PENDIDIKAN JASMANI DAN KESEHATAN ... - eJournal Unesa

76 downloads 1335 Views 55KB Size Report
dapat dijadikan alternatif kegiatan Penjas di SD terutama bagi anak lelaki, dengan ... Kata kunci: karakteristik, fisik, mental dan sosial anak SD, olahraga tinju.
Mahardika, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan…..

PENDIDIKAN JASMANI DAN KESEHATAN: KARAKTERISTIK ANAK SD PERTIMBANGAN PENTING DALAM MEMBERIKAN KEGIATAN CABANG OLAHRAGA TINJU I Made Sriundy Mahardika* Abstrak: Penelitian literature ini mengkaji secara teoritis kelayakan cabang olahraga tinju bagi anak SD ditinjau dari karakteristik fisik, sosial-emosional dan mentalnya. Literatur utama yang di kaji: Evaluasi Program Diploma-II Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Sriundy,Thesis: 1998) ditambah literature iterature pendukung. Kesimpulan dari penelitian ini: 1) Karakteristik fisik, sosialemosional dan mental anak SD, mendukung kegiatan latihan Tinju,. 2) Olahraga Tinju dapat dijadikan alternatif kegiatan Penjas di SD terutama bagi anak lelaki, dengan memperhatikan kategori-kategori kelas anak SD. Abstract: This literary study theoretically reviewed the feasibility of boxing sport for students of elementary schools observed from their physical, socio-emotional and mental characteristics. The main literature reviewed was an evaluation on D2 PGSD of Physical and Health Education Program (Sriundy, thesis:1998) and other supporting literatures. The findings were 1) the students’ physical, socio-emotional and mental characteristics supported the activities of boxing training; 2) boxing sport could be perceived as an alternative activity of Physical Education in Elementary Schools especially for boys regarding the class categories of elementary school students. Kata kunci: karakteristik, fisik, mental dan sosial anak SD, olahraga tinju Isu nasional yang merebak dewasa ini adalah belum efektifnya pembelajaran Pendidikan Jasmani (Penjas) di sekolah khususnya sekolah dasar (SD). Banyak faktor yang mempengaruhinya, tetapi yang terpenting dapat dikemukakan di sini antara lain: 1) terbatasnya sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar, 2) kemampuan guru yang kurang memadai, dan 3) model pembelajaran Penjas yang digunakan cenderung masih tradisional. Seperti diketahui pembelajaran Penjas yang tradisional kurang memperhatikan karakteristik yang dimiliki siswa Sekolah Dasar. Konsep mengenai karakteristik siswa SD dikemukakan sebagai insan yang utuh, yang sedang tumbuh dan berkembang dalam dunianya sendiri menuju ke kedewasaan. Tumbuh dan berkembang secara utuh dalam arti kesatuan antara fisik dan mental, sosial dan emosional yang tidak dapat dipisah-pisahkan meskipun secara teoritik dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Kegiatan Penjas di sekolah yang menggunakan media olahraga pada dasarnya juga kurang memperhatikan karakteristik anak SD. Cabang olahraga seperti sepakbola, renang, bolavoli dan jenis olahraga lainnya yang dalam tanda kutip tidak dianggap berbahaya, lazim diberikan di SD. Tetapi jika cabang olahraga (alternatif) yang diberikan adalah bertinju, tentu akan mendatangkan banyak masalah yang memerlukan kajian lebih dalam. Tim Pengabdian Masyarakat Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga, telah melakukan penataran kepada guru-guru Penjas SD se Kecamatan Lakarsantri di kampus FIK-Unesa dalam rangka mendukung kebijakan PB. Pertina tentang tinju usia dini. * Dosen Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga FIK Universitas Negeri Surabaya

73

JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO.2, 2005: 61 - 118 Karakteristik anak SD merupakan salah satu materi yang diberikan pada penataran tersebut. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul sehubungan pro-kontra mengenai bolehtidaknya atau baik-buruknya olahraga tinju bagi anak SD sebagai alternatif olahraga pilihan. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam melalui penelitian literatur, agar keragu-raguan tersebut mendapatkan solusi tepat berdasarkan kajian ilmiah. Berdasarkan latar belakang masalah di atas ada dua pertanyaan awal yang dapat diajukan sehubungan dengan olahraga tinju bagi anak SD berdasarkan karakteristik yang dimilikinya: 1) Apakah berdasarkan kajian ilmiah, cabang olahraga tinju sesuai dengan karakteristik fisik, mental dan sosial anak SD? 2) Apakah tinju dapat dijadikan cabang olahraga alternatif yang aman bagi anak SD?

Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan literature study khususnya mengenai olahraga tinju, karakteristik kejiwaan, karakteristik kejasmanian dan karakteristik sosial anak SD. Penelitian ini sebagian besar mengembangkan kajian teoritik yang terdapat dalam thesis Sriundy (1998) berjudul “Evaluasi Program Diploma-II Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani dan Kesehatan” yang dilengkapi dengan berbagai bahan bacaan lain, terutama: 1) Fundamentals of Physical Education (Swain and Lemaistre: 1967), 2) Piaget’s Theory of Cognitive Development: An Introduction for Studies of Psychology and Education (Wadsworth: 1979), 3) Teaching Physical Education for Learning (Judith E. Rink: 1998).

Hasil dan Pembahasan Karakteristik fisik dan mental siswa SD berdasarkan pada tingkat usianya menurut Conny (1991) dibagi menjadi tiga kategori: 1) Siswa SD kelas I dan II, berusia antara 6-7 tahun, 2) anak SD kelas III dan IV, berusia antara 8-9 tahun dan 3) siswa SD kelas V dan VI, yang usianya antara 9-11 tahun. Pada siswa sekolah dasar yang berusia antara 6-9 tahun secara umum tidak ditemukan perbedaan perkembangan fisik maupun mental yang menonjol antara siswa perempuan dengan siswa laki-laki. Sedangkan pada usia 10-11 tahun antara anak lelaki dengan anak perempuan mulai menampakkan perbedaan perkembangan fisik maupun mental. Karakteristik Siswa Kelas I dan Kelas II Karakteristik fisik, sosial dan emosional maupun mental anak SD kategori I (kelas I dan II), yang berumur antara 6-7 tahun, yang perlu diperhatikan oleh guru dalam pelatihan tinju adalah sebagai berikut: Karakteristik Fisik: Anak pada kelompok usia ini secara umum memiliki waktu reaksi lambat dan koordinasi gerakan yang belum baik, mereka akan sulit melakukan gerakan-gerakan yang cepat dan yang memerlukan koordinasi rumit (Conny, 1991). Kegiatan fisik yang mereka lakukan menggunakan otot-otot besar, gemar berkelahi, kejar-mengejar, buru-memburu dan memanjat. Guru Penjas perlu mempertimbangkan karakter ini dalam memilih cabang olahraga bagi anak didiknya. Jika kegiatan olahraga tinju menjadi pilihan guru, maka latihan yang tepat dapat berupa gerakan-gerakan dasar seperti memukul dan menghindar dengan kombinasi yang tidak terlalu rumit. Secara emosional mereka sangat aktif dan bersemangat serta menaruh perhatian besar terhadap suara atau bunyi-bunyian yang teratur seperti musik. Mempertimbangkan karakter ini guru perlu mengkombinasikan kegiatan latihan tinju dengan iringan musik dan lagu. Memang memadukan gerakan tinju dengan musik dan lagu tidaklah mudah tetapi melalui kerja sama dengan guru kesenian (musik) akan menghasilkan model latihan tinju yang mengandung gerakan dasar tinju diiringi musik dan lagu. Komposisi tulang-belulang anak pada kelompok usia 6-7 tahun masih lemah dan mudah berubah, sehingga sangat bijaksana bila guru Penjas tidak memberikan latihan fisik dengan beban melebihi berat badannya dan ulangannya harus rasional. Berikan latihan yang lebih terfokus pada 74

