pdf 664KB - International Labour Organization

42 downloads 427 Views 665KB Size Report
Pendidikan dan Pelatihan Teknis Hukum dan Peradilan yang dibentuk .... perburuhan internasional dan hukum perburuhan komparatif untuk .... Powerpoint ..... :Memahami undang-undang dan menerapkan kondisi kerja, K3 dan jaminan ...
MAHKAMAH AGUNG

Rencana Pelajaran dan Latihan

International Labour Organization

untuk Hakim

Pengadilan Hubungan Industrial

ii

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR MAHKAMAH AGUNG RI

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa atas penerbitan buku program pendidikan dan pelatihan (Diklat) sertifikasi untuk Hakim dan Hakim Adhoc yang akan menangani perkara-perkara dari Pengadilan Hubungan Industrial yang mencakup kurikulum, silabus dan bahan ajar baik bagi Peserta Diklat maupun Pengajar sebagai implementasi Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Buku ini merupakan salah satu bentuk dari upaya Mahkamah Agung RI melaksanakan berbagai program pembaharuan yang digariskan Cetak Biru Mahkamah Agung RI dan SK Ketua Mahkamah Agung RI No. 140/KMA/SK/X/2008 Tanggal 31 Oktober 2008 tentang Buku Panduan Mengenai Pengelolaan dan Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan. Tentu saja masih banyak program lain dalam ke dua dokumen strategis tersebut yang harus dilaksanakan, dan ini komitmen untuk terus mendukungnya. Dalam menyempurnakan sistem diklat, khususnya dalam bentuk Diklat sertifikasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang yang terkait, Mahkamah Agung RI mendapat kesempatan bekerja sama dengan International Labour Organization Perwakilan Indonesia dan Timor Leste. Pengalaman ILO dalam mengamati masalah-masalah ketenagakerjaan secara global menjadi sumber ide yang berharga bagi Mahkamah Agung RI dalam mengembangkan kurikulum bagi Hakim yang akan menangani perkara PHI di Indonesia. Namun peran yang sangat penting bagi terbitnya buku program diklat ini, juga terletak di tangan para pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung, Hakim Adhoc pada Mahkamah Agung RI, para pejabat struktural di Lingkungan Mahkamah Agung RI,

iii

khususnya Balitbang Diklat Kumdil, serta para hakim, hakim adhoc dan staf lainnya yang tergabung dalam Tim penyusun Kurikulum, Silabus, Bahan dan Metoda Pengajaran bagi Pendidikan dan Pelatihan Teknis Hukum dan Peradilan yang dibentuk berdasarkan SK Ketua Mahkamah Agung RI, No. SK 147/KMA/SK/X/2009 (tim SK 147). Mereka, bersama dengan Tim Pembaharuan Mahkamah Agung RI, serta para pakar dari lembaga penelitian terkait, yang menorehkan pengalaman, pengetahuan, gagasan, dan cita-citanya ke dalam substansi program diklat ini, hingga tersaji dengan baik dihadapan kita. Mereka pula yang mengusung konteks ke-Indonesiaan dari program diklat yang diusulkan, agar sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan dan kebijakan Mahkamah Agung RI, seperti buku panduan diklat. Adalah tanggungjawab Mahkamah Agung RI untuk segera mengimplementasikan program diklat ini. Sebuah tanggungjawab yang harus segera diwujudkan dengan menyesuaikan program kerja, rencana dan alokasi anggaran Mahkamah Agung RI, khususnya Balitbang Diklat Kumdil agar sustainability program dapat dijaga. Melalui kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua Kelompok Kerja Diklat Mahkamah Agung RI, Tim SK 147, Balitbang Diklat Kumdil, Tim Pembaharuan, ILO Perwakilan untuk Indonesia dan Timor Leste khususnya Peter van Rooij selaku Direktur dan Miranda Fajerman selaku konsultan ILO, dan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan buku program diklat sertifikasi bagi hakim Pengadilan Hubungan Industrial ini, sejak awal hingga selesai, mulai dari melakukan analisa kebutuhan pelatihan, lokakarya, trainers meeting dan training of trainer, dan lainlain. Semoga kerjasama yang produktif ini dapat diteruskan dan dikembangkan lebih luas lagi ke depan. Besar harapan saya buku ini bisa menjadi dokumen strategis baru, melengkapi berbagai dokumen strategis lainnya, sebagai arahan bagi Mahkamah Agung RI serta pihakpihak lain yang berkepentingan, untuk terus menyempurnakan sistem diklatnya agar dapat segera menjadi penopang utama terciptanya peradilan yang mandiri, imparsial, kompeten dan efektif di Indonesia menuju Badan Peradilan yang Agung.

akarta, April 201 13 Jakarta, 2013 etua Mahkamah Mahkam amah am ah A Agung R Ketua RII

ALI.I, S S. ..H H.., M H MH H. Dr.r. M. HATT ALI., S.H., MH.

iv

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Kata Pengantar Kantor ILO Jakarta

Sebagai bagian dari program ILO untuk mendukung memperkuat hubungan industrial di Indonesia, Kantor ILO Jakarta berkomitmen untuk mendukung penyelesaian sengketa formal melalui bantuan teknis dan kemitraan dengan Mahkamah Agung dan Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia. Pengadilan memainkan peran kunci dalam pelaksanaan dan perkembangan hukum perburuhan, melalui putusan pengadilan, prinsip-prinsip hukum dan aturan-aturan prosedural yang adil dikembangkan dan diterapkan pada situasi nyata untuk menyelesaikan sengketa. Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia memiliki peran penting dalam memastikan sistem untuk fungsi penyelesaian perselisihan industrial sesuai dengan wewenangnya dan mencerminkan prinsip-prinsip kesetaraan, proses yang imparsial dan berkeadilan. Kurikulum untuk hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang baru diterbitkan, telah dikembangkan melalui penilaian kebutuhan pelatihan dengan mewawancarai hakim dan panitera muda yang bertugas pada pengadilan hubungan industrial dan melalui konsultasi dengan dan arahan dari Tim Hakim Pengadilan Hubungan Industrial serta Tim Kurikulum dari Mahkamah Agung. Isi dan metode partisipatif penyampaian kurikulum mencerminkan sistim pembelajaran orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran bagi hakim yang baru diangkat dan menekankan prinsip-prinsip inti dari hukum perburuhan. Kurikulum terdiri dari analisis penerapan hukum nasional serta informasi mengenai standar perburuhan internasional dan hukum perburuhan komparatif untuk memperkaya perspektif hakim yang bertugas di pengadilan di Indonesia. Standar ketenagakerjaan internasional termasuk dalam kurikulum ini di mana hakim mempertimbangkan sumber-sumber hukum internasional untuk menjadi sumber nilainilai yang sangat berharga bagi hakim, dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan yang semakin kompleks. Bersama dengan komentar dan analisis dari badan pengawas yang relevan, hukum perburuhan internasional memberikan sumber yang berharga bagi hakim untuk interpretasi dan inspirasi. Diharapkan bahwa kurikulum ini akan memberikan kontribusi untuk memperkuat kapasitas hakim Pengadilan Hubungan Industrial dan akan mendukung interpretasi dan penerapan hukum yang konsisten di Indonesia. Banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan untuk melaksanakan secara efektif program ini dan untuk mendukung implementasi, transparansi dan resolusi tepat waktu dari perselisihan industrial di Indonesia. Namun, kami percaya

v

bahwa komitmen yang kuat dan kepemimpinan dari Mahkamah Agung, Tim Pembaharuan Mahkamah Agung RI, dan Pengadilan Hubungan Industrial akan mampu memberikan hasil yang diperlukan. ILO juga berharap untuk terus bekerjasama di bidang teknis dalam mewujudkan penyelesaian sengketa hubungan industrial di Indonesia. ILO mengucapkan terima kasih kepada Mahkamah Agung, Tim Pembaharuan, khususnya Dr H. Mohammad Saleh, SH, MH., Ketua Muda Perdata Khusus selaku Ketua POKJA DIKLAT yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung RI bidang Yudisial, Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Siti Nurjanah, SH.,MH., serta IG Agung Sumanatha, SH, MH., Kapusdiklat Teknis yang saat ini menjabat sebagai Hakim Agung, untuk memulai dan memimpin proses pengembangan kurikulum. ILO juga mengucapkan terima kasih kepada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), atas dukungannya dalam penyusunan kurikulum ini.

Jakarta, 4 April 2013

Peter van Rooij Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste

vi

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

1

Bagian Rencana Pelajaran

Daftar Isi

2

2

Rencana Pelajaran

3

Topik No. 1: Pengantar & Peran dan Fungsi PHI

5

Topik No. 2 - Pengantar Sumber-Sumber Hukum Internasional tentang Ketenagakerjaan

6

Topik No. 3 - Penerapan Standar Ketenagakerjaan Internasional di Indonesia

7

Topik No. 4 - Kebebasan Berserikat dan Negosiasi Bersama

8

Topik No. 5 - Pemogokan dan Bentuk Tindakan Industri Lainnya

9

Topik No. 6 – Diskriminasi

10

Topik No. 7 – Diskriminasi dan Kebebasan Berserikat

11

Topik No. 8 – Kerja Paksa dan Pekerja Anak

12

Topik No. 9 – Hubungan Dalam Pekerjaan

13

Topik No. 10 – Hubungan Kerja & Layanan Kerja Serta Pekerja Asing

14

Topik No. 11 – Penghentian Hubungan Kerja

15

Topik No. 12 – Upah dan Perlindungan Upah

16

Topik No. 13 – Kondisi Kerja dan Jaminan Sosial

17

Topik No. 14 – Pemutusan Hubungan Kerja & Perlindungan Upah

18

Topik No. 16 – Prosedur Perdata

19

Topik No. 18 - Sesi Interaktif Dalam Pencarian Sumber Internet Topik No. 19 - Penelitian Hukum, Analisis dan Penalaran

20 21

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Lampiran (4) Kurikulum berbasis kompetensi untuk Hakim-hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang baru diangkat Rencana Pelajaran

Catatan: Materi pelatihan fokus pada pembelajaran ala partisipatif. Dengan demikian sebagian besar isu kunci akan dipahami melalui latihan dan studi kasus. Peran fasilitator adalah untuk memastikan isu-isu kunci dan poin-poin pembelajaran ditekankan selama sesi-sesi ringkasan dan melalui presentasi pendahuluan. Materi Pra-Kursus –Materi Pra-kursus untuk setiap bidang topik akan ditentukan. Diharapkan seluruh peserta akan mengetahui bahan bacaan sebelum berpartisipasi dalam sesi kursus. Topik-topik ujian akhir dan pekerjaan rumah (PR) akan menguji pengetahuan dan pemahaman peserta tentang materi kursus yang inti.

Bacaan Lanjutan – Materi-materi untuk bacaan lanjutan akan ditentukan untuk setiap bidang topik. Materi bacaan ini sangat direkomendasikan, namun tidak wajib. Pekerjaan Rumah (PR) – mengingat terbatasnya waktu untuk pelatihan di dalam kelas dan besarnya isi materi pelatihan selama 1-minggu, latihanlatihan untuk mendorong pemahaman peserta dan penerapan hukum akan dikembangkan untuk setiap topik. Beberapa latihan akan menjadi PR wajib bagi seluruh peserta dan akan berkontribusi pada keseluruhan penilaian kompetensi dan sertifikasi peserta. Untuk topik-topik tanpa PR wajib, pelatih dapat memilih untuk menugaskan latihan bagi peserta jika mereka mengidentifikasi bahwa peserta memerlukan latihan tambahan dalam topik tersebut untuk mencapai kompetensi inti. Direkomendasikan untuk pelatih mengadakan sesi malam selama kursus untuk mengkaji dan mendiskusikan PR dengan peserta. PR wajib akan dinilai secara formal bersama dengan ujian akhir. Evaluasi – Setelah sesi terakhir di hari ke-5, peserta akan diminta untuk menyelesaikan evaluasi kursus secara anonim (tanpa nama). Direkomendasikan, setiap hari pada akhir sesi, pelatih melakukan evaluasi informal untuk memastikan metode pelatihan memenuhi harapan dan kebutuhan peserta. Ujian Akhir – Ujian akhir akan dilaksanakan pada hari terakhir (hari ke- 6) kursus pelatihan. Terdiri dari dua hipotesis studi kasus untuk menguji pemahaman peserta terhadap seluruh materi kursus dan ketrampilan mereka dalam menganalisa dan menerapkan hukum.

3

Daftar Kompetensi Inti Hakim-hakim PHI disyaratkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi berikut ini: 1.

mengakses dan menafsirkan sumber-sumber hukum (perundangan, putusan pengadilan, literasi akademis, yurisprudensi internasional, standar ketenagakerjaan internasional) secara efisien dan akurat;

2.

menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai hukum ketenagakerjaan nasional dan peraturan pelaksananya;

3.

menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai hukum, instrumen, prinsip ketenagakerjaan internasional, dan mekanisme pengawasan sistem standar ketenagakerjaan internasional, termasuk bagaimana dan kapan hakim dapat menggunakan sumber-sumber hukum ini untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan;

4.

menunjukkan pemahaman mengenai perkembangan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial baik ditingkat nasional maupun global (dan dapat senantiasa mengetahui perkembangan baru dan terkini);

5.

mengidentifikasi isu-isu yang relevan dalam perselisihan perburuhan dan menyelesaikan kasus-kasus ketenagakerjaan dengan menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan;

6.

memformulasikan opini-opini orisinil mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum dalam bidang di mana praktek-praktek atau preseden belum ada atau berlawanan;

7.

memformulasikan dan secara efektif mengkomunikasikan penilaian tentang pertanyaan teknis mengenai hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial dengan cara yang konsisten, etis, adil dan logis;

8.

kritis dalam mengevaluasi proses penyelesaian konflik sehubungan dengan perhatian kepentingan publik yang luas dan hak-hak hukum.

Untuk secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka dalam ruang sidang, hakim harus dapat: 9.

menguji dan menganalisa berkas perkara dan argumen hukum dari para pihak;

10. menguji dan mengevaluasi saksi-saksi dan bukti-bukti; 11. mengidentifikasi dan mempertimbangkan hal-hal dan isu-isu yang tidak jelas atau tidak dibuka selama beracara atau pengajuan oleh para pihak; 12. memfasilitasi penyelesaian di luar sidang melalui mediasi diantara para pihak yang bersengketa apabila diperlukan; 13. menilai kebijaksanan untuk mengeluarkan putusan sela dan perintah eksekusi (penyitaan aset dsb); 14. mempersiapkan dan mengadministrasikan sidang

4

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 01: Perkenalan & Peran dan Fungsi PHI Deskripsi materi : Memahami peran, fungsi dam perkembangan PHI di Indonesia Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

10

1.a. Sejarah dan filosofi hukum ketenagakerjaan

Materi

Metode

Timeline: Sejarah Hukum Ketenagakerjaan

Timeline

10

Slide Presentasi 1

Powerpoint Presentation

10

-

Diskusi pleno

1.b. Peran, fungsi dan perkembangan PHI di Indonesia

Slide Presentasi 2

Powerpoint Presentation

1.c. Identifikasi jenis-jenis perselisihan

Slide presentasi 3

Powerpoint Presentation

-

Diskusi Pleno

-

Speech: Pekerjaan Rumah

10 20 15 10 5

PR Sumber

Diskusi Pleno

Durasi: 90 menit

Tujuan Pembelajaran

Mampu menjelaskan tujuan dan perkembangan hukum ketenagakerjaan

Mampu mengevaluasi peran, fungsi dan perkembangan PHI dan peran hakim Mampu menganalisa jenis dan karakteristik kasus-kasus yang ditangani oleh PHI

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• Menunjukkan pemahaman perkembangan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial, baik secara domestik maupun global (dan dapat terus mengikuti perkembangan baru). • Mengidentifikasi isu-isu yang relevan dalam perselisihan ketenagakerjaan dan menyelesaikan kasus-kasus dengan menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan • Memformulasikan pendapattentang pertanyaan hukum dalam bidang di mana praktek atau preseden tidak ada atau bersifat berlawanan • Secara kritis mengevaluasi proses untuk menyelesaikan konflik sehubungan dengan perhatian kepentingan umum yang luas dan hak-hak hukum. • mengidentifikasi dan mempertimbangkan hal-hal dan isu-isu yang tidak jelas atau tidak dibuka selama beracara atau tidak diserahkan oleh para pihak

Evaluasi

Timeline Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi & Tanya Jawab

Latihan – identifikasi jenis-jenis perselisihan ketenagakerjaan • • • •

Powerpoints; latihan; perangkat praktis UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan peraturan pelaksananya; UU No.22/1957 dan No.12/1964 & tinjauan sistem sebelumnya (P4) untuk penyelesaian perselisihan Kritik dan artikel jurnal tentang peran PHI;

• • • •

Artikel akademis tentang pembentukan UU PPHI; Surat Edaran Mahkamah Agung ; Artikel akademis yang membahas peran hakim dan pengadilan dalam memenuhi permintaan masyarakat atas keadilan Tinjauan struktur dan fungsi pengadilan perburuhan dalam yurisdiksi lain

5

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 02: Pengantar sumber-sumber hukum ketenagakerjaan internasional Durasi: 90 menit Deskripsi materi : Memahami sumber-sumber, perkembangan dan penggunaan standar ketenagakerjaan internasional untuk pengadilan domestik Waktu (menit) 5 10

Sub Topik diskusi

10

a. Tinjauan tentang ILO (fungsi mandat dsb)

Slide Presentasi 4

Powerpoint Presentation

-

Diskusi Pleno

Slide Presentasi 5 Handout Slide Presentasi 5

Particiaptory Presentation

-

Diskusi Pleno

-

Probing

c. Badan-badan Pengawas ILO – nilai hukum observasi dan rekomendasi

Slide Presentasi 6

Powerpoint Presentation

-

Diskusi Pleno

d. Sistem hukum Indonesia dan standar ketenagakerjaan internasional (ILS)

Studi Kasus

Diskusi Pleno

b. Sumber-sumber hukum ketenaga-kerjaan internasional yang tersedia untuk hakim dan standar ketenagakerjaan internasional yang diadopsi oleh ILO

15 10 10 10

PR Sumber

Tujuan Pembelajaran

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

Mampu mendeskripsikan asal, mandat dan fungsi utama dan struktur ILO Mampu mengidentifikasi, menemukan dan menggunakan ketentuan dalam konvensi dan rekomendasi

Mampu mendeskripsikan fungsi dari CEARC dan Komite Ahli Kebebasan Berserikat dan untuk menilai pentingnya kerja mereka untuk memahami lingkup dan arti ILS Mampu mengidentikasikan sejauh mana standar ketenagakerjaan internasional dapat membantu peradilan di Indonesia

• mengakses dan menafsirkan sumbersumber hukum (perundangan, putusan pengadilan, literasi akademis, yurisprudensi internasional, standar ketenagakerjaan internasional) secara efisien dan akurat • menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai hukum, instrument, prinsip ketenagakerjaan internasional, dan mekanisme pengawasan sistem standar ketenagakerjaan internasional, termasuk bagaimana dan kapan hakim dapat menggunakan sumber-sumber hukum ini untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan; • menunjukkan pemahaman mengenai perkembangan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial baik ditingkat nasional maupun global (dan dapat senantiasa mengikuti perkembangan baru);

Diskusi & Tanya Jawab Diskusi & Tanya Jawab Hasil Probing dan Diskusi Diskusi & Tanya Jawab Tanya Jawab Diskusi

Mengkaji sumber-sumber hukum dan bacaan lanjutan • • • • • • •

6

Metode

Pengenalan topik

5 10

Materi

Powerpoint Konvensi dan Rekomendasi Ketenagakerjaan Internasional Kasus-kasus PHI – contoh PHI menerapkan ILS Aturan main Hukum Internasional oleh Pengadilan Domestik : Kompedium Keputusan Pengadilan Intisari Keputusan Komite Ahli Kebebasan Berserikat Hukum Ketenagakerjaan Internasional & Hukum Domestik – Manual Pelatihan untuk hakim

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• • • • • • •

Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja (1998) Konstitusi ILO Survey Umum / Laporan Global (pilihan dankutipan) ILO website & ILOLEX ILS CD-Rom Prinsip-prinsip Bangalore Pendekatan global

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 03: Penerapan hukum ketenagakerjaan internasional di Indonesia Deskripsi materi : Memahami penerapan yang praktis dari standar ketenagakerjaan internasional di Indonesia Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

65

a.

Penerapan dan peran dan fungsi standar ketenagakerjaan internasional dalam hukum domestik

Sumber

a.Studi kasus 1 & Studi Kasus 2

Metode

Peer-Assist

Diskusi Pleno

20

PR

Materi

Tujuan Pembelajaran

• mampu mengidentifikasi dan mendeskripskan penerapan ketenagakerjaan internasional beserta perjanjian internasional lainnya ke dalam sistem hukum nasional dalam berbagai cara penerapannya; • Mampu menggunakan konvensi, rekomendasi, hukum ketenagakerjaan internasional secara tepat sesuai prinsip/asas/ kaidah hukum dalam putusan pengadilan domestik (PHI dan MA) dalam berbagai cara penerapannya. • Mampu melakukan riset komparatif tentang hukum ketenagakerjaan dan menerapkan ILS yang relevan di Indonesia

Durasi: 90 menit

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• mengakses dan menafsirkan sumbersumber hukum (perundangan, putusan pengadilan, literasi akademis, yurisprudensi internasional, standar ketenagakerjaan internasional) secara efisien dan akurat • menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai hukum, instrument, prinsip ketenagakerjaan internasional, dan mekanisme pengawasan sistem standar ketenagakerjaan internasional, termasuk bagaimana dan kapan hakim dapat menggunakan sumber-sumber hukum ini untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan; • menunjukkan pemahaman mengenai perkembangan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial baik ditingkat nasional maupun global (dan dapat senantiasa mengikuti perkembangan baru)

Evaluasi

Respon terhadap studi kasus Diskusi

Tidak ada • • •

Studi kasus Materi dari Topik No.02 Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan Indonesia yang relevan

7

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 04: Kebebasan berserikat dan perundingan bersama Deskripsi materi : Memahami dan menerapkan undang-undang tentang kebebasan berserikat dan perundingan bersama Waktu (menit) 5 40

15

45

Sub Topik diskusi

Materi

Metode

Tujuan Pembelajaran

Durasi : 120 menit

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

Pengenalan topik a. Pengantar prinsipprinsip dan ketentuanketentuan kunci dalam hukum nasional dan standard ketenagakerjaan internasional tentang kebebasan berserikat dan perundingan bersama

a.

-

Diskusi Pleno

b. Menerapkan prinsipprinsip hukum nasional dan internasional untuk menyelesaikan diskriminasi anti serikat pekerja dan perselisihan kepentingan

b.

Perangkat dan sumber nasional dan internasional untuk membantu pengambilan keputusan dalam perselisihan kebebasan berserikat/ perundingan bersama Diskusi kasus : 1. Kasus Nestle; 2. Kasus Serikat Pekerja BCA, terkait serikat minoritas tidak berunding; 3. Konflik internal serikat pekerja PLN

Peer Assist

-

Diskusi Pleno

15

Tinjauan prinsip-prinsip kebebasan berserikat danperundingan bersama (Slide Presentasi 7)

Powerpoint Presentation





Mampu menafsirkan dan menerapkan peraturan perundangundangan mengenai kebebasan berserikat dan perundingan bersama Mampu mengidentifikasi dan memastikan sumber-sumber yang luas untuk mendukung penyelesaian kasus-kasus mengenai kebebasan berserikat dan perundingan bersama

Mampu mengidentifikasi kapan sumber internasional dapat berguna untuk menyelesaikan perselisihan mengenai kebebasan berserikat dan perundingan bersama

• 1-8

Diskusi & Tanya jawab

Diskusi Kelompok & Tanya Jawab

PR Sumber

• •



8

Power point UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, No.8 tahun 1874 & revisi - No.44 tahun 1999 tentang Layanan Perdata dan peraturan pelaksananya Instrumen internasional, K 87 & 98, dan observasi CEARC, intisari kebebasan berserikat.

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• • •



Kutipan dari Survey Umum yang relevan Intisari kebebasan berserikat Studi kasus domestik, termasuk kasus Nestle & Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI – Nomor 115/PUU-VII/2009 tentang pasal 120, UU Ketenagakerjaan, ditambah dengan kasus BCA dan Kasus serikat PLN Artikel akademis mengenai kebebasan berserikat di Indonesia

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 05: Pemogokan dan bentuk-bentuk aksi industrial lain Durasi: 90 menit Deskripsi materi : Memahami dan menerapkan undang-undang dan peran dan tanggung jawab pengusaha, penegak hukum dan pekerja sehubungan dengan mogok dan penutupan perusahaan (lockout) Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

Materi

Metode

Tujuan Pembelajaran

Hubungan dengan Kompetensi Inti

5

Pengenalan topik

10

a. Asal dan prinsip-prinsip kunci hak mogok dan penutupan perusahaan

Slide Presentasi 8

Powerpoint Presentation

-

Diskusi Pleno

b. ketentuan hukum nasional dan standar ketenagakerjaan nasional dalam penggunaanhak mogok (termasuk bentukbentuk aksi industrial terkait misalnya mencegah pekerja lain masuk kerja) dan layanan-layanan penting

Slide Presentasi 9

Presentasi Diskusi

-

Diskusi Pleno

c. peran dan tanggung jawab pekerja, pengusaha, penegak hukum dan pemerintah;

c. Pelaksanaan mogok dan penutupan perusahaan yang tidak sah dan PHK yang tidak sah (Studi Kasus 1 & Studi Kasus 2)

Peer-Assist

• Mampu mengevaluasi ganti rugi yang layak dengan mempertimbangkan kepentingan sosial dan ekonomi yang lebih luas dari pekerja dan masyarakat

Diskusi Pleno

• Peserta mampu membedakan antara mogok dan unjuk rasa

5 15 10

35

15

d. penerapan ketentuan (nasional dan standar ketenagakerjaan internasional) dalam penyelesaian perselisihan tentang sah atau tidaknya mogok kerja dan penutupan perusahaan

• Mampu menerapkan prinsip-prinsip kunci hak mogok untuk menyelesaikan perselisihan • Mampu mengidentifikasi kesahan pemogokkan (dari perspektif domestik dan internasional)

• mengakses dan menafsirkan sumber-sumber hukum (perundangan, putusan pengadilan, literasi akademis, yurisprudensi internasional, standar ketenagakerjaan internasional) secara efisien dan akurat; • menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang hukum ketenagakerjaan domestik dan peraturan pelaksananya; • menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai hukum, instrumen, prinsip ketenagakerjaan internasional, dan mekanisme pengawasan sistem standar ketenagakerjaan internasional, termasuk bagaimana dan kapan hakim dapat menggunakan sumber-sumber hukum ini untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan; • mengidentifikasi isu-isu yang relevan dalam perselisihan ketenagakerjaan dan menyelesaikan kasus-kasus dengan menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan; • Memformulasikan pendapat orisinil tentang pertanyaan hukum dalam bidang di mana praktek atau preseden tidak ada atau bersifat berlawanan; • Memformulasikan dan secara efektif mengkomunikasikan penilaian tentang pertanyaan teknis mengenai hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial secara konsisten, etis, adil dan logis; • Secara kritis mengevaluasi proses untuk menyelesaikan konflik sehubungan dengan perhatian kepentingan umum yang luas dan hak-hak hukum

Evaluasi

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi Kelompok & Tanya Jawab

PR Sumber

• • •

Power point Materi dari Topik No. 04 Prinsip-prinsip ILO tentang hak mogok (2000)

• •

Kutipan dari Intisari Kebebasan Berserikat dan Survey Umum Kasus Perkara 68/PHI.G/2009/PHI/PN/JKT.PST antara Siti Surasmi dan PT. Megaria Mas Sentosa

9

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 06: Diskriminasi Deskripsi materi : memahami undang-undang yang mengatur kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan Waktu (menit) 5

Sub Topik diskusi

Materi

Metode

Particiaptory Presentation

a. Kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan

-

Diskusi Pleno

Slide Presentasi 11

Powerpoint Presentation

Studi Kasus

Peer-Assist

10

b. Fokus: diskriminasi berdasarkan gender; pelecehan seksual dan kesetaraan pengupahan untuk pekerjaan yang nilainya setara

-

Diskusi Pleno

5

c. Beban pembuktian

Slide Presentasi 12

Powerpoint Presentation

10

5 15

Diskusi Panel

5

PR Sumber

Evaluasi

• Mampu memahami peraturan perundang-undangan yang mempromosikan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan • Mampu membedakan kapan diskriminasi terjadi/tidak terjadi

• 1-8

Diskusi & Tanya jawab

• Mampu memahami instrumen domestik dan internasional untuk kesetaraan jender di tempat kerja • Mampu mengidentifikasi aspek-aspek hukum domestik di mana penerapan ILS tentang diskriminasi mungkin berguna • Mampu menentukan perbaikan yang sesuai untuk penghapusan diskriminasi yang efektif ;

Diskusi & Tanya jawab

Mampu memahami ketentuan hukum acara dalam perkara diskriminasi menyangkut beban pembuktian terbalik

Diskusi & Tanya Jawab

Diskriminasi berdasarkan hukum, latihan pekerjaan dan peran dan tanggung jawab pengusaha • • •

• •

10

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Pengenalan topik Slide Presentasi 10 Handout Slide Presentasi 10

35

Tujuan Pembelajaran

Durasi: 90 menit

Power point Panduan, dan informasi mengenai pelecehan seksual UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; No.4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat; UU No. 39 tahun 2004 tentang perlindungan pekerja Migran dan peraturan pelaksananya Kepmenakertrans No. 68 dan No. 20 tahun 2005 tentang HIV/Aids Instrumen internasional (K111, 100, 156, 183, 159, 169, 171; R 90, 111, 162, 165, 178, 191, 200); CEDAW; CERD; Laporan badan Pengawas termasuk

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• • • •

komentar CEARC; Kode Praktek ILO tentang HIV/Aids di tempat kerja dan panduan untuk hakim; Deklarasi Laporan global mengenai kesetaraan di tempat kerja. Survey Umum 2007 Kutipan Survey Umum dan laporan mengenai konvensi diskriminasi Kutipan dari perundang-undangan mengenai kesetaraan di tempat kerja di Asia Tenggara Pilihan peraturan daerah ditingkat propinsi dan kabupaten/kota yang berdampak pada perempuan dan kelompok lain dalam kondisi dan kesempatan kerja.

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 07. Diskriminasi dan Kebebasan Berserikat (Lanj.) Deskripsi Materi: Penerapan UU mengenai diskriminasi dan kebebasan berserikat Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

30

a. Diskriminasi & akomodasi yang layak di tempat kerja b. Peran & tanggung jawab pengusaha untuk mengatasi pelecehan seksual c. Tindakan afirmatif dan kesetaraan substantive d. Diskriminasi anti serikat pekerja e. Studi kasus tentang kebebasan berserikat.

Materi

Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Stdui Kasus 3 Studi Kasus 4

Metode

Peer Assist

Durasi : 90 menit

Tujuan Pembelajaran

• Mampu mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip nondiskriminasi, termasuk diskriminasi anti serikat pekerja dalam pengambilan keputusan • Mampu menentukan tindakan yang cocok untuk penghapusan diskriminasi secara efektif

Hubungan dengan Kompetensi Inti



1-8

Evaluasi

Diskusi kelompok Latihan

Diskusi Pleno

45

PR Sumber

• • • •

Studi kasus Kompedium keputusan pengadilan Putusan Nomor 55/PL/G/2006/PHI.PN.JKT.PST Materi dari Topik No. 04, 05 and 06.

