Pendidikan Nasional

15 downloads 4192 Views 41KB Size Report
tugas pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang seluas-luasnya bagi ... Semua kebijakan mengenai penyelenggaraan pendidikan di sekolah umumnya  ...
KEMANDIRIAN PENDIDIKAN BANGSA Oleh Harsono Universitas Muhammadiyah Surakarta A. Pendahuluan Dalam Pembukaan UUD 1945 telah disampaikan bahwa salah satu tujuan tugas pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang seluas-luasnya bagi kepentingan rakyat. UUD 1945 telah memberikan pelajaran bahwa pelayanan penyelenggaraan pendidikan itu sifatnya sentralisasi, sementara pada UU No 20 Tahun 2000 tentang Sisdiknas sifatnya desentralisasi, karena UU ini menyebutkan ada tiga pilar penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pada tataran UU Guru dan Dosen, telah terjadi balikan arah penyelenggaraan pendidikan ke UUD 1945 dimana sumber pembiayaan pengeluaran rutin lembaga pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Karena itu maka gaji guru merupakan bagian dari DAU. Posisi ini membingungkan tingkatan implementasi, karena UU Sisdiknas lebih berwarna desentralisasi dan otonomi pendidikan sementara UUGD kembali pada warna sentralisasi. Disadari atau tidak, memang para penyelenggara persekolahan sama sekali tidak memiliki ruang untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri (Harsono, 2007). Semua kebijakan mengenai penyelenggaraan pendidikan di sekolah umumnya disusun di tingkat pemerintah pusat atau sebagaian di instansi vertikal sementara sekolah hanya menerima kebijakan itu sebagaimana telah ditetapkan. Apa saja muatan kurikulum di sekolah adalah urusan pemerintah pusat, semua kepala sekolah dan guru harus melaksanakan tugas sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Demikian juga anggaran pendidikan mengalir dari pemerintah pusat ke sekolah melalui saluran

birokrasi dan berbagai simpul yang masing-masing menginginkan bagian atas dana itu. Tidak sedikit Bupati, Sekda, Kepala Dinas Pendidikan Nasional yang kesrimpet dana sekolah sehingga berurusan dengan pengadilan atau bahkan masuk penjara. Akhirnya kita tahu bahwa dana yang sampai pada siswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran sangat rendah, bahkan siswa beberapa sekolah menjadi korban kompilasi pejabat lokal dan sekolah, disamping mereka tidak mendapat pelayanan pembelajaran dengan baik, bahkan mereka masih harus kehilangan dana untuk berbagai alasan, misalnya membeli seragam sabuk, kaos kaki, sepatu, topi, dasi, pakaian oleh raga, pakaian seragam harian, buku, dll. Kondisi ini melahirkan situasi baru pendidikan yang unik dan emik, sekolah tidak ada lagi kemerdekaan pembelajaran tetapi lebih pemasungan yang memedihkan (banyak kasus guru melakukan kekerasan dan pelecehan terhadap muridnya sendiri), pejabat pendidikan dan guru bukannya berorientasi “doing what is the best for kids”, tetapi for formal leader, di sekolah tidak lagi berlaku teori democratic for education tetapi birocratic for education (Hanson,1996), penelitian pendidikan bukan melahirkan apa yang sebenarnya tetapi cenderung apa yang seharusnya, pengabdian pada masyarakat bukan berdasarkan pada pola pikir yang menguntungkan masyarakat tetapi lebih pada menguntungkan personal yang melakukan, sekolah bukan lagi melahirkan siswa dan sarjana yang mandiri dan cerdas tetapi melahirkan robot yang bisa menghafal banyak hal. Berangkat dari situasi yang unik dan emik itu dicoba untuk membahas permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana model pendidikan yang mandiri dapat diselenggarakan, mungkinkah pembelajaran mandiri dapat dikembangkan dalam situasi anggaran pemerintah yang makin terbatas. 2. Kebijakan mana yang harus dipilih, program pendidikan dan kemiskinan ataukah kemerdekaan anggaran secara makro. 3. Mungkinkah Muhammadiyah menjadi penolong pemerintah untuk keluar dari kesulitan pilihan kebijakan.

