penerapan pembelajaran kontekstual untuk ... - Jurnal Online UM

42 downloads 390 Views 162KB Size Report
Abstrak: Penelitian ini menerapkan tujuh komponen pembelajaran kontekstual yang bertujuan ... pembelajaran merupakan sarana interaksi guru dengan siswa.
PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR PADA MATERI ALJABAR BAGI SISWA KELAS VIII-B SMP NEGERI 10 MALANG Umra Iwa Davi,I Made Sulandra, Slamet. Program Studi Pendidikan MatematikaFMIPA Universitas Negeri Malang. Kata Kunci: Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), Motivasi Belajar Siswa. Abstrak: Penelitian ini menerapkan tujuh komponen pembelajaran kontekstual yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar pada materi aljabar bagi siswa kelas VIII-B SMP Negeri 10 malang. Pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan motivasi belajar karena membawa siswa kepada fenomena nyata.Motivasi belajar siswa diukur dengan mengarah pada empat kondisi motivasional yaitu perhatian (attention), relevansi (relevance), kepercayaan diri (confidence) dan kepuasan (satisfaction). Pada penelitian ini, motivasi belajar siswa mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada tiga pertemuan pada siklus II dengan persentase keberhasilan terbesar 92,86%, termasuk kategori “sangat baik” dan yang terendah 80,55% dan termasuk kategori “baik”. PENDAHULUAN Pendidikan menempati posisi penting dalam mencetak generasi yang handal dan mampu bersaing dalam setiap sektor kehidupan. Tanpa adanya pendidikan yang bermutu faktor kreativitas dan intelegensi yang merupakan faktor penentu maju mundurnya bangsa akan terhambat. Oleh karena itu pendidikan mempunyai peran yang menentukan kemajuan suatu negara.Selain itu pendidikan telah terbukti melahirkan sumber daya manusia yang berpengaruh dalam pesatnya arus globalisasi (Asnawati, 1992: 43). Tujuan pendidikan secara umum bagi peserta didik dimaknai sebagai pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter, menerapkan nilai tersebut dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat yang religious, nasionalis, produktif, dan kreatif (Asnawati, 1992: 12). Untuk mewujudkan hal ini, pendidik memiliki peranan penting selama proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, model pembelajaran merupakan sarana interaksi guru dengan siswa. Model pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu membawa siswa untuk mencapai tujuan pendidikan dan melatih kemampuan siswa dalam berbagai kegiatan.Oleh karena itu, siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya melalui berbagai kegiatan, baik di dalam ataupun di luar sekolah. Untuk memilih suatu model pembelajaran perlu memperhatikan materi yang akan disampaikan, tujuan, waktu yang tersedia, dan banyaknya siswa serta hal lain yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran yang tepat diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi. Apabila telah memahami materi dengan baik maka siswa dengan mudah dapat mengerjakan soal-soal yang lebih bervariasi sehingga motivasi belajar siswa akan meningkat sesuai dengan yang diharapkan.