11

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 08: Kerja Paksa dan Pekerja Anak (Lanj.) Deskripsi materi : Penerapan UU mengenai pekerja paksa dan pekerja anak Waktu (menit) 5 50

35

Sub Topik diskusi

Sumber

a. Pekerja paksa dan pekerja wajib – b. Bentuk-bentuk terburuk pekerja anak

Slide Presentasi 13 Slide Presentasi 14

World Cafe Diskusi

Studi Kasus

Kelompok

Hasil Diskusi

Debat Kelompok

Latihan – mengidentifikasi bentuk-bentuk kerja paksa dan kerja wajib • • • • • •

12

Metode

Tujuan Pembelajaran

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

Pengenalan topik

30

PR

Materi

Durasi : 120 menit

UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 & peraturan pelaksanaan yang relevan Instrumen Internasional: Konvensi ILO No. 29, 105, 138, 182; Konvensi PBB mengenai Hak Anak Catatan putusan pengadilan: kerja paksa dan perdagangan manusia, Survey Umum ILO – intisari dari Penghapusan Kerja Paksa, 2007; Biaya Pemaksaan, 2009; laporan global pekerja anak Kompendium putusan kasus Studi kasus

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• Mampu mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung di Konvensi-konvensi ILO dan UU nasional mengenai pekerja paksa dan pekerja anak • Mampu menentukan remedies yang cocok untuk pelanggaran terhadap Konvensi internasional dan UU nasional

• 1-8

Diskusi kelompok

Diskusi kelompok Diskusi & Tanya Jawab

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 09: Hubungan kerja Deskripsi materi : Memahami dan menerapkan undang-undang untuk menentukan sifat hubungan kerja Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

15

a. Perkembangan praktek hubungan kerja (perspektif global & regional)

Materi

Metode

Slide Presentasi 15

Powerpoint Presentation

-

Diskusi Panel

c. Perangkat dan kriteria untuk menentukan hubungan kerja yang tidak jelas (Studi Kasus)

Refleksi

b. Undang-undang yang mengatur hubungan kerja 10 10

c. Menentukan sifat hubungan kerja

Durasi : 90 menit

Tujuan Pembelajaran

• Mampu memahami konteks ekonomi dan sosial yang lebih luas dari kontrak kerja non-standar • Mampu memahami undang-undang dan peraturan yang mengatur hubungan kerja

• Mampu secara kritis mengevaluasi sifat hubungan kerja dalam kontrak yang non-standar • Mampu memahami dan meneliti pendekatan kompratif terhadp isu-isu mengenai pekerja non-standar dalam yurisdiksi lain.

Hubungan dengan Kompetensi Inti



1-8

Evaluasi

Diskusi & Tanya Jawab

Refleksi Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi Pleno

50

PR Sumber

• • •

Powerpoint UU No.13 tahun 2003 dan peraturan pelaksananya; Iinstrumen internasional R 198; K 175, 158, 181; R 182, 166 dan 188; panduan R 198 beranotasi

• • •

Laporan Global tentang Hubungan kerja dan ekonomi informal Laporan penelitian tentang hubungan kerja, pekerjaan yang layak dan tantangan regulasi Studi kasus

13

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 10: Hubungan kerja & jasa ketenagakerjaan & pekerja migran Durasi : 90 menit Deskripsi materi : Pemahaman dan penerapan undang-undang untuk menentukan sifat hubungan kerja dan peran dan tanggung-jawab penyedia jasa ketenagakerjaan Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

10

a. Penggunaan tenaga Alih Daya dan pekerja tetap

10 25

Sumber

14

Mengidentifikasi praktik hukum dan non-hukum dalam tenaga outsourcing dan pekerja tetap (Slide Presentasi 16)

Probing

Diskusi Pleno

b. Alihdaya Penyediaan Tenaga Kerja

b.

Diskusi Kelompok

Hasil diskusi

Diskusi Pleno

c. Karakteristik pekerja migran serta tanggung jawab pengusaha terhadap tenaga migran

c.

Diskusi Kelompok

Karakteristik Alihdaya dan ruang lingkup obyek pekerjaan

Pekerja migran di Indonesia dan pekerja migran Indonesia di luar negeri: yurisdiksi PHI dan kendalakendalanya

Hasil diskusi

15

PR

a.

Metode

Hasil Probing

5 20

Materi

Diskusi Pleno

Tujuan Pembelajaran

• Mampu memahami konteks ekonomi dan sosial yang lebih luas dari kontrak kerja tidak standar

• Mampu memahami dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur kontrak kerja, bagi pekerja tetap , tenaga alih daya serta pekerja migran • Mampu memahami dan menerapkan pendekatan komparatif terhadap isuisu berkenaan dengan pekerja migran. Utamanya, tentang tanggung jawab pengusaha terhadap TKA di Indonesia dan tanggung jawab pengusaha terhadap TKI yang ditempatkan ke luar negeri • Mampu memahami konvensi dan rekomendasi ILO berlaku bagi semua pekerja tanpa memandang kewarganegaraan sesuai dengan standar ketenagakerjaan internasional yang berlaku sama bagi semua pekerja migran yang telah disepakati secara universal.

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• 1-8

Evaluasi

Diskusi Kelompok

Diskusi & Tanya jawab Diskusi Kelompok Diskusi & Tanya jawab Diskusi Kelompok

Diskusi & Tanya jawab

Latihan mengenai kontrak informal dan hubungan kerja tidak jelas; latihan mengenai pekerja migran dan yurisdiksi PHI • • •

Powerpoint UU No.13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaan;; Instrumen internasional: Rekomendasi 198; K 175, 158, 181; R 182, 166 dan 188; panduan beranotasi untuk R 198

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• • •

Laporan global mengenai hubungan kerja dan ekonomi informal Naskah penelitian mengenai hubungan kerja, kerja layak dan kendala perundang-undangan Studi kasus

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 11: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Deskripsi materi : Memahami dan menerapkan undang-undang mengenai PHK Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

20

a. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja

10 30

b. Prosedur/Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja C. Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja

Materi

Metode

a. Ulasan mengenai jenisjenis PHK dan hubungannya dengan alasanalasan PHK

Powerpoint Presentation (Slide Presentasi 17)

-

Diskusi Pleno

b.mengulas mengenai prosedur/tata cara pemutusan hubungan kerja

Peer Assist

c. Mengevaluasi kompensasi, uang pesangon dan mempekerjakan kembali

Durasi: 90 menit

Tujuan Pembelajaran

• Mampu memahami hak atas perlindungan dari PHK yang tidak adil dan prinsip-prinsip hukum domestik • Mampu mengidentifikasi alasan-alasan yang tidak sah atas PHK • Mampu menilai kompensasi/ganti rugi yang wajar untuk PHK dan kendala untuk mempekerjakan kembali • Mampu mengidentifikasi aspek-aspek hukum domestik yang terkait dengan PHK di mana penggunaan ILS dapat berguna

(Studi Kasus) Diskusi Pleno

25

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang hukum ketenagakerjaan domestik dan peraturan pelaksananya; • menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai hukum, instrument, prinsip ketenagakerjaan internasional, dan mekanisme pengawasan sistem standar ketenagakerjaan internasional, termasuk bagaimana dan kapan hakim dapat menggunakan sumber-sumber hukum ini untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan; • menunjukkan pemahaman mengenai perkembangan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial baik ditingkat nasional maupun global (dan dapat senantiasa mengetahui perkembangan baru dan terkini); • mengidentifikasi isu-isu yang relevan dalam perselisihan ketenagakerjaan dan menyelesaikan kasus-kasus dengan menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan; • Secara kritis mengevaluasi proses untuk menyelesaikan konflik dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lebih luas dan hak hukum

Evaluasi

Diskusi

Diskusi Kelompok Tanya Jawab

PR Sumber

• • •

Power point UU No.13 tahun 2003; No.2 tahun 2004 dan No.21 tahun 2000 dan peraturan pelaksananya K 158, 159, R 166

• •

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai keberlakuan pasal 158 UU ketenagakerjaan Survey Umum 1995 mengenai perlindungan terhadap PHK yang Tidak Adil

15

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 12: Pengupahan Deskripsi materi : Memahami dan menerapkan undang-undang untuk pembayaran dan perlindungan upah Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

10

a. Pengertian upah, jenis-jenis upah dan komponen upah

a.

Tinjauan mengenai pengertian upah, jenis-jenis upah dan komponen upah. (Slide Presentasi 18)

Metode

Powerpoint Presentation

Tujuan Pembelajaran

• Mampu memahami prinsip-prinsip yang memandu perlindungan perupahan

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• 1-8

b. Menentukan potongan upah yang wajar, pembayaran non-tunai dan kebebasan untuk menggunakan upah

b.

Tinjauan mengenai pemotongan upah yang wajar, pembayaran nontunai dan kebebasan untuk menggunakan upah

c.

Tinjauan mengenai upah minimum, upah lembur & THR

c. Upah minimum, Upah Lembur & THR Keagamaan.

(Studi Kasus)

Peer Assist

• Mampu mengidentifikasi pembayaran dan potongan upah yang sah dan tidak sah • Mampu menentukan prioritas pembayaran upah dalam kasus kebangkrutan

Hasil Diskusi

30 PR Sumber

16

• •

Evaluasi

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi Pleno

-

15 30

Materi

Durasi: 90 menit

Power point UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; No.8 tahun 1981 tentang perlindungan upah ; No.37 tahun 2004 tentang Pailit; peraturan pelaksanaan

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• •

Instrumen internasional K 95, 131, 173, R 85 Kutipan dari Survey Umum tentang Perlindungan Upah

Diskusi Kelompok Diskusi & Tanya Jawab

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 13: Waktu Kerja dan Jaminan Sosial Deskripsi materi :Memahami undang-undang dan menerapkan kondisi kerja, K3 dan jaminan sosial Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

20

a. Peraturan perundangundangan tentang waktu kerja

25 40

b. Waktu kerja lembur dan waktu kerja istirahat c. Pengaturan Umum Jaminan Sosial Tenaga Kerja; d. Ruang Lingkup Program Jamsostek dan Sistem Penyeleanggaraan

Materi

Metode

a. Tinjauan prinsip dan peraturan tentang waktu kerja (Slide Presentasi 19)

Powerpoint Presentation

-

Diskusi Pleno

b. Tinjauan mengenai waktu kerja lembur dan waktu kerja istirahan c. Tinjauan mengenai pengaturan umum mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja; d. Tinjauan mengenai ruang lingkup program Jamsostek dan Sistem Penyelenggaraan

TV Show Bermain Peran Diskusi Kelompok

Durasi : 120 menit

Tujuan Pembelajaran

• memahami dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur waktu kerja. • memahami pengaturan mengenai waktu kerja khusus; • memahami pengaturan mengenai waktu istirahat; • memahami dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan sosial. • memahami latar belakang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; dan • memahami ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja.

Hubungan dengan Kompetensi Inti

1-8

Evaluasi

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi kelompok Diskusi & Tanya Jawab

(Studi Kasus 1 & Studi Kasus 2) Hasil Diskusi

30 PR Sumber

Diskusi Pleno

Latihan tentang K3 di tempat kerja

• •



Powerpoint UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan; No.01 tahun 1970 tentang keselamatan kerja; No.40 tahun 2004 tentang jaminan sosial ; No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat; peraturan No.14 tahun 1993 tentang jaminan sosial ; peraturan pelaksana Kepmenakertrans No.20 of 2005 tentang HIV/Aids di tempat kerja

• • •

Instrumen internasional:K 155, 159 & 187, P155, R164, 200. Kode praktek ILO tentang HIV/Aids ditempat kerja & panduan ILO tentang Kode Praktek untuk hakim; batasan jaminan sosial Kutipan dari Survey Umum ILO dan Laporan Global tentang kondisi kerja, K3 dan jaminan Sosial (termasuk laporan tentang jaminan sosial & Aturan hukum)

17

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 14: Pemutusan Hubungan kerja & perlindungan upah Deskripsi materi : Penerapan peraturan perundang-undangan tentang hubungan kerja dan perlindungan upah Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

55

a. Analisa hukum dan faktual tentang PHK yang tidak bisa dibenarkan b. Analisa hukum tentang perlindungan upah

Materi

a. b.

Studi kasus mengenai PHK (multi faktor & potensi penyebab) (Studi Kasus 1) Studi kasus mengenai pemotongan upah yang adil dan pembayaran non tunai (Studi Kasus 1)

Hasil Diskusi

30

PR Sumber

18

• • •

Studi kasus Material dari topik No.05, 06 dan 07 Kompedium keputusan pengadilan

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Metode

Peer Assist

Diskusi Pleno

Tujuan Pembelajaran

• Mampu mengidentifikasi isu-isu kunci dan menganlisa kasus hukum yang kompleks berkenaan dengan PHK dan perlindungan upah • Mampu melakukan analisa hukum untuk menentukan pelanggaran terhadap tanggung jawab pengusaha • Mampu mengidentifikasi kapan standar internasional dan/atau hukum komparatif dapat mendukung pengambilan keputusan dalam kasuskasus di mana hukum nasional tidak jelas atau tidak ada.

Durasi : 90 menit

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• 1-8

Evaluasi

Diskusi Kelompok

Diskusi & Tanya Jawab

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 15: Etika Hukum Deskripsi materi : Pengambilan keputusan secara etis dan profesionalisme untuk hakim Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

Materi

Metode

Tujuan Pembelajaran

Durasi : 90 menit

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

Materi dari Mahkamah Agung

PR Sumber

19

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 16: Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial Deskripsi materi : Pengantar aturan acara perdata Waktu (menit) 5 50

Sub Topik diskusi

Metode

a. Prosedur Administratif dan Peran Hakim

c. Eksekusi dan Minutasi

a. b. c.

d.

Teori dan aturan prosedur acara perdata di Indonesia (Slide Presentasi 20) Proses dan aspek khusus proses PHI (Slide Presentasi 21) Karakteristik dan persyaratan untuk mengeluarkan putusan sela, putusan dan/atau mempercepat sidang dan studi kasus; perangkat –diagram alir dan daftar periksa untuk langkahlangkah dan persyaratan (Slide Presentasi 22)

World Cafe

• Mampu memahami aturan-aturan dan prosesproses utama dalam melakukan sidang • Mampu mengevaluasi peran hakim selama sidang (khususnya sehubungan dengan keadilan prosedur dan membantu pihak yang dirugikan) • Mampu mengidentifikasi dan mengevaluasi kebutuhan untuk putusan, putusan sela dan prosedur cepat

Tata cara eksekusi putusan pengadilan di Indonesia

Diskusi Kelompok

• Mampu berpikir kritis dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan berbagai aspek prosedur acara peradilan hubungan industrial • Mampu mengidentifikasi dokumen-dokumen yang harus dimasukkan dalam berkas perkara dan menjelaskan relevansi dan konsekuensi hukum dari setiap dokumen • Mampu untuk mengidentifikasi dan memikirkan hal-hal dan isu-isu yang belum jelas atau terungkap selama pemeriksaan atau pengajuan pihak; • Mampu untuk mengidentifikasi dan menjelaskan teknik yang dipakai secara efektif dalam pemeriksaan saksi dan membantu pihak yang dirugikan. • Mampu mengidentifikasi dokumen yang harus disertakan dalam berkas kasus dan menjelaskan relevansi hukum serta akibat setiap dokumen. • Mampu memahami jenis putusan dan aturan eksekusi putusan

(Studi Kasus) 15

PR Sumber

20

Tujuan Pembelajaran

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

Pengenalan topik

b. Putusan, putusan sela dan pemeriksaan acara cepat 20

Materi

Durasi : 90 menit

Hasil Diskusi

Diskusi Pleno

• Menguji dan menganalisa berkas perkara dan argumen hukum para pihak; • Menilai manfaat dan mengeluarkan putusan sela dan perintah eksekusi (penyitaan aset dsb); • Mempersipakan dan mengadministrasikan sidang • menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang hukum ketenagakerjaan domestik dan peraturan pelaksananya

Latihan (1) Menguji berkas perkara; (2) identifikasi kasus-kasus yang memerlukan putusan sela atau pemeriksaan cepat • •

Power point dan latihan Hukum Acara perdata; UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan peraturan pelaksananya

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• • •

Keputusan dan surat edaran MA yang relevan Studi kasus Perangkat untuk membantu memahami proses dan persyaratan PHI

Diskusi Kelompok

Diskusi Kelomoik

Diskusi & Tanya jawab

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 17: Alur Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial Durasi : 90 menit Deskripsi materi : untuk memahami prinsip dan pengaturan proses beracara sebelum dan pada saat beracara di Pengadilan Hubungan Industrial Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

20

a. Alur Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial b. Subyek Perselisihan Hubungan Industrial

45

c. Jenis Putusan d. Eksekusi dan Permasalahannya e. Penyelesaian Berkas Perkara

20

f. Hubungan antara proses penyelesaian perselisihan, akses terhadap keadilan dan reformasi hukum.

Materi

Metode

Tujuan Pembelajaran

a. Tinjauan umum terhadap proses sebelum proses PHI dan proses beracara PHI b. ulasan terhadap subyek hukum PHI dan legal standing dari masingmasing subyek hukum tersebut. (Slide Presentasi 23)

Visual Presentation

• Mampu memahami aturan kunci dan alur beracara di Pengadilan Hubungan Industrial; • Mampu memahami subjek hukum pada perselisihan hubungan industrial;

c. ulasan memahami jenis-jenis putusan dan fungsinya masing-masing di dalam persidangan (Slide Presentasi 24)

Modified World Cafe Pecha Kucha Style Presentation

• Mampu memahami jenis-jenis putusan serta penerapannya pada praktik; • Mampu memahami aturan dan penerapan eksekusi putusan. • Mampu memahami fungsi dari minutasi.

d. ulasan jenis eksekusi dan permasalahan dalam pelaksananya (Slide Presentasi 25) E.ulasan mengenai arti strategis penyelesaian berkas perkara. (Slide Presentasi 26) Slide Presentasi 27

Powerpoint Presentation

Hubungan dengan Kompetensi Inti

• Melakukan proses persiapan persidangan dan penyusunan agenda persidangan • Melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi persidangan • Mempersiapkan dan mengadministrasikan sidang

Evaluasi

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi & Tanya Jawab

PR Sumber

• • • •

Powerpoint Artikel Akademik; Peratuan Perundang-Undangan dan Ketentuan Teknis Lainnya; dan Sumber materi pada topic 16

21

Topik No. 18: Teknik Pembuatan Putusan Deskripsi materi : memperkenalkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik membuat putusan pengadilan yang baik Waktu (menit) 5

Sub Topik diskusi

Materi

Metode

Tujuan Pembelajaran

a. Pembuatan Putusan Pengadilan

a.

tinjauan mengenai prinsip dan proses pembuatan putusan pengadilan (Slide Presentasi 28)

Powerpoint Presentation

• Mampu memahami mengenai prinsip-prinsip dan proses pembuatan pengadilan yang baik

10

b. Pembuatan Putusan dan Penelitian Hukum

b.

deskripsi mengenai peran penelitian hukum dan penggunaan sumber-sumber informasi hukum elektronik dalam pembuatan putusan pengadilan (Slide Presentasi 29)

Powerpoint Presentation

• Mampu mencari sumber-sumber informasi hukum secara efisien dan akurat • menggunakan operator pencarian untuk menemukan informasi yang relevan secara efisien dan efektif.

15

-

Sesi Interaktif dengan Internet

15

c. Analisis/ Penalaran Hukum

c.

tinjauan mengenai peran penalaran hukum dalam memformulasikan fakta dan hukum dalam pertimbangan hakim (Slide Presentasi 30)

Presentasi Powerpoint

• Mampu menggunakan alat-alat analisis di dalam memformulasikan/ konstruksi fakta-fakta di dalam sebuah kasus

20

d. Peran Filsafat Hukum dan Yursiprudensi dalam Pembuatan Putusan

d.

tinjauan terhadap peran filsafat hukum dan yurisprudensi di dalam hakim menimbang sebuah fakta dan hukum dalam pengadilan (Slide Presentasi 31)

Pecha Kucha Style Presentation

• Mampu mengembangkan putusan pengadilan dengan memperlihatkan refleksi mendalam terhadap fakta dan keadilan bagi para pihak dan sekaligus bagi publik dan perkembangan hukum

Sumber

22

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

Pengenalan topik

25

PR

Durasi : 90 menit

• mengakses dan menafsirkan sumber-sumber hukum (perundangan, putusan pengadilan, literatur akademis, yurisprudensi internasional, standar ketenagakerjaan internasional) secara efisien dan akurat; • Memformulasikan dan secara efektif mengkomunikasikan penilaian tentang pertanyaan teknis mengenai hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial secara konsisten, etis, adil dan logis; • Memformulasikan pendapat orisinil tentang pertanyaan hukum dalam bidang di mana praktek atau preseden tidak ada atau bersifat berlawanan; • Mengidentifikasi dan mempertimbangkan hal-hal dan isu-isu yang tidak secara jelas dikemukakan atau dipaparkan selama sidang atau pengajuan oleh para pihak

Diskusi & Tanya Jawab Diskusi & Tanya Jawab

Hasil riset Diskusi & Tanya Jawab

Diskusi & Tanya Jawab

Praktek menggunakan situs-situs internet; kuis tentang bagaimana menggunakan sumber-sumber internet untuk menemukan nara sumber • •

Materi Power point Materi mengenai teori hukum, ideologi politik dan filosofi yudisial Artikel akademis tentang peran dan evolusi preseden di Indonesia

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

• •

Internet –situs-situs ILO yang relevan; mesin pencari penelitian hukum; website pengadilan di yurisdiksi lain

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 19: Latihan Deskripsi materi : persiapan ujian Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

45

a. Penelitian, analisa dan pertimbangan hukum mengenai pertanyaanpertanyaan hukum di mana hukum Indonesia tidak mengaturnya dan/ atau bersifat ambigu

40

Materi

Durasi : 90 menit

Metode

a. Latihan yang melibatkan penelitian hukum, analisa, dan mempersiapkan kerangka putusan

Diskusi Kelompok

Hasil Diskusi

Diskusi Pleno

Tujuan Pembelajaran

• Mampu mengakses dan menafsirkan sumber-sumber hukum (perundangan, putusan pengadilan, literatur akademis, yurisprudensi internasional, standar ketenagakerjaan internasional) secara efisien dan akurat; • Mampu memahami menunjukkan pemehaman mengenai yurisprudensi domestik dan akibat dan dampak yang lebih luas dari suatu putusan • Mampu mengidentifkasi dan menerapkan kriteria untuk penulisan keputusan yang baik dan mempersiapkan kerangka putusan

Hubungan dengan Kompetensi Inti

1-8, 11

Evaluasi

Diskusi Kelompok

Diskusi & Tanya Jawab

PR Sumber

Seluruh materi dari Topik No. 01-18. Komputer & internet

23

Pelatihan untuk hakim-hakim PHI yang baru diangkat Topik No. 21: Pengembangan ke depan Deskripsi materi : Diskusi berbagi pengetahuan dimasa depan dan peran hakim dalam meningkatkan fungsi PHI Waktu (menit)

Sub Topik diskusi

5

Pengenalan topik

20

a. Belajar dan berbagi pengalaman terus menerus

Materi

Metode

Tujuan Pembelajaran

Powerpoint Presentation

• Mampu mengidentifikasi kesempatan untuk belajar dan berbagi pengalaman terus menerus

-

Probing

-

Opera

• Mampu merefleksikan dan menganalisa tantangan yang dihadapi oleh PHI dan peran hakim untuk mendukung reformasi dan akses infromasi yang lebih luas untuk masyarakatMampu mengevaluasi peran hakim PHI dalam berhubungan dengan pemangku kepentingan dan berkontribusi terhadap reformasi hukum

a.

b.

c.

contoh-contoh perbandingan sistem pelatihan, berbagi pengalaman dari negara lain contoh-contoh perbandingan reformasi dan inisiatif terbaru dalam pengadilan ketenagakerjaan di negara lain Pemilihan contohcontoh perbandingan dari peran publik hakim di yurisdiksi lain

(Slide Presentasi 32) 25 60 10

PR Sumber

b. Memperbaiki sistem hukum (transparansi, akses publik terhadap informasi, manajemen) c. Peran publik hakim (keterlibatan dengan para pemangku kepentingan; partisipasi dalam komunikas akademisi hukum dan diskusi kebijakan).

Hubungan dengan Kompetensi Inti

Evaluasi

• Secara kritis mengevaluasi proses untuk menyelesaikan konflik dengan memperhatikan kepentingan umum yang lebih luas dan hak-hak hukum • menunjukkan pemahaman mengenai perkembangan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial, baik ditingkat nasional maupun global (dan dapat senantiasa mengikuti perkembangan baru) • Memformulasikan dan secara efektif mengkomunikasikan penilaian tentang pertanyaan teknis mengenai hukum ketenagakerjaan dan hubungan industrial secara konsisten, etis, adil dan logis

Diskusi & Tanya Jawab

Refleksi Diskusi

latihan: identifikasikan 5 bidang area kunci yang hakim dapat memberikan kontribusi dan strategi/langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut • •

24

Diskusi Pleno

Durasi : 120 menit

Contoh-contoh perbandingan sistem pengadilan ketenagakerjaan dan peran hakim di yurisdiksi lain Laporan dan makalah mengenai sistem pengadilan Indonesia dan usulan

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial



untuk memperkuat sistem tersebut Pandangan mengenai peran hakim dalam debat publik dan keterlibatan pemangku kepentingan

2

Bagian Latihan

Daftar Isi

Daftar Isi

26

A.

Latar Belakang

27

B.

Tujuan Pelatihan

28

C.

Metodologi

28

D.

Peserta

31

E.

Kebutuhan Akan Pelatihan

32

F.

Sumber Bacaan

32

G.

Sumber Bacaan

32

H.

Latihan-Latihan

33

Topik No. 1: Pengantar & Peran dan Fungsi PHI

33

Topik No. 2 - Pengantar Sumber-Sumber Hukum Internasional tentang Ketenagakerjaan

34

Topik No. 3 - Penerapan Standar Ketenagakerjaan Internasional di Indonesia

42

Topik No. 4 - Kebebasan Berserikat dan Negosiasi Bersama

50

Topik No. 5 - Pemogokan dan Bentuk Tindakan Industri Lainnya

55

Topik No. 6 – Diskriminasi

60

Topik No. 7 – Diskriminasi dan Kebebasan Berserikat

63

Topik No. 8 – Kerja Paksa dan Pekerja Anak

72

Topik No. 9 – Hubungan Kerja

76

Topik No. 10 – Hubungan Kerja & Outsourcing Serta Pekerja Migran

90

Topik No. 11 – Pemutusan Hubungan Kerja

93

Topik No. 12 – Upah dan Perlindungan Upah

95

Topik No. 13 – Kondisi Kerja dan Jaminan Sosial

98

26

Topik No. 14 – Pemutusan Hubungan Kerja & Perlindungan Upah

103

Topik No. 16 – Prosedur Perdata

113

Topik No. 18 - Sesi Interaktif Dalam Pencarian Sumber Internet

116

Topik No. 19 - Penelitian Hukum, Analisis dan Penalaran

118

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Pengantar

A. Latar Belakang Pada tahun 2004, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Ketentuan hukum yang baru ini mengubah pendekatan dan mekanisme penyelesaian sengketa hubungan industrial. Sebelum berlakunya UU PPHI, perselisihan hubungan industrial diselesaikan dengan menggunakan skema mediasi tripartit, sementara UU PPHI mengadopsi pendekatan berbasis pengadilan dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial, dengan menggabungkan skema pendekatan bipartit dan mediasi. Dalam mengadopsi penyelesaian dengan pengadilan ini, UU PPHI telah membentuk Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Komposisi hakim dari pengadilan ini menggabungkan antara hakim karir dan hakim ad-hoc. Hakim Ad-hoc terdiri dari orang yang berasal dari beragam latar belakang, yang dalam banyak hal berasal dari latar belakang non-hukum tapi memiliki pengalaman yang cukup di bidang hukum ketenagakerjaan. Setelah dua tahun berlakunya UU PPHI, pengadilan hubungan industrial mulai berlaku secara efektif. Pengadilan hubungan industrial beroperasi di 33 provinsi dan sebuah pengadilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Perjalanan pengadilan hubungan industrial tidaklah mulus, terdapat beberapa hambatan administratif, prosedural dan sumber daya manusia, yang menyebabkan tidak beroperasinya pengadilan hubungan industrial secara optimal. Salah satu tantangan terbesar dalam sumber daya manusia adalah tidak adanya kurikulum pelatihan bagi hakim pengadilan hubungan industrial yang tersusun secara sistematis. Padahal hal ini sangat dibutuhkan, mengingat hakim adhoc yang tidak memiliki latar belakang hukum, sehingga diperlukan upaya meningkatkan kapasitas hakim dalam memahami, menafsirkan dan menerapkan hukum internasional dan nasional untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, baik untuk ad-hoc dan hakim karir. Program pelatihan yang pernah ada selama ini dilakukan secara spontan dan sementara. Jadwal pelatihan hakim dikembangkan oleh Pusat Pelatihan Mahkamah Agung, namun isi dan bahan untuk diprogram yang diberikan kepada masing-masing pengajar untuk dikembangkan. ILO dan MA telah bekerjasama untuk mengembangkan kurikulum pelatihan untuk memecahkan persoalan di atas. Panduan ini dikembangkan berdasarkan kurikulum dan bertujuan untuk menciptakan

27

sistem pelatihan yang lebih terstruktur dan terorganisir. Pada tahun 2011, MA didukung oleh ILO membuat penilaian untuk kebutuhan pelatihan bagi hakim pengadilan hubungan industrial. Materi dalam panduan ini adalah salah satu output dari penilaian terhadap kebutuhan pelatihan tersebut. Buku panduan pelatihan terdiri dari beberapa latihan-latihan terhadap materi pada topik tertentu dalam kurikulum. Latihan berfungsi agar para peserta dapat memahami materi yang diberikan pada sesi-sesi pelatihan.

B. Tujuan Pelatihan Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memperkuat kapasitas dan kompetensi hakim PHI dalam mengakses, memahami, menafsirkan, dan menerapkan hukum ketengakerjaan internasional dan nasional untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Dengan demikian, ada beberapa kompetensi yang perlu dimiliki oleh hakim PHI sebagai berikut: •

Mampu memeriksa dan menganalisa berkas kasus dan argumen hukum para pihak;



Mampu memeriksa dan mengevaluasi saksi dan bukti-bukti;



Mampu mengidentifikasi dan mempertimbangkan hal-hal dan masalah yang terdapat selama persidangan namun tidak jelas;



Mampu memfasilitasi penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi antara pihak yang bersengketa bila dimungkinkan;



Mampu menilai dan memberikan putusan sela dan perintah eksekusi (penyitaan aset, dll) secara tepat; dan



Mampu mempersiapkan dan mengelola secara administratif sebuah persidangan.

C. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam pelatihan ini adalah pembelajaran aktif untuk orang dewasa (active adult learning). Kunci melaksanakan metodologi pembelajaran ini adalah: 1. materi dan tujuan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta, 2. struktur pembelajaran yang mudah dipahami dan diikuti, 3. suasana pembelajaran yang mendukung secara psikologis maupun teknis, dan 4. peran peserta sebagai penentu utama keberhasilan pembelajaran mereka. Peran pelatih dan fasilitator adalah memastikan agar keempat kunci di atas tersedia baik sebelum maupun selama pembelajaran. 1.

