuncang, Kecamatan Garut Kota Kabupaten Garut pada lokasi Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Tanaman sayuran yang dikaji adalah berupa tanaman daun yang dikelola oleh kelompok wanita tani yang berjumlah 60 orang. Hasil kajian diperoleh bahwa tanaman sayuran daun yang dikelola oleh kelompok tani terdiri dari kangkung 34,5%, saosin 19,7%, bawang daun 18,5%, seledri 17,5% dan selada bokor 9,8%. Berdasarkan hasil kajian ternyata pemanfaatan tanaman sayuran daun rata-rata 62,5% dikonsumsi sendiri, 21,5% dijual dan 16% untuk kegiatan sosial. Persentase tersebut terlihat bahwa sayuran yang dikonsumsi lebih besar jika dibanding dengan yang dijual maupun untuk kegiatan sosial. Hal ini karena kegiatan KRPL yang dilaksanakan di lokasi ini merupakan kegiatan awal, dengan demikian produksi sayuran yang dihasilkan relatif masih sedikit, sehingga lebih banyak dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga. Kata kunci: sayuran daun, pekarangan, KRPL

PENDAHULUAN Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasnya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan, hubungan fungsional yang dimaksudkan disini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi serta biofisika (Soemarwoto, 1975). Pemanfaatan pekarangan pada umumnya belum dimanfaatkan secara optimal, baik dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun sebagai sarana untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga sebagian besar fungsi dari pekarangan selama ini hanya berfungsi sebagai sarana estetika saja. Padahal jika dioptimalkan, pemanfaatan pekarangan dapat memberikan banyak keuntungan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan peningkatan pendapatan keluarga. (Duaja, et.al 2011).

534

Pemanfaatan pekarangan dapat mendukung penyediaan aneka ragam pangan di tingkat rumah tangga, sehingga terwujud pola konsumsi pangan keluarga yang beragam, bergizi seimbang dan aman, dimana di pekarangan dapat ditanam berbagai jenis tanaman yang dibutuhkan sehari-hari seperti tanaman buah, sayuran, bunga, tanaman obat dan lain-lain (Afrinis, 2009). Untuk mendukung usaha pemenuhan pangan dan gizi keluarga, pemanfataan pekarangan saat ini lebih dititikberatkan pada usaha budidaya sayuran yang berumur relatif pendek sehingga dapat dengan segera dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Rukmana, (2009), mengemukakan bahwa lahan pekarangan dapat dijadikan asset berharga bagi pengembangan usahatani skala rumah tangga, oleh karena itu, pemanfaatan lahan pekarangan dapat dijadikan basis usaha pertanian tanaman sayuran dalam rangka memberdayakan sumberdaya keluarga serta meningkatkan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

ketahanan pangan dan kecukupan gizi. Indonesia memiliki potensi sumber daya hayati spesifik lokasi dengan berbagai jenis tanaman pangan, umbi-umbian, kacangkacangan, sayur, buah, dan sumber pangan hewani. Namun potensi tersebut masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Hal ini ditunjukkan sengan skor Pola pangan harapan (PPH) nasional yang masih relatif rendah, dimana pada tahun 2009 baru mencapai 75,7. Untuk mencapai sasaran PPH tahun 2014 sebesar 95 dan menjaga keberlanjutannya, pemerintah merancang pemanfaatan pekarangan dengan memperhatikan berbagai program yang telah berjalan seperti Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dan Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP). Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) adalah suatu program yang digagas oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2011 agar kumpulan rumah tangga atau keluarga mampu mewujudkan kemandirian pangan melalui pemanfaatan pekarangan, dapat melakukan usaha diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan sekaligus pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta tercapai pula upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Badan Litbang, 2011). Pengelompokkan lahan pekarangan dibedakan atas pekarangan perkotaan dan perdesaan. Pekarangan perkotaan dikelompokkan menjadi 4, yaitu: (1) Rumah tipe 21, dengan total luas tanah 36 m 2 atau tanpa halaman; (2) Rumah tipe 36, luas tanah sekitar 72 m2 atau halaman sempit; (3) Rumah tipe 45, luas tanah sekitar 90 m2 atau halaman sedang; (4) Rumah tipe 54 atau 60, luas tanah sekitar 120 m2, atau halaman luas. Sedangkan pekarangan di perdesaan dikelompokkan menjadi 4, yaitu: (1) Pekarangan sangat sempit (tanpa halaman), (2) Pekarangan sempit (< 120 m2), (3) Pekarangan sedang (120-400 m2), dan (4) Pekarangan luas (> 400 m2) (Badan Litbang, 2011). Untuk mengetahui dampak dari pelaksanaan M-KRPL ini khususnya aplikasi tanaman sayuran daun yang dibudidayakan di pekarangan, perlu dilakukan penelitian sampai sejauhmana pemanfaatan hasil produksi dari

tanaman sayuran daun yang dihasilkan. METODE Pengkajian dilaksanakan di Kelurahan Cimuncang, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut. Lokasi pengkajian berada pada ketinggian sekitar 700-800 m diatas permukaan laut dengan rata-rata curah hujan pertahun berkisar antara 2.000-3.000 mm, wilayah tersebut termasuk daerah beriklim basah, jarak dari ibukota atau pasar kabupaten sekitar 5 km dengan alat transportasi yang digunakan hanya ojeg. Penduduknya sebagian besar bermata pencaharian buruh, petani dan dagang. Keadaan penduduk termasuk ke dalam kategori miskin. Pengkajian dilakukan selama 3 bulan yaitu dari bulan April sampai Juni 2012, petani kooperator adalah merupakan anggota peserta pelaksana kegiatan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang terhimpun dalam satu kelompok wanita tani. Jumlah responden sebanyak 60 orang, dibagi menjadi tiga strata, yaitu strata I (< 120 m 2), strata II (120-400 m 2), dan strata III (> 400 m2). Komoditas yang diusahakan berupa tanaman sayuran daun, meliputi tanaman kangkung, saosin, bawang daun, seledri, dan selada bokor. Kelima jenis tanaman sayuran tersebut ditanam dengan menggunakan polibag/pot yang diisi dengan media berupa campuran tanah dan pupuk kandang, masingmasing tanaman ditanam pada polibag/pot dengan ukuran 30 x 30 cm yang berisikan media sekitar 5 kg, ditempatkan di sekitar pekarangan atau halaman rumah. Parameter yang diamati adalah jumlah tanaman yang dikelola, hasil produksi segar yang diperoleh selama tiga bulan, dan pemanfaatannya. Data yang dikumpulkan adalah hasil pengkajian dari setiap anggota peserta pada kurun waktu selama tiga bulan kemudian dirata-ratakan dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Tata Guna Lahan Rata-rata kepemilikan lahan di lokasi kegiatan KRPL kelurahan Cimuncang tergolong sempit. Berdasarkan pembagian strata, pengelolaan lahan pekarangan dalam KRPL

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

535

UNDIP PRESS

dibagi menjadi tiga strata, yaitu strata I, II, dan III. Untuk lebih jelasnya kepemilikan lahan pekarangan berdasarkan strata dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran Kepemilikan Lahan Pekarangan Berdasarkan Strata Pada Lokasi KRPL Kab. Garut 2012 Jumlah No Strata Luas Pekarangan anggota 1. I 44 KK < 120m2 2. II 11 KK 120-400 m2 3. III 5 KK > 400 m2 Sumber: data primer 2012

Tabel 1 memperlihatkan bahwa seluruh kooperator di lokasi KRPL Kelurahan Cimuncang memiliki pekarangan, meskipun dengan luasan yang bervarisi. Sebagian besar luas kepemilikan lahan kooperator termasuk dalam kategori strata I (pekarangan sempit < 120 m2) sebanyak 44 KK. kemudiam sebanyak 11 KK termasuk ke dalam strata II (luas kepemilikan lahan 120-400 m2) dan sebanyak 5 KK masuk ke dalam strata III (luas kepemilikan lahan > 400 m2). Dengan adanya lahan pekarangan di setiap kooperator, walaupun sebagian besar termasuk ke dalam strata I (pekarangan sempit), namun jika dikelola dengan baik, serta dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai usaha baik tanaman sayuran, obat-obatan atau yang lainnya berbasis sumberdaya lokal dan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan, dapat meningkatkan pendapatan keluarga yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keanekaragaman Tanaman Sayuran Daun Pada umumnya masyarakat Kelurahan Cimuncang telah memanfaatkan pekarangan sebagai sumber tambahan pendapatan dan pemenuhan rasa estetikanya. Namun masih dilaksanakan secara tradisional meskipun telah mendapatkan berbagai anjuran pemerintah, baik melalui program pengembangan dapur hidup dan apotik hidup maupun program lainnya. Sejak turunnya program P2KP yang dilanjutkan dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL), kegiatan pengembangan lahan pekarangan mulai diintensifkan, mulai dari aspek teknis sampai pada manajemen

536

pengelolaan. Hasil pengamatan tanaman yang dikembangkan dalam KRPL di Kelurahan Cimuncang sebagian besar adalah tanaman sayuran berupa sayuran daun. Selengkapnya data dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah tanaman sayuran daun yang dikelola di KRPL Kelurahan Cimuncang Kabupaten Garut 2012 No Jenis Sayuran Jumlah (pot) Persentase 1. Kangkung 581 Pot 34,5 2. Saosin 332 Pot 19,7 3. Bawang Daun 311 Pot 18,5 4. Seledri 294 Pot 17,5 5. Selada Bokor 165 Pot 9,8 Jumlah 1.684 Pot 100 Sumber: data primer, 2012

Tanaman sayuran daun yang diusahakan di Kelurahan Cimuncang diantaranya kangkung, saosin, bawang daun, seledri dan selada bokor. Tanaman sayuran daun kangkung merupakan jenis tanaman sayuran daun yang paling banyak ditanam yaitu sebanyak 581 pot (34,5%), kemudian diikuti saosin sebanyak 332 pot (19,7%), bawang daun sebanyak 311 pot (17,5%), seledri 294 pot (17,5%), dan selada bokor sebanyak 165 pot (9,8%). Pada tabel 2 terlihat bahwa persentase tanaman sayuran kangkung jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan saosin, bawang daun, seledri dan selada bokor. Hal ini memang cukup beralasan dimana secara umum pengelolaan dan ketersediaan benih atau bibit tanaman kangkung relatif lebih mudah, serta seluruh petani kooperator rata-rata sudah familiar dan mengenal tanaman kangkung sejak dahulu. Sedangkan keempat tanaman sayuran lainnya, yaitu saosin, bawang daun, seledri, dan selada bokor baru dikelola sejak adanya program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dan KRPL. Produksi Tanaman Sayuran Daun Tabel 3 memperlihatkan hasil sayuran dari lahan pekarangan di Kelurahan Cimuncang tergolong cukup baik, seperti yang terihat pada Tabel 3 produksi kangkung dalam kurun waktu tiga bulan setelah tanam dari enam puluh KK tercatat mencapai 435,70 kg. Kemudian produksi saosin sebanyak 138,80 kg, produksi

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

bawang daun 156,0 kg, produksi seledri 147,0 kg, dan produksi selada bokor 66,0 kg. Tabel 3. Hasil Produksi Sayuran Daun Per 3 Bulan Hasil No Jenis Sayuran Keterangan Produksi 1. Kangkung 435,70 Kg • Tanaman 2. Saosin 138,80 Kg Kangkung Dan Seledri 3. Bawang Daun 156,0 Kg Dipanen 4. Seledri 147,0 Kg Bertahap 5. Selada Bokor 66,0 Kg • Produksi Saosin Dua Kali Panen Sumber: data primer, 2012

Bila dilihat dari hasil produksi yang diperoleh, tanaman kangkung mampu memproduksi lebih tinggi karena jumlah tanaman kangkung yang dikelola lebih banyak dibanding dari keempat sayuran lainnya. Disamping itu tanaman kangkung bisa dipanen lebih dari satu kali. Rata-rata dalam jangka waktu tiga bulan tanaman kangkung dapat dipanen selama tujuh kali. Pemanfaatan Tanaman Sayuran Daun Pemanfaatan hasil sayuran yang diperoleh dari lahan pekarangan di lokasi KRPL Kelurahan Cimuncang cukup bervariasi, yaitu sebagian dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri, kemudian ada yang dijual dan ada pula yang digunakan sebagai kegiatan sosial yaitu dibagikan kepada tetangga atau sanak saudara. Secara rinci pemanfaatan sayuran dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pemanfaatan Tanaman Sayuran Daun Di KRPL Kelurahan Cimuncang Kabupaten Garut 2012 Per Tiga Bulan No Pemanfaatan Volume Persentase Sayuran Daun 1. Konsumsi 589,6 Kg 62,5 2. Dijual 202,9 Kg 21,5 3. Sosial 151,0 kg 16 Sumber: data primer, 2012

Tabel 4 memperlihatkan bahwa hasil panen tanaman sayuran pada lokasi KRPL sebagian besar adalah untuk dikonsumsi sendiri (62,5 %). Sedangkan sisanya (37,5 %) adalah dijual dan digunakan untuk kegiatan sosial. Persentase hasil sayuran yang dikonsumsi

tercatat paling tinggi dibanding dengan yang dijual atau untuk kegiatan sosial, keadaan ini disebabkan karena sebagian besar luas pekarangan yang berada di kelurahan Cimuncang tergolong pada strata I, yaitu yang memiliki lahan pekarangan sempit (< 120 m2). Dengan kepemilikan lahan pekarangan yang relatif sempit tersebut menyebabkan produksi sayuran yang dihasilkan pun masih relatif sedikit, sehingga baru bisa untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga sendiri. KESIMPULAN Peserta program KRPL di Kelurahan Cimuncang Kecamatan Garut kota Kabupaten Garut adalah merupakan kelompok wanita tani yang terdiri dari ibu rumah tangga. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai buruh, tani dan dagang. Jenis tanaman sayuran daun yang dikelola adalah kangkung 34,5%, saosin 19,7%, bawang daun 18,5%, seledri 17,5%, dan selada bokor 9,8%. Pemanfaatan hasil produksi dari tanaman sayuran daun sebesar 62,5% dikonsumsi sendiri, 11,5% dijual dan 16% untuk kegiatan sosial. DAFTAR PUSTAKA

Afrinis, N. 2009. Pengaruh Program Home Gardening dan Penyuluhan Gizi Terhadap Pemanfaatan Pekarangan dan Konsumsi Pangan Balita. [Tesis], Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle /123456789/43619/2009naf.pdf? sequence=1 [30 November 2012] Badan

Litbang Pertanian., 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 1, 4.

Duaja, M.D., Kartika, E. dan F. Mukhlis. 2011. Peningkatan Kesehatan Masyarakat Melalui Pemberdayaan Wanita Dalam Pemanfaatan Pekarangan Dengan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) Di Kecamatan Geragai. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat, No. 52, Tahun 2011, ISSN: 1410-0770, 74 – 79.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

537

UNDIP PRESS

Rukmana, R. 2009. Bertanam Sayuran di Pekarangan, Cetakan 5 tahun 2009. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Soemarwotto. 1975. Pekarangan Rumah di

538

Jawa : “Suatu Ekosistem Pertanian Terpadu, Ekofarming, Bertani, Selaras Alam”. Penyunting: Joachim Metzner dan N. Daldjoeni. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DENGAN TANAMAN SAYURAN PASCA ERUPSI MERAPI DI DUSUN KOPENG, DESA KEPUHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN Heni Purwaningsih1, Murwati1 dan Tri Sudaryono2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah

ABSTRAK Upaya pemulihan ekonomi rakyat pasca erupsi merapi terus dilakukan salah satu kegiatan yang telah dilakukan oleh BPTP Yogyakarta adalah pemanfaatan pekarangan dengan tanaman sayuran. Sayuran yang dibudidayakan oleh sebagian masyarakat adalah bayam dan bawang daun. Dalam budidaya ada perlakuan pemupukan dengan pupuk kandang. P0 (tanpa pupuk kandan), P1 (5 ton/ha pupuk kandang), P2 (10 ton/ha pupuk kandang) dan P3 (15 ton/ha pupuk kandang). Hasil dari perlakuan pemupukan memiliki tingkat produksi yang berbeda-beda. rerata jumlah tanaman bayam pada perlakuan pemberian pupuk kandang dengan dosis 10 t/ha dan 15 t/ha (P2 dan P3) tidak berbeda nyata yaitu 865,67 (P2) dan 968,33 (P3). Produksi tertinggi pada perlakuan pemberian pupuk kandang 15t/ha yaitu 10,27 kg (P3), sedangkan produksi bayam pada pemberian pupuk kandang 0 t/ha (P0), 5 t/ha (P1) dan 10 t/ha (P2) tidak berbeda nyata. jumlah tanaman dan produksi yang tertinggi pada perlakuan pemberian pupuk 15 t/ha (P3) yakni 997,00 dan 4,46 kg. Hasil analisa usahatani tanaman bayam memiliki R/C 2,36 sedangkan bawang daun 2,09.

Kata kunci: Lahan pekarangan, sayuran, pasca erupsi PENDAHULUAN Dampak erupsi Merapi adalah masalah sosial ekonomi masyarakat tani, disamping kehilangan sanak saudara, harta benda, mereka juga kehilangan mata pencaharian dari usahataninya. Apabila lapisan abu menutupi lahan cukup tebal, maka sifat abu yang kurang subur secara fisiko-kimia (KTK rendah; daya pegang air rendah; fiksasi P tinggi) menyebabkan lahan memerlukan reklamasi khusus sebelum dilaksanakannya budidaya tanaman pangan terutama tanaman sayuran secara normal. Untuk itu, perlu upaya pemulihan dalam rangka menggerakkan ekonomi masyarakat melalui aktivitas usahatani yang mudah dilakukan dan cepat menghasilkan uang. Salah satunya adalah kegiatan menanam sayuran yang cepat menghasilkan, karena tanaman sayuran seperti bawang daun, sawi, kangkung, dan bayam yang berumur pendek, yaitu 30- 35 hari setelah tanam. Tanaman tersebut dapat dipanen, sehingga hasil panen

dapat untuk konsumsi sendiri maupun dijual. Bawang daun (Allium fistulosum) merupakan jenis tanaman yang digolongkan dalam tanaman sayuran berbentuk rumput dengan struktur yang terdiri dari akar, batang semu dan daun. Tanaman tersebut termasuk tanaman semusim dengan bagian terpenting adalah daun-daun yang masih muda, berwarna hijau dan batang semu yang berwarna putih (www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan 2011). Bawang daun ini biasa digunakan sebagai pelezat pada berbagai masakan. Selain rasanya yang lezat juga memiliki kandungan gizi yang berguna untuk kesehatan tubuh bahkan cara budidayanya cukup mudah. Bawang daun dapat dipanen pada umur 5 bulan apabila penanaman dari biji sedangkan apabila dari setek tunas (bibit anakan). Pemanenan dilakukan dengan cara dicabut seluruh rumpun tanaman atau membongkarnya dengan alat bantu. Waktu pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari pada saat cuaca cerah.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

539

UNDIP PRESS

Bayam cabut (Amaranthus tricolor L) termasuk jenis sayuran yang mudah dibudidayakan pada tanah yang gembur, subur serta memiliki kandungan hara yang cukup dengan ketinggian tempat yaitu + 2000 m dpl. Tanaman bayam banyak digemari masyarakat karena rasanya enak, lunak, dapat memperlancar pencernaan dan merupakan sumber vitamin tinggi yang murah. Selain sebagai sumber protein nabati juga banyak mengandung vitamin A,B dan C serta zat-zat galian seperti kalsium, fosfor dan besi (Rukmana, 1994). Bayam dapat dipanen 3-4 minggu selepas ditanam atau apabila pokok mencapai tinggi 20-25 cm. Waktu panen yang baik adalah pagi atau sore hari saat udara tidak terlalu tinggi (Rahadi, 1993). Pengolahan tanah, pemberian pupuk dasar dan pembuatan bedengan harus menjadi perhatian. Pengolahan tanah untuk semua jenis bayam hampir sama, tetapi untuk bayam tahunan agak berbeda karena memiliki akar lebih panjang dari bayam cabut sehingga pencangkulan lubang lebih dalam. Pemupukan dasar dilakukan bersamaan dengan pengolahan tanah. Bedengan penanaman dibuat dengan ukuran 1 m x 5 m dan sebaiknya bedengan dibuat agak tinggi untuk mencegah keluarnya benih bayam pada saat disiram, diantara bedengan dibuat parit untuk memudahkan penyiraman. Sebelum benih ditabur perlu dicampurkan dengan abu dengan perbandingan 1 bagian benih : 10 bagian abu untuk penaburan benih merata dan tidak bertumpuk-tumpuk. Benih bayam dapat ditaburkan pada garitan yang dibuat menurut baris sekitar 20 cm. Keperluan benih 1 ha 5-10 kg. Benih yang ditabur segera ditutup tanah tipis secara merata kemudian disiram dengan menggunakan gembor penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore kecuali turun hujan. METODE Lokasi demplot sayuran di Dusun Kopeng, Kepuharjo, Kabupaten Sleman. Demplot dilaksanakan pada bulan Desember 2010 s/d Maret 2011. Jenis sayuran dalam demplot: 1) bawang daun (A) dan bayam (B). Perlakuan dosis pupuk kandang:1) tanpa pupuk kandang (P0), 2) 5 t/ha (P1), 3) 10 t/ha (P2) dan 4) 15 t/ha (P3). Sehingga ada 8 perlakuan : P0 A, P1 A, P2 A, P3 A, P0 S, P1 B, P2 B, P3 B, P4 B. Masingmasing perlakuan diulang 3 kali. Dosis pupuk an

540

organik diberikan sama pada semua perlakuan yaitu: Urea 300 kg /ha dan Phonska 200 kg /ha. Keadaan lahan pada tutupan abu dan / pasir lahar dingin setebal 15 cm. Pemberian pupuk kandang dilakukan pada saat pengolahan tanah, sedangkan pupuk an organik diberikan pada 10 hari setelah tanam. Pengolahan tanah : abu dan pasir dicampur dengan tanah yang berada dibawahnya, selanjutnya dibuat guludan. Guludan tersebut dicampur dengan pupuk kandang dengan dosis sesuai dengan perlakuan. Rancangan percobaan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Bawang Daun Rerata tinggi tanaman dan jumlah daun bawang daun pada umur 80 hari setelah tanam tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman Dan Jumlah Daun Bawang Daun Pada 80 HST Perlakuan Tinggi tanaman Produksi (kg) (cm) P0 25,29 a 3,33 a P1 29,87 b 3,93 ab P2 40,03 c 4,27 b P3 32,05 b 4,60 b Rerata 31,81 4,03 KK (%) 6,39 9,92 Ket : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada beda nyata pada Uji DMRT taraf 5 %

Tabel 2. Rerata Jumlah Tanaman Dan Produksi Bawang Daun Pada 80 HST Perlakuan Jumlah tanaman Produksi (kg) (rumpun) P0 525,33 a 1,59 a P1 674,33 b 2,30 ab P2 742,00 b 3,30 bc P3 997,00 c 4,46 c Rerata 734,67 2,91 KK (%) 6,72 20,60 Ket : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada beda nyata pada Uji DMRT taraf 5 %

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 1, menunjukkan bahwa rerata tinggi tanaman bawang daun tertinggi pada perlakuan pemberian pupuk kandang 10 t/ha, sedangkan jumlah daun pada pemberian pupuk kandang 10 t/ha (P2) dan 15 t/ha (P3) tidak berbeda nyata. Produksi bawang daun tertinggi pada pemberian pupuk kandang 15 t/ha. Hasil pada ubinan 3,5 m 2 : 4,46 kg. Seperti pada Tabel 2. Selanjutnya dilakukan analisis usahatani secara sederhana tertera pada Tabel 3 Tabel 2, menunjukkan bahwa jumlah tanaman dan produksi yang tertinggi pada perlakuan pemberian pupuk 15 t/ha (P3) yakni 997,00 dan 4,46 kg. Hasil analisis usahatani bawang daun seperti pada Tabel 3. Dimana harga sayuran daun bawang pada saat pelaksanaan kegiatan Rp. 1000/ikat Tabel 3, menunjukkan bahwa pada luasan 250 m2 dalam satu kali panen bawang daun (80 hari) petani memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.274.000,- dengan keuntungan Rp 666.500,-

(R/C: 2,09). Berarti setiap Rp 1,- yang dikeluarkan akan memperoleh pendapatan Rp 2,09,- , sehingga bertanam bawang daun layak diusahakan di lahan yang terkena langsung dampak erupsi merapi pada lahan tutupan abu dan/ pasir setebal 15 cm. Bayam Tanaman bayam cabut dilakukan penjarangan 20 hari setelah tanam kemudian hari ke 25 dan 30 dan seterusnya hingga semua selesai panen (Susila, 2006). Tanaman bayam termasuk sayuran dataran tinggi, tetapi banyak ditanam di dataran rendah. Tanaman ini akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur dan gembur, dengan derajat keasaman (pH) 6-7. Selama pertumbuhan tanaman dilakukan pengamatan tinggi dan jumlah daun untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk terhadap produksi tanaman bayam. Rerata tinggi dan jumlah daun tanaman

Tabel 3. Analisis Usahatani Bawang Daun Di Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman (luasan 250 M 2) No Uraian Volume Harga/satuan (Rp) Jumlah (Rp) A Biaya Eksplisit 1 kg 80.000 80.000 • Benih bawang daun 5 kg 8.000 40.000 • NPK 7,5 kg 2.000 15.000 • Urea • Obat-obatan 375 kg 500 187.500 • Pupuk kandang Jumlah (A) 322.500 B Biaya Biaya Implisit 1X 250.000 250.000 • Sewa Lahan/musim tanam • Tenaga kerja 2 HOK 30.000 60.000 Persiapan lahan 2 HOK 30.000 60.000 Penanaman 2 HOK 30.000 60.000 Penyiangan 1 HOK 30.000 30.000 Pemupukan 0,5 HOK 30.000 15.000 Pengendalian OPT 2 HOK 30.000 60.000 Panen Jumlah (B) C Total biaya (A+B) D Pendapatan Produksi bawang daun 318,57 kg = 1274 ikat E Keuntungan (D-C) R/C

285.000 607,500 1274 ikat

1000

1.274.000 666.500 2,09

Sumber : Analisis data primer,2011

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

541

UNDIP PRESS

bayam pada tanaman berumur 14 hari dan 35 HST setelah tanam tertera pada Tabel 4, sedangkan jumlah tanaman dan produksi pada Tabel 5 serta analisis usahatani bayam tertera pada Tabel 6. Tabel 4. Rerata Tinggi Tanaman Bayam Pada 14 HST Dan Waktu Panen (35 HST) Perlakuan Pengamatan 14 Pengamatan 35 HST HST Tinggi tanaman (cm) P0 4,67 a 32,60 a P1 6,77 b 37,03 ab P2 7,43 b 43,27 b P3 9,70 c 39,30 ab Rerata 7,14 38,05 KK (%) 13,06 9,17 Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada beda nyata pada Uji DMRT pada jenjang 5 %

Tabel 4, menunjukkan bahwa pengamatan pertama ( 14 HST) tinggi tanaman yang tertinggi pada pemberian pupuk kandang 15 t/ha (P3) yaitu 9,70 cm, tetapi saat panen (35 HST) tinggi tanaman tertinggi pada pemberian pupuk kandang 10 t/ha (P2) yaitu 43,27 cm. Sedangkan waktu panen pada pemberian pupuk kandang baik 5 t/ha dan 15 t/ha tinggi tanaman tidak berbeda nyata. Keragaan agronomis tanaman bayam pada 14 HST dan 35 HST seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Rerata Jumlah Daun Bayam Pada 14 HST Dan Waktu Panen (35 HST) Perlakuan Pengamatan 14 Pengamatan 35 HST HST Jumlah daun Jumlah daun P0 5,27 a 8,47 a P1 6,20 ab 10,07 b P2 6,80 b 10,20 b P3 8,43 c 12,00 c Rerata 6,68 10,18 KK (%) 9,22 7,22 Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada beda nyata pada Uji DMRT pada jenjang 5 %

Tabel 6. Rerata Jumlah Dan Produksi Tanaman Bayam Waktu Panen (35 HST) Perlakuan Parameter produksi Jumlah tanaman Produksi (kg) P0 625,33 a 3,32 a P1 763,00 ab 4,43 b P2 865,67 b 5,83 b P3 968,33 b 10,27 c Rerata 805,58 5,96 Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada beda nyata pada Uji DMRT pada jenjang 5 %

Tabel 7. Analisis Usahatani Bayam Di Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Sleman (luasan 250 M2) No Uraian Volume Harga Jumlah satuan (Rp) (Rp) A Biaya Eksplisit • Benih bayam 1,2 kg 70.000 84.000 40.000 8.000 • NPK 5 kg 15.000 2.000 • Urea 7,5 kg • Obat-obatan 187.500 500 • Pupuk kandang 375 kg Jumlah (A) 336.500 B Biaya Implisit • Sewa 1 X 250.000 250.000 Lahan/musim tanam • Tenaga kerja a. Persiapan lahan b. Penanaman c. Penyiangan d. Pemupukan e. Pengendalian OPT f. Panen

2 HOK 2 HOK 2 HOK 1 HOK 0,5 HOK 2 HOK

30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000

Jumlah (B) 285.000 C Total biaya (A+B) 621,500 D Pendapatan Produksi bayam 1467 ikat 1000 1.467.00 733,5 kg= 1467 0 ikat E Keuntungan (D-C) 845.500 R/C 2,36 Sumber : Analisis data primer,2011

542

60.000 60.000 60.000 30.000 15.000 60.000

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 5, menunjukkan bahwa jumlah daun bayam tertinggi pada 14 HST dan 35 HST adalah jumlah daun tertinggi pada perlakuan pemberian pupuk kandang 15 t/ha (P3), yaitu 8,43 (14 HST) dan 12,00 (35 HST). Selanjutnya pengamatan rerata jumlah dan produksi tanaman bayam ubinan 3,5 m2 pada waktu panen tertera pada Tabel 6. Tabel 6, menunjukkan bahwa rerata jumlah tanaman bayam pada perlakuan pemberian pupuk kandang dengan dosis 5 t/ha, 10 t/ha dan 15 t/ha (P2 dan P3) tidak berbeda nyata yaitu 763,00, 865,67 dan 968,33. Produksi tertinggi pada perlakuan pemberian pupuk kandang 15t/ha yaitu 10,27 kg (P3), sedangkan produksi bayam pada pemberian pupuk kandang, 5 t/ha (P1) dan 10 t/ha (P2) tidak berbeda nyata. Produksi tertinggi tanaman bayam selanjutnya dianalisis usahatani secara sederhana, seperti pada Tabel 7. KESIMPULAN • •

Pemupukan dengan pupuk kandang berpengaruh terhadap produksi sayuran. Usahatani bayam dan bawang daun layak dibudidayakan dilahan pekarangan pasca



erupsi Merapi dengan R/C 2,36 (bayam), 2,09 (bawang daun) Bayam memberikan keuntungan yang cukup tinggi yaitu Rp. 845.000/250m2 sedangkan bawang daun Rp. 666.500/250m2

DAFTAR PUSTAKA Rahadi, F.CS. 1993. Agribisnis Tanaman Sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta. Rukmana. 1994. Bertanam Bayam dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius Yogyakarta. Setiawan, Ade Iwan. 1995. Sayuran Dataran Tinggi Budidaya dan Pengaturan Panen. Penebar Swadaya. Jakarta. Susila. A.D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bagian Produksi Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan Budidaya Bawang Daun. www.herdinbisnis.com/2011/11 . Teknis Budidaya Bawang Daun

2011. Petunjuk

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

543

UNDIP PRESS

BUDIDAYA TANAMAN DALAM POLYBAG SCHOOL GARDEN: ALTERNATIF UPAYA PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DI SEKOLAH IB. Aribawa dan IK. Kariada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar Bali E-mail: [email protected]

ABSTRAK Pekarangan merupakan sebidang tanah, umumnya ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman. Ada empat fungsi pokok pekarangan, yaitu sebagai sumber bahan makanan, sebagai penghasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan. Kajian pemanfaatan pekarangan sekolah dengan polybag dilakukan di sekolah SMP 1 Ubud Kabupaten Gianyar, Bali yang pekarangannya sebagian besar ditutup dengan lapisan semen. Untuk pembelajaran siswa SMP 1 lebih mencintai pertanian dan program ini terkait dengan School Garden yang merupakan program kerjasama Badan Litbang Pertanian dengan AVRDC (Asian Vegetable Research Development Center). Siswa diajar cara semai benih, cara tanam, cara memelihara tanaman di polybag dan cara memanennya. Kegiatan ini dilakukan pada Tahun Anggaran 2012. Jenis tanaman yang ditanam umumnya adalah tanaman sayuran seperti, sawi, pare, kacang panjang, tomat, cabai, terong dan tanaman sayuran lainnya. Bibit yang telah siap pindah, dipindahkan ke polybag, pupuk yang digunakan adalah pupuk organik demikian juga pestisida yang digunakan adalah pestisida organik. Ada dua perlakuan yang diajarkan kepada siswa-siswa sekolah adalah tanaman dalam polybag yang tidak dipupuk dengan yang dipupuk. Kajian menunjukkan tanaman sayuran yang dipupuk dengan pupuk organik hasilnya jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk. Kata kunci : budidaya, school garden, pekarangan

PENDAHULUAN Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu : (1) sebagai sumber bahan makanan, (2) sebagai penghasil tanaman perdagangan, (3) sebagai penghasil tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan (4) juga sumber bebagai macam kayu-kayuan (Danoesastro, 1978 dalam Anon, 1982). Gianyar di era tahun 70-an masih memiliki banyak lahan-lahan kosong, namun pesatnya arus perkembangan pariwisata, penduduk yang memerlukan rumah dan pembangunan lainnya membuat lahan di kota Kabupaten Gianyar

544

dipenuhi perumahan, pertokoan dan penunjang pariwisata lain yang terbuat dari beton. Lahan kosong yang tersisa saat ini tinggal sedikit, bahkan kawasan pusat pariwisata seperti Kecamatan Ubud sudah padat oleh bangunanbangunan yang yang sebagian besar tidak ada kaitannya secara langsung dengan pertanian, bahkan lahan pekarangan rumah dan sekolahsekolah yang ada, untuk memudahkan perawatannya saat ini sudah banyak yang ditutupi oleh semen (beton), sehingga menyulitkan untuk melakukan budidaya pertanian secara konvensional. Untuk mensiasati lahan-lahan pekarangan rumah atau sekolah yang sudah dibeton untuk budidaya tanaman dapat dilakukan dengan memanfaatkan polybag atau pot. Budidaya tanaman seperti sayuran dalam polybag atau dalam pot, sudah sejak lama dilakukan oleh para

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

ibu rumah tangga, tetapi tidak ditangani secara serius. Budidaya sayuran dalam polybag sebenarnya mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan menanam di perkebunan. Keuntungan tersebut, diantaranya dapat dilakukan oleh siapa saja terutama yang tidak mempunyai perkarangan yang luas, perkembangan tanaman mudah dikontrol, penyebaran hama dan penyakit terbatas dan menghemat pupuk karena tempat (polybag) yang kecil. Menanam sayuran dalam polybag sangat mudah, karena tidak memerlukan banyak tempat, sehingga sangat cocok ditaruh di pekarangan. Jenis sayuran dalam polybag diantaranya sayuran buah seperti, cabai, tomat, pare, terung, kacang panjang dan sayuran daun, seperti: bayam, seledri, caisim, bawang daun, dan lainnya. Peningkatan produktivitas dan jenis sayuran perlu terus dilakukan untuk mengimbangi peningkatan permintaan konsumen akan sayuran. Peningkatan permintaan ini disebabkan oleh perkembangan pariwisata, peningkatan kesadaran dan prilaku konsumen terhadap sayuran. Komoditas sayuran dapat memenuhi kebutuhan kalori manusia. Sayuran bukanlah makanan pokok, melainkan sebagai pelengkap. Meskipun demikian, sayuran tidak dapat diabaikan begitu saja, sayuran memegang peranan penting dalam pemenuhan zat-zat dan gizi yang diperlukan oleh tubuh, sebagai sumber vitamin, mineral serta sayuran dapat menambah ragam rasa, warna dan tekstur makanan. Peningkatan apresiasi terhadap komoditas sayuran perlu terus dilakuan. Hasil survey menunjukkan, konsumsi buah dan sayur khususnya remaja SMP hingga SMA di Bali, masih sangat rendah. Hasil survey terhadap siswa SMA maupun SMP di Bali pada tahun 2007-2011, pada tahun 2007 lebih dari 85 persen siswa SMA di Bali tidak mengkonsumsi sayur sesuai dengan anjuran 3 kali sehari sedangkan lebih dari 70 persen tidak mengkonsumsi buah 2 kali sehari. Survey pada anak SMP di Bali pada tahun 2010 juga cukup mengejutkan di mana ditemukan 90,6 persen anak tidak suka mengkonsumsi sayuran dan 58,1 persen tidak menyukai mengkonsumsi buah (Anon, 2012). Untuk meningkatkan konsumsi buah dan sayuran sekaligus mendorong usaha agribisnis

hortikultura serta apresiasi masyarakat terhadap produk hortikultura nusantara, Kementerian Pertanian bersama dengan berbagai pihak menyelenggarakan berbagai kegatan, diantaranya September Horti Ceria, dengan kegiatan Pekan Raya Tani di Bandung, Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan di Bandar Lampung, Gerakan Pemasyarakatan Produk Petani Lokal di Denpasar Bali (Anon, 2012). Selain itu, Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan AVRDC (Asian Vegetable Research Development Center) melakukan kegiatan dalam hal peningkatan pemahaman siswa SD sampai dengan SMA dalam hal pertanian, khususnya tanaman sayuran (school garden) dengan berbagai aspeknya, dengan memanfaatkan halaman pekarangan sekolah yang sebagian besar sudah ditutup dengan semen, dengan menggunakan polybag. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas tanaman sayuran yang dibudidayakan dalam polybag di halaman pekarangan sekolah SMP 1 Ubud, Gianyar Bali. BAHAN DAN METODE Kajian dilaksanakan di lahan pekarangan sekolah SMP 1 Ubud, Kabupaten Gianyar Bali, pada Tahun Anggaran 2012. Bahan yang digunakan diantarnya adalah polybag, tanah lapisan atas, pupuk organik (sludge/slurry), benih sayuran seperti sawi, terong, cabai, tomat, kangkung, kacang panjang, pare yang didapat di kios pertanian setempat. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat-alat pertanian, meteran, timbangan dan lainnya. Sludge/slary, merupakan pupuk organik sisa hasil dari bio gas. Untuk mengaktifkan bio gas diperlukan kotoran sapi. Kotoran sapi dimasukkan ke dalam tangki bio gas, kemudian difermentasi beberapa hari, sampai bisa keluar gas untuk keperluan memasak sehari-hari petani. Bahan organik yang telah terfermentasi dalam tangki bio gas, akan keluar dengan sendirinya. Hasil ini disebut dengan sludge/slary, yang merupakan pupuk organik berkualitas tinggi. Kajian yang dilaksanakan di pekarangan sekolah SMP 1 Ubud dengan menggunakan polybag adalah sejenis demplot, yaitu membandingkan jenis sayuran yang diberi pupuk organik dengan dosis 5,00 t/ha dan tanpa pemberian pupuk organik. Setiap perlakuan pada

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

545

UNDIP PRESS

tiap-tiap jenis sayuran yang sama diulang 6-10 kali. Kajian budidaya tanaman dalam polybag yang dilakukan di pekarangan sekolah SMP 1 Ubud, dilaksanakan secara bertahap. Tahapan tersebut diantaranya : 1. Siapkan polybag dengan ukuran diameter 30 cm 2. Masukkan media tanam ke dalam polybag berupa tanah yang subur atau top soil (lapisan atas tanah) 3. Buatkan lobang dengan jari dengan ukuran kedalam5-10 cm. Masukkan bibit sayuran yang sudah siap tanam. Kemudian tutup lobang tanam dengan tanah dan siram secara perlahan-lahan. 4. Agar diperoleh hasil panen yang baik, dalam pemeliharaan bibit sayuran diperlukan penyiraman teratur. Lakukan penyiraman pada pagi dan sore hari 5. Pupuk tanaman sayuran dengan pupuk organik (sludge/slary) sesuai dengan perlakuan (30,00 gram/polybag), seminggu sebelum tanam dengan mengaduk pupuk ke dalam tanah yang ada di polybag. 6. Lakukan penyiangan bila terdapat rumput liar (tanaman pengganggu). 7. Panen dilakukan setelah tanaman sayuran cukup umur dan disesuaikan dengan jenis sayuran yang akan dipanen. Data yang dikumpulkan adalah berat basah segar hasil panen dari jenis sayuran yang diambil daunnya dan buah segar dari jenis sayuran yang diambil buahnya. Data yang terkumpul dari masing-masing sayuran yang dipanen daun dan buahnya dianalisis dengan t-test pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap hasil panen sayuran baik dalam bentuk daun dan buah disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan pupuk organik yang diberikan terhadap beberapa jenis sayuran yang dibudidayakan dalam polybag, berpengaruh nyata terhadap rata-rata bobot daun dan bobot buah yang diamati. Pada Tabel 1, terlihat rata-rata bobot basah daun sayuran bayam dengan pupuk organik adalah 44,00 gram berbeda nyata bila dibandingkan dengan bobot basah daun bayam tanpa pupuk organik yang mencapai 28,00 g. Demikian juga rata-rata bobot buah cabai besar

546

dan cabai kecil, pemberian pupuk organik dapat meningkatkan bobot buahnya dan berbeda nyata bila dibandingkan tanpa pemberian pupuk organik. Dengan pupuk organik rata-rata bobot buah cabai besar 16,88 gram dan tanpa pemberian pupuk organik 7,75 gram. Sedangkan rata-rata bobot buah cabai kecil, dengan pupuk organik rata-rata bobot per 10 buah mencapai 23,33 gram, tanpa pupuk organik rata-rata bobot per 10 buah mencapai 17,50 gram. Tabel 1. Rata-rata Bobot Basah Daun Dan Buah (g) Yang Dipanen Dari Beberapa Jenis Tanaman Sayuran Pada Kegiatan School Garden TA. 2012 Perlakuan Jenis BNT sayuran Dengan pupuk Tanpa pupuk 5% organik organik Bayam 44,00a 28,00b 8,00 Cabai besar 16,88a 7,75b 4,00 Cabai kecil 23,33a 17,50b 2,50 per 10 buah Kangkung 16,67a 7,50b 5,00 Sawi 63,57a 42,14b 10,00 Tomat 63,50a 40,00b 10,00 Terong 172,50a 121,25 30,00 Ket : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf BNT 5 %.

Demikian juga halnya pada sayuran kangkung, sawi dan tomat. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan rata-rata bobot daun dan bobot buah pada masing-masing jenis sayuran. Pada sayuran kangkung, sawi, tomat, dan terong pemberian pupuk organik dapat meningkatkan rata-rata bobot daun dan buah masing-masing; 55,01 %; 33,71 % 37,01 %, dan 29,71 %, bila dibandingkan dengan bobot daun dan buah pada tanaman sayuran tanpa pemberian pupuk organik. Perlu juga disampaikan bahwa, sayuran pare dan kacang panjang sampai saat tulisan ini dibuat belum panen. Untuk melihat tingkat keuntungan yang diperoleh dari masing-masing perlakuan, yaitu tanpa pemberian pupuk organik dan perlakuan dengan pemberian pupuk organik, maka dilakukan analisis usaha tani dengan menghitung input dan output dari masing-masing perlakuan dengan rata-rata tingkat hasil yang diperoleh sayuran secara bersamaan. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 2. Dari hasil analisis usaha

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 2. Analisis Usaha Tani Sayuran Dalam Polybag Dikenversi Per Hektar Tanpa bahan Dengan bahan Komponen Input Harga (Rp) organik organik SAPRODI Plastik Oker (buah) 12.000 10.000/500 bh 240.000 240.000 Plastik hitam perak (Kg) 100 230.000/16 kg 1.437.000 1.437.000 Bibit/benih (gr/ha) 250 76.000/100gr 190.000 190.000 Slury (ton/ha) 5 1.000/kg 5.000.000 Ajir (batang) 12.000 150/batang 1.800.000 1.800.000 Tali rafia (kg) 3 10.000/kg 30.000 30.000 TENAGA KERJA (HOK/ha) Persiapan tanah 30 15.000/hok 450.000 450.000 Semai 53.75 15.000/hok 806.250 806.250 Penanaman 2.5 15.000/hok 37.500 37.500 Penyiraman 112.5 15.000/hok 1.687.500 1.687.500 Pemupukan 7.5 15.000/hok 112.500 Pemasangan ajir 3.75 15.000/hok 56.250 56.250 Pengendalian OPT 18.75 15.000/hok 281.250 281.250 Penyiangan 11.25 15.000/hok 168.750 168.750 Panen 50 15.000/hok 750.000 750.000 Total biaya (Rp/Ha) 8.047.000 13.047.000 Produksi (Kg/ha) 10.000 kg 15.000 kg Rata-rata harga saat panen 35.000.000 52.000.000 (Rp.3.500/kg) Keuntungan 26.953.000 38.953.000 tani yang dilakukan, dapat diketahui tingkat keuntungan yang diperoleh untuk satu hektar lahan tanpa penggunaan organik adalah Rp. 26.953.000,- sedangkan dengan pemberian bahan organik tingkat keuntungan yang diperoleh dengan menanam berbagai jenis sayuran adalah Rp. 38.953.000,Secara umum dapat dinyatakan bahwa pemberian pupuk organik dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi dan produktivitas sayuran di polybag. Data ini dapat dilihat pada Tabel 1, yang menunjukkan rata-rata bobot daun dan bobot buah sayuran lebih tinggi (bila dibandingkan dengan sayuran yang dihasilkan dari perlakuan tanpa pemberian pupuk organik). Hal ini menunjukkan pemberian pupuk organik ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, menyuburkan tanah dan menambah unsur hara, menambah humus, mempengaruhi kehidupan jazad renik yang hidup dalam tanah dan dapat meningkatkan kandungan air. Pada tanah dengan kandungan C-organik tinggi unsur hara menjadi lebih tersedia bagi

tanaman, sehingga pemupukan lebih efisien (Havlin et al., 1999; Tisdale et al., 1990). Selanjutnya disebutkan bahan organik berperan sebagai penyangga biologi sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang untuk tanaman dan meningkatkan kemampuan daya sangga tanah terhadap pupuk Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan limbah panen dapat memperbaiki sifatsifat tanah, disamping mengurangi penggunaan pupuk N, P dan K dan meningkatkan efisiensinya (Indranada, 1986). Hal yang sama dikemukakan pula oleh (Adiningsih, 2000; Dwiyanto, 2000) yang mengemukakan bahwa pemberian pupuk organik (kompos) 1,5-2,0 t/ha pada lahan dapat memberikan dampak positif terhadap hasil panen. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan diantaranya :

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

547

UNDIP PRESS

1. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan bobot daun dan buah sayuran dalam polybag, berkisar antara 25,00 s/d 55,00 %. 2. Tingkat keuntungan yang diperoleh apabila menaman berbagai jenis sayuran per hektar adalah Rp. 26.953.000,- (tanpa pupuk organik) dan Rp. 38.953.000,- (dengan bahan organik). 3. Kegiatan school garden perlu terus dilanjutkan dan dikembangkan, mengingat kegiatan ini dapat berdampak positif terhadap peningkatan apresiasi anak sekolah dan keluarganya dalam hal budidaya pertanian, khususnya budidaya dan pentingnya pemanfaatan sayuran dalam kehidupannya. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, S. 2000. Peranan Bahan Organik Tanah dalam Sistem Usaha Tani Konservasi. Makalah Disampaikan sebagai Bahan Pelatihan “Revitalisasi Keterpaduan Ternak dalam Sistem Usahatani” di Bogor dan Solo, 21 Februari-6 Maret 2000. Anonimus. 1982. Manfaat Pekarangan. Kursus Karang Taruna Jebres Surakarta, 17 – 20 Sepetember 1982. manfaat+pekarangan

548

&gs_l=&pbx= 1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp= b38c6053ebdd2f14&bpcl=37189454 &biw=800&bih=433. Diakses 10 Oktober 2012. Anonimus. 2012. Masih Rendah, Remaja Bali Konsumsi Buah dan Sayur http://www.bisnisbali.com/2012/09/17/ne ws/boga/lo.html. Diakses tanggal 10 Oktober 2012. Diwiyanto, K. 2000. Restrukturisasi Peta Kesesuaian dan Pemberdayaan Sumberdaya Unggulan (Pembangunan Pertanian-Peternakan di Indonesia). Makalah Disampaikan sebagai Bahan Pelatihan ”Revitalisasi Keterpaduan Ternak dalam Sistem Usahatani” di Bogor dan Solo, 21 Februari-6 Maret 2000. Havlin, J.I., Beaton, J.D., Tisdale, S.L., Werner, L.N. 1999. Soil Fertility and Fertilizer. An Introduction to Nutrient Management. 6 th Ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc. 499 p. Indranada, H.K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. PT. Bina Aksara. Jakarta. 88 hlm. Tisdale, S.L., Nelson, W.L., Beaton, J.D. 1990. Soil Fertility and Fertilizer 4 th Edition. New York : MacMillan Publishing Co., Inc.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PENGEMBANGAN POLA TANAM SAYURAN DI LAHAN LINGKUNGAN KANTOR SEBAGAI MODEL DISEMINASI TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN RUMAH TANGGA I Ketut Kariada dan I Ketut Mahaputra Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pass Ngurah Rai, Denpasar Bali e-mail : [email protected]

ABSTRAK Model pengembangan budidaya sayuran di lahan lingkungan kantor merupakan kegiatan usaha tani dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur atau lahan kosong yang belum digunakan kantor sebagai model bagi pengembangan pola tanam di lingkungan keluarga pegawai kantor. Pengelolaan usahatani ini dilakukan dengan menerapkan pola yang sangat intensif dengan pemanfaatan teknologi pertanian spesifik lokasi. Model usahatani ini bila diterapkan di lahan keluarga dapat merupakan sumber pendapatan tambahan, sebagai pangan yang sehat (aman terbebas dari input kimiawi), penciptaan lapangan pekerjaan, serta optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan sempit. Model ini dikembangkan sejak awal TA. 2012 dan diharapkan terus berlanjut setiap tahunnya sebagai model bagi masyarakat luas. Adapun tujuan dari model ini adalah : (a) mendiseminasikan model pemanfaatan lahan-lahan terbatas untuk komoditi sayuran, (b) menerapkan paket-paket teknologi spesifik lokasi, (c) menemukan paket-paket teknologi ramah lingkungan, (d) meningkatkan produktivitas sayuran, dan (e) sebagai model pengembangan kebun bibit kantor (KBK). Jenis sayuran yang ditanam di kebun kantor melalui beberapa pertimbangan seperti kondisi sayuran yang sesuai atau cocok tumbuh di daerah dataran rendah, sesuai dengan selera konsumen, jenis sayuran daun dan sayuran berbuah serta introduksi jenis sayuran baru. Jenis sayuran yang diintroduksikan adalah : kacang panjang, kangkung, sawi hijau, cabai lokal, paria, tomat, bawang merah, ubi jalar, singkong dan kol bunga. Ukuran kebun adalah 6 m x 6 m yang dibagi menjadi 5 petak berukuran 6 m x 1 m. Lima petak berukuran 1m x 6 m ditata dan diolah dengan saluran pengairan berukuran 25 cm di antara dua lahan. Satu petak dapat ditanami 2 atau 3 jenis sayuran, sehingga dibagi menjadi 2 atau 3 sub-petak berukuran 1 m x 3 m. Lahan diolah dan diberikan pupuk organik dengan dosis 5 ton/ha di campurkan ke dalam tanah. Selama pertumbuhan diberikan bio urine dengan dosis 150 l/ha dengan pengenceran 5 kali. Urutan pola tanam jenis-jenis sayuran yang terpilih ditanam kedalam 10 sub-petak menurut urutan yang disesuaikan dengan musim tanam. Hasil kajian menunjukkan bahwa apabila model ini diterapkan pada lingkungan pekarangan keluarga dengan luasan 36 m2 mampu memenuhi kebutuhan sayuran secara bertahap dengan pengambilan data panen sebanyak 5 kali untuk daun singkong, buah tomat, buah cabai local, dan kacang panjang, sementara panen 3 kali untuk paria serta panen 2 kali untuk kangkung dan sekali untuk sawi hijau dan bawang merah. Apabila dikalkulasikan terhadap efisiensi pengeluaran keluarga maka produksi sayuran ini dapat menekan biaya cukup besar. Kata Kunci : pola tanam, model usaha tani pekarangan, spesifik lokasi, pupuk organik, sayuran

PENDAHULUAN Pusat-pusat pemerintahan secara umum berada di daerah perkotaan. Hampir semua kantor di perkotaan memiliki lahan yang umumnya digunakan untuk taman kantor. Lahan di lingkungan kantor ini merupakan potensi yang

sangat baik diberdayakan untuk tujuan usahatani. Usaha tani di daerah perkotaan sering disebut dengan “urban agriculture” yang merupakan kegiatan usahatani di daerah perkotaan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur yang belum digunakan. Pengelolaan usahatani ini dilakukan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

549

UNDIP PRESS

dengan menerapkan pola yang sangat intensif dengan pemanfaatan teknologi pertanian spesifik lokasi. Usahatani ini dapat merupakan sumber tambahan pendapatan keluarga, keamanan/ kecukupan pangan, penciptaan lapangan pekerjaan, serta optimalisasi pemanfaatan lahanlahan sempit. Pengembangan pertanian di lingkungan kantor secara langsung maupun tidak langsung telah menerapkan prinsip-prinsip keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan antara lain: (a) berusahatani dalam lingkungan kantor dengan cepat dapat memberikan sosialisasi kepada banyak pihak untuk memahami pertanian, (b) mengelola sumberdaya lahan yang terbatas, (c) secara umum mengembangkan budidaya sayuran. Adanya produksi yang berkesinambungan sangat dibutuhkan dalam upaya menunjukkan pola tanam yang berkesinambungan akan selalu memberikan hasil setiap saat. Penerapan teknologi budidaya sayuran yang baik sangat diperlukan untuk diintroduksi dalam upaya meningkatkan produktivitas. Dengan pemanfaatan pupuk dan pestisida organik dalam budidaya sayuran akhirnya dapat memberikan peluang yang baik dalam memacu produksi sayuran sehat yang ramah lingkungan pada pembangunan sektor pariwisata dan meningkatkan efisiensi usahatani. Dalam membangun usaha tani sayuran di lingkungan kantor / pekarangan sebagai model diseminasi teknologi, ada beberapa kaidah yang dianjurkan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura; 1999) antara lain: (a) model yang dikaji merupakan model pembinaan petani kecil, (b) mempunyai akses dalam memanfaatkan lahan tidur di wilayah perkotaan, (c) pengembangan jenis usaha misalnya sayuran dengan orientasi nilai tambah, (d) pengembangan tanaman sayuran, buah dan tanaman obat yang bernilai ekonomis tinggi yang mudah dipelihara, tidak membutuhkan modal yang besar, (e) mudah diadopsi oleh publik dan diserap pasar setempat, serta (f) adanya upaya peningkatan SDM melalui pendidikan, magang/kursus dan studi banding. Sementara APO (2000) menyebutkan pertanian perkotaan disebut dengan istilah “Urban Fringe Agriculture”, mempunyai karakteristik khusus antara lain membutuhkan teknologi tinggi, kualitas yang dibutuhkan pasar

550

lebih tinggi, dapat dipasarkan langsung ke konsumen, namun dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan juga dapat terjadi yang diakibatkan oleh pemanfaatan input-input kimiawi. Jadi dengan penggunaan pupuk organik hal tersebut akan dapat dieliminir. Dalam pengkajian sayuran di lingkungan perkantoran untuk tujuan diseminasi inovasi teknologi di perkotaan ini, penerapan kaidah-kaidah tersebut di atas telah dapat disintesakan. Sesuai dengan sasaran pembangunan pertanian berbasis teknologi, maka dalam pengembangan pola tanam sayuran di lahan lingkungan kantor sebagai model diseminasi teknologi pemanfaatan lahan pekarangan rumah tangga maka telah dikembangkan model “office garden”. Model ini bertujuan untuk memberikan gambaran lebih detail tentang budidaya sayuran yang dikembangkan di perkantoran sebagai model pertanian ramah lingkungan. Oleh karenanya dibutuhkan alternatif teknologi pemupukan organik baik kompos maupun bio urine (Kariada, et. al., 2011; Kartini, 2000; Adnyani et al., 1998). Sebagai alternatif adalah perlunya menerapkan pupuk organik. Misalnya dalam penanganan budidaya sayuran, penggunaan bahan organik memberikan manfaat yang baik terhadap tanaman. Selain sebagai bahan pupuk organik juga mampu menahan serangan gulma serta menjaga kelembaban tanah. Istilah “Back to Nature” menjadi perhatian para peneliti akhir-akhir ini. Pangan bebas kimia mulai diperkenalkan, istilah pertanian organikpun mulai digalakkan (Kariada, et.al., 2010; BSN, 2010). METODE Kajian ini merupakan diseminasi teknologi spesifik lokasi yang dilaksanakan di lahan kantor BPTP Bali dengan melakukan pengembangan budidaya sayuran. Pengkajian dilakukan pada TA. 2012 dengan bantuan grant dari AVRDC USAID yang dilaksanakan di lahan kantor dengan memberikan bantuan pupuk, peralatan, bibit bermutu serta sarana lainnya yang dibutuhkan. Adapun tujuan dari model ini adalah: (a) mendiseminasikan model pemanfaatan lahan-lahan terbatas untuk komoditi sayuran, (b) menerapkan paket-paket teknologi spesifik lokasi, (c) menemukan paket-paket teknologi ramah lingkungan, (d) meningkatkan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

produktivitas sayuran, dan (e) sebagai model diseminasi dan pengembangan kebun bibit kantor (KBK). Jenis sayuran yang ditanam di kebun kantor melalui beberapa pertimbangan seperti kondisi sayuran yang sesuai atau cocok tumbuh di daerah dataran rendah, sesuai dengan selera konsumen, jenis sayuran daun, sayuran buah serta introduksi jenis sayuran baru. Ukuran kebun adalah 6 m x 6 m yang dibagi menjadi 5 lahan berukuran 6 m x 1 m. Meskipun tata letak kebun dapat dibuat secara fleksibel, jumlah luas lahan sebaiknya tetap berkisar sekitar 36 m2. Jika sekolah/keluarga tidak memiliki lahan seluas 36 m2 di satu tempat, letak kebun dapat di rancang di beberapa tempat. Misalnya 2 lahan berukuran 6x1m2 terletak di belakang sekolah sedangkan 3 lahan berikutnya terletak di samping gedung sekolah. Lima lahan berukuran 1m x 6 m ditata dan diolah dengan saluran pengairan berukuran 25 cm di antara dua lahan. Satu lahan dapat ditanami 2 atau 3 jenis sayuran, sehingga dibagi menjadi 2 atau 3 sub-lahan berukuran 1 m x 3 m. Urutan pola tanam meliputi jenis-jenis sayuran terpilih yang ditanam kedalam 10 sublahan menurut urutan yang disesuaikan dengan musim tanam. Untuk kebun pilot percobaan, jadwal tanam selama satu tahun telah di rencanakan untuk pengelolaan lahan kantor BPTP Bali di bawah ini. Lahan pilot percobaan diperlukan untuk menguji kelayakan urutan pola tanam tersebut. Adapun parameter yang diamati mencakup data-data produksi sayuran yang diusahakan

dalam luasan 6 x 6 m, kemudian dituangkan dalam Tabel untuk dianalisis secara sederhana. Dari kegiatan kebun kantor ini, selain produksi yang dihasilkan juga dianalisis tentang unit cost yang dikeluarkan dalam proses produksi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan lahan pekarangan lebih lanjut. Analisis yang digunakan dengan menggunakan rumus matematis, sebagai berikut: Pendapatan usahatani dihitung dengan menggunakan rumus : Pd = TR - TVC Pd = (Q. Pq) - TVC Keterangan : Pd = Pendapatan TR = Total penerimaan dari usahatani Q = Jumlah produksi Pq = Harga per unit produksi TC = Total biaya variabel dan biaya tetap HASIL DAN PEMBAHSAN Konsumsi sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk kesehatan manusia karena kandungan mikro-nutrien yang kadang-kadang tidak didapatkan dari sumber makanan yang lain (vitamin A, C, zat besi, seng, asam foliat, serat, dsb). Konsumsi sayuran dan buah-buahan yang cukup dapat mengurangi resiko menderita berbagai penyakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari PBB menyarankan konsumsi sayuran dan buah-buahan minimum 400 gr per hari untuk diet yang seimbang bagi kesehatan. Untuk mendiseminasikan pentingnya peran sayuran bagi kesehatan, maka kebun sayuran

Gambar 1. Denah plot kebun sayur keluarga

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

551

UNDIP PRESS

kantor dirancang untuk memberikan gambaran dan diseminasi inovasi teknologi dalam meningkatkan ketersediaan sayuran bagi konsumsi keluarga. Itu sebabnya kebun tersebut dirancang menggunakan luas lahan yang kecil karena kebanyakan keluarga tidak memiliki halaman yang luas. Salah satu kebun sayuran keluarga dalam proyek yang didanai oleh AVRDC - USAID ini dilaksanakan di kantor selain juga dikembangkan di sekolah-sekolah untuk memperluas pengenalan rancangan kebun ke anak-anak muda dengan harapan supaya ilmu tersebut dapat tersebar ke banyak keluarga. Rancangan kebun yang sama telah dilaksanakan dan diuji di India. Menurut AVRDC (2012) kebun tersebut dapat menghasilkan sekitar 96% dari jumlah yang direkomendasi WHO untuk keluarga beranggotakan empat orang selama satu tahun. Uji analisa nutrisi menunjukkan bahwa hasil panen kebun memenuhi 100% kebutuhan vitamin A dan C sehari-hari, dan menyediakan zat besi dan protein dalam jumlah yang berarti bagi keluarga yang mengusahakan kebun sayuran ini. Dari segi ekonomi, hasil kebun sayur dapat mengurangi pengeluaran keluarga untuk membeli bahan makanan yang bergizi. Rancangan kebun ini juga dapat ditanam di areal lahan yang lebih luas sehingga panen kebun yang berlebih dapat dijual sebagai penghasilan tambahan bagi keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman sayuran, obat-obatan, tanaman pangan, tanaman hortikultura, ternak, ikan dan lainnya, selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga sendiri juga berpeluang memperbanyak sumber penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan

direncanakan dengan baik. Badan Litbang Pertanian melalui 65 Unit Kerja (UK) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia siap mendukung upaya optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan melalui dukungan inovasi teknologi dan bimbingan teknis (Kemtan, 2011). Salah satu yang saat dikembangkan di BPTP Bali untuk optimalisasi lahan pekarangan diperkotaan adalah dengan pengembangan kebun perkantoran yang memanfaatkan lahan seluas 36 m2 (6m x 6m). Lahan tersebut ditata dan diolah menjadi 5 bedengan seluas 1 m x 6 m dengan saluran pengairan berukuran 25 cm diantara 2 bedengan. Jenis tanaman horti yang diusahakan terdiri dari 10 jenis tanaman yaitu: cabai, mentimun, bawang merah, sawi, kangkung cabut, sayur hijau, bunga kol serta ubi jalar dan ketela pohon yan dipanen dalam bentuk daun sebagai bahan sayuran. Dalam satu kali siklus tanam dihitung selama 4 bulan dan selanjutnya dilakukan rotasi tanaman pada bedengan-bedengan yang tersedia, kecuali ubi kayu yang akan diamati selama 1 tahun. Dari hasil pengamatan diperoleh produksi yang sangat bervariasi antar tanaman yang diusahakan (Tabel 1). Hasil produksi untuk satu kali pola penanaman di kebun kantor terlihat bahwa untuk tanaman umur pendek seperti sayur hijau hanya dapat dilakukan sekali tanam dan sekali panen. Lain halnya dengan Kangkung cabut yang dapat dipanen sebanyak dua kali. Demikian halnya tanaman lainnya (Tomat, Kacang panjang, Mentimun dan daun ubi kayu) dapat dilakukan panen sampai dengan 5 kali. Dari kegiatan kebun kantor ini, selain

Tabel 1. Produksi Berbagai Jenis Komoditas Tanaman Horti Di Kebun Kantor, Tahun 2012 No

Komoditas

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ubi kayu Kol bunga Tomat Kacang panjang Ubi jalar Kangkung cabut Sayur Hijau Bawang merah Mentimun Cabe

552

Jumlah Jarak tanam Tanaman (Cm) 12 12 12 12 12 225 200 95 8 12

40x60 40x60 40x60 40x60 40x60 5x10 5x5 5x10 50x60 40x60

1 0.50 2.50 0.80 3.00 3.20

Berat Panen (Kg) 2 3 4 0.50 0.70 0.90 3.70 1.00

2.50 0.80

3.00 1.20

5 1.20 15.00 3.50 0.60 4.50 4.50

3.50 3.25 0.50 0.30

0.80 0.50

0.75 0.55

0.50 0.70

0.50

Total Rata-rata (Kg) 3.80 15.00 15.20 4.40 7.50 7.70 3.50 3.25 14.00 2.55

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

0.76 1.25 3.04 0.88 3.75 3.85 3.50 2.25 1.75 0.51

UNDIP PRESS

produksi yang dihasilkan juga dilakukan analisis tentang unit cost yang dikeluarkan dalam proses produksi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan lahan pekarangan lebih lanjut. Total penerimaan yang diperoleh dari usahatani kebun kantor dengan luas lahan sebanyak 36 m2 ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi Dan Penerimaan Dari Berbagai Komoditas Tanaman Kebun Kantor, Tahun 2012 Produksi Harga Jumlah No Komoditas (Kg) (Rp/kg) (Rp) 1 Ubi kayu 3.80 3,000 11,400 2 Kol bunga 15.00 8,000 120,000 3 Tomat 15.20 8,500 129,200 4 Kacang panjang 4.40 9,000 39,600 5 Ubi jalar 7.50 3,500 26,250 6 Kangkung cabut 7.70 6,000 46,200 7 Sayur Hijau 3.50 8,000 28,000 8 Bawang merah 3.25 10,500 34,125 9 Mentimun 14 4,500 63,000 10 Cabe 2.55 11,000 28,050 Total Penerimaan 525,825

N0 1 A B C 2

3

dengan pekarangan (kebun kantor), hal ini dilihat dari produksi yang dihasilkan dan sangat minimalnya serangan HPT, serta didukung dengan harga jual yang cukup tinggi pada saat panen dilakukan. Berikut analisis sederhana dilakukan terhadap usahatani di kebun perkantoran seperti pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa semua tenaga kerja diperhitungkan walaupun tenaga tersebut tenaga dalam kantor sendiri. Hasil akhir dari analisis pendapatan diperoleh pendapatan bersih sebanyak Rp. 206.425,- dalam satu kali musim tanam. Dilihat dari sisi kelayakan dengan kriteria R/C ratio, maka diisyaratkan bahwa pemanfaatan lahan kantor sebagai kebun sayuran cukup menguntungkan dilakukan dengan RC > 1. Pada pengeloaan lahan pekarangan (kebun kantor) tersebut dilakukan sebanyak 3 kali musim tanam selama satu tahun. Jadi, apabila dilakukan pengelolaan secara maksimal akan diperoleh sebanyak Rp. 619.275 dalam luasan sebanyak 36 m2.