1

Motivasi belajar siswa SMP Negeri 10 Malang khususnya kelas VIII-B sangat kurang,pembahasan materi pelajaran matematika kurang dikaitkan dengan contoh-contoh di sekitar siswa, konsep dan aturan dalam matematika umumya langsung diberikan secara simbolik dalam algoritma baku. Dengan demikian perlu adanya perubahan pendekatan dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas VIII-B SMP Negeri 10 Malang. Tindakan yang dipilih untuk meningkatkan motivasi belajar matematika pada siswa kelas VIII-B SMP Negeri 10 Malang adalah penerapan pembelajaran kontekstual, karena pembelajaran kontekstual melibatkan dan menonjoikan keterkaitan antara materi pelajaran yang dipelajari di sekolah dengan konteks yang relevan, sehingga proses belajar lebih bermakna (Subandar, 2003: 6). Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.Proses pengembangan konsep dan gagasan pembelajaran kontekstual bermula dari dunia nyata. Dunia nyata tidak hanya berarti dunia konkret secara fisik dan kasak mata, tapi juga dapat dibayangkan oleh alam pikiran.Pembelajaran ini memiliki tujuh komponen yaitu kontruktivisme (contructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment). Ada empat kondisi motivasional yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahuimeningkat atau tidaknya motivasi belajar siswa kelas VIII-B SMP Negeri 10 Malang. Keempat kondisi motivasional itu adalahperhatian (attention), relevansi (relevance), kepercayaan diri (confidence) dan kepuasan (satisfaction)yang selanjutnya disebut ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction). METODE Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena bertujuan mendeskripsikan penerapan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan motivasi dan belajar siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 Malang.Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk memperbaiki praktik pembelajaran di kelas (Arikunto, 2006:2).Dalam hal ini, kehadiran peneliti di lapangan sangat mutlak dan peneliti melakukan perencanaan, pelaksanaan, menyimpulkan data, menafsirkan data dan melaporkan hasil penelitian. Penelitian berlangsungbulan Juli-Agustus 2012di SMP Negeri 10 Malang yang beralamat di jalan Mayjen Sungkono no.57.Subyek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIII-B tahun ajaran 2012/2013. Sumber data pada penelitian ini ada dua yaitu guru sebagai pelaksana pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstualdan siswa yang diamati secara kelompok pada saat proses pembelajaran kontekstual berlangsung. Dari masing-masing siswa diamati perilaku-perilaku yang mengarah pada empat kondisi motivasional yaitu perhatian, relevansi, kepercayaan diri, dan kepuasan.Pengamatan dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan pembelajaran kontekstual.Pengamatannya dilakukan dengan mengisi lembar observasi aktivitas siswa sehingga data penelitian ini berupa hasil observasi.

2

Penelitian ini dilakukan melalui 4 tahapan secara berulang-ulang yang membentuk siklus. Adapun empat tahapan itu adalah tahapan perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), Pengamatan (observing), dan Refleksi (reflecting). Analisis data pada penelitian ini yaitu analisis data lembar validasi terhadap instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran yang digunakan dan analisis data hasil penelitian yang dilakukan setiap kali siklus pembelajaran berakhir.Indikator keberhasilanpada penelitianiniadalahapabilaterdapat 70% atau lebih pertemuan pada siklus tersebut motivasi belajar siswa meningkat dan termasuk kedalam kategori Baik. Untuk pengecekan keabsahan temuan, maka dilakukan triangulasidengan membandingkan antara data yang diperoleh dari hasil observasi dengan catatan lapangan dan hasil pengerjaan siswa baik secara individu maupun kelompok. HASIL Data kegiatan siswa diperoleh dari lembar observasi aktivitas siswa yang telah disediakan dan diisi oleh observer. Aspek yang diamati adalah motivasi belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Motivasi belajar siswa dapat dilihat dengan mengamati aktivitas siswa selama proses pembelajaran kontekstual berlangsung.Data aktivitas siswa meliputi beberapa aspek yaitu masyarakat belajar, pemodelan, kontruktivisme, menemukan, bertanya, dan refleksi.Setelah melakukan kegiatan observasi maka dilakukan evaluasidiakhir siklus.Dengan kegiatan ini diharapkan dapat ditemukan kelemahan atau kekurangan yangterjadi.Berdasarkan analisis data pengamatan dari observer terhadap aktivitas siswa pada pelaksanaan pembelajaran kontekstual siklus I, menghasilkan beberapa temuan yaitu: a) Aktivitas peneliti sebagai pelaku pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, secara keseluruhan masuk dalam kategori “Baik”. b) Pembelajaran yang dilaksanakan telah mencerminkan model pembelajaran kontekstual karena secara umum proses pembelajaran berjalan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran CTL. c) Pada tahap masyarakat belajar yaitu saat pembagian kelompok terjadi kegaduhan di dalam kelas karena banyak siswa yang kurang setuju dengan pembagian kelompok. Alasannya karena mereka tidak satu kelompok dengan teman karibnya ketika di kelas VII. Selain itu siswa juga saling berebut ketika pembagian nomor anggota oleh peneliti sehingga membuat suasana kelas menjadi gaduh dan membuang waktu pembelajaran. d) Siswa masih bingung cara mengerjakan dan tempat mengerjakan LKS. e) Siswa cenderung pasif dalam kegiatan diskusi kelompok, terbukti dengan banyaknya siswa yang hanya menggantungkan pengerjaan LKS pada siswa yang padai saja dalam kelompoknya. f) Sebagian besar siswa tidak memusatkan perhatian pada waktu mengerjakan LKS, terbukti masih banyak siswa yang berbuat gaduh dengan berbicara dengan teman satu kelompok bahkan yang bukan satu kelompok di luar materi pelajaran. g) Sebagian siswa tampak ragu dan bermalas-malasan baik dalam menjawab pertanyaan maupun dalam memberikan komentar sehingga yang aktif hanya beberapa siswa saja.