Materi dan tujuan pembelajaran Pembelajar dewasa (adult learner) hanya akan mempelajari hal-hal yang mereka percaya relevan dengan pekerjaan dan kehidupan mereka, terutama pada penyelesaian masalah praktis. Bukan berarti pembelajar dewasa tidak perlu mendapat pengetahuan baru; namun tanpa relevansi

28

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

sama sekali dengan kebutuhan, akan sulit bagi mereka untuk menempatkan pengetahuan baru tersebut dalam kehidupan sehingga jika tidak digunakan pada akhirnya akan terlupakan. Absennya relevansi materi dan tujuan dapat mengakibatkan motivasi belajar yang rendah. Hal ini dapat dirasakan ketika, misalnya, seorang peserta yang belum memahami pentingnya pelatihan bersikap apatis, skeptis bahkan jadi sumber masalah bagi peserta lain selama proses pembelajaran. Untuk menghindari kondisi ini, pelatih dan fasilitator perlu memastikan agar materi dan tujuan pelatihan sesuai dengan kebutuhan peserta atau mendatangkan peserta yang memang memerlukan materi tersebut. 2

Struktur pembelajaran Peserta perlu memahami proses dan struktur pembelajaran yang sesuai dan menjamin hasil akhir yang diharapkan. Ketika peserta tidak melihat kesinambungan antara proses (teknik dan metode yang digunakan pelatih, misalnya) akan sulit untuk mempertahankan motivasi dan fokus mereka. Oleh karena itu, sedari awal penting bagi pelatih dan fasilitator menyampaikan agenda pembelajaran yang berisi kapan dimulai dan selesai, apa materinya dan bagaimana cara materi disampaikan agar peserta dapat menyiapkan energi dan kondisi serta kapasitas mental mereka. Ketika belajar, peserta menempatkan pelatih dan fasilitator tidak setinggi anak-anak melihat guru mereka. Alih-alih, peserta dewasa lebih memilih belajar dari dan bersama dengan rekan sejawat (peer). Oleh karena itu, pelatih dan fasilitator - walau membawa pengetahuan yang lebih – diharapkan mampu menciptakan suasana yang cair di antara peserta. Selain itu, pelatih dan fasilitator dituntut mampu menempatkan diri sebagai rekan sejawat yang ‘sama-sama belajar’. Hal ini dapat direfleksikan pelatih dan fasilitator, misalnya, melalui meminta peserta pembelajaran untuk menentukan aturan bersama (team contract) untuk menciptakan rasa saling memiliki dan tanggung jawab atas keberhasilan pembelajaran. Selama proses belajar, pelatih dan fasilitator diharapkan mengakomodasi ketiga gaya belajar yang umum ditemukan yaitu visual, auditori dan kinestetik. Walaupun setiap orang cenderung nyaman dengan satu gaya pembelajaran tertentu, memadukan ketiganya membantu peserta menemukan pemahaman dengan cara mereka sendiri, selain untuk menghindari kejenuhan akan satu gaya tertentu. Sebagai contoh, untuk materi bagaimana identifikasi mogok kerja dan demonstrasi, pelatih dapat membagi ilmunya melalui penjelasan tentang definisi di awal (auditori) dengan menunjukkan foto-foto mogok kerja dan demonstrasi (visual) sebelumnya akhirnya mengajak peserta belajar mengidentifikasi sendiri melalui studi kasus dan bermain peran (kinestetis). Pelatihan ini akan menggunakan beberapa teknik dan metode yang mendukung proses dan struktur pembelajaran, misalnya: a.

menyampaikan informasi: baik secara oral (mis. story telling), tertulis (mis. menggunakan flipchart), visual (mis. mindmap) maupun kinestetik (mis. bermain peran), baik secara individual (mis. presentasi powerpoint) maupun berkelompok (mis. world cafe), dan seterusnya.

b.

mengumpulkan informasi: baik secara oral (mis. polling), tertulis (mis. probing) maupun visual (mis. voting), baik secara individual (mis. menggunakan kuesioner) maupun berkelompok (mis. brainstorming), dan seterusnya.

29

3.

c.

mengolah informasi: baik secara oral (mis. fish bowl), tertulis (mis. timeline) maupun visual (mis. herringbone), baik secara individual (mis. interpretasi individual) maupun berkelompok (mis. diskusi kelompok), dan seterusnya.

d.

menguji dan mengevaluasi hasil olahan informasi: baik secara individual (mis. refleksi) maupun berkelompok (mis. six thinking hats), dan seterusnya.

e.

ice breaking dan energizer: baik secara oral (mis. sociometric), tertulis (mis. sociogallery), maupun visual (mis. kartu pos bergambar), baik secara individual (mis. teriak OK!) maupun berkelompok (mis. pulau ikan hiu), baik untuk perkenalan (mis. permainan spidol), mengungkap perbedaan (mis. tetangga saya), mempererat kerjasama tim (mis. simpul manusia), dan seterusnya.

Suasana pembelajaran Pembelajar dewasa umumnya tidak punya banyak waktu untuk belajar. Oleh karena itu, suasana yang produktif sangat mendukung produktifitas pembelajaran. Ketika belajar bersama, pembelajar dewasa akan mencari relevansi mereka dengan peserta lain. Oleh karena itu, sebelum proses pembelajaran dimulai, pelatih dan fasilitator perlu memperkenalkan peserta, dengan tujuan bukan hanya untuk saling mengenal namun juga agar mereka merasa dihargai dan diakui sebagai individu yang unik. Selain itu, pelatih atau fasilitator juga perlu menciptakan lingkungan yang terbuka dan empatif dengan memastikan seluruh peserta merasa nyaman dan mendapat kesempatan yang sama untuk menyampaikan pemikiran namun tetap diakui sebagai bagian dari kelompok. Secara teknis, lingkungan fisik, perlengkapan dan peralatan pembelajaran perlu dipersiapkan dengan baik. Sebagai contoh, luas ruangan mencukupi untuk jumlah peserta yang hadir, baik dalam format diskusi bersama maupun diskusi kelompok. Ruangan tidak terganggu dari luar (suara dan orang-orang) maupun dari dalam, misalnya menempatkan layar presentasi di sudut ruangan agar presenter dan peserta tidak terganggu.

4.

Peran peserta Karena paham benar akan apa tujuan ia belajar, pembelajar dewasa cenderung akan memilah dan memilih bagian mana dari materi pembelajaran yang menurutnya relevan. Kecenderungan ini nampak jelas terlihat ketika seorang peserta menggebu-gebu di satu sesi dan terlihat melempem di sesi yang lain. Hal ini wajar. Yang dapat dilakukan pelatih dan fasilitator yang ‘harus’ menyampaikan seluruh materi adalah meminta masukan peserta agar materi tersebut menjadi relevan untuk mereka. Pelatih dan fasilitator juga perlu sering-sering mengobservasi dan menganalisa dinamika kelompok, terutama sikap kelompok terhadap pelatihan. Walau secara individu peserta dapat memilih untuk menjadi tidak lebih aktif dibanding peserta lain, namun jika muncul risiko terbentuknya kelompok-kelompok kecil yang memboikot pelatihan dengan memilih untuk tidak aktif, pelatih dan fasilitator perlu segera memperbaiki proses pelatihan. Misalnya, dengan mengajak peserta menilai dan memperbaiki metode penyampaian materi, dan seterusnya. Dalam pembelajaran aktif untuk orang dewasa, peserta memang menjadi penentu seberapa besar sukses yang ia ingin capai. Namun, pelatih dan fasilitator dapat membantu peserta

30

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

mencapai sukses terbaik dengan senantiasa memastikan situasi dan kondisi yang memaksa peserta untuk memilih (hanya) belajar karena tidak ada pilihan lain selain belajar. Keempat kunci di atas – ketika dikelola dengan baik – menghasilkan interaksi peserta yang produktif. Untuk mengelola interaksi yang produktif – misalnya dalam diskusi - berikut adalah beberapa tips dan trik berguna: •

Menjelaskan tujuan dan materi pada permulaan sesi: agar peserta dapat mengantisipasi isi dan proses yang terjadi dalam sesi tersebut,



Menginformasikan pertanyaan kunci: hal ini sangat berguna untuk memberikan perspektif dan lingkup topik yang benar kepada peserta,



Melakukan refleksi pada akhir sesi: hal ini sangat membantu bagi para peserta untuk mengevaluasi hasil dari setiap sesi dan membandingkannya dengan hasil yang diharapkan serta tujuan pelatihan secara keseluruhan,



Membuat suasana cair: ketika peserta bosan dan tidak fokus, pelatih diharapkan dapat mencairkan suasana melalui, misalnya, permainan, dll.,



Gali pendapat: dalam diskusi atau interaksi, pelatih perlu menggali informasi yang mencukupi dari peserta dan mengklarifikasi argumen mereka dengan tetap berhati-hati agar tidak mengintimidasi,



Mencegah dominasi: beberapa orang secara alami cenderung mendominasi forum atau sesi diskusi; pastikan untuk mengontrol orang ini dengan memberikan kesempatan pada orang lain untuk berbicara;



Membingkai kembali: ketika diskusi berujung kebuntuan atau informasi menjadi tidak relevan, pelatih perlu membingkai ulang peserta dengan tujuan sesi, dan



Menyimpulkan: di setiap penutupan sesi/topik, pelatih – atau peserta – perlu menyimpulkan isi dan proses sesi/topik untuk membantu peserta mengontekstualisasikan sesi ke tujuan pelatihan secara menyeluruh.

D. Peserta Para peserta pelatihan ini adalah hakim pengadilan hubungan industrial, baik karier maupun ad-hoc. Para hakim karier adalah hakim profesional yang ditunjuk oleh MA untuk mengisi posisi hakim di pengadilan hubungan industrial. Sebagai seorang hakim karier, pengetahuannya tentang sebagian materi yang diberikan dalam pelatihan ini mungkin sudah dimiliki. Namun, ada bagian dari beberapa materi tertentu pada hukum ketenagakerjaan yang perlu juga diketahui oleh hakim karier, terutama dalam aspek hukum ketenagakerjaan internasional. Selain itu, kekhususan dari pengadilan hubungan industrial dan sensitivitas kasus perselisihan hubungan industrial merupakan bagian dari keterampilan dan pengetahuan yang perlu dipelajari kembali oleh hakim karier. Hakim Ad-Hoc adalah hakim yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja dan organisasi pengusaha. Dalam penilaian yang dibuat oleh MA dan ILO, ditemukan bahwa latar belakang pengetahuan hukum dan keterampilan pengambilan keputusan sebagian besar hakim ad-hoc kurang memadai. Namun, sebagian besar hakim ad-hoc berpengalaman dalam isu-isu ketenagakerjaan.

31

E. Kebutuhan Pelatihan Di dalam memberikan pelatihan ini, beberapa bahan-bahan dan peralatan dibutuhkan, sebagai berikut: •

Ruang kelas;



Komputer/Laptop dan proyektor LCD ;



Kertas plano;



Peralatan tulis;



Kertas Meta-plan (dalam berbagai ukuran dan bentuk);



Koneksi internet, dll.

F.

Sumber Bacaan

Buku & Penerbitan Lainnya Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (2009) Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (2009) Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Pengantar Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti (1982); Dr. Johnny Ibrahim, S.H., M.Hum, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media (2005); Dr. H Eddy Djunaedi Karnasudirdja, S.H., MCJ, Himpunan Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Hak-Hak Asasi Manusia, P.T. Tatanusa (2006); Catrioa Cook, et, al, Laying Down The Law 7th edition, LexisNexis Butterworths (2009) Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Werner Sengenberger ‘International Labour Standard in the Globalized Economy: Obstacle and Opportunities for Achieving Progress (2006) Ian Brownlie, Principle of International Law, (1982)

Situs www.hukumonline.com www.legalitas.org www.netlex.org http://www.ilo.org/ilolex/english

H. Latihan-Latihan Berikut merupakan bentuk-bentuk latihan-latihan yang akan dilakukan selama pelatihan ini, sebagai berikut:

32

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Pengantar, Peran dan Fungsi PHI

Topik No.

01

Tidak ada latihan untuk sesi ini.

33

Pengantar Sumber-Sumber Hukum Internasional tentang Ketenagakerjaan

Topik No.

02

Topik ini menghadirkan dua studi kasus pendek untuk dibahas secara bersama.

Topik No.2 (B) Studi Kasus Tujuan Untuk mengkaji ulang dan membahas cara-cara bagi sebuah pengadilan untuk menggunakan standar-standar ketenagakerjaan internasional. Waktu Pengaturan Bahan Langkah

: 10 menit : Diskusi Bersama : Lembaran 1 :

Bagikan lembaran kasus kepada semua peserta dan minta mereka untuk membaca keputusan pengadilan di lembaran tersebut. Setelah mereka selesai membaca dengan seksama kasus tersebut, fasilitasi kegiatan diskusi tentang pendapat mereka mengenai keputusan yang diambil. Bisakah para hakim tersebut menggunakan alasan yang sama di Indonesia? Untuk situasi seperti apa? Akhiri kegiatan diskusi dengan memberikan penekanan bahwa ketika terjadi kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang nasional, maka hukum internasional, bahkan untuk sebuah konvensi yang belum diratifikasi sekalipun, bisa menjadi sumber inspirasi bagi para hakim di dalam pengambilan keputusan.

34

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Topik No.2 (D) Studi Kasus Tujuan Untuk mengkaji ulang dan membahas cara-cara dimana sebuah pengadilan Indonesia telah menggunakan konvensi yang telah diratifikasi di dalam pengambilan keputusannya Waktu Pengaturan Bahan Langkah

: 10 menit : Diskusi Bersama : Lembaran 2 :

Bagikan lembaran kasus kepada semua peserta dan mintalah mereka untuk membaca sebuah keputusan yang telah diambil oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Setelah mereka selesai membaca dengan seksama kasus tersebut, tanyakan pendapat mereka mengenai keputusan yang diambil. Setelah beberapa peserta mengungkapkan pendapat mereka mengenai keputusan tersebut, maka tanyakan juga sejauh mana para hakim Pengadilan Hubungan Industrial bisa berperan di dalam melaksanakan konvensi yang telah diratifikasi di Indonesia? Tutup kegiatan diskusi dengan membahas Prinsip-Prinsip Banglore dan Prinsip-Prinsip Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina (Vienna World Conference on Human Rights) dan lakukan presentasi tayangan mengenai pasal-pasal di undang-undang Indonesia yang bisa diterapkan oleh para hakim ketika akan menggunakan hukum internasional – Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina mengenai Aturan Traktat (“Pacta Sunt Servanda”) – setiap traktat yang diterapkan bersifat mengikat kepada semua pihak dan harus dijalankan dengan niat baik dari semua pihak Pasal 19(5)(d) Konstitusi ILO – anggota yang telah melakukan ratifikasi “akan melakukan tindakan yang diperlukan untuk memastikan dijalankannya ketentuan yang ada di Konvensi secara efektif” Pembukaan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No 39 tahun 1999 : “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universitas tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia” Bagian Umum dari Penjelasan Undang-Undang Ketenagakerjaan: “Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan dan pada hak asasi manusia di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-Undang Ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut” Penjelasan Undang-Undang Serikat Pekerja: “Hak berserikat bagi pekerja, sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) no. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO no. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar Daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional.

35

Topik No.2 Lembaran 1. Pengadilan Perselisihan Industrial, 6 Desember 2004, Perkara no. 79/2002 Negara: Kenya Hal: Perlindungan terhadap upah pekerja Peran hukum internasional: penerapan hukum internasional sebagai panduan untuk menginterpretasikan hukum nasional; penetapan prinsip yurisprudensial sesuai hukum internasional Jenis instrumen: perjanjian non ratifikasi (1); instrumen yang tidak harus diratifikasi (2); hukum tentang perkara internasional (3); hukum perkara asing (4). Sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan ditempatkan dalam proses kepailitan dan kurator yang ditunjuk kemudian memecat banyak karyawannya. Para karyawan ini mengajukan banding ke pengadilan untuk menuntut pembayaran upah mereka, serta berbagai klaim lain yang belum dilunasi dan ganti rugi atas pemecatan mereka sesuai kesepakatan kerja bersama yang berlaku di perusahaan tersebut. Kurator yang ditunjuk menjelaskan bahwa perusahaan harus membayar utang lainnya sebagai alasan mengapa tidak memenuhi tuntutan karyawan. Untuk membenarkan pentingnya pembayaran utang-utang tersebut daripada pembayaran upah karyawan, Kurator kemudian mengajukan pembelaannya sesuai undang-undang tata niaga yang ada, yang membatasi klaim upah hingga maksimal 4000 shilling Kenya atau 4 bulan gaji, dimana jumlah yang kecil yang menjadi acuan. Setelah menyatakan bahwa undang-undang tata niaga sudah lama dan belum diperbaharui, pengadilan juga menekankan bahwa saat pelaksanaan sidang, jumlah 4000 shilling Kenya adalah setara dengan kurang dari satu bulan upah minimal. Pengadilan kemudian menyatakan bahwa peraturan ketenagakerjaan yang baru tidak menyatakan apapun terkait aspek perlindungan klaim upah. Namun celah ini menimbulkan adanya kontradiksi antara peraturan tenagakerja dengan undang-undang tentang bisnis komersil. (5) Untuk mengatasi kontradiksi ini serta menginterpretasikan kesesuaian peraturan ketenagakerjaan dan agar dapat menentukan sejauh apa tuntutan para pekerja perlu dilindungi, Pengadilan kemudian memutuskan untuk meneliti posisi perundang-undangan ketenagakerjaan internasional terkait masalah ini. Untuk menjustifikasi pendekatannya, pengadilan memeriksa berbagai keputusan pengadilan dari negara-negara yang memiliki peraturan umum yang mengacu pada peraturan internasional saat terjadi pertentangan peraturan. (6)Pengadilan kemudian mempelajari Konvensi ILO no. 95 tentang Perlindungan Upah dan Konvensi no. 173 tentang Perlindungan Terhadap Tuntutan Pekerja (Kepailitan Pengusaha) walaupun sebenarnya konvensi-konvensi ini belum diratifikasi Kenya. Pengadilan kemudian menekankan pentingnya Pasal 7 Konvensi ILO no. 173. Pasal ini menetapkan bahwa apabila peraturan lokal membatasi perlindungan pekerja terkait tuntutan upah hingga ke batas jumlah

36

tertentu, maka batas maksimal ini harus bisa diterima secara kemasyarakatan dan perlu direvisi dari waktu ke waktu. Untuk memperkuat analisanya tentang peraturan ketenagakerjaan internasional, Pengadilan kemudian mempelajari pekerjaan yang dihasilkan Komisi Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi ILO, terutama survei umum Komisi ini terkait kedua Konvensi tersebut. (7) Dengan mengacu pada Komisi Ahli ini, Pengadilan menyatakan sebagai berikut: “ILO juga memiliki Komisi Kelompok Ahli yang terdiri dari beberapa ahli terkemuka dunia di bidang peraturan ketenagakerjaan yang dipilih dari negara-negara anggota dan bertugas untuk meneliti laporan tahunan dari negara anggota serta mempelajari survei dan laporan lain, dan memberi rekomendasi lebih lanjut tentang pelaksanaan Konvensi khusus. Rekomendasirekomendasi ini kemudian diterapkan secara luas oleh pengadilan di seluruh dunia dan menjadi bagian dari perkembangan yurisprudensi Konvensi-konvensi ILO pada khususnya dan peraturan tentang hak-hak asasi manusia internasional pada umumnya.” Berdasarkan hasil survei umum Komisi Ahli ini, Pengadilan menegaskan bahwa pemberian perlindungan khusus terhadap tuntutan pekerja merupakan prinsip yang sudah diterima secara luas di tingkat internasional, dikarenakan pentingnya upah bagi kelangsungan hidup para pekerja. Pengadilan juga menegaskan ayat yang terkait dengan penelitian tentang perlindungan upah dan hak untuk memperoleh upah layak, sebagaimana diakui dalam Pasal 23 Deklarasi Universal tentang HAM. Setelah mencatat beberapa orientasi peraturan ketenagakerjaan internasional terkait masalah ini, pengadilan kemudian menyatakan perlunya menginterpretasikan ketidaksesuaian atau kontradisi peraturan dengan cara yang mampu memastikan adanya perlindungan secara sosial bagi para pekerja perusahaan-perusahaan yang menghadapi kesulitan keuangan. Pengadilan menyatakan: “Haruskah kita berasumsi bahwa kalau peraturan sudah tidak sesuai lagi, maka ia tidak mampu lagi memberikan keistimewaan, seperti yang dikemukakan responden di depan kita ini? Jika ya, (...) apakah pekerja (...)harus dibiarkan pergi tanpa memperbaiki peraturan kita? Kita tidak dapat membayangkan situasi ini yang terkait dengan keputusan kita secara konstitusional, yaitu peraturan yang dibuat serta interpretasi dan aplikasinya dalam konteks peraturan internasional.” Berdasarkan Konvensi ILO no. 95 dan 173 serta pendapat Komisi Ahli ILO terkait instrumeninstrumen ini, Pengadilan Hubungan Industrial Kenya akhirnya memutuskan bahwa upah dan tunjangan lain yang terkait dengan periode sebelum pemecatan harus diberikan hingga empat bulan gaji. Semua tuntutan lain berdasarkan peraturan ini, kesepakatan kerja bersama perusahaan serta kontrak kerja, diberikan hingga batasan yang tidak lebih dari dua belas bulan gaji. 1.

Konvensi ILO no. 95 tahun 1949 tentang Perlindungan Upah; Konvensi ILO no. 173 tahun 1992 tentang Perlindungan terhadap Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha).

2.

Deklarasi Universal tentang HAM tahun 1948.

37

3.

Komisi Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi ILO.

4.

India dan Inggris Raya.

5.

Pengadilan menegaskan bahwa, misalnya, bila ada keputusan pengadilan yang mengharuskan pekerja membayar hutang komersil, maka hutang-hutang tersebut tidak dapat dibayarkan sampai tuntutan upah pekerja dilunasi.

6.

Khususnya kasus Vishaka yang ditangani Mahkamah Agung India.

7

ILO: Upah Minimal, Survei Umum Komisi Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Laporan III (4B), Konferensi Buruh Internasional, sidang ke-79, Geneva, tahun 1992.

Perlu dicatat bahwa Pengadilan menyatakan secara berulang-ulang ketentuan pasal 7 Konvensi ILO no. 173.

38

Topik No.2 Lembaran 2. CEDAW- Indonesia Pasal 11 Ketenagakerjaan Nurhatina Hasibuan (Penggugat) v PT. Indonesia Toray Sythetics, Fungsionaris Serikat Pekerja Indonesia, Fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Indonesia, Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Indonesia (Tergugat) No. 651/PDT/1988/PT.DKI Pengadilan Tinggi Jakarta 2 Juli 1988 Hasan Basri Pase CJ (Hakim Ketua), Moeridjatun, Sungkono JJ (Anggota) Undang-Undang dan Instrumen Internasional yang dipertimbangkan. CEDAW 1979, Pasal 1, 4, 11; Kesepakatan Kerja Bersama 1954, Pasal 12, Bagian 2 (Kesepakatan Kerja Bersama) 16, 68; Undang-Undang Ketenagakerjaan 1969, Pasal 2; Undang-Undang ketenagakerjaan 1948, Pasal 7,8,9,13 Kasus ini berkaitan dengan apakah usia pensiun yang lebih rendah bagi pekerja wanita merupakan diskriminasi gender. Pengadilan mempertimbangkan apakah usia pensiun yang lebih rendah merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan 1969, yang melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin, maupun instrumen-instrumen internasional seperti CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination against Women – Komite untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan). Pengadilan juga mempertimbangkan apakah memiliki yurisdiksi untuk menyidangkan kasus ini. Pada tanggal 27 April 1987, penggugat, Ny Hasibuan, menerima surat pemberitahuan dari perusahaan tempatnya bekerja, Toray Sythetics, bahwa karena ia akan berusia 40 tahun pada bulan berikutnya, ia diharuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Perjanjian kerja, yang menjadi dasar Ny Hasibuan dipekerjakan di sana, mencantumkan syarat usia pensiun wajib adalah 55 tahun bagi laki-laki dan 40 tahun bagi perempuan. Bagi Ny Hasibuan, ini berarti ia tidak akan berhak menerima tunjangan-tunjangan yang sama dengan untuk laki-laki, karena dengan usia pensiun tersebut ia tidak memenuhi syarat untuk menerima uang pensiun. Ny. Hasibuan mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk memberikan perintah kepada perusahaan agar mengubah syarat usia pensiun wajib sehingga sama bagi laki-laki dan perempuan. Ia juga memohon agar Pengadilan memerintahkan perusahaan untuk mempekerjakannya sampai ia berusia 55 tahun. Pengadilan Negeri memutuskan untuk memenangkan Ny Hasibuan dan perusahaan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

39

Ny Hasibuan berpendapat bahwa Pasal 12, Bagian 2 dari Kesepakatan Kerja Bersama 1954 (“Perjanjian Kerja”) bersifat diskriminatif karena menetapkan usia pensiun yang lebih rendah bagi perempuan dibanding laki-laki. Ia berpendapat bahwa hal ini melanggar Pasal 2 UndangUndang Ketenagakerjaan 1969, yang menyatakan bahwa perusahaan tidak diperkenankan melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa Serikat Pekerja, yang dengan sengaja menyetujui Perjanjian Kerja tersebut, juga telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan 1969. Akhirnya, Ny Hasibuan berpendapat bahwa Indonesia memiliki kewajiban internasional untuk meningkatkan kesetaraan perempuan sesuai dengan CEDAW, dan karena itu harus mengubah Perjanjian Kerja sehingga mencantumkan syarat yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Perusahaan selaku tergugat berpendapat bahwa Pengadilan tidak memiliki yurisdiksi untuk mengambil keputusan atas hal ini dan kasus ini seharusnya ditangani oleh badan-badan adminstratif yang menangani perselisihan perburuhan. Badan-badan administratif tersebut, menurut tergugat, termasuk Kantor Pusat Departemen Tenaga Kerja, serta Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan. Karena lembaga-lembaga ini bertanggung jawab atas Perjanjian Kerja maka tindakan apapun harus ditujukan kepada mereka. Tergugat juga berpendapat bahwa meskipun Pengadilan ternyata memiliki yurisdiksi, perbedaan usia pensiun wajib bagi laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari kesepakatan kerja yang hanya sementara (selama dua tahun) dan atas dasar ini tidak seharusnya diperkarakan sebagai diskriminasi. Tergugat juga berpendapat bahwa sekalipun Kesepakatan Kerja tersebut diskriminatif, hal itu merupakan diskriminasi yang dapat diterima. Mereka berpendapat bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadi pembenaran untuk syarat usia pensiun yang lebih muda bagi perempuan. Sebagai contoh, perempuan memiliki kecenderungan lebih besar menderita stress dan penyakit berkaitan dengan kerja. Tergugat berpendapat bahwa syarat tersebut bertujuan untuk melindungi, seperti halnya dengan perundangan yang melarang perempuan bekerja di pertambangan, atau di waktu malam. Lebih lanjut, perbedaan usia pensiun bisa juga ditemukan dalam kelompok-kelompok pekerja lain dalam dunia kerja seperti misalnya untuk posisi-posisi dalam pemerintahan di mana pekerja memiliki usia pensiun yang lebih rendah. Hal ini, menurut tergugat, diperkenankan sebagai diskriminasi yang dapat diterima. Akhirnya, tergugat berpendapat bahwa Ny Hasibuan tidak menyebutkan secara spesifik pasal CEDAW mana yang hendak ia gunakan sebagai landasan. Mereka juga berpendapat bahwa CEDAW tidak seharusnya diterapkan secara kaku, namun harus ditafsirkan secara fleksibel dengan mempertimbangkan norma-norma- sosial setempat dalam suatu masyarakat tertentu. Keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan untuk memenangkan Ny Hasibuan, mengukuhkan keputusan pengadilan negeri. Pengadilan Tinggi menolak argumen tidak memiliki yurisdiksi dengan dasar bahwa bila suatu undang-undang dilanggar, maka Pengadilan memiliki yurisdiksi

40

untuk mengadilinya. Pengadilan memerintahkan bahwa perusahaan, Indonesia Toray Synthetics, segera mengamandemen Perjanjian Kerja sehingga usia wajib pensiun disamakan bagi lakilaki dan perempuan dan menetapkan denda harian atas keterlambatan / penundaan dalam melakukan perubahan yang diperintahkan. Pengadilan juga memerintahkan perusahaan untuk tetap mempekerjakan Ny Hasibuan sebagai karyawati sampai mencapai usia pensiun yang baru, yaitu 55 tahun. Dalam keputusannya, Pengadilan secara eksplisit memakai definisi diskriminasi yang digunakan dalam CEDAW. Lebih lanjut, Pengadilan menegaskan bahwa dalam masyarakat Indonesia “perempuan adalah tulang punggung penunjang ekonomi keluarga” dan karena alasan ini, usia pensiun yang sama bagi laki-laki dan wanita adalah penting. Komentar Keputusan ini sangat progresif bagi hak-hak perempuan. Pengadilan menerapkan CEDAW secara langsung dan tidak menerima argumen bahwa CEDAW harus beradaptasi dengan norma sosial setempat. Lebih dari itu, Pengadilan mengakui pentingnya tenaga kerja wanita bukan saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat. Pertimbangan hukum ini bisa digunakan oleh pengacara untuk berargumentasi mendukung kesetaraan bagi perempuan, terutama dalam kasus-kasus diskriminasi ketenagakerjaan. Dalam kasus ini, Pengadilan mendengarkan pembuktian dari ahli berkaitan dengan perbedaan biologis maupun psikologis antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk membuktikan bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menderita penyakit mental maupun fisik dalam konteks kerja. Pengadilan menganggap argumen ini tidak persuasif. Kasus ini merupakan preseden yang sangat baik bagi pengacara dalam situasi di mana argumen “perbedaan mental/fisik” digunakan untuk mendukung diskriminasi terhadap wanita. Akhirnya, kasus ini menjadi signifikan karena mengakui bahwa, selain perusahaan, serikat pekerja dan dewan pengurus juga bertanggung jawab atas praktek-praktek diskriminasi. Kasus ini berguna karena menegaskan tanggung jawab perwakilan tenaga kerja untuk secara aktif melindungi semua pekerja (anggota) mereka, termasuk perempuan.

41

Penerapan Standar Ketenagakerjaan Internasional di Indonesia

Topik No.

03

Studi Kasus – Topik ini terdiri dari dua studi kasus (Studi Kasus 1 dan Studi Kasus 2, di bawah) untuk mendukung para peserta dalam memahami dan menggunakan standar-standar perburuhan internasional untuk menyelesaikan perselisihan.

Studi Kasus 1 – Penggunaan hukum ketenagakerjaan internasional secara yudisial Tujuan Untuk mendukung para peserta agar mengerti dan mampu menerapkan standar-standar ketenagakerjaan internasional di dalam menyelesaikan perselisihan di Indonesia. Waktu : total 40 menit: 20 menit untuk kegiatan membaca dan menjawab pertanyaan yang ada dan 20 menit untuk melakukan diskusi atas tanggapan yang diberikan Pengaturan : Kerja kelompok dengan peserta 4-6 orang per kelompok. Minta setiap kelompok untuk menunjuk seorang juru bicara yang akan mewakili kelompok tersebut di dalam memberikan jawaban. Bahan : Studi Kasus 1. Lembaran 1 dan semua bahan yang tercantum di dalam bagian ‘Langkah’. Langkah: 1.

42

Berikan lembaran kerja untuk setiap kelompok dan minta mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dengan menggunakan bahan-bahan yang ada sebagai berikut: •

Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi.