Tabel 3. Analisis Usahatani Kebun Perkantoran, Tahun 2012 Uraian Satuan Vol Harga (Rp) Bahan Saprodi Benih (bibit) 10 kom 6,500 Pupuk Kandang 72 Kg 700 Cair (Bio-Urine) 50 Kg 600 Ajir 120 btg 200 Tenaga Kerja Biaya Penyiapan Lahan 1 HOK 30,000 Pembuatan Bedengan 0.25 HOK 30,000 Pembibitan/penyemaian 1 HOK 30,000 Penanaman 0.25 HOK 30,000 Pengajiran 0.25 HOK 30,000 Pemupukan 0.5 HOK 30,000 Penyiangan 0.5 HOK 30,000 Penyemprotan 0.25 HOK 30,000 Panen 1 HOK 30,000 Produksi (TR) 10 Kom Total Biaya produksi (TC) Pendapatan Bersih R/C

Dari berbagai jenis tanaman yang diusahakan, tanaman tomat dilihat sangat adaptif

Jumlah (Rp) 65,000 50,400 30,000 24,000 30,000 7,500 30,000 7,500 7,500 15,000 15,000 7,500 30,000 525,825 319,400 206,425 1.65

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan di atas maka

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

553

UNDIP PRESS

dapat ditarik kesimpulan bahwa: (a) pengembangan pola tanam sayuran di lahan lingkungan kantor sebagai model diseminasi teknologi pemanfaatan lahan pekarangan sangat penting dengan memberikan pola tanam dan tingkat produksi yang baik, Model ini selain memberikan pembelajaran kepada para karyawan diharapkan pula dapat memberi inspirasi untuk mengembangkan pola ini di lingkungan rumah karyawan. Dengan pengembangan model ini maka lahan-lahan yang tadinya tidur ataupun tidak dimanfaatkan di kantor akhirnya dapat dijadikan lahan produktif. (b) Dari analisis ekonomi pengembangan model ini mampu memberikan keuntungan dengan R/C ratio > 1. Disarankan agar introduksi model ini perlu dikaji lebih jauh khususnya pola tanam yang memberikan hasil berulang sehingga dapat dikalkulasi besarnya manfaat yang diterima. Dukungan dari kantor sangat diperlukan sebagai bagian promosi pengembangan sayuran. DAFTAR PUSTAKA Adnyani, I.A.S., M. Mega dan T. Kusmawati. 1994. Pengaruh Pupuk Organik Kascing dan Rustica Yellow Terhadap N dan P

554

Tanah dan Hasil Bawang Putih. Jurusan Tanah, Faperta UNUD. Denpasar. APO News, 2000. Urban Fringe Agriculture. Monthly Newsletter of the Asian Productivity Organization. Vol. 30. Number 7. July 2000. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1999. Program Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura di Daerah Perkotaan. Jakarta. Kartini, L. 2000. Pertanian Organik. Seminar Nasional IP2TP Denpasar. Kariada, I.K., I.B. Aribawa, N. Sumawa, M.A. Widyaningsih dan I. N. Dwijana., 2011; Laporan Akhir MP-3MI Kabupaten Gianyar. BPTP Bali. KementerianPertanian. 2011. PedomanUmum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. KementerianPertanian. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Universitas Indonesia. Jakarta

Tani.

BSN. 2010. SNI 6729, 2010. Sistem pangan organik (Organic Food System).

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PROSPEK BUDIDAYA SAYURAN SISTEM WALL GARDEN MENDUKUNG PEMANFAATAN PEKARANGAN DI PERKOTAAN I.P. Lestari dan Yudi Sastro Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jalan Raya Ragunan No. 30.Pasar Minggu Jakarta Selatan (12540).Telp.(021) 78839949.Email : [email protected]

ABSTRAK Banyaknya tantangan yang dihadapi saat ini terutama berkaitan dengan anomali cuaca di Indonesia, khususnya di daerah-daerah sentra pangan. Hal ini menyebabkan penguatan ketahanan pangan pada tiap rumah tangga mutlak diperlukan.Kementerian Pertanian telah mencanangkan program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) berbasis pekarangan dengan sasaran akhir berupa peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga. Program tersebut sesuai untuk dilakukan di perdesaan maupun di perkotaan. Namun, budidaya pertanian di pekarangan khususnya di perkotaan, memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan tersebut terkait dengan input dan teknologi produksi, diantaranya media tanam, pupuk, pestisida, dan teknologi budidaya yang sesuai dengan karakteristik perkotaan yang minim dengan sumberdaya pendukung, sempit dan berperan ganda sebagai ruang hidup. Permasalahan keterbatasan lahan merupakan salah satu faktor utama yang telah menumbuhkan minat masyarakat untuk memanfaatkan teknologi vertikultur di pekarangan. Kesadaran masyarakat akan konsumsi produk-produk pertanian yang aman dari residu pestisida, bahan kimia, serta kelestarian lingkungan juga telah menyadarkan masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman secara ramah lingkungan di lahan pekarangan. Di samping itu, tuntutan faktor keindahan tata ruang maupun tata kota, mengharuskan adanya pemikiran untuk melakukan suatu kajian tentang teknologi vertikultur yang memanfaatkan ruang dinding atau sering disebut dengan teknologi wall gardenig. Teknologi ini telah banyak dilakukan di beberapa negara untuk tanaman hias, namun pemanfaatannya untuk tanaman konsumsi belum banyak dilakukan. Budidaya sayuran dengan wall garden sangat sesuai dengan kondisi di perkotaan yang minim lahan, dan umumnya masyarakatnya tergolong sibuk sehingga melalui teknologi ini akan membantu masyarakat perkotaan dalam memperoleh bahan pangan khususnya sayuran sehat melalui pekarangan. Hal ini merupakan peluang yang dapat dikembangkan dalam mendukung pemanfaatan pekarangan di perkotaan. Kata Kunci: sayuran, wall garden, perkotaan

PENDAHULUAN Sayur-sayuran merupakan salah satu kelompok pangan, yang mana dalam penggolongan FAO dikenal dengan Desirable Dietary Pattern (Pola Pangan Harapan/PPH) (Karsin dalam Aswatini et al, 2008). Kelompok bahan pangan ini berfungsi sebagai sumber vitamin dan mineral, sehingga jika kekurangan dalam konsumsinya akan berpengaruh negatif terhadap kondisi gizi. Saat ini secara nasional rata-rata skor PPH adalah 74.9, dimana yang ideal adalah 100. Oleh karena itu konsumsi sayuran khususnya di tingkat rumah tangga harus

mulai ditingkatkan. Pemenuhan kebutuhan sayur-sayuran khususnya di perkotaan saat ini umumnya masih mengandalkan pasokan dari luar daerah. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berjalan terus menerus, karena jika pada saat tertentu daerah produsen mengalami masalah dengan hasil panen, maka pemenuhan sayur-sayuran di perkotaan akan mengalami hambatan. Selain itu sayur-sayuran yang didatangkan dari luar daerah harus melewati rantai pemasaran yang sangat panjang, sehingga hal ini akan menurunkan kualitas.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

555

UNDIP PRESS

Melihat permasalahan pada skor PPH saat ini dan adanya ketergantungan masyarakat perkotaan terhadap hasil sayur-sayuran dari luar daerah, maka diperlukan adanya terobosan inovasi teknologi dalam budidaya sayur-sayuran di tingkat rumah tangga. POTENSI, TANTANGAN, PEMECAHAN MASALAH

DAN

Pekarangan merupakan lahan terbuka yang terdapat di sekitar rumah tinggal. Jika dipelihara dengan baik, maka akan memberikan lingkungan yang menarik nyaman dan sehat serta menyenangkan sehingga membuat penghuninya betah tinggal di rumah. Pemanfaatan pekarangan rumah dapat disesuaikan dengan selera dan keinginan kita, diantaranya dengan budidaya tanaman buah-buahan, tanaman hias, sayursayuran, dan tanaman obat keluarga (TOGA). Pemanfaatan pekarangan melalui budidaya sayur-sayuran merupakan salah satu contoh taman yang multifungsi, yaitu dapat memberikan nilai keindahan dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk konsumsi sayuran sehat bagi keluarga(Supriati et al., 2008). Selain manfaat estetika dan produktif, budidaya sayuran di pekarangan memberikan manfaat lain terhadap lingkungan. Melalui budidaya sayuran di pekarangan, secara tidak langsung akan mendukung program “Go Green” yang merupakan salah satu usaha untuk mengatasi laju pemanasan global (Anonim, 2010). Sebagaimana kita tahu tumbuhan pada siang hari berfotosintersis dengan mengambil CO2 dari udara dan sebagai hasilnya tumbuhan melepaskan O2 ke udara. Oleh karena itu melalui budidaya sayuran di pekarangan dapat mengurangi konsentrasi CO2 di udara, sehingga kualitas udara di sekitar rumah kita menjadi lebih baik. Saat ini potensi lahan pekarangan masih sangat terbuka, dimana secara nasional tercatat bahwa luas lahan pekarangan berkisar 10,3 juta ha atau 14% dari keseluruhan luas lahan pertanian. Budidaya tanaman di pekarangan khususnya di perkotaan, memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan tersebut terkait dengan input dan teknologi produksi, diantaranya media tanam, pupuk, pestisida, dan teknologi budidaya yang sesuai dengan karakteristik perkotaan yang

556

minim dengan sumberdaya pendukung, sempit dan berperan ganda sebagai ruang hidup. Permasalahan keterbatasan lahan merupakan salah satu faktor utama yang telah menumbuhkan minat masyarakat untuk memanfaatkan teknologi vertikultur di pekarangan. Kesadaran masyarakat akan konsumsi produk-produk pertanian yang aman dari residu pestisida, bahan kimia, serta kelestarian lingkungan menyadarkan masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman secara ramah lingkungan di lahan pekarangan. Di samping itu, tuntutan faktor keindahan tata ruang maupun tata kota, mengharuskan adanya pemikiran untuk melakukan suatu kajian tentang teknologi vertikultur yang memanfaatkan ruang dinding atau sering disebut dengan teknologi wall gardenig. Teknologi ini telah banyak dilakukan di beberapa negara untuk tanaman hias, namun pemanfaatannya untuk tanaman konsumsi khususnya sayur-sayuran belum banyak dilakukan. Budidaya sayuran dengan wall garden sangat sesuai dengan kondisi di perkotaan yang minim lahan, dan umumnya masyarakatnya tergolong sibuk sehingga melalui teknologi ini akan membantu masyrakat perkotaan dalam memperoleh bahan pangan khususnya sayuran sehat melalui pekarangan. WALL GARDEN Wall Garden merupakan cara budidaya tanaman secara vertikal diantaranya bisa dilakukan di tembok, panel yang menyerupai tembok, ataupun panel yang ditempatkan di dekat tembok. Sekilas tentang Vertical Garden atau kebun vertikal seperti menyalahi kodrat dimana tanaman umumnya tumbuh secara horisontal. Namun, solusi ini menjadi jawaban penghijauan di lahan-lahan terbatas akibat pertumbuhan kota. Jauh sebelum dikenal di Indonesia, masyarakat dari negara-negara yang memiliki lahan terbatas sudah memanfaatkan solusi ini, contohnya di Jepang. Namun sampai saat ini vertikal garden umumnya masih terbatas pada tanaman hias, dimana tujuan penanaman adalah untuk keindahan dan kenyamanan lingkungan di gedung, flat, kantor, dan rumah tinggal. Dalam mendukung vertical garden, pemerintah Singapura memberikan insentif kepada masyarakatnya yang memanfaatkan bangunannya untuk vertical garden. Di negaranegara yang lahannya mahal, vertical garden

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

bukan lagi pilihan tapi sebuah keharusan (Kusumawijaya S, 2011). Vertical Garden mulai dikenalkan pada tahun 1994 oleh ahli botani Perancis bernama Patrick Blanc. Blanc berpendapat tidak semua tumbuhan membutuhkan tanah dalam keadaan tertentu. Dengan pengaturan dan perancangan khusus, tanaman menjelma indah menjadi kebun di seluruh arsitektur bangunan. Di Indonesia khususnya di perkotaan yang padat penduduk, dapat menggunakan solusi ini untuk menghadirkan nuansa segar dan hijau di rumah. Juga membantu menghasilkan udara segar di antara pekatnya polusi kota. Seiring dengan semakin meningkatnya minat masyarakat akan sayuran sehat, saat ini vertckal garden sudah mulai merambah untuk budidaya sayur-sayuran. Kalangan menengah ke atas khususnya masyarakat perkotaan sudah mulai mengedepankan faktor kesehatan, sehingga ini akan berpengaruh terhadap kualitas pangan yang dikonsumsi. Dalam memenuhi kebutuhan sayur-sayuran di tingkat rumah tangga, masyarakat sudah mulai mengusahakan budidaya sayuran di pekarangannya dengan memanfaatkan bahan-bahan bekas, seperti paralon bekas, botol/gelas aqua bekas, kantongkantong bekas minyak dll, yang disusun secara bertingkat.Meskipun masih terbilang sederhana tetapi manfaatnya cukup besar dalam memenuhi kebutuhan sayuran sehat di tingkat keluarga. Beberapa contoh budidaya sistem wall garden dapat dilihat pada gambar 1.

tinggi, relatif mudah dan murah, memiliki nilai estetika, memiliki nilai edukasi tinggi, memiliki nilai ekonomi tinggi, memiliki nilai kesehatan (O2 dan psikologis), memiliki nilai sosial, dan memiliki nilai lingkungan (sebagai peredam polusi). Dikatakan hemat lahan, karena budidaya wall garden mengikuti prinsip vertikultur, dalam pengelolaannya dapat dilakukan tanpa lahan sekalipun, selain itu sistem budidaya ini bisa untuk indoor maupun outdoor. Tersedianya sarana dan prasarana akan mempermudah sistem budidaya wall garden. Sarana dan prasarana yang bisa digunakan antara lain panel plastik/kayu, matras, talang, plastik terpal, pot, container plastik (semua tersedia dan relatif murah di perkotaan).

Gambar 2. Contoh Sarana Dan Prasarana Untuk Wall Garden Potensi limbah sangat mendukung dalam budidaya sayuran sistem wall garden di perkotaan. Limbah yang dapat dimanfaatkan antara lain serbuk gergaji sebagai bahan panel dan media; limbah kayu kemasan untuk bahan panel; limbah container plastik, jirigen, botol dll (untuk wadah tanam).

Gambar 1. Contoh-contoh Budidaya Sistem Wall Garden WALL GARDEN SAYURAN (Prospektif di Perkotaan?) Budidaya sayuran sistem wall garden sangat prospektif diusahakan di perkotaan. Ada beberapa hal yang mendasari diantaranya adalah hemat lahan, sarana dan prasarana pendukung tersedia, dapat memanfaatkan limbah, mobilitas

Gambar 3. Pemanfaatan Limbah Untuk Wall Garden

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

557

UNDIP PRESS

Pada budidaya sistem wall garden, planter box dapat dengan mudah dipindahkan sesuai keperluan, tidak mengganggu ruang dan aktivitas sosial di rumah dan pekarangan, mempunyai mobilitas tinggi karena berpotensi sebagai barang dagangan sehingga mempunyai nilai ekonomis. Selain itu teknis budidaya sama dengan vertikultur konvensional, sehingga mudah dalam pembuatan dan pengoperasian.

anak-anak/remaja bisa sebagai bahan pembelajaran (Liverdi, 2011). Dampak terhadap sosial dan kesehatan lingkungan adalah bisa dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul keluarga, warga, dan komunitas; sebagai peredam lingkungan (panas, suara, dan udara), serta dapat meminimalisasi limbah. KESIMPULAN Budidaya sistem wall garden sangat prospektif diusahakan di perkotaan karena sesuai dengan karakteristik pertanian di perkotaaan yaitu keterbatasan sumberdaya lahan. Selain itu dengan budidaya sistem wall garden di perkotaan akan memberikan nilai tambah dalam hal estetika, edukasi, kesehatan, sosial, dan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Tips Green Living Sederhana Aswatini, Mita Noveria, dan Fitranita. 2008. Vol. III No. 2.Konsumsi Sayur dan Buah di Masyarakat dalam Konteks Pemenuhan Gizi Seimbang.LIPI.

Gambar 4. Contoh Planter Box Pada Wall Garden Manfaat yang tidak kalah penting adalah adanya nilai estetika, yang mana dalam pembudidayaannya dapat diatur sesuai selera. Bentuk, warna, dan jenis tanaman beragam, sehingga tidak kalah menariknya dengan tanaman hias. Sebagai edible garden, yaitu taman penghasil produk yang bisa dimanfaatkan untuk pangan. Selain itu juga memiliki peluang untuk persewaan tanaman indoor maupun outdoor. Nilai kesehatan dan edukasi diantaranya sebagai penghasil O2 yang bermanfaat untuk kehidupan, menghasilkan bahan pangan yang sehat. Secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap psikologis, dimana akan memberikan rasa nyaman dan menyenangkan, dan untuk

558

Karsin dan Emmy S. 2004.Klasifikasi Pangan dan Gizi dalam Aswatini, Mita Noveria, dan Fitranita.2008. Vol. III No. 2.Konsumsi Sayur dan Buah di Masyarakat dalam Konteks Pemenuhan Gizi Seimbang.LIPI. Kristianti I. 2011. Jurnal Urip Santoso. Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Menjadi Taman Sayur Yang Produktif Kusumawijaya S. 2011. Vertikal Garden Solusi Lahan Sempit Lukman L. 2011. Membudidayakan Sayuran Secara Vertikultur. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 33 Nomor 4, 2011. Supriati, Y., Y. Yulia, dan Nurlela. 2008. Taman Sayur. Penebar Swadaya

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

POTENSI KEBUN SAYUR KELUARGA UNTUK PEMENUHAN KONSUMSI DAN GIZI RUMAHTANGGA Kuntoro Boga Andri1, Evy Latifah1, dan Joko Maryono2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur 2AVRDC- The World Vegetable Centre [email protected]

ABSTRAK Konsumsi sayuran masyarat Indonesia masih sangat rendah, yaitu 113 gram/kapita/hari (BPS, 2011), padahal anjuran konsumsi sayuran oleh FAO untuk menjaga kesehatan manusia adalah 200 gram/kapita/hari. Dari proyek AVRDC di beberapa negara Asia Pasifik, disimpulkan bahwa lahan tanam seluas 35m2 dapat menghasilkan sayuran rata-rata 750 gram/hari sepanjang tahun (225 kg/bulan). Jika dibagi untuk keluarga beranggotakan 4 orang, masing-masing dapat mengkonsumsi sayuran mendekati anjuran FAO (=187 gram/kapita/hari). Hasil analisa nutrisi menunjukkan hasil panen kebun sayur keluarga tersebut menyediakan lebih dari 100% kebutuhan sehari-hari vitamin A dan C, dan tambahan zat besi dan protein yang berarti. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui potensi kebun sayur keluarga dalam meningkatkan konsumsi sayur dan pemenuhan gizi rumahtangga spesifik lokasi di Jawa Timur. Pengkajian dilakukan di Kebun Percobaan BPTP Jatim di Karangploso pada bulan Januari-Agustus 2012. Bahan tanaman yang digunakan adalah berbagai jenis sayuran semusim, pupuk NPK dan pupuk kandang. Ukuran kebun berupa lahan 6 m x 6 m yang dibagi menjadi 5 petak berukuran 6 m x 1 m. Tiap petak ditanami 2 atau 3 jenis sayuran, sehingga dibagi menjadi 2 atau 3 sub-petak berukuran 1 m x 3 m. Pemanenan dilakukan 1-3 kali per minggu setelah tanaman siap panen sesuai dengan umur panen tanaman, kemudian dilakukan penimbangan dan pencatatan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dalam dua kali musim tanam (musim hujan dan musim kemarau) selama 8 bulan secara keseluruhan dihasilkan sayuran seberat 413,55 kg, atau setiap bulannya dihasilkan 51,69 kg sayuran. Ini berarti bagi satu keluarga yang beranggotakan 4 orang, tiaptiap orang dapat dipasok 12,92 kg (430.78 gr/kapita/hari) sayuran dari kebun sayur keluarga tersebut. Dengan demikian anjuran FAO untuk mengkonsumsi sayuran minimum 200 g per hari bagi diet yang seimbang untuk kesehatan dapat dipenuhi dengan kebun sayur keluarga yang berukuran 6 m x 6 m tersebut. Kata kunci: optimalisasi lahan, kebun sayur keluarga, konsumsi sayur, gizi rumahtangga

PENDAHULUAN Konsumsi perkapita sayuran di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2008. Di tahun 2002 konsumsi sayuran perkapita Indonesia 32,89 kg/th, naik menjadi 35,33 kg/th pada tahun 2005. Tahun 2008, angka ini meningkat menjadi 39,45 kg/th. Tak hanya konsumsi, produksi sayuran Indonesia juga menunjukkan peningkatan sebesar 1,89% selama kurun waktu 2008 sampai 2009 (Sekdirjen Hortikultura, 2010). Meskipun mengalami peningkatan dalam produksi dan konsumsi

sayuran, dibandingkan dengan rekomendasi FAO untuk konsumsi sayuran sebesar 75 kg/tahun, maka konsumsi sayuran masyarakat Indonesia masih tergolong rendah (Chadha, et.al. 2010). Konsumsi sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk kesehatan manusia karena kandungan mikro-nutrien (vitamin dan mineral) yang seringkali tidak didapatkan dari sumber makanan yang lain. Konsumsi sayuran dan buahbuahan yang cukup dapat mengurangi resiko menderita berbagai penyakit akut seperti diabetes, kanker usus, kanker colo rectal dan penyakit kardiovaskular/jantung. Hasil penelitian

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

559

UNDIP PRESS

yang dilakukan di Roswell Park Cancer Institute di Buffalo New York Amerika Serikat menunjukkan bahwa brokoli dan beberapa sayuran segar dapat digunakan untuk melawan kanker kandung kemih (Anonima, 2012). Juga disebutkan bahwa mereka yang mengkonsumsi tiga porsi atau lebih sayuran mentah segar setiap bulan mengurangi resiko terkena kanker kandung kemih sebanyak 40%. Organisasi Kesehatan Dunia (FAO) dari PBB menyarankan konsumsi sayuran dan buah-buahan minimum 200 gram/kapita/hari untuk diet yang seimbang bagi kesehatan (Chadha, et.al, 2011). Dari Database Statistik Pertanian 2011, diketahui bahwa konsumsi sayuran masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu 113 gram/kapita/hari. Sayuran cocok diproduksi di lahan sempit dan padat karya, sehingga memberikan kesempatan bagi petani kecil untuk diversifikasi produksi dan menghasilkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan pendapatan bagi semua peserta dalam rantai nilai. Diversifikasi sayuran dapat menguntungkan petani miskin dan buruh tani yang tidak mempunyai lahan dengan meningkatkan produksi dan tenaga kerja (Mariyono dan Bhattarai, 2010). Diversifikasi tersebut juga bisa memberdayakan masyarakat miskin dengan meningkatkan akses mereka terhadap proses pengambilan keputusan, dengan meningkatkan kapasitas mereka untuk tindakan kolektif, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap goncangan melalui akumulasi aset. Diversifikasi sayuran bisa berperan penting dalam pengurangan kemiskinan dan ketahanan pangan di Indonesia (Mariyono et al., 2010). Untuk pemenuhan kebutuhan sayuran sehari-hari, sebuah rumahtangga dapat memiliki kebun sayur keluarga di lahan pekarangan mereka yang tidak memerlukan lahan luas. Bahkan jika tidak memiliki lahan dapat menggunakan aneka pot kecil atau polibag. Terdapat beberapa alasan orang menanam sayuran di pekarangan rumah yaitu untuk penghijauan, memenuhi kebutuhan sayur bagi mereka, menyalurkan hobi, dapat memperoleh sayur yang lebih terjamin kebersihan dan mutunya, karena dapat menekan penggunaan pestisida serta dapat melatih seluruh anggota keluarga untuk dapat mencintai alam. Terdapat beberapa jenis tanaman sayuran yang dapat ditanam di pekarangan rumah yaitu (a) sayuran

560

buah seperti cabai besar, cabai rawit, kapri, kecipir, tomat, buncis, kacang panjang, terong, mentimun, pare dan paprika; (b) sayuran daun seperti kangkung, caisim, bawang daun, bayam, kubis, kemangi, seledri, selada, sawi dan talas daun; (c) sayuran bunga seperti kol, brokoli dan bunga pepaya; (d) sayuran umbi seperti wortel, kentang, bawang merah dan putih, bawang bombay dan lobak serta tanaman bumbu dan empon-emponan seperti temu kunci, kencur, serai, lengkuas dan kunyit yang masih termasuk tanaman sayuran umbi (Agromedia, 2005) Dari proyek AVRDC di beberapa negara Asia Pasifik, disimpulkan bahwa lahan tanam seluas 35m2 dapat menghasilkan sayuran ratarata 750 gram/hari sepanjang tahun (225 kg/bulan). Jika dibagi untuk keluarga beranggotakan 4 orang, masing-masing dapat mengkonsumsi sayuran mendekati anjuran FAO (= 187 gram/kapita/hari). Di dua propinsi di India, rancangan kebun sayur keluarga seluas 36m2 (6 mx6 m) mampu memenuhi kebutuhan konsumsi sayuran sesuai anjuran FAO untuk keluarga beranggotakan 4 orang. Hasil analisis nutrisi menunjukkan hasil panen kebun keluarga tersebut menyediakan lebih dari 100% kebutuhan sehari-hari vitamin A dan C, dan tambahan zat besi dan protein yang berarti (Chadha, et.al. 2010). METODE Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui potensi kebun sayur keluarga dalam meningkatkan konsumsi sayur dan pemenuhan gizi rumahtangga spesifik lokasi di Jawa Timur. Pengkajian dilakukan di Kebun Percobaan BPTP Jatim di Karangploso pada bulan JanuariAgustus 2012. Bahan tanaman yang digunakan adalah berbagai jenis sayuran semusim. Disamping itu juga digunakan pupuk NPK dan pupuk kandang. Ukuran kebun berupa lahan 6 m x 6 m yang dibagi menjadi 5 petak berukuran 6 m x 1 m. Tiap petak ditanami 2 atau 3 jenis sayuran, sehingga dibagi menjadi 2 atau 3 subpetak berukuran 1 m x 3 m. Pemanenan dilakukan 1-3 kali per minggu setelah tanaman siap panen sesuai dengan umur panen tanaman, kemudian dilakukan penimbangan dan pencatatan. Dibuat tanggul/pematang mengelilingi kebun sehingga pengairan tidak melimpah ke luar areal kebun. Lahan dibajak dua

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Gambar 1. Denah plot kebun sayur keluarga atau tiga kali dan pupuk kandang di campurkan ke dalam tanah. Jenis-jenis sayuran yang terpilih ditanam kedalam 10 sub-lahan menurut urutan yang disesuaikan dengan musim tanam. benih sayuran dibeli dari distributor benih setempat. Varietas sayuran hibrida (F1) dan penyerbukan (polinasi) terbuka digunakan dalam kegiatan ini. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan seminimal mungkin menggunakan bahan kimiawi untuk menjaga keamanan konsumsi sayuran dan ramah lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari lahan kebun yang sudah diplot dan pola tanaman yang disesuaikan dengan umur jenis tanaman sayur, dapat diperoleh kalender tanam seperti ditampilkan dalam Tabel 1. Pada kebun keluarga ini, selama 8 bulan tanam lahan dapat hasil panen sebanyak lebih dari 30 kali dari 14 jenis sayuran yang bervariasi umur panennya dari satu bulan (bayam, kangkung, sawi hijau) hingga yang berumur empat bulan (Gambas). Pertanaman diselang seling plotnya dengan

Tabel 1. Kalender Tanam Kebun Sayur Keluarga

M u s im h u jan

Musim hujan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

561

UNDIP PRESS

menghindari jenis sayur dengan kekerabatan yang dekat untuk menghindari penularan penyakit di bekas lahan pertanaman sebelumnya. Pemilihan jenis sayuran juga disesuaikan dengan kondisi cuaca/musim pada saat pertanaman untuk meminimalisis penggunaan bahan kimiawi dalam pengendalian hama dan penyakit (Tabel 1). Dari hasil laporan Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Karangploso diperoleh data klimatologi kebun sayur ini dimana pada lokasi kebun terdapat 4 bulan basah (Januari sampai dengan April) dan 4 bulan kering (Mei sampai dengan Agustus). Lokasi lahan percobaan ini terletak pada daerah dengan ketinggian 550 meter diatas permukaan laut (Tabel 2). Dari hasil pengamatan terhadap aneka sayuran seperti tertera pada Tabel 3, menunjukkan terong pada satu kali musim tanam dengan luasan 1 x 3m menghasilkan 54 kg. Terong ini bermanfaat untuk menghambat kerusakan pembuluh darah dan mencegah kanker (Rozy, 2011). Okra yang juga mampu menghasilkan 16,5 kg selama 3 bulan, menyatakan bahwa kandungan minyak pada biji okra dapat mencapai 40%. Minyak biji okra kaya akan asam lemak tak jenuh seperti asam oleat dan asam linoleat. Buah okra mengandung protein cukup tinggi, yaitu 3,9% dan lemak 2,05%. Energi di dalam 100 gram buah okra 40 kkal. Mineral di dalam buah okra adalah kalium (6,68%) dan fosfor (0,77%). Okra termasuk sayuran hijau yang kaya serat pangan. Selain serat, okra juga mengandung glutation. Serat sangat penting bagi tubuh karena dapat mencegah konstipasi (susah buang air besar), obesitas, hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi), diabetes (kencing manis), dan kanker kolon (usus besar) (Anonim 2012b)

Dalam satu petak mampu menghasilkan kacang panjang 11 kg. Kacang panjang diantaranya bermanfaat sebagai anti kanker, leukimia, anti bakteri, dan anti virus. Serta mempunyai kandungan antosianin, flavonol, glikosida, saponin dan polifenol (Syarifuddin, 2011). Timun menghasilkan 31 kg, Kandungan zat gizi per 100 gram berat ketimun : energi 12 kalori, protein 0,7 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 2,7 g, kalsium 10 mg, fospor 21 mg, besi 0,3 mg, vitamin A 0 RE, vitamin C 8,0 mg dan vitamin B 0,3 mg. Kandungan mineral yg ada pada ketimun adalah potassium, magnesium, kalium,zat besi dan fospor. Karena kandungan potasium, magnesium dan fosfor ini ketimun bagus sebagai obat alami hipertensi (Anonim, 2012c). Buncis menghasilkan 10 kg dapat mengobati penyakit diabetes melitus, kangkung menghasilkan 8 kg, kangkung ini banyak mengandung vitamin A, B, C dan vitamin K. Kangkung bermanfaat memperlancar proses metabolisme tubuh, mengandung banyak serat sehingga baik untuk proses pencernaan (Ahira, 2012a). Sawi hijau diperoleh 24 kg, tanaman sawi ini kaya akan vitamin A, B, C, E dan vitamin K. Disamping itu mengandung komponen kimia yang dapat menghambat berbagai penyakit kanker, serta mencegah penyakit gondok (Ahira,2012b). Tanaman pare mampu menghailkan sampai 17 kg pada satu petak, tanaman pare ini mempunyai banyak manfaat diantaranya dapat merangsang nafsu makan, dapat menyembuhkan penyakit kuning, memperlancar pencernaan, sebagai obat malaria, dapat menurunkan kadar gula, memperlambat virus HIV-Aids, serta mengandung vitamin C 120 ml/100 gram. Kemudian bayam menghasilkan 8 kg, bayam mempunyai kandungan besi relatif lebih tinggi

Tabel 2. Data Klimatologi Kebun Sayur Di Lokasi Percobaan (Januari – Agustus 2012) Data Temperatur (°) Minimum Maksimum Curah Hujan (mm) Lembab Nisbi (%) Minimum Maksimum

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Agst

20 33 24.9

19 31 40.2

20 31 27.8

20 31 25

20 31 17

20 30 10

19 29 5

18 28 1

48 99

53 98

56 98

59 97

57 98

46 94

62 98

64 94

Sumber: BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso Malang, 2012

562

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

daripada sayuran daun lain (besi merupakan penyusun sitokrom, protein yang terlibat dalam fotosintesis) sehingga berguna bagi penderita anemia. (Titi, 2011) Bawang pre/bawang daun 7 kg. Tomat menghasilkan 6 kg/plot tanaman, dalam 100 gram tomat terdapat kandungan gizi sebagai berikut: fosfor 27 gm, kalium 360 mg, besi 6 mg, kalsium 11 mg, vitamin C 23 mg, Thiamine 56 mg, Protein 1 g, dan vitamin A 1000 UI (Syakur, 2011). Sedangkan cabe hampir gagal panen dikarenakan terserang penyakit layu fusarium disebabkan pada saat tanam curah hujan cukup tinggi, hal ini dapat dilihat pada data iklim diatas mulai bulan Januari sampai dengan Maret berturut-turut 24.9, 40.2 dan 27.8 mm. Wiryanta (2002) menyatakan bahwa penyakit layu

fusarium disebabkan oleh cendawan. Umumnya penyakit ini menyerang tanaman cabai di dataran tinggi dengan kelembaban yang tinggi pada musim hujan. Ciri- ciri cabai yang terserang penyakit ini ditandai dengan menguningnya daun-daun tua yang diikuti dengan daun muda, pucatnya tulang-tulang daun bagian atas, terkulainya tangkai daun, dan layunya tanaman. Batang membusuk dan agak berbau amoniak, jika pangkalnya dipotong akan terdapat warna cokelat berbentuk cincin pada berkas pembuluhnya. Tanaman yang sudah terserang segera dicabut untuk dimusnahkan. Lubang bekas penanamannya ditaburi dengan kapur. Untuk jenis sayur yang lain juga terserang hama seperti ulat grayak yang muncul sedikit dan cukup dikendalikan secara manual saja. Begitu

Tabel 3. Produksi Kebun Sayur Pada Musim Penghujan (Januari-April 2012) No. Jenis Sayuran Jenis/Varietas dan Serangan OPT Plot Sumber benih 1 Terong Mustang, F1, PT East Kepik hijau kecil West 2 Okra Inbrida, Chia Tai Quality Seed 3 Kacang Setuju (117) Cv. Aditya panjang Sentana Agro 4

Timun

5

Buncis

6

Kangkung

7

Sawi hijau

8

Cabe

9

Pare

10 Bayam 11

Hibrida F1 Master As, PT BISI Int. Tbk Hibrida FI, PT East West Penggerek polong Seed Indonesia (Lepidoptera Lycaenidae) Hibrida F1, Cv. Aditya Ulat grayak Sentana Agro Hibrida F1, PT Bisi Ulat grayak International TBK Hibrida F1, PT. Branita Fusarium Sandini Hibrida F1, Pasta Putri, Cv. Aditya Sentana Agro Inbrida, Lokal Petani Ulat grayak

Bawang daun Inbrida, Lokal Petani

12 Tomat

Inbrida, Lokal Petani

Bercak daun cercospora -

Pemupukan Pukan 5 Kg Urea dan NPK Pukan 5 kg Urea dan NPK Pukan 5 kg Urea dan NPK

Total Hasil Panen (Kg) 54 16.5 11

Pukan 5 kg Urea dan NPK

31

Pukan 5 kg Urea dan NPK

10

Pukan 5 kg Urea dan NPK Pukan 5 kg Urea dan NPK Pukan 5 kg Urea dan NPK Pukan 5 kg Urea dan NPK

16 24 2.4 17

Pukan 5 kg Urea dan NPK Pukan 5 kg Urea dan NPK

8

Pukan 5 kg

9

7

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

563

UNDIP PRESS

No. Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

564

Tabel 4. Produksi Kebun Sayur Pada Musim Kemarau (Mei- Agustus 2012) Jenis/Varietas dan Sumber Jenis Sayuran Serangan OPT Pemupukan benih Kacang Panjang Setuju (117) Cv. Aditya Pukan 5 kg Sentana Agro Urea dan NPK Cabe Hibrida F1, PT. Branita Fusarium Pukan 5 kg Sandini Urea dan NPK Bawang Merah Bauji, Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Bawang Daun Inbrida, Lokal Petani Bercak daun Pukan 5 kg cercospora Urea dan NPK Bayam Inbrida, Lokal Petani Ulat grayak Pukan 5 kg Urea dan NPK Kangkung Hibrida F1, Cv. Aditya Pukan 5 kg Sentana Agro Urea dan NPK Bawang Merah Bauji, Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Okra Inbrida, Chia Tai Quality Pukan 5 kg Seed Urea dan NPK Tomat Inbrida, Lokal Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Gambas Inbrida, Lokal Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Kangkung Hibrida F1, Cv. Aditya Pukan 5 kg Sentana Agro Urea dan NPK Bawang Daun Inbrida, Lokal Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Pare Hibrida F1, Pasta Putri, Cv. Pukan 5 kg Aditya Sentana Urea dan NPK Kangkung Hibrida F1, Cv. Aditya Pukan 5 kg Sentana Agro Urea dan NPK Sawi Hijau Hibrida F1, PT Bisi Ulat grayak Pukan 5 kg International TBK Urea dan NPK Bawang Merah Bauji, Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Terong Mustang, F1, PT East West Kepik hijau kecilPukan 5 kg Urea dan NPK Tomat Inbrida, Lokal Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK Cabe Hibrida F1, PT. Branita Fusarium Pukan 5 kg Sandini Urea dan NPK Bawang Merah Pukan 5 kg Urea dan NPK Okra Inbrida, Chia Tai Quality Pukan 5 kg Seed Urea dan NPK Timun Hibrida F1, Master As, PT Pukan 5 kg BISI Int. Tbk Urea dan NPK Bawang Daun Inbrida, Lokal Petani Pukan 5 kg Urea dan NPK

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

Total Hasil Panen (Kg) 6.8 3.65 8 7 16 14 8 6.5 7.7 21.5 7 7 Blm Panen 8 9 Blm Panen 18 11 Blm panen Blm Panen Blm Panen Blm Panen 45

UNDIP PRESS

pula pada bawang pre dan tomat yang terserang bercak daun, dalam jumlah sedikit cukup dikendalikan secara mekanis saja. Sedangkan hasil pada musim tanam kedua dapat dilihat pada Tabel 4. Pada musim kering bulan Mei-Agustus 2012 keragaan fisiologis beberapa tanaman nampak lebih baik. Serangan OPT pada tanaman sayur lebih sedikit dibandingkan musim tanam sebelumnya (musim hujan). Sampai dengan dibuatnya tulisan ini, beberapa jenis sayuran masih belum selesai panen yaitu (pare, terong, tomat, cabe, okra), dan beberapa lainnya belum panen (bawang merah dan timun). Dari data-data panen yang ditampilkan pada Tabel 3 dan 4 diperoleh hasil bahwa pada luasan kebun sayur 6 m x 6 m di musim tanaman pertama (musim hujan) selama 4 bulan antara bulan Januari sampai dengan April diperoleh hasil keseluruhan 209,4 kg. Sedangkan pada musim tanam kedua, yaitu antara bulan Mei sampai dengan Agustus (musim kemarau), diperoleh total hasil panen sejumlah 204,15 kg sayuran bebas pestisida. Dari pemanenan yang dilakukan 1-3 kali per minggu setelah sayuran siap panen dapat diketahui hasil per periode waktu rata-rata jumlah yang dapat dikonsumsi oleh sebuah keluarga dengan 4 orang anggota keluarga setiap harinya. Hasil yang diperoleh dari pengkajian ini adalah dalam dua kali musim tanam (musim hujan dan musim kemarau) selama 8 bulan secara keseluruhan dihasilkan sayuran seberat 413,55 kg, dengan demikian setiap bulannya telah dihasilkan 51,69 kg sayuran. Ini berarti bagi satu keluarga yang beranggotakan 4 orang, tiap-tiap orang dapat dipasok rata-rata 12,92 kg sayuran, atau setara dengan 430,78 gr/kapita/hari sayuran dari kebun sayur keluarga tersebut. Dengan demikian anjuran FAO untuk mengkonsumsi sayuran minimum 200 g per hari bagi diet yang seimbang untuk kesehatan dapat dipenuhi lebih dari dua kali lipat dari rekomendasi, dari kebun sayur keluarga yang berukuran 6 m x 6 m tersebut. Akan tetapi berdasarkan rata-rata panen harian seperti yang ditampilkan dalam Gambar 2, dapat dilihat ada beberapa bulan (bulan 1, 5 dan 7) dimana pemenuhan kebutuhan sayuran masih dibawah rekomendasi FAO. Pola tanam sayuran, khususnya umur panen, jumlah dan periode panen serta kecocokan agroekologi menjadi

faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan jenis sayuran kedepan, agar pasokan sayuran dapat kontinyu dalam kuantitas dan kualitas.

Gambar 2. Rata-rata Panen Harian Dari Kebun Sayur Keluarga Di Lahan Pengkajian Dengan Luas 6 M X6M KESIMPULAN KEBIJAKAN

DAN

IMPLIKASI

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dalam dua kali musim tanam (musim hujan dan musim kemarau) selama 8 bulan secara keseluruhan dihasilkan sayuran seberat 413,55 kg, dengan demikian setiap bulannya telah dihasilkan 51,69 kg sayuran. Ini berarti bagi satu keluarga yang beranggotakan 4 orang, tiap-tiap orang dapat dipasok 12,92 kg (430,78 g/kapita/hari) sayuran dari kebun sayur keluarga tersebut. Dengan demikian anjuran FAO untuk mengkonsumsi sayuran minimum 200 g per hari bagi diet yang seimbang untuk kesehatan dapat dipenuhi dengan kebun sayur keluarga yang berukuran 6 m x 6 m tersebut. Pengkajian ini menyimpulkan bahwa dengan rata-rata dari luasan 36 m 2 Kebun Sayur Keluarga dapat mencukupi suplai konsumsi sayuran harian. Hasil analisis nutrisi juga menunjukkan hasil panen kebun keluarga tersebut menyediakan lebih dari 100% kebutuhan sehari-hari vitamin A dan C, dan tambahan zat besi dan protein yang berarti. Kedepan, modifikasi ukuran lahan dapat disesuaikan dengan kebutuhan rumah tangga, luas lahan, kondisi agroekologi dan pola tanam/panen sayuran dilokasi kebun sayur keluarga berada. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada pemberi dana proyek

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

565

UNDIP PRESS

dan institusi lain yang terlibat dalam penelitian. Penelitian ini merupakan proyek kerjasama antara AVRDC, Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur yang didanai oleh USAID – Indonesia, melalui Project yang berjudul “Mobilizing Vegetable Genetic Resources and Technologies to Enhance Household Nutrition, Income and Livelihoods in Indonesia”. DAFTAR PUSTAKA Agromedia Pustaka, 2005. Menanam Sayuran di Pekarangan Rumah. Penerbit Agromedia Pustaka. Ahira. 2012a. Manfaat Sayur Kangkung yang Menyehatkan Tubuh. http://www.anneahira.com/manfaat-sayurkangkung.htm. Diakses 23/6/2012 pkl.05.46. Ahira. 2012b. Manfaat Sayur Sawi Si Hijau Penuh Gizi. http://www.anneahira.com/manfaat-sayursawi.htm. Diakses 23/6/2012 pkl. 05.44. Anonim. 2012a. Sayur Mentah Bisa Untuk Tangkal Kanker. (http://www.homelivingindonesia.com/que stion-a-answer/landscape/item/325berteman-dengan-kebun-sayur.html). Diakses 30/5/2012 pkl. 14.27 Anonim. 2012b. Okra Sayuran Penangkal Kanker. http://kupukupudanpelangi.blogspot.com/2 010/01/okra-sayuran-penangkalkanker.html Diakses 23/6/2012 pkl. 06.20. Anonim. 2012c. Mentimun/Ketimun, Sayuran Murah Kaya Manfaat. http://www.scribd.com/doc/33043400/Me ntimun-Ketimun. Diakses 23/6/2012 pkl. 06.06. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Karangploso Malang. 2012. Official Homepage diakses di http://www.staklimkarangploso.info Chadha, M.L. Ray-yu Yang, Satish K. Sain, C. Triveni, Roohani Pal, M. Ravishankar and

566

T.R. Ghai. 2010. Home Gardens: an Intervention for Improved Health and Nutrition in Selected States of India. Procceding of 28th International Horticultural Congress. Lisboa, August 22-27, 2010. Database Statistik Pertanian. 2011. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Pusat Data dan Informasi Pertanian, Statistik Pertanian database, dikases melalui website http://database.deptan.go.id/bdspweb/bdsp -v2.asp M.Syariffuddin. 2011. Manfaat Kacang Panjang (Vigna cylindrica). http://www.syafir.com/2011/03/14/manfaat -kacang-panjang-vigna-cylindrica#. Diakses 23/6/2012 pkl. 06.34. Mariyono, J. and Bhattarai, M.. 2010. Revitalizing Indonesian Rural Economy Through Intensive Farming of High Value Vegetables. The 10th IRSA International Conference. Surabaya, 28-29 July 2010. Mariyono, J. Dibiyantoro, A., Bhattarai, M. 2010. Improved Technologies in Vegetable Production to Support Food Safety and Food Security: A Case of Chili Farming in Central Java. paper presentation of the International Conference on Food Safety and Food Security. 1st-4th December 2010. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Rozy.

2011. Manfaat Terong. http://www.kesehatan123.com/2469/manfa at-terong/. Diakses 23/6/2012 pkl. 06.11.

Sekretariat Dirjen (Sekdirjen) Hortikultura. 2010. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode 2007- 2009. Syakur. 2011. Manfaat Tomat Untuk Kesehatan. http://www.kesehatan123.com/2001/manfa at-tomat/. Diakses 23/6/2012 pkl. 06.25. Titi Wulandari. 2011. Laporan Ekologi Kebun Sayur. http://id.wikipedia.org/wiki/Mentimunhttp: //andaricapri.blogspot.com/2011/12/lapora n-ekologi-kebun-sayur.html. Diakses 21/5/2012 pkl.12.45.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Wiryantana. 2002. Penyakit Layu Fusarium Tanaman Cabai Merah Pada Musim Hujan. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/peny

akit-layu-fusarium-tanaman-cabai-merahpada-musim-hujan. Diakses 23/6/2012 pkl. 04.04.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

567

UNDIP PRESS

UPAYA MENINGKATKAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TERUNG DALAM POLIBAG MELALUI PEMBERIAN PUPUK PELENGKAP CAIR Setyorini Widyayanti dan Arlyna Budi Pustika Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta [email protected]

ABSTRAK Lahan pekarangan rumah tangga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Upaya memberikan nilai tambah bagi peningkatan potensi lahan pekarangan dapat dilakukan melalui penanaman sayuran dalam polibag. Agar tanaman tumbuh baik dan mencapai hasil maksimal memerlukan suplemen tambahan seperti pupuk pelengkap cair. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahanan pupuk pelengkap cair dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman terung dalam polibag. Penelitian ini merupakan percobaan dalam polibag yang dilakukan di Dusun Bendungan, Desa Berjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2012. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pemberian pupuk pelengkap cair sebagai perlakuan. Perlakuan terdiri dari kontrol (tanpa pemberian pupuk pelengkap cair), pemberian urine kelinci dan pemberian pupuk Dharmavit. Masing-masing perlakuan diulang 6 kali. Parameter yang diamati meliputi karakter pertumbuhan vegetatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk pelengkap cair tidak memberikan pengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman, jumlah cabang, maupun jumlah daun tetapi memberikan pengaruh nyata terhadap parameter diameter batang terung dalam polibag. Kata kunci: pupuk pelengkap cair, polibag, terung, pertumbuhan vegetatif.

PENDAHULUAN Lahan pekarangan merupakan lahan atau sebidang tanah yang berada di sekitar rumah tinggal dan mempunyai batas-batas yang jelas. Di wilayah perkotaan, lahan pekarangan semakin sempit dan belum banyak dimanfaatkan secara maksimal. Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Selain itu lahan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk menambah nilai estetika suatu rumah tinggal. Untuk memberikan nilai tambah pada lahan pekarangan dan untuk meningkatkan pemenuhan gizi keluarga dapat dilakukan dengan penanaman beberapa jenis tanaman hortikultura seperti sayuran, buah-buahan maupun tanaman obat. Salah satu upaya untuk meningkatkan potensi lahan pekarangan dapat dilakukan dengan penanaman sayuran hortikultura dalam polibag yang disusun rapi dalam lahan pekarangan sempit. Beberapa jenis sayuran dapat ditanam

568

dalam polibag, salah satunya adalah tanaman terung. Terung (Solanum melongena) merupakan tanaman sayuran yang telah dikenal oleh masyarakat karena beberapa manfaatnya. Selain sebagai bahan makanan, terung berkhasiat dalam menyembuhkan beberapa penyakit seperti wasir, menurunkan gula darah, tekanan darah tinggi maupun sebagai bahan obat gatal kulit (Simanjuntak, 2003). Umumnya terung dapat tumbuh baik di dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 1 – 1.200 m diatas permukaan air laut. Selain itu tanaman terung dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang kering dan hangat sehingga produksinya meningkat. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi tanaman dapat dilakukan dengan penambahan pupuk. Pemupukan berfungsi untuk menambahkan unsur hara yang telah tersedia dalam tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga dapat dipergunakan atau diserap oleh tanaman seoptimal mungkin (Kornelius, 2006).