3

h) Aktivitas belajar siswa belum memenuhi kriteria keberhasilan peningkatan motivasi. Berdasarkan hasil evaluasi di atas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan tindakan pada siklus II yang bertujuan untuk memperbaiki kelemahankelemahan pada siklus I. Tindakan yang akan dilakukan pada siklus II adalah sebagai berikut: a) Pada tahap masyarakat belajar, pembagian anggota kelompok dan pembagian nomor anggota siswa sama dengan siklus I dengan catatan peneliti memberikan penekanan kepada masing-masing anggota kelompok bahwa semua teman dalam kelompok itu sama saja. Pembentukan kelompok seperti ini untuk membantu siswa saling kenal karena mereka baru saja naik kelas VIII. b) Peneliti memberikan dua LKS pada setiap kelompok untuk memudahkan siswa dalam berdiskusi serta selalu mengawasi siswa yang bermain-main dengan alat peraga. c) Memberikan penjelasan dan penekanan kepada siswa tentang pembelajaran kontekstual diantaranya kerja sama dalam menyelesaikan tugas, saling membantu dan ketika berdiskusi harus diperhatikan. d) Lebih sering mengunjungi setiap kelompok pada saat diskusi kelompok berlangsung terutama siswa yang sering berbuat gaduh untuk menghindari siswa berbicara diluar materi pembelajaran. e) Mewajibkan setiap anggota dari masing-masing kelompok untuk memberikan tanggapan, komentar atau masukan saat kelompok lain mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. f) Peneliti harus terus mendorong siswa untuk lebih semangat dan aktif dalam semua tahap pembelajaran sehingga yang aktif tidak hanya siswa tertentu saja. g) Meminta siswa untuk benar-benar mempelajari materi yang akan disampaikan hari ini dan materi pertemuan selanjutnya agar siswa siap dalam menerima pelajaran atau siap ketika berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Berdasarkan analisis data pengamatan aktivitas siswa pada pelaksanaan pembelajaran kontekstual siklus II, menghasilkan beberapa temuan yaitu: a) Aktivitas peneliti sebagai pelaku pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, secara keseluruhan masuk dalam kategori “Sangat Baik”. b) Aktivitas siswa sebagai subjek dalam pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual, secara keseluruhan masuk dalam kategori “Baik”. c) Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa pada siklus II, keempat aspek motivasional yaitu attention, relevance, confidence, dan satisfaction mengalami peningkatan pada siklus II di semua indikator aktivitas siswa. d) Siswa lebih tertib belajar, khususnya siklus II. e) Siswa lebih berani bertanya dan menaggapi pendapat kelompok yang presentasi di depan kelas dan mulai terbiasa dengan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual.