B. Pesantren Bentuk Kemandirian Pendidikan yang Mulai Terjajah Pendidikan yang memiliki jiwa dan semangat patriotik dan nasionalisme adalah pesantren. Dalam situasi kehidupan kebangsan yang sulit, posisi militer dan percaturan politik nasional sedang diuji, pesantrenlah salah satu bentuk pendidikan yang dengan tegar mempersiapkan calon kader-kader bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, salah satu motor gerakan gerakan PKI 1965 – 1966 pun, salah satunya adalah produk pesantren (Weke, 2007; 1). Pada tahun 1970, kita menyaksikan perubahan konfigurasi kelas menengah Indonesia, salah satu pendorong utamanya adalah kelompok santri. Bahkan hingga kini, para santri masih merupakan pemegang kendali pentas perpolitikan nasional. Dalam hal demikian kita dapat belajar dari kegigihan pesantren menyelenggarakan pendidikan (Dalin, 1994). Dan kita mesti sadar bahwa pergumulan politik dan idiologi di pesantren masih berlanjut dalam dunia luas dengan segala konsekuensinya (O’Neil, 2001). Dalam persekolahan yang lebih luas, pesantren bukan sekedar menjadi pelaku penyelenggara pendidikan di sekolah, tetapi juga menjadi pelaku dalam posisi pembelajaran dan pembangunan pertanian dan ekonomi. Dari 200 pesantren yang diteliti, ternyata hanya 17 buah (8,5%) yang tidak memiliki usaha sampingan bidang ekonomi dan pertanian (Wieke, 2007). Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak mengantungkan pada posisi keuangan pemerintah, untuk menjaga kelangsungan pembelajaran, mereka juga melaksanakan usaha lain, seperti pertanian, koperasi, perdagangan umum, transportasi, penggilingan gabah, industri kerajian, dan percetakan. Keberadaan mereka tidak menjadi beban APBN. Bahkan mereka memiliki ketahanan ekonomi dan pendidikan secara bersamaan, mereka tidak terganggu oleh kurs rupiah terhadap valuta asing, tingkat investasi, pencapaian bursa saham, bahkan keterpurukan keuangan internasional yang dimotori Amerika sebagaimana sekarang.

Pada awalnya, kedudukan pesantren dekat dengan pusat kekuasaan, baik secara geografi maupun politik. Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah santri dari Kiai Gribik di Jatinom, sebelumnya raja Sultan Hadiwijaya adalah santrinya Sunan Kalijaga, bahkan menjelang kematianya masih datang di pesantrennya Sunan Pandanarang di Klaten (Simon, 2004; Mulkhan, 2003). Tetapi lama kelamaan posisi strategis itu tergeser bersamaan dengan proses kolonialisme yang sangat panjang. Penjajahan bangsa Eropa dan penjajahan ekonomi oleh Amerika memiliki karakter konfrontasi terhadap budaya lokal, dengan mengatas-namakan kemajuan, efisiensi, dan efektivitas. Mulai sejak pemerintahan orde baru, posisi pesantren makin dipojokan - dilemahkan, baik secara politik pendidikan maupun secara program. Hanya ketika menjelang Pemilu, pesantren biasanya dijadikan ajang pencarian formalitas dukungan oleh para calon negarawan, setelah itu kembali dihempaskan secara politik dan program. Berbeda dengan di Amerika, Harvart University semula adalah pesantren yang dibangun oleh Gereja, tetapi hingga kini terus dijadikan simbol kemajuan oleh publik Amerika bahkan termasuk kita. Diakui banyak kalangan bahwa universitas ini telah melahirkan banyak tokoh besar dunia. Andai kata saya boleh nglindur, maka kita akan mengenal Tebu Ireng University, Gontor University, Popongan University, dan lain-lain bukan Indonesia University, Gajah Mada University, Airlangga University sebagaimana terjadi sekarang. Komunitas pesantren mengedepankan nilai-nilai yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadist. Mungkin kita tidak keberatan mendengar ungkapan “otak boleh berkiblat ke Jerman tetapi hati tetap di Madinah”, ini artinya tetaplah ada sinergi antara pemikiran dan teknologi merujuk pada Eropa dan Amerika tetapi orientasi keagamaan tetap pada Al Qur’an dan Hadist. Contoh negara yang masih bisa berkembang dengan dua posisi itu adalah Jepang, mereka mengembangkan IPTEK menandingi kemampuan gurunya (Jerman) sementara budaya lokal “Sinto” tetap di tangan kanan. Dunia pendidikan kita dalam posisi terbalik, kita tidak mengambil materi pendidikan ke Eropa dan Amerika tetapi membawa