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Pemupukan selain diberikan melalui tanah, dapat pula diberikan melalui bagian tanaman lainnya seperti daun. Pemberian pupuk melalui daun dapat dilakukan karena daun merupakan organ tanaman yang mampu menyerap unsur hara. Menurut Abdullah (1993) pemberian pupuk malalui daun lebih efektif dan efisien karena unsur hara mikro lebih cepat diserap sehingga dapat memacu pertumbuhan serta meningkatkan efisiensi metabolime pada daun. Pupuk daun dapat berbentuk cairan atau larutan dan ada yang berbentuk butiran kristal seperti tepung. Dharmavit merupakan salah satu pupuk daun cair yang diperkaya dengan unsurunsur hara mikro yang berbentuk senyawa kompleks sehingga dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Pupuk cair Dharmavit mampu meningkatkan hasil panen padi varietas IR 64 mencapai 44,62% dibandingkan tanpa penambahan pupuk (Rahmayani, 2006). Menurut hasil uji laboratorium Sucofindo (2004), Dharmavit mengandung unsur hara N (4,13%), P2O5 (2,45%), K2O (8,27%), Cu (0,07%), Zn (0,06%), B (0,04%), Mn (0,02%), As (0,06 ppm), Cd (0,095 ppm) dan Hg < 0,001 ppm. Selain pupuk daun yang diproduksi oleh industri (pabrikan), ada pula pupuk pelengkap cair yang terbuat dari campuran feses dan urine ternak kelinci. Kotoran kelinci telah dikenal berpotensi sebagai pupuk organik untuk tanaman hortikultura. Petani di beberapa wilayah sentra produksi sayuran dan tanaman hortikultura lainnya di Jawa Barat telah cukup lama memanfaatkan kotoran kelinci untuk tanaman strawberry, tomat maupun sayuran (Sajimin et al., 2005). Hasil uji coba pada tanaman mentimun, kacang panjang, gambas dan cabai yang diberi perlakuan menggunakan pupuk yang berasal dari urine kelinci mampu meningkatkan hasil panen mencapai kisaran 20-100% (Brahmantiyo et al., 2006). Hasil penelitian Balai Penelitian Ternak, kandungan unsur hara yang terdapat dalam campuran feses dan urine kelinci mengandung 2,62 % unsur hara N, unsur P (2,46%), unsur K (1,86%), Cu (37 ppm), Mn (1.290 ppm), Zn (588 ppm) dan Mg sebesar 0,49% (Sajimin et al., 2005). Oleh karena itu untuk mengetahui potensi pupuk cair tersebut maka perlu dilakukan pengujian efetivitas pupuk melalui penelitian di lapang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

pengaruh penambahan pupuk pelengkap cair dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman terung dalam polibag. METODE Penelitian dilaksanakan di Dusun Bendungan, Desa Berjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan berlangsung mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2012. Bahan yang digunakan antara lain meliputi benih terung ungu merk Antaboga 1, pupuk kandang sebagai pupuk dasar, pupuk pelengkap cair berupa pupuk cair kotoran kelinci dan pupuk pelengkap cair Dharmavit. Polibag berukuruan 40x40 cm. Rancangan penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang masing-masing diulang 6 kali. Penelitian terdiri dari : 1) tanpa pemberian pupuk pelengkap cair (kontrol), 2) pemberian pupuk pelengkap cair berupa urine kelinci dan 3) pemberian pupuk pelengkap cair Dharmavit. Dosis pupuk pelengkap cair yang diaplikasikan yaitu pupuk cair urine kelinci 100 ml/l dan Dharmavit 3,5 ml/l. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Bibit terung Antaboga 1 yang kurang lebih telah berumur 5 minggu atau telah memiliki 4 helai daun dipindahkan dalam polibag berukuran 40x40 cm yang telah berisi media tanah. Masing-masing polibag ditanami satu tanaman. Pemeliharaan tanaman berupa penyiangan dan penggemburan media tanam dilakukan sesuai dengan kondisi pertanaman dalam polibag. Aplikasi pemberian pupuk pelengkap cair dilakukan sesuai dengan perlakuan dan diberikan pada masing-masing tanaman dengan cara menyemprotkan langsung ke daun. Aplikasi penyemprotan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada saat tanaman berumur 2, 4 dan 6 minggu setelah tanam. Pengamatan meliputi parameter pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun, diameter batang dan berat segar terung. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Analysis of Variance (Anova) dan untuk melihat perbedaan masing-masing varietas dilakukan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Gomez and Gomez, 2007). Kemudian dilakukan analisis

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

569

UNDIP PRESS

korelasi untuk mengetahui kekuatan hubungan antar variabel. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaan pertumbuhan vegetatif terung Keragaan pertumbuhan vegetatif terung dalam polibag disajikan pada Tabel 1. Hasil pengamatan terhadap parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun terung dalam polibag tidak menunjukkan pengaruh nyata antar perlakuan. Penggunaan pupuk pelengkap cair Dharmavit maupun urine kelinci tidak mempengaruhi pertumbuhan terung dalam polibag. Menurut Marschner dalam Kornelius (2006) pemberian konsentrasi unsur hara melalui penyemprotan melalui daun memberikan efek yang kurang optimal bila dibandingkan aplikasi pemberian pupuk melalui tanah (akar). Hal ini diduga karena rendahnya tingkat penetrasi khususnya pada daun-daun yang mempunyai kutikula tebal, kecepatan pengeringan dari larutan semprot, maupun terbatasnya tingkat retranslokasi unsur hara dari tempat penyerapan ke bagian tanaman yang lain. Selain itu dapat disebabkan pula oleh terbatasnya jumlah unsur hara makro yang disediakan untuk satu kali penyemprotan lewat daun dan dapat pula akibat daun rusak atau mengalami nekrosis.

g/buah) meskipun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Fungsi pupuk pelengkap cair semestinya mampu memberikan pengaruh kompleks terhadap pembentukan dan produksi buah, karena dalam pupuk pelengkap cair terkandung bahan-bahan seperti fosphor, maupun kalium yang dibutuhkan dalam mereduksi senyawa organik yang menghasilkan biomassa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Gomies et a.,l (2012) dan Rizquiani et a.,l (2007) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada berat kubis bunga dan buncis yang diperlakukan dengan berbagai taraf konsentrasi perlakuan pupuk pelengkap cair yang diaplikasikan melalui daun. Demikian pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parman (2007) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada berat kering kentang yang diperlakukan dengan berbagai taraf konsentrasi perlakuan pupuk cair yang juga diaplikasikan melalui daun. Hal ini menandakan bahwa aplikasi pemberian pupuk pelengkap cair melalui daun belum dapat memberikan hasil yang optimum. Meski demikian hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan pupuk pelengkap cair Dharmavit memberikan hasil terbaik dibandingkan pupuk pelengkap cair urine kelinci. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan pupuk pelengkap cair Dharmavit yang diaplikasikan melalui akar tanaman.

Tabel 1. Keragaan Pertumbuhan Vegetatif Terung Dalam Polibag Di Desa Berjo, Sleman Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang Jumlah daun Diameter batang (cm) kontrol 43.17 a 1.83 a 7.00 a 0.72 ab PPC urine kelinci 31.83 a 1.67 a 6.17 a 0.67 a PPC Dharmavit 30.42 a 1.67 a 5.83 a 0.77 bc Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %

Hasil pengamatan terhadap diameter batang terung menunjukkan pengaruh nyata antar perlakuan. Diameter batang terung dengan perlakuan Dharmavit menghasilkan diameter lebih tebal (0,77 cm) meskipun tidak berbeda nyata dengan diameter batang terung tanpa perlakuan pupuk cair (0,72 cm). Berat segar per buah terung dalam polibag tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 2). Berat segar terung dengan perlakuan Dharmavit menghasilkan berat segar lebih baik (215,67

570

Tabel 2. Rerata Berat Segar Terung Dalam Polibag Di Desa Berjo, Sleman Perlakuan Berat segar per Jumlah buah (g) buah/polibag kontrol PPC urine kelinci PPC Dharmavit

204,58 195,00 215,67

a a a

5 5 5

Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah daun Diameter batang Berat buah /polibag

Tabel 3. Analisis Korelasi Pertumbuhan Vegetatif Terung Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah daun Diameter batang 1 -0.0838542 -0.2975114 -0.313199 1 0.3750101 0.4271788 1 0.7745967 1

Berat buah /polibag 0.3377891 -0.3445382 -0.1588153 -0.2876013 1

Ket: * P < 5 %.

B. Hubungan korelasi antara variabel yang diamati Hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya dianalisis menggunakan analisis korelasi. Komponen variabel yang dianalisis meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun, diameter batang dan berat buah/polibag. Berdasarkan analisis hubungan (korelasi) pertumbuhan vegetatif dan berat terung (Tabel 3) terlihat adanya korelasi nyata dan positif antara jumlah daun dan diameter batang, semakin banyak helaian jumlah daun maka semakin tebal diameter batangnya. KESIMPULAN Penambahan pupuk pelengkap cair berupa urine dan pupuk Dharmavit melalui daun belum dapat memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan vegetatif tanaman terung dalam polibag. Secara keseluruhan penambahan pupuk pelengkap cair hanya memberikan pengaruh nyata terhadap diameter batang terung tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun maupun jumlah cabang terung. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, S. 1993. Pengaruh Pupuk Pelengkap Cair terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah pada Alluvial Singkarak. Dalam Risalah Seminar. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian Balittan Sukarami. Vol. II: 38-44. Brahmantiyo, B., dan Y.C. Raharjo. 2006. Kelinci disukai Masyarakat Magelang. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian vol. 28 (1) : 9 - 10.

Gomies, L., H. Rehatta, dan J.Nandissa. 2012. Pengaruh Pupuk Organik Cair R11 Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kubis Bunga (Brassica oleracea var. Botrytis L.). Jurnal Agrologia 1 (1) : 13-20. Gomez dan Gomez. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). 689 hal. Kornelius, D. 2006. Uji Efektivitas Pupuk Daun Growmore 32-10-10 Terhadap Pertumbuhan, Produksi, Dan Kadar Hara Tanaman Jagung Di Tanah Latosol Darmaga (Oxic Dystropept). Skripsi S1. Program Studi Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Parman, S. 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kentang (Solanum tuberosum L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi 15(2) : 21 – 31. Rahmayani, 2006. Efektivitas Pupuk Pelengkap Cair Dharmavit Terhadap Pertumbuhan, Produksi, Serta Serapan Hara N, P, K Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L.) Varietas IR 64 Pada Latosol Darmaga. Skripsi S1. Program Studi Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Rizqiani, N.F., E. Ambarwati, N.W. Yuwono. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis (Phaseoulus vulgaris L.) Dataran Rendah.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

571

UNDIP PRESS

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 7 (1) : 43-53.

Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Simanjuntak, F.N. 2003. Karakterisasi Keragaman Fenotipik Tanaman Terung (Solanum melongea L.). Skripsi S1.

Sucofindo. 2004. Hasil Analisis Pupuk Cair Dharmavit. Perusahaan Dagang Indonesia. Jakarta.

572

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

UJI PRODUKTIVITAS SEMANGKA DENGAN PENANAMAN SISTEM TURUS PADA LAHAN PEKARANGAN Titiek Purbiati1) dan Destiwarni 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km 4 Malang, e-mail: [email protected] 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat Jl. Budi Utomo 45 Siantan Hulu Pontianak ABSTRAK Tanaman semangka umumnya ditanam secara hamparan pada lahan sawah atau ladang, tetapi dengan sistem turus dapat dilakukan pada lahan yang lebih sempit seperti pekarangan. Tujuan pengkajian adalah untuk menguji produktivitas tanaman semangka yang ditanam dengan cara sistem turus pada lahan pekarangan. Percobaan dilakukan pada tahun 2010 di lahan pekarangan yang mempunyai luas 375 m2. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak lengkap sebagai perlakuannya 2 jenis benih semangka yaitu BT1 dan BT2 yang merupakan varietas unggul dari Balai Penelitian Tanaman Buah. Percobaan di ulang 6 kali setiap unit perlakuan/ulangan menggunakan 1 bedengan setiap bedengan berisi 20 tanaman. Data produksi dari kedua perlakuan diuji dengan uji t. Hasil percobaan menunjukkan produksi semangka BT1 dan BT2 tidak berbeda. Produksi semangka BT1 mencapai 3586,8 kg/ha dan BT2 mencapai 3823,30 kg/ha. Kata kunci: Semangka, sistem turus, lahan pekarangan, produksi

PENDAHULUAN Semangka merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang cukup banyak digemari oleh masyarakat karena cukup mengandung gizi. Bagi petani hortikultura yang berusaha tani buah semangka memiliki prospek yang cerah karena harga jual buah semangka cukup tinggi dan menguntungkan. Menurut Wihardjo dan Suwandi (1993) kandungan gizi buah semangka meliputi energy 8,0 kalori, air 92,1 g, protein 0,5 g, lemak 0,2 g, karbohidrat 6,9 g dan vitamin A 50 S.I, vitamin C 6 mg. Di Indonesia daerah sentra penanaman semangka terdapat di Jawa Tengah yaitu (D.I. Yogyakarta, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kulonprogo); di Jawa Barat (Indramayu, Karawang); di Jawa Timur meliputi kabupaten Banyuwangi dan Malang dan daerah Lampung, dengan rata-rata produksi 30 ton/ha/tahun (Kemenristek, 2005). Di Kalimantan Barat semangka juga telah diusahakan petani di daerah lahan gambut desa Rasau Jaya kabupaten Kuburaya dengan

produksi tinggi (Kompas, 2010), sedangkan di Kalimantan Timur daerah Samarinda dengan luas panen 10 ha produksi mencapai 61 ton (Yulianto, 2005). Umumnya daerah sentra penanaman semangka tersebut masih ditanam dengan sistem hamparan. Menurut Khaerudin dan Rina (2000) bahwa budidaya tanaman semangka dapat diusahakan 2 sistem yaitu sistem hamparan dan turus. Keunggulan pembudidayaan sistem turus adalah populasi tanaman per hektarnya menjadi lebih banyak dibanding sistem hamparan dan penggunaan lahan menjadi lebih efisien, oleh sebab itu sistem turus sangat prospektif diterapkan pada usaha agribisnis. Budidaya semangka sistem turus adalah dengan membuat turus pada sepanjang bedengan dan turus tersebut digunakan untuk meletakkan buah semangka. Lahan pekarangan cukup efisien untuk mengembangkan budidaya semangka sistem turus (Purbiati dan Destiwarni, 2011). Saat ini telah banyak varietas-varietas semangka yang dibudidayakan, varietas tersebut ada yang berbiji maupun tanpa biji. Balai

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

573

UNDIP PRESS

Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Solok juga menghasilkan varietas unggul bernama BT1 dan BT2 (Balitbu, 2006). Keunggulan dari varietas tersebut adalah rasa buah manis, segar dan besar buah sedang (2-3 kg/buah) penanaman dengan sistem hamparan produktivitasnya tinggi. Tujuan penelitian adalah untuk menguji produktivitas semangka BT1 dan BT2 asal Balitbu dengan sistem turus pada lahan pekarangan. BAHAN DAN METODE Sebagai bahan dalam pengkajian adalah benih semangka, saprodi dan bahan pembuat turus. Pengkajian dilakukan pada lahan pekarangan kantor BPTP Kalimantan Barat kota Pontianak dengan luas 375 m2 pada tahun 2010. Rancangan percobaan yang digunakan acak lengkap sebagai perlakuannya adalah 2 jenis benih semangka yaitu BT1 dan BT2 yang merupakan varietas unggul dari Balai Penelitian

Tanaman Buah Solok. Percobaan dengan ulangan 6 kali setiap unit perlakuan/ulangan menggunakan 1 bedengan dan setiap bedengan ditanami sebanyak 20 tanaman. Data dianalisis secara statistik, untuk mengetahui perbedaan kedua perlakuan di uji dengan uji t. Untuk mengetahui uji produktivitasnya maka parameter yang diamati adalah produksi dari kedua varietas tersebut. Cara budidaya yang dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Balitbu antara lain mulai penyemaian benih, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pemangkasan dan pengendalian OPT (Puslitbanghorti, 2006), prosedur kerja pada Tabel 1. Karena lokasi lahan pekarangan di Pontianak Kalimantan Barat berlahan gambut dengan pH dibawah 6 maka untuk menetralkannya diberi Dolomit. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi buah

Tabel 1. Prosedur Kerja Kegiatan Penanaman Buah Semangka Semangka (Citrullus vulgaris Schard)

Uraian Varietas

• Semangka berbiji Varietas BT1 dan BT2

Perbenihan

• Pesemaian 4 m x 1 m, media campuran tanah, pupuk kandang, NPK 80g, 75g insektisida karbofuran. • Umur benih 14 hari ditransplanting

Media tanam • • • • • Penanaman

Guludan bekas tanaman tomat dengan luas lahan 15 m x 25 m Bedengan berjumlah 12 buah, panjang bedengan 6 x 1 m Tanahnya dicangkul agar tekstur remah. Pemberian pupuk kandang dosis 3 kg/tanaman, pemberian dolomit Pemberian mulsa plastik perak/hitam pada bedengan

• Umur bibit 14 hari • Jarak tanam 90 x 300 cm (sistem tunggal)

Pemeliharaan • Menyulurkan ranting, pemberian sarasah,dimulai saat panjang tanaman 50 cm, Pengairan dan pengatusan, Penyerbukan, Pembuangan ranting, Perempelan buah (menyeleksi buah satu tanaman 2 buah), menempatkan satu buah pada turus, Pengendalian hama penyakit • Pemupukan : a) Dasar ZA+TSP+KCl+Urea=(30+45+40+15)g/tan, 3 hari sebelum tanam b) Susulan: 1. ZA+KCl+Urea10+10+5)g/tan, waktu 10 hst. 2. ZA+TSP+KCl+Urea (50+15+35+25)g/tan. waktu 14 hari setelah pupuk susulan I 3. ZA+KCl (65+25) g/tan., waktu 14 hari setelah pupuk susulan II 4. ZA+KCl (15+20) g/tan., 14 hari setelah pupuk susulan III

574

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Hasil analisis statistik, rata-rata produksi buah setiap varietas tidak ada beda, rata-rata produksi untuk kedua varietas pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Produksi Varietas Produksi pada luas Produksi semangka pekarangan (375 m2) (kg) per ha (kg) BT1 149,45 3586,8 BT2 159,30 3823,30 tn tn Hasil produksi varietas BT1 dan BT2 jika ditanam sistem turus pada lahan pekarangan ternyata sama yaitu penanaman di lahan pekarangan seluas 375 m2 memberikan hasil 149,45 kg pada BT1 dan 159,30 kg pada BT2. Jika dikonversikan dalam ha maka memberi hasil 3,5 sampai 3,8 ton/ha/musim. Hal ini karena budidaya yang dilakukan untuk kedua varietas adalah mendapatkan teknologi pengelolaan yang sama (hara, pemangkasan, penjarangan buah satu tanaman 2 buah, ditanam pada lahan pekarangan yang tidak ternaungi) selain itu juga disebabkan sifat genetis kedua varietas tersebut. Berat tiap buahnya kedua varietas rata-rata sama yaitu sekitar 2-3 kg. Salah satu syarat tumbuh pada tanaman semangka adalah seluruh areal tanam perlu sinar matahari yang cukup dengan suhu rata-rata siang hari sekitar 25º C. Untuk mengembangkan tanaman semangka dengan menanam sistem turus pada lahan pekarangan perlu dihindari adanya naungan. Jika ternaungi akan membuat perkembangan buah terhambat (Anonim, 2000) Semangka varietas BT1 dan BT2 saat muncul bunga adalah sekitar 61 hari setelah semai benih dan saat muncul buah 11 hari setelah bunga mekar serta buah dapat dipanen 36 hari dari saat bunga. Untuk kedua varietas BT1 dan BT2 dapat dipanen pada umur 108 hari setelah bunga. (Anonim, 2000), umur panen tanaman semangka setelah 70-100 hari setelah penanaman. Ciri-cirinya adalah setelah terjadi perubahan warna buah, dan batang buah mulai mengecil maka buah tersebut bisa dipetik (dipanen). Masa panen dipengaruhi cuaca, dan

jenis bibit (tipe hibrida/jenis triploid, maupun jenis buah berbiji). KESIMPULAN Semangka varietas BT1 dan BT2 dapat ditanam pada lahan pekarangan seluas 375 m2 dengan system turus. Produksi untuk kedua veritas tersebut tidak berbeda nyata, produksi varietas BT1 mencapai 149,45 kg/375 m2 atau 3586,8 kg/ha dan varietas BT2 mencapai 159,30 kg/375 m2 atau 3823,30 kg/ha. DAFTAR PUSTAKA Balitbu, 2006. Sekilas tentang Balai Penelitian tanaman Buah Solok. Anonim. 2000. Budidaya Semangka. Sumber informasi managemen pembangunan di perdesaan . Bapenas. Prihatman (Ed). http://www.dapurusaha.com (4-11-2012) Khaerudin, D dan Rina N.S., 2000. Petunjuk bertanam semangka system Turus. Penebar Swadaya Kemenristek. 2005. Teknologi Tepat Guna Budidaya Semangka. http://www.iptek.net.id (4-11-2012) Kompas. 2010. Bertekun dalam pertanian di lahan gambut. http://jikalahari.or.id (4-112012) Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 2006. Agribisnis Semangka Non Biji. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 4 p.

Purbiati T. dan Destiwarni. 2011. Semangka bisa ditanam di pekarangan. Warta Litbang Vol. 33(4): 10-11 Wihardjo dan Suwandi, 1993. Bertanam semangka. Kanisius. Yogyakarta. 107 p Yulianto E.H., 2005. Pengaruh biaya saprodi dan tenaga kerja terhadap pendapatan usaha tani semangka. EPP. Vol. 2(2): 24-32.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

575

UNDIP PRESS

PENGARUH VOLUME MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN SAWI (PAKCOY) DAN SELADA YANG DITANAM DALAM POT DI PEKARANGAN Yudi Sastro, Indarti P. Lestari, dan Chery S. Amatila Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jalan Raya Ragunan No. 30. Pasar Minggu Jakarta selatan (12540). Telp. (021) 78839949 Email : [email protected]

ABSTRAK Salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan budidaya sayuran dalam pot di pekarangan adalah volume media tanam. Volume media tanam berkaitan erat dengan kemampuan media dalam mendukung tumbuh-kembangnya perakaran serta untuk menahan serta menyuplai air dan hara tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh volume media tanam terhadap pertumbuhan sawi (Pakcoy) dan selada yang di tanam dalam pot di pekarangan. Penelitian dilaksanakan di pekarangan rumah tangga di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan dari bulan Maret hingga Agustus 2012. Komposisi media tanam yang digunakan meliputi campuran tanah, kompos, dan sekam dengan perbandingan berat 5:1:1. Perlakuan uji meliputi volume media 1, 3, dan 5 kg. Setiap perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan lima ulangan dengan masingmasing ulangan terdiri atas 10 pot tanaman dan tiga unit tanaman per pot sebagai titik pengamatan. Peubah pengamatan terdiri atas peubah pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil pengujian menunjukkan bahwa volume media tanam nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil pakcoy dan selada. Pertumbuhan serta hasil pakcoy dan selada pada perlakuan volume media 1 kg nyata lebih rendah dibandingkan volume media 3 dan 5 kg serta tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume media 3 dan 5 kg. Rerata berat panen pakcoy pada volume media 1, 3, dan 5 kg berturut-turut mencapai 34,2; 147,4 dan 172,6 gram per pot, sedangkan berat panen selada berturut-turut mencapai 32,9; 109,6 dan 110,3 gram per pot. Kata kunci : media, pot, pakcoy, selada

PENDAHULUAN Budidaya sayuran di pekarangan, khususnya di perkotaan, memiliki pendekatan teknis yang cukup berbeda dengan budidaya di lapangan. Sempitnya lahan pekarangan serta tingginya intensitas pemanfaatan pekarangan dalam pemenuhan kebutuhan sosial penghuninya, menyebabkan budidaya sayuran di pekarangan umumnya dillakukan melalui sistem pot. Penanaman sistem pot akan memudahkan mobilitas dan pengaturan tanaman di pekarangan, baik pengaturan terkait pemenuhan kebutuhan tanaman akan faktor tumbuh, pemenuhan kaidah estetika pekarangan, maupun kebutuhan-kebutuhan lain yang terkait dengan peran tanaman dalam sistem budidaya di pekarangan. Namun demikian, keberhasilan budidaya

576

sayuran dalam pot memiliki cukup banyak tantangan, diantaranya terkait dengan ukuran pot, jenis dan volume media, serta pengairan. Telah dilaporkan bahwa ukuran volume media pada tanaman pot berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman (Lima et al., 2006; Gomes et al., 2003; Queiroz and Melém, 2001). Ukuran pot atau volume media tanam yang terlalu besar akan menyebabkan pemborosan tempat, tenaga, serta biaya operasional yang dibutuhkan. Sementara itu, volume media tanam yang terlalu kecil akan menyebabkan penghambatan perkembangan akar (Ne Smith dan Duval, 1998; Kembel et al., 1994; Dubik et al., 1992), suplai oksigen (Peterson et al., 1991), dan penahanan air oleh media (Bilderback dan Fonteno, 1991; Krizek et al., 1985). Kondisi penghambatan demikian akan menyebabkan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

terhambatnya pertumbuhan tanaman dan tingginya intensitas penyiraman yang harus dilakukan (Geply et al., 2011; Ismail et al., 2007; van Iersel, 1997; Latimer et al., 1991). Oleh sebab itu, ukuran volume media yang ideal untuk tanaman pot adalah ukuran yang mampu mendukung tumbuh kembangnya perakaran, suplai hara, air, dan oksigen untuk tanaman. Namun demikian, hasil penelitian terhadap volume dan jenis media tanam yang ideal untuk tanaman pot masih sangat terbatas, diantaranya Ne Smith et al. (1992, 1993); Nicola dan Cantliffe (1996); Samadi (2011); Navindra et al. (2011); Al-Menaie et al. (2012). Belum ada laporan yang mengungkapkan volume media tanam yang tepat untuk beberapa jenis sayuran yang populer dan potensial sebagai tanaman pot di pekarangan. Oleh sebab itu, penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh volume media pada pakcoy dan selada yang ditanam di pekarangan masih perlu dilakukan. METODE Penelitian dilaksanakan di pekarangan rumah tangga di wilayah Jagakarsa yang difungsikan sebagai Kebun Komunitas Warga Jalan Aseli, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pelaksanaan kegiatan dimulai dari bulan Maret hingga Agustus 2012. Bahan penelitian meliputi media tanam berupa campuran tanah bagian atas (Top soil) 75% (b/b), kompos sampah rumah tangga 20% (b/b), dan sekam segar 5% (b/b); pot plastik ukuran volume 1, 3, dan 5 kg; serta benih sawi (White Pakcoy) dan selada (Grand Rapid, Panah Merah). Perlakuan volume media tanam yang diujikan pada setiap tanaman, meliputi volume media 1, 3, dan 5kg. Perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima blok percobaan sebagai ulangan. Masing-masing perlakuan pada blok percobaan terdiri atas 10 pot ulangan. Pada setiap pot ditanami 3 bibit tanaman sawi dan selada sehingga total unit pengamatan pada setiap perlakuan pada masing masing komoditas sebanyak 150 tanaman. Peubah pengamatan terdiri atas tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, dan berat panen. Pengaruh perlakuan terhadap masing-masing peubah ditentukan menggunakan analisis varian yang dilanjutkan dengan uji Duncan, masing-masing

pada tingkat kepercayaan 95%. Bibit tanaman diperbanyak dalam wadah pembibitan (tray) dan dipindah-tanamkan dalam pot uji tiga minggu setelah disemai. Pemupukan dilakukan setiap minggu menggunakan NPK 15:15:15 yang dilarutkan dalam air (10 g/l air) sebanyak 100 ml per pot. Penyiraman tanaman dilakukan sebanyak dua kali sehari dengan volume 100 ml per pot pada minggu pertama setelah pindah tanam dan 300 ml per pot pada minggu selanjutnya hingga panen. Pencegahan serangan hama dan penyakit dilakukan menggunakan insektisida Decis dan Dithane M45 melalui penyemprotan setiap minggu dengan takaran sesuai anjuran. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa peubah tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan berat panen pakcoy yang ditanam dalam pot nyata dipengaruhi oleh volume media (Tabel 1). Dari data tersebut terlihat bahwa volume media satu kilogram belum mencukupi dan tidak mampu mendukung pertumbuhan dan hasil pakcoy dalam ukuran yang memuaskan. Sementara itu, volume media tiga kilogram memberikan pengaruh yang sebanding dan tidak berbeda dengan volume media lima kilogram (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh Volume Media Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Pakcoy Di Dalam Pot Volume Tinggi Jumlah Diameter Berat Media tanaman daun batang panen (kg) (cm) (cm) (g) 1 17,7 b 10,4 b 2,7 b 34,2 c 3 24,5 a 16,6 a 5,6 a 147,4 b 5 25,1 a 16,5 a 6,4 a 172,6 a Angka-angka yang diikuti huruf yang sama sekolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%.

Berbeda dengan peubah pertumbuhan, hasil pakcoy pada perlakuan volume media tiga kilogram nyata lebih rendah dibandingkan volume media lima kilogram (Tabel 1). Namun demikian, meskipun hasil panen pada perlakuan tiga kilogram lebih rendah dibandingkan volume 5 kilogram, akan tetapi input yang dikeluarkan pada perlakuan volume media tiga kilogram jauh lebih kecil dibandingkan volume media 5 kilogram (Tabel 2). Oleh sebab itu, volume media tiga kilogram lebih mungkin untuk dipilih

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

577

UNDIP PRESS

dalam pengembangan sawi di dalam pot di pekarangan. Tabel 2. Perhitungan Sederhana Biaya Yang Harus Dikeluarkan Per Perlakuan Volume Media Tanam Biaya Input (Rp) 1 kg 3 kg 5 kg Benih Sama/ Sama/ Sama/ diabaikan diabaikan diabaikan Pot 1000 3000 4500 Tanah 180 900 1500 (60%,b/b) Kompos 200 600 1000 (20%) Sekam (1% 100 300 500 Total 1480 4800 7500 Serupa dengan pakcoy, volume media satu kilogram nyata memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih rendah dibandingkan volume media tiga dan lima kilogram. Rerata tingkat pertumbuhan dan hasil pada perlakuan volume media satu kilogram jauh lebih kecil dari pertumbuhan dan hasil optimal jenis selada tersebut. Tidak terdapat perbedaan pertumbuhan dan hasil selada pada perlakuan volume media tiga dan lima kilogram. Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa volume media tiga kilogram telah mampu mendukung pertumbuhan dan hasil selada yang di tanam dalam pot (Tabel 3). Hasil penelitian ini, sebagaimana dipaparkan di atas, sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya secara umum mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman sejalan dengan peningkatan volume media tanam (Al-Menaie, 2012; Geply et al., 2011; Zelkovic et al., 2010; Bandara et al., 1998; Ne Smith dan Duval, 1998; Kratky et al., 1982). Hal tersebut disebabkan karena volume media tanam berpengaruh terhadap tiga faktor utama, yaitu kemampuan menyimpan dan menyuplai hara, menahan dan menyuplai air, menyuplai oksigen, serta berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar (Navindra et al., 2011; Zeljkovic, 2010;I smail et al., 2007). Rendahnya kemampuan penyimpanan dan suplai hara akan berakibat terhadap penurunan tingkat pertumbuhan yang dicerminkan oleh penurunan

578

tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang. Tabel 3. Pengaruh Volume Media Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Selada Di Dalam Pot Volume Tinggi Jumlah Diameter Berat Media tanaman daun batang panen (kg) (cm) (cm) (g) 1 16,9 b 14,4 b 3,1 b 32,9 b 3 22,8 a 20,5 a 4,5 a 109,6 a 5 23,2 a 20,7 a 4,5 a 110,3 a Angka-angka yang diikuti huruf yang sama sekolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa volume media tanam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil pakcoy dan selada yang di tanam dalam pot dipekarangan. Pertumbuhan dan hasil pakcoy dan selada cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan volume media tanam. Namun demikian, berdasarkan tingkat pertumbuhan, hasil, dan input biaya yang digunakan maka ukuran volume media tiga kilogram merupakan media tanam yang ideal dalam budidaya sayuran pakcoy dan selada di dalam pot di pekarangan. Guna melengkapi hasil penelitian ini, pengujian cara dan jenis pemupukan serta cara dan jumlah pengairan perlu dilakukan pengujian. DAFTAR PUSTAKA Al-Menaie, H.S., O. Al-Ragam, N. Al-Dosery, M. Zalzaleh, M. Mathew and N. Suresh. 2012. Effect of pot size on plant growth and multiplication of water Lilies (Nymphaea sp). American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 12 (2): 148-153. Bandara, M.S., K. K. Tanino, and D. R. Waterer. 1998. Effect of pot size and timing of plant growth regulator treatments on growth and tuber yield in greenhouse-grown Norland and Russet Burbank Potatoes. J Plant Growth Regul. 17:75–79. Bilderback, T.E. and W.C. Fonteno. 1991. Effects of container geometry and media physical properties on air and water volumes in containers. J. Environ. Hort. 5:180-182. Dubik, S.P., D.T. Krizek, D.P. Stimart, and M.S.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

McIntosh. 1992. Growth analysis of spreading euonymus subjected to root restriction. J. Plant Nutt. 15:469-486.

growing media, pot size and sieved media on the production of Hibiscus Sabdariffa L. Seedlings. AJAE 2(5):147-154.

Geply, O.A., R.A. Baiyewu, I.A. Adegoke, O.O. Ayodele and I.T. Ademola. 2011. Effect of different pot sizes and growth media on the agronomic performance of Jatropha curcas. Pakistan Journal of Nutrition 10 (10): 952-954

Ne Smith, D.S. and J. R. Duval. 1998. The effect of container size. HortTechnology October-December 8(4).

Gomes, J.M., L. Couto, H.G. Leite, Xavier and S.L.R. Garcia, 2003. Growth of Eucalyptus grandis seedlings in different sized tubes and fertlization NPK. Revista Árvore, 27: 113-127. Ismail, S.M., Kiyoshi Ozawa and Nur A. Khondaker. 2007. Effect of irrigation frequency and timing on tomato yield, soil water dynamics and water use efficiency under drip irrigation. Eleventh International Water Technology Conference, IWTC11 2007 Sharm ElSheikh, Egypt. Pp. 69-84. Kratky, B.A., J.K. Wang, and K, Kubojiri. 1982. Effects of container size, transplant age, and plant spacing on chinese cabbage. J. Amer. Soc. Hort. Sci 107 (2):345-347. Krizek, D.T., A. Carmi, R.M. Mirecki, F.W. Snyder, and J.A. Bruce. 1985. Comparative effects of soil moisture stress and restricted root zone volume on morphogenetic and physiological responses of soybean (Glycine max (L.) Merr.). J. Expt. Bot. 36:25-38. Latimer, J.G. 1991. Container Size and Shape Influence Growth and Landscape Performance of Marigold Seedlings. Hortscience 26(2):124-126. Lima, R.L.S., L.S. Severino, M.I.L. Silva, L.S. Vale and N.E.M. Beltrão, 2006. Recipients volume and substrate composition for castor seedlings production. Agrotechnol. Sci., 30: 480-486. Navindra, B., Dursun Gianjeet and GovindenSoulange Joyce. 2011. Influence of soilless

NeSmith, D.S., D.C. Bridges, and J.C. Barbour. 1992. Bell pepper responses to root restriction. J. Plant Nutr. 15:2763-2776. NeSmith, D.S. 1993. Influence of root restriction on two cultivars of summer squash (Cucurbita pepo L.). J. Plant Nutr.16:421431. Nicola, S. and D.J. Cantliffe. 1996. Increasing cell size and reducing medium compression enhance lettuce transplant quality and field production. HortScience 31:184-189. Peterson, T.A., M.D. Reinsel, and D.T. Krizek. 1991. Tomato (Lycopersicon esculentum Mill. cv 'Better Bush) plant response to root restriction. Alteration of plant morphology. J. Expt. Bot. 42:1233- 1240. Queiroz, J.A.L. and N.J. Melem Jr., 2001. Effect of container size on development of açaí (Euterpe oleracea Mart.). J. Trop. Fruits, 23: 460-462. Samadi, A. 2011. Effect of Particle Size Distribution of Perlite and its Mixture with Organic Substrates on Cucumber in Hydroponics System. J. Agr. Sci. Tech. 13: 121-129 Van Iersel, M. 1997. Root restrition effects on growth and development of salvia (Salvia splendens). Hortscience 32(7): 1186-1190. Zeljković, S.B., Nada A. Parađiković, Tamara S. Babić, Gordana D. Đurić, Rodoljub M. Oljača, Tomislav M. Vinković and Monika B. Tkalec. 2010. Influence of biostimulant and substrate volume on root growth and development of scarlet sage (Salvia splendens L.) transplants. Journal of Agricultural Sciences 55 (1): 29-36.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

579

UNDIP PRESS

KERAGAAN HASIL IMPLEMENTASI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI KABUPATEN KENDAL (Studi Kasus di Desa Blimbing, Kecamatan Boja, Kebupaten Kendal) Joko Pramono, Muryanto, dan Agus Sutanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

ABSTRAK

Pekarangan merupakan bagian fungsional yang tak terpisahkan dari lingkungan rumah tangga. Implementasi program ketahanan pangan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian antara lain adalah Gerakan Percepatan Optimalisasi Pekarangan dan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL). M-KRPL dibangun dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Implementasi M-KRPL telah dilakukan di Desa Blimbing, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal pada bulan Mei hingga Oktober 2012. Tahapan pelaksanaan dimulai dari; (1) identifikasi potensi lokasi melalui RRA, (2) penyusunan rancang bangun model pengembangan M-KRPL, (3) sosialisasi rencana program, (4) pembinaan sumberdaya manusia, (5) implementasi M-KRPL, dan pembinaan rutin. Hasil penerapan program M-KRPL pada semester pertama dari aspek adopsi/partisipasi warga yang mengikuti tercatat sudah 39 rumah tangga atau 156 % yang mengadopsi pemanfaatan pekarangan untuk budidaya aneka tanaman sayuran, (b) sebagian besar hasil panen sayuran masih digunakan untuk konsumsi sendiri (84 %) dan sebagian kecil dijual di bakul desa setempat (16 %), (c) rerata kontribusi hasil penjualan aneka produk sayuran dari usaha intensifikasi pekarangan terhadap penurunan belanja bulanan berkisar Rp. 138.900,- hingga Rp. 140.100,-/KK/bulan, sedangkan kontribusi tunai terhadap pendapatan rumah tangga masih rendah baru mencapai Rp. 21.255,-/KK/bulan, dan (d) M-KRPL dapat menumbuhkan unit usaha produktif warga dalam bentuk unit usaha penyediaan pupuk organik, unit usaha penyediaan bibit dan unit usaha penjualan tanaman sayuran dalam pot (sayulampot) siap pajang. Beberapa kelemahan yang dominan dihadapi warga masyarakat dalam menerapkan M-KRPL adalah; (a) kurangnya pengetahuan dalam menentukan jenis tanaman yang sesuai kondisi agroekosistem dan musim, dan (b) lemahnya pengetahuan tentang budidaya sayuran terutama terkait pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Kata kunci : pekarangan, budidaya, sayulampot

PENDAHULUAN Pekarangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan rumah tangga. Di berbagai wilayah perdesaan di Jawa Tengah, dimana lahan pekarangan masih relatif luas banyak dimanfaatkan sebagai unit usahatani pendukung bagi rumah tangga tani, yaitu sebagai sumber penghasil pangan dan gizi keluarga dengan diusahakannya berbagai komoditas pangan (ubi kayu, talas, jagung) dan sayuran (kacang panjang, labu, cabai) dan lain-lain.

580

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia. Menurut undang - undang nomor 7 tahun 1996, ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Peraturan pelaksanaan UU No. 7 tersebut antara lain adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

dan penanggulangan masalah pangan. Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui penganekaragaman pangan, yaitu proses pengembangan produk pangan yang tidak tergantung kepada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan berbagai macam bahan pangan. Komitmen pemerintah pusat untuk penganekaragaman pangan ditunjukkan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Implementasi program ketahanan pangan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian antara lain adalah Gerakan Percepatan Optimalisasi Pekarangan dan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). M-KRPL yang diawali pada Bulan Nopember 2010 di Dusun Jelok, Desa Kayen, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, diinisiasi oleh Badan Litbang Pertanian. M-KRPL dibangun dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Kemtan, 2011). Melalui pengembangan rumah pangan, kebutuhan pangan dan gizi keluarga dapat terpenuhi, ekonomi produktif dapat berkembang sehingga masalah kerawanan pangan dapat teratasi dan lingkungan hijau yang bersih dan sehat dapat tercipta (Tani Pos, 2011). Pemanfaatan pekarangan sebagai salah satu lahan alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan di masyarakat cukup besar (Sismihardjo, 2008). Pekarangan adalah sebidang tanah darat terletak langsung di sekitar rumah yang jelas batas-batasnya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan (Soemarwoto et al., 1976 dalam Danoesastro, 1997). Menurut Irsal Las (Kompas, 11 April 2011), luas lahan pekarangan di Indonesia mencapai 5,5 juta hektar. Sedangkan menurut data BPS, luas lahan pekarangan di Kabupaten Kendal adalah 12.829 ha (Bappeda dan BPS Prov. Jateng, 2011).

Implementasi MKRPL di Jawa Tengah telah dimulai pada tahun 2012 di dua lokasi percontohan desa Seboto, Kab. Boyolali dan desa Salaman, Kab.Karanganyar. Pada tahun anggaran 2012, Kabupaten Kendal mendapatkan alokasi untuk membuat percontohan model pengelolaan lahan pekarangan. Tujuan dari program ini adalah untuk membuat percontohan model pengelolaan lahan pekarangan dengan berbagai aktivitas usahatani dalam bentuk ModelKawasan Rumah Pangan Lestari. METODE Kegiatan M-KRPL di laksanakan di lahan pekarangan milik masyarakat di desa Blimbing, kecamatan Boja, kabupaten Kendal. Pelaksanaan kegiatan dimulai pada bulan Mei – Oktober 2012. Lokasi kegiatan yang dibuat percontohan terfokus pada satu RT, yang terdiri dari 28 Kepala Keluarga (KK), dan areal pengembangan di tujuh RT dalam satu dukuh Blimbing Krajan. Kegiatan dilaksanakan melalui pendekatan; (a) rumah tangga tani, (b) dilaksanakan secara partisipatif, dan (c) usahatani pekarangan. Tahapan kegiatan dimulai dari; (a) koordinasi dengan unsur struktural Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Kendal dan Kepala Desa calon lokasi kegiatan M-KRPL, (b) Observasi alternatif calon lokasi bersama dengan Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten di beberapa calon lokasi, (c) Identifikasi calon lokasi melalui RRA di desa terpilih dalam rangka mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan, sumberdaya manusia, kelembagaan, penerapan teknologi usahatani tanaman dan ternak eksisting, (d) perumusan masalah dan alternatif inovasi teknologi yang akan diintroduksikan pada kegiatan dalam bentuk Rancang-bangun M-KRPL Kab. Kendal, (e) Sosialisasi program dan rancangan MKRPL di tingkat desa dan kabupaten, dan (f) implementasi Model- KRPL pada rumah tangga sasaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Desa Pengkajian Hasil identifikasi potensi desa terpilih melalui RRA, bahwa wilayah desa Blimbing secara geografis berbatasan dengan desa Bebengan di sebelah Utara, dan desa Salamsari

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

581

UNDIP PRESS

di sebelah Timur, dan desa Kaligading di sebelah Selatan, ketiga desa tersebut masih berada di wilayah kecamatan Boja, sedangkan batas di sebelah Barat adalah desa Getas, kecamatan Singorojo. Desa Blimbing berada pada ketinggian antara 360 – 430 mdpl dengan topografi dominan datar (50%) bergelombang (34 %) dan berbukit (16 %). Berdasarkan data kependudukan jumlah penduduk desa Blimbing sejumlah 2.415 jiwa, yang terdiri penduduk laki-laki 1.181 jiwa dan perempuan 1.234 jiwa. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani 43,5% dan 36,7% bergerak di bidang jasa. Sebagian besar penduduk berada pada tahap Sejahtera III sebesar 60,5% dan pra sejahtera sebanyak 28,8%. Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk, mayoritas penduduk 37,9% hanya tamat SD, dan yang tamat SLTP adalah 17,9% (Bapelluh P2K Kendal, 2011). Jika melihat kondisi pendidikan, penduduk yang demikian tentunya dibutuhkan bimbingan dan berbagai pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani, khususnya dalam memperbaiki kinerja usahatani yang terkait dengan pengelolaan pekarangan. Kondisi agroklimat desa Blimbing, berdasarkan data curah hujan rata-rata sepuluh tahun terakhir pada kisaran 3.400 – 4.200 mm/th dengan jumlah hari hujan antara 126-158 hari. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober– Mei, dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember- Maret, dengan suhu rata-rata 30 oC

pada siang hari dan 22 oC pada malam hari di musim hujan. Tata guna lahan didominasi lahan kering 129,36 ha (33%), lahan sawah 104 ha (27,3%), dan pekarangan seluas 129, 6 ha (33,8%). Melihat proporsi penggunaan lahan desa Blimbing, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang penting perannya dalam pembangunan ekonomi desa tersebut dan pekarangan cukup potensial untuk dikelola lebih intensif. Secara umum pegelolaan pekarangan belum intensif untuk usahatani tanaman sayuran dan sebagian besar digunakan untuk budidaya tanaman buah. Khususnya untuk dukuh Blimbing Krajan, yang merupakan bagian dari wilayah Desa Blimbing terdiri dari delapan RT, dan merupakan wilayah terfokus untuk kegiatan pengkajian MKRPL, wilayahnya dibelah oleh saluran irigasi yang airnya mengalir sepanjang tahun, termasuk pada musim kemarau. Kondisi ini sangat mendukung dalam upaya pengembangan intensifikasi pekarangan, karena ketersediaan air merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya tanaman (sayuran, pangan, buah) di pekarangan. Masalah Pemanfaatan Lahan Pekarangan dan Alternatif Pemecahan Berdasarkan hasil pemahaman pedesaan secara cepat atau rapid rural appraisal (RRA), yang telah dilaksanakan tim BPTP, di dampingi tim dari kabupaten terekam berbagai potensi,

Tabel 1. Potensi, Permasalahan Dalam Pengelolaan Lahan Pekaranga Kondisi dan Potensi Akar Masalah Pemecahan Masalah Alternatif Kegiatan Sebagian besar Pengetahuan Diperlukan pembinaan Pelatihan budidaya pekarangan sempit masyarakat dan penyuluhan sayulampot strata 1 (SDM) tentang budidaya sayuran di Studi banding lokasi Sebagian kecil intensifikasi lahan sempit MKRPL masyarakat yang pekarangan Peningkatan kapasitas Membuat percontohan memiliki pekarangan kurang SDM melalui studi budidaya sayuran vertikal luas belum dikelola Modal untuk banding di desa yang (vertikultur) dilahan sempit secara intensif menunjang usaha sudah berhasil Pemanfaatan lahan untuk Pengetahuan warga intensifikasi menerapkan program kolam-kolam ikan dari terhadap budidayaa terbatas intensifikasi pekarangan terpal sayuran po rendah Akses ke sumber (KRPL) Membuat saluran-saluran Tersedia sumber air teknologi terbatas Insentif modal dalam air dengan pipa paralon dari melimpah sepanjang bentuk inovasi dan sumber air ke rumah tangga musim sarana penunjang

582

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

permasalahan warga dalam mengembangkan usahatani pekarangan. Potensi dan permasalahan dalam mengembangkan usaha pekarangan di desa Blimbing, kecamatan Boja, secara rinci disajikan pada Tabel 1. Perkembangan Implementasi M-KRPL

Pada awal kegiatan pengkajian MKRPL kondisi lahan pekarangan warga pada umumnya belum dikelola secara intensif, sebagian besar warga menganggap bahwa lahan sempit yang ada (kurang dari 50 m2), tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya aneka sayuran, tapi hanya sekedar sebagai area bermain anak-anak,

Tabel 2. Kondisi Pekarangan Warga RT. 07 Sebelum Dan Sesudah Implementasi Program MKRPL, Di Desa Blimbing, Kendal Tahun 2012 Luas pekarangan Kondisi eksisting Kondisi No Nama warga (Maret-2012) (Oktober 2012) (m2) 1 Sapani 200 belum dimanfaatan aneka sayuran dalam pot, dan bedengan, para-para 2 Mustaqim Taryono 65 12 Total 20 Sumber: KKN Suiji (2011)

Faktor urbanisasi menyebabkan terjadinya pengurangan penduduk secara drastis di pulau Aijima. Generasi muda memilih untuk keluar dari pulau ini karena terbatasnya kesempatan untuk bekerja dan tidak adanya berbagai fasilitas seperti sekolah, rumah sakit, kantor pemerintahan, bank serta fasilitas lainnya. Penduduk pulau untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bekerja sebagai nelayan. Hasil ikan selain untuk konsumsi sendiri juga dijual melalui koperasi nelayan yang berada di daerah lain (Hojo). Terbatasnya lapangan pekerjaan di pulau Aijima menyebabkan generasi muda yang produktif melakukan urbanisasi ke daerah lain yang lebih menjanjikan. Penduduk yang tersisa dan bertahan di pulau ini adalah generasi tua yang memilih untuk tinggal karena berbagai faktor seperti adanya

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

kepemilikan terhadap tanah dan ingin hidup tenang di hari tua. Adanya keluarga muda yang memilih untuk tinggal menetap karena faktor preferensi tinggal di wilayah yang jauh dari keramaian. KAWASAN PERUMAHAN Lokasi wilayah perumahan terletak di sepanjang pesisir pantai selatan Pulau Aijima yang berada pada topografi datar (0 – 8%). Bersebelahan dengan kawasan perumahan, terdapat kawasan hutan. Luas kawasan hutan ini semakin meningkat karena lahan pertanian yang ditinggalkan oleh pemiliknya berubah menjadi hutan. Lahan pertanian tersebut masih dapat dikenali berdasarkan adanya teras batu di lokasi hutan. Jumlah rumah yang masih berdiri sekitar 40 rumah. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10 rumah yang ditempati oleh pemiliknya. Sedangkan lainnya ada yang menjadi rumah peristirahatan ketika musim liburan tiba dan sisanya ada yang sudah mulai rusak karena sudah benar-benar ditinggalkan. Penduduk yang tinggal pada umumnya memiliki lahan pekarangan. Lahan kosong di sekitar rumah, yaitu di depan, samping dan belakang rumah dimanfaatkan dengan menanam tanaman sayuran. JENIS TANAMAN Pada umumnya penduduk memanfaatkan lahan pekarangan dengan menanam berbagai jenis tanaman hortikultura. Penanaman jenis tanaman disesuaikan dengan musim yang sedang berlangsung. Pada musim gugur, penduduk menanam tanaman hortikultura seperti terong, labu, selada, pakcoy, daun bawang, kentang, lobak, dan tomat. Selain itu penduduk juga menanam tanaman pangan yaitu jenis umbiumbian. Pada musim panas, penduduk memanfaatkan lahan pekarangan dengan menanam semangka. Selain menanam tanaman hortikultura, penduduk juga menanam pohon jeruk. Pohon jeruk biasanya ditanam di pinggir lahan pekarangan dan jumlah yang ditanam hanya sedikit. Hasil dari usaha menanam tanaman hortikultura dan jeruk dimanfaatkan untuk konsumsi pangan tiap keluarga. Hasil dari kegiatan tersebut tidak ada yang untuk

diperdagangkan. Menurut data Matsuyama City (2005), tidak ada aktivitas kegiatan agribisnis di pulau Aijima. Dalam pemeliharaan tanaman di lahan pekarangan, pemberian pupuk dilakukan agar kesuburan tanah terjaga. Penduduk biasanya menggunakan pupuk organik yang berasal dari sumberdaya lokal yang mudah tersedia di sekitar pulau. Pupuk organik merupakan pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Peraturan Menteri Pertanian, 2006) (Gambar.3).

Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura Yang Ditanam Pupuk yang biasa digunakan penduduk berasal dari rumput laut. Nama lokalnya yaitu garamo (Gambar 4). Rumput laut yang biasa digunakan diambil dari tepi pantai akibat terkena hempasan ombak air laut sehingga sampai di

Gambar 4. Pupuk Organik Dari Rumput Laut

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

687

UNDIP PRESS

pesisir tepi pantai. Penduduk mengumpulkan garamo di bagian pantai utara pulau. Rumput laut mempunyai kandungan mineral yang tinggi, sehingga perbaikan hara dengan menggunakan rumput laut sebagai kompos dapat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah. FAKTOR PENDORONG KEMANDIRIAN PANGAN Penduduk Pulau Aijima memanfaatkan lahan pekarangan dengan berbagai tanaman hortikultura karena mereka membutuhkan sayuran sebagai pangan mereka. Terdapat berbagai faktor pendukung yang mendorong penduduk sehingga tercipta kemandirian pangan, yaitu: 1. Lokasi terpencil Pulau Aijima merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan sehingga menanam sayuran termasuk kebutuhan utama karena akses untuk keluar dari pulau yang tidak murah. Menanam tanaman hortikultura merupakan solusi yang efektif untuk mencukupi kebutuhan pangan sayuran sehari-hari. 2. Fasilitas terbatas Pemerintah setempat memberikan sarana transportasi untuk menghubungkan Pulau Aijima dengan Hojo yaitu kapal ferry. Kapal ferry yang menghubungkan Pulau Aijima-Hojo hanya berangkat sehari sekali. Pada hari Senin sampai dengan Jumat, kapal ferry berangkat dari Pulau Aijima pukul 07.00 dan kembali pukul 16.00. Pada hari Sabtu dan Minggu, kapal ferry berangkat dari Pulau Aijima pukul 08.00 dan kembali pukul 16.00. Jumlah populasi penduduk yang rendah menyebabkan di Pulau Aijima tidak terdapat fasilitas toko atau pasar. Kegiatan ekonomi di pulau ini berjalan sangat lambat karena aktivitas utama penduduk hanya nelayan dan menanam di lahan pekarangan. Kegiatan usaha pertanian di lahan tegalan/kebun hanya sedikit karena kurangnya sumberdaya manusia yang produktif. Bahkan kebun yang ada beralih menjadi hutan. Fasilitas transportasi yang terbatas dan tidak ada pasar dan toko di pulau menyebabkan akses untuk mendapatkan sayuran cukup jauh. Melalui kegiatan menanam hortikultura di lahan pekarangan, kebutuhan penduduk akan sayuran dapat terpenuhi.

688

MANFAAT LAHAN PEKARANGAN Lahan pekarangan yang diusahakan di Pulau Aijma mempunyai berbagai manfaat yaitu: 1. Tercipta kemandirian pangan Penduduk Aijima memilih menanam berbagai jenis tanaman hortikultura dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Hasil dari usaha menanam digunakan untuk konsumsi pangan keluarga. Lokasi terpencil dan transportasi terbatas menyebabkan akses untuk mendapatkan tanaman hortikultura juga terbatas. Melalui usaha menanam di lahan pekarangan, kebutuhan penduduk akan sayuran dapat terpenuhi. Sedangkan kebutuhan akan protein dapat tercukupi dari kegiatan memancing ikan/ menangkap ikan di laut. Untuk kebutuhan pangan beras dan jenis makanan lainnya penduduk dapat membeli ke pusat perekonomian terdekat dengan menggunakan kapal ferry. 2. Menghemat pengeluaran keluarga Melalui kegiatan menanam tanaman hortikultura, penduduk tidak perlu mengeluarkan biaya akan kebutuhan sayuran. Dengan demikian penduduk dapat menghemat pengeluaran karena biaya transportasi keluar pulau yang tidak murah. 3. Mengisi waktu luang Sebagian besar penduduk pulau sudah berumur lanjut yaitu lebih dari 65 tahun. Meskipun sudah berumur lanjut, penduduk manula (manusia lanjut usia) masih sehat dan dapat beraktivitas. Kegiatan menanam dan merawat tanaman merupakan aktivitas rutin untuk mengisi waktu luang di hari tua. 4. Menunjukkan rumah berpenghuni Banyak rumah di pulau Aijima yang masih berdiri bagus meskipun sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Jarangnya rumah yang dihuni di pulau Aijima menyebabkan lahan pekarangan yang dirawat dan ditanam tanaman hortikultura menjadikan ciri bahwa rumah tersebut berpenghuni. KESIMPULAN Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh penduduk di Pulau Aijima adalah tanaman sayuran seperti terong, labu, selada, pakcoy, daun bawang, kentang, lobak, dan tomat. Faktor pendorong kemandirian pangan di pulau tersebut adalah karena lokasi yang terpencil dan fasilitas terbatas. Manfaat yang dirasakan melalui

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

pendayagunaan lahan pekarangan yaitu terciptanya kemandirian pangan, menghemat pengeluaran keluarga, dapat mengisi waktu luang, dan menunjukkan rumah berpenghuni. DAFTAR PUSTAKA KKN Report. 2011. KKN Activities in Aijima Island, Matsuyama Japan. Matsuyama City. 2005. Basic Data Sato Jima

Plan. Peraturan Menteri Pertanian. 2006. Tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. No.2/Pert/Hk.060/2/2006 Swastika DKS. 2011. Membangun Kemandirian Dan Kedaulatan Pangan Untuk Mengentaskan Petani Dari Kemiskinan. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(2), 2011: 103-117.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

689

UNDIP PRESS

UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN MELALUI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Subagiyo, Kurnianita Triwidyastuti dan Suparjana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jalan Stadion Maguwo No 22, Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta Email: [email protected]

ABSTRAK Pengakajian upaya pemantapan ketahanan pangan melalui model kawasan rumah pangan lestari bertujuan untuk menganalisis upaya pemantapan ketahanan pangan di perdesaan melalui kegiatan model kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Gunungkidul. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Nopember 2011 sampai dengan Oktober 2012 di tiga lokasi: (1) dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran, Patuk; (2) dusun Sendowo Lor, Kedungkeris, Nglipar dan (3) dusun Singkar I, Wareng, Wonosari. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan secara partisipatif, sedangkan analisis dilakukan secara deskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa model kawasan rumah pangan lestari telah banyak direplikasi di bebrapa dusun dengan cara swadaya, dan secara nyata telah mampu mengurangi pengeluaran keluarga utamanya untuk belanja sayuran. Disamping itu, telah tumbuh penganekaragaman pangan melalui pengolahan pangan lokal sebagai usaha home industri di perdesaan. Kata kunci: pemantapan, ketahanan pangan, M-KRPL

PENDAHULUAN Luas wilayah di Kabupaten Gunungkidul sebesar 1.485,36 km2 yang meliputi 18 kecamatan dan 144 desa (BPS, 2008). Sedangkan jumlah penduduknya tercatat 670.433 jiwa, dengan komposisi jumlah penduduk laki-laki 236.874 jiwa dan penduduk perempuan 343.559 jiwa (Gunungkidul dalam angka, 2008). Kepadatan penduduk Kabupaten Gunungkidul yang dihuni rata-rata 461 jiwa per km2. Komposisi nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dapat diketahui bahwa peran sektor Pertanian sebagai penyumbang terbesar dalam perekonomian kabupaten Gunungkidul. Pada tahun 2008, andil terbesar berasal dari sektor pertanian (35,07 persen) jasa-jasa sebesar 17,30 persen, sektor perdagangan/hotel/restaurant (14,62 persen), sektor industri pengolahan memiliki andil, (14,62 persen). Sektor bangunan, sektor angkutan/komunikasi, sektor keuangan tercatat sebesar 9,01 persen, 6,73 persen dan 4,30 persen (BPS, Gunungkidul. 2008).