Konvensi ILO NO. 98 tahun 1949 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama



Kutipan dari: Kebebasan Berserikat dan Berunding Bersama, Survei Umum dari Komite Ahli mengenai Penerapan Konvesi dan Rekomendasi, International Labour Conference, pada pertemuan ke-81 di Jenewa tahun 1994, laporan III(4B)



Pengunaan Hukum Internasional oleh sebuah Pengadilan Nasional. Ikhtisar KeputusanKeputusan Pengadilan (Use of International Law by Domestic Courts. Compendium of Court Decisions, ITC-ILO, Turin, December 2007)



Petunjuk Kurikulum PHI Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

2.

Setelah setiap kelompok menjawab pertanyaan, maka minta satu anggota masingmasing kelompok untuk mempresentasikan jawaban kelompoknya. Berikan waktu untuk berdiskusi mengenai jawaban yang berbeda. Selama berdiskusi, coba untuk membahas kemungkinan menerapkan standar-standar perburuhan internasional secara otomatis jika hal ini tidak disebutkan sama sekali pada saat diskusi.

3.

Tutup diskusi dengan memberikan penekanan pada permasalahan (Lembaran 2) yang belum dibahas oleh masing-masing kelompok dan fasilitasi sebuah diskusi untuk membahas apakah sumber-sumber yang disebutkan di atas bisa berguna / mudah digunakan untuk menyelesaikan sebuah perselisihan.

43

C. Topik No.3 Studi kasus 1. Lembaran 1 Studi Kasus mengenai Penggunaan hukum ketenagakerjaan internasional secara yudisial Fakta Tuan P bekerja sebagai seorang pelaut pada sebuah kapal yang dimiliki sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut terdaftar di Negara A. Beberapa hari setelah membentuk sebuah serikat pekerja untuk membela kepentingan para pekerja di kapal tersebut, Tuan P dipecat dengan alasan “hilangnya kepercayaan”. Tuan P percaya bahwa pemecatan dirinya adalah jelas merupakan sebuah bentuk pelanggaran atas prinsip kebebasan berserikat dan karenanya pemutusan kontrak yang dilakukan oleh sang pengusaha tidaklah sah secara hukum. Sebaliknya, sang pemberi kerja menganggap bahwa pemutusan kontrak tersebut tidaklah bertentangan secara hukum karena di Negara A kontrak kerja seorang pelaut tidaklah diatur oleh UU Ketenagakerjaan akan tetapi diatur oleh UU Kelautan, dan di dalamnya tidak disebutkan secara khusus bahwa para pelaut memiliki kebebasan untuk berserikat. Untuk bisa menegakkan haknya, Tuan P memutuskan untuk menentang pemecatannya di pengadilan dan menuntut agar dirinya kembali dipekerjakan. Karena ia tidak bisa mengakses Konvensi ILO yang telah diratifikasi negaranya, maka ia hanya bisa mendasarkan tuntutannya berdasarkan UU domestik yang berlaku. Ketentuan dan informasi terkait Ketentuan di Negara A yang terkait Pasal 10 UUD Undang-Undang Dasar ini menghormati hak-hak setiap individu dan kebebasankebebasan mendasarnya. Pasal 12 UUD Hak untuk membuat dan bergabung ke dalam sebuah serikat pekerja dijamin selama sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 UUD Pengadilan harus tetap memproses sebuah kasus ketika pemecahan kasus tersebut bisa menimbulkan pertanyaan mengenai sebuah UU yang tidak konstitusional yang nantinya akan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 1 (b) UU Ketenagakerjaan Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak berlaku untuk para pelaut, dimana persyaratan kerja dan pemberian kerja mereka ditentukan di dalam Undang-Undang Kelautan. Pasal 132 UU Ketenagakerjaan Pemecatan atas dasar kegiatan serikat pekerja tidaklah adil dan bisa berakibat pada pemberian ganti rugi yang tidak boleh melebihi dari tiga bulan gaji.

44

Informasi lainnya yang terkait Negara A telah meratifikasi dan menerbitkan Konvensi ILO mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlidungan atas Hak untuk Berorganisasi tahun 1948 (Konvensi ILO No. 87), dan Konvensi Hak untuk Berorganisasi dan Bernegosiasi Bersama tahun 1949 (Konvensi ILO No. 98). Catatan: anggap bahwa Negara A adalah negara yang menganut sistem dualisme. Pertanyaan Cermati dan bahas situasi di atas, dan posisikan diri sebagai sebuah pengadilan Negara A yang berkompeten untuk menentukan kasus ini. Masing-masing kelompok harus mengacu pada sumber-sumber hukum perburuhan internasional yang bisa diterapkan untuk kasus ini.

45

Topik No.3 Studi Kasus 1. Lembaran 2 – Jawaban Sebuah hal penting pada latihan ini adalah kenyataan bahwa UU Kelautan tersebut tidak secara khusus menolak adanya kebebasan berserikat. Jika Negara A adalah sebuah negara dengan paham monoisme, maka kekosongan hukum yang ada akan memungkinkan Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 diterapkan langsung untuk para pelaut tersebut. Sama seperti halnya UUD negara tersebut, Konvensi ini mengakui secara umum akan kebebasan berserikat. Pada negara yang menganut paham dualisme, Konvensi No. 87 tahun 1948 juga bisa digunakan untuk menginterpretasikan ketentuan yang ada di konstitusi nasional terkait dengan kebebasan berserikat tersebut dan karenanya hal ini bisa mengkonfirmasikan bahwa semua pekerja, termasuk di dalamnya para pelaut, juga menjadi bagian dari prinsip tersebut. Agar bisa mendorong dilakukannya refleksi akan kemungkinan penggunaan hukum ketenagakerjaan internasional secara yudisial, maka setelah setiap kelompok melakukan presentasi mereka, ada baiknya juga untuk menanyakan pada mereka bagaimana mereka akan memecahkan kasus tersebut jika UU Kelautan yang ada secara khusus menyatakan bahwa kebebasan berserikat tidak berlaku. Pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan jawaban Terkait tidak dimungkinkannya mengecualikan para pelaut dari aturan mengenai kebebasan berserikat • Lihat Pasal 2 Konvensi ILO No. 87 dan, a contrario, Pasal 9(1). • Lihat juga keputusan-keputusan berikut ini: • Pengadilan Banding, San Pedro Sula (Honduras), 11 Oktober 2006; • Mahkamah Agung Kanada, Dunmore v. Ontario (Jaksa Agung), 20 Desember 2001, no 2001 SCC 94, mengenai pengecualian bagi para pekerja tertentu terkait kebebasan berserikat. Terkait penggunaan hukum internasional untuk menginterpretasikan kekosongan hukum yang ada • Lihat keputusan-keputusan berikut ini: • Mahkamah Agung India, Vishaka and lainnya v. Negara Bagian Rajasthan and lainnya, 13 Agustus 1997; dan • Mahkamah Agung Botswana (Mahkamah Banding), Jaksa Agung v. Dow, 3 Juli 1992, 1992 BLR 119 (CA). Cara menghadapi pemberhentian karena sikap anti berserikat • Lihat Pasal 1 Konvensi ILO No. 98 dan paragraf 221 et seq. dari Survey Umum 1994 oleh Komite Ahli, yang menjelaskan secara khusus apa yang merupakan bentuk perlindungan yang memadai terhadap pemberhentian kerja karena sikap anti berserikat. • Lihat juga keputusan-keputusan berikut ini: • Pengadilan Banding Nasional, Argentina, Majelis Kelima, Parra Vera Maxima v. San Timoteo SA conc., Banding terhadap pelanggaran hak-hak dan kebebasan mendasar, 14 Juni 2006, no 144/05 s.d. 68536; • Mahkamah Agung Kosta Rika, Majelis Konstitusi, 8 Oktober 1993, Keputusan No. 500093; • Mahkamah Konstitusi Spanyol, Majelis Kedua, 23 November 1981, No. 38/1981.

46

Topik No.3, Studi Kasus 2 – Penggunaan dokumen dari badan pengawas ILO Tujuan Untuk mendukung para peserta agar mengerti dan mampu menerapkan standar-standar ketenagakerjaan internasional, khususnya untuk membuat para peserta sadar akan pentingnya hasil karya dari badan-badan pengawas ILO dan nilai dari karya mereka untuk memecahkan perselisihan yang ada di Indonesia Waktu : total 40 menit: 20 menit untuk kegiatan membaca dan menjawab pertanyaan yang ada dan 20 menit untuk melakukan diskusi atas tanggapan yang diberikan Pengaturan : Kerja kelompok dengan peserta 4-6 orang per kelompok. Bahan: Studi Kasus 2. Lembaran 1 dan semua sumber bahan yang dicantumkan di bagian ‘langkah. Langkah: 1.

Berikan lembar kerja kepada semua kelompok dan minta mereka untuk membaca studi kasus yang ada dan kemudian mempersiapkan sebuah laporan pendek untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada, dengan mengacu kepada sumber-sumber hukum internasional terkait dengan masalah yang diberikan dan khususnya dengan paragraf dari Survei Khusus Komite Ahli tahun 1996 yang memspesifikasikan arti dan cakupan dari ketentuan-ketentuan Konvensi ILO No. 111 yang terkait. Minta setiap kelompok untuk menggunakan referensi-referensi berikut ini di dalam memberikan tanggapan mereka. •

Konvensi ILO. No. 111 tahun 1958 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan)



Konvensi ILO No. 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 (No. 156)



Kutipan dari: Kesetaraan dalam Pekerjaan dan Jabatan, Survei Khusus Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Konferensi Pekerja Internasional, Pertemuan ke 83 Session, Jenewa, 1996, Laporan III(4B)



Penggunaan Hukum Internasional oleh Pengadilan Dalam Negeri. Kumpulan KeputusanKeputusan Pengadilan, ITC-ILO, Turin, Desember 2007

2.

Minta masing-masing kelompok untuk mempresentasikan temuan mereka ke seluruh kelas dan fasilitasi diskusi yang dilakukan terkait dengan berbagai jawaban yang diberikan.

3.

Jelaskan tentang Permasalahan-permasalahan (Lembaran 2) yang muncul terkait dengan jawaban yang masih belum disebutkan oleh semua kelompok. Tutup kegiatan dengan menjelaskan nilai dari komentar serta laporan yang dilakukan oleh badan-badan pengawas agar mereka lebih mengerti dengan baik akan arti dan cakupan dari konvensi-konvensi yang ada.

47

Topik No.3 Studi Kasus 2. Lembaran 1. Fakta Toko Komputer B telah mengadopsi sebuah kebijakan pelatihan yang dinamis untuk memastikan stafnya selalu memiliki pengetahuan terkini mengenai perkembangan teknologi informasi. Untuk mencegah agar tidak mengganggu kegiatan komersial perusahaan tersebut, pelatihan tersebut secara sistematis diatur setelah toko tutup, yaitu setelah pukul 18.30. Pada saat yang sama, untuk memastikan bahwa pelatihan benar-benar diikuti oleh para staf yang bermotivasi dan mengingat adanya hambatan bagi para pegawai yang memiliki tanggung jawab keluarga, maka pelatihan ini tidak dijadikan sebagai sebuah kewajiban. Setelah beberapa bulan berjalan, Nyonya M, seorang pegawai pada perusahaan B ini, mengeluh kepada pihak manajemen kalau kebijakan yang ada tersebut merupakan diskriminasi bagi perempuan. Ia menyatakan bahwa dalam kenyataannya hanya sedikit sekali pekerja perempuan yang ikut serta dalam pelatihan tersebut karena tanggung jawab keluarga yang dimiliki sebagian dari mereka. Pihak manajemen menjawab dengan mengatakan bahwa kebijakan pelatihan perusahaan tersebut tidaklah diskriminatif karena sama sekali tidak menerapkan perbedaan antara lakilaki dan perempuan, peraturan yang sama diterapkan untuk keduanya. Nyonya M kemudian memutuskan untuk mengadukan kebijakan perusahaan tersebut ke pengadilan.

Pertanyaan Cermati dan diskusikan situasi yang dijelaskan di atas, dan bertindaklah sebagai sebuah pengadilan yang berkompeten untuk menentukan kasus ini. Masing-masing kelompok harus melaporkan hasil bahasannya di depan kelas, dengan mengacu kepada sumber-sumber hukum ketenagakerjaan internasional yang bisa diterapkan di dalam masalah ini, dan khususnya terkait dengan paragraf pada Survei Khusus Komite Ahli tahun 1996 yang memspesifikasikan arti dan cakupan dan ketentuan-ketentuan Konvensi ILO No. 111 yang terkait.

48

Topik No.3 Studi Kasus 2. Lembaran 2 – Tanggapan Pendekatan untuk mendapatkan pemecahan Terkait dengan pemikiran akan ‘diskriminasi tidak langsung’ Lihat Pasal 1 Konvensi ILO No. 111 dan paragraf 25 dan 26 dari Survei Khusus Komite Ahli yang menentukan apakah ‘diskriminasi tidak langsung’ telah juga tercakup di dalam konvensi yang disebut di atas. Lihat juga keputusan dari Pengadilan Federal Australia pada kasus Commonwealth of Australia v. Human Rights & Equal Opportunity Commission, 15 Desember 2000, [2000] FCA 1854. Terkait diskriminasi berdasarkan jenis kelamin Lihat paragraf 35, 37 dan 53 dari Survei Khusus yang disebut di atas untuk menentukan apakah diskriminasi berdasarkan jenis kelamin juga mencakup perbedaan berdasarkan peran yang berbeda secara tradisional yang disandang laki-laki dan perempuan, seperti misalnya tanggung jawab terkait dengan keluarga. Terkait diskriminasi berdasarkan tanggung jawab keluarga yang diemban Pekerja laki-laki yang memiliki tanggung jawab keluarga juga bisa terpengaruh karena waktu pelatihan yang dilaksanakan menjelang malam. Lihat juga Konvensi ILO No. 156 terkait permasalahan ini.

49

Kebebasan Berserikat dan Negosiasi Bersama

Topik No.

04

Topik ini terdiri dari dua latihan untuk sesi B.

Tujuan : Untuk menginterpretasikan dan menerapkan peraturan terkait Kebebasan Berserikat dan Kesepakatan Bersama Waktu : 40 menit Pengaturan : Kerja kelompok dengan anggota 4-6 untuk setiap kelompoknya. Minta setiap kelompok untuk menunjuk seorang juru bicara untuk mempresentasikan jawaban kelompoknya. Bahan : Lembaran Langkah: 1.

Beritahukan tujuan pelatihan ini kepada para peserta. Bagi para peserta ke dalam kelompok yang beranggotakan 4-6 orang.

2.

Berikan lembar kasus kepada setiap kelompok. Gunakan pertanyaan yang ada di lembar tersebut.

3.

Setelah selesai berdiskusi, minta setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil pembahasan mereka dan juga minta kelompok lainnya untuk memberikan tanggapan, komentar atau informasi tambahan serta argumentasi lainnya.

50

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Topik No. 4: Studi Kasus Mengenai Hak Untuk Berorganisasi Studi Kasus 1. Lembar 1 – Studi kasus mengenai hak untuk berorganisasi Pada PT Angin Ribut telah terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat bersama manajemen dan serikat pekerjanya. Di dalam perjanjian itu juga terdapat ketentuan dimana satu-

satunya serikat pekerja yang boleh ada di perusahaan tersebut adalah Serikat Pekerja Angin Ribut. Amir, seorang pekerja yang tidak setuju dengan pendapat politik serikat pekerja tersebut, ingin mendirikan serikat lainnya. Akan tetapi, hal ini bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah ada. Ia tidak menjadi anggota SP Angin Ribut, akan tetapi ketentuan yang ada di UU dengan jelas menyatakan bahwa semua pekerja terikat dengan Perjanjian Kerja Bersama dan setiap perusahaan hanya boleh memiliki satu PKB saja. Karena hal ini, Amir mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industri terkait pasal dalam PKB yang membatasi pembentukan serikat pekerja lain.

Pertanyaan: 1.

Bisakah Amir mengajukan tuntutan di PHI?

2.

Apakah ketentuan dalam PKB ini merupakan tindakan anti serikat pekerja?

3.

Dapatkah Perjanjian Kerja Bersama mengatur jumlah serikat pekerja dalam sebuah perusahaan?

4.

Dapatkah PKB dibatalkan? Bagaimana akibatnya?

51

Topik No. 4 Studi Kasus 1. Lembar 2 – Jawaban Pertanyaan 1. Amir bisa mengajukan tuntutan di PHI. Amir bisa berargumentasi terkait hak berselisih, yaitu perselisihan mengenai hak yang diakibatkan karenanya adanya hak yang tidak dipenuhi sebagai akibat dari adanya perbedaan di dalam penerapan atau interpretasi ketentuanketentuan di dalam UU, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Sebagai tambahan, Amir juga menyatakan bahwa PKB yang ada telah melanggar ketentuan yang ada di dalam UU, seperti yang dinyatakan di dalam Pasal 124 ayat (2): Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peratuaran perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus ini PKB yang ada telah melanggar hak pekerja untuk bisa mendirikan sebuah serikat pekerja seperti yang ditentukan di dalam UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/. Pertanyaan 2. Ya, Pasal 28 UU No 21 Tahun 2000 menyebutkan: Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja. Artinya PKB tersebut telah melanggar Pasal 28 UU No. 21 tahun 2000 ini. Pertanyaan 3. Pasal 124 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja serta pekerja; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. Hak dan kewajiban pekerja seperti yang dinyatakan di poin b pastilah yang berkaitan dengan sebuah hubungan pekerjaan, bukan terkait dengan hak dan kewajiban pekerja dalam hal bagaimana sebuah serikat dijalankan atau jumlah serikat pekerja. Hal ini tidak termasuk di dalam hubungan pekerjaan dan manajemen tidak mampu membatasi hal ini. Pertanyaan 4. Kadang-kadang PKB dapat mengatur secara substantif kondisi kerja para pekerja di tempat kerja. Oleh karena itu, tergantung situasi yang ada, beberapa ketentuan dalam PKB mungkin lebih disukai untuk dibatalkan, tapi tidak PKB secara keseluruhan. Opsi lainnya adalah meminta pembuatan PKB baru. Untuk sementara waktu, ketentuan-ketentuan yang ada di PKB lama akan tetap berlaku, kecuali ketentuan-ketentuan yang dianggap bertentangan dengan hukum.

52

Topik No.4 Studi Kasus 2 Perselisihan kepentingan dan negosiasi bersama Lembaran 1 Pasal 38 butir (2) Perjanjian Kerja Bersama di PT Angin Ribut menentukan gaji dasar bagi para pegawai PT Angin Ribut. Paket penggajian di dalam pasal itu adalah sebagai berikut: a.

Penggajian mengacu kepada struktur gaji pegawai negeri yang berlaku,

b.

Tunjangan keluarga,

c.

Tunjangan makan,

d.

Tunjangan perusahaan.

Pada tahun 2008, pemerintah menaikkan gaji para pegawai negeri. Jika mengacu kepada Pasal 38 butir (2) maka para pekerja di PT Angin Ribut juga seharusnya mendapatkan kenaikan gaji. Akan tetapi, hasil pertemuan para pemegang saham tahunan pada 30 Januari 2008 menolak isi dari Perjanjian Kerja Bersama ini. Poin keempat dari ketentuan pertemuan itu menyatakan menolak adanya kenaikan gaji dasar bagi para pegawai karena gaji dasar pegawai tidak lagi mengacu kepada struktur gaji pegawai negeri. Ketentuan yang ada di dalam notulen pertemuan tahunan itu jelas bertentangan dengan ketentuan yang ada di Pasal 38 butir (2) PKB. Hasil pertemuan tahunan pemegang saham tahun 2008 juga menentukan jenjang tingkat paket penggajian pegawai di PT Angin Ribut. Keputusan ini pada dasarnya berisi bahwa kenaikan gaji didasarkan pada hasil pertemuan tahunan pemegang saham 2008. Pihak manajemen berargumen bahwa PKB tidak lagi bisa dilaksanakan karena para pemegang saham telah menyatakan bahwa tidak ada kenaikan gaji di dalam pertemuan pemegang saham.

Pertanyaan: Apakah Rapat Pemegang Saham Tahunan bisa melanggar ketentuan yang ada di PKB? Jika perselisihan ini berlanjut ke PHI, bagaimana hakim akan memutuskan?

53

Topik No.4 Studi Kasus 2. Lembar 2 – Jawaban Ketentuan tentang kenaikan upah telah ditentukan melalui kesepakatan bersama antara pihak SP dengan dewan direktur PT Angin Ribut. Akan tetapi, rapat pemegang saham tahunan (RPST) menyatakan bahwa ada perubahan di dalam mekanisme untuk menentukan upah pekerja dimana harus mendapatkan persetujuan dalam laporan tahunan serta berdasarkan ratifikasi dari perhitungan tahunan. Sikap yang diambil oleh para direktur bertentangan dengan ketentuan yang telah dibuat bersama di dalam Perjanjian Kerja Bersama. Berdasarkan notulen RPST, maka kemudian dewan direksi mengeluarkan ketentuan yang mengenyampingkan ketentuan yang ada di dalam kontrak kerja secara sepihak. Namun dewan direksi, sebagai perwakilan perusahaan, memiliki kewajiban untuk melakukan negosiasi bersama dengan pihak SP untuk memasukkan pasal tersebut berdasarkan hasil notulen RPST ke dalam perjanjian kerja bersama hanya jika telah mendapatkan persetujuan bersama dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, dewan direksi telah melanggar kewajiban mereka berdasarkan PKB. Paragraf 939 dari Penjelasan Keputusan Komite untuk Kebebasan Berserikat menyatakan bahwa ‘Persetujuan hendaknya mengikat untuk semua pihak’. Selain itu juga dinyatakan bahwa ‘negosiasi bersama mengimplikasikan adanya sebuah proses saling memberi dan menerima dan adanya kepastian yang layak dalam artian bahwa komitmen yang telah dinegosiasikan akan dihormati, setidaknya pada saat perjanjian berlaku … Jika hak-hak ini, dimana dibuat berdasarkan konsensi atas hal lainnya, bisa dibatalkan secara sepihak, maka pasti tidak akan ada pengharapan yang jelas terkait dengan kestabilan sebuah hubungan industri, dan juga tidak bisa dihandalkannya apa yang telah menjadi kesepakatan yang telah dinegosiasikan bersama’(para941). Karenanya maka tindakan dari dewan direksi telah bertentangan dengan Konvensi ILO No.98 mengenai Negosiasi Bersama.

54

Pemogokan dan Bentuk Aksi Industrial Lainnya

Topik No.

05

Tujuan Untuk memperkuat para peserta di dalam mengerti dan menerapkan hukum terhadap peran dan tanggungjawab para pemberi kerja, penegak hukum serta para pekerja terkait dengan pemogokan dan larangan bekerja Waktu : 50 menit Pengaturan : Kerja kelompok yang terdiri dari 4-6 peserta setiap kelompoknya. Minta setiap kelompok untuk menunjuk seorang juru bicara untuk mempresentasikan tanggapan dari kelompoknya. Bahan : Lembaran Langkah: •

Beritahukan tujuan pelatihan kepada para peserta. Bagi para peserta ke dalam kelompok yang terdiri dari 4-6 orang.



Bagikan lembar kerja kepada setiap kelompok. Gunakan pertanyaan-pertanyaan yang ada di lembar tersebut.



Setelah selesai berdiskusi, minta setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil pembahasan mereka dan juga minta kelompok lainnya untuk memberikan tanggapan, komentar atau informasi serta argumentasi tambahan lainnya.

55

Topik No.5 Lembaran 1- Studi Kasus 1 tentang Hak Untuk Melakukan Pemogokan Fakta Setelah adanya serangkaian tuntutan yang didasarkan atas ketidakpuasan terkait dengan, antara lain, kenaikan upah, pembayaran uang lembur dan peningkatan kondisi keselamatan dan kesehatan kerja, serikat pekerja (SP) yang mewakili para pekerja di bidang pemberi jasa layanan pos umum di Indonesia memutuskan untuk mengorganisasikan sebuah pemogokan. Pemogokan diadakan sesuai dengan hukum yang berlaku dan diikuti oleh hampir semua pekerja. Pada pagi hari keempat pemogokan, instansi dinas ketenagakerjaan setempat meminta agar pemogokan oleh para pegawai pos ini dihentikan mengingat jasa layanan pos merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan layanan publik, Pimpinan SP keberatan atas permintaan ini dan meminta para pekerja untuk melanjutkan pemogokan mereka. Pada keesokan harinya, pemogokan dinyatakan tidak sah, dan para pemberi pekerja dengan demikian bisa mengambil para pekerja lepas untuk menggantikan mereka yang melakukan pemogokan dan kemudian para pimpinan SP dipecat. Anggota SP yang dipecat kemudian mengajukan tuntutan dan meminta pengadilan untuk: a.

menghapus pernyataan bahwa pemogokan yang dilakukan ilegal;

b.

menolak pemecatan dan para pekerja terkait kembali dipekerjakan;

c.

memberikan pengganti atas kerugian pendapatan serta kerugian bukan berupa uang;

d.

menghukum pemberi kerja karena telah melanggar hak berserikat, menyalahi ketentuan tentang hak untuk pemogokan dan diskriminasi atas dasar anti SP.

Pertanyaan Sebagai hakim pengadilan hubungan industrial, bagaimana Anda akan memberikan tanggapan untuk setiap tuntutan yang diajukan SP ini?

56

Topik No.5 Studi Kasus 1. Lembar 2 – Jawaban Aspek penting yang bisa dilakukan adalah menelaah kembali tentang apa yang dianggap sebagai layanan penting. Mempekerjakan orang lain untuk menggantikan mereka yang melakukan pemogokan diijinkan hanya jika para pekerja yang melakukan pemogokan itu melakukan pekerjaan yang memberikan pelayanan penting. Pendekatan untuk mendapatkan solusi Terkait pengakuan secara implisit akan hak untuk melakukan pemogokan yang diberikan di dalam Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 Lihat paragraf 142 dan 145-151 dari Survei Umum Komite Ahli dan paragraf 523 dari Penjelasan Keputusan dan Prinsip dari Komite Kebebasan Berserikat.

Terkait definisi layanan penting Lihat paragraf 581-594 dari penjelasan yang disebutkan di atas, khususnya paragraf 587 terkait layanan pos.

Terkait pernyataan Disnaker bahwa pemogokan yang dilakukan ilegal Lihat paragraf 628-630 dari penjelasan yang disebutkan di atas. Lihat juga keputusan dari Mahkamah Konstitusi Colombia, Fourth Appellate Supervisory Chamber, Sindicato de las Empresas Varias de Medellín v. Ministry of Labour and Social Security, the Ministry of Foreign Relations, the Municipality of Medellin and Empresas Varias de Medellín E.S.P., 10 Agustus 1999, Kasus No. 206.360.

Mengenai penggantian mereka yang melakukan pemogokan Lihat paragraf 632 dan 633 dari keterangan yang disebutkan di atas.

Terkait pemutusan kerja mereka yang melakukan pemogokan Lihat pasal 1 Konvensi ILO No. 98, paragraf 661 dan 662 dari Penjelasan Keputusan dan Prinsip Komite Kebebasan Berserikat, dan paragraf 220 dan 221 dari Survei Umum Komite Ahli pada tahun 1994.

57

Topik No.5 Lembar 1, Studi Kasus 2 mengenai pemogokan dan demonstrasi Pihak Manajemen PT Angin Ribut membuat kebijakan yang mendiskriminasikan seorang pegawai. Kebijakan ini mengecewakan dan membuat marah para pekerja kantor di semua unit pada PT Angin Ribut, dan mereka meminta dan mendesak untuk segera diadakannya pemogokan dan demonstrasi. Situasi kerja di sana sudah tidak lagi kondusif. Desakan untuk melakukan aksi semakin bertambah kuat. Sementara dengan kekuatannya, pihak manajemen melakukan berbagai bentuk penekanan, intimidasi, dan ancaman bagi para pegawai yang melakukan pemogokan atau demonstrasi. SP Angin Ribut melakukan pertemuan dengan pihak manajemen / dewan direksi untuk melakukan pembicaraan terkait dengan kebijakan yang membuat pihak manajemen bersikap sangat diskriminatif. Pertemuannya mencapai kebuntuan dan tidak bisa menghasilkan kesepakatan. Manajemen bersikeras dengan keputusan dan kebjakan mereka. Kemudian SP Angin Ribut memberitahukan kepada pihak manajemen jika pihak SP akan melakukan demonstrasi jika tidak ada perubahan kebijakan yang diambil pihak manajemen. Pertemuan-pertemuan SP dilakukan untuk berkoordinasi dan melakukan persiapan untuk mengkonsolidasi aksi mereka. Pertemuan memutuskan untuk melakukan protes dan bukannya pemogokan dengan pertimbangan bahwa pemogokan akan mengganggu operasional dan layanan dari perusahaan. Protes ini disepakati akan diadakan pada hari libur dengan harapan tidak akan mengganggu kegiatan operasional dan layanan bank kepada para pelanggannya, artinya pada hari Sabtu dengan tempat kegiatan di Lapangan Banteng-Kantor Kementerian BUMN, Istana Wakil Presiden, Istana Presiden, Mesjid Istiqal. Para pekerja akan melakukan aksi dengan menggunakan spanduk PT Angin Ribut Unions. Kegiatan ini diikuti oleh ± 1300 orang. Kegiatan protes ini diliput oleh berbagai media elektronik dan cetak. Protes ini dikawal oleh polisi dan berlangsung dengan tertib dan aman. Tapi kemudian, sebuah masalah mendatangi SP Angin Ribut. Pihak manajemen mengajukan tuntutan hukum kepada SP Angin Ribut Unions di PHI. Mereka berargumen bahwa demonstrasi yang dilakukan adalah sebuah tindakan ilegal. Mereka melakukan tuntutan sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang memiliki tiga mekanisme cara penyelesaian. Pertama, penyelesaian bipartit antara pemberi kerja dan pekerja. Kedua proses tripartit melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase atau melalui jalur PHI. Dan yang ketiga adalah melalui pemogokan. Manajemen menyatakan tindakan protes yang dilakukan tidak dikenal di dalam UU PPHI ini. Pihak manejemen juga menyatakan bahwa demontrasi yang menuntut mundurnya dewan direksi dari posisi mereka telah merugikan nama baik perusahaan.

Pertanyaan: Apakah tindakan demonstrasi benar-benar tidak diakui di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan? Apa perbedaan antara demonstrasi dan pemogokan?

58

Topik No.5 Studi Kasus 2, Lembar 2 – Jawaban Pemikiran-pemikiran berikut: Pasal 1 butir 3 UU No. 9 Tahun 1998 mengenai Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum adalah sebuah tindakan yang dilakukan satu orang atau lebih untuk menyatakan apa yang ada di pikiran secara lisan, tertulis dan dengan demikian ditampilkan ke publik. Pasal 1 butir 23 UU No. 21 Tahun 2000 mengenai Serikat Pekerja, dikatakan bahwa pemogokan adalah sebuah tindakan oleh pekerja yang merencanakan dan menjalankannya bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Juga perlu dicatat secara bersama untuk kasus di atas, secara positif, protes seperti kasus diatas memang tidak diatur di dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa protes tidak boleh dilakukan oleh para pekerja. Protes seperti ini diakui sebagai sebuah hak asasi manusia secara universal. Setiap orang boleh melakukan protes. Ketika dilihat lebih jauh, sebenarnya protes tidak memiliki dampak sebesar dampak yang bisa ditimbulkan ketika melakukan pemogokan. Pemogokan memiliki tujuan untuk menghentikan atau memperlambat sebuah pekerjaan, tidak demikian halnya dengan sebuah demonstrasi. Akan tetapi, baik demonstrasi atau pemogokan adalah hak para pekerja untuk menyelesaikan atau menuntut hak mereka. Kedua upaya ini sama-sama dilindungi oleh undang-undang. Karenanya, maka tidak boleh ada pekerja anggota SP yang dipecat karena melakukan protes atau pemogokan.