4

PEMBAHASAN A. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pada awal penerapan pembelajaran kontekstual di kelas VIII-B, proses pembelajaran belum berjalan lancar. Hal ini disebabkan karena siswa merasa asing dengan model pembelajaran yang diterapkan dan siswa terbiasa dengan pembelajaran teacher centereddimana guru mendominasi kegiatan pembelajaran. Akan tetapi seiring berjalannya proses pembelajaran kontekstual, siswa mulai dapat beradaptasi dan bersemangat mengikuti pembelajaran ini. Pemberian penekanan kepada siswa sangat penting untuk meningkatkan motivasi mereka untuk belajar. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah masyarakat belajar, pada tahap ini peneliti membagi siswa 7 kelompok kecil secara heterogen berdasarkan nilai rapor semester genap tahun ajaran 2011/2012 dan jenis kelaminnya. Masingmasing kelompok terdiri dari 5-6 orang, dimana setiap kelompok terdapat 1 siswa level tinggi, 1 siswa 3 siswa level sedang, 1 siswa level rendah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Suherman (2003:193) bahwa salah satu syarat diskusi kelompok kecil melibatkan 3-9 orang.Setiap kelompok diberikan nomor anggota sesuai urutan presensi siswa tersebut. Pembentukan kelompok secara heterogan ini dilakukan agar siswa level rendah akan dibantu oleh siswa level sedang atau siswa level tinggi. Pembagian kelompok ini juga berujuan agar siswa dapat berbagi informasi, berdiskusi dan saling bekerja sama dalam satu kelompok sehingga siswa dapat dengan mudah mengikuti pembelajaran. hal ini sesuai dengan pendapat sanjaya (2009:267) menyatakan bahwa konsep dalam masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain, dan didukung oleh teori Vygotsky terhadap model pembelajaran kelompok adalah penekanan belajar sebagai proses dialog interaktif (interaksi sosial). Pada saat pembagian kelompok siklus I, suasana kelas menjadi sangat ramai.Hal ini dikarenakan banyak siswa memprotes pembagian kelompok yang dilakukan oleh peneliti.Siswa protes karena mereka tidak sekelompok dengan teman karibnya waktu di kelas VII sehingga mereka belum terbiasa dengan kelompok yang baru. Selain itu, siswa juga saling berebutan pada saat pembagian nomor anggota sehingga suasana kelas menjadi ramai dan membuang waktu pelajaran.Pada siklus II tahap masyarakat belajar telah berjalan dengan lancar. Hal ini terlihat dari setiap anggota kelompok yang sudah beradaptasi dengan anggota kelompoknya sehingga masing-masing kelompok dapat bekerjasama dengan baik dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah yang diberikan oleh peneliti. Siswa tidak lagi protes karena peneliti memberikan penekanan bahwa semua teman sama saja dan kelompok yang dibentuk bertujuan agar siswa kompak dalam berdiskusi dan menyelesaikan tugas yang ada pada LKS. Berdasarkan kejadian yang terjadi pada kedua siklus, maka dapat disimpulkan pada tahap masyarakat belajar siswa dikelompokkan sama dengan pertemuan sebelumnya pada siklus I. peneliti hanya memberikan penekanan bahwa semua teman sama. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk rasa persatuan diantara kelompok. Tahap selanjutnya adalah pemodelan, pada tahap ini tiap kelompok mendapat alat peraga yaitu ubin aljabar dan siswa level tinggi diminta untuk menjelaskan kepada temannya cara menggunakan alat peraga untuk menemukan konsep baru. Pada siklus I, siswa masih belum mengetahui kegunaan dari alat