Mahardika, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan….. usaha meningkatkan fungsi kardio respiratori vaskuler, sehingga mereka memiliki kesegaran jasmani yang baik. Tetapi jika tinju dijadikan pilihan aktivitas maka latihan-latihan teknik itu haruslah tidak mementingkan bobot pukulan, tetapi lebih pada upaya memberikan bekal gerakan yang benar dan fokus pada ketepatan sasaran. Jantung anak pada usia ini masih mudah terganggu, karena itu kegiatan-kegiatan olahraga sebaiknya menggunakan model latihan predominant energy system an-aerobic. Latihan teknik tinju yang diberikan haruslah dengan durasi yang terkontrol. Perhatikan juga anak-anak yang memiliki gejala asma, biasanya latihan-latihan yang an-aerobik ditambah dengan andilnya allergen tertentu dapat mencetuskan serangan asma. Untuk itu guru harus benar-benar berhati-hati, dalam memberikan beban latihan tehnik bertinju. Pada kelompok ini perkembangan perasaan masing-masing anak menentukan sesuatu dan persepsinya. Guru wajib memperlakukan anak dengan baik. Walaupun olahraga tinju identik dengan kekerasan, tetapi pada kelompok ini usahakan latihan-latihan fisik dilakukan tanpa bentakan dan hukuman (punishment), lebih baik memperbanyak pujian dan hadiah (reward). Buat latihan dan permainan yang menarik agar pandangan dan persepsi siswa terhadap guru dan kegiatan belajar tinju menjadi positif. Koordinasi antara tangan dan mata mulai berkembang pada kelompok anak enam s/d tujuh tahun tetapi mereka masih belum dapat menggunakan kelompok otot kecil. Guru perlu memilih kegiatan olahraga maupun Penjas yang berisi keterampilan menggunakan kemampuan koordinasi tangan dan mata. Latihan tehnik bertinju merupakan salah satu kegiatan yang baik tetapi latihan dilakukan (misalnya) dengan menempatkan beberasa sasaran beraneka warna dan pada posisi yang berbeda. Kesehatan anak pada umumnya tidak stabil, daya tahan kurang baik dan mudah sakit. Melihat kondisi ini guru olahraga sebaiknya harus teliti dan lebih memperhatikan keadaan pribadi setiap siswa. Latihan keterampilan tinju harus diupayakan sedemikian rupa agar kesehatan anak justru terjaga dengan baik bukan malah sebaliknya. Gigi susu anak kelompok usia ini mulai mengalami pergantian dengan gigi permanen. Proses pergantian dapat berupa penanggalan atau pengeroposan, tetapi apapun prosesnya biasanya mendatangkan rasa sakit yang tidak nyaman dan mengganggu konsentrasinya. Untuk itu latihan tinju yang diberikan guru jangan sampai memperparah rasa sakitnya, atau jangan sampai latihan mendatangkan perasaan tidak menyenangkan. Bagi anak yang mengalami rasa sakit seperti ini sebaiknya tidak diijinkan untuk mengikuti latihan agar persepsi anak tentang tinju tetap baik. Anak tidak suka berdiam diri, selalu bergerak yang dapat berupa berlari, memanjat, jika lelah duduk istirahat sebentar dan kemudian lari lagi dan berbagai kegiatan lain sehingga nampak anak tidak pernah berdiam diri. Guru harus mampu mengakomodasikan kegemaran siswa untuk selalu bergerak ini secara maksimal melalui berbagai kegiatan Penjas maupun pelatihan olahraga tinju. Karakteristik sosial dan emosional Anak berminat besar terhadap hal-hal yang bersifat drama dan khayalan serta sering menirunya. Untuk itu guru Penjas sebelum memulai kegiatan latihan perlu melengkapi diri dengan cerita-cerita yang berhubungan dengan latihan yang akan dilakukan. Guru misalnya berceritera tentang kangguru sebagai binatang yang suka bertinju, atau berceritera tentang petinju-petinju hebat Indonesia yang dengan gigih berjuang mengibarkan Sang Saka Merah Putih di setiap kejuaraan. Lalu menirukan gerakan-gerakan khas yang dimiliki setiap petinju tersebut dan berbagai ceritera lainnya yang menarik perhatian siswa dan menirunya dalam latihan tinju. Mereka sangat senang bertengkar hampir dengan semua orang, baik teman sebayanya ataupun dengan orangtuanya. Karakter ini sangat tepat disalurkan melalui kegiatan latihan tinju. Melalui latihan tinju guru dapat menunjukkan berbagai teknik bertinju. Latihan tinju juga akan memberi pengalaman kepada mereka betapa sakitnya ketika seseorang dipukul dengan tinju. Perlahan anak akan belajar untuk berhati-hati menggunakan tinjunya. Guru mempunyai