690

Pola konsumsi rata-rata penduduk Indonesia belum ideal menurut standar normatif gizi dan kesehatan. Hal ini diindikasikan oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 74,9 (nilai ideal skor PPH adalah 100). PPH menggambarkan pola pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang, dengan target sebesar 95 pada tahun 2015, (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Diversifikasi usahatani di pekarangan dikaitkan dengan upaya peningkatan ketahanan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga, pemanfaatan lahan pekarangan dilakukan melalui pengembangan dan diversifikasi komoditas biofarmaka, (sereh, jahe, kencur, kunyit, dll), sayuran (cabe, tomat, kacang panjang, bayam, pak coy, caisin, dll) dan buah-buahan (pepaya, mangga, delima, dll) serta unggas (ayam, itik, kelinci) maupun perikanan darat. Untuk memenuhi Pola Pangan Harapan, diperlukan model diversifikasi yang dapat memenuhi kebutuhan kelompok pangan (padipadian, aneka umbi, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lainnya) bagi keluarga.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Model ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Hal ini menjadi prioritas pembangunan pertanian nasional dari waktu ke waktu. Ke depan, setiap rumah tangga diharapkan mengoptimalisasi sumberdaya yang dimiliki, termasuk pekarangan, dalam menyediakan pangan bagi keluarga. Kementerian Pertanian menginisiasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL). RPL adalah rumah penduduk yang mengusahakan pekarangan secara intensif untuk dimanfaatkan dengan berbagai sumberdaya lokal secara bijaksana yang menjamin kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan beragam. Apabila RPL dikembangkan dalam skala luas, berbasis dusun (kampung), desa, atau wilayah lain yang memungkinkan, penerapan prinsip Rumah Pangan Lestari (RPL) disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Selain itu, KRPL juga mencakup upaya intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya (sekolah, rumah ibadah, dan lainnya), lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil. Kegiatan M-KRPL bertujuan: (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekaranga; (2) meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat, pemeliharaan ternak dan ikan serta diversifikasi pangan; (3) mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; (4) mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri METODE Pengakajian upaya pemantapan ketahanan pangan melalui model kawasan rumah pangan

lestari bertujuan untuk menganalisis upaya pemantapan ketahanan pangan di perdesaan melalui kegiatan model kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Gunungkidul. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Nopember 2011 sampai dengan Oktober 2012 di tiga lokasi: (1) dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran, Patuk; (2) dusun Sendowo Lor, Kedungkeris, Nglipar dan (3) dusun Singkar I, Wareng, Wonosari. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan secara partisipatif, sedangkan analisis dilakukan secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Kegiatan M-KRPL Beberapa tahapan yang telah dilakukan agar pelaksanaan berjalan secara terstruktur dan runtut. Tahapan tersebut meliputi persiapan, pembentukan kelompok, sosialisasi, penguatan kelembagaan keleompok, perencanaan kegiatan, pelatihan, pelaksanaan, dan tahap terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan M-KRPL di kabupaten Gunungkidul dilakukan di tiga kecamatan, satu kecamatan merupakan lanjutan tahun sebelumnya yaitu dusun Nglanggeran Kulon, desa Ngglanggeran, kecamatan Patuk, dan dua kecamatan merupakan lokasi baru yaitu dusun Singkar-1, Desa Wareng, Kecamatan Wonosari dan dusun Sendowo Lor, Desa Kedungkeris Kecamatan Nglipar. Adapun tahapan pelaksanaannya sebagai berikut: Persiapan Pada tahapan ini dilakukan berbagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber, selain itu juga dilakukan konsultasi / koordinasi dengan berbagai pihak antara lain dengan pemerintah desa, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian dan Dinas Pariwisata. Sedangkan untuk penyuluh pendamping dilapang diambil dari BPP setempat. Sosialisasi Sosialisasi dilakukan dengan peserta dan calon peserta pelaksana kegiatan M-KRPL yaitu kelompoktani, KWT, penyuluh pendamping, pemerintah desa, pemerintah camat dan pemangku kepentingan laiinya. Pada saat sosialisasi disampaikan maksud dan tujuan MKRPL, sehingga terjadi pemahaman dan persamaan persepsi terhadap kegiatan yang akan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

691

UNDIP PRESS

dilaksanakan. Selanjutkan dibuat rencana kerja dalam pelaksanaan kegiatan M-KRPL. Rencana kerja dibuat berdasarkan kesepakatan bersama yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selanjutnya, sehingga dapat dipakai sebagai bahan evaluasi. Rencana Kerja Kelompok Sido Muncul Berdasarkan hasil kesepakatan maka disusun rencana kerja M-KRPL pelaksanaan kegiatan di tiga lokasi, adapun rencana kerja yang berhasil disusun meliputi: (1) Perbaikan/pembuatan Kebun Bibit Desa (KDB); (2) Budidaya tanaman di pekarangan; kawasan rumah tangga; (3) Bidiadaya tanaman di pinggir jalan; (4) pengolahan hasil pertanian; dan (5) pengelolaan ternak/ikan secara kelompok. Dari lima rencana kerja tersebut sebagian besar sudah dapat dilaksanakan walaupun belum maksimal karena berbagai permasalan yang dihadapi di masing-masing lokasi. Secara keseluruhan dari masing-masing lokasi diuraikan sebagai berikut: Dusun Nglanggeran Kulon desa Nglanggeran kecamatan Patuk M-KRPL di dusun Nglanggeran Kulon, Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul. Secara geografis berada pada 07º 50’ 34,2” dan 110º 32’ 08,9”, pada ketinggian 391 m dari permukaan laut (dpl). M-KRPL ini berada dikawasan wisata alam berupa Gunung Api Purba, selain itu juga mendukung ketahanan pangan perdesaanJarak dari ibukota kecamatan 4 km, dari ibukota kabupaten 22 km dan dari ibukota provinsi 25 km. Sebagian besar penduduk dusun Nglanggeran hidup dari pertanian dengan tanaman utama padi dan palawija. Pola tanam lahan sawah padi-padi –palawija (16,5919 ha), tegal (70,6955 ha) dengan pola tanaman tumpangsari kacang tanah-jagung-ubikayu/ gogo-jagung-ubikayu/ kedelai – jagung-ubikayu / jagung-ubikayu atau monokultur kacang tanah/jagung gogo. Pekarangan (30,5840 ha) dengan berbagai tanaman campuran seperti umbi-umbian (ganyong, uwi, gembili, ubikayu), buah-buahan (mangga, rambutan, durian, pete, sawo, pisang), tanaman perkebuanan (kakao, kelapa) dan tanaman pangan (jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu, sayur-sayuran). Kegiatan M-KRPL desa Nglanggeran yang

692

telah dilaksanakan meliputi kegiatana pembuatan kebun bibit desa (KBD) dengan ukuran 4x8 m2, pelatihan budidaya tanaman dalam polibag, pelatihan pembuatan media tanam pembibitan tanaman sayuran, pelatihan pasca panen hasil pertanian. Jumlah anggota keluarga yang terlibat pada kegiatan ini sebanyak 40 KK yang tergabung dalam kelompoktani Sido Muncul, sampai dengan saat ini telah berkembang di dua dusun yang lain sebanyak 25 KK dan 18 KK, bahkan berdasarkan informasi juga telah dikembangkan di luar kecamatan (Tepus dan Paliyan). Perkembangan RPL dilapang sangat beragam ada yang terawat dengan baik dan ada pula yang kurang baik, hal ini terkendala dengan masalah air di musim kemarau ini. Hasil survai terhadap Pola Pangan Harapan (PPH) menunjukkan skor 82,90 untuk anggota lama dan 54,66 anggota baru. Dari nilai skor PPH menunjukkan bahwa pola pangan harapan masih jauh dari ideal terutama untuk anggota yang baru. Dengan kegiatan M-KRPL ini diharapkan akan terjadi kenaikan skor PPH sesuai konsep PPH yang ideal pada skor 95, dalam arti bahwa diversifikasi konsumsi pangan sudah seimbang. Lokasi dusun Sendowo Lor, Kedungkeris, kecamatan Nglipar

desa

M-KRPL di dusun Sendowo Lor, Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul. Secara geografis berada pada 070 53’ 5’’ dan 1100 35’ 38”, pada ketinggian 500 700 m dari permukaan laut (dpl). Pelaksanaan M-KRPL dusun Singkar I, dilaksanakan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Sinar yang beranggotakan 34 KK. Kegiatan M-KRPL dusun Sendowo Lor, Kedungkeris yang telah dilaksanakan meliputi kegiatana pembuatan kebun bibit desa (KBD) dengan ukuran 4x8 m2, pelatihan budidaya tanaman dalam polibag, pelatihan pembuatan media tanam pembibitan tanaman sayuran, sedangkan pelatihan pasca panen hasil pertanian, perikanan dan peternakan masih dalam penjadwalan. Keterkaitan program dengan pemerintah kabupaten melalui Badan Ketahahan Pangan dan Penyuluhan yang sudah terlaksana yaitu Program Peningkatan Diverisikasi Pangan dan Ketahanan Pangan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

(P2KP). Keterlibatan penyuuluh pendamping dari BPP setempat sangat inten dan diharapkan hal ini dapat terus ditingkatkan. Hasil survai terhadap Pola Pangan Harapan (PPH) menunjukkan skor 75,18. Dari nilai skor PPH menunjukkan bahwa pola pangan harapan masih jauh dari ideal. Dengan kegiatan M-KRPL ini diharapkan akan terjadi kenaikan skor PPH sesuai konsep PPH yang ideal pada skor 95, dalam arti bahwa diversifikasi konsumsi pangan sudah seimbang. Lokasi dusun Singkar I, desa Wareng, kecamatan Wonosari M-KRPL di dusun dusun Singkar I, desa Wareng, kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Secara geografis berada pada 070 59’ 33,89” dan1100 33’ 37,67” dengan ketinggian m dari permukaan laut (dpl). Pelaksanaan MKRPL dusun Singkar I, dilaksanakan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Sinar yang beranggotakan 30 KK, namun ada kelompok pendukung dengan swadaya sebanyak 25 KK. Kegiatan M-KRPL dusun Singkar I, Wareng yang telah dilaksanakan meliputi kegiatan pembuatan kebun bibit desa (KBD) dengan ukuran 4x8 m2, pelatihan budidaya tanaman dalam polibag, pelatihan pembuatan media tanam pembibitan tanaman sayuran, pelatihan pasca panen hasil pertanian, perikanan dan peternakan. Keterkaitan program dengan pemerintah kabupaten melalui Badan Ketahahan Pangan dan Penyuluhan yang sudah terlaksana yaitu Program Peningkatan Diverisikasi Pangan dan Ketahanan Pangan (P2KP). Keterlibatan penyuuluh pendamping dari BPP setempat sangat inten dan diharapkan hal ini dapat terus ditingkatkan. Hasil survai terhadap Pola Pangan Harapan (PPH) menunjukkan skor 68,69. Dari nilai skor PPH menunjukkan bahwa pola pangan harapan masih jauh dari ideal. Dengan kegiatan M-KRPL ini diharapkan akan terjadi kenaikan skor PPH sesuai konsep PPH yang ideal pada skor 95, dalam arti bahwa diversifikasi konsumsi pangan sudah seimbang

KESIMPULAN Secara keseluruhan pelaksanaan M-KRPL di kabupaten Gunungkidul telah dilaksanakan di tiga lokasi dengan kondisi yang berbeda, untuk Nglanggeran perkembangan terakhir menunjukkan bahwa dengan berbagai kekuranngan dan kelebihannya telah diadopsi oleh dua dusun lainnya walaupun dalam jumlah terbatas. Sendowo Lor, Kedungkeris telah dapat diselesaikan pembuatan KBD, penanaman tanaman di polibag dan bedengan juga sudah dilaksanakan, pertumbuhan tanaman cukup baik. Kendala utama untuk M-KRPL di lokasi ini adalah keterbatasan penyediaan air, solusi yang ditempuh dengan menggunakan air dari PAM dari balai dusun. Singkar I, Wareng pembuatan KBD dan penanaman tanaman dalam pot dan bedengan sudah dilakukan, perkembangan tanaman cukup bagus. Untuk lokasi ini ke depan akan mengarah pada agribisnis pembibitan baik untuk kepentingan kawasan RPL sendiri maupun untuk keperluan budidaya sayuran mengingat daerah ini merupakan sentra sayuran. DAFTAR PUSTAKA BPS [Badan Pusat Statistik]. 2008. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Angka. Penerbit BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2011. Naskah Akademik Pelaksanaan Program Diversifikasi Pangan Lingkup Badan Litbang Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2011. Draf Panduan Model Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Di Sektor Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan lestari (KRPL).

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

693

UNDIP PRESS

Lampiran 1. Peta Kabupaten Gunungkidul

694

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA TANI PERDESAAN DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN Sunanto dan Darmawidah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar Sulawesi Selatan Telp. 0411 556449, Fax. 0411 554522, HP. 08124128101

ABSTRACT

Sunanto and Darmawidah. The Assesment For Using Yard In Supporting For Food Security Farmers Rural Households In Bulukumba, South Sulawesi. Yard is land available around the household. Land use is tailored to the needs of the family. Land size yard in South Sulawesi about 27.8 thousand ha and Bulukumba about 1.4 thousand hectares. Potential when used optimally with agriculture as a provider of food, it will be able to support farm household food security in rural areas. The purpose of this study is to investigate and analyze the patterns of land use and the response of the community garden through the model of the sustainable food (MOSF). The research was conducted in March until September 2012 in Bulukumba. The method is to use survey research, onfarm, and observation field. The results demonstrate the potential of untapped yard is landscaped with many production plants. Society has enough free time to manage their yards especially housewives. People use their yards are interested in vegetables that can be consumed as a daily necessity. Changes in the pattern of daily food (PDF) has increased from 72.50 to 76.72, an increase of 5.82% during the study. In addition to providing increased yard utilization of PDF also provide revenue of Rp. 350.000/month. Keywords: yard, food security, farm households, rural areas.

PENDAHULUAN Lahan pekarangan merupakan lahan yang tersedia di sekitar rumah tangga. Ketersediaan lahan pekarangan ada tiga posisi di sekitar rumah. Bagian depan biasanya disebut dengan halaman, bagian belakang disebut kebun belakang, dan bagian samping rumah disebut kebun samping. Kegunaan bagian lahan pekarangan setiap posisi lahan ini mempunyai fungsi yang berlainan. Bagian depan rumah untuk lantai jemur, tanaman bunga, dan tempat bermain. Sedangkan bagian samping untuk penjemuran pakaian, tanaman keras atau tahunan. Khusus untuk lahan bagian belakang biasanya digunakan untuk kamar mandi, pemeliharaan ternak, dan perikanan. Pemanfaatan lahan ini disesuaikan dengan keperluan keluarga. Luas lahan pekarangan di Sulawesi Selatan sekitar 27,8 ribu ha dan di Bulukumba sekitar 1,4

ribu ha (BPS, 2011, dianalisis). Pemilikan lahan pekarangan yang bermukim di perkotaan dan perdesaan mempunyai luasan yang berbeda. Pemukiman perkotaan cenderung memiliki lahan pekarangan atau lahan terbuka yang sempit dibandingkan lahan pekarangan yang ada di perdesaan (Nurcahyati, 2012). Ketersediaan lahan pekarangan di perdesaan dapat diklasifikasikan menjadi empat klaster. Klaster pertama yaitu lahan pekarangan sangat sempit. Di mana rumah tangga tempat tinggal tidak mempunyai halaman, karena lahan pekarangannya hanya cukup untuk membangun rumah. Klaster kedua, lahan pekarangan sempit, dimana ketersediaanya kurang dari 120 m2. Klaster ketiga adalah rumah tangga yang memiliki lahan pekarangan berkisar antara 120 – 400 m2 termasuk klasifikasi pekarangan sedang. Terakhir klaster lahan pekarangan luas adalah rumah tangga yang memiliki lebih dari 400 m 2

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

695

UNDIP PRESS

( Nurcahyati, 2012). Potensi tersebut bila dimanfaatkan secara optimal dengan budidaya pertanian sebagai penyedia pangan, maka akan mampu mendukung ketersediaan pangan rumah tangga tani di perdesaan (Ririn, 2012). Ibu rumah tangga sudah bisa melakukan pemetikan secara berkala untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Dengan demikian ibu rumah tangga tidak perlu membeli sayuran di pasar atau pedagang keliling. Untuk menjaga keberlangsungan tanaman, dibuat kebun bibit desa (BPTP Sulut, 2012). Teknologi utama dalam pemanfaatan lahan pekarangan dengan tanaman sayuran adalah dengan memanfaatkan bahan organik sebagai media. Selain itu juga diperlukan penyediaan air yang cukup bagi tanaman yang diusahakan. Salah satu teknologi penyiraman pada penanaman sistem vertikultur atau rak bersusun dengan sistem irigasi selang (BPTP Yogyakarta, 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pola pemanfaatan lahan pekarangan dan respon masyarakat melalui model kawasan rumah pangan lestari (MKRPL). METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September 2012 di Kabupaten Bulukumba. Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode purposive, dengan pertimbangan bahwa kabupaten menjadi salah satu program pendampingan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL). Rancangan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, partisipatory rural appraisal (PRA), on farm, dan observasi lapang. Metode survei dan PRA dilakukan pada responden wanita tani sebagai peserta pelaksana KRPL perdesaan yang berada di Desa Bukit Tinggi Kecamatan Gatareng Kabupaten Bulukumba sebanyak 25 rumah tangga. Metode on farm yang dilakukan adalah penanaman pada lahan pekarangan milik peserta pelaksana KRPL sebanyak 25 rumah tangga dan satu rumah tangga yang memiliki pekarangan luas untuk dijadikan kebun bibit desa (KBD). Komoditas yang ditanam adalah beberapa jenis tanaman

696

sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman obatobatan, ternak (partisipatif), dan ikan. Metode observasi dilakukan dengan mencatat perubahan nilai-nilai pola pangan harian selama pelaksanaan KRPL perdesaan. Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan dengan pencatatan pada kuisioner melalui wawancara, diskusi, pengamatan pada pelaksanaan KRPL perdesaan di Desa Bukit Tinggi Kecamatan Gatareng Kabupaten Bulukumba. Data yang dikumpulkan meliputi: a. Identitas pelaksana KRPL. b. Curahan waktu wanita tani pelaksana. c. Luas lahan pekarangan. d. Jenis dan volume tanaman. e. Penerapan teknologi KRPL perdesaan. f. Pola pangan harapan (PPH). Data yang terkumpul kemudian dilakukan tabulasi, dan diinterpretasikan dengan deskripsi. Data teknis dianalisis dengan koefisien keragaman (Robert dan Torri, 1989) dan analisis usaha KRPL disusun formulasi sebagai berikut; n ∑ (Yi – Y)2 i=1 KK = ______________________ 100 % (n-1).Y TC = FC + VC n TR = ∑ Pxi.Xi i=1 keterangan: KK : koefisien keragaman Y : nilai data Y : nilai rataan n : jumlah populasi TC : Total biaya FC : biaya tetap VC : biaya tidak tetap Pxi : harga produksi pada i Xi : jumlah produksi pada i HASIL PENELITIAN Karakteristik Peserta KRPL Kawasan rumah pangan lestari merupakan model pemanfaatan lahan pekarangan dengan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

berbagai tanaman, ternak, dan ikan yang berfungsi sebagai penyedia bahan pangan rumah tangga. Rumah tangga sebagai pelaksana pemanfaatan lahan pekarangan sangat dipengaruhi oleh karakteristiknya (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Pelaksana KRPL Perdesaan Di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, 2012 No 1 2 3 4

Uraian

Umur (th) Pendidikan (th) Status Janda (%) Anggota Rumah Tangga a. Laki-laki > 15 th (jw) b. Perempuan > 15 th (jw) c. Laki-laki < 15 th (jw) d. Perempuan < 15 th (jw) 5 Mata Pencaharian a. Tanaman Pangan (%) b. Peternakan (%) c. Perkebunan (%) d. Hortikultura (%) e. Guru/PNS (%) f. Veteran (%) g. Pembuat Batu Bata (%)

Kisaran Rataan KK (%) 21 – 70 47,32 13,35 0 – 15 10,64 3,53 16 0–3 1–4 0–2 0–3

1,36 1,80 0,36 0,56

0,70 0,96 0,64 0,82

-

72 16 68 4 16 4 12

-

Sumber : Analisis data primer (2012).

Tabel 1 menunjukkan bahwa pelaksana KRPL perdesaan di Kabupaten Bulukumba mempunyai kisaran umur 21 – 70 tahun dengan rataan 47,32 tahun. Rataan umur pelaksana tersebut adalah tergolong usia produktif (Sunanto et al., 2003). Koefisien keragaman (KK) usia pelaksana mencapai 13,35%. Variasi rentangan umur pelaksana KRPL tersebut cenderung kurang seragam. Tingkat pendidikan pelaksana KRPL berkisar mulai tidak bersekolah sampai setara sarjana. Rataan pendidikan mencapai 10,64 tahun atau setara lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian pesrta KRPL mampu membaca dan menulis. Sehingga dalam transfer teknologi pemanfaatan lahan, akan mengalami kemudahan dengan menggunakan berbagai media komunikasi. Koefisien keragaman pelaksana KRPL perdesaan di Kabupaten Bulukumba pada karakteristik pendidikan mencapai 3,53%. Anggota keluarga sebagai penyedia tenaga kerja rumah tangga dapat diberdayakan dalam pengelolaan pemanfaatan lahan pekarangan. Kelompok umur lebih dari 15 tahun laki-laki mempunyai kisaran antara 0 – 3 jiwa/rumah

tangga dan rataannya mencapai 1,36 jiwa/rumah tangga serta KK mencapai 0,70%. Pada kelompok umur lebih dari 15 tahun, perempuan mempunyai kisaran 1 – 4 jiwa/rumah tangga dengan rataan 1,80 jiwa/rumah tangga dan KK mencapai 0,96%. Koefisien keragaman pada kelompok umur lebih dari 15 tahun pelaksana KRPL perdesaan di Bulukumba ini berkategori seragam sebab nilai KK kurang dari 10%. Umur di bawah 15 tahun pada umumnya sebagai tanggungan rumah tangga, sebab pada usia tersebut belum dikategorikan menghasilkan. Kisarannya baik laki-laki maupun perempuan adalah 0 – 2 jiwa/rumah tangga dan 0 – 3 jiwa/rumah tangga. Rataan untuk laki-laki mencapai 0,36 jiwa/rumah tangga dan untuk perempuan mencapai 0,56 jiwa/rumah tangga dengan KK masing-masing mencapai 0,64% dan 0,82%. Pelaksana KRPL perdesaan di Kabupaten Bulukumba mempunyai mata pencaharian yang berbeda-beda. Mata pencaharian utama di perdesaan adalah petani. Sebagai petani mempunyai jenis usaha dalam pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, tanaman hortikultura. Pertanian tanaman pangan yang diusahakan oleh petani meliputi tanaman padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pelaksana yang berusaha pada usaha pertanian tanaman pangan mencapai 72%. Peternakan biasanya dianggap sebagai usaha sampingan, sehingga pelaksana yang mempunyai usaha peternakan hanya 16%. Lokasi KRPL perdesaan di Kabupaten Bulukumba ini berada di kaki gunung Lompo Batang dan Bawa Karaeng, sehingga tanaman perkebunan mendominasi diusahakan oleh petani selain usaha pertanian tanaman pangan. Pelaksana yang berusaha pada tanaman perkebunan mencapai 68%. Sedangkan tanaman hortikultura belum banyak dilakukan oleh pelaksana KRPL perdesaan sebab baru mencapai 4%. Selain sebagai petani ada juga yang mempunyai usaha pembuatan batu merah (bata). Pelaksana KRPL perdesaan yang mempunyai usaha pembuatan batu merah mencapai 12%, sedangkan yang mantan pejuang (veteran) hanya 4%. Guru sebagai tenaga pendidik yang terlibat dalam kegiatan KRPL mencapai 16%. Ketua kelompok wanita tani lokasi KRPL juga sebagai tenaga pendidik.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

697

UNDIP PRESS

Kegiatan Harian Anggota rumah tangga tani setiap hari melakukan kegiatan selama dua puluh empat jam. Kegiatan dimulai dari bangun pagi sampai istirahat malam. Kegiatan harian wanita tani sebagai pelaksana KRPL perdesaan di Kabupaten Bulukumba disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kegiatan Harian Wanita Tani Desa Bukit Tinggi Kecamatan Gatareng Kabupaten Bulukumba, 2012. Ket : A = Persiapan makan pagi/siang, B = Membersihkan rumah/pakaian, C = Membantu suami di lahan pada waktu pagi dan sore, D = Kegiatan sosial, E = Persiapan makan malam, F = Istirahat/tidur malam, G = waktu luang di siang hari.

Kegiatan harian bagi wanita dimulai sejak bangun pagi sekitar jam 5. Persiapan memasak untuk makan pagi/sarapan dan makan siang dilakukan pada pagi hari sekitar 2,5 jam. Sedangkan untuk persiapan makan malam dilakukan pada sore hari dengan membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Aktivitas dilanjutkan dengan memebersihkan rumah dan pakaian keluarga. Kebutuhan waktu untuk membersihkan rumah dan pakaian keluarga sekitas 2 jam. Usahatani pertanian, peternakan, dan perkebunan merupakan mata pencaharian rumah tangga tani di perdesaan. Sehingga wanita tani juga membantu suami dalam melakukan kegiatan usahatani baik pada pagi maupun sore hari. Alokasi waktu untuk membantu suami dalam kegiatan usahatani sekitar 3 jam. Waktu istirahat dilakukan pada malam hari. Kisaran waktu istirahat antara pukul 21.00 (9 malam) sampai pukul 05.00 atau selama 8 jam. Secara temporer waktu istirahat bisa lebih singkat atau istirahat sampai larut malam, apabila ada kegiatan pesta di keluarga rumah tangga tani.

698

Peluang waktu yang tersedia bagi wanita tani cukup besar sekitar 6 jam/hari. Ketersediaan waktu ini dapat diberdayakan dalam kegiatan KRPL perdesaan. Setelah dilakukan kegiatan KRPL perdesaan di desa ini, maka waktu luang sudah tinggal sedikit dan juga memerlukan bantuan curahan waktu bagi suami atau pemuda tani untuk pengolahan lahan pekarangan. Pola Pemanfaatan Lahan Pekarangan Lahan pekarangan identik dengan kebutuhan papan rumah tangga baik yang berdomisili di perkotaan maupun di perdesaan. Setiap bangunan rumah memiliki kelebihan lahan terbuka. Kelebihan lahan ini dapat dimanfaatkan dengan berbagai tanaman, pemeliharaan ternak, dan ikan. Luas dan pemanfaatan lahan pekarangan sebelum dan sesudah KRPL perdesaan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Lahan Pekarangan Di Desa Bukit Tinggi Kec. Gatareng Kab. Bulukumba, 2012. Kisaran Rataan KK No Lahan Pekarangan (%) (m2) (m2) 1 Bagian Depan 35 – 80 67,60 12,83 2 Bagian Samping 10 – 75 45,60 10,77 3 Bagian Belakang 20 - 200 150,40 15,26 Jumlah 65 – 355 263,60 Sumber: Analisis data primer (2012).

Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan pemilikan lahan pekarangan mencapai 263,60 m2/rumah tangga. Luasan pemilikan pekarangan tersebut termasuk klasifikasi lahan pekarangan sedang, dengan kisaran luas pekarangan yang dimiliki antara 65 – 355 m2/rumah tangga (Nurcahyati, 2012). Kisaran ini masuk kategori pekarangan sempit sampai sedang. Koefisien keragaman lahan pekarangan bagian depan, samping, dan belakang masih bervariasi karena nilainya masih di atas 10%. Rumah tangga memanfaatkan lahan pekarangan sebelum dilakukan introduksi KRPL dengan taaman mangga tetapi belum tertata dengan baik (bagian depan), pisang, pepaya, kelor, mangga (bagian samping), mangga, petai, pisang, kandang ternak (bagian belakang). Sehingga produksi yang dihasilkan pada tanaman di lahan pekarangan belum dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. MKRPL disosialisasikan kepada peserta

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

pelaksana KRPL, sehingga peserta menentukan pemilihan jenis tanaman yang diintroduksi dengan tanaman sayuran, obat-obatan, dan tanaman buah-buahan. Untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan bahan tanam (benih dan bibit), maka dibuat kebun bibit desa (KBD). Luasan KBD yang dibangun adalah 170 m2. Komoditas yang menjadi pilihan bagi rumah tangga adalah komoditas sayuran (kangkung darat, bayam, sawi hijau, paria, kacang panjang, gambas, terong, cabai, dan tomat), komoditas buah-buahan (pepaya), komoditas obat-obatan (lengkuas merah/putih, jahe merah/putih, kencur, temu lawak, dan sereh wangi), dan komoditas perikanan (ikan nila), serta yang bersifat partisipatif adalah komoditas ternak sebagai penyedia pupuk organik (ayam dan sapi). Penerapan Teknologi KRPL Wanita tani sebagai pelaksana KRPL perdesaan di Desa Bukit Tinggi berusaha untuk dapat memperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal. Tabel 3. Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Pada KRPL Di Kabupaten Bulukumba, 2012 No Uraian Keterangan Kegiatan 1 Penyediaan Benih dan bibit disediakan benih dan bibit oleh pengelola kebun bibit desa. 2 Penanaman Benih dan bibit ditanam pada media lahan pekarangan, pot, dan rak bersusun. 3 pemupukan Penggunaan pupuk didominasi pada pupuk organik dan ditambah pupuk Urea, dan NPK. 4 Pengendalian Dilakukan secara berkala hama penyakit dan menggunakan pestisida bila perlu (PHT) 5 Panen Dilakukan sesuai kebutuhan konsumsi sendiri ataupun untuk dijual. Sumber : Analisis data primer (2012).

Keberhasilan usaha penanaman komoditas sayuran, buah-buahan, dan obat-obatan bergantung pada ketersediaan dan kualitas bahan tanam. KRPL sebagai program peningkatan ketahanan pangan rumah tangga dalam menggunakan bahan tanam perlu ada jaminan

untuk keberlanjutannya. Upaya yang dilakukan oleh KWT Bungung Tamate Desa Bukit Tinggi Kecamatan Gatareng Kabupaten Bulukumba adalah membuat KBD. Di dalam KBD tersebut ditanam berbagai tanaman yang dibiarkan untuk menghasilkan biji atau stek sebagai bahan perbanyakan tanaman guna memenuhi anggota KWT atau pelaksana KRPL. Penanaman benih/bibit dilakukan pada 3 jenis media tanam. Media pertama adalah benih/bibit ditanam langsung pada lahan pekarangan yang terlebih dahulu diolah dan diberi pupuk organik dan kimia. Kedua adalah benih/bibit ditanam pada media pot dari ember/pot plastik dengan komposisi tanah : pupuk organik sebesar 2 : 1. Terakhir benih/bibit ditanam pada rak bersusun. Rak dibuat dari kayu tersusun sebanyak 3 tingkatan. Tempat tanah dan pupuk organik sebagai media tanam terbuat dari talang plastik VPC 15 cm. Perbandingan tanah dan pupuk organik sebesar 2 : 1. Guna memelihara tanaman agar tetap tumbuh dan produksi dengan baik, maka perlu dilakukan pengendalian hama penyakit. Khusus pengendalian hama wanita tani dianjurkan dengan metode mekanis, pestisida nabati dan tanpa menggunakan bahan kimia. Hama ulat terutama dikendalikan dengan cara pengamatan lalu mengambilnya hama tersebut dari tanaman untuk dimusnahkan. Tanaman yang berada di KBD dipelihara untuk dijadikan benih/bibit untuk kelangsungan program KRPL. Adapun tanaman yang ditanam di pekarangan rumah tangga dipanen untuk dikonsumsi atau dijual dalam bentuk biji, buah, daun, teripang, dll. Alur teknologi budidaya tanaman dan ternak untuk pelaksanaan program KRPL memiliki agen, delivery, dan reciver teknologi. Adapun alurnya ditampilkan pada Gambar 2. Agen teknologi sebagai sumber penghasil teknologi dalam pengelolaan tanaman sayuran, tanaman obat-obatan, ternak, dan ikan. Agen teknologi itu terdiri dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura/Balitsa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebutanan/Balitro, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, dan Perguruan Tinggi/Pusat Kegiatan Penelitian. Teknologi yang dihasilkan untuk mendukung pengelolaan KRPL dikemas dan diinformasikan oleh Badan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

699

UNDIP PRESS

Gambar 2. Alur Transfer Teknologi Budidaya Pada KRPL Perdesaan, 2012. Ket: PT = perguruan tinggi, BP3 = Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan, BPTP = Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Diperta = Dinas Pertanian, dan KWT = Kelompok Wanita Tani.

Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dan Dinas Pertanian kepada pengguna yaitu KWT dan rumah tangga perdesaan. Teknologi yang dijadikan rujukan pelaksanaan di lapang diperoleh dari kebutuhan rumah tangga perdesaan dengan cara partisipatif. Pola Pangan Harapan Pola pangan harapan (PPH) merupakan susunan kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya untuk memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas, keragamannya dengan pertimbangan aspek sosial, budaya, ekonomi, dan cita rasa. nilai maksimal PPH 100 (Anonim, 2012), semakin tinggi nilainya semakin beragam dan bergizi seimbang. Adapun PPH di Kabupaten Bulukumba disajikan pada Tabel 4. Perubahan nilai PPH sebelum dan sesudah pelaksanaan KRPL perdesaan tertinggi adalah pada kelompok pangan sayur dan buah. Hal tersebut disebabkan hasil dari pemanfaatan lahan pekarangan dengan tanaman sayuran dan tanaman pepaya sebagai buah-buahan. Sebelum pelaksanaan KRPL nilai PPH kelompok pangan sayuran dan buah 18,60 sesudah melakukannya nilai PPH mencapai 22,26, dengan demikian perubahan nilai PPHnya mencapai 3,66. Penambahan nilai PPH pada kelompok sayuran dan buah mempengaruhi peningkatan kelompok pangan padi-padian. Hal ini disebabkan dengan

700

Tabel 4. Pola Pangan Harian Rumah Tangga Di KRPL Perdesaan Kabupaten Bulukumba, 2012 Pola Pangan No Kelompok Pangan Harapan KRPL Selisih Sebelum Sesudah 1 Padi-padian 22,37 22,95 0,58 2 Umbi-umbian 3,67 3,80 0,13 3 Pangan Hewani 14,88 15,02 0,14 4 Sayur dan Buah 18,60 22,26 3,66 5 Kacang-kacangan 6,20 6,20 0,00 6 Minyak dan 3,60 3,80 0,20 7 Lemak 0,62 0,74 0,10 8 Buah/biji 2,55 2,95 0,40 9 berminyak 0,00 0,00 0,00 Gula Lain-lain Jumlah 72,50 77,72 5,22 Ket : KRPL = kawasan rumah pangan lestari. Sumber : Analisis data primer (2012).

penambahan kelompok pangan sayuran dan buah meningkatkan nafsu makan sehingga kelompok pangan padi-padian juga meningkat pula. Secara total PPH sebelum melaksanakan KRPL mencapai 72,50, sesudah menjadi pelaksana KRPL perdesaan mengalami perubahan nilai PPH mencapai 77,72. Dengan demikian mengalami peningkatan nilai PPH sebesar 5,22 atau 6,82%. Analisis Usaha Pemanfaatan Lahan Pekarangan Usaha pemanfaatan lahan pekarangan perlu dilakukan analisis untuk mengetahui nilai manfaat. Adapun analisis pemanfaatannya disajikan pada Tabel 5. Pemanfaatan lahan pekarangan selama lima bulan sudah membaiknya nilai PPH pelaksana KRPL perdesaan. Biaya pemanfaatan lahan pekarangan tidak terlalu mahal sebab setiap rumah tangga memerlukan biaya sebesar Rp. 137.500,-/5 bulan/rumah tangga. Hasil pemanfaatan tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ada juga yang dijual. Hasil pemanfaatan lahan pekarangan dengan tanaman sayuran ini digunakan untuk konsumsi senilai Rp. 240.000,- dan yang dijual sebasar Rp. 110.000,- selama usaha lima bulan. Dengan demikian total penerimaan usaha pemanfaatan lahan pekarangan sebesar Rp.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

350.000,- selama lima bulan. Tabel 5. Analisis Usaha Pemanfaatan Lahan Pekarangan (sayuran) Di KRPL Perdesaan Kabupaten Bulukumba Selama Lima Bulan, 2012 No Uraian Nilai Presentase 1 Biaya Input - Benih/Bibit 50.000 36,36 - Pupuk Organik 35.000 25,45 - Pupuk Kimia 12.500 9,09 - Penyusutan 40.000 29,10 peralatan dan Pot/rak susun*) 2 Jumlah 137.500 100,00 3 Dikonssumsi 240.000 68,57 senilai 4 Dijual 110.000 31,43 5 Total Penerimaan 350.000 100,00 Ket *) nilai penyusutan pot/rak susun (asusmi dipakai 4 tahun total biaya Rp. 384.000,-/rum Sumber: Analisis data primer (2012).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Di perdesaan khususnya wilayah Kabupaten Bulukumba mempunyai potensi lahan pekarangan yang belum dimanfaatkan secara optimal dengan tanaman produktif yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2. Masyarakat mempunyai waktu luang yang cukup untuk mengelola lahan pekarangan khususnya ibu rumah tangga. Masyarakat memanfaatkan lahan pekarangan tertarik dengan tanaman sayuran yang bisa dikonsumsi sebagai kebutuhan sehari-hari. 3. Perubahan PPH mengalami peningkatan dari 72,50 menjadi 76,72 naik sebesar 5,22 atau 5,82% selama penelitian berlangsung. Selain pemanfaatan lahan pekarangan memberikan peningkatan PPH juga memberikan penerimaan sebesar Rp. 350.000,- selama penelitian.

Saran Pola pelanfaatan lahan pekarangan tersebut perlu dilakukan secara berkelanjutan dengan pembinaan pemerintah daerah. Guna menyediakan tanaman organik di lahan pekarangan diperlukan diversifikasi pemanfaatan lahan pekarangan dengan pemeliharaan ternak sebagai penyedia pupuk organik. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Metode perhitungan pola pangan harapan (PPH). BBP2TP. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan. 2011. Sulawesi Selatan dalam angka 2010. BPS Prop. Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara. 2012. Kawasan rumah pangan lestari atas II Kecamatan Sonder, bantu kebutuhan harian keluarga. Berita Badan Litbang Pertanian. www.litbang.deptan/berita, 23 Oktober 2012. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2012. Penyiraman sayuran vertikultur sistem irigasi selang (SIS). Berita Badan Litbang Pertanian. www.litbang.deptan/berita, 23 Oktober 2012.

Nurcahyati E., 2012. Membangun kemandirian pangan melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Badan Ketahanan Pangan Propinsi Banten. Ririn. 2012. Pemanfaatan lahan pekarangan di kelompok wanita Desa Mirigambar Dusun Miridudo Kecamatan Sumbergempol. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sumbergempol. Sunanto, Suryani, Syamsul Bachri. 2003. Pengelolaan tanaman sayuran dengan pendekatan bahan input organik di Sulawesi Selatan. Laporan kegiatan super inpose pada BPTP Sulawesi Selatan.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

701

UNDIP PRESS

PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENUNJANG POLA KONSUMSI PANGAN DI DESA MATTOANGING KECAMATAN BANTIMURUNG KABUPATEN MAROS, SULAWESI SELATAN Eka Triana Yuniarsih, dan Rahmatiah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan [email protected]

ABSTRAK Pangan adalah kebutuhan dasar yang merupakan hak setiap manusia serta sebagai salah satu penentu kualitas SDM. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Melalui pemanfaatan pekarangan yang dikelola rumah tangga diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumber pangan lokal melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia maupun yang dapat disediakan..Luas areal pekarangan dari rumah tangga responden berkisar 0 - 30 m2. Jenis tanaman sayuran yang ditanam adalah bayam, kangkung, sawi hijau, kacang panjang, buncis, terong ungu, paria, gambas, cabai merah besar, cabai keritimg, cabai kecil, tomat buah, tomat keriting, seledri, dan timun. Skor pola pangan harapan (PPH) tertinggi pada keluarga (N) 15 yaitu 94,4 sedangkan yang terendah adalah keluarga (N) 4 yaitu 32,79 dan rata-rata skor PPH yang diperoleh adalah 63,18. Pengeluaran tertinggi ada pada keluarga (N) 23 yaitu Rp. 24.262,- per kapita, dan yang pengeluaran terendah yaitu keluarga (N) 24 Rp. 4.361,- per kapita. Ratarata skor PPH yang diperoleh adalah 63, 18 dan pengeluaran rata-rata Rp. 11.614,46,- per kapita. Kata kunci : pekarangan, pola konsumsi, pangan.

PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan dasar yang merupakan hak setiap manusia dan merupakan salah satu faktor penentu kualitas sumberdaya manusia (SDM). Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di dunia. Terkait dengan hal tersebut pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Rachman et al. (2007) menyebutkan bahwa tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat keharusan dari terwujudnya ketahanan pangan nasional, namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga/individu. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup

702

dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Jumlah dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan dan budaya masyarakat (Suryana, 2012). Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Saliem et al. (2002). Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan Pola Pangan Harapan (PPH) dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber pangan lokal melalui pemanfaatan sumberdaya

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

yang tersedia maupun yang dapat disediakan di lingkungannya yaitu dengan pemanfaatan lahan pekarangan yang dikelola oleh rumah tangga. METODE Sumber data yang digunakan untuk menganalisis pola konsumsi rumah tangga petani adalah analisis pola pangan harapan (PPH). Pengumpulan data rumah tangga dilakukan melalui survei terhadap 25 rumah tangga. Kegiatan penelitian dilakukan di Desa Mattoanging, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Maros merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Kota Makassar dengan jarak kedua kota tersebut berkisar 30 km. Kabupaten Maros memiliki luas wilayah 1.619.12 km dan terbagi dalam 14 wilayah kecamatan. Sedangkan luas Kecamatan 2 Bantimurung sekitar 173,70 km . Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Turikale dan Kecamatan Lau, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cenrana, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Maros Utara dan Kabupaten Pangkep serta sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simbang. Potensi Lahan Potensi sumberdaya pertanian di Kabupaten Maros cukup besar. Luas lahan sawah irigasi teknis 4.340 ha, lahan sawah setengah teknis 2.928 ha, lahan irigasi sederhana 2.150 ha, tegalan 11.275 ha, lahan perkebunan 15.723 ha, padang rumput 43 ha (Tabel 1). Untuk Tabel 1. Luas Lahan Sawah Di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, 2012 Jenis Lahan Luas Lahan (ha) Irigasi Teknis 4.340 Irigasi Setengah Teknis 2.928 Irigasi Sederhana 2.150 Tegalan 11.275 Perkebunan 15.723 Padang Rumput 43 Sumber : Sulsel Dalam Angka (2010)

Kecamatan Bantimurung, lahan sawah irigasi teknis 2.111 ha, non teknis 1.026 ha, perkebunan 1.098 ha, hutan rakyat 318 ha. Karakteristik Petani Responden Data responden rumah tangga di Desa Mattoanging berjumlah 25 KK, masing-masing rumah tangga mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pola pengelolaannya, keputusan yang diambil sangat dipengaruhi oleh karakteristiknya (Tabel 2). Tabel 2. Karakteristik Rumah Tangga Petani Di Desa Mattoanging Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, 2012 Uraian Kisaran Rataan KK (%) Umur (tahun) 15– 30 thn 25,75 3,19 31–45 thn 40,64 3,15 46-60 thn 51,8 6,83 Pendidikan 0-17 2,33 2,19 Jumlah Anggota Keluarga a. Laki-laki (jiwa) - 0-15 thn 0-4 9,21 4,39 - 16-30 thn 0-3 22.35 4,85 - 31-60 thn 0-6 44 7,56 - 61-80 thn 0-3 68,67 7,12 b. Perempuan - 0-15 thn 0-3 7,43 3,97 - 16-30 thn 0-4 22,83 5,14 - 31-60 thn 0-6 43,35 6,95 - 61-80 thn 0-3 70,83 6,65 Membantu mengelola pekarangan a. Laki-laki 0-2 1,19 0,4 b. Perempuan 0-2 0,94 0,44 Luas Lahan Pekarangan 0-6 9,56 ,90 a. 0-10 m2 0-8 16 2,82 2 b. 11-20 m 0-2 25 0 c. 21-30 m2 Sumber : Data Primer (2012)

Berdasarkan Tabel 2, umur responden dengan kisaran 46 - 60 tahun memiliki KK tertinggi yaitu 6,83%. Pendidikan rumah tangga petani berkisar antara 0 - 17 tahun (2,19 %), sedangkan jumlah anggota keluarga yang membantu dalam proses pemanfaatan lahan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

703

UNDIP PRESS

pekarangan laki-laki berkisar 0 – 2 orang (0,40 %) dan perempuan (0,44%). Luas pekarangan terluas yang dimiliki oleh rumah tangga responden adalah 11-20 m2 dengan jumlah KK (2,82%). Pola Pemanfaatan Lahan Pekarangan Pemanfaatan lahan pekarangan yang dilakukan adalah lahan ditanami tanaman kebutuhan keluarga dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan serta peningkatan pendapatan, yang utamanya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat (Kementan, 2011) Pemanfaatan lahan pekarangan yang dilaksanakan di Desa Mattoanging pada umumnya berupa penanaman sayuran. Luas areal pekarangan dari rumah tangga responden berkisar 0 - 30 m2. Jenis tanaman sayuran yang ditanam adalah bayam, kangkung, sawi hijau, kacang panjang, buncis, terong ungu, paria, gambas, cabai merah besar, cabai keritimg, cabai kecil, tomat buah, tomat keriting, seledri, dan timun. Media tanam yang digunakan adalah polibag, talang air atau bambu yang disusun secara rapi, barang bekas, dan tanam langsung pada bedengan yang sengaja dibuat. Bedengan ini dibuat untuk rumah tangga yang memiliki pekarangan yang cukup luas. Perlakuan yang diberikan adalah mencampurkan pupuk kandang atau kompos, kemudian tanaman tersebut dibibitkan pada polibag kecil atau talang plastik kemudian setelah berumur 2-3 minggu dipindahkan ke polibag besar atau bedengan. Peran aktif rumah tangga responden dalam pemanfaatan lahan pekarangan sangat dibutuhkan agar petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan yang tidur menjadi lahan yang dapat menghasilkan terutama untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Pola pemanfaatan lahan pekarangan di Desa Mattoanging dapat dilihat pada Tabel 3. Analisis Pola Pangan Harapan (PPH) Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Pada tingkat pendapatan tertentu, rumah

704

Tabel 3. Pola Pemanfaaatan Lahan Pekarangan Di Desa Mattoanging, Kabupaten Maros, 2012 Uraian Keterangan Luas lahan 8 – 30 m2 pekarangan Jenis tanaman sayur Bayam, Kangkung, Sawi hijau Kacang panjang, Buncis. Terong ungu, Paria, Gambas, Cabai merah besar, Cabai keriting, Cabai kecil, Tomat buah, Tomat Keriting, Timun dan Daun seledri Sumber Benih Program pemerintah khususnya kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Pengolahan lahan Sederhana, langsung dicampur dengan pupuk Penggunaan pupuk Pupuk kandang / Kompos Jenis Varietas Hibrida 85% dan Non Hibrida 15% Pengendalian hama Dilakukan 15% dan Tidak penyakit dilakukan 85% Panen Secara langsung digunakan sebagai konsumsi Pascapanen Tidak dilakukan karena produksi masih skala konsumsi rumah tangga Sumber : Data Primer (2012)

tangga menghasilkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan Tabel 4. Perbandingan Pola Konsumsi Penduduk Beberapa Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan, 2009 Kabupaten/ Pengeluaran Pola Konsumsi Kota Perkapita / Penduduk (%) Bulan Makanan Non Makanan Bantaeng 371.953 56,69 43,31 Jeneponto 332.526 69,37 30,63 Gowa 491.681 53,77 46,23 Maros 452.590 61,3 38,7 Makassar 692.367 47,43 52,57 Sumber : BPS (2012)

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

sebagai petunjuk alat ukur tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Tabel 4 menunjukkan tingkat pengeluaran perkapita serta pola konsumsi beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Pola Pangan Harapan adalah tersedianya pangan yang beraneka ragam yang sesuai dengan kecukupan gizi penduduk setempat. Pola Pangan Harapan mencakup sembilan bahan pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, lemak dan minyak, buah biji berminyak, kacangkacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain (Sembiring, 2002). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, skor PPH 25 rumah tangga Tabel 5. Pola Pangan Harapan Dan Pengeluaran Per Kapita Per Hari Desa Mattoanging, Kabupaten Maros, 2012 Rumah Pola Pangan Pengeluaran Per Tangga Harapan Kapita Per Hari (Rp) (PPH) N1 42,39 14.143,54 N2 39,54 7.191,02 N3 67,19 12.163,6 N4 32,79 4.993,06 N5 62,13 6.414,09 N6 68,7 9.621,16 N7 48,4 7.518,71 N8 57,03 12.495,89 N9 55,51 14.022,53 N10 59,41 12.627,29 N11 50,53 10.495,49 N12 82,4 19.209,38 N13 57,63 10.953,84 N14 73,65 10.285,99 N15 94,4 13.803 N16 57,95 10.559,57 N17 79,98 17.461,52 N18 49,53 6.822 N19 76,23 13.159 N20 58,98 6.755,22 N21 56,7 11.124 N22 81,16 11.247,83 N23 81,99 24.262 N24 56,5 4.361 N25 88,79 18.670,81 Rata-rata 63,18 11.614,46 Sumber : Data Primer (2012)

responden di Desa Mattoanging dapat dilihat pada Tabel 5.

Pada Tabel 5 ditunjukkan skor tertinggi pada keluarga (N) 15 yaitu 94,4 sedangkan yang terendah adalah keluarga (N) 4 yaitu 32,79 dan rata-rata skor PPH yang diperoleh adalah 63,18. Pengeluaran tertinggi terjadi pada keluarga (N) 23 yaitu Rp. 24.262,- per kapita, dan yang terendah pada keluarga (N) 24 Rp. 4.361,- per kapita. Rata-rata skor PPH yang diperoleh adalah 63, 18 dan pengeluaran rata-rata Rp. 11.614,46 per kapita. Skor PPH maksimal adalah 100, semakin tinggi skor PPH maka semakin baik kualitas gizi pangan baik komposisi maupun mutunya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa skor PPH pada rumah tangga responden di Desa Mattoanging dinilai cukup baik. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Pemanfaatan lahan pekarangan sangat potensial bagi kecukupan gizi masyarakat khususnya kebutuhan sayur-sayuran di rumah tangga petani 2. Pemanfaatan pekarangan rumah dapat mengurangi pengeluaran belanja kebutuhan pangan keluarga 3. Skor rata-rata PPH rumah tangga responden adalah 63,18 yang berarti komposisi dan mutu gizi pangan dinilai cukup baik. Pengeluaran rata-rata yang untuk belanja konsumsi ialah Rp. 11.614,46 per kapita. SARAN Skor PPH yang diperoleh dapat menjadi acuan untuk meningkatkan konsumsi pangan di Desa Mattoanging. Perlu adanya pelatihan pengolahan hasil sehingga hasil yang diperoleh dari tanaman pekarangan bernilai ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2012. Sulawesi Selatan Dalam Angka. 2010 BPS. 2012. www.gowakab.go id. (12 Oktober 2012). Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

705

UNDIP PRESS

Rachman, Handewi, P.S. dan M. Ariani. 2007. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Makalah pada Workshop Koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik Masalah Ketahanan Pangan Dalam Upaya Perumusan Kebijakan Pengembangan Penganekaragaman Pangan“, Hotel Bidakara, Jakarta, 28 November 2007. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Suryana, A. 2012. Penganekaragaman Konsumsi Pangan Dan Gizi : Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Kepala Badan Ketahanan

706

Pangan Departemen Pertanian RI. Sembiring, E. T. 2002. Pengembangan Pola Konsumsi Pangan Penduduk Dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara [skripsi]. Bogor: Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saliem, H.P., M. Ariani, Y. Marisa dan T.B. Purwantini. 2002. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PENATAAN LAHAN PEKARANGAN UNTUK MENINGKATKAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DESA GUNTUNG PAYUNG, BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN Rina D. Ningsih dan Agus Supriyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat No 4 Banjarbaru 70711

ABSTRAK Pekarangan sebagai lahan terbuka yang ada di sekitar rumah tinggal sangat bagus bila dimanfaatkan untuk budidaya berbagai tanaman. Pemanfaatan lahan pekarangan yang dikelola melalui pendekatan terpadu berbagai jenis tanaman, ternak, dan ikan, akan menjamin ketersediaan pangan yang beranekaragam secara terus-menerus, guna pemenuhan gizi keluarga. Pemanfaatan pekarangan bukan hanya mempertimbangkan hasil, tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek keindahan dengan memperhatikan penempatan setiap komoditas. Pemanfaatan pekarangan bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan gizi mikro melalui perbaikan menu keluarga. Petani belum dapat merancang pola tanam pekarangan dengan baik sehingga sering mengalami kekurangan bahan makanan seperti sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian akibatnya menu keluarga kurang bervariasi, cenderung tidak seimbang dan hanya memenuhi sumber karbohidrat saja. Kegiatan dilaksanakan di Desa Gunung Payung, Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada Mei sampai September 2012. Pemanfaatan pekarangan secara optimal dan produktif memerlukan perencanaan yang matang. Hal ini dimulai dari diperhatikannya persiapan lahan dan media tanam, penentuan komoditas dan jenis tanaman, tata letak komoditas/tanaman, pemeliharaan, pemanenan dengan memperhatikan umur panen setiap komoditas. Penataan lahan pekarangan yang tepat membuat pekarangan indah dipandang, konsumsi pangan keluarga beranekaragam, gizi keluarga meningkat, dan bila hasil panen sudah mencukupi kebutuhan keluarga, dapat dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Kata kunci : keanekaragaman pangan, pekarangan

PENDAHULUAN Keragaman konsumsi pangan masyarakat Kalimantan Selatan masih kurang beragam dengan indikator skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada 2010 sebesar 88,8, tetapi angka ini lebih tinggi dari pada skor PPH Nasional yaitu 80,6 (Tabel 1). Walaupun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan berbagai kalangan terkait, namun pada kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada pangan utama beras. Hal itu diindikasikan oleh skor PPH yang belum sesuai harapan, dan belum optimalnya pemanfaatan sumber bahan pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan (BKP, 2010). Beberapa program pemerintah telah dilakukan dalam upaya meningkatkan keanekaragaman pangan seperti P2KP

(Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan), Aksi Desa Mandiri Pangan, Lumbung Pangan, teknologi terapan aneka pengolahan pangan (Achmad Suryana, 2010; BKP, 2011). Tabel 1. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) 5 Tahun Terakhir Skor PPH Tahun Kal.Sel Nasional 2007 84,9 82,8 2008 86,4 81,9 2009 89,6 78,8 2010 88.8 80,6 2011 92,7*) 88,1*) *) sasaran 2011

Pidato Menteri Pertanian pada seminar

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

707

UNDIP PRESS

nasional di Jember (2012) menyampaikan bahwa krisis pangan sangat mungkin dapat menjerumuskan negara ke jurang krisis sosialekonomi. Untuk itu revitalisasi pekarangan merupakan salah satu jalan untuk turut menanggulangi ancaman kerawanan pangan. Peran pekarangan perlu dimaksimalkan kembali menjadi gerakan kolektif untuk membebaskan masyarakat dari bencana kekurangan gizi. Kearifan para pendahulu mengolah pekarangan dengan cara membudidayakan tanaman alternatif untuk kebutuhan pokok sehari-hari patut diteladani. Ubi dan jagung, misalnya perlu kembali ditanam di pekarangan. Jika sewaktuwaktu padi gagal panen, kedua tanaman tersebut bisa menjadi penunjang kebutuhan pokok pangan di tingkat keluarga. Revitalisasi pekarangan sekaligus bisa dijadikan gerakan penganekaragaman tanaman pangan. Ketergantungan masyarakat pada beras bisa dikurangi secara perlahan-lahan jika kegiatan pemanfaatan pekarangan tersebut mampu menyediakan pilihan tanaman sumber pangan alternatif yang memiliki kualitas karbohidrat dan nutrisi yang memadai. Tujuan kegiatan adalah menata pekarangan bukan hanya nyaman dilihat tapi juga bermanfaat untuk meningkatkan keragaman konsumsi pangan dan menambah pendapatan keluarga. BAHAN DAN METODE Lokasi kegiatan di Desa Guntung Payung, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru Kota. Dilaksanakan pada Mei - September 2012. Pengambilan sampel sebanyak 10 rumah tangga dilakukan secara terpilih, Metode deskriptif dilakukan untuk menganalisis data. Sampel rumah tangga terpilih memiliki lahan pekarangan yang luas, lebih dari 400 m 2, tergolong pada strata 3. Penataan lahan ditetapkan bersama-sama masyarakat yang terlibat melalui FGD (focus group discussion). Pilihan komoditas diserahkan kepada kooperator dengan persyaratan adanya keragaman sumber energi, sumber protein serta vitamin, dan mineral. Tanaman sebagian besar ditempatkan langsung di tanah karena lahan pekarangan yang tersedia cukup luas dan tanaman yang langsung ditanam di tanah memerlukan tambahan air yang lebih sedikit dari pada yang dalam polibag/pot.

708

Penempatan tanaman secara veltikultur dilakukan untuk menambah keindahan halaman. Untuk memelihara keberlangsungan tanaman di pekarangan, dibentuk KBD (kebun bibit desa). Pembentukan KBD sepenuhnya mendapat bantuan dari BPTP yang didasarkan kesepakatan dengan kooperator dan Dinas Pertanian setempat. Hasil dan Pembahasan Profil Desa Guntung Payung Desa Guntung Payung terletak di Kecamatan Banjarbaru Kota, terdiri dari 6.182 penduduk, 119 KK dan 17 KWT (kelompok wanita tani). Petani binaan hanya 1 kelompok tani yang terdiri dari 29 KK. Pekerjaan penduduk sangat beragam dari buruh bangunan sampai pegawai negeri. Pada kelompok tani binaan semua anggota kelompok adalah petani yang terdiri dari petani tulen, pensiunan, dan pekerjaan sambilan buruh bangunan. Komoditas yang dominan ditanam adalah bayam, kangkung dan sawi dengan waktu panen yang bersamaan sehingga hasil panen melimpah. Hasil panen selain untuk konsumsi rumah tangga sendiri bila ada kelebihan akan dijual ke tetanga sekitar dan ke pasar. Beberapa petani sudah memiliki kolam ikan dari terpal sedangkan ternak belum ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kooperator, pilihan komoditas adalah bayam, kangkung, sawi, selada, bawang prei, terung, cabai, tomat, kecipir, ubi jalar, ganyong, jahe, kencur, binahong, ikan, dan itik. Namun demikian pemanfaatan lahan pekarangan masih tetap mempertahankan tanaman pohon/tanaman tahunan (tinggi > 1 m) dan yang telah ada. Alternatif Pola Penataan lahan Pekarangan dengan luas >400 m 2 (strata 3), secara garis besar dapat kita bagi menjadi: 1. Daerah umum, yang sering dilihat dan dinikmati siapa saja, biasanya disini ditanam tanaman hias atau tanaman yang indah dipandang. 2. Daerah sibuk, tempat penghuni rumah beraktivitas, lokasi dekat dapur dan sering ditanami tanaman bumbu-bumbuan, sayursayuran, dan tanaman obat-obatan. 3. Daerah family, untuk kepentingan keluarga, berkumpul, berolah raga dan lain sebagainya.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Dalam menata pekarangan supaya optimal dan indah dipandang perlu perencanaan dengan memperhatikan kondisi pekarangan dan kebersihan pekarangan utamanya dari tanaman liar/gulma dan kesuburan tanah. Pada tanah yang kurang subur, biasanya ditandai dengan warna tanah agak terang/pucat dan padat, maka perlu dilakukan pemberian pupuk organik dan pupuk kimia serta tanah dicangkul supaya gembur. Semua tanaman memerlukan sinar matahari yang cukup sepanjang hari. Jenis tanaman berukuran kecil diletakkan di bagian timur dan tanaman berukuran besar seperti buah-buahan di sebelah barat. Dari segi estetika, tanaman berukuran lebih kecil seperti tanaman hias ditanam di pekarangan paling depan, tanaman buah-buahan sebaiknya ditanam di belakang atau dipinggir dari bangunan rumah. Dari segi kesehatan, penempatan kandang ternak sebaiknya di halaman belakang. Menurut Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2011), pada pekarangan luas dengan berukuran 400 s.d 1000 m² penataan pekarangan dapat dilakukan sebagai berikut. a) Halaman depan dapat ditanami dengan tanaman hias, pohon buah, tempat bermain anak-anak, bangku-bangku taman dan tempat menjemur hasil tanaman. b) Halaman samping (kiri dan kanan) digunakan untuk bedengan tanaman pangan, sayur-sayuran, bedengan obatobatan, dan kolam ikan serta tempat jemuran pakaian. c) Halaman belakang ditanami dengan tanaman sayuran, tanaman bumbu dapur, kandang ternak dan tanaman industri Beberapa alternatif penataan pekarangan yang dibuat, terpilih dua pola penataan pekarangan (Gambar 1 dan Gambar 2) dengan penyesuaian kondisi pekarangan masing-masing petani karena adanya tanaman pohon/buah. Petani kooperator menata pekarangannya seperti pola yang ditetapkan. Lahan untuk tanaman sayuran dialokasikan lebih luas dengan tujuan agar hasil panen sayur dapat dijual, dan pedagang pengumpul mengambil ke lokasi petani. Pekarangan tanaman obat menjadi tempat belajar ibu-ibu untuk membuat jamu dan obat herbal. Kebun bibit ditempatkan pada salah satu

petani, petani yang tidak ada kebun bibitnya maka tanaman hanya dimanfaatkan untuk sayuran. Selain itu dengan adanya ikan lele hasil dari kolam milik sendiri, petani yang biasanya makan nasi ditemani tahu, tempe dan sayur, sekarang ikan lele menjadi tambahan lauk makannya. Kelebihan dari produksi ikan lele, dapat dibeli oleh tetangga, sementara usaha ternak itiknya belum dapat menghasilkan sampai penulisan makalah ini.