5

peraga yang diberikan oleh peneliti sehingga banyak siswa yang menggunakan alat peraga tersebut untuk bermain, penyebab utamanya adalah siswa masih terbiasa menggunakan pembelajaran konvensional yang bersifat teoritis dan abstrak.Setelah peneliti memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai kegunaan alat peraga tersebut, pembelajaran mulai berjalan cukup lancar meskipun ada beberapa siswa yang tidak menggunakan fungsi dari alat peraga dengan tepat. Siklus II tidak mengalami hambatan seperti pada siklus I. hal ini disebabkan karena siswa sudah mulai terbiasa menggunakan alat peraga pada saat proses pembelajaran kontekstual (CTL) berlangsung. Berdasarkan kejadian yang terjadi pada kedua siklus, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat modelling, siswa diberikan penekanan untuk menggunakan alat peraga untuk menemukan konsep yang baru dan saling berlomba dengan kelompok yang lain. Tahap selanjutnya adalah kontruktivisme merupakan proses membangun atau menyusun pangetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pegalaman belajar yang terjadi pada saat proses pembelajaran berlangsung. Pada tahap ini, siswa diminta untuk mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka dengan bantuan bahan ajar LKS sedangkan peneliti hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga dengan pengkonstruksian ini siswa dapat menemukan pengetahuan yang baru.Pada siklus I, siswa masih belum terbiasa dengan pembelajaran yang mengkonstruk sendiri, hal ini dapat dilihat dari kegiatan siswa yang masih bingung dalam mengerjakan LKS. Pada tahap ini siswa masih terbiasa dengan pembelajaran teacher centeredyang menempatkan siswa sebagai objek belajar yang menerima informasi secara pasif, sehingga peneliti memberikan penekanan bahwa belajar matematika bukanlah proses penghafalan rumus tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman belajar yang dimiliki.Pada siklus II, siswa sudah mulai beradaptasi dan terbiasa dengan tahap ini sehingga belajar matematika tidak hanya sekedar menghafal rumus saja. Mereka juga terlihat antusias untuk mengkonstruk pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman belajar pada saat proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan kedua siklus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tahap kontruktivisme siswa diminta untuk mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka dengan bantuan LKS dan peneliti hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Selanjutnya tahap menemukan, pada tahap ini proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pada siklus I siswa masih sulit menyesuaikan diri dengan tahapan ini, hal ini karena siswa masih terbiasa dengan pembelajaran konvensional yang menempatkan siswa sebagai objek pasif yang hanya menerima rumus langsung tanpa adanya penemuan sendiri, akan tetapi pada siklus II siswa sudah mulai menyadari akan masalah yang jelas dan ingin dipecahkan, sehingga siswa terdorong untuk menemukan sendiri penyelesaian masalah tersebut. Berdasarkan kedua siklus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tahap menemukan (inquiry) dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah-masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian, siswa harus didorong untuk menemukan masalah dan jika masalah sudah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas maka selanjutnya siswa dapat mengajukan jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Tahap selanjutnya adalah tahap bertanya, pada tahap ini masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas dan