75

JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO.2, 2005: 61 - 118 kesempatan untuk menanamkan disiplin dan aturan-aturan kepada anak mengapa, kapan, bagaimana dan kepada siapa kemampuan bertinju itu harus ditunjukkan. Anak memiliki perasaan benar pada hal-hal yang disetujui dan memuaskan dirinya, dan menyalahkan apa saja yang memang tidak mereka sukai. Mereka sering merasa jengkel jika dipersalahkan. Untuk itu guru olahraga harus menghindarkan kata-kata salah dalam latihan tetapi kata-kata yang tidak berkonotasi menyalahkan seperti lebih baik begini. Guru sangat bijak jika menggunakan pendekatan pujian dan hadiah daripada pendekatan hukuman. Guru Penjas perlu melengkapi kegiatan latihan tinjunya dengan ceritera-ceritera heroik yang menarik, dan memperaktekkannya dalam kegiatan latihan yang sebenarnya. Kebanyakan anak dalam bermain ingin turut serta sebanyak mungkin sehingga sering diantara mereka berebut yang tidak jarang akan menimbulkan persepsi negative terhadap pembelajaran. Guna mengatasi hal itu guru dalam kegiatan belajarnya lebih baik membagi anak dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 3-4 orang saja, lebih dari itu akan mendatangkan ketidak puasan pada diri anak. Karakteristik mental Kemampuan anak untuk memusatkan perhatian kurang atau terbatas, akibatnya tidak jarang akan muncul berbagai kejadian mendadak misalnya tiba-tiba anak akan meninggalkan suasana latihan kemudian bermain sendiri atau bermain dengan teman lainnya. Untuk itu guru perlu lebih sabar dan telaten dalam menghadapi dan membimbing anak. Anak memiliki kesenangan dan keinginan menemukan masalah baru yang belum diketahui, untuk itu guru harus mampu membuat siswa senang dan membawa hal-hal baru dalam setiap kegiatan latihan. Dengan demikian guru perlu rajin mencari dan mengoleksi model-model kegiatan atau istilah-istilah agar siswa tidak bosan. Hasil observasi pada Gita Laxmi (anak peneliti) menunjukkan mereka memiliki keinginan untuk memiliki sesuatu yang diinginkannya sangat besar. Tidak jarang keinginan yang belum terpenuhi sampai terbawa mimpi (mengigau). Karakter ini yang menyebabkan anak sering berebut dengan teman latihannya untuk hal-hal yang kelihatannya sepele. Makin berkembangnya organ-organ percakapan/bicara membuat anak akan terkesan cerewet. Berbagai hal yang kelihatannya sederhana bagi orang dewasa justru akan menjadi hal menarik bagi anak untuk diketahui dan ditanyakan. Bila guru tidak mengerti dan memahami karakter ini maka akan ada keengganan untuk menanggapi kecerewetan siswa, akibatnya guru dan pelajarannya tidak akan disukai. Anak memiliki kegemaran untuk mengulang-ulang kegiatan yang menyenangkannya. Jika latihan tinju dirasakan menarik dan menyenangkan maka di rumah dia akan mengulangnya dengan adik, kakak atau teman-teman sebaya. Karakter ini yang mengharuskan guru atau orangtua mengawasi mereka dengan perhatian ekstra. Jangan sampai teknik bertinju yang diajarkan di sekolah diulang di rumah dengan meninju adik atau kawan bermainnya yang lebih kecil. Kategori usia ini memiliki kemampuan berfikir kongkrit, anak belum memiliki kemampuan memadai untuk mengikuti kegiatan yang menuntut berfikir abstrak. Bagi pembelajaran Penjas pada umumnya hal ini tidaklah menjadi masalah, karena sebagian besar kegiatan dalam bentuk kongkrit. Anak memiliki ketertarikan hampir pada setiap hal yang baru baginya. Hal ini membuat anak tidak mampu bertahan pada kegiatan yang monoton, mereka lebih senang pada kegiatan yang bervariasi dengan kegembiraan yang beragam. Inilah tantangan yang sebenarnya bagi seorang guru olahraga untuk selalu kreatif mengemas pembelajarannyalatihan tinju menjadi kegiatan menarik. Anak memiliki hasrat berkreasi dan daya khayal tinggi. Karakteristik ini terkadang menyulitkan atau membuat jengkel guru tradisional, karena siswa dengan tiba-tiba dapat mengubah kegiatan atau gerakan yang diharuskan guru menjadi kegiatan atau gerakan yang berbeda. Sungguh bijak bila guru dengan rasa empati menghargai apa yang dikerjakan siswa sampai dia menemukan apa yang diyakininya benar.