59

Diskriminasi

Topik No.

06

Studi kasus pendek mengenai diskriminasi untuk Sesi B.

Tujuan : Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai praktik-praktik dan aturan terkait diskriminasi. Waktu : 15 menit Pengaturan : kelas bersama Bahan yang perlu dipersiapkan : Lembaran 1 Langkah : 1.

Bagikan lembaran 1 kepada semua peserta.

2.

Minta seorang peserta untuk membacanya isinya dengan lantang dan kemudian fasilitasi kegiatan diskusi untuk topik ini. Setelah para peserta selesai berbagi pendapat mereka, berikan penekanan pada berbagai isu yang ada sesuai dengan lembar tanggapan/jawaban untuk hal-hal yang belum diidentifikasikan.

3.

Tutup kegiatan diskusi dengan memberikan penekanan pada perlunya para hakim untuk melihat kembali praktik-praktik dan kebijakan yang bersifat ‘melindungi’ untuk memastikan bahwa memang ada alasan yang tepat untuk kebijakan atau praktik tersebut dan tidak bersifat diskriminatif atau memiliki dampak diskriminatif di dalam praktinya dan kebijakan serta praktik seperti itu memang berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.

60

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Topik No.6 Lembaran 1 Sebuah pabrik di Bandung sering meminta para pekerjanya untuk bekerja lembur agar bisa memenuhi kuota produksinya. Pabrik juga akan menyediakan makanan dan minuman kepada para pekerja perempuan jika mereka bekerja melebihi pukul 23:00 dan juga akan menyediakan transportasi pulang ke rumah mereka jika mereka pulang bekerja setelah pukul 23:00. Pekerja laki-laki tidak menerima perlakuan seperti ini. Seorang pekerja laki-laki menuntut perusahaannya ke PHI dengan menyatakan bahwa apa yang terjadi adalah sebuah diskriminasi bagi laki-laki karena mereka tidak mendapatkan tunjangan yang sama dalam hal transportasi dan makanan seperti para pekerja perempuan. Ia menyatakan bahwa ia melakukan pekerjaan yang sama seperti para perempuan dan karenanya ia juga harus mendapatkan perlakuan yang sama.

Pertanyaan -

Bagaimana Anda akan menghadapi tuntutan diskriminasi ini sebagai seorang hakim PHI?

61

Topik No.6 Lembar 2 – Tanggapan / Jawaban Keluhan pada penyediaan makanan, minuman dan transportasi kepada para pekerja perempuan yang bekerja di malam hari terkait dengan resiko terhadap keselamatan pribadi yang dihadapi perempuan dan laki-laki ketika bekerja malam. Ketentuan ini memang diatur di dalam Pasal 76 UU Ketenagakerjaan, tapi untuk menentukan apakah hal seperti ini adalah sebuah bentuk diskriminasi atau tidak, maka haruslah mengacu kepada Konvensi ILO No. 111 dan 100. Berdasarkan Konvensi ILO No.111, tindakan perlindungan khusus hendaknya hanya dibatasi pada keadaan dimana, berdasarkan informasi yang objektif, perlindungan khusus itu memang diperlukan untuk bisa menjamin adanya kesetaraan secara substansial dalam kaitan dengan hasil keluaran pasar tenaga kerja. Dua contoh akan tindakan perlindungan yang diakui adalah cuti hamil dan diberikannya waktu untuk menyusui pada saat jam kerja karena kedua hal ini memang terkait dengan kebutuhan biologis seorang ibu dan mendukung secara keseluruhan kepentingan masyarakat secara luas. Juga sudah diketahui banyak orang kalau bekerja di malam hari bisa membuat stres dan melelahkan baik untuk pekerja laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, semakin banyak penelitian ilmiah mengenai kemampuan dan sifat fisik laki-laki dan perempuan telah menunjukkan bahwa resiko bagi perempuan yang bekerja di malam hari hampir tidak memiliki perbedaan yang berarti ketika dibandingkan dengan resiko yang dihadapi laki-laki ketika bekerja di malam hari. Berdasarkan bukti ini, maka ketentuan makanan dan minuman untuk perempuan sepertinya memang tidak bisa dibenarkan, dam bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap laki-laki. Rekomendasi Pekerjaan Malam ILO No. 178 tahun 1990 telah mengadopsi pendekatan ini dan mendorong para pemberi kerja untuk menyediakan transportasi, makanan dan minuman untuk para pekerja malam laki-laki dan perempuan tanpa melakukan pembedaan. Keuntungan tambahan kepada perempuan bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesetaraan imbalan untuk sebuah pekerjaan dengan nilai yang setara. Akan tetapi pertimbangan lainnya yang harus diperhitungkan adalah berhubungan dengan resiko terhadap keselamatan pribadi. Perempuan bisa lebih rentan dibandingkan laki-laki, khususnya ketika harus melakukan perjalanan sendiri ke atau dari tempat kerja atau ketika harus keluar untuk makan di malam hari. Dari sudut pandang ini, maka ketentuan untuk memberikan layanan khusus seperti misalnya makan dan minum di tempat kerja atau layanan transportasi pulang hanya untuk perempuan saja, bisa dibenarkan. Tapi hal ini hanya berlaku jika transportasi umum atau tempat untuk makan memang memberikan resiko kepada para perempuan di malam hari. Jika bukti mengindikasikan bahwa laki-laki juga mengalami resiko yang sama terhadap keselamatan pribadi mereka di malam hari, maka keuntungan seperti ini harusnya tidak hanya diberikan untuk para pekerja perempuan.

62

Diskriminasi dan Kebebasan Berserikat

Topik No.

07

Topik ini terdiri dari serangkaian studi kasus. Bergantung pada waktu yang tersedia, sang pelatih mungkin harus memilih beberapa studi kasus yang bisa dihadirkan di sini. Opsi lainnya adalah membagi para peserta ke dalam dua kelompok terpisah dan meminta mereka membahas studi kasus yang berbeda.

Tujuan : Untuk memperkuat pengertian dan penerapan hukum mengenai diskriminasi dan kebebasan berserikat Waktu : 90 menit Pengaturan: Kerja kelompok yang terdiri dari 4-6 peserta setiap kelompoknya. Minta setiap kelompok untuk menunjuk seorang juru bicara yang akan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Bahan yang perlu dipersiapkan: Studi Kasus A – Lembaran Studi Kasus B – Petunjuk terkait Pelecehan Seksual di tempat kerja, Lembaran Studi Kasus C – Lembaran Studi Kasus D – Lembaran

Langkah: 1.

Bagi para peserta ke dalam beberapa kelompok dan bagikan lembar kerjanya (bahas masing-masing latihan secara terpisah, dengarkan dulu tanggapan yang ada sebelum masuk ke lembar studi kasus berikutnya)

2.

Diskusikan kasus demi kasus secara bersama-sama di kelas dengan meminta satu orang untuk mempresentasikan hasil bahasan masing-masing kelompok.

3.

Tutup kegiatan diskusi dengan memberikan penekanan pada butir-butir penting dan pastikan bahwa hal-hal yang masih belum dibahas pada saat diskusi akhirnya disebutkan.

63

Topik No.7 Kasus A(i) Kebutuhan khusus dan akomodasi / penyesuaian yang bisa diterima Sebuah toko cabang supermarket dibuka di Bekasi. UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mempersyaratkan bahwa untuk setiap 100 pegawai harus ada seorang yang berkebutuhan khusus yang juga dipekerjakan. Federasi Orang Cacat Provinsi merekomendasikan tiga orang yang memiliki kebutuhan khusus dilatih di lembaga pelatihan kejuruan untuk orang berkebutuhan khusus dan dua dari mereka diterima untuk bekerja di supermarket tersebut. Yang ketiga adalah seorang perempuan muda yang harus berjalan menggunakan sepasang tongkat penyangga. Ia melamar untuk posisi pembaca pengumuman radio di toko tersebut. Suaranya sangat sesuai untuk posisi tersebut. Akan tetapi, pihak toko menolak untuk mempekerjakannya karena jalan menuju tempat siaran radio di sana terlalu sempit untuk bisa dilewati dengan menggunakan sepasang penyangga. Keluarga sang perempuan memohon kepada pihak toko dan menyatakan bahwa mereka bisa membopong perempuan tersebut ke dan dari studio tersebut setiap harinya. Pihak toko membalas dengan mengatakan bahwa mereka memiliki staf sebanyak 204 dan telah memenuhi kuota untuk mempekerjakan orang yang berkebutuhan khusus. Sang wanita melakukan tuntutan ke PHI. Pertanyaan untuk dibahas: • Apakah perempuan muda itu mengalami perlakuan diskriminatif atas dasar kebutuhan khusus (kecacatan dirinya)? • Peraturan hukum mana yang bisa diberikan untuk mencari jawaban ini? Hukum nasional atau internasional yang mana yang bisa diterapkan? Kasus A(ii). Kasus Perekrutan Pak Bambang Bambang melamar sebuah posisi sebagai teller di sebuah bank. Ia telah melewati tes seleksi dan juga wawancara akhir. Akan tetapi, sebelum diangkat, Bambang dipersyaratkan untuk melakukan uji kesehatan sebelum memulai pekerjaan dan hasilnya menunjukkan darahnya mengandung virus hepatitis B (HBV). Tes menunjukkan bahwa Bambang adalah pembawa HBV (HBV carrier), tapi juga dinyatakan bahwa “sebagai pembawa HBV, Bambang dianggap tidak akan menghadapi masalah untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan sehari-harinya”. Setelah tes medis ini, tawaran pekerjaan dari bank tersebut dibatalkan. Bambang percaya jika ia telah didiskriminasikan atas dasar sejarah medisnya, dan mengajukan kasusnya ke PHI. Ketika berkomunikasi dengan PHI, pihak bank menjelaskan, “Berkomunikasi dengan para pelanggan adalah tugas utama pada posisi tim yang dilamar Bambang, dan kami khawatir bahwa HBV nanti akan menyebar kepada para pelanggan. Virus HBV nantinya juga bisa berpengaruh lebih cepat karena pekerjaan yang akan dilakukannya nanti sungguh meletihkan.” Pertanyan untuk dibahas: 1. Bagaimana Anda akan menilai kasus ini? Apakah Bambang didiskriminasikan karena status kesehatannya? 2. Apakah pihak bank memiliki alasan yang sah secara hukum untuk tidak mempekerjakan Bambang? 3. Hukum apa yang diterapkan? Kemana seorang pembawa HBV bisa mendapatkan pemulihan hukum untuk kasus seperti ini? 4. Solusi apa yang Anda bisa berikan untuk Bambang?

64

Topik No.7 Studi Kasus A, Lembar 2 – Tanggapan / Jawaban Studi A. Lamaran Kerja untuk posisi penyiar radio dari penyandang kebutuhan khusus Kasus ini menggambarkan adanya diskriminasi atas dasar kecacatan karena tindakan untuk menyediakan akomodasi kerja yang memadai untuk memastikan adanya akses yang sama untuk memberikan pekerjaan bagi mereka yang berkebutuhan khusus adalah hal yang penting. Kuota untuk mempekerjakan satu orang berkebutuhan khusus untuk setiap seratus pekerja adalah sebuah tindakan afirmatif untuk mendorong pengintegrasian mereka yang berkebutuhan khusus dan hal ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah kuota maksimal. Diskriminasi terhadap kandidat yang sebenarnya memenuhi persyaratan dan mampu karena kecacatan mereka dilarang oleh UU Ketenagakerjaan (Pasal 5, 6 dan 67) dan oleh UU No. 4 Tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat. Dalam kasus ini, sebenarnya pihak pemberi kerja memiliki tanggungjawab sesuai dengan Pasal 67 UU Ketenagakerjaan yaitu secara memadai mengakomodasi perempuan yang berkebutuhan khusus tadi sehingga ia bisa melakukan pekerjaannya. Ketidakmampuan untuk mengakomodasi secara memadai ini merupakan bentuk diskriminasi. Pengakomodasian yang memadai mengacu pada “modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan dan pantas tapi bukan sesuatu yang tidak proporsional atau menjadi beban berlebihan, dan dilakukan untuk kasus-kasus tertentu jika diperlukan, untuk memastikan mereka yang berkebutuhan khusus bisa menikmati atau melakukan kegiatan dengan dasar yang sama bagi semua orang sesuai dengan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar mereka.”1 Untuk sebuah tempat kerja, pengakomodasian yang memadai seperti ini bisa berarti mengubah ruang kantor, jam kerja atau juga pengaturan kerja lainnya sehingga seorang pekerja dengan kebutuhan khusus bisa melakukan pekerjaannya. Sesuai dengan standar internasional, pihak pemberi kerja bisa menolak mengakomodasi kebutuhan seorang pekerja jika hal ini memberikan beban berat bagi usahanya. Jika mengacu kepada prinsip pengakomodasian yang memadai, maka tindakan pemberi kerja dalam hal ini bersifat diskriminatif. Seharusnya ia mengakomodasi kebutuhan sang pekerja dengan kebutuhan khusus ini dengan mengijinkan keluarganya untuk mengangkat sang perempuan ke dan dari studio siaran atau dengan melebarkan koridor agar sang perempuan bisa berjalan dengan menggunakan tongkat penyangga. Kedua jenis tindakan ini sama sekali tidak akan memberikan beban berlebihan kepada usaha sang pemberi kerja.

Kasus A(ii). Kasus Perekrutan Bambang Dalam kasus ini, sepertinya fakta kasus menunjukkan bahwa pihak bank telah mendiskriminasi Bambang atas dasar status kesehatannya. Argumen yang diberikan pihak bank didasarkan atas kurangnya pengertian mengenai cara transmisi virus HBV. HBV tidak dapat menular begitu saja di dalam kegiatan sehari-hari. Juga kurang sekali bukti bahwa bekerja berlebihan atau stres bisa memperparah penyakit hati yang

1.

Konfensi PBB tentang Hak Penyandang Cacat, Pasal 2.

65

disebabkan virus ini. Fakta-fakta seperti ini bisa ditentukan dengan menggunakan saksi-saksi ahli di dalam kasusnya. Kasus-kasus serupa yang merupakan diskriminasi karena alasan infeksi HBV juga terjadi di Negara-negara Asia Timur dan Tenggara. Sebagai contoh di Cina, kasus diskriminasi pertama karena HBV telah berhasil dibela di pengadilan Cina pada bulan Mei 2008 ketika seorang pelamar pekerjaan bernama Gao Yiming menuntut sebuah perusahaan teknologi di Beijing karena menolak mempekerjakannya akibat status HBV yang dideritanya. Kasus-kasus diskriminasi karena HBV sebelumnya juga telah berhasil diselesaikan melalui mediasi pengadilan atau melalui kesepakatan pribadi antara sang penuntut dan terdakwa.

66

Topik No.7 Studi Kasus B, Lembar 1 – Apakah ini pelecehan seksual? Nona A adalah pegawai akuntan yang bekerja di sebuah perusahaan permodalan – holding company. Tuan B, seorang manajer senior suka memberikan banyak perhatian kepadanya selama beberapa bulan. Secara pribadi Nona A telah memberitahukan beberapa kali kepada Tuan B bahwa menurutnya tindakan Tuan B tidaklah pantas dan membuat Nona A merasa tidak nyaman, tapi hal ini tidak membuahkan hasil. Pada suatu saat, hal-hal berikut ini terjadi dalam satu minggu: (a) ia bertanya mengenai warna pakaian dalam yang dikenakan Nona A pada sebuah pertemuan umum; (b) sebuah pertanyaan yang ditanyakan secara pribadi mengenai alat kontrasepsi apa yang digunakan Nona A; (c) Nona A juga menerima gambar melalui e-mail dari Tuan B yang menunjukkan sepasang pria dan wanita berpelukan mesra, dan diberikan teks “hanya untuk dilihat olehmu ...”; (d) komentar sekilas yang dibuat, yaitu “sudah waktunya untuk membeli BH dengan ukuran lebih besar”. Akhirnya Nona A menyampaikan keluhan akan hal ini kepada General Manager. Pihak General Manajer berkata kalau ia tidak bisa mengambil langkah apapun karena memang tidak ada hukum yang melarang orang membuat lelucon-lelucon seperti itu.

Pertanyaan •

Apakah Tuan B melakukan pelecehan seksual? Jelaskan mengapa.



Apa menurut Anda kasus ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi di dalam pekerjaan dan jabatan sesuai dengan Konvensi ILO No. 111?



Bagaimana peran dan tanggung jawab General Manager agar bisa memberikan jawaban kepada Nona A?



Apakah Nona A berhak mengajukan tuntutan terhadap General Manager di Pengadilan Hubungan Industrial jika sang General Manager ini tidak memberikan tanggapan terhadap keluhan Nona A?

67

Topik No.7 Studi Kasus B, Lembaran 2 –Jawaban: Pelecehan seksual bisa berupa fisik (sentuhan yang bersifat seksual), verbal (komentar atau pertanyan), atau juga non-verbal (bersuit atau membuat gerakan tubuh yang memberikan gambaran bersifat seksual). Pelecehan seksual bisa terjadi dalam dua bentuk: •

“Pemerasan seksual” (“quid pro quo” atau “lakukan ini untuk itu”): tindakan yang bisa memberikan keuntungan pekerjaan – seperti misalnya kenaikan gaji, jabatan, atau bahkan untuk tetap bisa bekerja – dengan syarat ada tindakan bersifat seksual diberikan.



“lingkungan kerja yang tidak bersahabat”: tindakan yang menciptakan sebuah lingkungan kerja yang mengintimidasi, tidak ramah atau memalukan bagi yang menerimanya.

Semua kejadian (a)-(d) merupakan bentuk pelecehan seksual karena tindakan yang dilakukan tidak bisa diterima oleh yang merasakannya. Karena melihat kaitan yang nyata antara pelecehan seksual dan diskriminasi, Komite Ahli ILO untuk Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (ILO Committee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations - CEACR) telah menekankan bahwa pelecehan seksual adalah sebuah bentuk diskriminasi seksual yang serius dan harus ditangani sesuai dengan persyaratan yang ada di Konvensi No. 111.2 Pelecehan seksual membahayakan kesetaraan di tempat kerja karena integritas, harga diri dan kenyamanan para pekerja terganggu. Produktivitas usaha juga terganggu karena pelecehan seksual melemahkan hubungan kerja yang dibangun. Karena itulah sebenarnya pemberi kerja sangat berkepentingan untuk memastikan tempat kerja mereka bebas dari pelecehan seksual. Walau tidak ada hukum khusus di Indonesia, pelecehan seksual merupakan sebuah bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan karenanya dilarang. Perusahaan yang tidak memberikan tanggapan terhadap keluhan akan adanya pelecehan seksual, secara implisit telah menerima perilaku seperti ini dan mengijinkan adanya diskriminasi berbasiskan seksual ini terjadi. Karenanya, jika sang General Manager gagal memberikan tanggapan terhadap keluhan yang disampaikan oleh Nona A, maka ia berarti telah gagal mencegah dan menangani kejadian diskriminasi berbasiskan seksual ini di tempat kerjanya. Karenanya, Nona A (sebagai korban) bisa mengajukan tuntutan kepada General Manager di Pengadilan Hubungan Industrian atas dasar telah terjadi diskriminasi berbasiskan seksual jika sang General Manager tidak memberikan tanggapan terhadap keluhannya. Nona A berhak mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif dan perlakuan yang setara menurut UU Ketenagakerjaan. Tindakan yang pantas yang seharusnya dilakukan oleh pemberi kerja untuk menanggapi keluhan seperti ini, antara lain, adalah: •

Melakukan proses pencarian fakta. Manajer atau staf yang ditunjuk hendaknya melakukan investigasi dan mendengarkan paparan tentang apa yang terjadi oleh orang yang dituduh

2.

ILO: “ Observasi Umum terkait Konvensi No. 111 tahun 1958 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), dalam Laporan Komite Ahli untuk Aplikasi Konvensi dan Rekomendasi, Laporan III ( Bagian 1A). Konferensi Pekerja Internasional Ke 91, Jenewa, 2003. Hlm 463-464.

68

sebagai pelaku dan juga dari sang korban, serta juga pihak ketiga jika memang diperlukan (pada saat bersamaan menjaga kerahasiaan sang korban) •

Menentukan langkah yang memadai untuk mengatasi situasi ini dan untuk memastikan bahwa perilaku seperti ini tidak lagi terjadi di dalam perusahaan. Tanggapan yang memadai akan bergantung pada bagaimana dan sejauh mana pelecehan seksual dilakukan serta juga hubungan kerja antara sang pelaku dan korbannya. Yang menjadi prioritas bagi sebagian besar korban adalah memastikan perilaku seperti itu dihentikan dan ingin kehormatan diri mereka dipulihkan. Permintaan maaf dan jaminan bahwa tindakan seperti itu akan dihentikan sepenuhnya sering sudah menjadi hal yang memadai untuk memecahkan dan mengatasi permasalahan seperti ini.

69

Topik No.7 Studi Kasus C. Pemecatan Nona Putri – Pelanggaran Kejujuran? Pada bulan Agustus 2004, Nona Putri, yang baru lulus kuliah direkrut oleh sebuah perusahaan Akuntan dan bekerja di Bagian Umum, dengan masa percobaanselama tiga bulan. Ketika diadakan pemeriksaan kesehatan pada bulan Oktober 2004, ia ternyata dinyatakan sedang hamil. Ia berkeinginan untuk melahirkan anaknya dan melaporkan hal tersebut kepada atasannya, Direktur bagian Umum. Sang direktur mengatakan bahwa ia memiliki dua pilihan: melakukan aborsi atau keluar dari perusahaan. Penyidikan setelah itu menunjukkan bahwa Nona Putri mengisi status pernikahan dengan status ”belum menikah” di Formulir Data Diri pada saat perekrutan, dan sertifikat serta surat nikah yang ditunjukkannya kemudian ternyata juga bukan miliknya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, SDM membuat tuduhan bahwa Nona Putri telah ‘melakukan kecurangan dan menipu atasan serta rekan kerjanya’, sebuah tindakan yang melanggar prinsip ketulusan dan kejujuran yang dipersyaratkan bagi mereka yang bekerja di Perusahaan Akuntan. Berdasarkan ketentuan mengenai ujicoba pada perjanjian yang ditandatangani pada saat perekrutan dan atas tindakan yang dilakukan Putri, perusahaan memutuskan untuk membatalkan perekrutan Putri pada tanggal 21 November, dan Putri keluar dari perusahaan tersebut dengan mendapatkan surat pemecatannya.

Pertanyaan untuk didiskusikan: •

Apa terjadi diskriminasi di dalam kasus ini?



Bagaimana Anda akan memutuskan kasus ini?

70

Topik No.7 Studi Kasus C, Lembaran 2 – Tanggapan Kasus ini menggambarkan sebuah masalah yang dihadapi banyak perempuan di seluruh dunia.3 Pemecatan Putri adalah sebuah kasus diskriminasi seksual yang nyata yang dilakukan atas dasar kehamilan. Dua pilihan – aborsi atau pemecatan – yang diberikan oleh sang Direktur jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan bagi perempuan hamil, seperti yang digarisbawahi di dalam UU Ketenagakerjaan. Argumen akan “ketulusan dan kejujuran” terkait dengan posisi kerja yang ada bisa dipertanyakan karena adanya prasangka tertentu yang dihadapi para perempuan pekerja pada usia reproduktif ketika akan mencari pekerjaan. Jika Putri juga berbohong tentang hal lainnya selain tentang status pernikahannya, maka ketulusan dan kejujurannya memang bisa diragukan. Akan tetapi, para perempuan muda yang memasuki dunia kerja di Indonesia tahu akan diskriminasi yang menyebar luas terhadap perempuan berdasarkan status pernikahan atau kehamilan mereka dan karenanya sering memutuskan untuk menutupi status pernikahan mereka ketika melamar sebuah pekerjaan. Hal seperti ini juga terjadi di negara-negara lainnya. Dalam keadaan seperti ini, pengadilan di banyak negara mempertimbangkan bahwa ketidakjujuran perempuan terkait status pernikahan atau kehamilan mereka selama atau setelah perekrutan tidak bisa digunakan untuk menghakimi mereka. Faktor-faktor, seperti telah menikah atau belum, sedang hamil dan/atau telah memiliki anak, sama sekali bukan persyaratan penting atau alami (inherent) untuk pekerjaan sebagai seorang akuntan. Di banyak negara, menanyakan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan persyaratan sebuah pekerjaan kepada seorang calon pelamar pada saat proses perekrutan dianggap sebagai sebuah hal yang melawan hukum. Akan tetapi, pemberi kerja di sektor swasta di Indonesia sering sekali menanyakan hal-hal yang tidak terkait dengan pekerjaan sama sekali. Ada kemungkinan jawaban yang jujur akan berakibat tidak dipekerjakan dan bisa digunakan terhadap para pelamar perempuan karena diskriminasi gender di pasar tenaga kerja masih sering terjadi, khususnya karena para pemberi kerja memang bertanggungjawab untuk menutupi biaya perlindungan kehamilan sepenuhnya pada saat sang pegawai hamil. Sementara hukum di banyak negara memang melarang diberhentikannya wanita yang sedang hamil. Namun di dalam praktiknya, hal ini masih bermasalah. Untuk memastikan perempuan yang sedang hamil bisa dilindungi dari pemecatan, PHI bisa menerapkan pembuktian terbalik ketika melakukan persidangan kasus diskriminasi karena kehamilan. Artinya, seorang perempuan hamil yang dipecat menciptakan anggapan “prima facie” diskriminasi karena alasan kehamilan. Untuk membantah asumsi tersebut, maka pihak pemberi kerja harus memberikan bukti bahwa pemecatan yang dilakukan bukanlah karena kehamilan, tapi karena alasan lainnya. Di beberapa negara, praktik hukum yang ada sangat ketat sekali sehingga sangatlah sulit bagi seorang pemberi kerja untuk bisa mencari alasan yang bisa dibenarkan untuk memecat seorang perempuan hamil.

3.

B. Liu, Unpublished training materials (Beijing, 2008).

71

Kerja Paksa dan Pekerja Anak

Topik No.

08

Topik ini terdiri dari sebuah studi kasus yang melihat aspek dari kerja paksa dan juga pekerja anak. Anda disarankan untuk menyelesaikan sesi untuk Topik No. 8 dengan mempelajari studi kasus tersebut.

Tujuan: Untuk memperkuat pemahaman dan penerapan hukum dan prinsip-prinsip nasional dan internasional terkait kerja paksa dan pekerja anak. Waktu: 20-30 Menit Pengaturan: Kerja kelompok yang terdiri dari 4-6 peserta setiap kelompoknya. Minta setiap kelompok untuk menunjuk satu orang yang akan mempresentasikan jawaban dari kelompoknya. Bahan yang perlu dipersiapkan: Lembaran Langkah: 1. Bagikan lembaran 1 kepada semua peserta. 2. Minta seorang peserta untuk membacanya isinya dengan lantang dan kemudian fasilitasi kegiatan diskusi untuk topik ini. Setelah para peserta selesai berbagi pendapat mereka, berikan penekanan pada berbagai isu yang ada sesuai dengan lembar tanggapan / jawaban untuk hal-hal yang belum diidentifikasikan. 3. Tutup kegiatan diskusi dengan memberikan penekanan pada perlunya para hakim untuk melihat kembali praktik-praktik dan kebijakan yang bersifat ‘melindungi’ untuk memastika bahwa memang ada alasan yang tepat untuk kebijakan atau praktik tersebut dan tidak bersifat diskriminatif atau memiliki dampak diskriminatif di dalam praktinya dan kebijakan serta praktik seperti itu memang berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.

72

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Topik No.8 Lembaran 1 – Studi Kasus – Kapankah Kerja Lembur menjadi sebuah kerja paksa? Sekelompok pekerja bekerja di sebuah perkebunan karet. Mereka dibayar berdasarkan jumlah pohon yang mereka ambil getah karetnya. Agar bisa mencapai upah harian sebesar Rp28.700, mereka harus mengambil getah dari paling tidak 1.125 pohon. Jika mereka hanya mendapat 750 pohon, maka mereka akan dibayar setengah dari upah harian. Perbedaan antara Rp28.700 dan Rp14.350 per hari sama seperti perbedaan antara hidup di batas kelayakan dan kelaparan. Akan tetapi, mendapatkan penghasilan Rp28.700 secara fisik tidaklah dimungkinkan bagi seorang pria dewasa jika tidak mendapatkan bantuan dari seorang anak kecil yang tidak dibayar. Para pekerja percaya kalau para manajer perkebunan tahu bahwa kuota seperti itu secara efektif memerlukan pekerja anak dan mendorong pekerja yang mengeluh mengenai kuota tersebut untuk menggunakan anak mereka untuk membantu. Mereka tidak mendapat libur atau juga cuti sakit. Karena permintaan produksi yang terus menerus, bahkan para pekerja diberitahukan bahwa mereka akan dipecat jika mereka meninggalkan pekerjaan walau hanya satu hari. Di tempat dimana mereka tinggal tingkat pengangguran juga tinggi, yaitu diatas 80%. Para pekerja tidak memiliki surat resmi sebagai pekerja dan diperlakukan sebagai pekerja lepas. Para pekerja percaya bahwa letak perkebunan yang terpencil, sehingga para pekerjanya kesulitan dan mengalami bahaya jika ingin meninggalkan tempat tersebut, menjadikan pemberi kerja bisa memberikan bayaran yang sangat rendah serta menyediakan situasi kerja yang buruk, karena para pekerja tidak memiliki alternatif praktis lainnya untuk bisa tetap bekerja di perkebunan tersebut.

Pertanyaan: 1. Apakah situasi kerja seperti ini termasuk ke dalam kategori kerja paksa? Mengapa/Mengapa Tidak? Di dalam memberikan alasan, bahas apakah ada keadaan yang tidak menguntungkan karena adanya ancaman hukuman (pemecatan) yang diberlakukan, dan apakah ancaman seperti ini bisa dikatakan sebagai kerja paksa? 2. Apakah jawaban Anda terhadap pertanyaan di atas berubah jika Anda tahu para pekerja harus bekerja lembur untuk bisa memenuhi sasaran harian minimal? 3. Apakah bantuan dari anak-anak yang tidak dibayar itu diizinkan? Mengapa/Mengapa Tidak?