pulang sistem pendidikan lokal milik Amerika yang sangat bertentangan dengan kearifan lokal Indonesia, misalnya MBS, KTSP, CTL, dan lainya. Tinggal pendidikan santri yang memegang al-muhafadzah ala al qadim al salih wa alahzu ala al jadid al aslah (mempertahankan warisan yang baik dan mengambil kepada sesuatu yang lebih baik). Para santri bolehlah belajar mengenai jender, pluralisme, atau pun multikultural tetapi tidak perlu membawa pulang board of education, karena untuk urusan itu biarlah para ustadz yang menangani. Sejak dulu, pesantren memiliki kepedulian yang utuh pada manusia sebagai dirinya sendiri, sebagai warga masyarakat, warga bangsa, dan sebagai warga negara. Karena itu, pesantren mengajarkan agama dalam konteks sosial, agama dalam konteks individual, seperti pembentukan generasi yang memiliki ketrampilan hidup dan kreativitas tinggi. Hampir tidak ditemukan pesantren yang mendidik calon pegawai negeri sipil. Sehingga alumni pesantren bisa membaur dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat umum. Ternyata kisaran globalisasi menuntut ketrampilan dan kreativitas ini. Hal ini membuat Depdiknas kebakaran jenggot, tahun sembilan puluhan memberi tambahan materi ajar di sekolah dengan materi life skill. Masyarakat luas sangat percaya dengan Richard Falk (1995) yang menyatakan bahwa ada 3 kekuatan besar yang menguasai dunia, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society). Jika negara dan pasar bersekutu menghadapi masyarakat madani, maka akan lahirlah kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populer (inhumance governance), misalnya kenaikan gaji pegawai pemerintah, kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan harga bahan bakar, dan sebagainya. Tetapi jika pasar bersekutu dengan masyarakat madani, maka kebijakan pemerintah akan berpihak kepada rakyat banyak (humance governance), misalnya penurunan harga umum, subsidi harga bahan bakar, dan sebagainya. Karena itu, secara riil perlu ada asimilasi antara pesantren dengan politik nasional sehingga tercipta sumbangan pada penyadaran dan penguatan masyarakat sipil.