76

Mahardika, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan….. Karakteristik Anak Kelas III dan IV Karakteristik fisik, sosial dan emosional serta mental siswa SD kelas III dan IV, yang berusia antara 8-9 tahun yang perlu mendapat perhatian guru dalam rangka pemberian latihan tinju adalah sebagai berikut: Karakteristik Fisik Kategori kelompok usia ini jika dibandingkan dengan klompok kelas I dan II sudah berbeda. Anak kelas III dan IV telah mengalami perbaikan koordinasi tubuh dalam hal melempar, menangkap, memukul, melompat dan keterampilan motorik lainnya. Latihan tehnik dasar-dasar bertinju sudah dapat diberikan dengan bentuk-bentuk gerakan yang lebih rumit dan membutuhkan koordinasi lebih kompleks. Berbagai latihan memukul dengan disertai body moving yang lebih variatif akan sangat disukai dan berfungsi menguatkan kemampuan koordinasi tubuh anak. Ketahanan tubuh anak kategori usia ini akan bertambah baik. Anak lelaki lebih suka atau gemar pada aktivitas yang mengandung kontak fisik seperti berkelahi atau bergulat. Dasar-dasar olahraga tinju sudah dapat dimulai pada kelompok anak lelaki, dengan lebih terarah dan dilakukan secara lebih berhati-hati. Pelatihan tehnik-tehnik dasar bertinju sudah dapat diberikan dengan lebih serius, dengan catatan sedapat mungkin menghindari pukulan langsung kearah tubuh kawan atau lawan bermainnya. Pertumbuhan fisiknya terus mengalami peningkatan, dan guru Penjas memegang peranan penting untuk mengoptimalkannya dengan berbagai latihan cabang olahraga. Kemampuan koordinasi mata dan tangan anak semakin bertambah baik. Latihan tinju dapat mengoptimalkan peningkatan kemampuan koordinasi mata dan tangan melalui latihan berbagai tehnik pukulan dan hindaran tanpa mengenai tubuh anak (Shadow boxing). Pada masa inilah bentuk tubuh (body proportion) anak dibentuk. Jika guru Penjas menanganinya dengan baik maka akan terbentuk anak-anak yang memiliki bentuk tubuh baik, tetapi jika salah maka dapat terjadi sebaliknya. Salah satu tugas guru Penjas menghindarkan atau meminimalisir kemungkinan seorang anak memiliki tubuh yang kurang proporsional baik melalui tindakan prefentif maupun rehabilitasi. Catatan penting yang perlu diperhatikan guru sehubungan dengan hal ini adalah mengusahakan keseimbangan peningkatan kemampuan antara ekstremitas atas dan bawah. Berbagai data menunjukkan bahwa perbedaan individu mulai nyata, dan secara fisiologis anak-anak perempuan perkembangannya satu tahun lebih maju daripada anak pria. Perbedaan seksual ini banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan pembelajaran Penjas, untuk itu guru sudah dapat memilah dan memilih mana kegiatan Penjas yang tepat untuk anak lelaki dan mana yang sesuai untuk anak perempuan. Tinju pada kelompok ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika diberikan kepada anak lelaki atau perempuan, karena belum melibatkan kontak fisik. Mobilitas yang tinggi pada nak usia ini sering menimbulkan kecelakaan, dan kenyataan ini mengharuskan guru lebih berhati-hati dan ketat mengawasi kegiatan tinju yang diberikan. Usahakan latihan tinju menjadi kegiatan yang aman dengan mengurangi berbagai kemungkinan resiko cedera yang disebabkan oleh berbagai mobilitas yang tak terkontrol. Karakeristik sosial dan emosional Anak pada masa ini mudah terpengaruh, mudah sakit hati karena kritikan-kritikan. Upaya perbaikan berbagai kesalahan anak oleh guru Penjas sebaiknya tidak dalam bentuk kritikan, celaan atau berbagai sikap sejenis lainnya. Upayakanlah perbaikan itu dalam bentuk sedemikian rupa dimana anak tidak menyadari jika dia melakukan kesalahan atau dipersalahkan bahkan tidak menyadari kalau kesalahannya telah diperbaki atas bimbingan guru. Kelompok anak di usia ini suka membual atau berceritera, untuk itu guru Penjas harus bersabar mendengarkannya. Mungkin saja anak akan menceriterakan banyak tokoh tinju yang dikenalnya atau bahkan banyak menceriterakan dirinya jika nanti menjadi juara tinju. Biarlah bagian yang tidak serius bagi sebagian besar orang dewasa ini menjadi bagian yang menyenangkan buat anak sehingga anak akan menganggap tinju sebagai media beraktivitas yang menyenangkan. Mereka suka menggoda dan menyakiti anak lain serta tidak banyak menaruh perhatian terhadap berbagai hal, apalagi terhadap hal-hal yang tidak disukainya. Jika guru Penjas kurang