6

peneliti meminta kelompok lain untuk memberi tanggapan, komentar atau masukan. Pada siklus I siswa yang memberikan tanggapan hanya sedikit, hal ini dikarenakan siswa masih tampak ragu dan bermalas-malasan baik dalam menjawab pertanyaan maupun memberikan komentar atau tanggapan sehingga yang aktif hanya beberapa siswa saja dan jawaban yang dikemukakan siswa masih banyak yang sama. Pada siklus II, peneliti memberikan penekanan kepada masing-masing kelompok untuk lebih aktif memberikan tanggapan atau komentar ketika kelompok lain mempresentasikan hasil pekerjaannya, sehingga pada siklus II, hampir semua siswa memberikan tanggapan atau komentar kepada kelompok lain. Pada tahap ini, peneliti juga memberi kesempatan/giliran yang sama kepada seluruh siswa untuk aktif. Berdasarkan kedua siklus di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahap bertanya peneliti menunjuk siswa secara acak untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan siswa dari kelompok lain diminta untuk memberikan tanggapan atau komentar. Pada tahap ini, peneliti memberikan penekanan setiap kelompok untuk mengemukakan pendapatnya dan peneliti mengatakan bahwa akan menilai keaktifan tiap siswa yang memberikan tanggapan atau komentar. Tahap terakhir adalah tahap refleksi, pada tahap ini masing-masing siswa diminta untuk menuliskan kesimpulan dan pengalaman belajar mereka selama proses pembelajaran berlangsung dan menuliskan kekurangan-kekurangan pada saat pembelajaran berlangsung dengan model pembelajaran kontekstual. Pada siklus I, beberapa siswa masih belum menuliskan pengalaman belajar dan kekurangan-kekurangan pada saat pembelajaran berlangsung.Hal ini dikarenakan tahap refleksi berada diakhir pembelajaran sehingga siswa malas untuk diminta menulis pengalaman belajar dan kekurangan-kekurangan pada saat pembelajaran berlangsung.Peneliti kemudian memberikan penekanan tentang pentingnya menuliskan pengalaman belajar dan kekurangan-kekurangan pada saat pembelajaran berlangsung.Pada siklus II seluruh siswa sudah mulai menyadari bahwa tahap ini penting untuk peningkatan pembelajaran sehingga mereka mau menuliskan kesimpulan dan pengalaman belajar serta kekurangan-kekurangan selama pembelajaran kontekstual berlangsung. Berdasarkan kedua siklus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada tahap refleksi, setiap siswa diminta menuliskan kesimpulan dan pengalaman belajar serta kekurangan-kekurangan selama pembelajaran kontekstual berlangsung. B. Peningkatan Motivasi Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran Kontekstual Pada siklus I motivasi siswa belum meningkatsebab dari 3 pertemuan pada siklus I, persentase tertinggi hanya mencapai 56,35% dan termasuk kategori “cukup” sedangkan persentase terendah mencapai 50,40% dan termasuk kategori “kurang”. Pada siklus II, motivasi belajar siswa mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada tiga pertemuan dengan persentase keberhasilan terbesar 92,86%, termasuk kategori “sangat baik” dan yang terendah 80,55% dan termasuk kategori “baik”. Penerapan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual secara keseluruhan telah sesuai dengan harapan peneliti yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar pada materi aljabar bagi siswa kelas VIII-B SMP Negeri 10 Malang.Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengajaran dengan menggunakan fasilitas berupa LKS dan kegiatan yang dapat membuat

7

siswa semangat belajar.Dalam pembelajaran ini siswa belajar membangun konsep yang baru dari dari kegiatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. C. Kendala dan Solusi Selama Pembelajaran Dengan Model Pembelajaran Kontekstual Meskipun pelaksanaan pembelajaran telah sesuai dengan tahapan-tahapan pada pembelajaran kontekstual tetapi masih terdapat kendala yang dihadapi oleh peneliti.Beberapa kendala serta solusi yang dihadapi oleh peneliti dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 1.1 kendala pelaksanaan pembelajaran kontekstual dan solusinya Kendala Solusi Siswa belum terbiasa belajar Pada awal pembelajaran kontekstual, kelompok dan berdiskusi. peneliti membimbing siswa agar aktif berdiskusi dengan memberikan penekanan bahwa kelompok dibentuk agar memudahkan siswa untuk mengerjakan soal yang ada pada LKS dan memupuk rasa persatuan antara sesama teman anggota kelompok sehingga siswa terpacu untuk mulai aktif belajar. Banyak siswa yang menggunakan Peneliti memberikan penekanan kepada media yang diberikan oleh peneliti setiap kelompok bahwa media tersebut untuk bermain. digunakan untuk memudahkan setiap siswa untuk mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka saat mengerjakan soal yang ada pada LKS. Ada siswa yang kurang aktif saat Peneliti memberikan penekanan dengan diskusi kelompok sementara teman mengatakan bahwa akan menilai sekelompoknya berdiskusi. keaktifan siswa saat diskusi dan guru akan menunjuk secara acak siswa dari tiap kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Siswa belum terbiasa presentasi di Peneliti mengarahkan siswa dengan depan kelas. memberikan bantuan berupa arahan jawaban, pertanyaan sederhana yang memacu siswa untuk mampu menyampaikan hasil diskusi kelompok. Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa masih terdapat kendala yang dihadapi oleh peneliti. Hal ini karena keterbatasan kemampuan peneliti dan waktu yang singkat untuk pelaksanaan penelitian serta penelitian ini dilaksanakan pada bulan ramadhan.Selain itu siswa belum terbiasa mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga saat pengerjaan LKS, siswa cenderung lamban dalam menyelesaikan aktivitas pada LKS.