Dalam pengembangan pendidikan ala ke Indonesiaan bahkan pendidikan yang dikembangan badan internasional UNESCO, pesantren mengembangkan pepatah Arab “uthlub al-ilm min al-mahd ila al lahd” (tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahad). Bagi pesantren, pesan tersebut tidak sekedar dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, tetapi pada jalur informal dan non formal. Kurikulum pendidikan formal umumnya memberikan inisiatif pada penguatan pribadi (self inisiative), sementara pada kurikulum pesantren senantiasa berupaya mendorong kepada kesadaran santri untuk berbuat secara mandiri. Sistem asrama akan membentuk kemandirian melalui proses mengurusi kebutuhan pribadi, memenuhi tugas di sekolah disamping kewajiban di asrama dan aktivitas lain yang kesemua itu jauh dari campur tangan orang tua. Dengan ketrampilan pengaturan waktu dan bersosialisasi, maka anak akan terbentuk ketrampilan hidup bersama bermasyarakat. Sekolah hanya terbatas dalam aspek koqnitifnya Bloom, sementara pesantren lebih komplit antara aspek koqnitif, afektif, dan psikomotorik. Kritik saya yang amat dalam, bahwa pendidikan formal telah menempatkan tonggak kegandrungan pada budaya barat mulai dari akar-akarnya (tanpa seleksi), sementara pesantren lebih melihat dimensi penyelenggaraan pembelajaran yang berbudaya lokal. Pendidikan formal lebih memilih bahasa barat dicampur dengan budaya lokal sebagai gaya tanpa harus memiliki kemampuan membaca kebutuhan zaman, sementara pesantren lebih cenderung memiliki kemampuan membaca kebutuhan zaman.

C. Pilihan Sulit: Kemandirian Anggaran atau Program Pendidikan dan Kemiskinan. Pemerintah memiliki komitmen untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik dalam perspektif mereka. Dalam hal ini pemerintah melegakan banyak pihak (masyarakat pendidikan Indonesia) ketika memberikan persetujuan alokasi APBN sebesar 20% (Harsono,2006). Tetapi dalam hal politik anggaran, kebijakan

pemerintah perlu dicermati secara kritis, karena pemerintah bukanya menurunkan defisit anggaran (yang selama ini menjadi beban psikologi ekonomi rakyat banyak) tetapi justru meningkatkan. Pada tahun anggaran 2008 ini pemerintah Yudoyono dan kabinet bersatu mentargetkan defisit anggaran 1,9% dari PDB atau sekitar Rupiah 99,6 trilyun. Meskipun secara persentasi turun dari 2,1% menjadi 1,9% namun demikian secara besaran telah meningkat dari Rp 94,3 trilyun menjadi Rp 99,6 trilyun. Banyak kalangan yang berpandangan bahwa angka 20% anggaran pendidikan merupakan biang keladi pokok kejadian di atas. Karena untuk mencukupi anggaran 20% APBN sebesar Rp 46 trilyun, pemeringtah harus meningkatkan defisit sebelum pemilu 2009. Tekanan terhadap keuangan pemerintah yang lain berupa Program BLT, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (PJKM), Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Program Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN) yang ditaksir mencapai Rp 66,2 trilyun. Nampaknya pemerintah dihadapkan pada dua pilihan dilematis, pertama mengabaikan program pendidikan dan bantuan rakyat miskin, tertinggal dan terpencar dengan skenario anggaran RPJM, atau meningkatkan angka defisit dengan menangani program pendidikan dan kemiskinan. Pada waktu yang bersamaan, buruh korban Lapindo Brantas berdemonstrasi, harga nyak dunia juga mengalami fluktuasi naik turun yang merepotkan penyusunan anggaran. Kita harus sadar bahwa setiap perubahan 0,1% berarti perubahan Rp 5 trilyun rupiah. Anggaran defisit tersebut diperoleh dengan cara utang, yaitu penerbitan surat berharga negara, meliputi SUN (Surat Utang Negara), ORI (Obligasi Negara Ritel), SPN (Surat Perbendaharaan Negara), dan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara). Pada tahun depan, pemerintah harus melunasi semua pinjaman itu sebesar Rp 679,4 trilyun.