77

JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO.2, 2005: 61 - 118 memahami karakter ini maka tidak menutup kemungkinan keterampilan bertinju yang dimiliki anak justru akan digunakan untuk menyakiti anak lainnya. Untuk itu guru harus berusaha dengan keras meyakinkan anak bahwa kemampuan bertinju yang dipelajari dan dikuasainya sangat mungkin dapat membahayakan anak lain. Suka memperlihatkan aktivitas bermain dalam bentuk drama dengan berbagai peranan yang tentu saja disukai. Sangat indah jika latihan tinju dikemas dalam musik dan drama, masingmasing memerankan tokoh tinju yang berbeda. Misalnya ada yang menjadi Ali dan ada yang menjadi Norton, lalu mereka seolah bertanding mengulang pertandingan akbar kedua peetinju lagendaris tersebut. Karakter sosial dan emosional lain dari kelompok ini adalah: 1) menyukai persahabatan (ramah tamah) dan senang terhadap teman-teman lain, selain terhadap teman akrabnya, 2) mempunyai hasrat dan kemauan besar, sehingga tinju menjadi bagian penting dalam memuaskan hasrat dan kemamuannya tersebut, 3) memiliki hasrat untuk turut serta dalam kelompok dan kadang-kadang mempunyai teman akrab khusus. Mengingat karakter ini latihan Tinju lebih baik dilakukan secara berkelompok, 4) mereka seringkali terlihat kurang hati-hati, gaduh dan banyak mengemukakan alasan-alasan. Jika guru menghendaki latihan yang serius tertib dan terkendali maka lupakanlah. Lebih baik guru mengakomodasikan karakteristik ini dalam kegaduhan yang bermanfaat, 5) mampu menyesuaikan diri. Ia selalu bermain-main, menginginkan lebih ada kebebasan tetapi tetap dalam lingkungan orang dewasa. Jadi biarkan ada variasi-variasi yang diciptakannya sendiri meskipun itu sedikit keluar dari kaidah-kaidah teknik bertinju, malah jika mampu buatlah kegiatan berlatih keterampilan tinju dalam bentuk permainan, 6) lebih senang kegiatan beregu daripada kegiatan yang sifatnya individual, dan hanya memikirkan apa yang disenanginya, 7) mereka sering sekali memperlihatkan sifat-sifat sosial yang berlawanan, karena bertengkar dengan teman akrabnya dan lebih bersimpati kepada mereka yang sedang kesakitan atau mendapat kesusahan/kesukaran, 8) ada kecenderungan senang membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, sehingga nampak usaha lebih keras untuk mengatasi kegagalan dan mengatasi turunnya prestasi, 9) mulai mengenal kebutuhan dan keinginan teman sebaya dan mengidentifikasikan dirinya untuk tujuan kelompok dan bertanggunganjawab, 10) mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang kecil. Guru Penjas tidak perlu memberikan hukuman kepada dua orang anak yang berkelahi sepanjang tidak membahayakan, karena dalam waktu yang tidak lama mereka akan berbaikan lagi. Karakteristik mental Karakteristik mental yang penting diperhatikan oleh guru Penjas yang akan menggunakan Tinju sebagai media belajar adalah: 1) Ruang lingkup perhatian bertambah, 2) kemampuan berfikir lebih terarah, karena anak-anak telah memiliki pengalaman-pengalaman, 3) anak suka berhayal, senang akan bunyi-bunyian dan gerakan berirama. Pembelajaran olahraga yang disukai juga yang mengandung gerakan-gerakan jasmani dipandu dengan irama musik, seperti senam irama, 4) suka meniru idola atau yang menjadi cita-citanya. Setiap guru olahraga harus berusaha untuk menjadikan dirinya idola anak-anak dengan tingkah laku yang menyenangkan, atau paling tidak memberi gambaran kepada mereka mengenai orang-orang hebat dalam bidang olahraga, 5) minat terhadap macam-macam permainan yang terorganisir bertambah, tetapi anak-anak belum mampu menangkap seluruh peraturan-peraturan permainan. Untuk itu jika olahraga dipilih guru menjadi kegiatan olahraga maka harus dimodifikasi sedemikian rupa agar peraturan-peraturan yang mengikat permainan itu menjadi lebih sederhana, 6) sangat berhasrat menjadi dewasa, 7) senang akan latihan-latihan dan aktivitas fisik sehingga merupakan kesempatan yang baik bagi guru Penjas untuk menanamkan rasa senang pada kegiatan olahraga. Dengan latihan-latihan dasar yang benar, kemungkinan besar akan muncul bibit muda berbakat dalam bidang olahraga, 8) khususnya gemar akan aktivitas-aktivitas yang berbentuk pertandingan, sehingga kegiatan yang berbau kompetisi dengan identitas-identitas pendukung seperti yel-yel, seragam dan lain-lain akan membuat siswa sangat senang.