Gambar 1. Alternatif I Pola Penataan Lahan.

Gambar 2. Alternatif II Pola Penataan Lahan Kesimpulan 1. Pekarangan dapat dijadikan sebagai lahan usahatani yang efektif untuk mendukung program ketahanan pangan keluarga di perdesaan 2. Penempatan tanaman pekarangan perlu ditata agar keragaman sumber energi, sumber protein, dan nutrisi lainnya terpenuhi bagi satu rumah tangga

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

709

UNDIP PRESS

3. Panataan tanaman yang tepat akan membuat produksi tanaman menjadi optimal dan dapat memberi kontribusi pendapatan keluarga. Daftar Pustaka Suryana, A. 2012. Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi: Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. http://www. bulog.co.id/old_website/data/doc/WIBPenganekaragaman_Konsumsi %20_Pangan_ Dan_Giz.pdf. 4 Nopember 2012 Badan Ketahanan Pangan. 2010. Direktori

710

Pengembangan Konsumsi Kementerian Pertanian, Jakarta

Pangan.:

Badan Ketahanan Pangan Kalimantan Selatan. 2011. Laporan Tahunan. Banjarbaru Kementerian Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta. Suswono, 2012. Revitalisasi Pertanian Berkelanjutan Menuju Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan (Disampaikan Oleh Menteri Pertanian RI, Pada Seminar Nasional Di Fakultas Pertanian Universitas Jember, 17 Maret 2012). Jember.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN UNTUK MENDUKUNG KECUKUPAN PANGAN KELUARGA (Study kasus di Desa Olong Pinang, Kec. Paser Balengkong, Kab. Paser) Yossita Fiana dan M. Hidayanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur Jl. PM. Noor-Sempaja, Samarinda, Kalimantan Timur Telp/Fax: 0541-220857; email: [email protected]

ABSTRACT Fiana, Y. and M. Hidayanto. Optimizing Of Land Yard Utilization To Support Adequate Food For Families (Case study Olong Pinang Village, Paser Balengkong Sub District, Paser District). Land yard in rural and urban potential as a source of family food. Land yard can be use for different types of alternative crops, vegetables, fruits and fish ponds can help adequate family needs, so as to reduce spending on daily necessities. In East Kalimantan land yard quite extensive, especially in rural areas, and until now has not been optimally utilized. In order to support household food security, some activities on land yard have been done for various types of plants, both alternative crops and vegetables, fruits and even livestock or fish. The results of optimization activities in the village yard utilization in the village Olong Pinang, Paser Balengkong Sub District, Paser District showed that only from cultivation of vegetables (eggplant, peppers) in the yard, can save families spending around Rp 200,000 per month. Besides this, the model fish pond with tarp system in less than two months has been replicated by local residents until October 2012 as many as 15 fish ponds at the expense of local residents. Model optimization of land use in the village yard in Olong Pinang are considerable response from local residents, according to local conditions, development is quite good, supporting food security and can be replicated in other areas or zones. Keywords : Food, land yard, optimization

PENDAHULUAN Pada awal 2011 Kementerian Pertanian telah menyusun suatu konsep yang disebut dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL). Model tersebut telah mulai dirintis di Kalimantan Timur oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada saat dilaksanakannya Pekan Nasional Petani Nelayan (PENAS) XIII di Tenggarong Kalimantan Timur, pada Juni 2011 dan mendapat sambutan yang tinggi dari para pejabat pusat dan daerah serta masyarakat luas dari berbagai provinsi se Indonesia. Rumah pangan merupakan salah satu konsep pemanfaatan lahan pekarangan baik di perdesaan maupun di perkotaan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dengan memberdayakan potensi pangan lokal. Tujuan secara umum dari Model Kawasan Rumah

Pangan Lestari ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan mengembangkan ekonomi produktif. Prinsip dari M-KRPL ini yaitu dibangun dari kumpulan rumah tangga agar mampu mewujudkan: (a) kemandirian pangan melalui pemanfaatan pekarangan, (b) diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, (c) pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta (d) tercapainya upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) diharapkan mampu menopang kebutuhan pangan warga setempat, terutama saat harga bahan pangan, sayuran di pasaran melonjak. Untuk itu, ragam tanaman yang diusahakan juga diprioritaskan pada jenis tanaman yang sehari-hari dibutuhkan oleh masyarakat setempat, seperi tanaman sayuran

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

711

UNDIP PRESS

(seledri, kangkung, sawi, cabai, tomat, terung, bayam, timun, gambas, pare, labu merah, bawang prei, kemangi, bunga kool), tanaman buah-buahan (jeruk, pepaya, mangga, buah naga), tanaman obat keluarga (jahe, kunyit, lengkuas, kencur, temu lawak, temu giring, temu kunci, serai), tanaman pangan alternatif/umbiumbian (ganyong, garut, talas, ketela rambat, bentul). Selain itu, petani yang mempunyai pekarangan sedang sampai luas, dapat diusahakan juga ternak kambing, ayam dan kolam ikan (nila, lele), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) tahun 2011 dan tahun 2012 telah dan sedang membuat Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di 10 kabupaten/kota di Kalimantan Timur, yang disusun menurut kelompok lahan (lahan perdesaan dan perkotaan). Setiap kawasan melibatkan sekitar 20-25 warga setempat. Hasil kegiatan optimasi pemanfaatan lahan pekarangan di Desa Olong Pinang, Kecamatan Paser Balengkong, Kabupaten Paser menunjukkan bahwa hanya dari budidaya tanaman sayuran (terong, cabai) di pekarangan, dapat menghemat pengeluaran keluarga sekitar Rp 200.000 per bulan. Selain itu model kolam ikan dengan sistem terpal dalam waktu kurang dari dua bulan telah direplikasi oleh warga setempat hingga oktober 2012 sebanyak 15 kolam ikan dengan biaya dari warga setempat. Model optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di Desa Olong Pinang ini mendapat respon cukup besar dari warga setempat, sesuai dengan kondisi setempat, perkembangannya cukup baik, mendukung ketahanan pangan keluarga dan dapat direplikasi di daerah atau kawasan lain. OPTIMALISASI PEKARANGAN

PEMANFAATAN

A. Konsep M-KRPL Konsep Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KPRL) saat ini dipandang sangat strategis sebagai upaya untuk mempertahankan ketahanan pangan nasional dengan meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan secara optimal dan berkelanjutan. Pemanfaatan lahan

712

pekarangan untuk pengembangan berbagai jenis tanaman merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga. Dengan membangun kawasan rumah pangan lestari (KRPL), baik di tingkat keluarga, di tingkat desa, di tingkat kecamatan, maupun kabupaten/kota, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari keluarga akan dapat tercukupi. Warga atau masyarakat yang telah memiliki rumah pangan lestari akan lebih aman dan tidak perlu panik apabila harga bahan pangan di pasaran tidak stabil. KRPL selain memanfaatkan pekarangan dan halaman untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman pangan alternatif, sayuran, buah-buahan, tanaman obatobatan, dan juga tanaman khas spesifik lokasi di masing-masing daerah, juga memungkinkan memanfaatkan lahan sempit untuk budidaya ikan air tawar dan ternak dengan skala kecil, tergantung dari luasan lahan pekarangan yang tersedia. Tujuan KRPL yang dikembangkan di berbagai kawasan atau daerah adalah untuk memacu kemandirian kawasan/desa/daerah dalam upaya memproduksi berbagai produk pangan alternatif dengan memanfaatkan secara efektif lahan desa hingga pekarangan rumah. Prinsip dari KRPL yaitu dibangun dari kumpulan rumah tangga yang mampu mewujudkan: (a) kemandirian pangan melalui pemanfaatan pekarangan, (b) diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, (c) pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, (d) tercapainya upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat, serta (e) sebagai tempat pendidikan dan pelatihan bagi warga setempat dan juga warga lain. Pemanfaatan lahan pekarangan selain bertujun untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, juga berpeluang untuk meningkatkan penghasilan rumah tangga. Model KRPL ini dirancang untuk bisa meningkatkan konsumsi aneka ragam sumber pangan lokal dengan prinsip gizi yang seimbang sehingga akan berdampak menurunkan konsumsi beras. Dalam jangka panjang, melalui penanaman dan pengelolaan sumber pangan lokal di lahan pekarangan secara optimal, maka petani dan masyarakat telah berupaya juga dalam melakukan pelestarian sumberdaya genetik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan generasi yang

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

akan datang. Secara rinci model budidaya KRPL di perkotaan dan perdesaan yang dapat diterapkan di Kalimantan Timur berdasarkan kelompok lahan atau strata dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Model Budidaya KRPL Menurut Kelompok Pekarangan Di Perkotaan Kelompok No Model Budidaya Lahan/Strata 1. Rumah Tipe 21 Vertikultur (model (luas tanah sekitar gantung, tempel, tegak, rak), pot/polybag, 36 m2 ), tanpa benih/bibit halaman 2. Rumah Tipe 36 Vertikultur (model (luas tanah sekitar gantung, tempel, tegak, rak), pot/polybag, 72m2), halaman benih/bibit sempit 3. Rumah Tipe 45 Vertikultur (model (luas tanah sekitar gantung, tempel, tegak, rak), pot/polybag, 90m2), halaman tanam langsung, sedang benih/bibit, kolam mini 4. RumahTipe 54/60 Vertikultur (model (luas tanah sekitar gantung, tempel, tegak, 120m2), halaman rak, pot/polybag, tanam langsung, benih/bibit, luas kolam mini, ternak unggas dalam kandang 5. Lahan terbuka hijau Tanaman buah, intensifikasi pagar, pelestarian tanaman pangan 6. Kebun Bibit Pot, rak, bedengan Kelurahan (KBK) B. Perkembangan M-KRPL di Kalimantan Timur Agar pengembangan KRPL pada suatu kawasan berlanjut (lestari), maka model ini dilengkapi dengan dengan Kebun Bibit Desa (KBD) atau Kebun Bibit Kelurahan (KBK) di masing-masing kawasan, sedangkan di tingkat BPTP dibangun Kebun Bibit Inti (KBI). KBD, KBK dan KBI ini sangat penting dalam rangka untuk mendukung ketersediaan bibit/benih baik di kawasan yang sedang dibuat model maupun di kawasan lain yang sedang dan akan dikembangkan atau direplikasi. Baik di KBD, KBK (di tingkat kawasan) maupun di KBI (di

Tabel 2. Model Budidaya Menurut Kelompok Lahan Pekerangan Di Perdesaan No Kelompok Model Budidaya Lahan/Strata 1. Pekarangan sangat Vertikultur,gantung, sempit (tanpa tempel, tegak, rak, pot/ halaman) polybag, benih/bibit 2. Pekarangan sempit Vertikultur, gantung, tempel, tegak, ak, pot/ (400 m2) bedengan, surjan, multistrata, benih bibit 5. Intensifikasi pagar Multistrata jalan 6. Intensifikasi Pot, rak, bedengan, halaman kantor tanam langsung desa, sekolah, fasilitas umum 7. Kebun Bibit Desa Pot, rak, bedengan (KBD) 8. Pelestarian tanaman Bedengan pangan lokal untuk masa depan tingkat BPTP), dikembangkan berbagai jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan KRPL di Kalimantan Timur. C. Optimasi pemanfatan lahan pekarangan di Desa Olong Pinang Desa Olong Pinang berdiri pada tanggal 29 Maret 2010 (SK Bupati Paser), yang terletak di Kecamatan Pasir Balengkong, Kabupaten Paser. Masyarakat desa Olong Pinang mayoritas sebagai petani sawit dan padi. Desa Olong Pinang memiliki luas wilayah ± 30 km2, terletak pada 115 – 116 05,100 Bujur Timur dan 130,15 – 36,190 Lintang Selatan. Kemiringan lahan di desa ini diatas 5% dan kedalaman lapisan humus tanah 5 – 10 cm. Jarak desa Olong Pinang ke Kecamatan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

713

UNDIP PRESS

Pasir Belengkong 22 km, apabila menuju Kota Tanah Grogot jaraknya mencapai 12 km, sedangkan dari desa Olong Pinang ke Samarinda sekitar 280 km. Adapun batas Desa Olong Pinang sebagai berikut • Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Keluang Lolo • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Suatang • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bekoso, dan • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Damit Pendapatan penduduk Desa Olong Pinang dari berbagai sumber pendapatan tanaman pangan dan hortikultura Rp. 213.500.000 atau Rp 157.216,5/kapita/th. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

No 1 2

3

4

optimal, baik untuk usaha tanaman sayuran maupun tanaman lainya. Sejak diperkenalkan model KRPL di kawasan tersebut, lahan pekarangan warga mulai dimanfaatkan untuk budidaya tanaman sayuran dan juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan dalam kolam terpal. Jenis tanaman yang diusahakan antara lain adalah tanaman sayuran, tanaman pangan alternative dan tanaman obat keluarga (TOGA), sedangkan di kolam terpal diusahakan ikan lele atau nila. Data model pengembangan KRPL untuk berbagai jenis tanaman dan kolam ikan selengkapnya disajikan pada Tabel 4, sedangkan contoh model KRPL dapat dilihat pada Gambar 1,2 dan 3.

Tabel 3. Pendapatan Penduduk Dari Tanaman Pangan Dan Holtikultura Jenis Tanaman Jumlah Produksi (Ton/ Thn) Harga per Kg (Rp) Padi - Beras Sawah 25 Ton 7.000 - Beras Gogo Palawija - Jagung 500 Kg 5.000 - Ubi kayu - Kacang Tanah - Kacang Hijau - Kedelai Sayur Mayur - Kacang Panjang 1 Ton 3.000 - Kacang Buncis - Tomat - Kangkung 1 T0n 2000 - Terong 1 Ton 5000 - Timun 2 Ton 3000 - Lombok - Sawi / Bayam - Col / Kubis Holtikultura - Pisang 5.000 Sisir 4000 - Mangga - Rambutan - Salak Jumlah per Tahun

Nilai (Rupiah) 175.000.000 2.500.000 3.000.000 2.000.000 5.000.000 6.000.000 20.000.000 213.500.000

Sumber: Data diolah

Di Desa Olong Pinang, lahan pekarangan warga pada awalnya belum dimanfaatkan secara

714

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 4. Model Pengembangan KRPL Di Desa Olong Pinang Jenis ikan Jenis Jenis pangan Jenis dalam sayuran alternatif TOGA kolam terpal sawi, bentul, kunyit, nila, lele kangkung, ganyong, jahe, bayam, garut, ubi kencur, cabe, jalar, ubi lengkuas, terong, kayu temu tomat, kunci, pare, temu ireng, timun, temu labu merah lawak

Gambar 3. Pemeliharan Ikan Dalam Kolam Terpal Yang Disekelilingnya Ditanami Pare Dan Gambas Sebagai Upaya Optimalisasi Lahan Pekarangan. Hasil kegiatan optimasi pemanfatan lahan pekarangan di Desa Olong Pinang, Kecamatan Paser Balengkong, Kabupaten Paser menunjukkan bahwa hanya dari budidaya tanaman sayuran (terung dan cabai) di pekarangan, dapat menghemat pengeluaran keluarga sekitar Rp 200.000 per bulan. Selain itu model kolam ikan dengan system terpal dalam waktu kurang dari dua bulan telah direplikasi oleh warga setempat hingga oktober 2012 sebanyak 15 kolam ikan dengan biaya dari warga setempat. D. Replikasi atau pengembangan Model

Gambar 1. Usahatani Sayuran Terong, Cabe, Kangkung Di Pekarangan Warga

Gambar 2. Penanaman Cabai Rawit Di Pekarangan Dengan Menggunakan Polybag.

Untuk keberlajutan/lestarinya KRPL yang telah ada dan adanya pengembangan di beberapa kawasan, perlu dilakukan pemberdayaan terhadap para pendamping lapangan (penyuluh, ketua kelompok, key person, aparat desa/kecamatan/ kabupaten/provinsi). KRPL ini bisa dipadukan dengan berbagai program pemerintah daerah, misalnya program pemanfaatan pekarangan, program pemberdayaan wanita (KWT), program PKK, program Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dan program-program lain dalam upaya peningkatan nilai tambah pekarangan dan kesejahteraan warga/masyarakat, baik di desa maupun di kota. Partisipasi masyarakat cukup besar dalam pengembangan KRPL di Kalimantan Timur, khususnya di Desa Olong Pinang. Untuk itu dalam rangka replikasi dan pengembangan kawasan ke depan perlu dikuatkan lagi partisipasi masyarakat sekitar kawasan, karena

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

715

UNDIP PRESS

tidak semua lokasi atau kawasan seluruh warga aktif berpartisipasi. Langkah yang bisa ditempuh antara lain melalui pertemuan rutin atau melalui kegiatan gotong royong di KBD atau KBK. Untuk mengantisipasi keperluan atau penyediaan benih/bitit di tingkat KBD, KBK dan terutama di KBI perlu diantisapi dengan adanya dukungan teknologi untuk pengembangan dan penyediaan bibit/bebih, sarana dan prasarana penunjang lainnya dari puslit/balit atau lembaga lain yang berkompeten. Pada masa mendatang, sinergi antara KRPL dengan kegiatan lain (di daerah dan pusat) yang saat ini sudah terjalin cukup bagus supaya lebih dipererat lagi. KRPL bisa bersinergi dengan berbagai program seperti Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP), Desa Mandiri Pangan, Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), Pasar Tani, program Rumah Hijau dan Rumah Sehat serta program lainnya yang berbasis lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. M-KRPL adalah suatu model dan untuk dicontoh serta untuk direplikasi atau dikembangkan di kawasan atau daerah lain. Untuk maksud tersebut maka ke depan diperlukan bimbingan, penyuluhan, dukungan kebijakan dan anggaran terutama dari daerah/APBD. PENUTUP 1. Lahan pekarangan dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk mencukupi kebutuhan warga sehari-hari, seperti dengan menanam tanaman sayuran (sayuran daun sayuran buah), menanam tanaman pangan alternatif keluarga (ganyong, garut, bentul, ubi jalar, ubi kayu), menanam tanaman obat kelurga (kunyit, jahe, kencur, lengkuas, temu ireng, temu kunci, temu lawak) dan pemeliharaan

716

ikan dalam kolam terpal. 2. M-KRPL telah diaplikasikan di berbagai wilayah di Kalimantanh Timur, seperti di Desa Olong pinang, Kecamatan Pasir Balengkong, Kabupaten Paser. Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa dari pemanfaatan lahan pekarangan telah dapat menghemat pengeluaran keluarga harian hanya dari tanaman sayuran di lahan pekarangannya. 3. Dukungan pemda dan masyarakat dalam pengembangan M-KRPL ini sangat diperlukan untuk bisa mendukung ketahanan pangan nasional yang dimulai dari tingkat keluarga. DAFTAR PUSTAKA Ariani, M. 2011. Penguatan Ketahanan Pangan Daerah untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. http://www.pse.litbang.deptan.go.id. Irawan, A. 2003. Kebijakan Ketahanan Pangan yang Berpihak kepada Petani. www.iei.or.id/publication. Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, Jakarta, 29 Maret 2001. Suryana, A. 2002. Perspektif dan Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. 1 Mei 2002. IPB. Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN MELALUI OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Hano Hanafi, Sinung dan Sudarmadji

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta Jln. Stadion Maguwoharjo, No. 22, Karangsari - Wedomartani, Ngempak – Sleman Fax: (0274) 562935, email : [email protected]

ABSTRACT Hanafi, H., Sinung, and Sudarmadji. Increasing Food Production Through Homeyard Utilization in Yogyakarta. Increased food production will have a very broad impact on the rate of economic growth in Indonesia. In addition to achieving self-sufficiency, crop development also aims to increase the income of the farmers. All this can be achieved through increased production. Ministry of Agriculture initiated the optimal use of the yard through the concept of Model Region Sustainable Food House (M-KRPL). RPL is a compound of houses that seek intensive to be used with a variety of local resources judiciously to ensure continuity of supply of domestic food quality and variety. MKRPL activities conducted by the Agency for Agricultural Research and Development ranks held in each district in accordance with the local area agroecosystem. The experiment was conducted in four districts purposively/town location M-KRPL (Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo, Sleman and Yogyakarta). The study was conducted from March to September 2012. The data was collected by surveying both primary and secondary data from various agencies as well as the results of monitoring and evaluation of K-RPL in DIY. Data were analyzed quantitatively and qualitatively. The study aims to analyze the optimization of their yards on the activities of M-KRPL in DIY in favor of increasing the food production of tubers, horticulture, livestock (poultry and small ruminants) and ground fish. Draft Sustainable Food Houses Region (a) the arrangement and use of yard: done by planting in polybags, pots, vertikultur, beds, fences, ponds, and cages. (b) the selection of commodities: food and nutrition needs into account family, food diversity, preservation of local food resources as well as potential commercial development. (c) Nursery village built in a participatory manner by the community as a supplier of seeds and seedlings to meet the RPL and the region. (d) diverisifikasi food: to increase consumption of a variety of local food with the principles of balanced nutrition. Onion production levels in the province in 2010 harvested area 2.027 ha production reached 19.905 tons; productivity of 9.84 t / ha. While in 2011 the harvested area 1.271 ha production of 14.407 tons; productivity of 11.34 t/ha. Keywords: food production, land use yard

PENDAHULUAN Masalah pangan merupakan salah satu masalah nasional yang sangat penting dari keseluruhan proses pembangunan dan ketahanan nasional suatu bangsa. Pangan menyangkut kesejahteraan hidup dan kelangsungan hidup suatu bangsa karena merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling pokok. Mengingat arti dan peranan pangan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan manusia maka pemerintah Indonesia selalu berusaha

untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduknya, tidak saja ditinjau dari segi kuatitas, tetapi juga dari segi kualitas. Usaha peningkatan produksi pangan ditujukan pula untuk meningkatkan taraf hidup, memperluas kesempatan kerja, peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat dengan merata dan adil, serta meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya (Hanafi, 2010). Penyediaan pangan dan gizi menjadikan sutu sarana yang harus selalu ditingkatkan sebagai

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

717

UNDIP PRESS

landasan untuk pembangunan manusia Indonesia dalam jangka panjang. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) di DIY pada tahun 2010 adalah 79.4. Sedangkan tingkat konsumsi energi penduduk Provinsi DIY adalah 1765,5 kkal/kap/hr, masih dibawah standar ideal Nasional sebesar 2000 kkal/kap/hari (Susenas, 2007). Jika kita perhatikan pola konsumsi sumber energi penduduk DIY berdasar Susenas DIY Tahun 2007, seperti : padi-padian 61,7%, umbi-umbian 2,2%, pangan hewani 7,7%, minyak dan lemak 7,9%, buah biji berminyak 3,1%, kacang-kacangan 3,8%, gula 6,5%, sayur dan buah 5,4%, dan lain-lain 1,7%, maka pola konsumsi energi rumah tangga penduduk DIY masih banyak didominasi oleh beras dan keanekaragaman konsumsi pangan dan gizi yang sesuai dengan kaidah yang seimbang belum terwujud. Upaya peningkatan diversifikasi pangan dapat dilaksanakan melalui percepatan penganekaragaman konsumsi pangan dengan target tercapainya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman, sehingga target skor Pola Pangan Harapan (PPH) sekurang-kurangnya 93,3 pada tahun 2014 dapat dicapai untuk DIY, terutama Kotamadya Yogyakarta. Kegiatan pelaksanaan kenekaragaman pangan menurut Suryana (2004) adalah lebih diarahkan aspek produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Tanpa banyak disadari bahwa lahan pekarangan bila dikelola secara optimal dan terencana dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan gizi keluarga di samping sekaligus untuk keindahan (estetika). Rustina (2012) menyatakan bahwa dalam mengelola pekarangan beragam fungsi dasar pekarangan termaksimalkan yaitu menjadi warung hidup, bank hidup, apotik hidup serta fungsi keindahan. Lahan pekarangan yang dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat antara lain adanya peningkatan gizi keluarga, lingkungan rumah asri, teratur, indah dan nyaman. Semakin beragam tanaman pangan atau tanaman obat keluarga (toga) yang dikembangkan serta semakin banyak ternak/ikan yang dibudidayakan, maka diharapkan rumah tangga/keluarga yang mengelola, kehidupannya akan menjadi semakin sejahtera. Selain itu manfaat yang kita peroleh dari pekarangan dan

718

tentunya secara ekonomi merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga. Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Hal ini menjadi prioritas pembangunan pertanian nasional dari waktu ke waktu. Ke depan, setiap rumah tangga diharapkan mengoptimalisasi sumberdaya yang dimiliki, termasuk pekarangan, dalam menyediakan pangan bagi keluarga. Kementerian Pertanian menginisiasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL). RPL adalah rumah penduduk yang mengusahakan pekarangan secara intensif untuk dimanfaatkan dengan berbagai sumberdaya lokal secara bijaksana yang menjamin kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan beragam. Apabila RPL dikembangkan dalam skala luas, berbasis dusun (kampung), desa, atau wilayah lain yang memungkinkan, penerapan prinsip Rumah Pangan Lestari (RPL) disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Selain itu, KRPL juga mencakup upaya intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya (sekolah, rumah ibadah, dan lainnya), lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil. Kegiatan M-KRPL bertujuan: (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan; (2) meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat, pemeliharaan ternak dan ikan serta diversifikasi pangan; (3) mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; (4) mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Kegiatan KRPL merupakan program pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dalam rangka peningkatan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

pemanfaatan pekarangan. Pendekatannya melalui kelembagaan Kelompok Tani dan Kelompok Wanita Tani dalam pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia di desa maupun di kota dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Levis (1996) model pendekatan melalui kelembagaan kelompok tani dipandang dari segi komunikasi informasi merupakan pendekatan yang lebih efektif jika dibanding dengan pendekatan massa. Penelitian bertujuan menganalisis optimalisasi lahan pekarangan pada kegiatan M-KRPL di DIY dalam mendukung peningkatan produksi pangan kelompok hortikultura (sayuran, umbi-umbian, ternak (unggas dan ruminansia kecil) serta ikan darat. METODE Penelitian dilaksanakan secara purposif di empat kabupaten/kota lokasi M-KRPL (Gunungkidul, Bantul, Kulon Progo dan Sleman serta Kota Yogyakarta). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan September

No 1

2

3

4

5

2012. Pengumpulan data dilakukan secara survai baik data primer maupun sekunder dari berbagai instansi terkait serta hasil monitoring evaluasi KRPL di DIY. Data dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif (Singarimbun, 1989). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Penataan lahan dan pemilihan komoditas Kondisi situasi lahan pekarangan dan lingkungan di empat kabupaten/kota (Gunungkidul, Bantul, Kulon Progo dan Sleman serta Kota Yogyakarta) di DIY relatif beragam, baik luas lahan, topografi, jenis tanah mapun sosial ekonomi masyarakat. Kondisi demikian menjadi bahan pemikiran yang cukup penting di dalam menentukan langkah-langkah strategis pelaksanaan KRPL di setiap wilayah. Empat Kabupaten Gunungkidul, Bantul, Kulon Progo dan Sleman, kondisi lahan pekarangan relatif luas sangat jauh berbeda dengan kondisi lahan pekarangan di Kota, hampir di setiap rumah penduduk areal pekarangan relatif sempit. Dengan demikian, penataanya lebih banyak

Tabel 1. Kelembagaan Kelompok Tani Yang Terlibat Dalam Kegiatan KRPL Di DIY Anggota Wilayah Nama Kelompok Tahun mulai (orang) Gunungkidul: · Klanggeran dan Doga (Patuk)

85

· Kedung Keris (Nglipar) · Wareng (Wonosari)

Sidomuncul dan KWT Magodadi KWT Kantil KWT Sinar Tani

30 30

2012 2012 2012 2012

Bantul: · Tambalan (Pleret) · Kerto Paten (Banguntapan)

Ngudi Makmur Sri Rejeki

135 53

2012 2012

KWT Sumber Mulyo

146

2012

21-65

2012

Sleman: · Sumber Harjo (Prambanan) (Dsn Berjo, Daleman & Bendungan) · Wukirsari (Cangkringan)

Margo Mulyo

Kulon Progo: · Sri Kayangan (Sentolo) · Hargo Tirto (Kokap) · Sido Mulyo (Pengasih) · Banaran (Galur)

KWT Putri Manunggal KWT Melati KWT Lestari Tani Maju

50 45 15 25

2012 2012 2012 2012

Kota Yogyakarta: · Kelurahan Kadipaten (Kraton) · Kelurahan Bener ( Tegalrejo)

KWT Kencana Asri KWT Mekarsari

68 58

2012 2012

Sumber: Data Primer diolah

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

719

UNDIP PRESS

menggunakan sistem vertikultur dan polybag sebagai media tanam, sedangkan bagi petani yang memiliki pekarangan yang cukup luas selain menggunakan polybag dan vertikultur, lahan pekarangan ditata sedemikian rupa menggunakan bedengan-bedengan yang dicampur pupuk organik sebagai media tanam. Langkah pertama dalam pelaksanaan kegiatan KRPL berlahan pekarangan sempit adalah penataan dan pemanfaatan pekarangan, dilakukan dengan cara penanaman di polybag, pot, vertikultur, bedengan, kolam. Penyiapan media tanam dengan memperhatikan sumberdaya alam yang ada disekitar lokasi, yaitu tanah subur yang banyak mengandung pupuk organik untuk mengisi polybag, pot, vertikultur maupun kebutuhan untuk sarana Kebun Bibit Desa (KBD). Berdasarkan Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa, pada periode mulai tahun 2011 sampai dengan 2012 di DIY kegiatan KRPL dilaksanakan di empat kabupaten/kota (Gunungkidul, Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Kota). Agar lebih efektif sosialisasi kegiatan KRPL, pengarahan dan pendampingan berupa teknologi dilaksanakan secara partisipatif melalui kelembagaan kelompok tani maupun KWT pada setiap kawasan sesuai agroekosistem. Jika dilihat dari setiap kelembagaan kelompok tani dan KWT banyaknya peserta yang terlibat pada kegiatan KRPL rata-rata antara 15 – 50 orang, dengan dominasi pelaksanaanya lebih banyak memberdayakan wanita tani. Mengapa demikian, karena berdasarkan materi pekerjaan yang dikerjakan lebih mengarah pada kegiatan ibu-ibu atau identik dengan kegiatan PKK, antara lain kegiatan berbagai olahan pangan lokal yang berasal dari golongan umbi-umbian (singkong, ketela rambat, gadung, suweg, talas, ganyong, garut, gembili dan lainlain). Penanaman tanaman sayuran pada polybag seperti terong, cabe, sawi, bayam, tomat, kubiskubisan, kacang panjang dan lain-lain. Juga penanaman tanaman obat-obatan untuk keperluan rumah tangga (TOGA), dari famili Zingiberaceae seperti (kunyit, jahe, lengkuas, kencur, temu lawak dan lain-lain). Untuk mendukung tumbuhnya tanaman sayuran maupun obat-obatan, sebagai sarana pengairan maka dibangun kolam terpal dengan memanfaatkan dan menampung air hujan melalui

720

talang-talang. Kondisi ini sesuai dengan tujuan pembangunan ketahanan pangan bahwa penyediaan pangan berbasis pemanfaatan ketersediaan sumberdaya lokal, baik sumberdaya alam, manusia, teknologi dan sosial (Hanafi, 2010). Agar terkesan asri sekaligus berfungsi untuk perbaikan lingkungan maka penataan lahan diatur sedemikian rupa sekaligus digunakan sebagai lokasi pendidikan dan wisata bagi anakanak sekolah agar tumbuh dan berkembang untuk cinta dan peduli pada lingkungan. Jika kondisi sekitar pemukiman penduduk masih mempunyai lahan pekarangan yang relatif luas maka penanaman sayuran dan obat-obatan dibuat bedengan-bedengan dengan mencapur pupuk organik sebagai media tanam. Namun jika kondisi sekitar perumahan penduduk hanya memiliki lahan yang terbatas maka ditata dengan menggunakan rak-rak yang terbuat dari kayu atau bambu yang ada di sekitar penduduk. Jumlah tanaman sayuran yang menggunakan media tanam polybag di setiap anggota kelompok relatif beragam berkisar antara 10 – 25 polybag dan sudah berproduksi, sehingga sangat membantu dalam mendukung kebutuhan rumah tangga. Jenis tanamannya antara lain; terong, cabe, sawi, bayam, tomat, kubis-kubisan, kacang panjang, saledri, bawang daun dan lain-lain. Sedangkan tanaman pangan lokal yang ditanam golongan umbi-umbian antara lain singkong, ketela rambat, gadung, suweg, talas, ganyong, garut, gembili. Demikian pula untuk mendukung kesehatan masyarakat ditanam beberapa jenis tanaman obat-obatan untuk keperluan keluarga antara lain dari famili Zingiberaceae seperti (kunyit, jahe, lengkuas, kencur, temu lawak dan lain-lain). b. Keanekaragaman pangan, produksi sayuran, ternak/ikan dan umbi-umbian Meskipun berada dalam wilayah perkotaan, masih banyak rumah tangga perkotaan Yogyakarta yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal keanekaragaman pangan, mutu dan tingkat gizinya. Terbukti dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk DIY pada tahun 2010 baru mencapai 79.4. Untuk itu peningkatan keanekaragaman pangan atau diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya dalam memenuhi konsumsi pangan yang cukup mutu

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 2. Sebaran Data ATAP Luas Panen, Produksi Tanaman Hortikultura Sayuran Di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2010-2011 Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha) No Komoditas Th. 2010 Th.2011 Th.2010 Th.2011 Th.2010 Th.2011 1

Bawang merah

2,027

1,271

19,905

14,407

9,84

11,34

2

Bawang daun

193

1

2,151

2

11,15

2,00

3

Kentang

8

2

116

30

14,50

15

4

Petsai/sawi

613

653

6,756

7,157

11.02

11,27

5

Kacang panjang

670

557

3,023

2,169

4,51

3,89

6

Cabe besar

2,231

2,541

13,039

14,412

5,84

5,67

Sumber: Data sekunder diolah (DIPERTA DIY) 2010-2011

dan gizi. Sosialisasi dan pembinaan teknologi pengolahan pangan berbahan baku lokal di seluruh lokasi KRPL (Gunungkidul, Bantul, Kulon Progo, Sleman dan Kota) sudah dilaksanakan, kegiatan ini mendukung ketahanan pangan sekaligus penganekaragaman pangan melalui pemberdayaan Kelompok Wanita Tani. Pengembangan rumah pangan dalam suatu kawasan yang dikelola pada aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi serta pelestarian tanaman pangan untuk masa depan adalah sangat tepat untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Fokus rumah pangan lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok masyarakat informal di perkotaan dengan memanfaatkan teknologi hemat lahan untuk optimalisasi lahan pekarangan dalam membangun kemandirian pangan rumah tangga, pengembangan diversifikasi pangan, pengembangan tanaman pangan sumberdaya lokal atau pengembangan kearifan lokal. Menurut Suryana (2004) bahwa, pendekatan yang perlu dilakukan dalam memperkokoh ketahanan pangan adalah tetap mendorong peningkatan produksi beras domestik seiring dengan upaya pengembangan pangan sumber karbohidrat non beras dan sumber-sumber protein dan zat gizi mikro. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) merupakan suatu Model yang dibangun dalam suatu lahan pekarangan di wilayah perdesaan sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari dengan komponen pendukung utamanya adalah Kebun Bibit Desa (KBD). Kebun Bibit Desa dibangun secara partisipatif oleh

masyarakat sebagai pemasok benih dan bibit untuk memenuhi RPL maupun kawasan. Pada pelaksanaannya selalu melibatkan masyarakat sekitar baik pengurus kelembagaan kelompok tani maupun kelompok wanita tani, dan seluruh peserta yang menjadi anggota kelompok. Berdasarkan Tabel 2. dijelaskan bahwa, tingkat produksi dan produktivitas beberapa komoditas hortikultura sayuran berupa bawang merah, bawang daun, kentang, petasi/sawi, kacang panjang dan cabe besar mengalami pluktuasi penaikan dan penurunan, Hal ini disebabkan oleh adanya kendala alam yaitu kondisi iklim yang kurang baik terutama terjadi ketika tahun 2010, hampir di setiap wilayah di Indonesia saat itu terjadi hujan yang relatif besar, sehingga mengganggu tanaman, bahkan banyak yang gagal panen karena terendam air. Berdasarkan Tabel 3. dapat dijelaskan bahwa jumlah produksi, luas panen dan tingkat produktivitas ubi jalar di DIY tahun 2011 mencapai 4,584 ku dari luas panen 413 ha dengan produktivitas mencapai 110.99 ku/ha. Hasil tertinggi berturut-turut diperoleh dari wilayah Kabupaten Sleman 3,386 kuintal. Gunungkidul 626 kuintal, Kulonprogo mencapai 390 kuintal. Areal penanaman ubi jalar umumnya petani menggunakan lahan pekarangan/tegalan dan sawah untuk yang pola tanamnya Padi – padi –palawija. Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

721

UNDIP PRESS

Tabel 3. Sebaran Data ATAP Luas Panen, Produksi Tanaman Ubi Jalar Di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011 Januari - April Mei - Agustus Sept - Des (Realisasi) Januari - Desember Kabupaten/ (Realisasi) (Realisasi) Kota LP Ku/ha Prod. LP Ku/ha Prod. LP Ku/ha Prod. LP Ku/ha Prod. Kulonprogo

16

103.92

166

16

98.82

158

7

93.65

66

39 100.00

390

Bantul

2

98.25

20

7

97.49

68

9

103.92

94

18 101.11

182

Gunungkidul 43

90.72

390

21

99.38

209

3

90.51

27

67

626

Sleman

119.20 1,132

82

71.20

584

95

93.43

112 149.12 1,670 289 117.16 3,386

Jumlah Kab. 156 109.49 1,708 126 80.87 1,019 131 141.76 1,857 413 110.99 4,584 Sumber: Data sekunder diolah (DIPERTA DIY) 2011

tangga manusia dan sebagian lagi dapat untuk bahan pakan ternak. Hasil ternak dan ikan akan dimanfaatkan manusia untuk keperluan rumah tangga dan sebagian lagi dijual sebagai bentuk pendapatan. Sedangkan kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian hubungan antara tanah, tanaman, hewan peliharaan, ikan dan manusia sebagai unit dipekarangan merupakan satu kesatuan terpadu. Keragaan KRPL yang ada di DIY diwarnai dengan budidaya ikan di kolam dengan memanfaatkan air hujan (panen air) yang ditampung di kolam. Kontruksi kolam menggunakan terpal, ukuran skitar 3 x 4 meter dengan kedalaman 50-60 cm. Demikian pula budidaya ternak kecil seperti unggas maupun kelinci di sekitar pekarangan disesuaikan minat dan keterampilan petani. Untuk menghadapi musim paceklik, pekarangan biasanya dapat membantu penghuninya menyediakan sumber pangan yang hidup (lumbung hidup) seperti : tanaman palawija, tanaman pangan dan hortikultura, hasil binatang peliharaan, dan ikan. c. Penguatan Kelembagaan Mengawali pelaksanaan kegiatan KRPL yakni mengidentifikasi permasalahan yang ada di tingkat kelompok pada setiap wilayah perdesaan, mulai penataan lahan pekarangan, penempatan dan pembuatan KBD serta pembuatan kolam terpal dikerjakan secara partisipatif baik pengurus kelompok tani atau KWT, maupun anggota kelompok terlibat. Penguatan kelembagaan kelompok, dimaksudkan agar kelompok pelaksana dapat bertanggung jawab pada pelaksanaan dan keberlanjutan kegiatan

722

siapa melakukan apa, sesuai dengan kedudukan dan tupoksi masing-masing di dalam kelompok. Jadwal piket di KBD disusun secara musyawarah diantara pengurus kelompok. Dipandu oleh tim BPTP bersama dengan penyuluh pendamping lapang, kelompok menyusun rencana kegiatan untuk mewujudkan M-KRPL di wilayahnya. KESIMPULAN •





Peningkatan produksi pertanian (sayuran, pangan lokal, ternak, ikan dan tanaman obatobatan) dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan pekarangan secara efektif dengan penataan lahan sedemikian rupa, sehingga dapat menambah penghasilan petani sekaligus sebagai wahana nilai estetika dan pendidikan anak sekolah. Kelembagaan kelompok tani seperti KWT merupakan jembatan penghubung pembangunan pertanian, sekaligus sebagai wadah dalam mentransfer teknologi spesifik lokasi yang dibutuhkan petani. Metode pendekatan dalam pelaksanaan kegiatan KRPL melalui kelembagaan Kelompok Tani dan Kelompok Wanita Tani melalui pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia di desa maupun di kota untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Hanafi, Rita. 2010. Kebijakan Pertanian. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Levis.

L.R.

1996.

Metode

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

Pendekatan

UNDIP PRESS

Komunikasi. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Penerbit: PT. Citra Aditia Bakti. Bandung. Rustina. 2012. Optimalisasi Lahan Pekarangan Melalui Program MKRPL di Desa Tebing Batu Kabupaten Sambas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Singarimbun, M. dan S. Effendi (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: Lembaga

Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Suryana. A. 2004. Penganekaragaman Pangan. Kapita Selekta. Evulusi Pemikiran Kebijakan. Ketahanan Pangan.Penerbit: BPFE – Yogyakarta. Susenas. 2007. Pola Pangan Harapan Daerah Istimewa Yogyakarta. Biro Pusat Statistik DIY.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

723

UNDIP PRESS

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA LOKAL LAHAN PEKARANGAN MELALUI PERCEPATAN DIVERIFIKASI TANAMAN SAYURAN DI KABUPATEN SEMARANG Sodiq jauhari, Wahyudi Haryanto dan Samijan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

ABSTRAK Tujuan kegiatan ini adalah melakukan identifikasi pemanfaatan pengelolaan lahan pekarangan rumah tangga petani di perdesaan, serta mengetahui kelayakan teknis dan ekonomi tentang teknologi diversifikasi tanaman berbasis sumberdaya lokal di lahan pekarangan perdesaan melalui budidaya tanaman sayuran. Pelaksanaan kegiatan di lahan pekarangan milik masyarakat di Kabupaten Semarang tepatnya di Desa Tawang Kecamatan Susukan. Kegiatan Pelaksanaan kegiatan pada Bulan Juni s/d Oktober 2012. Metode pengkajian dengan melakukan identifikasi melalui PRA (Participation Rural Apriesial), di kawasan lingkungan RT 01 dan 02 yang melibatkan 23 warga. Sedangkan kegiatan diversifikasi tanaman sayuran dilakukan dengan pendekatan OFCOR (On Farm Client Orientid Research). yang melibatkan partisipasi aktif warga masyarakat sejumlah 70 kepala keluarga. Inovasi yang diintroduksikan diversifikasi tanaman sayuran. Jenis dan tata ruang penataan lahan pekarangan dilaksanakan bersama-sama warga masyarakat dengan komoditas tanaman sayuran spesifik lokasi. Analaisis data yang digunakan adalah deskriptif Hasil identifikasi menunjukkan 85% tanaman sayuran yaitu pada kelas lahan starta 3 dan 2 dengan luas lahan (> 350 m2). Jenis komoditas sayuran yang diusahakan adalah Kc. Panjang, Cabe rawet putih dan hijau, labu, jipan serta terung), sedangkan starta-1 oleh kategori lahan sempit (>100 m2) sebesar 15 %. Komoditas yang diusahakan adalah tanaman sawi, selada hijau dan merah, sledri serta tanaman tomat, pare dan onclang menggunakan media kompos dalam polybag yang ditata rapi menggunakan rak bambu dan gapura bambu, sedang sisa lahan pekarangan disekitar rumah dan lingkungan menggunakan teknologi polykultur, Hasil panen dan pendapatan tanaman sayuran didominasi pada lahan pekarangan starta 2 dan 3, sedangkan lahan pekarangan starta-1 belum dikelola optimal. Sebagian besar hasil panen untuk memenuhi konsumsi rumah tangga (70%), kelebihannya (20%) dijual dan 5% untuk kepentingan sosial. Diversifikasi tanaman sayuran yang diushakan secara terpola memberikan kontribusi penghasilan pendapatan sebanyak 17,6% dari komoditas tanaman lain yang diusahakan di lahan pekarangan. Kata kunci: identifikasi, lahan pekarangan, tanaman sayuran

PENDAHULUAN Masalah penggunaan dan pemanfaatan lahan bersifat dilematis mengingat peluang perluasan areal pertanian sudah sangat terbatas, sementara tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri, jasa, dan properti semakin meningkat. Disisi lain subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Salah satu upaya untuk meningkatkan

724

ketahanan pangan adalah melalui penganekaragaman pangan, yaitu proses pengembangan produk pangan yang tidak tergantung kepada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan berbagai macam bahan pangan (Anonim, 1996). Komitmen pemerintah pusat untuk penganekaragaman pangan ditunjukkan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PP) nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 tahun

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

2009 tentang Gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Di Provinsi Jawa Tengah, PP No. 22 dan Permentan No. 43 tersebut ditindaklanjuti dengan PERGUB nomor 41 tahun 2009 dan kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati dan Waiikota. Bupati Semarang, misalnya, mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Percepatan Penganeka ragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal untuk masing-masing kecamatan. Dari data Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Semarang juga dapat di ketahui bahwa salah satu wilayah terdapat jumlah rumah tangga dalam kategori pra sejahtera karena alasan ekonomi mencapai 44%, dengan rincian sebagai berikut jumlah rumah tangga yang didata sejumlah 233.916 rumah tangga, sedangkan rumah tangga prasejahtera karena alasan ekonomi sebanyak 101.956 rumah tangga (BPS Kabupaten semarang, 2010. dalam Danoesastro, H. 1978). Angka ini menunjukkan jumlah keluarga pra sejahtera di wilayah Kabupaten Semarang masih tinggi. Berdasarkan kepada beberapa hal di atas serta mengingat bahwa selama ini penguasaan teknologi masyarakat terhadap pengembangan pekarangan sebagai sumber pasokan pangan dan teknologi pengolahan pangan lokal belum sesuai harapan serta proporsi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal cenderung menurun (Ryantie, S. 2010) maka akan dilaksanakan M-KRPL di salah satu wilayah Kabuapten Semarang Propinsi Jawa Tengah. M-KRPL akan dikembangkan sebagai tindak lanjut pada program P2KP yang terlebih dahulu dinisiasi oleh Badan Ketahanan Pangan Kabupaten pada agroekosistem lahan kering yang selama ini cenderung tertinggal dibandingkan dengan agroekosistem lahan basah. Tujuan kegiatan ini adalah mengidentifikasi sistem pengelolaan pekarangan, melalui teknologi diversifikasi tanaman sayuran berbasis sumberdaya lokal di lahan pekarangan perdesaan, mengetahui prospek kelestarian upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat dalam suatu kawasan perdesaan, serta mengetahui prospek pengelolaan pekarangan sebagai kegiatan ekonomi produktif keluarga secara mandiri di kawasan perdesaan.

METODE Pelaksanaan kegiatan di lahan pekarangan milik masyarakat di Kabupaten Semarang tepatnya di Kawasan Program Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP) di Desa Tawang Kecamatan Susukan. Pelaksanaan kegiatan pada Bulan Juni s/d Oktober 2012. Metode pengkajian dengan melakukan identifikasi melalui PRA (Participation Rural Apriesial) menggunakan kuosioner terstruktur, yang melibatkan responden di kawasan lingkungan RT 01 dan 02 sejumlah 23 warga. Sedangkan kegiatan diversifikasi tanaman sayuran dilakukan dengan pendekatan OFCOR (On Farm Client Orientid Research). yang melibatkan partisipasi aktif warga masyarakat. Inovasi yang diintroduksikan diversifikasi tanaman jenis sayuran. Jenis dan tata ruang penataan lahan pekarangan dilaksanakan bersama-sama warga masyarakat dengan komoditas tanaman sayuran spesifik lokasi. Analaisis data yang digunakan adalah deskriptif dan analisis keuntungan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Eksisting Dari hasil koordinasi dan observasi lapang Dusun Tawang Kecamatan Susukan merupakan daerah dengan agroekosistem lahan kering dengan ketinggian 340 dpl. Dan mengalami bulan kering selama 7 bulan. Lokasi kegiatan merupakan daerah lahan kritis dengan problim sosial yang cukup komplek diantaranya kerawanan pangan dimusim kemarau. Inisiasi program P2KP merupakan percepatan ketahanan pangan yang direalisasikan oleh KWT Sidomukti dan Kelompok Anugrah sekaligus ditetapkan sebagai lokasi percontohan Kawasan Rumah pangan lestari di Kabupaten Semarang. Tujuannya adalah untuk melakukan perceptan dan peningkatan ketahanan pangan secar mandiri dan berkelanjutan di wilayah lahan marginal. Hasil identifikasi wilayah menunjukkan bahwa pekarangan rumah tangga di Desa Tawang sebagian besar (85 %) luas (> 350 m2 atau masuk dalam katagori strata 3) disusul oleh katagori sedang (100 – 300 m2 atau strata 2) yaitu sebesar 15 %,. Sebagian rumah tangga di desa tawang telah memanfaatkan pekarangan untuk kegiatan usahatani sambilan dengan mengusahakan aneka tanaman tahunan, sayuran dan tanaman pangan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

725

UNDIP PRESS

sebagai sumber karbohidrat. Pengelolaan lahan pekarangan yang memiliki starta 2 kategori sedang dilakukan kegiatan usahatani lebih intensif dibanding dengan luas pekarangan yang masuk starta 3 kecenderungan banyak diusahakan tanaman tahunan. Kondisi tanaman eksisting yang ada belum tertata. Jenis tanaman sayur existing di wilayah desa tersebut tampaknya dipilih yang tidak membutuhkan perawatan intensif, misalnya adalah sayuran cabe rawit dan kenikir sebagai tanaman yang cukup eksis di perdesaan. Wilayah ini masuk kategori agroekosistem lahan kering dataran tinggi. Program Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP) sudah berjalan 2 tahun terakhir, ternyata belum berdampak secara nyata terhadap kiprah warga masyarakat dalam mengekpresi sepenuhnya akan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Hall ini terkondisikan karena plot kegiatan yang dikelola ternyata terkonsentrasi pada satu lokasi yang kelola oleh sekelompok minoritas. Beranggapan sebagai ritorika keragaan bukan sebagai kebutuhan mendasar konsumsi rumah tangga. Tabel 1. Komoditas Existing Tanaman Sayuran Di Pekarangan (berdasar Strata) Di Dusun Tawang, Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang 2012 Jumlah penanam sayuran Jenis (terhadap strata) Sayuran Strata 2 Strata 3 Jumlah Dusun Tawang n (orang) 14 56 70 Adas 3 14 17 Terong 4 11 15 Bayam 5 8 13 Jipang 7 5 13 Kenikir 9 9 Cabe 11 31 42 Sawi 6 37 Pare 4 3 7 Kangkung 4 4 8 Sumber: Data Primer

Keragaan Pengelolaan dan pemanfaatan Lahan Pekarangan melalui diversifikasi tanaman Sayuran di Desa Tawang 2012 Kegiatan pengelolaan lahan pekarangan yang diampu di Desa Tawang Kecamatan susukan dilakukan dengan pendekatan kawasan

726

RT (Rukun Tetangga) dengan melibatkan 70 warga yang efektif kegiatan berjalan mulai bulan Mei 2012. Dalam perkembanganya kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan pekarangan cukup diminati warga desa setempat karena dirasa cukup bermanfaat kusunya untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari. Kondisi ini berdampak pada pengembangan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan di luar kawasan yang semula 2 RT berkembang menjadi kawasan 4 RT, walau jumlah pelaksana masih sedikit (teridentifikasi 21 orang di luar kawasan RT pelaksana), dari hasil wawancara dengan warga dimungkinkan karena saat ini pemeliharaan tanaman masih direpotkan dengan ketersediaan air untuk pemeliharaan yang masih terbatas, namun tidak menyurutkan niat warga untuk melaksanakan difersifikasi tanaman sayuran di lahan pekarangan. Utamanya menghadapi musim penghujan mendatang. Tabel 2. Komoditas Introduksi Tanaman Sayuran Di Pekarangan (berdasar Strata) Di Dusun Tawang, Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang 2012 Jumlah penanam sayuran ( terhadap strata) Jenis Sayuran Strata Strata Strata Jumlah 1 2 3 n (orang) 14 56 70 Labu 4 7 14 25 Terong 14 14 43 71 Sledri 8 8 Slada 7 32 39 Loncang 7 8 15 Cabe 14 56 70 Sawi 12 6 31 49 Pare 8 6 21 35 Sumber: Data Primer 2012

Di Desa Tawang, masyarakat relatif sudah memanfaatkan pekarangannya untuk budidaya tanaman sayuran maupun tanaman pangan. Hal ini diduga terkait dengan kepemilikan lahan pekarangan yang cukup luas yang masuk kategori kelas starta 2 dan 3, yang merupakan lahan dataran rendah. Umumnya warga sebagian besar membudidayakan tanaman pangan, tanaman tahunan dan tanaman sayuran. Warga responden kebanyakan menanam tanaman pangan dan sayuran walaupun belum dilakukan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

penataan-penataan secara konservatif maupun secara prioritas kebutuhan konsumsi, yang hanya sebatas pemenuhan pengelolaan lahan pekarangan. Usaha tani tanaman sayuran yang diusahakan pada lahan starta 3 diantaranya jipan dengan angka sekala proritas kebutuhan konsumsi keluarga berturut-turut sejumlah 45,7%, terung 20%, cabe 80%, sawi 44,3% dan sayuran lainnya 11,4%. Sedangkan lahan starta-2 menempatkan komoditas tanaman mendapatkan angka skala prioritas kebutuhan konsumsi keluarga berturut-turut tanaman labu sejumlah 50%, terung 100%, Slada 50%, cabe 100%, sawi 42,8%, dan pare 57,1%, loncang 11,2%. Kondisi penataan lahan pekarangan sewaktu-waktu bisa berubah. Kondisi ini di sebabkan oleh skala proritas kebutuhan konsumsi keluarga dan kondisi lingkungan yang berkaitan dengan ketersediaan air di lingkungan tumbuh. Hambatan yang terjadi dalam menerapkan diversifikasi tanaman sayuran di lahan pekarangan diantaranya kondisi kekeringan pada MT-3. Tak kalah pentingnya adalah usaha ternak, baik unggas, ternak ruminansia besar (sapi) maupun ruminansia kecil (kambing). Ternak unggas (ayam) diusahakan oleh sebagian besar masyarakat, baik pada tipe pekarangan sempit, sedang, maupun luas. Bagi masyarakat, Ternak ayam merupakan ternak yang mayoritas dipelihara oleh masyarakat Desa Tawang. ayam merupakan ternak peliharaan sambilan (bukan usahatani khusus) yang fungsi utamanya adalah untuk dapat dipotong sewaktu-waktu pada berbagai acara. Cara pemeliharaannya umumnya “diumbar” (asalan) dan belum dikandangkan. Permasalahannya adalah karena ternak ayam di desa lokasi umumnya diumbar secara bebas sehingga seringkali menjadi hama bagi tanaman. Ayam ini selain mengganggu tanaman di pekarangan juga dapat mengurangi kebersihan lingkungan. Realisasi Kegiatan Pemanfaatan Pekarangan Di Desa Tawang Kabupaten sematang MT2012 Hasil koordinasi dan observasi lapang, pada tahap awal disepakati bahwa Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Tawang, dilaksanakan bersama masyarakat di kawasan Dusun Tawang, RT 01 dan RT 02. Salah satu

pertimbangannya adalah lokasi tersebut mempunyai akses jalan yang baik dan merupakan daerah percontohan pelaksanaan P2KP, sehingga sangat strategis untuk keperluan diseminasi dan demonstrasi. Gambaran wilayah kegiatan pengelolaan lahan di Desa Tawang untuk pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Wilayah Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari Desa Tawang Tahun 2012 Pada kondisi yang sudah ada , tahap awal pelaksanaan dilakukan penataan dan pengembangan budidaya tanaman sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat, jenis tanaman sayuran yang dikembangkan meliputi: cabe rawit/ lombok galak 1600 bibit, tomat 1600 bibit, terong 800 bibit, labu lonceng 51 bibit, onclang 800 bibit, bunga kol 650 bibit dan pare 1 pak, kacang panjang 2 kg, serta selada dan waluh jipan (swadaya); sedangkan tanaman buah yang dikembangkan meliputi: buah, papaya dan sirsak serta stek ubi jalar. Selain itu juga dikembangkan tanaman pisang raja dan beberapa jenis tanaman obat seperti jahe dan temu lawak yang terlebih dahulu diinisiasi oleh kegiatan P2KP yang sudah ada. Penataan pekarangan yang diintroduksikan kepada masyarakat secara umum dibagi dua cara, pertama ditanam langsung di lahan dan kedua ditanam dalam pot atau polybag. Dalam bentuk polykultur. Pemilihan cara tanam tersebut dipengaruhi luas dan kondisi pekarangan masing-masing. Untuk tanaman di polybag, diempatkan pada rak, maupun langsung dihalam rumah atau di sela lahan pekarangan yang masih kosong, atau di sepanjang jalan yang masih memungkinkan. Masyarakat yang menanam

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

727

UNDIP PRESS

tanaman sayuran di bedengan khusus, sebagian kecil ditempatkan di halaman depan rumah, dan sebagian besar lainnya ditempatkan di pekarangan/halaman samping dan pekarangan bagian samping. Disisi lain anjuran kegiatan pembuatan gapura tanaman dan rak tanaman disetiap halaman rumah tangga sudah berkemabang dan cukup bermanfaat untuk tempat penataan sekaligus estetika lingkungan terlihat cukup baik. Keragaan Diversifikasi Tanaman Sayuran di Lahan Pekarangan Keragaan diversifikasi tanaman sayuran pada beberapa jenis tanaman sayuran disebagian lahan pekarangan yaitu tomat dan cabe, baik yang ditanam di polybag maupun yang di bedengan sebagian mati karena intensitas kekeringan yang tinggi. Tanaman cabe dan terong juga mulai menunjukkan gejala terserang virus dengan indikasi keriting dan muncul bercak-bercak hijau tua pada daun sedangkan untuk tanaman tomat memberikan perkembangan pertumbuhan cukup baik. Upaya pemeliharaan kususnya penyiraman, lahan pekarangan starta-2 dan starta-3 mendapat perhatian kurang di banding pada lahan pekarangan starta-1.