D. Penyelenggaraan Pendidikan yang Mandiri Beban pemerintah memang sangatlah berat. Pilihan berat itu pada akhirnya juga dibebankan pada rakyat. Karena beban pemerintah di atas direncanakan dialokasi pada rakyat melalui pajak dengan harapan penerimaan pemerintah dari sektor ini Rp 762,3 trilyun dan dari sektor non pajak sebesar Rp 295,3 trilyun pada tahun 2009. Total penerimaan adalah Rp 1.021,6 trilyun. Kebutuhan anggaran tahun depan diperkirakan Rp 1.801,6 trilyun. Ini berarti untuk program anggaran mandiri pemerintah masih kekurangan penerimaan sebesar Rp 780 trilyun. Maka pada pertengahan 2009, pemerintah harus memunculkan alternatif dan jenis pajak baru yang dapat menyedot uang masyarakat yang sudah miskin dan tidak berdaya. Karena itu kita harus memiliki pilihan-pilihan lain yang tidak membebani APBN. Pengelolaan pendidikan yang memiliki ciri mandiri, dapat dilihat di Amerika, misalnya School Based Management (MBS) dan School Based Leadershif (SBL) (Gorton & Scheider,1997). Kedua program ini memiliki karakteristik campur tangan pada dunia pendidikan sangat minim dan kemandirian penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat di tingkat kabupaten. Semua biaya operasional, penggajian guru dan staf, dan penyediaan sarana dan prasarana sekolah menjadi tanggung jawab masyarakat luas tingkat kabupaten. Pelaksanaan dua konsep di atas di Indonesia, haruslah dibarengi dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas (bukan desentralisasi pendidikan). Pemerintah harus rela melepaskan sekolah pada posisi kepanjangan tangan politik birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan menjadi sekolah yang benar. Apa yang harus diubah, meliputi penyusunan kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat di serahkan ke sekolah, pemerintah pusat tidak lagi boleh mencampuri urusan kurikulum sekolah termasuk KBM dan evaluasi hasil belajar (Oliva, 1992), bahkan oknum pemerintah pusat pun tidak boleh mengambil manfaat dari anggaran pendidikan. Karena bagaimana pun kita boleh kawatir, jangan-jangan

dana pendidikan yang dipakai untuk keperluan pembelajaran dan operasional sekolah tidak mencapai 50%, karena anggaran 20% PDB pun tidak terasa hentakannya di sekolah. Dengan MBS dan SBL pemerintah pusat tidak perlu pusing-pusing mengurusi penyelenggaraan pendidikan, tidak perlu pusing mengangkat pegawai sebanyak-banyaknya yang akhirnya menjadi beban pemerintah dan rakyat miskin di kemudian hari, tidak perlu menyusun kurikulum, atau apalah. Pemerintah harus rela menyerahkan pada lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi dan pengalaman panjang mengelola pendidikan. Masalah mutu serahkan saja di pasar out put. Karena di pasar out put akan terjad seleksi alam yang luar biasa, dan disana akan memaksa sekolah yang tidak bermutu akan ditinggalkan konsumennya, dan secara alami akan terjadi penyesuaian pasar, dimana sekolah yang kurang bermutu akan belajar memperbaiki mutu sehingga paling tidak dia bisa bertahan hidup atau justru berkembang pesat dengan situasi baru. Muhammadiyah merupakan organisasi yang memiliki kepedulian pada upaya pengembangan sumberdaya manusia, bahkan Muhammadiyah memiliki pengalaman panjang dalam penyelenggaraan pendidikan modern sebagaimana diharapkan pemerintah. Pada satu sisi Muhammadiyah dapat menjawab tantangan pasar tenaga kerja pada sisi lain Muhammadiyah tidak membutuhkan bantuan dana yang bersumber dari anggaran APBN sebagaimana kebijakan umum pemerintah. Bekerjasama dengan pemerintah, Muhammadiyah telah memakan banyak garam, kebijakan pemerintah yang tidak stabil telah menguji kemampuan Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pendidikan terlepas dari campur tangan anggaran pemerintah. Banyaknya sekolah dari tingkatan terendah hingga pendidikan tinggi yang diselenggarakan Muhammadiyah merupakan bukti kuat betapa kemandirian pendidikan yang diprogramkan pemerintah dapat ditangani dengan baik oleh Muhammadiyah tanpa pemerintah melakukan berbagai pinjaman yang akhirnya menambah beban penderitaan masyarakat luas yang sudah miskin.