78

Mahardika, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan….. Karakteristik Anak Kelas V dan VI Setelah melewati Kelas IV pada umumnya antara anak lelaki dan anak perempuan memiliki karakteristik fisik, sosial, emosional dan mental yang berbeda (Conny, 1991). Karakteristik fisik, sosial, emosional dan mental yang perlu mendapat perhatian guru Penjas jika ingin mmeberikan latihan Tinju antara lain: Karakteristik Fisik Berat badan anak lelaki yang berada pada kategori ini bertambah dengan mantap walaupun lambat. Kekuatannya berangsur-angsur meningkat, dan latihan kekuatan mulai dapat diberikan secara progresif. Tetapi tetap diingat bahwa beban yang diberikan tidak diluar beban tubuhnya sendiri, bebannya harus ringan dan repetisinya ditingkatkan. Kematangan seksual dicapai hanya oleh 5% anak setelah mereka berusia 12 tahun. Anak lelaki merasa bangga menjadi lelaki dan merasa menjadi jagoan. Kebanggan ini dapat berakibat buruk jika kemampuan mereka bertinju tidak mampu dikontrol, sehingga sering ingin menjadi jagoan dengan menunjukkan kemampuannya bertinju. Kemungkinan ini dapat dicegah atau diminimalisir dengan menanamkan jiwa sportifitas dan ksatria, dimana kemampuan itu baru akan ditunjukkan jika menghadapi ketidakadilan. Kadang-kadang temperatur tubuh mereka berubah, sering mengeluh terlalu panas atau terlalu dingin. Hal ini perlu diketahui oleh guru agar pemahaman dan toleransi terhadap keluhan anak lebih baik, agar pelatihan Tinju tetap menyenangkan karena semua bentuk keluhan ditanggapi dengan benar. Karakteristik sosial dan emosional Anak lelaki yang berumur antara 9-12 tahun, dan duduk di kelas V dan VI SD memiliki perkembangan kearah kejantanan semakin mantap, dan latihan dasar bertinju merupakan salah satu sarana untuk membantu membangun jiwa ksatria anak. Mereka sering membentuk "geng" atau kelompok-kelompok dan lebih suka bergaul dengan teman-teman sejenisnya.Bagi guru kesempatan ini baik digunakan untuk memantapkan kegiatan ekstra kurikuler dengan membentuk tim-tim olahraga. Mereka akan sangat kagum pada teman-teman yang memperlihatkan sikap menentang terhadap orang dewasa atau menentang segala bentuk tindakan otoriter. Pemahaman guru pada karakter ini perlu dijadikan pegangan agar dalam melaksanakan pelatihan tinju sedapat mungkin menghilangkan sikap kaku, keras dan menang sendiri. Kegiatan latihan Tinju lebih ditujukan untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan belajar anak bukan pada tujuan pencapaian kemampuan bertinju yang baik dan benar. Terlebih anak pada usia ini memiliki kemampuan berusaha keras untuk menjadi yang terbaik dalam setiap permainan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan/dikagumi oleh teman-teman sejenisnya dan teman kelompoknya. Bayangkan jika karakter ini tidak diakomodasi dan setiap latihan mereka mendaat bentakan dan celaan, mereka pasti akan melawan sebagai bagian dari upaya menunjukkan sika kepahlawanan. Guru justru harus menjadikan latihan tinju sebagai sarana yang baik untuk memupuk rasa percaya diri dan dikagumi. Mereka bermain lebih keras, lebih ribut, dan lebih lama daripada anak perempuan. Ratarata memiliki sifat senang bertualang dan merusak. Karakter ini akan baik jika disalurkan melalui kegiatan latihan tinju dan dampaknya akan menjadi positif bagi prestasi anak. Mereka menunjukkan ketidaksesuaian dengan anak perempuan, selalu menunjukkan bahwa ada perbedaan diantara mereka, dan tinju akan dianggap sebagai olahraga untuk anak lelaki saja. Memiliki ketakutan pribadi yang sederhana. Kadang-kadang berfikir untuk melarikan diri bila ada hal-hal yang mengganjal di hati. Jika ada anak yang mangkir dari latihan tinju yang tadinya sangat disukai, guru harus introspeksi dan mengevaluasi perlakuannya kepada anak ini. Karakter mereka yang penting untk diperhatikan adalah ketakutan jika diberi julukan pengecut atau penakut, sehingga selalu ingin menunjukkan keberaniannya. Karakter ini dapat dimanfaatkan guru untuk lebih menantang anak berlatih tinju dengan keras dan menunjukkan kemampuan maksimalnya. Karakteristik Mental Beberapa karakteristik mental yang menonjol dan perlu diperhatikan guru Penjas dalam melatih anak bertinju adalah: 1) perkembangan kemampuan berdalih makin baik, akibatnya

79

JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO.2, 2005: 61 - 118 terkesan siswa akan banyak akal, jika dia ketahuan memukul temannya dia cenderung untuk mengatakannya tidak dengan berbagai dalih, 2) kemampuan melihat masalah secara menyeluruh makin baik, 3) kemampuan berkonsentrasi makin baik, sehingga perlu diberikan kegiatan gerakan tinju yang variasinya lebih rumit dan memerlukan konsentrasi lebih besar, 4) pada kelompok umur ini anak laki-laki akan sedikit mengalami tidak keseimbangan mental. Guru harus memperhatikannya dengan cermat, sehingga latihan tinju yang diberikan tidak disalahgunakan. Secara umum tingkat perkembangan anak SD ditandai dengan beberapa ciri khas sehingga pemberian latihan cabang olahraga tinju di SD harus memperhatikan hakekat siswa SD yang usianya berkisar 7 s/d 12 tahun. Pada usia ini oleh Piaget di sebut dengan masa operasi kongkrit yang merupakan suatu arus kesadaran yang menghasilkan respon atau tanggapantanggapan terpisah tanpa sebab akibat yang jelas dan dikenal dengan masa penurunan kreativitas. Pada usia ini mereka telah menyesuaikan diri dengan realita kongkrit dan mempunyai rasa banyak ingin tahu sehingga fungsi imajinatif yang terletak pada belahan otak sebelah kanan harus mendapat perhatian. Pembelajaran harus lebih diorientasikan kepada pendekatan keterampilan mengelola perolehan lewat latihan meneliti dan menemukan secara impiris yang mengarahkan anak pada cara berfikir kreatif. Guru Penjas perlu memberikan kebebasan lebih kepada siswa dalam mengembangkan kemampuan geraknya, walaupun gerakan-gerakan yang dibuat anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan guru. Guru dalam memberikan latihan harus lebih banyak toleran terhadap kemampuan dan kesalahan siswa dengan mengembangakan model reward dan meninggalkan sedapat mungkin hal-hal yang bersifat punishment. Secara fisik ada perbedaan di setiap kelompok usia. Kelompok usia 6-7 tahun atau kelas I-II memiliki waktu reaksi lambat dengan koordinasi gerakan belum baik sehingga sulit melakukan gerakan cepat dan menuntut koordinasi rumit. Mereka aktif dan bersemangat serta menaruh perhatian pada bunyi-bunyian. Komposisi tulang belulang masih lemah dan mudah berubah dengan jantung yang mudah terganggu. Koordinasi mata dan tangan mulai berkembang tetapi masih belum terampil menggunakan otot kecil. Berdasarkan karakter ini tentu banyak resiko yang akan dihadapi siswa jika diberikan latihan tinju, andaikanpun diberikan tidak akan banyak manfaatnya, untuk itu sebaiknya guru mencari kegiatan Penjas lain yang lebih banyak manfaatnya bagi kepentingan belajar siswa. Setelah anak usia 8-9 atau duduk di kelas III-IV, perkembangan kemampuan melempar, menangkap, memukul, melompat dan keterampilan motorik lainnya semakin pesat. Dengan latihan seni bertinju (belum bertinju) kiranya akan lebih menopang kemampuan motorik tersebut. Seni bertinju juga akan menjadi lebih tepat karena kelompok usia ini menyukai kegiatan yang melibatkan kontak fisik. Kombinasi latihan tehnik bertinju dengan musik akan mengasilkan kegiatan yang menyenangkan anak Kategori kelompok usia 10-11 tahun atau duduk di kelas V-VI adalah kelompok usia yang tepat untuk memulai pengenalan cabang olahraga Tinju. Pada kelompok usia ini mereka memiliki kekuatan fisik yang meningkat dan akan semakin meningkat jika diberikan kegiatan bertinju. Terlebih pada kelompok usia ini mereka memiliki perasaan sebagai seorang lelaki, dan olahraga tinju identik dengan identitas lelaki. Tinju akan memupuk rasa kelelakian anak dengan baik dan benar.