PENUTUP A. KESIMPULAN 8

Tahapan pembelajaran kontekstual pada penelitian ini adalah masyarakat belajar yaitu siswa dikelompokkan kedalam kelompok heterogen yang beranggotakan 5-6 orang, pemodelan yaitu siswa diberi alat peraga berupa ubin aljabar dan peneliti meminta salah satu siswa level tinggi sebagai model, kontruktivisme dan menemukan yaitu siswa diminta untuk mengkonstruk pemahamannya melalui keterlibatan secara aktif dengan bantuan LKS, bertanya yaitu peneliti menunjuk setiap perwakilan kelompok secara acak untuk maju menjelaskan hasil kerja kelompoknya dan meminta siswa pada kelompok lain untuk memberikan tanggapan, komentar atau tambahan, dan refleksi yaitu setiap siswa diminta untuk menuliskan kesimpulan dan pengalaman belajar yang didapatkan siswa selama proses pembelajaran berlangsung, serta menuliskan kekurangan-kekurangan pada pembelajaran kontekstual.Motivasi belajar matematika pada siswa kelas VIII-B SMP Negeri 10 Malang melalui model pembelajaran kontekstual pada siklus I belum mengalami peningkatan sebab dari 3 pertemuan pada siklus I, persentase tertinggi hanya mencapai 56,35% dan termasuk kategori “cukup” sedangkan persentase terendah mencapai 50,40% dan termasuk kategori “kurang”. Pada siklus II, motivasi belajar siswa mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada tiga pertemuan dengan persentase keberhasilan terbesar 92,86%, termasuk kategori “sangat baik” dan yang terendah 80,55% dan termasuk kategori “baik”. B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas, dapat disarankan beberapa hal yaitu guru dapat menggunakan model pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran di sekolah, guru perlu membiasakan siswa untuk mengkonstruk sendiri pengetahuannya, yaitu dengan membiasakan siswa mengerjakan aktivitas-aktivitas pada LKS yang bersifat mengkonstruk pengetahuan, perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kontekstual dan penerapan pembelajaran kontekstual disarankan dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain untuk meningkatkan motivasi belajar.

DAFTAR RUJUKAN

9

Asnawati, Rini. 1992. Sistem Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Media Press. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Baharuddin, Muhammad. 2000. Pentingnya Motivasi. Bandung: Media Alex Competindo. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hamalik, O. 2009.Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hamoraon. 2009. Model ARCS Keller, (Online), (http://learningtheori.wordpress.com/2010/03/08/model-arcs-keller/, Diakses 04 Juli 2012). Lutfiana, Neni H. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pada Mata Pelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Kelas XI RPL 2 SMK Negeri 9 Malang.Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM. Moleong, L. J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nurhadi, Yasin B, Senduk G.A. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapanya dalam KBK. Malang. UM Malang. Sardiman, A.M. 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Setjo, S.A. 2005. Motivasi dan Pembelajaran Kontekstual.Malang :Departemen Pendidikan Nasional FMIPA UM. Septyo, Rizky. 2008. Peningkatan hasil Belajar Siswa kelas VII SMP Negeri 21 Malang dengan Pembelajaran Kontekstual Model Tutorial Sebaya Pokok Bahasan Segitiga. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM. Suciati dan Irawan. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Triwahyu, Septi. 2009. Meningkatkan Motivasi Belajar matematika Siswa melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Square. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

10