E. Simpul Dari uraian di atas, kita sulit harus mengatakan bagaimana, tetapi pada realitasnya memang kemandirian pendidikan hanyalah angan-angan sejarah dan harapan ke depan yang mendesak untuk diwujudkan. Pada tataran penyelenggaraan pendidikan perspektif makro, messo, maupun mikro, kemandirian pendidikan hanyalah orasi, karena persyaratan desentralisasi dan otonomi sangat sulit untuk dijangkau. Bahkan perundangan pendidikan menampatkan pemerintah dalam posisi sulit, satu kelompok menginginkan penyelenggaraan pendidikan menjadi mandiri berkualitas, pada sisi lain menginginkan sekolah gratis, dan sisi lain lagi menginginkan pengeluaran pemerintah yang cukup untuk kesejahteraan orang-orang yang bekerja di sektor pendidikan. Pesantren merupakan sebuah model sekolah yang mandiri, baik dari segi biaya, materi yang berwawasan lokal, maupun guru. Tetapi pesantren kurang adaptable bagi penyelenggaraan pendidikan negara. Tetapi kalau pemerintah menginginkan penyelenggaraan yang adaptable sebagai tuntutan formal, maka akan mengalami kesulitan pendanaan. Pada sisi lain, Muhammadiyah menawarkan sebuah solusi, dimana Muhammadiyah dapat menyelenggarakan pada sistem pendidikan formal modern dengan mandiri. Semua pilihan itu adalah menunjukan komitmen warga bangsa untuk ikut serta meningkatkan kualitas sumberdaya pembangunan, tetapi bagaimana pun juga jawaban terakhir bergantung pada bagaimana sikap pemerintah, apakah dia tetap ingin mengelola semua program secara mendiri atau hanya mengedalikan secara politis dan profesioal atas kebijakan yang diambil sementara pelaksanaan dan koordinasinya diserahkan masyarakat.

Daftar Pustaka Anonim. 2008. “Model Implimentasikan MBS di SMP Muhammadiyah Cileduk ”. http://www.Google.com Anonim. 2008. “Pilih Kemandirian atau Program Pendidikan dan Kemiskinan”. Berita Sore. Http://www.Google.com Dalin.dalam Ayono dkk. 1994. How to Improve Your School: An International Report. New York: Cassell Falk, Rihard. 1995. Religion and Humane Global Government. New York: MacMillan Pub Gorton, Richard A & Scheider, Gail Thierbach.1997. School Based Leadership: Challenger and Opporunities. Dubuque: Wim C Brown Publisher. Hanson, E Mark. 1996. Educational Administration and Organizational Behavior. Boston: Allyn and Bacon Harsono. 2007. Model-Model Pengelolaan Perguruan Tinggi: Perspektif Sosiopolitik. Yogyakarta: Tiara Wacana Harsono. 2006. Pembiayaan Pendidikan: Kosep Dasar Mikro, Meso, dan Mikro. Yogyakarta: Surayajaya Press Husodo, Sidik Wiro.2007. “Kemandirian Pendidikan Nasional Melalui Research”. Pendidikan Network: Maju tak Gentar Membela yang benar. http://www.Google.com Mulkhan, A Munir. 2003. Syekh Siti Jenar: Membuka Pintu Makrifat. Yogyakarta: Ashad Kusuma Djaya Oliva, Peter F. Developing the Curriculum. New York: Harper Collin Publisher O’neil, William P. 2001. Educational Idiologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies. Terjemahan. Naomi. Jogyakarta: Pustaka Pelajar Simon, Hasanu. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Weke, Ismail S. 2007. “Pendidikan Pesantren: Mengukuhkan Identitas Nasional dan Mewujudkan Kemandirian Bangsa”. Majalah Indepensia. Edisi Juli 2007.