Simpulan dan Saran Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini sesuai dengan masalah penelitian yang diajukan adalah: 1) Karakteristik fisik, sosial-emosional dan mental anak SD, berdasarkan hasil analisis mendukung kegiatan latihan tinju, dan latihan tinju mendukung tumbuh-kembang karakter anak lelaki. 2) Olahraga tinju dapat dijadikan alternatif kegiatan Penjas di SD terutama bagi anak lelaki, dengan memperhatikan hal-hal: a) Untuk anak SD kategori I yang duduk di kelas I dan II sebaiknya tidak diberikan kegiatan olahraga tinju, disamping karena tidak didukung oleh karakteristik fisik juga karena manfaatnya sangat kecil bagi perkembangan motorik, sosial emosional dan mentalnya. b) Anak SD di kategori II atau duduk di kelas III dan IV berdasarkan

80

Mahardika, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan….. karakteristiknya sudah dapat diberikan latihan tinju. Namun berdasarkan karakter fisik dan mentalnya sebaiknya latihan yang diberikan adalah shadow boxing yang diiringi dengan musik. Hindari pukulan pukulan langsung yang mengarah ke tubuh, sebab anak mudah cedera, ajarkan apa yang disebut dengan seni bertinju dan bukan kegiatan bertinju. c) Sedangkan anak kategori III yang duduk di SD kelas V dan VI, sudah dapat diberikan kegiatan bertinju karena memiliki karakteristik yang mendukung kemampuannya bertinju. Walaupun demikian kontak fisik harus tetap dibatasi dengan mengutamakan keselamatan anak dengan perlindungan standard serta harus selalu dibawah pengawasan guru Penjas. Berdasarkan simpulan diatas maka dapat disarankan sebagai berikut: 1) Mengingat olahraga tinju bukan olahraga ringan bagi anak SD, sebaiknya kegiatan pendampingan oleh Tim harus tetap dilakukan, terutama kepada guru-guru Penjas yang melakukan pelatihan tinju di sekolahnya. 2) Karena begitu besar peranan bunyi-bunyian atau musik bagi anak SD maka sebaiknya Tim segera meriintis kerjasama dengan Prodi Seni Musik, untuk menciptakan model latihan tinju bagi anak SD. Model itu dibuat dengan mengkombinasikan gerakan-gerakan olahraga Tinju dengan musik yang menarik.

Daftar Acuan Conny, Semiawan dkk. (1992). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Rink Judith E. (1998). Teaching Physical Education for Learning. Boston.: The McGraw-Hill Companies Inc. Sriundy, M., I Made. (1998). Evaluasi Program Diploma II Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. (Thesis). Yogyakarta: PPs UNY. Swain M.O.B., and E.H. Lemaistre. (1967). Fundamentals of Physical Education: Teaching Methods Series. Sydney: Ian Novak Publishing Co. Wadsworth Barry J. (1979). Piaget’s Theory of Cognitive Development: An Introduction for Studies of Psychology and Education,( Second Edition). New York and London: Longman Inc.

81