73

Topik No.8 Lembar 2. Jawaban Pertanyaan 1: Ini adalah kasus nyata (Roe v.Bridgestone) berdasarkan apa yang terjadi di Nigeria, yang diajukan di pengadilan di Amerika Serikat berdasarkan undang-undang luar perbatasan. Pengadilan untuk kasus Roe v. Bridgestone ini menolak pendapat bahwa pekerjaan yang dilakukan dibawa ancaman pemecatan sama dengan pekerjaan yang menerapkan ancaman hukuman. Akan tetapi, Komite Ahli juga berpendapat bahwa pada beberapa jenis keadaan, ancaman pemecatan sudah dianggap sama dengan ancaman hukuman. Pertanyaan 2: Tuntutan dari pihak pekerja mungkin akan berhasil di pengadilan jika mereka berargumen akan satu aspek saja dari pekerjaan mereka yang merupakan kerja paksa – kerja lembur wajib – dan bukan untuk seluruh pekerjaan yang mereka lakukan. Kuota yang harus dipenuhi sangatlah tinggi dan sulit untuk dipenuhi, dan karenanya melakukan pekerjaan lembur menjadi sebuah kewajiban. Walau persyaratan untuk bekerja lembur “tidak mempengaruhi penerapan konvensi selama masih di dalam batas yang diijinkan UU nasional atau kesepakatan bersama”, Komite Ahli juga mencatat bahwa kerja lembur yang dilakukan atas ancaman pemecatan “adalah sebuah eksploitasi atas kerentanan pekerja sama seperti pekerjaan yang mengakibatkan adanya hukuman”. Pada Survei yang dilakukan pada tahun 2007 mengenai Kerja Paksa dan Penghapusan Kerja Paksa, Komite juga mencatat bahwa dalam beberapa kasus, kewajiban untuk melakukan kerja lembur di atas batas yang diijinkan oleh UU nasional atau Kesepakatan Bersama bisa melanggar Konvensi No. 29. “Walau para pekerja secara teori boleh menolak untuk bekerja lebih dari jam kerja normal, kerentanan mereka juga berarti bahwa mereka tidak memiliki pilihan dan harus melakukannya agar bisa mendapatkan upah minimal atau mempertahankan pekerjaan yang mereka miliki atau keduanya.” Komite juga mempertimbangkan bahwa pekerjaan atau layanan yang harus dilakukan dengan mengeksploitasi kerentanan pekerja, dengan menggunakan ancaman hukuman, pemecatan atau pembayaran upah di bawah standar minimal, maka eksploitasi seperti itu bukan sekedar menjadi sebuah kondisi kerja yang buruk dan sudah berubah menjadi memberlakukan pekerjaan di bawah ancaman hukuman dan karena itu harus dilindungi berdasarkan Konvensi. Pertimbangkan pengamatan berikut ini yang dilakukan oleh Komite terhadap Guatemala dan El Salvador. CEACR: Pengamatan individu terkait penerapan Konvensi No. 29 (Guatemala) (2004) Pekerjaan yang tidak dibayar yang dilakukan setelah jam kerja biasa dan definisi kerja paksa untuk tujuan pelaksanaan Konvensi Pada kasus dimana perusahaan menentukan pembayaran dengan berdasarkan target kinerja yang harus dipenuhi, maka kewajiban untuk bekerja lebih dari jam kerja biasa agar bisa memenuhi kewajiban untuk memenuhi upah minimal,... sementara sang pekerja memiliki

74

kemungkinan untuk “membebaskan dirinya” dari beban seperti itu dengan melepaskan pekerjaan atau menerima pemecatan dirinya sebagai sanksi menolak melakukan pekerjaan yang tidak dibayar tersebut. Komite mencatat bahwa kerentanan bagi para pekerja yang sebenarnya secara teori memiliki pilihan untuk tidak perlu bekerja lebih dari jam kerja biasa, tapi pada kenyataannya hal ini bukan menjadi pilihan yang baik karena mereka harus mendapatkan upah minimum dan harus mempertahankan posisi kerja mereka. Hal ini kemudian berakibat pada adanya pekerjaan layanan yang tidak dibayar. Pihak Komite dalam hal ini mempertimbangkan bahwa dalam kasus seperti ini maka pekerjaan atau layanan tersebut dikenakan dengan cara eksploitasi kerentanan sang pekerja, karena adanya ancaman hukuman, yaitu pemecatan atau pembayaran yang lebih rendah dari tingkat upah minimum.

CEACR: Pengamatan Individu mengenai El Salvador (2006) Komite mencatat di dalam pengamatan sebelumnya bahwa komentar yang diberikan oleh Komisi Antar SP di El Salvador mengenai situasi dimana banyak pekerja Maquila (pabrik untuk ekspor saja) yang diharuskan, dibawah ancaman pemecatan, untuk bekerja lembur lebih dari pada batas waktu yang ditentukan UU nasional dan tanpa bayaran. Komite mencatat bahwa, menurut pihak organisasi, Perusahaan-Perusahaan Maquila menentukan target produksi yang mempersyaratkan para pekerja untuk bekerja lebih dari jam kerja biasa, tanpa bayaran dan dibawah ancaman pemecatan. Komite meminta pemerintah untuk menyediakan informasi terkait dengan rata-rata jam kerja para pekerja di bidang Maquila ini, dan memberikan indikasi tindakan yang telah diambil atau diterapkan untuk melindungi para pekerja di sektor ini terhadap penerapan bentuk kerja paksa seperti hal tersebut di atas. Pertanyaan 3: Tidaklah jelas berapa usia sang anak dari fakta yang disebutkan di atas. Akan tetapi, pekerjaan perkebunan bisa dianggap sebagai bentuk terburuk untuk pemberlakuan pekerja anak di Indonesia karena sifat atau cara kerjanya sangat mungkin membahayakan kesehatan dan keselamatan sang anak. Hal ini akan bergantung pada fakta kasus ini dan penerapan kriteria yang ditentukan di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmingrasi No.Kep.235/ Men/2003 mengenai Jenis Pekerjaan Yang Mengancam Kesehatan, Keselamatan dan Moral Anak. Jika memang ditentukan kemudian bahwa ini adalah sebuah bentuk pekerjaan yang paling buruk bagi seorang pekerja anak, maka setiap anak yang berusia di bawah 18 tahun akan dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan seperti ini. Sebagai alternatifnya, bahkan walau pekerjaan perkebunan ini tidak termasuk ke dalam definisi pekerjaan yang paling buruk untuk pekerja anak, jika seorang anak harus bekerja membantu sepanjang hari, dan membuatnya tidak bisa bersekolah, maka hal ini sudah menjadi hal yang dilarang terkait pekerja anak.

75

Hubungan Kerja

Topik No.

09

Tujuan: Untuk memperkuat pemahaman dan penerapan hukum yang digunakan untuk menentukan sifat sebuah hubungan kerja. Waktu: 20-30 menit Pengaturan: Kerja kelompok dengan 4-6 peserta setiap kelompoknya. Minta setiap kelompok untuk menunjuk seorang juru bicara untuk mempresentasikan hasil kelompoknya. Bahan yang perlu dipersiapkan: Lembaran, Petunjuk mengenai Rekomendasi ILO No.198 yang telah dianotasi (diberikan komentar/penekanan). Langkah: 1. Berikan lembar kerja kepada para peserta dan minta mereka untuk melengkapi tabel yang ada dengan menggunakan Petunjuk Rekomendasi ILO No.198 yang telah diberikan anotasi serta juga UU yang ada Indonesia untuk membantu mereka memberikan jawabannya. 2. Minta mereka untuk kembali berkumpul di kerja kelas mereka setelah sekitar 15 menit ( jika para peserta tidak memiliki cukup waktu untuk melengkapi keseluruhan tabel, maka berikan bagian tabel yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok) 3. Bahas masing-masing skenario yang ada. Setelah mendengarkan tanggapan dari para peserta, berikan mereka jawaban yang benar.

76

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Topik No.9 Lembaran 1 – studi kasus hubungan kerja

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

(1)

Seorang pekerja menandatangani sebuah kontrak pekerjaan dengan sebuah perusahaan pemprosesan makanan sebagai peraga toko (D) (membagikan contoh produk gratis kepada para pelanggan) dan menjadi bagian dari panel sekelompok para demonstrator (peraga). Ketika sebuah toko memohon keberadaan seorang peraga, maka perusahaan akan memanggil satu orang dari panel tersebut untuk melakukan peragaan. Para peraga nantinya akan menyerahkan tagihan yang ditandatangani oleh manajer toko; dibayar dengan gaji harian dan tunjangan transport; akan tetapi tidak berhak untuk mendapatkan tunjangan pensiun atau bergabung dengan SP; bekerja rata-rata 20 jam / minggu dan 50 minggu / tahunnya; perusahaan tidak memberikan pengawasan langsung pada saat peragaan berlangsung, tapi menyediakan bahan contoh bersama instruksi tentang cara melakukan demonstrasi barang tersebut. Kontrak tahunan mereka telah diperbaharui selama lima kali. Ketika kontrak keenam berakhir, pihak toko melakukan kontrak baru “untuk pekerjaan independen”, yang mengatur bahwa para peraga ini bertanggungjawab atas urusan pajak mereka masing-masing. Kontrak baru seperti ini kemudian diperbaharui selama beberapa kali. Ketika ada seorang peraga mengalami cidera ketika sedang melakukan peragaan, sang pemberi kerja menolak bertanggungjawab atas cidera ketika kerja tersebut.

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

Y/T

77

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

2.

Tuan Haryono mengalami cidera serius karena dipukul wajahnya oleh seorang penjaga pintu klub malam. Sang penjaga pintu dipekerjakan oleh sebuah perusahaan layanan keamanan. Tapi fakta menunjukkan bahwa pihak klub tidak hanya mengendalikan hingga sedetil-detilnya mengenai apa yang dilakukan oleh seorang penjaga pintu, tapi juga tentang bagaimana mereka melakukan fungsi kerja mereka.

Y/T

3.

Seorang pekerja mengemudikan taksi berdasarkan kontrak bulanan yang secara otomatis diperpanjang yang disebut “kontrak untuk menyewa kendaraan yang dijadikan sebagai taksi” dan membayar sejumlah uang yang disebut dengan nama “uang sewa”. Sang pengemudi terikat dengan sejumlah kewajiban terkait penggunaan dan pemeliharaan kendaraan tersebut dan diharuskan untuk ikut serta pada saat adanya panggilan jemputan dari pusat.

Y/T

4.

Seorang awak kabin sebuah perusahaan penerbangan menerima komisi bulanan berdasarkan penerbangan yang dilakukannya dan tidak terdaftar dalam jaminan sosial apapun. Ia ditarik dari melakukan layanan penerbangan dan pelatihan yang terkait dengan promosi ketika ia hamil. Ketika ia mengajukan keluhan bahwa ia tidak ditugaskan ke fungsi yang baru, pihak penerbangan menyatakan bahwa mereka tidak perlu memberikannya tugas baru karena ia bukanlah pekerja mereka.

Y/T

5.

Sebuah perusahaan elektronik mempekerjakan “pekerja kantor sementara” dan ”pekerja lepas” yang telah sepakat secara tertulis bahwa mereka tidak akan mendapatkan keuntungan pekerja tertentu, termasuk

Y/T

78

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

di dalamnya akses untuk bisa membeli saham perusahaan; mereka masuk ke dalam pabrik dengan menggunakan tanda pengenal pengamanan dengan warna berbeda. 6.

Nona Topobroto memberikan jasa kepada sebuah perusahaan pemilik kondominium, dimana sebagian besar pekerjaannya adalah membersihkan area bersama di gedung tersebut. Ia bekerja tanpa ada masa senggang dan melakukannya atas dasar sebagai anak buah. Sebagai balasannya, ia mendapatkan Rp 450. 000/bulan. Kemudian, ia sepakat akan usulan perusahaan untuk menghentikan bayaran bulanannya, tapi ia bisa menempati sebuah kondominium di situ. Suatu pagi, ia tidak bisa lagi menemukan peralatan kebersihannya, dan ketika ia menanyakan hal ini bersama seorang penghuni kepada pihak manajemen kondominium, ia diberitahukan bahwa layanannya tidak lagi diperlukan. Ia mengklaim adanya pemecatan yang tidak adil dan mengajukan tuntutan di pengadilan. Di pengadilan, ternyata muncul bukti jika pihak manajemen telah memutuskan untuk menjual flat tempat ia tinggal. Pihak perusahaan berargumen bahwa tidak ada hubungan kerja (dan karenanya tidak ada pemecatan yang tidak adil), karena sebuah hubungan pekerjaan mempersyaratkan adanya hubungan, subordinasi (atasan bawahan) jadi bagian terpenting di dalam elemen pengujian hukum yang ada. Karena hal ini memang tidak bisa dibuktikan, maka hubungan yang ada antara mereka memang murni hubungan komersial, dan bukan hubungan kerja.

Y/T

79

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

7.

Seorang pria dipekerjakan oleh sebuah perusahaan keamanan untuk melakukan tugas sebagai seorang penjaga berdasarkan sebuah perjanjian layanan, dimana ada satu pasal di dalamnya secara tertulis dinyatakan bahwa tidak ada hubungan kerja antara keduanya. Setelah bekerja selama 5 tahun, perusahaan mengeluarkan sebuah surat peringatan dan secara sepihak membatalkan kontrak mereka. Di pengadilan, pihak perusahaan menyangkal akan adanya hubungan kerja, dan tugas sang penjaga bersifat sporadis. Sang penjaga mengklaim bahwa ia adalah seorang pegawai karena ia bekerja hanya untuk perusahaan tersebut, dimana perusahaan itu yang menentukan jam kerjanya dan memiliki kontrol disiplin atas dirinya.

Y/T

8.

Pihak Mutual Life Assurance Society mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan deklarasi pembebasan bahwa para agen asuransi bukanlah pegawai mereka. Para agen ini dibayar berdasarkan komisi, tidak memiliki jam kerja tetap dan tidak memerlukan adanya pengawasan kerja yang ketat. Jika mereka tidak mencapai target penjualan, mereka menghadapi risiko pembatalan kontrak. Mereka menerima pelatihan awal selama tiga bulan oleh Perusahaan; harus lulus ujian untuk bisa menguji kemampuan mereka; menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa mereka tidak akan bekerja untuk perusahaan saingan, tapi boleh melakukan pekerjaan lainnya yang tidak sebidang dengan usaha perusahaan; dan diberikan mobil.

Y/T

9.

25 (dua puluh lima) pekerja terlibat dalam kegiatan mengumpulkan dan

Y/T

80

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

menghantarkan bingkisan berdasarkan sebuah perjanjian waralaba. Merekamengumpulkan bingkisan dari lokasi yang disewa oleh pihak “pewaralaba” dan menghantarkannya sesuai dengan jadwal dan rute yang telah ditentukan oleh pihak pewaralaba. Selain itu, biaya yang dibayarkan juga ditentukan oleh pihak pewaralaba yang mengumpulkan bayaran secara langsung dari pihak pelanggan. 10. Seorang operator komputer bergabung dengan sebuah koperasi yang menyediakan jasa layanan administrasi publik, dimana ia bekerja dan dibayar oleh koperasi sebagai anggota koperasi tersebut. Kerjasama dengan koperasi berakhir setelah 20 bulan dan sang operator memohon kepada pengadilan hubungan industrial untuk menyatakan bahwa ia dan pihak koperasi memiliki hubungan kerja dan karenanya ia memiliki hak kompensasi yang dijamin AD/ART. Koperasi berargumen bahwa sang anggota menerima bagiannya sebagi bagian dari keuntungan usaha; dan ikatan kontrak dengan administrasi publik adalah sesuatu yang memang murni bersifat umum saja; dan tidak ada bukti akan hubungan pekerjaan dimana sang operator bergantung pada koperasi. Pihak pengadilan menelaah AD/ART yang mengatur keanggotaan koperasi, yang memang memungkinkan adanya asumsi awal tidak perlunya sebuah hubungan kerja dimana ada pihak yang bergantung pada hubungan tersebut tapi tidak membatasi tentang adanya pengklasifikasian hubungan kontrak antara koperasi dengan anggotanya.

Y/T

81

Topik No. 9 Lembaran 2 – Jawaban

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

(1)

82

Seorang pekerja menandatangani sebuah kontrak pekerjaan dengan sebuah perusahaan pemprosesan makanan sebagai peraga toko (D) (membagikan contoh produk gratis kepada para pelanggan) dan menjadi bagian dari panel sekelompok para demonstrator (peraga). Ketika sebuah toko memohon keberadaan seorang peraga, maka perusahaan akan memanggil satu orang dari panel tersebut untuk melakukan peragaan. Para peraga nantinya akan menyerahkan tagihan yang ditandatangani oleh manajer toko; dibayar dengan gaji harian dan tunjangan transport; akan tetapi tidak berhak untuk mendapatkan tunjangan pensiun atau bergabung dengan SP; bekerja rata-rata 20 jam / minggu dan 50 minggu / tahunnya; perusahaan tidak memberikan pengawasan langsung pada saat peragaan berlangsung, tapi menyediakan bahan contoh bersama instruksi tentang cara melakukan demonstrasi barang tersebut. Kontrak tahunan mereka telah diperbaharui selama lima kali. Ketika kontrak keenam berakhir, pihak toko melakukan kontrak baru “untuk pekerjaan independen”, yang mengatur bahwa para peraga ini bertanggungjawab atas urusan pajak mereka masingmasing. Kontrak baru seperti ini kemudian diperbaharui selama beberapa kali. Ketika ada seorang peraga mengalami cidera ketika

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak. Y/T

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab? Pertanyaan utama di sini adalah apakah sang peraga benar-benar orang yang bekerja sendiri atau sebagai pegawai yang seharusnya mendapatkan asuransi dari perusahaan. Berdasarkan fakta yang ada dalam kasus ini, dan prinsip-prinsip umum yang dikembangkan pengadilan, Mahkamah Agung menyatakan bahwa ia sebenarnya adalah seorang pegawai, terikat dengan kontrak pelayanan, karena ia telah memberikan layanan kepada orang lain dan tidak untuk dirinya sendiri. (Mahkamah Agung Irlandia, Henry Denny & Sons Ltd., trading as Kerry Foods v. The Minister for Social Welfare [1998], 1 IR 34).

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

Y/T

UK – Mahkamah Banding: Hawley v. Luminar Leisure Ltd. & Others [2006] IRLR 817

sedang melakukan peragaan, sang pemberi kerja menolak bertanggungjawab atas cidera ketika kerja tersebut.

2.

3.

Tuan Haryono mengalami cidera serius karena dipukul wajahnya oleh seorang penjaga pintu klub malam. Sang penjaga pintu dipekerjakan oleh sebuah perusahaan layanan keamanan. Tapi fakta menunjukkan bahwa pihak klub tidak hanya mengendalikan hingga sedetildetilnya mengenai apa yang dilakukan oleh seorang penjaga pintu, tapi juga tentang bagaimana mereka melakukan fungsi kerja mereka.

Seorang pekerja mengemudikan taksi berdasarkan kontrak bulanan yang secara otomatis diperpanjang yang disebut “kontrak untuk menyewa kendaraan yang dijadikan sebagai taksi” dan membayar sejumlah

Mahkamah Banding meneguhkan pendapat bahwa Luminar Leisure (klub malam) sepenuhnya bertanggungjawab atas tindakan sang penjaga pintu di klub mereka karena ia telah menjadi “dianggap pegawai sementara”. Hal ini bergantung pada fakta yang muncul pada persidangan. Pengadilan beralasan bahwa klub bisa saja mempekerjakan dan melatih penjaga pintu sendiri tapi memilih untuk tidak melakukannya, dan memutuskan untuk menggunakan jasa dari perusahaan pengamanan perantara, sebagai usaha agar bisa menghindari UU Ketenagakerjaan dimana Luminar percaya hal ini bisa menghalangi mereka di dalam mengendalikan klub mereka secara memadai. Y/T

Keputusan Pengadilan Kasasi No. 5371 19 Desember 2000 (Perancis) yang memutuskan adanya sebuah hubungan kerja karena adanya indikatorindikator yang mengacu pada kasus ini, yaitu dimenangkan

83

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

uang yang disebut dengan nama “uang sewa”. Sang pengemudi terikat dengan sejumlah kewajiban terkait penggunaan dan pemeliharaan kendaraan tersebut dan diharuskan untuk ikut serta pada saat adanya panggilan jemputan dari pusat.

84

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab? oleh hubungan kerja karena indikator dimaksud dalam kasus ini, yaitu meskipun kualifikasi yang berbeda diberikan kepada hubungan kontrak oleh para pihak (keutamaan fakta, dalam hal ini dipaksakan oleh kekuatan asumsi hukum tak terbantahkan) Bandingkan dengan hasil keputusan yang sama - Pengadilan Banding Manitoba dalam kasus Imperial Taxi Brandon (1983) Ltd. v. Hutchison (1987) M.J. No. 551, dihadapi dengan permasalahan apakah seorang supir taksi berhak untuk mendapatkan upah minimum, pembayaran lembur, cuti libur, dan tunjangan lainnya yang ada di UU Manitoba. Sang pengemudi tidak menerima upah langsung dari perusahaan dan harus mencicil sebagian dari yang mereka dapatkan sebagai bentuk sewa penggunaan mobilnya; pihak perusahaan menanggung beban keuangan karena mereka yang memiliki kendaraannya, dan mengoperasikan sistem panggilan dimana para supir diharapkan akan menjawabnya. Pengadilan memutuskan bahwa di sini terdapat sebuah hubungan kerja.

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

4.

Seorang awak kabin sebuah perusahaan penerbangan menerima komisi bulanan berdasarkan penerbangan yang dilakukannya dan tidak terdaftar dalam jaminan sosial apapun. Ia ditarik dari melakukan layanan penerbangan dan pelatihan yang terkait dengan promosi ketika ia hamil. Ketika ia mengajukan keluhan bahwa ia tidak ditugaskan ke fungsi yang baru, pihak penerbangan menyatakan bahwa mereka tidak perlu memberikannya tugas baru karena ia bukanlah pekerja mereka.

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak. Y/T

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab? Pembayaran komisi dan tidak ditanggungnya jaminan sosial adalah indikator akan adanya hubungan komersial/sipil dan bukannya hubungan kerja. Tapi ini juga bisa menjadi indikator bahwa pemberi kerja mencoba menghindari UU Ketenagakerjaan Mungkin, jika dilihat pada kriteria adanya bawahan, kebergantungan, integrasi ke perusahaan, pengadaaan peralatan untuk melakukan pekerjaan (dalam hal kasus ini adalah pelatihan dan seragam yang disediakan oleh maskapai, instruksi terkait dengan standar pelayanan, dll) kesimpulan yang mungkin diambil adalah adanya hubungan kerja

Pertanyaan tambahan – Apa Anda melihat di sini masalah terkait dengan kegagalan berkesinambungan untuk mempekerjakan kembali seorang pegawai? (pemecatan secara konstruktif – terencana?) Apa Anda melihat masalah lainnya? (diskriminasi baik secara langsung karena kehamilan atau tanggungjawab keluarga atau tidak langsung karena jenis kelamin pegawai)

85

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

5.

Sebuah perusahaan elektronik mempekerjakan “pekerja kantor sementara” dan ”pekerja lepas” yang telah sepakat secara tertulis bahwa mereka tidak akan mendapatkan keuntungan pekerja tertentu , termasuk di dalamnya akses untuk bisa membeli saham perusahaan; mereka masuk ke dalam pabrik dengan menggunakan tanda pengenal pengamanan dengan warna berbeda.

Y/T

Jawaban: mungkin, ya. Bergantung pada jenis pemberian kerja kepada mereka – bisa jadi sebuah cara untuk menutupi hubungan yang ada dengan mengeluarkan tanda pengenal yang berbeda. Informasi tambahan apa lagi yang diperlukan?

6.

Nona Topobroto memberikan jasa kepada sebuah perusahaan pemilik kondominium, dimana sebagian besar pekerjaannya adalah membersihkan area bersama di gedung tersebut. Ia bekerja tanpa ada masa senggang dan melakukannya atas dasar sebagai anak buah. Sebagai balasannya, ia mendapatkan Rp. 450.000/bulan. Kemudian, ia sepakat akan usulan perusahaan untuk menghentikan bayaran bulanannya, tapi ia bisa menempati sebuah kondominium di situ. Suatu pagi, ia tidak bisa lagi menemukan peralatan kebersihannya, dan ketika ia menanyakan hal ini bersama seorang penghuni kepada pihak manajemen kondominium, ia diberitahukan bahwa layanannya tidak lagi diperlukan. Ia mengklaim adanya pemecatan yang tidak adil dan mengajukan tuntutan di pengadilan. Di pengadilan, ternyata muncul bukti jika pihak manajemen telah memutuskan untuk menjual flat tempat ia tinggal. Pihak perusahaan

Y/T

Ya. Subordinasi, menerima gaji dan kompensasi alternatif lainnya.

86

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab?

berargumen bahwa tidak ada hubungan kerja (dan karenanya tidak ada pemecatan yang tidak adil), karena sebuah hubungan pekerjaan mempersyaratkan adanya hubungan subordinasi (atasan bawahan) jadi bagian terpenting di dalam elemen pengujian hukum yang ada. Karena hal ini memang tidak bisa dibuktikan, maka hubungan yang ada antara mereka memang murni hubungan komersial, dan bukannya hubungan kontrak kerja.

7.

Seorang pria dipekerjakan oleh sebuah perusahaan keamanan untuk melakukan tugas sebagai seorang penjaga berdasarkan sebuah perjanjian layanan, dimana ada satu pasal di dalamnya secara tertulis dinyatakan bahwa tidak ada hubungan kerja antara keduanya. Setelah bekerja selama 5 tahun, perusahaan mengeluarkan sebuah surat peringatan dan secara sepihak membatalkan kontrak mereka. Di pengadilan, pihak perusahaan menyangkal akan adanya hubungan kerja, dan tugas sang penjaga bersifat sporadis. Sang penjaga mengklaim bahwa ia adalah seorang pegawai karena ia bekerja hanya untuk perusahaan tersebut, dimana perusahaan itu yang menentukan jam kerjanya dan memiliki kontrol disiplin atas dirinya.

Y/T

Ya – lihat Ringkasan kasus 78

87

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

8.

9.

88

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Pihak Mutual Life Assurance Society mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan deklarasi pembebasan bahwa para agen asuransi bukanlah pegawai mereka. Para agen ini dibayar berdasarkan komisi, tidak memiliki jam kerja tetap dan tidak memerlukan adanya pengawasan kerja yang ketat. Jika mereka tidak mencapai target penjualan, mereka menghadapi risiko pembatalan kontrak mereka. Mereka menerima pelatihan awal selama tiga bulan oleh Perusahaan; harus lulus ujian untuk bisa menguji kemampuan mereka; menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa mereka tidak akan bekerja untuk perusahaan saingan, tapi boleh melakukan pekerjaan lainnya yang tidak sebidang dengan usaha perusahaan; dan diberikan mobil.

Y/T

25 (dua puluh lima) pekerja terlibat dalam kegiatan mengumpulkan dan menghantarkan bingkisan berdasarkan sebuah perjanjian waralaba. Mereka mengumpulkan bingkisan dari lokasi yang disewa oleh pihak “pewaralaba” dan menghantarkannya sesuai dengan jadwal dan rute yang telah ditentukan oleh pihak pewaralaba. Selain itu, biaya yang dibayarkan juga ditentukan oleh pihak pewaralaba, yang mengumpulkan bayaran secara langsung dari pihak pelanggan.

Y/T

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab? Ya – dipersyaratkan untuk memenuhi target tertentu Menerima pelatihan Faktor ekslusifitas Tidak ada kapasitas untuk mendelegasikan pekerjaan – mengacu pada keharusan untuk lulus ujian agar bisa bekerja)

Pengadilan Kasasi (Perancis), Keputusan No. 5034, 35 dan 36, 4 Desember 2001 Ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan berlaku pada mereka yang pada dasarnya bekerja mengumpulkan yang diperintahkan atau menerima barang untuk dikelola, disimpan atau diantarkan, atas nama sebuah usaha industri atau komersial yang sama, ketika orang-orang tersebut melakukan pekerjaan mereka di tempat kerja yang disediakan atau disetujui oleh pihak pengusaha, dengan kondisi dan biaya

Fakta (berdasarkan berbagai keputusan nyata dari berbagai belahan dunia)

Apa Anda menganggap orang (-orang) ini adalah pegawai di dalam sebuah hubungan kerja? Jelaskan mengapa atau mengapa tidak.

Jika Anda melihat ada hubungan kerja, tapi ada berbagai pihak di sini, siapa yang menurut Anda pemberi kerja yang memiliki tanggungjawab? yang ditentukan pengusaha, tanpa harus menentukan terlebih dahulu apakah ada hubungan bawahan di sini. Hal seperti ini dimengerti sebagai perpanjangan dari pengertian cakupan yang ada di UU Ketenagakerjaan untuk pekerja “waralaba” tertentu.

10. Seorang operator komputer bergabung dengan sebuah koperasi yang menyediakan jasa layanan administrasi publik, dimana ia bekerja dan dibayar oleh koperasi sebagai anggota koperasi tersebut. Kerjasama dengan koperasi berakhir setelah 20 bulan dan sang operator memohon kepada pengadilan hubungan industrial untuk menyatakan bahwa ia dan pihak koperasi memiliki hubungan kerja dan karenanya ia memiliki hak kompensasi yang dijamin AD/ ART. Koperasi berargumen bahwa sang anggota menerima bagiannya sebagi bagian dari keuntungan usaha; dan ikatan kontrak dengan administrasi publik adalah sesuatu yang memang murni bersifat umum saja; dan tidak ada bukti akan hubungan pekerjaan dimana sang operator bergantung pada koperasi. Pihak pengadilan menelaah AD/ART yang mengatur keanggotaan koperasi, yang memang memungkinkan adanya asumsi awal tidak perlunya sebuah hubungan kerja dimana ada pihak yang bergantung pada hubungan tersebut tapi tidak membatasi tentang adanya pengklasifikasian hubungan kontrak antara koperasi dengan anggotanya.

Y/T

Lihat Ringkasan kasus No.25 dari Brazil di Jawaban: ya, sebagai pekerja – menerapkan Rekomendasi ILO No. 193

89

Hubungan Kerja & Outsourcing Serta Pekerja Migran

Topik No.

10

Tujuan: memperkuat pemahaman dan penerapan hukum terkait dengan hubungan kerja dan peran serta tanggung jawab dari penyedia jasa pekerja Waktu: 15 menit (5 menit untuk membaca kasus dan 10 menit untuk diskusi) Pengaturan: Kerja kelompok yang terdiri dari 4-6 peserta setiap kelompoknya. Minta setiap kelompok untuk menunjuk satu orang yang akan mempresentasikan jawaban dari kelompoknya. Langkah: Berikan lembar kerja studi kasus ke pada peserta beserta pertanyaannya. Berikan waktu 15 menit agar mereka bisa menjawab studi kasus-studi kasus ini. •

Ketika para peserta telah selesai mendiskusikan jawaban, minta semua peserta untuk kembali mendiskusikan jawaban bersama-sama (berikan waktu 30 menit untuk diskusi ini)



Bahas masing-masing kasus dan fasilitasi diskusi ini. Tutup diskusi dengan memberikan penekanan pada hal-hal penting yang muncul dari jawaban studi kasus dan sebutkan halhal penting yang terlewatkan oleh peserta atau yang menggunakan pendekatan yang salah.

90

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Topik No. 10 Hubungan Kerja Outsourcing Lembaran Kerja Pertanyaan: PT A adalah perusahaan penanaman modal asing yang bergerak di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Sejak berdiri di Indonesia pada 1993, perusahaan ini menyewa mobil dari perusahaan penyewaan mobil (rental). Sampai saat ini, PT A telah berganti-ganti rental hingga 6 kali. Rental terakhir yang bermitra dengan perusahaan itu adalah CV B yang bekerja sama sejak 2007. Di lain pihak, PT A ternyata juga membutuhkan sopir. Adalah Bambang yang jasanya dipakai sejak 1993 walaupun PT A telah berganti rental sekian kali. Ketika PT A bekerja sama dengan CV B, tenaga Bambang masih dipakai. Bambang tak sendiri, ada 5 rekannya yang lain yang mempunyai nasib yang sama. Sejak awal, Bambang dkk mendapat upah termasuk upah lembur dari PT A tiap bulannya. Ketika kerja sama PT A dan CV B berakhir pada Agustus 2012, Bambang dan keenam rekannya tak lagi menjadi pengemudi di PT A. Bambang bersama keenam rekannya lantas menggugat PT A dan CV B ke PHI. Bambang dkk menuntut agar PHI menyatakan mereka bertujuh sebagai pekerja tetap PT A dan menuntut pesangon karena telah diberhentikan. PT A menolak tuntutan Bambang dkk karena mengaku tak memiliki hubungan kerja. Demikian juga dengan CV B yang berdalih hanya terikat perjanjian sewa-menyewa mobil dengan PT A tanpa menyertakan sopir. Bagaimana Anda merespon tuntutan Bambang dkk?