Terindikasi faktor pengairan kurang diperhatikan, sehingga dominan ditanam komoditas sayuran jenis tunggal yg cukup luas dan tahan kekeringan. Rata-rata penguasaan tanaman yang di usahakan rumah tangga antara 5-11 jenis tanaman. Penataan dan estetika lingkungan pekarangan masih kurang selain itu skala prioritas komoditas yang diusahakan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga belum optimal. Kondisi ini mendorong perlunya pengembangan kelembagaan untuk menumbuh kembangkankan semangat berkelompok dan pengelolaan pekarangan, khususnya terkait dengan pemilihan jenis tanaman yang perlu ditanam pada waktu-waktu tertentu, diantaranya pola penataan porsi tanaman sayuran dan pengelolaan kebun bibit desa-sebagai pemasok bibit tanaman. Kontribusi Hasil Pendapatan Sayuran Di Lahan Pekarangan

Tanaman

Kegiatan diversifikasi usahatani sayuran dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang dikelola secara intensif ternyata cukup berkontribusi dalam kebutuhan konsumsi seharihari maupun menambah pendapatan rumah tangga. Optimalisasi usahatani pekarangan yang

Tabel 3. Pola Penataan Diverfikasi Tanaman Sayuran Di Lahan Pekarangan Nama Petani Parlan Parsiyah Tri Sunarsi Sukarti Bardi Tining Daryono Haryanti Sino Darwati Sukadi Sutarno Ambarwati Wiro Sukur Triyono Narsi

Jenis Komoditas dan Tempat Budidaya Terong Tomat Slada Pare Loncang Sledri Bedengan Rak rak ~ ~ ~ Bedengan Bedengan ~ ~ ~ ~ Rak/bedeng Rak/bedeng ~ ~ ~ ~

Luas (m2) 1200 900 1000

Cabe rawit Bedengan Bedengan Rak/bedeng

600 500

Bedengan Rak Rak Rak/bedeng Rak/bedeng Rak/bedeng

200 750 400 400 300 2500 400 500 300 200

asalan Rak Rak Bedengan Rak Rak Rak Rak Bedengan Rak

asalan Rak Bedengan Bedengan Bedengan Rak Rak Rak Rak Rak

asalan Bedengan Rak Bedengan Rak ~ Rak Rak Bedengan Rak

~ ~

~ ~

~ ~

~ ~

~ ~

~ ~ Gapuro ~ ~ POT ~ ~ ~ ~

~ ~ ~ ~ ~ POT Rak

~ ~ ~ ~ ~ POT Rak Rak Rak

Rak ~ Rak Rak Rak Rak Rak

Rak Rak

Sumber: Data primer, 2012

728

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

Sawi ~ ~ Rak/ bedengan Rak Bedengan Rak ~ Rak ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

UNDIP PRESS

Tabel 4. Kontribusi Hasil Pendapatan Di Lahan Pekarangan 2012 Pekarangan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Nama Petani MH (Rp) Parlan 300.000 Parsiyah Tri Sunarsi Sukarti Bardi Haryanti 700.000 Sino 300.000 Darwati 350.000 Sukadi Sutarno Ambarwati 50.000 Wiro Sukur 100.000 Triyono 150.000 Sukardi 250.000 Supoyo/Ida Siti Maemunatun 150.000 Slamet Kawit 200.000 Pomo 550.000 Nuryanto 250.000 Darsono 500.000 Sutiyo Rusmin 100.000 Sartono Jumlah 3.950.000 Rat-rata 282.148

palawija MK-1 (Rp) 300.000 200.000 300.000 50.000 100.000 150.000 150.000 200.000 150.000 100.000 500.000 200.000 200.000 100.000 2.700.000 192.850

Sayuran MK-2 (Rp) 400.000 100.000 150.000 100.000 150.000 100.000 500.000 100.000 1.600.000 200.000

MH (Rp) 775.000 275.000 275.000 135.000 675.000 300.000 50.000 300.000 300.000 150.000 3.235.000 323.500

MK-1 (Rp) MK-2 (Rp) 675.000 120.000 175.000 35.000 275.000 45.000 87.000 600.000 275.000 450.000 100.000 50.000 250.000 400.000 250.000 2.562.000 1.225.000 320.000 175.000

Sumber: Data primer, 2012

di upayakan disamping tanaman sayuran pada lahan starta -2 dan stara-3, di musim tertentu juga diupayakan tanam komoditas palawija seperti jagung dan ubi-ubian. Pengelolaan lahan pekarangan dalam satu tahun musim tanam komoditas tanaman sayuran berkontribusi menambah penghasilan sejumlah 17,6% dari komoditas tanaman palawija. Seperti tersaji pada tabel 4. Kecenderungan hasil panen sayuran 70% masih diupayakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga, apabila masih tersisa sejumlah 20% untuk dijual dan 5% untuk kepentingan sosial. Melihat potensi lahan pekarangan diluar wilayah binaan yang belum tergarap harapanya peluang pengembangan pengelolaan lahan pekarangan terus diupayakan agar tetap lestari.

KESIMPULAN a) Hasil identifikasi menunjukkan 85% tanaman sayuran dominan diusahakan pada kelas lahan starta 3 dan 2 dengan luas lahan (> 350 m2). Jenis komoditas sayuran yang diusahakan adalah Kc. Panjang, Cabe rawet putih dan hijau, labu, jipan serta terung), sedangkan starta-1 termasuk kategori lahan sempit (>100 m2) sebesar 15 %. Komoditas yang diusahakan adalah tanaman sawi, selada hijau dan merah, sledri serta tanaman tomat, pare dan onclang menggunakan media kompos dalam polybag yang ditata rapi menggunakan rak bambu dan gapura bambu, sedang sisa lahan pekarangan disekitar rumah dan lingkungan menggunakan teknologi polykultur.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

729

UNDIP PRESS

b) Hasil panen dan pendapatan tanaman sayuran didominasi pada pengelolaan lahan pekarangan starta 2 dan 3, sedangkan lahan pekarangan starta-1 belum dikelola optimal. Hasil panen tanaman sayuran sebagian besar untuk memenuhi konsumsi rumah tangga (70%), kelebihannya (20%) dijual dan 5% untuk kepentingan sosial. c) Diversifikasi tanaman sayuran yang diushakan secara terpola memberikan kontribusi penghasilan pendapatan sebanyak 17,6% dari komoditas tanaman lain yang diusahakan di lahan pekarangan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI. Anonim, 2000. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. BPS

Jawa Tengah, 2010. PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010. Berita Resmi Statistik No. 34/07/33/Th. IV, 1 Juli 2010.

BPS Kabupaten semarang, 2010. Danoesastro, H. 1978. Tanaman Pekarangan dalam

730

Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakyat Pedesaan. Agro Ekonomi. Karyono. 1981. Struktur pekarangan di daerah pedesaan pada DAS Citarum, Jawa Barat. Ph.D. tesis, Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesffi (dalam bahasa Indonesia dengan ringkasan bahasa Inggris). Peraturan Presiden (PP) nomor 22 tahun 2009. Tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Kementan 2011 Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Kementan 2019 Ryantie, S. 2010. Skor pola pangan harapan belum sesuai harapan. Solo Pos. 1 Juni 2010. http://www.solopos.com/2010/boyolali/ %E2%80%9Cskor-pola-pangan-harapanbelum-sesuai-harapan%E2%80%9D23702 Kemtan. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Kementerian Pertanian.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

KERAGAAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI JAWA BARAT Bebet Nurbaeti, Susi Mindarti, dan Nandang Sunandar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat [email protected]

ABSTRAK Persoalan ketahanan pangan menjadi fokus dari pembangunan pertanian khususnya dan pembangunan nasional umumnya. Upaya pemerintah untuk memenuhi dan melestarikan swasembada pangan adalah dengan menggalakkan diversifikasi (penganekaragaman) konsumsi pangan dan gizi. Melalui penganekaragaman pangan, diharapkan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat), sehingga dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masingmasing. Salah satu kebijakan pemerintah untuk menunjang ketahanan pangan adalah dengan membuat program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi masyarakat. Di Jawa Barat kegiatan M-KRPL tahun 2012 dilakukan di 20 Kabupaten/Kota. Akan tetapi data yang disajikan diambil dari 4 Kabupaten untuk mewakili bagian wilayah Jawa Barat, yaitu Kabupaten Cianjur (Wilayah I), Karawang (II), Kuningan (III), dan Garut (IV). Kegiatan dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2012. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah meningkatkan kinerja keluaga dalam memanfaatkan lahan pekarangan untuk pemenuhan gizi keluarga. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap: 1) data karakteristik wilayah dan penduduk; 2) perkembangan jumlah KK, 3) pemanfaatan hasil pekarangan, dan 4) pengurangan pengeluaran biaya rumah tangga dan tambahan pendapatan pada setiap strata lahan pekarangan. Analisis yang digunakan adalah: 1) analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan karakteristik wilayah, perkembangan jumlah KK, pemanfaatan hasil, dan 2) analisis finansial. Hasil yang diperoleh, adalah: 1) dengan dukungan potensi wilayah, M-KRPL dapat dikembangkan di wilayah Jawa Barat, 2) peningkatan jumlah KK rumah tangga yang menerapkan RPL yaitu 36– 43 %, 3) hasil pekarangan dimanfaatkan untuk dikonsumsi 56,29 %, di jual 23,51 %, sosial 14,07 %, untuk benih 8,16%, 4) pemanfaatan lahan pekarangan sudah berkontribusi terhadap biaya pengeluaran pangan keluarga sebesar 8,64 % pada lahan sempit, 11,33 % % lahan sedang, dan 15,89 % lahan luas, dan juga menambah pendapatan per bulan sebesar Rp. 64.205 pada lahan sempit, Rp 131.120 lahan sedang, dan 191.910 lahan luas. Kata kunci : kemandirian, gizi, pangan, pekarangan, rumah panga

PENDAHULUAN Di Indonesia, ketahanan pangan (food security) merupakan salah satu masalah yang cukup penting. Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional dan global. Berdasarkan Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang pangan disebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan

terjangkau”. Hal ini berarti terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan utama sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia (Handewi, 2011). Tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan ketahanan nasional, namun hal itu tidak cukup, syarat kecukupan yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga/individu (Rachman dan Ariani, 2007). Pembangunan ketahanan pangan termasuk

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

731

UNDIP PRESS

prioritas dalam RPJM 2010-1014, yang difokuskan pada peningkatan ketersediaan pangan dan percepatan diversifikasi pangan. Terkait dengan upaya diversifikasi pangan telah lama dilaksanakan di Indonesia, akan tetapi hasilnya belum optimal. Sampai saat ini tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada pangan utama beras. Hal ini diindikasikan oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang belum sesuai harapan, dan belum optimalnya pemnfaatan bahan pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan. Konsumsi beras secara nasional adalah 2,7 juta ton per bulan dan rata-rata per orang adalah 132 kg/tahun, angka ini sangat tinggi sehingga perlu upaya untuk menurunkannya dengan cara penganekaragaman pangan (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Melalui penganekaragaman pangan, diharapkan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat), sehingga dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing. Salah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi keluarga dapat dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia dilingkungan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan pekarangan yang dikelola oleh seluruh anggota keluarga. Berdasarkan permasalahan tersebut, Kementerian Pertanian melalui Badan Litabang Pertanian mengembangkan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). Salah satu justifikasi penting dari M-KRPL adalah bahwa ketahanan pangan nasional harus dimulai dari ketahanan pangan di tingkat keluarga dalam suatu kawasan tertentu. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman pangan, tanaman sayuran, tanaman buah, tanaman biofarmaka, serta ternak dan ikan, selain dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga, juga berpeluang mengurangi biaya pengeluaran dan meningkatkan pendapatan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik (Kementerian Pertanian, 2011) . Pemanfaatan lahan pekarangan dirancang untuk meningkatkan konsumsi aneka ragam sumber pangan lokal dengan prinsip bergizi, berimbang, dan beragam, sehingga berdampak menurunkan konsumsi beras. Pemanfaatan lahan pekarangan yang dirancang untuk meningkatkan pendapatan

732

rumah tangga dapat diarahkan pada komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi, seperti sayuran, buah, biofarmaka, serta ternak dan ikan. Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta hektar atau 14 persen dari keseluruhan luas lahan pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2011). Di Jawa Barat pemanfaatan pekarangan dirasakan masih kurang optimal, sebagian pekarangan hanya dimanfaatkan untuk tanaman hias, namun tanaman hias tersebut belum dapat memberikan nilai tambah bagi keluarganya (Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2010). Selain itu peran ibu rumah tangga di pedesaan masih rendah walaupun waktu yang dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari cukup banyak, tetapi ditinjau dari segi ekonomi rumah tangga masih sedikit. Banyak potensi di pedesaan yang dapat dikerjakan oleh wanita/ibu rumah tangga untuk meningkatkan usaha namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Perlu upaya untuk memanfaatkan halaman pekarangan yang dilakukan oleh setiap keluarga secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan pelestarian tanaman lokal yang diduga hampir punah sebagai plasma nutfah. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah meningkatkan kinerja keluaga dalam memanfaatkan lahan pekarangan untuk pemenuhan gizi keluarga. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap: 1) data karakteristik wilayah dan penduduk; 2) perkembangan jumlah KK, 3) pemanfaatan hasil pekarangan, dan 4) pengurangan pengeluaran biaya rumah tangga dan tambahan pendapatan pada setiap strata lahan pekarangan. METODE Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Jawa Barat pada tahun 2012 dilakukan di 20 Kabupaten /Kota. Akan tetapi makalah ini menyajikan gambaran pelaksanaan kegiatan M-KRPL di 4 Kabupaten yang dapat mewakili 4 wilayah Jawa Barat, yaitu Kabupaten Cianjur (Wilayah I), Karawang (II), Kuningan (III), dan Garut (IV). Waktu pelaksanaan kegiatan (pengambilan data) dilakukan bulan Maret sampai September 2012. Data dan informasi diperoleh dengan cara observasi langsung dan penyebaran kuisioner. Penyebaran kuesioner dilakukan terhadap 60 responden; masing-masing lokasi 15 responden,

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

yang terdiri dari 5 responden mewakili strata luas lahan pekarangan, yaitu strata 1/sempit (< 120 m2), strata 2/sedang (120-400 m2), dan strata 3/luas (>400 m2) (Badan Litbang Pertanian, 2011) . Data yang dikumpulkan mencakup; (1) data karakteristik wilayah dan penduduk; 2) perkembangan jumlah KK, 3) pemanfaatan hasil pekarangan, 4) perkembangan skor Pola Pangan Harapan (PPH), 5) kontribusi KRPL terhadap pengeluaran pangan dan penambahan pendapatan pada setiap strata lahan pekarangan, dan 6) respon petani/warga terhadap program. Analisis data yang digunakan adalah: 1) analisis deskriptif untuk menggambarkan karakteristik wilayah, perkembangan jumlah KK, dan 2) analisis finansial, seperti analisis biaya dan pendapatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Jawa Barat dilaksanakan di 20 kabupaten/kota. Dalam makalah ini disajikan keragaan pelaksanaan M-KRPL di empat Kabupaten untuk mewakili masing-masing bagian wilayah, yaitu Kabupaten Cianjur (Wilayah I), Karawang (II), Kuningan (III), dan Garut (IV). Karakteristik wilayah (lokasi MKRPL) dan penduduk empat kabupaten tersebut disajikan pada Tabel 1.

Di Kabupaten Cianjur dan Garut, lokasi kegiatan terletak di dataran tinggi, sedangkan di Kabupaten Karawang dan Kuningan terletak di dataran rendah. Perbedaan wilayah ini akan menentukan terhadap pemilihan komoditas dan teknologi yang yang diintroduksikan, harus sesuai dengan kebutuhan wilayah dan pengguna (Lakitan, 2012). Potensi lahan untuk pertanian di empat lokasi masih cukup luas, begitupun lahan pekarangan cukup potensial untuk dikelola sebagai lahan usaha. Selain dukungan potensi lahan, pengelolaan usaha pertanian juga didukung oleh sumberdaya manusianya yaitu penduduk usia produktif di atas 50 %, dan mempunyai matapencaharian sebagai petani. Hanya tingkat pendidikan yang kurang mendukung. Tingkat pendidikan yang relatif rendah akan berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi inovasi. Perkembangan jumlah KK Pada tahap awal KK Rumah Tangga yang terlibat dalam kegiatan M-KRPL antara 30-58 KK. Hal ini tergantung pada kesepakatan waktu perencanaan partisipatif di masing-masing Kabupaten. Setelah kegiatan berjalan selama 7 bulan, jumlah KK yang terlibat/ikut serta dalam kegiatan M-KRPL terus bertambah. Pertambahan (%) jumlah KK sampai dengan bulan September

Tabel 1. Karakteristik Wilayah Kegiatan M-KRPL Di Jawa Barat Karakteristik Cianjur Karawang Kuningan · Desa Sarampad Mulyasari Sindangsari · Kecamatan Cugenang Cipule Sindangagung · Ketinggian tempat (m dpl) 860 15 420 · Lahan untuk usaha tani (ha) - Pesawahan 157,513 144 94,005 - Perkebunan 217,539 25 7,005 - Pekarangan 26,986 32 2,397 (tegal/ladang/pekarangan) · Jumlah penduduk (orang) 7.108 4.888 3.001 · Usia produktif (18-56 th) (%) 50,30 56,24 67,2 · Mayoritas pendidikan (%) SD SD SD (37,56) (31,04) (46,3) · Mayoritas mata pencaharian (%) Tani Buruh Tani (52,50) (22,23) (49,55)

Garut Cimuncang Garut Kota 723 168,4 157,7 9.237 52,7 SD (59,38 Tani (59,54)

Sumber : Monografi Desa; 1) Desa Sarampad, Kec.Cugenang, Kab. Cianjur (2011); Desa Mulyasari, Kec. Cipule, Kab. Karawang (2011); Desa Sindangsari, Kec. Sindangagung, Kab. Kuningan (2011); Kelurahan Cimuncang, Kec, Garut Kota, Kab. Garut (2011).

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

733

UNDIP PRESS

2012 berkisar antara 36 % - 430 % (Tabel 2).

No 1. 2. 3. 4.

Pada umumnya komoditas yang diusahakan

Tabel 2. Jumlah KK Rumah Tangga Yang Melaksanakan M-KRPL Di Jawa Barat. Jumlah KK Kabupaten Desa/Kecamatan Awal September 2012 Penambahan (%) Cianjur Sarampad / Cugenang 58 79 36,21 Karawang Mulyasari / Ciampel 55 103 87,27 Sindangsari / Sindang Kuningan 40 212 430,00 Agung Garut Cimuncang / Garut Kota 30 55 83,33

Sumber : data primer diolah

Pertambahan jumlah KK cukup tinggi, merupakan respon positif dari warga, karena melihat kegiatan M-KRPL sangat bermanfaat, dan dapat dirasakan secara langsung manfaatnya dalam waktu singkat. Dukungan dari aparat pemerintah mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, maupun desa/kelurahan sangat menentukan terhadap perkembangan program, hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah KK yang cukup tinggi di Kabupaten Kuningan hingga mencapai 430 %. Selain itu peran tokoh masyarakat seperti Istri Kepala Desa sebagai Ketua Tim Penggerak PKK, Kader Kelompok Kerja (Pokja) dalam memberikan contoh dan motivasi sangat tinggi. Seperti dilaporkan oleh Handewi (2011), bahwa Relatif cepatnya proses adopsi model KRPL di Kabupaten Pacitan antara lain didukung oleh adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui pengembangan diversifikasi pangan dengan mengotimalkan pemanfaatan lahan pekarangan dengan menerapkan model KRPL. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkannya Instruksi Bupati Pacitan kepada masyarakat di wilayah Pacitan untuk mengembangkan dan menerapkan model RPL. Inovasi Teknologi Teknologi inovasi yang diterapkan mulai dari pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), jenis komoditas (hortikultura, pangan, ikan, ternak), teknik pengelolaan budidaya komoditas yang diusahakan, sampai panen dan pasca panen. Komoditas yang diusahakan dilahan pekarangan oleh kooperator di masing-masing kabupaten sangat beragam, tergantung pada kondisi/agroekosistem, dan potensi wilayah.

734

adalah sayuran, hanya Kabupaten Garut yang sudah mulai melestarikan tanaman lokal. Tabel 3. Komoditas Dominan Yang Diusahakan Dilahan Pekarangan Di Jawa Barat Kabupaten Komoditas Cianjur • Sayuran buah (terong, kaboca, pare, tomat, cabe.rawit, cabe merah, bunga kol) • Sayuran daun (bayam merah & hijau, saucin, sawi putih, pakcoy, kangkung , slada bokor, d bawang dan seledri) Karawang • Sayuran buah (bunga kol, lobak, cabe rawit , cabe besar • Sayuran daun (seledri, selada, kangkung) • Biofarmaka (kumis kucing, tapak dara, jahe merah, temu lawak, handeuleum) Kuningan • Sayuran buah (caberawit, brunkol/bungakol) • Sayuran daun (kailan, pakcoy, kubis ) Garut • Sayuran buah (cabai, tomat terong, cukini) • Sayuran daun (salada bokor, sausin, seledribawang daun, pakcoy, kangkung, kemangi) • Pangan lokal (ubijalar, garut, talas, ganyong) Teknologi yang dikembangkan dalam kegiatan M-KRPL pada prinsipnya adalah bagaimana halaman pekarangan bisa dikelola dengan baik; efektif, efisien sehingga bermanfaat bagi pemenuhan pangan dan gizi keluarga. Dukungan teknologi atau teknologi yang

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

diterapkan di masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Teknologi Yang Diterapkan Dalam Program MKRPL Di Jawa Barat Kabupaten Teknologi Inovasi Cianjur 1) teknik penanaman vertikultur, 2) semai menggunakan tray, nampan, atau polybag, 3) bedengan dengan mulsa plastik perak hitam, 4) Pembuatan kompos,, 5) budidaya tanaman ramah lingkungan; penggunaan pupuk organik dan pestisida nabati Karawang 1) teknik penanaman vertikultur, 2) penanaman tanaman dengan wadah tanaman dari polybag, pot, bekas minuman mineral, kaleng cat, bambu, talang/paralon, 3) penanaman tanaman di bedengan pekarangan dengan mulsa perak hitam, 4) budidaya tanaman ramah lingkungan; penggunaan pupuk organik dan pestisida nabati dan 5) pengolahan hasil berupa kripik pisang dan singkong. Kuningan 1) teknik penanaman vertikultur, 2) semai menggunakan tray, nampan, atau polybag, 3) bedengan dengan mulsa plastik perak hitam, 4) pembuatan kompos, 5) pelestarian tanaman lokal Garut 1) pembuatan kompos dari kotoran ternak, 2) teknik pembibitan tanaman sayur, 3) teknik pembumbunan, 4) teknik pemindahan tanaman dari pembibitan ke media tanam dengan perbandingan sesuai rekomendasi, 5) teknik pencampuran media tanam.

yang di jual. Pemanfaatan hasil di empat kabupaten dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pemanfaatan Hasil Panen Sayuran Oleh Peserta M-KRPL Di Di Jawa Barat Umumnya komoditas yang di tanam pada kegiatan M-KRPL dimanfaatkan untuk; sebagian besar yaitu 56,29 % dikonsumsi sendiri, 23,51% di jual, 14,07 % untuk sosial dibagikan pada tetangga atau kerabat, dan 8,16 % dijadikan bibit. Tingkat konsumsi yang paling tinggi yaitu di Kabupaten Garut (62,50%), sedangkan tingkat penjualan paling tinggi terjadi di Kabupaten Karawang (46,67%). Dengan bertambahnya tingkat konsumsi sayuran, berdampak terhadap peningkatan skor Angka Ketersediaan Energi (AKE) terhadap tingkat Konsumsi Energi (TKE) untuk kelompok sayur dan buah, sehingga pada akhirnya mempengaruhi terhadap peningkatan skor Pola Pangan Harapan (Gambar 2).

Dampak Penerapan M-KRPL Tujuan dari pemanfaatan lahan pekarangan selain dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga, juga berpeluang mengurangi biaya pengeluaran dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Di Jawa Barat tujuan ini mulai tercapai, walaupun belum optimal. Berdasarkan pemanfaatan hasil panen komoditas yang diusahakan, sudah dimanfaatkan untuk dikonsumsi sendiri dan juga sudah ada

Gambar 2. Pola Pangan Harapan (PPH) Di Lokasi M-KRPL Di Jawa Barat

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

735

UNDIP PRESS

Berdasarkan data di atas, rata-rata skor PPH awal (sebelum kegiatan M-KRPL) adalah 75,45, setalah berlangsung kegiatan menjadi 79,94. Ini berari ada peningkatan sebesar 5,95 %. Dilihat dari indikator skor PPH sudah melampui ratarata Jawa Barat yaitu 72,7 (Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat, 2010). Akan tetapi masih dibawah rata-rata nasional mencapai 77, 5, sedangkan sasaran PPH Nasional pada tahun 2014 sebesar 95 (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Agar mampu menjaga keberlanjutannya, maka perlu dilakukan pembaruan rancangan pemanfaatan pekarangan dengan memperhatikan berbagai program yang telah berjalan seperti Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), dan Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP (Handewi, 2011). Selain berdampak terhadap pola konsumsi dan peningkatan skor PPH, penerapan M-KRPL juga telah berdampak terhadap pengeluaran pangan rumah tangga dan tambahan pendapatan. Tabel 5. Kontribusi M-KRPL Terhadap Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Di Jawa Barat Kontribusi terhadap pengeluaran untuk pangan Rp/bln (%) Kabupaten Strata Sempit Sedang Luas 60.000 85.000 125.000 Cianjur (6,67) (9,44) (13,89) 105.000 132.000 225.000 Karawang (11,67) (14,67) (25,00) 62.800 103.700 137.500 Kuningan (8,23) (13,59) (18,02) 60.000 80.000 100.000 Garut (8,00) (7,62) (6,67) Rata-rata (8,64) (11,33) (15,89) Sumber: data primer; diolah

Kontribusi terhadap biaya pengeluaran pangan keluarga di empat kabupaten rata-rata sebesar 8,64 % pada lahan sempit, 11,33 % lahan sedang, dan 15,89 % lahan luas (Tabel 5). Sedangkan tambahan pendapatan per bulan ratarata sebesar Rp. 64.205 pada lahan sempit, Rp 131.120 lahan sedang, dan 191.910 lahan luas (Tabel 6).

Tabel 6. Tambahan Pendapatan Rumah Tangga Di Jawa Barat. Tambahan Pendapatan (Rp/bln ) Kabupaten Strata Sempit Sedang Luas Cianjur 25.500 45.000 75.000 Karawang 35.000 150.000 250.000 Kuningan 46.320 69.480 92.640 Garut 150.000 260.000 350.000 Rata-rata 64.205 131.120 191.910 Sumber: data primer; diolah

Respon Petani/masyarakat dalam menerapkan KRPL Dalam pelaksanaan program yang berkaitan langsung dengan masyarakat, perlu diketahui respon masyarakat terhadap program tersebut, dengan tujuan untuk mendapatkan umpan balik dan juga manfaatnya. Tabel 7. Alasan Dan Sumber Informasi Petani/Masyarakat Dalam Melaksanakan Rumah Pangan Lestari Jumlah Uraian % responden Alasan menerapkan KRPL: a. Memanfaatkan lahan supaya 49 81,67 bermanfaat b. Hoby bercocok tanam 45 75,00 c. Menambah ilmu 35 58,33 d. Memanfaatkan waktu 39 65,00 e. Ingin mengkonsumsi produk 37 61,66 yang sehat f. Mengurangi biaya rumah 40 66,67 tangga g. Ikut-ikutan 15 25,00 Sumber informasi dalam menerapkan KRPL: a. Petugas/PPL 37 61,66 b. Aparat pemerintahan (Desa) 45 75,00 c. Tokoh masyarakat 52 86,67 d. Tetangga 15 25,00 e. Melihat langsung 56 93,33 f. BPTP 55 91,67 Ket : jumlah responden (N) = 60

Alasan yang paling kuat dalam menerapkan KRPL adalah untuk memanfaatkan lahan. Ini

736

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

berarti petani/masyarakat sudah paham dan mengerti tujuan program. Sedangkan sumber informasi yang paling tinggi peranannya adalah dengan melihat langsung dan dari BPTP sebagai pembawa program. KESIMPULAN KEBIJAKAN

DAN

IMPLIKASI

1. Dilihat dari potensi wilayah, luas lahan pekarangan dan karakteristik penduduk yang sebagian besar mempunyai usia produktif dan bermata pencaharian dibidang pertanian, program Rumah Pangan Lestari (RPL) dapat dikembangkan doi Provinsi Jawa Barat. 2. Pelaksanaan M-KRPL dapat memberikan kontribusi dan manfaat yang sudah dirasakan oleh peserta program diantaranya dapat memperbaiki gizi keluarga, memperbaiki skor PPH dan menjadi kegiatan ekonomi produktif, sehingga mampu mengurangi pengeluaran biaya rumah tangga, dan menambah pendapatan keluarga. 3. Dalam pelaksanaan Program M-KRPL diperlukan komitmen pemangku kebijakan daerah serta motivator yang dapat menjadi penggerak dan membangkitkan partisipasi peserta program, baik dari luar lingkungan masyarakat petani (tenaga pendamping BPTP, PPL) dan pendamping swadaya (tokoh masyarakat, tokoh petani, penggerak PKK, wanita tani, dan pemuda tani). 4. Pengintegrasian antar Program M-KRPL dengan program-program pembangunan pertanian, pemberdayaan petani, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, dalam kontek pembangunan kawasan sangat penting untuk dilakukan. Dengan demikian akan terbangun sinergi optimum antar program dan dapat dicapai peningkatan ketersediaan pangan, pengurangan pengeluaran belanja pangan, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA Ariani, M dan T. B. Purwantini. 2007. Analisis Konsusmsi Pangan Rumahtangga Pasca

Krisis di Propinsi Jawa Barat. Jurnal Soca No. 3 Tahun XIV April 2007. Badan Litbang Pertanian. 2011a. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. _____________________. 2011b. Petunjuk Pengembangan Model Kawasan Rumah pangan Lestari. Badan Ketahanan Pangan. 2010. Perkembangan Situasi Konsumsi Penduduk Indonesia. Badan Ketahanan Pangan Daerah Jawa Barat. 2011. Penganekaragaman Konsumsi Pangan, Kunci Hadapi Krisis Pangan Pokok. Badan Pusat Stastitik Provinsi Jawa Barat. 2010. Pola Konsumsi Penduduk Jawa Barat Tahun 2010. Bandung. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. 2010. Lqporan Tahunan Pembangunan Pertanian Jawa Barat. Bandung Handewi, P.S. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan.Makalah disampaikan pada Kongres KIPNAS. Jakarta, 8-10 Nopember 2011. Lakitan. B. 2012. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Makalah Hari pangan Sedunia. Jakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. 2011. Monografi Desa Sarampad, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang. 2011. Monografi Desa Mulyasari, Kecamatan Cipule, Kabupaten Karawang. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. 2011. Monografi Desa Sindangsari, Kecamatan Sindangagung, Kabupaten Kuningan. Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. 2011. Monografi Kelurahan Cimuncang, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

737

UNDIP PRESS

KERAGAAN PELAKSANAAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (MKRPL) DI KABUPATEN KOLAKA Edi Tando dan Muhammad Taufiq Ratule Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara [email protected]

ABSTRACT Tando, E. and Muhammad T.R., The Implementation Performance Of The Model Of Sustainable Food House Area (M-KRPL) At Kolaka Regency. A large number of people's yard are not yet utilized. As a form of yard optimum utilization movement as a source of family nutrients, the government, through National Institute of Agricultural Research and Development has been intensively pioneering a Model of Sustainable Food House Area (M-KRPL). This research is aimed to inform the implementation M-KRPL at Kolaka Regency. The result of the research reveals a performance on yard utilization. Almost all participants at the M-KRPL of Kolaka Regency applies verticulture/ polybag technology due to a lack of planting media. Vegetable commodities, in particular, mustard and eggplant have the potential of being sustainably developed at the Food House Area of Kolaka Regency. Kew words : performance, M-KRPL

PENDAHULUAN Saat ini masih cukup banyak lahan pekarangan masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Pemanfaatan pekarangan dalam jangka pendek sebagai sumber gizi keluarga yang dikelola secara baik diharapkan dapat meningkatkan konsumsi pangan dan gizi bagi rumah tangga dan keluarga, sementara untuk jangka panjang diharapkan masyarakat yang mengelola pekarangan dapat hidup sejahtera. Sebagai bentuk gerakan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan sumber gizi keluarga, saat ini pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian telah dan sedang gencar merintis Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL), dimana MKRPL merupakan salah satu konsep pemanfaatan lahan pekarangan baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dengan memberdayakan potensi pangan lokal (Sinta, ed. 20-26 April 2011). Tujuan penting yang ingin di capai dalam pengembangan program MKRPL antara lain meningkatkan keterampilan keluarga dan

738

masyarakat dalam memanfaatkan lahan, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari, mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga, serta menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri (litbang.deptan.go.id/). Kabupaten Kolaka memiliki potensi pengembangan model kawasan rumah pangan lestari (M-KRPL) yang cukup luas, meskipun belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari sumberdaya lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat dalam sektor pertanian, khususnya komoditas hortikultura (buah-buahan, sayuran dan tanaman hias) obat-obatan, dan lainnya masih cukup tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan keragaan pelaksanaan MKRPL di Kabupaten Kolaka. METODE Penelitian dilakukan pada April – Agustus 2012 di Desa Huko – Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Jumlah petani kooperator yang menjadi responden yaitu 30 orang yang merupakan peserta program MKRPL. Data yang dikumpulkan antara lain penggunaan teknologi vertikultur/polibag dan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

teknologi lainnya serta jenis komoditas sayuran yang dikembangkan petani kooperator. Data yang diperoleh dituangkan dalam bentuk tabel dan gambar, yang selanjutnya diuraikan secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Pelaksanaan Kabupaten Kolaka

MKRPL

Di

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Huko-Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, tempat pelaksanaan MKRPL menunjukkan adanya keragaan, luas pekarangan yang dimiliki petani kooperator (Tabel 1) dan penggunaan teknologi vertikultur/polibag dan bedengan dalam pemanfaatan pekarangan (Gambar 1). Tabel 1. Persentase Luas Pekarangan Petani Kooperator Persentase (%) Luas pekarangan (± m2) 80 90 100 150 200 300

20 16,67 40 10 10 3,33

vertikultur/polibag dan bedengan sebesar 6,67%. Hal ini menunjukkan adanya minat yang tinggi dari petani kooperator (±30 orang) dalam menggunakan teknologi vertikultur/polibag dalam memanfaatkan lahan pekarangan masing masing (Gambar 2). Minat petani kooperator yang tinggi dalam menggunakan teknologi vertikultur/polibag karena bahan untuk membuat vertikultur dari kayu atau bambu dalam bentuk rak bertingkat cukup tersedia dan mudah diperoleh. Selain itu tumbuhnya keinginan yang tinggi untuk memanfaatkan lahan pekarangan meskipun luas pekarangan yang dimiliki petani kooperator di Desa Huko - Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka berkisar 80 - 300 m2 (Tabel 1) dan kondisi lahan yang kurang subur, sehingga penggunaan teknologi vertikultur yang dipadukan dengan polibag sebagai media tanam sangat tepat. Selanjutnya, adanya pemahaman yang baik dari petani kooperator akan manfaat teknologi vertikultur/polibag dalam pemanfaatan pekarangan, merupakan pola bercocok tanam yang menggunakan wadah tanam vertikal untuk mengatasi keterbatasan lahan. Haryanto et al. (1995) menyatakan bahwa teknologi vertikulktur memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara tanam biasa atau konvensional, antara lain menghemat penggunaan lahan, tidak

Gambar 1. Persentase Penggunaan Teknologi Vertikultur/polibag Dan Bedengan Pada Gambar 1, tampak bahwa persentase petani kooperator yang menggunakan teknologi vertikultur/polibag dalam pemanfaatan lahan pekarangan sebesar 100% dan teknologi

tergantung musim, efisien dalam penggunaan tenaga kerja maupun pupuk, dapat menekan pertumbuhan gulma dan gangguan hama penyakit pada media tanam, dapat memperoleh

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

739

UNDIP PRESS

Gambar 2.

Pemanfaatan Pekarangan Dengan Teknologi Vertikultur/polibag populasi tanaman dan hasil yang lebih banyak serta dapat berfungsi sebagai hiasan secara artistik dan menarik. Keragaan dalam pelaksanaan MKRPL juga nampak pada jenis komoditas sayuran yang dikembangkan petani kooperator di Desa Huko-Huko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka (Gambar 3).

memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan secara lestari oleh petani kooperator di kawasan rumah pangan lestari Kabupaten Kolaka. Keanekaragaman komoditas sayuran yang dikembangkan petani kooperator pada lahan pekarangan dapat disebabkan oleh perbedaan

Gambar 3. Persentase (%) Komodiatas Sayuran Yang Dikembangkan Sumber : Data Primer Diolah

Pada Gambar 3, nampak persentase petani kooperator yang mengembangkan komoditas sayuran pada lahan pekarangan. Dimana dari beberapa komoditas sayuran yang dikembangkan oleh petani kooperator, sawi yang paling banyak dikembangkan oleh petani kooperator yaitu 96,67%, terung 40%, seledri dan tomat 33,33%, cabai, kangkung dan bawang daun 26,67% serta kacang tunggak dan kacang panjang 3,33%. Gambar 4 menunjukkan bahwa sayuran sawi (Brassica juncea) dan terung (Solanum melonga)

740

dalam mengonsumsi jenis sayuran tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan masing - masing petani kooperatot serta perbedaan dalam cara budidaya sayuran yang dilakukan petani kooperator secara mandiri di lahan pekarangan sejak proses penyemaian bibit/benih sayuran, penanaman, pemeliharaan mencakup penyiraman, penyiangan rumput pengganggu, pemupukan dengan bahan organik, pengendalian hama dan penyakit sampai panen. Menurut Nazaruddin (1995), sawi

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Gambar 4. Komoditas Sayuran Yang Dikembangkan Petani Kooperator (Brassica juncea) merupakan jenis sayuran yang banyak ditanam petani karena mudah dibudidayakan dan disukai banyak konsumen, sementara terung (Solanum melonga) merupakan jenis sayuran yang toleran terhadap tanah – tanah yang miskin unsur hara serta dalam perawatannya tergolong mudah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hampir seluruh partisipan MKRPL di Kabupaten Kolaka menggunakan teknologi vertikultur/polibag akibat keterbatasan media tanam. 2. Komoditas sayuran khususnya sawi dan terung memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara lestari di Kawasan Rumah Pangan Kabupaten Kolaka. Saran Untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup sepanjang tahun serta mengoptimalisasi pemanfaatan pekarangan,

maka program MKRPL perlu dikembangkan atau direplikasi di tempat lain. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004. Panduan Umum Pelaksanaan Litkaji dan Program 3-SI Hasil Litkaji (Edisi 3). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Haryanto, E. Suhartini, T dan Rahayu, E. 1995. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. Cetakan I. Hal. 61 - 62. Nazaruddin. 1995. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. Cetakan II. Hal. 78, 120. Sinartani. 2011. Kementerian Pertanian Kembangkan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Edisi 20 - 26 April 2011 Yuliana Susanti, 2011. Pemanfaatan Pekarangan Sebagai Penyuplai Gizi Keluarga. http://[email protected] (5 September 2011)

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

741

UNDIP PRESS

DISAIN MKRPL UNIT RUMAH PERKOTAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Studi Kasus: Unit Rumah Perkotaan di Kadipaten, Kraton, Kota Yogyakarta) Endang Wisnu Wiranti, Tri Joko S., Anthony Marthon dan Wiendarti IW. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Email : [email protected]

ABSTRAK Luas lahan pekarangan di Provinsi DIY mencapai 52.000 ha dan belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Keanekaragaman pangan, mutu dan tingkat gizinya belum dapat terwujud, sehingga diperlukan model diversifikasi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi keluarga, sekaligus memberikan kontribusi pendapatan dan kesejahteraan keluarga, yaitu salah satunya melalui Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL). Dalam tulisan ini disajikan disain MKRPL meliputi rencana kegiatan MKRPL yang telah disesuaikan dengan karakteristik atau profil kelompok. Kegiatan ini dilakukan di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta pada tahun 2012. Dalam menyusun rencana kegiatan MKRPL digunakan metode Partisipatif Rural Appraisal (PRA) melalui pendekatan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan seluruh anggota dan pengurus kelompok, sedangkan karakteristik kelompok diketahui melalui metode pengumpulan data dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Karakteristik kelompok menunjukkan bahwa sebagian besar anggota kelompok M-KRPL Perkotaan berusia lanjut > 60 tahun (54,55 %) dengan tingkat pendidikan sebagian besar Sekolah Menengah Atas/SMA (59,1 %) dan sebanyak (45,5 %) adalah ibu-ibu pensiunan PNS. Hal ini merupakan potensi yang dapat membantu keberlangsungan kegiatan MKRPL, karena meskipun sudah lanjut usia, namun memiliki banyak waktu luang untuk mengelola kebun dan lahan pekarangan. Sebagian besar anggota merupakan sumber daya manusia (SDM) yang pernah bekerja dengan komitment dan memberikan output yang terukur. Dari hasil identifikasi permasalahan dan alternatif pemecahannya, telah tersusun rencana kegiatan MKRPL Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta berupa pembuatan Kebun Bibit, pendistribusian bibit dan tanaman ke rumah tangga serta penataan kawasan lingkungan rumah pangan. Rencana kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan potensi karakteristik kelompok. Kata kunci : Disain, MKRPL, rumah perkotaan, Kota Yogyakarta

PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kotamadya Yogyakarta, yang secara umum wilayahnya mencakup dataran pantai sampai dengan pegunungan dalam kisaran ketinggian 02911 meter diatas permukaan laut. Ditinjau dari tipe penggunaan lahannya dikelompokkan sebagai lahan sawah, tegalan, hutan, pekarangan serta pemanfaatan lain-lain. Lahan pekarangan di DIY luasnya mencapai 52.000 ha (BPS-DIY, 2008) dan belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal, salah satunya terdapat di wilayah

742

Kota Yogyakarta. Sebagian besar wilayah Kota Yogyakarta dimanfaatkan untuk perumahan, akibatnya lahan untuk pertanian hampir tidak ada lagi (BPS Kota Yogyakarta, 2011). Luasnya yang relatif sempit dan fungsinya pekarangan di kota sebagai estetika, maka penggunaannya untuk pangan masih terbatas. Fungsi estetika terlihat dengan dimanfaatkannya pekarangan sebagai tempat berteduh, tempat memperoleh ketenangan, rasa nyaman dan keperluan lainnya. Saat ini meskipun berada dalam wilayah perkotaan, masih banyak rumah tangga perkotaan di Yogyakarta yang belum mampu mewujudkan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

ketersediaan pangan yang cukup terutama dalam hal keanekaragaman pangan, mutu dan tingkat gizinya, sehingga angka Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai 79,4 (BPS D.I.Yogyakarta, 2008). Untuk memenuhi PPH, diperlukan model diversifikasi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi keluarga, salah satunya melalui Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL). Model ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Mengingat wilayah lahan pekarangan perkotaan di Yogyakarta yang relatif sempit, estetika penataan lahan perlu diperhatikan dan perlu dikemas sedemikian rupa sehingga pengembangan lahan pekarangan tersebut sangat tepat untuk dijadikan model yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat atau kelompok tani, dalam rangka menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat, hingga slogan kota Yogyakarta yaitu ”Yogya Berhati Nyaman” pun dapat terwujud. Selain menghasilkan produk pertanian yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, sekaligus dapat menghemat biaya pengeluaran rumah tangga dan atau dapat menambah pendapatan keluarga, selain itu dapat juga digunakan sebagai media pembelajaran/widyawisata untuk menumbuhkan budaya menjaga kebersihan lingkungan. Untuk tercapainya tujuan pengembangan lahan pekarangan kota Yogyakarta diperlukan suatu kegiatan yang mampu meyakinkan masyarakat atau kelompok tani dalam menerapkan teknologi atau inovasi yang lebih menguntungkan dalam suatu disain model kawasan rumah pangan lestari unit rumah perkotaan.

beberapa cara yaitu 1) teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur untuk mendapatkan data profil/ karakteristik kelompok, identifikasi prioritas permasalahan dan teknologi yang dibutuhkan; 2) teknik diskusi kelompok (Focus Group Discussion/FGD) dengan melibatkan 22 orang anggota kelompok, Lurah dan Ketua RT/RW setempat. Kegiatan FGD dilakukan untuk menyusun rencana kegiatan kelompok MKRPL Unit Rumah Perkotaan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik MKRPL Perkotaan di Kadipaten

Unit

Rumah

Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) Unit Rumah Perkotaan berlokasi di Jl Nogosari Lor, Kalurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton dan dilaksanakan oleh KTD. Kencana Asri. Pada awal pelaksanaan MKRPL telah teridentifikasi sebanyak 22 orang anggota KTD. Kencana Asri yang bersedia sebagai petani pelaksana kegiatan MKRPL Unit Rumah Perkotaan. Kesediaan anggota kelompok tersebut dituangkan melalui Pernyataan Kesediaan untuk mensukseskan kegiatan MKRPL. Kepemilikan lahan pekarangan anggota kelompok tidaklah begitu luas, sebagian besar (68,2 %) mempunyai kepemilikan antara 1 - 25 m2 (Grafik 1). Meskipun demikian mereka telah terbiasa menanam tanaman hias di lahan pekarangan untuk dikomersialkan karena sebagian besar (68,2 %) dari mereka telah berpengalaman dalam usahatani tanaman hias lebih dari 3 tahun (Grafik 2).

METODE PENELITIAN Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta menjadi lokasi kegiatan MKRPL Unit Rumah Perkotaan. Untuk mengungkapkan karakteristik/ profil kelompok tani dalam melaksanakan aktivitasnya, diperlukan pemahaman yang mendalam melalui PRA (Partisipatory Rural Appraisal) terhadap 22 orang anggota kelompok tani dewasa (KTD) Kencana Asri yang berada di kelurahan Kadipaten pada bulan April 2012. Pengumpulan data dilakukan dengan

Grafik 1. Kepemilikan Lahan Pekarangan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

743

UNDIP PRESS

budidaya tanaman hias, merupakan potensi bagi KTD. Kencana Asri meski sebagian besar anggotanya berusia lanjut > 60 tahun. Dari Grafik 4. dapat diketahui bahwa sebagian besar (59,1 %) anggota kelompok berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Grafik 2. Pengalaman Usahatani Tanaman Hias Dari Grafik 3. dapat diketahui bahwa umur anggota kelompok proporsi terbesar (54,55 %) berada pada usia lanjut yaitu > 60 tahun.

Grafik 3. Sebaran Anggota Berdasar Tingkat Umur Umur seseorang berkaitan erat dengan kemampuan fisik dalam mengelola usahataninya. Umur merupakan suatu karakteristik individu yang besarannya mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Seseorang yang masih muda aktivitas fisiknya cenderung lebih tinggi dan lebih mampu mengelola usaha taninya dan biasanya mempunyai semangat yang lebih untuk ingin tahu apa yang belum diketahui. Selain itu, pada usia tersebut seseorang masih tergolong responsif terhadap inovasi baru sehingga kecenderungan menerima inovasi baru lebih baik jika dibandingkan dengan petani yang berusia tua (> 60 tahun). Menurut Mardikanto (1994), semakin tua umur seseorang biasanya semakin lamban menerima pembaharuan/inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatankegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga/kelompok setempat. Namun, pengalaman yang telah dilalui dari ke 22 anggota KTD. Kencana Asri dalam mengerjakan kegiatan

744

Grafik 4. Sebaran Anggota Berdasar Tingkat Pendidikan Pendidikan formal anggota KTD. Kencana Asri cukup tinggi. Hal ini merupakan bagian dari modal utama didalam mengelola usaha taninya. Setyanto dalam Hanafi et al.(2005) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan sangat mempengaruhi tingkat pemahaman mereka pada informasi–informasi yang diperoleh, baik secara langsung maupun melalui media massa. Cukup tingginya tingkat pendidikan anggota KTD. Kencana Asri mengindikasikan bahwa mereka relatif mampu untuk menyerap informasi baru termasuk inovasi teknologi dalam pengembangan MKRPL. Bahtiar (2007) menyebutkan bahwa umur dan pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat menentukan sikap dan perilaku seseorang untuk menyikapi suatu informasi baru.

Grafik 5. Sebaran Anggota Berdasar Pekerjaan Karakteristik berdasarkan pekerjaan dapat dilihat bahwa sebagian besar (45,5 %) anggota

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

KTD. Kencana Asri adalah para ibu yang merupakan pensiunan PNS, atau yang telah pernah bekerja sebagai pegawai pada pemerintah; 36,4 % sebagai wiraswasta murni (pedagang dan pengusaha lokal) dan 18,2 % adalah ibu rumah tangga (Grafik 5). Hal ini merupakan potensi yang dapat membantu keberlangsungan kegiatan MKRPL, karena meskipun usia sudah lanjut, namun memiliki banyak waktu luang untuk mengelola lahan pekarangan dan sebagian besar anggota kelompok merupakan SDM yang pernah bekerja dengan komitment dan memberikan output yang terukur. Disisi lain anggota kelompok yang mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta merupakan potensi untuk bagian pemasaran atau komersialisasi usaha kelompok. Rencana Kegiatan M-KRPL Unit Rumah Perkotaan di Kadipaten Dari hasil wawancara dan diskusi dalam FGD, menunjukkan bahwa KTD. Kencana Asri memiliki beberapa permasalahan yang prioritasnya disusun berdasarkan besar kecilnya pengaruh masalah tersebut terhadap pendapatan petani maupun perekonomian di Kelurahan. Sesuai urutan prioritas, permasalahan yang dihadapi KTD. Kencana Asri adalah sebagai berikut : 1) pengetahuan usahatani masih terbatas; 2) belum memiliki bibit; 3) pengolahan hasil masih terbatas; 4) sarana usahatani terbatas dan 5) banyak anggota yang usianya sdh tdk produktif. Berdasarkan analisis SWOT, strategi penanganan masalah yang dapat dilakukan adalah (1) peningkatan pengetahuan anggota melalui pelatihan budidaya tanaman dan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan, (2) penyediaan peralatan dan pembuatan kebun bibit kawasan (KBK) yang dilakukan bersama masyarakat untuk dapat menyediakan produk pertanian yang berkualitas dan pemanfaatan skim kredit yg tersedia, (3) upaya memasarkan produk melalui jaringan kerjasama dengan mitra usaha, serta (4) penyediaan kualitas produk yang memenuhi selera pasar. Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi tersebut, telah disusun rencana kegiatan dalam kelompok MKRPL Unit Rumah Perkotaan yang dituangkan dalam bentuk tabel dengan rincian : 1) kegiatan yang akan dilaksanakan disertai nama anggota sebagai penanggung jawab

di tiap kegiatan tersebut; 2) uraian secara rinci dari masing-masing kegiatan yang akan dilaksanakan; 3) waktu pelaksanaan dari masingmasing kegiatan dan 4) nama anggota dan petugas dari dinas sebagai pelaksana di masingmasing kegiatan. Rencana kegiatan MKRPL unit rumah perkotaan di Kadipaten secara rinci terdapat pada Lampiran 1. Rencana kegiatan tersebut terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu 1) menyiapkan dan mengelola Kebun Bibit Kawasan/KBK; 2) penataan Rumah Pangan Lestari/RPL dan 3) penanganan lingkungan kawasan. Keberadaan Kebun Bibit Kawasan (KWK) merupakan salah satu kunci kelestarian rumah pangan lestari. Pada lahan pekarangan seluas 350 m², milik salah satu anggota KTD. Kencana Asri telah dibangun Kebun Bibit, yang di depannya telah dipasang papan nama sebagai identitas agar dapat dikenal oleh masyarakat yang melintasinya. Untuk mensiasati sempitnya lahan, penyediaan bibit tanaman dilakukan dengan menggunakan polybag dan rak-rak vertikultur yang diletakkan pada lahan sepanjang lingkungan kebun. KBK di kelola oleh pengurus yang dipilih oleh anggota kelompok dan berkewajiban mengelola usaha pembibitan dan penjualan tanaman bagi semua pihak. Pada saat ini, KBK telah menghasilkan persediaan bibit tanaman sesuai dengan rencana kebutuhan dan mendistribusikannya. Penataan Rumah Pangan Lestari (RPL). Rumah Pangan Lestari/RPL, adalah rumah anggota kelompok yang mengusahakan lahan pekarangannya secara intensif untuk dimanfaatkan dengan berbagai sumberdaya lokal secara bijaksana yang dapat menjamin kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan beragam. RPL mempunyai peranan sangat penting bagi keberhasilan KBK dalam MKRPL, dimana semua tanaman yang dibudidayakan dapat dimanfaatkan sebagai ”pajangan/promosi” untuk dilihat masyarakat lingkungan kawasan. Dengan adanya ”pajangan/promosi” tersebut diharapkan dapat memotivasi warga kawasan lain untuk melakukan replikasi dan bersedia membangun RPL secara mandiri. Penanganan Lingkungan Kawasan. Dalam rangka menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat guna mewujudkan slogan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

745

UNDIP PRESS

”Yogya Berhati Nyaman”, telah dilakukan penataan lingkungan sekitar kawasan yang disainnya disusun oleh kelompok. Penataan lingkungan tersebut menggunakan sarana rak kayu, paralon dan buis beton yang diletakkan di sepanjang jalan lingkungan kawasan dengan menerapkan teknologi vertikulktur. KESIMPULAN Anggota kelompok MKRPL Unit Rumah Perkotaan di Kadipaten, Kraton, Kota Yogyakarta sebagian besar anggotanya berusia lanjut > 60 tahun (54,55 %) dengan tingkat pendidikan sebagian besar berpendidikan Sekolah Menengah Atas/SMA (59,1 %) dan sebanyak (45,5 %) adalah ibu-ibu pensiunan PNS. Kepemilikan lahan pekarangannya tidak cukup luas, sebagian besar (68,2 %) mempunyai kepemilikan antara 1 - 25 m2, namun mereka telah memiliki pengalaman dalam usahatani tanaman hias cukup lama (> 3 tahun) di lahan pekarangan. Hal tersebut di atas merupakan potensi yang dapat membantu keberlangsungan kegiatan MKRPL Unit Rumah Perkotaan di Kadipaten. Disain MKRPL yang telah disusun adalah pembuatan Kebun Bibit, pendistribusian bibit dan tanaman ke rumah tangga serta penataan kawasan lingkungan rumah pangan yang dapat berjalan dengan baik sesuai potensi karakteristik kelompok.

746

DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W. dan T.A. Soetiarso. 1999. Strategi Petani dalam Pengelolaan Risiko pada Usahatani Cabai. Jurnal Hortikultura 8 (4):1299-1311. BPS DI Yogyakarta. 2008. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Angka. Penerbit BPS Provinsi DI Yogyakarta. Badan

Statistik Kota Yogyakarta. 2010. Yogyakarta dalam Angka. Badan Pusat Statistik Yogyakarta. Penerbit BPD Provinsi D.I.Yogyakarta

Bahtiar, 2007. Preferensi dan Persepsi Petani Terhadap Varietas Sukmaraga di Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Pertanian dalam Upaya Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat”. Yogyakarta, h.611-616. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Solo. Sebelas Maret University Press. Hanafi, H., Fatchurochim, M., Rustijarno, S., Kurnianita, Setiono, B., Subagio, Hendrata, R., Martini, T. 2005. Analisis Kelayakan Usahatani Bawang Merah, Cabe Merah, Semangka, Melati dan Profil Kelembagaan Lahan Pasir. Laporan Kegiatan TA. 2005. BPTP Yogyakarta

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

DESAIN MODEL-KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI TIPE PERUMAHAN DI BENER TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA Wiendarti Indri Werdhany dan Gunawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta [email protected]

ABSTRAK Dalam rangka meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untukmemenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara mandiri dan lestari, dilakukan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan. Salah satunya melalui kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) yang dilakukan olen Badan Litbang Pertanian, terutama melalui peran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang ada di setiap provinsi. Di DI Yogyakarta, MKRPL diantaranya terdapat di Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, yang merupakan MKRPL wilayah perkotaan yang dibangun pada 2012 dan memiliki strata model perumahan tipe 45. Dalam tulisan ini disajikan desain MKRPL perumahan tipe 45 yang telah disesuaikan dengan karakteristik atau profil kelompok dan wilayah. Metode penyusunan desain MKRPL dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) melibatkan anggota kelompok, sedangkan profil atau karakteristik kelompok diperoleh melalui survei menggunakan kuisioner. Karakter pelaksana MKRPL di Bener Tegalrejo merupakan komunitas ibu rumah tangga yang homogen sebagai istri Pegawai Negeri Sipil (PNS), berpendidikan setingkat SLTA, sangat responsif terhadap inovasi dan memiliki kemauan yang kuat untuk maju serta memiliki jiwa wirausaha yang cukup tinggi. Karakteristik sumberdaya manusia (SDM) dan wilayah perkotaan pada unit perumahan berpengaruh terhadap warna dan nuansa desain MKRPL unit perumahan Tegalrejo yang spesifik. Desain MKRPL tipe perumahan di Tegalrejo adalah (1) Kebun Bibit dengan tanaman dalam bentuk vertikultur, sayuran dalam polibag dengan prinsip kesinambungan berdasar kalender tanam, (2) Aplikasi Rumah Pangan Lestari (RPL) menggunakan teknologi berbasis sumberdaya lokal yang mudah diadopsi dan sesuai kebutuhan warga, dan (3) Penataan lingkungan kawasan RPL, dengan prinsip estetika dan membentuk suatu kawasan dan (4) Media promosi menggunakan multimedia dan pemanfaatan internet dengan “blog” dan facebook. Keberhasilan desain ini antara lain kawasan rumah pangan terlihat nyata dan dapat dilihat sepanjang waktu serta keberlanjutan usaha budidaya tanaman terlihat kesinambungannya. Kata Kunci : desain MKRPL, strata tipe perumahan

PENDAHULUAN Kotamadya Yogyakarta memiliki lahan pekarangan seluas 32,50 km2 yang terbagi atas 14 wilayah kecamatan, 45 kelurahan, 614 rukun warga dan 2.524 Rukun Tetangga (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2008). Lahan di Kotamadya Yogyakarta berupa dataran rendah yang datar dengan tingkat kemiringan 0-2% dan berada pada ketinggian 114 meter dari permukaan air laut. Lahan yang digunakan untuk pertanian di kotamadya Yogyakarta hampir tidak ada lagi, sebagian besar wilayah dimanfaatkan untuk perumahan (BPS Kota Yogyakarta, 2011).

