pendahuluan - Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya

29 downloads 246 Views 154KB Size Report
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme ... Secara alami, komponen keanekaragaman makhluk hidup mempunyai.
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme

yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah, yang merupakan dasar kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati melingkupi berbagai perbedaan atau variasi bentuk, penampilan, jumlah, dan sifatsifat yang terlihat pada berbagai tingkatan. Keanekaragaman

hayati

dibedakan

menjadi

tiga

tingkatan,

yaitu

keanekaragaman gen, keanekaragaman jenis, dan keanekaragaman ekosistem. 

Keanekaragaman gen (genetic diversity) merujuk kepada berbagai macam informasi genetik yang terkandung di dalam individu tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang mendiami bumi.



Keanekaragaman

jenis

(species

diversity)

merujuk

kepada

keanekaragaman organisme hidup di bumi (diperkirakan berjumlah 5 – 50 juta tetapi hanya 1,4 juta yang baru dipelajari). 

Keanekaragaman ekosistem (ecosystem diversity) berkaitan dengan keanekaragaman habitat, komunitas biotik, dan proses ekologi di biosfer.

Profil keanekaragaman hayati daerah merupakan gambaran keanekaragaman hayati yang terdapat atau dimiliki oleh daerah. Keanekaragaman hayati ini mencakup tingkatan ekosistem, spesies, dan tingkatan di dalam spesies atau genetik, baik yang alami maupun yang telah dibudidayakan. Pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati ini sangat beragam, tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan atau untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia lainnya, tetapi lebih luas lagi mencakup aspek lainnya. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan serta satwa liar. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dapat dilakukan dengan cara tidak melakukan degradasi dan fragmentasi habitat asli kawasan tersebut. Sedangkan 1

untuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar yang bersangkutan. Beberapa

ancaman

utama

yang

akan

dihadapi

dalam

pelestarian

keanekaragaman hayati, diantaranya : (a) eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan; (b) pencemaran lingkungan; (c) budidaya monokultur dan dampak negatif rekayasa genetik; dan (d) masuknya jenis asing yang bersifat invasif. Selain itu, pesatnya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan banyaknya pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perumahan, pertambangan, dan industri juga bisa merusak keseimbangan ekosistem. Dampak dari hal-hal tersebut nantinya dapat mengakibatkan banjir, kerusakan lingkungan, pencemaran air, pencemaran agroekosistem, yang semuanya secara langsung akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati ekosistem. Upaya yang harus dilakukan oleh para pihak antara lain : (a) meningkatkan upaya pemanfaatan keanekargaman hayati secara lestari; (b) pengembangan nilai manfaat pengelolaan konservasi; dan (c) meningkatkan kesadaran serta peran serta masyarakat dalam upaya tersebut. Secara alami, komponen keanekaragaman makhluk hidup mempunyai keterbatasan persebaran, sehingga tiap daerah pun memiliki ciri khas tersendiri dalam menampilkan keanekaragaman hayatinya. Karena pentingnya nilai sumber daya hayati yang beragam ini, maka diperlukan upaya konservasi atau pelestarian untuk mendukung pemanfaatan secara berkelanjutan. Kota Surabaya terletak pada 709’ – 7021’ LS dan 112036’ – 112057’ BT. Wilayah administrasi Kota Surabaya yaitu seluas ± 33.637,75 Ha, yang terdiri dari areal perumahan, sawah dan tegalan, tambak, jasa dan perdagangan, industri, dan lahan kosong. Secara ekologis, Kota Surabaya memiliki banyak keanekaragaman hewan dan tumbuhan. Tumbuhan asli bukan endemik Kota Surabaya, antara lain mundu, bisbul, kawista, dan nyamplung. Keanekaragaman budaya manusia dan sistem pengetahuan juga dianggap sebagai bagian dari keanekaragaman hayati. Hal ini dicerminkan oleh sistem pengelolaan lahan dan sumber daya alam, struktur sosial, seleksi pola pertanian dan pola makan. Keanekaragaman budaya tradisional juga berkaitan dengan sistem pengetahuan dalam pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati, yang 2

dikenal sebagai kearifan tradisional. Beberapa contoh penerapan kearifan tradisional di Kota Surabaya adalah (a) pemanfaatan tumbuhan dan hewan untuk pangan, obat, kerajinan, pengolahan limbah (b) untuk budidaya, dan (c) untuk kearifan lokal. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah menyebutkan bahwa keanekaragaman hayati merupakan aset bagi pembangunan nasional dan daerah sehingga diperlukan pengelolaan secara terpadu, baik antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan. Beragamnya sumber daya hayati di Kota Surabaya diharapkan memberikan peluang pemanfaatan yang lebih tinggi. Upaya pemanfaatan keanekaragaman hayati Kota Surabaya harus tetap memperhatikan kelestarian sumber daya hayati, sehingga keberlanjutan pemanfaatan dan pengembangannya tetap terjaga. Untuk mewujudkan manfaat keanekaragaman hayati secara nyata, penguasaan dan tersedianya dokumen mengenai keanekaragaman hayati merupakan syarat penting yang harus dipenuhi oleh daerah. Dokumen ini disusun dalam bentuk profil keanekaragaman hayati Kota Surabaya, yang berisi dokumentasi data dan informasi mengenai potret keanekaragaman hayati daerah dan mencakup ekosistem, spesies, genetik, dan pengetahuan tradisional terkait yang ada di Kota Surabaya. Profil keanekaragaman hayati ini bermanfaat sebagai (a) data dasar mengenai keanekaragaman hayati Kota Surabaya, dan (b) pendukung pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, penyusunan strategi dan rancang tindak pengelolaan keanekaragaman hayati Kota Surabaya.

1.2

Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan profil keanekaragaman hayati Kota Surabaya adalah

tersedianya data dan informasi tentang potensi dan kondisi keanekaragaman hayati dalam berbagai tingkatan yang terdapat di wilayah Surabaya yang nantinya dapat digunakan untuk memelihara hubungan yang selaras antar manusia dan lingkungannya, untuk dapat mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Kota Surabaya. Sasaran penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Kota Surabaya adalah menginventarisasi keanekaragaman hayati di Kota Surabaya. 3

1.3

Dasar Hukum Beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun

daerah yang menjadi dasar hukum penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Kota Surabaya adalah : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; 3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati); 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 6. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman; 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati); 9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;

4

16. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika; 17. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 18. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species (CITIES) of Wild Fauna and Flora; 19. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah; 20. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Mangrove; 21. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan Tumbuhan dan Satwa Liar; 22. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 5 Tahun 1992 tentang Perlindungan Hutan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur; 23. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2001 tentang Tata Kelola Produk-Produk Unggulan Pertanian dan Perikanan di Jawa Timur; 24. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pemanfaatan Flora dan Fauna yang Tidak Dilindungi Lintas Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur; 25. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur; 26. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 12 Tahun 2007 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis di Propinsi Jawa Timur; 27. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau; 28. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2004 tentang Perlindungan, Pengendalian serta Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa; 29. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya.

5