91

Topik No. 10 Hubungan Kerja Outsourcing Lembaran Jawaban Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) membolehkan perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan lain. Baik melalui pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa pekerja. Dilihat dari jenis usaha PT A, terlihat bahwa bidang transportasi bukanlah bisnis utama (core business) PT A. Melainkan hanya menjadi jasa penunjang PT A. Dengan demikian bidang transportasi di PT A dapat diborongkan ke perusahaan lain, dalam hal ini perusahaan rental mobil. Sementara itu, Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sudah tegas menyatakan bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Lebih jauh Pasal 65 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mensyaratkan perusahaan lain yang dapat menerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk badan hukum. Bila tidak berbentuk badan hukum, Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan sudah menyatakan bahwa demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Pada aturan lain yang lebih teknis, yaitu Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain: disebutkan bahwa setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari kasus di atas: Pertama, soal status CV B. Secara hukum, CV adalah salah satu bentuk badan usaha yang bukan berbadan hukum. Dengan demikian, CV B tidak bisa bertindak sebagai perusahaan pemborong pekerjaan. Kedua, apakah ada perjanjian tertulis antara PT A dan CV B terkait dengan pemborongan pekerjaan tersebut. Kalaupun ada, apakah perjanjian tersebut memuat syarat-syarat mengenai hak pekerja/buruh dalam pemborongan pekerjaan tersebut. Namun karena CV B bersikeras menyatakan tak ada hubungan kerja dengan Bambang dkk, dapat dipastikan bahwa tak ada pengaturan mengenai hak-hak Bambang dkk dalam perjanjian antara PT A dan CV B. Ketiga, soal bagaimana hubungan antara Bambang dkk dengan PT A. Dapat dilihat bahwa ternyata sejak awal Bambang dkk langsung menerima upah bulanan termasuk upah lembur dari PT A. Dengan demikian, ditambah fakta karena Bambang dkk setiap harinya mendapat perintah dan menjalani pekerjaan di PT A, maka terdapat hubungan kerja antara PT A dengan Bambang dkk. Hal ini sesuai dengan unsur hubungan kerja yang terdapat dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang terdiri dari upah, perintah dan pekerjaan. Dari uraian di atas, karena pemborongan pekerjaan transportasi dari PT A ke CV B tak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, ditambah dengan adanya unsur hubungan kerja Bambang dkk, maka demi hukum status Bambang dkk adalah pekerja PT A. Dengan demikian, ketika PT A memutuskan hubungan kerja Bambang dkk, PT A berkewajiban membayarkan kompensasi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan hak lainnya.

92

Pemutusan Hubungan Kerja

Topik No.

11

Tujuan: untuk memperkuat pemahaman dan pelaksanaan hukum terkait pemutusan hubungan kerja Waktu: 10 – 15 menit (5 menit untuk membaca kasus dan 10 menit untuk diskusi) Pengaturan: bahas kasus ini bersama di kelas dan di dalam kelompok masing-masing dan lalu presentasikan hasil diskusi Langkah: Berikan para peserta lembar kerja berisi studi kasus •

Minta mereka untuk mempertimbangkan situasi dan argumen untuk mempekerjakan dan tidak mempekerjakan kembali



Beberapa pertanyaan yang perlu dipertimbangkan adalah apakah hubungan yang ada tidak bisa diperbaiki? Apakah, berdasarkan fakta kasus yang ada, Ibu Sri bisa kembali bekerja dan melanjutkan hubungan kerja yang telah ada



Fasilitasi diskusi atas permasalahan ini

93

Lembar kerja 1 Ibu Sri dipekerjakan sebagai resepsionis di sebuah perusahaan akuntan. Ia bekerja di sana sejak Januari 2007 hingga kemarin. Kemarin sore ia telah diberhentikan. Bosnya, Pak Taufik, memintanya datang ke ruang kantornya dan menunjukkan kepada ibu Sri foto di Facebook yang menunjukkan dua perempuan dengan tampilan wajah yang tidak menyenangkan berfoto di depan kantor perusahaan tersebut. Ibu Sri adalah salah satu dari perempuan tersebut. Pak Taufik berkata bahwa kalau memang begitu yang menjadi cara pikir Ibu Sri mengenai pekerjaan di perusahaan itu dan ia lalu memecat ibu Sri. Ibu Sri mengajukan kasusnya ke PHI dan memohon untuk dipekerjakan kembali. 1.

Bagaimana Anda akan menyelesaikan kasus ini?

2.

Anggap bahwa Pak Taufik memang salah dalam hal ini, apakah Anda akan memerintahkan agar ibu Sri dikembalikan ke posisinya semula atau memerintahkan untuk memberikan kompensasi.

94

Upah dan Perlindungan Upah

Topik No.

12

Topik ini memasukkan sebuah latihan pendek terkait kepailitan dan prioritas untuk pembayaran upah Tujuan: memperkuat pemahaman dan pelaksanaan hukum terkait pekerjaan dan perlindungan upah Waktu: 15-20 menit Pengaturan: kerja kelompok yang terdiri dari 4-6 orang per kelompok Bahan: Lembaran Langkah: 1. Berikan lembaran kerja kepada para peserta dan minta mereka untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Para peserta bisa menggunakan hukum nasional dan/atau konvensi ILO No. 173 untuk membantu mereka memberikan jawaban 2. Kembali ke kelas untuk membicarakan bersama setelah sekitar 10 menit 3. Fasilitasi diskusi mengenai hal ini–khususnya pada penekanan potensi penggunaan standar ketenagakerjaan internasional jika terjadi kekosongan atau ketidakjelasan pada hukum nasional terkait dengan perlindungan upah jika terjadi kasus kepailitan.

95

Topik No.12 Lembaran 1 – Studi kasus mengenai kepailitan Sepuluh orang telah dipekerjakan di sebuah kegiatan pertambangan di daerah terpencil di Negara X dan tempat itu terletak 300 km dari kota atau desa terdekat. Para pekerja diberikan rumah dan makanan yang merupakan 60% dari total upah mereka. Selain itu mereka mendapatkan gaji 10 Rp90.000 per jam. Dua tahun setelah mereka mulai bekerja, perusahaan tambang itu mengajukan proses kepailitan. Para pekerja masih belum menerima upah mereka selama enam bulan terakhir. Perusahaan menawarkan mereka bentuk pembayaran pemutusan kerja seperti yang tercantum di dalam PKB dan menawarkan sebesar 3 bulan gaji (Rp10.800.000 ).

Pertanyaan Dengan anggapan bahwa para pekerja tidak puas dengan apa yang ditawarkan perusahaan dan melakukan tuntutan di PHI, bagaimana Anda akan memecahkan kasus ini?

96

Topik No.12 Lembaran 2 – Jawaban Ada beberapa instrumen hukum internasional yang memungkinkan hakim untuk memberikan kompensasi ‘berdasarkan rasa keadilan’ bagi pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya karena perusahaan pailit. Dengan instrumen tersebut, hakim dapat menyimpangi batasan kompensasi maksimal yang diatur peraturan di bidang kepailitan ketika terjadi kontradiksi dengan peraturan di bidang ketenagakerjaan. Beberapa instrumen itu adalah Konvensi ILO no. 95 tahun 1949 tentang Perlindungan Upah dan Konvensi ILO no. 173 tahun 1992 tentang Perlindungan terhadap Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha) serta pendapat Komisi Ahli ILO terkait instrumen-instrumen ini. Demikian misalnya yang digunakan Pengadilan Hubungan Industrial di Kenya dalam perkara no. 79/2002 tertanggal 6 Desember 2004. Berdasarkan hukum nasional Pasal 165 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan pailit dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dihubungkan dengan kasus di atas dimana para pekerja sudah bekerja selama dua tahun, maka pekerja sebenarnya berhak atas kompensasi berupa pesangon sebanyak tiga bulan gaji. Namun pekerja tidak berhak mendapat uang penghargaan masa kerja kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama. Selain pesangon itu, para pekerja sebenarnya juga berhak atas upah yang belum dibayarkan selama enam bulan ditambah dengan upah selama proses PHK berjalan. Meski demikian perlu diingat ketentuan Pasal 39 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menjelaskan bahwa proses tuntutan hukum kepada debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor. Dengan demikian, bila di saat bersamaan persidangan di pengadilan niaga menyatakan perusahaan pailit, maka demi hukum pemeriksaan perkara yang sedang berjalan di PHI menjadi gugur. Selanjutnya berdasarkan Pasal 39 dan Penjelasan Pasal 39 UU Kepailitan, kurator yang ditunjuk pengadilan dapat memutuskan hubungan kerja para pekerja dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

97

Kondisi Kerja dan Jaminan Sosial

Topik No.

13

Sesi untuk topik ini memasukkan dua jenis latihan. Yang pertama mengenai jam kerja dan yang kedua adalah mengenai pembayaran lembur.

Tujuan: memperkuat pemahaman dan penerapan hukum yang mengatur kondisi pekerjaan, khususnya Waktu: 15 menit untuk masing-masing latihan Pengaturan: kerja kelompok – 5-6 orang per kelompok Langkah: •

Langkah Studi Kasus 1: bagi peserta di dalam beberapa kelompok untuk kedua jenis latihan. Minta mereka untuk membaca lembar 1 dan mendiskusikan jawabannya



Berikan waktu untuk mempresentasikan temuan mereka di kelas. Fasilitasi diskusi dan beri penekanan pada hal-hal penting yang ada di lembar kasus ini yang masih belum dibahas oleh kelompok-kelompok tersebut.



Langkah Studi Kasus 2: bagi peserta di dalam beberapa kelompok untuk kedua jenis latihan. Minta mereka untuk membaca lembar 1 dan mendiskusikan jawabannya



Berikan waktu untuk mempresentasikan temuan mereka di kelas. Fasilitasi diskusi dan beri penekanan pada hal-hal penting yang ada di lembar kasus ini yang masih belum dibahas oleh kelompok-kelompok tersebut.

98

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Lembar Kerja 1 Studi Kasus 1 – Jam Kerja

45 pekerja dipekerjakan di sebuah pabrik yang memproduksi bagian-bagian mobil. Pekerjaan ini sangat meletihkan, dimana para pekerja harus berdiri sepanjang hari dan melakukan tugas yang sangat sulit secara fisik. Sang pemberi kerja memberikan kepada para pekerja waktu istirahat makan siang selama satu jam setiap harinya dan juga tiga kali rehat selama 15 menit (dua kali di pagi hari dan sekali di sore hari) agar para pekerja bisa beristirahat dari pekerjaan mereka yang meletihkan ini. Jika sang pemberi kerja tidak memberikan rehat-rehat pendek ini, maka para pakerja bisa membuat banyak kekeliruan dan bahkan bisa membahayakan diri mereka dengan adanya peralatan berat yang digunakan sebagai akibat dari beban fisik dan konsentrasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Sang pemberi kerja mempekerjakan para pekerja ini selama 8 jam sehari, 5 hari dalam seminggu. Tapi pemberi kerja memotong 1 jam istirahat makan siang dan 3 kali waktu istirahat dari total jam kerja. Artinya para pekerja tersebut harus tiba di pabrik pada jam 7.30 pagi dan pulang pada jam 17.15 setiap harinya. Apakah praktik yang dilakukan sang pemberi kerja ini telah sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan?

99

Lembar Kasus 2 Studi Kasus 1 – Jam Kerja

Jawaban Pasal 79 UU Ketenagakerjaan juga mengatur waktu istirahat selama jam kerja. Dinyatakan bahwa harus ada setidaknya istirahat setengah jam untuk setiap pekerjaan yang dilakukan selama 4 jam. Waktu istirahat ini tidak menjadi bagian dari jam kerja. Dalam kasus ini, sang pemberi kerja menyediakan waktu istirahat tiga kali 15 menit per hari dan satu jam istirahat makan siang. Artinya di pagi hari para pekerja istirahat selama 15 menit untuk pekerjaan 1-2 jam dan sekali di sore hari. Pekerjaan di sore hari sendiri berlangsung selama 4 jam. Sepertinya dalam hal ini sang pemberi kerja telah menaati ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, sesuai Konvensi ILO No.1 terkait Jam Kerja (Industri) dan Konvensi ILO NO 30 mengenai Jam Kerja (Bisnis dan Perkantoran), masa rehat, dimana para pekerja tetap harus berada di tempat kerja mereka bisa dianggap sebuah kasus “tengah-tengah” (di satu sisi para pekerja biasanya tidak diharapkan melakukan pekerjaan pada saat ini, tapi mereka juga tidak bisa meninggalkan tempat kerjanya). Perlu diadakan pembedaan antara “Jam kerja dan “Jam Istirahat”, dimana hal ini harus ditentukan dengan berdasarkan apakah, pada masa istirahat ini, para pekerja masih memiliki tugas untuk melakukan pekerjaan yang ditentukan sang pemberi kerja, atau sebagai alternatif pengertian ini, apakah masih dalam ketentuan sang pemnberi kerja hingga saat akan diberikan penugasan kerja. Jika jawaban untuk salah satunya adalah ya, maka masa rehat ini harusnya dianggap sebagai bagian dari “Jam Kerja” dan bukannya masa istirahat. Karenanya para pekerja harus dibayar untuk waktu ini.

100

Lembar Kerja 1 Studi Kasus 2 – Pembayaran Lembur

Para pekerja dipersyaratkan untuk menghasilkan setidaknya 74 potong produk untuk sebuah pabrik tekstil setiap harinya. Agar bisa mencapai target ini, banyak dari pekerja tersebut harus bekerja lebih dari standar 8 jam per harinya. Beberapa pekerja yang sangat berpengalaman, biasanya bisa mencapai target mereka dalam waktu 9 jam, akan tetapi para staf yang baru, dan mereka yang telah bekerja di sana kurang dari 5 tahun harus bekerja antara 10 – 12 jam agar bisa memenuhi target tersebut. Sang pemberi kerja menyatakan bahwa karena target harian adalah 74 potong produksi, maka para pekerja tidak mendapatkan pembayaran lembur kecuali jika mereka menghasilkan lebih dari target harian sebesar 74 potong tersebut. Para pekerja kemudian mengadukan kasus ini ke PHI dengan menyatakan bahwa mereka berhak untuk menerima pembayaran lembur untuk setiap jam kerja tambahan mereka karena mereka dipaksa untuk memenuhi target mereka. Apakah para pekerja berhak untuk mendapatkan pembayaran lembur?

101

Lembar Kerja 2 Jawaban – Studi Kasus 2 Pembayaran Lembur

Para pemberi kerja terkadang mencoba mengurangi biaya buruh dengan memasang target yang tidak realistik yang harus dipenuhi para pekerja sebelum mereka pulang dari tempat kerja. Hal ini kemudian bisa berakibat pada keadaan “kerja lembur paksa” dan/atau lembur yang tidak dibayar. Jika memang tidak dimungkinkan bagi para pekerja untuk menghasilkan 74 barang produksi selama jam kerja standar, maka mereka berhak untuk mendapatkan upah lembur untuk setiap tambahan jam kerja dimana mereka harus tetap bekerja untuk memenuhi target mereka. Dalam hal ini, bahkan seorang pekerja yang sangat berpengalaman saja tidak bisa memenuhi target dalam waktu 8 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa target yang ada tidaklah realistik untuk standar kerja satu hari dan sang pemberi kerja hanya mencoba menghindari biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Para pekerja dengan demikian berhak atas pembayaran lembur. Sang pekerja harus mengurangi target hingga target yang lebih realistik sesuai dengan standar kerja satu hari atau harus membayar secara konsisten jam lembur para pekerja. Catatan – Para pekerja harus “suka rela” untuk menyepakati melakukan kerja lembur ini, kalau tidak maka hal ini juga bisa menjadi kasus kerja paksa.

102

Pemutusan Hubungan Kerja & Perlindungan Upah

Topik No.

14

Topik ini memasukkan dua studi kasus. Pertama mengenai pemutusan hubungan kerja dan yang kedua mengenai perlindungan upah. Tujuan: memperkuat pemahaman dan penerapan hukum mengenai pemutusan hubungan kerja dan perlindungan upah. Waktu: •

Studi Kasus 1 - 60 menit



Studi Kasus 2 – 30 menit

Pengaturan: Kerja kelompok, terdiri dari 4-6 peserta per kelompok. Bahan: Kode Etik ILO mengenai HIV dan AIDs, lembar kerja

Langkah: 1.

Kelompok-kelompok hendaknya menelaah dan membahas studi kasus yang ada

2.

Berikan kesempatan untuk masing-masing kelompok memberikan presentasi singkat tentang hasil temuan mereka

3.

Berkumpulah kembali dalam pleno untuk membahas jawaban. Para pelatih perlu menekankan poin apa saja dalam Lembar Jawaban yang belum disebutkan peserta.

103

Topik No.14 Lembar 1 – Studi Kasus mengenai pemutusan hubungan kerja Tuan X telah bekerja sebagai Manajer Humas di sebuah perusahaan di Indonesia selama lima tahun. Sekitar tiga tahun lalu ia mengetahui jika dirinya menderita positif HIV. Hingga beberapa saat lalu, hanya dokter perusahaan yang tahu akan keadaan ini. Tapi karena kecerobohan seorang asisten yang baru saja dipekerjakan untuk membantu sang dokter, sang pemberi kerja mengetahui jika Tuan X positif HIV. Sang pemberi kerja bertanya kepada dokter mengenai kondisi Tuan X dan mereka diberitahukan jika ia mampu melakukan pekerjaannya. Akan tetapi, gosip mulai berkembang dan beberapa rekan Tuan X mulai menyatakan pendapat jika mereka keberatan bekerja bersamanya. Salah seorang pelanggan perusahaan bahkan bertanya kepada direktur perusahaan apakah gosip tentang Tuan X benar atau tidak. Agar bisa memastikan kegiatan di perusahaan tetap bisa berjalan lancar, sang pemberi kerja mengatur untuk diadakan sebuah wawancara dengan Tuan X dimana pada saat itu ia memberitahukan Tuan X, dengan mengingat keadaan yang ada, bahwa ia diputuskan untuk dipindahkan ke bidang lain, dimana ia akan bisa bekerja lebih independen karena ia tidak akan berhubungan langsung dengan pihak pelanggan, dan juga tidak akan banyak berhubungan dengan rekan kerja lainnya. Posisi baru ini juga akan memungkinkan Tuan X lebih mudah untuk melakukan kunjungan medis, jika memang diperlukan. Akhirnya, sang pemberi kerja juga memastikan bahwa pemindahan tugas ini tidak akan berpengaruh sama sekali pada gaji serta tunjangan lain yang didapatkannya. Setelah melakukan pertimbangan selama sehari, Tuan X memberitahukan sang pemberi kerja bahwa ia menolak untuk menerima pemindahan posisi tersebut, yang ia anggap sebagai perubahan kontrak kerjanya secara sepihak yang tidak bisa dibenarkan. Ia menyatakan bahwa ia selama ini selalu dianggap berprestasi sangat baik, dan kinerjanya sama sekali tidak terpengaruh hanya karena ia dinyatakan positif HIV, dan dibuktikan dengan surat dokter yang bisa ditunjukkannya kepada sang pemberi kerja. Walau ada intervensi dari perwakilan SP perusahaan, pihak pemberi kerja memutuskan untuk tetap melaksanakan keputusannya melakukan pemindahan tugas demi menciptakan suasana kerja yang baik di perusahaannya yang lebih penting daripada status HIV Tuan X. Tuan X tetap menolak untuk berpindah tugas ke posisi baru yang ditawarkan kepada dirinya. Setelah dua minggu, ia menerima surat dari sang pemberi kerja yang menyatakan kalau perusahaan secara resmi telah menerima surat pengunduran dirinya. Tuan X mengajukan kasus ini ke pengadilan dan memohon agar dirinya kembali dipekerjakan di posisi semula.

Pertanyaan Bagaimana Anda akan menyelesaikan kasus ini?

104

Topik No.14 Lembaran 2 – Jawaban Pemecahan kasus ini bisa lebih rumit lagi jika pihak perusahaan mengalami masalah ekonomi (yang tidak terjadi di dalam keadaan yang dibahas ini) setelah para pelanggan terpengaruh karena adanya gosip mengenai tersebarnya status positif Tuan X. Asumsi ini bisa berguna untuk diskusi lebih lanjut lagi. Beberapa peserta mungkin bisa mempertimbangkan bahwa pembatalan kontrak kerja Tuan X bisa dibenarkan karena alasan ekonomi. Mereka juga merasa bahwa untuk melindungi para pekerja lainnya di perusahaan, maka sebuah solusi kompromi perlu didapatkan dengan cara memberikan kompensasi kepada Tuan X, tapi tetap tidak mengijinkannya kembali ke pada posisi lama. Dalam hal ini, pelatih bisa memberikan saran untuk mengikuti dua alasan berikut ini: -

Walau ada anggapan mengenai ketidakpuasan para pelanggan, tetap saja tidak dibenarkan secara hukum untuk membatalkan kontrak pekerjaan Tuan X sebagai pembatalan atas alasan ekonomi. Hal seperti ini akan memerlukan hubungan sebab akibat langsung antara penyakit Tuan X dengan kesulitan ekonomi yang dialami perusahaan. Jika memang ada hubungan antara kedua faktor ini, maka hal itu sepenuhnya karena sikap yang salah yang dimiliki klien perusahaan terhadap HIV-AIDS. Prasangka diskriminatif seperti ini yang menciptakan kesulitan ekonomi ini. Dalam konteks ini, dengan mengingat adanya prasangka yang tidak benar terkait, maka pemutusan hubungan kerja Tuan X akan melanjutkan tindakan diskriminasi yang ada;

-

mengakui bahwa hak asasi mendasar tidak hanya mencoba melindungi individu-individu, tapi juga memastikan adanya perlindungan masyarakat yang lebih luas terkait usaha untuk menciptakan keberadaan bersama dengan damai antara anggota masyarakat yang ada. Dalam kasus ini, jika memberikan prioritas pada kepentingan perusahaan (dan para pegawainya) dibandingkan atas prinsip non diskriminatif, mengimplikasikan diterimanya pengucilan mereka yang menderita HIV-AIDS, dan karenanya lebih mendukung tersebarnya penyakit ini dan akan berakibat negatif terhadap kepentingan negara secara keseluruhan.

Terkait pengertian pembatalan kontrak kerja Lihat paragraf 22 dari Survei Komite Ahli mengenai Pemecatan yang Tidak Dibenarkan tahun 1995, yang mengacu pada pentingnya untuk mengajukan keberatan pembatalan kerja yang diakibatkan atau atas inisiatif pemberi kerja, walau istilah yang digunakan untuk pemutusan bisa beragam, dengan mengacu pada peraturan terkait pemecatan. Terkait larangan diskriminasi berdasarkan status kesehatan atau HIV-AIDS Untuk melihat larangan atas dasar diskriminasi seperti ini, lihat: Pasal 26 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang memasukkan definisi diskriminasi atas dasar non-restriktif;

105

Paragraf 255 Survei Komite Ahli mengenai Kesetaraan Pekerjaan dan Jabatan tahun 1996, dan paragraf 60 dan 264 yang secara khusus berbicara mengenai pekerja yang terkena HIV-AIDS; Paragraf 4.2 dan 4.8 dari Code of Practice ILO mengenai HIV/AIDS dan dunia kerja. Keputusan pemberi kerja berdasarkan masalah HIV-AIDS mungkin bisa dipertimbangkan berdasarkan Pasal 4 Konvensi No. 158, yang mendefinisikan alasan-alasan yang bisa diterima untuk pembatalan kerja jika memang terkait dengan kapasitas atau perilaku sang pekerja, atau karena memang keperluan persyaratan operasional. Dalam hal ini, Pasal 4 harus dibaca terkait dengan paragraf 142 Survei Umum Komite Ahli tahun 1995 yang menyatakan bawa infeksi HIV tidak bisa dijadikan alasan yang sah untuk pembatalan kerja. Terkait pembenaran untuk perubahan posisi yang dipaksakan oleh sang pemberi kerja Hal ini semata-mata terkait dengan melihat apakah status HIV sang pekerja menjadi persyaratan untuk melakukan tugas sebagai manajer Humas seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 1(2) Konvesi ILO No. 111. Untuk memberikan penekanan bahwa HIV-AIDS hanya boleh menjadi pertimbangan terkait dengan pekerjaan jika secara objektif memang ada resiko untuk menularkan virusnya, lihat paragraf 117 et seq. dan 264 dari Survei Khusus Komite Ahli tahun 1996. Terkait kompensasi yang diberikan kepada pekerja: dipekerjakan kembali atau kompensasi keuangan? Sebagai sumber inspirasi, silakan lihat hasil kerja Komite Ahli yang mengindikasikan bahwa hukuman yang diberikan untuk perlakuan diskriminatif dan untuk pelanggaran hak mendasar hendaknya harus memberikan akibat yang bisa menghapuskan situasi diskriminatif dan memastikan bahwa prasangka yang diterima seseorang benar-benar diberikan kompensasi yang sesuai. Terkait dengan pemecatan yang bersifat diskriminatif, alasan ini memberikan asumsi perbaikan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada pemberian kompensasi keuangan, tapi juga mencoba memastikan sang pekerja bisa kembali dipekerjakan. Lihat hal ini terkait dengan paragraf 232 dari Survei Umum Komite Ahli tahun 1995 dan paragraf 233 Survei Khusus Komite Ahli tahun 1996. Walau keputusan berikut ini terkait dengan penolakan untuk menerima seseorang yang terkena HIV-AIDS, silakan melihat keputusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Jacques Charl Hoffman v. South African Airways, 28 September 2000, No. CCT 17/00. Aspek lainnya yang bisa dijadikan acuan di dalam memecahkan kasus ini Pelanggaran oleh pemberi kerja dalam hal kewajibannya menjaga kerahasiaan (cf. paragraf 5.2(g) Kode Praktik ILO mengenai HIV/AIDS dan dunia kerja). Kewajiban pemberi kerja untuk melatih para pegawainya terkait dengan resiko yang nyata yang bisa timbul dari HIV-AIDS dan bagaimana menghadapi penyakit ini di dunia usaha (cf. paragraf 5.2 (c) Kode Praktik ILO mengenai HIV/AIDS dan dunia kerja).

106

Dari perspektif hukum nasional Mutasi memang merupakan kewenangan perusahaan. Tapi hal itu dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Beberapa hal yang mesti diperhatikan pemberi kerja ketika ingin memutasi pekerjanya diatur dalam Bab IV UU Ketenagakerjaan mengenai Penempatan Tenaga Kerja. Pasal 31 UU Ketenagakerjaan menyatakan: Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang adil baik di dalam atau di luar negeri ; Lebih jauh Pasal 32 UU Ketenagakerjaan menjelaskan beberapa syarat penempatan tenaga kerja, yaitu; 1)

Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi;

2)

Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum;

3)

Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Dalam peraturan yang lebih teknis, pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Keputusan bernomor: KEP.68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Pasal 2 ayat 2C Keputusan Menteri tersebut mewajibkan pengusaha untuk memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dengan HIV/AIDS dari tindak dan perlakuan diskriminatif. Lebih lanjut pengusaha juga dilarang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja/buruh. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Keputusan Menteri.

10 Prinsip Kaidah ILO tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja 1.

Pengakuan HIV/AIDS sebagai Persoalan tempat kerja: HIV/AIDS adalah permasalahan tempat kerja karena mempengaruhi angkatan kerja yang ada dan karena kerja bisa memainkan peran penting di dalam membatasi penyebaran dan dampak penyakit ini.

2.

Non-diskriminasi: Tidak dibolehkan adanya tindak diskriminasi terhadap buruh/ pekerja berdasarkan status HIV/AIDS atau dianggap sebagi orang terinfeksi HIV. Diskriminasi dan stigmatisasi justru menghalangi upaya promosi pencegahan HIV/AIDS.

107

3.

Kesetaraan Jender: Dimensi jender dalam penanggulangan HIV/AIDS perlu digarisbawahi. Perempuan dibanding laki-laki cenderung mudah terinfeksi dan terpengaruh wabah HIV/ AIDS. Karenanya, kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan amat penting bagi keberhasilan pencegahan penyebaran infeksi serta memudahkan perempuan mengatasi HIV/AIDS.

4.

Kesehatan Lingkungan: Demi kepentingan semua pihak, lingkungan kerja yang sehat dan aman perlu terus dijaga semaksimal mungkin sesuai Konvensi ILO No. 155 Tahun 1988 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

5.

Dialog Sosial: Kerja sama dan kepercayaan di antara pengusaha, buruh/pekerja serta pemerintah, termasuk keterlibatan aktif para buruh/pekerja yang terkena atau terpengaruh HIV/ AIDS, menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan program HIV/AIDS.

6.

Larangan Skrining dalam Proses Rekrutmen dan Kerja: Skrining HIV/AIDS tidak boleh dijadikan persyaratan dalam larangan kerja atau dikenakan terhadap seseorang yang sudah berstatus sebagai buruh/pekerja.

7.

Kerahasiaan: Menanyakan informasi pribadi yang berkaitan dengan HIV pada pelamar kerja atau buruh/pekerja adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Akses terhadap data pribadi terkait dengan status HIV seorang buruh/pekerja harus mematuhi prinsip kerahasiaan sesuai Kaidah ILO Tahun 1977 tentang Perlindungan Data Pribadi Buruh/ Pekerja.

8.

Kelanjutan Status Hubungan Kerja: Infeksi HIV tidak boleh dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja. Seperti layaknya kondisi penyakit lain, infeksi HIV tidak harus membuat seseorang kehilangan hak bekerja sepanjang orang tersebut masih layak bekerja dan dapat dibenarkan secara medis.

9.

Pencegahan: Infeksi HIV dapat dicegah Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui sejumlah strategi yang disesuaikan dengan sasaran nasional dan mempertimbangkan kepekaan budaya. Langkah pencegahan juga dapat dilakukan melalui kampanye perubahan tingkah laku, pengetahuan, pengobatan serta menciptakan lingkungan yang bersih dari sikap dan tindak diskriminasi.

10. Kepedulian dan Dukungan: Solidaritas, kepedulian dan dukungan haruslah menjadi pedoman dalam menanggapi persoalan HIV/AIDS di dunia kerja. Semua buruh/pekerja, termasuk yang terkena HIV, berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau, jaminan asuransi, perlindungan sosial dan berbagai paket asuransi kesehatan lainnya.

108

Dari beberapa aturan di atas dapat ditarik kaidah bahwa mutasi seorang pekerja hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bersifat diskriminatif. Mutasi juga harus dilakukan untuk menempatkan pekerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum sang pekerja. Dalam kasus Tuan X di atas, terlihat bahwa mutasi yang dilakukan perusahaan semata karena Tuan X mengidap virus HIV. Oleh karenanya mutasi tersebut dapat dikualifikasikan sebagai mutasi yang tidak wajar sehingga patut diduga mutasi tersebut terkesan dipaksakan. Dengan demikian, tindakan mutasi tersebut dapat dinyatakan sebagai bentuk pemutusan hubungan kerja diam-diam. Oleh karena itu, keputusan perusahaan yang menyatakan Tuan X dikualifikasikan mengundurkan diri karena menolak dimutasi adalah batal demi hukum. Perusahaan seyogianya mempekerjakan kembali. Demikian misalnya seperti terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 114 K/Pdt.Sus/2010 antara Mhd. Ihsan melawan Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) Sumatera Barat. Dalam putusan itu MA menolak mutasi (yang kemudian diikuti dengan tindakan PHK) terhadap pekerja dan memerintahkan pengusaha mempekerjakan kembali pekerja.