Rumah tangga perkotaan di Yogyakarta masih banyak yang belum mampu mewujudkan keanekaragaman pangan, mutu dan tingkat gizi yang cukup, terbukti dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai 84.0 pada tahun 2011 (Informasi BKPP D.I. Yogyakarta). Untuk itu peningkatan keanekaragaman pangan atau diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya dalam memenuhi konsumsi pangan yang cukup mutu dan gizi melalui optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan. Pemanfaatan lahan pekarangan yang relatif sempit tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi inovasi

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

747

UNDIP PRESS

atau teknologi hemat lahan spesifik lokasi yang dikemas dalam Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Pengembangan rumah pangan dalam suatu kawasan yang dikelola pada aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi sangat tepat untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Fokus rumah pangan lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok masyarakat informal di perkotaan yang masuk golongan ekonomi menengah ke bawah dengan memanfaatkan lembaga atau organisasi masyarakat seperti PKK, Karang Taruna, atau Kelompok Wanita. Agar pengelolaan kawasan rumah pangan dapat berlangsung secara berkelanjutan dan memberi manfaat lebih bagi warga masyarakat, keberadaan organisasi sebagai pelaksana dan pengelola kawasan mempunyai peran sangat penting. Data dan informasi mengenai potensi sumberdaya manusia, sumberdaya lahan/wilayah dan komoditas yang menjadi kebutuhan, serta peran kelembagaan dalam pembangunan wilayah setempat perlu dicermati sebagai bahan penyusunan desain Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) yang akan dibangun. Desain MKRPL sangat diperlukan sebagai acuan pelaksanaan MKRPL agar dapat dikelola berkesinambungan, memenuhi kebutuhan dengan tepat (tepat waktu, tepat materi, dan tepat jumlah). Desain yang dibangun sesuai dengan kebutuhan, kondisi wilayah dan sosial budaya setempat akan memudahkan pelaku dalam melaksanakan dan mengelola KRPL yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat. METODE Kegiatan MKRPL yang dilakukan di unit Perumahan di Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo adalah sebagai salah satu MKRPL yang dibangun pada 2012 di Kota Yogyakarta. Pelaksanaan kegiatan MKRPL di unit Perumahan Tegalrejo termasuk strata model perumahan tipe 45 yang khusus dihuni oleh pegawai Pemerintah Daerah. Metode penyusunan desain dilakukan dengan pengungkapan profil dan karakteristik pelaksana secara partisipatif serta penyusunan rencana kegiatan MKRPL melalui Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan pada Maret 2012.

748

Pengumpulan data dilakukan dengan cara teknik wawancara menggunakan kuisioner terstruktur untuk mendapatkan data dan informasi terhadap profil atau karakteristik kelompok, identifikasi prioritas permasalahan dan teknologi yang dibutuhkan. Penyusunan disain dan rencana pelaksanaan kegiatan MKRPL dilakukan dengan teknik diskusi kelompok (Focus Group Discussion/FGD), melibatkan seluruh anggota kelompok yang berjumlah 23 orang, Lurah Kelurahan Bener, Ketua RT lokasi perumahan (RT 20 dan 21), dan Ketua RW setempat. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Rencana kegiatan disusun secara partisipatif dengan dipandu oleh fasilitator dari BPTP, sehingga semua materi dalam rencana kegiatan tersebut sudah merupakan komitment bersama para pelaksana. Rencana kegiatan disusun sesuai urutan prioritas dan tahapan serta merupakan pedoman dalam membangun, melaksanakan dan mengelola MKRPL. Rencana Kegiatan disusun dalam periode setengah semester, untuk selanjutnya penyusunan rencana kegiatan dilakukan untuk kurun waktu tiga bulanan setelah terlebih dahulu melakukan evaluasi pelaksanaan rencana kegiatan sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pelaku M-KRPL Unit Perumahan di Tegalrejo. MKRPL unit Perumahan Tegalrejo, berlokasi di Perumahan Karyawan Gedung Agung, Jln. Kyai Mojo, Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo. Pelaku MKRPL adalah kelompok ibu-ibu dari organisasi PKK yang kemudian membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekarsari. Sebanyak 23 orang anggota kelompok telah terpilih melalui seleksi awal sebagai pelaku dalam mengelola MKRPL dan anggota Rumah Pangan Lestari (RPL). Kesungguhan untuk mengelola MKRPL dituangkan pada pernyataan kesanggupan yang dibuat oleh masing-masing anggota terpilih. Pernyataan ini sangat penting untuk melihat kesungguhan anggota kelompok dalam mengelola MKRPL yang akan dibangun. Karakteristik pelaku MKRPL dilihat berdasar karakter umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Karakteristik umur anggota KWT Mekarsari sebagian besar atau 57% berusia 25-

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

50 tahun, 26% berusia 51-60 tahun dan 17% telah memasuki usia tua yaitu berusia lebih dari 60 tahun (Gambar 1). Berdasar Gambar 1 dapat diketahui bahwa kelompok Mekarsari sebagai pelaku MKRPL di Tegalrejo ini sebagian besar (57%) memiliki usia produktif dan berpotensi untuk berkembang. Kelompok dengan anggota yang berusia relatif lebih muda akan lebih mudah untuk menerima perubahan dan mengadopsi inovasi teknologi, apalagi bila dalam usia produktif (25-50 tahun). Selain itu, tiap anggota kelompok memiliki keinginan kuat untuk mencukupi kebutuhan sayuran atau pangan, dan hal ini merupakan modal terbesar untuk meraih tujuan terlaksananya kegiatan MKRPL unit Perumahan di Tegalrejo.

Gambar 1. Sebaran Umur Anggota

dalam melaksanakan MKRPL secara berkesinambungan. Dalam implementasinya, nampak bahwa tingkat pendidikan yang realtif seragam membuat komunikasi menjadi lebih hidup serta diskusi menjadi lancar serta membuat anggota leluasa serta berani mengemukakan pendapat dan menyampaikan inisiatif dalam menyusun perencanaan kegiatan dan target-target yang hendak dicapai oleh kelompok. Karakteristik pelaku MKRPL dilihat dari variasi pekerjaan pelaku disajikan pada Gambar 3. Tingkat pekerjaan juga menggambarkan tingkat sumber penghasilan. Pada Gambar 3 diketahui bahwa sebagian besar (78%) anggota kelompok adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja atau mengurus rumah tangga, sebanyak 13% sebagai wiraswasta murni (pedagang dan pengusaha lokal) dan sebanyak 9% aktif sebagai PNS. Pelaku MKRPL yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga merupakan salah satu potensi untuk kontinyuitas kegiatan MKRPL, karena sebagai ibu rumah tangga lebih banyak berada di rumah dan memiliki waktu luang yang dapat digunakan untuk mengelola MKRPL maupun budidaya tanaman. Di samping itu, ibu rumah tangga merupakan sasaran utama yang akan menikmati salah satu tujuan dari MKRPL terutama dalam menghemat pengeluaran keluarga, sehingga pencatatan dan penghematan pengeluaran akan lebih mudah dilaksanakan dan dirasakan. Anggota yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha merupakan potensi sebagai bagian pemasaran baik produk dalam bentuk olahan maupun segar.

Gambar 2. Sebaran Tingkat Pendidikan Berdasar tingkat pendidikan (Gambar 2) diketahui bahwa 57% anggota kelompok berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA ), 34% berpendidikan SD hingga SLTP dan 9% berpendidikan D3 hingga S1. Pada Gambar 2 diketahui bahwa anggota kelompok yang memiliki pendidikan SLTA ke atas cukup besar yaitu 66% atau sekitar dua per tiga dari total anggota kelompok. Pendidikan formal SLTA ke atas tersebut merupakan potensi kelompok sebagai pelaku MKRPL terutama

Gambar 3. Sebaran Berdasar Pekerjaan Komposisi pelaku MKRPL di atas cukup baik untuk melakukan MKRPL karena sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu untuk mengerjakan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

749

UNDIP PRESS

MKRPL, dan didukung oleh ibu-ibu pedagang dan wiraswasta serta pegawai negeri sipil dalam jumlah kecil. Desain MKRPL unit Perumahan di Tegalrejo Dalam mendesain MKRPL unit Perumahan di Tegalrejo, perlu memperhatikan antara lain hasil identifikasi permasalahan, inventarisasi kebutuhan kelompok dan karakteristik pelaku MKRPL serta kondisi lapangan. Desain MKRPL unit perumahan di Tegalrejo terbagi dalam tiga bagian yaitu lokasi kawasan dan tata letak, rencana kegiatan serta pengelolaan MKRPL. 1. Lokasi Kawasan dan Tata Letak MKRPL MKRPL unit Perumahan di Tegalrejo termasuk tipe perumahan dengan rumah tipe 45 tanpa lahan pekarangan, namun masing-masing warga mendapatkan lahan taman berukuran 4x5 m2 yang berada di depan masing-masing rumah yang hanya dibatasi oleh jalan komplek, sehingga masing-masing memiliki lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman. Lahan tersebut merupakan potensi yang dapat digunakan untuk dimanfaatkan secara optimal sebagai lahan RPL. Lokasi kawasan tipe perumahan ini terbagi dalam beberapa Blok A, B, C, D, E dan F (Gambar 4). Untuk memudahkan dalam koordinasi, masing-masing blok terdapat koordinator yang bertanggung jawab dalam pengembangan RPL dari blok setempat. Memperhatikan lokasi kawasan dan tata letak komplek perumahan (Gambar 4), dalam setiap deretan blok terdapat anggota RPL (warna kuning), meskipun belum seluruh rumah tangga menjadi anggota RPL, namun lokasi RPL yang tidak terkumpul merupakan potensi sebagai pioneer yang dapat memotivasi rumah tangga sekitarnya untuk mengikuti kegiatan sebagai replikasi. Dalam peta lokasi kawasan terlihat beberapa lahan taman (warna hijau muda) yang terletak berhadapan dengan rumah masingmasing merupakan lahan taman yang menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga. Lahan taman tersebut merupakan lahan RPL yang kemudian dikelola untuk tanaman sayuran. Keuntungan yang diperoleh dari lokasi kawasan tipe perumahan adalah lebih mudah mengumpulkan anggota, setiap saat mudah berkumpul, lebih mudah dalam penyampaian informasi dan melaksanakan pelatihan serta

750

Gambar 4. Peta Lokasi Kawasan Dan Tata Letak praktek. Selain itu, perumahan dengan kepemilikan lahan taman yang seragam, memudahkan dalam penataan lingkungan dan secara fisik lebih terlihat asri. Sebagian penataan menggunakan rak kayu. Tanaman dalam polybag yang ditempatkan pada rak kayu dapat diletakkan sepanjang jalan komplek dan di lahan taman masing-masing RPL. 2. Rencana Kegiatan MKRPL unit Perumahan Tegalrejo. Hasil penggalian data dan potensi menggunakan kuisioner menunjukkan bahwa setiap rumah tangga masih membutuhkan kecukupan pangan, khususnya tanaman pangan non beras, sayuran, buah-buahan dan tanaman obat (toga). Hasil wawancara dan diskusi dalam FGD, menunjukkan bahwa hampir semua anggota belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam budidaya tanaman. Beberapa permasalahan yang ditemukan antara lain (a) kontinyuitas penyediaan bibit tanaman, (b) pengetahuan teknologi budidaya tanaman hemat lahan, (c) adanya serangan hama (belalang, tikus, bekicot, dan kutu putih) yang belum dapat diatasi, (d)

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

keterbatasan air karena debit air kecil pada saat musim kemarau dan (e) pengetahuan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil produksi tanaman sayuran yang masih terbatas. Memperhatikan permasalahan tersebut di atas, disusun disain MKRPL dalam bentuk rencana kegiatan yang mengacu pada tiga komponen penting dalam MKRPL, yaitu pembuatan Kebun Bibit Kawasan (KBK), penataan Rumah Pangan Lestari (RPL) dan Lingkungan Kawasan. Rencana Kegiatan MKRPL unit Perumahan di Tegalrejo ditampilkan pada Tabel 1 yaitu untuk pembuatan Kebun Bibit, Tabel 2 untuk penataan RPL dan Tabel 3 untuk penataan lingkungan.

dan anggota kelompok terdapat rasa memiliki dan bertanggungjawab. Pengelola kebun berkewajiban untuk selalu menyediakan bibit tanaman dengan berbagai komoditas sesuai perencanaan kebutuhan bibit untuk anggota kelompok dan warga masyarakat dalam kawasan secara tepat jenis dan tepat waktu. Kebun bibit digunakan untuk menjamin kontinuitas atau kelestarian kegiatan MKRPL terutama dalam penyediaan bibit tanaman. Komoditas tanaman yang menjadi prioritas permintaan anggota RPL antara lain : Terong, Cabe, Tomat, Sawi, Bunga Kol, Daun bawang dan Sledri.

Tabel 1. Rencana Pembuatan Kebun Bibit MKRPL Unit Perumahan Di Tegalrejo Pelaksana No Uraian Waktu Kelompok Dinas/BPTP 1 Pengaturan : petakan dan jenis 11 – 18 Maret Bu Giri, Suryadi tanaman Bu Ratno, Rudi, Bu Rawan 2 Persiapan bahan dan alat 19 - 27 Maret Bu Giri, Bu Ratno, Tim BPTP Bu Rawan 3 Pelatihan persemaian, pembibitan, 29 Maret, Anggota pemeliharaan tanaman, pembuatan 13 April, kelompok TimBPTP pupuk cair, pasca panen 27 April, Mei (23 orang) 4 Pemeliharaan tanaman, 12 Mei Bu Giri, Tri martini, Perawatan, penyulaman, Bu Ratno, Rudi/anthoni Pengendalian opt Bu Rawan 5 Pelaksanaan tanam dalam polybag, 5 Mei (pelatihan) Anggota Rudi tanam vertikultur kelompok Endang, (23 orang) Sutarno 6 Buku bantu tanaman – kbk, buku 26 Mei (pelatihan) Anggota Rudi kalender tanam kelompok Wien (23 orang) Anthony Kebun Bibit Kawasan (KBK). Keberadaan Kebun Bibit merupakan salah satu ciri dari keberadaan MKRPL dan sebagai kunci kelestarian kawasan RPL. Kebun Bibit terletak pada Blok C (Gambar 4), yang berlokasi di barisan depan komplek perumahan. Desain rumah persemaian (Green House) disesuaikan dengan luas lahan, kebutuhan dan penataan tanaman dalam kebun dan lingkungan komplek. Pembangunan kebun bibit direncanakan bersama anggota kelompok dan masyarakat setempat yang dipimpin oleh ketua RT, sehingga pengurus

Dokumentasi dan pencatatan usaha kebun bibit dilakukan oleh pengurus kebun yang mengelola usaha pembibitan dan penjualan tanaman. Untuk memudahkan pengelolaan Kebun Bibit, pengurus diberi pelatihan mengenai manajemen Kebun Bibit, diantaranya adalah melakukan pencatatan stok bibit dan tanaman, serta melakukan stok opname bibit dan tanaman dalam kebun. Papan nama sebagai identitas Kebun Bibit Kawasan dipasang dengan tujuan agar kebun bibit kawasan dapat dikenal masyarakat yang melintas kawasan.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

751

UNDIP PRESS

Tabel 2. Rencana Penataan RPL Unit Perumahan Di Tegalrejo Pelaksana No Uraian Waktu Kelompok Dinas/BPTP 1 Inventarisir jenis yg akan Maret Penanggung jawab blok Tim BPTP ditanam (5 org) 2 Persiapan penataan lahan 12 April Anggota kelompok Rudi masing2 rumah (23 orang) Suryadi 3 Persiapan bahan, alat, media, 13 April (pelatihan) Anggota kelompok Rudi pupuk dll (23 orang) Suryadi 4 Penataan tanaman di masing 5 Mei Setelah rak Anggota kelompok Rudi masing rumah dg rak kayu kayu jadi (23 orang) Suryadi 5 Pengaturan tanaman 5 mei Penanggung jawab blok Rudi Di tiap rumah Setelah rak kayu jadi (5 org) Anthony 6 Penghitungan analisa pph 26 Mei (pelatihan) Sampling Tri Joko S Arti Jatiharti 7 Strategi pemanfaatan hasil 26 Mei (pelatihan) Anggota kelompok Gunawan penanaman (23 orang) Setyorini 8 Penilaian keasrian Akhir Mei Anggota kelompok Tim BPTP Di tiap rumah (23 orang) Penataan Rumah Pangan Lestari (RPL). Rumah Pangan Lestari merupakan rumah tangga anggota kelompok dalam kawasan yang membangun dan memanfaatkan lahan

pemasaran produk kebun bibit. Promosi ini perlu dilakukan untuk memotivasi warga kawasan lain untuk melakukan replikasi dan bersedia membangun RPL secara mandiri.

Tabel 3. Rencana Penataan Lingkungan MKRPL Unit Perumahan Di Tegalrejo Pelaksana No Uraian Waktu Kelompok Dinas/BPTP 1 Penentuan titik lokasi dan Mei Bu Nurul Gunawan bentuk rak vertikultur Bu Bambang Bu Is 2 Pemasangan paralon vertikultur Setelah vertikultur Bu Nurul Wiendarti dengan paralon jadi Bu Bambang Bu Is pekarangannya untuk digunakan dalam budidaya tanaman sayuran dan pangan non beras bagi memenuhi kebutuhan keanekaragaman konsumsi energi dan protein keluarga dengan teknologi hemat lahan. Setiap RPL dilengkapi dengan sarana rak vertikultur dan tanaman sayuran sesuai permintaan. RPL mempunyai peranan sangat penting bagi keberhasilan MKRPL. Tanaman sayuran yang dibudidayakan oleh RPL merupakan “etalase” untuk warga masyarakat lingkungan kawasan dan masyarakat umum, sehingga membantu dalam promosi dan

752

Penanganan Lingkungan Kawasan. Desain penataan lingkungan sekitar kawasan dilakukan oleh kelompok. Kawasan tipe perumahan ditata dalam bentuk blok-blok, penataan lingkungan dilakukan dengan rak untuk penempatan polybag yang dibuat dari kayu (dalam satu rak kayu berisi 30 polibag). Teknologi vertikultur menggunakan paralon diletakkan pada tengah taman dan sudut lokasi-lokasi tertentu di lingkungan kawasan komplek. Teknologi vertikulktur menggunakan paralon sangat sesuai untuk diterapkan di jalan kawasan dengan pilihan komoditas berupa

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

sayuran yang tahan panas dan kekeringan. Mengingat bentuk lokasi komplek yang memanjang dan berpetak, sepanjang jalan sisi taman sayur oleh kelompok digunakan untuk meletakkan stok tanaman sayur dalam polybag dan hal ini menambah suasana hijau dalam kawasan. Penataan lingkungan dalam kawasan merupakan bagian kegiatan yang cukup penting untuk menunjukkan keberadaan MKRPL dalam kawasan tersebut. 3. Pengelolaan MKRPL di Tegalrejo Salah satu kunci keberhasilan kontinyuitas kegiatan MKRPL adalah pengelolaan MKRPL yang baik. Dalam pengelolaan KRPL, peran ketua kelompok, pengurus sebagai pengelola KRPL dan ketua RT setempat sangat penting. Untuk MKRPL unit Perumahan Tegalrejo, pengelolaannya dibagi dalam dua kegiatan yaitu penanganan Kebun Bibit dan kawasan RPL. Penanganan Kebun Bibit dan Lingkungan Kawasan telah ditetapkan yaitu oleh pengurus Kebun Bibit, namun dalam pelaksanaannya seluruh anggota RPL mendapat tugas memelihara kebun bibit dan lingkungan. Beberapa kegiatan yang telah menjadi kesepakatan anggota dalam penanganan Kebun Bibit dan lingkungan antara lain menetapkan hari Sabtu pagi sebagai hari berkumpul dan bekerja bakti. Setiap hari Sabtu kelompok meluangkan waktu untuk berkumpul dan mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan kebun bibit dan kebersihan lingkungan seperti : pemindahan bibit ke dalam polybag sebagai stok bibit yang dikelola oleh kebun bibit, penyiraman, penyemprotan biopestisida dan membersihkan kebun bibit. Pembuatan jadwal pemeliharaan kebun bibit dan rumah bibit berlaku untuk semua anggota RPL. Semua anggota dibagi dalam kelompok harian mulai Senin sampai Minggu untuk memelihara tanaman dalam kebun bibit. Pengurus Kebun Bibit berkewajiban mencatat semua transaksi yang terjadi dalam kebun bibit, baik transaksi pembibitan dan pembuatan stok bibit serta transaksi penjualan bibit dan tanaman besar. Untuk memudahkan pengurus mengerjakan tugasnya, disediakan perangkat berupa kartu stok dan catatan transaksi keuangan yng dibuat sederhana. Pengelola Kebun Bibit diberi bekal pengetahuan pencatatan pembukuan keuangan dan transaksi

buku stok bibit. Agar pengelola kebun bibit dapat membuat perencanaan pembibitan dan penanaman sesuai dengan kebutuhan, disiapkan perangkat form pemesanan dan pengetahuan mengenai kalender tanam sayuran. Dengan demikian, pengurus kebun dapat membuat perencanaan pembuatan bibit sesuai pesanan. Rumah Pangan Lestari terdiri dari anggota kelompok dan beberapa replikasi dalam kawasan perumahan. Pemeliharaan RPL menjadi tanggungjawab masing-masing anggota. Setiap RPL mendapatkan 30 polybag dengan berbagai jenis tanaman kemudian dipersilakan untuk membeli sendiri secara swadaya jika ingin menambah tanamannya. Dalam hal ini Pengelola Kebun Bibit berkewajiban untuk menyediakan permintaan RPL. RPL berkewajiban memromosikan produk sayuran milik kebun bibit melalui berbagai lini, seperti tempat sekolah anak-anak, perkumpulan arisan, kantor tempat kerja suami dan anggota. Namun semua transaksi penjualan dilakukan melalui satu pintu pada pengurus kebun bibit. Setiap RPL berkewajiban untuk mencatat semua pemanfaatan hasil tanaman sayuran yang ada dalam RPL. Pencatatan dapat dilakukan menggunakan perangkat buku catatan panen yang disediakan atau menggunakan catatan sederhana milik RPL. Pada prinsipnya semua data tercatat dengan baik. Melaui pencatatan ini maka jumlah penghematan dan manfaat lain dari kegiatan MKRPL dapat tercatat dengan baik. MKRPL unit Perumahan Tegalrejo telah memahami betul pentingnya promosi bagi keberadaan MKRPL dan pemasaran produk yang dihasilkan. Selain melalui media komunitas informal para anggota RPL (perkumpulan arisan, komunitas orang tua murid), promosi dan pemasaran produk juga dilakukan melalui dunia maya dengan memanfaatkan fasilitas “blog” dan facebook. MKRPL unit Perumahan Tegalrejo dapat di akses melalui : mkrplkotayogya.wordpress.com KESIMPULAN 1. Karakter pelaksana MKRPL di Bener Tegalrejo merupakan komunitas ibu rumah tangga yang homogen sebagai istri Pegawai Negeri Sipil (PNS), berpendidikan setingkat SLTA, sangat responsif terhadap inovasi dan memiliki kemauan yang kuat untuk maju

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

753

UNDIP PRESS

serta memiliki jiwa wirausaha yang cukup tinggi. 2. Karakteristik sumberdaya manusia (SDM) dan wilayah perkotaan pada unit perumahan berpengaruh terhadap warna dan nuansa desain MKRPL unit perumahan Tegalrejo yang spesifik. 3. Desain MKRPL unit perumahan di Tegalrejo dibangun dengan komponen antara lain (1) Pengelola dengan identitas atau struktur organisasi dan job discription yang jelas, (2) Kebun Bibit yang dibangun dalam kawasan yang didukung dengan fasilitas dan perangkat bagi pengelolaan kebun beserta teknologi budidaya tanaman hemat lahan dalam bentuk teknologi vertikultur, budidaya sayuran dalam polibag dengan prinsip kesinambungan berdasar kalender tanam bagi sayuran (3) aplikasi Rumah Pangan Lestari (RPL) menggunakan teknologi berbasis sumberdaya lokal yang mudah diadopsi dan sesuai kebutuhan warga, dan (4) penataan lingkungan kawasan RPL, dengan prinsip estetika dan membentuk suatu kawasan, (5). Pemanfaatan fasilitas internet menggunakan Blog dan Facebook untuk promosi dan pemasaran produk. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Panduan Model Pengembangan Usaha Diversifikasi Pangan Di UK/UPT Lingkup Badan Litbang Pertanian. Draf Materi Raker Badan Litbang Pertanian tgl.

754

24-26 April 2011 di Bogor Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Badan Litbang Pertanian, 2011. Panduan Model Pengembangan Usaha Diversifikasi Pangan di UK/UPT Lingkup Badan Litbang Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Badan

Litbang Pertanian, 2011. Naskah Akademik Pelaksanaan Program Diversifikasi Pangan Lingkup Badan Litbang Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian, 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. BPS Provinsi DI Yogyakarta. 2008. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Penerbit Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta. BPS Provinsi DI Yogyakarta. 2010. Yogyakarta Dalam Angka. Penerbit Badan Pusat Statistik Provinsi D.I.Yogyakarta BPS

Kota Yogyakarta, 2011. Indeks Pembangunan Manusia Kota Yogyakarta 2010 . Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DI PERKOTAAN : STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR R.D. Yustika dan A. Dariah Peneliti Balai Penelitian Tanah, Bidang Fisika dan Koservasi Tanah Jl. Tentara Pelajar No. 12 A, Cimanggu, Bogor.

Email: [email protected] ABSTRAK Perumahan di kota rata-rata memiliki luas lahan yang sangat terbatas sehingga tidak tersedia areal untuk bercocok tanam. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan di perkotaan untuk mendukung ketahanan pangan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis tanaman yang banyak ditanam di perumahan perkotaan, nilai manfaat yang dirasakan, kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan dan peluang pengembangannya ke depan. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Observasi dan wawancara menggunakan kuesioner dilakukan terhadap 15 responden yang tinggal di kompleks perumahan di Puri Nirwana 3 Cibinong, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2012. Rumah tangga di kompleks perumahan perkotaan lebih menyukai untuk menanam tanaman hias dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, berikutnya adalah jenis tanaman apotik hidup, tanaman hortikultura, tanaman bumbu dapur, dan tanaman pohon buah-buahan. Manfaat lahan pekarangan yang diharapkan rumah tangga yaitu lingkungan yang asri dan estetika, serta untuk apotik hidup. Pemahaman fungsi pekarangan untuk kemandirian pangan dan penghematan pengeluaran masih relatif rendah. Kendala yang dihadapi yaitu harus ada penataan tanaman, pemilihan jenis tanaman, dan konflik kepentingan penggunaan lahan. Peluang pengembangan ke depan yaitu dengan sosialisasi, penyuluhan program pemerintah, dan penyebaran informasi cara menanam secara efisien. Kata kunci: pekarangan, MKRPL

PENDAHULUAN Optimalisasi lahan untuk mendukung kecukupan pangan bukan hanya perlu dilakukan pada areal pertanian, pemanfaatan lahan areal non-pertanian seperti perumahan juga perlu dilakukan secara optimal. Di daerah perdesaan pemanfaatan pekarangan sebagai pendukung ketahanan pangan keluarga sudah umum dilakukan, namun kuantifikasi peran pemanfaatan lahan pekarangan sebagai pendukung ketahanan pangan baru dilakukan beberapa tahun terakhir. Hasil penelitian di Pacitan menunjukkan bahwa pengembangan kawasan rumah pangan lestari (KRPL) di Pacitan telah memberikan manfaat yang signifikan, pengeluaran petani dapat ditekan Rp. 195.000,- – Rp. 700.000,- tiap bulannya per kepala keluarga (KK). Selain di perdesaan, pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan akan mempunyai nilai

manfaat yang signifikan dalam mendukung ketahanan pangan di tingkat keluarga. Bentuk pemanfaatan lahan pekarangan yang bisa dikembangakan di perkotaan jauh berbeda dibandingkan dengan di perdesaan, karena ratarata luasan lahan di perkotaan yang jauh lebih sempit dibandingkan dengan di perdesaan. Oleh karena itu diperlukan inovasi teknologi yang bersifat spesifik untuk pemanfaatan pekarangan yang relatif sempit tersebut, baik dalam hal penyediaan media tanam, maupun pemilihan komoditas. Sebagai contoh sistem vertikultur sangat sesuai untuk diterapkan pada areal pekarangan yang sempit. Tanah yang digunakan sebagai media tanam sebaiknya mempunyai warter holding capasity yang cukup tinggi, sehingga penyiraman tidak perlu dilakukan secara intensif, dan air bisa dimanfaatkan secara lebih efisien. Pemanfaatan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

755

UNDIP PRESS

bahan organik baik dalam bentuk pupuk organik maupun arang atau (biochar) selain dapat mendukung penyediaan media tanam yang baik, juga bertahan lama dalam tanah sehingga dapat digunakan secara berulang. Pemanfaatan biochar juga mempunyai arti penting dari aspek konservasi karbon (Glaser et al., 2002; Igarashi, 2002; Kuwagaki and Tamura, 1990; Nurida, 2006, Nurida et al., 2010; Ogawa, 1994 dan 2006; Okimori et al., 2003; Tanaka, 1963). Selama ini, arang banyak dimanfaatkan sebagai media tanam anggrek, untuk tanaman pekarangan lainnya belum banyak dimanfaatkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pula studi untuk mempelajari praktek-praktek yang telah dilakukan oleh masyarakat kota dalam memanfaatkan lahan pekarangan, sehingga dapat dipelajari berbagai peluang untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatannya. Pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilatarbelakangi oleh berbagai faktor seperti preferensi, iklim, sosial budaya, dan program kebijakan pemerintah. Faktor preferensi yaitu pemilihan suatu tanaman didasarkan pada keinginan pemilik rumah. Faktor iklim mempengaruhi pemanfaatan lahan pekarangan karena terdapat tanaman yang memerlukan iklim dingin ataupun panas. Lahan pekarangan di dataran tinggi akan berbeda susunan jenis tanamannya dibandingkan dengan lahan pekarangan di dataran rendah. Sosial budaya berperanan dalam pemanfaatan lahan pekarangan karena pekarangan dapat mempunyai manfaat sebagai tempat berkumpul. Sedangkan program kebijakan pemerintah seperti Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) mendorong rumah tangga untuk memanfaatkan pekarangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kementerian Pertanian, 2011). Tujuan penelitian pemanfaatan pekarangan di perkotaan adalah untuk mengetahui jenis tanaman yang banyak ditanam di perumahan perkotaan, nilai manfaat yang dirasakan, kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan dan optimalisasi peluang pengembangannya ke depan.

756

METODE Penelitian dilakukan dengan metode survei. Observasi dan wawancara menggunakan kuisioner dilakukan terhadap 15 responden yang tinggal di kompleks perumahan di Puri Nirwana 3 Cibinong, Bogor. Rata-rata tipe perumahan adalah tipe 36, dengan rata-rata luas lahan 30, dan mempunyai ciri khas karena berbentuk butiranbutiran yang agak sukar dipecah, secara fisik sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi

926

dan proses penyediaan haranya. Untuk efektif penggunaannya pukan dari domba lebih baik dikomposkan lebih dahulu. Pupuk kandang dari domba mempunyai kandungan hara K lebih tinggi dari pukan lainnya, sedangkan kadar N dan P sama dengan pupuk kandang lainnya (Hartatik, 2007) . Pupuk kandang dari sapi mempunyai kadar serat yang tinggi dengan kadar C/N rasio > 40. Tingginya kadar C dalam pukan sapi akan menekan pertumbuhan tanaman karena mikroba dekomposer akan menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik sehingga tanaman utama akan kekurangan N. Dengan kondisi ini pukan sapi dapat dimanfaatkan dengan optimal harus dilakukan pengomposan terlebih dahulu sehingga kadar C/N rasio < 20. KEBUTUHAN UNSUR HARA TANAMAN Pada dasarnya tiap jenis tanaman memerlukan pupuk yang berbeda untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil yang tinggi memerlukan penanganan yang baik pula. Unsur nitrogen, fosfor dan kalsium yang merupakan unsur utama diperlukan tanaman dalam jumlah banyak (Suwandi et al., 1985). Serapan unsur hara yang diperlukan pada berbagai jenis tanaman dapat digunakan untuk mengetahui dosis dan jenis pupuk yang tepat pada tanaman yang dibudidayakan. Tanaman sayuran yang umumnya ditanam di pekarangan diantaranya bayam, tomat, buncis dan kol. Perkiraan serapan hara pada beberapa tanaman seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Perkiraan Serapan Hara Oleh Beberapa Tanaman (Karama Et Al., 1991) Serapan (kg/ha) Jenis Tanaman N P2O5 K2O Kentang Kobis Wortel Jagung Kol *) Bayam*) Tomat*) Buncis*)

175 370 125 120 145,7 56 134,5 84,1

80 85 55 50 17,9 7,8 20,2 12,30

310 480 200 120 121,1 28,0 149,1 23,5

*) Majid, 2009

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

S 20 80 25 51,2 4,5 15,7 5,6

UNDIP PRESS

Uraian Unggas Kelinci Kambing/Domba Sapi

Tabel 3. Produksi Kotoran Ternak Dan Ikutannya Untuk Pemupukan Produksi Pupuk Kandang Polybag Polybag Tanaman (Kg/Ekor Kg/Ekor /Hari) /Tahun Tanaman 1) /Tahun 2) 0,15 54,75 21,90 7,30 0,28 102,20 40,88 13,63 2,87 1.047,55 419,02 139,67 12,00 4.380,00 1.752,00 584,00

M2 4,56 8,52 87,30 365,00

Catatan: 1). Polybag diameter 40 Cm

2). Penggantian media untuk peremajaan tanaman 3 kali setahun

PRODUKSI PUPUK KANDANG

DAFTAR PUSTAKA

Pemupukan merupakan bagian terpenting pelaksanaan pertanaman. Ketersediaan pukan dari masing-masing ternak berbeda-beda dalam memenuhi ketersediaan pupuk untuk media tanam maupun untuk pemupukan di pekarangan. Jika pertanaman pada polibag diameter 40 cm dengan perbandingan tanah dan pupuk 1:1 diperlukan rata-rata 2,5 kg pupuk kandang. Ratarata produksi kotoran ternak unggas menurut (Charles et al., 1991) 0,15 kg/ekor/hari, Sajimin et al., (2004) melaporkan bahwa produksi kotoran kelinci 0,28 kg kg/ekor/hari, sedangkan menurut (Mathius, 2009) produk kotoran domba 2,87 kg kg/ekor/hari dan sapi 12 kg kg/ekor/hari. Dengan asumsi pembaharuan pemupukan dilakukan setiap 3 kali setahun, maka rata-rata kapasitas pasokan pupuk kandang per-ekor ternak unggas setara dengan 7 polybag tanaman, kelinci 13 polibag tanaman, kambing/domba 139 polybag tanaman, dan sapi 584 polybag tanaman. Jika pupuk kandang diaplikasikan pada bedengan dengan asumsi 1 m2 dibutuhkan 4 kg pupuk maka rata-rata kapasitas pasokan pupuk kandang per-ekor ternak unggas setara dengan 4,56 m2 lahan, kelinci setara dengan 8,52 m2 lahan, kambing/domba setara dengan 87,30 m2 lahan, dan sapi setara dengan 365 m2 lahan (Tabel 3).

Tabbu C.R., dan Hariono B.. 1991. Pemanfaatan Limbah Peternakan Unggas dalam www. Gerbangpertanian.com

KESIMPULAN Keberadaan pupuk kandang untuk keberlanjutan pertanaman di pekarangan mutlak diperlukan, hal ini dapat dilakukan dengan integrasi tanaman dan ternak. Ternak yang dipelihara disesuaikan dengan kemampuan pemeliharaan.

Hartatik, W., dan Widowati, L.R. 2007. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Hong,

G.B. 1991. Syarat Tanah untuk Pemupukan Efektif. Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Puslittanah. Bogor.

Majid, A., 2009. Dasardasarilmutanah.blogspot. Mathius I.W, 2009. Kotoran Kambing dan Domba pun Bisa Bernilai Ekonomis. Balitnak Karama, A.S., A.R. Marzuki dan Imanwan. 1991. Penggunaan Pupuk Organik pada Tanaman Pangan. Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua. Puslittanah. Bogor. Knutson, R.S., R. S. Francis, J.L. Hall, B.H. More and J.F. Heisingers. 1977. Comp. Biochem. Physol. 58 : 151 Sajimin, Yono C.R., Nurhayati D.P., 2004. Potensi Kotoran Kelinci Sebagai Pupuk Organik dan Pemanfaatannya pada Tanaman Pakan dan Sayuran. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Suwandi, N. Sumarni, S. Kusumo dan Z. Abidin. 1985. Bercocok Tanam Kentang. Kentang. Badan Litbang. Balithort. Lembang. Hlm. 63-76. Tan, K.H.,1993. Enviromental Soil Science. Marcel Decker. Inc. New York.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

927

UNDIP PRESS

PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PROVITAS BAYAM CABUT PADA TANAH KERING MASAM DI LAHAN PEKARANGAN DI BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN Agus Supriyo1 dan Sumanto2 Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan 1)Balai

ABSTRAK Tanaman Bayam cabut biasanya dibudidayakan di lahan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Pemanfaatan pupuk organik (sumber sampah rumah tangga) mempunyai peran strategis untuk meningkatkan provitas dan menjaga keramahan lingkungan. Pengkajian dilaksanakan pada lahan pekarangan di Guntung Payung, Banjarbaru pada MK 2010. Pengkajian dirancang dengan RAK dengan empat ulangan pada petak ukuran 3 m x 4 m, setiap petak dibuat dua bedengan dengan ukuran 1,5 m x 4 m ditanami bibit Bayam cabut varietas Maestro, yang dipanen umur 25 hari. Lima perlakukan takaran pupuk organik yaitu (1) 8 t/ha pupuk organik; (2) (200 kg Urea + 200 kg SP36/ha + 150 kg KCl + 500 kg Kaptan) per ha; (3) (8 t Pupuk organik/ha + 200 kg Urea + 200 kg SP36/ha + 150 kg KCl + 500 kg Kaptan) per ha; (4) (4 t Ppk organik + 100 kg Urea + 100 kg SP36 + 75 kg KCl + 250 kg Kaptan/ha) ; (5) (4 t Ppk kandang + 100 kg Urea + 100 kg SP36 + 75 kg KCl + 250 kg Kaptan) per ha. Pupuk organik (sumber sampah rumah tangga) setelah diinkubasi dengan nilai nisbah C/N = 16,10. Pengamatan meliputi tinggi tanaman, berat kering tanaman, berat segar per petak. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis varian, beda antar perlakuan diuji dengan Uji Beda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian separuh pupuk organik (4 t pupuk kandang/ha) dikombinasikan dengan setengah rekomendasi pupuk anorganik (100 kg Urea + 100 kg SP 36 + 75 kg KCl + 500 kg kaptan) per ha meningkatkan pertumbuhan tanaman berat kering tanaman dan berat segar tanaman bayam dibandingkan dengan pemberian pupuk organik tunggal, maupun pupuk anorganik secara tunggal dengan berat kering sebesar 48,80 g/tanaman dan provitas setara 28,30 ton/ha atau meningkat 3,8 kali dan kombinasi pupuk organik (sampah rumah tangga) dengan 2,14 kali di atas kombinasi antara pupuk organik tunggal (sampah rumah tangga) dengan takaran rekomendasi pupuk anorganik. Kata kunci : pupuk organik, bayam, pekarangan

PENDAHULUAN Ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk anorganik menjadikan sarana dan prasarana produksi pertanian menjadi rawan terhadap permainan harga oleh produsen maupun kondisi eksternal lain. Sebagai contoh saat krisis moneter di Indonesia yang mulai terjadi pada tahun 1997, maka dengan rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, mengakibatkan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida harganya naik antara 200 – 400%, bahkan saat diperlukan di lapangan pupuk kimia menjadi langka, sehingga pemakaian pupuk menurun

928

yang mengakibatkan produktivitas pertanian menurun. Sebagian petani mencari pupuk alternatif dengan menggunakan pupuk organik dari limbah peternakan ayam, namun saat ini harganya cukup mahal. Memasuki era pasar bebas dengan diberlakukannya standar tertentu dalam setiap produk termasuk produk pertanian, memberlakukan standarisasi, ISO yang mengsyaratkan produksi ramah lingkungan, maka sektor pertanian memperoleh tantangan baru dan membutuhkan pemikiran yang serius bagi ahli pertanian dan ahli yang terkait agar tetap mampu bersaing di dunia internasional.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

(http://www.google.co.id) Guna menjawab tantangan tersebut orang mulai berpikir untuk mencari pupuk alternatif dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dari sisa-sisa buangan rumah tangga atau sampah rumah tangga. Sampah/limbah selalu memiliki konotasi negatif, karena menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan, merusak pemandangan, menyumbat saluran-saluran pembuangan yang dapat mengakibatkan timbulnya banjir, aroma menyengat yang tidak enak, menurunkan kualitas lingkungan, menyebabkan gangguan kesehatan. Sampah/limbah di DKI Jakarta saat ini mencapai 6.900 t/hari dan ± 70% berupa bahan organik (Liptan, 2004). Sampah/limbah organik rumah tangga khususnya dari sisa-sisa pertanian dapat didaur ulang melalui proses pengomposan dan dijadikan sumber pupuk organik (Indriani, 2003) untuk meningkatkan kesehatan dan kesuburan tanah. Penggunaan sampah/limbah sebagai pupuk organik pada kegiatan pertanian dapat menghasilkan produk pertanian yang ramah lingkungan. Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian mendukung kelestarian lingkungan sekaligus mewujudkan “Organic Farming” yang berdaya saing tinggi (Badan Litbang Pertanian, 2000). Penggunaan pupuk organik menjamin keberlanjutan produktivitas lahan dan efisiensi penggunaan komponen produksi (Dwiyanto dan Haryanto, 2003). Hasil penelitian Rohaeni et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik dari kotoran sapi dapat menekan komponen biaya produksi sebesar 50% dibandingkan pupuk organik kotoran ayam. Penggunaan pupuk organik dari kotoran sapi dibandingkan pupuk organik dari kotoran ayam tidak berpengaruh nyata terhadap hasil jagung pipilan kering (Sumanto dan Rohaeni, 2005). Demikian pula diharapkan pada penggunaan pupuk organik dari limbah/sampah rumah tangga. Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu yang cukup lama, antara 2 – 3 bulan, bahkan ada yang lebih dari 12 bulan tergantung dari bahannya. Berdasarkan hasil penelitian pengomposan dapat dipercepat dengan bantuan activator (Indriani, 2003).

Sumanto dan Dirgahayuningsih (2009) melaporkan bahwa pengomposan sampah rumah tangga dapat menghasilkan 59 – 65% pupuk organik. Penggunaan bahan organik yang ramah lingkungan dalam produksi pertanian agar diupayakan untuk tetap mempertahankan produktivitas lahan. Sumanto dan Dirgahayuningsih (2009) melaporkan bahwa produksi sampah rumah tangga di Kota Banjarbaru dan Martapura sebesar 1 - 2 kg/KK/hari, dengan komposisi 60% merupakan sampah organik dan 40% sampah anorganik. Penggunaan pupuk organik dari sampah/limbah organik sebanyak 15 – 25 t/ha dapat menghasilkan Sawi sebesar 44,8 – 54,2 t/ha (Liptan, 2004). Tujuan pengkajian ini untuk mempelajari pengaruh perbedaan pemberian pupuk organik (sumber dan takaran) dengan pupuk kimia (anorganik) terhadap pertumbuhan dan provitas Bayam cabut varietas Maestro pada tanah kering masam di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. METODE Pengkajian ini dilaksanakan di lahan pekarangan di Guntung Payung, Kota Banjabaru, pada akhir musim kemarau 2011. Rancangan acak kelompok digunakan dengan empat ulangan. Ada lima perlakuan yaitu (1). 8 t/ha pupuk organik; (2) . ( 200 kg Urea + 200 kg SP36/ha + 150 kg KCl + 500 kg Kaptan) per ha; (3). (8 t Pupuk organik/ha + 200 kg Urea + 200 kg SP36/ha + 150 kg KCl + 500 kg Kaptan) per ha; (4) (4 t Ppk organik +. 100 kg Urea + 100 kg SP36 + 75 kg KCl + 250 kg Kaptan/ha) ; (5) (4 t Ppk kandang +. 100 kg Urea + 100 kg SP36 + 75 kg KCl + 250 kg Kaptan)/ha. Pupuk organik (sampah rumah tangga) dengan menggunakan Decomposer Promi setelah diinkubasi dengan nilai nisbah C/N : 16,10 dengan takaran 8 t/ha. Takaran pupuk kimia yang digunakan setara dengan 200 kg Urea/ha + 200 kg SP-36/ha + 150 kg KCl/ha + 500 kg Kaptan/ha. Pengolahan tanah dilaksanakan secara sempurna. Biji Bayam cabut varietas Maestro ditabur secara merata pada petakan (3 x 4) m2, setiap petak dibagi menjadi dua bedengan dengan lebar 1,5 m x 4,0 m, tinggi bedengan 30 cm. Pemeliharaan meliputi penyiraman setiap hari sesuai kebutuhan, pengendalian OPT. Panen dilaksanakan umur 24 hari setelah tanam.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

929

UNDIP PRESS

Pengamatan meliputi tinggi tanaman, berat kering tanaman, berat segar per petak dan dikonversikan ke dalam hektar. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis varian, kemudian perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Beda Duncan (DMRT) pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik tanah kering masam di lahan pekarangan Desa Guntung Payung, Kota Banjarbaru tergolong masam dengan pH tanah 4,86, kandungan C-organik tanah tergolong rendah (< 2,0 %) sehingga perlu dibenahi dengan menggunakan bahan organik baik yang bersumber sampah rumah tangga yang telah di dekomposisi maupun menggunakan pupuk organik yang bersumber dari kotoran ternak. Status unsur hara N tergolong rendah 0,16 %, status hara P dan K berturut-turut tergolong rendah dan sangat rendah. Kation-kation basa tertukar (Ca-dd dan Mg-dd) tergolong sangat rendah (Tabel 1). Oleh karena itu bila lahan pekarangan ini dimanfaatkan untuk komoditas sayuran seperti Bayam cabut maka di samping pemberian bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, juga diperlukan tambahan status hara seperti pemupukan N, P dan K melalui pemupukan. Tabel 1. Karakteristik Kimia Tanah Kering Masam Di Guntung Payung, Kota Banjabaru Sifat fisik dan No Nilai Kriteria kimia 4,86 Masam 1 pH (H2O) 2 C (%) 1,29 Rendah 3 N tot (%) 0,16 Rendah 4 Nisbah C/N 8,06 5 P2O5 (HCl 25%) 2,31 Rendah (mg/100 g) 6 K2O (HCl 25%) 1,47 Sangat rendah (mg/100 g) 7 Ca (me/100 g) 0,28 Sangat rendah 8 Mg (me/100 g) 0,09 Sangat rendah Sebagai sumber pupuk organik yang digunakan adalah sampah rumah tangga yang telah didekomposisikan, dan kotoran ayam, hal ini dilakukan karena Desa Guntung Payung sebagai tempat pembuangan sampah dan

930

peternak ayam lokal cukup banyak. Karakteristik kimia kedua jenis bahan organik ini hampir mirip dengan karakteristik kimia tingkat pH bahan > 9, sehingga bersifat alkalis berarti penyediaan unsur hara di dalam tanah cukup baik, karena tingkat kelarutan unsur hara cukup baik. Dilihat dari nisbah C/N kedua jenis pupuk organik ini cukup baik C/N = 16,11 – 17,93 (Tabel 2), penyediaan unsur hara yang baik pada tingkat nisbah C/N antara 10 – 20. Namun dilihat dari status hara P dan K tergolong rendah sedangkan status hara N tergolong sedang. Oleh karena itu penambahan pupuk organik saja tidak cukup untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman Bayam sehingga perlu dilakukan kombinasi dengan pupuk kimia (anorganik) sebagai sumber hara baik N, P dan K maupun unsur hara lainnya. Kandungan Ca sangat rendah sehingga diperlukan penambahan Kaptan sebagai sumber unsur Ca yang diperlukan sebagai komponen struktural jaringan tanaman. Tabel 2. Karakteristik Kimia Pupuk Organik (sampah Kota) Dan Pupuk Organik (kotoran Ayam) Di Guntung Payung, Kota Banjabaru Pupuk Pupuk Organik Karakteristik Organik No (Sampah Kriteria Kimia (Kotoran Rumah Ayam) Tangga) 1 pH 9,13 9,12 Alkalis 2 C (%) 9,84 9,77 S.tinggi 3 N-tot (%) 0,61 0,54 Sedang 4 Nisbah C/N 16,11 17,93 Baik 5 P2O5 (Bray) 1,95 2,24 Rendah (mg/100 g) 6 K2O (HCl 25%) 3,05 2,90 S.rendah (mg/100 g) 7 Ca (me/100 g) 0,55 0,65 Rendah 8 Mg (me/100 g) 0,56 0,59 Rendah Ket : S. Tinggi = Sangat Tinggi, S. Rendah = Sangat Rendah

Kombinasi pupuk kandang separuh takaran (4 t/ha) dengan separuh takaran rekomendasi pupuk anorganik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman) secara nyata dibandingkan dengan pemberian pupuk organik (sampah rumah tangga) tunggal, kombinasi separuh takaran pupuk organik (sampah rumah tangga) dengan separuh takaran rekomendasi pupuk anorganik, dengan tinggi

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 3. Pemberian Pupuk Organik Dan Pupuk Kimia Terhadap Tinggi Tanaman, Tingkat Penutupan Tanaman Bayam Cabut Di Guntung Payung, Banjarbaru, Kal-Sel Tahun 2011 Tinggi tanaman (cm) Penutupan tanaman No. Perlakuan saat panen 24 Hst. umur 16 hst (%) 1. 8 t Pupuk organik/ha 22,70 a 82,5 2. (200 Urea + 200 SP36 + 150 KCl + 500 21,24 a 70 Kaptan) kg/ha 3. 8 t PO/ha + (200 Urea + 200 SP36 + 150 KCl 25,89 a 80 + 500 Kaptan) kg/ha 4. 4 t PO/ha +(100 Urea + 100 SP36 + 75 KCl + 25,19 a 80 250 Kaptan) kg/ha 5. 4 t PK/ha + (100 Urea+ 100 SP36 + 75 KCl + 44,85 b 100 250 Kaptan) kg/ha Nilai tengah (Means) 28,74 KK (%) 18,55 Angka sekolom diikuti huruf sama dibelakangnya berbeda berdasarkan UBD,05 . Ket : PK – pupuk kandang. PO - Pupuk organik (bahan sampah rumah tangga). Rekomendasi (200 - 200 - 150 - 1000 kapur)t/ha – pupuk organik 8 t/ha

tanaman rerata 44,70 cm (Tabel 3). Peningkatan tinggi tanaman umur 24 hari sebesar 97%, di atas penggunaan pupuk organik (sampah rumah tangga), 110% di atas takaran rekomendasi, 73,20% di atas kombinasi antara pupuk organik dan takaran rekomendasi pupuk anorganik, 78,40% di atas kombinasi antara separuh pupuk organik dengan separuh takaran rekomendasi (Tabel 3). Hal ini diduga bahwa kandungan unsur hara dan KPK yang lebih tinggi pada pupuk organik (kotoran ayam) dikombinasikan dengan ketersediaan hara dari separuh takaran

rekomendasi pupuk anorganik sehingga penyediaan unsur hara lebih baik, karena dengan KPK yang lebih tinggi daya ikat antara anionanion yang terlarut menjadi lebih besar di lingkungan rhizosfer. Pemberian pupuk organik (4 t pupuk kandang/ha) dikombinasikan dengan setengah takaran pupuk kimia ((100 Urea+ 100 SP36 + 75 KCl + 250 Kaptan) kg/ha menunjukkan provitas Bayam cabut yang paling unggul dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik takaran rekomendasi maupun pemberian pupuk organik

Tabel 4. Pengaruh Pupuk Organik Dan Pupuk Kimia Terhadap Berat Kering Tanaman Dan Produktivitas Bayam Cabut Di Guntung Payung, Banjarbaru, Kal-Sel 2011 Provitas Bayam segar Berat kering No. Perlakuan Ubinan tanaman (g) t/ha 1 m x 1 m (kg) 1. 8 t Pupuk organik/ha 0,59 a* 5,90 a* 39,46a* 2. (200 Urea + 200 SP36 + 150 KCl + 500 0,65 a Kaptan) kg/ha 6,50 a 34,13a 3. 8 t PO/ha + (200 Urea + 200 SP36 + 150 KCl + 0,90 a 9,00 a 38,79a 500 Kaptan) kg/ha 4. 4 t PO/ha + (100 Urea + 100 SP36 + 75 KCl + 1,06 a 10,60a 40,41a 250 Kaptan) kg/ha 5. 4 t PK/ha + (100 Urea + 100 SP36 + 75 KCl + 2,83 b 28,30 b 48,80 b 250 Kaptan) kg/ha *)Angka sekolom diikuti huruf sama dibelakangnya berbeda berdasarkan UBD,05 . Ket : PK – pupuk kandang. PO - Pupuk organik (bahan sampah rumah tangga). Rekomendasi (200 - 200 - 150 - 1000 kapur)t/ha – pupuk organik 8 t/ha

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

931

UNDIP PRESS

tunggal 8 t pupuk organik/ha (sampah rumah tangga) maupun separuh rekomendasi pemupukan anorganik dengan separuh 4 t takaran pupuk organik/ha (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa keseimbangan hara diperlukan di samping ketersediaan unsur hara N, P, dan K perbaikan sifat fisik dan biologi tanah melalui penambahan 4 t pupuk kandang/ha. Ini dapat dijelaskan bahwa dengan pemberian 4 t pupuk kandang/ha dapat meningkatkan pH tanah, kapasitas pengikat kation dan anion juga meningkat sehinga penyerapan unsur hara lebih baik. Hal ini didukung oleh akumulasi berat kering tanaman juga lebih tinggi yaitu 44,69 g (Tabel 4). Pemberian pupuk organik tunggal (8 t sampah rumah tangga/ha) tidak cukup untuk menyediakan hara bagi pertumbuhan tanaman, karena komposisi unsur hara N, P, dan K pada pupuk organik (sampah rumah tangga) tergolong rendah (Tabel 2), sehingga untuk meningkatkan provitas tanaman Bayam Cabut perlu diberikan tambahan unsur hara agar berimbang melalui pemupukan anorganik dengan setengah takaran rekomendasi (100 Urea + 100 SP36 + 75 KCl + 250 Kaptan) kg/ha, KESIMPULAN Pemberian pupuk organik (4 t kotoran ayam/ha) dikombinasikan dengan pupuk anorganik setengah takaran rekomendasi (100 Urea + 100 SP36 + 75 KCl + 250 Kaptan) kg/ha paling unggul memperoleh provitas 28 t Bayam segar /ha meningkat 3,9 kali di atas pupuk organik tunggal (sampah rumah tangga), 3,35 kali di atas takaran rekomendasi pupuk anorganik, 2,14 kali di atas kombinasi antara takaran PO + takaran rekomendasi pupuk anorganik , 1,67 kali di atas kombinasi antara setengah takaran PO dan separuh takaran rekomendasi pupuk anorganik dan memperoleh berat kering sebesar 48,8 g/tanaman meningkat 23,7) % di atas takaran pupuk organik tunggal. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2000. Integrasi Sapi di Lahan Pertanian (Crop Livestock Production System). Badan Litbang Pertanian. Deptan. Jakarta. Bahar, F.A. 2002. Pedoman Umum Kegiatan

932

Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu. Departemen Pertanian. Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. Jakarta, 24 hal. Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 2003. Integrasi Ternak dengan Usaha Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di BPTP Kalimantan Selatan. Tanggal 8-9 Desember 2003 di Banjarbaru. Hasanuddin, A. 2003. Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Departemen Pertanian. Puslibangtan. Bogor. 32 hal. http://www.google.co.id Jul 5th, 2008 Pemanfaatn Limbah Ternak untuk Pembuatan Pupuk Organik Cair (Pemanfaatan limbah untuk meningkatkan pendapatan petani). Liptan. 2004. Pupuk Organik Sampah Kota Untuk Tanaman Sayuran. Lembar Informasi Pertanian. BPTP. Jakarta. Indriani. 2003. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Bogor, 62 hal. Rohaeni, ES., N. Amali, A. Darmawan, Sumanto, S. Nurawaliah dan Pagiyanto. 2004. Pemanfaatan Limbah Jagung untuk Pakan Lengkap dalam Sistem Usahatani Ternak Sapi dan Jagung di Lahan Kering Kalimantan Selatan. Laporan Akhir Th. 2004. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. BPTP Kal-Sel. Banjarbaru. Sally. 1999. Kompos Sebagai Sumber Bahan Organik. Liptan. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian. Samarinda. Sumanto dan E.S. Rohaeni. 2005. Pengaruh Campuran Pupuk Organik dari Kotoran Sapi dengan Kotoran Ayam terhadap Hasil Jagung Mendukung Integrasi Jagung – Sapi di Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering. Badan Litbang Pertanian. BPTP Kal-Sel. Tgl 6 Desember 2005. Banjarbaru, 171 – 181. Sumanto dan R. Dirgahayuningsih. 2009. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Sayuran

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Di Lahan Kering.. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering. Badan Litbang Pertanian. BPTP Kal-Sel. Tgl 6 Desember 2009. Banjarbaru, 171 – 181.