109

Topik No.14 Kasus 2 Lembar 1 – Studi Kasus Adi dan 14 rekannya harus menerima kenyataan pahit karena selama tujuh bulan terakhir gajinya tiap bulan masing-masing dipotong Rp100 ribu. Ini terjadi karena PT Ogah Rugi (Cartung Dept Store) menilai Adi dkk harus bertanggung jawab atas hilangnya barang dagangan dari suplier senilai Rp40 juta. Pemotongan akan dilakukan terus-menerus selama dua tahun. Ketika pertama kali diberitahu secara lisan mengenai pemotongan upah ini, Adi dkk sebenarnya merasa berat untuk menerimanya karena mereka tidak merasa bertanggung jawab atas kehilangan ini. Saat itu Adi dkk manut saja dengan keputusan perusahaan. Tapi menginjak bulan kedelapan Adi dkk melawan. Suatu hari mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan toko menuntut dihilangkannya pemotongan upah. Namun perusahaan menganggap aksi Adi dkk telah mencoreng nama baik perusahaan dan hal ini melanggar peraturan perusahaan. Sehari kemudian mereka diputuskan hubungan kerjanya tanpa pesangon.

Pertanyaan: 1.

Apakah tindakan pemotongan upah yang dilakukan perusahaan dapat dibenarkan secara hukum?

2.

Apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan terhadap Adi dkk sesuai dengan peraturan perundang-undangan?

110

Topik No.14 Kasus 2 Lembaran 2 – Jawaban 1.

Tindakan penjatuhan denda dan pemotongan upah sebagai bentuk ganti rugi yang dilakukan perusahaan terhadap pekerjanya seharusnya dilakukan berdasarkan perundangundangan. Di Indonesia, salah satu ketentuan hukum yang mengatur mengenai pemotongan upah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (PP Perlindungan Upah). Soal denda misalnya yang diatur dalam Pasal 20 PP Perlindungan Upah. Pengenaan denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. Besaran denda ini ditetapkan dalam mata uang rupiah. Sementara mengenai pemotongan upah dalam bentuk permintaan ganti rugi oleh pengusaha diatur dalam Pasal 23. Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian. Namun, pengenaan ganti rugi itu harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. Pemotongan upah berbentuk ganti rugi tersebut setiap bulannya tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah. Dalam contoh kasus Adi dkk di atas pemotongan upah dilakukan oleh perusahaan setelah ada pemberitahuan secara lisan. Mengacu pada ketentuan Pasal 21 dan Pasal 23 yang menyatakan bahwa pemotongan upah dalam bentuk denda maupun ganti rugi harus diatur terlebih dulu dalam suatu perjanjian maka tindakan perusahaan yang hanya memberitahukan pemotongan upah Adi dkk secara lisan menjadi tidak dapat dibenarkan.

2.

Untuk menilai sah tidaknya suatu pemutusan hubungan kerja dapat dilihat dari dua aspek. Yaitu aspek prosedural dan aspek substantif. Pada aspek prosedural, pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan pekerja dan pengusaha. Bila tak ada kesepakatan, pemutusan hubungan kerja baru terjadi setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 UU Ketenagakerjaan). Sedangkan dari aspek substantif pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang sudah diatur dalam beberapa pasal di UU Ketenagakerjaan. Misalkan PHK dengan alasan efisiensi, alasan pelanggaran peraturan dan lain-lain. PHK yang dilakukan dengan melanggar aspek prosedural dan/atau aspek substantif tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam perkara Adi dkk tersebut perusahaan langsung memutuskan hubungan kerja karena menganggap Adi dkk telah mencemarkan nama baik perusahaan dengan menggelar demonstrasi menuntut dihapuskannya pemotongan upah. Menurut perusahaan, tindakan Adi dkk dianggap telah melanggar peraturan perusahaan yang dikualifikasikan sebagai kesalahan berat dengan sanksi pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.

111

Dari situasi di atas diketahui bahwa sanksi pemutusan hubungan kerja dijatuhkan perusahaan sehari setelah Adi dkk melakukan demonstrasi. Pemutusan hubungan kerja itu dilakukan tanpa terlebih dulu ada proses perundingan. Dengan demikian, secara formal pemutusan hubungan kerja Adi dkk menjadi tidak sah. Dari aspek substansi, alasan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan juga tidak tepat. Soalnya Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang awalnya membolehkan pengusaha memutuskan hubungan kerja secara sepihak pekerjanya yang dianggap melakukan kesalahan berat. Salah satu bentuk kesalahan berat tersebut adalah pencemaran nama baik perusahaan. Dengan demikian, seyogianya perusahaan tidak bisa memutuskan hubungan kerja sepihak terhadap Adi dkk atas dasar kesalahan berat tersebut. Kalaupun perusahaan berdalih menggunakan argumen bahwa Adi dkk dianggap melanggar peraturan perusahaan, hal itu pun tak dapat dibenarkan. Sebab tindakan menuangkan norma kesalahan berat yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ke dalam peraturan perusahaan juga tak dapat dibenarkan. Peraturan perusahaan hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas, tindakan pemutusan hubungan kerja yang dialamatkan kepada Adi dkk menjadi batal demi hukum.

112

Prosedur Perdata

Topik No.

16

Tujuan : mengidentifikasi kasus yang memerlukan putusan sela Waktu : 20 menit Pengaturan : Grup kecil dengan meja bundar yang terdiri dari 3-4 orang Langkah-langkah : •

Beritahukan tujuan dari pelatihan kepada peserta. Bagi peserta ke dalam beberapa group kecil. Berikan lembaran kasus kepada peserta



Setelah berdiskusi, kumpulkan semua peserta di dalam kelas. Minta para peserta untuk memberikan pandangannya masing-masing.

Pertanyaan Bagaimana tanggapan Anda mengenai pembayaran upah selama proses berlangsungnya pemeriksaan di persidangan (upah proses)? Bagaimana tanggapan Anda terhadap Putusan Sela terkait upah proses? Kasus PT Kali Pasir didirikan pada tahun 2000 di Jakarta oleh Tn. Adi dan Tn. Budi. PT Kali Pasir bergerak di industri minuman kaleng. Seiring perkembangan waktu PT Kali Pasir semakin berkembang dan memiliki pabrik seluas 10 hektar dan mempekerjakan 5000 pekerja. Charlie sudah bekerja di PT Kali Pasir sejak 6 Mei 2003. Posisi terakhir Charlie adalah Kepala Bagian Penyimpanan Barang dan mendapat upah Rp3.500.000 per bulan. Selama bekerja di PT Kali Pasir, Charlie bekerja dengan baik dan mendapat penilaian baik dari manajemen, hal ini dibuktikan dengan pengangkatan Charlie menjadi karyawan tetap dan kemudian dipromosikan menjadi Kepala Bagian Penyimpanan Barang.

113

Tapi kemudian Charlie menerima Surat Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 2 Juni 2010. Charlie menganggap tindakan PT Kali Pasir menjatuhkan PHK terhadap dirinya merupakan tindakan sepihak. Permasalahan ini kemudian berlanjut ke Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara untuk dilakukan Mediasi antara Charlie dan PT Kali Pasir. Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara kemudian mengeluarkan Surat Anjuran No. 6767/1.831 pada tanggal 29 Agustus 2010. Kemudian perselisihan ini masih terus berlanjut sampai kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Charlie secara resmi mengajukan gugatan terhadap PT Kali Pasir. Charlie sebagai Penggugat mengajukan gugatan kepada Tergugat yaitu PT Kali Pasir karena keputusan Tergugat tersebut menimbulkan kerugian pada Penggugat. Dalam gugatan Penggugat meminta Tergugat untuk membayar uang pesangon dan semua hak-hak Penggugat sesuai Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kemudian juga meminta untuk dikeluarkan putusan sela untuk membayar upah selama proses ini berlangsung kepada Penggugat dan hak-hak lainnya yang selama ini diterima oleh Penggugat.

114

Topik No.16 Lembaran 2 – Tanggapan / Jawaban Dalam menjawab harus mengetahui aturan terkait Upah Proses dan Putusan pada Pengadilan Hubungan Industrial.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 155 (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial “Pasal 96 (1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. (2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua. (3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. (4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.” Apabila dalam persidangan pertama, nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ketentuan Pasal 153 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua sidang harus menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja yang bersangkutan. Pada dasarnya Pasal 96 tersebut memberi wewenang kepada Hakim Ketua sidang untuk menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta

115

hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja yang bersangkutan. Sehingga dalam hal ini, Majelis Hakim harus dengan jeli melihat setiap kasus yang diajukan kepersidangan sebelum dikeluarkannya putusan sela. Terkait upah proses para Hakim harus mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi terhadap Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003. Bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 155 ayat (2). Putusan MK mengharuskan pengusaha membayar upah proses sampai berkekuatan hukum tetap. Kapan putusan PHI mengenai perselisihan PHK dinyatakan berkekuatan hukum tetap? Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum tetap apabila memenuhi salah satu dari dua syarat berikut ini. Pertama, salah satu pihak tidak mengajukan kasasi atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua, hakim kasasi pada Mahkamah Agung telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan dua syarat tersebut maka, PHI tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja tidak berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap. Secara kasuistis, hakim dalam memutus upah proses bisa menggunakan pendekatan rasa keadilan. Kebolehan itu terutama bila gugatan perselisihan PHK itu diajukan oleh pengusaha disertai dengan alasan PHK yang sesuai dengan hukum. Sebaliknya, bila PHK dilakukan menyimpang dari hukum dan pengusaha tidak memperlihatkan keinginan untuk menyelesaikan perselisihan PHK sesuai hukum positif maka sesuai putusan MK No 37/PUU-IX/2011 batas pembayaran upah proses seutuhnya merujuk pada Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003.

116

Sesi Interaktif Dalam Pencarian Sumber Internet

Topik No.

18

Tujuan : untuk melakukan penelitian hukum melalui berbagai sumber informasi dan sistem database Waktu : 40 menit Pengaturan : Tugas individu Bahan-bahan : komputers/Laptop & Koneksi Internet Langkah-langkah : •

Memberitahukan tujuan dari pelatihan ini kepada peserta



Terhubung ke http://www-old.pgcc.edu/library/tutorial/index.htm;



Meminta para peserta untuk membaca modul 1-4 di dalam website dan mengerjakan pertanyaan pada akhir modul



Langkah selanjutnya adalah untuk mencari informasi di internet terkait dengan konsepkonsep kunci pokok sebagai berikut : • PHK Batal Demi Hukum; • Perselisihan Hak di Hubungan Industrial; • Pemecatan yang tidak adil; • Sengketa Antar Serikat Buruh; • Hak-Hak Normatif Tenaga Kerja; • Pencegahan PHK dan Krisis Ekonomi; dan • Pekerja Domestik dan Anak.



Setiap individu diharapkan untuk menemukan satu regulasi, satu artikel ilmiah, dan satu presepektif perbandingan terkait dengan isu tersebut dari sumber internet;



Meminta para peserta untuk menggunakan logika Bollean di dalam menemukan sumber untuk isu kunci tersebut.

117

Penelitian Hukum, Analisis dan Penalaran

Topik No.

19

Tujuan : untuk melakukan penelitian hukum dan pengembangan serta pengaplikasian analisis hukum dan keahliaan penalaran Waktu : 45 Menit Bahan-bahan : Komputer/Laptop dan Koneksi Internet Pengaturan : Kelompok kecil terdiri dari 3-4 orang Langkah-langkah: •

Bagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri dari 3-4 orang;



Berikan masing-masing kelompok satu lembar kasus dan meminta kelompok-kelompok tersebut melakukan hal-hal sebagai berikut: • Melakukan identifikasi mengenai fakta-fakta kasus dengan menggunakan pendekatan SHARP; • Melakukan analisis terhadap semua temuan berdasarkan pendekatan SHARP, dengan menggunakan metode/alat analisis yang didiskusikan pada topik 19; dan • Memberikan kerangka putusan di dalam memutus kasus.



Setelah melakukan diskusi, setiap kelompok mempresentasikan jawaban dan mendorong para peserta lainnya untuk melakukan komentar-komentar terkait dengan diskusi.

Posisi Kasus: Sarana Rekayasa Utama Amrie bekerja di PT Sarana Rekayasa Utama (PT SRU) sejak 1997. Jabatannya terakhir sebagai Kepala Divisi Teknologi Informasi. Pada tahun 2001 PT SRU menjadi rekanan pemerintah dalam proyek pengadaan sistem informasi jaringan terpadu. Belakangan, pada tahun 2007 Kejaksaan Agung mencium adanya indikasi korupsi dalam proyek tersebut. Singkat kata, Direktur Utama dan Komisaris Utama PT SRU serta pejabat pimpinan proyek terseret menjadi terpidana pada September 2009. Aset dan rekening perusahaan diblokir oleh Kejaksaan Agung.

118

Rencana Pelajaran dan Latihan - Pelatihan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial

Sejak itu, operasional perusahaan mulai goyang. Gaji beberapa karyawan kerap dibayar terlambat dan tak nominalnya tak sesuai dengan yang sebelumnya biasa diterima. Beberapa kali pertemuan secara informal antara karyawan dan pemegang saham dilakukan untuk menegaskan bahwa perusahaan tak akan melakukan pemutusan hubungan kerja dan tetap meminta karyawan untuk bekerja seperti biasa. Namun faktanya tak ada yang bisa dikerjakan karyawan ketika mereka datang ke kantor. Puncaknya, sejak Februari 2010 para karyawan sama sekali tak pernah mendapatkan gaji. Perusahaan mulai menghadapi masalah keuangan dan tidak bisa lagi membayar sewa kantor. Pemegang saham hanya berjanji akan membayarkan gaji para pegawai jika Kejaksaan Agung mencabut pembekuan atas aset perusahaan. Pada akhir 2010, Amrie mengajukan tuntutan untuk diberikan pemutusan kerja.

Pertanyaan-Pertanyaan 1. Gunakan pendekatan SHARP di dalam melakukan penilaian terhadap kasus tersebut! 2. Salah satu argumentasi yang digunakan oleh Pengacara Amrie adalah meminta pembayaran pesangon sesuai Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dengan menaruh tanggung jawab hukum kepada pemegang saham berdasarkan prinsip menebus pertanggungjawaban perusahaan. Nilailah argumentasi tersebut dan berilah keputusan terhadap kasus tersebut !

Jawaban Tidak ada jawaban yang benar dalam kasus ini. Pelatih hanya diperlukan untuk melakukan penilaian terhadap konstruksi hukum dari peserta dan membuat komentar-komentar terhadap konstruksi hukum tersebut.

119

Topik No. 19 – Studi Kasus Tujuan : untuk menerapkan berbagai prinsip hukum untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial Waktu : 90 menit Pengaturan : kerja kelompok, 5-6 orang per kelompok Materi : Lembar kerja (secara total tiga lembar) Langkah : Berikan dua atau tiga (bergantung pada waktu) studi kasus ke pada peserta beserta pertanyaannya. Berikan waktu 60 menit agar mereka bisa menjawab studi kasus-studi kasus ini. •

Ketika para peserta telah selesai mendiskusikan jawaban, minta semua peserta untuk kembali mendiskusikan jawaban bersama-sama (berikan waktu 30 menit untuk disksi ini)



Bahas masing-masing kasus dan fasilitasi diskusi ini. Tutup masing-masing diskusi dengan memberikan penekanan pada hal-hal penting yang muncul dari jawaban studi kasus dan sebutkan hal-hal penting yang terlewatkan oleh peserta atau yang menggunakan pendekatan yang salah.

120

Lembar Kerja 1 Studi Kasus 1 Terdapat koleksi barang-barang antik nasional di lantai atas sebuah museum besar milik pribadi. Lukisan yang ada sangat kecil dan rapuh dan bisa dengan mudah dicuri. Dua orang tenaga satuan pengamanan bekerja di museum itu untuk mengamankan koleksi di sana – Pak Rudi dan Pak Ari. Masing-masing bekerja selama masa jam buka museum dan serah terima jam kerja dilakukan pada sekitar jam 2 siang. Pak Rudi selalu bekerja di shif sore hari selama dua tahun terakhir. Pada 20 Mei 2009, Pak Rudi datang terlambat pada giliran kerjanya. Pak Ari setuju untuk pulang lebih lama hingga Pak Rudi tiba. Pak Rudi telat 30 menit untuk giliran kerjanya. Pak Ari percaya kalau rekannya berpesta semalam tapi tidak mau mengatakan apapun karena ia tidak mau Pak Rudi menghadapi masalah. Pak Rudi berkata bahwa hari ini hari ulang tahunnya yang ke 40 dan ia keluar makan siang bersama ibunya yang sudah tua.

Pernyataan Ibu Dwi (Manajer) Di sore hari itu juga, sang manajer museum, Ibu Dwi, berkata bahwa ia mendengarkan suara gaduh dari ruang dimana koleksi barang-barang sudah dipajang. Ia berkata ia ke tempat itu untuk memeriksanya dan di sana ia melihat ada segerombolan anak sekolah sedang berlarian di museum sementara guru mereka sedang berada di kafe. Ibu Dwi berkata ia menemukan Pak Rudi sedang tertidur di sebuah kursi. Ibu Dwi memerintahkan anak-anak itu untuk pergi dan melihat kalau salah satu lukisan yang ada telah terjatuh ke lantai. Lukisan itu mengalami kerusakan dan kerusakannya diperkirakan berkisar Rp12.000.000. Ibu Dwi membangunkan Pak Rudi dan mencium bau rokok yang sangat tajam dari tubuhnya. Ketika kemudian mendengar suara pemilik museum yang masuk ke dalam ruangan untuk melihat apa yang terjadi, Pak Rudi kemudian menjadi agresif, berteriak-teriak penuh kata-kata menghina. Ibu Dwi kemudian mengatakan bahwa ia berkata kepada Pak Rudi untuk pulang saja dan jangan kembali untuk bekerja keesokan harinya.

Pernyataan Pak Rudi Menurut Pak Rudi, ada banyak siswa masuk ke dalam ruangan secara bersamaan dan berlari ke mana-mana, membuat suasana sangat ribut. Ia berkata ia mencoba menenangkan mereka dan memerintahkan mereka untuk keluar ruangan. Sebagai balasannya, malah seorang anak lakilaki berlari mengelilingi ruangan museum dan menjatuhkan satu lukisan ke lantai. Ia berkata bahwa Ibu Dwi kemudian naik ke atas dan memerintahkannya untuk pulang dan jangan kembali lagi keesokan harinya. Ia berkata kalau Ibu Dwi tidak suka padanya karena ia adalah pimpinan serikat pekerja untuk para satpam.

Pernyataan Pak Ari Menurut Pak Ari, Pak Rudi datang sangat terlambat hari itu dan bersikap agresif ketika Pak Ari bertanya mengapa ia terlambat. Ia berkata kalau Pak Rudi terlihat letih dan merasa bahwa ada

121

kemungkinan kalau nantinya ia akan ketiduran. Ia berkata ia pernah melihat Pak Rudi ketiduran sebelumnya ketika ia mengambil alih jam kerja darinya. Pak Rudi kembali masuk kerja dua hari sesudahnya, dan menemukan bahwa Ibu Dwi telah mempekerjakan orang lain untuk menggantikannya. Ibu Dwi juga mengirimkan tagihan kepada Pak Rudi sebesar Rp 12.000.000 untuk lukisan yang rusak tadi. Pak Rudi mengajukan kasus ini ke PHI dan mengklaim bahwa ia telah dipecat secara tidak adil dan ia seharusnya tidak perlu membayar kerusakan yang terjadi pada lukisan itu. Bahas kasus Pak Rudi dan bagaimana Anda akan mencoba menyelesaikan kasus ini.

122

Lembar 2 Studi Kasus 2 Ada sebuah perusahaan semen di daerah Cikarang, Bekasi yang tidak memiliki serikat pekerja (SP). Perusahaan itu mengambil langkah-langkah berikut untuk mencoba meningkatkan kesempatan, produktifitas dan semangat moral kerja. Pada Februari 2008, Perusahaan mengumumkan akan membentuk “Komite Penyaringan Saran Pegawai” dengan cara membagikan memorandum berikut ini kepada para pegawai: Jadikan perusahaan kita tempat yang lebih baik untuk bekerja! Apa Anda memiliki saran yang berguna untuk meningkatkan catatan keselamatan kita? Mendorong produktivitas? Memperbaiki hubungan manajemen – pegawai? Apa Anda telah memperhatikan adanya kotak saran yang baru yang berada di dekat jam? Anda bisa menolong dengan dua cara. Pertama, berikan saran! Tuliskan saran dan masukkan ke dalam kotak itu. Kedua, jadi relawan untuk menjadi anggota Komite Penyaringan Saran Pegawai. Komite ini akan mengkaji saran – saran yang diberikan setiap bulannya dan akan memilih saran untuk disampaikan pada pihak manajemen untuk dijadikan bahan pertimbangan. Setiap bulannya, saran terbaik, seperti yang ditentukan oleh manajemen, akan dipilih ( jika dimungkinkan) dan pegawai yang memberikan saran akan menerima hadiah yang berharga! Bergabunglah dengan menjadi Anggota Komite pada Papan Buletin yang ada di SDM. Tujuh pegawai mendaftarkan diri untuk menjadi anggota komite. Manajer SDM, Ibu Dwi, mengadakan pertemuan pertama, dimana Pak Yono, presiden perusahaan, juga menghadirinya. Pertemuan itu diadakan di ruang rapat perusahan dan dilakukan pada jam kerja. Ibu Dwi menentukan agenda rapat, termasuk di dalamnya keanggotaan komite, prosedur dan jadwal pertemuan. Ibu Dwi mengumumkan bahwa komite ini akan terdiri dari tujuh pegawai dan Ibu Dwi. Ibu Dwi dan para pekerja membahas prosedurnya dan sepakat bahwa setiap bulannya komite ini akan mengkaji saran yang masuk, memilih tiga terbaik dan menyerahkannya kepada pihak manajemen. Para pekerja yang ada di komite akan memilih tiga saran terbaik tanpa perlu mendapatkan masukan dari Ibu Dwi; Ibu Dwi akan membahas ketiga saran yang direkomendasikan dengan Pak Yono, yang kemudian akan memberikan persetujuan akhir tentang saran terbaik. Komite juga membahas tentang hadiah yang pantas, seperti misalnya “parkir bebas” selama sebulan, voucher belanja di toko lokal, dan hadiah sedikit uang tunai. Ibu Dwi menyatakan bahwa perusahaan akan membiayai hadiah kecil ini hingga senilai Rp200.000. Komite kemudian memilih Pak Rudi, seorang pegawai yang populer, sebagai pimpinan komite. Pada 10 Februari 2008, Pak Yono, mengumumkan bahwa semua pekerja harus tiba di tempat kerja pada pukul 8:30 pagi setiap hari senin empat kali berturut-turut untuk menghadiri serangkaian program wajib mengenai keselamatan. “Sudah terlalu banyak kecelakaan kerja yang terjadi,” ucap Pak Yono. Karena gaji para pegawai ditentukan dari jumlah produktivitas mereka, mereka pada dasarnya tidak akan dibayar untuk kehadiran di pertemuan-pertemuan ini. Pak Bona telah bekerja di perusahaan itu sebagai operator sejak 1990 tanpa mengalami kecelakaan. Pak Bona dan para pekerja lainnya bekerja dari jam 9:00 pagi hingga 5:00 sore, Senin hingga Jumat. Pak Bona sangat marah dengan kebijakan baru ini. “Ini tidak adil,” ia

123

berkata kepada rekan kerjanya, pada saat makan siang. “Pertemuan-pertemuan ini hanya membuang waktu saja, dan kita juga tidak dibayar.” “Entahlah, Bona. Bisa saja berguna,” seorang temannya berkata. “Kau harus akui, memang ada banyak kecelakaan akhir-akhir ini. Tapi, aku juga malas harus datang pagi-pagi hari Senin, dan kita sebenarnya juga harus dibayar untuk waktu kita itu.” “Nah, aku akan mencoba sesuatu untuk ini,” balas Pak Bona. Alarm berbunyi dan Pak Bona dan temannya kembali bekerja. Keesokan harinya Pak Bona berbicara dengan Pak Yono. Ia mengeluh akan kebijakan baru ini. “Semua orang kesal dengan hal ini, Bapak Yono. Kami merasa ini tidak adil. Malahan, ini melanggar hukum. Kami berhak atas bayaran lembur menurut UU Ketenagakerjaan.” “Kau satu-satunya yang mengeluh. Saya tidak bisa apa-apa. Sekarang, kembali bekerja!” Pada hari pertama pertemuan, semua pegawai datang lebih cepat dan menghadiri pertemuan itu kecuali Pak Bona dan temannya tadi, tapi sebagian besar mengeluh dan terlihat masih mengantuk. Teman Pak Bona menelepon dan berkata kalau ia sakit dan tidak akan masuk kerja. Pak Bona tidak menghadiri pertemuan. Ia tiba di tempat kerja jam 8:57., Pak Yono sudah menunggunya di dekat jam absen. “Tidak perlu mencatat jammu, Bona,” katanya. “Kau dipecat!” Pertanyaan 1.

Apakah praktik kerja yang tidak adil telah terjadi? Sebutkan apa saja dan hubungan dengan perundang-undangan terkait

2.

Apa yang akan terjadi jika kasus ini kemudian diajukan ke PHI?

124

Lembar kerja 3 Studi Kasus 3 Sebuah perusahaan pembuat peralatan konstruksi seperti misalnya derek, mesin penggali dan bulldozer, di pabrik tunggalnya di Bandung. Para pegawai produksi telah bergabung dalam SP bernama United Auto Workers (“SP”) sejak 2000. Pada perjanjian kerja bersama terakhir, yang berlaku untuk masa dari 1 Maret 2009- 30 April 2011, SP telah memberikan konsensi yang penting dalam hal upah dan tunjangan perusahaan lainnya agar bisa memotong biaya karena ada kemungkinan hilangnya keuntungan perusahaan. Sejak 15 April 2011, kedua belah pihak mulai menegosiasikan PKB yang baru. Pada sesi negosiasi pertama, tanggal 15 April, perusahaan menuntut hak untuk melakukan sub kontrak pekerjaan dan memberlakukan wajib lembur. SP menolak tuntutan ini dan menginginkan kenaikan upah 10% sebagai kompensasi dari konsensi yang telah diberikan pada PKB sebelumnya. Perusahaan merasa bahwa sub kontrak dan pemberlakuan wajib lembur harus dilakukan karena baru saja menerima pemesanan dalam jumlah yang besar dan takut jika tanpa ketentuan ini tidak akan bisa memenuhi pemesanan tersebut. SP memohon detil pemesanan itu, termasuk di dalamnya nama klien, jumlah dan jenis peralatan yang dipesan, tanggal penyelesaian, dan biaya total; perusahaan menolak memberikan informasi ini dengan menyatakan bahwa hal ini bersifat rahasia. SP mengusulkan agar kedua belah pihak kembali bertemu pada 18 April. Sang negosiator utama perusahaan berkata bahwa ia tidak bisa datang pada tanggal tersebut dan menyarankan agar diadakan pertemuan kembali pada tanggal 20 April. SP setuju. Pada pertemuan tanggal 20 April, perusahaan menawarkan kenaikan upah sebesar 2%, tapi tetap mendesak agar diberikan hak untuk subkontrak dan wajib lembur. Malahan, sang negosiator utama berkata pada SP bahwa perusahaan siap untuk melewati masa pemogokan jika SP tidak setuju dengan persyaratan ini. “Kami mendesak agar ketentuan sub kontrak dan lembur disetujui. Terima atau tidak sama sekali,” ia berkata. SP memohon diadakan sesi negosiasi berikutnya pada 22 April. Perusahaan menjawab bahwa hal ini hanya “membuang-buang waktu kecuali jika kalian bersedia menerima sub kontrak dan lembur wajib.” Akibatnya, tidak ada lagi sesi negosiasi selanjutnya. Ketika PKB berakhir pada 30 April, SP melakukan pemogokan. Perusahaan terus beroperasi menggunakan pegawai manajemen, dengan mengsubkontrakkan pekerjaan tertentu dan mempekerjakan pekerja pengganti. Pada 10 Agustus, 2011, ketika pemogokan masih berlangsung, eksekutif perusahaan mendapatkan informasi bahwa terdapat sebuah fasilitas produksi yang sedang dijual di Tangerang. Mereka mengunjungi tempat di Tangerang itu pada tanggal 15 Agustus dan melihat ternyata fasilitas itu jauh lebih baik dalam banyak hal dari pada milik mereka di Bandung. Bangunan yang ada lebih baru dan besar, sistem ventilasi dan listrik lebih efisien. Ruang kantor lebih modern dan ditata baik. Tempat parkir lebih besar dan dalam kondisi lebih baik juga. Jalur perakitan lebih besar dan ditata lebih baik, dimana perusahaan memperkirakan bahwa hal ini berpotensi menggandakan produksi. Selain itu, karena adanya ruang produksi tambahan, perusahaan mungkin bisa mengembangkan usahanya untuk membuat komponen-komponen yang bisa dijual kepada para penghasil peralatan konstruksi lainnya. Biaya listrik dan air serta

125

pajak lebih rendah dari di Bandung, sehingga ada biaya yang bisa dihemat. Perusahaan juga memproyeksi jika biaya buruh juga akan berkurang. Pada 20 Agustus, perusahaan memutuskan untuk membeli pabrik di Tangerang itu. Mereka mengumumkan keputusan ini kepada pihak SP pada tanggal 25 Agustus dan menyatakan bahwa pabrik di Bandung akan ditutup pada tanggal 31 Desember 2001 kecuali jika SP setuju dengan PKB yang memasukkan pengurangan upah sebesar 20% dan tidak ada kenaikan upah selama masa kontrak berlangsung. Semua pekerjaan yang ada di pabrik Bandung akan ditransfer ke Tangerang, termasuk di pekerjaan untuk memenuhi pesanan tadi. SP menolak ketentuan tawaran upah tadi. Perusahaan sepakat untuk berdiskusi dengan SP terkait dengan akibat dari penutupan, seperti misalnya pembayaran pesangon, dan tunjangan medis untuk para pegawai yang diPHK. Pada 1 September, SP mengajukan tawaran tanpa syarat untuk kembali bekerja. Pada 15 September, setelah SP mengajukan permohonan beberapa kali, perusahaan memanggil kembali para pekerja —untuk mengisi posisi yang selama ini dikerjakan pihak manajemen. Perusahaan tidak mau mengganti para pekerja pengganti dan tidak mau menghentikan pekerjaan subkontrak. SP mengajukan tuntutan kepada Perusahaan berdasarkan tindakan yang dicatat di bawah: (1) penolakan untuk memberitahukan informasi terkait Pemesanan tadi. (2) penolakan untuk bernegosiasi terkait penutupan pabrik Bandung. (3) penolakan pengurangan upah 20% dan pembekuan kenaikan upah. (4) kegagalan untuk segera mempekerjakan kembali pekerja yang mogok dan “menggeser” para pengganti untuk memberikan tempat pada pekerja yang kembali dari pemogokan. Bagaimana Anda, sebagai hakim PHI, akan memberikan tanggapan untuk masing-masing tuntutan yang disebutkan di atas?

126