Thamrin, T. 2002. Teknik Pembuatan Kompos. Liptan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

933

UNDIP PRESS

PELUANG PEMANFAATAN PEKARANGAN MELALUI BUDIDAYA LELE DI KOLAM TERPAL DAN SAYURAN DI KEBUN PERCOBAAN SIDONDO I Ketut Suwitra, Yogi P Rahardjo dan Soeharsono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Jl Lasoso 62 Biromaru Palu Sulawesi Tengah [email protected]

ABSTRAK Lahan pekarangan kantor pemerintahan umumnya cukup luas dengan air cenderung tersedia. Selama ini pemanfaatan pekarangan di kantor pemerintahan hanya menjadi bagian tanggung jawab tenaga kebersihan dan belum dimanfaatkan secara ekonomi bagi kesejahteraan pegawai didalamnya. Pengaplikasian pemanfaatan pekarangan di Kebun Percobaan Sidondo sebelumnya juga menjadi salah satu bagian dari “pameran” teknologi/kegiatan seperti perbanyakan benih (UPBS) dan sekolah lapang untuk petani (SLPTT). Proses budidaya lele di kolam terpal yang dilakukan selama 90 hari dan pemanenan hasil yang cukup menguntungkan mendorong menjadikan peluang pemanfaatannya berkelanjutan. Kegiatan dilakukan di KP Sidondo pada Juli – September 2012. Kegiatan terdiri atas pembuatan kebun bibit, pembuatan kolam lele menggunakan terpal, dan penanaman sayuran di pekarangan. Hasil kegiatan diantaranya panen lele sebanyak 200 ekor/kolam dengan keuntungan sebesar Rp. 315.000,-/kolam dengan nilai R/C sebesar 1,4. Apabila direncanakan setiap dua minggu dapat dipanen maka dibutuhkan sebanyak delapan kolam dengan biaya investasi sebesar Rp.6.480.000,- dengan pengembalian investasi setelah 18 bulan. Beberapa teknologi spesifik lokasi pemanfaatan pekarangan yang dapat diterapkan di Sulawesi Tengah disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya antara lain cocopot, penggunaan arang sekam sebagai media tanam, dan budidaya lele dengan terpal. Kata kunci : sayuran, kolam, budidaya lele, pekarangan

PENDAHULUAN Lahan pekarangan memiliki fungsi multiguna, karena dari lahan yang relatif sempit dapat menghasilkan bahan pangan seperti umbiumbian, sayuran, buah-buahan; bahan tanaman rempah dan obat, bahan kerajinan tangan; serta bahan pangan hewani yang berasal dari unggas, ternak kecil maupun ikan. Pekarangan mudah diusahakan secara sambilan, dan sering disebut lumbung hidup, warung hidup, apotik hidup, dan tabungan hidup (Sajogyo et al., 1983). Berdasarkan pengamatan, perhatian petani terhadap pemanfaatan lahan pekarangan relatif masih terbatas, sehingga pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum banyak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Padahal di Pulau Jawa untuk mendapatkan lahan produktif menjadi sangat terbatas dan butuh investasi lebih besar apabila

934

dilakukan di luar Pulau Jawa. Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan, bahwa pada 2007 Badan Pusat Statistik merilis luas lahan baku pertanian di Jawa saat itu 4,1 juta hektar. Tidak hanya sawah beririgasi teknis, tetapi juga nonteknis dan lahan kering. Tiga tahun kemudian, luas lahan pertanian di Pulau Jawa hanya tinggal 3,5 juta hektar. Luas lahan itu berdasarkan audit terakhir yang dilakukan Kementerian Pertanian menggunakan citra satelit dengan resolusi tertinggi sehingga lebih akurat. Hal ini berarti luas lahan pertanian yang beralih fungsi ke non-pertanian hanya di wilayah Pulau Jawa dan mencapai 600.000 hektar, atau rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya (Kompas, 24 Mei 2011). Kasus kelangkaan produksi cabai sekitar tahun 1999 akibat hujan yang cukup tinggi menjadi pelajaran bagi pemerintah bahwa proses

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

produksi cabai dapat dilakukan secara mandiri dengan memanfaatkan pekarangan rumah. Oleh karena itu Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan mendorong pemanfaatan pekarangan di perdesaan dan perkotaan. Badan Litbang Pertanian diminta untuk mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pemanfaatan pekarangan. Salah satu program Badan Litbang Pertanian adalah pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah telah melakukan kegiatan MKRPL di tahun 2012 di delapan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk lingkungan kantor BPTP Sulawesi Tengah juga dilakukan pemanfaatan pekarangan di kantor utama dan Kebun Percobaan (KP) Sidondo. Kegiatan KRPL di KP Sidondo juga dimaksudkan sebagai show window teknologi/kegiatan bagi stakeholder. Teknologi spesifik lokasi yang dikembangkan pada KRPL KP Sidondo adalah penggunaan cocopot (pot menggunakan sabut kelapa), media tanam arang sekam dan budidaya lele menggunakan terpal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran teknis dan ekonomis pengembangan pemanfaatan pekarangan di KP Sidondo dan peluang pengembangannya sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan. METODE Waktu dan Lokasi Kegiatan pengembangan pemanfaatan pekarangan atau lebih dikenal dengan Kawasan Rumah Pangan Lestari di KP Sidondo berlokasi di KP Sidondo di Desa Sidondo 3, Kabupaten Sigi pada Juli sampai dengan September 2012. Pendekatan penelitian Kegiatan yang dilaksanakan terdiri atas penanaman sayuran menggunakan media tanah, pupuk kandang dan arang sekam. Pembibitan sayuran dilakukan di samping teras kantor dan setelah cukup besar dipindahkan ke polibag dan cocopot. Budidaya lele di kolam terpal dilakukan di lahan berpasir yang berada dekat dengan lokasi pembudidayaan sayuran. Panen lele dilakukan setelah 90 hari dan kemudian dihitung pengeluaran selama proses pembudidayaan dan

penerimaan setelah lele dijual untuk melihat keuntungan ekonomis usaha tersebut. Data yang dikumpulkan pada saat pelaksanaan kegiatan terdiri atas data teknis teknologi dan kendala penerapan. Data input output usahatani lele dalam kolam terpal sehingga dapat dihitung kelayakan ekonominya. Kelayakan usahatani lele dihitung berdasarkan perbandingan rasio penerimaan dan biaya (Darsono, 2008). Menurut Rahmanto et al. (1998) dalam Sutami et al., (2006), secara sederhana rumus R/C rasio :

kriteria hasil R/C ratio : Jika R/C ratio > 1 usaha menguntungkan dan layak Jika R/C ratio < 1 usaha tidak menguntungkan dan tidak layak Jika R/C ratio = 1 usaha impas (tidak untung maupun merugi) HASIL DAN PEMBAHASAN Teknologi Spesifik Lokasi pada Kegiatan Pemanfaatan Pekarangan Kebun Percobaan Sidondo meperagakan model pemanfaatan lahan pekarangan dengan berbagai ukuran yaitu lahan pekarangan sempit, sedang, dan luas dengan beberapa rekomendasi teknologi anjuran seperti pemanfaatan pekarangan sempit (2 m x 5 m) dengan menggunakan berbagai tipe rak gantung, media tanam cocopot dengan komoditas sayuran. Luas lahan pekarangan sedang (5 m x 10 m) dengan teknologi anjuran media tanam cocopot, rak susun, memanfaatkan karung yang diisi tanah sebagai media tanam. Lahan pekarangan luas (10 m x 10 m) dengan teknologi anjuran pembuatan bedengan dan pembuatan kolam ikan dengan menggunakan terpal. Komoditas anjuran adalah sayuran dan tanaman pangan lainnya seperti ubi jalar, ubi kayu, dan lain-lain. 1. Cocopot Cocopot adalah penggunaan sabut kelapa sebagai pot. Tujuannya sabut digunakan untuk menyimpan cadangan air setelah disiram sehingga tidak langsung hilang karena cuaca

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

935

UNDIP PRESS

panas. Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5 - 6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium (Rindengan et al., 1995). Penggunaan sabut kelapa juga dapat meningkatkan kerapihan bedengan sehingga lebih bagus dilihat. Cocopot sendiri terdiri atas dua macam yaitu cocopot yang digantung di tembok dan di dalam tanah. Pada Gambar 1 disajikan tiga jenis pemanfaatan sabut kelapa di KP. Sidondo.

cendrung tidak mudah menjadi padat sehingga pertumbuhan akar tanaman dapat lebih cepat dan optimal. Pemanfaatan media tanam berupa arang sekam juga memberikan hal yang sama terhadap fisik tanah yang dicampurkan. Hasil pembakaran sekam padi menunjukkan bahwa kandungan silika (SiO2) mencapai 80% - 90%.( Wanadri et al., 1999). Penelitian dari Jepang, Korea, dan Cina melaporkan bahwa penambahan silika ke dalam tanah sawah dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi sekaligus mampu memperbaiki sifat tanah (Komdorfer dan Lepsch, 2001; Maa and Takahashi, 2002, Lee et al., 2004). Penambahan silika juga dapat mengurangi kerusakan tanaman akibat stress iklim seperti angin kencang dan suhu tinggi, sebagai akibat

Gambar 1. Tiga Jenis Pemanfaatan Sabut Kelapa Cocopot yang digantung hanya mempunyai jumlah tanah yang terbatas sehingga pemanfaatannya hanya diperuntukan pada tanaman sawi atau seledri yang tidak membutuhkan banyak tanah. Hanya saja penyiraman perlu dilakukan setiap harinya dengan jumlah air yang tidak terlalu banyak. Cocopot yang ditanam di tanah diperuntukan tanaman cabai, tomat, dan terong. Sedangkan sabut kelapa yang ditanam di bedengan biasanya diperuntukan tanaman kangkung dan bayam. 2. Media Tanam Arang Sekam Permasalahan lainnya dalam pemanfaatan pekarangan adalah ketersediaan bahan organik di tanah yang kurang. Biasanya petani mencampurkan pupuk kandang yang telah matang dengan tanah agar tanah lebih gembur. Tanah yang dicampurkan dengan bahan organik

936

dari meningkatnya ketebalan dinding batang dan ukuran batang tanaman padi Pembuatan arang sekam dapat dilakukan dengan menggunakan alat pembakar sekam. Alat ini merupakan hasil modifikasi peralatan pembakar sekam yang dikeluarkan oleh Balai Besar Pascapanen. Peralatan alat pembakar sekam yang telah dimodifikasi disajikan pada Gambar 2. Komoditas yang memberikan hasil baik dalam pemberian media arang sekam adalah bawang merah yang ditanam menggunakan karung. Pertumbuhan bawang tersebut rata-rata lebih besar dari bawang yang ditanam di lahan tanpa campuran arang sekam dan pupuk kandang. 3. Budidaya Lele dalam Kolam Terpal Pengunaan terpal sebagai pengganti tembok dinilai lebih fleksibel dan efisien. Kolam terpal

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Gambar 2. Alat Pembakar Arang Sekam Dan Tampilan Tanaman Bawang dapat dibangun dimana saja, mudah dibongkarpasang dan tidak membutuhkan banyak biaya. Cukup dengan membeli terpal, bambu atau kayu sebagai penyangganya, dan perlengkapan

Hasil panen lele sebanyak 57,5 kg/kolam dengan setiap kilogram terdapat 3 - 4 ekor lele. Hasil panen ini menginformasikan bahwa lele yang masih hidup sebesar 94,88 % (Gambar 3).

Gambar 3. Kolam Terpal Ikan Lele lainnya. Berbeda dengan pembuatan kolam permanen yang boleh dikatakan membutuhkan biaya lebih, apalagi saat ini harga semen sebagai bahan baku utama terus melonjak tajam. Meski hanya berbahan terpal (plastik) tapi kekuatan kolam terpal sudah teruji sehingga mampu bertahan 1 – 2 tahun, tergantung kualitas bahan dan perawatan kolam sendiri. Hal yang merusak kolam biasanya karena terpapar matahari, sehingga terpal menjadi rapuh, jika kolam tergenang air maka bisa bertahan lama. Beberapa hal penting dalam proses budidaya lele diantaranya lokasi kolam berada di sekitar tempat yang agak teduh, terpal harus dicuci sehingga lem yang dapat membunuh lele dapat hilang, kolam dikeringkan selama satu hari kemudian masukkan air dengan ketinggian 30 cm (ditambahkan secara bertahap selama pemeliharaan hingga 80 cm), sebelum benih dilepas air dikolam harus dibiarkan selama satu minggu. Kolam yang digunakan berukuran 2 x 3 m dengan jumlah benih lele yang dimasukan ke dalam kolam sebanyak 200 ekor (minimal tebar).

Kelayakan Ekonomis Usaha Budidaya Lele Selain kesesuaian teknis, usaha pemanfaatan pekarangan harus secara ekonomis menguntungkan. Salah satu kriteria suatu usaha layak untuk diusahakan adalah dengan menghitung R/C nya (Tabel 1). Apabila direncanakan setiap dua minggu dapat dipanen maka dibutuhkan sebanyak delapan kolam dengan biaya investasi sebesar 8 x Rp. 810.000,- ( biaya kolam + biaya lele dan pakan) = Rp.6.480.000,-. Pengembalian investasi hanya dihitung dari pembuatan kolam terpal sebesar Rp. 1.424.000,- dan akan kembali setelah 18 bulan atau 6 kali panen. Peluang Pemanfatan Kolam Terpal. Strategi yang ditempuh dalam pemanfaatan lahan pekarangan adalah dengan memanfaatkan cocopot sebagai media tanam yang mampu menghemat penggunaan air (frekuensi penyiraman 3 hari sekali). Bahan ini sangat tersedia di lokasi karena Kebun Percobaan memiliki tanaman kelapa seluas 6,5 ha. Dengan

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

937

UNDIP PRESS

Tabel 1. Kelayakan Ekonomis Usaha Budidaya Lele Di KP Sidondo Pada Kolam Seluas 2 X 3 M Sebanyak 3 Kolam Budidaya Lele Uraian Volume Satuan Nilai Biaya tetap - Terpal ukuran 3 x4 m 3 108.000 324.000 - Biaya pemasangan 3 70.000 210.000 Total biaya tetap 534.000 - Biaya variabel - Benih lele 600 1.000 600.000 - Pakan untuk 3 bulan 144 9.000 1.296.000 Jumlah bahan 1.896.000 Tenaga Kerja - Pemberian pakan (HOK) 1.8 50.000 90.000 - Penggantian air (HOK) 0.2 50.000 10.000 - Penjagaan (borongan) 3 80.000 240.000 - Panen (HOK) 1 50.000 50.000 Jumlah tenaga kerja 390.000 Biaya Penyusutan Investasi (6 x panen) 1 89.000 Total Biaya 2.375.000 Produksi Lele (kg) 151 3.020.000 Lele konsumsi Pegawai (kg) 20 300.000 Total Penerimaan 3.320.000 Keuntungan 945.000 R/C 1,40 Tabel 2. Analisis SWOT Pemanfaatan Lahan Pekarangan Kantor Strategi Pemanfaatan Lahan Kekuatan (S) Kelemahan (W) Pekarangan Kantor 1. Tersedianya berbagai komoditi 1. Kurangnya tenaga kerja unggulan tanaman sayuran 2. Tekstur tanah berpasir 2. Tersedianya dukungan teknologi 3. Media tanam terbatas budidaya 4. Serangan hama dan penyakit 3. Tersedianya sabut kelapa (cocopot) Peluang (O) S-O W-O 1. Tingginya permintaan sayur 1. Meningkatkan kapasitas KP 1. Menggunakan media tanam mayur dengan pemanfaatan lahan yang spesifik lokasi 2. Tingginya permintaan ikan lele pekarangan dengan menanami (cocopot) yang mampu 3. Lahan pekarangan yang luas berbagai komoditi sayur mayur menghemat air dan bahan pangan lainnya 2. Menggunakan kolam terpal 2. Meningkatkan intensitas lahan dengan budidaya ikan lele di kolam terpal Ancaman (T) S-T W-T 1. Kekeringan Menggunakan benih sayur mayur Memanfaatkan multiple efek 2. Bencana Alam berkualitas dan spesifik lokasi, rotasi dari kolam terpal 3. Kehilangan hasil akibat pencuri tanaman

938

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

melihat kondisi tanah yang bertekstur pasir, pemanfaatan kolam dengan terpal dipandang sesuai untuk dilaksanakan. Air kolam dapat dimanfaatkan untuk penyiraman tanaman (multiple efek) serta terpal mampu menampung air sehingga tidak terjadi porositas. Dari segi pertumbuhan ikan lele, kolam ini mampu mempertahankan tingkat kelangsungan hidup (SR) sebanyak 94,88% yang dipelihara selama tiga bulan. Oleh sebab itu, strategi teknologi budidaya ikan lele di kolam terpal sangat tepat untuk dilaksanakan sebagai teknologi yang spesifik lokasi yang dipadukan dengan kegiatan penanaman sayur mayur atau pangan lainnya di lahan pekarangan. Untuk lebih jelasnya strategistrategi yang dapat dilaksanakan digambarkan dalam analisis SWOT (Tabel 2). KESIMPULAN

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya. http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/M MA108/document/Handout_Buku_II/Han dout_II.pdf [akses Oktober 2012] Kompas, 2011. Konversi Lahan Makin Tidak Terkendali. http://regional.kompas.com [Otober 2012] Komdorfer, G dan Lepsch, I. 2001. Effect Of Slicon On Plant Growth And Crop Yield. In Silicon and Agriculture. Ed. Datonoff L, Komdorfer G, Synder. New York: Elsevier Science. Hal 133-147. Lee, YB., Hoon, C., Hawng, JY., Lee, IB and Kim, JP. 2004. Enhancement Of Phosphate Desorption By Silicate Insoils With Salt Accumulation. Soil Sci. Plant Nutri. Hal 493-499.

1. Beberapa teknologi spesifik lokasi pemanfaatan pekarangan yang dapat diterapkan pada lahan kering di Sulawesi Tengah yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya adalah cocopot, penggunaan arang sekam sebagai media tanam dan budidaya lele dengan terpal. 2. Kelayakan ekonomi pengembangan lele dalam terpal sebanyak 200 ekor/kolam adalah layak dengan keuntungan sebesar Rp. 315.000,-/kolam dan nilai R/C sebesar 1,4. Kebutuhan investasi sebesar Rp.6.480.000,untuk pengembangan delapan kolam dengan pengembalian investasi setelah 18 bulan. 3. Hasil analisis SWOT pemanfaatan lahan kantor untuk pengembangan sayuran dengan menggunakan cocopot dan media tanam arang cocok untuk semua strategi dan pengembangan lele dalam terpal tidak dilakukan bila ancaman ketersediaan air/kering dan pencurian cukup tinggi.

Maa, JF dan Takahashi, E. 2002. Soil, Fertilizer, And Plant Silicon Research In Japan. Amsterdam. 281 hal.

DAFTAR PUSTAKA

Wanadri, A., Johnner P.S, Chrismono H.1999. Penerapan Spouted-Bed Dalam Pembuatan Natrium Silikat Dari Abu Sekam Padi: Hidrodinamika, Perpindahan Massa, dan Perolehan Silika, Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia IT.

Darsono. 2008. Metodologi Riset Agribisnis Buku II. Metode Analisis Data. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Program Pascasarjana Universitas

Rindengan, B., A. Lay., H. Novarianto., H. Kembuan dan Z. Mahmud. 1995. Karakterisasi Daging Buah Kelapa Hibrida Untuk Bahan Baku Industri Makanan. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Proyek Pembinaan Kembagaan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Litbang 49p. Sajogyo. et al. (1983) Menuju Gizi Baik Yang Merata di Pedesaan dan di Perkotaan. Bogor: Institut Pertanian. Sutami, Ni Pt. Dian Adi A. Elisabeth, Ni Wayan Trisnawati. 2006. Analisis Finansial Usaha Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Cara Fermentasi. Prosiding Seminar Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian Sebagai Penggerak Ketahanan Pangan Nasional. NTB.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

939

UNDIP PRESS

OPTIMALISASI LAHAN PEKARANGAN BERBASIS PERIKANAN DAN TANAMAN UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN KERAGAMAN HAYATI DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN Sri Karyaningsih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah e-mail: [email protected]

ABSTRAK Di pedesaan potensi lahan pekarangan pada umumnya cukup luas dan belum dimanfaatkan secara optimal. Lahan pekarangan dapat diusahakan untuk tanaman, ternak dan ikan. Tanaman budidaya yang berada dipekarangan pada umumnya merupakan tanaman yang keberadaannya sangat dibutuhkan penduduk. Beraneka ragamnya tanaman pekarangan sehingga terbentuklah formasi tanaman budidaya yang dapat hidup dan terus dimanfaatkan serta dilestarikan. Keberadaan tanaman pekarangan mempunyai beberapa fungsi antara lain fungsi hidrologi, pecagaran sumber gen atau plasma nutfah, efek iklim mikro, fungsi estetika, sosial dan fungsi produksi. Untuk menambah pendapatan keluarga sebagian besar masyarakat melakukan usaha budidaya lahan pekarangan dengan menanam ragam tanaman dan usaha perikanan (ternak ikan). Studi kasus dilaksanakan di Desa pondok Kecamatan Grogol, Kab. Sukoharjo. Jenis tanaman yang diusahakan untuk optimalisasi lahan adalah tanaman sayuran, buah-buahan dan hortikultura yang dipadukan dengan kolam ikan. Selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga usaha tersebut untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Indeks keanekaragaman jenis tanaman mencapai 2,58 termasuk kategori sedang, ekosistem pekarangan cukup seimbang dengan produktivitas cukup tinggi dan tekanan ekologis sedang serta memberikan petunjuk komunitas tumbuhan mampu hidup dan beradaptasi. Peningkatan jumlah populasi tanaman memberikan peningkatan indeks keanekaragaman hayati dan berkontribusi dalam menjaga pelestarian lingkungan Kata kunci: Potensi, lahan pekarangan, keragaman hayati, pelestarian lingkungan

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, ditandai dengan beragamnya jenis dan plasma nutfah (genetik) dalam ekosistem. Keanekaragaman hayati yang tinggi tersebut merupakan kekayaan alam yang dapat memberikan manfaat serba buna dan strategis sebagai modal dasar pembangunan di masa kini maupun yang akan datang. Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat menyebabkan semakin besar kebutuhan dasar sehingga sering terjadi perubahan fungsi lahan. Disatu sisi lahan pekarangan yang ada belum dimanfaatkan secara optimal untuk memproduksi bahan pangan dan obat-obatan. Pekarangan adalah lahan terbuka yang terdapat di sekitar rumah tinggal. Pada umumnya

940

di perdesaan lahan pekarangan masih cukup luas dan belum dimanfaatkan secara optimal. Lahan pekarangan jika dipelihara dengan baik selain dapat sebagai usaha ekonomi produktif juga dapat memberikan lingkungan yang menarik, nyaman dan sehat serta menyenangkan. Dengan menanam tanaman produktif di pekarangan akan memberi keuntungan ganda, salah satunya adalah kepuasan jasmani dan rohani (Anonim, 2009). Tujuan utama optimalisasi lahan pekarangan adalah: (1) Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga secara lestari; (2) Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos; (3) Mengembangkan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; dan (4) Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga. Tanaman budidaya yang berada di pekarangan pada umumnya merupakan tanaman yang keberadanya sangat dibutuhkan oleh penduduk baik sebagai bahan bangunan maupun sebagai tabungan serta pemenuh kebutuhan keluarga. Pertambahan penduduk semakin meningkatkan kebutuhan pangan maupun pemukiman. Setiap individu berusaha menggunakan lahan pekarangan untuk dijadikan sebagai pendukung pemenuhan kebutuhan, sehingga terbentuk formasi tanaman budidaya yang dapat hidup dan terus dimanfaatkan serta dilestarikan. Pengoptimalan penggunaan lahan pekarangan dengan beraneka ragam jenis tanaman secara ekologis dapat menggambarkan tingkat keanekaragaman dan kerapatan tanaman yang ada. Berdasarkan penilaian kuantitatif melalui indek keanekaragaman dan dominansi dihasilkan suatu gambaran tentang tingkat keanekaragaman jenis tanaman tersebut dan dapat memberi petunjuk kestabilan ekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan informasi kestabilan ekosistem serta tingkat produktivitas lahan pekarangan pada optimalisi lahan pekarangan yang berbasis perikanan dan tanam melalui indikator indeks keragaman jenis tanaman. Tujuan penulisan ini adalah menyampaikan hasil pengamatan dan gambaran inisiasi kelompok wanita tani pada usaha ekonomi produktif melalui pengoptimalan lahan pekarangan yang berbasis perikanan dan tanaman di desa Pondok, Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo. METODE Penelitian ini merupakan studi kasus pada usaha ekonomi produktif melaui usaha pengoptimalan lahan pekaranagan yang berbasis ternak dan tanaman. Penelitian dilaksanakan di Desa Pondok Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo pada bulan Juli-Oktober 2012. Lokasi ditentukan secara stratified purposive sampling. Data yang dikumpulkan meliputi seluruh tanaman pekarangan yang berada di desa tersebut. Sampel penelitian meliputi sebagian tanaman pekarangan yang diambil dari dukuh-

dukuh yang dapat mewakili desa Pondok diambil lima titik sampel secara random. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Analisa data dilakukan secara diskriptif dan tabulasi. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :

dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-n N = Total jumlah individu Untuk menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson (1949) dalam Soerianegara dan Indrawan (2005) :

dimana : C : Indeks dominasi ni : Nilai penting masing-masing jenis ke-n N : Total nilai penting dari seluruh jenis HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Sumber daya alam dan kondisi iklim Di Kabupaten Sukoharjo dalam satu tahun memiliki dua musim dengan batasan yang jelas yaitu musim penghujan dan kemarau. Dalam satu hari hujan berkisar antara 95 – 145 dengan hari hujan per bulan antara 1-25 hari. Curah hujan bulanan antara 0 - 315 mm. Lahan pekarangan merupakan sumber daya fisik yang cupuk potensial untuk pengembangan tanaman pangan, sayuran, ternak dan ikan. Menurut penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Grogol terdiri dari lahan pekarangan, tegalan, sawah, pemukiman dan penggunaan lainnya. Luas lahan pekarangan di Desa Pondok sekitar 205 ha (Tabel 1) merupakan lahan pekarangan terluas kedua di wilayah Kecamatan Grogol setelah desa Telukan. Curah hujan yang cukup sepanjang tahun merupakan modal utama dalam melakukan kegiatan tanam. Ketersediaan air merupakan faktor utama untuk pertumbuhan tanaman.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

941

UNDIP PRESS

Tabel 1. Luas Lahan Pekarangan Dan Jeis Penggunaannya Di Desa Pondok Kec. Nguter Tahun 2012 Jenis Penggunaan Desa Pekarangan Tegalan Sawah lainnya Telukan 221 12 69 23 Pondok 205 8 75 4 Langenharjo 152 10 25 8 Cemani 147 0 8 171 Parangjoro 139 7 321 20 Desa lainnya 864 36 509 307 Jumlah 1.728 73 1.007 533 Sumber: BPS, 2012

Desa Pondok Kecamatan Grogol terletak di bagian utara Kabupaten Sukoharjo yang sebagian wilayahnya dilalui sungai Bengawan Solo dan anak sungai yang telah mati. Sebagian masyarakat memanfaatkan aliran sungai mati untuk usaha keramba ikan. Usaha ini merupakan awal usaha pemanfaatan lahan sebagai usaha ekonomi produktif yang selanjutnya dikembangkan pada usaha pengoptimalan lahan pekarangan. Usaha pengoptimalan lahan pekarangan dikelola oleh ibu-ibu rumah tangga yang diwadahi kelompok. Selanjutnya kelompok usaha tersebut dinamakan kelompok wanita tani “Mina Lestari”. Kelompok tersebut mengembangkan usahanya pada lahan pekarangan dengan berbasis perikanan (ternak ikan) yang dipadukan dengan budidaya tanaman sayuran, buah-buahan dan hortikultura. Saliem (2011) menyampaikan bahwa lahan pekarangan di perdesaan berdasarkan kategori luasnya dibedakan menjadi 4 strata yaitu: 1. Pekarangan sangat sempit (tanpa pekarangan) 2. Pekarangan sempit ( ˂ 120 m2 ) 3. Pekarangan sedang ( 120 – 400 m2) 4. Pekarangan luas ( ˃ 400 m2 ) Pekarangan yang termasuk dalam kategori luas untuk megoptimalkan lahan dilakukan penanaman tumbuhan pohon penghasil kayu dan pohon buah-buahan. Serta tanaman sayuran dan hortikultura. Dibawah tegakan dapat dimanfaatkan dengan tanaman biofarmaka ataupun kolam budidaya ikan. Sementara pekarangan yang luasnya termasuk kategori sedang peningkatan populasi tanaman dapat dilakukan melalui penanaman tanaman produktif

942

seperti pohon buah-buahan, sayuran dan kolam ikan. Tanaman sayuran dan buah-buahan yang diusahakan dipekarangan dapat memberikan manfaat yang sangat besar yaitu selain manfaat estetis dan produktif serta ikut mendukung gaya hidup hijau yang merupakan suatu usaha untuk mengatasi laju pemanasan global yang bisa kita mulai dari rumah kita (Anonim, 2009). Manfaat lain dari pengoptimalan lahan pekarangan melalui peningkatan populasi tanaman pekarangan secara tidak langsung turut berkontribusi dalam pelestarian lingkungan terutama konservasi sumber daya air dan peningkatan keragaman jenis. Tumbuhan pada siang hari berfotosintersis dengan mengambil CO2 dari udara dan sebagai hasilnya tumbuhan melepaskan O2 ke udara. Dengan menanam sayuran ataupun tanaman buah-buahan di pekarangan dapat mengurangi konsentrasi CO 2 dan meningkatkan kualitas udara disekitar rumah secara tidak langsung juga turut berkontribusi dalam mengurangi efek gas rumah kaca. Sistem budidaya dan Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan pekarangan di desa pondok belum optimal. Pada umumnya tanaman yang berada/ditanam di pekarangan yang termasuk kategori luas adalah tanaman pohon yang direncanakan untuk bahan bangunan dan kayu bakar yaitu jenis tanaman mahoni, trembesi, nangka, bambu dan kelapa. Kelompok wanita tani (KWT) Mina Lestari telah melakukan inisiasi memanfaatkan lahan pekarangan yang ada menjadi lebih produktif. Inovasi teknologi yang diterapkan oleh kelompok wanita tani yaitu inovasi teknologi budidaya tanaman sayuran, buah buahan dan hortikuktura yang berbasis ternak ikan (perikanan). Hasil dekomposisi bahan oraganik sisa pakan dan kotoran ikan dari usaha ternak ikan di kolam setelah panen ikan dan pembongkaran kolam dimanfaatakan sebagai pupuk organik. Upaya optimalisasi lahan pekarangan untuk usaha ekonomi produktif dapat disesuaikan sesuai dengan konsep pengelolaan sumberdaya perdesaan yang berkelanjutan yang disampaikan oleh Baiquni (2007). Adapun pengelolaan sumber daya perdesaan merupakan siklus perencanaan, aksi dan refleksi yang dirumuskan

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 2. Potensi Dan Tipe Lahan Pekarangan Petani Desa Pondok Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Pada Tahun 2012 Kategori Kelompok lahan Persentase luas lahan (%) Strata 1 Pekarangan sempit 10,25 (400 m ) dalam tiga gatra, yaitu: 1. Pengelolaan sumberdaya perdesaan secara berkelanjutan pada dasarnya merupakan upaya mengintegrasikan perspektif ekonomi dan ekologi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Secara praktis, berupaya memperhatikan kepentingan penduduk perdesaan dalam meningkatkan penghidupan dan kesejahteraan serta secara simultan berusaha melakukan konservasi sumberdaya sebagai basis bagi keberlanjutan penghidupannya. 2. Pengelolaan sumberdaya perdesaan secara berkelanjutan memberikan prioritas untuk memperkuat dinamika sosial ekonomi lokal dan memberdayakan pelaku dan kelembagaan lokal dalam pemanfaatan dan pengalokasian sumberdaya. Upaya ini tentu saja perlu memperhitungkan dan berinteraksi dengan faktor eksternal seperti inovasi teknologi, perkembangan pasar dan kebijakan pemerintah. 3. Pengelolaan sumberdaya perdesaan secara berkelanjutan seyogyanya memahami permasalahan sumberdaya dan potensi yang dikandungnya dalam rangka kesamaa akses bagi kelompok-kelompok sosial dan kepentingan antar generasi. Pemahamam semacam itu perlu proses pencerahan melalui serangkaian refleksi sebagai upaya untuk mempelajari apa yang telah dicapai dan apa yang perlu dilakukan di masa mendatang. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami tanaman kebutuhan keluarga sudah dilakukan masyarakat sejak lama dan terus berlangsung hingga sekarang. Pemanfaatan lahan

pekarangan pada umumnya belum dirancang dengan baik dan sistematis pengembangannya terutama dalam menjaga kelestarian sumberdaya. Pemanfaatan dan pengoptimalan pekarangan yang dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga mendukung pelestarian tanaman pangan untuk masa depan dan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Menurut Baiquni (2007) pembangunan berkelanjutan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan: 1) upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem, 2) upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkannya, 3). meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang dan 4) mempertemukan kebutuhan manusia antar generasi. Indeks Keanekaragaman, Dominansi dan Indeks Nilai Penting (INP) Keanekaragaman hayati atau Biological diversity merupakan istilah yang menunjukan derajat keanekaragaman sumber daya alam hayati baik species, genetik, jumlah dan frekuensi maupun ekosistemnya pada suatu daerah tertentu. Pemahaman tentang pentingnya arti sumber daya plasma nutfah bagi kehidupan dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Strategi utama pelestarian keanekaragaman hayati adalah bagaimana menjaga keanekaragan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya agar tidak rusak dan punah. Upaya menjaga pelestarian keanekaragaman jenis selain di wilayah kawasan konservasi juga dapat dilakukan mulai dari pekarangan. Upaya konservasi ragam hayati tidak hanya meliputi spesies liar tetapi juga spesies budidaya dan spesies asalnya. Di Desa Pondok peningkatan jumlah populasi tumbuhan melalui penanaman tumbuhan kantil di pekarangan merupakan salah satu bentuk konservasi plasma nutfah Jawa Tengah.

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

943

UNDIP PRESS

Informasi keanekaragaman hayati merupakan salah satu kondisi yang menggambarkan potensi suatu ekosistem. Keanekaragaman hayati dan dominansi serta nilai penting dapat menjadi indikator dalam eksploitasi bahan pangan ataupun sumber daya alam. Sangat sedikit spesies yang memiliki potensi ekonomi secara aktual. Di dunia terdapat puluhan ribu jenis tumbuhan yang memiliki bagian yang dapat dimakan, namun hanya sedikit yang telah dibudidayakan atau dikoleksi sebagai bahan pangan. Dari seluruh tumbuhan yang telah dimanfaatkan sekitar 20 jenis memberikan sumbangan pangan dunia sekitar 90%. Bahkan hanya 3 jenis tumbuhan seperti gandum, jagung dan beras yang mensuplai kebutuhan pangan dunia lebih dari 50 %. Jenis buah – buahan yang dapat dikembangkan sebagai komoditi ekonomi dan secara aktual merupakan potensi ragam hayati yang menjanjikan. Nilai dan manfaat keanekaragaman hayati bersifat tak nyata (intangible) bahkan tidak ternilai oleh perhitungan ekonomi, namun memberikan kontribusi sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat keanekaragaman hayati dalam menjaga tata air, mencegah berbagai jenis bencana alam, mendaur ulang bahan pencemar dan mempertahankan kondisi iklim merupakan bukti nyata besarnya peranan ragam hayati bagi manusia. (http://blhbu.net/index...). Optimalisasi lahan pekarangan melalui budidaya tanaman sayuran, buah-buahan dan hortikultura selain berpeluang untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, peningkatan pendapatan dan investasi masa depan juga mempunyai peran dapat meningkatkan indeks keragaman hayati dan pelestarian lingkungan. Menurut Southwood dan Anderson (2000) dalam Restu (2002) tolok ukur indeks keanekaragaman hayati dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Tabel 3). Berdasarkan identifikasi dan analisa indeks keanekaragaman jenis tanaman diperoleh nilai 2,58. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem pekarangan di Desa Pondok memiliki tingkat keanekaragaman hayati termasuk kategori sedang, ekosistem pekarangan cukup seimbang dengan produktivitas cukup tinggi serta tekanan ekologis termasuk sedang. Indeks keanekaragaman sedang sampai tinggi komunitas tanaman stabil, mampu hidup dan beradaptasi

944

Tabel 3. Tolok Ukur Indeks Keanekaragaman Hayati Nilai tolok Keterangan ukur H’ < 1,0 • Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil. 1,0 < H’ < • Keanekaragaman sedang, 3,322 produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang. H’ > 3,322 • Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis Sumber: Restu, 2002

dilingkungan tersebut. Faktor yang mempengaruhi indeks keanekaragaman selain faktor lingkungan (keadaan tanah, kelembaban, suhu dan curah hujan) juga peran manusia dalam meningkatkan jumlah populasi tanaman. Peningkatan jumlah populasi tanaman memberikan nilai indeks keanekaragaman kategori sedang sampai tinggi sehingga turut berkontribusi meningkatkan keanekaragaman hayati dan pelestarian lingkungan. Restu (2002) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman menggambarkan keanekaragaman jenis, produktivitas, tekanan pada ekosistem terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi dan kestabilan suatu komunitas atau ekosistem. Sementara indeks dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominansi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersamasama maka nilai indeks dominansi rendah. Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Hasil analisa dominansi dan indeks nilai penting tertinggi dicapai oleh jenis sayuran, karena petani dalam mengoptimalkan lahan meningkatkan populasi tanaman sayuran.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

KESIMPULAN 1. Potensi lahan pekarangan di desa pondok sebesar 205 ha (11,86%) dari luas wilayah di kecamatan Grogol belum dimanfaatkan secara optimal sehingga berpeluang untuk usaha ekonomi produktif melalui optimalisasi lahan dan peningkatan jumlah populasi tanaman. 2. Kelompok wanita tani Mina Lestari telah merintis memanfaatkan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman sayuran, buahbuahan dan hortikultura yang berbasis ternak ikan (perikanan), pengembangan usaha ekonomi produktif, peningkatan pendapatan masyarakat dan investasi. 3. Indeks keanekaragaman jenis tanaman di desa pondok Kec. Nguter mencapai 2,58 termasuk kategori sedang, ekosistem pekarangan cukup seimbang dengan produktivitas cukup tinggi dan tekanan ekologis sedang serta memberikan petunjuk komunitas tumbuhan mampu hidup dan beradaptasi. 4. Peningkatan jumlah populasi tanaman memberikan peningkatan indeks keanekaragaman hayati dan berkontribusi dalam menjaga pelestarian lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Anonim,

2009.

http://icon-

agry.blogspot.com/2009/09/tekan-budayakonsumtif-mulailah.htmlmanfaatkan Pekarangan Rumah yang Sempit Menjadi Lahan Produktif Baiquni, 2007. Strategi Penghidupan Di Masa Krisis. IdeAs Media. Yogyakarta Restu, I.W. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Southwood, T.R.E. and P.A. Anderson. 2000. Ecological Methods. London: Blackwell Science. Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Saliem. HP. 2011. Kawasan rumah pangan lestari sebagai solusi pemantapan ketahanan pangan. Makalah Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS). Jakarta 8-10 Nopember 2011. http://blhbu.net/index.php? option=com_content&view=article&id=27 %3Akeanekaragamanhayati&catid=10&Itemid=18 http://itswrong.webs.com/ukur_bio.pdf

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

945

UNDIP PRESS

PEMANFAATAN PEKARANGAN RUMAH TANGGA UNTUK PEMBUATAN PUPUK ORGANIK RAMAH LINGKUNGAN DARI LIMBAH RUMAH TANGGA, MENGGUNAKAN JARINGAN KOMPOSTER DAN FIX UPPLUS SEBAGAI BIOAKTIVATOR Wahyuningsih1, Isti Pujihastuti2 1 Laboratotium Proses Industri Kimia,PSD III Teknik Kimia,Fak. Teknik, Universitas Diponegoro,Jl Prof Sudharto SH,Tembalang Semarang 2 Laboratorium Kimia Analisa,PSD III Teknik Kimia,Fak.Teknik,Undip, Jl Prof. Sudharto,Tembalang,Semarang

ABSTRACT Wahyuningsih and Isti P. Homeyard Utilization to Produce Organik Fertilizer from Household Naste Using Composter Tissues and Fix Upplus as Bioactivator. In Semarang, limited land landfills (landfill) waste New problem .If problem not handled and managed, properly,an increasd of wasted hat occur each year could shorten justify the air.In addition,the wasted can the quality of natural resources,causing floods,and cause some diseased. conducted has several improved wasted that occur each year could shorten the lifespan of the landfill and pollution impact on the environment, water, land and air. In addition, garbage can degrade the quality of natural resources, causing flooding, and causing. Results: Individual Composter suitable to be applied to address the particular problems of garbage at household level, with several advantages such as: can be filled continuously, can reduce waste odors from microbial activity plus fit up, accelerate the decomposition process, the compost produced on day 21, the quality of the resulting compost is generally in accordance with ISO 2004 (see table 4), so a good result to be applied to agriculture, and the application of the network model scale composter households would benefit the large, as well as the use of compost for agriculture, as well as alternative solutions to the waste problem that the city is still relying on dumping place of final disposal (landfill), which consists of more limited and difficult Keyword : bio activator, tissues composter, household garbage, compost.

PENDAHULUAN Masalah sampah menjadi isu hangat untuk dibicarakan sekarang ini. Di Kota Semarang, sampah merupakan momok bagi pemerintah karena sulit untuk diatasi. Setiap hari, produksi sampah semakin meningkat. Ironisnya, tempat pembuangan akhir (TPA) Kota Semarang belum secara maksimal dapat menampung sampah warga secara total. Hal ini mengakibatkan menumpuknya sampah-sampah di beberapa TPS di Kota Semarang. Pengelolaan sampah yang baik seharusnya dimulai dari skala rumah tangga. Setiap rumah harus bisa melakukan pemisahan sampah berdasarkan jenisnya, yaitu sampah organik dan anorganik. Selanjutnya, sampah organik dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk

946

kompos, sedangkan sampah anorganik dikirim ke tempat pendaurulangan agar didaurulang menjadi bahan baku lainnya. Penekanan penelitian yang telah dilakukan adalah pada pengolahan sampah organik. Pengolahan sampah organik dapat dilakukan melalui beragam cara. Salah satu solusi yang cukup tepat untuk menangani masalah sampah organik adalah dengan menjadikannya pupuk kompos melalui suatu alat yang disebut komposter. Secara umum, sampah dikelompokkan menjadi dua jenis utama, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sifat sampah anorganik adalah tidak dapat mengalami pembusukan, sedangkan sampah organik memiliki sifat sebaliknya. Sifat inilah yang dimanfaatkan pada proses pembentukan pupuk kompos dari sampah

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

organik. Sebenarnya pupuk kompos dapat terbentuk secara alami tanpa bantuan komposter. Sampah organik yang berceceran di tanah, sebagian unsur yang terkandung di dalamnya akan diuraikan oleh dekomposer. Penguraian ini akan menghasilkan suatu kandungan zat yang bermanfaat bagi kesuburan tanah. Sayangnya, proses tersebut memakan waktu cukup lama dan menimbulkan bau yang tidak sedap bagi daerah sekitarnya. Satu unit komposter dapat dihubungkan dengan komposter lainnya membentuk suatu jaringan komposter. Jaringan tersebut dibuat dengan menghubungkan setiap komposter oleh pipa PVC yang diberi lubang. Jaringan komposter sangat bermanfaat untuk mengatasi permasalahan sampah pada skala yang cukup besar. Ukurannya dapat dibuat bervariasi sesuai dengan kebutuhan pengguna, misalnya ukuran 2 x 3; 4 x 2; 5 x 5; dan sebagainya. Selain keuntungan dalam penanganan masalah sampah skala besar, jaringan komposter juga memiliki manfaat dalam hal estetika. Jaringan komposter dapat dibuat dalam suatu lahan khusus yang kemudian pada daerah sekitar komposter ditanami dengan tumbuhan yang diinginkan. Cara pemasangan seperti itu menimbulkan kesan yang indah dan alami bagi masyarakat. Ada satu hal unik yang dimiliki oleh jaringan komposter, yaitu pengaruh pada kesuburan tanah dari pipa penghubung yang juga merupakan saluran gas. Penulis berhipotesis bahwa tumbuhan yang ditanam pada tanah di atas pipa tersebut bisa memiliki kualitas yang lebih baik dibanding tumbuhan yang ditanam pada tanah biasa. Hal ini dimungkinkan karena tumbuhan dapat menyerap beberapa gas yang menjadi kebutuhannya. Pipa jaringan diyakini menyediakan gas-gas yang dibutuhkan oleh tumbuhan di atasnya. Selain itu, pemasangan pipa itu juga akan memperbaiki tingkat kesuburan tanah disekitarnya. METODE Bahan dan Alat penelitian: Bahan limbah sampah diperoleh dari sampah Rumah Tangga yang sudah dipisahkan dengan limbah anorganik. Percobaan menggunakan sampah yang diambil dari warga Kelurahan Lempongsari, Kodya Semarang pada September - Oktober 2011. Bahan kimia Fix-up

plus, kapur (Ca(OH)2), air aquades, HCl, NaOH, indikator PP, indikator MO, natrium thio sulfat, KI, KOH, cupri sulfat, amilum, kalium ferri sianida dibeli di CV Jurus Maju. Kotoran hewan dan tanah diambil dari daerah sekitar Tembalang, Kodya Semarang. Metode Analisis : Analisis kandungan sampah organik dilakukan di laboratorium Kimia Analisa Teknik Kimia, Fakultas Teknik Undip yang meliputi analisis kadar air, kadar N, kadar abu. Selama proses fermentasi, temperatur dan pH diamati. Hasil kompos dianalisis kadar C/N dan kelembabannya. Pelaksanaan Penelitian Pada lahan yang akan digunakan, dibuat sebuah lubang berukuran sama dengan komposter. Komposter ditanam di dalam lubang tersebut sampai pipa saluran gas tidak terlihat lagi. Bagian dasar komposter ditimbun dengan tanah kurang lebih setebal 10 cm untuk pengondisian. Sampah organik dimasukkan ke dalam komposter dan dimampatkan lalu komposter ditutup untuk mencegah timbulnya bau tidak sedap. Sejumlah kacang hijau ditebarkan dalam jumlah yang kira - kira sama, masing-masing di sekitar komposter dan di daerah yang jauh dari komposter, timbun tanah sekitar 10 cm, pada lapisan tanah diberi lubang untuk saluran gas. Dicatat waktu fermentasi, konsentrasi aktivator 1,0 -10 (v/v), penyusutan volume kompos, pH. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap Uji pendahuluan Pada uji pendahuluan,sampah organik rumah tangga diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasar sumbernya, yaitu sampah kebun dan sampah dapur. Hasil dan karakterisasi sampah organik rumah tangga diperoleh bahwa proporsi sampah dapur masih lebih besar dari sampah kebun, sampah dapur merupakan sampah yang terdiri dari sisa-sisa makanan, dan diduga memiliki kandungan N yang cukup tinggi. Penentuan proporsi dilakukan dengan pencampuran proporsi bahan dasar pengomposan dan bahan tambahan yang diperlukan dalam

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

947

UNDIP PRESS

tahap eksprimen. Analisis Pupuk pemeriksaan fisik

organik

terhadap

Pemeriksaan karakteristik fisik POC meliputi pH, temperatur dan penurunan tinggi tumpukan Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Fit-up Plus Terhadap PH Kompos Dan Waktu Fermentasi (hari) pH Kompos Rata-Rata Hari No 12 ke 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm ppm 1. 1 7,7 7,2 7,0 7,05 7,3 2. 3 7,9 7,5 7,1 7,2 7,1 3. 6 8,3 7,9 7,5 7,3 7,5 4. 9 8,4 8,1 7,9 7,5 7,6 5. 12 8,5 8,2 7,9 7,4 7,4 6. 15 8,1 7,8 7,4 7,3 7,2 7. 18 7,1 6,9 7,0 7,0 6,9 8. 21 7,0 7,0 6,9 6,8 6,7

Gambar 2. Hubungan Konsentrasi Fit-up Plus Vs Suhu Kompos Dan Waktu Fermentasi (hari) Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Fit-up Plus Terhadap Tinggi Tumpukan Sampah (cm) Dan Waktu Fermentasi (hari) Tinggi Tumpukan (cm) No Hari ke 10 4 ppm 6 ppm 8 ppm 12 ppm ppm 1. 1 66,3 60 68,3 70 71 2. 3 61,7 59 66,7 68 69 3. 6 56,6 53 66 66,5 67,2 4. 9 52,2 47 65 64 65 5. 12 34,8 40 59,4 57,5 58,1 6. 15 25,6 35 51,7 50,9 49,8 7. 18 18,7 27 22,8 24,3 23,4 8. 21 10,8 12 14,7 18,6 15,6

Gambar 1. Hubungan Konsentrasi Fit-up Plus Vs PH Kompos Dan Waktu Fermentasi (hari) Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi Fit-up Plus Terhadap Suhu Kompos Dan Waktu Fermentasi (hari) No Hari ke 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

948

1 3 6 9 12 15 18 21

4 ppm 29,1 40 36,8 33 31,5 28,8 26,5 26,4

Suhu Kompos (0C) 10 6 ppm 8 ppm 12 ppm ppm 27,8 28,9 29,1 29,9 31,4 30,7 40,2 32,3 32,5 33,6 41,4 44,5 25,7 35,1 40,2 40,1 25,3 31,6 38,1 38,9 25,3 30,2 30,8 31,1 25 30 30 30,5 24,5 28 28,7 29,2

Gambar 3. Hubungan Konsentrasi Fix-Up Plus Vs Tinggi Tumpukan Sampah (cm) Dan Waktu Fermentasi (hari)

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

Tabel 4. Pengaruh Konsentrasi Fit-up Plus Terhadap Warna Kompos (uji Organoleptik) Dan Waktu Fermentasi (hari) Warna Hari No 12 ke 4 ppm 6 ppm 8 ppm 10 ppm ppm 1. 1 3 3 3 3 3 2. 3 3 3 2 3 3 3. 6 3 2 2 2 3 4. 9 2 2 2 2 2 5. 12 2 2 2 1 2 6. 15 2 2 1 1 2 7. 18 1 2 1 1 1 8. 21 1 1 1 1 1 Warna: 1 = hitam; 2 = coklat tua; 3 = coklat muda

Gambar 4. Hubungan Waktu Fermentasi Dengan Warna Kompos PEMBAHASAN Kematangan kompos mulai terlihat pada hari ke 21. Hal tersebut terlihat dari perubahan pH, suhu, dan ketinggian pupuk organik. Pada semua perlakuan telah menunjukkan nilai pH netral pada hari ke 21 yaitu pH 6,9. Suhu tumpukan pada awalnya cukup berfluktuatif, namun terlihat mulai stabil pada hari ke 21. Hal ini mengindikasikan bahwa kompos sudah matang (Gazi, 2007). Pada proses pengomposan juga terlihat ada penurunan kadar air yang cukup signifikan pada perlakuan fix up-plus.(Gambar 1), Kematangan kompos juga terlihat dari penyusutan berat kompos sebesar 60 - 70% (Gambar 2). Pada umumnya penyusutan berat kompos yang diproduksi secara aerobik atau anaerobik hanya sebesar 50 - 70% ( Yuwono,2005). Penyusutan berat kompos yang tinggi pada

penelitian ini menunjukkan bahwa pengomposan dengan mengondisikan secara anaerob dengan komposer fit-up plus pada awal pengomposan mampu mengurangi berat kompos lebih besar. Proses pengomposan mengalami tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yaitu mesophilic, thermopilic dan tahap pendinginan (Gambar 3). Pada tahap awal mesophilic suhu proses akan naik dari suhu lingkungan hingga suhu 36 – 38 oC, dengan adanya fungi dan bakteri pembusuk asam. Tahap ini terjadi pada hari ke 5-7. Suhu proses akan terus meningkat hingga suhu 44-45oC pada hari ke 7-9. Pada penelitian ini suhu maksimal dicapai pada suhu 44,5oC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteri hermophilic Actinomycetes, dan fungi. Namun suhu tersebut masih dalam kisaran suhu ideal untuk pengomposan. Kondisi suhu tersebut juga diperlukan untuk proses inaktivasi bila ada bakteri pathogen. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktivitas mikroba dan penggantian dari mikroorganisme thermophilic dengan bakteri dan fungi mesophilic. Fase ini terjadi dari hari ke 1421. Aktivitas ini ditandai dengan penurunan suhu hingga mendekati suhu lingkungan (Anonim, 1998). Kualitas hasil kompos dievaluasi berdasar kandungan hara. Salah satu indikator yang menandakan berjalannya proses dekomposisi dalam pengomposan adalah penguraian C/N substrat oleh mikroorganisme fix-up plus (Tabel 2) adalah 14,77. Hal ini sudah memenuhi SNI. Pada penelitian ini, unsur lain yang dihitung adalah P dan K dalam bentuk P2O5, dan K2O yang kemudian akan digunakan oleh tanaman dalam bentuk H2PO4- dan K+ . Untuk parameter kandungan P dan K pada hasil analisis kompos (Tabel 9), terlihat bahwa setelah mengalami pengomposan terjadi peningkatan persentase kandungan P dan K. Kandungan P dan K yang cukup besar tersebut akan digunakan oleh tumbuhan dengan lebih mudah karena terdapat dalam bentuk yang dapat diserap oleh tumbuhan (Gazi, 2007) KESIMPULAN Kualitas pupuk organik dari lima perlakuan perbedaan konsentrasi dan waktu pengomposan menunjukkan bahwa : pH, suhu, penyusutan volume (tinggi tumpukan), terlihat hasil C/N,

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

949

UNDIP PRESS

K2O dan P2O5 diperoleh hasil yang optimum pada konsentrasi EM-4 8 ppm dan waktu 21 hari, memberikan hasil C/N 14,77, K2O 0,42% dan P2O5 1,24% UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana dari riset kompentatif nasional Batch III dari Badan Litbang Pertanian kerjasama dengan Dikti, Tahun Anggaran 2009. Ucapan terima kasih diucapkan kepada bapak Rektor Undip dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Undip yang telah memfasilitasi hingga penelitian ini selesai. Terima kasih pula kepada ibu Dekan Fakultas Teknik, yang telah memberikan ijin pemakaian fasilitas laboratorium dan diucapkan

950

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, hingga penelitian ini selesai. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1998. “OrgaDec Aktivator Pengomposan Cepatnya Terbayangkan”. Brosur Unit Penelitian Bioteknologi Bogor. Gazi, O. 2007.”Daur Ulang Sampah”, Makalah Pelatihan Pengolahan dan Teknologi Limbah, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Bandung. Yuwono, H. 2005. ”Daur Ulang Limbah Organik dengan Memanfaatkan Cacing Tanah (Vermi Composting), Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan MIPA IKIP Yogya.

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL “OPTIMALISASI PEKARANGAN UNTUK PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS” SEMARANG, 6 NOVEMBER 2012 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.

Nama Peserta R.D. Yustika Yayuk Aneka Bety Harmi Andrianyta Dhani Suryaningtyas Dalmadi Sri Hartati IB. Aribawa I Ketut Kariada I.A. Parwati Resmayeti Tri Wahyuni Bunaiyah Honorita Susi Mindarti Atang Muhammad Safei Bebet Nurbaeti Kurnia Euis Rokayah Nana Sutrisna Nia Rachmawati Sri Murtiani Sunjaya Putra Titiek Maryati S I.P. Lestari Yudi Sastro Desy Nofriati Jumakir Masito Hani Anggraeni Evy Latifah Mohammad Ali Yusran Rohmad Budiono Titiek Purbiati Rina D. Ningsih Salfina N.A

Instansi Balai Penelitian Tanah Balai Penelitian Tanaman Hias BBP2TP BBP2TP BBP2TP BBP2TP BPTP Bali BPTP Bali BPTP Bali BPTP Banten BPTP Bengkulu BPTP Bengkulu BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jabar BPTP Jakarta BPTP Jakarta BPTP Jambi BPTP Jambi BPTP Jambi BPTP Jatim BPTP Jatim BPTP Jatim BPTP Jatim BPTP Jatim BPTP Kalsel BPTP Kalteng

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

951

UNDIP PRESS

No 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73.

952

Nama Peserta Yossita Fiana Nasriati M. Syukur Mardianah Miskat Ramdhani Eni Fidiyawati Bambang Murdolelono Helena da Silva Entis Sutisna Rahmiwati Dorlan Sipahutar Marsid jahari Rachmiwati Yusuf Eka Triana Yuniarsih Muh. Taufik Novia Qomariyah Nurdiah Husnah Sunanto Caya Khairani Heni SP Rahayu I Ketut Suwitra Ruslan Boy Sukarjo Sumarni Syafruddin Edi Tando Muhammad Taufiq Ratule Sri Bananiek Sugiman Buharman B Suparwoto Waluyo Yanter Hutapea Nurmalia Siti Fatimah Batubara Vivi Aryati Endang Wisnu Wiranti Erni Apriyati Febrianty

Instansi BPTP Kaltim BPTP Lampung BPTP Malut BPTP Malut BPTP Malut BPTP NTB BPTP NTT BPTP NTT BPTP Papua Barat BPTP Riau BPTP Riau BPTP Riau BPTP Riau BPTP Sulsel BPTP Sulsel BPTP Sulsel BPTP Sulsel BPTP Sulsel BPTP Sulteng BPTP Sulteng BPTP Sulteng BPTP Sulteng BPTP Sulteng BPTP Sulteng BPTP Sulteng BPTP Sultra BPTP Sultra BPTP Sultra BPTP Sultra BPTP Sumbar BPTP Sumsel BPTP Sumsel BPTP Sumsel BPTP Sumut BPTP Sumut BPTP Sumut BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

No 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112.

Nama Peserta Utomo Bimo Bekti Hano Hanafi Heni Purwaningsih Kurnianita Triwidyastuti Murwati Nugroho Siswanto Nur Hidayat Retno Utami Hatmi Budi Setyono Setyorini Sinung Rustijarno Sri Budhi Lestari Subagiyo Arlyna B. Pustika Tri Joko Siswanto Wiendarti Indri Werdhany Yeyen Prestyaning wanita Eko Murniyanto Samanhudi Joko Maryono Rini Budi Aditya Andriadhi Amelia Indriastuti Bakti Pronodityo Heri Surya Hilmi Arija Fachriyan Ikhwan Joko I Isnugroho Istanto Isti Puji Hastuti Karno Kartinah Swasti Leksi Prihati Fatmasari Meilani Ayu Nani Suwarni Nila Wijayanti Rina Damayanti Rohita Arum Santayana Anggraeni

Instansi BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta Universitas Trunojoyo Madura FP-UNS Universitas Pancasakti Tegal BKP Prov. Jateng UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP UNDIP

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

953

UNDIP PRESS

No 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151.

954

Nama Peserta Sri Susanto Tri edy Wicaksana Vitus Dwi Yunianto Dewi Hastuti Eka Dewi Nurjayanti Endah Subekti Lutfi Aris Sasongko Rossi Prabowo Mastur Moch. Mahfud Abdul Choliq Agus Hermawan Agus Supriyo Ahmad Rifai Bambang Prayudi Budi Hartoyo Budi Utomo Cahyati Setiani Chanifah Christina Eni Sri Wahyuni Dewi Sahara Dian M. Yuwono Djoko Pramono Dwi Nugraheni Dwinta Prasetianti Endah Nurwahyuni Forita Dyah Arianti Hairil Anwar Herwinarni E.M Indrie Ambarsari Intan Gilang Cempaka Isnani Herianti Iswanto Joko Prmono Komalawati Munir Eti Wulanjari Muryanto Nur Fitriana Nurciptono

Instansi UNDIP UNDIP UNDIP UNWAHAS UNWAHAS UNWAHAS UNWAHAS UNWAHAS Balit Tanaman Pemanis dan Serat Balit Tanaman Pemanis dan Serat BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng

Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012

UNDIP PRESS

No 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172.

Nama Peserta Parti Khosiyah Qanytah Renie Oelviani Retno Endrasari Rini Nur Hayati Sarjana Selvia Dewi Seno Basuki Setyo Budiyanto Sodiq Jauhari Sri Karyaningsih Subiharta Sularno Susanto Prawirodigdo Sutoyo Tri Reni Prastuti Tri Sudaryono Vina Eka Aristya Wahyudi Haryanto Warsana Yulianto

Instansi BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng BPTP Jateng

“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”

955